Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 321

Buku 321

Sementara itu, Agung Sedayu pun telah bertanya kepada Sabungsari, apakah ia akan kembali ke Jati Anom atau untuk sementara masih akan berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Sabungsari nampak menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Lurah. Aku akan singgah di Mataram.”

“Bagus,” sahut Agung Sedayu, “aku hampir menanyakannya.”

“Aku mohon Ki Lurah menyampaikannya kepada Ki Tumenggung Untara, bahwa aku masih mohon waktu beberapa hari.”

“Ya. Aku akan singgah di Jati Anom.”

“Untuk apa kau singgah di Mataram?” bertanya Pandan Wangi.

Sabungsari termangu-mangu. Namun sambil tersenyum Sekar Mirah menjawab, “Ada sesuatu yang sangat menarik bagi Sabungsari di Mataram.”

Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Sementara Rara Wulan pun berkata, “Jangan kau biarkan waktu merayap terus, Kakang Sabungsari.”

Sabungsari hanya tersenyum saja.

Namun akhirnya Pandan Wangi pun tanggap juga. Katanya, “Oh, jika demikian, kau memang harus singgah di Mataram.”

Dalam pada itu, Ki Jayaraga pun berdesis, “Rumah ini akan menjadi sangat lengang.”

“Kami akan segera kembali,” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi Angger Sabungsari tidak akan segera kembali kemari, setelah Ki Wijil dan Nyi Wijil meninggalkan rumah ini pula.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, “Kita tidak dapat mengharap Sabungsari segera kembali. Ia mempunyai persoalannya sendiri yang harus diselesaikannya.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku besok ikut kau saja ke Mataram.”

Sabungsari hanya tersenyum-senyum saja. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk menjawabnya, sehingga Sabungsari merasa lebih baik untuk berdiam diri saja.

Malam itu, Pandan Wangi masuk ke dalam biliknya sebelum tengah malam. Sementara Glagah Putih dan Sabungsari duduk di serambi gandok. Rasa-rasanya mata mereka belum mengantuk, sementara udara di dalam bilik mereka terasa panas sekali.

Di tengah malam Sukra ikut duduk bersama mereka. Namun seperti biasanya anak itu bersungut-sungut, “Bagaimana aku dapat memiliki ilmu kanuragan yang baik jika segala-galanya selalu tersendat?”

“Kau harus berlatih dengan teratur,” sahut Glagah Putih.

“Bagaimana dapat teratur? Kau memberikan latihan-latihan seingatmu saja. Atau di sela-sela kesibukanmu. Itu kalau kau tidak letih.”

“Jangan menunggu aku. Ada atau tidak ada aku, kau harus berlatih teratur. Kau sendiri menentukan waktunya. Sejak senja, setelah kau menyalakan lampu dan memenuhi kewajibanmu. Kemudian berhenti untuk beristirahat sampai wayah sepi wong. Baru kemudian dilanjutkan beberapa saat lagi, sampai kau merasa letih.”

“Jadi aku harus berlatih sendiri?”

“Ya. Sudah berapa kali aku katakan.”

“Kemampuanku tidak akan meningkat.”

“Tentu meningkat. Latihan-latihan itu akan membuatmu mematangkan unsur-unsur gerak yang sudah kau miliki. Meningkatkan daya dan penguasaan tubuh. Di kesempatan lain, aku akan memberikan beberapa petunjuk tentang unsur-unsur baru di dalam olah kanuragan untuk meningkatkan ilmumu. Asal kau lakukan dengan selalu mengingat petunjuk-petunjukku, sendirian pun kau akan menjadi semakin meningkat.”

Sukra termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan berlatih dengan teratur, meskipun sendiri. Sejak besok malam.”

“Bukankah kau tidak lagi turun ke sungai?”

“Untuk sementara tidak. Aku pinjamkan pliridanku kepada seorang kawanku. Bukan hanya membuka di sore hari dan menutup di dini hari. Tetapi ia juga harus memelihara dengan baik.”

“Bagus,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Besok, jika tidak ada tugas yang mendadak, aku akan berada di sanggar bersamamu.”

“Kau selalu berkata begitu. Jika tidak ada tugas yang mendadak.”

Glagah Putih tidak sempat menjawab. Sukra pun kemudian telah meninggalkannya dan menghilang di sudut gandok.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Sabungsari pun berkata, “Anak itu mempunyai kemauan yang besar sekali, Glagah Putih.”

“Ya. Mudah-mudahan ia dapat menguasai ilmu dengan baik. Tetapi sifatnya pun harus mendukungnya, sehingga ilmu yang dimiliki itu akan berarti bagi orang banyak.”

“Anak itu lugu dan jujur. Tergantung bagaimana kau mengarahkannya.”

“Hidupku sendiri tidak selalu terarah.”

“Tetapi bukankah kau pernah merasa diarahkan oleh guru-gurumu? Ki Lurah Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga?”

Glagah Putih mengangguk.

“Nah, apapun nanti yang akan terjadi pada Sukra, namun kau berkewajiban untuk mengarahkannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Keduanya kemudian berhenti berbincang ketika mereka mendengar suara kentongan dengan irama dara muluk. Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Beristirahatlah. Besok kau akan ke Mataram. Kau harus nampak segar dan riang. Jangan mengantuk.”

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Baiklah. Mataku juga sudah mulai merasa mengantuk.”

Sabungsari dan Glagah Putih pun kemudian masuk ke dalam bilik masing-masing. Nyala lampu minyak di dalam bilik masing-masing pun telah diperkecil.

Sejenak kemudian Glagah Putih pun telah tertidur. Namun justru Sabungsari-lah yang tidak segera dapat memejamkan matanya.

Namun di dini hari, Sabungsari pun telah terlena beberapa lama.

Menjelang fajar, seisi rumah itu sudah terbangun. Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsari telah bersiap-siap untuk berangkat meninggalkan rumah itu.

Setelah makan pagi, saat matahari terbit, maka mereka pun telah turun ke halaman.

Agung Sedayu sekali lagi memberikan pesan-pesannya kepada orang-orang yang tinggal di rumah itu. Demikian pula Sekar Mirah. Ia masih memberikan beberapa pesan kepada Rara Wulan dan Nyi Dwani. Mereka harus selalu berusaha untuk mengetahui perkembangan keadaan. Setiap kali mereka harus bertanya kepada Glagah Putih.

Sedangkan Glagah Putih setiap hari harus berhubungan dengan Prastawa, untuk dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di Tanah Perdikan itu.

“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang gawat di Tanah Perdikan ini,” berkata Agung Sedayu kemudian. Namun ia pun berkata selanjutnya, “Tetapi di sini masih ada Ki Jayaraga dan Empu Wisanata, yang akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk jika terjadi sesuatu.”

Tetapi Ki Jayaraga pun berdesis sambil tersenyum, “Aku akan mengatasi dengan segera jika rumput-rumput liar tumbuh di antara batang-batang padi di sawah, bersama Empu Wisanata.”

Namun Sabungsari sempat juga berdesis, “Ki Jayaraga tidak usah mempergunakan Aji Sigar Bumi untuk menyingkirkan rumput-rumput liar itu.”

Ki Jayaraga tertawa, yang lain pun tertawa pula.

Sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsari yang akan pergi ke Mataram itu pun telah berangkat. Kuda-kuda mereka berlari tidak terlalu kencang. Debu yang tipis mengepul di belakang kaki-kaki kuda itu.

Beberapa saat kemudian kuda-kuda itu pun telah keluar dari padukuhan induk. Di hadapan mereka terhampar bulak yang luas. Sawah yang hijau itu terbentang sampai ke cakrawala. Di sana-sini nampak padukuhan-padukuhan tersembul bagaikan pulau-pulau kecil di hamparan lautan yang tenang. Riak-riak kecil mengalir oleh sentuhan angin yang lembut, nampak seperti gelombang kecil yang beriringan menuju ke pantai.

Tidak banyak yang dibicarakan oleh keempat orang berkuda di tengah-tengah bulak itu. Pandan Wangi masih saja mengagumi tanah perdikannya yang sudah agak lama ditinggalkannya. Meskipun Pandan Wangi juga sering datang menengok ayah serta sanak kadang serta melihat-lihat tanah perdikannya itu, tetapi ia tidak mengamatinya dengan sungguh-sungguh seperti waktu itu.

Seperti Kademangan Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh juga mengalami kemajuan yang pesat. Tetapi setelah hatinya terluka, maka rasa-rasanya kerinduannya kepada Tanah Perdikan dan sanak kadangnya terasa semakin menyala di hatinya.

Sekar Mirah yang berkuda di sebelahnya tidak terlalu sering mengganggunya. Dibiarkannya Pandan Wangi mengagumi kampung halamannya, tempat ia dilahirkan.

Di belakang mereka, Agung Sedayu berkuda bersama Sabungsari. Keduanya pun tidak terlalu banyak berbincang. Agung Sedayu tidak ingin mengganggu angan-angan Sabungsari, yang tentu sudah mendahului wadagnya sampai di Mataram.

Ketika matahari naik semakin tinggi, maka mereka pun telah sampai jalur jalan yang langsung menuju ke tempat penyeberangan. Jalan yang terhitung ramai, karena jalan itu menghubungkan Mataram dan daerah sebelah barat yang mulai tumbuh.

Beberapa orang berkuda pun sering lewat jalan itu, terutama para pedagang yang banyak menjelajahi daerah yang jauh.

Beberapa kali mereka pun mendahului kelompok-kelompok orang yang menuntun kuda beban, membawa barang-barang dagangannya.

Jalan itu dari hari ke hari memang menjadi semakin ramai, sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan hidup di Mataram dan lingkungannya. Beberapa pedati penuh membawa hasil bumi, sedangkan pedati yang lain, yang menempuh jalan sebaliknya, membawa hasil kerajinan tangan serta pekerjaan besi, seperti alat-alat pertanian dan sebagainya. Sedangkan beberapa ekor kuda beban yang dituntun oleh pemiliknya membawa kain lurik, yang dikumpulkan dari para penenun yang tersebar.

Beberapa saat kemudian, keempat orang penunggang kuda dari Tanah Perdikan itu telah sampai ke tepian Kali Praga. Mereka harus menunggu dengan sabar giliran mereka menyeberang, dengan rakit yang hilir mudik dari tepi barat ke tepi sebelah timur Kali Praga dan sebaliknya.

Namun beberapa orang di antara mereka ternyata tidak sabar menunggu. Beberapa orang anak muda nampak mulai gelisah.

Ketika dua buah rakit dari tepi sebelah timur merapat ke sisi sebelah barat, sementara beberapa orang yang telah menunggu lebih dahulu akan naik, maka anak-anak muda yang tidak sabar itu telah mendorong mereka dan berloncatan naik ke rakit.

Beberapa orang menjadi marah. Tetapi anak-anak muda itu tidak menghiraukannya.

Namun yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan anak-anak muda itu. Dua orang yang seharusnya telah lebih dahulu naik ke rakit itu menjadi marah. Mereka tidak membiarkan diri mereka didorong-dorong ketika mereka akan naik ke atas rakit.

Ketika seorang anak muda mendorong salah seorang dari kedua orang itu, maka tiba-tiba saja anak muda itu telah terlempar dan terpelanting jatuh dengan kerasnya, sehingga anak muda itu telah berteriak kesakitan.

Kawan-kawannya pun terkejut. Beberapa orang yang sudah naik ke atas rakit pun berloncatan turun. Sementara dua orang di antara mereka berlari-larian menolong kawan mereka yang kesakitan itu. Tetapi kedua orang yang seharusnya lebih dahulu naik ke atas rakit itu pun telah menjadi marah pula, sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu justru telah menyerang anak-anak muda yang mengepungnya.

Anak-anak muda itu pun segera beramai-ramai mengeroyok kedua orang yang marah itu. Tetapi seorang demi seorang mereka terpelanting jatuh sambil mengaduh kesakitan.

Orang-orang yang sedang menunggu gilirannya di tepian itu pun telah menjauh. Mereka tidak ingin terlibat dalam perkelahian itu, karena dengan demikian akan dapat terjadi salah paham.

Ternyata beberapa orang anak muda itu sama sekali tidak berdaya melawan kedua orang yang marah itu. Ada di antara mereka yang melarikan diri, tetapi ada yang tidak mampu lagi beringsut dari tempatnya. Bahkan untuk bangkit dan duduk pun punggungnya terasa sakit.

Kedua orang yang marah itu tidak mengejar anak-anak muda yang lari. Kepada mereka yang tidak segera dapat bangkit itu, seorang di antara kedua orang itu berkata, “Kalian bukan orang-orang yang mempunyai kedudukan khusus di Tanah ini, Anak-Anak muda. Seharusnya kalian menghormati tatanan yang berlaku dalam kehidupan serta pergaulan di antara sesama.”

Anak-anak muda yang kesakitan itu tidak menjawab. Sementara kedua orang itu pun berkata kepada orang-orang yang berdiri termangu-mangu, “Marilah. Siapa yang sudah seharusnya naik, naiklah!”

Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya kedua rakit itu pun segera menjadi penuh. Dua orang yang berkelahi itu pun telah berada di atas rakit, dan sejenak kemudian bergerak menyeberang ke tepian di sebelah timur.

Agung Sedayu, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Sabungsari berdiri termangu-mangu. Mereka memang menyesali tingkah laku anak-anak muda itu. Tetapi sudah tentu tidak semua anak-anak muda bertingkah laku seperti mereka. Kedua orang yang marah itu pun masih terhitung muda, meskipun agak lebih tua dibandingkan dengan lawan-lawan mereka.

“Mereka memang memerlukan sedikit peringatan,” desis Sabungsari.

Agung Sedayu mengangguk.

Sementara itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsari pun melangkah lebih menepi. Jika ada rakit lagi yang datang, maka mereka mendapat giliran untuk menumpang.

Tetapi mereka masih harus menunggu dua buah rakit yang masih sedang mulai meluncur ke barat.

Dalam pada itu, anak-anak muda yang melarikan diri itu pun telah kembali lagi. Mereka segera menolong kawan-kawan mereka yang kesakitan. Sedikit demi sedikit rasa sakit itu pun menjadi berkurang.

Sekar Mirah yang memperhatikan beberapa orang anak muda yang kesakitan itu pun berdesis, “Kasihan juga mereka. Anak-anak nakal itu pada suatu saat telah terantuk batu yang cukup keras. Mudah-mudahan tidak terulang lagi.”

Tetapi baru saja Sekar Mirah berhenti berbicara, tiba-tiba anak-anak muda itu melangkah mendekat Ternyata mereka tidak menjadi jera. Dengan lantang seorang di antara mereka berkata, “Minggir kalian! Kami akan naik lebih dahulu. Kami harus mengejar kedua orang yang tidak tahu diri itu.”

Sikap sekelompok anak-anak muda itu memang mengejutkan. Orang-orang yang ada di tepian itu tidak mengira, bahwa mereka sama sekali tidak mengingat apa yang baru saja terjadi.

Namun orang-orang di tepian itu tidak mau bertengkar. Karena itu, mereka membiarkan anak-anak muda itu untuk naik ke rakit lebih dahulu, jika kedua rakit yang sedang menyeberang itu sampai di tepian sebelah barat.

Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsari pun merasa lebih baik sedikit mengalah. Di belakang dua rakit itu pun telah meluncur pula sebuah rakit yang lain.

“Hari pasaran di seberang,” desis seorang perempuan yang juga akan menyeberang, “karena itu penyeberangan ini menjadi ramai.”

Namun yang tidak diduga-duga telah terjadi. Beberapa dari antara anak-anak muda itu pun mendekati Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Mereka mengamati keduanya seperti mereka mengamati seekor kuda.

“He, bukankah kalian perempuan?”

Pandan Wangi dan Sekar Mirah memang merasa tersinggung. Tetapi mereka tidak segera mengambil sikap. Sementara itu Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Ya, anak-anak muda. Keduanya adalah perempuan.”

“Menarik sekali. Perempuan-perempuan cantik dengan pakaian laki-laki. Kenapa kalian berpakaian seperti ini?”

“Hanya kebiasaan saja,” jawab Agung Sedayu pula.

“Aku tidak bertanya kepadamu. Aku bertanya kepada perempuan-perempuan ini.”

“Memang hanya satu kebiasaan saja, Ki Sanak,” jawab Sekar Mirah.

“Nah, kalian berdua dapat naik rakit bersama kami. Biarlah kedua orang kawanmu menyusul kemudian. Tinggalkan saja kuda kalian. Kawan-kawanmu-lah yang akan membawanya. Bukankah kalian nanti akan bertemu di seberang?”

“Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Sekar Mirah, “kami akan naik rakit kemudian, bersama dengan suami-suami kami.”

Anak-anak muda itu memandang Agung Sedayu dan Sabungsari berganti-ganti. Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar melangkah mendekati Agung Sedayu sambil berdesis, “Jadi kau suami salah satu dari perempuan itu?”

“Ya, Ki Sanak.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian memandang Sabungsari dan bertanya, “Kau juga?”

“Ya, Ki Sanak,” jawab Sabungsari yang tanggap pada keadaan.

“Biarlah istri-istri kalian naik rakit bersama kami. Itu rakitnya sudah mendekati tepian. Kalian dengan membawa kuda-kuda kalian, menyusul di rakit yang kemudian.”

“Terserah kepada istri-istri kami itu, Ki Sanak. Apakah mereka bersedia atau tidak.”

“Tidak,” sahut Sekar Mirah dengan serta-merta.

“Nah, kau dengar? Istri-istri kami berkeberatan. Sebaliknya, biarlah kami naik rakit yang kemudian. Kami tidak tergesa-gesa.”

“Kami akan membawa kedua orang perempuan itu. Kami tidak minta persetujuannya dan tidak minta persetujuan kalian berdua.”

“Jangan memaksa,” desis Pandan Wangi. Hatinya memang lagi berguncang. Sikap anak-anak muda itu membuatnya sangat tersinggung.

Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu tertawa. Katanya, “Kami berniat membawa kalian bersama kami dalam dua rakit. Seorang di rakit yang satu, seorang lagi di rakit yang lain. Kalian akan merasa senang bersama kami. Kalian dapat merasakan kegembiraan anak-anak muda yang tegar. Bukan laki-laki kuyu dan lusuh seperti kedua orang suami kalian itu.”

“Jangan ganggu kami, Ki Sanak!” geram Pandan Wangi.

“Kalian tentu tidak berkeberatan.”

“Kami sangat berkeberatan.”

“Kami akan memaksa. Jika suami-suami kalian mencoba untuk menghalangi, maka kami akan membunuh mereka.”

Sekar Mirah memandang seberang. Di lihatnya di kejauhan orang-orang yang naik rakit ke seberang sudah hampir sampai. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Kedua orang yang baru saja menghajar kalian itu melihat apa yang kalian lakukan. Mereka akan menunggu kalian di seberang dan kalian tidak akan diampuni lagi.”

Beberapa orang di antara anak-anak muda itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Mereka tidak akan pernah dapat menemukan kami dan juga kalian berdua.”

“Apa maksudmu?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku tidak mau basa-basi. Kami ingin membawa kalian pergi ke tempat tinggal kami. Mau tidak mau. Jika suami-suami kalian berkeberatan, mereka akan kami bunuh di muka hidung kalian.”

Tetapi Sekar Mirah maupun Pandan Wangi sama sekali tidak menjadi ketakutan. Bahkan dengan mengangkat wajahnya Sekar Mirah bertanya, “Siapakah kalian sebenarnya?”

“Persetan dengan pertanyaanmu. Siapapun kami, tidak ada bedanya bagi kalian.”

“Maaf, Anak-Anak Muda. Kami tidak dapat ikut dengan kalian. Seandainya kami tidak bersuami pun, kami menganggap bahwa kalian masih terlalu kanak-kanak bagi kami. Barangkali adikku yang bungsu seumur kalian.”

“Diam!” bentak orang yang bertubuh tinggi besar, “Ikut kami, atau kami akan memaksa kalian!”

“Terserah kepada suami-suami kami,” jawab Sekar Mirah.

Tetapi Agung Sedayu menjawab sambil tertawa, “Terserah kepada kalian, apakah kalian mau dibawa atau tidak.”

“Jadi kami harus menentukan sikap sendiri?” bertanya Sekar Mirah.

“Ya,” jawab Agung Sedayu.

Anak-anak muda itu memang menjadi bingung ketika mereka melihat Agung Sedayu justru menggamit Sabungsari dan mengajaknya duduk di pasir tepian, di dekat kuda-kuda mereka.

“Gila! Apakah kalian gila?” bentak anak muda itu.

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Kalian berurusan langsung dengan kedua orang perempuan itu. Aku tidak peduli. Mungkin kalian memang sudah merencanakan permainan ini, sehingga kalian sengaja menjemput kedua orang perempuan itu sepengetahuan mereka. Kami tidak mau berkelahi dan menjadi korban, karena hal itu sudah kalian rencanakan sebelumnya.”

“Gila! Apakah kalian laki-laki gila yang membiarkan istri-istri kalian dibawa orang?”

“Buat apa kami harus mengorbankan nyawa kami, jika kalian dan perempuan-perempuan itu sudah membuat janji?”

“Tidak! Tidak! Kami tidak membuat janji. Kami akan menculik istri-istri kalian dengan paksa. Sebagai laki-laki kalian harus mempertahankannya!”

“Persetan! Berurusan-lah langsung dengan perempuan-perempuan itu.”

Wajah anak-anak muda itu nampak menjadi sangat tegang. Mereka justru menjadi bingung menghadapi sikap Agung Sedayu dan Sabungsari, yang benar-benar tidak mempedulikan kedua orang perempuan yang akan diculik oleh beberapa orang anak muda itu.

Namun anak muda yang bertubuh tinggi besar itu berkata, “Aku tidak peduli dengan kalian. Kami akan membawa perempuan ini.”

Orang-orang yang ada di tepian itu menjadi sangat tegang. Ada di antara mereka yang keheran-heranan melihat sikap kedua laki-laki yang mengaku suami-suami dari kedua orang perempuan itu. Ada yang justru marah. Tetapi ada yang dapat memaklumi, bahwa apapun yang mereka lakukan tidak akan menolong. Jumlah anak-anak muda itu terlalu banyak. Sekitar delapan atau sembilan orang, selain yang masih kesakitan karena perkelahian yang terjadi sebelumnya.

Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang berani ikut campur, karena anak-anak muda itu akan dapat menjadi liar.

Sementara itu, Agung Sedayu dan Sabungsari masih saja tidak menghiraukan kedua orang perempuan yang akan diculik oleh anak-anak muda itu. Bahkan mereka pun justru bertanya, ”Kenapa tidak segera kalian lakukan? Sudah aku katakan, berurusan-lah dengan kedua perempuan itu langsung. Jangan hiraukan kami.”

“Baik! Baik!” teriak anak muda yang bertubuh besar dan tinggi itu. Kepada kawan-kawannya anak muda itu berkata, “Marilah! Bawa keduanya!”

Tetapi ketika anak-anak muda itu mulai bergerak, Sekar Mirah pun berkata, “Pergi. Jangan ganggu kami.”

“Aku tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan kata-katamu,” sahut anak muda yang bertubuh tinggi dan besar itu, sambil menangkap pergelangan tangan Sekar Mirah yang berdiri lebih dekat daripada Pandan Wangi. Sementara anak muda yang lain pun berusaha untuk menjangkau lengan Pandan Wangi.

Sementara itu Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang mengerti maksud Agung Sedayu, sudah jemu melihat tingkah laku anak-anak muda itu. Karena itu, demikian tubuh mereka disentuh, maka dua orang anak muda telah terlempar jatuh.

Anak muda yang bertubuh besar dan tinggi di terpelanting di atas pasir tepian. Betapa sakit tulang punggungnya. Tetapi ia pun segera berusaha untuk bangkit berdiri. Demikian pula seorang anak muda yang lain yang berusaha menarik Pandan Wangi.

Anak-anak muda itu baru menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perempuan yang tidak sebagaimana perempuan kebanyakan. Apalagi ketika Sekar Mirah dan Pandan Wangi-lah yang justru mulai menyerang.

Perkelahian pun telah terjadi lagi. Anak-anak muda itu melawan dua orang perempuan.

Tetapi anak-anak muda itu tidak mempunyai kesempatan lagi. Kedua orang perempuan itu justru berkelahi lebih keras dan lebih garang dari kedua orang laki-laki yang berkelahi melawan mereka sebelumnya.

Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak berkelahi beradu punggung. Tetapi keduanya telah meloncat saling menjauhi dan justru berada di luar kelompok anak-anak muda itu, sehingga meskipun lawannya hanya dua orang, anak-anak muda itu merasa seakan-akan mereka telah terkepung oleh sekelompok orang, sehingga tidak dapat ditembusnya.

Jika menghadapi dua orang laki-laki yang telah naik ke rakit itu, sebagian di antara mereka sempat melarikan diri, tetapi melawan kedua orang perempuan, tidak seorangpun di antara mereka yang dapat lolos. Satu demi satu mereka pun jatuh terbanting di tepian berpasir. Seorang menelungkup sambil memegangi perutnya yang terasa menjadi sangat nyeri. Seorang yang lain memegangi dadanya yang bagaikan dihimpit oleh segumpal batu padas sebesar kerbau. Ada yang tulang punggungnya serasa patah, sedangkan yang lain berguling-guling kesakitan karena keningnya tersentuh tangan lawannya.

Anak muda yang bertubuh besar dan tinggi itu pun sudah tidak mampu lagi untuk bangkit. Pandangan matanya menjadi berkunang-kunang. Telinganya bagaikan bergaung menghentak-hentak kepalanya. Sementara tulang pahanya bagaikan patah.

Akhirnya yang tersisa pun berteriak-teriak minta ampun. Dua orang yang masih dapat berdiri tegak justru menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan Sekar Mirah, sementara seorang yang lain menyembah Pandan Wangi sambil berkata memelas, “Ampun. Aku minta ampun.”

Pandan Wangi menggenggam rambut anak muda itu. Rambutnya yang lebat sudah tidak lagi tertutup oleh ikat kepalanya yang terlepas. Sambil menarik rambut itu ia pun berkata, “Kau membuat kita menjadi tontonan di sini. Kami menjadi sangat malu karenanya. Tetapi seharusnya kalian lebih malu lagi daripada kami.”

“Kami mohon ampun.”

“Tetapi lihat, semua orang merubung kita. Persetan dengan kalian! Kami akan menyeberang.” Pandan Wangi pun kemudian berkata kepada Sekar Mirah, “Marilah. Rakit itu sudah kosong. Kita jangan terlalu lama menjadi tontonan di sini.”

Agung Sedayu dan Sabungsari sudah tidak duduk lagi di atas pasir tepian. Tetapi mereka sudah mendahului menuntun kuda mereka ke rakit yang sudah merapat.

Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun segera menyusul mereka, meninggalkan anak-anak muda yang kesakitan di tepian.

“Sulit untuk membuat mereka jera,” desis Sekar Mirah.

Tetapi ketika Pandan Wangi berpaling, ia pun berdesis, “Lihat!”

Sekar Mirah, Agung Sedayu dan Sabungsari pun berpaling. Mereka melihat empat orang prajurit berkuda mendekati tepian. Agung Sedayu segera mengenali mereka, meskipun tidak seorang-seorang. Tetapi menilik pakaian mereka, maka mereka adalah para prajurit dari Pasukan Khusus yang sedang meronda.

“Mereka akan menangani anak-anak nakal itu,” desis Agung Sedayu, yang justru mempercepat langkahnya, “biarlah mereka tidak mengetahui bahwa aku ada di sini.”

Sejenak kemudian, keempat orang itu pun sudah berada di atas rakit. Demikian rakit itu mulai bergerak, maka para prajurit berkuda itu sudah turun dari kuda mereka di dekat anak-anak muda yang sebagian masih kesakitan.

Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsari masih melihat para prajurit itu mengumpulkan anak-anak muda itu. Agaknya seseorang telah memberikan laporan tentang anak-anak nakal itu, ketika berpapasan dengan para prajurit yang sedang meronda. Bahkan mereka masih juga melihat beberapa anak muda itu menunjuk ke arah rakit yang meluncur ke tepian di sebelah timur.

“Mereka agaknya memberitahukan kepada para prajurit bahwa kita telah menyeberang,” desis Sekar Mirah.

“Tetapi mereka tidak akan dapat mengenali aku,” jawab Agung Sedayu yang dengan sengaja duduk di balik kudanya.

“Tetapi mereka mengenali kuda Kakang,” sahut Sekar Mirah.

“Kudaku dibayang-bayangi oleh kuda Sabungsari.”

Sekar Mirah tersenyum. Namun ia pun kemudian berkata, “Kenapa Kakang justru membiarkan kami berkelahi dan menjadi tontonan orang-orang di tepian?”

“Seharusnya anak-anak itu merasa bahwa mereka bukan apa-apa. Mereka dapat dikalahkan oleh perempuan yang akan mereka ganggu. Mereka agaknya sama sekali tidak menjadi jera dikalahkan oleh dua orang laki-laki sebelumnya.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Jadi seharusnya perempuan itu kalah dari laki-laki?”

Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia justru bertanya kepada Sabungsari, “Apakah begitu?”

Sabungsari pun tersenyum pula. Katanya, “Entahlah. Aku tidak tahu.”

Pandan Wangi hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali.

Sementara itu, rakit yang mereka tumpangi itu pun sudah semakin dekat dengan tepian di sebelah timur. Beberapa orang yang berada di tepian di sebelah timur sudah bersiap-siap untuk naik ke rakit itu, apabila para penumpangnya sudah turun.

Ketika Sabungsari sempat memandang ke tepian di sebelah barat, ia masih melihat para prajurit telah membawa beberapa orang anak muda itu bersama dengan mereka.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Sabungsari pun telah turun dari rakit. Mereka menuntun kuda mereka di tepian berpasir, sementara orang-orang yang menunggu telah naik ke atas rakit itu.

“Berapa kali tukang satang itu harus membawa rakitnya hilir mudik,” desis Sabungsari.

“Mereka adalah orang-orang yang bekerja keras untuk menghidupi keluarganya,” sahut Agung Sedayu.

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Itupun kadang-kadang mereka masih harus makan tidak genap tiga kali sehari.”

“Jika mereka hanya menyadarkan kehidupan mereka dari kerja itu. Tetapi ada di antara mereka yang mempunyai sawah, meskipun tidak terlalu luas.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam.

Beberapa saat kemudian, keempat orang itu pun telah meloncat ke punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan mereka.

“Sabungsari,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku tidak dapat menemanimu singgah di Mataram. Aku akan langsung pergi ke Sangkal Putung.”

“Baiklah, Ki Lurah,” sahut Sabungsari, “tetapi jika ada waktu, aku minta tolong, barangkali Ki Lurah bersedia singgah di Jati Anom. Sampaikan kepada Ki Tumenggung Untara, bahwa aku sedang dalam perjalanan kembali ke Jati Anom.”

“Baik, baik. Aku akan singgah meskipun tidak bermalam. Aku juga ingin bertemu dengan Paman Widura.”

“Terima kasih,” desis Sabungsari kemudian.

Namun untuk beberapa saat Sabungsari masih bersama Agung Sedayu. Tetapi kemudian Sabungsari harus memisahkan diri.

”Selamat jalan,” desis Sabungsari.

“Selamat jalan,“ Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi menjawab hampir berbareng. Namun Sekar Mirah pun masih berkata pula, “Semoga segala sesuatunya berjalan lancar.”

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Terima kasih, Nyi Lurah.”

Demikianlah, Sabungsari pun telah mengambil jalan simpang yang langsung menuju ke Mataram, sementara yang lain melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Sangkal Putung.

Ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi mendekati Kali Opak, maka mereka pun telah berhenti untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat, sementara ketiganya pun telah duduk pula di sebuah kedai yang terletak di pinggir jalan.

Selagi mereka bertiga minum dan makan, tiba-tiba saja Sekar Mirah berdesis, “Apakah setiap malam Kakang Swandaru mengadakan tayub?”

“Hampir setiap malam,” jawab Pandan Wangi.

“Jika demikian, nanti kita memasuki Sangkal Putung setelah gelap.”

“Untuk apa?” bertanya Agung Sedayu.

“Setelah pertunjukan tayub itu dimulai, seandainya malam nanti Kakang Swandaru benar-benar menyelenggarakan pertunjukan itu.”

Agung Sedayu dan Pandan Wangi masih belum tahu apakah maksud Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah pun kemudian menjelaskannya, sehingga keduanya mengangguk-angguk.

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Jika kita sampai di Sangkal Putung masih belum gelap, maka kita akan menunggu.”

Demikianlah, setelah beberapa saat lamanya mereka berada di kedai itu, maka setelah membayar harga makanan dan minuman, mereka pun telah meninggalkan kedai itu.

Namun perjalanan selanjutnya menjadi lebih lamban. Sekar Mirah ingin sampai di Sangkal Putung setelah gelap.

Ketika mereka mendekati Sangkal Putung, maka mereka pun sengaja telah berhenti di pinggir sebuah pategalan yang agaknya baru saja dipanen. Pategalan yang ditanami jagung di sela-sela beberapa pohon buah-buahan.

Rasa-rasanya mereka terlalu lama menunggu senja memasuki malam. Langit yang kemerah-merahan memancarkan cahaya layung yang tajam. Tetapi mereka pun telah memenuhi keinginan Sekar Mirah.

Beberapa saat kemudian, matahari pun benar-benar telah tenggelam. Malam turun. Namun Sekar Mirah itu pun berkata, “Biasanya tayub itu mulai di wayah sepi bocah.”

“Tetapi di wayah sepi bocah itu, bocah-bocah di Sangkal Putung yang sudah mulai terbiasa menonton tayub, justru keluar dari dalam rumahnya,” desis Pandan Wangi.

“Orang-orang tua mereka tidak mencegahnya?” bertanya Agung Sedayu.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Orang tua mereka tidak mampu lagi mencegah mereka. Apalagi jika orang tua itu adalah salah seorang yang juga gemar ikut dalam tayuban itu.”

Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Katanya, “Apapun caranya, tetapi tayub itu harus dihentikan.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Meskipun ia sependapat dengan Sekar Mirah, tetapi Pandan Wangi merasa tidak mempunyai jalan untuk dapat melakukannya.

Ketiga orang itu merasa sangat lama menunggu. Namun akhirnya mereka pun telah bergerak perlahan-lahan menuju ke Kademangan Sangkal Putung.

Ketika mereka memasuki Kademangan, malam sudah menjadi semakin gelap. Tidak ada lagi orang yang berkeliaran di jalan-jalan. Bahkan ketika mereka memasuki padukuhan, terasa padukuhan-padukuhan itu menjadi sepi. Gardu-gardu tidak lagi terisi oleh anak-anak muda yang meronda.

Sebagian dari anak-anak muda itu telah terhisap ke tempat tayuban diselenggarakan, sedangkan sebagian lagi menjadi kecewa, dan tidak mau tahu apa yang terjadi di kademangannya.

“Jika ada pencuri berhasil masuk ke dalam rumah dan mengambil barang-barang di rumah itu, adalah salah pemilik rumah itu sendiri. Mereka tentu kurang berhati-hati, sehingga memberi kesempatan kepada pencuri itu untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh pemilik rumah itu.”

Ketika sikap anak-anak muda itu dikatakan oleh Pandan Wangi, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah menjadi semakin menyesali sikap Swandaru.

“Ketika seorang kaya di padukuhan sebelah dirampok beberapa pekan yang lalu, tidak seorangpun datang membantunya. Suara kentongan yang sempat dibunyikan oleh keluarga itu tidak mendapat tanggapan sebagaimana seharusnya. Beberapa orang bebahu yang mendengar kentongan itu memang datang ke rumah itu bersama beberapa orang saja. Tetapi mereka terlambat. Para perampok itu sudah pergi membawa barang-barang hasil rampokannya, dan membiarkan suami istri pemilik rumah itu terbaring di ruang dalam dengan luka yang parah di tubuh mereka. Seorang pembantu di rumah itu, justru terbunuh. Sedang anak laki-laki pemilik rumah itu sempat lolos, setelah beberapa saat lamanya bersembunyi di kandang. Anak itu memang tidak berada di rumah. Ia baru datang dari sungai membuka pliridan. Demikian ia tahu bahwa rumahnya dirampok, maka ia pun langsung bersembunyi di kandang lembu. Ketika perampok itu kemudian juga mengambil lembu itu, ia sudah lari ke dalam gelap dan bersembunyi di balik semak-semak.”

“Sangkal Putung telah benar-benar menjadi kacau,” desis Sekar Mirah.

Seperti yang mereka rencanakan, maka setelah wayah sepi bocah, ketiga orang itu pun mendekati padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

“Nah, kalian dengar suara gamelan itu?” desis Pandan Wangi.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk. Sayup-sayup mereka sudah mendengar gamelan yang mengiringi tayub, yang agaknya diselenggarakan di tengah-tengah padukuhan induk.

“Ki Demang di saat-saat terakhir tidak memperkenankan tayub itu diselenggarakan di halaman rumah kami,” berkata Pandan Wangi.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Pandan Wangi sudah mengatakannya sebelumnya, bahwa tayub itu akhirnya diselenggarakan di rumah seorang kawan akrab Swandaru, yang juga sedang disekap oleh pengaruh gelap tayub itu.

“Marilah,” berkata Sekar Mirah, “aku-lah yang akan melakukannya.”

Sejenak kemudian, mereka bertiga telah memasuki padukuhan induk. Suasananya memang sangat berubah. Gardu di mulut jalan induk sama sekali tidak terisi. Lampu di gerbang padukuhan seperti oncor yang kehabisan minyak.

Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Kudanya berlari terdepan meskipun tidak terlalu kencang.

“Marilah kita masuk,” berkata Sekar Mirah, ketika mereka sampai di regol halaman yang luas, yang nampak terang dan ramai dikunjungi orang yang ingin ikut bergembira dengan tari tayub, atau sekedar menonton dan membeli kacang rebus.

Beberapa orang menyibak ketika mereka melihat tiga orang penunggang kuda memasuki halaman itu tanpa turun dari kudanya. Bahkan seorang di antaranya langsung menuju ke arena tari tayub yang sudah mulai, meskipun masih belum memasuki irama yang panas. Namun beberapa orang mulutnya sudah mulai berbau tuak.

Sekar Mirah yang marah itu langsung memasuki arena permainan tayub di halaman yang luas itu tanpa turun dari kudanya. Para penabuh terkejut dan para penari pun lari keluar dari arena. Tanpa mengekang diri, kuda Sekar Mirah telah membuat arena itu berserakan. .

Beberapa orang yang baru menikmati irama yang menyentuh perasaan itu menjadi marah. Apalagi mereka yang sudah mulai terganggu kesadarannya oleh tuak.

“Setan!” teriak seorang anak muda yang masih mengalungkan selendang di lehernya, “Siapa kau yang berani mengganggu kesenangan kami?”

“Buka matamu! Siapa aku?” sahut Sekar Mirah lantang. Orang-orang yang marah itu mulai memperhatikan perempuan di atas punggung kuda itu dengan seksama. Seorang di antara mereka pun berdesis, “Sekar Mirah?”

“Ya, Sekar Mirah.”

Seorang yang lain tiba-tiba bertanya, “Di mana Swandaru?”

“Swandaru baru pergi sebentar, menjemput Nimas Peletik Kuning.”

Jantung Sekar Mirah berdesir mendengarkannya. Karena itu, hampir berteriak Sekar Mirah berkata, “Persetan dengan Peletik Kuning! Bawa pergi gamelan itu! Atau aku akan menghancurkannya!”

Namun tiba-tiba saja seorang perempuan yang mengenakan pakaian khusus sebagaimana dikatakan oleh Pandan Wangi, melangkah mendekati Sekar Mirah. Sambil bertolak pinggang perempuan itu pun berdesis, “Kau siapa he? Yang telah berani mengacaukan tontonan yang diselenggarakan oleh Kakang Swandaru.”

“Perempuan jalang! Siapa namamu?”

“Turun dari kudamu! Atau aku akan menyeretmu!”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tiba-tiba saja kakinya telah menghentak dada perempuan itu, sehingga perempuan itu terpelanting jatuh.

Namun dengan sigapnya ia melenting berdiri.

Sekar Mirah pun telah meloncat turun pula dari kudanya, dan melepaskan kendali kudanya, sehingga kudanya berjalan sendiri menepi. Agung Sedayul-ah yang kemudian menangkap kendali kuda itu.

“Perempuan itulah yang aku katakan mirip Nyi Dwani,” desis Pandan Wangi, “sebenarnya sudah lama aku ingin membuat perhitungan dengan perempuan itu, tetapi setiap kali aku masih mempertimbangkan sikap Kakang Swandaru. Jika Kakang Swandaru berpihak kepadanya, maka habislah sudah namaku di Sangkal Putung ini.”

“Kau sudah bersikap benar, Pandan Wangi, kau memang harus menjaga namamu.”

Sementara itu, kedua orang perempuan itu telah saling berhadapan. Perempuan yang berusaha menghentikan Sekar Mirah itu agaknya pemimpin dari rombongan itu. Justru seorang perempuan.

Orang-orang yang berada di halaman rumah itu telah bergeser menjauh.

Agung Sedayu termangu-mangu. Perempuan itu memang mirip dengan Nyi Dwani. Semula, sebelum Agung Sedayu melihatnya, ia menyangka bahwa mungkin sekali orang itu adalah Nyi Yatni. Tetapi ternyata bukan. Agaknya kemiripan wajah itu hanyalah kebetulan dan tidak mempunyai hubungan apa-apa.

“Kau telah membawa bencana bagi kademangan ini,” geram Sekar Mirah.

“Kami berada di sini atas ijin anak Ki Demang Sangkal Putung sendiri,” jawab perempuan itu.

“Tetapi apakah kalian mendapat izin dari Ki Demang?”

“Apakah bedanya? Anak Ki Demang itulah yang memegang pimpinan pemerintahan di sini.”

“Omong kosong,” jawab Pandan Wangi.

Perempuan itu berpaling. Ia melihat Pandan Wangi dalam gelap berdiri sebelah Agung Sedayu. Dengan geram orang itu berdesis, “Nyi Pandan Wangi.”

Pandan Wangi melangkah mendekat sambil berkata, “Kewenangan di kademangan ini masih tetap berada di tangan Ki Demang.”

“Perempuan yang sakit hati,” desis perempuan yang berdiri berhadapan dengan Sekar Mirah itu, “jangan kau sesali jika suamimu berpaling darimu.”

“Cukup!” Sekar Mirahlah yang berteriak, “Apakah kau pemimpin kelompok perempuan jalang ini?”

“Siapa kau? Mulutmu setajam duri kemarung.”

“Aku anak Ki Demang Sangkal Putung.”

Wajah perempuan itu menjadi tegang. Katanya, “Jadi kau saudara perempuan Swandaru?”

“Ya. Aku berhak mengusir kalian dari kademangan ini.”

“Hakmu tidak sama dengan hak Ki Swandaru. Ia anak laki-laki Ki Demang, sedangkan kau anak perempuan.”

“Aku tidak peduli. Bawa orang-orangmu pergi, atau aku akan mengusirmu seperti mengusir anjing liar.”

“Jika kakakmu datang, ia akan marah kepadamu.”

“Aku tidak peduli,”

Tetapi perempuan itu justru menaruh tangannya di pinggang sambil berdesis, “Aku berada di sini atas permintaan Ki Swandaru. Aku hanya akan pergi jika Ki Swandaru yang mengusirku pergi.”

“Persetan dengan kau,” geram Sekar Mirah yang kehilangan kesabarannya. Dengan lantang ia berkata, “Bersiaplah! Aku akan mengusirmu dengan kekerasan.”

Ternyata perempuan itu tidak takut. Ia pun segera mempersiapkan dirinya menghadapi Sekar Mirah yang menjadi sangat marah.

Ketika Pandan Wangi melangkah lagi mendekat, Agung Sedayu menggamitnya sambil berdesis, “Biarlah Sekar Mirah menyelesaikannya.”

Sebenarnyalah kemarahan Pandan Wangi telah sampai di ubun-ubun. Sebenarnya ia ingin menghadapi perempuan itu. Tetapi nalarnya masih dapat mengendalikannya. Jika saja Swandaru berpihak kepada perempuan itu, maka namanya akan menjadi semakin tidak berharga di mata rombongan penari itu.

Dalam pada itu, Sekar Mirah sudah mulai meloncat menyerang. Namun dengan tangkas perempuan itu mengelak. Perempuan itu meloncat selangkah ke samping.

Tetapi Sekar Mirah tidak melepaskannya. Sesekali ia berputar dengan kaki terayun menyamping.

Perempuan itu pun telah melenting pula surut. Tetapi ia tidak mau menjadi sasaran Sekar Mirah terus-menerus. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka ia pun segera meloncat menyerang.

Sekar Mirah melihat serangan itu. Tetapi kemarahannya telah membakar jantungnya, sehingga dengan sengaja ia tidak menghindar. Tetapi Sekar Mirah merendahkan sedikit tubuhnya pada lututnya. Dengan sikunya ia membentur serangan kaki perempuan itu.

Perempuan itu terkejut. Benturan itu telah mendorongnya selangkah surut, sementara Sekar Mirah hanya sedikit bergetar di tempatnya.

Dengan demikian Sekar Mirah mampu menduga, seberapa besar tenaga perempuan itu dan seberapa tinggi kemampuannya.

Serangan-serangan Sekar Mirah pun kemudian datang seperti badai. Susul-menyusul tidak henti-hentinya.

Perempuan itu pun semakin terdesak. Namun perempuan itu pun telah meningkatkan kemampuannya ke tataran yang lebih tinggi.

Tetapi ketika ia berusaha mendesak Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun telah berada di tingkat yang lebih tinggi, sehingga serangan-serangannya bagaikan membentur dinding besi.

Perempuan itu pun semakin lama semakin terdesak. Serangan-serangan Sekar Mirah mulai mengenai tubuhnya. Perempuan itu mengaduh tertahan ketika kaki Sekar Mirah mengenai lambungnya.

Ketika perempuan itu meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak, maka keadaannya justru menjadi semakin sulit. Ketika tangannya berhasil mengenai kening Sekar Mirah sehingga Sekar Mirah harus meloncat mengambil jarak, maka jantung Sekar Mirah yang panas itu menjadi bagaikan membara.

Serangan-serangan Sekar Mirah pun menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Tangannya dengan derasnya menghantam pundaknya, sehingga perempuan itu terdorong surut. Demikian ia berusaha memperbaiki kedudukannya, kaki Sekar Mirah-lah yang telah menghantam dadanya.

Perempuan itu terlempar jatuh. Dengan tangkasnya ia berputar beberapa kali. Sambil menahan sakit, perempuan itu mencoba melenting berdiri.

Namun demikian ia bangkit, Sekar Mirah bagaikan terbang meluncur dengan kaki terjulur lurus menyamping.

Perempuan itu tidak sempat mengelak dan tidak pula dapat menangkisnya. Karena itu, maka sekali lagi ia terlempar jatuh. Bahkan keadaannya menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Tubuhnya bagaikan terbanting seperti sebatang pohon pisang yang ditebang.

Terdengar perempuan itu mengeluh kesakitan. Tetapi perempuan itu masih juga berusaha untuk bangkit. Namun demikian ia berdiri, Sekar Mirah telah meraih bajunya dan menariknya sambil mengguncangkannya. Satu pukulan yang telak mengenai dagu perempuan itu, sehingga wajahnya pun terangkat ke atas.

Ketika Sekar Mirah melepaskan tangannya, maka perempuan itu pun jatuh terguling. Tubuhnya menimpa gendang yang ditinggalkan oleh penabuhnya.

Perempuan itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi ia pun segera terjatuh kembali.

Tidak seorang pun yang berani datang untuk menolongnya. Perempuan yang menyebut dirinya anak Ki Demang Sangkal Putung itu ternyata seorang perempuan yang garang dan berilmu tinggi. Perempuan yang memimpin rombongan itu, yang mereka banggakan ilmunya, tidak mampu mengimbangi kemampuan Sekar Mirah.

“Siapa lagi yang akan mencoba melawan perintahku?” berkata Sekar Mirah lantang.

Tidak seorang pun yang menjawab.

“Bawa barang-barang ini pergi dari kademangan ini! Selama aku di sini, aku tidak mau melihat kalian berkeliaran di sini.”

Orang-orang itu masih berdiri termangu-mangu di kejauhan.

Namun sekali lagi Sekar Mirah berteriak, “Cepat! Bawa semuanya pergi! Atau aku hancurkan di sini!”

Beberapa orang pun melangkah dengan ragu-ragu mendekati gamelan yang berserakan.

Namun sebelum mereka membawa gamelan itu pergi, maka seekor kuda yang tegar memasuki halaman rumah itu. Swandaru duduk di punggung kuda bersama seorang perempuan, salah seorang penari yang tercantik, yang telah membuat nalar Swandaru tergelincir.

Darah Pandan Wangi tersirap. Bahkan Agung Sedayu pun mengatupkan giginya rapat-rapat.

“Apa yang terjadi?” bertanya Swandaru sambil menghentikan kudanya. Setelah ia meloncat turun, maka dibantunya perempuan yang berkuda bersamanya itu turun pula.

“Apa yang terjadi?” Swandaru itu berteriak.

Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara itu perempuan yang datang bersama Swandaru itu pun ketakutan. Namun dengan demikian, ia bahkan selalu berpegang lengan Swandaru.

Sekar Mirah-lah maju selangkah demi selangkah mendekati Swandaru, yang memandanginya dengan wajah yang tegang.

“Sekar Mirah,” desis Swandaru.

“Ya.”

“Kapan kau datang Sekar Mirah? Apakah kau yang melakukan ini?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Sangat memuakkan. Sungguh memuakkan. Perempuan itu juga memuakkan,” berkata Sekar Mirah sambil menunjuk perempuan yang terbaring diam di dekat gendang yang tergolek di tanah. “Lebih-lebih perempuan yang datang bersamamu itu. Perempuan yang tidak tahu diri. Yang tidak menghargai kaumnya sendiri.”

“Sekar Mirah,” potong Swandaru, “apa yang kau maksudkan?”

“Perempuan yang telah menjual harga dirinya itu. Dan kenapa kau dapat kehilangan akalmu, dan mengorbankan hidup dan tatanan kehidupan di Sangkal Putung?”

“Diam kau, Sekar Mirah! Kau tidak usah turut campur masalah-masalah yang timbul di Sangkal Putung.”

“Aku anak Demang Sangkal Putung.”

“Tetapi kau anak perempuan. Aku adalah anak laki-laki. Aku yang mempunyai wewenang atas kademangan ini.”

“Tidak sekarang. Ayah sekarang masih hidup. Ayah-lah yang berhak menentukan.”

“Ayah tidak berbuat sebagaimana kau lakukan.”

“Ayah sudah tua. Kau-lah tumpuan harapannya. Tetapi apa yang kau lakukan sekarang, dengan perempuan-perempuan yang tidak mempunyai harga diri itu?”

“Mereka adalah penari. Kau sama sekali tidak menghargai nilai-nilai yang dapat dibawakannya di dalam tarian mereka.”

“Aku hargai mereka yang mendalami keindahan tari. Bahkan aku tidak pernah menolak kehadiran tari tayub di Tanah Perdikan Menoreh, sebagaimana di sini dahulu. Tetapi tidak dengan penari-penari seperti perempuan-perempuan yang tidak mempunyai harga diri itu.”

“Diam kau, Sekar Mirah!”

“Perempuan-perempuan yang membiusmu sehingga kau kehilangan dirimu sendiri.”

Swandaru menggeletakkan giginya. Dengan geram ia berkata, “Jika saja kau bukan seorang perempuan. He, di mana suamimu, Sekar Mirah? Kenapa ia tidak datang untuk menemui aku di sini?”

Jantung Agung Sedayu berdebaran. Agaknya Swandaru masih belum melihatnya. Tetapi ia tidak akan dapat bersembunyi terus. Pada suatu saat Swandaru tentu akan melihatnya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian melangkah maju sambil menyahut, “Aku di sini, Swandaru.”

Swandaru berpaling. Ia melihat Agung Sedayu dan Pandan Wangi dalam keremangan cahaya oncor yang berayun ditiup angin malam.

“Oh, jadi kau di situ Kakang. Ternyata Pandan Wangi telah membawa kalian kemari.”

Agung Sedayu melangkah maju, sementara Swandaru pun berteriak, “Kenapa bukan kau yang melakukan? Kenapa harus seorang perempuan?”

“Sekar Mirah adalah salah seorang keluarga kademangan ini.” .

Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Dengan lantang ia pun berkata, “Meskipun ia keluarga Sangkal Putung, tetapi ia tidak berhak berbuat seperti itu!”

“Kau juga tidak berhak berbuat sebagaimana kau lakukan, Kakang,” sahut Sekar Mirah.

“Kenapa?”

“Kau bukan Demang di sini. Kelak kau akan mewarisinya. Tetapi tidak sekarang.”

“Diam kau, Mirah. Aku akan berurusan dengan suamimu. Kami sama-sama laki-laki.”

“Apa bedanya laki-laki dan perempuan?” geram Sekar Mirah, “Kau lihat, apa yang dilakukan oleh laki-laki dalam rombongan itu?”

“Cukup!” bentak Swandaru, “Nah, Kakang Agung Sedayu. Kau jangan bersembunyi di belakang perempuan. Marilah, kita akan berbicara sebagai laki-laki.”

Sekar Mirah menjadi tegang. Ia tahu pasti bahwa kemampuan Swandaru yang sebenarnya tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Hanya karena Swandaru salah menilai dirinya, maka ia merasa bahwa Agung Sedayu masih belum mampu menyusulnya. Karena itu, maka Swandaru justru telah membiarkan kitab yang ditinggalkan oleh gurunya Kiai Gringsing, berada di tangan Agung Sedayu.

Agung Sedayu memang seorang yang sabar. Tetapi kesabarannya tentu ada batasnya.

Orang-orang yang berada di halaman itu menjadi tegang. Pandan Wangi pun menjadi tegang pula. Pandan Wangi pun meyakini bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Swandaru. Bahkan jaraknya tentu tidak hanya selapis. Karena itu, jika terjadi benturan di antara mereka, maka Swandaru akan mengalami kesulitan. Mungkin Agung Sedayu akan dapat mengendalikan dirinya. Namun jika Agung Sedayu lepas kendali, maka Swandaru akan dapat benar-benar menjadi lumat.

Suasana di halaman itu pun menjadi sangat tegang. Agung Sedayu masih berdiri di tempatnya. Dengan susah payah Agung Sedayu berusaha mengekang perasaannya.

Namun dalam suasana yang tegang itu, tiga orang telah memasuki halaman itu dengan tergesa-gesa. Seorang di antaranya adalah Ki Demang Sangkal Putung.

“Sekar Mirah!” Ki Demang hampir berteriak.

Sekar Mirah pun berlari-lari kecil mendekati ayahnya, menyambut dan menciumnya.

“Seseorang memberitahukan kepadaku, bahwa kau telah datang bersama suamimu dan Pandan Wangi.”

“Ya, Ayah.”

Agung Sedayu dan Pandan Wangi pun kemudian melangkah maju mendekati Ki Demang. Keduanya mengangguk hormat.

“Marilah. Aku minta kalian pulang. Kita akan berbicara di rumah. Tidak di sini. Kita tidak akan menggantikan para penari tayub, menjadi tontonan yang barangkali lebih menarik.”

“Baik, Ayah,” jawab Sekar Mirah.

“Swandaru, kita pulang!”

“Tetapi….”

“Pulang!”

“Nanti aku menyusul, Ayah.”

Tiba-tiba saja Ki Demang membentak keras, “Pulang! Dengar perintahku!”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Sekali-sekali ia berpaling kepada perempuan yang dijemputnya. Namun ketika ia akan berbicara, Ki Demang membentaknya sekali lagi lebih keras, “Kau dengar perintahku, Swandaru? Aku siapa?”

Swandaru tidak menjawab lagi. Ia belum pernah melihat ayahnya demikian marahnya sehingga membentaknya sekeras itu.

Karena itu, maka Swandaru pun tidak dapat menolak. Ia pun kemudian berjalan pulang. Kepada seorang anak muda ia pun berbisik, “Antar perempuan itu pulang.”

Sejenak kemudian, Ki Demang, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Swandaru telah duduk di pringgitan rumah Ki Demang.

Ki Demang masih sempat menanyakan keselamatan perjalanan Agung Sedayu dan mereka yang bersamanya. Juga keselamatan Ki Gede Menoreh dan keluarganya, serta kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan.

Baru kemudian Ki Demang pun berkata, “Suasana seperti ini sudah berlangsung beberapa lama.”

“Apakah tidak ada akibat apa-apa bagi kademangan ini, Ayah?” bertanya Sekar Mirah.

“Tentu ada. Akibat buruk. Buruk bagi Kademangan Sangkal Putung, dan buruk bagi keluarga kita.”

“Sebenarnya akibat itu tidak ada, Ayah,” sahut Swandaru, “hanya orang-orang tertentu sajalah yang membesar-besarkannya. Aku justru ingin membuktikan, bahwa tidak akan ada akibat apa-apa jika beberapa orang itu berhenti menghasut.”

“Kau menuduh aku menghasut?”

“Tidak. Bukan Ayah.”

“Siapa yang kau maksud? Aku-lah yang mengatakan bahwa ada akibat buruk dengan tari tayub yang menyimpang dari kewajiban. Tari yang biasanya diselenggarakan di sawah untuk menanggapi panenan yang berhasil itu. Apa jadinya sekarang?”

Wajah Swandaru menjadi tegang. Dipandanginya Sekar Mirah, Agung Sedayu dan Pandan Wangi berganti-ganti. Dengan nada tinggi Swandaru itu pun berkata, “Semua itu adalah akibat rasa cemburu yang berlebihan pada Pandan Wangi. Jika aku menari bersama para tledek, bukankah itu hanya terjadi di arena? Setelah pertunjukan selesai, maka mereka pun pulang dan aku pun pulang. Lalu ada apa?”

“Lalu apa yang kau lakukan tadi? Pantaskah itu kau lakukan di hadapan orang-orang, dan terutama anak-anak muda Sangkal Putung dan sekitarnya?”

“Biasanya bukan aku yang melakukan. Tetapi karena tadi tidak ada orang, maka aku terpaksa menjemput salah seorang penari. Tetapi aku pun hanya menjemputnya saja. Kemudian segala sesuatunya tidak ada apa-apa lagi.”

“Aku tidak percaya,” jawab Sekar Mirah.

“Tentu Pandan Wangi yang bercerita kepadamu. Cerita yang dilebih-lebihkan, seakan-akan aku tidak lagi dapat mengendalikan diri.”

“Kenapa kau selalu menyalahkan Pandan Wangi,” sahut Ki Demang, “ia memang lebih banyak diam daripada membantah kata-katamu, karena tidak akan ada gunanya. Tetapi jangan kau kira bahwa aku tidak tahu apa yang dilakukan orang-orang yang mulutnya berbau tuak itu.”

“Ayah juga sudah dipengaruhinya.”

“Tidak ada yang mempengaruhiku. Aku melihat sendiri. Selama ini aku masih berharap bahwa kau akan menyadari kesalahanmu. Ketika istrimu minta ijin menengok Tanah Perdikan, aku setuju. Aku berharap bahwa kepergiannya merupakan satu peringatan bagimu. Tetapi ternyata yang terjadi sebaliknya. Selama istrimu pergi, kau bahkan merasa mendapat peluang untuk menjadi semakin gila.”

“Ayah…”

“Kau bukan contoh yang baik bagi anak-anak muda kademangan ini. Aku minta kau mulai besok meneliti akibat dari tari-tarian yang tidak sewajarnya itu. Kau tanyakan kepada orang-orang tua, kepada anak-anak muda, dan kepada perempuan-perempuan yang hatinya terguncang karena suaminya tenggelam dalam tari-tarian yang berbau tuak itu.”

Swandaru mengerutkan dahinya.

“Kau tanyakan kepada adikmu, kepada istrimu, kepada Agung Sedayu, dan terutama kepada dirimu sendiri. Apa yang kau dapatkan dengan tingkah lakumu itu? Sangkal Putung yang sejak bangkit melawan Macan Kepatihan dianggap sebagai kademangan teladan di daerah ini, tetapi bertanyalah kepada mereka, apa anggapan mereka sekarang terhadap kademangan ini.”

“Kecemasan yang berlebih-lebihan,” berkata Swandaru.

“Apakah yang aku katakan itu berlebihan? Manakah pasukan pengawalmu yang gagah berani itu? Siapakah pemimpin-pemimpinnya yang masih mampu mengendalikan pasukan? Jika malam ini segerombolan kecil perampok menyerang kademangan ini, apa yang dapat dilakukan oleh para pengawal yang mabuk, sementara beberapa orang anak muda yang lain menjadi tidak peduli? Lihatlah gardu-gardu di kademangan ini. Apakah yang terisi seperti beberapa waktu yang lalu?”

“Jika anak-anak menjadi malas, Ayah jangan menyalahkan aku.”

“Jadi, aku harus menyalahkan siapa? Menyalahkan aku sendiri? Juga menyalahkan Pandan Wangi, karena Pandan Wangi kau anggap terlalu cemburu?”

Swandaru tidak menjawab.

“Sudah lama aku ingin berbicara dengan kau seperti ini, Swandaru. Tetapi rasa-rasanya belum ada kesempatan. Kedatangan adikmu dengan caranya yang khusus, telah membuka kesempatan ini. Jangan menyalahkan adikmu, dan jangan menyalahkan istrimu lagi. Apalagi Ki Lurah Agung Sedayu.”

Swandaru masih berdiam diri.

“Aku minta kau nanti berbicara dengan Angger Agung Sedayu. Ingat, ia kakak seperguruanmu. Mungkin Angger Agung Sedayu dapat mengingatkan beberapa pesan Kiai Gringsing, yang dapat mengekang tingkah lakumu.”

Swandaru masih tetap saja berdiam diri.

“Nah, sekarang, biarlah Agung Sedayu dan Sekar Mirah, beristirahat. Aku masih akan berbicara dengan kau Swandaru,” berkata Ki Demang kemudian.

Swandaru hanya beringsut saja. Tetapi ia tidak meninggalkan ayahnya.

Ketika kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah masuk ke dalam bersama Pandan Wangi yang akan mengantarkan ke bilik mereka, maka Swandaru masih duduk di pringgitan bersama ayahnya.

“Cobalah kau menilai apa yang sudah kau lakukan, Swandaru. Peringatan-peringatan yang sudah aku berikan sebelumnya, tidak kau hiraukan. Aku berharap kali ini hatimu tersentuh oleh sikap adikmu. Besok berbicaralah dengan Agung Sedayu.”

Swandaru mengangguk kecil.

“Untuk selanjutnya, tari-tarian itu harus dihentikan.”

Swandaru mengangkat wajahnya. Namun wajah itu tertunduk kembali.

Sementara itu Ki Demang berkata lebih lanjut, “Tari-tarian itu telah menimbulkan keresahan di lingkungan masyarakat Kademangan Sangkal Putung. Bahkan telah menimbulkan keributan.”

Sekali lagi Swandaru mengangkat wajahnya. Namun wajah itu kembali tunduk pula.

“Nah, sekarang beristirahatlah. Besok, temui dan bicara dengan saudara seperguruanmu itu.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian beringsut dan meninggalkan ayahnya duduk sendiri.

Tetapi Swandaru tidak pergi ke bilik tidurnya. Ia justru keluar regol halaman, dan pergi ke tempat rombongan tayub urung menampilkan tari tayub itu.

Ia masih dapat menemui beberapa orang yang duduk-duduk di tangga pendapa. Sedangkan oncornya masih menyala di halaman. Namun gamelan dan para penabuh dan penarinya sudah tidak nampak lagi.

Swandaru duduk di sebelah seorang yang bertubuh tinggi ramping dan berkumis tipis.

“Kau belum pulang?”

Orang itu menarik nafas panjang. Katanya, “Tidak. Buat apa aku pulang?”

“Istrimu tidak menunggumu?”

“Istriku pergi sejak bulan yang lalu.”

“Karena kau sering menari tayub?”

“Tidak. Justru sebelumnya. Ia dibawa oleh seorang laki-laki muda, yang waktu itu berlagak seperti seorang kaya.”

“Ia benar-benar kaya?”

“Tidak. Setelah semua perhiasan istriku yang dibawanya habis dan setelah semua uangnya kering, istriku ditinggalkannya begitu saja. Ia sekarang pulang ke rumah orang tuanya. Ia malu pulang ke rumah.”

“Kau tidak menyusulnya?”

“Pernah sekali aku ke rumah orang tuanya. Tetapi istriku tidak mau menemui aku.”

“Kenapa?”

“Malu atau takut, atau alasan-alasan yang lain. Mungkin ia mengira bahwa aku akan membunuhnya. Tetapi aku pun kemudian membunuh rasa sepiku dengan memasuki gelanggang tayub dan menghirup tuak.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian telah bangkit dan melangkah mendekati seorang kawannya yang sebaya umurnya. Ia pun kemudian duduk pula di sampingnya.

“Kau tidak pulang?” bertanya Swandaru.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada tinggi ia pun menyahut, “Aku tidak mau hidupku dibakar di dalam neraka itu siang dan malam.”

“Kenapa?” bertanya Swandaru pula.

“Istriku bukan perempuan.”

“Maksudmu?”

“Ia lebih sesuai disebut serigala betina. Garang, licik, rakus dan segala macam sifat buruk, bersatu di dalam dirinya.”

“Apakah sebelum kau menikah dengan istrimu, kau tidak tahu sifat perempuan itu?”

“Bukan kemauanku sendiri. Orang tuaku-lah yang telah memilih jodoh untukku.”

“Kau tidak berhasil menjinakkannya?”

“Kangjeng Sinuhun pun tidak akan dapat menjinakkannya.”

“Kau pernah menghubungi orang tuanya?”

“Aku telah mencobanya. Tetapi ketika kedua orang tuanya datang ke rumahku untuk mencoba melunakkan hatinya, maka api neraka itu berkobar lebih panas lagi. Istriku melempar ayahnya sendiri dengan mangkuk, dan berteriak-teriak mengusir ibunya.”

“Apakah ia perempuan gila?”

“Kau tahu bahwa istriku tidak gila.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melangkah ke regol, ia berbicara dengan seorang yang berdiri termangu-mangu.

“Apa yang kau tunggu?”

“Aku kecewa sekali bahwa tayub itu batal malam ini.”

“Kenapa? Kau tidak kehilangan uang malam ini.”

“Aku sudah siap untuk menari dengan Renik. Bahkan bukan hanya menari. Aku sudah berjanji mengantarkannya pulang. Menurut Renik, suaminya sedang pergi malam ini, dan baru tiga hari lagi akan pulang.”

“Apa di rumahnya tidak ada orang lain?”

“Ada ayahnya. Yang memukul gong itu. Ia tidak akan mengganggu.”

“Suami Renik tidak akan pergi ke mana-mana.”

“Renik sendiri yang mengatakannya.”

“Ya. Ia hanya menyingkir untuk memberimu kesempatan.”

“Gila!”

Swandaru mendekatinya. Ia pun kemudian bertanya, “Kenapa kau tidak pulang saja?”

“Aku tidak mau membeku di rumah.”

“Kenapa?”

“Istriku dingin seperti sebatang pohon pisang. Jika ia menjatuhkan dirinya di pembaringan, ia pun langsung mendengkur.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Sekali-sekali aku juga ingin mengurangi beban yang harus aku pikul. Tetapi jika aku mencoba berbagi rasa dengan istriku, sebelum aku sampai ke persoalan yang membebani perasaan itu, ia sudah bermimpi. Apalagi menanggapi, memberikan pertimbangan atau bahkan memberikan semangat kepadaku. Karena itu, maka aku harus mengusung beban perasaanku itu sendiri. Istriku tidak pernah mau tahu kesulitan-kesulitanku.”

“Itukah sebabnya maka istrimu dapat menjadi gemuk, sementara kau menjadi kurus kering?”

“Mungkin.”

“Istrimu tahu kau sering menari tayub, dan pergi ke rumah Renik?”

“Istriku tidak peduli. Sesudah makan sampai kenyang lewat senja, ia akan tertidur sampai matahari terbit.”

Swandaru tidak bertanya lagi. Ketika ia naik ke pendapa dan mengetuk pintu pringgitan, maka pemilik rumah itu pun keluar dengan mata yang separuh terpejam.

“Kau sudah tidur?”

Orang itu mengangguk.

“Istrimu juga sudah tidur?”

Orang itu mengangguk lagi. “Selamat malam,” berkata orang itu. Meskipun ia masih belum menutup pintunya, tetapi orang itu sudah memberi isyarat untuk kembali tidur lagi.

Swandaru pun kemudian berjalan dengan langkah gontai meninggalkan pintu rumah itu. Kemudian turun ke jalan. Tetapi orang yang kehilangan Renik itu sudah tidak ada di regol lagi.

Sambil berjalan pulang, Swandaru sempat memperhatikan dirinya sendiri. Beberapa orang pergi ke arena tayub karena mereka dikecewakan oleh istrinya.

Tiba-tiba Swandaru itu pun bertanya, “Bagaimana dengan istriku?”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Istri Swandaru adalah seorang perempuan yang baik. Setia dan mengerti keadaan suaminya. Jika Swandaru bertugas di malam hari, istrinya selalu menunggunya sampai ia pulang. Menyediakan minuman hangat, dan jika ada keluhan-keluhan, istrinya selalu ikut menanggung dengan sungguh-sungguh. Istrinya bersedia ikut menanggung beban yang diusungnya. Baik karena tugas-tugasnya yang rumit, maupun karena hubungannya yang kurang serasi dengan kawan-kawannya.

Istrinya bukan pemarah. Ia tidak pernah meninggalkan kewajibannya, apalagi pergi dengan laki-laki lain. Istrinya pun tidak pula sebeku batang pisang yang diletakkan di pembaringan.

“Jadi kenapa aku pergi dari rumah ke tengah-tengah arena tari tayub? Bahkan lebih dari itu, menjadi tergila-gila kepada tledek yang tidak jelas latar belakang kehidupannya. Orang-orang lain mempunyai alasannya masing-masing. Tetapi apakah alasanku?”

Swandaru menggeretakkan giginya. Pemilik rumah yang halamannya disewa untuk menyelenggarakan tari setiap kali itu, tidak pernah turun ke arena tari. Ia datang untuk menerima uang sewa halaman rumahnya yang cukup banyak. Kemudian masuk kembali ke dalam rumahnya, menyelarak pintu biliknya bersama istrinya.

Ada semacam penyesalan menyelinap di dadanya. Tiba-tiba saja adik perempuannya datang dan memorak-porandakan arena tarinya. Menghajar perempuan yang memimpin kelompok tayub itu. Perempuan yang sangat ditakuti karena dianggap berilmu tinggi. Tetapi berhadapan dengan Sekar Mirah, ia tidak berdaya sama sekali.

Tetapi bagaimanapun juga, Swandaru tidak harus menjatuhkan diri dan memeluk kaki kakak seperguruannya, mohon belas kasihannya.

“Ilmuku jauh lebih tinggi dari ilmu kakak seperguruanku itu,” berkata Swandaru di dalam hatinya. “Tetapi kenapa ia berani datang kemari bersama Sekar Mirah dalam keadaan seperti ini? Apakah dengan mempelajari kitab yang aku biarkan ada padanya, ia merasa bahwa ilmunya sudah dapat menyamai ilmuku?”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja Swandaru mencoba untuk mengalihkan penyesalannya atas tingkah lakunya itu. Justru pada kemungkinan untuk menjajagi ilmu kakak seperguruannya.

“Besok aku akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu. Aku akan mengakui kesalahanku. Tetapi Kakang Agung Sedayu pun harus dengan resmi mengakui kelebihanku. Jika perlu dengan melakukan penjajagan ilmu.”

Dengan demikian, Swandaru berharap bahwa ia tidak akan terlalu menanggung malu karena kesalahan yang pernah dilakukan itu.

Ketika Swandaru sampai di rumah, rumahnya nampak lengang sekali. Lampu minyak di pendapa terayun oleh hembusan angin yang semilir.

Tidak ada anak-anak muda seperti beberapa saat yang lalu, duduk-duduk dan bergurau di gardu di dekat regol halaman rumahnya. Bahkan lampu minyak di gardu itu tidak dinyalakan sama sekali.

Padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung itu terasa sangat sepi.

Swandaru termangu-mangu sejenak. Ia sendiri merasa heran, kenapa baru sekarang ia merasakan kesepian itu. Kenapa baru ketika adik perempuannya datang mengacaukan permainannya, ia menyadari bahwa tayuban yang diselenggarakan itu, berakibat buruk.

“Di mana-mana ada tayub,” berkata Swandaru di dalam hatinya, “tetapi kenapa hanya di sini yang berakibat buruk?”

Namun Swandaru pun segera menemukan jawabnya. Bahkan tayub di mana-mana hanya diselenggarakan untuk keperluan tertentu. Satu atau dua malam. Setelah itu, tidak lagi. Mungkin setahun atau setengah tahun lagi.

Tetapi di Sangkal Putung itu kemudian diselenggarakan tayuban hampir setiap malam. Mula-mula di rumahnya. Kemudian Ki Demang melarangnya, sehingga tempat untuk menari tayub itu pun berpindah di halaman rumah kawannya. Tetapi pengaruh buruknya ternyata telah terasa di seluruh kademangan.

“Apakah di padukuhan-padukuhan lain suasananya juga seperti ini?” bertanya Swandaru kepada diri sendiri.

Malam itu Swandaru sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Namun pagi-pagi ketika semuanya sudah bangun, Swandaru pun telah berbenah diri pula.

Seperti yang diinginkan oleh Ki Demang, pagi itu Swandaru akan berbicara dengan Agung Sedayu. Namun Swandaru tidak ingin berbicara di rumahnya. Karena itu, maka Swandaru itu pun berkata, “Kakang. Sebaiknya kita berbicara di tempat lain. Tidak di sini. Di sini terlalu sibuk. Terlalu banyak orang, sehingga kita tidak akan dapat berbicara dengan tenang.”

“Terserah saja kepadamu, Adi Swandaru.”

“Marilah, kita pergi keluar.”

Agung Sedayu tidak menolak. Namun yang menjadi tegang adalah Sekar Mirah dan Pandan Wangi.

“Kakang Agung Sedayu,” bisik Sekar Mirah, “longgarkan hatimu. Jika Kakang Swandaru berbuat salah, aku-lah yang mohon maaf baginya.”

“Ada apa Mirah?” bertanya Agung Sedayu.

Mata Sekar Mirah tiba-tiba justru berkaca-kaca. Katanya, “Aku tahu, bahwa Kakang Swandaru merasa dirinya memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu yang kau miliki, Kakang. Jika dalam pembicaraan nanti Kakang Swandaru mencoba memamerkan kelebihannya, maka aku dapat membayangkan akibatnya.”

Agung Sedayu tersenyum, Katanya, “Bukankah aku selalu berusaha mengendalikan diri?”

“Sesabar-sabar orang tentu ada batasnya. Jika Kakang Agung Sedayu sudah sampai ke batas, apa pula yang akan terjadi?”

“Jangan cemas, Sekar Mirah. Penalaranku masih utuh.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk.

Beberapa saat kemudian, maka Swandaru dan Agung Sedayu pun telah melarikan kudanya meninggalkan padukuhan induk. Keduanya menelusuri jalan bulak yang panjang.

“Kita pergi ke mana, Adi?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku tidak mempunyai tujuan, Kakang.”

“Jadi?”

“Kita berbicara sambil membiarkan kuda kita berjalan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Swandaru-lah yang kemudian berkata, “Tentu tidak banyak yang akan kita bicarakan. Kakang tentu akan mendukung pendapat Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Ayah, bahwa tari tayub itu harus dilarang.”

“Bukan begitu, Swandaru, Bukan tari itu-lah yang dilarang. Tetapi bagaimana tayub itu dilaksanakan.”

“Aku mengerti. Aku bukan anak-anak lagi. Begitulah yang aku maksudkan.”

“Ya. Itulah yang ingin aku sampaikan kepadamu. Aku tidak perlu mengatakan akibat-akibatnya, karena aku tidak melihat sendiri. Tetapi hal ini sudah dikatakan oleh Ki Demang.”

“Jadi kesimpulannya, kau tentu akan minta aku menghentikan penyelenggaraan tari tayub itu di Sangkal Putung?”

“Ya.”

“Terima kasih. Aku sama sekali tidak berkeberatan, Kakang. Aku akui kebenaran pendapat Ayah. Aku akui bahwa kemarahan Sekar Mirah dapat dimengerti. Demikian pula kecemburuan Pandan Wangi. Karena itu, aku sudah memutuskan bahwa penyelenggaraan tari tayub sebagaimana yang diselenggarakan di Sangkal Putung akhir-akhir ini, akan dihentikan.”

“Terima kasih atas pengertianmu itu, Swandaru. Ki Demang tentu akan bergembira sekali. Demikian pula Pandan Wangi dan Sekai Mirah.”

“Baik. Mereka tentu akan bergembira. Kakang tentu juga merasa gembira.”

“Ya,” tetapi nampak kening Agung Sedayu berkerut.

“Marilah kita sudahi pembicaraan tentang tayub di Sangkal Putung itu.”

“Baiklah. Aku juga tidak berkepentingan untuk berbicara panjang lebar. Aku pun tidak dapat mengucapkan pesan-pesan Guru dalam hubungannya dengan persoalan ini, sebagaimana diharapkan oleh Ki Demang.”

“Itu memang tidak perlu, Kakang. Yang Kakang ingat tentang pesan Guru, tentu tidak lebih banyak dari yang aku ingat.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar, Adi Swandaru.”

Swandaru pun menjadi termangu-mangu sejenak. Sekali ia berpaling kepada kakak seperguruannya itu. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam.

“Kakang,” berkata Swandaru kemudian, “apakah kitab yang aku tinggalkan kepada Kakang itu berarti bagi Kakang?”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada dalam ia pun menjawab, “Tentu Adi Swandaru. Kitab itu sangat berarti bagiku. Bagi kita berdua.”

“Maksudku, apakah Kakang sudah berhasil meningkatkan ilmu Kakang sampai ke tataran yang seharusnya? Seharusnya sejak beberapa waktu yang lalu kitab itu berada padaku. Tetapi aku sengaja membiarkan kitab itu tetap di tanganmu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kitab itu sangat berarti bagiku. Meskipun setapak demi setapak, ilmuku memang meningkat.”

“Syukurlah. Selama ini aku menjadi agak prihatin tentang kemajuan ilmu Kakang. Yang semula menarik perhatian Guru kita adalah Kakang. Namun aku telah mendapat kesempatan untuk ikut berguru bersama Kakang. Seharusnya Kakang-lah yang lebih banyak mewarisi ilmu yang ditinggalkan Guru di dalam kitab itu.”

“Aku memang berusaha.”

“Tidak. Kakang tidak berusaha. Bahkan sejak sebelum Guru meninggal, aku telah berhasil melampaui kemampuan Kakang. Apalagi setelah Guru meninggal.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil.

“Tentu tidak pantas dan akan meninggalkan unggah-ungguh jika pada suatu saat nanti aku-lah yang akan menggurui Kakang Agung Sedayu dalam olah kanuragan.”

Jantung Agung Sedayu mulai berdebaran. Terngiang kata-kata Sekar Mirah, “Kakang. Longgarkan hatimu. Jika Kakang Swandaru berbuat salah, aku-lah yang mohon maaf baginya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Kakang,” berkata Swandaru selanjutnya, “apakah kau tidak ingin meningkatkan ilmu Kakang dengan langkah-langkah yang lebih panjang daripada setapak demi setapak?”

“Itulah yang mampu aku lakukan, Swandaru,” jawab Agung Sedayu.

“Kakang. Terus terang, aku ingin tahu seberapa jauh Kakang sudah menyusul aku.”

Agung Sedayu mengangkat wajahnya Dipandanginya langit yang biru bersih. Selembar awan yang tipis seakan-akan tersangkut di lereng Gunung Merapi.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru berkuda menelusuri jalan yang panjang. Adalah di luar kehendak mereka, bahwa mereka menuju ke Jati Anom.

Sementara itu, Agung Sedayu seakan-akan masih mendengar Sekar Mirah berkata, “Sesabar-sabar orang, tentu ada batasnya. Jika Kakang Agung Sedayu sudah sampai ke batas, apa pula yang akan terjadi?”

Tetapi saat itu Agung Sedayu menjawab, “Jangan cemas, Sekar Mirah. Penalaranku masih utuh.”

Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru pun berkata, “Kakang, bukankah Paman Widura masih berada di padepokan?”

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya. Seharusnya memang demikian.”

“Kita akan pergi ke padepokan. Biarlah Paman Widura menjadi saksi.”

“Saksi apa?”

“Aku ingin melihat, sampai di mana kemampuan Kakang Agung Sedayu menyusul ilmuku, setelah kitab Guru aku biarkan berada di tangan Kakang Agung Sedayu.”

Dada Agung Sedayu memang terasa bergetar, Justru karena itu, ia tidak segera dapat menjawab pula.

Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dicengkam oleh keragu-raguan, mereka dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda yang berlari mengikuti arah perjalanan mereka.

Swandaru yang berpaling berdesis, “Siapakah mereka?”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya Katanya, “Entahlah.”

Agung Sedayu-lah yang mula-mula menepi. Kemudian Swandaru pun mengikutinya pula untuk memberi jalan kepada beberapa orang berkuda itu untuk mendahului.

Beberapa orang berkuda itu memang mendahului Swandaru dan Agung Sedayu. Namun jantung kedua orang itu berdesir ketika mereka melihat perempuan yang telah dikalahkan oleh Sekar Mirah itu ada di antara mereka.

Belum lagi Agung Sedayu dan Swandaru sempat berbicara tentang mereka, orang-orang berkuda itu telah memperlambat kuda mereka, dan bahkan kemudian berhenti. Mereka segera memutar kuda mereka menghadap Agung Sedayu dan Swandaru.

“Perempuan itu ternyata istri laki-laki itu,” berkata perempuan yang telah dikalahkan oleh Sekar Mirah itu. Bahkan katanya pula, “Juga adik dari Swandaru.”

Seorang yang berkumis berjanggut putih pendek dan jarang, tertawa. Katanya, “Sepasang murid Orang Bercambuk.”

“Kau siapa?” bertanya Swandaru.

Orang berjanggut putih dan jarang itu pun menjawab, “Namaku Simawana. Aku lahir di Bendagantungan. Tetapi aku seorang pengembara yang menjelajahi Tanah ini. Justru pada saat aku pulang menengok keluargaku yang tertinggal di Bendagantungan, aku ditangisi kemenakanku yang semalam kau sia-siakan.”

“Tetapi perempuan itu bukan orang Bendagantungan.”

“Ia juga berasal dari Bendagantungan.”

“Tetapi bukan aku yang menyia-nyiakan.”

“Memang bukan kau yang menyakitinya. Ia juga seorang perempuan yang perkasa. Tetapi karena ia mempunyai seorang suami dan kakak laki-laki, maka aku datang menemui kalian lebih dahulu. Sebenarnya aku tadi akan pergi ke rumah Ki Demang. Tetapi aku diberi tahu bahwa kalian berdua menempuh perjalanan, keluar dari kademangan. Agaknya kalian akan pergi ke Jati Anom. Karena itu, maka aku telah menyusul kalian.”

“Sekarang, apa maksudmu?” bertanya Swandaru.

“Aku ingin bertanya kepada kalian berdua, dengan siapa aku harus berurusan? Justru karena aku dan beberapa orang kawanku adalah laki-laki. Apakah aku harus langsung berurusan dengan suami dan kakaknya? Karena kemenakanku itu datang ke Sangkal Putung karena diundang. Bukan karena kehendaknya sendiri. Dan yang mengundang adalah kau, Swandaru. Seharusnya kau-lah yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kemenakanku itu. Tetapi ternyata kau tidak berbuat apa-apa, karena perempuan yang menyakiti kemenakanku itu adalah adikmu. Bukankah wajar jika hal ini aku tanyakan kepadamu?”

Wajah Swandaru menjadi tegang. Memang ia menjadi agak sulit menghadapi keadaan itu. Namun ia tidak akan dapat membiarkan adiknya dihakimi oleh orang yang menyebut dirinya Simawana itu. Karena Swandaru menyadari, jika adiknya jatuh ke tangan orang itu, maka akibatnya akan menjadi buruk sekali.

Berbeda dengan Swandaru, Agung Sedayu sudah mengambil keputusan. Ia tidak akan membiarkan Sekar Mirah menjadi korban. Bahkan seandainya jika Swandaru menyalahkannya pula, maka ia tidak akan mempedulikannya lagi.

Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Ia ingin memberi kesempatan Swandaru mengambil sikap. Baru kemudian ia akan menyatakan keputusannya itu.

Namun ternyata Swandaru itu pun berkata, “Ki Simawana. Pertengkaran yang terjadi antara adik perempuan dengan perempuan itu sudah terjadi. Keduanya adalah perempuan, sehingga perkelahian yang terjadi kemudian adalah adil.”

“Pendapatku berbeda, Swandaru. Aku tuntut tanggung jawabmu. Serahkan adik perempuanmu kepadaku. Jika suaminya berkeberatan, bukankah kau dapat mengatasinya?”

Telinga Agung Sedayu menjadi merah. Terngiang kata-kata Sekar Mirah, “Sesabar-sabarnya orang tentu ada batasnya.”

Tetapi ternyata Swandaru itu pun menjawab, “Aku belum gila, Simawana. Selama ini aku memang hampir menjadi gila. Tetapi belum sepenuhnya, sehingga sudah tentu aku tidak menyerahkan adik perempuanku ke tanganmu. Kecuali jika kita bertindak adil. Kita biarkan adik perempuanku dan kemenakanmu itu berperang tanding.”

Ki Simawana tertawa. Katanya, “Kau tahu bahwa adikmu sudah mengalahkan kemenakanku. Seandainya dilakukan perang tanding, maka akan sama artinya kemenakanku itu membunuh diri, atau mengesahkan pembunuhan yang akan dilakukan oleh adik perempuanmu itu.”

“Jika demikian, maka sebaiknya kalian berurusan dengan aku, kakaknya, dan suaminya.”

Ki Simawana tertawa. Katanya, “Aku sudah menduga bahwa kalian akan mengambil alih persoalannya. Nah, jika demikian, marilah kita selesaikan persoalan kita sekarang. Jangan menyesal jika kalian berdua tidak akan pernah pulang lagi ke Sangkal Putung. Selama ini kemenakanku masih menghormati kau, Swandaru, karena kau memberinya uang cukup banyak lewat seorang tledeknya. Tetapi oleh kedatangan adik perempuanmu yang garang itu, segalanya tentu akan berubah. Ayahmu juga menjadi semakin keras. Nah, karena itu, maka kemenakan perempuanku itu tidak memerlukan kau lagi. Jika kau mati, ia tidak akan ikut bersedih.”

“Persetan kau Simawana! Kau jangan menyesal dengan kelancanganmu itu.”

Ki Simawana tertawa Katanya, “Aku tahu, kalian berdua murid dari Orang Bercambuk itu. Tetapi kami berlima adalah lima orang saudara seperguruan, yang akan memutuskan jalur perguruan Orang Bercambuk itu sebelum kalian sempat membina satu atau dua murid utama kalian. Sementara itu, kemenakan perempuan kami akan dapat menyaksikan bagaimana kalian bersujud di hadapanku untuk mohon ampun. Tetapi jika kita sudah mulai bertempur, maka permohonan ampun itu sudah terlambat. Kecuali jika kalian lakukan sekarang.”

Swandaru benar-benar menjadi marah. Katanya, “Ki Simawana. Ancamanmu membuat aku semakin bernafsu menginjak kepalamu.”

“Gila!” Ki Simawana itu hampir berteriak. Namun katanya kemudian, “Kita tidak akan bertempur di tengah jalan. Kita tidak mau diganggu oleh orang-orang lewat. Apalagi orang yang telah mengenal satu dua di antara kita.”

Swandaru memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada berat Swandaru bertanya, “Jadi, apa maksudmu?”

“Kita turun ke tepian. Di sebelah petegalan itu ada sebuah sungai. Kita selesaikan persoalan kita di tepian yang jarang dikunjungi orang.”

“Kami tidak berkeberatan,” jawab Swandaru.

Ki Simawana itu pun kemudian telah memberi isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya untuk pergi ke tepian. Perempuan yang memimpin kelompok tari tayub itu pun ikut bersama mereka.

“Bukankah kau sependapat, Kakang?” bertanya Swandaru.

“Ya. Aku sependapat. Kita tidak akan dapat menyerahkan Sekar Mirah.”

“Bagus. Kita akan menghadapi mereka, apapun yang terjadi. Sekar Mirah tidak boleh jatuh ke tangan mereka.”

Kedua orang itu pun kemudian mengikuti Ki Simawana yang berbelok memasuki jalan kecil menuju ke pategalan yang berada di pinggir sungai. Mereka pun kemudian menuruni sebuah tebing yang tidak terlalu terjal, menyusup di belakang pagar pategalan yang terdiri dari sederet pring ori yang tumbuh rapat dengan ranting-rantingnya yang saling berkait rapat.

Enam orang berkuda, seorang di antaranya perempuan, itu pun segera berloncatan turun dari kuda mereka. Mereka pun mengikat kuda-kuda mereka pada pepohonan perdu di tepian.

Swandaru dan Agung Sedayu yang telah berada di tepian itu pun telah turun pula dari kuda-kuda mereka, serta mengikat kuda mereka pada batang-batang perdu pula.

Kelima orang saudara seperguruan itu pun kemudian telah bersiap, bahkan perempuan itu pun telah bersiap-siap pula. Agaknya jika perlu, ia pun ingin memasuki arena pertempuran untuk melepaskan dendamnya, karena ia telah disakiti oleh Sekar Mirah.

“Bersiaplah, murid-murid Orang Bercambuk!”

Agung Sedayu dan Swandaru pun segera mempersiapkan diri. Mereka tidak akan bertempur berpasangan. Tetapi keduanya justru telah mengambil jarak.

Kelima orang saudara seperguruan itu pun juga telah berpencar. Sedangkan perempuan yang dikalahkan Sekar Mirah itu agaknya masih belum akan langsung melibatkan diri.

“Swandaru,” berkata Ki Simawana, “sekarang adalah kesempatanmu yang terakhir untuk berjongkok dan minta maaf kepadaku dan kepada kemenakanku itu. Kemudian kau ambil Sekar Mirah dan kau serahkan kepadaku. Dengan demikian kau akan dapat selamat. Tetapi jika kita sudah terlanjur terlibat dalam pertempuran, maka kau tidak akan pernah mendapatkan pengampunan lagi. Kau berdua akan mati di tepian ini, sementara itu kami pun masih akan tetap mengambil Sekar Mirah, dan membawanya ke Bendagantungan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.”

“Kademangan ini adalah Kademangan Sangkal Putung. Sekar Mirah adalah anak Demang Sangkal Putung. Kau kira begitu mudahnya kau mengambil Sekar Mirah?”

“Apa sulitnya mengambil Sekar Mirah? Apakah sekarang ada anak-anak muda Sangkal Putung yang berani menghalangi kami berlima? Mungkin ada satu dua yang masih mempunyai sisa keberaniannya. Tetapi demikian seorang di antara mereka terbabat oleh pedang kami, maka yang lain tentu akan segera melarikan diri.”

Wajah Swandaru menjadi panas. Demikian rendahnya penilaian orang terhadap kekuatan Kademangan Sangkal Putung sekarang ini. Bahkan Ki Simawana itu pun masih berkata selanjutnya, “Apalagi jika orang-orang Sangkal Putung nanti menemukan mayat kalian berdua, yang akan kami lemparkan ke pintu gerbang padukuhan induk.”

“Tutup mulutmu, Ki Simawana! Kita akan melihat, siapakah yang hidupnya akan berakhir di tepian ini.”

Ki Simawana tertawa pula, sehingga jantung Swandaru rasa-rasanya hampir meledak.

Tetapi Agung Sedayu yang lebih banyak diam itu pun berkata, “Tertawalah sepuas-puasmu, Ki Simawana, selagi kau masih sempat. Hari ini adalah hari terakhir bagimu untuk tertawa. Besok, bahkan nanti, kau tidak akan pernah tertawa lagi. Ada dua kemungkinan dapat terjadi padamu. Kau akan mati, atau karena belas kasihan kami, kau akan melihat kenyataan bahwa kalian berlima tidak akan dapat mengalahkan kami berdua. Apalagi jika kalian tahu bahwa kami adalah murid-murid Orang Bercambuk.”

“Ternyata kau seorang pendiam yang sombong!” geram Ki Simawana, “Apa kelebihannya murid-murid Orang Bercambuk?”

“Bersiaplah. Kalian akan segera mengetahuinya.”

Ki Simawana menggeram.

Swandaru yang jantungnya hampir meledak itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Agung Sedayu masih tetap tenang menghadapi ancaman dan bahkan hinaan Ki Simawana. Sikap Agung Sedayu itu merupakan peringatan baginya untuk tidak cepat hanyut dalam arus perasaannya. Kemarahan seseorang yang berlebihan dan tidak terkendali, hanya akan membuat penalarannya menjadi baur.

“Ada juga lebihnya Kakang Agung Sedayu ini,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Ki Simawana segera menempatkan diri. Sikap Agung Sedayu yang tenang tetapi dianggapnya sombong itu telah menarik perhatiannya.

Tetapi ternyata Ki Simawana tidak sempat memilih lawan. Swandaru-lah yang kemudian melangkah mendekatinya sambil berkata, “Ki Simawana. Marilah kita memastikan, siapakah yang akan mati di tepian ini.”

Simawana mengerutkan dahinya. Katanya, “Siapakah yang lebih tua di antara kalian di dalam Perguruan Orang Bercambuk?”

“Kenapa kau bertanya siapakah yang lebih tua?”

“Aku ingin sebuah permainan yang menarik.”

“Kenapa kau tidak bertanya siapakah yang ilmunya lebih tinggi di antara kami berdua?”

“Apakah aku harus bertanya begitu?”

“Aku pun tidak akan menjawabnya. Tetapi kau harus berhadapan dengan aku. Karena peristiwanya terjadi di Sangkal Putung, dan aku adalah anak Demang Sangkal Putung.”

“Murid-murid Orang Bercambuk memang sombong. Baiklah Swandaru. Kematianmu akan membuat Sangkal Putung mencari keturunan baru untuk diangkat menjadi Demang, karena kau anak lelaki satu-satunya, akan mati. Adikmu pun akan kami ambil dari Kademangan, dan untuk memotong jalur keturunanmu, anakmu juga akan aku ambil.”

“Ternyata kau adalah orang yang sangat jahat. Seandainya kau tetap hidup, maka Sangkal Putung untuk seterusnya tidak akan menjadi tenang.”

“Wawasanmu tajam bagi masa depan, Swandaru. Kau benar. Sangkal Putung tidak akan tenteram untuk selanjutnya, karena Sangkal Putung telah menghancurkan kesempatan kemenakanku mencari nafkah dengan caranya.”

Swandaru tidak berbicara lagi. Tetapi ia pun melangkah semakin mendekati Ki Simawana.

Sementara itu Agung Sedayu pun sudah bergeser semakin menjauh. Ia memang tidak memilih lawan. Siapa pun yang harus dihadapi, akan dihadapinya.

Ternyata Swandaru tidak hanya berdiri berhadapan dengan Ki Simawana. Seorang saudara seperguruan Ki Simawana yang berdiri beberapa langkah daripadanya, telah menghadap ke arah Swandaru pula. Sedangkan tiga orang yang lain telah mendekati Agung Sedayu dari arah yang berlainan. Sementara itu, kemenakan Simawana masih berdiri beberapa langkah di luar arena.

Sejenak kemudian, maka Swandaru-lah yang justru telah mulai menyerang. Kakinya terjulur ke arah dada Ki Simawana. Tetapi Ki Simawana bergeser surut selangkah, sementara saudara seperguruan Ki Simawana itulah yang telah meloncat sambil mengayunkan tangannya menyambar ke arah kening Swandaru.

Tetapi Swandaru pun cepat mengelak, sehingga serangan itu tidak menyentuhnya.

Demikianlah, kedua belah pihak pun bergerak semakin lama semakin cepat. Serangan-serangan Ki Simawana dan saudara seperguruannya datang silih berganti.

Tetapi Swandaru tidak segera mengalami kesulitan. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Bukan sekedar mengelakkan serangan-serangan lawannya, tetapi Swandaru pun sekali-sekali telah menyerang lawannya pula.

Agaknya keduanya masih saling menjajagi. Meskipun demikian, kedua belah pihak telah mulai meningkatkan ilmu mereka masing-masing.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun sudah mulai bertempur pula melawan ketiga orang lawannya. Serangan demi serangan datang beruntun. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak mengalami kesulitan pada tataran pertama pertempuran itu.

Baru kemudian ketika ketiga orang lawan Agung Sedayu meningkatkan ilmu mereka, maka Agung Sedayu pun harus menjadi semakin berhati-hati.

Dengan demikian maka pertempuran semakin lama menjadi semakin meningkat pula. Serangan-serangan pun menjadi semakin cepat.

Salah seorang saudara seperguruan Ki Simawana yang bertempur melawan Agung Sedayu itu pun menggeram, “Jika kau menyerah, maka aku akan membunuhmu dengan cara yang terbaik. Tetapi jika kau mencoba untuk melawan, maka kau akan menyesal di saat-saat terakhir dari hidupmu. Kau akan mati dengan cara yang paling tidak kau sukai.”

Tetapi Agung Sedayu pun tertawa. Katanya, “Jika aku bertempur melawan kalian, maka aku masih mempunyai kemungkinan untuk hidup. Mungkin aku-lah yang akan membunuh kalian bertiga. Tetapi jika aku menyerah, maka aku tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Karena itu, maka aku akan melawan sampai kemungkinan terakhir, atau membunuh kalian bertiga.”

“Kau memang sombong sekali. Kami akan menangkapmu hidup-hidup dan mengikat di belakang kuda kami. Kami akan menyeretmu di sepanjang tebing berbatu-batu padas itu.”

“Aku juga dapat memperlakukan kalian seperti itu. Aku dapat mengikat kalian di belakang kuda kalian masing-masing. Kuda kalian akan lari dengan liar tanpa tujuan, membawa tubuh kalian terseret di belakangnya.”

Saudara-saudara seperguruan Ki Simawana itu menggeram. Bahkan seorang di antara mereka berteriak, “Aku akan mengoyak mulutmu sampai ke telinga, agar kau dapat berbicara lebih keras lagi!”

Tetapi Agung Sedayu justru tertawa.

Sikap Agung Sedayu itu membuat ketiga orang lawannya semakin marah. Karena itu, maka mereka pun segera meningkatkan kemampuan mereka.

Tetapi Agung Sedayu tidak segera mengalami kesulitan. Kakinya berloncatan dengan cepat menghindari serangan-serangan ketiga orang lawannya yang datang beruntun.

Namun kemudian benturan-benturan kecil pun telah terjadi. Sekali-sekali Agung Sedayu harus menangkis serangan yang datang bersamaan. Kadang-kadang Agung Sedayu harus menghindar sekaligus menangkis serangan dari ketiga orang lawannya yang menyerang bersama-sama.

Sementara itu, Swandaru telah bertempur lebih sengit. Ki Simawana dan saudara seperguruannya semakin lama menjadi semakin garang. Ternyata keduanya yang menyadari kelebihan murid-murid Orang Bercambuk, dengan cepat meningkatkan ilmu mereka, sehingga Swandaru pun harus mengimbanginya.

Berbeda dengan Agung Sedayu, maka Swandaru lebih banyak membentur serangan-serangan lawan-lawannya daripada menghindarinya. Namun benturan-benturan itu memang membuat kedua lawannya menjadi semakin berhati-hati.

Tetapi Ki Simawana bukannya tidak memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi murid Orang Bercambuk. Ternyata tenaga dan kekuatan Ki Simawana cukup besar, sehingga pada setiap benturan yang terjadi, Swandaru merasakan getaran kekuatan lawannya itu. Meskipun saudara seperguruan Ki Simawana tidak sekuat Ki Simawana, tetapi kemampuannya menyesuaikan diri serta kecepatannya bergerak, kadang-kadang memaksa Swandaru harus bergeser surut.

Meskipun demikian, sekali-sekali Swandaru mengambil kesempatan untuk memperhatikan Agung Sedayu yang bertempur menghadapi tiga orang lawan. Namun Swandaru pun mengerti, bahwa kemampuan mereka bertiga tentu tidak setingkat dengan kemampuan Ki Simawana dan saudara seperguruan yang seorang, yang bertempur berpasangan dengan Ki Simawana itu sendiri.

Tetapi Swandaru tidak ingin Agung Sedayu mengalami kesulitan sehingga tidak dapat mengatasi ketiga orang lawannya.

Dalam pada itu, Ki Simawana yang sudah lama bertempur telah semakin meningkatkan ilmunya. Ia mengambil keputusan untuk segera mengakhiri perlawanan Swandaru. Agaknya Ki Simawana tidak hanya sekedar mengancam untuk membunuh Swandaru. Tetapi ia benar-benar ingin mematahkan alur Perguruan Orang Bercambuk.

Karena itu, maka Simawana itu pun segera memberi isyarat kepada saudara-saudara perguruannya agar mereka segera menyelesaikan pertempuran itu.

Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Tetapi Swandaru yang sejak semula sudah dibakar oleh kemarahannya itu, tidak banyak memberi kesempatan kepada kedua lawannya. Ketika Ki Simawana dan saudara seperguruannya mengerahkan kemampuan mereka, maka Swandaru pun menjadi muak melihat kedua orang lawannya itu.

Karena itu, maka Swandaru pun telah meningkatkan kemampuannya pula, sehingga justru kedua orang itulah yang mengalami kesulitan menghadapinya.

Serangan-serangan Swandaru tidak saja membentur serangan kedua lawannya, tetapi serangan Swandaru mulai berhasil menusuk masuk menembus pertahanan kedua lawannya. Saudara seperguruan Ki Simawana itu berteriak nyaring ketika kaki Swandaru mengenai lambungnya. Dengan kasar orang itu mengumpat-umpat sambil meloncat surut mengambil jarak, untuk memperbaiki keadaannya.

Namun Swandaru itu tidak memberinya kesempatan. Dengan tangkasnya Swandaru meloncat memburu. Sebelum orang itu berhasil memperbaiki kedudukannya, maka serangan Swandaru berikutnya telah mengenai dadanya. Swandaru meloncat sambil mengayunkan tangannya lurus menggapai lawannya.

Orang itu tidak sempat mengelak. Pukulan itu telah mendorongnya, sehingga orang itu kehilangan keseimbangannya dan jatuh terguling di tanah.

Tetapi Swandaru tidak sempat memburunya. Ki Simawana dengan sigapnya telah menyerangnya. Tubuhnya yang berputar telah mengayunkan kakinya mendatar menyambar ke arah dada.

Tetapi Swandaru sempat mengelak. Serangan itu tidak menyentuh sasaran sama sekali. Bahkan sambil menjatuhkah dirinya dan bertumpu pada tangannya, kaki Swandaru menyapu kaki Ki Simawana dengan derasnya, selagi kaki yang satunya belum mapan berjejak di atas tanah.

Ki Simawana tidak sempat berbuat apa-apa. Tubuhnya terpelanting dan jatuh terbanting. Namun dengan sigapnya Ki Simawana meloncat bangkit meskipun punggungnya terasa sakit sekali. Swandaru yang sudah bersiap untuk menyerangnya, harus bergeser setapak. Saudara seperguruan Ki Simawana telah menyerangnya dengan garangnya. Tidak lagi dengan tangan dan kakinya. Tetapi dengan sebilah parang.

Swandaru memang tidak sempat menyerang Ki Simawana. Ia harus bergeser lagi menghindar ketika serangan saudara seperguruan Simawana itu datang seperti banjir bandang.

Ki Simawana sendiri yang telah berdiri tegak itu pun telah menarik senjatanya pula. Sebilah pedang yang besar dan panjang. Swandaru-lah yang kemudian meloncat surut mengambil jarak.

Dalam pada itu, Ki Simawana dan saudara seperguruannya pun telah melangkah mendekat dengan senjata mereka masing-masing teracu. Swandaru masih berdiri tegak di tempatnya. Bahkan ia sempat melihat Agung Sedayu yang berloncatan di antara ketiga orang lawannya.

“Agaknya ada juga kemajuan pada Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Ia melihat Agung Sedayu mampu berloncatan sedemikian cepatnya, sehingga ketiga orang lawannya tidak mampu menyentuhnya. Bahkan Agung Sedayu-lah yang sekali-sekali justru dapat mengenai lawannya.

Dalam pada itu, Swandaru tidak ingin memperpanjang waktu. Ia ingin segera mengakhiri pertempuran. Kemudian membantu Agung Sedayu menyelesaikan ketiga orang lawannya pula.

Karena itu, ketika kedua orang lawannya mendekatinya dengan mengacu-acukan senjata mereka, maka Swandaru pun telah mengurai cambuknya yang membelit tubuhnya di bawah bajunya.

Kedua orang lawannya memang menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari betapa berbahayanya cambuk di tangan orang yang memiliki ilmu yang mumpuni. Karena itu, maka keduanya pun kemudian menjadi sangat hati-hati.

Sementara itu, Swandaru pun melihat bahwa ketiga orang lawan Agung Sedayu juga menarik senjata mereka. Karena itu, maka sebelum Swandaru memutar cambuknya, ia sempat melihat Agung Sedayu juga mengurai cambuknya.

Demikianlah, sejenak kemudian Swandaru pun telah bertempur dengan sengitnya. Cambuknya berputaran, kemudian menghentak sendal pancing.

Agaknya Swandaru tidak ingin berlama-lama. Karena itu, maka sejak ayunan pertama cambuknya memang tidak meledak.

Namun Ki Simawana dan saudara seperguruannya segera mengalami kesulitan. Getar ayunan cambuk itu terasa menusuk sampai ke jantungnya.

Namun mereka pun memiliki ilmu pedang yang sangat baik. Karenanya dengan mengerahkan kemampuan mereka, keduanya berusaha mengimbangi kemampuan ilmu cambuk Swandaru.

Pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Simawana menyerang lawannya dengan garangnya, sementara itu saudara seperguruannya tidak kalah berbahayanya. Parangnya berputaran sehingga seakan-akan di sekeliling tubuhnya diselimuti oleh kepulan awan yang kelabu gelap.

Ternyata bahwa Swandaru pun tidak begitu mudah menyelesaikan pertempuran itu. Namun ujung cambuk Swandaru itu seakan-akan mempunyai mata yang dapat mengintip sela-sela pertahanan lawannya, dan kemudian menyusup menyentuh tubuh.

Tetapi kedua lawannya pun berusaha dengan sekuat tenaga untuk dapat mematahkan perlawanan Swandaru. Mereka telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak.

Dengan demikian pertempuran menjadi semakin sengit. Serangan-serangan datang silih berganti. Ayunan pedang dan parang menyambar-nyambar. Namun hentakan cambuk Swandaru membuat jantung lawannya bagaikan terguncang.

Ternyata Ki Simawana dan saudara-saudara seperguruannya masih belum setataran dengan murid Orang Bercambuk. Ketika ujung cambuknya menjadi semakin garang, maka kedua lawannya pun seakan-akan telah kehilangan kesempatan sama sekali.

Ki Simawana sendiri menyeringai menahan sakit ketika ujung cambuk Swandaru itu mengoyak lengannya. Kemudian lambung saudara seperguruannya pun telah terluka.

Agaknya kemarahan Swandaru tidak terbendung lagi. Ancaman, caci maki dan hinaan yang dilontarkan oleh Ki Simawana membuat pertimbangan-pertimbangan Swandaru menjadi keruh. Ki Simawana yang yakin akan dapat membunuh Swandaru itu seakan-akan telah menjatuhkan hukuman mati yang tidak terampunkan bagi Swandaru.

Sikapnya itulah yang memanasi serangan-serangan Swandaru yang menjadi semakin garang.

Luka di lengan Simawana dan di lambung saudara seperguruannya membuat gerak mereka mulai terbatas. Darah yang mengalir, pedih yang menggigit, membuat keduanya menjadi cemas.

Namun ternyata serangan Swandaru tidak mereda. Ujung cambuk Swandaru seakan-akan mematuk seperti kepala ular bandotan menyambar pundak Ki Simawana.

Ki Simawana terlempar beberapa langkah surut. Namun serangan Swandaru berikutnya terganggu, karena saudara seperguruan Ki Simawana itu meloncat sambil mengayunkan parangnya.

Tetapi Swandaru melihat serangan itu. Karena itu, maka Swandaru pun segera merendahkan dirinya sambil menghentakkan cambuknya.

Saudara seperguruan Ki Simawana itu mengaduh tertahan. Tubuhnya terlempar ke samping. Dadanya-lah yang menganga oleh ujung cambuk Swandaru yang diberinya karah baja.

Orang itu terjatuh seperti sebatang dahan yang patah dari batangnya. Ketika kemudian sambil berteriak Ki Simawana menyerang dengan menikam ke arah dada, Swandaru sempat meloncat ke samping. Pedang itu tidak mengenai sasaran. Namun demikian Ki Simawana memutar tubuhnya, juntai cambuk Swandaru itu melingkar di lehernya. Demikian Swandaru menghentakkan juntai cambuknya, maka Ki Simawana itu terputar dan kemudian jatuh terguling di pasir tepian.

Ki Simawana sama sekali tidak sempat menggeliat. Demikian tubuhnya terguling di tepian, maka jantungnya telah berhenti berdetak.

Ketika Swandaru melihat saudara seperguruan Ki Simawana itu masih bergeser dari tempatnya meskipun dadanya terluka menyilang, maka rasa-rasanya darahnya masih saja mendidih. Namun sebelum ia menghentakkan cambuknya ke arah saudara seperguruan Simawana itu, ia sempat berpaling ke arah Agung Sedayu, untuk meyakinkan bahwa Agung Sedayu setidak-tidaknya masih mampu bertahan untuk beberapa saat.

Namun Swandaru itu justru terkejut. Agung Sedayu berdiri tegak dengan kaki renggang. Sebelah tangannya menggenggam tangkai cambuknya, sedangkan tangannya yang lain memegangi ujung juntainya. Sementara ketiga orang lawannya duduk sambil meletakkan kedua telapak tangan di tengkuknya.

“Kau sudah selesai dengan ketiga orang lawanmu?” bertanya Swandaru.

“Mereka telah menyerah,” berkata Agung Sedayu.

“Kenapa tidak kau selesaikan sama sekali? Mereka akan membunuh kita. Karena itu, kita pun berhak membunuh mereka.”

“Aku sudah letih. Aku tidak mau menambah pekerjaan lagi.”

“Maksudmu?”

“Jika kita membunuh mereka, maka kita harus membuat lima lubang kubur untuk mereka. Tetapi jika kita biarkan mereka hidup, biarlah mereka mengubur kawan-kawannya yang terbunuh.”

Swandaru mengenal sifat Agung Sedayu, yang menurut pendapatnya terlalu lemah. Tetapi ia sependapat, bahwa dengan demikian ia tidak perlu membuat lima buah lubang kubur untuk kelima orang yang telah berniat untuk membunuh mereka.

“Dua orang sudah cukup,” desis Swandaru kemudian, setelah ternyata orang yang terluka dadanya itu juga menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Sementara itu, perempuan yang disebut kemanakan Ki Simawana itu berdiri dengan tubuh menggigil. Rasa-rasanya nyawanya pun telah berada di ujung ubun-ubunnya. Namun sikap Agung Sedayu sedikit membuat hatinya menjadi sejuk.

“Baiklah,” berkata Swandaru kemudian, “marilah, kita tinggalkan tempat ini.”

Agung Sedayu pun tidak menjawab. Ketika kemudian Swandaru meloncat ke punggung kudanya, Agung Sedayu pun melakukannya pula.

Sebelum mereka meninggalkan tepian, maka Swandaru itu pun berkata kepada perempuan yang ketakutan itu, “Jika kau masih menginginkan kematian, bawalah orang lain ke rumahku. Sekarang pamanmu dan empat orang saudara seperguruannya. Lain kali kakekmu, atau gurumu, atau siapapun yang mau kau surukkan ke dalam maut.”

Perempuan itu benar-benar menjadi ketakutan. Menurut pendapatnya, pamannya adalah orang yang tidak terkalahkan. Namun berlima bersama saudara-saudara seperguruannya, mereka tidak dapat mengalahkan dua orang murid dari perguruan Orang Bercambuk itu.

Sejenak kemudian, Swandaru dan Agung Sedayu pun telah meninggalkan tepian. Melewati pagar batang pring ori yang rapat, naik ke atas tebing dan kemudian menyusuri jalan di sebelah pategalan.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah sampai ke jalan yang lebih besar.

Keduanya pun justru berhenti sejenak. Swandaru menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita pulang ke Sangkal Putung, Kakang.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika Swandaru membelokkan kudanya ke arah padukuhan induk Sangkal Putung, maka Agung Sedayu pun mengikutinya pula.

“Agaknya ia membatalkan niatnya untuk melakukan penjajagan ilmu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Namun sebelum Agung Sedayu bertanya, Swandaru yang kemudian menempatkan kudanya di sebelah kuda Agung Sedayu pun berkata, “Kita tidak perlu ke Jati Anom, Kakang.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya Namun kemudian ia pun menyahut, “Baiklah.”

“Aku sudah melihat bahwa ilmu Kakang benar-benar sudah meningkat,” berkata Swandaru, “Kakang nampaknya sudah mampu menguasai unsur-unsur gerak yang paling rumit yang tercantum di dalam kitab yang ditinggalkan oleh Guru untuk kita. Ternyata Kakang mampu menguasai ketiga orang saudara seperguruan Ki Simawana itu.”

“Mereka adalah pemula-pemula yang penakut. Dengan cepat mereka menyerah dan melemparkan senjata-senjata mereka.”

“Tetapi aku sempat melihat bagaimana Kakang dengan tangkas berloncatan di antara ketiga orang lawan Kakang.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau memuji.”

“Aku berkata sebenarnya. Jika Kakang menjadi semakin tekun, maka Kakang akan mampu mencapai tataran yang lebih tinggi lagi. Seandainya Kakang tidak bernafsu untuk mengangkat nama Kakang sendiri, tetapi semakin tinggi tingkat kemampuan kita, maka nama perguruan kita pun akan menjadi semakin disegani orang.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Setiap kali ia berbicara dengan Swandaru tentang tataran kemampuan, ia selalu teringat kepada Glagah Putih.

Jantung anak muda itu kadang-kadang serasa hendak terbakar jika ia mendengar bagaimana Swandaru menggurui Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu bukan lagi anak muda yang darahnya masih panas. Apalagi pembawaan Agung Sedayu sendiri memang bukan seorang yang jantungnya cepat membara. Karena itu, Agung Sedayu tidak pernah kehilangan kendali jika Swandaru berbicara mengenai tataran ilmu.

Dalam pada itu, keduanya pun kemudian telah melarikan kuda mereka kembali ke padukuhan induk, meskipun tidak terlalu kencang. Keduanya menyusuri jalan bulak yang panjang.

Agung Sedayu yang tidak sempat memperhatikan parit yang membujur di pinggir jalan, mulai memperhatikannya. Ketika ia menyusuri jalan itu di saat ia berangkat, jantungnya tercengkam oleh keinginan Swandaru untuk melakukan penjajagan ilmu. Agung Sedayu agaknya mengalami kesulitan untuk mengambil keputusan, apakah ia akan menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya atau tidak.

Namun bersyukurlah ia bahwa niat Swandaru itu dibatalkannya. Sehingga karena itu, Agung Sedayu tidak lagi dicengkam oleh ketegangan. Karena itu, ia sempat melihat air yang mengalir di sepanjang parit itu.

“Untunglah bahwa kesulitan yang dialami oleh Sangkal Putung masih belum terlalu mendasar. Tata kehidupan para petani masih berjalan dengan baik. Parit-parit masih mengalir. Jalan-jalan masih dapat dilalui dengan lancar. Tanaman di sawah masih nampak hijau subur. Palawija di pategalan agaknya justru hampir panen,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Meskipun demikian, Swandaru harus bekerja keras untuk membangkitkan kembali kebanggaan orang-orang Sangkal Putung atas kademangannya. Atas kegigihannya mempertahankan kademangan itu dari jamahan tangan Macan Kepatihan, yang ingin menjadikan Sangkal Putung sebagai pancadan perjuangan yang masih akan diteruskan, sekaligus menjadi sumber bahan pangan yang subur. Sehingga bersama-sama dengan prajurit Pajang, Sangkal Putung telah berhasil ikut menghancurkan pasukan yang dipimpin oleh Macan Kepatihan itu.

Dalam pada itu, Swandaru pun nampak merenung di atas punggung kudanya. Agaknya ia sempat melihat kademangannya dengan hati yang mulai terbuka. Ia mulai melihat daun nyiur yang bergayutan di pelepahnya seakan-akan menjadi layu dan menunduk sedih.

“Jangan berputus asa kademanganku,” berkata Swandaru di dalam hatinya, “aku telah terbangun dari mimpi yang sangat buruk. Besok kita akan bangkit bersama-sama, mengembalikan citra Kademangan Sangkal Putung.”

Swandaru memang berjanji kepada dirinya. Kesalahan yang telah dilakukannya, menjadi pelajaran baginya bahwa pada suatu saat seseorang dapat tersesat ke jalan yang tidak diingininya, tetapi yang menarik demikian kuatnya sehingga ia tidak mampu untuk menghindar.

Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung, Sekar Mirah-lah yang berlari-lari lebih dahulu menyongsong mereka turun ke halaman. Kemudian disusul Pandan Wangi yang ragu-ragu berdiri di tangga yang terakhir.

Sekar Mirah itu pun menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat wajah-wajah kedua orang itu tidak memberikan kesan yang mencemaskan. Namun Sekar Mirah masih juga memperhatikan pakaian mereka yang menjadi kotor dan kusut.

Tetapi sebelum Sekar Mirah bertanya, Swandaru sudah lebih dahulu bercerita tentang kelima orang yang mencegat mereka di jalan.

“Siapakah mereka itu, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

“Kami tidak tahu, kami tidak mengenal mereka. Pemimpinnya mengaku bernama Simawana, orang Bendagantungan.”

Sekar Mirah mengeratkan dahinya. Namun Swandaru tidak mengatakan bahwa orang-orang itu ada hubungannya dengan perempuan yang dikalahkan oleh Sekar Mirah. Perempuan yang memimpin rombongan tayub itu.

Sejenak kemudian, Swandaru dan Agung Sedayu pun telah naik ke pendapa, setelah seseorang menerima kuda-kuda mereka. Sementara itu, Ki Demang pun telah keluar pula dan duduk di pringgitan.

“Kalian dari mana saja?” bertanya Ki Demang.

Swandaru kemudian telah menceritakan sebagaimana diceritakannya kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi.

“Jadi keempat orang itu kau biarkan berlalu?”

“Biarlah mereka mengubur kawan-kawannya.”

“Aku tidak bermaksud agar kalian membunuh mereka berempat. Tetapi membawa mereka kemari, berbicara dan mengetahui latar belakang kehidupan mereka lebih banyak lagi.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu sambil berkata, “Tidak terpikirkan oleh kita pada waktu itu, Kakang.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita memang agak khilaf.”

“Lain kali, jangan biarkan orang-orang yang berniat buruk itu begitu saja lepas.”

“Jika saja kita kembali ke tempat itu,” desis Swandaru.

Agung Sedayu pun mengangguk. Katanya, “Dapat kita coba. Jika mereka mengubur kawan-kawan mereka di sana, mungkin mereka masih ada.”

Tetapi Ki Demang kemudian berkata, “Sudahlah. Biarlah mereka pergi dan pulang ke Bendagantungan. Pada kesempatan lain kita pergi ke Bendagantungan dan berbicara dengan Ki Bekel.”

“Ki Simawana sudah lama meninggalkan Bendagantungan dan pergi mengembara,” sahut Swandaru.

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Bahkan mungkin kedatangan Ki Simawana itu pun terasa mengganggu orang-orang Bendagantungan itu sendiri.”

Namun pembicaraan mereka pun kemudian beralih. Sebelum Ki Demang menanyakan sikap Swandaru setelah ia berbicara dengan kakak seperguruannya, maka Swandaru merasa lebih baik ia mendahuluinya. Katanya, “Ayah. Setelah aku melihat keadaan kademangan ini lebih cermat, serta melihat sikap Sekar Mirah dan pembicaraanku dengan Kakang Agung Sedayu, maka aku merasa bahwa aku telah melakukan kesalahan. Aku mohon maaf kepada Ayah, kepada Pandan Wangi dan kepada rakyat Sangkal Putung. Aku berjanji untuk memperbaiki segala sesuatunya yang telah aku rusakkan selama ini.”

Ki Demang mengangguk-angguk, sementara Pandan Wangi menundukkan kepalanya sambil mengusap air matanya. Sekar Mirah pun duduk termangu-mangu. Matanya terasa menjadi panas.

“Baiklah,” berkata Ki Demang, “belum terlambat. Masih banyak waktu untuk memperbaiki kesalahan itu.”

“Baik, Ayah. Aku berjanji,” berkata Swandaru dengan nada dalam.

Ki Demang tersenyum. Masa-masa suram itu agaknya telah berlalu.

Tetapi satu hal yang tidak diketahui oleh orang-orang Sangkal Putung. Beberapa pasang mata tengah memperhatikan keadaan Sangkal Putung. Bukan sekedar Ki Simawana, kemenakannya dan serombongan penari tayub. Tetapi satu kekuatan yang lebih besar dari itu.

Ki Saba Lintang dan Nyi Yatni serta beberapa orang kepercayaannya, memperhatikan apa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Mereka sengaja datang dan berada di sekitar Sangkal Putung, karena mereka tahu bahwa Swandaru adalah kakak Sekar Mirah, salah seorang dari dua orang yang memiliki tongkat baja putih peninggalan perguruan Kedung Jati.

Sejak kekalahannya di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Saba Lintang mulai memperhatikan Sangkal Putung. Macan Kepatihan, salah seorang pemimpin dari perguruan Kedung Jati, juga pernah berusaha untuk menjadikan Sangkal Putung sebagai landasan perjuangan mereka, sekaligus sebagai lumbung bahan makanan yang tidak akan ada habisnya.

Tetapi Ki Saba Lintang pun menyadari bahwa keadaan sudah berubah. Sangkal Putung sekarang tidak lagi seperti Sangkal Putung beberapa tahun yang lalu. Pasukan Mataram yang ada di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara, yang kini sudah diangkat menjadi Tumenggung, jauh lebih kuat dari pasukan Widura dan Untara yang berada di Sangkal Putung pada waktu itu. Dengan cepat Untara akan dapat menggerakkan pasukannya ke Sangkal Putung, jika terjadi sesuatu atas kademangan itu.

Karena itu, menguasai Sangkal Putung sekarang tidak akan dapat ditempuh jalan sebagaimana Macan Kepatihan akan menguasai Sangkal Putung pada waktu itu. Bahkan Macan Kepatihan pun waktu itu telah gagal dan bahkan terbunuh di pertempuran.

Ki Saba Lintang pun telah mendapatkan satu pengalaman pahit di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun ia sempat menghimpun kekuatan yang sangat besar dari berbagai lingkungan yang disadarinya tentu mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, namun mereka telah gagal menguasai Tanah perdikan Menoreh dengan kekerasan.

Dengan demikian, maka Ki Saba Lintang tidak akan dapat menguasai Sangkal Putung dengan kekerasan pula.

Tetapi Ki Saba Lintang telah mengetahui salah satu kelemahan Swandaru, seorang yang menentukan sekali di Kademangan Sangkal Putung.

Tledek yang cantik.

Rombongan penari tayub yang sempat mengacaukan penalaran Swandaru itu memang tidak ada hubungannya dengan Ki Saba Lintang. Tetapi Ki Saba Lintang mengikuti perkembangannya dengan seksama. Ki Saba Lintang pun kemudian mengetahui bahwa Sekar Mirah dan Agung Sedayu berada di Sangkal Putung.

“Satu kesempatan,” berkata seorang yang bertubuh tinggi dan berkepala botak.

“Kesempatan apa?” bertanya Ki Saba Lintang.

“Membunuh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Merampas tongkat baja putihnya.”

“Seandainya kita berhasil membunuh keduanya, tentu akan menimbulkan gejolak yang sangat besar. Bukan saja pasukan Untara akan bergerak dan memburu kita kemanapun kita pergi, tetapi seluruh kekuatan di Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh, dan bahkan seluruh kekuatan di Mataram akan bergerak serentak. Apa yang dapat kita lakukan kemudian?”

“Apakah hal serupa tidak terjadi jika kita menduduki Sangkal Putung?”

“Siapa yang akan menduduki Sangkal Putung?”

“Jadi apa yang akan kita lakukan terhadap Sangkal Putung?” bertanya orang berkepala botak itu.

Ki Saba Lintang tertawa Katanya, “Kau memang dungu. Aku percaya akan kekuatan tubuhmu dan tataran kemampuanmu Tetapi otakmu tidak lebih baik dari otak seorang yang sangat bodoh.”

Orang bertubuh tinggi dan berkepala botak itu mengerutkan dahinya, sementara Ki Saba Lintang berkata selanjutnya, “Kita belum siap untuk menghadapi kekerasan. Ketika kita akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh, kita sudah merasa mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tetapi akhirnya kita gagal. Apalagi sekarang, setelah kekuatan kita terpecah dan tercerai berai, karena pada dasarnya kita memang bukan merupakan satu keutuhan.”

“Jika demikian?”

“Kita akan menguasai Sangkal Putung dengan cara yang lebih rumit dari sebuah pertempuran. Kita harus dapat menundukkan Swandaru tidak dengan kekerasan.”

“Maksud Ki Saba Lintang?”

“Kita harus menemukan seorang penari yang lebih cantik dari penari tayub yang sering menari di Sangkal Putung itu. Kita harus mampu menundukkan hati Swandaru, tanpa dapat dirusak oleh Sekar Mirah.”

“Besok kita akan melepaskan serombongan tari tayub di Sangkal Putung dengan penari yang sangat cantik.”

“Pergunakan otakmu yang kecil itu!” bentak Ki Saba Lintang, “Kita tidak menyusun rencana buat besok atau lusa atau sepekan dua pekan. Kita harus menyusun rencana untuk jangka panjang. Kita tidak dapat tergesa-gesa.”

“Jika kita bergerak lambat, mungkin ada rombongan tayub yang lain yang mendahului kita.”

Ki Saba Lintang tertawa. Sementara orang berkepala botak itu berkata selanjutnya, “Atau mungkin rombongan yang diusir oleh Sekar Mirah itu akan datang lagi, justru dengan penari yang lebih cantik.”

Ki Saba Lintang menjawab, “Apakah kita akan menemui kesulitan jika kita yang akan membantu Sekar Mirah menghentikan permainan tayub itu?”

Orang yang berkepala botak itu mengangguk-angguk.

“Nah, kita akan melihat perkembangan selanjutnya Apa yang akan dilakukan oleh Swandaru. Seandainya kedatangan Sekar Mirah dan Agung Sedayu itu berhasil menghentikan Swandaru, namun kelemahan itu akan dapat kita manfaatkan di saat-saat tenggang waktu beberapa lama.”

Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Nyi Yatni yang cantik itu akan dapat belajar menari tayub dan berusaha menjerat Swandaru di kemudian hari.”

“Rasa-rasanya aku memang ingin mengguncang kepalamu yang botak itu, agar otakmu dapat kau pergunakan dengan baik,” geram Ki Saba Lintang.

“Oh, maaf Ki Saba Lintang, bukan maksudku agar Ki Saba Lintang menyerahkan Nyi Yatni kepada Swandaru.”

“Bodoh! Dungu! Bukan karena itu! Aku sama sekali tidak mencemaskan Nyi Yatni akan lari dariku. Apalagi jika ia menari tayub untuk satu tugas yang sangat penting.”

“Jadi?”

“Yatni sudah dikenal oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Jika ada di antara mereka yang berada di kademangan ini, maka mereka akan segera mengetahui rencana kita seluruhnya.”

Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk pula. Katanya, “Jadi, kau harus mendapatkan penari yang masih belum dikenal?”

“Tentu saja. Dan itu sama sekali bukan satu pekerjaan yang sulit.”

“Penari yang cantik?”

“Tentu. Tidak seperti kakak dan adik perempuanmu itu.”

Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia berdesis, “Apakah Nyi Yatni tidak menjadi cemburu terhadap penari cantik itu?”

“Aku ingin menampar mulutmu dan mengguncang otak udangmu! Kenapa Yatni menjadi cemburu? Penari cantik itu tidak diperuntukkan bagiku, tetapi bagi Swandaru!”

Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk. Dalam pada itu, Ki Saba Lintang memang tidak tergesa-gesa. Pengalamannya yang pahit dengan kegagalannya di Tanah Perdikan Menoreh, merupakan kekang bagi langkah-langkahnya berikutnya. Ternyata bahwa ia tidak selalu harus mempergunakan kekerasan.

Jika rencananya berhasil, menjerat Swandaru, maka Swandaru harus dibujuknya agar dapat menjadi bagian dari kekuatannya. Jika ia berhasil, maka kekuatan Kademangan Sangkal Putung yang besar itu akan sangat berarti baginya. Dan lebih dari itu, Swandaru adalah kakak kandung Sekar Mirah.

Tetapi Ki Saba Lintang memang harus bersabar. Ia harus melangkah dengan hati-hati. Jika Swandaru itu luput, maka ia harus mencari jalan lain yang barangkali akan lebih sulit lagi.

Yang harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh oleh Ki Saba Lintang adalah kekuatan Untara di Jati Anom. Kekuatan itu cukup besar. Tetapi menurut perhitungan Ki Saba Lintang, kekuatan Untara masih belum sebesar kekuatan gabungan Tanah Perdikan Menoreh dan prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Ki Saba lintang pun harus memperhatikan kekuatan lain yang dapat digerakkan oleh Mataram. Mungkin Pajang. Tetapi Ki Saba lintang dapat membuat kekuatan bayangan di sekitar Pajang, sehingga Pajang tidak akan mengirimkan pasukannya keluar, karena Pajang sendiri merasa harus mengurus dirinya sendiri.

“Rintangan utamanya adalah Pandan Wangi,” desis Ki Saba Lintang.

Orang berkepala botak itu pun menyahut meskipun agak ragu, “Apakah Pandan Wangi tidak dapat disingkirkan saja?”

“Jika terpaksa, kita akan sampai pada langkah itu. Tetapi kita harus mencari cara yang terbaik sehingga Swandaru tidak menjadi liar karenanya, sehingga sulit untuk dikendalikan.”

“Dengan tledek cantik.”

Ki Saba Lintang tertawa Katanya, “Apakah kau mulai dapat mempergunakan otakmu?”

Orang berkepala botak itu menjadi bingung. Apakah yang dikatakan itu dianggap benar atau salah oleh Ki Saba Lintang.

Dengan demikian, maka Ki Saba Lintang pun memperhatikan Sangkal Putung dengan lebih seksama. Ia telah menunjuk beberapa orang pengikutnya yang memiliki kecerdasan, yang dapat meyakinkannya untuk mengamati dan menilai Kademangan Sangkal Putung, bahkan sampai sisi kehidupan Swandaru dan Pandan Wangi.

“Bukan kau, Otak Udang,” berkata Ki Saba Lintang ketika orang berkepala botak itu menawarkan diri.

Tetapi orang itu terdiam ketika Ki Saba lintang dengan tegas menolaknya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada di Sangkal Putung untuk beberapa hari. Kerja Sekar Mirah sehari-hari adalah bermain dengan anak Swandaru yang tumbuh dengan cepat. Badannya kuat dan tegar. Suara tertawanya lepas bebas tanpa terkekang, demikian pula jika ia ingin menangis. Suaranya meninggi, menggetarkan udara di sekitarnya.

Jika kemudian anak Swandaru itu kembali ke pangkuan ibunya, maka Sekar Mirah pun duduk merenung di dalam biliknya. Ia mulai menyesali dirinya sendiri. Kenapa ia masih belum dapat memberikan seorang anak pun kepada Agung Sedayu.

Jika Sekar Mirah mendengar langkah seseorang mendekati pintu biliknya dengan tergesa-gesa, ia mengusap matanya yang basah, kemudian bangkit berdiri dan membenahi pakaian dan rambutnya yang kusut.

Jika yang datang itu Agung Sedayu dan membuka pintu biliknya, Sekar Mirah pun menemuinya sambil tersenyum.

Tetapi perasaan sepi yang menghimpit jantung Sekar Mirah itu tidak dapat luput dari perhatian Agung Sedayu. Namun sebenarnyalah Agung Sedayu juga mempunyai perasaan yang sama dengan Sekar Mirah. Betapa sepinya keluarganya tanpa seorang anak pun. Meskipun Agung Sedayu sudah mengisi rumahnya dengan beberapa orang, tetapi kehadiran mereka tetap tidak dapat menggantikan kehadiran seorang anak.

Tetapi karena Agung Sedayu seorang laki-laki, yang dapat menenggelamkan diri dalam kesibukan keseharian, maka beban kesepian yang dirasakannya tidak seberat beban Sekar Mirah.

Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah berada di Sangkal Putung, maka keduanya pun ingin mempergunakan sebagian waktunya untuk pergi ke Jati Anom. Mereka ingin menemui Untara, dan Ki Widura yang berada di sebuah padepokan kecil di sebelah Jati Anom.

Ketika hal itu disampaikannya kepada Swandaru. maka Swandaru pun berkata, “Apakah aku perlu mempersiapkan pengawalan?”

“Tidak. Tidak, Adi Swandaru. Bukankah lingkungan ini merupakan lingkungan yang tenang dan aman?”

Swandaru mengangguk. Katanya, “Selama ini memang demikian. Tetapi siapa tahu, bahwa Ki Simawana bukan orang pertama. Mungkin gurunya atau saudaranya seperguruannya yang lebih tua, atau sahabat-sahabatnya.”

“Mudah-mudahan tidak.”

Demikianlah. Agung Sedayu pun telah minta diri kepada Ki Demang dan keluarga di Sangkal Putung, untuk pergi ke Jati Anom.

“Apakah kalian akan bermalam di Jati Anom?” bertanya Ki Demang.

“Mungkin, Ki Demang. Tetapi hanya semalam. Kami ingin bermalam di padepokan kecil peninggalan Guru.”

Ki Demang tersenyum, katanya, “Berhati-hatilah. Lingkungan ini memang terasa tenang. Tetapi mungkin saja gejolak akan timbul dengan peristiwa yang baru saja terjadi dengan orang-orang Bendagantungan itu, karena aku belum sempat pergi ke Bendagantungan untuk menjernihkan suasana.”

“Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa, Ki Demang,” desis Agung Sedayu.

Demikianlah, sejenak kemudian. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun sudah melintasi bulak-bulak pendek dan panjang menuju ke Jati Anom. Kuda mereka berlari membelok di tikungan yang menurun, namun kemudian memanjat naik di Macanan.

Namun Agung Sedayu sempat tersenyum jika ia teringat kepada sebatang pohon randu alas dan gendruwo bermata satu. Betapa menakutkannya bagi Agung Sedayu di masa remajanya.

Kuda Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun berlari terus. Mereka pun melintas dengan cepat di dukuh Pakuwon.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah berniat untuk mengunjungi Untara lebih dahulu di Jati Anom, baru kemudian mengunjungi pamannya Widura. Tidak di Banyu Asri, tetapi di padepokan yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing.

Beberapa saat kemudian mereka pun telah melintasi Sendang Gabus, sehingga beberapa saat lagi, mereka akan sampai di rumah Untara. Rumah yang masih saja dipergunakan untuk barak pasukan Mataram yang berada di Jati Anom. Di belakang rumah Untara telah dibangun barak yang lebih besar dan memenuhi syarat. Namun sebagian rumah Untara masih saja dipergunakan.

Kedatangan Agung Sedayu dan Sekar Mirah disambut gembira oleh istri Untara. Dipersilakannya keduanya naik ke pendapa, sementara Nyi Tumenggung minta seorang pembantunya yang berada di halaman untuk memanggil Untara, yang sedang berada di barak.

Sejenak kemudian, maka Untara pun telah datang. Berempat mereka duduk di pringgitan.

Pembicaraan di antara mereka pun segera menjadi riuh dan akrab. Untara dan istrinya segera mempertanyakan keselamatan mereka dan keluarga yang mereka tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh.

“Bagaimana dengan Glagah Putih?”

“Baik, Kakang,” jawab Agung Sedayu.

“Apakah anak itu masih senang berkeliaran saja?”

Pertanyaan seperti itu pernah didengarnya dahulu, ketika Agung Sedayu masih belum menyatakan dirinya menjadi seorang prajurit.

“Anak itu baru mempersiapkan dirinya,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Anak itu tidak boleh terlalu lama membiarkan dirinya terkatung-katung. Ia tidak boleh memanjakan kesenangannya, mondar-mandir kesana kemari tanpa pegangan.”

“Anak itu membantu Prastawa memimpin para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apakah itu mempunyai arti bagi masa depan Glagah Putih sendiri? Ia harus memikirkan masa depannya. Mungkin sekarang ia merasa senang bermain-main dengan para pengawal. Barangkali Glagah Putih merasa bangga dianggap sebagai salah seorang pelatih oleh para pengawal Tanah Perdikan. Tetapi bagaimana dengan masa depan Glagah Putih itu sendiri? Pada suatu saat ia harus menjalani satu kehidupan keluarga. Bukankah Glagah Putih tidak akan dapat hidup dengan sekedar kebanggaan? Keluarganya tentu memerlukan satu kehidupan yang wajar. Makan, pakaian dan keperluan-keperluan lainnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Nasihat itu dahulu selalu ditujukan kepadanya.

“Aku mengerti, Kakang,” jawab Agung Sedayu.

“Nasihati anak itu. Ia harus meninggalkan masa remajanya serta kesenangan-kesenangannya untuk hari ini. Ia harus mulai memikirkan masa depannya. Masa yang panjang bagi dirinya dan keluarganya kelak.”

“Ya, Kakang,” jawab Agung Sedayu.

Namun pembicaraan mereka pun kemudian telah menebar ke persoalan-persoalan yang lain. Bahkan Nyi Untara itu pun kemudian mulai berbicara tentang anaknya yang sangat nakal.

“Di mana anak itu sekarang?” bertanya Sekar Mirah.

Nyi Untara itu pun kemudian memanggil seorang pembantunya, dan minta agar pembantunya itu memanggil anaknya.

Kehadiran anak Untara itu seakan-akan membuat luka di hati Sekar Mirah menjadi semakin dalam. Anak Untara adalah seorang anak yang nampak cerdas. Dipandanginya Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan tajamnya. Matanya nampak berkilat-kilat di wajahnya yang cerah.

Ketika ayah dan ibunya memperkenalkan paman dan bibinya, maka tanpa ragu-ragu anak itu melangkah mendekat sambil mengulurkan tangannya.

Ketika Agung Sedayu menyambut tangan anak itu, dahinya pun berkerut. Tangan anak itu dengan mantap menggenggam tangan Agung Sedayu. Kemudian berganti menggenggam tangan Sekar Mirah dengan erat, sambil tersenyum.

Untuk beberapa lama anak itu diminta oleh ayahnya untuk duduk menemui paman dan bibinya. Namun anak itu segera nampak gelisah.

“Anak ini tidak betah duduk,” berkata ibunya.

Anak itu memandang ibu dan ayahnya berganti-ganti dengan matanya yang seakan-akan bercahaya itu.

“Baiklah. Bermainlah. Tetapi jangan jauh-jauh.”

Sejenak kemudian anak itu pun sudah menghambur di halaman dan hilang di sudut gandok kanan.

“Ia memang pendiam,” berkata ibunya, “tetapi ia tidak dapat berhenti bergerak. Ada saja yang dilakukannya, sejak ia bangun pagi-pagi sampai menjelang tidur di wayah sepi bocah.”

“Ia seorang anak yang kuat,” berkata Agung Sedayu.

“Makannya banyak sekali,” berkata Untara sambil tertawa. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun tertawa pula.

Namun sebenarnyalah Sekar Mirah harus menahan gejolak perasaannya. Anak-anak itu akan menjadi perekat yang sangat kuat bagi sebuah keluarga.

Dalam pada itu, maka Nyi Untara pun telah mengajak Sekar Mirah untuk masuk ke ruang dalam, sementara Untara membawa Agung Sedayu ke baraknya, untuk diperkenalkan dengan beberapa orang perwira di dalam pasukannya.

Ada beberapa orang Rangga dan Lurah di dalam pasukan Untara itu. Mereka menyambut kedatangan Agung Sedayu dengan hangat. Sebagian dari mereka sudah pernah mendengar nama Agung Sedayu sebagai seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan sebagian dari mereka memang sudah mengenal sebelumnya, saat-saat Agung Sedayu singgah di rumah kakaknya Untara.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada beberapa lama di rumah Untara. Nyi Untara telah mempersilakan mereka makan bersama. Untara dan Nyi Untara ikut pula.

“Bukankah kalian akan bermalam?” bertanya Untara selagi mereka makan.

“Kami akan mengunjungi Paman Widura di padepokan, Kakang,” jawab Agung Sedayu.

“Kalian akan bermalam di sana?”

“Ya, Kakang.”

“Kenapa tidak di sini saja?” bertanya Nyi Untara.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku ingin berada semalam di padepokan peninggalan Guru.”

“Berapa malam kau akan bermalam?” bertanya Untara.

“Semalam saja, Kakang. Besok kami akan kembali ke Sangkal Putung.”

“Kapan kau kembali ke Tanah Perdikan Menoreh?”

“Dua tiga hari lagi.”

Untara mengangguk-angguk. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun sudah bercerita pula tentang Swandaru yang telah tergelincir, serta dendam orang-orang Bendagantungan.

“Mudah-mudahan tidak terjadi gejolak setelah orang Bendagantungan itu terbunuh.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah kalian cepat bertindak, sehingga Adi Swandaru tidak tersesat terlalu jauh. Semakin jauh Adi Swandaru tersesat, akan menjadi semakin sulit untuk menariknya kembali ke jalan yang lurus.”

“Ya, Kakang,” desis Sekar Mirah, “Kami juga ingin menitipkan Sangkal Putung kepada Kakang. Jika hal itu terjadi lagi, kami mohon Kakang tidak segan-segan memberi peringatan.”

Untara menarik nafas panjang. Katanya, “Mungkin aku dapat memberinya peringatan. Tetapi sepanjang persoalannya menyangkut persoalan pribadi dan keluarga, sulit bagiku untuk dapat langsung mencampurinya. Mungkin aku dapat membantu mengirimkan orang untuk memberitahukan kepada Adi Sekar Mirah dan Agung Sedayu, yang tentu akan dapat langsung mencampuri persoalannya sebagaimana sekarang ini. Baru jika kemudian ternyata akibat dari perbuatan Adi Swandaru itu menyentuh ketenangan hidup masyarakat, serta menimbulkan keresahan, aku dapat berbuat sesuatu.”

“Terima kasih, Kakang,” sahut Sekar Mirah, “aku kira itu sudah cukup. Kesediaan Kakang untuk memberitahukan jika timbul persoalan serupa dengan Kakang Swandaru, akan sangat berarti bagi kami. Kali ini Mbokayu Pandan Wangi dapat langsung menghubungi kami. Tetapi belum tentu hal serupa dapat dilakukan, jika sekali lagi Kakang Swandaru tergelincir.”

“Mudah-mudahan tidak terjadi lagi atas Adi Swandaru,” berkata Nyi Untara seakan-akan kepada diri sendiri.

“Mudah-mudahan, Mbokayu,” sahut Agung Sedayu, “tetapi nampaknya Adi Swandaru benar-benar menyesali perbuatannya.”

“Mudah-mudahan,” Untara mengangguk-angguk.

Demikianlah, setelah mereka makan dan beristirahat sebentar di pendapa, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun minta diri untuk mengunjungi pamannya Widura di padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing.

Untara dan istrinya melepas keduanya sampai ke regol halaman. Anak Untara pun ikut pula bersama ayah dan ibunya. Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah siap naik ke punggung kuda, anak itu mendekati mereka sambil mengulurkan tangannya.

“Selamat jalan, Paman. Selamat jalan, Bibi.”

Sekar Mirah mencium anak itu di pipinya.

Pada saat itulah, tiba-tiba saja Nyi Tumenggung itu pun berdesis, “la akan dikaruniai seorang adik.”

Sekar Mirah terkejut. Matanya bersinar sesaat. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Ia akan mempunyai seorang adik?”

Nyi Untara tersenyum sambil mengangguk.

“Oh,” mata Sekar Mirah pun berkaca-kaca. Tiba-tiba saja ia memeluk Nyi Untara. Betapapun Sekar Mirah bertahan, namun terdengar ia terisak.

“Aku mengucapkan selamat, Mbokayu, Karunia itu masih belum melimpah kepada keluargaku.”

Sebuah penyesalan menyelinap di hati Nyi Untara. Ia telah terlanjur memberitahukan bahwa ia mulai mengandung lagi. Sedangkan ia tahu, bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah sangat merindukan seorang anak.

Tetapi hal itu sudah terlanjur diucapkan, sehingga Sekar Mirah tidak dapat menahan keluhannya, bahwa ia masih belum dikaruniai seorang anak pun.

Namun sejenak kemudian, Sekar Mirah telah mengeringkan matanya. Bahkan sambil tersenyum ia pun berdesis, “Maafkan aku Mbokayu. Mungkin aku memang terlalu cengeng.”

“Aku yang harus minta maaf, Adi.”

“Kami mohon diri, Mbokayu.”

Namun sebelum mereka beranjak, Agung Sedayu pun berkata, “Kakang. Aku mendapat pesan dari Sabungsari, bahwa ia sedang berada di perjalanan kembali ke barak. Kami berangkat bersama-sama dari Tanah Perdikan. Tetapi Sabungsari singgah satu dua hari di Mataram. Jika sampai hari ini belum sampai di sini, mungkin masih ada persoalan yang dibicarakan di Mataram.”

“Untuk apa ia singgah di Mataram? Siapakah yang ditemuinya di sana?”

“Satu keperluan pribadi yang terbengkalai selama ini.”

“Oh,” Untara pun tersenyum sambil mengangguk-angguk, “seharusnya Sabungsari segera menyelesaikannya.”

Agung Sedayu pun tersenyum pula. Namun kemudian ia pun sekali lagi minta diri.

Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah meninggalkan rumah Untara. Sekar Mirah masih berpaling dan melambaikan tangannya. Untara, istri dan anaknya pun telah melambaikan tangan mereka pula.

Di perjalanan, Sekar Mirah lebih banyak berdiam diri sambil menunduk. Kaki kudanya berderap tidak terlalu cepat menyusuri jalan menurun landai di kaki Gunung Merapi.

Namun beberapa saat kemudian Agung Sedayu pun berkata, “Kita sudah mendekati regol padepokan kecil yang ditinggal oleh Guru.”

Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Di depannya, jalan yang panjang membujur ke utara. Tidak jauh di hadapan mereka terdapat sebuah padepokan kecil yang dibangun oleh guru Agung Sedayu.

Kedatangan Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang mengejutkan Ki Widura yang ada di padepokan. Ia memang jarang sekali meninggalkan padepokan, jika tidak ada kepentingan yang mendesak sekali.

“Marilah, Agung Sedayu. Marilah, Sekar Mirah,” Ki Widura itu pun mempersilakan.

Mereka pun kemudian duduk di pendapa bangunan induk padepokan kecil itu.

Widura pun telah menanyakan keselamatan perjalanan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, serta keluarga di Tanah Perdikan Menoreh.

“Apakah kalian langsung datang kemari dari Tanah Perdikan?” bertanya Ki Widura kemudian.

“Tidak, Paman. Kami bermalam di Sangkal Putung. Baru saja kami singgah di rumah Kakang utara.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana keadaan keluarga di Sangkal Putung?”

“Semuanya baik, Paman. Hanya sedikit ada masalah di Sangkal Putung,” jawab Agung Sedayu.

“Masalah apa?”

Agung Sedayu pun kemudian menceritakan serba sedikit, peristiwa yang telah terjadi di Sangkal Putung. Tentang Swandaru dan tentang orang-orang Bendagantungan.

Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Orang-orang Bendagantungan itu menyebut kami murid-murid Orang Bercambuk. Aku khawatir, bahwa mereka akan berpaling kepada padepokan ini kelak.”

Ki Widura menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Jangan terlalu kau cemaskan, Agung Sedayu. Di sini kami sudah mulai mengemasi diri. Ada beberapa orang yang sudah dapat diandalkan untuk melindungi padepokan ini.”

“Syukurlah, Paman.”

“Jika saja kau mempunyai waktu untuk melihat mereka.”

“Aku akan bermalam di sini malam ini, Paman.”

“Bagus,” sahut Ki Widura dengan serta-merta, “malam nanti kau akan dapat melihat, lima orang cantrik utama dari perguruan ini, di samping cantrik-cantrik yang lain.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar