Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 335

Buku 335

Rumah itu memang bukan rumah yang besar. Tetapi nampaknya terawat. Halamannya pun nampak bersih. Sinar bulan yang terang membuat bayang-bayang dedaunan dari pepohonan yang tumbuh di halaman depan rumah itu.

Sejenak kemudian pintu pun terbuka. Seorang laki-laki yang sudah separuh baya melangkah keluar. Namun sebelum orang itu duduk, perempuan yang ditemui di jalan itu pun keluar pula sambil berkata, “Kang, silahkan saja mereka duduk di dalam.”

Laki-laki itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah, Ngger. Silahkan masuk ke ruang dalam.”

“Biarlah kami duduk di sini saja, Paman. Agaknya udara terasa sejuk. Cahaya bulan di halaman itu sangat menarik perhatian kami, Paman. Sayang, tidak ada anak-anak yang bermain.”

Laki-laki itu tersenyum. Katanya, “Tetapi sebaiknya Angger berdua masuk ke ruang dalam.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat membantah lagi. Karena itu, maka keduanya pun bangkit berdiri dan mengikuti laki-laki separuh baya itu masuk ke ruang dalam.

Agaknya pemilik rumah itu memang rajin. Perabot rumah yang tidak terlalu banyak itu nampak bersih. Lampu minyak yang terletak di ajug-ajugnya di sudut ruang, bersinar dengan terang, menerangi ruangan yang agak luas itu. Sebuah amben bambu yang agak besar terletak di sisi kanan, di sisi lain terdapat geledeg bambu.

“Marilah, Ngger. Silahkan duduk.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian duduk di atas amben bambu itu, ditemui oleh laki-laki separuh baya yang mempersilahkan mereka masuk.

Namun sejenak kemudian, perempuan yang mengajak mereka singgah itu pun telah ikut duduk pula bersama mereka.

“Aku temui mereka di jalan, Kang. Mereka akan pergi ke banjar untuk menginap. Agaknya mereka tidak tahu, apa yang sedang terjadi di sini.”

Laki-laki itu mengangguk-angguk.

Sementara itu, perempuan itu pun berkata, “Sebaiknya kalian tidak pergi ke banjar. Jika kalian ingin bermalam di padukuhan ini, bermalam sajalah di sini.”

“Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Bibi?”

“Demang kami adalah seorang Demang yang baru. Menurut kata orang, Ki Demang yang baru itu adalah seorang pemakan daging manusia. Terutama gadis-gadis remaja.”

“He?” wajah Glagah Putih dan Rara Wulan menegang.

“Apakah itu benar?” bertanya Rara Wulan.

“Aku percaya, Ngger” jawab perempuan itu, “karena itu, ketika matahari terbenam dan anak gadisku belum pulang, aku telah mencarinya sampai ketemu. Anak itu memang nakal. Ia merasa lebih senang tinggal di rumah neneknya daripada di rumah sendiri. Neneknya memanjakannya. Sedangkan di sini, ia mempunyai tiga orang saudara, sehingga ia tidak dapat bermanja-manja seperti di rumah neneknya.”

“Apakah itu bukan sekedar berita yang dibuat-buat dari orang yang tidak senang kepadanya? Mungkin saingannya, atau orang-orang yang tidak sependapat bahwa orang itu menjabat sebagai Demang.”

“Ia memang anak Ki Demang yang belum lama meninggal. Ayahnya terhitung orang yang baik. Setidak-tidaknya sikap dan tingkah lakunya wajar-wajar saja sebagai seorang Demang. Tetapi ketika anak laki-Lakinya itu menggantikannya, suasananya menjadi lain.”

Rara Wulan menjadi tegang. Ia masih akan bertanya, tetapi perempuan itu pun berkata lebih lanjut, “Karena itu, Angger berdua jangan pergi ke banjar. Lebih-lebih Angger ini. Siapakah nama Angger berdua?”

Yang menjawab adalah Glagah Putih, “Namaku Warigalit, Bibi. Ini adikku, Wara Sasi.”

“Nama yang baik. Angger Wara Sasi sebaiknya jangan menampakkan diri di padukuhan ini. Apalagi di malam hari. Karena itu, bermalamlah di sini. Besok pagi, aku harap Angger Wara Sasi telah meninggalkan padukuhan dan kademangan ini.”

“Tetapi apakah sudah pernah terjadi, seorang gadis dimakan oleh Ki Demang?”

“Ada beberapa orang gadis yang telah hilang, Ngger. Setidak-tidaknya tiga orang. Seorang dari padukuhan ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Sementara itu, perempuan itu pun berkata, “Karena itulah, maka padukuhan ini menjadi sepi. Terutama di malam hari. Setelah matahari terbenam, maka setiap keluarga akan menghitung jumlah anggotanya. Jika ada satu saja yang belum nampak apalagi seorang gadis remaja, maka orang tuanya akan mencarinya.”

“Bukankah yang dicari hanyalah gadis-gadis remaja? Kenapa anak-anak juga tidak berani keluar di terang bulan?”

“Siapa tahu, jika Ki Demang itu tidak menemukan gadis-gadis remaja, maka anak-anak pun akan disantapnya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat saling berpandangan. Sementara perempuan itu pun berkata selanjurnya, “Bahkan perempuan-perempuan yang sudah bersuami tetapi masih nampak muda pun takut keluar rumahnya, jika matahari sudah menjadi semakin rendah. Bahkan di siang hari, mereka tidak berani pergi ke sawah seorang diri.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-angguk, meskipun masih ada seribu pertanyaan di kepala mereka.

Namun sejenak kemudian, perempuan itu pun berkata, “Silahkan duduk dahulu Angger berdua. Aku akan membuat minuman.”

Demikian perempuan itu pergi, laki-laki separuh baya yang agaknya suami perempuan itu pun berkata, “Masih harus dibuktikan bahwa Ki Demang makan orang.”

“Jadi, hal itu baru semacam desas-desus saja, Paman?”

“Tetapi gadis-gadis yang hilang itu benar-benar telah terjadi. Menurut dugaanku, gadis-gadis itu tidak dimakan dalam arti yang sebenarnya oleh Ki Demang. Tetapi sejak sebelum menjadi Demang, Ki Demang adalah alap-alap perempuan. Gadis-gadis telah dinodai. Bahkan perempuan yang sudah bersuami pun dirunduknya pula di malam hari. Ia mengandalkan kuasa ayahnya pada waktu itu. Setelah ia sendiri berkuasa, maka agaknya kebiasaannya itu semakin menjadi-jadi, sehingga orang-orang menyebutnya sebagai pemakan daging manusia, terutama gadis-gadis remaja.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya itu lebih masuk akal. Mungkin gadis-gadis itu telah diculik dan disimpan oleh Ki Demang di tempat yang tidak mudah diketemukan, sehingga orang mengira bahwa gadis-gadis itu telah dibunuhnya dan dimakannya.”

“Ya, Ngger. Agaknya memang begitu. Karena itu, maka aku setuju dengan pendapat bibimu. Sebaiknya kalian bermalam saja di sini.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih atas kesempatan ini, Paman.”

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan pun berdesis, “Bagaimana jika kita bermalam di banjar saja Kakang?”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun ia segera mengetahui maksud Rara Wulan. Ia ingin mengumpankan dirinya, untuk mengetahui apakah yang sebenarnya telah dilakukan oleh Ki Demang.

Namun laki-laki separuh baya itu terkejut. Katanya, “Kenapa, Ngger? Bukankah akan sangat berbahaya bagi Angger berdua? Terutama Angger Wara Sasi. Jika Ki Demang atau kaki tangannya melihat Angger Wara Sasi, maka kemungkinan buruk dapat terjadi. Sebenarnyalah bahwa gadis-gadis yang hilang adalah gadis-gadis yang cantik.”

“Aku justru ingin mengetahuinya, Paman” berkata Rara Wulan tanpa segan-segan.

“Tetapi itu sangat berbahaya, Ngger. Ki Demang mempunyai beberapa orang upahan yang siap menjalankan perintahnya, bahkan perintah membunuh sekalipun. Di samping itu, masih ada juga orang-orang yang berusaha menjilat untuk mendapatkan kedudukan atau barangkali uang, tanpa menghiraukan korban yang disurukkannya ke bawah kaki Ki Demang itu.”

“Tetapi bukankah tingkah Ki Demang itu harus dihentikan?”

“Aku tahu, Ngger. Tetapi jangan kalian berdua yang harus menanggung kemungkinan buruk. Pada suatu saat tingkah laku Ki Demang itu tentu akan terbongkar. Memang jangan mengorbankan perempuan-perempuan yang sudah berada di tangannya, yang aku kira masih tetap hidup. Tetapi seperti tadi Angger katakan, mereka berada di tempat yang tersembunyi.”

“Jangan cemaskan kami, Paman. Tingkah laku Ki Demang itu tidak dapat dibiarkan lebih lama lagi. Mudah-mudahan kami berhasil. Setidak-tidaknya Paman tahu, bahwa kami sudah mencobanya. Jika kami hilang besok, maka Paman pun tahu apa yang telah terjadi. Terserah kepada Paman, apa yang akan Paman lakukan. Melaporkannya kepada siapa yang berwenang.”

“Memang sebaiknya persoalan ini dilaporkan saja, Ngger. Tetapi sudah tentu bahwa harus dapat dibuktikan bahwa Ki Demang telah menculik gadis-gadis. Apakah gadis-gadis itu dibunuh atau untuk kepentingan yang lain.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara laki-laki itu berkata, “Jika akhirnya yang melaporkan itu tidak dapat menunjukkan bukti-bukti atau saksi yang kuat dan diyakini, maka yang memberikan laporan itu justru dapat dituduh memfitnah.”

“Kami akan mencarikan bukti dan saksi itu, Paman,” jawab Rara Wulan.

“Jangan mengorbankan dirimu, Ngger. Kalian berdua masih terlalu muda untuk hilang dari pergaulan.”

“Bukankah gadis-gadis remaja itu lebih muda lagi dari kami, Paman? Mereka masih senang bermain di terangnya bulan. Mereka masih belum puas menikmati belaian tangan ibunya.”

Laki-laki yang sudah separuh baya itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun berkata, “Aku mengerti, Ngger, bahwa kalian tidak dapat membiarkan kesewenang-wenangan itu terjadi. Tetapi biarlah kami isi kademangan ini-lah yang menanggungnya. Bukan kalian berdua, yang justru orang lain. Jika terjadi sesuatu atas diri kami, maka kami adalah bagian dari kademangan ini. Sedangkan kalian, yang belum pernah menikmati hasil pala kependem, pala gemantung dan pala kesampar dari kademangan ini, justru akan mengorbankan diri.”

“Mudah-mudahan kami tidak sekedar menjadi korban. Tetapi kami justru akan dapat membongkar tingkah laku yang jahat ini, Paman,”

“Jangan, Ngger, jangan. Jika istriku tahu, maka ia akan menyesali kejadian ini sepanjang umurnya, karena istriku itulah yang membawa kalian kemari.”

“Tetapi paman,” bertanya Glagah Putih, “kenapa Paman tidak memberitahukan kepada Bibi, bahwa gadis-gadis itu tentu tidak dibunuh dan dimakan dagingnya? Tetapi harus dicari makna yang sebenarnya dari dongeng itu. Gadis-gadis itu telah menjadi korban nafsu Ki Demang itu.”

“Aku sudah mengatakannya, Ngger. Tetapi istriku itu lebih percaya cerita yang tersebar di kademangan ini.”

“Jika dongeng itu dapat diungkapkan maknanya, mungkin kegelisahan dan ketakutan akan dapat dibatasi. Anak-anak laki-laki tidak perlu ikut menyembunyikan diri di malam terang bulan seperti ini, sehingga padukuhan ini menjadi sangat sepi.”

“Ketakutan itu sudah mencengkam semua orang, Ngger. Sulit untuk dapat meredamnya, meskipun seandainya orang-orang kademangan ini mempunyai dugaan sebagaimana aku katakan. Namun yang perlu kita ingat, Ngger, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jika yang sebenarnya terjadi itu seperti dongeng yang tersebar di kademangan ini, maka keadaan akan bertambah buruk.”

Rara Wulan-lah yang menyahut, “Karena itu, biarlah kami melihat, apa yang sebenarnya terjadi, Paman.”

“Jangan korbankan dirimu untuk sesuatu yang tidak berarti apa-apa bagimu.”

“Tetapi akan berarti bagi banyak orang. Namun seperti yang aku katakan, mudah-mudahan yang terjadi bukannya korban yang sia-sia. Tetapi justru sebaliknya, aku akan dapat membongkar apa yang sebenarnya telah terjadi di kademangan ini.”

Laki-laki itu belum sempat menyahut. ketika istrinya datang sambil membawa hidangan.

“Marilah, Ngger, minumlah. Makanlah apa adanya.”

“Terima kasih, Bibi,” jawab Rara Wulan.

Setelah meletakkan hidangannya, maka perempuan itu pun telah ikut duduk pula bersama suaminya menemui Glagah Putih dan Rara Wulan.

Setelah minum beberapa teguk, maka Rara Wulan pun berkata, “Maaf, Bibi. Kami sangat berterima kasih atas kebaikan hati Paman dan Bibi. Tetapi setelah kami mendengar cerita dari Paman dan Bibi tentang tingkah laku Ki Demang, kami justru berkeinginan untuk pergi ke banjar dan minta ijin bermalam di banjar.”

Perempuan itu terkejut. Dengan suara yang bergetar ia pun bertanya, “Apa artinya itu, Ngger?”

“Bukan maksud kami memperkecil kebaikan hati Bibi dan Paman, tetapi justru sebaliknya. Aku ingin mencari bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh Ki Demang.”

“Jadi maksud Angger justru dengan sengaja, agar diambil oleh Ki Demang atau orang-orangnya?”

“Ya, Bibi. Tetapi bukan maksud kami untuk mengorbankan diri. Kami justru ingin mencari bukti-bukti tingkah laku Ki Demang yang tidak sewajarnya itu.”

“Jangan, Ngger. Jangan lakukan itu.”

“Doakan, Bibi, agar kami berhasil. Kami minta Paman dan Bibi memantau apa yang akan terjadi. Mudah-mudahan kami berhasil, sehingga orang-orang kademangan ini dapat lagi menikmati kehidupan yang tenteram dan terasa damai. Anak-anak dapat bermain pada saat bulan terang di langit. Perempuan-perempuan muda tidak lagi takut pergi ke sawah atau pergi ke pasar.”

“Tetapi akibatnya akan dapat menjadi buruk sekali bagi kalian berdua”

“Mudah-mudahan tidak, Bibi.”

Perempuan itu menjadi sangat cemas mendengar rencana Rara Wulan itu. Karena itu, maka ia pun berkata kepada suaminya, “Kakang, kau harus mencegahnya!”

“Aku sudah mencobanya. Tetapi agaknya Angger berdua ini telah bertekad bulat.”

“Ngger, kalian masih muda. Jangan korbankan hidup kalian yang seharusnya masih panjang itu.”

“Sudah aku katakan, Bibi, kami tidak sekedar mengorbankan diri. Tetapi kami ingin membuktikan kesalahan Ki Demang, sehingga kehidupan akan kembali berlangsung dengan wajar.”

Suami istri itu benar-benar tidak dapat mencegah Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan perempuan itu sempat mengusap air matanya, “Kau terlalu cantik untuk mati muda, Ngger. Jangan lakukan itu.”

“Doakan, Bibi, mudah-mudahan kami berhasil. Tolong, ikuti perkembangannya sampai esok pagi.”

Perempuan itu menjadi tegang. Dengan suara yang bergetar ia pun bertanya, “Apa yang harus aku lakukan?”

“Tidak ada apa-apa, Bibi. Asal Paman dan Bibi tahu saja. Besok kami berdua akan singgah di rumah Paman dan Bibi ini. Jika kami besok tidak kembali, maka kami telah terjebak di dalam perangkap Ki Demang. Tolong, jika ada orang mencari kami berdua, seorang laki-laki dan adik perempuannya, beritahukan apa yang telah terjadi.”

“Kami masih mencoba untuk mencegah niat Angger berdua itu.”

“Kami tidak dapat berpangku tangan membiarkan kekejian itu berlangsung. Apakah gadis-gadis itu dibunuh atau dikurung oleh Ki Demang, bagi kami merupakan kekejian yang tidak dapat dibiarkan saja.”

“Tetapi Angger berdua dapat mencari cara yang lain yang tidak terlalu berbahaya bagi Angger berdua.”

Glagah Putih dengan nada dalam menyahut, “Bibi, kami akan berhati-hati.”

Suami istri itu tidak berhasil mengurungkan niat Rara Wulan untuk mengumpankan dirinya. Bahkan Rara Wulan pun kemudian telah minta ijin untuk membenahi pakaian yang dipakainya. Dikenakannya kain panjangnya sebagaimana seharusnya, sehingga pakaian khususnya pun tidak lagi nampak. Bahkan dititipkannya pedangnya pada suami istri yang mencoba mencegahnya itu.

“Bahkan kau tidak lagi bersenjata, Ngger?” bertanya laki-laki pemilik rumah itu.

“Aku mempunyai senjata yang lain, Paman” berkata Rara Wulan.

Sebenarnyalah Rara Wulan memang tidak bersenjata. Tetapi ia yakin bahwa Glagah Putih akan selalu mengawasinya. Dalam keadaan yang gawat, Glagah Putih akan dapat memberikan pedangnya kepada Rara Wulan, sementara Glagah Putih sendiri masih mempunyai sebuah ikat pinggang, yang justru akan dapat menjadi senjata yang sangat berbahaya.

Sejenak kemudian, setelah Rara Wulan siap membenahi pakaiannya, maka ia pun telah minta diri kepada suami istri pemilik rumah yang baik hati itu.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan rumah itu, perempuan yang mengajaknya singgah di rumahnya itu mengusap matanya yang basah, sambil berkata, “Aku mengerti, betapa luhur niatmu itu, Ngger. Tetapi juga betapa berbahayanya.”

“Kebaikan hati Bibi dan Paman telah mendorong aku untuk berbuat sesuatu menurut kemampuanku. Yang Maha Agung akan memberikan jalan kepadaku untuk membongkar tingkah laku Ki Demang itu, apapun yang dilakukannya.”

Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan regol halaman rumah kedua orang yang memberikan tempat menginap kepada mereka. Keduanya langsung menuju ke banjar dari padukuhan yang sunyi di terangnya bulan itu.

Di sepanjang jalan padukuhan, Glagah Putih telah memberikan petunjuk, bagaimana Rara Wulan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diberikan oleh orang-orang padukuhan itu. Dan bahkan barangkali oleh Ki Demang atau pengikutnya.

“Kita sudah menjadi semakin dekat, Rara. Padukuhan itu bukan padukuhan yang miskin, meskipun tidak berlebihan. Karena itu, maka banjarnya pun terhitung cukup besar dengan halaman yang cukup luas.”

“Menurut Paman tadi, jika kita sampai di simpang tiga, maka kita harus berbelok ke kanan.”

“Ya. Beberapa puluh patok lagi, kau akan sampai di banjar.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Aku akan menyertaimu sampai di simpang tiga. Kemudian aku akan berusaha mengamatimu dari jarak yang tidak terlalu dekat. Jika keadaan memaksa, kau dapat memberikan isyarat. Jika perlu, kau panggil namaku, Warigalit.”

Rara Wulan mengangguk-angguk pula.

Ketika mereka sampai di simpang tiga, maka Glagah Putih pun berkata, “Hati-hati Rara. Aku tidak akan terlalu jauh. Tetapi kita masih belum tahu, seberapa tinggi kemampuan Ki Demang dan para pengikutnya. Karena itu, kita tidak boleh lengah sekejappun. Ingat, jangan minum dan makan begitu saja. Mungkin di dalamnya terdapat racun yang dapat membius, sehingga kau menjadi tidak sadar, atau bahkan meninggal.”

“Baik, Kakang,” sahut Rara Wulan.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun berhenti. Dibiarkannya Rara Wulan berjalan sendiri di keremangan malam yang diterangi oleh cahaya bulan.

Jalan yang langsung menuju ke banjar padukuhan itu pun tetap sepi. Rumah-rumah sudah menutup pintunya. Satu dua oncor masih nampak menyala di satu dua regol.

Di sebuah regol halaman yang terbuka, Rara Wulan terkejut. Ia mendengar beberapa orang yang sedang berbincang.

Ketika ia berpaling, dilihatnya tiga orang laki-laki sedang duduk-duduk sambil berbincang di tangga di belakang regol halaman itu.

Bukan saja Rara Wulan yang terkejut. Tetapi ketiga orang laki-laki itu pun terkejut melihat Rara Wulan yang berhenti di depan regol.

“He, kau siapa, Nduk?” bertanya seorang di antara mereka dengan serta merta.

Rara Wulan berhenti. Ketiga orang laki-laki itu pun bangkit berdiri pula. Mereka memang nampak ragu-ragu. Namun kemudian mereka pun melangkah mendekat

“Kau siapa, Nduk? Malam-malam kau berjalan sendiri. Dari mana dan mau kemana?”

“Aku akan pergi ke seberang Kali Pepe, Paman. Tetapi aku kemalaman di jalan.”

“Ke seberang Kali Pepe? Kau pergi sendiri?”

“Ya, Paman. Ayah sedang sakit. Ibu minta aku menemui uwakku yang tinggal di Wiyara, di seberang Kali Pepe.”

“Kenapa malam-malam begini?”

“Aku berangkat menjelang matahari sepenggalah. Tetapi aku berhenti untuk beristirahat beberapa kali. Ternyata aku kemalaman di jalan.”

“Apakah ayahmu sakit parah?”

“Ya, Paman.”

“Kau akan berjalan terus malam-malam begini?”

“Tidak, Paman. Aku takut berjalan sendirian di malam hari. Jika diijinkan, aku ingin mohon ijin untuk bermalam di banjar padukuhan ini.”

Ketiga orang laki-laki itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Nduk, jangan pergi ke banjar. Biarlah kau bermalam di rumahku saja. Rumah ini rumahku. Aku mempunyai anak seorang gadis, yang meskipun lebih kecil dari kau, tetapi ia dapat menemanimu bersama ibunya.”

Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Sementara itu laki-laki yang lain pun berkata, “Dengar kata-katanya, Ngger. Singgahlah. Di rumah ini ada beberapa orang penghuni. Di antaranya adalah seorang gadis remaja, dua orang adiknya dan ibunya. Kau dapat bermalam di sini. Sedangkan aku tinggal di rumah sebelah, dan ini, pamanmu yang satu ini, tinggal di belakang rumah ini.”

“Terima kasih, Paman, tetapi biarlah aku pergi ke banjar saja, agar aku tidak merepotkan keluarga Paman. Bukankah di banjar aku tidak akan mengganggu siapa-siapa?”

“Dengar, Nduk,” berkata laki-laki itu, “padukuhan ini, dan bahkan seluruh kademangan, sedang dalam suasana yang aneh. Besok kau akan tahu. Tetapi dengarlah kata-kataku. Jangan pergi ke banjar.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang padukuhan itu adalah orang-orang yang baik. Namun agaknya bencana telah melanda mereka karena solah tingkah Ki Demang, yang memegang kekuasaan tertinggi di kademangan itu.

Namun tekad Rara Wulan sudah bulat. Karena itu, maka katanya sambil mengangguk hormat, “Terima kasih, Paman. Aku mengucapkan beribu terima kasih. Aku sama sekali tidak bermaksud menolak kebaikan hati Paman. Tetapi biarlah aku pergi ke banjar.”

“O, anak malang. Kau tidak tahu apa yang dapat terjadi atas dirimu. Kau adalah seorang gadis yang cantik. Justru kecantikanmu itulah yang dapat menjadi pangkal bencana bagimu.”

“Ah, Paman terlalu memuji. Terima kasih, Paman. Aku akan pergi ke banjar.”

“Ngger, jangan salah paham. Kami bermaksud baik. Jika kau mencurigai kami, biarlah istriku dan anak gadisku yang remaja itu menjemputmu ke regol. Tetapi sebaiknya kau masuk ke halaman lebih dahulu.”

Rara Wulan masih berdiri termangu-mangu. Sementara salah seorang di antara ketiga orang laki-laki itu berkata, “Cepatlah, Ngger. Masuklah ke regol.”

Rara Wulan memang menjadi bingung. Ia tidak dapat menolak kebaikan hati yang tulus dari ketiga orang itu. Tetapi ia sudah bertekad untuk membongkar tingkah laku Ki Demang, yang membuat seluruh kademangannya menjadi resah.

Karena itulah, maka Rara Wulan pun berniat untuk berkata terus-terang kepada ketiga orang laki-laki itu, agar tidak terjadi salah paham. Mereka tentu mengira bahwa Rara Wulan justru menjadi ketakutan melihat sikap mereka.

Tetapi sebelum Rara Wulan mengatakan sesuatu, Rara Wulan terkejut ketika dari sebuah lorong kecil muncul dua orang laki-laki. Seorang bertubuh tinggi besar, sedangkan seorang lagi bertubuh sedang, berkumis lebat.

“Jangan bergeser dari tempatmu, Nduk” berkata orang yang bertubuh sedang dan berkumis lebat.

Rara Wulan bagaikan membeku di tempatnya.

“Jangan takut. Kami akan melindungimu dari kerakusan ketiga orang laki-laki itu. Sudah menjadi kebiasaan mereka, duduk di pinggir jalan di waktu terang bulan. Mereka menunggu gadis-gadis remaja lewat. Seorang gadis dari padukuhan ini telah hilang. Beberapa orang yang lain berhasil menyelamatkan diri. Banyak saksi dapat bertutur tentang tingkah laku mereka bertiga. Tetapi kau tidak usah takut. Aku adalah bebahu kademangan yang akan melindungimu.”

Jantung Rara Wulanpun terasa berdetak semakin cepat. Agaknya orang-orang seperti itulah yang ditunggunya. Justru sebelum ia sampai ke banjar, ia sudah berhasil menemuinya.

Sementara itu, ketiga orang laki-laki itu berdiri tegak di tempatnya. Seorang di antaranya sempat bergumam perlahan, “Nasibmu kurang baik, Nduk. Sayang sekali, kami tidak dapat menolongmu.”

Rara Wulan memandang ketiga orang laki-laki itu dengan kerut di keningnya. Untuk memberikan sedikit ketenangan kepada ketiga orang itu, maka Rara Wulan pun berdesis, “Jangan cemas, Paman. Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi korban.”

Kata-kata Rara Wulan itu tidak segera dapat dimengerti maksudnya oleh ketiga orang laki-laki itu. Sementara itu, Rara Wulan pun berkata pula perlahan, “Aku tidak akan membiarkan diriku dimakan Ki Demang, dalam arti yang bagaimanapun juga.”

Ketiga orang itu seolah-olah tersentak mendengar kata-kata Rara Wulan yang terakhir. Dengan demikian mereka mengetahui, bahwa perempuan muda itu menyadari sepenuhnya apa yang dilakukannya.

Karena itu, maka ketiga orang laki-laki itu pun tidak berkata apa-apa lagi.

Dalam pada itu, kedua orang yang muncul dari lorong sempit itu telah menjadi semakin dekat. Seorang di antara mereka pun berkata, “Jangan hiraukan ketiga orang laki-laki yang buas itu. Beruntunglah kau, bahwa aku datang tepat pada waktunya, pada saat ketiga orang laki-laki itu sedang membujukmu. Jika kau tidak dapat dibujuknya, maka ia akan melakukannya dengan kekerasan.”

Rara Wulan pun bergeser selangkah menghadap kepada kedua orang laki-laki yang datang itu. Dengan nada tinggi Rara Wulan pun bertanya, “Apa yang akan mereka lakukan, Ki Sanak?”

“Kau tentu tahu, apa yang akan mereka lakukan atasmu. Kau adalah seorang gadis yang cantik. Marilah, ikut aku. Kau akan mendapat perlindungan.”

Rara Wulan masih saja berdiri termangu-mangu. Namun orang yang bertubuh tinggi besar itu pun berkata, “Marilah kita pergi ke banjar, anak manis. Di banjar kau akan merasa aman. Kau akan dapat perlindungan, siapapun kau. Darimanapun kau datang dan kemanapun kau pergi. Menurut pengamatan kami, kau bukan penghuni padukuhan ini.”

“Aku memang bukan penghuni kademangan ini, Ki Sanak,” jawab Rara Wulan.

Kedua orang itu pun kemudian berhenti dan berdiri di hadapan Rara Wulan. Orang yang tinggi besar itu memandang ketiga orang yang berdiri di bawah regol halaman dengan jantung yang berdebar-debar. Tidak seorangpun di antara mereka yang berbicara.

“Jika demikian, marilah kita pergi ke banjar.”

Rara Wulan menganguk-angguk. Dengan nada dalam Rara Wulan pun berkata, “Terima kasih, Ki Sanak.”

Demikianlah, maka orang yang bertubuh raksasa dan orang yang berkumis lebat itu telah membawa Rara Wulan menuju ke banjar. Orang yang bertubuh tinggi besar itu pun berpaling kepada ketiga orang yang berdiri di bawah regol itu, “Jika kalian tidak mau menghentikan tingkah laku kalian, maka pada saatnya kami akan mengambil tindakan atas nama Ki Demang.”

Ketiga orang itu masih tetap berdiam diri.

Demikianlah, kedua orang itu telah membawa Rara Wulan menuju ke banjar yang tinggal beberapa puluh langkah lagi.

Tetapi ternyata kedua orang itu tidak membawa Rara Wulan ke banjar. Ketika mereka sampai di regol halaman banjar, mereka memang berhenti. Orang yang berkumis lebat itu telah masuk ke halaman banjar, sementara orang yang bertubuh raksasa dan Rara Wulan masih saja berdiri di luar.

Beberapa saat kemudian, orang yang berkumis tebal itu telah keluar lagi dari halaman banjar, sambil berkata, “Banjar ini kosong.”

“Jadi bagaimana dengan gadis ini?”

“Biarlah ia bermalam di rumah Ki Demang saja.”

Yang berkumis tebal itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita ajak gadis ini ke rumah Ki Demang. Di sana gadis ini tentu akan lebih terlindung.”

“Dimana rumah Ki Demang itu, Ki Sanak?” bertanya Rara Wulan.

“Tidak jauh lagi, Nduk. Beberapa rumah saja dari banjar.”

“Tetapi bukankah rumah Ki Demang di padukuhan induk?”

“Rumah Ki Demang tidak hanya satu. Hampir di setiap padukuhan ada rumah Ki Demang.”

“Untuk apa rumah sebanyak itu?”

Keduanya tidak segera menjawab. Namun kemudian keduanya tertawa. Yang bertubuh raksasa itu pun berkata, “Sudahlah, Nduk. Kau akan mendapat tempat menginap yang lebih baik daripada di banjar yang sepi itu.”

“Ki Sanak, sebenarnya aku ingin bermalam di banjar saja, agar tidak merepotkan siapa-siapa.”

“Di rumah Ki Demang pun kau juga tidak akan merepotkan siapa-siapa.”

Rara Wulan tidak menjawab lagi. Ia berjalan di antara kedua orang laki-laki yang mengaku bebahu kademangan itu.

Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Rara Wulan berangan-angan, apakah yang kira-kira terjadi setelah ia berada di rumah yang dikatakan rumah Ki Demang itu.

Rara Wulan terkejut ketika tiba-tiba saja orang berkumis lebat itu memegang lengannya dan berkata, “Kita berbelok memasuki regol itu, Nduk.”

“O. Inikah rumah Ki Demang?”

“Ya.”

“Benar rumah ini rumah Ki Demang?”

Orang itu memandang wajah Rara Wulan di bawah cahaya bulan yang putih kekuning-kuningan. Wajah Rara Wulan itu seakan-akan menjadi bertambah cantik, dan bahkan bercahaya.

Orang yang berkumis lebat itu termangu-mangu sejenak. Bahkan di dalam hatinya telah tersembul sebuah pertanyaan, “Seandainya aku tidak membawanya kepada Ki Demang, bukankah Ki Demang juga tidak tahu?”

Tetapi ia tidak sendiri. Orang bertubuh tinggi besar itu tentu akan mengatakan kepada Ki Demang, bahwa mereka telah menemukan seorang gadis yang sangat cantik, yang datang sendiri ke padukuhan itu.

Orang berkumis lebat itu menarik nafas dalam-dalam.

“Marilah,” berkata orang yang bertubuh tinggi besar itu, tanpa menjawab pertanyaan Rara Wulan.

Kawannya yang berkumis lebat itu pun tersentak. Sambil melangkah memasuki regol halaman ia pun berdesis, “Apa Ki Demang ada di sini?”

“Ya. Bukankah tadi siang Ki Demang mengatakan bahwa ia akan berada di sini malam ini?”

Sebelum kawannya menjawab, seseorang telah menyongsongnya. Orang itu turun dari tangga pendapa dan masuk ke dalam siraman cahaya bulan.

“Siapakah perempuan itu?” bertanya orang yang baru turun dari pendapa itu.

“Kami akan menemui Ki Demang.”

“Aku bertanya, siapakah perempuan itu?”

Namun orang yang bertubuh tinggi besar itu menjawab, “Kami akan menemui Ki Demang.”

“Apakah kau tidak mendengar pertanyaanku?” suara orang itu menjadi semakin geram.

Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu menjawab dengan geram pula, “Apakah kau tidak mendengar, bahwa kami akan menghadap Ki Demang? Bukankah Ki Demang ada di sini?”

“Ki Demang sedang berada di sentong tengah. Kalian tidak dapat menemuinya sekarang.”

“Tentu dapat.”

“Tidak. Kau harus berbicara dengan aku lebih dahulu.”

“Baik. Jika Ki Demang tidak dapat menerima kami sekarang, kami akan pergi.”

“Biarlah perempuan itu di sini. Kalian berdua dapat pergi.”

“Tidak. Aku akan membawanya.”

“Tinggalkan perempuan itu, kau dengar?”

“Aku akan membawanya pergi. Jika kau mencoba menahannya, maka aku pun akan membawa sebelah telingamu pula,” geram orang berkumis lebat.

Orang yang baru turun dari pendapa itu tersentak. Dengan suara bergetar oleh kemarahannya yang bergejolak di dadanya, ia pun berkata, “Kau berani menentang aku, he? Jika Ki Demang mengetahuinya, maka kau akan dicekiknya sampai mati.”

“Tidak. Dengan membawa perempuan ini kepadanya, Ki Demang tidak akan marah kepadaku, apapun yang aku lakukan.”

Kemarahan orang itu agaknya telah sampai ke ubun-ubun. Namun sebelum ia berbuat sesuatu, perhatian merekapun serentak tertuju ke pintu pringgitan yang terbuka.

“Ada apa?”

“Maaf, Ki Demang,” orang yang baru turun dari pendapa itu-lah yang menjawab, “kedua orang ini ingin menghadap Ki Demang. Ketika aku katakan kepada mereka bahwa Ki Demang sedang berada di sentong tengah, mereka tidak percaya.”

“Siapa yang mereka bawa?” bertanya orang yang baru keluar dari ruang dalam, yang ternyata adalah Ki Demang.

“Seorang gadis yang manis, Ki Demang. Kami merasa kasihan kepadanya, karena gadis ini kemalaman di jalan. Gadis ini akan pergi ke seberang Kali Pepe.”

“O,” Ki Demang pun kemudian telah turun dari tangga pendapa. Ketika cahaya bulan meraba wajahnya, maka Rara Wulan pun bergeser setapak surut. Wajah Ki Demang itu nampak keras seperti batu padas. Kumisnya nampak jarang, melintang di bawah hidungnya.

Ki Demang itu tersenyum. Sementara orang yang berkumis lebat, yang membawa Rara Wulan ke rumah Ki Demang itu, berkata, “Kami telah membawanya ke banjar untuk bermalam. Tetapi banjar itu ternyata kosong, Ki Demang. Karena itu, aku bawa gadis itu kemari. Barangkali Ki Demang mengijinkan gadis ini bermalam di sini.”

“Tentu, tentu, aku tidak berkeberatan,” jawab Ki Demang, “Bukankah sudah menjadi kewajibanku untuk memberikan tempat bermalam bagi mereka yang kemalaman di jalan? Memberikan makan bagi mereka yang lapar, dan memberikan minum bagi mereka yang kehausan.”

“Karena itu, terserah kepada Ki Demang.”

“Baik, baik. Bawa anak itu masuk ke ruang dalam.”

“Marilah, Nduk,” ajak orang bertubuh tinggi besar itu.

Rara Wulan tidak membantah. Bersama kedua orang laki-laki yang membawanya, Rara Wulan pun masuk ke ruang dalam.

Demikian ia berada di ruang dalam, maka kedua orang itu pun segera meninggalkannya. Namun yang kemudian berdiri di pintu adalah Ki Demang.

“Duduklah,” berkata Ki Demang sambil tersenyum. Namun Rara Wulan pun segera melihat, bahwa senyum itu adalah senyuman iblis yang paling jahat.

Meskipun demikian, Rara Wulan pun duduk di atas tikar pandan yang putih bersih, yang dibentangkan di ruang dalam rumah itu.

Ki Demang yang masih saja tersenyum itu melangkah mendekati Rara Wulan, setelah menutup dan menyelarak pintu.

“Siapa namamu, anak manis?” bertanya Ki Demang yang duduk di sebelah Rara Wulan.

Rara Wulan bergeser setapak. Terasa bulu-bulunya meremang. Meskipun ia sudah bertekad untuk membongkar kejahatan yang telah dilakukan oleh Ki Demang, namun terasa jantungnya bergejolak.

“Namaku Wara Sasi, Ki Demang,” jawab Rara Wulan.

“Wara Sasi. Nama yang bagus sekali. Nama yang pantas bagi seorang gadis yang cantik seperti kau ini.”

“Ah,” desah Rara Wulan, “pujian Ki Demang berlebihan.”

“Tidak. Aku tidak sekedar memuji. Kau benar-benar anak yang manis, cantik dan luruh. Itu nampak pada caramu memandang.”

Rara Wulan bergeser lagi setapak.

“Jangan takut,” berkata Ki Demang, “aku Demang di kademangan ini. Aku akan melindungimu dari segala mara bahaya. Kau akan merasa aman di rumah ini. Malam ini kau akan dapat tidur nyenyak sekali.”

“Terima kasih, Ki Demang,” desis Rara Wulan

“Kau tentu haus dan lapar. Biarlah seorang pelayan melayanimu. Mungkin kau akan pergi ke pakiwan. Biarlah seseorang mengantarkanmu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berdesis, “Aku akan pergi ke pakiwan, Ki Demang. Tetapi tidak usah diantar. Aku dapat pergi sendiri, asal ditunjukkan dimana tempatnya.”

Ki Demang pun tertawa. Namun tiba-tiba saja Ki Demang itu bertepuk tangan. Seorang perempuan yang bertubuh tinggi, berbadan besar menurut ukuran seorang perempuan, keluar dari pintu samping.

“Ada apa, Ki Demang?”

“Bawa perempuan itu pergi dari sentong tengah. Sentong itu akan mendapat penghuni baru.”

“Baik, Ki Demang.”

Perempuan yang bertubuh tinggi dan besar itu pun kemudian masuk ke sentong tengah. Terdengar keluhan tertahan. Namun kemudian diam.

Sejenak kemudian, maka Rara Wulan pun melihat seorang perempuan yang masih muda dan berpakaian tidak lengkap ditarik dengan kasar oleh perempuan yang bertubuh tinggi dan besar itu.

“Waktumu sudah habis. Kenapa kau berani tidur di sentong tengah?”

“Bukan maksudku. Bukankah kau yang membawa aku ke sentong tengah itu?”

“Diam kau!” bentak perempuan itu.

“Bukan hanya malam ini. Tetapi hampir setiap malam aku kau perlakukan seperti itu.”

“Diam! Kau mau diam atau tidak?”

Perempuan muda itu memang terdiam. Sekilas ia berpaling memandang Ki Demang. Namun kemudian dipandanginya pula Rara Wulan.

Ki Demang bangkit berdiri dan melangkah mendekati perempuan itu sambil berkata, “Beristirahatlah, anak manis. Nampaknya kau letih. Matamu menjadi lebam dan selalu basah.”

Perempuan muda itu tidak menjawab. Sementara Ki Demang pun berkata kepada perempuan tinggi dan besar itu, “Jangan perlakukan anak itu dengan kasar.”

Perempuan yang bertubuh tinggi besar dan tegap itu mengerutkan dahinya.

Ki Demang pun menepuk pipi perempuan yang tinggi dan besar itu sambil berkata, “Aku sangat memerlukanmu.”

Perempuan itu tidak menjawab.

“Nah, biarlah anak ini beristirahat dengan baik.”

Perempuan itu masih tidak menjawab. Ditariknya perempuan muda itu meninggalkan ruang dalam, yang kemudian menjadi sangat lengang.

Ki Demang yang masih berdiri itu termangu-mangu sejenak. Demikian kedua perempuan itu hilang di balik pintu butulan, maka Ki Demang pun segera berpaling kepada Rara Wulan.

Terasa jantung Rara Wulan berdesir. Wajah Ki Demang itu nampak menjadi semakin keras dan garang. Namun menurut penglihatan Rara Wulan, Demang itu memang masih terhitung muda.

“Jangan hiraukan anak itu,” berkata Ki Demang, “sudah sejak beberapa hari ia berada di sini. Ia selalu berada di sentong tengah. Jika tidak ada orang yang melihatnya, maka ia pun segera menyelinap masuk dan tidur di dalam. Aku tidak tahu, apa maksudnya. Meskipun aku menjadi jengkel melihat sikapnya, tetapi tidak sepatutnya ia diperlakukan dengan kasar.”

“Siapakah perempuan itu?” bertanya Rara Wulan.

“Ia anak padukuhan ini. Ia datang kemari dan membuat ulah menurut kemauannya sendiri.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian, maka Ki Demang pun bertepuk tangan lagi. Perempuan yang bertubuh tinggi besar itu pula-lah yang datang.

“Antar anak ini ke pakiwan. Ia ingin membersihkan dirinya setelah menempuh perjalanan jauh. Ia akan menjadi segar seperti bunga yang sedang mekar.”

“Ah,” desah Rara Wulan.

Ki Demang mengerutkan dahinya. Desah itu terdengar sangat merdu di telinganya.

Agaknya Ki Demang menjadi tergesa-gesa. Karena itu, maka katanya kepada perempuan yang bertubuh tinggi dan besar itu, “Cepat, bawa anak ini ke pakiwan.”

Perempuan itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian mendekati Rara Wulan, memegang lengannya dan menariknya.

“Aduh!” Rara Wulan menjerit, “Sakit, Bibi.”

“Bibi? Kau panggil aku bibi? Kapan aku menjadi istri pamanmu, he?”

“Jadi, bagaimana aku harus memanggilmu. Mbokayu?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun berdesis, “Agaknya itu lebih pantas.”

Namun tiba-tiba saja ia pun menarik lengan Rara Wulan lagi. “Cepat, kau harus mandi. Ki Demang tidak ingin kau berbau keringat dan bahkan seperti diolesi bahan perekat.”

“Ah.”

Ki Demang lah yang kemudian berkata sareh, “Jangan terlalu kasar. Agaknya ia tidak terbiasa dikasari.”

“Ia akan menjadi sangat manja.”

“Apa salahnya?” sahut Ki Demang sambil tertawa.

Perempuan itu terdiam. Namun sebenarnyalah Rara Wulan menjadi muak melihat sikap Ki Demang itu.

Sebelum perempuan itu menarik Rara Wulan, Ki Demang pun bertanya, “Apakah kau membawa pakaian?”

Rara Wulan menggeleng. Katanya, “Tidak, Ki Demang.”

“Ambilkan kain panjang dan baju untuk anak ini.”

Perempuan yang bertubuh tinggi besar itu bersungut-sungut. Namun ia pun melangkah ke sentong kiri. Kemudian ia keluar sambil membawa kain panjang dan sebuah baju.

“Pakai ini. Cukup atau tidak cukup, atau bahkan kebesaran.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak segera menerima kain panjang dan baju itu.

“Ini, ganti pakaianmu. Bawa sendiri. Apakah kau bermaksud agar aku yang membawa ini untukmu?”

Tiba-tiba saja Rara Wulan menjawab, “Ya. Tolong, bawa kain dan baju itu supaya tidak menjadi basah.”

“Gila!” geram perempuan itu. Lalu katanya kepada Ki Demang, “Ia sudah mulai manja. Aku ingin memotong hidungnya.”

Ki Demang justru tertawa. Katanya, “Jangan terlalu garang. Kau akan menakut-nakuti gadis-gadisku.”

Namun Rara Wulan pun tiba-tiba pula bertanya, “Apakah anak Ki Demang sudah gadis?”

“Bukan anakku,” sahut Ki Demang.

“Jadi, siapa yang Ki Demang maksud dengan gadis-gadis itu?”

Wajah Ki Demang menegang sejenak. Namun kemudian ia pun tertawa pula. Katanya, “Banyak yang ingin kau ketahui anak manis. Sekarang mandi sajalah lebih dahulu. Kau akan menjadi semakin cantik.”

“Apakah di sini ada landha merang? Jika ada, aku ingin sekali keramas. Rambutku kotor karena perjalanan berdebu.”

“Setan kau! Keramas saja dengan air. Jangan banyak ribut!”

Ki Demang tertawa semakin keras. Katanya, “Ujudmu sudah menunjukkan bahwa kau sudah dewasa penuh. Tetapi sikapmu masih seperti gadis remaja yang manja.”

“O.”

Rara Wulan tidak sempat lagi berkata apa-apa. Perempuan yang tinggi dan besar itu menariknya ke pintu butulan.

“Jangan sakiti aku,” Rara Wulan mengeluh.

“Tidak, anak manis. Kau tidak akan disakiti. Kau akan diantar ke pakiwan,” berkata Ki Demang.

Rara Wulan tidak menjawab lagi. Ia pun ditarik saja oleh perempuan yang tinggi besar itu lewat pintu butulan, menyusur serambi ke pintu belakang.

Demikian mereka keluar dari pintu belakang, maka perempuan itu pun menggeram, “Itu, kau lihat?”

“Apa?”

“Apa? Kau masih bertanya? Bukankah kau akan pergi ke pakiwan?”

“O.”

Perempuan itu telah mendorong Rara Wulan, sehingga Rara Wulan hampir saja terjerembab.

Sambil membawa kain dan baju, Rara Wulan pun pergi ke pakiwan yang berada di dekat sumur.

Malam menjadi semakin gelap. Sumur dan pintu pakiwan itu hanya diterangi oleh lampu yang berada di sudut luar serambi samping.

Dengan hati-hati Rara Wulan masuk ke dalam pakiwan yang gelap. Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak berniat untuk mandi. Ia pun tidak ingin berganti pakaian, karena ia mengenakan pakaian khususnya di bawah kain panjangnya

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu mendengar desir lembut di belakang pakiwan. Kemudian dari kegelapan itu Rara Wulan mendengar namanya disebut, “Rara.”

“Kakang Glagah Putih?” bisik Rara Wulan.

“Ya.”

“Syukurlah. Kakang ada di situ?”

“Bukankah aku mengikutimu?”

“Bagaimana Kakang tahu aku akan pergi ke pakiwan?”

“Aku mendengarkan pembicaraanmu. Aku berdiri melekat dinding di longkangan sebelah kiri.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya perlahan sekali, “Aku tidak akan mandi.”

“Sebaiknya kau basahi tubuhmu.”

“Aku mengenakan pakaian khusus di bawah pakaianku ini.”

“Maksudku, kau basahi wajahmu, tanganmu dan kakimu saja.”

“Aku tidak akan berganti pakaian.”

“Lalu, pakaian ganti yang kau bawa itu?”

“Akan aku ceburkan ke dalam air. Aku akan mengatakan bahwa pakaian itu basah, karena tanpa sengaja lepas dari tanganku dan masuk ke dalam air.”

“Lakukan. Tetapi berhati-hatilah. Perempuan yang bertubuh seperti raksasa itu tentu berbahaya.”

“Ya. Tenaganya kuat sekali. Tetapi aku kira, yang diandalkan tentu hanya kekuatannya saja.”

“Aku kira memang begitu.”

Keduanya pun terdiam. Terdengar gedebur air seperti orang sedang mandi. Namun Rara Wulan hanya menumpahkan air itu ke lantai pakiwan, yang dilapisi dengan batu-batu kerikil.

Baru beberapa saat kemudian, Rara Wulan mencelup pakaian yang diberikan oleh perempuan yang bertubuh tinggi besar itu.

Terdengar Rara Wulan terpekik kecil.

“Ada apa?” bertanya perempuan itu sambil berlari mendekat.

“Tunggu!” berkata Rara Wulan, ketika perempuan itu berdiri di luar pintu.

Baru sejenak kemudian Rara Wulan keluar dari pintu pakiwan, sambil membawa pakaian yang basah.

“Kau tidak berganti pakaian?”

“Pakaian ini tidak sengaja lepas dan masuk ke dalam air.”

“Perempuan gila,” geram perempuan yang bertubuh tinggi itu, “kau sepatutnya di hukum.”

Namun ketika perempuan yang bertubuh tinggi besar itu akan menampar wajahnya, Rara Wulan berteriak agak keras, “Jangan!”

Ki Demang yang menunggu di dalam mendengar teriakan itu. Ia berlari-lari keluar lewat pintu belakang.

“Ada apa?”

“Perempuan ini bukan saja manja, tetapi dungu.”

“Kenapa?”

“Ganti pakaian yang aku berikan, diceburkan ke dalam jambangan sehingga basah kuyup.”

“Aku tidak sengaja. Pakaian itu terlepas dari tanganku. Bukankah sejak semula aku sudah minta agar pakaian itu dibawakan untukku?”

“Gila! Gila! Aku cekik kau sampai mati!” perempuan itu pun hampir berteriak.

Namun Ki Demang itu justru tertawa. Katanya, “Bawa anak itu masuk. Biarlah ia berganti pakaian di dalam. Bukankah kau masih mempunyai pakaian yang lain?”

“Aku tidak akan memberikan lagi kepadanya!”

Ki Demang masih saja tertawa Katanya, “Bawa saja anak itu masuk.”

Perempuan itu tidak membantah lagi. Ditariknya Rara Wulan masuk ke dalam.

“Biarlah ia berganti pakaian di sentong tengah,” berkata Ki Demang, ketika ia sudah berada di ruang dalam.

Tetapi Rara Wulan itu berteriak, “Tidak! Aku tidak mau berganti pakaian! Biarlah aku mengenakan pakaianku sendiri.”

“Baik, baik, jika kau tidak mau berganti pakaian. Sudahlah. Duduk sajalah. Biarlah dihidangkan makan dan minuman hangat bagimu.”

“Aku tidak lapar dan tidak haus, Ki Demang.”

“Kau tentu lapar dan haus.”

“Aku memang haus. Tetapi aku sudah minum di pakiwan tadi.”

“He? Kau minum air pakiwan? Bukankah air di pakiwan itu untuk mandi, tidak untuk minum?”

“Tetapi airnya segar juga.”

“Tetapi kau dapat menjadi sakit perut karenanya.”

“Ternyata perutku tidak sakit.”

“Kau memang anak yang keras kepala. Tetapi sifatmu itu justru sangat menarik. Baiklah, jika kau tidak lapar dan tidak haus, beristirahat sajalah di sentong tengah.”

“Kenapa harus di sentong tengah, sementara gadis yang tadi disuruh pergi?”

“Perempuan itu harus pergi, karena tempatnya akan aku berikan kepadamu.”

“Apakah gadis itu tidak mendendam kepadaku?”

“Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. la berada di bilik sebelah. Bilik yang tertutup rapat. Ia tidak akan dapat keluar jika bukan karena aku ingin ia keluar.”

“Apa artinya itu, Ki Demang?”

“Tidak apa-apa. Jangan hiraukan. Sekarang, beristirahat sajalah di sentong tengah itu.”

Rara Wulan memang menjadi ragu-ragu. Ia tahu bahwa apa yang dilakukan itu adalah bagian dari usahanya untuk membongkar kekejian yang dilakukan oleh Ki Demang, yang wajahnya sekeras batu padas itu.

“Tidurlah,” berkata Ki Demang, sementara perempuan yang bertubuh tinggi besar itu sudah meninggalkan ruang tengah.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Ki Demang pun mendesaknya, “Tidurlah. Bukankah kau letih?”

Rara Wulan mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih, Ki Demang.”

Rara Wulan pun segera masuk ke sentong tengah. Sebuah bilik yang tidak terlalu besar. Sebuah pembaringan yang bersih dialasi dengan tikar pandan yang putih bergaris-garis biru. Dindingnya dirangkapi dengan anyaman bambu wulung yang halus.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Sebuah lampu minyak kelapa berada di atas ajug-ajug. Nyalanya yang terang memancar ke seluruh ruangan.

Rara Wulan pun kemudian duduk di atas bibir pembaringan. Terasa jantungnya semakin berdebaran. Meskipun tekadnya sudah bulat, namun Rara Wulan itu menjadi gelisah pula.

Untuk beberapa saat Rara Wulan duduk termenung. Dipandanginya anyaman dinding yang lembut di sekelilingnya. Geledeg bambu terletak di sisi yang lain. Rara Wulan tidak tahu, apa saja isinya.

Rara Wulan terkejut ketika tiba-tiba saja Ki Demang telah masuk ke dalam bilik yang pintunya tidak berdaun itu, yang hanya sekedar tertutup oleh sebuah selintru kayu.

“Ki Demang,” Rara Wulan segera bangkit berdiri.

“Kau belum tidur, anak manis?

“Aku baru akan tidur, Ki Demang.”

“Tidurlah. Apalagi yang ditunggu?”

“Tidak ada, Ki Demang.”

“Sudahlah. Tidurlah. Hari sudah malam.”

“Aku tidak dapat tidur di tempat seperti ini, Ki Demang.”

“Kenapa?”

“Tempat ini terlalu baik bagiku.”

“Mungkin kau tidak terbiasa tidur di bawah cahaya lampu yang terlalu terang? Baiklah. Biarlah aku padamkan saja lampu itu.”

“Tidak. Aku takut gelap.”

“Jadi, kenapa?”

“Aku akan tidur di luar saja, Ki Demang, Di ruang tengah,”

“Kau aneh, anak manis. Di sini ada sentong yang kosong. Kenapa kau tidur di ruang tengah?”

“Lalu Ki Demang tidur dimana?”

“Bukankah pembaringan itu cukup luas?”

“Maksud Ki Demang?”

Ki Demang itu tertawa. Katanya, “Kau tentu tahu maksudku. Karena itu, maka gadis yang memuakkan itu aku lemparkan keluar. Kau akan menggantikannya, anak manis.”

“Tidak! Pergi! Pergi kau, Ki Demang.”

“Kau tidak berhak mengusir aku pergi. Rumah ini rumahku. Aku berhak untuk berada dimana saja yang aku kehendaki.”

“Jika demikian, biar aku saja yang keluar.”

“Kau tamu di sini. Kau harus tunduk kepada pemilik rumah, dimana kau akan ditempatkan.”

Ketika Ki Demang tertawa, maka seluruh bulu dan rambut Rara Wulan terasa meremang. Karena itu, maka ia pun segera meloncat ke sudut ruang. Digapainya dlupak minyak kelapa yang besar. Dengan suara yang bergetar Rara Wulan pun berkata, “Jika Ki Demang melangkah selangkah lagi, maka aku lemparkan lampu dlupak yang menyala ini ke dinding. Aku akan menyiram dengan minyak, sehingga dinding rumah ini akan terbakar. Jika api sudah menyala membakar dinding bambu yang kering ini, maka Ki Demang tidak akan dapat memadamkannya.”

“Jangan! Jangan bermain-main dengan api, anak manis.”

“Pergi! Keluar dari bilik ini.”

“Rumah ini rumahku.”

“Aku tidak peduli. Aku akan membakar rumah ini. Biar saja aku terbakar di dalamnya, daripada Ki Demang menyentuh tubuhku. Nanti, orang-orang kademangan yang membantu memadamkan api akan menemukan mayatku. Mayat seorang perempuan yang terkurung di rumah Ki Demang. Apalagi jika gadis yang tadi berada di sentong ini juga diketemukan mayatnya.”

“Kau jangan berbuat seperti itu.”

“Pergi! Keluar!”

“Baik, baik Aku akan keluar dari bilik ini.”

Tetapi ketika Ki Demang sudah berada di ruang dalam, Rara Wulan pun keluar pula dari sentong tengah sambil membawa lampu minyak kelapa itu. Katanya, “Ki Demang harus keluar dari ruang ini. Aku tidak mau Ki Demang ada di dalam.”

“Aku tidak akan masuk ke sentong tengah.”

“Persetan. Jika Ki Demang tidak keluar, aku nyalakan dinding rumah ini.”

Ki Demang memang tidak dapat memilih. Ia pun dengan terpaksa keluar dari ruang tengah.

Dengan cepat Rara Wulan menutup pintu dan diselarak dari dalam.

Namun ketika Rara Wulan meletakkan lampu dlupak itu dan bergeser selangkah, tiba-tiba saja perempuan yang tinggi besar itu meloncat dan mendorongnya menjauhi lampu minyak kelapa itu.

“Aku akan menguasainya, Ki Demang!” berkata perempuan itu keras-keras.

“Baik. Jaga agar anak itu tidak membakar dinding.”

“Aku sudah memisahkannya dari lampu minyak itu.”

“Bagus. Tangkap anak itu, dan buka pintunya.”

Perempuan itu memandang Rara Wulan dengan tajamnya. Matanya bagaikan menyala, sedangkan mulutnya bergetar oleh kemarahan.

Namun perempuan itu pun berdesis perlahan, “Kau akan aku bunuh sebelum Ki Demang masuk. Kau dan semua perempuan yang disimpannya harus aku bunuh seorang demi seorang.”

“Kenapa?” bertanya Rara Wulan.

“Harus hanya ada satu perempuan di sisi Ki Demang.”

“Kau?”

“Ya”

“Sudah berapa orang perempuan yang kau bunuh?”

“Kau adalah perempuan yang pertama akan mati. Aku ingin perempuan-perempuan yang lain membuat keonaran seperti kau, sehingga aku mempunyai alasan untuk membunuhnya.”

“Jika mereka tidak membuat keonaran?”

“Pada saatnya aku akan mencari alasan.”

“Ada berapa orang perempuan yang disimpan oleh Ki Demang sekarang ini?”

“Enam.”

“Semuanya di sini?”

“Tidak.”

Rara Wulan pun menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Kenapa kau harus membunuh mereka? Kenapa mereka tidak kau carikan jalan untuk lari?”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Jika seorang di antara mereka yang lari dapat ditangkap kembali oleh kaki tangan Ki Demang, serta mereka berkata terus terang bahwa aku yang melepaskan mereka, maka aku-lah yang akan mendapat hukuman.”

“Tetapi bukankah perempuan-perempuan itu tidak bersalah?”

“Ya. Nasib mereka-lah yang buruk. Seperti nasibmu.”

Pembicaraan mereka pun terhenti. Mereka mendengar pintu diketuk dari luar.

“Buka pintunya!” teriak Ki Demang.

“Perempuan itu melawan, Ki Demang!” perempuan yang bertubuh tinggi besar itu berteriak pula.

“Kau tentu dapat menangkapnya.”

“Tubuhnya licin seperti belut.”

“Jangan sampai lepas!”

“Jika perempuan ini tidak menyerah, aku terpaksa membunuhnya!”

“Jangan bunuh perempuan itu! Ia terlalu cantik untuk mati.”

“Tetapi ia sangat berbahaya bagi Ki Demang.”

“Buka pintunya,” teriak Ki Demang.

Tetapi perempuan itu tidak segera membuka pintu itu. Ia benar-benar ingin membunuh Rara Wulan.

Karena itu, ketika Ki Demang sekali lagi berteriak agar perempuan itu membuka pintu, perempuan itu pun menjawab, “Aku masih belum sempat, Ki Demang. Ternyata perempuan itu membawa pisau belati di bawah bajunya. Beri aku waktu. Demikian aku mendapat kesempatan, aku akan membuka pintunya.”

“Perempuan itu membawa pisau belati?”

“Ya. Agaknya ia bukan perempuan baik-baik, Ki Demang.”

“Apakah ia sudah menipu kita?”

“Ya.”

Rara Wulan sama sekali tidak menyahut. Ia membiarkan saja perempuan itu berbicara panjang dengan Ki Demang, karena Rara Wulan sendiri memang menginginkan agar pintu itu tidak dibuka.

Di luar pintu, Ki Demang itu pun justru berkata keras-keras, “Hati-hatilah! Perempuan itu jangan sampai terlepas dari tanganmu!”

“Ya, Ki Demang!”

Perempuan itu pun kemudian melangkah mendekati Rara Wulan sambil tertawa. Katanya perlahan-lahan, “Kau akan mati, anak manis. Ki Demang percaya kepadaku bahwa kau adalah seorang perempuan yang tidak pantas mendapat tempat di sini. Kau bukan perempuan baik-baik.”

Tetapi perempuan itu terkejut ketika Rara Wulan pun tertawa pula. Gadis itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya apalagi ketakutan.

“Aku menunggu kesempatan seperti ini,” berkata Rara Wulan, “aku muak melihat tingkah lakumu dan tingkah laku Ki Demang. Kalian dengan semua kaki tangan kalian, sudah membuat kademanganmu sendiri gelisah. Ki Demang yang seharusnya menjadi pengayom bagi rakyatnya, justru telah merusaknya sendiri,”

“Diam kau, perempuan jalang!” geram perempuan bertubuh tinggi besar itu, “Kau akan mati!”

Tetapi Rara Wulan masih saja tertawa. Katanya, “Sebut aku perempuan jalang. Tetapi aku akan membongkar kejalangan Ki Demang dan kaki tangannya.”

“Kau? Kau mau apa? Kau akan mati malam ini.”

Rara Wulan tidak menjawab. Ketika perempuan itu bergeser mendekat, maka Rara Wulan pun telah menyingsingkan kain panjangnya. Ternyata dibawah kain panjangnya Rara Wulan itu mengenakan pakaian khususnya.

Perempuan bertubuh tinggi besar itu-lah yang menjadi berdebar-debar. Namun ia sudah berniat untuk membunuh Rara Wulan.

Sejenak kemudian, maka perempuan yang bertubuh tinggi besar itu telah menerkam Rara Wulan. Kedua tangannya dengan jari-jari mengembang terjulur mengarah ke leher. Agaknya perempuan itu ingin mencekik Rara Wulan sampai mati.

Tetapi Rara Wulan tidak membiarkan lehernya tercekik. Karena itu, maka ia pun segera bergeser mengelak.

Perempuan itu terkejut melihat cara Rara Wulan mengelak. Karena itu, maka ia pun kemudian menggeram, “Ternyata kau memiliki kemampuan olah kanuragan. Itulah sebabnya, maka kau nampaknya sama sekali tidak menjadi cemas akan keadaanmu.”

“Seharusnya kau mengetahuinya sejak semula,” berkata Rara Wulan. “Nah, sekarang kau mau apa?”

“Kau kira hanya kau yang memiliki kemampuan olah kanuragan, he?”

“Tidak. Aku tahu bahwa banyak orang yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Termasuk kau.”

Perempuan itu menggeram. Namun kemudian ia pun segera bersiap menghadapi Rara Wulan.

Rara Wulan bergeser ke tengah-tengah ruangan, untuk mendapat kesempatan bergerak.

Sejenak kemudian maka perempuan yang bertubuh tinggi besar itu meloncat menyerangnya. Bukan sekedar menjulurkan tangannya untuk menggapai leher. Tetapi serangannya mulai diperhitungkan.

Tetapi nampaknya perempuan itu masih berada pada tataran pertama. Setelah itu mungkin ia tidak lagi mendalami kelanjutan dari pengenalannya atas ilmu kanuragan. Karena itu, maka ia sama sekali bukan lawan Rara Wulan.

Rara Wulan yang mempunyai rencananya sendiri, tidak ingin berlama-lama. Ketika perempuan itu menyerangnya sekali lagi, maka Rara Wulan pun segera menghindarinya. Namun dengan cepat kakinya menyambar perut perempuan itu, sehingga perempuan itu terbungkuk.

Dengan cepat Rara Wulan memukul tengkuk perempuan itu, sehingga perempuan itu pun jatuh terjerembab. Namun perempuan itu tidak segera bangkit, karena perempuan itu pun menjadi pingsan.

Rara Wulan pun segera menyelinap pintu butulan. Ia mencari bilik yang dipergunakannya untuk menyimpan gadis yang dikeluarkan dari sentong tengah, pada saat Rara Wulan masuk ke ruang dalam.

Ketika Rara Wulan melihat sebuah pintu yang diselarak dari luar, maka Rara Wulan pun menduga bahwa pintu itu adalah pintu bilik tempat gadis di kurung.

Dengan cepat Rara Wulan mengangkat selarak pintu itu. Kemudian didorongnya pintu itu sehingga terbuka lebar.

Rara Wulan tertegun. Ia melihat seorang gadis yang duduk di pembaringan sambil menangis terisak-isak.

Gadis yang menangis itu pun terkejut pula ketika tiba-tiba saja pintu terbuka. Seorang perempuan dengan pakaian yang khusus berdiri termangu-mangu memandanginya.

Rara Wulan pun segera melangkah memasuki bilik itu. Namun demikian Rara Wulan maju selangkah, gadis itu pun bangkit berdiri. Wajahnya membayangkan ketakutan yang sangat. Tubuhnya gemetar. Wajahnya pun menjadi pucat, sedangkan seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat.

“Jangan takut,” desis Rara Wulan, “aku datang untuk mengeluarkanmu dari bilik yang pengap ini.”

“Kau siapa?”

“Namaku Wara Sasi. Tetapi itu tidak penting. Yang penting, kau keluar dan pulang. Dimana rumahmu?”

“Aku anak padukuhan ini. Rumahku di tikungan, tidak terlalu jauh dari banjar.”

“Marilah, kita mencari jalan keluar.”

“Tetapi perempuan itu?”

“Yang tinggi dan besar?”

“Ya.”

“Ia sedang pingsan. Aku memukul tengkuknya.”

Gadis itu masih ragu-ragu. Namun Rara Wulan pun segera menarik tangannya sambil berkata, “Kita akan keluar lewat pintu belakang.”

Keduanya pun segera berlari ke pintu belakang. Dengan sigapnya Rara Wulan mengangkat selarak pintu dan mendorong pintu sehingga terbuka.

Namun demikian pintu terbuka, gadis itu memekik kecil. Di bawah cahaya oncor di sudut luar serambi samping, kedua perempuan itu melihat Ki Demang berdiri sambil bertolak pinggang.

Terdengar suara tertawa Ki Demang yang memuakkan.

“Kalian mau lari kemana?” bertanya Ki Demang.

“Minggir, atau aku paksa kau minggir dengan kekerasan.”

Ki Demang tertawa semakin keras. Katanya, “Kau mau apa, anak manis? Marilah, masuklah kembali ke dalam. Aku tidak akan marah kepada kalian.”

Ketika Ki Demang akan memegang tangan Rara Wulan, maka Rara Wulan pun bergeser ke samping sambil menarik gadis itu.

“Jangan sentuh kami berdua.”

Ki Demang masih tertawa. Katanya, “Jangan terlalu garang. Kau adalah seorang perempuan yang cantik. Jika kau terlalu garang, maka kecantikanmu akan berkurang.”

“Ki Demang. Aku akan mengajak gadis ini pulang ke rumahnya. Ia akan menjadi saksi, apa saja yang pernah kau lakukan, agar rakyat kademanganmu tidak selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Mereka yang mempunyai gadis, bahkan gadis-gadis kecil dan remaja, selalu dibayangi ketakutan, bahwa gadis mereka akan ditangkap Ki Demang. Gadis-gadis itu akan dibunuh dan kemudian dimakan oleh Ki Demang.”

Wajah Ki Demang yang sekeras batu padas itu menegang. Dengan lantang ia pun berkata, “Itu fitnah. Aku bukan binatang buas yang makan daging manusia.”

“Aku tahu, Ki Demang. Aku memang sudah menduga bahwa kau tidak benar-benar membunuh dan makan daging gadis-gadis yang hilang itu. Apalagi mengingat tingkah lakumu sebelum kau menjadi Demang di sini.”

“Jadi, apa masalahnya?”

“Meskipun kau bukan binatang buas pemakan daging, tetapi kau justru lebih buas dari itu. Seekor binatang buas memang sudah nalurinya, sudah takdirnya makan daging binatang buruannya. Tetapi kau tidak, Ki Demang. Kau adalah jenis binatang yang bernalar budi. Seharusnya kau dapat mengenal baik dan buruk, benar dan salah. Tetapi bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apa yang kau lakukan terhadap gadis-gadis kademanganmu, yang seharusnya kau jaga dan kau ayomi.”

“Cukup!” bentak Ki Demang, “Siapa kau sebenarnya, perempuan jalang?”

“Perempuanmu yang tinggi dan besar itu juga menyebutku perempuan jalang. Tetapi itu tidak apa-apa. Sekarang, menyerahlah. Kau akan aku hadapkan kepada orang tua gadis ini. Aku akan minta mereka memanggil tetangga-tetangga mereka. Para bebahu padukuhan dan para bebahu kademangan.”

“Gila! Sudah sepantasnya kau dibunuh!”

“Acungkan kedua tanganmu. Aku akan mengikatnya, Ki Demang.”

Ki Demang yang menjadi sangat marah itu tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat dengan cepat sambil menjulurkan tangannya menyerang ke arah ulu hati.

Tetapi Rara Wulan sempat mengelak, sambil berkata kepada gadis yang ingin dilarikannya itu, “Mundurlah. Berdirilah sedikit di belakang pintu.”

Gadis itu menurut. Ia pun melangkah surut dan berdiri selangkah di belakang pintu.

Ki Demang yang marah itu dengan garangnya telah menyerang Rara Wulan sejadi-jadinya. Tangan dan kakinya berganti-ganti terayun, terjulur lurus dan menebas dengan cepatnya. Namun serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuh Rara Wulan. Bahkan sekali-sekali jika Rara Wulan sengaja membentur serangan-serangan itu, Ki Demang harus berdesis menahan nyeri.

Dengan kemarahan yang meluap-luap, Ki Demang telah menyerang Rara Wulan seperti banjir bandang. Namun serangan-serangannya itu sama sekali tidak mampu menggoyahkan pertahanan Rara Wulan. Bahkan sekali-sekali Rara Wulan yang membalas menyerang, justru mampu mengenai sasarannya.

Beberapa saat kemudian, Ki Demang pun telah mulai terdesak. Beberapa kali ia berloncatan surut untuk mengambil jarak. Namun Rara Wulan berusaha untuk memburunya dan menyerangnya, tanpa memberi kesempatan kepada Ki Demang untuk memperbaiki kedudukannya.

Dalam kesulitan itu, maka Ki Demang pun telah bersuit nyaring untuk memberi pertanda kepada para pengikutnya, agar mereka datang membantu.

Empat orang telah datang berlari-lari. Mereka pun segera melihat, betapa Ki Demang itu hampir tidak berdaya menghadapi perempuan yang baru saja dibawa ke rumah itu.

Ketika Ki Demang melihat orang yang bertubuh tinggi besar serta orang yang bertubuh sedang dan berkumis lebat, maka ia pun segera berteriak, “Inilah macam betina yang kau bawa masuk ke dalam rumahku!”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sementara Ki Demang itu berteriak, “Tangkap perempuan itu hidup-hidup! Ia harus menyesali perbuatannya. Aku harus menghukumnya, la akan mengalami perlakuan yang paling buruk dari semua gadis-gadis yang pernah tinggal bersamaku!”

Keempat orang itu pun segera bergerak. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar suara tertawa seseorang.

Orang-orang yang berada di halaman belakang itu berusaha untuk melihat sesosok tubuh dalam kegelapan di dekat sebatang pohon yang besar. Agaknya orang itu telah cukup lama bersembunyi di belakang pohon itu.

“Iblis kau! Apa maksudmu?”

“Sudah sejak tadi aku menonton bagaimana Ki Demang berusaha melindungi dirinya dari amukan seorang perempuan yang akan dijadikan korbannya.”

“Persetan kau!” geram Ki Demang yang masih bertempur melawan Rara Wulan, sambil meloncat mundur untuk mengambil jarak. Namun Rara Wulan masih tetap memburunya.

Sementara itu orang yang baru muncul itu pun berkata pula, “Kemudian sekelompok laki-laki datang untuk mengeroyok seorang perempuan.”

“Diam kau!” bentak Ki Demang. Lalu katanya kepada kaki tangannya itu, “Dua orang di antara kalian, tangkap orang itu, hidup atau mati. Kemudian dua orang yang lain bersamaku untuk menangkap perempuan ini hidup-hidup, untuk menikmati hukumannya.”

Demikianlah, maka mereka berempat pun segera membagi diri. Dua orang di antara mereka segera mendekati Glagah Putih, sedangkan kedua orang yang lain telah mendekati Ki Demang yang semakin terdesak. Kedua orang itu adalah kedua orang yang telah membawa Rara Wulan ke rumah Ki Demang itu.

Rara Wulan pun bergeser surut untuk mengambil jarak. Diamatinya kedua orang yang menangkapnya dan membawanya ke rumah Ki Demang untuk diumpankan.

“Selamat malam, Ki Sanak berdua,” berkata Rara Wulan sambil mengangguk.

“Setan betina, kau!” geram Ki Demang. Perempuan itu sama sekali tidak menjadi cemas, meskipun ia harus berhadapan dengan tiga orang laki-laki, termasuk Ki Demang.

“Inikah yang terjadi di kademangan ini? Ki Demang ternyata bukan seorang panutan yang baik. Semula aku tidak percaya bahwa Ki Demang adalah pemakan daging. Terutama gadis-gadis cantik.”

“Fitnah! Itu fitnah!” teriak Ki Demang, “Aku bukan pemakan orang.”

“Bukan fitnah, Ki Demang. Yang terjadi memang demikian, meskipun tidak pada arti yang sebenarnya. Nah, sekarang kau harus ditangkap. Kau akan dihadapkan kepada rakyatmu yang selama ini ketakutan dan kecemasan.”

Ki Demang menggeram, la tidak ingin membuang waktu lagi. Karena itu, maka ia pun segera berkata lantang, “Tangkap gadis itu hidup-hidup!”

Ketika kedua orang itu mulai bergerak, mereka terkejut melihat laki-laki yang tadi bersembunyi itu melangkah mendekati perempuan yang garang itu.

Ki Demang dan kedua orangnya pun segera berpaling, untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh kedua orangnya yang diperintahkannya menangkap laki-laki itu.

Namun Ki Demang dan kedua orang kaki tangannya itu terkejut melihat kedua orang itu terbaring diam di tanah.

“Apa yang kau lakukan terhadap mereka?” bertanya Ki Demang.

“Mereka tidak mati. Mereka hanya pingsan,” jawab Glagah Putih.

Jantung Ki Demang terasa semakin cepat berdegup.

Dengan suara yang bergetar ia pun bertanya, “Bagaimana mungkin mereka begitu saja dapat pingsan? Apakah kau mempunyai ilmu siluman?”

“Ya, Ki Demang. Ilmuku memang ilmu siluman. Karena itu, menyerah sajalah, sebelum darahmu dihisap.”

Wajah Ki Demang menjadi sangat tegang. Namun tiba-tiba ia menggeram, “Aku akan membunuh kalian semua.”

Glagah Putih pun segera mempersiapkan diri. Demikian pula Rara Wulan. Sementara itu, Ki Demang pun berkata dengan lantang, “Bunuh orang itu! Kemudian kita tangkap perempuan ini bersama-sama.”

Kedua orang kaki tangan Ki Demang itu nampak ragu-ragu. Sekali mereka berpaling memandang tubuh kawan-kawan mereka yang terbaring diam.

Namun Ki Demang itu membentak, “Cepat! Selesaikan orang itu!”

Meskipun keduanya ragu, tetapi keduanya tidak dapat mengelak lagi. Jika mereka tidak melakukannya, maka Ki Demang akan menjadi sangat marah kepada mereka.

Karena itu, meskipun jantung mereka berdebaran, namun keduanya pun melangkah mendekati Glagah Putih.

“Cepat! Bunuh orang itu!”

Kedua orang itu pun telah menggapai senjata mereka masing-masing. Namun sebelum mereka sempat menariknya, tiba-tiba saja Glagah Putih telah meloncat. Demikian cepat sehingga hampir tidak dapat diikuti dengan mata kewadagan, tangannya menyambar kening dan arah ulu hati kedua orang itu.

Glagah Putih tidak perlu mengulang serangannya. Kedua orang itu pun terlempar jatuh di tanah. Keduanya tidak menggeliat lagi. Seperti kedua kawannya, maka keduanya pun telah pingsan.

Ki Demang menjadi sangat cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Orang-orangnya yang ditakuti oleh orang sekademangan itu sudah tidak berdaya.

“Nah, apa katamu sekarang, Ki Demang?” Rara Wulan-lah yang bertanya.

Ki Demang tidak segera dapat menjawab. Degup jantungnya terasa menjadi semakin cepat, sehingga terasa dadanya menjadi sakit.

“Ulurkan tanganmu,” berkata Rara Wulan.

Ki Demang tidak segera menjawab.

Rara Wulan pun kemudian melangkah mendekatinya. Perlahan-lahan ia berjalan mengelilingi Ki Demang itu sambil berkata, seolah-olah kepada diri sendiri, “Tubuhnya memang tegap. Lengannya nampak kokoh. Jari-jarinya pun kuat seperti jari-jari kaki burung rajawali. Tetapi ternyata di dalam tubuh yang tegap itu terdapat tulang-tulang yang rapuh. Tetapi lebih dari itu, jiwanya-lah yang lebih rapuh lagi.”

Ki Demang berdiri bagaikan membeku. Ketika Rara Wulan berdiri di belakangnya, maka rasa-rasanya nyawanya telah berada di ubun-ubun. Perempuan itu dapat dengan mudah membunuhnya dengan melubangi punggungnya. Namun Rara Wulan tidak menyentuhnya. Bahkan Rara Wulan pun telah membungkuk, meraih ikat kepala seorang kaki tangan Ki Demang yang pingsan.

Ki Demang terkejut ketika ia mendengar perempuan itu membentak di belakang punggungnya, “Letakkan kedua tanganmu di belakang!”

Dengan serta-merta Ki Demang memutar tubuhnya. Namun dua telapak tangan yang kuat mencengkam pundaknya dan memutarnya kembali, “Letakkan kedua tanganmu di belakang.”

Ki Demang menyeringai menahan sengatan rasa nyeri di pundaknya Ternyata jari-jari perempuan itu sangat kuat, bagaikan jari-jari itu terbuat dari baja.

“Cepat!” bentak Rara Wulan.

Ki Demang tidak dapat berbuat lain. Ketika kedua tangannya itu diletakkan di belakang, maka Rara Wulan pun segera mengikatnya dengan ikat kepala.

“Kakang,” berkata Rara Wulan, “tunggui orang ini. Biarlah aku berbicara dengan gadis itu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia melangkah maju mendekati Ki Demang yang tangannya sudah terikat.

Rara Wulan pun kemudian dengan cepat mendapatkan gadis yang gemetar di belakang pintu.

“Sekarang kau justru sempat membenahi pakaianmu,” berkata Rara Wulan, “benahilah sebentar. Kami akan mengantarmu pulang.”

Gadis itu pun membenahi pakaiannya di belakang pintu belakang. Kemudian Rara Wulan pun telah mengajaknya keluar.

Ki Demang tidak dapat berbuat apa-apa, ketika Glagah Putih menggiringnya mengelilingi rumah itu pergi ke halaman depan. Kemudian mereka melangkah keluar regol halaman.

Rara Wulan dan gadis yang telah dikurung beberapa hari di rumah Ki Demang itu pun berjalan di depan. Kemudian Ki Demang, dan di belakangnya adalah Glagah Putih.

Ketika mereka sampai di simpang empat, Ki Demang itu pun berkata, “Kita akan pergi ke mana?”

“Ke rumah gadis ini,” Jawab Rara Wulan

“Untuk apa?”

“Tidak untuk apa-apa. Biarlah anak ini pulang.”

“Apakah kita tidak dapat mencari jalan lain?” berkata Ki Demang.

“Jalan lain apakah yang kau maksud?”

“Aku mempunyai beberapa buah rumah. Aku mempunyai uang, perhiasan, beberapa buah pedati dan sawah. Dapatkah kita mengkaitkan persoalan kita dengan kekayaanku itu?”

“Maksudmu?”

“Mungkin kau memerlukannya.”

“Seandainya kami memerlukannya, apa yang harus kami lakukan sekarang?”

“Lepaskan aku. Biarlah aku pulang. Besok aku akan menyelesaikan persoalan ini dengan orang tua gadis itu.”

“Lalu gadis itu?”

“Jika kau ingin membawanya kepada orang tuanya, bawalah.”

“Lalu apa yang harus aku katakan kepada orang tuanya?”

“Terserah kepadamu, apa yang akan kau katakan. Yang penting, lepaskan aku. Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan.”

“Bagaimana aku yakin, bahwa aku akan mendapatkannya?”

“Besok kau dapat datang ke rumahku. Aku berjanji untuk memberikan apa saja yang kau minta.”

Rara Wulan terdiam. Sementara itu, gadis yang akan diantar pulang itu menjadi berdebar-debar. Jika Ki Demang itu benar-benar akan dilepaskan, maka segala-galanya akan dapat berbeda.

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu pun berkata, “Marilah. Kita berjalan terus.”

“Berjalan kemana?” bertanya Ki Demang.

“Ke rumah gadis ini.”

“Kau dengar tawaranku?”

“Aku dengar.”

“Lalu?”

“Aku tidak tertarik. Meskipun aku tidak memiliki apapun dalam pengembaraanku, tetapi kau tidak dapat membeli harga diriku dengan apapun juga.”

“Jangan terlalu bodoh. Kau akan dapat menjadi kaya. Kau tidak usah bekerja berat, segala kebutuhanmu sudah tercukupi.”

Rara Wulan pun tertawa. Katanya, “Maaf, Ki Demang. Menurut pendapatku, sebaiknya sekarang juga kau pergi ke rumah gadis ini. Lihat, bulan terang. Sementara itu kademanganmu nampak sepi. Tidak ada anak bermain jamuran. Tidak terdengar tembang gadis-gadis remaja. Tidak terdengar derap anak-anak bermain kejar-kejaran.”

Wajah Ki Demang menjadi sangat tegang. Dengan geram ia pun berkata, “Kau tahu, bahwa aku Demang di sini?”

“Ya. Aku tahu.”

“Aku dapat menggantung kau berdua.”

“Justru karena kau seorang Demang, maka kesalahan yang telah kau lakukan itu menjadi berlipat. Hukumanmu pun akan berlipat.”

Ki Demang itu mengumpat kasar. Namun tiba-tiba saja terasa punggungnya disentuh oleh laki-laki yang berjalan di belakangnya.

“Ki Demang. Jangan menjadi gila. Sebaiknya kau akui semua kesalahanmu.”

Ki Demang itu menggeretakkan giginya. Namun ikatan tangannya itu tidak dapat dilepaskannya.

“Sudah waktunya perbuatanmu itu dihentikan,” berkata Glagah Putih kemudian.

Ki Demang memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi apa jadinya jika ia akan dihadapkan orang tua gadis itu? Tetangga-tetangganya tentu akan turut campur pula.

Dengan jantung yang berdebaran, Ki Demang melangkah terus menuju ke rumah gadis yang pernah diculiknya dan disekapnya di rumahnya itu.

Ketika mereka berjalan di depan sebuah regol halaman, di mana ketiga orang laki-laki pernah menyapa dan mencoba mencegah agar Rara Wulan jangan pergi ke banjar, Rara Wulan tertegun sejenak. Mereka masih melihat ketiga orang laki-laki itu duduk di belakang regol.

Ketiganya terkejut melihat Rara Wulan berjalan bersama seorang gadis padukuhan itu, yang pernah dinyatakan hilang. Semua orang menyangka bahwa gadis itu termasuk salah seorang korban Ki Demang. Dibunuh dan dimakannya.

Mereka semakin terkejut ketika mereka melihat Ki Demang terikat tangannya, digiring oleh seorang laki-laki muda.

“Apa yang sudah terjadi?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Aku telah menangkap Ki Demang,” jawab Rara Wulan

“Menangkap Ki Demang?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ya. Aku menemukan gadis ini di rumah Ki Demang.”

“Di rumah Ki Demang?”

“Ya. Aku akan mengantar gadis ini pulang.”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulan pun berkata, “Marilah. Ikut kami mengantar gadis ini pulang.”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu, Ki Demang pun berkata, “Kau mengenal aku bukan?”

“Ya, Ki Demang,” jawab seorang dari ketiga orang itu.

“Nah, tangkap orang-orang ini. Mereka telah memfitnah aku.”

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak, sementara Rara Wulan pun berkata, “Ki Demang. Semua orang tahu apa yang telah kau lakukan terhadap gadis-gadis yang hilang. Gadis ini akan menjadi saksi, apa yang pernah kau lakukan terhadapnya. Dan tentu juga terhadap gadis-gadis lain yang telah hilang dari rumahnya.”

Tetapi Ki Demang itu pun berteriak, “Tangkap orang orang ini! Mereka telah memfitnah aku!”

“Diamlah, Ki Demang. Tidak ada gunanya kau berteriak-teriak. Tidak akan ada orang yang akan menolongmu. Kaki tanganmu masih pingsan di belakang rumahmu. Demikian pula perempuan kepercayaanmu. Seandainya mereka sudah sadar, mereka tidak akan berani menolongmu, karena mereka tentu akan dibantai oleh rakyatmu.”

“Gila! Kau sudah gila!” teriak Ki Demang. Lalu Ki Demang itu pun berteriak, “Tolong! Tolong aku! Bukankah kalian kenal, siapa aku? Aku akan memberi hadiah kepada kalian yang menolong aku. Tetapi aku akan menghukum mereka yang terlibat dalam usaha yang licik dan keji. Memfitnah aku.”

“Apapun yang kau katakan, tidak akan dapat menolongmu, Ki Demang,” berkata Glagah Putih, “jika orang-orangmu mempercayaimu, maka aku akan menusuk punggungmu sampai mati. Kami berdua akan dengan mudah melarikan diri dari orang-orangmu.”

Jantung Ki Demang tergetar pula mendengar ancaman Glagah Putih. Sementara itu Rara Wulan pun berkata, “Biarlah gadis ini nanti mengatakan kepada orang tuanya, apa yang pernah dialaminya di rumah Ki Demang. Penguasa tertinggi di kademangan ini. Seorang yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung rakyatnya di kademangan ini.”

“Jangan percaya kepada mereka! Tolong aku! Nanti kalian akan mendapat hadiah yang sangat berarti bagi seumur hidupmu.”

Namun Glagah Putih yang berada di belakang Ki Demang itu pun mendorongnya sambil berkata, “Ayo, berjalanlah. Kita akan pergi ke rumah gadis itu.”

“Tolong aku!” teriak Ki Demang.

“Bagus,” berkata Glagah Putih, “berteriaklah, agar lebih banyak orang yang mendengarnya. Mereka akan berdatangan dan ikut mendengarkan kesaksian gadis itu.”

“Setan kau!”

Namun Ki Demang itu terkejut. Tiba-tiba saja tangan Glagah Putih telah menyambar mulut Ki Demang itu, sehingga Ki Demang itu mengaduh kesakitan.

“Jika kau mengumpat lagi, maka aku akan merontokkan gigimu semuanya!”

Ki Demang itu terdiam. Sementara Glagah Putih pun berkata kepada Rara Wulan, “Marilah. Kita pergi ke rumah gadis itu.”

Rara Wulan pun kemudian berkata kepada gadis yang diselamatkannya itu, “Marilah kita berjalan.”

Keduanya pun meneruskan langkah mereka. Glagah Putih pun telah mendorong Ki Demang yang tangannya masih terikat.

Ternyata ketiga orang laki-laki itu pun mengikutinya dibelakang. Seorang lainnya yang mendengar Ki Demang berteriak, dan menjenguk di regol halaman pun telah mengikuti pula. Seorang lagi dan seorang lagi, sehingga akhirnya menjadi sebuah iring-iringan dari beberapa orang laki-laki.

Sejenak kemudian gadis yang telah ditolong Rara Wulan itu pun berhenti di depan regol halaman yang tidak terlalu luas. Dengan nada berat gadis itu berdesis, “Ini rumahku.”

“Ini rumahmu?” ulang Rara Wulan.

“Ya”

“Baiklah. Marilah aku serahkan kau kepada orang tuamu.”

Gadis itu menjadi berdebar-debar. Namun ia pun kemudian melangkah mendorong pintu regol yang tertutup, tetapi tidak diselarak dari dalam.

Demikian pintu itu terbuka, maka gadis itu pun segera melangkah memasuki halaman, diikuti oleh Rara Wulan.

Tetapi Ki Demang tidak segera melangkah masuk. Terasa kakinya bagaikan menjadi timah yang sangat berat.

“Masuklah,” berkata Glagah Putih.

Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat menolak lagi, ketika Glagah Putih kemudian mendorongnya

Gadis yang diselamatkan Rara Wulan itu seakan-akan tidak dapat menunggu lagi. Ia pun kemudian berlari naik ke pendapa, langsung menuju ke pintu pringgitan. Dipukulinya pintu pringgitan itu dengan kerasnya.

Ayah dan ibunya terkejut mendengar pintu rumahnya dipukuli dengan kerasnya. Dengan nada tinggi ayah gadis itu bertanya, “Siapa di luar, he?”

Yang terdengar adalah jerit gadis itu, “Ibu, ibu!”

Ibunya yang mendengar dan langsung mengenali suara anak gadisnya, tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera berlari, mengangkat selarak pintu pringgitan.

Demikian pintu terbuka, maka dilihatnya anak gadisnya berdiri di belakang pintu.

Kedua orang ibu dan anak itu pun segera saling berpelukan. Gadis yang telah diculik kaki tangan Ki Demang itu pun menangis sejadi-jadinya.

Ibunya juga menangis. Tetapi ia masih dapat bertanya, “Apa yang telah terjadi, Ngger? Kemana saja kau selama ini?”

“Ki Demang, Ibu.”

“Bagaimana dengan Ki Demang?”

Anak perempuannya tidak dapat langsung menjawab. Tangisnya tumpah bagaikan air yang meluap dari bendungan yang pecah.

Ayahnya-lah yang kemudian melangkah keluar. Dilihatnya Rara Wulan berdiri termangu-mangu di pringgitan. Sementara itu, beberapa orang berdiri di halaman.

“Siapa kau?” suara ayah gadis itu bergetar.

“Aku datang untuk mengembalikan anak gadismu, Ki Sanak”

“Kau mengembalikan anak gadisku?”

“Ya. Aku telah mengambilnya dari rumah Ki Demang.”

Wajah ayah gadis itu menjadi semakin tegang. Dilihatnya Rara Wulan berdiri termangu-mangu.

“Katakan yang sebenarnya,” geram ayah gadis itu, “jika kau berbohong, aku bunuh kau.”

Rara Wulan bergeser mundur. Ia dapat mengerti, bahwa laki-laki itu tentu sedang dalam kebingungan. Ayah gadis itu tentu masih belum tahu, apa yang sebenarnya terjadi.

“Bertanyalah kepada anakmu,” jawab Rara Wulan.

Laki-laki itu pun kemudian berpaling kepada anaknya. Sementara di halaman, Glagah Putih pun berkata, “Kami telah menangkap Ki Demang yang telah menculik anakmu.”

Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian anak gadisnya yang sudah puas menangis di dada ibunya itu pun berkata disela-sela isaknya, “Perempuan itu telah menolong aku, Ayah.”

“Bagaimana hal itu dapat dilakukannya?”

“Entahlah. Tetapi ia sudah masuk ke rumah Ki Demang, berkelahi dan mengalahkan Ki Demang beserta kaki tangannya. Kemudian mengikat tangan Ki Demang dan membawanya kemari.”

Laki-laki itu pun kemudian bertanya kepada Rara Wulan, “Apa yang telah kau lakukan?”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Sikap ayah gadis itu dapat dimengertinya. Tetapi Rara Wulan tidak menyukai sikap itu. Karena itu, Rara Wulan tidak segera menjawab.

Karena Rara Wulan tidak segera menjawab, maka ayah gadis itu pun membentaknya, “Kenapa kau diam saja, he? Apakah kau tidak dapat berbicara?”

“Ayah,” anak gadisnya berlari memeluk ayahnya dari belakang dengan eratnya. Katanya, “Ayah, perempuan itu telah menyelamatkan aku dari tangan Ki Demang.”

Tiba-tiba saja Ki Demang yang terikat tangannya di belakang itu pun berteriak, “Aku telah difitnah! Perempuan itu telah menipuku!”

Tetapi tiba-tiba Ki Demang itu terdiam ketika tangan Glagah Putih mencengkam tengkuknya, sambil berkata, “Ki Demang. Sudah aku katakan, aku dapat membunuhmu. Aku dapat berbuat apa saja tanpa dapat dihalangi.”

“Kau akan ditangkap oleh rakyatku yang setia, serta berpegang pada kebenaran sejati.”

Tiba-tiba saja tubuh Ki Demang itu berputar. Tangan Glagah Putih telah menyambar mulurnya dengan kerasnya.

“Cobalah berbicara lagi.”

Perlakuan anak muda itu terhadap Ki Demang telah menggetarkan jantung orang-orang yang menyaksikannya.

Ayah gadis yang diselamatkan oleh Rara Wulan itu pun kemudian berdiri termangu-mangu. Jantungnya terasa berdegup semakin keras, la benar-benar menjadi bingung melihat keadaan yang tiba-tiba saja dihadapkan di muka hidungnya.

Rara Wulan yang tidak menyukai sikap ayah gadis yang diselamatkannya itu pun tiba-tiba saja telah melangkah turun dari pendapa. Kepada Glagah Putih ia pun berkata, “Marilah. Tugas kita sudah selesai. Terserah kepada orang-orang padukuhan ini, apa yang akan mereka lakukan.”

“Kita perlu memberikan penjelasan,” berkata Glagah Putih.

“Aku tidak suka diperlakukan seperti ini.”

Rara Wulan tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera melangkah menuju ke pintu regol halaman.

Glagah Putih tidak dapat melepaskannya pergi. Karena itu, maka Glagah Putih pun berkata kepada orang-orang yang ada di halaman rumah itu, “Terserah kepada kalian. Tetapi dengarlah cerita gadis yang telah menjadi korban itu. Kami sudah mencoba untuk membongkar kejahatan ini. Langkah selanjutnya terserah kepada kalian.”

Glagah Putih pun kemudian segera melangkah menyusul Rara Wulan ke regol halaman.

Namun Ki Demang pun telah berteriak, “Jangan biarkan kedua orang itu pergi! Tangkap mereka! Aku harus mengadilinya!”

Orang-orang itu memang menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang akan dikerjakannya.

Namun tiba-tiba saja gadis yang baru saja dibebaskan oleh Rara Wulan itu pun berteriak, “Jangan! Jangan tangkap kedua orang itu! Tetapi sebaiknya kita minta mereka dengan rendah hati untuk kembali ke halaman rumah ini. Ayahku menyambut mereka dengan sikap yang terlalu kasar, sehingga perempuan itu telah tersinggung karenanya.”

“Apa yang sebenarnya telah terjadi, Ngger?” seorang yang sudah separuh baya melangkah mendekati gadis yang kemudian berdiri di tangga pendapa itu.

Namun Ki Demang masih juga berteriak, “Tangkap dahulu kedua orang itu, hidup atau mati!”

“Tidak!” gadis itu pun berteriak pula, “Mereka telah menolong aku. Beberapa hari yang lalu, aku telah diculik oleh beberapa orang, yang ternyata adalah kaki tangan Ki Demang. Aku disekap di dalam rumahnya untuk dijadikan budaknya. Budak nafsu rendahnya yang tidak terkendali.”

“Itu fitnah!” teriak Ki Demang, “Ia sudah terpengaruh oleh kedua orang itu. Kedua orang itulah yang telah menculik gadis itu dan mengotori otaknya dengan bayangan-bayangan yang menakutkan. Aku kenal keduanya. Kakak beradik itu adalah orang-orang upahan dari saudara sepupuku, yang menginginkan jabatanku.”

“Ki Demang-lah yang telah memfitnah!” Gadis itu pun kemudian berpaling kepada ayahnya, “Seharusnya Ayah berterima kasih kepada kedua orang itu. Tetapi Ayah justru menyakiti hatinya.”

“Aku menjadi bingung. Bingung sekali.”

“Panggil keduanya, Kakang. Panggil dan minta maaf kepada mereka,” berkata ibu gadis itu.

“Itu tidak perlu! teriak Ki Demang, “Justru keduanya harus ditangkap, hidup atau mati!”

Orang yang sudah separuh baya itu pun kemudian berkata, “Aku mempercayai gadis ini. Selama ini kita memang sudah mencurigai Ki Demang. Bahkan telah timbul dugaan bahwa Ki Demang telah menculik gadis-gadis untuk dibunuh dan dimakannya. Ternyata dugaan itu benar. Gadis-gadis yang hilang itu memang telah diculik oleh Ki Demang.”

“Gila! Itu adalah pendapat orang gila!”

“Ada dua kemungkinan, Ki Demang,” berkata orang yang sudah separuh baya itu, “dugaan itu adalah dugaan yang gila, atau karena Ki Demang menjadi gila, lalu timbullah dugaan-dugaan seperti itu.”

“Kau juga memfitnah aku? Aku tidak menduga, bahwa selama ini kau bersikap baik kepadaku. Ternyata kau telah menusuk di arah punggung.”

“Bukan begitu Ki Demang. Kita sekarang sedang mencari kebenaran, apa yang sebenarnya telah terjadi di kademangan kita ini.”

Wajah Ki Demang menjadi tegang. Sementara itu, gadis yang baru saja dibebaskan itu pun berkata lantang, “Aku dapat memberikan kesaksian tentang perbuatan jahat Ki Demang! Biarlah aku menjadi sangat malu karena keadaanku. Tetapi aku akan memberikan kesaksian tanpa menyembunyikan sesuatu.”

“Itukah yang telah terjadi?” suara ayah gadis itu bergetar.

“Ya, Ayah. Dan ayah sudah menyakiti hati perempuan yang menolongku.”

Tiba-tiba laki-laki itu berlari masuk ke dalam rumahnya. Ketika ia berlari keluar, di tangannya telah tergenggam sebilah keris telanjang.

Beberapa orang meloncat menahannya. Mereka berusaha mencegah niat ayah gadis yang telah disekap oleh Ki Demang itu, untuk langsung membunuhnya.

“Aku bunuh binatang itu!” geram ayah gadis itu.

“Jangan! Kita masih memerlukannya,” berkata orang yang sudah separuh baya, “meskipun anakmu telah dibebaskan, tetapi masih ada beberapa orang gadis yang lain yang masih belum diketemukan. Beberapa orang gadis dari padukuhan yang lain.”

Meskipun kemarahan yang sangat telah membakar jantungnya, namun ayah gadis yang disekap oleh Ki Demang itu masih dapat menahan diri. Beberapa orang gadis yang hilang itu pun harus diketemukan dan diselamatkan.

Dalam pada itu, halaman rumah itu pun menjadi semakin banyak didatangi orang. Bukan hanya laki-laki, tetapi juga beberapa orang perempuan.

Sementara itu, laki-laki separuh baya itu pun berkata, “Selama ini kami hanya dapat mencurigai Ki Demang tanpa dapat menunjukkan bukti atau saksi. Sekarang, kita mempunyai saksi yang kuat, yang bersedia untuk memberikan kesaksian yang diperlukan itu.”

Jantung Ki Demang menjadi semakin berdebar-debar. Orang-orang yang ada di halaman itu semakin mendesak maju. Sementara itu orang yang sudah separuh baya itu berkata selanjutnya, “Panggil Ki Jagabaya dan bebahu yang lain.”

Namun seorang laki-laki yang masih lebih muda berkata lantang, “Jika para bebahu itu berpihak kepada Ki Demang?”

“Kalau begitu, kita saja-lah yang menentukan hukuman baginya. Terserah kepada kita, apakah Ki Demang itu akan kita pancung atau kita gantung!” teriak seorang lainnya.

“Tunggu!” berkata orang yang sudah separuh baya, “Kita harus membebaskan yang lain. Karena itu, kita tidak akan membunuhnya. Kecuali jika Ki Demang tidak mau menunjukkan, dimana ia menyembunyikan gadis-gadis yang lain.”

Dalam pada itu, Ki Demang tidak dapat menahan gejolak perasaannya lagi. Ia tahu bahwa di tangan rakyatnya yang marah itu, ia akan menjadi pengewan-ewan. Karena itu, selagi mereka sedang berbincang dengan sepenuh perhatian, Ki Demang itu tiba-tiba saja telah mencoba melarikan diri. Meskipun tangannya terikat di belakang, tetapi ia sempat juga berlari menerobos beberapa orang yang sedang mengerumuninya.

Namun seorang dari mereka sempat menyilangkan kakinya, sehingga kaki Ki Demang itu pun telah terantuk kaki itu dan jatuh terjerembab.

Ternyata sikap Ki Demang itu telah menyulut kemarahan orang-orang yang mengerumuninya. Seorang tiba-tiba saja menerkamnya, menariknya berdiri dan dengan serta-merta memukulinya.

Beberapa orang lain dengan serta-merta telah ikut memukulinya pula. Semakin lama semakin banyak yang terlibat.

Orang yang sudah separuh baya itu dengan susah payah mencoba mencegah mereka. Sambil berteriak-teriak ia mendorong orang-orang yang kehilangan kendali itu.

“Jangan lakukan itu! Jangan! Kita akan menyerahkan Ki Demang kepada orang yang berwenang mengadili dan menjatuhkan hukuman.”

Akhirnya kemarahan orang-orang padukuhan itu dapat diredakan. Namun orang-orang itu tidak sekedar mengikat tangan Ki Demang ke belakang. Tetapi mereka mengikat Ki Demang pada sebatang pohon.

Ki Demang sudah tidak dapat berbicara apa-apa lagi, kecuali mengerang kesakitan.

Orang yang sudah separuh baya itu pun kemudian berkata, “Jagalah Ki Demang baik-baik. Aku dan ayah gadis itu akan mencari kedua orang yang telah menolong dan membebaskan gadis itu. Jika kami dapat menemukannya, maka kami akan membawa mereka kembali. Kami harus minta maaf kepada mereka berdua.”

Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menyahut, “Baiklah, Kang. Kami akan menungguinya.”

“Jangan disakiti lagi. Apa yang telah terjadi itu sudah cukup. Aku akan kembali sebelum fajar, ketemu atau tidak ketemu dengan kedua orang itu.”

Dalam pada itu, Rara Wulan yang meninggalkan rumah gadis itu, langsung menuju ke tempat suami istri yang telah menawarkan penginapan kepadanya dan berusaha mencegahnya agar tidak pergi ke banjar.

“Kau akan kemana, Rara?” bertanya Glagah Putih.

“Aku akan mengambil pedangku. Kita akan meninggalkan padukuhan ini.”

“Kita masih diperlukan di sini, sehingga gadis-gadis yang lain dapat diketemukan.”

“Orang-orang padukuhan ini pun akan dapat menemukannya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti, kenapa Rara Wulan telah tersinggung.

Namun ternyata berita tentang terbongkarnya kejahatan Ki Demang itu telah merata. Nampaknya beberapa orang sengaja membangunkan tetangga-tetangga mereka, dan mengajaknya ke rumah gadis itu.

Rara Wulan telah mengajak Glagah Putih untuk tidak berjalan di sepanjang jalan. Tetapi mereka berjalan melewati halaman dan kebun, agar tidak bertemu dengan orang-orang yang pergi ke rumah gadis itu. Jika sekali lagi timbul salah paham, mungkin Rara Wulan tidak lagi dapat mengekang dirinya.

Ketika ia sampai di rumah yang ditujunya, maka Rara Wulan pun segera mengetuk pintunya.

“Siapa?” terdengar suara seorang perempuan.

“Aku, Bibi. Wara Sasi. Aku yang menitipkan pedang di rumah ini.”

Perempuan itu tidak melupakan suara Rara Wulan. Karena itu, maka ia pun segera membuka pintu pringgitan dan mempersilahkan Rara Wulan dan Glagah Putih masuk.

“Kalian darimana saja, Ngger?”

“Kami telah berusaha membebaskan gadis yang hilang itu, Bibi. Kami telah berhasil dan menyerahkannya kepada orang tuanya. Sementara itu, Ki Demang pun telah diikat tangannya di halaman rumah gadis itu. Jika gadis itu berani memberikan kesaksian, maka Ki Demang benar-benar akan dapat dihukum.”

“Jadi Angger berdua berhasil?”

“Begitulah, Bibi. Tetapi dimana Paman?”

“Seseorang telah memberitahukan, bahwa salah seorang gadis yang hilang itu sudah diketemukan. Pamanmu pergi ke rumah gadis itu. Apakah kalian tidak bertemu di jalan?”

“Tidak, Bibi,” desis Rara Wulan.

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Seharusnya kalian bertemu di jalan. Bukankah kau juga dari rumah gadis itu?”

“Ya, Bibi. Tetapi aku sengaja menghindar agar tidak banyak berpapasan dengan orang-orang yang pergi ke rumah gadis itu.”

“Kenapa, Ngger? Kenapa kau begitu cepat meninggalkan gadis itu?”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada Glagah Putih ia pun berdesis, “Begitu cepat berita itu tersebar.”

“Kita yang memerlukan waktu berlipat, karena kita tidak berjalan lewat jalan padukuhan.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Ya. Kita-lah yang memerlukan waktu yang panjang.”

Sementara itu, laki-laki yang sudah separuh baya serta ayah gadis yang baru diketemukan itu telah turun ke jalan. Mereka memang tidak tahu, kemana mereka mencari kedua orang yang telah membebaskan gadis itu. Seorang yang melihat kedua orang itu keluar dari regol halaman, hanya dapat menunjukkan arahnya saja.

Namun di jalan padukuhan, kedua orang itu telah bertemu dengan laki-laki yang dititipi pedang oleh Rara Wulan.

“Kau lihat seorang laki-laki dan perempuan lewat di jalan ini?” bertanya orang yang sudah separuh baya.

“Siapakah yang kau maksud?”

“Dua orang yang telah membebaskan gadis yang hilang itu.”

“Kenapa harus dicari?”

“Mereka pergi begitu saja setelah menyerahkan gadis itu kepada ayahnya.”

“Salahku,” berkata ayah gadis itu, “aku terlalu bingung, sehingga sikapku telah menyinggung perasaan perempuan yang telah membebaskan anakku.”

“Aku tidak bertemu dengan mereka. Tetapi perempuan itu telah menitipkan pedangnya di rumahku. Karena itu, entah sekarang, entah besok, perempuan itu tentu mengambil pedangnya.”

“Mungkin sekarang,” berkata ayah gadis itu, “jika demikian, marilah, kita pergi ke rumahmu, Kang.”

Kedua orang yang mencari Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian bersama-sama dengan laki-laki yang dititipi pedang Rara Wulan itu dengan tergesa-gesa berusaha menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan.

Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di rumah laki-laki itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih berada di rumah itu. Tetapi Rara Wulan yang telah menggantungkan pedangnya di lambung kirinya telah siap untuk pergi meninggalkan rumah itu.

Demikian ayah gadis itu melihat Rara Wulan, maka dengan serta merta orang itu telah berlutut sambil berkata, “Aku mohon maaf, Ngger. Aku mohon maaf atas kekasaranku. Waktu itu aku benar-benar menjadi bingung, sehingga aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan.”

Rara Wulan tercenung melihat sikap orang itu. Justru karena itu, perempuan itu pun seakan-akan telah membeku.

“Aku mohon Angger sudi datang kembali. Anak gadisku itu menanyakanmu. Ia meyakinkan aku, bahwa sikapku telah menyinggung perasaanmu.”

Rara Wulan masih belum menjawab. Sementara itu Glagah Putih-lah yang mendekati laki-laki itu dan menariknya berdiri.

“Berdirilah, Paman.”

Orang itu masih belum mau berdiri.

“Berdirilah,” minta Glagah Putih.

“Aku ingin mendengar jawabannya. Jika Angger bersedia kembali ke rumahku, maka aku akan berdiri.”

Akhimya jantung Rara Wulan tergetar pula. Dengan suara yang hampir tidak terdengar Rara Wulan pun menjawab, “Baiklah, Paman. Aku akan kembali menemui gadis itu,”

“Terima kasih, Ngger, terima kasih.”

Rara Wulan bergeser surut ketika orang itu akan mencium kakinya, sementara Glagah Putih menariknya untuk berdiri.

Orang itu pun akhirnya berdiri juga. Namun ia masih mengulangi permintaannya, “Marilah, Ngger. Kembalilah. Anakku mencarimu.”

Rara Wulan memandang Glagah Putih sejenak. Ketika Glagah Putih menganggukkan kepalanya, maka Rara Wulan pun berkata, “Marilah. Masih ada beberapa orang yang harus dibebaskan,”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun kembali ke rumah gadis yang telah diketemukan kembali itu, diiringi oleh beberapa orang.

Dalam pada itu, orang-orang yang menunggui Ki Demang menjadi gelisah. Tiba-tiba saja seorang kaki tangan Ki Demang telah naik ke pendapa sambil berteriak, “Serahkan Ki Demang kepadaku, atau kalian semua akan menjadi debu!”

Tidak seorang pun yang menjawab. Kaki tangan Ki Demang yang datang itu adalah seorang yang bertubuh agak pendek, namun tubuhnya nampak begitu kokoh. Tangan dan kakinya nampak seperti terbuat dari tembaga.

Ternyata orang itu tidak sendiri. Dua orang yang lain berdiri di sebelah-menyebelah pendapa, sedangkan orang-orang yang pingsan di rumah Ki Demang telah sadar pula, serta ikut datang ke halaman rumah itu.

Dalam pada itu, orang yang bertubuh agak pendek dan berdiri di pendapa itu berteriak lagi, “Minggir! Biarkan aku mengambil Ki Demang yang telah kalian sakiti. Agaknya kalian telah termakan oleh fitnah yang keji, sehingga berani bertindak sedemikian kasarnya terhadap Demang-e sendiri.”

Tidak seorang pun yang menjawab.

“Minggir!” teriak orang itu, sehingga atap rumah itu seakan-akan telah bergetar.

Orang-orang yang berdiri di halaman itu pun menjadi cemas melihat sikap orang itu. Orang itu bukan saja nampak kokoh dan kuat, tetapi pada wajahnya juga terbayang sifatnya yang kasar dan bahkan kejam. Segores bekas luka di pelipisnya telah melengkapi ujudnya yang mendebarkan.

“Aku akan menghitung sampai lima,” berkata orang itu, “jika kalian tidak mau minggir dan membiarkan aku mengambil Ki Demang, maka aku akan mempergunakan kekerasan. Siapa yang menghalangi, aku akan bunuh tanpa belas kasihan.”

Beberapa orang menjadi ketakutan. Tetapi ada yang berani menjawab, “Kami akan mengadili Ki Demang karena tingkah lakunya. Kami tidak akan melepaskan Ki Demang.”

“Setan kau,” geram orang itu, “jadi kau akan mengorbankan nyawamu?”

Ketika orang yang berdiri di pendapa itu menarik goloknya yang besar, maka orang yang menjawab itu mulai menjadi ragu-ragu. Apalagi kedua orang yang berdiri di sebelah-menyebelah pendapa itu pun telah menggenggam senjata mereka pula. Seorang di antaranya bersenjata canggah, dan seorang yang lain bersenjata kapak yang besar. Sedangkan mereka yang telah pingsan di kebun di belakang rumah Ki Demang itu pun telah ikut bersama mereka.

“Minggir!” orang itu berteriak lagi sambil memutar goloknya, “Aku akan mulai menghitung!” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Satu, dua, tiga…..”

Tiba-tiba saja terdengar jawaban, “Menghitunglah sampai seratus, Ki Sanak Kami tidak akan melepaskan Ki Demang. Kami akan menyerahkannya kepada yang berwenang mengadilinya.”

Orang yang bertubuh agak pendek itu menjadi semakin tegang. Di halaman, seseorang justru melangkah maju ke tangga pendapa. “Silahkan menghitung terus sampai esok.”

“Siapa kau, he?”

“Bertanyalah kepada kawan-kawanmu yang tadi berada di rumah Ki Demang. Sayang, kau tidak ada di sana waktu itu.”

Tiba-tiba saja Ki Demang itu pun berteriak, “Bunuh orang itu! Masih ada seorang lagi yang harus kau bunuh. Seorang perempuan.”

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa seorang perempuan. Di sela-sela tertawanya, ia pun berkata, “Aku di sini, Ki Demang.”

“Mampuslah kau!”

Rara Wulan itu pun melangkah mendekatinya. Katanya, “Jika kau mengumpati aku sekali lagi, gigimu akan rontok.”

Ki Demang itu pun terdiam. Perempuan itu tentu tidak hanya sekedar mengancam. Tetapi ia akan benar-benar memukul mulutnya jika ia berteriak lagi.

Dalam pada itu, kehadiran Glagah Putih dan Rara Wulan telah membesarkan hati orang-orang yang berada di halaman. Mereka yang semula sengat cemas alas kehadiran kaki tangan Ki Demang itu, telah dapat menarik nafas lega.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian kepada orang yang berdiri di pendapa, “sebaiknya kau tinggalkan tempat ini. Kesetiaanmu kepada Ki Demang akan sia-sia, karena Ki Demang sudah tidak akan berkuasa lagi di kademangan ini.”

“Omong kosong! Kau siapa anak muda? Kau tentu bukan rakyat kademangan ini.”

“Apakah kau juga penghuni kademangan ini? Kau dan kawan-kawanmu itu tidak lebih dari orang-orang upahan. Hidupmu tergantung kepada keadaan Ki Demang. Jika Ki Demang besok sudah tidak menjadi Demang lagi, bahkan jika Ki Demang harus menjalani hukuman, apakah kalian masih akan menunjukkan kesetiaan kalian? Renungkan ini, Ki Sanak.”

Orang itu memang merenung. Namun tiba-tiba ia pun berkata lantang, “Aku akan membebaskan Ki Demang! Jika ia sekarang bebas, maka aku masih dapat mengharapkan pemberiannya meskipun untuk yang terakhir kali. Tetapi jika sekarang Ki Demang tidak dapat aku bebaskan, maka upahku tidak akan terbayar.”

“Satu perhitungan yang cermat. Tetapi yang lebih buruk dapat terjadi. Kau tidak berhasil melepaskan Ki Demang, justru kau dan kawan-kawanmu itu-lah yang akan kami tangkap dan kami ikat pada pepohonan di halaman ini, sampai saatnya yang berwenang menahan dan mengadili itu datang.”

Orang yang berdiri di pendapa itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menggeram, “Apapun yang akan terjadi, minggir! Aku akan melepaskan Ki Demang.”

“Tidak ada gunanya, Ki Sanak. Sekali lagi aku peringatkan, pergilah.”

“Kau tidak berhak memerintahku!”

Glagah Putih tidak ingin berbantah terlalu panjang, selangkah lagi ia maju sambil berkata, “Marilah. Jika kau ingin menyelesaikannya dengan kekerasan.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dari kawan-kawannya yang pingsan ia sudah mendengar serba sedikit, tentang seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berilmu tinggi.

Namun tiba tiba saja orang itu berteriak kepada kawan-kawannya, “Bebaskan Ki Demang! Aku akan membunuh anak muda ini. Siapa yang menghalangi, singkirkan! Yang keras kepala, bunuh saja! Jangan ragu-ragu. Ini adalah kesempatan kita yang terakhir untuk menerima upah dari Ki Demang.”

Orang-orang yang ada di sebelah-menyebelah pendapa itu mulai beringsut. Keberanian orang-orang yang pingsan itu pun telah tumbuh kembali, karena kehadiran orang-orang yang mereka banggakan kemampuannya.

“angan ragu-ragu, meskipun kalian masing-masing harus membunuh sepuluh orang. Biarlah dua orang kakak beradik itu-lah yang bertanggungjawab.”

Namun demikian mereka bergerak, maka Rara Wulan telah menarik pedangnya sambil berkata lantang, “Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa! Jika ada di antara kalian yang membunuh satu orang saja, maka aku akan membunuh Ki Demang. Dengan demikian maka yang kalian lakukan adalah sia-sia, karena setelah Ki Demang mati, ia tidak akan sempat memberikan uang meskipun hanya sekeping.”

Orang-orang yang mulai bergerak itu tertegun. Sementara Glagah Putih pun berkata kepada orang yang berdiri di pendapa, “Dengar! Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

“Pengecut!”

“Kami bukan pengecut. Jika kau juga bukan pengecut, marilah, kita selesaikan persoalan ini dengan diri kita masing-masing sebagai taruhan. Kau dan aku. Jika kau menang, bawa Ki Demang. Tetapi jika kau kalah, kau harus tunduk kepada keputusan kami.”

Orang yang berdiri di atas pendapa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baik. Aku terima tantanganmu. Kita akan bertempur seorang melawan seorang. Tetapi kau harus berjanji, bahwa kau tidak akan ingkar.”

“Aku tidak akan ingkar.”

“Baik. Orang-orang yang ada di halaman ini menjadi saksi, bahwa kami berdua akan berperang tanding. Menurut pengertianku, bukan kita masing-masing yang menjadi taruhan, tetapi justru Ki Demang yang akan menjadi taruhan.”

“Apapun namanya, tetapi kita masing-masing mengetahui maksudnya. Turunlah, kita akan segera mulai.”

Orang yang berdiri di pendapa itu pun kemudian menuruni tangga pendapa. Nampaknya ia memang ragu-ragu. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia bertempur, maka ada kemungkinan ia dapat mengambil Ki Demang. Jika tidak, maka ia tidak berpengharapan sama sekali, meskipun dapat saja terjadi bahwa ia akan terbunuh di halaman itu. Namun sebaliknya, ia pun akan dapat membunuh lawannya itu.

Sejenak kemudian orang yang bertubuh agak pendek, sedang kulitnya seakan-akan terbuat dari tembaga itupun telah bersiap sepenuhnya, untuk bertempur melawan Glagah Putih.

Anak muda itu pun telah bergeser mendekat pula. Beberapa orang pun segera membuat lingkaran di halaman itu. Namun karena Glagah Putih sengaja bergeser lebih mendekati Ki Demang yang terikat, maka Ki Demang itu seakan-akan justru berada di arena itu pula.

Rara Wulan berdiri di sisi Ki Demang itu. Ia benar-benar bersiap untuk menghujamkan pedangnya di tubuh Ki Demang, jika para pengikutnya berusaha membebaskannya dengan kekerasan.

Sejenak kemudian, maka orang yang bertubuh pendek tetapi nampak sangat kokoh itu mulai menyerangnya. Ayunan tangannya telah menggetarkan udara di sekitarnya, sehingga bagaikan menimbulkan arus angin yang menerpa tubuh lawannya.

Tetapi Glagah Putih yang mempunyai banyak sekali pengalaman itu sama sekali tidak terkejut. Agaknya untuk menggertak lawannya, orang itu langsung menghentakkan ilmunya pada tataran yang tinggi.

Karena itu, maka Glagah Putih pun harus mengimbanginya. Ia tidak boleh terhempas oleh ilmu lawannya pada tataran yang tinggi, sementara ia masih baru mulai.

Karena itu, maka Glagah Putih pun langsung meningkatkan ilmunya pula. Namun agaknya Glagah Putih yang tidak sempat menjajagi ilmu lawannya itu, agak sulit untuk mengambil ancang-ancang.

Karena itu, maka untuk sementara Glagah Putih masih belum berniat menyerang. Ia masih saja berusaha untuk menghindari serangan-serangan lawannya. Namun sekali-sekali Glagah Putih sengaja menangkis serangan-serangan orang bertubuh agak pendek itu. Tetapi Glagah Putih tidak langsung membentur kekuatan lawan.

Dengan hati-hati Glagah Putih setiap kali menepis serangan-serangan lawannya menyamping, sehingga dengan demikian Glagah Putih dapat menjajagi kekuatan dan kemampuan lawannya.

Orang yang bertubuh pendek itu memang sudah mengetahui bahwa lawannya berilmu tinggi. Itulah sebabnya, ia tidak mau ragu-ragu dan tenggelam di bawah arus ilmu lawannya. Karena itulah, maka serangan-serangan orang bertubuh pendek itu pun segera datang membadai.

Meskipun demikian, Glagah Putih sama sekali tidak merasa terdesak. Semakin banyak ia mengenali kekuatan serta kemampuan lawannya, maka perlawanannya pun menjadi semakin mapan.

Dengan demikian, maka orang bertubuh pendek dan berkulit seperti tembaga itu semakin menyadari, bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi.

Karena itu, maka orang itu tidak ingin berlama-lama bertempur melawan anak muda itu. Apapun yang terjadi, biarlah segera terjadi.

Sambil berteriak nyaring orang itu menghentakkan kemampuannya, menyerang Glagah Putih dengan satu loncatan panjang. Tubuhnya meluncur seperti sebuah lembing yang dilontarkan dengan derasnya. Kedua kakinya terjulur lurus menyamping, mengarah ke dada Glagah Putih.

Glagah Putih yang melihat serangan itu serta meyakini kemampuannya sendiri, sama sekali tidak berusaha menghindar. Glagah Putih itu pun berdiri tegak menghadap ke arah lawannya. Satu kakinya melangkah sedikit ke depan, agak merendah pada lututnya, serta menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang keras. Glagah Putih tergetar setapak surut. Namun ia masih tetap pada sikapnya. Sementara itu, lawannya-lah yang justru terpental dengan kerasnya. Orang bertubuh pendek itu menjatuhkan dirinya dan berguling dua kali. Kemudian melenting bangkit berdiri.

Tetapi orang itu pun terhuyung-huyung sejenak. Ia berusaha untuk dapat berdiri tegak. Namun orang bertubuh pendek itu pun kemudian jatuh pada lututnya, dan bahkan kemudian terduduk sambil menyeringai menahan sakit. Kakinya yang membentur tangan Glagah Putih terasa sakit sekali. Tulang-tulangnya bagaikan telah berpatahan. Kakinya itu rasa-rasanya telah membentur selapis baja yang tidak goyah sama sekali.

Glagah Putih telah berdiri tegak. Selangkah ia maju mendekati lawannya yang kesakitan.

“Berdirilah,” berkata Glagah Putih, “atau pertempuran ini akan berhenti sampai di sini?”

“Setan kau, anak muda!”

“Jika kau menyerah, kita akan berhenti sampai sekian. Kau kalah dan kau tidak akan dapat membawa Ki Demang. Tetapi jika kau belum merasa kalah, cepat berdirilah, sebelum aku mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.”

Orang itu seakan-akan tidak ingin mengakui betapa sakitnya kakinya yang membentur pertahanan Glagah Putih. Karena itu, maka ia masih mencoba untuk bangkit berdiri. Tetapi usahanya itu sia-sia. Bahkan orang itu pun berteriak keras-keras untuk melepaskan kemarahan yang menyumbat di dadanya, sementara itu wadagnya tidak lagi mampu mendukungnya.

“Kau akan menyesal, anak muda!”

“Kenapa aku harus menyesal? Bukankah dengan demikian Ki Demang tidak akan terlepas dari tangan rakyatnya?”

“Dengar, anak muda. Aku tidak berdiri sendiri. Mungkin kali ini kau berhasil mengalahkan aku. Tetapi seseorang akan datang untuk menuntut balas.”

“Siapa?”

“Aku adalah salah seorang anggota dari sebuah keluarga besar, yang akan dapat menggulungmu menjadi debu.”

“Keluarga besar siapa?”

“Kau akan pingsan jika kau mendengarnya.”

“Sebut, Ki Sanak. Aku siap menghadapinya.”

“Setan kecil yang sombong. Kau akan mati membeku mendengar nama perguruanku.”

“Perguruan apa? Sebutlah”

“Aku adalah murid dari perguruan Kedung Jati.”

“Bohong!” teriak Glagah Putih, “Kau pakai nama perguruan Kedung Jati untuk menakut-nakuti orang lain. Aku mengenal unsur-unsur yang terdapat dalam ilmu perguruan Kedung Jati. Dan unsur-unsur gerakmu sama sekali tidak mencerminkan ilmu dari perguruan itu.” 

“Gila! Kau tidak percaya?”

“Aku tidak percaya, karena kami adalah murid dari perguruan Kedung Jati. Kau nodai nama perguruan Kedung Jati dengan petualangan kotormu itu. Aku akan melaporkan kau, orang pendek, bahwa kau telah menempatkan diri menjadi orang upahan dari tindak kejahatan yang dilakukan oleh Ki Demang, sehingga menimbulkan dongeng seolah-olah Ki Demang adalah serigala jadi-jadian yang memakan gadis-gadis remaja dan perempuan-perempuan muda.”

Orang bertubuh pendek serta yang kulitnya seperti tembaga itu menjadi pucat. Dengan suara yang tersendat ia pun bertanya, “Kau murid dari perguruan Kedung Jati?”

“Ya.”

“Kau akan melapor? Kepada siapa?”

“Apakah kau mengenal nama-nama seperti Kidang Rame, Wanda Segara, Nyi Yatni, Ki Saba Lintang…”

“Cukup, cukup! Jangan sebut-sebut nama itu lagi.”

“Kenapa?”

“Ambil Demang itu. Aku tidak akan berurusan lagi dengan orang itu.”

“Akui, bahwa kau bukan orang dari perguruan Kedung Jati! Atau kita akan membuka masalah baru? Persoalan yang akan timbul kemudian bukan lagi persoalan Ki Demang serigala jadi-jadian itu. Tetapi persoalan antara murid dari perguruan Kedung Jati.”

“Aku memang murid dari perguruan Kedung Jati. Tetapi aku belum terlalu lama berada di lingkungan keluarga perguruan Kedung Jati.”

Glagah Putih memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Sejak kapan kau menjadi keluarga perguruan Kedung Jati?”

“Menjelang pertempuran yang terjadi di Sangkal Putung.”

“Memang belum lama, tetapi kau sudah menodai nama perguruan Kedung Jati. Siapakah yang telah membawamu memasuki keluarga perguruan Kedung Jati? Atau katakan, siapakah orang yang langsung menanganimu?”

“Aku berada dalam lingkungan keluarga perguruan Kedung Jati bersama guruku.”

“Siapa nama gurumu?”

“Ki Ajar Sungsang.”

“Ki Ajar Sungsang? Jadi kau murid Ki Ajar Sungsang?”

“Ya. Kenapa?”

“Kau pantas untuk mati. Apalagi kau sudah mengotori nama perguruan Kedung Jati.”

“Aku… aku sudah mempunyai kebiasaan ini sebelum aku memasuki lingkungan keluarga perguruan Kedung Jati. Aku mohon ampun. Jangan bunuh aku.”

“Baik. Baik. Aku tidak akan membunuhmu. Tetapi persoalanmu akan sampai kepada Ki Saba Lintang.”

“Ampun. Aku mohon belas kasihanmu.”

“Setan kau, orang pendek. Siapa namamu? Kau harus mengatakan yang sebenarnya. Jika kau berbohong, maka kau akan mati di tanganku.”

“Namaku Jalu Sampar.”

“Baik, Jalu Sampar. Kali ini aku ijinkan kau pergi. Tetapi ingat, aku ada di sini. Aku akan selalu datang ke kademangan ini.”

“Jadi?”

“Pergilah. Bawa semua orang jahat itu pergi. Jika masih tertinggal seorang saja di sini, maka aku akan mencari orang yang bernama Jalu Sampar. Aku akan menelusurinya lewat jalur keluarga perguruan Kedung Jati. Aku akan mencari Ki Ajar Sungsang. Ki Saba Lintang tentu akan memberikan petunjuk, apa yang harus aku lakukan terhadap mereka yang telah menodai nama baik keluarga perguruan Kedung Jati.”

“Aku mohon ampun.”

“Pergilah. Cepat! Sebelum aku merubah keputusanku.”

Tertatih-tatih orang itu bangkit berdiri. Kedua orang kawannya dengan cepat mendapatkannya dan membantunya untuk bangkit berdiri.

“Bawa Jalu Sampar itu pergi! Bawa semua orang jahat yang telah diupah Ki Demang pergi dari kademangan ini! Atau harus mengalami nasib yang sangat buruk di tanganku.”

Kedua orang kawan Jalu Sampar itu pun telah memapah Jalu Sampar meninggalkan tempat itu. Ia pun memberi isyarat kepada orang-orang upahan Ki Demang yang lain untuk pergi.

Ki Demang yang terikat pada sebatang pohon, menjadi lemas. Ia tidak mempunyai harapan lagi untuk melepaskan diri dari tangan rakyatnya yang marah. Sementara itu, masih belum ada bebahu yang datang ke tempat itu. Jika mereka datang, Ki Demang juga tidak dapat membayangkan apakah mereka akan berpihak kepadanya, atau justru akan semakin menyulitkannya.

Rakyat padukuhan itu dengan tegang menyaksikan orang-orang upahan Ki Demang itu melangkah meninggalkan halaman rumah itu. Satu-satu mereka keluar dari regol halaman dan hilang di kegelapan.

Ketika perhatian orang-orang itu tertuju kepada mereka yang meninggalkan halaman rumah itu, Rara Wulan mendekati Glagah Putih sambil bertanya, “Siapakah Wanda Segara itu?”

“Wanda Segara?” ulang Glagah Putih.

“Ya, Wanda Segara.”

“Siapa? Darimana kau dengar nama itu?”

“Tadi kau sebut nama itu, di samping nama Kidang Rame, Nyi Yatni, Ki Saba Lintang.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “ya, aku sebut nama Wanda Segara. Aku hanya asal saja menyebutnya.”

“Jadi kau tidak mengenal orang bernama Wanda Segara?”

“Tidak.”

“Begitu yakin kau sebut namanya.”

“Asal saja aku menyebut sederet nama.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Kau ucapkan nama itu dengan mantap, sehingga kesannya kau bersungguh-sungguh.”

“Tetapi bukankah yang lain orangnya benar-benar ada?”

“Ya.”

Keduanya tidak berbicara lagi ketika orang-orang itu hilang di balik pintu regol.

Sepeninggal orang-orang itu, Glagah Putih sadar bahwa ia harus memberikan arah kepada orang-orang yang berada di halaman itu, agar mereka tidak berbuat sesuka hati mereka sendiri.

Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian naik ke tangga pendapa sambil berkata, “Sekarang, kita harus melakukan sesuatu. Aku usulkan untuk memanggil para bebahu, terutama Ki Jagabaya.”

Orang yang sudah separuh baya itu pun melangkah kedepan sambil berkata, “Aku sependapat, anak muda. Biarlah anak-anak muda memanggil para bebahu, terutama Ki Jagabaya.”

“Apakah Paman dapat minta bantuan anak-anak muda itu?”

Orang yang sudah separuh baya itu pun mengangguk sambil berkata, “Tentu. Aku akan dapat minta bantuan anak-anak muda itu untuk memanggil para bebahu kademangan dan padukuhan ini.”

Sejenak kemudian, maka beberapa orang anak muda telah berlari-lari memanggil para bebahu, terutama Ki Jagabaya.

Sementara itu, beberapa orang menjadi tidak sabar lagi. Mereka berteriak-teriak agar Ki Demang itu diserahkan kepada mereka.

Tetapi Glagah Putih tidak memberikannya. Orang yang sudah separuh baya itu pun berusaha untuk menenangkan mereka.

“Kita bukan orang-orang yang tidak mempunyai tatanan,” berkata orang yang sudah separuh baya itu, “kita harus dapat menahan diri.”

Sementara itu, Rara Wulan yang berdiri di sebelah Ki Demang yang terikat itu terkejut, ketika ia mendengar Ki Demang itu terisak.

“Kau menangis, Ki Demang?” bertanya Rara Wulan.

“Aku minta ampun,” suara Ki Demang menjadi serak.

“Biarlah para bebahu nanti menentukan, apakah yang akan mereka lakukan terhadap Ki Demang.”

“Aku tidak akan mengulanginya.”

“Sudah aku katakan, nanti para bebahu yang akan menentukan. Bukan aku.”

“Kau dapat menolongku. Kasihanilah aku.”

“Apakah kau pernah menaruh belas kasihan kepada gadis-gadis yang kau jadikan korbanmu itu?”

“Aku khilaf. Saat itu hatiku sedang dikuasai oleh iblis laknat.”

“Saat itu? Yang terjadi bukannya hanya sesaat, Ki Demang. Tetapi untuk waktu yang panjang, sejak kau ditetapkan menjadi Demang. Sebelum itu, kau pun telah melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk, bersandar pada kekuasaan ayahmu waktu itu.”

“Aku sudah menjadi jera sekarang.”

“Mungkin sekarang. Tetapi besok, penyakitmu itu akan kambuh lagi, Ki Demang.”

“Tidak. Aku bersumpah.”

“Apa artinya sumpah bagi orang yang sedang dikuasai iblis? Sumpah adalah sebuah tipuan yang paling keji bagi orang yang berhati iblis.”

“O, ampun. Aku mohon ampun.”

Rara Wulan tidak sempat menjawab. Seorang laki-laki yang masih terhitung muda telah menjawabnya, “Itu adalah keluhan iblis dari dasar neraka. Tetapi jika benar ia diampuni, maka kejahatan yang akan ditimbulkan tentu akan berlipat.”

“Tidak. Tidak.”

“Jangan didengar! Suruh orang itu diam. Atau kita memaksanya diam!” teriak seorang yang lain.

“Diamlah!” berkata Rara Wulan, “Atau aku akan menyumbat mulutmu.”

Ki Demang memang tidak berbicara lagi. Tetapi ia tidak dapat menahan isaknya.

Baru sejenak kemudian, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah datang.

“Apa yang terjadi di sini?”

“Ki Demang,” berkata orang yang sudah separuh baya

“Kenapa dengan Ki Demang?”

Orang itu pun menunjuk Ki Demang yang terikat pada sebatang pohon.

“Kenapa dengan Ki Demang? Siapa yang telah mengikatnya?”

“Aku,” jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng.

“Kenapa?”

“Ki Demang tidak ubahnya seperti seekor serigala jadi-jadian, yang terbiasa menerkam seekor kambing muda.”

“Apa yang kau katakan itu?”

“Bukankah Ki Jagabaya pernah mendengar dongeng tentang Ki Demang yang sering menculik, membunuh dan makan daging perawan?”

Ki Jagabaya tidak segera menjawab.

“Ki Jagabaya pernah mendengarnya? Semua orang di kademangan ini pernah mendengar dongeng seperti itu.”

“Aku tidak percaya,” berkata Ki Jagabaya

“Tentu. Semua orang juga tidak percaya. Yang terjadi memang tidak seperti itu.”

“Jadi kenapa?”

“Tetapi Ki Demang memang sering menculik gadis-gadis remaja kademangan ini.”

“Jangan asal menuduh saja. Kau harus dapat membuktikan atau menunjuk saksi yang bersedia memberikan kesaksian.”

“Tentu,” jawab Rara Wulan, “aku adalah salah seorang perempuan yang diculik oleh kaki tangan Ki Demang.”

“Kau siapa?”

“Aku Wara Sasi. Tetapi saksi yang lebih baik adalah anak gadis pemilik rumah ini.”

Ki Jagabaya mengerutkan dahinya. Ketika ia berpaling ke pendapa, dilihatnya seorang gadis dalam pelukan ibunya.

“Gadis itukah?”

“Ya.”

“Kau bersedia memberikan kesaksian yang sebenarnya?”

Gadis itu mengangguk.

Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Ayah gadis itu pun melangkah mendekatinya sambil berkata, “Ki Jagabaya. Anak itu adalah anakku. Kau tentu dapat mengenalinya.”

Ki Jagabaya mengangguk. Katanya, “Ya. Aku memang dapat mengenalinya.”

“Ia bersedia menjadi saksi, meskipun ia harus menyandang malu.”

Ki Jagabaya itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Baik. Sekarang biarlah Ki Demang bersamaku ke padukuhan induk.”

“Ia harus dihukum!” teriak seseorang.

“Ya. Tetapi kita tidak wenang menjatuhkan hukuman itu.”

“Jika demikian, biarlah Ki Demang berada di sini!”

“Kalian juga tidak dapat mengikat Ki Demang seperti itu. Bukankah Ki Demang belum dinyatakan bersalah?”

“Aku berhak melakukannya,” berkata Rara Wulan, “bahkan seandainya aku ingin membunuhnya, karena aku mempertahankan diriku dari kebuasannya. Bahkan dari usahanya untuk membunuhku agar jejak kejahatannya hilang.”

“Meskipun demikian, kau tidak berhak membunuhnya.”

“Sekarang. Justru setelah Ki Demang terikat di pohon itu. Tetapi tadi, pada saat kami bertempur, aku dapat membunuhnya tanpa dapat dianggap bersalah.”

“Kau jangan keras kepala.”

“Aku pertahankan Ki Demang untuk tetap berada di padukuhan ini,” berkata Rara Wulan.

“Aku perintahkan untuk melepaskan ikatan Ki Demang itu.”

Ayah gadis itu-lah yang menjawab, “Ki Jagabaya. Aku minta Ki Jagabaya melihat persoalan ini dalam keseluruhan. Setelah anakku dapat dilepaskan dari tangan Ki Demang, apakah Ki Jagabaya tidak berusaha untuk mencari beberapa orang gadis yang pernah hilang di kademangan ini? Anakku adalah gadis yang hilang dari padukuhan ini. Tetapi di padukuhan-padukuhan lain, ada juga gadis-gadis yang hilang. Nah, Ki Demang ada di sini sekarang. Ki Jagabaya dapat bertanya kepadanya.”

Ki Jagabaya menjadi ragu-ragu sejenak. Namun seorang laki-laki yang bertubuh gemuk berkata, “Bukankah salah seorang gadis yang hilang itu kemanakan Ki Jagabaya sendiri?”

“He?” tiba-tiba wajah Ki Jagabaya menjadi tegang.

“Salah seorang gadis yang hilang itu adalah kemenakan Ki Jagabaya.”

Tiba-tiba saja jantung Ki Jagabaya itu bergejolak. Sebenarnyalah bahwa salah seorang gadis yang hilang justru dari padukuhan induk adalah kemanakan Ki Jagabaya sendiri.

“Tolong kemenakanmu itu sebelum terlambat, Ki Jagabaya,” berkata orang bertubuh gemuk itu.

Betapapun terasa dada Ki Jagabaya berguncang, namun ia masih juga berusaha menahan diri. Dengan suara yang ditahan-tahan Ki Jagabaya itu pun bertanya, “Ki Demang. Apakah benar bahwa kemenakanku itu juga kau ambil?”

Tangis Ki Demang mengeras. Di sela-sela isaknya Ki Demang itu menjawab, “Ya, Ki Jagabaya. Aku-lah yang telah memerintahkan untuk mengambil kemanakanmu.”

Darah Ki Jagabaya serasa mendidih. Kakak perempuannya yang kehilangan anaknya itu bagaikan menjadi gila. Ia menangis setiap saat ia teringat kepada anak gadisnya. Kadang-kadang berteriak-teriak, namun kadang-kadang ia diam saja sepanjang hari. Bahkan suaminya pun bagaikan kehilangan akal. Seekor dari kedua ekor lembunya sudah dijual untuk mencari seorang dukun yang dianggap pandai, yang dapat memberikan petunjuk dimana anak gadisnya itu berada. Namun usaha itu sia-sia.

Sekarang ia mendengar pengakuan Ki Demang dengan serta-merta, bahwa kemanakannya itu telah diambil oleh Ki Demang.

Kecurigaan itu memang sudah ada, sebagaimana beredarnya dongeng tentang Ki Demang yang bagaikan serigala itu. Namun Ki Jagabaya masih belum yakin.

Sekarang, ia mendengar langsung pengakuan itu. Untunglah bahwa ia justru seorang Jagabaya, yang tidak boleh bertindak sekehendak hatinya sendiri. Sehingga karena itu, maka Ki Jagabaya itu pun bertanya, “Dimana anak itu kau sembunyikan, Ki Demang?”

Sebelum Ki Demang menjawab, Glagah Putih pun berkata, “Nah, Ki Jagabaya. Jika untuk kepentingan pencarian gadis-gadis yang hilang, silahkan membawa Ki Demang. Tetapi biarlah rakyat kademangan ini, setidak-tidaknya para bebahu, menjadi saksi.”

Ki Jagabaya mengangguk. Katanya, “Baik. Aku akan membawa Ki Demang untuk menemukan kemanakanku itu,”

“Bukan hanya kemanakan Ki Jagabaya. Tetapi masih ada gadis-gadis yang lain yang disembunyikannya.”

“Aku akan membawanya untuk menemukan semua gadis yang pernah hilang dari kademangan ini, atau bahkan gadis dari kademangan yang lain.”

“Silahkan, Ki Jagabaya. Silahkan melepas talinya dari sebatang pohon itu. Tetapi jangan lepas ikatan tangannya, agar ia tidak dapat melarikan diri dari tangan Ki Jagabaya.”

“Baik, anak muda. Kami akan menggiring Ki Demang. Mudah-mudahan gadis-gadis yang hilang itu dapat diketemukan.”

Rara Wulan pun melangkah surut. Ki Jagabaya dan dua orang bebahu melangkah mendekati Ki Demang. Dengan kasar mereka membuka tali yang mengikat Ki Demang pada sebatang pohon itu.

Sikap Ki Jagabaya pun telah berubah. Sejak seorang mengingatkannya bahwa kemanakannya juga telah hilang, maka rasa-rasanya ia pun ingin langsung menghukum Ki Demang. Namun untunglah bahwa ia masih selalu ingat akan kedudukannya, sehingga ia tidak langsung menghakimi Ki Demang.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah menggiring Ki Demang pergi ke padukuhan induk. Ia harus menunjukkan gadis-gadis yang lain, yang telah diculiknya dan disembunyikannya.

Beberapa orang laki-laki ikut mengiringkannya. Mereka membawa senjata apa adanya untuk berjaga-jaga, jika orang-orang upahan Ki Demang ingin merebut dan menyelamatkan Ki Demang.

Semakin lama laki-laki yang mengiringinya itu pun menjadi semakin banyak, sehingga terjadi sebuah iring-iringan yang panjang.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah tidak ada di dalam iring-iringan itu. Mereka justru memisahkan diri, untuk selanjutnya meninggalkan kademangan yang sedang sibuk membuka rahasia kejahatan Demang mereka sendiri.

“Apakah kita tidak perlu mengamati mereka?” bertanya Rara Wulan.

“Dari kejauhan saja, Rara. Aku yakin bahwa Ki Demang akan menunjukkan semua gadis yang telah diculik dan disembunyikannya. Selanjurnya kita tidak usah turut campur.”

“Jika orang-orang upahannya itu datang lagi?”

“Kau lihat berapa banyak orang yang ikut mengiringinya. Mereka tentu tidak akan merasa takut lagi kepada orang-orang upahan Ki Demang. Laki-laki yang mengiringinya itu pada umumnya membawa senjata apa saja yang ada. Bahkan ada yang membawa slumbat sepotong kayu yang ujungnya ditajamkan, yang biasanya untuk mengupas serabut kelapa. Ada yang sekedar membawa kayu selarak pintu. Namun ada juga yang membawa tombak, pedang dan keris.

“Tadi seharusnya Kakang tidak melepaskan orang-orang upahan itu. Seharusnya Kakang menangkapnya dan mengikat mereka, sehingga mereka tidak akan mengganggu lagi.”

“Semula aku juga berpikir seperti itu, Rara. Tetapi aku berpikir lebih jauh lagi. Jika mereka disakiti oleh orang-orang kademangan ini, maka dendamnya akan berbahaya bagi kademangan ini. Aku percaya bahwa salah seorang di antara mereka mempunyai hubungan dengan sebuah perguruan. Dengan melepaskan mereka, maka rasa-rasanya mereka tidak akan mendendam dan kembali lagi ke padukuhan ini untuk melakukan pembalasan.”

“Mereka hanya akan mendendam kepada kita?”

“Itu mungkin sekali. Tapi bukankah kita sudah menyadari kemungkinan seperti itu akan dapat terjadi atas diri kita?”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Demikianlah, maka keduanya tidak melibatkan diri lagi dalam persoalan Ki Demang, yang sudah berada di tangan rakyatnya. Biarlah Ki Jagabaya untuk sementara memimpin kademangan itu. Khususnya untuk menyelesaikan persoalan Ki Demang dengan gadis-gadis yang pernah diculiknya, serta orang tua mereka

Agaknya semalam suntuk Ki Jagabaya dan sekelompok laki-laki di kademangan itu mencari gadis-gadis yang pernah hilang. Ketika kemudian matahari terbit, semua gadis telah dapat dibebaskan dan diserahkan kepada orang tua masing-masing.

Hampir saja para bebahu tidak mampu menahan kemarahan orang-orang yang pernah kehilangan anak gadisnya. Seseorang dengan serta merta telah mengayunkan pedangnya. Untunglah, bahwa Ki Jagabaya sempat mendorong Ki Demang ke samping. Ki Demang itu jatuh terguling di tanah. Namun ujung pedang itu masih juga menyentuh kulitnya, sehingga bajunya di arah lengannya koyak, serta kulitnya tergores sehingga darah mulai menitik.

Yang justru mengalami benturan perasaan terberat adalah Ki Jagabaya. Sebagai seorang paman yang pernah kehilangan kemenakannya, maka rasa-rasanya ia pun ingin mengungkapkan kemarahannya. Tetapi justru karena kedudukannya, maka ia harus menahan agar orang-orang yang marah itu tidak langsung menghakimi Ki Demang yang pucat, gemetar dan menangis itu.

Akhirnya, Ki Jagabaya telah membawa Ki Demang dan menahannya di banjar, dengan kaki dan tangan terikat.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan kademangan itu. Ki Jagabaya dan terutama orang tua gadis yang pernah hilang itu, tidak berhasil menemukannya. Orang yang semalam dititipi pedang itu pun tidak tahu, kemana kedua orang yang mengaku sebagai kakak beradik itu pergi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar