Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 337

Buku 337

“Ya. Sumunar akan datang kemari untuk membunuhku. Tetapi aku sudah siap menerima kedatangan mereka. Namun dengan peristiwa yang baru saja terjadi, aku tidak tahu apakah Sumunar akan memanggil orang-orangnya yang lain. Mungkin ia merasa bahwa ia harus berhadapan dengan dua orang tengkulak yang akan mengganggu kehadirannya di sini.”

“Paman,” berkata Glagah Putih, “apakah Paman telah berjanji untuk melindungi orang-orang yang menjual gula kepada Paman?”

“Ya. Jika mereka mendapat perlakuan buruk dari Sumunar.”

“Tetapi kedua orang ini tidak mendapat perlindungan sama sekali. Hampir saja mereka menjadi korban, jika mereka tidak mau membawa gula mereka kepada Sumunar.”

“Aku tidak tahu bahwa mereka akan datang. Seharusnya mereka memberitahu kepadaku. Aku akan mengirimkan orang-orangku untuk mengawalnya.”

“Kami tidak mengira, bahwa kami akan bertemu dengan orang-orang upahan Raden Sumunar,” berkata seorang di antaranya.

“Seharusnya kau memberitahukan kepada kami lebih dahulu,” berkata Ki Basuri.

Kedua orang itu tidak menjawab.

Sementara itu, Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Paman. Aku ingin menyatakan, jika Paman setuju, aku akan berpihak kepada Paman.”

“Berpihak kepadaku?”

“Ya. Dalam perselisihan antara Paman dan Raden Sumunar.”

Ki Basuri itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berkata, “Kami tidak sedang bermain jetungan, anak muda.”

Dahi Glagah Putih berkerut. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Maksud Paman?”

“Dalam keadaan yang mendesak, Sumunar tentu-benar-benar akan membunuh.”

“Aku mengerti.”

“Anak-anak muda, pergi sajalah. Sebaiknya kalian tidak melibatkan diri.”

“Aku sudah terlanjur terlibat. Bukankah kedua orang yang membawa gula bagi Paman Basuri itu sudah menceritakan apa yang telah kami lakukan?”

Ki Basuri mengerutkan dahinya. Kedua orang muda itu telah menunjukkan bahwa mereka memiliki bekal untuk dapat melindungi dirinya sendiri. Tetapi mungkin sekedar kebetulan saja, karena kedua orang pengikut Sumunar itu sangat meremehkan mereka.

“Anak muda,” berkata Basuri, “aku berterima kasih atas kesediaanmu berpihak kepadaku. Tetapi aku tidak mau kau mengalami kesulitan karena persoalanku dengan Sumunar. Karena itu, sebaiknya kau menghindari kesulitan yang akan dapat menjeratmu.”

“Aku mengerti, Paman. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku telah terlibat. Keterlibatanku bukan satu kebetulan. Sebenarnyalah aku merasakan bahwa Raden Sumunar sudah menyinggung rasa keadilanku. Rakyat padukuhan ini telah menjadi korban ketamakannya.”

“Kau ingin menjadi pahlawan?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Paman Basuri, aku hanya ingin mencari kepuasan. Jika aku dapat membantu menghentikan ketamakan serta kebengisan Sumunar, aku akan merasa sangat puas. Apalagi jika kemudian aku yakini bahwa rakyat padukuhan ini mendapat kesempatan yang lebih baik untuk memasarkan hasil keringat mereka. Bukankah Paman Basuri juga berniat memberi kesempatan serupa kepada penghuni padukuhan ini, bahkan secara langsung, dengan membeli hasil jerih payah penghuni padukuhan ini dengan harga yang lebih baik? Kenapa hal itu Paman lakukan?”

“Aku mempunyai pamrih. Meskipun aku membeli dengan harga yang lebih mahal dari Raden Sumunar, tetapi aku masih tetap berharap untuk mendapatkan laba yang pantas. Karena itu, aku akan berjuang untuk mendapatkan kesempatan itu. Sedangkan kau? Apa yang kau harapkan? Bahkan dengan mempertaruhkan nyawamu?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah setiap langkah kita, harus kita perhitungkan berdasarkan pamrih?”

Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah memperingatkanmu.”

“Terima kasih, Paman. Aku tidak peduli apakah aku akan menjadi seorang pahlawan atau sekedar orang yang mencari pujian, atau sekedar petualangan, tetapi jika Paman Basuri tidak berkeberatan, aku ingin bergabung. Kami merasa tidak akan dapat melakukannya sendiri.”

“Kalian adalah orang-orang yang aneh.”

“Mungkin, Paman. Tetapi bukankah setiap orang menginginkan untuk mendapatkan kepuasan? Sudah aku katakan, jika kami dapat membantu menghentikan ketamakan Raden Sumunar dan sedikit membantu meningkatkan penghasilan penghuni padukuhan ini, aku akan mendapatkan kepuasan.”

Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi aku sudah mencoba memperingatkanmu.”

“Terima kasih atas kesempatan ini, Paman. Sudah aku katakan bahwa kami tidak dapat melakukannya sendiri. Karena itu, kami ingin menumpang kepentingan Paman, karena menurut pertimbanganku, yang Paman lakukan di sini lebih baik dari yang dilakukan oleh Raden Sumunar.”

“Jika setelah Raden Sumunar tersingkir, aku juga melakukan sebagaimana dilakukan oleh Raden Sumunar?”

“Aku akan bergabung dengan kekuatan lain, yang akan menyingkirkan Paman Basuri.”

Ki Basuri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Baiklah, anak muda. Jika tekadmu sudah bulat, maka terserah saja kepada kalian.”

Glagah Putih berpaling kepada Rara Wulan sambil berkata, “Kita akan berada di sini.”

Rara Wulan pun mengangguk. Katanya, “Terserah saja kepada Kakang.”

Dalam pada itu, kedua orang yang membawa gula untuk diserahkan kepada Ki Basuri itu pun berkata, “Bagaimana dengan kami berdua, Ki Sanak? Apakah kami akan mendapat perlindungan di rumah kami?”

Ki Basuri termangu-mangu sejenak. Katanya, “Aku tidak mempunyai orang cukup untuk melindungi kalian yang tersebar. Jika kalian bersedia, tinggallah di sini. Malam nanti persoalannya akan tuntas. Sumunar tentu akan datang kemari. Benturan itu tidak akan dapat dihindari. Tetapi itu akan menjadi lebih baik, karena persoalannya tidak lagi berkepanjangan.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara mereka pun bertanya, “Apakah tidak ada orang lain yang menyerahkan gulanya kemari?”

“Aku berharap bahwa mereka akan melakukannya esok pagi,” jawab Ki Basuri, “mudah-mudahan mereka mendengar apa yang telah terjadi atas kalian.”

Orang itu mengangguk-angguk pula.

Namun Glagah Putih-lah yang bertanya, “Jika ada orang yang datang dan memberitahukan kepada Paman Basuri bahwa mereka akan membawa gulanya kemari sekarang ini?”

“Keadaan berkembang ke arah yang lebih buruk, anak muda. Aku akan menasihatkan agar mereka tidak membawanya sekarang.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu Ki Basuri itu pun kemudian berkata, “Masuklah. Orang-orang yang bersedia bekerja bersamaku ada di dalam.”

Kedua orang yang membawa gula itu pun dengan ragu-ragu masuk ke dalam. Keduanya terkejut. Di ruang dalam rumah itu ternyata terdapat beberapa orang, yang sebagian duduk dan yang lain berbaring di alas tikar pandan yang direntangkan di lantai.

Orang-orang itu memandang kedua orang itu dengan kerut di dahi. Seorang di antara mereka berkata, “Duduklah, Ki Sanak. Siapakah kalian berdua?”

Kedua orang itu pun kemudian duduk di sudut. Dengan ragu-ragu seorang di antara mereka berkata, “Aku membawa gula bagi Ki Basuri.”

“O,” orang itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berdiri termangu-mangu. Dipandanginya halaman yang luas itu berkeliling. Nampaknya halaman rumah itu tidak terlalu sering dibersihkan. Di sana-sini teronggok dedaunan kering yang runtuh dari tangkainya.

Rumah yang berdiri agak ke belakang itu pun agaknya bukan rumah yang terawat dengan baik. Selain agak kotor, dindingnya sudah ada yang mulai rapuh.

Perlahan sekali Glagah Putih berdesis, “Agaknya rumah ini tidak berpenghuni.”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk, “kedua orang penjual gula itu menyebut tempat ini sebagai kebun kosong.”

Glagah Putih masih saja memandangi lingkungan di sekitarnya. Ia sependapat, bahwa rumah, pekarangan dan kebunnya tentu untuk beberapa lama sudah menjadi kosong.

“Rumah ini sudah agak lama kosong, anak muda,” berkata Ki Basuri, yang agaknya mengetahui apa yang sedang diamati oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

Glagah Putih memang agak terkejut. Sambil berpaling ia pun berdesis, “Ya. Kedua orang penjual gula itu juga mengatakan bahwa ia akan membawa gulanya ke kebun kosong.”

“Rumah ini adalah rumah saudara iparku. Rumah ini sudah ditinggalkannya sejak beberapa bulan yang lalu. Meskipun rumah ini ditinggalkan kepada seseorang, namun orang itu agaknya terlalu malas untuk membersihkannya. Bahkan tulang-tulang rumah itu di bagian belakang sudah menjadi lapuk.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Basuri itu pun berkata, “Tetapi itu lebih baik daripada aku menyewa rumah seseorang, karena orang itu akan dapat diancam oleh Raden Sumunar.”

“Ya,” Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang masuklah,” berkata Basuri, “di dalam ada beberapa orang kawanku, yang aku minta pertolongan mereka untuk merebut daerah ini dari Sumunar. Mudah-mudahan memberikan arti meskipun kecil sekali, bagi kesejahteraan mereka yang berjerih payah di padukuhan ini. Tetapi aku tidak akan ingkar, bahwa aku adalah seorang pedagang yang mencari keuntungan.”

“Aku tahu, Paman.”

“Masuklah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja ragu-ragu.”

“Marilah. Aku antar kalian masuk,” berkata Basuri, yang kemudian berpaling kepada kedua orang kawannya sambil berkata, “awasi keadaan. Aku akan membawa keduanya masuk ke dalam.”

Seperti kedua orang yang membawa gula itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun agak terkejut melihat beberapa orang yang berada di dalam rumah itu.

“Ternyata Ki Basuri sudah benar-benar bersiap,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Ki Basuri pun kemudian memperkenalkan kedua orang yang dibawanya masuk itu kepada kawan-kawannya. Dua orang yang bersedia bekerja bersamanya melawan Raden Sumunar.

“Siapakah mereka, Ki Basuri?” berkala seorang di antara mereka.

“Bertanyalah langsung kepada keduanya,” sahut Ki Basuri sambil tersenyum.

Sebelum ada yang bertanya, Glagah Putih pun berkata, “Namaku Warigalit. Ini adikku, Wara Sasi.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. Sedangkan seorang yang lain pun bertanya, “Siapakah yang membawa kalian kemari? Apakah kalian bukan orang-orang yang diselundupkan oleh Sumunar?”

“Kami adalah dua orang pengembara. Kami ingin bergabung dengan Paman Basuri untuk menyingkirkan Sumunar.”

“Apakah kita yakin akan niat baiknya?” bertanya seorang yang lain lagi.

“Aku mempercayainya,” berkata Ki Basuri, “aku menangkap kejujuran pada kata-kata serta sorot matanya.”

“Baiklah,” berkata seorang yang bertubuh sedang kekurus-kurusan. Wajahnya nampak pucat, sementara matanya agak kemerah-merahan, “Tetapi jika mereka berdua berkhianat, maka mereka akan berurusan dengan aku. Terutama perempuan itu.”

Rara Wulan memandang orang itu sekilas. Ada kesan yang kurang menyenangkan pada wajah, sikap dan kata-kata orang itu. Namun Rara Wulan tidak berkata sepatah katapun.

Yang menjawab adalah Ki Basuri, “Kalian tidak usah mengancam. Jika mereka berbuat sesuatu yang merugikan, aku-lah yang bertanggung jawab.”

“Kau terlalu lunak menghadapi persoalan.”

“Sudahlah. Kau tahu bahwa aku dapat menjadi lunak, tetapi aku juga dapat berbuat lebih keras daripada batu hitam.”

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun tidak berkata apa-apa lagi.

Meskipun demikian, orang itu telah membuat Rara Wulan gelisah. Rasa-rasanya orang itu selalu memandanginya. Setiap kali Rara Wulan berpaling kepadanya, orang itu sedang mengamatinya dengan tatapan mata yang mendebarkan jantung.

Sejenak kemudian, Ki Basuri pun melangkah keluar, sambil berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Duduklah. Jika kalian memang ingin bergabung dengan kami, maka kalian akan berada di antara kawan-kawan ini.”

“Baik, Paman,” jawab Glagah Putih.

Sejenak kemudian, maka Ki Basuri pun telah hilang di balik pintu yang berderit, ketika daunnya terbuka dan tertutup kembali.

Demikian Ki Basuri hilang di balik pintu, maka orang yang kekurus-kurusan dan bermata merah itu pun berkata, “Namaku Mawekas. Siapa nama kalian berdua?”

“Aku sudah menyebut namaku dan nama adikku.”

“Ulangi.”

“Namaku Warigalit. la adikku. Namanya Wara Sasi.”

“Aku akan memanggilnya Sasi. Nama yang manis.”

Rara Wulan berdesah. Namun ia tidak berkata apa-apa.

Sejenak kemudian, ruangan itu menjadi sepi. Orang-orang yang ada di dalam ruangan itu nampaknya sedang sibuk berangan-angan. Mungkin tentang Sumunar yang mengancam mereka. Mungkin tentang harga gula yang ditetapkan oleh Basuri. Tetapi mungkin juga tentang perempuan muda yang ada di antara mereka.

Namun kediaman itu telah dipecahkan oleh suara ribut di luar. Terdengar seorang berkata lantang, “Siapakah di antara kalian yang bernama Basuri?”

Sebelum terdengar jawaban, terdengar suara itu lagi, “Yang lebih dikenal dengan nama Wirog.”

Ki Basuri melangkah maju. Katanya, “Namaku Basuri, Ki Sanak. Kau siapa?”

“Kau benar-benar orang yang tidak mengenal unggah-ungguh. Kau telah memasuki wilayahku tanpa minta ijinku.”

Basuri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku minta maaf. Tetapi aku berbicara dengan siapa?”

“Aku Bekel di sini,” jawab orang itu, yang ternyata adalah Ki Bekel.

“Maaf, Ki Bekel. Ki Bekel benar, aku datang kemari tanpa minta ijin lebih dahulu. Untuk itu aku minta maaf. Menurut pendapatku, karena aku datang hanya sekedar untuk membeli gula dari beberapa orang, di antaranya seorang yang sudah aku kenal, aku tidak perlu melaporkan diri. Aku hanya akan berada di sini sehari dan semalam. Besok aku sudah akan pergi.”

“Tidak. Aku tidak senang dengan kehadiranmu yang tidak mengenal sopan-santun itu. Kau telah menyinggung harga diriku sebagai penguasa di daerah ini.”

“Jika aku dianggap bersalah, aku sudah menyatakan kesedianku untuk minta maaf. Kehadiranku di sini tidak lebih dan tidak kurang hanyalah untuk membeli gula, dan barangkali kelapa. Itu pun kami tidak mendapat sebanyak yang kami harapkan. Hanya ada beberapa orang yang menyatakan kesediaannya menjual gula dan kelapa kepadaku. Bahkan sampai saat ini gula dan kelapa itu belum dapat terkumpul.”

“Itu pertanda bahwa kau tidak dikehendaki datang ke tempat ini.”

“Ki Bekel,” berkata Ki Basuri, “baiklah aku menyatakan kepada Ki Bekel, bahwa kedatanganku ini memberi rejeki lebih kepada rakyat Ki Bekel. Aku bersedia membeli gula dan kelapa dengan harga yang lebih tinggi dari Raden Sumunar. Bahkan mungkin jika ada orang lain lagi yang datang, ada persaingan harga yang menguntungkan para penghasil gula kelapa itu. Selama ini Raden Sumunar adalah pembeli tunggal. Ia dapat menetapkan harga menurut kehendaknya sendiri. Sementara itu jerih payah penghasil gula sama sekali tidak dihargai.”

“Omong kosong. Kau dapat berkata begitu sekarang. Tetapi kelak, kau akan lebih keras mencekik leher rakyatku. Karena itu, pergilah! Aku tidak mau melihat mukamu lagi.”

“Ki Bekel. Aku mohon Ki Bekel berpandangan sedikit luas. Sebaiknya Ki Bekel memikirkan kesejahteraan rakyat Ki Bekel.”

“Jangan menggurui aku! Sekarang pergilah.”

“Jangan begitu, Ki Bekel.”

“Pergilah, sebelum aku menjadi marah.”

“Jangan marah. Pikirkan dahulu sebelum bertindak. Siapakah yang lebih pantas Ki Bekel usir, aku, atau Raden Sumunar? Atau sebaiknya Ki Bekel diam saja. Biarlah rakyat Ki Bekel menentukan sendiri, kepada siapa mereka akan menjual gula dan kelapanya. Atau Ki Bekel memanggil kami. Maksudku aku dan Raden Sumunar, serta beberapa orang penghasil gula, untuk membicarakan bersama-sama.”

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Ketika ia berpaling kepada bebahu yang menyertainya, ia melihat wajah-wajah yang kosong memandanginya.

“Kita harus bertindak!” teriak Ki Bekel.

Para bebahu itu terkejut. Seorang di antara mereka dengan serta merta menyahut, “Ya. Kita harus bertindak.”

“Wirog,” geram Ki Bekel, “aku beri waktu kau sampai malam turun. Jika sampai malam turun kau tidak juga pergi, maka kami seisi padukuhan ini, akan mengusirmu dengan kekerasan.”

“Ki Bekel,” berkata Ki Basuri, “berapa keping kau menerima uang dari Raden Sumunar, sehingga kau menjadi begitu garang? Seharusnya kau lindungi rakyatmu yang diperlakukan semena-mena oleh Raden Sumunar. Kalau perlu, kau sendiri pergi ke pasar-pasar yang lebih besar dari pasar Pandean, untuk mengetahui harga yang wajar. Kalau perlu, kau sendiri, atau sekelompok orang yang kau tunjuk, pergi dengan membawa gula dan kelapa ke pasar-pasar itu, dan menjualnya dengan harga yang jauh lebih baik dari harga yang dibayar oleh Sumunar.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Bekel, “Sekarang pergilah! Aku beri waktu sampai malam turun. Jangan banyak berbicara.”

Ki Bekel tidak menunggu jawaban. Ia pun memberi isyarat kepada para bebahu untuk pergi meninggalkan Ki Basuri dan kedua orang kawannya.

Sepeninggal Ki Bekel, maka Ki Basuri pun berdesis, “Inilah yang terjadi.”

“Ya,” sahut seorang di antara kedua orang kawannya.

“Apakah kita akan bertahan tidak meninggalkan padukuhan ini sampai malam nanti?” bertanya yang seorang lagi.

Ki Basuri menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berdesis, “Bukankah kita sudah bersiap untuk tetap tinggal?”

“Terserah kepadamu,” sahut kawannya itu.

Ki Basuri memang menjadi bimbang. Dengan nada ragu ia pun berkata, “Pada dasarnya, Sumunar harus menyadari bahwa ia telah berbuat semena-mena. Tetapi apakah kita akan menentang kekuasaan Ki Bekel di padukuhan ini? Agaknya Ki Bekel telah dipengaruhi oleh Sumunar, sehingga apa yang dilakukannya semata-mata untuk kepentingan Sumunar.”

Kedua orang kawannya termangu-mangu sejenak. Baru kemudian seorang di antara mereka pun berkata, “Apakah kita menjadi ketakutan?”

“Bukan ketakutan,” sahut Ki Basuri, “tetapi aku berpikir, jika orang-orang di padukuhan ini dapat digerakkan oleh Ki Bekel untuk menangkap kita dan memperlakukan kita tidak sewajarnya, apakah yang akan kita lakukan?”

“Kita mempunyai kemampuan jauh lebih baik dari orang-orang padukuhan ini. Berapapun jumlah mereka, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap kita.”

“Aku tahu. Tetapi bukankah dengan demikian akan terjadi benturan kekerasan? Yang akan kita hadapi bukan saja para pengikut Sumunar, tetapi orang-orang padukuhan, yang justru harus diselamatkan dari ketamakan Sumunar. Tetapi agaknya mereka-lah yang akan disurukkan ke dalam benturan kekerasan itu. Mungkin dua tiga orang akan menjadi korban. Jika yang terjadi seperti itu, siapakah yang harus bertanggung jawab?”

Kedua orang itu pun terdiam.

Nampaknya Ki Basuri benar-benar berada dalam keragu-raguan.

Dalam pada itu, seorang di antara mereka yang terada di dalam rumah di kebun kosong itu pun bangkit berdiri dan melangkah keluar. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Apakah Basuri menjadi ragu-ragu?”

Ki Basuri tidak segera menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Aku mendengar pembicaraan Ki Basuri dengan Ki Bekel. Kemudian pembicaraan kalian bertiga. Kita sudah terlanjur sampai di sini. Kenapa kita harus ragu-ragu?”

Sebelum Ki Basuri menjawab, orang yang wajahnya pucat dan matanya kemerah-merah itu pun telah melangkah keluar pula sambil berkata, “Kita tidak boleh ragu-ragu, meskipun kita harus menghadapi orang sepadukuhan. Siapa yang tidak mau minggir, akan kita habisi.”

“Itulah yang tidak aku inginkan,” jawab Ki Basuri, “kita datang mencari dagangan. Untuk mendapatkannya, kita mencoba untuk bersaing dengan Ki Sumunar, sekaligus mencoba membantu rakyat padukuhan ini untuk menaikkan pendapatannya. Tetapi sebelum kita dapat memberikan apa-apa kepada mereka, kita sudah mulai membunuh mereka. Apakah dengan demikian kita akan mendapat dagangan dari mereka? Kecuali jika kita mempergunakan kekerasan. Dan itu akan sama saja artinya dengan apabila kita merampok mereka.”

Kawan-kawannya terdiam. Beberapa orang yang lain yang muncul dari rumah itu pun tidak ada yang menyahut. Semuanya berdiri berderet bagaikan membeku.

Yang terakhir keluar dari ruang dalam rumah itu adalah Glagah Putih dan Rara Wulan. Kepada Ki Basuri, Glagah Putih pun berkata, “Paman, kita akan menunggu sampai Ki Bekel itu datang kemari.”

“Kau juga akan melawan rakyat yang menurut katamu akan kau selamatkan dari ketamakan Sumunar? Atau kau ingin bergabung bersamaku untuk mendapatkan imbalan bagi jerih payahmu? Jika demikian, maka kau benar-benar seorang petualang yang tidak berjantung.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Rara Wulan yang merasa tersinggung oleh kata-kata Ki Basuri itu pun berkata, “Jika demikian, sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini, Kakang. Bukankah Kakang tidak ingin bertualang tanpa jantung? Bukankah kita mempunyai dasar yang kokoh di setiap langkah kita ?”

“Aku akan menjelaskannya,” desis Glagah Putih.

“Apa yang akan kau jelaskan?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Sabarlah.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Glagah Putih pun berkata kepada Ki Basuri, “Paman. Menurut pendapatku, sebaiknya Paman menunggu kedatangan Ki Bekel. Menurut pendapatku, Raden Sumunar tentu akan ikut datang pula.”

“Jika yang datang Sumunar dan orang-orangnya, anak muda, kami akan menghadapinya. Kami sudah siap apapun yang akan terjadi. Tetapi jika Ki Bekel membawa orang-orang padukuhan ini, apakah kita akan melawan? Mungkin kita tidak akan dapat mereka tundukkan. Tetapi berapa orang yang akan mati?”

“Kau terlalu baik hati, Ki Basuri,” berkata orang yang bermata merah, “jika mereka menyerang kita, bukan salah kita jika kita melawan.”

“Tetapi rakyat padukuhan ini tidak tahu apa yang mereka lakukan.”

“Karena itu, Paman,” berkata Glagah Putih, “biarkan mereka datang. Biarlah Ki Bekel membawa orang-orang padukuhan ini, sekalian Sumunar dan orang-orangnya.”

“Aku tidak dapat melihat orang-orang yang tidak tahu apa-apa itu dibantai di sini. Justru karena kita datang ke padukuhan ini.”

“Siapa yang akan membantai mereka? Bukankah paman juga menginginkan pertemuan antara Paman, Raden Sumunar dan rakyat padukuhan ini, dibawahi penilikan Ki Bekel?”

Ki Basuri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Kau benar, anak muda. Ternyata kau cerdas sekali. Aku setuju dengan pendapatmu.”

“Apa yang dimaksudkan? Apakah berbeda dengan yang aku katakan?” bertanya orang yang bermata merah.

“Ada bedanya. Tetapi baiklah kita menunggu.”

Orang bermata merah itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun tidak berkata apa-apa lagi.

Dengan berbagai macam pertanyaan di hati, kawan-kawan Ki Basuri itu menunggu. Mereka tidak tahu pasti, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Basuri, sebagaimana dikatakan oleh anak muda yang mengaku bernama Warigalit itu.

Perlahan-lahan waktu pun berjalan terus, seiring dengan gerak matahari di langit. Ketika senja turun, maka Ki Basuri dan kawan-kawannya menjadi tegang. Mereka tidak lagi masuk ke dalam rumah yang menjadi gelap. Tidak seorang pun di antara mereka yang berniat menyalakan lampu.

Di antara mereka yang bertebaran di halaman adalah Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya duduk di atas tangga rumah kosong itu.

Orang yang bermata merah, yang semula duduk di atas amben panjang di serambi yang terbuka di sisi kanan rumah itu, bangkit berdiri dan melangkah mendekati Rara Wulan.

“Terlalu banyak nyamuk di sini.”

“Aku tidak merasa digigit nyamuk,” jawab Rara Wulan

“Masuklah. Duduk sajalah di dalam,” berkata orang itu.

“Terima kasih. Bukankah di dalam gelap sekali?”

“Aku akan menyalakan oncor jarak.”

“Terima kasih. Biarlah aku di sini saja.”

“Kau takut duduk di dalam sendirian?”

“Jika aku duduk di dalam, aku akan mengajak kakakku ini.”

“Marilah, aku temani kau duduk di dalam. Jika kakakmu ingin duduk di sini, biar saja ia duduk di sini.”

Rasa-rasanya Rara Wulan ingin menampar mulut orang itu. Tetapi ia masih berusaha menahan diri.

“Marilah.”

“Terima kasih,” jawab Rara Wulan.

Orang itu terdiam sejenak. Namun kemudian sambil duduk di sebelah Rara Wulan orang itu berkata, “Kau tidak mandi?”

“Tidak,” jawab Rara Wulan.

“Di belakang ada pakiwan, jika kau mau mandi. Nanti biarlah aku yang mengisi jambangannya. Jika kau takut mandi sendiri di belakang yang gelap, aku akan menungguimu.”

Rara Wulan tidak tahan lagi. Tetapi ia tidak menampar mulut orang itu. Tetapi Rara Wulan bangkit dari tempat duduknya dan berpindah di sisi Glagah Putih yang lain.

“Kenapa kau pergi?” bertanya orang itu.

Rara Wulan tidak dapat menahan diri lagi. Katanya, “Kau sangat menjemukan.”

Orang itu tiba-tiba saja bangkit berdiri dan berkata, “Kau menyinggung perasaanku.”

“Kau tidak merasa bahwa kau lebih dahulu menyinggung perasaanku ?”

Tiba-tiba saja orang itu tertawa. Katanya, “Perempuan cantik memang mudah sekali tersinggung.”

“Aku minta kau diam,” geram Rara Wulan yang sudah kehabisan kesabaran.

Tetapi orang itu masih saja tertawa meskipun tertahan-tahan.

“Kau garang juga, anak manis.”

Rara Wulan mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan kemarahannya. Namun ketika orang bermata merah itu sekali lagi duduk di sebelahnya, dan bahkan mulai mendesaknya, Rara Wulan tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja bangkit. Tangannya pun dengan serta-merta telah terayun menampar pipi orang itu, sehingga orang itu mengaduh tertahan.

“Kau berani memukul aku, he?” geram orang itu.

“Kau sangat memuakkan. Apakah kau tidak dapat berlaku sopan?”

“Kau belum tahu, siapa aku.”

“Aku tidak peduli siapa kau.”

Keributan itu ternyata telah memanggil beberapa orang yang lain. Sejenak kemudian, termasuk Ki Basuri telah mengerumuninya. “Ada apa?” bertanya Ki Basuri.

“Perempuan itu telah berani menampar wajahku,” geram orang bermata merah itu.

Ketika Ki Basuri berpaling kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun berkata, “Orang itu sangat memuakkan. Ia mencoba menggangguku. Aku sudah berusaha untuk menahan diri, tetapi ia masih saja bertingkah laku kasar.”

Glagah Putih yang kemudian berdiri di sebelah Rara Wulan pun berkata, “Ya. Laki-laki itu telah mengganggu adikku.”

“Kenapa hal itu kau lakukan?” bertanya Ki Basuri.

“Aku berniat baik.”

“Jika aku belum mengenalmu, mungkin aku akan mempercayaimu. Tetapi aku kenal kau sejak lama. Kau memang sering mengganggu perempuan.”

“Kenapa aku tidak boleh mengganggunya? Seorang perempuan yang bertualang seperti perempuan itu, tentu bukan perempuan baik-baik.”

Rara Wulan benar-benar menjadi sangat marah. Sehingga di luar sadarnya, maka sekali lagi tangannya terayun. Tidak sekedar menampar wajah orang bermata merah itu. tetapi Rara Wulan benar-benar memukul mulut orang itu.

Pukulan Rara Wulan cukup keras sehingga orang itu terhuyung-huyung. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya. Namun ia berhasil untuk tetap terdiri.

Tetapi orang itu pun menjadi sangat marah. Dengan garangnya ia pun berkata, “Aku tidak mau berkelahi dengan perempuan. Ayo, aku tantang kakaknya. Jika ia memang laki-laki, kita selesaikan persoalan ini dengan cara seorang laki-laki!”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya kepada Ki Basuri, “Bagaimana menurut Paman? Apakah persoalan ini harus diselesaikan dengan cara yang dikehendakinya itu?”

“Kita sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi persoalan yang lebih besar.”

“Tetapi perempuan itu sudah menghinaku! Aku, murid utama dari perguruan Marga Semi, tidak mau menerima perlakuan seperti ini.”

“Jangan sebut-sebut nama perguruanmu. Kau kira gurumu akan berbangga melihat muridnya berkelahi karena kelakuannya yang tidak pantas terhadap seorang perempuan?”

“Aku berhak berbuat seperti itu terhadap seorang perempuan petualang seperti perempuan itu. Aku memang tidak akan melakukannya terhadap seorang perempuan baik-baik.”

Rara Wulan hampir saja meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih telah menahannya. Namun Glagah Putih itu pun berkata, “Baiklah. Jika kau merasa dihinakan, kau memang dapat menuntut adik perempuanku. Tetapi persoalannya adalah persoalan antara kau dan adik perempuanku, maka kalian-lah yang harus menyelesaikan. Bukan aku. Aku hanya akan menjadi saksi saja, sebagaimana Paman Basuri dan orang-orang yang lain. Jika itu yang kau kehendaki, maka segera lakukanlah, sebelum Ki Bekel dan Raden Sumunar itu datang.”

“Aku tidak ingin melawan seorang perempuan. Aku mempunyai harga diri. Aku tantang kau berkelahi.”

“Aku tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan kau.”

Orang itu masih akan menjawab. Tetapi Rara Wulan telah memotongnya, “Bersiaplah! Kau mau atau tidak mau, aku akan menyerangmu. Aku akan mengoyakkan mulutmu yang kotor itu.”

Orang bermata merah, yang mengaku murid utama dari perguruan Marga Semi itu pun menggeram. Namun kemudian ia pun berkata, “Kau sendiri yang mencari perkara. Semua orang menjadi saksi, bahwa bukan aku-lah yang menantangmu.”

“Tetapi kau sudah merendahkan aku sebagai seorang perempuan. Aku ingin membuktikan, bahwa kau tidak lebih baik dari seorang perempuan dalam olah kanuragan.”

“Kau sombong sekali.”

“Kau memuakkan sekali!”

Orang bermata merah itu melangkah maju. Katanya, “Jika terjadi sesuatu atas dirimu, bukan salahku.”

“Salahmu. Kau telah menghinaku.”

“Persetan kau, perempuan yang tidak tahu diri!”

Rara Wulan benar-benar sudah mempersiapkan diri. Ketika laki-laki bermata merah itu maju selangkah lagi, maka di luar dugaan tiba-tiba saja Rara Wulan meluncur dengan kaki terjulur lurus mengarah ke dada.

Orang itu terkejut sekali. Ia tidak lagi sempat mengelakkan serangan itu.

Yang dapat dilakukannya adalah melindungi dadanya dengan kedua belah tangannya yang disilangkan di dadanya.

Namun serangan Rara Wulan itu terlalu keras. Kakinya yang terjulur membentur kedua tangan lawannya yang bersilang, sehingga tangannya itu telah menekan dadanya.

Orang bermata merah itu terhuyung-huyung selangkah surut. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan keseimbangannya. Namun Rara Wulan meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar mengenai kening lawannya itu.

Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Tubuhnya terlempar dengan kerasnya, terbanting di tanah.

Orang orang yang menyaksikan ketangkasan Rara Wulan terkejut. Mereka tidak mengira, bahwa Rara Wulan akan mampu bergerak dengan cepatnya, serta dengan tenaganya yang demikian kuatnya.

Orang yang bermata merah itu mencoba untuk segera bangkit. Sambil menyeringai kesakitan orang itu tertatih-tatih berdiri.

Rara Wulan berdiri beberapa langkah dari orang itu. Meskipun orang itu berada di dalam jarak jangkau serangan kakinya, namun Rara Wulan tidak segera melenting menyerangnya. Dibiarkannya orang itu memperbaiki kedudukannya, sambil berkata, “Aku beri kesempatan kau untuk bernafas. Terserah kepadamu, apakah kita akan berkelahi terus atau tidak.”

“Anak iblis kau, perempuan binal!” geram orang itu di sela-sela nafasnya yang terengah-engah, “kau mencuri kesempatan dengan licik.”

“Tidak. Kita sudah sama-sama bersiap untuk berkelahi. Tetapi kemampuanmu memang tidak berarti apa-apa.”

Orang itu menggeram. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Dengan garangnya orang itu pun kemudian meloncat sambil menjulurkan tangannya menggapai leher Rara Wulan. Namun Rara Wulan bergeser selangkah ke samping. Tangannya dengan cepat terayun ke arah tengkuk. Tetapi lawannya sempat merendah menghindari serangan Rara Wulan itu. Bahkan kemudian dengan cepat tangannya terjulur lurus ke pinggang.

Rara Wulan menangkis serangan itu. Kemudian dengan tangkasnya kakinya terayun menghantam dagu orang bermata merah itu. Demikian cepatnya serangan Rara Wulan, sehingga orang itu tidak sempat mengelak. Tendangan Rara Wulan itu mengenai dagunya, sehingga kepala orang itu terangkat. Giginya terkatup dengan kerasnya, sehingga sebuah di antaranya telah terlepas. Darah pun mengalir dari mulutnya.

Orang itu menjadi semakin kesakitan. Karena itu, maka orang bermata merah yang menjadi sangat marah itu telah mencabut goloknya yang besar, sambil menggeram, “Aku bunuh kau, setan betina!”

Rara Wulan mundur selangkah. Sementara itu Glagah Putih yang menjadi cemas pun berkata, “Cukup, Ki Sanak. Jangan mempergunakan senjata. Sedikit lewat senja seperti ini, banyak iblis yang berkeliaran. Ujung senjata akan menjadi sangat berbahaya.”

“Persetan!” geram orang itu, “jika kau takut adikmu mati, aku tantang kau!”

“Siapapun yang berkelahi dengan senjata, akan sangat berbahaya bagi kedua belah pihak.”

“Persetan! Aku harus menyelesaikan perkelahian ini dengan tuntas. Perempuan itu telah menghinaku. Harga diri hanya dapat ditegakkan kembali dengan darah dan nyawanya.”

“Aku sudah mencoba mencegahnya,” desis Glagah Putih. Dalam pada itu, maka Ki Basuri pun berkata, “Sudahlah. Kita menunggu Ki Bekel.”

“Tidak! Belum cukup. Aku tidak mau membiarkan kesan seakan-akan aku telah dikalahkannya. Aku tidak kalah. Dan ini akan aku buktikan.”

Ternyata Ki Basuri pun tidak berhasil mencegah perkelahian itu menyala lagi. Ketika orang itu mulai memutar goloknya, maka Rara Wulan telah mencabut pedangnya pula.

Keduanya pun mulai bergeser saling mendekati. Orang bermata merah itu tidak mau didahului lagi oleh Rara Wulan. Karena itu, ia pun segera meloncat maju. Diayunkannya goloknya dengan derasnya, langsung mengarah ke dahi Rara Wulan.

Rara Wulan yang sudah menjajagi kemampuan dan kekuatan lawannya, sengaja tidak mengelak. Dengan menyilangkan pedangnya di depan wajahnya, Rara Wulan menangkis serangan itu.

Terjadi benturan yang keras. Bunga api pun telah memercik, memecahkan kegelapan yang mulai menyelimuti padukuhan itu.

Ternyata bahwa golok di tangan orang bermata merah itu telah goyah. Telapak tangannya terasa sangat pedih. Hampir saja golok itu terlepas dari tangannya.

Dengan cepat orang itu meloncat surut. Di luar sadarnya mulutnya mengumpat kasar. Tangan kirinya kemudian telah membantu memegangi hulu goloknya itu.

Rara Wulan tidak memburu lawannya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati lawannya dengan pedang teracu.

Orang bermata merah itu masih memegangi goloknya yang besar dengan kedua belah tangannya. Ketika Rara Wulan maju selangkah lagi, maka orang itu pun menggeram, “Aku benar-benar akan membunuhmu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Ia memandang dengan tajamnya golok lawannya yang bergetar.

Orang-orang yang mengerumuninya menjadi sangat tegang. Ki Basuri justru telah menahan nafasnya, ia tidak mencemaskan perempuan yang bersenjata pedang itu. Tetapi ia justru mencemaskan orang yang matanya merah itu.

Ki Basuri yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, mempunyai kesempatan lebih besar untuk melihat perbandingan ilmu antara keduanya. Berbeda dengan orang yang terlibat langsung dalam perkelahian itu, apalagi dibekali dengan kesombongan dan harga diri, maka lawan Rara Wulan masih belum mengakui kenyataan bahwa perempuan itu memiliki ilmu lebih tinggi dari dirinya.

Namun ketegangan itu pun dipecahkan oleh kehadiran sekelompok orang yang memasuki halaman rumah itu. Bahkan beberapa orang telah berteriak-teriak dengan kasar, “Pergi kau, Tikus Wirog! Pergi kau dari halaman rumahku!”

Ki Basuri dan orang-orang yang sedang dalam ketegangan itu terkejut. Mereka menyadari bahwa yang datang itu tentu Ki Bekel bersama Raden Sumunar, dan bahkan mungkin orang-orang padukuhan yang tidak dapat menolak perintah Ki Bekel.

“Hentikan perselisihan yang tidak ada gunanya ini!” geram Ki Basuri, “Sudah aku katakan, kita menghadapi persoalan yang lebih besar.”

Orang yang bermata merah itu termangu-mangu sejenak. Kehadiran Ki Bekel telah menyelamatkan namanya, sehingga ia masih belum dinyatakan kalah dari seorang perempuan. Sementara itu, Glagah Putih pun telah menggamit Rara Wulan sambil berdesis, “Sarungkan pedangmu, supaya tidak terjadi salah paham dengan orang-orang yang datang itu”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia pun menyarungkan pedangnya sebagaimana diminta oleh Glagah Putih.

Orang bermata merah yang juga mendengar kata-kata Glagah Putih serta melihat Rara Wulan menyarungkan pedangnya, telah menyarungkan goloknya pula.

Sementara itu, orang-orang yang datang itu telah memasuki halaman. Beberapa orang bahkan membawa obor. Beberapa orang masih saja berteriak, “Pergi kau, Wirog! Jangan mencuri gula dan kelapa kami!”

Ki Basuri berdiri bagaikan membeku. Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantungnya. Demikian pula kawan kawannya yang berdiri di sekitarnya.

Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Bukankah kesempatan ini yang Paman tunggu?”

Ki Basuri bagaikan terbangun dari mimpi buruknya. Sambil mengangguk ia pun berkata, “Ya. Aku menunggu kesempatan ini. Marilah, kita temui mereka. Tetapi ingat, kita tidak akan berkelahi melawan orang-orang padukuhan ini.”

Kawan-kawan Ki Basuri itu tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan. Tetapi mereka pun kemudian menyandarkan persoalan itu seluruhnya kepada Ki Basuri. Apa yang dikatakannya, kawan-kawannya itu tinggal melakukannya saja.

Sejenak kemudian, maka Ki Basuri dan kawan-kawannya pun telah berdiri di tangga rumah yang kosong dan gelap itu. Nyala obor yang dibawa oleh orang-orang yang berdatangan itu telah menerangi kebon kosong itu. Sinarnya yang bergoyang disentuh angin, telah menyapu wajah-wajah tegang dari mereka yang berdiri di tangga.

Ternyata yang berdiri di paling depan adalah Ki Bekel dan para bebahu. Di antara mereka terdapat Raden Sumunar. Di belakangnya adalah orang-orang upahan yang dibawa oleh Raden Sumunar itu. Baru kemudian berdiri dengan tegang dan tatapan mata kosong, orang-orang padukuhan.

Ketika Ki Basuri sudah berdiri di tangga rumah kosong dan gelap itu, maka Ki Bekel pun berkata, “Kau, Tikus Wirog yang tidak tahu diri. Aku sudah mengusirmu dari padukuhan ini, tetapi kau masih berada di sini sampai malam turun. Seharusnya kau ditangkap dan dihukum, karena kau telah melanggar perintahku, Bekel yang berkuasa di padukuhan ini. Tetapi aku masih mempunyai rasa perikemanusiaan yang tinggi. Karena itu, maka aku masih memberi kesempatan kepadamu untuk meninggalkan padukuhan ini, sekarang.”

Ki Basuri tidak segera menjawab. Dipandangnya orang-orang yang berada di halaman yang kotor itu, seakan-akan ia ingin melihat setiap wajah dari orang-orang itu.

Dalam pada itu, ternyata Raden Sumunar-lah yang berbicara lebih dahulu, “Sebaiknya kau pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, Wirog.”

Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada berat ia pun bertanya, “Apa salahku, Ki Bekel? Hanya karena aku datang dan berada di padukuhan ini tanpa memberitahukan kepada Ki Bekel, maka aku harus diusir? Bukankah aku sudah minta maaf atas kekhilafan itu?”

“Begitu mudahnya sebuah kesalahan dihapus dengan permintaan maaf? Seandainya demikian, baiklah. Aku maafkan kau. Namun seterusnya, tinggalkan padukuhan ini.”

“Ki Bekel. Sudah aku katakan, bahwa aku datang ke padukuhan ini untuk berdagang. Aku ingin membeli gula kelapa, dan apabila ada, juga kelapa kering. Apakah Ki Bekel tidak membenarkannya?”

“Sebaiknya kau tidak melakukannya. Untuk menghindari persaingan yang kasar, maka biarlah Raden Sumunar menjadi pembeli tunggal di padukuhan ini.”

Sebelum Ki Basuri menjawab, Raden Sumunar itu pun berkata lantang, “Wirog, jangan banyak bicara! Sebaiknya kau pergi, sebelum Ki Bekel dan orang-orang padukuhan ini marah. Kau akan mengalami kesulitan yang mungkin tidak akan dapat kau atasi. Bahkan mungkin kau tidak akan pernah dapat keluar dari padukuhan ini, karena kau akan dikubur di sini.”

“Kau mengancam, Den Bera?”

“Diam! Sebut namaku!”

“Kau juga tidak mau menyebut namaku.”

“Persetan dengan namamu. Aku peringatkan sekali lagi. Pergilah! Rakyat pedukuhan ini tidak mau melihat wajahmu lagi.”

“Apakah benar begitu?”

“Mereka ada di sini sekarang. Lihat, mereka tidak hanya membawa obor. Tetapi mereka membawa senjata.”

“Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.”

“Cukup!” potong Ki Bekel, “Pergilah!”

“Baik. Aku akan pergi. Tetapi sebelumnya, aku akan memberitahukan kepada rakyatmu, bahwa aku bersedia membeli gula mereka dengan harga yang wajar. Harga itu lebih tinggi dari harga yang dibayar oleh Den Bera. Selisihnya memang agak banyak. Dengan harga itu, aku masih mempunyai keuntungan yang cukup. Sehingga dengan demikian aku tahu, seberapa besarnya Den Bera mendapat keuntungan. Jauh lebih tinggi dari uang yang diterima oleh para penghasil gula itu sendiri. Sementara mereka adalah orang yang mempunyai tanah dimana pohon kelapa itu tumbuh. Mereka adalah orang yang setiap hari memanjat pohon kelapa itu batang demi batang. Mereka yang mengolah legen menjadi gula dengan memanggang diri di depan perapian. Mereka yang mencetak gula itu, dan kemudian menempatkannya di dalam keranjang-keranjang yang siap dipasarkan. Sementara itu, Den Bera duduk-duduk sambil minum minuman hangat, akan mendapat penghasilan yang jauh lebih besar. Ki Bekel, tidakkah Ki Bekel ingin mengadakan perubahan?”

“Cukup!” teriak Raden Sumunar, “Jangan berbicara apa-apa lagi, agar aku tidak menyumbat mulutmu dengan hulu pedang!”

“Aku tidak berbicara kepadamu, Den Bera Aku akan berbicara kepada orang-orang padukuhan ini. Apakah mereka tidak menginginkan perubahan apapun dalam kehidupan mereka ?” Ki Basuri itu pun kemudian berbicara kepada orang-orang yang berada di halaman itu, “He, saudara-saudaraku. Aku bukan orang yang bekerja tanpa pamrih. Sudah aku katakan, aku ingin mendapat dagangan gula kelapa, karena gula kelapa akan memberikan keuntungan yang cukup padaku. Tetapi apakah aku sampai hati melihat ketidak-adilan ini berlangsung lebih lama lagi? Kita sama-sama membutuhkan penghasilan yang wajar. Karena aku juga pernah mengalami hidup dalam kesulitan, maka aku dapat mengerti, betapa sakitnya diperas seperti yang kalian alami sekarang ini.”

“Diam kau, Tikus Wirog! Kau jangan mencoba menghasut orang-orang padukuhan yang lugu dan hidup dalam suasana yang tenang dan damai! Kau jangan menimbulkan pergolakan di sini, agar kau tidak kami cincang di kebon kosong ini!” berkata Ki Bekel dengan suara lantang.

“Sayang, Ki Bekel. Aku tidak akan diam. Aku ingin mendengar jawaban dari rakyat padukuhan ini. Apakah mereka tidak ingin mendapat uang lebih banyak dari hasil jerih payah mereka? Aku bukan orang yang baik hati. Aku adalah pedagang yang mencari untung. Tetapi dengan keuntungan yang wajar, aku akan dapat tidur nyenyak semalaman. Tetapi dengan memeras orang-orang yang lemah, maka aku akan selalu dibayangi oleh mimpi buruk.”

“Aku akan membunuhmu!” teriak Raden Sumunar.

Beberapa orang yang berdiri di belakangnya tiba-tiba saja telah bergerak. Namun bersamaan dengan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah turun pula dari tangga. Beberapa orang kawan Ki Basuri yang melihat keduanya bergerak, telah bergeser pula mendekati Ki Basuri yang masih berdiri di tangga.

Sementara itu Ki Basuri pun berkata pula, bahkan lebih lantang, “Aku tantang kau, Den Bera! Tetapi aku tidak akan berkelahi melawan orang-orang padukuhan ini. Jika mereka menghendaki aku pergi, maka aku dan kawan-kawanku akan pergi. Tetapi jika mereka menghendaki aku tinggal, maka aku akan tinggal, apapun yang akan terjadi. Aku akan melawan Den Bera dengan orang-orang upahannya. Aku akan melawan KI Bekel yang telah diikat dengan suap oleh Den Bera.”

“Cukup! Cukup! Rakyat padukuhan ini akan membunuhmu.”

“Tidak. Mereka tahu apa yang baik bagi mereka di masa datang. Aku justru menganjurkan agar Ki Bekel berpihak kepada mereka. Jika tidak, maka ki Bekel akan tersingkir. Bukan saja dari jabatan Ki Bekel, tetapi yang lebih sakit adalah tersingkir dari pergaulan sanak kadang. Mungkin Ki Bekel telah menerima uang yang jauh lebih banyak dari penghasilan Ki Bekel selaku bebahu padukuhan ini. Tetapi uang itu tidak akan dapat Ki Bekel pergunakan untuk membeli sebuah lingkungan yang nyaman, tenang dan damai di antara sanak kadang serta kawan-kawan semasa kecil, yang sama-sama bermain kejar-kejaran di waktu terang bulan.”

“Diam! Diam!” Ki Bekel berteriak.

“Aku ingin mendengar rakyat padukuhan ini berteriak. Apakah aku harus pergi atau tidak. Jika kalian minta aku pergi dan membatalkan rencanaku untuk membeli gua, aku akan pergi. Tetapi jika kalian menginginkan hubungan jual beli itu diteruskan, aku akan tinggal. Aku akan berkelahi melawan siapa saja yang mencoba menghalangi hubunganku dengan kalian.”

Ketika Ki Basuri berhenti berbicara, maka suasana pun menjadi hening. Orang-orang yang berada di halaman itu bagaikan membeku. Lidah Ki Bekel bagaikan menjadi kelu. Ada sesuatu yang terasa bergejolak di dalam dadanya.

Namun sesaat kemudian terdengar Raden Sumunar itu berteriak, “Aku akan membungkamnya!”

Tetapi demikian mulut orang itu terkatup, terdengar seseorang berteriak, “Jangan pergi, Ki Basuri.”

Suara itu merupakan sebuah letupan perasaan yang tertahan-tahan. Rakyat padukuhan itu datang bersama Ki Bekel, karena Ki Bekel mengajak mereka. Bahkan Ki Bekel memerintahkan mereka untuk membawa obor dan senjata apa saja yang dapat mereka bawa.

Namun kedatangan mereka ke kebon kosong itu tidak didorong oleh kemauan mereka sendiri. Sebenarnyalah bahwa mereka merasa lebih senang berhubungan dengan Ki Basuri daripada Raden Sumunar.

Tetapi sebelumnya mereka tidak berani mengatakannya. Mereka telan saja keinginan itu di dalam hati mereka. Bahkan mereka telah datang ke kebon kosong itu dengan senjata di tangan.

Karena itu, ketika jantung mereka diguncang oleh pernyataan Ki Basuri. maka kemauan mereka yang tertahan di dalam dada mereka itu telah meledak.

Ketika seseorang berteriak agar Ki Basuri tidak pergi, maka seorang yang lain pun segera berteriak pula, “Ya, jangan pergi!”

Bukan hanya seorang. Ternyata beberapa orang telah berteriak pula, “Jangan pergi! Jangan pergi!”

Keringat dingin membasahi punggung Ki Bekel. Sementara itu, Raden Sumunar pun menjadi sangat tegang.

“Ki Bekel,” Raden Sumunar itu menggeram, “redakan orang-orangmu. Bukankah kau berjanji bahwa mereka akan tunduk kepadamu?”

Nafas Ki Bekel pun menjadi terengah-engah. Namun ia pun masih juga mencoba, “Diam! Diam semuanya! Aku yang akan mengambil keputusan.”

Tetapi Ki Basuri menyahut, “Dengar suara mereka, Ki Bekel. Itu adalah kata hati mereka. Mereka sudah jemu diperas oleh Raden Sumunar sampai darah mereka hampir kering. Sementara itu, kau sama sekali tidak melindungi mereka. Kau justru ikut menghimpit rakyatmu sendiri, yang seharusnya kau lindungi.”

“Diam kau, diam!”

Tetapi suara Ki Demang itu tenggelam dalam teriakan-teriakan orang-orang padukuhan itu, “Usir Sumunar! Usir Sumunar!”

Bahkan ada pula yang berteriak, “Usir Ki Bekel! Usir Ki Bekel!”

Jantung Ki Bekel terasa berdegup semakin cepat. Ia merasa terhimpit oleh janjinya kepada Raden Sumunar, yang telah memberinya banyak uang dan barang-barang berharga lainnya. Selama ini ia masih mampu mengendalikan orang-orangnya, sehingga Raden Sumunar masih tetap merupakan pembeli tunggal di padukuhannya, dengan harga yang ditetapkannya sendiri. Tetapi kedatangan Ki Basuri yang disebutnya Tikus Wirog itu, telah merusakkan segala-galanya Orang-orang padukuhan itu tiba-tiba saja telah bersikap, dan dengan berani menyatakan menentang kepadanya.

“Setan kau, Tikus Wirog,” geram Ki Bekel. Tetapi tidak ada orang yang mendengarnya.

Raden Sumunar pun menjadi bingung. Meskipun ia hadir bersama beberapa orang upahannya sehingga ia akan dapat menakut-nakuti orang-orang padukuhan itu, tetapi di tempat itu ada Ki Basuri dan orang-orangnya pula. Ki Basuri dan orang-orangnya tentu akan melindungi orang-orang padukuhan, yang berteriak semakin keras, “Usir Sumunar! Usir Ki Bekel!”

Orang-orang itu tidak saja sekedar berteriak-teriak, tetapi mereka pun mulai mengacukan senjata-senjata mereka. Senjata apa saja yang mereka bawa. Ada yang membawa tombak, tetapi ada yang sekedar membawa selarak pintu.

Meskipun demikian, sikap orang-orang itu membuat Raden Sumunar dan Ki Bekel menjadi ngeri.

Di atas tangga, Ki Basuri pun menjadi tegang. Jika Raden Sumunar kehilangan akalnya, maka ia dapat memerintahkan orang-orang upahannya untuk menyerang orang-orang padukuhan yang tidak terbiasa berkelahi. Meskipun mereka membawa senjata, tetapi mereka tidak terbiasa mempergunakannya.

Karena itu, maka Ki Basuri itu pun berteriak, “Jangan ganggu orang-orang padukuhan itu, Den Bera. Jika kau ingin berkelahi, lawanlah kami. Kami sudah siap menghadapi kalian.”

Raden Sumunar termangu-mangu sejenak. Namun Raden Sumunar itu tidak akan dapat menentang arus. Orang-orang padukuhan itu masih berteriak-teriak, “Usir pemeras! Usir Ki Bekel yang makan suap!”

Tubuh Ki Bekel mulai bergetar, ketika orang-orang yang berteriak-teriak itu bukan saja mengacu-acukan senjata mereka, tetapi mereka mulai bergerak maju.

Namun Ki Basuri pun kemudian berkata lantang, “Jangan lakukan apa-apa! Biarlah Sumunar pergi. Jika Ki Bekel ingin pergi, biarlah ia pergi pula. Tetapi jika Ki Bekel ingin tetap tinggal bersama kalian, maka persoalannya dapat dibicarakan kemudian. Kalian dapat mengirimkan orang-orang yang kalian percaya untuk menemui Ki Demang dan memberikan laporan selengkapnya. Biarlah Ki Demang yang mengambil alih persoalannya. Sementara itu, hubungan jual beli di antara kita dapat berlangsung terus.”

Orang-orang padukuhan itu pun berhenti bergerak. Mereka berdiri tegak seperti patung. Di tangan mereka masih tergenggam senjata. Sedangkan beberapa orang di antara mereka memegang obor.

“Sumunar,” berkata Ki Basuri kemudian, “jika kau mau pergi, sekarang adalah waktu yang tepat. Sebelum rakyat padukuhan ini berbuat sesuatu atas dirimu dan orang-orang upahanmu. Sedangkan Ki Bekel, kau dapat memilih. Apakah kau akan pergi di bawah perlindungan Sumunar, yang selama ini telah memberikan banyak sekali kesenangan kepadamu, atau kau ingin tetap tinggal di dalam lingkunganmu. Jika kau ingin tinggal, maka kau harus bersedia dihadapkan kepada Ki Demang, untuk menilai apakah kau telah menjalankan tugasmu sebagai Bekel padukuhan ini dengan baik atau tidak.”

Wajah Ki Bekel menjadi sangat tegang. Sementara itu Raden Sumunar pun berkata, “Kau berhasil menghasut rakyat padukuhan ini, Wirog. Tetapi kau tidak akan selamanya berada di bawah perlindungan rakyat padukuhan ini.”

“Aku sudah memperhitungkannya, Sumunar,” sahut Ki Basuri, “aku tahu bahwa kau akan mendendam. Dendammu dapat meledak dimana saja. Di sini, di pasar Pandean, atau dimana saja kita akan dapat bertemu. Tetapi itu tidak apa-apa. Sudah aku katakan, aku siap menghadapimu.”

Raden Sumunar tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian berkata kepada orang-orang upahannya, “Kita tinggalkan padukuhan ini. Padukuhan tempat tinggal orang-orang dungu dan malas.” Lalu katanya kepada Ki Bekel, “Terserah apa maumu, Ki Bekel. Jika kau ingin ikut bersamaku, aku akan pergi sekarang.”

Ki Bekel tidak menjawab. Tubuhnya menjadi semakin gemetar. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukannya.

Dalam pada itu, Raden Sumunar tidak menunggu Ki Bekel dapat mengambil keputusan. Ia pun segera memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk meninggalkan tempat itu.

Orang-orang padukuhan itu menyibak ketika Raden Sumunar dan orang-orang upahannya lewat. Mereka ternyata menurut perintah Ki Basuri, agar mereka membiarkan Raden Sumunar itu pergi.

Demikian Raden Sumunar dan orang-orangnya hilang di balik regol, maka orang-orang itu pun segera berpaling kepada Ki Bekel. Seorang di antara mereka pun berteriak, “Ki Bekel ternyata telah menerima suap!”

“Tangkap Ki Bekel!” teriak yang lain, yang disahut oleh banyak orang, “Tangkap Ki Bekel!”

Ki Bekel menjadi sangat ketakutan. Orang-orang padukuhan itu kembali mengacu-acukan senjata apa saja yang mereka bawa.

Namun Ki Basuri itu berkata lantang, “Jangan bertindak sendiri! Aku akan membawa Ki Bekel ke banjar. Aku akan menahannya di banjar, sementara kalian boleh pulang. Besok, dua orang di antara kalian akan pergi menghadap Ki Demang, melaporkan apa yang sudah terjadi di sini. Biarlah Ki Demang mengambil tindakan.”

Orang-orang itu pun menjadi termangu-mangu. Namun kemudian seorang demi seorang, mereka pun mulai meninggalkan halaman rumah itu.

“Tinggalkan satu atau dua obor di halaman,” berkata Ki Basuri. Dua orang di antara mereka yang membawa obor berhenti. Ki Basuri pun memberikan isyarat kepada dua orangnya untuk menerima obor di tangan kedua orang itu.

Sejenak kemudian, maka halaman rumah kosong itu pun menjadi sepi. Orang-orang padukuhan telah pergi. Yang tinggal adalah Ki Bekel yang berdiri seorang diri. Beberapa langkah darinya, di sebelah-menyebelah berdiri dua orang kawan Ki Basuri, yang membawa obor yang ditinggalkan oleh dua orang penduduk padukuhan itu.

“Kau telah ditinggalkan rakyatmu sendiri, Ki Bekel,” berkata Ki Basuri.

Ki Bekel benar-benar menjadi ketakutan melihat Ki Basuri melangkah mendekatinya, diikuti oleh kawan-kawannya.

“Aku minta ampun. Aku tidak dapat berbuat apa-apa, karena aku selalu diancam oleh Raden Sumunar.”

“Omong kosong. Kau tidak diancamnya, tetapi kau telah disuapnya.”

Ki Bekel itu tidak segera menjawab.

“Jawablah tuduhan ini, Ki Bekel. Kau tidak diancamnya Tetapi kau telah disuapnya.”

Ki Bekel itu mengangguk sambil berdesis,” Ya. Aku telah disuapnya. Tetapi aku minta ampun. Jangan sakiti aku.”

“Tidak, Ki Bekel. Jika kami ingin menyakitimu, maka kami tidak akan mencegah orang-orang padukuhan ini melakukannya.”

“Sekarang, apa yang akan kalian lakukan. Apakah aku boleh pulang?”

“Jangan pulang, Ki Bekel. Kita bersama-sama akan pergi ke banjar, seperti yang sudah aku katakan kepada orang-orang padukuhan ini. Dua orang di antara mereka akan menghadap Ki Demang, untuk melaporkan apa yang telah kau lakukan. Kau akan mendapat perlakuan yang adil, melalui penelitian yang akan dilakukan oleh Ki Demang dan Ki Jagabaya.”

Ki Bekel itu menjadi sedikit tenang. Ia tidak akan dicincang di kebun kosong itu. Jika ia diserahkan kepada Ki Demang, maka Ki Demang tidak akan berbuat semena-mena. Ia mengenal Ki Demang dengan baik. Namun ia pun mengenal Ki Jagabaya yang garang.

“Nah, Ki Bekel,” berkata Ki Basuri, “jangan berbuat aneh-aneh. Kita akan pergi ke banjar.”

“Tetapi… tetapi aku tidak melakukannya sendiri.”

Ki Basuri melangkah semakin dekat sambil bertanya, “Maksud Ki Bekel?”

“Ada beberapa orang bebahu yang juga menerima suap seperti aku. Aku bekerja sama dengan mereka mengendalikan orang-orang padukuhan ini.”

“Besok, katakanlah kepada Ki Demang. Ki Demang-lah yang akan memberikan keputusan, siapakah yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah.”

Ki Bekel itu menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa orang berdiri di sekitarnya, seakan-akan sengaja mengepungnya.

“Marilah, Ki Bekel,” berkata Basuri, “kita pergi ke banjar.”

Namun sebelum mereka melangkah pergi, Glagah Putih berdesis, “Apakah Ki Basuri mendengar sesuatu di kegelapan?”

Ki Basuri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Pendengaranmu sangat tajam, anak muda. Baru sekarang, setelah aku memasang telingaku tajam-tajam, aku mendengar gemerisik di kegelapan. Beberapa orang agaknya sedang mendekati kita.”

“Tentu Raden Sumunar.”

“Kau yakin?”

“Aku yakin.”

Ki Basuri mengangguk-angguk. Sebelum ia berkata sesuatu, sebenarnyalah beberapa orang telah muncul dari kegelapan. Cahaya obor yang terayun-ayun oleh sentuhan angin malam, dengan lemahnya menggapai wajah-wajah mereka. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, di antara mereka terdapat Raden Sumunar.

Kawan-kawan Ki Basuri pun bergeser. Sementara itu Ki Basuri berkata kepada seorang kawannya, “Bawa Ki Bekel kemari. Jaga orang itu agar tidak melarikan diri selama terjadi gejolak. Nampaknya kita tidak dapat menghindari kekerasan.”

Orang itu pun segera mendekati Ki Bekel dan menariknya, sambil berkata, “Kemarilah, Ki Bekel. Kau sudah diperingatkan oleh Ki Basuri. Jangan berbuat macam-macam.”

Ki Bekel tidak melawan ketika orang itu menariknya ke belakang Ki Basuri dan kawan-kawannya.

Raden Sumunar-lah yang kemudian maju mendekati Ki Basuri sambil berkata, “Orang-orang padukuhan telah pergi. Yang ada sekarang tinggal aku dan kau, Tikus Wirog.”

“Ki Bekel masih ada di sini. Ia akan menjadi saksi apa yang akan terjadi di sini.”

“Aku datang untuk menyingkirkan kau dan mengambil Ki Bekel. Ia bertanggung jawab atas kegagalan usahaku di sini. Ki Bekel sudah berjanji, bahwa usahaku tidak akan diganggu gugat oleh rakyat padukuhan ini.”

“Tidak ada gunanya, Den Bera. Seandainya kau berhasil mengusir aku, namun namamu sudah menjadi terlalu buruk di padukuhan ini.”

“Omong-omong. Jika kau sudah aku singkirkan, hidup atau mati, maka aku akan membuat hubungan baru dengan rakyat padukuhan ini. Aku akan sedikit menaikkan harga gula dan kelapa dari harga yang sudah aku tentukan sebelumnya. Rakyat padukuhan ini tentu akan menerimanya dengan senang hati. Mereka akan segera melupakan kau, karena kau belum pernah membuktikan kata-katamu, membayar dengan harga lebih tinggi.”

“Aku sudah mengira, bahwa kau tidak akan berhenti sampai sekian. Kau tentu masih akan mencari cara untuk memenangkan persaingan yang tidak sewajarnya ini. Kau adalah orang yang sangat licik.”

Raden Sumunar tertawa. Katanya, “Jangan menyesali nasibmu yang buruk. Aku akan tetap menguasai padukuhan ini, meskipun keuntunganku akan menyusut karena aku harus menaikkan harga gula dan kelapa. Tetapi kau tahu, bahwa keuntunganku masih tetap melimpah. Sementara itu, di padukuhan ini akan ada beberapa kuburan yang tidak pernah dikenal keberadaannya, karena tidak ada tanda-tandanya sama sekali.”

“Kau ingin dikubur dengan cara seperti itu?” bertanya Ki Basuri.

“Persetan! Kau-lah yang akan mati! Bukan aku.”

Ki Basuri-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Den Bera. Kita masing-masing mempunyai kesempatan yang sama. Kau bawa kawan-kawanmu, sementara itu aku juga membawa kawan-kawanku. Kita masing-masing tidak akan dapat menentukan kematian seseorang, karena itu ada di luar jangkauan kita. Karena itu sekali lagi aku peringatkan, kenapa kita harus mempergunakan kekerasan? Kenapa kita tidak merundingkannya baik-baik?”

“Sudah aku katakan. Aku adalah pembeli tunggal di sini. Aku tidak mau disaingi oleh siapapun.”

“Keserakahanmu itulah yang akan menghancurkan jalan hidupmu. Bahkan mungkin hidupmu itu sendiri yang akan direnggut dari dirimu.”

Raden Sumunar memandang Ki Basuri dengan tajamnya. Dalam keremangan cahaya obor, Raden Sumunar itu memberi isyarat kepada orang-orang upahannya. Suaranya pun kemudian meninggi, “Hanya ada satu pilihan, Wirog. Kau akan kami singkirkan. Jangan menyesal. Orang-orangmu yang menghindari benturan kekerasan akan tetap hidup. Tetapi yang mencoba melawan, akan kami hancurkan sama sekali. Di belakang rumah kosong ini akan terdapat kuburan beberapa orang yang semasa hidupnya terlalu sombong. Tetapi kami tidak akan memberikan pertanda apa-apa di atas kuburan itu.”

Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Ia memang harus menghitung-hitung, apakah kira-kira yang bakal terjadi. Di dalam keremangan cahaya obor, ia melihat jumlah orang yang dibawa oleh Raden Sumunar memang lebih banyak dari orang-orangnya. Agaknya Raden Sumunar telah berhasil mengumpulkan orang-orang upahannya.

Namun Ki Basuri sudah bertekad untuk menghadapinya. Kawan-kawannya pun kelihatan telah siap untuk melakukannya, apapun yang akan terjadi. Sementara itu, dua orang anak muda telah berada di pihaknya pula. Laki-laki dan perempuan. Bahkan Ki Basuri telah melihat, betapa keduanya memiliki ilmu yang lebih tinggi dari orang-orangnya. Perempuan muda itu mampu mengalahkan seorang kawannya yang termasuk diandalkannya, meskipun sifat-sifatnya agak kurang menyenangkannya.

Karena itu, maka dengan lantang Ki Basuri itu pun berkata, “Den Bera. Kau tidak dapat menakut-nakuti kami. Kami sudah siap mengahadapi segala kemungkinan. Kau tidak dapat mengandalkan jumlah orangmu yang barangkali lebih banyak. Tetapi kawan-kawanku memiliki banyak kelebihan dari orang-orangmu itu.”

“Persetan dengan kesombonganmu. Bersiaplah! Sekali lagi aku peringatkan, siapa yang mencoba melawan, akan kami habisi tanpa ampun. Tetapi yang menyingkir akan tetap hidup. Kalian tidak akan dapat mencari bantuan orang-orang padukuhan. Mungkin kalian dapat berteriak-teriak mengejutkan orang yang mendengar. Tetapi mereka justru akan menjadi ketakutan.”

Ki Basuri tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera mengembangkan tangannya. Beberapa orang kawannya pun segera tanggap. Mereka segera menebar, serta siap menghadapi segala kemungkinan. Termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan, yang bergerak ke ujung. Sementara itu seorang di antara mereka tetap mengawasi Ki Bekel, yang berdiri dengan wajah yang pucat. Jika terjadi benturan kekerasan, maka mungkin sekali ia sendiri akan menjadi sasaran. Siapapun yang menang, akan dapat menyakitinya. Bahkan mungkin sekali Ki Basuri itu pun akan melupakan kata-katanya sendiri. Apalagi jika orang itu terluka.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua belah pihak pun telah mempersiapkan diri. Orang-orang Raden Sumunar mulai bergerak. Dengan lantang Raden Sumunar itu pun berkata, “Bunuh Tikus Wirog serta orang-orang yang melawan! Aku akan menaikkan upah kalian sebagaimana aku akan menaikkan harga gula!”

Sejenak kemudian, maka orang-orang upahan Raden Sumunar pun telah mulai menyerang. Ki Basuri dan kawan-kawannya serentak telah bergerak pula. Terdengar dentang senjata yang beradu.

Adalah di luar dugaan, ketika seorang di antara mereka yang membawa obor telah melemparkan obornya yang menyala ke punggung seorang pengikut Raden Sumunar, yang mulai bertempur selangkah di sebelahnya.

Orang itu tidak mengira sama sekali bahwa obor minyak itu akan dilemparkan ke punggungnya. Karena itu, maka ia pun segera berteriak-teriak kesakitan ketika api mulai membakar pakaiannya.

Ternyata orang yang terbakar itu telah menimbulkan kekalutan. Satu dua orang kawannya berusaha membantunya memadamkan nyala api di pakaiannya itu.

Kesempatan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh kawan-kawan Ki Basuri. Seorang lagi yang memegang obor telah menyerahkan obor itu ke tangan orang yang diperintahkan untuk menjaga Ki Bekel. Dengan geram orang itu berkata, “Lihat, Ki Bekel. Jika kau mencoba untuk lari, maka aku akan membakarmu seperti orang itu.”

Ki Bekel tidak menjawab. Tetapi kulitnya terasa meremang.

Ketika api itu padam, maka orang yang terbakar itu duduk sambil merintih kesakitan. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka-luka bakar yang sangat pedih.

Sementara itu, pertempuran menjadi semakin sengit. Dalam kekalutan itu, dua orang pengikut Raden Sumunar telah terluka.

Raden Sumunar yang marah dan mendendam itu dengan serta merta telah menyerang Ki Basuri. Tetapi Ki Basuri yang telah menduga sebelumnya, telah siap untuk melawannya.

Pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Semua orang telah terlibat dalam pertempuran itu. Sebenarnyalah bahwa jumlah orang-orang upahan Raden Sumunar lebih banyak. Tetapi selain seorang telah dilumpuhkan oleh api obor, dua orang telah terluka. Meskipun luka itu tidak terlalu parah, tetapi darah yang menitik telah menghambat ketangkasannya. Apalagi setelah keringat mulai mengalir membasahi luka-lukanya. Maka luka itu pun terasa menjadi sangat pedih.

Dalam pada itu, Glagah Putih telah bertempur dengan garangnya. Ketika lawannya segera terdesak, maka seorang yang lain telah membantunya, sehingga Glagah Putih itu pun bertempur melawan dua orang pengikut Raden Sumunar.

Sedangkan Rara Wulan harus bertempur melawan seorang yang masih terhitung muda. Seorang yang mulutnya ternyata sangat kotor, sehingga Rara Wulan menjadi sangat muak.

Namun sikap orang itu justru membuat nasibnya terlalu buruk. Rara Wulan yang muak itu pun dengan cepat telah meningkatkan ilmunya untuk menghentikan perlawanannya.

“Jika pedangku telah mengoyak dadamu, maka mulutmu akan terdiam.”

Orang yang tidak segera menyadari dengan siapa ia bertempur itu tertawa. Katanya, “Kau terlalu garang, anak manis. Tetapi aku lebih senang kepada perempuan-perempuan yang garang.”

Darah Rara Wulan pun tersirap. Sikap orang itu sudah keterlaluan. Karena itu, maka serangan Rara Wulan pun datang seperti angin prahara melanda orang yang memuakkan itu. Orang itu terkejut. Dengan cepat ia berusaha meloncat surut untuk mengambil jarak. Bahkan kemudian melenting dan berputar sekali di udara..

Tetapi demikian orang itu berdiri tegak, ujung pedang Rara Wulan telah memburunya pula. Hampir saja ujung pedang itu mengoyak dadanya. Dengan senjatanya orang itu masih sempat menepis. Namun pedang Rara Wulan yang bergeser itu berputar melingkar. Dengan cepat pedang itu terjulur menggapai lambung.

Orang yang memuakkan itu berteriak nyaring. Namun kemudian ia pun mengumpat-umpat lebih kotor lagi.

Kepala Rara Wulan menjadi pening mendengar kata-kata yang menjadi semakin kotor itu. Karena itu, maka dengan cepat pula Rara Wulan berusaha mengakhiri perlawanannya. Agaknya luka di lambungnya itu masih belum menghentikannya.

Dengan demikian maka serangan-serangan Rara Wulan pun menjadi semakin cepat. Ketika orang itu berteriak mengumpatinya, maka ujung pedang Rara Wulan benar-benar telah menyentuh wajah orang itu. Segores luka telah menyilang di pipinya.

Orang itu pun berteriak kesakitan. Darah mengucur dengan derasnya, menetes ke bajunya yang memang sudah bernoda darah.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kau masih saja akan menghina seorang perempuan?”

“Aku bunuh kau!” teriak orang itu.

Dengan cepat orang itu meloncat sambi! menjulurkan senjata. Namun darah yang lelah mengucur dari luka, telah menyusut tenaganya. Karena itu, maka serangannya pun terasa menjadi semakin lemah.

Rara Wulan dengan tangkasnya menghindari serangan itu, bahkan pedangnya-lah yang bergerak mendatar menebas ke arah dada. Orang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Pedang Rara Wulan telah meninggalkan luka yang menganga di dadanya.

Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah jatuh menelungkup. Suara erangnya hilang ditelan oleh teriakan-teriakan menggetarkan udara di atas kebun kosong itu

Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia pun tersadar, bahwa pertempuran masih terjadi dengan serunya. Ketika ia melihat Glagah Putih harus bertempur melawan dua orang, maka ia pun segera mendekatinya.

Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat orang yang matanya merah itu meloncat menjauhi lawannya. Namun lawannya tidak membiarkannya. Dengan cepat ia pun memburunya. Orang yang matanya merah itu harus berloncatan lagi untuk mengambil jarak. Namun tiba-tiba seorang lawan yang lain telah siap menyergapnya pula.

Rara Wulan menjadi tegang. Orang itu adalah orang yang memuakkan baginya. Namun dalam keadaan yang gawat itu, Rara Wulan menjadi bimbang. Apakah ia harus membiarkannya saja. Menurut perhitungan Rara Wulan, jika tidak ada yang menolong, maka orang itu akan mengalami kesulitan. Bahkan mungkin mengancam jiwanya.

Rara Wulan tidak mempunyai banyak waktu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan. Pada saat yang paling gawat, maka Rara Wulan telah meloncat maju. Dengan tangkas ia pun telah menghambat salah seorang dari kedua orang yang siap untuk menyerang bersama-sama.

Orang yang merasa terganggu itu menjadi sangat marah. Dengan lantang ia pun berkata, “Perempuan iblis! Kau akan menyesali kelancanganmu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, orang yang matanya merah yang sudah menjadi sangat cemas menghadapi dua orang dari arah yang berbeda itu, menarik nafas lega. Ia merasa bahwa ia tentu akan segera menemui kesulitan jika ia harus melawan keduanya. Sementara seorang saja di antara mereka, sudah terasa betapa beratnya.

Namun jantungnya tergetar ketika ia mengetahui, bahwa orang yang telah menolongnya itu adalah perempuan yang sebelumnya telah berkelahi melawannya.

Tetapi ia tidak sempat berangan-angan. Ia pun harus segera memutar senjatanya untuk menghadapi lawannya yang hanya seorang itu.

Meskipun demikian, sebuah pertanyaan telah sempat mengusik jantungnya, “Dimana lawan perempuan itu? Bukankah ia telah berhadapan dengan seorang pengikut Sumunar?”

Pertanyaan itu pun tidak sempat dicari jawabnya. Lawannya tiba tiba saja telah menyerangnya dengan garangnya.

Tetapi orang bermata merah itu masih mampu melindungi dirinya sendiri. Untunglah bahwa orang lain telah mengambil salah seorang dari kedua orang yang hampir saja bersama-sama harus dihadapinya.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun berloncatan dengan tangkasnya. Kedua orang lawannya tidak juga mampu menundukkannya. Bahkan keduanya kadang-kadang menjadi bingung, karena tiba-tiba saja Glagah Putih telah berada di tempat yang tidak terduga.

Ketika ujung pedang Glagah Putih sempat menyentuh seorang lawannya, maka Glagah Putih pun bertanya kepada orang yang meloncat menjauhinya itu, “Berapa harga nyawamu yang dibeli oleh Sumunar itu?”

Orang itu tidak menjawab. Sementara itu, kawannya telah meloncat menyerang dengan senjata terjulur. Glagah Putih menangkis serangan itu. Dengan tangkasnya ia melompat sambil mengayunkan pedangnya serta menggeram, “Aku baru bertanya kepada kawanmu.”

Orang itu meloncat surut. Namun dengan kecepatan yang sangat tinggi Glagah Putih memburunya. Pedangnya yang terjulur pun telah menyentuh bahu orang itu.

Orang itu mengaduh tertahan. Namun Glagah Putih pun berkata, “Kawanmu belum menjawab pertanyaanku.”

Luka itu memang terasa pedih. Namun dengan garangnya kedua orang lawan Glagah Putih itu menyerang bersama-sama

Glagah Putih melenting tinggi, sekali berputar di udara, kemudian sebuah ayunan yang deras telah menyambar salah seorang lawannya. Demikian cepatnya, sehingga lawannya itu tidak sempat menghindar atau menangkisnya.

Terdengar orang itu berteriak, kemudian mengumpat kasar. Sementara itu kawannya pun telah meloncat sambil menjulurkan senjatanya. Namun sambil merendahkan dirinya, Glagah Putih menebas dengan cepatnya.

Orang itu menggeliat. Ia tidak sempal berbuat apa-apa lagi. Lambungnya telah terkoyak oleh pedang Glagah Putih. Orang itu terhuyung-huyung sejenak. Namun kemudian orang itu pun jatuh terbanting di tanah.

Kawannya yang juga sudah terluka, tertegun sejenak. Sekali lagi ia mendengar suara Glagah Putih, “Berapa harga nyawamu yang dibeli oleh Sumunar?”

Orang itu bergeser surut. Meskipun senjatanya masih bergetar, tetapi ia tidak segera menyerang.

“Kawanmu sudah tidak berdaya,” berkata Glagah Putih, “ia sudah menjual nyawanya kepada Sumunar. Bahkan mungkin belum dibayar, sehingga ia belum dapat menikmati harga nyawanya. Nah, sekarang terserah kepadamu. Apakah kau juga akan mati, atau sebaiknya kau pergi saja dari arena ini. Kau sudah terluka. Lukamu akan mengalirkan darah terlalu banyak Tenagamu akan segera terperas habis, sehingga kau menjadi tidak berdaya sama sekali.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya arena pertempuran di kebun kosong itu. Beberapa orang telah terbaring di tanah. Orang yang sebagian tubuhnya terbakar itu mengerang kesakitan.

Dalam pada itu, Raden Sumunar masih bertempur melawan Ki Basuri. Ternyata keduanya memiliki ilmu yang tinggi, sehingga pertempuran itu pun menjadi semakin lama semakin sengit. Bergantian keduanya harus berloncatan mengambil jarak. Bergantian mereka saling mendesak. Bahkan senjata-senjata mereka telah mulai menyentuh tubuh lawan.

Sementara itu, kawan-kawan Ki Basuri pun harus mengerahkan kemampuan mereka untuk tetap dapat bertahan. Seorang di antara mereka telah terbaring karena ia harus bertempur melawan dua orang lawan. Namun sebelum orang itu rebah di tanah, ia sudah berhasil melukai seorang di antara kedua lawannya, di pundaknya.

Orang itu menggeram marah. Luka di pundaknya itu terasa sangat pedih. Darah yang hangat terasa mengalir di tubuhnya. Ketika ia melihat lawannya yang terbaring itu masih bergerak, maka ia pun berkata dengan geramnya, “Aku cincang kau sampai lumat.”

Dengan gigi yang gemeretak oleh kemarahan yang membakar jantungnya, orang itu mengangkat senjatanya. Sebuah tongkat besi yang berwarna hitam kelam. Jika besi itu mengenai kepala lawannya yang sudah tak berdaya itu, maka tulang kepalanya akan dapat pecah berkeping-keping.

Tetapi orang itu terkejut. Tiba-tiba saja tongkatnya membentur sebilah pedang. Bahkan dengan cepat pedang itu berputar, sehingga tongkat itu bagaikan direnggut dari tangannya. Sejenak kemudian, maka tongkat besi itu pun telah terlempar beberapa langkah dari kakinya. Selangkah ia bergeser surut. Kawannya yang bertempur bersamanya menghadapi orang yang terbaring itu, meloncat maju sambil mengacungkan senjata. Sebilah golok yang besar.

“Kau juga akan mati seperti orang itu,” geram orang bersenjata golok itu.

“Ada bedanya,” ternyata yang telah membentur tongkat besi itu adalah Glagah Putih, “kawanmu sekarang sudah tidak bersenjata. Bahkan sudah terluka. Sebentar lagi, kawanmu itulah yang akan mati, jika ia mencoba bertempur terus. Darahnya akan mengalir seperti diperas dari tubuhnya. Kau tahu, orang yang kehabisan darah akan mati.”

“Persetan,” geram orang yang bersenjata golok itu, “ia akan dapat mengambil tongkatnya. Kemudian kami berdua akan membantai kau. Kau harus mengalami perlakuan yang lebih buruk dari kawanmu yang telah terbaring itu.”

“Perlakuan buruk apa yang kau maksud?”

“Kau harus mati.”

Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Aku tadi bertanya kepada kawanmu, berapa harga nyawanya yang dibeli oleh Sumunar.”

“Persetan kau,” orang yang bersenjata golok itu tidak mau mendengarnya. Dengan garangnya ia meloncat menyerang Glagah Putih, sementara itu kawannya yang lain mencoba memungut senjatanya. Glagah Putih memang tidak berusaha menghalangi orang yang memungut tongkat besinya itu. Namun demikian orang itu berhasil menggenggam tongkatnya, maka golok di tangan kawannya itulah yang telah terlempar jatuh. Glagah Putih telah membentur golok yang terayun ke arah kepalanya itu. Ia sengaja tidak menghindarinya, tetapi menangkisnya dan melemparkan senjata itu dari tangan lawannya. Sebelum orang itu sempat bergeser menjauh, maka pedang Glagah Putih telah terayun mendatar, menyentuh pinggang orang yang kehilangan goloknya. Memang tidak begitu dalam. Tetapi dari luka itu, darahnya telah mengalir pula.

Orang yang membawa tongkat besinya, yang sudah siap untuk meloncat menyerang, justru telah tertegun. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa lawannya itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

“Sekali lagi aku ingin bertanya kepada kalian, berapa harga nyawa kalian yang dibeli oleh Sumunar?”

“Aku bunuh kau!” geram orang yang bersenjata tongkat besi dan yang sudah terluka di pundaknya itu.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Seorang di antara kalian tadi memilih untuk menghindar dari pertempuran ini. Aku katakan kepadanya, jika ia mati di pertempuran ini, maka ia tidak akan pernah dapat menikmati upah yang akan diberikan oleh Sumunar kepadanya. Tetapi jika ia pergi, maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk hidup. Belum tentu Sumunar akan dapat mencarinya dan menghukumnya karena telah berkhianat. Karena bagaimanapun juga, hidup akan lebih berharga daripada mati bagimu.”

“Kau kira kau dapat menakut-nakuti aku?”

“Aku tidak menakut-nakutimu. Tetapi kau tidak dapat mengingkari kenyataan yang kau hadapi.”

Orang itu menjadi ragu-ragu. Sementara itu, orang yang goloknya terlepas, telah dengan diam-diam memungut goloknya. Namun jantungnya menjadi berdebaran ketika Glagah Putih berkata, “Senjata kalian tidak akan mampu menghentikan pedangku. Karena itu sekali lagi aku peringatkan, pergilah. Berapapun banyaknya uang yang dijanjikan oleh Sumunar, tidak akan sepadan dengan harga nyawamu. Seandainya kau takut bahwa Sumunar akan membunuhmu, berarti bahwa hidupmu masih bersambung beberapa lama lagi. Kecuali jika Sumunar mati dalam pertempuran ini. Maka hidup kalian tidak akan terancam lagi.”

Keduanya tidak menjawab. Tetapi keduanya tidak menyerang lagi. Sementara itu, darah masih menitik dari luka di tubuh mereka.

“Pergilah. Atau aku benar-benar membunuhmu.”

Kedua orang itu bagaikan membeku di tempatnya. Sementara itu, Glagah Putih seakan-akan tidak menghiraukan mereka lagi. Glagah Putih itu pun melangkah untuk mencari lawan yang lain. Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak memburu Glagah Putih.

Ketika Glagah Putih mendekati Rara Wulan, maka Rara Wulan hampir saja mengakhiri pertempuran. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu dekat di sebelahnya.

“Kau dapat membunuhnya jika kau mau,” desis Glagah Putih.

“Apa maksudmu, Kakang?”

“Sebelum orang itu mati, aku ingin bertanya kepadanya, berapa harga nyawanya yang dibeli oleh Sumunar?”

Lawan Glagah Putih yang sudah berputus asa itu termangu-mangu sejenak. Namun beberapa saat kemudian, setelah mereka berbicara beberapa lama, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun melepaskan orang itu.

“Pergilah. Nyawamu pasti lebih berharga dari apapun yang akan diberikan Sumunar kepadamu.”

Orang itu tidak menjawab. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkannya.

Dalam pada itu, maka Raden Sumunar harus mengerahkan tenaganya untuk bertempur melawan Ki Basuri. Demikian pula Ki Basuri. Ia harus meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak. Ternyata bahwa kemampuan keduanya seimbang. Kadang-kadang Ki Basuri-lah yang terdesak sehingga harus berloncatan menjauh. Namun kemudian Raden Sumunar-lah yang harus melenting menghindari serangan-serangan Ki Basuri yang membadai.

Sementara itu, orang-orang upahan Raden Sumunar pun telah menjadi semakin menyusut. Meskipun kawan-kawan Ki Basuri pun telah berkurang, namun Ki Basuri mempunyai kesempatan yang lebih baik dari Raden Sumunar.

Namun yang tidak pernah dibayangkan itu telah terjadi. Ketika Ki Basuri berhasil mendesak lawannya, sehingga Raden Sumunar itu harus meloncat mengambil jarak, tiba-tiba saja dari balik sebatang pohon nangka yang tumbuh di kebun kosong itu, seorang yang telah terluka pinggangnya meloncat sambil mengayunkan sebilah keris. Dengan tanpa peringatan apapun, keris itu telah menggores di lambung Raden Sumunar. Ketika Raden Sumunar berpaling, maka ia pun terkejut. Dilihatnya seorang dari orang-orang upahannya berdiri dengan keris di tangan. Kemudian dengan geram orang itu telah menghujamkan kerisnya di dada Raden Sumunar.

“Kau Geger?” suara Raden Sumunar terputus.

Sejenak kemudian, Raden Sumunar itu pun telah rebah di tanah. Masih terdengar suara erangannya. Namun kemudian terdiam. Ki Basuri pun terkejut pula. Bahkan sejenak ia menjadi bingung menanggapi peristiwa itu.

Orang upahan yang telah membunuh Raden Sumunar itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia pun melangkah mendekati Ki Basuri sambil berkata, “Ampun, Ki Basuri. Aku sudah memutuskan untuk membunuh Raden Sumunar.”

“Kenapa kau melakukannya?” bertanya Ki Basuri.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Katanya, “Aku sudah muak terhadap Raden Sumunar yang tamak itu.”

“Sejak kapan kau merasa muak?”

“Sejak beberapa hari yang lalu.”

“Omong kosong. Tadi kau masih bertempur di pihaknya.”

“Tetapi aku tidak bersungguh-sungguh.”

“Jika kau tidak bersungguh-sungguh, maka kau tentu tidak akan terluka.”

Orang itu menjadi bingung. Namun kemudian katanya, “Aku memang ingin membantu Ki Basuri. Aku ingin berbuat sesuatu untuk membuktikan keinginanku membantu itu.”

“Kau bohong. Kau tentu mempunyai kepentingan lain. Tanpa bantuanmu, aku sudah akan dapat menyelesaikan Sumunar dan orang-orangnya, termasuk kau.”

“Tetapi aku tidak mau lagi menghambakan diri kepadanya.”

“Itu terserah kepadamu. Tetapi aku tidak senang melihat sikapmu. Kau telah mengkhianati orang yang selama ini memberi upah kepadamu. Selama ini kau telah tunduk kepadanya, dan bahkan menjilat telapak kakinya. Tetapi tiba-tiba saja kau telah berkhianat.”

“Aku ingin mengabdikan diriku kepadamu.”

“Bohong!” teriak seorang yang berjanggut lebat. Tiba-tiba saja pedangnya telah menusuk punggung orang itu sampai menembus jantungnya

Ketika orang berjanggut lebat itu menarik pedangnya, maka orang yang telah mengkhianati Raden Sumunar itu pun jatuh di tanah.

“Jika orang itu ikut kita, maka pada suatu saat ia pun akan mengkhianati kita.”

“Kenapa orang itu kau bunuh?” bertanya Ki Basuri.

“Aku muak melihat pengkhianatannya. Seorang pengkhianat, apapun yang dikhianati, harus dibunuh.”

“Kau terlalu terburu-buru. Sebenarnya kita dapat berbicara agak lama dengan orang itu, nanti setelah pertempuran ini selesai. Kita pun sebenarnya tidak perlu membunuhnya.”

“Jika kita tidak membunuhnya, maka kita-lah yang akan dibunuhnya”

Tetapi Ki Basuri membentak, “Akulah pemimpin di sini! Aku tidak mau kau berbuat lancang seperti itu lagi.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab lagi.

Dalam pada itu, pertempuran sudah selesai. Ada beberapa orang pengikut Sumunar yang terbunuh. Yang lain, agaknya telah melarikan diri. Ada di antara mereka yang sengaja dibiarkan pergi oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ki Basuri berdiri termangu-mangu. Dipandanginya tubuh Sumunar yang terbaring diam. Luka di lambung dan dadanya masih mengalirkan darah.

Tiba-tiba saja seorang yang bertubuh tinggi besar, yang rambutnya diurai di bawah ikat kepalanya, melangkah mendekati tubuh Raden Sumunar yang terbaring diam. Tanpa berkata apa-apa, maka ia pun segera berjongkok. Dicobanya untuk melepas kamus yang dipakai Raden Sumunar. Kamus yang timangnya berlapis emas itu tentu harganya sangat mahal.

“Apa yang kau lakukan?!” bentak Ki Basuri.

“Timang ini tentu mahal. Daripada harus dibawa ke liang kubur, aku ingin mengambilnya”

“Biarkan timang itu berada di tempatnya.”

“Kenapa?”

“Kau tidak boleh mengambilnya. Itu bukan hakmu.”

“Yang berhak sudah mati.”

“Biarlah dibawa mati.”

“Kau aneh, Ki Basuri.”

“Tidak. Aku tidak mengijinkan kau mengambil yang bukan hakmu.”

“Kita dapat memanfaatkannya. Tidak hanya timang ini saja. Jika kau akan mengambil yang lain, ambillah.”

“Sekali lagi aku peringatkan, jangan ambil apapun juga dari orang itu, atau aku akan memaksamu.”

Orang bertubuh tinggi besar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dilepaskannya kamus yang sudah hampir dilepasnya dari lambung pemiliknya itu. Sambil menghentakkan tangannya ia berkata, “Aku bukan orang yang hatinya putih seperti kapas. Kau ambil aku dari lorong gelap untuk bekerja bersamamu.”

“Karena itu, ikuti perintahku.”

Orang itu memandang Ki Basuri dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun melangkah surut.

Yang kemudian berdiri dengan tubuh yang menggigil adalah Ki Bekel. Ki Basuri-lah yang kemudian melangkah mendekatinya sambil berkata, “Panggil para bebahu.”

“Untuk apa?”

“Panggil para bebahu sekarang. Dua orang kawanku akan mengikutimu. Jika kau mencoba melarikan diri, maka kedua orang kawanku itu akan berteriak. Kau tahu akibatnya. Orang-orang padukuhan ini akan keluar mengejarmu seperti mengejar tupai.”

Ki Bekel yang gemetar itu tidak sempat membantah. Dua orang kawan Ki Basuri itu telah mendapat perintah untuk menyertainya.

“Kita kumpulkan orang-orang yang terbunuh itu,” berkata Ki Basuri kemudian.

Kawan-kawannya tidak membantah. Bahkan Glagah Putih pun ikut pula mengusung orang-orang yang terbunuh, dan meletakkannya di pendapa rumah yang kosong itu. Demikian pula mereka yang terluka, apalagi yang sangat parah.

Baru setelah selesai, Ki Basuri pun berkata, “Kita dapat beristirahat sambil menunggu Ki Bekel dan para bebahu. Nanti kita bersama-sama pergi ke sungai untuk membersihkan diri. Agaknya sumur di kebun kosong ini sudah lama tidak dipergunakan, sehingga airnya tentu sudah menjadi kotor.”

Empat kawan Ki Basuri pun telah terluka. Dua di antaranya parah. Bahkan yang seorang benar-benar dalam keadaan yang gawat. Ki Basuri telah membubuhkan obat yang untuk sementara dapat membendung arus darahnya, sambil menunggu seorang tabib yang baik.

Sementara itu, kawan-kawan Ki Basuri pun duduk menebar di kebun kosong itu. Ada yang duduk di tangga pendapa, ada yang duduk di serambi, dan bahkan ada yang duduk di atas lincak bambu tua yang sudah mulai lapuk.

Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di ujung tangga pendapa, agak terpisah dari beberapa orang yang lain yang duduk di tangga itu pula

“Apakah kita akan mengikuti perkembangan persoalan ini seterusnya, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Tidak. Nanti kita akan meneruskan perjalanan. Biarlah Ki Basuri menyelesaikan persoalannya dengan Ki Bekel. Raden Sumunar sudah tidak ada, sehingga persoalannya tinggal ada pada Ki Basuri dan Ki Bekel. Bahkan agaknya Ki Basuri berhasil mempengaruhi rakyat padukuhan ini, sehingga Ki Bekel tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Hampir berbisik Rara Wulan pun bertanya, “Apakah menurut pendapat Kakang, untuk selanjutnya tidak akan ada persoalan? Apakah Kakang percaya bahwa Ki Basuri akan bersikap lebih baik dari Raden Sumunar? Maksudku, setelah Raden Sumunar tidak ada, Ki Basuri tidak akan menggantikannya dengan kadar kerakusan yang sama?”

“Mudah-mudahan tidak, Rara. Meskipun demikian, banyak hal di luar dugaan dapat terjadi. Tetapi mudah-mudahan tidak. Pada suatu saat kita akan kembali untuk melihat, apakah Ki Basuri akan berbuat lebih baik atau tidak. Jika tidak, maka menjadi kewajiban kita untuk memperingatkannya.”

Sementara itu, api obor yang tinggal sebuah itu pun telah padam. Kebun kosong itu menjadi gelap pekat. Namun setelah mata mereka terbiasa berada di kegelapan, maka akhirnya mereka pun remang-remang dapat juga melihat, apa yang ada di hadapan mereka. Sementara itu, pandangan mata Glagah Putih dan Rara Wulan yang terlatih, masih mampu juga menembus kegelapan itu pada jarak yang agak jauh.

Malam pun menjadi semakin sepi. Di antara derik jangkrik dan belalang, terdengar juga erang mereka yang kesakitan oleh luka-luka di tubuh mereka.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di tangga itu menjadi berdebar-debar ketika melihat seseorang mendatanginya. Ternyata orang itu adalah orang yang bermata merah itu.

Rara Wulan yang hampir saja bangkit berdiri, telah digamit oleh Glagah Putih sambil berdesis, “Tunggu. Mungkin orang itu hanya ingin berterima kasih kepadamu. Bukankah kau telah menyelamatkannya? Bahkan mungkin orang itu akan minta maaf atas kelancangannya.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.

Sejenak kemudian orang yang datang itu pun telah berdiri di hadapan Rara Wulan. Betapapun ketegangan mencengkam, namun Rara Wulan masih menahan diri. Ia tetap tidak beranjak dari tempat duduknya. Sejenak orang itu berdiri termangu-mangu. Namun kemudian orang itu pun berkata sambil mengangkat dadanya, “Aku telah membunuh lawanku.”

“O,” Glagah Putih mengangguk, sementara Rara Wulan masih saja tetap membeku.

“Jika golokku telah aku cabut dari wrangkanya, maka itu pertanda bahwa akan ada jiwa yang melayang.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk lagi.

Orang bermata merah itu berkata pula, “Tetapi jika tidak terpaksa sekali, aku tidak pernah mencabut golokku.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia masih saja mengangguk-angguk.

“Apakah kau juga berhasil membunuh lawanmu?”

Ketika Glagah Putih akan menjawab, orang itu memotongnya, “Aku bertanya kepada adikmu.”

“O.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Rara Wulan pun menjawab pendek, “Tidak.”

“Jadi kenapa dengan lawanmu?”

“Lari.”

“O. Ternyata ilmumu cukup memadai. Aku datang untuk mengucapkan terima kasih.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, orang yang matanya merah itu pun berkata, “Kau telah mengurangi bebanku ketika aku harus bertempur melawan dua orang sekaligus. Jika kau tidak datang membantuku, mungkin aku masih harus bertempur lebih lama lagi. Aku akan membutuhkan waktu lebih banyak untuk membunuh keduanya.”

Rara Wulan bergeser setapak, tetapi Glagah Putih menggamitnya. Sementara itu, orang bermata merah itu pun berkata pula, “Kedatanganmu telah mempersingkat dan memperingan pekerjaanku. Tetapi lebih dari itu, aku akan mengucapkan terima kasih atas perhatianmu padaku. Aku minta maaf, bahwa kita harus berkelahi sebelum Ki Bekel itu datang. Tetapi kemudian baru aku sadari bahwa kau sangat memperhatikan aku. Mungkin caramu saja yang tidak aku mengerti, sehingga aku menjadi salah paham. Sekarang, aku minta kita melupakan kesalah-pahaman itu. Aku tidak akan menyia-nyiakan perhatianmu atasku.”

Jantung Rara Wulan berdegup semakin cepat. Tiba-tiba saja ia bangkit berdiri dengan wajah yang tegang. Glagah Putih pun bangkit berdiri pula. Namun ia justru mencoba menahan Rara Wulan.

Namun demikian, Rara Wulan itu pun menggeram, “Apa maksudmu?”

“Jangan berpura-pura lagi,” berkata orang itu, “aku tentu sangat menarik bagimu, sehingga kau memberanikan diri untuk mengambil seorang dari kedua lawanku. Kau sebenarnya tidak perlu melakukannya, karena aku akan segera dapat menyelesaikan mereka. Tetapi aku tidak mau membuatmu kecewa. Justru karena kau sudah sangat memperhatikan aku.”

Rara Wulan tidak dapat menahan diri. Tiba-tiba ia mengulangi lagi, memukul wajah orang itu. Orang itu menyeringai menahan sakit. Tetapi ia mencoba menahan rasa sakitnya. Bahkan ia pun kemudian tertawa sambil berkata, “Cara ini memang sangat menarik. Jarang sekali perempuan yang menyatakan perasaannya dengan cara ini.”

Rara Wulan tidak dapat menahan diri lagi. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu, terdengar suara Ki Basuri, “Jadi kau masih juga berbuat gila?”

Orang bermata merah itu berpaling. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Satu cara yang aneh untuk menyatakan perasaannya, Ki Basuri. Perempuan ini sangat memperhatikan keselamatanku. Ia telah melibatkan diri langsung melawan salah seorang yang sedang mengeroyokku. Yang sekarang kita perlukan adalah kejujurannya. Ia tidak perlu berpura-pura terlalu lama.”

“Aku peringatkan kau, jangan ganggu perempuan itu.”

“Aku tidak mengganggunya. Aku hanya memberi jalan kepadanya agar hatinya terbuka. Agar ia dapat menyatakan perasaannya tanpa ada hambatan. Tanpa malu dan segan.”

“Kau sudah gila,” geram Ki Basuri sambil melangkah mendekat, “sekali lagi aku peringatkan agar kau tidak mengganggunya. Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka aku tidak akan ikut campur lagi. Kedua orang kakak beradik itu akan membantaimu. Kau harus mengakui kenyataan, bahwa sebelum Ki Bekel datang, kau hampir saja kehilangan harga dirimu karena kau dikalahkan oleh seorang perempuan. Jika sekarang kesalahan itu kau ulangi, maka harga dirimu akan benar benar diinjak-injak. Bahkan mungkin tubuhmu. Kepalamu. Karena kau akan menjadi mayat.”

Orang bermata merah itu tertawa. Katanya, “Aku setuju, bahwa Ki Basuri tidak akan ikut campur lagi. Apa yang akan terjadi, biarlah terjadi. Aku yakin bahwa perempuan itu hanya sekedar mencari jalan untuk menyatakan perasaannya. Itu jika ia jujur.”

“Baik,” berkata Ki Basuri, “lakukan apa yang ingin kau lakukan.”

Namun tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi besar, yang gagal mengambil timang Raden Sumunar yang terbunuh itu, melangkah mendekat sambil berkata, “Jika Ki Basuri tidak ikut campur, maka aku akan menjaga agar persoalannya menjadi adil. Biarlah perempuan itu menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku akan menjaga agar kakaknya tidak ikut campur. Jika kakaknya ikut campur, maka dua akan dilawan dengan dua. Aku pun akan ikut campur pula. Aku juga akan membela adikku.”

“Baik. Itu terserah saja kepadamu. Aku memang tidak akan ikut campur. Orang yang lain pun tidak akan ikut campur. Siapa yang akan turun dan berpihak, maka aku-lah lawannya”

Orang yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. Katanya, “Nah, kau dengar itu, anak muda? Kau tidak dapat membantu adik perempuanmu, karena dengan demikian maka kau telah mengundang aku untuk ikut campur.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menjawab, “Sebenarnya aku memang tidak ingin ikut campur. Tetapi menyenangkan sekali membuat persoalan denganmu. Tetapi biarlah adikku menyelesaikan persoalannya. Baru kemudian aku akan ikut campur.”

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu mengerutkan dahinya. Ia merasa heran, bahwa laki-laki muda itu tidak menjadi gentar. Bahkan seakan-akan telah menantang untuk melawannya.

“Sayang aku tidak dapat melihat apa yang telah kau lakukan dalam pertempuran melawan para pengikut Sumunar, sehingga aku tidak dapat menilai kemampuanmu. Cahaya obor itu tidak cukup terang menggapai seluruh arena pertempuran.”

“Nanti kita akan saling menjajagi,” jawab Glagah Putih.

Orang bertubuh tinggi tegap itu justru menjadi termangu-mangu. Pengembara itu agaknya justru sangat meremehkannya.

Namun orang bertubuh tinggi besar itu masih menahan diri. Orang yang bermata merah itu-lah yang kemudian berkata kepada Rara Wulan, “Nah, kau dengar? Ki Basuri tidak akan ikut campur lagi. Orang-orang lain pun tidak akan ikut campur. Karena itu, bersikaplah jujur. Kau sangat memperhatikan aku. Dan tentu memerlukan aku.”

Rara Wulan menjadi sangat marah. Katanya, “Bersiaplah. Aku tidak mau disebut licik.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Mengoyak mulutmu.”

Orang itu tertawa pula. Katanya, “Jika itu caramu untuk menyatakan isi hatimu, baiklah. Aku akan melayanimu.”

Rara Wulan pun segera bergeser. Demikian pula orang yang matanya merah itu. Sedangkan beberapa orang lain mengerumuni mereka dengan wajah yang tegang. Dalam keremangan malam mereka melihat perempuan muda itu mulai menyerang. Dengan tangkasnya orang bermata merah itu bergeser untuk mengelakkan diri. Rara Wulan memang belum bersungguh-sungguh. Ia baru memancing lawannya.

Baru sejenak kemudian mereka telah terlibat dalam perkelahian yang semakin cepat. Rara Wulan yang marah itu menyerang dengan garangnya. Meskipun demikian, Rara Wulan itu tidak kehilangan nalarnya. Ia masih tetap mempergunakan otaknya untuk menghadapi orang bermata merah itu. Di luar arena, Glagah Putih pun tiba-tiba saja bertanya kepada orang yang bertubuh tinggi besar itu, “Apakah orang yang berkelahi melawan adikku itu memang adikmu?”

“Ya.”

“Kalian sangat berbeda. Agaknya kau lahir di musim basah, sedang adikmu lahir di musim paceklik.”

“Lihat, adikmu akan segera tunduk kepada kemauan adikku. Seharusnya adikmu berkata dengan jujur, bahwa ia menginginkan adikku.”

“Apakah begitu?”

“Ya. Tetapi adikmu tidak jujur. Ia menempuh cara yang tidak lazim. Namun ia tentu akan segera mengalah, sehingga kekalahannya itu menjadi alasan baginya untuk menuruti kemauan adikku.”

Tiba-tiba saja Glagah Putih tertawa. Katanya, “Cerita yang menarik. Tetapi aku tahu sifat dan watak adikku. Apalagi di rumah, seorang laki-laki muda yang tampan telah menunggunya. Jauh lebih tampan dari adikmu itu.”

Orang bertubuh tinggi besar itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia pun berkata, “Kau bohong. Jika benar, maka adikmu tidak akan ikut kau mengembara. Ia akan tinggal bersama laki-laki itu. Mereka akan segera menikah dan membangun sebuah keluarga.”

“Itu maumu. Tetapi adikku mempunyai pertimbangan lain. Adikku lebih senang pergi mengembara untuk mendapatkan pengalaman sebelum menikah. Calon suaminya pun tidak berkeberatan. Dititipkannya adikku itu kepadaku dalam pengembaraan ini. Karena itu, maka aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Aku pun bertanggung jawab bahwa adikku itu akan kembali kepada calon suaminya itu. Nah, kau tentu tahu maksudku.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Maksudmu, bahwa kau akan ikut campur?”

“Jika adikku dalam bahaya.”

“Aku sudah mengatakan kepadamu, bahwa jika kau ikut campur, maka aku pun akan ikut campur pula.”

“Tidak ada masalah. Silahkan. Bahkan seandainya adikku memenangkan perkelahian itu, aku juga akan ikut campur agar kau juga ikut campur.”

“Apa sebenarnya maksudmu? Katakan saja bahwa kau menantangku.”

“Ya. Seperti itulah.”

“Gila kau, pengembara yang malang. Kau ingin membunuh dirimu sendiri?”

Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Lihat, perkelahian yang tadi terulang. Adikmu terdesak. Sebentar lagi ia akan kehilangan kesempatan.”

Sebenarnyalah, sambil memutar tubuhnya, kaki Rara Wulan terayun mendatar mengenai dada lawannya. Demikian kerasnya, sehingga lawannya itu telah terpelanting jatuh. Orang itu mengumpat. Demikian ia bangkit, maka di tangannya telah tergenggam goloknya yang besar.

“Nah, perkelahian yang tadi, sampai ke babak ini ketika Ki Bekel dan Sumunar itu datang. Sekarang, perkelahian itu akan dilanjutkan lagi”

Orang bertubuh tinggi kekar itu menjadi berdebar-debar. Ia pun teringat apa yang terjadi sebelumnya. Orang yang matanya merah yang disebut sebagai adiknya itu telah terdesak. Bahkan setelah ia menggenggam goloknya, ia sama sekali tidak berhasil menguasai lawannya, yang tidak lebih dari seorang perempuan itu.

Kini perkelahian itu terulang kembali. Ketika orang itu mulai memutar goloknya yang besar, Rara Wulan telah mencabut pedangnya pula.

Namun ilmu Rara Wulan memang lebih tinggi dari orang yang bermata merah itu. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, setelah terjadi beberapa kali benturan, ujung pedang Rara Wulan pun sempat menggapai pinggang lawannya.

Orang bermata merah itu mengaduh tertahan. Ternyata Rara Wulan benar-benar telah melukainya. Perempuan itu agaknya tidak sekedar main-main lagi. Orang bermata merah itu menjadi sangat marah. Beberapa langkah ia meloncat menjauh. Kemudian dengan ancang-ancang yang cukup, orang itu berlari sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi. Bahkan kemudian terdengar ia berteriak nyaring, panjang bergaung di kegelapan malam. Rara Wulan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dalam kegelapan malam, dipandangnya golok yang terangkat itu tajam-tajam.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Jika dibiarkannya saja, maka orang bermata merah itu tentu akan mati. Rara Wulan tentu berhasil menangkis serangan itu dengan benturan yang keras, sehingga golok orang bermata merah itu akan terpelanting jatuh. Kemudian dengan berputar, pedang Rara Wulan akan terayun mendatar menyambar dada orang bermata merah itu.

Tetapi Glagah Putih tidak mempunyai kesempatan untuk menahan serangan orang yang matanya merah itu.

Karena itu, satu-satunya jalan untuk mencegahnya adalah membuat golok itu terpelanting dari tangan orang yang matanya merah itu, sehingga ia mengurungkan serangannya. Glagah Putih tidak sempat berpikir panjang. Dalam keremangan malam, Glagah Putih itu pun mengangkat tangannya. Kedua telapak tangannya menghadap langsung ke arah golok yang besar yang terangkat tinggi-tinggi itu.

Seleret sinar bagaikan memancar dari telapak tangan Glagah Putih, menyambar golok orang yang sedang berlari sambil tertarik menyerang Rara Wulan itu. Serangan itu sangat mengejutkan. Bukan saja orang yang memegang golok yang besar itu, tetapi orang-orang yang menyaksikannya terkejut pula.

Golok yang besar itu bagaikan direnggut dengan serta merta dari tangan orang yang bermata merah itu. Demikian kuat dan tiba-tiba, sehingga orang bermata merah itu pun telah terpelanting jatuh. Telapak tangannya serasa telah terbakar. Sementara tubuhnya yang terbanting jatuh itu terasa nyeri. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan.

Rara Wulan pun terkejut. Namun ia pun segera menyadari apa yang telah terjadi. Karena itu, maka ia pun segera berlari mendekati Glagah Putih sambil berkata lantang, “Kakang! Kenapa kau menghalangiku? Aku sudah siap menerima serangannya. Aku tentu dapat melemparkan goloknya, dan dengan satu ayunan pedang aku akan dapat mengoyak dadanya.”

“Itulah yang aku cegah, Wara.”

“Kenapa kau harus mencegahnya? Orang itu sangat memuakkan. Aku benar-benar ingin membunuhnya.”

“Kematiannya tidak memberikan kebanggaan apa-apa kepadamu. Juga tidak memberikan kepuasan di hatimu. Orang itu tidak pantas mengotori pedangmu. Biarlah ia hidup. Biarlah ia menikmati kekalahannya.”

Rara Wulan tiba-tiba menangis. Diletakkannya wajahnya di dada Glagah Putih yang memeluknya. “Aku menjadi sangat muak.”

“Sudahlah.”

Sementara itu, bukan saja orang-orangnya, tetapi Ki Basuri sendiri sangat mengagumi kemampuan ilmu Glagah Putih. Jarang sekali orang mampu melakukannya. Jika serangan itu ditujukan langsung ke dada orang bermata merah itu, maka ia pun akan segera tersungkur. Mati.

Orang yang bertubuh tinggi besar dan mengaku kakak orang yang matanya merah itu pun jantungnya berdegup keras sekali. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu mempunyai ilmu yang demikian tinggi. Sehingga menurut dugaannya, ia seorang diri akan dapat membunuh semua orang yang bekerja untuk Ki Basuri itu, termasuk Ki Basuri sendiri.

“Maaf, Ki Basuri,” berkata Glagah Putih kemudian, setelah tangis Rara Wulan mereda, “aku tidak ingin adikku ini membunuh. Jika aku tidak melakukannya, maka orang itu tentu akan menjadi mayat. Dadanya akan terbelah dan isinya akan menghambur keluar.”

Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti. Yang kau lakukan adalah di luar kemampuan jangkauan pengetahuan kami tentang olah kanuragan.”

Kepada orang bertubuh tinggi besar itu Glagah Putih pun berkata, “Terserah kepadamu. Aku terpaksa benar-benar ikut campur. Semula aku tidak bersungguh-sungguh untuk mencampuri persoalan antara adikku dan adikmu. Tetapi ketika keadaan menjadi sangat gawat bagi adikmu, aku tidak dapat tinggal diam. Sekarang, apakah kau tetap pada pendirianmu, jika aku mencampuri perselisihan antara adikku dan adikmu, kau pun akan ikut campur?”

“Tidak, Ki Sanak, tidak. Aku tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kau memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu yang tidak dapat aku mengerti.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih atas kesediaanmu untuk tidak ikut campur. Sekarang, tolong adikmu. Ia tidak apa-apa. Ia hanya terkejut, dan barangkali karena ia terpelanting jatuh, ada urat-uratnya yang terkilir.”

Orang itu mengangguk sambil berkata, “Terima kasih atas kesediaanmu menghindarkan adikku dari kematian yang sia-sia. Aku juga minta maaf atas tingkah lakunya. Ia memang seorang yang sulit untuk mengendalikan perasaan, jika ia melihat seorang perempuan yang cantik.”

“Ajari adikmu menghormati seorang perempuan. Pada kesempatan lain, mungkin adikmu benar-benar akan mati di tangan seorang perempuan.”

“Ya. Aku akan memperingatkannya. Mudah-mudahan ia mau mendengarkannya.”

“Sekarang, lihat adikmu.”

Orang bertubuh besar itu pun kemudian melangkah mendekati orang yang matanya merah, yang masih terbaring di tanah. Tulang di punggungnya serasa patah ketika ia terpelanting jatuh.

Glagah Putih pun kemudian membimbing Rara Wulan ke tangga rumah kosong itu. Mereka pun kemudian duduk kembali di tangga. Sekali-sekali Rara Wulan masih mengusap matanya yang basah.

Ki Basuri pun duduk pula disebelahnya. Sementara itu, beberapa orang yang lain, telah kembali duduk di tempat mereka duduk semula. Kecuali orang yang bertubuh tinggi besar, yang masih mengurusi orang yang disebut sebagai adiknya itu.

“Kita menunggu Ki Bekel,” berkata Ki Basuri kepada kawan-kawannya

Ki Basuri yang duduk di sebelah Glagah Putih itu pun kemudian bertanya, “Siapa kau sebenarnya, anak muda?”

“Namaku Warigalit. Adikku ini bernama Wara Sasi.”

“Ilmumu luar biasa. Ketika kau bertempur, kau sengaja menyembunyikannya. Kau tentu tidak ingin ilmumu itu dikenali orang lain, apalagi mereka yang mewakili sebuah perguruan. Tetapi pada saat yang gawat untuk menghindari kematian, kau terpaksa mempergunakannya, justru untuk menyelamatkan sebuah nyawa. Bukan sebaliknya.”

“Sudahlah,” desis Glagah Putih.

“Aku tidak dapat menyembunyikan perasaan kagumku.”

“Bukan apa-apa.”

“Selama ini aku merasa sebagai seorang yang berjiwa besar, yang mengemban tugas untuk mengentaskan orang-orang yang terhimpit di sini. Aku kira aku adalah seorang yang paling berbudi. Ternyata di hadapanmu, aku bukan apa-apa.”

“Tugas apakah yang kau emban?”

“Guruku selalu berpesan, agar aku berbuat sesuatu untuk membela yang lemah dan terhimpit keadaan tanpa dapat melawan, seperti orang-orang di padukuhan ini. Karena itulah aku datang untuk menyaingi Sumunar, yang memeras keringat orang-orang yang miskin dan tidak berdaya.”

“Kau sudah menyingkirkan Sumunar.”

“Sementara itu, aku juga tidak mengingkari kenyataan hidup. Aku membuat perhitungan mapan. Bahwa gula yang aku beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang dipasang Sumunar, aku masih mendapat keuntungan”

“Kau berhasil, dipandang dari beberapa sudut.”

“Aku mengira bahwa aku adalah orang yang paling berbangga dengan keberhasilanku. Tetapi ternyata aku keliru. Kau membuat kebanggaanku pudar.”

“Aku minta maaf.”

“Tidak. Bukan itu maksudku. Aku bermaksud untuk memperingatkan diriku sendiri. Kebanggaan yang berlebihan adalah awal dari ketakaburan. Aku justru sangat berterima kasih kepadamu.”

“Tetapi ada satu hal yang aku kurang memahami langkahmu.”

“Apa, anak muda?”

“Kawan-kawanmu. Menurut penglihatanku, mereka bukan orang-orang yang mempunyai garis perasaan dan penalaran seperti langkahmu.”

“Kau benar. Mereka adalah bekas pencuri, perampok dan berandal.”

“Kenapa kau memilih mereka untuk mendukung perjuanganmu? Biarlah aku menyebutnya sebagai satu perjuangan. Apakah mereka justru tidak menghambatmu?”

“Aku memang dapat mengambil saudara-saudara seperguruanku. Atau mengajak kawan-kawanku yang bersih dan tidak bercacat. Tetapi aku sengaja berada di antara mereka, orang-orang yang jiwanya sakit. Aku ingin mengajak mereka memasuki dunia yang baru, yang barangkali tidak dikenalnya sebelumnya.”

“Luar biasa.”

“Tidak luar biasa. Guruku berpesan kepadaku, agar aku berada di antara mereka yang membutuhkan aku. Jika aku berada di antara orang-orang yang berhati lurus, keberadaanku tidak akan banyak berarti. Tanpa aku, mereka sudah menemukan jalan yang benar. Tetapi di antara orang-orang yang sakit jiwanya, keberadaanku akan sangat berarti. Tentu aku tidak dapat mengatakan bahwa aku pasti berhasil. Seperti seorang tabib yang mengobati orang sakit. Mungkin sembuh, tetapi ada kemungkinan sakitnya tidak dapat disembuhkan, atau bahkan menjadi parah. Tetapi setidak-tidaknya aku sudah berusaha.”

“Kau telah mendapat terang di hatimu. Yang kau lakukan jauh lebih berarti daripada yang aku lakukan.”

“Kau masih sangat muda. Tetapi kau sudah dapat mengambil keputusan yang sangat tinggi nilainya .Menyelamatkan nyawa seseorang yang kau benci. Bahkan dengan menghadirkan sesuatu yang sebelumnya sengaja kau sembunyikan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Katanya, “Sebentar lagi Ki Bekel dan para bebahu akan datang. Bukankah kau akan menyerahkan orang-orang yang terbunuh kepada mereka? Kemudian minta kesediaan Ki Bekel untuk berbuat sesuatu yang lebih berarti bagi rakyatnya?”

“Ya. Bersama para bebahu.”

“Baiklah. Tunggulah Ki Bekel dan para bebahu itu. Kami berdua minta diri. Kami akan meneruskan perjalanan kami.”

“Malam-malam begini?”

“Apakah ada bedanya siang atau malam, bagi para pengembara yang berada di perjalanan?”

Ki Basuri menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sekali waktu, singgahlah di rumahku atau di perguruanku.”

“Apakah nama perguruanmu?”

“Cahya Yekti.”

“Cahya Yekti,” ulang Glagah Putih.

“Ya. Aku berharap kalian berdua singgah pada kesempatan lain.”

“Kau sudah tidak berada di perguruanmu.”

“Rumahku tidak begitu jauh. Para cantrik yang masih berada di perguruan akan dengan senang hati mengantarkanmu.”

“Dimana letak perguruanmu itu?”

“Di sebuah bukit kecil di Kademangan Karangreja. Tidak terlalu sulit mencarinya. Tetapi perguruanku adalah sebuah perguruan kecil, tentu jauh lebih kecil dari perguruanmu.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun ia hanya mengangguk-angguk saja.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan mereka meskipun di malam hari. Mereka akan berhenti dan beristirahat di tempat terbuka. Mungkin di padang perdu, mungkin di bulak persawahan. Atau di pategalan.

Ki Basuri dan beberapa orang kawannya mencoba menahannya, agar Glagah Putih dan Rara Wulan tetap bersama mereka, setidak-tidak sampai esok pagi. Tetapi Glagah Putih itu pun berkata, “Terima kasih, saudara-saudaraku. Kami akan melanjutkan perjalanan malam.”

“Dimana kalian akan bermalam? Di sini ada rumah kosong. Meskipun barangkali kotor karena sudah lama tidak dipergunakan, tetapi tentu lebih baik daripada bermalam di pinggir hutan.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kami dapat tidur di mana saja. Tetapi malam ini kami ingin melanjutkan perjalanan. Seandainya kami menjadi sangat letih, maka kami pun dapat tidur dimana saja.”

“Baiklah, anak muda. Jaga adikmu baik-baik. Mudah-mudahan tidak ada hambatan di perjalanan kalian,” berkata Ki Basuri.

“Terima kasih. Semoga usaha Paman Basuri pun dapat berjalan dengan lancar. Sementara itu rakyat padukuhan ini pun akan mendapat penghasilan yang lebih baik.”

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berketetapan hati. Mereka pun kemudian meninggalkan Ki Basuri dan kawan-kawannya, untuk menempuh perjalanan panjang.

“Apakah karena orang yang mengganggu adikmu itu, kalian tergesa-gesa meninggalkan kami?” bertanya seorang kawan Ki Basuri.

“Tidak, Ki Sanak. Seandainya karena itu, maka kami akan dapat mengatasi.”

“Maksudku, agar adikmu tidak usah membunuh lagi?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Selamat malam. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi.”

“Selamat malam Ki Sanak,” berkata Rara Wulan pula

Demikianlah, keduanya pun meninggalkan kebun kosong itu. Mereka menyusuri jalan padukuhan yang sudah sepi. Keduanya tahu, bahwa malam itu Ki Bekel sedang memanggil para bebahu untuk pergi ke kebun kosong itu. Namun orang-orang selain para bebahu tidak terusik di pembaringannya

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka berjalan menembus gelapnya malam memasuki sebuah bulak yang panjang. Pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan itu pun rasa-rasanya seperti sedang tertidur nyenyak. Tidak ada semilirnya angin yang mengusik. Di kejauhan terdengar suara burung hantu yang ngelangut.

“Dinginnya malam ini, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya.”

“Meskipun bajuku masih basah oleh keringat, tetapi titik-titik embun ini menandai dinginnya malam.”

“Kita akan mencari tempat untuk bermalam. Kita dapat tidur di gubug di tengah-tengah sawah.”

“Tetapi jangan terlalu dekat. Kita berjalan tiga atau empat bulak terlebih dahulu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tetapi aku kira kita tidak akan bertemu dengan orang-orang yang melarikan diri itu lagi. Mereka-lah yang akan menjauhi padukuhan itu sejauh-jauhnya.”

“Mungkin ada orang-orang padukuhan itu yang mempunyai sawah agak jauh dari padukuhannya. Mungkin membeli, mungkin warisan dari paman atau kakeknya, yang tinggal di padukuhan yang lain.”

Dengan demikian, maka di malam yang dingin itu keduanya masih berjalan beberapa lama. Di dini hari mereka menemukan sebuah gubug yang berada tidak jauh dari jalan yang mereka lewati.

Demikian mereka sampai di dekat gubug itu, Glagah Putih pun berkata, “Kita dapat beristirahat sebentar, Rara.”

Rara Wulan mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Tetapi bukankah orang yang mempunyai gubug itu tidak akan marah?”

“Kenapa marah? Kita tidak berbuat apa-apa. Kita hanya singgah dan beristirahat sebentar sampai fajar. Tanaman di sawah itu pun bukan tanaman yang buahnya dapat dicuri, sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan bahwa kita adalah pencuri. Apalagi gubug ini terletak tidak jauh dari jalan, sehingga kita hanya meniti pematang beberapa langkah saja.”

“Kakang belum pernah mendengar orang mencuri padi di sawah? Bukakankah hal itu pernah juga terjadi, meskipun jarang sekali?”

“Tetapi padi itu masih baru bunting. Aku kira tidak ada orang yang akan mencuri padi bunting.”

“Tetapi Kakang tadi mengatakan, bahwa tanaman di sawah itu bukan tanaman yang buahnya dapat dicuri.”

Glagah Putih menarik nafas. Katanya, “Mungkin aku salah memilih kalimat. Tetapi begitulah maksudku.”

Rara Wulan mencibirkan bibirnya. Namun sebelum ia menyahut, Glagah Putih berdesis, “Marilah. Kita menumpang beristirahat sebentar.”

Keduanya pun kemudian meniti pematang beberapa langkah. Kemudian mereka pun naik ke gubug itu.

Ketika keduanya membaringkan tubuhnya di gubug itu, terasa semilirnya angin malam mengusap tubuh mereka. Sebenarnyalah bahwa mereka lelah dan kantuk, sehingga sejenak kemudian Rara Wulan lelah tertidur. Namun Glagah Putih justru telah duduk di bibir gubug kecil itu. Dipandanginya langit yang bertabur bintang yang berkeredipan, seperti taburan permata di atas permadani yang biru kehitam-hitaman.

Dengan melihat bintang gubug penceng, Glagah Putih mengetahui arah selatan, sehingga Glagah Putih merasa bahwa ia tidak bingung. Ia mengenali arah dengan benar.

Beberapa lama Rara Wulan tertidur nyenyak. Ketika terasa hembusan angin yang agak lebih keras, maka Glagah Putih merasa bahwa fajar akan segera datang.

Di luar sadarnya, Glagah Putih pun menengadahkan wajahnya ke cakrawala di arah timur. Langit memang mulai menjadi kemerah-merahan.

Namun Glagah Putih itu pun terkejut ketika ia mendengar langkah orang. Ketika ia berpaling, dilihatnya seseorang yang masih terhitung muda turun dan meniti pematang, pergi ke gubug itu sambil memanggul cangkul.

Glagah Putih pun segera menggamit Rara Wulan, yang segera telah terbangun pula.

“Ada orang kemari, Rara. Agaknya pemilik sawah ini, yang baru akan membuka air dari parit untuk mengairi batang padinya yang sedang bunting.”

Ketika orang itu menjadi semakin dekat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera turun dan berdiri di pematang. Orang itu terkejut, sehingga langkahnya terhenti.

“Maaf, Paman. Barangkali kami mengejutkan Paman.”

“Siapakah kalian berdua, he?”

“Kami adalah pengembara yang menyusuri jalan-jalan panjang tanpa tujuan.”

“Lalu apa yang kalian lakukan di gubugku itu?”

“Kami sekedar menumpang beristirahat. Kami merasa sangat letih, dan kami pun tidur di dalam gubug itu, agar tubuh kami tidak basah oleh embun malam.”

“Bohong! Kau kotori gubugku, sawahku, dan padiku yang sedang bunting?”

“Tidak, Paman. Kami hanya sekedar beristirahat dan tidur saja.”

“Omong kosong. Kalian akan membuat bumiku cengkar? Tanamanku akan layu, dan padi yang bunting itu akan keguguran. Kering dan kemudian mati.”

“Benar, Paman. Kami hanya tidur saja. Itu pun hanya sebentar. Kami naik ke gubug Paman setelah lewat tengah malam.”

“Bohong! Kau telah menodai sawahku. Kau harus ditangkap dan dibawa menghadap Ki Bekel. Kau tidak dapat pergi begitu saja. Tanah ini harus diruwat, agar tidak menjadi tanah yang terkutuk karena perbuatan kalian.”

“Kami tidak berbuat apa-apa, Paman. Kami hanya tidur saja.”

“Persetan dengan kebohonganmu! Ikut aku pergi ke rumah Ki Bekel. Jika kalian menolak, aku pecahkan kepalamu dengan cangkulku ini.”

“Tetapi…”

“Diam! Ayo jalan!”

“Jangan begitu, Paman. Paman harus mendengar penjelasanku. Perempuan ini adalah adikku. Apa yang akan aku perbuat dengan adikku?”

“Aku tidak percaya. Sekarang ikut aku!”

“Paman….”

“Diam!”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang itu turun ke dalam kotak sawahnya sambil berkata, “Jalan di depan. Aku berjalan di belakang. Ingat, jika kalian berbuat yang aneh-aneh, aku cangkul kepalamu!”

Rara Wulan dan Glagah Putih tidak dapat berbuat lain. Keduanya pun kemudian melangkah menyusuri pematang. Rara Wulan di depan, kemudian Glagah Putih di belakangnya. Di paling belakang adalah pemilik sawah yang membawa cangkul itu.

Ketika keduanya kemudian naik ke jalan yang melintas di tengah bulak itu, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata kepada Rara Wulan, “Kita jauhi orang itu. Kau ke kiri aku ke kanan, dengan loncatan panjang.”

Tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan itu meloncat. Rara Wulan ke kiri dan Glagah Putih ke kanan.

Orang yang yang membawa cangkul itu terkejut. Tiba-tiba saja kedua orang yang digiringnya itu bagaikan melenting ke arah yang berbeda. Karena itu, maka orang itu menjadi termangu-mangu kebingungan.

“Setan kalian, he? Kalian jangan mencoba melarikan diri.”

“Paman,” berkata Glagah Putih, “kita berada di tempat yang lebih luas. Karena itu, kita dapat beradu kecepatan berlari. Aku berlari ke ke kanan dan adikku itu ke kiri. Paman dapat mengejar salah seorang di antara kami, tetapi Paman tidak akan dapat menangkap. Kami dapat berlari jauh lebih cepat dari Paman.”

Orang itu menggeram sambil berkata, “Licik! Kalian adalah orang orang yang licik!”

“Karena itu, sebaiknya Paman mendengarkan keterangan kami. Kami adalah kakak beradik, sehingga tuduhan Paman sama sekali tidak benar.”

“Persetan! Jika kalian berlari ke arah yang berbeda, maka aku akan mengejar adikmu. Betapapun cepatnya berlari, tetapi ia tidak lebih dari seorang perempuan.”

“Paman salah. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi ia dapat berlari jauh lebih cepat dari Paman. Karena itu, sebaiknya Paman tidak usah berusaha menangkap kami berdua.”

“Persetan! Sawahku akan menjadi sawah yang cengkar. Tanahku harus diruwat. Karena itu, kalian harus ditangkap dan dibawa menghadap Ki Bekel.”

“Kalau kami ditangkap dan dibawa menghadap Ki Bekel, apa yang akan dilakukan oleh Ki Bekel terhadap kami? Jika kami dihukum mati sekalipun, apakah itu berarti bahwa kami dapat membantu biaya meruwat tanah itu?”

“Apapun yang akan dilakukan terhadap kalian, tetapi tentu memerlukan kehadiran kalian. Mungkin Ki Bekel dapat menentukan hukuman apakah yang harus kalian jalani, yang nilainya sama dengan meruwat tanah itu. Mungkin kalian berdua akan di hukum di tengah-tengah sawah milikku, sebagai satu cara untuk meruwat tanah itu.”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “jika kami sudah berbuat dosa di atas tanah Ki Sanak, maka biarlah kami yang menjalani kutukan itu. Bukan Paman atau tanah Paman yang akan menerima akibatnya. Tetapi aku minta Paman percaya, bahwa kami tidak berbuat dosa yang dapat mengotori tanah Ki Sanak. Jika Ki Sanak tidak percaya kepada kami, maka kami akan mempertahankan harga diri kami. Karena jika kami harus menjalani hukuman atas kesalahan yang tidak pernah kami lakukan ,maka kami tentu akan berkeberatan.”

“Aku tidak peduli, apakah kalian akan berkeberatan atau tidak. Biarlah Ki Bekel yang akan mengadilinya.”

“Kami tidak mau. Kami tidak akan pergi ke padukuhan menghadap Ki Bekel,” berkata Glagah Putih kemudian dengan tegas.

Orang yang membawa cangkul itu menjadi sangat marah. Katanya, “Kalian telah melakukan satu perbuatan yang terkutuk! Sekarang kalian menolak untuk menghadap Ki Bekel?”

“Ya. Kami menolak.”

“Aku akan memaksa kalian.”

“Ki Sanak. Kau lihat kami bersenjata. Jika Ki Sanak memaksa, maka kami akan melawan.”

Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Namun ia melihat Glagah Putih tiba-tiba saja telah mencabut pedangnya.

Meskipun agak ragu, namun Rara Wulan pun telah mencabut pedangnya pula.

“Nah, Ki Sanak, Kau bersenjata cangkul, dan kami berdua masing-masing bersenjata pedang. Kami adalah orang-orang yang terbiasa berkeliaran dan menyamun orang-orang yang lewat bulak-bulak panjang. Karena itu lihat, jika kau dapat melihat, pedangku yang membekas darah kering. Sudah berapa banyak orang yang aku bunuh karena mereka menolak memberikan harta benda yang dibawanya. Ki Sanak sekarang tidak membawa harta benda yang dapat kami rampas, kecuali membawa sebuah cangkul yang tidak berharga. Tetapi jika Ki Sanak berbuat bodoh, maka nyawa Ki Sanak akan melayang di bulak panjang ini. Kami tidak peduli bahwa Ki Sanak tidak membawa apapun. Tetapi Ki Sanak telah menyinggung harga diri kami.”

Orang yang membawa cangkul itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Glagah Putih melangkah perlahan-lahan mendekatinya sambil menggerakkan ujung pedangnya.

“Lihat caraku membawa pedang. Kau tentu dapat melihat bahwa aku sudah terbiasa menebas leher seseorang sampai putus. Nah, sekarang berlututlah. Aku akan membunuhmu. Kau tidak akan pernah melihat tanahmu yang kau anggap telah ternoda. Tetapi bahwa aku berada di gubugmu, karena aku menunggu korbanku lewat. Tidak untuk menodai tanahmu.”

Orang itu berdiri termangu-mangu. Tangannya masih menggenggam tangkai cangkulnya. Namun laki-laki muda dan perempuan muda itu melangkah mendekatinya sambil mengacukan pedangnya. Sikapnya yang tenang dan meyakinkan itu membuat laki-laki yang membawa cangkul itu justru menjadi berdebar-debar..

“Apakah kau akan melawan? Jika kau melawan, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk lagi.”

Orang itu mulai menjadi gemetar.

“Kalau kau melawan, maka aku tidak akan membunuhmu, tetapi kau akan terkapar di jalan ini. Kau akan tetap hidup, namun dengan nasib yang sangat buruk, karena kau akan menjadi cacat mutlak.”

Tiba-tiba saja orang itu melemparkan cangkulnya. Ia pun kemudian berlutut dengan tubuh yang gemetar.

“Jangan perlakukan aku seperti itu, Ki Sanak. Aku mohon maaf. Aku tidak akan membawamu kepada Ki Bekel.”

“Bukan karena kau tidak akan membawa kami kepada Ki Bekel, kau akan melakukannya. Kau akan membawa kami kepada Ki Bekel, tetapi kau tidak mampu melakukannya. Tetapi aku berpegang pada niatmu yang buruk itu. Maka kau harus mati, atau mengalami nasib buruk.”

“Ampun, Ki Sanak. Aku mohon maaf. Jangan bunuh aku. Aku masih menanggung sembilan orang anak. Seorang istri, dua orang tua dan seorang mertua. Jika aku mati atau cacat, siapakah yang akan mencari makan untuk mereka.”

“Apakah aku harus peduli dengan anak-anakmu, dengan orang tua dan mertuamu, dan siapa lagi yang ada di rumahmu? Kau-lah yang menentukan lebih dahulu untuk menyengsarakan aku.”

“Ampun, Ki Sanak. Aku mohon ampun.”

“Semuanya akan berlangsung dengan cepat. Kau tinggal menundukkan kepalamu saja. Sebelum kau sadari apa yang telah terjadi, maka lehermu sudah putus. Kau tidak tahu lagi, apa yang terjadi atas dirimu.”

“Jangan! Jangan! Aku mohon ampun.”

Orang itu membungkuk sampai dahinya menyentuh tanah. Bahkan orang itu menangis sambil berkata, “Ampuni aku. Aku mengaku bersalah. Aku percaya bahwa kalian tidak menodai tanahku. Aku-lah yang salah. Karena itu, ampuni aku. Anak-anakku tentu akan mati juga jika aku tidak dapat mencari makan lagi bagi mereka.”

Orang itu menjadi semakin ketakutan. Laki-laki dan perempuan muda itu sama sekali tidak menjawab. Beberapa kali laki-laki yang membungkuk sampai dahinya menyentuh tanah itu masih menangis mohon ampun.

Tetapi tidak terdengar jawaban sama sekali. Angin di saat-saat fajar menyingsing terasa dinginnya sampai mengusap tulang. Sementara itu, laki-laki itu masih saja membungkuk mencium tanah.

Namun akhirnya laki-laki itu pun menjadi sangat gelisah, la merasakan betapa lehernya menjadi sangat dingin. Bahkan ia sudah membayangkan pedang anak muda itu terangkat dan terayun ke lehernya.

“Jangan! Jangan! Kasihanilah aku!” teriak orang itu.

Sisa malam itu terasa hening. Tidak terdengar suara apapun juga. Bahkan desah nafas pun tidak.

Orang yang membungkuk sampai mencium tanah itu menjadi semakin gelisah. Namun kediaman di sekitarnya itu membuat orang itu memberanikan diri sedikit mengangkat kepalanya. Ia mencoba melihat sekitarnya. Ia tidak melihat kaki kedua orang yang membawa pedang itu. Semakin lama kepalanya terangkat semakin tinggi, sehingga akhirnya orang itu pun bangkit dan duduk di tempatnya.

Langit sudah menjadi merah. Ia tidak melihat seorang pun di sekitarnya. Kedua orang yang membawa pedang itu sudah tidak kelihatan sama sekali.

Dalam keremangan fajar ia mencoba mengedarkan pandangan matanya ke seluruh bulak itu. Mungkin ia masih melihat sesuatu yang bergerak. Atau mungkin batang padi atau daun lembayung, yang tumbuh merambat pada lanjaraannya di pematang.

Tetapi orang itu tidak melihat apa-apa sama sekali, selain hijaunya tanaman di sawah.

Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun segera bangkit berdiri dan berlari kencang-kencang menuju ke padukuhan.

Demikian orang itu berlari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun menarik nafas panjang. Mereka muncul dari balik sebatang pohon cangkring tua yang besar, yang tumbuh tidak jauh dari tempat orang yang membawa cangkul itu berjongkok dan mencium tanah.

“Kau siksa perasaannya, Kakang. Kasihan orang itu.”

“Aku tidak bermaksud begitu, Rara.”

“Tetapi kau perolok-olokkan orang itu, sehingga ia menjadi sangat ketakutan.”

“Aku menyesal. Sudahlah. Tetapi kita sudah berhasil menghindar tanpa harus melakukan kekerasan.”

“Kau kira yang kau lakukan bukan kekerasan, meskipun bukan wadagnya?”

“Sudahlah. Aku mengaku bersalah. Sebaiknya sekarang kita pergi. Mungkin orang itu mengadu kepada Ki Bekel atau Ki Jagabaya, atau mengajak tetangga-tetangga kembali kemari.”

Rara Wulan tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang mengangguk kecil.

Demikianlah, maka keduanya pun segera pergi meninggalkan tempat itu. Mereka berjalan dengan cepat ke arah yang berlawanan dengan orang membawa cangkul dan berlari ketakutan itu. Ketika orang itu sampai di padukuhan, padukuhan itu sudah terbangun. Beberapa orang perempuan sudah sibuk menyapu halaman. Sedang suaminya sibuk menimba air untuk mengisi jambangan.

Ketika laki-laki yang berlari dari sawah itu memasuki padukuhan, maka ia pun bertemu dengan tetangganya, seorang laki-laki yang lebih muda, yang justru akan berangkat ke sawah.

“Ada sepasang hantu di sawah!” berkata orang yang berlari dan sawah itu dengan nafas terengah-engah.

“Hantu?” bertanya tetangganya yang lebih muda.

“Ya, hantu. Laki-laki dan perempuan. Mereka mengancam akan membunuhku. Namun tiba-tiba keduanya lenyap begitu saja.”

“Ah. Kau tentu tertidur di gubugmu, lalu bermimpi.”

“Tidak. Aku sama sekali tidak tidur. Aku baru berjalan menuju gubugku.”

“Tentu kau tidak ingat, apa yang terjadi.”

“Sungguh. Aku bersumpah bahwa aku tidak tidur. Aku melihat sepasang hantu itu.”

Orang yang tinggal di sebelah jalan, yang sedang menyapu halaman, mendengar pembicaraan itu. Ia pun segera memanggil suaminya. “Apa yang sedang mereka bicarakan itu, Kakang? Mereka menyebut hantu di sawah.”

Bersama suaminya, perempuan itu keluar dari regol halaman dan ikut mendengarkan laki-laki yang berlari-lari dari sawahnya itu bercerita.

Namun kemudian tetangganya di sebelah yang lain keluar pula, dan mendengarkan pula apa yang dibicarakan oleh tetangganya di pinggir jalan itu.

Bahkan kemudian beberapa orang yang lain telah berdatangan pula, untuk mendengar cerita tentang hantu yang dilihat oleh orang yang baru datang sambil berlari-lari dari sawahnya itu.

“Mari, kita lihat,” tiba-tiba seseorang berkata.

“Hantu itu sudah tidak ada. Mereka lenyap begitu saja seperti ditelan bumi.”

“Mungkin keduanya bukan hantu. Mungkin sekarang keduanya kembali tidur di gubugmu,” berkata seorang tetangga yang lain.

“Tidak. Mereka sudah tidak berada di gubugku.”

“Kau yakin?”

Orang itu ragu-ragu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ya Aku yakin.”

Meskipun demikian, beberapa orang laki-laki telah memutuskan untuk pergi ke sawah melihat apakah yang disebut dua sosok hantu itu sudah tidak ada di sawah. Lima orang laki-laki, bersama orang yang bercerita tentang hantu itu, telah pergi ke bulak. Mereka berjalan cepat, bahkan berlari-lari kecil. Mereka berharap bahwa kedua sosok yang disebut hantu itu masih mereka ketemukan tidur di gubug di tengah bulak itu.

Namun ketika mereka sampai di gubug itu, mereka tidak menemukan apa-apa. Pemilik sawah itu dengan nada tinggi berkata, “Nah, kalian percaya bahwa kedua sosok hantu itu telah lenyap?”

“Mereka pergi ketika kau sedang membungkuk sampai dahimu menyentuh tanah.”

“Jika mereka pergi, berlari sekalipun, aku tentu masih sempat melihatnya. Kau lihat, jalan bulak ini terhitung lurus. Baru beberapa puluh patok terdapat tikungan itu.”

Tetangga-tetangganya mengangguk-angguk. Namun kemudian seorang yang rambutnya mulai ubanan berkata, “Jika benar keduanya sosok hantu yang tidur di gubugmu, maka padi yang sedang bunting itu akan menghasilkan buah yang jauh lebih banyak dari biasanya. Bulir padimu akan lebih besar dari bulir padi kebanyakan.”

“Kenapa?”

“Kau pernah mendengar dongeng tentang seorang yang bernama Arok. Seorang anak petani yang kemudian menjadi seorang raja besar.”

Tetangga-tetangganya menggeleng. Orang itu berkata, “Kalian memang orang-orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.”

“Ya. Kami akui. Tetapi bagaimana dengan dongeng itu?”

“Waktu ibu Ken Arok itu pergi ke sawah, maka ia telah didatangi seorang dewa di sawah itu pula. Perempuan itu kemudian hamil. Ketika anak itu lahir, maka anak itu dinamai Ken Arok.”

“Lalu apa hubungannya dengan bulir-bulir padi yang besar dan jauh lebih banyak dari biasanya?”

“Kacang yang ditanam di sawah, di tempat perempuan itu telah didatangi oleh dewa itu, berubah jauh lebih lebat dan lebih besar dari biasanya. Juga kacang di kotak-kotak sawah di sebelah-menyebelahnya.”

“Benar begitu?” bertanya orang yang merasa telah melihat hantu itu.

“Menurut dongeng itu, benar. Tetapi bukankah kita tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya?”

Pemilik gubug itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Mudah-mudahan terjadi seperti yang kau katakan. Tetapi aku telah membuat mereka marah. Mungkin yang terjadi adalah sebaliknya.”

“Belum tentu. Hantu itu dapat saja marah. Tetapi sawahmu akan tetap menjadi sawah yang sangat subur.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar