Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 319

Buku 319

Bengkring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Selamat tinggal, Suranata.”

Suranata tidak menjawab. Bengkring itu pun kemudian melangkah meninggalkannya. Sekali ia masih berpaling dan berkata, “Orang-orang lain yang tertinggal akan berbesar hati karena kau juga tidak pergi, Suranata.”

Suranata tidak menjawab lagi.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, perkemahan itu menjadi sepi. Bengkring telah berjalan menyusul kawan-kawannya yang berjalan lebih dahulu. Namun seperti yang dikatakannya, mereka berjalan seperti siput. Beberapa pedati tersuruk-suruk menyusuri jalan yang tidak begitu rata, sehingga orang-orang yang ada di dalamnya justru terguncang-guncang.

Ternyata tidak semua kelompok atau gerombolan yang berada di medan sebelah barat itu berniat untuk singgah di perkemahan pasukan yang berada di sisi utara. Ada di antara mereka yang langsung menjauhi perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mencari jalan lain untuk sampai ke Gunung Tidar.

Namun ada pula di antara mereka yang ingin bertemu dengan kelompok-kelompok yang berada di sisi utara Tanah Perdikan Menoreh, untuk membicarakan langkah-langkah mereka selanjutnya.

Suranata yang tertinggal di barak perkemahan masih berbaring diam. Namun kemudian ia pun mencoba untuk bangkit perlahan-lahan. Suranata itu sadar sepenuhnya, jika ia terlalu banyak bergerak, maka darahnya akan mengucur lagi dari luka-lukanya yang mulai mampat.

Ketika ia sampai di ruang yang panjang, dilihatnya beberapa orang berbaring sambil merintih kesakitan. Seorang yang terluka parah, mengerang sambil memanggil-manggil sebuah nama. Namun tidak seorang pun yang datang mendekatinya, karena orang-orang lain yang ada di ruang itu hampir tidak mampu beringsut dari pembaringannya. Selembar ketepe blarak yang sudah mulai kering.

Suranata-lah yang melangkah hati-hati mendekati orang yang mengerang itu. Sambil duduk di sebelahnya, Suranata pun bertanya, “Siapa yang kau panggil?”

“Kakang Semu.”

“Siapakah yang bernama Semu?”

“Ia yang mengajakku pergi kemari. Ia-lah yang menjanjikan sebuah tanah yang luas dan subur. Airnya melimpah tanpa batas. Berapapun luasnya tanah yang ingin digarapnya, tidak akan ada batasnya.”

“Kau menyesal?”

“Hanya orang gila yang tidak menyesal. Aku telah berjuang untuk merebut tanah yang dijanjikannya. Tetapi inilah yang aku dapatkan. Dalam keadaan terluka parah, Semu pergi meninggalkan aku. Dibiarkannya aku kehausan, dan besok aku akan mati di sini tanpa seorangpun yang mengurus tubuhku yang membeku. Burung-burung pemakan bangkai yang mencium bau mayat yang bertebaran di sini, akan segera berdatangan mengoyak tubuhku sampai lumat.”

“Kita masih dapat menunggu keajaiban. Sepanjang kita masih bernafas, maka keajaiban itu masih akan dapat terjadi.”

“Semuanya sudah pergi.”

“Tidak.”

“Siapa yang tidak pergi? Kau? Kau sendiri terluka parah. Apa yang dapat kau lakukan?”

“Berdoa.”

“Berdoa?” orang yang terluka itu terkejut.

Suranata sendiri terkejut. Sebelumnya ia tidak pernah mengucapkan kata-kata itu. Berdoa. Kepada siapa ia berdoa untuk keselamatan?

Orang yang terluka parah dan ditinggalkan oleh kawannya yang bernama Semu itu pun bertanya, “Ki Sanak. Jika aku berdoa, adakah yang mendengarkan doaku?”

Suranata sendiri tidak tahu kenapa ia tiba-tiba saja menjawab, “Yang Maha Agung akan mendengar doamu. Doa kita.”

Orang itu termangu-mangu sejenak, Namun ia pun bertanya lagi, “Apakah Yang Maha Agung itu mengenal aku?”

“Yang Maha Agung mengenal siapa pun yang menyebut nama-Nya dengan kesungguhan hati.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Suranata berkata, “Aku akan mencari air bagimu.”

“Kau sendiri terluka.”

“Lukaku tidak separah lukamu dan luka kawan-kawan kita yang tertinggal di sini.”

Suranata pun bergeser dengan sangat berhati-hati agar lukanya tidak berdarah lagi.

Belum lagi Suranata beranjak beberapa langkah, ia pun mendengar orang yang sebelumnya selalu mengerang sambil memanggil-manggil nama kawannya itu mulai berdoa. Ia mengucapkan saja kata-kata yang bergejolak di hatinya dengan penuh keyakinan.

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Orang itu sudah berdoa dengan kesungguhan hati. Tetapi ia sendiri justru masih belum melakukannya.

Namun Suranata meneruskan langkahnya. Perlahan-lahan sekali sambil berpegangan pada tiang-tiang barak. Di sana-sini beberapa orang terdengar merintih. Namun ada di antara mereka yang sudah tidak bernafas lagi.

Lampu minyak masih menyala di ajuk-ajuk. Sinarnya yang pudar menggapai-gapai dengan malasnya. Sementara itu Suranata pun akhirnya mampu mencapai dapur barak itu.

Masih ada siwur tergantung di tiang bambu di dekat gentong yang berisi air. Dengan siwur tempurung kelapa itu Suranata mengambil air, dan membawanya kembali ke ruang yang panjang.

Ternyata tidak hanya seorang yang kehausan. Dua orang, tiga orang, bahkan lebih lagi.

Suranata memberikan titik-titik air ke dalam mulut mereka. Sedikit-sedikit saja, karena Suranata masih belum dapat berjalan hilir mudik ke dapur karena tubuhnya yang masih sangat letih dan lemah. Darahnya masih saja setiap saat dapat mengalir lagi dari luka-lukanya.

Sementara itu, orang-orang yang meninggalkan perkemahan itu mengalir menjauhi perbatasan. Pasukan Ki Saba Lintang yang ada di sisi utara pun tidak lagi merasa terikat pada satu perintah. Ada di antara mereka yang telah membawa orang-orangnya meninggalkan perkemahan.

Tetapi seperti juga orang-orang yang langsung berada di bawah pimpinan Ki Saba Lintang, mereka yang berada di sisi utara itu sebagian besar juga berpendapat bahwa orang-orang yang terluka dan tidak berpengharapan lagi, akan mereka tinggalkan.

Bahkan bekas prajurit yang tergabung dengan mereka pun telah berubah pula. Ikatan mereka menjadi semakin kendur, bahkan cenderung untuk mementingkan diri sendiri. Mereka tidak lagi menghiraukan kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan mereka condong untuk meninggalkan mereka di perkemahan.

“Kita tidak dapat mengorbankan diri untuk orang-orang yang terluka parah. Biarlah mereka menerima nasib mereka. Sedangkan kita akan memperjuangkan nasib kita sendiri.”

Karena itulah, maka di bekas medan pertempuran tidak nampak kelompok-kelompok orang yang berusaha mencari dan menyelamatkan kawan-kawan mereka yang terluka parah.

Seperti yang direncanakan, maka setelah tengah malam Agung Sedayu telah memerintahkan orang-orangnya untuk mulai menolong para pengikut Ki Saba Lintang yang terluka. Bahkan di sisi utara, usaha itu dimulai sedikit lebih awal, setelah para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh mendapat kepastian bahwa lawan mereka tidak berusaha untuk menolong kawan-kawannya yang terluka dan tertinggal di medan.

Empu Wisanata sendiri telah turun ke bekas medan pertempuran di malam itu. Selain mencari korban di pihak Tanah Perdikan, Empu Wisanata juga melihat apakah anaknya ada di antara mereka yang terluka.

Tetapi Suranata tidak berada di medan di sisi utara itu. Suranata memang terluka dan bahkan parah. Tetapi di sisi barat.

Ketika malam menjadi semakin dalam di dini hari menjelang fajar, Agung Sedayu di sisi barat mendapat kepastian bahwa tidak akan ada serangan di hari berikutnya.

“Mereka telah meninggalkan perkemahan mereka,” berkata salah seorang petugas sandi.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia pun bertanya, “Kau yakin?”

“Aku yakin, Ki Lurah. Aku sudah mendekati perkemahan itu. Tidak ada lagi kelompok-kelompok orang bersenjata di perkemahan itu. Meskipun aku tidak memasukinya, tetapi aku yakin, perkemahan itu sudah kosong.”

Agung Sedayu yang masih lemah itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita persiapkan sebuah kelompok untuk meyakinkan kebenaran laporanmu.”

Agung Sedayu pun kemudian telah mengumpulkan beberapa orang terpilih. Di antara mereka adalah beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus. Yang lain adalah sekelompok pengawal yang tepercaya. Bersama mereka, Agung Sedayu juga minta Ki Wijil dan Nyi Wijil ikut serta.

Demikianlah, menjelang fajar, sekelompok orang terpilih itu telah bergerak menuju ke perkemahan lawan. Sementara itu, kelompok-kelompok lain pun telah bersiap pula. Jika para petugas yang pergi ke perkemahan itu mengalami kesulitan, maka kelompok-kelompok yang dipersiapkan itu akan dengan cepat membantu, setelah ada isyarat dengan panah sendaren atau panah api yang akan naik ke udara.

Namun sekelompok orang terpilih yang pergi ke perkemahan itu tidak menemui hambatan apapun. Tidak ada kelompok-kelompok peronda. Tidak ada tempat-tempat penjagaan dan bahkan tidak ada gerak pasukan sama sekali di perkemahan. Tidak ada asap yang membubung tinggi dari perapian di dapur.

“Mereka benar-benar telah pergi,” desis Ki Wijil.

“Ya. Mereka telah pergi,” desis pemimpin sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang menyertai Ki Wijil itu.

“Tunggulah di sini,” desis Ki Wijil kemudian, “aku dan Nyi Wijil akan memasuki lingkungan perkemahan mereka.”

“Berhati-hatilah, Ki Wijil,” desis pemimpin kelompok itu.

Ki Wijil mengangguk kecil.

Berdua bersama Nyi Wijil, mereka mendekati perkemahan yang sepi. Lampu minyak di beberapa tempat masih nampak menyala. Tetapi perkemahan itu seakan-akan sedang tertidur nyenyak.

Dengan hati-hati Ki Wijil dan Nyi Wijil memasuki halaman di sebelah barak perkemahan itu. Ketika mereka masuk ke dapur, maka yang nampak adalah beberapa peralatan yang berserakan, bahan-bahan mentah yang teronggok di sana-sini. Tetapi tidak seorang pun yang nampak.

Dari dapur Ki Wijil dan Nyi Wijil mendekati pintu barak utama yang memanjang. Ketika keduanya tidak melihat seorangpun, maka keduanya pun selangkah demi selangkah memasuki pintu yang terbuka itu.

“Kosong?” desis Ki Wijil.

“Tidak,” sahut Nyi Wijil.

Ki Wijil pun mengangguk. Ia melihat beberapa sosok tubuh yang terbaring diam. Tetapi terdengar erang kesakitan di sana-sini.

“Mereka meninggalkan orang-orang yang terluka parah.”

“Bagaimana hal seperti ini dapat terjadi?” desis Nyi Wijil.

Namun keduanya terkejut ketika mereka mendengar suara dari sudut yang agak gelap di barak itu, “Selamat malam, Ki Wijil dan Nyi Wijil.”

Keduanya segera bersiap. Namun tidak seorang pun yang bangkit berdiri. Dalam kesamaran cahaya yang redup, yang seakan-akan tidak menggapai sudut ruangan, mereka melihat seseorang duduk dengan lemahnya bersandar dinding.

Dengan hati-hati Ki Wijil melangkah mendekat. Namun kemudian Ki Wijil itu pun berdesis, “Angger Suranata?”

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Apa yang akan Ki Wijil lakukan di barak perkemahan ini?”

“Kami mendapat .laporan bahwa perkemahan ini telah kosong.”

“Ya.”

“Kenapa kau masih tinggal di sini?”

“Bukan hanya aku. Tetapi seperti yang kau lihat, banyak di antara kami yang tertinggal di sini. Karena itu, aku menolak ketika aku akan dibawa dengan pedati oleh Ki Saba Lintang.”

“Kau tinggal karena banyak orang terluka yang ditinggal di sini?”

“Ya. Salah seorang dari kami harus dapat melayani yang lain, meskipun sambil merangkak. Jika aku tidak tinggal, maka beberapa orang di antara mereka yang terluka parah itu sudah mati kehausan. Bukan aku yang membuat mereka tidak mati. Tetapi aku sekedar alat untuk menunda kematian mereka.”

Ki Wijil dan Nyi Wijil saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Wijil pun berbicara dengan pemimpin prajurit dan pengawal yang menyertainya, untuk memberi bantuan sejauh dapat mereka lakukan bagi mereka yang terluka parah.

“Yang sudah meninggal, kumpulkan saja di sudut barak itu, sedangkan yang lain di sisi sebelah.”

Para prajurit dan pengawal pun kemudian telah berusaha merawat sejauh dapat mereka lakukan. Beberapa orang di antara mereka telah mengambil dan menitikkan air di bibir mereka yang mengerang dan mengeluh kehausan.

Keadaan yang hampir sama telah terjadi pula di sisi utara. Sekelompok prajurit dan pengawal telah pergi ke perkemahan lawan, ketika mereka mendapat laporan bahwa perkemahan itu telah kosong. Tetapi kelompok terakhir yang meninggalkan perkemahan di sisi utara itu baru berlangsung menjelang fajar, karena mereka menunggu kelompok-kelompok yang mengalir dari sisi sebelah barat.

Empu Wisanata dan Sayoga-lah yang memimpin sekelompok prajurit dan pengawal untuk pergi dan melihat perkemahan yang sudah ditinggalkan oleh pasukan lawan itu. Tetapi di dalamnya juga ditemukan orang-orang yang terluka, dan bahkan yang telah meninggal dunia sebagaimana yang mereka temukan di medan.

Sementara itu, dua. orang tabib yang terbaik sedang menunggui Prastawa. Keadaannya memang berangsur baik meskipun masih mencemaskan. Ki Gede Menoreh dan Ki Argajaya menunggui Prastawa dengan tegang. Sementara Ki Jayaraga masih sibuk mengatur para prajurit dan pengawal yang masih harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

“Kita tidak boleh lengah,” berkata Ki Jayaraga, “mereka memang telah meninggalkan perkemahan. Tetapi jika tiba-tiba mereka datang seperti banjir bandang, sementara kalian tidak bersiap, maka kita semua akan digulungnya sampai lumat.”

Karena itu, maka Ki Jayaraga telah menugaskan kelompok-kelompok prajurit di tempat-tempat yang dianggapnya penting untuk mengamati keadaan, sementara yang lain bersiap untuk bergerak jika diperlukan.

Namun yang terjadi kemudian adalah kedatangan dua orang penghubung yang dikirim oleh Empu Wisanata. Mereka memerlukan sekelompok orang untuk membawa orang-orang yang terluka parah.

Para prajurit dan pengawal itu pun menjadi semakin sibuk. Tetapi mereka tidak dapat berdiam diri melihat orang-orang yang terluka terbaring berserakan di dalam barak yang telah ditinggalkan oleh pasukannya.

Kesibukan itu pun berlangsung sampai hari menjelang terang.

Namun satu hal yang pasti, pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu telah ditarik dari medan. Mereka harus mengakui kenyataan, bahwa mereka telah gagal.

Kesibukan pasukan Tanah Perdikan di hari itu adalah membenahi pasukan. Para prajurit yang berasal dari Ganjur pun telah menghimpun diri setelah mereka diurai di beberapa medan. Demikian pula para prajurit dan Pasukan Khusus, serta para pengawal Tanah Perdikan. Dengan demikian, mereka pun mengetahui orang-orang mereka yang telah menyusut selama pertempuran terjadi.

Upacara yang dilakukan kemudian adalah upacara duka. Tanah Perdikan Menoreh, para prajurit dan Pasukan Khusus telah kehilangan putra-putra mereka yang terbaik.

Namun semuanya menyadari bahwa hal itu memang tidak dapat dihindari, jika mereka tidak ingin kehilangan tanah tempat mereka berpijak.

Sementara itu para petugas sandi pun sibuk mengamati keadaan, untuk meyakinkan bahwa di sekitar Tanah Perdikan Menoreh tidak ada lagi pasukan yang siap untuk menyerang.

Tetapi kemungkinan-kemungkinan lain masih dapat terjadi. Jika kelompok-kelompok yang gagal itu menyimpan dendam di hati, maka mereka akan dapat mengambil langkah sendiri-sendiri. Mereka akan dapat mendatangi padukuhan-padukuhan dan melepaskan dendam mereka kepada orang-orang yang tidak bersalah.

Karena itu, maka kekuatan para pengawal pun segera ditebarkan di seluruh Tanah Perdikan. Sebagian para pengawal dikembalikan ke padukuhan masing-masing. Namun masih ada kelompok pengawal berkuda yang siap untuk bergerak. Sementara itu, para prajurit yang datang dari Ganjur serta para prajurit dari Pasukan Khusus masih tetap dalam keadaan kesiagaan tertinggi.

Dalam pada itu, Prastawa pun telah dibawa ke padukuhan induk. Dua orang tabib terbaik dari Tanah Perdikan Menoreh bergantian selalu mengawasinya. Sementara istrinya seakan-akan tidak pernah beranjak dari bibir pembaringannya.

Selama Prastawa masih belum dapat menjalankan tugasnya, maka Glagah Putih yang sudah berangsur baik, bersama Sabungsari, diminta untuk memimpin para pengawal Tanah Perdikan. Meskipun Glagah Putih masih belum langsung mengunjungi padukuhan-padukuhan, tetapi ia dapat memberikan petunjuk kepada para pemimpin kelompok dari padukuhan-padukuhan yang setiap hari datang ke banjar. Sementara itu, Sabungsari-lah yang langsung mendatangi padukuhan-padukuhan untuk memberikan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya.

Sebenarnyalah kecemasan para pemimpin Tanah Perdikan itu terbukti. Sekelompok orang yang mendendam, yang dipimpin oleh seorang gegedug yang ditakuti di seputar Gunung Sumbing, telah mempunyai rencananya sendiri.

“Jika pasukan yang besar itu tidak mampu menerobos pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, maka aku mempunyai caraku sendiri,” geram Kerta Landak kepada para pengikutnya.

“Apa yang akan Ki Lurah lakukan?” bertanya seorang pengikutnya.

“Apa yang kita dapatkan dari Tanah Perdikan Menoreh? Ki Saba Lintang telah membawa sekian banyak kelompok, perguruan-perguruan dan padepokan-padepokan, bahkan kelompok-kelompok bekas prajurit yang mendendam, menyerang Tanah Perdikan Menoreh. Namun tidak ada hasilnya sama sekali.”

Para pengikutnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Sementara Kerta Landak berkata selanjurnya, “Kita akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apa yang dapat kita lakukan menghadapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang sangat kuat itu?”

“Kau memang dungu!” geram Kerta Landak, “Kita tidak akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kita akan merunduk orang-orang kaya di Tanah Perdikan Menoreh. Kita tahu bahwa banyak orang kaya di Tanah Perdikan itu. Di malam hari, kita akan memasuki sebuah padukuhan. Merampok orang-orang kaya di padukuhan itu, kemudian dengan cepat melarikan diri.”

Para pendukungnya termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Jika kita ingin merampok, kenapa kita tidak memilih sasaran yang lain? Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tentu masih tetap dalam kesiagaan tertinggi. Bahkan mungkin untuk beberapa pekan mendatang.”

“Kita akan melakukan sesuatu yang lain dari yang pernah kita lakukan. Kita tidak hanya sekedar merampok. Tetapi kita akan melepaskan dendam kita. Berapa orang kawan kita yang telah terbunuh di Tanah Perdikan Menoreh? Setiap nyawa harus diganti dengan nyawa. Kita pun akan dapat menimbulkan keresahan di Tanah Perdikan itu. Sekarang kita memasuki sebuah padukuhan, pada kesempatan lain padukuhan yang lain.”

Para pengikutnya termangu-mangu. Seorang di antaranya berdesis, “Kita akan melakukan pekerjaan yang berbahaya.”

“Untuk mendapat kepuasan tertinggi, bahayanya memang akan terasa makin besar. Siapa yang ketakutan, aku tidak berkeberatan untuk mengijinkannya tinggal”

Tetapi tidak seorang pun yang bersedia disebut seorang penakut. Karena itu, maka tidak seorangpun yang menyatakan dirinya untuk tinggal.

Namun Kerta Landak bukan seorang yang bodoh. Karena itu, ia tidak tergesa-gesa melepaskan dendamnya. Ia menunggu sampai suasana di Tanah Perdikan menjadi dingin.

Sebenarnyalah, dari hari ke hari keadaan Tanah Perdikan menjadi tenang kembali. Tetapi masih ada satu dua keluarga yang pergi ke kuburan untuk menaburkan bunga di atas gundukan tanah yang masih merah. Mereka yang telah gugur di pertempuran telah dimakamkan dalam satu upacara yang khidmat, berjajar memanjang.

Tetapi dari hari ke hari, pasar telah menjadi ramai kembali. Para petani pun telah pergi mengerjakan sawahnya. Namun di perbatasan, tanaman di beberapa bahu sawah telah rusak terinjak-injak. Bahkan para petani yang terpaksa memperbaharui tanamannya, masih sering menemukan berbagai jenis senjata yang tertinggal.

Namun Tanah Perdikan Menoreh tidak menutup mata atas kerusakan itu. Para bebahu tidak membiarkan para petani itu mengalami kesulitan, karena mereka tidak akan dapat menuai hasil sawahnya. Tetapi Tanah Perdikan telah membantu mereka untuk mendapatkan benih, serta membantu biaya menggarap kembali sawahnya itu.

Meskipun demikian, para pengawal masih tetap bersiaga sepenuhnya. Baik para pengawal di padukuhan-padukuhan, maupun para pengawal yang berada di banjar padukuhan induk.

Dalam pada itu, para prajurit dari Ganjur dan para prajurit dari Pasukan Khusus telah ditarik semuanya ke dalam barak Pasukan Khusus. Untuk beberapa lama pasukan yang berasal dari Ganjur itu masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh. Masih belum ada perintah bagi pasukan itu untuk kembali ke Ganjur.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wirayuda yang ikut sibuk di Tanah Perdikan Menoreh telah mengirimkan laporan sementara ke Mataram. Namun untuk beberapa hari Ki Tumenggung masih berada di barak Pasukan Khusus, untuk menyelesaikan laporan lengkapnya.

Laporan dari Tanah Perdikan Menoreh sangat menarik perhatian Ki Patih Mandaraka. Ternyata orang-orang yang berhimpun untuk menguasai Tanah Perdikan Menoreh itu terdiri dari berbagai macam gerombolan, dengan latar belakang yang berbeda-beda dan kepentingan yang tentu berbeda-beda pula.

Dengan demikian, maka rencana untuk membangun kembali sebuah perguruan yang besar beralaskan perguruan Kedung Jati itu menjadi sangat kabur.

Tetapi Ki Tumenggung Wirayuda pun melaporkan, bahwa masih saja ada usaha untuk memiliki tongkat baja putih yang dimiliki oleh Nyi Lurah Agung Sedayu.

Namun Ki Patih masih menunggu laporan yang lebih lengkap dan terperinci dari Ki Tumenggung Wirayuda.

Sementara itu keadaan Tanah Perdikan Menoreh pun telah menjadi pulih kembali. Kehidupan sehari-hari sudah berjalan seperti biasanya. Jalan-jalan telah menjadi ramai. Anak-anak sudah berani bermain di luar padukuhan. Sedangkan para remaja sudah berani membawa kambing mereka ke padang rumput untuk digembalakan.

Namun para pengawal tidak menjadi lengah. Mereka masih saja meronda dan mengawasi keadaan. Bahkan di siang hari pun, para pengawal berkuda masih saja mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh. Sementara para pengawal di padukuhan-padukuhan pun masih tetap mengisi banjar padukuhan mereka masing-masing.

Prastawa yang terluka parah itu pun semakin lama berangsur semakin baik. Luka-lukanya mulai mengering. Bahkan Prastawa sudah dapat makan semakin banyak. Hampir pulih sebagaimana sebelum ia terluka.

Istrinya pun mulai menjadi cerah lagi. Prastawa yang sudah dapat berjalan perlahan-lahan keluar dari pembaringannya, nampak sering duduk di serambi bersama istrinya.

Sementara itu, Glagah Putih yang telah dapat berpacu di atas punggung kudanya, datang ke padukuhan-padukuhan bersama Sabungsari. Sedangkan Agung Sedayu juga sudah datang ke barak Pasukan Khusus setiap hari, sebagaimana biasa dilakukannya sebelum terjadi perang.

Namun rumah Agung Sedayu itu menjadi semakin banyak penghuninya. Selain Ki Jayaraga, maka Ki Wijil, Nyi Wijil dan anak laki-lakinya tinggal di rumah itu pula. Selain mereka adalah Empu Wisanata dan anak perempuannya, Nyi Dwani.

Karena itu, maka gandok kanan dan kiri rumah Agung Sedayu itu telah terisi. Bahkan ruang di belakang pun telah terisi pula. Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga tinggal di sebuah ruang di belakang, beradu dinding dengan bilik yang dipakai oleh Sukra.

Karena jumlah penghuninya yang banyak, maka setiap hari Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani menjadi sibuk. Bahkan Nyi Wijil pun sering pula ikut membantu di dapur.

Dalam pada itu, ketika suasana Tanah Perdikan sudah benar-benar menjadi tenang, maka Empu Wisanata pun telah menemui Agung Sedayu yang sedang duduk di serambi bersama Sekar Mirah.

“Marilah, Empu,” Sekar Mirah mempersilakan.

“Terima kasih, Nyi Lurah,” Empu Wisanata itu mengangguk, sambil kemudian duduk bersama keduanya.

“Agaknya ada sesuatu yang ingin Empu katakan,” desis Agung Sedayu.

“Ya, Ki Lurah,” jawab Empu Wisanata, “jika diijinkan, aku ingin menemui anakku yang berada di banjar. Ia terluka parah.”

“Tentu aku tidak berkeberatan, Empu. Tetapi sebaiknya Empu berbicara dengan Ki Gede. Biarlah nanti aku antar Empu menemui Ki Gede.”

“Terima kasih, Ki Lurah,” Empu Wisanata mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah, sedikit lewat senja, Agung Sedayu pun telah mengantarkan Empu Wisanata menghadap Ki Gede, untuk minta ijin menemui Suranata yang berada di banjar.

“Anakku berada di banjar sebagai seorang tawanan,” berkata Empu Wisanata.

Ki Gede mengangguk sambil menjawab, “Ya, Empu. Tetapi Empu telah menunjukkan ketulusan Empu dalam pertempuran untuk mempertahankan Tanah Perdikan ini. Empu telah membiarkan diri Empu dihinakan dan disebut sebagai pengkhianat oleh orang-orang yang semula berjalan seiring dengan Empu.”

“Aku tidak pernah merasa benar-benar berjalan seiring dengan mereka, Ki Gede. Tetapi Ki Saba Lintang mampu menjerat Dwani, sehingga aku harus berada di antara mereka.”

“Nyi Dwani sekarang agaknya juga sudah berubah.”

“Ya. Tetapi Yatni-lah yang sekarang berada di dalam jerat Ki Saba Lintang. Namun Yatni yang sudah meninggalkan aku lebih dahulu, tidak begitu menjadi beban perasaanku.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun Ki Gede itu pun kemudian bertanya, “Apakah Empu akan menengok Suranata bersama Nyi Dwani?”

“Ya. Aku akan mengajak Dwani menemui kakaknya. Aku tidak tahu sikap Suranata sekarang. Tetapi hatiku tersentuh juga oleh tekad Suranata, tidak meninggalkan kawan-kawannya yang juga terluka parah. Bahkan ada di antara mereka yang tidak tertolong lagi. Hari ini, seorang lagi di antara mereka yang meninggal dunia.”

“Ya. Tadi pagi seorang kawan Suranata meninggal, meskipun luka-lukanya sudah mendapat perawatan yang baik.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Tentu bukan salah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Mereka telah memberikan obat dan merawat sebagaimana orang-orang Tanah Perdikan sendiri. Tetapi luka-lukanya memang sudah sangat parah.

Ki Gede memang tidak berkeberatan sama sekali bahwa Empu Wisanata akan melihat keadaan anaknya di banjar. Ki Gede pun berharap bahwa pertemuan itu akan memberikan arti bagi Suranata.

Sebenarnyalah, di keesokan harinya Empu Wisanata telah mengajak Nyi Dwani untuk pergi ke banjar. Menemani mereka adalah Ki Wijil, yang di medan pertempuran langsung berhadapan dengan Suranata itu.

Di banjar padukuhan induk, Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil diterima oleh pemimpin yang sedang bertugas. Pemimpin pengawal itu ternyata sudah menerima pesan dari Ki Gede, bahwa Ki Gede tidak keberatan jika Empu Wisanata dan Nyi Dwani bertemu dengan Suranata.

Suranata sendiri sudah berangsur baik. Meskipun ia masih sangat lemah. Seorang pengawal telah mempersilakan Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil duduk di pendapa.

Sejenak kemudian, dibantu oleh seorang pengawal, Suranata pun telah dibawa ke pendapa pula.

Suranata tidak terkejut melihat kehadiran ayah dan adik perempuannya itu. Ia memang sudah menduga bahwa pada suatu saat mereka tentu akan datang. Namun yang tidak diduganya, ayahnya justru datang bersama dengan Ki Wijil.

“Bagaimana keadaanmu, Suranata?” bertanya ayahnya.

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun menjawab, “Aku sudah menjadi berangsur baik, Ayah.”

“Luka Kakang nampaknya sangat parah,” desis Nyi Dwani.

Di luar sadarnya Suranata pun memandang Ki Wijil yang duduk di sebelah ayahnya.

Dengan sendat ia menjawab, “Ki Wijil masih membiarkan aku hidup lebih lama lagi. Aku ingin mengucapkan terima kasih.”

“Bukan aku yang menentukan, apakah Angger Suranata masih akan berumur panjang,” sahut Ki Wijil.

“Ki Wijil bukan saja tidak membunuhku, tetapi sebelum Ki Wijil meninggalkan tubuhku yang terluka parah, Ki Wijil telah memberikan obat, sehingga darah di luka-lukaku menjadi terhambat. Jika saja hal itu tidak dilakukan oleh Ki Wijil, maka darahku tentu sudah menjadi kering.”

Empu Wisanata mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berdesis, “Aku juga mengucapkan terima kasih, Ki Wijil.”

Ki Wijil menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu di luar sadarnya Nyi Dwani bertanya, “Jadi di medan Kakang Suranata bertemu dengan Ki Wijil?”

“Bukan salah Ki Wijil,” desis Suranata, “aku-lah yang tidak tahu diri. Aku merasa diriku terlalu tangguh. Aku mengira bahwa aku mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Ki Wijil. Tetapi ternyata ilmuku tidak ada sehitamnya kuku bagi Ki Wijil.”

“Angger Suranata terlalu merendahkan diri.”

“Kemurahannya saja-lah yang membuat aku masih bertemu dengan kau sekarang, Dwani.”

Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa kakaknya bukan seorang yang mengenal basa-basi. Ia akan mengumpati Ki Wijil seandainya hatinya tidak merasakan sentuhan-sentuhan lembut. Karena itu, maka Nyi Dwani pun percaya bahwa Ki Wijil memang telah membiarkan kakaknya hidup, meskipun ia mempunyai kesempatan untuk membunuhnya.

Nyi Dwani pun segera teringat, apa yang pernah dialaminya sendiri ketika ia berperang tanding melawan Sekar Mirah. Seandainya ia tidak mempunyai pengalaman itu, maka mungkin ia sudah membunuh saudara perempuannya sendiri.

Ternyata peristiwa itu telah menambah pengalaman jiwa Nyi Dwani. Bahwa tidak semua permusuhan harus diselesaikan dengan kematian.

Nyi Dwani pun mengucap syukur di dalam hatinya, bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang yang hatinya seluas samudra. Yang mampu meredam dendam di hatinya.

Dalam pada itu, Empu Wisanata pun kemudian bertanya kepada Suranata, “Jika kau sembuh nanti, apa rencanamu?”

“Aku tahanan di sini. Aku tidak dapat membuat rencana apa-apa. Aku menunggu diadili dan dijatuhi hukuman. Mungkin hukuman mati.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Nyi Dwani berdesis, “Tidak, Kakang. Kakang tidak akan dihukum mati.”

“Aku telah melakukan satu kesalahan yang tidak ada duanya. Aku telah terlibat dalam pemberontakan. Hukuman bagi seorang pemberontak adalah hukuman mati.”

“Aku dapat mohon keringanan hukuman bagimu,” berkata Empu Wisanata.

“Tidak, Ayah, Biarlah hukuman itu dijatuhkan sesuai dengan paugeran yang berlaku. Jika Ayah mohon keringanan hukuman, itu berarti hutangku masih belum lunas.”

“Sudahlah, Suranata,” jawab ayahnya, “jika kau melarikan diri dari masa hukumanmu, itu berarti kau masih berhutang. Tetapi pengampunan adalah salah satu kemurahan yang menghapuskan hutang itu.”

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih atas kesediaan Ayah untuk memohon pengampunan. Aku pun mengucapkan terima kasih seandainya ada kemurahan untuk memberikan pengampunan, sehingga hukumanku menjadi lebih ringan. Tetapi aku mohon, biarlah aku menerima hukuman yang memang seharusnya aku terima. Tanpa pengampunan sama sekali. Dengan demikian, aku benar-benar telah melunasi hutangku. Aku akan merasa tidak mempunyai beban lagi, Ayah.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam, Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan mengajukan permohonan itu. Tetapi jika pengampunan itu datang dengan sendirinya, kau tidak pantas untuk menolaknya.”

Suranata mengangguk kecil. Katanya, “Aku mengerti, Ayah.”

“Sementara ini, kemana kawan-kawanmu pergi? Apakah kau berjanji untuk menyusul mereka, atau tanpa pembicaraan apapun kau ditinggalkan begitu saja oleh Ki Saba Lintang?”

“Ki Saba Lintang akan membawaku. Tetapi aku tidak dapat meninggalkan sekian banyak orang yang terluka tanpa dapat berbuat apa-apa sama sekali. Dalam keadaan yang demikian, mereka tentu akan binasa. Kehausan, kehabisan darah dari gejolak kekecewaan dan kemarahan yang dapat mencekik mereka.”

“Apakah mereka mengatakan, kemana mereka akan pergi?”

“Ke hutan di sebelah Gunung Tidar.”

Empu Wisanata mengangguk-angguk. Katanya, “Sarang yang sulit ditembus.”

“Ya.”

“Apakah kau menguasai lingkungan itu?”

“Tidak,” jawab Suranata, “aku baru dua tiga kali datang ke tempat itu. Karena itu, aku tidak dapat mengetahui keadaan lingkungan itu sebaik-baiknya.”

Empu Wisanata mengangguk-angguk, sementara. Suranata bertanya, “Apa yang akan Ayah lakukan?”

“Aku tidak dapat berbuat apa-apa, Suranata. Jika saja Ki Lurah mengusulkan kepada Ki Patih Mandaraka.”

“Ayah harus mencegahnya. Hutan itu tidak diketahui dengan pasti isinya. Karena itu, jika sekelompok prajurit memasuki lingkungan itu, mereka benar-benar berada dalam bahaya. Apalagi tempat itu menjadi semacam ajang pertemuan orang-orang berilmu tinggi yang datang dari mana-mana. Mungkin saja setelah pertempuran itu Ki Saba Lintang kehilangan banyak orang-orang yang berilmu tinggi, tetapi dapat saja tiba-tiba datang dua tiga orang berilmu tinggi dari pengembaraan mereka, atau orang-orang berilmu tinggi yang ingin mencari hubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di lingkungan mereka.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk. Katanya, “Aku mengerti, Suranata.”

“Tetapi Kakang jangan menolak pengampunan,” berkata Nyi Dwani selanjurnya, “aku mengerti perasaan Kakang. Perasaan bersalah. Tetapi pengampunan adalah sah.”

Suranata tersenyum. Katanya, “Aku akan memikirkannya, Dwani.”

“Terima kasih, Kakang. Semakin cepat Kakang bebas, maka semakin cepat pula Kakang dapat menempuh satu kehidupan yang baru.”

“Mudah-mudahan aku masih dapat menemukan sesuatu yang pantas bagi masa depanku.”

“Tentu Kakang,” sahut Nyi Dwani. Namun Nyi Dwani itu pun kemudian berdesis, “Kakang, bagaimana dengan Mbokayu Yatni?”

“Biarlah ia menemukan hari-harinya sendiri.”

“Apakah ia pergi bersama Ki Saba Lintang?” bertanya Nyi Dwani agak canggung.

“Ya. Bukankah tidak ada masalah lagi bagimu?”

“Tidak,” jawab Nyi Dwani dengan serta-merta.

“Bagus. Mungkin Ki Saba Lintang memang lebih tepat bagi Yatni.”

Nyi Dwani tidak menyahut. Bagaimanapun juga ia mempunyai kenangan tersendiri. Hubungannya yang akrab dengan Ki Saba Lintang. Harapan-harapan yang pernah disusun bersamanya. Bahkan ia telah melakukan apa saja untuk membangun mimpi-mimpinya itu.

Tetapi Nyi Dwani itu pun ternyata telah mengucapkan syukur, bahwa segala sesuatunya masih belum terlanjur. Meskipun terasa pahit, tetapi kepergian Ki Saba Lintang dari sisinya akan dapat memberikan kemungkinan untuk memiliki masa depan yang lebih baik.

Untuk beberapa lama Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil masih berbincang dengan Suranata. Namun ketika mereka melihat Suranata menjadi letih karena keadaannya yang masih belum pulih kembali, maka Empu Wisanata pun minta diri.

“Kami akan kembali, Suranata. Aku harap kau segera sembuh”

“Terima kasih, Ayah.”

“Kakang,” suara Nyi Dwani menjadi semakin dalam, “aku mohon Kakang jangan menolak pengampunan.”

Suranata tertawa. Sambil mengangguk ia berdesis, “Aku akan mempertimbangkannya, Dwani.”

“Angger Suranata,” berkata Ki Wijil kemudian, “seperti yang dikatakan oleh Nyi Dwani, pengampunan itu adalah sah. Karena itu, Angger tidak perlu merasa berhutang karena pengampunan. Kecuali seperti yang dikatakan oleh Empu Wisanata, Angger sengaja melarikan diri sebelum masa hukuman itu habis.”

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Matanya memandang ke kejauhan melintasi halaman banjar yang luas. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk kecil.

“Angger Suranata jangan menetapkan hukuman atas diri sendiri lebih dahulu. Sebelum hukuman yang sebenarnya itu jatuh, Angger merasa seakan-akan mendapat pengampunan yang dapat menjadi beban di masa mendatang,” berkata Ki Wijil kemudian.

“Ya, Ki Wijil,” desis Suranata.

Ketika kemudian Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil minta diri, maka Suranata itu pun berdesis, “Aku mohon ampun, Ayah. Jika pengampunan itu datang dari Ayah, maka justru bebanku akan berkurang. Selama ini aku telah menjadi anak yang durhaka.”

Empu Wisanata tersenyum. Katanya, “”Aku telah mengampunimu, Suranata.”

Nyi Dwani yang sudah melangkah di halaman, tiba-tiba saja telah berbalik. Dipeluknya kakaknya sendiri sambil berkata, “Kakang. Pada satu saat, kita akan bersama lagi.”

Suranata mengangguk. Katanya, “Ya. Kita akan bersama lagi dalam suasana yang damai.”

Nyi Dwani melepaskan kakaknya. Namun ia pun kemudian sibuk mengusap air matanya.

Sepeninggal Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Ki Wijil, rasa-rasanya dada Suranata menjadi semakin lapang. Ia sudah memberanikan diri mohon pengampunan ayahnya. Dan itu sudah cukup baginya. Ia tidak memerlukan pengampunan dari siapapun lagi. Apakah ia akan diadili di Tanah Perdikan Menoreh atau dibawa ke Mataram, sudah bukan soal lagi baginya. Apakah ia akan dihukum seumur hidup atau dihukum mati, ia sudah pasrah.

Sementara itu Empu Wisanata memang memenuhi keinginan Suranata. Ia tidak berusaha minta keringanan hukuman secara langsung kepada siapapun. Namun justru keengganan Suranata untuk mohon pengampunan itu diceritakannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

Ki Lurah Agung Sedayu pun tanggap akan sikap Suranata. Namun justru karena itu, Agung Sedayu menganggap bahwa penyesalan yang sebenarnya telah mengendap sampai ke dasar jantung Suranata.

“Ia pantas mendapat pengampunan,” berkata Agung Sedayu dalam hatinya, “tetapi bukan berarti bahwa ia tidak harus menjalani hukuman sama sekali, karena ia sudah memberontak terhadap Mataram.”

Dalam pada itu, keadaan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar sudah pulih kembali. Para petugas sandi yang mengamati keadaan sampai ke tempat yang jauh di luar batas Tanah Perdikan Menoreh, tidak melihat pertanda apa pun yang dapat mengancam ketenangan Tanah Perdikan, sehingga karena itu, maka tidak ada alasan lagi bagi rakyat Tanah Perdikan untuk merasa terancam.

Dengan demikian maka kehidupan pun telah berjalan sebagaimana sebelum terjadi perang yang telah mengguncang Tanah Perdikan itu.

Ketika laporan terperinci dari Ki Tumenggung Wirayuda sampai di Mataram, maka Mataram telah memerintahkan para prajurit dari Ganjur untuk kembali ke barak mereka. Sesuai dengan laporan itu, maka kehadiran para prajurit dari Ganjur itu sudah tidak diperlukan lagi.

Ketika pasukan dari Ganjur itu meninggalkan Tanah Perdikan, maka Ki Gede sendiri ikut hadir untuk melepas mereka. Atas nama rakyat Tanah Perdikan Menoreh, Ki Gede mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para prajurit yang telah membantu menyelamatkan Tanah Perdikan itu.

Dalam pada itu, Ki Gede telah menyerahkan kenang-kenangan bagi para prajurit Ganjur itu.

“Memang harganya tidak seberapa jika dinilai dengan uang. Apalagi diperbandingkan dengan pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dari Ganjur. Tetapi kami serahkan kenang-kenangan yang tidak berharga ini sebagai ucapan terima kasih kami yang tulus.”

Ki Gede telah menyerahkan tiga ekor kuda yang besar dan tegar bagi pasukan yang kembali ke Ganjur itu.

Namun dalam pada itu, pengorbanan yang telah diberikan oleh para prajurit dari Ganjur itu ditandai dengan beberapa nisan yang terdapat di makam para prajurit dan pengawal yang gugur.

Namun ketenangan dan ketenteraman di Tanah Perdikan Menoreh itu telah menjadi perhatian bagi dua orang yang memang bertugas untuk mengamati keadaan Tanah Perdikan. Dengan sabar mereka menunggu Tanah Perdikan itu menjadi terasa tenang, serta kehidupan mulai berjalan dengan wajar.

Ketika Kerta Landak mendapat laporan itu, maka ia pun tertawa sambil berkata, “Agaknya sudah saatnya kita bertindak. Yang penting kita harus membuat Tanah Perdikan menjadi resah. Aku tidak ingin melihat Tanah Perdikan itu menjadi tenang untuk waktu yang lama. Dendam yang tersimpan ini harus ditumpahkan.”

“Apakah kita tidak perlu berhubungan dengan kelompok-kelompok lain yang mengalami keadaan yang sama seperti kita?”

“Kau akan kehilangan sebagian dari rejeki yang disediakan bagi kita di Tanah Perdikan itu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Sementara Kerta Landak berkata, “Kita akan mandi, menyelam, sekaligus minum sepuas-puasnya.”

Tetapi seorang yang lain pun bertanya, “Apakah kita benar-benar tidak akan pergi ke Gunung Tidar untuk bertemu dan berbicara dengan kelompok-kelompok yang lain, yang telah sepakat untuk berbicara di hutan sebelah Gunung Tidar itu?”

“Buat apa? Aku jemu mendengarkan Ki Saba Lintang berbicara tentang sebuah perguruan yang bakal berdiri. Apa kelebihan nama perguruan Kedung Jati? Tongkat baja putih itu? Ki Saba Lintang yang sudah memegang satu di antara sepasang tongkat itu sama sekali tidak berdaya di Tanah Perdikan Menoreh. Padahal di Tanah Perdikan pun hanya ada satu saja tongkat baja putih itu.”

“Tetapi kita akan menjalin hubungan kita terus-menerus dengan kelompok-kelompok yang lain.”

“Apakah itu perlu?” bertanya Kerta Landak, “Apakah keuntungan kita dengan hubungan seperti itu? Dalam pergaulan antara kelompok-kelompok yang berusaha menyatu di bawah pimpinan Ki Saba Lintang itu, yang ada hanyalah kewajiban-kewajiban. Kita tidak pernah mendengar yang baik-baik yang ada pada kita. Karena itu, aku menjadi jemu. Aku masih berharap Ki Darpatenaya akan mampu membunuh Agung Sedayu dan Empu Wisanata. Tetapi ternyata semuanya itu tidak lebih dari sebuah mimpi. Ternyata bukan Ki Lurah Agung Sedayu yang terbunuh, apalagi kemudian membunuh Empu Wisanata. Tetapi ternyata justru Darpatenaya itu sendiri yang terbunuh.”

“Ki Lurah Agung Sedayu memang mempunyai kemampuan iblis,” desis Kerta Landak kemudian, “namun kita tidak akan bertemu siapa-siapa dari Tanah Perdikan Menoreh, selain para pengawal di padukuhan-padukuhan. Kita akan dengan serentak merampok empat atau lima rumah di sebuah padukuhan. Kemudian kita akan segera melarikan diri. Aku masih belum dapat mengatakan, siapa saja yang harus dibunuh dalam perampokan itu. Hal itu sangat tergantung kepada keadaan. Tetapi pada dasarnya kita memang akan merampok dan membunuh untuk melepaskan dendam kita, sekaligus mendapatkan bekal untuk hidup kita mendatang.”

Kawan-kawannya tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun menyatakan tunduk kepada Kerta Landak.

Demikianlah, Kerta Landak itu pun telah mematangkan rencananya. Mereka akan mendatangi sebuah padukuhan yang terhitung kaya. Mereka harus dapat bekerja dengan cepat, agar mereka dapat cepat pergi sebelum keadaan menjadi semakin buruk.

“Kita bagi kelompok yang akan pergi bersama kita ke Tanah Perdikan Menoreh menjadi empat. Tiga kelompok akan merampok di tiga rumah bersamaan, satu kelompok mengamati keadaan. Jika perlu maka dapat saja terjadi benturan senjata. Namun kita-lah yang harus lebih banyak mengalah dan berusaha untuk melarikan diri. Jangan sampai terjebak ke dalam lingkaran kekuatan para pengawal, sehingga kita terikat dalam pertempuran yang panjang. Jika para pengawal itu sempat memanggil bantuan, maka kita akan terjebak dan tidak akan pernah dapat keluar dari Tanah Perdikan itu lagi.”

Demikianlah, tiga hari sebelum rencana itu dilaksanakan, Kerta Landak telah mengirimkan beberapa orang bergantian mengamati sasaran. Sebuah padukuhan yang tidak terlalu jauh dari perbatasan telah dipilih oleh Kerta Landak. Padukuhan yang agak besar dan mempunyai beberapa orang yang hidup berkecukupan. Selain petani yang memiliki tanah yang luas, juga seorang saudagar ternak. Yang lain seorang bekel tua, sedangkan masih ada pula juragan kain dan kerajinan tangan.

Para petugas yang mendahului rencana perampokan itu telah memberikan laporan terperinci kepada Kerta Landak. Mereka pun sudah mengamati keadaan rumahnya. Seorang yang berpura-pura menawarkan gerabah dengan menuntun seekor kuda beban, berhasil memasuki halaman rumah dari orang-orang yang dianggap memiliki kekayaan lebih banyak dari tetangga-tetangganya.

Ternyata rencana Kerta Landak cukup matang. Selain memperhitungkan keadaan di padukuhan itu, Kerta Landak telah menghitung hari dan pasaran dengan seksama.

“Kita harus memasuki padukuhan itu dari arah timur,” berkata Kerta Landak, “ingat, jangan lebih dari saat ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya.”

“Kita akan pergi ke arah mana?” bertanya seorang kawan.

“Kita akan dapat pergi ke arah manapun. Sebaiknya kita memang berpencar, agar para pengawal yang tentu akan segera berdatangan tidak dapat mengejar kita ke satu arah. Namun kita pun akan segera berkumpul lagi di tempat yang akan kita pilih nanti.”

Kerta Landak itu pun kemudian telah menunjuk tiga orang yang akan memimpin kelompok-kelompok kecil yang akan merampok di tiga rumah bersamaan waktunya, kemudian satu kelompok yang lain akan dipimpinnya sendiri untuk mengamati keadaan. Jika perlu, bertempur dengan para pengawal untuk melindungi kawan-kawannya yang melarikan diri.

“Aku akan menyebarkan sirep pada wayah sepi wong. Aku berharap bahwa pengaruhnya akan dapat menjangkau seluruh padukuhan.”

“Kau mampu melakukannya?” bertanya seorang kawannya.

“Aku tidak sendiri. Aku akan melakukannya berempat, masing-masing dari sudut-sudut padukuhan. Seandainya ada yang tidak terjangkau oleh ilmu sirep itu, maka jumlahnya tidak akan terlalu banyak. Kita akan dapat mengatasinya.”

Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan, Kerta Landak telah membawa sekelompok pengikutnya untuk merampok di padukuhan Nambangan. Sebuah padukuhan yang cukup besar, terletak tidak jauh dari Kali Praga. Ada beberapa orang yang dapat dianggap kaya tinggal di padukuhan itu.

Padukuhan Nambangan adalah salah satu padukuhan dari Tanah Perdikan Menoreh yang terhitung agak minggir ke utara.

“Ingat! Kita mendatangi padukuhan itu dari arah timur. Pada saat wayah sepi wong, aku akan menebarkan sirep. Kemudian menjelang tengah malam, kita akan memasuki padukuhan itu. Tetapi kita tidak boleh berada di padukuhan itu sampai lewat ayam jantan berkokok, untuk menghindari pengawal yang akan segera bangkit dan kita akan mengalami kesulitan. Apalagi jika mereka sempat memukul kentongan, sehingga suaranya terdengar sampai ke padukuhan lain.”

Para pengikutnya mendengarkan pesan Kerta Landak itu baik-baik. Mereka juga tidak mau mati di Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana kawan-kawan mereka.

Sebenarnyalah, menjelang wayah sepi wong, Kerta Landak dan para pengikutnya sudah mendekati padukuhan Nambangan dari arah timur. Mereka sudah bersiap untuk memasuki padukuhan itu menjelang tengah malam, setelah sirep yang ditebarkan oleh Kerta Landak dan tiga orang kawannya mencengkam seisi padukuhan.

Kerta Landak sendiri bersama tiga orang kawannya yang memiliki kemampuan ilmu sirep telah bersiap di tempat mereka masing-masing. Mereka tidak akan menunggu isyarat apa-apa. Demikian mereka sampai di sudut padukuhan, maka mereka pun langsung mencari tempat yang terbaik untuk memusatkan nalar budi mereka, menebarkan sirep ke seluruh padukuhan.

Di wayah sepi wong, padukuhan itu memang sudah tertidur. Yang masih belum tertidur hanyalah tinggal beberapa orang saja, selain anak-anak muda yang meronda di gardu-gardu.

Anak-anak kecil yang biasanya terbangun pada saat-saat menjelang ayam jantan berkokok, tidak seorangpun yang membuka matanya. Mereka tidak sempat minta minum ibunya, karena tidak seorangpun di antara anak-anak kecil itu yang terbangun. Bahkan ibunya pun tertidur dengan pulasnya. Mereka tidak ingat lagi untuk memberi bayi-bayi mereka minum menjelang tengah malam.

Seorang laki-laki yang masih duduk sambil merenung di ruang dalam, telah mematikan lampu dan berbaring di amben yang besar di ruang dalam. Tidur.

Padukuhan Nambangan benar-benar telah tertidur lelap. Mereka tidak sempat berusaha melawan sirep, karena pada wayah sepi wong hampir semua orang memang sudah tertidur.

Sementara itu, anak-anak muda yang berada di gardu pun telah diganggu oleh perasaan kantuk yang sangat. Ada satu dua orang yang tidak mampu bertahan. Tiba-tiba saja mereka telah menjatuhkan diri dan berbaring, bahkan tertidur di gardu.

“Malam terasa aneh,” berkata seorang anak muda yang seakan-akan matanya tidak lagi dapat dibuka.

“Kita semua menjadi kantuk.”

“Udaranya terasa segar sekali,” desis seorang yang bersandar dinding di sudut gardu, “tidak hujan, tetapi sejuknya. Bukan dingin.”

“Langit bersih,” berkata yang lebih tua.

Tetapi anak muda yang bersandar dinding di sudut gardu itu sudah tidak menjawab lagi.

Namun perasaan kantuk itu telah mencengkam semuanya. Satu-satu mereka yang berada di gardu itu tertidur. Yang tertua itu pun akhirnya tertidur juga.

Angin malam bertiup semilir. Langit bersih. Bintang-bintang nampak bertebaran di langit, berkeredipan seakan-akan melontarkan isyarat manis.

Dari kejauhan terdengar lolong anjing memecah sepinya malam. Namun orang-orang se-padukuhan Nambangan tidak ada lagi yang mendengarnya, kecuali seorang tua yang rambutnya sudah putih seperti kapas.

“Malam yang aneh,” berkata orang tua itu di dalam hatinya. Orang tua yang mempunyai beberapa pengalaman khusus di masa mudanya, yang membuat panggraitannya menjadi tajam. Ketika orang tua itu masih menjadi seorang pengawal, pernah mengalami luka-luka yang sangat parah. Hampir saja nyawanya terenggut dari tubuhnya. Namun akhirnya ia dapat sembuh kembali.

Pengalaman itu sangat berarti bagi hidupnya. Untuk beberapa lama ia masih tetap menjadi pengawal Tanah Perdikan, sampai waktunya ia mengundurkan diri setelah pengalamannya menjadi semakin luas.

Orang tua itu pun telah dicengkam oleh perasaan kantuk. Tetapi ia berusaha melawan. Ia pun menjadi heran bahwa cucunya yang biasanya terbangun di tengah malam, sama sekali tidak menggeliat di dekapan ibunya yang juga tertidur pulas. Ayah bayi itu bahkan mendengkur keras sekali. Namun seisi rumah itu sama sekali tidak merasa terganggu.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya orang tua itu di dalam hatinya.

Ketika orang tua itu keluar dari rumahnya dan turun ke halaman, suasananya memang terlalu sepi. Bahkan jangkrik dan belalang pun rasa-rasanya tidak ada yang berderik.

Angin pun berhenti berdesir. Dedaunan menunduk keletihan dan tidur dengan tetap.

Orang tua itu pun duduk di tangga serambi rumahnya. Matanya pun menjadi sangat berat. Tetapi orang tua itu telah berjuang untuk tidak tertidur karenanya.

Bahkan kemudian orang tua itu terkejut ketika ia mendengar derap kaki kuda lewat di jalan di muka rumahnya. Beberapa ekor kuda berderap dan kemudian menghilang ke arah yang lain.

“Apa yang terjadi?”

Meskipun sudah tua, tetapi bekas pengawal itu masih dapat bergerak dengan tangkas. Dengan hati-hati ia menjenguk keluar regol rumahnya.

Sepi.

Namun ia tidak berhenti sampai sekian. Ia pun segera menghambur ke jalan dan berlari-lari kecil searah dengan derap beberapa ekor kuda.

Laki-laki tua itu tertegun. Ia melihat beberapa ekor kuda berhenti di depan rumah seorang saudagar kain yang kaya.

Orang tua itu pun telah menyelinap meloncati dinding halaman. Dengan sangat hati-hati ia mendekati rumah itu lewat halaman rumah yang disekat oleh dinding-dinding batu. Karena itu, maka orang itu pun telah meloncat-loncat setiap kali ia terhalang dinding. 

Tetapi dengan demikian, maka orang tua itu pun telah kehilangan perasaan kantuknya.

Dari halaman sebelah, orang tua itu menjenguk ke halaman saudagar kain itu. Ia melihat beberapa ekor kuda berada di halaman, selain yang berada di depan regol.

“Apa yang terjadi?” pertanyaan itu selalu memburunya.

Laki-laki tua itu terkejut. Ia mendengar jerit menyayat sepi. Tetapi suara itu melambung di senyapnya malam. Rasa-rasanya tidak seorang pun yang mendengar kecuali orang tua itu.

“Tentu ada yang tidak sewajarnya terjadi,” berkata orang tua itu di dalam hatinya.

Apapun yang terjadi, tetapi tentu sesuatu yang menyakitkan. Karena itu, maka laki-laki tua itu berniat untuk berbuat sesuatu yang dapat menolong keadaan.

Dengan hati-hati pula laki-laki itu tua itu menyusup di antara pepohonan halaman dan kebun-kebun yang gelap serta meloncati dinding-dinding halaman, menuju ke banjar.

Di banjar padukuhan Nambangan, orang tua itu mendapati para pengawal yang bertugas tertidur nyenyak. Sementara itu, di halaman, di bawah cahaya oncor di regol, orang tua itu melihat jejak kaki-kaki kuda. Agaknya beberapa orang berkuda telah datang untuk meyakinkan, apakah para pengawal sudah tidur nyenyak.

“Sirep yang tajam,” berkata orang tua itu.

Karena itu, maka orang tua itu pun segera pergi ke pakiwan banjar itu. Diambilnya gayung yang terbuat dari tempurung kelapa. Kemudian dibawanya air segayung itu naik ke pendapa banjar.

“Sirep itu akan hilang jika aku menyiram mereka dengan air,” berkata orang tua itu kepada diri sendiri.

Sebenarnyalah orang tua itu telah menuang wajah para pengawal yang tertidur itu dengan air.

Empat orang yang tidur nyenyak di pendapa banjar itu terbangun. Tetapi mata mereka masih saja akan terpejam lagi. Bahkan dua orang di antara mereka telah terbaring lagi sambil memejamkan mata mereka.

Orang tua itu pergi lagi ke pakiwan. Ia membawa lagi segayung air dan menyiramkan air ke wajah anak-anak muda yang masih terkantuk-kantuk.

“Siapa yang melakukan ini? Pakaianku basah kuyup!”

“Aku.” jawab orang tua itu.

Anak-anak muda itu mengenal orang tua itu dengan baik. Tetapi mereka tidak mengerti, kenapa orang tua itu telah mengguyurnya dengan air dingin.

“Kenapa kalian berada di situ?” orang tua itu justru bertanya.

“Kami bertugas,” jawab seorang di antara mereka dengan mantap.

“Bertugas apa?” bertanya orang itu pula.

“Berjaga-jaga.“

“Apa yang kalian lakukan?”

Anak-anak muda saling berpandangan. Sambil menarik nafas dalam-dalam seorang di antara mereka berdesis, “Kami tertidur.”

“Lihat halaman banjar ini. Ada jejak kaki kuda.”

“Glagah Putih dan kawan-kawannya?” bertanya salah seorang pengawal yang tertidur itu.

“Bukan. Agaknya rumah Ki Saudagar dirampok orang.”

“Rumah Ki Saudagar?”

“Ya. Ada beberapa ekor kuda di halaman rumah saudagar kain itu. Aku mendengar orang berteriak-teriak. Tetapi seisi padukuhan ini telah tertidur nyenyak.”

Para pengawal itu pun saling berpandangan sejenak Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Marilah. kita pergi ke rumah Ki Saudagar.”

“Hanya berempat?” bertanya orang tua itu.

“Kita singgah di gardu. Kita ajak kawan-kawan kita yang berada di gardu sebelah simpang empat, dan yang berada di gardu di mulut lorong sebelah barat”

“Mereka semuanya tertidur. Kalian memerlukan waktu untuk melakukannya. Kalian harus membangunkannya sehingga mereka benar-benar menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Baru kemudian kalian pergi ke rumah Ki Saudagar.”

“Jadi apa yang harus kami lakukan?”

“Pukul kentongan. Biarlah para pengawal di padukuhan tetangga datang.”

“Kami akan melakukan kedua-duanya. Kami akan membangunkan kawan-kawan kami dan sekaligus memukul kentongan di gardu itu.”

“Hati-hati. Jika para perampok itu mendatangi kalian dengan marah, maka orang-orang yang masih tertidur itu akan dapat menjadi korban tanpa perlawanan.”

Anak-anak muda itu memang menjadi bingung. Namun yang tertua di antara mereka berkata, “Kita membagi diri. Masing-masing ke sebuah gardu. Membangunkan yang tertidur, suruh mereka meninggalkan gardu, lalu pukul kentongan.”

“Aku akan memukul kentongan di banjar ini.”

Keempat orang anak muda itu pun segera memencar dengan hati-hati. Seorang di antara mereka melewati rumah seorang petani yang berkecukupan. Ia pun terkejut melihat beberapa ekor kuda di halaman rumah itu.

“Apakah para perampok itu sudah pindah merampok di rumah ini pula?” bertanya anak muda itu kepada diri sendiri.

Tetapi ia tidak sempat merenung. Ia pun kemudian menyelinap ke gardu di mulut lorong.

Seperti yang dilakukan oleh orang tua itu atas dirinya, maka anak muda itu telah mengambil air dari gentong di sebelah regol rumah di hadapan gardu itu. Air yang memang disediakan bagi orang-orang yang berjalan kaki dan kehausan.

Dengan siwur tempurung kelapa, anak muda itu menyiram kawan-kawannya yang tertidur di gardu perondaan silang melintang.

Anak-anak muda yang terbangun itu mula-mula menjadi marah. Tetapi ketika disadarinya apa yang terjadi, maka mereka pun segera meninggalkan gardu.

“Bersiap-siaplah! Kalian harus menghilangkan kantuk kalian lebih dahulu sebelum berbuat sesuatu, agar kalian tidak bertempur dengan mata terpejam.”

Anak-anak muda yang berada di gardu itu tidak menjawab. Sementara anak muda yang membangunkan mereka pun berkata, “Guyur kepala kalian dengan air di gentong itu. Aku akan memukul kentongan. Sebaiknya kalian siap untuk berbuat sesuatu, lebih baik kalian bersembunyi dahulu.”

Anak-anak muda itu pun mengangguk-angguk Tetapi masih ada di antara mereka yang matanya belum terbuka sepenuhnya.

“Kekuatan sirep ini benar-benar luar biasa,” berkata anak muda yang membangunkan mereka itu. Sekali lagi ia mengambil sesiwur air dan menyiramkannya kepada anak-anak muda yang masih dicengkam oleh kantuk yang berat.

Selagi anak-anak muda itu berusaha untuk menyadari keadaan sepenuhnya, maka anak muda itu sudah memukul kentongan dengan nada titir.

Suara kentongan itu pun kemudian telah disahut oleh suara kentongan di banjar. Kemudian terdengar suara kentongan di dua arah yang lain lagi.

Suara kentongan itu telah mengejutkan para perampok yang sedang sibuk mengumpulkan barang-barang berharga di tiga buah rumah orang yang cukup kaya di padukuhan itu. Menurut perhitungan Kerta Landak, kekuatan sirepnya baru akan mulai memudar setelah ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya. Tetapi justru baru saja lewat tengah malam, ternyata padukuhan itu sudah terbangun.

“Kita cari suara kentongan itu. Kita bunuh orang yang memukul kentongan.”

Sebelum Kerta Landak mengambil keputusan, terdengar suara kentongan di padukuhan sebelah telah menyahut dengan irama yang sama. Titir.

“Tidak ada gunanya,” berkata Kerta Landak, “kita harus segera pergi sebelum para pengawal padukuhan sebelah-menyebelah itu berdatangan.”

Kerta Landak pun kemudian telah memerintahkan orang-orangnya untuk memberitahukan kepada para pengikutnya itu untuk meninggalkan padukuhan Nambangan.

“Bawa apa yang mungkin dibawa!”

Para pengikut Kerta Landak yang mendapat perintah itu pun segera bersiap untuk pergi. Mereka pun menyadari bahwa jika mereka terlambat, maka mereka akan terjebak. Jika para pengawal dari padukuhan sebelah berdatangan, sementara mereka tidak terkena pengaruh sirep, maka para pengikut Kerta Landak itu tidak akan sempat lagi untuk pergi.

Sementara itu suara kentongan pun semakin menjalar. Tidak hanya di padukuhan-padukuhan terdekat. Tetapi juga di padukuhan-padukuhan yang lain.

Suara kentongan itu pun akhirnya menjalar sampai ke padukuhan induk. Karena itu, maka dengan sigapnya para pengawal berkuda pun segera mempersiapkan diri. Di antara mereka adalah Glagah Putih dan Sabungsari.

Sementara itu Prastawa sendiri masih harus beristirahat untuk beberapa lama.

Sejenak kemudian, lima belas orang pengawal berkuda bersama Glagah Putih dan Sabungsari telah melarikan kuda mereka dengan kencangnya. Para pengawal itu mengenali suara kentongan yang menjalar ke padukuhan-padukuhan itu dari isyarat yang tersirat di sela-sela irama titir itu, sehingga mereka langsung dapat menuju ke padukuhan yang memerlukan bantuan itu.

Dalam pada itu, para pengawal dari padukuhan-padukuhan terdekat pun telah bergerak pula menuju ke padukuhan sumber isyarat itu.

Ketika para pengawal berkuda memasuki padukuhan itu, maka para pengawal dari padukuhan-padukuhan sebelah pun telah berdatangan pula.

Namun yang mereka jumpai hanya beberapa orang peronda. Sementara itu padukuhan Nambangan itu seakan-akan masih tetap tertidur.

Glagah Putih dan Sabungsari pun langsung mengenali suasana di padukuhan itu. Kepada para pengawal berkuda Glagah Putih pun berkata, “Berhati-hatilah! Padukuhan ini tengah dicengkam oleh kekuatan sirep yang sangat tajam.”

Para pengawal itu pun merasakan pula, suasana yang berbeda. Bahkan mereka pun mulai disentuh pula oleh perasaan kantuk.

Tetapi mereka sempat berjuang untuk mengatasinya, sehingga mereka tidak tertidur nyenyak sebagaimana isi padukuhan itu.

“Apa yang terjadi?” beranya Glagah Putih.

“Perampokan,” jawab seorang peronda yang telah benar-benar mampu mengatasi kekuatan sirep.

“Bawa kami ke sana!”

Iring-iringan itu kemudian bergerak dan membagi diri. Sebagian telah dibawa ke rumah petani kaya yang telah dirampok, sementara yang lain pergi ke banjar.

Namun orang tua yang berada di banjar itu pun berkata, “Rumah Ki Saudagar telah dirampok.”

Para pengawal itu pun telah menyebar. Agaknya segerombolan perampok telah melakukan perampokan di beberapa tempat di padukuhan Nambangan.

Namun para pengawal itu hanya dapat menggertakkan giginya. Kemarahan bagaikan meledakkan jantung mereka. Para pengawal itu menemukan Ki Saudagar terbaring di lantai ruang dalam rumahnya dengan berlumuran darah. Tidak jauh dari tubuh itu, Nyi Saudagar juga terbaring diam.

Namun Nyi Saudagar itu ternyata masih hidup, sehingga beberapa orang berusaha untuk merawatnya.

Para pembantu dan pelayan Ki Saudagar itu tidak seorang pun yang sudah terbangun. Mereka masih tertidur nyenyak di bilik mereka masing-masing.

Di tempat lain, sekelompok pengawal telah menemukan seorang petani yang berkecukupan itu pun telah terbunuh pula. Bahkan istrinya dan seorang anaknya laki-laki telah terbunuh pula. Sementara seorang laki-laki, adik petani yang terbunuh itu, terbaring dengan luka yang parah. Tetapi ia masih hidup.

Kegemparan itu masih ditambah lagi. Seorang pedagang emas dan permata serta wesi aji telah terbunuh pula. Tidak ada orang lain di rumah itu, kecuali sepasang suami istri pembantunya yang tinggal di belakang, seorang laki-laki separuh baya yang biliknya juga berada di belakang. Mereka sama sekali tidak terusik. Bahkan mereka masih belum terbangun dari tidurnya.

Geledeg tempat pedagang itu menyimpan benda-benda berharga miliknya serta dagangannya telah terguling, sebagian lainnya berserakan. Namun benda-benda yang berharga tentu sudah tidak ada di antara benda-benda yang berserakan itu.

Malam itu padukuhan Nambangan menjati gempar. Para peronda yang sudah terbangun pun telah membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak. Dinding-dinding rumah telah dihentak-hentakkan untuk membangunkan para penghuninya.

Dengan susah payah, padukuhan itu terbangun sebelum batas waktu sirep itu kehilangan kekuatannya.

Padukuhan Nambangan benar-benar telah diguncang oleh kengerian yang mendalam. Tiga orang telah dirampok. Beberapa orang terbunuh dan terluka berat.

Para pengawal telah mengundang tabib-tabib terbaik di Tanah Perdikan Menoreh untuk mengobati orang-orang yang terluka parah. Mereka adalah sumber keterangan untuk menelusuri perampokan yang telah terjadi di padukuhan Nambangan itu.

“Mereka segerombolan orang berkuda,” berkata orang tua yang luput dari pengaruh sirep itu.

“Jika saja kau tidak berhasil mengenali kekuatan sirep itu serta berusaha mengatasinya. mungkin petaka yang terjadi akan lebih besar lagi, Kek,” berkata Glagah Putih.

“Agaknya aku terlambat memberikan isyarat,” berkata orang tua itu, “jika saja aku masih setangkas kalian, aku akan dapat berbuat lebih cepat, sehingga para perampok itu akan dapat ditangkap.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Kakek tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Yang kakek lakukan adalah yang terbaik yang dapat dilakukan oleh siapapun juga dalam keadaan yang sama. Apalagi kakek sudah terhitung, tua meskipun masih tangkas.”

“Jangan memuji aku. Ada beberapa orang terbunuh di padukuhan ini. Seakan-akan baru kemarin kita memakamkan anak-anak kita yang gugur di peperangan. Sekarang kita harus melepaskan lagi orang-orang terbaik di padukuhan ini.”

“Tetapi itu bukan salah Kakek. Kita harus berusaha untuk mendapatkan keterangan tentang perampokan dan pembunuhan itu. Menurut dugaanku sementara sebelum kita dapat menemukan bukti-bukti yang lebih lengkap dan dapat dipercaya, perampokan dan pembunuhan ini dilakukan oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Sebagaimana kita ketahui bahwa pengikut Ki Saba Lintang itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, tetapi juga kepentingan yang berbeda-beda pula.”

“Ya,” orang tua itu mengangguk-angguk, “aku juga berpendapat demikian.”

“Jika malam ini mereka merasa berhasil, aku kira mereka akan kembali lagi pada kesempatan lain. Tetapi tentu tidak segera.”

Dalam pada itu, Ki Bekel dan para bebahu yang sudah berhasil dibangunkan telah berkumpul di banjar. Para pengawal padukuhan pun telah berkumpul pula. Sebagian dari mereka dengan mata yang masih merah. Ada yang masih menguap beberapa kali. Namun ada yang benar-benar telah terbangun.

Tetapi segala sesuatunya telah terjadi.

Dua orang penghubung telah berpacu menuju ke padukuhan induk untuk melaporkan apa yang telah terjadi.

Namun ternyata Ki Gede telah menerima laporan yang lain pula. Tiga orang peronda di luar sebuah padukuhan telah terbunuh. Seorang yang sempat melarikan diri dengan luka di tubuhnya menceritakan, bahwa mereka telah bertemu sekelompok orang berkuda di jalan di luar sebuah padukuhan. Mereka sempat berbicara beberapa kalimat. Namun orang-orang itu dengan serta-merta telah menyerang. Tiga orang terbunuh dalam waktu yang singkat. Namun yang seorang itu telah berhasil meloloskan diri dengan berguling di tanggul sebuah sungai kecil. Kemudian berlari menyusuri sungai kecil itu.

Sekali lagi Tanah Perdikan Menoreh berkabung.

Ki Gede yang mendapat laporan itu pun segera pergi ke padukuhan Nambangan. Menjelang matahari terbit, Ki Gede yang kemudian telah menghubungi Agung Sedayu, bersama-sama melihat keadaan padukuhan yang baru saja dikoyak oleh kebengisan orang-orang yang menyimpan dendam di dalam dadanya.

Namun Ki Gede hanya dapat menggertakkan giginya. Orang-orang yang membunuh korbannya yang tidak bersalah itu harus mendapat hukuman yang sangat berat. Tetapi untuk menghukum mereka, orang-orang itu harus ditemukan lebih dahulu.

Sementara itu, Glagah Putih dan Sabungsari yang mendengar bahwa ada tiga orang pengawal yang sedang meronda terbunuh, telah minta ijin kepada Ki Gede untuk pergi melihat ke tempat peristiwa itu. Tentu orang-orang yang telah membunuh di padukuhan Nambangan itu pula-lah yang telah membunuh para peronda itu.

Ketika Glagah Putih dan Sabungsari sampai ke tempat peristiwa yang menggemparkan itu terjadi, para korban telah dibawa ke banjar padukuhan.

“Marilah. Aku antar kau ke banjar,” berkata seorang pengawal, yang bersama beberapa orang kawannya masih berada di tempat kejadian.

“Nanti aku akan pergi ke banjar. Aku ingin tahu, ke mana orang-orang ini pergi.”

Para pengawal itu hanya dapat mengangguk-angguk. Namun mereka pun dapat melihat jejak kaki kuda di sekitar tempat kejadian itu.

Dalam pada itu, matahari pun telah terbit. Glagah Putih dan Sabungsari dapat melihat dengan jelas jejak kaki kuda meninggalkan tempat kejadian itu.

“Kalian hanya berdua?” bertanya pemimpin pengawal padukuhan itu.

“Ya.”

“Apakah kalian memerlukan kami?”

“Belum sekarang. Nanti, jika perlu, aku akan minta bantuan kalian.”

Glagah Putih dan Sabungsari pun kemudian telah minta diri untuk menelusuri jejak kaki kuda yang bara saja meninggalkan tempat kejadian itu.

Dengan cermat keduanya memperhatikan jejak itu. Agaknya para penunggang kuda itu telah memilih jalan yang lebih kecil. Ketika jejak itu berbelok memasuki jalan simpang, maka Glagah Putih dan Sabungsari pun mengikutinya pula.

Keduanya menjadi ragu-ragu ketika keduanya sampai di perbatasan. Jika mereka mengikuti jejak itu seterusnya, mereka akan berada di wilayah orang lain.

Ketika keduanya menengadahkan wajah mereka, mereka melihat di depan mereka terbentang hutan yang memanjang.

Dalam kebimbangan itu Sabungsari pun berdesis, “Kita akan melangkahi pagar halaman kita”

“Ya. Hutan itu berada di daerah Kademangan Pucangtelu. Kademangan yang terhitung luas. Tetapi padukuhan induk kademangan itu berada di balik hutan dan bukit-bukit kecil itu, sehingga hubungan kami dengan Kademangan Pucangtelu tidak begitu akrab. Seakan-akan ada tirai yang membatasinya.”

Sabungsari mengangguk-angguk.

Kata Glagah Putih selanjutnya, “Agaknya mereka tidak berbuat sesuatu ketika terjadi perang di Tanah Perdikan.”

“Maksudmu orang-orang kademangan itu?”

“Ya. Demikian pula kademangan-kademangan yang lain. Bahkan kademangan yang menjadi landasan pasukan Ki Saba Lintang. Jika mereka berani menentang, maka kademangan-kademangan itu akan dilumatkannya. Kami dapat memakluminya. Apalagi Kademangan Pucangtelu yang memang tidak terlalu akrab dengan Tanah Perdikan Menoreh. Pernah terjadi perselisihan mengenai perbatasan. Tetapi Ki Gede lebih baik mengalah. Yang dipersengketakan adalah sebuah padang perdu yang luas, dan agaknya juga subur. Tetapi jika tanah yang dipersengketakan itu ada penghuninya dan mengaku sebagai keluarga Tanah Perdikan, maka Ki Gede tentu akan bersikap lain.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apa yang akan kita lakukan?”

Glagah Putih pun menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Kita telusuri jejak ini beberapa ratus patok lagi. Mungkin kita akan sampai ke hutan itu.”

“Jika jejak itu memasuki hutan?”

“Kita akan mencoba melihat ke dalam. Tetapi jika jejak itu melingkari hutan dan sampai ke sebuah padukuhan, maka kita tidak akan dapat menyusul mereka tanpa mendapat ijin.”

“Kita dapat menghubungi Ki Bekel di padukuhan itu.”

“Ya. Kita akan berbicara dengan baik-baik, meskipun di hati ini sudah dibekali dengan perasaan yang agak sumbang.”

Keduanya pun kemudian meneruskan perjalanan mereka mengikuti jejak beberapa ekor kuda yang menuju ke hutan yang memajang itu. Namun ternyata jejak itu tidak masuk ke dalam hutan, tetapi meluncur di sepanjang tepinya.

“Jejak ini tentu menuju ke padukuhan di sebelah hutan itu,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Sebaiknya kita pergi ke padukuhan itu.”

Glagah Putih mengangguk. Ia justru melecut kudanya untuk berlari lebih cepat lagi. Di belakangnya Sabungsari pun memacu kudanya pula.

Beberapa saat lamanya mereka berpacu di punggung kuda menyusuri hutan yang panjang itu. Ketika mereka sampai di ujungnya, maka mereka pun memasuki jalan yang lebih lebar menuju ke padukuhan.

Glagah Putih memang agak ragu. Ia tahu benar bahwa orang-orang Kademangan Pucangtelu tidak begitu ramah dan merasa rendah diri, sehingga kadang-kadang mereka berbuat aneh-aneh untuk mencoba menunjukkan bahwa mereka memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Glagah Putih meneruskan perjalanannya bersama Sabungsari. Mereka masih tetap mengikuti jejak sekelompok orang berkuda yang agaknya juga menuju ke padukuhan.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Sabungsari pun telah memasuki regol padukuhan itu. Mereka yakin bahwa jejak kaki kuda yang diikutinya juga memasuki regol padukuhan itu.

Tetapi Glagah Putih dan Sabungsari tidak dapat berbuat lain kecuali menemui Bekel dari padukuhan itu.

Seperti yang diduga oleh Glagah Putih, sikap Bekel padukuhan itu agak kurang ramah. Meskipun Ki Bekel, itu mempersilakan Glagah Putih dan Sabungsari naik ke pendapa rumahnya dan duduk di pringgitan, namun wajah Ki Bekel itu nampak agak gelap.

Sekali-sekali Ki Bekel mencoba untuk tersenyum. Tetapi senyumnya terasa hambar sekali.

“Apakah kalian orang-orang Tanah Perdikan?” bertanya Ki Bekel.

“Ya, Ki Bekel. Kami adalah pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apakah kalian mempunyai keperluan penting, sehingga kalian berdua datang ke padukuhan kami?”

“Ya, Ki Bekel.”

“Aku sudah mendengar bahwa baru saja terjadi pergolakan di Tanah Perdikan Menoreh. Saudara-saudara seperguruan Nyi Lurah Agung Sedayu yang tinggal di Tanah Perdikan minta agar Nyi Lurah bersedia bergabung kembali, dengan saudara-saudara seperguruannya yang ingin menyusun kembali perguruan Kedung Jati. Benar begitu Ki Sanak?”

“Tidak, Ki Bekel,” jawab Glagah Putih, “bukan begitu.”

“Jadi bagaimana?”

“Kami adalah tetangga yang terhitung dekat, Ki Bekel, meskipun disekat oleh hutan dan pegunungan kecil. Tetapi agaknya berita yang sampai di sini sudah menyimpang dari kenyataan yang terjadi di Tanah Perdikan kami.”

“Apa yang telah terjadi?”

“Segerombolan pemberontak yang ingin merebut Tanah Perdikan kami.”

Ki Bekel mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Jika ada sekelompok orang menyerang Tanah Perdikan Menoreh, kenapa kau sebut sebagai pemberontak? Apakah mereka memberontak terhadap Ki Gede Menoreh?”

“Mereka telah memberontak terhadap Mataram. Mereka menyerang Tanah Perdikan Menoreh untuk mendapatkan landasan bagi pasukan yang tentu akan diperkuat di masa datang, untuk melawan Mataram.”

“Satu prasangka buruk.”

“Bukan sekedar prasangka. Beberapa orang pemimpin mereka yang dapat kami tawan telah mengatakan hal itu. Bahkan sejak sebelum pertempuran pecah, pemimpin mereka telah datang menemui Ki Gede Menoreh. Mereka menawarkan kerja sana untuk melawan Mataram.”

Ki Bekel itu tertawa. Katanya, “Kau telah berhasil menyusun sebuah dongeng yang menarik.”

“Baiklah. Apapun yang Ki Bekel dengar, serta tanggapan apa pun yang Ki Bekel berikan, terserah. Sekali lagi aku ingin memperingatkan bahwa kita adalah tetangga dekat.”

Ki Bekel mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Jika kita bertetangga dekat, kenapa?”

“Banyak yang dapat kita perbuat bersama-sama. Kita dapat meningkatkan kerja sama yang pernah kita lakukan sebelumnya.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Bekel, “selama ini Tanah Perdikan Menoreh merasa dirinya terlalu besar, sehingga karena itu menjadi sombong. Selama ini kerja sama apa yang pernah kita lakukan?”

“Bukankah kami pernah menawarkan untuk mengirimkan barang-barang terutama alat-alat pertanian ke Kademangan Pucangtelu? Sebaliknya kami memerlukan hasil kerajinan bambu dari kademangan ini. Tetapi kami tidak pernah mendapat tanggapan baik. Jangankan tanggapan baik, kademangan ini sama sekali tidak mengacuhkannya.”

“Tanah Perdikanmu memberikan syarat yang tidak masuk akal.”

”Jika itu benar, kita dapat merundingkannya.”

“Sudahlah. Sekarang, untuk apa kalian berdua datang kemari? Berbicara tentang kerja sama, atau mengulang lagi mengenai perbatasan? Atau apa?”

“Ki Bekel,” berkata Glagah Putih kemudian. Betapa pun darahnya mulai panas, namun ia masih tetap mengendalikan diri. Katanya selanjurnya, “Kami sedang menelusuri jejak beberapa orang perampok berkuda. Kami datang untuk minta ijin melanjutkan penelusuran kami.”

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Katanya, “Jika kalian sedang mengikuti jejak perampok, kenapa kalian datang ke padukuhan ini? Apakah kalian mengira bahwa kami, penghuni padukuhan ini, yang telah melakukan perampokan?”

“Sama sekali tidak, Ki Bekel. Bukan orang-orang padukuhan ini. Bukan pula orang-orang dari kademangan ini. Tetapi tentu bagian dari gerombolan yang baru saja kami halau dari Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin mereka mendendam, sehingga mereka memasuki Tanah Perdikan kami untuk merampok dan membunuh beberapa orang yang tidak berdosa.”

“Jika demikian, kenapa kalian datang ke padukuhan ini?”

“Kami mengikuti jejak mereka. Ternyata mereka memasuki pintu gerbang padukuhan ini. Mungkin mereka hanya lewat. Karena itu, kami berdua minta ijin untuk lewat di padukuhan ini, meneruskan penelusuran kami.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Bekel dengan wajah menegang, “sejak lama orang-orang Tanah Perdikan Menoreh selalu merendahkan kami. Kami menyadari bahwa kekuatan kami tidak sebesar kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kami juga berada di bawah perlindungan Mataram. Jika Tanah Perdikan Menoreh seenaknya saja memperlakukan kami, maka di samping perlawanan sejauh dapat kami lakukan, kami juga akan minta perlindungan Mataram.”

“Apa sebenarnya yang Ki Bekel katakan itu? Kami hanya mohon diijinkan lewat untuk menelusuri jejak perampok yang datang ke Tanah Perdikan. Mereka tidak hanya merampok, tetapi juga membunuh. Beberapa orang telah terbunuh.”

“Bukankah di setiap padukuhan di Tanah Perdikan terdapat pengawal yang kuat? Apa kerja para pengawal itu, sehingga segerombolan perampok sempat merampok dan membunuh?”

“Perampok-perampok itu memiliki ilmu sirep yang sangat tajam, Ki Bekel. Seisi padukuhan, termasuk para pengawalnya, telah terkena sirep sehingga mereka tertidur nyenyak. Perampokan itu berlangsung dengan lancar. Namun perampok-perampok itu ternyata masih juga membunuh orang-orang yang telah dirampok.”

“Satu cerita yang menarik, Ki Sanak. Tetapi sulit untuk dipercaya. Tanah Perdikan baru saja menghalau segerombolan yang kalian sebut pemberontak, namun tiba-tiba telah terjadi perampokan di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka bukan saja merampok, tetapi juga membunuh. Berapa banyaknya perampok itu, Ki Sanak, sehingga Tanah Perdikan Menoreh tidak mampu mencegahnya?”

“Ada bedanya, Ki Bekel. Kita menghalau para pemberontak itu karena mereka menyerang beradu dada. Tetapi para perampok ini datang dengan diam-diam di malam hari. Bahkan dengan melontarkan sirep yang tajam, sehingga para pengawal tertidur nyenyak.”

“Itu artinya, Tanah Perdikan masih belum memiliki kemampuan yang pantas untuk melindungi rakyatnya.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dipandanginya Ki Bekel itu dengan tajamnya. Namun kemudian Glagah Putih itu pun menyahut, “Ki Bekel benar, Tanah Perdikan memang belum memiliki kekuatan yang pantas untuk melindungi rakyatnya. Terbukti ketika para pengawalnya terserang sirep, mereka tertidur dengan nyenyak, tanpa mampu untuk menghindar. Karena itu, maka beberapa orang telah terbunuh.”

“Nah, jika demikian, bukankah salah para pengawal Tanah Perdikan sendiri?”

“Ki Bekel benar.”

“Lalu kenapa kalian masih akan mengikuti jejak orang-orang yang kalian sebut perampok dan pembunuh itu? Kenapa kalian tidak menangkap saja para pengawal yang lengah dan tertidur?”

“Tentu. Mereka akan ditangkap dan dihukum. Tetapi yang membunuh itu pun harus dicari. Mencari dan kemudian menemukan mereka bagi kami adalah membetulkan kesalahan yang telah kami perbuat itu.”

Wajah Ki Bekel menegang. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Kami tidak mau terlibat dengan persoalan kalian. Karena itu, jika kalian berselisih dengan siapa pun juga, jangan lakukan di atas tanah kami.”

“Tetapi orang-orang yang bersalah itu berlari dan mungkin bersembunyi di sini. Tentu saja di luar pengetahuan Ki Bekel.”

“Tidak. Tidak ada perampok dan pembunuh bersembunyi di sini. Karena itu kalian tidak akan dapat mencarinya di padukuhan ini.”

“Ki Bekel. Kami tidak akan berbuat apa-apa di sini selain menelusuri jejak orang-orang yang lain merampok dan membunuh itu. Kami tidak akan merusak bangunan, bahkan dinding halaman di padukuhan ini.”

“Sayang, Ki Sanak. Kami berkeberatan. Kembalilah ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ki Bekel. Kenapa Ki Bekel tidak mau membantu kami, tetangga Ki Bekel yang terdekat, meskipun disekat oleh hutan dan bukit-bukit kecil?”

“Tanah Perdikan Menoreh sampai saat ini tidak bersikap bersahabat. Karena itu, kami tidak dapat membantu. Sayang sekali. Kami berkeberatan, karena kami tidak mau terlibat dalam permusuhan dengan siapa pun juga.”

“Ki Bekel. Penolakan Ki Bekel itu berarti bahwa Ki Bekel justru telah melibatkan diri dalam permusuhan ini.”

“Kenapa?”

“Ki Bekel telah melindungi musuh-musuh kami.”

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Dipandanginya Glagah Putih dengan tajamnya. Dengan suara bergetar Ki Bekel itu pun bertanya, “Kau mengancam kami, Ki Sanak?”

“Tidak. Aku tidak mengancam. Aku hanya mengatakan, jika Ki Bekel menolak memberikan ijin kepada kami untuk menelusuri jejak para perampok yang melarikan diri lewat padukuhan ini, maka aku menganggap bahwa sikap Ki Bekel sama sekali tidak bersahabat. Bahkan Ki Bekel telah melindungi musuh-musuh kami itu.”

“Terserah kepada tanggapanmu anak muda. Tetapi jika kau berani melanggar hak kami, maka kami akan melaporkannya kepada Panembahan Senapati.”

“Kami menelusuri jejak perampok itu karena kami melaksanakan perintah Panembahan Senapati.”

“Kau jangan mencoba mengelabui kami. Kau telah mencuri nama Panembahan Senapati untuk menakut-nakuti kami.”

“Jika kau tidak mau mendengar kata-kataku, kau akan menyesal. Pada suatu saat kami akan kembali dengan membawa pertanda perintah Panembahan Senapati itu bersama sepasukan prajurit.”

Wajah Ki Bekel menjadi semakin tegang. Sementara Glagah Putih berkata, “Lihat kudaku. Siapa yang mempunyai kuda sebesar dan setegar kudaku? Hanya kepercayaan Ki Patih di Mataram sajalah yang mempunyai kuda setegar kudaku itu.”

Ki Bekel tidak menjawab. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Marilah, kita pulang. Kita akan memberikan laporan, bahwa perjalanan tugas kita telah dihambat.”

Ketika Glagah Putih bangkit berdiri, maka Sabungsari pun telah berdiri pula. Kemarahan Glagah Putih serasa akan meledakkan jantungnya. Namun Glagah Putih harus menahan dirinya. Ia tidak mau membuka permusuhan baru dengan tetangganya.

Sejenak kemudian, keduanya pun telah melarikan kuda mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka telah mendapat sedikit gambaran, kemanakah para perampok itu melarikan diri.

“Ini adalah pekerjaan para petugas sandi,” berkata Glagah Putih kemudian, “mereka harus menyusup memasuki padukuhan ini dengan cara apapun juga. Mereka harus mencari keterangan tentang orang-orang asing yang berada di sekitar padukuhan ini.”

“Bagaimana jika mereka benar-benar sekedar lewat?”

“Ki Bekel, setidak-tidaknya salah seorang bebahu, tentu mengetahui atau mendapat laporan, tentang iring-iringan orang, berkuda. Mereka tentu akan merasa senang jika ada orang yang bersedia menelusuri dan menemukan orang-orang berkuda itu. Karena orang-orang berkuda itu akan dapat membuat kerusuhan di lingkungan mereka pula.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Ia pun sependapat bahwa Ki Bekel telah menghambat usaha untuk mengetahui lebih jauh tentang orang-orang berkuda, itu. Sabungsari pun sependapat, bahwa tugas selanjutnya sebaiknya ditangani oleh petugas sandi Tanah Perdikan Menoreh.

Namun peristiwa yang terjadi di Nambangan merupakan peringatan bagi Tanah Perdikan Menoreh untuk berhati-hati. Masih ada kelompok-kelompok yang mendendam dan masih berniat menimbulkan keresahan di Tanah Perdikan Menoreh. Selebihnya, mereka telah merampas harta benda dengari kekerasan. Bahkan pembunuhan.

Ketika Glagah Putih dan Sabungsari kembali ke Tanah Perdikan, maka para pengawal yang terbunuh itu telah siap untuk dimakamkan. Demikian pula para korban pembunuhan dan perampokan di Nambangan.

Tetapi Ki Gede minta agar ada selisih waktu saat-saat pemberangkatan para korban itu ke makam, agar Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dapat menghadiri keberangkatan para korban ke makam.

Demikian pemakaman itu selesai, maka Glagah Putih pun telah menghadap Ki Gede bersama Sabungsari. Mereka telah melaporkan usaha mereka untuk menelusuri orang-orang berkuda itu sampai ke Kademangan Pucangtelu.

“Kami telah bertemu dengan Ki Bekel Sambisari, sebuah padukuhan di ujung Kademangan Pucangtelu.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi dari sorot mata Ki Gede sudah nampak keragu-raguan bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan berhasil.

“Tetapi agaknya Ki Bekel Sambisari tidak membantu.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hubungan kita dengan Kademangan Pucungtelu memang agak kurang baik, meskipun aku berusaha unjuk melakukan pendekatan-pendekatan. Aku sudah mengalah ketika terjadi perselisihan perbatasan. Karena yang mereka inginkan adalah beberapa bahu tanah kosong, maka tanah itu aku relakan. Tetapi jika mereka menghendaki sebuah padukuhan yang berpenghuni, atau tanah garapan, maka aku tentu berkeberatan sekali. Bahkan aku akan mempertahankannya.”

Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede pun kemudian bertanya kepada keduanya, “Bagaimana pendapat kalian tentang para perampok itu?”

“Nampaknya mereka memang berada di Kademangan Pucangtelu,” jawab Glagah Putih.

“Tetapi tentu tidak sepengetahuan Ki Demang. Betapapun pernah terjadi perselisihan dengan Tanah Perdikan ini, tetapi menurut pendapatku Ki Demang tidak akan berbuat selicik itu. Bekerja sama dengan perampok dan pembunuh, untuk membuat Tanah Perdikan ini menjadi resah,” berkata Ki Gede.

“Tetapi seharusnya Ki Bekel Sambisari tidak berkeberatan untuk mengijinkan kami menelusuri jejak itu, jika Ki Bekel memang tidak ingin melindungi para perampok.”

“Mungkin karena harga diri,” jawab Ki Gede, “Ki Bekel tidak ingin dianggap tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di daerahnya. Tetapi mungkin juga kebijaksanaan Ki Bekel berbeda dengan kebijaksanaan Ki Demang Pucangtelu.”

“Tetapi bukankah tanggung jawab tertinggi ada pada Ki Demang Pucangtelu?”

“Ya. Tetapi mungkin saja Ki Bekel telah melakukan penyimpangan dari kebijaksanaan yang digariskan oleh Ki Demang.”

“Jika demikian, apakah sebaiknya kami datang menghadap Ki Demang?” bertanya Glagah Putih.

“Nanti dulu, Glagah Putih. Jangan tergesa-gesa. Aku justru ingin meyakinkan lebih dahulu, apakah para perampok dan pembunuh itu memang ada di sana.”

Glagah Putih dan Sabungsari tidak menjawab. Tetapi keduanya menunggu Ki Gede berkata selanjutnya, “Aku akan mengirim petugas sandi ke padukuhan Sambisari, dan mungkin padukuhan-padukuhan lain di lingkungan Kademangan Pucangtelu itu. Jika kita sudah tahu pasti hasilnya, maka kita akan mengambil langkah-langkah selanjutnya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, Ki Gede. Aku akan menunggu perintah selanjutnya.”

“Yang penting, kita harus berhati-hati. Peristiwa seperti yang terjadi di Nambangan itu tidak boleh terulang. Demikian pula gugurnya beberapa pengawal menghadapi para perampok dan pembunuh itu.”

Peristiwa itu telah membangkitkan kembali kewaspadaan bagi rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Bukan saja para pengawalnya, tetapi setiap orang merasa wajib untuk bersiap sepenuhnya.

Sementara itu, Ki Gede sudah memerintahkan beberapa orang petugas sandi untuk mengamati keadaan. Mencari keterangan tentang para perampok dan pembunuh di Kademangan Pucangtelu.

Dengan berbagai macam cara, para petugas sandi telah menebar di Kademangan Pucangtelu. Ada yang berjualan di pasar. Ada yang membawa jala menyusuri sungai yang melintasi Kademangan Pucangtelu. Tetapi ada juga yang berada di kademangan itu dengan diam-diam, tanpa diketahui oleh orang Pucangtelu.

Namun akhirnya dari berbagai macam pertanda dan isyarat, para petugas sandi itu berkesimpulan bahwa para perampok itu bersarang di sebuah pategalan di Sambisari. Nampaknya kehadiran mereka di pategalan itu sudah setahu dan seijin Ki Bekel.

Meskipun demikian, masih ada yang diragukan oleh para petugas sandi. Jumlah mereka yang berada di pategalan itu tidak terlalu banyak. Hanya sekelompok kecil orang-orang berkuda.

Ketika hal itu dilaporkan kepada Ki Gede Menoreh, maka Ki Gede pun membicarakannya dengan beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan. Di antara mereka diminta hadir pula Ki Lurah Agung Sedayu.

Ketika laporan itu disampaikan dalam pertemuan itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Tentu hanya sebagian dari anggota gerombolan itu yang berada di pategalan itu. Yang lain berada di sarang mereka. Mungkin sarang mereka berada di tempat yang jauh, sehingga mereka memerlukan semacam landasan untuk menggapai Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya para pemimpin gerombolan itu sudah mengetahui bahwa hubungan antara Kademangan Pucangtelu dengan Tanah Perdikan ini kurang baik. Mereka pun memanfaatkan untuk kepentingan mereka.”

“Tetapi seperti yang pernah aku katakan, bahwa Ki Demang Pucangtelu tidak akan berbuat selicik itu.”

“Jika demikian, agaknya Ki Bekel Sambisari-lah yang telah melakukannya tanpa setahu Ki Demang Pucangtelu.”

“Mungkin sekali Ki Lurah,” Ki Gede mengangguk-angguk, “jika demikian, aku sependapat bahwa kita akan mengirimkan utusan untuk menghadap Ki Demang Pucangtelu.”

“Aku sependapat, Ki Gede. Kita selesaikan persoalan ini dengan cara yang lebih baik daripada mempergunakan kekerasan.”

“Jika demikian, kita akan menunjuk utusan yang akan menghadap Ki Demang di Pucangtelu.”

“Glagah Putih tentu bersedia Ki Gede. Jika Ki Gede tidak berkeberatan, biarlah Sabungsari menemaninya.”

“Bagus. Jika mereka bersedia, aku akan sangat berterima kasih.”

Namun sebelum Glagah Putih dan Sabungsari menjawab, Prastawa pun menyahut, “Aku bersedia pergi ke Pucangtelu, Paman.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata dengan nada berat, “Terima kasih atas kesediaanmu, Prastawa. Tetapi kau masih harus menjaga tubuhmu yang baru sembuh, untuk mendapatkan kekuatanmu seperti sedia kala. Karena itu, biarlah pada kesempatan lain, kau-lah yang akan melakukannya.”

“Tetapi aku sudah pulih Paman.”

“Kau harus menurut petunjuk para tabib yang mengobatimu, Prastawa. Agar kau benar-benar pulih seperti sedia kala.”

Prastawa tidak membantah. Ketika ia berpaling kepada ayahnya, maka Ki Argajaya pun berkata, “Dengarlah pendapat pamanmu, Prastawa. Pada kesempatan lain, jika keadaanmu sudah benar-benar pulih kembali, maka kau pun akan mendapat kesempatan.”

“Tetapi tugas ini menarik sekali, Ayah. Dengan tugas ini aku dapat bertemu dan berbicara langsung dengan Ki Demang Pucangtelu. Apa sebenarnya yang dikehendakinya dengan sikapnya yang tidak bersahabat itu. Sementara itu kademangan-kademangan yang lain di seputar Tanah Perdikan ini bersikap baik terhadap kita. Jika dalam perang yang terjadi beberapa saat yang lalu mereka tidak dapat membantu, itu dapat kita mengerti. Tetapi sikap mereka jauh berbeda dengan sikap Kademangan Pucangtelu.”

“Sudahlah,” berkata Ki Gede, “kita harus selalu mengadakan pendekatan agar hubungan kita pada suatu saat menjadi lebih baik. Aku minta Glagah dan Sabungsari juga berusaha mengadakan pendekatan dengan Ki Demang. Bukan sebaliknya.”

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Satu peringatan buat Glagah Putih dan Sabungsari. Kedatangan kalian di Kademangan Pucangtelu tidak untuk menghukum mereka. Tetapi mencari penyelesaian yang terbaik.”

Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk.

“Nah, kapan kalian akan berangkat?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Semakin cepat, semakin baik,” sahut Glagah Putih.

“Jika demikian, besok kita berangkat,” berkata Sabungsari.

“Ya. Besok kita akan berangkat,” desis Glagah Putih.

“Baiklah,” berkata Ki Gede, “besok kalian akan berangkat menghadap Ki Demang. Sebaiknya kalian mengambil jalan lain. Jangan lewat padukuhan Sambisari. Kalian tentu akan dihentikan dan perjalanan kalian akan dihambat.”

“Ya, Ki Gede,” sahut Glagah Putih, “besok kami akan mengambil jalan lain. Meskipun sedikit melingkar, tetapi kami dapat menghindari padukuhan Sambisari.”

“Kalian dapat minta pertanggung-jawaban atas kehadiran orang-orang berkuda di Kademangan Pucangtelu, karena Pucangtelu, khususnya padukuhan Sambisari, telah menjadi landasan sekelompok orang untuk membuat kerusuhan di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kami akan melakukannya, Ki Gede.”

“Tetapi kalian harus selalu ingat pesan Ki Lurah, bahwa kalian tidak datang untuk menghukum, tetapi kalian datang untuk mencari penyelesaian yang terbaik.”

“Ya, Ki Gede. Kami akan berusaha berbuat yang terbaik.”

Malam itu di rumah, Agung Sedayu masih memberikan beberapa pesan kepada Glagah Putih dan Sabungsari. Terutama kepada Glagah Putih, agar tidak sekedar menuruti kata hatinya saja.

Dengan nada berat Agung Sedayu berkata, “Usahakan agar kau dapat menangkap ikannya tanpa mengeruhkan airnya, Glagah Putih.”

“Ya, Kakang.”

“Jangan kau turuti darah mudamu. Kau harus mendengarkan pendapat Sabungsari.”

“Ya, Kakang.”

“Nah, sekarang kau dapat beristirahat. Besok kau dapat berangkat pagi-pagi sekali.”

Kepada Sabungsari, Agung Sedayu pun berpesan, “Aku harap kau dapat mengekang Glagah Putih, jika darahnya mulai menjadi panas.”

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Aku akan mencobanya. Tetapi Glagah Putih sudah menjadi semakin mengendap. Ia masih dapat menahan diri ketika ia bertemu dan berbicara dengan Ki Bekel di Sambisari.”

Agung Sedayu pun tersenyum. Tetapi katanya kemudian, “Mungkin waktu itu hatinya sedang terang. Tetapi pada saat lain, Glagah Putih memerlukan kendali yang lebih keras.”

Sabungsari tertawa. Glagah Putih pun tertawa pula.

Demikianlah, menjelang fajar di keesokan harinya, Glagah Putih dan Sabungsari sudah bersiap-siap. Kuda-kuda mereka pun sudah siap pula. Karena itu, ketika matahari terbit, keduanya sudah menuntun kuda mereka di halaman.

Seisi rumah itu pun mengantar mereka sampai di tangga pendapa. Bahkan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan melepaskan mereka di regol halaman.

Ki Jayaraga melepas Glagah Putih dengan berbagai macam pesan pula, agar Glagah Putih tidak sekedar mengikuti arus perasaannya tanpa pertimbangan nalarnya.

“Jaga sikap anak itu, Ngger,” pesan Ki Jayaraga kepada Sabungsari.

Sabungsari tersenyum sambil mengangguk hormat, “Aku akan berusaha, Ki Jayaraga.”

Ki Wijil, Nyi Wijil dan Sayoga yang masih berada di rumah itu berdiri berjajar di tangga pendapa. Sementara Rara Wulan yang berdiri di regol berdesis, “Berhati-hatilah, Kakang.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku akan berhati-hati, Rara.”

Ketika matahari mulai naik, maka kedua ekor kuda itu sudah berlari di bulak panjang. Sinar matahari yang cerah terasa menghangatkan badan mereka. Angin masih terasa dingin. Embun pun masih menitik dari dedaunan yang diayunkan oleh angin lembut.

Kicau burung liar terdengar bersahut-sahutan, seakan-akan saling memamerkan warna suara masing-masing. Ada yang melengking tinggi, ada yang berlagu lembut. Ada yang mencicit seperti jerit anak-anak nakal yang berlari-lari di pematang.

Kuda Glagah Putih dan Sabungsari pun berlari-lari terus menyusuri jalan bulak yang panjang, di antara kotak-kotak sawah yang terbentang luas.

Meskipun keduanya menempuh jalan yang pernah dilewatinya, tetapi keduanya berusaha menghindari padukuhan Sambisari, sehingga keduanya harus menempuh jalan yang agak melingkar.

Kademangan Pucangtelu bukan kademangan yang sepi. Karena itu, maka tidak banyak orang yang memperhatikan Glagah Putih dan Sabungsari. Selain mereka berdua, sekali-sekali lewat pula orang-orang berkuda di jalan-jalan induk Kademangan Pucangtelu. Glagah Putih dan Sabungsari telah memperlambat kuda mereka. Di muka gerbang padukuhan induk, keduanya berhenti sejenak. Beberapa orang yang lewat sempat memperhatikan keduanya sejenak. Namun demikian, mereka pun melanjutkan langkah mereka.

Glagah Putih dan Sabungsari pun saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun telah menggerakkan kendali kuda mereka.

Kuda mereka pun kemudian berlari-lari kecil memasuki padukuhan induk Kademangan Pucangtelu.

“Mudah-mudahan Ki Demang ada di rumah,” desis Glagah Putih.

“Kau pernah mengenal Ki Demang?”

“Aku pernah melihatnya. Aku tidak tahu apakah Ki Demang mengenal aku atau tidak.”

Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengenalimu, sehingga pembicaraan kita menjadi lancar.”

“Mudah-mudahan,” desis Glagah Putih.

Beberapa saat kemudian mereka telah melewati banjar Kademangan Pucangtelu. Kemudian mereka terus mengikuti jalan itu.

“Kau pernah pergi ke rumah Ki Demang?”

“Belum. Tetapi bukankah Ki Gede memberi ancar-ancar?”

“Ki Gede pernah pergi ke rumah Ki Demang?”

“Pernah, sebagaimana Ki Demang juga pernah pergi ke rumah Ki Gede, ketika mereka mempersoalkan tanah yang menjadi sengketa itu.”

“Bagaimana menurut pendapatmu sikap Ki Demang terhadap Tanah Perdikan Menoreh?”

“Aku sependapat dengan Ki Gede, bahwa Ki Demang tidak akan mendendam Tanah Perdikan dengan cara yang licik itu.”

Sabungsari pun mengangguk-angguk kecil.

Sementara itu, keduanya pun telah sampai di muka regol halaman rumah Ki Demang Pucangtelu.

Glagah Putih dan Sabungsari pun segera turun dari kuda mereka. Meskipun dengan agak ragu, keduanya pun menuntun kuda mereka memasuki halaman Ki Demang Pucangtelu.

Seorang yang sedang membersihkan halaman Ki Demang pun menemuinya. Setelah mengangguk hormat, maka orang itu pun bertanya, “Apakah keperluan Ki Sanak berdua?”

“Apakah Ki Demang ada di rumah? Kami ingin menghadap.”

“Ki Sanak berdua datang dari mana? Aku kira kalian berdua bukan orang kademangan ini?“

“Kami memang bukan orang kademangan ini, Ki Sanak.”

“Ki Sanak berdua dari mana?”

“Kami orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Wajahnya segera berubah. Tetapi ia masih tetap bertanya dengan nada yang sama, “Apakah kalian utusan Ki Gede Menoreh untuk bertemu dengan Ki Demang?”

Glagah Putih memang ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi akhirnya ia pun mengangguk. Katanya, “Ya, kami adalah utusan Ki Gede untuk bertemu dan berbicara dengan Ki Demang.”

“Silahkan. Naiklah, dan duduklah di pringgitan. Aku akan memberitahukan kepada Ki Demang. Untunglah bahwa Ki Demang belum berangkat.”

“Apakah Ki Demang akan pergi?”

“Ya. Ki Demang akan pergi ke padukuhan sebelah. Ada persoalan yang harus diselesaikan. Ki Demang tinggal menunggu kedatangan Ki Jagabaya yang akan pergi bersama-sama.”

“Jadi Ki Jagabaya akan singgah di rumah ini?”

“Ya.”

“Kebetulan sekali. Mudah-mudahan kami dapat berbicara dengan Ki Demang dan Ki Jagabaya, “

“Tergantung sekali kepada Ki Demang,” jawab orang itu, “mungkin Ki Demang belum dapat berbicara dengan kalian hari ini, karena Ki Demang harus segera pergi bersama Ki Jagabaya.”

Dahi Glagah Putih berkerut. Ketika ia berpaling kepada Sabungsari, maka Sabungsari itu pun berdesis, “Kita mohon waktu kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya.”

“Baiklah. Silahkan naik dan duduk di pringgitan. Biarlah aku memberitahukan kedatangan Ki Sanak berdua kepada Ki Demang.”

Glagah Putih dan Sabungsari pun segera naik ke pendapa dan duduk di pringgitan, sementara orang yang menerimanya itu segera masuk ke longkangan lewat pintu seketheng.

Beberapa saat kemudian, orang itu telah muncul lewat pintu pringgitan. Katanya, “Ki Sanak berdua dipersilahkan menunggu sebentar.”

“Baik, Ki Sanak,” jawab Glagah Putih dan Sabungsari hampir bersamaan.

Orang itu pun segera masuk kembali ke ruang dalam. Sementara Glagah Putih dan Sabungsari duduk di pringgitan.

Sambil menunggu, mereka sempat memperhatikan rumah Ki Demang yang termasuk besar dan buatannya sangat bagus. Saka guru serta uleng di atasnya berukir lembut. Bahkan disungging dengan warna cerah. Gebyok yang membatasi pringgitan dan ruang dalam pun dibuat dari kayu nangka yang sudah sangat tua, sehingga seakan-akan berminyak. Dihiasi pula dengan ukiran yang rumit.

“Ki Demang tentu mendatangkan juru ukir dari tempat lain,” berkata Sabungsari, “aku meragukan, apakah di kademangan ini ada juru ukir dan juru sungging yang demikian baiknya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Ki Gede juga memanggil juru ukir dan juru sungging dari Mataram ketika membuat rumahnya.”

“Apakah kau sudah berada di Tanah Perdikan ketika itu?”

“Belum. Menurut kata orang. Tetapi rumah Ki Gede itu termasuk baru. Meskipun baru, tetapi umurnya sudah cukup tua. Jika rumah itu disebut baru, maksudnya lebih muda dari banjar padukuhan.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Semuanya itu aku dengar dari orang lain.”

Sabungsari tersenyum.

Tetapi pembicaraan mereka pun terhenti. Pintu pringgitan itu pun terbuka. Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berkumis lebat keluar dari ruang dalam. Pakaiannya yang baik serta caranya mengenakan pakaian itu menunjukkan, bahwa orang itu adalah orang yang tertib. Di punggungnya terselip sebilah keris di dalam wrangkanya dengan pondok emas. Timangnya yang sekali-sekali mengintip dari balik bajunya juga terbuat dari emas, bahkan dengan tretes permata.

Glagah Putih dan Sabungsari pun segera bangkit berdiri sambil mengangguk hormat.

“Silakan duduk,” berkata orang itu dengan suara berat.

Glagah Putih dan Sabungsari pun segera duduk kembali. Sementara Glagah Putih berdesis, “Itulah Ki Demang.”

Sabungsari tidak menjawab. Hanya kepalanya saja-lah yang mengangguk-angguk mengiakan.

Ki Demang yang kemudian duduk bersama Glagah Putih dan Sabungsari itu pun kemudian bertanya, “Aku dengar kalian adalah utusan Ki Gede Menoreh.”

“Ya, Ki Demang,” jawab Glagah Putih..

“Siapakah nama kalian?” bertanya Ki Demang pula.

Glagah Putih-lah yang menjawab, “Namaku Glagah Putih. Sedangkan saudaraku ini bernama Sabungsari.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Sekali-sekali tangannya memutar ujung kumisnya yang lebat. “Kalian bawa pesan Ki Gede?”

“Ya, Ki Demang.”

“Apa pesannya?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ternyata pertanyaan Ki Demang itu langsung ke persoalannya.

Dengan hati-hati Glagah Putih pun menjawab, “Ki. Demang. Ki Gede menyampaikan salam buat Ki Demang dan seluruh rakyat Kademangan Pucangtelu.”

“Terima kasih,” jawab Ki Demang pendek.

“Kemudian, Ki Gede berpesan agar kerja sama antara Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Pucangtelu dapat ditingkatkan.”

“Jika kita masing-masing berkemauan baik, tentu hubungan kita akan menjadi semakin baik pula.”

“Terima kasih Ki Demang,” desis Glagah Putih.

“Tentu masih ada yang lain. Justru persoalan yang paling penting yang kau bawa kepadaku,” berkata Ki Demang.

Glagah Putih menarik nafas. Sementara Sabungsari menjadi semakin menyadari, kenapa Ki Gede berpesan dengan bersungguh-sungguh agar ia dapat mengendalikan Glagah Putih. Agaknya Ki Demang memang seorang yang keras, dan kata-katanya pun cukup tajam.

Glagah Putih kemudian tidak melingkar-lingkar lagi. Ia pun langsung sampai kepada persoalan yang terpenting yang dibawanya ke Pucangtelu.

“Ki Demang,” berkata Glagah Putih, “aku mohon maaf, bahwa aku harus memberikan pengantar lebih dahulu sebelum aku sampai kepada pesan pokok Ki Gede.”

“Apa maksudmu?”

“Pesan yang akan aku sampaikan itu bukannya sekedar sebuah gagasan. Tetapi akibat dari satu kejadian.”

“Katakan,” Ki Demang mengerutkan dahinya.

Glagah Putih pun kemudian telah menceritakan pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan. Dengan nada dalam Glagah Putih pun berdesis, “Hal ini tentu sudah Ki Demang ketahui.”

“Ya. Aku tahu,” sahut Ki Demang.

Selanjutnya Glagah Putih pun menceritakan sekelompok orang yang mendendam. Namun juga dilandasi oleh kerja mereka sehari-hari, sebelum mereka bergabung dengan Ki Saba Lintang.

“Karena itu, maka mereka pun datang ke Tanah Perdikan untuk merampok dan membunuh, Ki Demang.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi tanggapannya terasa agak panas di telinga Glagah Putih, dan bahkan juga di telinga Sabungsari, “Lalu, apa hubungannya dengan Kademangan Pucangtelu?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Sabungsari terbatuk kecil.

Glagah Putih sempat terpaling ke arah Sabungsari. Ia masih selalu sadar, bahwa Sabungsari mendapat pesan mewanti-wanti agar mengendalikannya..

“Ki Demang,” Glagah Putih masih tetap berhati-hati, “ketika terjadi perampokan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dirampok di Tanah Perdikan Menoreh, kemudian kematian beberapa orang pengawal yang dibunuh oleh sekelompok perampok yang menjumpai para pengawal yang sedang meronda, kami telah berusaha melacak jejak para perampok berkuda itu.”

“Mereka memasuki Kademangan ini? Begitu?”

Glagah Putih memandang Ki Demang sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk hormat sambil berdesis, “Ya, Ki Demang.”

“Jadi Ki Gede Menoreh menuduh bahwa para perampok dan pembunuh itu adalah orang-orang kami?”

“Sama sekali tidak, Ki Demang.”

”Jadi bagaimana?”

“Mereka memasuki kademangan ini tanpa setahu Ki Demang, bahwa mereka telah mencemarkan nama baik kademangan ini. Karena itu, kami datang menemui Ki Demang.”

“Kalian ingin kami menangkap para perampok itu?” wajah Ki Demang menjadi tegang, “Maaf. Katakan kepada Ki Gede, bahwa kami tidak akan mengorbankan nyawa anak-anak kami untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang bukan persoalan kami.”

“Tidak. Tidak begitu, Ki Demang.”

“Jadi bagaimana?”

“Kami hanya ingin mendapatkan ijin untuk memburu perampok-perampok yang bahkan telah membunuh di Tanah Perdikan kami.”

“Kalian ingin kami membiarkan kekuatan asing berkeliaran di kademangan ini? Saling membenci, mendendam dan bahkan saling membunuh?”

“Kami akan mencoba menghindarinya, Ki Demang. Kemudian kami akan membawa mereka ke Tanah Perdikan Menoreh untuk diadili.”

“Glagah Putih,” berkata Ki Demang, “kademangan ini bukan sarang perampok dan pembunuh. Kami juga tidak akan membuat kademangan kami menjadi padang pembantaian. Kami juga tidak ingin rakyat kami yang hidup dalam damai ini akan terguncang, bahkan akan menjadi pengalaman yang buruk, karena anak-anak kami akan melihat darah dan mayat yang berserakan.”

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Justru untuk beberapa saat ia terdiam.

Sabungsari mengerti, bahwa Glagah Putih sedang berusaha mengatur perasaannya yang bergejolak. Karena itu, Sabungsari-lah yang kemudian berkata dengan sareh, “Ki Demang. Jika demikian, kami ingin mengajukan permohonan kepada Ki Demang. Kami mohon Ki Demang tidak memberikan tempat kepada para perampok dan pembunuh itu tinggal di kademangan ini.”

Wajah Ki Demang menjadi merah. Dipandanginya Sabungsari dengan tajamnya. Dengan nada tinggi Ki Demang itu berkata, “Kau jangan menuduh kami berbuat kejahatan, dengan melindungi perampok dan pembunuh. Tuduhan itu sangat menyakitkan hati.”

“Kami tahu bahwa Ki Demang memang tidak berniat berbuat demikian. Bahkan barangkali Ki Demang tidak mengetahui, bahwa ada sekelompok perampok dan pembunuh yang bersembunyi di kademangan ini.”

“Berkatalah dengan jelas! Jangan melingkar-lingkar seperti itu!” bentak Ki Demang.

“Kami hanya ingin berbicara dengan hati-hati, agar tidak menyinggung perasaan Ki Demang. Dengan berhati-hati pun kami ternyata sudah menyakiti perasaan Ki Demang.”

“Katakan yang ingin kau katakan.”

“Ki Demang,” berkata Sabungsari kemudian, “perampok dan pembunuh yang kami cari itu bersembunyi di padukuhan Sambisari. Kami tidak tahu, apakah Ki Bekel Sambisari sudah tahu atau belum. Ketika kami melacak jejak kaki kuda para perampok itu, kami dapatkan jejak kaki kuda itu masuk ke padukuhan Sambisari.”

“Apakah itu sudah cukup bagi kalian untuk melontarkan tuduhan bahwa para perampok dan pembunuh itu berada di Sambisari? Mungkin mereka hanya lewat, dan di sisi lain keluar lagi dari padukuhan itu, bahkan keluar dari kademangan ini.”

“Waktu itu kami sudah menghadap Ki Bekel di Sambisari. Kami ingin menelusuri jejak itu lebih jauh. Mungkin jejak itu menunjukkan bahwa para perampok dan pembunuh itu hanya melintas saja di padukuhan Sambisari, tanpa diketahui oleh para bebahu padukuhan. Tetap Ki Bekel tidak mengijinkan kami. Sementara itu menurut penyelidikan kami kemudian, para perampok dan pembunuh itu berada di sebuah pategalan tandus dan terlindung, di dalam lingkungan padukuhan Sambisari.”

Ki. Demang beringsut setapak. Wajahnya terasa panas. Giginya terkatup rapat-rapat. Dengan suara bergetar menahan gejolak perasaannya, Ki Demang itu pun berkata, “Kau jangan memfitnah! Jika Tanah Perdikan ingin menyerang kademangan ini dan merebut tanah kami, Ki Gede tidak usah membuat alasan seperti itu. Aku tahu, Tanah Perdikan mempunyai kekuatan yang sangat besar. Jauh lebih dari cukup untuk menghancurkan kademangan ini. Tetapi jangan dikira bahwa kami akan menyerahkan leher kami begitu saja. Kami dapat berhubungan dengan kademangan-kademangan di seputar Tanah Perdikan. Mereka tentu akan membantu kami, karena mereka menyadari bahwa pada suatu saat, akan datang giliran mereka diterkam oleh ketamakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Kami pun akan mengirimkan utusan ke Mataram untuk memberikan laporan, betapa jahatnya Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang mempunyai kekuatan yang besar itu.”

Jantung Glagah Putih rasa-rasanya bagaikan membara. Namun Sabungsari masih tetap mengekang diri. Katanya, “Ki Demang. Memang akan mudah sekali terjadi salah paham. Tetapi aku mohon Ki Demang memerintahkan dua tiga orang petugas yang dapat dipercaya, untuk dengan diam-diam melihat keadaan di padukuhan Sambisari. Ki Demang tentu akan menemukan sarang perampok itu. Tentu saja tidak semua kekuatan gerombolan itu berada di padukuhan Sambisari. Yang berada di Sambisari itu tentu hanya sebagian saja dari kekuatan mereka seutuhnya.”

“Tidak perlu,” berkata Ki Demang, “jika hal seperti itu terjadi, Ki Bekel tentu sudah memberikan laporan kepadaku.”

“Tetapi bukankah lebih baik Ki Demang langsung mengamati lapangan, meskipun tidak harus Ki Demang sendiri yang melakukannya?”

“Jika aku mengirimkan kepercayaanku untuk melihat keadaan, maka aku tentu akan mengirimkan Ki Bekel Sambisari. Jika aku memerintahkan orang lain, berarti aku tidak percaya lagi kepada Ki Bekel. Jika seorang Demang tidak lagi mempunyai kepercayaan terhadap seorang Bekel di lingkungannya, lalu siapa lagi yang pantas dipercaya?”

“Apakah itu berarti bahwa seorang bebahu tidak akan pernah terkena salah?” bertanya Sabungsari.

Wajah Ki Demang menjadi semakin tegang. Katanya, “Aku tidak dapat menerima permintaanmu. Kembalilah! Katakan kepada Ki Gede, bahwa kami, Kademangan Pucangtelu, akan tetap mempertahankan kewibawaan dan kewenangan kami atas daerah kami sendiri. Sebaiknya Ki Gede meningkatkan kewaspadaan di Tanah Perdikan sendiri. Darimana pun asalnya, jika Tanah Perdikan tetap waspada, maka tidak akan terjadi perampokan dan pembunuhan itu.”

“Kami akan kembali dan melaporkannya kepada Ki Gede. Tetapi aku mohon Ki Demang melihat kebenaran dari peristiwa yang pernah terjadi, serta kenyataan yang ada di padukuhan Sambisari.”

“Kau tidak berwenang untuk menggurui aku!”

“Baiklah. Seperti Ki Demang, maka Tanah Perdikan pun akan membuat laporan ke Mataram. Mungkin Mataram dapat membuat satu kebijaksanaan untuk menengahi persoalan kita.”

Tetapi Ki Demang itu pun menyahut, “Kenapa kau sebut-sebut seolah-olah kalian adalah orang-orang yang setia kepada Mataram, dan berbuat apa saja atas namanya?”

“Kami memang bagian dari Mataram. Apakah Ki Demang tidak percaya, bahwa perang yang baru saja terjadi di Tanah Perdikan itu kami lakukan atas nama Mataram? Apakah Ki Demang juga tidak percaya, bahwa apa yang kami lakukan sekarang juga atas nama Mataram?”

“Kalian adalah orang-orang yang berani tetapi licik. Kalian memanfaatkan nama Mataram untuk menakut-nakuti kami.”

“Terserah kepada Ki Demang. Percaya atau tidak percaya,” geram Glagah Putih yang sudah hampir kehabisan kesabarannya’.

“Pergilah! Semakin lama kalian di sini, membuat mataku pedih dan membuat telingaku panas. Jangan bermimpi bahwa kau berhasil mengelabui aku.”

“Kami akan pergi. Sudah aku katakan, bahwa kami akan kembali dan membuat laporan kepada Mataram. Karena aku memang bagian dari kekuasaan Mataram itu,” berkata Sabungsari kemudian. Suaranya memang masih terkendali. Tetapi tekanannya terasa berat menekan jantung Ki Demang. “Aku dapat menunjukkan kepadamu, Ki Demang, bahwa aku adalah salah seorang prajurit Mataram yang bertugas.”

Wajah Ki Demang itu pun menjadi tegang, sementara Sabungsari bangkit berdiri sambil menyingkap bajunya, sehingga nampak timang ikat pinggangnya. Memang bukan terbuat dari emas seperti timang Ki Demang. Tetapi timang yang sejak semula tertutup oleh ujung bajunya itu adalah timang pertanda keprajuritan, yang sengaja dipakai oleh Sabungsari, karena sejak semula ia sudah memperhitungkan kemungkinan seperti itu, sebagaimana sikap Ki Bekel Sambisari.

Namun Ki Demang itu masih juga bertanya, “Kau dapatkan benda itu dari mana? Kau bunuh prajurit Mataram dan kau curi timang pertanda keprajuritannya?”

Namun Sabungsari itu pun menjawab, “Apakah aku harus datang dengan membawa prajurit segelar sepapan? Ingat Ki Demang, jika kami kehendaki, kami akan datang tanpa minta ijin lebih dahulu dari Ki Demang. Tugasku adalah memburu para pemberontak itu, kemana pun mereka pergi.”

Ki Demang yang juga bangkit berdiri itu menjadi termangu-mangu. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Kau tentu pernah mendengar bahwa sepasukan prajurit dari Pasukan Khusus Mataram berada di Tanah Perdikan Menoreh. Nah, buatlah laporan kepada Mataram. Mataram tentu akan mempertimbangkan berulang kali, apakah laporanmu dapat dipercaya,” berkata Glagah Putih yang juga sudah berdiri pula. “Jika laporanmu bertentangan dengan laporan kami, maka laporan kalian tidak akan berharga sama sekali di mata para pemimpin di Mataram.”

Wajah Ki Demang menjadi semakin tegang.

Sementara itu Glagah Putih berkata selanjutnya, “Kami sudah mencoba datang menemuimu, Ki Demang. Kami sudah berbicara dengan baik melalui jalur yang seharusnya. Tetapi kau sama sekali tidak membantu kami.”

“Tunggu,” desis Ki Demang.

“Kami akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dan bertemu dengan Ki Gede. Aku minta kau panggil Ki Bekel. Perintahkan Ki Bekel berbicara dengan jujur. Kemudian, aku tunggu keterangan Ki Demang selama tiga hari. Jika dalam tiga hari tidak ada keterangan apa-apa dari Ki Demang, maka atas nama Mataram, kami akan bertindak langsung. Kami akan memasuki wilayah kademangan ini untuk menangkap para perampok dan pembunuh, yang telah melakukan pembunuhan bukan saja atas para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga orang-orang yang tidak bersalah dan tidak berdaya.”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Glagah Putih dan Sabungsari telah beringsut dari tempatnya. Dengan pendek Glagah Putih berkata, “Kami minta diri.”

Ki Demang berdiri termangu-mangu ketika ia melihat Glagah Putih dan Sabungsari menuntun kudanya keluar regol halaman. Bagaimanapun juga, keduanya masih menerapkan unggah-ungguh dengan tidak naik ke atas kudanya di halaman rumah Ki Demang di Pucangtelu.

Di regol halaman, mereka berpapasan dengan seorang yang bertubuh sedang tetapi nampak kokoh. Wajah yang keras membayangkan kekerasan hatinya.

Orang itu berhenti sejenak di regol halaman sambil berkata, “Apakah kalian baru saja menghadap Ki Demang?”

“Ya,” jawab Glagah Putih.

“Kalian bukan orang Kademangan ini?”

“Bukan,” jawab Glagah Putih pendek, “kami orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

“Untuk apa kalian datang kemari?”

“Kami sudah berbicara panjang dengan Ki Demang. Ki Demang tentu tidak akan berkeberatan untuk menjelaskan. Apakah kau Jagabaya di Kademangan ini?” bertanya Glagah Putih kemudian.

Ki Jagabaya itu mengerutkan dahinya. Yang bertanya kepadanya adalah seorang yang masih sangat muda. Karena itu, maka Jagabaya itu rasa-rasanya segan untuk menjawabnya. Bahkan Ki Jagabaya itu justru bertanya, “Siapakah kalian berdua, dan apakah keperluan kalian?”

“Sudah aku katakan, kami sudah berbicara panjang dengan Ki Demang. Bertanyalah kepada Ki Demang.”

Tetapi Ki Jagabaya yang tersinggung itu membentak, “Katakan kepadaku! Kau dengar?”

Glagah Putih yang sudah terlalu lama menahan diri, tiba-tiba saja membentak pula, “Tidak! Kau tidak berhak memaksa aku berbicara!”

Ki Jagabaya pun menjadi marah. Sementara Glagah Putih telah melepaskan kendali kudanya begitu saja.

Namun terdengar suara Ki Demang yang berat, “Ki Jagabaya! Kemarilah! Biarkan mereka pergi.”

Wajah Ki Jagabaya menjadi panas. Dengan geram ia berkata, “Untunglah bahwa Ki Demang berbaik hati kepadamu. Jika tidak, maka kau akan aku lumatkan di sini. Kau adalah contoh anak-anak yang tidak tahu unggah-ungguh.”

Kemarahan Glagah Putih yang menggelegak itu sulit untuk ditahannya. Dengan lantang ia berkata, “Katakan kepada Demangmu. Ia tidak perlu berbaik hati kepadaku.”

Kata-kata itu memang menggetarkan jantung Ki Jagabaya. Mulut anak itu memang terlalu lancang. Namun Ki Demang itu justru mengulanginya, “Ki Jagabaya! Biarlah mereka pergi.”

Ki Jagabaya menggeram, sementara Sabungsari telah menggamit Glagah Putih sambil berdesis, “Marilah kita pergi.”

Betapa sulitnya untuk mengendapkan kemarahan di dada Glagah Putih. Namun ketika ditatapnya wajah Sabungsari, maka Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat api yang menyala di mata Sabungsari. Pesan Agung Sedayu pun seakan-akan terngiang di telinganya, agar Glagah Putih selalu mendengarkan pendapatnya.

Glagah Putih pun kemudian telah meraih kendali kudanya, sementara Ki Jagabaya pun telah melangkah memasuki regol halaman rumah Ki Demang.

“Marilah. Kita tidak membawa wewenang untuk bertindak lebih jauh,” berkata Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk. Bahkan anak muda itulah yang kemudian lebih dahulu naik ke punggung kudanya.

“Jagabaya itu gila,” geram Glagah Putih.

“Sudahlah. Ia tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Ia pun belum tahu pembicaraan kita dengan Ki Demang.”

Glagah Putih mengangguk. Sementara Sabungsari pun telah naik ke punggung kudanya pula.

Sejenak kemudian, keduanya telah melarikan kuda mereka meninggalkan padukuhan induk Kademangan Pucangtelu.

Sementara itu, Sabungsari pun berkata, “Aku sengaja menunjukkan ciri keprajuritanku, untuk mencegah merambatnya perbedaan pendapat antara kita dan Ki Demang. Dengan melihat ciri keprajuritanku, Ki Demang akan berusaha untuk mengekang diri. Meskipun mungkin ia tidak sepenuhnya percaya, tetapi setidak-tidaknya ia mulai berpikir untuk mengendalikan dirinya. Aku pun menjadi cemas, bahwa jika Ki Demang tidak mengendalikan dirinya, kita akan kehabisan kesabaran.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti sikap yang diambil oleh Sabungsari. Jika kesabaran mereka sampai ke batas, apalagi dengan kedatangan Ki Jagabaya, mungkin persoalannya akan menjadi lain. Mungkin Glagah Putih dan bahkan Sabungsari dapat melupakan pesan yang diberikan oleh Ki Gede, maupun oleh Agung Sedayu dan Ki Jayaraga.

Sejenak kemudian keduanya telah memacu kudanya. Ketika mereka melingkari padukuhan Sambisari untuk menghindari kemungkinan buruk yang lain, Sabungsari sempat tersenyum sendiri. Katanya, “Aku menjadi sangat haus. Ki Demang itu agaknya pelit sekali. Kita sama sekali tidak disuguhi minuman apalagi makanan.”

Glagah Putih sempat tersenyum pula. Katanya, “Besok, dalam tiga hari ini, jika Ki Demang datang ke Tanah Perdikan atau utusannya, jangan lupa peringatkan para pembantu Ki Gede agar menghidangkan minuman dan makanan. Bukankah dengan demikian akan memberikan kesan, bahwa Tanah Perdikan Menoreh lebih sejahtera daripada Kademangan Pucangtelu?”

Sabungsari tertawa. Glagah Putih pun tertawa pula. Mereka mencoba untuk tertawa lepas, untuk membebaskan beban di dada mereka karena sikap Ki Demang dan Ki Jagabaya.

Demikianlah, mereka berdua pun melarikan kuda mereka semakin cepat. Apalagi ketika mereka berada di jalan bulak yang sepi. Namun ternyata ada juga satu dua orang Sambisari yang melihat mereka. Dua orang yang memacu kuda mereka dengan kencangnya.

Seorang di antara mereka pun kemudian telah menyampaikannya kepada seorang bebahu. Katanya, “Dua orang itu agaknya mereka yang pernah aku lihat menemui Ki Bekel.”

“Ki Bekel memang pernah memberitahukan kepadaku, ada dua orang Tanah Perdikan Menoreh yang datang menemuinya.”

“Untuk apa? Apakah orang-orang Tanah Perdikan ingin menarik kembali tanah yang pernah menjadi sengketa itu?”

Bebahu itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Entahlah. Aku tidak tahu,”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu ia pun bertanya kepada bebahu itu, “Apakah tidak sebaiknya kita berbicara dengan Ki Bekel?”

Bebahu itu menggeleng. Katanya, “Tidak usah. Anggap saja mereka sekedar lewat.”

Tetapi ternyata di luar pengetahuan orang yang memberitahukan tentang dua orang berkuda yang lewat, bebahu itu telah menemui Ki Bekel.

“Ada apa?” bertanya Ki Bekel yang melihat bebahu itu datang dengan wajah yang gelisah.

“Ada dua orang berkuda lewat di jalan bulak sebelah, Ki Bekel.”

“Kenapa dengan dua orang berkuda lewat?” bertanya Ki Bekel.

“Menurut orang yang melihatnya, dua orang itu adalah dua orang yang pernah datang menemui Ki Bekel.”

“Orang-orang Tanah Perdikan itu?”

“Ya.”

“Mereka lewat dari arah mana?”

“Agaknya mereka dari arah padukuhan induk kademangan ini. Tidak seorangpun yang melaporkan mereka lewat sebelumnya. Agaknya tidak ada yang melihat mereka saat mereka ke padukuhan induk.”

“Apakah mereka menemui Ki Demang?”

“Agaknya memang demikian.”

“Mereka adalah orang-orang gila!” geram Ki Bekel, “Seharusnya kita mencegahnya.”

“Tetapi sudah terlanjur. Agaknya mereka sudah bertemu dan berbicara dengan Ki Demang.”

Ki Bekel itu menjadi tegang. Namun katanya kemudian, “Jika aku dipanggil Ki Demang, aku tidak akan dapat ingkar, bahwa memang ada sekelompok orang yang berada di pategalan.”

Belum lagi mereka selesai berbincang, ternyata seorang bebahu kademangan telah datang ke rumah Ki Bekel. Dengan serta-merta bebahu itu berkata, “Ki Bekel. Ki Bekel diminta untuk datang ke rumah Ki Demang, sekarang!”

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Namun ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya. Dengan kerut di dahi Ki Bekel itu bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting, sehingga perintah Ki Demang itu begitu tiba-tiba?”

“Mungkin,” jawab bebahu itu, “Ki Demang dan Ki Jagabaya menunggu kehadiran Ki Bekel sekarang.”

Bebahu yang baru saja melaporkan dua orang Tanah Perdikan yang lewat jalan bulak di sebelah padukuhan Sambisari itu pun termangu-mangu. Agaknya keduanya benar-benar baru saja menemui Ki Demang di padukuhan induk, sehingga Ki Demang merasa perlu memanggil Ki Bekel dengan segera.

“Baiklah. Aku akan menemui Ki Demang.”

Ki Bekel pun segera berbenah diri. Ia akan pergi menemui Ki Demang bersama bebahu yang memanggilnya. Tetapi ia tidak ingin mengajak siapapun juga. Karena itu, ia pun tidak mengajak bebahu yang datang melapor kepadanya itu.

Ki Bekel tidak ingin bebahu itu memberikan keterangan yang berbeda, karena mereka belum sempat berunding, apa yang akan mereka katakan jika mereka harus menghadap Ki Demang, untuk mempertanggung-jawabkan kehadiran sekelompok orang di pategalan yang termasuk lingkungan padukuhan Sambisari.

Beberapa saat kemudian, Ki Bekel Sambisari itu sudah duduk di pinggiran rumah Ki Demang Pucangtelu. Seperti yang diduga, Ki Demang pun langsung bertanya kepada Ki Bekel tentang kehadiran sekelompok orang yang telah dilacak oleh dua orang dari Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak ingkar, Ki Demang. Memang ada sekelompok orang yang sekarang berada di pategalan yang gersang itu.”

“Kenapa hal itu dapat terjadi, Ki Bekel? Apakah Ki Bekel memang memberikan tempat kepada mereka?” bertanya Ki Jagabaya.

“Tidak. Mereka begitu saja berada di pategalan itu.”

“Dan Ki Bekel membiarkannya saja?”

“Aku sudah menemui mereka,” jawab Ki Bekel.

“Lalu?” desak Ki Jagabaya.

“Aku tidak kuasa berbuat apa-apa. Mereka adalah sekelompok orang bersenjata yang dapat berbuat apa saja di padukuhan Sambisari. Ketika aku minta mereka pergi, pemimpin mereka menyatakan bahwa mereka hanya ingin berhenti sehari saja di pategalan itu. Tetapi ternyata mereka tidak segera pergi. Bahkan tanaman-tanaman kurus yang ditanam di pategalan tandus itu telah mereka ambil hasilnya. Memang tidak seberapa, tetapi pemiliknya menangisinya.”

“Jika mereka tidak segera pergi, kenapa Ki Bekel tidak dengan tegas mengusirnya?”

“Apakah kami dapat melawan mereka, jika mereka marah dan mempergunakan kekerasan? Bahkan seandainya seisi padukuhan diberi senjata dan bangkit untuk melawan, kami tidak akan dapat mengalahkan mereka.”

“Kenapa Ki Bekel tidak melaporkan kepadaku?” berkata Ki Jagabaya dengan lantang.

“Aku tidak ingin terjadi pembantaian di kademangan ini,” jawab Ki Bekel.

Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Pembantaian yang bagaimana?”

“Jika kita berusaha mengusir mereka dengan kekerasan, maka tentu akan terjadi pertempuran. Karena menurut perhitunganku, Ki Jagabaya tentu akan mengambil jalan itu. Sedangkan pertempuran melawan orang-orang kasar dan garang itu tentu akan banyak jatuh korban, sementara mereka akan mendendam kita. Jangankan kepada kita, sedangkan kepada Tanah Perdikan Menoreh mereka mendendam, dan sekarang Tanah Perdikan Menoreh menjadi kebingungan akibat dendam itu.”

“Jadi apakah kita harus membiarkan saja kampung halaman kita mereka pergunakan sebagai landasan untuk melancarkan balas dendam kepada Tanah Perdikan Menoreh?”

“Persoalannya adalah persoalan mereka dengan Tanah Perdikan Menoreh. Kita tidak usah ikut campur. Itulah sebabnya aku diam saja dan tidak memberikan laporan kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya. Aku berpura-pura saja tidak tahu.”

“Itu bukan penyelesaian yang baik. Jika kita biarkan saja mereka melancarkan balas dendam mereka dengan merampok dan membunuh di Tanah Perdikan Menoreh dari kademangan kita, maka Tanah Perdikan Menoreh pun akan mendendam kita. Kita harus memilih, apakah kita harus bermusuhan dengan gerombolan itu, atau kita harus bermusuhan dengan Tanah Perdikan Menoreh, yang dalam hal ini akan dapat bertumpu pada kuasa Mataram.”

Ki Bekel mengerutkan keningnya. Katanya, “Apa hubungannya dengan Mataram?”

“Gerombolan itu adalah gerombolan pemberontak yang sedang diburu oleh Mataram. Mereka menyerang Tanah Perdikan sebagai sasaran sementara. Tanah Perdikan akan mereka pergunakan sebagai landasan yang kokoh, sekaligus menjadi lumbung persediaan bahan pangan untuk meraih Mataram.”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Omong kosong. Bukankah kedua orang pengawal Tanah Perdikan itu yang mengatakannya, bahwa mereka dapat bertumpu pada kuasa Mataram?”

“Seorang di antara mereka telah menunjukkan ciri keprajuritan. Aku yakin orang itu sedang dalam tugas sandi. Mereka memang sedang memburu gerombolan yang berada di lingkungan padukuhanmu.”

Ki Bekel tidak segera dapat menjawab. Sementara Ki Demang pun berkata, “Atas nama Mataram, Tanah Perdikan Menoreh dapat berbuat apa saja tanpa seijinku.”

Ki Bekel mengeratkan dahinya. Lalu katanya, “Jika demikian, biar orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri yang menangkap orang-orang itu. Biar dendam mereka tetap tertuju kepada Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi kita mempunyai harga diri, Ki Bekel. Apa kata orang jika para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memasuki kademangan kita untuk menangkap gerombolan yang bersarang di kademangan ini. Bukankah dengan demikian harga diri kita turut terinjak?”

“Jadi, apakah kita harus mengorbankan anak-anak kita bagi kepentingan Tanah Perdikan Menoreh?”

“Sama sekali bukan bagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi orang-orang yang begitu saja bersarang di kademangan kita telah melanggar hak dan harga diri kita.”

“Apakah kita akan membiarkan kademangan ini untuk waktu yang lama dimusuhi oleh sekelompok perampok dan pembunuh?”

“Menurut Ki Bekel, apakah yang terbaik? Diam saja, membiarkan kademangan ini menjadi sarang perusuh, atau mengusir mereka sebagai seorang laki-laki yang harga dirinya dijamah?”

Ki Bekel tidak segera menyahut Tetapi keringat dingin telah membasahi punggungnya.

“Kita dapat mengambil jalan tengah,” berkata Ki Jagabaya.

“Maksud Ki Jagabaya?” bertanya Ki Demang. “Kita hubungi Tanah Perdikan Menoreh. Kita beri tahukan sarang pemberontak itu. Kita persilakan Tanah Perdikan mengusir atau menangkap mereka atas ijin kita. Hak kita tidak dilanggar, sementara itu kita tidak harus mengorbankan orang-orang kita bagi kepentingan Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Demikian pula Ki Bekel. Namun akhirnya Ki Demang berkata, “Aku besok akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ki Demang akan pergi sendiri? Bukankah Ki Demang dapat mengirimkan utusan saja untuk bertemu dengan Ki Gede, sebagaimana Ki Gede juga hanya mengirimkan utusannya kemari?”

“Aku ingin berbicara langsung dengan Ki Gede,” jawab Ki Demang.

Ki Bekel termangu-mangu. Namun di luar dugaan Ki Bekel, Ki Demang pun berkata, “Ki Bekel. Aku minta Ki Bekel merahasiakan kunjunganku ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Maksud Ki Demang?” bertanya Ki Bekel.

“Jika rencanaku didengar oleh gerombolan itu, maka mereka akan dapat melarikan diri sebelum aku dan Ki Gede menentukan sikap. Mereka adalah bagaikan ular. Jika kita memukulnya, maka kita harus meremukkan kepalanya. Jika kita menyakitinya tetapi ular itu tetap hidup, maka dendamnya akan menyala sepanjang umurnya.”

Tetapi Ki Bekel itu pun menjawab, “Yang berada di padukuhan Sambisari itu tentu hanya sebagian saja dari mereka. Seandainya kita dapat menghancurkan mereka, maka induk mereka-lah yang akan mendendam kita. Jika Tanah Perdikan merasa kebingungan karena dendam gerombolan itu, apakah kita tidak menjadi jauh lebih parah lagi?”

“Jika demikian, maka biarlah orang-orang Tanah Perdikan sendiri-lah yang melakukannya. Tetapi agar wewenang kita tidak diinjaknya, maka mereka harus mendapat ijin dari kita,” berkata Ki Jagabaya kemudian.

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan membicarakannya dengan Ki Gede.”

Ki Demang pun kemudian telah menunjuk Ki Jagabaya dan Ki Bekel Sambisari untuk menyertainya, pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka harus membuat kesepakatan dengan Ki Gede, agar tindakan yang akan diambil tidak justru saling berbenturan.

Sebenarnya Ki Bekel Sambisari merasa sangat segan untuk pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi ia tidak dapat membantah. Karena itu, maka Ki Bekel hanya dapat mengiyakannya saja.

“Besok, pagi-pagi sekali, Ki Bekel dan Ki Jagabaya harus sudah sampai di sini. Aku akan berangkat saat terang tanah, supaya kita tidak pulang kemalaman.”

“Bukankah Tanah Perdikan tidak terlalu jauh?”

“Memang. Tetapi jika pembicaraan kita berkepanjangan?”

Ki Bekel mengangguk hormat sambil berkata, “Baiklah. Besok sebelum terang tanah, aku sudah berada di sini.”

Demikianlah, Ki Bekel dan Ki Jagabaya pun telah minta diri. Besok, pagi-pagi mereka akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Malam itu, Ki Bekel merasa sangat gelisah. Bagaimanapun juga, ia akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Orang-orang Tanah Perdikan tentu akan menuduhnya dengan sengaja telah melindungi para perampok itu. Sementara itu, Ki Demang tentu akan menjadi marah pula kepadanya.

Tetapi Ki Bekel tidak mempunyai alasan untuk mengelak. Ia harus menyertai Ki Demang dan Ki Jagabaya untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh esok pagi.

Demikianlah, seperti yang sudah direncanakan, maka menjelang terang tanah Ki Bekel dan Ki Jagabaya telah berada di rumah Ki Demang. Mereka akan bersama-sama pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan disertai oleh empat orang pengawal pilihan dari Kademangan Pucangtelu.

Setelah minum minuman hangat, maka mereka segera bersiap-siap. Ketika Nyi Demang mempersilakan mereka untuk lebih dahulu makan pagi, maka Ki Bekel dan Ki Jagabaya. mengatakan bahwa mereka telah makan di rumah sebelum mereka berangkat.

Ketika ayam mulai turun, maka Ki Demang, Ki Bekel dan Ki Jagabaya pun telah meninggalkan pintu regol halaman rumah Ki Demang, diiringi oleh para pengawal. Kaki-kaki kuda mereka berderap di sepanjang jalan, meninggalkan debu yang putih mengepul dan kemudian hilang diterbangkan angin pagi.

Perjalanan Ki Demang dan pengiringnya memang bukan perjalanan yang terlalu panjang. Meskipun mereka harus mengitari bukit-bukit kecil dan menyusuri jalan di pinggir hutan, namun Kademangan Pucangtelu dan Tanah Perdikan Menoreh hanya dipisahkan oleh perbatasan.

Kedatangan Ki Demang dan pengiringnya memang menarik perhatian orang-orang Tanah Perdikan. Memang ada di antara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang memang sudah mengenal Ki Demang Pucangtelu, atau Ki Bekel Sambisari atau Ki Jagabaya. Mereka yang belum mengenalnya dapat menduga-duga, bahwa yang datang itu adalah orang-orang dari kademangan sebelah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar