Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 336

Buku 336

“Kita telah kehilangan,” berkata ayah gadis yang pertama kali dibebaskan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, “gadis yang menyebut dirinya Wara Sasi itu telah mengumpankan dirinya sendiri. Sebagai seorang gadis yang cantik, ia berharap bahwa Ki Demang yang telah dicurigai itu menculiknya. Dengan tingkat kemampuannya yang tinggi, ia justru berhasil menawan Ki Demang serta membebaskan anak gadisku.”

“Gadis itu telah kecewa,” desis ibu gadis yang pertama kali diketemukan.

“Salahku. Dalam keadaan bingung sekali, aku justru membentaknya. Tapi aku sudah mohon maaf, dan gadis itu bersedia datang kembali ke rumah ini.”

“Kita tidak akan dapat menemukan mereka,” berkata Ki Jagabaya dengan penuh penyesalan.

Orang-orang kademangan itu memang menyesali kepergian Glagah Putih dan Rara Wulan. Apalagi orang tua dari gadis-gadis yang hilang, yang telah diketemukan kembali. Mereka menjadi semakin menyesal, ketika mereka mendengar dari orang yang pernah dititipi pedang oleh Rara Wulan, bahwa perempuan yang menyebut dirinya Wara Sasi itu telah mengumpankan dirinya untuk membongkar kejahatan yang dilakukan oleh Ki Demang. Jika usaha perempuan itu gagal, maka ia sendiri akan menjadi korban sebagaimana gadis-gadis yang lain.

“Aku menduga bahwa ia akan kembali ke rumahku,” berkata orang yang pernah dititipi pedang Rara Wulan itu.

“Kapan?” bertanya Ki Jagabaya

“Itulah yang tidak dapat aku katakan.”

Ki Jagabaya menarik nafas panjang. Katanya, “Apa boleh buat. Tetapi hati kami telah mengucapkan terima kasih kepada mereka. Meskipun mereka tidak mendengar, tetapi kami bukan orang-orang yang tidak mau berterima kasih. Orang tua gadis-gadis yang hilang itu tentu sudah berputus-asa. Mereka cenderung untuk mempercayai dongeng yang mengerikan tentang Ki Demang.”

“Ya. Kami juga mengira bahwa anak gadis kami sudah mati, dan tidak mungkin akan dapat pulang dalam keadaan apapun.”

“Kita ucapkan terima kasih kami dengan hati yang tulus. Biarlah angin membawanya ke telinga hati kedua orang kakak beradik itu,” berkata salah seorang ibu dari seorang gadis yang telah diketemukan pula.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun sudah semakin jauh meninggalkan padukuhan itu. Mereka sadari, bahwa ada kemungkinan buruk terjadi atas diri mereka. Orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itu akan dapat menyentuh saudara-saudaranya seperti sentuhan pada sarang semut ngangrang. Semut-semut itu akan dapat keluar dari sarangnya dan menebar berserakan dengan marah.

Semalam suntuk keduanya tidak beristirahat. Ketika matahari naik serta sinarnya mulai menggatalkan kulit, keduanya sampai ke sebuah pasar yang terhitung ramai dikunjungi orang.

“Agaknya hari ini hari pasaran,” desis Rara Wulan.

“Kita dapat berhenti sebentar di sini.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Kita cari minuman. Aku haus.”

“Dan lapar.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Ya. Kita memang lapar. Lihat, nasi megana itu nampaknya masih hangat.”

“Apakah tidak sebaiknya kita masuk ke kedai itu? Kita dapat duduk lebih tenang.”

“Kenapa harus masuk kedai?”

“Bukankah kita juga ingin membeli minuman hangat?”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun ia pun masih berdesis, “Apakah kita sudah berada cukup jauh dari kademangan yang dipimpin oleh manusia serigala itu?”

“Agaknya sudah, Rara. Bukankah kita sudah berjalan cukup jauh?”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah, kita masuk ke dalam kedai saja. Kita dapat minum minuman hangat serta makan nasi yang masih mengepul, dengan lebih tenang.”

Demikianlah, maka keduanya telah memilih kedai yang paling ujung dari deretan kedai yang ada di sebelah pasar yang ramai itu.

Demikian mereka duduk dan memesan makan dan minum, Rara Wulan pun berdesis, “Kita berada tidak jauh dari sebuah sungai.”

Pelayan kedai yang mendengar kata-kata Rara Wulan itu pun menyahut, “Tidak jauh di belakang kedai ini ada sebatang sungai.”

“O,” Rara Wulan mengangguk-angguk, “sungai apa?”

“Kali Pepe.”

“O.” Tetapi Rara Wulan masih bertanya, “Pasar ini?”

“Pasar Banyuanyar.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara pelayan itulah yang justru bertanya, “Ki Sanak berdua datang dari jauh?”

“Ya,” Glagah Putih-lah yang menjawab.

“Dari mana?”

“Kami adalah pengembara. Kami tidak lagi mengingat asal kami, dan tidak pula memperhatikan arah perjalanan kami.”

Orang itu mengganguk-angguk. Sementara Rara Wulan pun berdesis, “Tolong, pesanan kami Ki Sanak.”

“O, maaf. Aku terpancing untuk berbincang.”

Pelayan itu pun segera pergi untuk menyiapkan pesanan Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara pemilik kedai itu bertanya perlahan-lahan kepada pelayannya, “Apa yang dikatakan?”

“Mereka pengembara. Mereka bertanya, dimana mereka sekarang berada.”

“Layani mereka secepatnya. Biarlah mereka segera meninggalkan kedai ini.”

“Kenapa?”

“Kenapa? Kau masih bertanya?”

Pelayan kedai itu termangu-mangu sejenak. Sementara pemilik kedai itu pun berkata, “Kau memang dungu. Tiga hari berturut-turut telah terjadi pencurian di Kademangan Banyuanyar.”

“O,” pelayan itu mengangguk-angguk. “Tetapi bukankah ia seorang perempuan?”

Pemilik kedai itu menjawab, “Bukankah yang seorang laki-laki?”

“Ya. Tetapi jika ia melakukan kejahatan, mengapa mengajak seorang perempuan?”

“Bukankah kau juga melihat bahwa perempuan itu bukan perempuan kebanyakan? Perempuan itu berpakaian aneh, serta membawa pedang di lambungnya.”

Pelayan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin saja. Tetapi bukankah kita tidak dapat dianggap bersalah jika keduanya membeli minum dan makan di kedai ini? Bukankah kita tidak tahu apa-apa?”

“Tentu. Tetapi siapa tahu, bahwa mereka akan melakukan kejahatan di sini. Selagi banyak orang, biarlah keduanya segera selesai dan pergi. Nanti, jika kebetulan kedai ini kosong, keduanya dapat saja tiba-tiba menjulurkan pedangnya di leher kita. Merampok uang kita.”

Pelayan itu pun mengangguk. Ia pun segera menghidangkan minum dan makan yang dipesan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, yang telah disiapkan oleh pemilik kedai itu.

“Silahkan, Ki Sanak,” berkata pelayan kedai itu.

“Terima kasih,” desis Rara Wulan.

Rara Wulan yang haus segera meraih mangkuk minumannya. Tetapi ternyata minumannya itu masih terlalu panas, sehingga Rara Wulan masih harus menunggu.

Bagi pemilik kedai itu, rasa-rasanya Glagah Putih dan Rara Wulan itu sangat lama duduk di kedainya. Dua tiga orang sudah meninggalkan kedai itu dan berganti dengan orang-orang baru. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum selesai.

Tetapi pemilik kedai itu tidak dapat mengusirnya. Meskipun pemilik kedai itu mencurigai mereka, tetapi kecurigaan itu bukannya satu kepastian, bahwa keduanya telah melakukan kejahatan di kademangan itu.

Ketika kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan itu selesai dan memanggil pelayan kedai itu untuk membayar, pemilik kedai itu menjadi berlega hati. Rara-rasanya kedainya telah menjadi lapang kembali.

Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di halaman kedai itu. Di depan mereka nampak kesibukan pasar masih saja terasa. Bahkan rasa-rasanya orang-orang menjadi semakin banyak berjejal di pasar pada hari pasaran itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiri di halaman. Mereka tertegun ketika mereka melihat beberapa orang prajurit lewat.

Namun para prajurit itu tidak berhenti. Mereka menyibak orang-orang yang berada di jalan di depan pasar, dan berjalan terus melintasi pasar, memasuki padukuhan.

Meskipun para prajurit itu tidak berhenti dan tidak berbuat apa-apa, namun kehadiran mereka telah menimbulkan ketegangan. Orang-orang yang berada di jalan di depan pasar itu, masih saja memandang ke arah para prajurit yang semakin dalam memasuki padukuhan.

Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu di halaman kedai itu. Sementara itu, pemilik kedai nampaknya merasa tidak begitu senang, bahwa keduanya tidak segera meninggalkan halaman kedainya.

“Jika para prajurit itu melihat mereka berdua, maka keduanya tentu akan ditangkap,” berkata pemilik kedai itu.

“Apa alasannya?” bertanya pelayannya.

“Keduanya sangat mencurigakan. Lihat para prajurit yang lewat. Para prajurit itu sudah jauh. Mereka masih saja berdiri di situ. Aku menjadi semakin curiga kepada mereka. Sikap serta pakaian perempuan itu tidak sebagaimana perempuan kebanyakan.”

“Tetapi bukankah mereka tidak berbuat apa-apa?” sahut pelayannya.

“Dungu kau,” geram pemilik kedai itu, “suruh mereka pergi.”

“He?”

“Suruh mereka pergi!”

“Bagaimana aku menyuruh mereka pergi? Bukankah mereka tidak mengganggu kita?”

“Tentu saja mengganggu.. Orang-orang yang akan masuk ke kedai ini akan menjadi ragu-ragu. Bahkan ada yang mengurungkan niatnya.”

“Ah, kau aneh-aneh saja, Kang. Lihat, dua orang itu tanpa ragu-ragu masuk ke kedai kita.”

“Ya, dua orang itu. Tetapi empat orang yang lain hanya berhenti termangu-mangu. Akhirnya mereka meneruskan perjalanan mereka. Mereka tentu akan singgah di kedai yang lain.”

Pelayan itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara pemilik kedai itu membentaknya, “Cepat! Suruh mereka pergi!”

Pelayan kedai itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika ia menatap mata pemilik kedai itu, hatinya menjadi kecut. Sehingga karena itu, maka pelayan itu pun segera turun ke halaman dan melangkah, betapapun ia ragu, mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih saja berdiri di halaman kedai itu.

“Maaf, Ki Sanak,” berkata pelayan kedai itu kepada Glagah Putih.

Glagah Putih dan Rara Wulan berpaling. Mereka merasa heran melihat sikap pelayan kedai itu. Dengan ragu-ragu Glagah Putih bertanya, “Ki Sanak berbicara dengan aku?”

Pelayan itu mengangguk sambil menjawab, “Ya, anak muda.”

“O, maaf. Aku tidak segera menyadarinya.”

“Ki sanak,” berkata pelayan itu kemudian, “bukan maksudku sendiri. Aku hanya menjalankan perintah majikanku.”

“Ada apa, Ki Sanak?”

“Karena itu, jangan marah kepadaku. Sebenarnya aku keberatan melakukannya. Tetapi jika aku menolak, maka aku akan dapat dimarahinya. Bahkan mungkin dipecat.”

“Ada apa sebenarnya, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

“Majikanku, pemilik kedai itu, minta agar Ki Sanak berdua segera meninggalkan halaman kedai ini.”

“O. Kenapa?”

“Majikanku khawatir, bahwa orang-orang yang akan masuk ke kedai ini mengurungkan niatnya melihat anak muda berdua berdiri di sini.”

“Kenapa?” bertanya Rara Wulan.

“Mereka menjadi ketakutan. Anak muda berdua bukan orang yang dikenal di sini. Sementara itu, adikmu, seorang perempuan, menyandang pedang di lambungnya. Pakaiannya pun tidak sebagaimana pakaian perempuan kebanyakan.”

Rara Wulan akan menjawab. Tetapi Glagah Putih telah mendahuluinya, “O, maaf Ki Sanak. Kami tidak menyadarinya. Baiklah. Kami akan segera pergi.”

“Tetapi… tetapi bukan maksudku. Aku sendiri tidak menaruh keberatan apa apa. Aku hanya menjalankan perintah majikanku.”

“Baik, baik. Aku tahu,” sahut Glagah Putih.

Tetapi wajah Rara Wulan menjadi merah. Meskipun demikian, ia tidak sempat menjawab, karena Glagah Putih pun segera berkata kepadanya, “Marilah. Agaknya kita mengganggu orang yang akan masuki kedai ini.”

Namun baru saja mereka akan melangkah pergi, terdengar pemilik kedai berteriak, “Tidak! Bukan kami.”

Namun suaranya terputus di kerongkongan. Pelayan kedai, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun segera berpaling. Mereka melihat keributan terjadi di dalam kedai itu.

“Ada apa, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

“Entahlah,” sahut pelayan kedai itu. Dengan serta merta pelayan itu pun berlari ke pintu kedainya sambil berkata, “Maaf, Ki Sanak. Aku akan melihatnya.”

Namun demikian pelayan itu berlari ke pintu, tiba-tiba saja ia pun telah terlempar keluar. Tubuhnya jatuh terguling beberapa kali.

Ketika ia mencoba bangkit berdiri, maka punggungnya terasa sangat sakit.

Demikian pelayan itu terlempar keluar, maka seorang yang bertubuh tinggi kekar meloncat menyusulnya. Kemudian menyeretnya kembali masuk ke dalam kedai.

“Ada apa?” desis Rara Wulan.

“Marilah kita lihat. Tetapi berhati-hatilah.”

Keduanya pun kemudian melangkah mendekati pintu. Belum lagi mereka tahu apa yang terjadi di dalam kedai itu, terdengar seorang berkata lantang, “Masuklah! Masuklah, atau aku akan membunuh kalian berdua!”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandang sejenak. Namun kemudian terdengar orang yang berdiri di belakang pintu menggeram, “Masuklah, cepat!”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun melangkah ke pintu. Namun demikian kakinya melangkahi tlundak, tangan mereka telah ditarik dengan kuat. Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun terlempar ke dalam kedai itu, menimpa lincak bambu panjang.

Rara Wulan menyeringai menahan sakit di pinggangnya. Tetapi sebelum Rara Wulan berbuat sesuatu, Glagah Putih telah menggamitnya sambil berdesis.

Rara Wulan yang marah itu mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu. Sementara itu, mereka mendengar seseorang membentak pemilik kedai itu, “Tentu kau yang telah melaporkan kehadiran kami di sini!”

Tidak, Ki Sanak. Sungguh.”

“Tadi aku singgah di kedaimu. Kemudian beberapa orang prajurit meronda kemari. Tanpa laporanmu, para prajurit itu tidak pernah sampai di pasar ini.”

“Sungguh, aku bersumpah.”

“Apa artinya sumpahmu bagi kami? Sebaiknya kau mengaku, sebelum aku penggal lehermu!”

“Sungguh, Ki Sanak. Sungguh. Kami tidak melaporkan.”

“Kau yang paling awal memeprhatikan kehadiranku di sini, ketika aku dan kawan-kawanku itu makan di kedai ini.”

“Sungguh mati. Jika kalian tidak percaya, bertanyalah kepada prajurit itu.”

“Edan kau! Ternyata kau cerdik juga. Kau mencoba untuk menjebak kami? Tetapi kami bukan orang orang dungu sebagaimana kau duga.”

“Jangan membuang-buang waktu,” berkata seorang yang lain. “Sebelum para prajurit yang meronda itu kembali, kita lemparkan mayat orang itu ke Kali Pepe.”

“Ampun. Aku minta ampun.”

Seorang yang lain tertawa. Katanya, “Sekarang kau minta ampun. Pada saat kau melaporkan kehadiran kami, kau tentu mentertawakan kami dalam hatimu.”

“Tidak. Aku justru tidak memperhatikan ketika kalian berada di kedai ini. Aku tidak tahu siapakah kalian, dan apa yang telah kalian lakukan.”

“Tidak ada gunanya kau membela diri. Sudah sepantasnya kau dibunuh, dan mayatmu akan kami lemparkan ke Kali Pepe.”

“Sumpah bahwa aku tidak melaporkannya. Biarlah aku disambar petir jika aku melaporkan kehadiranmu di sini. Tetapi entahlah jika hal itu dilakukan oleh pelayanku.”

“Pelayanmu? Mana pelayanmu itu?”

Pemilik kedai itu pun segera menunjuk kepada pelayannya yang gemetar.

“Jadi kau yang melaporkan keberadaan kami di sini, he?”

Pelayan kedai itu menjadi bingung. Wajahnya nampak pucat. Keringat dingin mengalir seperti diperas dari tubuhnya.

“Aku tidak tahu apa-apa.”

“Tentu kau yang sudah melaporkan kehadiran kami kepada petugas di pasar itu, yang kemudian melaporkannya kepada para prajurit, sehingga mereka mengirimkan beberapa orangnya untuk mencari kami. Sebenarnya kami tidak takut kepada para prajurit itu, apalagi hanya beberapa. Nanti, jika perlu kami akan membinasakan mereka semuanya. Tetapi yang sangat menjengkelkan adalah bahwa ada orang yang ikut campur persoalan orang lain, dan melaporkan kehadiran kami di sini.”

“Bukan aku. Bukan aku.”

“Kalau bukan kau, siapa lagi?” pemilik kedai itu berteriak, “Aku sendiri tentu tidak akan dapat meninggalkan kedai ini. Aku harus menyiapkan pesanan makan dan minum para tamu. Tentu kau yang telah lari sebentar menemui petugas pasar itu. Itulah agaknya, kenapa aku harus berteriak memanggilmu tadi, untuk menyampaikan pesan kepada seorang tamu.”

“Kang, apa yang sebenarnya terjadi, Kang? Kenapa tiba-tiba saja kau memfitnah aku? Bukankah aku sudah bekerja di sini bertahun-tahun? Sekarang, tiba-tiba saja kau surukkan kepalaku ke dalam api.”

“Kau-lah yang hampir mencelakakan aku. Karena pokalmu, aku telah dituduh melaporkan kehadiran mereka di sini. Jika hal itu tidak kau lakukan, maka hidupku tidak akan terancam.”

“Tetapi sungguh, Kang. Matilah aku jika aku melaporkan orang yang datang itu. Tetapi aku tidak melakukannya.”

Seorang yang bertubuh tinggi dan kekar itu pun berkata, “Kita bawa saja ke sungai. Kita akan mengikat kaki dan tangannya, memasukkan ke dalam karung dan melemparkan ke dalam sungai. Betapapun dangkalnya sungai itu, ia akhirnya tentu akan mati.”

“Jangan! Jangan!” pelayan kedai itu berteriak-teriak.

“Berteriaklah. Meskipun orang-orang di kedai sebelah mendengarnya, mereka tidak akan berani berbuat apa-apa.”

“Marilah. Banyak orang berkerumun di halaman. Jika para prajurit lewat, tentu menarik perhatian mereka. Kita seret orang itu ke Kali Pepe,” sahut seorang kawannya.

Dua orang di antara orang-orang yang garang itu telah menangkap pergelangan tangan pelayan kedai itu, dan menyeretnya lewat pintu belakang.

“Lewat pintu belakang saja,” berkata salah seorang yang menyeret pelayan itu. “Di depan banyak orang yang akan menonton.”

Demikian mereka keluar dari pintu kedai sebelah belakang, maka mereka langsung turun ke jalan kecil yang menuju ke sungai.

“Jangan! Jangan!” teriak pelayan itu.

Orang orang yang menyeretnya tidak menghiraukannya. Pelayan itu pun mereka seret dengan kasar menuju ke sungai.

Namun tiba-tiba saja ada suara lain, “Jangan. Jangan!”

Orang-orang itu pun tertegun. Ketika mereka berpaling, dilihatnya dua orang laki laki dan perempuan berdiri beberapa langkah di belakang mereka.

“Jangan lakukan itu,” berkata Glagah Putih.

“Kau siapa?”

“Apakah kau perlu mengetahui siapa aku?”

“Supaya kau tidak mati tanpa nama.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Baiklah, Namaku Warigalit. Dan ini adikku, Wara Sasi. Puas?”

“Kalian sombong sekali, anak-anak muda. Sekarang aku bertanya, siapakah kalian? Apakah kalian juga akan mengaku murid perguruan Kedung Jati?”

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa kau sebut perguruan Kedung Jati?”

“Aku mendendam orang-orang perguruan Kedung Jati,” jawab Glagah Putih.

“Persetan dengan perguruan Kedung Jati. Aku memang pernah mendengarnya. Tetapi aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan perguruan itu.”

“Jadi, siapakah kalian?”

“Kami adalah kami, yang berdiri di atas kekuatan dan kemampuan kami sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Wulan pun bertanya, “Kenapa tiba-tiba saja kau marah kepada pemilik kedai yang licik itu? Yang berusaha untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang lain. Dan kenapa kalian begitu bodoh untuk langsung mempercayainya?”

Orang yang bertubuh tinggi kekar itu menggeram. Katanya dengan suara yang bergetar, “Kau benar-benar ingin mencampuri persoalan kami, anak muda.”

“Ya. Justru karena kau begitu bodoh untuk menuduh pelayan kedai itu bersalah.”

“Orang ini telah melaporkan kehadiranku di sini.”

“Bukankah itu sekedar dugaanmu?”

“Tidak ada kemungkinan lain.”

“Kenapa kau menjadi ketakutan melihat beberapa orang prajurit lewat? Mungkin prajurit-prajurit itu sekedar meronda, sebagaimana sering mereka lakukan di hari-hari pasaran. Mungkin mereka mempunyai keperluan lain. Jika kau tidak merasa bersalah, kau tidak usah gelisah meskipun ada prajurit segelar sepapan lewat jalan itu.”

“Cukup!” potong orang itu, “Kau tidak usah turut campur. Pergilah! Atau kau berdua juga akan aku lemparkan ke Kali Pepe seperti orang ini.”

Glagah Putih justru melangkah mendekat sambil berkata, “Lepaskan orang itu. Ia tidak bersalah.”

“Diam kau!” bentak orang bertubuh tinggi kekar itu.

“Lepaskan orang itu! Kau dengar?” tiba-tiba saja Glagah Putih membentak lebih keras, “Jika kalian tidak mau melepaskan orang itu, maka kami akan mempergunakan kekerasan.”

“Apakah kau sudah gila, anak-anak muda? Kau kira kau ini siapa, he? Agaknya kalian belum pernah mengenal aku.”

“Kami memang belum pernah mengenal kalian. Perguruan kalian dan guru kalian.”

“Pengetahuanmu memang picik. Karena itu pergilah, sebelum kami sampai pada batas kesabaran kami.”

“Aku hampir tidak telaten menunggu kalian sampai ke batas kesabaran. Katakan caranya, agar kalian lebih cepat sampai ke batas itu.”

“Anak iblis, kau!”

“Lepaskan orang itu, kalian dengar? Atau kalian memang tuli?”

Orang bertubuh tinggi dan kekar itu benar-benar tidak dapat mengekang diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah melompat menyerang Glagah Putih. Namun dengan satu loncatan ke samping sambil memiringkan tubuhnya, Glagah Putih berhasil menghindar dari serangan orang itu. Tangan orang itu terjulur setapak di depan dada Glagah Putih. Namun sama sekali tidak menyentuhnya.

Pada saat yang bersamaan, Glagah Putih telah mengayunkan tangannya menebas, mengenai pinggang orang yang bertubuh tinggi kekar itu.

Orang itu mengaduh tertahan. Dengan cepat ia meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Namun kemudian mulutnya-lah yang mengumpat-umpat

Glagah Putih sengaja tidak memburunya. Namun ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

Rara Wulan pun segera bersiap pula. Dengan lantang Rara Wulan itu pun berkata, “Nah, sebelum terlambat, lepaskan orang itu, dan kalian harus pergi dari tempat ini. Atau kami akan menangkap kalian dan menyerahkan kepada para prajurit yang sedang meronda itu.”

Seorang yang bertubuh agak gemuk melangkah maju sambil berteriak marah, “Kalian berdua memang orang-orang gila. Tetapi kalian akan menyesal. Kalian akan mati terbenam di Kali Pepe itu, seperti pelayan kedai yang telah melaporkan kehadiran kami itu.”

Namun Rara Wulan tidak menghiraukannya sama sekali. Bahkan ia pun berkata, “Nampaknya kalian benar-benar ingin mati.”

Orang bertubuh gemuk itu pun kemudian berkata, “Jangan hiraukan tikus-tikus kecil ini. Bawa orang itu ke sungai. Aku akan menyelesaikan kedua orang ini dan membawanya ke sungai pula.”

Kedua orang yang menyeret pelayan kedai itu pun tidak menghiraukan lagi kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Mereka telah menyeret pelayan itu lagi ke arah Kali Pepe.

“Marilah,” berkata orang bertubuh gemuk itu kepada Glagah Putih, “aku akan menyelesaikan kalian berdua.”

Ketika orang yang bertubuh tinggi kekar itu melangkah mendekat, maka orang bertubuh gemuk itu pun berkata, “Pergi sajalah ke sungai bersama yang lain-lain.”

“Aku ingin menyeret perempuan itu ke sungai. Mungkin aku tidak tergesa-gesa menenggelamkannya.”

“Setan kau.”

“Aku ingin melihat mereka menyesali kesombongan mereka.”

Orang bertubuh gemuk itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak mencegah orang yang bertubuh tinggi kekar itu mendekati Rara Wulan.

Tetapi yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Sebelum orang bertubuh kekar itu berbuat sesuatu, maka Rara Wulan justru telah meloncat menyerangnya. Dengan satu loncatan panjang, kakinya terjulur lurus menyamping, langsung ke arah dada.

Orang bertubuh tinggi kekar itu terkejut. Namun kaki itu sudah terlalu dekat di depan dadanya.

Dengan demikian, maka orang itu tidak lagi dapat mengelak atau menangkis serangan Rara Wulan. Serangan yang datang dengan derasnya itu pun langsung mengenai dadanya yang bidang.

Terdengar orang itu mengaduh. Tubuhnya terdorong beberapa langkah surut. Dengan derasnya orang itu terbanting jatuh.

Sekali orang itu menggeliat. Namun kemudian ia pun telah menjadi pingsan.

Orang yang bertubuh gemuk itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Glagah Putih telah berdiri di hadapannya.

“Bagaimana dengan kita?” bertanya Glagah Putih kepada orang bertubuh gemuk itu.

Orang itu mundur selangkah. Ia pun kemudian menyadari sepenuhnya bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi. Perempuan itu dapat langsung membuat kawannya yang bertubuh tinggi kekar itu pingsan. Tentu laki-laki muda itu dapat berbuat lebih banyak lagi.

Karena itu, maka orang bertubuh gemuk itu pun tiba-tiba telah berteriak nyaring, “Tunggu! Kita berhadapan dengan sepasang iblis. Kita akan menyelesaikan mereka sebelum kita melemparkan orang itu ke sungai. Kita akan membunuh sepasang iblis ini!”

Orang-orang yang sudah mulai bergerak untuk pergi ke Kali Pepe itu tertegun. Demikian pula kedua orang yang menyeret pelayan kedai yang malang, yang berteriak-teriak ketakutan.

“Diam kau, pengecut!” bentak seorang yang menyeretnya.

Tetapi orang itu masih saja berteriak, “Ampun! Aku tidak bersalah! Jangan lemparkan aku ke sungai.”

Orang yang menyeretnya menjadi jengkel. Satu pukulan yang keras mengenai tengkuknya, sehingga orang itu terdiam. Demikian kedua orang itu melepaskannya, maka orang itu pun rebah tidak sadarkan diri.

Sebentar kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berhadapan dengan lima orang laki-laki yang garang. Seorang lagi berusaha menolong kawannya yang sedang pingsan.

“Kita akan membinasakan iblis ini,” geram orang yang bertubuh gemuk.

Dalam pada itu, maka Gagah Putih dan Rara Wulan telah berdiri saling membelakangi. Perlahan-lahan Glagah Putih pun berbisik, “Hati-hati, Rara.”

Rara Wulan tidak menyahut. Tetapi ia pun sudah bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, lima orang yang mengepung mereka itu pun telah menarik senjata mereka. Nampaknya mereka orang-orang seperguruan, yang mempergunakan senjata dari jenis yang sama pula.

Sesaat kemudian, kelima orang itu telah menggenggam golok di tangan mereka.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin mengalami akibat terburuk. Karena itu, maka keduanya pun telah menarik pedang mereka pula.

Ketika kelima orang itu mulai bergerak, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun mulai bergeser pula.

Demikianlah, sejenak kemudian kelima orang itu pun segera berloncatan sambil berputar. Mereka dengan cepat menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Namun kadang-kadang mereka hampir berbarengan meloncat, sambil mengulurkan golok mereka yang besar itu.

Namun dengan tangkasnya Glagah Putih dan Rara Wulan menangkis setiap serangan. Bahkan mereka tidak sekedar menebas senjata lawan menyamping, namun mereka bahkan sering menangkis dengan membenturkan pedang mereka.

Kelima orang itu memang terkejut. Pada setiap benturan yang terjadi, terasa telapak tangan mereka menjadi pedih.

Ternyata kekuatan kedua orang yang berada di dalam kepungan mereka itu terlalu besar.

Namun orang-orang itu pun merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang ditakuti. Karena itu, maka mereka tidak segera mau mengakui kenyataan yang mereka hadapi. Bahkan dengan kemarahan yang membakar isi dada mereka, kelima orang itu pun telah meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak. Bahkan seorang yang berusaha menolong kawannya yang pingsan itu pun telah siap untuk turun ke arena, setelah kawannya itu menjadi sadar.

Glagah Putih dan Rara Wulan melihat kemungkinan yang lebih buruk, jika kedua orang itu ikut pula bertempur bersama saudara-saudara seperguruan mereka. Pekerjaan mereka akan menjadi lebih berat untuk menghadapi tujuh orang bersama-sama, meskipun seorang di antara mereka baru sadar dari pingsannya.

Karena itu, sebelum keduanya langsung terjun ke arena, maka Glagah Putih telah memberi isyarat Rara Wulan untuk menghentakkan ilmu mereka.

Kelima orang lawannya terkejut. Tetapi mereka terlambat menyadari hentakan serangan kedua orang yang mereka kepung itu. Tiga orang berloncatan surut, ketika dua orang di antara mereka terpelanting dari arena.

Untuk sesaat pertempuran itu terhenti. Glagah Putih maupun Rara Wulan tidak memburu lawan-lawan mereka yang mengambil jarak. Namun dengan lantang Glagah Putih pun berkata, “Menyerahlah! Atau kami terpaksa membunuh.”

Tetapi orang yang bertubuh gemuk itu pun berkata, “Kalian telah kehilangan semua kesempatan. Kalian akan mati, dan mayat kalian akan terapung di Kali Pepe.”

Bukan orang-orang itu saja-lah yang telah kehabisan kesabaran, tetapi Rara Wulan pun rasa-rasanya tidak lagi dapat menahan diri. Karena itu, maka iapun berkata, “Bagus. Apakah dengan demikian berarti kalian benar-benar akan membunuh kami?”

“Ya. Tidak ada alasan apapun juga untuk membatalkannya. Meskipun kalian berdua menangis dan menitikkan air mata darah serta mencium telapak kakiku, kami tetap akan membunuhmu.”

“Jika demikian, kami pun akan mengambil keputusan yang sama. Tidak ada alasan untuk mengurungkan niat kami membunuh kalian.”

Orang-orang itu tidak berbicara lebih panjang. Dua orang yang lain telah siap untuk turun ke arena. Seorang yang bertubuh tinggi kekar yang telah sadar dari pingsannya. Yang seorang lagi, yang telah menolongnya dan membantunya mengatasi kesulitan pernafasannya.

Sementara itu, dua orang yang baru saja terlempar dari arena itu pun telah pingsan pula. Ternyata mereka tidak terluka oleh senjata. Tetapi serangan kaki Glagah Putih dan Rara Wulan-lah yang telah melemparkan mereka dan membuat mereka pingsan.

Tetapi ketika kemarahan Rara Wulan telah sampai ke puncak, maka agaknya ia tidak akan mengekang diri lagi. Pedangnya benar-benar akan berbicara.

Sejenak kemudian, lawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu telah menjadi lima kembali. Dengan garangnya kelima orang itu mulai bergeser. Seperti yang dikatakan oleh orang yang bertubuh gemuk itu, kelima orang itu benar-benar akan membunuh. Tidak ada alasan apapun untuk mengurungkan pembunuhan itu.

Ketika seorang di antara mereka mulai menjulurkan goloknya, maka pertempuran telah berkobar kembali. Kelima orang itu menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan dari segala arah. Golok mereka yang besar terayun-ayun mengerikan. Sementara itu yang lain terjulur lurus menggapai ke arah dada.

Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan sengitnya, maka kedua orang yang pingsan itu pun mulai menjadi sadar kembali. Keduanya membuka mata dan menggeliat perlahan-lahan.

Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Lima orang bersenjata golok yang besar itu berloncatan mengelilingi dua orang yang berdiri beradu punggung.

Kedua orang yang baru saja pingsan itu segera menyadari apa yang terjadi. Mereka pun segera berusaha untuk bangkit, meskipun tulang-tulang mereka terasa nyeri.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin bertempur melawan tujuh orang sekaligus. Karena itu, ketika kedua orang yang pingsan itu bangkit serta memungut golok mereka, sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan menghentakkan kemampuan mereka.

Pada saat kedua orang itu memasuki arena, maka mereka justru bergeser surut. Demikian pula ketiga orang kawan mereka. Sedangkan dua orang yang lain, terhuyung-huyung beberapa langkah. Namun keduanya tidak mampu mempertahankan keseimbangan mereka.

Kedua orang itu pun telah jatuh berguling di tanah. Mereka tidak saja dikenai serangan kaki atau tangan Glagah Putih dan Rara Wulan, tetapi kedua-keduanya benar-benar telah terluka. Seorang di antara mereka terluka menyilang di dada. Pedang Glagah Putih telah menyentuh dan meninggalkan luka yang panjang di dadanya. Sementara itu, lambung yang seorang lagi telah terkoyak oleh pedang Rara Wulan.

Sejenak kelima orang yang lain termangu-mangu. Mereka memandang kedua orang kawannya yang terluka. Kemudian dengan sorot mata yang bagaikan menyala, mereka memandang Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri dengan pedang yang bergetar di tangan mereka.

“Kalian memang sepasang iblis,” berkata orang yang bertubuh tinggi dan kekar, yang telah sadar dari pingsannya serta memasuki arena pertempuran itu lagi.

“Kami akan membunuh kalian semuanya. Tidak ada alasan untuk membatalkannya,” geram Rara Wulan.

Orang bertubuh gemuk itu-lah yang kemudian maju selangkah. Dikembangkannya tangan kirinya sambil berkata lantang, “Sekarang. Kita bunuh mereka sekarang!”

Kelima orang itu meloncat hampir bersamaan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan segera berloncatan. Serangan-serangan dari kelima orang itu sama sekali tidak menyentuh mereka.

Kembali terdengar dentang senjata beradu. Kelima buah golok di tangan kelima orang lawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu berputaran, terayun-ayun dan menebas mendatar. Kelima orang laki-laki yang garang itu berusaha untuk menembus pertahanan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun ternyata pertahanan Glagah Putih dan Rara Wulan terlalu rapat, sehingga kelima orang itu masih belum berhasil. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan berloncatan seperti burung sikatan menyambar belalang.

Semakin lama benturan yang terjadi pun menjadi semakin keras. Namun yang mengeluh karena telapak tangannya terasa pedih bukan Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan itu masih dapat meningkatkan ilmu pedang mereka, sehingga justru pertahanan kelima orang itu-lah yang menjadi goyah.

Orang yang bertubuh tinggi kekar itu berteriak nyaring, ketika justru ujung pedang Rara Wulan yang telah menyentuh bahunya.

Kemarahan dari orang-orang yang nampak garang itu pun menjadi semakin menyala. Mereka pun telah menghentakkan kemampuan mereka. Golok-golok mereka pun terayun-ayun semakin cepat.

Tetapi mereka tetap tidak mampu menguasai kedua orang lawan mereka. Bahkan seorang lagi di antara mereka telah tersentuh pedang Glagah Putih di lengannya. Seorang lagi justru di pahanya. Sedangkan orang yang gemuk itu telah tergores di pundaknya.

Betapapun kemarahan membakar jantung orang-orang yang garang itu, namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kedua orang itu tidak akan dapat ditundukkannya. Bahkan beberapa saat kemudian, kelima orang yang sedang bertempur itu pun telah terluka semuanya. Darah telah mengalir dari tubuh mereka. Sementara itu, tenaga mereka pun seakan-akan telah terkuras habis. Bukan saja karena darah yang bagaikan terperas, tetapi juga karena mereka telah menghentak-hentakkan tenaga dan kemampuan mereka.

Dalam pada itu, terdengar suara Rara Wulan, “Kami akan membunuh kalian semuanya. Tidak ada alasan untuk mengurungkannya.”

Jantung kelima orang lawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun menjadi semakin cepat berdetak. Mereka benar-benar tidak mempunyai harapan lagi kecuali melarikan diri. Namun untuk melarikan diri pun mereka harus membuat perhitungan yang sebaik-baiknya, karena kedua orang itu tentu tidak akan melepaskan mereka

Tetapi bagi mereka, melarikan diri adalah satu-satunya harapan bagi sebuah kemungkinan untuk hidup.

Karena itu, orang-orang itu mempunyai pertimbangan yang hampir bersamaan, meskipun mereka tidak sempat membicarakannya. Meninggalkan arena pertempuran, dengan meninggalkan kedua orang kawannya yang terluka cukup parah.

Namun semuanya sudah terlambat. Untuk melarikan diri pun sudah terlambat pula.

Sebelum mereka berbuat apa-apa, tiba-tiba saja tempat itu sudah dikepung oleh beberapa orang prajurit dengan ujung tombak yang merunduk.

“Hentikan!” perintah Lurah prajurit yang mengepung tempat itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera berloncatan mengambil jarak dari lawan-lawannya. Mereka masih berdiri beradu punggung.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Lurah prajurit itu. Pelayan kedai yang semula sudah kehilangan harapan untuk tetap hidup itu-lah yang tertatih-tatih mendekati Lurah prajurit itu, sambil berkata, “Orang-orang itu akan membunuhku tanpa alasan. Sedangkan kedua orang laki-laki dan perempuan itu berusaha menolongku.”

Lurah prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia pun kemudian memandang berkeliling. Orang-orang yang sudah terluka itu, dan bahkan orang-orang yang berada di kejauhan.

“Orang itu berbohong, Ki Lurah,” berkata orang yang bertubuh gemuk, yang bajunya sudah bernoda darah.

“Ya,” sahut orang yang bertubuh tinggi dan kekar, yang terluka bukan saja di pundaknya, tetapi juga di pinggang dan tangannya.

“Jika orang itu berbohong, apakah yang sebenarnya telah terjadi?” beranya Lurah prajurit itu.

“Aku tidak berbohong,” sahut pelayan kedai itu, “orang-orang itu menuduhku melaporkan kehadiran mereka, sehingga pagi ini para prajurit meronda sampai ke pasar ini.”

“Tidak!” teriak salah seorang dari kelima orang yang terluka itu.

“Jika tidak, lalu apa?” bertanya Lurah prajurit itu pula. Orang-orang itu terdiam. Mereka belum merencanakan, apa yang akan mereka katakan.

Karena orang-orang itu tidak segera menjawab, maka Lurah prajurit itu pun bertanya kepada pelayan kedai itu, “Kau siapa?”

“Aku pelayan kedai itu, Ki Sanak. Ki Sanak dapat bertanya kepada pemilik kedai itu, atau kepada pemilik kedai yang lain. Mereka tahu, bahwa aku adalah pelayan kedai itu.”

Lurah prajurit itu mengangguk-angguk.

Namun sebenarnyalah para prajurit itu lebih mempercayai pelayan kedai itu, daripada orang-orang yang telah terluka. Menilik ujudnya, maka para prajurit itu dapat segera mengenali, bahwa orang-orang yang terluka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipercaya.

Namun kemudian Lurah prajurit itu pun bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Siapakah kalian berdua, Ki Sanak?”

“Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Namaku Warigalit. Perempuan ini adalah adikku.”

“Menurut kalian berdua, kenapa kalian bertempur melawan orang-orang ini?”

“Seperti kata pelayan kedai itu, Ki Sanak. Kami sedang singgah untuk makan dan minum di kedai itu, ketika orang-orang itu berusaha menangkap dan melemparkan pelayan kedai itu ke Kali Pepe.”

Lurah prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan menangkap orang-orang itu. Tetapi jika diperlukan, pelayan kedai itu akan kami panggil setiap saat untuk memberikan kesaksiannya.”

“Aku bersedia. Ki Sanak,” sahut pelayan kedai itu.

Lurah prajurit itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kalian berdua juga tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum persoalan ini selesai.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Kami adalah pengembara. Jika kami tidak boleh meninggalkan tempat ini, kami harus tinggal dimana?”

Pelayan kedai itu-lah yang dengan serta-merta menyahut, “Kalian dapat tinggal di rumahku, Ki Sanak. Meskipun rumahku kecil, tetapi ada tempat bagi kalian berdua untuk dua tiga hari.”

“Apakah dalam dua atau tiga hari persoalannya sudah selesai?” bertanya Glagah Putih kepada Lurah prajurit itu.

“Meskipun persoalannya mungkin masih akan berlanjut sampai tuntas, namun dalam dua tiga hari kalian dapat meninggalkan tempat ini.”

“Bahkan seandainya mereka harus pergi, aku bersedia mempertanggung-jawabkan persoalannya,” berkata pelayan kedai itu, “bahkan selain aku, maka tentu akan banyak saksi yang bersedia memberikan keterangan dengan jujur.”

“Aku minta kalian berdua tetap tinggal di sini.”

“Baik,” jawab Glagah Putih, “kami akan tinggal di sini untuk dua atau tiga hari.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, para prajurit itu pun telah membawa orang-orang yang garang itu. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan akan tinggal barang dua tiga hari di padukuhan itu.

“Perjalanan kami akan terhambat,” desis Rara Wulan.

“Aku berharap kalian bersedia tinggal di rumahku dalam dua tiga hari ini. Tetapi jika kalian mempunyai kepentingan lain yang harus segera kalian lakukan, tinggalkan saja tempat ini. Biarlah aku yang menjawab pertanyaan-pertanyaan para prajurit itu. Para saksi pun akan dapat memberikan penjelasan kalau kalian tidak bersalah.”

“Aku telah melukai mereka. Dua orang di antara mereka nampaknya agak parah.”

“Itu salah mereka.”

“Untunglah para prajurit itu segera datang, sehingga aku tidak terpaksa membunuh mereka.”

“Jangan salahkan diri sendiri.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya mereka telah terlibat persoalan yang akan menahan perjalanan mereka. Tetapi mereka tidak akan dapat menghindar. Mereka tidak akan dapat membiarkan kesewenang-wenangan terjadi.

Karena itu, jika keterlibatan mereka itu harus menahan perjalanan mereka, apa boleh buat.

Dalam pada itu, setelah para prajurit yang membawa orang-orang yang garang itu, termasuk dua orang yang lukanya agak parah, menjadi semakin jauh, maka pemilik kedai itu pun telah berlari-lari menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil mengangguk hormat orang itu berkata, “Terima kasih atas pertolongan Ki Sanak berdua. Jika tidak, maka kawanku itu sudah dilemparkan ke Kali Pepe. Mungkin ia tidak akan dapat lagi membantu aku untuk selanjutnya.”

Glagah Putih memandang orang itu dengan kerut di dahi. Dengan nada berat Glagah Putih pun bertanya, “Kenapa kau jadikan kawanmu itu kambing hitam, sehingga hampir saja menelan nyawanya?”

“Maksud Ki Sanak?”

“Kenapa kau lemparkan tuduhan orang-orang itu kepadanya?”

“Aku menjadi bingung sekali, Ki Sanak.”

“Tetapi kenapa kau harus menunjuk orang yang sudah bertahun-tahun bekerja padamu?”

“Aku takut sekali.”

“Kau ingin selamat?”

“Ya, begitulah, Ki Sanak.”

“Dengan mengorbankan orang lain?”

“Bukan maksudku.”

“Seharusnya kau-lah yang bertanggung jawab atas keselamatannya. Orang itu bekerja padamu. Kau harus melindunginya. Bukan sebaliknya. Justru orang yang berada di bawah tanggung jawabmu itu telah kau jadikan kambing hitam. Kau korbankan orang itu demi keselamatanmu. Padahal orang itu sama sekali tidak bersalah, dan bahkan tidak tahu menahu persoalannya.”

“Aku menyesal, Ki Sanak.”

“Jika banyak orang mempunyai watak seperti kau, maka banyak orang yang akan tersuruk ke dalam bencana tanpa melakukan kesalahan apapun juga, karena ia hanya sekedar menanggung beban yang seharusnya dipikul orang lain.”

“Aku menyesal, Ki Sanak. Tetapi sebenarnyalah aku bingung sekali. Aku mempunyai enam orang anak yang harus aku hidupi.”

Glagah Putih pun kemudian berpaling kepada pelayan kedai itu sambil bertanya, “Berapa orang anakmu Ki Sanak?”

“Delapan.”

“Delapan?” Rara Wulan menjadi heran, “Masih semuda itu kau sudah mempunyai delapan orang anak?”

“Itu begitu saja terjadi, Ki Sanak. Aku sama sekali tidak merencanakannya.”

Rara Wulan menahan tertawanya. Sementara Glagah Putih pun berkata kepada pemilik kedai itu, “Nah, kau dengar? Ia mempunyai anak lebih banyak dari anakmu.”

“Waktu itu aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sendiri merasa tidak bersalah. Aku tidak melakukan apa yang dituduhkannya kepadaku.”

“Lalu kau lemparkan nasib burukmu itu kepada orang lain, yang juga tidak bersalah?”

“Aku akan minta maaf kepadanya.”

Glagah Putih pun terdiam.

Seperti yang dikatakannya, maka pemilik kedai itu pun minta maaf kepada pelayannya. Nampaknya pemilik kedai itu benar-benar menyesal, bahwa pelayannya itu hampir saja mati dilemparkan ke dalam sungai oleh orang-orang yang garang itu.

“Agaknya membunuh merupakan permainan yang menyenangkan bagi mereka,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya

Seperti yang dikatakan oleh para prajurit, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak boleh meninggalkan lingkungan itu. Setiap saat mereka dapat dipanggil untuk memberikan keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi di belakang kedai itu.

Hari itu, kedai itu pun segera ditutup meskipun belum waktunya. Pelayanan kedai itu pun segera pulang bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.

Seperti yang dikatakannya, rumahnya memang tidak begitu besar. Sementara itu, ia mempunyai delapan orang anak. Namun seperti yang dikatakannya pula, di rumahnya masih ada tempat bagi Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan bermalam.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berada di rumah pelayan kedai itu, maka anak-anaknya yang kecil-kecil itu merubunginya Seperti ayahnya, anak-anak itu segera akrab dengan orang yang semula belum dikenalnya. Agak berbeda dengan ibunya yang sedikit pemalu, meskipun setelah berkenalan, ia pun segera menjadi akrab.

“Keduanya telah menyelamatkan jiwaku,” berkata pelayan kedai itu kedua istrinya.

“Terima kasih, Ki Sanak, terima kasih. Jika kalian tidak menolong suamiku, entahlah apa jadinya keluarga ini. Anakku begitu banyak, sementara aku tidak dapat bekerja apa-apa kecuali pergi ke sawah.”

“Namaku Warigalit, Mbokayu. Adikku namanya Wara Sasi.”

“Nama yang bagus,” desis perempuan itu. Sementara pelayan kedai itu berkata, “Orang memanggilku Setraderrna. Rumahku tidak mempunyai gandok yang dapat kami peruntukan bagi tamu-tamu kami, Adi Warigalit, tetapi sentong sebelah dapat aku siapkan bagi kalian berdua.”

“Kami dapat tidur di mana saja, Kakang Setraderma. Kami dapat tidur di sini, di amben besar ini, bersama anak-anak.”

“Anak-anak terlalu ribut jika mereka mulai berbaring di amben besar ini.”

“Akhirnya mereka akan tertidur juga.”

“Tetapi biarlah kalian tidur di sentong itu.”

Glagah Putih tertawa. Sementara Rara Wulan pun berkata, “Tidak apa-apa, Kakang. Biarlah kami tidur di sini.”

Pelayan kedai itu akhirnya tidak memaksa. Jika kedua orang itu ingin tidur bersama anak-anak, maka biarlah mereka tidur di amben yang besar itu.

Setelah Glagah Putih dan Rara Wulan mandi, maka mereka pun dipersilahkan makan bersama anak-anak. Sebenarnyalah betapa repotnya Nyi Setraderma melayani anak-anak. Dari delapan orang anak itu, baru tiga orang yang sudah dapat melayani dirinya sendiri. Sementara yang lain masih harus dilayani oleh ibunya Dua yang terkecil dari kedelapan anak itu masih harus disuapi. Sedangkan anak yang kelima dan keenam sudah mencoba untuk makan sendiri. Tetapi nasinya masih terhambur di sekitar mangkuknya.

Rara Wulan-lah yang menjadi berdebar-debar. Berbeda dengan Nyi Setraderma yang sudah terbiasa melayani anak-anaknya. Bahkan Nyi Setraderma seakan-akan tidak menghiraukan anaknya yang kelima dan keenam menghamburkan nasi dari mangkuknya.

Kakaknya yang bungsu-lah yang kemudian membantu adiknya itu.

“Alangkah repotnya,” berkata Rara Wulan di dalam hati.

“Marilah, Adi berdua,” Ki Setraderma mempersilahkan, “biarlah anak-anak makan bersama ibunya. Kita juga akan makan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menolak. Tetapi mereka sempat memikirkan kehidupan Ki Setraderma. Ki Setraderma bekerja sebagai seorang pelayan kedai, yang penghasilannya tentu tidak mencukupi. Mungkin ia mempunyai sawah serba sedikit. Tetapi untuk makan sekian banyak orang, tentu tidak mencukupi pula.

“Bahkan aku kira Setraderrna itu masih belum berkeluarga,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya, “atau setidak-tidaknya belum begitu lama menikah. Namun ternyata anaknya sudah delapan, yang jaraknya yang satu dengan yang lain tidak lebih dari setahun.”

“Orang ini tentu kawin muda,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya pula.

Namun ketika Rara Wulan mencoba untuk membantu anak yang keenam, anak itu justru menyingkir. Diangkatnya mangkuknya yang masih berisi nasi. Namun karena mangkuk itu miring, maka sebagian sayurnya telah tumpah.

Tetapi ternyata ibunya tidak menjadi bingung. Dibiarkannya anak itu bergeser dan duduk di belakangnya.

Namun kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan harus bergeser. Ki Setraderma mempersilahkan mereka untuk makan pula. “Seadanya dimakan,” berkata Ki Setraderrna.

“Sebagai pengembara kami terbiasa makan apa adanya, Kakang. Yang kami hadapi sekarang adalah lebih dari cukup.”

“Tetapi menilik pesananmu di kedai itu, kalian terbiasa makan jauh lebih baik dari yang dapat kami hidangkan.”

“Tidak, Kakang. Kami tidak selalu makan sebagaimana kami pesan. Bahkan kadang-kadang kami harus makan rebung bambu yang kami rebus, karena tidak ada makanan lain. Kadang-kadang buah-buahan apa saja yang kami dapatkan. Namun kadang-kadang juga binatang buruan yang kami asapi.”

Ki Setraderma mengangguk-angguk. Sementara itu, untuk menunjukkan keakrabannya serta kebiasaannya sebagai pengembara, maka Glagah Putih dan Rara Wulan makan dengan lahapnya.

Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidur di amben yang besar di ruang dalam rumah yang tidak besar itu. Seperti yang dikatakan oleh Nyi Setraderma, sebelum tidur anak-anak itu selalu saja ribut. Ada yang bergurau dan tertawa berkepanjangan. Tetapi ada pula yang bertengkar, bahkan berkelahi.

Dengan sabar Nyi Setraderma melerai anak-anaknya yang bertengkar, namun juga mencegah anaknya yang tertawa berkepanjangan.

“Nanti kalian masuk angin,” berkata Nyi Setraderma. Lalu katanya pula, “Sekarang, tidurlah. Aku mempunyai sebuah dongeng yang bagus bagi kalian.”

“Dongeng apa?” bertanya anaknya yang keempat.

“Cindelaras.”

“Ibu kemarin sudah menceritakan dongeng Cindelaras. Bahkan ibu sudah menceritakan berulang kali.”

“Lainnya,” berkata anaknya yang kelima.

“Lainnya apa lagi?”

“Golek kencana,” minta anaknya yang kelima.

“Aku sudah jemu,” berkata anaknya yang ketiga.

“Kau tidak usah ikut mendengarkan. Kau tidur saja,” sahut anak yang keempat.

“Lainnya saja,” berkata anaknya yang ketiga.

“Timun Mas.”

“Emoh. Kasihan Timun Mas dikejar Buta Ijo.”

“Lalu apa?”

“Othak-othak ugel” berkata Ki Setraderma.

“Ya! Othak-othak ugel. Aku mau!” sahut tiga anak Ki Setraderma berbareng.

Nyi Setraderma itu pun kemudian ikut berbaring bersama anak-anaknya, sambil menceritakan sebuah dongeng yang melingkar-lingkar tanpa ujung pangkal, karena Nyi Setraderma sendiri sudah mengantuk.

Namun ketika anak-anaknya sudah tertidur, maka Nyi Setraderma itu bangkit dan mengangkat anaknya yang bungsu ke dalam biliknya, sementara itu Ki Setraderma mengangkat anaknya yang ketujuh, juga dibawa masuk ke dalam biliknya. Yang lain dibiarkannya tidur di amben yang besar itu.

“Apakah Adi berdua dapat tidur bersama mereka?”

“Dapat saja, Mbokayu,” jawab Rara Wulan, “aku senang tidur bersama mereka.”

Malam itu, sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan membaringkan dirinya, untuk beberapa saat lamanya mereka masih berbincang dengan Ki Setraderma. Menurut Ki Setraderma, pemilik kedai itu memang seorang yang sangat mementingkan diri sendiri.

“Jika saja sawahku tidak hanya secabik, maka aku tidak akan kerasan bekerja padanya. Tetapi untuk menutup kebutuhan karena hasil sawahku tidak mencukupi, maka aku harus bekerja padanya. Di kedai itu, aku mendapat makan dua kali. Dengan demikian aku tidak lagi mengganggu persediaan makan anak-anak serta ibunya. Selain itu, kadang-kadang jika hati pemilik kedai itu sedang cerah, aku mendapat beberapa potong lauk yang tersisa di kedai itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun mereka dapat membayangkan kesulitan-kesulitan yang disandang oleh suami istri yang masih terlalu muda untuk merawat dan membesarkan delapan orang anak. Bahkan mungkin masih dapat bertambah lagi. Satu, bahkan dua, karena umur mereka.

Menjelang tengah malam, maka Ki Setraderma pun telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan tidur. Sementara itu, pelayan kedai itu sendiri telah masuk ke dalam biliknya pula.

Glagah Putih dan Rara Wulan sempat memperhatikan wajah anak-anak yang sedang tidur nyenyak itu. Wajah-wajah yang bening. Wajah-wajah itu membayangkan jiwa mereka yang seakan-akan tidak bercacat.

“Mereka-lah sahabat-sahabat yang paling baik,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berbaring pula di amben yang besar itu.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin malam. Di kesunyian terdengar derik jangkrik dan belalang di halaman. Suara angkup yang terdengar seperti sedang merintih berkepanjangan.

Ketika mata Glagah Putih hampir terpejam, tiba-tiba saja jantungnya terasa berdesir. Telinganya yang tajam mendengar langkah kaki seseorang di belakang dinding bambu rumah itu,

Glagah Putih menahan nafasnya. Di sebelahnya Rara Wulan telah lebih dahulu tertidur. Agaknya perempuan itu merasa letih.

Suara langkah kaki itu semakin jelas di telinga Glagah Putih, meskipun agaknya orang yang berada di balik dinding itu berusaha untuk beringsut perlahan-lahan.

Namun suara itu pun kemudian telah menghilang. Glagah Putih tidak lagi mendengar langkah kaki itu lagi.

Beberapa saat lamanya Glagah Putih berusaha mempertajam pendengarannya Ternyata ia pun berhasil menangkap desah nafas orang yang berada di bilik dinding itu.

Lampu di ruang dalam itu telah menjadi redup sejak Ki Setraderma masuk ke dalam biliknya. Anak-anak yang tidur di sebelah Glagah Putih itu nampaknya menjadi semakin nyenyak. Agaknya di sudut ruang itu, Nyi Setraderma menyulut ontel keluwih. Asapnya dapat mengusir nyamuk, meskipun baunya terasa menusuk hidung.

Namun ontel keluwih itu tinggal pangkalnya saja. Sebentar lagi ontel itu akan habis menjadi abu.

Perlahan-lahan dan dengan hati-hati Glagah Putih membangunkan Rara Wulan. Demikian Rana Wulan membuka matanya, Glagah Putih langsung memberi isyarat kepadanya agar berdiam diri.

Rara Wulan pun tanggap akan isyarat itu. Karena itu, maka Rara Wulan tidak berbuat sesuatu. Rara Wulan justru berusaha menyadari sepenuhnya, apa yang ada di sekitamya.

Dalam pada itu, terdengar lagi suara desir langkah di luar dinding. Rara Wulan yang telah terbangun itu pun dapat mendengar pula sentuhan tubuh seseorang di luar dengan dinding rumah itu.

Bahkan sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar seseorang yang memutuskan tali-tali ijuk pengikat dinding itu dengan tiang kayu di sudut ruang.

Glagah Putih dan Rara Wulan harus mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Tentu ada seseorang yang ingin berbuat jahat. Mungkin seorang pencuri, tetapi mungkin pula seorang yang mempunyai niat lebih jahat dari pencuri.

Karena itu, maka perlahan-lahan sekali Glagah Putih telah mencabut pedangnya dan bersiap mempergunakannya, meskipun Glagah Putih masih tetap berbaring. Jika ia mencoba untuk bangkit dan apalagi turun dari amben yang besar itu, maka suara deritnya tentu akan terdengar dari luar.

Dalam keremangan cahaya lampu di ruang dalam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat melihat dinding bambu di sudut ruang dalam itu merenggang, setelah tali-tali ijuknya terputus.

Jantung Glagah Putih berdesir. Ia melihat sesosok tubuh di luar dinding itu. Ia melihat kepalanya yang menjenguk ke dalam. Kemudian memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang berbaring di ujung amben yang besar itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak bergerak. Untunglah bahwa keduanya membelakangi lampu minyak yang redup, sehingga orang yang menjenguk itu tidak dapat melihat dengan jelas, apakah mata Glagah Putih dan Rara Wulan itu terbuka atau tidak.

Namun tanpa mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja orang yang menjengukkan kepalanya itu mendorong dinding sehingga terbuka semakin lebar. Tiba-tiba saja pula Glagah Putih melihat tangan orang itu terayun dengan cepatnya.

Dari tangan orang itu, Glagah Putih sempat melihat benda yang berkilat-kilat meluncur dengan derasnya. Untunglah bahwa Glagah Putih telah mempersiapkan pedangnya, sehingga dengan tangkasnya Glagah Putih sempat menangkis benda yang berkilat-kilat yang meluncur ke arah dadanya.

Benda itu pun telah terpental mengenai atap rumah dan kemudian jatuh di lantai.

Ternyata benda itu adalah sebilah pisau belati.

Glagah Putih tidak menunggu lagi. Ia pun segera meloncat ke arah orang itu. Dengan tangkasnya Glagah Putih memburu ke arah dinding yang terbuka itu sambil berkata, “Rara, lindungi anak-anak itu!”

Rara Wulan pun telah bangkit pula. Ia pun telah menarik pedangnya pula.

Peristiwa itu telah mengejutkan anak-anak yang sedang tidur. Beberapa orang di antara mereka langsung menangis menjerit-jerit, sehingga membangunkan ayah dan ibunya di biliknya.

“Ada apa?” Ki Setraderma meloncat keluar dari dalam biliknya.

Rara Wulan yang berdiri di antara anak-anak yang sedang menangis itu berkata, “Tenangkan anak-anak ini, Kakang. Ada orang yang mencoba untuk mengganggu ketenangan malam ini.”

“Siapa?”

“Kami belum tahu, Kakang. Kakang Warigalit sedang memburunya. Orang itu telah memotong tali-tali ijuk pengikat dinding pada tiang kayu itu. Dengan demikian maka dinding itu terbuka. Orang itu telah melemparkan pisau belati ke arah Kakang Warigalit. Untunglah bahwa Kakang Warigalit telah mempersiapkan dirinya.”

Nyi Setraderma segera keluar pula dari biliknya. Untunglah anak-anaknya yang tidur di dalam bilik itu tidak terbangun. Sementara itu, ayah dan ibu itu pun berusaha untuk menenangkan anak-anak mereka.

“Jangan takut. Di sini ada Paman Warigalit,” berkata Ki Setraderma

Di luar rumah, Glagah Putih yang meloncat lewat dinding yang terbuka itu harus berloncatan dan berputar beberapa kali dengan menapakkan tangannya di tanah. Orang yang diburunya itu telah melemparkan tiga pisau belati lagi ke arah Glagah Putih. Satu diantaranya di tangkisnya dengan pedangnya. Sedangkan dua yang lain dihindarinya.

Orang yang melemparkan pisau belatinya itu mengumpat. Dengan tangkasnya orang itu melenting dan kemudian berdiri tegak di halaman.

Sesaat kemudian, Glagah Putih pun telah berdiri di halaman itu pula.

“Siapakah kau, anak iblis?” bertanya orang itu dengan geram.

“Seharusnya aku-lah yang bertanya. Siapakah kau, dan kenapa tiba-tiba saja kau menyerang aku?”

“Kau telah mencelakakan orang-orangku siang tadi.”

“Orang-orang yang datang di kedai itu?”

“Ya. Kenapa kau ikut mencampuri urusan mereka?”

“Jadi kau anggap orang-orangmu dapat melakukan perbuatan sewenang-wenang itu?”

“Tetapi bukankah perbuatan mereka tidak menyentuh tubuhmu, tidak pula menyinggung namamu?”

“Orang itu telah menyinggung rasa kemanusiaanku. Dengan semena-mena orang-orang itu menangkap pelayan kedai itu dan akan melemparkannya ke sungai.”

“Tetapi orang itu bersalah.”

“Apa salahnya?”

“Orang itu telah melaporkan kehadiran orang-orangku. Pagi itu orang-orangku telah membeli minuman dan makanan di kedai itu. Kemudian beberapa orang prajurit telah datang meronda sampai ke pasar. Bukankah jelas, bahwa pelayan kedai itu telah melaporkan kehadiran orang-orangku?”

“Bagaimana jika yang melaporkan kehadiran orang-orangmu itu orang lain? Juga orang yang sedang membeli minuman dan makanan di kedai itu?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tidak peduli. Tetapi kemungkinan terbesar adalah pemilik kedai itu, atau pelayannya. Sementara itu pemilik kedai itu tidak merasa melakukannya, bahkan ia sudah menunjuk pelayannya.”

“Kau tahu benar apa yang sudah terjadi. Apakah waktu itu kau juga ada di kedai itu?”

“Aku berada di sekitar tempat itu.”

“Kenapa kau tidak berusaha menolong orang-orangmu tadi siang?”

“Aku bukan orang yang dungu dan tidak berperhitungan. Aku tidak mau ikut terkepung oleh para prajurit.”

“Sekarang apa maumu?”

“Aku tidak dapat membiarkan kau menjerumuskan orang-orangku ke dalam kesulitan. Kau harus dihukum karenanya.”

“Seharusnya kau menghukum orang-orangmu sendiri. Kenapa mereka berbuat semena-mena. Pelayan kedai itu sama sekali tidak bersalah. Ia tidak melaporkan kehadiran orang-orangmu kepada para prajurit.”

“Pemilik kedai itu-lah yang bertanggung jawab. Bagi kami, keterangan pemilik kedai itu sudah cukup, sehingga apa yang kami lakukan adalah sah.”

“Itukah paugeran yang berlaku menurut pendapatmu?”

“Paugeran bagi kami adalah apa yang kami kehendaki.”

“Bagus, trapkan paugeran itu. Aku juga akan mengetrapkan paugeran yang sama. Apa yang aku inginkan, sah untuk aku lakukan atasmu.”

Orang itu tidak menjawab. Dua buah pisau belati berbareng meluncur dari kedua belah tangannya. Namun Glagah Putih yang telah siap itu dengan tangkasnya menggeliat, sehingga kedua pisau belati itu tidak menyentuh tubuhnya.

Ketika sebuah lagi pisau belati meluncur, maka ditangkisnya pisau belati itu dengan pedangnya, sehingga pisau itu terlempar jauh menyamping.

Orang itu tidak berbicara lagi. Dicabutnya pedangnya yang panjang, kemudian dengan garangnya ia menyerang Glagah Putih, yang telah lebih dahulu memegang pedangnya.

Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ilmu pedang orang itu cukup tinggi, sehingga Glagah Putih harus meningkatkan kemampuannya untuk mengimbanginya.

Serangan-serangan orang itu semakin lama menjadi semakin cepat. Pedangnya bergetar menggapai-gapai.

Namun Glagah Putih pun cukup tangkas. Serangan-serangan yang cepat dari lawannya tidak mampu menguak pertahanannya. Setiap kali pedang orang itu selalu membentur pedang Glagah Putih yang berputar dengan cepat.

Namun Glagah Putih pun cukup berhati-hati. Ia menyadari bahwa setiap saat orang itu dapat melemparkan pisau-pisaunya, di samping ayunan pedangnya.

Untuk beberapa saat mereka mengadu kemampuan mereka dalam ilmu pedang. Beberapa kali lawan Glagah Putih itu harus meloncat surut mengambil jarak, karena serangan Glagah Putih yang datang membadai.

Namun seperti yang diperhitungkan oleh Glagah Putih, di samping ujung pedangnya, maka pisau belati orang itu masih juga meluncur mengarah ke dada Glagah Putih.

Glagah Putih masih mampu menghindar dengan memiringkan tubuhnya. Namun ia terkejut bahwa satu lagi pisau belati meluncur dari tangan orang itu. Demikian cepatnya, sehingga Glagah Putih sedikit terlambat menggeliat. Meskipun Glagah Putih sudah berusaha, namun pisau itu masih juga melukai lengannya.

Glagah Putih meloncat surut. Di lengannya, darah mulai menitik dari lukanya.

Kemarahan Glagah Putih membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Darahnya terasa memanasi seluruh tubuhnya.

Ketika orang itu melemparkan lagi pisau belatinya, Glagah Putih telah menepis dengan pedangnya, sehingga pisau belati itu terlempar jauh ke samping.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran bidikan pisau lawannya. Karena itu, maka Glagah Putih harus bergerak lebih cepat dari ayunan tangan orang itu, sehingga orang itu tidak sempat menarik pisaunya yang berjajar di ikat pinggangnya, dan melemparkannya ke arah Glagah Putih.

Dengan perhitungan itulah, maka Glagah Putih pun telah menyerang orang itu dengan cepat. Ia menjaga jarak jangkauan pedangnya. Jika lawannya sempat mengambil jarak, maka pisau-pisaunya tentu akan meluncur ke arah dadanya.

Dengan demikian maka serangan Glagah Putihpun kemudian datang seperti arus angin ribut. Serangannya datang beruntun, bahkan seakan-akan dari segala arah.

Lawannya memang tidak mempunyai kesempatan untuk melontarkan pisaunya. Sedangkan ilmu pedangnya ternyata berada di bawah kemampuan lawannya yang masih muda itu.

Dalam keadaan yang memaksa, maka orang itu pun telah meloncat surut. Ia berusaha untuk mengambil jarak. Dengan cepat pula ia telah menarik pisaunya dari ikat pinggangnya.

Namun Glagah Putih ternyata mampu bergerak lebih cepat. Sebelum orang itu sempat melemparkan pisaunya, maka ujung pedang Glagah Putih telah menggapai dada orang itu, langsung menghunjam menyentuh jantung.

Orang itu sempat mengaduh tertahan. Namun kemudian orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut.

Ketika orang itu jatuh terguling di tanah, terdengar pelayan kedai itu memukul kentongan dengan irama titir.

Beberapa orang yang mendengar suara kentongan itu ternyata tidak segera berlari keluar. Mereka memang merasa ragu-ragu. Jika yang datang ke padukuhan itu segerombolan perampok yang garang, maka apakah orang-orang padukuhan itu akan dapat melawannya?

Bahkan ada di antara mereka yang berpendapat, bahwa yang datang itu tentu kawan-kawan dari orang-orang yang akan membunuh Setraderma. Mereka mendendam karena niat mereka membunuh Setraderma gagal.

Namun ketika suara titir itu sempat menjalar, maka orang-orang padukuhan itu mulai berani keluar dari rumahnya. Semakin lama semakin banyak. Semula mereka pun ragu-ragu untuk datang ke rumah Setraderma. Namun akhirnya mereka pun telah memasuki regol halaman rumah itu.

Namun ketika mereka datang, orang yang bertempur melawan Glagah Putih itu sudah terkapar mati.

“Kau telah membunuhnya,” berkata Ki Bekel yang kemudian juga datang.

“Ya,” jawab Glagah Putih, “aku tidak mempunyai pilihan lain. Jika aku tidak membunuhnya, maka aku-lah yang akan mati.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Peristiwa ini tentu ada hubungannya dengan peristiwa di pasar itu.”

“Mungkin sekali, Ki Bekel.”

“Besok kau harus melaporkan peristiwa ini.”

“Biarlah aku yang melaporkannya, Ki Bekel,” berkata Setraderma.

“Siapapun yang melaporkan, tetapi peristiwa ini akan diusut berkaitan dengan peristiwa di kedai itu.”

“Baik, Ki Bekel. Aku siap memberikan kesaksian,” berkata Setraderma

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Bawalah mayat ini ke serambi. Besok kita akan menguburnya”

Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah memberikan penjelasan bahwa orang itu memang datang untuk membalas dendam, karena beberapa orang kawannya telah ditangkap.

Namun dalam pada itu, di dalam kegelapan, seseorang memperhatikan peristiwa itu dengan seksama. Orang itu melihat apa yang telah terjadi. Sejak peristiwa di kedai itu, maka ia sudah memperhitungkan bahwa kedua orang anak muda itu tentu akan disusul oleh seseorang, atau sekelompok orang, yang mendendam. Karena itu, maka orang itu telah hadir di tempat keduanya menginap.

“Luar biasa,” desis orang itu, “seumurnya tentu sulit untuk dicari tandingnya. Ketika ia bertempur di belakang kedai itu, aku belum melihat tataran ilmunya yang sebenarnya. Pada kawannya perempuan muda itu, sekilas nampak ciri-ciri perguruan Kedung Jati. Namun pada tataran tertinggi ilmu anak muda ini, ciri-ciri perguruan Kedung Jati itu sama sekali tidak nampak lagi. Atau mungkin keduanya bukan saudara seperguruan. Seorang dari perguruan Kedung Jati, yang seorang bukan.”

Namun orang itu tidak berbuat apa-apa. Ia hanya memperhatikan saja dari kejauhan. Bahkan kemudian orang itu pun telah meninggalkan tempat itu.

Di keesokan harinya, peristiwa itu pun telah menjadi pembicaraan yang ramai. Lebih-lebih lagi mereka yang mengetahui atau sudah mendengar peristiwa yang terjadi di belakang kedai di sebelah pasar itu.

Sementara itu, sebelum matahari terbit, Setraderma sudah pergi menghadap Ki Demang untuk melaporkan peristiwa itu.

Pada hari itu juga, peristiwa yang terjadi itu telah dilaporkan kepada para prajurit Mataram yang bertugas. Peristiwa itu justru mempercepat pemeriksaan terhadap Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata pada hari itu juga mereka telah dipanggil untuk memberikan keterangan, apa yang telah terjadi. Baik di belakang kedai di dekat pasar itu, maupun di rumah Setraderma.

Ternyata setelah pemeriksaan selesai, maka tidak ada ikatan lagi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan kesaksian Setraderma serta pemilik kedai itu, yang merasa telah bersalah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan justru diperkenankan untuk meninggalkan padukuhan itu.

Tetapi hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum meninggalkan rumah Setraderma. Mereka masih menunggu tetangga-tetangga Ki Setraderma menguburkan orang yang telah terbunuh, itu, disaksikan oleh Ki Bekel dan Ki Demang.

Bahkan Ki Demang sempat berdesis, “Anak muda itu tentu anak muda yang berilmu tinggi. Menurut ujud kewadagannya, orang yang telah terbunuh itu adalah seorang yang memang hidup di lingkungan dunia olah kanuragan yang keras. Di ikat pinggangnya terselip pisau-pisau belati kecil yang melingkar di pinggangnya. Sebagian dari pisau-pisau belati itu sudah tidak ada lagi. Agaknya orang itu sudah beberapa kali melemparkan pisau-pisaunya, namun tidak berhasil mengenai anak muda itu, kecuali menggores lengannya.”

“Nampaknya memang begitu, Ki Demang. Beberapa orang memang menemukan pisau-pisau yang berserakan.”

Hari itu, tubuh orang yang terbunuh itu pun telah dikuburkan dengan cara yang wajar. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan justru merasa wajib untuk tetap berada di rumah itu, setidak-tidaknya malam itu. Glagah Putih dan Rara Wulan masih mencemaskan jika terjadi sesuatu, yang justru akan menimpa Ki Setraderma.

Namun agaknya Setraderma justru sudah tidak lagi merasa takut. Ia merasa bahwa umurnya adalah sekedar perpanjangan. Seandainya anak muda yang mengaku bersama adik perempuannya itu tidak menolongnya, maka ia sudah mati terbenam di Kali Pepe.

Peristiwa di rumah Setraderma itu agaknya telah memperingatkan Ki Demang dan Ki Bekel untuk meningkatkan pengamanan, bukan saja di padukuhan itu, tetapi juga di seluruh kademangan. Hari itu juga Ki Demang telah memanggil semua bebahu, semua Bekel dan para Jagabaya di padukuhan-padukuhan.

Kepada mereka, Ki Demang itu pun berkata, “Kita sudah mendapat sentuhan oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Pencurian dan kekerasan yang terjadi beberapa kali, tidak menggugah kesiagaan kita. Tetapi peristiwa yang terjadi di belakang kedai di dekat pasar, serta kekerasan yang terjadi di rumah Setraderma, rasa-rasanya benar-benar telah membangunkan kita dari kelengahan kita selama ini.”

Para Bekel dan bebahu yang hadir mendengarkannya dengan seksama. Seperti Ki Demang, mereka pun bertanya kepada diri mereka masing-masing, apa yang selama ini telah mereka lakukan untuk menjaga ketentraman kademangan mereka.

“Kita tidak dapat menggantungkan pengamanan lingkungan ini semata-mata kepada para prajurit. Kita sendiri harus berbuat sesuatu. Jika tidak ada kedua orang pengembara itu, maka kita telah kehilangan salah seorang keluarga kita.”

Para Bekel dan para bebahu itu pun mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Ki Demang, yang kemudian berkata, “Apakah kita, laki-laki se-padukuhan tidak dapat melawan empat atau lima orang, meskipun mereka berilmu tinggi? Ki Bekel, Jagabaya di padukuhan, dan para bebahu, juga bukan orang kebanyakan. Mungkin ada pula di antara laki laki se-padukuhan ini yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Jika tidak, maka beramai-ramai kita melawan orang-orang yang berniat jahat itu.”

Dalam pertemuan itu pula Ki Demang telah memerintahkan para Bekel untuk setiap kali langsung melihat gardu-gardu perondan. Pada saat menjelang wayah sepi bocah, gardu-gardu harus sudah terisi. Kentongan-kentongan harus siap untuk melontarkan isyarat. Tidak hanya di gardu saja, tetapi di setiap rumah harus mempunyai kentongan, meskipun hanya sebuah kentongan bambu yang kecil. Tetapi suaranya akan dapat menjangkau tetangga-tetangganya, serta gardu yang terdekat.

Sejak malam itu, maka padukuhan-padukuhan di seluruh kademangan itu pun menjadi terasa hidup. Gardu-gardu terisi sejak wayah sepi bocah.

Glagah Putih dan Rara Wulan malam itu masih belum meninggalkan padukuhan itu. Bahkan Ki Bekel telah mengundangnya untuk berada di banjar, berbicara dengan Ki Bekel dan para bebahu.

“Anak muda,” berkata Ki Bekel, “jika saja kau bersedia tinggal di padukuhan ini untuk waktu yang sedikit panjang. Kau dapat membantu kami para bebahu untuk memberikan latihan-latihan olah kanuragan. Meskipun sekedar dasarnya saja, tetapi itu akan sangat berarti bagi kami.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Sayang sekali, Ki Bekel. Kami tidak dapat tinggal lebih lebih lama lagi. Besok kami harus meneruskan perjalanan kami.”

“Sebenarnya kalian akan pergi kemana, Ngger?” bertanya Ki Bekel.

“Kami adalah pengembara, Ki Bekel. Kami berjalan mengikuti langkah kaki kami. Kami tidak mempunyai tujuan tertentu.”

“Seharusnya kau tidak melakukannya. Mungkin dalam sebulan dua bulan, karena keinginan kalian untuk melihat seluruh cakrawala. Tetapi kau tidak dapat melakukannya terlalu lama. Kau harus berhenti, menetap dan menyiapkan masa depan kalian. Dengan mengembara, apa yang kalian harapkan bagi masa depan kalian? Kalian akan hidup seperti sepasang burung. Terbang dari sebatang pohon ke batang pohon yang lain. Mungkin dari satu sisi hutan ke sisi yang lain, atau ke hutan yang lain. Lalu apa yang kalian dapatkan? Seandainya dalam pengembaraan kalian, kalian mendapatkan banyak pengalaman, apakah arti pengalamanmu itu dalam pengembaraan berikutnya?”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi sudah tentu bahwa mereka tidak ingin mengembara di sepanjang hidupnya.

Namun keduanya tidak dapat berkata berterus terang, bahwa mereka telah mengemban tugas untuk mendapatkan tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang.

“Aku minta kalian mempertimbangkannya,” berkata Ki Bekel kemudian.

Dengan nada dalam Glagah Putih pun menjawab, “Ki Bekel, aku mengucapkan terima kasih atas kepedulian Ki Bekel dengan masa depan kami. Kami pun menyadari, bahwa pada suatu saat kami harus berhenti mengembara, jika kami ingin hidup wajar. Kami harus memilih lingkungan sebagai tempat tinggal. Tetapi selagi kami masih sempat, kami masih ingin menambah pengalaman kami. Baru kemudian jika kami sudah merasa puas, kami akan berhenti mengembara dan tinggal di satu tempat.”

“Jika saat itu tiba, Ngger, kalian dapat memilih tempat ini sebagai tempat tinggal. Kami akan menyediakan tanah milik padukuhan, dan para bebahu tentu setuju, bahwa tanah itu akan kami serahkan kepada kalian berdua. Jika kalian kakak beradik, maka pada saatnya kalian akan membangun keluarga kalian masing-masing di sini. Tanah persediaan kami cukup luas. Hutan kami masih sangat panjang.”

“Terima kasih, Ki Bekel. Kami akan mempertimbangkannya. Kelak jika kami sudah merasa puas dengan pengembaraan kami, kami akan mengingat pesan Ki Bekel itu.”

“Yang kami katakan ini bukan sekedar basa-basi, Ngger.”

“Kami tahu, Ki Bekel. Kami pun berkata sebenarnya. Kesediaan Ki Bekel menerima kami menjadi keluarga di padukuhan ini sangat kami hargai.”

Beberapa orang yang lain, terutama Setraderma yang ada di banjar itu pula bersama para bebahu, telah memperkuat pernyataan Ki Bekel itu.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat memenuhinya. Dengan mengucapkan terima kasih, maka kedua orang yang mengaku bernama Warigalit dan Wara Sasi itu pun justru minta diri. Esok pagi-pagi benar mereka akan meneruskan perjalanan mereka.

Ki Bekel dan para bebahu padukuhan itu tidak dapat menahan mereka. Mereka hanya dapat mengucapkan selamat jalan kepada kedua orang yang mengaku kakak beradik itu.

Menjelang tengah malam, maka Ki Bekel pun telah membubarkan pertemuan itu. Kedua orang pengembara itu masih perlu beristirahat meskipun hanya sebentar. Esok pagi mereka akan menempuh sebuah perjalanan lagi.

Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidur di amben yang besar bersama anak-anak Setraderma, seperti malam-malam sebelumnya. Sebelum Rara Wulan tertidur, Glagah Putih sempat berbincang, “Apakah di dalam keluarga kita kelak juga akan terdapat sekian banyak anak?”

“Tidak mau,” Rara Wulan bersungut.

Glagah Putih tertawa. Namun kemudian tertawanya itu larut ketika Rara Wulan berdesis, “Kasihan Mbokayu Sekar Mirah.”

“Kenapa?”

“Nampaknya Nbokayu Sekar Mirah tidak akan mempunyai anak. Selama ini ia sangat merindukan tangis seorang bayi di dalam rumahnya.”

“Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung.”

“Tetapi umur mereka merambat terus. Apakah pada usianya yang sekarang ini, Mbokayu Sekar Mirah masih akan dapat mengandung?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab.

“Maaf, Kakang,” desis Rara Wulan, “aku tidak ingin membuatmu risau. Tetapi sebenarnyalah aku pun menjadi risau. Kapan kita berhenti mengembara? Kemudian kita hidup sewajarnya, sebagaimana sebuah keluarga kecil. Kemudian terdengar tangis seorang bayi. Bayi yang aku lahirkan sendiri dari kandunganku.”

Glagah Putih tidak menjawab. Sementara Rara Wulan berkata selanjutnya hampir berbisik di telinga Glagah Putih, “Maaf, Kakang. Aku minta maaf lagi. Bukan maksudku mengeluh tentang pengembaraan kita sekarang ini, betapapun beratnya. Kita akan melanjutkan tugas ini sampai tuntas.”

Glagah Putih yang bebaring menelentang itu menatap anyaman bambu pada atap rumah Setraderma. Anyaman bambu yang nampaknya rajin sekali. Tali-tali ijuk yang kuat mengikat bambu yang dibelah.

Rara Wulan pun terdiam. Hanya desah nafasnya saja-lah yang terdengar semakin lama semakin teratur.

Ketika kemudian Rara Wulan tertidur, mata Glagah Putih masih tetap terbuka. Dilihatnya dua ekor cicak berkejaran di dinding, di dekat lampu dlupak yang terletak di ajug-ajug di sudut ruang.

Hidung Glagah Putih masih mencium bau ontel kluwih yang membara di ujungnya, untuk mengusir nyamuk.

Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih pun telah tertidur pula.

Namun keduanya tidak tidur terlalu lama. Seperti biasanya, menjelang fajar keduanya telah terbangun untuk berbenah diri.

Namun ketika Rara Wulan pergi ke pakiwan, ternyata Nyi Setraderma juga sudah terbangun dan sudah berada di dapur. Dua perapian sudah dinyalakannya. Satu untuk menjerang air, sedang yang lain untuk menanak nasi.

Ketika langit menjadi terang, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun sudah bersiap untuk berangkat melanjutkan pengembaraannya. Sementara itu, Nyi Setraderma pun sudah selesai pula mempersiapkan makan pagi bagi keduanya.

“Silahkan makan dahulu, Adi berdua,” Nyi Setraderma mempersilahkan.

“Anak-anak belum makan,” desis Rara Wulan.

“Mereka belum bangun,” sahut Nyi Setraderma, “bukankah kalian yang akan menempuh perjalanan jauh? Bahkan jauh sekali tanpa batas.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.

Ketika mereka kemudian makan nasi hangat dengan sayur kacang panjang yang dipetik di kebun belakang, di amben besar di sebelah anak-anak yang tidur itu, seorang di antara mereka pun terbangun. Anak Setraderma yang ke-tiga

Sambil mengusap matanya, anak itu duduk di antara saudara-saudaranya yang masih tidur.

“Paman dan Bibi akan pergi?” bertanya anak itu.

“Dari mana kau tahu?” bertanya ayahnya.

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada lembut Rara Wulan berkata, “Ya, Ngger. Paman dan Bibi akan pergi.”

“Kemana?”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Ke kademangan sebelah, Ngger.”

“Nanti Paman dan Bibi kembali?”

Rara Wulan memandang Nyi Setraderma yang duduk di sebelah Setraderma. Sambil tersenyum Nyi Setraderma itu pun berkata, “Jika persoalannya sudah selesai, Bibi akan kembali. Tetapi jika belum, Bibi akan menyelesaikan dahulu.”

Anak itu mengerutkan dahinya Hampir di luar sadarnya anak itu pun bertanya, “Jika orang jahat itu kembali lagi?”

“Tidak,” sahut Glagah Putih, “orang itu tidak akan kembali lagi. Seandainya ia kembali, maka Ki Bekel dan tetangga-tetangga akan datang mengusirnya.”

Anak itu tidak bertanya lagi. Tetapi nampaknya ia sangat kecewa, bahwa Paman dan Bibi yang baik itu akan pergi meninggalkan rumah mereka.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak dapat lagi menunda keberangkatan mereka. Setelah makan dan beristirahat sebentar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun minta diri.

Rara Wulan mencium kening anak ketiga yang masih duduk di tempatnya. Kemudian mengusap anak yang lain yang masih tertidur.

“Anak ini ngompol, Mbokayu,” desis Rara Wulan ketika ia menyentuh anak Setraderma yang ke-enam.

“Sudah tiga malam ia tidak ngompol. Kemarin ia tentu terlalu banyak berlari-larian.”

Rara Wulan tersenyum. Tetapi anak yang ngompol itu sama sekali tidak tergerak untuk bangun.

Demikianlah, sejenak kemudian maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah keluar dari regol halaman rumah Setraderma. Kedua orang suami istri itu mengantar mereka sampai di regol. Bahkan anaknya yang ketiga, ternyata sudah turun pula dari amben dan berlari-lari ke regol halaman pula.

“Nanti kembali ya, Bibi!” anak itu berteriak.

Rara Wulan dan Glagah Putih berpaling. Diangkatnya tangannya sambil tersenyum.

Anak itu berdiri termangu-mangu. Bersama ayah dan ibunya ia menatap punggung Glagah Putih dan Rara Wulan, yang semakin lama menjadi semakin jauh.

Embun pagi masih menetes dari dedaunan yang basah. Jalan-jalan masih sepi. Di satu dua halaman terdengar suara sapu lidi, serta induk ayam yang memanggil anak-anaknya turun dari kandangnya. Sekali-sekali terdengar ayam jantan berkokok di sela-sela kotek ayam betina yang saling bekejaran.

Langit pun semakin menjadi cerah. Burung-burung liar berkicau bersahutan menyambut datangnya hari yang baru, kelanjutan hari kemarin.

Setraderma, istrinya dan anaknya yang ke-tiga pun kemudian masuk kembali ke regol halaman rumahnya, menyeberangi halaman depan dan masuk ke ruang dalam.

Sambil naik ke amben besar di ruang dalam itu, anak ke-tiga Setraderma bertanya, “Ayah, apakah Paman dan Bibi itu saudara Ayah atau Ibu?”

Setraderma menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kita dan semua orang seharusnya merasa bersaudara.”

“Tetapi dengan orang-orang jahat itu?”

“Biarlah mereka yang merasa dirinya tidak bersaudara dengan kita. Bukan kita.”

Anak itu mengerutkan dahinya. Ia tidak mengerti maksud ayahnya, Tetapi ia tidak bertanya. Bahkan kemudian ia pun telah kembali membaringkan dirinya di antara saudara-saudaranya.

“He, kenapa kau tidur lagi?” bertanya ibunya. Anak itu tidak menyahut.

“Matahari sudah hampir terbit. Bangun! Cuci mangkuk yang kotor itu. Biarlah kakakmu mengisi jambangan pakiwan dan menyapu halaman.”

Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja berbaring. Tetapi matanya tetap terbuka.

Ketika saudaranya yang ke-dua terbangun, anak itu pun berkata, “Paman dan Bibi sudah pergi.”

“He?”

“Paman dan Bibi sudah pergi. Baru saja.”

Anak yang ke-dua itu segera bangkit. Ia memang tidak melihat Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kau melihat Paman dan Bibi itu pergi?”

“Ya.”

“Bohong!”

“Aku mengantarnya sampai ke regol bersama Ayah dan Ibu.”

“Kenapa tidak kau bangunkan aku?”

“Aku lupa.”

Anak itu termenung sejenak. Namun kemudian terdengar suara ibunya, “Bangun! Kerjakan tugas kalian masing-masing.”

Ketika anaknya yang pertama bangun, maka yang pertama-tama ditanyakan adalah, “Apakah Ayah hari ini juga akan pergi ke kedai?”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun ibunya itu pun kemudian bertanya kepada ayahnya, “Kau akan pergi ke kedai, Kang?”

Setraderma menggeleng. Katanya, “Hari ini tidak. Aku akan berada di rumah. Entahlah, apakah aku masih akan pergi ke kedai atau tidak.”

“Aku setuju, Kang. Pemilik kedai itu ternyata orang yang licik. Ia sudah melemparkan nasib buruknya kepadamu. Kau telah dijadikan kambing hitam untuk mencari selamat.”

Setraderma mengangguk.

“Semua orang memang berhak mencari selamat, tetapi tidak dengan mengorbankan orang lain. Karena itu, Kang, biarlah kau untuk sementara di rumah saja. Ketela pohon kita di kebun belakang juga sudah waktunya dicabut. Jagung di pategalan juga sudah cukup tua. Sementara menunggu panen, padi di lumbung, ketela pohon di kebun belakang, dan jagung di pategalan, agaknya akan mencukupi, meskipun kita harus berhemat. Mungkin Kakang lebih baik membantu kerja tetangga di sawah dan ladang, daripada menjadi pelayan kedai. Memang mungkin kerja di kedai lebih ringan. Tidak kepanasan, makan sedikitnya dua kali sehari. Tetapi jika Kakang hanya akan menjadi kambing hitam, lebih baik Kakang tidak pergi saja.”

Setraderma mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku memang tidak akan pergi.”

“Kemarin Uwa Parta mencari seseorang yang bersedia memotong pohon nangka di halaman belakang rumahnya, Kang. Pohon nangka tua itu ditebang untuk dijadikan kerangka rumah. Uwa Parta akan menambah rumahnya satu wuwung lagi. Selain kayunya bisa dipakai untuk membuat beberapa tiang, perluasan rumahnya itu akan sampai ke pohon nangka itu pula.”

“Baiklah, Nyi. Nanti aku pergi ke rumah Uwa Parta. Tetapi untuk menebang pohon nangka sebesar itu, aku memerlukan sedikitnya dua orang kawan lagi. Tetapi kerja sebagai seorang blandong pernah aku lakukan pula, sehingga aku sudah cukup berpengalaman.”

Ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka Setraderma pun telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Uwa Parta. Namun sebelum ia turun ke halaman, dua orang telah mendatanginya.

Ternyata pemilik kedai itu-lah yang datang, sambil membawa sebuah bakul. Bahkan tidak sendiri. Ia datang bersama istrinya.

Keduanya pun kemudian dipersilahkan duduk, ditemui oleh Setraderma bersama istrinya.

“Aku minta maaf, Setra,” berkata pemilik kedai itu, “aku sungguh-sungguh menyesal telah menjerumuskan kau ke dalam kesulitan. Jika tidak ada kedua orang pengembara itu, mungkin kita sudah tidak akan pernah bertemu lagi, sehingga aku akan menyesali kesalahanku itu seumur hidupku.”

“Sudahlah, Kang. Kita lupakan saja apa yang telah terjadi.”

“Bagaimana aku dapat melupakan? Aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar, sehingga mengancam jiwamu.”

“Tetapi bukankah aku tidak apa-apa? Kang, bukankah mati dan hidup seseorang itu sudah ada yang menentukan? Kita tinggal menjalaninya. Lahir, kemudian mati. Adakah kita dapat merencanakannya?”

“Kau benar Setra,” pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Sementara itu istrinya pun berkata, “Inilah, Nyi. Aku membawa sedikit beras dan kebutuhan dapur.”

Nyi Setraderma beringsut sambil berdesis, “Kenapa repot-repot, Nyi?”

“Sekedar untuk anak-anak.”

“Terima kasih, Nyi. Terima kasih sekali.”

“Hanya inilah yang dapat aku bawa, Nyi.”

“Ini sudah lebih dari cukup. Kami sekeluarga senang sekali menerima pemberian yang tentu sangat berarti bagi kami sekeluarga.”

Istri pemilik kedai itu tersenyum sambil berkata, “Lain kali, mudah-mudahan kami dapat membawa apa-apa lagi bagi anak-anak. Nyi, aku juga mempunyai banyak anak. Sehingga aku tahu, apa yang dibutuhkan oleh anak-anak itu.”

“Terima kasih. Tetapi ini sudah cukup. Lain kali kami tidak usah merepotkan lagi.”

“Tidak apa-apa. Kami sama sekali tidak merasa repot.”

Nyi Setraderma menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat berkata apa-apa lagi, sehingga karena itu, maka ia pun terdiam.

Yang kemudian berbicara adalah pemilik kedai itu, “Setraderma. Kedatanganku selain untuk menengok keadaanmu sekeluarga serta minta maaf atas sikapku itu, aku juga ingin menyampaikan harapan agar kau masih bersedia bekerja sama dengan kami sekeluarga di kedai itu. Aku berjanji untuk tidak berbuat kesalahan lagi, apalagi yang dapat mencelakakanmu dan mengancam jiwamu.”

Setraderma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf, Kang. Sampai saat ini aku masih belum sempat memikirkan, kapan aku dapat mulai bekerja lagi. Untuk sementara aku ingin beristirahat. Aku ingin benar-benar melupakannya.”

“Bukankah kau mengatakan, bahwa kita sebaiknya melupakan saja peristiwa itu?”

“Ya. Tetapi yang aku maksudkan, Kakang tidak usah merasa bersalah karenanya.”

“Mungkin kita memang perlu beristirahat. Aku pun akan beristirahat untuk beberapa hari. Tetapi aku tetap minta kesediaanmu untuk bersedia bekerja bersama lagi.”

“Aku akan memikirkannya, Kang.”

“Baiklah. Tetapi aku sangat berharap.”

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian suami istri itu pun minta diri. Pemilik kedai itu masih saja berpesan, agar Setraderma segera datang ke rumahnya apabila ia sudah merasa cukup beristirahat.

“Baik, Kang. Tetapi aku tidak dapat berjanji, kapan aku akan datang ke rumah Kakang.”

Sepeninggal pemilik kedai itu, Setraderma bertanya kepada istrinya, “Kenapa kau terima pemberiannya?”

“Aku juga merasa ragu-ragu, Kang. Tetapi bagaimana aku dapat menolak pemberian yang ikhlas itu?”

“Kau kira mereka memberikannya dengan ikhlas?”

“Maksudmu?”

“Mereka ingin menghapus kesalahannya. Mereka pun ingin aku bekerja lagi kepada mereka. Agaknya mereka akan kesulitan untuk mencari tenaga baru. Jarang orang yang mau menjadi pelayan sebuah kedai. Jika ada yang bersedia, mereka tidak bekerja dengan rajin dan sepenuh hati. Seorang pelayan kedai juga harus tahu unggah-ungguh dan bersikap baik kepada para tamu.”

“Mungkin Kakang benar. Tetapi mereka berikan bawaan mereka itu dengan ikhlas. Seandainya ada pamrih seperti yang Kakang katakan, itupun masih wajar. Mereka tidak mau selalu dibayangi oleh kesalahan yang pernah mereka lakukan. Dengan pemberiannya, mereka akan merasa setidak-tidaknya kesalahan itu telah disusut. Bukankah kita telah berbuat satu kebaikan dengan memperingan beban perasaan seseorang? Sedangkan harapan mereka agar Kakang kembali bekerja kepada mereka itu pun wajar pula. Kakang orang yang tidak banyak menuntut, rajin tekerja dan sudah berpengalaman, sehingga tidak perlu mengajarinya lagi.”

Setraderma menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Kau benar, Nyi.”

“Tetapi Kakang memang harus mempertimbangkan masak-masak, apakah Kakang akan menerima tawaran itu atau tidak.”

“Aku masih mempunyai waktu, Nyi. Aku tidak tergesa-gesa memberi jawaban.”

“Nah, sekarang apakah Kakang masih ingin pergi ke rumah Uwa Parta?”

“Ya, Nyi. Aku akan pergi ke rumah Uwa Parta. Aku ingin mencoba, apakah aku masih seorang blandong yang baik, setelah untuk beberapa lama aku hanya bersentuhan dengan mangkuk nasi dan minuman serta makanan. Apakah tangan-tanganku masih tetap terampil mengayunkan kapak.”

Sejenak kemudian, maka Setraderma itu pun telah turun ke jalan di depan rumahnya. Kemudian melangkah menelusuri jalan padukuhan, menuju ke rumah Uwa Parta.

Dalam pada itu, jauh di luar padukuhan, bahkan sudah diantarai oleh beberapa bulak dan padukuhan, Glagah Putih berjalan bersama Rara Wulan di atas jalan berdebu. Panas matahari semakin lama terasa semakin terik, menyengat tubuh mereka.

Di langit nampak sekelompok gelatik terbang dengan cepat ke tenggara.

“Padi sudah tua di sana,” desis Rara Wulan.

“Ya. Burung gelatik itu seperti diundang berbondong-bondong menuju ke sana.”

Rara Wulan memandang sekelompok burung gelatik itu sampai hilang ditelan birunya langit.

Keduanya pun kemudian meneruskan perjalanan mereka. Di panasnya sinar matahari, maka debu pun terhambur dihembus angin.

Seorang penunggang kuda melarikan kudanya melintas di jalan yang lengang itu. Penunggangnya memperlambat derap kaki kudanya ketika orang berkuda itu berpapasan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Bahkan kuda itu pun kemudian berhenti. Tanpa turun dari kudanya, penunggangnya pun bertanya, “Ki Sanak. Dimanakah letak pasar Banyuanyar?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Baru sesaat kemudian ia pun menjawab, “Jalan ini akan sampai ke pasar Banyuanyar, Ki Sanak. Kami juga dari Banyuanyar.”

“Apakah pasar Banyuanyar itu cukup ramai?”

“Ki Sanak belum pernah pergi ke pasar Banyuanyar?”

“Jika aku pernah pergi ke sana, aku tentu tidak akan bertanya kepadamu.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “pertanyaan yang bodoh.”

Penunggang kuda itu tidak menyahut. Sementara Glagah Putih pun berkata pula, “Pasar Banyuanyar cukup ramai di hari pasaran, Ki Sanak. Tetapi di hari-hari lain pun pasar itu banyak dikunjungi orang.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Untuk apa kalian membawa pedang di lambung?”

Pertanyaan itu memang mengejutkan. Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian Rara Wulan-lah yang menyahut, “Kami akan menempuh perjalanan jauh, Ki Sanak. Mungkin di sepanjang perjalanan, kami memerlukan pedang.”

“Maksudmu, untuk melindungi diri?”

“Ya.”

Orang berkuda itu tertawa. Katanya, “Kau salah. Pedang kadang-kadang justru mengundang malapetaka.”

“Tetapi Ki Sanak juga membawa senjata, meskipun bukan pedang. Tetapi keris yang besar itu sama saja artinya dengan sebilah pedang.”

Penunggang kuda itu masih tertawa. Katanya, “Tetapi aku yakin bahwa kerisku ini mampu melindungi diriku.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun dengan ragu-ragu ia pun berkata, “Maksud kami, daripada tidak bersenjata apa-apa. Seandainya kami bertemu dengan orang jahat, maka dengan pedang, kami akan melawannya.”

“Penjahat itu akan terpancing untuk mempergunakan senjatanya pula. Nah, bukankah pedangmu itu akan dapat memperpendek umurmu? Sebenarnya penjahat itu tidak ingin menyakitimu. Tetapi karena kau berpedang dan bahkan telah berusaha melukainya, maka penjahat itu sengaja atau tidak sengaja dapat membunuhmu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar, Ki Sanak. Tetapi kami merasa lebih tenang berjalan dengan membawa pedang di lambung.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi berhati-hatilah dengan pedang kalian. Jangan terlalu mudah mencabut pedang kalian itu.”

“Terima kasih atas peringatanmu, Ki Sanak. Kami dapat mengerti sepenuhnya.”

Penunggang kuda itu pun kemudian menggerakkan kendali kudanya sambil berkata, “Terima kasih, Ki Sanak. Aku akan pergi ke pasar Banyuanyar.”

Sejenak kemudian kuda itu pun telah berlari dengan kencangnya menuju ke pasar Banyuanyar.

“Apakah yang akan dilakukannya?” desis Rara Wulan.

“Mudah-mudahan orang itu tidak melakukan kekerasan apapun alasannya” sahut Glagah Putih.

Keduanya pun kemudian telah melanjutkan perjalanan mereka di bawah teriknya sinar matahari.

Ketika mereka sampai di simpang ampat, mereka melihat seorang perempuan yang sedang memanjat pohon turi untuk mengambil bunganya. Bahkan merambat sampai ke cabang-cabang yang terhitung kecil.

Di luar sadarnya, ketika sebuah cabang yang diinjak oleh kaki perempuan itu berayun, Rara Wulan berkata, “Yu! Hati-hatilah!”

Perempuan yang memanjat itu berpaling. Ketika ia melihat Glagah Putih dan Rara Wulan, maka ia pun berkata, “Kayu turi adalah kayu yang liat. Jangan takut kalau aku akan jatuh. Kerja ini adalah kerjaku sehari-hari.”

“Siang-siang begini, Mbokayu memetik bunga turi.”

“Anakku senang sekali bunga turi yang direbus. Kemudian dimakan dengan sambal gula kelapa. Jika ia tidak berselera untuk makan, maka ia selalu minta aku merebus bunga turi.”

“Anak Mbokayu itu laki-laki atau perempuan?”

“Laki-laki.”

“Kenapa ia tidak memanjat sendiri?”

“Memanjat sendiri? Anakku belum genap berumur lima tahun.”

“O. Masih terlalu kecil. Tetapi ia sudah menggemari bunga turi dengan sambal?”

“Anakku selalu makan dengan sambal. Sambal apa saja. Sambal gula kelapa, sambal terasi, sambal jenggot, sambal lombok goreng, pokoknya sambal apa saja, asal pedas.”

“Apakah perutnya tidak terganggu?”

Perempuan yang masih berada di dahan pohon turi itu tertawa. Katanya, “Sudah sejak masih merangkak, anakku sudah sering makan sambal tanpa terganggu perutnya. Anakku tidak pernah sakit perut karena sambal.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Mereka masih berdiri di tempatnya, sambil memandangi perempuan yang dengan terampil memetik bunga turi di ujung-ujung dahan.

“Kau dapat melakukannya?” bertanya Glagah Putih.

“Aku belum pernah mencoba.”

“Kau pernah berlatih di atas sebuah amben yang sudah hampir roboh. Ternyata kau mampu melakukannya tanpa mematahkan kakinya yang sudah rapuh itu.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah bahwa timbul niatnya untuk melakukannya pada kesempatan yang lain.

“Nanti, jika di sebelah padukuhan itu ada pohon turi.”

“Pemiliknya akan marah. Dikiranya kau akan mengambil bunganya tanpa seijinnya.”

“Apakah pohon turi yang tumbuh di atas tanggul parit itu ada yang punya?”

“Tentu saja, Rara. Yang punya adalah pemilik sawah di sebelahnya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Kecuali jika kita mencoba pada dahan pepohonan di pinggir hutan.”

“Kita tidak tahu, apakah dahannya lentur dan liat seperti dahan pohon turi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Sementara itu, keduanya pun telah melanjutkan perjalanan mereka.

Terik matahari terasa menyengat tubuh ketika matahari itu justru sudah melintasi puncaknya. Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berjalan menyusuri bulak. Jika mereka melintas di bayangan pepohonan yang rimbun yang tumbuh di pinggir jalan, terasa sejuknya seakan-akan menyusup kulit. Namun kemudian, jika mereka kembali memasuki terik matahari, rasa-rasanya mereka dipanggang di atas bara.

Sekali-sekali mereka memasuki padukuhan-padukuhan yang lengang. Yang terdengar adalah suara orang menumbuk padi dalam irama yang ajeg. Sekali-sekali terdengar lenguh lembu dan kokok ayam jantan di halaman.

Rupa-rupanya anak-anak malas keluar rumah untuk bermain di udara yang panas itu.

Di halaman sebuah rumah yang tidak terlalu luas, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat seorang perempuan yang duduk di atas tangga di depan pintu, sambil menyuapi mulut anak bayinya dengan paksa. Perempuan itu tidak menghiraukan bayinya yang menjerit-jerit

“Anak itu,” desis Glagah Putih.

“Kebiasaan yang juga sering aku lihat di Tanah Perdikan Menoreh,” sahut Rara Wulan, “anak itu disuapi dengan nasi yang dilumatkan, dicampur dengan gula kelapa.”

“Kenapa ibunya tidak menunggu anak itu diam?”

“Anak itu tidak akan mau makan jika tidak dipaksa.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Bahkan langkah kakinya menjadi semakin cepat, agar tangis bayi itu tidak lagi terdengar keras sekali.

Dekat di ujung jalan di dalam padukuhan itu, terdapat sebuah rumah yang lebih besar dari rumah yang lain. Di depan regol terdapat sebuah gentong berisi air bersih. Sebuah siwur tempurung kelapa terletak di atas gentong, yang tertutup mangkuk yang terbuat dari tanah liat.

Seorang perempuan tua yang kehausan telah minum air dari gentong itu.

Ketika mereka keluar dari gerbang padukuhan, maka kembali mereka memasuki teriknya sinar matahari. Demikian panasnya, sehingga udara di atas jalan yang membujur panjang itu bagaikan menguap.

“Mudah-mudahan kita menemukan sebuah kedai, meskipun kedai itu kecil saja,” desis Rara Wulan.

“Atau sebaliknya. Meskipun kedai itu kedai yang besar, bukankah terbiasa bagi kita untuk masuk ke dalam kedai yang kecil?” sahut Glagah Putih.

“Sama saja, kan?” bertanya Rara Wulan.

“Ada bedanya.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak sempat memikirkan perbedaannya.

Ketika mereka melintasi sebuah bulak yang tidak begitu luas, maka mereka telah memasuki sebuah padukuhan yang lain. Beberapa puluh langkah dari gerbang padukuhan, mereka menjumpai sebuah kedai yang tidak begitu besar. Di kedai itu dijual pula kebutuhan sehari-hari, selain makanan dan minuman.

Di sebelah kedai itu terdapat sebuah halaman yang luas. Dua buah pedati nampak berhenti di halaman yang luas itu. Bahkan lembunya telah dilepas dan diikat pada sebatang pohon kelapa, yang banyak terdapat di halaman itu.

“Nampaknya halaman itu memang tempat pemberhentian pedati,” desis Rara Wulan, “lihat saja bekas rodanya yang membuat lekuk-lekuk di tanah. Jika hujan turun, maka halaman itu akan menjadi halaman yang sangat becek.”

“Ya. Nampaknya halaman itu memang tempat pemberhentian pedati,” sahut Glagah Putih.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian keduanya pun menapak memasuki pintu kedai itu.

Di dalam kedai itu ternyata sudah ada beberapa orang yang duduk sambil berbincang. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan masuk, mereka berpaling sejenak. Namun kemudian mereka tidak menghiraukan lagi.

Justru karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan merasa tenang duduk di sudut kedai itu. Mereka duduk di sebuah lincak yang panjang di sebelah geledeg bambu.

“Agak kurang bersih,” bisik Rara Wulan.

Glagah Putih memang melihat bahwa pemilik kedai itu agaknya kurang memperhatikan kebersihan kedainya. Di lantai terserak beberapa lembar daun pisang bekas bungkus makanan. Di sudut nampak sarang laba-laba, yang agaknya sudah cukup lama tidak dibersihkan. Asap yang kehitam-hitaman di sekitar perapian, dan beberapa kesan lainnya yang menjadikan kedai itu nampak kurang terawat.

Demikian keduanya duduk, maka seorang perempuan yang sudah separuh baya mendatangi mereka sambil bertanya, “Minum? Makan?”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Ketika ia beringsut setapak, Glagah Putih menggamitnya. Bahkan Glagah Putih menjawab, “Ya, Bibi.”

Perempuan itu tidak bertanya apa-apa lagi. Ia langsung pergi menyampaikan pesan itu kepada pemiliknya.

Dituangkannya minuman dan disendoknya nasi dengan sayur dan lauknya. Kemudian perempuan separuh baya itu lah yang menghidangkannya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

Rara Wulan mengamati minuman yang masih hangat itu dengan kerut di dahi. Demikian pula nasi yang nampaknya sudah dingin.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih hampir berbisik.

“Aku jadi ragu-ragu,” desis Rara Wulan, “nampaknya juga tidak bersih, seperti ruang kedainya ini.”

“Kau membayangkan yang bukan-bukan. Makanlah. Ini masih lebih baik daripada kita menangkap buruan di hutan perdu, atau menangkap ikan di sungai, mengasapinya, dan kemudian makan sambil duduk di bawah sebatang pohon gayam.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Kita akan makan.”

Keduanya pun kemudian menghirup minuman mereka yang masih hangat. Wedang jahe.

“Segar juga wedang jahenya,” desis Glagah Putih.

“Manis sekali,” sahut Rara Wulan.

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dipandanginya seisi ruang di kedai itu.

“Kau lihat keranjang-keranjang itu?”

“Ya.”

“Isinya tentu gula kelapa. Agaknya padukuhan ini menghasilkan banyak sekali gula kelapa.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Di sini banyak sekali pohon kelapa. Di halaman sebelah saja ada berapa puluh batang pohon kelapa. Di setiap kebun, dan barangkali di padukuhan ini terdapat kebun kelapa pula.”

“Sebagian dari pohon kelapa itu agaknya disadap legennya untuk membuat gula kelapa.”

“Dan pedati-pedati itu adalah pedati dari para pedagang gula kelapa. Mereka membeli gula kelapa di sini dan dibawa ke pasar di daerah yang kekurangan gula kelapa.”

“Tidak hanya gula,”

“Apalagi?”

“Kelapa.”

Keduanya terdiam. Mereka melihat tiga orang mendorong sebuah keseran yang bermuatan kelapa kering.

“Mungkin pedati-pedati itu akan membawa gula, tetapi mungkin juga kelapa, untuk dibuat minyak kelapa.”

Keduanya mengangguk-angguk. Untuk sesaat mereka terdiam, karena mereka sedang menyuapi mulut mereka.

“Masakannya juga terlalu manis,” desis Rara Wulan pula

“Terlalu manis dan terlalu pedas,” desis Glagah Putih yang kepedasan.

Namun keduanya pun terdiam ketika mereka melihat seorang yang gemuk memasuki kedai itu bersama dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap.

Orang yang bertubuh gemuk itu terkejut ketika ia melihat orang-orang yang sudah berada di dalam kedai itu.

“Kau, Wirog?” desis orang yang bertubuh gemuk itu. Seorang di antara beberapa orang yang sudah duduk di kedai itu pun bangkit berdiri pula. Nampaknya orang itu juga terkejut. Bahkan beberapa orang yang lain.

“Den Bera,” desis orang yang dipanggil Wirog itu.

“Jangan panggil aku Bera. Panggil namaku.”

“Bukankah namamu Bera?”

“Tidak. Namaku Sumunar.”

“He?”

“Kenapa?”

“Sejak kapan namamu berubah?”

“Ayah dan ibuku memberi nama kepadaku Sumunar, kau dengar? Karena itu, jangan panggil aku Bera.”

“Kau juga memanggilku sesuka hatimu.”

“Namamu sejak kecil juga Wirog.”

“Tidak. Itu sekedar paraban. Namaku Basmi.”

“Persetan dengan namamu. Aku sudah terbiasa memanggilmu Wirog.”

Orang yang dipanggil Wirog itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun bergumam, “Kau memang aneh. Kau minta dipanggil menurut kehendakmu, tetapi kau memanggil orang lain sesukamu. Jika kau tetap memanggil parabanku, aku juga akan tetap memanggilmu Den Bera. Raden Bera.”

“Persetan kau, Wirog. Sekarang katakan, untuk apa kau datang kemari.”

“Aku membeli kelapa kering. Aku membuat minyak kelapa di rumah.”

“Kau telah melanggar hakku.”

“Melanggar hakmu? Hak apa?”

“Sejak beberapa tahun, aku-lah pembeli tunggal di sini. Aku-lah yang membeli kelapa kering serta gula kelapa dari penghuni padukuhan ini. Tiba-tiba sekarang kau juga muncul di sini.”

“Dari mana kau mendapatkan hak itu, Den Bera? Siapakah yang telah memberikan hak kepadamu untuk menjadi pembeli tunggal di padukuhan ini?”

“Wirog. Kau sudah menyaingi aku di pasar Pandean. Sekarang kau datang kemari untuk menyaingi aku pula.”

“Den. Ketahuilah, bahwa aku sama sekali tidak sengaja menyaingimu. Di pasar Pandean aku bertemu dengan seseorang yang tinggal di padukuhan ini. Orang itu menawarkan kelapa dan gula kelapa. Nampaknya harganya pun sesuai. Karena itu, aku datang kemari.”

“Apakah orang itu tidak mengatakan, bahwa aku adalah pembeli tunggal di sini?”

“Tidak. Bahkan nampaknya orang itu telah menawarkan kepada orang lain pula. Bukankah dengan demikian berarti bahwa ia tidak ingin kau menjadi pembeli tunggal di sini? Dengan demikian, maka ada orang lain untuk memperbandingkan harga.”

“Siapa orang itu, he?”

Orang yang dipanggil Wirog itu pun termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun berkata, “Aku tidak dapat mengatakannya. Nampaknya kau tidak senang ada orang lain yang datang untuk membeli kelapa dan gula kelapa. Jika aku menyebut namanya, agaknya orang itu akan dapat mengalami kesulitan.”

“Wirog. Jika kau tidak mau menyebut namanya untuk menghindari kesulitan, maka kau-lah yang akan mengalami kesulitan.”

“Kenapa?”

“Aku akan mengusirmu. Jangan kembali lagi kemari. Nampaknya kau berani membeli kelapa dan gula kelapa dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang aku tentukan.”

“Kenapa kau mengambil kesimpulan seperti itu?”

“Dua orang telah menipuku.”

“Menipu?”

“Mereka mengatakan bahwa kelapa mereka belum tua. Bahkan ada yang tidak berbuah karena dimakan hama. Mereka pun tidak mempunyai gula pula. Pohon kelapa mereka yang dimakan hama itu, manggarnya telah rusak dan tidak dapat disadap.”

“Mungkin mereka tidak berbohong, apalagi berniat menipumu. Sedangkan kemungkinan yang lain, kau terlalu rendah memasang harga.”

“Persetan semuanya itu. Tentu kau-lah yang membuat harga-harga naik di sini. Seorang yang lain telah minta aku menaikkan harga. Tetapi aku tidak mau. Aku akan membeli dengan harga yang sudah aku tetapkan.”

“Agaknya kau terlalu banyak mengambil keuntungan. Dengan harga yang aku pasang, yang barangkali memang lebih tinggi dari hargamu, aku masih mendapat keuntungan yang cukup. Pedati yang aku sewa, aku bayar dengan harga sewa yang pantas. Orang-orang yang membantuku aku upah dengan upah yang pantas pula.”

“Wirog. Ingat ini. Aku tidak mau disaingi. Jika kali ini kau sudah terlanjur membayar kelapa dan gula kelapa yang kau beli, bawalah pergi. Tetapi lain kali jangan kembali lagi.”

“Den Bera,” berkata orang yang dipanggil Wirog itu, “kita dapat berunding. Kita dapat menentukan harga bersama-sama. Tentu saja harga yang pantas, agar kita tidak bersaing. Tetapi jika harga kita terlalu rendah, maka akan ada orang lain lagi yang datang dan berani membeli dengan harga yang lebih tinggi dari harga kita.”

“Aku tidak mau. Sekali lagi aku ingatkan, jangan kembali. Orang lain pun tidak akan aku perbolehkan datang kemari untuk membeli kelapa dan gula kelapa.”

“Den. Kenapa kau melarangku datang kamari?”

“Sudah aku katakan, aku tidak mau disaingi.”

“Caramu tidak dapat dibenarkan, Den Bera. Jika kau menjadi pembeli tunggal, maka kau dapat menentukan harga semaumu. Sementara kau mendapat untung yang berlebihan, orang-orang padukuhan ini mengeluh karena harga yang kau tentukan tanpa ada perbandingan, terlalu rendah. Sebaiknya marilah kita berdagang bersama-sama. Kau dan aku sama-sama mencari keuntungan, tanpa mencekik penghuni padukuhan ini.”

“Wirog. Kau telah meracuni ketenangan hidup orang-orang padukuhan ini. Kedatanganmu akan dapat menimbulkan gejolak yang mengguncang ketenteraman dan kedamaian di padukuhan ini. Karena itu, pergilah! Dan sekali lagi aku peringatkan, jangan kembali lagi. Jika kau kembali, maka selanjutnya kau tidak akan pernah dapat keluar lagi dari padukuhan ini.”

“Kau mengancam aku, Den Bera?”

Orang gemuk yang diikuti oleh kedua orang pengawalnya yang tinggi dan besar itu mengerutkan dahinya. Kemudian dipandangnya orang yang dipanggilnya Wirog itu dengan tajamnya. Katanya dengan suara bergetar, “Ya. Aku mengancammu. Karena itu, pergilah. Selambat-lambatnya nanti saat senja turun. Jika malam nanti aku masih melihat kau di sini, maka aku akan membunuhmu. Aku tidak mau jalan perdaganganku kau rusak di sini, sebagaimana di pasar Pandean.”

“Den Bera. Kau jangan mengancam aku seperti itu. Itu tidak ada gunanya. Sebaiknya kita bicarakan saja apa yang baik kita lakukan. Kita dapat merundingkan harga yang pantas. Kita dapat membagi dagangan yang dapat diambil dari padukuhan ini.”

“Tidak, kau dengar? Sekali lagi aku peringatkan, aku tidak mau melihatmu lagi lewat senja. Kau harus pergi! Aku tahu bahwa nanti pedatimu akan datang untuk mengambil dagangan yang sudah berhasil kau kumpulkan. Bawa semuanya yang sudah terlanjur kau beli itu. Tetapi jangan kembali.”

“Kau benar. Nanti di sore hari dua pedatiku akan datang kemari. Tetapi aku tidak akan pergi meskipun senja turun. Malam ini aku akan bermalam di sini. Baru esok, di dini hari kedua pedatiku itu akan meninggalkan padukuhan ini, langsung ke pasar Sambilegi, yang besok jatuh pada hari pasaran.”

“Setan kau, Wirog! Renungkan kata-kataku. Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka kau akan menyesal seumur hidupmu. Kau tidak akan pernah pulang kepada keluargamu.”

Wirog tidak menghiraukan lagi. Ia pun telah duduk kembali diantara beberapa orang kawannya. Sementara itu orang yang dipanggilnya Den Bera, namun mengaku bernama Sumunar itu, menghentakkan tangannya sambil menggeram, “Kau telah meremehkan aku, Wirog. Kau akan menyesal!”

Orang yang dipanggilnya Wirog itu menyahut, “Kita mempunyai hak yang sama di sini, Den Bera. Bahkan kalau ada orang lain lagi datang, ia pun mempunyai hak yang sama pula.”

Orang yang dipanggil Den Bera itu menggeram. Namun kemudian ia pun memberi isyarat kepada kedua orang pengawalnya untuk meninggalkan kedai itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di sudut kedai itu mengikuti pembicaraan kedua orang itu dengan tegang. Namun, ketika orang gemuk itu pergi, rasa-rasanya dada mereka pun menjadi lapang.

“Tetapi persoalannya masih belum selesai,” berkata Rara Wulan hampir berbisik.

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “benturan kekerasan masih saja dapat terjadi. Hanya tertunda untuk sementara.”

Sambil meneguk minumannya, Rara Wulan memandangi orang yang disebut Wirog dan kawan-kawannya. Ia pun menggamit Glagah Putih yang sedang sibuk menghabiskan nasinya. Beberapa saat ia berhenti makan ketika terjadi pembicaraan yang tegang itu.

Glagah Putih pun mengangkat wajahnya. Ia pun melihat orang-orang itu bangkit berdiri.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Wirog itu mendekati mereka. Selangkah dari Glagah Putih, orang itu berhenti. Sambil tersenyum ia pun berkata, “Jangan cemas, anak muda. Kau melihat perselisihan yang terjadi ? Tetapi itu semata-mata masalahku dengan Raden Sumunar, yang lebih sering disebut Den Bera, yang memanggil aku seenak perutnya sendiri.”

Glagah Putihpun menyahut, “Ya, Paman. Tetapi aku ikut menjadi tegang.”

Orang yang dipanggil Wirog itu pun tersenyum. Katanya kemudian, “Namaku Basuri. Aku lebih senang kau memanggilku Paman Basuri daripada Paman Wirog. Kau tentu tahu, bahwa Wirog adalah sejenis tikus yang besarnya sama dengan tupai. Bahkan ada yang lebih besar. Tentu saja Sumunar itu bermaksud merendahkan aku dengan panggilannya itu.”

“Ya, Paman.”

“Nah, jika kau sudah selesai, sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini, agar kau tidak ikut tersentuh persoalan yang seharusnya terbatas sekali. Antara aku dan Raden Sumunar, yang ingin menjadi pembeli tunggal di padukuhan ini.”

Dalam pada itu terdengar suara seorang perempuan, namun cukup tegas, “Jangan berselisih di kedaiku. Apalagi berkelahi di sini. Beberapa hari yang lalu ada orang yang berkelahi di kedai ini. Sebuah lincakku rusak. Beberapa buah mangkuk pecah. Tidak ada yang merasa wajib mengganti kerusakan itu.”

“Tidak, Yu,” jawab Basuri, “aku akan pergi. Jika aku harus berkelahi, aku akan berkelahi di halaman sebelah yang cukup luas.”

Basuri dan beberapa orang kawannya pun kemudian meninggalkan kedai itu. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum selesai, karena beberapa kali mereka harus berhenti makan.

Pemilik kedai itu, seorang perempuan yang juga sudah separuh baya sebagaimana pelayannya itu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Kalian cari apa di sini, anak-anak muda. Cari penyakit?”

“Kami hanya sekedar lewat, Bibi.”

Orang itu mencibirkan bibirnya. Katanya, “Banyak orang gila di sini. Orang gemuk yang mengaku bernama Sumunar itu pun orang gila pula.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Dengan ragu-ragu Glagah Putih bertanya, “Kenapa, Bi?”

“Ia memang pembeli tunggal selama ini. Ia menentukan harga sekehendaknya sendiri. Keuntungannya lebih besar dari pendapatan orang-orang padukuhan ini, yang mempunyai tanah, menanam dan memelihara pohon kelapa itu.”

“Sedangkan orang yang dipanggil Wirog itu?”

“Ia orang baru bagi kami. Aku belum tahu, apakah ia juga gila atau tidak. Tetapi menilik kata-katanya, ia agaknya lebih waras daripada Sumunar itu. Tetapi entahlah kelak jika ia berhasil menyingkirkan Sumunar. Apakah ia juga akan menjadi gila seperti Sumunar.”

“Kenapa orang-orang padukuhan ini membiarkan hasil kebunnya dibeli oleh Sumunar dengan harga yang murah, Bibi?” bertanya Rara Wulan.

“Orang-orang padukuhan ini tidak mempunyai pilihan. Tidak ada orang lain yang mau membelinya. Kedatangan orang yang disebut Wirog itu mungkin dapat membawa angin baru. Tetapi nampaknya umur Wirog itu pun hanya akan sampai malam nanti.”

“Kenapa?”

“Sebelum Wirog, juga pernah ada orang yang datang untuk membeli kelapa dan gula. Sumunar juga menemuinya dan memperingatkannya, sebagaimana kepada Wirog itu tadi. Tetapi orang itu tidak mau mendengarnya. Ternyata menjelang pagi, orang menemukan mayatnya dan tiga orang pengawalnya di mulut lorong.”

“Sumunar yang membunuhnya?”

“Ya. Kau lihat ia membawa orang-orang upahan yang ganas? Yang dibawanya kemari hanya dua orang. Tetapi ia dapat mendatangkan orang berapa saja yang ia kehendaki.”

“Jika demikian, orang itu benar-benar gila.”

“Karena itu, pergilah. Kau jangan berada di padukuhan ini terlalu lama. Kau akan dapat tersentuh oleh keributan yang dapat saja terjadi sewaktu-waktu. Mungkin malam nanti. Tetapi dapat saja terjadi tanpa menunggu malam.”

“Tetapi waktu yang diberikan oleh Sumunar kepada Basuri itu sampai batas senja.”

“Bunyi mulut orang itu dapat berubah-ubah setiap saat.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Kalau kau sudah selesai, pergilah,” berkata orang itu pula

“Baik. Baik, Bibi.”

Glagah Putih pun kemudian membayar harga makanan dan minuman yang dipesannya. Kemudian mereka berdua pun minta diri.

Tetapi sebelum mereka meninggalkan kedai itu, mereka melihat tiga orang dengan tergesa-gesa memasuki kedai itu sambil bertanya lantang, “Dimana monyet itu, he?”

Perempuan, pemilik kedai itu menyahut, “Aku tidak memelihara monyet di sini.”

“He, dimana orang-orang itu? Kau sembunyikan?”

“Siapa? Kau cari siapa Ki Bekel?”

“Orang itu, yang bernama Wirog.”

“Aku tidak tahu. Aku bukan pemomongnya.”

“Jika kau menyembunyikannya, aku robohkan kedaimu!”

“Buat apa aku menyembunyikannya? Aku bukan selir gelapnya!”

“Jika kau melihat orang itu, katakan bahwa Ki Bekel mencarinya. Kehadirannya di padukuhan ini tidak disukai. Orang itu adalah orang jahat, yang hanya akan mendatangkan malapetaka saja.”

“Apakah orang itu orang jahat?”

“Kau meragukannya?”

“Aku hanya bertanya.”

Orang yang ternyata Ki Bekel dan bebahu padukuhan itu pun segera meninggalkan kedai itu pula.

“Nah, kau lihat? Para bebahu padukuhan ini pun orang-orang gila pula. Mereka telah makan suap. Sumunar itu telah menyuap mereka, sehingga mereka berbuat apa saja bagi kepentingan Sumunar. Bahkan menindas rakyatnya sendiri.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Pergilah. He, kenapa kalian berdua membawa pedang? Perempuan itu pun membawa pedang pula?”

“Kami adalah pengembara. Kami menempuh perjalanan yang panjang. Banyak kemungkinan terjadi di sepanjang jalan.”

Seperti yang pernah mereka dengar, perempuan itu berkata, “Pedangmu dapat mengundang mala petaka.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak dapat menanggalkan pedang mereka. Terutama Rara Wulan. Dalam keadaan yang gawat, pedang itu akan sangat berarti baginya.

Keduanya pun kemudian telah keluar dari kedai itu. Beberapa langkah mereka berjalan melewati halaman yang luas. Dua buah pedati masih berada di halaman yang luas itu.

Ketika Rara Wulan berpaling, dilihatnya pemilik kedai itu berdiri termangu-mangu memandangi mereka berdua.

Beberapa saat kemudian, mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan yang lengang. Dua orang anak laki-laki bermain benthik di pinggir jalan. Mereka sama sekali tidak menghiraukan Glagah Putih dan Rara Wulan yang lewat. Mereka berhenti sebentar, kemudian mereka telah mulai lagi.

“Apakah kita akan meninggalkan padukuhan ini?” bertanya Glagah Putih.

Rara Wulan termangu-mangu. Ia mengerti maksud Glagah Putih di balik pertanyaan itu. Agaknya Glagah Putih tertarik untuk mengetahui apa yang bakal terjadi di padukuhan itu.

“Terserah saja kepadamu, Kakang,” jawab Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Dipandanginya Rara Wulan dengan kerut di dahinya. Katanya, “Aku ingin mendengar pendapatmu, Rara.”

“Bukankah kau ingin tinggal sampai malam nanti?”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk.

“Aku tidak berkeberatan.”

“Sayangnya, perasaanku telah berpihak, Rara.”

“Maksudmu?”

“Mendengar pembicaraan orang yang menyebut dirinya bernama Sumunar dan orang yang dipanggilnya Wirog, serta pendapat pemilik kedai dan kehadiran Ki Bekel, aku justru ingin berpihak kepada Paman Basuri, meskipun ada juga sedikit keragu-raguan, karena aku belum tahu benar sifat dan watak Paman Basuri itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya Sumunar memang seorang yang tamak. Siapapun Paman Basuri, namun dalam persoalan ini, agaknya ia berada di pihak yang benar. Meskipun mungkin saja di balik sikapnya itu tersembunyi pamrih, yang barangkali justru lebih jahat dari Sumunar.”

“Jadi kau sependapat jika kita berpihak kepadanya?”

“Ya. Jika kelak ternyata ia juga menyimpan pamrih yang buruk, kita dapat mengambil sikap yang lain.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi kita tidak tahu, bagaimana caranya kita menempatkan diri kita.”

“Kita ikuti saja perkembangan keadaan di padukuhan ini. Jika terjadi benturan antara Sumunar dan pengikutnya melawan Basuri dan orang-orangnya, kita akan terjun.”

“Nampaknya Sumunar memang lebih kuat dibanding dengan Basuri. Mungkin orang-orang Sumunar pun lebih kuat pula, dan bahkan lebih banyak.”

Glagah Putih tidak menjawab. Mereka berjalan saja menyusuri jalan itu. Di tikungan, ia bertemu dengan dua orang yang memikul keranjang berisi gula kelapa.

“Dibawa kemana, Kakang?” bertanya Glagah Putih.

Kedua orang itu berhenti. Sementara Glagah Putih bertanya lagi, “Gula ini untuk Sumunar atau untuk Basuri?”

Keduanya saling berpandangan. Sementara Rara Wulan pun berkata, “Kami bukan pengikut keduanya, Ki Sanak. Bahkan kami datang untuk melihat kemungkinan bahwa kami pun dapat membeli gula dan kelapa di padukuhan ini.”

Baru seorang di antara keduanya menjawab, “Gula ini milik Kakang Basuri, Ki Sanak.”

Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Rara Wulan bertanya, “Apakah Ki Basuri memberikan harga yang lebih baik dari Ki Sumunar?”

“Ya, Ki Sanak. Raden Sumunar selalu memaksakan harga menurut keinginannya. Sementara Ki Basuri mau membayar lebih tinggi. Tetapi hal ini akan dapat menimbulkan persoalan.”

“Jika timbul persoalan, kepada siapa kalian berpihak?”

“Kami tidak dapat berpihak kepada siapapun juga. Mereka mempunyai orang-orang upahan yang dapat mencekik leher kami. Kami terpaksa berpihak kepada yang menang.”

“Tetapi sekarang kau jual gulamu kepada Ki Basuri?”

“Selagi belum ada yang menang dan yang kalah.”

“Baik. Baik. Tetapi gula itu akan kalian bawa kemana? Ke halaman yang luas dekat kedai di sebelah pintu gerbang padukuhan itu?”

“Tidak, Ki Sanak. Aku akan membawanya ke sebelah kebun kosong di dekat simpang tiga itu. Di sana nanti pedati Ki Basuri akan datang mengambilnya.”

“Di sana juga ada tempat pemberhentian pedati?”

“Bukan tempat pemberhentian pedati, tetapi halaman yang disewa oleh Ki Basuri.”

“Apakah Ki Basuri ada di sana?”

“Ya. Ia menunggu kami.”

“Kami akan menemui Ki Basuri. Mungkin kami dapat membicarakan harga yang sebaik-baiknya.”

“Ki Basuri dapat mendengarkan pendapat orang lain. Tetapi Ki Sumunar tidak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Kami ikut bersama kalian. Kami ingin berbicara dengan Ki Basuri.”

Kedua orang yang memikul gula kelapa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Terserah saja kepada Ki Sanak. Tetapi aku tidak mengajak Ki Sanak bersama kami.”

Nampaknya kedua orang itu pun cukup berhati-hati. Jika terjadi sesuatu, mereka tidak mau dianggap bersalah.

Demikianlah, sejenak kemudian maka kedua orang itu pun segera melanjutkan perjalanan. Glagah Putih dan Rara Wulan mengikuti mereka beberapa langkah di belakang.

Namun tiba-tiba dua orang yang bertubuh kekar dan berwajah garang telah menghentikan kedua orang yang memikul gula kelapa itu. Dengan kasar seorang di antara mereka membentak, “He! Kau bawa kemana gula kelapa ini, he?”

“Kami melayani Ki Basuri, Ki Sanak.”

Kedua orang itu membelalakkan matanya. Dengan geram seorang di antara mereka membentak, “Kalian budak-budak Tikus Wirog itu, he?”

“Tentu bukan budaknya. Tetapi kami menjual gula kami kepada Kakang Basuri. Kakang Basuri membeli gula kami dengan harga yang lebih mahal dari Ki Sumunar.”

“Diam!” orang itu membentak, “Kau tidak boleh menjual gula kepada orang lain, selain kepada Ki Sumunar!”

“Kenapa? Jika ada orang yang mau membeli gula kami dengan harga yang lebih baik, bukankah aku berhak menjualnya kepada mereka?”

“Kau jangan mencari persoalan, Ki Sanak,” geram orang itu, “Ki Sumunar adalah pembeli tunggal di daerah ini.”

Kedua orang yang membawa gula itu termangu-mangu sejenak. Kedua orang itu akan dapat berbuat kasar. Sementara itu, tidak ada seorang pun dari kawan-kawan Ki Basuri yang nampak. Padahal ketika Ki Basuri minta keduanya mengantar gulanya ke tempat pengumpulan gula itu, Ki Basuri berjanji untuk melindunginya Tetapi pada saat mereka memerlukan, tidak seorang dari para pengikut Ki Basuri yang nampak.

Ketika kedua orang yang membawa gula itu sedang termangu-mangu, maka seorang di antara kedua orang berwajah garang itu berkata, “Bawa gula kelapa itu ke halaman di dekat kedai itu.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan hanya berdiri saja termangu-mangu memperhatikan pembicaraan itu.

Adalah di luar dugaan, ketika kedua orang yang membawa gula itu justru bertanya kepada Glagah Putih, “Ki Sanak. Bagaimana menurut pendapatmu?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun justru bertanya, “Apa maksudmu?”

“Apakah aku harus membawa gula ini kepada Ki Sumunar atau kepada Ki Basuri?”

Ternyata jawab Glagah Putih mengejutkan kedua orang yang membawa gula itu, tetapi juga mengejutkan kedua orang yang bertubuh kekar itu.

“Jangan bawa kepada keduanya,” berkata Glagah Putih, “bawa kepadaku. Aku akan membeli gulamu seharga yang dijanjikan oleh Ki Basuri.”

“Kau?” bertanya salah seorang dari kedua orang yang membawa gula itu.

“Ya,” jawab Glagah Putih. “Aku membeli gulamu dengan harga yang lebih baik dari harga yang ditentukan Ki Sumunar, dan kelebihanku dari Ki Basuri, kami akan melindungi kalian berdua dari keganasan orang-orang Ki Sumunar ini.”

“Kau siapa, anak iblis?” geram salah seorang dari para pengikut Ki Sumunar itu.

“Aku juga seorang pedagang gula dan kelapa. Namaku Warigalit dan ini adikku, namanya Wara Sasi.”

“Apakah kau tidak mendengar, bahwa di padukuhan ini, bahkan di beberapa padukuhan yang lain, Ki Sumunar adalah pembeli tunggal?”

“Kau bekerja pada Ki Sumunar?”

“Ya.”

“Sudahlah, jangan ikut campur. Katakan saja kepada Ki Sumunar, bahwa ada orang lain yang ingin membeli gula dan kelapa, selain Ki Basuri.”

“Apakah kau sudah gila? Aku adalah kepercayaan Ki Sumunar.”

“Berapa kau diupah oleh Ki Sumunar? Apakah upah bagimu itu sudah seimbang dengan taruhan yang kau berikan?”

“Aku akan mengoyak mulutmu!”

“Dengar dahulu, Ki Sanak. Aku bermaksud baik,” berkata Glagah Putih kemudian. “Jika upahmu pantas, maka kau memang harus melakukan semua tugasmu, bahkan dengan mempertaruhkan nyawamu. Tetapi jika upahmu tidak cukup kau belikan pakaian dan mainan bagi anakmu, apa pula artinya kau pertaruhkan nyawamu? Jika kau mati, apakah Den Bera itu mau mencukupi semua kebutuhan anak-anakmu itu? Pikirkan, Ki Sanak, sebelum kau menyesal.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka menggeram, “Jika kau berbicara lagi, aku benar-benar akan mengoyak mulutmu.”

Tetapi Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Jika kau marah kepada dirimu sendiri, jangan ditimpakan kepada orang lain. Berapa kau jual nyawamu he? Barangkali aku dapat membelinya. Aku bayar kau lebih tinggi dari upah yang diberikan oleh Sumunar, kemudian aku penggal kepalamu di sini? Bukankah itu lebih baik daripada kau aku bunuh sekarang ini, sementara kau belum menerima upahmu dari Sumunar?”

Orang bertubuh kekar itu tidak tahan lagi mendengar kata-kata Glagah Putih. Tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah meloncat menyerang.

Tetapi Glagah Putih sudah menunggu serangan itu. Karena itu, ketika tangan orang itu terayun ke arah keningnya, dengan cepat Glagah Putih menangkapnya. Dengan satu putaran, maka tubuh orang itu terpelanting di atas pundak Glagah Putih dan jatuh terbanting di tanah. Demikian kerasnya, sehingga orang itu tidak dapat bangkit berdiri.

Kawannya sudah siap untuk meloncat menyerang Glagah Putih. Tetapi ketika ia melihat Glagah Putih dengan mudah membanting kawannya sehingga tidak dapat segera bangkit, maka orang itu pun segera memindahkan sasaran serangannya. Ia tidak menyerang Glagah Putih, tetapi orang itu pun dengan garangnya menyerang Rara Wulan.

Sambil menggeram orang itu meloncat menerkam ke arah leher Rara Wulan. Namun ternyata Rara Wulan tidak membiarkan jari-jari tangan orang itu mencekik lehernya. Dengan cepat ia meloncat ke samping. Kemudian dengan satu putaran, kakinya terayun mendatar menyambar punggung orang itu.

Orang itu pun terdorong beberapa langkah, kemudian jatuh terjerembab. Kepalanya telah membentur dinding halaman, sehingga terasa sekelilingnya menjadi berputar.

Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata kepada kedua orang yang membawa gula itu, “Marilah. Kita berjalan terus.”

“Kemana?” bertanya salah seorang dari kedua orang yang membawa gula itu.

“Menemui Ki Basuri.”

“Kau akan menantang mereka?”

“Tidak.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara merekapun kemudian berkata, “Kau tadi mengatakan bahwa kau akan membeli gulaku.”

“Kita menemui Ki Basuri sekarang,” sahut Glagah Putih.

Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka pun segera mengangkat keranjangnya kembali, dan berjalan dengan cepat ke tempat Ki Basuri mengumpulkan gula.”

Ketika mereka sampai di sebuah halaman yang juga termasuk luas, mereka melihat dua buah pedati telah menunggu.

Basuri dan dua orang kawannya melihat kedatangan kedua orang yang membawa gula, bersama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan serta merta mereka pun segera bangkit berdiri. Kedua orang itu adalah kedua orang yang ditemuinya di kedai.

“Ada apa, anak muda?” bertanya Basuri.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Lalu katanya kepada kedua orang yang membawa gula itu, “Katakan, apa yang telah terjadi. Jangan ditambah dan jangan dikurangi.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka pun kemudian menceritakan apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

Basuri mengerutkan dahinya. Kemudian dengan nada berat ia pun berkata, “Jadi kau juga ingin membeli gula? Kami sama sekali tidak berkeberatan, Ki Sanak. Kami hanya ingin mengusulkan, agar kita dapat membicarakan harga yang pantas. Penghasil gula tidak merasa dirugikan, kita pun akan mendapat untung sepantasnya.”

“Kami tidak akan membeli gula atau kelapa, Paman Basuri,” jawab Glagah Putih.

“Jadi?”

“Kami tidak mempunyai uang. Kami hanya ingin membantu Paman Basuri. Kami memang berpura-pura akan membeli gula, agar kedua orang itu marah. Dengan demikian, maka ada alasan bagiku untuk membuat mereka jera.”

“Bagaimana dengan mereka? Aku tidak mengerti, bagaimana kalian dapat mengalahkan mereka.”

“Kami membuat mereka marah, sehingga mereka kehilangan kendali.”

“Dimana mereka sekarang?”

“Kami tinggalkan mereka. Tetapi dalam waktu yang tidak lama, mereka akan segera dapat bangkit. Mereka tentu akan melaporkan peristiwa itu kepada Sumunar.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar