Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 322

Buku 322

“Terima kasih Paman.”

Dalam pada itu, setelah minum minuman hangat serta makan beberapa potong makanan yang dihidangkan, Ki Widura pun telah mengajak Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk melihat-lihat keadaan padepokan kecil itu.

Ternyata Ki Widura tidak saja memelihara padepokan peninggalan Kiai Gringsing itu. Tetapi Ki Widura juga telah mengembangkannya. Padepokan itu menjadi semakin luas. Bangunannya pun menjadi semakin lengkap. Ki Demang memberikan beberapa petak tanah untuk menjadi tanah pertanian, serta mengizinkan Ki Widura membuka ujung hutan yang subur untuk menjadi ladang baru yang digarap oleh para cantrik. Ara-ara yang luas ditumbuhi oleh rerumputan yang hijau.

Ki Widura sengaja mengajak Agung Sedayu dan Sekar Mirah berkeliling di atas punggung kuda, untuk dapat melihat padepokan itu seluruhnya.

“Satu kebanggaan tersendiri, Paman,” desis Agung Sedayu.

“Kau dan Swandaru setiap kali harus datang untuk melihat perkembangan padepokan ini,” berkata Ki Widura.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Wajahnya nampak menjadi cerah seperti cerahnya langit waktu itu. Beberapa kelompok ternak nampak dilepas di padang rumput yang luas, sementara suara air gemericik mengalir di parit di pinggir jalan itu, menuju ke kotak-kotak sawah yang subur.

“Kami mengucapkan terima kasih atas kesungguhan Paman mengembangkan padepokan kecil ini.”

“Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Ki Demang Jati Anom sangat baik kepada kami. Mungkin Ki Demang mengerti bahwa aku adalah Paman Untara. Tetapi Ki Demang pun telah memanfaatkan para cantrik untuk membimbing anak-anak muda kademangan ini, untuk menggarap sawah dengan cara yang baik. Untuk beternak dan memelihara ikan di kolam-kolam air diam dan air mengalir. Kerajinan tangan, dan kerja yang lain yang berarti bagi mereka. Bahkan ada beberapa orang anak muda yang memang berada di padepokan ini sebagai cantrik. Dua orang di antara mereka termasuk pada lima orang cantrik terbaik di sini.”

Agung Sedayu yang masih mengangguk-angguk itu menyahut, “Syukurlah, Paman. Mudah-mudahan padepokan ini berkembang terus, meskipun kita tidak usah bermimpi padepokan ini menjadi sebuah padepokan yang besar.”

“Aku memang tidak ingin mengembangkan padepokan ini menjadi padepokan yang besar. Aku ingin padepokan ini tetap sebuah padepokan kecil, tetapi bobotnya sajalah yang harus dipertahankan. Meskipun mustahil untuk mempertahankan bobot kepemimpinan Kiai Gringsing.”

“Guru memang seorang yang sulit untuk ditandingi. Tetapi ternyata Paman mempunyai kelebihan pada sisi yang lain.”

Tetapi Ki Widura menggeleng sambil tertawa. Katanya, “Aku tidak akan dapat mempunyai kelebihan pada sisi apapun dari Kiai Gringsing. Tetapi aku berusaha sebaik-baiknya untuk menjadikan padepokan ini berarti. Bukan saja bagi para cantriknya, tetapi juga bagi para penghuni di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, cantrik padepokan kita tidak terpisah dari kehidupan orang banyak dalam susunan kewajaran sesama.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pandangan Pamannya atas lingkungannya sangat menarik.

Beberapa lama mereka berkuda mengelilingi satu lingkungan yang luas dari padepokan kecil yang berkembang itu.

Hubungan Ki Widura dan para penghuni kademangan itu pun ternyata sangat akrab pula. Setiap kali bertemu dengan orang-orang lewat, Ki Widura saling menyapa dengan akrabnya.

Beberapa saat kemudian, Ki Widura mengajak Agung Sedayu dan Sekar Mirah kembali ke padepokan, setelah mereka melihat sawah, petegalan, padang rumput dan kolam-kolam ikan yang mendukung padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Widura itu.

Ketika mereka sampai di padepokan dan setelah beristirahat sejenak sambil minum dan berbincang di pendapa, Ki Widura pun telah menunjukkan bilik bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

“Beristirahatlah,” berkata Ki Widura, “aku berharap bahwa kalian tidak hanya bermalam satu malam di sini.”

Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab.

Tetapi ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada di dalam bilik yang diperuntukkan bagi mereka, maka Agung Sedayu itu pun berdesis, “Jika saja tempat ini sangat menarik bagimu, bukankah kita dapat bermalam dua malam di sini?”

Sekar Mirah mengangguk. Katanya, “Jika masih ada yang ingin Kakang lihat, aku sama sekali tidak berkeberatan.”

Seperti dikatakan oleh Ki Widura, setelah mereka makan malam dan duduk-duduk di pringgitan sejenak, maka mereka pun telah pergi ke sanggar terbuka di bagian belakang dari padepokan itu. Beberapa buah oncor menyala di sekitar sanggar yang mempunyai peralatan yang lengkap itu. Dari bambu titian sampai ke tali untuk berayun. Arena berpasir dan berbatu-batu padas. Segala jenis senjata, termasuk senjata lontar.

Kepada para cantriknya Ki Widura itu pun berkata, “Nah, kita akan menunjukkan kepada murid utama Kiai Gringsing, Orang Bercambuk yang mendirikan padepokan ini, apa saja yang sudah kita capai selama ini.”

Para cantrik yang duduk di sekitar sanggar itu mendengarkan kata-kata Ki Widura dengan sungguh-sungguh. Sementara itu Ki Widura berkata selanjutnya, “Tidak ada niat sama sekali untuk menyombongkan diri, karena ilmu yang dimiliki oleh murid utama Kiai Gringsing ini tidak akan terjangkau oleh kita semuanya. Tetapi apa yang akan kita tunjukkan kepadanya adalah semacam pertanggung-jawaban kita yang menghuni padepokan ini. Siang tadi aku telah menunjukkan lingkungan padepokan ini. Bangunan-bangunan yang ada. Sawah, petegalan, padang penggembalaan, kolam-kolam ikan, serta segala jenis ternak dan binatang peliharaan kita. Nah, sekarang kita akan menunjukkan padepokan ini dari para cantrik pemula sampai kepada lima orang cantrik paling tua di padepokan ini.”

Para cantrik itu pun mengangguk-angguk. Seakan-akan mereka ingin menyatakan kesediaan mereka melakukan perintah gurunya itu.

Tetapi sejak sebelumnya, Ki Widura telah menunjuk beberapa orang yang akan mewakili kawan-kawannya yang lain.

Sejenak kemudian, seperti yang telah direncanakan oleh Widura, maka seorang demi seorang telah tampil di tengah-tengah sanggar. Dari tataran pemula, diteruskan oleh tataran-tataran berikutnya. Sehingga akhirnya tampil cantrik-cantrik yang disebut oleh Widura sebagai cantrik tertua.

Seorang demi seorang kelima orang cantrik tertua itu telah menunjukkan kemampuan mereka. Mereka telah menunjukkan unsur-unsur gerak dari ilmu yang mereka kuasai. Ilmu yang diturunkan oleh pemimpin padepokan kecil itu, Ki Widura.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah memperhatikan sejak dari cantrik pemula sampai kepada cantrik yang disebut tertua itu dengan seksama. Apalagi ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah melihat bagaimana kelima orang cantrik tertua itu menunjukkan kemampuan mereka.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah menggeleng-gelengkan kepala mereka. Ternyata padepokan kecil itu sudah menjadi sangat maju. Bukan saja gelar kewadagan padepokan itu, tetapi isi dari padepokan itu pun ternyata sangat mengagumkan. Terutama pada kelima cantrik itu. Agung Sedayu melihat unsur dari ilmu sebagaimana diturunkan oleh Ki Sadewa. Tetapi juga nampak unsur-unsur lain yang luluh ke dalamnya. Semuanya itu dirangkum dalam bingkai ilmu dari perguruan Orang Bercambuk itu sendiri.

Di telinga Sekar Mirah, Agung Sedayu pun berdesis, “Jika murid-muridnya mempunyai kemampuan sedemikian tingginya, maka kemampuan Paman Widura pun tentu sudah meningkat dengan pesat. Paman mencapai tataran puncak dari ilmunya justru pada usianya yang sudah menjadi semakin tua.”

“Paman memang agak terlambat.”

Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Agaknya untuk meningkatkan ilmu tidak akan pernah terlambat.”

“Ya, Kakang,” Sekar Mirah mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, seorang dari kelima orang cantrik tertua itu, telah menunjukkan kemampuannya mempergunakan senjata. Sebuah tombak pendek.

Demikian tinggi penguasaannya atas senjatanya, sehingga senjatanya itu seolah-olah merupakan bagian dari anggota badannya.

Kemudian seorang yang lain telah memperlihatkan keterampilannya mempergunakan senjata yang lain. Demikian pula orang ketiga dan keempat. Namun ketika orang kelima turun ke tengah-tengah sanggar, maka senjata yang dibawanya adalah sebuah cambuk, sebagaimana cambuk Agung Sedayu.

“Padepokan ini adalah padepokan yang dibangun oleh Orang Bercambuk. Karena itu, senjata yang paling diandalkan dari murid-murid di perguruan ini adalah cambuk, sebagaimana senjata utama Orang Bercambuk itu,” berkata Ki Widura.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun jantung mereka pun menjadi berdebaran.

Demikian orang itu berada di tengah-tengah sanggar terbuka itu, maka cambuknya pun segera mulai menggelepar. Suaranya meledak bagaikan lidah api yang menyambar di langit.

Dengan tangkasnya orang itu berloncatan sambil memutar cambuknya. Dengan cepat orang itu menggeliat sambil mengayunkan tangannya.

Sekali lagi suara cambuk itu menggelegar.

Ki Widura mengikuti gerak cantriknya dengan seksama. Demikian pula Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Setelah mempertunjukkan berbagai macam unsur gerak sampai ke unsur gerak yang paling rumit dengan kecepatan yang tinggi, maka orang itu pun telah melenting dan berputar di udara. Ketika kakinya kemudian melekat di atas tanah, maka kaki itu seakan-akan telah menghunjam dalam-dalam ke perut bumi.

Setelah memusatkan nalar budinya sekejap, maka orang itu telah mengangkat cambuknya. Ketika cambuk itu terayun dan dihentakkan sendal pancing, maka cambuk itu sama sekali tidak meledak. Bahkan hampir tidak terdengar suaranya sama sekali.

Tetapi dalam pada itu, udara di sanggar itu pun telah tergetar. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun segera mengetahui, bahwa orang itu telah berada dalam tataran yang tinggi dari ilmu Orang Bercambuk.

“Luar biasa!” desis Agung Sedayu. Di dalam hati ia pun berkata, “Jika demikian, maka kemampuan Paman Widura sudah dapat diperbandingkan dengan kemampuan Adi Swandaru. Murid utama Paman Widura ternyata telah menguasai ilmu pada tataran yang tinggi pula.”

Ketika cantrik itu selesai mempertunjukkan tataran ilmu yang sudah dikuasainya, maka hampir di luar sadarnya Agung Sedayu bangkit berdiri. Mengangguk hormat kepada cantrik itu, kemudian kepada Ki Widura yang juga bangkit berdiri.

“Aku mengucapkan selamat, Paman.”

“Tentu belum apa-apa dibandingkan dengan kemampuan murid utama Orang Bercambuk itu sendiri.”

“Jika para cantrik itu mampu mencapai tataran ilmu yang tinggi itu, maka tentu dapat diduga, betapa tinggi kemampuan gurunya.”

“Jangan memuji, Agung Sedayu. Yang aku lakukan adalah sekedar mengembangkan apa yang aku tahu.”

“Beberapa keturunan ilmu itu telah luluh Paman. Tetapi seperti itulah memang yang dikehendaki oleh Guru.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu berkata, “Dengan demikian, maka ilmu dari padepokan Orang Bercambuk akan berkembang.”

Ki Widura mengangguk sambil berkata, “Terima kasih atas penghargaanmu itu, Agung Sedayu. Mudah-mudahan kami tidak mengecewakanmu untuk selanjutnya.”

“Tentu tidak Paman. Aku senang sekali. Jika Adi Swandaru melihat perkembangan ini, ia pun akan berbangga pula.”

“Baiklah, Agung Sedayu. Mungkin kau masih belum terlalu letih untuk melihat, bagaimana para cantrik padepokan ini mempergunakan alat-alat yang ada ini untuk melatih keterampilan mereka dalam kehidupan sehari-hari.”

“Tentu, Paman. Kami sama sekali belum letih. Bukankah kami hanya duduk saja menonton?”

Demikian, beberapa saat kemudian, para cantrik pun telah memperlihatkan keterampilan mereka. Meniti balok. Bambu yang lentur, dan kemudian meniti tampar ijuk. Mereka mempertunjukkan keterampilan memanjat, menggelantung dan berayun pada tali-tali yang terjulur. Mereka mempertunjukkan bagaimana mereka dalam kelompok-kelompok memanjat dinding yang terjal. Meloncat dan berputar di udara. Dan masih banyak lagi yang dapat dilihat oleh Agung Sedayu. Semuanya itu bukan saja menunjukkan betapa tangan dan kaki para cantrik menjadi terampil, tetapi juga dapat menjadi alas penguasaan ilmu mereka.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah benar-benar mengagumi kegigihan Ki Widura yang sudah menjadi semakin tua itu. Namun ternyata Ki Widura justru telah mematangkan ilmunya.

Begitu asyiknya Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyaksikan kemampuan para cantrik dari padepokan kecil itu, sehingga mereka tidak menyadari bahwa tengah malam telah jauh terlampaui. Bahkan kokok ayam jantan untuk kedua kalinya telah terdengar.

Malam telah bergerak memasuki dini hari.

Ki Widura-lah yang kemudian menghentikan pertunjukan keterampilan para cantrik itu. Dengan nada dalam ia pun berkata. “Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Tidak sepatutnya aku memaksa kalian untuk duduk di sini dalam keadaan letih. Beristirahatlah. Hanya itulah permainan buruk yang dapat aku perlihatkan kepada kalian.”

“Paman terlalu merendahkan diri,” berkata Agung Sedayu.

“Bukan merendah diri. Tetapi di hadapanmu, murid Utama Orang Bercambuk, aku harus mengakui betapa dangkalnya ilmuku, dan apalagi para cantrik.”

Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Sangat mengagumkan, Paman.”

Demikianlah, maka Ki Widura pun telah mengantarkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah ke bangunan induk padepokan itu. Keduanya pun langsung pergi ke biliknya untuk beristirahat.

Namun sebelum mereka masuk ke dalam bilik mereka, Agung Sedayu pun sempat berkata, “Paman, apakah Paman besok bersedia berada di sanggar tertutup?”

“Tentu. Tentu, Agung Sedayu. Aku justru berharap.”

Agung Sedayu tersenyum. Namun kemudian ia pun mengangguk khidmat dan masuk ke dalam biliknya.

Di dalam biliknya, Sekar Mirah pun bertanya, “Untuk apa kau minta Paman besok masuk ke sanggar tertutup?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku ingin melihat, apakah masih ada kesempatan untuk mendorong Paman serba sedikit, agar ilmunya menjadi bertambah mapan. Tentu saja dalam waktu dekat dan sangat pendek aku tidak dapat berbuat apa-apa, selain sekedar menunjukkan jalan. Biarlah kemudian Paman sendiri yang mencarinya.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian ia pun telah berbaring di pembaringan.

Ketika Agung Sedayu yang kemudian juga berbaring masih membayangkan bagaimana para cantrik menunjukkan hasil yang mereka peroleh selama mereka berada di padepokan itu, Sekar Mirah justru mulai membayangkan anak Pandan Wangi dan anak Untara. Mereka adalah anak laki-laki yang dapat diharapkan bagi masa depan. Tetapi Sekar Mirah sendiri tidak mempunyai seorang anak pun.

Namun akhirnya keduanya pun dapat tidur lelap di dini hari.

Ketika fajar menyingsing, keduanya sudah bangun. Meskipun mereka hanya tertidur sebentar, tetapi mereka tidak nampak lelah. Bahkan keduanya pun telah sibuk pula sebagaimana para cantrik. Sekar Mirah telah berada di dapur bersama mereka yang menyiapkan minuman hangat serta makan pagi. Sementara Agung Sedayu telah berada di sumur untuk mengisi pakiwan.

Ketika seorang cantrik mencegahnya dan minta Agung Sedayu memberikan timbanya, maka Agung Sedayu pun berkata, “Aku sudah terbiasa melakukannya, sejak aku masih berada di padepokan ini.”

Seperti yang diminta oleh Agung Sedayu, maka menjelang matahari naik sepenggalah, Ki Widura, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berada di sanggar tertutup. Dengan nada rendah Agung Sedayu pun berkata, “Aku mohon maaf, Paman. Aku sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Tetapi sebagai murid utama perguruan Orang Bercambuk, aku ingin melihat, Paman sekarang berada di mana dalam tataran kemampuan para murid utama perguruan Orang Bercambuk.”

Ki Widura yang sudah menjadi semakin tua itu ia sekali tidak merasa tersinggung. Juga sebagai seorang paman. Ia sadar, bahwa di dalam urutan murid perguruan Orang Bercambuk, Agung Sedayu adalah yang tertua.

Karena itu, maka Ki Widura telah menempatkan dirinya sebagai adik seperguruan Agung Sedayu, sehingga Ki Widura pun telah siap melakukan segala perintah Agung Sedayu.

Sejenak kemudian, maka Ki Widura pun telah berdiri di tengah-tengah arena tertutup. Ia pun segera mempersiapkan diri sesuai dengan isyarat yang diberikan oleh Agung Sedayu.

Agung Sedayu sendiri berdiri beberapa langkah di hadapan Ki Widura. Ketika Ki Widura memandanginya, maka Agung Sedayu pun telah menganggukkan kepalanya sambil berdesis, “Mulailah, Paman.”

Ki Widura pun segera mulai. Sejak mengatur pernafasan, memanaskan urat-urat nadinya, melemaskan otot-ototnya, sehingga gerakan dasar. Kemudian meningkat pada tataran berikutnya, semakin lama semakin tinggi. Sehingga akhirnya sampai pada gerakan-gerakan yang paling rumit.

Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari Ki Widura menyaksikan Ki Widura yang berloncatan itu dengan seksama. Kepekaan seorang murid utama dari Orang Bercambuk membuat Agung Sedayu merasakan sentuhan-sentuhan angin yang bergetar akibat ayunan tangan dan kaki Ki Widura, sehingga Agung Sedayu dapat menjajagi tingkat kemampuan pamannya itu.

Ternyata seperti yang diturunkannya kepada para cantrik, yang nampak pada unsur-unsur gerak Ki Widura tidaklah mumi keturunan dari ilmu Orang Bercambuk. Tetapi pengaruh itu tidak membuat ilmu Ki Widura itu menjadi cacat. Tetapi ilmu Ki Widura justru nampak menjadi semakin lengkap. Celah-celah yang lemah telah diisi dengan padat, sehingga seakan-akan sama sekali tidak ada cacatnya.

Meskipun demikian, Agung Sedayu yang ilmunya sudah benar-benar masak itu masih melihat kemungkinan-kemungkinan yang terbuka untuk meningkatkan tataran ilmu Ki Widura.

Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak memutuskan ungkapan ilmu Ki Widura itu sampai pada saat terakhir, saat Ki Widura menunjukkan kemampuannya bermain dengan senjata. Puncak dari permainan Ki Widura adalah ilmu cambuk yang sudah dikuasai oleh Ki Widura.

Jika murid-murid Ki Widura itu sudah sampai pada tataran yang tinggi dari ilmu cambuk yang diturunkan oleh Kiai Gringsing, dilengkapi oleh pengaruh yang mapan, maka ilmu Ki Widura ternyata benar-benar mengagumkan. Meskipun masih belum mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu sendiri, namun Ki Widura benar-benar telah sampai ke puncaknya.

Bahkan Agung Sedayu mulai meragukan siapakah yang ilmunya lebih tinggi, Ki Widura atau Swandaru, yang terlena oleh kesalahannya menilai kemampuan saudara-saudara seperguruannya. Termasuk Ki Widura dan Glagah Putih.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Widura pun telah sampai di puncak permainannya. Ketika permainan cambuknya berakhir, maka Ki Widura pun telah mengendapkan ungkapan kekuatan dan tenaga dalamnya. Mengendurkan urat-uratnya dan mengatur pernafasannya, sehingga segala sesuatunya kembali kepada kewajarannya.

Demikian Ki Widura selesai, maka Agung Sedayu pun mengangguk hormat, sementara Ki Widura pun telah melakukan hal yang sama.

“Aku mohon petunjuk,” berkata Ki Widura yang menempatkan diri sebagai adik seperguruan Agung Sedayu.

Agung Sedayu pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Paman telah berada di tataran tertinggi dari ilmu Orang Bercambuk, yang justru Paman lengkapi dengan unsur-unsur dari ilmu yang lain, sehingga ilmu yang Paman kuasai itu menjadi lengkap.”

Ki Widura tidak menyahut. Ia masih menunggu petunjuk-petunjuk yang tentu akan diberikan oleh Agung Sedayu.

“Satu hal yang menakjubkan,” berkata Agung Sedayu kemudian, “perguruan Orang Bercambuk hanya menunjukkan jalannya. Tetapi semuanya itu Paman cari sendiri dengan ketekunan dan kecerdasan yang luar biasa. Apalagi dalam keadaan Paman sekarang, dalam umur yang sudah menjadi semakin tua.”

Ki Widura masih tetap berdiam diri. Sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Paman sudah tidak lagi mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ilmu Paman jika Paman kehendaki, setelah umur Paman menjadi semakin tua.”

“Aku tidak pernah menghiraukan umurku, Agung Sedayu.”

“Baiklah, Paman. Aku ingin menunjukkan jalan yang dapat Paman tempuh. Selebihnya, aku yakin Paman akan dapat mencarinya sendiri.”

Ki Widura mengerutkan dahinya, sementara Agung Sedayu pun melangkah maju.

“Paman. Kita akan berlatih bersama.”

Ki Widura mengerutkan dahinya. Namun Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Simpanlah cambuk Paman.”

Ki Widura pun kemudian telah menggantungkan cambuknya di dinding sanggar. Sejenak kemudian, Ki Widura itu telah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu.

“Aku tidak akan mulai dari landasan dasarnya. Darah Paman sudah panas. Aku hanya akan sekedar memanaskan tubuhku serta membangkitkan getar ilmuku. Selanjutnya kita akan langsung berada pada tataran tertinggi, sebagaimana Paman tunjukkan pada bagian akhir permainan Paman.”

Ki Widura menganggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa Agung Sedayu tentu akan memberikan petunjuk-petunjuk khusus dengan caranya. Karena itu, maka untuk menanggapinya dengan tepat, Ki Widura pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata, “Marilah Paman. Aku mohon Paman dapat melihat dan menangkap arah permainan kita. Selanjutnya Paman akan dapat mencarinya sendiri.”

Ki Widura mengangguk sambil berdesis, “Aku sudah bersiap.”

Demikianlah, sejenak kemudian keduanya pun telah terlibat dalam latihan yang rumit. Pada permulaannya, Agung Sedayu lebih banyak berloncatan, sekedar untuk memanaskan darahnya. Namun demikian, unsur-unsur geraknya semakin lama menjadi semakin rumit. Sehingga ketika keringatnya mulai membasahi punggung bajunya, maka Agung Sedayu pun seakan-akan telah menjadi bersungguh-sungguh.

Untuk menanggapinya, maka Ki Widura pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Ki Widura pun telah menggapai tataran tertinggi dari ilmu yang telah disadapnya dari perguruan Orang Bercambuk. Tetapi unsur-unsurnya telah dilengkapi oleh unsur-unsur gerak yang diturunkan oleh perguruan lain yang pernah disadapnya pula.

Namun sebenarnyalah bahwa ilmu Agung Sedayu sendiri juga bukan ilmu yang mumi dari perguruan Orang Bercambuk. Hal itu sudah diketahui oleh gurunya. Bahkan gurunya-lah yang menganjurkannya untuk melengkapi ilmunya dengan ilmu yang manapun yang watak dan sifatnya sesuai, tanpa menimbulkan benturan-benturan di dalam dirinya.

Beberapa saat lamanya Agung Sedayu dan Ki Widura seakan-akan sedang bertempur dalam puncak ilmu mereka. Beberapa kali Ki Widura terdesak, tergetar dan bahkan terdorong surut. Beberapa kali telah terjadi benturan-benturan yang bahkan melemparkan Ki Widura, sehingga hampir saja menimpa tiang-tiang penyangga alat-alat latihan di dalam sanggar.

Namun sebenarnyalah bahwa Ki Widura tidak sekedar bertempur untuk memenangkannya. Tetapi dengan cermat ia mengamati unsur gerak lawannya yang sangat rumit.

Sekar Mirah yang menyaksikan latihan bersama itu menjadi berdebar-debar. Meskipun Sekar Mirah sendiri berilmu tinggi, tetapi sulit baginya untuk membedakan bahwa Agung Sedayu dan Ki Widura itu tidak sedang bertempur bersungguh-sungguh. Bahkan Sekar Mirah itu sempat menjadi cemas bahwa keduanya mulai kehilangan kendali, sehingga mereka terjerumus ke dalam pertempuran yang sesungguhnya.

Apalagi ketika ia melihat Ki Widura semakin sering dikenai serangan-serangan Agung Sedayu, sehingga setiap kali Ki Widura itu terlempar jatuh dan harus meloncat berdiri, dan bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya.

Namun akhirnya Sekar Mirah itu menarik nafas dalam-dalam. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin lamban. Bahkan kemudian Agung Sedayu pun telah memberikan isyarat, bahwa latihan itu pun sudah berakhir.

Yang mereka lakukan kemudian adalah sekedar mengendurkan urat-urat dan syaraf mereka, mengatur pernafasan dan mengendapkan tenaga yang terangkat.

Akhirnya keduanya pun berhenti bergerak. Agung Sedayu mengangguk hormat. Demikian pula Ki Widura.

“Maaf, Paman,” berkata Agung Sedayu kemudian, “mungkin permainan ini merupakan permainan yang terlalu keras bagi Paman.”

Ki Widura tersenyum. Pernafasannya sudah menjadi teratur kembali. Namun masih terasa aliran nafas itu masih terlalu cepat.

“Paman,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku hanya ingin menunjukkan kelemahan-kelemahan yang masih harus Paman perhatikan. Paman harus menemukan perlindungannya, sehingga tidak mudah menjadi titik sasaran dalam pertempuran yang sebenarnya terjadi. Paman tentu tidak akan mengalami kesulitan. Selain itu, Paman pun akan menemukan tumpuan-tumpuan baru untuk melontarkan kemampuan tertinggi dari ilmu yang telah Paman kuasai.”

“Terima kasih, Agung Sedayu. Aku mengerti maksudmu. Aku merasakan beberapa daun pintu telah kau buka, sehingga aku akan dapat memasukinya. Apakah aku akan sampai di dalam atau tidak, itu tergantung kepada landasan kemampuanku. Jika terjadi kegagalan, sama sekali bukan salahmu. Kecuali jika kau dapat berada di padepokan ini sedikitnya setengah tahun. Dan itu adalah mustahil.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tanpa aku, Paman akan berhasil. Bahkan mungkin Paman memerlukan waktu yang lebih pendek. Aku yakin.”

“Mudah-mudahan aku mampu melakukannya.”

Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk hormat sambil berkata. “Aku mohon maaf, Paman. Mungkin aku telah melanggar unggah-ungguh, bahwa aku berani menggurui Paman.”

“Bukankah itu sudah sewajarnya terjadi? Jangan hiraukan umurku. Jangan hiraukan pertalian darah di antara kita.”

“Ya, Paman.”

“Umur bagiku bukan alasan untuk bermalas-malas. Menuntut ilmu tidak harus berhenti karena umurku, selagi masih mampu melakukannya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Terima kasih atas pengertian Paman.”

“Akulah yang seharusnya mengucapkan terima kasih, Agung Sedayu.”

Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berada di dalam sanggar. Agung Sedayu dan Ki Widura masih berbincang tentang berbagai kemungkinan. Sekali-sekali keduanya berdiri dan mencoba menerapkan unsur-unsur gerak yang mereka perbincangkan.

Akhirnya Agung Sedayu itu pun berkata, “Sudahlah, Paman. Aku kira kita sudah cukup lama berada di dalam sanggar.”

“Baiklah, Agung Sedayu. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Sepeninggalmu, aku akan berusaha untuk dapat mengisi kekurangan-kekurangan yang telah kau tunjukkan.”

“Paman tentu akan berhasil.”

“Mudah-mudahan. Tetapi aku tentu memerlukan waktu yang panjang.”

“Aku berharap bahwa murid-murid utama yang sekarang akan mampu meningkatkan ilmu mereka pula, sehingga perguruan Orang Bercambuk justru akan menjadi semakin mekar.”

“Kami berharap bahwa sekali-sekali kau sempat datang, Agung Sedayu.”

“Akan aku usahakan, Paman.”

“Aku tahu bahwa tugasmu cukup banyak. Tetapi kau tentu akan dapat menyisihkan waktu barang dua tiga hari untuk berada di padepokan kami.”

Demikianlah, sejenak kemudian mereka telah keluar dari sanggar tertutup. Beberapa orang cantrik berharap-harap cemas. Mereka memang berharap bahwa dengan demikian, mereka pun akan mendapat percikan hasil pertemuan antara Ki Widura dan Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Ki Widura masih minta Agung Sedayu untuk bermalam semalam lagi. Dengan ragu-ragu Ki Widura pun berkata, “Agung Sedayu. Aku minta maaf kepadamu. Ada satu dua orang cantrik dari perguruan ini yang benar-benar belum mengenalmu. Sementara itu, terus terang ada seorang di antara murid utama yang hatinya telah terbakar oleh keberhasilannya, dan membuatnya menjadi terlalu sombong. Aku tidak akan menyebutkan siapakah orang itu. Tetapi aku mohon, malam nanti kau dapat meyakinkan mereka, bahwa kau adalah murid tertua dari perguruan Orang Bercambuk.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa kecil sambil berkata, “Biar sajalah, Paman. Aku tidak ingin memaksa para cantik maupun murid utama itu mempercayai kemampuanku. Swandaru juga tidak dapat menilai kemampuanku dengan benar. Aku tidak berkeberatan.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa kau akan bersikap demikian. Tetapi aku menganggap perlu bahwa kau bersedia melakukannya. Bukan untuk kepentinganmu Agung Sedayu, tetapi untuk sedikit memberi peringatan kepada orang itu. Ia harus dibenturkan pada satu kenyataan yang dapat langsung menggores jiwanya.”

Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak, Paman. Orang itu tentu percaya kepada Paman. Juga percaya kepada apa yang Paman katakan. Antara lain adalah tentang aku.”

Ki Widura menarik nafas panjang. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Orang itu bukannya tidak percaya, Kakang, tetapi orang itu sekedar ingin membuktikan.”

Tetapi Agung Sedayu menyahut, “Aku tidak merasa perlu membuktikannya, Sekar Mirah. Pada saatnya ia akan menyadarinya.”

“Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian, “apa yang dapat Kakang lakukan terhadap Kakang Swandaru sekarang? Justru karena Kakang tidak mau menghentikan mimpinya selagi ia baru saja tertidur, sekarang Kakang sudah terlambat. Sementara itu, Kakang Swandaru menjadi semakin jauh meninggalkan kenyataan. Ia merasa dirinya mempunyai kemampuan lebih tinggi dari Kakang. Jika pada suatu saat ia menyadarinya dengan cara yang tidak bijaksana, maka harga dirinya akan hancur sama sekali.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku memang bersalah. Tetapi kedudukan Adi Swandaru berbeda dengan kedudukan para cantrik di padepokan ini.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.

Ki Widura yang mengenal sifat dan watak Agung Sedayu tidak dapat memaksanya. Katanya kemudian, “Baiklah, Agung Sedayu. Aku mengerti keberatanmu. Karena itu, jika perlu, biarlah aku saja akan meyakinkannya.”

Agung Sedayu tersenyum sambil berkata, “Maaf, Paman. Aku tidak merasa perlu melakukannya. Mungkin pada kesempatan lain.”

“Tetapi bukankah malam nanti kau masih akan bermalam di sini, meskipun hanya semalam?”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya, Paman. Aku akan bermalam di sini.”

Sebenarnyalah malam itu Agung Sedayu masih bermalam di padepokan kecil peninggalan Orang Bercambuk itu.

Ternyata bahwa seperti yang dikatakan oleh Ki Widura, seorang di antara murid utama telah menghadap Ki Widura. Sambil mengangguk hormat orang itu pun berkata, “Guru. Aku mohon Guru dapat menyampaikannya. Aku mohon maaf, bahwa aku ingin meyakinkan tingkat ilmu Ki Lurah Agung Sedayu.”

Ki Widura pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau telah mempermalukan aku di hadapan murid utama Orang Bercambuk itu.”

“Kenapa, Guru?”

“Aku sudah mengatakan kepadanya, meskipun kau belum minta kepadaku. Aku sudah mendengar niatmu dan bahkan satu dua orang cantrik yang lebih muda.”

“Terima kasih, Guru.”

“Tetapi jawabnya adalah jawaban seorang murid Orang Bercambuk sejati.”

“Apa jawabnya?”

“Ki Lurah Agung Sedayu merasa tidak perlu melakukannya.”

Murid Ki Widura itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Kenapa Ki Lurah tidak mau melakukannya?”

“Ia tak merasa perlu meyakinkan siapa pun yang meragukannya.”

Murid Ki Widura itu tertegun sejenak. Namun kemudian katanya, “Guru. Apakah hal itu tidak semakin meragukan? Ki Lurah telah mengelak dari tanggung jawabnya.”

“Tanggung jawab apa?”

“Ia harus mempertanggung-jawabkan tataran kemampuan dari murid satu perguruan.”

“Siapa yang mengatakan bahwa seseorang harus mempertanggung-jawabkan tataran kemampuannya?”

“Lalu beban apa yang harus dipikul oleh saudara tua dalam satu perguruan? Sebagai murid tertua, Ki Lurah harus dapat menunjukkan kelebihannya kepada murid-murid yang lebih muda.”

“Tidak ada keharusan semacam itu. Bahkan tidak ada tanggung jawab yang membebani seorang murid yang lebih tua, bahwa ia harus memiliki kelebihan dari yang lebih muda. Bahkan tidak ada keharusan bahwa ilmu dari seorang guru lebih tinggi dari muridnya. Apalagi dalam perguruan Orang Bercambuk yang terbuka. Mungkin sekali seorang murid memiliki ilmu yang akhirnya lebih tinggi dari gurunya. Dan itu sangat diharapkan dalam perguruan ini, karena dengan demikian, bobot dari perguruan Orang Bercambuk akan semakin meningkat. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilepaskan, yaitu tanggung jawab jiwani selaku murid perguruan ini.”

Dahi murid Ki Widura itu berkerut. katanya, “Guru. Bukan aku saja yang menjadi kecewa. Tetapi para murid dari perguruan ini.”

“Terserah kepada kalian. Tetapi aku ingin kau menjawab dengan jujur pertanyaanku.”

Murid Ki Widura itu termangu-mangu sejenak.

“Kau yakin atau tidak terhadap ilmuku?”

“Tentu, Guru.”

“Apakah kau masih juga merasa perlu untuk meyakinkan ilmuku?”

“Tentu tidak, Guru.”

“Kau benar-benar percaya kepadaku?”

“Ya, Guru.”

“Jika demikian, kau akan dapat meyakinkan dirimu tentang Ki Lurah Agung Sedayu, bahwa kemampuannya masih jauh di atas kemampuanku. Aku masih pantas berguru kepadanya. Untuk mencapai tataran kemampuan Agung Sedayu, maka sisa umurku tidak akan cukup, meskipun umurku akan mencapai lebih dari seratus tahun.”

Murid Ki Widura itu terdiam. Tetapi Ki Widura dapat menangkap percikan perasaannya. Muridnya itu menjadi kecewa, karena Agung Sedayu tidak bersedia menunjukkan kelebihannya kepadanya.

“Nah, katakan kepada saudara-saudaramu.”

Murid Ki Widura itu pun mengangguk dalam-dalam. Tetapi seperti yang diduga oleh Ki Widura, orang itu benar-benar merasa kecewa.

Ki Widura tidak ingin menyembunyikan kekecewaan seorang muridnya itu kepada Agung Sedayu. Di sore hari, ketika Widura duduk di pendapa bangunan induk padepokan kecilnya bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah, hal itu telah disampaikannya.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Hal itu wajar sekali, Paman. Dari telur sepetarangan, akan menetas anak ayam yang bulunya dapat berbeda.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Dua orang murid utama Kiai Gringsing itu pun mempunyai sifat dan watak yang berbeda. Bahkan mereka seakan-akan berdiri di jalan simpang dan memilih jalan yang berbeda.”

“Karena itu, Paman,” berkata Agung Sedayu kemudian, “biarkan saja murid Paman itu menjadi kecewa, asal ia tidak kecewa terhadap Paman. Terhadap gurunya. Jika murid itu telah menjadi kecewa terhadap gurunya, maka kewajiban Paman untuk meyakinkan bahwa ilmunya masih jauh di bawah tataran ilmu gurunya.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Memang jarang sekali orang yang bersikap seperti Agung Sedayu. Ia sama sekali tidak berkeberatan terhadap orang lain yang meragukan ilmu dan kemampuannya.

“Jika saja aku menjadi Agung Sedayu,” berkata Ki Widura di dalam hatinya, “aku akan meyakinkan anak itu sehingga ia menjadi jera. Tetapi itulah bedanya aku dan Agung Sedayu. Jiwaku terlalu kerdil dibandingkan dengan Agung Sedayu yang dadanya selapang lautan.”

Malam itu Agung Sedayu masih bermalam di padepokan kecil. Ia memang merasakan sikap beberapa orang cantrik yang kecewa. Bahkan Agung Sedayu pun mengerti, bahwa ada satu dua cantrik yang menganggap Ki Widura telah melindunginya. Ki Widura dianggap dengan sengaja menyembunyikan kelemahan Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu terpaksa memenuhi keinginan beberapa orang cantrik itu, maka akan nampak bahwa sebenarnya Ki Lurah Agung Sedayu itu tidak sebesar namanya yang semarak di lingkungan perguruan Orang Bercambuk itu. Tetapi Agung Sedayu benar-benar tidak berkeberatan terhadap anggapan itu. Agung Sedayu tetap berpendapat bahwa ia tidak perlu berbuat sesuatu untuk meyakinkan para cantrik, bahwa Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.

Pada malam terakhir itu, Agung Sedayu dan Ki Widura sempat berbincang panjang tentang ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. Agung Sedayu masih sempat memberikan petunjuk-petunjuk kepada Ki Widura, apa yang sebaiknya dilakukannya.

Lewat tengah malam, pembicaraan mereka baru berakhir. Ki Widura merasa mendapat bahan banyak sekali, bukan saja bagi perkembangan ilmunya sendiri, tetapi juga bagi padepokannya.

Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berada di dalam biliknya, Sekar Mirah masih juga sempat berkata, “Kakang. Apakah Kakang benar-benar tidak ingin memberikan sedikit kepuasan kepada para cantrik yang sangat mengharapkan dapat melihat kelebihan Kakang?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Sudahlah, Sekar Mirah, kita akan segera tidur. Besok kita akan kembali ke Sangkal Putung.”

Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas panjang.

Ternyata Agung Sedayu dapat tidur lebih dahulu dari Sekar Mirah. Sekar Mirah masih saja memikirkan betapa kecewanya beberapa orang cantrik terhadap sikap Agung Sedayu.

Namun akhirnya Sekar Mirah pun dapat tertidur juga di dini hari.

Menjelang fajar, keduanya sudah bangun. Mereka pun segera bersiap-siap untuk kembali ke Sangkal Putung.

“Mumpung belum panas, Paman,” desis Agung Sedayu.

“Perjalanan kalian tidak terlalu panjang. Kenapa kalian tergesa-gesa berangkat? Seandainya kalian berangkat di tengah hari pun, keringat kalian tidak bakal kering di perjalanan.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah hanya tersenyum saja. Namun demikian, mereka memang tidak dapat segera berangkat. Ki Widura minta mereka berangkat setelah mereka makan pagi.

“Kalian tidak akan dikejar oleh waktu. Kapan saja kalian berangkat, kalian tidak akan pernah terlambat.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah tertawa. Namun setelah makan pagi dan beristirahat sejenak, maka keduanya pun benar-benar minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung.

“Terima kasih atas kunjunganmu, Agung Sedayu,” berkata Ki Widura ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah benar-benar akan berangkat, “salamku buat Angger Swandaru, Sekar Mirah.”

“Akan aku sampaikan, Paman,” sahut Sekar Mirah.

“Salam buat Ki Demang dan seisi Kademangan.”

“Ya, Paman.”

“Kadang-kadang aku merasa sangat rindu untuk berada di Sangkal Putung barang satu dua hari. Tetapi barangkali aku memang terlalu malas.”

“Ayah tentu akan mempertanyakan Paman.”

“Lain kali aku benar-benar berniat. Perjalanan itu hanya memerlukan waktu beberapa lama.”

“Ayah akan senang sekali menerima kunjungan Paman.”

Demikianlah, beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan. Sekar Mirah pun meninggalkan padepokan kecil itu. Para cantrik ikut melepas mereka di halaman padepokan.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah melarikan kuda mereka sepanjang jalan menuju ke Sangkal Putung. Mereka menempuh jalan sebagaimana jalan yang mereka lalui ketika mereka pergi ke Jati Anom.

Hari masih pagi. Matahari baru saja terbit, sehingga sinarnya masih terasa lembut menyentuh kulit. Titik-titik embun masih bergayutan di ujung dedaunan. Satu-satu menetes, jatuh di tanah. Di dahan-dahan pepohonan, burung-burung liar berkicau bersahutan, menyambut datangnya hari yang baru.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang memang tidak tergesa-gesa itu melarikan kuda mereka tidak terlalu cepat. Sekali-sekali kuda-kuda itu menengadahkan kepala mereka. Namun kemudian kuda-kuda itu pun kembali menunduk sambil berlari menyusuri jalan ke Sangkal Putung.

Di sepanjang jalan, Agung Sedayu dan Sekar Mirah sempat membicarakan lingkungan itu pada saat Macan Kepatihan berusaha merebut Sangkal Putung untuk dijadikan alas perjuangan mereka.

Agung Sedayu tertawa sendiri jika ia mengingat betapa takutnya ia berkuda di malam hari sendiri dari dukuh Pakuwon menuju ke Sangkal Putung.

“Ada apa, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

“Gendruwo bermata satu,” desis Agung Sedayu sambil tertawa pula.

Sekar Mirah yang pernah mendengar cerita tentang Gendruwo bermata satu dari Agung Sedayu sendiri, serta bagaimana Agung Sedayu itu ketakutan, ikut tertawa pula.

Demikianlah, sambil berbincang di sepanjang jalan, mereka pun kemudian telah sampai ke tikungan yang menurun, tidak terlalu jauh dari sebuah hutan yang membentang.

“Jika tempat ini disebut Macanan, tentu ada sebabnya,” berkata Agung Sedayu.

“Mungkin sering ada harimau berkeliaran di daerah ini,” sahut Sekar Mirah.

“Di antaranya harimau putih,” desis Agung Sedayu.

“Semakin ramai jalan ini, harimau itu menjadi semakin jarang datang kemari.”

“Ya. Tetapi tempat ini masih saja disebut Macanan.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk.

Namun keduanya terkejut ketika dari jalan simpang di atas tikungan yang menurun dan kemudian menanjak lagi itu, muncul tiga orang berkuda.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah segera menarik kendali kudanya. Sementara seorang di antara ketiga orang berkuda itu mengangguk hormat sambil berdesis, “Selamat pagi, Ki Lurah Agung Sedayu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Diamatinya orang itu dengan seksama. Kemudian dengan nada rendah ia pun berdesis, “Witarsa.”

“Ya, Ki Lurah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketiga orang berkuda itu adalah murid padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Widura. Tetapi kedua orang yang lain, Agung Sedayu masih belum mengenal namanya.

“Keduanya adalah adik seperguruanku, Ki Lurah.”

“Ya.”

“Kami minta maaf, Ki Lurah. Bahkan kami telah menghentikan perjalanan Ki Lurah di sini.”

“Ada apa? Ada pesan khusus dari Paman Widura yang lupa dikatakan kepada kami?”

“Tidak, Ki Lurah. Kami justru menyusul Ki Lurah dengan memotong jalan, tanpa sepengetahuan Guru.”

“Oh,” jantung Agung Sedayu terasa mulai berdebaran.

“Kami menyusul Ki Lurah sekedar untuk memuaskan hatiku serta beberapa orang cantrik, yang merasa sangat kecewa terhadap sikap Ki Lurah.”

“Kenapa mereka menjadi kecewa?”

“Nama Ki Lurah telah kami kenal dengan baik. Kebesaran nama Ki Lurah selalu disebut-sebut oleh Guru sebagai contoh dari seorang murid perguruan Orang Bercambuk yang berhasil. Tetapi Ki Lurah segan untuk menunjukkan keberhasilan itu kepada kami.”

“Apa yang perlu ditunjukkan?”

“Nama besar Ki Lurah serta kelebihan Ki Lurah dalam olah kanuragan.”

“Tidak ada nama besar itu. Tidak pula ada kelebihan apa-apa. Justru aku kagum melihat kemampuan kalian, ketika kalian menunjukkan kemampuan kalian di sanggar.”

“Tidak, Ki Lurah. Menurut Guru, Ki Lurah memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Kau percaya kepada gurumu?”

“Tentu.”

“Jika demikian, apalagi yang perlu ditunjukkan, jika kau percaya kepada gurumu?”

Wajah orang itu menegang. Dengan nada tinggi Witarsa itu pun berkata, “Kami ingin meyakinkannya, Ki Lurah.”

“Tidak ada yang perlu diyakinkan.”

“Tegasnya, kami ingin membuktikan tingkat kemampuan Ki Lurah. Seberapa tinggi ilmu yang dimaksud oleh Guru itu.”

Agung Sedayu tersenyum sambil menggeleng. Katanya, “Tidak ada yang perlu dibuktikan.”

Wajah Witarsa menjadi semakin tegang. Dengan suara yang bergetar ia pun berkata, “Ki Lurah telah menghina kami. Mungkin kami memang tidak berarti apa-apa di mata Ki Lurah. Mungkin Ki Lurah menganggap kami tidak akan mengerti tataran ilmu Ki Lurah yang melampaui tingginya awan di langit. Namun kami mempunyai harga diri pula, Ki Lurah. Terus terang, kami meragukan kemampuan Ki Lurah, sebelum kami dapat membuktikannya.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Sudah aku katakan kepada Paman Widura, bahwa aku tidak berkeberatan seandainya ada orang yang meragukan kemampuanku. Bahkan tidak percaya sama sekali, dan menganggap cerita tentang ilmuku itu omong kosong.”

“Aku akan menantang Ki Lurah,” berkata Witarsa, “melawan atau tidak melawan.”

Orang itu pun kemudian telah meloncat turun dari kudanya dan berdiri bertolak pinggang di tengah jalan.

Agung Sedayu memandang berkeling. Ada beberapa orang lewat yang berhenti. Mereka tertarik kepada pembicaraannya dengan ketiga orang berkuda itu. Semakin lama semakin banyak.

“Kita akan menjadi tontonan. Sudahlah. Jangan memaksa.”

“Aku akan memaksa. Jika Ki Lurah tidak ingin menjadi tontonan, kita pergi ke pinggir hutan itu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun Sekar Mirah berkata, “Jangan mengulangi kesalahan Kakang sebagaimana Kakang lakukan terhadap Kakang Swandaru.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Namun Sekar Mirah telah mendesaknya, “Kakang. Kita pergi ke pinggir hutan itu. apapun yang akan Kakang lakukan. Semakin lama memang semakin banyak orang yang menonton pertunjukan ini.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “kita pergi ke pinggir hutan.”

Agung Sedayu tidak menunggu. Ia pun kemudian telah menggerakkan kendali kudanya.

Bersama Sekar Mirah keduanya pergi ke pinggir hutan. Sementara itu ketiga orang yang menghentikannya telah mengikutinya pula.

Beberapa saat kemudian, ketika Agung Sedayu sudah sampai di pinggir hutan, maka ia pun menghentikan kudanya. Bersama Sekar Mirah, Agung Sedayu menunggu ketiga orang yang menyusulnya.

“Kakang tidak perlu menyembunyikan kemampuan Kakang. Di segala medan Kakang telah menunjukkan kelebihan Kakang. Apapula perlunya Kakang menyembunyikannya terhadap murid-murid perguruan Orang Bercambuk? Jika dalam urutan murid utama Kiai Gringsing, Kakang lebih tua dari kanak-kanak di mata Kakang. Kanak-kanak yang sudah berani menantang orang yang jauh lebih tua, di dalam hal ini adalah dalam tataran oleh kanuragan, harus mendapat sedikit peringatan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Kau benar Sekar Mirah. Anak-anak itu harus mendapat sedikit peringatan, agar tidak merasa dirinya terlalu besar.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Kakang dapat sedikit menarik telinga mereka agar selanjutnya tidak nakal lagi.”

Agung Sedayu pun kemudian telah turun dari kudanya. Katanya, “Aku akan memberi mereka peringatan. Tetapi bukan berarti aku harus berkelahi dengan anak-anak.”

“Mereka telah menantang Kakang.”

“Aku akan menunjukkan permainan yang barangkali menarik bagi mereka.”

Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, “Aku sependapat dengan Kakang. Berkelahi melawan anak-anak memang akan dapat ditertawakan orang. Tetapi memberi mereka permainan, agaknya lebih sesuai bagi mereka.”

Demikianlah, Agung Sedayu pun berdiri di tengah jalan setapak yang menuju ke hutan yang memanjang. Hutan yang dahulu sudah berada di tempat itu sejak Agung Sedayu masih remaja. Agaknya perluasan tanah pertanian masih belum merambah sampai ke hutan itu.

Beberapa puluh patok di depan, Agung Sedayu melihat ketiga orang berkuda yang menyusulnya.

Agung Sedayu memang sudah bertekad untuk melayani murid-murid Widura itu tidak dengan memperbandingkan langsung ilmunya Tetapi Agung Sedayu akan membuat kejutan-kejutan yang dapat membuat murid-murid Widura itu membuat penilaian tentang dirinya, sebagaimana mereka kehendaki.

Karena itu, Agung Sedayu pun telah memusatkan nalar budinya. Dengan ilmunya yang terpancar dari sorot matanya, Agung Sedayu telah menikam sebatang dahan yang besar pada sebatang pohon kayu yang tumbuh di pinggir jalan yang menuju ke hutan itu.

Terdengar suaranya berderak. Daunnya yang rimbun terayun sejenak. Namun kemudian dahan itu pun patah dan jatuh ke jalan.

Ketiga ekor kuda yang ditumpangi oleh ketiga murid Ki Widura itu pun terkejut. Ketiganya mengangkat kaki depannya sambil meringkik.

Seorang dari ketiga orang murid Ki Widura itu terlempar jatuh.

Sedangkan kedua orang yang lain dengan susah payah berusaha mengendalikan kuda-kuda mereka.

Baru beberapa saat kemudian kuda-kuda itu menjadi tenang, sementara yang terjatuh bangkit kembali, meskipun punggungnya terasa sakit.

Ketiga orang yang jantungnya masih berdebaran itu terkejut ketika mereka melihat Agung Sedayu berdiri di atas dahan yang patah itu sambil berkata, “Berhati-hatilah!”

Telinga murid-murid Ki Widura itu terasa panas. Namun sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, mereka menjadi semakin terkejut ketika mereka melihat Agung Sedayu yang lain menyusup di sela-sela daun yang rimbun dari dahan yang patah itu. Demikian ia berdiri tegak, maka ia pun berkata, “Seharusnya kau belajar naik kuda dua tiga bulan lagi di padepokan.”

Jantung ketiga orang itu bergetar. Mereka mulai mempertanyakan, kenapa dahan itu patah. Dan kenapa tiba-tiba saja mereka melihat dua orang Agung Sedayu.

Tetapi mereka semakin terkejut ketika mereka melihat seorang lagi Agung Sedayu meloncati tanggul parit. Terdengar suara tertawanya berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya terdengar Agung Sedayu bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

Kedua orang yang masih berada di punggung kudanya itu pun meloncat turun. Tetapi mereka kebingungan, sehingga tidak seorang pun di antara mereka yang menjawab.

Selagi ketiga orang itu masih dicengkam oleh ketegangan, maka Agung Sedayu yang berdiri di atas dahan kayu yang patah itu berkata, “Marilah, kita tunggu mereka di pinggir hutan.”

Sejenak kemudian, kedua orang Agung Sedayu yang lain pun telah berloncatan di atas dahan kayu yang patah itu. Ketiga-tiganya segera hilang di balik rimbunnya daun di dahan kayu yang patah itu.

Ketiga orang murid Ki Widura itu saling berpandangan sejenak. Mereka baru sempat menilai apa yang telah terjadi.

Tidak ada hujan dan tidak ada angin, apalagi prahara, dahan kayu yang besar itu telah patah. Untung saja tidak tepat menimpa kepala mereka, sehingga mereka tidak terbaring diam di bawah dahan kayu yang besar itu.

“Kenapa dahan itu tiba-tiba saja patah?” desis seorang di antara mereka.

Namun seorang yang lain berdesis, “Apakah kalian melihat Ki Lurah Agung Sedayu berdiri di atas dahan yang patah itu?”

“Ya,” sahut kawannya. Namun dengan wajah yang tegang kawan itu berkata selanjutnya, “Tetapi aku melihat Ki Lurah yang lain lagi.”

“Ada tiga,” terdengar suaranya bergetar.

Witarsa berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia pun berdesis, “Kita pergi ke belakang dahan kayu ini. Kita temui Ki Lurah Agung Sedayu. Apakah benar jumlahnya ada tiga, atau kita sajalah yang bermimpi, atau satu permainan sihir yang dapat mengelabui mata kita?”

Ketiga orang itu pun kemudian menuntun kuda mereka, turun menyibak gerumbul-gerumbul perdu yang melingkari pohon besar yang dahannya patah itu.

Semak-semak yang rimbun itu telah mengotori pakaian mereka. Ranting-ranting patah dan duri telah menggores kulit mereka.

Namun akhirnya mereka naik kembali ke jalan yang terputus oleh dahan yang patah dan menyilang itu.

Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Agung Sedayu dan Sekar Mirah berdiri sambil memegangi kendali kuda mereka.

“Apakah niat kita akan kita lanjutkan, Kakang Witarsa?” bertanya seorang di antara mereka.

Seorang yang lain pun berdesis, “Ilmunya jauh di luar jangkauan kita, Kakang.”

Witarsa termangu-mangu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Mungkin Ki Lurah mempunyai kemampuan ilmu sihir. Tetapi aku belum yakin akan kemampuannya dalam olah kanuragan.”

“Apakah dahan yang menyilang jalan ini juga sekedar penglihatan kita karena ilmu sihir, atau bentuk-bentuk semu?”

“Aku mengerti. Tetapi aku akan meyakinkan kemampuannya dalam olah kanuragan.”

Kedua orang adik seperguruan Witarsa itu terdiam. Mereka hanya mengikuti saja Witarsa yang menuntun kudanya melangkah mendekati Agung Sedayu.

Sementara itu Agung Sedayu pun berdesis, “Mereka memang menjadi ragu-ragu. Tetapi agaknya Witarsa memang keras kepala.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Ya. Karena itu, tarik kupingnya, sampai anak itu menyeringai kesakitan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, Witarsa yang berjalan sambil menuntun kudanya di paling depan telah berdiri beberapa langkah di depan Agung Sedayu. Dengan nada rendah ia berkata, “Ki Lurah ternyata memiliki juga kemampuan ilmu sihir yang mengagumkan. Ki Lurah dapat mematahkan dahan kayu itu, atau sekedar penglihatan kami saja, sebagaimana kami melihat ada tiga orang Agung Sedayu.”

Agung Sedayu yang sejak semula tidak ingin melayani tantangan Witarsa itu ternyata benar-benar tersinggung. Sementara itu Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Apakah Kakang akan membiarkan saja anggapan yang keliru itu?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara Witarsa pun berkata, “Yang ingin kami ketahui adalah tataran kemampuan olah kanuragan Ki Lurah. Bukan kemampuan sihir dan penglihatan semu.”

“Witarsa,” berkata Agung Sedayu, “aku sudah mencoba menunjukkan kepadamu agar kau menjadi puas. Permainan itu sudah mewakili kemampuanku dalam olah kanuragan.”

“Aku ingin melihat langsung kemampuan Ki Lurah.”

“Kau keras kepala, Witarsa,” desis Agung Sedayu.

“Aku hanya mempercayai apa yang sudah aku buktikan.”

“Tetapi jika kita mulai dengan membenturkan ilmu kita langsung, kau jangan menyesal, Witarsa.”

Jantung Witarsa memang terasa berdesir. Agaknya Agung Sedayu mulai menjadi marah. Tetapi Witarsa memang bertekad untuk menjajagi kemampuan ilmu Ki Lurah Agung Sedayu, murid tertua di antara murid utama Orang Bercambuk.

“Witarsa,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kau memang terlalu cepat maju di dalam olah kanuragan. Kau sudah menguasai dasar-dasar ilmu dari perguruan Orang Bercambuk, sehingga kau tinggal mengembangkannya saja. Aku percaya, bahwa dengan demikian kau termasuk salah seorang murid Paman Widura yang pantas dibanggakan. Tetapi kemajuanmu dalam olah kanuragan itu tidak dibarengi dengan mengendapnya batinmu, sehingga kau telah kehilangan keseimbangan. Seharusnya kau sadari, bahwa kau tidak pantas untuk menilai ilmuku. Aku yang dalam tataran perguruan Orang Bercambuk lebih tua dari gurumu. Dengan kata lain, meskipun dapat diterima sebagai sikap yang sombong, ilmuku lebih tinggi dari ilmu gurumu.”

“Itulah yang ingin aku ketahui, Ki Lurah. Bukankah belum tentu saudara yang lebih tua dalam satu perguruan memiliki ilmu yang lebih tinggi dari saudaranya yang lebih muda? Ki Widura telah berhasil menyusun ilmu yang lebih lengkap dari dasar ilmu Orang Bercambuk saja.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun menjawab, “Mungkin ilmu Paman Widura dapat melampaui ilmuku. Tetapi apakah dengan demikian berarti bahwa ilmumu dengan sendirinya lebih tinggi dari ilmuku?”

“Bukankah hal itu mungkin saja?”

“Witarsa. Sebenarnya aku tidak berkeberatan seandainya kau menganggap bahwa ilmuku lebih rendah dari ilmumu. Tetapi kenapa kau telah memaksaku untuk membuat pertandingan langsung?”

“Bersiaplah, Ki Lurah.”

“Kakang,” berkata Sekar Mirah, “Kakang tidak mempunyai pilihan.”

Agung Sedayu pun kemudian mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Demikian pula Sekar Mirah.

Sejenak kemudian Agung Sedayu telah berhadapan dengan Witarsa, murid Ki Widura. Agung Sedayu merasa dirinya berdiri berhadapan dengan anak-anak yang baru tumbuh, namun yang sudah menantangnya berkelahi.

Sebenarnyalah Witarsa itu mulai bergeser. Ia sudah siap untuk menyerang. Sementara Agung Sedayu pun segera menyesuaikan dirinya.

Agung Sedayu masih ragu-ragu. Apakah ia akan membiarkan Witarsa berhenti karena kelelahan, atau ia harus dengan cepat menghentikannya, agar perbedaan tataran ilmu mereka segera nampak.

Namun akhirnya Agung Sedayu memilih untuk membiarkan Witarsa berhenti dengan sendirinya jika ia kehabisan tenaga.

Sejenak kemudian Witarsa pun telah mulai menyerang. Mula-mula gerakannya terasa sangat lamban, sementara Agung Sedayu hanya mengimbanginya.

Namun gerak Witarsa itu semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan Witarsa telah mulai menunjukkan unsur-unsur gerak yang menjadi kebanggaan perguruan Orang Bercambuk di bawah pimpinan Widura.

Agung Sedayu telah melihat, bagaimana Witarsa dan empat orang murid utama Ki Widura mempertunjukkan kemampuan mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu sudah dapat menduga-duga, apa saja yang dapat dilakukan oleh Witarsa.

Demikianlah, serangan-serangan Witarsa menjadi semakin cepat. Namun serangan-serangan itu tidak pernah dapat menyentuh sasarannya. Agung Sedayu yang seolah-olah hanya bergeser dengan gerak-gerak yang sederhana, namun ternyata ia mampu menghindarkan diri dari sentuhan serangannya.

Darah Witarsa mulai menjadi panas. Ia merasakan betapa Agung Sedayu sengaja membiarkannya menyerang tanpa membalas sama sekali, sehingga tenaganya seakan-akan telah terperas sia-sia.

“Orang ini memang sombong sekali,” berkata Witarsa di dalam hatinya, “ia merasa sebagai murid tertua Kiai Gringsing, sehingga ia memandang rendah kepada murid-muridnya yang lain.”

Dengan geram Witarsa pun telah meningkatkah ilmunya ke tataran yang lebih tinggi. Ia ingin memaksa Agung Sedayu untuk bersungguh-sungguh.

Tetapi usaha Witarsa itu sia-sia. Agung Sedayu masih saja belum bersungguh-sungguh.

Akhirnya Witarsa tidak dapat menahan diri lagi. Ditingkatkannya ilmunya sampai ke puncak.

“Apa boleh buat,” berkata Witarsa di dalam hatinya, “jika ia memang memiliki ilmu lebih tinggi dari Guru, maka ia tentu akan mampu menyelamatkan dirinya. Tetapi jika demikian ia tersentuh puncak ilmuku ia terluka di bagian dalam tubuhnya, maka itu adalah akibat dari kesombongannya sendiri.”

Dengan demikian, maka Witarsa pun seakan-akan telah berubah. Setelah Witarsa sampai ke puncak ilmunya, maka geraknya menjadi terasa berat. Ayunan tangannya bagaikan ayunan batu hitam. Sedangkan serangan kakinya bagaikan lontaran sebongkah besi baja.

Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia tahu bahwa Witarsa sudah berada pada puncak kemampuannya.

Namun justru karena itu, Agung Sedayu pun berusaha memeras tenaga orang itu semakin banyak.

Serangan-serangan yang sangat berbahaya itu dihadapi Agung Sedayu dengan hati-hati. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Agung Sedayu telah menerapkan ilmu kebalnya. Sehingga seandainya serangan Witarsa sempat menyentuhnya, serangan itu tidak akan menyakitinya.

Ternyata Agung Sedayu tidak mengubah niatnya untuk membiarkan Witarsa mengerahkan kemampuannya sehingga tenaganya terkuras habis. Jika serangan-serangan Witarsa mengendur, maka Agung Sedayu sengaja menggelitiknya. Disentuhnya tubuh Witarsa dengan serangan-serangan yang tidak berbahaya, tetapi justru di tempat-tempat yang paling lemah.

Witarsa menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah membuatnya kehilangan kendali. Dihentakkannya segenap tenaganya, tenaga dalamnya, kemampuannya dan seluruh ilmu yang telah disadapnya. Tetapi agaknya sia-sia saja. Serangan-serangannya sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu itu berani menangkis serangan-serangannya yang dilambati dengan ilmu puncaknya. Sedangkan benturan-benturan yang terjadi sama sekali tidak menggoyahkannya.

Tetapi Witarsa bukannya tidak bertenaga. Serangan-serangannya semakin mantap dan kuat. Tangannya yang bagaikan batu hitam serta kakinya yang menjadi seakan-akan gumpalan besi baja, terayun-ayun mengerikan. Sambaran udara yang tergetar karena serangan Witarsa itu menerpa tubuh Agung Sedayu.

Jika saja bukan Agung Sedayu yang mempunyai ilmu kebal, serangan-serangan itu tentu sudah menggoyahkannya. Apalagi Agung Sedayu seakan-akan membiarkan serangan-serangan itu datang beruntun membentur pertahanannya.

Witarsa mulai menjadi gelisah. Justru tangan dan kakinya-lah yang mulai terasa sakit, benturan-benturan itu mulai menggoyahkan keseimbangannya. Bahkan ilmu puncaknya yang tertahan oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu serasa terpental, berbalik mengenai tubuhnya sendiri.

Semakin lama tenaga Witarsa menjadi semakin menyusut. Apalagi ketika getar jantungnya menjadi semakin cepat.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih saja menggelitik Witarsa dengan serangan-serangannya. Ujung-ujung jari Agung Sedayu yang merapat, telah menyentuh lambung Witarsa. Tidak terlalu sakit. Tetapi Witarsa harus meningkatkan daya tahan tubuhnya.

Ketika ibu jari Agung Sedayu menyentuh jakun Witarsa, maka nafasnya bagaikan terhenti. Sentuhan kecil saja. Tetapi Witarsa merasa lehernya bagaikan tercekik.

Kegelisahan, kemarahan dan harga diri yang berlebihan telah membakar isi dada Witarsa. Itulah sebabnya maka serangan-serangannya telah datang bagaikan prahara. Namun prahara itu terasa tidak lagi bertenaga. Ketika prahara itu membentur batu karang yang tegak berdiri dengan akar-akarnya yang menghunjam bumi, maka justru prahara itu sendiri yang terpental surut.

Witarsa terlempar beberapa langkah surut oleh getar balik serangannya sendiri. Tubuhnya pun kemudian terbanting jatuh di tanah. Nafasnya terengah-engah berkejaran di lubang hidungnya.

Witarsa merasa hampir kehabisan tenaga, sementara Agung Sedayu berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum beberapa langkah daripadanya.

Tiba-tiba darah Witarsa itu mendidih. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa seakan-akan ia sama sekali tidak berdaya. Agung Sedayu tidak melawannya dalam perbandingan ilmu yang pantas, tetapi Agung Sedayu telah dengan sengaja mempermainkannya.

Karena itu, Witarsa tidak dapat menahan diri lagi. Demikian ia bangkit dengan sisa-sisa tenaganya maka Witarsa itu pun telah mengurai cambuknya yang melilit lambung di bawah bajunya.

Agung Sedayu benar-benar terkejut melihatnya. Beberapa langkah ia bergeser mundur.

“Ki Lurah,” geram Witarsa, “ciri dari murid perguruan Orang Bercambuk adalah kemampuannya bermain cambuk. Sekarang kita akan melihat, apakah benar Ki Lurah juga memiliki kemampuan bermain cambuk sebagaimana seharusnya bagi murid perguruan Orang Bercambuk.”

“Witarsa,” berkata Agung Sedayu, “jangan kehilangan akal. Harus kau sadari, bahwa permainanmu sangat berbahaya.”

“Jika ilmumu memang setinggi ilmu Guru, maka kau tidak perlu takut, Ki Lurah. Kau akan dapat mempertahankan dirimu. Kau dapat memperlakukan aku sebagaimana kau lakukan sekarang ini.”

“Witarsa,” berkata Agung Sedayu, “cambuk adalah ciri dari perguruan Orang Bercambuk. Kita harus menghormatinya dan tidak mempergunakannya untuk satu permainan yang berbahaya seperti sekarang ini.”

“Bersiaplah, Ki Lurah. Aku tidak mempunyai waktu lagi. Karena itu, kau jangan mengulur-ulur waktu. Mungkin kau mengira bahwa Guru akan menyusulku dan mencegahku. Dengan demikian kau akan dapat diselamatkan.”

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku tidak yakin akan ilmu cambukmu.”

“Kau sudah gila, Witarsa. Kau terlalu cepat mewarisi ilmu dari gurumu. Jiwamu yang masih belum matang telah kehilangan keseimbangan, sehingga kau merasa perlu menantang orang lain untuk memamerkan ilmumu itu.”

“Cukup! Urai cambukmu. Kita akan mulai.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia melangkah mendekati Sekar Mirah sambil, berdesis, “Berhati-hatilah Sekar Mirah. Jika perlu, pergunakan tongkatmu. Aku akan mengejutkan orang ini. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya dan orang ini menjadi gila dengan menyerangmu, apa boleh buat.”

Sekar Mirah mengangguk. Ia sadar bahwa Witarsa itu berilmu tinggi. Tetapi kematangan ilmu Sekar Mirah tentu masih akan mampu setidak-tidaknya mengimbanginya.

“Apa yang kau pesankan kepada istrimu? Apakah kau sudah mempunyai firasat bahwa kau akan mati?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun diterapkannya ilmu meringankan tubuhnya.

Bagaikan terbang Agung Sedayu meloncat dan hinggap pada dahan kayu yang patah dan menyilang jalan setapak itu.

Sejenak Witarsa menjadi bingung. Agung Sedayu bergerak begitu cepat. Namun kemudian terdengar suara Agung Sedayu, “Aku di sini, Witarsa.”

Jantung Witarsa menggelepar semakin keras di dalam dadanya. Namun Witarsa itu pun berteriak, “Jangan lari, Ki Lurah!”

“Kau benar-benar sudah menjadi gila, Witarsa,” berkata Agung Sedayu lantang.

Witarsa tidak menjawab. Namun diayunkannya cambuknya sendal pancing. Cambuk itu memang tidak meledak memekakkan telinga Namun dengan demikian Agung Sedayu mengerti bahwa ilmu cambuk murid Ki Widura itu sudah sampai pada tataran yang tinggi.

Tetapi tenaga Witarsa sudah jauh susut. Ia tidak lagi berada pada puncak kemampuan ilmu perguruan Orang Bercambuk.

Meskipun demikian, hentakan cambuk Witarsa itu masih tetap berbahaya.

Tertatih-tatih Witarsa melangkah mendekati Agung Sedayu. Dengan sisa tenaga ia mengayun-ayunkan cambuknya, siap untuk dihentakkannya.

Agung Sedayu yang berdiri di atas dahan kayu yang menyilang itu pun telah menggenggam cambuknya. Tangan kanannya memegang tangkai cambuknya, sedangkan tangan kirinya memegang ujung juntai cambuknya itu.

Ketika Witarsa menjadi semakin dekat, maka Agung Sedayu pun segera memutar cambuknya.

Kedua orang murid Ki Widura yang lain menjadi tegang. Mereka pun menganggap bahwa Witarsa sudah benar-benar kehilangan kendali. Jika Agung Sedayu kemudian melayaninya, maka Witarsa tentu akan menjadi ndeg pengamun-amun.

Ketika Witarsa menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itu melenting tinggi-tinggi dengan beralaskan ilmu meringankan tubuhnya. Berputar di udara, dan sekaligus diayunkannya cambuknya dengan dilambari ilmunya yang sangat tinggi.

Ujung cambuk Agung Sedayu itu telah mengenai dahan kayu yang lain pada pohon yang berdiri di pinggir jalan. Terdengar suaranya berderak keras sekali. Satu lagi dahan kayu yang besar pada pohon kayu yang tumbuh di pinggir jalan itu patah.

Witarsa terkejut. Bahkan selangkah ia bergeser surut. Dipandanginya dahan yang patah itu terkulai di atas semak-semak di pinggir jalan.

Tetapi Agung Sedayu belum berhenti. Sekali lagi ia melenting. Sekali lagi dahan yang lebih tinggi pun patah pula menimpa dahan yang menyilang jalan.

Jantung ketiga orang murid Ki Widura itu bagaikan terlepas dari tangkainya. Mereka seakan-akan tidak dapat mempercayai penglihatannya. Ujung cambuk itu mampu mematahkan dahan kayu yang besar itu sehingga rontok dari pohonnya yang besar, yang berdiri angkuh di pinggir jalan.

Tetapi Agung Sedayu masih belum puas. Sekali lagi ia melenting dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Berputar di udara dan hinggap di atas sebongkah batu hitam yang besar, yang terletak tidak jauh dari pohon yang sudah kehilangan beberapa dahannya itu.

Sejenak Agung Sedayu berdiri di atas batu itu sambil menengadahkan wajahnya. Namun kemudian Agung Sedayu itu pun meloncat dan berputar sekali di udara. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka cambuknya pun menggelepar.

Tidak ada bunyi yang menggelegar seperti guruh di langit sebagaimana hentakan cambuk Witarsa. Tetapi akibatnya adalah di luar jangkauan nalar mereka. Bukan saja beberapa dahan patah, tetapi sebongkah batu hitam yang teronggok di dekat sebatang pohon kayu itu untuk waktu yang sudah bertahun-tahun, sehingga ditumbuhi lumut dan sejenis jamur yang melekat pada batu itu sehingga warnanya hijau keputih-putihan, bagaikan meledak dan pecah berserakan.

Ketika reruntuhan percikan batu yang pecah itu sudah berjatuhan di tanah, maka Agung Sedayu pun berdiri tegak sambil memegangi cambuknya dengan kedua belah tangannya.

Witarsa dan kedua orang murid Ki Widura yang lain berdiri dengan tubuh gemetar. Mereka membayangkan, apa yang terjadi atas tubuh Witarsa seandainya ujung cambuk itu dihentakkan ke arahnya. Tubuh itu tentu akan menjadi sayatan-sayatan lembut daging dan kulitnya, serta serpihan-serpihan tulang-tulangnya yang berpatahan.

Sejenak Witarsa bertahan untuk tetap berdiri. Tetapi karena ketegangan, kelelahan serta kehabisan tenaga, maka tubuh Witarsa itu pun jatuh berguling.

Kedua orang kawannya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka seakan-akan masih membeku. Mereka sama sekali tidak berani menggerakkan ujung jari kakinya sekali pun.

Sejenak suasana pun dicengkam oleh kesepian yang tegang. Baru sejenak kemudian terdengar suara Agung Sedayu., “Kenapa kalian berdua diam saja? Lihat, apa yang terjadi dengan Witarsa.”

Barulah keduanya menyadari, apa yang terjadi atas Witarsa. Karena itu, maka keduanya pun segera bangkit dan dengan tergesa-gesa mendekati Witarsa yang terbaring diam.

Kedua orang adik seperguruan Witarsa itu berjongkok di sebelah-menyebelah. Mereka meraba leher Witarsa. Ternyata Witarsa masih bernafas.

“Witarsa tidak mati,” desis salah seorang dari keduanya

“Rawatlah, kau tahu caranya. Bukankah kau telah mendapat latihan untuk memberikan pertolongan kepada orang yang pingsan?” berkata Agung Sedayu.

Kedua orang itu tidak menjawab.

Agung Sedayu seakan-akan tidak menghiraukan Witarsa itu lagi. Ia pun kemudian berjalan mendekati Sekar Mirah yang berdiri termangu-mangu.

Ketika Agung Sedayu sudah berdiri di sampingnya, maka Sekar Mirah itu pun bertanya, “Kenapa dengan orang itu?”

“Mungkin ia menjadi kelelahan. Dalam ketegangan yang lemah, ia terkejut dan dicengkam oleh ketegangan yang sangat, sehingga orang itu menjadi pingsan.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Orang itu tidak akan salah lagi menilai kemampuan Kakang, sebagaimana Kakang Swandaru.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun Sekar Mirah sambil tersenyum berkata selanjutnya, “Kenapa Kakang tidak langsung menarik kupingnya atau memutar hidungnya?”

Agung Sedayu tersenyum pula. Katanya, “Itu sudah cukup. Aku kira ia tidak akan merendahkan orang lain lagi.”

“Kakang dapat mengatakannya jika ia sadar, agar ia menjadi jera dan tidak melakukannya lagi kepada orang lain.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk.

Beberapa saat kemudian, maka Witarsa pun mulai menggeliat. Ketika ia mulai menyadari apa yang telah terjadi, maka ia pun segera bangkit dan duduk sambil memandang berkeliling.

“Apakah aku masih hidup?”

“Ya,” jawab salah seorang saudara perguruannya.

“Ki Lurah tidak membunuhku?”

“Tidak.”

“Di mana Ki Lurah sekarang?”

Kedua orang saudara seperguruannya itu pun telah memandang ke arah Agung Sedayu dan Sekar Mirah berdiri, sehingga Witarsa pun ikut pula memandang ke arah itu.

Demikian ia melihat Agung Sedayu, maka Witarsa pun itu pun dengan serta-merta telah bangkit berdiri. Namun tubuhnya ternyata masih sangat lemah karena kehabisan tenaga. Hampir saja ia terjatuh. Untunglah bahwa kedua orang saudara seperguruannya telah menahannya.

“Aku ingin menghadap Ki Lurah,” desis Witarsa.

Kedua orang saudara seperguruannya menjadi ragu-ragu. Namun kemudian keduanya telah memapah Witarsa mendekati Agung Sedayu yang masih saja berdiri di dekat Sekar Mirah. Namun cambuknya telah dililitkan kembali ke pinggangnya di bawah bajunya.

Ketika Agung Sedayu melihat Witarsa mendekatinya dengan dipapah oleh kedua orang saudara seperguruannya, ia menjadi termangu-mangu juga. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Witarsa yang masih lemah itu.

Namun, demikian Witarsa itu berhenti dua langkah di hadapannya, ia pun segera menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Agung Sedayu.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah terkejut karenanya. Sementara itu Witarsa pun berkata, “Aku mohon ampun. Aku mohon ampun.”

Agung Sedayu melangkah maju. Ditariknya Witarsa pada lengannya agar ia berdiri.

“Aku mohon ampun.”

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “jadikan peristiwa ini sebagai satu pengalaman.”

Witarsa tidak menjawab, sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Kematangan ilmumu tidak sejalan dengan kematangan jiwamu. Kau merasa bahwa kau sudah menjadi seorang yang tidak terkalahkan, sehingga kau merasa perlu untuk memamerkan kelebihanmu kepada orang lain. Kau sengaja mencari lawan untuk membuktikan bahwa ilmumu tidak ada bandingnya. Di samping itu, kau pun agaknya sering merendahkan orang lain.”

Witarsa itu kembali menjatuhkan dirinya pada lututnya sehingga Agung Sedayu pun menariknya lagi agar ia berdiri.

“Aku mohon ampun,” katanya berulang-ulang, “aku tidak akan berbuat sebodoh itu lagi.”

“Kau harus selalu ingat, bahwa tidak ada orang yang memiliki ilmu sempurna. Semua orang tentu mempunyai kelemahannya. Yang berilmu tinggi masih ada yang lebih tinggi. Yang ilmunya tidak tertandingi akhirnya akan terkalahkan juga.”

Witarsa mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berdesis, “Ya, Ki Lurah.”

“Nah, kembalilah ke padepokanmu. Pengalaman ini sangat berharga bagimu.”

Witarsa pun kemudian minta diri. Demikian pula kedua orang saudara seperguruannya.

Ketiganya pun menuntun kudanya, melintas di antara semak-semak, karena jalannya tertutup oleh dahan kayu yang menyilang.

Untunglah bahwa jalan itu bukan jalan yang sering dilewati orang, kecuali mereka yang akan mencari kayu bakar di hutan. Demikian ketiga orang itu pergi, maka Sekar Mirah pun bertanya, “Bagaimana dengan dahan kayu yang menyilang jalan itu, Kakang?”

“Besok akan ada pencari kayu yang merasa beruntung mendapatkan dahan yang patah itu.”

“Tetapi mereka akan merasa keheranan, bahwa tanpa hujan tanpa angin, dahan-dahan itu berpatahan.”

“Biarlah menjadi teka-teki bagi mereka.”

“Sekarang kita juga akan menyibak semak-semak itu?”

“Kuda-kuda kita masih belum dapat terbang,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa pula.

Demikianlah, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah meninggalkan tempat itu pula. Seperti ketiga orang murid Ki Widura, mereka pun harus menyibakkan gerumbul-gerumbul perdu di sebelah jalan sempit itu, karena jalannya justru telah tertutup oleh dahan yang patah.

Beberapa saat kemudian, keduanya pun telah melarikan kuda mereka ke Sangkal Putung. Goresan-goresan kecil karena ranting-ranting batang perdu serta tumbuh-tumbuhan berduri membuat garis-garis putih kemerah-merahan di kulit Sekar Mirah dan Agung Sedayu.

Beberapa saat kemudian mereka telah sampai ke jalan yang lebih besar. Orang-orang yang tadi berhenti melihatnya bertengkar dengan para murid Ki Widura, sudah tidak ada lagi. Agaknya mereka pun telah pergi, demikian Agung Sedayu dan Sekar Mirah pergi ke arah hutan.

“Witarsa itu memang sudah kehilangan keseimbangan,” berkata Agung Sedayu.

“Ia ingin meyakinkan ilmunya. Tetapi ia salah mencari lawan. Sehingga akhirnya ia harus menyesal.”

“Seharusnya ia tidak mencari lawan siapa pun juga.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Seharusnya memang demikian.”

Beberapa saat keduanya berkuda di jalan yang langsung menuju ke Sangkal Putung itu. Pohon randu alas dan Gendruwo bermata satu telah lewat tanpa mereka sadari. Justru baru kemudian Sekar Mirah bertanya, “Di mana Gendruwo bermata satu itu?”

Agung Sedayu tersenyum Katanya, “Sudah lewat. Aku pun lupa mengangguk hormat.”

Sekar Mirah tertawa. Di luar sadarnya kudanya berlari semakin kencang.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah sampai di Sangkal Putung. Mereka melihat Swandaru dan Pandan Wangi duduk di serambi, demikian mereka memasuki regol halaman.

Sekar Mirah sempat menggamit Agung Sedayu sambil berdesis, “Syukurlah. Nampaknya angin pusaran itu sudah berlalu.”

Agung Sedayu pun tertawa pula. Namun mereka justru berjalan ke arah yang lain untuk mengikat kuda-kuda mereka.

Pandan Wangi-lah yang kemudian berdiri sambil turun ke halaman.

Dengan nada ringan ia pun bertanya, “Nampaknya perjalanan kalian menyenangkan.”

“Ya,” jawab Sekar Mirah, “cukup menyenangkan.”

Swandaru yang kemudian juga turun ke halaman pun bertanya, “Apakah kalian bermalam di padepokan?”

“Ya. Nyaman sekali berada di padepokan kecil itu.”

“Marilah. Naiklah,” Pandan Wangi mempersilakan.

“Kami akan pergi ke pakiwan dahulu,” desis Sekar Mirah.

Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Ia melihat pakaian Agung Sedayu yang kusut dan kotor. Bahkan basah oleh keringat. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa.

Keduanya pun kemudian telah pergi ke pakiwan untuk mencuci kaki, tangan, dan wajah mereka yang basah oleh keringat dan kotor karena debu. Kemudian keduanya pun masuk ke dalam bilik mereka untuk berganti pakaian.

Baru kemudian, mereka duduk di pringgitan bersama Ki Demang, yang mendengar keduanya telah datang.

“Perjalanan yang tidak terlalu panjang. Tetapi panas matahari membuat keringat kami bagaikan terperas. Sementara itu debu yang berhamburan telah melekat di pakaian dan wajah kami yang basah.”

Ki Demang pun tertawa. Sementara Swandaru yang ikut duduk di pringgitan itu pula telah bertanya tentang padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Orang Bercambuk, yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura.

“Keadaannya menjadi semakin baik,” jawab Agung Sedayu, “tanah garapannya pun menjadi semakin memadai pula. Peternakan menjadi bagian terpenting dari padepokan itu, di samping tanah garapan.”

“Syukurlah,” Swandaru mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi bagaimana dengan tataran ilmu para cantriknya?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Cukup baik. Mereka berusaha dengan bersungguh-sungguh.”

“Tetapi seberapa jauh yang dapat mereka sadap dari padepokan itu? Ki Widura sendiri agaknya masih berada pada tataran yang belum cukup tinggi. Lalu bagaimana dengan murid-muridnya.”

“Paman Widura sudah berusaha sebaik-baiknya.”

“Ya. Tentu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih banyak dari kemampuan yang dimilikinya.”

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Untunglah bahwa Paman Widura mempunyai banyak kesempatan untuk meningkatkan ilmunya sehingga cukup memadai. Dengan demikian murid-muridnya pun mendapat landasan ilmu yang cukup pula.”

Swandaru mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Tetapi sebagai sebuah padepokan peninggalan Orang Bercambuk, apa yang ada sekarang tentu jauh dari memadai.”

“Kita tidak mempunyai pilihan. Aku dan kau tidak akan dapat berada di padepokan itu.”

Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya, “Itulah kelemahan kita. Tetapi rasa-rasanya pada suatu saat aku ingin melihat seberapa jauh tingkat kemampuan Ki Widura.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Bahkan terasa jantungnya menjadi berdebar-debar. Seandainya sikap Witarsa itu ditujukan kepada Swandaru, mungkin akibatnya akan menjadi parah.

Tetapi Agung Sedayu berharap, seandainya Swandaru pergi ke padepokan, para murid Ki Widura tidak ada lagi yang bersikap seperti Witarsa.

Namun yang dicemaskan oleh Agung Sedayu adalah justru sikap Swandaru terhadap Ki Widura. Agaknya Swandaru masih belum menyadari bahwa kemampuan Ki Widura sudah jauh meningkat dalam umurnya yang semakin tua. Agaknya Swandaru mengira bahwa mereka yang seumur Ki Widura tidak akan mampu lagi meningkatkan ilmunya.

“Ilmu Paman Widura sekarang, tidak berada di bawah tingkat kemampuan Swandaru,” berkata Agung Sedayu di hatinya. Tetapi Agung Sedayu ternyata tidak berani mengatakan kenyataan itu. Jika ia mengatakannya, maka Agung Sedayu memperhitungkan bahwa Swandaru akan pergi menemui Ki Widura di padepokan kecil itu untuk membuktikannya.

Karena itu, yang kemudian diceritakan oleh Agung Sedayu lebih banyak tentang perkembangan padepokan itu di bidang-bidang yang lain. Perluasan padepokannya, tanah garapannya, serta keanekaragaman ketrampilan yang diberikan kepada para cantrik. Mulai dari kemampuan bertani, beternak, memelihara ikan di belumbang serta di air yang bergerak, kerajinan tangan, termasuk pandai besi dan berbagai ketrampilan yang lain.

Ternyata Swandaru merasa senang pula mendengarnya. Ia pun membayangkan padepokan di Jati Anom itu sebuah padepokan yang bersuasana sejuk, tenang dan damai. Namun yang di dalamnya ditempa beberapa orang cantrik untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan. 

“Pada suatu hari aku akan pergi ke padepokan itu,” berkata Swandaru.

“Paman Widura sangat mengharapkannya,” sahut Agung Sedayu.

“Lain kali aku akan menyisihkan waktu untuk pergi ke padepokan itu.”

“Jika kau ingin pergi, Kakang,” berkata Sekar Mirah, “mumpung kami masih ada di sini. Besok kita dapat pergi sebentar ke Jati Anom bersama Mbokayu Pandan Wangi.”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil berkata, “Tidak besok pagi, Mirah. Kapan-kapan saja aku akan pergi ke padepokan itu.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu mengerti, bahwa sebenarnya Sekar Mirah juga merasa cemas jika Swandaru pergi ke padepokan itu tanpa Agung Sedayu.

Tetapi sudah tentu bahwa Sekar Mirah tidak akan dapat memaksa kakaknya untuk pergi ke padepokan bersama Agung Sedayu.

Pembicaraan masih berlangsung beberapa lama. Namun kemudian terhenti karena Ki Demang dan Swandaru akan pergi ke padukuhan sebelah untuk memenuhi undangan Ki Bekel.

Dalam pada itu, menurut penilikan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, Swandaru benar-benar telah berubah. Agaknya ia mulai bergairah lagi memikirkan kademangannya, setelah untuk beberapa lama tenggelam dalam sebuah mimpi yang sangat buruk.

Ketika hal itu dikatakan oleh Sekar Mirah kepada Pandan Wangi, maka nampaknya Pandan Wangi pun sependapat.

“Mudah-mudahan penyakit seperti itu tidak akan kambuh lagi. Akibatnya ternyata menjadi sangat buruk bagi kademangan ini.”

“Bukan saja bagi kademangan ini, Mbokayu. Tetapi juga bagi Kakang Swandaru sendiri.”

“Kau benar, Mirah. Tetapi aku pun tidak dapat mengabaikan pesan Ayah di Tanah Perdikan Menoreh, bahwa jika Kakang Swandaru terlepas dari kendali keluarga, sebagian adalah karena salahku. Mungkin aku tidak dapat mengikat perhatiannya sepenuhnya.”

Sekar Mirah menepuk bahu Pandan Wangi sambil berdesis, “Jangan menyalahkan diri sendiri. Tetapi pesan itu mungkin berguna bagi Mbokayu.”

“Ayah akan selalu menyalahkan aku. Agaknya ini merupakan ungkapan kekecewaan Ayah terhadap Ibu, yang ditekannya dalam-dalam di dasar jantungnya.”

“Sudahlah,” berkata Sekar Mirah kemudian, “agaknya segala sesuatunya sudah menjadi baik. Tetapi jika perlu, Mbokayu dapat memberi tahu kami di Tanah Perdikan Menoreh. Mbokayu tidak usah pergi sendiri. Mbokayu dapat mengirimkan utusan, orang-orang yang dapat dipercaya.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas perhatianmu terhadap keluargaku.”

“Kakang Swandaru adalah kakakku. Jika terjadi apa-apa dengan Kakang Swandaru, aku juga akan menyesalinya.”

Pandan Wangi memandang Sekar Mirah dengan tajamnya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Setiap kali aku hanya dapat mengucapkan terima kasih saja, Sekar Mirah.”

Sementara itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah merasa keberadaan mereka di Sangkal Putung telah cukup lama. Karena Agung Sedayu mempunyai tanggung jawab bagi pasukannya, maka ia tidak dapat berlama-lama di Sangkal Putung. Setelah keadaan terasa membaik, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun berniat untuk kembali ke Tanah Perdikan.

Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Demang setelah mereka makan malam, maka Ki Demang pun berdesis, “Demikian tergesa-gesa?”

Dengan nada berat Agung Sedayu menyahut, “Aku sudah terlalu lama meninggalkan tugasku, Ki Demang.”

“Baiklah, Ngger, Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Angger datang ke Sangkal Putung.”

“Sekar Mirah sudah lama tidak melihat kampung halamannya,” jawab Agung Sedayu.

Sementara itu Swandaru yang ikut makan bersama mereka pun berkata, “Aku mengucapkan terima kasih, Kakang. Juga kepada Sekar Mirah. Dengan cara kalian, kalian telah membangunkan aku dan melepaskan aku dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Aku akan selalu mengingat apa yang telah terjadi.”

Mendengar pengakuan Swandaru, di luar sadarnya mata Pandan Wangi pun menjadi basah. Tangannya-lah yang kemudian sibuk mengusap matanya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.

Anaknya yang duduk di pangkuannya memperhatikan mata ibunya. Tetapi anak itu pun diam saja.

Keluarga di Sangkal Putung tidak dapat menahan lebih lama lagi kehadiran Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Seperti yang mereka katakan, di keesokan harinya mereka pun meninggalkan Kademangan Sangkal Putung, yang nampaknya mulai menjadi ceria kembali.

Dalam pada itu, ternyata keberangkatan Agung Sedayu dan Sekar Mirah dari Sangkal Putung telah terlihat oleh para pengikut Ki Saba Lintang yang memang bertugas untuk mengawasi mereka. Ki Saba Lintang telah menempatkan setiap hari sejak fajar, dua orang untuk mengawasi mulut jalan yang membelah padukuhan induk. Menurut perhitungan Ki Saba Lintang, jika Agung Sedayu dan Sekar Mirah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, mereka tentu akan melalui jalan itu.

Tetapi seperti yang sudah dikatakannya, Ki Saba Lintang tidak akan berbuat sesuatu atas Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Jika Ki Saba Lintang ingin melenyapkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, mereka memerlukan beberapa orang berilmu tinggi. Namun langkah itu tidak akan menguntungkannya. Kematian Agung Sedayu dan Sekar Mirah bukan akhir dari segala-galanya. Tanah Perdikan akan menjadi semakin bersiap. Para prajurit dari Pasukan Khusus tentu juga akan mendendam. Sementara itu, Untara akan dapat kehilangan kendali. Sedangkan Swandaru tentu akan luput dari tangan mereka, karena Swandaru pun akan terbakar hatinya pula. Mataram yang marah akan mengerahkan segala usaha untuk menghancurkannya sampai lumat.

Namun, ternyata tidak semua pengikut Ki Saba Lintang berpendapat seperti itu. Beberapa orang berniat melenyapkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan meninggalkan jejak yang menyesatkan. Mereka akan membunuh Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan jejak sekelompok perampok yang merampok semua bawaan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Pakaian, perhiasan dan senjata yang mereka bawa. Terutama tongkat baja putih milik Sekar Mirah.

“Ki Saba Lintang terlalu banyak dihambat oleh pertimbangan-pertimbangan yang tidak masuk akal, sehingga kesempatan yang baik ini akan terlepas begitu saja,” berkata seorang yang bertubuh tinggi besar, wajahnya sebagian tertutup oleh brewoknya yang lebat.

“Bukan karena pertimbangan-pertimbangan yang tidak masuk akal. Tetapi Ki Saba Lintang mempunyai perhitungan yang justru berwawasan luas,” sahut kawannya yang bertubuh gemuk.

“Omong kosong!” bentak orang berewok itu, “Bukankah kita sudah mengenal Ki Saba Lintang sejak lama? Apa yang sudah dilakukannya sampai saat ini?”

“Ki Saba Lintang telah menyerang Tanah Perdikan Menoreh.”

“Yang dilakukannya tidak lebih dari permainan kanak-kanak. Kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian. Apa hasilnya?”

“Ki Saba Lintang menyerang Tanah Perdikan Menoreh dengan kekuatan yang besar sekali. Aku hampir tidak percaya bahwa Ki Saba Lintang berhasil mengumpulkan kekuatan sebesar itu.”

“Jika demikian, kenapa ia gagal?”

“Kau tidak ada pada waktu itu. Karena itu, kau dapat berkata seperti itu. Tetapi jika kau melihat sendiri apa yang telah terjadi, maka kau akan mengakui bahwa pengaruh Ki Saba Lintang cukup besar.”

“Bukankah itu semuanya omong kosong? Buktinya Ki Saba Lintang tidak berhasil menguasai Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ternyata pertahanan Tanah Perdikan Menoreh sangat kuat. Para prajurit dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mengerahkan kekuatan yang ada. Bahkan ternyata kemudian ada pasukan dari luar Tanah Perdikan yang membantu pertahanan Tanah Perdikan.”

“Apapun alasannya, tetapi Ki Saba Lintang telah gagal. Yang didapatnya adalah perempuan itu. Adiknya yang lepas dari tangannya, maka ia telah mendapatkan kakak perempuannya.”

“Nyi Yatni maksudmu?”

“Ya. Hanya itulah yang didapatkannya.”

“Sayang kau tidak melihat sendiri. Kenapa waktu itu kau tidak ada di antara pasukan Ki Saba Lintang?”

“Aku masih berada di timur. Aku datang terlambat. Seandainya waktu itu aku ada, Agung Sedayu barangkali sudah mati. Karena itu, aku sekarang akan membunuhnya. Aku tidak sedungu yang diduga oleh Ki Saba Lintang. Aku akan meninggalkan jejak perampokan, sehingga Agung Sedayu seakan-akan mati dirampok orang.”

Kawannya menarik nafas panjang. Dengan nada berat ia pun berkata, “Jika kau ingin mengambil tindakan atas Ki Lurah Agung Sedayu dan istrinya, sebaiknya kau berbicara dahulu dengan Ki Saba Lintang.”

“Sementara itu mereka telah sampai di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Maksudmu?”

“Aku akan menyusul mereka. Agaknya mereka tidak tergesa-gesa, sehingga mereka tidak memacu kuda mereka. Aku akan temui mereka di Kali Opak. Aku akan merampok mereka.”

“Pikirkan masak-masak.”

Orang berewok yang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Aku sudah memikirkan masak-masak.”

“Terserahlah kepadamu.”

Orang yang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya, “Kau tidak usah menjadi pusing memikirkan langkah yang aku ambil ini. Aku akan mempertanggung-jawabkannya.”

“Jika Ki Saba Lintang marah?”

Orang bertubuh tinggi besar itu tertawa Katanya, “Kau mengenal aku dengan baik. Kau pun mengenal Saba Lintang. Katakan, jika Saba Lintang marah, apa yang akan dilakukannya?”

Kawannya itu termangu-mangu sejenak.

Orang yang bertubuh raksasa dengan brewoknya yang lebat, serta rambutnya yang bergerai panjang dan berombak berjuntai dari balik ikat kepalanya itu pun berkata, “Mumpung Agung Sedayu belum terlalu jauh. Aku akan mengambil jalan pintas dan menunggunya di pinggir Kafi Opak.”

“Kau akan terlambat.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Tidak. Aku mengenal jalan yang terdekat lewat kaki Gunung Merapi.”

Sejenak kemudian, orang bertubuh raksasa itu sudah berpacu di atas punggung kudanya. Namun ia tidak sendiri. Lima orang saudara seperguruannya ikut bersamanya.

Berenam mereka berpacu di jalan pintas. Mereka mulai mengikuti jalan setapak yang menerobos padang perdu dan bahkan menyusuri tepi hutan di kaki Gunung Merapi.

Kawannya yang bertubuh gemuk, yang ditinggalkan di Sangkal Putung hanya dapat menarik nafas panjang. Namun ia pun segera mencari hubungan dengan kepercayaan Ki Saba Lintang, untuk memberikan laporan tentang orang bertubuh raksasa yang memburu Agung Sedayu itu.

“Kebo Remeng?” bertanya kepercayaan Ki Saba Lintang.

“Ya.”

“Orang itu memang gila. Ki Saba Lintang mengakui bahwa ilmunya memang tinggi. Tetapi ia menuruti kehendaknya sendiri saja tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain yang berkaitan.”

“Orang itu sudah berangkat untuk mencegat Agung Sedayu. Ia dan lima orang saudara seperguruannya mengambil jalan pintas, dan akan menunggu Agung Sedayu dan Sekar Mirah di Kali Opak.”

“Mudah-mudahan ia terlambat.”

“Menurut perhitungannya, ia akan dapat mendahului Agung Sedayu dan Sekar Mirah.”

Kepercayaan Ki Saba Lintang itu mengerutkan dahinya, sementara orang yang bertubuh agak gemuk itu berkata, “Kebo Remeng akan meninggalkan jejak perampokan. Jika ia berhasil membunuh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, kesannya adalah keduanya mati dibunuh oleh perampok atau penyamun.”

Kepercayaan Ki Saba Lintang itu tersenyum, Katanya, “Siapapun yang melakukan, kematian Agung Sedayu akan mengguncang Mataram.”

Orang yang bertubuh agak gemuk itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah mencoba mencegahnya.”

“Baiklah. Aku akan menemui Ki Saba Lintang. Mudah-mudahan ia masih berada di tempatnya.”

“Apakah ia akan pergi?”

“Ya. Aku mendengar rencananya untuk pergi ke sebelah Gunung Kendeng.”

“Kau harus cepat-cepat mencarinya. Jika Kebo Remeng berhasil mendahului Agung Sedayu, maka gejolak itu akan terjadi hari ini. Jika Ki Saba Lintang sudah terlanjur berangkat, kita harus berusaha menyusulnya dan melaporkan apa yang dilakukan oleh Kebo Remeng.”

Kepercayaan Ki Saba Lintang itu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku akan memerintahkan dua orang untuk melihat apa yang terjadi di Kali Opak. Jika Ki Saba Lintang sudah pergi, aku justru akan menunggu laporan dari kedua orang yang pergi ke Kali Opak itu.”

Orang yang bertubuh gemuk itu pun kemudian berkata, “Biarlah aku yang pergi ke Kali Opak. Aku akan melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Kebo Remeng.”

“Berenam dengan saudara-saudara seperguruannya, Kebo Remeng memang berbahaya bagi Agung Sedayu.”

“Ya. Kebo Remeng juga bukan orang kebanyakan.”

“Pergilah. Bawa seorang kawan, agar kau mempunyai kawan berbincang. Mungkin kau harus mengambil sikap. Jika kau mempunyai seorang kawan, maka kau dapat membuat pertimbangan-pertimbangan bersama.”

Orang yang bertubuh gemuk itu mengangguk. Katanya, “Aku akan pergi berdua ke Kali Opak di sebelah barat Prambanan. Agaknya jalan itulah yang akan ditempuh oleh Agung Sedayu. Jika Kebo Remeng menunggu di tempat lain, mereka tentu tidak akan berhasil mencegat Agung Sedayu dan istrinya.”

“Pergilah. Tetapi apakah kau masih sempat melihat apa yang terjadi atau tidak?”

“Aku akan menempuh jalan pintas sebagaimana Kebo Remeng.”

Orang bertubuh gemuk itu pun segera menemui seorang kawannya untuk diajak menyusul Kebo Remeng, ”Kita lihat, apa yang terjadi.”

“Perjalanan sia-sia,” berkata kawannya.

“Kenapa?”

“Kita hanya akan menemukan mayat Agung Sedayu dan istrinya yang terkapar di tepian.”

“Kau yakin?”

“Kebo Remeng adalah seorang yang berilmu tinggi. Kebo Remeng sendiri akan dapat membunuh Agung Sedayu. Apalagi mereka berenam.”

“Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang pilih tanding.”

“Siapapun orangnya. Bahkan Panembahan Senapati sendiri tidak akan mampu melawan Kebo Remeng bersama saudara-saudara seperguruannya itu.”

“Tetapi kita harus membuktikan, apakah Kebo Remeng benar-benar bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Jika mereka menunggu di tempat yang salah, sampai sebulan pun mereka tidak akan melihat Agung Sedayu dan Sekar Mirah lewat.”

Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita lihat apa yang terjadi.”

Keduanya pun segera mempersiapkan kuda mereka dan berpacu menyusul Kebo Remeng dan kelima orang saudara seperguruannya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyusuri jalan yang memang terbiasa mereka lewati. Jalan yang terhitung banyak dilalui orang.

Namun di sepanjang jalan, wajah Sekar Mirah tidak nampak ceria. Bahkan sekali-sekali Sekar Mirah itu mengusap matanya.

“Sudahlah Mirah,” desis Agung Sedayu, “kau jangan terlalu memikirkannya. Kita mohon kepada Yang Maha Pencipta, agar kita dikaruniai keturunan. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada keputusan Yang Maha Agung itu. Mungkin kita memang tidak pantas untuk mendapatkan seorang anak. Mungkin karena alasan-alasan lain di luar jangkauan nalar kita, sehingga kita tidak mendapatkan seorang anak. Tetapi bukankah kita tidak berputus asa? Kita akan berusaha sambil memohon. Kita akan mencoba beberapa jenis obat-obatan yang mungkin akan dapat membantu.”

“Kakang,” desis Sekar Mirah. Di luar sadarnya kudanya berlari semakin lamban, “Sebaiknya Kakang menikah lagi.”

“He?” Agung Sedayu terkejut, sehingga di luar sadarnya tangannya menarik kendali kudanya. Keduanya pun berhenti.

“Selagi masih ada kesempatan, Kakang. Kakang masih mungkin mendapatkan seorang anak dari istri Kakang itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mirah. Pernikahan bukan permainan untung rugi. Jika kita dikaruniai anak, kita merasa untung. Jika tidak, kita menjadi rugi. Tidak, Mirah. Kita harus mengingat kembali, kenapa kita telah menikah. Pernikahan adalah satu ikatan. Akibat dari ikatan itu harus kita tanggung bersama. Kita harus menerima kenyataan itu. Salah seorang dari kita tidak akan lari.”

“Tetapi aku rela, Kakang. Kakang tentu tidak ingin nama Kakang terputus sampai sekian. Jika Kakang mempunyai anak seperti Kakang Swandaru dan seperti Kakang Untara, maka nama Kakang akan ada yang melanjutkannya. Ada sesuatu yang dapat Kakang banggakan bagi masa depan.”

“Jangan berpikir seperti itu, Sekar Mirah. Apapun yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung atas diri kita, tentulah yang terbaik bagi kita. Karena itu, kita harus menerimanya dengan sabar dan rela.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia justru meloncat turun dari kudanya. Sehingga dengan demikian, Agung Sedayu pun telah turun pula.

“Kakang,” desis Sekar Mirah yang berdiri termangu-mangu di atas tanggul parit dan memandang bentangan sawah yang luas membelakangi jalan, “duniaku akan menjadi sangat sempit.”

“Jangan hiraukan itu Mirah. Kita harus mensyukuri apa yang dikaruniakan kepada kita.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.

Namun Agung Sedayu tidak tergesa-gesa mendesak Sekar Mirah untuk segera melanjutkan perjalanan. Ketika Sekar Mirah duduk di atas tanggul parit, Agung Sedayu pun duduk pula.

Beberapa orang yang lewat sempat memperhatikan keduanya. Meskipun Sekar Mirah berpakaian khusus, namun orang-orang dapat mengenalinya sebagai seorang perempuan, sehingga mereka mengira dua orang anak muda yang sedang meningkat dewasa sedang duduk menikmati keberduaan mereka.

Beberapa lama keduanya duduk di tanggul parit. Namun hampir di luar sadarnya Agung Sedayu bangkit dan berpaling, ketika ia mendengar derap kuda berlari kencang.

Dari kejauhan Agung Sedayu melihat seorang penunggang kuda melarikan kudanya. Debu yang kelabu mengepul di belakang kaki kudanya itu. Sementara itu kudanya berderap dengan cepat, semakin lama semakin dekat.

Namun ketajaman penglihatan Agung Sedayu dapat segera mengenalinya, sementara orang itu pun telah melihat pula Agung Sedayu yang berdiri di atas tanggul pinggir jalan.

Karena itu, maka orang itu pun segera menarik kendali kudanya, sehingga kudanya pun berhenti tepat di muka Agung Sedayu

“Sabungsari,” desis Agung Sedayu.

Sekar Mirah yang mendengar sapa Agung Sedayu itu pun telah bangkit berdiri pula.

“Ki Lurah Agung Sedayu,” Sabungsari pun segera meloncat turun, “kenapa Ki Lurah berhenti di sini?”

“Memberi kesempatan kuda kami beristirahat,” jawab Agung Sedayu.

“Bukankah Ki Lurah dari Sangkal Putung?”

“Ya.”

“Apakah kuda Ki Lurah sudah letih?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Agaknya lapak kaki kudaku kurang mapan.”

“Oh,” Sabungsari mengangguk-angguk.

Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Sekar Mirah yang telah mengusap matanya, mencoba untuk tersenyum. Katanya, “Kau baru sekarang meninggalkan Mataram?”

Sabungsari tersenyum. Namun wajahnya justru menunduk. Katanya, “Ya, Nyi Lurah.”

“Nampaknya kau kerasan di Mataram, he?”

“Ah. Sebenarnya aku tidak akan tinggal selama ini.”

“Apa salahnya?”

“Tiba-tiba saja aku merasa diriku menjadi kanak-kanak.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah tertawa. Dengan nada tinggi Agung Sedayu bertanya, “Kenapa kau merasa dirimu menjadi kanak-kanak?”

“Ternyata aku sangat dimanjakan. Bahkan kemudian aku telah diajak untuk menemui saudara-saudara yang tinggal di Kota dan sekitarnya. Diperkenalkannya aku dengan mereka semuanya. Rasa-rasanya aku malu kepada diriku sendiri.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah tertawa berkepanjangan. Di sela-sela tertawanya Agung Sedayu berkata, “Itulah agaknya kau kerasan tinggal di Mataram, sehingga kau hampir lupa bahwa kau harus kembali ke barakmu.”

“Rasa-rasanya aku memang menjadi malas kembali ke barak. Aku memang lebih senang tinggal di Mataram daripada di barak prajurit yang gersang itu.”

Mereka pun tertawa semakin keras.

Namun kemudian, Sabungsari pun berkata, “Tetapi ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada Ki Lurah. Itulah agaknya yang membuat aku memacu kudaku. Aku ingin segera menemui Ki Lurah di perjalanan ini.”

“Kau tahu kalau kami pulang hari ini?”

“Tidak. Baru tadi di Prambanan aku memastikan bahwa Ki Lurah dan Nyi Lurah pulang hari ini.”

“Ada yang memberitahukan kepadamu?”

“Dengan tidak langsung.”

“Siapa?”

“Aku belum mengenalnya. Ketika aku berhenti untuk memberi makan dan minum kudaku serta memberi kesempatan untuk beristirahat, aku mendengar seorang yang bertubuh tinggi besar berkata, ‘Kita tunggu di sini Agung Sedayu dan istrinya. Kali ini mereka tidak akan luput dari tangan kita.’”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia bertanya, “Kenapa mereka menunggu kami?”

“Aku menduga mereka mempunyai maksud yang kurang baik.”

“Berapa orang yang menunggu kami di Prambanan itu?”

“Sekitar lima atau enam orang. Aku tidak tahu pasti.”

“Apa pula maksud mereka?” desis Agung Sedayu.

“Ki Lurah,” berkata Sabungsari, “nampaknya mereka sangat berbahaya bagi Ki Lurah. Karena itu, jika Ki Lurah tidak berkeberatan, biarlah aku akan kembali sampai di Prambanan menyertai Ki Lurah.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Siapa pula mereka itu. Mungkin mereka sanak kandang orang-orang Bendagantungan yang mendendam.”

“Siapapun mereka, tetapi nampaknya mereka sangat berbahaya. Karena itu, Ki Lurah hendaknya berhati-hati. Sementara itu, aku akan menyertai Ki Lurah.”

Ki Lurah merasa tidak pantas untuk menolak maksud baik Sabungsari. Karena itu, maka ia pun berkata, “Terima kasih. Tetapi apakah kau tidak justru hilir mudik?”

“Bukankah Prambanan tidak terlalu jauh?”

Agung Sedayu pun kemudian berpaling kepada Sekar Mirah sambil berkata, “Marilah, Mirah. Agaknya ada sesuatu yang harus kita lakukan di jalan.”

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Ditariknya tongkat baja putihnya yang terselip di pelana kudanya, dan diselipkan di ikat pinggangnya di arah punggung.

“Marilah,” berkata Sekar Mirah.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak akan menghindar lewat jalan lain.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu berdesis, “Kenapa masih saja ada orang yang mencari persoalan?”

“Tentu bukannya tidak ada sebabnya,” sahut Sabungsari.

“Ya. Apapun sebabnya.”

Sejenak kemudian ketiganya pun telah berada di punggung kudanya. Sabungsari telah mempersilakan Agung Sedayu dan Sekar Mirah berkuda di depan, sementara itu ia mengikutinya saja dari belakang. Tetapi justru karena ia berada di belakang, maka Sabungsari itu pun harus berhati-hati.

Beberapa saat kemudian, ketiganya pun telah melarikan kuda mereka. Mereka menyusuri jalan yang termasuk banyak dilalui orang, bahkan mereka yang menempuh perjalanan jauh. Karena itu, selain orang yang berjalan kaki, beberapa orang penunggang kuda pun lewat. Sedangkan beberapa buah pedati merayap beriringan.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang berjalan di depan mengamati sebelah-menyebelah jalan yang akan mereka lalui. Menurut Sabungsari, beberapa orang telah menunggunya. Karena itu, maka orang-orang itu dapat saja menyergapnya dengan tiba-tiba.

Namun Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak melihat beberapa orang yang menunggunya di pinggir jalan. Bahkan ketika mereka sampai di Prambanan, mereka tidak menjumpai sekelompok orang yang menunggu mereka.

“Mudah-mudahan mereka mengurungkan niatnya,” desis Agung Sedayu.

“Nampaknya mereka bersungguh-sungguh,” desis Sabungsari.

Agung Sedayu tidak menjawab. Beberapa puluh langkah lagi mereka akan meninggalkan Prambanan.

Namun, demikian mereka melewati sebuah kedai yang terhitung besar, maka tiba-tiba saja beberapa orang di dalam kedai itu telah bangkit berdiri. Seorang yang duduk di depan kedai itu berteriak, “Itu mereka!”

Sejenak kemudian, enam orang serentak berlari ke kuda-kuda mereka yang terikat di sebelah kedai itu. Ketika pemilik kedai itu berteriak minta uang pembayaran makanan dan minuman mereka, yang terdengar justru ancaman, “Aku bunuh kau jika kau berteriak sekali lagi!”

Sejenak kemudian, enam orang penunggang kuda itu telah memacu kudanya menyusul Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

“Siapakah yang berada di belakang mereka?”

“Mungkin seorang penunggang kuda yang kebetulan berada di belakang Ki Lurah. Mereka hanya berkuda searah.”

Mereka tidak berbicara lagi. Kuda mereka berlari semakin kencang, sehingga semakin lama menjadi semakin dekat dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Derap kaki kuda-kuda itu pun segera didengar oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari. Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat sekelompok orang berkuda mengejar mereka bertiga.

“Mereka itulah yang aku katakan,” berkata Sabungsari yang berkuda di belakang Agung Sedayu.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Kepada Sekar Mirah ia pun berdesis, “Berhati-hatilah, Mirah. Nampaknya mereka orang-orang yang sangat garang.”

Sekar Mirah mengangguk kecil.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun merapat ketika tiga di antara enam orang yang menyusulnya itu mendahului mereka. Namun keduanya pun bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

Ketiga orang yang mendahului itu pun kemudian memberikan isyarat, agar Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu berhenti.

Tetapi yang berhenti bukan hanya Agung Sedayu dan Sekar Mirah, tetapi juga Sabungsari.

Demikian ketiga orang itu berhenti, maka enam orang yang menyusul mereka itu pun segera menempatkan diri.

“Ki Lurah Agung Sedayu?” geram orang yang bertubuh raksasa yang bernama Kebo Remeng itu.

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “siapakah Ki Sanak?”

“Namaku Kebo Remeng,” jawab orang bertubuh raksasa itu.

“Apakah maksud Ki Sanak menghentikan aku?”

“Langsung saja, Ki Lurah. Kami akan membunuh Ki Lurah berdua. Tetapi karena kalian tiba-tiba saja bertiga, maka kami akan membunuh semuanya.”

“Kenapa? Apakah kita bermusuhan?”

“Musuhmu banyak sekali, Ki Lurah. Banyak orang yang ingin membunuhmu.”

“Apakah kita pernah mempunyai persoalan?”

Orang yang bernama Kebo Remeng itu tertawa. Katanya, “Kau mempunyai persoalan dengan semua orang. Karena itu, sebaiknya kau menyerah saja, agar kau mati dengan tenang. Aku akan memenggal lehermu dengan sekali tebas, sehingga kau tidak akan pernah merasa sakit di saat kematianmu. Tetapi jika kau melawan, maka kau akan sangat menderita di akhir hidupmu.”

“Kenapa kau menjadi begitu garang?”

“Dengar. Aku akan membunuh kalian bertiga Aku tidak tahu, hubungan apakah yang ada antara Ki Lurah dan Nyi Lurah dengan orang ketiga yang berkuda bersama kalian. Tetapi kami tidak mau ada di antara kalian yang hidup.“ Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Jejak yang akan kami tinggalkan adalah, kalian telah dirampok orang di Kali Opak.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang sudah berada beberapa puluh langkah saja dari Kali Opak.

Sejenak Agung Sedayu mengamati orang-orang yang menghentikannya. Menurut penglihatannya, orang-orang itu memang bukan orang kebanyakan. Karena itu, jika mereka benar-benar harus membenturkan ilmu mereka, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari harus berhati-hati.

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “bagaimanapun juga kau tentu mempunyai alasan, kenapa kau akan membunuh kami. Jika kau melakukannya bukan karena kalian benar-benar ingin merampok kami, lalu apa alasan kalian yang sebenarnya?”

“Orang-orang seperti kau itu harus dimusnahkan, Ki Lurah. Kau mempunyai kemampuan untuk menindas orang-orang yang bangkit dari lumpur.”

“Apakah yang kau maksud bangkit dari lumpur?”

“Kau tidak akan melihat dari sisi kau berdiri. Tetapi sudahlah. Kita tidak usah membicarakan hal itu. Sekarang, kami akan membunuhmu. Kami akan meletakkan mayatmu, mayat istrimu dan seorang kawanmu itu di Kali Opak. Mungkin ada orang yang mengenalmu dan mengabarkan kematianmu. Tetapi orang-orang itu akan mengatakan bahwa Agung Sedayu yang perkasa mati dirampok orang.”

“Sebaiknya kau mengurungkan niatmu. Aku harap kau masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Berbeda dengan para perampok yang sebenarnya, yang tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali uang dan benda-benda berharga. Tetapi kau bukan.”

“Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, Ki Lurah. Aku sudah memutuskan untuk membunuhmu. Selain kau memang harus mati, aku pun akan dapat membuktikan bahwa di lingkunganku aku adalah orang yang terbaik.”

“Baiklah, jika itu keputusanmu.”

“Maksudmu? Kau akan menyerahkan lehermu?”

“Jangan berpura-pura, Kebo Remeng. Aku adalah seorang prajurit. Kau tentu tahu sikapku.”

“Baik. Aku menghargaimu. Sebenarnya aku pun merasa lebih puas membunuh orang yang tegar seperti kau, daripada membunuh seorang yang merengek-rengek minta ampun.”

“Sikap kita sejalan,” jawab Agung Sedayu, “jika kami harus mati, maka bagi kami lebih baik mati dengan senjata di tangan daripada mati sambil ngapurancang.’

Kebo Remeng mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Kita akan berkelahi. Tetapi tidak di sini. Kita akan memilih tempat di tepian Kali Opak. Selain tempatnya lebih lapang, kita tidak akan merasa terganggu oleh orang lewat. Sedangkan kesan perampokan pun akan menjadi lebih tegas, seakan-akan beberapa orang penyamun telah menunggu korbannya di tepian Kali Opak. Tetapi jika kalian menolak, maka bagi kami tidak ada bedanya. Kalian akhirnya juga akan mati.”

Namun Agung Sedayu pun menjawab, “Aku sependapat.”

Kebo Remeng mengerutkan dahinya. Sama sekali tidak nampak kecemasan di wajah dan suara Agung Sedayu. Ia nampak tenang saja menghadapi ancaman Kebo Remeng yang bersungguh-sungguh itu.

“Sependapat apa?” Kebo Remenglah yang justru bertanya.

“Sependapat dengan kau. Kita akan bertempur di tepian Kali Opak.”

Kebo Remeng menggeram. Katanya, “Kita akan pergi ke tepian. Tetapi jika kalian mencoba untuk melarikan diri, maka nasib kalian akan menjadi semakin buruk.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika tiga orang yang berada di depan itu kemudian pergi ke Kali Opak, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari pun mengikutinya pula. Di belakang mereka adalah ketiga orang saudara seperguruan Kebo Remeng yang lain.

Beberapa saat kemudian, maka Kebo Remeng dan saudara-saudara seperguruannya telah menuruni tebing Kali Opak yang landai. Kemudian mereka pun berbelok ke kanan menyusuri tepian pergi ke balik tikungan. Tetapi mereka tidak berada terlalu jauh dari tempat penyeberangan.

“Biarlah ada orang yang akan menemukan mayatmu,” berkata Kebo Remeng.

Agung Sedayu pun tersenyum. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Kenapa?”

“Aku ingin ada orang yang menemukan mayatmu. Mudah-mudahan ada yang mengenalimu, sehingga kematianmu dapat diketahui oleh banyak orang.”

“Jika kau dan saudara-saudara seperguruanmu yang mati?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau gila, Agung Sedayu! Betapapun tinggi ilmumu, tetapi kalian bertiga tidak akan dapat mengalahkan kami berenam. Katakan ilmumu dapat menyentuh langit. Namun kau tidak akan dapat mengalahkan empat orang di antara kami, sementara dua orang saudara seperguruanku akan membunuh istri dan kawanmu itu.”

“Kau tidak akan dapat menentukan umur seseorang,” berkata Agung Sedayu, “siapa tahu justru hari ini adalah batas panjang umurmu.”

“Persetan kau, Agung Sedayu!” geram Kebo Remeng.

Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ketika tiga orang yang berkuda di depan itu meloncat turun, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari pun meloncat turun pula. Demikian juga ketiga saudara seperguruan Kebo Remeng yang lain, yang berkuda di belakang Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari.

Mereka pun kemudian telah mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang perdu di tepian itu.

“Bersiaplah!” geram Kebo Remeng, “Semakin cepat semakin baik, agar pekerjaanku cepat selesai.”

Agung Sedayu pun kemudian berbisik di telinga istrinya, “Berhati-hatilah. Nampaknya mereka orang-orang berilmu.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Sementara Sabungsari pun segera mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Agung Sedayu,” berkata Kebo Remeng, “aku hormati keberanian dan ketenanganmu menghadapi keadaan yang paling gawat sekali pun, bahkan kau tahu bahwa nyawamu akan tercabut dari tubuhmu. Tetapi kau masih nampak tenang dan bahkan sempat pula tersenyum.”

“Sudah aku katakan, bahwa bukan kau yang menentukan panjang dan pendeknya umur kami.”

“Kau masih juga berusaha menghibur diri pada saat-saat terakhir hidupmu.”

“Kau pun tahu apa yang aku katakan. Kau-lah yang mencoba menyingkirkan pengakuan itu dari kepalamu. Tetapi kau tidak akan pernah berhasil.”

“Cukup!” bentak Kebo Remeng, “Lebih baik menyebut nama ayah ibumu sebelum kematian itu datang.”

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “jangan membual lagi. Kami sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.”

Kebo Remeng itu menggeram. Kemudian ia pun berkata kepada saudara-saudara seperguruannya, “Bersiaplah! Kita bunuh mereka bertiga. Sekarang.”

Kelima orang saudara seperguruannya serentak bergeser. Dengan isyarat Kebo Remeng mengatur orang-orangnya. Seorang di antara saudara seperguruannya akan menghadapi Sekar Mirah. Dua orang akan berhadapan dengan Sabungsari, dan tiga di antara mereka, termasuk Kebo Remeng, akan menghabisi Agung Sedayu.

Sekar Mirah pun telah bersiap pula. Karena lawannya telah menarik goloknya yang besar, maka Sekar Mirah pun telah menggenggam tongkat baja putihnya. Ia tidak ingin mengalami kesulitan dengan golok lawannya yang panjang dan besar itu.

Tetapi ternyata lawannya tidak segera menyerangnya. Bahkan sambil tersenyum orang itu berkata, “Nyi Lurah. Sebaiknya kau tidak usah mengorbankan nyawamu untuk suamimu yang sombong itu.”

Tetapi Sekar Mirah justru bertanya, “Apakah aku harus mengorbankan nyawaku?”

“Kalau kau keras kepala, kau akan mati juga di tepian ini.”

“Maksudmu?”

“Nyi Lurah. Kau adalah perempuan yang cantik. Seandainya Agung Sedayu mati, banyak laki-laki yang akan bersedia menggantikannya. Karena itu jangan bodoh. Jangan ikut mati bersama Agung Sedayu. Jika kau ingin tetap hidup, aku akan menolongmu.”

Sekar Mirah memandang orang itu dengan tajamnya, Namun Sekar Mirah pun kemudian tersenyum sambil berdesis, “Kau berkata sebenarnya?”

“Ya.”

“Aku memang tidak ingin mati sekarang.”

“Bagus. Aku akan menanggung keselamatanmu.”

“Siapa namamu?”

“Apa itu penting?”

“Tentu,” jawab Sekar Mirah.

“Namaku Wisaya.”

“Nama yang bagus.”

“Nah, katakan, apa yang kau inginkan selain tetap hidup? Aku akan berbicara dengan Kakang Kebo Remeng. Tetapi tentu sesudah ia membunuh Agung Sedayu.”

“Tidak ada,” jawab Sekar Mirah.

“Tidak ada?”

“Ya. Aku hanya ingin tetap hidup. Jika perlu dengan membunuhmu.”

“He, apa kau sudah gila? Bagaimana mungkin kau membunuhku? Aku adalah saudara seperguruan Kebo Remeng. Orang-orang berilmu tinggi akan tunduk di bawah telapak kakiku. Bagaimana mungkin kau bermimpi untuk membunuhku?” tiba-tiba orang itu tertawa berkepanjangan.

Sekar Mirah membiarkan orang itu tertawa. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau sudah puas tertawa?”

“Lalu, apa?”

“Habiskan dahulu tertawamu, sebelum kau akan mengalami satu perubahan yang tidak pernah kau harapkan terjadi hari ini. Kematian.”

“Persetan kau, Nyi Lurah! Menyerahlah! Aku akan menanggung segala akibatnya jika aku menyelamatkan kau.”

“Sudahlah, berhentilah mengigau. Aku sudah siap.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya dua orang saudara seperguruannya bertempur melawan kawan Sabungsari itu. Sedangkan tiga orang yang lain, termasuk Kebo Remeng, bertempur melawan Agung Sedayu.

Dengan nada tinggi orang itu pun berkata, “Lihat, sebentar lagi tubuh Ki Lurah itu akan terkapar di pasir tepian. Ia tidak akan dapat mengatasi ketiga orang lawannya. Sebenarnya Kakang Kebo Remeng sendiri akan dapat mengakhirinya. Tetapi Kakang Kebo Remeng agaknya ingin melumatkan Agung Sedayu sehingga menjadi debu.”

“Kakang Agung Sedayu akan dapat bertahan sampai aku melumpuhkanmu. Kemudian, aku akan membantunya menghentikan perlawanan saudara-saudara seperguruanmu itu.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Ternyata kesombonganmu melebihi suamimu. Bersiaplah. Jika kau keras kepala, maka kau pun akan mati.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Dipersiapkannya tongkat baja putihnya ketika ia melihat golok lawannya mulai bergetar.

Ketika lawannya mulai menjulurkan goloknya, maka Sekar Mirah pun bergeser setapak. Tongkat baja putihnya pun mulai berputar.

Putaran tongkat baja putih Sekar Mirah itu membuat jantung lawannya berdesir. Terdengar suara angin yang berdesing seperti suara gasing bambu. Kadang-kadang suara itu menghilang. Tetapi tiba-tiba saja bergaung keras.

“Ternyata perempuan ini sangat berbahaya. Itulah sebabnya ia sama sekali tidak menjadi cemas menghadapi keadaan yang gawat ini,” berkata lawan Sekar Mirah itu di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin cepat. Lawan Sekar Mirah itu telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ia bergerak semakin cepat. Goloknya pun terayun-ayun mengerikan. Menebas dan kemudian terjulur ke arah jantung.

Tetapi Sekar Mirah cukup tangkas. Dengan cepat ia pun berloncatan menghindar. Namun sekali-sekali Sekar Mirah menangkis serangan lawannya dengan tongkat baja putihnya. Bahkan Sekar Mirah pun telah membenturkan tongkat baja putihnya langsung menahan ayunan golok lawannya.

Lawannya benar-benar terkejut. Ternyata perempuan itu bukan saja mampu bergerak cepat, tetapi tenaganya pun cukup besar. Benturan yang terjadi sama sekali tidak menggoyahkannya.

Dengan demikian maka orang itu pun semakin meningkatkan kemampuannya pula. Namun Sekar Mirah masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan kadang-kadang serangan Sekar Mirah mampu mengejutkan lawannya.

“Perempuan iblis!” geram orang itu.

Sekar Mirah tidak menyahut. Bahkan hampir saja tongkat baja putihnya menyambar mulut lawannya. Untunglah bahwa pada saatnya lawannya itu masih sempat menarik kepalanya sambil berpaling, sehingga tongkat baja putih Sekar Mirah tidak menyentuh bibirnya.

Tetapi orang itu semakin menyadari, dengan siapa ia berhadapan.

Sebenarnyalah Sekar Mirah yang telah menempa dirinya pada tahap-tahap puncak di saat-saat terakhir, telah membuatnya menjadi seorang yang berilmu tinggi. Dengan penguasaannya yang mantap atas tongkat baja putihnya sebagaimana Sekar Mirah menguasai bagian dari tubuhnya sendiri, Sekar Mirah telah membuat lawannya menjadi gelisah. Lawannya itu sama sekali tidak menduga, bahwa Sekar Mirah sudah memiliki tataran ilmu yang demikian tinggi.

Meskipun lawannya itu sudah mengetahui bahwa Sekar Mirah adalah murid Ki Sumangkar serta telah mewarisi tongkat baja putihnya, namun ia tidak mengira bahwa tataran ilmunya telah demikian tingginya.

Karena itu, maka orang itu bukan saja harus meningkatkan ilmunya, tetapi ia harus mengerahkan ilmunya untuk mengatasi kemampuan perempuan itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu sendiri tengah berhadapan dengan Kebo Remeng. Ia telah memerintahkan kedua orang saudara seperguruan untuk mendampinginya. Tetapi ternyata Kebo Remeng tidak ingin bertempur bertiga melawan Agung Sedayu. Karena itu, maka diperintahkannya kedua orang saudara seperguruannya itu mengamati saja pertempuran itu.

“Jaga agar Agung Sedayu tidak lari dari medan atau bertempur dengan gaya seekor ayam jantan yang licik, yang bertempur sambil berlari-lari berputar-putar di arena. Ia harus bertempur dengan tanggon sampai tarikan nafas terakhirnya. Bukankah ia telah memilih sendiri cara kematiannya? Karena itu, ia tidak boleh menghindar.”

Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Jangan takut aku melarikan diri. Aku akan menikmati kesempatan ini, bertempur seorang melawan seorang yang berilmu sangat tinggi.”

“Tuntaskan kesombonganmu di bagian terakhir dari hidupmu, Ki Lurah. Besok orang-orang Mataram akan menyebut namamu dengan nada yang berbeda.”

Agung Sedayu justru tersenyum. Katanya, “Baiklah. Sekarang aku sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jika kau akan mulai, mulailah.”

Kebo Remeng mengerutkan dahinya. Tetapi darahnya terasa menjadi panas. Agung Sedayu itu sama sekali tidak menunjukkan kekhawatirannya untuk menghadapi perang tanding yang menentukan. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu itu masih nampak tersenyum.

Sejenak kemudian, Kebo Remeng itu pun kemudian mulai bergeser sambil menggeram, “Bersiaplah untuk mati, Agung Sedayu. Waktumu tinggal sedikit.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah bergeser pula.

Sejenak kemudian, Kebo Remeng itu pun telah mulai menyerang Agung Sedayu. Tangannya terjulur lurus ke arah leher. Tetapi serangannya masih belum bertenaga. Sementara Agung Sedayu pun hanya bergeser saja selangkah ke samping. Tetapi serangan-serangan berikutnya menjadi semakin cepat. Kebo Remeng mulai berloncatan. Serangan-serangannya pun mulai berbahaya.

Tetapi Agung Sedayu telah bersiap menghadapinya. Karena itu, maka ia pun telah berloncatan pula. Semakin cepat Kebo Remeng bergerak, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin cepat pula.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit pula. Sementara itu kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu berputaran. Meskipun mereka tidak melibatkan diri, tetapi mereka tidak tinggal diam. Bahkan seakan-akan keduanya ikut terlibat pula dalam pertempuran itu.

Namun setiap kali Kebo Remeng berteriak., “Jangan ganggu aku! Aku akan membunuhnya! Aku akan membuktikan bahwa ilmuku lebih tinggi dari ilmu Agung Sedayu.”

Setiap kali kedua saudara seperguruannya melangkah surut, menjauhi arena pertempuran. Namun kemudian mereka pun mendekat pula untuk mengetahui dengan jelas, apa yang telah terjadi.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Sabungsari berhadapan dengan dua orang saudara seperguruan Kebo Remeng. Dengan cepat mereka telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng pun berusaha untuk segera membunuh Sabungsari.

Tetapi ternyata Sabungsari bukannya orang kebanyakan yang dengan mudah dapat mereka binasakan. Tetapi dengan tangkasnya Sabungsari bertempur di antara kedua orang lawannya. Sekali-sekali kedua lawannya justru merasa kehilangan lawannya. Namun tiba-tiba saja serangan Sabungsari pun datang membadai.

Namun kedua saudara seperguruan Kebo Remeng itu pun memiliki ilmu yang tinggi pula. Mereka mampu bekerja sama dengan mapan, bahkan seakan-akan keduanya digerakkan oleh satu otak saja.

Meskipun demikian, keduanya tidak segera mampu mendesak Sabungsari. Serangan-serangan yang datang dari kedua lawannya masih mampu dibendungnya. Jika sekali-sekali terjadi benturan, maka terasa oleh kedua lawannya, betapa besarnya tenaga Sabungsari.

Meskipun kedua orang lawannya semakin meningkatkan kemampuan mereka, namun Sabungsari masih saja tetap mampu mengimbanginya. Keduanya masih belum berhasil menembus pertahanan Sabungsari yang sangat rapat.

Seorang di antara lawan Sabungsari itu pun kemudian menggeram, “Ilmu iblis manakah yang kau sadap, sehingga kau dapat bertahan beberapa lama melawan kami berdua?”

Sabungsari meloncat surut menghindari sambaran tangan salah seorang lawannya. Ketika seorang yang lain meloncat menyerangnya dengan ayunan kakinya ke arah perut, Sabungsari bergeser ke samping. Dengan tangannya ia menepis kaki yang terjulur itu. Demikian kerasnya, sehingga orang itu justru terputar setengah lingkaran. Hampir saja orang itu terjatuh, namun ia berhasil mempertahankan keseimbangan.

Sementara itu, Sabungsari berkata, “Kalian-lah yang telah menyadap ilmu iblis itu, untuk kalian pergunakan menghancurkan tata kehidupan.”

Orang itu tidak menjawab. Serangan Sabungsari datang seperti badai.

Tetapi orang yang lain pun telah menyerang Sabungsari dari arah lambung, sehingga perhatian Sabungsari pun terpecah. Namun dengan cepat Sabungsari berputar. Sekali lagi ia meloncat sambil memutar tubuhnya. Sebelah kakinya terayun deras sekali mengarah keningnya. Demikian cepatnya, sehingga lawannya tidak sempat menghindar. Tetapi ia masih berusaha menangkis dengan kedua belah tangannya.

Namun dorongan kekuatan ayunan kaki Sabungsari ternyata telah mengguncang keseimbangan lawannya. Beberapa langkah ia terdorong ke samping, namun kemudian tubuhnya jatuh terbanting di tanah. Tetapi Sabungsari tidak sempat memburunya. Lawannya yang lain meluncur dengan kecepatan tinggi. Kakinya terjulur lurus menyamping mengarah ke dada.

Ternyata Sabungsari juga tidak sempat mengelak. Dengan tergesa-gesa Sabungsari menyilangkan tangan di dadanya.

Tetapi serangan lawannya datang demikian derasnya. Ketika benturan terjadi, maka pertahanan Sabungsari pun menjadi goyah. Ia tergetar dan terdorong surut beberapa langkah. Bahkan Sabungsari pun kemudian jatuh berguling di tanah.

Namun dengan cepat ia meloncat bangkit. Sementara itu lawannya yang menyerang dengan kakinya itu pun telah tergetar pula. Tetapi ia tetap tegak pada kedua kakinya.

Ketika ia siap untuk menyerang, ternyata Sabungsari pun telah bersiap pula untuk menghadapinya. Sementara lawannya yang seorang lagi telah bersiap pula untuk menyerang.

Pertempuran menjadi semakin sengit. Namun betapapun kedua lawannya mengerahkan segenap kemampuannya, namun mereka tidak segera dapat menundukkan perlawanan Sabungsari.

Sementara itu, Sekar Mirah pun telah bertempur semakin cepat pula.

Lawannya, salah seorang saudara seperguruan Kebo Remeng, ternyata mengalami kesulitan untuk menundukkannya. Bahkan setelah orang itu tidak lagi menahan diri. Ia tidak lagi ingin menguasai Sekar Mirah, yang di matanya nampak sebagai seorang perempuan yang cantik.

“Aku sudah memberi kesempatan kepadamu, perempuan dungu. Aku akan minta kepada Kakang Kebo Remeng untuk memaafkanmu, agar kau tidak ikut dibunuh bersama suamimu. Tetapi kau ternyata keras kepala. Karena itu, maka aku telah mengubah keputusanku. Aku akan membunuhmu.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia tahu bahwa lawannya akan mengerahkan segenap kemampuannya. Laki-laki itu tentu tidak mau kalah olehnya yang hanya mempergunakan tongkat baja putih, satu dari dua lambang kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati.

Sebenarnyalah saudara perguruan Kebo Remeng itu pun telah mengerahkan kemampuannya. Namun Sekar Mirah pun telah sampai ke puncak ilmunya pula, sehingga pertempuran pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang, saling menangkis dan menghindar, sehingga benturan-benturan senjata pun semakin sering terjadi. Golok saudara perguruan Kebo Remeng itu memercikkan bunga api dalam setiap benturan dengan tongkat baja putih Sekar Mirah.

Namun semakin lama, saudara seperguruan Kebo Remeng itu semakin menyadari bahwa Sekar Mirah memang berilmu tinggi. Dengan landasan tenaga dalamnya, maka kekuatan Sekar Mirah telah menjadi berlipat-lipat. Lawannya yang juga mengerahkan tenaga dalamnya, harus mengakui kelebihan Sekar Mirah. Beberapa kali ia terdesak surut. Bahkan tongkat baja putih Sekar Mirah mulai mampu membuka pertahanannya.

Kecemasan mulai menggelitik hati saudara seperguruan Kebo Remeng itu. Ketika ia sesaat melihat saudara-saudara seperguruannya, maka semuanya telah terlibat dalam pertempuran. Orang itu memang melihat bahwa dua orang yang mendampingi Kebo Remeng nampaknya tidak langsung terlibat dalam pertempuran, tetapi nampaknya keduanya terikat pada Kebo Remeng, sehingga mereka tidak dapat meninggalkannya.

Semakin lama lawan Sekar Mirah itu semakin mengalami kesulitan. Tetapi ia masih menjaga harga dirinya untuk berteriak minta bantuan kepada saudara-saudara seperguruannya. Lawannya hanyalah seorang perempuan.

Tetapi orang itu akhirnya berteriak juga ketika ujung tongkat baja putih Sekar Mirah menggores di bahunya.

“Iblis betina!” orang itu mengumpat, “Kau melukai bahuku!”

Sekar Mirah justru meloncat surut untuk mengambil jarak. Dengan dahi yang berkerut ia pun menjawab, “Masih ada kesempatan bagimu untuk menyerah. Aku tidak mempunyai rencana untuk membunuhmu. Karena itu, jika kau menyerah, maka aku tidak akan membunuhmu.”

“Aku harus menyerah kepada seorang perempuan?”

“Apakah bedanya perempuan atau laki-laki? Jika kau tidak lagi dapat membela dirimu, maka kau akan mempunyai dua pilihan, menyerah atau mati. Seperti aku katakan, bahwa aku tidak mempunyai rencana untuk membunuhmu. Karena itu, jika kau menyerah, kau akan tetap hidup.”

“Aku belum kalah!” geram orang itu, “Siapakah yang menang dan siapakah yang kalah baru akan terbukti kemudian, setelah pertempuran ini selesai.”

“Kau mengharapkan bantuan saudara-saudaramu?”

“Persetan!” geram orang itu sambil menghentakkan serangannya. Pedangnya menebas mendatar ke arah leher.

Tetapi dengan tangkas Sekar Mirah membentur serangan itu. Memutar tongkat baja putihnya dan kemudian menjulurkannya.

Ujung tongkat baja putih itu menyentuh lambung lawannya. Meskipun sentuhan itu tidak terlalu keras sehingga lambung lawan Sekar Mirah itu tidak berlubang, tetapi sentuhan itu sakitnya bagikan sampai ke ubun-ubun.

Dengan serta-merta lawan Sekar Mirah itu pun meloncat surut untuk mengambil jarak, sementara Sekar Mirah tidak memburunya. Bahkan kemudian Sekar Mirah itu pun berdiri tegak dengan tongkat baja putihnya di tangan kanannya, sedang tangan kirinya bertolak pinggang.

“Nah, apakah kau masih akan keras kepala untuk melanjutkan pertempuran ini?”

Orang itu menggeram. Namun tiba-tiba saja terdengar orang itu bersuit nyaring.

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera menyadari, bahwa orang itu agaknya telah minta bantuan salah seorang saudara seperguruannya.

Sekar Mirah pun kemudian telah mengambil keputusan untuk tidak melawan dua orang sekaligus. Mungkin ia akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka yang seorang itu harus dengan cepat dihentikan.

Sebelum suitan itu mendapat tanggapan, maka tiba-tiba saja Sekar Mirah menyerang dengan garangnya. Tongkat baja putihnya berputaran semakin cepat. Dengan sekuat tenaganya, Sekar Mirah mengayunkan tengkarnya ke arah kening lawannya.

Tetapi lawannya sempat menghindar dengan merendah, bahkan sekaligus menjulurkan goloknya menyongsong lawannya.

Sekar Mirah yang sempat melihat golok yang terjulur itu memiringkan tubuhnya, sehingga golok itu tidak menyentuh kulitnya. Namun tongkat Sekar Mirah itu telah melingkar menebas dengan cepat.

Terdengar orang itu mengaduh. Tubuhnya tergetar ke samping. Namun orang itu masih berhasil mempertahankan keseimbangannya.

Tetapi tulang lengannya terasa menjadi retak. Perasaan nyeri yang sangat telah mencengkamnya.

Dalam pada itu, seorang saudara seperguruannya yang mendampingi Kebo Remeng, ternyata tertarik oleh isyarat saudara seperguruannya yang bertempur melawan Sekar Mirah. Isyarat yang dilontarkannya adalah keluhan untuk mendapatkan bantuan.

Tetapi ia agak ragu meninggalkan Kebo Remeng yang sedang bertempur melawan Agung Sedayu itu.

Namun kemudian sambil bertempur Kebo Remeng itu pun berteriak, “Seorang dari kalian, pergilah kepadanya! Yang seorang di antara kalian tetap mengawasi agar Agung Sedayu tidak melarikan diri.”

Kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu saling berpandangan sejenak. Agaknya mereka ragu-ragu, siapakah di antara mereka yang akan meninggalkan arena pertempuran itu, untuk memberikan bantuan kepada saudara seperguruannya yang bertempur melawan Sekar Mirah itu.

Namun yang lebih tua dari mereka berdua memberikan isyarat agar saudaranya yang lebih muda itu sajalah yang pergi membantu.

“Anak itu memang cengeng,” geram saudaranya yang lebih tua. “Selesaikan perempuan itu. Jika ia mati, maka perlawanan Agung Sedayu pun akan tidak berarti lagi.”

Saudaranya yang lebih muda itu segera meninggalkan lingkaran pertempuran antara Kebo Remeng dan Agung Sedayu.

Jantung orang itu bagaikan terhenti berdenyut, ketika ia melihat saudara seperguruannya terkapar di tepian. Orang itu masih menggeliat dan sekali-sekali berguling sambil menekan dadanya. Darah yang merah mengalir dari luka di dadanya.

Ternyata pada saat terakhir, ujung tongkat baja putih Sekar Mirah sempat menggores dada lawannya menyilang, sesaat sebelum saudara seperguruannya mengambil keputusan untuk membantunya.

“Perempuan yang tidak tahu diri!” geram saudara seperguruannya yang baru saja datang untuk membantu, “Kau telah melakukan kesalahan yang besar sekali dengan melukai saudara seperguruanku.”

Tetapi Sekar Mirah seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan ia pun bertanya, “Kenapa kau terlambat Ki Sanak? Saudara seperguruanmu tidak sempat menunggumu.”

“Aku akan membuat perhitungan, Perempuan Iblis! Tetapi aku tidak akan segera membunuhmu. Kau harus menjadi pengewan-ewan. Justru kau seorang perempuan, maka nasibmu menjadi lebih buruk dari nasib suamimu. Apalagi karena kau sudah melukai saudara seperguruanku.”

Sekar Mirah memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada tinggi Sekar Mirah pun berkata, “Sudahlah. Jangan membual saja. Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Seorang saudara seperguruanmu sudah tidak berdaya.”

Tiba-tiba saja orang itu meloncat menyerang. Senjatanya bukan sebuah golok atau pedang. Tetapi orang itu memegang sebuah bindi yang berat. Tetapi di tangannya bindi itu seakan-akan tidak lebih dari sebatang lidi saja.

Sekar Mirah meloncat menghindari serangan lawannya. Sekar Mirah masih ragu untuk membentur kekuatannya. Meskipun menurut perhitungan Sekar Mirah kemampuan orang itu tidak akan terpaut banyak dari saudara seperguruannya, tetapi pilihan senjata yang dipergunakan menunjukkan bahwa orang itu merasa dirinya mempunyai kekuatan yang sangat besar.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun menjadi sangat berhati-hati. Dalam pertempuran selanjutnya, Sekar Mirah memang mencoba menyentuh senjata lawan dengan tongkat baja putihnya. Benturan-benturan kecil yang terjadi, dapat memberikan sedikit gambaran tentang kekuatannya.

Tetapi Sekar Mirah tidak tergesa-gesa. Ia menjadi semakin berhati-hati. Ia merasakan bahwa lawannya yang kemudian itu memang memiliki kelebihan dari lawannya yang terdahulu.

Karena itu, maka untuk sementara Sekar Mirah masih menghindari benturan langsung, sampai ia yakin bahwa kekuatannya yang dilambari dengan tenaga dalamnya akan mampu menahan kekuatan lawannya.

Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak saling menyerang, menghindar, dan benturan-benturan pun menjadi semakin sering. Sekar Mirah menjadi semakin yakin, bahwa ia akan dapat mengimbangi kekuatan dan kemampuan lawannya.

Dengan demikian, maka Sekar Mirah menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan semakin berbahaya Tongkat baja putih Sekar Mirah menjadi semakin sering membentur bindi lawannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar