Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 315

Buku 315

“Jika demikian, Ki Gede Menoreh memang harus menjadi sangat berhati-hati,” berkata Ki Patih, “Menoreh harus benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ki Lurah pun harus menyiapkan prajurit dari Pasukan Khusus. Mungkin pasukan itu dengan tiba-tiba saja harus dipergunakan.”

“Ya, Ki Patih. Kami di Tanah Perdikan Menoreh akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dari pembicaraan kami dengan orang-orang yang sudah tertangkap itu, kami dapat menduga bahwa sasaran antara mereka adalah Tanah Perdikan Menoreh.”

Dengan nada rendah Ki Patih itu pun berkata, “Tetapi para petugas sandi yang lain tentu akan segera mengirimkan laporannya berturut-turut.”

“Kami akan selalu menunggu perintah.”

“Datanglah setiap kali, Ki Lurah. Kita akan membuat pertimbangan bersama. Kecuali jika keadaan mendesak, kau dapat datang kapan pun juga. Jika kau berhalangan karena sesuatu hal, kau dapat memerintahkan kepercayaanmu. Tetapi orang itu harus lebih dahulu kau perkenalkan kepadaku. Aku tidak ingin berhubungan dengan orang yang salah. Jika aku belum mengenal kepercayaanmu, maka dapat saja terjadi orang yang tidak kita inginkan datang untuk menyadap keteranganku, yang seharusnya hanya dapat kau dengar.”

“Baik, Ki Patih. Pada kesempatan lain, aku akan datang bersama seseorang yang dapat mewakili aku berhubungan dengan Ki Patih.”

Pembicaraan antara Ki Patih dan Agung Sedayu masih berlangsung beberapa lama. Namun kemudian Ki Lurah itu pun minta diri.

“Salamku bagi Ki Gede,” berkata Ki Patih, ketika Agung Sedayu meninggalkan serambi Kepatihan.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun sudah berpacu kembali ke Tanah Perdikan. Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, Agung Sedayu dan pengiringnya harus menunggu rakit yang akan membawa mereka menyeberang.

“Hati-hatilah,” bisik Agung Sedayu kepada kedua pengawalnya.

“Ada apa Ki Lurah?”

“Dua orang berkuda itu mengikuti kita, demikian kita keluar pintu gerbang Mataram.”

Kedua orang pengiringnya itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki Lurah itu pun berdesis pula, “Jangan berpaling. Mereka berada hanya beberapa langkah di belakang kalian.”

Kedua orang pengawal Agung Sedayu itu tidak berpaling. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Jika rakit yang menepi itu nanti merapat, kita jangan tergesa-gesa naik. Kita akan menunggu rakit yang baru bertolak dari tepian sebelah barat itu.”

Kedua pengawalnya pun mengangguk.

Karena itulah, maka ketika rakit yang pertama merapat ke tepian, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya justru tidak bergerak ke arah rakit itu. Tetapi justru ke arah lain.

Kedua orang berkuda yang disebut oleh Agung Sedayu itu memang terkejut. Mereka juga sudah bergerak menuju ke rakit yang menepi.

Namun agaknya keduanya tidak menunda keberangkatan mereka. Jika mereka juga tidak naik ke rakit itu, maka Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya tentu segera mengetahui bahwa kedua orang itu memang sedang mengikuti mereka. Bahwa Agung Sedayu dan kedua pengawalnya urung naik ke rakit itu pun merupakan pertanda bahwa mereka telah mengetahui, bahwa kedua orang itu sedang mengikuti mereka.

Sambil mengumpat, kedua orang itu pun kemudian naik ke rakit sambil membawa kuda mereka. Beberapa orang yang lain pun segera naik pula, sehingga rakit itu pun menjadi penuh.

Sementara itu, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya masih berada di tepian. Sambil tersenyum Agung Sedayu memandang kedua orang yang sudah berada di atas rakit, yang bahkan rakit itu pun mulai bergerak melintasi Kali Praga.

Meskipun demikian Agung Sedayu pun berpesan kepada kedua orang pengawalnya, “Berhati-hatilah. Mungkin kedua orang itu masih akan menunggu kita di seberang sungai.”

Kedua orang pengawalnya mengangguk.

Sejenak kemudian, ketika rakit berikutnya merapat di tepian, barulah Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya naik ke atas rakit sambil membawa kuda-kuda mereka.

Beberapa saat kemudian, ketiganya telah memacu kuda mereka menyusuri jalan bulak yang luas di atas tanah di Tanah Perdikan Menoreh.

“Ternyata kedua orang itu tidak menunggu kita,” desis Agung Sedayu.

Sebenarnyalah kedua orang yang mengikuti Agung Sedayu dan kedua pengawalnya ini tidak mereka lihat lagi.

“Siapakah kira-kira mereka?” bertanya Agung Sedayu.

Tetapi kedua pengawalnya menggeleng. Seorang di antaranya menjawab, “Kami sama sekali tidak mempunyai petunjuk apapun tentang mereka, Ki Lurah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Beberapa saat kemudian mereka telah memasuki pintu gerbang barak mereka.

Agung Sedayu sempat beristirahat beberapa lama di baraknya. Setelah berbicara dengan orang-orang yang dipercaya untuk memimpin barak itu selama ia tidak ada di barak, maka Agung Sedayu pun kemudian telah meninggalkan baraknya, pulang ke padukuhan induk.

Agung Sedayu memang agak terlambat pulang. Meskipun Sekar Mirah tahu bahwa Agung Sedayu pergi ke Mataram, namun ia masih juga merasa resah. Demikian pula para penghuni rumah itu yang lain. Meskipun Agung Sedayu berilmu sangat tinggi, tetapi jika ia dihadapkan kepada lima atau enam orang berilmu, maka pada satu tataran tertentu Agung Sedayu akan dapat dikalahkan.

Tetapi jantung Sekar Mirah berdentang dengan irama yang wajar kembali, ketika Agung Sedayu kemudian datang memasuki halaman rumahnya.

Hanya kepada Sekar Mirah, Agung Sedayu bercerita tentang pembicaraannya dengan Ki Patih.

“Setiap kali aku harus menghadap untuk saling bertukar keterangan,” berkata Agung Sedayu malam itu kepada Sekar Mirah.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Apakah persoalan di Tanah Perdikan ini timbul, bahkan mungkin akan terjadi benturan kekuatan yang besar, karena aku memiliki tongkat baja putih?”

“Tidak, Mirah. Bukan itu. Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah menjadi sasaran antara. Tanah ini akan dijadikan landasan untuk meloncat ke Mataram, serta lumbung bahan pangan bagi sebuah kekuatan yang akan menghancurkan Mataram.”

“Tetapi bukankah Mataram bukan sebuah padukuhan kecil yang hanya mempunyai dua puluh lima orang pengawal?”

“Kekuatan Mataram berada di berbagai tempat, Mirah. Jika Mataram pernah menyatukan wilayah yang luas, karena Mataram menghimpun kekuatan yang tersebar itu.”

“Bukankah dalam keadaan yang khusus, Mataram dapat melakukannya?”

“Tentu Mirah. Tetapi Mataram memerlukan waktu untuk itu.”

“Bukankah Mataram dapat melakukannya sejak sekarang?”

“Mirah. Persoalan yang dihadapi oleh Mataram bukan hanya sekelompok orang yang akan mempergunakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan. Di wilayah-wilayah lain juga perlu mendapat pengawasan, agar tatanan pemerintahan dapat berlangsung tertib.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh harus lebih bertumpu pada kekuatan sendiri, yang harus dipersiapkan dengan baik. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, akan dapat menjadi bagian dari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Di hari-hari berikutnya, Tanah Perdikan Menoreh memang mulai mempersiapkan diri dengan baik, meskipun dengan hati-hati agar tak menimbulkah keresahan. Kerja sama dengan para prajurit di barak pun berlangsung semakin baik, karena prajurit dari Pasukan Khusus itu selain dipimpin Agung Sedayu, juga merasa tinggal di Tanah Perdikan itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dalam kesibukannya sehari-hari di sawah, ladang dan bahkan dimana-mana, telah mengamati keadaan dengan seksama. Ada di antara mereka yang melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang rasa-rasanya selalu mengawasi Tanah Perdikan ini.

“Awasi mereka,” perintah Agung Sedayu.

Para prajurit dalam tugas sandi yang bertugas di Tanah Perdikan dan tinggal di padukuhan-padukuhan membenarkan penglihatan para pengawal itu, karena mereka pun telah pernah melihat pula. Bahkan mereka sedang mengamati secara khusus beberapa orang yang mereka curigai.

Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Tanah Perdikan Menoreh dan petugas sandi dari barak Pasukan Khusus telah bekerja keras untuk mengamati seluruh daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka pun sadar, bahwa petugas sandi dari gerombolan yang ingin menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan perjuangan mereka untuk menggapai Mataram, juga sudah lewat. Mungkin mereka menyamar sebagai pedagang dan berada di pasar-pasar yang tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Mungkin mereka merayap dengan diam-diam di sela-sela perbukitan dan di hutan-hutan lereng pegunungan.

Karena itu, mereka harus berhati-hati menjalankan tugas mereka Sedangkan para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan pun menyadari pula, bahwa barak mereka tentu juga mendapat pengawasan khusus dari orang-orang yang mengaku keluarga perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun kembali.

Karena itulah, maka kadang-kadang memang terjadi benturan-benturan kecil antara para petugas sandi dari kedua belah pihak. Seakan-akan mereka saling merunduk. Yang lengah akan menjadi korban kecerdikan dan bahkan kadang-kadang kelicikan lawannya.

Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin hati-hati. Mereka sadar bahwa niat para pengikut Ki Saba Lintang untuk menculik Rara Wulan tidak akan pernah padam. Rara Wulan akan dapat dipergunakan untuk memaksa Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu untuk menyerahkan tongkat baja putihnya. Dengan sepasang tongkat baja putih, maka keinginan Ki Saba Lintang untuk memimpin perguruan Kedung Jati yang baru itu akan dapat tercapai.

Di rumah Ki Lurah, Empu Wisanata tidak henti-henti menasihati anak perempuannya, agar ia benar-benar melupakan impian-impiannya untuk bersama-sama dengan Ki Saba Lintang menguasai satu himpunan kekuatan yang sangat besar.

“Mimpi itu akan dapat menyesatkan jalan hidupmu,” Empu Wisanata menekankan.

Dari hari ke hari memang nampak perubahan pada diri Nyi Dwani. Ia tidak lagi terlalu banyak merenung. Nyi Dwani itu selalu berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Dengan keluarga Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka kecurigaan Ki Lurah dan Nyi Lurah kepada Nyi Dwani pun menjadi semakin menyusut. Apalagi Empu Wisanata tidak jemu-jemunya selalu memberi petunjuk kepada anak perempuannya itu, agar ia benar-benar mengubah jalan hidupnya.

Di samping kesiagaan di Tanah Perdikan, maka seperti pesan Ki Patih Mandaraka, setiap kali Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke Mataram untuk menghadap. Dengan demikian maka kedua belah pihak dapat saling bertukar keterangan. Kedua belah pihak juga dapat menyesuaikan langkah-langkah yang akan diambil.

Namun Agung Sedayu terkejut juga ketika pada suatu kali, Ki Patih Mandaraka itu berkata, “Ki Lurah. Agaknya orang-orang dari Pati, Demak dan Jipang tidak hanya mengamati Tanah Perdikan saja. Tetapi Ki Tumenggung Untara telah berhasil menangkap dua orang petugas sandi yang mempunyai hubungan dengan rencana untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati.”

“Apakah mereka juga akan menyusup lewat timur?”

“Mungkin tidak. Tetapi agaknya mereka ingin mengetahui apakah ada kekuatan dari Jati Anom atau Sangkal Putung yang dikirim ke Tanah Perdikan.”

“Apakah petugas sandi itu tidak dapat memberikan keterangan tentang tugas-tugas mereka?”

“Mereka adalah orang-orang yang keras hati. Sampai saat ini mereka masih belum mau mengatakan apa-apa. Tetapi para prajurit di Jati Anom masih bersabar. Mungkin besok atau lusa orang itu mau mengatakan sesuatu tentang tugas-tugas mereka”

“Selain dari Jati Anom, apakah pernah ada laporan dari Sangkal Putung?”

“Belum, Ki Lurah. Tetapi menurut dugaanku, tentu juga ada petugas sandi yang berkeliaran di Sangkal Putung, karena mereka tahu bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu berasal dari Sangkal Putung. Mereka pun tahu bahwa di Kademangan Sangkal Putung juga tersimpan kekuatan yang cukup besar. Bahkan sejak Sangkal Putung menjadi sasaran kekuatan Jipang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan, yang juga salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati.”

Agung Sedayu mengangguk sambil berkata, “Apakah Adi Swandaru perlu mendapat peringatan khusus tentang hal ini, Ki Patih?”

“Aku kira masih belum perlu, Ki Lurah. Jika hal itu diperlukan, biarlah Ki Tumenggung Untara mengambil langkah-langkah seperlunya, agar ada kesatuan sikap antara para prajurit di Jati Anom dengan para pengawal Kademangan Sangkal Putung.”

“Jadi apakah itu berarti bahwa Kakang Untara-lah yang akan mendapat perintah untuk tugas itu?”

“Ya. Biarlah aku berbicara dengan Ki Tumenggung pada kesempatan lain.”

Dengan demikian maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran, bahwa jaringan sandi dari orang-orang yang berniat untuk menyusun kembali perguruan Kedung Jati itu sangat luas. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun yakin bahwa Ki Saba Lintang bukanlah orang yang mampu mengendalikan kekuatan yang besar itu. Seandainya pada suatu saat Ki Saba Lintang berhasil mendapatkan sepasang tongkat baja putih, sehingga bersama dengan Nyi Dwani menjadi pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun, maka keduanya tentu akan kecewa.

Ki Saba Lintang dan Nyi Dwani harus melihat kenyataan, bahwa mereka hanyalah sebagian kecil saja dari gerakan yang sedang berputar, yang justru berada di luar kemampuannya untuk mengendalikannya.

Ketika kemudian Agung Sedayu kembali ke baraknya, maka ia pun telah memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menjadi semakin berhati-hati.

“Ternyata kita berhadapan dengan kekuatan yang besar, yang telah membuka jaringan pengawasan yang luas,” berkata Agung Sedayu kepada beberapa orang pemimpin baraknya.

Agung Sedayu pun kemudian telah menceritakan bahwa para prajurit di Jati Anom juga sudah menangkap petugas sandi dari kekuatan yang masih belum menampakkan dirinya dengan jelas itu. Dengan demikian berarti bahwa pengamatan mereka terhadap Mataram telah mereka lakukan dari banyak sisi. Bahkan mungkin mereka sedang membuat perhitungan, manakah yang lebih menguntungkan, apakah mereka akan meloncat ke Mataram dari barat atau dari timur.

“Tetapi agaknya mereka akan tetap memilih untuk membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Jati Anom dan sekitarnya, serta Sangkal Putung dan kademangan-kademangan di sebelah-menyebelahnya adalah daerah yang subur, namun mereka akan memperhitungkan bahwa pasukan Untara dan pengawal Kademangan Sangkal Putung terlalu kuat untuk mereka hadapi.”

“Mereka menganggap kita di sini lebih lemah?” bertanya salah seorang pembantu Agung Sedayu.

“Agaknya memang demikian. Dasar perhitungan mereka adalah bahwa jumlah prajurit di Jati Anom berlipat ganda dari jumlah kita di sini.”

“Tetapi itu bukan ukuran,” jawab yang lain.

“Aku tahu. Bahkan kemampuan para prajurit secara pribadi juga harus diperhitungkan. Tetapi apakah orang-orang, katakanlah semuanya yang menyatu dalam lingkaran perguruan Kedung Jati itu, sempat membuat perhitungan sampai sekian jauh? Mereka tentu hanya memperhitungkan jumlah. Kita tahu bahwa kesatuan yang berada di Jati Anom adalah kesatuan yang besar. Sedangkan jumlah para pengawal Kademangan Sangkal Putung juga cukup besar.”

“Jika demikian, maka bahaya yang membayangi Tanah Perdikan Menoreh adalah benar-benar bahaya yang diperhitungkan dengan sungguh-sungguh.”

“Ya. Itulah sebabnya maka kita akan terlibat langsung, jika rencana itu benar-benar mereka laksanakan.”

“Bukankah Ki Patih tetap tidak berkeberatan?”

“Berkeberatan untuk kita langsung terjun ke arena?”

“Ya.”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Tentu saja Ki Patih tidak akan berkeberatan. Ancaman ini akhirnya akan tertuju ke Mataram. Bahkan Ki Patih akan memberikan bantuan sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukan.”

Para pemimpin dari barak Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami sudah siap, kapanpun kami harus terjun.”

“Mulai besok, perkuat kelompok prajurit yang meronda berkeliling. Demikian pula gelombang perondaannya pun harus ditambah.”

Hari itu Agung Sedayu pun terlambat pulang. Tetapi Sekar Mirah tahu, bahwa Agung Sedayu hari itu telah pergi ke Mataram.

Malam itu Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede bersama Sekar Mirah. Agung Sedayu telah memberitahukan kepada Ki Gede hasil pembicaraannya dengan Ki Patih.

Sambil mendengarkan laporan Agung Sedayu, Ki Gede mengangguk-angguk. Ia pun membayangkan, bahwa kekuatan dari orang-orang yang akan menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan untuk bergerak ke Mataram adalah kekuatan yang besar. Mereka terdiri dari para prajurit Pati yang dapat dihimpun dan dikelabui oleh para perwira yang mendendam kepada Mataram. Kemudian kekuatan yang tersisih dari Pajang dan harus kembali ke Demak, sedangkan yang lain adalah sisa-sisa kekuatan Jipang, atau keturunan mereka yang merasa wajib membalas dendam. Mereka telah bergabung dengan Ki Saba Lintang yang ingin membangun kembali perguruan Kedung Jati, bekerja bersama dengan orang-orang yang mempunyai pamrihnya masing-masing.

Karena itulah, maka Ki Gede pun telah memerintahkan kepada Prastawa untuk menghimpun semua kekuatan. Bukan hanya para pengawal, tetapi setiap orang mempunyai kewajiban untuk membela dan mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh menurut kemampuan masing-masing.

“Jika laki-laki harus menghadapi lawan di medan perang, maka biarlah perempuan-perempuan menyiapkan makan serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Latihan-latihan perlu diselenggarakan di semua padukuhan. Jika terpaksa sedikit menimbulkan keresahan, hal itu tidak dapat kita hindari.”

Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun mohon diri untuk pulang.

Ketika mereka memasuki regol halaman rumah mereka, terasa suasana yang berbeda. Mereka merasakan getar yang aneh di dalam jantung mereka.

“Agaknya sesuatu telah terjadi Mirah,” desis Agung Sedayu.

“Ya,” sahut Sekar Mirah.

Dengan hati-hati mereka memasuki halaman rumah. Ketika mereka pergi ke rumah Ki Gede, penghuni rumah itu lengkap ada di rumah. Mungkin Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi. Seandainya demikian, Ki Wijil, Nyi Wijil, Ki Jayaraga dan Rara Wulan ada di rumah.

Ternyata bagian depan rumah itu menjadi lengang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kemudian melingkari rumah mereka dan langsung pergi ke halaman belakang.

Sebelum mereka sampai di halaman belakang, mereka justru terhenti, Mereka mendengar pertengkaran di halaman belakang.

“Suara Nyi Dwani,” desis Sekar Mirah.

Mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Di sudut rumah yang gelap mereka bergeser ke halaman belakang.

“Kakang,” desis Sekar Mirah. Sekar Mirah itu pun melihat Nyi Dwani di bawah cahaya oncor di sebelah pintu dapur, berdiri tegak sambil menggenggam tongkat baja putih Sekar Mirah. Di sekitarnya berdiri Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil, Glagah Putih, Sabungsari, Sayoga dan Empu Wisanata.

Yang membuat darah Sekar Mirah seakan-akan berhenti mengalir adalah, bahwa Nyi Dwani sudah menguasai Rara Wulan. Tongkat baja putih itu menekan leher Rara Wulan, sementara dengan tangannya yang kuat, Nyi Dwani menggenggam tongkat itu hampir di ujung dan pangkalnya.

“Bagaimana mungkin ia dapat menemukan tongkatku,” desis Sekar Mirah.

“Ternyata Nyi Dwani adalah seorang yang sangat pandai berpura-pura. Selama ini seakan-akan ia sudah menjadi baik. Beberapa kali kejujurannya nampaknya teruji. Ayahnya pun selalu memberikan petunjuk-petunjuk dan didengarkannya dengan patuh.”

“Salahku, Kakang. Aku selalu mudah percaya kepadanya.”

“Ternyata ayahnya pun seorang yang licik. Kepura-puraan selalu menasihatinya dan Nyi Dwani pun berpura-pura mendengarkannya dengan patuh. Tetapi inilah akhirnya.”

“Aku akan berbicara dengan Nyi Dwani. Aku sudah tidak mungkin mengampuninya lagi,” geram Sekar Mirah.

Keduanya pun kemudian telah mendekat dengan hati-hati.

Demikian Nyi Dwani melihat keduanya, maka tongkat baja putih itu semakin menekan leher Rara Wulan. Dengan garang Nyi Dwani itu pun berkata, “Jangan mendekat. Jika kalian mencoba mendekat, anak ini akan mati.”

“Inikah akhir dari ketulusan yang nampak pada dirimu itu, Nyi Dwani?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku tidak peduli. Aku memerlukan tongkat baja putih ini. Karena itu, minggirlah, atau Rara Wulan akan mati.”

Sekar Mirah justru melangkah maju. Sementara Nyi Dwani berteriak, “Jangan maju lagi! Atau aku membunuh anak ini!”

“Nyi Dwani,” berkata Sekar Mirah dengan suara bergetar, “sudah dua kali kita bertempur. Aku tidak benar-benar berusaha membunuhmu. Tetapi sekali ini, aku tantang kau bertempur. Pergunakan tongkat baja putih. Kita akan mengetahui, siapakah yang akan memenangkan perang tanding ini. Jika kau berhasil membunuhku, kau dapat membawa tongkat baja putih itu tanpa diganggu. Tetapi jika kau kalah, maka kali ini kau akan mati.”

“Persetan dengan perang tanding!” jawab Nyi Dwani lantang, “Aku tahu bahwa kau mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmuku. Karena itu, aku tidak terlalu bodoh untuk menerima tantanganmu.”

“Kau licik sekali.”

“Aku tidak berkeberatan kau anggap licik. Tetapi aku memerlukan tongkat baja putihmu ini.”

“Nyi Dwani,” Sekar Mirah menjadi semakin marah, “kau kira kau mampu meloloskan dirimu? Tanah Perdikan Menoreh tidak hanya selembar daun jati. Mungkin kau dapat keluar dari halaman ini. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat keluar dari Tanah Perdikan ini.”

“Agung Sedayu,” geram Nyi Dwani, “sediakan aku seekor kuda. Aku memerlukan kuda Glagah Putih yang tegar. Aku akan pergi sambil membawa Rara Wulan. Jika kalian tidak menurut perintahku, maka yang akan kalian temui hanyalah mayatnya saja.”

Semuanya jadi terdiam. Tidak seorang pun tahu, apa yang sebaiknya harus mereka lakukan.

Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari tanpa berjanji telah berdiri di sisi yang saling berseberangan. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Salah seorang dari mereka yang berdiri di belakang punggung Nyi Dwani harus melakukannya. Menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan sangat berhati-hati, agar serangan itu tidak justru melukai Rara Wulan sendiri.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Empu Wisanata melangkah maju. Wajahnya merah membara. Giginya gemeretak. Matanya bagaikan memancarkan api kemarahan di dalam dadanya.

“Dwani,” Empu Wisanata itu menggeram, “jadi selama ini semua kata-kataku, semua nasihatku dan semua petunjuk ke jalan kebaikan itu kau anggap desir angin saja?”

“Aku bukan anak-anak lagi, Ayah. Ayah tidak usah mengajari aku lagi. Aku sudah tahu mana yang terbaik bagiku. Selama ini Ayah selalu menyalahkan aku. mencela, melarang, marah dan menganggap aku masih saja kanak-kanak. Sekarang sebaiknya Ayah terbangun. Pandanglah aku, Ayah. Aku ternyata sudah lebih dari dewasa. Aku bukan lagi gadis remaja yang cengeng.”

Orang-orang yang berdiri di seputar tempat itu mengikuti perkembangan keadaan dengan tegang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih saja curiga. Bahkan mereka bertanya di dalam hati mereka masing-masing, “Permainan apalagi yang akan dilakukan oleh ayah dan anak perempuannya itu?”

Sementara itu Nyi Dwani pun berteriak sekali lagi, “Agung Sedayu! Sediakan kuda Glagah Putih! Beri aku jalan sampai ke halaman depan. Biarkan aku naik ke punggung kuda dengan gadis ini dan meninggalkan kalian. Jika kalian tidak mengganggu aku, maka kalian akan menemukan Rara Wulan. dalam keadaan hidup. Tetapi jika ada di antara kalian atau orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berbuat macam-macam, maka Rara Wulan akan mati. Tongkat baja putih ini akan mencekiknya dan mematahkan batang lehernya.”

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu berteriak, “Jangan hiraukan aku! Ambil tongkat baja Mbokayu Sekar Mirah!”

Suara Rara Wulan terputus. Ketika Nyi Dwani menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu, maka rasa-rasanya leher Rara Wulan benar-benar telah tersumbat. Ia bukan saja tidak dapat berteriak, tetapi jalur pernafasannya pun seakan-akan telah terputus, sehingga Rara Wulan itu kemudian telah terbatuk-batuk dan bahkan hampir saja ia muntah.

“Jangan cengeng atau berpura-pura!” bentak Nyi Dwani, “Jika kau mencoba berbuat sesuatu, maka kau akan benar-benar mati.”

Orang-orang yang berdiri mengitari Nyi Dwani itu memang menjadi bingung.

Namun Empu Wisanata pun kemudian berkata, “Dwani. Meskipun kau sudah lewat dewasa, meskipun kau sudah cukup berpengalaman, tetapi aku adalah ayahmu. Sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun aku adalah ayahmu. Karena itu, dengarlah nasehatku.”

“Dahulu aku anak Ayah. Sekarang aku sudah mampu tegak di atas kaki sendiri. Karena itu, aku bukan lagi anak Ayah yang masih harus mendengarkan nasihat-nasihat, larangan-larangan, ancaman dan segala macam peraturan yang memuakkan. Itulah sebabnya saudara-saudaraku telah melarikan diri dari sisi Ayah.”

“Dwani. Jadi kau menganggap dirimu sudah bukan anakku lagi, sehingga hubungan keluarga di antara kita sudah terputus?”

“Ya,” jawab Nyi Dwani singkat.

“Bagus. Jika demikian kita sekarang adalah orang lain. Kau bukan anakku lagi. Karena itu, maka aku akan mengambil sikap.”

Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Sementara itu Empu Wisanata melangkah mendekatinya sambil berkata, “Serahkan tongkat baja putih itu kepadaku. Kau tidak berhak memilikinya. Aku akan mengembalikannya kepada pemiliknya.”

Dengan nada tinggi Nyi Dwani pun kemudian menyahut, “Aku memerlukannya! Tongkat baja putih ini akan menjadi milikku!”

“Tidak!” suara Empu Wisanata pun meninggi pula, “Serahkan kepadaku!”

“Tidak!”

“Kau tahu, aku akan dapat membunuhmu. Seberapa pun tinggi ilmumu, namun ilmumu masih belum sehitamnya kuku dibanding dengan ilmuku. Kau tahu itu.”

“Jangan maju lagi.”

“Kau sendiri yang telah memutuskan hubungan di antara kita. Karena itu, maka aku tidak akan pernah menyesal jika aku membunuhmu, karena aku tidak membunuh anakku.”

“Jika kau maju lagi, Rara Wulan akan mati.”

“Aku tidak peduli dengan Rara Wulan. Ia bukan sanak dan bukan kandangku. Yang penting bagiku, aku harus dapat membunuhmu. Membunuh mimpi-mimpi burukmu. Membunuh orang yang telah menghinaku dan mencampakkan aku ke dalam kesendirian di dunia ini.”

Suara Empu Wisanata menggelepar bagaikan mengguncang langit. Dedaunan pun telah bergoyang-goyang seperti diputar oleh angin pusaran. Bumi tempat berpijak pun rasa-rasanya bagaikan bergetar.

“Ayah,” Nyi Dwani menjadi cemas. Ternyata Empu Wisanata benar-benar menjadi sangat marah.

Sementara itu Empu Wisanata berkata, “Nah, bersiaplah Dwani. Apapun yang akan kau lakukan terhadap gadis itu, aku tidak peduli. Aku memang merasa lebih baik bahwa kau benar-benar tidak ada lagi di muka bumi, daripada kau masih hidup tetapi aku sudah tidak lagi mempunyai anak seorangpun. Pada kesempatan lain, aku bersumpah untuk memburu dan membunuh Ki Saba Lintang sampai di ujung bumi sekali pun. Kau tahu bahwa aku mampu melakukannya.”

Nyi Dwani benar-benar menjadi gemetar. Ia tidak pernah melihat ayahnya marah seperti itu. Ia tahu bahwa ayahnya memang seorang yang keras. Tetapi ayahnya jarang sekali marah, apalagi marah sampai ke puncak.

Sementara itu, Nyi Dwani pun tahu benar bahwa ayahnya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Sejak ayahnya terlibat dalam pertempuran melawan Ki Jayaraga di Tanah Perdikan itu, ia merasa bahwa ayahnya memang belum sampai ke puncak ilmunya. Namun sekarang untuk menghadapinya, agaknya ayahnya benar-benar akan melumatkannya menjadi debu.

Dalam kebingungan itu, Nyi Dwani tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia berdiri saja termangu-mangu. Namun terasa bahwa jantungnya berdegup semakin cepat dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi Empu Wisanata yang tidak dimengertinya itu. Jika Empu Wisanata itu justru sedang berada dalam puncak permainannya, maka ia akan menjadi sangat berbahaya. Dengan tiba-tiba saja ia dapat menyerang orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga dalam sekejap ia akan dapat membinasakan dua atau tiga orang sekaligus, sementara orang-orang itu masih belum siap.

Perhatian orang-orang yang berdiri mengitari tempat itu lebih banyak ditujukan kepada Nyi Dwani daripada kepada Empu Wisanata yang marah. Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu pun tidak akan menduga, seandainya tiba-tiba saja Empu Wisanata itu menebarkan ilmu pamungkasnya.

Namun Agung Sedayu itu pun sadar, bahwa jika hal itu terjadi, sasaran pertama adalah dirinya. Jika Empu Wisanata itu berniat buruk dan mampu membinasakan Agung Sedayu, maka pengaruh jiwani terhadap yang lain pun tentu akan sangat besar sekali.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Jika serangan itu tiba-tiba datang, maka Agung Sedayu pun siap melawan dengan puncak ilmunya.

Justru karena itu, maka Agung Sedayu sengaja tidak mendekati Sekar Mirah. Ia justru berdiri terpisah, sehingga jika Empu Wisanata itu menyerangnya, serangan itu tidak akan menyentuh orang lain.

Namun dalam pada itu, selagi Nyi Dwani dicengkam oleh kebimbangan untuk menentukan sikap, tiba-tiba saja Rara Wulan berusaha memanfaatkan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaganya, Rara Wulan menyerang ulu hati Nyi Dwani dengan sikunya.

Nyi Dwani yang berdiri di belakang Rara Wulan sambil menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu terkejut. Ulu hatinya yang menjadi sasaran serangan Rara Wulan itu bagaikan dihentak dengan ujung penumbuk padi.

Nyi Dwani itu mengaduh perlahan. Ia tidak siap mengalami serangan itu. Karena itu, perhatiannya atas tongkat baja putihnya yang menekan leher Rara Wulan itu mengendur sesaat.

Dengan tangkasnya Rara Wulan pun mengangkat tongkat baja putih itu sambil merendah, sehingga lehernya terlepas dari tekanan tongkat baja putih itu. Dengan cepat Rara Wulan meloncat berlari menjauhi Nyi Dwani.

Ketika Nyi Dwani menyadari keadaan itu, maka dengan tangkasnya pun ia berusaha memburu Rara Wulan. Bahkan tongkat baja putih di tangannya itu sudah siap diayunkannya.

Namun tiba-tiba saja Nyi Dwani itu terkejut. Sebelum ia sempat menyusul Rara Wulan, maka sepercik api seakan-akan telah menyembur dari dalam tanah.

Nyi Dwani tidak dapat dengan serta-merta berhenti. Ia terdorong selangkah, lalu tubuhnya pun kemudian terpelanting jatuh terbanting di tanah. Namun tubuh itu pun kemudian berguling-guling beberapa kail. Terdengar jerit Nyi Dwani yang kesakitan.

Ternyata bukan saja pakaian Nyi Dwani yang terbakar, tetapi kulitnya pun telah mengalami luka-luka bakar pula.

Semua orang terkejut menyaksikan peristiwa itu. Agung Sedayu, Glagah Putih, Sabungsari, Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil dan anak laki-lakinya tidak merasa menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Semula mereka memang menduga bahwa serangan itu dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Namun ternyata Nyi Dwani itu pun mengaduh kesakitan, “Ampuh Ayah. Kenapa Ayah sampai hati membunuhku?”

Empu Wisanata berdiri termangu-mangu. Namun ia pun segera berlari mendekati anak perempuannya yang mengalami luka-luka parah di seluruh tubuhnya.

“Dwani, Dwani.”

Terdengar Nyi Dwani mengerang kesakitan.

“Maafkan aku, Dwani. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak dapat melihat kau berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Aku mencoba untuk mencegahmu. Tetapi inilah yang terjadi.”

“Sakit, Ayah. Panas sekali.”

Beberapa orang telah berloncatan mendekat. Sementara itu Rara Wulan telah berada di dalam dekapan Sekar Mirah.

“Air. Aku memerlukan air.”

Glagah Putih dan Sabungsari-lah yang kemudian berlari ke sumur, disusul oleh Sayoga. Sesaat kemudian, Glagah Putih telah berlari-lari membawa sekelenting air.

Empu Wisanata pun kemudian menaburkan serbuk dari sebuah bumbung kecil yang nampaknya selalu dibawanya, ke dalam air itu.

Setelah diaduknya, maka air itu pun diguyurkan ke seluruh tubuh Nyi Dwani yang mengalami luka-luka bakar itu.

Air yang sudah diaduk dengan serbuk obat itu nampaknya dapat mengurangi rasa sakit. Karena itu, Nyi Dwani itu pun tidak berteriak-teriak lagi.

Meskipun demikian, ketika ia diangkat dan dibawa masuk ke ruang dalam, terdengar Nyi Dwani itu masih merintih.

Nyi Dwani pun kemudian telah dibaringkan di pembaringan, di dalam bilik yang diperuntukkan baginya. Hampir semua benang pada pakaiannya telah terbakar. Karena itu, maka Nyi Dwani itu pun kemudian diselimuti dengan kain panjang, karena ia tidak dapat mengenakan pakaian. Api yang memercik karena ilmu Empu Wisanata itu telah melukai hampir seluruh tubuh Nyi Dwani.

“Sakit, Ayah,” rintih Nyi Dwani.

“Kau akan segera menjadi baik, Dwani,” desis ayahnya dengan suara yang bergetar.

Malam itu semua orang yang berada di rumah Agung Sedayu itu hampir tidak dapat tidur sama sekali. Mereka seakan-akan ikut merasakan betapa panasnya tubuh Nyi Dwani yang dipenuhi dengan luka-luka bakar. Dengan tekun Empu Wisanata menunggui, dengan setiap kali mengusapkan air yang telah dibubuhi serbuk obat.

Namun obat Empu Wisanata itu adalah obat yang ternyata sesuai bagi luka-luka di tubuh Nyi Dwani. Di keesokan harinya Nyi Dwani sudah mau ditinggalkan oleh ayahnya yang letih lahir dan batinnya. Ia tidak lagi selalu merintih kesakitan. Hanya sekali-kali terdengar Nyi Dwani itu berdesah.

Berganti-ganti Sekar Mirah dan Nyi Wijil menungguinya. Rara Wulan masih dibayangi oleh ketakutan mendekati Nyi Dwani, yang telah mencekiknya dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah yang berhasil diambil oleh Nyi Dwani.

Di hari berikutnya, keadaan Nyi Dwani menjadi semakin baik, meskipun ia masih belum dapat bangkit dari pembaringan. Nyi Dwani sudah mau minum air putih dan makan bubur tepung beras.

“Ayah,” berkata Nyi Dwani dengan suara yang masih sendat.

“Ada apa Dwani?” bertanya ayahnya.

“Apakah Rara Wulan ada di rumah?”

“Ada, Dwani.”

“Aku ingin bertemu dengan gadis itu, Ayah.”

“Kau telah membuatnya ketakutan, Dwani.”

“Aku ingin minta maaf kepadanya.”

Empu Wisanata pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menemui Sekar Mirah untuk menyatakan keinginan Nyi Dwani bertemu dengan Rara Wulan..

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menyampaikannya, Empu.”

“Terima kasih. Nyi Lurah.”

Ketika Sekar Mirah kemudian menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun menyatakan keseganannya. Dengan terus terang Rara Wulan berkata, “Hatiku masih terasa sakit sekali, Mbokayu. Aku memang masih juga dibayangi ketakutan. Tetapi jika aku mendekatinya bersama Mbokayu, aku sama sekali tidak merasa takut. Apalagi Nyi Dwani kini dalam keadaan sakit. Tetapi hatiku masih belum dapat diajak berdamai.”

“Kau harus berjiwa besar, Rara,” berkata Sekar Mirah, “ia ingin minta maaf kepadamu.”

“Nyi Dwani dapat saja minta maaf kepadaku, kepada Mbokayu dan kepada siapapun, setelah ia gagal. Tetapi jika ia berhasil?”

“Ia tidak akan berhasil, Rara. Bukankah ayahnya sendiri tidak setuju dengan perbuatannya?”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan menemuinya bersama Mbokayu.”

“Ya. Aku akan menemanimu. Empu Wisanata juga akan berada di dalam bilik itu.”

Meskipun demikian, ketika akan memasuki bilik Nyi Dwani, Rara Wulan nampak sangat ragu. Tetapi Sekar Mirah pun kemudian melangkah di depan sambil berdesis, “Empu Wisanata ada di dalam.”

Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian berdiri sebelah pembaringan Nyi Dwani bersama Sekar Mirah. Empu Wisanata-lah yang berbisik di telinga Nyi Dwani, “Dwani, Rara Wulan telah berada di sini.”

Nyi Dwani membuka matanya. Ketika ia melihat Rara Wulan, maka Nyi Dwani tidak dapat menahan air matanya. Dengan suara yang bergetar serta tertahan-tahan ia pun berkata, “Rara. Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melakukannya. Bahkan ketika kita pulang dari pasar, aku sudah berniat untuk melibatkan diri ikut melindungi Rara. Tetapi akhir-akhir ini iblis itu datang lagi kepadaku, dan membujukku untuk mengambil tongkat baja putih itu. Tidak ada cara lain yang dapat aku lakukan, kecuali mempergunakan Rara sebagai taruhan. Aku mohon maaf, Rara.”

Rara Wulan berdiri bagaikan membeku. Pedih di hatinya rasa-rasanya masih membekas. Apalagi ketika ia mengingat tongkat baja putih itu telah menekan lehernya sehingga ia hampir saja menjadi muntah-muntah. Nafasnya terasa terputus, dan seakan ia sudah berada di ujung hidupnya.

“Rara. Kau mau memaafkan aku?”

Namun sebelum Rara Wulan menjawab, Empu Wisanata pun bertanya.

“Siapakah yang telah datang kepadamu itu, Dwani?”

“Ki Saba Lintang.”

“Kapan?”

“Beberapa kali ia datang, Ayah. Ia menyamar. Kadang-kadang ia berhenti dengan pikulan dawetnya di depan regol rumah ini. Ia berbicara tanpa berpaling dan aku mendengarkannya dari dalam regol. Lain kali ia datang dalam ujud yang lain.”

“Ia membujukmu untuk mengambil tongkat baja putih itu?”

“Ya, Ayah.”

“Dan kau terpengaruh lagi?”

“Ya, Ayah,” terdengar Nyi Dwani itu terisak. Katanya kemudian, “Hatiku memang rapuh, Ayah.”

“Kau harus mengingatnya Dwani. Kau tidak boleh kehilangan penalaran lagi,” Empu Wisanata berhenti sejenak. Lalu ia pun bertanya pula, “Apakah pada malam kau mengambil tongkat baja putih itu, ia berada di sekitar rumah ini pula?”

“Ya, Ayah.”

“Kau yakin?” desak Empu Wisanata.

“Aku sudah mendengar isyaratnya.”

Empu Wisanata mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berkata, “ Jika demikian, apakah kira-kira Ki Saba Lintang tahu apa yang terjadi?”

“Agaknya ia mengetahuinya, Ayah.”

“Tetapi ada baiknya juga, Dwani. Mereka langsung dapat melihat kegagalanmu.”

“Ya, Ayah.”

“Kau tidak usah menghiraukannya lagi. Apapun yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang, kau tidak usah ikut campur. Kau pun harus melupakan mimpimu tentang tongkat baja putih itu,” berkata Empu Wisanata. Bahkan kemudian katanya, “Dwani. Seandainya kau mencobanya lagi, maka aku pun tidak akan jera untuk memberi peringatan kepadamu. Jika karena itu maka kau benar-benar terbunuh, itu adalah satu akibat yang dapat saja terjadi, meskipun tidak aku inginkan.”

“Ya, Ayah,” jawab Nyi Dwani.

“Nah, berbicaralah dengan Rara Wulan sekarang.”

“Rara,” berkata Nyi Dwani kemudian, “aku telah khilaf. Pada saat-saat aku dalam keragu-raguan, Ki Saba Lintang itu datang. Ia telah memberikan perintah-perintah yang disertai dengan janji dan harapan-harapan, sehingga jantungku telah terguncang lagi.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk.

“Aku ingin mendengar kesediaanmu memaafkan aku, Rara.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun mengangguk kecil.

Dengan demikian, maka Rara Wulan itu pun kemudian berkata, “Aku maafkan kau, Nyi Dwani.”

Nyi Dwani memandang Rara Wulan dengan mata yang bersinar. Rara Wulan pun melihat wajah Nyi Dwani menjadi cerah.

Dengan tangannya yang lemah, Nyi Dwani menggapai tangan Rara Wulan. Kemudian diciumnya sambil berdesis, “Bukan hanya wajahmu saja yang cantik, Rara Wulan. Tetapi hatimu juga cantik.”

Rara Wulan justru tersipu-sipu. Katanya, “Terima kasih, Nyi Dwani.”

“Aku tidak ingin menyakitimu. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain. Ki Saba Lintang itu pun minta aku melakukan hal itu atasmu.”

“Sudahlah. Lupakan saja Nyi Dwani.”

Nyi Dwani mengangguk kecil. Tetapi matanya menjadi basah.

Beberapa saat Rara Wulan bersama Sekar Mirah berada di bilik Nyi Dwani. Namun kemudian keduanya pun meninggalkan Nyi Dwani yang terbaring lemah. Sambil melangkah keluar Sekar Mirah berdesis, “Beristirahatlah dengan baik.”

Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

Dalam pada itu, setelah Rara Wulan menyatakan kesediaannya memberi maaf, maka terasa beban di dada Nyi Dwani menjadi berkurang. Kepada ayahnya ia berkata, “Apapun yang akan terjadi atas diriku, Ayah, aku tidak akan menyesal lagi. Rara Wulan sudah bersedia memaafkan aku.”

“Untuk selanjurnya berhati-hatilah mengambil langkah.”

Nyi Dwani mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ya, Ayah.”

Dari hari ke hari keadaan Nyi Dwani semakin berangsur baik. Luka-luka bakar di tubuhnya mulai menjadi kering. Tidak ada bagian-bagian dari lukanya yang basah dan bernanah.

Meskipun demikian, penghuni rumah itu masih tetap berhati-hati. Hati Nyi Dwani memang rapuh, sehingga dapat berubah setiap saat. Tetapi peristiwa terakhir itu agaknya benar-benar telah membuatnya jera. Empu Wisanata sudah mengatakan kepada Nyi Dwani bahwa ia tidak dapat berbuat lain, karena ia tidak mau melihat Nyi Dwani berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi.

Namun dalam pada itu, di sore hari ketika Empu Wisanata sedang duduk di serambi gandok bersama Ki Jayaraga, dua orang berkuda telah memasuki regol halaman tanpa turun dari kudanya.

Empu Wisanata yang melihat kedua orang itu terkejut. Dengan serta-merta ia bangkit dan melangkah turun ke halaman.

“Suranata,” desis Empu Wisanata.

“Selamat sore, Ayah,” berkata salah seorang dari mereka.

“Marilah, naiklah. Mimpi apakah yang membawamu kemari?”

“Mimpi buruk, Ayah.”

Empu Wisanata mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab.

Sejenak kemudian, kedua orang berkuda itu telah duduk di pendapa, setelah mengikat kuda mereka di patok-patok yang memang tersedia di sebelah pendapa.

Empu Wisanata telah minta Ki Jayaraga untuk ikut menemui anak laki-lakinya.

“Ini adalah anakku laki-laki, Ki Jayaraga,” berkata Empu Wisanata. Namun Empu itu pun bertanya kepada anaknya, “Siapakah kawanmu itu?”

“Ia saudara seperguruanku, Ayah. Seorang yang berilmu sangat tinggi.”

“Namanya?”

“Wira Aran.”

“Aku ayah Suranata, Ki Sanak.”

“Aku tahu,” jawab Wira Aran sambil mengangkat wajahnya, “Suranata banyak bercerita tentang ayahnya yang tidak disukainya, sehingga ia akhirnya lari.”

Empu Wisanata menarik nafas panjang. Dengan ragu ia bertanya kepada anaknya, “Kau bercerita seperti itu, Suranata?”

Suranata memandang ayahnya dengan tajamnya Kemudian ia pun menjawab, “Jadi apa yang harus aku katakan kepadanya? Aku memang tidak senang kepada Ayah. Maksudku, cara Ayah memperlakukan aku dan adik-adikku. Ayah selalu memaksakan kehendak Ayah. Kami sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaan kami, sehingga kami merasa bahwa kami tidak lebih dari sekedar benda-benda mati sebagai alat permainan Ayah saja”

“Akhirnya kau dan seorang adikmu lari dariku.”

“Ya.”

“Setelah itu kau mendapatkan kebebasan untuk menentukan pilihan.”

“Ya.”

“Apa yang kau dapatkan dengan kebebasanmu? Arti dari hidupmu? Nilai-nilai kemanusiaan bagi banyak orang? Atau apa?”

Wajah Suranata menjadi tegang. Dipandanginya wajah ayahnya dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Apa yang aku dapatkan tidak penting bagi orang lain. Yang penting bagiku, aku dapat menentukan langkahku sendiri. Aku berkuasa atas diriku, atas kehendakku dan kemauanku sendiri.”

“Meskipun yang kau lakukan itu bertentangan dengan kepentingan orang banyak? Meskipun keputusan atas kehendak dan kemauanmu itu merugikan orang lain?”

“Aku tidak peduli.”

“Jika demikian, bukan hanya aku ayahmu saja-lah yang akan melarangmu. Tetapi orang lain pun akan menentangmu.”

“Aku lebih senang berhadapan dengan orang lain daripada dengan Ayah.”

“Apakah sikap itu masih berlaku sampai sekarang?”

“Ya.”

“Kenapa kau sekarang datang kepadaku?”

“Ayah sekarang bagiku sudah menjadi orang lain. Dahulu aku memang anak Ayah. Tetapi aku telah melepaskan diri dari ikatan keluarga, sehingga aku tidak lagi harus tunduk kepada kemauan Ayah. Jika aku masih memanggil Ayah, bagiku Ayah sekarang adalah sebuah nama. Tidak ada sangkut paut kekeluargaan sama sekali.”

“Yang kau katakan sama seperti apa yang dikatakan oleh Dwani. He, apakah kau datang bersama Saba Lintang saat Dwani mencuri tongkat baja putih? Atau kau dan Saba Lintang pernah menemuinya sebelumnya, dan mempengaruhinya agar Dwani mencuri tongkat baja putih itu?”

“Sebaiknya aku tidak ingkar. Aku memang mempengaruhi agar Dwani tidak berhati lumpur. Hatinya harus sekokoh batu karang. Ia tidak boleh bergeser dari tujuan semula, sejak ia mulai bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang.”

Empu Wisanata mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jadi selama ini kau berhasil menemui Dwani beberapa kali? Mungkin pada saat-saat rumah ini sepi. Saat Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke barak. Saat Angger Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi ke banjar. Saat aku, Ki Jayaraga dan Ki Wijil dan Rara Wulan berada di dapur.”

“Sebut apa saja untuk menutupi kelengahan seisi rumah ini, atau karena tidak cukup kemampuan untuk menjaga tawanannya”

“Dwani tidak dianggap tawanan di sini, sehingga ia mempunyai keleluasaan untuk berbuat sesuatu.”

“Omong kosong!” geram Suranata, “Bahkan Ayah sendiri sudah berusaha membunuhnya”

“Kau kira aku akan membunuh Dwani?”

“Aku datang untuk berbicara dengan Ayah tentang Dwani.”

“Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Empu Wisanata.

“Ayah. Aku datang untuk mengambil Dwani. Nyawanya di sini terancam. Bahkan Ayah sendiri telah berusaha membunuhnya. Serangan Ayah telah membuatnya luka parah.”

“Dwani sudah menjadi berangsur baik.”

“Tetapi lain kali Ayah tentu benar-benar akan membunuhnya”

“Tidak. Suranata. Aku tidak akan menyerahkan Dwani kepada siapa pun juga. Ia adalah anakku.”

“Dahulu, Ayah. Selagi Dwani masih kanak-kanak. Tetapi sekarang ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah bukan anak Ayah. Bukankah Dwani sendiri sudah mengatakannya?”

“Tidak. Dwani tetap anakku.”

“Itu menurut Ayah.”

“Juga menurut Dwani”

“Aku tidak percaya.”

“Itu urusanmu.”

“Jika Ayah jujur, beri kesempatan aku untuk berbicara dengan Dwani, jika benar Dwani tidak mati.”

“Dwani tidak mati. Ia masih hidup. Keadaannya kini sudah membaik. Karena itu, kau tidak usah mengganggunya.”

“Aku ingin bertemu.”

“Untuk apa?”

“Jika Ayah yakin, biarlah Dwani sendiri yang menjawab. Apakah ia akan tetap bersama Ayah, atau ia akan pergi bersamaku. Jika ia bukan tawanan di sini, maka ia tentu mempunyai keleluasaan untuk pergi.”

“Sejak ia mencuri tongkat baja putih, ia memang menjadi tawanan. Aku adalah salah seorang petugas yang menjaganya agar ia tidak akan lepas.”

Wajah Suranata itu pun menjadi merah. Dengan nada tinggi Suranata itu pun berkata, “Ayah. Beri kesempatan aku bertemu dengan Dwani.”

“Ia tidak memerlukanmu, Suranata. Perasaannya sudah mulai mengendap. Kau tidak perlu mengaduknya lagi.”

“Apakah Ayah takut bahwa aku akan mengetahui perasaan Dwani yang sebenarnya? Atau Ayah takut bahwa aku akan mengetahui bahwa Ayah berbohong?”

“Tidak.”

“Jadi apa keberatan Ayah jika aku menemui Dwani?”

“Dwani seorang tawanan di sini.”

“Persetan,” geram Suranata, “aku akan menemuinya.”

“Kau menantang aku? Jika kau menganggap aku orang lain sebagaimana pernah dikatakan oleh Dwani, maka aku dapat memperlakukan kau lebih dari Dwani, karena kau-lah yang telah membujuk Dwani.”

“Tetapi aku bukan Dwani, Ayah.”

“Kau merasa bahwa ilmumu mampu menandingi aku?”

Wajah Suranata menjadi tegang. Namun katanya kemudian, “Aku tidak sendiri.”

“Kau kira aku sendiri di sini? Telingamu tentu tidak tuli. Matamu tentu tidak buta. Siapa saja yang ada di rumah ini. Jika kau memaksakan kehendakmu di sini, maka kau akan benar-benar hancur.”

“Persoalannya adalah persoalanku dengan Ayah.”

“Dwani adalah tawanan di sini. Aku salah seorang petugas yang menjaganya. Dengan demikian persoalannya bukan persoalanmu dengan aku, ayahmu yang kau sebut orang lain itu. Tetapi persoalanmu adalah persoalan seseorang yang memaksa diri untuk menemui seorang tawanan.”

“Ayah sekarang menjadi sangat licik dan pengecut.”

“Apakah kau baru tahu sekarang bahwa aku licik dan pengecut, sebagaimana orang-orang yang tergabung dalam gerombolan Saba Lintang, termasuk kau?”

Kemarahan telah membakar ubun-ubun Suranata. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat banyak. Ia tahu bahwa beberapa orang yang tinggal di rumah itu adalah orang berilmu tinggi sebagaimana ayahnya.

Karena itu, maka Suranata itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi aku akan kembali mengambil Dwani. Kasihan anak itu. Ia berada di tangan seorang yang hatinya mengeras seperti batu hitam, tetapi jantungnya berbulu seperti jantung serigala yang sangat licik.”

“Katakan apa yang ingin kau katakan,” sahut Empu Wisanata.

Namun Suranata tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus meninggalkan tempat itu tanpa dapat menemui adik perempuannya. Karena itu, maka Suranata itu pun kemudian berkata, “Salamku buat Dwani.”

Sebelum Suranata beringsut, saudara seperguruannya itu pun sempat berkata, “Aku sekarang percaya atas apa yang kau katakan tentang ayahmu. Aku tahu bahwa kau membenci ayahmu, tetapi aku tidak membayangkan bahwa ia adalah seorang yang sangat licik dan pengecut seperti itu.”

Namun tiba-tiba saja orang itu terpelanting jatuh. Hampir saja ia terlempar ke halaman.

Wajah orang itu bagaikan tersentuh api. Ketika ia meloncat bangkit, maka Empu Wisanata pun sudah tegak berdiri.. Sementara itu Suranata pun telah berdiri pula. Tetapi Ki Jayaraga pun telah siap menghadapi segala kemungkinan.

Dengan marah orang itu menggeram, “Aku tidak akan pernah melupakannya, Empu.”

“Datanglah kepadaku pada kesempatan lain, jika kau merasa sudah waktunya untuk mati.”

Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Justru pada saat yang demikian, Empu Wisanata itu pun berkata kepada anak laki-lakinya, “Jika masih ingin bertemu dengan Dwani, aku beri kau waktu sebentar.”

Suranata menjadi heran. Ia tidak tahu kenapa ayahnya tiba-tiba berubah pikiran.

Sementara itu, Empu Wisanata itu pun berkata kepada Ki Jayaraga, “Tolonglah Ki Jayaraga, amati tikus tanah yang satu itu. Jika ia berbuat yang aneh-aneh, jangan segan-segan. Ia akan dapat lumat dengan sekali sentuh ilmu pamungkasmu.”

Ki Jayaraga mengangguk. Katanya kepada saudara seperguruan Suranata, “Duduklah, Ki Sanak.”

“Tidak,” jawab orang itu.

“Duduklah,” ulang Ki Jayaraga. Dengan tajamnya ia memandang langsung ke pusat mata orang itu.

Ternyata wibawa Ki Jayaraga yang tua itu masih cukup tinggi. Orang itu pun kemudian telah duduk.

Empu Wisanata pun kemudian telah membawa anak laki-lakinya masuk ke ruang dalam. Jantung Suranata bergetar ketika ayahnya berkata kepada orang-orang yang duduk di ruang dalam.

“Ini adalah anakku laki-laki,” berkata Empu Wisanata, “tetapi ia sangat membenci ayahnya. Ia menganggap bahwa aku adalah orang lain sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Dwani. Tetapi ternyata Dwani telah dipengaruhi oleh orang ini.”

Suranata sama sekali tidak menyahut. Sementara Empu Wisanata berkata kepada anaknya, “Mereka adalah Ki Wijil dan Nyi Wijil. Suami istri yang akan sanggup melumatkan gunung.”

Ki Wijil dan Nyi Wijil tertawa kecil. Dengan nada tinggi Ki Wijil pun tertawa, “Ayahmu memang senang bergurau, Ngger. Tetapi aku senang mendengar pujian itu, karena jarang ada orang yang memuji kami.”

Suranata menggeretakkan giginya. Ia merasa diperlakukan sebagai seorang anak kecil. Tetapi ia sadar dengan siapa ia berhadapan. Suranata itu pun sadar, bahwa kedua orang itu tentu mendengar apa yang dibicarakannya dengan ayahnya di pendapa sebelumnya.

Demikianlah, Empu Wisanata itu pun membawa anaknya ke dalam bilik tempat Nyi Dwani berbaring.

Di dalam bilik itu Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk menunggui Nyi Dwani yang sudah berangsur baik. Meskipun luka-lukanya masih belum sembuh benar, tetapi Nyi Dwani sudah tidak mengaduh lagi.

Nyi Dwani terkejut ketika ia melihat ayahnya dan kakaknya memasuki bilik itu. Hampir saja ia bangkit untuk duduk di pembaringannya. Namun dengan cepat Sekar Mirah mencegahnya. Sambil memegangi bahunya, Sekar Mirah itu pun berkata, “Jangan bangun dahulu Nyi. Berbaring sajalah sampai segala-galanya memungkinkan.”

“Berbaring sajalah Dwani,” desis ayahnya.

Nyi Dwani berbaring lagi. Tetapi dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip ia memandang kakaknya yang tiba-tiba saja hadir di dalam biliknya.

“Dwani,” desis Suranata.

Nyi Dwani tidak menyahut.

“Bagaimana keadaanmu?”

Sambil menarik nafas dalam-dalam Nyi Dwani itu pun baru menyahut, “Aku sudah baik, Kakang.”

“Ayah telah sampai hati berusaha membunuhmu.”

“Salahku sendiri, Kakang.”

“Kau tidak bersalah, Dwani.”

“Aku bersalah. Aku tidak mau mendengar nasihat Ayah. Aku justru menganggapnya orang lain, sehingga Ayah pun berhak memperlakukan aku seperti terhadap orang lain.”

“Jangan menyalahkan diri sendiri. Jika kau sembuh, maka aku akan datang lagi untuk mengambilmu. Jika perlu dengan kekerasan. Ayah benar-benar telah menganggap kita sebagai orang lain, sehingga kita pun tidak terikat lagi dengan hubungan apapun.”

“Tidak, Kakang. Kita tidak akan dapat menghapus darah yang mengalir di dalam tubuh kita. Titik-titik darah yang ada di dalam pembuluh darah kita adalah tetesan darah Ayah.”

“Apa artinya tetesan darah yang mengalir di dalam tubuh kita, jika Ayah sendiri sudah tidak mengakuinya?”

“Bukan Ayah yang tidak mengakuinya Kakang. Tetapi aku dan kau. Kita-lah yang telah mencoba untuk ingkar.”

“Dwani,” potong Suranata, “apa yang telah terjadi di dalam dirimu? Bukankah kita sudah memutuskan apa yang akan kita lakukan?”

“Aku menyesalinya Kakang.”

“Apa artinya itu?”

“Aku telah memutuskan untuk meninggalkan impian buruk itu. Aku akan kembali kepada ayahku. Di saat aku berbaring dalam keadaan sakit, aku mempunyai banyak kesempatan untuk merenung, sehingga aku telah menemukan diriku sendiri.”

“Dwani. Sudah aku katakan. Hatimu jangan lemah seperti batang ilalang yang merunduk ke mana arah angin bertiup.”

“Aku mengerti Kakang. Sekarang hatiku akan sekokoh batu karang. Aku tidak lagi akan hanyut dalam mimpi-mimpi buruk itu. Tongkat baja putih, kepemimpinan dari sebuah perguruan yang akan dibangun di atas reruntuhan nama perguruan Kedung Jati.”

“Dwani. Kau sudah dipengaruhi oleh sikap orang yang tidak mempunyai pendirian.”

“Justru aku sekarang mulai bersikap di atas satu pendirian yang kokoh, Kakang.”

“Tidak Dwani. Kau telah terbius oleh bujukan iblis yang licik.”

“Kakang, tinggalkan saja aku di sini. Keikutsertaanmu ke dalam rencana Ki Saba Lintang sempat mengguncang pendirianku. Tetapi aku sekarang sudah berkeyakinan, bahwa aku tidak akan dapat menyertai Ki Saba Lintang lagi.”

“Dwani,” sahut kakaknya, “jika aku kemudian bergabung dengan Ki Saba Lintang, itu karena aku menaruh harapan kepadamu. Kau akan memimpin perguruan ini bersama-sama dengan Ki Saba Lintang. Tetapi kenapa tiba-tiba kau berpaling hanya karena Ayah juga berpaling?”

“Aku menyadari kebenaran sikap Ayah.”

“Tidak Dwani. Kau tidak boleh mengkhianati Ki Saba Lintang. Kepada kalian berdua banyak orang menggantungkan harapannya.”

“Kakang, aku sudah terlanjur berdiri di tempat yang paling buruk. Apapun yang aku lakukan akan merupakan pengkhianatan. Jika aku meninggalkan Ki Saba Lintang, berarti mengkhianatinya. Tetapi jika aku tetap bersamanya, maka aku telah mengkhianati kebenaran dan budi baik, serta berkhianat pula kepada orang tuaku sendiri.”

“Kenapa kau tiba-tiba menjadi cengeng?”

“Apakah ini terjadi tiba-tiba? Bukankah di masa kecil Kakang selalu mengatakan bahwa aku adalah anak cengeng yang manja?”

Wajah Suranata menjadi panas. Ia memang tidak mengira bahwa adiknya telah menemukan satu sikap yang mapan di dalam hatinya Meskipun demikian, Suranata masih mempunyai pertimbangan, bahwa Dwani tidak dapat berkata lain karena di tempat itu ada ayahnya. Apalagi ada Nyi Lurah Agung Sedayu pula.

Karena itu, maka Suranata pun merasa tidak akan ada artinya untuk berbicara lebih panjang. Pada kesempatan lain, ia ingin bertemu dan berbicara dengan adiknya itu.

“Baiklah, Dwani,” berkata Suranata kemudian, “aku akan minta diri.”

“Maaf Kakang. Aku sudah mengambil sikap. Jika Kakang masih berada bersama Ki Saba Lintang, maka kita akan berdiri berseberangan.”

Suranata menggeram. Tetapi ia tidak menyahut.

“Apakah kau sudah puas, Suranata?” bertanya Empu Wisanata.

Suranata memandang ayahnya dengan sorot mata penuh kebencian. Tetapi ia pun kemudian melangkah keluar dari bilik itu. Namun Suranata sempat memandang Rara Wulan sekilas. Tetapi yang sekilas itu telah membuat jantung Rara Wulan berdebaran.

Sejenak kemudian Suranata itu sudah duduk lagi di pendapa bersama ayahnya, Ki Jayaraga dan saudara seperguruannya. Tetapi tidak terlalu lama. Suranata yang nampak sangat gelisah itu pun kemudian telah minta diri kepada ayahnya dan kepada Ki Jayaraga. Bahkan Suranata sempat mengancam ayahnya.

“Aku akan kembali Ayah,” berkata Suranata, “apapun yang terjadi, aku akan mengambil Dwani. Ia harus dibebaskan dari tekanan batin. Sikap Ayah tentu sangat menyiksanya.”

“Kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh Dwani, Suranata.”

“Dwani tentu saja tidak dapat berbicara dengan bebas. Ayah menunggui pembicaraan kami. Demikian pula kedua orang perempuan itu.”

“Jika aku biarkan kau berbicara tanpa ditunggui orang lain, kau akan membunuh adikmu.”

“Aku tidak gila, Ayah!” Suranata hampir berteriak, “Aku datang untuk membebaskan adikku. Bukan untuk membunuhnya.”

“Jika ia tidak mau menuruti kemauanmu, maka kau tentu akan membunuhnya pula. Jika kau sudah menganggap ayahmu orang lain, apalagi adikmu.”

“Aku mengasihinya, Ayah, lebih dari saudaraku yang lain.”

“Kau mengasihinya jika ia mau menuruti kemauanmu. Tentu demikian pula terhadap saudaramu yang lain.”

Wajah Suranata menjadi tegang. Katanya kemudian, “Apapun yang Ayah katakan, aku tidak peduli. Aku sudah bertekad, untuk berkumpul bersama kedua saudaraku. Terserah Ayah akan berdiri di sisi yang mana. Apakah Ayah akan memusuhi kami, atau Ayah akan berdiri bersama kami.”

“Aku-lah yang berhak berkata seperti itu. Aku berdiri di sini sekarang bersama Dwani. Terserah kepadamu, Di sisi mana kau akan berdiri.”

Suranata menghentakkan tangannya. Kepada saudara seperguruannya ia berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Jika aku terlalu lama berada di sini, maka aku akan dapat menjadi gila.”

“Kau sudah gila, Suranata,” sahut ayahnya.

“Tidak!” Suranata berteriak, “Ayah-lah yang sudah gila!”

Tetapi Empu Wisanata justru tersenyum. Katanya, “Aku akan berdoa untukmu, semoga kau mendapat terang di hatimu.”

“Cukup!” bentak Suranata yang tiba-tiba saja bangkit, dan berkata kepada saudara seperguruannya, “Marilah kita pergi!”

Saudara seperguruan Suranata itu pun segera bangkit pula. Tanpa minta diri ia pun kemudian melangkah pergi meninggalkan pendapa rumah Agung Sedayu itu.

Empu Wisanata dan Ki Jayaraga mengikuti mereka sampai di pintu regol. Tetapi keduanya sama sekali tidak berpaling.

“Ayahmu memang gila,” geram saudara seperguruan Suranata, “jika saja ia bukan ayahmu.”

“Tetapi sebaiknya kau memang tidak membalas,” berkata Suranata, “Ayah memang berilmu sangat tinggi. Tetapi aku yakin, Ayah tidak akan dapat mengalahkan kita berdua. Kita hanya memerlukan kesempatan. Aku benar-benar akan mengambil Dwani.”

“Tugas yang dibebankan kepada adik perempuanmu itu telah gagal. Jika saja kau dan Ki Saba Lintang malam itu membantunya.”

“Ki Saba Lintang mencegahkan. Apalagi setelah Ki Lurah dan Nyi Lurah pulang.”

Saudara seperguruan Suranata itu mengangguk-angguk. Ia pun sudah mendengar tentang beberapa orang yang berilmu tinggi yang tinggal di rumah itu. Masih belum terhitung kemungkinan hadirnya para pengawal yang jumlahnya tentu sangat banyak.

Meskipun demikian, Suranata masih berpengharapan untuk mengambil adik perempuannya itu.

Dalam pada itu, Empu Wisanata dan Ki Jayaraga masih berdiri di regol halaman rumah Agung Sedayu. Wajah Empu Wisanata nampak muram. Dengan nada rendah ia berkata, “Ternyata Suranata juga bergabung dengan Saba Lintang.”

Katanya selanjutnya, “Agaknya ia juga berharap Dwani mampu memimpin perguruan Kedung jati yang akan disusun kembali itu.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ketika aku melihat Nyi Dwani pertama kali, aku terkejut. Gambaranku tentang Nyi Dwani sangat berbeda dengan kenyataannya.”

Empu Wisanata mengerutkan dahinya, Dipandanginya Ki Jayaraga dengan tajamnya. “Apa yang tidak sesuai.?”

“Maaf Empu. Semula aku kira Nyi Dwani itu seorang yang sedikit lebih tua. Namun yang penting, aku mengira bahwa Nyi Dwani adalah seorang perempuan yang sudah matang di dalam sikap dan pendirian. Ternyata Nyi Dwani masih belum menemukan dirinya.”

“Ki Jayaraga benar,“ Empu Wisanata mengangguk-angguk, “Dwani memang belum menemukan dirinya. Tetapi mudah-mudahan pengalaman yang keras ini akan dapat membantu mematangkan jiwanya, sehingga Dwani akan merupakan satu pribadi yang masak.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi mungkin justru karena itu, beberapa orang mendukungnya untuk bersama-sama Ki Saba Lintang memegang pimpinan dalam perguruan yang akan disusun kembali itu.”

“Kenapa?”

“Dengan sikapnya yang masih belum masak itu, maka Nyi Dwani akan dapat dikendalikan oleh beberapa orang untuk kepentingan mereka. Bahkan aku juga menjadi curiga bahwa Ki Saba Lintang juga masih mentah, sehingga ia pun tidak mampu menentukan sikap sendiri.”

“Ya aku tahu Saba Lintang adalah orang yang licik. Ia akan dapat menempuh segala cara untuk mencapai tujuannya”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Ya. Agaknya memang demikian. Karena itu maka ia tidak segan-segan menculik Rara Wulan.”

Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku adalah ayah yang malang. Tetapi aku tidak dapat hanya menyalahkan anak-anakku. Mungkin aku memang meletakkan dasar yang salah pada saat anak-anakku mulai tumbuh dan berkembang. Atau bahkan sebaliknya, aku sama sekali tidak mempedulikan anak-anakku. Aku terlalu tekun menempa diri. Aku berhasil menguasai ilmu yang aku inginkan sebagaimana aku miliki sekarang. Tetapi aku justru tidak berhasil memiliki hati anak-anakku. Satu-satu mereka terlepas. Aku hanya berharap mudah-mudahan Dwani masih dapat aku kejar dan aku tangkap kembali.”

Ki Jayaraga memandang wajah Empu Wisanata yang menjadi. sayu.

“Sudahlah, marilah duduk di pringgitan.”

Keduanya kemudian naik ke pendapa. Sementara itu Ki Wijil dan Nyi Wijil keluar pula dari ruang dalam dan duduk bersama mereka di pringgitan.

“Aku mendengar derap kaki kuda mereka,” desis Nyi Wijil, “nampaknya mereka tidak turun dari punggung kudanya hingga di halaman rumah ini. Bukankah ketika mereka datang, mereka tidak mau turun dari kudanya sampai ke tangga pendapanya?”

Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku-lah yang harus minta maaf, karena mereka adalah tamuku.”

“Bukan itu yang aku maksud, Empu. Tetapi sudah demikian jauhnya kedua orang itu meninggalkan adat kebiasaan kita. Tentu bukan Empu yang mengajarinya. Tetapi sifat seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan rumah dan keluarganya, lingkungan perguruan dan padepokannya, serta lingkungan pergaulannya.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, Aku sependapat Nyi Wijil. Anakku itu sudah tidak lagi mau mendengar kata-kataku. Bahkan saudara seperguruannya itu telah menghina aku pula.”

“Anak Empu itu sudah direnggut oleh lingkungan pergaulannya dari tangan Empu.”

“Dan aku tidak mampu mempertahankannya,“ Empu Wisanata itu menundukkan kepalanya. Suaranya menjadi semakin rendah, “Dwani-lah kini yang tersisa.”

Ki Wijil dan Nyi Wijil tidak membicarakan kedua orang itu lebih jauh. Mereka tahu bahwa hati Empu Wisanata telah terluka karena tingkah laku anak-anaknya.

Namun ketika seisi rumah itu kemudian duduk di ruang dalam di saat makan malam, mereka telah membicarakan kehadiran kedua orang itu lagi.

Agung Sedayu yang ada di antara mereka mendengarkan dengan seksama cerita kehadiran anak Empu Wisanata itu.

“Agaknya anak Empu Wisanata itu bersungguh-sungguh. Tetapi Empu Wisanata juga harus memikirkan keselamatan Nyi Dwani. Jika Nyi Dwani itu sudah memantapkan tekadnya dan dengan sungguh-sungguh tidak mau bekerja sama lagi dengan Ki Saba Lintang dan saudara laki-lakinya itu, maka nyawanya terancam. Dia mengetahui tentang gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, meskipun sampai sekarang Nyi Dwani masih belum banyak bercerita.”

Empu Wisanata mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya Suranata akan sampai hati melakukannya, sebagaimana ia memperlakukan aku. Ia dapat menganggap aku orang lain. Tentu ia dapat pula menganggap Dwani orang lain yang harus dimusnahkan.”

“Satu tugas khusus bagi Empu Wisanata.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak saja ditinggalkan oleh anak-anakku. Tetapi anak-anakku itu akan saling bermusuhan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang Ki Jayaraga yang juga merasa gagal mengasuh murid-muridnya. Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang memenuhi harapannya. Karena itulah ia telah memungut Glagah Putih menjadi muridnya.

Ki Jayaraga sengaja mengambil murid seseorang yang pribadinya sudah terbentuk. Dengan demikian maka Ki Jayaraga dapat mempercayainya, bahwa muridnya yang baru itu tidak akan menempuh jalan yang sesat. Justru karena itu, Ki Jayaraga telah mewariskan puncak ilmunya kepada Glagah Putih itu.

Untuk beberapa lama mereka masih berbincang tentang Suranata dan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Gerakan yang nampaknya mempunyai sayap yang sangat luas.

“Tetapi apakah Empu Wisanata yakin, bahwa Ki Saba Lintang adalah benar-benar orang yang memegang pimpinan tertinggi dalam gerakan itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Menurut gelar lahiriahnya memang demikian, Ki Lurah. Tetapi aku tidak yakin, apakah tidak ada orang yang mempunyai pengaruh lebih besar dari Saba Lintang. Bahkan orang yang mempunyai pengaruh sangat besar atas Saba Lintang, sehingga Saba Lintang sendiri tidak lebih dari sekeping wayang yang digerakkan oleh seorang dalang.”

“Bukankah untuk beberapa lama Empu bersama dengan Nyi Dwani dan Ki Saba Lintang?”

“Ya,” jawab Empu Wisanata, “tetapi aku adalah orang yang seakan-akan berdiri di luar lingkaran.”

“Meskipun demikian, Empu tentu dapat melihat serba sedikit.”

“Ya. Justru karena yang sedikit itulah aku dapat mengatakan, bahwa Saba Lintang agaknya tidak lebih dari sekeping wayang kulit yang digerakkan oleh seorang dalang. Di dalam gerakan itu, banyak terdapat orang-orang yang berilmu lebih tinggi dari Saba Lintang. Tetapi karena Saba Lintang memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati, maka orang-orang itu telah menempatkan Saba Lintang pada pimpinan tertinggi. Apalagi jika Saba Lintang mampu mendapatkan tongkat yang satu lagi. Maka berdua dengan Dwani, ia akan diakui sebagai pimpinan tertinggi mereka.”

“Apakah Ki Saba Lintang sendiri tidak menyadari, bahwa ia pada saatnya akan menjadi semacam benda permainan dari orang-orang berilmu tinggi itu?”

“Tetapi Saba Lintang adalah orang yang cerdik, licik dan menganggap semua cara dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Ia menyadari bahwa pada saatnya dirinya akan terinjak. Tetapi sejak sekarang ia sudah mempersiapkan kemungkinan adanya pertentangan yang setiap saat akan dapat membakar hubungan yang seorang dengan yang lain. Jika satu demi satu mereka bertengkar dan saling membunuh di antara orang-orang yang berilmu sangat tinggi itu, maka akhirnya ia sendiri-lah yang akan tinggal.”

“Mengadu domba?”

“Itu adalah rencana yang dipersiapkan. Aku tidak tahu apakah ia akan berhasil atau tidak.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata yang dihadapinya adalah suatu gerakan yang luas, yang mempunyai banyak kepentingan yang untuk sementara dapat dipersatukan.

Bagi Tanah Perdikan Menoreh, mempertahankan diri dari serangan kekuatan dari luar lingkungannya bukan baru akan dihadapi untuk yang pertama kali. Bahkan gejolak dari dalam yang membakar Tanah Perdikan itu pun pernah terjadi.

Selama ini Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mengatasi segala macam kesulitan yang timbul dari luar maupun dari dalam itu. Meskipun demikian, bahaya yang dihadapi Tanah Perdikan pada waktu itu adalah bahaya yang sungguh-sungguh. Karena itu, maka tanah perdikan pun harus benar-benar mempersiapkan dirinya.

Sejak hari itu, Tanah Perdikan Menoreh benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Empu Wisanata pun tidak lagi berani terlalu lama meninggalkan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik. Bahkan Nyi Dwani sudah dapat bangkit dari pembaringannya dan duduk di ruang dalam.

Dari hari ke hari, Empu Wisanata tidak henti-hentinya memberi petunjuk-petunjuk kepada anak perempuannya yang masih dapat diharapkannya. Dengan terus terang Empu Wisanata itu pun berkata, “Kau adalah satu-satunya anak yang masih dapat aku harapkan, Dwani.”

Nyi Dwani mengangguk kecil.

“Kakakmu Suranata, sama sekali sudah tidak dapat aku harapkan lagi. Ia benar-benar sudah menganggap aku orang lain. Selama ia masih dapat mengharap kau bersedia bekerja bersamanya, maka ia masih dapat mengatakan bahwa kakakmu itu sangat mengasihimu. Tetapi jika kau tidak lagi bersedia memenuhi keinginannya, maka persoalannya akan bergeser. Kau tidak akan berarti lagi baginya. Mungkin ia tidak lagi memedulikanmu. Tetapi mungkin ia dapat berbuat lebih buruk dari itu.”

“Aku mengerti Ayah,” sahut Nyi Dwani.

“Karena itu, kau harus berhati-hati, Dwani. Satu ketika Rara Wulan telah mereka culik. Pada saat lain, kakakmu dan Ki Saba Lintang akan dapat menjemputmu dengan paksa.”

“Ya, Ayah.”

“Karena itu, kita harus menjadi semakin berhati-hati. Kita adalah orang-orang khusus di rumah ini. Sementara itu, kita pun selalu dibidik oleh para pengikut Saba Lintang, dan bahkan oleh kakakmu sendiri. Aku tidak tahu, apakah kakak perempuanmu juga berada di lingkungan para pengikut Saba Lintang atau tidak. Jika ia ada di antara mereka, maka pada satu saat ia tentu juga akan datang menemui aku dan kau.”

Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Terbayang wajah kakak perempuannya, yang sejak kecil seakan-akan memusuhinya. Jika keduanya mendapat sepotong makanan yang sama, maka kakak perempuannya itu selalu minta sedikit dari bagiannya itu. Jika ia keberatan, maka kakak perempuannya itu mencubitnya. Jika mereka berdua bermain-main, maka Dwani tidak lebih dari seorang budak yang harus melayani kakak perempuannya itu. Dwani sendiri tidak sempat ikut bermain.

Tetapi menurut pengetahuan Nyi Dwani, kakak perempuannya tidak bergabung dengan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Tetapi itu belum menjamin bahwa kakak perempuannya memang tidak melibatkan diri. Sebagaimana kakak laki-lakinya, ternyata Nyi Dwani juga tidak mengetahui bahwa ia berada di dalam lingkungan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu pula.

Bahkan tidak mustahil bahwa Suranata akan menghubungi kakak perempuan Nyi Dwani untuk membujuknya.

Dalam pada itu, Sekar Mirah pun menjadi gelisah pula. Bukan karena ia menjadi ngeri terhadap ancaman yang setiap saat seperti banjir bandang melanda Tanah Perdikan itu. Tetapi Sekar Mirah merasa bahwa kehadirannya di Tanah Perdikan itu merupakan salah satu sebab dari kemelut yang terjadi di Tanah Perdikan itu.

“Bukan karena tongkat baja putihmu,” desis Agung Sedayu setiap kali.

Tetapi Sekar Mirah tidak dapat melepaskan perasaannya itu. ”Mereka memburu tongkat baja itu, Kakang.”

“Ada atau tidak ada, mereka akan menyerang Tanah Perdikan ini sebagaimana Macan Kepatihan menyerang Sangkal Putung waktu itu. Soalnya bukan tongkat baja putih itu. Tetapi tanah ini akan menjadi landasan yang baik bagi mereka.”

Sekar Mirah memang mencoba untuk mengerti. Tetapi bayangan-bayangan buram tentang tongkat baja putihnya itu sulit untuk disisihkannya.

“Kakang, apakah tongkat itu sangat berharga untuk dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa sekian banyak orang?”

“Tongkat itu bagi mereka adalah lambang kepemimpinan,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi bagiku tongkat itu tidak lebih dari senjata biasa. Senjata itu memang begitu akrab dengan ilmuku. Tetapi menurut pendapatku, aku akan dapat mempergunakan senjata lain yang bagiku akan mempunyai nilai yang sama dengan tongkat baja putih itu. Karena menurut pendapatku, kemampuanku sama sekali tidak tergantung pada senjata itu.”

“Aku mengerti, Mirah. Tetapi senjata itu tidak boleh lepas dari tanganmu. Bukan karena tuahnya. Tetapi segala-galanya tongkat itu sudah mapan dan sangat sesuai dengan ilmumu. Kau mengenal tongkat itu seperti kau mengenali anggota tubuhmu sendiri. Panjangnya, beratnya, besarnya sudah mapan. Tidak ada senjata yang lebih sesuai dari tongkat baja itu bagimu, Mirah.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia memang harus mengakui, bahwa tongkat itu rasa-rasanya sudah seperti bagian dari tangannya sebagaimana jari-jarinya.

“Lebih dari itu Mirah, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai tongkat baja putih itu, maka ia akan menjadi semakin kokoh. Itu akan sangat berbahaya bagi kita semuanya,” berkata Agung Sedayu selanjutnya.

Sekar Mirah itu mengangguk-angguk.

“Kecuali jika ada jaminan bahwa setelah tongkat baja putih itu berada di tangannya ia tidak akan mengancam Tanah Perdikan ini, kita baru dapat mempertimbangkannya. Sekali lagi, mempertimbangkannya. Sedangkan keputusannya pun ada beberapa kemungkinan yang satu sama lain dapat bertentangan.”

Sekar Mirah masih mengangguk-angguk.

“Baiklah Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “lupakan beban itu. Kau tidak perlu memikulnya, karena kau memang tidak seharusnya mendapat beban itu.”

“Aku akan mencoba, Kakang.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau tidak hanya harus mencoba. Tetapi kau harus melakukannya.”

“Aku lupa bahwa aku berbicara dengan seorang prajurit.”

Agung Sedayu tertawa sambil bertanya, “Kenapa dengan seorang prajurit?”

Sekar Mirah tidak menjawab.. Tetapi ia pun tertawa pula.

Dalam pada itu, semua peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu selalu dilaporkan langsung kepada Ki Patih Mandaraka. Agung Sedayu setiap kali pergi menghadap sebagaimana diperintahkan oleh Ki Patih sendiri. Jika bukan Agung Sedayu yang memberikan laporan, maka Ki Patih-lah yang telah memberikan beberapa keterangan berdasarkan laporan para petugas sandi.

“Dendam yang masih tersimpan di Jipang, Demak dan Pati seakan-akan telah terungkit dalam waktu yang bersamaan,” berkata Ki Patih.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran bahwa gerakan itu adalah gerakan yang besar. Namun ia pun menjadi semakin yakin, bahwa Ki Saba Lintang tidak akan mampu menguasai gerak itu sepenuhnya.

Meskipun demikian, Ki Saba Lintang itu memiliki bekal kecerdikan, tetapi juga kelicikan. Agaknya ia sudah mempunyai rencana, apa yang akan dilakukannya setelah gerombolan itu berhasil membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh, atau justru setelah selangkah lebih maju lagi.

Ketika pada suatu kali Agung Sedayu menghadap Ki Patih, maka Ki Patih itu pun berkata, “Agung Sedayu. Menurut pendapatku, Ki Saba Lintang tidak sejak semula mempunyai rencana yang demikian besar. Agaknya niat Ki Saba Lintang memang hanya ingin menyusun kembali sebuah perguruan yang beralaskan pecahan perguruan Kedung Jati. Ki Saba Lintang itu semula tidak bermimpi untuk sampai ke Mataram, meskipun ia tentu sudah mempersiapkan perlawanan jika rencananya akan membentur kekuasaan Mataram. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, beberapa unsur yang lain telah bergabung dengan mengemban niat masing-masing, sehingga akhirnya gerakan itu menjadi luas. Namun warnanya tidak lagi senada. Meskipun demikian, mula-mula mereka akan dapat bekerja bersama-sama.”

Agung Sedayu mengangguk mengiakan.

“Agung Sedayu,” berkata Ki Patih kemudian, “satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa para petugas sandi yang tersebar di sekitar Pegunungan Kendeng melihat gerak kelompok besar dan kecil ke arah barat. Mereka agaknya akan melingkari Gunung Merbabu. Mereka agaknya akan mendekati Tanah Perdikan Menoreh dari arah barat dari utara. Karena itu, awasi arah itu lebih cermat dari arah yang lain.”

“Kami akan melakukannya, Ki Patih.”

“Kelompok-kelompok yang bergerak ke barat dari Pegunungan Kendeng dan sekitarnya itu, akan merupakan kekuatan yang sangat besar. Di antara mereka tentu orang-orang yang menyimpan dendam di dalam hati. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menyesuaikan diri dengan gerak jamannya yang berubah.”

“Ya, Ki Patih.”

“Tetapi di atas mereka adalah orang-orang yang tamak, yang mempunyai nafsu yang sangat besar untuk mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi.”

Masih banyak lagi pesan yang diberikan kepada Agung Sedayu untuk menghadapi gerakan yang semakin lama menjadi semakin besar itu.

Sementara itu kecurigaan terhadap istri Agung Sedayu telah menyusut, dan bahkan telah larut. Meskipun Nyi Lurah Agung Sedayu itu memiliki. satu dari sepasang lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati, namun nampaknya Nyi Lurah itu sama sekali tidak tertarik untuk memanfaatkannya lewat jalur yang tidak sewajarnya.

Ketika Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan, maka ia pun telah menugaskan beberapa orang prajurit-prajurit pilihan untuk melakukan tugas sandi, mengamati lingkungan di sebelah barat dan utara Tanah Perdikan Menoreh.

“Kau dapat melakukan tugas kalian di luar Tanah Perdikan. Berhati-hatilah,” pesan Agung Sedayu, “kita menghadapi kekuatan yang besar dan sebarannya luas sekali. Sedangkan sebagian dari mereka diduga terdiri dari bekas-bekas prajurit Pati, Demak dan Jipang, yang kecewa terhadap perkembangan keadaan sejak gugurnya Arya Penangsang, tersingkirnya pemerintahan Demak di Pajang, serta pecahnya Kadipaten Pati.”

Dengan demikian, maka beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah menyebar. Mereka bergerak ke sebelah barat pegunungan, dan yang lain bergerak ke utara.

Sementara itu, persiapan di Tanah Perdikan Menoreh pun menjadi semakin matang. Para pengawal telah memanfaatkan waktu yang ada untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan hampir setiap laki-laki di Tanah Perdikan yang masih merasa mampu untuk bertempur, telah mempersiapkan diri pula.

Dalam pada itu, para penghuni Tanah Perdikan itu telah memperkokoh dinding-dinding padukuhan serta pintu-pintu gerbang. Kentongan pun tergantung di mana-mana. Setiap padukuhan mempunyai pertanda isyaratnya masing-masing, sehingga jika terdengar suara kentongan, akan segera diketahui sumbernya.

Senjata yang dipersiapkan bukan hanya pedang dan tombak. Tentu juga busur, anak panah dan lembing.

Beberapa hari kemudian, Agung Sedayu pun telah menerima laporan dari salah seorang prajuritnya yang ditugaskannya mengamati keadaan di sebelah barat pegunungan.

“Kami melihat ada gerakan di daerah Pucang Kerep. Nampaknya ada gejolak di permukaan. Meskipun masih belum jelas, tetapi ada kekuatan yang tersusun di daerah itu. Bahkan sebagian dari mereka berhasil menyusup di antara orang-orang yang menghuni daerah itu.”

“Maksudmu?”

“Dengan uang dan harapan-harapan, mereka dapat tinggal di rumah-rumah penduduk. Agaknya mereka masih sedang bersiap-siap untuk menyusun satu kekuatan yang akan bergerak ke timur, melintasi pegunungan dan memasuki Tanah Perdikan.”

“Mereka cukup berhati-hati,” berkata Agung Sedayu kemudian, “mereka mengambil ancang-ancang di tempat yang cukup jauh. Tetapi justru karena itu, arus serangan mereka akan menjadi sangat berbahaya.”

“Kekuatan yang ada di Pucang Kerep itu nampaknya memang berbahaya, Ki Lurah,” petugas sandi itu menjelaskan.

“Baiklah. Awasi mereka. Kita masih menunggu laporan dari utara.”

Berbeda dengan segerombolan orang yang berada di sisi barat, maka segerombolan orang yang berada di sisi utara telah membuat perkemahan di hutan kecil di tempuran Kali Elo dan Kali Praga.

Tetapi menurut laporan petugas sandi, gerombolan yang ada di sebelah utara itu tidak kalah berbahayanya. Mereka seolah-olah sedang menimbun kekuatan air di bendungan. Jika bendungan itu pecah, maka arus airnya akan menyapu apa saja yang menghalanginya.

Selain laporan dari petugas sandi tentang kekuatan yang sedang disusun di Pucang Kerep, ternyata di Krendetan juga terdapat sekelompok orang, yang nampaknya juga bagian dari gerombolan yang sama dengan gerombolan yang berada di Pucang Kerep.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “para peronda di perbatasan agar menjadi lebih berhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak ke dalam perangkap gerombolan itu.”

Dengan demikian, Tanah Perdikan itu pun telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Demikian pula para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan.

Bahkan Ki Patih telah memerintahkan sebagian prajurit Mataram yang berada di Ganjur untuk bergabung dengan pasukan yang berada di Tanah Perdikan Menoreh di bawah pimpinan Agung Sedayu.

Demikianlah, dari hari ke hari kekuatan yang bertimbun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di hutan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga menjadi semakin besar jumlahnya.

Laporan yang disampaikan ke Mataram pun menjadi semakin sering, sehingga Ki Patih Mandaraka tidak ketinggalan dengan perkembangan keadaan.

Dalam gejolak yang semakin panas itu, Ki Tumenggung Wirayuda telah datang ke barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu untuk bertemu dan berbicara dengan Agung Sedayu.

“Dalam tiga hari ini akan datang berturut-turut lima belas orang prajurit sandi terpilih. Mereka akan menyebar di sekitar Tanah Perdikan ini untuk menilai kekuatan lawan,” berkata Ki Tumenggung Wirayuda.

“Terima kasih Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu.

“Aku sendiri akan berada di sini.”

Sebenarnyalah dalam waktu tiga hari, lima belas orang prajurit dari pasukan sandi telah berada di Tanah Perdikan. Mereka memperkuat pasukan sandi yang sudah ada di Tanah Perdikan. Bahkan mereka adalah prajurit dari pasukan sandi yang dilatih secara khusus untuk menjalankan tugasnya.

Dari para petugas sandi, baik yang berasal dari para pengawal Tanah Perdikan, dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, maupun para petugas yang datang kemudian setelah Ki Tumenggung Wirayuda berada di Tanah Perdikan, telah memberikan laporan bahwa persiapan dari gerombolan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga, telah meningkatkan kesiagaan mereka. Agaknya tidak lama lagi mereka akan segera menyerang.

Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi gelisah mendengar kemungkinan itu. Banyak kemungkinan dapat terjadi atas diri mereka. Jika orang-orang Tanah Perdikan itu kurang ikhlas menerima kehadiran mereka, maka nasib mereka akan menjadi kurang baik. Sebaliknya, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai Tanah Perdikan, nasib mereka pun akan tidak menentu.

Dalam kegelisahan itu, ternyata yang dicemaskan Empu Wisanata itu pun terjadi.

Menjelang tengah hari, dua ekor kuda berhenti di depan regol halaman rumah Agung Sedayu. Seorang laki-laki dan seorang perempuan turun dari kuda mereka dan menuntun kuda mereka memasuki halaman.

Sukra berdiri di pintu seketheng melihat keadaan kedua orang itu. Dengan tergesa-gesa ia pun mendekatinya sambil bertanya, “Siapakah yang kalian cari?”

Perempuan yang datang itu dengan ramah menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Empu Wisanata. Apakah Empu ada di rumah?”

“Ada. Marilah. Silakan naik.”

“Terima kasih,” jawab perempuan itu..

Sukra pun kemudian telah masuk kembali melalui butulan, untuk menemui Empu Wisanata yang duduk di serambi bersama Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik.

“Ada tamu, Empu.”

“Siapa, Sukra?”

“Aku belum mengenal mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang perempuan berpakaian rapi dan berhias seperti akan pergi menghadiri upacara pernikahan. Yang laki-laki agaknya pernah datang kemari, tetapi entahlah.”

Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi berdebar-debar. Namun kemudian Empu Wisanata itu pun bangkit berdiri sambil berkata kepada Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani, “Marilah. Kita temui mereka.”

Keempat orang itu pun kemudian telah keluar lewat pintu pringgitan untuk menemui tamu yang duduk di pendapa.

Demikian mereka keluar dari pintu pringgitan. Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun terkejut. Laki-laki dan perempuan itu adalah Ki Saba Lintang sendiri, serta Nyi Yatni.

Dalam pada itu, dengan serta-merta Nyi Yatni itu pun langsung berjongkok di depan Empu Wisanata sambil memeluk kakinya. Dengan sendat Nyi Yatni itu berdesis, “Ampuni aku, Ayah.”

Jantung Empu Wisanata rasa-rasanya menjadi semakin cepat berdetak. Diangkatnya bahu anak perempuannya agar Nyi Yatni itu berdiri.

“Kenapa kau minta ampun kepada ayahmu?” bertanya Empu Wisanata.

“Aku telah meninggalkan Ayah begitu saja.”

“Kenapa kau meninggalkan aku, Yatni?” bertanya Empu Wisanata pula.

“Hatiku gelap pada waktu itu, Ayah.”

“Sekarang kau mendapat terang di hatimu?”

“Ya. Aku mohon Ayah mengampuniku.”

“Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandangnya Ki Saba Lintang yang berdiri tegak seperti tiang-tiang pendapa itu.

Namun kemudian meskipun dengan bimbang dan ragu Empu Wisanata itu pun berkata, “Aku ampuni kau, Yatni.”

“Terima kasih Ayah. Terima kasih.”

Nyi Yatni pun kemudian berlari mendapatkan adiknya. Dipeluknya Nyi Dwani sambil berkata, “Senang sekali melihat keadaanmu, Dwani. Agaknya kau sudah sembuh.”

“Ya, Mbokayu,” jawab Nyi Dwani.

Nyi Yatni pun kemudian melepaskan Nyi Dwani. Ditatapnya perempuan itu sambil memegangi kedua lengannya. Katanya, “Syukurlah, Dwani. Jika kau sudah sembuh, maka kita akan dapat pergi bersama-sama. Bahkan bersama-sama dengan Ayah.”

“Pergi ke mana, Mbokayu?” bertanya Nyi Dwani.

“Terserah kepada Ayah. Aku sudah bertekad untuk kembali kepada Ayah.”

Tetapi Empu Wisanata pun berkata, “Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Yatni.”

Nyi Yatni tersenyum. Katanya, “Ayah memang suka bergurau sejak mudanya. Bukankah kau ingat itu Dwani?”

“Tetapi kali ini aku sama sekali tidak bergurau, Yatni. Aku berkata dengan sungguh-sungguh. Biarlah Ki Saba Lintang mendengarnya Aku sudah tidak lagi ingin bergabung dengan Ki Saba Lintang. Demikian pula Dwani. Terserah kepadamu dan kepada Suranata. Bukankah kalian sudah dapat mengambil sikap sendiri?”

“Ah, Ayah. Aku datang untuk mohon maaf.”

Empu Wisanata termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak perempuannya itu. Wajahnya nampak cerah. Senyumnya tidak lepas dari bibirnya.

“Duduklah,” berkata Empu Wisanata kemudian.

Nyi Yatni pun kemudian berpaling kepada Ki Saba Lintang. Ditariknya tangan Ki Saba Lintang untuk duduk bersamanya. Dengan manja Nyi Yatni itu pun berkata, “Marilah duduk Kakang.”

Ki Saba Lintang tersenyum. Ia pun kemudian duduk di sebelah Nyi Yatni.

“Ayah,” berkata Nyi Yatni kemudian, “aku telah mendengar bahwa Ayah dan Dwani telah bergabung dengan Kakang Saba Lintang. Demikian pula Kakang Suranata. Karena itu, maka aku datang menemui Ayah. Aku menyesali tingkah laku-ku selama ini karena aku telah meninggalkan Ayah. Ayah tentu selalu cemas dan bahkan mungkin bersedih. Nah, karena itulah, maka sekarang aku kembali kepada Ayah, dan ingin bersama-sama Ayah berada di dalam satu perjuangan, dalam kesatuan yang dipimpin oleh Kakang Saba Lintang.”

“Yatni, jangan mengigau seperti itu. Kau tahu di mana aku sekarang ini berada. Kau tentu sudah tahu pula, di mana aku sekarang berdiri.”

Sambil memandang Ki Wijil dan Nyi Wijil, Nyi Yatni itu pun berkata, “Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak tidak akan berkeberatan untuk membiarkan Ayah dan Dwani pergi?”

Ki Wijil itu pun menjawab, “Tentu tidak Ngger. Jika Empu Wisanata dan Nyi Dwani akan pergi, aku sama sekali tidak merasa berkeberatan.”

Jawaban itu terdengar aneh di telinga Nyi Yatni. Ia mengira bahwa jawaban yang akan didengarnya adalah berlawanan dengan jawaban itu.

Namun Nyi Yatni itu pun berkata, “Nah, bukankah Ayah dapat pergi ke mana saja Ayah inginkan? Ayah di sini bukan tawanan. Bukan pula orang hukuman.”

Empu Wisanata justru tersenyum mendengar jawaban Ki Wijil. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Tidak seorang pun akan berkeberatan jika aku pergi. Tetapi aku memang tidak ingin pergi. Aku ingin tetap tinggal di sini, karena aku dan Dwani kerasan tinggal di sini.”

Kening Nyi Yatni berkerut. Tetapi kemudian senyumnya nampak lagi di bibirnya, “Ayah. Jika Ayah dan Dwani bersedia pergi bersama kami, maka masa depan kita sekeluarga akan menjadi cerah. Aku akan menemui Kakang Suranata dan memanggilnya untuk menyatu kembali. Keluarga kita akan utuh, sementara itu kita masing-masing akan mendapat tempat yang baik di dalam lingkungan kesatuan Kakang Saba Lintang.”

Kemudian sambil berpaling kepada Ki Saba Lintang, Nyi Yatni itu berkata sambil tersenyum, “Bukankah begitu, Kakang? Kenapa kau hanya diam saja? Bantulah aku meyakinkan Ayah dan Dwani.”

Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah kami sangat mengharap kehadiran Empu Wisanata dan Nyi Dwani.”

“Nah, Ayah dengar? Kita akan dapat menjadi pemimpin yang baik di dalam kesatuan Kakang Saba Lintang. Apalagi jika Dwani berhasil mendapatkan tongkat baja putih, pasangan tongkat baja putih yang sudah dimiliki Kakang Saba Lintang, yang akan diberikan kepadaku. Aku dan Kakang Saba Lintang akan menjadi pasangan yang paling serasi untuk memimpin kesatuan yang besar, yang kelak akan menggulung Tanah Perdikan ini.”

Wajah Nyi Dwani menjadi merah. Jantungnya serasa disuluti dengan api.

Namun Empu Wisanata pun kemudian tertawa. Katanya, “Ki Saba Lintang tidak akan dapat berkata apa-apa di sini. Aku tahu betapa liciknya orang yang memiliki tongkat baja putih yang menjadi lambang kepemimpinan perguruan Kedung jati.”

“Ayah jangan berprasangka buruk. Kakang Saba Lintang yakin bahwa aku dapat mendampinginya. Apalagi jika tongkat baja putih yang satu lagi sudah ada di tanganku.”

“Jadi kau ingin Dwani mengambil tongkat itu untukmu?”

“Ya. Tetapi Dwani sudah gagal. Bahkan Ayah sampai hati untuk berusaha membunuhnya. Namun ternyata nyawa Dwani memang liat.”

“Cukup!” bentak Nyi Dwani, “Aku muak mendengar dan melihat permainan yang kotor ini.”

“Dwani. Kenapa kau?”

“Aku tidak mau mendengar bualanmu lagi Mbokayu. Pergilah bersama Kakang Saba Lintang, sebelum aku memukul isyarat. Dengan isyarat itu, kalian tidak akan dapat lolos dari tangan para pengawal Tanah Perdikan ini.”

“Aku yakin bahwa orang-orang Tanah Perdikan tidak akan berbuat selicik itu,” berkata Nyi Yatni, “kami hanya berdua. Kami tidak datang menyerang Tanah Perdikan ini. Kami justru datang untuk menemui ayah dan kau, Dwani.”

“Pergilah! Semakin cepat semakin baik.”

“Kenapa aku harus segera pergi? Sedangkan kedua orang tua suami istri ini, yang agaknya termasuk orang penting di Tanah Perdikan ini saja tidak mengusirku.”

“Permainan kalian sangat kasar. Kalian tidak berhasil menyakiti hatiku. Tetapi kalian membuat aku muak.”

“Dwani, apa yang terjadi?”

Namun Ki Wijil-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Kami memang tidak mengusir kalian. Kami jarang sekali mendapat kesempatan melihat tontonan yang begitu menarik. Permainan yang sulit dibedakan dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi.”

Wajah Nyi Yatni menjadi tegang. Katanya, “Kami tidak sedang bermain. Kami juga bukan tontonan.”

“Jangan marah. Mungkin kau menganggap dirimu bukan tontonan. Tetapi ternyata Ki Saba Lintang adalah seorang pemain yang sangat baik dalam satu pertunjukan yang sangat jenaka.”

Wajah Ki Saba Lintang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Apa yang kau maksudkan?”

Nyi Wijil dan Empu Wisanata yang tanggap akan maksud Ki Wijil pun tertawa pula. Hanya wajah Nyi Dwani sajalah yang masih tetap tegang.

“Permainanmu sangat meyakinkan,” berkata Ki Wijil.

“Aku tidak senang bermain-main,” sahut Ki Saba Lintang.

“Jika demikian, tontonan ini semakin mengasyikkan,” Ki Wijil tertawa semakin keras, “jika kalian tidak sedang bermain, maka kalian adalah badut-badut yang sesungguhnya.”

“Cukup!” teriak Nyi Yatni. Lalu katanya kepada Ki Saba Lintang, “Kau biarkan orang tua ini mengigau seperti itu?”

“Ya,” sahut Empu Wisanata, “Ki Saba Lintang harus membiarkannya berbicara apa saja. Ki Saba Lintang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk menghentikannya.”

“Kakang!” jantung Ki Yatni bagaikan akan meledak.

“Biarkan mulut yang sudah rusak itu berbunyi apa saja,” geram Ki Saba Lintang, “yang penting bagimu Nyi Yatni, usahakan agar keluargamu utuh kembali.”

“Satu lawakan yang menarik,” sahut Empu Wisanata.

“Ayah,” potong Nyi Yatni.

“Yatni, jangan berpura-pura. Aku minta segera tinggalkan tempat ini. Kau tidak akan berhasil untuk mengajak kami. Jika cara ini ditempuh oleh Ki Saba Lintang untuk menyakiti hati Dwani, ia pun tidak berhasil. Aku tidak tahu, apakah Yatni mengerti atau tidak bahwa ia sudah menjadi alat Ki Saba Lintang.”

“Alat apa?”

“Sudah. Jangan hiraukan. Marilah kita tinggalkan sarang iblis ini. Semakin lama kita di sini, maka semakin kabur penalaran kita atas persoalan-persoalan yang kita hadapi.”

“Kita tidak berjantung tanah liat, Kakang.”

Tetapi Ki Saba Lintang itu pun segera bangkit sambil berkata, “Kita berhadapan dengan orang-orang licik yang pandai memutar balikkan keadaan. Nyi Yatni, kita memang tidak ada pilihan lain. Kita terpaksa membiarkan Empu Wisanata dan adikmu Nyi Dwani ikut lumat bersama Tanah Perdikan ini, sebagaimana dikatakan oleh Suranata.”

Nyi Yatni pun kemudian bangkit pula. Demikian pula Empu Wisanata, Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani.

“Jadi Ayah menolak untuk memulihkan keutuhan keluarga kita?” bertanya Nyi Yatni kemudian.

“Tentu tidak, Yatni. Tetapi aku harus memperhitungkan maksud yang sesungguhnya dari niatmu untuk memulihkan keutuhan keluarga kita itu. Aku pun harus memperhitungkan, siapakah yang telah menggerakkan kau datang kepadaku.”

“Jadi apakah artinya kesediaan Ayah memaafkan aku?”

“Aku telah memaafkan semua kesalahan yang pernah kau lakukan Yatni. Aku tidak pernah mendendammu. Tetapi sudah tentu aku pun tidak akan dapat kau bawa menerjuni lubang sumur berapi.”

“Baik. Baik Ayah. Jika Ayah kokoh pada sikap dan pendirian Ayah itu, apa boleh buat. Agaknya Dwani pun telah terpengaruh pula oleh sikap Ayah, sehingga ia telah meninggalkan kesetiaannya kepada perguruan Kedung Jati, meskipun Ayah pernah mencoba untuk membunuhnya.”

“Cukup, Mbokayu!” sahut Nyi Dwani, “Aku masih dapat berpikir waras. Karena itu, sebaiknya Mbokayu segera meninggalkan tempat ini”

Nyi Yatni tertawa pendek. Katanya, “Kau bagiku adalah seorang adik kebanggaan, Dwani.”

“Terima kasih Mbokayu. Tetapi kita adalah saudara kandung yang saling mengenal sejak masa kanak-kanak kita. Mbokayu mengenal aku, sifat-sifat dan watakku, sedangkan aku mengenal Mbokayu dengan sifat-sifat dan watak Mbokayu.”

Wajah Nyi Yatni menjadi semakin tegang. Sementara itu Ki Saba Lintang telah menarik tangannya sambil berkata, “Marilah. Kita jangan terlalu lama di sini. Jika semula aku yakin bahwa tidak akan ada kelicikan di Tanah Perdikan ini, akhirnya aku menjadi ragu-ragu.”

“Baiklah,” sahut Nyi Yatni. Lalu ia pun berkata kepada ayahnya, “Ayah, Aku mohon diri. Terima kasih bahwa Ayah telah memaafkan segala kesalahanku. Bagaimanapun juga aku masih ingin membalas segala kebaikan budi Ayah, sehingga aku ingin pada suatu ketika aku dapat membahagiakan Ayah, serta menempatkan Dwani di jenjang kedudukan yang terhormat sesuai dengan kemampuannya yang tinggi.”

“Terima kasih, Mbokayu,” sahut Nyi Dwani.

“Aku mohon diri, Ayah.”

“Hati-hati-lah menempuh jalan kehidupan, Yatni,” desis Empu Wisanata.

Nyi Yatni mengerutkan dahinya. Bagaimanapun juga masih terasa nada bicara seorang ayah yang mencemaskan keadaan anaknya.

Namun Nyi Yatni tidak sempat berbicara lebih banyak lagi. Ki Saba Lintang pun kemudian menariknya. Tidak lagi memegangi pergelangan tangannya, tetapi justru memegangi pinggangnya.

Demikian mereka turun dari pendapa, Nyi Yatni pun justru seakan-akan melekat di tubuh Ki Saba Lintang, dan berjalan bersama-sama menuju ke kuda mereka.

Darah Nyi Dwani rasa-rasanya memang telah mendidih. Terbayang di masa kanak-kanak mereka. Permainan apapun yang dipegangnya, jika kakak perempuannya itu mengingini, selalu dirampasnya. Yatni sama sekali tidak peduli, apakah Dwani akan menangis atau tidak. 

Hal itu seakan-akan kini telah terulang. Nyi Yatni itu telah merampas Ki Saba Lintang dari sampingnya.

Namun terdengar Empu Wisanata itu berbisik di telinganya, “Jangan mengulangi kesalahan yang sama karena perasaan cemburumu itu.”

Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Ia telah kehilangan kendali sehingga ia telah berusaha membebaskan Rara Wulan, karena jantungnya telah dibakar oleh perasaan cemburu.

Sementara itu ayahnya berbisik pula, “Kau sekarang tidak membutuhkan lagi Ki Saba Lintang.”

Nyi Dwani itu mengangguk kecil. Sedangkan Empu Wisanata berkata selanjurnya, “Kasihan Yatni. Ia tidak lebih dari alat bagi Ki Saba Lintang.”

Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi bagaimanapun juga, jantungnya terasa bergetar semakin cepat ketika ia melihat bagaimana Ki Saba Lintang membantu Nyi Yatni naik ke atas punggung kudanya, meskipun sebenarnya hal itu dapat dilakukannya sendiri.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua ekor kuda itu telah keluar dari regol halaman, sementara Empu Wisanata dan Nyi Dwani berdiri saja di tangga pendapa. Namun di regol Nyi Yatni itu masih sempat melambaikan tangannya sambil berkata, “Ingat Ayah, pada suatu saat aku akan membahagiakan Ayah.”

Empu Wisanata tidak menjawab.

Sejenak kemudian, mereka pun telah mendengar derap kaki kuda yang berlari semakin lama semakin jauh, sehingga akhirnya hilang dari pendengaran mereka.

Dalam pada itu, Nyi Dwani pun segera berlari melintasi pendapa dan masuk ke dalam biliknya. Dengan serta-merta Nyi Dwani telah menjatuhkan dirinya menelungkup di pembaringannya.

Ketika Empu Wisanata memasuki bilik itu, dilihatnya Nyi Dwani menangis terisak-isak.

Sambil duduk di bibir pembaringan, Empu Wisanata itu pun bertanya, “Kenapa kau menangis, Dwani?”

Nyi Dwani itu pun bangkit dan duduk di sisi ayahnya. Dengan sendat Dwani itu pun menjawab, “Aku merasa kesal sekali Ayah.”

“Kau merasa cemburu?”

“Tidak,” jawab Nyi Dwani tegas.

“Jadi?”

“Aku hanya ingin mengurangi beban yang menggelantung di hatiku. Aku ingin meyakinkan diriku, bahwa aku tidak lagi bergayut kepada siapa pun.”

“Dengan menangis?”

“Ya. Dengan menangis.”

Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Dwani. Jika dengan menangis kau dapat mengurangi beban di hatimu, bahkan meyakinkan dirimu sendiri tentang kemandirianmu, lakukanlah.”

Dwani tidak menjawab. Namun Nyi Dwani justru sudah tidak menangis lagi.

Namun sebenarnyalah Nyi Dwani seakan-akan telah benar-benar berubah. Ia menjadi semakin yakin akan dirinya. Kepercayaannya kepada keyakinannya pun menjadi bertambah.

Di malam hari, ketika seisi rumah itu duduk di ruang dalam untuk makan malam, kedatangan Ki Saba Lintang dan Nyi Yatni telah menjadi bahan pembicaraan.

“Kedatangan mereka menjadi satu isyarat,” berkata Agung Sedayu.

“Isyarat apa?” bertanya Sekar Mirah.

“Isyarat bahwa Ki Saba Lintang sudah siap untuk menyerang Tanah Perdikan ini.”

“Dari mana Kakang mengetahuinya?” bertanya Glagah Putih.

“Ki Saba Lintang sudah berusaha untuk menghimpun segala kekuatan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Nampaknya memang demikian. Kita memang harus tanggap.”

“Sebaiknya pasukan pengawal Tanah Perdikan segera ditempatkan sesuai dengan rencana pembagian kekuatan. Besok aku juga akan mengatur pasukanku dan akan langsung ditempatkan. Karena itu, besok pagi-pagi aku akan bertemu dengan Ki Gede dan Prastawa. Aku minta Glagah Putih ikut bersamaku.”

“Baik, Kakang.”

“Mungkin kita akan berada di tempat yang terpisah yang satu dengan yang lain,” berkata Agung Sedayu pula, “setiap pasukan akan disertai oleh satu atau dua orang di antara kita.”

Yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Agung Sedayu. Yang akan mereka hadapi adalah serangan-serangan yang tidak saja datang dari satu arah. Sedikit-sedikitnya mereka harus bersiap menghadapi pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep, dan dari sisi utara, yang berkemah di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga.

Demikianlah, seperti yang direncanakan, pagi-pagi sebelum Agung Sedayu pergi ke barak pasukannya bersama Glagah Putih, ia pergi menemui Ki Gede.

Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu dan Glagah Putih berbincang dengan Ki Gede dan Prastawa, apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk menghadapi serangan yang nampaknya akan segera terjadi.

Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Ki Gede pun sependapat bahwa para pemimpin Tanah Perdikan serta orang-orang yang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan itu akan berpencar.

“Nanti sore aku akan menghadap lagi, Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “siang ini barangkali aku akan mendapat bahan-bahan baru dari para petugas sandi.”

“Aku menunggu, Ki Lurah. Sementara itu, aku minta Angger Glagah Putih siang nanti dapat bersama-sama dengan Prastawa menentukan kedudukan para pengawal, sesuai dengan perkembangan keadaan serta kesiagaan orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan ini.”

Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri, sedangkan Glagah Putih masih akan memanggil Sabungsari untuk diajak menemui Prastawa.

Dari rumah Ki Gede, Agung Sedayu singgah di rumahnya sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu pun segera berangkat ke baraknya. Hari itu, segala sesuatunya harus sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Di baraknya Agung Sedayu telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang, bersama Ki Tumenggung Wirayuda. Beberapa laporan petugas sandi telah melengkapi penilaian mereka terhadap kekuatan lawan yang berada di beberapa tempat di luar Tanah Perdikan.

Bersama Ki Tumenggung Wirayuda, Agung Sedayu pun telah membagi kekuatannya. Selain Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, di barak itu juga sudah datang, berangsur-angsur sehingga tidak menarik perhatian, prajurit Mataram dari Ganjur. Menghadapi serangan dari pasukan yang kuat, sebagian prajurit yang berada di Ganjur telah diperbantukan kepada Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, untuk memantapkan pertahanan di seluruh Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu pun telah menyelenggarakan satu pertemuan dari semua unsur yang ada di Tanah Perdikan. Untuk menghadapi kemungkinan yang dapat datang setiap saat, malam itu juga Agung Sedayu telah mempertemukan Ki Gede Menoreh, Ki Tumenggung Wirayuda, para pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur, serta orang-orang berilmu tinggi yang berada di rumah Agung Sedayu. Untuk menjaga segala kemungkinan, Agung Sedayu telah minta Ki Wijil dan Nyi Wijil untuk tinggal di rumah bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani.

Sambil tertawa Ki Wijil pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Aku akan tinggal di rumah.”

“Biarlah Sayoga ikut bersama kami, Ki Wijil.”

“Aku akan menunggu tugas apa yang dapat aku lakukan menghadapi keadaan yang gawat di Tanah Perdikan ini.”

Dalam pada itu, Ki Lurah itu pun berkata, “Jangan tersinggung Empu. Bagaimanapun juga kami harus berhati-hati.”

“Aku mengerti Ki Lurah. Kami tidak merasa tersinggung sama sekali.”

Malam itu segala sesuatunya telah ditentukan. Semua pihak telah mendapat tugasnya masing-masing. Mereka terbagi dalam daerah-daerah pertahanan, untuk menghadapi pemusatan tenaga kekuatan dari pasukan yang siap menerkam Tanah Perdikan itu.

Untuk memimpin pertahanan itu, semua pihak telah menunjuk Ki Gede Menoreh.

“Kemampuanku bukan apa-apa dibanding dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” berkata Ki Gede.

“Tetapi pengalaman dan. pengetahuan Ki Gede adalah yang paling luas di antara kita,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Tentu tidak,” jawab Ki Gede, “aku tidak lebih dari seekor katak yang bersembunyi di bawah tempurung.”

Ki Tumenggung Wirayuda-lah yang menyahut, “Kita tahu, apa yang pernah Ki Gede lakukan semasa Ki Gede masih terhitung muda dahulu.”

Ki Gede akhirnya tidak dapat menolak. Ia akan memimpin pertahanan menghadapi kekuatan yang cukup besar yang mengancam Tanah Perdikannya. Tetapi hal itu adalah wajar sekali, karena Ki Gede adalah pemimpin Tanah Perdikan itu.

Malam itu, pertemuan itu pun telah menentukan kekuatan yang akan berpencar di sepanjang perbatasan. Tetapi kekuatan itu akan berpusat pada tiga induk pertahanan ,menghadapi kekuatan lawan yang sedang dihimpun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di sisi utara.

Dari para petugas sandi didapat laporan, bahwa kekuatan yang ada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga di sisi utara, hampir seimbang, sehingga rencana pertahanannya pun dibuat seimbang pula. Namun demikian, Ki Gede Menoreh juga memerintahkan untuk memperkokoh dinding padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin sekali akan terjadi bahwa di antara pasukan yang datang menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu, akan ada kelompok-kelompok yang ditugaskan untuk menyusup menusuk langsung ke padukuhan induk. Mereka akan memperhitungkan bahwa padukuhan induk mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi rakyat dan para pengawal Tanah Perdikan. Jika padukuhan induk itu berhasil direbut, maka ketahanan jiwani terutama para pengawal Tanah Perdikan akan berkerut. Mereka seakan-akan merasa kehilangan tempat untuk bertumpu.

Jika hal itu terjadi, maka pertahanan di Tanah Perdikan itu akan segera menjadi goyah.

Di samping pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi serangan lawan dari ketiga arah itu, maka di Tanah Perdikan pun telah disiapkan pula sekelompok pasukan berkuda, yang terdiri dari para prajurit dari Pasukan Khusus, para petugas sandi, serta penghubung yang akan menghubungkan medan yang satu dengan medan yang lain. Mungkin mereka harus menyampaikan laporan secepatnya kepada Ki Gede atau kepada para pemimpin yang berada di medan.

Dalam keadaan yang gawat itu, Ki Gede telah memanggil adiknya, Ki Argajaya yang agak lama memilih hidup di dalam satu lingkungan kecil. Sejak saat ia gagal merebut kekuasaan di Tanah Perdikan itu, yang kemudian mendapat pengampunan sehingga ia tidak dijatuhi hukuman yang berat, apalagi hukuman mati, Ki Argajaya merasa lebih baik menyisihkan diri. Tetapi ia seakan-akan telah diwakili oleh anak laki-lakinya, Prastawa, yang memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Argajaya,” berkata Ki Gede, “sudah waktunya kau bangun.”

“Aku sudah tua, Kakang,” jawab Ki Argajaya, “biarlah yang muda-muda itulah yang tampil di medan perang.”

“Ya. Yang muda-muda akan tampil di medan perang. Tetapi aku minta kau bantu aku mengendalikan pertahanan ini. Aku telah ditunjuk untuk memimpin pertahanan di Tanah Perdikan ini. Aku tidak dapat mengelak, karena aku-lah Kepala Tanah Perdikan ini.”

Ki Argajaya ternyata juga tidak dapat mengelak. Karena itu, maka ia pun berkata, “Jika Kakang masih mempunyai sisa-sisa kepercayaan kepadaku, aku akan melakukan perintah-perintah Ki Gede.”

Ki Gede itu pun kemudian berkata, “Kita akan mengendalikan pertempuran dari padukuhan induk. Kita akan mengamati pertempuran lewat para penghubung yang akan hilir mudik ke medan. Tetapi kita pun bersiap menghadapi kemungkinan penyusupan lawan untuk langsung menyerang induk ini.”

“Di mana Ki Lurah Agung Sedayu akan berada?” bertanya Ki Argajaya.

“Ia akan berada di medan. Ia akan memimpin pasukan untuk menghadapi lawan yang sekarang menimbun kekuatan di Pucang Kerep, dan yang sudah ancang-ancang untuk menyerang.”

“Siapa yang akan memimpin pasukan yang berada di sisi selatan, menghadapi kemungkinan serangan dari kekuatan yang berada di Krendetan?”

“Ki Lurah Sura Panggah, pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur. Sedangkan Ki Tumenggung Wirayuda akan berkedudukan di barak Pasukan Khusus. Namun mungkin ia akan berada di medan yang dipilihnya sendiri.”

“Yang akan memimpin perlawanan di sisi utara untuk menghadapi kekuatan yang ada di sekitar tempuran Kali Elo dan Kali Praga?”

“Pimpinan pasukan itu dipercayakan kepada Prastawa.”

“Bukankah di antara pasukan itu juga akan terdapat prajurit dari Pasukan Khusus, atau dari antara prajurit yang datang dari Ganjur?”

“Ya, Pasukan Khusus dan para prajurit yang datang dari Ganjur akan dibagi di tiga pemusatan pasukan Tanah Perdikan.”

“Sebaliknya para pengawal Tanah Perdikan juga akan berada di ketiga tempat itu?” bertanya Ki Argajaya.

“Ya,” jawab Ki Gede, “sementara kita akan berada di padukuhan induk ini untuk mengendalikan pertempuran dalam keseluruhan.”

Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku siap untuk melakukannya, Kakang.”

“Tetapi tidak mustahil bahwa kita harus bertempur, jika sekelompok lawan berhasil menyusup sampai ke padukuhan induk ini.”

“Ya. Aku akan mempersiapkan diriku.”

“Menurut pengalaman, hal seperti itu pernah terjadi, sehingga tidak mustahil bahwa hal seperti itu akan terjadi lagi.”

“Baik Kakang. Aku akan mempersiapkan diri di rumahku.”

“Pintu gerbang padukuhan induk yang sudah diperkuat itu akan ditutup setiap hari. Orang yang masuk dan keluar akan mendapat pengawasan yang ketat. Sementara itu, lalu lintas di Tanah Perdikan ini, kecuali di padukuhan induk, masih dapat berlangsung seperti sebelumnya. Maksudku, jalan-jalan di Tanah Perdikan ini tidak akan ditutup. Mereka yang melintas dari timur ke barat, atau dari barat ke timur atau ke utara, tidak akan dihambat. Sebaiknya kau tinggal di rumah ini.”

Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Mulai besok aku akan berada di rumah ini.”

Dalam pada itu, beberapa padukuhan telah ditetapkan menjadi landasan pertahanan pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh, yang akan bergabung dengan para prajurit dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, serta para prajurit yang datang dari Ganjur. Masing-masing pada dasarnya dibagi menjadi empat. Tiga kelompok pasukan akan berada di tiga landasan pertahanan, sementara satu bagian merupakan pasukan cadangan, yang akan turun ke medan setiap saat jika diperlukan. Tidak termasuk pasukan berkuda, pasukan yang bergerak ke mana saja mereka diperlukan.

Dalam pada itu, orang-orang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan Menoreh akan dibagi pula untuk berada di tiga landasan utama pertahanan pasukan Tanah Perdikan.

Beberapa padukuhan yang telah dipersiapkan untuk menjadi landasan pertahanan telah diperkuat. Dinding padukuhan pun telah diperkuat pula. Demikian pula pintu gerbangnya. Beberapa panggungan telah dibangun untuk mengawasi keadaan.

Tetapi pasukan gabungan Tanah Perdikan Menoreh itu tidak akan sekedar bertahan di padukuhan-padukuhan itu. Mereka akan membuat garis pertahanan di luar padukuhan, langsung menghadapi gerak para penyerang, yang ternyata mengambil ancang-ancang cukup panjang.

Hanya dalam keadaan yang terpaksa mereka akan memanfaatkan dinding-dinding padukuhan, sementara para penghubung akan memberikan laporan kepada Ki Gede, sehingga Ki Gede akan dapat mengambil kebijaksanaan.

Sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan, para prajurit dari Pasukan Khusus, maupun para prajurit yang diperbantukan dari Ganjur, telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika perintah itu datang, maka dengan cepat mereka bergerak.

Sementara itu para petugas sandi pun telah memberikan laporan, bahwa kegiatan pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga pun telah meningkatkan persiapan mereka.

Namun ternyata bahwa pasukan yang siap untuk menyerang Tanah Perdikan itu bekerja cukup cermat. Mereka tidak langsung menyerang dari landasan ancang-ancang mereka. Tetapi mereka telah membuat anak-anak landasan di tempat yang lebih dekat.

Para petugas sandi mengikuti perkembangan persiapan orang-orang yang siap menyerang Tanah Perdikan itu. Mereka mengamati kelompok-kelompok yang bertugas untuk berada beberapa ratus patok di hadapan pasukan induk.

Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bukan baru untuk pertama kali menghadapi kekuatan yang mengancam Tanah Perdikan mereka. Mereka pun pernah menghadapi sepasukan orang-orang yang garang, yang membuat kemah di balik bukit. Mereka juga pernah menghadapi kekuatan yang menyusup sampai ke padukuhan induk. Mereka pun pernah menghadapi berbagai macam lawan. Di luar Tanah Perdikan, sebagian dari mereka pernah bertempur dalam gelar pasukan yang luas. Bahkan terakhir sebagian dari mereka telah ikut pergi ke Pati.

Karena itu, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan itu telah mempunyai pengalaman yang luas menghadapi berbagai macam sifat dan watak lawan. Dari yang kasar, liar dan bahkan buas, sampai mereka yang bertempur dengan mapan dalam gelar yang utuh, serta menganut segala macam pranatan perang, serta mereka yang bertempur dengan licik dan mengesahkan segala cara untuk mencapai kemenangan.

Beberapa hari kemudian, mulai terjadi benturan-benturan antara para peronda dari kedua belah pihak. Para peronda dari Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang memang berpapasan dengan para peronda dari pasukan yang sedang menyusun kekuatan mereka di luar Tanah Perdikan itu.

Sementara itu, beberapa kademangan yang berada di garis lurus yang menghubungkan kedua kekuatan yang akan beradu di medan perang itu, harus menentukan kebijaksanaan mereka. Ternyata orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu telah memberi peringatan agar mereka tidak ikut campur, agar mereka tidak ikut terlibat dalam pertempuran yang akan banyak menelan korban.

Sebaliknya Tanah Perdikan Menoreh pun telah memperingatkan mereka untuk menghindarkan diri dari kemungkinan buruk itu pula.

“Sebaiknya kalian menghindar. Jauhi medan pertempuran yang akan terjadi di perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kami minta maaf, bahwa pasukan kami mungkin akan merembet keluar garis batas Tanah Perdikan untuk menghancurkan lawan.”

Kademangan-kademangan kecil di luar Tanah Perdikan itu menyadari, bahwa mereka memang lebih baik menghindar. Jika dua ekor gajah bertarung, maka mereka lebih baik menyingkir daripada terinjak-injak.

Persiapan kedua belah pihak pun menjadi semakin matang. Benturan-benturan kecil semakin sering terjadi. Namun benturan-benturan itu justru dapat dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan untuk menjajaki kemampuan lawan.

Dalam pada itu, dalam puncak persiapan dari kedua belah pihak, sekelompok kecil orang telah menyeberangi pegunungan dan turun ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika sekelompok peronda melihat mereka, maka para peronda itu pun segera memotong jalan mereka.

“Aku bukan petugas yang sedang meronda,” berkata orang yang berdiri di paling depan. Lalu katanya pula, “Aku adalah Ki Saba Lintang.”

“Apakah maksud Ki Saba Lintang?”

“Aku ingin bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

“Atau Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya peronda itu.

“Tidak. Aku hanya ingin bertemu dengan berbicara dengan Ki Gede Menoreh.”

Para peronda itu menjadi ragu-ragu. Namun mereka tidak akan dapat menghambat keinginan sekelompok kecil orang-orang yang akan menemui Ki Gede Menoreh itu. Yang dapat mereka lakukan justru mengawal mereka sampai ke padukuhan induk.

Namun dua orang di antara mereka telah memisahkan diri dan pergi ke rumah Agung Sedayu, memberitahukan kehadiran sekelompok kecil orang yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang untuk menemui Ki Gede Menoreh.

Karena Agung Sedayu masih berada di barak, maka Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga-lah yang kemudian pergi ke rumah Ki Gede.

Ki Gede menerima Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari gerakannya itu di pendapa bersama Ki Argajaya dan Prastawa. Sementara itu, para pengawal masih tetap berada di halaman rumah itu, bergabung dengan para pengawal yang sedang bertugas.

Namun sebelum mereka mulai berbincang, maka Putih, Sabungsari dan Sayoga telah datang dan dipersilakan naik ke pendapa pula.

Ki Saba Lintang memandang Glagah Putih sekilas. Namun kemudian ia tidak memperhatikannya lagi. Meskipun demikian, nampak bahwa Ki Saba Lintang tidak senang melihat kehadiran anak muda itu.

Ki Saba Lintang pun kemudian telah memperkenalkan diri bersama kawan-kawannya. Dengan tegas Ki Saba Lintang berkata bahwa mereka adalah para pemimpin dari gerakan yang akan membangun kembali perguruan Kedung Jati.

“Apakah maksud kalian menemui aku?” bertanya Ki Gede Menoreh.

“Ada yang ingin aku bicarakan dengan Ki Gede,” jawab Ki Saba Lintang.

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut Ki Gede itu pun bertanya, “Apakah ada yang dapat kita bicarakan?”

“Banyak, Ki Gede. Kita dapat berbicara tentang banyak hal untuk kepentingan kita bersama.”

“Katakan, Ki Saba Lintang. Persoalan apa yang dapat kita bicarakan itu.”

“Ki Gede,” berkata Ki Saba Lintang, “dalam tahap akhir dari perjuanganku, aku ingin menawarkan kerja sama kepada Ki Gede.”

“Kerja sama apakah yang kau maksudkan itu?”

“Aku telah mempersiapkan kekuatan yang besar sekali, Ki Gede. Kekuatan yang tidak dapat diperbandingkan dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Meskipun demikian, aku menawarkan kesempatan kepada Ki Gede. Jika Ki Gede mau bekerja bersama kami, maka Ki Gede akan mendapat kesempatan yang lebih luas di masa datang.”

“Tegaskan bentuk dari kerja sama itu, Ki Saba Lintang.”

“Kami minta Ki Gede menyediakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan perjuanganku menggapai Mataram. Ki Gede tidak usah membantu dalam arti kekuatan. Ki Gede tidak usah menyerahkan kelompok-kelompok pengawal kepada kami. Yang perlu Ki Gede lakukan hanyalah menyediakan pangan dan kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari selama perjuangan kami. Mataram tidak akan dapat bertahan lama. Hanya dalam keadaan memaksa kami minta bantuan kekuatan kepada Ki Gede.”

“Tegasnya, Ki Saba Lintang ingin melibatkan kami dalam pemberontakan ini?”

“Siapakah yang sebenarnya berontak? Ki Gede tentu tahu, siapakah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Ki Gede tentu tahu bahwa yang sekarang memegang tampuk pimpinan adalah anak Pemanahan. Ki Gede pun tentu tahu, bagaimana Sutawijaya yang sekarang bergelar Panembahan Senapati itu mendapatkan kedudukannya yang sekarang.”

“Ya. Aku tahu. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati berusaha mempersatukan Mataram. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati bangkit ketika Pajang kehilangan nafas perjuangannya menyongsong masa depan. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, yang terjadi di Pajang adalah bencana, jika saat itu Panembahan Senapati masih belum menegakkan panji-panji pemerintahannya di Mataram.”

“Apakah Ki Gede tidak tahu, siapakah yang telah membunuh Kanjeng Sultan, langsung atau tidak langsung?”

“Kanjeng Sultan sudah tidak berdaya waktu itu. Perang di Prambanan sekedar satu langkah untuk satu kepastian. Seandainya tidak terjadi perang, seandainya Panembahan Senapati tidak berpijak di Mataram, dan kemudian Kangjeng Sultan wafat, tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi di Pajang.”

“Khayalan seorang yang tersisih pada waktu itu,” berkata Ki Saba Lintang, “tanpa Panembahan Senapati, pemerintah Pajang akan berlangsung dengan baik. Kekuasaan akan mengalir tanpa gejolak sama sekali.”

“Kau tentu dapat membayangkan apa yang terjadi antara Kanjeng Adipati Demak dan Pangeran Benawa pada saat itu.”

“Riak yang kemudian menjadi gelombang yang melanda Pajang waktu itu, timbul karena prahara yang dihembuskan oleh Panembahan Senapati, yang telah lebih dahulu memberontak dan menguasai Mataram.”

“Jika demikian, kau-lah yang tidak tahu apa yang telah terjadi. Apa katamu bahwa Pangeran Benawa justru telah disingkirkan ke Jipang?”

“Sudahlah,” berkata Ki Saba Lintang, “kita tidak sedang menilai aliran kekuasaan di Pajang. Yang penting sekarang, anak Pemanahan itu akan kami singkirkan. Kami telah mempunyai seorang yang pantas untuk menduduki tahta. Seorang keturunan Prabu Brawijaya.” 

Ki Gede tertawa. Katanya, “Aku juga keturunan Prabu Brawijaya. Kau percaya?”

“Jangan bergurau, Ki Gede. Aku berkata sebenarnya.”

“Terserah tanggapanmu. Jika kau tidak percaya, aku hargai sikapmu, sebagaimana aku tidak percaya kepada orang yang kau sebut keturunan Brawijaya itu.”

Wajah Ki Saba Lintang menjadi merah. Namun ia masih mengendalikan dirinya. Sementara itu, seorang yang berwajah keras dengan janggut pendek yang mulai memutih berkata, “Ki Gede. Jika kami datang kemari, sebenarnyalah kami membawa niat yang baik. Jika kita dapat bekerja bersama, kita akan bersama-sama mendapat keuntungan. Kami tidak akan kehilangan kekuatan, karena bagaimanapun juga pertempuran di Tanah Perdikan ini tentu akan menelan korban. Sementara Ki Gede pun tidak akan kehilangan Tanah Perdikan ini.”

“Kenapa aku akan kehilangan Tanah Perdikan ini?”

“Jika kami harus merebut tanah perdikan ini dengan kekuatan, maka kami tidak akan melepaskannya lagi meskipun kepada Ki Gede. Kami akan memiliki Tanah Perdikan ini dan memanfaatkan segala isinya, termasuk orang-orangnya.”

Jantung Ki Gede berdegup semakin cepat. Tetapi Ki Gede bukan seorang yang mudah hanyut dalam arus perasaannya. Karena itu, maka Ki Gede itu justru tersenyum.

Dengan nada berat Ki Gede itu pun berkata, “Ki Sanak. Kau ingin bekerja sama dengan Tanah Perdikan ini? Tetapi belum lagi terdapat kesepakatan, kau sudah mengancam. Apakah dengan demikian kita akan mendapatkan satu persetujuan?”

Sebelum orang itu menjawab, seorang yang lain yang bertubuh gemuk dan perutnya bagaikan menggelembung, menyahut, “Aku tidak telaten. Ki Saba Lintang, kenapa kau tidak langsung berterus terang saja? Katakan bahwa Ki Gede harus tunduk kepadamu. Jika kau terlalu baik hati, dengan sopan santun yang tinggi serta unggah-ungguh yang lengkap, maka tiga hari tiga malam kita belum selesai bicara.”

Ki Gede mengerutkan dahinya. Namun yang darahnya telah mendidih adalah Prastawa. Karena itu, maka ia pun menyahut, “Pergilah selagi masih mungkin. Jika isyarat perang sudah berbunyi, maka kalian akan terjebak di Tanah Perdikan ini, dan tidak mungkin untuk keluar lagi.”

Tetapi orang yang perutnya besar itu tertawa. Katanya, “Meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, mereka tidak akan dapat menahan kami.”

“Biarlah Ki Saba Lintang menjawab,” tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, “apakah benar kata orang yang perutnya buncit itu? Apakah benar bahwa meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, tidak akan dapat menangkapnya?”

Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Ia mengenal beberapa orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan itu, termasuk Glagah Putih itu sendiri. Karena itu untuk beberapa lamanya ia justru terdiam.

“Jawablah, Ki Saba Lintang,” desak Glagah Putih.

Tetapi Ki Saba Lintang itu pun mengeram. Katanya kemudian, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita hanya membuang-buang waktu saja. Agaknya otak Ki Gede sudah membeku, sehingga ia tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang baik.”

“Aku belum yakin,” berkata orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu, “agaknya Ki Gede belum sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan.”

Lalu katanya kepada Ki Gede, “Ki Gede. Ki Gede tentu tidak senang melihat Tanah Perdikan ini menjadi karang abang. Kehancuran, kematian dan bencana lain yang tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, pertimbangkanlah kemungkinan yang lain. Bekerja sama dengan kami.”

“Sudahlah. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.”

“Aku tahu, bahwa Ki Gede takut, atau katakan saja segan, kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi jangan cemas. Jika Ki Gede bersedia, biarlah kami yang mengurus Agung Sedayu itu.”

Ternyata bukan hanya Prastawa yang tidak dapat menahan diri. Glagah Putih pun kemudian berkata, “Apa yang dapat kau lakukan terhadap Ki Lurah Agung Sedayu?”

Orang yang berjanggut pendek yang sudah mulai memutih itu berkata, “Kau kira Ki Lurah Agung Sedayu tidak terkalahkan, sehingga seluruh dunia harus tunduk kepadanya?”

“Katakan, siapa yang akan mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu itu.”

“Untuk apa?”

“Jika yang dimaksud adalah kau sendiri, maka aku tantang kau sekarang bertempur dengan jujur. Tidak usah langsung berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” geram Glagah Putih yang menjadi semakin marah.

Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Kita tidak akan melayani gejolak perasaan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Kami datang untuk menawarkan satu bentuk kerja sama bagi Ki Gede. Tetapi Ki Gede tidak mampu melihat jauh ke depan.”

Tetapi Ki Gede itu pun berkata, “Pergilah selagi kau sempat, seperti yang dikatakan oleh pimpinan pengawal Tanah Perdikan ini. Jangan bermimpi bahwa aku akan menerima tawaran kerja sama itu, karena aku tahu bahwa yang kau tawarkan itu tidak lebih dari suatu muslihat yang licik.”

“Apa yang pernah Ki Gede lakukan, dan apa yang selalu bergetar di jantung Ki Gede, itulah yang Ki Gede bayangkan dilakukan oleh orang lain.”

“Cukup!” bentak Prastawa.

“Jangan menyesal,” berkata orang yang berjanggut pendek, “kirimkan petugas sandi kalian untuk melihat persiapan kami. Kami akan menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kemudian kami akan meloncati Kali Praga dan menghancurkan Mataram.”

Ki Gede tertawa pula. Katanya, “Mataram bukan sekelompok anak-anak yang bermain keraton-keratonan. Tetapi kau tahu bahwa Mataram memiliki pasukan yang kuat.”

“Omong kosong,” geram orang yang perutnya buncit, “jika Mataram mampu menguasai daerah di sebelah timur, karena Mataram mendapat bantuan dari Pati, Demak, Grobogan dan Pajang. Ketika Mataram mengalahkan Pati, Mataram mempengaruhi rakyat di sebelah utara Gunung Kendeng, yang dengan resmi sudah diserahkan kepada Pati. Meskipun Pati telah membantu Mataram menyusuri daerah timur, tetapi akhirnya Pati dihancurkan pula oleh Panembahan Senapati. Tanpa bantuan dari daerah-daerah itu, Mataram bukan apa-apa lagi.”

Glagah Putih-lah yang menyahut, “Khayalanmu ternyata menarik sekali, Ki Sanak. Tetapi sayang, bahwa kau berkhayal di hadapan orang-orang yang ikut mengalami sebagian besar dari peristiwa yang kau gubah di dalam khayalanmu menurut seleramu itu. Karena itu bagi kami, yang kau ceritakan itu tidak lebih dari sebuah khayalan yang menggelikan.”

“Anak setan!”

“Jangan hanya mengumpat. Jika kau menantangku, aku layani kau dengan jujur di hadapan saksi-saksi, termasuk Ki Saba Lintang dan kawan-kawanmu itu.”

Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Sudah aku katakan. Jangan terpancing oleh mulut anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Mereka memancing persoalan. Namun mereka tidak akan benar-benar jujur. Mereka dapat membuat cerita apa saja untuk memberikan kesan bahwa mereka berhak berbuat curang.”

“Tetapi kata-katanya membuat telingaku menjadi merah.”

“Kita tinggalkan tempat ini. Jika terjadi sesuatu, Ki Gede akan menyesal. Tetapi tentu bukan salah kita. Kita sudah menunjukkan niat baik kita dengan menawarkan kerja sama kepadanya. Jika ia menolak, itu salahnya sendiri.”

Orang yang perutnya buncit, yang berjanggut tipis keputih-putihan, dan orang-orang yang menyertai Ki Saba Lintang itu pun kemudian telah bangkit. Dengan nada berat Ki Saba Lintang pun berkata, “Kami minta diri, Ki Gede. Kami masih memberi kesempatan Ki Gede untuk berpikir selama tiga hari. Selama itu, Ki Gede aku persilakan untuk mengirimkan orang-orang Ki Gede untuk melihat persiapan kami. Mungkin penglihatan mereka akan dapat membantu Ki Gede untuk mengambil keputusan.”

“Aku sudah mendapat laporan tentang orang-orangmu yang sedang kau persiapkan untuk menyerang Tanah Perdikan ini.”

“Kami menempatkan orang-orang kami Ki Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga.”

“Aku sudah tahu,” jawab Ki Gede.

“Bagus. Tetapi Ki Gede tentu belum tahu kekuatan kami yang sesungguhnya. Jika Ki Gede menghendaki, kirimlah beberapa orang untuk melihat keadaan yang sesungguhnya. Asal mereka membawa kelebet putih, maka kami tidak akan mengganggu mereka.”

Ki Gede tertawa. Katanya, “Satu tawaran yang menarik, Ki Saba Lintang. Biarlah pada saatnya pasukan Tanah Perdikan datang untuk melihat kekuatan yang Ki Saba Lintang siapkan. Tetapi kami tidak akan membawa kelebet putih. Kami justru akan membawa pedang dan tombak serta perisai.”

Ki Saba Lintang menggertakkan giginya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Yang penting, ia sudah mencoba untuk menggetarkan ketahanan jiwani pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun di hadapannya para pemimpin itu tidak menunjukkan kecemasan dan bahkan seakan-akan menertawakannya, tetapi Ki Saba Lintang berharap bahwa Ki Gede akan merenungkannya kemudian. Bahkan kemudian benar-benar mengirimkan petugas sandinya untuk melihat persiapan pasukannya yang akan menyerang Tanah Perdikan. Ki Saba Lintang yakin, jika para petugas sandi Tanah Perdikan melihat pasukan yang disiapkan, maka Ki Gede akan berpikir dua kali untuk menolak kerja sama dengan Ki Saba Lintang.

Ketika kemudian Ki Saba Lintang dan kawan-kawannya meninggalkan padukuhan induk, maka sekelompok peronda telah mengawalnya. Pemimpin peronda itu berkata kepada Ki Saba Lintang, “Kami akan mengantar Ki Saba Lintang sampai ke perbatasan.”

“Terserah kalian,” jawab Ki Saba Lintang, “kami tidak memerlukan pengawalan.”

“Hanya untuk menjaga kesalah-pahaman,” berkata pemimpin kelompok pengawal itu.

“Kami tidak takut seandainya terjadi salah paham.”

“Kami percaya. Yang kami tidak percaya adalah, bahwa kalian tidak akan mempergunakan kesempatan ini untuk mengamati keadaan Tanah Perdikan.”

“Kami tidak ingkar,” jawab Ki Saba Lintang, “ternyata bahwa persiapan Tanah Perdikan ini sama sekali tidak memadai bagi sebuah pertahanan. Kalian harus tahu, bahwa jika Ki Gede dalam tiga hari ini tidak menyatakan kesediaannya untuk bekerja bersama, maka medan perang yang akan terjadi tidak hanya di sepanjang perbatasan. Tidak pula sekedar di depan Krendetan, Pucang Kerep dan sisi utara Tanah Perdikan. Tetapi di atas setiap jengkal Tanah Perdikan ini akan terjadi perang. Darah orang-orang Tanah Perdikan akan tertumpah. Di dalam perang yang sengit, kami tidak akan dapat membedakan lagi, pengawal Tanah Perdikan, laki-laki tua, perempuan dan kanak-kanak. Jika tanah di atas Tanah Perdikan kemudian ditutup oleh warna darah, itu bukan salah kami.”

“Alangkah dahsyatnya,” desis pemimpin pengawal itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi pertempuran yang sedahsyat apapun tidak akan menggetarkan kami. Perang di atas Tanah Perdikan ini bukan baru pertama kali ini terjadi.”

“Persetan!” geram Ki Saba Lintang. Namun ia tidak berbicara lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat diikuti oleh kawan-kawannya.

Sepeninggal Ki Saba Lintang, Ki Gede pun kemudian berbicara dengan orang-orang yang ada di pendapa. Ki Argajaya, Prastawa, Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga.

Dengan nada dalam, Ki Gede itu pun berkata, “Agaknya Ki Saba Lintang bersungguh-sungguh. Ia ingin menunjukkan bahwa pasukannya sangat kuat, sehingga yakin akan dapat merebut Tanah Perdikan ini. Bahkan ia ingin memamerkan kekuatannya, dengan memberi kesempatan kepada petugas sandi kita untuk melihat persiapannya di perkemahannya.”

“Satu gerakan yang nampaknya meyakinkan. Tetapi menurut pendapatku, Ki Saba Lintang hanya ingin mengguncang ketahanan jiwa kita.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar