Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 334

Buku 334

Dengan nada rendah Glagah Putih pun berkata, “Itulah rahasia yang tersimpan di Kadipaten Jipang. Pangeran Arya Penangsang sebagai pribadi yang seharusnya menerima wahyu keraton, ternyata tidak sejalan dengan orang yang memiliki sarang wahyu keraton itu.”

“Bukankah Ki Patih Mantahun orang yang sangat setia kepada pepundennya?”

“Aku masih terlalu muda waktu itu, Ki Sanak. Aku hanya mendengar dari orang-orang yang sudah lebih tua. Bahkan di Jipang ada beberapa nama di samping Ki Patih Mantahun. Ada Macan Kepatihan dan Sumangkar, dan ada saudara laki-laki Pangeran Arya Penangsang lain ibu, yang bernama Pangeran Arya Mataram.”

“Kenapa dengan mereka?”

“Kau tahu yang aku maksudkan,” jawab Glagah Putih. Namun kemudian Glagah Putih pun bertanya, “Kau berada di jalur yang mana Ki Sanak?”

“Tidak. Aku tidak berada di mana-mana. Aku hanya seorang yang senang mendengarkan cerita-cerita yang menyangkut perjalanan wahyu keraton di Tanah ini. Aku selalu bertanya kepada mereka yang aku anggap mengetahuinya. Tetapi semuanya itu sekedar sebagai pengetahuan semata-mata.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kau tahu bahwa aku pun hanya mendengar kata orang, karena umurku.”

“Ya, anak muda.”

“Nah, sekarang kami akan minta diri. Kami akan memenuhi undangan Paman penjual jagung muda ini.”

“Sekali lagi atas nama orang-orang yang berada di pasar ini, kami mengucapkan terima kasih, Angger berdua.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan pasar itu bersama laki-laki kurus penjual jagung muda itu. Dengan nada dalam orang itu berdesis, “Rumahku tidak jauh.”

Demikianlah, mereka bertiga berjalan menjauhi pasar yang menjadi semakin sepi. Apalagi setelah putut dari Ngawu-Awu itu menimbulkan keributan. Orang-orang yang biasanya masih berada di pasar, telah bergegas mengumpulkan dagangannya untuk dibawa pulang.

Seperti yang dikatakan oleh orang kurus itu, maka rumahnya memang tidak terlalu jauh. Mereka melintasi tiga buah bulak yang luas, kemudian mereka memasuki sebuah padukuhan.

“Di padukuhan inikah Paman tinggal?”

Laki-laki kurus itu pun menggeleng. Katanya, “Aku minta maaf, Angger berdua. Aku telah berbohong. Aku tidak tinggal di padukuhan ini.”

“Dimana Paman tinggal?”

“Di seberang hutan perdu, di belakang padukuhan ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun mulai sadar, bahwa laki-laki itu tentu menyimpan rahasia di dalam dirinya.

Beberapa saat kemudian, ketika mereka keluar dari padukuhan, maka laki-laki itu pun berkata, “Kalian lihat bulak itu?”

“Ya, Paman.”

“Di belakangnya ada hutan perdu.”

“Ya, Paman.”

“Kemudian sebuah hutan yang memanjang.”

“Ya, Paman.”

“Aku tinggal di belakang hutan itu.”

Glagah Putih pun kemudian menggamit Rara Wulan, sehingga keduanya berhenti.

“Apa maksud Paman sebenarnya?”

“Jangan salah paham, Ngger. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin memperkenalkan diriku.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun sikap laki-laki kurus itu memang sudah berubah. Ia tidak lagi nampak pucat dan ketakutan. Tetapi wajahnya nampak tenang dan dalam.

“Aku masih tetap mempersilahkan Angger berdua untuk singgah barang sebentar.”

Glagah Putih menarik nafas dalam dalam. Namun kemudian ia pun berkata kepada Rara Wulan, “Marilah, Rara.”

Rara Wulan memang agak ragu. Tetapi karena Glagah Pulih mengajaknya, maka Rara Wulan pun melangkah juga bersama laki-laki kurus itu.

Ketiganya pun kemudian telah memasuki jalan sempit di antara kotak-kotak sawah. Bahkan kemudian melewati jalan setapak menuju ke padang perdu.

“Kadang-kadang memang ada orang mencari rumput di padang perdu ini. Terutama di musim kering. Tetapi jarang-jarang sekali. Orang-orang padukuhan ini tahu, bahwa di hutan itu masih terdapat binatang-binatang buas yang berbahaya.”

“Paman tinggal di hutan yang dihuni binatang-binatang buas itu?”

“Tidak di hutan itu. Aku tinggal di sebuah pategalan, yang sejak tiga bulan yang lalu aku kerjakan. Ketika aku datang di padukuhan di sebelah hutan dalam keadaan yang nampaknya sangat buruk, maka seseorang telah memberikan pekerjaan kepadaku. Menggarap pategalannya. Itulah sebabnya aku mempunyai jagung muda yang dapat aku jual di pasar.”

“Siapakah Paman sebenarnya?” bertanya Glagah Putih kemudian.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka bertiga telah melintasi padang perdu, kemudian memasuki pinggiran hutan yang memanjang. Mereka melewati jalan yang sempit dan licin karena udara lembab di hutan itu.

Dengan hati-hati mereka berjalan sepanjang jalan yang basah itu. Sinar matahari rasa-rasanya tidak terlalu banyak yang sempat menggapai tanah, karena rimbunnya dedaunan.

Beberapa saat lamanya mereka menyusuri jalan sempit itu. Kemudian jalur jalan itu mulai menyimpang dari pinggir hutan dan memasuki padang perdu di sisi yang lain. Di seberang padang perdu itu, terdapat sebuah pategalan yang terhitung luas.

“Rumahku ada di pategalan itu.”

“Sendiri?” bertanya Rara Wulan.

“Ya, sendiri. Aku berbohong dengan menyebut anak dan istri yang tinggal bersamaku.”

“Apa maksud Paman sebenarnya?”

“Tidak ada apa-apa, Ngger. Sungguh tidak ada apa apa, selain memperkenalkan diri.”

“Kita dapat berkenalan dimana saja.”

“Tentu saja kita dapat memilih tempat yang terbaik. Selain memperkenalkan diri, aku mempunyai sebuah dongeng yang barangkali menarik.”

“Dongeng?”

“Ya, dongeng.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu di sebelahnya, Glagah Putih termangu-mangu.

Namun mereka bertiga itu pun berjalan terus menuju sebuah gubug, yang berada di pategalan yang ditanami jagung di antara beberapa batang pohon buah-buahan.

“Inilah gubugku, Ngger. Marilah, masuklah.”

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian duduk di sebuah lincak panjang di emperan rumah itu. Katanya, “Terima kasih, Paman. Kami duduk di sini saja.”

Laki-laki kurus itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Aku persilahkan kalian duduk di dalam.”

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak beranjak dari tempatnya. “Terima kasih, Paman. Aku duduk di sini saja.”

Laki-laki kurus itu tidak memaksa. Ia pun kemudian duduk pula di sebelah Glagah Putih, sambil berdesis, “Aku sudah beberapa bulan tinggal di gubug ini atas ijin pemiliknya. Aku diserahi untuk menggarap beberapa kotak pategalan yang kurang subur ini. Tetapi ternyata jagung tanamanku dapat memberikan hasil yang cukup baik. Sebagian, atas ijin pemilik pategalan ini, aku petik selagi jagungnya masih muda. Aku jual di pasar karena aku membutuhkan beberapa keping uang untuk membeli kebutuhan hidupku sehari-hari, terutama garam.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Gula kelapa aku tidak perlu membeli. Setiap hari aku juga menyadap legen enam batang kelapa di pategalan ini. Semuanya aku serahkan kepada pemiliknya. Aku hanya mendapat bagian gula kelapa yang sudah jadi. Karena kebutuhanku tidak terlalu banyak, maka sebagian ditukar degan bahan-bahan lain yang aku perlukan bagi hidupku sehari-hari.”

“Itukah dongeng yang ingin Paman sampaikan?”

“Tidak. Bukan itu. Itu adalah bagian dari kenyataan tentang diriku. Bukankah aku ingin memperkenalkan diri?”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Orang memanggilku Carang Blabar.”

“Bukankah Ki Carang Blabar akan menceritakan sebuah dongeng yang barangkali menarik?”

“Ya. Aku memang akan menceritakan sebuah dongeng. Tetapi siapakah nama Angger berdua?”

“Namaku Warigalit. Adikku ini namanya Wara Sasi.”

“Nama yang baik.”

“Paman, rasa-rasanya aku ingin segera mendengar dongeng yang paman Carang Blabar sanggupkan,” berkata Rara Wulan, yang disebut bernama Wara Sasi.

Laki-laki kurus itu tersenyum. Katanya, “Biarlah cepat malam. Tetapi aku tidak tahu, apakah dongengku menarik atau tidak bagi kalian.”

“Tentu menarik, Paman,” desis Rara Wulan.

“Bahwa kalian telah menolong aku, benar-benar telah menyentuh perasaanku. Kalian tidak menghiraukan keselamatan kalian sendiri, karena kalian tidak tahu tataran kemampuan lawan kalian ketika kalian mencegah mereka. Aku tahu, bahwa yang tumbuh di hati kalian pada waktu itu adalah menyelamatkan aku, tanpa menghiraukan diri kalian sendiri. Jika saja orang yang mengaku putut dari Ngawu-Awu itu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari kalian, maka kalian akan mengalami kesulitan.”

“Kami tidak sempat membuat perhitungan sejauh itu, Paman,” jawab Glagah Putih.

“Karena itu, maka aku merasa berhutang budi kepada kalian berdua.”

“Sudahlah. Sekarang, silahkan Paman menceritakan dongeng Paman itu.”

“Tetapi tunggulah sebentar, Ngger. Aku akan membuat minuman buat kalan berdua.”

“Tidak usah, Paman, terima kasih. Kami tidak haus.”

“Atau barangkali aku dapat memetik kelapa muda pada pohon kelapa di sebelah.”

“Bukankah pohon kelapa di pategalan ini disadap legennya sehingga tidak berbuah?”

“Tidak semuanya, Ngger. Hanya enam batang yang disadap legennya. Masih ada beberapa lagi pohon kelapa di pategalan ini. Pemiliknya tidak akan marah jika aku memetik kelapa mudanya dua atau tiga butir saja.”

“Sudahlah, Paman. Terima kasih.”

“Nampaknya kalian terlalu ingin mendengar dongeng itu.”

“Aku yakin bahwa dongeng ini bukan dongeng biasa, Bukan sedekar cerita tentang kancil yang mencuri mentimun, atau tentang dua orang putri yang menjelma menjadi keong emas.”

“Ya. Aku ingin menceritakan dongeng tentang orang yang berjualan barang-barang anyaman bambu itu.”

“O.”

“Orang itu belum lama berjualan di pasar itu.”

“Kenapa dengan orang itu?”

“Orang itu ternyata tertarik dengan cerita Angger Warigalit tentang tongkat baja putih.”

“Ya.”

“Orang itu salah seorang murid perguruan Kedung Jati yang sesungguhnya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Dengan nada tinggi Glagah Putih itu pun bertanya, “Kau berkata sebenarnya?”

“Ya. Ia adalah murid dari tataran terbaik di perguruan Kedung Jati. Bahkan orang itu telah melengkapi ilmunya dari beberapa perguruan lain yang berhasil disadapnya. Dari landasan ilmu, orang itu tidak kalah dari orang yang bernama Ki Saba Lintang. Tetapi Ki Saba Lintang memiliki kesempatan yang lebih baik.”

“Jika demikian, orang itu tentu mentertawakan aku.”

Orang itu memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa orang itu mentertawakanmu?”

Glagah Pulih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika orang itu benar murid dari perguruan Kedung Jati dari tataran terbaik, maka ia akan menganggap aku terlalu sombong. Aku adalah murid dari perguruan Kedung Jati dari tataran pemula.”

Laki-Iaki itu tersenyum. Namun Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya, “Tetapi darimana Paman tahu, bahwa orang itu adalah murid perguruan Kedung Jati dari tataran terbaik?”

Ki Carang Blabar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Karena sikapmu, maka aku percaya kepadamu, bahwa kau tidak akan dengan sengaja mencelakakan orang lain. Karena itu, seandainya aku katakan satu rahasia kepadamu, bukankah kalian bersedia menyimpannya?”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun mengangguk.

“Baiklah,” orang itu berhenti sejenak, lalu, “laki-laki itu pernah datang ke perguruanku. Ia berhasil mencuri beberapa rahasia unsur-unsur gerak terbaik dari perguruanku. Unsur gerak yang hanya diketahui oleh beberapa orang dalam tataran tertinggi dan perguruanku. Untunglah, bahwa orang itu masih belum mengetahui bahwa masih ada perpaduan dari unsur-unsur gerak itu yang mempunyai watak yang lebih lengkap. Sehingga bagi mereka yang memiliki landasan yang sama, maka pengetahuan tentang unsur-unsur gerak dalam perpaduan yang serasi itu mempunyai kemungkinan lebih baik.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun dengan suara yang dalam Glagah Putih berkata, “Kami mohon maaf atas kesombongan kami, Paman Carang Blabar. Kami telah dengan angkuh berusaha menolong orang yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari kemampuan ilmu kami berdua.”

“Tidak. Aku tidak mengatakan bahwa aku memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu kalian berdua.”

“Kami berdua memang baru mulai. Seharusnya kami tidak menolong Paman, karena Paman tentu akan dapat menyelamatkan diri sendiri.”

“Yang penting bukan itu, Angger berdua. Yang aku kagumi adalah kesediaan kalian untuk menolong tanpa menghiraukan keselamatan kalian sendiri.”

“Yang kami lakukan itu semata-mata terdorong oleh kewajiban kami dalam tatanan pergaulan hidup sesama.”

“Aku mengerti. Sikap kalian itulah yang membuat aku percaya kepada kalian berdua, sehingga aku tidak lagi kuasa merahasiakan diriku sendiri, sebagaimana aku lakukan.” Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Jika kalian berdua tidak mencoba menolongku, maka mungkin sekali rahasia tentang diriku akan terbongkar pada hari ini juga. Yang terjadi kemudian tentu benturan ilmu antara aku dan penjual barang-barang anyaman bambu itu. Mungkin benturan ilmu antara hidup dan mati.”

“Demikian tinggikah ilmu orang itu?”

“Ia menguasai ilmu terbaik dari perguruan Kedung Jati. Kemudian kebiasaannya mencuri unsur-unsur gerak terbaik dari beberapa perguruan untuk melengkapi ilmunya itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Carang Blabar itu pun berkata, “Maaf, Angger berdua. Menilik apa yang telah kalian lakukan, dan membaca dari unsur-unsur gerak yang nampak, maka kalian tentu bukan murid dari perguruan Kedung Jati. Apalagi dalam tataran pemula.”

“Apa yang Paman ketahui tentang ilmuku?”

“Yang aku ketahui sebagaimana yang telah aku katakan. Kalian bukan murid-murid perguruan Kedung Jati.”

“Apakah orang yang menjual barang-barang anyaman itu juga tahu, bahwa kami bukan murid-murid dari perguruan Kedung Jati?”

“Tentu. Apalagi mereka yang memang bersumber dari perguruan Kedung Jati itu sendiri.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Angger berdua, dalam kesempatan ini aku pun ingin memperingatkan, bahwa kalian berdua harus berhati-hati. Orang yang menjual barang-barang anyaman dari bambu itu tentu menaruh perhatian kepada kalian berdua, justru karena kalian telah mengaku murid dari Kedung Jati.”

“Terima kasih atas peringatan Paman.”

“Tetapi jangan terlalu cemas. Aku mendapat tugas untuk mengawasinya. Karena itu, aku akan berusaha untuk tetap berada tidak terlalu jauh daripadanya.”

“Jika pada suatu saat orang itu mengetahui bahwa Paman Carang Blabar mengikuti dan mengawasinya?”

“Apa boleh buat,” suara Ki Carang Blabar merendah, “tetapi aku dan perguruan kami tidak memusuhinya karena ia orang dari perguruan Kedung Jati. Tetapi karena orang itu telah mencuri unsur-unsur yang penting dari ilmu yang dikembangkan oleh perguruanku.”

“Apakah orang itu pada sualu saat harus dibinasakan?”

“Tidak. Tetapi unsur-unsur gerak yang dicurinya itu harus dilepaskan darinya.  Mungkin usaha untuk melakukannya akan dapat menimbulkan akibat lain yang sangat merugikan orang itu. Tetapi apaboleh buat.”

“Satu tugas yang berat bagi Paman Carang Blabar.”

“Ya. Karena akibatnya dapat sebaliknya, justru aku-lah yang kehilangan segala-galanya. Bahkan hidupku, karena aku tidak mampu lagi mengatasi ilmunya.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Paman. Mungkin Paman melihat beberapa unsur gerak pada ilmuku memang bukan bersumber dari perguruan Kedung Jati. Tetapi barangkali anggapan Paman tentang kami berdua akan berbeda, jika Paman sempat memperhatikan ilmu kami dengan lebih saksama.”

Ki Carang Blabar ilu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Apakah kalian dapat menunjukkannya?”

“Tentu, Paman, jika Paman menghendaki.”

“Jika kalian tidak berkeberatan, aku ingin melihatnya lebih jelas dari yang aku lihat di pasar. Di pasar itu aku sedang memerankan seorang yang sangat ketakutan. Mungkin ada yang harus aku perhatikan, tetapi terlewatkan.”

Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata kepada Rara Wulan, “Bukankah kita murid pemula dari perguruan Kedung Jati?”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Ia sadar bahwa ia memang memiliki saluran ilmu dari perguruan Kedung Jati, meskipun telah terjadi beberapa perkembangan sesuai dengan latihan-latihan yang dilakukannya bersama orang lain, selain Sekar Mirah.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang sudah sering berlatih bersama Rara Wulan pun mengenal serba sedikit unsur-unsur gerak yang disadap oleh Rara Wulan dari Sekar Mirah.

“Paman,” berkata Glagah Putih, “kami ingin menunjukkan bahwa kami adalah murid-murid pemula dari perguruan Kedung Jati.”

“Silahkan, Ngger. Barangkali akan sangat menarik.”

Sejenak kemudian, maka Rara Wulan dan Glagah Putih pun telah mempertunjukkan bahwa mereka adalah termasuk pewaris dari perguruan Kedung Jati.

Demikianlah, maka ketika keduanya bertempur di halaman gubug Ki Carang Blabar, maka Ki Carang Blabar itu memperhatikannya dengan bersungguh-sungguh. Ia memang melihat ilmu yang menjadi landasan dari perguruan Kedung Jati nampak pada kedua orang itu. Bahkan pada perempuan muda itu, ilmu keturunan dari perguruan Kedung Jati nampak lebih jelas dari yang nampak pada laki-laki muda yang mengaku bernama Warigalit ilu. Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mengakhiri perkelahian mereka, untuk sekedar menunjukkan dasar ilmu mereka kepada Ki Carang Blabar.

Sambil mengusap keringatnya yang mengembun di kening dengan lengan bajunya, Rara Wulan pun bertanya, “Bagaimana menurut pendapat Ki Carang Blabar? Apakah aku bukan salah seorang mund pemula dari perguruan Kedung Jati?”

“Aku melihat unsur-unsur gerak dan ilmu yang dikembangkan dari perguruan Kedung Jati, Ngger. Tetapi justru karena itu, aku menjadi semakin kagum kepada Angger berdua. Ternyata dalam usia semuda Angger berdua, kalian telah memiliki ilmu dan berbagai sumber, yang telah luluh menyatu.”

“Terima kasih atas pujian itu, Paman Tetapi apa yang kami miliki sama sekali tidak berarti apa-apa. Kami hanya ingin menyatakan kesungguhan kami, bahwa kami memiliki landasan ilmu dari perguruan Kedung Jati. Terutama adikku, Wara Sasi.”

“Aku percaya, Ngger. Angger Wara Sasi memang memiliki unsur gerak dasar yang jelas bersumber dari perguruan Kedung Jati. Tetapi Angger Wara Sasi bukannya berada pada tataran pemula.”

“Ah, Paman. Paman selalu memuji. Jika aku disebut bukan lagi sebagai pemula, lalu siapakah yang pantas disebut pemula?”

Ki Carang Blabar tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi kesimpulanku, Angger berdua telah memiliki ilmu yang cukup sebagai beka! pengembaraan. Tetapi Angger berdua masih terlalu muda, sehingga Angger berdua perlu sedikit mengendapkan gejolak perasaan Angger, menghadapi persoalan-persoalan yang gawat.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih pun kemudian mengangguk hormat sambil berkata, “Terima kasih atas pesan Paman Carang Blabar. Aku akan lebih berhati hati.”

“Nah, aku akan minta Angger berdua malam ini bermalam di gubugku ini. Kita akan mendapat kesempatan untuk berbincang-bincang lebih panjang. Mungkin tidak ada gunanya, tetapi mungkin mempunyai arti bagi Angger berdua, atau bagiku sendiri.”

Glagah Putih dan Rara Wulan nampak ragu ragu. Bahkan dengan nada datar Glagah Putih pun berkata, “Terima kasih, Paman. Kami ingin melanjutkan perjalanan kami.”

“Matahari telah menjadi semakin rendah. Kalian akan bermalam dimana?”

“Seorang pengembara tidak akan pernah bertanya akan bermalam dimana.”

“Aku tahu. Tetapi aku akan berterus-terang, Ngger. Orang dari perguruan Kedung Jati yang menjual barang-barang anyaman bambu itu tidak melihat permainan kalian yang menunjukkan lebih banyak unsur dari perguruan Kedung Jati. Sedangkan aku tetap pada penglihatanku. Terutama pada Angger Warigalit. Meskipun nampak unsur gerak dari perguruan Kedung Jati, tetapi Angger Warigalit bukan murid dari perguruan Kedung Jati. Apalagi sebagai pemula.”

“Menurut penglihatan Paman?”

Laki-laki kurus itu menarik nafas panjang. Katanya, “Aku tidak dapat menyebutnya, Ngger. Penglihatanku memang picik sekali. Tetapi aku yakin, bahwa ilmu dari berbagai perguruan bertimbun di dalam diri Angger.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Paman memuji lagi.”

“Tidak. Bukan satu pujian, tetapi aku mengatakan sebenarnya menurut penglihatanku. Maksudku ingin mengatakan, bahwa penglihatan orang yang menjual anyaman bambu itu tentu juga seperti penglihatanku.”

Glagah Putih mengangguk angguk. Sementara Ki Carang Blabar itu pun berkata pula, “Angger berdua, jika Angger berdua bermalam di sini semalam, maka Angger akan dapat menghindari kesibukan yang tidak berarti. Aku yakin bahwa orang yang menjual anyaman bambu itu akan mencari Angger. Jika Angger pergi juga, maka ada kemungkinan orang itu menemukan Angger. Maksudku, di luar penglihatanku Jika Angger mau bermalam semalam di sini, besok kita bersama-sama pergi ke pasar. Angger dapat meyakinkan apakah orang itu berada di pasar atau tidak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Sebenarnya aku juga sudah tahu, dimana orang itu tinggal. Aku akan dapat melihat, apakah ia ada di rumahnya atau tidak. Tetapi agaknya aku lebih senang duduk di rumah bersama Angger berdua.”

Glagah Putih akhirnya tidak dapat menolak lagi. Kepada Rara Wulan ia pun berkata, “Kita tidak dapat menolak kebaikan hati Ki Carang Blabar, Wara.”

Rara Wulan yang disebutnya bernama Wara Sasi itu pun mengangguk sambil berdesis, “Terserah kepada Kakang.”

“Terima kasih, Ngger. Kesediaan kalian telah memperingan tugasku. Besok pagi-pagi kita pergi ke pasar. Angger dapat membeli bekal perjalanan Angger, setidak-tidaknya untuk sehari. Mungkin di perjalanan Angger tidak menjumpai kedai atau orang yang berjualan makanan.”

“Apakah jalan terlalu sepi?”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Tergantung kepada Angger berdua. Angger akan mengembara lewat lingkungan yang ramai, atau lewat lingkungan yang sepi dan hampir tidak berpenghuni.”

Glagah Putih dan Rara Wulan justru tertawa.

“Nah,” berkata Ki Carang Blabar, “silahkan beristirahat di dalam gubugku ini. Aku masih mempunyai pekerjaan di pategalan ini.”

“Barangkali aku dapat membantu?” berkata Glagah Putih.

“Terima kasih, Ngger. Pekerjaanku memerlukan ketrampilan. Misalnya menyadap legen kelapa. Tidak semua orang dapat melakukannya, meskipun seorang yang pandai memanjat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara orang itu berkata, “Jika Angger Wara Sasi bersedia, silahkan merebus jagung muda itu. Di bagian belakang gubug itu aku pergunakan sebagai dapur. Ada kuali, perapian dan beberapa peralatan sederhana yang lain. Ada setumpuk kayu bakar di emper belakang gubug ini. Jika Angger ingin menanak nasi, berasnya ada di bakul di atas tumpukan kayu bakar. Di belakang rumah aku menanam kacang panjang. Barangkali buahnya sudah dapat di petikm atau lembayungnya yang muda-muda.”

“Baik, Paman,” jawab Rara Wulan, “aku akan pergi ke dapur.”

Sejenak kemudian, Ki Carang Blabar itu pun meninggalkan gubugnya sambil membawa beberapa buah bumbung untuk menyadap legen, mengganti bumbung yang dipasang pagi-pagi tadi sebelum orang itu pergi ke pasar.

Demikian Ki Carang Blabar meninggalkan gubugnya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera masuk ke dalam gubug itu. Gubug yang kosong, selain sebuah amben yang agak besar. Sebuah dinding penyekat memisahkan ruang dalam dengan ruang kecil di belakang, yang dipergunakan sebagai dapur. Di dapur itu terdapat sebuah lincak panjang dan beberapa alat dapur sederhana. Sebuah geledeg bambu dan sebuah gentong berisi air.

Sebakul beras terdapat di atas tumpukan kayu bakar. Di atasnya terdapat sebuah caping bebek dari blarak yang lebar untuk menutupi bakul berisi beras ilu. Di sebelahnya terdapat sebakul jagung yang masih muda.

“Apakah kita akan menanak nasi atau merebus jagung?” bertanya Rara Wulan.

“Kita rebus jagung muda itu saja. Nampaknya di geledeg itu masih ada nasi di dalam celing.”

“Tinggal sedikit.”

“Tetapi cukup untuk Ki Carang Blabar.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian, mereka pun telah menyalakan api. Kemudian mengisi kuali dengan air dan meletakkan seikat jagung muda di dalamnya.

Sambil menunggui jagung muda yang direbus itu, keduanya sempat melihat-lihat ruang dalam rumah Ki Carang Blabar. Memang tidak ada perabot apa-apa. Di atas ajug-ajug bambu terdapat dlupak minyak kelapa, satu-satunya lampu minyak yang terdapat di dalam rumah itu.

“Orang yang diselimuti oleh sebuah rahasia yang sulit ditebak,” berkata Rara Wulan.

“Tetapi aku melihat kesungguhan di sorot matanya,” sahut Glagah Putih, “agaknya ia berkata sebenarnya, bahwa orang yang menjual anyaman bambu itu memang murid dari perguruan Kedung Jati. Bahkan dari tataran terbaik. Aku pun yakin bahwa orang itu tentu akan mencari kita berdua. Jika bukan orang itu sendiri, tentu ada orang lain yang ditugaskannya untuk memburu kita.”

Rara Wulan menarik nafas panjang.

Namun sejenak kemudian Rara Wulan itu pun bertanya, “Tetapi kenapa Kakang tiba-tiba saja berbicara tentang tongkat baja putih yang akan dapat menjadi sarang wahyu keraton?”

“Aku memang bermaksud menyebarkan anggapan itu. Dengan demikian, maka akan ada orang lain yang memburunya. Mungkin dalam gejolak itu, kita mempunyai celah-celah yang dapat kita pergunakan untuk mengintip dimana Ki Saba Lintang itu bersembunyi. Jika anggapan tentang tongkat baja putih itu berhasil menebar, maka tidak mustahil bahwa orang-orang yang selama ini bekerja sama dengan Ki Saba Lintang akan berusaha memilikinya. Mereka akan menelusuri tempat-tempat persembunyian yang paling dalam dari Ki Saki Lintang.”

“Aku tahu maksudnya, Kakang. Tetapi di langkah pertama, kita justru membentur orang dari perguruan Kedung Jati itu sendiri.”

“Kita tidak tahu seberapa jauh kesetiaan orang itu terhadap Ki Saba Lintang. Apalagi jika orang itu merasa dirinya memiliki kelebihan dari Ki Saba Lintang itu.”

“Seandainya ia tidak setia kepada Ki Saha Lintang dan berusaha untuk memiliki tongkat baja putih itu, apakah kita akan dapat menelusuri jejaknya?”

“Mungkin tidak segera, Rara. Tetapi jika aku berhasil, maka gejolak itu lambat laun akan mempertemukan kita dengan tongkat baja putih itu. Mungkin sudah tidak di tangan Ki Saba Lintang lagi.”

“Mungkin justru berada di tangan orang-orang yang lebih kokoh dari Ki Saba Lintang.”

“Memang mungkin. Tetapi tanpa mengaduk dasar kedungnya, maka endapannya tidak akan pernah terungkit. Ki Saba Lintang dan tongkat baja putihnya akan tetap berada di bawah endapan itu, sampai pada suatu saat yang kita tidak mengetahuinya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia mulai menyadari sepenuhnya, betapa rumitnya tugas yang diemban oleh Glagah Putih. Namun Rara Wulan tidak menyesali keputusannya. Apalagi setelah ia menjadi bagian dari kehidupan Glagah Putih, sebagaimana Glagah Putih menjadi bagian dari hidupnya.

Ketika jagung masak, maka Rara Wulan pun telah mengangkatnya dan meletakkannya di sebuah irig bambu untuk menuntaskan airnya. Jagung rebus yang masih hangat itu pun kemudian diletakkannya di sebuah layah dari tanah yang besar, dan diletakkannya di ruang dalam.

“Kita menunggu jagung itu agak dingin, sambil menunggu Ki Carang Blabar pulang,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk.

Ketika keduanya kemudian keluar dan duduk di emper depan, mereka melihat Ki Carang Blabar pulang sambil membawa bumbung berisi legen kelapa yang baru saja diturunkannya, dan digantikan dengan bumbung yang baru.

“Angger berdua sejak tadi masih duduk di sini?” bertanya Ki Carang Blabar.

“Tidak, Paman. Kami sudah merebus jagung muda.”

“O.”

“Agaknya masih hangat sekarang. Aku taruh di ruang dalam.”

“Marilah, kita masuk ke dalam.”

Mereka bertiga pun segera masuk ke ruang dalam. Di tengah-tengah amben bambu terdapat jagung rebus yang masih mengepul.

“Nikmat sekali,” berkata Ki Carang Blabar, “Apakah Angger berdua juga merebus air?”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Baru kemudian Rara Wulan berkata, “Belum, Paman.”

“Tidak apa-apa. Aku masih mempunyai wedang sere. Aku akan menghangatkannya sebentar.”

“Biarlah aku saja, Paman,” sahut Rara Wulan dengan serta merta sambil pergi ke dapur.

Masih ada api di perapian. Rara Wulan tinggal menyurukkan segumpal blarak kering dan beberapa potong kayu bakar kering.

Sejenak kemudian, api pun sudah menyala. Ki Carang Blabar menunjukkan sebuah kuali yang berisi wedang sere, yang kemudian diangkat oleh Rara Wulan dan diletakkannya di atas api yang sudah menyala.

“Tunggu sebentar, Ngger. Aku akan menyerahkan legen ini kepada pemilik pategalan. Mereka-lah yang membuat gula kelapa. Selain legen yang aku sadap, pemilik pategalan ini juga mendapat legen dari penyadap-penyadap yang lain. Sementara itu, wedang sere itu akan menjadi panas.”

“Dimana rumah pemilik pategalan itu, Paman?”

“Padukuhan di sebelah pategalan itu. Hanya beberapa ratus patok dari sini. Sebelum aku pulang, jika kalian haus, minumlah lebih dahulu. Kalian juga dapat makan jagung muda rebus itu tanpa menunggu aku.”

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mau mendahului pemilik gubug itu. Mereka menunggu sampai Ki Carang Blabar pulang. Seperti dikatakannya, ia hanya pergi sebentar untuk menyerahkan legen. Ketika ia pulang, ia membawa bumbung yang sudah kosong.

Tetapi Ki Carang Blabar tidak segera duduk dan makan jagung muda yang sudah mulai menjadi dingin, tetapi ia pergi ke pakiwan untuk mandi.

Ketika Ki Carang Blabar sudah selesai mandi, dan mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di ruang dalam, maka Rara Wulan dan Glagah Putih-lah yang bergantian pergi ke pakiwan lebih dahulu.

Baru beberapa saat kemudian, mereka bertiga duduk di amben bambu yang berada di ruang dalam rumah kecil Ki Carang Blabar. Lampu dlupak yang berada di ajug-ajug di sudut ruangan itu pun sudah dinyalakan.

Sambil makan jagung muda yang direbus serta menghirup wedang sere yang masih hangat, mereka pun mulai berbincang-bincang.

Mula-mula mereka berbicara tentang lingkungan di sekitar rumah Ki Carang Blabar. Namun kemudian pembicaraan mereka pun sampai kepada murid perguruan Kedung Jati yang mereka jumpai di pasar.

“Apakah orang itu sendiri?” bertanya Glagah Putih.

“Sampai sekarang aku belum melihat orang lain bersamanya. Tetapi tidak mustahil bahwa ada orang lain yang menemaninya berada di sekitar tempat ini.”

“Apa yang dilakukannya di sini, Paman?” bertanya Glagah Putih.

“Mungkin hanya sebuah petualangan. Mungkin di lingkungan ini orang itu akan mendapatkan sesuatu yang berharga bagi ilmunya. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak aku ketahui.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Masih banyak yang akan ditanyakannya. Tetapi agaknya ia merasa segan untuk terlalu banyak bertanya. Demikian pula Rara Wulan.

“Angger berdua,” berkata Ki Carang Blabar, “aku yakin bahwa sejak kemarin dan malam ini, orang itu sibuk mencari Angger berdua. Jika ia tidak sendiri di sini, mungkin orang lain yang melakukannya.”

“Aku juga berpendapat seperti itu, Paman.”

“Tetapi Angger berdua tidak akan ditemukannya, karena Angger berdua ada di sini.”

“Jika aku harus bertemu dengan orang itu dalam suasana yang lain, aku tidak akan menghindar, Paman.”

“Aku tahu. Aku pun tidak mencemaskan Angger berdua. Yang aku inginkan adalah Angger berdua tahu, dengan siapa Angger berdua berhadapan.”

“Terima kasih, Paman.”

“Besok kita pergi ke pasar. Kita akan melihat, apakah orang yang berjualan barang anyaman bambu itu ada di pasar atau tidak.”

“Bukankah tidak ada bedanya, Paman? Hanya soal waktu saja, bahwa orang itu akan tetap memburuku.”

“Soal waktu memang. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, Angger tahu dengan siapa Angger berhadapan.”

“Aku mengerti.”

“Namun aku ingin memperingatkan sekali lagi, bahwa Angger berdua masih muda. Mungkin dalam olah kanuragan, kalian berdua mempunyai pengalaman yang luas. Tetapi kalian masih saja tetap orang-orang muda, yang darahnya masih mudah menjadi panas.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Namun mereka tidak menyahut.

Namun dalam pada itu, pembicaraan mereka pun kemudian merambat menyentuh ilmu kanuragan. Ternyata bahwa Ki Carang Blabar memiliki pengamalan yang luas. Bahkan Ki Carang Blabar sempat memberikan beberapa petunjuk langsung kepada Glagah Putih, dan terutama Rara Wulan, apa yang sebaiknya dilakukan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru di dalam olah kanuragan.

“Aku tahu bahwa kalian memiliki ilmu yang sangat luas. Bahkan penglihatanku tidak dapat mencakup sumber dari ilmu yang kalian miliki, terutama Angger Warigalit. Karena itu, aku tidak akan dapat menilai bobot ilmu yang bertimbun di dalam diri Angger Warigalit, selain mengaguminya. Namun demikian, pada umurku yang sekarang ini, barangkali aku dapat menunjukkan kemungkinan-kemungkinan baru yang akan dapat kalian coba untuk mengembangkan ilmu kalian.”

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, Paman.”

“Aku ingin memberitahukan, apa yang telah dicuri oleh orang yang menjual anyaman bambu itu dari perguruan kami. Dengan demikian, jika unsur itu diungkapkan, kalian tidak akan terkejut lagi.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia berdesis, “Terima kasih, Paman.”

Demikianlah, maka Ki Carang Blabar itu telah menunjukkan apa saja yang telah disadap oleh orang yang menjual barang-barang anyaman bambu itu, serta sifat dan wataknya. Ki Carang Blabar juga memberikan beberapa petunjuk untuk mengatasinya.

Dengan demikian, mereka bertiga sama sekali tlidak sempat beristirahat semalam suntuk. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang terbiasa melakukan latihan-latihan yang berat, seakan-akan tidak merasa letih sama sekali.

Ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya menjelang fajar, maka Ki Carang Blabar pun berkata, “Sudahlah, Angger berdua. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Aku kira kita sudah terlalu lama berbicara. Hanya itulah yang dapat aku tunjukkan kepada kalian. Aku yakin bahwa kalian tidak akan mengalami terlalu banyak kesulitan, jika pada suatu saat kalian bertemu dengan orang-orang yang memburu kalian. Bahkan penjual barang-barang anyaman bambu itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Ki Carang Blabar pun segera bangkit berdiri sambil berkata, “Aku akan pergi ke pakiwan.”

Demikian Ki Carang Blabar keluar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun menggeliat.

Dengan nada datar Rara Wulan pun berkata, “Kita telah mendapatkan beberapa petunjuk. Tetapi kita harus memperagakannya agar kita mendapatkan kejelasannya.”

“Ya. Aku setuju. Tentu dalam waktu yang tidak terlalu lama, agar segalanya masih tetap segar di dalam ingatan kita.”

“Pagi ini kita akan ikut Ki Carang Blabar pergi ke pasar. Dari pasar kita akan dapat menyelinap sebentar di hutan itu, uniuk memperagakan petunjuk-petunjuk Ki Carang Blabar semalam.”

Dalam pada itu, Glagah Pulih dan Rara Wulan pun telah berganti-ganti pergi ke pakiwan pula.

Baru ketika matahari mulai membayang, semuanya pun telah bersiap untuk pagi ke pasar. Ki Carang Blabar telah menyiapkan sebakul jagung muda untuk dibawa ke pasar.

Menjelang matahari terbit, maka mereka bertiga pun telah meninggalkan gubug di tengah-tengah pategalan itu menuju ke pasar.

Ki Carang Blabar yang berjalan di paling depan, berjalan dengan cepat menyusuri jalan setapak. Meskipun demikian, Rara Wulan sama sekali tidak mengalami kesulitan. Meskipun langkahnya tidak selebar langkah seorang Iaki-laki, tetapi kaki itu bergerak dengan cepat sekali.

Di belakang Rara Wulan, Glagah Putih berjalan dengan langkah-langkah lebar.

Ketika mereka sampai di pasar, penjual barang anyaman itu sudah berada di tempatnya yang kemarin. Demikian laki-laki kurus penjual jagung muda itu datang, maka penjual barang-barang anyaman dari bambu itu bertanya, “Hari ini kau kesiangan, Ki Sanak.”

“Ya. Di rumahku ada tamu. Aku minta Angger berdua ini singgah. Namun ternyata istriku minta Angger berdua ini bermalam. Agaknya Angger berdua ini tidak dapat menolak.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Nanti aku-lah yang akan mempersilahkan mereka singgah. Ketika aku bercerita kepada keluargaku tentang kedua orang muda itu, maka istrikupun sangat mengharap keduanya singgah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Sementara ilu, laki-laki kurus penjual jagung muda itu berkata, “Semuanya terserah kepada kalian berdua. Apakah kalian akan singgah atau tidak.”

Glagah Putih-lah yang menjawab, “Maaf, Paman. Kami harus melanjutkan perjalanan kami.”

“Hanya sebentar. Kalian tidak perlu bermalam. Jika kalian bersedia, biarlah barang-barang daganganku aku tinggalkan di sini sebentar. Nanti aku kembali lagi ke pasar ini.”

“Maaf, Paman. Aku harus segera pergi.”

“Atau, aku kemasi saja barang-barang daganganku dan aku bawa pulang. Di luar hari pasaran, pasar ini agaknya sepi-sepi saja.”

“Sayang sekali, Paman, kami tidak dapat memenuhi keinginan Paman. Mungkin pada kesempatan lain kami akan singgah.”

Orang itu nampak kecewa. Dengan nada datar ia pun berkata, “Aku jadi iri. Kenapa kalian tidak mau singgah di rumahku?”

“Bukannya tidak mau, tetapi kali ini kami belum dapat memenuhinya. Pada kesempatan lain, kami akan singgah.”

“Baiklah, Ngger. Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.”

“Nah,” berkata laki-laki kurus yang menjual jagung muda itu, “mungkin Angger berdua akan membeli bekal bagi perjalanan Angger?”

“Ya, Paman, kami akan membelinya. Sebelumnya kami sekaligus mohon diri kepada Paman berdua dan kepada sanak-kadang yang lain. Kami akan langsung meninggalkan pasar ini untuk melanjutkan pengembaraan kami.”

“Kemana tujuan Angger berdua ini?” bertanya orang yang berjualan barang anyaman dari bambu.

“Kami tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami berjalan asal saja berjalan.”

“Apakah Angger sedang mengemban tugas dari pimpinan perguruan Kedung Jati?”

“Tidak. Kami benar-benar ingin menempuh satu perjalanan tanpa tujuan. Tetapi kami memang mendapat pesan, jika kami bertemu dengan saudara-saudara seperguruan, kenal atau tidak kenal, karena luasnya jangkauan perguruan kami, mungkin juga dari tataran waktu yang berbeda.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Pesan apa, anak muda?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berpaling kepada Rara Wulan sambil berdesis, “Bukankah pesan itu khusus diperuntukkan bagi keluarga perguruan Kedung Jati?”

“Ya, Kakang. Pesan itu tidak berarti bagi orang lain.”

Orang yang menjual barang-barang anyaman bambu itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah, Angger berdua. Jika Angger tidak dapat singgah, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan.”

“Terima kasih, Paman. Kami berharap pada kesempatan lain, kami akan dapat mengunjungi pasar ini lagi. Mudah-mudahan waktuku longgar, sehingga aku akan dapat singgah di rumah Paman.”

Penjual barang anyaman serta laki-laki kurus penjual jagung muda itu pun kemudian melepas Glagah Putih dan Rara Wulan pergi meninggalkan mereka. Bahkan beberapa orang yang berjualan di sekitar mereka pun telah ikut pula mengucapkan selamat jalan kepada mereka berdua.

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada di depan pintu regol pasar. Sejenak mereka berhenti, ketika mereka melihat seorang perempuan tua yang berjualan ketela pohon rebus.

“Apakah kita akan membeli ketela pohon rebus itu untuk bekal di perjalanan?” bertanya Rara Wulan.

“Ada baiknya, Rara. Jika ada yang memperhatikan kita, maka mereka melihat bahwa kita benar-benar telah membeli bekal buat perjalanan kita.”

Demikianlah, keduanya pun telah berhenti di depan penjual ketela rebus itu. Sambil berjongkok Rara Wulan pun minta dibungkuskan ketela pohon rebus yang masih hangat itu.

Glagah Putih yang ikut berjongkok di samping Rara Wulan pun bertanya, “Bagaimana kita membawanya?”

“Aku masukkan ke dalam kampilku ini.”

“Cukup?”

“Kenapa tidak?”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, selagi Glagah Pulih dan Rara Wulan membeli ketela pohon rebus, seorang laki-laki yang masih terhitung muda telah mendatangi penjual barang-barang anyaman bambu itu. Sambil memilih sebuah kepis yang besar ia pun berkata, “Aku memerlukan kepis yang terbesar yang kau jual, Ki Sanak.”

“O. Apakah kalian akan mengail ikan?”

“Bagimana menurut pendapatmu? Apakah tepat mengail pada cuaca sekarang ini?”

“Ya. Aku kira tepat sekali. Tetapi tentu tidak sekedar mengail. Kau harus memburu ikan dan menangkapnya, menyimpannya di dalam kepis. Jika perlu kepis itu harus kau rendam di dalam air, agar ikan yang tertangkap itu dapat tetap hidup sampai saatnya kau masukkan ke dalam minyak yang mendidih.”

“Nah, berikan kepis itu,” berkata orang yang akan membeli kepis itu.

Penjual barang-barang anyaman bambu itu pun kemudian telah memilih sebuah kepis yang terhitung besar dan memberikannya kepada orang itu. Tetapi agaknya orang itu lupa membayar harga kepisnya.

Laki-laki kurus penjual jagung itu menunggui jagungnya sambil terkantuk-kantuk. Sudah ada dua orang perempuan yang membeli jagung mudanya. Tetapi masih ada seonggok jagung yang belum juga laku.

Sekali-kali laki-laki kurus itu memperhatikan orang yang mencari kepis yang besar itu. Namun kemudian ia bahkan berpaling ke arah yang lain. Tetapi ia masih saja mendengarkan pembicaraan pembeli dan penjual kepis yang tidak menuntut dibayar seharga kepisnya. Laki-laki kurus itu tersenyum. Tetapi ia membelakangi penjual barang-barang anyaman itu.

Dalam pada itu, setelah membayar harga ketela pohon rebusnya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera minta diri kepada perempuan tua penjual kelela rebus itu.

“Kalian akan pergi kemana, Ngger?”

“Jalan-jalan saja, Nek.”

“Jalan-jalan? Kemana?”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun mereka hanya tersenyum saja.

Perempuan itu pun tidak bertanya lebih jauh. Ketika Glagah Putih bangkit berdiri dan melangkah meninggalkannya, penjual ketela itu sempat bertanya, “Siapakah gadis ini, Ngger? Adikmu atau apamu?”

“Adikku, Nek” sahut Glagah Putih sambil tertawa kecil. Rara Wulan pun menyembunyikan wajahnya di belakang punggung Glagah Pulih sambil berdesis, “Bukankah aku memang masih tetap seorang gadis?”

“Sst,” desis Glagah Putih sambil melangkah pergi.

Demikian mereka sampai di pintu regol, Rara Wulan tertawa.

Katanya, “Apakah kau tidak berkeberatan jika semua orang menganggap aku masih gadis?”

“Kenapa aku keberatan?”

“Jika ada orang yang jauh cinta kepadaku?”

“Aku akan membunuh diri.”

“Ah kau, Kakang,” Rara Wulan mencubit lengan Glagah Putih, sehingga Glagah Putih berdesah, “aku tidak kebal sebagaimana Kakang Agung Sedayu.”

Rara Wulan pun tertawa. Namun kemudian ia pun berjalan sambil bergayut pada lengan Glagah Putih.

Beberapa saat kemudian, keduanya telah keluar dari keramaian pasar kecil itu. Ketika dua orang laki-laki memperhatikan mereka, maka Glagah Putih pun berdesis, “Sst. Kita dapat menjadi tontonan di sini.”

Tetapi jawab Rara Wulan, “Apa salahnya?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia harus membiarkan Rara Wulan yang masih tetap bergayut di lengannya. Rara Wulan sama sekali tidak menghiraukan ketika seorang yang sudah separuh baya yang berdiri di pinggir jalan memperhatikannya sehingga mulutnya ternganga.

Orang itu terkejut ketika Rara Wulan tiba-tiba saja justru menyapanya, “Selamat pagi, Paman.”

“O… o… selamat pagi, Ngger. Selamat pagi.”

“Ada yang menarik perhatian Paman?”

Orang itu menjawab lugu, “Aku ingat masa-masa mudaku, Ngger. Ketika aku seumur dengan kalian.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Dengan nada tinggi Rara Wulan bertanya, “Ada apa ketika Paman seumurku sekarang?”

Laki-laki itu juga tertawa. Katanya, “Ada udang di balik batu.”

Ketiganya tertawa lepas. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan menyusuri jalan dan pasar yang terhitung agak ramai. Namun keduanya pun kemudian telah memilih jalan yang lebih kecil. Mereka berdua mengikuti jalan kecil yang menuju ke hutan perdu di perbatasan dengan hutan yang membujur panjang itu.

Keduanya sepakat untuk memperagakan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Ki Carang Blabar semalam. Ada bagian-bagian yang tidak begitu jelas untuk sekedar dilihat dalam kenyataan di angan-angannya.

Pagi itu Rara Wulan nampak gembira. Wajahnya cerah dan sekali-sekali nampak bibirnya tersenyum. Bahkan tertawa. Meskipun semalam suntuk ia tidak tidur, namun rasa-rasanya tubuhnya justru terasa segar.

Ketika mereka mendekati padang perdu, terdengar kicau burung-burung yang gembira di pepohonan yang masih basah oleh embun.

“Kita akan pergi ke pinggir hutan itu,” berkata Glagah Putih, “kita mencari tempat terbaik dan tidak mudah dilihat orang.”

“Siapa yang akan melihat kita, seandainya kita berlatih di sini?”

“Siapa tahu. Mungkin seorang pencari kayu.”

“Mereka tidak akan mencari kayu sedekat ini dengan hutan yang masih dihuni binatang buas.”

“Bukankah kita juga berada sedekat ini dengan hutan yang masih dihuni binatang buas?”

“Tetapi aku mampu berlari kencang, melampaui kecepatan berlari seekor kijang.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Apakah kau akan berlari jika tiba-tiba seekor macan tutul muncul dari dalam hutan itu?”

“Tergantung macannya,” jawab Rara Wulan sambil tertawa.

Namun tiba-tiba Rara Wulan pun mengerutkan dahinya ketika ia melihat wajah Glagah Putih tiba-tiba berubah.

“Ada apa, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Sst,” desis Glagah Putih hampir berbisik, “ada orang yang mengikuti kita. Aku melihat seorang di antaranya bergeser dari balik satu gerumbul ke gerumbul lainnya.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Marilah kita pergi ke tempat terbuka itu. Apa yang akan mereka lakukan.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Mereka akan mengamati kita dari kejauhan.”

“Kenapa kau tersenyum?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih tidak menjawab. Namun kemudian Glagah Putihlah yang menggandeng Rara Wulan. Mereka tidak jadi pergi ke hutan, tetapi mereka justru pergi ke tempat yang lebih terbuka. Tempat yang tidak terlalu banyak ditumbuhi pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu.

Di tempat terbuka, di bawah sebatang pohon, keduanya justru duduk di atas rumput. Sementara matahari pagi menjadi semakin tinggi.

“Kau mengantuk?” bertanya Glagah Putih.

“He, kau kenapa, Kakang?”

“Kita akan tidur beradu punggung.”

Rara Wulan tertawa. Ia tahu bahwa Glagah Putih ingin menggoda orang-orang yang sedang mengikuti dan mengawasinya.

“Mereka tentu orang-orang yang dikirim oleh penjual barang-barang anyaman bambu itu. Atau bahkan salah seorang dari mereka adalah orang itu sendiri.”

Rara Wulan kemudian menyandarkan dirinya ke tubuh Glagah Pulih. Tetapi tidak beradu punggung.

“Aku akan menjadi anak yang manja,” desis Rara Wulan.

Sebenarnyalah orang-orang yang mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak dapat merayap lebih dekat lagi. Namun mereka merasa bahwa mereka sudah cukup jauh mengikutinya. Menurut pendapat mereka, tidak akan ada lagi orang yang melihat, apapun yang akan mereka lakukan.

Karena itu, seorang di antara mereka tiba-tiba saja bersuit nyaring.

Tiga orang muncul dari balik gerumbul perdu. Seorang di antaranya adalah orang yang sudah separuh baya, yang memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan dengan mulut ternganga.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bangkit berdiri. Dengan nada tinggi Rara Wulan pun bertanya, “Kau masih saja ingat masa-masa mudamu, Paman.”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Ya, Ngger. Karena itu, aku mengikutimu.”

“Siapakah kedua orang yang datang bersama Paman itu?”

“Kawan-kawanku, Ngger. Mereka adalah orang-orang yang mengagumi kecantikanmu.”

“O,” adalah di luar dugaan bahwa Rara Wulan justru tertawa. Bahkan kemudian ia pun berkata, “Aku memang seorang perempuan yang sangat cantik, Paman. Aku sadari itu sepenuhnya.”

Orang yang sudah separuh baya itu justru mengerutkan dahinya. Dipandanginya Rara Wulan dengan tajamnya.

“Kenapa, Paman?” bertanya Rara Wulan, “Ada yang tidak sesuai dengan pendapat Paman?”

“Tidak. Tidak, Ngger. Aku setuju bahwa kau adalah perempuan yang sangat cantik. Justru karena itu, kami ingin minta kalian berdua singgah.”

“Singgah dimana?” bertanya Rara Wulan, “Di rumah penjual barang anyaman bambu itu?”

Pertanyaan Rara Wulan itu memang agak mengejutkan. Bahkan Glagah Putih pun telah menggamitnya.

“Apa hubungannya dengan orang yang berjualan barang-barang dari anyaman bambu itu?”

“Paman pernah melihatnya di pasar?”

Hampir di luar sadarnya orang yang sudah separuh baya itu menjawab, “Pernah, Ngger.”

“Nah, orang itu juga minta aku singgah. Sekarang Paman minta aku singgah.”

“Tetapi aku tidak mengenal orang itu,” jawab orang yang sudah separo baya.

“O,” Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Kami minta Angger berdua singgah, karena niat kami sendiri.”

“Kenapa Paman minta kami singgah?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kami sangat tertarik kepada kalian berdua. Nampaknya kalian sepasang suami istri yang belum lama menikah.”

“Darimana Paman tahu?”

“Sikap kalian berdua.”

“Paman benar. Kami belum lama menikah. Kami adalah suami istri. Karena itu, aku agak berkeberatan untuk singgah di rumah Paman. Mungkin salah seorang keluarga Paman akan jatuh cinta kepadaku, karena aku adalah seorang perempuan yang sangat cantik.”

“Sudahlah, Ngger, jangan bergurau saja. Marilah, aku persilahkan Angger berdua singgah.”

Tetapi Rara Wulan tertawa sambil berkata, “Maaf, Paman. Kami tidak dapat memenuhi permintaan Paman, karena alasan Paman tidak menentu. Aku tidak mau menimbulkan persoalan di rumah Paman karena aku seorang perempuan yang sudah menikah. Bukankah alasanku untuk tidak dapat singgah cukup?”

“Jangan begitu, Ngger.”

“Sebenarnyalah memang begitu, Paman. Untuk apa aku singgah di rumah Paman jika bukan karena aku seorang perempuan cantik?”

“Kau tidak juga mau berhenti bergurau, Ngger.”

“Aku tidak bergurau, Paman. Aku merasakan hal itu. Berbeda dengan paman kurus penjual jagung muda itu. la mempunyai alasan yang jelas untuk minta kami singgah.”

“Kami kagumi kebaikan hati kalian berdua, karena kalian telah menolong penjual jagung muda itu, Ngger.”

“Apakah Paman melihat kami menolong waktu itu?”

“Ya. Angger berdua telah mengalahkan orang yang akan berbuat sewenang-wenang itu.”

“Maaf, Paman. Kami tidak dapat memenuhi keinginan Paman. Kami harus melanjutkan perjalanan. Kami harus menyelesaikan persoalan yang gawat yang telah menggoyahkan ketenangan keluarga kami.”

“Jangan begitu, Ngger. Kami benar-benar ingin mempersilahkan Angger singgah.”

Glagah Putih hanya diam termangu-mangu. Dibiarkannya Rara Wulan menjawabnya.

“Sudahlah, Paman. Kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Paman. Mungkin lain kali kami akan singgah. Kami juga terpaksa minta maaf kepada penjual barang-barang anyaman bambu itu, karena kami tidak dapat memenuhi keinginannya agar kami dapat singgah.”

Orang yang sudah separuh baya itu akhirnya berkata lebih keras, “Aku sudah mohon dengan kerendahan hati kesediaan kalian untuk singgah. Tetapi kalian berkeberatan. Bagaimana jika kami tidak lagi mohon, tetapi kami mempersilahkan kalian singgah.”

“Adakah bedanya?”

“Ada, Ngger. Berbeda pula jika kami mengatakan, mau tidak mau, kalian harus singgah.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Sudahlah, Paman. Kami mohon diri. Lain kali kami akan berusaha untuk singgah.”

Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Tidak, Ngger. Kami tidak ingin membiarkan kalian pergi. Kami akan memaksa kalian untuk singgah. Kalian tidak mempunyai pilihan lain.”

“Itulah yang akan kau katakan sejak awal. Kenapa Paman tidak berterus-terang?”

“Sekarang aku sudah berterus terang.”

“Jawabnya sama saja, Paman. Kami akan melanjutkan perjalanan, karena perjalanan kami masih panjang.”

“Jangan keras kepala, Ngger, kalian akan menyesal. Apalagi jika kalian benar-benar pengantin baru.”

“Justru kami pengantin baru, maka kami tidak akan singgah di rumah Paman. Maaf, Paman. Kami minta diri.”

“Tunggu,” berkata orang yang sudah separuh baya itu.

Namun ternyata seorang di antara kedua orang yang datang bersamanya berkata, “Aku tidak telaten. Tangkap saja mereka, dan bawa mereka pulang.”

Orang yang sudah separuh baya dan berambut ubanan itu berpaling kepada kawannya. Namun kemudian ia pun tertawa sambil berkata, “Nah, kalian dengar kata-kata kawanku itu, Ngger? Mereka memang tidak telaten berbicara sebagaimana aku berbicara. Mereka ingin tugas mereka cepat selesai. Karena itu, maka aku minta kalian segera mengambil keputusan.”

“Paman. Jika kawan-kawanmu menjadi tidak telaten, itu bukan salah kami. Kami sudah mengambil keputusan sejak tadi. Kami tidak dapat singgah.”

“Baik, baik. Kawanku benar. Seharusnya aku tidak usah berbelit-belit. Menyerahlah, kalian akan kami tangkap.”

Rara Wulan-lah yang tertawa. Katanya, “Nah, bukankah kalimat itu lebih pendek dari kalimat-kalimat Paman yang berkepanjangan? Sebenarnyalah bahwa aku juga tidak telaten.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya, “Angger berdua. Jangan terlalu bangga dengan pengakuan kalian bahwa kalian adalah orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Bahkan seandainya benar bahwa kalian adalah murid-murid Kedung Jati, maka kalian tentu masih berada di tataran pemula.”

“Kami memang murid-murid perguruan Kedung Jati dari tataran pemula. Karena itu, jangan mencoba mengganggu kami. Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang tidak ada duanya di Tanah ini.”

“Bagus. Marilah kita tangkap kedua orang ini. Tangkap perempuan itu. Aku akan menangkap laki-laki muda itu.”

Kedua orang kawan orang yang rambutnya ubanan itu tidak menunggu perintah itu diulang. Mereka sudah merasa terlalu lama menunggu orang ubanan itu berbicara berputar-putar tidak karuan ujung pangkalnya.

Dengan garangnya kedua orang itu pun segera menyerang Rara Wulan.

“Hati-hati! Perempuan itu tentu seorang perempuan yang garang.”

Kedua orang kawannya itu tidak menyahut. Namun mereka pun segera bergeser mengambil jarak yang satu dengan yang lain.

Rara Wulan pun telah mengambil jarak pula dari Glagah Putih. Ia ingin menguji kemampuannya dengan menghadapi kedua orang itu.

Sejenak kemudian. Rara Wulan pun telah terlibat dalam pertempuran melawan kedua orang yang menyerangnya dari arah yang berbeda.

Tetapi Rara Wulan cukup tangkas. Kakinya nampaknya terlalu ringan, sehingga perempuan itu mampu berloncatan dengan cepat.

Untuk melawan kedua orang itu, Rara Wulan telah mengerahkan unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dari Sekar Mirah dan bersumber dari perguruan Kedung Jati.

Glagah Putih masih belum mulai bertempur. Dibiarkannya orang yang rambutnya ubanan itu sempat memperhatikan pertempuran antara Rara Wulan dan kedua orang lawannya. Glagah Putih yakin bahwa orang itu tentu akan dapat mengenali unsur-unsur gerak dari perguruan Kedung Jati yang telah disadap oleh Rara Wulan.

Sebenarnyalah orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Unsur-unsur gerak perempuan yang tangkas itu memang bersumber dari perguruan Kedung Jati.

“Apakah benar mereka murid-murid perguruan Kedung Jati?” bertanya orang itu kepada dirinya sendiri.

Dengan demikian, maka ketiga orang yang sedang bertempur itu menampakkan unsur-unsur gerak yang hampir bersamaan. Kedua orang lawan Rara Wulan itu ternyata juga memiliki unsur-unsur gerak dan Perguruan Kedung Jati.

“Nah, kau lihat?” bertanya Glagah Putih.

“Apa?” bertanya orang berambut putih itu.

“Ilmu adikku itu bersumber dari perguruan Kedung Jati. Tetapi kedua orang kawanmu itu agaknya juga bersumber dari perguruan Kedung Jati pula.”

Wajah orang itu menegang. Namun kemudian Katanya, “Aku setuju untuk berbicara tentang perguruan Kedung Jati. Tetapi aku minta kau singgah di rumahku.”

“Kau ulang lagi permintaanmu itu, Paman. Sudah kami katakan berkali-kali, kami tidak akan singgah.”

“Jika demikian, aku pun akan mempergunakan kekerasan.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Nampaknya kau ragu-ragu sejak semula, Paman. Kenapa?”

“Tidak, aku tidak ragu-ragu. Bersiaplah. Aku akan menangkapmu dan membawamu pulang bersama perempuan itu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak kemudian, laki-laki yang sudah separuh baya itu pun telah mulai menyerangnya. “Kau juga murid perguruan Kedung Jati, Paman?”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi nampaknya ia tidak dapat mengelak.

Mula-mula orang itu memang berusaha uniuk menyembunyikan unsur-unsur gerak yang diturunkan oleh perguruan Kedung Jati. Tetapi ketika Glagah Pulih semakin menekannya, maka ia tidak dapat menyembunyikannya lagi. Pada saat ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka yang muncul adalah ilmu yang paling dikuasainya. Ilmu dari perguruan Kedung Jati.

Glagah Putih yang dapat mengenalinya, meloncat mengambil jarak sambil tersenyum, Katanya, “Darimana kau pelajari unsur-unsur gerak dari perguruan Kedung Jati itu, Paman?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Sulit baginya untuk menyembunyikan dirinya, bahwa orang yang sudah separuh baya dan rambutnya sudah mulai ubanan itu juga murid dari perguruan Kedung Jati.

Namun orang itu pun kemudian berkata, “Aku tidak tahu, apakah ilmuku bersumber dari perguruan Kedung Jati atau bukan. Tetapi guruku tidak pernah mengatakan bahwa ilmuku bersumber dari perguruan Kedung Jati.”

“Jawabmu aneh, Paman. Tetapi tidak apa-apa. Kita masing-masing dapat berkata apa saja menurut kehendak kita sendiri.”

Orang itu tidak menjawab. Namun ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Serangan-serangan orang yang sudah separuh baya itu menjadi semakin garang. Perlahan-lahan ia semakin meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Tetapi ternyata bahwa orang itu tidak segera mampu mengalahkan Glagah Putih. Ilmu anak muda itu pun semakin lama menjadi semakin meningkat pula, sehingga selalu dapat mengimbangi ilmunya, dan bahkan semakin lama ilmu anak muda itu menjadi semakin rumit.

Dalam tingkat yang semakin tinggi, maka Glagah Putih pun tidak dapat berpura-pura lagi. Meskipun ia masih mampu menunjukkan unsur-unsur gerak ilmu yang diturunkan oleh perguruan Kedung Jati, namun seperti yang dikatakan oleh Ki Carang Blabar, bahwa ilmu dari berbagai sumber telah bertimbun di dalam dirinya.

Karena itu, maka orang yang sudah separuh baya itu mulai menjadi gelisah. Serangan-serangannya tidak banyak berarti bagi lawannya yang masih muda itu. Anak muda itu berloncatan dengan cepatnya menghindari serangan-serangannya. Namun kadang-kadang anak muda itu menangkisnya, sehingga terjadi benturan kekuatan di antara mereka.

Dalam pada itu, semakin sengit mereka bertempur, maka semakin jelas pada orang yang sudah separuh baya itu bahwa ilmunya memang bersumber pada ilmu dari perguruan Kedung Jati. Sebaliknya pada Glagah Putih, justru semakin nampak bahwa unsur-unsur geraknya bersumber dari perguruan yang lain.

Orang yang sudah separuh baya itu pun semakin meningkatkan ilmunya pula. Ia hampir tidak percaya kepada kenyataan yang dihadapinya, bahwa anak muda itu masih mampu mengimbangi ilmunya yang sudah hampir mencapai puncaknya itu.

Sementara itu, Rara Wulan yang bertempur menghadapi dua orang lawan, justru mulai terdesak. Kedua belah pihak memiliki unsur-unsur gerak yang bersamaan, sehingga kedua belah pihak mulai dapat membaca, apa yang akan dilakukan oleh lawannya.

Dengan demikian, maka kedua orang lawan Rara Wulan mendapat kesempatan lebih banyak dari Rara Wulan sendiri.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Rara Wulan telah melengkapi ilmunya dengan berbagai unsur dari perguruan lain. Rara Wulan pernah berlatih dengan Glagah Putih, dengan Agung Sedayu, dan dengan Ki Jayaraga, di samping dengan Sekar Mirah. Bukan saja sekedar berlatih, tetapi mereka telah memberikan banyak sekali petunjuk-petunjuk untuk memperkaya ilmunya. Unsur-unsur geraknya menjadi lebih lengkap dan dalam, dengan isian yang beragam.

Karena itu, ketika Rara Wulan mulai mengalami kesulitan, maka Rara Wulan terpaksa melengkapi unsur-unsur gerak yang dipelajarinya dari Sekar Mirah yang bersumber dari perguruan Kedung Jati, dengan unsur-unsur gerak yang lain.

Kedua orang lawannya terkejut ketika tiba-tiba saja Rara Wulan menghentak, menyerang seorang di antara mereka dengan cepatnya. Dengan jantung yang bagaikan berhenti berdenyut, orang itu berusaha menghindar dengan loncatan panjang.

Namun Rara Wulan tidak melepaskannya. Diburunya orang itu. Kemudian sambil berputar kakinya terayun mendatar.

Orang itu tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar. Ia pun berusaha untuk menangkisnya dengan kedua tangannya.

Namun ketika benturan terjadi, maka orang itu telah terdorong beberapa langkah surut. Ia masih berusaha mempertahankan keseimbangannya yang terguncang, namun akhirnya orang itu pun terjatuh pula.

Tetapi Rara Wulan tidak mempunyai kesempatan untuk menyerangnya lagi. Lawannya yang lain pun telah meloncat menyerangnya dengan kaki yang terjulur ke samping.

Rara Wulan yang menggeliat berhasil menghindari serangan itu. Dengan cepat kakinya pun menyapu kaki lawannya yang lain. Demikian kerasnya, sehingga lawannya itu pun telah terjatuh. Namun demikian tubuhnya terbaring, maka ia pun segera berguling menjauhinya. Rara Wulan yang sudah siap menyerang orang itu, harus mengarahkan perhatiannya kepada lawannya yang seorang lagi, yang sudah berhasil bangkit dan siap untuk menyerangnya.

Namun dalam pada itu, ketika pertempuran di antara mereka menjadi semakin cepat, kedua lawannya mulai sulit untuk mengenali unsur-unsur gerak Rara Wulan yang sudah berbaur, luluh dan saling mengisi, dengan unsur-unsur dari ilmu yang bersumber dari perguruan yang lain.

Karena itu, maka Rara Wulan pun mulai dapat menemukan keseimbangannya lagi, sehingga kedua orang itu tidak lagi mendesak dan bahkan hampir dapat menguasai Rara Wulan.

Glagah Putih sempat melihat keadaan Rara Wulan. la melihat pada saat Rara Wulan terdesak. Tetapi Glagah Putih sengaja membiarkannya, karena ia masih belum melihat bahwa bahaya yang sebenarnya telah mengancam Rara Wulan. Ia ingin membiarkan Rara Wulan menemukan jalannya sendiri untuk keluar dari kesulitan yang dihadapinya.

Ternyata bahwa Rara Wulan berhasil. Namun ia harus meramu segala macam unsur yang dikuasainya. Namun bagi Rara Wulan, latihan-latihan yang masak dengan beberapa orang yang bersumber dari turunan ilmu yang berbeda-beda, telah membuatnya memiliki kelebihan dari lawan-lawannya.

Karena itu, maka Glagah Putih menjadi lebih tenang. Ia dapat memusatkan perhatiannya terhadap lawannya yang sudah separuh baya, yang semakin meningkatkan ilmunya itu.

Orang yang sudah separuh baya itu menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata anak muda itu memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari dugaannya. Orang yang sudah separuh baya itu mengira bahwa pada tingkat pertama dari kemampuannya, ia sudah dapat mengalahkan dan menguasai anak muda itu. Namun sampai pada tingkat tertinggi dari kemampuannya, anak muda itu mampu mengimbanginya.

“Anak ini memang luar biasa,” berkata orang itu di dalam hatinya.

Karena itulah, maka orang itu pun telah menghentakkan segenap kemampuannya. Disentuhnya dadanya, dan kemudian perlahan-lahan tangannya terangkat sampai ke hidung, maka Glagah Putih pun menyadari, bahwa lawannya benar-benar sampai ke puncak ilmunya.

“Kau bersungguh-sungguh, Paman?” bertanya Glagah Putih.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi dari sorot matanya, Glagah Putih dapat membaca bahwa orang itu memang bersungguh-sungguh.

Karena itu, maka Glagah Putih tidak dapat membiarkan dirinya terbakar oleh ilmu lawannya. Karena itulah, maka ia pun telah mengerahkan ilmu puncaknya pula.

Dalam pada itu, lawannya telah meloncat sambil mengayunkan tangannya menyambar kening Glagah Putih. Geraknya menjadi sangat cepat, sehingga hampir saja telapak tangan orang itu menyentuh sasarannya.

Tetapi Glagah Putih mampu bergerak melampaui kecepatan gerak tangan orang itu. Dengan demikian, maka tangan orang itu sama sekali tidak menyentuh tubuh Glagah Putih.

Orang itu menggeram marah. Sambil memutar tubuhnya, dihentakkannya kemarahannya dengan menapakkan tangannya pada sebatang pohon yang berdiri tegak di sebelahnya.

Jantung Glagah Putih berdesir tajam ketika ia melihat pohon itu diguncang. Namun bukan hanya itu. Glagah Putih pun melihat sentuhan telapak tangan orang yang sudah separuh baya itu telah menimbulkan asap pada batang kayu pohon itu. Pada kulit batang pohon itu terdapat luka bakar berbentuk telapak tangan.

“Luar biasa,” desis Glagah Putih, “ternyata orang itu tidak sekedar main-main. Ia tidak ingin menangkap aku dalam keadaan hidup, tetapi ia tentu ingin menangkap aku hidup atau mati. Agaknya Rara Wulan-lah yang akan ditangkap dalam keadaan hidup.”

Karena itu, maka Glagah Putih pun tidak mempunyai pilihan lain.

Ketika orang itu kemudian bersiap untuk meloncat menyerangnya dengan telapak tangannya yang nampak merah kehitam-hitaman, maka Glagah Putih pun telah benar-benar bersiap untuk melawannya.

Demikian orang itu menyerang dengan loncatan panjang sambil mengayunkan tangannya, maka Glagah Putih tidak meloncat menghindarinya. Tetapi ia menyongsong lawannya dengan serangan pula.

Sambil berdiri tegak dengan kaki renggang yang sedikit merendah pada lututnya, Glagah Putih mengarahkan kedua telapak tangannya kepada orang yang menyerangnya itu.

Seleret sinar seakan-akan telah memancar dari telapak tangannya dan meluncur ke arah orang yang sedang menyerangnya itu.

Orang itu terkejut bukan kepalang. Tetapi tubuhnya sedang bergerak dengan cepat, justru menyongsong seleret sinar yang meluncur dari tangan anak muda itu.

Orang itu masih berusaha menggeliat. Tetapi usahanya sama sekali tidak berarti apa-apa. Seleret sinar dari telapak sepasang tangan Glagah Putih itu meluncur mengenai tubuhnya.

Terdengar orang itu berteriak nyaring. Tubuhnya terasa bagaikan membentur kekuatan yang tidak dapat diduga besarnya.

Tubuh orang itu terlempar dan jatuh terbanting di tanah beberapa langkah dari benturan yang telah terjadi. Tulang-tulang di tubuh itu serasa berpatahan. Dadanya pun serasa telah terbakar oleh panasnya api neraka.

Orang itu masih menggeliat. Namun kemudian terdiam.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan sedang mengendapkan dadanya yang bergejolak.

Perlahan-lahan Glagah Pulih melangkah mendekati tubuh yang terbaring diam itu. Namun ternyata bahwa nafas orang itu telah berhenti. Glagah Putih yang berjongkok di sisi orang itu telah meyakinkannya dengan meraba leher orang itu. Tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada dirinya.

“Apa boleh buat,” desis Glagah Putih, “aku tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menghindari kemungkinan ini.”

Dalam pada itu, Rara Wulan masih menghadapi kedua orang lawannya. Dengan meningkatkan kemampuannya serta luluhnya berbagai unsur yang bersumber dari perguruan yang berbeda, maka Rara Wulan-lah yang kemudian mendesak kedua orang lawannya.

Ketika kedua orang lawan Rara Wulan itu melihat orang yang sudah separuh baya itu terbaring diam, maka rasa-rasanya jantung mereka pun telah menyusut. Tidak ada lagi keberanian yang tersisa untuk melawan perempuan yang garang itu. Sementara itu, keduanya merasa sulit untuk dapat melarikan diri. Seorang di antara mereka tentu akan dikejar oleh anak muda yang telah membunuh orang yang sudah separuh baya itu.

Karena itu, maka ketika seorang di antara mereka menyatakan dirinya untuk menyerah, kawannya pun dengan serta merta telah menyerah pula.

“Kami menyerah,” berkata seorang di antara mereka dengan nafas yang terengah-engah.

Rara Wulan berdiri tegak dengan tangan bertolak pinggang. Sementara itu, kedua orang lawannya yang menyerah itu pun telah berjongkok sambil memohon, “Kami mohon ampun. Kami tidak tahu apa-apa.”

“Bohong! Kau-lah yang tidak sabar menunggu kawanmu itu selesai berbicara. Kau-lah yang minta kepada kawanmu agar kami segera ditangkap.”

“Bukan maksudku.”

“Jika bukan maksudmu, lalu apa maksudmu, he?”

“Aku… aku hanya ingin agar saudaraku itu tidak terlalu banyak bicara.”

“Bohong! Aku paling benci kepada orang yang suka berbohong. Jika kau tidak berkata sebenarnya, aku bunuh kau!”

“Apa yang harus aku katakan?”

Rara Wulan justru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tiba-tiba saja ia membentak, “Apakah kalian berasal dari perguruan Kedung Jati?”

Sebelum orang itu menjawab, Rara Wulan sudah membentak, “Jangan bohong!”

“Tidak. Aku tidak bohong.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi ia diam saja. Dibiarkannya Rara Wulan berbicara dengan kedua orang yang sudah menyerah itu.

Dalam pada itu, terdengar Rara Wulan membentak lagi, “Kalian belum menjawab! Bukankah kalian murid perguruan Kedung Jati?”

“Secara tidak langsung, kami memang murid dari perguruan Kedung Jati.”

“Kenapa tidak langsung?”

“Guruku-lah, murid dari perguruan Kedung Jati.”

“Siapa gurumu, he? Siapa?”

Orang itu terdiam. Kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Siapa?”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak menjawab.

“Siapa?” nada suara Rara Wulan meninggi.

Kedua orang itu masih tetap berdiam diri.

Rara Wulan pun melangkah mendekati kedua orang yang sudah berjongkok itu. Katanya, “Jika kalian tidak mengatakannya, maka kalian berdua akan mati.”

Kedua orang itu menjadi semakin cemas melihat sikap Rara Wulan yang garang. Justru anak muda itu tidak segarang perempuan muda itu, meskipun anak muda itu sudah membunuh seorang di antara mereka.

“Aku beri waktu sesaat. Jika pada saat kesabaranku habis kalian masih belum menjawab, maka aku akan mengetuk tengkukmu, sehingga tulang di lehermu akan patah.”

Kedua orang itu benar-benar menjadi ketakutan. Perempuan itu agaknya tidak sekedar mengancam.

Karena itu, maka seorang di antara mereka pun berkata, “Guruku adalah Ki Kidang Rame. Ki Kidang Rame adalah salah seorang murid dari perguruan Kedung Jati.”

Rara Wulan pun membentak, “Kau tidak bohong?”

“Tidak. Guruku adalah Ki Kidang Rame. Aku berkata sebenamya.”

“Dimana ia tinggal?”

“Di padepokan Tlagawana, di kaki Gunung Merapi.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Kau dapat menyebut seribu nama bagi orang yang kau sebut gurumu. Kau dapat pula menunjuk seribu padepokan yang tidak aku mengerti. Tetapi satu hal yang harus kau dengar, bahwa aku akan bertemu dan berbicara dengan Ki Saba Lantang. Aku akan mengatakan bahwa Ki Kidang Rame telah memerintahkan murid-muridnya untuk mengganggu kami.”

“Jangan katakan kepada Ki Saba Lintang.”

“Besok kami akan bertemu dengan Ki Saba Lintang di Cepaga.”

“Cepaga?”

“Ya. Orang-orang terdekat Ki Saba Lintang akan berkumpul di Cepaga.”

“Tetapi baru kemarin Ki Saba Lintang berangkat ke Wirasari, di seberang Kali Lusi, di sebelah utara Gunung Kendeng.”

Jantung Rara Wulan berdesir. Glagah Putih pun segera tertarik kepada keterangan itu.

Dengan nada berat Glagah Putih pun tiba-tiba menyahut, “Apa salahnya jika Ki Saba Lintang kemarin berangkat ke Wisarari, dan besok berkumpul dengan beberapa orang di Cepaga?”

“Wirasari itu jauh. Apakah Ki Saba Lintang dapat mencapai Wirasari dan kemudian kembali ke Cepaga besok pagi? Sedangkan Ki Saba Lintang baru kemarin sore berangkat.”

“Kau jangan menghina Ki Saba Lintang, Ki Sanak! Kau kira Ki Saba Lintang itu cecurut seperti kau? Ki Saba Lintang mempunyai kekuatan Aji Saepi Angin. Dalam waktu sekejap, ia dapat berada di Wirasari, setelah sebelumnya berada di Mataram. Kemudian dalam sekejap lagi berada di Cepaga, atau di Musuk.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Dengan suara yang bergetar keduanya menyahut hampir berbareng, “Ya. Ya, kau benar, Ki Sanak.”

“Mungkin karena kau bukan murid perguruan Kedung Jati langsung, maka kau tidak menghormati Ki Saba Lintang.”

“Bukan maksudku, Ki Sanak. Aku sangat menghormatinya.”

“Darimana kau tahu bahwa kemarin sore Ki Saba Lintang berangkat ke Wirasari?”

“Guru. Guru baru saja bertemu dengan Ki Saba Lintang kemarin.”

“Kau tentu mengigau. Tidak semua murid Kedung Jati dapat bertemu dengan Ki Saba Lintang.”

“Guruku adalah adik sepupunya.”

“Kau jangan mengada-ada.”

“Benar. Guruku adalah adik sepupunya.”

“Kau bohong! Aku belum pernah mendengar bahwa Ki Saba Lintang mempunyai seorang sepupu yang bernama Kidang Rame.”

“Aku tidak berbohong, Ki Sanak.”

“Aku justru ingin bertemu dengan saudara sepupu Ki Saba Lintang itu, untuk membuktikan kebenaran kata-katamu.”

“Kau tidak akan dapat menemuinya.”

“Aku akan memaksa kalian untuk mengatakan, dimana Ki Kidang Rame itu bersembunyi.”

“Ki Kidang Rame tidak bersembunyi. Tetapi tidak setiap orang dapat menemuinya, sebagaimana Ki Saba Lintang.”

“Kalian berdua akan membawa kami kepadanya.”

“Sebenarnya aku dapat saja membawamu kepada Guru, Ki Sanak. Tetapi kami tidak ingin melakukannya.”

“Kenapa?”

“Kalian tidak membunuhku sekarang. Kami berhutang budi kepada kalian berdua.”

“Jika kau merasa berhutang budi kepada kami, kenapa kalian justru tidak mau membawa kami kepada gurumu?”

“Guruku adalah orang yang sulit dimengerti. Jika kedatangan kalian tidak dikehendaki oleh Guru, maka kalian berdua akan mati. Jika aku menunjukkan kemana kalian dapat menemui Guru, maka itu akan berarti bahwa aku akan membunuhmu.”

“Sejak semula aku tidak mempercayaimu. Sekarang kebohonganmu menjadi semakin dalam.”

“Tidak, aku tidak berbohong. Tetapi terserah kepadamu, Ki Sanak. Apapun yang aku lakukan, penilaianmu tentu akan buruk sekali. Tetapi aku merasa lebih baik kau tuduh berbohong daripada kau tuduh menjebakmu, yang akan dapat menyebabkan kematianmu.”

“Demikian rumitnya cerita yang kau susun, sehingga dapat menimbulkan kesan betapa baiknya hatimu.”

“Aku tidak dapat mengatakan apa-apa lagi, Ki Sanak. Tetapi aku mohon, jangan temui guruku, meskipun kau orang terdekat Ki Saba Lintang. Mungkin kau berdiri di sisi lain, sehingga Guru tidak dapat mengenalmu sebagaimana kau tidak mengenal Guru.”

“Bohong!,” potong Rara Wulan.

“Seandainya gurumu tidak menginginkan kedatanganku dan ingin membunuhku, aku tidak takut. Kau tahu bahwa aku telah membunuh orang itu,” berkata Glagah Putih sambil menunjuk tubuh yang terbaring diam.

“Selain ilmu guruku lebih tinggi dari ilmunya, guruku juga mempunyai beberapa orang saudara seperguruan yang kebetulan sekarang berada di padepokan.”

“Ceritamu semakin ngelantur!” bentak Rara Wulan.

“Aku hanya ingin menyelamatkanmu. Tetapi jika karena itu kau tidak lagi mempercayaiku dan membunuhku, itu terserah kepadamu, karena seharusnya kami berdua sudah mati.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Kali ini aku mempercayaimu. Aku tidak akan memaksamu untuk membawaku kepada gurumu Aku bahkan mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu menghindarkan kami berdua dari kesulitan. Tetapi pada kesempatan lain, aku akan menemui gurumu di padepokannya. Sebelumnya aku akan berbicara lebih dahulu dengan Ki Saba Lintang.”

“Tetapi aku mohon, jangan katakan bahwa guruku telah memerintahkan kami berdua untuk mengganggu perjalananmu, bahkan menangkapmu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia hanya tertawa saja.

Sementara itu, orang itu pun berkala pula, “Tetapi segala sesuatunya terserah kepada kalian berdua.”

“Pergilah.”

Kedua orang itu pun termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulan pun membentak, “Pergilah! Sebelum kami merubah keputusan kami.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun segera beringsut dari tempatnya. Namun sebelum mereka pergi, Glagah Putih pun berkata, “Jangan kau tinggalkan tubuh kawanmu itu begitu saja. Kau harus menguburkannya dengan baik.”

Keduanya tertegun. Namun kemudian keduanya pun mengangguk. Seorang di antara mereka pun berkata, “Baiklah, Ki Sanak. Kami akan menguburkannya dengan baik.”

Namun dalam pada itu, selagi Glagah Putih dan Rara Wulan beranjak dari tempatnya, terdengar suara seseorang yang terbatuk-batuk di belakang gerumbul perdu. Namun suara batuk itu terasa demikian menghentak-hentak dada.

Kedua orang yang telah dikalahkan oleh Rara Wulan itu pun justru telah terduduk Mereka mencoba memusatkan nalar budinya, dikerahkannya daya tahannya untuk melindungi dadanya agar tidak meledak.

Glagah Putih merasakan serangan yang sangat khusus itu. Karena itu, maka ia pun segera memperingatkan Rara Wulan, “Hati-hati Rara. Lindungi dirimu dari hentakan-hentakan yang menyerang bagian dalam tubuh kita.”

Rara Wulan pun merasakan hentakan-hentakan itu demikian tajamnya, sehingga dadanya terasa menjadi sakit dan bahkan nafasnya menjadi sesak.

Orang itu masih terbatuk-batuk. Namun kemudian suara batuknya terhenti. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawanya yang menghentak-hentak.

Glagah Putih masih tetap berdiri. Namun ia pun harus mengerahkan daya tahannya. Hentakan-hentakan itu pun telah menyakiti isi dadanya.

“Duduklah, Rara. Atur pernafasanmu dengan baik. Kau akan sanggup melawan serangan yang khusus ini.”

Rara Wulan yang dadanya menjadi semakin nyeri itu menurut. Ia pun kemudian duduk bersila untuk dapat mengatur pernafasannya dengan baik. Kedua tangannya menelakup terletak di pangkuannya.

Suara tertawa itu benar-benar telah mengguncangkan isi dadanya. Getaran yang kuat yang memancar bersamaan dengan suara tertawa itu, langsung menusuk ke bagian dalam tubuhnya.

Hentakan ilmu itu semakin lama menjadi semakin kuat. Rara Wulan menjadi semakin kesakitan. Keringat dingin mengalir dari seluruh wajah kulitnya, membasahi pakaiannya. Bahkan dari keningnya, keringat itu pun mulai menitik. Sementara itu, wajahnya menjadi semakin lama semakin pucat.

Glagah Putih tidak membiarkan hal itu terjadi lebih lama lagi. Jika suara tertawa itu tidak dihentikan, maka keadaan Rara Wulan pun akan menjadi semakin buruk. sementara itu keadaannya sendiri pun akan dapat menjadi sulit pula.

Karena itu, Glagah Putih bertekad untuk tidak membiarkan dirinya dan Rara Wulan sekedar menjadi sasaran kekuatan orang yang tidak dikenalnya itu. Namun ia sadar bahwa lawannya itu adalah orang yang berilmu tinggi.

Sejenak, Glagah Putih memusatkan pendengarannya untuk mengetahui, dimanakah orang yang sedang melontarkan kekuatannya lewat suara tertawanya itu. Glagah Putih mengerti bahwa orang itu tersembunyi di belakang gerumbul perdu. Tetapi ia harus tahu lebih terarah lagi, perdu di sisi yang mana.

Namun akhirnya ketajaman pendengaran Glagah Putih pun mampu menangkap sumber suara tertawa itu. Diamatinya sebuah gerumbul jarak kepyar yang rimbun. Bahkan penglihatannya yang tajam sempat pula melihat dedaunan di gerumbul itu bergetar.

Glagah Putih pun kemudian telah memusatkan nalar budinya. Dibangunkannya ilmunya yang jarang ada bandingnya.

Tiba-tiba saja Glagah Putih meloncat sambil menghentakkan tangannya. Kedua telapak tangannya mengarah ke gerumbul jarak kepyar itu.

Seleret sinar meluncur dari kedua telapak tangan Glagah Putih mengarah ke gerumbul itu.

Sejenak kemudian, gerumbul jarak kepyar itu bagaikan meledak. Namun bersamaan dengan itu, sesosok tubuh telah meloncat, menghindari serangan Glagah Putih yang meluncur melampaui kecepatan anak panah.

Tetapi orang yang berada di balik gerumbul itu mampu bergerak dengan sangat cepat pula, sehingga serangan Glagah Putih tidak mengenai sasarannya.

Sesosok tubuh yang menghindari serangan Glagah Putih itu pun langsung hilang pula di balik gerumbul yang lain. Namun suara tertawa orang itu pun telah berhenti pula.

Dengan saksama Glagah Putih memperhatikan semak-semak yang tumbuh di padang perdu itu. Ketika ia melihat dedaunan yang bergerak, maka Glagah Putih tidak menunggu lebih lama lagi. Sekali lagi ia menghentakkan ilmunya dengan mengangkat tangannya, dengan kedua telapak tangannya menghadap ke sasaran.

Sekali lagi seleret sinar meluncur dari kedua telapak tangannya ke arah segerumbul semak belukar dari tumbuh-tumbuhan berduri.

Gerumbul itu pun seakan-akan telah meledak pula. Namun sekali lagi serangan Glagah Putih tidak mengenai sasarannya. Orang yang berada di balik gerumbul itu telah melenting dari tempatnya.

Tetapi orang itu tidak lagi bersembunyi. Tetapi ia berdiri tegak hanya dua langkah dari gerumbul yang dikenai serangan Glagah Putih itu.

Segumpal asap masih mengepul dari gerumbul yang bagaikan terbakar itu.

“Luar biasa, anak muda,” berkata orang yang kemudian berdiri tegak di sebelah sebatang pohon.

Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Orang itu adalah penjual barang-barang anyaman bambu yang berada di pasar itu.

“Kau, Ki Sanak,” desis Glagah Putih.

“Ya, anak muda. Apakah kau terkejut?”

“Ya. Kami terkejut.”

“Aku juga terkejut melihat kemampuan kalian berdua. Kalian memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari dugaanku.”

“Ki Sanak,” bertanya Glagah Putih kemudian, “kenapa kau kirim orang-orangmu untuk mengganggu perjalananku?”

“Siapa yang mengirimkan orang-orangnya untuk mengganggumu, anak-anak muda?”

“Kau tidak usah ingkar. Apakah kau menjadi iri hati bahwa aku dapat berhubungan lebih dekat dengan Ki Saba Lintang, sementara kau, murid dari tataran terbaik dari perguruan Kedung Jati, masih dibatasi oleh jarak dengan Ki Saba Lintang.”

“Sudahlah, Ngger. Kalian tidak perlu bercerita tentang hal-hal yang tidak kalian ketahui. Sekarang marilah, aku persilahkan Angger berdua singgah di rumahku.”

“Aku tidak akan singgah, Ki Sanak.”

“Aku minta dengan sangat.”

“Tidak, Ki Sanak.”

“Aku tidak ingin berbuat jahat terhadap kalian, Agger. Aku hanya ingin berbicara serba sedikit tentang tongkat baja putih dan tentang Angger berdua. Itu saja. Kemudian Angger berdua dapat meninggalkan rumahku tanpa gangguan apa-apa iagi.”

“Kau tentu tidak hanya ingin bertanya serba sedikit tentang tongkat baja putih dan tentang kami berdua. Kau tentu akan bertanya tentang banyak hal. Karena itu, kami tidak ingin singgah ke rumahmu.”

“Jangan keras kepala, Ngger.”

“Kau jangan memaksa kami.”

“Sebenarnya aku tidak ingin memaksa.”

“Tetapi kau kirim orang-orangmu untuk memaksa aku singgah. Bukankah itu sudah merupakan satu pertanda buruk bagi niatmu?”

“Baiklah. Aku berterus-terang. Aku memang lelah mengirimkan saudaraku dan dua orang muridku untuk minta agar kau singgah. Terapi kau telah membunuhnya, dan memaksa kedua muridku untuk berkhianat.”

“Kenapa kau anggap mereka berkhianat?”

“Mereka sudah menyebut namaku dan padepokanku kepada orang asing yang telah memusuhi aku. Mereka pun berusaha unluk mencegah kau menemui aku, karena mereka ingin menjaga keselamatanmu. Karena kau tidak membunuhnya, maka mereka ingin membalas kebaikan hatimu.”

“Jadi menurutmu, apa yang harus mereka lakukan?”

“Mereka memang sangat dungu, meskipun mereka sudah beberapa tahun berguru kepadaku.”

“Menurutku mereka sudah berbuat benar.”

“Seharusnya mereka sudah mendapat jalan untuk membawamu kepadaku. Bukankah kau ingin menemui aku? Tetapi kedua orang dungu itu justru mencegahmu.”

“Mereka adalah orang-orang yang baik. Mereka tahu apa yang seharusnya dilakukan, berdasarkan pengertian mereka atas baik dan buruk. Kau-kah yang mengajarinya, agar mereka tahu membalas budi kepada sesamanya yang pernah berbuat baik kepada mereka?”

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian orang itu pun tartawa, “Nalarmu tajam sekali, anak muda. Pertanyaanmu membual aku menjadi bimbang untuk menjawab. Tetapi baiklah, kita berbicara tentang pokok persoalannya saja. Aku minta kalian singgah. Mau tidak mau.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, agaknya Rara Wulan telah dapat mengatasi keadaannya. Perlahan-lahan Rara Wulan bangkit berdiri. Wajahnya tidak lagi nampak terlalu pucat. Agaknya darahnya sudah mengalir dengan teratur, sejalan dengan jalan pernafasannya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berkata sambil menggeleng, “Kami tidak akan singgah.”

“Jika demikian, aku akan memaksa kalian. Aku akan membuat kalian tunduk kepada kemauanku. Jika kalian tetap berkeras kepala, maka aku akan membunuh kalian. Jangan berbicara tentang perguruan Kedung Jati, karena kalian bukan murid-murid perguruan Kedung Jati, meskipun perempuan muda itu memang agak meragukan. Ia mengenali terlalu banyak unsur-unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati. Namun seandainya ia murid perguruan Kedung Jati juga, maka aku tidak akan dianggap bersalah jika aku membunuh kalian berdua, yang akan dapat merugikan perguruan Kedung Jati.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Namun keduanya sudah bertekad tidak akan singgah di rumah orang itu, apapun yang akan terjadi.

Karena itu, maka Glagah Putih pun segera mempersiapkan diri menghadapi orang yang mengancamnya itu. Seorang murid dari Kedung Jati dari tataran terbaik.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan segera teringat pesan-pesan Ki Carang Blabar tentang orang yang menjual barang-barang anyaman bambu itu. Ki Carang Blabar sudah memberikan petunjuk, apa yang dapat mereka lakukan untuk menghadapinya.

Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Keduanya menyadari sepenuhnya, bahwa orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian orang itu telah menyerangnya. Karena orang itu sudah mengetahui tataran ilmu Glagah Pulih, maka orang itu pun langsung meningkatkan ilmunya, yang menurut perhitungannya akan dapat mengatasi ilmu Glagah Putih.

Namun untuk menundukkan Glagah Putih ternyata tidak semudah yang diduganya. Anak muda itu ternyata memiliki kemampuan bergerak sangat cepat. Sementara itu, penjual barang-barang anyaman itu merasa bahwa ia tidak akan dapat mempergunakan ilmunya yang dapat menghentak bagian dalam anak muda itu, karena anak muda itu tentu akan menyerangnya dengan lontaran seleret cahaya dari telapak tangannya.

Karena itu, meskipun orang itu sampai ke puncak ilmu perguruannya, namun orang itu ternyata masih belum dapat menundukkan Glagah Putih.

Karena itu, maka di luar sadarnya, unsur-unsur gerak yang dikuasainya selain unsur gerak ilmu yang diturunkan oleh perguruan Kedung Jati, telah mulai muncul ke permukaan. Tepat sebagaimana dikatakan oleh Ki Carang Blabar.

Serangan-serangan orang itu datang beruntun, susul menyusul seperti air yang tercurah dari langit. Namun sejenak kemudian, geraknya menjadi lamban. Tetapi pada setiap gerakannya, seakan-akan telah menimbulkan getar yang menghentak sampai ke tulang sumsum. 

Glagah Putih mulai merasakan tekanan ilmu itu. Pada saat lawannya menyerangnya seperti air yang tumpah dari langit, Glagah Putih harus berloncatan menghindarinya. Namun tiba-tiba serangan itu bagaikan berhenti. Namun jika tiba-tiba saja lawannya bergerak, maka gerak itu telah menimbulkan getaran yang terasa seakan-akan menghimpitnya.

Tetapi Glagah Putih pun telah mendapat petunjuk Ki Carang Blabar, bagaimana ia harus menghadapi ilmu itu.

Ketika orang itu menyerangnya dengan ilmunya yang menghentak-hentak sehingga dapat menimbulkan kebingungan dan kemudian kelengahan lawannya, maka Glagah Putih pun segera menempatkan dirinya sebagaimana dikatakan oleh Ki Carang Blabar.

Pada saat serangan orang itu dalang seperti turunnya hujan yang dicurahkan dari langit, maka orang itu tidak mampu mengerahkan segenap kekuatan dan tenaga dalamnya. Sebaliknya pada saat-saat serangannya menjadi lamban dan bahkan seakan-akan berhenti, maka kekuatan tenaganya bagaikan terhimpun tuntas, didukung oleh kekuatan lenaga dalamnya.

Karena itu, pada saat-saat orang itu menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi, maka Glagah Putih telah bersiap untuk membenturkan tenaganya.

Orang itu memang terkejut ketika Glagah Putih tidak menjadi bingung menghadapi serangan-serangannya yang datang beruntun dengan cepat. Bahkan Glagah Putih pun menjadi bagaikan tonggak kayu yang akarnya kokoh berpegang sampai ke pusat bumi.

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Ki Carang Blabar, pada saat serangan-serangan orang itu datang beruntun dengan cepat, maka orang itu tidak dapat mengerahkan segenap tenaganya. Tenaga dalamnya pun terasa lemah dan tidak mampu memberikan tekanan-tekanan yang menentukan mendukung kemampuannya.

Karena itu, ketika terjadi benturan-benturan yang keras, maka orang itu-lah yang selalu terpental satu dua langkah surut.

Namun ketika tiba-tiba saja orang itu berhenti bergerak dan serangan-serangannya menjadi lamban, maka Glagah Putih-lah yang bergerak dengan cepat menyerang dari berbagai arah. Namun dalam keadaan yang demikian, Glagah Putih selalu berusaha untuk menghindari benturan-benturan tenaga dan kekuatan dengan orang itu. Kakinya berloncatan dengan cepatnya berputaran di sekitar lawannya. Setiap kali Glagah Putih pun mengayunkan tangannya atau kakinya, menyentuh tubuh orang yang bergerak lamban itu.

Namun jika orang itu sekali meloncat sambil mengayunkan tangannya, Glagah Putih harus dengan cepat meloncat menghindar. Ketika tangan orang itu gagal menyentuh sasaran di tubuh Glagah Putih karena Glagah Putih menghindar, sehingga tangan itu menyambar sebatang pohon turi, maka pohon itu pun tergetar dengan kerasnya. Bahkan kemudian batang pohon turi itu pun telah patah dan berderak roboh di tanah.

Glagah Putih meloncat menjauh. Jantungnya memang terasa bergetar. Meskipun batang pohon turi itu tidak terlalu besar, namun dengan demikian Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengetahui, bahwa pada saat yang demikian kekuatan orang itu menjadi demikian besar.

Namun kecepatan bergerak Glagah Putih terasa sangat mengganggunya. Serangan-serangan yang dapat mengenai tubuhnya, mulai terasa menyakitinya.

Dengan demikian, maka orang itu pun merasa bahwa dengan demikian, ia tidak akan segera mampu mengalahkan Glagah Putih. Karena itu, maka orang itu pun telah memutuskan untuk mempergunakan ilmunya yang lain, yang akan dapat menyulitkan Glagah Putih.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja udara di sekitar orang itu pun bagaikan telah terputar. Debu, dedaunan kering, dan ranting-ranting yang patah pun ikut terputar pula dan terangkat ke udara. Semakin lama maka udara yang berputar itu semakin terasa panas, sehingga dedaunan dan ranting-ranting yang hanyut pun menjadi bagaikan terpanggang di atas api.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun angin pusaran yang memancarkan panas itu dengan cepat berputar ke arahnya

Glagah Putih tidak ingin membiarkan dirinya diterbangkan dan kemudian dibakar oleh panasnya kekuatan ilmu orang itu. Karena itu, maka Glagah Putih dengan cepat telah memusatkan nalar budinya. Dihentakkannya tangannya dengan telapak tangan terbuka, mengarah ke angin pusaran yang memancarkan panas bagaikan nyala api itu.

Seleret sinar memancar dari tangan Glagah Putih meluncur dengan cepat sekali, membentur angin pusaran yang memancarkan panas itu.

Namun seleret sinar dari tangan Glagah Putih itu bagaikan membentur dinding yang kokohnya melampaui lapisan baja. Glagah Putih melihat angin pusaran itu memercik, seolah-olah terjadi sebuah ledakan kecil. Angin pusaran itu memang sesaat menyusut. Namun angin itu pun kemudian telah pulih kembali seperti sebelumnya. Dengan cepat angin itu bergerak bergeser menuju ke arah Glagah Putih.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Sekali lagi dihentakkannya ilmunya. Seleret sinar sekali lagi menghantam angin pusaran itu. Tetapi sekali lagi, yang terjadi adalah sebagaimana telah terjadi. Seleret sinar dari telapak tangan Glagah Putih itu hanyalah sekedar menimbulkan ledakan kecil pada dinding angin pusaran itu.

Dalam pada itu, angin pusaran itu telah menjadi semakin dekat. Karena itu, maka Glagah Putih pun segera berteriak, “Rara, kita harus menghindar!”

Kedua orang itu pun segera berloncatan menghindar. Mereka pun berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Kemudian mereka pun segera melenting berdiri.

“Ilmu iblis!” geram Glagah Putih.

Angin pusaran itu terhenti sejenak di tempatnya. Namun kemudian telah bergerak kembali ke arahnya.

Glagah Putih dan Rara Wulan segera terlibat dalam kesulitan. Mereka hanya dapat menghindari libatan angin pusaran itu. Namun serangan-serangan puncak ilmu Glagah Putih tidak mampu memecahkan putaran angin yang panas itu.

Namun Glagah Putih tidak menyerah. Beberapa kali ia menyerang pusaran angin itu untuk menghambat gerak majunya, sehingga dengan demikian Rara Wulan pun mampu menghindarkan diri.

Tubuh Glagah Putih pun kemudian telah menjadi basah oleh keringat. Terasa panasnya udara itu telah menyentuh tubuhnya. Sementara itu, beberapa kali Glagah Putih sudah mencoba menyerang angin pusaran itu dengan puncak ilmunya, namun Glagah Putih tidak berhasil menghentikannya.

Yang dapat dilakukan oleh Glagah Putih adalah berusaha terus sampai batas kemampuannya yang terakhir. Namun di dalam hati, Glagah Putih menyerahkan segala-galanya kepada Yang Menciptakannya. Jika dalam pertempuran itu segala sesuatunya harus berakhir baginya, maka ia tidak akan dapat lari lagi.

Namun dalam pada itu, Glagah Pulih dan Rara Wulan terkejut ketika mereka melihat dari arah yang lain, angin pusaran sebagaimana yang memburunya itu muncul, meluncur dengan kecepatan yang tinggi pula. Bahkan lebih cepat dari gerak angin pusaran yang pertama.

Glagah Putih menjadi semakin gelisah. Jika pusaran itu juga menyerangnya atau menyerang Rara Wulan, maka perlawanan mereka pun akan segera berakhir. Mereka telah gagal menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka berdua.

Dalam keadaan yang sangat gawat itu, Glagah Putih pun teringat kepada saudara sepupunya, Agung Sedayu.

“Dalam keadaan seperti ini, apa yang dilakukan oleh Kakang Agung Sedayu?” bertanya Glagah Putih di dalam hatinya.

Beberapa kali Glagah Putih dan Rara Wulan masih harus berloncatan dan berguling menghindari angin pusaran yang pertama. Namun kemudian mereka berdua melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Angin pusaran yang kedua itu tiba-tiba saja telah menyusul angin pusaran yang pertama, sehingga telah terjadi benturan yang dahsyat. Dalam benturan itu seakan-akan telah terjadi ledakan, sehingga debu dan abu telah menghambur di udara. Kemudian menebar dibawa angin yang bertiup kencang.

Namun kedua ujud angin pusaran itu telah lenyap.

Jantung Glagah Putih dan Rara Wulan pun terasa berdegup semakin cepat. Sambil termangu-mangu mereka berdiri tegak, tanpa mengetahui apa yang harus mereka lakukan.

Dalam ketegangan itu, terdengar seseorang berkata, “Siapa yang telah mencampuri urusanku dengan anak-anak dungu ini?”

Glagah Putih dan Rara Wulan memang terkejut. Ketika mereka berpaling, mereka melihat penjual barang anyaman bambu itu berdiri di sebelah sebatang pohon.

“Alangkah bodohnya aku,” desis Glagah Putih.

“Apa, Kakang?” bisik Rara Wulan.

“Orang itu ada di sana. Tidak berada di dalam pusaran angin yang panas itu.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Ia pun baru sadar, bahwa orang yang mengendalikan angin pusaran itu berada di luarnya.

Namun Rara Wulan pun kemudian bertanya, “Tetapi apa yang terjadi kemudian, Kakang? Pusaran angin yang satu lagi?”

Glagah Putih menggeleng sambil berdesis, “Aku belum tahu, Rara.”

Namun dalam pada itu, dari arah lain terdengar pula suara tertawa. Tidak terlalu keras.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melihat orang yang telah dikenalnya dengan baik berdiri di arah yang lain, di sebelah gerumbul perdu yang agak besar. Dengan sareh orang itu pun berkata, “Maaf, Ki Sanak, bahwa aku telah mencampuri persoalanmu.”

“Kau?” ternyata orang yang berjualan barang-barang anyaman bambu itu terkejut melihat Ki Carang Blabar.

“Aku minta maaf. Tetapi aku minta kau jangan mengganggu kedua orang anak ilu. Mereka adalah anak yang baik. Aku tahu bahwa kau tertarik pada ceritanya tentang tongkat baja putih itu. Tetapi jika hal itu menarik perhatianmu, bukan alasan yang cukup pantas untuk membunuhnya.”

“Aku tidak ingin membunuhnya.”

“Kau akan membunuhnya. Kau, seorang yang berilmu sangat tinggi, telah mengerahkan ilmu puncakmu. Ilmu puncak yang telah kau curi dari sebuah perguruan yang lain, karena perguruanmu sendiri tidak melahirkan tataran kemampuan ilmu yang cukup tinggi. Dengan kecerdasan otakmu, maka kau berhasil menguasai ilmu itu, bagaikan kau sendiri telah menerima langsung warisan dari seorang guru yang terpercaya dari perguruan itu.”

“Kau berkeberatan?”

“Ya. Aku berkeberatan.”

“Bukankah hal itu mungkin terjadi, karena kelengahan perguruan itu? Kau murid dari perguruan itu?”

“Ya.”

Penjual barang-barang anyaman bambu itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Namun bagaimanapun juga, kau mampu mengelabui aku. Aku tidak menyangka bahwa kau, penjual jagung muda yang kurus dan lemah, adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”

“Ilmuku masih belum apa-apa dibandingkan orang-orang terbaik di perguruanku.”

“Menyesal aku memujimu. Ternyata kau adalah seorang yang sangat sombong.”

“Aku tidak sombong. Aku berkata sebenarnya.”

“Baiklah. Hari ini aku terpaksa meninggalkan kedua orang anak muda itu karena campur tanganmu. Tetapi pada kesempatan lain, mereka tidak akan lepas dan tanganku.”

“Jangan harap kau dapat melakukannya. Kali ini, kau memang belum siap untuk menanggalkan ilmu yang kau curi itu. Tetapi pada kesempatan lain, aku akan mengambil milik perguruanku itu darimu. Aku tidak peduli apapun yang bakal terjadi atas dirimu, dan bahkan seandainya membahayakan jiwamu.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya, “Seekor cacing pun akan menggeliat jika terinjak kaki, apalagi aku.”

Laki-laki kurus penjual jagung muda itu tertawa. Katanya, “Kau memang tidak lebih dari seekor cacing bagiku.”

“Seperti yang sudah aku katakan, kau adalah orang yang sangat sombong.”

“Baiklah, Ki Sanak. Aku tidak akan berbuat apa-apa kali ini. Tetapi aku ingin memperkenalkan namaku. Orang menyebutku Carang Blabar. Kau siapa, Ki Sanak?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Namaku Kidang Rame.”

“Baiklah, Ki Kidang Rame. Aku minta kau tinggalkan anak-anak itu. Biarlah mereka melanjutkan perjalanannya. Uruslah kedua orang mundmu itu. Kau tidak perlu menghukumnya. Bahkan kau harus bersyukur, bahwa kedua orang muridmu itu masih memiliki benih-benih keluhuran pekerti. Pupuklah, agar kelak mereka dapat menjadi orang berilmu yang memberikan arti bagi kehidupan sesamanya. Kau tidak usah merasa malu pula, jika dua orang muridmu itu dapat dikalahkan oleh seorang perempuan yang juga mempunyai kemampuan dengan memperlihatkan ciri-ciri perguruan Kedung Jati. Aku tahu, keduanya bukan murid-murid utamamu. Sementara itu, kau harus mengikhlaskan seorang saudaramu yang terbunuh itu.”

“Aku akan pergi, Carang Blabar. Tetapi jangan kau kira bahwa aku menjadi ketakutan. Aku pun sama sekali tidak merasa mencuri apa- apa, Carang Blabar. Jika aku mencuri sesuatu di perguruanmu, maka yang aku curi itu tidak ada lagi padamu atau orang lain di perguruanmu. Tetapi nyatanya, kau masih memilikinya sampai saat ini.”

“Kau tidak usah mengacaukan bahasa yang sudah sering kita pergunakan. Nah, kita akan berpisah sampai di sini. Hati-hatilah, Kidang Rame.”

Kidang Rame termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun melangkah menghampiri kedua muridnya yang duduk bersila sambil mengatur pernafasannya Namun karena kegelisahan yang mencengkam dadanya karena kehadiran gurunya, maka rasa-rasanya mereka menjadi sedemikian dungunya. Nafas mereka masih saja tersengal-sengal.

“Pulanglah. Jangan takut, aku sudah diajari oleh Ki Carang Blabar untuk tidak menghukummu. Bahkan Ki Carang Blabar telah memuji kalian berdua, bahwa kalian masih mempunyai keluhuran pekerti.”

Keramahan gurunya itu telah membuat kedua orang muridnya itu menjadi semakin ketakutan. Mereka sudah membayangkan, apa yang akan terjadi dengan mereka berdua setelah mereka berada di sebuah tempat tinggal yang mereka pergunakan untuk sementara, selagi mereka berada di lingkungan itu bersama gurunya.

Namun ketika Ki Kidang Rame itu mulai beranjak bersama murid-muridnya yang masih saja merasa dadanya terguncang, Ki Carang Blabar itu berkata, “Apakah kita masih akan bertemu di pasar?”

Ki Kidang Rame memandang Ki Carang Blabar sekilas. Kemudian ia pun tertawa sambil berkata, “Apa salahnya? Bukankah di pasar itu lidak ada Carang Blabar dan tidak ada Kidang Rame? Bukankah yang ada adalah Ki Modang, penjual barang-barang anyaman bambu, serta Ki Riwis, laki-laki kurus penjual jagung, yang menangis melolong-lolong karena takut dibunuh Putut edan itu?”

Ki Carang Blabar pun berkata, “Ternyata kita masih mempunyai sisa keakraban hubungan kita di pasar itu. Tetapi agaknya kita tidak akan bertemu lagi di pasar itu.”

“Kau memang lebih maju selangkah dari aku, Carang Blabar. Nampaknya kau sudah mengenal aku sejak kita berada di pasar itu.”

“Tentu, Kidang Rame. Aku tentu dapat mengenali orang yang telah mencuri di padepokanku.”

“Jadi kehadiranmu di pasar itu memang sengaja mengawasi aku, yang kau katakan telah mencuri di padepokanmu itu?”

“Ya.”

“Baiklah. Jika demikian, maka pada suatu saat kau akan datang kepadaku lagi untuk mencoba mengambil apa yang kau katakan aku curi dari perguruanmu itu. Tetapi pada pertemuan mendatang, ilmuku tentu sudah lebih tinggi dari ilmumu.”

“Kau akan mencuri lagi di padepokan yang lain?”

“Persetan dengan tuduhanmu itu.”

Ki Carang Blabar tertawa. Katanya, “Sekali kau pernah mencuri, maka kau tentu akan melakukannya lagi.”

Ki Kidang Rame itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan membawa kedua muridku pulang.”

Ki Carang Blabar tidak menjawab lagi. Kedua murid Ki Kidang Rame itu pun kemudian mengikuti gurunya melangkah, semakin lama semakin jauh.

Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun kemudian berdesis, “Kami berdua mengucapkan terima kasih, Ki Carang Blabar.”

“O,” Ki Carang Blabar yang masih memperhatikan Kidang Rame itu pun segera berpaling.

“Ki Carang Blabar telah menyelamatkan nyawa kami.”

“Kau juga pernah menyelamatkan nyawaku,” berkata Ki Carang Blabar.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat ia pun berkata, “Apa yang dapat aku lakukan, sehingga aku telah menyelamatkan nyawa Ki Carang Blabar?”

“Bukankah di pasar itu kau telah menyelamatkan nyawaku?”

“Apakah tanpa aku Ki Carang Blabar tidak dapat menyelamatkan diri sendiri?”

“Soalnya bukan dapat atau tidak dapat menyelamatkan diri sendiri. Seandainya yang ada waktu itu bukan aku, bukan Carang Blabar, tetapi benar-benar Riwis, seorang laki-laki kurus penjual jagung muda? Bukankah kau sudah menyelamatkan satu nyawa?”

“Tetapi bukankah Ki Riwis penjual jagung muda itu adalah Ki Carang Blabar?”

“Tetapi itu tidak mengurangi nilai pertolongan yang telah kau berikan, Ngger.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Carang Blabar itu pun berkata, “Baiklah, Ngger, jika Angger akan meneruskan perjalanan. Aku kira, Kidang Rame tidak akan menyusulmu segera. Seandainya ia menyusulmu, kau pun sudah tahu, bahwa orang itu akan dapat kau lawan dengan kemampuan ilmumu yang jarang ada duanya itu, Ngger. Bahwa tadi kau tidak dapat melawannya, karena kau tidak tahu, bahwa Kidang Rame itu tidak berada di dalam angin pusarannya, yang mampu memancarkan getar panasnya api itu. Sekarang, setelah kau tahu, maka kau tentu akan dapat melawannya. Setidak-tidaknya untuk mempertahankan diri sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Tetapi kami masih harus menguburkan orang yang terbunuh itu, Paman. Ki Kidang Rame dan kedua muridnya tidak melakukannya.”

Ki Carang Blabar mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku memang harus memujimu sekali lagi, Ngger. Baiklah. Marilah, kita berdua menguburkan orang itu.”

“Bukankah aku dapat membantu, Paman” berkata Rara Wulan.

“Kami berdua dapat melakukannya.”

Sejenak kemudian, tubuh yang membeku itu pun sudah dikuburkan, meskipun tidak terlalu dalam. Keduanya pun kemudian telah menimbun kubur itu dengan bebatuan, agar tidak mudah digali oleh binatang-binatang liar yang berkeliaran.

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera minta diri. Mereka akan melanjutkan perjalanan mereka. Setidak-tidaknya mereka sudah mendengar dari kedua murid Ki Kidang Rame, bahwa Ki Saba Lintang berada di Wirasari, di sebelah utara Pegunungan Kendeng, bahkan di seberang Kali Lusi.

“Hati-hati di perjalananmu yang panjang, Ngger.”

“Terima kasih, Paman.”

Namun di saat terakhir itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun merasa bersalah bahwa mereka masih belum berterus-terang, siapakah mereka sebenarnya. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Kami mohon maaf, bahwa kami masih saja menyembunyikan keterangan tentang diri kami. Kami mohon maaf, bahwa kami masih merasa perlu untuk menyembunyikan kenyataan tentang diri kami berdua. Tentang nama-nama kami.”

Ki Carang Blabar tertawa. Katanya, “Aku dapat mengerti, Ngger. Kalian belum mengenal aku dengan baik. Kau tentu masih juga ragu- ragu, apakah nama yang aku sebut itu benar-benar namaku. Terapi sekarang aku ingin meyakinkan kepadamu, bahwa namaku memang Carang Blabar. Aku juga tidak menyembunyikan namaku kepada Kidang Rame.”

“Ki Carang Blabar. Namaku yang sebenarnya adalah Glagah Putih. Sedangkan perempuan ini bukannya adikku, tetapi istriku. Namanya Rara Wulan.”

“Terima kasih atas kesediaan Angger berdua menyatakan diri Angger.”

“Kami berasal dari Tanah Perdikan Menoreh. Kami memang bukan murid-murid dari perguruan Kedung Jati. Tetapi kami memang pernah menyadap ilmu dari seorang murid dari perguruan Kedung Jati. Tetapi seperti Ki Kidang Rame, maka guru kami bukan murid langsung dari perguruan Kedung Jati itu.”

“Siapakah Guru kalian?”

“Sekar Mirah, dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Yang aku kenal nama dari Tanah Perdikan Menoreh adalah Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Sekar Mirah adalah istri Agung Sedayu.”

“O,” Ki Carang Blabar mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Jika guru kalian itu bukan murid langsung dari perguruan Kedung Jati, dari siapakah guru kalian menyadap ilmu?”

“Ki Sumangkar.”

“Ki Sumangkar?” Ki Carang Blabar terkejut, “Jadi guru kalian itu adalah murid Ki Sumangkar?”

“Ya.”

“Pantas, bahwa kalian mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Tetapi kalian tentu tidak hanya menyadap ilmu dari Nyi Lurah Sekar Mirah. Kalian tentu telah mendapatkan bimbingan pula dari Ki Lurah Agung Sedayu sendiri.”

“Kami tidak ingkar, Ki Carang Blabar.”

“Untunglah bahwa kalian tidak mengalami cedera di hadapan hidungku. Jika hal itu terjadi dan Ki Lurah Agung Sedayu mengetahui, maka aku akan dapat terpercik kesalahannya, dan mendapat hukuman darinya.”

“Apa hak Ki Lurah menghukum Paman Carang Blabar? Lagi, pula apakah Ki Lurah Agung Sedayu itu mampu melakukannya?”

“Jangan memperkecil arti Ki Lurah Agung Sedayu. Ilmunya bagaikan menyentuh mega-mega yang mengalir di langit. Bahkan mungkin hanya ada satu atau dua orang yang ilmunya dapat menyamainya.”

“Ki Carang Blabar terlalu memujinya.”

“Aku berkata sebenarnya. Bahkan ilmumu pun jarang ada duanya, Ngger. Namun Angger masih perlu memperluas cakrawala, sehingga ilmu yang Angger miliki dapat Angger manfaatkan dengan daya yang setinggi-tingginya di dalam keadaan yang gawat.” Lalu katanya pula, “Yang baru saja terjadi, merupakan satu pengalaman yang sangat berarti bagi Angger. Sebenarnyalah kemampuan Angger tidak kalah dari orang yang bernama Kidang Rame itu. Tetapi pengenalannya atas cakrawala, lebih luas dari Angger berdua, sehingga Angger sempat bingung menghadapinya. Jika saja Angger sejak semula mengetahui bahwa orang itu tidak berada di dalam lingkaran angin pusarannya, maka keadaannya akan berbeda.”

“Terima kasih atas petunjuk Paman.”

“Ngger. Jika kau kembali ke Tanah Perdikan, salamku buat Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Secara pribadi aku belum mengenal mereka, tetapi aku adalah salah seorang yang mengaguminya.”

“Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu tentu juga akan mengagumi Paman Carang Blabar.”

Ki Carang Blabar tersenyum. Katanya, “Kau membuat jantungku mengembang, Ngger. Tetapi baiklah. Aku mengucapkan selamat jalan. Kalian akan menempuh jalan pengembaraan yang panjang. Mudah-mudahan kalian selalu berada di bawah perlindungan Yang Maha Agung.”

“Terima kasih, Paman. Kami mohon Paman mendoakan kami.”

“Donga-dinonga, Ngger. ”

“Kami mohon diri.”

“Selamat jalan, Angger Glagah Putih. Selamat jalan, Angger Rara Wulan.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan Ki Carang Blabar seorang diri. Untuk beberapa saat ia masih berdiri termangu-mangu memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan, yang berjalan semakin lama semakan jauh.

Namun, demikian keduanya hilang dari pandangan matanya, maka Ki Carang Blabar itu pun mendengar suara rinding perlahan-lahan. Semakin lama semakin keras.

Ki Carang Blabar itu pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kakang. Kau agak terlambat datang.”

“Kau ingin bercerita tentang Glagah Pulih dan Rara Wulan yang baru saja pergi itu?” suara itu terdengar melingkar-lingkar, sementara suara rinding itu berhenti.

“Jangan membuat aku bingung, Kakang.”

Seseorang tiba-tiba telah berjalan menuju ke arah Ki Carang Blabar. Seorang yang janggut dan kumisnya yang pendek dan jarang sudah memutih, sebagaimana rambutnya yang selembar-selembar nampak berjuntai di bawah ikat pinggangnya.

“Kau masih senang bermain rinding, Kakang. Biasanya perempuan-lah yang bermain rinding.”

Orang itu tersenyum. Wajahnya nampak bersih dan cerah. Meskipun umurnya sudah merambat semakin tua, namun orang itu masih nampak tegar.

“Kenapa jika aku yang bermain rinding? Di tempat tinggalku, tidak hanya perempuan yang bermain rinding, tetapi juga laki-laki. Kadang-kadang lima enam orang bermain rinding bersama-sama. Sebagian perempuan dan sebagian laki-laki.”

“Kapan kau datang kemari, Kakang?”

“Aku mencarimu. Seorang saudara seperguruanmu mengatakan bahwa kau berada di sini.”

“Aku sudah beberapa lama di sini. Tetapi agaknya aku tidak akan lama lagi tinggal di sini.”

“Aku tahu. Aku melihat dan mendengar kau berbicara dengan orang yang bernama Kidang Rame itu. Nampaknya ia orang dari perguruan Kedung Jati, langsung atau tidak langsung.”

“Ya, Kakang benar. Apakah Kakang juga melihat kedua orang suami istri yang baru saja pergi tadi. Maksudku, ilmunya?”

“Bukankah anak itu sudah mengaku, bahwa ia pun mempunyai jalur dari perguruan Kedung Jati? Murid seorang perempuan yang bernama Sekar Mirah, istri Agung Sedayu, yang mewarisi ilmu Kedung Jati dari Ki Sumangkar?”

“Aku percaya bahwa keduanya, terutama perempuan muda itu, mewarisi ilmu Kedung Jati. Tetapi tentu bukan hanya dari Nyi Lurah Agung Sedayu. Mereka tentu juga menyadap ilmu Ki Lurah itu sendiri. Bahkan aku bingung mengamati ilmu Glagah Putih. Anak muda itu mempunyai bekal yang lengkap sekali. Jika saja ia kelak menjadi mapan, maka ia akan menjadi orang yang sulit dicari tandingnya.”

Orang yang baru datang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Carang Blabar pun berkata, “Dalam keragu-raguan, aku pernah mengatakan kepada mereka bahwa mereka bukan murid dari perguruan Kedung Jati. Namun akhirnya aku harus mengakui bahwa memang ada jalur dari perguruan Kedung Jati yang mengalir kepada mereka, terutama pada Rara Wulan. Namun aku masih tetap bingung, ilmu dari mana sajakah yang ada pada diri mereka, terutama pada Glagah Putih itu.”

Orang yang janggutnya dan kumisnya yang pendek dan tipis sudah memutih sebagaimana beberapa lembar rambutnya yang berjuntai di bawah ikat kepalanya itu tertawa. Katanya, “Kita memang orang-orang yang picik dan tidak tahu apa-apa. Karena itu, jangan bingung. Bukankah kita tahu bahwa orang yang bernama Agung Sedayu itu orang aneh? Nah, Glagah Putih itu juga bibit di masa depan. Ia akan menjadi seperti Agung Sedayu pula. Kau tidak usah merasa iri karenanya.”

“Kenapa aku harus iri? Aku merasa bersyukur bahwa aku dapat bertemu dengan seseorang seperti Glagah Putih. Jika saja kau tahu apa yang dilakukannya di pasar. Ia menyelamatkan nyawaku. Meskipun aku dapat melakukannya sendiri, tetapi itu tidak mengurangi bobot perbuatannya itu.”

“Aku ingin mendengar ceritanya.”

“Marilah singgah di rumahku. Aku akan bercerita. Tetapi angin apakah yang membawa Kakang kemari?”

“Tidak ada apa-apa. Sudah lama kita tidak bertemu. Karena itu, aku singgah di padepokan kecil itu. Tetapi kau tidak ada di sana. Saudara seperguruanmu yang memberi tahu kemana aku harus mencarimu.”

“Kakang bersedia singgah di rumahku?”

“Aku sudah sampai di sini.”

“Besok kita pergi mengikuti jejak anak itu.”

“Kemana anak-anak itu pergi?”

“Jika saja Kakang mendengarkan pembicaraannya dengan kedua orang murid Kidang Rame.”

“Aku tidak mendengarkannya. Aku datang sejak orang yang bernama Kidang Rame itu bermain-main dengan angin pusarannya, yang telah membawa aku ke tempat ini.”

Ki Carang Blabar mengangguk-angguk.

“Ternyata kau pun telah bermain-main dengan ilmu yang sama dengan orang itu.”

“Orang itu berhasil mencuri ilmu di perguruanku. Orang itu adalah murid dari tataran terbaik perguruan Kedung Jati. Ilmu yang Kakang lihat itu bukan bersumber dari perguruan Kedung Jati.”

“Aku sudah menduga. Kedua orang suami istri itu agaknya akan pergi ke Wirasari. Meskipun tidak mengatakannya, tetapi aku menduga bahwa keduanya sedang berusaha menemukan seseorang.” Lalu lanjutnya, “Baiklah. Tetapi aku ingin beristirahat di rumahmu sekarang ini. Apakah kau membeli rumah di sekitar daerah ini? Mungkin sebesar rumah Paman yang kau tinggalkan itu?”

“Ah. Bukan rumah, Kakang. Sebuah gubug di pategalan orang.”

“He? Bukankah kau mempunyai rumah yang besar dan terhitung rumah yang bagus buatannya? Menurut dugaanku, jika kau tinggalkan rumah itu untuk tinggal di rumah yang lain, tentu rumahmu yang lain itu lebih besar dan lebih bagus dari rumah yang kau tinggalkan itu.”

Ki Carang Blabar tertawa. Katanya, “Marilah. Rumahku terdiri dari bagian-bagian yang lengkap. Pendapa, pringgitan, rumah bagian tengah, rumah bagian belakang, gandok kiri dan kanan. Dapur, lumbung, serambi di sekitarnya, dan kandang.”

Orang yang baru datang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Bukankah dugaanku benar, bahwa kau mempunyai rumah yang lebih bagus dan lebih besar dari rumah Paman yang kau tinggalkan? Kau tentu menjadi semakin maju. Jika usahamu berhasil, maka kau akan dapat membeli bukan saja satu dua rumah yang besar, tetapi kau akan dapat membeli sebuah kademangan.”

Ki Carang Blabar tertawa. Katanya kemudian, “Marilah, Kakang. Kau akan melihat rumahku.”

Beberapa saat lamanya keduanya berjalan melintasi padang perdu, jalan setapak di pinggir hutan dan kemudian memasuki sebuah pategalan, yang disekat oleh sebuah padang yang tidak terlalu luas.

“Itulah rumahku, Kakang.”

Orang yang baru datang itu mengangguk-angguk.

“Kau tidak terkejut.”

“Kenapa terkejut ? Aku sudah mengira bahwa rumah seperti inilah yang akan aku temui. Pendapa, pringgitan, rumah tengah, rumah belakang, gandok kiri dan kanan, dapur, lumbung dan kandang. Tetapi yang tinggal hanyalah kandangnya saja.”

Ki Carang Blabar tertawa. Orang itu pun tertawa pula.

Namun orang itu pun kemudian bertanya, “Apakah kau sudah mendapat ijin dari pemilik pategalan ini?”

“Sudah, Kakang. Bahkan aku diserahi untuk menggarap sebagian dari pategalannya. Menyadap legen beberapa batang pohon kelapa yang tumbuh di pategalan ini.”

Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Carang Blabar pun mempersilahkannya masuk.

“Duduklah, Kakang. Apakah kau masih bernama Ki Citra Jati?”

“He?” orang itu mengerutkan dahinya, “Pertanyaanmu aneh.”

“Maksudku, apakah kau tidak jemu lagi dengan namamu? Bukankah kau sudah merubah namamu sampai tiga kali?”

“Tidak. Aku tidak merubah namaku. Wistara adalah nama kecilku. Bukankah waktu kau kecil namamu Pratela?”

“Tetapi kau juga pernah bernama Ranapati.”

“Aku waktu itu menjadi prajurit. Nama itu adalah nama yang diberikan kepadaku sesuai dengan jabatan keprajuritanku. Namun namaku sendiri sejak aku menikah adalah Citra Jati.”

“Ya. Aku tahu, Kakang. Tetapi mungkin menjelang umur Kakang yang semakin tua, Kakang ingin mempunyai nama yang baru.”

“Kau ingin bertanya, apakah aku mempunyai istri baru, dan setelah menikah lagi, aku mempunyai nama yang baru pula?”

“Tidak. Bukan maksudku bertanya seperti itu. Aku hanya ingin mengetahui saja. Syukurlah jika semuanya tidak berubah.”

“Apakah kau berubah? Apakah namamu sekarang terubah?”

“Tidak, Kakang. Bukankah namaku sejak dahulu Carang Blabar, sebagaimana Kakang kenal?”

Orang yang disebut Citra Jati itu tertawa. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku haus. Apakah kau mempunyai minuman? Maksudku bukan sekedar air kendi?”

“Aku mempunyai legen, Kakang.”

“Bagus. Aku senang minum legen.”

Keduanya pun kemudian duduk di ruang dalam gubug Ki Carang Blabar. Ki Citra Jati pun kemudian meneguk legen yang manis, yang disuguhkan oleh Ki Carang Blabar.

“Segar sekali,” desis Ki Citra Jati.

“Jika Kakang masih merasa haus, aku akan memetik satu dua kelapa muda.”

“Tidak. Sesudah aku minum legen, aku tidak berkeberatan kau suguhi air kendi yang dingin.”

Ki Carang Blabar tertawa.

Dalam pada itu, setelah mereka duduk sejenak, Ki Citra Jati itu pun berkata, “Jika besok kita pergi ke Wirasari, aku ingin mengajak Mbokayumu. Kita singgah di rumahku sebentar.”

“Kenapa mengajak Mbokayu?”

“Sudah lama ia tinggal saja di rumah. Aku takut jika tiba-tiba saja Mbokayumu merasa jenuh.”

“Kenapa Mbokayu tidak Kakang ajak kemari?”

“Mbokayumu menunggui rumahku. Thole baru pergi untuk kira-kira sepekan. Jika thole sudah kembali, Mbokayumu dapat pergi. Biarlah thole dan tiga orang adiknya menunggui rumah.”

“Tetapi perjalanan ke Wirasari itu adalah perjalanan yang tidak menentu.”

“Tidak apa-apa. Mbokayumu akan senang bertemu dengan perempuan muda yang bernama Rara Wulan itu.”

“Apa yang akan dilakukan oleh Mbokayu? Kakang, perempuan muda itu bukan golek kayu mainan bagi Mbokayu. Ia seorang yang baik bagi hubungan antar sesama.”

“Kau kira Mbokayumu mau apa?”

“Rara Wulan berada di bawah perlindunganku.”

“Kau selalu berprasangka buruk. Kau kira aku Kaki Buta Ijo dan Mbokayumu itu Nyai Buta Ijo, yang sering merebus anak-anak di dalam kuali yang panjang dan membubuinya dengan brambang, bawang dan merica?”

“Lalu, bagi Mbokayu, anak itu akan diapakan?”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Kenapa sekarang kau menjadi seorang yang selalu curiga? Bukankah kau masih yakin akan dirimu, sehingga kau tidak perlu mencurigai banyak orang?”

“Tetapi anak itu?”

Ki Citra Jati masih tertawa. Katanya, “Jangan cemas, Carang Blabar.”

Wajah Carang Blabar masih saja menunjukkan kebimbangannya.

“Sebenarnya kau kenapa, Carang Blabar? Kau kenal aku sejak kita masih kanak-kanak. Kau kenal Mbokayumu dengan baik.”

Ki Carang Blabar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf, Kakang. Mungkin aku hanya dibayangi oleh kekhawatiran tentang kedua orang itu. Mereka adalah pasangan yang baik. Aku merasa ikut berbahagia melihat mereka berdua. Lebih dari itu, keduanya adalah orang-orang yang baik, yang bahkan tidak menghiraukan diri mereka sendiri, apabila mereka merasa perlu menolong orang lain yang dirasa perlu.”

“Justru karena itu, Mbokayumu tentu senang bertemu dengan mereka.”

Ki Carang Blabar mengangguk-angguk. Namun kemudian tiba-tiba saja ia pun berkata, “Nah, Kakang. Silahkan duduk dahulu. Biarlah aku menjerang air dan menanak nasi. Sementara itu Kakang akan aku tinggalkan menyadap legen.”

“Silahkan. Yang penting kau harus menjerang air dan menanak nasi dahulu. Baru kemudian kau tinggal aku pergi.”

Ki Carang Blabar pun tersenyum. Ia pun segera bangkit dan pergi ke belakang.

Sejenak kemudian, Ki Carang Blabar pun telah menyalakan api dan meletakkan sebuah kuaali di atas perapian itu. Sementara itu di atas perapian yang lain, Ki Carang Blabar meletakkan periuk untuk menanak nasi.

Baru kemudian Ki Carang Blabar itu mengambil bumbung legen untuk menyadap.

Namun ketika ia masuk ke ruang dalam, ternyata Ki Citra Jati itu sudah tidur mendengkur.

“Kang, Kang?”

Ki Citra Jati pun membuka matanya. Perlahan-lahan ia pun bangkit duduk sambil menguap. Katanya, “Aku mengantuk sekali.”

“Aku pergi dahulu, Kang. Tolong jaga agar apinya tidak padam. Jika api padam, maka air itu tidak akan mendidih dan nasi pun akan tetap mentah.”

Dengan malasnya, Ki Citra Jati itu turun dari amben bambu sambil berkata, “Pergilah. Aku tunggui apimu.”

“Jangan tidur di depan perapian, Kang. Berbahaya.”

Ki Citra Jati mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Ketika Ki Carang Blabar pergi, maka Ki Citra Jati pun berjalan hilir mudik untuk menghilangkan kantuknya.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berjalan semakin jauh. Mereka mengurungkan niatnya untuk memperagakan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Ki Carang Blabar. Bahkan Glagah Putih telah mencoba mengetrapkannya pada saat ia berhadapan dengan Ki Kidang Rame, meskipun bukan dasar-dasar ilmu dan unsur-unsurnya, tetapi sekedar laku perlawanannya menghadapi Ki Kidang Rame.

Di perjalanan menelusuri lorong-lorong sempit, Rara Wulan pun bertanya, “Kita akan pagi kemana, Kakang?”

“Kita akan pergi ke Wirasari. Semoga saja Ki Saba Lintang masih disana.”

“Bagaimana kita tahu, apakah Ki Saba Lintang ada di sana atau tidak?”

“Kita akan mencari jalan.”

“Setelah kita sampai ke Wirasari?”

“Ya. Kita tidak tahu, jalan apa yang tiba-tiba saja dihadapkan kepada kita untuk kita tempuh.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sementara itu, mereka masih saja berjalan di bulak panjang. Mereka turun dari lorong sempit ke jalan yang lebih lebar. Jalan menuju ke sebuah padukuhan.

Ketika Rara Wulan menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah menjadi sangat rendah. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam di balik bukit. Cahayanya yang menjadi semakin lemah, menyangkut di ujung pepohonan yang tinggi.

Angin yang berhembus menggoyang daun nyiur yang nampak di bibir padukuhan. Sedangkan di langit, burung-burung bangau yang putih beterbangan melintas menuju ke sarangnya, menjelang senja turun.

“Kita akan bermalam di mana, Kang?” bertanya Rara Wulan.

“D idepan itu ada sebuah padukuhan.”

“Padukuhan mana itu, Kakang?”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Aku belum tahu, Rara.”

“Apakah kita akan minta kepada seseorang untuk bermalam di rumahnya?”

“Kita akan pergi ke banjar.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia pun berdesis, “Ya. Kita akan bermalam di banjar.”

Keduanya pun berjalan semakin cepat. Langit pun mulai menjadi merah. Perlahan-lahan matahari mulai tersuruk ke belakang bukit.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi semakin dekat dengan sebuah padukuhan yang belum mereka kenal. Ketika mereka berdiri di depan regol, rasa-rasanya ada sesuatu yang bergetar di dalam hati mereka.

“Apakah kita akan bermalam di banjar padukuhan ini, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Memang ada sesuatu yang terasa bergetar di dadanya. Namun Glagah Putih tidak dapat mengatakannya.

Rara Wulan pun berdiri termangu-mangu. Namun akhirnya Rara Wulan pun berkata, “Marilah kita lihat isi dari padukuhan yang nampaknya cukup besar, tapi sepi ini.”

Glagah Putih pun mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan melihat, apa yang ada di dalam padukuhan ini.”

Keduanya pun kemudian melangkah memasuki padukuhan yang sepi itu. Sementara itu, senja pun menjadi semakin larut.

Namun malam yang kemudian turun, ternyata tidak begitu gelap. Di timur bulan sudah nampak tersembul dari balik cakrawala. Sinarnya yang kekuning-kuningan terpantul di dedaunan.

Ketika mereka melangkah memasuki padukuhan, mereka melihat pintu-pintu rumah sebagian sudah tertutup rapat. Namun masih ada satu dua rumah yang pintunya terbuka sedikit. Sinar lampu minyak dari ruang dalam terlempar keluar, menembus kegelapan.

Agak ke dalam, mereka melihat sebuah rumah yang besar dan lengkap. Di bagian depan terdapat pendapa dan pringgitan. Di sebelah-menyebelah terdapat gandok kiri dan gandok kanan. Halaman yang luas terbentang di sekitar pendapa yang diterangi oleh lampu minyak. Sinarnya terayun oleh angin yang lembut.

Sinar bulan yang terang menyinari halaman yang luas itu. Lebih terang dari sinar lampu yang menggapai-gapai seakan-akan kelelahan.

“Aneh,” desis Rara Wulan.

“Apa yang aneh?”

“Halaman itu nampak terang-benderang. Bersih dan luas. Tetapi tidak ada seorang anak pun yang bermain. Biasanya di terang bulan seperti ini, anak-anak laki-laki dan perempuan keluar rumah mereka dan bermain-main di halaman sampai wayah sepi bocah.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Semasa kecilku, aku juga senang bermain di terang bulan.”

“Bahkan gadis-gadis remaja sering bermain sambil berlagu dan berkejaran. Sedang laki-laki remaja bermain sembunyi-sembunyian.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Namun mereka terkejut ketika mereka melihat seorang perempuan yang berjalan dengan cepat sambil menarik lengan seorang gadis remaja. Mereka nampak tergesa-gesa.

Ketika mereka berpapasan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan, maka Rara Wulan pun berdesis, “Bibi, apa aku boleh bertanya?”

Perempuan yang menarik gadis remaja itu memang berhenti. Dengan heran ia memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri termangu-mangu.

“Kalian siapa, Ki Sanak?” bertanya perempuan itu.

“Kami berdua adalah pengembara, Bibi. Kami menempuh perjalanan tanpa tujuan.”

“Lalu, apa yang kalian cari?”

Pertanyaan itu memang menyentuh perasaan Rara Wulan dan Glagah Putih. Apakah yang mereka cari? Sudah tentu mereka tidak akan dapat menjawab, bahwa mereka sedang mencari tongkat baja putih.

Namun di hati Glagah Putih memang timbul pertanyaan yang lain, “Benarkah perjalanan ini semata-mata untuk mencari tongkat baja putih itu?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun Glagah Putih-lah yang menjawab, “Bibi, kami ingin melihat daerah yang jauh. Kami ingin melihat apa yang belum pernah kami lihat, dan kami pun ingin mendengar apa yang belum pernah kami dengar.”

“Kalian ingin melihat dan mendengar tentang padukuhan ini? Yang barangkali belum pernah kau lihat dan kau dengar sebelumnya di padukuhan-padukuhan lain?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Kami hanya sekedar lewat, Bibi. Tapi apabila diijinkan, kami akan bermalam di banjar padukuhan ini.”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri di luar bayangan dedaunan, sehingga perempuan itu dapat melihat keduanya agak lebih jelas.

“Kalian memang orang asing bagi padukuhan kami,” desis perempuan itu.

“Kami memang merasa asing di sini. Padukuhan ini pun rasa-rasanya tidak sebagaimana padukuhan yang pernah kami lihat Di terang bulan seperti ini, biasanya anak-anak dan remaja bermain-main di halaman. Berdendang, berlari-larian dan bermain sembunyi-sembunyian.”

“Kau benar, Ki Sanak. Di padukuhan ini pun beberapa waktu yang lalu, terang bulan sangat ditunggu-tunggu oleh anak-anak kami.”

“Sekarang?”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Jika kau hanya sekedar ingin bermalam, marilah, singgahlah di rumahku. Rumahku ada di sebelah itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara perempuan itu pun berkata, “Maaf, orang-orang muda, aku tidak dapat terlalu lama berdiri di sini. Marilah, aku persilahkan kalian berdua singgah.”

Glagah Putih memandang Rara Wulan sekilas. Katanya, “Marilah. Tidak sepantasnya kita menolak kebaikan hati ini.”

Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, “Aku mengikuti saja, Kakang.”

Keduanya pun kemudian mengikuti perempuan yang masih saja memegangi gadis remaja itu. Bahkan keduanya nampak tergesa-gesa.

Sejenak kemudian, mereka pun telah memasuki regol sebuah halaman. Rumah perempuan itu tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Meskipun berbentuk limasan, tetapi bagian depan rumah perempuan itu terbuka, dan dipergunakannya sebagai pendapa. Memang tidak ada gandok, tetapi rumah itu bersusun tiga bumbungan atap ke belakang.

“Marilah, Ki Sanak,” perempuan itu mempersilahkan, “naiklah. Aku bukakan pintu dahulu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian naik ke pendapa dan duduk di atas bentangan tikar pandan, sementara perempuan itu mengetuk pintu butulan di ruang tengah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar