Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 314

Buku 314

Demikian minuman itu lewat tenggorokan, maka ia pun menjadi sedikit tenang.

“Apa yang terjadi?” bertanya Empu Wisanata.

“Aku telah mereka tinggalkan.”

“Mereka siapa?”

“Kakang Saba Lintang dan beberapa orang kawannya yang berhasil melarikan diri.”

“Kenapa?”

Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian meneguk minumannya lagi sambil berdesah.

Ayahnya tidak mendesaknya. Ia tahu bahwa anaknya menjadi sangat gelisah dan tegang. Karena itu Empu Wisanata itu pun menunggu.

“Aku sengaja memisahkan diri,” berkata Nyi Dwani kemudian, “di saat kami melarikan diri, aku mengatakan kepada mereka bahwa aku tidak kuat melangkah lagi, meskipun hanya selangkah.”

Orang-orang di ruang dalam itu mendengarkan cerita Nyi Dwani dengan bersungguh-sungguh. Sementara itu Nyi Dwani berkata selanjutnya, “Telah terjadi pertengkaran di antara Ki Saba Lintang dan kawan-kawannya. Ki Saba Lintang ingin menunggu sampai aku dapat melanjutkan perjalanan. Tetapi kawan-kawannya kukuh untuk berjalan terus. Mereka cemas bahwa orang-orang Tanah Perdikan akan memburunya.”

Nyi Dwani menarik nafas panjang. Kemudian ia pun melanjutkan, “Ketika Ki Saba Lintang minta mereka berjalan terus sementara Ki Saba Lintang akan menungguku, kawan-kawannya tidak menyetujuinya, sehingga pertengkaran itu menjadi keras. Sementara itu aku pun menyarankan agar aku ditinggal saja di tempat itu. Aku akan mengurus diriku sendiri setelah kakiku dapat aku bawa berjalan lagi. Ki Saba Lintang memang merasa ragu untuk meninggalkan aku. Tetapi aku berusaha meyakinkan mereka, bahwa aku akan segera menyusul. Jika aku sendiri, maka aku akan dapat bersembunyi lebih baik daripada bersama beberapa orang lain. Bagaimanapun juga, Ki Saba Lintang tidak dapat menolak permintaan kawan-kawannya. Mereka menuduh Ki Saba Lintang lebih memberatkan seorang perempuan daripada gegayuhan mereka yang besar.”

“Jadi Saba Lintang itu akhirnya meninggalkan kau sendiri di tengah jalan?” bertanya Empu Wisanata.

“Aku-lah yang memintanya pergi. Jika ia membawa aku, itu hanya akan memperlambat perjalanan.”

“Jadi kemana kau harus menyusul mereka?”

“Ke Prambanan.”

“Jadi dalam keadaan letih itu kau harus berjalan ke Prambanan? Sendiri, dengan pakaian sebagaimana kau kenakan?”

“Aku mengatakan kepada mereka, bahwa aku akan dapat mencari seekor kuda di sepanjang jalan.”

“Merampok?”

Nyi Dwani termangu-mangu. Tetapi ia tidak menjawab.

“Ternyata kata-katanya, janji-janjinya dan semua yang pernah dikatakannya kepadamu, tidak seimbang dengan sikapnya itu.”

“Ayah, aku-lah yang menyuruhnya pergi. Aku memang tidak ingin mengikutinya. Karena itu, aku berpura-pura tidak dapat berjalan sama sekali.”

“Kenapa?” bertanya ayahnya

“Aku cemas bahwa rahasia kita akan terbongkar. Bahwa kita-lah yang telah membebaskan Rata Wulan dari bilik tahanannya. Dan bahwa kita-lah yang telah membawa Ki Lurah ke persembunyian Kakang Saba Lintang.”

“Kenapa hal itu kau cemaskan?”

“Dua orang yang diutus pergi ke padepokan Ki Ajar Trikaya tidak akan pernah kembali. Hal itu tentu akan menimbulkan kecurigaan. Beberapa kecurigaan, serta kemampuan Ki Saba Lintang mengurai peristiwa demi peristiwa, atau mungkin cerita dari mulut ke mulut yang dengan tidak sengaja disebarkan oleh para cantrik di padepokan Ki Ajar Trikaya, serta karena hal-hal yang tidak diketahui, akan dapat disimpulkan bahwa kita-lah yang bersalah. Dengan demikian maka kita akan dapat disebut pengkhianat. Karena itu, aku ingin terpisah dari mereka.”

“Jadi, kemudian kau memilih pergi kemari?”

“Ya. Demikian mereka pergi, maka aku pun langsung pergi ke mari. Tetapi aku harus menunggu gelap agar aku dapat menyusup padukuhan ini, sampai ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu tanpa diketahui orang.”

“Kenapa kau memilih pergi ke mari?” bertanya Empu Wisanata selanjutnya.

“Aku tahu Ayah masih berada di sini.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Empu Wisanata itu pun kemudian berkata kepada Agung Sedayu, “Ki Lurah. Anakku datang untuk menyerahkan diri. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Lurah.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Kami juga akan mempersilakan Nyi Dwani tinggal di sini bersama-sama dengan Empu Wisanata, Ki Wijil dan Nyi Wijil. Tentu saja kami tidak dapat menyediakan tempat serta segala kelengkapannya dengan baik.”

Nyi Dwani memandang Sekar Mirah dengan sorot mata keheranan. Katanya, “Apakah kami tidak dimasukkan ke dalam bilik yang rapat sebagai tawanan?”

“Kami menganggap para pengikut Ki Saba Lintang sebagai tawanan. Tetapi Empu Wisanata dan Nyi Dwani akan mendapat perlakuan yang lain,” sahut Sekar Mirah.

Mata Nyi Dwani menjadi basah pula. Sementara ia berkata dengan sendat, “Terima kasih, Nyi Lurah. Aku tidak tahu bagaimana aku dapat membalas budi Nyi Lurah, Ki Lurah dan sanak kandang Tanah Perdikan Menoreh ini.”

“Nyi Dwani,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kami ingin mengetahui, apakah Nyi Dwani sanggup mengantarkan kami ke Prambanan bersama sepasukan pengawal?”

Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Sementara Agung Sedayu berkata, “Kami ingin membuat penyelesaian tuntas dengan Ki Saba Lintang.”

“Bukankah Ki Lurah tidak berniat menghancurkan kelompok Kakang Saba Lintang, yang ingin membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati?”

“Katakan dengan jujur, Nyi. Apakah ada sekelompok kecil saja orang-orang yang memang berasal dari perguruan Kedung Jati yang murni?”

Nyi Dwani menggeleng. Sementara Agung Sedayu berkata, “Tentu Nyi Dwani tidak mengetahui, karena Nyi Dwani sendiri juga tidak berasal dari perguruan Kedung Jati. Tetapi baiklah Nyi. Hari ini kami masih akan berbicara untuk menentukan sikap,” berkata Agung Sedayu selanjutnya.

Nyi Dwani menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sementara Empu Wisanata-lah yang menyahut, “Kami mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Ki Lurah, Nyi Lurah dan sanak kandang di Tanah Perdikan Menoreh. Kami berharap agar Yang Maha Agung selalu membimbing kami berdua.”

Malam itu Agung Sedayu memang belum mengambil keputusan. Betapapun juga Nyi Dwani masih berharap Agung Sedayu berpegang pada janjinya untuk tidak menghancurkan Ki Saba Lintang dengan para pengikutnya.

Tetapi Agung Sedayu sudah menjelaskan, bahwa ia memang berjanji untuk tidak menghancurkan Ki Saba Lintang pada saat Agung Sedayu mengambil Rara Wulan.

“Kelanjutannya tergantung kepada perkembangan keadaan,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Nyi Dwani hanya dapat menundukkan kepalanya, sementara Empu Wisanata pun berkata, “Segala sesuatunya memang terserah kepada persoalan yang lebih besar, Ki Lurah.”

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab., “Terima kasih atas pengertian Empu Wisanata. Sebenarnyalah bahwa tingkah laku Ki Saba Lintang tidak hanya sekedar menyangkut tongkat baja putih istriku saja, tetapi ada persoalan yang lebih besar yang menyangkut sikap Ki Saba Lintang itu.”

Empu Wisanata pun mengangguk sambil berdesis, “Kami mengerti sepenuhnya Ki Lurah.”

Demikianlah, Agung Sedayu pun kemudian telah mempersilahkan tamunya untuk beristirahat. Nyi Dwani dipersilahkan tidur di dalam rumah. Sedangkan Nyi Wijil dan Ki Wijil dipersilahkan untuk beristirahat di dalam bilik di gandok sebelah kanan. Sedangkan Empu Wisanata di gandok sebelah kiri. Namun hampir semalaman Empu Wisanata tidak masuk ke dalam biliknya Tetapi bersama Ki Jayaraga keduanya duduk di atas lincak bambu di serambi, sambil berbincang-bincang tentang berbagai macam persoalan.

Sedangkan Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga dapat tidur di mana-mana. Namun sampai larut malam mereka masih berada di banjar. Mereka juga ikut berjaga-jaga. Jika ada isyarat dari padukuhan Klajor, mereka harus dengan cepat mengambil langkah.

Ketika fajar mulai membayang, semua orang yang berada di rumah Agung Sedayu sudah terbangun untuk melakukan kewajiban mereka masing-masing. Nyi Wijil, Nyi Dwani, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun kemudian telah sibuk di dapur. Mereka melakukan kerja sebagaimana kebanyakan perempuan. Rara Wulan sibuk mencuci mangkuk, periuk, dandang dan alat-alat dapur yang lain, sementara Sekar Mirah mencuci beras untuk ditanak. Nyi Wijil sibuk menjerang air untuk menanak nasi, sementara Nyi Dwani sibuk membuat minuman. Pada mereka sama sekali tidak nampak kegarangan mereka di pertempuran. Nyi Wijil yang dikenal sebagai Srigunting Kuning yang putih itu tidak mengenakan pakaian yang ditandai dengan ciri perguruannya. Ia mengenakan kain dan baju sebagaimana perempuan lain. Bahkan Nyi Wijil telah memakai kain dan baju milik Sekar Mirah, sementara Nyi Dwani telah meminjam pakaian Rara Wulan meskipun agak terlalu kecil. Di lambung mereka tidak tergantung senjata mereka sebagaimana mereka kenakan di medan.

Dalam pada itu. Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri untuk pergi ke baraknya setelah beberapa hari ditinggalkannya. Demikian matahari naik, maka Agung Sedayu minta diri kepada tamu-tamunya yang berada di rumahnya.

Tetapi kepada Sekar Mirah Agung Sedayu berbisik, “Aku akan ke Mataram. Jangan beri tahu siapapun juga. Aku akan membawa dua orang prajurit dari barak.”

“Bukankah Kakang tidak akan bermalam?” bertanya Sekar Mirah.

“Tidak. Aku ingin menemui Ki Patih hari ini untuk mendapat petunjuk-petunjuk, terutama tentang Ki Saba Lintang dan orang-orangnya yang berada di sebelah utara Prambanan itu. Aku tidak tahu, kenapa Ki Saba Lintang memilih tempat itu. Apakah ada hubungannya dengan keberadaan prajurit Mataram di Jati Anom. Bukankah Macan Kepatihan pernah gagal merebut Sangkal Putung, karena kekuatan pasukan Paman Widura dan Kakang Untara yang waktu itu masih berada di bawah kekuasaan Pajang? Meskipun kekuasaan sekarang berada di Mataram, tetapi masih ada jalur lurus antara Pajang dan Mataram meskipun samar-samar, yang bagi para murid dari perguruan yang pernah dipimpin oleh Ki Patih Mantahun dan Macan Kepatihan itu, hampir tidak ada bedanya. Bagi mereka, kekuasaan tertinggi Tanah ini harus berada di jalur keturunan Arya Penangsang.”

“Apakah ada orang yang dianggap berhak untuk memimpin Tanah ini sekarang, yang lahir dalam jalur keturunan Arya Penangsang itu?”

“Sampai sekarang aku belum tahu, Mirah.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.

“Semuanya baru dugaan, Mirah.”

Sekar Mirah mengangguk lagi.

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah memacu kudanya ke barak Pasukan Khusus yang dipimpinnya.

Agung Sedayu ternyata hanya singgah sebentar di barak. Ia pun kemudian membawa dua orang prajurit untuk menamaninya pergi ke Mataram. Agung Sedayu sengaja tidak mengajak Glagah Putih, agar Glagah Putih tetap bersama tamu-tamunya yang ada di rumahnya. Jika Glagah Putih diajaknya pergi, maka tamu-tamu Agung Sedayu itu tentu bertanya-tanya, kemana keduanya itu pergi. Terutama Nyi Dwani dan Empu Wisanata.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya telah memacu kuda mereka ke Mataram.

Ketika Agung Sedayu sampai di Kepatihan, ternyata Ki Patih sedang pergi. Seorang Lurah prajurit yang bertugas memimpin sekelompok petugas di Kepatihan mempersilahkan Agung Sedayu untuk menunggu.

“Biasanya tengah hari, Ki Patih pulang, Ki Lurah.”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menunggu sampai Ki Patih kembali.”

“Silahkan Ki Lurah Agung Sedayu duduk di serambi.”

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Terima kasih. Biarlah aku di sini saja.”

“Di sini tempat kami yang sedang bertugas.”

“Aku pun sedang bertugas.”

Lurah prajurit yang memimpin para petugas di Kepatihan itu tertawa. Katanya, “Baiklah, jika Ki Lurah memilih menunggu di sini bersama kedua pengawal Ki Lurah.”

Bertiga Agung Sedayu menunggu di tempat para prajurit bertugas. Ki Lurah yang memimpin para prajurit yang sedang bertugas di Kepatihan itu pun kemudian duduk menemuinya, berbincang tentang berbagai macam persoalan. Ki Lurah itu pun telah menanyakan pula keadaan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah yang sedang bertugas itu, tengah hari Ki Patih bersama dua orang pengawalnya memasuki pintu gerbang Kepatihan. Di halaman, seorang prajurit telah menerima kudanya demikian Ki Patih meloncat turun. Meskipun Ki Patih Mandaraka itu nampak semakin tua, tetapi ia tetap tangkas.

Ki Patih terkejut ketika ia melihat Agung Sedayu berada di antara para prajurit yang sedang bertugas, berdiri menghormati kedatangannya. Sambil melangkah mendekat Ki Patih itu menyapanya, “Kau Ki Lurah?”

“Ya. Ki Patih.”

“Sudah lama kau menunggu?”

“Belum, Ki Patih.”

Ki Patih tersenyum. Katanya, “Kapan pun kau datang, kau tentu akan menjawab, ‘Belum Ki Patih.’”

Agung Sedayu tersenyum sambil mengangguk hormat.

“Marilah, naiklah ke serambi samping.”

“Terima kasih Ki Patih,” sahut Agung Sedayu sambil mengangguk hormat pula.

Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu pun telah duduk di serambi menghadap Ki Patih Mandaraka. Dua orang prajurit yang bersamanya, menunggu di tempat para prajurit yang sedang bertugas di sebelah pendapa Kepatihan.

“Nampaknya kau membawa persoalan yang khusus Ki Lurah?” bertanya Ki Patih kemudian.

“Ya, Ki Patih,” jawab Ki Lurah.

“Tentang apa? Tentang pasukanmu?”

“Tidak, Ki Patih. Tetapi tentang perguruan Kedung Jati itu.”

“Oh. Kenapa?”

Agung Sedayu pun kemudian telah melaporkan apa yang telah dilakukannya. Sejak hilangnya Rara Wulan sampai berhasil ditemukannya kembali. Juga tentang padepokan Ki Ajar Trikaya, serta tempat Ki Saba Lintang membuat barak tersembunyi di Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga akhirnya Ki Saba Lintang dan beberapa orang pengikutnya berhasil melarikan diri dari barak itu.

Ki Patih mendengarkan laporan Agung Sedayu itu dengan sungguh-sungguh. Demikian Agung Sedayu selesai, Ki Patih itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Syukurlah, bahwa gadis itu telah dapat ditemukan kembali dengan selamat.”

“Atas restu Ki Patih.”

“Jadi Ki Wijil sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh bersama istrinya?”

“Ya Ki Patih. Ternyata Ki Wijil telah memberikan banyak sekali bantuan. Anak laki-lakinya juga ikut ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Oh,” Ki Patih mengangguk-angguk pula, “jadi mereka sekeluarga berada di Tanah Perdikan sekarang.”

“Ya. Ki Patih.”

“Kenapa mereka tidak kau ajak kemari?”

“Aku tidak mengatakan kepada siapapun bahwa aku hari ini menghadap Ki Patih.”

Ki Patih tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi sebelum Ki Wijil pulang, sebaiknya ajaklah singgah kemari. Syukur bersama dengan istri dan anaknya.”

“Ya, Ki Patih.”

“Nah, sekarang apa rencanamu mengenai orang-orang yang ingin menyusun kembali perguruan yang telah pecah itu?”

“Mereka bukan murid-murid Kedung Jati yang sebenarnya. Tetapi agaknya Ki Saba Lintang telah berhasil menyeret mereka untuk memperkuat barisannya.”

“Agung Sedayu. Bagaimanakah menurut pendapatmu? Apakah Ki Saba Lintang itu benar-benar orang yang memegang pimpinan tertinggi dari kelompok yang ingin membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak yakin, Ki Patih. Aku condong menduga bahwa masih ada orang lain yang lebih tinggi pengaruhnya dari Ki Saba Lintang.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Ki Lurah. Tentu masih ada orang yang lebih berpengaruh dari Ki Saba Lintang. Bahkan mungkin Ki Saba Lintang adalah sekedar anak-anakan yang digerakkan oleh orang itu, meskipun Ki Saba Lintang yang memegang tongkat kepemimpinan perguruan Kedung Jati. Karena menurut pendapatku, tongkat itu bukan apa-apa, yang menentukan adalah orang yang memegang tongkat itu. Apakah ia benar-benar dapat bertindak sebagai pemimpin atau tidak.”

“Ya, Ki Patih,” Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Jika demikian, maka yang penting bagi kita adalah orang yang berdiri di belakang Ki Saba Lintang itu.”

“Ya, Ki Patih. Nampaknya ada orang-orang berilmu sangat tinggi yang bersembunyi di belakang Ki Saba Lintang. Di ujung Kali Geduwang, kami sudah menjumpai beberapa orang berilmu tinggi itu. Mereka menguasai Ki Ajar Trikaya, sehingga Ki Ajar sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.”

“Mungkin di Prambanan ada juga orang berilmu tinggi. Mungkin di kaki Gunung Kendeng, mungkin di sekitar Jipang, tetapi mungkin berada di Pati.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula, sementara Ki Patih pun berkata, “Nah, jika kita sependapat, apa sebaiknya yang kita lakukan, Ki Lurah?”

“Apapun perintah Ki Patih, akan kami jalankan.”

“Seandainya kau diberi wewenang untuk menentukan, apakah kau akan mengepung sarang Ki Saba Lintang di Prambanan?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggeleng. Katanya, “Tidak, Ki Patih.”

“Jadi?”

“Kita menunggu kesempatan untuk menemukan orang yang berdiri di belakang Ki Saba Lintang. Jika kita kepung sarang Ki Saba Lintang di Prambanan, mungkin kita akan dapat menumpas Ki Saba Lintang dan pengikutnya di Prambanan, tetapi orang yang justru menggerakkan Ki Saba Lintang itu masih belum kita ketahui.”

“Jika tongkat baja putih itu dapat kita rebut, apakah kira-kira gerakan mereka yang akan membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati itu akan mengendur?”

“Murid-murid perguruan Kedung Jati yang sebenarnya agaknya hanya kecil saja. Terlalu kecil dibanding dengan kekuatan gerakan itu dalam keseluruhan. Tanpa Ki Saba Lintang yang memiliki tongkat baja putih itu, maka tentu akan timbul gerakan yang lain dengan nama lain, yang justru sama sekali tidak kita kenal. Padahal dengan gerakan yang nampaknya dipimpin oleh Ki Saba Lintang, kita sudah memiliki jalur yang dapat kita pakai untuk menelusuri gerakan-gerakan mereka, meskipun masih cukup berbelit.”

“Aku sependapat Ki Lurah. Nah, jika demikian Ki Lurah masih belum akan pergi ke Prambanan untuk menangkap atau menghancurkan Ki Saba Lintang dengan para pengikutnya?”

“Belum Ki Patih. Kami masih akan menunggu perkembangan selanjutnya. Sementara itu, Empu Wisanata dan Nyi Dwani masih berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi Ki Lurah, bagaimana jika terjadi sebaliknya? Ki Saba Lintang mengerahkan segenap kekuatan yang ada padanya, para pengikutnya dan kawan-kawannya yang tersebar itu, untuk menyerang Tanah Perdikan Menoreh.”

“Memang mungkin sekali hal itu terjadi, Ki Patih. Tetapi kami di Tanah Perdikan sudah bersiap untuk menghadapinya. Bahkan para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan, jika diperkenankan, akan dapat membantu.”

Ki Patih tersenyum. Katanya, “Kau tidak akan dianggap bersalah jika kau pergunakan kekuatan Pasukan Khusus itu. Bukankah termasuk tugas Pasukan Khusus itu menenteramkan keadaan? Untuk melindungi Mataram dalam arti keseluruhan, bukan hanya Kotaraja ini saja.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Patih Mandaraka pun berkata, “Ki Lurah, bukan hanya Tanah Perdikan, tetapi kita semuanya memang harus berhati-hati, jika orang yang berdiri di belakang Ki Saba lintang itu justru berasal dari Pati.”

“Dari Pati?”

“Bukankah Kanjeng Adipati Pati tidak tertangkap saat pasukan Mataram memasuki Kadipaten Pati?”

“Jadi maksud Ki Patih, Kanjeng Adipati Pragola yang berdiri di belakang gerakan ini?”

“Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Ki Patih, bukankah ayahanda Kanjeng Adipati Pragola adalah justru salah seorang yang telah dianggap membunuh Arya Penangsang?”

“Ya.”

“Sedangkan perguruan Kedung Jati adalah pendukung utama dari niat Arya Penangsang untuk merebut tahta Demak pada waktu itu. Bahkan di antara mereka terdapat Ki Patih Mantahun, Macan Kepatihan, dan tentu beberapa orang pimpinan pemerintahan Jipang yang lain. Apakah mungkin dua kekuatan yang berlawanan itu akan bersatu?”

“Aku juga tidak mempunyai dugaan bahwa Kanjeng Adipati Pragola sendiri yang terlibat. Kanjeng Adipati adalah seorang kesatria sejati. Ia tidak akan mempergunakan cara yang tidak terhormat ini. Tetapi beberapa orang pemimpin Pati yang kecewa akan dapat memanfaatkan kekecewaan orang lain. Atau karena ada dua kubu yang sama-sama kecewa, mereka akan dapat bekerja sama.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti sepenuhnya keterangan Ki Patih Mandaraka. Sementara itu Ki Patih pun berkata selanjutnya, “Apalagi para pengikut Arya Penangsang itu pun tahu pasti, bahwa yang menyebabkan kematian langsung Arya Penangsang itu adalah Raden Sutawijaya. Raden Sutawijaya-lah yang telah menghujamkan tombak Kanjeng Kiai Pleret ke lambungnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun Agung Sedayu pun telah mendengar apa yang terjadi di pinggir bengawan itu. Ki Patih Mandaraka yang pada waktu itu masih bernama Ki Juru Martani itulah yang mengatur segala-galanya. Ki Juru Martani pula-lah yang kemudian mengatur laporan ke Pajang, bahwa Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi-lah yang telah berhasil membunuh Arya Penangsang sebagaimana mereka sanggupkan, meskipun mereka telah meminjam tangan Raden Sutawijaya. Dan bahwa dengan kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi pada Raden Sutawijaya, putra Ki Gede Pemanahan itu, dengan membiarkan Arya Penangsang menangkap Raden Sutawijaya dan berusaha membunuhnya. Tetapi justru keris sakti Arya Penangsang telah memotong ususnya sendiri yang disangkutkan di wrangka kerisnya, setelah lambungnya tertusuk tombak Kiai Pleret yang berada di tangan Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, dan yang kemudian bergelar Panembahan Senapati di Mataram.

Agung Sedayu dapat membayangkan betapa tegangnya saat-saat terakhir pertempuran antara Pajang dan Jipang, menjelang saat gugurnya Arya Penangsang.

Namun setelah terjadi benturan kekuatan antara Mataram dan Pati, antara anak Pemanahan dan anak Penjawi, maka tidak mustahil bahwa ada orang-orang Pati yang kecewa karena kehilangan kedudukan mereka di bawah kepemimpinan Kanjeng Adipati Pragola, bekerja bersama para pengikut Jipang yang setia, untuk bersama-sama menentang Mataram.

Tetapi bagaimanapun juga Agung Sedayu yakin bahwa Kanjeng Adipati Pragola sendiri tidak akan menempuh jalan seperti itu. Apalagi menghimpun kekuatan yang terdiri dari berbagai macam gerombolan, yang di antaranya adalah gerombolan orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan watak dan kelakuannya.

Tetapi jika benar ada hubungan antara beberapa orang pemimpin Pati yang tersingkir dengan para pendukung perguruan Kedung Jati, serta kekuatan lain yang dihimpun, maka gerombolan itu akan menjadi kekuatan yang besar.

Ketika hal itu dikemukakan oleh Agung Sedayu kepada Ki Patih, maka Ki Patih itu pun kemudian berkata, “Karena itu, kau harus berhati-hati Ki Lurah. Tanah Perdikan Menoreh harus berhati-hati pula.”

Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Ya Ki Patih. Kami akan melakukannya.”

“Tetapi ingat Ki Lurah. Tongkat baja putih Nyi Lurah, bahkan Tanah Perdikan Menoreh, itu sama sekali bukan tujuan akhir mereka. Jika benar mereka akan menyerang dan menduduki Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan itu tentu hanya akan mereka jadikan landasan bergerak ke Mataram, serta akan mereka jadikan lumbung untuk mendukung perang yang mungkin akan berkepanjangan melawan Mataram. Tanah Perdikan Menoreh akan dapat menjadi pagar bagi mereka. Mereka dapat bergerak ke barat lebih dahulu untuk menghimpun kekuatan yang lebih besar, sebelum mereka bergerak ke timur.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Ki Patih. Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Tanah Perdikan Menoreh akan dapat menjadi landasan yang baik, justru karena disekat oleh Kali Praga.”

“Baiklah, Ki Lurah. Seandainya hal itu terjadi, maka Mataram tidak akan tinggal diam, atau bahkan menjadi penonton atas pertunjukan berdarah yang terjadi di Tanah Perdikan. Selain pasukan khususmu itu, Mataram akan mempersiapkan prajurit yang dapat bergerak dengan cepat jika diperlukan.”

“Terima kasih Ki Patih. Kami akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Buatlah pengawasan yang lebih rapat di perbatasan. Jika mereka akan pergi ke Tanah Perdikan, mereka tentu akan memperhitungkan Kali Praga.”

“Ya, Ki Patih.”

“Sementara itu, Mataram akan mengirimkan petugas sandinya ke Prambanan, ke seberang Gunung Kendang, ke Jipang dan Pati.”

“Kami akan selalu mohon perintah-perintah dari Mataram atas dasar laporan para petugas sandi. Sementara itu kami akan selalu memberikan laporan apa saja yang kami ketahui tentang Ki Saba Lintang, para pengikutnya, serta kemungkinan-kemungkinan lain di belakang mereka.”

“Baiklah, Ki Lurah. Hal ini akan aku laporkan kepada Panembahan Senapati.”

“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian Ki Patih terhadap Tanah Perdikan Menoreh, khususnya terhadap keluarga kami, yang kebetulan memiliki salah satu tongkat baja putih itu.”

“Kita mempunyai kewajiban yang sama terhadap Mataram, Agung Sedayu. Mungkin caranya saja-lah yang berbeda.”

Agung Sedayu mengangguk hormat sambil berdesis, “Ya, Ki Patih.”

Dalam pada itu, Ki Patih pun kemudian berkata, “Nah, apakah masih ada persoalan-persoalan lain yang penting kita bicarakan, Ki Lurah?”

“Aku kira untuk sementara sudah cukup, Ki Patih. Kami akan segera minta diri.”

“Berhati-hatilah di jalan, Ki Lurah.”

“Terima kasih, Ki Patih. Kami akan berhati-hati.”

Demikianlah, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah minta diri.

Bersama kedua orang pengawalnya, ia akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun kemudian ternyata ia harus tertahan lagi di serambi, ketika seorang pelayan Kepatihan mempersilahkan Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya untuk minum dan makan makanan yang telah disediakan.

“Jangan menolak rejeki,” desis Lurah prajurit yang bertugas, “marilah aku kawani kalian menikmati hidangan itu.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Hanya orang-orang bodoh yang menolak rejeki.”

Lurah prajurit yang bertugas itu tertawa. Katanya, “Ya. Kalau tidak bodoh, tentu sombong.”

Agung Sedayu dan para pengawalnya pun tertawa. Seorang dari pengawalnya itu berkata, “Aku adalah salah seorang prajurit yang tidak bodoh dan tidak sombong.”

Demikianlah untuk, beberapa saat Agung Sedayu dan kedua pengawalnya masih duduk menikmati hidangan. Namun beberapa saat kemudian maka Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya pun telah meninggalkan Kepatihan, berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika senja turun, Agung Sedayu baru pulang ke rumahnya. Sekar Mirah yang kemudian menyambutnya bertanya perlahan, “Kau jadi pergi ke Mataram, Kakang?”

“Ya. Itulah sebabnya, aku baru pulang setelah senja.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Pada saat yang tepat suaminya tentu akan menceritakan hasil pertemuannya dengan Ki Patih Mandaraka di Mataram.

Beberapa saat kemudian, setelah Agung Sedayu mandi dan berbenah diri, Agung Sedayu dan semua orang yang berada di rumahnya duduk melingkar di ruang tengah. Sekar Mirah, Rara Wulan, Nyi Dwani dan Nyi Wijil sibuk mempersiapkan minuman hangat dan makan malam bagi seisi rumah itu.

Beberapa saat kemudian, seisi rumah itu pun menjadi sibuk dengan makan malam mereka.

“Seadanya,” berkata Sekar Mirah sambil menggeser lauknya. Sementara sambil makan, mereka telah berbincang tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Empu Wisanata dan Ki Wijil memuji kemajuan yang nampak pada Tanah Perdikan itu. Kehidupan yang cukup sejahtera lahir dan batin. Bahkan kehidupan yang sejahtera itu agaknya cukup merata. Padukuhan-padukuhan kecil yang terpencil pun nampaknya telah disentuh pula oleh pembinaan yang baik.

“Kami belum sempat melihat padukuhan-padukuhan terpencil. Tetapi nampaknya kesejahteraan mereka tidak jauh tertinggal dari padukuhan-padukuhan yang lebih besar, dan bahkan padukuhan induk ini sekali pun,” berkata Ki Wijil.

“Ki Gede memang berusaha dengan sungguh-sungguh, Ki Wijil,” sahut Agung Sedayu.

“Ya. Menurut Ki Jayaraga, para bebahu pun telah bekerja keras. Demikian pula para bebahu padukuhan-padukuhan itu sendiri. Tentu saja disangga oleh kerja keras seluruh rakyatnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Sudah tentu, Ki Wijil. Tanpa kerja keras dari seluruh rakyatnya, maka segala-galanya akan sulit untuk dicapai.”

“Ya. Kerja keras seluruh rakyatnya dan sikap kepemimpinan yang baik.”

Agung Sedayu tertawa. Sementara Ki Jayaraga-lah yang menyahut, “Kerja keras rakyatnya akan sia-sia jika para pemimpinnya justru mencari keuntungan dari kerja keras itu.”

“Tentu,” sahut Agung Sedayu, “beruntunglah kami bahwa hal seperti itu tidak terjadi di Tanah Perdikan ini.”

Demikianlah, pembicaraan itu pun menjadi berkepanjangan. Namun pada umumnya, mereka memuji keberhasilan Tanah Perdikan Menoreh membina rakyat dan lingkungannya.

Namun pembicaraan mereka terhenti setelah mereka selesai makan malam. Sekar Mirah, Rara Wulan, Nyi Dwani dan Nyi Wijil memang sibuk menyingkirkan mangkuk-mangkuk yang kotor dan kemudian mencucinya di dapur. Tetapi Agung Sedayu dan seisi rumahnya yang lain, justru mengarahkan pembicaraan mereka pada persoalan yang lebih hangat. Perguruan Kedung Jati.

“Aku masih akan memikirkan lebih matang lagi, apakah aku akan pergi ke Prambanan atau tidak,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Apakah yang menghambat Ki Lurah?” bertanya Sabungsari, “Apakah janji Ki Lurah untuk tidak menghancurkan kekuatan Ki Saba Lintang itu?”

“Kita belum tahu pasti, siapakah yang berada di Prambanan. Apakah mereka masih ada di sana, atau mereka, terutama para pemimpinnya, justru sudah pergi. Kita juga tidak ingin terjebak dalam pertempuran melawan kekuatan yang sangat besar dan di luar perhitungan kita.”

Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Di luar sadarnya ia memandang Empu Wisanata. Tetapi hanya sekilas.

Empu Wisanata sendiri hanya menundukkan kepalanya.. Jantungnya terasa berdebaran. Sebagai salah seorang yang terlibat langsung dengan kegiatan Ki Saba Lintang, Empu Wisanata tentu tahu serba sedikit tentang isi barak Ki Saba Lintang yang berada di sebelah utara Prambanan. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak tahu pasti, seberapa besar kekuatan yang ada di sana di saat terakhir. Jika ia salah memberikan keterangan, maka ia akan dapat dituduh dengan sengaja menjerumuskan Ki Lurah Agung Sedayu.

Sementara itu Empu Wisanata memang lebih baik berdiam diri. Jika ada kesempatan ia ingin berbicara sendiri dengan Ki Lurah Agung Sedayu. Apalagi untuk sementara Ki Lurah Agung Sedayu tentu tidak akan tergesa-gesa mengambil sikap, justru karena Rara Wulan sudah berhasil dibebaskannya. Persoalan selanjutnya akan menyangkut tongkat baja putih Nyi Lurah itu. Tetapi Nyi Dwani yang akan diserahi tongkat baja putih itu, justru telah berada di rumah Nyi Lurah itu sendiri.

Ketika di gardu terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Baiklah. Bukankah kita perlu beristirahat malam ini? Besok kita akan dapat berbincang lebih panjang.”

Demikianlah, sedikit lewat tengah malam, rumah Agung Sedayu sudah menjadi sepi. Orang-orang yang berada di rumah itu telah berada di bilik mereka masing-masing. Sementara itu, Ki Jayaraga telah memberitahukan kepada Agung Sedayu bahwa ia akan pergi ke sawah.

“Kita mendapat giliran mengairi sawah di dini hari,” berkata Ki Jayaraga

“Apakah Ki Jayaraga tidak akan beristirahat?” bertanya Agung Sedaya

“Nanti saja setelah mengairi sawah. Kasihan tanaman itu. Jika sekarang tanaman itu tidak diairi, maka tanaman itu akan kehausan. Belum tentu besok kita mendapatkan air, yang agaknya mulai menyusut. Hujan sudah agak lama tidak turun.”

Agung Sedayu memang tidak pernah dapat mencegah jika Ki Jayaraga berniat pergi ke sawah, kecuali ada satu hal yang sangat penting.

Ketika Ki Jayaraga berangkat ke sawah memanggul cangkul, ternyata Empu Wisanata mengikutinya sambil berdesis, “Aku juga akan pergi, Ki Jayaraga. Aku sebenarnya ingin juga mendapat kesempatan mengairi sawah seperti Ki Jayaraga Di kesempatan yang lain membajak dan bertanam padi. Aku juga merindukan kehidupan yang wajar sebagaimana kebanyakan orang. Tetapi Dwani telah menyeretku ke dalam dunia petualangan yang menjemukan.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Nyi Dwani sudah lebih dari dewasa, Empu. Apakah Empu masih belum tega untuk melepasnya sendiri mengarungi dunia yang dipilihnya? Apalagi ia berada di samping seorang Ki Saba Lintang, yang agaknya berniat untuk dapat hidup bersama kelak.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu mereka sudah berada di luar padukuhan induk. Dingin malam terasa menyusup sampai ke tulang. Sementara itu titik-titik embun bergayut di dedaunan. Satu-satu menitik di atas rerumputan.

“Di malam-malam bediding seperti ini, malam terasa dingin,” berkata Ki Jayaraga.

“Langit nampak selalu bersih. Jika awan menyelimuti wajah bumi., maka malam menjadi agak hangat”

“Tetapi jika awan itu kemudian runtuh menjadi hujan, maka bumi pun akan menjadi kedinginan juga.”

Empu Wisanata tertawa. Katanya, “Kemauan kita kadang-kadang memang sulit diikuti. Panas, dingin, hujan dan terik matahari.”

Ki Jayaraga pun tertawa pula. Namun kemudian katanya, “Air di parit itu biasanya sampai ke bibir tanggul. Di musim kering seperti ini, airnya mulai turun.”

“Tetapi bukankah berapa hari yang lalu, hujan lebat turun seperti dicurahkan dari langit, meskipun hanya sebentar?”

“Mungkin di ujung Kali Geduwang. Di sini hujan kiriman itu juga turun. Bahkan dua hari berturut-turut. Tetapi tidak terlalu banyak. Meskipun demikian, padang rumput tempat anak-anak menggembala itu sudah menjadi basah. Rerumputan yang kering nampak hijau, setidak-tidaknya menunda kekeringan yang lebih parah lagi. Sesudah itu, hujan kiriman masih belum turun lagi akhir-akhir ini.”

Empu Wisanata mengangguk-angguk. Tetapi untuk beberapa saat Empu Wisanata itu terdiam. Jarang sekali ia sempat berjalan-jalan tanpa diburu oleh persoalan-persoalan yang mendesak. Di bulak persawahan seperti malam itu. Meskipun Empu Wisanata belum terlepas dari persoalan yang rumit, tetapi malam itu rasa-rasanya ia sempat meletakkannya barang sesaat. Empu Wisanata dapat merasakan betapa damainya kehidupan wajar di antara para petani. Kedamaian yang bukan berarti kediaman. Para petani pun bekerja keras setiap hari di sawah. Berjemur di terik matahari dan berendam di dalam lumpur. Tetapi mereka tidak diburu oleh kegelisahan karena permusuhan, kebencian, kecurigaan dan sejenisnya, di antara sesama.

Satu kerinduan telah menusuk jantung Empu Wisanata, yang sudah untuk waktu yang lama tersuruk ke dalam kehidupan yang muram. Petualangan yang keras dan seakan-akan tidak akan ada ujungnya

Malam itu Empu Wisanata menikmati satu kehidupan yang sangat berbeda dari kehidupan yang selama ini dijalaninya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Empu Wisanata berbaring di gubuk yang didirikan dekat tanggul parit yang mengalir. Meskipun sudah sedikit menyusut, tetapi gemericik alirannya terdengar bagaikan irama yang lembut mengusap selaput telinganya, ditingkahi derik jangkrik dan belalang yang seakan-akan saling bersahutan.

Ki Jayaraga tidak membangunkannya ketika Empu Wisanata tertidur di gubuk itu. Begitu nyenyaknya, sehingga Empu Wisanata itu baru terbangun menjelang fajar menyingsing.

Ketika Empu Wisanata itu kemudian duduk di bibir gubuk itu, Ki Jayaraga pun melangkah mendekatinya menyusur di sepanjang tanggul.

“Maaf, Ki Jayaraga. Aku tertidur.”

“Oh,” Ki Jayaraga tertawa pendek, “aku juga baru selesai.”

“Ki Jayaraga tidak tidur sama sekali.”

“Aku menunggui air,” jawab Ki Jayaraga, “mungkin sekali ada orang yang tidak tahu bahwa kami sangat membutuhkan air, sehingga membuka pematangnya. Meskipun kemungkinan itu kecil sekali, karena kami para petani tahu siapakah yang malam ini mendapat giliran setelah lewat tengah malam. Setidak-tidaknya kami para petani tahu kapan kami masing-masing mendapat giliran.”

“Apakah ada juga yang sering nakal dan membuka air bukan saatnya ia mendapat giliran?”

“Kami sudah sepakat, bahwa kami akan menaati kesepakatan kami.”

Empu Wisanata tersenyum. Katanya, “Menyenangkan sekali. Tatanan kehidupan yang serasi seperti tatanan kehidupan di Tanah Perdikan ini.”

“Tetapi bukan berarti bahwa di sini tidak pernah terjadi perselisihan.”

“Aku mengerti, Ki Jayaraga. Tetapi secara umum kehidupan di tanah perdikan ini telah tertata dengan baik.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ki Jayaraga itu justru sempat membayangkan masa-masa lalunya. Petualangan dan pengembaraan yang serasa tidak akan berhenti. Namun Ki Jayaraga sempat melepaskan diri dari kehidupan yang kemudian terasa menjemukan, untuk kemudian hidup di Tanah Perdikan Menoreh yang memberikan ketenangan. Meskipun sekali-sekali Ki Jayaraga masih juga harus memasuki dunia olah kanuragan yang keras, tetapi dengan mengemban kewajiban yang berarti bagi sesamanya.

Dan kini Empu Wisanata juga mengalami sebagaimana pernah dialaminya. Satu keinginan untuk meloncat dari satu pijakan kehidupan ke pijakan yang lain.

Namun sebelum fajar menyingsing, Ki Jayaraga telah menutup pematang sawah yang dibukanya. Air sudah cukup menggenangi sawah sampai ke kotak yang paling ujung.

“Marilah kita pulang,” ajak Ki Jayaraga.

Empu Wisanata mengangguk sambil melangkah, “Marilah.”

Keduanya pun kemudian berjalan di bulak persawahan menuju ke padukuhan induk. Di timur langit sudah mulai dibayangi oleh warna merah. Namun gelap masih menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh.

Di rumah, Sekar Mirah sudah sibuk di dapur. Rara Wulan, Nyi Wijil dan Nyi Dwani pun telah ikut sibuk pula. Mereka harus menyiapkan minum buat banyak orang. Kemudian menyiapkan makan pagi.

Senggot timba pun telah berderit. Sabungsari sibuk mengisi jambangan di pakiwan. Sementara itu, Glagah Putih sibuk menyapu halaman. Ia masih mempunyai kebiasaan menyapu halaman sambil mundur, sehingga di halaman itu tidak terdapat bekas kaki. Yang nampak adalah garis-garis bekas sapu lidi dari dinding sampai ke dinding.

Sukra yang menyapu halaman samping juga menirukannya. Baginya Glagah Putih adalah gurunya. Guru yang sering membuatnya jengkel dan kesal karena Glagah Putih banyak meninggalkannya, sehingga Sukra setiap kali harus berlatih sendiri tanpa ditunggui oleh gurunya itu.

Sayoga yang melihat cara Glagah Putih menyapu halaman tersenyum sambil berdesis, “Luar biasa. Rasa-rasa sayang sekali menginjakkan kaki di halaman yang baru saja kau sapu. Sama sekali tidak ada jejak kaki selain jejak sapu lidi.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Hanya satu kebiasaan.”

“Kebiasaan yang luar biasa. Kelak, aku juga akan melakukannya di rumah.”

Glagah Putih tertawa.

Sementara itu, di sela-sela kesibukannya di dapur, Sekar Mirah yang duduk di depan perapian sempat mengingat pembicaraannya semalam di biliknya. Pembicaraan yang hanya didengar oleh Sekar Mirah dan Agung Sedayu itu sendiri.

“Kau harus tetap berhati-hati terhadap Nyi Dwani, Mirah,” berkata suaminya, “mungkin ia datang kemari bukan atas kehendaknya sendiri. Ia sudah mengatur segala-galanya dengan Ki Saba Lintang. Bukankah di sini ia mempunyai kesempatan lebih besar untuk mendapatkan tongkat baja putihmu?”

Sekar Mirah itu sempat bertanya, “Apakah Kakang juga mencurigai Empu Wisanata?”

“Sayang, bahwa dalam keadaan seperti ini, kita harus tetap berhati-hati. Kita terpaksa mencurigainya.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa suaminya bukan seorang pendengki sehingga ia selalu mencurigai orang lain. Tetapi dalam keadaan yang gawat itu, Agung Sedayu memang tidak dapat berbuat lain, kecuali sangat berhati-hati.

Sekar Mirah itu menyurukkan kayu bakar di perapian semakin dalam. Apinya pun menjilat periuk di atasnya, sehingga air pun mulai mendidih. Sementara itu Nyi Dwani pun telah menyiapkan mangkuk-mangkuk yang sebagian baru saja dicuci oleh Rara Wulan.

Ketika matahari kemudian terbit, maka para penghuni rumah itu bersama-sama tamu mereka telah duduk di pringgitan, menikmati hangatnya wedang jahe dengan gula kelapa. Beberapa saat kemudian, makan pagi pun telah bersiap.

Setelah makan pagi, Agung Sedayu pun meninggalkan rumahnya, pergi ke barak prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpinnya.

Sekar Mirah mengantar Agung Sedayu sampai ke regol halaman. Sebelum meninggalkan istrinya, sekali lagi Agung Sedayu berpesan, “Hati-hati dengan tongkatmu, Mirah. Mungkin hatiku-lah yang kelabu, karena aku mencurigai seseorang. Tetapi apa salahnya kau berhati-hati.”

“Aku telah menyimpan dengan baik, Kakang.”

“Demikian tersembunyinya kau menyimpan tongkatmu, sehingga justru kau sendiri sulit untuk menemukannya.”

“Ah. Bukankah aku belum pikun?” jawab Sekar Mirah sambil tertawa.

Agung Sedayu pun tertawa pula. Katanya, “Ya. Kita memang, belum pikun. Tetapi kita sudah mulai menjadi pelupa.”

“Jangan takut. Dalam waktu sekejap, aku dapat menggenggam tongkatku itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun meloncat ke punggung kudanya sambil berkata, “Bicaralah dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih.”

Sejenak kemudian, kuda Agung Sedayu itu pun sudah berderap menyusur jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Namun kuda itu pun kemudian telah berlari menyusuri bulak panjang. Melewati beberapa padukuhan dan menyusuri jalan di lereng perbukitan, menuju ke barak.

Agung Sedayu benar-benar berhati-hati terhadap orang-orang yang menyatakan diri ingin membangun kembali perguruan Kedung Jati, sedangkan justru mereka sebagian besar bukan orang-orang perguruan Kedung Jati itu sendiri. Mereka memanfaatkan dendam yang masih tersimpan di jantung para pengikut Macan Kepatihan, bergabung dengan ketamakan beberapa orang yang ingin mendapat keuntungan bagi diri mereka masing-masing.

Namun sebuah pertanyaan telah timbul pula di dalam hatinya, “Apakah benar ada sekelompok orang yang berpengaruh di Pati namun yang telah tersingkir setelah Pati bedah, bergabung pula dengan orang-orang yang menyatakan dirinya ingin membangun perguruan Kedung Jati itu lagi?”

Jantung Agung Sedayu pun dibebani pula oleh satu kemungkinan bahwa orang-orang yang sedang menyusun kekuatan itu telah mengintip Tanah Perdikan Menoreh, yang akan dapat mereka pergunakan sebagai landasan untuk bergerak ke Mataram.

Karena itu, ketika Agung Sedayu berada di baraknya, maka Agung Sedayu telah memanggil beberapa orang pembantunya yang terdekat untuk berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan itu.

“Persoalannya tidak terbatas pada Tanah Perdikan saja,” berkata Agung Sedayu kepada mereka, “Tanah Perdikan ini hanya akan menjadi sasaran untuk membangun landasan bagi gerakan mereka selanjutnya menuju ke sasaran utamanya, yaitu Mataram.”

Para pembantunya itu mendengarkan penjelasan Agung Sedayu itu dengan seksama. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata selanjutnya, “Karena itulah, maka kita akan langsung ikut campur. Kita akan menunjuk beberapa orang tepercaya untuk melakukan pengawasan khusus atas Tanah Perdikan ini. Sementara itu, Tanah Perdikan sendiri juga akan meningkatkan kesiagaan mereka. Kita harus melibatkan diri seandainya benar orang-orang yang berniat untuk membangun perguruan Kedung Jati itu akan mengambil Tanah Perdikan ini, dan menjadikannya landasan perjuangan mereka menuju ke Mataram.”

“Apakah para pemimpin Mataram sudah mengetahui atau mempertimbangkan kemungkinan ini?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ya. Selain laporan dari Tanah Perdikan, Mataram juga sudah mendapat laporan dari para petugas sandinya.”

“Apakah sudah ada perintah?”

“Ya, khususnya bagi prajurit Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini. Kita harus langsung melibatkan diri jika terjadi benturan kekerasan antara Tanah Perdikan ini dengan kekuatan yang sedang dibangun untuk menghancurkan Mataram itu.”

Para pembantu Agung Sedayu itu mengangguk-angguk. Mereka tahu apa yang harus mereka siapkan. Seorang di antara mereka pun bertanya, “Kami menunggu perintah selanjutnya.”

“Yang pertama, kita akan menunjuk sepuluh orang yang akan melakukan tugas sandi, mengamati Tanah Perdikan ini. Mereka akan ditempatkan di beberapa padukuhan, agar mereka tidak hilir mudik memasuki barak ini. Aku yakin, jika benar orang-orang itu akan memasuki Tanah Perdikan, mereka pun tentu akan melepaskan petugas sandinya di Tanah Perdikan ini.”

Para pembantu Agung Sedayu itu mendengarkan dengan seksama. Seorang di antara mereka pun berkata, “Hari ini sepuluh orang itu sudah siap untuk menjalankan tugasnya.”

“Aku akan menghubungi pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk menyerahkan para petugas sandi itu kepada mereka, agar pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu mengaturnya. Di mana mereka di tempatkan dan lingkungan tugas mereka. Siapakah pengawal Tanah Perdikan yang akan mendampingi mereka. Karena itu, setelah sepuluh orang itu ditunjuk, maka mereka saja-lah yang mengetahui tugas-tugas yang akan mereka pikul. Selanjutnya, para prajurit supaya meningkatkan kesiagaan. Mereka akan meronda di lingkungan yang lebih luas di sekitar barak ini, atas persetujuan Ki Gede Menoreh. Aku yakin, jika benar orang-orang yang sedang menghimpun kekuatan itu akan mengambil Tanah Perdikan ini untuk menjadi landasan gerakan mereka, maka keberadaan prajurit Mataram di sini tentu mereka perhitungkan.”

Beberapa orang kepercayaan Agung Sedayu itu mengangguk-angguk pula. Agung Sedayu pun kemudian telah memberikan gambaran secara umum, siapakah yang akan mereka hadapi. Bahkan Agung Sedayu pun telah berpesan agar mereka bersiap menghadapi kemungkinan yang paling keras.

“Jika beberapa orang pemimpin Pati yang merasa tersingkir itu benar-benar ada yang melibatkan diri bersama para prajurit-prajuritnya, maka kekuatan mereka akan menjadi besar.”

Dengan demikian, maka para prajurit dari Pasukan Khusus itu benar-benar harus bersiap. Mereka akan dapat berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar.

Beruntunglah bahwa Tanah Perdikan Menoreh mempunyai jajaran pengawal yang dapat dipercaya, sehingga akan dapat bekerja sama dengan baik. Para pengawal Tanah Perdikan itu memiliki kemampuan dan ikatan yang teguh sebagaimana para prajurit.

Sejak hari itu, Tanah Perdikan memang menjadi sibuk, meskipun hanya pada lingkungan yang terbatas. Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh sepakat untuk tidak membuat rakyat Tanah Perdikan resah. Karena itu, maka perintah-perintah, pembicaraan-pembicaraan dan kesepakatan-kesepakatan dilakukan di antara para pemimpin dengan orang-orang tertentu saja.

Dalam pada itu, sepuluh orang petugas sandi dari barak Pasukan Khusus telah berada di luar barak. Prastawa telah menempatkan mereka di beberapa padukuhan. Prastawa pun telah menunjuk berapa orang pengawal terpilih untuk mendampingi mereka mengamati keadaan Tanah Perdikan.

Selain mereka, Ki Gede pun telah memerintahkan setiap bebahu padukuhan yang tersebar di Tanah Perdikan Menoreh untuk mengamati keadaan di lingkungan masing-masing dengan seksama.

“Jika kalian melihat sesuatu yang tidak sewajarnya, kalian harus segera melapor,” pesan Ki Gede. Namun Ki Gede itu juga berpesan, “Tetapi jangan membuat rakyat kalian menjadi gelisah. Karena itu, kalian harus dapat membuat mereka tetap tenang dalam kesiagaan.”

Sementara itu, di rumah Agung Sedayu suasananya memang nampak tenang. Ki Wijil dan Nyi Wijil ternyata tidak ingin cepat-cepat pulang. Apalagi Sayoga. Ia dapat ikut hanyut dalam kegiatan Glagah Putih di antara para pengawal Tanah Perdikan. Sayoga pun segera akrab dengan Prastawa dan para pengawal yang lain.

Namun dalam ketenangan itu, Sekar Mirah tidak pernah menjadi lengah. Ia sudah berbicara secara khusus dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih, bahwa bagaimanapun juga mereka harus tetap berhati-hati terhadap kehadiran Nyi Dwani dan Empu Wisanata di rumah itu. 

“Nyi Dwani menginginkan tongkat baja putih itu. Sedangkan tongkat itu ada di sini.”

Ki Jayaraga dan Glagah Putih dapat mengerti kecurigaan Sekar Mirah. Karena itu, Ki Jayaraga pun berkata, “Aku akan mengawasi Empu Wisanata. Nampaknya ia menyesali tingkah laku anak perempuannya. Meskipun demikian, aku setuju bahwa kita tidak dapat mempercayainya sepenuhnya. Aku dapat mengerti kekhawatiran Ki Lurah dan Nyi Lurah, bahwa kehadiran Nyi Dwani di rumah ini bukan atas kehendaknya sendiri. Tetapi atas persetujuan dan bahkan mungkin atas gagasan Ki Saba Lintang.”

Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka pun telah melaksanakan sebagaimana dikatakannya. Ia telah mengirimkan beberapa orang petugas sandi ke Prambanan, ke seberang Gunung Kendeng, ke Jipang dan Pati.

Namun tugas para petugas itu tidak akan selesai dalam waktu satu dua hari. Mereka memerlukan waktu yang cukup panjang.

Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh memang terjadi perkembangan keadaan yang mengisyaratkan agar Tanah Perdikan itu menjadi semakin berhati-hati. Demikian pula keluarga Agung Sedayu. Baik Sekar Mirah maupun Rara Wulan tidak pernah lagi pergi ke pasar seorang diri. Mereka selalu berdua atau bahkan bertiga. Sementara itu, para pengawal pun nampak hilir mudik di jalan-jalan yang membujur lintang di Tanah Perdikan.

Jika Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Wijil dan bahkan Nyi Dwani pergi ke pasar, mereka memang tidak menarik perhatian. Jika mereka mengenakan sehari-hari sebagaimana kebanyakan perempuan, maka mereka pun tenggelam dalam kesibukan pasar sebagaimana orang lain.

Meskipun demikian, jika Nyi Dwani ingin ikut pergi ke pasar, Sekar Mirah tidak pernah menjadi lengah. Apapun yang dilakukan oleh Nyi Dwani tidak lepas dari pengamatannya, meskipun tidak semata-mata.

Namun Sekar Mirah tahu pasti, bahwa selain dirinya, ada orang lain yang mengawasi Nyi Dwani jika ia pergi ke pasar. Orang yang sama sekali tidak dikenal oleh Nyi Dwani, karena orang itu adalah petugas sandi yang ditugaskan oleh Agung Sedayu. Orang itu adalah salah seorang dari sepuluh orang prajurit dari Pasukan Khusus yang mendapat tugas sandi di Tanah Perdikan Menoreh.

Dua orang di antara mereka mendapat tugas untuk mengawasi Empu Wisanata dan Nyi Dwani, jika mereka keluar dari regol halaman rumah Agung Sedayu.

Tidak seorang pun yang mengetahui, bahwa dua orang yang diakui kemenakan oleh penghuni rumah yang berhadapan dengan rumah Agung Sedayu itu adalah petugas sandi. Bahkan tetangga-tetangganya pun menyangka bahwa keduanya adalah benar-benar kemenakan penghuni rumah itu. Agung Sedayu sendiri-lah yang menemui tetangga itu untuk menitipkan kedua orang petugas sandi itu. Namun dengan permohonan agar penghuni rumah itu merahasiakan siapakah sebenarnya mereka, dan mengakunya sebagai kemenakannya.

“Demi keselamatan bukan saja padukuhan induk ini saja Paman,” berkata Agung Sedayu, “tetapi demi keselamatan seluruh Tanah Perdikan.”

Ternyata orang yang semasa mudanya menjadi pengawal Tanah Perdikan itu tanggap. Ia tahu benar apa artinya rahasia yang harus disimpan demi keselamatan tanah perdikannya.

Sekar Mirah, Glagah Putih dan Ki Jayaraga juga mengetahui kehadiran kedua orang petugas sandi itu. Tetapi mereka pun menyadari, bahwa rahasia itu harus disimpannya baik-baik.

Karena itu, maka tidak ada langkah Nyi Dwani yang terlewatkan dari pengamatan. Baik oleh Sekar Mirah, Rara Wulan, Nyi Wijil, atau kedua orang petugas sandi yang tinggal di rumah tetangga, yang sama sekali belum dikenal oleh Nyi Dwani dan Empu Wisanata.

Namun mereka masih belum menjumpai tingkah laku Nyi Dwani dan Empu Wisanata yang mencurigakan. Ki Jayaraga yang sebagian waktunya sering bersama-sama dengan Empu Wisanata memang mendengarnya menyesali petualangannya serta sikap anaknya Nyi Dwani. Bahkan Ki Jayaraga pernah mendengar pembicaraan antara Empu Wisanata dan Nyi Dwani.

Kepada Agung Sedayu, Ki Jayaraga berkata, “Agaknya Nyi Dwani benar-benar berada di persimpangan jalan. Ia sudah kehilangan harapan untuk mendapatkan tongkat baja itu, serta kesempatan untuk memimpin satu perguruan besar yang akan bangkit. Tetapi ia tidak dapat melupakan Ki Saba Lintang.”

“Apakah tanpa tongkat baja putih Nyi Dwani tidak dapat ikut memimpin perguruan yang akan bangkit, jika Ki Saba Lintang kemudian akan menjadi pemimpin tertingginya?”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Wibawa Nyi Dwani agaknya hanya dapat didukung oleh tongkat baja putih itu. Tanpa tongkat baja putih itu, agaknya beberapa orang berilmu tinggi yang ikut serta mendukung rencana kebangkitan itu kurang menghargai Nyi Dwani. Karena mereka tahu ilmu Nyi Dwani masih berada di bawah ilmu orang-orang sakti yang berniat bersama-sama membangun perguruan yang akan dinamakan perguruan Kedung Jati itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun Ki Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa kita harus kehilangan kewaspadaan.”

“Baiklah, Ki Jayaraga. Nampaknya persoalannya masih panjang. Kita tidak boleh kehabisan nafas di perjalanan.”

Ki Jayaraga pun tersenyum. Katanya, “Aku setuju, Ki Lurah.”

Sementara itu, para prajurit yang bertugas sandi di Tanah Perdikan Menoreh, bekerja bersama dengan para pengawal yang tepercaya, mengamati keadaan dengan teliti. Meskipun tidak nampak semata-mata, tetapi mereka mengamati orang-orang yang melintasi Tanah Perdikan dari arah barat maupun dari arah timur. Mereka juga mengawasi orang-orang yang mengunjungi para penghuni Tanah Perdikan. Apalagi mereka yang bermalam di tempat sanak kandangnya.

Di hari-hari berikutnya, rumah Agung Sedayu masih nampak ramai. Beberapa orang tamu masih berada di rumah itu.

Namun di saat-saat terakhir, Nyi Dwani nampak lebih banyak termenung. Kadang-kadang tatapan matanya menerawang ke kejauhan tanpa batas. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya.

Keadaan Nyi Dwani itu tidak terlepas dari perhatian Empu Wisanata. Sebagai seorang ayah, maka ia mencoba untuk menjernihkan hati anak perempuannya. Namun agaknya Empu Wisanata benar-benar mengalami kesulitan.

Seisi rumah Agung Sedayu tidak pernah ada yang mencampuri pembicaraan mereka. Tetapi menilik sikap mereka, ada hal yang tidak sesuai di antara keduanya.

Kepada Ki Jayaraga, Empu Wisanata mengeluh bahwa sulit bagi Empu Wisanata untuk memindahkan perhatian anaknya dari Ki Saba Lintang.

Sekar Mirah yang melihat keadaan Nyi Dwani itu memang merasa iba. Sebagai seorang perempuan. Sekar Mirah dapat mengerti betapa resahnya hati Nyi Dwani. Setelah gagal pada pernikahannya yang pertama, maka ia berharap untuk dapat hidup berdampingan lagi dengan seorang laki-laki. Tetapi agaknya keadaan telah membuat hubungannya dengan Ki Saba Lintang menjadi kisruh.

Karena itulah, maka Sekar Mirah berusaha untuk membuat Nyi Dwani selalu sibuk, sehingga perempuan itu tidak mendapat kesempatan untuk merenung.

Karena itu, Nyi Dwani pun sering ikut bersama Sekar Mirah pergi ke pasar. Kadang-kadang bersama Nyi Wijil, kadang-kadang bersama Rara Wulan. Sekar Mirah yakin bahwa mereka akan dapat mengatasi keadaan jika ada orang-orang yang berniat jahat. Apalagi Sekar Mirah yakin bahwa petugas sandi dari Pasukan Khusus selalu mengawasi mereka. Sementara para pengawal pun meningkatkan gelombang pengawasan mereka.

Dari hari ke hari, Nyi Dwani yang merasakan hidup di lingkungan sebuah keluarga yang wajar sebagaimana kebanyakan keluarga yang lain, merasakan kesejukan yang tidak pernah ditemukan di sepanjang hidupnya sejak ia menginjak usia dewasa.

Meskipun Agung Sedayu seorang prajurit yang kadang-kadang harus bertugas dan meninggalkan keluarganya, namun seperti seekor burung yang terbang tinggi, akan segera pulang ke sarangnya jika senja mulai turun.

Sementara itu, ketika datang seorang laki-laki yang dianggapnya sebagai pahlawan, telah membawa Nyi Dwani dalam satu kehidupan yang gelisah. Petualangan yang selalu dibayangi oleh bahaya, yang kadang-kadang bahkan mengancam jiwanya.

Kesibukan memang dapat mengurangi kegelisahannya. Sehingga karena itu, Nyi Dwani itu menjadi semakin sering ikut pergi ke pasar.

Namun sikap hati-hati Sekar Mirah tidak berubah. Meskipun Nyi Dwani nampak menjadi semakin jinak, tetapi Sekar Mirah tidak ingin menyesali kelengahannya.

Meskipun demikian, hati Sekar Mirah tersentuh pula ketika pada suatu pagi, Nyi Dwani yang ikut ke pasar bersama Rara Wulan itu berbisik, “Nyi Lurah. Seseorang ingin menemuiku.”

Dahi Sekar Mirah berkerut. Namun Nyi Dwani itu pun kemudian membungkuk sambil memilih terong yang digelar di amben bambu, di sebelah berjenis-jenis sayuran yang lain.

Sekar Mirah merenungi kata-kata Nyi Dwani itu sejenak. Ketika kemudian Sekar Mirah juga membungkuk di sampingnya, Nyi Dwani itu pun berkata, “Ijinkan aku memisahkan diri, Nyi Lurah. Mungkin ada keterangan yang dapat aku beri tahukan kepada Nyi Lurah.”

Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Ia mengerti maksud Nyi Dwani. Tentu ada seorang pengikut Ki Saba Lintang yang berusaha menemuinya.

Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, maka Sekar Mirah. itu pun berkata, “Silakan, Nyi Dwani. Tetapi aku minta Nyi Dwani bertanggung jawab atas kesempatan yang aku berikan ini.”

“Aku berjanji Nyi Lurah.”

“Jangan terlalu jauh, agar aku tidak menjadi cemas.”

Nyi Dwani mengangguk-angguk.

Demikianlah, maka Nyi Dwani itu pun kemudian telah memisahkan diri. Ketika Sekar Mirah masih sibuk membeli sayuran selain terong, Nyi Dwani telah bergeser ke samping. Nyi Dwani itu pun kemudian membeli garam dan kebutuhan dapur yang lain. Beberapa saat kemudian, Nyi Dwani bergeser lagi untuk membeli gula kelapa.

Ketika Rara Wulan menggamit Sekar Mirah, maka Sekar Mirah itu pun berdesis, “Biarlah Rara. Asal tidak terlalu jauh. Seseorang akan menemuinya.”

“Kenapa justru Mbakayu ijinkan?”

“Kita tidak akan kehilangan perempuan itu.”

“Tetapi ia akan dapat menyusun rencana bersama orang itu.”

“Tidak. Mereka tidak akan sempat melakukannya Kita hanya akan memberi waktu sedikit.”

“Bagaimana kita menghentikannya?”

“Kita datangi mereka.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun menggamit Sekar Mirah. Meskipun Rara Wulan tidak mengatakan sesuatu, tetapi Sekar Mirah mengerti maksud Rara Wulan.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun kemudian memperhatikan Nyi Dwani. Tetapi ia berusaha agar tidak menarik perhatian orang yang kemudian berdiri di samping Nyi Dwani.

Orang itu juga membeli gula kelapa seperti Nyi Dwani. Bahkan seakan-akan tidak memperhatikan kehadiran Nyi Dwani.

“Orang itu tidak sendiri,” desis Rara Wulan.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Seorang laki-laki berdiri di belakangnya sambil membawa keranjang. Nampaknya orang yang berdiri di sebelah Nyi Dwani itu akan membeli gula agak banyak.

“Apakah mereka sudah bersepakat untuk bertemu di tempat penjual gula itu?” desis Rara Wulan.

Sekar Mirah tidak segera menjawab. Tetapi ia masih sempat memasukkan sayur-sayuran yang dibelinya di bakul yang dibawanya, sambil menghitung harganya. Bahkan kemudian membayarnya.

Rara Wulan-lah yang kemudian melihat sekilas Nyi Dwani berbicara pendek-pendek dengan orang yang berdiri di sebelahnya. Namun kemudian orang itu pun mulai menghitung gula kelapa yang dibelinya dan dimasukkan ke dalam keranjang.

Seperti semula, orang itu seakan-akan tidak saling mengenal dengan Nyi Dwani. Dengan sengaja orang itu membelakangi Nyi Dwani, sementara Nyi Dwani pun tidak berdiri menghadap ke arah orang itu. Tetapi Rara Wulan tahu pasti, bahwa keduanya sedang saling berbicara.

Beberapa saat kemudian, orang itu pun membayar harga gula kelapa yang dibelinya. Kemudian kedua orang itu pun meninggalkan Nyi Dwani yang masih berdiri di hadapan penjual gula kelapa itu.

Beberapa saat Nyi Dwani masih berada di tempatnya. Baru kemudian Nyi Dwani pun membayar gula yang dibelinya, dan melangkah meninggalkan penjual gula kelapa itu.

Ketika mereka bertiga pulang dari pasar, maka Nyi Dwani pun berkata, “Orang yang menemuiku itu adalah Nyi Suluh dan Ki Suluh. Mereka berdua adalah orang-orang berilmu tinggi yang menyatukan diri dengan Ki Saba Lintang.”

“Apa yang dikatakannya?” bertanya Rara Wulan tidak sabar.

“Mereka bertanya, apakah aku pergi ke pasar bersama orang-orang yang sengaja mengawal dan mengawasi aku.”

“Apa yang akan mereka lakukan?”

“Mereka melihat aku dan Rara Wulan bersama Nyi Lurah. Mereka bertanya, apakah mungkin mereka menjemputku sekaligus mengambil Rara Wulan.”

“Jawab Nyi Dwani?” desak Rara Wulan

“Aku memberitahukan kepada mereka, bahwa aku tidak dapat melakukan hal itu.”

“Menurut perhitungan mereka, Nyi Dwani tentu akan dapat ikut melibatkan diri di pihak mereka.”

“Ya. Tetapi aku mengatakan bahwa aku tidak dapat membantu mereka. Ki Lurah Agung Sedayu telah menekan dua simpul syarafku sehingga aku tidak dapat mengerahkan segenap tenaga dan kemampuanku sepenuhnya, sebelum dibebaskan kembali oleh Ki Lurah.”

“Apakah mereka percaya bahwa aku dapat melawan salah seorang dari keduanya, jika keduanya berilmu tinggi?”

“Aku mengatakan kepada mereka, bahwa dalam sekejap Nyi Lurah dapat memanggil beberapa orang pengawal yang meronda jalan-jalan ramai di Tanah Perdikan.”

“Apakah mereka percaya?” bertanya Sekar Mirah.

“Mereka tidak begitu percaya. Karena itu, aku mohon Nyi Lurah dan Rara Wulan berhati-hati. Mungkin mereka menunggu kita di jalan pulang ini.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berdesis, “Terima kasih atas pemberitahuan ini.”

Rara Wulan memandang Nyi Dwani sejenak sehingga langkahnya menjadi tersendat. Dengan dahi yang berkerut ia pun bertanya, “Apakah kedua orang itu, atau barangkali bersama kawan-kawannya, akan menunggu kita di tempat sepi?”

“Aku tidak yakin, Rara,” jawab Nyi Dwani, “aku sudah berusaha mencegah mereka. Aku sudah mengatakan bahwa para pengawal Tanah Perdikan ini dapat bergerak cepat sekali.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun ia menjadi berdebar-debar. Ia tidak mau lagi menjadi tawanan dan tinggal di antara para pengikut Ki Saba Lintang. Di antara mereka terdapat orang-orang yang menjadi liar ketika mereka melihat kehadirannya.

Namun jalan yang mereka lalui adalah jalan yang pada saat-saat seperti itu tidak pernah sepi. Sementara itu, Sekar Mirah masih tetap yakin bahwa para petugas sandi dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu selalu mengawasi mereka.

Karena itu, Sekar Mirah memang tidak merasa cemas sama sekali. Wajahnya masih tetap terang. Langkahnya pun tetap mantap.

“Nyi Lurah,” berkata Nyi Dwani kemudian, “Ki Suluh bertanya kepadaku, jika mereka telah siap untuk menjemput aku dan mengambil Rara Wulan, kapan mereka dapat melakukannya.”

“Oh,” Sekar Mirah mengangguk-angguk, “bagaimana jawabmu, Nyi Dwani?”

“Aku mengatakan bahwa dua hari lagi kita datang ke pasaran. Aku akan berusaha untuk dapat pergi ke pasar bersama Nyi Lurah dan Rara Wulan.”

“Bagus,” Sekar Mirah mengangguk-angguk, “jika mereka tidak menunggu kita hari ini, maka kita akan siap menghadapi mereka dua hari lagi.”

Nyi Dwani tiba-tiba saja terdiam. Ketika Sekar Mirah berpaling, ia melihat Nyi Dwani itu mengusap matanya yang basah. Mulutnya bergetar. Tetapi tidak ada kata-kata yang terucapkan lagi.

Sekar Mirah merasakan betapa terjadi pertentangan yang keras di dalam hati perempuan itu. Separuh hatinya berpihak kepada Ki Saba Lintang, tetapi yang separuh lagi dibayangi oleh kebaikan hati Sekar Mirah dan keluarganya. Nyi Dwani juga sudah merasa berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada Sekar Mirah, yang mempunyai kesempatan untuk membunuhnya, tetapi tidak dilakukannya.

Nyi Dwani memang sedang berjuang untuk menahan tangisnya. Nyi Dwani sadar bahwa ia sedang berada di tengah jalan pulang. Tangisnya akan dapat mengundang perhatian orang-orang yang melihatnya.

Ternyata yang dicemaskan oleh Rara Wulan itu tidak terjadi. Orang-orang yang menemui Nyi Dwani di pasar tidak mengganggu perjalanan pulang Nyi Lurah, Rara Wulan dan Nyi Dwani. Mereka tidak menjemput Nyi Dwani dan mengambil lagi Rara Wulan pada pagi hari itu.

Ketika mereka sampai di rumah, maka Nyi Dwani pun langsung masuk ke dalam bilik yang disediakan baginya. Ia tidak tahan lagi membendung tangisnya.

Empu Wisanata yang melihat keadaan anak perempuannya termangu-mangu sejenak. Namun Sekar Mirah dan Rara Wulan telah menemuinya, memberitahukan apa yang telah terjadi.

Empu Wisanata mengangguk-angguk Namun kemudian ia pun telah menyusul Nyi Dwani ke dalam biliknya.

Di dapur, Sekar Mirah dan Rara Wulan masih juga memperbincangkan kehadiran kedua orang suami istri itu. Nyi Wijil yang ikut mendengarkannya itu pun berkata, “Syukurlah, bahwa mereka tidak membawa kawan-kawannya mencegat perjalanan kalian.”

“Tetapi dua hari lagi, mungkin hal itu akan terjadi,” sahut Rara Wulan.

Nyi Wijil mengerutkan dahinya sambil memandang Sekar Mirah. Sementara itu Sekar Mirah pun mengangguk sambil berkata, “Menurut Nyi Dwani, mereka bertanya, kapan kesempatan itu didapatkannya lagi.”

“Maksudnya, kesempatan untuk menjemput Nyi Dwani dan mengambil lagi Rara Wulan?” bertanya Nyi Wijil..

“Ya,” Sekar Mirah mengangguk-angguk.

Nyi Wijil menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Kita masih mempunyai kesempatan. Agaknya Nyi Dwani sedang berada dalam masa peralihan, sehingga ia mengalami kegelisahan yang sangat mencengkam perasaannya”

“Tetapi Nyi Dwani memang harus memilih. Peran Empu Wisanata sangat dibutuhkan pada saat-saat seperti ini.”

“Tetapi Empu Wisanata sering mengeluh. Ia merasa kehilangan wibawanya di hadapan anak perempuannya. Nyi Dwani lebih banyak mendengarkan pendapat Ki Saba Lintang daripada pendapat Empu Wisanata.”

“Tetapi beruntunglah kita bahwa Nyi Dwani mau berterus terang.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Kepercayaannya kepada Nyi Dwani memang semakin bertambah. Sekar Mirah berharap bahwa Nyi Dwani pada suatu saat akan benar-benar berpaling dari Ki Saba Lintang.

Ketika Agung Sedayu pulang di sore hari, maka Sekar Mirah pun menyongsongnya di halaman. Sekar Mirah ingin segera mengatakan kepada Agung Sedayu, apa yang telah dialaminya di pasar.

Namun sebelum Sekar Mirah mengatakan sesuatu, Agung Sedayu pun berkata, “Kau lepas Nyi Dwani berbicara dengan pengikut Ki Saba Lintang?”

Sekar Mirah terkejut. Dengan serta-merta Sekar Mirah pun bertanya, “Dari mana Kakang mengetahuinya?”

“Sudah aku katakan, bahwa petugas sandi dari Pasukan Khusus itu selalu mengawasinya.”

“Jadi bagaimana menurut Kakang? Apakah aku telah melakukan kesalahan?”

Agung Sedayu tersenyum. Jantung Sekar Mirah yang menegang telah menjadi kendur kembali. Sementara itu Agung Sedayu menjawab, “Aku belum tahu perincian dari peristiwa itu. Tentu aku tidak dapat mengatakan apakah kau bersalah atau tidak.”

Sekar Mirah pun tersenyum pula. Katanya, “Baiklah. Nanti aku akan bercerita panjang lebar.”

Sukra-lah yang kemudian menuntun kuda Ki Lurah Agung Sedayu ke kandang, sedang Agung Sedayu pun kemudian naik ke pendapa

Setelah mandi dan berbenah diri, menjelang senja Agung Sedayu duduk berdua saja di serambi. Sekar Mirah pun kemudian telah menceritakan apa yang terjadi di pasar. Ia memang memberi kesempatan kepada Nyi Dwani untuk berbicara dengan orang yang mencarinya. Ternyata Nyi Dwani telah menyampaikan kepada Sekar Mirah hasil pembicaraannya dengan pengikut Ki Saba Lintang itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah jika Nyi Dwani menyadari, bahwa jalan yang ditempuhnya selama ini adalah jalan yang buram. Memang sudah waktunya ia mencari jalan yang lebih baik dari jalan hidup yang selama ini dianutnya itu.”

“Menurut Nyi Dwani, dua hari lagi ia diminta berusaha untuk membuat kesempatan yang serupa. Kesempatan untuk menjemput Nyi Dwani serta menculik Rara Wulan kembali.”

“Maksudnya kalian bertiga seperti pagi tadi, pergi ke pasar?”

“Ya.”

“Apa rencanamu?”

“Kami akan pergi ke pasar bertiga lagi.”

“Hanya bertiga?”

“Bukankah prajurit sandi itu selalu mengawasi Nyi Dwani?”

“Tapi itu sangat berbahaya.”

“Maksud Kakang?”

“Mereka akan datang dengan kekuatan yang lebih besar.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya, sementara Agung Sedayu pun berkata, “Bukankah Nyi Dwani sudah menakut-nakuti mereka, sehingga mereka harus membuat perhitungan ulang untuk mencegat kalian selagi kalian menempuh jalan pulang dari pasar?”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mereka tentu akan membawa kekuatan baru.”

“Karena itu, kalian jangan hanya bertiga,” berkata Agung Sedayu kemudian, “tetapi juga jangan terlalu mencolok, sehingga mereka tidak mengurungkan niatnya untuk menjemput Nyi Dwani dan sekali lagi menculik Rara Wulan.”

Sekar Mirah sadar bahwa Agung Sedayu berniat memancing para pengikut Ki Saba Lintang. Jika ada di antara mereka yang tertangkap, maka mereka akan dapat menjadi sumber keterangan dari gerak orang-orang yang berniat untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati.

Karena itu, Sekar Mirah pun bertanya, “Jadi, menurut Kakang, aku harus pergi ke pasar bersama berapa orang, dan siapa saja menurut pertimbangan Kakang?”

“Biarlah Ki Wijil dan Nyi Wijil juga pergi ke pasar, tetapi tidak bersama-sama dengan kau bertiga. Mereka akan berada beberapa puluh langkah di belakangmu. Kemudian biarlah Sayoga dan Sabungsari juga pergi ke pasar. Sedangkan Glagah Putih yang sudah banyak dikenal, akan berada di padukuhan sebelah, yang diperhitungkan tidak terlalu jauh sehingga akan dapat mendengar isyarat yang akan diberikan oleh petugas sandi. Beberapa orang pengawal terpilih akan membantunya.”

“Demikian besarkah persiapan yang akan dilakukan?”

“Mereka tentu akan datang dengan kekuatan yang cukup. Mereka tidak ingin gagal. Nyi Dwani sangat berharga bagi Ki Saba Lintang, sementara Rara Wulan akan dapat mereka pergunakan untuk memaksakan kehendak mereka, terutama tongkat baja putih itu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Namun bagaimanapun juga rencana ini harus dirahasiakan. Dirahasiakan pula terhadap Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Mungkin sampai saat ini Nyi Dwani masih dapat dipercaya atau menunjukkan perubahan sikap. Tetapi apakah perubahan itu benar-benar mendasar, atau sekedar pada permukaan saja?”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia memang sependapat dengan suaminya. Bagaimanapun juga Sekar Mirah tidak dapat mempercayai Nyi Dwani sepenuhnya.

Di hari berikutnya, Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan diam-diam telah mengatur persiapan untuk menghadapi rencana penyergapan oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Seperti juga keinginan Ki Saba Lintang, Sekar Mirah tidak mau gagal. Jika ia gagal, maka Tanah Perdikan akan kehilangan Rara Wulan dan bahkan mungkin Sekar Mirah sendiri, di samping Nyi Dwani akan lepas pula.

Namun Agung Sedayu dan Sekar Mirah harus sangat berhati-hati. Rencana yang mereka susun tidak boleh merembes ke telinga mereka yang masih diragukan.

Sementara itu, Ki Jayaraga ditugaskan untuk tetap di rumah menemani Empu Wisanata. Jika Empu Wisanata itu menggeliat, maka Ki Jayaraga mendapat kewajiban untuk menjinakkan.

Ketika hari yang dimaksudkan itu datang, pagi-pagi sekali Mirah sudah siap. Ia pun mengajak Rara Wulan dan Nyi Dwani untuk pergi ke pasar.

“Jangan, Nyi Lurah,” minta Nyi Dwani.

“Kenapa?” bertanya Sekar Mirah.

“Nampaknya mereka bersungguh-sungguh.”

“Bersungguh-sungguh apa?”

“Sebagaimana aku katakan. Hari ini mereka ingin menjemputku dan mengambil lagi Rara Wulan. Karena itu sebaiknya kita berada di rumah saja. Bahkan jika mungkin dipersiapkan penjagaan yang lebih baik.”

Sekar Mirah tertawa Katanya, “Jangan cemas, Nyi. Aku dan Rara Wulan akan berusaha agar kami berdua tidak terjerat.”

“Tetapi mereka tentu akan datang dengan kekuatan yang besar. Nyi Lurah dan Rara Wulan tidak akan dapat bertahan.”

“Apakah aku perlu membawa dua atau tiga orang pengawal?”

“Itu tidak akan berarti apa-apa,” jawab Nyi Dwani. Wajahnya nampak tegang, sedangkan keringatnya mengembun membasahi keningnya.

“Jadi apakah yang sebaiknya kami lakukan?”

“Jangan pergi ke mana-mana, Nyi Lurah. Percayalah kepadaku. Aku tidak ingin Nyi Lurah mengalami bencana.”

“Jangan cemaskan aku. Biarlah kita sempat melihat, apa yang akan terjadi.”

“Aku memperingatkan Nyi Lurah.”

“Nyi Dwani. Kami berada di tanah kami sendiri. Setiap batang dahan dan setiap lembar daun akan membantu kita, jika benar-benar terjadi benturan kekerasan.”

“Tetapi sangat berbahaya bagi Nyi Lurah.”

“Nyi Dwani. Jika aku takut kepada ancaman-ancaman dan tidak pernah keluar dari halaman, maka sama saja artinya bahwa aku berada di dalam penjara yang terkungkung oleh dinding-dinding yang tinggi dan kuat..”

“Jadi Nyi Lurah akan benar-benar pergi ke pasar?”

“Ya,” jawab Nyi Lurah sambil tersenyum.

“Jika demikian, Nyi Lurah harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kesungguhan di wajah Nyi Dwani. Agaknya Nyi Dwani benar-benar berniat mencegah Sekar Mirah.

Dengan demikian Sekar Mirah dapat menduga, bahwa yang akan menjemput Nyi Dwani tentu kekuatan yang diperhitungkan cukup besar.

Sebenarnyalah Nyi Dwani itu pun kemudian berkata, “Nyi Lurah. Dua hari yang lalu, aku sudah menakut-nakuti Ki Suluh dan Nyi Suluh, sehingga mereka tidak mencegat kita ketika kita pulang dari pasar. Itu berarti bahwa Ki Suluh dan Nyi Suluh benar-benar menganggap bahwa mereka tidak akan dapat mengalahkan Nyi Lurah dan Rara Wulan. Karena itu, maka hari ini mereka akan membawa kekuatan yang dapat memastikan bahwa mereka akan dapat menjemputku dan mengambil lagi Rara Wulan.”

“Baiklah. Aku akan menjadi sangat berhati-hati. Mudah-mudahan Nyi Suluh dan Ki Suluh itu pun hanya sekedar menakut-nakuti. Menurut pendapatku, Ki Saba Lintang tahu benar kekuatan yang tersimpan di Tanah Perdikan ini, sehingga ia tidak akan mudah mengambil langkah-langkah yang dapat membahayakan diri mereka sendiri.”

“Jadi Nyi Lurah benar-benar akan berangkat?”

“Ya Tentu saja. Bahan-bahan serta bumbu masak kita sudah habis. Terutama garam. Tentu kita tidak dapat makan tanpa garam.”

Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan pergi bersama Nyi Lurah.”

Demikianlah, beberapa saat setelah Agung Sedayu berangkat ke baraknya, Sekar Mirah bersama-sama dengan Nyi Dwani dan Rara Wulan pun telah berangkat pula ke pasar.

Sementara itu, Glagah Putih pun telah pergi pula ke padukuhan sebelah. Di padukuhan itu telah menunggu beberapa orang pengawal terpilih. Jika diperlukan, mereka akan dapat bergerak dengan cepat untuk membantu Sekar Mirah.

Namun selain Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pun telah meninggalkan rumah itu pula.

Terakhir adalah Ki Wijil dan Nyi Wijil yang minta diri kepada Ki Jayaraga, bahwa berdua mereka akan melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan.

Sepeninggal mereka, Empu Wisanata dan Ki Jayaraga duduk di serambi. Ketajaman penglihatan batin Empu Wisanata dapat melihat, apa yang sebenarnya sedang dilakukan oleh seisi rumah itu.

Sambil menghirup minuman hangatnya, Empu Wisanata bertanya kepada Ki Jayaraga, “Apakah Ki Jayaraga tidak pergi ke sawah?”

Ki Jayaraga menggeliat. Katanya, “Rasa-rasanya aku agak segan pagi ini, Empu.”

“Apalagi rumah ini sedang kosong. Ki Jayaraga tentu juga bertugas menjaga rumah ini, jangan sampai dibawa lari siput yang sering membawa rumah kian kemari.”

Ki Jayaraga tertawa Katanya, “Ya, Empu. Aku juga bertugas menjaga rumah.”

“Termasuk aku.”

Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Ia pun kemudian bertanya, “Maksud Empu?”

Empu Wisanata tertawa. Katanya, “Aku menghubungkan kepergian seisi rumah dengan cerita Dwani, bahwa ia sudah bertemu dengan Ki Suluh dan Nyi Suluh di pasar.”

Ki Jayaraga pun tertawa pula. Memang sulit untuk mengelabui orang yang mempunyai ketajaman penalaran seperti Empu Wisanata

“Apa yang kira-kira akan terjadi, Empu?” bertanya Ki Jayaraga

“Beberapa orang lagi akan tertangkap. Bahkan mungkin akan ada yang menjadi korban. Tetapi aku yakin bahwa mereka tidak akan berhasil menjemput Dwani serta menculik Rara Wulan lagi.”

Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi yang akan terjadi tentu akan meresahkan rakyat Tanah Perdikan. Pasar akan menjadi kalut. Para pedagang akan menjadi kalang kabut.”

“Hal itu memang tidak akan dapat dihindari,” desis Empu Wisanata.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba Ki Jayaraga itu berkata, “Silakan minum, Empu. Di dapur tentu masih banyak persediaan wedang sere.”

Empu Wisanata tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan terlalu banyak minum, Ki Jayaraga.”

Ki Jayaraga pun tertawa pula. Katanya, “Biarlah kita berdua menunggui rumah ini sampai segala-galanya selesai.”

“Aku memang tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku tidak ingin mencampuri lagi langkah-langkah yang diambil oleh Ki Saba Lintang. Aku kira Dwani juga sedang memikirkan kemungkinan lain dari yang ditempuhnya selama ini. Tetapi segala sesuatunya masih akan kita lihat kemudian.”

Sementara itu, Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani sudah berada di pasar. Ketika matahari naik, pasar itu menjadi semakin ramai. Apalagi hari itu adalah hari pasaran.

Ternyata Sekar Mirah juga memikirkan keributan yang dapat terjadi jika benar-benar Ki Suluh dan Nyi Suluh mencegatnya di perjalanan pulang. Namun Sekar Mirah berharap bahwa hal itu tidak dilakukan terlalu dekat dengan pasar itu, sehingga pasar itu tidak menjadi kacau.

Tetapi agaknya para pengikut Ki Saba Lintang tidak akan menghiraukan keadaan seperti itu.

Untuk mengurangi keresahan banyak orang, maka Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani tidak segera keluar dari pasar. Mereka berlama-lama berkeliling di dalam pasar yang sangat sibuk itu. Bahkan mereka berlama-lama memilih kain lurik yang pantas untuk Rara Wulan. Bahkan Sekar Mirah telah minta agar Nyi Dwani juga memilih kain yang disenangi.

“Tetapi?” Nyi Dwani ragu-ragu.

Namun Sekar Mirah pun berbisik, “Biarlah aku yang membayarnya. Nyi Dwani dan Nyi Wilis agaknya membutuhkan kain untuk membuat baju yang sesuai. Kain panjang dan selendang.”

“Ah. Aku akan terlalu membebani Nyi Lurah.”

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa.”

Nyi Dwani memang ragu-ragu. Tetapi akhirnya bersama-sama dengan Rara Wulan, ia pun memilih kain lurik yang disenanginya. Sementara itu, Rara Wulan pun telah memilih kain lurik bagi Nyi Wilis.

“Aku tidak tahu, apakah Nyi Wilis senang atau tidak dengan warna kain ini.”

“Pilihlah warna kuning,” desis Sekar Mirah, “meskipun Nyi Wilis bukan Srigunting Kuning, tetapi ia adalah saudara seperguruannya, yang kemudian justru disebut Srigunting Kuning yang putih.”

Dengan demikian, maka Sekar Mirah, Rara Wulan, dan Nyi Dwani tidak segera keluar dari pasar. Mereka menunggu matahari semakin tinggi. Orang-orang yang berjejal di pasar pada hari pasaran itu sudah menjadi jauh susut.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ki Saba Lintang telah menugaskan orang-orangnya untuk menjemput Nyi Dwani dan berusaha menculik Rara Wulan lagi. Tetapi Ki Saba Lintang pun yakin bahwa tentu ada kekuatan yang membayangi, Karena Rara Wulan sudah berani pergi ke pasar hanya dengan Sekar Mirah, bahkan dengan Nyi Dwani pula. Di hari-hari terakhir, mereka mencoba mengamati keadaan. Demikian pula hari itu. Namun mereka tidak melihat sekelompok pengawal yang berkeliaran di sekitar pasar.

“Apakah Nyi Lurah itu terlalu sombong dan sangat merendahkan kita?” bertanya Nyi Suluh kepada suaminya

“Mungkin. Tetapi ingat, di antara orang-orang yang hilir mudik itu tentu ada orang-orang yang mengamati mereka bertiga. Orang-orang yang akan dengan cepat bertindak. Bahkan menurut Nyi Dwani, Nyi Lurah itu akan dapat dengan cepat menggerakkan para pengawal Tanah Perdikan.”

“Tetapi aku tidak melihat para pengawal,” desis Nyi Suluh, “anak-anak pun tidak melaporkan ada sekelompok pengawal. Jika mereka berada di antara mereka yang ada di pasar, jumlah mereka tentu hanya sedikit.”

Ki Suluh termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Berapa pun jumlah mereka, aku tidak peduli. Bukankah kita sudah mendapat laporan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu sudah pergi ke baraknya, sehingga ia tidak ada di sekitar tempat ini? Kita pun sudah mendapat laporan, bahwa setidak-tidaknya salah seorang dari keluarga Agung Sedayu yang berilmu tinggi ada di rumah bersama Empu Wisanata.”

“Tetapi aku percaya, bahwa tanpa kekuatan yang melindungi, Rara Wulan tidak akan berani pergi ke pasar, apalagi dengan Nyi Dwani.”

“Kita sangat sulit untuk menghubungi Nyi Dwani hari ini. Mungkin Nyi Lurah sudah menaruh curiga bahwa Nyi Dwani berusaha mencari hubungan dengan kita.”

Sejenak keduanya terdiam. Namun kemudian Ki Suluh berdesis, “Matahari sudah hampir sampai ke puncak. Mereka bertiga masih belum lewat.”

“Apakah mungkin mereka mengambil jalan lain?”

“Jika demikian, pengawas yang kita pasang di pasar itu akan memberikan laporan.”

Nyi Suluh-lah yang kemudian berdesah, “Kita harus menunggu.”

“Anak-anak itu akan dapat kehilangan kesabaran.”

“Kita tidak mempunyai pilihan lain.”

Tetapi sebelum mulut Nyi Suluh terkatup rapat, mereka melihat seorang yang bertubuh tinggi sambil menjinjing kapak datang mendekati sambil berkata, “Sampai kapan kita harus menunggu?”

“Kita harus sabar,” jawab Ki Suluh.

“Tetapi semua orang sudah pulang dari pasar. Pasar itu sudah menjadi lengang.”

Ki Suluh termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia melihat orang yang masih terhitung muda mendatangi mereka.

“Bagaimana?” bertanya Ki Suluh dengan serta-merta.

“Mereka masih berada di pasar. Mereka sedang memilih kain lurik. Setumpuk kain dibongkar untuk memilih tiga atau empat lembar saja.”

Nyi Suluh-lah yang menyahut, “Kebiasaan perempuan. Setelah membongkar dagangan segeledeg, kadang-kadang mereka tidak jadi membeli selembar pun.”

“Aku tidak sabar lagi. Marilah kita susul saja mereka di pasar.”

“Keributan di pasar akan memberi kesempatan mereka untuk melarikan diri,” jawab Ki Suluh, “mereka bukan orang-orang kebanyakan. Mereka memiliki ilmu yang tinggi.”

“Tetapi nampaknya mereka sudah hampir selesai,” berkata orang yang masih terhitung muda itu, salah seorang yang mengawasi Sekar Mirah di dalam pasar.

Tetapi orang yang bersenjata kapak itu bergeremang, “Hampir. Ukuran apakah yang kau pakai untuk mengatakan hampir? Sampai nanti petang pun kau dapat menyebutnya hampir.”

“Mereka tadi sudah membayar harga kain. Karena itu, aku mendahului. Dua orang kawan masih berada di pasar.”

“Minggirlah,” berkata Ki Suluh, “jika mereka melihat kau berdiri di situ sambil menjinjing kapak, mereka akan menjadi curiga.”

Orang bersenjata kapak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku berada di bawah pohon gayam itu. Di atas tanggul, bersama kawanku itu.”

Ki Suluh menarik nafas panjang. Dua orang saudara seperguruan orang yang membawa kapak itu pun agaknya sudah menjadi gelisah. Tetapi mereka harus tetap menunggu.

Sementara itu. Sekar Mirah memang menunggu pasar itu menjadi lengang. Jika terjadi keributan, pasar itu sudah tidak begitu ramai lagi. Apalagi di hari pasaran. Sekar Mirah menunggu orang-orang yang berjualan sudah menyusut. Demikian pula orang-orang berbelanja. Sebagian besar di antara mereka sudah selesai dan sudah meninggalkan pasar yang menjadi lengang.

Dalam pada itu, dua orang yang mengusung masing-masing seikat kayu bakar agaknya menjadi kelelahan. Mereka pun berhenti tidak terlalu jauh dari tempat Ki Suluh dan Nyi Suluh, dan duduk di atas tunggal di pinggir jalan. Sementara itu orang yang bersenjata kapak beserta dua orang saudara seperguruannya duduk membelakangi jalan. Namun rasa-rasanya mereka itu bagaikan duduk di atas bara karena kegelisahan. Mereka merasa sudah terlalu lama menunggu. Namun yang ditunggu masih belum lewat

“Hampir,” berkata orang yang bersenjata kapak itu.

“Jika beberapa saat lagi mereka tidak lewat, disetujui atau tidak, aku akan menyusul Nyi Dwani ke pasar.”

“Ki Saba Lintang akan marah.”

“Tidak. Apakah pantas, Ki Suluh itu menyiksa kita setengah hari?”

Orang bersenjata kapak itu tidak menyahut. Ia sendiri merasa bosan duduk menunggu di pinggir jalan itu.

Baik Ki Suluh, Nyi Suluh maupun ketiga orang itu tidak menghiraukan kedua orang penjual kayu yang berhenti di bawah sebatang pohon gayam yang lain. Agaknya ikatan-ikatan kayu itu memang berat, sehingga mereka berdua merasa perlu beristirahat.

Ketika ada seorang penjual dawet cendol lewat maka kedua orang yang sedang beristirahat itu menghentikannya. Agaknya keduanya memang sangat haus, sehingga masing-masing menghabiskan dua mangkuk dawet cendol.

Namun setelah meneguk masing-masing dua mangkuk, ternyata kedua orang itu tidak segera pergi. Seorang justru berbaring di atas tanggul sambil menutup wajahnya dengan capingnya yang tidak terlalu lebar. Sedangkan yang lain duduk bersandar pohon gayam yang masih belum terlalu tua, meskipun sudah berbuah.

Ki Suluh dan Nyi Suluh memperhatikan kedua orang itu. Namun ia tidak menyapanya, meskipun agaknya kedua orang itu menarik perhatiannya.

Ternyata bahwa Nyi Suluh pun telah memperhatikan kedua orang itu pula. Karena itu, maka ia pun berdesis, “Siapakah kedua orang itu?”

“Entahlah,” jawab Ki Suluh.

“Aku tidak senang atas kehadiran kedua orang itu di situ. Aku tidak menghiraukan orang yang lalu lalang. Tetapi kedua orang itu agaknya sengaja berhenti di situ.”

“Apakah kedua orang itu harus diusir?”

“Sebaiknya keduanya tidak ada di situ.”

Ki Suluh pun kemudian telah bersiap untuk mengusir kedua orang yang sedang beristirahat itu.

Tetapi langkahnya terhenti. Seorang lagi telah datang kepadanya sambil berdesis, “Ketiga orang itu sudah keluar dari pasar dan berjalan kemari.”

“Kau tinggalkan ketiga orang itu? Jika mereka mengambil jalan lain, kita dapat kehilangan jejak.”

“Bukankah masih ada seorang kawanku yang mengikutinya? Sementara itu kami yakin bahwa mereka akan mengambil jalan ini.”

Ki Suluh pun menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Kita menunggu mereka di sini.”

“Aku akan memberitahukan kepada kawan-kawan yang berada di kedai itu.”

“Cepat! Kita harus mengepung mereka agar tidak sempat melarikan diri. Ingat, aku yakin bahwa Rara Wulan berada di bawah perlindungan satu kekuatan yang tidak semata-mata. Mungkin kedua orang yang mengusung kayu itu. Tetapi mungkin yang lain lagi. Karena itu, kalian tidak boleh lengah. Awasi keadaan di sekitar kita dengan seksama.”

“Kawan-kawan yang lain yang bertebaran menunggu isyarat, jika mereka diperlukan.”

“Berandal-berandal kecil itu hanya akan mengacaukan langkah-langkah kita. Meskipun demikian, biarlah kita memberikan peranan kepada mereka, agar mereka merasa dirinya berarti.”

“Peranan apa yang dapat diberikan kepada mereka?”

“Berputar-putar di sekitar arena.”

Orang yang memberitahukan bahwa Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Rara Wulan sudah keluar dari pasar itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan ke kedai itu lebih dahulu. Mereka tentu juga sudah merasa jemu menunggu.”

Orang itu tidak menunggu jawaban Ki Suluh. Ia pun segera berlari ke kedai yang tidak jauh dari tempat Ki Suluh dan Nyi Suluh menunggu.

Tetapi orang itu terkejut demikian ia melangkah memasuki pintu kedai itu.

“Apa yang terjadi?” bertanya orang itu.

Seorang yang melangkah gontai menyahut, “Pemilik kedai itu gila.”

“Kenapa?”

“Ia mengusir kami. Padahal kami belum selesai makan dan minum.”

Orang yang memasuki kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Bau tuak tercium di mana-mana. Agaknya beberapa orang kawannya yang menunggu di kedai itu terlalu banyak minum tuak, sehingga menjadi mabuk atau setengah mabuk.

“Kau apakan pemilik kedai dan pembantunya itu?”

“Tidak aku apa-apakan. Orang-orang itu mabuk tuak. Biar saja. Nanti akan sembuh sendiri.”

“Kalian memang gila. Cepat! Kalian di panggil Ki Suluh. Orang yang kita tunggu sudah akan lewat.

“Sudah atau akan?” teriak yang lain, yang berbaring di atas amben panjang. Sebuah mangkuk berisi nasi dan lauknya tumpah di sebelahnya.

“Sebentar lagi,” jawab orang yang datang itu.

Orang itu berusaha bangkit. Katanya, “Aku sudah jemu menunggu di sini. Pemilik kedai itu memang gila. Ia minta kami membayar makanan dan minuman. Tidak ada orang yang pernah minta kami membayar makanan dan minuman yang kami makan dan kami minum.”

“Kalian telah membuat persoalan sebelum tugas pokok kita dapat kita selesaikan.”

“Tugas pokok kita tidak akan terganggu.”

“Marilah, cepat! Sebelum orang-orang itu lolos.”

Tiga orang yang berada di dalam itu pun kemudian melangkah tertatih-tatih ke pintu. Mulut mereka berbau tuak dan mata mereka separuh terpejam.

“Ingat!” berkata orang yang memanggil mereka, “Tugas kita adalah menjemput Nyi Dwani dan menculik lagi Rara Wulan. Jika kalian dapat membawa, bawa saja Nyi Lurah Agung Sedayu. Mungkin akan berarti bagi kalian.”

“Tongkat baja putih itu sangat berbahaya.”

“Aku tidak melihat senjatanya. Ia tentu tidak membawa tongkat baja putih jika ia pergi ke pasar.”

Orang yang agak mabuk tuak itu tertawa. Katanya, “Jika demikian, aku akan menangkapnya,”

“Tetapi cepatlah sedikit. Kita tidak boleh terlambat!”

Mereka pun kemudian bergegas turun ke jalan. Seorang di antara mereka hampir saja jatuh terjerembab. Namun orang itu berhasil menguasai keseimbangannya.

Orang yang memanggil mereka ke kedai itu pun tiba-tiba memberi isyarat agar mereka berjalan lebih lambat. Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Rara Wulan hanya beberapa langkah saja di hadapan mereka, berjalan sambil berbincang.

Sementara itu beberapa puluh langkah di depan mereka, Ki Suluh dan Nyi Suluh berdiri di pinggir jalan sambil bercakap-cakap pula. Nampaknya mereka sama sekali tidak menghiraukan ketiga orang yang memang mereka tunggu.

“Apakah mereka tidak mengenali kita?” desis Nyi Suluh.

“Tentu tidak,” jawab Ki Suluh, “dua hari yang lalu, mereka tidak mengetahui bahwa kita telah menemui Nyi Dwani. Mereka tentu mengira bahwa kita hanya kebetulan bersama-sama membeli gula. Nyi Dwani tentu bukan orang gila yang memberitahukan kehadiran kita di pasar. Bahkan sekarang pun Nyi Dwani yang tentu telah melihat kita berdiri di sini, tidak akan memberitahukan kepada Nyi Lurah dan Rara Wulan.”

Nyi Suluh tersenyum. Katanya kemudian, “Di belakang mereka, orang-orang kita telah mengikutinya. Empat orang.”

Ki Suluh mengangguk-angguk. Katanya, “Sekarang, Rara Wulan tidak akan lepas lagi.”

Dalam pada itu, orang berkapak itu pun telah diberi tahu pula, bahwa orang yang mereka tunggu telah datang.

Ketiga orang yang duduk membelakangi jalan itu pun segera bangkit berdiri. Demikian mereka berbalik, maka mereka pun segera melihat tiga orang perempuan melangkah semakin lama menjadi semakin dekat dengan Ki Suluh dan Nyi Suluh.

Nyi Dwani yang berjalan di sebelah Sekar Mirah pun berdesis, “Nah, lihat. Di depan kita itu adalah Ki Suluh dan Nyi Suluh. Tetapi seperti yang aku katakan, mereka tentu tidak hanya berdua. Orang yang membawa kapak, yang baru saja bangkit berdiri bersama kedua orang yang lain itu, tentu kawan Ki Suluh pula.”

“Oh,” Sekar Mirah mengangguk-angguk, “mereka kerahkan orang-orang berilmu tinggi untuk menjemputmu dan mengambil Rara Wulan lagi?”

“Agaknya memang begitu. Nah, apakah Nyi Lurah siap menghadapi mereka?”

“Tentu, aku sudah siap.”

“Tetapi Nyi Lurah tidak bersenjata.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Seakan-akan di luar sadarnya ia pun berdesis, “Apakah senjata itu penting sekali? Jika kita yakin akan kemampuan kita, maka senjata tidak akan menjadi sangat menentukan. Meskipun demikian, untuk melawan orang-orang yang bersenjata, sebaiknya kita bersenjata pula.”

“Tetapi Nyi Lurah tidak membawa senjata,” Nyi Dwani menegaskan.

“Nyi. Sebagaimana Ki Suluh dan Nyi Suluh mempersiapkan diri, kita pun sudah mempersiapkan diri pula. Bukankah sejak semula kita sudah menduga, bahwa Ki Suluh dan Nyi Suluh tidak akan datang berdua saja?”

“Apakah Nyi Lurah sudah mempersiapkan diri?”

“Ya,” jawab Sekar Mirah.

Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Ia tidak melihat kekuatan yang ada di belakang Sekar Mirah. Bahkan senjata pun Sekar Mirah tidak membawanya.

Dalam pada itu, ketika Ki Suluh dan Nyi Suluh siap menghentikan Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Rara Wulan, tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang yang membawa masing-masing seikat kayu itu berdesis, “Nah, itulah mereka. Sudah bosan menunggu di sini.”

Orang yang berbaring dan menutupi wajahnya dengan caping itu pun bangkit sambil berkata, “Perempuan-perempuan itu tidak tahu diri. Mereka membeli kayu lima keping dua ikat, telah memaksa kita menunggu di sini sampai mataku hampir terpejam. Apa kerja mereka di pasar? Jika kita tadi berjalan terus, kita sudah dapat melakukan kerja yang lain. Tidak duduk-duduk saja di sini tanpa arti sama sekali.”

Ki Suluh sempat berpaling. Ternyata kedua orang itu juga menunggu Sekar Mirah. Agaknya Sekar Mirah membeli dua ikat kayu. Tetapi penjualnya harus membawa kayu bakar itu sampai ke rumahnya.

Dalam pada itu, Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Rara Wulan menjadi semakin dekat. Ketika dengan tidak sengaja Nyi Dwani berpaling, maka ia pun terkejut. Dengan serta-merta ia pun berdesis, “Nyi Lurah. Ada empat orang di belakang kita. Aku yakin, mereka tentu orang-orang yang akan membantu Ki Suluh dan Nyi Suluh.”

Tanpa segan-segan Sekar Mirah berpaling. Bahkan sempat memandang keempat orang itu dengan teliti. Sambil tersenyum Sekar Mirah pun berkata, “Ada di antara mereka yang sedang mabuk.”

Nyi Dwani mengangguk.

Nyi Suluh yang melihat sikap Sekar Mirah itu pun berdesis, “Agaknya mereka mulai menjadi curiga.”

“Kita akan segera menghentikan mereka,” berkata Ki Suluh. Nyi Suluh mengangguk kecil.

Demikianlah, ketika Sekar Mirah melangkah di depan Ki Suluh dan Nyi Suluh pun bergeser selangkah maju. Nyi Dwani masih saja berpura-pura tidak mengenalinya, meskipun jantungnya berdegupan semakin cepat.

“Maaf Nyi Lurah,” berkata Ki Suluh, “aku mohon kesediaan Nyi Lurah untuk berhenti sekejap.”

Sekar Mirah berpaling. Katanya, “Oh, Ki Sanak menghentikan aku atau orang lain?”

“Nyi Lurah. Nyi Lurah Agung Sedayu. Bukankah kau Nyi Lurah Agung Sedayu?”

“Ya Ki Sanak. Aku Nyi Lurah Agung Sedayu. Siapakah Ki Sanak berdua?”

Tetapi sebelum Ki Suluh menjawab, penjual kayu itulah yang melangkah cepat-cepat mendekat sambil berkata, “Nyi, bagaimana dengan kayunya? Aku sudah menunggu sampai hampir tertidur di sini. Kami berdua minta tambahan upah membawa kayu itu sampai ke rumah Nyi Lurah, atau aku biarkan kayu itu di sini.”

“Kalian berjanji untuk membawa kayu itu sampai ke rumah tanpa upah. Kita sudah saling menyetujui harganya.”

“Tetapi tidak untuk menunggu sampai setengah hari.”

“Kenapa kalian tidak langsung ke rumah? Bukankah kalian sudah tahu di mana letak rumahku?”

“Seandainya kami berjalan dahulu, kami pun harus menunggu, karena Nyi Lurah belum membayar harganya.”

Sekar Mirah tersenyum. Tetapi debar di jantung Nyi Dwani menjadi semakin cepat. Itulah kenapa agaknya Nyi Lurah tampak tenang-tenang saja. Kedua orang penjual kayu itu adalah Sabungsari dan Sayoga.

Karena itu, dengan serta-merta Nyi Dwani pun mengamati, seikat kayu itu dengan seksama. Darahnya tersirap ketika ia melihat sesuatu yang berkilat di bawah seikat kayu itu. Tongkat baja putih Sekar Mirah.

Agaknya Sekar Mirah mengerti bahwa Nyi Dwani telah mengenali kedua penjual kayu itu, dan mengetahui bahwa senjatanya ada di dalamnya. Karena itu, maka ia pun tersenyum sambil berdesis, “Nyi, kita harus menambahi upah kedua penjual kayu ini.”

Nyi Dwani menjadi sangat canggung. Tetapi ia belum menjawab, Ki Suluh pun telah membentak kedua orang penjual kayu itu, “Jangan mengganggu! Aku ingin berbicara kepada Nyi Lurah.”

Kedua penjual kayu itu tidak melangkah surut. Tetapi keduanya dengan beraninya menatap Ki Suluh. Seorang di antara mereka berkata, “Aku juga berkepentingan dengan Nyi Lurah.”

“Aku tidak peduli,” jawab Ki Suluh. Sementara itu, orang yang bersenjata kapak dan kedua orang kawannya telah berdiri tidak jauh pula dari mereka

Karena itu, maka Ki Suluh itu pun kemudian berkata kepada orang yang membawa kapak itu, “Singkirkan orang-orang ini. Mereka hanya akan mengganggu saja.”

Orang bersenjata kapak itu pun kemudian berpaling kepada kedua orang penjual kayu itu. Dengan garang ia pun membentak, “Pergi! Atau aku kapak kepalamu!”

“Tetapi aku telah dirugikan oleh perempuan-perempuan itu.”

“Itu urusanmu. Tetapi kalian harus pergi!”

Seorang di antara kedua orang penjual kayu itu pun kemudian berkata, “Jika demikian, aku rusakkan saja ikatan kayu ini. Meskipun aku tidak dibayar, tetapi aku akan menjadi puas.”

Tanpa banyak berbicara orang itu melangkah mendekati orang bersenjata kapak itu sambil berkata, “Aku pinjam kapakmu.”

Orang bersenjata kapak itu seakan-akan telah dicengkam oleh suasana yang tidak terelakkan. Ia memberikan begitu saja kepaknya kepada penjual kayu itu.

Bahkan Ki Suluh, Nyi Suluh dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya berdiri mematung ketika orang yang menggenggam kapak itu mengangkat kapaknya dan mengayunkannya untuk memotong tali-tali pengikat kayu bakarnya

Kapak itu adalah kapak yang tajam. Sekali sentuh, tali itu pun telah terputus.

Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu pun terbelalak ketika mereka melihat benda-benda yang terselip di antara seikat kayu bakar itu. Sebelum mereka sadar sepenuhnya, maka orang yang mengaku penjual kayu yang seorang lagi telah memungut benda-benda itu dan melemparkannya kepada Nyi Lurah dan Rara Wulan. Sebatang tongkat baja putih dan sebuah pedang yang masih berada di dalam sarungnya. Sementara itu Sabungsari pun telah memungut pedangnya sendiri yang juga berada di antara jelujur-jelujur kayu bakar itu.

“Gila!” Ki Suluh dan Nyi Suluh pun meloncat mundur. Demikian pula orang yang bersenjata kapak namun yang kapaknya justru berada di tangan Sabungsari, serta kedua orang saudara seperguruannya.

Empat orang yang berada di belakang Sekar Mirah pun terkejut pula. Seorang yang setengah mabuk berteriak-teriak, “Berikan tongkat baja putih itu!”

Yang tertawa kemudian adalah dua orang yang lain, yang berada beberapa langkah di belakang keempat orang itu.

Ketika orang-orang yang menghentikan Sekar Mirah itu berpaling, maka mereka pun menjadi tegang. Jantung Nyi Dwani justru berdegup semakin keras. Keduanya adalah Ki Wijil dan Nyi Wijil.

Tanpa menghiraukan orang-orang yang kebingungan itu, Ki Wijil dan Nyi Wijil pun melangkah dengan tenangnya mendekati Sayoga sambil berkata, “Manakah senjataku?”

Sabungsari yang masih memegang kapak itu pun telah memutuskan tali pengikat kayu yang semula diangkat di atas kepala Sayoga. Demikian tali itu putus, maka Sayoga pun segera memungut sepasang pedang Srigunting Kuning yang putih itu, serta pedang Ki Wijil.

Nyi Dwani-lah yang kemudian bagaikan membeku di tempatnya. Ternyata Nyi Lurah telah mempersiapkan segala-galanya di luar dugaannya. Sementara itu Nyi Dwani pun sadar, bahwa Empu Wisanata yang berada di rumah Ki Lurah Agung Sedayu tentu ditunggui oleh Ki Jayaraga.

Gigi Ki Suluh dan Nyi Suluh pun gemeretak oleh kemarahan yang menyala di dada mereka.

Sementara itu Sekar Mirah pun berkata lantang, “Kami sudah mengira bahwa saat seperti ini akan datang. Jika kami pergi ke pasar, maka kalian tentu memanfaatkan kesempatan itu. Ternyata dugaan kami benar. Kalian pun telah membawa beberapa orang berilmu tinggi untuk mengambil Rara Wulan kembali. Tetapi tentu saja bahwa kami tidak akan memberikannya.”

Dalam pada itu, Nyi Dwani pun berdesis, “Nyi Lurah. Ternyata sekali lagi Nyi Lurah mengelabui aku.”

“Apa aku mengelabui Nyi Dwani sekarang ini?”

Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi Sekar Mirah melihat mata perempuan itu menjadi basah.

“Nyi Dwani,” berkata Ki Suluh, “jangan cemas! Kami akan membebaskan Nyi Dwani sekaligus mengambil kembali Rara Wulan. Tidak seorang pun akan dapat mencegah kami.”

Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sekar Mirah menjadi tegang. Bahkan Sekar Mirah itu pun telah memutuskan di dalam hatinya, jika Nyi Dwani berkhianat dan berpihak kepada Ki Suluh dan Nyi Suluh, maka tidak ada pilihan daripada menghabisinya. Sekar Mirah merasa sudah cukup bersabar menghadapi perempuan itu.

Namun ternyata Nyi Dwani itu menjawab, “Maaf, Ki Suluh dan Nyi Suluh. Tenagaku tidak dapat aku pergunakan seutuhnya. Ki Lurah Agung Sedayu masih belum membebaskan aku, sehingga untuk melawan kanak-kanak pun aku tidak akan mampu sekarang ini.”

“Kau harus mencoba!”

“Aku tidak ingin membunuh diri. Kecuali jika Ki Suluh mampu membebaskan aku, sehingga aku akan dapat bertempur bersama Ki Suluh dan Nyi Suluh.”

Ki Suluh termangu-mangu sejenak. Namun orang yang agak mabuk itu tiba-tiba berteriak, “Apa peduli kita dengan kemampuan Nyi Dwani yang terbelenggu? Kita bunuh saja mereka semuanya. Kita bawa Nyi Dwani dan Rara Wulan bersama kita.”

Salah seorang saudara seperguruan orang berkapak itu pun menyahut tidak kalah lantangnya, “Apalagi yang kita tunggu?”

Orang berkapak itu tiba-tiba berteriak, “Kembalikan kapakku!”

Sabungsari tertawa. Katanya, “Kenapa kau berikan kapakmu kepadaku? Kau harus bertempur tanpa senjata. Akulah yang akan mempergunakan kapakmu ini.”

“Setan kau! Cepat berikan! Atau aku belah kepalamu.”

“Dengan apa kau membelah kepalaku?”

Orang bersenjata kapak itu menggeram. Senjatanya sudah berada di tangan lawannya. Demikian mudahnya.

Kedua saudara seperguruan orang bersenjata kapak itu pun kemudian telah mencabut golok mereka. Dengan garang mereka menyerang Sabungsari dan Sayoga.

Namun Sabungsari dan Sayoga pun sudah siap menghadapi mereka, sehingga karena itu maka mereka pun telah terlibat dalam pertempuran yang garang. Sabungsari justru telah menyelipkan pedangnya yang masih berada di sarungnya pada ikat pinggangnya, sementara ia telah mempergunakan kapak yang di tangannya itu sebagai senjata

Namun ternyata Sabungsari juga memiliki kemampuan untuk mempermainkan kapak yang berat itu. Bahkan di tangan Sabungsari kapak itu tidak kalah berbahayanya daripada apabila kapak itu berada di tangan pemiliknya.

Ki Suluh dan Nyi Suluh juga tidak menunggu lebih lama lagi. Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, Ki Wijil dan Nyi Wijil telah berada di hadapan mereka. Dengan nada rendah Ki Wijil berkata, “Biarlah yang tua-tua membuat arena permainan sendiri, Ki Sanak.” 

“Ternyata orang-orang Tanah Perdikan ini licik,” geram Ki Suluh.

“Ah,” Ki Wijil berdesah, “apanya yang licik? Permainan kita adalah permainan yang menarik. Kita saling merunduk. Apa salahnya?”

“Memang tidak ada yang salah. Tetapi jangan menyesal jika permainan ini membawa akibat buruk bagimu, dan barangkali juga bagi perempuan yang agaknya istrimu itu.”

“Ya. Ia adalah istriku. Ia akan dapat bermain dengan istrimu. Sebenarnya istriku lebih senang bermain dakon daripada bermain pedang. Tetapi jika istrimu menghendaki, maka agaknya istriku juga tidak berkeberatan.”

Nyi Suluh-lah yang menyahut, “Baiklah. Tetapi jangan kau tangisi jika istrimu terbunuh. Aku lebih suka berkata terus terang bahwa aku akan membunuh istrimu.”

Ki Wijil pun tertawa katanya, “Istriku akan dapat menjaga dirinya sendiri. Kami pun sudah berjanji, bahwa kami akan saling menangisi jika salah seorang di antara kami terbunuh dalam pertempuran. Tetapi jika kami berdua terbunuh bersama-sama, maka tidak akan ada yang menangisi kami. Namun kami akan memilih untuk dapat bertahan hidup. Kami lebih senang membunuh daripada dibunuh.”

Ki Suluh mengerutkan dahinya Namun sebelum ia berkata sesuatu, Nyi Suluh sudah menyingsingkan kain panjangnya Agaknya ia memang sudah bersiap dengan pakaian khususnya di bawah pakaian perempuannya

Nyi Wijil telah bersiap pula. Bahkan ia tidak sekedar menyingsingkan kain panjangnya. Tetapi Nyi Wijil sengaja melepas kain panjangnya dan bahkan bajunya.

Ki Suluh dan Nyi Suluh terkejut. Mereka melihat seorang perempuan dengan pakaian yang ciri-cirinya dapat dikenalinya. Hampir berbareng Ki Suluh dan Nyi Suluh berdesis, “Srigunting Kuning.”

“Kalian pernah bertemu dengan Srigunting Kuning?” bertanya Nyi Wijil.

Ki Suluh dan Nyi Suluh itu pun menggeleng. Dengan nada berat Ki Suluh berkata, “Aku belum pernah bertemu dengan orangnya, tetapi aku mengenal ciri-cirinya. Beruntunglah bahwa akhirnya aku sempat juga berhadapan dengan Srigunting Kuning.”

“Baiklah. Aku tidak akan memberikan tanggapan apapun juga. Nah, sekarang bersiaplah.”

Nyi Wijil sempat menggulung pakaian perempuannya dan melemparkannya ke onggokkan kayu bakar yang telah terserak karena talinya sudah diputus.

Sejenak kemudian, Nyi Wijil itu pun telah bertempur melawan Nyi Suluh. Dua orang yang rambutnya sudah mulai beruban. Namun ternyata keduanya masih mampu bergerak dengan cepat dan tangkas.

Sementara itu, Ki Suluh harus berhadapan dengan Ki Wijil. Keduanya pun adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Yang kemudian harus berhadapan dengan orang-orang yang berbau tuak itu adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sekar Mirah sendiri tidak cemas tentang dirinya sendiri. Tetapi Sekar Mirah cemas ketika ia menyadari bahwa Rara Wulan harus berhadapan dengan dua orang lawan. Untunglah bahwa kedua-duanya tidak berada dalam kesadaran penuh. Seorang di antara mereka masih merasa pening karena mabuk, sementara kawannya lebih berat lagi. Matanya sedikit kabur. Otaknya tidak dapat bekerja sepenuhnya.

Sementara itu, Sekar Mirah juga harus bertempur melawan dua orang. Meskipun seorang di antaranya sedikit mabuk, tetapi orang itu masih mampu mengatasi mabuknya, sehingga orang itu mampu bertempur dengan baik.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja beberapa orang datang menghambur. Mereka adalah para pengikut Ki Saba Lintang. Meskipun mereka bukan orang-orang berilmu setinggi orang-orang yang lebih dahulu hadir di tempat itu, namun jumlah mereka ternyata cukup banyak.

Sekar Mirah memang menjadi cemas. Jika lawan Rara Wulan bertambah lagi, maka ia akan benar-benar dalam keadaan bahaya.

Karena itu, maka tongkat Sekar Mirah pun segera terayun-ayun mengerikan. Apalagi lawan-lawannya menyadari bahwa tongkat baja putih itu adalah senjata pertanda kepemimpinan perguruan Kedung Jati, sehingga pengaruhnya sangat terasa dalam pertempuran itu. Kedua lawan Sekar Mirah tidak mau dengan serta-merta membenturkan senjata-senjata mereka pada tongkat baja putih itu.

Sebenarnyalah sejenak kemudian orang-orang yang datang menghambur dari beberapa arah itu telah mengepung arena pertempuran. Ki Suluh-lah yang kemudian meneriakkan aba-aba, “Kepung mereka! Kali ini tidak boleh gagal!”

Orang-orang yang datang kemudian itu pun kemudian bukan sekedar melingkari arena pertempuran, tetapi mereka mulai bergerak berputaran. Kepungan mereka menjadi semakin rapat Seorang-seorang mulai terlepas dari lingkaran dan menyusup ke dalam arena pertempuran.

Sekar Mirah benar-benar menjadi cemas. Tiga orang dengan cepat bergerak di sekitar Rara Wulan. Mereka sadar betul bahwa gadis itu adalah sasaran utamanya. Sedangkan tiga orang yang lain dengan cepat mulai mendekati Nyi Dwani. Perempuan itu pun harus dibebaskan dari tangan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

Rara Wulan telah mengerahkan segenap kemampuannya Orang-orang yang mabuk itu masih dapat diimbanginya Tetapi ketika kemudian datang lagi tiga orang yang mengeroyoknya, maka Rara Wulan pun segera mengalami kesulitan.

Sekar Mirah yang melihat keadaannya, berusaha untuk dapat membantunya. Tetapi beberapa orang dengan sengaja telah memisahkannya dari Rara Wulan.

Sementara itu, ketika tiga orang yang mendekati Nyi Dwani bersiap untuk membawanya, maka Nyi Dwani itu pun berkata, “Tunggu! Aku ingin melihat orang-orang itu tidak berdaya lagi.”

Karena itu, maka ketiga orang itu tidak segera membawa Nyi Dwani pergi. Mereka hanya membawa Nyi Dwani menepi.

Dalam pada itu, betapapun Sekar Mirah berusaha, tetapi ia benar-benar telah terkepung pula. Jaraknya dengan Rara Wulan justru menjadi semakin jauh.

Sabungsari juga melihat kesulitan yang dialami oleh Sekar Mirah. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus memecahkan perlawanan saudara seperguruan orang berkapak itu serta orang berkapak itu sendiri, yang kemudian telah merebut senjata salah seorang pengikut Ki Saba Lintang yang datang kemudian.

Bukan saja Sekar Mirah, Sabungsari dan Sayoga saja-lah yang menjadi gelisah melihat Rara Wulan. Tetapi Ki Wijil dan Nyi Wijil pun menjadi gelisah pula. Tugas mereka semuanya adalah melindungi Rara Wulan, sementara Rara Wulan berada dalam bahaya. Bahkan Nyi Dwani pun menjadi gelisah pula. Ia tidak lagi merasa cemburu seandainya Rara Wulan berhasil diambil lagi oleh para pengikut Ki Saba Lintang. Tetapi ada semacam ketidak-relaan melihat Rara Wulan, yang menurut pendapatnya adalah seorang gadis yang baik, jatuh ke tangan orang-orang yang akan mempergunakannya untuk memeras tongkat baja putih. Sementara tongkat baja putih itu akan diperuntukkan baginya.

Dalam keadaan yang paling gawat, hampir saja Nyi Dwani justru akan terjun untuk ikut melindungi Rara Wulan. Namun dengan demikian, akibatnya tentu akan sangat buruk baginya.

Dengan demikian perasaan Nyi Dwani benar-benar terbelah. Di satu sisi ia masih tetap merasa bagian dari Ki Saba Lintang, di sisi lain ia tidak sampai hati melihat Rara Wulan berada di tangan orang-orang kasar itu.

Sementara itu, Sabungsari yang gelisah, hampir saja menerapkan ilmu puncaknya untuk menyelesaikan lawan-lawannya dengan cepat, apapun akibatnya. Mungkin lawan-lawannya juga memiliki ilmu simpanan yang akan dapat mengimbangi ilmunya. Namun ia tidak akan membiarkan Rara Wulan jatuh ke tangan para pengikut Ki Saba Lintang lagi, setelah dengan susah payah mereka berusaha membebaskannya.

Namun sebelum hal itu dilakukan, maka Sabungsari pun menarik nafas panjang. Ia sempat meloncat mengambil jarak untuk melihat sekelompok pengawal berlari-lari ke arena pertempuran. Di antara mereka adalah Glagah Putih.

Sekar Mirah pun tersenyum melihat kehadiran Glagah Putih. Hampir di luar sadarnya Sekar Mirah itu pun berkata, “Kau datang tepat pada waktunya, Glagah Putih.”

Glagah Putih menjawab dengan lambaian tangannya. Namun dengan cepat anak muda itu telah menyuruk memasuki arena pertempuran.

Ki Suluh dan Nyi Suluh melihat kehadiran beberapa orang pengawal. Namun mereka masih tetap yakin bahwa sekelompok orang yang dipimpinnya itu akan mampu menjemput Nyi Dwani dan menculik Rara Wulan lagi.

Sebenarnyalah Rara Wulan yang sudah menjadi cemas, sempat melonjak kegirangan ketika ia melihat Glagah Putih sudah berada di sebelahnya.

Ketika Glagah Putih berada selangkah di sebelahnya, Rara Wulan itu pun berkata, “Aku menunggu sampai jantungku hampir berhenti berdetak.”

Glagah Putih tertawa sambil berloncatan. Katanya, “Aku menunggu isyarat dari seorang pengawal yang aku tugaskan untuk mengawasi keadaan.”

Rara Wulan tidak bertanya lagi. Tetapi kehadiran Glagah Putih membuat kemampuannya seakan-akan bertambah-tambah.

Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran pun segera berubah. Para pengawal pun langsung menyerang orang-orang yang mengepung arena pertempuran. Mereka telah memecahkan kepungan yang dilakukan oleh para pengikut Ki Saba Lintang.

Tiga orang yang berusaha menangkap Rara Wulan pun telah meninggalkan gadis itu, karena mereka harus mempertahankan dirinya. Sedangkan tiga orang yang melindungi Nyi Dwani pun telah terdesak pula. Para pengawal Tanah Perdikan menyerang mereka dengan garangnya, sehingga mereka tidak dapat bertahan di tempatnya

Nyi Dwani berdiri saja bersandar dinding. Ia tidak dapat melibatkan diri dalam pertempuran itu. Ia tidak tahu di mana ia harus berdiri.

Ki Suluh yang bertempur melawan Ki Wijil yang melihat pertempuran itu, berkata, “Orang Tanah Perdikan ini benar-benar licik. Kalian tidak berani berbuat sesuatu tanpa membuat sebuah jebakan seperti ini. Kenapa kalian tidak berani menantang kami beradu dada? Kenapa kalian harus dengan licik menjebak kami?”

“Sudah aku katakan, bahwa kami memang sedang saling merunduk. Apakah kalian tidak sedang menjebak kami?”

“Persetan,” geram Ki Suluh. Lalu katanya, “dalam keadaan seperti ini, maka kami akan dapat berbuat apa saja agar rencana kami dapat berhasil.”

“Jika kau dapat berbuat apa saja untuk mencapai hasil yang sudah kalian rancang, maka kami pun dapat berbuat apa saja untuk menggagalkan rencana kalian.”

Ki Suluh tidak menyahut lagi. Serangan-serangannya pun datang membadai, melibat pertahanan Ki Wijil. Tetapi Ki Wijil yang berilmu tinggi itu tidak mudah ditundukkan.

Dengan demikian, maka pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin lama semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi

Tidak jauh dari keduanya, Nyi Suluh tengah bertempur melawan Nyi Wijil. Ternyata pedang rangkap Nyi Wijil telah membuat Nyi Suluh setiap kali berloncatan mundur untuk mengambil jarak. Serangan-serangan Nyi Wijil yang mengenakan ciri-ciri Srigunting Kuning datang seperti banjir.

Orang berkapak yang kehilangan kapaknya itu pun menyerang Sabungsari dengan garangnya. Seorang saudara seperguruannya telah membantunya, melibat Sabungsari dari arah yang berbeda.

Tetapi Sabungsari yang bersenjata kapak itu ternyata mampu mengimbangi kedua lawannya. Kapaknya yang besar itu berputaran dengan cepat. Kapak yang besar dan berat itu sama sekali tidak menghambat gerakan Sabungsari.

Orang yang memiliki kapak itu menjadi heran. Meskipun lawannya itu tidak terbiasa mempergunakan kapak, namun kemampuannya tidak kalah dari kemampuan pemilik kapak itu sendiri.

Meskipun demikian, dua orang saudara seperguruan itu merupakan lawan yang berat bagi Sabungsari. Beberapa kali Sabungsari itu terdesak surut. Namun Sabungsari dengan cepat mampu mengatasinya dan memperbaiki keadaannya.

Di sebelahnya Sayoga bertempur dengan garangnya. Seorang saudara seperguruan orang berkapak itu berusaha untuk menekannya dengan mengerahkan kemampuannya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sayoga-lah yang kemudian menekan orang itu semakin lama semakin berat. Meskipun orang itu meningkatkan ilmunya semakin tinggi, tetapi tataran kemampuan Sayoga memang lebih tinggi dari lawannya.

Meskipun demikian, jika Sayoga sedikit saja lengah atau membuat kesalahan, maka ia akan segera mengalami kesulitan.

Sekar Mirah masih berloncatan dengan tongkat baja putihnya. Lawannya kemudian memang tidak hanya dua orang, sedangkan yang seorang bahkan agak mabuk. Tetapi kemudian telah melibatkan diri beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang. Namun para pengawal Tanah Perdikan tidak membiarkan Sekar Mirah bertempur seorang diri melawan beberapa orang sekaligus.

Dalam pada itu, sebagaimana diperhitungkan oleh Sekar Mirah sebelumnya, pertempuran itu telah menimbulkan keributan. Beberapa orang yang pulang dari pasar menjadi bingung. Mereka berlari-larian menjauhi arena pertempuran.

Ketika orang-orang yang masih berada di dalam pasar mendengar berita pertempuran itu, mereka pun menjadi kalut.

Namun beberapa orang pengawal Tanah Perdikan yang sudah memperhitungkan hal itu, telah berada di pasar untuk menenangkan mereka. Setidak-tidaknya untuk mengurangi kekalutan yang terjadi. Bersama petugas yang mengurusi pasar itu, mereka mencoba untuk mengurangi kebingungan mereka yang masih berada di pasar.

“Jangan bingung!” teriak salah seorang yang bertanggung jawab atas keamanan dan kebersihan pasar, “Kami masih tetap ada di sini. Beberapa orang pengawal akan melindungi kita semuanya. Sementara pertempuran ini terjadi di kejauhan.”

Sebagian dari orang-orang yang masih berada di pasar itu memang dapat ditenangkan. Tetapi yang lain berlari-larian meninggalkan dagangan mereka.

Tetapi untunglah bahwa pasar itu memang sudah tidak terlalu ramai, sehingga para petugas dapat mengatasi pengamanan barang-barang yang ditinggalkan oleh pemiliknya.

Sementara itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Terutama Ki Suluh dan Nyi Suluh yang bertempur melawan Ki Wijil dan Nyi Wijil. Agaknya kedua belah pihak memang orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga arena pertempuran itu pun kemudian menjadi bagaikan angin pusaran. Kedua belah pihak saling menyerang, saling bertahan. Benturan-benturan pun terjadi semakin sering. Dentang senjata disertai dengan bunga api yang berhamburan.

Dalam pada itu, ternyata Sabungsari masih juga mempergunakan kapak. Rasa-rasanya kapak yang besar dan berat itu sesuai baginya. Meskipun kedua orang lawannya menekannya terus, namun Sabungsari masih mampu mengatasinya. Apalagi ketika para pengawal Tanah Perdikan Menoreh ikut melibatkan diri. Maka beban Sabungsari menjadi semakin ringan.

Sementara itu, Glagah Putih bertempur dengan garangnya pula. Apalagi ketika di tangannya telah tergenggam ikat pinggangnya. Maka satu, dua orang pengikut Saba Lintang itu pun telah terlempar dari arena.

Namun dalam pada itu, orang yang semula mabuk, semakin lama justru semakin menyadari apa yang telah terjadi. Karena itu, perlahan-lahan orang itu mulai menguasai penalarannya, sehingga ilmunya menjadi semakin mapan.

Glagah Putih yang menghadapinya menyadari pula bahwa orang itu menjadi semakin berbahaya Ketika ilmunya menjadi mapan, maka ternyata orang itu adalah orang yang berilmu tinggi.

Sebenarnya Glagah Putih masih mempunyai kesempatan selagi orang itu belum menguasai kesadarannya sepenuhnya, untuk menyelesaikannya. Tetapi Glagah Putih tidak sampai hati untuk melakukannya. Seandainya Glagah Putih membunuhnya, maka rasa-rasanya ia telah membunuh orang yang tidak berdaya

Karena itu, maka Glagah Putih pun menunggu orang itu menyadari keadaannya sepenuhnya. Sementara itu ia bertempur melawan beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang yang menyerangnya bersama-sama.

Dalam pada itu, Rara Wulan juga bertempur melawan seorang yang mabuk pula. Bahkan agak lebih berat dari orang yang melawan Glagah Putih. Namun Rara Wulan pun tidak menghujamkan senjata ke perut orang itu.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, keseimbangan pertempuran itu pun mulai menjadi condong. Para pengikut Ki Saba Lintang yang dipimpin oleh Ki Suluh dan Nyi Suluh menjadi semakin terdesak. Mereka semakin kesulitan menghadapi orang-orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan Menoreh.

Semula Ki Suluh dan Nyi Suluh menganggap bahwa tugas itu adalah tugas yang sederhana saja. Mencegat Nyi Lurah, Nyi Dwani dan Rara Wulan. Dengan cepat mereka menangkap Rara Wulan dan membawanya pergi bersama Nyi Dwani. Jika Nyi Lurah Agung Sedayu bersikeras untuk bertahan, maka jika perlu perempuan itu harus disingkirkan.

Tetap yang terjadi ternyata tidak sebagaimana direncanakan. Ternyata mereka telah bertemu dengan orang-orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan. Bahkan di antara mereka terdapat Srigunting Kuning.

Dengan demikian, Ki Suluh dan Nyi Suluh harus menilai keadaan dengan seksama. Apalagi mereka menyadari semakin lama kedudukannya menjadi semakin sulit. Satu-satu para pengikut Ki Saba Lintang yang menyertainya telah terlempar dari arena, terpelanting jatuh dengan luka yang menganga di tubuh mereka.

Sementara itu, yang justru berada di lingkaran yang mengepung arena pertempuran itu adalah para pengawal Tanah Perdikan.

Karena itu, maka Ki Suluh pun harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

Sambil bertempur Ki Suluh itu pun terdengar meneriakkan aba-aba yang tidak dimengerti. Beberapa orang menyahut perintah-perintah itu dengan isyarat yang juga tidak dapat dimengerti.

Namun sesaat kemudian, para pengikut Ki Saba Lintang yang dipimpin oleh Ki Suluh dan Nyi Suluh itu seakan-akan telah menghentak seluruh arena. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu memang terkejut. Beberapa orang di antara mereka pun telah terdesak mundur.

Namun yang terjadi kemudian, Ki Suluh telah memberikan isyarat yang tidak dapat dimengerti pula. Isyarat yang disahut oleh beberapa orang yang lain berturut-turut

Yang terjadi kemudian memang mengejutkan. Beberapa orang yang nampak tepercaya di antara mereka telah berusaha berkumpul dan bergabung dengan Ki Suluh dan Nyi Suluh. Dengan gerakan-gerakan yang aneh tetapi terkendali, mereka telah mengacaukan arena pertempuran.

Pada saat yang demikian itulah, Ki Suluh dan Nyi Suluh berusaha untuk melepaskan diri dari arena pertempuran.

Ki Wijil dan Nyi Wijil menjadi ragu-ragu. Kekalutan yang terjadi itu berhasil memberi kesempatan sesaat kepada Ki Suluh dan Nyi Suluh untuk melarikan diri dari pertempuran.

Ki Wijil dan Nyi Wijil memang kehilangan waktu sesaat. Agaknya para pengikut Ki Saba Lintang adalah orang-orang yang mempunyai kesetiaan yang tinggi. Mereka tidak menghiraukan keselamatan mereka sendiri, saat mereka menghalangi orang-orang berilmu tinggi Tanah Perdikan Menoreh untuk mengejar para pemimpin mereka. Terutama Ki Suluh dan Nyi Suluh. Sementara itu tiga orang yang sedang mabuk, meskipun semakin menyadari keadaannya, namun mereka tidak dapat melarikan diri. Sedangkan orang berkapak yang kehilangan kapaknya, terkapar dengan luka yang menganga di dadanya oleh kapaknya sendiri. Orang itu sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa ia akan terbunuh oleh senjata yang sangat diandalkannya itu.

Adapun seorang saudara seperguruannya yang bertempur melawan Sayoga pun akhirnya harus mengalami nasib buruk sebagaimana orang bersenjata kapak itu. Keduanya tidak akan pernah dapat bangkit lagi.

Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang yang lain, sebagian mampu melarikan diri bercerai berai. Namun sebagian yang lain telah tertangkap dan menyerah.

Sekar Mirah pun kemudian memerintahkan para pengawal untuk membawa para tawanan itu langsung ke banjar padukuhan induk. Mereka akan diserahkan kepada Prastawa selaku pimpinan pengawal Tanah Perdikan itu. Sedangkan Glagah Putih akan ikut bersama para pengawal itu untuk mengawasi para tawanan, bersama Sabungsari dan Sayoga

“Aku akan menghadap Ki Gede untuk memberikan laporan,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Bersama Rara, Wulan, Sekar; Mirah pun langsung ke rumah Ki Gede, sementara Ki Wijil dan Nyi Wijil membawa Nyi Dwani kembali ke rumah Agung Sedayu.

“Jadi Nyi Lurah tidak bersama Ki Lurah ketika pertempuran itu terjadi?”

“Kakang Agung Sedayu pergi ke barak, Ki Gede,” jawab Sekar Mirah.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Satu langkah yang sangat berbahaya bagi Nyi Lurah.”

“Tetapi aku bersama Ki Wijil dan Nyi Wijil. Sedangkan Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga, anak laki-laki Ki Wijil, ada bersamaku pula.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Nyi Lurah. Tetapi lain kali, Nyi Lurah sebaiknya membawa pengawal lebih banyak.”

“Kami sedang memancing kehadiran orang-orang yang terlibat dalam kegiatan Ki Saba Lintang, Ki Gede. Jika kami nampak mempersiapkan kekuatan yang besar, mereka tidak akan berani muncul. Dengan demikian, kita tidak akan dapat menangkap mereka. Dari mereka kita berharap untuk mendapatkan lebih banyak keterangan tentang usaha Ki Saba Lintang untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati. Sementara itu Kakang Agung Sedayu dengan sengaja tidak menampakkan dirinya. Jika ada di antara mereka yang melihat Kakang Agung Sedayu. maka umpan kita tidak akan mengena.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun ada kekaguman di dalam hatinya, bahwa Nyi Lurah Sekar Mirah dan Rara Wulan itu memiliki keberanian yang sangat tinggi. Meskipun mereka tahu bahwa Rara Wulan merupakan sasaran utama mereka, namun Rara Wulan sama sekali tidak berkeberatan dipergunakan sebagai umpan.

“Sayang bahwa Ki Saba Lintang sendiri tidak turun ke arena,” berkata Sekar Mirah kemudian.

“Mudah-mudahan kita akan mendapat keterangan lebih banyak lagi dari mereka yang tertangkap,” berkata Ki Gede.

Sekar Mirah pun kemudian berkata, “Nanti Kakang Agung Sedayu tentu juga akan menghadap Ki Gede.”

“Baiklah. Agaknya memang masih banyak yang harus dibicarakan.”

Demikianlah, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun meninggalkan rumah Ki Gede. Sepanjang jalan keduanya telah berbicara tentang Nyi Dwani. Kepercayaan mereka kepada Nyi Dwani pun menjadi semakin tinggi.

“Nampaknya Nyi Dwani telah benar-benar menyadari bahwa langkah Ki Saba Lintang tidak akan sampai ke tujuan,” berkata Sekar Mirah.

Rara Wulan pun mengangguk sambil menjawab, “Agaknya Nyi Dwani tahu, bahwa tidak akan ada gunanya langkah itu dilanjutkan lagi.”

Ketika mereka sampai di rumah, Nyi Dwani sedang duduk tepekur di hadapan ayahnya dan Ki Jayaraga. Nampaknya Nyi Dwani telah melaporkan apa yang telah terjadi di jalan pulang dari pasar.

“Kau harus dapat melupakan Ki Saba Lintang dengan mimpinya itu, Dwani.”

Nyi Dwani mengangguk

“Kau tahu isi dari sekelompok orang yang mendukung gagasan Ki Saba Lintang. Kau pun tahu, pamrih apa yang sebenarnya bergejolak di dalam dada mereka. Kau pun tahu dengan siapa saja Ki Saba Lintang bekerja sama. Jika kita jujur, kita harus mengakui, berapakah di antara mereka yang mendukung gagasan Ki Saba lintang itu, bekas orang dari perguruan Kedung Jati yang lama?”

Nyi Dwani tidak menjawab. Kepalanya yang tunduk itu pun menjadi semakin tunduk.

Dengan nada kebapakan Empu Wisanata pun berkata, “Dwani. Selama ini pendapat kita sulit untuk bertemu. Jika aku mengikuti langkahmu, semata-mata karena aku tidak ingin kehilangan satu-satunya anakku yang masih dapat aku pandang. Kau tahu, dua orang saudaramu, seorang laki-laki dan seorang perempuan, tidak kita ketahui kemana perginya. Kau yang bungsu di antara tiga orang anakku, tidak akan aku relakan pergi tanpa aku ketahui ke mana perginya.”

Nyi Dwani sama sekali tidak menyahut.

“Jika aku selalu mengikutimu, jangan kau artikan bahwa aku mendukung segala polah tingkahmu. Karena aku sudah berputus asa untuk dapat mencegahmu, maka yang dapat aku lakukan adalah mengikutimu ke mana kau pergi.”

“Aku mohon maaf, Ayah,” desis Nyi Dwani sambil mengusap air matanya yang mengembun di pelupuknya.

“Kau belum terlambat,” berkata Empu Wisanata, “di sini kau berada dalam lingkungan yang mapan dan dalam suasana yang mapan pula. Kau pun akan mendapat perlindungan dari penghuni rumah ini, seandainya ada orang lain yang memaksamu untuk pergi bersamanya.”

“Ya. Ayah.”

“Nah, kau harus mengucap syukur, bahwa pada suatu saat kau bertemu dengan Ki Lurah, Nyi Lurah dan sanak kadang kita yang lain di sini, sehingga kau masih sempat mengubah haluan perjalanan hidupmu. Sudah waktunya kau menyebut nama Yang Maha Agung.”

“Ya, Ayah,” jawab Nyi Dwani.

Sebenarnyalah Nyi Dwani memang mempunyai kesempatan untuk mengkaji kembali jalan hidup yang telah ditempuhnya. Di rumah Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Dwani mendapat kesempatan untuk melihat jejak yang pernah ditinggalkannya di perjalanan hidupnya.

Nyi Dwani pun sempat pula menilai sikap dan tingkah laku Ki Saba Lintang dan kawan-kawannya. Sebagian dari orang-orang yang mendukungnya, namun yang juga sebagian yang lain, yang sekedar mempergunakan nama perguruan Kedung Jati sebagai tirai untuk menutup wajah mereka yang hitam legam.

Dalam pada itu, dari orang-orang yang tertangkap, Ki Lurah Agung Sedayu mendapat beberapa keterangan yang pernah didengar sebelumnya. Dugaan bahwa beberapa orang yang lepas dari Istana Pati telah melibatkan diri, ternyata bukan sekedar bayangan-bayangan hantu di malam hari

Bersama Ki Gede, Agung Sedayu telah memanggil para tawanan itu berganti-ganti, sementara tempat tahanan mereka pun dipisahkan yang satu dengan yang lain.

Jawaban mereka ternyata hampir bersamaan. Bahkan mereka dapat menyebut satu dua nama orang Pati dan orang Jipang yang bergabung dengan Ki Saba Lintang.

“Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka, Ki Gede,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

Ya. Sebaiknya Ki Lurah memang mencari kebenaran dari cerita-cerita orang-orang itu. Mungkin untuk sekedar mengurangi kesalahannya, mereka asal saja bicara.”

“Tetapi apa yang mereka katakan hampir bersamaan.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Pengakuan mereka akan merupakan masukan bagi Ki Patih. Sementara itu Ki Lurah dapat mencari kebenaran dari cerita-cerita mereka.”

Di rumahnya, Agung Sedayu pun sudah berbicara pula dengan Sekar Mirah pada kesempatan tersendiri. Seperti yang pernah dilakukan, Sekar Mirah tidak usah memberitahukan kepada siapapun bahwa suaminya akan pergi ke Mataram.

“Aku akan membawa pengawal dari barak,” berkata Agung Sedayu kepada istrinya

“Kapan Kakang akan pergi?”

“Besok,” jawab Agung Sedaya

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, “Bukankah Kakang tidak bermalam di Mataram?”

“Rencanaku tidak, Mirah. Tetapi jika hal itu terjadi, kau dapat mengatakan kepada para tamu kita, bahwa ada persoalan yang penting yang harus diselesaikan di barak. Persoalan ke dalam.”

“Penertiban, begitu?”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Ya, penertiban.”

Seperti yang direncanakan, di keesokan harinya Agung Sedayu berangkat seperti biasanya dari rumahnya ke barak. Tidak seorangpun yang mengetahui bahwa Agung Sedayu akan langsung pergi ke Mataram, selain Sekar Mirah.

Di barak, Agung Sedayu memerintahkan dua orang prajurit pilihan untuk menyertainya ke Mataram.

Ketika Agung Sedayu sampai di Mataram, Ki Patih sedang menghadap Panembahan Senapati, sehingga Agung Sedayu harus menunggu sampai Ki Patih kembali ke Kepatihan.

Baru ketika matahari melewati puncaknya, Ki Patih Mandaraka kembali dari istana Panembahan Senapati. Ketika Ki Patih melihat Agung Sedayu, maka dengan serta-merta Ki Lurah Agung Sedayu itu pun segara dipanggil menghadap.

Seperti sebelumnya, kedua orang prajurit yang menyertai Agung Sedayu itu ditinggalkannya di tempat para prajurit bertugas berjaga-jaga .

“Marilah Ki Lurah,” Ki Patih itu mempersilakannya. Agung Sedayu itu diterimanya di serambi sebelah kanan.

“Kau membawa berita baru?” bertanya Ki Patih itu kemudian.

Agung Sedayu itu mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Ya, Ki Patih.”

Ki Patih mengangguk-angguk. Kemudian ia pun bertanya, “Berita apakah yang kau bawa Ki Lurah?”

Agung Sedayu pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Ia pun telah menceritakan hasil pembicaraannya dengan orang-orang yang berhasil ditawan. Bahwa memang ada orang-orang dari Pati, Jipang dan Demak yang terlibat langsung dalam usaha Ki Saba Lintang untuk menegakkan kembali panji-panji perguruan yang pernah dipimpin oleh Ki Patih Mantahun dan Macan Kepatihan itu.

Ki Patih pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku juga mendapat keterangan sementara, Ki Lurah. Sebagian dari para petugas sandi sudah mendahului kawan-kawannya untuk memberikan laporan. Memang ada orang-orang Pati, Jipang dan bahkan Demak yang terlibat. Dengan demikian, berdasarkan laporan para petugas sandi dan pembicaraanmu dengan para tawanan, maka kita hampir memastikan bahwa telah tersusun satu jaringan yang luas, yang terdiri dari golongan dan gerombolan yang berbeda-beda, yang untuk sementara dapat bekerja sama.”

“Ya, Ki Patih. Agaknya jaringan itu pertama-tama mengarahkan perhatiannya kepada Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin mereka memang merencanakan sejak mula-mula. Tetapi mungkin juga gagasan itu timbul demikian mereka berusaha untuk menguasai tongkat baja putih yang ada di tangan Sekar Mirah. Agaknya untuk menegakkan kedudukannya sebagai pemimpin, Ki Saba Lintang ingin menguasai tongkat baja putih kedua-duanya. Sementara itu, ada seorang perempuan yang bersedia mendampinginya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar