Delapan Dewa Iblis (Kwi Sian Pat) Jilid 7

Jilid 7

“kita ketempat kediaman kwi-sian-pat.” Jawab Yo-seng, ketika mereka sampai dikediaman kwi-sian-pat mereka dicegat dua orang penjaga

“kalian mau apa?”

“kami hendak bertemu dengan kwi-sian-pat.”

“majikan kami tidak ada disini, dan sudah lebih enam bulan mereka meninggalkan rumah.”

“hmh..baiklah, kami permisi.” sahut Yo-seng dan keduanya meninggalkan kediaman kwi- sian-pat.

“bagaimana selanjutnya seng-ko?”

“kita harus segera kekota Sinyang.” jawab Yo-seng, lalu merekapun membeli dua ekor kuda, mereka melukan perjalanan cepat, ketika memasuki wilayah timur berita tewasnya Ui-hai-liong-siang makin santer, Yo-seng dan istrinya dengan tidak sabar mempercepat perjalanan, akhirnya empat bulan kemudian merekapun sampai kekota Sinyang, mereka disambut dua pembantu mereka dengan linangan air mata, mereka menceritakan tentang kedatangan kwi-sian-pat dan jalannya pertarungan yang terjadi, Yo-seng dan istrinya duduk disamping pusara orang tuanya.

“pertarungan itu tidak adil koko.” ujar Kwaa-thian-eng

“benar, dan saya akan minta pertanggung jawaban kwi-sian-pat atas ketidak adilan ini.” “apa rencana koko?”

“saya akan mencari keberadaan kwi-sian-pat, kamu tinggal saja disini mengurus dagangan dan anak kita Yo-han.”

“kapan koko akan berangkat.

“nanti setelah saya menyelesaikan urusan dagang dengan paman Can, dan menyediakan stok rempah-rempah.”

Sebulan kemudian ketika Yoseng pun meninggalkan keluarganya untuk mencari keberadaan kwi-sian-pat, namun dua hari setelah itu rombongan Kwaa-hoa-mei sampai di kota Sinyang, Kwaa-hoa-mei dan ketiga adiknya langsung menuju kediaman kaka ipar mereka, kedatangan mereka disambut Kwaa-thian-eng.

“cici…bagaimana kabar kalian?”

“kami baik-vaik saja mei-moi, namun kita ternyata ditimpa musibah.” :hah..jadi benar berita yang tersiar yang kami dengar.” sahut Kwaa-hoa-mei. “apa yang kalian dengar?”

“bahwa paman Yo dan istrinya tewas ditangan kwi-sian-pat.” “benarlah demikian Mei-moi.”

“bagaimana ceritanya eng-cici?” tanya Kwaa-kun-bao

“kami juga tidak tahu persis, karena kami sedang berada di tempat ayah, dan berita itu juga kami dengar saat berada dikota Bao.”

“lalu kemanakah seng-suheng?” sela Kwaa-sin-liong

“suhengmu baru dua hari berangkat untuk mencari kwi-sian-pat.” “sebaiknya kami juga ikut mencari eng-cici.” ujar Kwaa-yun-peng

“begitupun baik, namun kalian baru sampai, istirahatlah beberapa hari.” Sahut Kwaa- thian-eng, adik-adiknya mengangguk

“saya disini saja menemani Eng-cici, dan kalian saja yang membantu Yo-suheng mencari kwi-sian-pat.” ujar Kwaa-hoa-mei

“demikian juga bagus, dan kita akan berpencar mencarinya.” sahut Kwaa-sin-liong “kearah manakah Yo-suheng mencari?” tanya Kwaa-kun-bao

“suhengmu pergi kewilayah utara, karena kwi-sian-pat tidak berada dimarkas mereka di kota Bao.”

“hmh..kalau begitu saya akan mengikuti suheng keutara, dan bao-te serta peng-te menuju selatan khususnya kota Bao, mana tahu mereka sudah kembali.” ujar Kwaa-sin-liong, kedua adiknya mengangguk, tiga hari kemudian tiga she-taihap berangkat, Kwaa-sin-liong berpatah balik menuju wilayah utara, sementara dua adiknya menuju wilayah selatan, tujuan keduanya adalah kota Bao, sementara Kwaa-hoa-mei tinggal di sinyang bersama encikya.

Sebuah restoran diKota Lijiang dipadati para tamu yang hendak makan, tiga orang tamu memasuki restoran, wajah mereka penuh debu menandakan mereka baru menempuh perjalanan jauh, salah seorang dari mereka adalah Kwee-jun-bao dan dua yang lain adalah saudara seperguruannya, yakni suhengnya Guan-sin-pang dan sutenya kao-kang, mereka mengambil tempat disamping meja seorang lelaki tampan dengan wibawa yang gagah, dia adalah Yo-seng yang baru saja sampai dikota itu dalam penjajakannya akan keberadaan kwi-sian-pat, selama perjalanannya dia merasa heran karena jejak kwi-sian- pat hilang laksana ditelan bumi.

“pelayan! tolong makanannya dihidangkan.” Seru seorang dari mereka “baik tuan, lauk apa yang mau dipesan?” “sediakan saja apa yang ada.”

“baik kalau begitu, segera akan kami sediakan.” sahut pelayan sambil berbalik untuk mempersiapkan pesanan, dengan nampan besar dua orang pelayan menghidangkan makanan

“silahkan tuan-tuan!” ujar pelayan, lalu ketiga lelaki itu pun mulai bersantap.

“Sepertinya lioklim akan terjadi bencana hebat dengan kemunculan kwi-sian-pat.” ujar Kao-kang

“tapi menurut saya Kao-sute tidak akan separah seperti yang engkau bayangkan.” “kenapa Kwee-suheng berpendapat demikian?”

“saya melihat sepak terjang kwi-sian-pat tidak setelengas seperti pah-sim-sai-jin, penindasan mereka tidak menjadi momok yang sangat mengrikan.”

“benar apa yang dikatakan Kwee-sute, mereka sepertinya cendrung pada ketenaran saja.” sela Guan-sin-pang.

“tapi Guan-suheng dan Kwee-suheng, saya masih khawatir jika pulau kura-kura dapat mereka tundukkan, maka wajah liok-lim akan berubah kelam.”

“arah kesana mungkin saja, kita hanya berharap semoga she-taihap dapat mencegah ambisi kwi-sian-pat.” sahut Guan-sin-pang.

“tewasnya   Ui-hai-liong-siang   ditangan   mereka, merupakan   berita menggemparkan sekaligus mencemaskan dunia kangowu.”

“benar Kao-sute, eh..bukankah Kwee-sute akan ketempat kediaman Ui-hai-liong-siang?”

“benar, dengan musibah yang menimpanya, saya tidak tahu apakah ia akan tetap berada disana.”

“ah..kalao jodoh pasti akan ketemu juga Kwee-suheng.”

“hmh..mudah-mudahan saja, dan seandainya jika ia tidak di sana, saya akan terus lanjutkan ke kota Kun-leng, sudahlah kenapa kita malah ngelantur membicarakan urusan saya”

“hahaha..hahaha…untuk selingan kenapa tidak, daripada kita hanya berkutat dengan masalah yang mencemaskan. Kita juga bicarakan hal-hal yang menyenangkan.” sela Guan-sin-pang dengan tawa menggoda sutenya.

“ah…urusan saya belum tentu sesuai dengan harapan saya, karena ia belum tentu mau menerima saya.” “jadi kita kembali kepada jodoh kalau begitu, hahahaa..hahha...” sela Kao-kang

“maaf sam-sicu, bolehkan aku ikut nimbrung hal kalian bicarakan?” sela Yo-seng, ketiga saudara seperguruan itu menatap yo-seng dengan pandangan menyelidik

“siapakah sicu ini?” tanya Guan-sin-pang

“saya adalah Yo-seng, dan saya tertarik dengan pembicaraan sam-sicu terutama masalah kwi-sian-pat.”

“membicarakan kwi-sian-pat saat ini memang sangat menarik, apa yang sicu ketahui tentang mereka ini?”

“pembicaraan tentang kwi-sian-pat demikian santer, namun yang mengherankan adalah keberadaan kwi-sian-pat sendiri tidak diketahui dimana beradanya.”

“oo, soal keberadaan mereka, terakhir yang saya ketahui mereka berada di Nancao.” sela Kao-kang.”

“ooh, ternyata mereka disana, menurut sicu, akan kemanakah tujuan mereka itu?” “saya cendrung menduga mereka akan ke pulau kura-kura.”

“kenapa demikian sicu?”

“melihat sepak terjang mereka sejak muncul, dimana hal pertama mereka menaklukkan delapan ciangbujin partai besar, kemudian disusul dengan kematian Ui-hai-liong-siang ditangan mereka, dan kemungkinan besar sasaran mereka selanjutnya adalah pulau kura-kura.”

“hmh..beralasan juga pemikiran sicu, oh ya kalau boleh tahu siapakah sam-sicu ini?”

“saya adalah Kao-kang, dan ini dua suheng saya, Kwee-jun-bao dan Guan-sin-pang, kami dari kota Wuhan.”

“saya dengar tadi Kwee-sicu mau ada urusan pribadi ke kota sinyang tempat kediaman Ui-hai-liong-siang.”

“ah…kedua saudara saya ini hanya menggoda saya saja.” sela kwee-jun-bao, dengan muka berubah kemerahan karena malu.

“hehehe..jika urusan masalah she-taihap, sedikit banyaknya kwee-sicu tidak usah sungkan pada saya.”

“eh…kenapa demikian Yo-sicu?” tanya Guan-sin-pang heran

“karena istri saya juga adalah she-taihap, dan tentunya she-taihap yang kwee-sicu maksud akan datang kerumah saya.”

“wah…kalau begitu Yo-sicu putra dari Ui-hai-liong-siang.” sela ketiganya bersamaan “benar sam-sicu.”

“aih…maaf sungguh kami tidak tahu.” Ujar mereka sambil merangkap tangan menjura.”

“ah..tidak ada yang perlu dimaafkan sam-sicu, dan saya bahkan berterimakasih atas informasi Kao-sicu tentang keberadaan kwi-sian-pat dan juga tentang pendapatnya.

“pantas Yo-taihap sangat tertarik masalah kwi-sian-pat, ternyata Yo-taihap sedang mencari mereka.”

“demikianlah Guan-sicu, dan dimanakah kwee-sicu bertemu dengan sumoi saya kwaa- hoa-mei?”

“sa…saya bertemu dengannya di Guangdong, dan dia bersama tiga saudaranya.” sahut Kwee-jun-bao semakin sungkan dan muka tertunduk.

“jika demikian, besar kemungkinan kwee-sicu akan menemui Hoa-mei di tempat saya, apalagi kalian ada janji bertemu disana.”

“demikiankah Yo-taihap?

“benar, dugaan saya itu kuat, karena keluarga mertuaku sangat kuat memegang janji, saya doakan semoga harapan kwee-sicu bersambung gayut.”

“terimakasih Yo-taihap, dan saya juga mendoakan semoga urusan Yo-taihap dengan kwi- sian-pat dapat diselesaikan dengan baik.”

“baiklah sam-sicu, karena saya harus begerak cepat, jadi saya permisi dulu, dan jika kwee-sicu sampai di tempat saya, sampaikan salam kepada istri saya, bahwa saya dalam keadaan baik dan sehat.”

“tentu taihap, salam taihap akan saya saampaikan pada nyonya.” sahut Kwee-jun-bao, kemudian Yo-seng segera meninggalkan restoran untuk melanjutkan perjalanan, tujuannya adalah pulau kura-kura.

Mari kita lihat keadaan di pulau kura-kura, dimana keadaan istana megah ditengah pulau aktivitasnya berjalan sebagaimana biasa, dua ratus pat-hong-heng-te sedang berlatih dibawah pengawasan empat murid kepala, empat suhu mereka Coa-san-tung, Li-tan-hua, Lauw-jin dan Sim-lok, duduk bersila di panggung besar sambil memperhatikan seluruh gerak para murid, gerakan mereka demikian kokoh dan gesit, mereka adalah angkatan keempat sejak pat-hong-heng-te dipimpin oleh Coa-san-tung, murid-murid yang sudah menammatkan pelajaran menyebar diseluruh tionggoan sebagai pendekar-pendekar kenamaan, gelar she-taihap yang mereka sandang dari generasi kegenarasi merupakan kompas seluruh tindak tanduk mereka, banyak diantara mereka yang menjadi kauwsu diberbagai pelosok, dan tidak sedikit yang menjaadi pimpinan piauwkiok, demikian juga sebaran pendekar-pendekar pembela kebenaran.

Yang tertua dari penghuni pulau kura-kura adala Coa-san-tung yang sudah berumur empat puluh lima tahun, paman mereka lou-bhong sudah meninggal setahun yang lalu, setelah siang hari, latihan para murid pun berhenti, semuanya beristirahat sebentar, setelah itu mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, ada beberapa murid yang turun kelaut untuk menangkap ikan, ada yang menggarap tanah dengan kebun sayuran yang beraneka macam, ada yang membersihkan areal istana, semuanya itu untuk keperluan penguin istana pulau kura-kura.

Empat kauwsu pat-hong-heng-te memasuki rumah induk, empat istri mereka menyambut dengan senyum hangat, sepoci teh sudah disiapkan diatas meja, seorang gadis cantik berumur delapan belas tahun memasuki ruang tengah dengan terburu-buru, dia adalah Li- ceng-lin putri dari Li-tan-hua

“kamu sudah pulang lin-ji? kenapa kamu sepertinya terburu-buru?” tanya ibunya heran

“sudah ibu, dan beras sudah saya suruh letakkan digudang, dan saya segera menemui ayah dan ibu serta keluarga semua, ingin menyampaikan berita penting.”

“berita apa yang hendak kamu sampaikan Lin-ji?” tanya Li-tan-hua

“ayah, saya bertemu dengan serombongan piauwkiok di kaifeng, dan mereka membawa berita dari Kun-leng.”

“berita apa yang mereka bawa dari Kun-leng, Lin-ji?” sela Can-san-tung “susiok-kong-bo Kao-hong-li meninggal dunia.”

“oh…begitukah?” sela empat tetua itu terkejut, karena delapan bulan yang lalu im-yang- sin-taihap ditinggal mati oleh khu-hong-in, sementara empat bulan sebelum kematian paman mereka Lou-bhong, Im-yang-sin-taihap istrinya Lauw-bi-hong juga menutup usia, dan sekarang Kao-hong-li juga meninggal dunia.

“bagaimana sekarang Coa-suheng? kita baru saja pulang dari sana?” tanya Li-tan-hua “kita harus utus keluarga kita melayat kesana.” sahut Coa-san-tung

“demikian juga baik suheng, lalu siapa yang akan kita utus?” “kita utus coa-jun, Li-ceng-lin dan Lauw-han kesana.”

“saya setuju Coa-suheng.” sahut Lauw-jin

“baik, kalau begitu, Lin-ji cepat panggil suheng dan sutemu kesini!” ujar Coan-san-tung

“baik supek.” sahut Li-ceng-lin dan segera keluar untuk memanggil suhengnya putra kedua dari Coa-san-tung yang berumur sembilan belas tahun, sementara putra pertama Coa-san-tung sudah menikah dan menetap di kota secuan, Li-ceng-lin juga adalah anak kedua dari Li-tan-hua, karena kakak lelakinya juga sudah menikah dan menetap di lokyang.

Coa-jun sedang menyiangi kebun jagung disebelah barat istana.

“coa suheng…!” seru Li-ceng-lin dari pinggir kebun, seorang laki-laki muncul dari rerimbunan pohon jagung “kamukah itu Li-sumoi, kamu sudah kembali dari kaifeng?”

“benar suheng, suheng..! sudahi dulu pekerjaannya karena su-pek menyuruh menghadap.”

“baik..aku bersihkan badan dulu.” sahut Coa-jun

“suheng kita ketemu di rumah, karena saya harus menemui Lauw-sute.”

“baik, Lauw-sute berada dikebun cabai.” sahut Coa-jun, Li-ceng-lin segera keareal perkebunan cabai disebelah utara istana.

Ketiganya memasuki ruang tengah menghadap orangtua mereka

“sam-ji, hari ini kalian berkemas dan segera pergi kekota Kun-leng untuk menjenguk susiokkong kalian Im-yang-sin-taihap yang ditimpa kemalangan dengan meninggalnya susiokong-bo kalian Kao-hong-li.” ujar Coa-san-tung

“baik ayah, apakah hanya kami bertiga?”

“ya..kalian berangkatlah dan sampaikan salam sungkawa kami terhadap keluarga disana.” sahut Coa-san-tung, lalu ketiga muda itu pun meninggalkan ruangan untuk berkemas.

Sore itu mereka sudah berlayar menuju daratan besar, sesampai di kota Kaifeng perjalanan mereka dilakukan dengan cepat, mereka melakukan perjalanan dengan menunggang kuda, sesampai dikota hopei mereka mengambil jalan pintas melewati hutan dan lembah, dengan ketangkasan ilmu lari mereka yang luar biasa, medan terjal mereka lalui dengan mudah, hingga dalam jangka lima belas hari mereka sampai dikota Kun-leng.

Kedatangan mereka disambut Im-yang-sin-taihap, ketiganya berlutut dihadapan Im-yang- sin-taihap dan Kwee-kim-in, Im-yang-sin-taihap sudah berumur lima puluh lima tahun sementara Kwee-kim-in empat puluh tujuh tahun

“sisiokong, berita sampai kepada kami lima belas hari yang lalu, dan baru oleh ayah kami langsung diutus kesini.” ujar Coa-jun

“ya…tidak mengapa sam-ji, kedatangan kalian sudah menghibur hati kami, bagaimana kabar orangtua kalian di pulau kura-kura?”

“kabar keluarga disana baik dan sehat susiokkong, dan keluarga disana menyampaikan salam sungkawa peda keluarga disini.”

“ya..ya…sekarang kalian istirahatlah dulu, dan besok kalian ziarah kemakam susiokkong- bo kalian.” ujar Kwaa-han-bu, ketiga muda itu mengangguk, lalu mereka berdiri, Kwee- kim-in mengajak mereka makan dan minum dan membagi dua kamar untuk cucu keponakannya.

Suatu hari Li-ceng-lin menghadap susiokkongnya yang sedang berada di ruang tengah “susiokkong, saya ingin menemani kalian disini, bolehkan?” “boleh saja Lin-ji, tapi bagaimana dengan orangtuamu disana?” “kalau susiokkong yang minta, tentu ayah dan ibu akan setuju.”

“oh..begitu, kenapa kamu ingin tinggal disini Lin-ji?” tanya Kwee-kim-in

“susiok-kong-bo sekarang hanya kalian berdua disini ditemani tiga orang pembantu, sementara tiga supek dan pek-bo sedang berkelana, saya senang tinggal disini dan ingin menemani susiokkong dan susiokkong-bo.”

“kalau begitu baiklah, nanti akan kutulis surat pada ayahmu supaya mengizinkanmu tinggal bersama kami.” sahut Kwaa-han-bu.

alangkah senangnya Li-ceng-lin, dan ketika hal itu disampaikan pada kedua saudara seperguruannya, Coa-jun dan Lauw-han tidak berkomentar, apalagi setelah susiokkong mereka menguatkan, dan ketika keduanya hendak berangkat, Kwaa-han-bu menitipkan surat.

“Jun-ji dan han-ji kalian sampaikan salamku pada orang tua kalian, juga sampaikan surat ini pada ayah Li-ceng-li.” ujar Kwaa-han-bu, kedua taruna itu mengangguk, kemudian keduanya berangkat dilepas Li-ceng-li dipintu gerbang kota Kun-leng.

Setelah Coa-jun dan Lauw-han sampai di pulau kura-kura, suratpun disampaikan pada Li- tan-hua, Li-tan-hua setelah membaca surat dari supeknya hanya menghela nafas rela

“bagaimana keadaan supek disana jun-ji?”

“keadaan susiokkong baik saja supek, dan memang hanya mereka berdua, karena supek dan supek-bo sedang berkelana.

“biarlah ia disana menemani supek Li-sute.” sela Coa-san-tung “benar Coa-suheng, aku juga memaklumi keadaan su-pek.”

“kalian istirahatlah..” perintah Coa-santung pada anak dan keponakannya.

Dua hari kemudian di pantai pulau kura-kura yang ramai oleh pedagang apung, merasa heran melihat sebuah perahu yang penumpangnya terdiri dari delapan orang, delapan orang itu mendarat dipelantaran dengan gerak loncatan yang luar biasa, tanpa menggubris para pedagang delapan orang itu memasuki pulau, ketika mereka melewati gapura, seorang murid mendekati mereka

“maaf apakah pat-cianpwe hendak menemui suhu?” “benar, apakah suhumu ada?”

“ada cianpwe, saya akan melaporkan kepada suhu, siapakah pat-cianpwe, untuk saya sampaikan kepada suhu.”

“katakana pada suhumu, bahwa tamunya adalah Kwi-sian-pat.” “baik….marilah kita ke istana.” sahut murid tersebut dengan tenang, melihat ketenangan murid itu, kwi-sian-pat mengangguk-angguk salut akan ketenangan pat-hong-heng-te.

“silahkan tunggu pat-cianp-we, aku akan kedalam menemui suhu.” ujar si murid, lalu ia pun masuk kedalam istana

“suhu kwi-sian-pat datang bertamu.” lapor simurid “benar mereka kwi-sian-pat A-kuang?” tanya Li-tan-hua “benar suhu, mereka sendiri yang mengatakan.”

“baik kalau begitu, sampaikan pada saudara-saudaramu untuk waspada.” sahut Li-tan- hua, lalu merekapun keluar menyambut kedatangan tamu yang menggemparkan ini, terlebih mereka juga mengetahui keluarga mereka di Sinyang, tewas ditangan delapan tamu ini.

“selamat datang ditempat kami kwi-sian-pat.” sapa Coa-san-tung “hahaha..hahaha selamat bertemu she-taihap.” sahut Ma-tin-bouw

“ada keperluan apakah sehingga Kwi-sian-pat berkunjung ke pulau kura-kura?” “she-taihap tentu dapat menduga untuk apa kami datang kesini.”

‘Jujur kami menduga bahwa kedatangan kwi-sian-pat tidak jauh berbeda ketika menemui keluarga kami di kota Sinyang.”

“dugaan she-taihap benar, lalu bagaimana tanggapan she-taihap?”

“kami akan melupakan kebodohan diri berlaku sama dengan orangtua kami dikota sinyang.”

“hahaha..hahaha…luar biasa…hebat…dan menakjubkan.” puji Ma-tin-bouw

“tantangan sudah diterima, tidak ada lagi yang akan dibicarakan, mari kita lakukan Ma- twako” sela suma-xiau

“baiklah she-taihap, bagaimana menurutmu pormasi pibu yang akan kita lakukan?” “terserah pada kwi-sian-pat yang datang sebagai tamu.”

“hmh….baiklah, she-suma majulah untuk menjajal kemampuan she-taihap.” ujar Ma-tin- bouw, Suma-xiau dengan senyum jumawa melangkah kedepan

“siapa dari kalian yang duluan maju?”

“Coa-suheng, biarkan saya yang maju menyambut tamu kita ini.” ujar Sim-lok sambil melangkah kedepan. “hahaha..hahaha… saya adalah suma-xiau, dan siapakah anda ini?” “saya adalah Sim-lok, silhkan anda mulai!” sahut Sim-lok

Suma-xiau bergerak memasang kuda-kuda, kemudian berkelabat dengan sebuah serangan cepat dan kuat, Sim-lok menyambut serangan dengan tenang, jurus im-yang- jie-lie-pat dikerahkan, pertempuran seru dan menegangkan berlangsung seru, dua petarung tingkat tinggi saling bertahan dan menyerang, empat puluh jurus kemudian dia sin-kang beradu

“plak..dhuar..” tubuh suma-xiau terlempar tiga tombak, sementara Sim-lok hanya bergeser tiga tindak, Suma-xiau merasa dadanya sesak, dari adu sin-kang itu, nyatalah Sim-lok masih ada diatasnya.

Suma-xiau kembali menyerang dengan pengerahan tenaga dan gin-kang, Sim-lok juga dengan kembang ilmu yang sangat banyak melayani setiap serangan suma-xiau, seratus jurus sudah berlalu, keadaan nampaknya masih seimbang, suma-xiau berusaha untuk tidak mengadu sin-kang, karena ia tahu dia akan kalah, dan itu akan merugikan dirinya jika adu sin-kang sering dilakukan, namun dibidang gin-kang kenyataanya she-taihap tidak disebelah bawahnya, kedahsyatan daya serang yang jitu dan bertubi-tubi membuat suma-xiau kelangkabut dan terdesak, walaupun tombak tunasnya sudah dikerahkan sedemikian rupa

“des….buk….plak…..” sebuah tendangan menghantam paha suma-xiau, sehingga kuda- kudanya ambrol dan tubunya yang oleng dihantam sodokan siku dan berlanjut pada sebuah tamparan menghantam pelipisnya, suma-xiau ambruk dengan nafas sesak menerima tiga pulukan bertubi-tubi, sikakek kembar tanpa tiba-tiba merangsak maju, senjata kipas keduanya bergerak lincah mengurung sim-lok, namun sim-lok dengan ilmu”pat-hong-sin-tai-hong” (badai sakti delapan penjuru) satu ilmu khas pat-hong-heng-te yang diciptakan susiok mereka Im-yang-sin-taihap.

Gerakan ilmu ini sangat unik dan dahsyat, disamping gerakannya yang sangat cepat gerakan perubahannya, kedua she-Gu merasa kewalahan walaupun segenap ilmu mereka sudah dikerahkan, bagi she-taihap tangan mereka merupakan senjata paling ampuh dan berbahaya dibandingkan senjata lain, tangan mereka mampun menerima mata pedang dengan tangan telanjang bahkan meremasnya hingga hancur, terlebih setelah lima puluh jurus berikutnya senjata khas pat-hong-heng-te yang berupa sabuk telah dimainkan oleh sim-lok, ia laksana harimau tumbuh sayap.

Kedua kakek kembar makin buntu, kebutan-kebutan ujung sabuk membuat mereka jatuh bangun, mundur menghindar dan semakin tersudut, dan akhirnya tubuh mereka dipermainkan   kedua   ujung   sabuk,    disebat    dan    dibelit    berulang-ulang “plak..plak…” terakhir tubuh mereka bagian dada telak dihantam ujung sabuk, hingga keduanya terguling sambil muntahkan darah, lima rekannya yang belum maju terkesima menghadapi kenyataan betapa penghuni pulau ini benar-benar luar biasa, sedikit banyaknya nyali Ma-tin-bouw bergetar.

Kemudian Tan-luo-pang, Yang-ma-kui dan zhang-kui-lan maju berbareng, namun ketiganya terkejut saat tiga she-taihap menghalau mereka, petempuran dalam tiga kelompok terjadi dengan begitu cepat, Sim-lok mundur dengan tenang tapi waspada melihat dua rekanan kwi-sian-pat yang belum maju, dan memang Bu-leng-ma dan Ma-tin- bouw tiba-tiba bergerak membatu she-zhang dan yang, namun bagi Li-tan-hua dan coa- san-tung hal itu tidak membuat mereka gugup, mereka melayani dengan tenang dan sabar, semetara Tan-lou-pang yang tertinggi diantara kwi-sian-pat menghadapi Lauw-jin.

Tan-lou-pang baru mendapat lawan tanding yang kenyataannya tidak disebelah bawahnya, bahkan satu tingkat diatasnya, dengan kedua senjatanya Tan-lou-pang menyerang Lauw-jin, namun dia membentur kehebatan ilmu”pat-hong-sin-tai-hong” sampai dua ratus jurus keadaan masih seimbang, demikian juga dengan empat rekanya yang mengeroyok dua seorang she-taihap, dan hal itu tidak berlansung lama, lima puluh jurus berikutnya, rekanan kwi-sian-pat terdesak hebat, namun Gu-siang, Gu-liang dan suma-xiau kembali bergerak memasuki pertempuran, Sim-lok segera memapaki Gu-liang dan Gu-siang dan membiarkan suma-xiau mengeroyok suhengnya Lauw-jin.

Pembagian itu cukup seimbang, masing-masing empat she-taihap melawan dua rekanan kwi-sian-pat, dan hasilnya cendrung sudah diketahui bahwa kwi-sian-pat akan kalah mutlak, masing-masing she-taihap membendung serangan lawan dengan sabuk mereka yang berwarna kuning, mereka laksana mempermainkan masing-masing kedua lawan mereka dengan ujung sabuk.

Format pertarungan ini berlangsung sangat lama, hingga siang sudah berganti malam, nampaknya kwi-sian-pat tidak akan mempu mendesak empat penghuni pulau kura-kura, harapan mereka kandas, dikira mereka sudah bisa unjuk gigi diistana pulau kura-kura, namun ternyata kenyataan pahit yang mereka terima, sebentar lagi mereka akan mendulang kekalahan karena saat ini posisi mereka sedang terdesak hebat, Tan-lou-pang yang menjadi kakap diantara kwi-sian-pat buntu dan terdesak

Akhirnya setelah malam agak larut, susul menyusul kwi-sian-pat ambruk pingsan dihalaman istana pulau kura-kura, hanya Tan-lou-pang yang masih sadar sementara tujuh rekannya tidak sadarkan diri karena luka dalam yang mereka derita, empat she-taihap berdiri agung didepan kwi-sian-pat yang terbaring,

“sam-sute mari kita kembalikan kwi-sian-pat kekapalnya.” ujar Coa-san-tung, lalu masing- masing she-taihap menggondol kerah baju kwi-sian-pat dan berlari menuju pantai, kwi- sian-pat seperti anak kucing diletakkan di dek perahu, kemudian dengan tenaga dorongan luar biasa empat she-taihap mendorong perahu, dan hasilnya sangat menakjubkan, perahu kwi-sian-pat laksana busur panah melesat diatas permukaan laut. perahu itu terus melejit hingga perahu itu hilang dikejauahan.

Perahu itu terombang-ambing dipermainkan ombak diantara deru angin, sudah semalaman perahu itu bergerak tanpa arah, Tan-lou-pang mencoba mengarahkan perahu ke daratan besar, tujuh rekannya sudah siuman, namun tenaga mereka sudah lenyap akibat luka dalam yang cukup parah.

“Bagaimana rencanamu she-tan?” tanya Yang-ma-kui sambil berusaha duduk

“hal selanjutnya belum dapat saya pikirkan saat ini, karena yang penting kita harus memulihkan diri dulu.”

“mau kemanakah setelah sampai didaratan besar?” sela Zhang-kui-lan “jika kita sampai didaratan besar, saya akan membawa kalian ke tempatku di Heng-sing- kok dipropinsi Guangdong.” jawab Tan-lou-pang.

Setelah tiga hari tiga malam mendayung, perahu kwi-sian-pat dipinggir pantai yang sepi dan hutan bakau yang lebat, dengan tertatih-tatih mereka memasuki hutan, hal yang perlu sekarang adalah mencari buruan untuk pengisi perut yang lapar, seekor babai hutan menjadi santapan kwi-sian-pat, setelah kenyang mereka sedikit bertenaga, kemudian mereka mulai mengobati luka dalam mereka dengan pengerahan sin-kang, tiga diantara mereka berhasil meredam luka dalam, dan hanya tinggal minum obat pembersih darah mereka akan puluih kembali, mereka itu adalah Tan-lou-pang, zhang-kui-lan dan Yang- ma-kui, sementara lima dari mereka harus dibantu atau harus segera diobati.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan, hingga sampai pada sebuah bukit, beberapa tanamana merupakan obat yang mereka dibutuhkan, Tan-lou-pang dengan pengetahuan pengobatannya memetik beberapa daun dan bunga obat, dan selama dua minggu mereka berada di atas bukit untuk memulihkan diri, sehingga mereka akhirnya berhasil.

“bagaimana keadaanmu Ma-twako!?” tanya Tan-lou-pang

“berkat ramuan obat yang kamu berikan, saya merasa sudah sembuh dan tiga perempat tenaga saya sudah pulih.”

“bagauslah kalau begitu, lalu bagaimana rencana Ma-twako selanjutnya?” sela Yang-ma- kui

“kita tidak menyangka bahwa penghuni pulau kura-kura dapat mempecundangi kita seperti ini.” sahut Ma-tin-bouw kembali membayangkan pertempuran di pulau kura-kura.

“adakah cara yang dapat kita lakukan untuk mengalahkan penghuni pulau kura-kura?” sela Zhang-kui-lan

“kalau dari kehebatan ilmu silat, rasanya kita tidak akan mungkin mampu.” sahut Tan-lou- pang

“seandainya dua orang dari mereka kita keroyok delapan pasti mereka akan tewas sebagaimana Ui-hai-liong-siang.” ujar Suma-xiau

“bagimana kita menemukan mereka tidak berempat?” sela Bu-leng-ma “saya punya ide untuk memisahkan mereka.” Sela Ma-tin-bouw

“bagaimana Ma-twako, ide yang bagaimanakah itu.” sahut mereka serempak

“kita akan memamfaatkan hubungan antara pemerintah dengan tocu pulau kura-kura.”

“betul, sejak dahulu pulau kura-kura dan pemerintah kota kaifeng memiliki kedekatan.”

Sela Tan-lou-pang

“benar, jadi kita gunakan kungcu kaifeng untuk mengundang mereka.” “kalau mereka datang berempat sama juga nantinya.” sela Gu-liang

“dalam undangan tidak disebutkan mereka berempat, kungcu mengundang untuk membicarakan hal penting, dan saya yakin seorang atau dua orang yang akan menyeberang dari pulau kura-kura.”

“hmh…kemungkinan hal itu benar Ma-twako.” sela Bu-leng-ma, semuanya mengangguk.

“lalu kapan kita akan memulai rencana itu, kalau memang masih lama saya ingin mengajak kalian ke tempatku di Guangdong.” tanya Tan-lou-pang

“menurut saya rencana ini kita segerakan, dan setelah itu baru kita ketempat she-tan.” sahut Ma-tin-bouw

“demikian juga saya setuju.” sahut mereka serempak.”

“baik kalau begitu, selama seminggu ini kita akan giat berlatih ditempat ini, setelah itu baru kita masuk kekota kaifeng dan menguasai kediaman kungcu untuk menjalankan rencana kita.” ujar Ma-tin-bouw

Seminggu kemudian, kwi-sian-pat meninggalkan bukit dan memasuki kota kaifeng, kota kaifeng yang padat sangat sibuk dan ramai, kwi-sian-pat tidak sulit menemukan kediaman Lauw-kungcu, ditengah kegelapan malam kwi-sian-pat mengendap-endap diatas atap rumah Lauw-kungcu.

Lauw-kungcu sedang makan malam bersama keluarganya, saat menikmati makanan, Ma- tin-bouw dan Bu-leng-ma muncul

“siapa kalian!?” bentak Lauw-taijin terkejut, namun sebelum mendapat jawaban Ma-tin- bouw sudah menagkap Lauw-taijin dan mencengkram lehernya

“taijin! kami akan membunuh kamu dan keluargamu jika engaku macam-macam.” ancam Ma-tin-bouw.

“a…apa maksud kalian datang seperti ini.” tanya Law-taijin dengan muka pucat

“kami akan tinggal ditempatmu ini untuk beberapa lama, jika kamu mau bekerjasama maka kamu dan keluaargamu akan baik-baik saja, namun jika tidak, kamu dan kelurgamu akan binasa dan kediamanmu ini akan kami obrak-abrik dan kami bakar, apa kamu mengerti taijin!?” ujar Ma-tin-bouw

“ba..baik…saya akan menuruti kalian.” sahut Lauw-taijin terbata-bata, dan saat itu enam kwi-sian-pat muncul. Sehingga membuat Lauw-taijin dan kelaurganya menggigil ketakutan

“tai-jin kami akan berada di bagunan belakang dekat taman bunga, tidak boleh ada yang mengetahui keberadaan kami, jadi hanya kamu dan keluargamu ini yang boleh berada disekitar bangunan tersebut, setiap jam makan kamu atau kelaurgamu mengantarkan makanan untuk kami berdelapan, mengerti!?”

“me..mengerti tuan.” sahut Lauw-taijin “bagus….sekarang kami akan pergi kebangunan belakang, dan besok siang harus kamu yang mengantarkan makanan untuk kami.” ujar Ma-tin-bouw sambil melepaskan cengramannya pada tengkuk Lauw-taijin, kemudian delapan orang itupun menghilang, Lauw-taijin dan keluarganya semakin pucat dan ketakutan.

Keesokan harinya Lauw-taijin memanggil empat kepala pengawalnya, tan-ciangkun, Yang-ciangkun, Cu-ciangkun dan Cia-ciangkun, empat orang itu menghadap Lauw-taijin

“Kalian berempat harus lebih meningkatkan penjagaan, dan areal bangunan di dekat taman bunga tidak diperkanankan mendekat atau masuk.”

“boleh kami tahu kenapa taijin?” tanya Yang-ciangkun

“tidak boleh, laksanakan saja sebagaimana perintah saya.” jawab Lauw-taijin tegas. empat ciangkun mengangguk dan semakin menunduk, kemudian mereka menata lokasi ronda, pengosongan pengawasan pada area belakang kediaman Taijin, membuat heran para pengawal, namun mereka tidak berani bertanya penyebabnya.

Siang harinya Lauw-taijin bersama dua putranya mengantarkan makanan kedalam bangunan yang merupakan tempat pesanggerahan jika ada tamu yang datang, ketika sampai depan pintu, pintu sudah dibuka terlebih dahulu, suma-xiau menyambut mereka didepan pintu

“kami hendak mengantarkan makan siang.”

“masuklah..” sahut suma-xiau, Lauw-taijin dan putranya masuk dan meletakkan makanan diatas meja.

“taijin kamu tetap tinggal disini dan suruh kedua putramu kembali!” ujar Ma-tin-mouw “baik tuan..” sahut Lauw-taijin kemudian menyuruh kedua putranya kembali

“hari ini kamu tulis surat undangan ke pulau kura-kura, usahakan undangan itu menyebabkan pimpinan penghuni pulau kura-kura memenuhinya, dan dalam undangan tidak boleh menyinggung kami, dan ingat jika undangan ini gagal mendatangkan pimpinan pulau kura-kura maka keluargamu akan binasa.” ujar Ma-tin-bouw, Lauw-taijin menunduk dan mengangguk dengan hati gemetar mendengar ancaman tersebut.

“tiga puluh hari bulan ini mereka sudah harus sampai ketempat ini, mengerti!?” ujar Ma- tin-bouw, Lauw-taijin mengangguk, kemudia dia pun disuruh kembali, dan kwi-sian-pat pun mulai menyantap makan siang.

Sejak Lauw-taijin meninggalkan pesanggerahan hatinya gelisah dan bingung, dia memeras pikiran untuk alasan membuat undangan pada pimpinan pat-hong-heng-te dipulau kura-kura, setelah berpikir keras malamnya Lauw-taijin menuliskan undangan untuk dikirimkan besok ke pulau kura-kura.

Keesokan harinya Lauw-taijin memanggil Tan-ciangkun dan Yang ciangkun, kedua ciangkun itu datang menghadap “Tan-ciangkun dan Yang ciangkun, hari ini kalian berangkat ke pulau kura-kura untuk menyampaikan surat undangan pada pimpinan pat-hong-heng-te di pulau kura-kura.” ujar Lauw-taijin

“baik taijin, apa ada lagi yang harus kami persipakan?”

“tidak, untuk urusan lain akan saya bicarakan dengan Cu dan Cia ciangkun.”

“baik kalau begitu, kami akan segera berangkat.” sahut Tan-ciangkun, kemudian merekapun keluar.

Kedua ciangkun dan dua puluh tentara berangkat pada siang hari, dan tiga hari kemudian merekapun sampai di pulau kura-kura, kedatangan mereka disambut empat she-taihap

“selamat datang ditempat kami Tan-ciangkun, sungguh kunjungan ini mengejutkan kami sekeluarga.” ujar Coa-san-tung

“selamat berjumpa she-taihap, memang kedatangan kami ini mendadak, jadi maafkan kami sehingga membuat she-taihap dan keluarga terkejut.”

“hmh….ada apakah Tan-ciangkun? apakah yang dapat kami Bantu?”

“begini taihap, kami datang hanya ingin menyampaikan surat dari Lauw-taijin untuk she- taihap.” sahut Tan-ciangkun sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Coa-san-tung, Coa-san-tung menerima surat dan langsung membukanya.

Coa-san-tung nampak termenung setelah membaca surat, adapun bunyi isi surat itu

Kepada she-taihap yang budiman

pertama-tama saya saya harap pimpinan pat-hong-heng-te dalam keadaan sehat dan baik- yang kedua saya minta maaf bahwa   surat   ini   datangnya   mendadak. She-taihap yang baik, besar harapan saya, kiranya she-taihap datang ke kaifeng untuk membicarakan hal yang teramat penting, hal ini merupakan rahasia sehingga para ciangkun pun tidak mengetahuinya.

She-taihap yang budiman, urusan ini datangnya dari pusat dan sangat rahasia, dan menurut saya hanya dengan she-taihap saya harus membicarakannya, dan hanya she- taihap yang dapat membantu saya dalam urusan ini, oleh karena itu saya sangat menunggu kedatangan she-taihap pada tiga puluh hari bulan ini di kediaman saya.

Lauw-cing

Coa-san-tung memandang kedua ciangkun

“apa ada lagi yang ingin disampaikan kepada kami Tan-ciangkun?” “tidak ada lagi taihap.” sahut Tan-ciangkun

“kalau begitu marilah kita keruang makan, kami akan menjamu rombongan ciangkun ala kadarnya.” “baik dan terimaksih taihap.” sahut Tan-ciangkun, lalu merekapun makan dan minum

Rombongan Tan-ciangkun bermalam semalam di pulau kura-kura untuk menghilangkan kepenatan, dan keesokan harinya mereka kembali kekota kaifeng, malam setelah kembalinya rombongan ciangkun, empat pimpinan pat-hong-heng-te membicarakan perihal isi surat, surat itu diberikan kepada ketiga sutenya untuk membaca, setelah itu

“bagaimana menurut kalian sam-sute?” tanya Coa-san-tung

“dari isi surat sepertinya hal ini sangat penting, dan Lauw-taijin demikian mengharapkan bantuan kita untuk membicarakannya, jadi menurut saya, sebaiknya kita penuhi harapan Lauw-taijin” sahut Li-tan-hua

“baik, menurut saya juga demikian, jadi untuk memenuhi panggilan Lauw-taijin, ji-sute Lauw-han dan Sim-lok akan berangkat kekota kaifeng dua hari menjelang waktu yang dikatakan Lauw-taijin.” ujar Coa-san-tung, dan ketiga adiknya mengangguk setuju.

Dua hari sebelum hari pertemuan Lauw-han dan sim-lok berangkat menuju kaifeng, sehingga keesokan harinya mereka sudah sampai dikota kaifeng, keduanya langsung kekediaman Lauw-taijin, kedatangan dua pimpinan ini disambut baik empat ciangkun dan segera dibawa menghadap Lauw-taijin

“selamat datang dan terimaksih bahwa dua she-taihap berkenan datang memenuhi undangan saya.” sambut Lauw-taijin

“tidak usah sungkan taijin, jika kami dapat membantu, tentu akan kami usahakan sepenuhnya.” sahut Lauw-han

“karena ji-taihap baru sampai, kami harapkan supaya istirahat sejenak menunggu malam, dan nanti malam saya akan berbicara dengan ji-taihap.” ujar Lauw-taijin, lalu kedua she- taihap dibawa kekamar masing-masing dalam rumah induk Lauw-taijin.

Lauw-taijin segera ke pesanggrahan, hatinya kebat-kebit, karena selama hari ini menunggu ia tidak bisa tenang, takut-takut kalau pimpinan pat-hong-heng-te tidak memenuhi undangannya, dan hatinya masih cemas karena hanya dua pimpinan pat- hong-heng-te yang datang, saat menemui kwi-sian-pat hatinya sedikit lega setelah melihat reaksi kwi-sian-pat mendengar laporannya.

“bagus….taijin, dan nanti malam suruhlah keduanya ke paviliun ditengah taman.” ujar Ma- tin-bouw, Lauw-taijin mengangguk dan meninggalkan pesanggrahan.

Menjelang sore Lauw-taijin menyuruh istri dan putrinya untuk menyediakan makan dan minum dimeja didalam paviliun, dan ketika malam tiba, Lauw-taijin mengajak Lauw-han dan Sim-lok ke pavilion dan ketiganya duduk di meja yang sudah tersedia hidangan, tanpa ragu dan curiga Lauw-han dan Sim-lok makan dan minum bersama Lauw-taijin

“maaf ji-taihap telah merepotkan kalian.”

“ah…tidak mengapa taijin, kami tidak merasa direpotkan.” sahut Lauw-han “oh-ya taijin, hal apakah yang ingin taijin sampaikan yang begitu sangat rahasia?” sela Sim-lok, namun sebelum Lauw-taijin menjawab tiba-tiba kwi-sian-pat muncul dengan senyum jumawa, kedua she-taihap heran

“hmh…kwi-sian-pat, ada pakah ini?” tanya Sim-lok heran, keduanya bergantian memandang lauw-taijin dan rombongan kwi-sian-pat

“hahaha..hahaha….sebenarnya kami yang mengundang kalian, dan taijin ini hanya kami mamfaatkan.” sahut Ma-tin-bouw tersenyum

“oo.., begitu rupanya, lalu ada apa kalian mengundang kami?” tanya Lauw-han dengan tenang, tidak ada sedikitpun rasa takut pada wajah itu.

“maksud kami jelas adalah untuk membunuh kalian.” sahut Ma-tin-bouw, kedua she- taihap tetap tenang

“kami sudah disini dan siap melayani maksud kalian.” tantang Sim-lok, kwi-sian-pat lalu bergerak menyerang kedua she-taihap, Lauw-taijin segera berlari dan menyingkir keluar pavilion, sementara didalam pavilion pertempuran hebat terjadi.

Masing-masih taihap menghadapi empat rekanan kwi-sian-pat, kedua taihap tanpa sungkan mengeluarkan ilmu”pat-hong-sin-tai-hong” dan dengan luar biasa keduanya mampu mengimbangi keroyokan empat lawan kosen hingga dua ratus jurus, suara pertempuran yang hangar bingar didalam taman bunga membuat para pengawal heran, empat ciangkun juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi, lalu mereka memasuki taman bunga, mereka melihat pertempuran luar biasa dan pavilion itu sudah hancur luluh lantak akibat kesiuran hawa pukulan pertarungan yang luar biasa ramai dan seru, mereka melihat    Lauw-taijin    meringkuk    jauh    dari    pertempuran    dengan    wajah    pucat “ada apa   taijin?   darimana   datangnya   orang-orang   itu?”   tanya   Tan-ciangkun “mereka adalah kwi-sian-pat dan sudah dua minggu mereka ada disini dan mengancam saya dan keluarga, semoga saja ji-taihap dapat merobohkan mereka.” jawab Lauw-taijin, setelah mendengar jawaban itu, barulah mereka mengerti akan keanehan sikap taijin, mereka kembali menyaksikan pertempuran yang jauh diatas tingkatan mereka.

Lauw-taijin segera ke pesanggrahan, hatinya kebat-kebit, karena selama hari ini menunggu ia tidak bisa tenang, takut-takut kalau pimpinan pat-hong-heng-te tidak memenuhi undangannya, dan hatinya masih cemas karena hanya dua pimpinan pat- hong-heng-te yang datang, saat menemui kwi-sian-pat hatinya sedikit lega setelah melihat reaksi kwi-sian-pat mendengar laporannya.

“bagus….taijin, dan nanti malam suruhlah keduanya ke paviliun ditengah taman.” ujar Ma- tin-bouw, Lauw-taijin mengangguk dan meninggalkan pesanggrahan.

Menjelang sore Lauw-taijin menyuruh istri dan putrinya untuk menyediakan makan dan minum dimeja didalam paviliun, dan ketika malam tiba, Lauw-taijin mengajak Lauw-han dan Sim-lok ke pavilion dan ketiganya duduk di meja yang sudah tersedia hidangan, tanpa ragu dan curiga Lauw-han dan Sim-lok makan dan minum bersama Lauw-taijin

“maaf ji-taihap telah merepotkan kalian.” “ah…tidak mengapa taijin, kami tidak merasa direpotkan.” sahut Lauw-han

“oh-ya taijin, hal apakah yang ingin taijin sampaikan yang begitu sangat rahasia?” sela Sim-lok, namun sebelum Lauw-taijin menjawab tiba-tiba kwi-sian-pat muncul dengan senyum jumawa, kedua she-taihap heran

“hmh…kwi-sian-pat, ada pakah ini?” tanya Sim-lok heran, keduanya bergantian memandang lauw-taijin dan rombongan kwi-sian-pat

“hahaha..hahaha….sebenarnya kami yang mengundang kalian, dan taijin ini hanya kami mamfaatkan.” sahut Ma-tin-bouw tersenyum

“oo.., begitu rupanya, lalu ada apa kalian mengundang kami?” tanya Lauw-han dengan tenang, tidak ada sedikitpun rasa takut pada wajah itu.

“maksud kami jelas adalah untuk membunuh kalian.” sahut Ma-tin-bouw, kedua she- taihap tetap tenang

“kami sudah disini dan siap melayani maksud kalian.” tantang Sim-lok, kwi-sian-pat lalu bergerak menyerang kedua she-taihap, Lauw-taijin segera berlari dan menyingkir keluar pavilion, sementara didalam pavilion pertempuran hebat terjadi.

Masing-masih taihap menghadapi empat rekanan kwi-sian-pat, kedua taihap tanpa sungkan mengeluarkan ilmu”pat-hong-sin-tai-hong” dan dengan luar biasa keduanya mampu mengimbangi keroyokan empat lawan kosen hingga dua ratus jurus, suara pertempuran yang hangar bingar didalam taman bunga membuat para pengawal heran, empat ciangkun juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi, lalu mereka memasuki taman bunga, mereka melihat pertempuran luar biasa dan pavilion itu sudah hancur luluh lantak akibat kesiuran hawa pukulan pertarungan yang luar biasa ramai dan seru, mereka melihat Lauw-taijin meringkuk jauh dari pertempuran dengan wajah pucat

“ada apa taijin? darimana datangnya orang-orang itu?” tanya Tan-ciangkun

“mereka adalah kwi-sian-pat dan sudah dua minggu mereka ada disini dan mengancam saya dan keluarga, semoga saja ji-taihap dapat merobohkan mereka.” jawab Lauw-taijin, setelah mendengar jawaban itu, barulah mereka mengerti akan keanehan sikap taijin, mereka kembali menyaksikan pertempuran yang jauh diatas tingkatan mereka.

Serangan empat rekanan kwi-sian-pat bertubi-tubi dan berbahaya, untungnya dua she- taihap dengan senjata sabuk dapat menghalau dan membendung serangan dari empat lawan, kwi-sian-pat merasa takjub akan keuletan ilmu dua lawan mereka ini, kilatan dan kibasan sabuk dalam rangkaian ilmu”pat-hong-sin-tai-hong” sangat sulit untuk ditembus, walaupun dua she-taihap tidak dapat lagi membalas serangan, namun sepertinya mereka tidak akan mudah merobohkan dua lawan teramat kosen ini.

Dua kelompok pertempuran itu membuat mata yang mengikuti perih dan silau, areal taman sudah porak poranda, laksana dihantam badai ganas, dua she-taihap masih mampu bertahan, sehingga membuat empat lawan yang mereka hadapi merasa buntu dan kehabisan akal “kita lakukan seperti pada Ui-hai-liong-siang!” teriak Tan-lou-pang, lalu tiba-tiba mereka berhenti dan mengerahkan sin-kang, melihat itu terpaksa dua she-taihap melayani adu sin-kang, dengan tenang dan sabar keduanya menyiapkan kuda-kuda untuk menyambut masing-masing empat tenaga lawan.

“dhuar….dhuar…..” dua ledakan dahsyat terdengar membuar tempat itu bergetar laksana gempa sehingga dinding pagar yang terbuat dari batu ambruk sepanjang tiga tombak, lauw-taijin beserta empat ciangkun langsung pingsan karena jantung mereka berguncang hebat, dan sial bagi Lauw-tai-jin nyawanya langsung melayang karena suara ledakan itu membuat jantungnya pecah, sementara bagi empat ciangkun karena mereka memiliki dasar sing-kang tidak sampai tewas, namun mereka mengalami cacat pendengaran akut, karena gendang telinga mereka pecah.

Akibat adu tenaga luar biasa itu kedua she-taihap amblas ketanah sebatas paha, dan mereka berdiri, dan sudah tiga kali memuntahkan darah segar, kemudian keduanya memjamkan mata dengan nafas memburu, lalu akhirnya keduanyapun tewas, sementara empat rekanan kwi-sian-pat terlempar laksana layangan putus, kwi-sian-pat ambruk ketanah, semuanya tidak bergerak.

Satu jam kemudian Tan-lou-pang sadar, darah meleleh dari kedua sudut bibirnya, dan hidungnya juga bersimbah darah, kemudian Yang-ma-kui juga siuman, lalu disusul Zhang-kui-lan dan yang lain-lain, namun Gu-siang dan Ma-tin-bouw setelah diperiksa ternyata keduanya tewas dengan organ dalam tubuh hangus terbakar.

Tan-lou-pang berusaha bangkit, dengan lutut bergetar ia memaksakan diri

“kita harus segera meninggalkan tempat ini, sebelum para pengawal menangkap kita.” ujar Tan-lou-pang lirih karena dadanya sesak, enam dari kwi-sian-pat segera dengan memaksakan diri berlari keluar dari pagar yang sudah ambruk, mereka terus menuruni tebing dengan berguling dibelakang areal perumahan Lauw-taijin, dan terus bergerak dan membiarkan diri mereka dihanyutkan arus sungai dibawah tebing.

Para pengawal juga tidak cepat bertindak karena mereka juga mengalami guncangan saat dua ledakan dahsyat terjadi, ketika mereka sadar mereka langsung memasuki taman bunga, dan menemukan Lauw-taijin sudah tewas, empat ciangkun masih pingsan dan dua tamu mereka dari pulau kura-kura tewas dengan posisi tubuh berdiri dan kaki amblas sebatas paha, dan dua orang kakek telentang juga dalam keadaan tewas.

Kejadian itu sangat menghebohkan dan menggemparkan, warga kaifeng mendengar dua kauwsu pat-hong-heng-te binasa menjadi sedih dan galau, dua hari kemudian setelah pemakaman Lauw-taijin, mayat Lauw-han dan Sim-lok dibawa empat puluh rombongan, ke pulau kura-kura, dalam rombongan ini istri lauw-taijin ikut serta untuk menjelaskan kepada pimpinan dipulau kura-kura.

Sesampai dipulau kura-kura, Coa-san-tung dan seluruh penghuni pulau kura-kura heran dan bersedih

“apa sebenarnya yang terjadi Lauw-hujin?” tanya Coa-santung, “ini semua adalah perbuatan kwi-sian-pat taihap, kami tidak ada pilihan kecuali menurut, dan undangan itu merupakan tipuan untuk memanggil taihap ke kaifeng.”

“hmh..lalu bagaimana dengan kwi-sian-pat?”

“dua dari mereka tewas, sementara enam melarikan diri, kami minta maaf taihap telah melibatkan taihap dalam urusan ini.”

“ah..Lauw-hujin jangan berkata seperti itu, tidak ada yang perlu dimaafkan, karena kalau dipikir sebaliknya mungkin kamilah yang melibatkan Lauw taijin karena kwi-sian-pat hakikatnya hendak membunuh kami” sahut Coa-san-tung, setelah Lauw-han dan Sim-lok dimakamkan, rombongan dari kaifeng kembali.

Tiga hari kemudian Yo-seng memasuki kota kaifeng, dia memasuki sebuah likoan untuk makan sebelum menyeberang kepulau kura-kura

“sungguh tidak disangka Kwi-sian-pat menewaskan Lauw-taihap dan Sim-taihap.”

“benar Cia-sicu, namun yang paling membuat jengkel, kwi-sian-pat menegeroyok kedua taihap.”

“maaf siapakah maksud kalian dua taihap yang ditewaskan kwi-sian-pat?” tanya Yo-seng tiba-tiba

“sicu bukan orang sini?”

“bukan ji-sicu, saya dari wilayah timur.” “ooh pantas, sicu tidak tahu.”

“benar sicu, lalu siapakah kedua she-taihap yang sicu maksud?” “dua she-taihap itu adalah dua she-taihap dari pulau kura-kura.” “eh..bagaimana bisa tewas ditangan kwi-sian-pat?”

“kwi-sian-pat memaksa taijin untuk mengundang mereka kesini dari pulau kura-kura, lalu sesampai disini, keduanya dikeroyok kwi-sian-pat hingga tewas, dan dua dari mereka juga katanya tewas.” sahut orang itu, Yo-seng terheyak bahwa yang dimaksud adalah dua suhengnya lauw-han dan Sim-lok, lalu ia segera pamit dan membayar makanan, kedua orang itu merasa heran akan sikap Yo-seng.

Yo-seng segera menuju pantai dan naik angkutan perahu bersama beberapa pedagang, tiga hari kemudian sampailah ke pulau kura-kura, Yo-seng segera menuju istana, kedatangannya dicegat lima orang murud pat-hong-heng-te, sejak tewasnya dua pimpinan mereka, penjagaan diperketat, dan awas kepada orang yang tidak dikenal

“maaf tuan, anda siapa dan ada urusan apa sehingga datang kesini?” “hmh….saya adalah Yo-seng, sampaikan pada Coa-suheng, saya sutenya datang dari wilayah timur.” jawab Yo-seng, mendengar nama itu, lima murid langsung berlutut

“maaf kelancangan kami susiok, ternyata susiok yang datang.”

“tidak mengapa.” sahut Yo-seng maklum, lalu dia dibawa tiga murid memasuki istana, Li- tan-hua yang berketepatan keluar melihat tiga murudnya bersama Yo-seng

“ada apa ini A-hui, siapakah tamu kita ini?” “:tamu kita Yo-susiok suhu!” sahut A-hui “ah..kamukah itu Yo-sute!?” tanya Li-tan-hua “benar Li-suheng, saya Yo-seng.”

“wah…mari..marilah kita kedalam Yo-sute, Coa-suheng ada didalam.” ujar Li-tan-hua

“Coa-suheng! coba tebak siapakah yang bersama saya ini?” tanya Li-tan-hua sambil senyum, Yo-seng juga tersenyum, Coa-san-tung menatap orang yang bersama Li-tan-hua sambil mengerinyitkan kening

”saya tidak tahu Li-sute? maaf siapakah kamu sicu?” sahut Coa-san-tung “saya Yo-seng Coa-suheng.” jawab Yo-seng

“Yo-seng anak Ui-hai-liong siang!?” “benar Coa-suheng.”

“hahaha..hahha pertemuan yang sangat menggembirakan, marilah duduk Yo-sute.” ajak Coa-san-tung, lalu pertemuan menggembirakan itupun berlangsung, keceriaan jelas terlihat dimata kedua tocu pula kura-kura atas kunjungan sute mereka yang jarang bertemu, bahkan sebelum pertemuan ini, mereka baru dua kali bertemu, yakni saat mereka berkunjung ke kunleng dan Yo-seng masih umur sepuluh tahun, dan kedua saat Yo-seng menikah dengan Kwaa-thian-eng.

“suheng! saya mendengar bahwa kwi-sian-pat telah membuat kekacauan disini sehingga Lauw-suheng dan Sim-suheng tewas.”

“benar sute, awalnya mereka datang kesini, dan kami berhasil melukai mereka dan mengusirnya, tapi tidak diduga mereka memamfaatkan Lauw-kungcu dan menjebak kami, kedua sute saya suruh memenuhi undangan Lauw-kungcu yang ternyata sudah ditunggu kwi-sian-pat.”

“saya dengar juga bahwa dua dari mereka dapat ditewaskan ji-suheng.”

“benar, dan nampaknya cara mereka menewaskan ji-sute sama halnya dengan cianpwe Ui-hai-liong-siang, sebagaimana yang kami dengar, yakni dibombandir dengan kekuatan sin-kang.” “kwi-sian-pat demikian culas, saya sedang mengikuti jejak mereka yang mengarah kesini, namun sayang saya terlambat.”

“Kwi-sian-pat sepertinya memiliki misi untuk menghabisi kita.” sela Li-tan-hua “apakah kemungkinan mereka akan kekun-leng?” tanya Yo-seng

“kemungkinan itu ada, namun saya yakin mereka belum menuju kesana, karena menurut cerita keluarga Lauw-taijin, mereka kemungkinan besar terluka.” sahut Li-tan-hua

“artinya mereka mungkin masih ada disekitar kota kaifeng atau kota terdekat disekitar kaifeng.” sela Coa-san-tung

:”dan hal yang harus kita wanti-wanti bahwa mereka datang lagi kesini.” ujar Yo-seng

“benar sute, kalau ditilik pada kecurangan mereka, besar kemungkinan mereka akan kembali kesini untuk mengeroyok kami, dan melihat kehebatan mereka, jika tiga lawan satu, maka kami pasti kalah.” ujar Coa-san-tung.

“kalau begitu sebaiknya kita menunggu kedatangan mereka.” sahut Yo-seng, kedua suhengnya mengangguk membenarkan.

Tiga hari kemudian Kwaa-sin-liong mendarat di pulau kura-kura, ketika dia memasuki halaman istana empat murid Pat-hong-heng-te menyambutnya

“selamat datang susiok.” “ya….bagaimana kabar kalian!?”

“kami keadaan baik-baik saja susiok, hanya Lauw-suhu dan Sim-suhu telah meninggal sebulan yang lalu.”

“saya sudah mendengar itu dikota Kaifeng, apakah ji-suheng ada?”

“ada susiok, marilah saya antar.” sahut murid keponakannya, lalu dengan suka cita murid itu segera membawa Kwaa-sin-liong kedalam istana.

Li-tan-hua yang berketepatan berada diruang tengah dengan gembira menyambut Kwaa- sin-liong

“ternyata Kwaa-sute, duduklah sute, oh ya A-gui sampaikan pada coa-suheng dan Yo- sute akan kedatangan Kwaa-sute, mereka ada di lianbutia.” ujar Li-tan-hua, A-gui segera keluar dan menuju ruang lianbutia, Coa-san-tung dan Yo-seng yang sedang melihat latihan para murid segera memasuki istana.

“Kwaa-sute, alangkah senangnya bahwa kamu juga datang kesini.” ujar Coa-san-tung “salam bertemu kembali Coa-suheng, dan Yo-suheng selamat berjumpa.” “hahaha….hahha… selamat berjumpa Kwaa-sute, apakah sute sedang mengikuti saya?” “benar Yo-suheng, setelah mengetahui Yo-suheng berangkat mencari kwi-sian-pat maka kami berpencar, saya mengikuti suheng kewilayah utara dan ji-te kun-bao dan yun-peng kearah selatan, khusunya kekota Bao markas kwi-sian-pat, dan semantara Mei-cici tinggal bersama eng-cici di sinyang.”

“oo, begitu, dan sebaiknya kita bertahan disini, karena kemungkinan besar kwi-sian-pat akan kembali kesini.” sahut Yo-seng

“saya mendengar hal menyedihkan pihak kita, bahwa ji-suheng tewas ditangan kwi-sian- pat, di tempat kungcu”

“memang demikianlah sute, kita tidak menduga akan dijebak oleh kwi-sian-pat yang telah kami lukai dan usir dari sini.” sahut Li-tan-hua, setelah banyak melakukan perbincangan maka malam pun tiba, dan mereka sepakat untuk menunggu kedatangan kwi-sian-pat yang kemungkinan besar akan kembali ke pulau kura-kura setelah kematian Lauw-han dan Sim-lok.

Perkiraan she-taihap memang tepat, karena empat bulan kemudian disebuah dusun bernama desa kin-jin enam kwi-sian-pat sedang berkumpul dirumah kepala desa, setelah melarikan diri, mereka memulihkan diri didesa tersebut, dan keadaan mereka membaik setelah tiga bulan menjalani pengobatan, dan selama sebulan mereka kembali berlatih dengan giat.

Bagiaimanakah markas kwi-sian-pat di kota Bao, untuk mengetahuinya mari kita telusuri sejenak.

Markas kwi-sian-pat yang dihuni lima orang pembantu Ma-tin-bouw, yakni Guan-dui, Lou- beng-ho, Kubai, Dulao dan Tio-huang, mereka sedang menerima rombongan dari kota Hehat.

“siapakah kalian ini?” tanya guan-dui yang tertua dari mereka berlima “saya adalah Cu-ciu pimpinan rombongan dari Hehat.”

“ada keperluan apa kalian datang kemari?”

“kami diperintahkan kwi-sian-pat untuk membawa upeti kesini.” “oh...begitu, apakah itu upetinya?”

“benar tuan.”

“kalau begitu segeralah bawa kedalam!” sahut Guan-dui, lalu rombongan yang terdiri dari dua puluh orang itu masuk ke dalam, dan meletakkan dua bah peti besar.

“apakah pat-loya ada di kota hehat?” tanya Guan-dui

“benar, tapi mungkin sekarang sudah meninggalkan kota Hehat, dan kami setiap bulan disuruh mengirimkan upeti kesini.” jawab Cu-ciu, lima anak buah Ma-tin-bouw mengangguk “hmh…hanya itu yang ingin kami sampaikan, dan kami hendak kembali ke Hehat.” “baiklah, bulan depan kami tunggu kiriman berikutnya.” sahut Gua-dui.

Setiap bulan rombongan dari hehat bergantian mengantarkan upeti kekota Bao, dan setahun lebih sudah upeti itu terus berjalan, sehingga gudang harta Kwi-sian-pat penuh, dan Guan-dui beserta empat rekannya makin memperketat penjagaan, dan disamping itu mereka juga mulai menerima anggota baru untuk dibina, sehingga dalam jangka waktu itu sudah ada empat puluh anggota binaan mereka.

Suatu hari rombongan dari Hehat sudah sampai diluar pintu gerbang kota, dan berketepatan rombongan itu melewati dua pemuda yang sedang istirahat ditepi hutan yang rindang dan teduh, beristirahat dbawah hutan itu sangatlah nyaman, terlebih ditengah hari siang yang terik seperti hari itu, pimpinan rombongan itu adalah Cu-lu-kang

“kita istirahat dulu disini sambil menunggu hari agak sore.” seru Cu-lu-kang, rombongan itupun segera menuju pinggir hutan, dua pemuda yang sedang rebahan itu adalah Kwaa- kun-bao dan Kwaa-yun-peng

“para sicu piauwkiok darimana?” tanya Kun-bao

“kami dari kota Hehat hendak kekota Bao.” Jawab Cu-lu-kang “hmh…hari ini benar-benar terik, dan beristirahat disini sangat nyaman.” “benar saudara muda, kalian ini siapa dan hendak kemana?”

“saya Kun-bao, dan ini adik saya Yun-peng, kami hendak kekota Bao juga.” “apakah kalian penduduk kota Bao?”

“tidak, kami hanya pengelana paman.” Jawab Kun-bao, kemudian suasana kembali hening, para piauwsu saling ngobrol kesana kemari sambil menimati tiupan angin yang sejuk

“Cu-sicu, sudah setahun stengah kita melakukan perintah ini, lama-lama saya merasa semakin gelisah telah memeras warga.” bisik rekan Cu-lu-kang

“bukan kita yang memeras Gak-sicu, tapi Kao-taijin.” sahut Cu-lu-kang dengan berbisik

“tapi walaupun demikian murid-murid yang kita terima menjadi keberatan dengan uang masuk yang besar.”

“tapi jika tidak demikian, kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan kita dan pengadaan alat-alat latihan.” sahut Cu-lu-kang, mereka tidak menyadari pembicaran yang berbisik itu jelas terdengar baik oleh dua she-taihap.

“maaf paman kauwsu, apakah kalian ini dalam tekanan sehingga berbuat hal yang tidak diinginkan?” sela Yun-peng, kedua kauwsu itu terheyak sambil menatap Yun-peng, mereka tidak mengira pembicaraan yang hanya bisikan itu terdengar kedua orang muda itu, kedua kauwsu itu saling pandang

“hmh…boleh dikatakan demikianlah saudara muda.” sahut Gak-sung

“heh..apa yang kamu bicarakan itu she-gak!?” sela Cu-lu-kang dengan nada tidak senang, karena urusan mereka dibeberkan pada orang tidak dikenal.

“paman, tidak baik memendam urusan yang terpaksa dilakukan, akan menimbulkan gelisah dari akibat tidak sesuai dengan hati nurani.” ujar Yun-peng mencoba meredam ketidak senangan Cu-lu-kang

“tidak tepat jika ganjalan hati dicurahkan pada kalian yang masih muda, tentunya kalian tidak bisa berbuat apa-apa untuk meringankan beban batin kami karena urusan ini sangat serius” sanggah Cu-lu-kang

“mungkin benar paman, namun tidak tepat juga jika orang muda dianggap tidak mempunyai pendapat atau tidak dapat memberikan jalan keluar.” sahut Yun-peng

“sudahlah Peng-te, jika menurut kedua paman kita tidak layak untuk mengetahui urusan mereka, itu adalah hak mereka.” sela Kun-bao

“saya ingin mengungkapkan beban batin saya selama ini pada kalian, maukah kalian mendengarkan?”

“sudah kalau kamu hendak berhianat dan mau mati she-gak, terserah!” sela Cu-lu-kang sambil menjauh dari rekannya.”

“baiklah paman, ceritakanlah kami siap mendengarkan.” sahut Yun-peng.

“saya adalah Gak-sung seorang kauwsu dari perguruan”Ui-tiok-tung” (tongkat bambu kuning.”, setahun lebih yang lalu kami bersama kungcu dipaksa oleh kwi-sian-pat mengumpulkan harta pendapatan kota Hehat dan membaginya kemarkas kwi-sian-pat sebagai upeti, dengan berat hati kami harus melakukannya karena tidak berdaya dihadapan kwi-sian-pat. akhir-akhir ini saya tidak tahan melihat pungutan kungcu yang semakin mencekik warga.”

“jika ada rasa seperti itu sepertinya masih bagus, karena akan timbul usaha untuk mencari peluang untuk mengurangi rasa bersalah, dan yang kita takutkan jiwa yang terpaksa itu berubah menjadi rasa patut karena tidak berdaya, sehingga merasa tidak bersalah, dan pada gilirannya akan mematikan usaha untuk merubah keadaan.” ujar Kun- bao

“lalu bagaimana menurut kalian saudara muda?”

“kami rasa, kami dapat membantu paman untuk keluar dari masalah tersebut.”

“jangan asal ngomong anak muda, siapakah yang mampu berhadapan dengan kwi-sian- pat yang sudah merobohkan para ciangbujin bahkan menewaskan Ui-hai-liong-siang.” sela Cu-lu-kang tegas “paman tidak harus yakin pada kami, namun kami akan tetap membantu paman ini dari masalahnya.” sahut Yun-peng

“apakah kalian bisa menghadapi Kwi-sian-pat?” tanya Gak-sung dengan nada ragu

“kwi-sian-pat saat ini dalam pencaharian kami dan keluarga, jika kami atau keluarga kami bertemu dengan mereka, maka kami akan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk menghadapinya.”

“siapakah keluargamu?” tanya Cu-lu-kang

“kami ini adalah she-kwaa, pulau kura-kura tempat leluhur kami.” sahut Yun-peng, mendengar disebutnya she-kwaa dari pulau kura-kura, Gak-sung sontak berdiri dan menjura

“ah…ternyata saya berhadapan dengan dua she-taihap.”

“janganlah terlalu berlebihan paman, marilah kita kemarkas Kwi-sian-pat, dan mengambil kembali harta warga kota Hehat.”

“marilah kalau begitu taihap.”: sahut Gak-sung dengan semangat dan rasa nyaman, hatinya terasa ringan karena dukungan she-taihap sudah merupakan jaminan mutlak ia rasakan.

“tunggu dulu, apakah disamping dua she-taihap masih ada keluarga yang mengejar kwi- sian-pat?” sela Cu-lu-kang

“benar paman, dua suheng kami menyusuri daerah utara ke selatan, jika memang kwi- sian-pat berani menewaskan paman kami Ui-hai-liong-siang tentunya mereka juga meyakini akan menewaskan keluarga kami di pulau kura-kura, jika demikian mereka pasti berhadapan dengan para suheng kami disana.”

“hmh….kalau begitu harapan kita akan terwujud she-gak, marilah kita kemarkas Kwi-sian- pat.” sahut Cu-lu-kang dengan bersemangat, kemudian rombongan itu pun berangkat bersama dua she-taihap, menjelang malam mereka pun sampai di markas kwi-sian-pat, sebagaimana biasa Guan-dui dan empat rekannya dengan senyum menyambut mereka

“kalian sudah sampai, langsung saja masuk!” ujar Guan-dui

“kami tidak akan masuk karena kami juga hendak membawa kembali harta yang terkumpul disini untuk dikembalikan kepada warga kota Hehat.” sahut Cu-lu-kang

“hahaha..hahaha… kalian ini ngomong apa? hendak berhianat yah, apa kalian mau mampus?” ancam Guan-dui.

Lima anggota Ma-tin-bouw bersiap menyerang

“majulah, jika memang kalian hendak membunuh.” tantang Kun-bao

“sialan….mari kita habisi cecunguk tidak berguna ini!” teriak Guan-dui, serempak mereka menyerang rombongan, namun dua bayangan gesit membuat mereka berlima terlempar bagai layangan putus, ternyata yang bergerak adalah pemuda yang menantang dan seorang pemuda lainnya, dengan amarah yang meledak mereka kembali menyerang, dua she-taihap dengan tenang dan santai bergerak diatara sabetan senjata lawan.idak berkedip menonton pertandingan hebat itu, tiga puluh jurus kemudian, kedua she-taihap mulai membalas serangan, dan sepuluh gebrakan kemudian lima kawanan itu menjerit susul menyusul dan jatuh bangun mendapatkan sodokoan dan jotosan dua mouwpit.

Melihat lima pimpinan mereka jatuh bangun maka anak buah yang mereka bina merangsak maju, namun mereka membentur gunung, mereka jatuh tunggang langgang dan ambruk tidak berdaya hanya dalam tiga gebrakan, lima kawanan itu akhirnya ambruk pingsan dengan luka-luka yang tidak ringan, Tio-huang yang masih sadar dipaksa untuk menunjukkan tempat pemyimpanan harta, dan merekapun dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah.

Puluhan peti dikeluarkan dari ruang bawah tanah, hampir menjelang pagi semua peti sudah berada dihalaman depan, lalu keesokan harinya dengan kereta kuda mereka membewa semua harta itu kembali kekota hehat, selama tiga hari mereka mempersiapkan kereta kuda 

“terimakasih she-taihap.” ujar Gak-sung

“sama-sama paman, dansampaikan kepada para cianpwe di hehat serta Kungcu untuk tidak usah mencemaskan kwi-sian-pat.”

“baik she-taihap, semoga saja dengan penanganan she-taihap Kwi-sian-pat dapat diselesaikan, dan mereka dapat ditaklukkan.”

“benar paman, kita akan sama-sama doakan.” sahut Kun-bao.

Rombongan itu pun berangkat dengan iring-iringan yang panjang, dan dua hari kemudian dua she-taihap meninggalkan kota Bao untuk kembali kekota kun-leng, peristiwa itu membuat geger kota Bao, mereka bertanya-tanya apa yang terjadi, para warga sedikit bernafas lega, karena kediaman kwi-sian-pat didapati sudah dibakar dan semua anggotanya dibubarkan, bahkan tiga dari kawanan yang menjaga kediaman Kwi-sian-pat katanya telah tewas, walaupun mereka merasa senang dengan peristiwa itu, namun hati mereka cemas, jika sewaktu-waktu Kwi-sian-pat muncul.

Ketika memasuki bulan kelima enam rekanan kwi-sian-pat berada didesa Kin-jin, malam dibulan purnama yang sedang bersinal cemerlang, mereka berembuk

“apakah menurut kalian, rencana kita mendatangi kembali pulau kura-kura sudah mapan?” tanya Tan-lou-pang

“saya kira persiapan kita sudah mapan, dan kita akan berhasil membunuh pimpinan pulau kura-kura     yang     hanya     tinggal     dua      orang      lagi.”      jawab      Suma-xiau “benar, dan kita akan membalaskan kematian Ma-twako dan Gu-siang.” Sela Gu-liang.

“menurut saya disamping membinasakan dua pimpinan pulau kura-kura, kita juga harus memperhitungkan ratusan pat-hong-heng-te.” ujar Bu-leng-ma

“apa pendapatmu she-bu!?” tanya Yang-ma-kui “dengan kematian dua saudara mereka tentu mereka akan mempersiapkan diri, jika kita muncul sudah pasti ratusan Pat-hong-heng-te akan mengelilingi kita, dan saya tidak yakin akan dapat keluar dengan selamat dari pulau kura-kura.”

“lalu bagaimana menurutmu she-bu!?” sela Tan-lou-pang. “menurut saya, kita pancing mereka keluar pulau.”

“apakah kemungkinan mereka akan penuhi menurutmu she-Bu?” sela suma-xiau “menurut saya mereka akan penuhi, apakah menurutmu tidak?”

“benar, menurut saya tidak, karena keluarga she-taihap bukan orang biasa, yang mabuk oleh dendam dan arogansi.”

“maksudmu bagaimana she-suma?” sela Zhang-kui-lan

“walaupun kita tantang mereka dengan mengungkit kematian dua rekan mereka, mereka tidak akan datang, karena mereka pasti sudah mengetahui trik kita membinasakan kedua saudara mereka.”

“mengapa kamu berpikir demikian she-suma?” tanya Tan-lou-pang

“seharusnya kalau mereka orang awam, kita sudah binasa saat datang kepulau kura-kura, walhal mereka tahu bahwa Ui-hai-liong-siang tewas ditangan kita, namun tidak sedikitpun mereka ada kecendrungan untuk membalas kematian ui-hai-loing-siang.” sahut Suma- xiau, lima rekannya terdiam merenung.

“jadi kalau begitu bagaimana?”

“kita tetap mendatangi mereka dipulau kura-kura, dan soal pat-hong-heng-te kita gunakan bahan peledak untuk membuat mereka panik dan kita berusaha keluar dari pulau itu.”

“baiklah, saya setuju dengan ide she-suma.” sahut Tan-lou-pang

“baik, jadi sebelum kita ke sana, kita harus mencuri bahan peledak dari gudang persenjataan pemerintah.” sela Gu-liang, semuanya mengangguk.

Seminggu kemudian merekapun meninggalkan desa kin-jin, mereka kembali menuju kota kaifeng, mereka memasuki kota pada malam hari dan dengan kesaktian mereka, mereka memasuki gudang persenjataan dan mengambil bahan peledak, masing-masing mereka memasukkan sepuluh sampai lima belas buah bahan peledak dalam buntalan.

Keesokan harinya mereka meninggalkan gudang senjata tanpa disadari oleh para pengawal pemerintahan, dengan sebuah perahu curian mereka berlayar menuju pulau kura-kura, keesokan farinya mereka sampai di pulau kura-kura, kedatangan mereka disambut tiga murud dipintu gerbang istana, dengan siaga mereka menghadang enam dari kwi-sian-pat

“kalian kwi-sian-pat mau apa lagi datang kemari!?” “sampaikan pada dua suhumu kami ingin menghabisi nyawa mereka.” sahut suma-xiau

“apakah kalian kwi-sian-pat!?” tanya Kwaa-sin-liong yang datang tiba-tiba, Kwaa-sin-liong sudah bangun sejak dinihari dan berlatih di belakang istana dekat pemakaman leluhurnya, dan kedatangan langkah enam orang dipintu gerbang istana sudah diketahuinya, sehingga ia segera menghentikan latihan dan bersegera berkelabat ke arah pintu gerbang.

“susiok…mereka ini adalah kwi-sian-pat.” Sahut seorang murid, enam kwi-sian-pat terkejut melihat pemuda tampan dengan wibawa yang luar biasa, dan yang membuat mereka heran bahwa pemuda itu dipanggil susiok oleh murid-murid yang seumuran dengan pemuda itu. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar