Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 333

Buku 333

Glagah Putih, diantar oleh Ki Patih Mandaraka dan Agung Sedayu, telah menghadap Pangeran Adipati Anom. Ia langsung mendengar perintah Pangeran Adipati Anom kepadanya, “Bawa tongkat baja putih itu ke Mataram, dan serahkan padaku.”

Glagah Putih menunduk dalam-dalam. Terdengar suaranya bergetar, “Hamba, Pangeran. Hamba akan membawa tongkat baja putih itu ke Mataram. Semoga Yang Maha Agung memberi kemampuan kepada hamba. Doa restu Kanjeng Pangeran yang hamba mohon.”

“Perincian perintah itu akan diberikan oleh Eyang Patih Mandaraka.”

“Hamba, Pangeran.”

Perintah Kanjeng Pangeran Adipati Anom singkat dan tegas. Kemudian Kanjeng Pangeran itu pun meninggalkan Ki Patih Mandaraka, yang masih akan memberikan beberapa pesan khusus kepada Glagah Putih.

Ki Patih pun kemudian memberikan beberapa pesan lagi kepada Glagah Putih. Bahkan Ki Patih itu pun telah minta agar Glagah Putih bermalam di Kepatihan.

“Aku ingin memberikan sedikit petunjuk khusus tentang ikat pinggangmu itu, Glagah Putih.”

“Hamba akan sangat berterima kasih.”

“Sementara itu, biarlah kakangmu Agung Sedayu kembali lebih dahulu ke Tanah Perdikan. Bukankah kakangmu Agung Sedayu akan mengurus segala sesuatunya yang berhubungan dengan hari pernikahanmu dengan Rara Wulan?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Beberapa saat kemudian, maka ketiganya pun telah kembali ke Kepatihan. Ki Patih Mandaraka minta agar Glagah Putih ditinggal saja di Kepatihan selama tiga hari tiga malam.

“Ia akan menjalani laku khusus.”

Agung Sedayu tidak berkeberatan. Setelah beristirahat beberapa saat di Kepatihan, maka Agung Sedayu pun segera minta diri.

“Besok aku akan kembali bersama Sekar Mirah, Ki Patih. Jika Ki Patih tidak berkeberatan, kami akan mohon diijinkan bermalam di sini, sementara kami akan menghubungi orang tua Rara Wulan.”

“Tentu aku tidak berkeberatan” berkata Ki Patih Mandaraka.

“Setelah tiga hari tiga malam, maka kami akan mengajak Glagah Putih langsung ke Jati Anom untuk menemui Paman Widura dan Kakang Untara, sehubungan dengan pernikahannya. Mereka akan mengerti, bahwa upacara ini akan berlangsung sangat sederhana. Kelak, jika segala sesuatunya sudah selesai, maka tidak ada salahnya keluarga Rara Wulan dan keluarga kami menyelenggarakan upacara meriah dengan mengundang banyak orang.”

Demikianlah, hari itu juga Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia minta Sekar Mirah bersiap-siap untuk pergi ke Mataram. Mereka akan mewakili orang tua Glagah Putih menemui orang tua Rara Wulan, seorang yang terpandang di Mataram.

Persoalan yang dikemukakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang sangat mengejutkan. Mula-mula orang tua Rara Wulan sangat berkeberatan. Namun Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun menjelaskan, bahwa mereka tidak dapat lagi mencegah Rara Wulan. Sementara itu, tentu bukan pilihan yang baik jika Glagah Putih dan Rara Wulan pergi mengembara berdua, sementara mereka berdua masih belum terikat dalam perkawinan.

“Bukannya kami tidak percaya kepada keduanya, tetapi kami hanya ingin meredam kata orang,” berkata Agung Sedayu.

Kakek Rara Wulan yang sudah menjadi semakin tua, Ki Lurah Branjangan, ternyata mendukung rencana Agung Sedayu itu. Sehingga akhimya orang tua Rara Wulan pun tidak mempunyai pilihan lain.

“Tetapi kami ingin bertemu dengan Rara Wulan lebih dahulu,” minta orang tua Rara Wulan.

Dalam waktu sebulan, segala sesuatunya telah selesai. Tidak ada upacara yang meriah. Yang diundang hanya sanak kadang terdekat.

Namun dalam waktu yang sebulan itu, telah banyak sekali yang terjadi. Selain perkawinan Glagah Putih dengan Rara Wulan, maka keduanya pun telah sempat menempa diri pada saat-saat menjelang perjalanan yang gawat. Terutama Rara Wulan. Agung Sedayu sendiri bersama Ki Jayaraga-lah yang telah membuka kemungkinan bagi Rara Wulan untuk meningkatkan ilmunya di sepanjang perjalanannya.

Sementara itu, Glagah Putih pun telah menjalani laku khusus. Ki Patih Mandaraka telah memberikan petunjuk terperinci tentang ikat pinggang yang telah diserahkannya kepada Glagah Putih beberapa waktu sebelumnya.

Pangeran Adipati Anom sendiri seakan-akan sudah melupakan perintahnya kepada seorang anak muda yang bernama Glagah Putih. Kanjeng Pangeran Adipati Anom memang tidak memberikan batasan waktu. Segala sesuatunya tentang tongkat baja putih itu sudah diserahkan kepada kebijaksanaan Ki Patih Mandaraka.

Pada hari-hari terakhir menjelang keberangkatan Glagah Putih, maka Ki Patih Mandaraka telah memberikan bekal secukupnya. Bahkan Ki Patih itu pun berpesan, “Jika perlu, datanglah ke Kepatihan. Aku tidak berpesan bahwa kalian tidak boleh kembali sebelum membawa tongkat baja putih itu. Tidak. Kembalilah kapan saja jika perlu. Mungkin bekalmu habis, mungkin kau memerlukan nasehat dan petunjuk, atau ada kemungkinan-kemungkinan yang lain yang kau perlukan.”

Glagah Putih mengangguk dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Terima kasih atas segala kemurahan Ki Patih Mandaraka. Hamba akan melakukan apa saja yang dapat hamba lakukan untuk melaksanakan perintah ini.”

“Yakinkan dirimu. Sementara itu, di setiap saat kaupun harus mendekatkan dirimu kepada Yang Maha Agung. Kau harus selalu mohon petunjuk serta perlindungannya. Tugas yang kau emban adalah tugas yang mulia. Yang penting bukan tongkat baja putih itu sendiri, tetapi akibat dari keberadaannya di antara orang-orang yang tamak dan kehilangan kendali diri. Jika kau berhasil, maka itu berarti bahwa kau telah menghindarkan benturan-benturan kekerasan yang akan dapat menelan banyak korban. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti persoalannya.”

Sekali lagi Glagah Putih mengangguk dalam-dalam.

“Nah, kau dapat berangkat kapan saja.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Mereka sepakat untuk berangkat dari Tanah Perdikan Menoreh, dari rumah Agung Sedayu.

Bekal yang dibawa oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, selain uang yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka, mereka juga membawa berbagai jenis obat-obatan. Bahkan Agung Sedayu telah memberikan  sedikit pengetahuan tentang obat-obatan, sehingga jika diperlukan, Glagah Putih akan dapat meramu obat-obatan sendiri, meskipun terbatas  sekali.

“Perjalananmu panjang, Glagah Putih dan Rara Wulan” berkata Agung Sedayu, “hati-hatilah di sepanjang jalan. Aku katakan atau tidak aku katakan, kalian seharusnya sudah tahu, bahwa taruhan dari perjalanan kalian adalah seluruh hidup kalian.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk.

Sebenarnyalah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Jayaraga tidak begitu banyak memikirkan kepergian Glagah Putih, Glagah Putih sendiri sudah mempunyai pengalaman yang akan dapat memberikan tuntunan kepadanya. Namun rasa-rasanya jantung mereka tergetar jika mereka melihat Rara Wulan yang akan menyertai kepergian Glagah Putih itu.

Bahkan hampir semalam suntuk Sekar Mirah tidak dapat tidur, menjelang keberangkatan Glagah Putih dan Rara Wulan di pagi harinya.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan juga minta diri kepada Ki Gede Menoreh, sehari menjelang keberangkatan mereka. Tetapi Glagah Putih tidak menyebutkan tugas kepergiannya secara terbuka. Bagaimanapun juga tugas yang diembannya adalah tugas khusus.

Kepada Empu Wisanata dan Nyi Dwani, Glagah Putih juga tidak menyebutkan dengan jelas, tugas apa yang sebenamya diembannya. Bagaimanapun juga, Glagah Putih sadar bahwa keduanya pernah berada di dalam lingkungan mereka yang menginginkan kebangkitan sebuah kekuatan dengan landasan sebuah perguruan, dengan lambang kepemimpinannya sepasang tongkat baja putih.

Pada saatnya Glagah Putih dan Rara Wulan berangkat meninggalkan rumah Agung Sedayu, maka pagi-pagi sekali seisi rumah itu sudah terbangun. Bahkan Sekar Mirah yang hampir tidak tidur semalam suntuk, telah menyiapkan minuman hangat serta makan pagi bagi keduanya.

Sukra merasa sangat kecewa, bahwa Glagah Putih akan pergi untuk waktu yang tidak diketahui. Namun Glagah Putih sudah memberikan beberapa pesan dan petunjuk kepadanya, sehingga Sukra itu dapat berlatih sendiri meningkatkan ketrampilan yang landasannya telah dimilikinya.

Sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah siap untuk berangkat.

Sekar Mirah yang memiliki pengalaman yang luas itu, rasa-rasanya tidak sampai hati melepaskan Rara Wulan pergi. Ketika mereka sudah turun ke halaman, maka dipeluknya Rara Wulan yang telah menjadi istri Glagah Putih itu. Titik-titik air matanya membuat mata Sekar Mirah berkaca-kaca.

“Hati-hati di perjalanan, Rara” desis Sekar Mirah.

Mata Rara Wulan pun menjadi basah. Namun Rara Wulan itu pun tersenyum sambil berkata, “Doakan aku, Mbokayu.”

Sekar Mirah mengangguk. Katanya, “Ya. Aku akan selalu berdoa untuk kalian berdua.”

Ketika mereka sudah melintasi halaman, maka mereka pun berhenti di regol. Glagah Putih dan Rara Wulan telah mencium tangan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Jayaraga.

Sukra yang juga melepas Glagah Putih dan Rara Wulan, berdiri bagaikan membeku.

“Kau harus rajin berlatih, Sukra” pesan Glagah Putih.

Sukra mengangguk.

Sejenak kemudian, maka kedua orang suami istri itu pun melangkah meninggalkan regol halaman rumah Agung Sedayu. Yang melepas mereka di regol halaman masih berdiri termangu-mangu.

Agung Sedayu yang berpaling kepada istrinya, melihat mata yang masih berkaca-kaca itu. Dengan nada dalam Agung Sedayu pun berkata, “Aku percaya kepada mereka.”

Sekar Mirah mengangguk. Namun ia pun bertanya dengan suara yang bergetar, “Kemana tujuan mereka pertama-tama?”

“Tentu ke Jati Anom. Keduanya akan menghadap Paman Widura dan Kakang Untara. Mereka pun akan mulai pelacakan mereka dari keterangan orang-orang yang tertangkap di Lemah Cengkar.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Semoga mereka dapat melakukan tugas mereka dan berhasil dengan baik.”

“Yang Maha Agung akan membimbing mereka,” desis Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang menempuh pengembaraan mereka dengan berjalan kaki, telah meninggalkan pintu gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Justru karena perjalanan mereka akan panjang tanpa batas, maka mereka tidak nampak tergesa-gesa. Mereka berjalan sambil memandangi hijaunya sawah yang membentang di bulak yang panjang. Embun masih nampak bergayut di ujung daun padi yang hijau.

Di tengah bulak, mereka berpapasan dengan seorang anak muda yang baru pulang dari sawahnya, melihat apakah air telah cukup banyak menggenang di sawahnya, yang bertanya dengan nada tinggi, “Kemana  Glagah Putih?”

Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Aku akan pergi menemui Ayah.”

“O. Dimana?”

“Di Jati Anom.”

“Bukankah Jati Anom itu jauh dari sini?”

“Ya. Agak jauh.”

“Kau hanya berjalan kaki saja? Bukankah kau sering pergi berkuda? Manakah yang lebih jauh, Mataram atau Jati Anom?”

Glagah Putih tertawa. Jawabnya, “Sama jauhnya.”

“Dimana kudamu yang besar dan tegar itu?”

“Kuda kami sedang beristirahat,” jawab Glagah Putih.

Anak muda itu tidak bertanya lagi. Baginya, kepergian Glagah Putih dan Rara Wulan itu wajar-wajar saja, karena keduanya telah menikah.

“Agaknya mereka akan menikmati hari-hari bahagia mereka” berkata anak muda itu di dalam hatinya.

Pertanyaan serupa ternyata banyak didengar mereka ketika mereka melewati padukuhan-padukuhan di lingkungan Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang, apalagi anak-anak muda, telah mengenal mereka dengan baik. Mereka selalu menanyakan, kenapa mereka berdua hanya berjalan kaki, sementara mereka tahu bahwa Rara Wulan pun sering sekali naik kuda pula.

Tetapi hampir semua orang berpendapat, justru karena keduanya pengantin baru, maka keduanya ingin menikmati tamasya mereka sebaik-baiknya.

Ketika kemudian matahari naik, Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah mengikuti jalan yang agak ramai menuju Kali Praga. Mereka akan menyeberangi Kali Praga di penyeberangan sisi utara.

Ketika mereka mengikuti jalan yang agak menurun, mereka sudah melihat lajur arus Kali Praga yang kecoklat-coklatan.

Namun persoalan pertama telah mereka temui ketika mereka sampai di tepian. Agaknya pakaian Rara Wulan telah menarik perhatian beberapa orang yang sudah lebih dahulu berada di tepian. Beberapa orang laki-laki yang terhitung masih muda, memperhatikan pakaian Rara Wulan dengan tanpa segan-segan. Bahkan seorang di antara mereka melangkah mendekatinya.

Glagah Putih menyadari bahwa Rara Wulan tentu merasa terganggu dengan sikap orang-orang itu. Sambil berjalan di tepian, Glagah Putih pun berdesis, “Biarkan saja mereka itu. Asal mereka tidak berbuat lebih jauh lagi.”

Rara Wulan pun mencoba untuk tidak menghiraukan mereka. Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka bertanya, “He, Nduk. Kau akan pergi kemana?”

Rara Wulan bergeser dari sebelah kiri ke sebelah kanan Glagah Putih, tanpa menghiraukan orang yang bertanya itu. Namun ternyata orang itu mendahului mereka berdua, dan berhenti beberapa langkah di hadapan Glagah Putih.

Glagah Putih tidak dapat berbuat lain kecuali juga berhenti. Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah berhenti pula.

Orang yang menghentikan keduanya itu tertawa. Dengan nada datar orang itu pun bertanya, “Kalian akan pergi kemana?”

Sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan menjawab, lima orang telah mengerumuni mereka.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun menjawab, “Kami akan pergi ke Mataram, Ki Sanak. Apakah yang aneh pada kami?”

Orang yang berdiri di hadapan Glagah Putih itu tertawa. Katanya, “Kau memang tidak aneh, anak muda. Pedang di lambungmu tidak terasa aneh, karena hampir setiap laki-laki membawa senjata, apapun ujudnya, Tetapi perempuan yang berjalan bersamamu itu nampak aneh di mataku. Pakaiannya yang khusus serta pedang di lambung itu memberikan kesan tersendiri.”

“Biarlah kami berjalan, Ki Sanak.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kalian tentu belum mengenal kami. Kami adalah orang-orang Mataram. Kami baru saja pergi untuk bersamadi di Bukit Tugu, di seberang Pegunungan Menoreh. Bukit kecil yang tidak banyak dikenal orang. Tetapi kami mendapat wangsit untuk bersamadi di bukit itu.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kalian sudah melakukannya?”

“Sudah, anak muda. Tiga hari tiga malam kami berada di atas bukit kecil itu.”

“Sekarang kalian akan pulang ?”

“Ya. Kami akan pulang. Kami ingin mempersilahkan kalian berdua singgah di rumah kami.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mendengar ajakan seperti itu. Sikap orang itu adalah permulaan dari sikapnya yang lebih kasar. Sekar Mirah pernah juga mengalaminya.

Namun Glagah Putih masih mencoba untuk menghindari perselisihan. Karena itu, maka ia pun berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Tetapi sayang sekali bahwa kami tidak dapat memenuhinya. Kami mempunyai keperluan yang penting yang harus segera kami selesaikan. Mungkin pada kesempatan lain kami dapat singgah.”

Orang itu tertawa. Namun ia pun bertanya, “Keperluan apa? Apakah begitu pentingnya sehingga kau tidak dapat menundanya barang sehari?”

“Jangankan sehari, Ki Sanak. Kami benar-benar tidak mempunyai waktu sekarang ini.”

“Jangan sombong,” berkata orang lain yang berdiri mengitarinya, “seharusnya kalian tidak menolak.”

Ternyata Glagah Putih masih belum sesabar Agung Sedayu, meskipun atas petunjuk kakak sepupunya itu, ia mencobanya. Karena itu, maka Glagah Putih itu pun berkata, “Minggirlah. Jangan halangi jalanku.”

Kelima orang itu tertawa berbareng. Orang yang berdiri di hadapan Glagah Putih itu pun berkata, “Jangan terlalu garang, anak muda. Kau tahu bahwa kami baru saja menyepi. Melakukan samadi di Bukit Tugu. Tiba-tiba saja kami bertemu dengan seorang perempuan yang sangat menarik perhatian kami. Apa salahnya jika kami mempersilahkan singgah?”

Glagah Putih menggeram. Sementara orang itu masih juga bertanya, “Siapakah perempuan itu? Istrimu? Adikmu, atau siapa? Dan apa hubungannya dengan kau anak muda?”

Glagah Putih tidak menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia melangkah maju. Didorongnya orang itu dengan keras, sehingga orang itu terdorong beberapa langkah surut dan bahkan terjatuh di pasir tepian.

Namun dengan cepat orang itu bangkit berdiri. Ia masih saja tertawa. Suara tertawanya justru terdengar menghentak-hentak.

Beberapa orang yang berada di tepian menyaksikan peristiwa itu dengan jantung yang berdebar. Beberapa orang dengan cepat naik ke atas rakit dan mendesak kepada tukang satangnya, agar segera menyeberang ke sebelah timur.

“Kami tidak ingin melihat keributan.”

Seorang di antara tukang satang itu pun berkata, “Kelima orang itu telah membuat keributan pula sepekan yang lalu. Dua orang telah menjadi korban mereka.”

“Tidak ada yang berusaha mencegahnya?”

“Tidak ada yang berani melakukannya. Mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan.”

“Untunglah bukan aku sasarannya,” desis seorang perempuan kurus yang sudah separuh baya. Rambutnya kusut, sedangkan wajahnya nampak pucat.

Beberapa orang di dalam rakit itu berpaling kepadanya. Seorang di antaranya mengelus dadanya. Seorang yang lain menarik nafas panjang. Seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya mengusap keringat di keningnya.

Tetapi perempuan itu sama sekali tidak mengacuhkannya. Bahkan kemudian dilepaskannya bakul yang digendongnya dan diletakannya di depannya.

“Kelima orang itu merampas uang,” berkata tukang satang yang lain.

“O. Kenapa tidak dilaporkan kepada para petugas atau prajurit, atau siapapun yang berwenang?”

“Nampaknya mereka menjalankan kegiatan di tempat yang berpindah-pindah. Baru saja sepekan mereka berada di sini. Sebelumnya kami belum pernah melihatnya.”

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar telah kehilangan kesabaran mereka. Karena itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Minggirlah. Jangan ganggu kami. Bukankah kami juga tidak mengganggu kalian?”

“Anak ini keras kepala,” berkata orang yang telah didorong oleh Glagah Putih, “kita harus membuat anak muda ini menyesali tingkah lakunya. Biarlah ia terkapar di tepian. Kita hanya memerlukan perempuan itu.”

Namun orang itu terkejut sekali ketika tiba-tiba saja Rara Wulan telah menyerangnya. Dengan derasnya kaki Rara Wulan menghantam dada orang itu, sehingga orang itu terpental beberapa langkah surut. Tanpa dapat menguasai keseimbangannya, maka orang itu jatuh terlentang.

Laki-laki itu tidak tertawa sebagaimana ketika Glagah Putih mendorongnya, tetapi orang itu menyeringai menahan nyeri di dadanya. Nafasnya menjadi sesak dan tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak.

Laki-laki itu tidak dapat meloncat bangkit. Tetapi ia pun berdiri tertatih-tatih sambil mengumpat kasar. Sementara Rara Wulan telah berdiri di hadapannya sambil bertolak pinggang.

“Katakan sekali lagi penghinaan itu!” geram Rara Wulan.

Ketika keempat kawannya bergeser mendekat, Glagah Putih pun berkata, “Jangan ikut campur. Atau kalian akan mengalami penyesalan lebih dalam dari orang itu.”

Jantung keempat orang itu terasa berdegup semakin keras. Namun yang berdiri di hadapan mereka hanyalah seorang anak muda. Karena itu, seorang di antara mereka pun berkata, “Jangan terlalu sombong anak muda. Kau-lah yang akan menyesal.”

Glagah Putih tidak banyak berbicara lagi. Iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi keempat orang itu.

Keempat orang itu pun segera mengepung Glagah Putih. Mereka mengira bahwa seorang kawannya yang berhadapan dengan Rara Wulan akan segera dapat menghentikan perlawanan perempuan itu dan bahkan menguasainya. Sementara itu, keempat orang itu ingin melumpuhkan anak muda yang dianggapnya terlalu sombong itu.

Sejenak kemudian, laki-laki yang berhadapan dengan Rara Wulan itu pun telah mempersiapkan dirinya pula. Dikerahkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit di dadanya. Dengan demikian, maka ia berharap bahwa ia akan dapat segera memaksa perempuan itu tunduk kepadanya.

“Kau akan merangkak di hadapanku sambil menangis mohon ampun. Kau akan pasrah kepadaku tanpa syarat. Sementara itu, anak muda itu, apakah ia kakakmu atau suamimu atau siapapun, akan terkapar tidak berdaya. Jika kau mencoba melawan kehendakku, maka laki-laki muda itu-lah yang akan mengalami bencana.”

Tetapi Rara Wulan tidak menghiraukannya. Iapun telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Rara Wulan pun meloncat mengelak ketika laki-laki itu menjulurkan tangannya, sehingga tidak menyentuhnya sama sekali. Bahkan dengan cepat Rara Wulan memutar tubuhnya sambil mengayunkan kakinya mendatar.

Orang itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak ketika kaki Rara Wulan menyambar lambungnya.

Sekali lagi orang itu terdorong surut dan bahkan jatuh terpelanting di tepian. Bahkan hampir saja ia terlempar masuk ke dalam arus Kali Praga.

Beberapa orang yang menyaksikan serangan Rara Wulan itu pun terkejut. Jantung mereka tergetar ketika mereka melihat laki-laki yang mengganggu perempuan itu terlempar jatuh lagi, bahkan hampir terperosok ke dalam aliran Kali Praga.

Orang itu berusaha untuk segera bangkit. Nyeri di tulang-tulang iganya masih terasa. Sementara itu, lambungnya pun terasa sakit sekali.

Laki-laki itu menggeram. Rasa-rasanya ia ingin memanggil satu dua orang kawannya untuk melawan perempuan itu. Tetapi untuk menjaga harga dirinya, niat itu diurungkannya. Ia merasa malu bahwa untuk melawan seorang perempuan, ia harus minta seorang kawannya membantu.

Karena itu, maka orang itu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih berusaha untuk mengalahkan Rara Wulan. Menundukkannya dan memaksanya merangkak di hadapannya untuk minta diampuni.

Tetapi usahanya itu ternyata sia-sia. Serangan-serangannya sama sekali tidak dapat menembus pertahanan Rara Wulan. Bahkan serangan-serangan Rara Wulan-lah yang hampir selalu dapat mengenai tubuhnya. Semakin lama semakin sering, sehingga semakin lama tubuhnya terasa menjadi semakin sakit dimana-mana. Dadanya, lambungnya, perutnya, bahunya dan bahkan keningnya.

Namun orang itu masih berpengharapan. Jika keempat kawannya mampu menguasai anak muda itu, maka anak muda itu akan dapat dipergunakannya untuk memaksa perempuan muda itu menyerah.

Sementara itu, Glagah Putih pun harus berloncatan dengan cepatnya menghadapi keempat lawannya. Namun keempat orang itu bagi Glagah Putih tidak cukup berbahaya. Karena itu, maka Glagah Putih sama sekali tidak mengalami kesulitan.

Dalam pada itu, lawan Rara Wulan yang semakin terdesak itu pun tiba-tiba saja berteriak, “Lumpuhkan anak itu! Kalian akan dapat memaksa perempuan ini menyerah. Jika perempuan ini menjadi keras kepala, maka laki-laki itu dapat kita bunuh saja di tepian ini.”

Glagah Putih justru tersenyum. Ia mengerti bahwa orang itu menjadi semakin terdesak. Karena itu, maka ia ingin memaksa Rara Wulan untuk menghentikan perlawanannya, jika keempat orang itu dapat menguasainya.

Tetapi Glagah Putih justru menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara keempat orang itu telah terpelanting dan jatuh terlentang di tepian. Dengan susah payah ia bangkit berdiri. Tetapi sebelum ia sempat mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya, seorang kawannya telah terdorong surut menimpanya.

Kedua-duanya pun telah jatuh berguling di atas pasir. Meskipun keduanya berusaha dengan serta-merta meloncat bangkit, tetapi keduanya harus menahan nyeri di dadanya.

Rara Wulan pun melihat bahwa keempat lawan Glagah Putih tidak akan dapat mengalahkannya. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin kuat menekan lawannya.

Laki-laki yang bertempur melawan Rara Wulan itu pun menjadi semakin sulit menghadapi lawannya yang justru menjadi semakin garang. Beberapa kali tangan Rara Wulan mengenai keningnya. Kakinya menyambar dadanya, bahunya atau lambungnya.

Dalam keadaan yang sulit itu, tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya, laki-laki itu menghunus kerisnya. Keris yang pamornya berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau telah mempersulit dirimu sendiri. Jika aku juga menarik pedangku, maka umurmu akan sampai pada batasnya. Kau tahu bahwa pedangku lebih panjang dan lebih kuat dari kerismu.”

Tetapi orang itu menjawab, “Persetan dengan pedangmu. Kerisku adalah keris pusaka yang sangat bertuah.”

“Tetapi kerismu tidak akan berdaya menghadapi pedangku. Karena itu, sarungkan saja kerismu itu.”

Orang itu tidak menjawab. Tiba-tiba saja orang itu meloncat menyerang dengan garangnya. Kerisnya menikam ke arah jantung Rara Wulan.

Rara Wulan terkejut. Dengan cepat ia bergeser sambil memiringkan tubuhnya, mengelakkan serangan yang sangat tiba-tiba itu.

Tetapi keris lawannya itu tiba-tiba saja menebas ke samping mendatar, menyambar ke arah dada.

Rara Wulan yang terdesak itu dengan cepat meloncat surut.

Namun lawannya tidak melepaskannya. Dengan garang ia memburu. Kerisnya terayun-ayun mengerikan.

Rara Wulan yang harus berloncatan menghindar itu menjadi marah. Dengan kecepatan yang tinggi ia melenting mengambil jarak. Sekali ia berputar di udara, kemudian berdiri tegak di atas kedua kakinya.

Ketika lawannya meloncat sambil menjulurkan kerisnya, Rara Wulan menangkis keris itu dengan pedangnya.

Benturan yang terjadi telah mengejutkan lawannya. Kerisnya yang ditepis ke samping itu hampir saja terlepas dari tangannya. Terasa telapak tangannya menjadi pedih, seperti tersentuh bara.

Rara Wulan yang marah tidak memberinya kesempatan. Rara Wulan-lah yang kemudian mengayunkan pedangnya menyerang lawannya. Ketika lawannya meloncat surut, Rara Wulan pun mengejamya.

Dengan derasnya Rara Wulan pun mengayunkan pedangnya menyambar ke arah dada lawannya. Dengan tergesa-gesa lawannya itu melenting beberapa langkah untuk mengambil jarak. Namun Rara Wulan memburunya. Pedangnya terjulur lurus ke arah jantung.

Lawannya tidak mempunyai banyak kesempatan. Ia berusaha menepis pedang itu dengan kerisnya. Namun pedang itu seakan-akan menggeliat dan berputar. Kemudian mengungkit dengan kerasnya, sehingga keris itu terlepas dari tangan lawannya, terlepas ke udara dan jatuh beherapa langkah dari kaki lawannya

Kemarahan Rara Wulan tidak tertahankan lagi. Pedangnya itu pun kemudian hampir saja terayun menebas ke arah dada.

Namun terasa tangan yang kuat telah menahan tangan Rara Wulan dengan menangkap pergelangan tangannya.

“Sudahlah, Rara.”

Rara Wulan berpaling. Ia melihat Glagah Putih berdiri di sampingnya sambil memegangi tangannya.

“Laki-laki ini telah menghinaku, Kakang. Ia merendahkan derajadku sebagai perempuan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti. Tetapi kau dapat bertanya kepadanya, apakah ia menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah ia bersedia minta maaf, atau ia ingin berperang tanding sampai tuntas.”

“Ia akan memaksaku merangkak di hadapannya sambil menangis mohon ampun.”

“Biarlah orang itu yang mohon ampun kepadamu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ketika di luar sadarnya ia berpaling, ia melihat keempat orang lawan Glagah Putih duduk kesakitan di atas pasir tepian. Mereka tidak lagi mampu untuk bangkit berdiri, apalagi melawan.

Rara Wulan itu menyarungkan pedangnya. Sambil berdiri bertolak pinggang Rara Wulan itu pun berkata, “Merangkak di hadapanku, dan mohon ampun!”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang berkeliling, dari kejauhan beberapa orang menonton perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran.

“Cepat” bentak Rara Wulan.

Bagaimanapun juga, laki-laki itu masih merasa malu untuk melakukannya, di hadapan berpuluh pasang mata orang-orang yang berada di tepian itu.

Rara Wulan menjadi tidak sabar lagi. Iapun melangkah maju. Tiba-tiba saja tangannya terayun menampar wajah laki-laki itu.

“Cepat, atau aku akan membunuhmu!”

Ketika Rara Wulan memegang hulu pedangnya, maka laki-laki itu pun dengan gagap berkata, “Baik, baik. Aku mohon ampun.”

“Berjongkok dan merangkak di hadapanku!”

Orang itu masih tetap ragu-ragu.

Sekali lagi tangan Rara Wulan menampar wajah orang itu, sehingga orang itu tergetar selangkah surut. Dari sela-sela bibirnya yang pecah, nampak darah yang mengembun.

“Aku akan membuat wajahmu tidak berbentuk,” geram Rara Wulan.

Orang itu menjadi gemetar. Masih ada rasa malu di hatinya Tetapi nampaknya perempuan itu tidak main-main. Ia akan memukuli wajahnya sampai pengab.

“Kau sendiri yang merencanakan, merangkak sambil mohon ampun. Lakukan sekarang, atau kau akan mengalami nasib lebih buruk dari kawan-kawanmu itu!”

Orang itu tidak dapat berbuat lain. Jika ia tidak segera melakukannya, maka perlakuan perempuan itu tentu akan menjadi semakin kasar.

Karena itu, maka laki-laki itu pun kemudian telah merangkak dan berkata, “Aku mohon ampun.”

Agaknya Rara Wulan masih belum dapat meredakan gejolak kemarahannya. Disambarnya ikat kepala orang itu, kemudian dibantingnya di atas pasir tepian dan diinjak-injaknya.

“Marahlah! Kenapa kau tidak marah? Bangkit, dan berbuatlah sesuatu!”

Glagah Putih-lah yang kemudian menepuk bahu Rara Wulan sambil berdesis, “Sudahlah, Rara Wulan. Orang itu sudah merangkak dan minta ampun. Jangan kau paksa untuk melakukan sesuatu yang ia tidak dapat melakukannya.”

“Tetapi ia sudah menghinaku, Kakang. Ia sudah merendahkan derajadku sampai di bawah telapak kaki.”

“Tetapi ia juga sudah menghinakan dirinya sendiri. Ia sudah merangkak seperti seekor binatang berkaki empat dan minta ampun kepadamu.”

Rara Wulan memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan lantang ia pun berkata, “Berjanjilah, bahwa kau tidak akan melakukannya lagi.”

“Aku berjanji.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia melihat keris laki-laki yang merangkak itu, tiba-tiba saja ia pun meloncat. Diambilnya keris yang tergolek di pasir tepian itu, dan kemudian dilemparkannya ke dalam arus kali Praga.

“Jangan! Jangan, itu keris pusaka.”

“Persetan dengan keris pusaka! Ternyata pusakamu tidak dapat melawan pedangku.”

“Tetapi…..”

“Diam kau!” bentak Rara Wulan. Orang itu pun terdiam.

“Marilah, kita lanjutkan perjalanan kita,” ajak Glagah Putih.

“Aku ingin agar mereka pergi bersama kita. Orang ini mengatakan akan pergi ke Mataram,” berkata Rara Wulan.

“Maksudku,” sahut laki-laki yang minta ampun itu, “aku orang Mataram. Tetapi kami tidak akan pergi ke Mataram.”

“Kalian harus pergi ke Mataram, atau aku ceburkan ke dalam arus Kali Praga!”

Orang itu tidak dapat menolak. Sementara itu, ia pun berkata, “Tetapi kawan-kawanku agaknya tidak dapat bangkit berdiri.”

“Siapa yang tidak dapat bangkit berdiri dan pergi bersamaku ke Mataram, akan aku lemparkan ke dalam Kali Praga.”

Ancaman Rara Wulan sangat mencemaskan mereka. Karena itu, ketika Rara Wulan membentak dengan keras, keempat orang itu pun berusaha untuk bangkit berdiri.

“Kita berangkat sekarang. Kita naik ke rakit yang menepi itu.”

Kelima orang itu tidak dapat membantah. Tertatih-tatih mereka melangkah ke rakit yang siap untuk berangkat.

Ketika rakit itu mulai bergerak, Rara Wulan pun berteriak, “Jangan berangkat dahulu!”

Tukang satang itu tidak berani menolak. Karena itu, maka rakit itu pun menunggu Rara Wulan dan orang-orang yang kesakitan itu.

“Cepat!” bentak Rara Wulan kepada kelima orang itu, “Rakit itu jangan terlalu lama menunggu.”

Namun ketika Rara Wulan dan orang-orang yang kesakitan itu mendekati rakit, maka orang-orang yang sudah terlanjur berada di atas rakit justru berloncatan turun. Nampaknya mereka menjadi ketakutan bahwa akan terjadi sesuatu di atas rakit.

“Kenapa kalian turun?” bertanya Rara Wulan kepada orang-orang itu.

Orang-orang yang turun dari rakit itu menjadi berdebar-debar. Namun seorang di antara mereka memberanikan diri menjawab, “Rakit itu akan terlalu penuh.”

“Sudahlah, Rara. Marilah kita naik. Jika mereka ingin turun, biarlah mereka turun.”

Demikianlah, sejenak kemudian rakit itu pun telah bergerak lagi. Yang ada di atas rakit itu hanyalah tukang satang, kelima orang yang dikalahkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, berserta mereka sendiri.

Kelima orang itu pun duduk di atas rakit sambil sekali-sekali berdesah. Sementara itu, orang yang dikalahkan oleh Rara Wulan itu sekali-sekali memandang Rara Wulan dengan gigi yang terkatup rapat. Perempuan itu sudah menghinakannya, merendahkan derajadnya, kemudian melemparkan kerisnya ke dalam arus Kali Praga.

Rara Wulan sendiri berdiri agak di tepi rakit, sementara Glagah Putih berdiri dekat tukang satang yang berada di bagian depan rakit.

Perlahan-lahan rakit itu menelusuri tepian Kali Praga, justru menentang arus. Perlahan-lahan rakit itu bergerak ke tengah. Semakin lama semakin jauh dari tempat mereka mulai bertolak. Namun kemudian rakit itu menyilang arus, dan mulai bergerak perlahan-lahan searah dengan arus sambil bergeser menepi.

Dalam pada itu, ternyata gejolak jantung laki-laki yang dikalahkan oleh Rara Wulan itu tidak mereda, justru bagaikan ditiup angin pusaran. Beberapa lama ia memperhatikan Rara Wulan yang berdiri di bagian tepi rakit yang ditumpanginya.

Ketika rakit itu mulai menyilang arus, laki-laki itu berbisik perlahan-lahan kepada kawannya, “Aku akan mendorong perempuan itu agar tercebur ke sungai. Arusnya cukup deras untuk menghanyutkannya, meskipun seandainya ia pandai berenang.”

Wajah kawan-kawannya menjadi tegang. Seorang di antara kawannya itu menggeleng sambil memberi isyarat, agar niat itu diurungkan.

Tetapi orang yang telah merasa dihinakan oleh Rara Wulan itu mendendam sampai ke ujung rambut. Karena itu, maka ia tetap berniat untuk melakukannya.

Bahkan ia pun berbisik, “Perhatikan laki-laki itu. Curi kesempatan. Dorong pula orang itu agar tercebur ke dalam arus.”

Sekali lagi kawannya memberi isyarat. Tetapi laki-laki yang kehilangan kerisnya itu justru mengancam, “Siapa yang tidak ikut, nasibnya akan sama dengan perempuan itu.”

Rara Wulan yang berdiri di tepi rakit itu tidak menghiraukan mereka. Ia justru memperhatikan arus Kali Praga yang nampaknya bergejolak di bawah permukaan. Airnya yang coklat itu rasa-rasanya menjadi semakin keruh.

Di luar sadarnya, Rara Wulan memandangi langit di sisi utara. Namun nampaknya langit bersih. Selembar awan tipis mengapung di langit. Sekelompok burung pipit terbang melintas di wajah awan yang tipis itu.

Pada saat itulah laki-laki yang telah dihinakannya itu merasa mendapat kesempatan. Pada saat perempuan muda itu nampak lengah.

Karena itu, dengan serta-merta laki-laki itu bangkit berdiri. Dengan sisa tenaganya ia bergerak sambil menjulurkan lengannya, mendorong Rara Wulan yang berdiri di tepi rakit.

Namun Glagah Putih sempat berteriak, “Rara! Hati-hati!”

Sekilas Rara Wulan melihat gerakan orang itu. Karena itu, dengan gerak naluriah Rara Wulan itu pun berjongkok.

Laki-laki itu memang bernasib buruk. Justru karena Rara Wulan berjongkok, maka orang itu telah terdorong oleh tenaganya sendiri, karena tangannya tidak berhasil menyentuh tubuh Rara Wulan. Bahkan kakinya pun telah melanggar tubuh Rara Wulan yang berjongkok itu.

Tidak ada yang sempat mencegahnya ketika laki-laki itu terlempar masuk ke dalam arus Kali Praga.

Terdengar orang itu berteriak nyaring. Tetapi sejenak kemudian tubuhnya telah tercebur ke dalam air.

Kawan-kawannya terkejut. Serentak mereka bangkit. Namun rakit pun segera terguncang.

Tukang satang rakit itu terkejut. Dengan serta-merta ia pun berteriak, “Jangan berdiri! Jangan guncang rakit ini. Nanti terbalik!”

Keempat orang itu pun segera berjongkok pula. Mareka pun hampir saja kehilangan keseimbangan mereka. Karena itu, mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mendorong Glagah Putih, yang dengan cepat berusaha menguasai keseimbangannya.

Sejenak kemudian, rakit itu tidak lagi terguncang. Namun Glagah Putih yang kemudian berkata, “Ki Sanak. Kita coba menyusul orang tercebur ke dalam air itu. Nampaknya ia memerlukan pertolongan.”

Tukang satang itu nampak ragu-ragu. Sementara itu Rara Wulan pun berkata, “Bukankah itu salahnya sendiri? Bahkan mungkin di antara kawan-kawannya ada pula yang ingin menyusul.”

“Sudahlah, Rara. Kita akan mencoba menyelamatkan nyawa seseorang.”

Tukang satang itu masih saja nampak ragu. Sementara itu, orang yang tercebur ke dalam air itu pun telah hanyut beberapa puluh langkah.

“Orang itu tidak pandai berenang,” desis seorang kawannya.

“Salah sendiri. Ia ingin mendorongku,” sahut Rara Wulan.

“Cepat sedikit, Ki Sanak. Mungkin kita berhasil,” desak Glagah Putih kepada tukang satang.

Tukang-tukang satang itu pun mencoba mengarahkan rakitnya untuk menyusul orang yang tercebur ke dalam air itu. Namun usahanya tidak segera berhasil. Meskipun rakit itu melaju mengikuti arus air, tetapi jaraknya tidak menjadi semakin dekat.

Beberapa orang yang sedang berada di tepian memandang laju rakit yang deras itu dengan berdebar-debar. Bahkan beberapa orang yang berdiri di atas tanggul pun menjadi tegang.

Namun akhirnya seorang di antara tukang satang itu berkata, “Kami tidak berani meluncur terus sampai ke tikungan.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Ada arus pusaran. Kita akan dapat diputar oleh arus itu, dan bahkan mungkin kita tidak akan pernah dapat keluar lagi. Kita akan dapat menimpa tebing di sisi barat tikungan itu.”

“Jadi?”

“Maaf, Ki Sanak. Kami tidak berani meluncur terus.”

“Orang itu?”

“Di luar kemampuan kami.”

Sementara itu, para tukang satang itu sudah berusaha untuk memperlambat laju rakit mereka. Kemudian dengan sekuat tenaga mereka mengarahkan rakit mereka ke tepian.

“Kita sudah berada agak jauh dari penyeberangan” berkata tukang satang itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia masih melihat tubuh yang hanyut itu. Namun sejenak kemudian tubuh itu bagaikan ditelan air yang bergejolak di tikungan Kali Praga.

Glagah Putih tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara itu Rara Wulan bahkan duduk di atas rakit yang basah.

Betapapun kemarahan membakar jantungnya, namun Rara Wulan pun berpaling. Ia tidak ingin melihat tubuh itu bagaikan dihisap oleh pusaran air di tikungan.

Sementara itu, perlahan-lahan rakit itu bergeser menepi. Para tukang satang bekerja keras untuk menahan agar rakit itu tidak meluncur ke tikungan.

Ketika rakit itu kemudian semakin menepi, maka dada para tukang satang itu rasa-rasanya menjadi lapang. Mereka pun kemudian mengayuh rakit mereka menyusuri tepi Kali Praga, naik melawan arus menuju ke tempat penyeberangan.

Ketegangan masih mencekam orang-orang yang berada di tepian. Demikian mereka melihat rakit itu berhasil menepi, mereka punmenarik nafas panjang. Dada mereka yang terasa tertekan telah menjadi longgar kembali.

Namun ternyata beberapa orang yang justru tidak berada di tempat penyeberangan dan tidak akan menyeberang Kali Praga, melihat orang yang hanyut itu hilang di tikungan, ikut dalam pusaran air dan tidak lagi nampak di permukaan.

Ketika rakit itu kemudian berhenti di penyeberangan, orang-orang yang berada di tepian pun bergerak mendekat. Tukang-tukang satang yang merasa telah terlepas dari bahaya yang akan dapat menyeret nyawa mereka itu pun ikut turun pula ke tepian, menambatkan rakit mereka dan menjatuhkan tubuhnya, duduk di atas pasir.

Nafas mereka pun terengah-engah. Bukan saja oleh kelelahan, tetapi juga oleh ketegangan yang mencekam.

Empat orang yang dipaksa pergi ke Mataram itu berdiri termangu-mangu, sementara Rara Wulan mengawasi mereka. Sedangkan Glagah Putih pun duduk pula di hadapan para tukang satang yang seperti mandi, karena keringat mereka yang terperas dari tubuh mereka.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “kami minta maaf atas peristiwa ini. Kami pun mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Sanak membantu kami. Meskipun kita tidak berhasil menyelamatkan orang itu, tetapi Ki Sanak semuanya telah mencobanya.”

Tukang satang itu mengangguk-angguk.

“Sekarang, kami akan membayar imbalan penyeberangan ini. Tentu saja tidak seperti biasanya, karena kami sudah mempersulit keadaan Ki Sanak semuanya.”

Tukang satang itu tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk saja.

Ketika Glagah Putih memberikan beberapa keping uang, para tukang satang itu terkejut. Seorang di antara mereka bertanya, “Begitu banyak?”

“Aku masih akan minta tolong. Jika tubuh orang yang hanyut itu diketemukan, tolong rawat dengan baik. Pada satu saat, saudara-saudaranya ini akan mencarinya.”

“Baik. Baik, Ki Sanak” jawab seorang di antara mereka.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun meneruskan perjalanan mereka bersama keempat orang yang berjalan dengan letih. Namun ketika mereka menjauhi Kali Praga, maka Glagah Putih pun berbisik, “Biarlah mereka pergi. Mereka hanya akan menjadi beban kita saja.”

Rara Wulan mengerutkan keningnya, sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Apa keuntungan kita dengan membawa mereka ke Mataram, sementara pemimpin mereka sudah hanyut di Kali Praga?”

Rara Wulan pun akhirnya menyadari, bahwa tidak ada gunanya untuk membawa keempat orang itu ke Mataram. Kemarahannya yang terbesar ditujukan kepada orang yang telah menceburkan dirinya sendiri ke Kali Praga.

Karena itu, maka Rara Wulan pun kemudian berkata kepada keempat orang itu, “Pergilah. Jangan berjalan bersama kami lagi. Kalian dapat pergi kemana saja kalian maui. Tetapi ingat, jangan kembali ke Kali Praga dan jangan kembali membuat onar, karena jika hal itu masih kalian lakukan, maka kami akan memburu kalian sampai ke kaki langit sekalipun.”

Keempat orang itu termangu-mangu. Namun Rara Wulan pun berkata pula, “Jangan ikuti kami lagi.”

Keempat orang itu berhenti. Mereka memandang Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan terus. Justru Glagah Putih yang berpaling ke arah mereka. Tetapi Rara Wulan tidak.

“Orang-orang aneh,” desis salah seorang dari keempat laki-laki itu.

“Satu pengalaman yang pahit. Kita kehilangan seorang dari saudara-saudara kita.”

“Aku memang tidak sesuai dengan sikapnya.”

“Sudahlah. Lupakan orang itu. Kita akan pulang.”

Mereka sempat memandang Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan semakin jauh.

“Batu sentuhan bagi kaki kita yang akan menempuh perjalanan jauh ini, Rara.”

Rara Wulan mengangguk.

“Kita akan menjumpai banyak sekali batu sentuhan. Kita akan banyak sekali mengalami hambatan-hambatan, dan bahkan kadang-kadang di luar dugaan.”

Rara Wulan mengangguk lagi.

“Dalam keadaan yang demikian, maka kita harus tetap berpegang pada keseimbangan nalar dan perasaan.”

“Ya, Kakang,” suara Rara Wulan hampir tidak terdengar.

“Selain itu, kita tidak boleh melupakan untuk memohon, agar perjalanan kita selalu mendapat tuntunan dari Yang Maha Agung.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Sambil mengangguk kecil ia pun menjawab pula, “Ya, Kakang.”

Untuk beberapa saat keduanya pun terdiam. Rara Wulan sempat mengingat apa yang baru saja terjadi. Ia pun sempat membayangkan kembali apa yang sudah dilakukannya.

Namun ia merasa ngeri juga jika ia membayangkan, apa yang akan terjadi atas dirinya, jika laki-laki yang mendendamnya itu berhasil mendorongnya ke dalam arus Kali Praga.

“Aku telah merendahkannya, menghinanya dan menghancurkan harga dirinya, sehingga ia mendendamku,” berkata Rara Wulan itu di dalam hatinya.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya saat itu bagaikan terbakar oleh sikap laki-laki itu. Orang itu juga telah menghinanya dan merendahkannya.

Rara Wulan menarik nafas panjang.

Sementara itu, sinar matahari terasa semakin panas menyengat tubuh. Rara Wulan dan Glagah Putih berjalan menyusuri jalan panjang menuju ke Jati Anom. Mereka sengaja tidak akan singgah di Mataram.

“Kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa di Mataram,” berkata Glagah Putih kemudian.

Perjalanan mereka terasa menjadi sangat lamban. Berbeda sekali dengan perjalanan mereka di atas punggung kuda. Rasa-rasanya kecepatannya jauh berlipat ganda.

Keringat telah mengalir membasahi pakaian Rara Wulan. Rara Wuian tidak mengeluh karena kelelahan. Tetapi rasa-rasanya ia tidak telaten berjalan setapak demi setapak, menyusuri jalan yang sangat panjang. Rasa-rasanya ia ingin berlari sekencang lari seekor kuda.

“Apakah kita dapat berjalan lebih cepat?” tiba-tiba saja Rara Wulan itu pun berdesis.

Glagah Putih berpaling. Dipandanginya wajah Rara Wulan yang menjadi merah oleh sinar matahari.

“Kita tidak perlu tergesa-gesa,” sahut Glagah Putih, “kita tidak dibatasi oleh waktu.”

“Bukan tergesa-gesa, Kakang. Tetapi aku tidak telaten berjalan terlalu lamban.”

“Apakah kita berjalan terlalu lamban? Bukankah kita berjalan secepat orang lain yang berjalan searah dengan kita? Lihat dua orang laki-laki yang berjalan beberapa langkah di hadapan kita. Sejak tadi jarak di antara kita dan orang itu tidak berubah. Demikian pula tiga orang yang berjalan di belakang kita.”

Rara Wulan menarik nafas panjang.

Ketika matahari terasa menjadi semakin terik setelah melewati puncaknya, maka keringat pun menjadi semakin deras mengalir dari tubuh mereka.

Glagah Putih mengerutkan dahinya ketika ia melihat dua orang yang berjalan di depannya berhenti pada sebuah kedai di pinggir jalan. Hampir di luar sadamya, Glagah Putih pun bertanya, “Apakah kau haus?”

Rara Wulan tidak segera menjawab. Tetapi ia pun memandang parit yang mengalir di pinggir jaian. Parit yang airnya nampak bening. Jika saja ia berkuda, maka kudanya akan senang sekali jika diberi kesempatan untuk minum di parit itu.

“Di depan ada kedai,” berkata Glagah Putih, “kedua orang yang berjalan di depan itu juga singgah di kedai itu.”

Rara Wulan memandang Glagah Putih sejenak. Rasa-rasanya memang agak segan untuk mengiyakannya. Namun Glagah Putih pun bertanya sekali lagi, “Bagaimana Rara? Apakah kita akan singgah untuk minum?”

Rara Wulan akhirnya tersenyum sambil mengangguk, “Baiklah, Kakang.”

“Mudah-mudahan tidak ada orang yang membuat persoalan di kedai itu.”

“Maksud Kakang?”

“Di kedai itu singgah banyak orang dengan latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Karena itu, maka mungkin saja timbul sentuhan-sentuhan yang sebenamya tidak berarti, tetapi dapat menjadi persoalan yang seolah-olah perkara yang besar.”

Rara Wulan mengangguk kecil. Ia mengerti maksud Glagah Putih.

Demikianlah, maka keduanya pun telah singgah pula di kedai itu. Dua orang yang telah lebih dahulu singgah, duduk di tengah-tengah kedai itu, sementara Rara Wulan dan Glagah Putih pun mengambil tempat disudut. Namun dari tempat duduknya, Glagah Putih dapat melihat seisi kedai itu.

Seorang pelayan pun kemudian telah mendekati dan bertanya, apakah yang akan mereka pesan.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah memesan minum dan makan, karena mereka tidak sekedar haus, tetapi juga lapar.

“He!” tiba-tiba orang yang duduk di tengah itu membentak, “Aku masuk lebih dahulu. Kenapa kau layani mereka lebih dahulu dari aku?”

“O,” pelayan itu termangu sejenak, “bukankah aku sudah datang kepada Ki Sanak berdua?”

“Tetapi pesananku belum kau bawa kemari.”

“Pesanan itu baru disiapkan, Ki Sanak. Sementara itu, aku menanyakan kepada kedua orang itu, apakah yang mereka pesan.”

“Kau harus menyelesaikan dahulu pesananku. Baru kau mengurus orang lain. Mengerti?”

Pelayan itu menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab.

Rara Wulan bergeser setapak. Namun Glagah Putih pun segera menggamitnya. “Biarlah mereka minta dilayani lebih dahulu. Bukankah mereka memang masuk lebih dahulu dari kita?”

“Mereka juga sudah ditanya, apakah yang mereka pesan. Sementara menunggu pesanan mereka disiapkan, pelayan itu bertanya kepada kita. Apa salahnya?”

“Sudahlah. Jika persoalan-persoalan seperti ini kita tanggapi, maka tiga hari kita baru sampai di Jati Anom. Kecuali jika persoalannya langsung menyentuh kita. Tubuh kita atau batin kita.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, pelayan kedai itu pun telah menghidangkan pesanan kedua orang yang duduk di tengah itu. Dengan wajah yang buram, keduanya menerima pesanan mereka. Tetapi keduanya tidak berkata apa-apa.

Baru kemudian, pelayan itu menghidangkan pesanan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Beberapa saat kemudian perhatian Glagah Putih dan Rara Wulan tertuju kepada minuman dan makanan di hadapan mereka. Setelah menunggu sejenak, mereka pun mulai menghirup minuman mereka. Kemudian mereka pun telah makan pula dengan lahapnya.

Keduanya melihat kedua orang yang duduk di tengah itu menambah pesanannya. Dengan nada berat seorang di antara mereka berkata, “Selesaikan pesanan kami dahulu, baru kau urusi orang lain.”

“Baik, Ki Sanak,” jawab pelayan itu.

Temyata orang-orang yang berada di kedai itu tidak ada yang dengan sengaja membuat persoalan. Orang yang datang kemudian pun dengan sabar menunggu pelayan kedai itu selesai melayani mereka.

Beberapa saat kemudian,Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah selesai. Karena itu, maka mereka pun telah keluar dari kedai itu, setelah membayar harga minum dan makan yang telah mereka pesan.

Demikian mereka berada di luar kedai, Glagah Putih menarik nafas panjang. Rasa-rasanya ia dapat melepaskan ketegangan yang menyesakkan didadanya.

“Ada apa?” bertanya Rara Wulan.

“He?” Glagah Putih terkejut. Ia tidak mengira bahwa Rara Wulan akan bertanya.

“Kenapa Kakang menghela nafas panjang?”

“Udara terasa segar di luar,” jawab Glagah Putih.

“Tidak.”

“He? Kenapa tidak?”

“Kau tentu merasa bebas dari kemungkinan aku membuat onar di dalam kedai itu.”

Glagah Putih memandang Rara Wulan dengan kerut di dahi. Namun kemudian ia pun tertawa sambil berdesis, “Ya. Aku memang merasa lega, bahwa tidak terjadi keributan di kedai itu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian tertawa pula sambil berkata, “Aku belajar untuk tidak berbuat apa-apa.”

Namun Rara Wulan itu pun terkejut. Kedua orang yang duduk di tengah kedai dan yang minta dilayani lebih dahulu itu lewat di sebelah Rara Wulan. Seorang dari mereka bahkan telah menyentuh Rara Wulan, sehingga Rara Wulan terdorong selangkah ke samping.

Wajah Rara Wulan menegang. Tetapi ketika ia memandang Glagah Putih yang sama sekali tidak menunjukkan tanggapan apa-apa, ia punmenarik nafas dalam-dalam.

“Nampaknya keduanya tergesa-gesa. Ia tidak sengaja ketika lengannya menyentuh bahumu.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun ia pun kemudian bertanya, “Kenapa kalimatmu tidak kau selesaikan?”

“Aku sudah selesai,” Glagah Putih justru menjadi heran.

“Belum, Kakang. Masih ada terusnya. Bukankah kau akan berkata bahwa karena orang itu tidak sengaja, sebaiknya aku diam.”

Glagah Putih tertawa. Rara Wulan mengerutkan dahinya. Namun ia pun akhirnya tertawa pula.

Sejenak kemudian, keduanya pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Jarak mereka dengan orang yang berjalan lebih dahulu itu seakan-akan telah diatur, sejauh jarak sebelum mereka berhenti di kedai itu.

Sebenarnyalah Rara Wulan memang tidak telaten berjalan yang menurut pendapatnya terlalu lambat. Tetapi Glagah Putih justru berkata, “Jangan mendahului orang-orang itu. Nanti mereka tersinggung. Agaknya kedua orang itu memang tergesa-gesa, atau memang orang-orang yang mudah tersinggung.”

Rara Wulan memandang Glagah Putih sekilas sambil berkata, “Kau mendapat alasan yang tepat untuk tetap berjalan lamban seperti siput.”

Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi kakinya melangkah terus.

Rara Wulan yang berjalan di sebelah Glagah Putih sempat memperhatikan sawah yang terbentang luas. Ia sudah pernah melewati jalan itu. Jalan yang langsung ke Jati Anom, tanpa singgah di Mataram. Tetapi rasa-rasanya ia masih harus mengenali batang-batang pohon turi yarig berderet di pinggir jalan. Jika ia melalui jalan itu sebelumnya, maka ia duduk di atas punggung kuda yang sedang berlari, sehingga ia tidak banyak mendapat kesempatan untuk memperhatikan pepohonan di tepi jalan.

Perjalanan ke Jati Anom itu terasa sangat jauh oleh Rara Wulan. Ketika matahari menjadi semakin rendah, serta langit menjadi buram, mereka masih belum sampai ke tujuan.

Sementara itu kedua orang yang semula berjalan di depan mereka, sudah tidak nampak lagi. Mereka telah mengambil jalan simpang, demikian mereka melewati Kali Opak.

“Kita akan kemalaman di jalan,” berkata Rara Wulan.

“Tidak apa-apa. Udara pun menjadi sejuk. Kaki kita tidak lagi merasa panas menginjak jalan yang dibakar terik matahari. Udara pun akan menjadi semakin segar.”

Rara Wulan tidak menjawab. Agaknya perkelahian di tepian Kali Praga telah menelan banyak waktu, sehingga mereka tidak dapat sampai ke Jati Anom sebelum gelap.

Keduanya mendekati padepokan kecil yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura, setelah mendekati wayah sepi bocah. Kedatangan mereka berdua memang agak mengejutkan.

“Silahkan naik ke pendapa. Aku akan memberitahu Ki Widura,” seorang cantrik mempersilahkan mereka naik.

Sejenak kemudian, Ki Widura telah menemui Glagah Putih dan Rara Wulan di pringgitan.

Setelah mengucapkan selamat atas kedatangan anak dan menantunya itu, serta mempertanyakan keselamatan keluarga yang ditinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Widura pun bertanya, “Apakah kalian sudah akan mulai dengan perjalanan kalian?”

“Ya, Ayah,” jawab Glagah Putih, “kami sudah mulai dengan pengembaraan kami.”

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Kalian akan menempuh satu perjalanan yang berat. Karena itu, kalian harus berhati-hati.”

“Ya, Ayah” jawab Glagah Putih.

“Bukankah kalian besok masih akan bertemu dengan kakangmu Untara?”

“Ya. Kami akan menemui Kakang Untara. Kami akan bertemu dengan satu dua orang pengikut Ki Saba Lintang yang tertangkap dalam pertempuran di Lemah Cengkar. Mungkin kami akan mendapat sedikit petunjuk, dari mana kami harus mulai.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, mungkin kau akan mendapat petunjuk. Tetapi sampai kapan kau akan mencari tongkat baja putih itu? Apakah Pangeran Adipati Anom atau Ki Patih Mandaraka memberikan batasan waktu?”

“Tidak, Ayah. Kami tidak dibatasi oleh waktu. Bahkan menurut Ki Patih Mandaraka, perintah ini bukan perintah yang mengikat. Maksudku, Pangeran Adipati Anom serta Ki Patih Mandaraka tidak memerintahkan kepada kami agar kami tidak kembali sebelum kami mendapatkan tongkat baja putih itu.”

Ki Widura menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi perintah yang lunak itu jangan mengendorkan tekadmu. Bahkan seandainya kau tidak mendapat perintah sekalipun, jika jiwamu menyala, maka kau akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Kau sendiri-lah yang melengkapi perintah Pangeran Adipati Anom dan Ki Patih Mandaraka itu.”

“Ya, Ayah. Kami memang sudah bertekad untuk menemukan tongkat baja putih itu.”

Pembicaraan mereka pun terhenti ketika seorang cantrik menghidangkan minuman hangat serta beberapa potong makanan.

“Makanannya sudah dingin,” berkata Ki Widura.

“Tidak apa. Terima kasih,” sahut Glagah Putih.

Setelah minum beberapa teguk serta makan sepotong ketela rambat yang direbus, maka Ki Widura pun berkata, “Nah, sekarang kalian dapat mandi dahulu. Biarlah kalian dibawa ke bilik yang disediakan bagi kalian. Nanti, setelah rnandi dan membenahi pakaian kalian, maka kalian akan dipersilahkan makan.”

Demikianlah, setelah keduanya mandi, maka seperti yang dikatakan oleh Ki Widura, keduanya pun dipersilahkan makan.

“Aku baru saja makan,” berkata Ki Widura, “makan saja-lah kalian berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan memang lapar. Karena itu, maka keduanya pun makan dengan lahapnya.

Ki Widura yang tahu bahwa keduanya tentu merasa letih setelah berjalan sehari penuh, maka dipersilahkannya keduanya beristirahat.

“Tidurlah dengan nyenyak. Kalian tentu letih.”

“Kami tidak letih, Ayah” sahut Rara Wulan, “kami berjalan lambat seperti siput.”

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Meskipun kalian berjalan lambat seperti siput, tetapi terik matahari membuat kalian letih, karena keringat kalian terperas dari tubuh.”

Rara Wulan mengangguk.

Meskipun keduanya segera masuk ke dalam bilik yang sudah disediakan bagi mereka, namun keduanya tidak segera dapat tidur. Meskipun mereka letih, tetapi mereka telah berangan-angan tentang tugas yang harus mereka lakukan.

Baru setelah lewat lengah malam, keduanya benar-benar telah tertidur lelap.

Pagi-pagi mereka telah bangun. Mereka segera bersiap-siap untuk pergi menemui Untara. Jika Untara mengijinkan, mereka akan berbicara dengan satu dua orang pengikut Ki Saba Lintang yang berhasil ditawan.

“Mereka tentu masih ada di Jati Anom,” berkata Glagah Putih.

Ki Widura mengangguk. Katanya, “Ya. Agaknya mereka memang tidak dibawa kemana-mana. Mataram sedang sibuk sejak sebelum wafatnya Panembahan Senapati, sampai nanti saatnya Pangeran Adipati Anom dinobatkan.”

Setelah makan pagi, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera minta diri untuk menemui Untara.

Glagah Putih diterima oleh Untara dengan senang hati. Dengan ramah dipersilahkannya Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa rumahnya, duduk di pringgitan.

Bukan hanya Untara saja yang menemuinya, tetapi istri Untara pun ikut menemuinya pula.

“Pantas, kemarin burung prenjak seharian berkicau di pohon soka di depan rumah,” berkata Nyi Untara, “ternyata hari ini sepasang pengantin baru datang berkunjung.”

“Ah, Mbokayu,” desis Rara Wulan, “bukan pengantin baru. Tetapi dua orang pengembara yang singgah di rumah Mbokayu.”

“Memang sepasang pengembara. Tetapi yang mengembara itu adalah sepasang pengantin baru.”

Rara Wulan tersenyum sambil menundukkan kepalanya. Sementara Glagah Putih tertawa pendek.

Beberapa saat mereka berbincang di pringgitan. Nyi Untara telah menanyakan keselamatan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh, serta perkembangan kesejahteraan rakyatnya.

Baru setelah diihidangkan minuman dan makanan, Glagah Putih telah menyampaikan maksudnya.

“Jadi tugas itu benar-benar dibebankan kepadamu?” bertanya Untara.

“Ya, Kakang.”

“Tugas yang sangat berat. Apakah sebaiknya Rara Wulan tidak tinggal di Tanah Perdikan saja?”

“Mereka menikah secepatnya, justru karena Rara Wulan ingin ikut mengembara,” sahut Nyi Untara.

“Mungkin Rara Wulan bersedia membuat pertimbangan baru.”

“Aku ingin melihat luasnya cakrawala, Kakang ” jawab Rara Wulan.

“Tetapi berhati-hatilah. Aku tidak ingin menakut-nakuti kalian, tetapi sebenarnyalah bahwa tugas ini adalah tugas yang berbahaya.”

“Aku mengerti, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Baiklah, jika kalian ingin berbicara dengan satu dua orang tawanan. Tetapi pada umumnya mereka tidak tahu, kenapa mereka terlibat dalam gerakan Ki Saba Lintang itu, selain memburu harapan yang mustahil akan dapat diwujudkan.”

“Aku memang sudah menduga, Kakang. Sementara mereka yang tahu lebih banyak, tidak akan bersedia berbicara.”

Untara tersenyum. Katanya, “Ya. Ternyata kau sadari sepenuhnya langkah yang kau lakukan sekarang ini.”

Glagah Putih pun tersenyum pula.

“Baiklah. Nanti setelah matahari naik, kau akan dijemput oleh seorang prajurit. Sekarang, duduk sajalah di sini bersama Mbokayumu. Aku akan pergi ke barak yang dibangun di sebelah.”

“Silahkan, Kakang.”

Sepeninggal Untara, maka Nyi Untara sendiri-lah yang menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Ketika mereka baru berbincang tentang keluarga Agung Sedayu di Tanah Perdikan, mereka dikejutkan oleh kehadiran seorang anak yang berlari dari halaman, langsung meloncat ke pendapa.

“Kemarilah!” panggil Nyi Untara. Anak itu adalah anak Untara yang turmbuh dengan suburnya.

“Ini Paman dan Bibi,” Nyi Untara memperkenalkan. Perlahan-lahan anak itu melangkah mendekat.

Ketika Glagah Putih mengulurkan tangannya, maka tangan itu pun disambutnya. Demikian pula tangan Rara Wulan.

“Duduklah,” desis Nyi Untara.

Anak itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan sejenak. Namun tiba-tiba saja ia pun berlari menghambur turun dari pendapa, melintasi halaman.

“Anak itu tidak dapat diam.”

“Anak laki-laki sudah sepantasnya banyak bergerak,” jawab Glagah Putih.

Beberapa saat kemudian, seorang prajurit telah datang untuk menjemput Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka dipersilahkan untuk pergi ke barak.

Keduanya pun kemudian minta diri kepada Nyi Untara untuk pergi menemui pengikut Ki Saba Lintang yang tertawan itu.

“Bukankah nanti kalian akan singgah lagi kemari?”

“Ya, Mbokayu, tentu” jawab Glagah Putih. Demikianlah, maka mereka berdua pun telah pergi ke barak.

Mereka menemui Untara di sebuah ruangan yang khusus.

“Duduklah,” berkata Untara, “aku sudah memerintahkan untuk memanggil orang yang aku anggap mengenal Ki Saba Lintang lebih banyak dari kawan-kawannya.”

“Terimakasih, Kakang.”

“Kalian dapat mempergunakan bilik khususku ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian duduk di sebuah amben yang agak panjang, untuk menunggu orang yang dimaksudkan oleh Untara.

Sejenak kemudian, empat orang prajurit bersenjata telah mengantar seseorang memasuki ruang khusus itu. Seorang yang berwajah garang, bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang.

Demikian orang itu berdiri di depan pintu, maka Untara pun melangkah keluar sambil berkata, “Kau dapat berbicara dengan orang itu.”

“Terima kasih, Kakang,” jawab Glagah Putih.

Sejenak kemudian, pintu pun telah ditutup. Para prajurit yang membawa orang itu ke dalam ruangan khusus itu pun berada di luar pula, sehingga yang ada di dalam ruangan itu hanyalah Glagah Putih, Rara Wulan dan orang yang garang itu.

Sejenak mereka saling berpandangan. Orang yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang itu termangu-mangu. Di dalam bilik khusus itu hanya ada dua orang, laki-laki muda dan perempuan muda.

Tiba-tiba saja orang itu melangkah maju sambil tersenyum. Dipandanginya Rara Wulan dengan tajamnya. Adalah di luar dugaan jika orang itu kemudian berkata, “Kau cantik sekali, Nduk.”

Jantung Rara Wulan bagaikan disengat ujung duri kemarung. Hampir di luar sadarnya, tangannya telah terayun menampar mulut orang itu. Demikian kerasnya, sehingga orang ilu terhuyung-huyung surut dan bahkan bersandar dinding. Dari mulutnya mengalir darah. Ternyata tangan Rara Wulan telah memecahkan bibirnya.

“Sekali lagi kau berbuat gila, jari-jariku akan menusuk melubangi perutmu!” geram Rara Wulan.

Orang itu menyeringai menahan sakit. Tetapi sentuhan tangan Rara Wulan telah memperingatkan orang itu, bahwa perempuan itu memiliki tenaga yang sangat kuat.

Sejenak kemudian, orang itu sudah berdiri tegak. Kemarahan telah memancar di sorot matanya. Tetapi mata Rara Wulan pun bagaikan menyala.

Tiba-tiba saja tangan Glagah Putih telah mencengkam bahu orang itu. Orang itu pun menyeringai menahan sakit. Namun terasa tubuh orang itu menjadi semakin lemah, sehingga ia pun kemudian dibimbing oleh Glagah Putih dan didudukkannya di amben kayu yang ada di dalam bilik itu.

Orang itu duduk bersandar dinding, Rasa-rasanya ia tidak mempunyai kekuatan apapun untuk menyangga tubuhnya sendiri.

“Apa yang kalian lakukan?” bertanya orang itu.

“Membunuhmu perlahan-lahan,” jawab Glagah Putih.

“Kenapa hal ini kau lakukan, anak muda?”

“Kau telah meremehkan istriku.”

“Aku mohon ampun, anak muda. Jangan bunuh aku dengan cara ini. Cabut pedangmu, bunuh aku dengan menusuk jantungku.”

“Tidak. Aku tidak akan membunuhmu dengan cara yang bodoh itu.”

“Jangan biarkan aku seperti ini.”

“Sesali sikapmu yang tidak mengenal unggah-ungguh itu.”

Betapapun kemarahan menyala di dadanya, munun orang itu pun berkata, “Sudah aku katakan, aku mohon ampun. Aku sesali sikapku itu.”

“Aku akan menilai sikapmu kemudian. Jika sikapmu baik, maka aku akan membiarkan kau pergi dari bilik ini.”

“Aku menyesal sekali.”

“Bukan saja soal sikapmu itu. Tetapi aku ingin mendengar jawaban-jawaban atas beberapa pertanyaanku.”

“Pertanyaan apa, anak muda?”

“Dimanakah sarang utama Ki Saba Lintang?”

Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi ia masih saja duduk bersandar dinding. Rasa-rasanya ia tidak mempunyai kekuatan sama sekali, bahkan untuk menggerakkan tangan dan kakinya.

“Jawab pertanyaanku,” geram Glagah Putih.

“Ki Sanak,” berkata orang itu, “aku adalah orang di lapisan terendah dalam jaringan kekuatan Ki Saba Lintang. Karena itu, tidak banyak yang aku ketahui tentang orang itu. Aku adalah salah seorang yang ternyata kemudian dikorbankan oleh Ki Saba Lintang.”

“Aku sudah mengira bahwa kau akan menjawab seperti itu. Baiklah. Aku akan berkata kepada Kakang Untara bahwa kau harus dibiarkan dalam keadaan seperti itu sampai saat matimu. Kau akan dicerca dan diumpati oleh kawan-kawanmu di dalam bilik tawananmu, karena kau tidak mampu bangun dan pergi ke pakiwan jika tidak ditolong oleh seseorang.”

“Jangan! Jangan biarkan aku dalam keadaan seperti ini.”

“Dimana sarang utama Ki Saba Lintang?”

“Aku benar-benar tidak tahu, anak muda. Aku adalah salah seorang dari penghuni padepokan Rancak. Pada saat itu, kami hampir semua orang di padepokan Rancak telah pergi ke hutan Lemah Cengkar, untuk bergabung dengan pasukan Ki Saba Lintang.”

“Siapakah pemimpin padepokan Rancak?”

“Ki Ajar Rancak. Tetapi ia melarikan diri dan berlindung di belakang nyawa cantrik-cantriknya.”

“Apakah pemimpinmu tidak pernah bercerita tentang Ki Saba Lintang?”

“Aku hanya mendengar bahwa Ki Saba Lintang berasal dari sebelah utara Gunung Kendeng, Hanya itu.”

“Sebelah utara Gunung Kendeng itu terlalu luas.”

“Tetapi itulah yang aku dengar.”

“Kau bohong! Agaknya kau memang ingin tetap dalam keadaan seperti itu.”

“Tidak, Ki Sanak. Jangan biarkan aku dalam keadaan seperti ini. Jika saja aku tahu, aku akan memberitahukan kepada Ki Sanak.”

Glagah Putih memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Jika demikian, katakan kepadaku, siapakah di antara kalian yang tertawan yang dapat memberikan petunjuk kepada kami serba sedikit tentang Ki Saba Lintang?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku tidak tahu Ki Sanak. Seperti yang aku katakan, aku datang dari sebuah padepokan. Sebelum kami berada di Lemah Cengkar, kami tidak saling mengenal, kecuali kami yang bersama-sama datang dari padepokan Rancak.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Aku percaya kepadamu. Tetapi belum berarti bahwa kita tidak akan pernah bertemu lagi.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak bertanya sesuatu kepada Glagah Putih.

Glagah Putih pun kemudian telah menekan bagian belakang bahu orang itu. Terasa seakan-akan ada sesuatu yang mengalir di dalam tubuhnya, menelusuri arus darahnya.

Terasa bahwa tenaga orang itu telah berangsur pulih kembali. “Kembalilah ke dalam bilik tahananmu. Mungkin besok atau lusa, aku memerlukan bertemu dengan kau lagi.”

Orang itu pun kemudian melangkah ke pintu. Glagah Putih-lah yang membuka pintu itu dari dalam.

Empat orang prajurit masih berdiri tegak di luar pintu. Demikian pintu itu terbuka, maka keempat orang itu pun telah siap menerima tawanan itu, dan kemudian membawanya kembali ke dalam bilik tahanannya.

Baru sejenak kemudian Untara pun telah datang dan memasuki bilik itu pula.

“Bagaimana?” bertanya Untara.

“Orang itu tidak tahu apa-apa tentang Ki Saba Lintang, Kakang. Ia mengaku berasal dari padepokan Rancak yang dipimpin oleh Ki Ajar Rancak. Ia baru mengenal Ki Saba Lintang dan para pengikutnya yang lain setelah orang itu berada di hutan Lemah Cengkar.”

“Tentu saja ia ingkar,” berkata Untara dengan nada tinggi.

“Tetapi aku melihat kesungguhan di matanya.”

“Orang lain pun akan memberikan jawaban yang sama pula.”

“Aku akan mencobanya, Kakang. Aku akan berbicara dengan seorang yang lain.”

“Baiklah. Biarlah para prajurit membawa orang Iain ke dalam bilik ini. Aku minta diri untuk menyelesaikan pekerjaanku.”

“Silahkan, Kakang. Silahkan.”

Untara pun kemudian telah keluar lagi dari dalam biliknya. Diperintahkannya prajuritnya untuk membawa seorang yang lain ke dalam bilik khusus bagi Untara itu.

Orang yang kedua ini adalah orang yang bertubuh sedang. Tetapi nampaknya otot-otot yang kuat menjelujur di permukaan kulitnya. Ketika ia memasuki bilik khusus itu, bajunya terbuka di bagian dadanya, sehingga bulu-bulu di dadanya yang lebat itu pun nampak jelas.

Dengan mata liar dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti.

“Tutup bajumu,” berkata Glagah Putih, “kemudian duduklah.”

Orang itu masih saja memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan. Baginya seorang laki-laki dan seorang perempuan muda itu tidak memberikan kesan apa-apa. Karena itu, ia seakan-akan tidak mendengar perintah Glagah Putih.

Namun sekali lagi Glagah Putih berkata, “Tutup bajumu, dan duduklah yang baik.”

Orang itu mengatupkan giginya sambil menggeram, “Kau mau apa, he?”

“Tutup bajumu, kau dengar? Kemudian duduk yang baik.”

“Terserah kepadaku, apakah aku akan membuka bajuku sama sekali atau tidak.”

Glagah Putih menggapai baju orang itu dan kemudian diguncangnya, “Kau dengar perintahku?”

Orang itu terkejut. Tubuhnya benar-benar terguncang. Rasa-rasanya ia sama sekali tidak mempunyai tenaga untuk bertahan.

Ketika Glagah Putih melepaskan tangannya, orang itu terdorong dengan kerasnya. Tubuhnya yang kokoh itu membentur tiang.

Orang itu menyeringai menahan sakit pada punggungnya.

“Gila kau, anak muda,” geram orang itu, “kau berani menyakiti aku.”

Sebelum orang itu berhenti berbicara, maka tangan Glagah Putih telah mengenai mulutnya, sehingga sekali lagi orang itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian orang itu pun telah jatuh terlentang. Dengan sigapnya orang itu meloncat bangkit. Namun dua jari-jari Glagah Putih dengan kuatnya menyentuh bagian bawah dada orang itu.

Orang itu mengaduh kesakitan. Namun kemudian ia pun terduduk di lantai, sambil memegangi bagian bawah dadanya yang disentuh oleh jari-jari Glagah Putih.

“Apakah kau akan menantangku?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak, anak muda. Tidak.”

“Kita akan berada dalam kedudukan yang sama. Kau akan mendapat kebebasan untuk sementara, selama kita bertempur. Jika kau menang, kau akan benar-benar dibebaskan. Tetapi jika kau kalah, kau akan mati di tengah-tengah arena.”

Dengan suara yang bergetar orang itu pun menyahut, “Tidak, tidak, anak muda. Aku minta maaf.”

“Aku pulihkan kekuatanmu dan aku minta kau dibebaskan.”

“Tidak. Aku akan berbuat apa saja yang kau inginkan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada berat ia pun berkata, “Baiklah. Jika demikian, aku minta kau menjawab pertanyaanku.”

“Apa yang ingin kau ketahui, anak muda ?”

“Aku ingin tahu, dimanakah sarang utama Ki Saba Lintang. Jika ia tidak sedang melakukan tugasnya, dimana ia tinggal?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Glagah Putih dengan tatapan mata yang gelisah.

“Kau tentu akan menjawab bahwa kau tidak tahu. Kau tentu akan berkata bahkwa kau kenal Ki Saba Lintang setelah kau berada di hutan Lemah Cengkar. Atau mungkin jawaban-jawaban lain yang tidak masuk akal.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sepengetahuanku, anak muda, tempat tinggal Ki Saba Lintang adalah di sisi utara lereng Pegunungan Kendeng.”

“Aku sudah tahu bahwa Ki Saba Lintang tinggal di sebelah utara Gunung Kendeng. Tetapi dimana? Sebelah utara Gunung Kendeng itu membentang daerah yang luas.”

“Kedudukan Ki Saba Lintang sangat dirahasiakan, anak muda. Yang pernah aku dengar, Ki Saba Lintang sering berada di tepian Kali Gandhu.”

“Di tepian Kali Gandhu? Apakah itu berarti bahwa Ki Saba Lintang tinggal di sekitar atau di sepanjang Kali Gandhu?”

“Aku tidak dapat mengambil kesimpulan, anak muda. Tetapi hanya itulah yang pemah aku dengar.”

“Menurut pendapatmu, setelah kekalahan Ki Saba Lintang di sisi utara hutan Lemah Cengkar itu, apakah ia kembali ke tempat tinggalnya?”

“Mungkin sekali, anak muda. Tetapi jika Ki Saba Lintang menentukan sikap yang lain, aku tidak tahu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa orang itu tentu tidak dapat mengetahui terlalu banyak tentang kehidupan Ki Saba Lintang. Karena itu, maka menurut pendapat Glagah Putih, sejauh-jauh keterangan yang akan dapat digalinya, tidak akan lebih jauh dari keterangan orang itu, bahwa Ki Saba Lintang sering berada di tepian Kali Gandhu.

Karena itu maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku kira cukup untuk kali ini. Mungkin besok atau lusa aku akan berbicara dengan kau lagi.”

“Tetapi aku tidak akan dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi tentang Ki Saba Lintang, anak muda.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya, namun kemudian katanya, “Kembalilah ke dalam bilik tahananmu.”

Tertatih-tatih orang itu berusaha untuk bangkit. Sementara itu, Glagah Putih pun telah membantunya sehingga orang itu berdiri di atas kedua kakinya. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak wajar pada tubuhnya.

Glagah Putih pun kemudian teiah menyentuh bagian bawah dadanya dengan kedua jari-jari tangannya yang merapat.

Ternyata orang itu pun kemudian dapat berdiri tegak. Ditariknya nafas dalam-dalam sambil menengadahkan dadanya.

“Terima kasih, anak muda” desisnya.

“Kembalilah ke dalam bilikmu,” berkata Glagah Putih kemudian.

Glagah Putih pun kemudian telah melangkah ke pintu. Sementara orang itu pun berkata, “Aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak.”

“Kau mempunyai waktu untuk mengingat-ingat, apa saja yang pernah kau lihat atau kau dengar tentang Ki Saba Lintang. Mungkin ada sesuatu yang baru.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.

Ketika kemudian pintu dibuka, maka para prajurit yang membawa orang itu ke dalam bilik khusus, masih tetap menunggu.

Sejenak kemudian, maka yang tinggal di dalam bilik itu adalah Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Apakah kita masih akan minta seorang lagi, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Tidak sekarang, Rara. Jawaban rnereka tidak akan jauh berbeda. Tetapi orang yang kedua ini dapat memberikan sedikit ancar-ancar. Setidak-tidaknya membatasi lingkaran pencarian, meskipun kita tidak dapat yakin, apakah yang dikatakan itu benar.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi kita hentikan sampai di sini?”

“Kita akan minta pertimbangan Kakang Untara nanti.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Lalu, apa yang kita lakukan sekarang?”

“Kita minta diri. Besok kita kembali lagi.”

Keduanya pun kemudian keluar dari dalam bilik khusus itu, menemui dua orang yang bertugas di ruang dalam.

“Kami akan minta diri,” berkata Glagah Putih.

Seorang di antara keduanya menyahut, “Silahkan, Ki Sanak. Ki Tumenggung sudah berpesan, jika Ki Sanak akan meninggalkan bilik itu, dipersilahkan. Ki Tumenggung masih sedang bertugas.”

Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian telah meninggalkan barak itu. Mereka masih singgah sebentar untuk menemui Nyi Tumenggung. Namun kemudian keduanya pun segera minta diri untuk kembali ke padepokan.

“Apakah kalian tidak menunggu Kakang Untara?”

“Nanti malam kami akan menemuinya lagi,” jawab Glagah Putih.

“Baiklah. Nanti aku sampaikan kepada Kakang Untara, bahwa kalian akan datang menemuinya nanti malam.”

Di padepokan, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menceritakan pertemuan mereka dengan dua orang pengikut Ki Saba Lintang yang tertawan. Tidak ada keterangan yang jelas tentang sarang utama Ki Saba Lintang dan para pengikutnya. Namun salah seorang dari keduanya telah menyebut bahwa Ki Saba Lintang sering berada di tepian Kali Gandhu.

“Kalian kemudian mengambil kesimpulan bahwa tempat tinggal Ki Saba Lintang ada di sepanjang Gandhu?”

“Ya, Ayah.”

“Jadi kalian harus menyusuri Kali Gandhu dari ujungnya sampai ke tempuran?”

“Agaknya memang begitu, Ayah,” jawab Glagah Putih, “kecuali jika kami mendapatkan keterangan yang lain.”

Widura mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya lagi, “Apakah kau tidak ingin meyakinkan sekali lagi? Maksudku, menemui seorang lagi di antara mereka. Mungkin orang itu akan dapat menguatkan keterangan tentang tempat tinggal Ki Saba Lintang itu.”

“Aku juga berpikir, demikian, Ayah. Namun aku masih akan bertemu dan berbicara lagi dengan Kakang Untara nanti malam.”

“Ya. Mungkin kakangmu Untara dapat memberikan beberapa petunjuk kepadamu.”

Sebenarnyalah, ketika malam turun, keduanya telah berada di rumah Untara. Mereka minta petunjuk kepada Untara, apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Seperti Widura, Untara pun menganjurkan untuk berbicara lagi dengan satu atau dua orang yang mungkin dapat semakin membatasi ruang yang harus mereka jelajahi.

“Besok pagi aku akan kembali ke barak, Kakang.”

“Datanglah esok. Aku akan menunggumu di barak.”

Ketika di keesokan harinya Glagah Putih dan Rara Wulan datang lagi ke barak dan menemui dua orang pengikut Ki Saba Lintang, seorang di antara mereka juga menyebut bahwa Ki Saba Lintang memang pernah bercerita, ia sering mengail di Kali Gandhu.

Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mengambil kesimpulan bahwa orang-orang yang tertawan itu tidak akan dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi tentang diri Ki Saba Lintang.

Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan memutuskan untuk tidak lagi berbicara dengan tawanan.

“Aku rasa sudah Kukup, kakang” berkata Glagah Putih.

“Baiklah, Glagah Putih. Tetapi jika pada kesempatan lain kau ingin datang lagi, maka aku tidak berkeberatan.”

“Baiklah, Kakang. Mungkin pada kesempatan lain aku akan datang menemui Kakang lagi.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah minta diri. Mereka bukan saja akan kembali ke padepokan, tetapi mereka minta diri untuk selanjutnya menempuh perjalanan untuk mencari tongkat baja putih itu.

“Hati-hatilah, Glagah Putih dan kau, Rara Wulan. Perjalanan yang kalian tempuh adalah perjalanan yang berbahaya. Kalian mengemban tugas yang sangat berat. Kalian tidak tahu, dimana kalian dapat menemukan benda yang kalian cari. Sementara itu kalian sadari, bahwa orang yang membawa benda yang kau cari adalah seorang yang berilmu tinggi, yang dipagari oleh dinding yang sangat rapat tanpa kalian ketahui letaknya.”

“Ya, Kakang.”

“Namun aku akan selalu siap membantumu jika kau perlukan. Maksudku, jika kau ketahui sarang Ki Saba Lintang, sedangkan kau perlu kekuatan untuk menembusnya, maka aku akan menyediakannya, meskipun harus bergerak sampai ke sebelah utara Gunung Kendeng. Namun atas nama pemerintahan di Mataram, maka aku akan dapat melaksanakan tugas itu.”

“Terima kasih, Kakang. Jika perlu, aku akan menghubungi Kakang di sini.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan rumah itu. Untara dan istrinya melepas mereka dengan hati yang berat, justru karena mereka tahu betapa beratnya tugas yang diemban oleh kedua orang suami istri yang masih muda itu.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak akan segera meninggalkan padepokan. Mereka masih akan mengunjungi Sangkal Putung. Mungkin ada keterangan yang berarti bagi perjalanan mereka berdua.

Di hari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri kepada Ki Widura untuk pergi ke Sangkal Putung. Namun mereka masih akan kembali ke padepokan itu. Keduanya berniat untuk berangkat menempuh sebuah perjalanan yang berat dari padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Widura.

“Salamku buat Angger Swandaru, Angger Pandan Wangi dan keluarga di Sangkal Putung seluruhnya.”

Glagah Putih mengangguk sambil menyahut, “Baik, Ayah. Salam Ayah akan aku sampaikan kepada Kakang Swandaru, Mbokayu Pandan Wangi dan keluarga di Sangkal Putung.”

Pagi itu, dengan kuda yang dipinjamnya dari padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Widura, Glagah Putih dan Rara Wulan pergi ke Sangkal Putung untuk menemui terutama Swandaru dan Pandan Wangi.

Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan disambut dengan ramah dan akrab oleh Swandaru. Ia telah melupakan tantangan anak muda yang menyadari, bahwa pada saat itu Swandaru dan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh sedang diliputi oleh gejolak perasaan yang hampir tidak terkendali.

“Marilah, silahkan naik, Adi Glagah Putih dan Adi Rara Wulan,” Swandaru mempersilahkan.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah duduk di pringgitan, ditemui oleh Swandaru dan Pandan Wangi.

“Bau pengantin memang sangat sedap,” berkata Pandan Wangi sambil tersenyum.

“Ah, Mbokayu,” desis Rara Wulan sambil menundukkan wajahnya yang kemerah-merahan.

Swandaru pun kemudian telah menanyakan keselamatan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh, serta perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan itu sendiri.

“Semuanya dalam keadaan baik, Kakang,” jawab Glagah Putih, “bahkan aku telah sempat bertemu dengan Kakang dan Mbokayu Untara di Jati Anom, serta Ayah Widura di padepokan. Mereka juga dalam keadaan baik.”

“Tentu tamasya yang menyenangkan bagi sepasang pengantin baru,” berkata Pandan Wangi.

Glagah. Putih tersenyum. Katanya, “Bukankah perjalanan kami bukan perjalanan tamasya?”

“Tetapi bukankah kalian dapat bertamasya lebih dahulu, sebelum mengemban tugas yang dibebankan kepada kalian?”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.

Dalam pada itu Swandaru pun bertanya, “Jadi kalian benar-benar harus melaksanakan tugas yang sangat berat itu?”

“Ya, Kakang. Kami berdua akan menempuh perjalanan panjang. Kami tidak tahu, sampai dimana dan sampai kapan.”

“Apakah kalian mendapat perintah mutlak untuk membawa tongkat itu dan menyerahkan kepada Pangeran Adipati Anom?”

“Tidak, Kakang. Perintah Pangeran Adipati Anom dan Ki Patih Mandaraka cukup longgar. Aku boleh pulang kapan saja meskipun aku tidak membawa tongkat baja putih itu. Tetapi apakah pantas jika aku pulang sekedar menyembah dan pasrah karena aku telah gagal?”

Swandaru tersenyum. Katanya, “Aku mengerti: Tetapi kau pun tidak boleh mengingkari kenyataan. Kau harus berusaha dengan bersungguh-sungguh. Tetapi jika kau gagal, kau harus berani menyampaikannya kepada Ki Patih Mandaraka. Jika kau tidak melaporkan kegagalanmu, maka Ki Patih tidak akan mengambil langkah-langkah baru, karena Ki Patih masih saja menganggap bahwa kau akan berhasil.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk kecil.

“Tetapi itu bukan berarti bahwa kau dapat melakukan tugas itu tanpa tanggung jawab.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun kemudian berkata, “Kakang, kedatangan kami berdua selain mengunjungi Kakang dan Mbokayu, melihat keadaan dan keselamatan keluarga di Sangkal Putung, serta menyampaikan salam dari Kakang Untara berdua serta Ayah Widura, kami juga mempunyai sedikit keperluan.”

“Keperluan apa, Adi Glagah Putih?”

“Aku ingin menanyakan, apakah ada bekal petunjuk untuk dapat menemukan tempat tiggal yang utama dari Ki Saba Lintang?”

Swandaru menarik nafas panjang. Katanya, “Adi Glagah Putih. Semua tawanan yang dapat kami tangkap, telah kami serahkan kepada Kakang Untara.”

“Kami sudah menemui Kakang Untara. Kakang Untara pun telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan empat orang tawanan. Namun kami masih belum mendapat keterangan yang dapat memberikan petunjuk bagi kami, darimana kami harus mulai untuk dapat menemukan Ki Saba Lintang.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun sementara itu, Pandan Wangi pun berkata, “Sebenarnya kami mempunyai seorang tawanan khusus. Seorang gadis yang ikut dalam pertempuran di sisi utara hutan Lemah Cengkar. Tetapi sayang, gadis itu hilang dari bilik tavvanannya.”

“Hilang?” ulang Glagah Putih.

“Ya. Gadis itu adalah putri seorang pemimpin padepokan yang berilmu tinggi. Menurut perhitungan kami, tentu ayahnya-lah yang telah berhasil melepaskan anak gadisnya dari bilik tawanannya. Bahkan bilik itu dijaga dengan baik. Namun sirep yang sangat tajam telah membuat para penjaga itu tertidur.”

“Sayang sekali,” desis Glagah Putih.

“Apakah gadis itu seorang pengikut dari dengan Ki Saba Lintang?” bertanya Rara Wulan.

“Memang agak kurang jelas. Tetapi gadis itu akan dapat menjadi rambatan untuk sampai kepada Ki Saba Lintang. Sayang sekali bahwa gadis itu telah hilang. Kami semula memang tidak akan menyerahkannya bersama para tawanan yang lain.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi bagaimanapun juga, gadis itu telah hilang.

Ternyata Swandaru dan Pandan Wangi juga tidak dapat memberikan petunjuk yang dapat mereka manfaatkan sebagai pancadan untuk mencari orang yang bernama Saba Lintang.

“Kami minta maaf Adi Glagah Putih, bahwa kami tidak dapat membantu sama sekali.”

“Tidak apa, Kakang. Bahkan Kakang Untara pun tidak dapat memberikan bahan apapun yang dapat memberikan petunjuk kepada kami. Sedangkan orang yang pemah mempunyai ikatan khusus dengan Ki Saba Lintang pun tidak tahu, dimana sarang utama dari Ki Saba Lintang itu.”

“Siapakah orang yang pernah mempunyai ikatan khusus itu?” bertanya Swandaru dengan jantung yang berdebaran.

“Nyi Dwani,” jawab Glagah Putih.

Swandaru menarik nafas panjang.

“Meskipun Kakang dan Mbokayu tidak dapat memberikan petunjuk yang dapat kami pergunakan untuk alat usaha kami mencari Ki Saba Lintang, namun kami berdua mohon doa restu, semoga kami dapat berhasil.”

“Ya, ya, Adi Glagah Putih. Kami akan selalu berdoa bagi keselamatan Adi Glagah Putih berdua.”

Beberapa saat lamanya, Glagah Putih dan Rara Wulan berada di Sangkal Putung. Kemudian mereka berdua pun mohon restu pula kepada Ki Demang ketika mereka minta diri.

Kuda mereka berlari tidak terlalu cepat ketika keduanya kembali dari Sangkal Putung ke padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing.

Ketika mereka keluar dari Kademangan Sangkal Putung, maka Rara Wulan pun berkata, “Gadis yang hilang itu tentu gadis yang telah dikalahkan oleh Mbokayu Sekar Mirah di hutan Lemah Cengkar itu.”

“Agaknya memang demikian. Sayang sekali. Jika saja gadis itu tidak terlepas.”

“Seandainya gadis itu ada, belum tentu gadis itu dapat memberikan keterangan yang berarti. Seperti orang lain, gadis itu tentu tidak banyak tahu tentang Ki Saba Lintang. Bahkan seandainya ia tahu, maka ia tidak akan berkata apapun juga.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Dengan demikian, kita harus bersandar kepada keberhasilan kita sendiri. Kita tidak dapat mengharapkan apa-apa dari orang lain. Apalagi jika orang lain itu justru para pengikut langsung atau tidak langsung dari Ki Saba Lintang sendiri.”

Rara Wulan menarik napas dalam-dalam. Ditatapnya jalan yang panjang yang terbentang di hadapannya. Panjang sekali.

Rara Wulan pun membayangkan, bahwa tugas yang disandangnya pun rasa-rasanya akan ditempuh dalam waktu yang panjang sekali. Tetapi Rara Wulan sudah membulatkan tekadnya, bahwa ia akan ikut sampai dimanapun dan sampai kapanpun juga.

Jarak antara Sangkal Pulung dan padepokan yang dipimpin oleh Ki Widura itu tidak terlalu jauh. Setelah berkuda beberapa lama melintasi bulak-bulak panjang serta beberapa padukuhan, maka mereka pun menjadi semakin dekat.

Ketika mereka melewati dukuh Pakuwon, Glagah Putih pun berdesis, “Di sini-lah perjalanan panjang Kakang Agung Sedayu dimulai.”

“Maksudmu?”

“Dalam keadaan yang sangat gawat, Kakang Untara telah memaksa Kakang Agung Sedayu, yang sangat penakut, menuju ke Sangkal Putung untuk menyampaikan berita rencana serangan yang akan dilakukan oleh orang yang disebut Macan Kepatihan.”

“Macan Kepatihan?”

“Ya. Namanya Tohpati. Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu-lah yang seakan-akan memperkenalkan tongkat baja putih itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sementara Glagah Putih pun bercerita terus, “Karena itulah, maka tongkat baja putih itu selalu dihubungkan dengan Jipang. Rasa-rasanya tongkat baja putih itu menjadi lebih lekat dengan Jipang daripada dengan perguruan Kedung Jati itu sendiri.”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Oleh sebab itu, maka Pangeran Adipati Anom menghendaki agar tongkat baja putih itu diserahkan ke Mataram.”

“Jalan menuju ke tongkat baja putih itu-lah yang kusut.”

“Ya.”

“Kenapa Kanjeng Pangeran Adipati Anom tidak mempersoalkan tongkat baja putih yang berada di tangan Mbokayu Sekar Mirah?”

“Pangeran Adipati Anom dan Ki Patih Mandaraka yakin bahwa tongkat di tangan Mbokayu Sekar Mirah itu tidak akan menimbulkan persoalan. Sebenarnyalah bahwa yang penting bagi Pangeran Adipati Anom bukan tongkat bajanya itu sendiri. Tetapi tongkat itu sendiri akan dapat menjadi satu lambang kekuatan yang dapat mengganggu Mataram.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti, Kakang.”

Keduanya pun berhenti sejenak. Mereka telah menjadi semakin dekat. Kuda-kuda mereka pun di luar sadar berlari semakin cepat.

Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah sampai di padepokan.

Setelah menyerahkan kuda yang mereka pakai, serta mencuci kaki di pakiwan, keduanya pun duduk di pendapa bersama Ki Widura.

“Apakah kalian mendapatkan bahan yang berarti?”

Glagah Putih menggeleng. Dengan nada berat ia pun berkata, “Tidak, Ayah. Kami tidak mendapat petunjuk apapun dari Kakang Swandaru. Seperti juga Kakang Agung Sedayu, Empu Wisanata dan Nyi Dwani, Kakang Untara, semuanya tidak dapat memberikan petunjuk apa-apa. Meskipun Kakang Agung Sedayu dapat menyebut ujung Kali Geduwang atau beberapa tempat, namun semuanya tidak meyakinkan bahwa tempat-tempat itu adalah tempat tinggal utama Ki Saba Lintang.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia pun berkata, “Jika demikian, kau harus mulai dari permulaan. Yang kau ketahui barulah ada orang bernama Ki Saba Lintang, yang mempunyai tongkat baja putih. Tongkat baja putih itu semula adalah lambang kebesaran perguruan Kedung Jati.”

“Ya, Ayah. Namun yang kemudian dimanfaatkan oleh Ki Saba Lintang dengan alasan kekuasaan yang seharusnya mengalir ke Jipang. Bahkan Ki Saba Lintang mampu menarik perhatian beberapa kelompok dan perguruan untuk berpihak kepadanya. Meskipun kelompok-kelompok dan perguruan-perguruan itu mempunyai pamrih mereka masing-masing.”

“Ya. Agaknya memang demikian.”

“Baiklah, Ayah. Besok aku ingin berangkat menempuh perjalanan yang panjang itu.”

“Bukankah kau tidak tergesa-gesa? Kau dapat berangkat pekan depan atau kapan pun, setelah kau cukup beristirahat di sini. Bukankah tidak akan banyak bedanya?”

“Ya, Ayah. Tetapi rasa-rasanya lebih cepat kami berangkat, akan lebih baik.”

“Sama saja, Glagah Putih. Selisih sepekan tidak akan banyak berpengaruh.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Baiklah, Ayah. Aku menunda keberangkat sehari. Bagaimana pendapatmu, Rara?”

“Aku menurut saja, Kakang.”

“Bagus. Kau dapat beristirahat sehari penuh di sini esok. Kau dapat melihat-lihat sanggar, para cantrik yang berlatih, atau mengail di blumbang.”

“Baik, Ayah.”

“Selama di padepokan ini, kau dapat melepaskan segala ketegangan. Kau dapat meletakkan bebanmu, meskipun hanya untuk satu-dua hari.”

Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Widura, selama di padepokan itu Glagah Putih dan Rara Wulan dapat melupakan tugas yang diembannya. Glagah Putih sempat melihat-lihat halaman dan kebun belakang padepokan kecil itu. Bahkan melihat sawah yang terbentang sampai ke batas padang perdu di pinggir hutan.

Rara Wulan pun nampak menjadi gembira. Padepokan kecil itu memberikan suasana yang lain dari suasana di rumah Agung Sedayu di Tanah Perdikan.

Ketika keduanya masuk ke dalam sanggar untuk menyaksikan para cantrik yang berlatih, Glagah Putih dan Rara Wulan pun sempat menjadi kagum melihat para cantrik yang sudah sampai ke tataran ilmu yang tinggi.

Namun yang nampak pada Glagah Putih, ilmu yang dimiliki oleh para cantrik adalah ilmu yang diturunkan oleh Ki Gringsing yang sudah dilengkapi dengan ilmu yang diturunkan oleh Ki Sadewa. Senyawa dari dua jalur raksasa ilmu kanuragan itu menjadikan para cantrik di padepokan Orang Bercambuk itu menjadi orang-orang yang berilmu, yang memiliki unsur-unsur gerak yang lebih lengkap.

Glagah Putih dapat mengenali ilmu Ki Sadewa karena ia sendiri mempunyai bekal ilmu yang diturunkan lewat Agung Sedayu, sebagaimana bekal ilmunya yang bersumber dari Orang Bercambuk. Namun di samping keduanya, ternyata bahwa sadar atau tidak sadar, sesuatu yang baru telah disadapnya dari Agung Sedayu.

Namun di dalam Glagah Putih itu juga terselip pengaruh yang besar dari seorang anak nakal yang bernama Raden Rangga.

Sebenarnyalah meskipun Ki Widura sudah menjadi semakin tua, tetapi ketekunannya mempelajari sifat dan watak ilmu yang dikenalnya, telah membuatnya menjadi seorang yang berilmu tinggi. Ki Widura tidak saja sekedar memperdalam ilmu yang telah disadapnya dari berbagai jalur, tetapi Ki Widura sendiri telah menjadikan ilmunya semakin lengkap. Di sanggar, Ki Widura bekerja dengan tekun dan bersungguh-sungguh, sehingga lahirlah unsur-unsur gerak yang sulit dapat diimbangi.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah bermalam dua malam di padepokan kecil itu. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah menyatakan kepada ayahnya bahwa setelah malam berikutnya, ia benar-benar akan berangkat menempuh satu pengembaraan yang panjang.

Ayahnya tidak menahannya lagi. Dengan nada berat ia pun berkata, “Baiklah, Glagah Putih. Aku tidak dapat menghambat perjalananmu. Namun malam nanti, kau masih mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan para cantrik yang tentu akan mengucapkan selamat jalan kepadamu dan kepada Angger Rara Wulan.”

“Terima kasih, Ayah. Aku akan memenuhi keinginan para cantrik itu dengan senang hati. Aku akan dapat minta diri, serta minta agar mereka selalu mendoakan agar perjalananku berhasil.”

Seperti yang dikatakan oleh Ki Widura, maka setelah malam mulai turun, maka para cantrik pun telah berkumpul di pendapa bangunan utama padepokan kecil itu.

Pertemuan itu cukup mengesankan bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Para cantrik bersikap ramah dan akrab. Apalagi ketika para cantrik itu tahu bahwa Glagah Putih adalah salah seorang murid utama perguruan Orang Bercambuk.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mengatakan dengan terbuka, tugas apa yang diembannya. Hanya Ki Widura saja-lah yang tahu dengan pasti, apa yang harus dilakukan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Meskipun barangkali para cantrik dari perguruan Orang Bercambuk itu tidak ada yang berniat dengan sengaja membocorkannya, namun mungkin saja semakin banyak orang yang tahu tugas apakah yang sedang dipikul oleh sepasang suami istri itu, jika hal itu sampai ke telinga salah seorang pengikut Ki Saba Lintang, maka tugas Glagah Putih dan Rara Wulan akan menjadi semakin berat. Selain keselamatan mereka terancam, maka Ki Saba Lintang mempunyai kesempatan untuk menyingkir atau menyingkirkan tongkat baja putihnya.

Menjelang tengah malam, maka Ki Widura telah menutup pertemuan yang meriah itu. Para cantrik pun kemudian telah menuju ke bilik mereka masing-masing. Sementara Ki Widura masih berbincang beberapa saat dengan Glagah Putih dan Rara Wulan. Ki Widura pun. telah memberikan pesan-pesan terakhimya.

Baru sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di dalam biliknya pula.

“Kakang,” berkata Rara Wulan, “bukankah yang dimaksud Ayah tadi, jika diperlukan kita dapat mengajak dua atau tiga orang bersama kami?”

“Kita dapat mengartikannya seperti itu, Rara. Tetapi kita juga dapat mengartikannya, bahwa jika kita memerlukan bantuan setiap saat, para cantrik padepokan ini siap untuk melakukan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya, “Jika kita berada di tempat yang jauh dari padepokan ini?”

“Sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat minta bantuan mereka.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.

Di sisa malam itu, ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan dapat tidur dengan nyenyak.

Menjelang fajar keduanya sudah terbangun. Mereka pun segera berbenah diri. Mereka akan berangkat pagi-pagi sebelum matahari terbit.

Namun ternyata para cantrik sempat menyiapkan makan pagi bagi mereka berdua.

Demikianlah, sesaat sebelum matahari terbit, keduanya pun telah siap untuk berangkat meninggalkan padepokan kecil itu. Mereka tidak tahu, kapan mereka akan kembali.

Ki Widura dan para cantrik melepas Glagah Putih dan Rara Wulan itu di luar regol halaman.

“Doa dan restu Ayah yang kami mohon,” berkata Glagah Putih.

“Aku akan berdoa bagi kalian berdua,” sahut Ki Widura. Mereka berjalan semakin lama semakin jauh. Mereka sempat berpaling dan melambaikan tangan mereka, sebagaimana para cantrik pun melambaikan tangan mereka pula.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan semakin jauh itu telah hilang di tikungan.

Bagaimanapun juga, ada semacam kecemasan yang mengusik perasaan Ki Widura. Glagah Putih adalah anaknya. Sementara itu ia tahu, betapa berat beban yang diletakkan di pundak anaknya itu. Meskipun perintah Kanjeng Pangeran Adipati Anom dan Ki Patih Mandaraka itu terhitung perintah yang lunak, namun Glagah Putih tentu akan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan menyusuri jalan bulak yang panjang. Mereka masih berada di antara batang padi yang ditanam oleh para cantrik di sebelah-menyebelah jalan.

“Tanah yang subur, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Selain subur, agaknya para cantrik memelihara tanaman mereka dengan baik.”

“Agaknya Ki Widura juga seorang yang mengerti tentang ilmu bercocok tanam. Mungkin juga perbintangan, untuk menandai saat-saat menanam berbagai jenis tanaman serta mengenali watak musim.”

“Ayah memang belajar sedikit tentang ilmu bercocok tanam, mengenali musim dan pertanda alam. Selain itu, Ayah juga seorang yang tekun membaca kitab-kitab yang berhubungan dengan adat, dan kidung yang menyangkut tentang peristiwa dan sisi kehidupan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Dahulu Ayah adalah seorang prajurit. Tetapi ketika Ayah merasa menjadi tua, maka ia pun tidak lagi berada di lingkungan keprajuritan.”

“Nampaknya Ki Widura merasa tenang berada di padepokan.”

“Ya. Aku juga berpendapat demikian.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kita akan pergi kemana Kakang?”

“Kita akan menempuh perjalanan panjang. Kita akan pergi ke sebelah utara Pegunungan Kendeng.”

“Kakang pernah pergi ke sana?”

“Hanya lewat. Tetapi aku belum pernah menjelajahi daerah itu, sehingga aku belum mengenal lingkungan itu dengan baik.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi ia sadar, bahwa berdua mereka harus menjelajahi satu lingkungan yang tidak mereka kenal benar-benar. Mungkin lingkungan yang akan mereka jelajahi adalah lingkungan yang ramah. Tetapi mungkin sebaliknya. Mereka akan memasuki satu lingkungan yang keras. Bahkan sangat keras.

Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak menyesal. Bahkan perjalanan itu membuat wajahnya menjadi cerah. Ia banyak melihat apa yang belum pernah dilihatnya.

Namun kemudian ia bertanya, “Pertama-tama, kemanakah tujuan kita, Kakang? Bukankah kita memerlukan waktu dari hari ke hari, bahkan mungkin dari pekan ke pekan?”

“Kita akan menuju ke Ponggok, Rara. Kemudian menyusuri hutan beberapa lama. Kita akan menjauhi hutan dan memasuki Kedemangan Tlawong yang sedang tumbuh. Meskipun kademangan itu masih terhitung sepi, tetapi nampaknya mempunyai masa depan yang terang.”

“Kakang banyak tahu tentang Kademangan Tlawong?”

“Ayah memberikan beberapa ancar-ancar. Mungkin kita akan berhenti dan bermalam di Tlawong atau Pengging, yang agaknya justru tidak berkembang lagi.”

“Apakah kita akan sampai di Tlawong atau Pengging setelah malam turun?”

“Jalan memang agak rumit, Rara. Kita tidak dapat berjalan terlalu cepat. Apalagi di sepanjang jalan setapak di pinggir hutan. Mungkin kita akan sering beristirahat, karena kaki kita menjadi pedih atau karena terik matahari yang membakar tubuh. Tetapi juga karena jalan turun naik yang licin.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Perjalanan yang ditempuhnya ternyata memang perjalanan yang berat. Jalan-jalan yang dilaluinya tidak serata jalan dari Tanah Perdikan Menoreh sampai ke Mataram, atau sampai ke Sangkal Putung dan Jati Anom. Jalan yang harus dilaluinya adalah jalan-jalan sebagaimana jalan-jalan di padukuhan-padukuhan terpencil di Tanah Perdikan Menoreh yang berbukit-bukit.

Untunglah bahwa Rara Wulan pun kadang-kadang ikut mengunjungi lingkungan-lingkungan terpencil yang dipisahkan oleh jalan berlumpur. Jika hujan, tanahnya menjadi licin dan melekat di telapak sampai ke pergelangan kaki.

Sebenarnyalah setelah matahari sepenggalah, mereka mulai memasuki jalan yang lebih kecil. Glagah Putih yang mempunyai pengalaman mengembara mampu mengenali jalan yang harus dilaluinya, berdasarkan atas ancar-ancar yang diberikan oleh ayahnya. Tetapi ancar-ancar yang dapat diberikan oleh Ki Widura pun tidak lebih jauh dari Tlawong, Pengging, Ngaru-Aru, Banyudana dan kemudian Ngendo. Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian akan menyusuri Kali Pepe, untuk seterusnya mencari jalannya sendiri sampai di seberang Pegunungan Kendeng.

Ponggok sebenarnya tidak begitu jauh dari Jati Anom. Tetapi jalan yang rumit membuat perjalanan mereka menjadi lambat.

Tetapi ketika mereka mendekati Kademangan Ponggok, maka jalan mulai nampak menjadi lebih baik. Nampaknya ada usaha penghuni Kademangan Ponggok untuk membuat jalan utama di kademangan mereka rata. Mereka menaburkan batu dan kerikil di jalan utama di kademangan mereka.

Ponggok memang tidak terlalu ramai. Tetapi nampaknya Ponggok adalah kademangan yang hidup. Para penghuninya bekerja dengan tekun untuk membuat kademangan mereka menjadi lebih baik.

Sementara itu, matahari sudah semakin tinggi menggapai puncaknya. Ketika mereka melewati sebuah pasar yang tidak begitu besar, mereka pun berhenti.

Adalah kebetulan bahwa hari itu adalah hari pasaran, sehingga di pasar kecil itu nampak masih cukup banyak dikunjungi oiang.

“Kita berhenti sejenak, Kakang” berkata Rara Wulan.

“Kau merasa letih?”

“Tidak. Aku tidak letih, tidak haus dan tidak lapar. Aku hanya ingin melihat pasar ini.”

Glagah Putih tersenyum. Ia dapat mengerti, kenapa Rara Wulan ingin melihat pasar di Ponggok itu. Beberapa orang yang berjualan di pasar itu seperti anak-anak yang sedang bermain pasaran. Hanya ada beberapa orang saja yang dagangannya nampak agak lengkap dengan jumlah yang agak banyak.

Rara Wulan dan Glagah Putih telah masuk ke dalam pasar itu untuk melihat-lihat. Mereka menyusuri pasar itu dari sudut sampai ke sudut. Di pasar itu terdapat satu-satunya pande besi yang membuat alat-alat pertanian, meskipun masih agak kasar.

Ketika mereka melihat seorang penjual dawet legen, maka Glagah Putih-lah yang berdesis, “Aku haus.”

“Dimana-mana Kakang jika melihat dawet legen selalu merasa haus. Bahkan meskipun Kakang baru saja minum semangkuk penuh.”

Glagah Putih tersenyum. Mereka berdua pun segera duduk di atas sesobek tikar yang sudah lusuh.

“Kami berdua merasa haus, Ki Sanak. Kami kembeli dua mangkuk dawet legen.”

Penjual dawet itu segera meramu dua mangkuk dawet legen dan diserahkannya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun ketika penjual dawet itu memandang Rara Wulan sekilas, dahinya pun berkerut. Perempuan muda itu mengenakan pakaian yang tampak asing. Bahkan di lambungnya tergantung sebilah pedang.

Tetapi penjual dawet itu tidak bertanya tentang pakaian yang dikenakan oleh Rara Wulan serta pedang di lambungnya. Yang ditanyakan adalah, “Ki Sanak berdua, nampaknya Ki Sanak berdua jarang sekali pergi ke pasar ini. Atau bahkan belum pernah sebelumnya?”

Glagah Putih-lah yang menjawab, “Kami memang jarang sekali datang ke pasar ini, Ki Sanak.”

“O. Aku belum pernah melihat kalian berdua. Dimanakah kalian berdua tinggal?”

“Kami tinggal di Sendang Gabus.”

“Sendang Gabus di sebelah Jati Anom?”

“Ya, Ki Sanak. Ki Sanak pernah pergi ke Sendang Gabus?”

“Pernah. Aku pemah lewat Sendang Gabus ketika aku pergi ke Macanan, menengok saudaraku yang merantau dan tinggal di sana.”

“Hanya lewat?”

“Ya. Hanya lewat. Sekarang kalian berdua akan pergi kemana?”

“Kami akan pergi ke seberang Kali Pepe, Ki Sanak.”

“Seberang Kali Pepe?”

“Ya, Ki Sanak.”

“Satu perjalanan jauh. Kalian akan melalui jalan yang kadang-kadang tidak rata dan rumpil. Namun kadang-kadang kalian akan melalui jalan yang lebar dan rata. Di seberang Kali Pepe, padukuhan manakah yang kalian tuju?”

“Dengan serta-merta saja Glagah Putih menjawab, “Warupitu, Ki Sanak.”

“Warupitu? Aku belum pernah mendengar nama padukuhan itu.”

“Padukuhan kecil. Dekat hutan.”

Orang itu mengangguk-angguk.

Ketika keduanya sudah selesai minum, maka Glagah Putih pun kemudian telah membayar harga dawet itu. Namun ketika mereka akan bangkit berdiri, mereka melihat kegelisahan yang mengusik orang-orang di pasar itu. Mula-mula orang-orang yang berdiri di dekat regol pasar. Namun kemudian kegelisahan itu merambat semakin ke dalam.

“Ada apa, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih kepada penjual dawet itu.

“Pergilah ke tempat yang masih banyak orangnya itu, Ki Sanak. Berusahalah berada di dalam lingkungan yang agak berdesakan.”

“Kenapa ”

“Orang itu.”

“Kenapa dengan orang itu? Orang yang mana ?”

“Tentu Ki Lurah Gana Wereng. Sudah agak lama ia tidak muncul di pasar ini. Tiba-tiba saja sekarang ia datang.”

Lalu katanya pula, “Pergilah ke tempat yang ramai itu dahulu. Nanti jika ada waktu, aku ceritakan siapa orang itu, dan kenapa ia ditakuti di sini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab. Mereka pun segera bergeser pergi ke tempat orang-orang berjualan kain. Tempat itu masih cukup ramai. Beberapa orang perempuan masih melihat-lihat berbagai macam kain lurik yang masih digelar.

Kegelisahan itu akhimya sampai juga ke tempat orang-orang berjualan kain. Seorang di antara mereka berkata, “Marilah kita pergi.”

“Pergi kemana? Terlambat. Orang itu tentu sudah berada di dalam pasar. Karena itu, kita di sini saja, berlindung di antara banyak orang.”

Rara Wulan pun bertanya kepada seorang perempuan gemuk yang berdiri di sebelahnya, “Siapa orang itu?”

“Ki Lurah Gana Wereng.”

“Siapa orang itu?”

“Sst.”

Rara Wulan terdiam.

Pasar itu pun kemudian dicengkam oleh ketegangan. Tiba-tiba saja seorang perempuan yang sudah separuh baya berdesis, “Nampaknya bukan Ki Lurah Gana Wereng.”

Tidak ada yang menyahut. Namun tiba-tiba saja terdengar suara menggelegar di tengah-tengah pasar itu, “Dimana Ki Lurah Gana Wereng, he? Siapa yang melihat? Atau kalian semua menyembunyikan Ki Lurah Gana Wereng? Bukankah ia terbiasa pergi ke pasar ini?”

Tidak ada yang menyahut. Namun sekali lagi terdengar suara itu, “Dimana Ki Gana Wereng, he?”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melihat orang yang berteriak itu. Seorang laki-laki yang masih belum separuh baya. Nampaknya ia baru sampai sepertiga abad. Wajahnya nampak keras. Namun pakaiannya kelihatan rapi dan bersih. Dua orang laki-laki yang bertubuh kokoh berdiri di sebelah-menyebelahnya.

“Tidak ada yang mempunyai mulut, he?”

Akhirnya seorang penjual barang-barang anyaman bambu yang kebetulan berjualan tidak jauh di hadapan orang itu pun memberanikan diri menjawab, “Kami tidak tahu, Ki Sanak. Sudah beberapa kali pasaran ini, Ki Lurah Gana Wereng tidak datang ke pasar.”

“Bohong! Orang-orangku melihat, setiap hari pasaran ia datang untuk minta uang kepada kalian. Kelakuannya itu tidak dapat dibenarkan. Aku datang untuk menangkapnya. Karena itu, kalian harus membantu aku.”

“Ki Lurah Gana Wereng akan ditangkap?”

“Ya. Karena itu, tunjukkan kepadaku, dimana ia sekarang?”

“Kami gembira bahwa Ki Gana Wereng akan ditangkap. Tetapi sayang, kami tidak dapat menunjukkan orang itu berada di mana saat ini.”

“Baiklah, jika kalian tidak mau membantu.”

Penjual barang-barang anyaman bambu itu pun terdiam. Orang-orang yang lain pun terdiam.

Tiba-tiba saja orang itu menarik kerisnya sambil menggeram, “Aku akan bertanya kepada kalian seorang demi seorang. Siapa yang menolak untuk memberitahukan dimana Ki Lurah Gana Wereng berada, maka kerisku akan menembus dadanya.”

Orang-orang mendengar ancaman itu terkejut. Wajah-wajah pun menjadi pucat. Seorang perempuan yang ketakutan menjadi gemetar, dan bahkan kakinya rasa-rasanya tidak lagi dapat dipakainya untuk berdiri.

“Ki Sanak,” berkata orang yang berjualan barang-barang anyaman, “sebenamya kedatangan Ki Sanak untuk menangkap Ki Lurah Gana Wereng, memberikan pengharapan kepada kami seisi pasar ini untuk dapat berjualan dengan tenang. Ki Lurah Gana Wereng memang sering datang ke pasar ini untuk memungut uang tanpa ada kejelasan, untuk apa uang yang dipungutnya itu. Menurut dugaan kami, uang itu tentu dipergunakannya sendiri. Namun jika Ki Sanak melaksanakan ancaman Ki Sanak, yang terjadi justru sebaliknya. Kedatangan Ki Sanak yang seharusnya memberikan pengharapan itu, justru akan menjadi malapetaka.”

“Diam!” teriak orang itu, “aku tidak mau mendengar alasan-alasan apapun. Pokoknya aku memerlukan Ki Lurah Gana Wereng. Ki Lurah tentu ada di sini sekarang. Tetapi kalian telah menyembunyikannya, karena kalian tahu aku datang kemari.”

“Sungguh, Ki Sanak,” berkata penjual barang-barang anyaman itu, “kami akan merasa bersyukur jika Ki Sanak dapat menangkap orang yang bernama Gana Wereng itu.”

“Cukup! Aku tidak memerlukan sesorahmu itu. Yang penting bagiku, dimana Ki Lurah Gana Wereng? Jika kalian takut menunjukkan tempat persembunyiannya, aku harus membuat kalian lebih ketakutan lagi, agar kalian bersedia menunjukkan tempamya bersembunyi. Aku akan membunuh seorang demi seorang, sehingga ada seorang di antara kalian yang mau menunjukkan dimana Ki Lurah Gana Wereng itu bersembunyi.”

“Jika ancaman itu Ki Sanak laksanakan, maka kematian demi kematian itu akan sia-sia, karena Ki Sanak tidak akan menemukannya sekarang.”

“Tutup mulutrnu! Jika kau tidak mau menutup mulutmu, maka kau adalah orang pertama yang akan mati!”

Orang itu terdiam. Sementara itu, pasar itu bagaikan menjadi beku. Semua orang terdiam. Jantung pun menjadi berdebaran. Semua orang telah dicengkam oleh ketakutan.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun ikut mematung. Ketika Rara Wulan yang gelisah itu memandang Glagah Putih, maka Glagah Putih pun memberi isyarat agar Rara Wulan tidak berbuat apa-apa lebih dahulu.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja orang yang berwajah keras dan berpakaian rapi itu menunjuk seorang laki-laki kurus yang berjongkok di belakang dagangannya, seonggok jagung muda yang baru sebagian laku.

“Kau! Kemari!”

Wajah orang itu menjadi sangat pucat. Tubuhnya menjadi gemetar, sehingga laki-laki kurus itu justru tidak dapat bangkit berdiri.

“Kau! Kemari!” bentak laki-laki yang berwajah keras itu.

“Tetapi… tetapi…,” laki-laki itu tidak dapat berkata apa-apa lagi. Mulutnya bagaikan tersumbat.

“Kemari! Kau dengar?”

Karena laki-laki itu sama sekali tidak beringsut, maka orang itu pun telah memberi isyarat kepada pengawalnya.

Pengawalnya itu pun melangkah mendekati laki-laki kurus itu. Di tangan orang itu terdapat sebuah cemeti yang berjuntai pendek.

“Suruh orang itu kemari!” berkata laki-laki berwajah keras itu.

“Mendekatlah!” geram orang yang memegang cemeti itu. Laki-laki yang ketakutan itu sama sekali tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Bahkan ia pun telah terduduk di tanah. Tubuhnya yang gemetar menjadi semakin gemetar.

Karena laki-laki itu tidak mendekat, maka sungguh di luar dugaan, orang yang memegang cemeti itu telah mencambuk laki-laki kurus yang menjual jagung muda itu.

“Bangkit dan mendekat!”

Laki-laki itu tidak dapat bangkit. Bahkan ia pun tiba-tiba menangis melolong-lolong.

“Diam! Diam!” teriak laki-laki yang membawa cemeti itu. Cemeti itu pun telah terayun lagi mengenai punggung laki-laki itu.

“Aku bunuh kau!” teriak orang berwajah keras yang memegang keris di tangannya.

Rara Wulan sudah tidak tahan lagi melihat kebengisan orang itu. Namun sekali lagi Glagah Putih menggamit.

“Lihat, apa yang terjadi,” berkata Rara Wulan tanpa menghiraukan apa-apa lagi.

“Aku yang akan mencegahnya,” jawab Glagah Putih.

Pembicaraan singkat itu telah menarik perhatian. Orang yang membawa keris itu pun berpaling. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah menyibak orang-orang yang berdiri di hadapan mereka.

Yang kemudian melangkah mendekati orang yang berwajah keras dan berpakaian rapi sambil membawa keris itu adalah seorang laki-laki muda dan seorang perempuan yang masih muda pula, dengan mengenakan pakaian yang khusus.

Laki-laki berwajah keras itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang itu pun bertanya, “He, kau anak muda dan perempuan muda. Siapakah kalian, dan kalian mau apa?”

“Siapa kami itu tidak penting bagimu. Yang penting, kami tidak senang melihat kelakuanmu. Jika kau mencari seseorang yang dianggap melakukan pelanggaran atas paugeran yang berlaku, maka kau adalah seorang yang diharapkan untuk menjadi pelindung yang baik. Tetapi jika caramu mencari orang yang dianggap bersalah itu justru memberikan kesan yang buruk, maka antara kau dan orang yang kau cari itu tidak ada bedanya.”

“Persetan dengan igauanmu itu! Lalu kau mau apa?”

“Aku ingin mencegah tingkah lakumu. Kau atau orang-orangmu tidak pantas melecut penjual jagung muda ini. Lihat, apa yang dijualnya di pasar ini. Jagung muda. Jika ia menjual jagungnya yang masih muda, tentu karena orang itu sangat membutuhkan uarig. Mungkin anaknya atau istrinya sakit. Mungkin keperluan-keperluan lain yang mendesak. Di sini orang yang nampak kesrakat itu justru kau aniaya, sementara anak dan istrinya menunggu-nunggu di rumah dengan was-was. Apalagi jika kau benar-benar akan membunuhnya.”

“Aku memang akan membunuhnya, jika ia tidak mau menunjukkan persembunyian Gana Wereng.”

“Bukankah kau mempunyai otak yang masih dapat bekerja dengan wajar? Jika kau menangkap Gana Wereng, orang-orang sepasar ini tentu akan membantumu. Kau tidak usah memaksa. Apalagi membunuh.”

“Mereka merasa takut untuk menunjukkan dimana Gana Wereng bersembunyi. Karena itu, aku harus dapat menimbulkan ketakutan yang lebih besar lagi.”

“Tanpa berperikemanusiaan.”

“Perikemanusiaan itu hanya berlaku bagi orang-orang cengeng. Sedangkan aku bukan orang cengeng. Aku bukan orang yang dikendalikan oleh perasaan. Tetapi aku mempergunakan penalaran.”

“Tidak. Nalarmu tidak dapat kau pergunakan. Nalarmu buntu. Kau tidak dapat menilai kebencian orang-orang pasar ini kepada Gana Wereng, sehingga jika mereka mengetahui, setiap orang akan dengan suka rela memberitahukan kepadamu.”

“Cukup!” bentak orang itu, “Sekarang kau-lah orang pertama harus menjawab, dimana Gana Wereng bersembunyi. Jika kau tidak mau menjawab, maka kau benar-benar akan aku bunuh, menggantikan orang kurus penjual jagung muda itu.”

Tetapi jawab Glagah Putih telah mengejutkan bukan saja orang yang sedang mencari Gana Wereng. itu, tetapi orang-orang yang berada di sekitar tempat itu pun menjadi tegang pula karenanya.

“Aku tidak mau menunjukkan dimana Gana Wereng, bersembunyi meskipun aku tahu.”

Wajah orang yang berpakaian rapi dan menggenggam keris itu menjadi merah. Dengan lantang ia pun berkata, “Kau sengaja menantang aku, he?”

“Ya, aku sengaja menantangmu, karena tingkah lakumu. Sebenarnya aku tidak ingin berselisih dengan siapapun juga. Tetapi kelakuanmu sangat keterlaluan.”

“Bagus! Bersiaplah!”

Glagah Putih pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu, orang-orang pun segera menyibak. Orang yang berjualan barang-barang anyaman bambu itu pun telah membantu penjual jagung itu untuk bangkit dan membawanya menjauh.

Rara Wulan tidak beranjak dan tempatnya. Diamatinya kedua pengawal dari orang yang mencari Gana Wereng itu.

Namun tiba-tiba saja orang yang mencari Gana Wereng itu bertanya, “Kalian tidak bertanya, siapakah aku ini ?”

“Katakan.”

“Aku adalah seorang putut dari perguruan Ngawu-Awu.”

“Aku belum pernah mendengar perguruan Ngawu-Awu.”

“Pengetahuanmu terlalu picik. Perguruan Ngawu-Awu dipimpin uleh Ki Ajar Mandaya Luwih. Seorang yang mampu manjing ajer-ajer. Kesaktiannya tanpa tanding, sehingga Ki Ajar Mandaya Luwih mampu menjaring angin.”

“Luar biasa,” desis Glagah Putih, “jika demikian, apakah kau juga mampu menjaring angin? Atau bahkan prahara?”

“Persetan dengan kau, anak ingusan! Kau akan menyesali kesombonganmu!”

“Tetapi kenapa seorang putut dari perguruan yang dipimpin oleh orang yang mampu menjaring angin justru mencari seorang Gana Wereng?”

“Gana Wereng telah membunuh seorang cantrik perguruanku. Cantrik yang baru kurang dari sepuluh pekan berada di padepokan Ngawu-Awu.”

“Kenapa cantrik itu dibunuh?”

“Itulah yang ingin aku tanyakan kepada Gana Wereng, sebelum aku membunuhnya.”

“Mungkin kau keliru. Mungkin bukan Gana Wereng yang membunuhnya,” tiba-tiba orang yang menjual barang-barang anyaman bambu itu menyahut.

“Diam kau!” bentak orang yang mencari Gana Wereng itu, “Apapun alasannya, tetapi pembunuhan itu tidak dapat dibenarkan.”

Glagah Putih pun dengan serta-merta menyahut, “Ternyata kau menghargai nyawa orang juga. Sayangnya, yang kau hargai hanyalah nyawa saudara seperguruanmu. Kenapa kau tidak dapat menghargai nyawa orang lain? Penjual jagung itu misalnya.”

“Persetan dengan orang lain. Aku akan membunuh sepuluh orang untuk menukar nyawa saudara seperguruanku.”

“Apakah jika kau membunuh sepuluh orang, saudara seperguruanmu yang mati akan hidup lagi?”

“Cukup!” bentak putut dari Ngawu-Awu itu, “Sekarang, aku akan membunuhmu, jika kau benar-benar tidak mau menunjukkan tempat persembunyian Gana Wareng.”

“Bagus. Kita akan bertempur. Jika aku mati di sini, maka padepokan Ngawu-Awu tentu akan benar-benar menjadi abu. Seperti kau yang tidak rela saudara seperguruanmu mati, maka saudara-saudara seperguruanku pun tidak akan merelakan aku mati.”

“Kau datang dari perguruan mana?”

“Aku murid perguruan Kedung Jati.”

“He?” wajah orang itu menjadi tegang.

Sementara itu Glagah Putih pun mengulanginya, “Aku dari perguruan Kedung Jati, kau dengar?”

“Bohong!” geram orang itu.

“Untuk apa aku berbohong? Kami berdua adalah murid dari perguruan Kedung Jati yang sekarang tumbuh dan mekar kembali. Sebentar lagi sepasang pertanda kebesaran perguruan Kedung Jati akan menjadi satu lagi. Tongkat baja putih.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Demikian pula Rara Wulan.

Namun kemudian orang itu berkata meskipun agak ragu, “Kau mencoba membohongiku. Jika kau benar-benar murid perguruan Kedung Jati, siapakah nama pemimpinmu?”

“Ketika masih hidup, pemimpinku adalah Patih Mantahun. Aku masih terlalu muda untuk ikut serta dalam perang melawan Pajang. Kemudian sepeninggal Patih Mantahun, pimpinan perguruan Kedung Jati dipegang oleh Tohpati, yang bergelar Macan Kepatihan. Sekarang, perguruan Kedung Jati dipimpin oleh Ki Saba Lintang.”

Orang itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Aku tidak yakin bahwa kau adalah orang perguruan Kedung Jati. Perguruan itu sudah lama tidak terdengar namanya. Akhir-akhir ini banyak orang yang membicarakannya lagi. Tetapi tentu murid-muridnya tidak seperti kau. Murid-murid perguruan Kedung Jati adalah orang-orang yang sudah matang dan mempunyai ilmu yang tingi.”

“Kau akan membuktikannya?” bertanya Glagah Putih.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Aku tidak membayangkan orang-orang perguruan Kedung Jati ternyata seperti kau. Ketika Ki Saba Lintang datang ke padepokanku, orang-orang yang mengawalnya adalah orang-orang yang garang, bertubuh tinggi kekar dan berdada bidang. Bukan pula kanak-kanak ingusan seperti kau, dan bukan pula perempuan.”

“Kau belum pernah mengetahui isi dari perguruan Kedung Jati. Semua ujud manusia ada di sana. Yang tinggi besar, berdada bidang seperti raksasa, yang tinggi kurus, yang pendek gemuk. Apalagi?”

“Persetan dengan ocehanmu. Jika kau benar murid perguruan Kedung Jati yang mulai bangkit, maka kau adalah murid yang baru beberapa bulan berguru. Kau tentu masih belum mengenal olah kanuragan yang sebenarnya. Apalagi kedalaman ilmu yang tinggi.”

“Ya. Aku memang baru beberapa bulan berguru. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku harus membiarkan kau berbuat sewenang-wenang. Membunuh orang seperti menginjak kecoak.”

“Aku memang akan membunuhmu seperti menginjak kecoak. Meskipun kau mengaku murid perguruan Kedung Jati, tetapi aku masih harus meyakinkannya.”

“Bagus. Tetapi jika kau mati, itu bukan salahku.”

Orang yang mencari Gana Wareng itu tidak bertanya lagi. Ia pun segera bersiap, sementara Glagah Putihpun telah mempersiapkan diri pula.

Sejenak kemudian, maka putut dari Ngawu-Awu itu pun telah meloncat menyerang. Namun Glagah Putih yang telah bersiap itu pun dengan tangkasnya meloncat menghindar. Meskipun putut itu memburunya dan serangan-serangannya datang beruntun, namun serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuh tubuh Glagah Putih.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun tidak hanya sekedar berloncatan menghindar. Justru ketika putut Ngawu-Awu itu menyerangnya semakin garang, maka Glagah Putih pun telah membalas menyerang pula.

Dengan demikian, maka perkelahian itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan semakin cepat, sementara serangan-serangan mereka pun menjadi garang.

Namun perkelahian itu tidak berlangsung lama. Putut dari Ngawu-Awu itu segera mulai terdesak. Ilmu Glagah Putih temyata berada jauh dari jangkauannya.

Meskipun putut itu berusaha menyerang Glagah Putih dengan hentakan-hentakan ilmunya, namun ia sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Glagah Putih. Bahkan serangan-serangan Glagah Putih-lah yang mulai mengenai tubuhnya.

Putut itu tidak mampu memberikan perlawanan cukup lama. Serangan-serangan Glagah Putih seakan-akan telah membuat tulang-tulangnya menjadi retak.

Karena itu, maka tiba-tiba saja putut itu berteriak, “Tangkap perempuan itu! Ia dapat memaksa anak muda ini menyerah!”

Kedua kawan putut dari Ngawu-Awu itu pun segera meloncat ke arah Rara Wulan. Jika mereka menangkap Rara Wulan, maka Glagah Putih tentu akan menghentikan perlawanannya, karena Rara Wulan akan menjadi taruhan.

Tetapi kedua orang yang akan menangkap Rara Wulan itu terkejut. Tiba-tiba saja Rara Wulan telah meloncat menyongsong mereka dengan serangan kaki. Seorang dari kedua orang itu terpental beberapa langkah surut ketika kaki Rara Wulan menghantam dadanya. Sementara itu, dengan memutar tubuhnya, kakinya terayun menghantam kening yang seorang lagi.

Kedua orang itu tidak mampu mempertahankan keseimbangan mereka, sehingga keduanya pun terjatuh berguling di tanah.

Putut dari Ngawu-Awu itu terkejut. Namun bersamaan dengan itu, tangan Glagah Putih terjulur menghantam perutnya, sehingga putut itu pun terbungkuk kesakitan. Pada kesempatan itu, maka tangan Glagah Putih yang lain terayun tepat mengenai leher di bawah telinga putut itu.

Putut itu pun terlempar dan jatuh berguling di tanah berbatu-batu.

Putut itu masih berusaha untuk bangun. Demikian pula kedua orang kawannya. Namun Rara Wulan tidak memberi kesempatan. Dengan cepat ia meloncat maju. Dengan keras tangannya terjulur ke arah dada seorang di antara mereka.

Namun Rara Wulan mengurungkan serangan tangannya. Kakinya-lah yang terjulur menghantam lambung, sehingga orang itu terdorong surut sambil menyeringai kesakitan.

Sementara itu, seorang yang lain dengan cepat menerkam Rara Wulan dari samping. Kedua tangannya terjulur lurus mengarah ke leher. Namun Rara Wulan dengan cepat merendah.

Sebelum orang itu sempat menarik kedua tangannya, maka Rara Wulan yang berlutut pada sebelah lututnya itu pun menghantam perut lawannya dengan kedua tangannya berganti-ganti.

Orang itu mengaduh kesakitan. Sekali lagi ia terlempar jatuh menelentang. Namun kemudian ia pun menggeliat sambil mengaduh kesakitan.

Dalam pada itu, putut dari Ngawu-Awu itu sendiri sudah tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Meskipun ia masih juga bangkit berdiri, tetapi putut itu sudah tidak dapat berdiri tegak.

“Kau akui bahwa aku adalah seorang murid perguruan Kedung Jati?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,” nafas putut itu pun menjadi terengah-engah. Perasaan sakit bagaikan menjalar di seluruh tubuhnya. Perutnya bahkan terasa menjadi mual. Nafasnya menjadi sesak.

“Nah, dengarlah. Orang-orang di pasar ini berada di bawah perlindungan perguruan Kedung Jati, termasuk penjual jagung muda itu. Jika kau melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang berada di pasar ini, meskipun mereka nanti berada di jalan pulang, maka kau akan berhadapan dengan aku. Jika perguruan Ngawu-Awu tidak menerima perlakuan atasmu dan mendendam kepadaku, maka perguruan Ngawu-Awu akan berhadapan dengan perguruan Kedung Jati.”

Putut dari Ngawu-Awu itu tidak menjawab sama sekali. Wajahnya nampak pucat. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Putut itu mengerahkan daya tahannya untuk menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya serta mual-mual di perutnya.

“Kau dengar?” bertanya Glagah Putih.

“Aku dengar,” jawab putut itu.

“Gana Wereng pun akan berhadapan dengan aku, jika pada suatu hari ia datang lagi ke pasar ini dan memeras orang-orang di dalamnya. Aku akan menangkapnya dan menyeret ke padepokan. Kau pun tidak akan dapat mencegahnya, meskipun Gana Wereng menjadi sasaran dendam perguruanmu. Jika aku kehilangan Gana Wereng karena kau menangkapnya serta akan menjadi sasaran dendammu, maka kau akan berhadapan dengan aku pula.”

Putut yang kesakitan itu tidak menjawab.

“Nah, sekarang pergilah. Tidak seorang pun dapat melawan kuasa tongkat baja putih yang menjadi perlambang wahyu keraton di Tanah ini.”

Pernyataan Glagah Putih itu agaknya sangat menarik perhatian putut itu. Namun Glagah Putih pun membentak, “Kenapa? Kau tertarik kepada tongkat baja putih itu? Cobalah merebutnya dari tangan Ki Saba Lintang, jika kau atau bahkan gurumu ingin membunuh diri.”

Putut itu tidak menyahut.

“Pergilah!” bentak Glagah Putih kemudian, “Ajak kedua orang kawan-kawanmu, yang hanya membuat mataku gatal.”

Putut itu pun segera mengajak kedua kawannya untuk pergi. Namun bertiga mereka masih belum dapat berjalan tegak. Mereka berjalan terlatih-tatih sambil menahan sakit.

Glagah Putih memperhatikan ketiga orang yang menuju ke pintu regol pasar. Nampaknya mereka benar-benar akan pergi. Yang dilakukan Glagah Putih memang dapat meyakinkan mereka, bahwa Glagah Putih mempunyai landasan ilmu yang jauh lebih tinggi dari landasan ilmu putut itu.

Sepeninggal ketiga orang itu, maka penjual barang-barang anyaman bambu itu pun mendekatinya sambil berkata, “Terima kasih, Ki Sanak. Kau telah membebaskan seisi pasar ini dari kesewenang-wenangan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Adalah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu. Kami tidak dapat tinggal diam melihat kekejian orang yang mengaku dari perguruan Ngawu-Awu itu.”

“Agaknya orang itu memang benar dari perguruan Ngawu-Awu.”

“Ki Sanak pernah mendengar nama perguruan Ngawu-Awu?”

“Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama itu. Mudah-mudahan aku tidak salah dengar. Jangan-jangan aku dengar nama itu dari sebuah dongeng.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, laki-laki kurus penjual jagung muda itu bahkan menyembahnya. Dengan suara yang bergetar laki-laki kurus itu berkata, “Kalian berdua sudah menyelamatkan nyawaku. Aku sangat berterima kasih kepada kalian berdua.”

“Itu sudah menjadi kewajiban kami, Paman.”

“Aku akan senang sekali jika kalian berdua bersedia singgah di rumahku.”

“Dimana rumah Paman?”

“Tidak terlalu jauh, Ngger. Hanya berjarak tiga bulak dari pasar ini.”

“Terima kasih, Paman. Mungkin lain kali kami akan singgah.”

“Sebentar saja, Ngger. Isteri dan anak-anakku akan dapat bertemu dengan dua orang yang telah menyelamatkan nyawaku. Meskipun kami orang-orang miskin, tetapi kami dapat menghargai budi seseorang, yang tidak akan dapat kami hargai dengan apapun juga.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Sementara laki-laki itu berkata, “Aku dan keluargaku akan menjadi sangat kecewa jika Angger berdua tidak bersedia untuk singgah, meskipun hanya sekejap.”

“Baiklah, Paman. Aku akan singgah.”

“Marilah. Aku akan pulang sekarang.”

“Tetapi jagung Paman ini masih tersisa.”

“Aku akan membawanya pulang. Sebagian dari jagung yang aku bawa tadi sudah laku.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak sampai hati membuat laki-laki itu menjadi sangat kecewa. Karena itu, maka keduanya pun telah menyatakan kesediaan mereka untuk singgah di rumahnya.

Namun sebelum mereka beranjak pergi, penjual barang-barang anyaman bambu itu bertanya, “Maaf, Ngger. Tadi aku mendengar Angger berdua menyebut tentang tongkat baja putih. Apakah hubungannya tongkat baja putih itu dengan Angger berdua?”

Pertanyaan itu sangat menarik perhatian Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun keduanya berusaha menyembunyikan perhatian mereka terhadap pertanyaan itu. Karena itu, Glagah Putih menjawab, “Sudah aku katakan, bahwa aku adalah murid dari perguruan Kedung Jati. Sementara itu, tongkat baja putih itu adalah lambang kebesaran perguruanku. Bukan saja lambang kebesaran perguruan Kedung Jati, tetapi tongkat baja putih itu adalah sarang wahyu keraton, sehingga siapa yang memiliki tongkat baja putih itu, akan kuat menerima wahyu keraton, yang seharusnya berada di Kadipaten Jipang.”

“Tetapi ketika tongkat baja putih itu berada di Kepatihan Jipang, Pangeran Arya Penangsang justru terbunuh.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia harus berhati-hati berhadapan dengan penjual barang-barang anyaman bambu itu. Sejak ia melihat sikap orang itu pada saat putut dari Ngawu-Awu itu hadir di pasar itu, Glagah Putih sudah melihat kelebihan orang itu dari orang-orang lain yang berada di pasar itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar