Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 340

Buku 340

Padmini dan Baruni bergeser mengambil jarak.

Ketika Padmini tiba-tiba saja hampir terantuk kaki seorang pengikut Srini, maka tanpa bertanya apapun, dilepaskannya anak panahnya dari jarak yang dekat, menembus dada orang itu.

Orang itu terkejut. Anak panah itu langsung menyentuh jantungnya, sehingga orang itu pun terguling jatuh di kegelapan.

Kawannya yang berdiri tidak terlalu jauh, terkejut. Namun demikian ia bergeser mendekat, maka sebatang anak panah telah mengenai punggungnya.

Orang itu pun terkejut pula. Namun ia sempat berteriak dengan marahnya. Bahkan kemudian mengumpat kasar.

Namun orang itu pun segera jatuh tertelungkup. Luka di punggungnya cukup dalam, sehingga menembus paru-paru.

Orang itu menggeliat kesakitan. Tetapi ia tidak dapat lagi bangkit untuk terjun ke dalam pertempuran. Lukanya yang parah telah membuatnya kesakitan dan tidak berdaya lagi.

Pamekas dan Setítí mendengar jerit orang yang punggungnya ditembus panah Baruni. Karena itu, Setiti pun segera berjongkok di kegelapan. Tulupnya sudah siap berada di mulutnya.

Ketika sebuah bayangan lewat tidak jauh di depannya ke arah kawannya yang berteriak, maka orang itu pun terhenti. Sesuatu terasa menyengat lengannya. Namun rasa-rasanya kepalanya menjadi pedih. Pandangan matanya menjadi kabur. Orang itu pun kemudian jatuh tersungkur. Paser Setiti yang melontarkan sejenis senjata rahasianya yang beracun, telah membunuh orang itu.

Beberapa saat kemudian, Baruni pun telah berlari menyusup di antara pohon-pohon perdu. Ketika seorang mencoba memburunya, maka orang itu terhenti dan jatuh terlentang. Sebatang anak panah menancap di dadanya.

“Anak iblis,” geram seorang yang lain. Tetapi ia tidak sempat membantu kawannya. Sebutir batu kecil yang bulat yang dilontarkan dengan bandil mengenai pelipisnya.

Orang itu berteriak kesakitan, kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terguling. Dari pelipisnya mengalir darah yang merah segar.

Pertempuran pun telah terjadi di kebun belakang. Tetapi anak-anak angkat Nyi Citra Jati itu tidak menghadapi mereka dengan terbuka. Mereka menyerang dari kegelapan dengan anak panah, bandil dan paser-paser kecil beracun. Kemudian mereka menghilang dalam kegelapan.

Anak-anak Nyi Citra Jati itu mampu memanfaatkan pengenalan mereka yang jauh lebih baik atas medan daripada lawan-lawannya.

Beberapa di antara para pengikut Srini itu memburu lawan-lawannya yang muncul, menyerang dan menghilang dalam kegelapan. Namun satu demi satu, para pengikut Srini itu jatuh terguling.

“Licik!” teriak Gunung Lamuk, yang setiap kali mendengar anak buahnya berteriak. “Kalian tidak berani bertempur beradu dada. Kalian hanya berani menghadapi kami dengan cara seorang pengecut.”

Tidak ada jawaban. Yang terdengar adalah seorang lagi pengikut Gunung Lamuk berteriak tinggi. Kemudian terdiam.

“Bagus!” teriak Gunung Lamuk, “Jika kalian tidak mau keluar dari persembunyian kalian, kami akan mencari kalian pada setiap jengkal tanah. Kami akan mengaduk seluruh halaman dan kebun ini sampai kalian kami ketemukan.”

Namun yang terdengar kemudian adalah suara Nyi Citra Jati. Suaranya lingkar-lingkar di udara. Seakan-akan memancar dari setiap lembar dedaunan, dari pepohonan yang berada di kebun. Suara itu kadang-kadang seakan terdengar di atas sebatang pohon kelapa. Namun kemudian menggelepar dari dahan sebatang pohon jambu air. Tetapi kemudian Nyi Citra Jati itu seakan-akan bersembunyi di balik rumpun bambu.

“He, Gunung Lamuk. Siapakah yang kau sebut licik dan pengecut? Jika empat orang anakku harus bertempur melawan sekian banyak orang yang kau bawa ke rumahku, siapakah yang sebenarnya licik dan pengecut?”

“Perempuan celaka! Dimana kau, he?”

“Kalau kau mengaku suami Srini, kau tahu siapa aku. Pantaskah kau menyebut aku sebagai perempuan celaka?”

“Kau tidak pernah mengakui keberadaanku di samping Srini. Apakah aku harus mengakui bahwa kau adalah ibu mertuaku?”

“Tidak ada manusia yang dapat menghapus hubungan darah antara aku dan Srini. Tetapi hubunganmu dengan Srini yang terjadi pada hari-hari tuamu, dapat saja tidak diakui oleh orang lain.”

“Diakui atau tidak diakui, aku adalah suami Srini.”

“Kau masih saja merasa tidak malu menyebut bahwa kau suami Srini.”

“Cukup, Ibu!” Srini-lah yang berteriak, “jika anak-anak angkat Ibu yang ibu manjakan itu tidak menyerah, maka mereka akan menyesal. Mereka akan mati dengan cara yang buruk sekali.”

“Kau tidak akan menemukan mereka, Srini.”

“Mungkin orang-orangku tidak. Tetapi aku tentu dapat, karena aku pun mengenal medan sebaik mereka.”

“Kau tidak akan dapat mencari mereka di antara gerumbul-gerumbul perdu. Di antara rumpun-rumpun pisang dan rumpun-rumpun bambu. Kau tidak akan dapat menemukan mereka yang bersembunyi di balik rumpun pohon soka, atau di belakang pohon bunga ceplok piring.” 

“Aku tidak perlu turun ke kebun belakang itu .Guruku akan dapat membunuh mereka dari serambi ini.”

“Itu hanya omong kosong.”

“Mungkin Ibu dapat melawan. Tetapi anak-anak manja itu tidak. Mereka akan mati. Baru kemudian Guru dan kami semuanya akan menangkap ibu.”

Nyi Citra Jati yang mendengar ancaman itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia sudah bertekad, jika guru Srini itu menyerang dengan getaran ilmunya yang menyusup menggelepar di udara malam, maka apapun yang terjadi, ia tidak akan ingkar.

“Aku harus menyerangnya.”

Demikianlah, maka terdengar Srini itu pun berkata, “Silahkan, Guru. Bunuh mereka.”

Sejenak kemudian, malam itu menjadi sepi. Tidak terdengar suara apapun juga. Para pengikut Srini itu pun telah mempersiapkan diri untuk mengerahkan daya tahan mereka. Meskipun mereka sudah mendapat petunjuk untuk mengatasi getar ilmu guru Srini, namun mereka masih juga mengalami kesulitan. Tetapi mereka yakin, bahwa mereka tidak akan mati seperti sasaran serangan itu.

Sejenak kemudian, tiba-tiba saja terdengar suara seperti suara genderang yang menggetarkan udara malam. Suara itu keluar dari sela-sela bibir guru Srini itu. Semakin lama menjadi semakin keras. Getar udara di sekitarnya terasa bagaikan menusuk-nusuk sampai ke jantung.

Padmini, Pamekas, Satiti dan Baruni terkejut mendengar suara genderang itu. Terasa isi dada mereka bagaikan menggelepar. Perasaan pedih dan nyeri pun telah menyengat-nyengat jantung mereka.

Betapapun mereka meningkatkan daya tahan mereka, namun suara genderang itu menjadi semakin menyakitkan. Bahkan setelah mereka menutup telinga mereka, suara itu masih saja menyakiti isi dada mereka.

Nyi Citra Jati sendiri mampu bertahan dari serangan suara genderang itu. Dengan tingkat kemampuannya yang tinggi, maka Nyi Citra Jati mampu menepis getar suara itu.

Ilmu yang dilontarkan lewat suara yang mirip suara genderang perang itu adalah sejenis Aji Gelap Ngampar. Tetapi di dalam perkembangannya, guru Srini itu mempunyai gaya tersendiri. Namun dengan demikian ilmu yang dimiliki oleh guru Srini itu terasa semakin tajam.

Nyi Citra Jati pun harus mengerahkan daya tahannya untuk menghindari akibat buruk dari Aji Gelap Ngampar yang telah mengalami perkembangan itu.

Sementara itu, Rara Wulan yang berada di dalam sanggar pun merasakan getar suara yang mirip suara genderang itu. Suara itu ternyata telah mengganggu laku yang sedang dijalaninya. Meskipun Nyi Citra Jati sudah berpesan kepadanya untuk tidak menghiraukan apa yang terjadi di luar sanggar, tetapi suara yang mirip suara genderang itu telah menghentak-hentak di dadanya, sehingga Rara Wulan harus berjuang untuk mengatasinya.

Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni benar-benar menjadi tidak berdaya. Suara itu memang akan dapat membunuh mereka.

“Kita harus berbuat sesuatu,” berkata Padmini.

“Apa yang dapat kita lakukan, Yu?”

“Kita serang sumber suara itu.”

“Apakah itu mungkin? Mbokayu Srini akan mendatangi kita dan mencekik kita sampai mati.”

Sambil menyeringai menahan sakit di dadanya, Padmini berkata, “Jika suara itu tidak berhenti, kita pun akan mati tercekik oleh suara itu.”

Baruni mengangguk. Namun gadis itu sudah menjadi sangat lemah, sehingga untuk merayap pun ia tidak lagi mampu.

Sedangkan Pamekas dan Setiti pun telah mencoba pula. Namun mereka juga tidak akan mungkin sempat menyerang. Sementara itu Srini, Gunung Lamuk dan seorang lagi yang berwajah garang, yang sudah mendapat bekal dari gurunya untuk memecahkan tusukan getar suara ilmunya itu, seakan-akan memang tidak terpengaruh.

Ketika keadaan menjadi semakin sulit bagi anak-anak angkat Nyi Citra Jati, maka Nyi Citra Jati itu pun telah mengambil keputusan untuk menyerang sumber suara itu. Ia harus mendekati pintu dapur di sebelah belakang, untuk dengan tiba-tiba menyerang mereka berempat.

“Aku harus mendahului dan membungkam getar suara itu. Jika aku tidak berhasil, maka anak-anakku akan mati,” berkata Nyi Citra Jati di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka Nyi Citra Jati pun telah membulatkan tekadnya untuk segera bertindak, apapun yang akan terjadi atas dirinya. Apalagi ketika Nyi Citra Jati itu menyadari bahwa anak-anak angkatnya itu tidak mau menyingkir dari halaman rumah itu dan meninggalkannya sendiri.

Setiap kali, sebelum guru Srini mengetrapkan Aji Gelap Ngampar, terdengar para pengikut Srini berteriak karena serangan anak panah, atau bandil atau paser-paser kecil yang dilontarkan dengan sumpit.

Dalam keadaan yang gawat itu, Nyi Citra Jati pun segera memusatkan nalar budinya. Ia harus menyerang mendahului, dari bayangan kegelapan malam.

Namun dalam pada itu, pada saat yang paling gawat, tiba-tiba terdengar suara rinding yang menggema di seluruh halaman rumah Nyi Citra Jati itu. Suaranya terdengar lunak mengalun lembut. Nadanya yang rendah bagaikan desir yang segar, berhembus menebar di seluruh halaman.

Nyi Citra Jati yang sudah bersiap untuk merayap di balik rumpun-rumpun perdu di halaman belakang rumahnya, tertegun. Ia sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. Ia kenal benar suara rinding itu.

Terdengar Nyi Citra Jati itu berdesah, “Yang Maha Agung telah membawanya pulang dalam keadaan yang paling gawat.”

Dalam pada itu, getar yang keras dan tajam yang dilontarkan oleh Aji Gelap Ngampar yang telah dikembangkan itu, seakan-akan telah membentur suara rinding yang lembut. Namun kemudian getar Aji Gelap Ngampar itu bagaikan telah terhisap dan hilang tanpa bekas.

Dengan demikian, maka getaran Aji Gelap Ngampar itu tidak lagi menusuk ke setiap jantung. Suara rinding itu benar-benar telah mengimbangi dan bahkan menghisap dan menelan getar Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh guru Srini.

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih belum beranjak dari tempatnya. Dalam kegelapan, di bayangan pohon perdu, Nyi Citra Jati mengucap syukur.

Namun ia masih tetap mengawasi pintu sanggar. Tidak seorangpun boleh masuk ke dalam sanggar.

Nyi Citra Jati menyadari bahwa laku yang sedang dijalani oleh Rara Wulan tentu terganggu oleh Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh guru Srini. Namun gangguan itu tidak akan banyak mempengaruhinya.

Sementara itu, di balik gerumbul-gerumbul perdu, Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni, bersorak di dalam hati. Ketika mereka mendengar suara rinding yang lembut dengan nada rendah, maka hati mereka pun bagaikan mekar. Seperti kanak-kanak yang berada di pinggir jurang yang dalam, melihat ayahnya datang mengulurkan tangannya, membimbingnya menjauhi jurang yang curam berbatu-batu padas yang licin itu.

Seperti ibunya, mereka pun telah menyatakan syukur pula.

Dalam pada itu, guru Srini yang melontarkan ilmunya Gelap Ngampar, telah mendengar suara rinding itu pula. Terasa betapa getaran ilmunya mengalir sia-sia tanpa menyentuh sasaran. Getaran ilmu Gelap Ngamparya yang tajam itu bagaikan terhisap oleh nada-nada rendah, lembutnya suara rinding di kejauhan.

Dengan demikian, maka hentakan suara seperti suara genderang perang itu pun telah menurun. Akhirnya justru terhenti sama sekali.

Suara rinding itu pun menjadi semakin lambat pula. Nadanya meninggi. Seakan-akan memekik menggapai langit.

Suara rinding itu memang terasa menusuk. Tetapi hanya sesaat. Kemudian menurun lagi. Iramanya pun segera berubah, justru menjadi lembut dan mengelus isi dada. Mengusap luka yang timbul oleh sengatan Aji Gelap Ngampar.

“Srini!” teriak gurunya, “Ini tentu suara rinding ayahmu.”

“Ya. Ayah telah pulang.”

“Tidak,” tiba-tiba saja terdengar suara dari balik seonggok kayu bakar yang masih tertimbun di belakang dapur, “Aku di sini. Suara rinding itu bukan permainanku.”

Srini. suaminya, seorang laki-laki yang berwajah garang, dan bahkan guru Srini itu terkejut. Suara rinding itu menunjukkan betapa tinggi ilmu orang yang melontarkannya. Menurut dugaan mereka, yang dapat melakukannya hanyalah Ki Citra Jati saja. Tetapi ternyata bukan Ki Citra Jati. Ki Citra Jati sudah berdiri di hadapan mereka. Namun suara rinding itu masih terdengar.

Namun sejenak kemudian, guru Srini itu pun berteriak, “Omong kosong! Tadi tentu kau yang membunyikan rinding itu. Setelah kau memasuki halaman ini, maka orang lain-lah yang membunyikannya.”

“Kau tentu guru Srini,” berkata Ki Citra Jati, “kau memiliki ilmu Gelap Ngampar yang telah kau kembangkan. Hasilnya benar-benar membahayakan. Gelap Ngamparmu dapat mencekik pernafasan orang sampai mati.”

“Aku memang akan membunuh seisi rumah ini.”

“Tetapi kau tidak akan mampu. Aji Gelap Ngamparmu yang sudah kau kembangkan dan diwarnai oleh hitamnya keyakinanmu, tidak mampu membentur dan mengatasi suara rinding itu. Bukan aku yang bermain. Tetapi orang lain.”

“Omong kosong. Kau kira aku percaya kepada bualanmu? Kau-lah yang memainkannya. Tetapi dengan licik orang lain-lah yang melanjutkannya.”

“Tidak. Bukan aku.”

“Aku ingin membuktikannya.”

“Silakan.”

Tiba-tiba suara seperti suara genderang perang itu telah terdengar lagi. Semakin lama semakin keras menghentak-hentak Jantung.

Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni pun terkejut pula. Sengatan rasa nyeri di dadanya baru saja mereda. Tiba-tiba serangan itu datang lagi, justru pada saat ayahnya sudah ada di rumah.

Namun Nyi Citra Jati justru berdiri dan keluar dari persembunyiannya. Ia tahu pasti, apa yang telah terjadi.

Sebenarnyalah sebentar kemudian, suara rinding yang lembut itu telah berubah. Nadanya merendah. Suaranya masih saja lunak. Namun suara itu telah menghisap getar ilmu Gelap Ngampar yang menusuk-nusuk jantung itu.

“Nah, kau percaya bahwa bukan aku yang melakukannya?” bertanya Ki Citra Jati yang masih berdiri di tempatnya.

Suara seperti suara genderang perang itu pun segera menurun dan menghilang.

Sementara itu Srini pun berteriak, “Siapa yang telah melakukannya, Ayah? Ayah telah membawa saudara seperguruan Ayah, untuk membantu Ayah melindungi anak-anak angkat Ayah itu?”

“Siapapun yang melakukannya, maka Aji Gelap Ngampar itu tidak akan mampu menggetarkan hati kami, karena dengan mudah kami dapat melawannya.”

“Kau kira Gelap Ngampar itu satu-satunya landasan kekuatan kami?” teriak guru Srini.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang guru?”

“Bunuh semua orang yang ada di halaman rumah ini.”

“Kau tidak akan berhasil,” sahut Ki Citra Jati.

“Kenapa tidak?” sahut Srini, “Aku sudah tidak mempunyai pilihan lain. Jika Ibu ada, maka Guru dan Paman akan menghadapi Ayah dan Ibu. Jika Ayah dan Ibu terbunuh dalam pertempuran ini, itu adalah salah mereka sendiri. Jika mereka menyerahkan anak-anak yang dilindunginya itu, maka segala sesuatunya tentu sudah selesai.”

“Jangan begitu, Srini,” berkata ayahnya, “kau jangan memaksa kami mengambil sikap yang sama. Setidak-tidaknya terhadap gurumu.”

“Ternyata kau memang orang tua yang sombong, Ki Citra Jati. Biarlah aku mengakhiri kesombonganmu itu.”

Ki Citra Jati tidak sempat menjawab. Tiba-tiba .saja guru Srini itu seakan-akan meluncur dengan cepat, menyerang Ki Citra Jati.

Namun Ki Citra Jati ternyata cukup berhati-hati. Serangan itu sama sekali tidak menyentuh. Meskipun Ki Citra Jati hanya bergeser selangkah, namun ia sudah terlepas dari garis serangan lawannya.

Orang yang disebut paman oleh Srini itu pun segera beranjak pula dari tempatnya. Namun ia tidak sempat menghampiri Ki Citra Jati, karena tiba-tiba saja Nyi Citra Jati telah hadir pula.

Orang itu memandang Nyi Citra Jati dengan tajamnya. Kemudian ia pun menggeram, “Kenapa kau keraskan hatimu untuk tidak menyerahkan iblis-iblis kecil itu?”

“Kau siapa?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Ia pamanku, Ibu. Adik guruku. Ia orang yang sangat baik kepadaku. Jauh lebih baik dari Ayah dan Ibu.”

“Gurumu yang mana, Srini? Gurumu yang sedang bertempur dengan ayahmu itu, atau gurumu yang lain? Aku tahu, kau mempunyai beberapa orang guru. Sayang, guru-gurumu itu membuat penyelesaian yang buruk pada ilmumu. yang telah aku dan ayahmu wariskan kepadamu.”

“Bukan waktunya untuk merajuk. Ibu tinggal pilih. Menyerahkan anak itu, atau umur Ibu akan berakhir hari ini. Sementara itu, aku pun akan mengakhiri hidup anak-anak angkat Ayah dan Ibu, yang hanya dapat mengganggu kenanganku saat aku berada di rumahku sendiri.”

“Kau lupakan orang yang telah membunyikan rinding itu? Bukankah yang membunyikan rinding itu bukan ayahmu?”

“Aku tidak peduli. Orang itu tentu hanya pandai membunyikan rinding saja. Tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam olah kanuragan.”

“Kau mencoba untuk menenangkan hatimu yang bergejolak, Srini. Kau tahu, bahwa orang yang membunyikan rinding itu berilmu sangat tinggi.”

“Itu hanya omong kosong.”

“Jika demikian, baiklah Srini. Apa yang ingin kau lakukan, lakukanlah. Apa yang ingin pamanmu lakukan, biarlah dilakukannya.”

Orang yang disebut paman oleh Srini itu menggeram. Dengan langkah satu-satu ia mendekati Nyi Citra Jati yang berada di halaman belakang.

“Ki Sanak,” ternyata Nyi Citra Jati masih bertanya, “siapakah namamu?”

“Itu tidak penting bagiku.”

“Masalahnya bukan penting atau tidak penting. Adalah kebiasaanku untuk mengenali nama orang-orang yang akan aku bunuh.”

“Kau memang iblis betina,” geram paman guru Srini itu. “Baiklah. Jika kau ingin mendengar namaku. Aku dikenal dengan nama Kaning Baya.”

“O,” Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. “Jadi kau-lah yang dikenal dengan nama Kaning Baya. Kalau begitu, guru Srini itu tentu Wanda Barong. Bukankah Kaning Baya hampir selalu bersama dengan Wanda Barong?”

“Kau benar, Nyi, yang bertempur dengan suamimu itu adalah Ki Wanda Barong, tetapi jangan keliru dengan Ki Wanda Barong yang berkeliaran di pesisir selatan, di sebelah timur Gunung Sewu. Wanda Barong yang itu tidak lebih dari seekor belalang yang ingin disebut elang. Jika kau bertemu dengan Ki Wanda Barong yang satu lagi, maka dengan mudah kau akan dapat memijit kepalanya.”

“Jika ada dua Wanda Barong, kenapa kalian membiarkan orang itu tetap memakai nama Wanda Barong?”

“Pada saatnya, orang itu akan kami cincang sampai lumat.”

“Tetapi aku kira aku tidak keliru dengan Wanda Barong yang satu ini. Karena di samping namanya ada nama Kaning Baya.”

“Bagus. Nampaknya kau mengenal kami dengan baik.”

“Tetapi aku tidak mengira, bahwa salah seorang di antara guru Srini itu adalah Ki Wanda Barong. Jika demikian, maka tangisku harus lebih dalam lagi, karena anakku sudah berada di tangan orang-orang yang berilmu hitam pekat.”

“Paman,” berkata Srini, “kenapa Paman tidak segera membungkamnya?”

“Aku ingin tahu, apa saja yang diketahui oleh ibumu. Srini. Nampaknya ibumu pun seorang perempuan yang menarik untuk diajak berbincang-bincang.”

“Tetapi waktu kita tinggal sedikit.”

“Jangan ajari aku, Srini. Aku sudah mempunyai perhitungan yang lebih baik dari perhitunganmu.”

“Jika demikian, terserah kepada Paman. Aku akan mencari adik-adik angkatku. Menyenangkan bermain-main dengan mereka. Aku akan senang sekali melihat mereka ketakutan dan menangis mohon ampun.”

Srini pun kemudian menggamit Gunung Lamuk. Keduanya pun segera turun ke halaman untuk mencari adik-adik angkat Srini.

Dalam pada itu, para pengikut Srini pun telah berusaha menemukan anak-anak angkat Ki Citra Jati. Namun setiap kali, sebuah anak panah meluncur, mengenai seorang di antara mereka. Ada pula di antara mereka yang tiba-tiba saja terhuyung-huyung dan jatuh tertelungkup. Sebuah paser kecil tertancap di punggungnya.

Bahkan seorang di antara mereka telah berteriak nyaring. Sebuah batu yang bulat menghantam dahinya, sehingga seakan-akan dahi itu berlubang.

Kematian-kematian itu memang membuat para pengikut Srini itu menjadi ngeri. Namun Srini pun berteriak, “Jangan bodoh! Kacaukan sasaran bidik mereka.”

Para pengikut Gunung Lamuk dan Srini itu pun segera bergerak dengan cepat. Bahkan ada di antara mereka yang berlari-lari, menyusup gerumbul-gerumbul perdu, mengitari rumpun-rumpun pisang dan rumpun-rumpun bambu di kebun belakang.

Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni menjadi bingung. Mereka tidak dapat membidik sasaran mereka dengan baik, karena mereka selalu bergerak dengan cepat.

Karena itu, maka mereka pun telah meletakkan busur, bandil dan sumpit mereka. Mereka harus menghadapi lawan dengan jangkauan senjata di tangan mereka.

Namun mereka masih belum keluar dari tempat-tempat yang terlindung. Ketika seorang lawan bergerak cepat di hadapan mereka, maka dengan serta-merta mereka pun meloncat menerkam sambil menghunjamkan pisau belati di dada lawan mereka.

Beberapa orang memang terguling jatuh dengan luka yang parah. Namun kawan-kawan mereka pun segera berdatangan pula untuk membantunya.

Pertempuran segera berlangsung dengan sengitnya. Setiap kali anak-anak angkat Ki Citra Jati itu harus bertempur menghadapi lebih dari seorang lawan. Namun dalam setiap kesempatan, mereka tiba-tiba saja seperti menghilang di balik kegelapan, di bayangan gerumbul-gerumbul perdu, atau di belakang rumpun bambu.

Gunung Lamuk dan Srini pun menjadi marah sekali. Mereka pun kemudian telah turun langsung ke medan pertempuran yang rumit itu.

“Kalian tidak akan dapat bermain sembunyi-sembunyi lagi,” geram Srini.

Adik-adik angkatnya menyadari, bahwa mereka pun akan segera menghadapi pertempuran yang sangat berat. Mereka harus menghadapi Srini dan sekaligus suaminya, Gunung Lamuk.

“Menyerah sajalah!” teriak Srini, “Perlawanan hanya akan menambah penderitaan saja bagi kalian. Bukankah lebih baik kalian mati dengan tenang daripada mati dalam penderitaan yang sangat?”

Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni memang merasa bahwa agaknya mereka harus berpisah dengan orang-orang yang mereka kasihi, dengan rumah, halaman dan sanggar yang akrab.

Untuk beberapa saat, mereka masih bertempur melawan para pengikut Srini dan Gunung Lamuk, yang jumlahnya sudah semakin menyusut. Bahkan ada di antara mereka yang justru merasa lebih aman sembunyi daripada harus bertempur, tetapi jika Srini dan Gunung Lamuk sendiri yang turun ke medan, maka perlawanan mereka pun akan segera berakhir.

Namun, ternyata Srini dan Gunung Lamuk itu tidak segera menyerang mereka, bahkan mereka pun mendengar Srini berkata, “Jadi kelinci ini agaknya yang telah membunyikan rinding itu.”

“Ya,” terdengar jawaban. Anak-anak angkat Ki Citra Jati itu pun segera menyadari, bahwa suara itu adalah suara Glagah Putih.

Agaknya Glagah Putih telah langsung menghadapi Gunung Lamuk dan Srini.

“Apakah kau akan melawan?” bertanya Gunung Lamuk.

“Apa yang kau lakukan, jika kau mengalami perlakuan sebagaimana aku alami sekarang? Apakah kau akan menyerah atau melawan?”

“Aku tidak mengalaminya. Kau-lah yang mengalaminya. Karena itu kau-lah yang harus membuat keputusan.”

“Kau benar.”

“Nah, sekarang katakan. Apakah kau akan melawan kami berdua? Betapapun tinggi ilmumu, namun kau tidak akan berarti apa-apa bagi kami.”

“Apapun yang akan terjadi, aku akan melawan.”

Srini ternyata tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia sudah meloncat menyerang dengan garangnya.

Dalam pada itu, guru Srini yang disebut Wanda Barong, tetapi bukan Wanda Barong yang disebut sering berkeliaran di pesisir selatan, telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Citra Jati. Sebagai seorang yang namanya banyak dikenal di antara orang-orang berilmu tinggi namun yang bersumber dari ilmu hitam, maka Wanda Barong memang ditakuti.

Namun berhadapan dengan Ki Citra Jati, maka ternyata Wanda Barong harus sangat berhati-hati. Ternyata Ki Citra Jati juga memiliki ilmu yang tinggi, yang mampu mengimbangi ilmu Wanda Barong.

Sementara itu, Nyi Citra Jati bertempur dengan saudara seperguruan Wanda Barong, yang kemudian menjadi bagaikan sepasang iblis yang garang. Dimana Wanda Barong berada, hampir pasti, Kaning Baya juga ada.

Namun Kaning Baya pun seakan-akan telah membentur kekuatan yang sulit untuk ditundukkan. Nyi Citra Jati, meskipun seorang perempuan, namun ilmunya ternyata mampu mengimbanginya pula.

Meskipun Kaning Baya meningkatkan ilmu semakin lama semakin tinggi, namun Nyi Citra Jati pun telah melakukan hal yang sama pula.

Kaning Baya memang sudah diberitahu sejak sebelumnya bahwa ibu Srini itu berilmu tinggi. Tetapi ia tidak mengira, bahwa tataran ilmu perempuan itu tidak segera mampu diatasinya.

Dalam pada itu, para pengikut Srini sama sekali sudah tidak berdaya lagi. Beberapa di antara mereka telah terbunuh oleh anak panah, batu-batu yang dilontarkan dengan bandil, atau paser-paser kecil yang dilontarkan dengan sumpit. Sedang beberapa yang lainnya luka parah. Satu dua di antara mereka justru telah berusaha untuk bersembunyi di kegelapan.

Karena itu, maka adik-adik Srini itu tidak lagi mempunyai lawan.

Dengan demikian, maka keempat anak angkat Ki Citra Jati itu pun merayap mendekati arena pertempuran antara ayah dan ibu angkatnya melawan Wanda Barong dan Kaning Baya. Di lingkaran pertempuran yang lain, mereka melihat Glagah Putih bertempur melawan Srini dan suaminya, Gunung Lamuk.

Sejenak keempat anak angkat K i Citra Jati itu termangu-mangu. Mereka menyaksikan, betapa Glagah Putih berloncatan dengan tangkasnya. Sekali ia meloncat menghindar mengambil jarak, namun tiba-tiba ia pun telah meloncat menyerang.

Namun Srini dan Gunung Lamuk bertempur dengan garangnya. Mereka berdiri pada sisi yang berbeda. Dengan cepat mereka beruntun menyerang. Bahkan kadang-kadang mereka telah menyerang bersama-sama.

Ternyata Srini dan Gunung Lamuk adalah dua orang suami istri yang berilmu tinggi. Setelah bertempur beberapa lama, maka Glagah Putih mulai mengalami kesulitan. Apalagi Glagah Putih tidak dapat mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ia tahu bahwa bagaimanapun juga Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati akan menjadi sangat bersedih jika Srini itu terbunuh di pertempuran, atau terluka parah sehingga membahayakan jiwanya.

Karena itu, maka Glagah Putih masih berusaha mengimbangi kemampuan lawannya dengan keterampilannya, dengan kekuatan dan kecepatannya bergerak.

Tetapi melawan kedua orang berilmu tinggi, Glagah Putih memang mulai merasa kesulitan. Beberapa kali ia harus berloncatan mundur untuk mengambil jarak. Bahkan beberapa kali Glagah Putih telah terdesak.

Keempat anak angkat K i Citra Jati melihat kesulitan yang dialami oleh Glagah Putih. Mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat berdiam diri saja. Meraka harus berbuat sesuatu untuk membantu Glagah Putih.

Padmini-lah yang telah mengatur adik-adiknya. Dimintanya adik-adiknya untuk menebar. Mereka harus berdiri di arah yang berlainan.

Namun Padmini itu pun berpesan kepada Setiti, “Jangan kau pergunakan paser-paser beracun tajam.”

“Dalam gelap, sulit bagiku untuk untuk membedakannya, Mbokayu,” jawab Setiti.

“Jika demikian, jangan kau luncurkan paser-pasermu. Jika Mbokayu Srini terkena paser racunmu, maka keadaannya akan menjadi sulit. Mungkin Ayah dan Ibu tidak dapat mengobatinya.”

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”

“Pakai busurku.”

“Mbokayu?”

“Aku membawa beberapa pisau belati. Aku tentu hanya membutuhkan satu atau dua.”

“Bukankah kita tidak akan membunuhnya?”

“Seandainya kita akan melakukannya, kita tentu tidak akan mampu.”

“Tetapi ada Kakang Glagah Putih. Sebagai besar perhatian Mbokayu Srini dan Kakang Gunung Lamuk tentu tertuju pada Kakang Glagah Putih.”

Padmini menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita memang tidak ingin membunuhnya. Ayah dan Ibu tentu akan bersedih.”

“Jika kita yang terbunuh?” bertanya Pamekas.

“Bagi Ayah dan Ibu, Mbokayu Srini adalah anak kandungnya. Tapi mudah-mudahan kita juga tidak terbunuh.”

Pamekas terdiam.

Demikianlah, keempat orang saudara angkat Srini itu sudah menjadi semakin dekat. Mereka berada di tempat yang berbeda-beda. Namun mereka masih tetap bersembunyi di balik pepohonan atau segerumbul pohon perdu.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih memang mengalami kesulitan. Setiap kali ia harus berloncatan menghindari serangan kedua lawannya serta mengambil jarak. Sekali Glagah Putih itu berloncatan dan berputar di udara. Kemudian, demikian kakinya menjejak tanah, ia pun segera melenting tinggi.

Meskipun demikian, sekali-sekali Glagah Putih pun sempat pula menyerang.

Padmini dan adik-adiknya tidak membiarkan Glagah Putih berada dalam kesulitan. Karena itu, dari kegelapan mereka telah mengganggu pemusatan perhatian Srini dan Gunung Lamuk.

Ketika Glagah Putih mengalami serangan yang rumit dari kedua arah yang berbeda, maka Setiti tidak dapat membiarkannya. Setiti itu melihat dengan jelas, bahwa Glagah Putih memang berada dalam kesulitan. Apalagi ketika ia melihat Gunung Lamuk yang telah siap untuk meloncat dengan tangan terjulur.

Karena itu, maka sejenak kemudian anak panah pun telah meluncur dari busur di tangan Setiti, yang diberikan oleh Padmini kepadanya.

Gunung Lamuk terkejut. Ternyata panggraitanya pun sangat tajam, sehingga di luar sadarnya ia berpaling.

Dengan demikian, maka Gunung Lamuk itu melihat anak panah yang meluncur ke arahnya.

Dengan kecepatan yang tinggi, maka Gunung Lamuk itu pun bergeser menghindar. Bahkan ketika anak panah yang kedua meluncur, Gunung Lamuk masih mampu menghindarinya.

Tiba-tiba saja terdengar suara Padmini, “Adikku, menyingkirlah!”

Sementara itu, Srini pun sudah siap meluncurkan ilmunya.

Setiti ternyata telah melupakan pesan Padmini. Setiap kali ia menyerang dengan anak panahnya, maka ia harus segera berpindah tempat.

Tetapi Setiti justru telah menyerang dan meluncurkan dua anak panah, namun ia masih saja berada di tempatnya.

Kekhilafan itu akan dapat berakibat buruk sekali baginya. Srini yang sudah siap itu telah meluncurkan serangannya ke arah kedua anak panah itu lepas dari busurnya.

Jerit Padmini tidak sempat memberi kesempatan Setiti meninggalkan tempatnya. Hanya dalam sekejap Srini telah melontarkan ilmu Pacar Wutah Gundala Werengnya.

Pamekas yang melihat bahaya yang mengancam adiknya, dengan cepat memutar bandilnya. Ia mencegah agar Srini tidak sempat menyerang Setiti dengan ilmu Pacar Wutahnya. Tetapi Pamekas terlambat. Serangannya yang tergesa-gesa itu memang dapat mengenai bahu Srini. Tetapi Aji Pacar Wutah itu sudah meluncur. Serbuk besi di telapak tangan Srini telah dihembusnya.

Terdengar Padmini dan Baruni menjerit. Mereka sadar, apa yang akan terjadi atas Setiti. Aji Pacar Wutah itu dapat meluluhkan tubuhnya.

Tetapi mereka terkejut ketika mereka melihat seleret sinar menyambar, memotong garis serangan Srini. Ketajaman mata Glagah Putih dengan lambaran Aji Sapta Pandulu, mampu melihat kabut yang berwarna kehitam-hitaman meluncur ke arah gerumbul perdu tempat Setiti bersembunyi.

Dua kekuatan ilmu yang tinggi telah berbenturan. Gumpalan debu serbuk besi yang dilontarkan dengan landasan Aji Pacar Wutah itu telah pecah berhamburan oleh kekuatan ilmu Glagah Putih.

Meskipun demikian, ledakan pada saat benturan terjadi itu telah melemparkan Setiti dari tempatnya bersembunyi. Pamekas cepat berlari ke arah tubuh Setiti.

Sementara itu Srini menyeringai menahan sakit di bahunya. Batu yang dilontarkan Pamekas dengan bandilnya telah membuat bahu Srini kesakitan.

Gunung Lamuk yang mengetahui bahwa Srini telah dikenai batu bandil oleh Pamekas, sudah siap untuk menyerang justru pada saat Pamekas berjongkok di sebelah tubuh Setiti. Namun sebuah anak panah telah meluncur ke arahnya. Baruni tidak membiarkan Gunung Lamuk menyerang Pamekas dan menghancurkannya sekaligus dengan Setiti.

Namun Baruni tidak mau mengulangi kesalahan Setiti. Demikian panahnya meluncur, maka gerumbul itu pun bergoyang. Baruni meloncat menyingkir dari tempatnya dan berguling ke belakang gerumbul yang lain. Bahkan kemudian merangkak dengan hati-hati bersembunyi di belakang sebatang pohon.

Darah Srini bagaikan mendidih. Bahunya masih saja terasa sakit. Namun ia sadari, bahwa adik-adik angkatnya telah bangkit. Nampaknya mereka tidak lagi segan mengambil keputusan untuk bertarung sampai kemungkinan terakhir.

Gunung Lamuk pun menjadi berdebar-debar pula. Ia memang belum sempat meluncurkan ilmunya karena serangan anak panah, sehingga ia harus meloncat menghindar. Tetapi ketika ia siap untuk menyerang lagi, maka sebuah pisau belati meluncur, hampir saja mengenai lambungnya.

Semantara itu, Glagah Putih pun telah bersiap menyerang dari tempatnya terdiri.

Namun Srini sempat juga menduga, kenapa Glagah Putih tidak menyerang langsung ke tubuhnya. Agaknya Glagah Putih masih segan untuk membunuhnya, karena ia adalah anak kandung Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Meskipun keseganan Glagah Putih itu tidak menyentuh sama sekali perasaan Srini yang seakan-akan sudah mati itu, namun Srini mulai berpikir, bahwa serangannya bersama suami, guru dan paman gurunya itu tidak akan berhasil.

Sebenarnyalah Wanda Barong dan Kaning Baya juga melihat kesulitan yang ternyata kemudian dialami oleh Srini dan suaminya. Nampaknya adik-adik angkat Srini telah bangkit. Bersama dengan ayah dan ibu angkat mereka, serta saudara angkat mereka yang berilmu tinggi, adik-adik angkat Srini itu siap bertempur sampai mati sekalipun.

Sementara itu, ternyata Wanda Barong dan Kaning Baya tidak pula dapat mengalahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati dengan segera. Karena itu, maka Ki Wanda Barong itu pun kemudian telah memberikan isyarat untuk meninggalkan halaman rumah Ki Citra Jati.

Ketika terdengar sebuah suitan nyaring, maka Ki Wanda Barong dan Ki Kaning Baya segera menarik diri dari arena pertempuran.

“Ki Citra Jati,” berkata Ki Wanda barong, “kita akhiri permainan kita kali ini. Tetapi kau jangan merasa bahwa kau telah menang. Demikian pula Nyi Citra Jati. Pada saat yang lain, kami akan datang untuk mengambil kedua anak angkatmu yang terbaru itu.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak memburu mereka. Mereka membiarkan orang-orang itu bersama Srini dan Gunung Lamuk meninggalkan halaman rumah mereka.

Di dalam kegelapan, ternyata masih juga ada dua tiga orang yang meninggalkan persembunyiannya, melarikan diri dengan meloncati dinding kebun belakang yang gelap dan banyak pepohonan.

Namun dalam pada itu, tubuh Glagah Putih tiba-tiba saja telah menjadi gemetar. Ketika tubuhnya terhuyung-huyung, maka Glagah Putih telah berusaha untuk mendapatkan sebuah sandaran. Sebatang pohon kelapa.

“Glagah Putih,” Ki Citra Jati pun dengan cepat meloncat mendekatinya.

“Kau kenapa Glagah Putih?” bertanya Nyi Citra Jati yang juga telah berdiri di sebelahnya.

Glagah Putih tidak menjawab. Ia mencoba mengatur pernafasannya.

Ki Citra Jati-lah yang kemudian berdesis, “Glagah Putih baru menjalani laku. Tiba-tiba saja ia harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Bahkan melepaskan ilmu puncak. Sedangkan sebelumnya ia sudah mengerahkan tenaga dalamnya lewat getar suara rinding untuk melawan ilmu Gelap Ngampar Wanda Barong yang sudah dikembangkannya.”

“Bawa ia masuk, Kakang. Biarlah Glagah Putih mengatur pernafasannya.”

Ki Citra Jati pun kemudian membantu Glagah Putih melangkah masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Nyi Citra Jati telah berlari menemui anak-anaknya.

“Bawa Setiti masuk,” berkata Nyi Citra Jati dengan nada tinggi.

Padmini, Pamekas dan Baruni pun telah mengangkat tubuh Setiti yang lemah dan membawanya masuk ke ruang dalam.

“Ambilkan minuman,” berkata Nyi Citra.

Baruni pun kemudian berlari ke dapur untuk mengambil dua mangkuk minuman. Namun minuman itu telah dingin.

Ki Citra Jati pun kemudian telah membantu Glagah Putih minum. Sementara itu, Padmini telah menitikkan minuman di bibir Setiti.

Nyi Citra Jati dengan teliti mengamati keadaan Setiti. Namun kemudian ia pun berkata, “Mudah-mudahan luka bagian dalam tubuhnya tidak berbahaya. Berikan obat ini kepadanya, Padmini. Aku ingin menengok mbokayumu yang ada di dalam sanggar.”

Nyi Citra Jati pun kemudian memberikan sebuah bumbung kecil. Di dalamnya terdapat butiran-butiran reramuan yang dibuatnya sendiri bersama Ki Citra Jati.

“Berapa butir Ibu?” bertanya Padmini.

“Satu saja. Ia akan berangsur baik. Nanti biarlah ayahmu melihat keadaannya.”

Nyi Citra Jati pun segera meloncat keluar, langsung menuju sanggar.

Namun Nyi Citra Jati tidak ingin mengejutkan Rara Wulan. Karena itu, Nyi Citra Jati sudah terbatuk-batuk lebih dahulu ketika ia berdiri di pintu sanggar.

Ketika pintu sanggar perlahan-lahan didorongnya, Nyi Citra Jati memang menjadi berdebar-debar. Mungkin sesuatu telah terjadi pada Rara Wulan.

Tetapi demikian Nyi Citra Jati memasuki sanggar, ia menarik nafas panjang. Dalam keremangan nyala lampu minyak, Nyi Citra Jati melihat Rara Wulan masih tetap menjalani laku.

Nyi Cita Jati itu pun perlahan-lahan mendekatinya. Kemudian dengan lembut ia pun berkata, “Bukankah laku yang kau jalani tidak terganggu, Rara Wulan?”

“Tidak, Ibu,” jawab Rara Wulan. “Pada saat seseorang melontarkan getar ilmunya, aku memang sedikit terpengaruh, Ibu. Untunglah bahwa gangguan itu tidak berlangsung lama. Suara rinding itu telah menghentikan pengaruh getar suara yang mengganggu pemusatan nalar budiku.”

“Tetapi secara keseluruhan kau tidak akan terganggu, Wulan. Ayahmu sekarang sudah pulang. Ia akan berada di rumah, sehingga aku akan menjadi lebih sering berada di sanggar.”

“Terima kasih, Ibu.”

“Nah, di tengah malam tadi kau tidak sempat beristirahat. Sekarang segala sesuatunya sudah selesai. Sebaiknya kau beristirahat sejenak. Nanti kau dapat kembali ke dalam sanggar.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia pun mengangguk kecil.

Ketika Rara Wulan masuk ke ruang dalam, Glagah Putih telah menjadi segar kembali. Ia sudah sempat minum minuman hangat yang dibuat oleh Baruni. Sementara itu Setiti masih berbaring di dalam biliknya, meskipun keadaannya pun sudah berangsur baik.

“Kau kenapa Setiti?” bertanya Rara Wulan.

“Hampir saja Setiti digulung oleh ilmu Pacar Wutah Mbokayu Srini,” jawab Padmini, “Untunglah Kakang Glagah Putih bertindak cepat, sehingga tepat pada waktunya, Kakang Glagah Putih dapat memecahkan serangan ilmu Pacar Wutah Gundala Wereng yang dilontarkan oleh Mbokayu Srini.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia pun berdesis, “Syukurlah, Yang Maha Agung masih melindungi, Setiti.”

“Aku bersyukur, Mbokayu.”

Rara Wulan menepuk pipi Setiti sambil berkata, “Beristirahatlah.”

Rara Wulan pun kemudian duduk bersama Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan adik-adik angkatnya di ruang dalam. Rara Wulan mempunyai kesempatan untuk meneguk minumannya sebelum ia kembali ke dalam sanggar. Namun Rara Wulan tidak tahu, bahwa Glagah Putih hampir saja kehabisan tenaga.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Glagah Putih sendiri tidak memberitahukan hal itu kepada Rara Wulan, agar Rara Wulan tidak memikirkan lebih lama, sehingga akan dapat berpengaruh atas pemusatan nalar budinya selama ia menjalani laku.

Menjelang fajar, maka Nyi Citra Jati telah membawa Rara Wulan kembali ke dalam sanggar pula, karena Nyi Citra Jati pun akan berada di dalam sanggar pula, karena Ki Citra Jati dan Glagah Putih sudah berada di rumah. Mereka tidak akan pergi lagi ke bukit berbatu-batu padas itu.

Dalam pada itu, keadaan Setiti pun telah berangsur menjadi baik. Meskipun demikian, Padmini masih saja menahannya agar Setiti tetap berada di pembaringan.

Hari itu, keadaan Glagah Putih telah pulih kembali. Sedikit demi sedikit, Glagah Putih telah mengisi perutnya dengan nasi. Sehingga dengan demikian maka kekuatan kewadagan Glagah Putih telah menjadi utuh lagi.

Tetapi Glagah Putih tidak dapat meninggalkan rumah itu sebelum Rara Wulan selasai menjalani laku. Sementara itu, tugas yang diemban oleh Glagah Putih pun masih belum dapat dilanjutkannya pula. Apalagi menurut Ki Citra Jati, Ki Saba Lintang sudah tidak berada di Wirasari.

Ki Citra Jati pernah mengatakan kepada Glagah Putih, bahwa pada waktu dekat Ki Citra Jati akan kembali ke Wirasari. Namun karena keadaan yang gawat, maka Ki Citra Jati masih belum berniat meninggalkan rumahnya. Srini akan dapat setiap saat datang. Jika Rara Wulan masih belum selesai, maka keadaan akan dapat menjadi sangat gawat.

Karena itu, maka dengan berat hati, Ki Citra Jati telah berkata kepada Glagah Putih, “Aku minta maaf kepadamu, Ngger. Aku masih belum dapat pergi lagi ke Wirasari. Pada saat Rara Wulan masih menjalani laku, maka aku kira kita lebih baik tetap berada di rumah.”

“Aku mengerti, Ayah.”

“Nah, selama itu kau dapat mengisi waktumu dengan mempertajam ilmumu. Tanpa diasah, maka ilmumu tidak akan menjadi semakin tajam. Selebihnya, kau dapat bersamaku meningkatkan ilmu adik-adikmu. Jika kita meninggalkan mereka, biarlah mereka dapat melindungi diri mereka sendiri.”

Demikianlah, sambil menunggu Rara Wulan menjalani laku yang berat, maka Ki Citra Jati dan Glagah Putih telah bekerja keras pula. Setelah keadaan Setiti menjadi baik, maka berempat anak-anak angkat Nyi Citra Jati itu pun telah memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya untuk menempa diri dengan teratur. Pagi-pagi sekali, mereka sudah bangun. Setelah menyalakan api untuk menjerang air serta menanak nasi, maka anak-anak Ki Citra Jati itu pun segera pergi ke kebun untuk memanaskan tubuhnya. Mereka mulai melakukan gerakan-gerakan ringan sehingga tubuh mereka berkeringat.

Menjelang fajar mereka berhenti. Bergantian mereka mandi, sementara yang lain membuat minuman dan menimba air untuk mengisi jambangan. Mereka pun kemudian menyelesaikan kewajiban yang harus mereka jalani sampai saatnya matahari terbit.

Biasanya, sebelum kedatangan Srini dengan dendam yang membara di jantungnya, salah seorang dari anak-anak angkat Ki Citra Jati itu pergi ke pasar untuk belanja. Namun untuk sementara Ki Citra Jati menasihatkan agar mereka tidak pergi ke pasar lebih dahulu.

“Mungkin kami dapat memetik dedaunan dan bahan-bahan sayuran di kebun, Ayah, tetapi jika kami memerlukan garam serta jenis rempah-rempah yang lain, maka kami harus membeli ke pasar,” berkata Padmini,

“Kenapa harus pergi ke pasar? Bukankah kau dapat menitipkan uang kepada Nyi Reja, yang setiap hari pergi ke pasar untuk membeli kebutuhanmu itu?”

Padmini tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk.

Sebenarnyalah ketika Nyi Reja yang tinggal di sebelah pergi ke pasar, maka Padmini telah menitipkan beberapa keping uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang tidak dapat dihasilkan sendiri.

“Kau tidak pergi ke pasar, Padmini?” bertanya Nyi Reja.

“Hari ini tidak, Bibi. Kami hanya memerlukan rempah-rempah sedikit.”

“Baiklah. Nanti pulang dari pasar aku singgah di rumahmu.”

Hari pun merangkak dengan lamban. Glagah Putih sudah merasa terlalu lama berhenti di rumah Ki Citra Jati. Tetapi ia tidak dapat mendesak agar laku yang dijalani Rara Wulan dipercepat. Yang tahu dengan pasti beberapa hari lagi yang diperlukan oleh Rara Wulan, adalah Nyi Citra Jati.

Namun Glagah Putih pun tidak membuang-buang waktu dengan sia-sia. Dengan kerja keras, maka Glagah Putih, di samping Ki Citra Jati, mampu meningkatkan ilmu adik-adik angkatnya. Mereka menjadi semakin terampil. Dengan latihan-latihan serta penguasaan tubuh yang benar, kemampuan adik-adik angkat Glagah Putih itu menjadi semakin meningkat.

Meskipun mereka tidak dapat mempergunakan sanggar tertutup yang dipergunakan oleh Rara Wulan untuk menjalani laku, namun mereka justru merasa lebih bebas berlatih di sanggar terbuka, di kebun belakang.

Perlahan-lahan namun pasti, maka tenaga dalam dan daya tahan tubuh anak-anak angkat Ki Citra Jati itu semakin meningkat. Bahkan Ki Citra Jati pun lelah mempersiapkan Padmini dan Pamekas untuk dapat mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce. Tetapi Ki Citra Jati menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat mewarisi ilmu itu lewat jalur kedua. Kematangan mereka berbeda selapis dengan bekal dan kematangan Rara Wulan.

Dalam pada itu, pada saat senggang, Ki Citra Jati dan Glagah Putih sempat juga berbincang-bincang. Ki Citra Jati banyak memberikan petunjuk-petunjuk kepada Glagah Putih tentang berbagai macam dan jenis ilmu. Ki Citra Jati pun sempat pula memberikan petunjuk untuk mempertajam panggraita, sehingga mampu menerima dan menterjemahkan getar isyarat di sekitarnya, sehingga Aji Sapta Pandulu pun menjadi semakin tajam pula.

Hari-hari pun berlalu. Sebenarnya Glagah Putih mulai merasa kerasan di rumah Nyi Citra Jati. Tetapi setiap kali terasa jantungnya pun berdesir.

Namun jika hal itu disampaikan kepada Ki Citra Jati, maka Ki Citra Jati pun selalu menenangkannya.

“Kau tidak perlu tergesa-gesa, Glagah Putih. Perhitungan waktu bagi tugasmu bukannya perhitungan bulan. Tetapi perhitungan tahun. Sementara itu masih belum terbetik berita, tentang kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu ketenangan Mataram, atau yang meresahkan rakyat Mataram.”

“Ya, Ayah, Sampai sekarang memang belum terdengar adanya peristiwa-peristiwa yang dapat mengganggu ketenangan serta menggelisahkan rakyat Mataram. Tetapi yang menjadi gelisah adalah Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah, dan tentu saja Ayah di Jati Anom.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu saja. Tetapi jika pada suatu saat kau pulang, mungkin di Jati Anom, mungkin di Tanah Perdikan Menoreh, kegelisahan itu akan segera hilang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katannya, “Tentu saja, Ayah. Tetapi selama menunggu?”

Ki Citra Jati pun tersenyum pula. Namun kemudian ia pun berkata, “Waktunya tidak akan lama lagi. Setelah Rara Wulan selesai, kita akan pergi ke Wirasari. Mudah-mudahan adikmu Srini tidak mengganggu lagi. Setidak-tidaknya untuk sementara.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Kita akan singgah untuk menemui adik-adikmu yang lain.”

“Adik-adikku yang mana lagi, Ayah?”

“Bukankah anakku semua berjumlah tiga belas?”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Sebenarnya tiga belas? Jadi Ayah mempunyai dua belas anak angkat?”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Tidak. Ibumu tidak pernah sempat menghitung anak angkatnya. Jika ia berkata bahwa anaknya tiga belas, hanya sekedar mengucapkan angka. Tetapi anak-anak yang pernah singgah di rumah ini bahkan lebih dari tiga belas. Ada yang kerasan, ada yang tidak kerasan. Ada yang baik, dan ada yang kurang baik. Ada yang bersungguh-sungguh, ada yang asal-asalan saja.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Itukah agaknya kenapa Srini merasa dirinya asing di rumahnya sendiri?”

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia pun bertanya, “Kenapa?”

“Ayah dan Ibu mengasihi anak-anak angkat Ayah dan Ibu seperti mengasihi anak sendiri. Sementara itu Srini merasa dirinya lain dengan anak-anak angkat Ayah dan Ibu. Srini merasa bahwa ia adalah anak yang sebenarnya, sehingga terasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ia merasa bahwa seharusnya ia mendapat kasih sayang seutuhnya dari ayah dan ibunya. Tetapi kasih sayang itu ternyata telah terbagi.”

“Glagah Putih. Bagaimana kau dapat menyebutkan, bahwa kasih sayang itu terbagi? Apakah setiap pasangan orang tua memiliki keutuhan kasih sayang seperti sebuah nasi golong yang bulat? Nasi golong itu dapat diberikan kepada seorang anaknya tanpa terbagi. Tetapi Jika nasi golong itu diberikan kepada dua orang anaknya, maka masing-masing hanya akan menerima separuh?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Citra Jati dengan dahi yang berkerut

“Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati, “di dalam sanubari ini tersimpan semacam sumber kasih sebagaimana mata air di lereng pegunungan. Air itu akan mengalir tanpa henti di segala musim, yang dapat mengairi seberapapun luasnya tanah persawahan. Bukan hanya dapat memenuhi sawah sebahu, sehingga apabila untuk mengairi sawah dua bahu, maka masing-masing hanya mendapat separuh bagian. Tidak, Glagah Putih. Setiap bahu sawah akan mendapat air yang sama seperti halnya untuk mengairi sawah yang hanya sebahu saja.” 

Glagah Putih menarik nafas panjang. Kepalanya terangguk-angguk, sementara mulutnya bergumam, “Ya, Ayah.”

“Nah, bukankah kasih kami kepada Srini akan sama saja kami limpahkan kepadanya, ada atau tidak ada anak angkat di dalam rumah ini?”

“Ayah benar. Tetapi apakah Srini juga berpendapat sama seperti Ayah?”

Ki Citra Jati terdiam sejenak. Direnunginya pertanyaan Glagah Putih itu. Baru kemudian ia pun menyahut, “Aku yakin, bahwa sebelum ia terpengaruh oleh bayangan yang hitam itu, ia berpendapat sama seperti pendapatku itu. Tetapi kemudian ia pun mulai disusupi oleh pengaruh-pengaruh yang kurang baik itu. Kasih sayang yang kemudian dimaksudkan, bukan lagi kasih sayang seorang ayah dan seorang ibu kepada anaknya. Tetapi termasuk dalam kasih sayang itu adalah warisan harta bendanya.”

“Itulah antara lain yang menyebabkannya, Ayah,” desis Glagah Putih.

“Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati kemudian, “celakanya, orang-orang yang kemudian berada di sekitar Srini menganggap bahwa kami, maksudku aku dan ibumu, mempunyai harta warisan yang banyak sekali. Tidak hanya yang nampak, tetapi langsung atau tidak langsung, Srini sendiri pernah menanyakan, dimana kami menyimpan harta karun itu. Harta karun yang menurut dongengan yang disebut-sebut Srini, meskipun tidak langsung, peninggalan dari Pangeran Dananjaya, salah seorang putra dari Prabu Brawijaya Pamungkas, yang lahir dari seorang perempuan yang berasal dari desa. Pada saat terakhir kekuasaan Prabu Brawijaya, Pangeran Dananjaya telah diperintahkan untuk menyingkir dari istana bersama ibu dan pamannya. Kepada mereka diberikan bekal harta benda yang banyak sekali. Namun paman Pangeran Dananjaya bukan seorang yang bersih. Ia telah melarikan harta benda itu. Lucunya Glagah Putih, menurut dongeng itu, aku adalah pewaris dalam garis lurus paman dari Pangeran Dananjaya yang berkhianat dan melarikan harta benda yang tidak ternilai harganya itu. Sehingga aku dapat menyimpulkan bahwa mereka menduga, aku telah menyembunyikan harta karun itu.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun bertanya, “Jika demikian, kenapa mereka benar-benar ingin membunuh Ayah dan Ibu? Bukankah dengan demikian mereka akan kehilangan lacak untuk menemukan harta karun itu?”

“Entahlah. Tetapi agaknya mereka mengira bahwa aku telah menyembunyikan harta karun itu di dalam halaman rumah ini, Meskipun aku dan ibumu mati, tetapi mereka merasa akan dapat menemukan harta karun itu.”

“Seandainya Srini tidak melawan Ayah dan Ibu, bukankah ia akan menjadi pewaris tunggal, seandainya harta karun itu benar-benar ada?”

“Itulah awalnya Srini mempersoalkan beberapa orang anak angkat. Jika semula Srini menerima mereka dengan senang hati, karena dengan kehadiran saudara-saudara angkatnya itu Srini lalu mempunyai kawan bermain, namun kemudian ia telah membenci adik-adik angkatnya.”

“Tetapi kenapa kebencian Srini terutama ditujukan kepada aku dan Rara Wulan, padahal kami sebelumnya belum pernah berhubungan?”

“Kalian berdua memiliki kemungkinan untuk dapat mengimbangi kemampuan Srini dan suaminya. Lainnya tidak. Jika tidak ada kalian, maka yang lain akan dapat mereka selesaikan dengan mudah. Mungkin, sekali lagi mungkin, itulah alasannya. Tetapi mungkin ada alasan yang lain. Ada hubungan antara Srini dengan orang-orang yang pernah berusaha menyingkirkanmu. Orang dari perguruan Kedung Jati yang sering mencuri ilmu dari perguruan-perguruan lain itu pun pantas dicurigai mempunyai hubungan dengan Gunung Lamuk. Tentu saja kemudian dengan Srini. Dan masih banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang lain.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Memang ada beberapa kemungkinan yang agaknya saling berkait. Tetapi justru karena itu, maka Glagah Putih pun berjanji kepada dirinya sendiri untuk meningkatkan kemampuannya sejauh dapat dilakukannya. Demikian pula setiap kesempatan bagi Rara Wulan tidak akan disia-siakan. Agaknya Ki Citra Jati benar, bahwa waktu bagi tugasnya tidak terhitung bulan, tetapi terhitung tahun. Sehingga karena itu, maka penundaan satu dua bulan tidak akan sangat berpengaruh.

Dengan demikian, maka Glagah Putih dapat merasa lebih tenang berada di rumah Ki Citra Jati. Namun Glagah Putih pun menjadi semakin tekun pula menempa diri, di samping membantu Ki Citra Jati memberikan latihan-latihan yang semakin berat kepada adik-adik angkatnya. Terutama Padmini dan Pamekas, yang sudah dipersiapkan untuk menerima warisan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Sementara itu, Rara Wulan masih juga menjalani laku. Di antaranya yang harus ditempuh adalah penguasaan lahir dan batinnya. Latihan-latihan kewadagan yang berat, serta meningkatkan kekuatan tenaga dalamnya. Dilambari dengan latihan pernafasan yang mapan.

Hari pun berlalu seperti bayangan awan yang mengambang di langit. Datang, dan kemudian terbang menjauh.

Akhirnya laku yang harus dijalani oleh Rara Wulan menjadi tuntas. Rara Wulan telah benar-benar menguasai Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Tiga hari tiga malam di saat terakhir, Rara Wulan sama sekali tidak keluar dari sanggarnya. Ia harus menjalani laku yang sangat berat. Pati Geni, namun juga tempaan kewadagan yang akan mendukung patrap Aji Pacar Wutah.

Lepas tiga hari, maka Nyi Citra Jati pun kemudian telah membimbing Rara Wulan keluar dari sanggar tertutup.

Demikian Rara Wulan melihat Glagah Putih berdiri di luar sanggar, maka ia pun meloncat memeluknya.

Terasa cairan yang hangat menitik di bahu Glagah Putih. Ia tahu bahwa Rara Wulan menangis. Namun air matanya itu mengungkapkan kegembiraannya, bahwa ia telah dapat menyelesaikan laku yang berat untuk mewarisi Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Namun air matanya itu juga pernyataan syukur bahwa laku yang berat itu telah dapat diselesaikannya.

Glagah Putih-lah yang kemudian membimbing Rara Wulan masuk ke ruang dalam. Adik-adik angkatnya pun kemudian mengerumuninya untuk mengucapkan selamat

“Baruni,” berkata Nyi Citra Jati, “ambillah merang. Bakarlah. Air abunya akan dipakai mbokayumu untuk mandi keramas.”

“Ya, Ibu,” sahut Baruni sambil bangkit berdiri.

Sejenak kemudian, setelah Rara Wulan mandi keramas dan berbenah diri, maka Setiti telah menghidangkan minuman hangat. Ketika Rara Wulan meneguk minuman hangat itu, terasa tubuhnya yang lemah menjadi lebih segar.

“Bukankah mbokayu masih belum akan makan nasi nanti, Ibu?” bertanya Padmini.

“Ya.”

“Aku akan membuatkannya bubur sumsum.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Terima kasih, Padmini.”

“Bubur sumsum akan memulihkan kesegaran tubuh Mbokayu. Tulang sumsum mbokayu yang letih akan terasa pulih kembali,”

Padmini pun segera pergi ke dapur. Ia masih mempunyai tepung beras untuk membuat bubur sumsum dengan juruh yang terbuat dari gula kelapa yang dicairkan.

Sehari itu Rara Wulan masih merasa tubuhnya letih. Namun rasa letih itu berangsur-angsur mulai menyusut.

“Malam nanti kau dapat tidur sepuas-puasmu, Rara Wulan,” berkata Nyi Citra Jati. “Jika selama di dalam sanggar kau kurang makan, kurang tidur, sementara laku yang harus kau jalani sangat berat, maka semuanya itu sudah berlalu. Kau telah menjadi seorang perempuan yang perkasa. Ilmumu tidak lagi berada di bawah tataran ilmu Srini. Apalagi pengalaman yang luas akan sangat membantumu untuk mengembangkan ilmu itu.”

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, Ibu,” berkata Rara Wulan.

“Mudah-mudahan kau dapat mengamalkan ilmumu, Rara Wulan. Dengan demikian, maka ilmumu itu baru berarti,” berkata Ki Citra Jati kemudian.

Rara Wulan mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Aku mohon Ayah mendoakan agar ilmu yang aku warisi ini dapat berarti bagi sesama.”

“Itulah yang kami harapkan. Namun kami percaya bahwa kau akan dapat memilih jalan yang terbaik untuk kau lalui. Keyakinan kami itulah yang telah membuat ibumu bertekad untuk mewariskan ilmunya kepadamu. Bahkan lewat jalur kedua.”

Rara Wulan tidak menjawab. Wajahnya menunduk, sementara jari-jarinya telah mengusap titik-titik air di pelupuknya.

“Rara Wulan,” berkata Nyi Citra Jati kemudian, “kau telah menjadi salah satu dari beberapa orang yang memiliki Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Meskipun demikian, kau masih harus membiasakan patrap pelepasannya. Karena itu dalam dua tiga hari ini, kita akan pergi ke bukit. Jika pada saat kau berada di sanggar ayahmu dan suamimu yang pergi ke bukit, maka dalam dua tiga hari ini, kita-lah yang akan pergi ke bukit.”

“Apakah kami dapat ikut menyaksikan, Ibu?” bertanya Padmini.

Nyi Citra Jati mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Kau juga sudah dipersiapkan untuk mewarisi Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Karena itu, maka kau diperkenankan untuk ikut menyaksikannya.”

“Bagaimana dengan kami?” bertanya Setiti.

Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kalian semuanya dapat ikut menyaksikannya. Ayah dan Glagah Putih pun akan menyaksikannya pula.”

“Kapan kita akan pergi ke bukit?” bertanya Pamekas.

“Besok. Biarlah mbokayumu beristirahat malam nanti dan sehari esok. Besok malam kita pergi ke bukit.”

Di hari berikutnya, Rara Wulan telah menjadi pulih kembali. Ia tidak lagi merasa letih. Kekuatan dan tenaganya pun telah menjadi utuh dalam tataran yang jauh lebih tinggi dari sebelum ia menjalani laku.

Ketika senja turun, maka seisi rumah itu pun telah bersiap-siap untuk pergi ke bukit. Nyi Citra Jati akan memberikan beberapa petunjuk kepada Rara Wulan, apa yang harus dilakukannya untuk melepaskan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Namun baru setelah malam turun, mereka pun meninggalkan rumah. Agar tidak menarik perhatian jika ada tetangga yang kebetulan berada di luar rumah, maka mereka tidak berangkat bersama-sama. Mereka pun mengambil jalan yang berbeda. Namun mereka akan bergabung setelah mereka berada di bulak.

Malam pun menjadi semakin dalam. Langit cerah. Bintang-bintang nampak bergayutan di wajah langit yang biru kehitam-hitaman, sehelai-sehelai mega yang tipis mengalir perlahan-lahan didorong angin dari selatan.

Sekelompok orang, keluarga Ki Citra Jati, berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebuah gumuk kecil.

Di atas gumuk kecil itulah, Nyi Citra Jati menuntun Rara Wulan yang telah menguasai Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu dalam patrap pelaksanaannya di lapangan, agar tidak lagi canggung.

“Kau harus dapat melontarkan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce dalam waktu yang singkat. Jauh lebih singkat dari waktu yang diperlukan oleh mereka yang menguasai Aji Pacar Wutah dari jenis yang lain, apalagi jenis Gundala Wereng. Mereka masih memerlukan serbuk besi atau serbuk batu pualam atau jenis serbuk yang lain. Tetapi Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce tidak memerlukannya lagi. Karena itu, waktu yang kau perlukan tentu jauh lebih singkat.”

Rara Wulan mengangguk. Di Tanah Perdikan Menoreh, Rara Wulan dan Glagah Putih bahkan pernah mengenali jenis Aji Pacar Wutah, yang mempergunakan butiran-butiran besi baja yang dimasukkan ke dalam mulut sebelum dihembuskan ke sasaran.

Malam itu, Rara Wulan telah mencoba mengetrapkan kemampuan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce di luar sanggar. Di tempat yang jauh lebih luas dari sebuah sanggar tertutup.

Rara Wulan memang tidak memerlukan apa-apa lagi yang harus dilontarkan lewat Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Yang dihembuskannya adalah udara yang dihisapnya. Namun dengan kekuatan ilmunya, Rara Wulan mampu melepaskan dalam gumpalan bagaikan cahaya yang meluncur dengan cepatnya, tetapi Rara Wulan mampu pula menghembuskan udara yang seakan-akan telah berubah menjadi butiran-butiran lembut yang berwarna putih kehijauan, yang kemudian mekar seperti hembusan asap air yang mendidih.

Jantung Glagah Putih pun rasa-rasanya ikut mekar pula. Ternyata Rara Wulan mampu mewarisi ilmu yang jarang ada duanya. Dengan ilmu ini pula, Nyi Citra Jati telah membentur kekuatan ilmu Glagah Putih di saat ia menyerang Srini.,

Beberapa kali Rara Wulan telah melepaskan ilmunya. Batu-batu padas di tebing gumuk kecil yang menjadi sasarannya, ternyata telah pecah berserakan.

Nyi Citra Jati pun memeluk Rara Wulan sambil berdesis, “Kau adalah anakku yang pertama dapat mewarisi ilmuku seutuhnya. Bahkan kau telah menjalani laku pada jalur kedua. Sedangkan hasilnya melampaui harapanku. Itu mungkin sekali terjadi, karena sejak sebelumnya, kau sudah memiliki bekal yang matang.”

“Tidak, Ibu,” sahut Rara Wulan, “semuanya adalah karena kemurahan hati Ibu.”

“Apakah yang dapat aku perbuat, jika kau sendiri tidak berbuat apa-apa.”

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih.”

Nyi Citra Jati itu pun kemudian berpaling kepada Padmini dan Pamekas sambil berkata, “Sejak sekarang kalian harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kalian juga akan segera dipersiapkan untuk mewarisi Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Tetapi tentu tidak melalui jalur kedua. Kalian akan memerlukan waktu yang lebih panjang dari mbokayumu Rara Wulan, karena bekal yang ada pada kalian jauh lebih sedikit dari bekal yang telah ada di dalam diri mbokayumu Rara Wulan.”

Padmini dan Pamekas mengangguk-angguk. Meskipun mereka sadar bahwa waktu yang mereka perlukan masih panjang, tetapi mereka sudah merasa gembira bahwa mereka juga akan mendapat limpahan warisan ilmu yang tinggi itu.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin larut. Untuk beberapa saat lamanya mereka beristirahat di atas gumuk kecil itu. Angin semilir mengusap tubuh-tubuh yang berkeringat itu.

Sedikit lewat tengah malam, maka mereka pun bangkit berdiri dan berjalan pulang.

Seperti pada saat mereka berangkat, maka mereka memasuki padukuhan lewat jalur jalan yang berbeda. Seandainya mereka bertemu atau dilihat orang, tidak akan terlalu menarik perhatian.

Hampir bersamaan mereka memasuki regol halaman rumah mereka. Namun terasa sesuatu bergetar di dada mereka. Ada yang tidak wajar telah terjadi di rumah itu.

Sebenarnyalah, demikian mereka masuk lewat pintu butulan yang hanya digerendel dari luar, mereka terkejut. Mereka segera melihat perabot rumah mereka berantakan. geledeg-geledeg bambu terguling. Beberapa perkakas dan alat-alat rumah tangga rusak. Sebagian dari perkakas bala pecah, telah pecah berserakan di lantai. Bahkan alat-alat dapur pun rasa-rasanya telah dibongkar. Beberapa bagian telah digali. Bahkan gentong tempat air pun telah pecah pula. Sedangkan tanah di bawah gentong itu pun telah digali pula sedalam pinggul seseorang.

“Apakah yang terjadi?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Agaknya dongeng celaka itu, Nyi.”

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Sementara Pamekas pun bertanya, “Apakah mereka mencari tubuh kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang telah kami kuburkan itu, Ayah?”

“Tentu tidak. Jika itu yang mereka cari, maka mereka akan menggali gundukan-gundukan tanah di kebun belakang, di bawah rumpun bambu. Mereka tentu sudah menduga bahwa kawan-kawan mereka yang terbunuh kita kuburkan di sana, tidak di kuburan padukuhan ini, agar tidak membuat persoalan yang berkepanjangan dengan Ki Bekel.”

“Jadi?”

“Dongeng tentang harta karun itu.”

Nyi Citra Jati terhenyak duduk di atas amben bambu di ruang dalam. Sudah sedemikian kuatnya kuku iblis mencengkam jantung Srini. Dongeng tentang harta karun itu adalah sumber dari mala petaka ini. Nyi Citra Jati sadar, bahwa Srini pun termasuk korban dari dongeng harta karun itu. Setelah Gunung Lamuk berhasil membuat Srini tergila-gila kepadanya dan memilih untuk hidup bersama Gunung Lamuk serta meninggalkan orang tuanya, maka langkah kedua pun telah dimulainya pula. Mencari harta karun itu.

Sementara itu, Ki Citra Jati yang kemudian duduk di sebelah Nyi Citra Jati pun berkata, “Sudahlah, Nyi. Kita harus menjalani lorong kehidupan kita yang penuh dengan duri-duri tajam ini. Justru karena itu, kita tidak boleh berhenti memohon. Mudah-mudahan masih ada pintu yang terbuka bagi masa mendatang yang lebih baik bagi keluarga kita. Mudah-mudahan ada sepeletik sinar terang di hati Srini.”

“Tetapi mungkin sebelum Srini sadar dari racun yang membiusnya, kita sudah benar-benar dibunuhnya. Gunung Lamuk akan dapat minta kepada gurunya yang gila itu untuk mengajak kawan-kawannya yang tentu juga gila, untuk benar-benar membunuh kita dan mencari harta karun itu di rumah dan halaman rumah ini.”

“Bukankah kita tidak pernah beranjak dari kepercayaan bahwa hidup mati seseorang berada di tangan-Nya?”

Nyi Citra Jati mengangguk kecil sambil berdesis, “Ya, Kakang.”

“Nah, agaknya Srini memang selalu mengawasi regol halaman rumah ini. Agaknya Srini tahu, bahwa kita seisi rumah ini telah keluar dan pergi ke gumuk kecil itu. Kesempatan itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya.”

“Namun dengan demikian, Srini dan Gunung Lamuk mengerti bahwa harta karun itu tidak lebih dari sebuah dongeng ngaya wara, karena mereka tidak menemukan apa-apa di sini. Sebenarnya Srini pun dapat berkata kepada mereka, bahwa Srini sendiri belum pernah melihat harta karun itu.”

“Mereka tentu tidak percaya. Bahkan Srini sendiri tentu menjadi tidak percaya pula.”

Anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berdiri termangu-mangu. Tetapi mereka tidak dapat berkata apa-apa. Apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan, yang kehadirannya di rumah itu justru paling akhir.

“Sudahlah,” berkata Ki Citra Jati kepada anak-anak angkatnya, “beristirahatlah. Besok kita akan mengatur rumah kita yang berserakan ini.”

Anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu pun bergantian pergi ke pakiwan untuk mencuci kaki dan tangan mereka sebelum mereka naik ke pembaringan.

Namun Setiti dan Baruni yang pertama-tama pergi ke pakiwan, terkejut melihat segundukan tanah yang baru saja digali di bawah sebatang pohon yang dipergunakan untuk menyangkutkan senggot timba di sebelah sumur.

Baruni dan Setiri mendekati gundukan tanah itu. Agaknya seseorang telah menggali tanah di bawah pohon itu, sebagaimana mereka lakukan di dalam rumah dan di dapur.

“Kita beritahukan Ayah dan Ibu,” berkata Baruni.

“Kita mencuci tangan dan kaki lebih dahulu,” sahut Setiti.

Nyi Citra Jati dan Ki Citra Jati mendengarkan laporan Setiti dan Baruni dengan sungguh-sungguh. Namun Ki Citra Jati itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Biar esok pagi kita lihat seluruh halaman dan kebun di belakang. Mungkin masih ada tempat-tempat lain yang digali oleh Srini dan orang-orangnya untuk mencari harta karun itu.”

Anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra itu pun mengangguk-angguk pula.

“Sekarang, jika kalian ingin pergi ke pakiwan, pergilah. Masih ada sisa malam sedikit.”

Setelah membersihkan diri, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya telah pergi ke bilik masing-masing. Di bilik belakang, Pamekas tidak dapat lagi memejamkan matanya. Berbagai macam angan-angan berbaur di kepalanya. Kegelisahannya atas sikap mbokayu angkatnya, namun juga kegembiraan dan harapan untuk mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce. Namun Pamekas merasa juga cemas, bahwa sebelum itu terjadi, Srini telah datang membunuhnya.

“Ayah dan Ibu akan melindungiku,” berkata Pamekas di dalam hatinya.

Sementara itu di bilik yang lain, Setiti selalu saja gelisah. Sekali-sekali Padmini berbisik di telinganya, “Tidurlah. Waktumu tinggal sedikit.”

Tetapi Setiti bahkan selalu menggamit Baruni jika Baruni sudah hampir tertidur.

“Aku pindah saja,” desis Baruni sambil bangkit dan berbaring di sisi Padmini yang lain.

“Kenapa Setiti?” bertanya Padmini dengan lembut.

“Entahlah, Mbokayu. Aku tidak dapat tidur.”

“Jika kau tidak dapat tidur, jangan menggangguku,” desis Baruni.

“Aku jadi iri. Kenapa kau langsung dapat memejamkan matamu,” sahut Setiti.

“Sudahlah. Tidurlah.”

Setiti mencoba untuk memejamkan matanya. Namun gadis itu tetap saja tidak dapat tidur.

Namun akhirnya bukan saja Setiti, tetapi Padmini dan Baruni juga hampir tidak tidur sama sekali,

Ketika mereka pagi-pagi bangun dan berbenah diri, maka mereka pun kemudian telah melihat-lihat halaman dan kebun belakang. Ternyata ada beberapa tempat yang telah digali. Agaknya Srini dan orang-orangnya benar-benar menduga Ki Citra Jati menyimpan harta karun yang jumlahnya tidak terhitung.

“Jika saja aku dapat bertemu Srini,” berkata Nyi Citra Jati.

“Kenapa jika kau dapat bertemu dengan Srini?” bertanya Ki Citra Jati.

“Aku akan mempersilahkannya bersama orang-orangnya untuk mencari harta karun itu. Tidak usah dengan sembunyi-sembunyi. Bukankah kita tidak berkeberatan jika Srini dan orang-orangnya menggali di seluruh sudut tanah pekarangan, dan bahkan di dalam rumah sekalipun?”

“Ya. Aku tidak berkeberatan.”

“Tetapi dimana kita dapat menjumpainya?”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam iapun berkata, “Kita tidak dapat berbuat apa-apa.”

Nyi Citra Jati mengangguk-angguk kecil. Ia mencoba untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Namun di luar sadarnya, tangannya telah mengusap matanya yang basah.

“Sudahlah, Nyi. Marilah kita benahi isi rumah kita. Kita atur kembali perabot rumah kita yang berserakan. Biarlah anak-anak menimbun kembali tanah yang sudah digali semalam.”

Nyi Citra Jati mengangguk kecil.

Bersama Padmini, Setiti dan Baruni, Nyi Citra Jati telah mengatur kembali perabot rumahnya yang berserakan. Dikumpulkannya gerabah yang pecah berserakan di ruang dalam dan di dapur.

Sementara itu, Ki Citra Jati, Glagah Putih dan Pamekas sibuk menimbun galian tanah yang berserakan. Sedangkan Rara Wulan mendapat tugas untuk mengumpulkan, melipat dan mengatur kembali pakaian mereka yang bertebaran di mana-mana.

Hari itu, seisi rumah Ki Citra Jati menjadi sibuk. Tidak untuk berlatih olah kanuragan. Tetapi untuk merapikan isi rumah mereka yang berserakan.

Namun kemudian Baruni dan Setiti harus sibuk di dapur dengan alat yang masih tersisa. Merebus air, menanak nasi serta menyiapkan lauk pauknya.

Ketika matahari mulai turun, Ki Citra Jati serta seisi rumahnya baru selesai. Setelah membersihkan diri, maka mereka pun duduk di ruang dalam bersama-sama untuk makan siang.

Tidak banyak yang mereka bicarakan pada saat mereka makan. Baru kemudian setelah mereka selesai, Nyi Citra Jati itu pun berkata, “Aku tidak ingin membuat kalian kehilangan selera pada saat kalian makan, Karena itu, maka aku baru akan membicarakan setelah kalian selesai makan,”

Anak-anak angkat Nyi Citra Jati itu pun mendengarkannya dengan seksama.

“Jika Ki Citra Jati sependapat, kita beri kesempatan Srini untuk mencari harta karun itu sepuas-puasnya.”

“Maksudmu, Nyi?” bertanya Ki Citra Jati.

“Kita tinggalkan tempat ini. Kita akan tinggal di tempat yang baru.”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Dimana kita akan tinggal, Nyi? Rumah dan pekarangan ini adalah satu-satunya tempat tinggal milik kita.”

“Kita tidak akan pergi selama-lamanya, Kakang. Kita hanya ingin memberi kesempatan kepada Srini. Biarlah kita tinggalkan rumah dan pekarangannya barang satu dua bulan.”

“Lalu, selama satu dua bulan, apakah kita harus berkeliaran di bukit padas itu?”

“Kita adalah murid-murid dari sebuah perguruan, Kakang. Perguruan kita memang sebuah perguruan kecil. Kecil dalam arti tidak banyak orang yang berguru di perguruan kita. Tetapi kita dapat berbangga atas keberhasilan beberapa orang di antara kita menggapai ilmu yang tinggi.”

“Maksudmu, kita akan kembali ke perguruan kita itu?”

“Untuk sementara, Kakang. Sekedar memberi kesempatan kepada Srini untuk mencari apa yang tersebut dalam dongeng itu.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Srini justru akan menyangka bahwa kita telah membawa dan menyembunyikan harta karun itu di padepokan. Bukankah dengan demikian berarti kita telah menyeret perguruan kita itu ke dalam persoalan yang tidak ada ujung pangkalnya?”

“Srini telah menempatkan orang-orangnya untuk mengawasi rumah ini. Jika kita pergi, mereka tahu apa yang kita bawa. Mereka tentu membayangkan bahwa harta karun itu berada di dalam sebuah peti yang tidak terlalu kecil. Karena itu, jika kita tidak membawa apapun juga yang mereka curigai sebagai harta karun itu, maka mereka akan menduga bahwa harta karun itu masih berada di rumah ini.”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun ia mengerti maksud Nyi Citra Jati. Ia berharap bahwa dengan demikian, Srini yakin bahwa harta karun itu hanyalah sebuah dongeng saja, sehingga ia tidak lagi dikejar oleh nafsu untuk memilikinya.

Untuk beberapa saat lamanya, Ki Citra Jati merenung. Hampir di luar sadarnya iapun berkata, “Tidak ada lagi orang-orang seumur kita di padepokan itu. Yang sekarang tinggal di sana adalah anak-anak kita. Pemimpin padepokan itu pun masih jauh lebih muda dari kita.”

“Kita hanya akan menumpang satu atau dua bulan saja. Bukankah kita tidak akan mengganggu keseimbangan di dalam padepokan itu?”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku limpahan kekuasaan dari Kakang Brajanata untuk memimpin padepokan itu.”

“Tidak usah, Kakang. Kita langsung saja pergi ke padepokan itu. Mlaya Werdi tentu tidak akan menolak kita sekeluarga.”

“Tetapi bukankah lebih baik aku menemuinya dan memberitahukan kepadanya, bahwa kita sekeluarga akan menumpang untuk sementara di padepokan itu?”

“Itu akan makan waktu, Kakang.”

“Tetapi bukankah itu lebih baik?”

“Kakang selalu banyak membuat pertimbangan-pertimbangan. Lebih baik kita langsung saja berangkat bersama dengan anak-anak kita. Biarlah Srini dan orang-orangnya menggali setiap jengkal tanah di halaman, kebun, bahkan di dalam rumah ini.”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat menolak niat istrinya itu untuk pergi.

“Besok pagi-pagi sekali kita berangkat. Kita akan keluar dari rumah ini sebelum tetangga-tetangga kita bangun.”

K i Citra Jati hanya dapat mengangguk-angguk saja.

Hari itu adalah hari terakhir mereka berdiri merenungi pohon soka yang sedang berkembang. Baruni-lah yang menanam pohon soka itu. Setiap hari disiraminya, pagi dan sore. Ketika kuncup-kuncup bunga yang berwarna kemerahan-merahan mulai nampak ujung ranting-rantingnya, Baruni menjadi sangat gembira. Namun tiba-tiba saja ia harus meninggalkannya.

Baruni terkejut ketika tiba-tiba saja Setiti sudah berdiri di belakangnya. Katanya, “Bukankah kita akan kembali lagi, Baruni? Jika kita kembali kelak, bunganya tentu sedang mekar.”

“Kasihan kembang yang baru kuncup ini, Setiti. Tidak ada yang akan menyiramnya. Mungkin batangnya akan layu. Kuncup bunga itu akan runtuh sebelum mekar.”

“Tidak. Pohon soka itu akan dapat bertahan. Akarnya sudah jauh menghunjam ke dalam bumi. Pohon soka ini tidak akan mati.”

Baruni menarik nafas dalam-dalam.

“Marilah,” Setiti pun menggandeng Baruni masuk ke dapur.

Malam itu, seisi rumah itu tidak segera dapat tidur. Ada kegelisahan yang menyelinap di dada mereka. Rasa-rasanya sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan rumah itu.

Tetapi Nyi Citra Jati ingin memberi kesempatan kepada Srini untuk membuktikan, apakah dongeng yang didengarnya tentang harta karun itu benar atau tidak.

Meskipun demikian, setelah setiap jengkal tanah digalinya tanpa menemukan apa-apa, Srini masih saja dapat mengira bahwa harta karun itu telah disembunyikan di tempat yang lain.

Padmini masih duduk di bibir pembaringan sampai menjelang tengah malam. Baruni dan Setiti sudah berbaring sejak mereka memasuki bilik mereka.. Tetapi Baruni dan Setiti pun tidak juga segera dapat tidur.

“Tidurlah,” berkata Padmini kepada mereka, “besok kita akan bangun pagi-pagi sekali. Ibu menghendaki agar kita berangkat sebelum tetangga kita terbangun.”

“Mbokayu,” desis Baruni, “apakah dengan demikian, para pengikut Mbokayu Srini melihat kepergian kita? Bukankah ibu ingin agar mereka tahu bahwa kita tidak membawa harta karun itu, sehingga Mbokayu Srini akan mencarinya di sini.”

“Nampaknya Mbokayu Srini memasang orang-orangnya untuk mengawasi kita siang dan malam. Bahkan setiap saat. Kita tidak tahu, di mana mereka bersembunyi. Meskipun seandainya dikehendaki, Ayah dan Ibu tentu akan dapat menemukannya.”

Setiti-lah yang kemudian berkata, “Tentu bukan atas kehendak Mbokayu Srini sendiri.”

“Ya, iblis sudah merasuk ke dalam jiwanya. Kakang Gunung Lamuk-lah yang telah menyusupkan iblis itu ke dalam jiwa Mbokayu Srini,”

“Gunung Lamuk sendiri-lah iblis itu, Mbokayu,” desis Setiti.

Padmini memandang Setiti sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk. Katanya, “Ya. Gunung Lamuk sendiri-lah iblis itu.”

“Kasihan Mbokayu Srini. Sebelum ia kenal dengan Gunung Lamuk, Mbokayu Srini adalah seorang gadis yang baik.”

“Ibu dan Ayah juga kasihan,” sahut Baruni.

“Sudahlah. Tidurlah,” potong Baruni.

“Kau sendiri tidak tidur, Mbokayu?”

Padmini menarik nafas panjang. Namun iapun membaringkan dirinya pula di antara Baruni dan Setiti.

Pamekas juga merasa gelisah. Tetapi karena ia sendiri di dalam biliknya, maka ia hanya dapat merenungi langit-langit. Sekali-sekali terdengar ia berdesah. Namun kemudian dicobanya untuk memejamkan matanya.

Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Yang terdengar kemudian adalah derik belalang di rerumputan.

Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan juga tidak segera dapat tidur, namun mereka sudah berbaring di pembaringannya. Sekali-sekali masih terdengar mereka berkata-kata. Namun suara mereka tidak terdengar dari luar bilik mereka.

“Aku juga bukan seorang penurut,” desis Rara Wulan, “aku seakan-akan juga lari dari rumah. Tetapi aku masih tetap seorang anak bagi ayah dan ibuku.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Tetapi bukankah kedua orang tuamu tidak berkeberatan?”

“Ya. Meskipun bagi mereka bukan yang terbaik.”

Glagah Putih tidak menyahut.

Beberapa saat kemudian, rumah itu benar-benar menjadi sepi. Tidak lagi terdengar suara seseorang. Bahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun telah berada di dalam bilik mereka pula. Keduanya saling berdiam diri, dicengkam oleh angan-angan mereka masing-masing.

Ketika ayam berkokok untuk yang ketiga kalinya, maka seisi rumah itu sudah siap. Pamekas sudah menyiapkan kuda mereka. Agaknya Pemekas tidak sampai hati meninggalkan kuda mereka di dalam kandang. Sementara itu, sepasang lembu mereka masih berada di rumah seorang tetangga yang menggarap sawah mereka. Adalah kebetulan sawah mereka itu sedang dibajak. Daripada hilir mudik mengambil dan mengembalikan sepasang lembu yang dipergunakan untuk membajak setiap hari, maka Ki Citra Jati telah membiarkan lembunya berada di rumah tetangganya itu.

“Jika pada saatnya ia datang untuk mengembalikan sepasang lembu itu, tetapi didapatinya rumah ini kosong, maka ia tentu akan membawa lembu itu kembali ke rumahnya,” berkata Ki Citra Jati pada saat mereka berangkat meninggalkan rumah mereka.

Baruni-lah yang terakhir keluar dari regol halaman rumahnya. Ia masih menyempatkan diri menyiram pohon soka yang ditanamnya. Jauh lebih banyak dari biasanya. Seakan-akan Baruni ingin menyediakan minum bagi pohon sokanya untuk dua bulan mendatang.

Seperti yang pernah mereka lakukan, maka mereka tidak bersama-sama melewati satu jalur jalan. Mereka telah keluar dari padukuhan itu melalui tiga jalur jalan.

Namun ketika matahari terbit, mereka telah bergabung kembali. Tetapi mereka sudah berjalan semakin jauh dari tempat tinggal mereka.

“Tetangga-tetangga kita tentu akan terkejut,” berkata Ki Citra Jati.

“Kita sudah terbiasa pergi,” sahut Nyi Citra Jati.

“Tetapi biasanya ada yang tinggal di rumah.”

“Kita sedang dalam keadaan tidak biasa.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam.

Sebelum berangkat, Pamekas juga sudah melepaskan kambing-kambingnya Mudah-mudahan rumput di kebun belakang mencukupi. Jika tidak, maka kambing-kambing itu tentu akan turun ke jalan. Seorang remaja yang tinggal di ujung jalan, akan mengenali kambing-kambing itu, karena anak itulah yang sering menggembalakannya di padang rumput. Sedangkan beberapa puluh ekor ayam akan dapat mencari sendiri makannya di halaman dan di kebun belakang.

Demikianlah, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati telah membawa enam orang anak angkatnya, dua orang di antaranya adalah suami istri, berjalan menyusuri jalan menuju ke sebuah padepokan yang jauh. Di antara anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, yang pernah mengunjungi padepokan itu baru Padmini dan Pamekas. Setiti dan Baruni masih belum pernah pergi ke padepokan itu. Apalagi Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Citra Jati pun berkata kepada Glagah Putih, “Kita menjadi semakin jauh dari Wirasari.”

Tetapi yang menyahut adalah Nyi Citra Jati, “Bukankah tidak apa-apa, Ngger? Meskipun jaraknya menjadi jauh, namun kalian akan mendapat kesempatan lebih luas untuk melihat-lihat keadaan Wirasari.”

“Aku bermaksud mengantarkan Glagah Putih ke Wirasari.”

“Jika demikian, bukankah kebetulan jika Rara Wulan bersama kami akan berada di padepokan.”

“Terima kasih, Ibu. Tetapi aku ingin ikut Kakang Glagah Putih pergi ke Wirasari,” desis Rara Wulan.

“Kenapa kau juga harus pergi? Aku setuju jika Glagah Putih saja diantar oleh ayahmu pergi melihat-lihat keadaan Wirasari. Bukankah K i Saba Lintang sudah tidak ada di Wirasari?”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak, sementara Glagah Putih yang menjawab, “Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ayah. Tetapi bukankah lebih baik jika kami berdua saja-lah yang pergi? Kami tidak ingin terlalu merepotkan Ayah dan Ibu.”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Seorang yang sudah tua, kadang-kadang masih juga ingin melakukan sesuatu yang berarti. Seorang yang merasa dirinya sudah tidak berarti sama sekali, maka ia akan merasa pula bahwa hidupnya sudah berhenti.”

“Tetapi orang lain berharap untuk dapat menikmati hari-hari tuanya dengan tenang.”

“Mungkin,” Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku juga ingin hidupku tenang di hari tua, Glagah Putih. Tetapi aku tidak kehilangan greget.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia akan membicarakannya setelah mereka sampai di padepokan yang belum pernah dilihatnya itu.

“Jalan ini menuju ke Cengkalsewu, kita berbelok ke kiri. Kita akan sampai di padepokan.”

“Di senja hari kita akan sampai,” berkata Pamekas.

“Ya. Kurang atau lebih sedikit.”

Rara Wulan yang mendengar pembicaraan keduanya pun kemudian berjalan di sebelah Padmini sambil bertanya, “Apakah kau pernah tinggal di padepokan itu, Padmini?”

“Belum, Mbokayu. Tetapi aku pernah pergi ke sana bersama Pamekas, Mbokayu Srini dan Ayah serta Ibu. Kami hanya beberapa hari berada di padepokan itu.”

“Ada berapa orang cantrik atau mentrik di padepokan itu?”

“Tidak banyak, Mbokayu. Padepokan itu padepokan kecil saja. Apalagi setelah Ayah dan Ibu serta saudara-saudara seangkatannya berpencar. Nampaknya perguruan yang sekarang dipimpin oleh Kakang Mlaya Werdi itu menjadi semakin surut dibanding dengan masa-masa sebelumnya, pada saat Ayah dan Ibu masih berada di perguruan itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Belum tentu jika perguruan kecil itu menjadi semakin surut. Kebesaran sebuah perguruan tidak hanya diukur oleh jumlah murid yang berguru di perguruan itu. Tetapi juga orang-orang berilmu yang telah dihasilkannya.”

Padmini pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku hanya menirukan penilaian Ayah dan Ibu atas padepokan itu. Bahkan Ayah dan Ibu menyatakan keprihatinannya atas surutnya perguruan mereka itu.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, mereka berjalan terus di teriknya cahaya matahari. Semakin lama terasa semakin panas. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang sudah menjadi semakin tua itu berjalan di depan. Tidak ada tanda-tanda bahwa keduanya ingin berhenti untuk beristirahat.

Padmini sekali-sekali berpaling kepada kedua adiknya yang berjalan di belakang, Setiti dan Baruni. Keduanya masih berjalan secepat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Keduanya juga tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka sudah menjadi letih.

Meskipun demikian, setiap kali keduanya mengusap keringat yang membasahi kening.

Glagah Putih dan Pamekas-lah yang kemudian berjalan di paling belakang, sambil mengamati Setiti dan Baruni.

Bahkan Padmini dan Rara Wulan pun kemudian berjalan di sebelah-menyebelah mereka berdua pula.

“Apakah kalian letih?” bertanya Padmini hampir berbisik.

Tetapi keduanya menggeleng sambil berdesis hampir berbarengan, “Tidak, Mbokayu.”

“Jika kau letih, biarlah aku menyampaikannya kepada Ayah dan Ibu. Kita akan beristirahat barang sebentar.”

“Tidak. Kami tidak letih,” sahut Setiti.

Padmini menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.

Sementara itu Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang sedang merenungi anak kandungnya yang lepas dari kendali itu, agaknya tidak sempat menghiraukan anak-anak angkatnya yang berjalan mengikuti mereka. Angan-angan mereka sepenuhnya dicengkam oleh kegelisahan mereka memikirkan anak kandung mereka yang terperosok ke dalam kuasa iblis.

Matahari pun merayap ke sisi barat langit. Panasnya bagaikan membakar bulak yang luas di sekeliling mereka. Di depan mereka terbentang jalan yang panjang seakan-akan menusuk cakrawala.

Akhirnya Padmini yang melihat wajah Setiti dan Baruni yang bagaikan terbakar itu, memberanikan diri untuk menyampaikannya kepada Nyi Citra Jati, meskipun Setiti dan Baruni sendiri sebenarnya berkeberatan.

“Kami tidak letih, Mbokayu,” berkata Setiti.

Tetapi Padmini mengusap pipi Baruni sambil berdesis, “Pipimu merah seperti terbakar. Keringatmu membuat pakaianmu seperti direndam air.”

Baruni tidak menjawab.

“Ibu,” desis Padmini ketika ia sudah berada selangkah di belakang Nyi Citra Jati.

Nyi Citra Jati berpaling sambil bertanya, “Ada apa, Padmini?”

“Nampaknya Baruni dan Setiti menjadi letih, meskipun mereka tidak mengatakannya.”

Nyi Citra Jati terkejut. Tiba-tiba saja ia sadar, bahwa mereka berjalan bersama Setiti dan Baruni. Karena itu, maka ia menghampiri Setiti dan Baruni. Ditepuknya wajah kedua anak angkatnya itu sambil berkata, “Aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri, Setiti dan Baruni. Kita akan beristirahat. Kalian lihat segerumbul pepohonan itu? Kita akan berteduh. Jika saja di gerumbul itu ada air. Jika tidak, maka di padukuhan di depan, kita akan mendapatkan air.”

“Kami tidak letih, Ibu,” berkata Setiti.

Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, “Kau lihat pategalan itu? Biasanya di pategalan terdapat sumur.”

Setiti dan Baruni tidak menolak. Sehingga dengan demikian, maka Ki Citra Jati dan keluarganya itu pun berjalan menyusuri jalan sempit menuju ke segerumbul pepohonan di pategalan.

“Mudah-mudahan di sekitar segerumbul pepohonan di pategalan itu terdapat air. Pemilik pategalan itu tentu tidak akan marah jika kita hanya sekedar minta minum.”

Beberapa saat mereka sampai ke pategalan itu. Mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan, yang nampaknya suami istri, sedang duduk berteduh di bawah pepohonan yang rindang. Agaknya mereka sedang beristirahat setelah menyiangi tanaman di pategalan itu.

Ternyata mereka melihat sebuah sumur dan senggot timba di atasnya.

Melihat beberapa orang yang datang menghampiri pategalannya, suami istri itu pun segera bangkit berdiri, menyongsong ke mulut pagar bambu yang mengelilingi pategalannya.

“Maaf, Ki Sanak,” Ki Citra Jati-lah yang berjalan di paling depan, “kami sedang dalam perjalanan ke Cengkalsewu. Anak-anak kami kehausan di perjalanan. Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, kami minta air.”

“O,” laki-laki itu mengangguk-angguk, “silahkan, silahkan Ki Sanak. Airku tidak akan kering seberapapun banyaknya kalian minum.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” sahut Ki Citra Jati, yang kemudian berkata kepada anak-anaknya, “atas kebaikan hati pemilik pategalan ini, kalian diperkenankan mengambil air untuk minum.”

“Tidak hanya untuk minum,” berkata pemilik pategalan, “jika ada di antara kalian akan mandi, silahkan. Sumurku airnya cukup dalam meskipun di musim kering. Aku membuat sumur itu di mangsa ketiga ngerak.”

Pamekas-lah yang kemudian menimba air untuk saudara-saudaranya. Mereka memang tidak hanya minum, tetapi mereka telah mencuci muka mereka, sehingga terasa tubuh mereka menjadi segar.

“Apakah kalian tinggal di Cengkalsewu?” bertanya pemilik pategalan itu.

“Saudara kami tinggal di Cengkalsewu, Ki Sanak,” jawab Ki Citra Jati.

Pemilik pategalan itu mengangguk-angguk. Tetapi orang itu memang tidak banyak bertanya.

Demikianlah, setelah beristirahat sejenak, serta tubuh mereka sudah menjadi segar kembali, maka mereka pun segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

“Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih, Ki Sanak,” berkata Ki Citra Jati kemudian.

Ki Citra Jati sekeluarga itu masih menempuh perjalanan beberapa lama. Seperti yang mereka perkirakan, maka ketika senja turun, mereka sudah menjadi semakin dekat dengan padepokan yang mereka tuju. Mereka sudah meninggalkan jalan yang menuju ke Cengkalsewu, berbelok ke kiri. Dalam keremangan cahaya matahari senja, mereka melihat seleret bayangan hutan di kejauhan.

Tetapi mereka tidak akan berjalan sampai ke hutan itu. Dari hutan itu, padepokan yang mereka tuju itu masih diantarai oleh sebuah padang perdu yang luas, sawah, serta pategalan yang digarap oleh para penghuni padepokan itu atas ijin Ki Demang di Cengkalsewu.

Senja pun semakin lama menjadi semakin kelam. Ketika mereka mendekati pintu gerbang padepokan, maka jantung Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menjadi berdebar-debar. Sudah agak lama mereka tidak pergi ke padepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi, murid tertua dari Ki Brajanata, kakak seperguruan Ki Citra Jati, yang mendapat limpahan kekuasaan atas padepokan itu dari guru mereka.

Dari kejauhan mereka melihat sebuah oncor terpasang di salah satu tiang regol halaman padepokan yang dikelilingi oleh dinding yang agak tinggi. Dinding yang dibuat dari potongan-potongan balok kayu yang berdiri berjajar rapat. Kayu yang ditebang dari hutan di seberang padang perdu. Yang satu sama lain diikat dengan tali ijuk yang kuat.

“Itulah padepokan itu,” desis Pamekas.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Padepokan itu cukup luas.”

“Tidak terlalu banyak orang yang tinggal di padepokan itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Di Jati Anom, padepokan yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing adalah padepokan yang tidak lebih besar dalam ukuran kewadagan dengan padepokan itu.”

“Apakah Kakang berasal dari padepokan itu?”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Aku tidak berasal dari sebuah padepokan. Aku berguru kepada kakak sepupuku dan kepada orang-orang berilmu yang lain, tanpa harus tinggal di sebuah padepokan. Sebagaimana Rara Wulan berguru kepada Ibu sekarang ini.”

Pamekas itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga tidak tinggal di sebuah padepokan.”

“Ya. Kau berguru kepada Ibu sebagaimana saudara-saudara kita yang lain.”

“Kepada Ibu dan kepada Ayah. Ibu dan Ayah adalah saudara seperguruan. Tetapi perkembangan ilmu mereka berbeda.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah iapun berkata, “Meskipun kemudian timbul perbedaan karena pengaruh lingkungan, pengalaman dan tantangan yang pernah dihadapinya, tetapi dasar-dasar ilmunya tentu sama. Karena itu, kalian tidak mengalami kesulitan meskipun kalian harus berlatih sekali-sekali bersama Ayah dan sekali-sekali bersama Ibu.”

“Kakang,” Pamekas itu bersungguh-sungguh, “bagaimana Kakang dapat dengan cepat menyesuikan diri, berlatih bersama Ayah untuk dapat menguasai permainan rinding itu? Bagaimana pula Mbokayu Rara Wulan tidak mengalami benturan di dalam dirinya, pada saat ia menjalani laku untuk mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce itu?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kami yang menjalani laku, serta Ayah maupun Ibu yang menuntun kami sampai pada patrap, mampu menyesuaikan diri. Pada saat kami mulai, maka kami saling mempelajari unsur-unsur yang ada pada ilmu kami masing-masing. Karena kami sudah menguasainya dengan baik, maka kami dapat memilih pada kesempatan serta jalur yang paling sesuai. Kami masing-masing harus mampu menyusup di celah-celah hambatan yang mungkin ada. Karena itu kami memerlukan waktu untuk saling menyesuaikan diri. Semakin berat laku yang harus dijalani, maka semakin banyak diperlukan waktu untuk menyesuaikan diri itu.”

Pamekas mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat bertanya lagi. Mereka sudah berada di regol halaman padepokan.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang berjalan di paling depan berhenti di depan pintu regol yang sedikit terbuka, sehingga dengan demikian yang lain pun telah berhenti pula.

“Sudah lama aku tidak menginjakkan kakiku di halaman padepokan ini,” berkata Ki Citra Jati, “mudah-mudahan padepokan ini dapat menerima kita semuanya dengan baik.”

“Tentu,” Nyi Citra Jati-lah yang menjawab, “bukankah kita tidak berniat buruk?”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk,

Perlahan-lahan Ki Citra Jati mendorong pintu regol. Semakin lama semakin lebar. Halaman itu nampak sepi. Yang nampak adalah pepohonan dan gerumbul-gerumbul pohon bunga yang bagaikan membeku di keremangan senja.

Mereka melihat di pendapa bangunan induk padepokan itu lampu minyak sudah menyala. Bahkan di beberapa bangunan yang lain pun lampu minyak telah menyala pula.

“Sepi, Nyi,” desis Ki Citra Jati. “Marilah. Kita pergi ke pendapa.”

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anak angkatnya itu pun segera melangkah ke pendapa, meskipun ada perasaan ragu di hati mereka.

Namun dalam pada itu, mereka pun terkejut. Tiba-tiba saja pintu regol padepokan itu berderit.

Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat pintu regol halaman padepokan itu menutup rapat. Terdengar derak selarak pintu yang agaknya telah dipasang dari luar.

“Ada apa?” Padmini berdesis.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun berhenti. Mereka saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Citra Jati itu pun berkata, “Marilah. Kita tidak berniat buruk.”

Beberapa langkah mereka berjalan. Namun mereka pun berhenti lagi, ketika mereka melihat seseorang keluar dari pintu pringgitan, berjalan melintasi pendapa dan berhenti di tangga.

“Berhenti di situ,” berkata orang yang berdiri di tangga itu.

“Mlaya Werdi,” Ki Citra Jati pun menyapanya, “apakah kau lupa kepadaku, kepada bibimu, dan kepada adik-adikmu yang ada di antaranya pernah aku ajak kemari?”

Namun ketika Ki Citra Jati melangkah maju, maka sekali lagi Mlaya Werdi itu pun berkata, “Berhenti di situ, Paman. Jangan maju lagi.”

“Ada apa, Mlaya Werdi?”

“Kami akan menangkap Paman, Bibi, dan adik-adikku yang datang bersama Paman dan Bibi. Maaf. Tetapi kami harus melaksanakannya. Aku adalah penguasa di padepokan ini. Kedudukanku sah, Paman. Paman dan Bibi tahu itu.”

“Ya, aku tahu. Kau adalah pemimpin padepokan ini. Kedudukanmu sah. Kau menerima apa yang seharusnya kau terima.”

“Paman dan Bibi jangan berpura-pura.”

“Ada apa sebenarnya di sini, Ngger?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Sampai hari ini aku masih mempercayai Paman dan Bibi serta adik-adikku semuanya. Tetapi hanya sampai pagi tadi.”

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Nyi Citra Jati. “Apakah adikmu Srini datang kemari?”

Mlaya Werdi menggeleng. Katanya, “Tidak. Srini tidak datang kemari.”

“Lalu apa yang telah terjadi?”

Mlaya Werdi tidak menjawab. Namun iapun segera memberi isyarat dengan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Tiba-tiba saja dari balik pepohonan, dari balik gerumbul-gerumbul pohon bunga, dari balik perdu, berloncatan beberapa orang dengan senjata di tangan.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya terkejut. Hampir di luar sadar, mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

“Paman dan Bibi,” berkata Mlaya Werdi, “aku tahu bahwa Paman dan Bibi adalah sepasang suami isteri yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi apapun yang terjadi, kami akan mempertahankan diri.”

Ki Citra Jadi yang berdebar-debar itu pun bertanya, “Mlaya Werdi. Apa sebenarnya yang telah terjadi di sini? Katakan. Mungkin kami dapat memberikan penjelasan.”

“Paman dan Bibi tidak usah berpura-pura. Sekarang, Paman, Bibi dan adik-adik menyerahlah untuk kami tangkap, atau kami harus mempergunakan kekerasan.”

“Mlaya Werdi,” berkata Ki Citra Jati, “baiklah, kami menyerah. Jika kalian ingin menangkap kami, tangkaplah. Kami tidak akan melawan, meskipun kami tidak tahu persoalannya.”

“Sudahlah, Paman. Kenapa Paman masih saja berpura-pura? Jika Paman ingin menghancurkan kami, lakukanlah. Tetapi sudah aku katakan, bahwa kami akan mempertahankan diri.”

“Ngger, Mlaya Werdi,” berkata Nyi Citra Jati, “sebenarnyalah kami datang untuk mengungsi. Kami ingin menumpang di padepokan ini. Tiba-tiba saja kami menjumpai persoalan yang memang sebenarnya tidak kami mengerti.”

Pembicaraan itu terhenti. Dari ruang dalam pada bangunan induk itu keluar seseorang yang sudah seumur dengan Ki Citra Jati. Demikian ia keluar, sebelum ia melewati pringgitan, orang itu sudah berteriak, “Kakang Citra Jati! Meskipun Kakang dan Yu Citra Jati memiliki ilmu tanpa tanding, namun untuk kepentingan anak-anak aku bersedia menjadi banten. Kakang dan Yu Citra Jati tidak usah berpura-pura lagi. Mari, kita akan menakar ilmu. Mungkin akan banyak jatuh korban di pihak kami. Tetapi itu tidak akan mengendorkan niat kami menangkap dan menahan Kakang dan Yu Citra Jati.”

“Adi Wasesa,” sapa Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati hampir berbareng.

“Kakang dan Mbokayu masih mengenal aku. Aku datang untuk melindungi padepokan ini sejauh dapat aku lakukan.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati saling berpandangan sejenak. Dengan nada rendah Nyi Citra Jati berkata, “Kau benar, Kakang. Seharusnya Kakang lebih dahulu datang kemari menemui Mlaya Werdi.”

“Sudahlah,” berkata Ki Citra Jati, yang kemudian berkata lantang, “Mlaya Werdi dan kau, Adi Wasesa. Kami menyerah! Kami tidak akan melawan.”

“Jangan mencoba menjebak kami, Kakang.”

Ki Citra Jati menarik nafas panjang. Katanya, “Jadi apa yang harus kami lakukan? Kalian minta kami menyerah. Ketika kami menyatakan menyerah, kalian curiga bahwa kami akan menjebak kalian.”

Mlaya Werdi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata kepada para cantrik, “Ikat mereka dan bawa ke barak ketiga. Jangan dilepaskan ikatan tangan mereka. Jaga barak itu baik-baik.”

Beberapa orang pun segera berlari-lari mengepung Ki Citra Jati beserta istri dan anak-anaknya

Meskipun jantung mereka merasa bergejolak, namun mereka harus menyerahkan pergelangan tangan mereka untuk diikat dengan tali yang kuat. Anyaman lawe.

Bukan saja tangan mereka diikat, tetapi senjata yang ada pada mereka pun telah diambil pula Demikian pula pedang di lambung Glagah Putih dan Rara Wulan.

Sejenak kemudian, Ki Citra Jati sekeluarga telah didorong masuk ke dalam salah satu barak di padepokan itu. Barak yang berbeda dengan barak-barak yang lain. Jika barak yang lain dindingnya dibuat dari anyaman bambu, maka barak yang satu itu berdinding papan kayu yang tebal. Pintunya juga tebal, diselarak dari luar.

Di dalam barak itu sama sekali tidak terdapat amben atau lincak bambu. Yang ada hanyalah beberapa helai tikar yang sudah digelar di lantai.

“Maafkan aku, Kakang,” desis Nyi Citra Jati, setelah mereka duduk di atas tikar pandan yang sudah digelar itu.

“Sudahlah, lupakan. Sekarang, apakah sebaiknya kita lepaskan tali-tali pengikat tangan kita atau tidak?”

“pakah ikatan ini dapat dilepaskan?”

“Kita akan mencoba saling melepaskan. Kita dapat beradu punggung untuk melepas ikatan tali itu.”

“Ikatan itu kuat sekali.”

“Tetapi kita tidak akan banyak mengalami kesulitan.”

Tetapi Nyi Citra Jati menggeleng. Katanya, “Sebaiknya kita tidak melepaskan tali pengikat tangan kita. Biarlah kita menunjukkan kepada mereka bahwa kita memang berniat baik.”

Anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak ada seorangpun yang berpendapat. Glagah Putih dan Rara Wulan pun membiarkan tangan-tangan mereka terikat. Sambil duduk bersandar dinding kayu yang tebal, Padmini pun berdesis, “Apakah Kakang Glagah Putih dan Mbokayu Rara Wulan pernah mengalami perlakuan seperti ini?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Bukanlah pengalaman itu guru yang baik bagi kita”

Padmini mengangguk sambil berdesis, “Ya Jika kita dapat keluar dari padepokan ini dengan selamat, maka yang terjadi ini akan menjadi pengalaman yang baik. Tetapi jika tidak?”

“Kita akan dapat keluar dari padepokan ini. Agaknya hal ini mereka lakukan karena telah terjadi satu peristiwa yang menyakitkan bagi mereka.”

Padmini mengangguk-angguk. Sementara itu Baruni menjadi gelisah. Sambil mendesak-desak Setiti, Baruni itu berkata perlahan, “Setiti. Punggungku gatal sekali. Banyak nyamuk di sini. Aku tidak dapat menggaruknya.”

Setiti berusaha untuk dapat menggapai punggung Baruni. Meskipun agak kesulitan, tetapi Baruni pun akhirnya berdesis, “Terima kasih.”

Pamekas-lah yang kemudian bertanya kepada Ki Citra Jati, “Apakah semalam suntuk kita akan selalu dalam keadaan terikat?”

“Mudah-mudahan tidak, Ngger. Tetapi untuk sementara tahankanlah dahulu.”

Beberapa saat kemudian, terdengar suara selarak pintu itu diangkat. Pintu itu pun berderit terbuka. Dua orang berdiri di pintu sambil membawa tombak pendek di tangan mereka.

Sejenak kedua orang itu memandang orang-orang yang berada di dalam bilik itu. Dalam keremangan cahaya lampu minyak, keduanya melihat bahwa tangan-tangan mereka yang berada di dalam bilik itu masih terikat.

“Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati diminta menghadap Ki Mlaya Werdi di bangunan utama.”

Keduanya termangu-mangu sejenak. Sementara Padmini pun berdesis, “Kenapa Ayah dan Ibu harus menghadap Kakang Mlaya Werdi?”

Nyi Citra Jati-lah yang kemudian berbisik, “Sudahlah, Padmini. Tidak apa-apa. Biarlah kami mendapat kesempatan untuk mengetahui, kenapa kita mendapat perlakuan seperti ini.”

Padmini tidak menjawab. Sementara itu Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun segera melangkah keluar dari dalam bilik yang berdinding papan kayu yang tebal itu.

Keduanya pun telah digiring oleh bukan hanya dua orang cantrik, tetapi di luar bilik itu telah menunggu beberapa orang dengan senjata siap di tangan.

Demikian Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu dibawa ke bangunan induk padepokan itu, maka pintu bilik itu pun telah diselarak kembali.

“Tanganku mulai terasa pedih,” berkata Baruni.

“Ini tidak akan lama, Baruni,” berkata Padmini menenangkan hati adiknya.

“Aku akan melepaskannya,” berkata Setiti.

Tetapi Padmini mencegahnya. Katanya, “Ayah dan Ibu minta agar kita membiarkan tali pengikat tangan kita.”

Setiti tidak menjawab. Baruni pun terdiam. Namun ia masih saja nampak gelisah.

Dalam pada itu, Ki Citra Jadi dan Nyi Citra Jati yang tangannya masih saja terikat, telah dibawa ke pendapa bangunan induk. Di pendapa bangunan induk itu telah menunggu Mlaya Werdi dan Ki Wasesa. Sementara itu, di sekitar pendapa itu para cantrik berjaga-jaga dengan senjata telanjang di tangan.

“Mlaya Werdi,” berkata Ki Citra Jati setelah ia duduk di pringgitan, “apakah kau tidak berniat kita dapat berbicara dengan baik?”

“Kenapa Kakang dan Mbokayu tidak melepas ikatan itu? Aku yakin bahwa Kakang dan Mbokayu akan dengan mudah melakukannya.”

“Kalian-lah yang mengikat tanganku. Biarlah kalian yang membukanya.”

“Kakang dan Mbokayu ingin memperlihatkan bahwa Kakang dan Mbokayu datang kemari dengan maksud baik?”

“Ya.”

“Sayang. Kami sudah tidak dapat dikelabuhi dan dijebak lagi.”

“Sebenarnyalah bahwa aku tidak dapat mengerti, kenapa kalian memperlakukan kami seperti ini,” berkata Nyi Citra Jati kemudian.

“Kakang dan Mbokayu Citra Jati. Aku ingin kalian menjawab dengan jujur. Untuk apa Kakang dan Mbokayu datang kemari?”

“Adi Wasesa dan kau, Mlaya Werdi. Aku berkata sebenarnya, bahwa aku datang ke padepokan ini untuk mengungsi.”

“Mengungsi? Jadi Kakang dan Mbokayu itu mengungsi?”

“Ya. Kami telah berselisih dengan anak kandung kami. Karena itu, kami justru ingin pergi barang sebulan dari rumah kami.”

“Kakang dan Mbokayu,” berkata Ki Wasesa, “jika Kakang dan Mbokayu ingin berbohong, karanglah sebuah cerita yang lebih masuk akal, sehingga orang lain yang mendengarkannya akan dapat mempercayainya.”

“Terserahlah kepadamu, Adi Wasesa. Tetapi itulah yang terjadi.”

“Kakang dan Mbokayu. Aku kira tidak ada gunanya kami berbicara panjang lebar. Sekarang, katakan yang sebenarnya, kenapa Kakang dan Mbokayu berpihak kepada Pandunungan.”

“Pandunungan? Kenapa dengan Pandunungan?”

“Jangan berpura-pura, Kakang. Kalian datang dengan anak-anak Kakang tentu atas permintaan Pandunungan, yang tidak mampu melakukannya sendiri.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati saling berpandangan sejenak. Serba sedikit mereka dapat menguak rahasia tingkah laku para penghuni padepokan itu. Agaknya Pandunungan-lah yang telah menyebabkannya, apapun alasannya.

“Adi Wasesa,” berkata Ki Citra Jati, “aku tidak dapat memaksa agar Adi Wasesa dan Mlaya Werdi mempercayaiku. Mungkin saja kalian menganggap aku berpura-pura. Tetapi tolong katakan, apa yang telah dilakukan oleh Pandunungan.”

“Apakah Pandunungan tidak mau mengatakan alasannya, pada saat ia minta bantuan Kakang dan Mbokayu? Apakah Kakang dan Mbokayu tidak bertanya kepadanya, atau lebih lagi menilai kebenaran ceritanya, pada saat Kakang dan Mbokayu menyatakan kesediaan kalian untuk membantunya?”

“Entahlah, apa yang harus aku katakan. Tetapi katakan, apa yang terjadi antara kalian dan Pandunungan?”

“Mungkin yang terjadi berbeda dengan apa yang dikatakannya kepada Kakang. Pandunungan datang untuk mengambil padepokan ini. Ia merasa lebih berhak dari Mlaya Werdi, karena Pandunungan adalah murid sekaligus kemenakan Kakang Brajanata. Sementara itu Mlaya Werdi hanya murid Kakang Brajanata, tanpa ada hubungan darah.”

“Tetapi bukankah segala sesuatunya tergantung kepada Kakang Brajanata?” sahut Ki Citra Jati, “Sedangkan Kakang Brajanata telah menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepada Mlaya Werdi, muridnya yang tertua.”

“Nah, bukankah Kakang tahu? Kenapa Kakang masih datang membantu Pandunungan?”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara Nyi Citra Jati-pun berkata, “Jadi itulah sumber dari sikap permusuhan kalian?”

“Kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, Bibi,” sahut Mlaya Wardi, “tetapi aku akan tetap menjunjung tinggi kewajiban yang dibebankan oleh Guru, Ki Brajanata itu, kepadaku, apapun yang akan terjadi.”

“Aku mengerti.”

“Pandunungan yang tidak berhasil menguasai padepokan ini dengan kekerasan, telah mengancam untuk segera kembali lagi. Pandunungan berjanji untuk minta bantuan sesepuh padepokan ini yang sependapat dengan sikapnya.”

“Pada situasi yang panas itu, kami telah datang ke padepokan ini.”

“Ya, Paman dan Bibi tentu yang dimaksud oleh Pandunungan sebagai sesepuh yang sependapat dengan sikapnya itu.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara Mlaya Werdi berkata selanjutnya, “Pada saat yang gawat, kami telah menghubungi Paman Wasesa, salah seorang sesepuh yang tempat tinggalnya terdekat dengan padepokan ini.”

“Sekarang sudah jelas bagi kami,” berkata Ki Citra Jati, “ternyata telah terjadi salah paham. Ketahuilah, bahwa aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan Pandunungan. Apalagi Pandunungan itu minta bantuan kepadaku untuk melakukan kekerasan atas padepokan ini. Kalian tentu tahu, bahwa kami berdua termasuk cikal bakal di padepokan yang terhitung baru ini. Sudah tentu bahwa kami tidak akan dapat mengkhianatinya. Guru kami telah menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepada Kakang Brajanata. Kemudian Kakang Brajanata telah menyerahkannya kepada Mlaya Werdi. Jadi kenapa aku ikut-ikutan menentang keputusan yang sah itu? Apalagi kami tahu siapakah Pandunungan itu. Ia seorang yang mempunyai gegayuhan yang terlalu tinggi, yang kadang-kadang tidak menghiraukan cara-cara yang ditempuhnya, apakah itu pantas atau tidak.”

“Kau dapat berkata begitu setelah kau, Mbokayu dan anak-anakmu kami tangkap. Jika saja kami tidak berhati-hati, maka kalian tentu akan menghancurkan padepokan ini. Membunuh kami semuanya, dan memberikan kesempatan kepada Pandunungan untuk menguasai padepokan ini. Entah dengan imbalan apa yang dijanjikan kepada kalian untuk melakukannya. Bahkan kami tahu, bahwa sekarang Pandunungan telah berada tidak jauh dari padepokan ini bersama orang-orangnya. Sesaat lagi, mereka akan segera datang menduduki padepokan ini.”

“Jangan menyakiti telingaku, Adi,” desis Ki Citra Jati.

“Kau telah menyakiti hatiku. Hati kami yang setia kepada padepokan dan perguruan kita, Kakang.”

“Jangan berkala begitu, Adi,” potong Nyi Citra Jati, “kami masih berusaha untuk menahan diri.”

“Apa yang dapat Paman dan Bibi lakukan? Jika Paman dan Bibi merasa mampu untuk berbuat sesuatu, Paman dan Bibi serta adik-adikku itu tentu sudah melakukannya.”

“Mlaya Werdi,” berkala Ki Citra Jati, “dengarlah. Jika kami berpihak kepada Pandunungan, kenapa kami tidak datang bersama-sama dengan Pandunungan dan orang-orangnya? Bukankah dengan demikian kami akan lebih cepat menguasai padepokan ini, karena kekuatan kami tidak terpecah?”

“Bukankah Paman dan Bibi terkenal cerdik pada saat Paman dan Bibi berada di padepokan ini? Paman dan Bibi datang lebih dahulu dengan dalih apapun. Apakah karena Paman dan Bibi berselisih dengan Srini, atau alasan yang lain. Kemudian dengan isyarat, Paman dan Bibi memanggil Pandunungan dengan orang-orangnya. Pada saat mereka menyergap padepokan ini, dari dalam Paman dan Bibi berusaha menghancurkan pertahanan kami.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kecurigaanmu telah mengaburkan penalaranmu.”

“Sudahlah, Paman dan Bibi. Aku minta Paman dan Bibi menjawab, apakah alasan Paman dan Bibi membantu Pandunungan merebut kepemimpinan di padepokan ini? Apakah Paman dan Bibi tidak puas melihat kepemimpinanku sekarang, dan menganggap bahwa aku tidak mampu memegang kedudukan ini? Jika demikian, kenapa Paman dan Bibi tidak berterus terang? Sebagai sesepuh di padepokan ini, Paman dan Bibi dapat menunjuk cacatku dengan berterus terang. Tetapi tidak dengan cara yang Paman dan Bibi lakukan bersama Pandunungan sekarang ini.”

Betapapun Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menyabarkan diri, namun terasa bahwa darah mereka mulai menjadi panas pula. Namun keduanya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak kehilangan akal.

Dengan suara yang mulai bergetar Ki Citra Jati berkata, “Mlaya Werdi. Terserah kepadamu. Kau percaya kepadaku atau tidak. Tetapi ketahuilah, jika aku mau, maka aku, bibimu dan adik-adikmu, tanpa Pandunungan dan barangkali orang-orangnya, kami dapat menghancurkan padepokan ini. Sampai saat ini aku masih meyakini bahwa kau bukan orang yang berkepala kosong. Apalagi di sini ada Adi Wasesa, juga salah seorang sesepuh padepokan ini. Tetapi jika kepala kalian hanya berisi angin, maka aku tidak akan dapat mengekang diri. Jangan mengira bahwa pada saat kami menyerahkan pergelangan tangan kami, kami merasa tidak mampu melawan kalian. Aku mengerti, bahwa Adi Wasesa sudah menguasai kemampuan tertinggi padepokan ini. Dan bahkan mungkin sudah berkembang jauh. Sedangkan Mlaya Werdi juga sudah membekali dirinya dengan puncak ilmu perguruan ini. Tetapi aku yakin, bahwa kemampuan kalian tidak akan melampaui kemampuanku dan bibimu. Mlaya Werdi, jangan menyebut lagi nama Pandunungan. Aku akan mencoba menahan diri. Tetapi jika kau mau mencoba kemampuanku dan bibimu serta anak-anakku, marilah. Aku berjanji, sebelum tengah malam padepokan ini sudah aku bersihkan, meskipun sekarang tangan kami berdua terikat. Tetapi tali lawe ini memang bukan apa-apa bagiku.”

Kata-kata Ki Citra Jati itu ternyata telah menghentak jantung Mlaya Werdi dan Ki Wasesa. Terasa gejolak telah mengguncang isi dada mereka. Sementara itu, Nyi Citra Jati pun berkata, “Mlaya Werdi. Aku yakin bahwa kesadaranmu masih utuh, Ngger..Jangan kau manjakan gejolak perasaanmu. Apa yang dikatakan pamanmu itu benar. Jika kami kehilangan kesabaran, maka sebelum tengah malam, kami berjanji untuk menyapu padepokan ini sampai bersih tanpa berurusan dengan Pandunungan.”

Mlaya Werdi tidak segera dapat menjawab. Sementara itu, Ki Wasesa pun menjadi semakin berdebar-debar. Di dalam keremangan cahaya lampu di pendapa, mereka melihat wajah Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mulai menjadi tegang.

“Kakang,” berkata Ki Wasesa, “Jadi Kakang tidak berhubungan dengan Pandunungan?”

“Aku sudah bicara banyak. Terserah kepadamu, apakah kau percaya atau tidak.”

Ki Wasesa itu pun kemudian berpaling kepada Mlaya Werdi. Dengan nada dalam iapun bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu, Mlaya Werdi?”

Mlaya Werdi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Kenapa Paman dan Bibi tidak memutuskan tali itu?”

“Kau mau melepaskan atau tidak? Jika tidak, maka aku memang akan memutuskan tali ini. Demikian pula bibimu. Tetapi ingat, Mlaya Werdi. Jika kami sendiri yang memutuskan tali pengikat tangan kami, maka orang-orang yang ada di sekitar pendapa ini akan menjadi korban. Mungkin mereka tidak tahu, kenapa mereka harus kau korbankan. Atau mereka yang terbunuh akan merasa menjadi pahlawan. Tetapi kematian mereka adalah sia-sia. Mereka menjadi korban ketakutanmu menghadapi tantangan Pandunungan, sehingga kalian justru mendorong kami untuk berpihak kepadanya.”

Mlaya Werdi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun membungkuk dalam-dalam sehingga dahinya menyentuh lantai. Katanya, “Paman dan Bibi, aku mohon ampun. Seperti yang Paman katakan, jantungku dicengkam oleh ketakutan yang sangat menghadapi ancaman Pandunungan, yang akan kembali bersama para sesepuh yang mendukung niatnya mewarisi padepokan ini.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang dalam Ki Citra Jatipun berkata, “Lepaskan ikatan tanganku, Mlaya Werdi. Demikian pula ikatan tangan bibimu itu.”

Ketika Mlaya Werdi beringsut. Ki Citra Jati sempat memberi isyarat kepada Nyi Citra Jati dengan kedipan matanya, sementara Nyi Citra Jati pun mengangguk kecil.

Ketika Mlaya Werdi akan melepaskan ikatan tangan Ki Citra Jati, jantungnya berdesir. Tali lawe yang mengikat tangan Ki Citra Jati itu sudah rontok menjadi abu. Demikian pula tali lawe yang mengikat tangan Nyi Citra Jati.

“Aku mohon ampun, Paman dan Bibi. Jika Paman dan Bibi akan menghukum kami, hukumlah aku. Hukuman apapun yang akan Paman dan Bibi jatuhkan kepadaku, akan aku jalani. Tetapi jangan hancurkan padepokan ini.”

“Aku tidak berwenang menghukummu, Mlaya Werdi. Kau-lah pemimpin padepokan ini.”

Jantung Mlaya Werdi benar-benar terguncang. Jika Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati benar-benar akan melakukan sebagaimana dikatakannya, bahwa jika mereka sendiri yang memutuskan tali pengikat tangannya maka orang-orang yang berada di sekitar pendapa akan mati. Sebelum tengah malam padepokan itu akan disapu bersih.

“Kami mohon ampun,” minta Mlaya Werdi.

Ki Citra jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah Mlaya Werdi. Kau adalah seorang pemimpin. Betapapun kecilnya padepokanmu, tetapi kau mempunyai kekuasaan di sini. Karena itu, berhati-hatilah mengambil keputusan. Kesalahan yang kau lakukan dalam kedudukanmu sebagai seorang pemimpin, akibatnya tidak hanya akan menimpa dirimu sendiri. Tetapi orang-orang yang berada di bawah pimpinanmu akan mengalaminya juga.”

“Ya, Paman.”

“Aku juga minta maaf, Kakang. Ternyata aku seorang tua yang tidak berpikiran panjang.”

“Sudahlah, Di. Agaknya kau dihadapkan pada satu masalah yang tiba-tiba saja harus ikut kau tangani. Lupakanlah. Tolong, lepaskan tali pengikat anak-anakku. Meskipun mereka dapat melepasnya sendiri, namun mereka tidak akan melakukannya. Kecuali dalam keadaan yang memaksa.”

“Baik, Paman. Biarlah aku sendiri yang melepasnya, agar tidak timbul salah paham dengan orang-orangku.”

Mlaya Werdi sendiri-lah yang pergi ke barak yang khusus itu. Sambil minta maaf kepada anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, Mlaya Werdi telah melepaskan tali yang masih mengikat pergelangan tangan mereka.”

Baruni yang terasa pedih di pergelangan tangannya berkata, “Kakang Mlaya Werdi. Jika dikehendaki, Kakang Glagah Putih dan Mbokayu Sekar Mirah tidak hanya dapat melepas tali pengikat tangannya, tetapi mereka dapat meruntuhkan barak ini dan bahkan bangunan induk itu.”

“Aku minta maaf atas kesalahpahaman ini.”

“Tetapi kau sudah menyakiti aku. Sakit di tanganku tidak seberapa terasa. Tetapi sakit di hatiku?”

Padmini-lah yang menggamitnya sambil berkata, “Sudahlah, Kakang. Jika Ayah dan Ibu berniat melupakannya, kami pun akan melupakannya.”

Mlaya Werdi itu pun kemudian telah minta anak-anak Ki Citra Jati itu untuk ikut duduk di pendapa bersama dengan ayah dan ibu mereka.

“Aku sudah mengantuk. Aku akan berada di sini saja. Aku ingin tidur,” berkala Baruni.

Padmini-lah yang kemudian menggandengnya sambil berkata, “Marilah. Kita pergi bersama-sama Jika kau ingin tidur, nanti tidurlah di pendapa.”

Baruni tidak membantah. Ia ikut saja berjalan digandeng oleh Padmini ke pendapa.

“Duduklah,” berkata Nyi Citra Jati setelah anak-anaknya berada di pendapa. “Telah terjadi salah paham. Tetapi kakakmu Mlaya Werdi telah dapat mengerti tentang kita. Tentang kedatangan kita, serta meyakini bahwa kedatangan kita tidak ada hubungannya dengan Pandunungan. Bukankah kau pernah mendengar nama Pandunungan? Salah seorang diantara kakak-kakakmu.”

Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni memang pernah mendengar nama itu. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan belum. Tetapi keduanya tidak bertanya.

“Nampaknya kakakmu Pandunungan telah membuat persoalan dengan kakakmu Mlaya Werdi, sehingga terjadi benturan kekerasan. Nah, kakakmu Mlaya Werdi mengira bahwa kita berdiri di pihak Pandunungan. Kita dalang kemari atas permintaan Pandunungan.”

Anak-anak Ki Citra Jati itu mengangguk-angguk. Tetapi sekali-sekali mereka masih mengusap pergelangan tangan mereka yang terasa pedih.

Baru sejenak kemudian, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mendapat kesempatan untuk menceritakan alasan mereka datang ke padepokan itu.

“Sebenarnya kami merasa malu, menceritakan cacat di tubuh sendiri. Tetapi aku tidak ingin terjadi salah paham.”

Ki Wasesa mengangguk-angguk kecil. Dengan nada datar iapun bertanya, “Jadi, Kakang dan Mbokayu meninggalkan rumah sekedar untuk memberi kesempatan kepada Srini membongkar seluruh sudut pekarangan, kebun dan bahkan lantai rumah?”

“Ya. Biarlah mereka puas.”

“Srini tidak akan puas. Meskipun agaknya gagasan itu tidak tumbuh di dalam hati Srini. Tetapi tentu di hati suaminya.”

“Ya.”

“Jika mereka tidak menemukan apa-apa di rumah itu, tentu mereka mengira bahwa harta benda itu sudah Kakang sembunyikan.”

“Jangankan menyembunyikan, dongeng itu justru baru kami dengar kemudian. Aku tidak tahu sama sekali tentang harta benda yang disimpan itu. Bahkan nama-nama yang disebut dalam dongeng itu sama sekali tidak aku kenal pula.”

“Jadi bagaimana mungkin dongeng seperti itu dapat timbul? Bahkan seakan-akan begitu jelasnya sisilah Kakang sebagai pewaris harta kekayaan yang sangat besar itu.”

“Itulah yang membingungkan aku.”

Ki Wasesa itu mengangguk-angguk. Sementara Mlaya Werdi pun berkata, “Ternyata Paman serta Bibi sedang dalam keprihatinan. Untunglah bahwa Paman dan Bibi tidak kehabisan kesabaran, sehingga Paman dan Bibi masih dapat mengekang diri meskipun Paman dan Bibi sendiri sedang menghadapi persoalan yang berat. Sekali lagi kami mohon maaf, Paman. Kami mohon maaf, Bibi dan adik-adik.”

“Sudahlah. Sekarang berilah kami tempat Dimana saja. Kami tidak menyebut tempat yang mana. Asal kami dapat berada di padepokan ini barang tiga rmpat pekan, untuk memberi kesempatan kepada Srini menggali harta karun yang dipercayainya ada itu.”

“Silahkan, Paman. Jangankan tiga empat pekan. Bahkan selamanya, jika Paman dan Bibi menghendaki.”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Tidak selamanya. Pada suatu saat kami akan kembali pulang.”

Mlaya Werdi pun kemudian memerintahkan kepada dua orang cantrik untuk mempersiapkan tempat bagi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sekeluarga

Sejenak kemudian, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya itu telah ditempatkan pada sebuah barak yang terletak agak di belakang. Tetapi barak kecil itu bersih dan mempunyai kelengkapan sendiri. Ada ruang yang dapat dipergunakan sebagai dapur. Ada sebuah bilik yang dapat digunakan oleh Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, serta sebuah ruang yang memanjang bagi anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Demikian mereka berada di barak itu, Baruni langsung merebahkan dirinya. Matanya pun segera terpejam.

“Ia tidak mencuci kakinya lebih dahulu,” desis Setiti.

“Biarlah nanti aku bangunkan,” jawab Padmini, “biarlah yang lain mencuci kaki lebih dahulu.”

Berganti-ganti mereka pergi ke pakiwan. Baru yang terakhir, Padmini membangunkan Baruni dan membawanya ke pakiwan untuk membersihkan kakinya.

Baruni yang mengantuk itu berjalan dengan mata terpejam, sehingga Padmini berkali-kali harus mengguncang-guncangnya

Baru ketika terasa dinginnya air di kakinya, Baruni itu membuka matanya.

“Aku mengantuk sekali, Mbokayu.”

“Cuci kaki dan tanganmu. Lalu kau boleh tidur sampai esok pagi.”

Demikian mereka memasuki baraknya, Baruni langsung menjatuhkan dirinya pula di sebuah amben yang besar. Sekejap kemudian Baruni itu sudah tertidur lagi.

“Biarlah ia tidur,” berkata Nyi Citra Jati, “agaknya Baruni lelah sekali.” Lalu katanya kepada Setiti, “Tidurlah, Ngger. Kau tentu juga letih.”

“Ya, Ibu. Tetapi bukankah yang lain juga letih?”

“Tentu, Setiti. Yang lain pun akan segera tidur juga. Aku dan ayahmu juga akan segera tidur.”

Tetapi sebelum Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati masuk ke dalam bilik, pintu barak itu pun diketuk dari luar.

Pamekas-lah yang membuka pintu itu. Ternyata tiga orang cantrik membawa nasi, sayur dan lauk pauknya.

“Silahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sekeluarga makan lebih dahulu. Tetapi nasinya sudah dingin.”

“Terima kasih,” sahut Nyi Citra Jati, “kami telah membuat kalian menjadi sibuk.”

“Tidak apa-apa, Nyi. Silahkan.”

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya kemudian duduk di amben yang besar itu melingkar untuk makan bersama.

Baruni yang sudah tertidur itu pun dibangunkan pula untuk ikut makan bersama-sama.

“Bukankah kita memang lapar?” desis Pamekas.

Padmini tertawa. Katanya, “Ya. Kita memang lapar.”

“Meskipun nasi dingin, tetapi sayurnya telah dipanasi,” desis Setiti.

“Sudahlah. Makanlah,” desis Ki Citra Jati.

Sejenak kemudian, keluarga yang sedang mengungsi itu pun makan bersama-sama. Glagah Putih dan Rara Wulan makan pula sebagaimana saudara-saudara angkatnya.

Setelah mereka selesai serta mengumpulkan mangkuk-mangkuk yang kotor serta nasi, sayur dan lauk yang tidak habis itu dan meletakkannya di paga bambu yang rendah, maka mereka pun telah bersiap-siap untuk tidur. Setelah perut mereka menjadi kenyang, maka mereka pun merasa menjadi semakin mengantuk pula

Namun Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati minta agar ada di antara mereka yang tetap terjaga bergantian.

“Biarlah aku lebih dahulu,” berkata Glagah Putih, “tidurlah. Nanti jika aku mengantuk dan tidak tertahankan lagi, aku akan membangunkan Pamekas.”

“Baiklah,” berkata Pamekas, “bangunkan aku kapan saja, Kakang.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun segera masuk ke dalam bilik yang tidak terlalu luas di ujung barak itu. Sementara yang lain berbaring, Glagah Putih duduk bersandar dinding.

“Tidurlah,” berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan.

Rara Wulan mengangguk. Sementara Padmini pun berpesan kepada Pamekas, “Setelah kau, maka gilirannya adalah aku.”

“Ya, Mbokayu. Tetapi aku baru akan tidur.”

Padmini tersenyum. Namun iapun segera memejamkan matanya.

Ketika semuanya tertidur nyenyak, Glagah Putih masih tetap duduk bersandar dinding. Namun Glagah Putih itu tahu, bahwa Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati juga tidak segera tertidur. Sekali-sekali masih terdengar mereka berbicara perlahan. Baru menjelang dini hari, keduanya terdiam. Agaknya salah seorang dari mereka atau bahkan kedua-duanya telah tertidur.

Glagah Putih yang duduk itu sempat merenungi dirinya yang mengemban tugas dari Mataram untuk mencari tongkat baja putih dan membawa ke Mataram. Tongkat baja putih yang dapat disalah-gunakan, sehingga setiap saat dapat menimbulkan persoalan yang dapat meresahkan rakyat Mataram.

Namun mencari tongkat baju putih itu sama sulitnya dengan mencari seekor ikan yang dilepaskan di sebuah sungai yang besar. Seperti seekor ikan wader pari yang dilepaskan di Kali Praga. Meskipun seandainya ikan itu ditandai, namun menelusuri Kali Praga adalah pekerjaan yang sangat rumit.

Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjadi malas untuk melanjutkan tugasnya. Niatnya masih tetap menyala di dadanya sebagaimana saat ia berangkat dari Mataram. Saat ia menyatakan kesediaannya untuk mengemban tugas yang berat itu.

Glagah Putih itu menarik nafas dalam-dalam ketika terdengar sapa di luar biliknya, yang telah dijawab pula dengan kata-kata sandi. Agaknya para cantrik pun berjaga-jaga dengan hati-hati di halaman dan kebun padepokan itu, justru saat padepokan itu mendapat ancaman.

“Mereka cukup berhati-hati,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih melihat Pamekas menggeliat. Setelah tertidur beberapa saat, maka anak muda itu pun telah terbangun. Sambil mengusap matanya, Pamekas itu pun duduk di bibir pembaringan sambil berdesis, “Tidurlah, Kakang. Biarlah aku ganti berjaga-jaga.”

“Kau baru saja tidur. Tidurlah beberapa saat lagi.”

Pamekas menggeleng. Katanya, “Jika aku sudah terbangun, biasanya aku sulit untuk dapat tidur lagi. Tidurlah. Nanti menjelang pagi aku akan membangunkan Mbokayu Padmini. Tetapi rasa-rasanya aku tidak akan mengantuk lagi.”

Glagah Putih tidak menolak. Iapun kemudian berbaring pula. Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih itu pun telah tertidur.

Sementara itu Pamekas telah bangkit berdiri dan berjalan hilir mudik untuk menghilangkan sisa-sisa kantuknya.

Namun ternyata Pamekas kemudian tidak membangunkan Padmini sampai menjelang fajar, sehingga Padmini pun telah bangun sendiri. Bukan hanya Padmini, yang lain-lain pun telah bangun pula.

Hari itu anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mulai berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan. Mlaya Werdi justru telah memberikan kesempatan kepada Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati untuk mengurus keluarga mereka sendiri. Dipersilahkannya Nyi Citra Jati dan anak-anaknya perempuan menyiapkan makan sendiri bagi keluarganya.

“Kami mempunyai kebun sayuran. Kami mempunyai belumbang yang banyak ikannya. Kami mempunyai peternakan ayam, sehingga kita tidak kekurangan daging ayam dan telur. Kami mempunyai kebun kelapa. Kami mempunyai apa saja yang diperlukan.”

Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, “Terima kasih, Mlaya Werdi. Kami hanya menambah beban saja bagi kalian. Tetapi sebenarnyalah kami ingin mencoba memenuhi kebutuhan kami sendiri. Ada sedikit bekal uang yang kami bawa, sehingga kami dapat berbelanja kebutuhan kami sehari-hari. Meskipun demikian, kekurangannya kami tentu akan minta kepadamu. Kepada padepokan ini.”

“Sebetulnya itu tidak perlu. Di sini semuanya mencukupi kebutuhan. Para cantrik menanam kacang panjang, terung, waluh, lombok merah, lombok rawit dan berbagai macam sayuran yang lain.”

“Terima kasih. Kami tentu akan memerlukannya pada suatu saat. Tetapi bukankah letak pasarnya tidak terlalu jauh dari padepokan ini?”

“Ada pasar kecil di padukuhan sebelah, bibi. Tetapi pasar itu hanya ramai di hari pasaran. Di hari-hari biasa pasar itu hanya dikunjungi orang sedikit saja. Meskipun demikian, di pasar itu tersedia kebutuhan-kebutuhan pokok yang diperlukan.”

“Baiklah. Kapan-kapan aku akan pergi ke pasar.”

Ketika Nyi Citra Jati dan anak-anaknya perempuan sibuk mempersiapkan dapur dengan peralatannya, sementara Glagah Putih dan Pamekas mengatur perabot barak yang diperuntukkan bagi keluarganya, Ki Citra Jati duduk di pendapa bangunan induk padepokan itu bersama Mlaya Werdi dan Ki Wasesa. Mereka berbincang tentang berbagai macam persoalan yang menyangkut perkembangan padepokan kecil itu.

Namun mereka terkejut ketika dua orang cantrik mengiring tiga orang tamu yang langsung menuju ke pendapa bangunan induk padepokan itu. Seorang di antaranya adalah Pandunungan.

Mlaya Werdi menjadi tegang melihat kehadirannya bersama dua orang yang belum dikenalnya. Iapun segera bangkit berdiri dan mempersilahkan Pandunungan dan dua orang yang datang bersamanya itu naik.

“Marilah, silahkan, Adi Pandunungan,” berkata Mlaya Werdi.

Ketika Pandunungan naik ke pendapa, iapun terkejut ketika ia melihat Ki Citra Jati ada di pendapa itu pula. Di luar sadarnya iapun bertanya, “Jadi Paman juga ikut campur?”

Ki Citra Jati justru tersenyum. Katanya, “Duduklah dahulu, Pandunungan. Kita sudah lama tidak bertemu.”

“Aku tahu kalau Paman Wasesa ada di sini. Tetapi agaknya Kakang Mlaya Werdi telah menghubungi Paman Citra Jati dan minta perlindungan pula.”

Namun sekali lagi Ki Citra Jati berkata, “Duduklah. Kita akan berbicara dengan baik, sebagaimana layaknya sebuah keluarga.”

“Kakang Mlaya Werdi sama sekali tidak bersikap sebagai keluarga. Ia menganggap aku sebagai musuh yang harus dibinasakan. Karena itu, buat apa aku merasa diriku keluarga?”

“Duduklah,” suara Ki Citra Jali terasa berat menekan.

Pandunungan termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian duduk pula tersama kedua orang yang datang menyertainya.

“Sudah lama kita tidak bertemu, Pandunungan. Bukankah kau baik-baik saja selama ini?”

“Ya, Paman,” jawab Pandunungan. Hampir di luar sadarnya iapun bertanya pula, “Bagaimana dengan Paman?”

“Sebagaimana kau lihat.”

“Bagaimana dengan Bibi?”

“Bibimu juga baik-baik saja.”

“Apakah Bibi juga berada di sini sekarang?”

“Ya.”

“Pengecut kau, Kakang Mlaya Werdi. Kau ternyata anak cengeng yang tumbak cucukan. Kau adukan persoalan yang timbul di antara kita kepada sesepuh padepokan kita. Ternyata kau tidak berani mengatasi persolan yang timbul. Sementara itu kau masih juga mengaku bahwa kau adalah pemimpin padepokan ini.”

“Pandunungan,” Ki Citra Jali-lah yang menyahut, “bukan Mlaya Werdi yang datang kepadaku dan memanggil aku dan bibimu. Tetapi adalah kebetulan bahwa aku mempunyai masalah dengan anakku, sehingga aku mengungsi ke padepokan ini. Aku baru malam tadi mengetahui bahwa di padepokan ini telah timbul masalah.”

“Jika demikian, sebaiknya Paman dan Bibi tidak ikut campur. Aku minta Paman dan Bibi untuk sementara menyingkir dari padepokan ini.”

“Jika aku menyingkir, aku harus menyingkir kemana? Aku tidak dapat pulang, karena aku sedang berselisih dengan anakku.”

“Itu hanya omong kosong saja. Seandainya benar, apakah Paman dan Bibi tidak dapat mengatasi anak paman itu? Apakah anak Paman itu seorang yang mampu menjaring angin, sehingga dapat mengalahkan Paman dan Bibi?”

“Tentu tidak, Pandunungan. Ilmu anakku tidak setinggi ilmuku dan ibunya. Jika kami ingin membunuhnya, maka akan semudah memijit ranti. Tetapi kami tidak ingin melakukannya, justru karena ia anakku. Jika saja aku mempunyai persoalan dengan orang lain, maka orang itu tidak akan sempat mengaduh.”

“Omong kosong. Tetapi aku tidak peduli. Meskipun Paman dan Bibi ada di sini, aku akan tetap pada pendirianku. Aku harus menyingkirkan pengecut ini. Ia tidak pantas menjadi pemimpin sebuah padepokan, jika segalanya, bahkan kelangsungan hidupnya, masih harus didukung oleh orang-orang tua. Ketergantungan itu akan merupakan cacat yang tidak dapat dimaafkan.”

“Pandunungan,” sahut Mlaya Werdi, “kau jangan berceloteh seperti itu. Jika kau memang jantan, aku tentang kau berperang tanding. Kita akan menentukan siapakah yang paling pantas memegang pimpinan dipadepokan ini. Aku adalah murid Ki Brajanata yang tertua. Jika ada muridnya yang lebih muda dari aku dan memiliki ilmu yang lebih tinggi, maka aku akan mengalah. Aku akan menyingkir dari padepokan ini dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Tetapi jika ia tidak memiliki ilmu yang lebih tinggi dari aku, maka aku akan bertahan, apapun yang akan terjadi.”

Wajah Pandunungan menjadi tegang. Katanya, “Kau berani sesumbar karena di sini ada Paman Wasesa dan ada Paman Citra Jati.”

“Paman Wasesa dan Paman Citra jati akan berdiri sebagai saksi. Siapakah yang terbaik di antara kita.”

“Kau ingin menjebakku, Kakang. Kedatanganku sekarang ini sebenarnyalah untuk memperingatkanmu. Sampai besok pagi sebelum matahari terbit, kau harus sudah pergi dari padepokan ini. Jika kau masih berada di sini, maka besok aku akan menghancurkanmu.”

“Kau telah mengundang orang lain untuk melibatkan diri dalam persolan antara keluarga kita?”

“Bukan mengundang orang lain, tetapi para sesepuh yang mengerti keadaan sebenarnya dari padepokan ini.”

“Siapakah mereka itu?” bertanya Ki Wasesa.

“Paman Wirapratama, Paman Sura Alap-Alap, dan Paman Mandira Wilis.”

Mlaya Werdi, Ki Wasesa dan Ki Citra Jati terkejut. Dengan nada tinggi Ki Wasesa berkata, “Jadi kau hubungi mereka itu? Pandunungan, kau tentu tahu siapakah mereka itu. Apalagi jika kau mengaku masih mempunyai hubungan darah dengan Kakang Brajanata.”

“Apakah nama itu sangat menakutkan?”

“Bukan karena menakutkan. Tetapi seharusnya kau tahu, apa yang pernah dilakukannya.”

“Mereka adalah orang-orang yang ingin menegakkan keadilan, sebagaimana yang ingin aku lakukan sekarang. Nah, apakah Paman melihat persamaan itu? Justru karena itu, maka mereka sangat memahami cita-citaku. Seorang kawanku ini adalah murid Paman Wirapratama, sedang yang seorang lagi adalah murid Paman Mandira Wilis.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar