Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 320

Buku 320

Kedatangan Ki Demang yang begitu cepat, memang tidak diduga oleh Ki Gede. Glagah Putih dan Sabungsari memang sudah melaporkan, bahwa mereka memberi waktu tiga hari bagi Ki Demang untuk memberikan jawaban. Tetapi Ki Demang itu datang begitu cepat.

Ki Demang dan pengiringnya diterima dengan baik oleh Ki Gede yang kebetulan tidak bepergian. Ki Gede sendiri menyongsong para tamunya dan dipersilakan naik ke pendapa.

Dengan ramah Ki Gede pun menanyakan keselamatan perjalanan Ki Demang dan pengiringnya. Kemudian Ki Gede juga menanyakan tentang kesejahteraan Kademangan Pucangtelu. Sementara Ki Demang pun telah menanyakan pula tentang keadaan terakhir Tanah Perdikan Menoreh.

Baru kemudian Ki Demang Pucangtelu itu pun berkata, “Ki Gede, kemarin Ki Gede telah mengutus dua orang datang ke Pucangtelu menemui aku.”

Ki Gede mengangguk-angguk, katanya, “Ya, Ki Demang. Aku telah memerintahkan dua orang datang ke Pucangtelu untuk menghadap Ki Demang.”

“Salah seorang di antara mereka adalah seorang prajurit Mataram.”

Ki Gede tersenyum. Sabungsari memang sudah melaporkan, bahwa ia telah menunjukkan ciri keprajuritannya kepada Ki Demang, untuk mencegah berlarut-larut pembicaraan sehingga kesalah-pahaman di antara mereka akan dapat menjadi semakin tajam.

“Ya, Ki Demang,” jawab Ki Gede.

Ki Demang itu memandang berkeliling. Ada beberapa orang yang ikut menemui Ki Demang. Antara lain Prastawa dan Ki Argajaya. Tetapi Ki Demang itu tidak melihat dua orang yang datang kepadanya di Kademangan Pucangtelu.

Dengan agak ragu Ki Demang itu bertanya, “Apakah prajurit itu sudah tidak ada di sini?”

“Kedua orang yang datang menemui Ki Demang itu sedang dipanggil,” jawab Ki Demang.

“Apakah kami harus menunggu mereka, atau kita dapat mulai membicarakan persoalan yang disampaikan oleh kedua orang utusan Ki Gede itu?”

Namun mereka tidak harus menunggu, Glagah Putih dan Sabungsari yang disusul oleh seorang pengawal, telah datang pula dan langsung naik ke pendapa.

“Nah, bukankah keduanya itu yang telah menemui Ki Demang?”

“Ya,” Ki Demang mengangguk-angguk. “Seorang di antaranya prajurit, meskipun tidak mengenakan pakaian keprajuritan.”

“Ya.”

“Baiklah,” berkata Ki Demang,” karena keduanya telah hadir, maka biarlah kita langsung berbicara tentang pokok pembicaraan yang disampaikan oleh kedua orang itu kepadaku.”

Ki Gede mengangguk. Namun sebelum menjawab, seorang pembantu di rumah itu telah menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Jadah, wajik dan jenang nangka.

Sabungsari-lah yang menggamit Glagah Putih sambil tersenyum. Sementara Glagah Putih berdesis lirih, “Kita tidak usah memperingatkan para pembantu Ki Gede untuk menghidangkan suguhan.”

Sabungsari menahan tertawanya di dadanya. Namun demikian bibirnya masih saja tersenyum.

Ki Gede-lah yang kemudian mempersilakan tamu-tamunya untuk meneguk minumannya serta makan makanan yang dihidangkan.

Baru kemudian, Ki Gede pun berkata, “Nah, marilah sekarang kita bicarakan orang-orang yang berada di Kademangan Pucangtelu itu.”

Ki Demang mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Ki Gede. Tetapi sebelumnya aku ingin menegaskan bahwa kehadiran orang-orang itu di luar tanggung jawabku.”

“Baiklah. Kehadiran orang-orang itu di Kademangan Pucangtelu memang bukan tanggung jawab Ki Demang. Kami pun tidak ingin mencari siapa yang harus bertanggung jawab. Yang penting bagi kami, mereka tidak lagi memasuki Tanah Perdikan ini dari sarang mereka yang berada di Kademangan Pucangtelu.”

“Maksud Ki Gede?” bertanya Ki Demang.

“Mereka tidak boleh tinggal di Kademangan Pucangtelu.”

“Jadi maksud Ki Gede, kami harus mengusir mereka dari Kademangan Pucangtelu?”

“Ya. Dengan demikian, maka di antara kita tidak akan terjadi salah paham.”

Ki Gede,” berkata Ki Demang Pucangtelu,” kami dapat mengerti maksud Ki Gede. Tapi kami mohon Ki Gede dapat mengerti kedudukan kami. Kademangan kami tidak memiliki kekuatan sebesar Tanah Perdikan. Karena itu, kami tidak dapat berbuat sebagaimana dapat dilakukan oleh Tanah Perdikan Menoreh.”

“Maksud Ki Demang?”

“Kami tidak mempunyai kekuatan untuk mengusir mereka,” jawab Ki Demang, “sementara itu, kami pun tidak akan dapat menanggulangi dendam yang kemudian akan membakar gerombolan induk mereka. Jangankan kademangan kami yang kecil, sedangkan Tanah Perdikan Menoreh pun menjadi gelisah oleh dendam mereka.”

Ki Gede mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia pun menyahut, “Jadi, apakah Ki Demang akan membiarkan saja orang-orang itu berada di Kademangan Pucangtelu?”

“Apa yang dapat kami lakukan atas mereka?” berkata Ki Demang kemudian.

“Baiklah Ki Demang. Jika demikian, kami akan bertindak sendiri terhadap gerombolan perampok dan pembunuh itu.”

“Apa yang akan Ki Gede lakukan?”

“Kami akan menangkap mereka atau menghancurkan mereka.”

“Ki Gede akan mengerahkan kekuatan memasuki wilayah kami?”

“Kami tidak mempunyai pilihan, Ki Demang. Kemarin ketika kedua orang utusanku menghadap Ki Demang, gerombolan itu telah membuat kekacauan pula di Tanah Perdikan ini. Beberapa orang di antara mereka telah merampas barang-barang berharga di pasar. Jumlah mereka hanya lima orang.”

“Mereka juga melarikan diri ke Pucangtelu?”

“Ya. Tetapi kami tidak melepaskan mereka. Tiga orang di antara mereka terbunuh. Seorang tertangkap, dan seorang sempat melarikan diri. Ketika ia memasuki padukuhan Sambisari, orang-orang kami tidak memburunya, karena akan dapat menimbulkan salah paham dengan Ki Bekel di Sambisari.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dengan agak ragu Ki Demang pun berkata, “Aku dapat mengerti kesulitan Tanah Perdikan dengan orang-orang yang mendendam itu. Tetapi jika saja Tanah Perdikan mampu meningkatkan kewaspadaan, maka tidak akan dapat terjadi peristiwa sebagaimana telah terjadi itu, sehingga menimbulkan beberapa orang korban di Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede memandang Ki Demang dengan tajamnya. Kemudian dengan nada berat Ki Gede itu pun berkata, “Ki Demang. Jika mereka berada di tempat yang hanya selangkah dari perbatasan, maka mereka akan dapat dengan mudah memasuki wilayah kami. Dalam keadaan yang gawat, mereka lari menyeberangi perbatasan sehingga kami tidak dapat memburu mereka, karena kami masih menghormati hubungan antar tetangga. Jika keadaan yang demikian berlangsung lama, maka kesabaran kami pun akan menjadi semakin larut, sehingga kami akan dapat mengambil langkah-langkah yang dapat menyinggung wewenang tetangga kami. Karena itu, sebelum hal itu terjadi, kami telah menempuh jalan terbaik.”

“Jika kewaspadaan di Tanah Perdikan ini baik, maka meskipun mereka dapat menyeberangi perbatasan dengan mudah karena mereka berada dekat dengan perbatasan, namun setelah mereka berada di Tanah Perdikan, mereka tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

Prastawalah yang hampir kehilangan kesabaran. Katanya, “Ki Demang. Kami tidak dapat memagari Tanah Perdikan kami dengan pengawal. Kami pun tidak dapat mengawasi setiap jengkal tanah kami, sehingga kejahatan masih bisa terjadi. Orang-orang yang berniat jahat itu dapat saja memasuki Tanah Perdikan ini dengan penyamaran yang baik. Tetapi setelah mereka berada di Tarah Perdikan, mereka melakukan kejahatan.”

“Itu bukan persoalan kami,” sahut Ki Jagabaya, “itu persoalan Tanah Perdikan.”

“Jadi, sebagai seorang tetangga yang baik, apakah kita masing-masing tidak mempunyai niat yang baik untuk saling membantu? Apakah kita dapat berkata bahwa persoalanmu adalah persoalanmu, dan persoalanku adalah persoalanku?” bertanya Ki Gede.

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Ki Demang. Kami tahu pasti di mana gerombolan itu bersarang. Adalah mustahil bahwa Ki Bekel Sambisari tidak tahu menahu tentang sarang gerombolan itu.”

“Kau kira aku sengaja menyembunyikan mereka di sana?” bertanya Ki Bekel.

“Ya.”

“Kau telah memberikan tuduhan yang sangat berat, anak muda,” geram Ki Bekel.

“Ya. Tetapi aku tidak sekedar meracau dalam tidurku.”

“Kau telah memfitnah,” geram Ki Bekel.

“Jika itu fitnah, bukan aku-lah yang memfitnahmu.”

“Siapa?”

Glagah Putih pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata kepada Ki Gede, “Apakah Ki Gede berkenan jika orang itu diminta untuk hadir di sini?”

Ki Gede mengangguk kecil. Kemudian ia pun berpaling kepada pengawal yang berdiri di pintu, “Bawa orang itu kemari!”

Ki Bekel menjadi tegang. Ia tahu, bahwa yang akan dibawa ke pertemuan itu adalah salah seorang yang berhasil ditangkap oleh pengawal Tanah Perdikan.

Sebenarnyalah, ketika orang itu dibawa ke dalam pertemuan itu oleh dua orang pengawal, ia adalah seorang yang tinggal di sarangnya yang berada di padukuhan Sambisari. Bahkan orang itu adalah salah seorang di antara orang-orang yang selalu menghubunginya.

Tetapi Ki Bekel pun kemudian telah menengadahkan wajahnya. Ia harus berbohong. Ia harus ingkar. Kebohongan yang dinyatakan dengan tegas, tentu akan dapat meyakinkan orang lain sebagai satu kebenaran.

Ketika orang itu sudah duduk di antara mereka, maka Ki Gede pun segera bertanya,” Kau kenal orang itu?”

Tawanan itu termangu-mangu. Ketika ia berpaling dan memandang orang yang ditunjuk Ki Gede, ia segera mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Gede. Aku kenal.”

“Siapa orang itu?”

“Ki Bekel Sambisari.”

Semua orang berpaling kepada Ki Bekel. Bahkan Ki Demang dan Ki Jagabaya dari Pucangtelu.

“Apakah kau pernah berhubungan dengan Ki Bekel?” bertanya Ki Gede pula.

“Ya, Ki Gede. Aku adalah salah seorang di antara kami yang sering datang menemui Ki Bekel, untuk membayar sewa tanah yang kami tempati.”

“Jadi kau menyewa tanah pategalan tandus itu?”

“Ya, Ki Gede.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang Ki Bekel Sambisari, Ki Gede pun bertanya, “Apa katamu, Ki Bekel?”

“Satu fitnah yang terencana dengan baik, Ki Gede. Aku tidak mengira bahwa Ki Gede dapat berbuat selicik itu. Orang itu tentu orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri yang telah Ki Gede ajar untuk berbohong seperti itu. Kemudian kebohongan itu kau pamerkan kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya Pucangtelu, karena padukuhanku berada di Kademangan Pucangtelu.”

“Ki Bekel,“ wajah Prastawa menjadi merah membara, “kau-lah yang telah memfitnah Ki Gede. Dengar Ki Bekel. Jika kita tidak menemukan jalan yang terbaik yang dapat kita tempuh, kami akan datang ke pategalan itu.”

Wajah Ki Bekel menjadi merah. Dengan lantang ia pun berkata, “Jadi kau ingin menunjukkan keperkasaanmu? Lakukan jika kau akan melakukannya. Semua orang akan mengetahui, bahwa Tanah Perdikan Menoreh yang besar dan kuat telah menelan tetangganya yang kecil. Mataram pun tentu akan mengutuk kesewenang-wenangan Tanah Perdikan ini.”

“Jadi itukah yang kau inginkan Ki Bekel?” berkata Ki Gede kemudian, “Kau akan mempergunakan kekecilanmu dan kelemahanmu untuk memeras yang kau anggap lebih kuat dan lebih besar? Ketika terjadi sengketa wilayah antara Tanah Perdikan ini dan Kademangan Pucangtelu, Pucangtelu juga mempergunakan alasan yang sama. Seolah-olah Tanah Perdikan Menoreh telah berbuat sewenang-wenang karena kekuatannya. Seolah-olah Pucangtelu yang lemah harus tunduk kepada kehendak Tanah Perdikan yang kuat. Sekarang Ki Bekel Sambisari juga berkata seperti itu.”

Ki Gede berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Tanah Perdikan akan mengalah sekali saja. Kita sebenarnya masing-masing mengetahui, bahwa tanah itu adalah bagian dari Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya tanah itu berpenghuni atau merupakan tanah garapan, maka Tanah Perdikan tidak akan melepaskannya. Sekarang, Tanah Perdikan Menoreh tidak akan mengalah. Apapun yang akan kau katakan. Seandainya Tanah Perdikan ini disebut sewenang-wenang, seandainya Tanah Perdikan ini disebut menelan tetangganya yang lemah, aku tidak berkeberatan. Jika sekali lagi orang-orang itu membuat kerusuhan dan kemudian melarikan diri ke Kademangan Pucangtelu, maka kami akan mengejarnya dan menghancurkannya di Pucangtelu. Jika kalian akan melaporkannya ke Mataram, laporkanlah. Mataram tentu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Jika kalian akan menghasut para Demang di sekitar Tanah Perdikan, lakukanlah. Mereka tentu akan membuat penilaian yang wajar atas peristiwa ini.”

Wajah Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel menjadi tegang. Sementara Ki Gede pun berkata, “Ki Bekel. Aku menuduh dengan resmi bahwa Ki Bekel telah dengan sengaja memberikan tempat kepada gerombolan itu, dengan menerima uang sewa atau uang apapun namanya.”

“Aku menolak!” berkata Ki Bekel.

“Terserah. Aku mempunyai saksi. Aku pun mempunyai bukti. Setiap orang yang melihat sarang gerombolan itu akan tidak percaya bahwa Ki Bekel tidak mengetahuinya. Sementara itu, Ki Demang merasa tidak bertanggung jawab atas kehadiran gerombolan itu di Sambisari. Karena itu, maka Ki Bekel-lah yang harus bertanggung jawab.”

Ki Bekel menjadi semakin tegang.

Namun Ki Demang pun kemudian telah mengambil jalan tengah. Cara yang masih mungkin ditempuh untuk menyelamatkan harga diri kademangannya. Katanya, “Ki Gede. Jika gerombolan itu memang bersarang di kademangan kami, maka kami tidak berkeberatan jika satu satuan kekuatan akan memasuki kademangan kami. Tetapi aku minta kekuatan itu datang atas nama Mataram. Apakah yang datang itu prajurit Mataram yang sebenarnya, atau para pengawal Tanah Perdikan, tetapi apa yang dilakukan di kademangan kami adalah perpanjangan dari kuasa Mataram.”

Prastawa beringsut setapak. Tetapi Ki Gede-lah yang lebih dahulu menyahut, “Baik. Apa yang kami lakukan memang atas nama Mataram. Gerombolan itu adalah pemberontak yang telah melawan kuasa Mataram. Karena itu, maka kami akan datang atas nama Mataram. Tetapi aku masih ingin bertanya kepada Ki Demang, apakah Ki Demang masih setia kepada Mataram?”

“Maksud Ki Gede?”

“Kami memerlukan bantuan Ki Demang. Bukan bantuan kekuatan, karena kami akan mengirimkan kekuatan secukupnya, tetapi bantuan sikap, agar gerombolan itu tidak lebih dahulu melarikan diri dari Sambisari. Terus terang aku curiga kepada Ki Bekel.”

Ternyata sikap Ki Demang meyakinkan Ki Gede, “Baik. Dari Tanah Perdikan ini, aku akan membawa Ki Bekel langsung ke padukuhan induk. Ki Jagabaya akan menjaganya sampai rencana Ki Gede selesai.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Ki Demang. Bantuan Ki Demang sangat kami hargai.”

Namun dalam pada itu Ki Bekel pun bertanya kepada Ki Demang,” Jadi Ki Demang juga mencurigai aku?”

“Aku hanya ingin persoalan ini cepat selesai.”

Ki Bekel tidak dapat berbuat lain. Nampaknya Ki Jagabaya pun mempunyai sikap sama seperti Ki Demang. Karena itu, maka Ki Bekel pun hanya menundukkan kepalanya saja.

Sementara itu, Ki Gede pun berkata, “Hari ini aku akan mengirimkan pasukan ke padukuhan Sambisari. Aku akan mengirimkan sekelompok pengawal dan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus. Ki Lurah Agung Sedayu tentu tidak akan berkeberatan.”

“Apakah Ki Gede sudah mengetahui kekuatan gerombolan itu?”

“Sudah. Kami sudah mengamatinya dengan cermat. Kami sudah mengetahui banyak hal tentang gerombolan itu, selain keterangan dari seorang yang berhasil kami tangkap.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Bahkan kemudian katanya, “Jika hari ini Ki Gede akan mengirimkan pasukan atas nama Mataram, maka biarlah kami menunggu. Kami akan pulang bersama-sama dengan pasukan itu.”

“Baiklah, Ki Demang. Sekarang juga aku akan mengirimkan utusan untuk menemui Ki Lurah Agung Sedayu.”

Glagah Putih-lah yang kemudian menyahut, “Ki Gede. Aku akan pergi menemui Kakang Agung Sedayu.”

Ki Gede mengangguk sambil menjawab,, “Ya. Pergilah. Barangkali Angger Sabungsari juga bersedia menemanimu.”

“Baiklah, Ki Gede,” sahut Sabungsari.

Sejenak kemudian, keduanya telah berpacu ke barak Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu. Glagah Putih dan Sabungsari mengerti, bahwa yang penting bukannya kekuatan Pasukan Khusus itu, tetapi sekedar menjaga agar Ki Demang tidak kecewa. Harga dirinya masih dapat dipertahankan karena yang datang ke kademangannya adalah kekuasaan Mataram. Sebenarnyalah bahwa tanpa prajurit dari Pasukan Khusus itu pun pasukan pengawal Tanah Perdikan akan dapat menyelesaikan sendiri.

Dalam pada itu, sementara Glagah Putih dan Sabungsari pergi ke barak Pasukan Khusus, maka Ki Gede telah memerintahkan beberapa kelompok pasukan pengawal untuk bersiaga. Hari itu juga mereka akan pergi ke Sambisari, untuk menangkap atau menghancurkan gerombolan yang bersarang di padukuhan itu.

Prastawa pun segera menjadi sibuk. Berdasarkan atas keterangan dari para petugas sandi serta orang yang tertangkap, maka Prastawa telah menyiapkan tiga kelompok pengawal terpilih.

“Kita tidak boleh gagal. Jika mereka tidak mau menyerah, maka apa boleh buat. Kita harus menghancurkan mereka.”

Ki Demang Pucangtelu, Ki Jagabaya dan Ki Bekel Sambisari menjadi heran. Ternyata dalam waktu yang singkat, di halaman rumah Ki Gede itu telah bersiaga tiga kelompok pengawal terpilih dan siap untuk berangkat ke Sambisari.

Belum lagi debar jantung mereka mereda, maka mereka pun telah dikejutkan oleh kehadiran sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang datang berkuda, dipimpin langsung oleh Agung Sedayu sendiri.

Ketika Agung Sedayu naik ke pendapa, maka ia pun tersenyum sambil menyapa, “Ki Demang Pucangtelu.”

Ki Demang yang memang sudah mengenal Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya, “Ya, Ki Lurah.”

“Aku sudah tahu duduk persoalannya. Karena itu, maka aku membawa sekelompok kecil prajurit dari Pasukan Khusus. Meskipun jumlahnya hanya beberapa orang, tetapi mereka membawa pertanda keprajuritan, sehingga Ki Demang tidak perlu merasa tersinggung karena yang kami lakukan ini adalah atas nama pemerintah Mataram. Panji-panji dan tunggul itu adalah atas nama pemerintah Mataram. Bukankah itu yang kau kehendaki, Ki Demang?”

“Sebenarnya, kami tidak berkeberatan apapun yang akan dilakukan oleh Ki Gede, Ki Lurah. Aku hanya sekedar mengusulkan saja. Tetapi agaknya Ki Gede tidak berkeberatan, sehingga Ki Gede telah mengirimkan utusan ke barak prajurit Mataram di Tanah Perdikan.”

“Baiklah. Agar kami tidak kehilangan banyak waktu, kita dapat berangkat sekarang.”

“Aku juga sudah siap,” berkata Prastawa.

Agung Sedayu pun kemudian berpaling kepada Glagah Putih dan Sabungsari, “Kalian ikut bersama kami.”

“Baik, Kakang. Tetapi apakah kita tidak memberi tahu Mbokayu lebih dahulu? Sebaiknya pasukan ini segera berangkat. Aku akan menyusul kemudian bersama Sabungsari.”

“Tidak usah, Glagah Putih. Aku sudah singgah sebentar di rumah dalam perjalanan dari barak tadi. Mbokayumu sudah tahu, bahwa kita akan terlambat pulang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang kita dapat berangkat. Kami akan tetap membawa kuda-kuda kami agar kami dapat dengan cepat mengepung sarang mereka. Jika pengawas mereka melihat iring-iringan pasukan yang berjalan kaki, maka mereka akan sempat melarikan diri. Tetapi jika kami berkuda, kami akan dapat mendahului dan mengepung tempat itu, untuk menahan agar mereka tidak sempat melarikan diri dari sarang yang mereka bangun di padukuhan Sambisari.”

Sebenarnyalah Ki Bekel Sambisari menjadi sangat tegang. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan Ki Jagabaya Pucangtelu agaknya selalu mengawasinya.

Sejenak kemudian, pasukan itu pun segera bergerak. Mereka langsung menuju ke perbatasan. Mereka berharap bahwa mereka masih mempunyai waktu untuk menyelesaikan tugas mereka sebelum senja.

Karena itu, maka pasukan itu pun berjalan dengan cepat menyusuri jalan Tanah Perdikan menuju ke perbatasan.

Demikian mereka melintasi perbatasan, maka Agung Sedayu telah membawa pasukan berkudanya mendahului para pengawal yang berjalan kaki. Tetapi Glagah Putih dan Sabungsari yang juga berkuda, serta tiga orang pemimpin pengawal, telah ikut mendahului. Tetapi Prastawa justru menyerahkan kudanya kepada orang lain, dan bersama-sama dengan para pengawal berjalan kaki menempuh jalan memintas. Kadang-kadang iring-iringan pasukan itu harus meniti pematang, melalui jalan setapak di sela-sela gumuk-gumuk kecil. Melewati padang perdu, sehingga akhirnya mereka menuju ke pategalan yang sudah diketahui letaknya oleh para petugas sandi sebelumnya, sehingga mereka dapat langsung menuju ke sasaran.

Sementara itu, para prajurit dan mereka yang berkuda pun telah lebih dahulu mendekati sarang gerombolan itu.

Dalam pada itu, dua orang di antara gerombolan yang berada di padukuhan Sambisari yang sedang mengamati keadaan di sekitar padukuhan, telah melihat iring-iringan orang berkuda mendekati pategalan. Karena itu, maka keduanya pun segera berlari ke sarang mereka untuk memberitahukan kehadiran beberapa orang berkuda itu.

“Apakah mereka akan datang kemari?” bertanya seorang yang berkepala botak.

“Mungkin sekali. Di mana Ki Kerta sekarang?”

“Ki Kerta baru tidur.”

“Bangunkan, cepat!”

“Nanti Ki Kerta marah. Agaknya ia baru letih.”

“Tetapi ini penting sekali! Jika kita terlambat, maka perkemahan kita akan dilumatkan.”

“Apakah jumlah orang berkuda itu terlalu banyak?”

“Tidak terlalu banyak. Tetapi mereka membawa tunggul ciri keprajuritan Mataram.”

“Kita akan menghancurkan mereka.”

“Tetapi bangunkan Ki Kerta.”

Orang berkepala botak itu memang agak segan. Tetapi nampaknya keadaan memang menjadi gawat. Karena itu, maka orang itu pun telah pergi ke bilik di ujung perkemahan.

Dengan hati-hati orang berkepala botak itu mengetuk pintu bilik itu. Namun yang terdengar adalah bentakan kasar, “Demit! Siapa yang mengganggu itu?”

“Aku, Ki Kerta. Ada berita penting yang harus aku sampaikan kepada Ki Kerta.”

“Berita penting apa?”

“Sekelompok prajurit Mataram berkuda mendekati sarang kita.”

“Apa kau tidak dapat mengatasinya?”

“Seorang pengawas melihat mereka mendekati perkemahan kita ini.”

“Setan alas!” geram Kerta Landak. Tetapi ia bangkit dari pembaringannya dan keluar dari biliknya. “Siapa yang mengatakan itu kepadamu?”

“Dua orang yang bertugas mengamati keadaan di sekitar padukuhan Sambisari.”

“Aku ingin mendengarnya langsung.”

Orang berkepala botak itu pun kemudian telah memanggil kedua orang yang melihat kedatangan sekelompok orang berkuda dengan ciri-ciri keprajuritan Mataram.

Demikian Kerta Landak mendengar laporan itu, maka ia pun segera berteriak, “Bersiaplah! Jika kita mempunyai kesempatan, kita akan pergi. Meskipun hanya sekelompok kecil, tetapi yang datang itu adalah prajurit-prajurit Mataram. Mungkin prajurit-prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Namun kita jangan berhadapan langsung dengan para prajurit. Tetapi jika kita tidak sempat pergi, apa boleh buat. Kita tidak akan menyerahkan leher kita untuk dipenggal tanpa perlawanan.”

Demikianlah, maka gerombolan yang berkemah di pategalan itu pun segera bersiap. Mereka mengirimkan dua orang untuk mengamati keadaan di luar pategalan. Namun demikian mereka bergerak, maka mereka telah melihat beberapa ekor kuda yang berkeliaran di pategalan itu.

Seorang di antara mereka pun segera kembali ke barak perkemahan mereka dan melaporkan kepada Kerta Landak, “Kita sudah dikepung. Ki Kerta. Tetapi jumlah mereka hanya sedikit. Meskipun mereka membawa tunggul dan kelebat ciri-ciri keprajuritan, tetapi kita akan dapat menembus kepungan itu.”

Kerta Landak termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Siapkan semua orang yang ada. Kita menerobos kepungan. Kita akan memilih jalan yang paling sulit dilalui seekor kuda.”

Orang-orang di perkemahan itu pun telah bersiap sepenuhnya. Mereka akan menyingkir dari barak perkemahan mereka dan menghindari dari pertempuran melawan para prajurit Mataram.

“Ki Bekel ingkar janji,” desis Kerta Landak, “ia akan menerima hukumannya. Seharusnya ia memberitahukan rencana kedatangan prajurit Mataram itu. Para prajurit itu tentu sudah memberitahukan kepada Ki Bekel, setidak-tidaknya kemarin.”

Demikianlah, maka Kerta Landak telah membawa orang-orangnya menuju ke sebuah gumuk kecil. Mereka akan menyingkir lewat di sela-sela gumuk itu. Pasukan berkuda dari Mataram akan mengalami kesulitan untuk mengejar mereka, karena lingkungan alam yang rumit. Para prajurit dari pasukan berkuda itu justru harus menuntun kuda mereka jika mereka akan memburu gerombolan itu lewat jalan yang sama.

“Kita jangan muncul di sebelah padukuhan di ujung gumuk ini,” berkata Kerta Landak, “prajurit berkuda itu akan dengan mudah menyusul kita. Tetapi kita berbelok ke kiri, menempuh jalan di tebing yang curam itu. Kita kemudian akan menyusuri sungai dan menghilangkan jejak ke seberang.”

Dengan demikian maka iring-iringan sekelompok gerombolan itu kemudian menyusuri jalan-jalan sempit yang rumpil, menuruni tebing berbatu-batu padas yang terjal dan licin. Mereka memperhitungkan bahwa pasukan berkuda tidak akan dapat memburu mereka melalui jalan itu pula.

Tetapi Kerta Landak tidak memperhitungkan kemungkinan lain dari kedatangan pasukan berkuda itu. Kerta Landak tidak mengira bahwa pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang berjalan kaki telah menempuh jalan memintas. Karena para petugas sebelumnya sudah mengamati dengan cermat kedudukan gerombolan itu, maka mereka telah memecah pasukan pengawal itu menjadi tiga kelompok, yang masing-masing mendekati sarang gerombolan itu dari arah yang berbeda.

Satu kelompok di antara mereka ternyata telah menempuh jalan pintas menyusuri tepian sungai menuju ke celah-celah tebing yang berbatu-batu padas.

Dua orang yang mendahului para pengawal Tanah Perdikan itu sempat melihat iring-iringan di depan mereka melewati celah-celah tebing. Karena itu, maka keduanya segera menarik diri dan memberikan laporan kepada Prastawa yang memimpin langsung kelompok itu, bahwa mereka akan berpapasan dengan sebuah iring-iringan yang menurut dugaan mereka adalah gerombolan yang akan menyingkir.

“Agaknya mereka telah melihat kehadiran pasukan berkuda itu, sehingga mereka mencoba untuk mengelak.”

“Bersiaplah. Yang membawa anak panah dan busur, bersiaplah! Demikian mereka muncul dari celah-celah tebing, kita akan menyerang dengan anak panah. Sementara itu, sebagian dari kita akan memanjat dan melingkar. Jika mereka berniat kembali, maka mereka akan menutup jalan kembali.”

Dengan cepat para pengawal itu melaksanakan perintah itu. Prastawa sendiri, yang baru saja sembuh dari luka-lukanya, telah siap untuk ikut bertempur.

Seorang pengawal telah memperingatkannya, bahwa sebaiknya Prastawa tidak langsung terjun ke dalam pertempuran.

“Aku sudah sembuh. Segala-galanya telah pulih.”

Pengawal itu tidak mencoba memaksanya, karena justru akan dapat timbul salah paham.

Sementara itu, Prastawa pun telah memerintahkan tiga orang pengawal yang membawa anak panah sendaren untuk bersiap. Demikian pertempuran terjadi, mereka harus melontarkan anak panah sendaren itu ke kedua arah, untuk memberikan isyarat kepada para pengawal yang lain, serta pasukan berkuda.

“Pasukan berkuda itu akan dapat mencapai tempat ini lewat jalan di seberang sungai itu. Mereka harus menyeberang dan turun dari kuda mereka, karena kita akan bertempur di celah-celah tebing itu.”

Demikianlah, para pengawal itu pun telah mencari perlindungan, agar orang-orang dalam gerombolan itu tidak segera melihat mereka. Para pengawal yang hanya sebagian kecil itu, harus memperhitungkan kekuatan mereka dengan cermat. Jika kekuatan gerombolan itu jauh lebih besar dari kekuatan mereka, maka sebelum para pengawal yang lain sempat datang membantu, mereka sudah tidak berdaya untuk bertahan.

Karena itu, maka demikian gerombolan itu muncul dari celah-celah tebing yang berbatu padas itu, mereka harus mendahului menyerang sambil melontarkan isyarat.

Sementara itu sebagian dari sekelompok pengawal itu telah memanjat tebing, untuk memotong jalan jika gerombolan itu akan mundur kembali ke arah tebing.

Prastawa memang menjadi berdebar-debar. Jika isyarat yang dilontarkannya tidak segera diketahui oleh kelompok-kelompok yang lain, maka kelompoknya akan mengalami kesulitan.

Dalam pada itu, pasukan berkuda yang telah sampai di sarang para perampok di pategalan itu pun ternyata hanya menemukan beberapa barak sederhana yang kosong. Semua orang di dalam barak itu telah pergi.

Agung Sedayu duduk termangu-mangu di atas kudanya. Ternyata gerombolan itu cukup tangkas, sehingga pasukan berkuda yang ingin mendahului untuk mengepung agar gerombolan itu tidak luput dari tangan mereka, justru tidak menemukan apa-apa.

“Kita telusuri jejak mereka,” berkata Glagah Putih.

“Marilah,” berkata Ki Jagabaya, yang juga datang bersama dengan pasukan berkuda itu, “aku akan ikut bersama kalian.”

Ki Jagabaya yang telah mengenal lingkungan itu dengan baik, berada di paling depan untuk mengikuti jejak gerombolan yang telah menyingkir itu.

Namun tiba-tiba saja Ki Jagabaya itu terhenti. Katanya, “Mereka tidak menempuh jalan sewajarnya. Mereka berbelok melalui jalan sempit ini.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jagabaya pun kemudian memanggil Ki Bekel untuk mendekat.

“Apakah jalan ini dapat dilalui iring-iringan berkuda ini?”

“Tidak, Ki Jagabaya. Jalan ini akan melalui tebing yang sulit. Tebing yang berbatu-batu padas. Jika kita lewat melalui jalan ini, maka kita akan terjebak ke dalam kesulitan.”

“Tetapi kau lihat jejak kaki kuda itu memasuki jalan ini,” berkata Ki Jagabaya.

Ki Bekel menjadi ragu-ragu. Hampir saja ia bermaksud menjerumuskan iring-iringan pasukan berkuda itu. Tetapi jika demikian, ia sendiri akan mengalami kesulitan, karena Ki Jagabaya tentu akan memerintahkannya untuk ikut pula.

Karena itu, maka Ki Bekel itu pun berkata, “Jika kita mengikuti jalan itu, maka kita harus menuntun kuda kita. Terutama jika kita sampai ke celah-celah tebing berbatu padas.”

“Jika demikian, gerombolan itu juga harus menuntun kuda-kuda mereka.”

“Ya.”

“Kenapa mereka memilih jalan ini? Kenapa mereka tidak saja berpacu di atas punggung kuda mereka lewat jalan yang dapat dilalui kuda?”

“Jumlah kuda mereka tidak sebanyak jumlah orangnya,” jawab Ki Bekel.

Adalah di luar dugaan Ki Bekel ketika tiba-tiba saja Ki Demang berdesis, ”Kau memahami benar mereka, Ki Bekel?”

Wajah Ki Bekel yang tegang itu menjadi semakin tegang. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan Ki Demang itu.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya pun bertanya, ”Jika mereka menempuh jalan ini, dimana mereka akan muncul nanti?”

“Di ujung lorong di sebelah padukuhan sebelah, atau di celah-celah batu padas di pinggir sungai. Mereka akan dapat turun ke sungai dan menyeberang untuk menghilangkan jejak, atau mengikuti tepian sungai lebih dahulu beberapa ratus patok, baru menyeberang.”

“Jika demikian, kita tidak akan mengikuti mereka dan harus menuntun kuda-kuda kita di jalan yang rumit. Kita akan melingkari gumuk-gumuk kecil ini saja, dan langsung menyongsong mereka di mulut lorong atau di celah-celah tebing itu.”

Ki Jagabaya-lah yang kemudian menjadi penunjuk jalan. Sementara Ki Demang berkata kepada Ki Bekel, “Marilah Ki Bekel. Kita akan memburu mereka.”

Ki Bekel tidak menjawab. Tetapi kecemasan semakin mencengkam jantungnya.

Yang dapat dilakukan Ki Bekel kemudian adalah justru berbuat sebaik-baiknya untuk mengurangi kesalahan yang pernah dilakukannya. Agaknya Ki Demang dan Ki Jagabaya telah memutuskan bahwa ia memang bersalah.

Ketika pasukan berkuda itu berpacu mengitari gumuk-gumuk kecil, maka dua kelompok pasukan Tanah Perdikan Menoreh merayap maju mendekati sarang gerombolan di pategalan. Di setiap kelompok terdapat satu dua orang yang telah memahami jalan menuju ke sasaran. 

Sementara itu, sekelompok pengawal yang dipimpin oleh Prastawa menunggu dengan jantung yang berdebaran. Rasa-rasanya mereka sudah setahun bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu dan bebatuan.

Namun akhirnya yang mereka tunggu itu pun muncul dari celah-celah tebing.

Sebuah iring-iringan orang bersenjata berjalan dengan tergesa-gesa di antara celah-celah tebing menuju ke tepian.

Di antara mereka terdapat beberapa orang yang menuntun kuda mereka. Kuda-kuda tunggangan, dan ada pula kuda-kuda beban.

Namun pada saat yang bersamaan, para pengawal Tanah Perdikan pun telah mempersiapkan diri. Demikian sebagian dari mereka sudah berada di luar celah-celah, maka Prastawa pun segera memberikan isyarat.

Para pengawal yang bersenjata anak panah dan busur pun segera menyerang mereka. Mereka melepaskan anak panah mereka secepat dapat mereka lakukan. Mereka tidak perlu membidik terlalu lama. Sasaran mereka adalah sebuah iring-iringan.

Orang-orang yang baru keluar dari celah-celah itu terkejut. Namun karena mereka tidak mengira sama sekali, maka beberapa orang di antara mereka pun segera jatuh terbaring di tanah dengan anak panah menancap di tubuh mereka.

Sementara itu, anak panah sendaren pun telah meluncur pula ke udara sebagai isyarat kepada kelompok-kelompok yang lain, serta pasukan berkuda yang berpacu melingkari gumuk.

Ternyata suara sendaren pada anak panah yang dilontarkan itu dapat terdengar oleh pasukan berkuda, yang memang sedang melarikan kuda mereka menuju ke arah mereka.

Dalam pada itu, Kerta Landak menjadi sangat marah. Tetapi ia masih menyadari, bahwa isyarat yang terlontar ke udara itu agaknya isyarat untuk memanggil kawan-kawan dari pasukan yang telah menghadangnya.

Karena itu, maka Kerta Landak telah mengisyaratkan kepada orang-orangnya untuk bertempur sambil bergerak menyingkir.

Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah menyala dengan sengitnya. Jumlah pengikut Kerta Landak memang lebih banyak dari pasukan Tanah Perdikan yang menghadangnya. Meskipun beberapa orang yang dikenai anak panah itu terkapar mati, namun kekuatan gerombolan Kerta Landak itu masih jauh lebih besar dari kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan yang dipimpin oleh Prastawa sendiri itu.

Sementara itu, sebagian pengawal yang memanjat tebing dan mencoba menghalangi jika pasukan Kerta Landak itu akan berbalik, telah menyerang pula dari belakang. Tetapi pengaruhnya tidak begitu besar.

Prastawa dan pasukan pengawalnya tidak mampu menahan arus gerombolan yang bergerak ke arah sungai itu. Pertempuran yang terjadi pun menjadi berat sebelah. Pasukan Prastawa yang mencoba menghalangi gerak maju itu, sama sekali tidak berdaya. Jika mereka memaksa, maka korban akan menjadi sangat banyak. Bahkan mungkin seluruh pasukan itu akan musnah.

Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Prastawa hanya sekedar mengganggu agar perjalanan mereka terhambat. Para pengawal itu sengaja menyerang dari arah lambung. Namun kemudian dengan cepat mengundurkan diri. Sementara gerombolan itu pun tidak mengejar, karena mereka menyadari bahwa sekelompok pengawal itu hanya bagian kecil dari seluruh pasukan yang datang untuk menghancurkan mereka. Justru karena itu, maka Kerta Landak pun telah memerintahkan para pengikutnya untuk semakin cepat bergerak. Hanya beberapa yang berkuda sajalah yang setiap kali melayani serangan-serangan pasukan yang dipimpin oleh Prastawa itu.

Sementara itu, seorang penghubung telah mengusulkan kepada Prastawa untuk sekali lagi melepaskan anak panah sendaren. Mungkin isyarat mereka yang pertama masih belum didengar oleh kelompok-kelompok yang lain.

“Baiklah. Lontarkan anak panah sendaren itu lagi.”

Sejenak kemudian, maka tiga batang anak sendaren telah meluncur ke langit. Suaranya meraung tinggi menggetarkan udara.

Pasukan berkuda yang telah melarikan kuda mereka melingkari gumuk kecil itu telah mendengar anak panah sendaren yang kedua. Mereka pun telah menduga, bahwa kelompok yang melontarkan anak panah itu memerlukan kehadiran kelompok yang lain segera.

Agung Sedayu yang berada di sebelah Ki Jagabaya pun berdesis, “Apakah kita dapat lebih cepat lagi, Ki Jagabaya?”

Ki Jagabaya menghentakkan kendali kudanya, sehingga kudanya itu pun berlari semakin cepat.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah menyeberangi sebuah sungai kecil. Mereka menyusuri sungai itu beberapa lama. Namun kemudian, mereka pun kembali harus menyeberangi sungai itu setelah melalui jalan yang berkelok-kelok.

Namun mereka pun segera melihat, pertempuran yang terjadi di seberang sungai itu.

“Itulah mereka,” berkata Glagah Putih.

Gerombolan itu berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi kelompok pengawal itu memang terlalu kecil untuk dapat mencegahnya.

Karena itu, maka pasukan berkuda itu pun segera memacu kuda mereka menyusul iring-iringan gerombolan di seberang sungai, yang berniat untuk melarikan diri itu.

Para prajurit dari pasukan berkuda itu memang tidak banyak. Selain para prajurit dari Pasukan Khusus juga terdapat Glagah Putih, Sabungsari, dan dua orang pemimpin pengawal. Di samping Ki Demang Pucangtelu, Ki Jagabaya, dan Ki Bekel Sambisari yang kebingungan.

Kerta Landak pun segera melihat pasukan berkuda yang datang itu. Karena itu, maka ia pun segera memerintahkan para pengikutnya yang berkuda untuk menyongsong kedatangan lawan mereka, sedangkan beberapa orang yang lain akan menunggu di tepian.

Perintah serta isyarat yang diberikan oleh Kerta Landak itu pun sudah jelas bagi para pengikutnya. Karena itu, maka mereka pun segera melaksanakan perintah itu.

Beberapa orang berkuda itu pun telah menyeberangi sungai menyongsong lawan-lawan mereka yang juga sudah siap menyeberang. Namun ketika mereka melihat gerombolan berkuda itu juga menyeberang, maka mereka pun telah menunggu.

Demikian beberapa orang gerombolan berkuda itu mencapai tepian, maka pertempuran telah terjadi. Tetapi gerombolan itu pun segera menarik diri menyeberangi sungai itu pula.

Para prajurit pun berusaha untuk mengejar mereka. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari berada di depan. Namun Agung Sedayu pun segera memberikan isyarat untuk berhenti. Kemudian terdengar aba-abanya, “Berpencar! Di hadapan kita menunggu ujung tombak.”

Para prajurit pun telah berpencar. Sebenarnyalah, beberapa orang pengikut Kerta Landak telah menunggu di tepian. Demikian kuda-kuda anggota gerombolan yang lain lewat, maka tombak dan lembing itu akan dilontarkan kepada para prajurit yang mengejar mereka. 

Tetapi para prajurit itu tidak langsung memburu para pengikut Kerta Landak. Justru karena mereka berpencar, maka beberapa orang yang sudah siap dengan tombak di tangan, telah kehilangan sasaran.

Namun dengan demikian, maka pertempuran yang sebenarnya dari orang-orang berkuda itu telah terjadi di pinggir sungai. Kedua belah pihak telah naik ke atas tebing yang rendah. Dengan berbekal kemampuan berkuda serta ilmu mempergunakan senjata, maka kedua belah pihak telah terlibat dalam pertempuran.

Sementara itu, beberapa puluh langkah dari medan pertempuran antara kedua kelompok orang berkuda itu, Prastawa dan para pengawal Tanah Perdikan telah bertempur pula melawan sebagian dari gerombolan itu.

Karena jumlah lawannya menyusut, maka Prastawa telah memberanikan diri untuk bertempur langsung beradu dada.

Dengan demikian, telah terjadi dua lingkaran pertempuran yang sengit. Para penunggang kuda menerjang lawan mereka. Sambar-menyambar seperti sekelompok garuda yang bertempur melawan sekelompok rajawali.

Namun dalam pada itu, Prastawa dan para pengawal masih saja mengalami kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Landak mengamuk seperti seekor harimau yang lapar.

Namun sementara itu, para pengikut Kerta Landak yang bertempur di atas punggung kudanya, segera mengalami kesulitan. Satu persatu mereka terlempar jatuh. Sedangkan kawan-kawannya yang tidak berada di punggung kudanya, berusaha untuk membantu. Mereka berusaha untuk menyerang para prajurit berkuda yang bertempur berputar-putar di atas punggung kuda. Sementara itu senjata mereka terayun-ayun mengerikan.

Agung Sedayu yang berada di arena pertempuran itu pula, telah berteriak nyaring, “Menyerahlah! Jika kalian menyerah, maka akan dipertimbangkan pengurangan hukuman atas kalian! Tetapi jika kalian tetap melawan, maka kalian akan dihancurkan!”

Tidak ada tanggapan. Tetapi para pengikut Kerta Landak itu bertempur semakin garang. Apalagi mereka yang bertempur dalam kelompok melawan para pengawal yang dipimpin langsung oleh Prastawa. Mereka masih mampu mendesak pasukan pengawal yang jumlahnya memang tidak begitu banyak.

Glagah Putih dan Sabungsari yang melihat kesulitan yang dialami pasukan pengawal di bawah pimpinan Prastawa itu, segera meninggalkan arena pertempuran berkuda itu. Keduanya bergerak dengan cepat, mendekati arena pertempuran antara para pengikut Kerta Landak melawan pasukan pengawal yang dipimpin oleh Prastawa itu.

Tetapi Glagah Putih yang sangat menyayangi kudanya tidak menerjang lawan-lawannya di atas punggung kudanya. Ia pun segera meloncat turun, demikian ia mendekati arena pertempuran itu.

Ternyata Sabungsari pun telah meloncat turun pula. Setelah keduanya mengikat kuda mereka pada sebatang pohon perdu, maka keduanya pun segera memasuki arena pertempuran.

Namun bersamaan dengan itu, sekelompok pengawal yang lain telah melintasi gumuk kecil menuju ke arena pertempuran. Panah sendaren yang dilontarkan sampai dua kali telah menuntun mereka ke arah yang benar.

Dengan serta-merta sekelompok pengawal itu telah berlari-lari menuju ke arena pertempuran sambil berteriak-teriak nyaring.

Kedatangan sekelompok pasukan pengawal itu telah mengguncang medan. Para pengikut Kerta Landak menjadi cemas. Kawan-kawan mereka yang bertempur di atas punggung kuda agaknya mengalami kesulitan melawan para prajurit berkuda yang dipimpin langsung oleh Agung Sedayu itu, sementara sekelompok pengawal itu tentu akan bergabung dengan kawan-kawannya yang sedang terdesak itu.

Kerta Landak yang justru berada bersama pengikutnya yang tidak bertempur di atas punggung kudanya, sama sekali tidak berpengharapan lagi. Karena itu, maka ia pun segera memberikan isyarat kepada para pengikutnya. Satu teriakan nyaring yang tidak dimengerti artinya oleh lawan-lawannya, telah menggetarkan arena pertempuran itu.

Namun Agung Sedayu sudah menduga bahwa isyarat itu adalah isyarat untuk melarikan diri Karena itu Agung Sedayu sekali lagi memperingatkan,” Menyerahlah! Jangan berusaha melawan atau melarikan diri! Jika kesempatan ini tidak kalian pergunakan, maka kami benar-benar akan menghancurkan kalian!”

Tetapi Kerta Landak tidak menghiraukannya. Sekali lagi ia meneriakkan isyarat itu.

Sebenarnyalah, para pengikut Kerta Landak pun segera bersiap-siap. Demikian pasukan pengawal yang datang itu mendekat, maka para pengikut Kerta Landak itu pun segera melarikan diri. Seorang di antara pengikutnya yang berkuda telah melarikan kudanya menghampiri Kerta Landak dan memberikan kuda itu kepadanya, agar Kerta Landak dapat melarikan diri dengan cepat.

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Demikian Kerta Landak melarikan kudanya dalam kekacau-balauan pertempuran itu, Glagah Putih yang dapat membaca apa yang akan dilakukannya, segera berlari dan meloncat ke punggung kudanya pula.

Glagah Putih tidak menghiraukan lagi para pengikut Kerta Landak yang lain. Glagah Putih yang sejak melibatkan diri dalam pertempuran antara para pengikut Kerta Landak dan para pengawal yang tidak berkuda itu, telah menduga bahwa orang itu adalah pemimpin gerombolan yang telah mengacaukan Tanah Perdikan Menoreh dan bersarang di padukuhan Sambisari. Apalagi ketika seseorang telah menyerahkan kudanya kepada orang itu, sementara ia sendiri harus melarikan diri dengan kakinya, maka Glagah Putih pun menjadi pasti bahwa orang itu adalah pemimpin gerombolan itu. Salah seorang di antara gerombolan itu yang tertangkap telah menyebut nama pemimpinnya bernama Kerta Landak.

“Nama yang pernah terdengar pula di medan pertempuran di sisi barat Tanah Perdikan Menoreh,” desis Glagah Putih di dalam hatinya Namun nama itu tenggelam di antara nama-nama orang berilmu tinggi yang lain.

Sejenak kemudian, maka kuda Glagah Putih pun telah dipacu untuk menyusul Kerta Landak, sementara para prajurit telah mengejar pada penunggang kuda yang lain. Sedangkan mereka yang tidak berkuda, harus melarikan diri sambil berusaha melindungi diri mereka dari ujung senjata para pengawal yang memburu mereka.

Beberapa orang yang berputus asa pun telah menyerah dengan melemparkan senjata mereka. Tetapi ada yang sempat mencapai padang ilalang dan berusaha bersembunyi di dalamnya.

Kerta Landak yang dikejar oleh Glagah Putih memacu kudanya seperti angin. Kemampuannya menunggang kuda pun mengagumkan. Kudanya dibawanya berlari memanjat tebing sungai, kemudian melintasi tanggul. Menyeberang jalan kecil dan meloncat parit dan berlari di padang rumput yang luas, tempat anak-anak menggembalakan kambing dan kerbau mereka.

Sementara itu, Glagah Putih pun berpacu pula mengikutinya. Ia tidak mau kehilangan orang yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan gerombolannya di Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah memburu lawannya kemanapun ia pergi.

Kerta Landak yang terlalu percaya kepada kudanya, merasa dirinya sudah terbebas dari tangan para prajurit Mataram. Namun agaknya seorang di antara para prajurit itu tidak mau melepaskannya dan memburunya kemana ia pergi.

“Kuda orang itu cukup baik,” desis Kerta Landak.

Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih justru menjadi semakin dekat. Kuda yang memburunya itu mampu berlatih lebih cepat.

Ketika Kerta Landak itu menoleh, ia pun terkejut. Orang yang mengejarnya itu sudah berada dekat di belakangnya.

“Setan, kuda itu!” geramnya.

Kerta Landak memang menjadi gelisah setelah ia melihat kuda yang mengejarnya itu. Seekor kuda yang besar dan tegar. Jarang ada orang yang memiliki kuda seperti itu.

Semakin lama Glagah Putih memang menjadi semakin dekat. Kerta Landak menyadari bahwa ia tidak dapat hanya sekedar terkejut dan heran. Tetapi ia harus melawan orang yang mengejarnya itu.

Karena itu, Kerta Landak yang menyadari bahwa kecepatan berlari kudanya tidak akan mampu melebihi kecepatan lari kuda yang mengejarnya, maka Kerta Landak harus mempergunakan kepandaiannya menunggang kuda untuk melawan orang yang menyusulnya itu.

Karena itu, maka Kerta Landak tidak berlari terus. Tetapi ia mulai membelokkan kudanya mengitari padang rumput yang terhitung luas itu.

Glagah Putih segera tanggap. Ia harus bertempur melawan Kerta Landak di atas punggung kuda.

Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu saling menyambar dengan serunya. Kerta Landak telah menggenggam tongkat besinya yang berujung runcing bergerigi. Sementara Glagah Putih pun telah menggenggam pedangnya pula.

Demikianlah, sejenak kemudian, kedua orang penunggang kuda itu pun telah bertempur dengan sengitnya di atas punggung kuda. Berputaran, dan kadang-kadang memotong putaran dan langsung saling menyambar. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan. Sekali-sekali terjadi benturan antara kedua senjata itu dengan kerasnya.

Kerta Landak memang memiliki tenaga yang sangat besar. Dalam benturan senjata yang terjadi, maka genggaman tangan Glagah Putih menjadi goyah. Namun demikian Glagah Putih mengerahkan tenaga dalamnya, maka setiap benturan yang terjadi justru terasa getaran yang kuat seakan-akan merambat sampai mengguncang isi dada Kerta Landak.

Beberapa lama keduanya saling menyambar di atas punggung kuda. Ternyata keduanya memiliki kemampuan menunggang kuda yang tinggi, sementara ilmu mereka pun memadai pula.

Namun ternyata keterampilan tangan Glagah Putih mampu membuat lawannya kesulitan. Glagah Putih tidak saja mengayunkan senjata dilambari dengan kekuatan yang besar, tetapi dengan cerdik Glagah Putih memutar senjatanya sehingga ayunan tongkat lawannya tidak disentuhnya. Namun dengan cepat Glagah Putih menjulurkan pedangnya menggapai tubuh Kerta Landak.

Glagah Putih memang agak terlambat. Kudanya berlari kencang, sehingga ujung pedangnya tidak menggores dada lawannya. Tetapi hanya sekedar mengenai pundaknya.

Meskipun demikian, luka di pundak Kerta Landak itu membuatnya menjadi seperti orang yang mabuk. Kemarahannya memuncak membakar ubun-ubunnya. Dengan keras sekali ia berteriak, “Anak demit! Aku bunuh kau dan aku cincang tubuhmu sampai lumat!”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia menyadari bahwa Kerta Landak yang marah itu tentu akan meningkatkan serangan-serangannya.

Sebenarnyalah bahwa Kerta Landak menjadi sangat garang. Namun segala sesuatunya terpengaruh pula oleh solah kudanya. Karena itu, tiba-tiba saja Kerta Landak itu telah meloncat turun.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Jika ia tidak turun pula dari kudanya, maka mungkin sekali Kerta Landak akan menyerang kudanya untuk memaksanya turun. Karena itu, sebelum kudanya terluka, Glagah Putih pun telah meloncat turun pula dan membiarkan kudanya dilepas di padang rumput.

Agaknya kudanya tidak menghiraukan apa yang terjadi. Kuda-kuda itu lebih senang menikmati rumput yang hijau, daripada memperhatikan kedua orang yang kemudian bertempur tidak jauh dari mereka.

Pertempuran antara Kerta Landak dan Glagah Putih itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka yang lebih tinggi.

Tongkat besi Kerta Landak yang berujung runcing dan bergerigi itu berputaran dengan cepat. Ayunannya yang deras telah mengaduk udara di sekitar arena. Semakin lama semakin cepat.

Namun Glagah Putih pun mampu bergerak cepat pula, sehingga tongkat besi itu tidak menyentuh kulitnya.

Meskipun demikian, Glagah Putih pun kemudian merasakan ilmu lawannya yang tinggi. Putaran tongkat besi yang seakan-akan telah memutar udara di sekitar arena pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin terasa. Bahkan kemudian udara yang berputaran sebagaimana tongkat besi lawannya itu, terasa semakin lama menjadi semakin hangat.

Dengan demikian, Glagah Putih pun harus berusaha keras agar lawannya tidak sempat meningkatkan ilmunya untuk membuat udara di sekitarnya menjadi panas.

Tetapi usaha Glagah Putih itu pun sia-sia. Udara di arena itu semakin lama terasa semakin panas.

Keringat pun mengalir semakin deras dari tubuh Glagah Putih. Selain karena ia harus berloncatan bertahan dan menyerang, udara panas itu serasa telah memanggangnya.

Semakin lama Glagah Putih pun menjadi semakin sulit untuk bertahan. Apalagi ketika tubuh lawannya itu pun seakan-akan telah menjadi bara. Semakin dekat jarak antara Glagah Putih dan Kerta Landak, maka panas itu terasa semakin menyengat.

Sementara itu, serangan-serangan Kerta Landak pun menjadi semakin garang. Apalagi ketika Kerta Landak itu melihat bahwa Glagah Putih yang kepanasan itu telah kehilangan banyak tenaga, sehingga perlawanannya pun menjadi semakin kendur.

Dalam keadaan yang semakin terjepit, Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Ia tidak mau menjadi hangus oleh panas yang memancar dari ilmu yang telah diuapkan oleh Kerta Landak.

Karena itu, ketika Glagah Putih merasa tidak lagi mampu melawannya, sementara tangannya sudah menjadi pedih karena benturan-benturan senjata sehingga hampir saja senjatanya terlepas, maka Glagah Putih itu pun telah meloncat mengambil jarak.

Kerta Landak tidak segera memburunya. Ia sempat berdiri bertolak pinggang sambil berdesis, “Kau telah melukai tubuhku, Anak Muda. Karena itu, tidak ada lagi jalan untuk keluar dari arena ini. Kau akan terkapar mati. Tubuhmu akan hangus seperti dipanggang di atas api.”

Glagah Putih memandang orang itu dengan tatapan mata yang tajam. Dengan nada berat Glagah Putih itu pun berkata, “Aku masih belum ingin mati, Kerta Landak.”

“Aku tidak bertanya apakah kau ingin mati atau tidak. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu, bahwa aku akan membunuhmu sekarang di sini. Aku tidak ingin mendengar pendapatmu, apakah kau ingin atau tidak ingin mati.”

Dahi Glagah Putih berkerut. Namun kemudian ia pun berkata, “Baik. Kita akan berpegang kepada rencana kita masing-masing. Sekarang bersiaplah. Aku akan membunuhmu.”

Kerta Landak mengerutkan dahinya. Wajahnya menegang. Anak muda yang dihadapinya itu sama sekali tidak nampak menjadi gentar, meskipun ia sudah terpanggang panas ilmunya sehingga keringatnya terperas dari tubuhnya.

“Kau terlalu sombong, Anak Muda,” geram Kerta Landak.

Tetapi Glagah Putih tidak menjawab.

Selangkah demi selangkah Kerta Landak itu mendekati Glagah Putih. Panas yang memancar dari ilmunya itu sudah terasa di kulit Glagah Putih. Sementara itu Kerta Landak pun telah memutar tongkat besinya pula.

Glagah Putih sama sekali tidak beranjak dan tempatnya. Ia berusaha meningkatkan daya tahannya untuk melawan panas yang memancar dari ilmu Kerta Landak.

Namun ternyata Glagah Putih tidak mampu mengatasinya. Apalagi ketika Kerta Landak itu meloncat menyerangnya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun segera berloncatan mengambil jarak. Dipusatkannya nalar budinya untuk menerapkan ilmu pamungkasnya. Glagah Putih tidak mau terkapar mati menjadi korban keganasan Kerta Landak.

Karena itu, ketika ia melihat Kerta Landak itu meloncat menyerang dengan pancaran udara panas dari ilmunya, maka Glagah Putih telah berdiri tegak dengan sedikit merendah pada lututnya serta menancapkan pedangnya di tanah. Kemudian diangkatnya tangannya dan menghadapkan telapak tangannya ke arah Kerta Landak yang sedang meloncat menyerangnya.

Kerta Landak terkejut melihat sikap Glagah Putih. Apalagi ketika ia melihat seleret sinar yang memancar dari telapak tangan anak muda itu. Tetapi sudah terlambat untuk menghindarinya.

Seleret sinar itu telah menghantam tubuh Kerta Landak yang sedang meloncat menyerangnya itu. Yang dapat dilakukan oleh Kerta Landak adalah meningkatkan daya tahan tubuhnya sampai ke puncak.

Tetapi segalanya sia-sia. Tubuh Kerta Landak itu terlempar beberapa langkah, kemudian jatuh terbanting di tanah.

Daya tahan Kerta Landak memang luar biasa. Orang itu masih menggeliat sambil mengerang. Tongkatnya terlempar beberapa langkah dari tubuhnya.

Glagah Putih pun kemudian menarik pedangnya yang ditancapkannya di tanah di depan tubuhnya, dan melangkah mendekati Kerta Landak yang terkapar itu.

Sambil mengacukan pedangnya, dengan hati-hati Glagah Putih mendekati Kerta Landak yang terbaring. Ia tidak boleh terjebak, seandainya Kerta Landak hanya berpura-pura saja.

Tetapi Kerta Landak benar-benar tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Bagian dadanya seolah-olah telah menjadi hangus. Bahkan bagian dalam tubuhnya pun bagaikan telah hancur.

Namun Kerta Landak yang memiliki daya tahan yang luar biasa itu masih sempat menggeram, “Anak Iblis!”

Glagah Putih berdiri saja termangu-mangu.

“Aku akan membunuhmu. Kau akan menyesali kesombonganmu.”

Glagah Putih masih tetap berdiri tegak, selangkah dari tubuh Kerta Landak. Ia melihat Kerta Landak yang marah dan mendendam itu menggeliat sambil menyeringai menahan sakit.

Bertelekan pada pedangnya, Glagah Putih pun kemudian berjongkok di sebelah tubuh Kerta Landak. Glagah Pulih masih melihat Kerta Landak itu menggeretakkan giginya. Namun kemudian orang itu pun terdiam. Kerta Landak telah meninggal.

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih itu pun bangkit berdiri. Ia mendengar derap beberapa ekor kuda mendekatinya.

Agung Sedayu, Sabungsari dan dua orang prajurit berkuda telah menyusulnya.

Mereka pun kemudian meloncat turun dari kuda mereka. Dengan nada rendah Agung Sedayu bertanya, “Siapakah orang ini?”

“Orang inilah yang memimpin gerombolan yang masih berusaha untuk membuat Tanah Perdikan Menoreh tidak tenang. Dengan caranya ia berusaha menimbulkan keresahan. Perampokan, pembunuhan dan kekerasan-kekerasan yang lain.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Demang Pucangtelu, Ki Jagabaya dan Ki Bekel Sambisari bersama dua orang prajurit yang lain telah sampai pula ke tempat itu.

Dengan lantang Ki Jagabaya bertanya, “Siapakah orang ini?”

“Orang inilah yang memimpin gerombolan yang tinggal di kademangan ini,” jawab Glagah Putih.

“Benar Ki Bekel?” desak Ki Jagabaya.

Dengan kepala tunduk Ki Bekel itu pun menjawab, “Ya, Ki Jagabaya.”

“Siapa namanya?”

“Kerta Landak.”

Ki Jagabaya yang sudah turun dari kudanya itu pun telah mendekati tubuh Kerta Landak. Sambil mengangguk-angguk ia pun bergumam, “Jadi orang inilah yang memimpin gerombolan yang telah mencemari kademangan ini.”

“Benar begitu, Ki Bekel?” bertanya Ki Demang yang berdiri di sebelah Ki Bekel.

Ki Bekel menjadi semakin gelisah. Tetapi ia pun mengangguk sambil berdesis, “Ya, Ki Demang.”

“Bagus. Persoalannya tidak akan berhenti sampai kematiannya saja,” berkata Ki Demang selanjutnya.

Ki Bekel menjadi semakin menunduk. Ia tahu benar arti kata-kata Ki Demang.

Tetapi penyesalan yang bergejolak di hati Ki Bekel tidak lagi banyak gunanya. Nampaknya Ki Demang dan Ki Jagabaya benar-benar ingin menuntutnya, karena Ki Bekel telah mencemari nama baik kademangan itu. Untunglah bahwa para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh masih dapat menahan diri dan berpikir dengan akal yang jernih, sehingga Tanah Perdikan Menoreh tidak mengambil langkah-langkah yang kasar. Dalam hal ini ia tidak akan dapat mengadu kepada Mataram, karena Mataram justru akan menyalahkannya. Apalagi gerombolan Kerta Landak adalah gerombolan yang dianggap telah melawan kekuasaan Mataram.

“Bawa tubuh ini ke padukuhan,” berkata Ki Demang kepada Ki Bekel, “kita tidak dapat membiarkan tubuh ini menjadi makanan burung gagak di sini.”

Ki Bekel yang sudah merasa bersalah itu tidak membantah. Dinaikkannya tubuh Kerta Landak itu ke atas kuda Kerta Landak sendiri, yang masih berkeliaran di padang rumput itu. Kemudian, Ki Bekel akan menuntun kuda itu sampai ke padukuhan.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu dan mereka yang berada di padang rumput itu pun telah kembali ke bekas arena pertempuran yang sudah padam. Beberapa orang telah tertangkap, beberapa orang yang lain terbunuh, dan ada juga yang berhasil melarikan diri dan hilang dibalik padang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu.

Namun gerombolan Kerta Landak itu benar-benar telah dihancurkan.

Namun dalam pertempuran itu, ada juga pengawal yang terluka, bahkan ada pula yang gugur.

Dalam pada itu, para pengawal Tanah Perdikan yang terpisah-pisah itu pun telah berkumpul semuanya. Mereka pun segera memerintahkan kepada para tawanan untuk membawa kawan-kawan mereka yang terbunuh dan terluka.

“Kawan-kawanmu itu perlu perawatan,” berkata Agung Sedayu, “sedangkan yang terbunuh akan dikuburkan.”

Orang-orang yang tertawan itu tidak dapat menolak mengusung kawan-kawan mereka. Sementara itu, para pengawal yang terluka dan bahkan yang gugur, telah dibawa di atas punggung kuda.

Ketika mereka memasuki padukuhan Sambisari, senja telah turun. Untunglah bahwa Tanah Perdikan tidak terlambat, sehingga gelap malam tidak dapat menyelamatkan para pengikut Kerta Landak.

Tetapi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit tidak ingin bermalam di padukuhan Sambisari. Meskipun gelap telah turun, tetapi mereka akan meneruskan perjalanan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Ki Demang tidak membiarkan para pengawal dan prajurit mengalami kesulitan perjalanan karena mereka yang gugur dan terluka. Karena itu, maka Ki Demang telah memerintahkan mengumpulkan pedati yang ada di Sambisari untuk membawa mereka.

Di gelapnya malam, iring-iringan itu pun telah merambat dari padukuhan Sambisari menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Perjalanan mereka menjadi semakin lambat karena pedati-pedati yang merangkak seperti siput. Tetapi mereka tidak lagi mengalami kesulitan membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka, apalagi yang parah, karena mereka dapat dibaringkan di atas pedati yang diberi alas jerami kering dan tikar pandan yang putih.

Sekali lagi Tanah Perdikan Menoreh harus berkabung karena kehilangan beberapa orang pengawal yang terbaik. Tetapi itu lebih baik daripada para pengawal itu terbunuh di Tanah Perdikan sendiri, oleh gerombolan yang memasuki Tanah Perdikan itu dengan diam-diam seperti pencuri. Mereka merampok, merampas dan membunuh, kemudian melarikan diri.

Namun gerombolan itu telah dihancurkan, sehingga bahaya perampokan, perampasan dan pembunuhan itu sudah tidak ada lagi. Seandainya hal itu terjadi, namun peristiwa itu tentu sudah menyusut jauh sekali.

Di keesokan harinya, para pengawal dan prajurit yang gugur pun telah dimakamkan dengan upacara penuh. Sementara itu, para pengikut gerombolan itu yang terbunuh telah dikuburkan pula.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah memerintahkan dua orang prajurit untuk pergi ke Mataram, memberikan laporan tentang tindakan yang telah diambil oleh Tanah Perdikan Menoreh, didukung oleh para prajurit dari Pasukan Khusus, terhadap sisa-sisa gerombolan yang masih mendendam terhadap Tanah Perdikan.

Setelah gerombolan yang bersembunyi di Sambisari itu dihancurkan, maka di Tanah Perdikan benar-benar menjadi tenang. Tetapi bukan berarti bahwa anak-anak muda serta para pengawalnya menjadi lengah. Dapat saja ada sekelompok penjahat yang memanfaatkan keadaan itu untuk keuntungan mereka sendiri. Justru pada saat Tanah Perdikan merasa bahwa gerombolan yang sering mengganggu ketenangan di Tanah Perdikan sudah dihancurkan, maka justru pengamanannya menjadi kendur.

Namun ternyata bahwa keadaan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar menjadi tenang.

Di malam hari, selain yang bertugas meronda di setiap padukuhan, rakyat Tanah Perdikan Menoreh dapat tidur dengan tenang. Di siang hari, mereka dapat bekerja di bidang mereka masing-masing tanpa merasa diganggu. Pasar-pasar di Tanah Perdikan pun menjadi semakin berkumandang di pagi hari. Suara para pandai besi yang menempa membuat alat-alat pertanian di perapiannya, serta suara perempuan yang menumbuk padi, memenuhi seluruh Tanah Perdikan. Di sawah, kerbau dan lembu menarik bajak dan garu menyusuri tanah berlumpur. Sementara itu suara seruling para gembala di padang rumput seakan-akan terayun di ujung daun nyiur yang meliuk di tiup angin.

Ketenangan dan ketenteraman serta peningkatan kesejahteraan itu telah menjadikan Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin gemah ripah.

Ketika hal itu dilaporkan ke Mataram, maka Ki Patih Mandaraka pun telah mengucapkan selamat kepada Ki Gede Menoreh.

Sementara itu, setelah keadaan benar-benar menjadi tenang, maka Ki Wijil, Nyi Wijil dan Sayoga pun telah minta diri untuk kembali pulang.

“Apakah Glagah Putih dan Sabungsari perlu mengantar, agar ada kawan berbincang di perjalanan?” bertanya Agung Sedayu.

“Bukankah aku tidak sendiri?” sahut Ki Wijil, “aku sudah mempunyai kawan berbincang di sepanjang jalan.”

“Jika Ki Wijil memerlukannya.”

“Terima kasih. Kami sudah mengenal jalan yang harus kami tempuh dengan baik. Kami pun berniat untuk singgah di Mataram, menghadap Ki Patih Mandaraka.”

“Ki Patih tentu akan senang sekali,” desis Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Ki Wijil, Nyi Wijil dan Sayoga itu pun telah minta diri kepada Ki Gede serta para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh sebelum mereka berangkat.

Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan hanya dapat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

“Jika Ki Wijil dan Nyi Wijil memerlukan kami untuk keperluan apa saja, jangan segan-segan menyampaikan kepada kami. Jika ada kemampuan kami untuk melakukannya, akan kami lakukan dengan senang hati,” berkata Ki Gede Menoreh.

Ki Wijil tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Gede. Kami tidak akan pernah melupakannya.”

Demikianlah, pagi-pagi sekali ketiganya bersiap meninggalkan rumah Agung Sedayu. Sekar Mirah dan Rara Wulan memang merasa kehilangan. Lebih-lebih Rara Wulan, karena kadang-kadang Nyi Wijil menemaninya di sanggar.

Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun melepas mereka dengan berat. Ki Wijil masih sempat bertanya kepada Empu Wisanata,” Apakah Empu tidak akan pulang, dan menetap di Tanah Perdikan ini?”

Empu Wisanata tersenyum. Katanya, “Kami adalah kleyang kabur kanginan, Ki Wijil. Kami tidak mempunyai rumah tempat tinggal. Karena itu, maka mungkin sekali kami tidak akan pergi dari Tanah Perdikan ini lagi.”

“Ki Gede tentu tidak akan berkeberatan,” berkata Ki Wijil. Namun katanya pula, “Tetapi jika Empu Wisanata ingin tinggal di rumah kami, kami tentu akan menerimanya dengan senang hati.”

Empu Wisanata tertawa, meskipun terasa betapa jantungnya tergetar. Katanya, “Terima kasih Ki Wijil. Tetapi pada suatu saat kami ingin berkunjung ke rumah Ki Wijil dan Nyi Wijil.”

“Kami menunggu, Empu,” sahut Nyi Wijil.

Sambil menepuk bahu Nyi Dwani, Nyi Wijil itu pun berkata, “Ingatkan ayahmu jika ayahmu lupa.”

Namun Sayoga menyahut, “Kecuali Nyi Dwani lupa mengingatkan Empu Wisanata.”

Nyi Dwani dan yang mendengar gurau Sayoga itu pun tertawa.

Demikianlah, sejenak kemudian, maka Ki Wijil, Nyi Wijil dan Sayoga itu pun telah meninggalkan rumah Agung Sedayu, menempuh perjalanan panjang. Namun mereka akan singgah di Mataram untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.

Ketika Ki Wijil, Nyi Wijil dan Sayoga sudah tidak kelihatan lagi, Agung Sedayu pun berdesis, “Kami sama sekali tidak berkeberatan, jika Empu benar-benar akari menetap di Tanah Perdikan ini. Aku akan berbicara dengan Ki Gede.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Aku akan memikirkannya, Ki Lurah. Jika aku sampai pada kesimpulan itu, maka aku akan menyampaikannya kepada Ki Lurah. Tetapi untuk sementara, kami mohon diijinkan untuk tinggal di sini.”

“Silakan, Empu. Kami tidak mempunyai keberatan apa-apa.”

Dengan demikian, maka Empu Wisanata dan Nyi Dwani masih tetap tinggal di rumah Agung Sedayu untuk sementara. Tetapi gagasan untuk tinggal di Tanah Perdikan itu telah disampaikan kepada Ki Gede, mendahului keputusan Empu Wisanata sendiri.

Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, Ki Gede tidak berkeberatan. Meskipun demikian, Ki Lurah Agung Sedayu itu pun berkata, “Tetapi segala sesuatunya aku akan menunggu pernyataan Empu Wisanata, Ki Gede. Jika aku yang menawarkannya, Empu Wisanata dapat menjadi salah paham, seakan-akan aku-lah yang ingin memindahkannya dari rumahku.”

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Ki Lurah mempunyai pertimbangan yang luas terhadap satu persoalan. Baiklah, aku menunggu. Tetapi pada dasarnya aku tidak berkeberatan. Aku akan memberinya sebidang tanah untuk mendukung hidupnya sehari-hari.”

Ki Lurah pun tertawa pula.

Namun untuk beberapa lama Empu Wisanata masih belum menyatakan sikapnya. Agaknya ia masih tetap ragu-ragu.

Yang mengejutkan kemudian adalah kedatangan Pandan Wangi yang tiba-tiba saja, bersama dua orang bebahu Kademangan Sangkal Putung yang sudah separuh baya. Tetapi Pandan Wangi tidak langsung pergi ke rumah Ki Gede. Tetapi Pandan Wangi justru langsung pergi ke rumah Agung Sedayu.

Sekar Mirah yang ada di rumah terkejut atas kedatangannya. Dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya dan mempersilakannya naik ke pendapa.

“Kapan Mbokayu datang?” bertanya Sekar Mirah.

“Baru saja, Sekar Mirah.”

“Mbokayu Pandan Wangi langsung datang ke rumah ini?”

Pandan Wangi mengangguk.

“Di mana kemenakanku?”

“Aku tidak mengajaknya. Anak itu aku titipkan kepada kakeknya di Sangkal Putung.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Sekar Mirah itu pun mengajaknya duduk di ruang dalam, sementara itu ia minta Glagah Putih dan Sabungsari menemui dua orang bebahu dari Sangkal Putung.

Diperkenalkannya Pandan Wangi dengan Nyi Dwani. Namun Nyi Dwani itu pun kemudian pergi ke dapur bersama dengan Rara Wulan.

Pada pandangan mata Pandan Wangi, Sekar Mirah melihat sesuatu yang bagaikan menyelimuti kecerahan pandangannya Tetapi Sekar Mirah tidak menanyakannya. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Pandan Wangi.

Namun Sekar Mirah itu pun telah menanyakan keselamatan keluarga di Sangkal Putung. Sebaliknya Pandan Wangi pun kemudian telah menanyakan keselamatan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh.

“Aku belum menghadap Ayah,” berkata Pandan Wangi kemudian.

“Kenapa?”

Pertanyaan Sekar Mirah itu agaknya telah mengungkit perasaan Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi itu berusaha untuk mengendalikan diri.

Namun agaknya Sekar Mirah dapat membaca gejolak perasaan Pandan Wangi. Karena itu, maka ia pun tidak mendesaknya. Bahkan Sekar Mirah itu pun berkata, “Kakang Agung Sedayu masih berada di barak. Di sore hari ia baru pulang.”

“Di ruang dalam rumahmu itu, udaranya terasa sejuk, Sekar Mirah,” desis Pandan Wangi.

“Hari ini udara memang terasa agak sejuk. Apalagi Mbokayu tadi kepanasan di sepanjang jalan. Namun pada waktu yang lain, ruangan ini panasnya bagaikan perapian.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Namun keluargamu nampaknya juga selalu sejuk.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sesuatu yang asing bergetar di jantung kakak iparnya itu. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat langsung bertanya. Mungkin hal itu lebih baik bagi Pandan Wangi, karena ia segera dapat menumpahkan persoalan yang mengganjal di dadanya Tetapi dapat juga berakhir sebaliknya.

Karena itu, Sekar Mirah memilih lebih baik menunggu daripada terjadi salah paham.

Dalam pada itu, Rara Wulan pun telah menghidangkan minuman dan makanan. Sambil tersenyum Pandan Wangi itu pun berdesis, “Kau menjadi semakin cantik, Rara.”

“Ah, Mbokayu.”

“Aku berkata sebenarnya. Bertanyalah kepada Mbokayu-mu Sekar Mirah.”

Rara Wulan menunduk. Namun kemudian ia pun bergeser mundur.

“Duduk sajalah Rara,” pinta Pandan Wangi.

“Nanti Mbokayu. Masih ada kerja di dapur.”

“Kau akan menjadi seorang gadis yang lengkap. Seorang gadis yang terampil di dapur, tetapi juga tangkas di medan.”

“Ah, Mbokayu masih saja memuji.”

Rara Wulan itu pun kemudian telah bangkit dan pergi ke dapur.

“Minumlah, Mbokayu,” Sekar Mirah mempersilakan.

Pandan Wangi itu pun kemudian telah mengangkat mangkuknya dan meneguk minuman hangat yang dihidangkan, sementara Rara Wulan menghidangkan minuman bagi kedua bebahu, yang duduk di pringgitan bersama Glagah Putih dan Sabungsari.

Ketika Pandan Wangi meletakkan mangkuknya, ia pun kemudian bertanya dengan nada dalam, “Tersiar berita di Sangkal Putung, bahwa di Tanah Perdikan ini baru saja terjadi pertempuran yang terhitung besar.”

“Ya, Mbokayu,” jawab Sekar Mirah.

“Kenapa Kakang Agung Sedayu tidak mengirimkan utusan untuk memberitahukan kepadaku?”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Bukankah tidak seharusnya Agung Sedayu, seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini, memberikan laporan kepada Pandan Wangi?

Namun Sekar Mirah tidak mengatakannya. Agaknya Pandan Wangi pun tidak sadar atas ucapannya sendiri.

Dengan hati-hati Sekar Mirah justru bertanya, “Apakah Ki Gede tidak mengirimkan utusan ke Sangkal Putung?”

Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba ia menyadari kekeliruannya. Karena itu ia pun dengan serta-merta menyahut, “Ya, yang aku maksud adalah pemimpin Tanah Perdikan ini. Bukan Ki Lurah Agung Sedayu. Dalam hal ini sebaiknya Ayah memberitahukan kepadaku apa yang terjadi, sehingga kami di Sangkal Putung tidak selalu gelisah.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Sekar Mirah masih juga bertanya, “Agaknya karena kegelisahan itu, Mbokayu bersusah-payah datang ke Tanah Perdikan ini. Jika saja hal ini kami sadari sebelumnya, kami dapat minta Glagah Putih pergi ke Sangkal Putung, sekaligus mengunjungi ayahnya yang sudah agak lama tidak pernah dilakukannya.”

“Antara lain memang karena kegelisahan itu, Sekar Mirah. Tetapi aku pun mempunyai kepentingan yang lain.”

“Kepentingan apa Mbokayu? Jika saja aku dapat membantu.”

Wajah Pandan Wangi pun menunduk. Kemudian dengan suara yang bergetar ia pun berdesis, “Kakang Swandaru.”

“Kakang Swandaru? Kenapa dengan Kakang Swandaru?”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Tetapi nampak di wajahnya betapa ia menahan perasaannya.

Sekar Mirah pun bergeser mendekatinya. Sikap Pandan Wangi itu telah mendebarkan jantungnya pula. Sebagai seorang perempuan yang memiliki ketahanan tubuh dan ketahanan jiwani, perasaan Pandan Wangi tidak lagi dapat disembunyikan. Tentu ada sesuatu yang rumit dan bahkan mungkin gawat.

“Mbokayu,” desis Sekar Mirah, “kenapa dengan Kakang Swandaru?”

“Sekar Mirah, aku tidak dapat mengatakannya kepada Ayah. Karena itu aku datang kemari. Aku sengaja ingin menemuimu dan menyampaikan persoalan ini kepadamu. Aku ingin kau dapat membantuku memecahkan persoalan ini.”

“Katakan Mbokayu. Aku akan membantumu sejauh dapat aku lakukan.”

Adalah di luar dugaan ketika Pandan Wangi kemudian mengusap matanya yang basah. Namun Pandan Wangi berusaha untuk tidak menangis.

Sekar Mirah pun menjadi semakin yakin, bahwa tentu ada persoalan yang penting yang terjadi pada keluarga Pandan Wangi, sehingga serasa menjadi beban yang tidak terangkat oleh Pandan Wangi sendiri.

“Sekar Mirah,” berkata Pandan Wangi, “kedua bebahu yang datang bersamaku itu tidak tahu apa yang sebenarnya menjadi beban perasaanku. Aku mengatakan kepada mereka, bahwa aku ingin melihat keluarga Tanah Perdikan ini setelah perang, yang menurut pendengaran kami di Sangkal Putung terhitung perang yang besar.”

“Perang itu memang terhitung besar, Mbokayu. Prastawa terluka parah. Untunglah bahwa nyawanya masih dapat diselamatkan.”

“Syukurlah,” desis Pandan Wangi.

Adalah di luar sadarnya jika Sekar Mirah pun kemudian bertanya, “Kenapa Kakang Swandaru tidak mengantar Mbokayu, sehingga Mbokayu harus mengajak kedua orang bebahu itu?”

Pandan Wangi memandang Sekar Mirah dengan sorot mata yang ganjil. Bahkan mata Pandan Wangi itu pun kemudian menjadi berkaca-kaca.

“Mbokayu. Apa yang terjadi?” Sekar Mirah menjadi semakin gelisah, “Apa yang terjadi dengan Kakang Swandaru?”

Pandan Wangi bertahan untuk tidak menangis. Namun kata-katanya menjadi semakin sendat dan patah-patah, “Kakang Swandaru telah berubah, Sekar Mirah.”

“Berubah? Apanya yang berubah?”

“Kakang Swandaru tidak mau mengantarku. Jika hanya itu yang dilakukan, aku dapat menunda kepergianku ke Tanah Perdikan. Untuk menenangkan hatiku, aku dapat mengirimkan dua tiga orang untuk mencari berita keselamatan keluarga Tanah Perdikan ini. Tetapi Kakang Swandaru benar-benar telah terbenam ke dalam satu putaran kehidupan yang tidak pernah dijamahnya sebelumnya.”

“Apa yang terjadi?”

Pandan Wangi terdiam sejenak. Namun kemudian dengan sendat ia pun berkata, “Kakang Swandaru telah menempuh jalan kehidupan yang seharusnya dijauhi.”

“Maksud Mbokayu?”

“Kehidupan malam seakan-akan telah menelannya.”

“Judi?” bertanya Sekar Mirah.

Pandan Wangi menggeleng.

Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Ia pun bergeser lebih dekat sambil bertanya, “Jadi, apa?”

“Sejak Kakang Swandaru mendapat undangan dari seorang saudagar ternak yang sedang menyelenggarakan upacara pernikahan anaknya. Dalam perayaan yang berlangsung tiga hari tiga malam, saudagar itu menyelenggarakan tari tayub.”

“Tari Tayub?” bertanya Sekar Mirah.

“Tari tayub dengan beberapa orang penari cantik. Seorang di antaranya sangat cantik. Ternyata Kakang Swandaru telah diracuni oleh kecantikan tledek itu. Tiga malam Kakang Swandaru terus-menerus datang ke rumah saudagar ternak itu untuk menari tayub. Bahkan setelah itu, Kakang Swandaru sering menyelenggarakannya sendiri, memanggil penari cantik itu.”

“Mbokayu tidak menghentikannya?”

“Aku sudah mencoba. Bahkan telah terjadi salah paham.”

“Bagaimana dengan Ayah?”

“Ki Demang menjadi marah kepada Kakang Swandaru. Tetapi Kakang Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan Ki Demang yang semula telah menyerahkan segala macam tugasnya kepada Kakang Swandaru, sebagian telah diambilnya kembali.”

Pandan Wangi berhenti sejenak. Namun kemudian katanya, ”Tetapi Ayah sudah tua. Aku kira lebih tua dari Ayah Ki Gede Menoreh.”

Wajah Sekar Mirah menjadi tegang. Katanya, “Itu harus dihentikan!”

“Tetapi jika aku dan Ki Demang sudah tidak mampu menghentikannya, apa yang dapat kami lakukan di Kademangan Sangkal Putung?”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam, sementara Pandan Wangi berkata selanjurnya, “Karena aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, maka aku sengaja menemuimu, Sekar Mirah.”

Jantung Sekar Mirah terasa berdebar semakin cepat, sementara Pandan Wangi semakin sibuk mengusap matanya yang basah, meskipun ia tidak menangis.

“Sekar Mirah,” berkata Pandan Wangi kemudian dengan suara yang terputus-putus, “aku berharap bahwa kau mau membantuku mencari jalan keluar.”

“Aku akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu.”

“Sebenarnya aku merasa sangat malu dengan Kakang Agung Sedayu, seperti juga aku malu menyampaikannya kepada Ayah. Tetapi aku sudah tidak mempunyai tempat lagi untuk mengadu selain kepadamu, Sekar Mirah.”

“Mbokayu,” berkata Sekar Mirah, “aku tidak akan berdiam diri. Sekarang aku belum dapat mengatakan, apa yang akan aku lakukan. Tetapi setelah aku berbicara dengan Kakang Agung Sedayu, maka aku akan menentukan langkah yang akan aku tempuh. Tetapi aku kira, sebaiknya aku menemui Kakang Swandaru.”

“Terima kasih, Sekar Mirah. Aku sangat mengharapkan bantuanmu.”

“Nanti kita bicarakan dengan Kakang Agung Sedayu.”

“Kau sajalah yang menyampaikannya, Sekar Mirah.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya kita berdua bersama-sama menyampaikan kepada Kakang Agung Sedayu.”

“Tolong, kau sajalah yang menyampaikannya. Aku nanti akan pergi menghadap Ayah. Tetapi aku tidak akan mengatakan bahwa Kakang Swandaru telah berubah.”

“Kenapa?”

“Ayah tentu akan menyalahkan aku. Jika seorang istri pandai melayani suaminya, maka suaminya tidak akan berpaling kepada perempuan lain.”

“Kau dapat menceritakan kenapa hal itu terjadi.”

“Tetapi Ayah tidak akan menerima alasan-alasan itu. Tetapi jika terjadi sebaliknya, Ayah tidak akan menyalahkan laki-laki,” berkata Pandan Wangi

“Maksudmu?”

“Jika seorang perempuan menyeleweng.”

“Biarlah nanti Kakang Agung Sedayu yang menjelaskan kepada Ki Gede.”

“Tetapi sebaiknya tidak usah. Aku pun akan mengatakan kepada Ayah, bahwa aku belum singgah kemari.”

“Mbokayu,” desis Sekar Mirah, “kenapa Mbokayu tidak berterus terang kepada Ki Gede? Jika Mbokayu tidak mengatakan yang sebenarnya, maka untuk selanjutnya Mbokayu harus mempertahankan ketidak-benaran itu.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Sementara Sekar Mirah pun bertanya, “Lalu apa kata Mbokayu tentang kedua pengawal itu, dan kenapa Kakang Swandaru tidak ikut datang kemari?”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya Katanya, “Aku menjadi bingung, Sekar Mirah.”

“Tunggulah di sini. Nanti jika Kakang Agung Sedayu datang, kita berbicara. Mbokayu tidak usah merasa malu. Bukankah yang Mbokayu hadapi itu satu kenyataan? Demikian pula terhadap Ki Gede. Yang penting, bagaimana Mbokayu mencari jalan keluar.”

Pandan Wangi masih terdiam. Sementara Sekar Mirah bertanya, “Apakah kedua orang bebahu itu tahu, apa yang sering dilakukan Kakang Swandaru di rumah?”

Pandan Wangi mengangguk.

“Jika demikian, meskipun Mbokayu tidak mengatakan kepada mereka, agaknya kedua orang bebahu itu sudah dapat menduga. Mereka tentu sudah dapat meraba, kenapa Kakang Swandaru tidak mengantar Mbokayu kemari.”

“Mungkin, Sekar Mirah. Tetapi aku tidak berterus terang kepada mereka.”

“Mbokayu,” desis Sekar Mirah kemudian, “sebaiknya Mbokayu tidak menyembunyikan kenyataan ini kepada Ki Gede dan kepada Kakang Agung Sedayu. Mungkin Mbokayu memang tidak perlu mengatakan kepada kedua orang bebahu itu. Jika mereka mengerti dengan sendirinya, terserah saja kepada tanggapan mereka.”

“Agaknya seluruh Kademangan menjadi kecewa terhadap sikap Kakang Swandaru. Tetapi ada juga segolongan orang yang ingin mencari keuntungan dengan perubahan sikap yang terjadi pada Kakang Swandaru itu. Mereka adalah orang-orang yang selalu datang ke rumah, ikut dalam penyelenggaraan tayub, minum tuak, mabuk, dan akhirnya mereka tenggelam dalam kehangatan sikap para penari itu.”

“Mbokayu. Di sini juga sering ada pertunjukan tayub dengan penari-penari cantik. Tetapi akibatnya tidak seburuk yang Mbokayu katakan.”

“Memang tidak semua penari tayub berkelakuan buruk seperti yang sering dipanggil Kakang Swandaru itu, Sekar Mirah. Aku tahu. Tetapi demikianlah yang terjadi dengan Kakang Swandaru.”

“Sudahlah, Mbokayu. Sebaiknya Mbokayu menunggu Kakang Agung Sedayu.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, ”Baiklah. Aku akan menunggu Kakang Agung Sedayu.”

“Sekarang, silakan Mbokayu beristirahat di dalam bilik itu. Bilik itu baru saja ditinggalkan penghuninya.”

“Siapa?”

“Ki Wijil dan Nyi Wijil. Dua orang berilmu tinggi yang telah membantu Tanah Perdikan ini melawan orang-orang yang berniat merebut Tanah Perdikan ini. Mereka berniat menyusun landasan yang kuat untuk meloncat ke Mataram.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Jika saja aku berada di sini waktu itu.”

“Nyi Wijil ternyata memiliki ciri-ciri Srigunting Kuning. Tetapi ia bukan Srigunting Kuning yang terkenal di pesisir utara. Nyi Wijil justru berusaha memperbaiki citra Srigunting Kuning. Tetapi orang banyak sudah terlanjur membedakan antara Srigunting Kuning yang hitam dan Srigunting Kuning yang putih.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih, Sekar Mirah. Aku akan berganti pakaian saja. Pakaian khusus ini hanya pantas dipakai dalam perjalanan berkuda.”

“Silakan Mbokayu.”

Dalam pada itu, Empu Wisanata dan Ki Jayaraga telah berada di pringgitan pula, menemui kedua orang bebahu Kademangan Sangkal Putung. Justru Glagah Putih-lah yang telah meninggalkan pringgitan. Ia masih mempunyai kewajiban mengisi jambangan pakiwan. Sementara Sukra mengisi gentong di dapur.

Kedua bebahu yang menemani Pandan Wangi itu pun telah mendengarkan cerita tentang perang yang baru saja terjadi di Tanah Perdikan Menoreh dari Sabungsari. Sekali-sekali Ki Jayaraga dan Empu Wisanata pun telah melengkapinya.

“Yang terjadi adalah perang yang besar,” desis bebahu itu.

“Kami memang harus mengerahkan segenap kekuatan untuk menghadapinya. Bahkan Mataram telah memerintahkan prajurit Mataram yang berada di Ganjur untuk membantu kami di sini, di samping prajurit Mataram yang memang sudah berada di Tanah Perdikan ini.”

Kedua bebahu itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Peristiwa seperti ini pernah terjadi juga di Sangkal Putung, ketika Tohpati yang digelari Macan Kepatihan berusaha merebut Sangkal Putung yang subur, untuk dijadikan landasan perjuangan mereka selanjutnya.”

Yang lain pun kemudian meneruskan, “Waktu itu pasukan Pajang yang dipimpin oleh Ki Widura dan Ki Untara telah berada di Kademangan Sangkal Putung pula.”

Yang mendengarkan cerita itu mengangguk-angguk. Namun seorang dari bebahu itu bertanya, “Apakah Tanah Perdikan tidak memperhitungkan kemungkinan mereka akan datang kembali?”

“Memang mungkin,” jawab Ki Jayaraga, “tetapi tentu tidak untuk waktu yang singkat. Mereka telah dihancurkan. Di antara mereka banyak yang tertangkap dan menyerah. Namun untuk jangka waktu yang panjang, kemungkinan itu memang ada.”

Namun pembicaraan mereka terputus ketika Pandan Wangi dan Sekar Mirah keluar lewat pintu pringgitan dan duduk pula di antara mereka. Pandan Wangi telah berganti pakaian. Meskipun agak ragu, Pandan Wangi itu pun berkata, “Kakang berdua. Aku masih menunggu Kakang Agung Sedayu. Aku mohon Kakang berdua untuk tinggal di sini sampai besok.”

“Jadi kami harus bermalam di sini, Nyi?”

“Sebaiknya begitu. Jika kalian pulang hari ini, selain kuda kalian masih lelah, kalian pun akan kemalaman di jalan. Bukankah lebih baik bermalam di sini daripada bermalam di jalan, meskipun kalian berdua dapat saja bermalam di banjar padukuhan yang kalian lewati, atau berjalan terus meskipun sampai lewat tengah malam?”

Yang tertua di antara kedua bebahu itu pun menjawab, “Baik, Nyi. Kami akan bermalam di sini. Besok pagi-pagi benar, kami akan mohon diri.”

“Baik. Sekar Mirah tentu tidak akan keberatan kalian bermalam.”

“Selanjutnya, kapan kami harus menjemput?”

Yang menyahut adalah Sekar Mirah, “Kalian berdua tidak usah menjemput Mbokayu Pandan Wangi. Aku dan Kakang Agung Sedayu akan menemaninya pulang. Jika karena sesuatu hal aku tidak dapat pergi ke Sangkal Putung, maka biarlah Glagah Putih yang pergi.”

Kedua bebahu itu mengangguk.

“Sudah lama aku tidak menengok keluarga di Sangkal Putung. Mungkin Kakang Agung Sedayu juga ingin bertemu dengan Paman Widura dan melihat padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing itu.”

“Terima kasih. Kami akan menyampaikan kepada Swandaru.”

“Terima kasih,” desis Sekar Mirah.

Adalah di luar sadarnya jika salah seorang dari kedua orang bebahu Kademangan Sangkal Putung itu bergumam, seolah-olah kepada diri sendiri, “Memang ada baiknya Nyi Lurah pergi ke Sangkal Putung.”

“Kenapa?”

Orang itu justru tergagap. Namun kemudian jawabnya, “Bukankah Nyi Lurah sudah agak lama tidak menengok keluarga di Sangkal Putung?”

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Tetapi ia dapat menangkap apa yang tersirat dari gumam bebahu itu. Agaknya ia pun mencemaskan perkembangan terakhir di kademangan itu. Tentu dalam hubungannya dengan tingkah laku kakaknya, Swandaru Geni.

Sementara itu, Pandan Wangi pun berkata, “Tolong, katakan kepada Kakang Swandaru, bahwa aku berada di sini sekitar dua pekan. Aku akan pulang bersama Sekar Mirah.”

“Dua pekan atau lebih,” sambung Sekar Mirah.

Tetapi Pandan Wangi tersenyum, meskipun terasa senyumnya masam. Katanya, “Aku tidak dapat terlalu lama meninggalkan anakku. Ia tentu akan selalu menanyakan ibunya.”

“Seharusnya kau ajak anakmu,” desis Sekar Mirah.

Pandan Wangi tidak menjawab. Salah seorang bebahu itulah yang kemudian berkata, “Kami akan menyampaikannya kepada Swandaru.”

“Terima kasih,” desis Pandan Wangi.

Namun Pandan Wangi pun kemudian berkata, “Silakan Kakang berdua merawat kuda Kakang yang agaknya letih dan lapar. Aku akan minta Glagah Putih menyediakan rumput.”

“Baik, Nyi,” jawab kedua bebahu itu hampir berbareng.

Sementara Sabungsari pun berkata, “Aku akan memanggil Glagah Putih. Sukra akan dapat menghubungi orang yang setiap hari mencari rumput untuk kuda-kuda kami di sini.”

“Aku akan menunggu Kakang Agung Sedayu di sini,” berkata Pandan Wangi kemudian.

Kedua orang bebahu itu pun segera turun ke halaman bersama Sabungsari, yang kemudian menuntun kuda Pandan Wangi ke belakang. Sementara kedua orang bebahu itu telah menuntun kuda mereka masing-masing.

Glagah Putih dan Sukra yang kemudian dipanggil, telah membantu kedua bebahu itu merawat kuda mereka. Sementara Glagah Putih pun berkata kepada Sukra, “Kau nanti pergi ke rumah Ija. Katakan bahwa kita membutuhkan rumput lebih banyak. Biarlah Ija mengajak Ganggeng mencari rumput.”

Dalam pada itu, kedua bebahu itu merasa lebih bebas berada di belakang bersama Glagah Putih dan Sabungsari, daripada duduk di pendapa. Sementara itu, Rara Wulan telah diminta untuk membersihkan bilik di gandok kiri bagi kedua bebahu yang mengantar Pandan Wangi, dan akan bermalam semalam di rumah itu. Sedangkan Sekar Mirah dan Nyi Dwani sibuk menyiapkan makan bagi tamu-tamu mereka.

Sambil menunggu kedatangan Agung Sedayu, maka Sekar Mirah telah mempersilakan Pandan Wangi dan kedua orang bebahu yang mengantarkannya itu makan di ruang dalam.

Ketika matahari kemudian menjadi semakin rendah, maka Agung Sedayu pun pulang dari barak. Seperti Sekar Mirah ketika melihat kedatangan Pandan Wangi, maka Agung Sedayu pun terkejut pula ketika ia melihat Pandan Wangi duduk di ruang dalam rumahnya bersama dua orang bebahu. Sejak mereka selesai makan, mereka masih duduk di ruang dalam bersama dengan Sekar Mirah. Dari mereka Sekar Mirah mendengar perkembangan terakhir kademangannya, tanpa menyinggung tingkah laku Swandaru di saat-saat terakhir.

“Pandan Wangi,” desis Agung Sedayu.

Hampir saja Pandan Wangi tidak dapat mempertahankan air di matanya yang akan tumpah. Meskipun tenggorokannya serasa tersumbat, tetapi Pandan Wangi tidak menangis. Ia hanya bangkit berdiri termangu-mangu. Sementara kedua orang bebahu yang mengantarkannya itu bangkit berdiri pula.

“Silakan duduk,” Agung Sedayu mempersilakan. Sejenak kemudian mereka telah duduk kembali di ruang dalam.

Dengan ragu Agung Sedayu pun bertanya, “Di mana Adi Swandaru?”

“Kakang Swandaru tidak dapat ikut datang kemari, Kakang. Kakang Swandaru baru sibuk sekali. Ada beberapa tugas yang tidak dapat ditinggalkannya.”

“Oh,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun terasa sesuatu berdesir di dadanya.

Sebelum Agung Sedayu bertanya lebih lanjut, maka Pandan Wangi itu pun berkata, “Kakang. Aku telah mendengar bahwa telah terjadi perang di Tanah Perdikan ini.”

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya. Beberapa waktu yang lalu.”

“Aku sudah mendengar banyak dari Sekar Mirah,” Pandan Wangi berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Kabar tentang perang itu telah menggelisahkan aku. Karena itu, aku datang untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi di sini.”

“Kami memang harus mengerahkan tenaga dan kemampuan untuk memenangkan perang itu.”

“Aku tidak berani langsung menghadap Ayah. Aku tidak ingin terkejut jika ada kabar yang kurang menyenangkan. Karena itu, aku langsung datang kemari. Baru nanti aku menghadap Ayah. Setelah aku mendengar kabar tentang perang yang terjadi, maka aku tidak lagi merasa cemas untuk datang mengunjungi Ayah.”

“Nanti kami antar kau pergi menghadap Ki Gede,” berkata Sekar Mirah.

“Ya, sebentar lagi, setelah aku mandi,” sahut Agung Sedayu.

“Aku tidak tergesa-gesa, Kakang. Mungkin Kakang perlu beristirahat. Nanti lewat senja sajalah kita pergi,” sahut Pandan Wangi.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang wajar terjadi pada Pandan Wangi.

Dalam pada itu, kedua orang bebahu yang mengantar Pandan Wangi, setelah berbicara beberapa patah kata dengan Agung Sedayu, maka yang seorang di antara mereka pun berkata, ”Maaf, Ki Lurah. Perkenankan kami duduk di luar saja. Udaranya terasa agak panas di sini.”

Agung Sedayu pun segera tanggap. Katanya, “Baiklah. Silahkan. Biarlah Glagah Putih menemani kalian.”

“Terima kasih, Ki Lurah. Kami-lah yang justru akan pergi ke kandang.”

“Oh, silahkan.”

Kedua orang bebahu itu pun segera keluar dari ruang dalam. Mereka bahkan langsung turun ke halaman dan pergi ke belakang. Sementara Glagah Putih, Sukra dan Sabungsari masih berada di kandang.

Di ruang dalam, Sekar Mirah-lah yang mulai membuka pembicaraan dengan Agung Sedayu, “Kakang, sebenarnyalah ada hal yang penting yang akan disampaikan oleh Mbokayu Pandan Wangi.”

“Barangkali Kakang Agung Sedayu akan beristirahat lebih dahulu,” desis Pandan Wangi.

“Aku tidak letih Pandan Wangi. Katakan. Agaknya memang ada satu hal yang penting yang kau bawa kemari.”

“Ya, Kakang,” jawab Pandan Wangi sambil menundukkan wajahnya.

Agung Sedayu tidak memotong kata-kata Pandan Wangi. Tetapi ia menunggu dengan sabar, sementara dada Pandan Wangi terasa bagaikan bergejolak.

“Kakang,” berkata Pandan Wangi kemudian.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya.

“Kakang Swandaru sekarang telah berubah.”

“Apa yang berubah?”

Pandan Wangi pun kemudian menceritakan kembali apa yang sudah diceritakannya kepada Sekar Mirah. Dengan suara yang tersendat ia pun berkata, “Aku dan Ki Demang Sangkal Putung sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Karena itu, aku datang kemari. Mungkin Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih mempunyai pengaruh terhadap Kakang Swandaru.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku harus menemui Adi Swandaru.”

“Ya. Agaknya memang demikian,” sahut Pandan Wangi.

“Baiklah. Aku dan Sekar Mirah akan pergi ke Sangkal Putung. Tetapi segala sesuatunya masih menunggu isyarat dari Ki Gede.”

“Aku masih saja ragu-ragu. Apakah aku harus menyampaikannya kepada Ayah atau tidak.”

“Sebaiknya kau beri tahu Ki Gede, agar Ki Gede dapat mengetahui keadaan keluargamu yang sebenarnya. Jika Ki Gede tidak mengetahuinya, tetapi tiba-tiba ia dihadapkan pada satu kenyataan yang tidak diinginkannya, Ki Gede akan menjadi sangat terkejut. Karena itu, biarlah Ki Gede mengetahui sejak awal. Ki Gede tentu akan sangat bergembira jika persoalan ini kemudian dapat dipecahkan dan dapat diatasi.”

Pandan Wangi nampak ragu-ragu.

Dengan nada rendah Sekar Mirah pun berkata, “Jangan kau sembunyikan persoalanmu itu di hadapan Ki Gede, Mbokayu.”

“Sudah aku katakan, Ayah tentu akan menyalahkan aku.”

“Tetapi kau dapat mengatakan apa adanya. Tanpa dikurangi tanpa ditambahi. Apapun tanggapan Ki Gede, tetapi kau sudah tidak menyembunyikan apa-apa lagi.”

Pandan Wangi memandang Sekar Mirah dengan sorot mata yang dimuati oleh kebimbangan hatinya. Namun Sekar Mirah itu pun berkata, “Aku juga sudah mengatakan, bahwa sebaiknya kau tidak menyembunyikan kenyataan ini.”

“Baiklah,” berkata Pandan Wangi, “nanti aku akan menyampaikannya kepada Ayah.”

“Baiklah. Sekarang, aku akan ke pakiwan. Nanti kita pergi ke rumah Ki Gede,” berkata Agung Sedayu.

Demikianlah, lepas senja, Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengantar Pandan Wangi pergi menghadap Ki Gede Menoreh. Pandan Wangi minta kedua bebahu yang menemaninya ke Ttanah Perdikan untuk tinggal di rumah Agung Sedayu.

“Jika nanti aku tidak kembali kemari, maka besok pagi-pagi sebelum berangkat kembali ke Sangkal Putung, kalian hendaknya singgah dahulu di rumah Ki Gede,” pesan Pandan Wangi.

Kedua bebahu itu tidak bertanya lebih jauh. Mereka mengerti bahwa Pandan Wangi sedang dicekam oleh kegelisahan karena tingkah laku suaminya.

Kedatangan Pandan Wangi bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mengejutkan Ki Gede. Demikian mereka duduk di ruang dalam, Ki Gede pun langsung bertanya, “Jadi kau langsung pergi ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Ya, Ayah. Aku ingin segera bertemu dan berbicara dengan Sekar Mirah.”

“Kau sendirian?”

“Dua orang bebahu Sangkal Putung menemani aku sepanjang perjalanan.”

“Maksudku, suamimu?”

“Kakang Swandaru tidak dapat mengantarkan aku.”

Sebagai orang tua, Ki Gede langsung dapat menebak bahwa keluarga anaknya sedang diliputi oleh mendung yang kelabu. Tetapi Ki Gede tidak ingin mendahului mempertanyakan persoalan yang sebenarnya. Yang ditanyakan kemudian adalah justru keadaan dan kesehatan keluarga di Sangkal Putung.

“Baik, Ayah. Semuanya sehat-sehat saja.”

“Bagaimana dengan cucuku? Sebenarnya aku ingin mendukungnya. Seharusnya kau bawa anakmu itu kemari.”

“Aku sudah merencanakannya, Ayah. Tetapi aku belum sempat. Lain kali aku akan mengajaknya kemari.”

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Menunggu kalau anak itu sudah pandai naik kuda sendiri?”

“Ah, Ayah,” desis Pandan Wangi. Pandan Wangi pun mencoba untuk tersenyum. Tetapi senyumnya terasa hambar sekali.

Namun akhirnya Ki Gede itu pun bertanya, “Apakah suamimu sibuk sekali, sehingga tidak dapat mengantarmu kemari?”

“Ya, Ayah. Aku-lah yang tidak sabar. Ketika aku mendengar kabar bahwa telah terjadi perang di Tanah Perdikan ini, maka aku segera ingin melihatnya. Aku sudah menunda keberangkatan karena Kakang Swandaru sedang sibuk. Tetapi akhirnya aku tidak dapat menundanya lagi.”

“Apa saja kesibukan suamimu, sehingga ia membiarkan kau pergi sendiri meskipun bersama dua orang bebahu?”

Ketika Pandan Wangi mendengar pertanyaan yang sama dari Sekar Mirah dan dari Agung Sedayu, Pandan Wangi masih dapat menahan gejolak perasaannya. Tetapi ketika hal itu ditanyakan oleh ayahnya, maka jantungnya terasa berdenyut semakin cepat. Matanya menjadi panas dan kerongkongannya bagaikan tersumbat.

Bagaimanapun juga Pandan Wangi bertahan, namun dari kedua matanya telah meleleh air matanya.

“Pandan Wangi,” berkata ayahnya, “aku tahu. Tentu telah timbul persoalan di dalam keluargamu. Nah, katakan.”

Pandan Wangi terdiam sesaat. Dengan susah payah ia bertahan agar tangisnya tidak terhambur keluar. Air matanya ditahannya agar tidak meluncur dengan derasnya seperti bendungan pecah.

Dengan sendat, Pandan Wangi itu pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi pada keluarganya.

“Jadi Swandaru tidak mempedulikanmu lagi?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Ya, Ayah.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, ”Agaknya kau tidak pandai melayani suamimu, Pandan Wangi. Semakin lama kalian berumah tangga, seharusnya kau menjadi semakin mengerti, apa yang harus kau lakukan.”

Jantung Pandan Wangi bagaikan tersengat duri. Tetapi ia sudah menduga bahwa ayahnya akan menyalahkannya. Demikian pepat hatinya, maka Pandan Wangi itu pun berkata, “Ayah. Aku memang sudah ragu-ragu untuk menyampaikan hal ini kepada Ayah. Aku tahu, Ayah tentu hanya akan menyalahkan aku.”

“Aku tidak menyalahkan kau, Pandan Wangi,” sahut ayahnya, “tetapi bukankah menurut nalarnya demikian? Jika kau dapat membuat hati suamimu cerah, maka keluargamu pun akan menjadi cerah. Suamimu tidak akan berpaling kepada perempuan yang manapun, secantik apapun. Mungkin seorang laki-laki dapat saja mengagumi kecantikan perempuan. Tetapi tidak lebih daripada mengagumi keindahan yang lain. Bunga, pemandangan, warna-warna yang digelar di atas cakrawala.”

“Ki Gede,” Sekar Mirah memberanikan diri menyela, “aku mohon maaf jika aku mencampuri pembicaraan ini, karena aku juga seorang perempuan.”

“Bagaimana menurut Nyi Lurah?”

“Bunga yang indah, pemandangan, gunung dan matahari terbit, serta warna-warna yang digelar di cakrawala, adalah keindahan alam yang menunggu untuk dikagumi. Tetapi perempuan akan berbuat lebih dari itu. Bahkan ada perempuan yang dengan sengaja telah menggoda. Mereka dengan sengaja memanasi hati seorang laki-laki yang dikehendaki. Mungkin karena orang itu berpangkat, kaya dan berkedudukan, dan disegani banyak orang. Perempuan yang demikian tidak lagi menghiraukan tatanan kehidupan yang berlaku. Ia tidak menghiraukan lagi apakah laki-laki yang diingininya itu sudah beristri atau belum. Yang penting, keinginannya dapat dicapainya dengan segala macam cara.”

“Aku mengerti, Nyi Lurah. Tetapi jika seorang istri dapat mendudukkan dirinya tepat pada yang sebenarnya, maka godaan yang demikian itu tidak akan dapat menyeret suaminya ke dalam jalan yang sesat.”

“Ayah,” Pandan Wangi menjadi semakin sulit menahan tangisnya, “apakah demikian juga jika terjadi sebaliknya? Apakah salah laki-laki, jika seorang istri berpaling dari suaminya?”

Wajah Ki Gede menegang. Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Ki Gede. Pandan Wangi datang menghadap Ki Gede untuk mohon petunjuk, apakah yang sebaiknya dilakukan.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak Katanya, “Tidak baik bagi seorang istri yang lari dari rumahnya, pulang ke rumah orang tuanya. Riak-riak kecil seperti itu adalah wajar sekali terjadi dalam masa perkawinan. Sebentar lagi segala sesuatunya akan kembali seperti semula. Karena itu, aku justru ingin minta kepada Pandan Wangi, jangan terlalu lama berada di Tanah Perdikan. Sebaiknya kau segera kembali. Jika suaminya itu tenggelam dalam satu kehidupan yang liar, tanpa kau di rumah, maka ia akan menjadi semakin tidak terkendali. Karena itu Pandan Wangi, kau harus segera pulang. Perlakukan suamimu dengan baik. Hatinya tentu akan menjadi lunak dan melihat jalan kebenaran.”

Pandan Wangi ingin menjerit. Tetapi ia masih tetap berjuang untuk tetap menguasai perasaannya.

Sekar Mirah pun yang kemudian berkata, “Ki Gede. Aku dan Kakang Agung Sedayu akan mengantarkan Pandan Wangi pulang.”

“Nyi Lurah,” berkata Ki Gede dengan nada rendah, “aku adalah orang tua. Karena itu, maka aku wajib memperingatkan Nyi Lurah dan Ki Lurah. Sebaiknya kalian berdua tidak mencampuri persoalan yang terjadi dalam keluarga Pandan Wangi.”

Tetapi Sekar Mirah dengan cepat menyahut, “Maaf, Ki Gede. Kakang Swandaru adalah kakak kandungku. Aku mempunyai kewajiban untuk membantunya menemukan kembali ketenangan hidup dalam keluarganya. Aku dapat berbicara dengan Kakang Swandaru dan Ayah, karena aku adalah bagian dari darah daging mereka.”

“Sementara itu, Swandaru adalah adik seperguruanku, Ki Gede. Aku pun mempunyai kewajiban untuk memperingatkannya. Meskipun hubunganku dengan Adi Swandaru tidak serapat hubungannya dengan Sekar Mirah, namun aku berhak pula untuk berbicara dengan adik seperguruanku itu.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Kalian memang berhak berbicara dengan Angger Swandaru. Tetapi aku mohon, kalian tidak terlalu dalam mencampuri persoalan rumah tangga Pandan Wangi. Sebaiknya Pandan Wangi sendiri menyelesaikan persoalannya dengan suaminya.”

Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Sambil menahan tangisnya, dengan susah-payah ia berkata patah-patah, “Aku sudah tidak sanggup lagi, Ayah. Aku pasrah jika Ayah menganggap bahwa aku yang bersalah.”

“Sejak tadi aku katakan, bahwa aku tidak menyalahkanmu, Pandan Wangi. Tetapi sebaiknya kau berani melihat ke dalam dirimu sendiri. Apakah masih ada yang kurang? Jika yang kurang itu kemudian dapat kau isi, maka aku yakin bahwa keluargamu akan segera pulih kembali. Dan bahkan seperti tanaman yang baru saja dirabuk. Cinta dan kesetiaan kalian akan semakin berkembang.”

“Baik, Ayah. Aku akan melihat ke dalam diriku sendiri. Aku akan mencari, yang manakah yang masih kurang sesuai dengan keinginan Kakang Swandaru. Mungkin aku harus belajar menjadi tledek tayub.”

“Kau salah paham, Pandan Wangi,” desis ayahnya.

“Ki Gede,” berkata Sekar Mirah, yang juga seorang perempuan, “mungkin kita memang harus membedakan, apakah yang sekarang menyala di hati Kakang Swandaru itu karena cintanya kepada Mbokayu Pandan Wangi sudah kering, atau sekedar hatinya dibakar oleh nafsu.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nyi Lurah. Agaknya memang ada baiknya Nyi Lurah dan Ki Lurah pergi menemani Pandan Wangi pulang ke Sangkal Putung.” Lalu Ki Gede pun bertanya kepada Pandan Wangi, “Kapan kau akan pulang Pandan Wangi?”

“Aku ingin menenangkan hatiku lebih dahulu di sini, Ayah. Mungkin dua atau tiga pekan.”

Ki Gede terkejut. Katanya, “Begitu lama? Aku kira kau hanya akan tinggal satu atau dua malam saja di sini, Pandan Wangi. Bagaimana dengan anakmu? Dan seperti aku katakan, semakin lama kau tinggalkan suamimu, maka ia akan merasa semakin bebas. Ikatan di antara kalian akan menjadi semakin kendur.”

Pandan Wangi termangu-mangu. Kata-kata ayahnya itu memang ada benarnya. Semakin lama ia pergi, maka Swandaru akan menjadi semakin gila. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Aku akan mempertimbangkannya kembali, Ayah. Mungkin dua hari, mungkin tiga hari lagi aku akan pulang.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kau dapat mempergunakan waktumu yang dua atau tiga hari itu untuk benar-benar beristirahat lahir dan batin di sini. Biarlah bilik bagimu disediakan. Bilikmu dahulu.”

“Tidak usah, Ayah. Aku akan tidur di rumah Sekar Mirah.”

Ki Gede terkejut. Hampir di luar sadarnya ia pun bertanya, “Apa maksudmu, Pandan Wangi?”

“Aku ingin mempunyai kawan berbincang seorang perempuan. Seorang perempuan yang mengerti tentang diriku, dan memberikan pengharapan untuk dapat mengekang tingkah laku Kakang Swandaru.”

“Di sini juga ada beberapa orang perempuan yang dapat menemanimu, Pandan Wangi.”

“Mereka tidak akan dapat memberikan pertimbangan dengan jujur. Mereka tentu lebih banyak mengiyakan kata-kataku, atau mengulang-ulang pendapat Ayah bahwa aku harus mawas diri dan memberikan pelayanan lebih baik kepada Kakang Swandaru, tanpa mempertimbangkan tingkah laku serta pengaruh yang sedang mencengkamnya.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa sikapnya telah sangat mengecewakan Pandan Wangi. Karena itu ia tidak ingin semakin mengecewakannya. Katanya, “Baiklah, Pandan Wangi. Jika itu yang kau anggap terbaik di hari-hari istirahatmu ini. Tetapi kau tentu tidak akan lupa menengokku besok, lusa dan selama kau berada di Tanah Perdikan ini.”

“Baik, Ayah. Besok aku akan kemari.”

Demikianlah, beberapa saat kemudian, Pandan Wangi bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah minta diri. Meskipun sekali lagi ayahnya memintanya untuk tinggal, Pandan Wangi tetap berniat untuk tidur di rumah Sekar Mirah.

Ketika Pandan Wangi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah sampai di rumah Agung Sedayu, maka Rara Wulan, Nyi Dwani, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata sedang duduk di ruang tengah. Ketika Rara Wulan dan Nyi Dwani akan bangkit, Sekar Mirah pun berkata, “Duduk sajalah, Nyi.”

Nyi Dwani dan Rara Wulan memang tidak lagi meninggalkan ruang itu. Mereka bahkan terlibat dalam satu pembicaraan yang panjang, tentang berbagai macam persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung.

Sementara itu, Glagah Putih dan Sabungsari menemani kedua orang bebahu Kademangan Sangkal Putung duduk di serambi gandok. Seperti mereka yang berbincang di ruang dalam, mereka pun membicarakan pula perkembangan Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin dalam. Glagah Putih-lah yang kemudian mempersilakan kedua orang bebahu itu beristirahat.

“Besok, kalian berdua akan menempuh perjalanan panjang,” berkata Glagah Putih.

Salah seorang bebahu itu pun tersenyum sambil berkata, “Ya. Tetapi kami tidak dikejar waktu. Kami dapat berangkat agak siang, karena Nyi Pandan Wangi tidak jadi bermalam di rumah Ki Gede, sehingga kami dari rumah ini dapat langsung kembali ke Sangkal Putung.”

“Tetapi Sangkal Putung bukan jarak yang dekat,” desis Glagah Putih.

“Kami dapat beristirahat beberapa kali di perjalanan,” jawab bebahu itu, “kami tidak takut terlambat sampai ke tujuan.”

Glagah Putih tersenyum. Sabungsari dan kedua orang bebahu itu pun tersenyum pula.

Meskipun demikian, kedua bebahu itu pun masuk pula ke dalam bilik yang telah disediakan bagi mereka. Mereka memang harus beristirahat. Jika tidak sempat tidur, maka besok mereka akan tertidur di perjalanan.

Sementara itu, Ki Jayaraga, Empu Wisanata, Nyi Dwani, dan Rara Wulan telah masuk ke dalam bilik mereka. Tetapi Pandan Wangi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih duduk di ruang tengah untuk beberapa lama.

“Tledek itu memang cantik,” desis Pandan Wangi.

“Mbokayu pernah melihatnya?”

“Ya. Sudah beberapa kali ia menari di rumah. Kakang Swandaru memanggilnya bersama rombongannya. Dipanggilnya pula kawan-kawannya yang tidak aku sukai. Mereka menari dengan mulut berbau tuak. Sementara itu, tugas-tugas Kakang Swandaru yang telah dilimpahkan oleh Ki Demang, tidak lagi sempat dikerjakannya, sehingga Ki Demang harus mengambil alih kembali, meskipun ia sudah menjadi semakin tua.”

Wajah Sekar Mirah menjadi tegang. Ia tidak mengira bahwa pada satu saat kakaknya telah terjerumus ke dalam kehidupan yang kasar itu.

Karena itu, maka Sekar Mirah itu sudah bertekad untuk pergi menemui kakaknya. Meskipun ia lebih muda dari Swandaru, tetapi Sekar Mirah merasa berkewajiban untuk meluruskan jalan kakaknya yang sesat itu.

Menjelang dini, Agung Sedayu telah mempersilakan Pandan Wangi untuk masuk ke dalam biliknya. Cobaan yang harus dihadapi memang cukup berat.

Di pagi hari berikutnya, ketika Agung Sedayu siap pergi ke barak, kedua orang bebahu dari Sangkal Putung telah siap untuk berangkat pula. Setelah minta diri kepada semua penghuni di rumah Agung Sedayu, maka kedua orang bebahu itu pun menuntun kudanya ke regol halaman rumah Agung Sedayu, bersama-sama dengan Agung Sedayu.

Di regol halaman, Pandan Wangi masih berpesan lagi kepada kedua orang bebahu itu, “Katakan kepada Ki Demang dan kepada Kakang Swandaru, bahwa aku akan kembali bersama Sekar Mirah dan Kakang Agung Sedayu.”

“Kapan Nyi?” bertanya salah seorang bebahu.

“Katakan, aku akan beristirahat di Tanah Perdikan Menoreh.”

Kedua bebahu itu mengangguk. Sekali lagi mereka minta diri dan sejenak kemudian bersama-sama Agung Sedayu, mereka melarikan kuda mereka tidak terlalu cepat, menyusuri jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika keduanya bersama dengan Agung Sedayu keluar dari gerbang padukuhan, seorang di antara mereka berkata, “Swandaru memang telah tergelincir ke dunia yang keruh.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun bertanya, “Apakah Adi Swandaru telah melupakan kewajiban-kewajibannya? Baik sebagai anak seorang Demang yang sudah dipersiapkan untuk mengganti kedudukan ayahnya, maupun sebagai seorang suami dan seorang ayah?”

“Ya. Nampaknya memang demikian. Hampir setiap hari Ki Demang marah-marah. Hampir setiap hari pula Swandaru dan istrinya bertengkar. Akibatnya memang buruk, bukan saja bagi keluarga Ki Demang, tetapi juga bagi wibawa Ki Demang dan Swandaru sendiri.”

“Siapa saja kawan-kawan Adi Swandaru yang sering ikut bermabuk-mabukan serta menari tayub?”

“Sebagian juga orang-orang Sangkal Putung. Sebagian lagi orang-orang yang tidak kami kenal.”

“Sayang sekali. Sangkal Putung yang telah tumbuh dengan baik, harus mengalami kemunduran.”

“Kemunduran yang jauh, Ki Lurah. Kademangan-kademangan yang lebih kecil kini mulai meremehkan Sangkal Putung. Para pengawal kademangan tidak lagi menunjukkan keperkasaannya, karena sebagian besar dari mereka menjadi sangat gelisah, kecewa, dan akhirnya tidak peduli lagi. Yang memprihatinkan, ada di antara para pemimpin pengawal kademangan yang semula dikenal tangguh dan berjiwa kokoh, telah ikut terseret dalam arus kehidupan yang mencemaskan itu. Sementara itu, agaknya tidak ada lagi orang yang sanggup menghentikannya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, ia menjadi benar-benar khawatir. Jika tingkah laku Swandaru itu berkepanjangan, maka Sangkal Putung benar-benar akan kehilangan masa depannya. Kademangan itu tidak akan dihargai lagi oleh kademangan-kademangan tetangganya.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “aku akan menemui Adi Swandaru. Aku akan mencoba untuk memperingatkannya. Jika bukan aku, biarlah Sekar Mirah mencobanya.”

“Ya, Ki Lurah. Rakyat Sangkal Putung sangat mengharapkan. Ki Demang rasa-rasanya sudah tidak sanggup lagi mengendalikannya. Setiap kali Swandaru beralasan bahwa ia sudah bukan anak-anak lagi. Ia sudah menjadi orang, yang mempunyai wewenang atas dirinya sendiri. Bahkan ketika Ki Demang mencabut beberapa wewenang yang telah diberikan kepada Swandaru, Swandaru tidak menghiraukannya.”

Namun mereka tidak dapat berbincang lebih panjang. Mereka telah sampai di sebuah jalan simpang, sehingga mereka harus berpisah. Arah perjalanan kedua orang bebahu Sangkal Putung itu berbeda dengan arah perjalanan Agung Sedayu.

“Sampai jumpa, Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu.

“Sampai jumpa, Ki Lurah. Kami menunggu kedatangan Ki Lurah dan Nyi Lurah di Sangkal Putung. Mudah-mudahan kedatangan Ki Lurah akan dapat membawa perubahan bagi tatanan kehidupan kademangan kami, yang sudah diracuni oleh kehidupan malam yang kotor itu.”

“Kami akan berusaha secepatnya, Ki Sanak. Tetapi kami tidak dapat memaksa Pandan Wangi untuk segera pulang, jika ia masih ingin tinggal di sini beberapa hari.”

Bebahu itu tersenyum. Katanya, “Ya. Nyi Pandan Wangi memang sangat tertekan. Kepada kami Nyi Pandan Wangi tidak mengatakan bahwa ia mempunyai persoalan dengan Swandaru. Tetapi Nyi Pandan Wangi mengatakan bahwa ia ingin melihat akibat dari perang yang baru saja terjadi di Tanah Perdikan ini.”

“Ya. Pandan Wangi juga mengatakan begitu. Tetapi Pandan Wangi pun sudah tahu, bahwa sebenarnya kalian mengetahui keperluan Pandan Wangi yang sebenarnya.”

“Baiklah, Ki Lurah,” berkata salah seorang dari kedua bebahu itu, “mudah-mudahan kedatangan Ki Lurah dan Nyi Lurah dapat mengubah suasana itu.”

“Kami hanya dapat berusaha, Ki Sanak.”

Demikianlah, kedua orang bebahu itu pun segera mengambil jalan simpang menuju ke penyeberangan untuk melintasi Kali Praga menuju ke Sangkal Puntung, sementara Agung Sedayu melanjutkan perjalanannya ke baraknya. Barak prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Namun sehari-harian, Agung Sedayu tidak dapat melepaskan ingatannya dari Swandaru. Di baraknya, Agung Sedayu agak terlalu banyak merenung di bilik khususnya. Beberapa orang pembantunya hanya dapat menduga-duga, bahwa agaknya ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Agung Sedayu. Tetapi tidak seorang pun yang menanyakannya.

Di rumah, Sekar Mirah juga tidak pergi ke dapur. Nyi Dwani dan Rara Wulan-lah yang sibuk. Pagi-pagi Rara Wulan pergi ke pasar untuk berbelanja, sementara Nyi Dwani menanak nasi. Kemudian setelah Rara Wulan pulang dari pasar, mereka berdua pun segera memasak sayur serta lauk-pauknya.

Di belakang, Glagah Putih dan Sabungsari sibuk membelah kayu bakar dengan kapak, sementara Sukra mengisi gentong di dapur.

Namun Rara Wulan pun kemudian minta Sukra untuk memetik dua butir kelapa.

“Bukankah di sudut itu kelapanya yang sejanjang sudah tua?” bertanya Rara Wulan..

“Aku akan memetiknya semua saja. Tidak hanya dua.”

“Tetapi aku hanya membutuhkan satu. Jika kau memetik dua, yang satu butir akan dapat dipergunakan besok.”

“Bukankah besok lusa juga membutuhkan kelapa?” sahut Sukra, “Tanggung jika aku hanya memetik dua butir, sementara sejanjang semuanya sudah tua, hampir kering.”

“Ah, terserah kamu,” jawab Rara Wulan.

Sukra pun pergi ke sudut kebun belakang untuk memetik kelapa. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia tidak hanya memetik dua butir, tetapi sejanjang penuh telah dirontokkannya.

“Hanya delapan butir,” desisnya.

Ketika Sukra membawa kelapa itu ke dapur, ia justru berkata, “Di sebelah, ada sejanjang lagi. Biar aku petik sekalian.”

“Buat apa?” bertanya Rara Wulan.

“Bukankah Nyi Lurah sering membuat minyak goreng?”

“Tetapi Mbokayu Sekar Mirah tentu tidak sempat membuatnya. Bukankah Mbokayu baru menerima tamu?”

“Apakah Nyi Lurah harus menemuinya terus-menerus siang dan malam?”

“Sst,” desis Nyi Dwani, “tamu itu datang dari jauh.”

“Aku sudah mengerti. Bukankah Nyi Pandan Wangi itu anak perempuan Ki Gede? Tetapi kenapa ia bermalam di sini?” desis Sukra.

“Karena di sini ada kamu,” sahut Rara Wulan.

Sukra mengerutkan dahinya. Namun kemudian sambil bersungut ia meninggalkan dapur.

Rara Wulan tersenyum melihat langkah Sukra. Nyi Dwani pun tersenyum pula. Sementara Glagah Putih pun bertanya, “Ada apa, Sukra?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Sukra tanpa berpaling.

Tetapi Glagah Putih sudah mengenal Sukra dengan baik. Karena itu, ia tidak tersinggung sama sekali. Bahkan kemudian Glagah Putih pun tersenyum sambil berkata, “He, kapan kau pergi ke sawah membawa makan dan minum Ki Jayaraga dan Empu Wisanata?”

“Apa yang dibawa? Api baru dinyalakan. Kelapa baru dipetik. Apakah aku harus membawa kelapa sejanjang ke sawah?”

Glagah Putih tertawa. Sabungsari pun tertawa pula. Dalam pada itu, di ruang dalam, Pandan Wangi masih duduk berdua dengan Sekar Mirah. Mereka masih berbicara tentang rencana mereka pergi ke Sangkal Putung.

Namun Sekar Mirah pun kemudian memperingatkan Pandan Wangi, “Bukankah kau akan pergi ke rumah Ki Gede?”

“Ya. Kau jadi pergi?”

“Baiklah. Aku temani kau pergi ke rumah Ki Gede.”

Keduanya pun kemudian segera bersiap untuk berangkat. Keduanya minta diri kepada Rara Wulan dan Nyi Dwani yang sibuk di dapur.

“Maaf, aku telah mengganggu Nyi Lurah,” berkata Pandan Wangi, “sehingga Rara Wulan dan Nyi Dwani harus bekerja keras di dapur.”

“Aku sudah terbiasa bekerja di dapur, Mbokayu,” jawab Rara Wulan.

“Kau memang seorang gadis yang lengkap, Rara. Sebentar lagi, setelah nasi masak dan dihidangkan bersama sayur dan lauk pauknya, Rara pergi ke sanggar.”

“Ah, Mbokayu,” desis Rara Wulan.

Demikianlah, Sekar Mirah pun mengantar Pandan Wangi pergi ke rumah Ki Gede. Setiap kali Pandan Wangi masih juga menyebut tikungan, simpang tiga atau simpang empat di padukuhan itu sebagai bekas tempatnya bermain sesama kanak-kanak.

Namun tiba-tiba saja Pandan Wangi itu bertanya, “Dari manakah asal Nyi Dwani itu, Sekar Mirah?”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku tidak tahu pasti, Mbokayu.”

“Apakah perempuan itu dapat dipercaya?”

“Aku kira ia dapat dipercaya. Ayahnya juga dapat dipercaya. Seorang kakaknya laki-laki tertawan di dalam perang yang baru saja terjadi.”

“Jadi kakaknya berpihak kepada lawan?”

“Semuanya pernah berpihak kepada lawan. Mereka adalah pengikut Ki Saba Lintang, seorang yang merasa dirinya mewarisi hak untuk memimpin perguruan Kedung Jati.”

“Perguruan Kedung Jati?”

“Ya, Perguruan yang pernah dipimpin oleh Pepatih Jipang, saudara seperguruannya, dan kerabatnya yang lain.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata selanjurnya, “Tetapi Empu Wisanata, ayah Nyi Dwani, serta Nyi Dwani sendiri, telah meninggalkan Ki Saba Lintang.”

“Apakah demikian tiba-tiba mereka dapat dipercaya?”

“Tidak tiba-tiba, Mbokayu. Ceritanya memang panjang. Aku pernah menghadapi Nyi Dwani dalam perang tanding.”

“Perang tanding?”

“Ya. Seandainya kami sama-sama berpegang pada kesepakatan perang tanding, maka salah seorang dari kami akan dapat terbunuh di arena.”

“Tetapi kalian berdua masih tetap hidup? Bahkan dapat menjadi rukun.”

Sekar Mirah pun tersenyum. Katanya, “Ceritanya cukup panjang.”

Sekar Mirah kemudian dengan singkat menceritakan hubungannya dengan Nyi Dwani, sejak Sekar Mirah bertemu dengan perempuan itu untuk pertama kalinya, hingga Nyi Dwani dengan bersungguh-sungguh menyerahkan dirinya, setelah beberapa kali ia gagal berbuat licik dan berusaha memiliki tongkat baja putih milik Sekar Mirah.

“Tetapi apakah pada suatu kali sifat-sifat buruknya itu tidak akan kambuh lagi?”

“Menilik urut-urutan peristiwa yang pernah dialaminya, agaknya tidak Mbokayu. Meskipun demikian, aku juga menjadi sangat berhati-hati. Aku telah menyimpan tongkatku di tempat yang tidak mungkin dapat ditemukannya.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, “Tetapi kau harus tetap berhati-hati, Sekar Mirah. Dalamnya lautan dapat dijajagi.”

Sekar Mirah tersenyum. Lalu disambungnya, “Dalamnya hati siapa tahu.”

Keduanya pun tertawa.

Namun keduanya tidak dapat melanjutkan perbincangan mereka. Sejenak kemudian mereka telah berdiri di depan regol halaman rumah Ki Gede.

Meskipun Pandan Wangi menapak ke halaman rumahnya sendiri, tetapi hatinya menjadi berdebar-debar. Ia merasa tidak dapat meyakinkan ayahnya, bahwa Swandaru telah melakukan kesalahan yang besar.

Pandan Wangi pun disambut oleh ayahnya yang sedang duduk di pringgitan. Dipersilakannya Pandan Wangi dan Sekar Mirah naik. Prastawa yang kebetulan ada di rumah Ki Gede itu pun telah ikut menemuinya pula.

“Kenapa Mbokayu tidak bermalam di sini?” bertanya Prastawa kemudian.

Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa, Prastawa. Aku ingin bermalam di tempat di mana aku dapat berbincang dengan perempuan.”

“Apakah di sini tidak ada perempuan?”

“Tetapi di sini tidak ada Sekar Mirah. Tidak ada Rara Wulan, dan tidak ada Nyi Dwani.”

“Akan aku ajak istriku kemari. Ia akan dapat menemui Mbokayu di sini.”

Pandan Wangi tertawa pendek. Katanya, “Bukankah tidak ada bedanya? Bukankah begitu, Ayah?”

Ki Gede mengangguk sambil menjawab hampir di luar sadarnya, “Ya, Pandan Wangi.”

“Nah, kau dengar?”

“Tetapi sebaiknya Mbokayu bermalam di sini. Nanti akan aku ajak istriku kemari.”

Pandan Wangi mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Tetapi jangan nanti malam. Masih ada yang akan aku bicarakan dengan Sekar Mirah. Mungkin besok malam aku akan tidur di sini.”

Prastawa menarik nafas panjang. Tetapi Ki Gede-lah yang kemudian berbicara, “Biarlah Pandan Wangi memilih. Di mana-mana agaknya sama saja. Di sini di rumah ayahnya. Sedangkan di rumah Ki Lurah, Pandan Wangi berada di rumah iparnya.”

“Ipar?”

“Ya. Bukankah Nyi Lurah Sekar Mirah itu saudara perempuan suaminya?”

Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Nyi Lurah adalah adik perempuan Kakang Swandaru.”

Namun dalam pada itu, Pandan Wangi pun berkata, “Prastawa, apakah kau bersedia mengajakku berkeliling Tanah Perdikan? Aku merasa rindu untuk melihat lingkungan permainan masa kecilku.”

“Mbokayu tidak pernah kemana-mana di masa kecil.”

“Ah, hampir setiap pagi aku dibawa Ayah berlari-lari mengelilingi beberapa padukuhan di Tanah Perdikan ini berganti-ganti, sehingga dalam beberapa pekan, aku sudah menginjak semua jalur jalan yang ada di Tanah Perdikan ini. Kemudian di pekan berikutnya aku akan mengulangi lagi jalan-jalan yang pernah aku lalui.”

Prastawa mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede pun berkata, “Pandan Wangi sangat akrab dengan lingkungan di Tanah Perdikan ini.”

Prastawa mengangguk-angguk, sementara Pandan Wangi berkata, “Setelah matahari naik, maka aku harus masuk ke dalam sanggar. Baru setelah matahari sepenggalah, Ayah memperkenankan aku ke luar dari sanggar.”

“Kau termasuk anak yang tekun Pandan Wangi.”

“Baru kemudian setelah mandi dan berbenah diri, aku boleh keluar menemui kawan-kawan sepermainanku, sedang Ayah mulai dengan tugas-tugasnya sebagai Kepala Tanah Perdikan.”

“Ya, aku ingat itu,” desis Prastawa.

“Tetapi aku tidak pernah merasa puas bermain dengan kawan-kawanku, karena menurut pendapatku, ada jarak antara aku dengan kawan-kawanku itu. Meskipun umur mereka sebaya dengan umurku, namun rasa-rasanya mereka masih berada jauh di belakangku. Karena itu, aku lebih banyak bermain dengan kawan-kawan yang agak lebih besar dan lebih tua dari aku.”

Prastawa mengangguk-angguk. Namun Pandan Wangi itu berkata selanjutnya, “Tetapi dengan demikian, rasa-rasanya ada bagian hidupku yang terselip dan tidak lagi dapat aku telusuri. Aku memang merasa kehilangan.”

Ki Gede-lah yang menyahut, “Yang hilang bukan masa lampaumu itu, Pandan Wangi, tetapi justru sekarang kau merasa kehilangan. Tetapi kau akan dapat menemukan kembali yang hilang itu.”

Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia pun berkata, “Mungkin Ayah benar.”

“Sudahlah. Jangan terbenam pada penyesalan dan kekecewaan. Waktu akan berjalan terus. Jika kita tertegun untuk merenungi masa lampau, maka kita akan ditinggalkan oleh waktu itu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, Ayah.”

“Nah, jika kau ingin melihat-lihat, biarlah Prastawa mengantarkanmu. Tetapi bagaimana dengan Nyi Lurah?”

“Biarlah Sekar Mirah ikut bersamaku,” desis Pandan Wangi.

“Apakah kita akan berjalan kaki?” bertanya Prastawa.

“Apakah di sini tidak ada tiga ekor kuda?”

“Ada Mbokayu. Tentu ada.”

Sejenak kemudian, tiga ekor sudah dipersiapkan. Pandan Wangi dan Sekar Mirah harus membenahi pakaian mereka. Mereka telah melepas pakaian luar mereka dan mengenakan pakaian khususnya saja.

“Marilah,” ajak Pandan Wangi, setelah ia dan Sekar Mirah selesai berbenah diri.

Beberapa saat kemudian, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Prastawa melarikan kuda mereka menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang sempat menyapa, ketika mereka melihat salah seorang dari ketiga orang itu adalah Pandan Wangi.

Pandan Wangi pun menjawab sapaan orang Tanah Perdikan Menoreh itu dengan ramah. Seorang yang rambutnya sudah ubanan telah menghentikan Pandan Wangi dengan lambaian tangannya.

Pandan Wangi pun menghentikan kudanya pula. Ia pun segera meloncat turun dan mengangguk hormat sambil berdesis, “Paman.”

“Aku hampir lupa Pandan Wangi. Aku hanya kenal Prastawa dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Namun kemudian aku pun segera teringat, bahwa yang seorang lagi tentu perempuan yang pernah dikenal sebagai Bunga di lereng Bukit Menoreh.

“Ah Paman. Tidak ada orang yang pernah menyebutku seperti itu.”

“Kau sendiri tentu tidak menyadari. Tetapi hampir setiap mulut menyebutnya. Apalagi anak-anak muda sebayamu. Namun akhirnya kembang yang kemudian mekar itu telah dipetik pengembara dari Sangkal Putung.”

“Ah, Paman. Nyi Lurah Sekar Mirah ini adalah adik suamiku.”

“Ya. Seolah-olah kau sudah ditukar dengan Nyi Lurah Agung Sedayu. Kembang dari Sangkal Putung itulah yang kemudian menghiasi lereng Bukit Menoreh.

“Paman memang senang memuji,” desis Nyi Lurah Agung Sedayu.

Orang yang sudah ubanan itu tertawa Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kalian akan pergi ke mana?”

“Sekedar melihat-lihat Tanah Perdikan yang sudah sangat lama aku tinggalkan. Meskipun kadang-kadang aku juga kembali, tetapi kali ini rasa-rasanya aku ingin melihat-lihat Tanah Perdikan yang sudah berkembang dengan pesatnya ini.”

“Mampirlah. Aku baru saja mencabut beberapa batang ketela pohon.”

“Terima kasih, Paman,” desis Pandan Wangi, “lain kali aku akan singgah.”

“Lain kali belum tentu aku mencabut beberapa batang ketela pohon.”

Pandan Wangi tertawa. Katanya, ”Aku sendiri yang akan mencabutnya.”

Orang tua itu tertawa. Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan Prastawa pun tertawa pula.

Namun Pandan Wangi tidak dapat singgah di rumah orang tua itu. Dengan nada tinggi Pandan Wangi pun berkata, “Maaf, Paman. Kami akan singgah pada kesempatan lain.”

Orang tua itu mengangguk sambil menjawab, “Apa boleh buat. Biarlah aku habiskan sendiri beberapa batang ketela pohonku.”

Demikianlah, sejenak kemudian ketiga ekor kuda itu telah berderap lagi di jalan-jalan padukuhan serta bulak-bulak pendek dan panjang, melintasi sungai dan gumuk-gumuk kecil. Pandan Wangi benar-benar ingin melihat Tanah Perdikan yang membentang dari selatan ke utara.

Tetapi ketika matahari kemudian mulai bergeser ke barat, maka Pandan Wangi pun berkata, “Kita sudahi perjalanan kita hari ini, Prastawa. Marilah kita pulang. Besok kita akan menempuh jalan yang lain dari yang kita lewati sekarang.”

Demikianlah, mereka bertiga pun melarikan kuda mereka kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Namun di jalan kembali, Pandan Wangi yang berkuda di sebelah Sekar Mirah itu sempat berkata, “Sekar Mirah. Di antara para penari yang pernah datang di Sangkal Putung, seorang di antaranya mirip sekali dengan perempuan yang tinggal di rumahmu, yang disebut Nyi Dwani itu.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Perempuan itukah yang telah menjerat Kakang Swandaru, sehingga Kakang Swandaru menjadi seorang yang kehilangan kiblat itu?”

Pandan Wangi menggeleng. Katanya, “Bukan perempuan itu. Perempuan yang lain. Tetapi agaknya perempuan yang mirip dengan Nyi Dwani itu mempunyai pengarah dan wibawa yang tinggi di antara tledek-tledek yang lain, bahkan seluruh rombongan tari tayub itu. Para pengiring gamelan pun tampaknya begitu menghormatinya.”

“Apakah perempuan itu pemilik atau tetua dari rombongan itu, sehingga semua orang seakan-akan bergantung kepadanya?”

“Entahlah. Besok jika kau berada di Sangkal Putung, kau akan melihatnya. Mirip sekali, meskipun masih juga dapat dibedakan.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Keinginannya segera sampai ke Sangkal Putung untuk melihat rombongan tayub itu semakin mendesaknya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada Pandan Wangi, karena ia tidak ingin mengganggu Pandan Wangi yang sedang beristirahat serta meletakkan segala macam kesibukan lahir dan batinnya.

“Nampaknya perempuan itu juga bukan perempuan kebanyakan. Sekali aku pernah melihat perempuan itu mengenakan pakaian khusus sebagaimana kita kenakan sekarang.”

“Untuk apa ia mengenakan pakaian seperti itu?”

“Entahlah. Mungkin sekedar pamer, atau sengaja menakut-nakuti banyak orang.”

“Untuk menakut-nakuti Mbokayu?”

Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan. Aku justru berharap demikian.”

“Ya. Aku juga berharap demikian.”

Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi Pandan Wangi bertanya, “Kenapa kau berharap agar perempuan itu menakut-nakuti aku?”

“Sebagaimana Mbokayu juga berharap,” jawab Sekar Mirah.

Pandan Wangi tertegun sejenak. Namun Pandan Wangi itu pun kemudian tertawa. Sekar Mirah pun tertawa pula. Agaknya kedua-duanya sudah saling mengetahui maksud mereka masing-masing.

Tetapi Sekar Mirah itu berkata, “Rasa-rasanya ingin juga menyaksikankan jika perempuan itu menakut-nakuti Mbokayu dan Mbokayu tidak menjadi takut, sehingga orang itu akan menjadi sangat kecewa.”

“Bahkan aku berharap bahwa ia tidak sekedar menjadi kecewa saja,” sahut Pandan Wangi.

“Aku mengerti,” desis Sekar Mirah.

Ketika keduanya tertawa lagi, Prastawa memperlambat kudanya. Sambil berpaling ia bertanya, “Kita akan pergi ke mana? Ke rumah Ki Gede atau ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Bukankah kita membawa kuda dari rumah Ayah?” Pandan Wangi justru bertanya.

Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Apa yang Mbokayu dan Nyi Lurah tertawakan?”

Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian menjawab, “Kenangan masa kanak-kanak, Prastawa.”

Prastawa tidak bertanya lagi. Kudanya berlari tidak terlalu kencang, langsung menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan.

Dalam pada itu, Sekar Mirah pun masih sempat bercerita bahwa sekelompok pasukan orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan itu telah menyusup dan langsung menyerang padukuhan induk.

“Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, sekelompok di antara mereka berusaha langsung menguasai padukuhan induk. Mungkin mereka memperhitungkan, jika Ki Gede dapat ditangkapnya, maka perlawanan Tanah Perdikan akan berhenti.”

“Tetapi bukankah mereka dapat digagalkan?”

“Pasukan cadangan yang tangguh berhasil menghancurkan mereka. Pasukan cadangan itu telah menghancurkan pasukan lawan yang menyerang Tanah Perdikan ini di sisi selatan. Mereka mendapat kesempatan beristirahat, sementara pasukan cadangan menggantikan kedudukan mereka di medan, sehingga pasukan yang beristirahat itulah yang menjadi pasukan cadangan. Tetapi justru mereka harus menghadapi pasukan khusus yang disusupkan oleh lawan untuk menyerang langsung padukuhan induk Tanah Perdikan. Tetapi ternyata mereka tidak mengecewakan, meskipun sebenarnya mereka sedang mendapat kesempatan untuk beristirahat. Setelah sebelumnya mereka menghancurkan pasukan lawan di sisi selatan, mereka telah menghancurkan pasukan yang telah menyusup untuk menyerang langsung pasukan induk itu.”

“Syukurlah,” Pandan Wangi mengangguk-angguk. Dengan kerut di dahi ia pun bertanya, “Di mana Prastawa itu terluka?”

“Prastawa mendapat tugas untuk memimpin pasukan yang menghadapi pasukan yang menyerang Tanah Perdikan ini dari sisi utara.”

“Untunglah nyawanya masih dapat diselamatkan,” desis Pandan Wangi perlahan-lahan agar Prastawa tidak mendengarnya.

“Ya. Yang Maha Agung masih melindunginya.”

“Nampaknya sekarang ia sudah sembuh sama sekali.”

“Agaknya memang demikian.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja Pandan Wangi memperlambat kudanya untuk mengambil jarak yang lebih panjang. Dengan nada rendah ia pun kemudian bertanya kepada Sekar Mirah, “Apakah tidak ada usaha Prastawa untuk meningkatkan ilmunya, agar pada saatnya ia sudah memiliki bekal yang cukup?”

“Sebaiknya Mbokayu-lah yang menganjurkan. Selama ini agaknya Prastawa terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya, sehingga ia tidak sempat untuk memperdalam ilmunya.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya peningkatan ilmu itu sangat penting bagi Prastawa. Ia masih terhitung muda, sehingga perkembangan ilmu serta kepribadiannya masih sangat diperlukan. Sementara orang lain berusaha untuk berkembang terus, maka sebaiknya Prastawa pun berbuat demikian.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ketika Prastawa berpaling, maka ia pun bertanya lantang,” He, apakah kalian sudah sangat letih?”

“Panasnya,” desis Pandan Wangi.

“Marilah, agar kita lekas sampai di padukuhan induk, agar kita tidak terpanggang oleh panasnya sinar matahari.”

Pandan Wangi dan Sekar Mirah mempercepat derap kaki kudanya, sehingga mereka berada hanya beberapa langkah saja di belakang Prastawa.

Ketika mereka kemudian memasuki halaman rumah Ki Gede, maka ingatan pun seakan-akan telah menggelitik perasaan Pandan Wangi. Selalu terbayang di angan-angannya, permainan tayub yang kadang-kadang menjadi kasar. Pandan Wangi membayangkan, kelakuan Swandaru yang semakin tidak terkendali selama ia tidak ada di Sangkal Putung. Sementara itu, bayangan perempuan bukan saja yang telah menggoda Swandaru, tetapi juga perempuan yang mirip dengan Nyi Dwani, yang sering mengenakan pakaian khususnya, telah memancing Pandan Wangi untuk segera pulang. Ternyata selama di Tanah Perdikan Menoreh, ia sama sekali tidak dapat menenangkan perasaannya.

Yang agak meringankan beban di hati Pandan Wangi adalah perhatian Sekar Mirah dan Agung Sedayu yang bersungguh-sungguh terhadap keadaan keluarganya. Keduanya telah berjanji untuk mengantarkannya pulang ke Sangkal Putung. Bukan saja mengantarkan pulang, tetapi juga berjanji untuk berbicara dengan Swandaru mengenai kebiasaannya yang telah mengganggu keserasian keluarganya itu. Kebiasaan baru yang tidak seharusnya dilakukannya.

Meskipun Pandan Wangi merasa kecewa akan sikap ayahnya, tetapi ia menganggap pendapat ayahnya benar, bahwa sebaiknya ia tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan. Justru memberi kesempatan kepada Swandaru untuk berbuat semakin tidak terkekang.

Karena itu, maka Pandan Wangi pun memutuskan, ia akan berada di Tanah Perdikan tidak lebih dari sepekan.

Pada malam ketiga, Pandan Wangi memenuhi keinginan Prastawa untuk bermalam di rumah ayahnya. Prastawa membawa istrinya untuk menemani Pandan Wangi, sebagaimana pernah dikatakannya.

Menurut Pandan Wangi, istri Prastawa adalah seorang perempuan yang baik. Tetapi ia masih terlalu muda untuk membantu membawa beban perasaan Pandan Wangi. Pandan Wangi pun sama sekali tidak mengatakan, apa yang sebenarnya telah dialaminya di Sangkal Putung. Meskipun Pandan Wangi pun tahu bahwa istri Prastawa itu tentu sudah mendengar persoalan yang dihadapinya dalam keluarganya.

Sebenarnyalah bahwa istri Prastawa itu juga sudah mengetahuinya. Tetapi karena Pandan Wangi tidak menyinggungnya, istri Prastawa itu pun merasa sangat canggung untuk memulainya.

Pandan Wangi bermalam dua malam di rumah ayahnya. Pada hari terakhir ia berada di Tanah Perdikan, Pandan Wangi sudah mengatakan kepada ayahnya dan kepada Prastawa, bahwa ia akan bermalam di rumah Agung Sedayu.

“Kenapa?” bertanya Prastawa.

“Besok aku akan berangkat pulang. Besok Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu akan mengantarkan aku. Karena itu, maka aku akan berangkat bersama-sama mereka.”

“Mbokayu tidak lagi singgah di rumah ini?”

“Tentu. Besok kami akan singgah untuk minta diri kepada Ayah.”

“Seharusnya malam ini Mbokayu tidur di rumah Ki Gede. Besok biarlah Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu singgah menjemput Mbokayu di sini.”

Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Katanya, “Masih ada yang ingin aku bicarakan dengan Sekar Mirah, Prastawa.”

Prastawa termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Gede pun berkata, “Jika malam nanti kau bermalam di rumah Ki Lurah, besok pagi-pagi jangan lupa singgah kemari.”

“Tentu Ayah. Besok aku tentu singgah.”

Sebenarnyalah, malam sebelum Pandan Wangi pulang ke Sangkal Putung, ia bermalam di rumah Sekar Mirah. Memang ada beberapa hal yang mereka bicarakan sebelum mereka akan menemui Swandaru di Sangkal Putung.

Hari itu, Agung Sedayu sudah memberitahukan prajurit di baraknya bahwa ia akan pergi ke Sangkal Putung untuk beberapa hari. Agung Sedayu sudah menunjuk seorang kepercayaannya untuk memegang pimpinan di barak itu selama ia pergi. Sementara itu, dua orang prajuritnya telah diperintahkannya untuk memberi laporan ke Mataram akan kepergiannya, serta tentang orang yang telah ditunjuknya untuk memimpin barak itu untuk sementara.

Malam sebelum Agung Sedayu dan Sekar Mirah berangkat mengantar Pandan Wangi, Ki Lurah itu pun telah memberikan beberapa pesan kepada Ki Jayaraga, Glagah Putih, dan Empu Wisanata. Juga kepada Rara Wulan dan Nyi Dwani.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar