Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 325

Buku 325

Mangesthi menganggukkan kepalanya. Katanya, “Kau benar, Wiyati. Aku memang belum waktunya untuk meninggalkan padepokan ini.”

Demikianlah, Wiyati pun segera mempersiapkan dirinya. Kawan-kawannya pun segera mengerumuninya. Pada umumnya mereka mengucapkan selamat kepada Wiyati yang mendapat kesempatan untuk terjun langsung ke kancah perjuangan.

“Aku iri kepadamu, Wiyati,” berkata seorang kawannya.

“Semoga aku dapat menjalankan tugas ini dengan baik.”

“Kau tidak akan gagal, Wiyati. Kami para mentrik tahu, betapa keras hatimu dan betapa tinggi ilmumu.”

Wiyati tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas pujianmu. Tetapi yang lebih penting bagiku adalah doa kalian. Mudah-mudahan aku dapat melakukan sebagaimana yang harus aku lakukan.”

Demikianlah seperti yang direncanakan, maka setelah makan siang, Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati pun telah bersiap. Kuda-kuda mereka telah dipersiapkan pula untuk menempuh sebuah perjalanan yang panjang.

Beberapa orang mentrik telah menitikkan air mata. Demikian pula Wiyati. Betapapun keras hati mereka, tetapi menghadapi sebuah perpisahan, mata mereka pun menjadi basah juga.

Wiyati mencium Mangesthi di dua pipinya. Kemudian sembilan kawannya berganti-ganti.

Demikianlah, ketika matahari melewati puncaknya dan mulai turun ke barat, Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati telah siap untuk berangkat.

Para cantrik dan mentrik mengantar mereka sampai ke pintu gerbang padepokan kecil itu. Kemudian melepas mereka berangkat menempuh sebuah perjalanan panjang.

Para mentrik melambai-lambaikan tangan mereka. Perpisahan itu memang terasa sangat berat, setelah beberapa lama mereka berkumpul menimba ilmu di padepokan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang itu.

Demikianlah, perjalanan itu pun telah dimulai. Matahari yang membara di langit, panasnya terasa bagaikan membakar tubuh. Tetapi semilirnya angin terasa mengusap wajah mereka yang menempuh perjalanan panjang itu.

Seperti saat Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menuju ke padepokan itu, mereka menghindari jalan yang melewati padukuhan. Apalagi di siang hari. Mereka akan dapat menarik perhatian banyak orang di padukuhan itu.

Demikianlah, kuda mereka pun telah berlari di jalan yang berbatu padas. Semakin lama jalan yang mereka tempuh menjadi semakin sempit.

Ki Saba Lintang pun kemudian berkata kepada Wiyati, “Perjalanan ini bukan saja panjang, Wiyati. Tetapi kita akan memasuki jalan yang sulit. Jalan yang menurun, namun kemudian memanjat naik.”

Wiyati mengangguk.

“Jika kau merasa letih, katakanlah. Kita akan berhenti untuk beristirahat. Kuda-kuda kita pun perlu beristirahat pula.”

Wiyati mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Saba Lintang.”

“Aku berharap bahwa kita akan melewati jalan yang paling sulit sebelum gelap, sehingga kemudian kita tinggal menempuh jalan yang rata. Meskipun kadang-kadang masih juga naik dan turun, tetapi landai dan tidak berbahaya sama sekali.”

Ternyata perjalanan itu merupakan pendadaran khusus bagi Wiyati. Bukan saja keterampilan berkuda dan ketahanan tubuhnya, tetapi juga kebesaran tekadnya untuk menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menjadi sangat bangga terhadap Wiyati. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh di bawah terik sinar matahari, Wiyati masih tetap nampak segar. Meskipun tubuhnya basah oleh keringat, namun Wiyati masih tetap tegar di atas punggung kudanya.

“Kau tidak letih, Wiyati?” bertanya Ki Ambara

Wiyati tersenyum. Pipinya yang kepanasan menjadi kemerah-merahan.

“Belum, Ki Ambara,” jawab Wiyati.

“Kita sudah menempuh perjalanan cukup jauh.”

Wiyati tidak menjawab.

Namun sejenak kemudian, mereka telah berada di jalan yang rumit. Sekali-sekali mendaki, namun kemudian menuruni tebing yang panjang.

Namun Wiyati masih tetap tegar. Senyumnya sekali-sekali masih nampak menghiasi bibirnya.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka kuda-kuda mereka-lah yang harus beristirahat. Meskipun Wiyati tidak minta untuk berhenti dan beristirahat, namun Ki Ambara dan Ki Saba Lintang-lah yang kemudian menghentikan perjalanan.

Mumpung ada parit yang airnya jernih dan rerumputan yang subur tumbuh di tanggul, maka Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mengajak Wiyati untuk beristirahat.

Mereka pun kemudian membiarkan kuda mereka untuk minum dan makan rumput, sementara matahari menjadi bertambah rendah. Langit menjadi semakin suram, sementara di sebelah barat cahaya layung nampak kemerah-merahan. Senja pun kemudian telah turun.

Namun jalan yang paling rumit telah mereka lampaui. Meskipun jalan selanjutnya masih panjang, tetapi mereka tidak akan banyak mengalami kesulitan di perjalanan.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang sengaja tidak memikirkan bekal di perjalanan. Mereka sengaja menguji daya tahan rubuh Wiyati. Mereka akan menempuh perjalanan semalam suntuk tanpa makan dan minum. Mereka hanya akan berhenti jika kuda mereka nampak terlalu letih.

Untuk beberapa saat mereka masih teristirahat. Mereka bertiga duduk di atas batu padas di pinggir jalan. Mereka membiarkan kuda-kuda mereka sibuk di pinggir parit.

Angin pun bertiup perlahan-lahan. Udara pun menjadi semakin dingin.

Ki Ambara pun kemudian bangkit berdiri. Sambil menggeliat ia pun berkata, “Semakin lama aku duduk, mataku-lah yang menjadi semakin kantuk.”

“Apakah kita akan berangkat sekarang?” bertanya Wiyati.

“Sebentar lagi, Wiyati,” jawab Ki Ambara, “biarlah kuda kita cukup beristirahat, minum dan makan rumput segar. Mungkin kita sudah tidak merasa letih, mungkin hanya kantuk. Tetapi kuda-kuda kita-lah yang letih.”

“Baiklah, Ki Ambara,” desis Wiyati.

“Panggil aku Kakek, Wiyati. Kau harus membiasakan diri memanggil aku Kakek.”

Wiyati termangu-mangu. Sementara Ki Saba Lintang berkata, “Ki Ambara benar, Wiyati. Kau harus membiasakan diri memanggilnya Kakek. Kau dan kita semua tidak boleh membuat kesalahan. Orang Sangkal Putung yang bernama Swandaru Geni itu adalah orang yang berilmu tinggi, berpengalaman luas dan panggraitannya sangat tajam.”

“Ya, Ki Saba Lintang.”

“Kau juga jangan memanggil aku Ki Saba Lintang. Pada saatnya Ki Saba Lintang tidak akan pernah ada lagi, kecuali pada suatu saat nanti.”

“Jadi bagaimana aku harus memanggil?”

“Panggil aku Paman.”

“Paman siapa?”

Ki Saba Lintang tertawa. Ia pun kemudian bertanya kepada Ki Ambara, “Siapakah sebaiknya namaku yang baru, Ki Ambara?”

Ki Ambara tertawa. Katanya, “Kau pandai mencari nama. Bukankah Saba Lintang itu juga bukan namamu di masa mudamu?”

Ki Saba Lintang merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Nanti, setelah kita sampai di rumah, Kakek Ambara. Aku akan mencari nama di sepanjang jalan yang panjang ini.”

Ki Ambara tertawa. Tetapi ia tidak menyahut. Wiyati pun tersenyum pula.

Dalam pada itu, Ki Ambara yang mengantuk itu berjalan hilir mudik di atas jalan berbatu padas. Sementara langit nampak cerah. Bintang-bintang nampak berkeredipan seolah-olah sedang bersaing. Tetapi ada satu dua bintang yang nampak malu-malu menyendiri di sudut langit.

Ternyata Ki Saba Lintang pun tidak mau menjadi kantuk pula. la pun kemudian bangkit berdiri dan berkata, “Marilah. Kita meneruskan perjalanan, sebelum kita tertidur di sini.”

Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka yang panjang.

Di sepanjang perjalanan, beberapa kali mereka terpaksa berhenti untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat. Namun sebenarnyalah yang menjadi lapar dan haus bukan saja kuda-kuda mereka, tetapi Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati juga menjadi lapar.

Namun mereka adalah orang-orang terlatih yang sudah sering menjalani berbagai macam laku. Antara lain letih, haus dan lapar. Karena itu, maka rasa letih, haus dan lapar tidak banyak mengganggu mereka.

Lewat tengah malam, mereka memasuki sebuah bulak yang panjang. Terasa dingin malam semakin menggigit. Namun ketiga orang itu meneruskan perjalanan mereka, setelah baru saja kuda-kuda mereka beristirahat.

Namun Ki Ambara yang berkuda di paling depan memberi isyarat kepada Wiyati dan Ki Saba Lintang untuk berhenti.

Keduanya pun segera mengetahuinya juga, bahwa ada empat orang berkuda melarikan kuda mereka dari arah depan.

Ki Ambara, Wiyati dan Ki Saba Lintang pun kemudian menepi untuk memberi jalan kepada empat orang yang melarikan kudanya itu.

Tetapi mereka tidak menduga, bahwa keempat orang itu justru memperlambat kuda mereka dan bahkan berhenti sama sekali.

Seorang di antara mereka dengan suara parau bertanya, “Ki Sanak. Siapakah kalian?”

Ki Ambara-lah yang menjawab, “Kami orang-orang dari Kajoran, Ki Sanak.”

“Kajoran? Di manakah letak Kajoran itu?”

“Kajoran dekat Jimbung. Dekat Gledegan.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Siapakah kalian, kami tidak peduli. Tetapi bahwa kalian telah berkuda di jalan ini di malam hari, maka kalian telah melanggar wewenang kami.”

“Wewenang yang mana yang kau maksudkan?” bertanya Ki Saba Lintang.

Orang yang suaranya parau itu menggeram. Katanya, “Jangan pura-pura tidak tahu. Kau orang lewat atau orang yang sedang mencari mangsa?”

“Aku sedang lewat.”

“Bagus. Jika kau orang yang sedang mencari mangsa, kau tidak dapat diampuni lagi, karena telah menjamah daerah kuasaku. Itu berarti bahwa kalian telah menghina dan menantangku. Tetapi kalau kau orang lewat, maka aku tidak akan menyakitimu. Pergilah. Tetapi tinggalkan kudamu dan semua milikmu.”

“Apakah itu berarti bahwa kalian ingin merampok kami?”

“Ya.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Saba Lintang kemudian, “kami tidak mempunyai barang yang berharga sama sekali. Kami tidak terbiasa memakai perhiasan, karena kami memang tidak punya. Lihat, ini timangku yang terbuat dari timah. Apalagi? Aku tidak mempunyai apa-apa.”

“Kau jangan berbohong! Kudamu adalah kuda yang baik. Kuda kawan-kawanmu itu juga kuda-kuda yang baik. Kalian tentu orang-orang kaya. Jika kau memakai timang timah, itu tentu karena kalian ingin mengelabui kami.”

“Sungguh, Ki Sanak. Percayalah. Kami tidak mempunyai apa-apa.”

“Kau memang lucu. Kau minta kami mempercayaimu. Sementara itu kau sengaja menipu kami.”

“Tidak. Aku tidak menipu.”

“Jangan banyak bicara! Pergilah! Tinggalkan kuda-kuda kalian dan kampil-kampil uang kalian. Mungkin kalian sengaja tidak memakai perhiasan. Itu bukan berarti bahwa kalian tidak mempunyai perhiasan.”

“Sungguh, Ki Sanak. Kami tidak mempunyai perhiasan apa-apa. Sedangkan kuda-kuda kami masih sangat kami perlukan. Kami masih akan menempuh perjalanan yang jauh.”

“Jangan banyak bicara! Turun, dan tinggalkan kuda-kuda kalian dan kampil-kampil uang kalian!”

Yang tidak sabar justru Wiyati. Ia tidak dapat lagi menahan bibirnya, sehingga ia pun tiba-tiba berdesis, “Kakek dan Paman. Marilah kita teruskan perjalanan kita.”

Suara Wiyati ternyata menarik perhatian orang-orang berkuda yang ingin merampok itu. Hampir berbareng dua orang menggerakkan kuda-kuda mereka mendekati Wiyati.

“Kau perempuan, he? Sayang, aku tidak dapat memandang wajahmu dengan jelas di gelap malam. Tetapi aku yakin bahwa kau adalah seorang perempuan yang cantik.”

Wiyati sama sekali tidak menyahut. Sementara itu salah seorang perampok itu berkata, “Jika mereka harus meninggalkan kuda-kuda mereka, Ki Lurah, biarlah mereka juga meninggalkan perempuan itu.”

Kawannya tertawa. Katanya, “Tiga di antara kita mendapatkan masing-masing seekor kuda, sedangkan kau akan mendapat perempuan itu?”

“Bagus!” sahut Wiyati.

Kata-kata Wiyati itu memang mengejutkan. Apalagi ketika tiba-tiba saja Wiyati turun dari kudanya.

“Wiyati!” panggil Ki Ambara, “Apa yang akan kau lakukan?”

“Tidak apa-apa, Kek. Tawaran orang itu sangat menarik. Aku senang kepada orang itu. Seperti permainan yang nenek pernah belikan. Patung kayu kecil hantu-hantuan.”

Sikap Wiyati benar-benar membuat orang-orang berkuda itu bingung. Mereka tidak menduga sama sekali, bahwa perempuan berkuda itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan kata-katanya terasa tajam seperti sembilu.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang pun kemudian meloncat turun dari kuda mereka pula. Bagaimanapun juga mereka mencemaskan Wiyati. Mereka belum tahu, seberapa tingkat kemampuan orang-orang berkuda itu.

Adalah di luar dugaan, bahwa Wiyati pun tiba-tiba saja meloncat ke arah orang yang minta dirinya ditinggalkan bersama kuda-kuda itu. Dengan serta-merta Wiyati menarik lengan orang itu, sehingga orang itu terpelanting jatuh di tanah.

Orang itu mengaduh kesakitan. Punggungnya rasa-rasanya akan menjadi patah. Namun dengan sigap ia meloncat bangkit.

Wiyati tersenyum melihat orang yang kesakitan itu. Kepada ketiga orang yang masih di punggung kuda, Wiyati pun berkata, “Apa yang akan kalian lakukan? Merampas kuda-kuda kami dan memaksa aku untuk tinggal? Marilah, turunlah! Siapakah yang akan merampok sekarang ini? Kalian atau kami?”

Ketiga orang yang masih berada di punggung kuda mereka itu pun berloncatan turun pula.

Mereka mulai menyadari, bahwa mereka tidak berhadapan dengan orang kebanyakan. Mereka mulai menduga-duga, bahwa ketiga orang berkuda itu juga sekelompok perampok seperti mereka, yang daerahnya mulai menjadi kering sehingga terpaksa mencari daerah baru.

“Apakah kalian perampok, penyamun atau kecu, yang terpisah dari gerombolan kalian?”

“Ya,” Wiyatilah yang menyahut, “aku tahu bahwa di belakang kuda orang yang kalian panggil Ki Lurah itu adalah sebungkus harta benda hasil rampokan. Berikan itu kepada kami!”

“Ternyata kau bukan seorang perempuan baik-baik. Kau ternyata iblis betina yang memuakkan!”

Orang-orang berkuda itu menjadi semakin berdebar-debar mendengar Wiyati tertawa. Suaranya benar-benar seperti ringkik hantu betina yang menemukan kuburan baru.

Keempat orang itu pun kemudian telah menebar. Mereka tahu bahwa mereka akan bertempur melawan ketiga orang itu.

Orang yang suaranya parau itu, ketika sudah turun dari kudanya ternyata seorang yang bertubuh raksasa. Seorang yang tinggi dan besar, berdada bidang dan berbahu kekar.

Dengan suaranya yang parau, raksasa itu bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian? Bagi kami, kalian adalah orang yang aneh. Kami menduga bahwa kalian pun perampok-perampok seperti kami. Tetapi mungkin kalian adalah orang-orang berilmu yang sedang dalam perjalanan.”

“Apakah ada perbedaan perlakuan kalian, jika kami perampok atau orang yang sedang dalam perjalanan?”

“Tentu,” jawab raksasa yang suaranya parau, “perlakuan kami terhadap kalian akan berbeda. Seperti yang aku katakan, jika kalian perampok-perampok seperti kami, maka kalian tidak akan mendapat ampunan lagi. Kalian harus dibunuh, karena kalian berada di lingkungan kekuasaan kami. Tetapi jika kalian bukan perampok, penuhi perintah kami. Pergi dan tinggalkan kuda-kuda kalian.”

“Jika demikian, maka kami akan memberikan syarat yang sama. Kami adalah perampok-perampok yang kehilangan wilayah kerja kami, karena prajurit Pajang meningkatkan perondaan. Sedang daerah-daerah di sekitarnya adalah daerah gersang. Jalan-jalan sempit dan tidak ada orang-orang yang berani lewat. Karena itu, kami sedang mencari daerah baru. Sebenarnya kami belum siap untuk melakukan perampokan malam ini, karena kami memang sedang melakukan pengamatan di daerah ini. Tetapi kebetulan bahwa kami bertemu dengan kalian, sehingga kami dapat langsung berbicara dengan orang-orang yang merasa memiliki wilayah kerja di sini,” berkata Wiyati selanjutnya.

“Apa yang kebetulan?”

“Aku dapat minta kalian pergi dari wilayah ini. Wilayah ini akan menjadi wilayah kami yang baru. Jika kalian tidak mau pergi dan meninggalkan wilayah kerja kalian, maka kalian akan kami bunuh saja, agar kalian tidak dapat mengganggu kami untuk selanjutnya.”

“Cukup!” bentak orang yang suaranya parau, “Apakah kau pemimpin dari kelompok perampok yang sedang berusaha mendesak kami?”

“Ya,” sahut Wiyati, “kedua orang ini adalah kakek dan pamanku. Kakek adalah bekas pemimpin perampok yang ditakuti. Paman adalah orang yang tidak mengenal belas kasihan. Kami adalah keluarga perampok turun temurun.”

Tetapi orang yang suaranya parau itu tidak terlalu bodoh untuk mempercayai begitu saja kicauan perempuan muda itu. Karena itu, orang yang bersuara parau itu pun kemudian berkata, “Kenapa kau mengigau sebelum kau tidur, Anak Manis? Kau kira aku percaya kepada ceritamu itu? Jika kalian perampok, apalagi kakekmu seorang pemimpin perampok dan pamanmu adalah perampok yang tidak mengenal belas kasihan, maka sikap mereka tidak akan seperti sikap kedua orang itu. Namun siapapun kalian, kami sadari bahwa kalian tentu orang-orang berilmu.”

Wiyati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Jika demikian, minggirlah!”

“Tidak! Jika aku sebut kalian orang-orang berilmu, bukan berarti bahwa aku harus minggir, karena kami juga orang-orang berilmu. Jumlah kami lebih banyak. Apalagi di antara kalian terdapat seorang perempuan seperti kau ini, cukup berbahaya.”

“Jadi? Kita akan berkelahi?”

“Jika kalian pergi dan meninggalkan kuda-kuda kalian di sini, maka kami tidak akan mengganggu.”

“Paman, Kakek, apakah yang akan kita lakukan? Membunuh mereka dan meninggalkan mayat mereka di sini?”

Ki Saba Lintang-lah yang kemudian berkata, “Ki Sanak. Meskipun kami bukan perampok, tetapi kami bukan orang-orang yang berhati emas. Kami adalah orang-orang yang hidup di lingkungan medan pertempuran dan perkelahian.”

“Apakah kalian prajurit?”

“Kami bukan prajurit, Ki Sanak.”

“Jadi kalian itu apa?”

“Jangan risaukan. Pergilah sebelum kami kembali ke dalam watak asli kami. Kasar, keras dan barangkali liar. Melebihi para perampok yang paling ganas sekali pun.”

Peringatan itu memang mendebarkan. Tetapi seorang di antara para perampok itu berkata, “Kalian tidak usah menggertak kami. Wajah kalian tentu menjadi pucat. Dari suara kalian kami tahu, bahwa kalian sedang berusaha membohongi kami untuk menyelamatkan diri.”

Kesabaran Ki Saba Lintang telah hampir sampai ke batasnya. Karena itu maka katanya, “Baik. Jika kalian tetap pada pendirian kalian, kita akan bertempur. Yang mati akan ditinggalkan di sini. Kuda-kudanya akan dirampas bersama semua miliknya.”

Para perampok itu pun menjadi tidak sabar pula. Mereka pun segera mempersiapkan diri.

Ki Saba Lintang, Ki Ambara dan Wiyati pun telah menempatkan diri pula untuk menghadapi mereka yang telah menebar itu.

Tiba-tiba saja seorang di antara para perampok itu berkata, “Marilah kita tangkap iblis betina itu hidup-hidup. Biarlah dua di antara kita membunuh kedua orang laki-laki itu. Seorang lagi bersamaku menangkap perempuan ini. Jangan sampai terluka kulitnya. Ia akan menjadi permainan yang sangat menarik.”

Seorang yang lain pun menyahut, “Bagus! Aku ikut kau menangkap perempuan itu hidup-hidup tanpa melukainya. Tentu akan lebih sulit daripada membunuh orang yang disebutnya kakek dan paman.”

“Persetan!” geram orang yang suaranya parau, “Ambil apa yang ingin kau ambil!”

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja Ki Ambara pun berkata, “Jagalah dirimu baik-baik, Cucuku. Kita akan menghadapi para perampok ini dengan cara yang sama sebagaimana mereka lakukan. Kita pun membutuhkan kuda-kuda yang baik sebagaimana kuda-kuda mereka.”

Para perampok itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian, orang yang bertubuh raksasa dan bersuara parau itu pun telah mendekati Ki Ambara sambil berkata, “Aku akan segera menundukkan orang yang disebut pernah menjadi pemimpin perampok ini.”

Ki Ambara pun mundur beberapa langkah sambil berkata, “Baiklah. Marilah kita timbang kemampuan ilmu kita.”

Orang yang suaranya parau itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia percaya bahwa orang tua itu memiliki ilmu yang tinggi.

Demikianlah, sesaat kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian. Ketika orang yang suaranya parau itu menyerang, maka Ki Ambara pun segera bergeser menghindar. Namun lawannya memburunya dengan serangan-serangan berikutnya. Namun Ki Ambara sudah benar-benar bersiap menghadapinya.

Dalam pada itu, seorang yang lain telah menyerang Ki Saba Lintang dengan serta-merta. Bahkan ketika kakinya terjulur, ia masih sempat berkata kepada kedua kawannya yang berhadapan dengan Wiyati, “Jika kau ambil perempuan itu, kalian tidak akan mendapat kuda itu.”

Kedua orang itu tertawa. Katanya, “Aku sudah mempunyai kuda. Tetapi aku belum mempunyai seorang perempuan.”

Tetapi kawannya yang menyerang Ki Saba Lintang itu tidak sempat menjawab. Ki Saba Lintang tidak hanya sekadar menghindari serangannya. Tetapi dengan cepat telah membalas menyerang.

Demikianlah, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang telah terlibat dalam pertempuran. Untuk beberapa saat Ki Ambara dan Ki Saba Lintang masih harus menjajagi kemampuan lawannya.

Sementara itu, dua orang yang berhadapan dengan Wiyati telah bersiap pula. Mereka pun menyadari bahwa Wiyati tentu bukan gadis kebanyakan. Sikapnya menunjukkan bahwa perempuan itu mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Dalam olah kanuragan, sikap itu tentu bukan sikap yang tidak berbekal.

Karena itu, kedua orang itu berhati-hati. Mereka telah mengambil jarak dan siap menghadapi Wiyati dari arah yang berbeda.

Wiyati pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia pun memperhitungkan bahwa kedua orang itu tentu orang-orang yang sudah memiliki pengalaman yang luas. Meskipun dasar ilmu kanuragannya mungkin mapan, tetapi ditempa oleh pengalaman yang panjang, maka orang-orang itu adalah orang-orang yang sangat berbahaya.

Ketika Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mulai meningkatkan ilmu mereka untuk mengimbangi lawan-lawan mereka, maka kedua orang lawan Wiyati pun mulai bergerak. Seorang di antara mereka menyerang dengan cepat ke arah lambungnya. Ketika Wiyati bergeser menghindar, maka lawannya yang lain berusaha menangkapnya dengan mengembangkan kedua tangannya

Tetapi orang itu terkejut ketika kaki Wiyati terjulur lurus ke arah dadanya.

Orang itu dengan cepat meloncat ke samping. Jantungnya berdebar-debar karena ujung tumit Wiyati hampir saja menyentuh tubuhnya

“Perempuan ini memang berbahaya,” berkata orang itu di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, Wiyati-lah yang berloncatan menyerang. Namun ia masih mengekang diri, karena Wiyati belum mengetahui seberapa jauh kemampuan lawannya. Mungkin keduanya sangat berbahaya. Tetapi mungkin pula tidak.

Pertempuran pun kemudian berlangsung semakin sengit. Ki Ambara yang telah dapat menduga tenaga dan kemampuan lawannya, menempatkan dirinya dengan mapan. Ia tahu apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi raksasa yang suaranya parau itu.

Orang yang suaranya parau itu pun sudah dapat menduga pula kemampuan Ki Ambara. Dengan demikian maka jantungnya menjadi semakin berdebaran. Ia sadar bahwa orang itu memiliki ilmu yang tinggi.

Tetapi raksasa yang suaranya parau itu masih merasa mempunyai kelebihan. Ia merasa bahwa tenaganya lebih kuat dari tenaga lawannya. Karena itu, maka raksasa yang suaranya parau itu berapa kali sengaja telah membenturkan kekuatannya.

Tetapi ternyata bahwa yang diketahuinya tentang kemampuan Ki Ambara adalah baru sebagian kecil saja. Ki Ambara sengaja tidak menunjukkan kelebihannya dengan berlebihan.

Ternyata Ki Saba Lintang pun demikian pula. Ia menempatkan diri pada tataran kemampuan lawannya. Meskipun sebenarnya Ki Saba Lintang dapat menyelesaikannya dengan cepat, tetapi ia tidak melakukannya. Bahkan Ki Ambara dengan sengaja ingin melihat kemampuan Wiyati yang sebenarnya jika ia benar-benar turun ke medan pertempuran. Bukan sekedar latihan. Betapapun Wiyati mengerahkan kemampuannya di dalam latihan-latihan, namun ia tidak akan bersungguh-sungguh seperti dalam pertempuran yang sebenarnya.

Malam itu, Wiyati menghadapi dua orang lawan yang sebenarnya. Dua orang perampok yang keras dan kasar. Bahkan mereka telah dibakar oleh nafsunya pula setelah mereka melihat wajah Wiyati yang cantik.

Sambil melayani lawan-lawannya, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menyaksikan betapa Wiyati berloncatan dengan tangkasnya. Serangan-serangannya sangat berbahaya bagi lawan-lawannya.

Meskipun kedua orang lawan Wiyati itu meningkatkan kemampuan mereka, tetapi mereka masih belum berhasil menangkap Wiyati. Gadis itu justru semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Serangan-serangannya datang beruntun.

Ketika kedua orang lawannya menjadi semakin tidak sabar lagi menghadapi perempuan itu, Wiyati justru semakin bersungguh-sungguh. Seorang lawannya terkejut ketika tangan Wiyati sempat mengenai pundaknya sehingga keseimbangan orang itu terguncang.

“Anak setan!” geram orang itu, “Kau sakiti pundakku, he? Anak yang tidak tahu diri. Jika aku tidak mengenaimu, itu karena aku tidak ingin menyakitimu. Bukan karena aku tidak mampu melakukannya. Apalagi kami berdua.”

Wiyati tidak menunggu orang itu selesai berbicara. Agaknya masih ada yang akan dikatakannya. Tetapi tiba-tiba saja kaki Wiyati terjulur lurus menyamping.

Orang itu terpental surut. Ia benar-benar kehilangan keseimbangannya, sehingga jatuh telentang.

Namun Wiyati tidak sempat memburunya, karena lawannya yang seorang lagi telah meloncat menyerangnya.

Wiyati bergeser surut. Namun ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Lawannya yang terjatuh itu dengan cepat bangkit sambil mengumpat kasar. Namun orang itu pun kemudian terbatuk-batuk. Dadanya serasa menjadi sesak.

Wiyati tidak memberi kesempatan kepada kedua orang lawannya. Kakinya segera berloncatan kembali. Serangannya mengarah kepada kedua orang lawannya berganti-ganti.

Ternyata kedua lawannya mulai terdesak. Wiyati bergerak semakin cepat. Serangan-serangannya datang seperti angin ribut, yang memburu lawan-lawannya kemanapun mereka bergerak.

Kedua orang lawannya pun semakin mengalami kesulitan. Serangan-serangan Wiyati semakin sulit dielakkan. Meskipun kedua orang itu mengerahkan kemampuan mereka dan berdiri di arah yang berbeda, tetapi Wiyati sama sekali tidak menjadi bingung.

Dalam pada itu, Ki Ambara yang bertempur melawan orang yang suaranya parau itu sempat meloncat mengambil jarak dan berkata, “Lihat! Dua orang kawanmu itu ternyata tidak mampu mengalahkan seorang perempuan.”

“Bukan tidak mampu. Tetapi mereka menjaga agar perempuan itu tertangkap tanpa disakiti. Itu memang sulit. Jika saja kedua orang kawanku tidak berniat menangkap perempuan itu utuh tanpa disakiti atau bahkan terluka, maka ia tidak akan dapat bertahan sepenginang.”

Tetapi Ki Ambara tertawa. Katanya, “Jangan mengigau. Seharusnya kau melihat apa yang terjadi. Kedua kawanmu sudah tidak lagi mengekang diri. Berapa kali mereka sudah dikenai serangan-serangan cucuku itu. Bahkan mereka telah terlempar dan terbanting jatuh. Namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.”

Orang yang suaranya parau itu menggeram. Dengan garangnya ia menyerang Ki Ambara. Namun serangan-serangannya itu tidak berarti sama sekali. Bahkan semakin lama orang yang suaranya parau itu merasa semakin sulit untuk dapat menyentuh lawannya.

“Jangan bermimpi,” berkata Ki Ambara, “jika dibiarkan saja, maka kedua orang kawanmu itu akan mengalami nasib yang buruk. Cegah mereka, agar mereka tidak mempergunakan senjata.”

“Kau takut cucumu mati?”

“Tidak. Aku tidak takut kalau cucuku mati. Tetapi aku takut kalau cucuku mulai membunuh. Itu akan merupakan satu pengalaman yang buruk baginya.”

“Persetan dengan cucumu!”

Orang yang suaranya parau itu tidak menghiraukan peringatan Ki Ambara. Bahkan ia mencoba untuk menghentakkan ilmunya menyerang Ki Ambara

Tetapi Ki Ambara benar-benar mencemaskan Wiyati. Jika kedua orang lawannya bersenjata, maka ia pun akan bersenjata pula. Dengan demikian, maka kemungkinan yang dicemaskan itu akan dapat terjadi. Sedangkan menurut Ki Ambara, sebaiknya Wiyati tidak mulai dengan pengalaman yang mengerikan. Membunuh.

Karena itu, maka Ki Ambara justru mulai memperhitungkan kemungkinan lain, agar Wiyati tidak melakukan pembunuhan itu.

Tiba-tiba saja Ki Ambara telah menghentakkan ilmunya. Ternyata lawannya yang suaranya parau itu tidak mampu bertahan sesilir bawang. Dalam waktu yang singkat, maka orang yang suaranya parau itu telah terlempar dan terbanting jatuh di tanah. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka kaki Ki Ambara telah menyambar dagunya, sehingga orang itu telah jatuh telentang lagi.

Tiba-tiba saja ujung keris Ki Ambara telah melekat di dada orang yang suaranya parau itu.

“Berhenti! Semuanya berhenti! Atau dada orang ini akan tertembus ujung kerisku.”

Udara di atas medan itu pun bagaikan tergetar. Kawan-kawan orang yang suaranya parau itu pun terkejut dan berloncatan surut.

Ki Saba Lintang pun mengerutkan dahinya. Ia sama sekali belum meningkatkan ilmunya. Ia masih melayani lawannya menurut tataran kemampuan lawannya.

Sementara itu, kedua orang lawan Wiyati pun telah meloncat mengambil jarak pula.

“Perintahkan kawan-kawanmu meletakkan senjata mereka,” berkata Ki Ambara.

Orang yang suaranya parau itu masih kebingungan. Ia tidak tahu, apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ia sudah jatuh telentang dan tidak berdaya.

“Ki Sanak,” berkata Ki Ambara, “kau sebenarnya bukan apa-apa bagiku. Dengan ujung kelingkingku, aku dapat menusuk dadamu sampai tembus ke jantung. Tetapi aku tidak ingin kau terlalu kecewa, bahwa ternyata ilmumu masih sangat rendah. Tetapi ternyata aku dihadapkan pada kecemasan yang lain. Aku tidak ingin cucuku membunuh. Karena kedua orang kawanmu itu tidak akan mampu melawan cucuku yang berilmu tinggi itu.”

Orang yang suaranya parau itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menyadari, bahwa orang tua itu berkata sebenarnya. Ia tidak sekedar menakut-nakutinya. Jika saja dikehendaki, maka jantungnya benar-benar telah berlubang.

“Cepat! Sebelum kedua orang kawanmu mati.”

Orang yang suaranya parau itu akhirnya berkata, “Kita hentikan pertempuran ini. Kita biarkan mereka lewat.”

“Menyerah! Katakan bahwa kalian menyerah!”

Namun Wiyati pun berteriak, “Kakek! Beri aku kesempatan! Aku akan menyelesaikan persoalanku dengan kedua orang ini.”

Ki Ambara pun berdesis, “Cepat! Perintahkan kedua kawanmu itu menyerah.”

Orang yang suaranya parau itu tidak dapat berbuat lain. Katanya, “Kita menyerah. Kita hentikan perlawanan.”

Kawan-kawannya masih saja termangu-mangu sejenak. Namun lawan Ki Saba Lintang itu pun menyadari, bahwa ia memang tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Sebenarnya ia mengharapkan salah seorang dari kedua orang yang bertempur melawan perempuan muda itu. Namun agaknya keduanya pun mengalami kesulitan, sehingga keduanya harus mempergunakan senjatanya.

“Licik! Pengecut!” teriak Wiyati, “Kalian tidak boleh menyerah!”

“Hentikan perkelahian yang tidak berarti ini! Kita tidak akan membunuh seorangpun di antara mereka.”

“Jika kita tidak membunuh mereka, maka mereka-lah yang akan membunuh banyak orang.”

“Kita akan menguasai daerah ini. Kita akan selalu hilir mudik lewat jalan ini. Jika kita masih mendengar bahwa di sini ada kelompok penyamun yang menyaingi pekerjaan kita di sini, maka kita akan benar-benar membunuh.”

“Sekarang aku dapat membunuh mereka. Aku mempunyai alasan yang kuat untuk melakukannya, karena keduanya akan menangkap dan membawa aku ke sarang mereka.”

“Sudahlah.”

“Bagaimana jika hal seperti ini terjadi atas gadis-gadis yang tidak berdaya?”

“Sudah aku katakan, kita akan selalu hilir mudik lewat jalan ini. Kita akan membunuh mereka dan mendatangi sarangnya.”

Wiyati terdiam. Tetapi ia merasa sangat kecewa bahwa kedua lawannya itu telah menyerah.

Sebenarnyalah kedua orang lawan Wiyati itu telah meletakkan senjata mereka. Demikian pula orang yang bertempur melawan Ki Saba Lintang.

“Sekarang kalian boleh pergi,” berkata Ki Ambara.

Orang-orang itu merasa heran. Begitu saja mereka boleh meninggalkan tempat itu, setelah mereka mengancam untuk merampas kuda ketiga orang itu. Bahkan kemudian seorang perempuan di antara mereka.

Ki Ambara itu kemudian telah membentak, “Pergi! Atau kami rubah keputusan kami.”

Keempat orang itu memang menjadi bingung, sehingga Ki Ambara telah membentak pula, “Pergi! Kalian dengar? Ambil kuda kalian dan cepat meloncat naik ke punggungnya!”

Keempat orang itu pun kemudian berlari-lari ke kuda mereka yang mereka tambatkan di pinggir jalan. Dengan cepat mereka meloncat naik. Sebentar kemudian, meskipun mereka masih belum tahu pasti apa yang terjadi, mereka pun telah melarikan kuda-kuda mereka.

Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati memandang keempat penunggang kuda itu dengan perasaan yang berbeda-beda. Wiyati-lah yang kemudian bertanya kepada Ki Ambara, “Kek, kenapa Kakek membiarkan saja mereka pergi? Itu tentu satu sikap yang tidak adil. Mereka adalah orang-orang yang jahat, yang telah menimbulkan banyak kesusahan bagi orang lain. Kenapa Kakek membiarkan mereka pergi?”

“Wiyati. Apa yang akan kau lakukan seandainya aku tidak membiarkan mereka pergi?”

“Aku akan membunuh mereka, Kek. Dengan demikian, mereka tidak akan pernah mendapat kesempatan untuk melakukan kejahatan lagi.”

“Aku hargai sikapmu, Wiyati. Tetapi membunuh bukanlah satu pengalaman yang baik. Apalagi pengalaman pertama sejak kau meninggalkan padepokanmu.”

“Tetapi mereka orang jahat, Kek.”

“Siapa pun mereka,” sahut Ki Ambara, “aku justru berusaha untuk mencegah kau mendapatkan pengalaman yang buruk pada saat kau baru saja keluar dari padepokanmu.”

Wiyati menundukkan kepalanya, sementara itu Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ki Saba Lintang sendiri telah bertahun-tahun berendam dalam dunia yang berbau darah. Tetapi Ki Saba Lintang mengerti maksud Ki Ambara.

“Sudahlah,” berkata Ki Ambara, “biarkan mereka pergi. Kita akan meneruskan perjalanan kita yang masih panjang.”

“Ya, Kek.”

“Justru kuda-kuda kita telah mendapat kesempatan untuk beristirahat.”

Sejenak kemudian, ketiga orang itu pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka tidak memacu kuda mereka dengan kecepatan yang terlalu tinggi. Perjalanan mereka bertiga memang perjalanan yang jauh. Karena itu, mereka justru tidak merasa perlu terlalu tergesa-gesa.

Semalam suntuk mereka menempuh perjalanan. Jika mereka berhenti, maka yang mereka ingat adalah kuda-kuda mereka yang letih.

Pada saat matahari terbit, mereka masih berada di perjalanan. Mereka pun kemudian telah berhenti di pinggir sebuah sungai kecil. Airnya yang jernih mengalir gemericik menurut iramanya sendiri.

“Kita benahi diri kita, agar tidak menarik perhatian banyak orang,” berkata Ki Ambara.

Ketiganya pun kemudian menambatkan kudanya. Dibiarkannya kudanya minum dan makan rumput segar. Sementara mereka bertiga pun turun ke sungai untuk mencuci wajah mereka dan membenahi pakaian mereka.

Wiyati pun telah melakukannya pula. Sehingga dengan demikian, maka tubuhnya pun terasa menjadi segar kembali.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang sengaja membiarkan Wiyati sejak berangkat dari padepokan tidak makan, dan hanya sekali-sekali minum jika ada mata air yang bersih di perjalanan mereka. Namun Wiyati ternyata tidak mengeluh. Bahkan ia masih tetap tegar. Wajahnya masih tetap jernih dan sekali-sekali senyumnya nampak seleret menghiasi bibirnya.

Namun gadis itu masih saja sulit untuk menyembunyikan perasaan kecewanya. Bukan karena ia tidak membunuh kedua lawannya, tetapi yang sebenarnya diinginkannya adalah satu keyakinan bahwa ia telah menang. Sebenarnya menang.

Tetapi ia tidak mendapatkan kesempatan itu.

Setelah mencuci muka, kaki dan tangannya serta membenahi pakaian mereka, maka ketiga orang itu nampak lebih segar. Mereka tidak nampak bahwa semalam suntuk mereka menempuh perjalanan. Mereka tidak ubahnya orang-orang yang bangun pagi-pagi dan berangkat ke pasar agar tidak kesiangan.

Beberapa saat kemudian, mereka bertiga pun telah melanjutkan perjalanan mereka. Ketika mereka lewat di depan sebuah pasar, maka Ki Ambara pun berkata, “Kita akan singgah sebentar.”

“Apakah Kakek akan berbelanja?” bertanya Wiyati.

“Kita akan singgah di kedai depan pasar itu.”

“Apakah perjalanan kita masih jauh?”

“Tidak. Sudah tidak jauh lagi. Itulah sebabnya aku mengajak kalian singgah sebentar di kedai.”

“Jika sudah tidak terlalu jauh, kenapa justru kita harus singgah?”

Akhirnya Ki Ambara itu menjawab, “Aku haus.”

Wiyati justru tidak bertanya lagi. Bertiga mereka memasuki sebuah kedai yang cukup besar di depan pasar yang ramai.

Beberapa saat kemudian, minuman dan makanan yang mereka pesan telah dihidangkan. Nasinya masih mengepul. Lauk dan sayurnya pun masih hangat pula.

“Makanlah,” berkata Ki Ambara.

“Marilah, Paman Saba Lintang,” desis Wiyati.

Namun Ki Saba Lintang itu pun menjawab, “Ingat, Wiyati. Ki Saba Lintang sudah mati.”

“Sudah mati?”

Ki Saba Lintang tertawa. Katanya, “Ya. Sudah mati.”

“Nah, sekarang bagaimana aku memanggil Paman? Paman siapa?”

Ki Saba Lintang memandang berkeliling. Tidak ada orang yang duduk terlalu dekat dengan mereka, sehingga tentu tidak akan ada orang yang mendengarnya

“Mereka asyik dengan minuman dan makanan mereka masing-masing, Paman.”

Ki Saba Lintang mengangguk. Katanya, “Ya. Mereka tidak memperhatikan kita. Meskipun demikian, kita tidak boleh lengah.”

“Jadi?” desak Wiyati

Ki Saba Lintang mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku harus mendapatkan nama yang sangat baik. Berwibawa dan mempunyai arti yang baik pula.”

Wiyati dan Ki Ambara pun tertawa.

“Nanti. Di rumah aku bercerita panjang. Kau harus tahu segala sesuatunya untuk mendukung tugasmu. Kau tidak boleh salah, agar rencana besar kita dapat berlangsung dengan sempurna.”

Wiyati mengangguk. Nampaknya Ki Saba Lintang menjadi bersungguh-sungguh. Justru karena itu, ia tidak bertanya lagi.

Sejenak kemudian mereka pun terdiam. Ki Ambara sendiri sibuk dengan nasi hangat dan lauk ikan gurami.

Beberapa saat kemudian, ketiganya telah selesai. Setelah membayar harga makanan mereka, maka mereka pun segera melangkah keluar dari kedai yang justru menjadi semakin ramai.

Namun demikian mereka berdiri di luar kedai, mereka pun melihat beberapa orang mengerumuni seseorang. Bukan saja mengerumuni, tetapi nampaknya mereka sedang memukuli seorang remaja yang berteriak-teriak kesakitan.

Wiyati-lah yang berlari lebih dahulu mendekat. Ia pun segera menyibak dan dengan lantang berteriak, “Tunggu! Kenapa anak ini dipukul?”

Sebelum ada yang menjawab, maka seorang perempuan telah mendekap anak itu sambil menangis, “Kau kenapa, Ngger. Kenapa kau dipukuli?”

Seorang yang bertubuh tinggi tegap, dengan mengenakan baju yang terbuka di bagian dadanya sehingga ikat pinggang kulitnya yang besar nampak melingkar di perutnya, berkata dengan geram, “Anak ini telah mencopet.”

“Mencopet apa?” Wiyati-lah yang bertanya.

“Uang. Bertanyalah kepada orang ini, yang kehilangan uangnya yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya. Ia baru saja menjual seekor lembu yang besar.”

Tetapi pemilik uang, seorang yang sudah separuh baya itu menyahut, “Tidak. Tidak aku simpan di dalam kantong ikat pinggang, tetapi aku simpan di dalam kampil. Tali kampil itu aku ikat pada ikat pinggangku ini.”

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Nah, kau dengar. Anak itu telah memotong tali kampil itu dan mencopet uang hasil penjualan seekor lembu itu.”

“Kau lihat anak ini mengambil uangmu?” bertanya Wiyati.

“Tidak,” pemilik uang itu menggeleng.

“Jadi kenapa kau tuduh anak ini?”

“Seseorang meneriakkannya. Anak inilah yang mencopet uangku.”

“Mana orang itu?”

Pemilik uang itu memandang berkeliling. Tetapi orang yang telah meneriakkan copet itu telah tidak nampak.

“Jadi bagaimana kau yakin bahwa anak ini mencopet?” desak Wiyati.

Pemilik uang itu termangu-mangu sejenak. Orang yang bertubuh tinggi besar itulah yang menyahut, “Tiba-tiba saja kami sudah menangkap dan memukuli anak ini, agar ia mengaku di mana ia menyembunyikan uangnya.”

“Tetapi tuduhan kalian tidak berdasarkan pada bukti dan saksi. Jika orang yang menuduh anak ini mencopet itu yakin, ia tentu masih ada di sini sekarang.”

Orang-orang yang telah ikut memukuli anak itu pun menjadi ragu-ragu. Mereka saling berpandangan sejenak. Sementara remaja itu masih menangis, perempuan itu pun masih duduk bersimpuh di lingkaran kerumunan orang-orang yang semula memukulinya.

“Siapa yang berani meyakini bahwa anak ini bersalah?” berkata Wiyati lantang.

Tidak seorang pun menjawab. Dan orang yang bertubuh tinggi kekar itu pun berkata, “Maaf. Aku hanya terseret arus.”

Wiyati tidak menjawab.

Ketika orang-orang yang berkerumun itu telah bubar, maka Wiyati pun berkata kepada perempuan yang menangisi anak itu, ”Apakah kau keluarganya, Bibi?”

“Ya, ini anakku. Meskipun anak angkat, tetapi sudah seperti anakku sendiri. Ayah dan ibunya telah meninggal beberapa tahun yang lalu.”

“Ajaklah pulang. Tidak akan ada lagi yang mengganggunya.”

“Aku mengucapkan terima kasih, Ngger. Jika tidak ada kau, apa jadinya dengan anakku ini?”

Wiyati tersenyum. Katanya, “Bukankah wajar bahwa aku harus menolongnya?”

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, Ngger.”

Wiyati pun kemudian memandang pemilik uang yang hilang itu. Katanya, “Kau sudah kehilangan uangmu. Tetapi sebaiknya kau minta maaf kepada anak ini.”

“Ya, ya. Aku minta maaf,” desis pemilik uang itu.

Perempuan yang mendekap anak angkatnya itu memandanginya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia pun mengangguk kecil.

“Pemilik kedai kecil di ujung pasar itu adalah adikku,” berkata pemilik uang yang hilang itu, “jika terjadi sesuatu dengan anak itu, atau jika kau memerlukan sesuatu bagi pengobatan anak itu, hubungilah pemilik kedai itu. Ia akan menyampaikannya kepadaku. Aku menyesal sekali bahwa kesalah-pahaman ini terjadi.”

“Baiklah. Ki Sanak,” desis perempuan itu, “mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dengan anakku.”

Perempuan itu pun kemudian mengajak anak angkatnya meninggalkan tempat itu.

Wiyati masih berdiri beberapa saat di tempat itu. Demikian pula pemilik uang yang nampaknya sangat menyesal itu. Mereka memandangi anak yang tidak bersalah itu berjalan agak timpang. Agaknya kakinya masih merasa sakit oleh pukulan-pukulan beberapa orang yang tergesa-gesa menganggapnya bersalah.

Namun sejenak kemudian, Wiyati pun berkata, “Marilah, Ki Sanak. Aku akan pulang.”

“Di mana rumahmu?” bertanya pemilik uang itu.

Wiyati menjadi agak bingung. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil menjawab, “Tidak jauh lagi, Ki Sanak.”

Pemilik uang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Wiyati yang kemudian meninggalkannya langsung menemui dua orang laki-laki, yang berada tidak jauh dari sebuah kedai yang cukup besar.

Pemilik uang itu tiba-tiba telah melangkah pula mendekat. Sambil mengangguk hormat pemilik uang itu berkata, “Aku tidak sengaja melakukannya sehingga anak itu menjadi korban.”

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Ambara.

Pemilik uang itu akan menjawab. Tetapi Wiyati mendahuluinya, “Sudahlah Ki Sanak. Anggap saja persoalannya sudah selesai.”

Pemilik uang itu memandang wajah Wiyati dengan tidak berkedip, sehingga Wiyati merasa wajahnya menjadi gatal.

“Marilah, Kek,” ajak Wiyati.

Ki Ambara tersenyum. katanya, “Marilah. Sudahlah, Ki Sanak. Kami akan melanjutkan perjalanan.”

Sejenak kemudian, Wiyati pun segera meloncat ke atas punggung kudanya. Demikian pula Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.

Pemilik uang yang hilang itu memandang mereka dengan tidak berkedip. Namun ia pun kemudian berdesis, “Gadis itu cantik sekali.”

Dalam pada itu, Wiyati, Ki Ambara. dan Ki Saba Lintang pun melarikan kuda mereka meninggalkan pasar. Rumah Ki Ambara memang tidak terlalu jauh. Beberapa saat lagi, mereka akan segera sampai ke Kajoran.

Namun Wiyati pun kemudian mengerutkan dahinya. Ia melihat orang bertubuh tinggi kekar yang ikut memukuli anak yang dituduh mencopet uang itu meloncat parit, diikuti oleh seorang anak muda. Mereka berdua langsung masuk ke dalam kuburan tua yang terletak di sebuah gumuk kecil, tidak terlalu jauh dari jalan yang dilewati oleh Wiyati, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.

Beberapa langkah setelah mereka melewati gumuk kecil itu, tiba-tiba saja Wiyati berkata, “Kita berhenti sejenak, Kek.”

“Ada apa, Wiyati?”

“Orang yang ikut memukuli anak itu memasuki kuburan itu bersama seorang anak muda.”

“Sudahlah,” berkata Ki Ambara, “jangan terlalu banyak mencampuri persoalan orang lain.”

Wiyati tersenyum. Katanya, “Tidak, Kek. Aku hanya menjadi penasaran. Aku ingin tahu apa yang mereka lakukan di kuburan tua itu.”

“Cepatlah. Kita harus segera sampai di rumah. Aku berjanji bahwa hari ini aku pulang. Jika ada tamu dari Sangkal Putung dan aku belum ada di rumah, ia dapat bertanya panjang kepada para pembantu di rumah. Mereka tidak tahu persoalan seluruhnya yang kita hadapi. Mungkin jawaban mereka dapat membuat tamuku menjadi ragu-ragu.”

“Ya, Kek. Aku hanya sebentar.”

Wiyati pun kemudian meloncat turun dari kudanya dan berlari ke gumuk kecil itu. Ketika ia mendekati dinding kuburan, maka Wiyati pun menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak lagi berlari. Tetapi justru merunduk perlahan-lahan.

Dinding kuburan itu tidak terlalu tinggi. Karena itu, Wiyati yang berdiri di balik gerumbul perdu, sempat menjenguk ke dalam kuburan itu.

Wiyati memang agak terkejut. Orang bertubuh tinggi kekar dan anak muda yang memasuki kuburan itu, duduk tidak terlalu jauh dari dinding kuburan itu.

Terdengar orang bertubuh tinggi kekar itu membentak, “Kau curang, he?”

Anak muda yang menjadi ketakutan itu menjawab dengan suara bergetar, “Tidak. Aku tidak curang.”

“Hanya inikah hasil penjualan seekor lembu?”

“Aku tidak tahu. Tetapi hanya itulah yang ada di dalam kampil itu.”

“Kau tentu sudah menyembunyikan sebagian isi kampil ini!”

“Tidak, Kang, tidak.”

Tetapi orang yang bertubuh tinggi kekar itu telah menampar anak muda itu sambil membentak semakin kasar, “Berikan semua uangmu!”

“Aku tidak mempunyai uang.”

“Kau sembunyikan di mana uang itu, he?”

“Aku memang tidak punya uang.”

“Kau memang harus dicekik di sini. Jika tadi aku tidak mengalihkan perhatian orang-orang di pasar itu dan mengorbankan anak yang dipukuli banyak orang itu, kau sudah ditangkap. Kau sudah dipukuli orang sepasar hingga mati.”

“Tetapi akulah yang meneriaki anak itu mula-mula, sehingga semua orang menangkapnya, termasuk kau, Kang.”

“Tutup mulutmu!” sekali lagi orang itu menampar.

Darah mulai mengalir dari sela-sela bibir anak muda itu. Sambil merintih ia pun berkata, “Ampun, Kang. Aku tidak mengurangi isi kampil itu.”

“Kemarin dua orang kawanmu juga telah mencuri uang dari korban-korbannya. Sekarang kau melakukannya juga.”

“Aku tidak melakukannya, Kang. Sungguh.”

Orang bertubuh tinggi kekar itu agaknya sama sekali tidak menaruh belas kasihan, seperti saat ia memukuli seorang anak tanpa belas kasihan untuk menarik perhatian banyak orang, maka ia pun mulai memukul anak muda itu.

“Berikan uang yang telah kau curi itu, he! Di mana kau menyembunyikannya?”

“Aku tidak mencuri, Kang. Jangan sakiti aku. Nanti aku carikan gantinya di pasar itu, Kang, mumpung masih pagi.”

“Tidak! Aku tidak mau kau bohongi! Bukan saja karena aku sedang membutuhkan uang, tetapi aku tidak mau kau remehkan seperti ini. Kau mencoba menipu dan menganggap aku sangat dungu. Kau kira aku tidak tahu harga seekor lembu?”

“Ampun, Kang. ampun. Aku benar-benar tidak mencuri. Mungkin orang itu sudah mempergunakan sebagian uangnya untuk membeli sesuatu, atau untuk membayar hutangnya.”

Satu pukulan yang keras telah melemparkan anak itu sehingga jatuh terguling. Namun ketika anak itu mulai berteriak kesakitan, laki-laki bertubuh tinggi dan kekar itu mencekiknya sambil membentak, “Jika kau berteriak, aku cekik kau sampai mati!”

Suara anak muda itu terputus. Cekikan itu bukan sekedar main-main.

“Di mana uang itu, he? Di mana?”

Anak muda itu tidak lagi bisa menjawab. Suaranya tertelan oleh cekikan yang semakin keras.

Namun laki-laki bertubuh tinggi dan kekar itu terkejut ketika terdengar suara perempuan, “Jadi inikah yang kau lakukan, Ki Sanak?”

Laki-laki terbutuh tinggi dan kekar itu melepaskan anak muda itu. Ia pun kemudian berdiri tegak menghadap Wiyati sambil menggeram, “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Sekarang aku tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi di pasar itu.”

“Apa yang kau ketahui?”

“Kau-lah sumber dari keributan itu. Kau telah menggerakkan beberapa orang anak-anak muda dan remaja untuk melakukan kejahatan. Mereka harus menyerahkan semua uang hasil kejahatan itu kepadamu. Mungkin kau berbaik hati memberi mereka sekeping dua keping uang. Tetapi tentu tidak seimbang dengan kemungkinan buruk yang dapat mereka alami.”

“Apa yang kau maui sebenarnya?”

“Serahkan uang itu kepadaku!”

“Uang mana?”

“Uang dalam kampil itu.”

“Untuk apa?”

“Aku harus mengembalikannya kepada pemiliknya. Kau pun harus ikut aku menemui pemilik uang itu. Kau harus mengalami sebagaimana dialami oleh anak-anak yang kau pukuli itu.”

“Apakah kau sedang mengigau?”

“Aku berkata sebenarnya.”

“Apa yang dapat kau lakukan? Kau seorang perempuan. Atau kau sengaja menyerahkan dirimu kepadaku?”

“Serahkan uang itu kepadaku!”

“Apakah kau sudah gila?”

“Sekali lagi, dengar baik-baik. Serahkan uang itu kepadaku!”

“Serahkan saja dirimu kepadaku,” berkata laki-laki yang bertubuh tinggi dan kekar itu.

“Aku peringatkan sekali lagi. Serahkan uang itu kepadaku, atau aku akan memaksamu!”

Tiba-tiba saja orang itu tertawa katanya, “Aku tidak bermimpi bahwa aku akan bertemu dengan seorang perempuan yang cantik sekali.”

Wajah Wiyati berkerut. Sementara laki-laki itu berkata selanjutnya, “Aku pun tidak bermimpi bahwa perempuan cantik itu ternyata garang sekali. Tetapi aku memang menyenangi perempuan-perempuan yang garang, yang harus ditaklukkan dengan kekerasan. Aku benci kepada perempuan yang lemah, cengeng dan pasrah pada keadaannya.”

Tetapi laki-laki itu terkejut. Tiba-tiba saja tangan yang mempunyai jari-jari yang lentik itu telah menampar wajahnya.

i,aki laki bertubuh tinggi dan kekar itu terkejut. Ia pun meloncat selangkah surut. Namun terasa bibirnya menjadi pedih. Ketika punggung telapak tangannya mengusap mulutnya, terasa cairan yang hangat di sela-sela bibirnya.

Laki-laki itu mengumpat kasar. Katanya, “Perempuan tidak tahu diri! Kau kira aku siapa, he? Kau kira aku sama saja dengan pencopet itu? Kau samakan aku dengan pencuri ayam di pinggir jalan?”

“Jadi, kau siapa, jika bukan pencopet atau pencuri ayam di pinggir jalan? Anak muda itu masih harus mempunyai modal keterampilan dan keberanian untuk mencopet korbannya. Sementara itu, kau sendiri?”

“Iblis betina! Dengar namaku! Aku adalah Sura Indrajit. Setiap bibir tentu sudah pernah mengucapkan namaku.”

Wiyati mengerutkan dahinya. Namun sambil menggeleng ia pun berkata, “Aku belum pernah mendengar namamu. Seandainya namamu memang besar, kenapa kau sandarkan hidupmu dengan memeras pencopet-pencopet kecil seperti itu? Kenapa kau tidak merampok saja di rumah saudagar-saudagar kaya? Atau merampok rumah-rumah bebahu kademangan, atau para pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri sendiri?”

“Kau tidak usah mengajari aku. Apapun yang aku lakukan, sesuai dengan keinginanku di satu saat.”

“Jika demikian, apa keinginanmu sekarang? Mencekik anak itu?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Kau.”

Wiyati-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Becerminlah di blumbang yang airnya bening. Lihat wajahmu serta dirimu yang kumal dan kusut itu. Lihat matamu yang keruh seperti keruhnya hatimu. Lihat pula mulutmu yang sering mengucapkan kata-kata kotor. Lihat dirimu seutuhnya. Baru kau berbicara tentang seorang perempuan.”

Laki-laki itu benar-benar tersinggung. Tangannya terayun ke mulut Wiyati. Ia juga ingin membalas tamparan tangan perempuan yang terasa pedih di bibirnya.

Tetapi sekali lagi laki-laki itu terkejut. Seperti saat tangan perempuan itu mengenai wajahnya.

Tangannya yang terayun deras itu sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Bahkan tiba-tiba saja terdengar perempuan itu tertawa perlahan seperti seorang perempuan terhormat tertawa di hadapan banyak orang. Tidak menampakkan giginya, meskipun seandainya giginya miji timun.

Laki-laki itu mengumpat lebih kasar. Dengan lantang ia pun kemudian berkata, “Perempuan iblis! Apa yang sebenarnya kau kehendaki?”

“Sudah aku katakan. Uang itu. Berikan uang itu. Aku akan mengembalikannya kepada pemiliknya.”

“Bohong! Kau tentu juga salah seorang dari sekelompok perampok yang ganas. Kau rampas uang itu, tentu akan kau miliki sendiri.”

“Seandainya demikian?”

“Kau gila! Kau tahu jawabnya.”

Wiyati menjadi tidak sabar lagi. Ia pun maju selangkah sambil berkata, “Jika kau tidak memberikan uang itu, maka aku akan memaksamu. Aku akan mencekikmu. Lebih baik kau yang mati daripada anak muda itu.”

Laki-laki yang bertubuh kekar itu benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Ia pun segera meloncat menyerang Wiyati. Tangannya terayun dengan derasnya mengarah ke kening Wiyati.

Namun Wiyati pun dengan sigapnya menghindar. Ia meloncat di antara batu-batu nisan yang sudah berlumut di kuburan tua itu. Ketika laki-laki itu memburunya, Wiyati mampu melenting dengan cepat.

Namun laki-laki itulah yang kemudian mengaduh tertahan. Kaki Wiyati-lah yang kemudian menyentuh lambungnya.

Laki-laki itu hampir saja kehilangan keseimbangannya. Ketika ia terdorong ke belakang, kakinya telah terantuk batu nisan. Namun untunglah bahwa tangannya dengan cepat menyambar pohon kamboja tua yang tumbuh di dekatnya.

Laki-laki itu pun kemudian menyadari bahwa perempuan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya.

“Kau memang harus dibunuh. Sayang kecantikanmu. Tetapi kelakuanmu lebih buruk dari iblis betina.”

“Jadi kau masih dapat menyebut kelakuan yang baik dan yang buruk?”

“Aku koyakkan mulutmu!”

Laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu telah menyerang lagi. Lebih garang dari sebelumnya. Namun serangan-serangan itu tidak berarti bagi Wiyati. Dengan tangkasnya ia mengelak. Dan bahkan Wiyati pun telah berganti menyerang.

Laki-laki yang bertubuh tinggi itu benar-benar tidak berdaya melawan Wiyati. Serangan-serangan Wiyati datang beruntun. Tangannya telah menghantam keningnya. Kemudian dagunya. Dahinya, dan dadanya.

Laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu berusaha untuk menepi, menghindari nisan-nisan tua yang berserakan. Namun serangan Wiyati selalu memburunya.

Laki-laki itu benar-benar tidak mempunyai kesempatan untuk membalas. Bahkan ketika tangan Wiyati dengan derasnya menghantam dadanya, maka laki-laki itu terlempar surut beberapa langkah, membentur dinding kuburan tua itu dan kemudian jatuh terbanting di tanah.

Sebelum ia sempat bangkit, Wiyati telah meloncat mendekat. Menarik bajunya, mengangkat laki-laki bertubuh kekar itu untuk bangkit berdiri. Namun sebuah pukulan yang sangat keras mengenai mulutnya.

Bukan saja bibirnya menjadi pecah, tetapi dua giginya telah rontok, sementara tubuh laki-laki itu sekali lagi terlempar membentur dinding kuburan.

Terdengar laki-laki itu mengerang kesakitan. Sementara Wiyati pun berkata lantang, “Bangun! Bangun! Atau aku injak perutmu.”

Laki-laki itu benar-benar menjadi cemas menghadapi perempuan yang cantik tetapi garang itu. Dengan susah payah, orang itu berusaha untuk bangkit berdiri.

“Berikan uang itu kepadaku, atau aku remukkan kau di sini.”

Laki-laki itu termangu-mangu sejenak.

“Cepat, jawab!” bentak Wiyati sambil menggapai leher laki-laki itu dan mencengkeramnya dengan jari-jarinya.

Laki-laki itu sama sekali tidak mengira bahwa jari-jari yang kelihatan lentik itu dapat menjadi sekeras besi baja.

Ada niat laki-laki itu untuk ganti mencengkam leher perempuan itu. Namun ia pun menyadari, bahwa itu hanya akan sia-sia saja, Cengkeraman itu hanya akan membuat perempuan itu semakin marah dan memperlakukannya lebih semena-mena lagi.

Karena itu, ketika lehernya tersumbat, ia pun berkata sendat, “Ambil. Ambil uang itu.”

Wiyati pun melepaskan laki-laki itu.

“Jangan beranjak dari tempatmu!” berkata Wiyati sambil memungut kampil uang yang jatuh

Laki-laki itu memang tidak berani teringsut. Namun setelah Wiyati memungut kampil uang itu, ia pun bertanya, “Apakah aku sudah boleh pergi?”

“Pergi? Kau akan pergi ke mana?”

“Pulang.”

“Begitu enaknya kau pulang. Kau akan aku bawa mengembalikan uang itu kepada pemiliknya!”

“Pemiliknya tentu sudah pergi.”

“Belum. Aku tahu. Ia tentu singgah di kedai saudaranya itu.”

“Bawa uang itu, dan kembalikan kepadanya,” berkata orang itu.

“Kau yang harus mengembalikannya!”

“Anak itulah yang mengambilnya. Biar anak itu yang mengembalikannya.”

“Tidak! Kau yang bertanggung jawab!”

“Jangan aku.”

Tangan Wiyati pun telah menampar wajahnya sehingga laki-laki itu mengaduh kesakitan. Wajahnya yang telah menjadi lebam dengan noda-noda biru di kening dan matanya, terasa semakin sakit.

Tetapi Wiyati sama sekali tidak mempunyai belas kasihan kepadanya. Dengan lantang ia pun berkata, “Ayo, jangan membuat aku semakin marah!”

Laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia pun kemudian melangkah keluar dari kuburan tua yang terletak di gumuk kecil itu.

Demikian mereka keluar dari kuburan, mereka melihat dua orang laki-laki berdiri termangu-mangu. Di dekat mereka tertambat tiga ekor kuda yang tegar.

“Apa yang kau lakukan?” bertanya Ki Ambara.

“Aku menangkap pencopet yang sebenarnya, Kek.”

“Lalu? Apa yang kau lakukan?”

“Kita kembali ke pasar, membawa pencopet ini dan uangnya yang dicopetnya. Ia harus mengembalikan uang itu kepada pemiliknya.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Saba Lintang, Ki Ambara pun berkata, “Marilah. Kita kembali ke pasar.”

Ketiga orang berkuda itu pun telah menggiring laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu kembali ke pasar. Mereka langsung menuju ke kedai yang ditunjuk oleh pemilik uang yang hilang itu.

Orang-orang melihat laki-laki yang tinggi dan kekar itu dengan heran. Apa yang telah terjadi dengan laki-laki itu? Laki-laki itu memang sering berada di pasar itu. Tetapi tidak seorang pun yang tahu, apa yang telah dilakukannya.

Wiyati langsung menggiring laki-laki itu ke kedai yang di ujung, kedai yang ditunjuk oleh pemilik uang itu. Diikuti oleh Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.

Kedatangan laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu mengejutkan orang-orang yang berada di kedai itu. Bahkan sebagian justru menjadi ketakutan.

Tetapi mereka pun kemudian menjadi heran, ketika perempuan muda yang berkuda di belakangnya itu meloncat turun sambil membentaknya, “Masuk ke kedai itu!”

Laki-laki itu sama sekali tidak membantah. Ia pun kemudian melangkah masuk ke dalam kedai itu. Wiyati yang mengikutinya kemudian berkata, “Duduklah!”

Orang-orang yang berada di dalam kedai itu menjadi gelisah. Mereka tidak tahu permainan apa yang sedang mereka saksikan. Laki-laki yang bertubuh tinggi kekar dan yang sudah sering mereka lihat berada di pasar itu, tunduk dan bahkan nampak ketakutan terhadap seorang perempuan muda yang cantik, namun agaknya cukup garang.

Ternyata pemilik uang yang dicopet itu benar-benar masih berada di kedai itu.

Ketika orang itu melihat Wiyati, maka orang itu pun segera mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa kau kembali? Apakah kau mencari aku?”

“Ya,” jawab Wiyati.

“Untuk apa? Apakah kau mempunyai keperluan khusus?”

“Ya. Aku bawa orang ini.”

“Siapakah orang ini?”

“Orang yang mencuri uangmu.”

Pemilik uang itu termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut ia pun menyahut, “Bukankah laki-laki ini yang telah membantu berusaha menangkap pencopet itu? Meskipun kemudian ternyata keliru. Tetapi ia sudah menunjukkan niat baiknya.”

“Ternyata semuanya itu adalah sekedar permainannya. Ia sengaja melepaskan perhatian banyak orang dari pencopet orang yang sebenarnya, karena pencopet yang sebenarnya adalah orang yang bekerja untuk orang ini.”

“Maksudmu?”

“Pencopet yang sebenarnya harus menyerahkan hasilnya kepadanya. Bahkan ia sempat menyakiti pencopet-pencopet itu jika mereka tidak dapat menyerahkan uang sebagaimana diinginkannya.”

Pemilik uang’itu menggeretakkan giginya. Tetapi ketika ia menatap mata orang yang bertubuh tinggi kekar itu, maka kulitnya justru meremang.

“Nah. Sekarang kembalikan uang itu kepadanya!” bentak Wiyati.

Orang bertubuh tinggi itu termangu-mangu. Namun Wiyati pun kemudian menyerahkan kampil berisi uang yang dibawanya kepada orang itu.

Orang bertubuh tinggi kekar itu pun terpaksa menerimanya,

“Serahkan kepadanya. Kau harus minta maaf dan mengaku bahwa kau-lah yang telah mencopetnya, meskipun tidak dengan tanganmu sendiri.”

Orang bertubuh tinggi itu memandang pemilik uang itu sekilas. Kemudian memandang wajah Wiyati yang gelap.

“Cepat!”

Orang bertubuh tinggi itu tidak dapat menolak. Ia pun kemudian telah menyerahkan uang itu kepada pemiliknya.

“Kenapa kau diam saja? Katakan kepadanya, bahwa kau minta maaf karena kau telah mencopetnya. Katakan bahwa kau sengaja mengorbankan anak yang tidak bersalah itu, agar anak itulah yang dipukuli orang banyak. Katakan bahwa kau tidak peduli bahwa anak yang tidak bersalah itu akan dapat mati karenanya, asal kau selamat.”

Orang bertubuh tinggi itu masih terdiam.

“Katakan! Katakan bahwa kau sengaja memukuli anak itu agar orang banyak melakukannya juga. Katakan bahwa kau sengaja melakukannya agar anak yang tidak bersalah itu mati. Dan kau tidak akan pernah diungkit lagi. Bahwa sebenarnya kau-lah yang telah mencopetnya. Kau sengaja membunuh anak itu. Kau bunuh anak yang tidak bersalah itu.”

Tiba-tiba saja tangan Wiyati telah melayang menghantam wajah orang bertubuh tinggi kekar itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terpelanting menimpa sebuah lincak bambu. Suaranya berderak dan lincak bambu itu pun patah di tengah.

Laki-laki itu menyeringai menahan nyeri di punggungnya yang serasa patah. Wajahnya yang lebam itu masih terasa sakit. Ditambah lengannya dan kemudian tulang belakang.

Ki Ambara-lah yang kemudian mendekati Wiyati sambil berdesis.

“Sudahlah, Ngger. Sudahlah.”

“Tetapi bagaimana jika anak yang tidak bersalah itu mati, Kek? Bagaimana perasaan ibunya? Sementara orang-orang tetap menganggapnya bersalah.”

“Tetapi ia tidak mati, kan?”

“Tetapi siapa tahu, bahwa pernah terjadi hal yang sama, dan anak yang dikorbankannya itu mati?”

Tiba-tiba saja di mata gadis itu meleleh air matanya. Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Ia harus mempelajari sifat gadis itu baik-baik. sebelum gadis itu melakukan tugasnya.

Wiyati mengusap matanya yang basah. Ia menjadi terharu membayangkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas seseorang yang sama sekali tidak bersalah. Seorang yang harus menderita karena ia dituduh melakukan kejahatan, justru oleh penjahat itu sendiri.

“Hati anak ini bersih,” desis Ki Ambara kepada diri sendiri, “tetapi tugas yang harus dilakukannya bukan tugas yang bersih.”

Tetapi menurut guru gadis itu, gadis itu menyimpan dendam yang sangat dalam di dalam hatinya terhadap Ki Gede Pemanahan, dan yang kemudian menurun sampai ke anaknya, Sutawijaya.

Ki Ambara masih belum berani mengambil kesimpulan. Tetapi jiwa gadis itu ternyata telah terguncang melihat ketidak-adilan yang terjadi.

Sejenak kemudian Wiyati pun berkata, “Aku serahkan orang ini kepada kalian. Kalian harus menghukumnya lebih berat dari yang dialami oleh anak yang tidak bersalah itu.”

Tetapi pemilik uang itu pun berkata, “Sudahlah. Aku sudah merasa senang sekali, bahwa uangku kembali. Aku menjual lembu karena aku memerlukan uang. Aku menjadi bingung demikian uangku hilang, sehingga perasaanku mudah sekali terbakar.”

“Sekarang pencopet yang sesungguhnya telah dapat ditangkap. Kau mau apakan orang itu?”

Pemilik uang itu menjadi bingung.

“Orang itu harus diperlakukan lebih buruk dari anak itu.”

“Itu tidak perlu lagi. Uangku sudah kembali.”

“Jika uangmu sudah kembali, maka kau sama sekali tidak merasa tersinggung atas ketidak-adilan yang telah terjadi itu?”

“Bukan begitu. Tetapi aku tidak mau memperpanjang persoalan lagi.”

“Lalu, kau lepaskan orang itu?”

“Apa yang harus aku lakukan?”

“Pukuli orang itu, seperti kau memukuli anak itu. Bahkan harus lebih dari itu.”

Pemilik uang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Sudahlah. Sudah aku katakan, aku tidak mau memperpanjang perkara ini.”

“Soalnya bukan memperpanjang persoalan. Tetapi kau harus bertindak adil.”

“Tidak. Aku tidak akan berbuat apa-apa.”

“Jika begitu, serahkan uang itu kembali kepadaku! Aku akan memberikannya kepada anak yang telah mencopetnya. Anak muda yang menjadi kepanjangan tangan orang ini.”

Wajah pemilik uang itu menjadi tegang. Katanya, “Apa sebenarnya maumu?”

“Aku mau adil. Anak yang tidak bersalah saja dipukuli sampai hampir pingsan. Bahkan mungkin pernah ada anak yang mati. Sekarang orang yang sebenarnya bersalah tidak akan dihukum.”

“Jangan membuat persoalan baru di sini,” berkata pemilik uang.

“He? Jadi kau justru menyalahkan aku?”

“Persoalan ini sudah selesai. Jangan diungkit lagi.”

Tiba-tiba Wiyati telah menampar wajah pemilik uang itu. Demikian kerasnya, sehingga pemilik uang itu terpelanting jatuh menimpa dinding kedai itu.

Pemilik uang itu pun segera berusaha untuk bangkit. Namun demikian ia terdiri, maka sekali lagi Wiyati memukul wajah orang itu.

“Jika kau tidak menghukum orang ini, maka aku mewakili anak yang kau pukuli itu untuk membalas.”

Pemilik uang itu mengaduh kesakitan. Dengan mengangkat kedua tangannya ia berkata, “Jangan, jangan kau pukul lagi aku.”

Tetapi Wiyati tidak menghiraukannya. Digapainya baju orang itu Kemudian dipukulnya orang itu sekali lagi, sehingga orang itu terjatuh lagi.

Ketika orang itu dengan susah payah bangkit terdiri, maka Wiyati pun berkata, “Panggil Ki Bekel! Cepat!”

“Ki Bekel siapa?”

“Ki Bekel padukuhan ini. Atau aku akan memukulimu lagi, dan bahkan sekaligus mengambil uang itu.”

Orang yang uangnya dicopet itu mengusap mulutnya. Namun Wiyati pun membentaknya, “Cepat! Panggil Ki Bekel atau Ki Jagabaya. Tidak, panggil kedua-duanya!”

Orang yang uangnya dicopet itu pun dengan terbata-bata bertanya kepada saudaranya, pemilik kedai itu, “Di manakah tempat tinggal Ki Bekel?”

“Marilah. Akan aku tunjukkan.”

Kedua orang itu pun kemudian telah meninggalkan kedai itu, pergi ke rumah Ki Bekel. Sementara itu, Wiyati pun membentak kepada laki-laki yang bertubuh tinggi, “Jangan macam-macam! Kau jangan mencoba lari, jika kau tidak ingin aku patahkan lehermu.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi jantungnya tergetar pula. Perempuan yang garang itu nampaknya benar-benar marah.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka mereka pun hanya berdiam diri saja di luar kedai itu.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, pemilik kedai dan pemilik uang itu pun telah kembali bersama Ki Bekel dan Ki Jagabaya

“Ada apa?” bertanya Ki Bekel.

Wiyati-lah yang kemudian melangkah maju. Tetapi ia masih juga mengingat unggah-ungguh sebagaimana diajarkan di padepokannya.

Wiyati itu pun mengangguk hormat sambil berkata, “Apakah aku berbicara dengan Ki Bekel dan Ki Jagabaya?”

“Ya. Aku adalah Ki Bekel di padukuhan ini. Dan ini adalah Ki Jagabaya.”

“Aku minta maaf Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Mungkin aku sudah mengganggu.”

“Apa yang terjadi di sini?”

Wiyati pun segera menceritakan apa yang telah terjadi. Ia pun kemudian menunjukkan laki-laki yang bertubuh tinggi kekar itu sebagai otak dari kerusuhan yang sering terjadi di pasar ini.

“Manakah anak muda yang mencopet itu?” bertanya Ki Bekel.

“Aku tidak membawanya kemari, Ki Bekel.”

“Sayang sekali. Kita perlukan keterangannya.”

“Mudah sekali. Paksa orang ini menunjukkan rumah anak muda itu. Tidak hanya seorang. Tetapi beberapa orang anak muda yang bekerja untuknya.”

“Terima kasih,” Ki Bekel mengangguk-angguk. Kemudian ia pun berkata kepada Ki Jagabaya, “Tangkap dan bawa orang ini. Sudah lama kita merasa terganggu oleh pencopet-pencopet yang berkeliaran di pasar itu.”

“Baik, Ki Bekel,” jawab Ki Jagabaya.

Orang bertubuh tinggi itu tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu, Ki Bekel masih mendengarkan penjelasan dari Wiyati.

Dalam pada itu, di luar kedai, Ki Saba Lintang berdesis, “Agaknya gadis yang baru keluar dari padepokan itu masih dipengaruhi oleh keinginannya untuk menunjukkan kelebihannya.”

“Bukankah itu biasa bagi mereka yang baru turun dari sebuah perguruan? Ia ingin membuktikan, apakah ia benar-benar sudah memiliki kelebihan sebagaimana dicita-citakannya sejak ia memasuki sebuah perguruan.”

Ki Saba Lintang tersenyum. katanya, “Aku pun melakukannya demikian aku keluar dari perguruan. Namun waktu itu aku justru hampir mati dicekik seorang yang berilmu tinggi. Untunglah beberapa orang kawanku sempat menolongku.”

“Tetapi ada hal yang lain pada gadis itu.”

“Apa?”

“Gadis itu menangis, bukan sekadar pura-pura, ketika ia membayangkan bahwa mungkin pernah terjadi seorang anak remaja yang mati karena dikorbankan oleh orang yang bertubuh tinggi besar itu.”

“Maksudnya, untuk memalingkan orang banyak dan pencuri yang sebenarnya?”

Ki Ambara mengangguk. “Mungkin ia benar-benar terharu. Tetapi di samping itu, keinginannya untuk menguji kemampuan dirinya juga ikut berbicara, sehingga sikapnya menjadi meledak-ledak.”

“Kita akan mempelajari sifat-sifatnya sebelum kita menetapkan beban tugas yang berat itu kepadanya.”

“Ya. Kita masih mempunyai waktu.”

“Kita dapat membakar keinginannya menegakkan keadilan. Adalah tidak adil jika Sutawijaya-lah yang kemudian memegang kendali kekuasaan di Tanah ini.”

Dalam pada itu, agaknya Wiyati telah selesai berbicara dengan Ki Bekel. Sementara Ki Jagabaya telah menangkap orang yang bertubuh tinggi kekar itu.

Sementara itu Wiyati masih sempat bertanya kepada pemilik uang itu, “Apakah uangmu masih utuh?”

“Nampaknya memang masih utuh.”

“Aku ingin kepastian. Hitunglah.”

Pemilik uang itu tidak membantah. Perempuan muda itu garangnya bukan main

Namun akhirnya pemilik uang itu mengangguk-angguk, “Masih, masih utuh.”

Tiba-tiba saja Wiyati membentak orang yang bertubuh tinggi itu, “Nah, kau dengar! Uang itu masih utuh. Kenapa kau mencekik pencopetmu dan menuduh ia sudah menggelapkan uang yang seharusnya diserahkan kepadamu?”

Laki-laki itu menundukkan wajahnya. Namun sekali lagi Wiyati menampar kening orang itu sehingga terjatuh.

“Sudah, sudah,” cegah Ki Bekel, “orang ini sudah diserahkan kepadaku. Biarlah aku yang mengaturnya. Hukuman apa yang pantas diberikan kepadanya. Aku akan mengusut sampai tuntas, apa saja yang pernah dilakukan, serta menangkap orang-orang yang bekerja baginya, membuat pasar itu menjadi rusuh.”

Wiyati menarik nafas panjang. Kemudian ia pun berkata, “Maaf, Ki Bekel. Aku menjadi sangat benci dan muak melihat wajahnya. Ki Bekel sebaiknya juga mengusut, apakah pernah terjadi ada pencopet yang dipukuli orang banyak sampai mati. Belum tentu anak itu bersalah. Anak yang tadi dipukuli mungkin akan mati juga jika aku tidak segera datang.”

“Baiklah, Ki Sanak. Aku mengucapkan terima kasih atas kepedulianmu terhadap keadaan di pasar ini, sehingga kau sempat menangkap orang ini.”

Wiyati itu mengangguk kecil. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku mohon diri Ki Bekel. Tetapi aku akan sering pergi ke pasar ini.”

Ki Bekel mengangguk sambil bertanya, “Apakah rumah Ki Sanak dekat dengan pasar ini?”

“Ya. Rumah kami memang tidak terlalu jauh lagi.”

“Baiklah. Kami akan sangat senang jika Ki Sanak sering datang ke pasar ini. Setidak-tidaknya Ki Sanak membuat pasar ini semakin ramai. Syukurlah, jika kepedulian Ki Sanak itu untuk selanjutnya akan dapat membuat pasar ini lebih tenang.”

Wiyati tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan.”

“Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih.”

Demikianlah, maka Wiyati pun kemudian meninggalkan kedai itu.

Ki Bekel. Ki Jagabaya dan orang-orang yang berkerumun itu pun memandang perempuan itu dengan kagum. Mereka melihat perempuan itu bersama kedua orang laki-laki yang dipanggilnya kakek dan paman, meninggalkan tempat itu berkuda. Semakin lama semakin jauh.

“Mereka berkata bahwa rumah mereka tidak jauh lagi, Ki Bekel.”

“Ya. Perempuan itu mengatakan bahwa rumah mereka sudah dekat. Ia akan sering kali datang ke pasar itu.”

“Ki Bekel tidak bertanya, di mana mereka tinggal? Maksudku di padukuhan apa?”

“Ya. Sebenarnya aku dapat menanyakannya. Sayang, aku lupa, sementara itu kalian tidak mengingatkan aku.”

“Aku pun jadi lupa segala-galanya, melihat seorang perempuan yang demikian cantiknya, muda dan perkasa.”

“Baiklah. Sekarang marilah kita pulang. Kita bawa orang itu. Aku benci kepada mereka yang mengganggu ketenangan dan ketenteraman wilayahku, termasuk pasar ini.”

Laki-laki bertubuh tinggi itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sama sekali tidak berani berusaha sesuatu. Ki Bekel dan Ki Jagabaya itu menurut pendengarannya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sementara itu dengan seorang perempuan saja ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, Wiyati, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menjadi semakin jauh dari pasar itu. Dengan hati-hati Ki Ambara pun bertanya, “Kenapa kau terjun langsung menangani orang bertubuh tinggi kekar itu?”

“Aku paling benci terhadap orang-orang seperti orang bertubuh tinggi itu. Ia tidak segan-segan mengorbankan orang lain untuk kepentingannya sendiri.”

“Bukankah itu wajar? Bukankah setiap orang tentu akan berusaha memperhatikan kepentingan dirinya sendiri lebih dahulu, baru kemudian kepentingan orang lain.”

“Ya, Kek. Aku mengerti. Kita memang tidak perlu harus menjadi pahlawan dengan mengorbankan kepentingan sendiri bagi kepentingan banyak orang. Tetapi orang itu tidak sekedar mementingkan diri sendiri baru kepentingan orang lain. Tetapi orang itu justru telah mengorbankan orang lain bagi kepentingan dirinya, tanpa belas kasihan.”

“Itu memang tidak adil.”

“Ya. Aku benci bahwa seseorang telah melanggar keadilan. Aku menjadi lebih muak lagi bahwa orang seperti itu tidak akan mendapat hukuman. Mungkin pemilik uang itu takut bahwa orang itu akan mendendamnya. Tetapi ia sama sekali tidak mau tahu bahwa seorang anak remaja telah dipukuli sampai hampir pingsan.”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya, “Aku setuju, bahwa jika orang bertubuh tinggi itu tidak dihukum, maka tentu merupakan satu ketidak-adilan. Tetapi Ki Bekel dan Ki Jagabaya nampaknya bersikap adil.”

“Mudah-mudahan.”

“Baiklah. Aku menjunjung tinggi sikapmu.”

“Aku bersikap demikian pula terhadap Sutawijaya. Ia harus dihukum. Ayahnya telah membunuh dengan cara yang licik, sehingga karena itu, maka Pemanahan atau anaknya harus dihukum.”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Nampaknya dendam gadis itu terhadap Ki Gede Pemanahan atau anaknya begitu kuat.

Jika demikian, maka seharusnya gadis itu akan dapat melakukan tugasnya dengan baik. Anggapannya bahwa Pemanahan telah membunuh dengan licik harus dijaga, agar tidak semakin menyusut. Bahkan jika mungkin justru harus dikembangkan.

Bertiga mereka pun kemudian lebih banyak terdiam diri. Jarak dari pasar yang ramai sampai ke rumah Ki Ambara memang sudah tidak terlalu jauh.

Demikianlah, mereka bertiga itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan rumah Ki Ambara. Mereka melewati bulak panjang. Kemudian berputar lewat jalan pategalan. Barulah mereka memasuki jalan yang menuju ke rumah Ki Ambara.

Kedatangan Ki Ambara telah disambut oleh pembantu-pembantu di rumahnya. Demikian mereka masuk dan duduk di ruang dalam, maka para pembantunya menjadi sibuk. Beberapa saat kemudian seorang di antara pembantunya itu telah menghidangkan minuman hangat.

“Apakah selama aku pergi ada tamu yang mencariku?” tertanya Ki Ambara

“Tidak, Ki Ambara,” jawab pembantunya itu.

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Syukurlah. Jika saja Swandaru datang kemari dan bertanya terlalu banyak kepada mereka, maka tentu ada hal-hal yang menarik perhatiannya.”

Tetapi Swandaru tidak datang ke rumah itu.

Dalam pada itu, para pembantu di rumah Ki Ambara pun mulai bertanya-tanya, siapakah perempuan muda yang datang bersamanya itu.

“Ki Saba Lintang,” berkata Ki Ambara kemudian, “sudah waktunya kita benar-benar menata diri.”

Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita harus membina para pembantu Ki Ambara sebaik-baiknya, sehingga mereka merupakan bagian dari tubuh kita.”

“Aku berpikir lain, Ki Saba Lintang,” berkata Ki Ambara. “Kita akan melepaskan mereka sebelum mereka mulai mencurigai kita.”

“Lalu, siapakah yang akan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga di rumah ini?”

“Kau tugaskan orang-orangmu yang justru tepercaya.”

Namun Wiyati pun menyahut, “Serahkan pekerjaan rumah tangga kepadaku. Aku akan menyelesaikan dengan baik.”

“Tentu kau dapat melakukannya Tetapi waktumu akan habis untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini. Bukankah rumah ini harus dibersihkan? Lantainya, perabotnya dan segala macam benda yang ada di dalamnya. Kemudian mencuci pakaian, masak, dan yang banyak makan waktu adalah menyapu halaman, mengambil air dan memelihara tanaman agar dapat tumbuh dengan baik.”

Wiyati menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Ya. Bukan karena aku tidak sanggup melakukannya, tetapi mungkin aku akan kehabisan waktu.”

“Baiklah,” berkata Ki Saba Lintang, “sekarang, biarlah Wiyati beristirahat. Nanti sore kita akan membicarakannya lebih mendalam.”

Ki Ambara pun kemudian membawa Wiyati untuk mengenali rumah itu. Diperkenalkannya kepada para pembantu rumah itu sebagai cucu Ki Ambara.

“Jika kau akan ke pakiwan, pergilah.”

Hari itu, Ki Saba Lintang mencoba untuk mengenali para pembantu Ki Ambara sebaik-baiknya. Para pembantu itu bahkan juga menganggap bahwa Ki Saba Lintang adalah seorang yang bekerja kepada Ki Ambara.

Pengenalan Ki Saba Lintang hari itu terhadap para pembantu, ternyata meyakinkan Ki Saba Lintang bahwa sebaiknya mereka memang harus dilepaskan tanpa menyakiti mereka.

Ketika malam turun, maka Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati membicarakan dengan sungguh-sungguh apa yang harus mereka lakukan. Ki Saba Lintang pun telah menjelaskan kepada Wiyati, apa yang harus dilakukannya

“Bukankah kau tidak kecewa terhadap tugas yang dibebankan kepadamu?”

“Tidak, Kek. Sejak aku berada di padepokan, aku sudah menyatakan kesediaanku. Apapun yang harus aku lakukan.”

“Kau harus mengorbankan masa mudamu. Kau tidak akan mendapat kesempatan untuk memasuki sebuah rumah tangga yang selalu dicita-citakan oleh setiap orang gadis. Seorang suami yang dapat melindungimu, seorang suami yang hanya mencurahkan cinta kasihnya kepadamu. Kau akan menjadi seorang perempuan simpanan dari seorang laki-laki yang sudah beristri. Tetapi di samping itu, kau harus mampu membujuk laki-laki itu untuk melakukan apa saja menurut keinginanmu.”

“Aku akan melakukannya, Kek. Jika pengorbanan itu yang harus aku berikan, aku akan memberikannya dengan ikhlas. Bukankah banyak orang yang bahkan harus mengorbankan nyawanya untuk satu keyakinan?”

“Pengorbanan yang harus kau berikan, mungkin akan lebih berat dari nyawamu.”

“Jika aku dapat melakukannya, akan aku lakukan, Kek.”

“Baiklah. Aku percaya kepadamu. Aku percaya akan kukuhnya keyakinanmu.”

“Terima kasih, Kek.”

Dengan demikian, maka satu bentuk gelar perang yang khusus telah dibuka oleh Ki Saba Lintang dan Ki Ambara. Mereka mulai memasang jerat bagi Swandaru, yang menurut penilaian Ki Saba Lintang mempunyai kelemahan yang dapat ditembusnya.

Malam itu Ki Ambara dan Ki Saba Lintang juga memutuskan untuk melepas para pembantu yang sudah ada di rumah itu. Mumpung mereka masih belum mengenal isi rumah lebih jauh lagi. Apa yang mereka lihat masih dalam batas-batas kewajaran.

“Cucuku sekarang berada di sini,” berkata Ki Ambara, “kami akan mencoba melakukan segala pekerjaan rumah tangga di rumah ini. Kami minta maaf bahwa kami harus merelakan kalian pergi. Sebenarnyalah kami tidak lagi mempunyai kemampuan untuk membiayai kehidupan sebuah keluarga yang besar, serta memberikan gaji kalian dengan pantas.”

Ternyata para pembantu di rumah itu dapat mengerti. Dengan sedikit uang pesangon, mereka meninggalkan rumah Ki Ambara tanpa cubitan penyesalan dan kekecewaan. Mereka merasa bahwa kepergian mereka itu adalah wajar-wajar saja.

Namun orang yang terbiasa memelihara kuda di rumah Ki Ambara itu sempat bertanya, “Siapakah yang akan memelihara kuda? Siapa pula yang akan mencari rumput?”

“Aku sendiri yang akan memelihara kuda-kudaku. Sedangkan rumput harus aku beli. Bukankah selama ini kita juga membeli rumput, meskipun sebagian disabit sendiri?”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami minta diri.”

Sepasang suami istri dan seorang lainnya pun meninggalkan rumah Ki Ambara tanpa mempunyai prasangka apapun. Mereka percaya saja bahwa usaha Ki Ambara memang sedang mundur. Karena itu, ia panggil cucunya untuk tinggal bersamanya.

Tetapi beberapa hari kemudian, di rumah Ki Ambara itu telah tinggal dua orang lain. Keduanya adalah orang-orang yang di tempatkan oleh Ki Saba Lintang. Mereka tahu pasti, siapakah para penghuni rumah itu. Karena itu, maka mereka pun akan dapat berbicara sesuai dengan permainan yang sudah ditentukan oleh Ki Saba Lintang.

Setelah semuanya mapan, maka Ki Ambara telah mengadakan hubungan kembali dengan Swandaru. Sambil membawa seekor kuda yang baik. Ki Ambara datang mengunjungi Swandaru di Sangkal Putung.

Swandaru pun mempersilakan Ki Ambara untuk naik ke pendapa dengan ramahnya. Bahkan Pandan Wangi pun ikut pula menemuinya.

“Aku membawa seekor kuda yang baik,” berkata Ki Ambara kemudian.

“Bukankah aku sudah mempunyai seekor kuda yang baik?” sahut Swandaru.

“Tentu, Ngger.”

“Pandan Wangi juga sudah mempunyai kuda yang mapan. Ia senang sekali dengan kudanya itu.”

“Syukurlah kalau kuda itu cocok bagi Angger Pandan Wangi,” sahut Ki Ambara. Namun katanya kemudian, “Tetapi mungkin ada bebahu lain yang ingin membelinya?”

Swandaru tertawa.

“Maaf, Ngger. Bukan maksudku memanfaatkan Angger Swandaru untuk memasarkan kuda-kudaku.”

Pandan Wangi pun tertawa pula. Sementara itu dengan nada rendah Swandaru berkata, “Aku mengerti, Ki Ambara.”

“Terima kasih, Ngger.”

“Namun aku akan membantu Ki Ambara. Mungkin ada orang yang memerlukan seekor kuda. Aku akan mengajaknya ke rumah Ki Ambara,” berkata Swandaru.

“Angger Swandaru tidak perlu menunggu ada orang yang ingin membeli seekor kuda. Sebenarnya kedatanganku kemari juga bukan karena aku ingin menawarkan seekor kuda. Tetapi karena sudah lama aku tidak datang kemari. Sejak aku pergi mengunjungi saudaraku yang tinggal di tempat yang jauh.”

“Terima kasih, Ki Ambara.”

“Nah, aku harap Angger juga sudi mengunjungi aku. Syukurlah jika Angger datang berdua.”

“Baik, Ki Ambara. Lain kali kami akan mengunjungi Ki Ambara,” sahut Pandan Wangi.

Demikianlah, untuk beberapa lama Ki Ambara berbincang dengan Swandaru dan Pandan Wangi. Pembicaraan mereka berkisar sekitar kuda-kuda yang baik. Ki Ambara sempat bercerita tentang kuda-kuda liar yang sering nampak di kaki Gunung Merbabu

“Yang Ki Ambara maksud dengan kuda-kuda liar?” bertanya Swandaru.

“Ada beberapa orang yang pernah melihat iring-iringan kuda liar dari hutan di kaki Gunung Merbabu. Mereka turun beberapa ratus patok. Berlari-lari di tebing Gunung. Namun kemudian menghilang lagi memasuki hutan di sisi yang lain.”

“Tidak ada seorang pun yang memburu kuda-kuda liar itu?”

“Tidak ada yang berani melakukannya,” jawab Ki Ambara. “Menurut beberapa orang, kuda-kuda itu bukan kuda-kuda sewajarnya. Tetapi kuda-kuda liar yang besar dan tegar itu justru dipelihara oleh danyang Gunung Merbabu.”

“Oh,” Swandaru mengangguk-angguk.

Sementara Pandan Wangi bertanya, “Kuda hantu, begitu maksud Ki Ambara?”

“Tidak seorang pun dapat mengatakannya dengan pasti, Ngger. Tetapi yang jelas, meskipun sudah banyak orang yang pernah menyaksikan, tetapi tidak seorangpun yang berani memburu.”

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi kuda-kuda liar itu tidak begitu menarik perhatiannya. Menurutnya, kuda-kuda liar itu tidak lebih dari satu di antara dongeng yang banyak jumlahnya.

Setelah minum minuman hangat, makan beberapa potong makanan, maka Ki Ambara pun kemudian telah mohon diri. Sekali lagi ia minta Swandaru dan Pandan Wangi suka berkunjung ke rumahnya.

Kunjungan Ki Ambara itu memang telah menggelitik Swandaru untuk pergi ke rumahnya. Kesenangannya terhadap kuda rasa-rasanya telah mendesaknya untuk datang berkunjung.

“Pergilah, Kakang. Lain kali saja aku ikut pergi. Aku sedang sibuk melayani perempuan-perempuan yang menuai padi di sawah.”

Swandaru mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan melihat kuda yang dikatakan oleh Ki Ambara itu.”

“Apakah Kakang akan membawa dua atau tiga orang pengawal?”

Swandaru tertawa. Katanya, “Bukankah Kajoran tidak terlalu jauh?”

“Tetapi kita sudah mendapat peringatan, bahwa orang-orang dari perguruan Kedung Jati yang akan menyusun perguruannya kembali itu telah merambah daerah ini.”

“Jangan cemas, Pandan Wangi. Tidak akan ada gangguan apa-apa.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.

“Aku hanya akan melihat kuda itu. Kemudian pulang.”

“Kuda itu telah dibawa kemari oleh Ki Ambara.”

“Tetapi ia tentu mempunyai yang lain. Yang dibawa itu tentu bukan yang terbaik. Seorang pedagang seperti Ki Ambara itu tahu, bagaimana ia menggarap para pembelinya. Diperlihatkannya seekor kuda yang baik. Jika kuda itu dibeli, maka lain kali ia akan membawa yang lebih baik.”

Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Ya. Dan Kakang selalu akan membelinya.”

“Karena itulah aku akan pergi ke rumahnya. Jika aku ingin membeli, aku akan membeli yang terbaik.”

Demikianlah, maka Swandaru pun pergi seorang diri ke rumah Ki Ambara.

Kesempatan seperti itulah yang ditunggu oleh Ki Ambara. Swandaru datang ke rumahnya seorang diri. Namun seandainya Swandaru itu datang bersama istrinya, Ki Ambara juga sudah menyediakan tempat, di mana Wiyati harus bersembunyi. Sementara itu seisi rumah itu sudah tahu, peran apa yang harus mereka lakukan dalam permainan yang akan makan waktu yang panjang itu.

Ketika Swandaru sampai di rumah Ki Ambara, hari masih terhitung pagi. Dengan ramah dipersilahkannya Swandaru naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan.

Sementara itu, Wiyati sudah mendapat isyarat, bahwa laki-laki yang datang itulah yang bernama Swandaru.

“Jadi aku harus menjeratnya?” bertanya Wiyati kepada Ki Saba Lintang.

“Ya.”

“Jadi laki-laki itu anak Demang Sangkal Putung?”

“Ya.”

“Pengorbananku tidak terlalu berat, Paman. Ternyata laki-laki itu cukup tampan. Memang agak gemuk. Meskipun umurnya sudah terlalu jauh dibanding dengan umurku, tetapi ia akan dapat menjadi seorang suami yang baik bagi seorang istri simpanan.”

Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Tidak ada kesan kecewa dan penyesalan. Agaknya Wiyati benar-benar yakin akan jalan yang ditempuhnya, sehingga dijalininya dengan penuh kesungguhan. Sehingga segala sesuatunya dijalaninya dengan gembira.

Tetapi Ki Saba Lintang itu akhirnya tersenyum pula. Swandaru memang tampan. Senyumnya cukup menawan. Itulah agaknya yang telah memikat Pandan Wangi di masa muda mereka. Bahkan senyum itu masih memancarkan daya tarik tersendiri.

“Aku jadi iri, Wiyati,” berkata Ki Saba Lintang.

“Iri tentang apa, Paman?”

“Apakah aku tidak setampan Swandaru?”

“Tentu. Paman juga tampan. Apalagi Paman berilmu tinggi.”

“Kalau saja aku yang menjadi Swandaru.”

Wiyati tertawa. katanya, “Sayang sekali, Paman. Jika saja Paman yang menjadi Swandaru.”

“Jika aku yang menjadi Swandaru, kenapa?”

“Aku tidak perlu menjeratnya, karena Paman sudah berada di jalur perjuangan ini.”

“Ah, kau.”

Wiyati tertawa. Ki Saba Lintang pun tertawa pula.

Dalam pada itu, sejenak kemudian maka Wiyati pun telah menyiapkan minuman dan makanan yang harus dihidangkannya kepada Swandaru, yang duduk di pringgitan bersama Ki Ambara.

Ketika kemudian Wiyati muncul dari pintu pringgitan. Swandaru memang terkejut. Ia belum pernah melihat bahwa di rumah itu ada seorang perempuan muda yang cantik.

Ketika kemudian Wiyati memandang wajah Swandaru yang sedang memandanginya, Wiyati pun segera menunduk. Ia pun kemudian berjongkok untuk menghidangkan minuman dan makanan. Namun setiap kali ia mencuri pandang ke arah Swandaru.

Swandaru yang selalu memandanginya tahu benar, bahwa setiap kali perempuan itu mengerlingnya. Namun kemudian perempuan itu pun segera tunduk kembali.

Ketika kemudian Wiyati masuk ke ruang dalam, maka Swandaru tidak dapat menahan dirinya untuk bertanya, “Siapakah perempuan itu, Ki Ambara? Beberapa kali aku datang kemari, tetapi baru sekarang aku melihatnya.”

“Cucuku, Ngger. Ia ikut aku ketika aku menengok keluarganya baru-baru ini.”

“Ia akan tinggal di sini?” bertanya Swandaru.

“Tidak. Tetapi ia akan berada di sini untuk beberapa lama.”

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Ia pun kemudian sama sekali tidak berbicara tentang Wiyati.

Ki Ambara justru agak menjadi tegang. Ia berharap Swandaru tertarik kepada perempuan yang disebutnya cucu itu.

Tetapi Swandaru masih belum pergi dari rumahnya. Masih ada kesempatan untuk mempertemukan Wiyati dengan Swandaru. Bahkan seandainya pada hari itu Swandaru masih belum tergerak hatinya, maka pada kesempatan berikutnya, Swandaru masih akan dapat bertemu dengan Wiyati lagi.

Dalam pada itu, Swandaru masih beberapa lama berada di rumah Ki Ambara. Bahkan kemudian Ki Ambara mempersilakan Swandaru untuk melihat-lihat kuda-kudanya di kandang.

Swandaru tertegun ketika ia mendekati kandang. Bahkan Ki Ambara sama sekali tidak menduga bahwa Wiyati justru telah berada di kandang. Disingsingkannya kain panjangnya serta lengan bajunya, agar tidak menjadi basah kuyup. Dengan terampilnya Wiyati memandikan seekor kuda yang berwarna cokelat kehitaman. Kuda itu adalah kuda yang dikendarainya dari padepokan ke rumah Ki Ambara.

Wiyati tidak melihat bahwa ada orang yang datang mendekatinya, karena ia berdiri membelakangi arah pintu butulan rumah Ki Ambara.

Jantung Swandaru memang berdesir melihat Wiyati yang sedang sibuk memandikan kuda itu.

Ki Ambara-lah yang terbatuk-batuk kecil ketika ia mendekati Wiyati.

Wiyati terkejut. Dengan serta-merta ia bergeser sambil membenahi pakaiannya. Wajah Wiyati menjadi merah. Tetapi ia tidak beranjak pergi, karena ia masih belum selesai memandikan kudanya.

“Kakek akan pergi ke mana?” bertanya Wiyati dengan suara lirih.

“Angger Swandaru ini akan melihat-lihat kuda kita, Wiyati. Angger Swandaru ini seorang penggemar kuda.”

Wiyati mengangguk hormat. Sambil menunduk ia pun berdesis, “Maaf, Ki Swandaru. Aku tidak tahu, bahwa kakek akan mengajak Ki Swandaru ke kandang kuda ini.”

“Kenapa kau minta maaf? Bukankah kau tidak berbuat salah sama sekali?” sahut Swandaru.

“Aku tidak sengaja berbuat tidak sopan. Aku tidak tahu.”

Swandaru tertawa. Katanya, “Kau bukannya tidak sopan. Tetapi karena kau sedang memandikan kudamu, maka yang kau lakukan adalah wajar sekali. Bahkan teruskan. Aku tidak berkeberatan.”

“Ah,” Wiyati menunduk semakin dalam. Tetapi ia tidak beranjak pergi.

Swandaru-lah yang kemudian berlalu bersama Ki Ambara sambil berdesis, “Aku akan melihat-lihat kuda kakekmu. Aku tidak ingin mengganggumu. Karena itu teruskan kerjamu. Kau tidak usah minta maaf kepadaku, karena aku tidak merasa tersinggung karenanya.”

Wiyati tidak menjawab. Tetapi ia masih saja menunduk.

Sejenak kemudian, Swandaru pun telah berdiri di depan kandang melihat-lihat kuda Ki Ambara.

Wiyati masih berdiri di tempatnya. Sementara Swandaru mengelus kepala seekor kuda berwarna kelabu.

Namun tiba-tiba Swandaru berpaling memandang kuda yang sedang dimandikan oleh Wiyati. Bahkan Swandaru pun kemudian melangkah mendekatinya.

Diamatinya kuda itu dengan seksama. Dengan nada rendah ia pun bergumam, “Kuda yang tegar.”

“Kuda itu adalah kuda Wiyati, Ngger.”

“Oh,” Swandaru mengangguk-angguk, “karena itu agaknya kudanya pun cantik pula.”

“Ah,” Wiyati pun bergeser ke belakang kudanya yang masih belum selesai dimandikan.

“Siapa namamu?” tiba-tiba saja Swandaru bertanya.

“Ah,” suara Wiyati merendah, “Tuan sudah mengetahui namaku. Kakek sudah menyebutnya.”

“Tetapi aku belum mendengar kau memperkenalkan diri dengan menyebut namamu sendiri.”

Wiyati mengangkat wajahnya. Matanya bagaikan nyala lampu di malam yang kelam. Hanya seleret, karena Wiyati itu pun segera menunduk lagi.

Ki Ambara-lah yang kemudian menyahut, “Anak itu anak pedesaan. Ia jarang sekali bergaul dengan orang lain kecuali kerabatnya sendiri. Karena itu ia tumbuh menjadi seorang gadis pemalu.”

Swandaru tertawa. Katanya, “Kau tidak usah malu kepadaku. Aku akan sering datang kemari. Aku adalah seorang penggemar kuda seperti kakekmu. Bedanya, kakekmu dapat memanfaatkan kegemarannya untuk mendapat uang. Aku tidak. Bahkan sebaliknya.”

Ki Ambara tertawa. Wiyati menahan tertawanya. Dengan telapak tangannya ia menutup bibirnya yang bergerak.

Namun Swandaru itu pun berkata pula, “Kau belum menyebut namamu.”

Wiyati memandang Ki Ambara dengan kerut di dahi. Seakan-akan gadis itu minta persetujuan kakeknya, apakah ia harus menyebut namanya.

Ki Ambara pun mengangguk sambil tersenyum.

Barulah gadis itu kemudian sambil menunduk menyebut namanya, “Namaku Wiyati.”

“Nama yang cantik dari seorang gadis yang cantik,” desis Swandaru.

Wiyati menunduk semakin dalam. Tetapi Wiyati tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih saja berdiri di sebelah kudanya. Dibiarkannya kainnya dan bajunya yang basah melekat erat di tubuhnya.

Namun kemudian Ki Ambara-lah yang mempersilakan Swandaru untuk kembali ke pringgitan, “Marilah, Ngger. Silakan duduk kembali.”

Swandaru pun meninggalkan kandang kuda Ki Ambara, kembali ke pringgitan. Namun ia masih saja berpaling, sementara Wiyati yang basah itu masih berdiri di tempatnya.

Untuk beberapa lama Swandaru masih duduk berbincang dengan Ki Ambara di pringgitan. Namun yang mereka bicarakan tidak saja tentang kuda, tetapi juga tentang seorang gadis yang bernama Wiyati.

Baru beberapa saat kemudian Swandaru minta diri. Namun ternyata Swandaru itu pun berkata, “Aku akan minta diri kepada cucu Ki Ambara.”

“Sudahlah, Ngger. Biarlah nanti aku katakan kepadanya.”

“Tidak apa, Ki Ambara. Aku rasa sebaiknya aku minta diri kepadanya.”

Ki Ambara tidak mencegahnya. Diantarkannya Swandaru sekali lagi ke kandang kuda untuk minta diri kepada Wiyati.

Ternyata Wiyati masih berada di kandang. Disingsingkannya kain panjang serta lengan bajunya seperti ketika Swandaru melihatnya pertama kali. Gadis yang sedang sibuk memandikan kudanya itu tidak menyadari bahwa Swandaru dan Ki Ambara datang lagi ke kandang.

Sekali lagi Ki Ambara terbatuk-batuk. Sekali lagi Wiyati terkejut dan tergesa-gesa membenahi pakaiannya.

“Aku hanya akan minta diri,” berkata Swandaru.

Wiyati yang bergeser dan berlindung di balik tubuh kudanya mengangguk hormat sambil berdesis, “Silakan, Ki Swandaru.”

“Aku akan datang lagi untuk melihat kuda-kuda Ki Ambara.”

Wiyati tidak menjawab.

Demikianlah, sejenak kemudian Swandaru pun telah minta diri sekali lagi kepada Ki Ambara. Dituntunnya kudanya keluar regol halaman. Sambil meloncat naik, ia pun berkata, “Aku akan segera kembali lagi Ki Ambara. Aku akan memikirkan, apakah aku akan membeli kuda lagi atau tidak.”

Sejenak kemudian, Swandaru pun telah melarikan kudanya meninggalkan rumah Ki Ambara.

Namun yang kemudian singgah di kepala Swandaru bukan saja seekor kuda yang besar dan tegar. Tetapi setiap kali wajah Wiyati terbayang, tumpang tindih dengan gambaran seekor kuda yang besar, kuat dan tegar.

Swandaru menggelengkan kepalanya. Ia mencoba mengusir bayangan gadis yang pakaiannya basah melekat di tubuhnya itu. Nalarnya masih dapat bekerja seutuhnya, sehingga mampu mengimbangi gejolak perasaannya

Ketika Swandaru sampai di rumah dan menemui Pandan Wangi yang tersenyum menyambutnya, maka bayangan Wiyati itu pun lenyap dari kepalanya.

Yang diceritakan Swandaru kepada Pandan Wangi adalah beberapa ekor kuda Ki Ambara yang ternyata memang baik.

“Kapan-kapan aku ikut melihat-lihat kuda itu lagi, Kakang.”

“Ya. Kapan saja kau ingin pergi ke rumah Ki Ambara, kita akan pergi. Tetapi jangan terlalu lama. Aku berjanji untuk segera datang kembali.”

Pandan Wangi tertawa pendek. Katanya, “Jika aku belum sempat, bukankah kau dapat pergi sendiri?”

Terasa jantung Swandaru berdesir. Rasa-rasanya Pandan Wangi menyindirnya, bahwa ia memang ingin pergi sendiri.

“Tidak,” berkata Swandaru di dalam hatinya, “aku tidak akan pergi sendiri. Aku akan mengajak Pandan Wangi pergi ke rumah Ki Ambara.”

Meskipun demikian, mulutnya terasa dibungkam ketika ia berniat untuk menceritakan kepada Pandan Wangi, bahwa di rumah Ki Ambara tinggal pula cucu perempuannya.

Tiba-tiba saja Swandaru merasa gelisah. Tetapi ternyata bahwa ia masih mampu menyembunyikan kegelisahannya. Bahkan sikapnya kepada Pandan Wangi justru menjadi semakin manis.

Beberapa hari kemudian, Swandaru masih belum pergi ke rumah Ki Ambara. Swandaru berusaha untuk menunggu Pandan Wangi mempunyai kesempatan untuk pergi. Tetapi ternyata ketika Swandaru mengajaknya, Pandan Wangi itu berkata, “Pergilah sendiri, Kakang. Maaf, aku belum dapat menemanimu sekarang. Mungkin lain kali.”

Swandaru pun menjadi bimbang. Nalarnya mencobanya untuk tidak pergi sendiri. Tetapi ternyata bahwa akhirnya Swandaru itu memutuskan untuk pergi.

Ketika ia sampai di rumah Ki Ambara, ternyata sikap Wiyati telah berbeda. Ia tidak lagi menyembunyikan wajahnya dan bahkan di balik tubuh kudanya. Tetapi Wiyati menjadi lebih berani. Wiyati-lah yang menerima Swandaru dan mempersilakannya naik ke pendapa dan duduk di pringgitan.

“Kakek baru mandi, Ki Swandaru.”

“Oh,” Swandaru merasa heran bahwa sikap Wiyati sudah banyak berubah, meskipun ia baru beberapa hari berada di rumah kakeknya.

“Apakah Ki Swandaru sendiri saja?” bertanya Wiyati kemudian.

Swandaru mengerutkan keningnya. Pertanyaan-pertanyaan Wiyati mengalir begitu lancar. Wiyati yang ditemuinya itu berbeda dengan Wiyati yang ditemuinya beberapa hari yang lalu.

“Mungkin waktu itu aku masih sangat asing baginya berkata,” Swandaru di dalam hatinya, “sekarang, setelah ia mengenal aku, maka yang nampak di permukaan adalah sifat aslinya. Sebenarnyalah gadis ini adalah gadis yang ramah.”

Karena Swandaru tidak segera menjawab, maka Wiyati telah mengulang pertanyaannya, “Ki Swandaru sendiri saja?”

“Ya,” jawab Swandaru.

“Apakah Nyi Swandaru bukan seorang penggemar kuda?”

Swandaru tertawa. Katanya, “Ia juga seorang penggemar kuda. Tetapi ia baru sibuk.”

“Karena itu, maka Ki Swandaru datang sendiri ke rumah Kakek ini.”

“Ya.”

Wiyati tertawa. Tetapi ia masih tetap seperti seorang gadis yang hidup di dalam lingkungan tertutup. Dengan telapak tangannya ia menutupi mulutnya, sehingga suara tertawanya tertahan.

Namun Wiyati itu pun kemudian berkata, “Silakan duduk Ki Swandaru. Biarlah aku lihat, apakah Kakek sudah selesai atau belum.”

“Aku tidak tergesa-gesa, Wiyati. Biar saja Ki Ambara menyelesaikannya. Kau tidak perlu mendesaknya. Nanti Ki Ambara juga akan selesai dengan sendirinya.”

“Ah.”

“Duduk sajalah di sini.”

“Aku akan merebus air.”

“Nanti saja, setelah Kakekmu selesai.”

Ternyata Wiyati memang tidak pergi. Ia duduk saja di pringgitan. Sekali-sekali nampak senyumnya menghiasi bibirnya yang tipis. Matanya setiap saat bagaikan menyala, memandang Swandaru yang terheran-heran melihat kecantikan Wiyati.

Sejak saat itu, Swandaru benar-benar mulai terjerat. Usaha Wiyati tidak sia-sia. Gadis itu telah membuat Swandaru kadang-kadang kehilangan penalarannya.

Ki Ambara mengamati perkembangan keadaan dengan seksama. Dengan cerdik Ki Ambara memberikan banyak waktu kepada Wiyati untuk menemui Ki Swandaru.

Meskipun demikian, jika Swandaru pulang ke rumahnya di Sangkal Putung dan bertemu dengan Pandan Wangi, selalu terjadi pergolakan yang sengit di dalam dadanya.

Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang cantik. Ia juga seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi. Selama ini Pandan Wangi mendampinginya dengan setia. Ketika ia tergelincir karena seorang penari tayub, Pandan Wangi bersedia memaafkannya. Bahkan kemudian telah melupakan peristiwa yang hampir saja menjadi malapetaka itu. Adik perempuannya, Sekar Mirah telah ikut campur, dan dengan sikap yang lebih keras dari sikap Pandan Wangi, Sekar Mirah memutuskan hubungannya dengan penari tayub itu.

“Apakah aku sekarang akan mengkhianatinya lagi?” pertanyaan itu telah bergaung di telinganya.

Gejolak itu seakan-akan justru semakin mendekatkan Swandaru kepada Pandan Wangi. Sikap Swandaru pun justru menjadi semakin lembut. Rasa-rasanya Swandaru memang menjadi semakin dekat dengan istrinya.

Dengan demikian, maka kerukunan hubungan suami istri itu nampak menjadi semakin mendalam. Keduanya seakan-akan tidak pernah berselisih pendapat. Swandaru selalu berusaha memenuhi keinginan Pandan Wangi.

Pandan Wangi pun merasa dirinya semakin diperhatikan oleh suaminya. Bahkan, setiap kali Swandaru menghadapi persoalan apapun juga, selalu dibicarakannya dengan istrinya. Termasuk persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan kademangannya. Mengenai kegiatan para pengawal, mengenai kelancaran air di parit-parit yang mengaliri sawah di seluruh kademangan, mengenai kesejahteraan para penghuni kademangan, dan mengenai banyak hal.

Pandan Wangi selalu mencoba ikut memecahkan masalah-masalah yang timbul. Pandan Wangi yang mempunyai penalaran yang jernih itu mampu memberikan banyak masukan yang berarti bagi tugas-tugas Swandaru.

Namun dalam pada itu. Swandaru tidak pernah melupakan kegemarannya tentang kuda. Beberapa kali Swandaru sudah berganti kuda. Namun kepada Pandan Wangi, Swandaru mengatakan, bahwa ia tidak membeli kuda-kuda yang baru itu. Tetapi ia hanya menukarkannya dengan sedikit memberikan tambahan uang.

“Sekadarnya saja, karena berdagang kuda itu adalah satu-satunya penghasilan Ki Ambara,” berkata Swandaru kepada Pandan Wangi.

Pandan Wangi sama sekali tidak menaruh curiga, meskipun Swandaru agak terlalu sering pergi ke rumah Ki Ambara. Apalagi Ki Ambara sendiri juga sering mengunjungi Swandaru di Kademangan Sangkal Putung.

Dalam pada itu, rasa-rasanya Swandaru benar-benar telah masuk ke dalam jerat yang dipasang dengan cerdik oleh Wiyati.

Jika Swandaru datang ke rumah Ki Ambara, maka yang pertama menemuinya adalah Wiyati. Bahkan jika Swandaru tidak segera melihat gadis itu, ia selalu menanyakannya.

Namun sebenarnyalah Swandaru tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Ketika ia duduk di pringgitan bersama Ki Ambara, Swandaru pun berkata, “Ki Ambara. Ada suasana yang aneh di rumah ini.”

“Maksud Angger Swandaru?”

“Aku minta maaf, tetapi aku merasakan suasana itu.”

“Angger Swandaru. Aku minta Angger berterus terang. Apakah setiap kali kami menerima Angger Swandaru, sikap dan tingkah laku kami tidak berkenan di hati Angger? Bagiku, Angger adalah seorang langganan yang baik. Aku tidak ingin kehilangan Angger Swandaru. Bukan saja Angger Swandaru yang telah membeli kuda-kudaku, tetapi dengan lantaran Angger Swandaru, aku banyak mendapat rejeki.”

“Tidak. Ki Ambara. Aku justru merasa bahwa aku selalu diterima dengan baik. Terlalu baik, sehingga kadang-kadang jantungku tergetar karenanya.”

“Aku tidak tahu maksud Angger Swandaru.”

“Ki Ambara, sejak Wiyati ada di sini, suasana di rumah ini menjadi lain.”

“Apakah Wiyati pernah atau bahkan sering berlaku kurang mapan? Mungkin anak itu memang tidak mengenal unggah-ungguh.”

“Tidak, Ki Ambara. Bukan begitu. Anak itu bersikap terlalu ramah kepadaku. Ia sangat baik. Bahkan terlalu baik kepadaku.”

“Jadi apakah yang menyebabkan Angger tersinggung?”

“Aku sama sekali tidak tersinggung.”

“Oh. Jadi?”

“Aku justru merasa terjerat di sini.”

“Terjerat?”

“Ki Ambara. Wiyati adalah seorang gadis yang cantik. Ia masih terlalu muda untuk mengenal pergaulan. Aku tidak tahu apakah maksudnya, bahwa ia memperlakukan aku begitu baik dan ramah. Sementara itu aku adalah seorang laki-laki yang sudah menjelang saatnya tumbuh uban di rambutnya.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu yang Angger maksudkan. Sebagai orang tua, aku juga memperhatikan sikap Wiyati. Ia adalah seorang gadis yang terasing dari pergaulan di rumah orang tuanya. Tetapi ia tidak pernah merasa tertarik kepada seorang laki-laki. Tetapi aku melihat sikap yang lain pada gadis itu sekarang.”

“Ki Ambara. Aku adalah orang yang sudah menjelang separuh baya. Aku merasa bahwa aku harus menempatkan diriku sebaik-baiknya.”

“Aku hargai sikap Angger Swandaru. Tetapi apa yang dapat aku lakukan terhadap perasaan seseorang?”

“Maksud Ki Ambara?”

“Aku akan dapat memaksakan kehendakku atas ujud kewadagan Wiyati. Tetapi aku sama sekali tidak akan dapat mengekang perasaannya.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang sudah cukup berpengalaman, Swandaru pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh Ki Ambara. Ternyata Ki Ambara merasa tidak mampu menghalangi sikap Wiyati.

“Aku mohon maaf sedalam-dalamnya, Ngger. Mungkin aku harus membawa cucuku itu kembali kepada orang tuanya.”

“Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan, Ki Ambara,” Swandaru pun menyahut dengan serta-merta.

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam.

“Sebenarnyalah aku pun merasa cemas, bahwa pada suatu saat nanti Pandan Wangi menyatakan keinginannya untuk ikut datang kemari.”

Ki Ambara mengerutkan dahinya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia pun berdesis, “Memang akan dapat menimbulkan kesan yang buruk. Tetapi jika benar Angger Pandan Wangi ikut datang kemari, aku berjanji untuk menyembunyikan Wiyati. Aku juga merasa cemas, bahwa anak itu melakukan sesuatu yang dapat memberikan kesan buruk itu.”

“Apakah itu mungkin?”

“Aku berjanji. Karena itu, jika Angger Pandan Wangi ingin datang kemari, jangan dicegah. Jika Angger Swandaru berusaha mencegahnya, maka justru akan dapat menarik perhatiannya.”

Swandaru mengangguk-angguk.

Namun demikian, pada saat-saat yang lain, penalarannya sama sekali tidak mampu memberikan pertimbangan kepada perasaannya. Baru saja ia menyatakan kegelisahannya kepada Ki Ambara, tetapi ketika kemudian Wiyati keluar dari pintu pringgitan untuk menghidangkan minuman dan makanan, hati Swandaru telah diguncangnya lagi.

Demikianlah, hari-hari yang dijalani oleh Swandaru bagaikan wajah lautan yang bergelombang. Berguncang-guncang antara penalarannya dan perasaannya.

Bagaimana pun juga Swandaru menyembunyikannya, namun akhirnya Pandan Wangi mampu menangkap kegelisahan di jantung suaminya itu. Meskipun demikian, Pandan Wangi tidak tahu, apakah yang menyebabkan suaminya menjadi gelisah.

Karena itu, ketika keduanya sedang makan malam di ruang dalam rumahnya, Pandan Wangi itu pun bertanya, “Kakang. Pada saat-saat terakhir, aku merasakan kegelisahan di hati Kakang.”

Swandaru mengerutkan dahinya. Kemudian sambil tersenyum ia pun berkata, “Aku tidak apa-apa, Pandan Wangi.”

“Kakang berusaha untuk menyembunyikan kegelisahan itu. Tetapi aku adalah istri Kakang, sehingga getar kegelisahan itu akhirnya terasa juga olehku.”

Swandaru mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Pandan Wangi. Sebenarnyalah aku berusaha agar kau tidak ikut merasakan kegelisahan ini. Kegelisahan ini adalah kegelisahan laki-laki. Maksudku, kegelisahanku sebagai anak Demang Sangkal Putung.”

“Aku adalah istrimu, Kakang. Selama ini kau telah menjadi terbuka. Baik mengenai dirimu sendiri, maupun mengenai tugas-tugasmu di Sangkal Putung ini. Karena itu, jangan ada yang disembunyikan lagi.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu, betapa kau berusaha untuk menempatkan dirimu sebagai seorang istri, Pandan Wangi. Namun aku pun mengerti, bahwa kau adalah seorang istri yang lain dengan kebanyakan perempuan. Kau adalah seorang perempuan yang berilmu tinggi, sehingga sebenarnya aku pun telah berpikir untuk tidak merahasiakannya kepadamu. Untuk tidak memperlakukan kau seperti perempuan-perempuan yang lain.”

“Terima kasih, Kakang.”

“Sebenarnyalah bahwa peringatan yang kita terima, tentang usaha sekelompok orang untuk membangunkan kembali perguruan Kedung Jati itu, bukan sekedar tembang gembala di padang rumput. Bukan sekedar cerita yang dibuat-buat.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa berita itu benar adanya. Segerombolan orang yang berusaha menyusun kembali kekuatan perguruan itu memang harus diwaspadai.”

Swandaru pun mengangguk-angguk. Sementara Pandan Wangi pun berkata, “Karena itu, aku ingin Kakang tidak pergi ke mana-mana seorang diri.”

Namun Swandaru tersenyum. Katanya, “Jangan menjadi cemas berlebih-lebihan, Pandan Wangi. Aku gelisah bukan karena kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas diriku dalam kesendirianku. Tetapi aku gelisah karena mereka akan dapat menjadi besar.”

“Maksud Kakang?”

“Seorang pengawal berhasil mengintip kehidupan sekelompok orang yang ternyata adalah orang-orang dari perguruan yang akan bangkit itu. Mereka telah berusaha menyusun kekuatan. Agaknya kali ini mereka berhati-hati, sehingga mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang pernah mereka lakukan sebelumnya, saat mereka menyerang Tanah Perdikan Menoreh.”

Pandan Wangi menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita akan menghubungi Kakang Untara?”

Swandaru memang sudah menduga, bahwa Pandan Wangi tentu akan menganjurkan untuk berhubungan dengan Untara. Karena itu, maka Swandaru pun menjawab, “Ya. Aku setuju, Pandan Wangi. Tetapi jangan sekarang. Aku ingin meyakinkan lebih dahulu, apakah penglihatan pengawal itu meyakinkan. Aku akan menjadi sangat malu, jika kemudian petugas sandi Jati Anom membuktikan bahwa penglihatan pengawal itu keliru.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk.

“Hal itu memang membuat aku gelisah. Tetapi kau tidak usah menjadi gelisah karenanya. Biarlah aku menyelesaikannya. Jika kita merasa penting untuk memberitahukan kepada Kakang Untara, maka aku akan mengirim orang ke Jati Anom, atau kita berdua akari menemui Kakang Untara itu.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara Swandaru pun berkata, “Sudahlah, jangan hiraukan. Besok aku akan melihat kuda di rumah Ki Ambara.”

Dengan serta-merta Pandan Wangi pun berkata, “Besok aku ikut, Kakang.”

Terasa jantung Swandaru berdesir. Tetapi Ki Ambara sudah berkata kepadanya, jika ia datang bersama Pandan Wangi, maka cucunya itu akan disembunyikannya.

Swandaru memang tidak dapat berbuat lain daripada mengiyakannya.

Dalam pada itu, ketika Pandan Wangi membenahi mangkuk dan lenong bambunya, maka Swandaru pun telah turun ke halaman.

Angin malam bertiup bagaikan sekelompok orang yang sedang berbisik bersama-sama. Meskipun malam dingin, tetapi punggung Swandaru menjadi basah oleh keringat.

“Besok Pandan Wangi akan ikut pergi ke rumah Ki Ambara,” berkata Swandaru kepada diri sendiri.

Swandaru pun menjadi semakin gelisah. Tetapi ia berharap bahwa Ki Ambara memegang janjinya, sehingga Pandan Wangi tidak menjumpai Wiyati di rumah Ki Ambara itu.

Meskipun demikian, Swandaru masih saja tetap dibayangi oleh kemungkinan buruk yang dapat terjadi di rumah Ki Ambara.

Ki Ambara akan dapat tidak memegang janjinya. Ia justru mempertemukan Pandan Wangi dengan Wiyati. Bahkan mungkin Ki Ambara dengan sengaja mengharapkan Pandan Wangi menjadi marah dan meninggalkan suaminya. Dengan demikian, maka Wiyati akan mendapat banyak kesempatan untuk memilikinya tanpa berbagi.

Swandaru telah mulai membohongi Pandan Wangi, sebagaimana pernah dilakukannya. Jika ia mulai berbohong, maka kebohongan-kebohongan yang lain akan mengikutinya Untuk menutupi satu kebohongan, maka Swandaru harus membuat kebohongan yang lain.

“Oh,” Swandaru berdesah. Ia menyesali perbuatannya. Seharusnya ia menjadi jera, setelah Sekar Mirah langsung mencampuri persoalannya. Jika kali ini Pandan Wangi mengetahui bahwa ia telah berbohong lagi, maka Pandan Wangi tentu akan memberitahukannya kepada Sekar Mirah dan Agung Sedayu.

“Jika mereka tahu, mereka akan berbuat apa?” tiba-tiba saja Swandaru itu menggeram, “Aku tidak takut, melawan mereka berdua. Seberapa tataran kemampuan Sekar Mirah? Seberapa pula tingkat ilmu Agung Sedayu?”

Namun kemudian Swandaru itu pun berkata, “Persoalannya memang bukan sekedar aku dapat mengalahkan mereka. Tetapi seluruh Sangkal Putung tentu akan menilai aku kembali. Ayah akan menjadi sangat marah, dan kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya dapat terjadi.”

Namun Swandaru masih berharap Ki Ambara benar-benar menyembunyikan Wiyati.

Di keesokan harinya, justru Pandan Wangi-lah yang mengingatkan Swandaru bahwa mereka akan pergi ke rumah Ki Ambara hari itu.

Demikian matahari terbit, maka keduanya pun segera berangkat. Mereka ingin sampai di rumah Ki Ambara sebelum panas matahari menggatalkan kulit mereka.

Sebenarnyalah di sepanjang jalan, jantung Swandaru terasa berdebar terlalu cepat. Namun untuk menutupi kegelisahannya Swandaru justru banyak berbicara tentang sekelompok orang yang berusaha untuk menyusun kembali sebuah perguruan yang hampir dilupakan orang.

Semakin dekat keduanya dengan regol rumah Ki Ambara. maka jantung Swandaru menjadi semakin berdebaran. Jika saja Ki Ambara atau Wiyati dengan sengaja membuat hubungannya dengan Pandan Wangi retak, maka ia akan segera menghadapi satu masa yang sangat pahit.

“Sebuah pemerasan akan dapat terjadi,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Akhirnya keduanya pun berhenti di depan regol halaman rumah Ki Ambara.

Keduanya pun kemudian berloncatan turun. Pandan Wangi-lah yang memasuki regol halaman itu mendahului Swandaru. Baru kemudian Swandaru menuntun kudanya di belakang Pandan Wangi.

Keringat dingin membasahi punggung Swandaru. Ia merasa seakan-akan memasuki sebuah ruangan yang sangat gelap. Ia tidak tahu, apa yang ada di dalam ruangan itu. Seekor harimau yang buas, atau seekor ular berbisa, atau seekor kucing yang jinak.

Sebelum mereka sampai di depan tangga pendapa, Ki Ambara telah keluar dari pintu pringgitan menyambutnya. Sambil tersenyum Ki Ambara itu pun berkata, “Aku sudah mengira bahwa Angger berdua akan datang.”

“Kenapa?” bertanya Pandan Wangi.

“Sepasang burung prenjak berkejaran di pohon bunga soka itu. Kicaunya tidak henti-hentinya sejak bayangan sinar matahari nampak di langit.”

Pandan Wangi tertawa. Swandaru pun mencoba untuk tertawa pula.

“Marilah, silahkan naik,” berkata Ki Ambara kemudian.

Sejenak kemudian, mereka bertiga pun telah duduk di pringgitan. Sementara itu Swandaru masih saja merasa gelisah. Tetapi dengan susah payah ia mencoba untuk menyembunyikannya.

“Lama Angger tidak datang kemari?” bertanya Ki Ambara.

Swandaru menarik nafas panjang. Katanya, “Ada sesuatu yang harus aku perhatikan di kademangan, Ki Ambara.”

“Apa ada masalah yang timbul? Nampaknya Kademangan Sangkal Putung adalah saru kademangan yang tenang dan damai.”

“Tidak ada satu kademangan pun yang luput dari persoalan-persoalan yang harus dipecahkannya. Ki Ambara. Kali ini Sangkal Putung menghadapi persoalan yang memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh.”

“Persoalan apa, Ngger?”

Swandaru tersenyum. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.

“Maaf. Satu pertanyaan yang bodoh. Seharusnya aku tidak mengajukan pertanyaan seperti itu.”

Pandan Wangi pun tertawa. Swandaru pun kemudian tertawa pula meskipun agak terlambat.

Ketika terdengar desir langkah seseorang di ruang dalam menuju ke pintu pringgitan, jantung Swandaru bagaikan berhenti berdetak. Ia tahu bahwa orang yang ada di ruang dalam itu tentu akan menghidangkan minuman dan makanan bagi mereka.

Sejenak kemudian, maka pintu pringgitan pun berderit. Jantung Swandaru bagaikan berhenti berdetak. Jika Ki Ambara dan Wiyati ingin mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri, maka Wiyati-lah yang akan keluar dari ruang dalam menghidangkan minuman dan makanan.

Namun Swandaru menarik nafas dalam-dalam, ketika yang muncul adalah seorang laki-laki sambil membawa nampan berisi beberapa mangkuk minuman.

Swandaru menjadi sedikit tenang. Ternyata Ki Ambara menepati janjinya untuk menyembunyikan Wiyati.

Tetapi kemungkinan lain masih saja dapat terjadi. Hidangan yang akan disuguhkan tentu bukan hanya minuman saja. Biasanya Ki Ambara menghidangkan minuman dan makanan.

Namun yang menghidangkan makanan adalah orang yang menghidangkan minuman itu pula.

Untuk sementara Swandaru merasa bebas dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Apalagi jika Ki Ambara dan Wiyati dengan sengaja berusaha memisahkannya dengan Pandan Wangi.

Namun Ki Ambara benar-benar memenuhi janjinya. Wiyati bukan saja tidak menghidangkan minuman dan makanan. Tetapi sampai kunjungan Swandaru berakhir, setelah melihat-lihat kuda di kandang, Wiyati memang tidak menampakkan diri.

Hati Swandaru benar-benar menjadi tenang demikian mereka meninggalkan regol halaman rumah Ki Ambara. Dengan ramah Ki Ambara mengantar mereka sampai ke regol halaman.

“Ngger,” berkata Ki Ambara demikian Swandaru dan Pandan Wangi meloncat ke punggung kuda, “dalam waktu sepekan ini, aku akan mendapatkan kuda-kuda baru. Jika mungkin ada seseorang yang memerlukannya, tolong Ngger, tunjukkan rumah ini. Biarlah mereka datang melihatnya.”

“Baik, Ki Ambara,” sahut Swandaru, “aku akan bercerita tentang kuda baru Ki Ambara. Namun Ki Ambara pun harus tahu pula, bahwa aku adalah perantaranya.”

Ki Ambara tertawa. Katanya, “Tentu aku tidak berani menganggap Angger Swandaru seorang perantara.”

“Kenapa?”

“Angger Swandaru adalah seorang putra Demang di Sangkal Putung. Kademangan yang besar, jauh lebih besar dari kademangan-kademangan yang lain.”

“Meskipun demikian, Pandan Wangi juga berbelanja dengan uang yang sama dengan uang yang dibayar bagi seekor kuda.”

Ki Ambara tertawa semakin berkepanjangan. Pandan Wangi dan Swandaru sendiri juga tertawa.

Demikianlah, beberapa saat kemudian Swandaru dan Pandan Wangi pun melarikan kuda mereka kembali ke Sangkal Putung.

Sikap Swandaru ternyata berbeda dengan sikapnya di saat mereka berangkat. Swandaru tidak dibayangi lagi oleh kegelisahan tentang kesediaan Ki Ambara memenuhi janjinya.

Tetapi perubahan sikap itu tidak tertangkap oleh Pandan Wangi. Pandan Wangi mengira bahwa Swandaru terpengaruh oleh dua tiga ekor kuda yang sangat baik di kandang Ki Ambara, karena sejak mereka lepas dari regol halaman rumah Ki Ambara, yang dibicarakan oleh Swandaru tidak terlepas dari pembicaraan tentang kuda.

Sebagai seorang istri yang baik, maka Pandan Wangi pun mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sekali-sekali ia bertanya tentang kuda-kuda yang diceritakan oleh Swandaru itu.

Dalam pada itu, sepeninggal Swandaru dan Pandan Wangi, Wiyati pun keluar dari persembunyiannya, sebuah ruang kecil di sebelah dapur. Sambil tertawa, Wiyati itu pun berkata, “Nafasku menjadi sesak, Kek.”

“Kenapa?”

“Asap dapur itu masuk ke dalam sanggar khususku itu.”

Ki Ambara pun tertawa. Ki Saba Lintang yang berada di rumah itu pula menyahut, “Satu laku prihatin. Wiyati. Mudah-mudahan rencana kita dapat terlaksana dengan baik.”

“Ya. Aku yakin dalam waktu dekat, Swandaru akan datang lagi kemari.”

“Kakek yakin?”

“Ya. Jeratmu telah mengena.”

“Aku sadari itu, Kek.”

“Nah, kita akan berjuang lebih lanjut.”

Namun dalam pada itu, yang tidak termasuk dalam perhitungan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang pun telah terjadi. Selama ia berada di rumah Ki Ambara, maka agar gadis itu tidak menjadi jenuh, sekali-sekali Wiyati pergi keluar rumah. Sekali-sekali ia pergi ke pasar. Namun dengan pesan, bahwa jika ia pulang dan melihat dua ekor kuda di halaman, maka ia harus berhati-hati. Mungkin Swandaru dan Pandan Wangi.

“Kita harus memenuhi janji kita kepada Swandaru, jika kita ingin Swandaru itu memberikan arti bagi kita. Tidak sekedar berarti bagimu saja.”

Wiyati mengangguk.

“Ya. Kek.”

Adalah di luar perhitungan Wiyati, jika setiap kali ia pergi ke pasar, seseorang telah memperhatikannya. Ketika pertama-tama orang itu melihat Wiyati, rasa-rasanya ia telah bermimpi. Ia tidak mengira bahwa di dunia ia ada seorang perempuan secantik perempuan yang dilihatnya itu.

Perhatian orang itu terhadap Wiyati tidak akan menjadi masalah, jika saja orang itu bukan anak seorang saudagar yang kaya, yang mempunyai banyak uang. Apalagi orang itu menganggap bahwa uang adalah segala-galanya.

Ketika pada saat yang lain orang itu melihat lagi Wiyati berada di pasar, maka ia pun mulai berusaha untuk mengenalnya.

Tetapi cara yang ditempuhnya terlalu kasar bagi seorang gadis. Orang yang masih terhitung muda itu telah memerintahkan seorang pembantunya untuk menemui Wiyati, dan memanggil gadis itu untuk menemuinya di sebuah kedai yang terbesar di depan pasar itu.

Wiyati yang baru berbelanja, memang terkejut ketika seorang laki-laki mendekatinya dan menyapanya, “Kau hanya seorang diri, Cah Ayu?”

Wiyati memandang orang itu dengan tajamnya. Sementara laki-laki itu pun berkata, “Jangan marah. Aku tidak akan mengganggumu, Nini.”

“Apa maksudmu?”

“Aku diperintahkan oleh momonganku, seorang anak muda yang tampan dan kaya, memanggilmu, Nini. Siapa namamu?”

“Aku yang seharusnya bertanya. Siapakah kau, dan siapa yang kau sebut momonganmu itu?”

“Namaku Windu. Nama momonganku Sawung Rampak. Anak saudagar terkaya di daerah ini.”

“Aku belum mengenal momonganmu itu.”

“Memang belum, Nini. Tetapi siapa namamu?”

“Namaku Wiyati.”

“Wiyati, momonganku memang belum kau kenal. Ia pun belum mengenalmu. Ia baru melihat kau di pasar ini dua kali. Sekali beberapa hari yang lalu, dan kedua kalinya adalah sekarang.”

“Jadi, untuk apa ia memanggilku?”

“Ia ingin berkenalan dengan seorang perempuan yang sangat cantik. Menurut momonganku, ia belum pernah melihat seorang perempuan secantik kau.”

“Ah,” desis Wiyati.

“Ia berkata sebenarnya. Karena itu, marilah. Aku minta kau singgah di kedai itu. Momonganku dan seorang kawanku menunggu di sana.”

Wiyati adalah seorang gadis yang tegar. Keinginan orang yang belum dikenalnya itu untuk menemuinya, telah menggelitiknya untuk memenuhinya. Keinginannya untuk mengetahui, apa yang akan dilakukan oleh orang itu, justru telah mendorongnya untuk datang ke kedai itu.

Karena itu, maka Wiyati kemudian berkata, “Bawa aku kepadanya.”

Orang yang bernama Windu itu tersenyum. Ia bahkan merasa bangga, bahwa ia telah berhasil membawa gadis yang diinginkan oleh momongannya itu.

Sejenak kemudian, Wiyati pun telah masuk ke dalam kedai itu. Ia pun melihat dua orang yang duduk di sudut kedai itu. Agak jauh dari orang-orang yang lain.

Wiyati menarik nafas panjang. Kedai itu terhitung kedai yang besar. Kedai yang ramai dikunjungi orang.

“Marilah,” berkata Windu.

Wiyati mengikut saja. Yang dimaksud momongannya adalah orang yang duduk di sudut, ditemani oleh seorang laki-laki yang nampak garang itu.

Demikian Sawung Rampak melihat Windu bersama Wiyati mendekatinya, maka ia pun segera bangkit berdiri. Yang dimaksud oleh Windu, momongannya itu adalah seorang anak muda yang bertubuh tegap, berwajah tampan, dengan pakaian yang rapi terbuat dari bahan yang mahal. Sebilah keris terselip di punggungnya, sementara dari sela-sela bajunya yang sedikit terbuka di bagian depannya, nampak timangnya terbuat dari emas.

Sawung Rampak adalah anak yang seolah-olah memiliki segala-galanya. Tubuhnya yang tegap, kulitnya yang kuning, dengan bulu-bulu dada yang lebat yang tidak tertutup oleh bajunya yang terbuka, senyumnya, dan apalagi ia adalah seorang yang kaya, membuatnya menjadi anak muda yang selalu diburu oleh gadis-gadis. Namun perburuan itu selalu terakhir dengan kekecewaan, bahkan kadang-kadang noda. Sementara orang tua gadis-gadis itu tidak dapat terbuat apa-apa, karena ayah Sawung Rampak mempunyai banyak uang.

“Duduklah,” Sawung Rampak mempersilakannya duduk, “siapa namamu?”

Wiyati pun segera duduk. Sambil tersenyum ia pun menjawab, “Namaku Wiyati. Kaukah yang ternama Sawung Rampak?”

“Ya. Dari mana kau tahu namaku?”

“Kakang Windu yang mengatakannya kepadaku.”

“Oh, ia memang orang upahanku. Aku perintahkan ia memanggilmu ke kedai ini.”

“Ia mengajakku kemari. Menurut keterangannya, ia mempunyai dua orang kawan di sini.”

“Tentu aku yang dimaksudkan.”

“Ya. Ia ingin memperkenalkan aku dengan kawan-kawannya. Bahkan mungkin orang tuanya.”

“He?”

Sawung Rampak memandang Windu dengan tajamnya. Dengan geram ia bertanya, “Apa maksudmu memperkenalkan gadis itu kepada orang tuaku?”

Sebelum Windu menjawab, Wiyati telah mendahuluinya menjawab, “Katanya, ia tertarik kepadaku. Menurut Kakang Windu, aku adalah gadis yang paling cantik yang pernah ditemuinya. Karena itu, ia minta aku mau mengikutnya kemari.”

“Setan, kau Windu!” geram Sawung Rampak

“Tidak. Aku tidak mengatakan seperti itu. Aku mengajaknya kemari karena kau ingin berkenalan dengan gadis itu.”

Ketika Sawung Rampak mendekatinya, Windu menjadi ketakutan. Sementara itu Wiyati pun mendekatinya sambil bertanya, “Kakang. Kau kenapa?”

Sebelum Windu menjawab, tangan Sawung Rampak telah menampar wajah Windu dengan kerasnya, sehingga Windu itu terpelanting menimpa lincak bambu di dalam kedai itu.

Beberapa orang yang semula kurang memperhatikannya, terkejut. Serentak mereka berpaling. Yang mereka lihat adalah Sawung Rampak yang marah bertolak pinggang.

Tidak ada yang herani mencegah Sawung Rampak. Beberapa orang bahkan meninggalkan kedai itu. Mereka yang terhitung berani, meneruskan makan dan minum makanan dan minuman yang mereka pesan, tanpa berani mencampuri urusan Sawung Rampak itu.

“Kakang Windu, Kakang,” panggil Wiyati sambil berjongkok di dekat Windu. Tetapi Windu itu pun kemudian mendorongnya sambil berkata, “Pergi! Kau telah memfitnah aku!”

“Memfitnah apa?”

“Aku tidak mengatakan sebagaimana kau katakan.”

“Kau takut kepada Sawung Rampak?”

“Hidupku tergantung kepadanya. Mana mungkin aku berani melawannya.”

Wiyati tertawa. Katanya, “Ternyata ia seorang pengecut. Tadi ia berkata kepadaku bahwa ia akan melindungiku. Ia tidak takut kepada siapapun juga.”

“Tidak! Gadis itu memfitnah aku!” sahut Windu sambil berusaha bangkit berdiri

Sawung Rampak mulai curiga terhadap sikap Wiyati. Karena itu maka ia pun bertanya, “Apa maksudmu dengan permainan itu?”

Wiyati tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa. Aku senang melihat kau memukul orang yang membawa aku kemari.”

“Kau tahu akibat dari sikapmu itu?”

“Aku hanya ingin mengatakan kepadamu dan kepada kawan-kawanmu, caramu memperkenalkan diri sangat kasar. Ketahuilah, aku adalah perempuan yang bersuami.”

Windu mengusap bibirnya yang berdarah. Ia menjadi marah sekali kepada Wiyati yang telah memfitnahnya, sehingga Sawung Rampak menampar wajahnya.

Tetapi Sawung Rampak itu justru tertawa. Katanya, “Kenapa jika kau sudah bersuami?”

“Sudah tentu aku akan terikat oleh suamiku. Laki-laki lain sebaiknya tidak menggangguku dengan cara apapun juga. Apalagi dengan cara yang kasar seperti caramu.”

“Siapakah suamimu itu? Apakah ia seorang yang kaya raya melampaui kekayaanku?”

“Tidak. Suamiku bukan seorang yang kaya.”

“Jika demikian, kau mempunyai peluang. Tinggalkan suamimu dan ikut aku. Aku mempunyai banyak uang. Jika kau tidak mau meninggalkan suamimu, biarlah hubungan di antara kita berlangsung terus, meskipun suamimu mengetahuinya. Aku akan mengancamnya. Jika ia berkeberatan, aku akan membunuhnya.”

Tetapi Wiyati pun tertawa pula. Katanya, “Suamiku bukan kecoa yang akan dengan mudah kau injak sampai mati.”

“Kau jangan menghinaku,” geram Sawung Rampak, “semua kemauanku harus terjadi. Jika kau menolak, kau akan ditangkap dan dibawa ke rumahku dengan kekerasan. Tidak seorang pun dapat menolongmu. Suamimu juga tidak.”

“Lucu sekali,” berkata Wiyati, “apakah di padukuhan ini tidak ada paugeran? Jika tingkah lakumu itu didengar oleh para prajurit Mataram, maka kau akan menjadi ndeg pangamun-amun.”

“Tidak ada prajurit Mataram yang berkeliaran sampai di sini. Jika ada, maka tidak seorang pun yang bersedia menjadi saksi atas perbuatanku itu. Suamimu akan dapat aku tuduh memfitnahku. Lurah prajurit Mataram itu akan tunduk kepadaku, jika aku menunjukkan keping-keping uang kepadanya.”

“Baik. Baik. Katakan bahwa tidak ada prajurit Mataram yang berkeliaran di sini. Bahkan seandainya ada, akan dapat kau suap untuk tidak bertindak apa-apa.” Wiyati termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Jika demikian, suamiku dapat juga berbuat di luar paugeran. Membunuhmu dan menyuap prajurit Mataram yang meronda.”

“He, kau kira siapakah suamimu itu? Dan kau anggap siapa aku ini, he?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar