Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 338

Buku 338

Pemilik sawah itu pun termangu-mangu. Namun kemudian ia berdesis, “Mudah-mudahan.”

Orang-orang yang pergi ke sawah itu pun kemudian meninggalkan tempat itu, kecuali pemilik sawah itu sendiri. Sedang seorang yang lain, yang ketika ditemui pemilik sawah itu sudah bersiap pergi ke sawahnya, langsung pergi ke sawahnya yang tidak terlalu jauh lagi.

Namun peristiwa itu menjadi pembicaraan ramai di padukuhan. Berita tentang sepasang hantu itu pun segera tersebar. Banyak orang yang menganggap bahwa kehadiran sepasang hantu itu benar-benar telah terjadi.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berjalan semakin jauh dari gubug yang telah menimbulkan keributan itu. Mereka telah melewati bulak-bulak panjang dan beberapa padukuhan ketika matahari menjadi semakin tinggi. Sinarnya terasa menjadi semakin tajam menusuk kulit.

Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus di panasnya sinar matahari. Setiap kali mereka memasuki bayangan dedaunan yang rimbun dari pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan, maka terasa betapa kesejukan mengusap tubuh mereka.

Demikian pula ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang besar. Padukuhan yang nampaknya tenang. Anak-anak bermain dengan riangnya di jalan-jalan padukuhan. Mereka tidak merasa betapa panasnya udara.

Di depan beberapa regol halaman rumah, terdapat gentong berisi air bersih yang memang disediakan bagi para pejalan kaki yang kehausan.

“Kita sekarang kemana, Kakang?”

“Bukankah tujuan kita tidak pernah berubah? Kita pergi ke Wirasari, di seberang Kali Lusi.”

“Masih jauh?”

Glagah Putih mengangguk.

“Perjalanan kita selama ini tersendat, Kakang. Ada-ada saja yang menghambat.”

“Sejak semula kita berniat untuk tidak mencampuri urusan orang lain, agar perjalanan kita rancak. Tetapi kadang-kadang kita tidak dapat menutup mata, jika kita bertemu dengan peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan rasa keadilan kita.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Apakah Ki Saba Lintang masih berada di Wirasari?”

“Kita tidak tahu, Rara. Tetapi kita akan mencoba mencarinya di Wirasari.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Ketika kemudian mereka keluar dari padukuhan itu, maka rasa-rasanya permukaan jalan di hadapan mereka itu menguap. Udara nampak bergetar seperti uap air yang mendidih.

Demikianlah, mereka berdua menempuh perjalanan yang berat. Sekali-sekali mereka berhenti di kedai untuk makan dan minum. Di sore hari mereka berendam di air sungai, selagi masih ada cahaya matahari yang dapat mengeringkan pakaian mereka yang mereka cuci.

Rasa-rasanya tidak ada lagi hambatan di perjalanan mereka. Ketika malam turun, mereka bermalam di banjar sebuah pedukuhan kecil yang tanahnya nampak kering dan tandus. Meskipun demikian, para penghuni padukuhan itu ternyata adalah orang-orang yang ramah.

Di tengah malam, Glagah Putih dan Rara Wulan telah dipersilahkan makan ketela rebus bersama-sama dengan para peronda, yang terdiri dari lima orang laki-laki. Seorang di antara mereka adalah Ki Jagabaya padukuhan itu sendiri.

“Padukuhan kami justru tidak pernah mengalami gangguan apa-apa, anak muda,” berkata Ki Jagabaya.

Namun seorang yang duduk sambil memeluk lutut pun berkata, “Karena padukuhan kita miskin, Ki Jagabaya. Tidak ada pencuri yang berminat memasuki padukuhan ini. Apalagi sekelompok perampok.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-angguk saja. Sekali-sekali mengiyakannya

Setelah makan ketela rebus, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun dipersilahkan tidur di serambi. Di atas sebuah amben bambu yang agak besar, yang di atasnya dibentangkan tikar pandan yang putih.

“Sebagian dari perempuan di padukuhan ini membuat tikar pandan,” berkata Ki Jagabaya. “Di lereng bukit sebelah, banyak terdapat pohon pandan yang dapat diambil daunnya, disisir dan kemudian direbus dengan air leri. Setelah kering, dihaluskan, baru kemudian dianyam.”

“Di sini juga dibuat keba besar dan kecil,” berkata seorang anak muda yang ikut meronda.

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Dengan nada dalam Rara Wulan pun berkata, “Buatannya halus, Ki Jagabaya.”

“Kami harus membuat hasil kerajinan sebaik-baiknya. Sebagian dari hidup kami tergantung kepada kerajinan tangan, karena kami tidak dapat mengandalkan sawah dan petegalan kami, yang lebih sering kering daripada basah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

“Sekarang, tidurlah,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “jika kita masih saja bercerita, maka kalian tidak akan sempat beristirahat.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian ditinggalkan oleh Ki Jagabaya di serambi. Mereka berdua pun segera membaringkan diri di amben yang besar itu.

“Kau tidur dahulu, Rara,” Glagah Putih pun berbisik.

“Bangunkan aku jika kau ingin tidur,” desis Rara Wulan.

“Ya. Nanti aku bangunkan kau.”

Sesaat kemudian, Rara Wulan yang letih itu pun segera tertidur, sementara Glagah Putih tetap terjaga meskipun tubuhnya berbaring di pembaringan.

Rara Wulan dapat tidur nyenyak sampai di ujung dini hari. Baru kemudian Glagah Putih yang juga menjadi sangat mengantuk itu membangunkannya.

“Aku akan tidur sebentar, Rara. Bagaimanapun juga di antara kita harus ada yang terjaga.”

Rara Wulan masih tetap berbaring. Diusapnya matanya. Sebenarnyalah bahwa ia masih mengantuk. Tetapi ia pun ingin memberi kesempatan Glagah Putih untuk tidur.

Di pendapa banjar itu masih terdengar para peronda berbincang-bincang untuk menahan kantuk. Suara Ki Jagabaya pun masih jelas terdengar.

Agaknya karena padukuhan itu ternyata aman, maka para peronda tidak merasa perlu untuk berkeliling di tengah malam. Mereka tidak perlu membuat gardu-gardu khusus, sehingga mereka menempatkan para peronda di banjar padukuhan.

Glagah Putih sempat tidur beberapa saat. Ketika fajar menyingsing, maka Glagah Putih pun sudah terbangun.

Ketika Rara Wulan kemudian pergi ke pakiwan, maka Glagah Putih pun menimba air untuk mengisi jambangan itu pula sampai penuh.

Dalam pada itu, para peronda pun telah tidak ada lagi di banjar. Ki Jagabaya juga sudah pulang. Tetapi ia berpesan kepada penunggu banjar itu, untuk membuat minuman hangat bagi kedua orang yang sedang menginap di banjar itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian minta diri, sambil mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan hati penghuni padukuhan itu, yang telah menerima mereka berdua dengan sangat baik serta mengijinkan mereka menginap di padukuhan itu.

Ketika matahari terbit, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sudah keluar dari padukuhan itu. Mereka melihat tiga orang perempuan yang juga keluar dari regol padukuhan.

“Kemana mereka?” desis Rara Wulan.

“Ke pasar. Kau melihat mereka menggendong bakul di punggung.”

“Dimana pasarnya?”

“Aku tidak tahu,” jawab Glagah Putih.

“Aku akan bertanya kepada mereka. Jika mereka benar-benar pergi ke pasar, kita akan pergi bersama mereka.”

Glagah Putih mengangguk.

Sebenarnyalah mereka pun mendekati ketiga orang perempuan yang menggendong bakul di punggungnya itu. Dengan hati-hati Rara Wulan pun bertanya, “Maaf, Nyi. Apakah kalian bertiga akan pergi ke pasar?”

Ketiganya memandang Rara Wulan dengan tajamnya. Bahkan langkah mereka pun telah terhenti pula.

“Kau orang asing di sini?” bertanya salah seorang dari mereka

“Ya, Nyi. Kami adalah pengembara yang baru pertama kali melalui padukuhan ini.”

Ketiga orang perempuan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka pun berkata, “Maaf, siapakah nama kalian berdua?”

“Namaku Wara Sasi, Nyi. Ini kakakku, Warigalit”

“Nama yang bagus,” perempuan itu menyahut. Lalu katanya pula, “Tetapi kami tidak akan pergi ke pasar. Pasarnya jauh dari padukuhan ini. Kami biasanya pergi ke pasar kadang-kadang sepekan sekali. Bahkan kadang-kadang dua pekan sekali. Kami membeli kebutuhan dapur, terutama garam, untuk dua pekan atau lebih. Pasar yang jauh itu hanya ramai setiap hari pasaran.”

“Sekarang bukan hari pasaran itu?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Sekarang bukan hari pasaran.”

“Jadi kalian bertiga akan pergi kemana?”

“Kami akan pergi ke lereng bukit untuk mencari daun pandan. Kami sudah hampir kehabisan. Kemarin kami mendapat pesanan tikar pandan dua lapis sebanyak sepuluh lembar dari padukuhan sebelah. Nampaknya Ki Bekel padukuhan sebelah akan mengadakan perhelatan.” 

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih, Nyi. Kami mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.”

“Semalam kalian tidur dimana? Sepagi ini kalian sudah ada di sini. Apakah semalam kalian berjalan tanpa berhenti?”

“Semalam kami bermalam di banjar padukuhan ini, Nyi. Kebetulan Ki Jagabaya sedang mendapat giliran ronda semalam.”

“Jadi semalam kalian ada di banjar?”

“Ya, Nyi.”

“Sekarang kalian akan pergi kemana?”

“Kami akan meneruskan pengembaraan kami.”

Ketiga orang perempuan itu mengangguk-angguk.

“Sudahlah, Nyi. Kami mendahului.”

“Silahkan, Wara Sasi dan Warigalit.”

Rara Wulan dan Glagah Putih pun kemudian berjalan mendahului ketiga orang perempuan yang akan mencari daun pandan itu.

Mereka mulai memasuki satu lingkungan yang nampaknya tidak begitu bersahabat terhadap penghuni beberapa padukuhan yang tersebar. Tanahnya nampak kering dan tandus, dan berwarna keputihan. Agaknya tanah itu mengandung kapur. Di kejauhan nampak hutan yang tidak terlalu lebat. Pepohonan yang tidak begitu subur, sedangkan daunnya nampak agak kekuning-kuningan, nampak di sela-sela bukit-bukit kecil yang kering.

Rara Wulan memandang alam yang dihadapinya dengan kerut di kening. Mereka berdua akan menempuh perjalanan di lingkungan yang keras itu. Menyusuri jalan yang semakin sempit, yang menghubungkan padukuhan-padukuhan kecil dengan penghuni yang tidak terlalu banyak.

“Kenapa mereka masih juga bertahan tinggal di tempat yang tandus seperti ini, Kakang?” bertanya Rara WuIan.

“Mungkin mereka segan untuk meninggalkan tanah peninggalan leluhur mereka. Mereka merasa dilahirkan dan dibesarkan di tempat itu, sehingga rasa-rasanya sangat berat untuk pergi.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya ” Masih juga ada kotak-kotak sawah dan pategalan di sekitar padukuhan-padukuhan kecil itu. Tetapi sawah itu pun tentu bukan sawah, yang subur.”

“Ya,” sahut Glagah Putih, sambil mengedarkan pandangan matanya ke bukit-bukit kecil yang berserakan. Hutan dengan pepohonan yang daunnya agak kekuning-kuningan, yang seakan-akan terselip-selip di antara perbukitan.

Keduanya pun berjalan terus menyusuri jalan yang panjang terbentang di hadapan mereka. Jalan yang juga menuju ke sela-sela bukit-bukit kecil yang berwarna keputih-putihan.

“Kita akan melintasi daerah berbukit-bukit itu, Kakang?” bertanya Rara Wulan kemudian.

“Ya, Rara. Kita akan pergi ke seberang Pegunungan Kendeng.”

“Agaknya kita tidak akan segera menjumpai padukuhan lagi?”

“Mungkin kita akan menempuh perjalanan panjang di antara bukit dan relung-relung yang mendalam. Daerah yang tidak berpenghuni, dan bahkan kita akan melintasi daerah yang keras dan gundul.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, sinar matahari telah terasa semakin terik. Rasa-rasanya lingkungan yang kering itu telah terpanggang oleh panasnya cahaya matahari yang melewati puncaknya.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan melintas mengikuti jalan setapak di antara bukit-bukit kecil itu, rasa-rasanya dunia menjadi begitu sepinya. Seakan-akan di dunia yang kering dan tandus itu hanya ada mereka berdua saja, yang berjalan bermandi keringat di panasnya sinar matahari.

“Apakah perjalanan ini terasa terlalu berat bagimu, Rara?” bertanya Glagah Putih yang melihat wajah istrinya menjadi kemerah-merahan.

Rara Wulan memandang Glagah Putih sekilas. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil menggeleng, “Tidak, Kakang. Aku sudah berniat untuk ikut bersama Kakang. Tidak ada yang berat, apapun yang harus aku lakukan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya aku tidak menyeretmu ke dalam tugas yang berat ini.”

Rara Wulan pun kemudian berpegangan lengan Glagah Putih, ketika mereka berjalan di jalan setapak yang menanjak naik ke sebuah gumuk kecil. “Bukan kau yang menyeret aku ke dalam tugas ini, Kakang. Tetapi aku memang ingin mempunyai pengalaman yang lebih luas. Bukankah menarik perjalanan tamasya kita sebagai pengantin baru?”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil menjawab, “Ya. Tamasya kita memang sangat menarik.”

Namun langkah mereka pun terhenti. Di depan mereka melintas dengan cepat, seekor ular bandotan yang besar.

“Kakang,” Rara Wulan berpegangan lengan Glagah Putih semakin erat.

“Agaknya di sini memang banyak ular.”

“Aku memang takut terhadap ular sekecil apapun. Lebih baik bertemu seekor harimau daripada seekor ular kecil, yang tiba-tiba mematuk tumit.”

“Hati-hatilah,” pesan Glagah Putih kemudian.

Namun beberapa langkah kemudian, dari balik gerumbul alang-alang seekor ular dakgrama yang lehernya merah juga melintas, menyeberang jalan setapak itu.

Glagah Putih pun kemudian berhenti sambil berkata, “Kita perlu melindungi diri kita dari bisa gigitan ular itu, Rara.”

Rara Wulan pun berhenti pula. Ia tahu bahwa Glagah Putih membawa obat untuk melawan racun.

Dari kampil yang tersangkut di ikat pinggangnya, Glagah Putih mengambil sebuah bumbung kecil. Di dalam bumbung itu ia menyimpan butiran-butiran reramuan, yang dapat melindungi darah selama sekitar sehari semalam.

Dengan menelan butiran reramuan itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan merasa tenang melangkah di rumpun rumput perdu dan batang ilalang yang terdapat di sepanjang jalan setapak, yang nampaknya memang jarang sekali dilalui orang.

Sementara itu, panas matahari terasa semakin menyengat kulit. Tanah yang berbatu kapur itu telah menyilaukan pandangan mereka. Debu yang dihembus angin membuat mata Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi pedih.

Namun mereka berdua berjalan terus. Meskipun mereka belum tahu dengan pasti jalan yang harus mereka lalui, tetapi mereka yakin bahwa mereka akan dapat melintas sampai ke sebelah utara Gunung Kendeng, menyeberangi Kali Lusi, kemudian sampai ke Wirasari.

Namun ternyata jalan yang harus mereka tempuh adalah jalan yang rumit. Mereka harus melintasi punggung-punggung bukit dan lembah lembah sempit yang berdinding batu kapur.

Sekali-sekali Glagah Putih memandang wajah Rara Wulan yang kemerah-merahan. Perjalanan itu tentu terasa sangat berat. Tetapi Rara Wulan tidak mengeluh sama sekali, la sendiri-lah yang memaksa untuk ikut Glagah Putih mengemban tugas yang berat itu.

Ketika keduanya berada di lorong sempit yang diapit oleh lereng dua buah bukit, tiba-tiba saja angin bertiup kencang. Debu yang kelabu keputih-putihan berterbangan menghambur ke lorong sempit itu, sehingga lorong itu seakan-akan telah tertutup oleh kabut tebal.

Glagah Putih menutup hidung dan mulutnya dengan ujung kain panjangnya, sambil memperingatkan agar Rara Wulan pun berbuat demikian pula.

Namun debu itu mengepul semakin lama semakin banyak, seperti sengaja ditaburkan dari punggung bukit di sebelah-menyebelah lorong sempit itu.

Akhirnya Glagah Putih mengambil kesimpulan, bahwa debu yang menyerupai kabut itu tidak bertaburan tiba-tiba dan secara kebetulan pada saat ia dan istrinya lewat. Karena itu, maka Glagah Putih dengan ketajaman penglihatannya mencoba memperhatikan, dari mana debu itu paling banyak menghambur.

Sementara itu, debu yang menyerupai kabut itu semakin lama menjadi semakin pekat, sehingga nafas Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tersengal-sengal, meskipun mereka menutup wajah dengan ujung kain panjang mereka.

Akhirnya Glagah Putih pun menemukan arah yang dicarinya. Sebelum udara menjadi gelap, diperhatikannya arah itu dengan seksama, kemudian dipusatkannya nalar budinya. Dengan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan ilmunya, maka Glagah Putih pun menghentakkan tangannya dengan kedua telapak tangannya yang terbuka, mengarah ke sasaran yang sudah ditemukannya itu.

Terdengar teriakan nyaring disusul oleh gelegar yang keras. Batu-batu kapur pun berguguran beberapa langkah di depan Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara itu seseorang telah terlempar, terpelanting jatuh bersama bebatuan yang berguguran itu.

Getaran yang keras telah mengguncang lembah sempit yang diapit oleh dinding batu kapur itu. Sementara kabut yang semakin tebal itu sesaat justru menjadi semakin pekat, karena guguran batu-batu kapur dari atas tebing. Namun sejenak kemudian, getaran yang kuat di lembah itu seolah-olah telah menghembus kabut yang kelabu keputih-putihan itu, sehingga hanyut bagaikan disapu oleh angin yang kencang.

Sejenak kemudian, lembah yang buram itu pun menjadi terang. Cahaya matahari kembali memancar sampai ke dasar lembah sempit itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Mereka melihat setumpuk batu kapur menutup jalan setapak di lembah sempit itu. Di atasnya terbaring seorang yang tidak mereka kenal. Darahnya mengalir dari pelipis dan bagian tubuh lainnya yang terluka.

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu memandang sosok tubuh itu.

Namun ternyata di atas tebing masih ada dua sosok lagi yang berdiri sambil bertolak pinggang. Dua sosok tubuh yang tinggi dan besar. Seorang berkumis lebat melintang di atas mulutnya. Yang seorang lagi justru berkepala botak. Ikat kepalanya tidak dikenakannya dengan baik, sehingga oleh cahaya matahari kepalanya itu berkilat-kilat.

“Kalian telah membunuh seorang kawanku,” geram orang yang berkumis melintang.

“Bukan salahku,” sahut Glagah Putih, “lembah ini menjadi gelap. Aku tidak melihat, apa yang ada di atas tebing.”

“Bohong!” geram orang itu. Suaranya menjadi semakin garang. Getarannya seakan-akan melingkar-lingkar di lembah itu. Bahkan terasa mengetuk dada.

“Hati-hatilah, Rara,” desis Glagah Putih, “mungkin orang itu mempunyai Aji Gelap Ngampar atau sejenisnya.”

Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri. Ia pun merasakan ketukan yang keras di dadanya. Karena itu, maka Rara Wulan pun telah meningkatkan daya tahan serta tenaga dalamnya sampai ke puncak.

Sementara itu, orang yang berkumis lebat itu pun berkata dengan suara yang menggetarkan seluruh lembah, “Kau telah berhutang nyawa. Kau harus membayar dengan nyawa pula.”

“Kalian telah menyerang kami lebih dahulu. Kami sekedar membela diri.”

“Omong kosong! Kau mengandalkan ilmumu yang tinggi. Tetapi kalian tidak akan mampu melawan kami berdua.” Suara orang itu terasa semakin menekan dada Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Jangan ingkar. Kau juga sudah mulai menyerang kami, meskipun dengan cara yang lain dari kawanmu yang terbunuh itu.” Glagah Putih berhenti sebentar. Lalu ia pun bertanya selanjutnya, “Siapakah kalian sebenarnya?”

Terdengar suara tertawa berkepanjangan dan menghentak-hentak. Getarannya berpantulan dari dinding tebing di sebelah-menyebelah jalan sempit itu, mengguncang isi dada.

“Rara,” desis Glagah Putih, “yang kita hadapi sekarang tidak sekedar seorang bebahu padukuhan. Tidak pula pembunuh-pembunuh upahan. Agaknya kita berhadapan dengan orang berilmu tinggi.”

Rara Wulan mengangguk.

Sementara itu, orang yang berdiri di atas tebing itu pun berkata lantang, “Kau jangan merasa dirimu menang hanya karena dapat membunuh seorang di antara kami. Kawan kami itu agaknya telah lengah. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja kau menyerang dengan licik, sehingga tidak sempat menghindarinya. Tetapi jika kau sekali lagi menyerang kami, maka seranganmu tidak akan berarti apa-apa.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia pun kemudian bertanya sekali lagi, “Siapakah kalian?”

“Kami tertarik kepada rencanamu untuk pergi mencari tongkat baja putih.”

“Siapa yang mencari tongkat baja putih? Tongkat baja putih itu sudah berada di tangan yang tepat.”

Tetapi suara tertawa di atas tebing itu menjadi semakin berkepanjangan. Katanya, “Apapun yang kau katakan, tetapi aku yakin bahwa kau sedang memburu tongkat baja putih itu. Kau-lah yang mengatakan bahwa tongkat baja putih itu sarang wahyu keraton. Sementara itu, kau telah mencari Ki Saba Lintang ke Wirasari.”

“Siapa yang mengatakan hal itu kepadamu?”

Suara tertawa itu bahkan terdengar meledak-ledak. Rara Wulan mengerahkan segenap kemampuan daya tahannya untuk melindungi dadanya dari hentakan-hentakan suara tertawa kedua orang yang berada di atas tebing itu.

“Sudahlah. Jangan terlalu banyak berbicara. Kalian akan mati dan terkubur di jalan sempit itu. Kemudian di atas kuburmu, para pengembara akan berjalan melewatinya.”

“Tunggu, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “kalian belum menjawab, siapakah kalian.”

“Kami orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Nah, jelas? Kalian tentu tidak akan dapat menipuku dengan mengaku orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Jika kalian pernah berguru kepada seseorang yang memiliki ilmu dari perguruan Kedung Jati, itu tidak berarti bahwa orang itu masih kami akui sebagai keluarga perguruan Kedung Jati yang baru.”

“Jika kalian ganggu kami, kalian akan berhadapan dengan Ki Saba Lintang sendiri.”

Kedua orang itu tertawa semakin keras sehingga perutnya terguncang-guncang. Katanya, “Kenapa kau masih saja mencoba membohongi aku, anak muda? Sudahlah. Terima saja nasibmu yang buruk. Kau akan mati dan terkubur di jalan sempit itu. Jangan mencoba menyebut perguruan Kedung Jati. Karena dengan demikian kau hanya akan mempercepat kematianmu dan kematian perempuan muda yang mengembara bersamamu itu. Bahkan kau hanya akan memperburuk keadaan dan saat-saat matimu.”

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Sekilas dipandanginya Rara Wulan yang masih mencoba bertahan. Namun keringatnya sudah mengalir bagaikan terperas dari tubuhnya. Bukan karena panasnya terik matahari, tetapi Rara Wulan sudah mengerahkan daya tahan tubuhnya.

Namun hentakan-hentakan getar suara tertawa serta teriakan-teriakan orang itu membuat dada Rara Wulan menjadi semakin sesak. Wajah Rara Wulan itu pun menjadi pucat.

Glagah Putih yang melihat keadaan Rara Wulan itu pun menjadi gelisah. Karena itu, maka ia pun bertekad untuk menghentikan sumber kekuatan yang telah menyakiti dada istrinya itu.

Tiba-tiba saja Glagah Putih telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, memusatkan nalar budinya untuk membangunkan ilmunya yang sulit dicari tandingannya.

Tiba-tiba saja Glagah Putih telah menghentakkan tangannya, dengan telapak tangannya menghadap ke bibir tebing, tempat kedua orang itu berdiri.

Seleret sinar memancar dari telapak tangan Glagah Putih menghantam tebing itu. Sejenak kemudian terdengar suara gemuruh. Beberapa bongkah batu padas telah berguguran di atas jalan sempit itu.

Namun kedua orang itu tidak ikut terpelanting jatuh seperti seorang di antara mereka sebelumnya. Keduanya dengan tangkasnya berloncatan surut, sehingga ketika bibir tebing itu runtuh, keduanya tidak ikut runtuh pula.

Bahkan demikian reruntuhan itu berhenti, kedua orang itu sudah berdiri pula di bibir tebing sambil tertawa.

“Nah, anak muda. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Kau tidak akan mampu menyerang kami. Kami adalah orang-orang terkuat dari perguruan Kedung Jati. Meskipun menurut ujud kewadagan tongkat baja putih itu ada di tangan Ki Saba Lintang, namun kemampuan kami berada di atas kemampuan Ki Saba Lintang itu sendiri. Namun kami tetap mengakuinya sebagai pemegang pertanda kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati. Karena itu, sesali keterlanjuranmu untuk mencari tongkat baja putih itu, karena dengan demikian kau akan mati muda.”

Jantung Glagah Putih berdenyut semakin cepat. Serangan dengan puncak ilmunya tidak berhasil menyingkirkan kedua orang yang berdiri di atas tebing itu. Seandainya ia menyerang sekali lagi, maka hasilnya akan sama saja. Dengan demikian ia hanya akan membuang-buang tenaga sia-sia.

Karena itu, maka Glagah Putih kemudian lebih baik menunggu, apa yang akan terjadi. Mungkin ia akan mendapatkan kesempatan terbaik untuk menyerang kedua orang yang berdiri di atas tebing itu.

Namun dalam pada itu, orang yang berkepala botak itu pun berkata, “He, kalian berdua! Terimalah nasib burukmu! Kalian akan tertimbun debu di jalan yang membelah bukit ini, menyusup di antara tebing yang curam!”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia masih berpengharapan untuk menguak debu yang dihamburkan ke atas jalan sempit itu, sebagaimana tadi dilakukannya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian debu pun mulai berhamburan. Angin yang bertiup semakin lama menjadi semakin kencang, telah melemparkan debu yang kelabu keputih-putihan ke jalan sempit yang diapit oleh tebing yang curam itu.

“Tutup hidungmu, Rara!” berkata Glagah Putih.

Rara Wulan pun menutup hidungnya dengan ujung kain panjangnya. Demikian pula Glagah Putih.

Sementara itu, debu pun semakin lama menjadi semakin tebal.

“Kita tinggalkan tempat ini, Kakang!” berkata Rara Wulan sambil menutup mulutnya dengan kain panjangnya.

Glagah Putih tidak segera menjawab. Tetapi dihentakkannya ilmunya ke arah kedua orang itu berdiri.

Terdengar gemuruhnya bongkah-bongkah batu padas yang berguguran. Kabut pun mulai terkuak. Namun Glagah Putih tidak lagi melihat kedua orang itu berada di tempatnya.

Terasa darah Glagah Putih tersirap ketika ia mendengar suara kedua orang itu tertawa. Debu yang terkuak itu segera telah tertutup kembali dengan debu yang lebih tebal lagi, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi dapat melihat lebih dari selangkah di sekitarnya.

Ketika sekali lagi Glagah Putih melontarkan ilmunya sehingga menggugurkan batu-batu padas di tebing, debu itu hanya terkuak sebentar. Namun kemudian kembali tertutup, semakin lama justru menjadi semakin pekat. Bahkan cahaya matahari pun mulai terhalang pula oleh tebalnya debu, sehingga jalan sempit itu menjadi semakin gelap pula.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mencoba untuk meninggalkan tempat itu. Namun mereka mengalami kesulitan karena mereka tidak melihat apa-apa lagi, sementara mereka sibuk menutup hidung dan mulut mereka.

Sementara itu, debu yang tebal itu masih saja turun di arah depan dan belakang mereka.

Tetapi Glagah Putih tidak berputus-asa. Sambil meraba-raba tebing, ia mencoba mencari jalan untuk menjauhi tempat yang menjadi gelap.

“Pegang lenganku, Rara,” berkata Glagah Putih dari balik kain panjang penutup hidung dan mulutnya, sementara tangannya yang satu lagi masih saja meraba dinding tebing yang curam itu.

Dalam keadaan yang sulit itu, tiba-tiba saja Glagah Pulih merasakan tangan yang sangat kuat mencengkam lengannya. Sebelum Glagah Putih meronta, terdengar suara berdesis, “Ikut aku.”

“Tunggu,” sahut Glagah Putih.

Namun terdengar suara seorang perempuan, “Biar aku selamatkan istrimu.”

Glagah Putih tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ia merasakan getar yang mengalir dari tangan orang itu menyusuri urat-urat darahnya, menjalar keseluruh tubuhnya.

Tiba-tiba saja Glagah Putih itu bagaikan melayang ditarik oleh tangan yang demikian kuatnya. Sementara itu dalam kegelapan debu yang tebal, Glagah Pulih hanya melihat bayangan hitam yang menyeretnya dengan kekuatan yang tidak terlawan.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih merasakan bahwa debu yang berhamburan itu semakin lama menjadi semakin tipis. Rasa-rasanya tubuhnya sudah menjadi semakin jauh dari pusat terhamburnya debu yang menyesakkan nafas itu.

Dengan demikian, penglihatan Glagah Putih pun menjadi semakin jelas pula. Ia mulai dapat mengenali orang yang menyeretnya dari hamburan debu yang sangat tebal itu.

Ketika orang itu membawanya masuk dalam lekuk yang tidak begitu dalam pada tebing yang curam itu, ia melihat Rara Wulan segera menyusulnya pula bersama seseorang perempuan.

Kedua orang yang telah menyeret Glagah Putih dan Rara Wulan itu ternyata dua orang laki-laki dan perempuan yang rambutnya sudah ubanan.

Dalam pada itu, debu di lekuk tebing itu ternyata jauh lebih tipis dari debu yang terhambur di jalan sempit, yang telah menutup penglihatan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Siapakah Paman dan Bibi yang telah menyelamatkan kami berdua?” bertanya Glagah Putih, yang masih mengkibas-kibaskan ujung kain panjangnya di depan hidungnya.

Laki-laki dan perempuan itu tertawa. Dengan lembut perempuan itu berkata, “Kalian tentu belum mengenal kami, Glagah Putih.”

“Paman dan Bibi telah mengenal kami?” bertanya Glagah Putih dengan heran.

Kedua orang itu masih saja tertawa. Laki-laki yang berjanggut dan berkumis pendek, jarang dan sudah memutih itu berkata, “Tentu saja, Ngger. Kami tahu bahwa kau bernama Glagah Putih, sedangkan istrimu itu bernama Rara Wulan. Meskipun kau lebih banyak menyebut namamu Warigalit dan nama istrimu Wara Sasi.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Kemudian Glagah Putih itu pun bertanya, “Siapakah Paman dan Bibi ini sebenarnya?”

“Namaku Citra Jati, Ngger. Dan ini adalah Nyi Citra Jati.”

“Kami berdua mengucapkan terima kasih atas pertolongan Paman dan Bibi, sehingga kami dapat keluar dari lingkungan debu yang tebal itu. Tanpa pertolongan Paman dan Bibi, agaknya kami sudah tidak dapat bernafas, dan terbaring tertimbun debu.”

“Tanpa kami pun kalian akan dapat keluar dari bencana itu, Ngger. Dalam keadaan yang paling sulit, kalian tidak berputus asa. Kalian masih berusaha. Dengan merambat dinding tebing itu, semakin lama kalian juga akan menjadi semakin jauh dari pusat hamburan debu yang mengandung kapur itu.”

“Tetapi tentu lambat sekali, Paman. Sementara itu nafas kami sudah terputus.”

Laki-laki yang menyebut dirinya bernama Citra Jati itu tertawa pula. Katanya, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini.”

“Mari, Paman. Tetapi kami tidak tahu, kemana kami harus pergi. Kami pun tidak tahu, apakah kedua orang yang menyerang kami itu masih berada di tebing.”

“Kalian mengenal kedua orang itu?”

“Tidak, Paman. Tetapi mereka mengaku orang-orang dari perguruan Kedung Jati.”

“Sebenarnya mereka bukan orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Mereka justru merupakan saingan yang sangat berat bagi Ki Saba Lintang. Secara pribadi, keduanya mempunyai ilmu lebih tinggi dari Ki Saba Lintang. Namun Ki Saba Lintang mempunyai kekuatan yang besar di belakangnya. Beberapa orang berilmu tinggi telah mendukungnya, karena Ki Saba Lintang mempunyai tongkat baja putih itu.”.

“Jadi, siapakah mereka berdua?”

“Mereka adalah Lamiyat dan Sendawa.”

“Paman mengenal mereka?”

“Ya, aku mengenal mereka. Mereka adalah sepasang iblis dari perbukitan yang disebut Susuhing Angin. Pegunungan yang bergaung jika angin bertiup kencang, karena di dalam salah satu bukit padas itu terdapat sebuah lubang yang besar. Seperti kita meniup bumbung itu, Ngger. Maka timbullah suara yang bergaung itu. Sama sekali bukan karena kekuatan dari kuasa yang tersimpan di dalam pegunungan itu, atau bahkan satu keajaiban.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, Nyi Citra Jati pun berkata, “Marilah, Ngger, kita pergi dari daerah ini. Mungkin kedua iblis itu masih akan mengajak bermain lagi. Aku tidak begitu tertarik dengan bermain debu yang dapat mengotori pakaian itu.”

“Marilah, Bibi,” sahut Rara Wulan.

Namun ketika mereka berempat keluar dari lekuk yang tidak begitu dalam itu, mereka melihat dua orang yang berdiri bertolak pinggang di atas guguran batu-batu padas yang dilapisi debu yang keputih-putihan.

“Jadi kalian bersembunyi di situ?” bertanya seorang di antara kedua orang itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi berdebar-debar. Kedua orang itu adalah kedua orang yang berdiri di atas tebing. Dua orang yang telah menghamburkan debu dengan tiupan angin yang kencang dan melingkar-lingkar.

Tetapi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sama sekali tidak menunjukkan kesan apa-apa di wajah mereka. Bahkan sambil tersenyum Ki Citra Jati pun bertanya, “Apa kerjamu di situ, Lumiyat dan Sendawa? Menakut-nakuti anak-anak?”

“Serahkan anak itu kepadaku. Anak itu sudah membunuh seorang kawanku.”

“Kau tidak usah malu. Akui saja bahwa orang yang terlempar dari tebing itu adalah adik seperguruanmu. Seandainya ia tidak mati karena terpelanting dari tebing, ia memang tidak akan mampu menandingi ilmu anak ini.”

“Persetan dengan celotehmu. Serahkan anak itu, atau aku akan mengambilnya dengan paksa.”

“Kau akan mengambilnya dengan paksa? He, apakah kalian sedang bermimpi?”

“Citra Jati,” geram Lumiyat, “ternyata sampai tua kau masih saja menyombongkan dirimu. Kau kira aku masih aku yang dahulu?”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Aku mengerti. Aku banyak mendengar namamu disebut orang. Demikian pula nama Sendawa, sehingga aku pun tahu bahwa kalian telah menyebarkan dongeng tentang kalian berdua. Kalian sendiri pula-lah yang menyebut kalian berdua dengan sepasang iblis dari perbukitan Susuhing Angin.”

“Cukup!” bentak Sendawa.

“Kau memang lucu sejak dahulu, Sendawa. Kawan-kawanmu selalu mempertanyakan kau jika kau tidak berada di antara mereka. Tanpa kau, maka kelompok kawan-kawanmu itu akan merasa sepi. Tidak ada yang dapat mengisi waktu dengan lelucon-lelucon yang segar, meskipun kadang-kadang kasar dan kotor.”

Kedua orang itu menggeram. Dengan garang Sendawa berteriak, “Kau masih juga gila, Citra Jati! Serahkan anak itu!”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Solah tingkahmu membuat orang tertawa.”

“Aku tidak sedang melucu, Citra Jati. Aku bersungguh-sungguh. Serahkan anak itu kepada kami berdua!”

“Jika kau tidak sedang bergurau, bagaimana mungkin kau membentak kami? Kau tahu siapakah kami berdua. Jika Lumiyat merasa dirinya berubah dan bukan Lumiyat yang dahulu, maka aku pun dapat berkata seperti itu. Kami berdua juga bukan kami yang dahulu. Jika Lumiyat ingin mengatakan bahwa ilmunya sudah jauh meningkat, maka aku pun dapat juga menyampaikan berita baik bagi kalian, bahwa aku telah menemukan puncak-puncak ilmuku.”

“Setan tua. Jadi kau tidak mau menyerahkan anak itu?”

“Sudahlah. Kau tidak usah mengumpat-umpat, Sendawa. Pergilah, selagi aku masih memberi kesempatan. Ingat bahwa istriku tidak sesabar aku. Jika aku tidak mampu mengekangnya lagi, maka kalian akan menjadi debu, seperti permainanmu yang mengotori pakaianku itu.”

Lumiyat dan Sendawa itu nampak ragu-ragu. Sementara itu Ki Citra Jati pun berkata, “Kau dapat meneruskan perjalananmu, mencari tongkat baja putih yang dibawa oleh Saba Lintang itu. Tetapi kau tidak usah menyebut dirimu orang-orang dari perguruan Kedung Jati, meskipun aku tahu bahwa kau telah bekerja sama dengan orang-orang Kedung Jati, yang berkhianat terhadap perguruannya”

“Kata-kamu menjadi semakin kacau!”

“Lumiyat dan Sendawa. Apakah kalian berdua, atau salah seorang dari kalian, mengenal orang dari perguruan Kedung Jati yang bernama Kidang Rame?”

“Tutup mulutmu!”

“Jangan membentak aku. Biarkan aku berbuat semauku, berkata apa saja yang ingin aku katakan. Kalian mau apa, he?”

Namun tiba-tiba saja Nyi Citra Jati pun berkata, “Kau masih juga bersabar, Kakang.”

Ki Citra Jati menggeram. Katanya, “Pergi! Pergi! Cari tongkat baja putih itu. Cari sarang wahyu keraton yang dibawa oleh Saba Lintang itu. Jangan mengganggu orang lagi, meskipun orang itu kau duga juga mencari tongkat baja putih.”

Kedua orang itu masih berdiri mematung.

“Jika kalian tidak mau pergi, aku akan menyingkirkan kalian yang mengotori mataku, setelah permainan kalian mengotori pakaianku.”

Kedua orang itu masih belum beranjak dari tempatnya, sehingga Ki Citra Jati menjadi marah. Demikian pula Nyi Cira Jati.

Suasana pun menjadi sangat tegang. Agaknya kedua orang itu tidak ingin harga dirinya direndahkan, meskipun mereka merasa ragu menghadapi suami istri yang sudah semakin tua itu.

Karena kedua orang itu masih berdiri di tempatnya, maka Nyi Citra Jati pun berkata kepada suaminya, “Agaknya kedua orang itu tidak yakin bahwa kita akan dapat menyingkirkan mereka. Mereka merasa ilmu mereka sudah sampai ke puncak.”

“Marilah Nyi. Kita akan melihat, apakah benar ilmu mereka sudah tidak teratasi.”

Lumiyat dan Sendawa memang menjadi berdebar-debar. Nampaknya Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak sekedar mengancam. Tetapi mereka telah melangkah mendekat.

Dalam kegelisahan yang mencengkam, tumbuh keragu-raguan akan kemampuan diri. Namun karena harga diri mereka bergejolak tak terkendali, maka keringat Lumiyat dan Sendawu pun mengalir membasahi tubuh mereka.

“Jadi kalian berdua benar-benar menantang kami?” bertanya Ki Citra Jati.

Namun sebelum Lumiyat dan Sendawa menjawab, terdengar suara yang lain. Melingkar-lingkar membentur tebing di sebelah-menyebelah jalan itu. “Lumiyat dan Sendawa, jangan terlalu sombong. Kedua suami-istri itu bukan lawanmu. Tinggalkan mereka, selagi mereka masih memberimu kesempatan. Sebaiknya kalian tidak terpancang pada harga dirimu. Tetapi kalian harus mengakui kenyataan tentang diri kalian berdua.”

Lumiyat dan Sendawa terhenyak dari ketegangan yang sangat mencekam. Mereka mengenal sekali suara itu. Karena itu, maka Lumiyat pun berkata, “Guru, engkaukah itu?”

“Ya. Minggirlah dari kemungkinan buruk jika kedua orang suami-istri itu kehilangan kesabaran.”

“Anak itu sudah membunuh Mangku, Guru. Guru harus mengambilnya dari tangan kedua orang suami-istri itu.”

“Aku tidak dapat melakukannya sekarang, Lumiyat. Kau tahu, keduanya adalah orang-orang yang tidak mudah dilawan. Apalagi di belakangnya masih ada anak itu. Jangan meremehkan ilmu anak itu. Jika ia bertempur berhadapan, maka ia akan menjadi tanggon. Kau berdua dan aku akan mengalami kesulitan berhadapan dengan suami-istri itu bersama dengan kedua orang yang dilindunginya. Karena itu, tinggalkan tempat itu.”

Lumiyat dan Sendawa masih saja berdiri termangu-mangu. Sementara itu Ki Citra Jati pun berkata lantang, “Jadi kau ada di sana pula, Gagak Ngrawang? Kenapa kau tidak turun dan bermain bersama murid-muridmu?”

“Hanya soal waktu saja, Citra Jati. Tetapi pada saatnya kita akan bertemu.”

“Apakah kau akan membawa pergi kedua muridmu yang kesombongannya menggapai awan itu atau tidak?”

“Aku akan membawa mereka pergi, jika kau tidak berkeberatan.”

Ki Citra Jati itu pun menjawab, “Bawa mereka pergi. Aku tidak berkeberatan.”

“Terima kasih. Tetapi apakah kelak kau tidak akan menyesali keputusanmu sekarang ini?”

“Kenapa aku menyesal?”

“Bukankah kesediaanmu melepaskan kedua muridku itu juga satu bentuk kesombongan, seakan-akan kedua muridku dan aku sendiri tidak akan dapat membalas atas kematian Mangku, salah seorang muridku pula?”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Kenapa kau mempersulit dirimu sendiri? Jika kau ingin membawa kedua orang muridmu pergi, bawalah. Kenapa kau harus menggolongkan tindakanku itu sebagai satu kesombongan, atau mungkin satu kebaikan hati, atau karena kami yakin akan kemampuan kami, atau sikap apa lagi.”

Gagak Ngrawang itu tertawa. Suaranya masih melingkar-lingkar membentur tebing di sebelah-menyebelah jalan itu. Namun kemudian terdengar Gagak Ngrawang itu pun berkata, “Marilah anak-anak, Lumiyat dan Sendawa. Tinggalkan tempat itu. Tetapi pada satu saat, kita akan kembali menuntut balas kematian Mangku. Bukan hanya anak yang telah membunuh Mangku itu saja yang akan kita bantai kelak, tetapi kedua orang tua itu pun akan menyesali kesombongannya, karena melepaskan kalian berdua sekarang.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berdiri termangu-mangu memandangi kedua orang yang mulai bergerak menjauh.

“Cepat!” tiba-tiba Nyi Citra Jati membentak, “Jika kalian tidak segera pergi, kalian berdua-lah yang akan mati tertimbun debu di celah celah bukit itu.”

Keduanya memang terkejut. Namun keduanya pun segera melangkah meninggalkan tempat itu, semakin lama semakin jauh, meloncat-loncat di antara guguran batu-batu padas dari tebing.

Ketika kedua orang itu kemudian hilang di sebelah tikungan, maka Ki Citra Jati pun berkata, “Marilah. Aku ingin minta kalian berdua singgah di rumahku.”

“Kami mengucapkan terima kasih, Paman, Bibi,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Sudah berapa kali kau mengucapkan terima kasih. Sekarang, marilah.”

“Apakah rumah Paman dan Bibi tidak terlalu jauh?”

“Tidak. Hanya sekitar perjalanan sehari semalam. Perjalanan seorang pengembara. Bukan perjalanan seorang priyayi yang kakinya terasa pedih jika menginjak batu kerikil.”

“Sehari semalam? Bukankah itu satu perjalanan yang panjang, meskipun ditempuh oleh seorang pengembara seperti kami?”

“Ya. Mungkin dapat dianggap panjang. Tetapi mungkin juga tidak. Arah rumahku hampir searah dengan perjalananmu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara Nyi Citra Jati pun bertanya, “Bukankah kalian akan pergi ke Wirasari, di seberang Kali Lusi?”

“Paman dan Bibi mengetahui banyak sekali tentang diri kami berdua.”

“Tidak. Tidak terlalu banyak. Kami hanya tahu nama kalian berdua dan arah perjalanan kalian. Mungkin kami juga mendengar seperti desah angin di dedaunan, bahwa Angger Glagah Putih adalah murid Agung Sedayu, orang yang ilmunya tidak dapat ditakar itu. Sedangkan Angger Rara Wulan pernah berguru kepada Nyi Lurah Agung Sedayu, yang namanya sendiri adalah Sekar Mirah. Murid Sumangkar dan perguruan Kedung Jati.”

“Paman tahu semuanya tentang diri kami,” desis Rara Wulan.

“Semua yang kami ketahui itu adalah isyarat bagi kami, bahwa kami harus menghormati kaliaan. Kalian memiliki bekal yang sangat lengkap, sehingga apabila kelak telah tersusun rapi di dalam diri kalian serta berkembang dengan baik, maka kalian akan menjadi seperti Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Kami bukan apa-apa, Paman,” desis Glagah Putih.

“Sifat kalian yang rendah hati-lah yang memungkinkan kalian kelak akan dapat memanjat sampai ke puncak. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya telah berada di puncak, maka itu penanda bahwa orang itu sudah sampai pada batasnya.”

“Kami bukannya orang-orang yang rendah hati. Tetapi kami memang tidak memiliki apa-apa yang dapat kami banggakan.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu pun tertawa. Dengan nada tinggi Nyi Citra Jati itu pun berkata, “Sekarang, marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita masih akan terjalan sehari semalam.”

Demikianlah, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berjalan di depan. Kemudian di belakangnya Glagah Putih dan Rara Wulan mengikutinya.

Jalan yang terbentang di hadapan mereka adalah jalan di perbukitan yang berkapur. Mereka masih melintas di jalan sempit di celah-celah tebing. Seperti Lumiyat dan Sendawa, mereka pun harus berloncatan di atas batu-batu padas yang keputih-putihan, yang telah runtuh karena ilmu Glagah Putih.

“Seorang murid Gagak Ngrawang itu terkubur di bawah reruntuhan batu-batu padas berkapur ini,” desis Nyi Citra Jati.

“Salahnya sendiri. Orang itu sangat meremehkan lawannya, sehingga ketika tiba-tiba saja ia dihadapkan kepada ilmu yang tidak disangka-sangkanya, maka iapun tidak siap melawannya,” sahut Ki Citra Jati.

“Gagak Ngrawang dan kedua muridnya itu nampaknya benar-benar mendendam.”

Ki Citra Jati menarik nafas panjang. Katanya, “Glagah Putih dan Rara Wulan memang harus berhati-hati menghadapi mereka. Gagak Ngrawang adalah orang yang sulit ditebak sifatnya. Kadang-kadang ia nampak seperti seorang yang baik dan ramah. Tetapi aku kira itu hanya semacam selubung dari sifatnya yang sebenarnya. Keras, kasar dan bahkan kejam. Sementara itu, ilmunya masih saja mampu berkembang meskipun lambat.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan di belakang keduanya mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Keduaya belum pernah bertemu, dan bahkan melihat orang yang bernama Gagak Ngrawang itu pun belum pernah. Yang mereka lihat hanya sekedar bayangan sosoknya yang bagaikan melayang dan begitu saja hilang dari pandangan. Namun yang suaranya sudah menghentak-hentak dada, bagaikan membelah jantung.

Berempat mereka pun kemudian berjalan menyusuri jalan sempit di daerah yang berbukit-bukit. Batu-batu padas yang berwarna keputih-putihan, debu yang dihamburkan oleh angin, serta terik matahari yang memanggang tubuh, membuat perjalanan itu terasa semakin berat.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan berusaha untuk tetap bertahan. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu pun terjalan terus. Bahkan mereka masih sempat berbincang dan sekali-kali terdengar mereka tertawa.

Bersama Ki Cira Jati dan Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi harus bertanya-tanya, jalan manakah yang harus mereka lalui.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka mereka mulai menghampiri lingkungan yang berpenghuni. Mereka berjalan ke arah sebuah padukuhan. Sementara itu di arah lain, nampak hutan di lereng perbukitan. Hutan yang jarang, karena tanahnya yang kering berbatu-batu padas dan mengandung kapur.

“Bagaimana menurut pendapatmu, Glagah Putih? Apakah kita akan berhenti dan bermalam di sebuah padukuhan yang kita lewati, atau kita akan berjalan terus semalam suntuk?”

“Terserah kepada Paman dan Bibi,” jawab Glagah Putih.

“Maksudku, apakah kau dan Rara Wulan tidak terlalu letih jika kita berjalan terus?”

Namun sebelum Glagah Putih menjawab, Nyi Citra Jati menyahut, “Biarlah kita bermalam di padukuhan berikutnya, Kakang. Glagah Putih dan Rara Wulan tentu merasa lelah. Apalagi mereka, sedang aku pun merasa letih pula.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita bermalam di padukuhan berikutnya, setelah padukuhan yang terada di hadapan kita. Aku mempunyai seorang kenalan yang tinggal di padukuhan itu. Besok pagi-pagi sekali kita melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan besok senja atau lewat sedikit, kita sudah sampai di rumah kami.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menyahut. Mereka berjalan saja di belakang Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Ketika mereka mendekati padukuhan di hadapan mereka, maka mereka pun melihat, betapa sulitnya penghuni padukuhan itu menggarap sawah. Parit yang terdapat di pinggir jalan hampir kering. Airnya bagaikan sekedar menitik membasahi dasarnya saja.

“Jika hujan tidak segera turun, parit itu akan kering,” berkata Ki Citra Jati. “Tanaman jagung yang sudah nampak lesu itu akan kering pula. Penghuni padukuhan itu mengharapkan hujan kiriman untuk menyelamatkan tanaman mereka.”

“Apakah tidak ada sungai yang dapat diangkat airnya, Paman?” bertanya Glagah Putih.

“Sungai-sungai pun hampir menjadi kering pula. Hanya ada beberapa bulak yang tidak terlalu luas yang masih mungkin mendapatkan air.”

“Apakah tidak ada tandon air di sekitar tempat ini, Paman?”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeleng ia pun berdesi,s “Tidak ada, Ngger. Tidak ada tandon air.”

Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia memang tidak melihat waduk atau telaga dan semacamnya yang dapat menyimpan air, sehingga di musim kering akan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Beberapa saat kemudian, keempat orang itu pun telah memasuki padukuhan yang tidak begitu besar. Padukuhan yang diwarnai dengan kehidupan yang sederhana. Tidak terdapat rumah-rumah yang besar. Meskipun halamannya nampak luas, tetapi agaknya kering dan tandus.

Orang-orang yang mereka jumpai di jalan-jalan padukuhan, nampak sederhana pula. Pakaian mereka serta sikap mereka.

Ketika mereka sampai di ujung jalan padukuhan yang lain, mereka melihat beberapa orang anak, yang menggiring beberapa ekor kambing yang agaknya baru saja mereka gembalakan. Beberapa orang penggembalanya membawa keranjang rumput di atas kepala mereka.

“Mereka menggembala ternak mereka di padang perdu, tidak jauh dari hutan,” berkata Ki Citra Jati.

“Apakah di hutan itu tidak ada binatang buas?”

“Ada,” jawab Ki Citra Jati, “tetapi para gembala itu tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, mereka tidak berani menggembala sendiri atau berdua saja. Mereka datang ke padang perdu berkelompok. Di antara mereka terdapat anak-anak muda pula yang membawa senjata. Tombak, parang atau jenis-jenis senjata yang lain. Dalam keadaan terpaksa, jika mereka tidak sempat menggiring kambing-kambing itu pergi, maka mereka akan melawan seekor harimau beramai-ramai.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Orang-orang padukuhan itu hidup dalam suasana yang keras dan berat.

Dari Ki Citra Jati pula Glagah Putih mengetahui, bahwa penghuni padukuhan itu telah mengisi lekuk-lekuk padas yang keras dengan tanah, sehingga memungkinkan untuk ditanami di musim basah. Ketela pohon, ketela rambat atau jagung.

Meskipun mereka sudah bekerja keras, namun hasilnya kurang memadai.

Namun demikian, penghuni padukuhan itu sama sekali tidak ingin berpindah tempat dengan membuka hutan di lingkungan yang lebih subur. Mereka merasa sedang mengusung beban yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka, memelihara warisan serta mengolahnya, apapun dan seberapapun hasilnya.

Beberapa saat kemudian keempat orang itu telah berada di bulak yang berdebu. Mereka melangkah menuju ke padukuhan berikutnya. Padukuhan yang nampaknya agak lebih besar. Tetapi dalam keadaan dan suasana yang tidak berbeda.

“Aku mempunyai seorang kenalan di padukuhan itu,” berkata Ki Citra Jati, “mungkin kenalanku itu dapat menerima kami bermalam di rumahnya. Atau setidak-tidaknya ia dapat membawa kami ke banjar padukuhannya untuk bermalam. Kenalanku itu akan dapat mempertanggung-jawabkan kehadiran kami di padukuhan itu.”

“Bukankah padukuhan itu aman-aman saja?” berkata Nyi Citra Jati, “Tidak pernah terdengar ada keributan. Tidak pernah ada sekelompok perampok yang datang ke padukuhan itu, karena memang tidak ada yang dapat dirampok.”

“Di padukuhan itu terdapat kambing dan lembu.”

“Hanya binatang peliharaan itulah satu-satunya jenis kekayaan yang ada di padukuhan itu. Sekelompok perampok merasa tidak sepantasnya membawa kambing dan lembu. Mereka mencari perhiasan emas dan berlian yang mudah dibawa, tetapi yang harganya tinggi. Sebentuk cicin berlian yang kecil, harganya jauh lebih tinggi dari harga seekor kambing yang besar.”

“Ya,” Ki Citra Jati mengangguk-angguk.

Demikianlah, mereka berempat masih saja berjalan melewati bulak berbatu padas berkapur. Matahari sudah menjadi muram. Langit menjadi kemerah-merahan. Beberapa lembar awan mengalir dihembus angin. Sederet burung terbang melintas di depan wajah langit.

Beberapa saat kemudian, mereka telah berada beberapa puluh patok dari padukuhan di depan mereka. Menjelang senja, padukuhan itu sudah nampak sepi.

Ketika mereka sampai di padukuhan itu, jalan-jalan sudah menjadi lengang. Satu dua rumah sudah mulai menyalakan lampu minyak kelapa.

“Rumah kenalanku itu berada dekat dengan banjar padukuhan,” berkata Ki Citra Jati.

Demikianlah, mereka berempat pun langsung menuju ke rumah orang yang disebut kenalan Ki Citra Jati itu.

Rumah kenalan Ki Citra Jati itu bukan rumah yang lengkap dengan pendapa, pringgitan, gandok, rumah bagian dalam, longkangan, dapur dan kandang kuda. Tetapi rumah itu terdiri dari dua wuwung limasan. Kemudian satu wuwung yang melintang di sisi sebelah kiri, yang dipergunakannya sebagai dapur. Rumah yang sederhana itu, di padukuhannya sudah terhitung rumah yang cukup besar dibanding dengan rumah tetangga-tetangganya. Hanya banjar dan rumah Ki Bekel sajalah yang mempunyai pendapa dengan bentuk joglo.

Ketika mereka berempat memasuki regol halaman, pintu depan rumah itu sudah ditutup. Namun di ruang dalam, dari celah-celah dinding, nampak lampu sudah dinyalakan.

Sejenak kemudian, Ki Citra Jati itu pun mengetuk pintu rumah itu perlahan-lahan.

Beberapa saat Ki Citra Jati menunggu. Karena tidak terdengar jawaban, maka Ki Citra Jati pun mengetuk sekali lagi.

“Siapa?” terdengar suara dari dalam.

“Aku, Kakang. Citra Jati.”

Sejenak suasana menjadi hening. Namun kemudian terdengar langkah menuju ke pintu.

Ketika pintu itu terbuka, nampak seorang laki-laki yang sudah setua Ki Citra Jati berdiri di depan pintu.

“O, kau Di. Aku tidak mengira bahwa kau akan sudi singgah di rumahku. Marilah. Silahkan masuk.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun melangkah masuk. Kemudian sambil menepuk bahu Rara Wulan yang masih berdiri di pintu, Nyi Citra Jati pun berkata, “Ini anakku, Kakang.”

“Anakmu? Jadi ini Srini yang kecil itu?”

Nyi Citra Jati menarik nafas panjang. Namun ia pun kemudian menggeleng sambil berdesis, “Bukan, Kakang.”

“Bukan Srini. Jadi siapa?”

“Namanya Wulan.”

“Adiknya Srini maksudmu?”

“Nanti aku akan berceritera, Kakang.”

“Baik. Baik. Silahkan masuk. Siapakah anak muda ini?”

“Anakku, Kakang,” jawab Ki Citra Jati.

“He, kau punya anak laki-laki?”

“Ya. Ia anakku.”

“Suami Wulan, Kakang,” sahut Ny Citra Jati.

“He?” kenalan Ki Citra Jati itu menjadi bingung.

Tetapi kenalan Ki Citra Jati itu pun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya masuk. Mereka dipersilahkan duduk di sebuah amben yang besar.

Dlupak yang nyalanya redup dan terletak di ajug-ajug itu pun telah sedikit dibesarkan, sehingga ruangan itu pun menjadi lebih terang.

“Ngger,” berkata Ki Citra Jati kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “kau tentu belum mengenal uwakmu ini. Namanya Wurcitra.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat. Sementara itu Ki Citra Jati pun berkata selanjutnya, “Anakku ini bernama Warigalit.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ternyata Ki Citra Jati itu mengetahui sangat banyak tentang dirinya dan Rara Wulan.

Sementara itu, kenalan Ki Citra Jati yang bernama Wurcitra itu masih saja kebingungan. Karena itu, maka ia pun bertanya-tanya, “Aku tidak mengerti maksudmu. Kalau Wulan ini anak Nyi Citra Jati dan Warigalit ini anak Ki Citra Jati, bagimana mungkin mereka itu suami istri? Apakah ketika Ki Citra Jati menikah dengan Nyi Citra Jati, kalian masing-masing sudah mempunyai anak? Seandainya demikian, apakah anak-anak kalian itu dapat menjadi suami istri?”

Ki Citra Jati tersenyum sambil menjawab, “Keduanya adalah anak angkat kami, Kakang.”

“O,” Ki Wurcitra mengangguk-angguk, “kalian telah membuat aku bingung.”

“Kami hanya belum sempat menjelaskan, Kakang.”

Ki Wiracitra itu pun kemudian bertanya, “Tetapi dimana anakmu Srini? Bukankah ia sekarang sudah perawan?”

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian dengan nada yang dalam, “Ya, Kakang, Srini memang sudah perawan.”

“Kau tinggal di rumah sendiri? Atau barangkali Srini sudah menikah?”

“Srini sudah menikah, Kakang.”

“Syukurlah. Dimana ia sekarang tinggal? Apakah masih tinggal bersamamu, atau bersama suaminya?”

Nyi Citra Jati memandang suaminya dengan tatapan mata yang buram. Ki Citra Jati-lah yang kemudian berkata selanjutnya, “Kami adalah orang tua yang gagal, Kakang.”

“He?”

“Srini lepas dari kendali kami berdua.”

“Apa maksudmu?”

“Srini menikah dengan orang yang tidak kami inginkan.”

Ki Wurcita itu mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah sulitnya mempunyai seorang anak perempuan.”

“Salah kami, orang tuanya,” berkata Nyi Citra Jati, “kami tidak mempunyai wibawa yang cukup terhadap anak kami, sehingga Srini telah menentang keinginan kami.”

“Kalian akan menjodohkan anak itu dengan laki-laki pilihan kalian?”

“Tidak. Kami belum sampai pada niat itu. Tetapi kami tidak menghendaki laki-laki itu menjadi suami Srini. Laki-laki yang sudah beristri, dan bahkan sudah mempunyai seorang anak.”

“Jadi Srini telah dimadu?”

“Tidak. Srini tidak dimadu. Istri laki-laki itu hilang beberapa hari sebelum Srini menikah. Anak dari laki-laki itu pun telah diserahkan kepada kakek dan neneknya.”

Ki Wurcitra mengangguk-angguk. Katanya, “Aku ikut berprihatin bersama kalian. Tetapi mudah-mudahan hari-hari mereka selanjutnya mereka lalui dengan baik.”

“Kami tidak dapat memantau kehidupan mereka selanjutnya, Kakang. Srini dan suaminya telah menghilang.”

Ki Wurcitra mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Untungnya bahwa kau sudah membekali anakmu dengan ilmu kanuragan, yang setidak-tidaknya dalam keadaan yang terpaksa, anakmu dapat melindungi dirinya sendiri.”

“Kakang, justru karena anakku memiliki dasar ilmu kanuragan itu, telah membuatku semakin prihatin. Aku tahu bahwa suaminya bukan orang yang dapat dipercaya. Yang aku cemaskan adalah jika suaminya itu telah memanfaatkan ilmu yang dimiliki oleh Srini untuk maksud-maksud buruk.”

Wurcitra menarik nafas panjang. Katanya, “Tetapi apakah dalam persoalan yang demikian, kesalahan selalu ada pada orang tua? Menurut penglihatanku, dahulu Srini adalah anak yang manis. Namun agaknya ia mempunyai lingkungan pergaulan yang tidak menguntungkan.”

“Bukankan itu salah kami? Seharusnya kami dapat mencegahnya dan menarik Srini dari lingkaran pergaulan yang buruk itu. Tetapi kami tidak dapat melakukannya, sehingga kami hanya dapat menyesalinya.”

“Tetapi kalian tidak boleh berputus-asa. Mungkin pada suatu saat kalian dapat bertemu dengan anakmu itu, sehingga kalian masih mendapat kesempatan untuk membawanya kembali dari jalan sesal yang telah ditempuhnya.”

Nyi Citra Jati mengusap matanya yang menjadi panas.

“Sudahlah. Serahkan saja anak perempuanmu itu kepada Yang Maha Agung. Berdoalah agar anakmu itu mendapat perlindungan lahir dan batinnya, sehingga anakmu tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Yang Maha Agung itu.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Wurcitra itu pun bertanya pula, “Nampaknya kalian berdua telah mendapat gantinya, bahkan tidak hanya seorang, tetapi dua orang. Angger Wulan bahkan mirip sekali dengan Srini, sehingga aku kira Angger Wulan ini adalah Srini.”

Nyi Citra Jati memandang Rara Wulan dengan kerut di kening. Namun akhirnya Nyi Citra Jati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Wulan memang mirip dengan Srini. Semula aku tidak begitu memperhatikannya. Baru ketika Kakang menyebutnya, maka aku pun melihat persamaaan itu. Wulan Sasi memang mirip dengan Srini.”

“Namanya bukan Wulan Sasi,” desis Ki Citra Jati.

“O. Jadi?”

Ki Citra Jati tertawa pendek. Katanya, “Kami sudah terlalu tua untuk dapat mengingat-ingat dengan baik. Sebut saja nama kependekannya, Wulan.”

Nyi Citra Jati pun tertawa pula. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan juga tertawa.

Ki Wurcitra-lah yang mengerutkan dahinya. Namun ia tidak bertanya apa-apa.

“Kakang,” bertanya Nyi Citra Jati kemudian, “nampaknya sepi-sepi saja. Dimana Mbokayu?”

Wajah Ki Wurcitra tiba-tiba menjadi muram. Dengan nada dalam ia pun menjawab, “Mbokayumu sudah tiada, Nyi.”

“He?” Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati terkejut.

“Jadi Mbokayu sudah tiada? Kapan? Kenapa aku tidak diberi tahu?”

“Belum terlalu lama. Belum genap setahun.”

“Kenapa, Kakang?”

“Mbokayumu diserang oleh penyakit di bagian dalam dadanya.”

“Aneh, Kakang.”

“Kenapa aneh?”

“Kakang adalah seorang tabib yang pandai. Kakang dapat mengobati semua penyakit. Orang-orang yang sakit yang sempat Kakang obati, menjadi sembuh. Tetapi kenapa Mbokayu tidak dapat Kakang sembuhkan?”

“Itulah kenyataan yang kita hadapi. Aku banyak menolong orang yang sakit dan menyembuhkannya. Tetapi ketika istriku sendiri sakit, aku tidak dapat mengobatinya,” suara Ki Wurcitra merendah. Lalu katanya, “Aku hampir menjadi gila, Di. Obat apapun yang aku berikan, sama sekali tidak menolongnya. Aku kerahkan semua pengetahuanku tentang obat-obatan, dilandasi dengan pengalamanku yang luas. Tetapi istriku itu tidak dapat sembuh. Bahkan ketika pada suatu pagi istriku itu muntah darah, aku hampir menjadi putus asa. Meskipun demikian, aku tidak berhenti berusaha dan memohon. Tetapi agaknya Yang Maha Agung memang telah memanggilnya.”

Yang mendengarkan ceritra Ki Wurcitra itu hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Wurcitra berkata selanjutnya, “Pada hari yang sudah ditentukan oleh takdir, maka istriku itu pun meninggal.”

“Aku ikut bela sungkawa, Kakang,” desis Ki CitraJati.

“Aku menyesal sekali, bahwa aku tidak mendengar sebelumnya bahwa Mbokayu sakit,” berkata Nyi Citra Jati.”

“Aku harus menerima kenyataan ini, Di.”

“Dimana anak-anak sekarang, Kakang?”

“Lima anakku sudah berkeluarga semua. Mereka tinggal di rumah mereka masing-masing. Ketika ibunya meninggal, mereka semuanya berkumpul untuk dua pekan. Namun kemudian mereka pun harus meninggalkan rumah ini, kembali ke rumah mereka masing-masing.”

Nampaknya anak-anak Kakang dapat hidup berbahagia.”

“Aku tidak tahu apakah mereka merasa bahagia atau tidak. Tetapi mereka menerima keadaan mereka dengan hati yang lapang. Mereka dapat mensyukuri kurnia yang mereka terima, dalam ujud apapun.”

“Syukurlah, Kakang. Aku merasa iri dengan keberhasilan Kakang mengantar anak-anak Kakang memasuki kehidupan berkeluarga.”

“Mudah-mudahan untuk selanjutnya mereka dapat hidup tenang di dalam selimut kasih Yang Maha Agung.”

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya pun ikut menjadi muram.

Namun dalam pada itu, Ki Wurcitra itu pun berkata, “Nah, silahkan duduk dahulu. Aku akan merebus air.”

“Sudahlah, Kakang. Kami tidak ingin merepotkan Kakang.”

Namun Rara Wulan-lah yang bangkit dari duduknya sambil berkata, “Uwa, biarlah aku yang merebus air.”

“He?”

Rara Wulan tersenyum sambil berkata, “Silahkan Uwa duduk saja bersama Paman dan Bibi.”

“Ternyata kau anak yang manis. Baiklah. Tetapi marilah, aku tunjukkan kepadamu letak dapur, air, kayu bakar dan belanga.”

Ketika Ki Wurcitra pergi ke dapur, maka bukan saja Rara Wulan yang mengikutinya, tetapi juga Glagah Putih.

“Biarlah aku mengambil air ke sumur,” berkata Glagah Putih.

Meskipun di rumah itu tidak ada perempuan, namun perkakas dapur di rumah Ki Wurcitra itu nampak bersih. Agaknya Ki Wurcitra itu termasuk seorang yang rajin.

Ditunjukkannya letak perkakas dapur yang diperlukan. Namun ditunjukkannya pula sebakul beras sambil berkata, “Bukankah kau tidak berkeberatan untuk menanak nasi?”

Rara Wulan pun dengan serta-merta menjawab, “Tentu tidak, Uwa. Aku akan menanak nasi.”

“Bagus. Kita akan makan malam bersama. Nasiku tinggal sedikit. Karena itu, kau harus menanak lagi.”

“Ya, Uwa.”

Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Kau tidak usah mengambil air di sumur. Setiap malam gentongku tentu penuh. Menurut orang-orang tua yang terdahulu, sebaiknya gentong air itu dipenuhi sebelum senja.”

“Ya, Uwa.”

“Tetapi kawani istrimu di dapur.”

Ki Wurcitra itu pun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan di dapur. Ia pun kemudian duduk menemui Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Kenalan yang sudah lama tidak bertemu.

Nampaknya banyak yang mereka bicarakan. Suaranya lamat-lamat terdengar sampai ke dapur.

Di dapur, Rara Wulan sibuk menjerang air. Sementara Glagah Putih menunggui api yang menyala di perapian, Rara Wulan menakar beras untuk dibersihkan.”

“Seberapa banyak kita menanak nasi?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada ragu ia pun menjawab, “Seperlunya saja, Rara. Hitung saja. Kita berempat, ditambah Ki Wurcitra.”

“Bukankah Ki Wurcitra masih mempunyai nasi?”

“Nasi dingin. Bukankah ia akan makan malam bersama kita?”

“Seberuk? Aku akan menanak nasi seberuk. Tetapi peres saja.”

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Rara Wulan pun berkata, “Kau besarkan nyala lampu minyak itu sedikit, Kakang.”

Glagah Putih pun bangkit berdiri. Lampu itu terletak di atas ajug-ajug di sudut. Di sebelah ajug-ajug, justru dekat dengan perapian, terdapat sebuah peti kayu yang agak besar. Ketika Glagah Putih membesarkan nyala dlupak minyak tanah di sudut itu, ia pun berdesis, “Apakah isi peti kayu ini?”

“Mungkin juga perkakas dapur,” desis Rara Wulan.

“Di sudut itu ada paga bambu yang agak besar. Semula alat-alat dapur ada di paga itu. Di sebelahnya adalah sebuah geledeg yang berisi tenong, dan nampaknya juga bumbon. Peti ini nampaknya bukan bagian dari isi dapur. Lihat saja. Terasa agak terpisah dari suasana lingkungan-nya.”

“Ah, kau itu ada-ada saja, Kakang.”

Glagah Putih termangu-mangu. Ia masih mendengar pembicaraan yang ramai di ruang dalam.

Glagah Putih sediri tidak tahu, kenapa ia ingin benar melihat isi peti kayu yang rupanya sudah menjadi kehitam-hitaman itu.

Karena itu, hampir di luar sadarnya, Glagah Putih telah berdiri beralaskan setumpuk kayu bakar. Dengan hati-hati ia membuka tutup peti itu.

“Kakang,” Rara Wulan mencoba mencegahnya.

Namun Glagah Putih telah membukanya. Bahkan Glagah Putih itu nampak terkejut melihat isi peti itu.

Rara Wulan yang telah mencoba mencegahnya justru menjadi ingin tahu pula. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Apa isinya, Kakang?”

“Senjata. Ada pedang, ada nenggala, kapak, trisula, dan bahkan cakram bergerigi, dan ada beberapa jenis yang lain.”

“Turunlah, Kakang. Ki Wurcitra dapat saja tersinggung jika ia tahu kau membuka peti itu.”

Glagah Putih pun segera turun. Kemudian berdua dengan Rara Wulan, mereka berjongkok di depan perapian. Sementara itu, air pun hampir mendidih.

“Menilik jenis-jenis senjata yang disimpan, agaknya Ki Wurcitra juga bukan orang kebanyakan, Rara.”

“Ya. Ia tentu orang berilmu tinggi.”

“Tetapi selama ini kita tidak pernah mendengar nama-nama seperti Citra Jati, Kidang Rame, Carang Blabar. Yang kita dengar baru Saba Lintang, dan orang-orang yang bergabung bersamanya. Ki Ambara, Ki Lurah Wira Sembada, Empu Wisanata dan beberapa orang lagi.”

“Mungkin selama ini mereka telah menyimpan senjatanya seperti Ki Wurcitra ini, Kakang.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

“Tetapi kenapa senjata-senjata itu disimpan di dapur, dan dekat perapian pula?”

“Aku kira Ki Wurcitra melakukan dengan sengaja. Bukankah dengan demikian peti itu selalu kena asap, sehingga tidak akan dimakan ngengat? Lihat. Peti itu menjadi hitam. Setiap kali api dinyalakan, maka asapnya akan mengepul dan mengasapi peti itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Senjata-senjata yang tersimpan itu pun akan tetap kering. Hulunya yang terbuat dari kayu, juga akan dapat bertahan, karena juga tidak akan dimakan ngengat.”

“Agaknya memang begitu, Kakang,” Rara Wulan mengangguk angguk.

Namun dalam pada itu, mereka pun berpaling. Di pintu berdiri Nyi Citra Jati sambil berkata, “Tentu lebih pantas aku yang berada di dapur daripada kau, Glagah Putih.”

Tetapi sambil tersenyum Glagah Putih menjawab, “Aku pun sudah terbiasa berada di dapur, Bibi. Silahkan Bibi duduk saja di ruang dalam bersama Paman dan Uwa Wurcitra.”

“Meskipun kami sudah lama tidak bertemu, tetapi bahan pembicaraan kami sudah habis. Karena itu, aku pun telah pergi ke dapur untuk membantu kalian.”

“Kami tinggal menunggu air mendidih dan nasi masak.”

“Bukankah kita juga harus membuat lauk? Kita tentu tidak akan makan nasi begitu saja.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ketika ia berpaling kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun hanya berdiam diri pula.

“Nah. kalian tentu tidak tahu, apa yang akan kita buat lauk nanti. Kakang Wurcitra telah memberitahukan kepadaku, bahwa di gledeg itu ada telur ayam lebih dari sepuluh butir. Empat ekor ayamnya bertelur bersama-sama sejak beberapa hari yang lalu. Nah, kita akan membuat telur dadar dengan sedikit cabe merah dan bawang merah. Kalian pun tentu tidak dapat membuat sambal terasi.”

Rara Wulan-lah yang kemudian menjawab sambil tertawa, “Jika Bibi memberikan bahannya, tentu aku dapat membuatnya.”

“Kau urus nasimu dan minumanmu itu. Apakah kau akan membuat wedang jahe atau wedang sere?”

“Apa yang ada saja, Bibi.”

Nyi Citra Jati itu pun kemudian pergi ke gledeg bambu untuk mencari telur, jahe, gula kelapa dan bahan lain yang diperlukan.

Namun sebelum Nyi Citra Jati mulai memecah telur untuk didadar, Ki Wurcitra dan Ki Citra Jati telah masuk ke dapur pula.

Nyi Citra Jati yang masih berdiri di muka gledeg bambu itu pun berkata, “Jadi semuanya akan berkumpul di dapur?”

“Aku hanya ingin memberitahukan bahwa semua bahan ada di dalam gledeg,” berkata Ki Wurcitra.

“Ya. Aku sudah menduga, bahwa semuanya tentu berada di dalam gledeg.”

“Aku takut kalau kau keliru,” berkata Ki Wurcitra, sambil memandang petinya yang sudah kehitam-hitaman.

Nyi Citra Jati pun memandang peti itu pula. Namun kemudian ia pun tertawa sambil berkata, “Kau takut aku mencari terasi di dalam peti itu?”

Ki Wurcitra tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Namun Ki Citra Jati-lah yang bertanya, “Apa isi peti itu, Kakang?”

“Perkakas dapur peninggalan Mbokayumu. Aku tidak mempergunakannya lagi, karena perkakas itu selalu mengingatkan aku kepada Mbokayumu.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, “Apa saja yang kau masukkan ke dalam peti itu? Belanga? Dandang tembaga, atau mangkuk-mangkuk dan barang pecah belah lainnya?”

Ki Wurcitra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku sudah lupa, apa saja yang sudah aku masukkan ke dalam peti itu.”

Namun Ki Citra Jati pun tertawa sambil berkata, “Menilik petinya, maka sudah tentu isinya bukan barang pecah belah. Bukan pula dandang tembaga atau bokor-bokor perunggu.”

“Lalu apa, menurut dugaanmu?”

“Tentu saja aku tidak dapat menebak, Kakang. Tetapi jika Kakang ijinkan, aku akan melihatnya.”

“Sudahlah. Nanti pakaianmu kotor. Peti itu sudah lama berada di situ, sehingga asap perapian itu telah membuatnya menjadi kehitam-hitaman.”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Peti itu tentu sudah bertahun tahun berada di situ.”

“Ya. Sudah lebih dari tiga tahun.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi sejak Mbokayu masih ada, maka alat-alat dapur itu sudah kau simpan di dalam peti itu?”

Ki Wurcitra terkejut. Sementara itu terdengar suara tertawa Nyi Citra Jati berkepanjangan. Katanya, “Kau bukan seorang yang pandai menipu atau berpura-pura, Kakang.”

Ketika Ki Citra Jati kemudian tertawa, maka Ki Wurcitra pun tertawa pula. Katanya, “Baiklah. Aku menyerah. Karena itu, jika kau ingin melihat, lihatlah.”

Ki Citra Jati pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Apakah kau juga ingin melihat isi peti itu, Glagah Putih?”

Sebelum Glagah Putih menjawab, Ki Wurcitra-lah yang bertanya, “Siapakah sebenarnya nama anak itu? Nampaknya kau juga bukan seorang yang pandai berbohong.”

Ki Citra Jati tertawa pula. Katanya, “Namanya Glagah Putih. Istrinya bernama Rara Wulan. Bukan Wara Sasi.”

Ki Wurcitra itu pun mengangguk-angguk.

“Nah, Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati, “lihat. Apa isi peti itu.”

Glagah Putih pun kemudian telah melangkah ke arah peti di belakang perapian itu. Seperti yang dilakukan sebelumnya, maka ia pun segera naik ke atas setumpuk kayu bakar.”

“Apakah aku harus membuka tutupnya?” bertanya Glagah Putih yang masih saja ragu.

Ki Citra Jati-lah yang menyahut, “Apakah kau dapat melihat isinya tanpa membuka tutupnya?”

Glagah Putih tertawa pendek sambil menggapai tutup peti itu.

Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Glagah Putih telah membuka peti itu sebelumnya.

Demikian peti itu dibuka, maka Glagah Putih memang berpura-pura terkejut.

“Apa yang kau lihat di dalam peti itu, Glagah Putih?  bertanya KI Citra Jati.

Glagah Putih tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Ki Wurcitra sekilas. Namun Glagah Putih pun kemudian telah memperhatikan isi peti itu lagi.

“Apa isinya?” Ki Citra Jati bertanya lagi.

Glagah Putih memungut nenggala yang ada di bagian atas dari setumpuk senjata di dalam peti itu, mengangkatnya dan menunjukkannya kepada Ki Citra Jati. “Ini salah satu di antaranya, Paman.”

Ki Citra Jati tertawa pendek. Katanya, “Aku sudah mengira.”

Nyi Citra Jati yang kemudian mendekat telah bertanya, “Kakang dan Mbokayu ketika itu memang sudah berniat menyimpannya dan tidak akan mempergunakannya lagi?”

Ki Wurcitra mengangguk. Katanya, “Ya. Kami sudah berniat untuk tidak mempergunakannya lagi. Apalagi sepeninggal Mbokayumu. Aku menjadi semakin jauh dari senjata-senjata itu.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mbokayu meninggal dalam suasana yang damai.”

“Mbokayu tentu merasa tenang dan tentram di saat-saat terakhirnya,” desis Nyi Citra Jati.

“Ya. Pada saat-saat terakhir, Mbokayumu memang tidak pernah bertanya lagi tentang senjata-senjata itu. Ketika kami baru menyimpannya, untuk waktu setahun, Mbokayumu masih sering mempertanyakannya. Tetapi setelah itu, ia telah benar-benar melupakannya. Pada saat ia sakit, ia tidak pernah menyebut sepatah katapun tentang senjata-senjata itu. Ia memang meninggal pada suasana yang sangat damai, di antara tetangga-tetangga kami di sini yang ramah, jujur dan kasih yang tinggi di antara sesama.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati saling berpandangan sejenak. Namun kemudian dengan nada yang dalam Nyi Citra Jati itu pun berkata, “Sungguh pantas untuk diteladani.”

Glagah Putih yang masih berdiri di setumpuk kayu itu bagaikan membeku. Ia masih menggenggam nenggala yang berujung runcing dan tajam di kedua sisinya. Namun sebuah kebimbangan telah menyelinap di dalam hatinya, ketika sebuah pertanyaan mengusiknya, “Bagaimana dengan sikap seseorang yang merasa lebih baik mati di peperangan dengan pedang di tangan, daripada mati di pembaringan? Bahkan dengan penuh kebanggaan.”

“Kembalikan nenggala itu ke dalam peti, Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati, “meskipun kami tidak melihat isinya yang lain, tetapi kami tahu, apa saja yang ada di dalam peti itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mengembalikan nenggala itu ke dalam peti dan menutupnya kembali.

Ki Citra Jati yang melihat wajah Ki Wurcitra menjadi muram, telah memegangi lengannya sambil berkata, “Marilah. Kita duduk lagi di ruang dalam. Biarlah istriku dan anak-anak itu berada di dapur.”

Ki Wurcitra tidak menjawab. Tetapi ia menurut saja ketika Ki Citra Jati menariknya ke ruang dalam. Ketika Ki Citra Jati dan Ki Wurcitra sudah keluar dari dapur, maka Nyi Citra Jati pun telah kembali ke geledeg untuk menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan, sementara Glagah Putih pun telah turun dari tumpukan kayu bakar itu.

“Lupakan,” berkata Nyi Citra Jati, “sekarang, perhatian kita harus tertuju kepada nasi yang hampir masak. Air yang sudah lama mendidih, dan aku pun akan membuat dadar telur dan sambal terasi.”

Rara Wulan pun kemudian menjadi sibuk membuat wedang jahe dan kemudian menuangnya ke dalam mangkuk.

Ketika Glagah Putih menyiapkan ceting untuk menyendok nasi, Nyi Citra Jati pun berkata, “Jangan kau yang menyendok nasi, Glagah Putih. Tabu bagi seorang laki-laki. Biar Wulan Sasi saja yang melakukannya. Kau bawa saja minuman hangat itu ke ruang dalam.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa pendek hampir bersamaan.

“Apa yang kalian tertawakan? Pesan orang-orang tua itu?”

“Bukan, Bibi,” sahut Glagah Putih dengan serta-merta.

“Jadi, apa?”

“Nama Rara Wulan.”

“Kenapa dengan nama itu?”

“Bibi menyebutnya Wulan Sasi.”

“He? Jadi aku keliru lagi?”

“Ya, Bibi.”

Nyi Citra Jati itu pun tertawa pula.

Sebenarnyalah Glagah Putih pun urung menyendok nasi. Ia membawa minuman yang sudah dituang ke ruang dalam. Sementara itu, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun masih sibuk di dapur.

Ketika Glagah Putih kembali ke dapur, maka Nyi Citra Jati pun berkata, “Kau tidak kebagian kerja lagi, Glagah Putih. Duduk sajalah bersama paman dan uwakmu. Dengar apa yang mereka perbincangkan. Mungkin kau akan mendapat sedikit gambaran tentang kehidupan uwakmu Wurcitra di masa mudanya.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun pergi ke ruang dalam dan duduk di sebelah Ki Citra Jati.

“Bibi minta aku duduk di sini saja,” berkata Glagah Putih.

Ki Wurcitra-lah yang menyahut, “Bagus. Kau memang lebih baik tidak berada di dapur.”

Glagah Putih tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut.

“Kami sedang bercerita tentang masa-masa lampau kami,” berkata Ki Citra Jati, “kami juga pernah mengembara. Kami memang banyak mendapat pengalaman di dalam pengembaraan kami. Tetapi pada saat itu, masih belum banyak orang yang berilmu tinggi, sehingga kami pun lolos dari jaring-jaring kerasnya dunia olah kanuragan, meskipun bekal kami baru selapis.”

“Selapis menurut penilaian Paman, tentu berpuluh lapis menurut penilaianku.”

“Aku tidak berbohong,” berkata Ki Citra Jati, “bertanyalah kepada uwakmu Ki Wurcitra. Ilmu kami di umur kami sebagaimana umurmu sekarang, jauh lebih rendah dari ilmumu. Tetapi pada waktu itu, kami bagaikan alap-alap yang merajai langit. Tidak seekor burung pun yang berani melawan kami. Bahkan elang yang perkasa itu pun berusaha menjauhi kami.”

Ki Wurcitra tertawa. Katanya, “Waktu yang sudah jauh lampau Tetapi sekarang, seumurmu kau sudah mampu membuat pengewan-ewan. Seandainya kau hidup pada masa mudaku, maka kau akan menguasai seluruh dunia olah kanuragan.”

“Paman dan Uwa membuat jantungku mengembang. Tetapi aku justru cemas jika jantungku justru akan meledak.”

“Tidak. Aku tidak hanya sekedar memuji. Tetapi demikianlah yang telah terjadi.”

Glagah Putih tertawa. Sementara Ki Wurcitra itu berkata, “Karena itu, aku telah membayangkan, apa saja yang dapat kau lakukan kelak jika kau menjadi setua aku. Pengalamanmu akan membuat kau menjadi seorang yang tidak dapat ditakar lagi ilmunya.”

“Semoga,” sahut Glagah Putih sambil tertawa.

Sementara itu Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun memasuki ruang itu, sambil membawa minuman, nasi, serta telur ayam yang didadar dan sambal terasi.

“Baunya membuat perutku semakin lapar,” berkata Ki Citra Jati.

“Kau kira perutku tidak sedang lapar?” sahut Ki Wurcitra. “Aku memang masih mempunyai nasi. Tetapi sudah dingin, dan aku malas untuk membuat telur dadar. Sekarang ada nasi hangat, telur dadar dan sambal terasi.”

“Kita akan makan bersama-sama,” berkata Nyi Citra Jati.

Sejenak kemudian, seisi rumah itu sudah duduk di atas amben bambu yang agak besar, mengelilingi nasi yang masih mengepul, telur dadar serta sambal terasi. Sementara itu minuman pun masih hangat pula.

Namun sebelum mereka mulai menyendok nasi di mangkuk masing masing dari ceting bambu, terdengar pintu rumah itu diketuk keras-keras.

Orang-orang yang duduk di amben yang besar itu terkejut. Sejenak mereka termangu-mangu.

Namun ketukan di pintu itu menjadi semakin keras.

“Siapa?” bertanya Ki Wurcitra.

“Buka pintu, Ki Sanak.”

“Siapa?”

“Buka pintunya, atau aku akan merusaknya.”

Ki Wurcitra termangu-mangu sejenak. Ketika Glagah Putih bangkit berdiri, Ki Wurcitra memberinya isyarat agar ia tetap duduk.

Ki Wurcitra-lah yang melangkah ke pintu. Kemudian sekali lagi ia bertanya, “Siapa di luar?”

“Buka pintunya. Jangan banyak bertanya.”

Ki Wurcitra pun kemudian mengangkat selarak pintu leregnya. Kemudian perlahan-lahan ia mendorong pintunya ke samping.

Ki Wurcitra itu melangkah surut ketika ia melihat seorang perempuan muda meloncat masuk ke dalam rumah itu, diikuti oleh seorang laki laki yang berwajah garang. Di luar pintu masih ada beberapa orang yang berjalan hilir mudik.

“Aku akan berbicara dengan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati,” berkata perempuan muda itu.

Dengan serta-merta Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati segera bangkit berdiri. Nyi Citra Jati yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya, telah berlari mendapatkan perempuan muda itu sambil mengembangkan tangannya.

“Srini, Srini,” betapa rindunya Nyi Citra Jati, sehingga ia tidak sempat melihat suasana yang gelap di wajah Srini dan laki-laki yang berwajah garang itu.

Namun langkah Nyi Citra Jati terhenti. Dengan nada tinggi Srini berkata, “Jangan maju lagi, Ibu.”

“Srini, ada apa? Bukankah aku ibumu?”

“Ya. Tetapi itu semasa aku masih kecil. Semasa aku masih memerlukan perlindungan Ibu dan Ayah.

“Jadi bagaimana sekarang?”

“Aku bukan lagi kanak-kanak yang masih memerlukan perlindungan Ibu dan Ayah. Aku sudah dapat melindungi diriku sendiri.”

“Tetapi bukankah aku tetap ibumu?”

Perempuan itu memandang orang-orang yang berada di ruang itu seorang demi seorang. Sorot matanya yang tajam itu bagaikan menusuk ke dada setiap orang, langsung menembus ke jantung.

“Siapa saja mereka itu, Ibu?”

“Apakah kau lupa dengan uwakmu Wurcitra? Bukankah pada pertemuanmu yang terakhir dengan uwakmu, kau sudah terhitung cukup besar, bahkan menjelang remaja? Sehingga tentunya kau ingat kepadanya.”

“Bukan Uwa Wurcitra.”

“Dua orang muda ini maksudmu?”

“Ya. Bukankah keduanya adalah orang-orang yang Ayah dan Ibu lindungi?”

Nyi Citra Jati mengerutkan dahinya. Kemudian ia pun menjawab, “Ya. Aku memang melindunginya. Tetapi ternyata aku keliru. Tanpa perlindunganku dan ayahmu, keduanya akan dapat melindungi diri mereka sendiri.”

“Ibu mulai membohongi aku.”

“Srini. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa aku dan ayahmu melindungi kedua orang muda suami istri itu?”

“Aku tahu bahwa Ayah dan Ibu sudah melakukannya di lorong lewat celah-celah gumuk padas yang bertebing curam itu.”

“Tentu ada yang memberitahukan kepadamu.”

“Siapapun yang memberitahukan kepadaku, tetapi bukankah Ayah dan Ibu melakukannya?”

“Ya.”

“Aku tidak senang mendengar cerita itu. Aku datang untuk mengambil kedua orang muda itu.”

“Untuk apa kau ambil kedua orang muda itu?”

“Aku memerlukan mereka.”

“Apakah kau bermaksud baik atau sebaliknya, atas mereka?”

“Ayah dan Ibu tidak perlu melindungi mereka lagi. Apalagi jika Ibu masih mengaku sebagai ibuku.”

“Nanti dulu, Srini. Kita dapat berbicara dengan baik.”

“Tidak ada waktu untuk berbicara.”

“Kenapa tidak ada waktu? Bukankah kita mempunyai waktu yang panjang? Duduklah. Marilah kita makan bersama seadanya. Uwakmu telah menyuguhkan makan malam buat ayah dan ibumu.”

“Sudahlah. Serahkan kedua orang suami istri itu. Aku tidak mau mereka bersama Ayah dan Ibu.”

“Jangan begitu, Srini. Marilah kita sedikit menyisihkan waktu untuk berbicara. Di sini ada ayah dan ibumu.”

“Srini,” sela Ki Wurcitra, “aku mengenalmu pada saat-saat kau menjelang remaja. Sudah lama, Srini. Sekarang, marilah kita hormati pertemuan kita ini.”

“Waktunya tidak tepat, Uwa.”

“Kenapa? Duduklah. Siapakah laki-laki itu?”

“Jangan menghambat tugas-tugas kami,” tiba-tiba laki-laki yang datang bersama Srini itu menggeram. Seperti ujudnya, maka sikap dan caranya mengucapkan kata-katanya pun terasa garang pula.

“Tidak. Kami tidak akan menghambat tugas kalian. Tetapi setelah sekian lama aku tidak bertemu dengan Srini, yang aku kenal sebagai seorang gadis yang manis, maka sudah sewajarnya jika aku mensyukuri pertemuan ini.”

“Cukup!” bentak laki-laki itu, “Serahkan kedua orang suami istri pembunuh itu.”

“Siapakah kau, Ngger?” bertanya Ki Citra Jati.

” Ia suamiku, Ayah,” Srini-lah yang menjawab. Namun Srini pun bertanya pula, “Bukankah Ayah pernah mengenalnya, dan bahkan menolaknya?”

“Aku sudah mengira. Tetapi wajahnya sekarang memang sudah berubah.”

“Ayah masih akan merendahkannya, sebagaimana pernah Ayah lakukan?” bertanya Srini.

“Tidak. Tidak.”

“Aku tahu, bahwa pertanyaan Ayah bukan pertanyaan sewajarnya. Mungkin wajah suamiku memang sudah berubah. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, perubahan itu tentu belum akan membuat Ayah tidak dapat mengenalinya.”

“Tetapi kau pun berubah, Srini,” berkata Ki Wurcitra, “kau dahulu manis sekali. Kulitmu keputih-putihan, sehingga sepantasnya kau dilahirkan di lingkungan para bangsawan.”

“Terima kasih, Uwa. Tetapi Uwa tidak akan dapat mengungkit masa lampauku untuk membuatku menjadi cengeng.”

“Srini,” berkata ibunya, “kalian memang berubah. Jika saja aku bukan yang melahirkanmu, Srini, mungkin aku tidak akan dapat secepat itu mengenalmu.”

“Cukup. Sekarang serahkan kedua orang suami istri itu,” Srini berkata kepada ibunya.

“Keduanya bukan benda mati. Keduanya mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melindungi diri mereka sendiri. Bagaimana aku dapat menyerahkan mereka kepada kalian berdua?”

“Ibu masih akan melindunginya?”

“Tidak, Srini. Aku tidak akan melindunginya Tetapi aku pun tidak berhak menyerahkan keduanya kepadamu.”

“Aku persilahkan Ayah dan Ibu minggir. Jika Ayah dan Ibu menghalangi kami, maka terpaksa sekali kami harus mengambilnya dengan kekerasan.”

Ki Citra Jati pun maju selangkah sambil bertanya, “Srini. Kenapa kau nampaknya sangat membenci kedua orang yang belum kau kenal itu? Apakah karena ia telah membunuh seorang yang telah lebih dahulu menyerang mereka dari atas tebing itu? Atau karena mereka telah kami angkat menjadi anak-anak kami? Apakah kau dengan demikian merasa tersaingi, sehingga kasih sayang kami hanya akan tertumpah kepada anak-anak angkat kami? Atau bahkan harta warisan kami, meskipun tidak seberapa? Tetapi bukankah kau tahu bahwa Ayah dan Ibu juga pernah mengangkat bahkan tidak hanya satu dua orang anak angkat, tetapi beberapa. Sementara itu kau tidak pernah merasa berkeberatan sebelumnya.”

“Aku sama sekali tidak berkeberatan Ayah mengangkat anak angkat berapapun jumlahnya. Tetapi bukan kedua orang suami istri yang jahat itu.”

“Coba Srini, katakan alasan yang sebenarnya, kenapa kau menyebut mereka jahat.”

“Cukup, Ayah,” berkata Srini, “aku minta Ayah dan Ibu sekali lagi untuk minggir. Aku tahu bahwa Ayah dan Ibu mempunyai ilmu yang tinggi. Tetapi di luar rumah ini ada beberapa orang yang akan dapat memaksakan kehendak mereka kepada Ayah dan Ibu. Sementara itu, aku dan Kakang akan menyelesaikan kedua orang suami istri itu. Jika mereka menyerah, maka masih ada kemungkinan bahwa mereka akan hidup. Tetapi jika mereka berusaha melawan, maka mereka akan mati di halaman rumah Uwa Wurcitra.”

“Kenapa kau tidak mau mendengarkan kata-kata ayah dan ibumu, Srini?” Ki Wurcitra menyela, “Bukankah mereka itu lantaran Yang Maha Pencipta menghadirkanmu di dunia ini?”

“Mereka hanya lantaran, Uwa. Lantaran itu dapat siapa saja. Seandainya bukan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, maka tentu ada sepasang ayah dan ibu yang lain yang menjadi lantaran kelahiranku.”

“Tetapi ayah dan ibumu itu sudah membesarkanmu. Mencintaimu. Mereka bekerja membanting tulang untuk menghidupimu. Ketika kau masih bayi, ayah dan ibumu seakan akan tidak pernah tidur di malam hari karena mengurusimu. Apalagi di siang hari. Demikian kau tumbuh, maka ayah dan ibumu menjadi semakin sibuk. Mereka berbuat apa saja untuk kepentinganmu. Apalagi jika kau sedang sakit. Maka ayah dan ibumu itu pun ikut menderita sakit pula.”

“Bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang ayah dan seorang ibu? Karena mereka menjalankan kewajiban mereka, maka aku tidak merasa berhutang budi kepada mereka. Adalah bukan kehendakku, bahwa aku dilahirkan.”

“Srini,” potong Ki Wurcitra, “jadi itukah sikapmu terhadap ayah dan ibumu?”

“Ya, Uwa. Dan sekarang aku minta Uwa tidak ikut campur lagi. Persoalan antara aku dan orang tuaku juga tidak akan tumbuh jika orang tuaku tidak melindungi kedua orang suami istri itu.”

“Baik, Srini. Aku tidak akan ikut mencampuri persoalanmu dengan kedua orang tuamu. Tetapi ketahuilah, bahwa aku menganggap sikapmu terhadap kedua orang tuamu itu salah.”

“Aku tidak memerlukan pendapat Uwa. Terserah saja kepada Uwa, apakah sikapku ini salah atau tidak.”

“Kau telah merendahkan kepercayaan Yang Maha Agung terhadap kedua orang tuamu untuk melahirkan dan memeliharamu. Sementara itu, kedua orang tuamu melakukannya dengan penuh kasih sebagai pancaran kasih Yang Maha Agung itu.”

“Cukup!” bentak laki-laki yang menyertai Srini, “waktu kami tidak banyak. Sekarang, semuanya minggir! Kami akan menangkap suami istri itu dan menyeret mereka untuk diadili.”

“Baiklah. Kami akan minggir,” berkata Ki Wurcitra. “Tetapi rumah ini terlalu sempit untuk berkelahi. Aku tidak ingin perabot rumahku yang sederhana ini rusak.”

“Tidak akan terjadi perkelahian. Jika kedua orang itu menolak, aku akan membunuh mereka dengan sekali tebas.”

“Aku tidak mau ada darah di dalam rumahku,” berkata Ki Wurcitra.

“Kau jangan banyak bicara, kakek tua! Atau aku harus membungkam mulutmu dengan golok ini?”

“Jangan bersikap kasar terhadap pemilik rumah ini, Ngger. Sebaiknya kalian keluar. Lakukan apa yang akan kalian lakukan di luar.”

Srini-lah yang menjawab, “Baik. Kami akan keluar. Tetapi kedua orang suami istri itu juga harus keluar, atau kami akan menghancurkan rumah ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih berusaha menahan diri itu pun kehilangan kesabaran. Dengan nada tinggi Glagah Putih berkata, “Kami akan keluar. Apapun yang akan terjadi, akan terjadi luar rumah Uwa Wurcitra.”

“Mereka hanya ingin mengelabui kita, atau sekedar memperpanjang waktu.”

“Aku tunggu dalam hitungan sepuluh,” berkata Srini, “jika dalam sepuluh hitungan keduanya tidak turun ke halaman, seisi rumah ini akan menjadi sasaran. Apalagi jika keduanya berusaha untuk melarikan diri.”

“Kami akan keluar lebih dahulu,” berkata Rara Wulan. Tanpa menunggu jawaban, Rara Wulan pun segera melangkah ke pintu, diikuti Glagah Putih.

Srini dan suaminya justru terkejut, karena keduanya demikian saja melangkah di hadapan mereka, sehingga Srini dan suaminya bahkan telah menyibak. Namun sikap Rara Wulan dan Glagah Putih itu sempat mengusik perasaan Srini dan suaminya, laki-laki yang berwajah garang itu. Sikap Rara Wulan dan Glagah Putih menunjukkan, betapa besar kepercayaan diri kedua orang suami istri itu.

Namun Srini pun terlalu yakin akan kemampuannya dan kemampuan suaminya. Karena itu, maka mereka berdua pun segera menyusul keluar. Ternyata di bayangan kegelapan, beberapa orang memang sedang menunggu dengan gelisah. Ada di antara mereka yang berjalan hilir mudik Namun ada yang berdiri saja bersandar sebatang pohon di halaman.

Demikian Rara Wulan dan Glagah Putih turun ke halaman, maka mereka pun serentak memperhatikan mereka dengan seksama.

“Inilah agaknya kedua orang yang harus diambil,” berkata seorang yang rambutnya panjang dan terurai lepas di bawah ikat kepalanya.”

“Agaknya memang kedua orang itulah yang akan kita ambil,” sahut orang yang yang berdiri di sampingnya.

“Tetapi agaknya kita harus berhati-hati. Nampaknya mereka mempunyai kemampuan yang meyakinkan, sehingga keduanya sama sekali tidak merasa gentar melihat kehadiran kita di sini.”

“Tetapi Ki Gunung Lamuk dan istrinya itu akan segera menyelesaikan mereka.

“Jika Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati masih berusaha melindunginya, maka kita akan menyingkirkan kedua orang tua itu.”

“Itulah soalnya. Tetapi jika terpaksa, apa boleh buat. Jika kita tidak membunuhnya, maka mereka-lah yang akan membunuh kita. Sementara itu agaknya Nyi Gunung Lamuk sudah tidak menaruh perhatian sama sekali kepada orang tuanya yang pernah menyakiti hatinya itu.”

“Namun bagaimanapun, juga keduanya adalah orang tuanya.”

“Nampaknya kau masih lebih alim dari Nyi Gunung Lamuk. Masih tahu menghargai kedua orang tua, apapun yang pernah mereka lakukan. Tetapi nampaknya Nyi Gunung Lamuk sudah tidak lagi mempunyai pertimbangan seperti itu.”

“Perempuan itu akan dapat kualat.”

Kawannya tertawa. Katanya, “Dengan melihat ujudmu, seharusnya hatimu lebih kelam dari Nyi Gunung Lamuk. Tetapi ternyata kau yang ujudnya seperti hantu kubur itu masih juga mempunyai peletik yang cerah di hatimu, meskipun hanya sekecil biji kemangi.”

“Kau dapat menilai sikap baik dan buruk?”

“Ya.”

“Apakah kau juga dapat menilai sikapmu sendiri?”

“Setidak-tidaknya aku tahu, bahwa kita berjalan di jalan yang sesat.”

“Ternyata kau adalah orang yang paling jahat seperti juga aku. Kita tahu mana yang baik dan yang buruk, tetapi kita justru memilih yang jahat. Karena itu, kita telah melakukan kejahatan ganda.”

Kawannya terdiam. Tetapi ia justru merenunginya.

Dalam pada itu, Srini dan suaminya pun telah berada di halaman pula. Di belakang mereka menyusul Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Wurcitra. Sebelum Srini mengatakan sesuatu, Rara Wulan pun telah mendahuluinya berkata lantang, “Kami sudah siap. Siapakah yang akan menangkap kami?”

Srini maju selangkah sambil berkata, “Iblis betina. Kau kira kami siapa, he? Berani membentak-bentak.”

“Jangan banyak bicara lagi,” jawab Rara Wulan, “suaramu menyakitkan telingaku. Jika kau ingin bertempur, kita akan bertempur. Mudah-mudahan Paman dan Bibi Citra Jati tidak menjadi salah paham.”

“Itukah isyaratmu untuk minta perlindungan Ayah dan Ibu?” bertanya Srini.

“Ya,” jawab Rara Wulan, “kau adalah anak yang durhaka. Kau ingkari kasih sayang orang tuamu sendiri sebagai lantaran kasih Yang Maha Agung kepadamu.”

Srini tertawa, “Ayah dan ibuku-kah yang mengajarimu, sehingga kau dapat berkata seperti itu?”

“Ya, ayah dan ibumu. Dan bahkan semua orang tua di seluruh dunia mengatakannya kepadamu tentang dirimu.”

Srini dan bahkan suaminya tertawa semakin keras. Dengan nada tinggi Gunung Lamuk itu berkata, “Nampaknya kau sudah mulai kehilangan kepercayaan pada dirimu, sehingga kau sedang mencari-cari sandaran.”

“Apakah kau masih ingin berbicara lagi?” tiba-tiba Rara Wulan bertanya.

Srini menggeretakkan giginya. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang. Serangannya datang begitu cepat seperti anak panah yang meluncur dari busurnya.

Tetapi Rara Wulan pun sudah bersiap. Karena itu, maka serangan itu tidak menyentuh tubuhnya. Dengan sigapnya ia pun mengelak.

Sementara itu Glagah Putih pun berbisik di telinganya, “Kita bertempur berpasangan.”

Rara Wulan mengerti maksudnya. Menurut pengamatan Glagah Putih kedua orang lawan itu tentu berilmu tinggi, sehingga Rara Wulan tidak boleh terlepas dari pengaruh kelebihan Glagah Putih.

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Rara Wulan bertempur tanpa jarak di antara mereka berdua. Ketika Srini dan suaminya memencar, Rara Wulan tetap saja bertempur berpasangan.

Glagah Putih memang cukup berhati-hati. Ia belum mengetahui tingkat kemampuan lawannya, sehingga ia tidak ingin terjadi sesuatu yang akan membuatnya menyesal sepanjang hidupnya.

Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin seru. Srini dan suaminya, Gunung Lamuk, menyerang dengan garangnya. Namun Rara Wulan dan Glagah Putih pun dengan terampil mengelak dan menangkis serangan-serangan itu.

Sebenarnyalah bahwa kedua orang itu memang berilmu tinggi. Tetapi menurut penjajagan Glagah Putih, kemampuan Srini masih belum sangat berbahaya bagi Rara Wulan. Meskipun demikian, keduanya masih saja bertempur berpasangan. Sekali-sekali terjadi jarak antara keduanya jika salah seorang dari mereka menyerang. Namun demikian mereka telah bersatu kembali, seakan-akan mereka berdua hanya memiliki satu otak.

Srini dan Gunung Lamuk memang mengalami kesulitan untuk menaklukkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Serangan-serangan mereka selalu tidak berhasil menyentuh sasaran. Yang paling mungkin terjadi adalah benturan-benturan yang keras, yang membuat tulang-tulang mereka menjadi nyeri.

Ketika sekali dengan segenap tenaga Srini menyerang Glagah Putih, Glagah Putih sengaja tidak menghindarinya. Dengan tangkas ia menangkis serangan itu, sehingga terjadi benturan yang keras.

Srini telah terdorong surut beberapa langkah. Sambil menyeringai kesakitan ia mengelus lengannya yang membentur lengah Glagah Putih.

“Anak setan kau,” geram Srini. Dengan kemarahan yang semakin meluap, ia pun menyerang sejadi-jadinya. Demikian pula Gunung Lamuk. Dikerahkannya kemampuannya untuk menghancurkan kedua orang suami istri itu.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pun meningkatkan ilmunya. Sekali-sekali Rara Wulan memang mengalami kesulitan, tetapi dengan cepat Glagah Putih mampu mengurainya. Bahkan serangan-serangan Glagah Putih telah mendesak kedua orang lawan mereka.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Semakin lama justru Gunung Lamuk dan Srini-lah yang menjadi semakin terdesak.

Sementara itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Wurcitra menjadi tegang pula. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak tahu, kepada siapa mereka harus berpihak. Bagaimanapun juga Srini adalah anak mereka. Tetapi mereka sadar sepenuhnya, bahwa Srini telah menempuh jalan yang gelap. Nampaknya ia juga berada di antara orang-orang yang beraliran gelap.

Sementara itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Gunung Lamuk menjadi semakin marah ketika mereka tidak segera dapat mengalahkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Gunung Lamuk menyangka, bahwa bersama Srini mereka akan dapat menyelesaikan pertempuran itu dalam waktu singkat.

Karena itu, maka Gunung Lamuk itu tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia memberikan isyarat kepada beberapa orang yang menunggui pertempuran itu, untuk melibatkan diri.

“Kepung kedua cucurut itu agar mereka tidak dapat melarikan diri!” terak Gunung Lamuk. Namun maksud dari perintahnya itu jelas bagi kawan-kawannya. Mereka harus membantu menyelesaikan pertempuran itu. Menangkap Glagah Putih dan Rara Wulan hidup atau mati. 

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Wurcitra terkejut. Namun untuk beberapa saat, mereka tidak tahu, apa yang harus mereka lakukan.

Namun demikian orang-orang itu rnulai bergerak dan membuat lingkaran, Ki Citra Jati pun berkata, “Jangan ikut campur Ki Sanak. Biarlah kedua pasangan suami istri itu menentukan akhir dari pertempuran di antara mereka.”

Orang-orang itu pun terhenti. Mereka memandang wajah Ki Citra Jati dengan tegangnya.

“Ayah!” teriak Srini, “Jangan ganggu mereka! Biarlah mereka mengepung kedua orang suami istri ini. Kami memerlukan mereka, hidup atau mati.”

“Jangan Srini,” berkata ayahnya, “biarlah kalian bertempur dengan jujur.”

“Ayah, jadi Ayah benar-benar melindungi mereka?”

“Sudah aku katakan, Srini. Aku tidak melindungi mereka. Tetapi biarlah pertempuran ini adil. Kalian berdua, Glagah Putih pun berdua dengan istrinya.”

“Aku tidak peduli, Ayah. Aku akan minta kawan-kawanku melibatkan diri.”

“Jangan, jangan. Kau adalah anakku. Kau tidak boleh bermain dengann licik.”

Namun Gunung Lamuk tidak sabar lagi. Ia pun berteriak nyaring, “Kepung mereka! Kita akan segera menyelesaikan pertempuran ini!”

Namun agaknya Nyi Citra Jati masih dicengkam kebimbangan. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Srini! Sudahlah, Srini. Hentikan! Tinggalkan suami istri itu.”

Srini memandang ibunya dengan tatapan mata yang menyala. Dengan geram ia pun berkata, “Ibu kasihan kepada mereka, sehingga ibu akan melindungi mereka? Jadi apa artinya cerita Ibu tentang kasih sayang kepada anaknya?”

“Srini. Aku sayang kepadamu. Karena itu, aku minta kau meninggalkan tempat ini, karena tempat ini dan persoalan yang kau bawa akan dapat membahayakan dirimu.”

“Omong kosong. Jika Ayah dan Ibu tidak turut campur, maka kami akan dapat menyelesaikan tugas kami. Tidak ada orang yang dapat menghalangi kami.”

“Tetapi aku tidak sampai hati melihat permainanmu yang tidak mapan itu, Srini.”

“Ibu tidak usah memberikan terlalu banyak alasan. Sekarang, aku minta Ayah dan Ibu jangan ikut campur.”

Gunung Lamuk yang tidak sabar itu pun berteriak, “Selesaikan tugas kalian! Jangan hiraukan siapapun. Jika ada yang mencoba melindungi kedua orang suami istri itu, singkirkan mereka!”

Orang-orang itu mulai bergerak. Sementara itu orang yang rambutnya tergerai di bawah ikat kepalanya itu berdesis, “Orang tua itu tentu menjadi bingung.”

“Kenapa?”

“Ia tidak dapat menerima kenyataan betapa liciknya Nyi gunung Lamuk. Sedangkan di lain pihak, Nyi Gunung Lamuk adalah anaknya.”

Kawannya mengangguk. Katanya, “Kau masih memikirkannya? Jadi apa yang harus kau lakukan jika kita harus bertindak ?”

“Sudah aku katakan, kita adalah orang yang paling jahat. Meskipun aku tahu betapa rumitnya pikiran ayah dan ibu Nyi Gunung Lamuk, tetapi aku akan bertempur sesuai dengan perintah.”

Namun tiba-tiba saja suaranya patah. Terdengar Ki Citra Jati berkata lantang, “Ki Sanak. Aku minta jangan ada yang ikut campur. Jika kalian tidak ikut campur, maka aku pun tidak akan ikut campur. Tetapi jika kalian ikut campur, maka aku pun akan ikut campur juga. Demikian pula Nyi Citra Jati.”

“Itukah ujud kecintaan Ayah kepadaku?”

“Aku mencintai anakku, Srini yang manis dan penurut. Jika ia bukan anak manis dan penurut, maka ia bukan anakku yang pantas aku cintai.”

Wajah Srini menjadi merah. Katanya dengan lantang kepada kawan-kawannya, “Kita tidak mempunyai pilihan lain!”

“Srini,” suara Nyi Citra Jati bergetar, “pergilah. Tinggalkan tempat ini.”

Tetapi suara Gunung Lamuk mengatasinya, “Cepat! Kita selesaikan tugas kita kali ini.”

Demikianlah, maka orang-orang yang mengepung itu pun serentak bergerak. Namun Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun telah bergerak pula.

Dengan suara yang tersendat Nyi Citra Jati pun masih berusaha untuk mencegah pertempuran yang semakin sengit, “Srini. Kali ini dengarkan kata-kataku.”

Tetapi suaranya seakan-akan hilang dalam teriakan-teriakan yang garang, ketika orang-orang itu mulai bergerak.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun segera mengambil jarak. Dengan tangkasnya mereka melenting, mencegah orang-orang itu mendekati arena.

Dalam pada itu, Srini dan Gunung Lamuk pun telah menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan pula. Mereka telah terlibat kembali dalam pertempuran yang sengit. Tetapi mereka harus mengakui kenyataan, bahwa ilmu mereka tidak lebih baik dari ilmu Glagah Putih dan Rara Wulan yang bertempur bersama-sama.

Kawan-kawan Srini dan suaminya yang menyertai mereka itu pun menyadari, bahwa Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Namun mereka pun memiliki bekal yang memadai. Karena itu, mereka mampu mengatur arena pertempuran sebaik baiknya.

Dua orang menempatkan diri menghadapi Ki Citra Jati. Dua orang menghadapi Nyi Citra Jati. Sedangkan yang lain telah bersiap-siap membantu Srini dan suaminya menangkap Glagah Putih dan Rara Wulan.

Tetapi mereka terkejut ketika tiba-tiba Ki Wurcitra pun melangkah maju sambil berkata, “Aku tidak dapat tinggal diam melihat perlakuan yang semena-mena ini. Jika ayah dan ibumu mencegah permainan licikmu Srini, maka aku pun akan ikut pula.”

Srini yang bertempur berpasangan dengan suaminya itu pun sempat meloncat mengambil jarak sambil berteriak, “Uwa Wurcitra, jangan turut campur! Ini permainan orang-orang berilmu tinggi.”

Yang menjawab adalah Ki Citra Jati, “Jangan salah duga, Srini Uwakmu adalah seekor harimau loreng di buasnya rimba raya.”

Srini menggeram. Namun ia pun segera melihat betapa Ki Wurcitra dengan tangkasnya berloncatan di arena.

“Gila,” geram Ki Gunung Lamuk, “orang-orang tua yang tidak tahu diri.”

“Aku sudah mencoba mencegahnya,” berkata Nyi Citra Jati.

“Omong kosong. Ibu dengan sengaja mengorbankan anak dan menantunya.”

Nyi Citra Jati pun menjawab sambil menghindari serangan lawannya, “Jika kalian mau mendengar kata-kataku, maka kalian tidak akan mengalami kesulitan. Namun agaknya masih ada kesempatan, pergilah.”

Tidak ada jawaban. Tetapi serangan-serangan Srini dan suaminya menjadi semakin garang.

Dalam pada itu, orang yang rambutnya panjang dan terurai di bawah ikat kepalanya itu, yang sedang bertempur melawan Nyi Citra Jati, sempat berkata, “Susahnya, Nyi, punya anak tidak mau mendengarkan nasihat orang tua.”

Nyi Citra Jati mengerutkan dahinya Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

Orang yang rambutnya panjang itu menghentikan serangannya. Iapun memberi isyarat kepada kawannya untuk berhenti sejenak. Katanya, “Nyi. Aku juga punya anak perempuan yang tidak mau menuruti perintah orang tua.”

“Kau apakan anakmu?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Aku biarkan saja.”

“Kenapa kau biarkan saja?”

“Ia tidak mampu berbuat apa-apa. Suaminya juga seorang pengecut, yang hanya dapat menangisi nasibnya yang buruk.” Orang itu berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Tetapi lama-lama aku kasihan juga. Ketika cucuku hampir kelaparan, aku beri mereka tanah. Tanahku luas, Nyi. Sebagian aku beli dari hasil kejahatan. Merampok, menyamun dan perbuatan jahat lainnya. Tetapi aku tidak pernah membunuh, Nyi, meskipun aku berilmu tinggi. Kecuali jika aku harus mempertahankan nyawaku.”

“Jadi, kalau aku tidak akan membunuhmu sekarang, kita tidak akan bertempur?”

“Tetapi anakmu memerintahkan aku bertempur.”

“Aku tidak akan membunuhmu, Ki Sanak. Bukankah dengan demikian kau juga tidak akan membunuhku?”

“Tetapi kita harus bertempur.”

“Aku tidak akan bertempur.”

“Nyi, jangan begitu. Nanti Ki Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk marah kepadaku.”

“Itu urusanmu. Tetapi aku tidak mau bertempur.”

Namun kawan orang yang rambutnya tergerai itu menggeram, “Setan kalian. Aku yang akan membunuhmu. Melawan atau tidak melawan.”

Nyi Citra Jati memandang orang itu dengan tajam. Tetapi ia tidak melihat orang itu akan mulai menyerangnya. Orang itu masih berdiri saja tempatnya termangu-mangu.

“Aku akan membunuhmu, iblis betina!” teriak orang itu sambil mengacu-acukan senjatanya. Sebuah kapak yang besar.

Tetapi orang itu tidak segera meloncat sambil mengayunkan kapaknya.

Nyi Citra jati menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia memikirkan nasib orang-orang itu. Jika mereka tidak bertempur, maka mereka akan dapat dianggap bersalah. Karena itu, maka Nyi Citra Jati itu pun berkata, “Baiklah. Kita akan bertempur. Tetapi ingat, aku tidak akan membunuh kalian.”

Nyi Citra Jati-lah kemudian meloncat menyerang. Namun dengan demikian, mereka telah terlibat lagi dalam pertempuran.

Dalam pada itu, keadaan Srini dan suaminya menjadi semakin sulit. Mereka menjadi semakin terdesak. Sementara itu, kawan-kawannya tidak mampu membantunya, karena mereka harus bertempur melawan ketiga orang berilmu tinggi itu.

Ki Citra Jati pun kemudian melihat, betapa Srini menjadi semakin terdesak. Nyi Citra Jati pun menjadi cemas pula. Bagaimanapun juga Srini anak mereka.

Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba Ki Citra Jati telah menghentakkan kemampuannya. Yang bertempur melawannya, kemudian tidak hanya dua orang tetapi tiga orang, sama sekali tidak berdaya. Mereka telah terlempar dari arena dan jatuh berguling di tanah. Namun dengan sigapnya mereka bangkit dan siap meloncat menyerang.

Namun serangan mereka terhenti. Ki Citra Jati itu duduk sambil menyilangkan kakinya. Di mulutnya melekat sebuah rinding, sementara tangannya telah mempermainkan rinding itu untuk mengatur nadanya.

Terdengar suara rinding yang mengalunkan lagu yang khusus dengan irama yang khusus pula.

Namun suara rinding itu rasa-rasanya telah menggetarkan udara, menyusup menggelepar di dalam dada orang-orang yang berada di halaman itu.

Bahkan Srini dan suaminya pun tidak lagi mampu memusatkan perhatiannya pada pertempuran yang sedang terjadi.

Glagah Putih pun terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Rara Wulan menekan dadanya dengan sebelah tangannya, sementara tangannya yang lain masih menggenggam pedang.

“Tingkatkan daya tahanmu, Rara. Serangan suara itu akan dapat meruntuhkan isi dadamu.”

Rara Wulan pun kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Satu tangannya diletakkannya di dadanya, sambil meningkatkan daya tahan tubuhnya sampai ke puncak.

Srini dan suaminya pun mengalami kesulitan pula. Mereka pun dengan cepat bergerak surut menjauhi lawannya. Apalagi ketika mereka melihat Glagah Putih nampaknya mampu bertahan.

Nyi Citra Jati berdiri termangu-mangu. Namun ia melihat sesuatu yang sedikit mententeramkan hatinya. Suara rinding Ki Citra Jati itu mampu menghentikan pertempuran. Srini dan suaminya sudah bergeser menjauh, agar jangkauan ilmu Ki Citra Jati itu tidak terlalu kuat menggetarkan jantungnya.

Sementara itu Rara Wulan pun kemudian harus memusatkan nalar budinya untuk melawan getar suara rinding itu.

Ki Wurcitra pun menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan kepada diri sendiri ia bergumam, “Cara yang pantas untuk menghentikan pertempuran ini.”

Sebenarnyalah bahwa pertempuran memang telah berhenti. Kawan-kawan Gunung Lamuk dan istrinya tidak lagi mampu untuk berbuat sesuatu. Mereka sibuk berusaha menyelamatkan jantung mereka masing-masing dari hentakan getar suara rinding Ki Citra Jati.

Namun yang tidak terduga itu pun telah terjadi. Ternyata Srini tidak mau menerima kenyataan itu. Ia tidak ingin ayahnya menghentikan pertempuran sebelum ia dapat membunuh lawannya. Meskipun Srini dan suaminya sudah terdesak, namun Srini masih merasa memiliki ilmu yang akan dapat dipergunakannya untuk mengakhiri pertempuran, seandainya pertempuran itu berlangsung terus. Bahkan meskipun kawan-kawannya tidak membantunya.

Karena itu, maka pada kesempatan terakhir itu, Srini telah mempergunakan waktu itu sebaik-baiknya. Meskipun lawannya menghentikan pertempuran, namun Srini tidak menghiraukannya. Sebelum isi dadanya runtuh karena pengaruh ilmu ayahnya yang memancar lewat suara rinding itu, maka Srini berniat benar-benar membunuh kedua orang suami istri itu, atau salah satu di antaranya.

Karena itu, maka Srini pun telah memungut segenggam serbuk besi dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian diangkatnya telapak tangannya di depan mulutnya. Dengan ilmunya yang tinggi maka Srini telah menghembus serbuk besi itu ke arah Rara Wulan dan Glagah Putih.

Untunglah bahwa Glagah Putih masih tetap waspada. Ketika ia melihat Srini mengangkat tangannya dan menempatkan di muka mulutnya, Glagah Putih sudah menduga bahwa Srini akan menyerang dari jarak yang beberapa langkah itu.

Sebenarnyalah serbuk besi itu telah meluncur terhambur dengan derasnya ke sasaran. Namun dengan tangkas Glagah Putih meloncat, menerkam Rara Wulan sehingga keduanya jatuh berguling.

Namun dengan demikian, serbuk besi itu meluncur lewat sejengkal dari tubuh mereka.

Kegagalan itu membuat Srini semakin garang. Sekali lagi ia menggenggam serbuk besi dari kantong ikat pinggangnya untuk dihembuskan dengan dorongan ilmunya ke arah Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun ternyata Glagah Putih mampu lebih cepat bertindak. Sebelum Srini sempat menghembuskan serbuk besi itu, maka Glagah Putih telah berlutut pada satu kakinya, mengangkat tangannya dan mengarahkan telapak tangannya kepada anak perempuan Ki Citra Jati itu.

Seleret sinar meluncur dengan cepatnya.

Namun sebelum seleret sinar itu menyambar dada Srini, maka telah terjadi benturan yang keras sekali. Seleret sinar dari arah lain telah menyambar serangan Glagah Putih, sehingga serangan itu tidak menggapai sasaran.

Namun benturan yang keras yang bagaikan ledakan itu telah menimbulkan getaran yang kuat sekali. Srini yang berdiri terdekat dan benturan itu telah terdorong dan terlempar jauh. Demikian pula Gunung Lamuk.

Meskipun keduanya berusaha bangkit, tetapi keduanya harus menyeringai menahan sakit di dada mereka.

Sejenak Srini termangu-mangu. Namun, kemudian ia pun berdesis, “Marilah, kita tinggalkan neraka ini, Kakang.”

Karena suara rinding sudah berhenti, maka Srini dan Gunung Lamuk telah terbebas pula dari cengkaman getaran suara rinding itu. Jika kemudian dada mereka terasa sakit, itu disebabkan oleh benturan ilmu yang terjadi beberapa langkah di hadapannya.

Meskipun demikian, namun Srini dan Gunung Lamuk itu masih sempat berusaha melarikan diri dari arena.

Glagah Putih melihat keduanya melarikan diri. Namun ia tidak dapat menyerang keduanya. Ia sadar sepenuhnya bahwa serangannya telah dihentikan oleh Nyi Citra Jati, yang bagaimanapun juga masih berusaha melindungi anaknya.

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Rara Wulan pun telah bangkit berdiri pula. Dengan tegang mereka berdua memandangi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

“Kalian benar-benar ingin membunuh anakku, Ngger?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Bukan maksudku, Bibi. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain untuk melindungi nyawa kami berdua. Nampaknya Srini-lah yang benar-benar ingin membunuh kami.”

Nyi Citra Jati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ditutupnya wajahnya dengan kedua telapak tangannya,

Ki Citra Jati pun menghampirinya. Dirangkulnya istrinya sambil berkata, “Sudahlah, Nyi. Beruntunglah kita, bahwa tidak ada yang terbunuh di perselisihan yang terjadi ini.”

“Marilah, silahkan, Nyi,” Ki Wurcitra pun mempersilahkan.

Terdengar isak Nyi Citra Jati. Namun kemudian terdengar Nyi Citra Jati itu berkata di sela-sela isaknya, “Aku yang memintakan maaf bagi Srini, Angger berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun keduanya memang agak bingung menanggapi sikap Nyi Citra Jati.

Karena Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera menjawab, maka Nyi Citra Jati itu pun berkata pula, “Angger berdua. Bukankah kalian bersedia memaafkan anakku? Ia memang bersalah. Tetapi aku tidak sampai hati melihat anakku itu terkapar mati di halaman ini. Sementara itu, tidak seorang pun yang akan dapat selamat terkena kekuatan ilmumu, Glagah Putih.”

“Sudahlah, Bibi. Kita lupakan saja apa yang telah terjadi.”

“Tetapi bukankah kalian mau memaafkannya?”

“Ya, Bibi. Kami telah memaafkannya.”

“Terima kasih, Ngger. Dengan demikian perbuatan anakku ini tidak lagi menjadi beban bagiku.”

Dalam pada itu, sekali lagi Ki Wurcitra mempersilahkan, “Sudahlah, Nyi. Silahkan masuk. Kita dapat berbicara di dalam.”

Ki Citra Jati pun kemudian telah membimbing Nyi Citra Jati masuk ke dalam rumah Ki Wurcitra.

Namun ketika mereka berada di pintu, maka Ki Wurcitra itu pun bertanya, “Kita apakan orang-orang yang masih berada di halaman?”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berhenti. Nyi Citra Jati-lah yang kemudian menjawab, “Biarlah mereka pergi. Mereka ternyata tidak sejahat anak perempuanku.”

Ki Wurcitra termangu-mangu sejenak. Namun Nyi Citra Jati itu pun mengulanginya, “Beri kesempatan mereka hidup.”

“Baiklah,” desis ki Wurcitra, yang kemudian berkata kepada orang-orang itu, “kau dengar kata-kata Nyi Citra Jati? Kalian akan kami biarkan pergi. Pergilah. Menurut penilaian Nyi Citra Jati, kalian tidak lebih jahat dari Srini, anak perempuan Nyi Citra Jati itu. Tentu saja dengan suaminya yang menghisap ilmu hitam itu. Mungkin kalian juga berada di jalur kepercayaan yang hitam. Namun menurut Nyi Citra Jati, kalian masih berpengharapan untuk mencari jalan kembali. Pergilah, carilah jalan kembali itu. Atau kalian akan tetap berada di jalur kalian sekarang, namun pada kesempatan lain, kami tidak akan mengampuni kalian lagi.”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun Ki Wurcitra itu pun berkata, “Cepat, sebelum sikap kami berubah.”

Orang-orang yang masih berada di halaman rumah Ki Wurcitra pun segera bergerak menuju ke pintu regol, langsung turun ke jalan.

Orang yang rambutnya panjang bergerai di bawah ikat kepalanya itu sempat berkata kepada kawannya, “Nah, kau lihat?”

“Apa?”

“Kita masih lebih baik dari Nyi Gunung Lamuk, menurut penilaian ibu Nyi Gunung Lamuk itu sendiri.”

“Padahal kita adalah orang-orang yang paling jahat. Kita yang tahu mana yang buruk dan mana yang baik, namun kita tetap memilih yang buruk.”

“Tetapi Nyi Citra Jati adalah orang yang jujur. Ia tahu anaknya memang jahat. Ia sama sekali tidak menghargai orang tuanya. Bahkan ia merasa sama sekali tidak berhutang budi meskipun orang tuanya sudah mengasihinya.”

“Ya.”

“Bagaimana dengan kau?”

“Aku hormati orang tuaku. Aku anut segala teladannya.”

“Tetapi kenapa kau menjadi seperti sekarang ini?”

“Orang tuaku seorang gegedug dari para penyamun di jalan-jalan sepi menuju ke Pati.”

“Persetan dengan kau,” geram orang berambut panjang itu.

Dalam pada itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Wurcitra sudah berada di ruang dalam. Namun Ki Wurcitra itu pun kemudian telah memanggil Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Marilah, Ngger. Duduklah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan duduk sambil menundukkan wajahnya.

“Bukankah kita sudah siap untuk makan malam? Sayang, semuanya sudah menjadi dingin.”

“Biarlah kami ke pakiwan dahulu, Kakang. Kami harus mencuci tangan dan kaki kami yang menjadi kotor, sambil mengeringkan keringat kami.”

“Silahkan, Nyi,” sahut Ki Wurcitra.

Demikianlah, bergantian yang lain pun pergi ke pakiwan pula. Baru kemudian setelah mereka membersihkan kaki dan tangan mereka, maka mereka pun mulai menyendok nasi.

Namun sekali-sekali Nyi Citra Jati masih mengusap matanya yang basah.

Beberapa saat kemudian, suasana menjadi hening. Orang-orang yang duduk di amben itu masing-masing sibuk menyuapi mulut mereka masing-masing.

Ketika mereka sudah selesai, maka dengan cekatan Rara Wulan dan Glagah Putih menyingkirkan mangkuk-mangkuk yang kotor, serta nasi, sayur dan lauk yang tersisa ke dapur. Bahkan kemudian Rara Wulan itu sibuk mencucinya, ditunggui oleh Glagah Putih yang duduk di amben panjang.

Namun tiba-tiba saja mereka berpaling. Nyi Citra Jati telah berada di pintu dapur.

Jantung Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi berdebar-debar. Keduanya justru menjadi bingung, ketika mereka melihat Nyi Citra Jati itu berlari ke arah Rara Wulan yang sedang berjongkok, mencuci mangkuk yang kotor.

Tiba-tiba saja Nyi Citra Jati itu menarik lengan Rara Wulan dengan kedua belah tangannya. Rara Wulan tidak tahu apa yang akan terjadi. Sebelum ia menentukan sikap, Nyi Citra Jati itu telah memeluknya. Terasa titik titik air yang hangat tumpah di bahu Rara Wulan.

“Alangkah senangnya jika aku mempunyai anak perempuan seperti kau, Ngger.”

Rara Wulan menjadi bingung, apa yang harus dikatakanya. Tangannya masih kotor oleh abu yang dipergunakannya untuk mencuci mangkuk yang kotor itu.

“Kau seorang perempuan yang berilmu. Tetapi kau juga seorang perempuan yang rajin. Kau tidak segan-segan bekerja di dapur, dan bahkan mencuci mangkuk.”

Rara Wulan tidak menyahut, sementara Glagah Putih yang juga sudah bangkit berdiri, termangu-mangu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Wulan Sasi,” berkata Nyi Citra Jati, “anak perempuanku yang barangkali sedikit lebih tua dari umurmu, juga seorang perempuan yang berilmu. Tetapi ia tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana seorang perempuan. Ia tidak mau masak, apalagi mengotori tangannya dengan abu sebagaimana kau lakukan.”

Rara Wulan tidak menyahut. Tetapi ia masih merasakan titik titik air yang hangat itu.

Akhirnya Nyi Citra Jati melepaskan Rara Wulan. Ditepuknya pipinya sambil berkata, “Ngger. Terus terang, ilmu anak perempuanku masih selapis di atas ilmumu, tetapi berada di bawah kemampuan suamimu. Bagiku itu tidak adil. Kau harus mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Srini. Karena itu, jika kau tidak berkeberatan, aku ingin ikut menitipkan ilmuku, agar kelak seseorang melihat ilmu yang aku wariskan itu kau pergunakan untuk berbuat kebajikan. Melindungi yang lemah, dan membantu mereka yang dihimpit oleh ketidakadilan, serta dibelakangi kebenaran.”

“Bibi,” hanya itu yang terloncat dari mulut Rara Wulan.

Nyi Citra Jati itu pun kemudian berpaling kepada Glagah Putih. “Ngger. Aku minta kerelaanmu, Ngger. Aku sama sekali tidak berniat memisahkan kau dari istrimu. Tetapi aku ingin ikut membantu meningkatkan ilmu istrimu. Sudah tentu dengan laku. Namun aku berjanji, bahwa aku tidak akan meninggalkan apa yang sudah ada di dalam dirinya. Aku akan mempelajarinya dengan seksama, kemudian atas landasan yang sudah ada itulah aku akan menuangkan sedikit ilmuku kepadanya. Namun segala sesuatunya terserah kepadamu dan kepada Wulan Sasi. Karena kalian-lah yang berhak memutuskannya.”

“Bibi,” Glagah Putih-lah yang menjawab, “kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Pada dasarnya kami, terutama Rara Wulan, akan senang sekali menerima limpahan ilmu dari Bibi. Tetapi yang perlu kami pikirkan adalah pelaksanaannya. Kami berdua adalah pengembara yang mengemban satu pesan yang harus kami lakukan. Jika kami memikirkan kepentingan kami berdua sehingga kami terhenti di sini, maka kami akan merasa bersalah.”

“Tidak. Kalian tidak usah berhenti di sini.”

“Jadi?”

Nyi Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku memang memerlukan waktu sedikit.”

“Bibi,” berkata Glagah Putih kemudian, “sudah aku katakan, bahwa pada dasarnya kami tidak berkeberatan. Namun kami mohon kesempatan untuk membicarakan secara khusus, apakah kami mungkin melaksanakannya.”

“Baiklah, Ngger. Kalian mempunyai waktu untuk merenungkannya. Apapun yang kau putuskan, aku akan sangat menghargainya. Tetapi aku berpendapat, bahwa Angger Wulan Sasi sudah sewajarnya memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Srini. Anak perempuanku itu ternyata telah menempuh jalan yang sesat, apalagi menilik tatanan gerak ilmunya, aku melihat pengaruh ilmu hitam. Aku tidak mewariskan ilmu Pacar Wutah Gundala Wereng. Yang pernah aku berikan adalah dasar ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce. Tetapi ilmu itu di dalam diri Srini telah berubah. Aku tidak tahu, siapakah yang mewariskan ilmu Pacar Wutah Gundala Wereng itu.”

“Mungkin suaminya.”

“Agaknya bukan suaminya. Aku tidak melihat suaminya mengetrapkan ilmu itu. Bahkan aku menduga bahwa ilmu Srini masih lebih baik dari ilmu suaminya itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sependapat dengan Nyi Citra Jati, bahwa ilmu Gunung Lamuk masih belum melampaui ilmu Nyi Gunung Lamuk. Setinggi-tingginya, ilmunya masih setingkat.

“Baiklah, Angger berdua. Nanti kita akan berbicara. Biarlah Ki Citra Jati dan Kakang Wurcitra ikut memberikan pertimbangan. Mungkin mereka mempunyai jalan terbaik, agar kalian dapat menerima titipanku, tetapi tanpa mengganggu pesan pengembaraanmu, sehingga semuanya dapat dilaksanakan dengan baik.”

“Ya, Bibi. Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.”

“Marilah. Mungkin kita dapat berbicara di ruang dalam.”

“Tetapi aku belum selesai, Bibi,” desis Rara Wulan.

Nyi Citra Jati memandang Rara Wulan dengan lembut. Katanya, “Tinggalkan saja mangkuk-mangkuk itu. Biarlah besok pagi saja kita cuci.”

“Biarlah aku menyelesaikannya, Bibi. Tinggal sedikit lagi.”

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Berbahagialah ibu yang anaknya rajin seperti kau.”

Rara Wulan tidak menjawab. Sementara Nyi Citra Jati masuk kembali ke ruang dalam.

Sepeninggal Nyi Citra Jati, Glagah Putih telah berjongkok di dekat Rara Wulan mencuci mangkuk, sambil bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Sebenarnya aku senang sekali dapat menambah ilmu. Tetapi bagaimana dengan tugas yang sedang kau emban itu, Kang?”

“Aku tidak dibatasi waktu.”

“Tetapi jika terlalu lama kita tidak kembali, dan tidak meberikan kabar apa-apa kepada keluarga kita di Mataram, di Jati Anom dan di Tanah Perdikan Menoreh, mereka tentu akan menjadi gelisah. Mungkin para pemimpin Mataram yang memberikan tugas kepadamu juga menunggu-nunggu kabar, apakah kau berhasil atau tidak.”

“Tetapi apakah kau akan melewatkan kesempatan yang sangat baik ini? Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati merasa sangat kehilangan dengan kepergian anak perempuannya, meskipun ia mempunyai beberapa orang anak angkat. Tetapi anak angkat Ki Citra dan Nyi Citra Jati tentu tidak mampu menarik hatinya sebagaimana kau lakukan, meskipun kau sama sekali tidak sengaja.”

“Aku mengerti, Kakang,” desis Rara Wulan, “tetapi bagaimana dengan kau? Dengan tugas yang dibebankan kepadamu?”

“Aku akan menunggu sampai ilmumu meningkat, Rara. Mungkin tidak banyak. Tetapi bukankah itu lebih baik daripada tidak sama sekali? Mungkin Nyi Citra Jati memberikan kunci-kuncinya saja, sehingga dalam pengembaraan kita selanjutnya, kau dapat mengembangkannya sendiri. Bahkan mungkin aku dapat membantumu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Kita tidak tahu, berapa lama waktu yang diperlukan oleh Nyi Citra Jati.”

“Rara,” berkata Glagah Putih kemudian, “menurut pendapatku, sebaiknya kau memanfaatkan kesempatan ini. Aku akan menunggumu. Sementara itu, dari tempat tinggal Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, aku dapat mencari keterangan serba sedikit tentang keadaan di Wirasari. Bahkan mungkin Ki Saba Lintang sudah tidak ada di sana. Mungkin ia justru sudah berada di sekitar Pati, atau Jipang, atau bahkan di Mataram.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah kita mendengarkan pendapat Ki Citra Jati dan Ki Wurcitra, Kakang. Mungkin kita akan dapat mengambil kesimpulan.”

“Aku setuju,” sahut Glagah Putih.

Sementara itu, Rara Wulan pun telah selesai pula. Diletakkannya mangkuk-mangkuk yang sudah bersih itu di paga bambu. Kemudian sesudah mencuci tangannya, maka bersama-sama Glagah Putih, Rara Wulan pun duduk di ruang dalam, bersama Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Wurcitra.

“Nah, kita akan mengulangi pembicaraan kita, Wulan Sasi,” berkata Nyi Citra Jati kemudian.

“Namanya bukan Wulan Sasi. Kau selalu saja menyebut Wulan Sasi,” potong Ki Citra Jati.

“O, siapa namanya?”

“Tidak apa-apa, Bibi. Aku tahu, kalau yang Bibi maksud adalah aku,” sahut Rara Wulan.

Tetapi Ki Citra Jati pun menjelaskan, “Namanya Rara Wulan. Juga menyebut namanya Wara Sasi.”

“Baik. Aku akan mengingatnya,” Nyi Citra Jati itu pun mengangguk-angguk.

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun hanya tersenyum saja.

“Nah,” Nyi Citra Jati meneruskan, “bagaimana menurut pendapatmu, Rara? Apakah kau sudah mendapatkan kesimpulan?”

Rara Wulan memandang Glagah Putih sekilas.

Sementara Ki Citra Jati pun berkata, “Aku juga ingin ikut minta pendapatmu, Rara. Sepeninggal Srini, kami tidak mempunyai anak yang dapat kami andalkan. Beberapa orang anak angkat kami, tidak memenuhi harapan kami. Meskipun mereka juga dapat mewarisi ilmu yang kami turunkan, tetapi kemajuan mereka lamban sekali. Kecerdasan mereka tidak setinggi kau, dan apalagi panggraita mereka yang terhitung tumpul.”

Rara Wulan tidak segera menjawab. Sedangkan Nyi Citra Jati itu pun berkata selanjutnya, “Tetapi bagaimanapun juga keadaan mereka, aku mencintai mereka sebagaimana anak-anakku sendiri. Tetapi di dalam mewariskan ilmu, aku harus bersandar pada kenyataan, bahwa ilmu yang aku wariskan itu tidak akan sia-sia.”

“Bibi,” suara Rara Wulan merendah, “aku berterima kasih sekali atas kesempatan ini. Tetapi kami masih belum dapat memecahkan masalah waktu. Kami harus melanjutkan pengembaraan kami.”

“Kita dapat mengatur waktu sebaik-baiknya, Rara,” berkata Ki Citra Jati. “Waktu yang diperlukan bibimu juga tidak terlalu lama. Kau sudah mempunyai landasan ilmu yang sangat kuat, sehingga apa yang harus dilakukan oleh bibimu tidak akan terlalu banyak. Apalagi bibimu juga mengenal ilmu dari perguruan Kedung Jati yang terdapat di dalam dirimu, berbaur luluh dengan ilmu yang kau warisi dari jalur perguruan yang lain.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Ketika ia memandang Glagah Putih yang duduk di sisinya, maka Glagah Putih itu pun berkata, “Jika waktunya tidak terlalu panjang, maka baiklah. Aku tidak berkeberatan untuk menunda perjalanan pengembaraan kami.”

“Segala sesuatunya juga tergantung kepada Rara Wulan,” berkata Nyi Citra Jati kemudian, “semakin cepat ia memahami ilmu yang aku wariskan, maka waktunya pun akan menjadi semakin pendek.”

“Baiklah, Bibi,” berkata Rara Wulan kemudian, “aku ingin menguji diriku sendiri, apakah aku mampu menerima warisan ilmu dan Bibi Citra Jati.”

“Aku yakin, kau akan dapat memenuhi harapanku. Kau harus lebih baik dari Srini, sehingga pada suatu saat ada orang yang mampu meredam gejolak jantungnya yang sudah dipengaruhi oleh kepercayaan kelam, yang berkiblat kepada kuasa iblis yang menghembus-hembuskan nafsu kewadagan, tanpa mengingat bahwa pada suatu masa kelak, setiap orang akan memasuki dunia yang langgeng.”

“Ya, Bibi. Mudah-mudahan aku benar-benar dapat memenuhi harapan Bibi. Baik di dalam pewarisan ilmu maupun penggunaannya kelak.”

“Aku yakin, Ngger. Apalagi kau mempunyai seorang suami yang penglihatannya terang. Ia akan dapat mengingatkan pada saat-saat kau lupa. Namun sebaliknya, kau pun harus mengingatkannya pada saat-saat ia lupa.”

“Ya, Bibi,”

“Jangan panggil aku Bibi atau Nyi Citra Jati.”

“Jadi bagaimana aku harus memanggil?”

“Panggil aku Ibu, dan panggil Ki Citra Jati Ayah. Bukan hanya kau. Tetapi juga suamimu.”

“Tetapi…”

“Aku mengerti bahwa kau mempunyai ayah dan ibu kandung. Mudah-mudahan pada suatu saat kami dapat bertemu untuk mengucapkan terima kasih, serta mohon maaf akan kelancangan kami, karena kami memungut kalian menjadi anak-anak kami tanpa persetujuan mereka.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ki Wurcitra-lah yang kemudian menyambung, “Maksud Nyi Citra Jati, kalian akan diperlakukan seperti anaknya sendiri. Dengan demikian, maka pintu pengetahuan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati akan terbuka lebar bagi kalian, karena sebagai anak-anaknya, kalian berhak mewarisinya.”

“Terima kasih atas kemurahan hati Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati,” desis Rara Wulan.

“Panggil kami Ayah dan Ibu,” ulang Nyi Citra Jati.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Ya, Ibu.”

“Panggilan itu terasa sekali menyejukkan hatiku. Terima kasih, Ngger. Lukaku atas sikap dan perlakuan Srini terhadap ayah dan ibunya, agak terobati.”

“Kami-lah yang harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah dan Ibu,” berkata Glagah Putih.

“Agaknya kita memang saling membutuhkan,” berkata Ki Citra Jati. “Nah, karena itu, maka besok kalian akan melanjutkan perjalanan bersama kami. Pulang.”

“Jika besok kalian pergi, aku akan menjadi kesepian lagi.”

“Apakah Kakang juga ingin pergi bersama kami?”

Ki Wurcitra itu tersenyum. Katanya, “Ketika anak-anakku minta aku tinggal bersama mereka, aku merasa keberatan. Aku tidak dapat meninggalkan rumah ini.”

“Tetapi bukankah mereka, setidak-tidaknya bergantian, sering datang kemari menengok ayahnya?”

“Ya. Mereka memang sering datang kemari. Apalagi setelah ibunya meninggal.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mengangguk-angguk.

“Nah,” berkata Ki Wircitra kemudian, “hari sudah terlalu malam. Silahkan kalian beristirahat. Tetapi rumahku bukan rumah yang memadai untuk bermalam.”

“Ah, bukankah kita terbiasa tidur dimana-mana? Kau kira rumahku lebih baik dan lebih bersih dari rumahmu?”

“Tentu. Aku sudah pernah pergi ke rumahmu. Rumahmu lebih besar dan lebih baik dari rumahku ini.”

“Hanya ujudnya,” jawab Ki Citra Jati, “tetapi rumah itu kosong. Hanya terisi paga di dapur.”

“Tetapi bagaimanapun juga, rumahmu tentu tidak sesepi rumahku. Ada beberapa orang tinggal di rumahmu. Anak-anak angkat, atau murid, atau apa saja namanya.”

“Kakang juga dapat mengambil satu dua orang anak untuk mengisi kekosongan rumah ini.”

Ki Wurcitra menarik nafas dalam dalam. Katanya, “Sebenarnya aku juga ingin mengangkat seorang atau dua orang murid. Tetapi aku aku sudah tua. Aku sudah tidak pantas lagi berada di dunia olah kanuragan.”

“Jangan menyindir, Kakang. Umur kita tidak terpaut banyak.”

“Tidak. Bukan maksudku menyindir kau, Adi. Tetapi aku memang sudah berniat menyimpan senjata-senjataku. Bahkan sejak Mbokayumu masih ada. Ternyata tanpa senjata-senjata itu, hidupku terasa lebih damai.”

“Tetapi jika tiba-tiba salah satu anak Kakang datang dengan sikap seperti Srini itu?”

“Bersyukurlah bahwa anakku tidak melakukannya.”

“Seandainya. Hanya seandainya,” desis Nyi Citra Jati.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar