Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 307

Buku 307

Orang-orang yang menyerang padepokan itu mulai merasa tertekan. Senjata mereka yang beraneka itu sama sekali tidak menggetarkan lawan-lawan mereka yang lebih banyak mempergunakan senjata yang banyak dipakai. Sebagian besar di antara mereka mempergunakan senjata pedang dan tombak pendek, tetapi ada juga prajurit dari Pasukan Khusus yang mempergunakan senjata yang lain.

Seorang prajurit yang bertubuh raksasa telah menggenggam sebuah bindi yang besar. Dengan garangnya ia telah mengayun-ayunkan bindi itu. Ketika ia bertemu dengan seorang yang bersenjata kapak, salah seorang pengikut orang berkapak yang berkepala botak itu, maka prajurit yang bertubuh raksasa itu merasa mendapat lawan yang seimbang, karena orang berkapak itu juga bertubuh tinggi dan besar. Bahkan berkumis dan bercambang lebat.

Orang berkapak itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar sebagaimana prajurit yang bertubuh raksasa itu.

Namun prajurit dari Pasukan Khusus itu ternyata membawa bekal yang lebih lengkap. Ia tidak saja memiliki tenaga yang sangat besar, tetapi ia benar-benar menguasai senjata yang dipergunakan. Ia pun memiliki ilmu yang mapan, sebagaimana prajurit dari Pasukan Khusus yang lain, yang dipersiapkan bertempur di segala medan dan bertempur menghadapi lawan seperti apapun.

Karena itu, maka orang yang bersenjata kapak itu, meskipun juga memiliki tenaga yang besar sekali, namun perlahan-lahan ia mulai terdesak.

Sementara itu, seorang prajurit dari Pasukan Khusus yang lain terbiasa mempergunakan senjata yang juga jarang dipergunakan. Prajurit itu bersenjata sebuah trisula dengan tangkai sepanjang landean tombak pendek.

Ternyata senjata itu sangat berbahaya. Jika lawannya bukan orang yang memiliki bekal yang cukup, maka ia akan segera menjadi bingung.

Selain mereka, masih ada pula beberapa orang pengawal Tanah Perdikan yang mempergunakan senjata yang lain dari kebanyakan kawan-kawannya. Ada di antara mereka yang lebih tangkas dengan menggenggam sepasang pedang di kedua tangannya. Namun ada pula seorang prajurit dari Pasukan Khusus yang di kedua tangannya menggenggam sejenis tombak tajam.

Demikianlah, pertempuran pun berlangsung dengan sengitnya. Beberapa kelompok orang-orang yang menyerang padepokan itu telah terperangkap di celah-celah bangunan di padepokan itu. Mereka terkurung di longkangan-longkangan, sementara serangan datang dari segala arah. Dari pintu-pintu yang tiba-tiba terbuka dan dari kedua ujung longkangan yang seakan-akan telah tertutup rapat.

Sedangkan kelompok yang lain yang bertempur melawan kelompok-kelompok pengawal Tanah Perdikan di tengah-tengah padepokan itu pun mulai terdesak. Orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak yakin bahwa mereka adalah para cantrik dari padepokan Kiai Warangka. Meskipun para cantrik itu mendapat latihan-latihan yang bersungguh-sungguh dalam olah kanuragan, tetapi mereka bukan orang-orang yang berpengalaman. Sementara itu, lawan yang mereka hadapi nampaknya orang-orang yang bukan saja memiliki pengalaman yang luas, tetapi juga memiliki bekal yang mapan.

Sebenarnyalah bahwa para pengawai Tanah Perdikan itu telah menunjukkan tataran kemampuan dan pengalaman mereka. Dalam pertempuran yang sengit itu, mereka telah menunjukkan bahwa mereka memang orang-orang yang terlatih, sehingga mereka tidak segera dapat dihentak oleh kegarangan lawan. Bahkan semakin lama, para pengawal Tanah Perdikan itu semakin menunjukkan nilai mereka yang sebenarnya.

Para pemimpin dari gerombolan-gerombolan yang bergabung dengan Kiai Timbang Laras mulai menjadi cemas. Dalam kesempatan yang sempit, mereka melihat bagaimana para pengikut mereka harus mengerahkan tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan diri. Gelombang demi gelombang lawan mereka melanda dengan dahsyatnya. Sementara itu, para pemimpin mereka telah terikat dalam pertempuran melawan orang-orang yang juga berilmu tinggi.

Ki Jatha Beri yang bertempur melawan Ki Resa tidak dapat mengingkari kenyataan. Ia memang tidak dapat menakut-nakuti Ki Resa lagi. Ia tidak dapat membentak dan memaksa Ki Resa berlutut di hadapannya. Bahkan sikapnya itu telah ditertawakan oleh Ki Resa tanpa segan sama sekali.

Apalagi untuk berjongkok dan membiarkan lehernya dipenggal.

Ki Resa memang seorang yang berilmu tinggi. Ki Jatha Beri harus mengakui, bahwa setelah bertempur beberapa lama, ternyata bahwa Ki Resa benar-benar seorang yang berilmu tinggi.

“Memang sulit untuk membunuhnya,” berkata Ki Jatha Beri di dalam hatinya. Jika saja orang-orangnya berhasil menemukannya, maka yang terjadi justru Ki Resa-lah yang akan membantai mereka. Itulah agaknya bahwa orang-orang yang mencarinya kadang-kadang tidak pernah kembali ke padepokan.

Dengan demikian, Ki Jatha Beri harus memperhitungkan kenyataan itu. Ia tidak lagi dapat berteriak dan sekedar membentak, jika ia tidak ingin ditertawakan lagi oleh Ki Resa itu.

Di arena pertempuran yang lain, dua orang tua masih saja memperbandingkan tingkat ilmu mereka. Jika sekali-sekali serangan-serangan mereka berbenturan di saat lawannya menangkis, maka mereka menyadari bahwa ilmu mereka pun dalam keadaan seimbang.

Karena itu, keduanya harus bertempur dengan sangat berhati-hati. Sedikit saja salah seorang di antara keduanya lengah atau membuat kesalahan, maka pertempuran itu pun akan segera diakhiri.

Itulah sebabnya, baik Ki Jayaraga, maupun Ki Naga Dakgrama harus memusatkan segenap perhatian mereka kepada pertempuran yang tengah berlangsung itu sepenuhnya. Dengan demikian, Ki Naga Dakgrama tidak sempat untuk memberikan perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk kepada para pengikutnya.

Namun para pengikut Ki Naga Dakgrama pun cukup berpengalaman, sehingga tanpa perintah dari Ki Naga Dakgrama, mereka telah bergerak dengan garangnya di dalam pertempuran yang sengit itu.

Sementara itu, orang yang berkepala botak dan bersenjata kapak itu juga merasa heran terhadap lawannya yang masih terhitung sangat muda. Kapaknya yang besar terayun-ayun mengerikan, sementara anak muda itu melawannya dengan senjata tidak lebih dari ikat pinggangnya.

“Kau telah menghina aku Anak Muda,” geram orang berkapak itu.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Apakah kau tidak mempunyai senjata yang pantas untuk turun ke medan pertempuran yang garang ini?”

“Kau-lah yang menghina aku. Senjata ini adalah senjataku yang terbaik.”

“Anak iblis kau! Tetapi jangan menyesal bahwa kepalamu akan terbelah.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia bergerak semakin cepat. Ikat pinggangnya berputar semakin cepat melindungi tubuhnya. Meskipun demikian, Glagah Putih masih belum membentur langsung ayunan kapak lawannya. Ia masih mencoba menjajagi, sejauh manakah kekuatan lawannya yang sebenarnya.

Sekali-sekali Glagah Putih memang sengaja menyentuh ayunan kapak lawannya sambil mengelak. Dengan demikian, Glagah Putih sedikit demi sedikit dapat mengetahui seberapa besar tenaga lawannya itu.

“Meski tenaganya sangat besar, tetapi agaknya masih dalam batas jangkauan tenagaku,” berkata Glagah Putih kepada diri sendiri. Bahkan seandainya lawannya memiliki kemampuan untuk mengungkapkan tenaga dalamnya, Glagah Putih merasa masih sanggup untuk mengimbanginya.

Karena itu, Glagah Putih pun menjadi semakin sering membentur ayunan kapak lawannya. Mula-mula menyamping. Namun tiba-tiba saja di luar dugaan orang berkapak itu, Glagah Putih telah membenturkan ikat pinggangnya pada ayunan kapak lawannya.

Orang berkapak itu terkejut. Benturan yang terjadi ternyata telah menyakitkan telapak tangannya.

Kemarahan orang berkapak itu bagaikan membakar ubun-ubunnya. Karena itu, iapun telah menggeram, “Anak yang tidak tahu diri! Kesombonganmu tidak dapat dimaafkan lagi. Ternyata kau benar-benar tidak tahu dengan siapa kau berhadapan.”

“Dengan siapa aku berhadapan?” Glagah Putih justru bertanya dengan nada tinggi. Namun iapun harus meloncat mengelakkan serangan kapak lawannya. Ayunan yang deras lebih menggetarkan udara di sekitarnya.

“Anak demit! Dengar baik-baik. Aku-lah yang disebut Jaran Banggal. Namaku tentu sudah didengar oleh semua orang di Tanah ini. Orang-orang yang berpetualangan di dunia kanuragan akan segera menjadi gemetar jika mereka mendengar namaku disebut.”

“Oh,” Glagah Putih meloncat mengambil jarak. Katanya kemudian, “Jadi kau ini-lah yang disebut Jaran Banggal? Aku tidak mengira bahwa kau-lah yang namanya telah bergaung dari ujung sampai ke ujung Tanah ini.”

“Tutup mulutmu! Kau akan menyesali sikapmu, anak edan! Aku tidak akan membunuhmu. Tetapi aku ingin sisa hidupmu tersia-sia. Kau akan menjadi cacat seumur hidupmu. Kemampuan olah kanuragan hanya merupakan mimpi buruk bagimu sepanjang sisa hidupmu. Kau akan menjadi orang yang hidupnya tergantung kepada orang lain, bahkan kau tidak akan mampu menyuapi mulutmu sendiri.”

“Apakah kau benar-benar akan berbuat demikian terhadapku?”

“Tidak ada gunanya untuk mohon ampun, meskipun kau menjilat telapak kakiku.”

“Aku tidak akan minta apapun, Jaran Banggal. Tetapi aku ingin memanfaatkan lidahmu sendiri. Jangan menyesal, jika kau-lah yang akan mengalaminya. Cacat di sisa hidupmu, sehingga kau akan kehilangan segala kesempatan untuk bangkit. Sementara itu hidupmu tergantung sepenuhnya kepada orang lain.”

Jantung orang berkapak yang menyebut dirinya Jaran Banggal itu bagaikan tersentuh bara. Sambil berteriak nyaring ia meloncat menyerang Glagah Putih dengan kapaknya.

Glagah Putih bergeser selangkah. Dengan ikat pinggangnya Glagah Putih menepis serangan itu ke samping.

Tetapi Jaran Banggal tidak melepaskan lawannya. Sekali kapaknya berputar. Kemudian sambil menggeliat Jaran Banggal telah menyerang pula. Kapaknya menebas mendatar mengarah ke dada anak muda itu.

Tetapi Glagah Putih ternyata mampu bergerak dengan cepatnya. Ayunan kapak itu sama sekali tidak menyentuh kulitnya. Bahkan demikian kapak yang besar itu terayun serta getaran anginnya menerpa kulitnya, Glagah Putih telah meloncat menyerang dengan ikat pinggangnya.

Jaran Banggal berusaha untuk mengelak. Tetapi ia tidak berhasil melepaskan diri sepenuhnya dari garis serangan Glagah Putih. Meskipun hanya sebuah sentuhan kecil, namun sisi ikat pinggang Glagah Putih telah menimbulkan goresan di kulit Jaran Banggal.

Jaran Banggal terkejut. Segores luka telah menyilang di lengannya. Justru karena bajunya tidak berlengan, maka luka itu nampak jelas, sehingga darah pun nampak meleleh dari luka itu.

Orang berkapak itu mengumpat-umpat dengan kasar. Kemarahannya telah membakar jantungnya.

Karena itu, Jaran Banggal itu pun menjadi semakin garang. Bahkan semakin keras dan kasar. Kapaknya terayun-ayun mengerikan. Getar udara pun menjadi semakin tajam menusuk kulit Glagah Putih yang berloncatan dengan tangkasnya.

Dengan demikian, pertempuran pun menjadi semakin sengit, Glagah Putih pun menjadi semakin sering membentur ayunan kapak lawannya dengan ikat pinggangnya. Bahkan kemudian Glagah Putih pun yakin bahwa kapak lawannya tidak akan mampu memotong ikat pinggangnya. Betapapun tajamnya kapak itu dan betapapun kuat tenaga ayunannya, namun kapak itu sama sekali tidak akan mampu melukai atau menggores ikat pinggang kulitnya itu.

Karena itu, ketika orang berkapak itu dengan marah mengangkat dan mengayunkan kapaknya, maka Glagah Putih telah merentang ikat pinggangnya itu di atas kepalanya. Dengan kuatnya ia menggenggam ujung dari pangkal ikat pinggang kulitnya itu.

“Gila!” geram Jaran Banggal. Namun ia yakin bahwa kesombongan lawannya itu akan membuatnya menyesal.

Dengan segenap tenaga dan kemampuannya, Jaran Banggal berniat untuk memotong ikat pinggang di tangan lawannya itu.

Namun Glagah Putih telah membuat perhitungan dengan mapan. Demikian kapak lawannya itu menyentuh ikat pinggangnya, maka Glagah Putih telah mengendurkan rentangannya. Namun tiba-tiba ia menghentakkan ikat pinggang itu untuk mengeraskan rentangannya kembali.

Jaran Banggal terkejut. Kapaknya itu seakan-akan telah dihentakkan dengan kuatnya. Justru karena hal itu tidak terduga, maka kapaknya telah terpental dan terlepas dari tangannya.

Kapak itu pun terlempar dan jatuh beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Namun Jaran Banggal pun bergerak dengan tangkasnya. Dengan cepat ia berputar. Melemparkan dirinya dengan kedua telapak tangannya bertumpu di tanah dan kedua kakinya melingkar di udara. Dengan dua kali berputar, maka tangannya pun telah menggapai tangkai kapaknya, sehingga ketika kemudian ia melenting berdiri, maka kapak itu telah berada di tangannya lagi.

Namun bahwa kapak itu telah terlepas dari tangannya, membuat wajah Jaran Banggal itu bagaikan dilempar dengan bara. Satu cela yang membuatnya sangat marah dan malu. Kapaknya ternyata pernah lepas dari tangannya selagi ia bertempur dengan sengitnya. Meskipun ia berhasil menggapainya lagi, namun yang terjadi itu merupakan cacat yang sangat besar bagi namanya, Jaran Banggal yang ditakuti. Apalagi ketika kemudian Jaran Banggal itu berdiri tegak sambil menggenggam kapaknya. Ia melihat Glagah Putih berdiri sambil memandanginya. Seakan-akan anak muda itu sedang menonton pertunjukan yang sangat menarik.

Jantung Jaran Banggal berdenyut semakin cepat. Ia tidak lagi dapat mengingkari kenyataan bahwa anak muda itu berilmu sangat tinggi. Meskipun ia hanya bersenjata sehelai ikat pinggang, namun anak muda itu mampu bertempur dengan garangnya. Kapaknya tidak berdaya mengatasi senjata anak muda yang aneh itu.

Glagah Putih maju mendekatinya selangkah demi selangkah. Sambil memandangi wajah Jaran Banggal yang tegang, anak muda itu berkata, “Nah, kita sudah bertempur untuk beberapa lama. Aku telah melukai lenganmu. Kau telah kehilangan senjatamu, meskipun kau berhasil menggapainya kembali. Tetapi semuanya itu adalah pertanda, bahwa sebaiknya kau menyerah saja.”

“Iblis kau!” geram Jaran Banggal, “Aku adalah orang yang sangat ditakuti. Jika kau masih saja keras kepala, maka kepalamu benar-benar akan terbelah.”

“Berapa kali ancaman itu kau lakukan?” bertanya Glagah Putih.

“Persetan kau!” Jaran Banggal tiba-tiba telah meloncat menyerang. Ayunan kapaknya menjadi semakin deras. Dengan geram Jaran Banggal itu berkata, “Aku tidak akan berusaha mengekang diri lagi. Pada tataran tertinggi, maka kau akan lumat menjadi debu. Kau tidak akan dapat membanggakan ikat pinggangmu lagi dan bahkan kecepatan gerakmu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia melihat sesuatu yang lain pada sikap Jaran Banggal. Agaknya Jaran Banggal benar-benar akan sampai pada ilmu pamungkasnya.

Karena itu, Glagah Putih telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk mengatasinya.

Dalam pada itu, pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Para prajurit dari Pasukan Khusus telah semakin mendesak lawan-lawan mereka. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah membuat lawan-lawan mereka menjadi bingung.

Di bagian lain dari pertempuran yang sengit itu, para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras menjadi semakin ragu-ragu menghadapi lawan-lawan mereka. Apalagi ketika mereka melihat Perbatang dan Pinuji semakin mendesak kedua orang pengikut Ki Jatha Beri yang telah menyatakan diri menjadi cantrik di padepokan Kiai Timbang Laras.

Namun Kiai Timbang Laras sendiri masih bertempur dengan sengitnya melawan Kiai Warangka.

Keduanya adalah saudara seperguruan, sehingga seakan-akan keduanya sudah saling mengetahui, apa yang akan mereka lakukan dalam pertempuran itu. Meskipun demikian, karena keduanya telah mengembangkan ilmu mereka menurut cara serta pengalaman masing-masing, maka kadang-kadang salah seorang dari mereka telah dikejutkan oleh serangan yang tiba-tiba dan tidak terduga.

Meskipun demikian, semakin lama semakin jelas bahwa Kiai Warangka mempunyai beberapa kelebihan dari adik seperguruannya itu. Perlahan-lahan Kiai Warangka mulai mendesak Kiai Timbang Laras.

Tetapi sekali-sekali Kiai Timbang Laras masih mampu menghentak dan mendesak Kiai Warangka, meskipun kemudian Kiai Warangka segera dapat memperbaiki kedudukannya.

Sementara itu, Perbatang pun telah berhasil mendesak lawannya. Pengikut Jatha Beri itu bertempur dengan kasarnya. Sekali-sekali terdengar ia berteriak dan mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor. Namun demikian, ia tidak berhasil mendesak Perbatang yang bertempur dengan mapan.

Yang agak mengalami kesulitan adalah Ki Serat Waja. Ketika ia berhasil mendesak lawannya, ternyata telah hadir pula seorang yang wajahnya mirip dengan lawannya. Karena itu, maka Ki Serat Waja itu harus bertempur melawan dua orang yang menurut penglihatannya hampir sulit dibedakan.

“Jangan kaget,” berkata Ki Jelanthir, “mungkin kau menganggap bahwa kami adalah saudara kembar.”

Ki Serat Waja tidak menjawab. Tetapi ia harus memeras tenaga untuk melawan kedua orang yang berilmu tinggi itu.

“Ia bukan saudara kembarku,” berkata Ki Jelanthir lebih lanjut.

Ki Serat Waja masih tetap berdiam diri. Dengan tangkasnya ia berloncatan menghindari serangan kedua orang itu yang datang bersama-sama. Sementara Ki Jelanthir masih berkata selanjutnya, “Ia kemenakanku. Meskipun umur kami tidak bertaut banyak.”

Ki Serat Waja yang sempat memperhatikan kedua orang itu mulai mengenali bahwa keduanya memang tidak sama. Meskipun keduanya memang mirip, tetapi wajah mereka ternyata memang berbeda.

Namun dalam waktu singkat, Ki Serat Waja sudah mulai terdesak. Sambil tertawa Ki Jelanthir pun berkata, “Jangan menyesal bahwa kau akan segera mati. Jika kau berpihak kepada Kiai Timbang Laras, mungkin nasibmu akan berbeda.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ki Serat Waja telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengimbangi kedua orang yang berilmu tinggi itu. Tetapi Ki Serat Waja memang harus mengakui, bahwa semakin lama ia memang semakin terdesak.

Namun beberapa orang cantrik dari padepokan Kiai Warangka yang melihatnya, tidak membiarkannya mendapat kesulitan lebih lama lagi. Tetapi karena mereka menyadari bahwa lawan Ki Serat Waja adalah orang-orang berilmu tinggi, maka mereka pun datang dalam sebuah kelompok kecil, yang terdiri dari empat orang cantrik yang terhitung tua dalam tataran ilmunya.

Ki Jelanthir dan kemenakannya tertawa melihat kehadiran mereka. Dengan lantang kemenakannya itu berteriak ia berkata, “Marilah anak-anak! Datanglah! Kau akan mendapat permainan yang mengasyikkan.”

Empat orang cantrik itu segera menempatkan diri. Mereka mulai berpencar, sementara Ki Serat Waja masih bertempur dengan tangkasnya.

Kemenakan Ki Jelanthir itulah yang kemudian menghadapi keempat orang cantrik itu. Suara tertawanya masih saja terdengar berderai mengatasi dentang senjata beradu.

Sebenarnyalah keempat orang cantrik itu tidak dapat langsung membenturkan kemampuan mereka. Tetapi keempat cantrik itu bertempur dengan caranya. Seorang-seorang mereka menyerang dan menghindar. Karena mereka berdiri di empat arah, maka kemenakan Ki Jelanthir itu harus memperhitungkan datangnya serangan yang kadang-kadang memang terasa cepat dan berbahaya.

Tetapi setiap kali, para cantrik itu harus berloncatan menjauh. Kemenakan Ki Jelanthir itu mampu bertempur dengan cepat. Serangannya datang seperti angin pusaran yang menyambar-nyambar ke segala arah.

Para cantrik itu memang mengalami kesulitan untuk mendapat kesempatan menyerang. Namun mereka sama sekali tidak menyingkir. Mereka sadar, bahwa jika mereka meninggalkan orang itu, Ki Serat Waja akan mengalami kesulitan lagi.

Namun Ki Serat Waja pun mencemaskan keempat orang cantrik itu. Kemenakan Ki Jelanthir itu menjadi semakin garang, sehingga serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya

Tetapi Ki Serat Waja tidak dapat berbuat sesuatu bagi mereka. Ia sendiri menghadapi lawan yang berilmu tinggi. Namun karena kemenakan Ki Jelanthir itu harus bertempur melawan keempat orang cantrik yang mengepungnya, maka Ki Jelanthir itu harus bertempur sendiri. Berhadapan seorang melawan seorang, Ki Jelanthir memang mengalami kesulitan. Tetapi ia berharap bahwa kemenakannya itu akan segera menyelesaikan keempat cantrik yang bersama-sama melawannya itu.

Sebenarnyalah keempat cantrik itu telah mengalami kesulitan. Ketika kemenakan Ki Jelanthir itu sedang menjulurkan senjatanya ke arah salah seorang dari keempat cantrik itu, seorang cantrik yang lain telah meloncat menyerangnya untuk menarik perhatiannya.

Tetapi cantrik itu terkejut. Ternyata kemenakan Ki Jelanthir itu seakan-akan telah menunggunya dengan ujung senjatanya.

Ketika cantrik itu mengayunkan pedangnya, kemenakan Ki Jelanthir itu sempat merendahkan dirinya, sehingga pedang cantrik itu terayun di atas kepalanya. Namun bersamaan dengan itu, kemenakan Ki Jelanthir itu telah menjulurkan senjatanya langsung menggapai lambungnya.

Cantrik itu mengaduh tertahan. Demikian lawannya menarik senjatanya, cantrik itu pun terhuyung-huyung dan kemudian jatuh terbaring di tanah.

Ketiga kawannya menyerang hampir berbareng. Tetapi kemenakan Ki Jelanthir itu mampu bergerak lebih cepat, sehingga dengan tangkasnya ia sempat meloncat keluar dari garis serangan ketiga orang cantrik itu.

Tetapi demikian ia berdiri tegak, beberapa orang telah menyerang bersama-sama pula. Bukan ketiga orang cantrik itu, tetapi kelompok orang yang lain yang terdiri dari lima orang.

Kemenakan Ki Jelanthir itu tertawa. Katanya, “Kenapa tidak kalian bawa seisi padepokan ini?”

Namun suara tertawanya terputus. Orang-orang yang mengepungnya kemudian itu agak berbeda dengan para cantrik yang bertempur melawannya lebih dahulu. Kelima orang ini ternyata jauh lebih tangkas. Suara tertawanya harus terputus, ketika dua orang di antara mereka menyerangnya bersama-sama.

Kemenakan Ki Jelanthir itu mengumpat. Namun kelima orang lawannya tidak mempedulikannya. Mereka bertempur dengan garangnya. Serangan mereka datang susul-menyusul.

Kemenakan Ki Jelanthir itu harus mengerahkan kemampuannya untuk melawan kelima orang yang masing-masing memiliki kemampuan lebih tinggi dari para cantrik itu.

Ternyata mereka adalah lima orang prajurit dari Pasukan Khusus, yang lebih terlatih menghadapi orang berilmu tinggi dalam kelompok yang mapan.

Demikianlah, dentang senjata pun terdengar semakin sering. Kelima orang itu berloncatan di sekeliling kemenakan Ki Jelanthir itu. Mereka berputar dan sekali-sekali meloncat menyerang dengan tiba-tiba. Kemenakan Ki Jelanthir merasa sulit untuk memperhitungkan serangan yang akan datang dari arah yang sama.

Tetapi orang yang berilmu tinggi itu tidak membiarkan dirinya kebingungan. Sejenak kemudian, iapun menghentakkan ilmunya. Menyerang semua lawan-lawannya dengan garangnya.

Namun berbeda dengan keempat cantrik yang terdahulu. Kelima orang ini ternyata lebih tangkas dan lebih mapan. Mereka dapat bekerja sama dengan baik, sehingga seakan-akan kelima orang itu digerakkan oleh otak yang sama.

Tetapi kemenakan Ki Jelanthir memang orang yang berilmu tinggi. Ia masih mampu bertahan menghadapi kelima orang lawannya. Serangan demi serangan dapat dipatahkannya. Bahkan orang itu masih juga mampu menyerang dan sekali-sekali mendesak lawannya.

Namun demikian, ia memang harus menjadi lebih berhati-hati. Bahkan harus mengerahkan kemampuannya untuk menghadapi kelima orang itu.

Dalam pada itu, matahari pun merangkak semakin ke barat, Kiai Timbang Laras dan kawan-kawannya beserta para pengikutnya benar-benar merasa terjebak ke dalam kesulitan. Kekuatan lawan yang berada di dalam padepokan itu benar-benar sulit untuk dipecahkan. Bahkan orang-orang berilmu tinggi yang datang ke padepokan itu seakan-akan telah dihadang oleh lawan yang seimbang, atau kelompok yang kuat dan terlatih, sehingga mereka benar-benar mampu mengikat kekuatan mereka bersama-sama dalam satu kesatuan yang utuh.

Ki Naga Dakgrama ternyata telah berkata berterus terang kepada Ki Jayaraga. Di tengah-tengah pertempuran yang sengit, Ki Naga Dakgrama pun berkata, “Ternyata Kiai Warangka memiliki kepintaran untuk merahasiakan kekuatan di padepokan ini yang tidak seberapa tinggi. Cantriknya tidak terlalu banyak dan orang-orang berilmu tinggi pun tidak lebih dari Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga. Tetapi ternyata ada beberapa orang lain yang tinggal di padepokan ini.”

“Bukan maksud Kiai Warangka berahasia. Ki Resa itu datang sendiri ke padepokan ini, karena ia selalu diburu oleh Jatha Beri. Nah, sekarang di sini keduanya sempat berhadapan. Sedangkan Perbatang dan Pinuji tidak tahan lagi berada di padepokannya sendiri. Apalagi ketika mereka merasa bahwa umur mereka akan diakhiri. Kematian itu tentu akan sangat menyakitkan hati, karena Jatha Beri-lah yang akan melakukannya.”

“Bukan hanya itu. He, siapakah yang telah bertempur melawan Jaran Banggal? Jarang sekali ada orang mampu mengimbangi ilmunya. Dukungan kekuatan wadagnya sangat berbahaya bagi lawan-lawannya.”

“Penghubung itu sempat memberitahukan kepadaku. Bukankah kau juga mendengar? Namanya Glagah Putih.”

“Ternyata gelar perang yang kalian lakukan di padepokan ini sangat tertib. Para penghubung selalu datang dan memberikan keterangan-keterangan yang perlu bagi setiap pemimpin, sehingga mereka mendapat gambaran yang jelas dari pertempuran ini.”

“Kalian tidak melakukannya?” berkata Ki Jayaraga

“Kami terbiasa menggelar pasukan kami dengan cara yang liar. Selama ini kami tidak pernah mendapat kesulitan. Baru sekarang kami merasa cemas menghadapi padepokan Kiai Warangka, meskipun kami sudah bekerja bersama dengan banyak gerombolan.”

Ki Jayaraga meloncat mengambil jarak. Serangan lawannya hampir saja mengenai pundaknya. Namun Ki Jayaraga masih sempat mengelak. Ketika Ki Naga Dakgrama meloncat memburunya, Ki Jayaraga pun berkata, “Sejak dahulu aku menganggapmu orang yang jujur. Kau adalah salah satu di antara orang-orang jahat yang jujur, yang jumlahnya hanya sedikit. Biasanya orang-orang jahat selalu tidak jujur. Selingkuh dan pembohong. Tetapi kau tidak. Itulah yang menarik pada kepribadianmu.”

“Aku yakin akan kemampuanku dan kemampuan orang-orangku. Buat apa aku berbohong, atau licik, atau selingkuh? Aku tidak pernah asal. Karena itu, aku merasa tidak perlu menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya aku akui kebenarannya.” Ki Naga Dakgrama berhenti sejenak. Namun sambil melangkah maju ia berkata, “Baru kali ini aku mengalami kesulitan. Kau, kawan-kawanmu, dan siapa pun yang berada di padepokan ini, terlalu kuat untuk dilawan.”

“Kau akan menghindar?” bertanya Ki Jayaraga

“Belum sekarang. Aku masih mempunyai harapan. Baru jika keadaan tidak tertolong lagi, aku akan pergi.”

“Bagaimana jika aku berkeberatan?”

“Kau bukan orang bodoh. Kepergianku akan memberikan kesempatan lebih luas bagi kalian untuk memenangkan pertempuran. Setidak-tidaknya untuk mengurangi korban.”

“Tetapi di tempat lain akan berjatuhan korban pula karena keganasanmu.”

Ki Naga Dakgrama tertawa. Katanya, “Jangan hiraukan, itu bukan urusanmu.”

“Aku tidak ingin hal itu terjadi. Kau harus berhenti sampai di sini, Kau sudah terlalu banyak membunuh orang.”

“Ternyata kau masih tetap dungu. Jika kita bertempur terus, kau-lah yang akan mati. Bukan aku.”

“Tetapi semalam aku bermimpi naik di punggung seekor kuda liar. Nah, satu pertanda, bahwa aku akan membunuh musuhku.”

“Kau salah. Mungkin yang harus kau bunuh adalah Jaran Banggal. Bukan aku.”

“Juga seekor ular Dakgrama yang berleher merah seperti bara. Nah, hari ini aku akan membunuh kedua-duanya.”

“Setan kau Jayaraga! Mumpung pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya di seluruh padepokan, aku akan membunuhmu, kemudian keluar dari padepokan ini.”

Ki Jayaraga tertawa., “Kau masih sering menari topeng?”

Ki Naga Dakgrama tertawa. Namun tiba-tiba serangannya datang membadai.

Tetapi Ki Jayaraga sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ia pun segera meloncat menghindar. Bahkan dengan sigapnya Ki Jayaraga yang sudah ubanan itu pun membalas menyerang pula.

Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang tua itu menjadi semakin sengit. Meskipun secara kewadagan keduanya sudah mulai menyusut, tetapi ternyata keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, Ki Jatha Beri yang bertempur melawan Ki Resa semakin mengalami kesulitan. Ki Resa ternyata memiliki ilmu yang tinggi, yang mampu mengimbangi ilmu Ki Jatha Beri. Bahkan meskipun Ki Jatha Beri telah mengerahkan kemampuannya, namun sulit baginya untuk dapat mengalahkan Ki Resa.

Demikianlah, pertempuran di padepokan itu benar-benar di luar dugaan Kiai Timbang Laras dan kawan-kawannya. Ki Jelanthir menjadi semakin terdesak ketika kemenakannya tidak lagi sempat membantunya. Meskipun ia tidak mencemaskan kemenakannya yang mampu melindungi dirinya sendiri dari serangan-serangan kelima orang lawannya, namun iapun tidak melihat bahwa kemenakannya itu akan segera mampu mengalahkan lawannya, yang bertempur dalam kelompok yang sangat mapan itu. Sebenarnyalah para prajurit dari Pasukan Khusus yang disiapkan untuk menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, telah mendapat latihan yang berat untuk dalam kelompok-kelompok menghadapi orang-orang berilmu tinggi.

Yang kemudian menjadi sengat gelisah adalah Kiai Timbang Laras. Setiap kali seorang penghubung datang untuk memberikan laporan kepada Kiai Warangka yang masih bertempur melawannya, Kiai Timbang Laras ikut mendengarnya. Penghubung yang terakhir datang kepada Kiai Warangka melaporkan bahwa sebagian besar dari seluruh medan telah dikuasai. Pertempuran-pertempuran di antara pemimpin dari kedua belah pihak sama sekali tidak mencemaskan. Para pemimpin padepokan Kiai Warangka telah berhasil menguasai lawan-lawan mereka. Setidak-tidaknya mendesak mereka.

“Sebentar lagi, sebelum matahari sampai di punggung gunung, mereka semuanya sudah dapat dilumpuhkan, Sehingga jika Kiai Warangka menghendaki, maka persoalannya akan segera dapat dibatasi antara Kiai Warangka dan Kiai Timbang Laras.”

“Setan kau!” geram Kiai Timbang Laras, “Kau kira aku percaya kepada laporanmu?”

Namun di luar dugaan, penghubung itu bertanya, “Apakah penghubung Kiai Timbang Laras memberikan laporan yang lain?”

“Cukup!”

Tetapi penghubung itu masih menjawab, “Seorang penghubung harus memberikan laporan apa adanya, agar para senapati dapat mengambil langkah-langkah yang tepat, Tetapi jika laporan itu bersifat rahasia, tentu saja tidak akan disampaikan sambil berteriak-teriak sebagaimana aku lakukan ini.”

Kiai Timbang Laras itu pun kemudian berteriak, “Aku koyakkan mulutmu!”

Namun penghubung itu menjawab, “Aku akan berlindung di belakang Kiai Warangka.”

Kemarahan Kiai Timbang Laras seolah-olah akan meledakkan dadanya. Ia tahu bahwa penghubung itu sengaja menggodanya. Namun Kiai Timbang Laras memang tidak dapat berbuat apa-apa, karena di hadapannya ada Kiai Warangka.

Justru Kiai Warangka-lah yang kemudian berkata, “Sudahlah, tinggalkan aku. Lihat apa yang terjadi dengan Serat Waja.”

“Ki Serat Waja bertempur melawan orang yang disebutnya Jelanthir. Tetapi Ki Jelanthir ternyata tidak mampu berbuat banyak,” jawab penghubung itu.

“Sudahlah,” berkata Kiai Warangka, “mundurlah.”

Penghubung itu pun kemudian beringsut meninggalkan Kiai Warangka, yang masih bertempur melawan Kiai Timbang Laras.

Penghubung yang baru saja menemui Kiai Warangka itu pun kemudian telah melihat keadaan medan lagi. Ia telah mengamati pertempuran itu dari sudut ke sudut yang lain. Beberapa orang penghubung yang lain telah melakukan kewajiban mereka pula, dengan perincian tugas yang berbeda.

Sebenarnyalah bahwa di beberapa bagian dari pertempuran itu, orang-orang yang menyerang padepokan itu telah mengalami kesulitan. Mereka yang berada di longkangan-longkangan yang kemudian tertutup, telah banyak yang menyerah. Mereka tidak mampu melawan, sementara mereka terkurung di longkangan yang terhitung sempit. Sedangkan tidak ada jalan untuk melarikan diri.

Orang berkapak yang menyebut dirinya Jaran Banggal itu pun benar-benar telah terdesak pula. Ki Jelanthir mengumpat-umpat karena kemenakannya justru terikat dalam pertempuran melawan lima orang prajurit dari Pasukan Khusus. Meskipun kelima orang prajurit itu mengalami kesulitan untuk menguasai lawannya yang berilmu tinggi, namun lawannya tidak pula segera dapat menghalau kelima orang itu.

“Kenapa tidak kau bunuh saja mereka?” bertanya Jelanthir.

Kemenakannya tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah ia memang tidak mampu untuk dengan cepat melakukannya. Kelima orang itu bagaikan tikus-tikus pantai yang berkelahi melawan seekor ular. Mereka menyerang dari arah yang berbeda. Yang lain justru membelakangi ular itu dan menyiratkan pasir dengan kaki belakangnya.

Tikus itu tidak akan dapat mengalahkan ular itu. Tetapi ular itu pun sulit menangkap salah seekor dari tikus-tikus yang bergigi dan berkuku tajam itu. Giginya dapat mengelupas sisik ular itu. Sementara pasir yang mengenai mukanya membuat matanya menjadi pedih. Jika ular itu berusaha mematuk seekor di antara tikus-tikus itu, maka yang lain telah menggigit dan menarik ekornya atau perutnya. Jika dengan cepat ular itu berpaling, maka tikus yang lain telah menaburkan pasir di matanya pula.

Kemenakan Ki Jelanthir itu berusaha memaksakan pertempuran yang keras dan kasar untuk memaksa lawan-lawannya mengerahkan tenaganya. Tetapi ternyata kelima orang lawannya itu juga mempunyai daya tahan yang tinggi, sehingga mereka tidak segera kehabisan tenaga.

Dalam pada itu, Ki Jelanthir semakin lama menjadi semakin terdesak. Ketika tiga orang pengikutnya berusaha untuk melibatkan diri bertempur melawan Ki Serat Waja, maka tiga orang cantrik dari padepokan Kiai Warangka telah menghalau mereka, atau menyeret mereka ke dalam pertempuran yang terpisah. Apalagi semakin lama keadaan orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi semakin sulit.

Dalam pada itu, korban telah berjatuhan dari kedua belah pihak. Orang-orang yang bertugas khusus berusaha untuk menyingkirkan kawan-kawan mereka yang terluka, dilindungi oleh kelompok-kelompok yang terpilih.

Para cantrik, para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang terluka parah, telah dibawa ke bangunan utama padepokan itu. Mereka mendapat penanganan yang cepat dari para cantrik yang memang telah mendalami ilmu pengobatan.

Sementara itu, orang-orang yang telah datang menyerang padepokan itu agaknya tidak mempersiapkan secara khusus orang-orang yang akan menolong mereka yang terluka, sehingga mereka yang terbaring di antara kaki-kaki yang berloncatan, masih berada di tempatnya. Mereka yang masih mampu merangkak, berusaha keluar dari medan yang berdebu. Namun ada di antara mereka yang justru terinjak-injak kaki kawan-kawan mereka, yang sedang berusaha melindungi diri sendiri.

Dalam pada itu, ternyata Perbatang semakin ditekan lawannya. Perbatang mengalami kesulitan, ketika seorang lagi sempat membantu lawan Perbatang. Dua orang cantrik yang berusaha membantu Perbatang, telah dihadang oleh para pengikut Ki Jatha Beri yang lain. Sementara itu Perbatang menjadi benar-benar terdesak. Ujung senjata lawannya itu telah mengoyak lengannya, sehingga luka pun telah menganga. Darah mengalir membasahi bajunya yang telah terkoyak.

Sementara Perbatang berusaha memperbaiki keadaannya, lawannya yang seorang lagi telah menggoreskan ujung senjatanya menyilang di punggungnya.

Perbatang terdorong selangkah. Punggungnya terasa menjadi sangat pedih, sementara darah mengalir membasahi pakaiannya yang telah koyak.

Tetapi Perbatang sama sekali tidak ingin meninggalkan medan. Apapun yang terjadi akan ditempuhnya. Ia merasa bahwa jika ia tidak diselamatkan dari hukuman mati yang akan dijatuhkan oleh Ki Jatha Beri dengan cara yang paling buruk, maka ia tentu sudah mati pula. Bahkan kematian itu akan dijalaninya dengan penuh penderitaan.

Di medan, kematian akan ditempuhnya dengan dada tengadah dan dengan senjata di tangan.

Karena itu, maka Perbatang pun bertempur semakin garang. Tanpa mengingat darah yang telah meleleh dari lukanya, dihadapinya dua orang lawannya yang bertempur berpasangan.

Tetapi Perbatang menjadi semakin terdesak. Senjata-senjata lawannya rasa-rasanya semakin dekat menyambar-nyambar di sekitarnya.

Namun dalam keadaan yang rumit itu, tiba-tiba seseorang meloncat di sampingnya sambil berteriak, “Bertahanlah Perbatang! Kita akan bertempur bersama-sama!”

Perbatang meloncat surut mengambil jarak, sementara itu Pinuji telah meloncat memasuki arena. Meskipun pakaian Pinuji juga sudah bernoda darah, tetapi ia masih garang sebagaimana Perbatang.

“Di mana lawanmu?” bertanya Perbatang.

“Aku sudah membunuhnya,” jawab Pinuji.

Perbatang tidak bertanya lagi. Tetapi senjatanya berputar semakin cepat

Ketika Pinuji hadir di arena pertempuran itu, maka keadaan Perbatang menjadi semakin baik. Meskipun ia terluka, tetapi kemarahannya telah membuat darahnya mendidih, sehingga bersama-sama dengan Pinuji, Perbatang telah melanda lawannya dengan serangan-serangan.

Ternyata lawan-lawan Perbatang itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Cantrik yang semula adalah murid Ki Jatha Beri itu memang sulit untuk menandingi kemampuan Perbatang, sehingga ujung senjata Perbatang telah melukainya pula. Tidak hanya segores, tetapi kemudian goresan-goresan berikutnya. Bahkan Perbatang yang marah itu mendesak lawannya sehingga tidak mendapat kesempatan untuk mengelakkan diri dari keadaan yang paling buruk.

Namun pengikut Ki Jatha Beri yang telah menyatakan dirinya menjadi cantrik di padepokan Kiai Timbang Laras itu sempat berteriak, “He, kau pengkhianat! Kau telah membunuh saudara-saudaramu sendiri. Sekarang kau nampaknya benar-benar berniat membunuhku. Tingkah lakumu itu akan membuat Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri semakin marah. Kau akan mendapat hukuman yang sangat berat, yang belum pernah dilakukan terhadap siapapun juga.”

“Mereka tidak akan dapat menghukum aku,” geram Perbatang, “mereka akan mati di pertempuran ini.”

“Omong kosong! Mereka akan menggulung padepokan ini dan membunuh semua isinya. Tetapi mereka tentu akan memakai cara yang khusus untuk membunuhmu.”

“Kau tidak usah terlalu banyak bicara. Bersiaplah untuk mati. Mungkin kau akan meneriakkan nama orang tuamu untuk mendapat kekuatan batin menghadapi kematian.”

“Cukup!” teriak orang itu sambil mengayunkan senjatanya mengarah ke leher Perbatang.

Tetapi dengan tangkasnya Perbatang yang sudah terluka itu menghindar dengan loncatan ke samping sambil merendah. Namun tiba-tiba Perbatang itu pun meloncat sambil menjulurkan senjatanya, langsung menikam dada menembus jantung lawannya.

Terdengar lawannya itu berteriak nyaring. Kemudian terdengar umpatan-umpatan kotor dari mulutnya. Namun kemudian suaranya pun tertahan di kerongkongan.

Orang itu pun kemudian terjatuh dengan lemahnya. Sesaat kemudian, nafasnya pun berhenti mengalir.

Perbatang sendiri berdiri termangu-mangu. Ia telah menyelesaikan lawannya pada saat-saat yang paling sulit. Darahnya sudah banyak mengalir dari luka-lukanya. Apalagi Perbatang harus mengerahkan tenaganya pada saat-saat terakhir, sehingga darahnya bagaikan diperas lewat luka-lukanya itu.

Karena itu, maka mata Perbatang itu menjadi berkunang-kunang. Pinuji yang juga sudah terluka, melihat keadaan Perbatang. Iapun harus menghentakkan ilmunya pula mengakhiri perlawanan orang yang semula datang untuk bertempur berpasangan melawan Perbatang.

Lawan Pinuji memang tidak terlalu berat. Meskipun Pinuji sendiri juga terluka, tetapi ia tidak harus memeras kemampuannya untuk mengakhiri perlawanannya.

Sejenak kemudian terdengar orang itu mengaduh perlahan. Kemudian terhuyung-huyung dan kemudian jatuh tertelungkup.

Pinuji tidak menghiraukan lawannya. Perbatang yang sudah sangat lemah dihampirinya.

“Marilah,” berkata Pinuji sambil memapah Perbatang, “kita pergi ke tempat yang lebih tenang.”

Perbatang tidak menjawab, tetapi ia menurut saja. Perlahan-lahan mereka meninggalkan arena menuju ke serambi. Ketika dua orang lawan menyerang mereka, beberapa orang cantrik dengan serta-merta telah menghalangi. Para cantrik itu ternyata telah kehilangan lawan mereka pula.

Dalam pada itu, para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras yang semula menjadi para pengikut Ki Jatha Beri sudah menjadi semakin menyusut. Para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras sendiri, berusaha untuk menghindar dari para cantrik padepokan Kiai Warangka. Rasa-rasanya mereka tidak ingin bertempur dengan saudara sendiri. Di medan, jika mereka bertemu dengan lawan yang memiliki ciri olah kanuragan yang sama, kedua belah pihak segera menjadi ragu-ragu. Jika masih ada kesempatan, maka mereka akan saling menghindar.

Bahkan beberapa orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras justru telah menyerahkan diri. Apalagi ketika mereka bertemu dengan saudara-saudara mereka yang telah berada di padepokan Kiai Warangka. Maka rasa-rasanya mereka tidak lagi ingin bertempur mempertaruhkan nyawa mereka.

Para pengikut Ki Jatha Beri berteriak-teriak marah melihat sikap para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras itu. Seorang yang bertubuh raksasa berteriak lantang, “He, pengkhianat yang licik! Kenapa kalian menyerah?”

Para cantrik itu tidak menjawab. Namun orang bertubuh raksasa itu pun segera berhadapan dengan seorang putut yang bertubuh sedang, bersenjata sebuah tombak pendek.

“Setan kau,” geram orang bertubuh raksasa itu.

Tetapi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, putut yang bersenjata tombak itu segera meloncat menyerangnya

Pertempuran di antara mereka pun segera terjadi. Keduanya didera oleh kemarahan yang membuat darah mereka mendidih.

Dalam keadaan yang semakin sulit itu, kemarahan Ki Jatha Beri pun menjadi semakin menyala di dadanya. Ketika jantungnya menjadi bagaikan membara, maka terdengar Ki Jatha Beri itu berteriak dengan kerasnya. Seakan-akan ia ingin melontarkan sesak di dalam dadanya

Namun ternyata teriakan Ki Jatha Beri itu telah menggetarkan medan. Rasa-rasanya suara itu telah berubah menjadi ujung-ujung duri yang menyentuh setiap jantung, terutama jantung Ki Resa yang sedang bertempur melawannya.

Ki Resa menyeringai menahan pedih di dalam dadanya. Dengan serta-merta ia meloncat mundur untuk mengambil jarak. Tetapi Ki Jatha Beri tidak melepaskannya. Iapun segera meloncat memburunya. Serangan-serangannya pun datang mengalir seperti banjir. Ki Resa memang terdesak. Sementara itu, setiap kali Ki Jatha Beri berteriak atau tertawa atau mengumpat, maka jantung Ki Resa bagaikan ditusuk-tusuk dengan ujung duri yang runcing.

Ki Resa menyadari Ki Jatha Beri telah mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang jarang sekali dipergunakan. Tetapi karena Ki Jatha Beri tidak juga dapat mengalahkan Ki Resa dengan segera, maka ia pun telah mempergunakan ilmu pamungkasnya, sebelum Ki Resa sempat berbuat lebih jauh.

Tetapi Ki Resa pun bukan orang kebanyakan. Ketika ia menyadari bahwa lawannya mempergunakan ilmu pamungkasnya, maka ia pun telah mempersiapkan diri pula. Ki Resa tidak mau menjadi korban dilanda oleh puncak ilmu Ki Jatha Beri yang tinggi itu.

Di sisi lain, Jaran Banggal pun telah kehilangan kesabaran menghadapi anak yang masih muda itu. Betapapun ia mengayunkan kapaknya, lawannya yang bersenjata ikat pinggang itu mampu menangkis atau menghindar. Bahkan ketika Jaran Banggal mengerahkan tenaganya yang sangat besar, Jaran Banggal tidak mampu menguasai lawannya itu.

Bahkan semakin lama Glagah Putih menjadi semakin berbahaya. Ikat pinggangnya yang menyentuh kulit lawannya telah menimbulkan luka di kulitnya. Darah pun mulai menitik dari luka-luka itu.

“Anak iblis!” geramnya. Namun bagaimanapun juga Jaran Banggal tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa lawannya yang muda itu sulit ditundukkannya. Karena itu, Jaran Banggal pun telah menghentakkan kemampuannya

Dengan landasan ilmunya, maka Jaran Banggal pun kemudian telah menggetarkan pertahanan Glagah Putih. Kapaknya yang terayun-ayun itu tiba-tiba telah membuat Glagah Putih menjadi bingung. Kapak di tangan Jaran Banggal itu seakan-akan telah tumbuh menjadi beberapa buah kapak yang terayun-ayun mengerikan. Udara di sekitar arena itu pun seakan-akan telah ikut berputar mengalir dengan derasnya, sebagaimana ayunan kapak yang membingungkan itu.

Glagah Putih memang menjadi bingung, sehingga beberapa kali ia meloncat mundur. Namun senjata lawannya yang seakan-akan menjadi lebih dari satu itu pun selalu memburunya.

Glagah Putih terkejut ketika tajamnya kapak lawannya sempat menyentuh kulitnya. Segores luka menyilang lengan Glagah Putih. Bahkan kemudian disusul pula sentuhan tajamnya kapak Jaran Banggal di punggungnya. Ternyata Glagah Putih yang agak bingung menghadapi lawannya terlambat menghindar, sehingga punggungnya telah tersentuh tajamnya kapak lawannya

Luka yang bukan saja mengoyak bajunya, tetapi juga kulitnya itu membuat Glagah Putih menjadi sangat marah. Namun sebenarnyalah bahwa ilmu lawannya benar-benar telah membuatnya bingung. Senjata kebanggaannya masih juga belum cukup untuk melindungi dirinya dari serangan-serangan kapak Jaran Banggal.

Glagah Putih memang meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang menentukan. Ia sudah menyarungkan pedangnya dan mengganti senjatanya dengan ikat pinggangnya yang dibanggakannya Namun dengan ikat pinggang itu, Glagah Putih masih mengalami kesulitan. Meskipun Glagah Putih sudah berusaha melindungi tubuhnya dengan memutar ikat pinggangnya di seputar tubuhnya, namun ternyata senjata lawannya itu masih sempat menyentuhnya.

Sementara itu, Jaran Banggal yang bersenjata kapak itu berkata lantang di sela-sela derai tertawanya, “Kau sudah menghina aku, Anak Muda. Kau seakan-akan tidak mempunyai senjata yang lain kecuali ikat pinggang. Kau singkirkan pedangmu karena dengan ikat pinggangmu kau berniat merendahkan aku. Tetapi sebentar lagi kau akan mati. Atau barangkali ikat pinggangmu memang lebih garang dari pedangmu. Ikat pinggangmu dapat menjadi senjata lentur, tetapi kemudian dapat menjadi senjata sekuat dan setajam pedang. Tetapi itu tidak akan menolongmu.”

Glagah Putih menggeram, Iapun sadar bahwa dengan ilmunya, Jaran Banggal ternyata sulit untuk dapat dilawan.

Karena itu, Glagah Putih pun akhirnya mengambil keputusan bahwa ia tak ingin terlambat untuk menyelamatkan diri. Ia sudah berhasil keluar dari bengisnya pertempuran di Pati. Sehingga karena itu, ia tidak mau terkapar di padepokan Kiai Warangka.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun sampai pada satu keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu.

Karena itu, ketika Jaran Banggal sambil tertawa meloncat memburunya, sekali lagi Glagah Putih meloncat mengambil jarak.

“Kau tidak akan lepas dari tanganku, Anak Muda,” suara Jaran Banggal menggelegar di antara dentang senjata beradu.

Namun ketika Jaran Banggal itu meloncat menyerang Glagah Putih dengan kapaknya yang seakan-akan tumbuh menjadi banyak, Glagah Putih menekuk kakinya dengan sedikit merendah. Satu kakinya ditariknya sedikit ke belakang. Namun kemudian diangkatnya kedua tangannya dengan telapak tangannya menghadap ke arah Jaran Banggal yang sedang meloncat memburunya. Di mata Glagah Putih, Jaran Banggal itu telah mengangkat empat buah kapak yang besar. Tajamnya berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang semakin condong.

Tetapi Jaran Banggal terkejut. Ia melihat dari telapak tangan Glagah Putih itu meloncat sinar yang meluncur langsung mengarah ke tubuhnya.

Jaran Banggal menyadari bahwa anak muda itu telah melontarkan ilmu yang sangat tinggi. Ilmu yang menurut perhitungannya tidak akan dapat dikuasai oleh anak semuda lawannya itu.

Tetapi Jaran Banggal tidak mempunyai kesempatan. Ketika ia mencoba menggeliat menghindari serangan itu, sinar itu telah menyambar tepat di dadanya.

Rasa-rasanya dada Jaran Banggal itu meledak. Ia terdorong beberapa langkah surut. Tubuhnya terangkat sehingga kakinya tidak menyentuh tanah. Namun kemudian tubuhnya itu telah terbanting jatuh di atas tanah yang keras di padepokan Kiai Warangka.

Jaran Banggal menggeliat. Tetapi isi dadanya serasa telah terbakar hangus. Ilmu lawannya yang masih muda itu ternyata tidak dapat dilawannya.

Glagah Putih termangu-mangu melihat lawannya yang terkapar. Beberapa orang pengikut Jaran Banggal berusaha untuk dapat mendekatinya. Namun ketika mereka sempat berjongkok di sisinya, Jaran Banggal itu sudah tidak bernafas lagi. Beberapa orang pengikutnya memandang Glagah Putih dengan sorot mata yang bagaikan memancarkan api. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan kemudian beberapa orang pengawal Tanah Perdikan telah menyerang mereka pula.

Namun dua orang pengikut Jaran Banggal masih sempat membawa tubuh itu ke belakang garis pertempuran.

Sepeninggal Jaran Banggal, barulah Glagah Putih merasa betapa luka-lukanya sendiri menjadi pedih dan nyeri. Seorang pengawal Tanah Perdikan mendekatinya dan membawa Glagah Putih menepi.

“Tolong, taburkan obat ini pada luka-lukaku,” berkata Glagah Putih.

Pengawal Tanah Perdikan itu pun kemudian membantu Glagah Putih membuka bajunya, kemudian menaburkan obat pada luka-lukanya. Sementara seorang pengawal yang lain telah ikut menjaganya.

Meskipun kemudian luka-luka Glagah Putih mampat, tetapi Glagah Putih tidak kembali lagi ke medan. Jika ia memeras tenaganya, maka luka-lukanya itu akan kembali berdarah.

Sementara itu, seorang pengawal Tanah Perdikan telah memberitahukan kepadanya, bahwa keseimbangan di medan menjadi semakin baik.

“Gerombolan-gerombolan yang menyerang padepokan ini menjadi semakin sulit. Mereka telah terdesak di mana-mana. Bahkan ada di antara mereka yang sudah menyerah.”

“Syukurlah,” berkata Glagah Putih yang duduk di tangga bangunan utama padepokan. Dua orang pengawal duduk di sebelah-menyebelahnya.

“Tetapi nampaknya pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya,” berkata Glagah Putih.

Salah seorang dari keduanya itu pun menjawab, “Pertempuran memang masih berlangsung. Tetapi keseimbangannya-lah yang sudah berubah. Orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak akan mampu lagi berbuat banyak.”

“Meskipun demikian, bukankah pertempuran masih terjadi? Selama itu, perubahan keseimbangan masih akan dapat terjadi.”

“Tetapi kemungkinannya kecil sekali,” jawab pengawal itu.

“Dan kalian duduk-duduk saja di sini, sementara saudara-saudaramu menyabung nyawa?”

“Kami menjaga keselamatanmu. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan sudah hampir berhasil menguasai musuh-musuhnya. Tidak ada lagi yang perlu dicemaskan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih melihat pertempuran terjadi di mana-mana.

Bahkan Ki Serat Waja pun masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Jelanthir. Namun Ki Jelanthir ternyata tidak dapat berbuat banyak. Saudara seperguruan Kiai Warangka itu memiliki ilmu yang tinggi. Sementara itu, kemenakannya tidak mampu melepaskan diri dari sekelompok orang yang bertempur melawannya.

Ketika seorang di antara para prajurit dari Pasukan Khusus yang bertempur melawan kemenakan Ki Jelanthir itu terluka menyilang di dadanya sehingga ia terdorong keluar dari arena, maka seorang kawannya telah menolongnya, membantunya berjalan menjauh. Sementara itu seorang yang lain telah memasuki arena itu pula menggantikannya. Sehingga dengan demikian, maka jumlah lawan kemenakan Ki Jelanthir itu tidak pernah menyusut.

Dengan demikian, maka Ki Jelanthir itu memang sudah tidak berpengharapan. Apapun yang dilakukan, tidak dapat menolongnya. Bahkan ketika Jelanthir mengerahkan ilmu puncaknya, Ki Serat Waja masih mampu mengatasinya. Angin yang seakan-akan muncul dari dalam dirinya dan berputar seperti angin pusaran, tiba-tiba dihempaskan oleh kekuatan yang meluncur dari hentakan tangan Ki Serat Waja.

Dengan demikian, maka Ki Jelanthir benar-benar tidak berdaya lagi. Sementara itu kemenakannya pun telah dihimpit oleh kekuatan di sekitarnya, sehingga tidak mampu untuk memecahkannya.

Karena itu, dalam keadaan putus asa Jelanthir telah berkata memelas, “Serat Waja. Aku menyerah, aku minta ampun. Aku tidak datang karena kehendakku sendiri. Tetapi Jatha Beri-lah yang memaksa aku untuk ikut bersama Kiai Timbang Laras datang kemari.”

“Persetan dengan Ki Jatha Beri!” geram Serat Waja, “Jika kau menolak, maka ia tidak akan dapat memaksamu.”

“Aku tidak dapat menolak, Serat Waja. Jika aku menolak, maka gerombolanku tentu akan dihancurkan oleh Jatha Beri dan kawan-kawannya. Mereka sama sekali tidak mau mendengarkan alasanku. Yang mereka tahu, apa yang mereka katakan harus terjadi.”

Ki Serat Waja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Jika kau menyerah, maka serahkan tanganmu. Aku harus mengikatnya.”

“Kau tidak perlu mengikat tanganku, aku tidak akan lari.”

“Jika kau tidak bersedia, kita akan bertempur terus sampai kau mati.”

“Aku minta ampun. Jangan bunuh aku.”

“Serahkan tanganmu!”

Ki Jelanthir tidak dapat berbuat lain. Diacungkannya tangannya untuk diikat. Sementara Ki Serat Waja telah menyambar ikat kepala Ki Jelanthir. Dengan ikat kepala itulah ia mengikat tangannya.

Kemenakannya yang melihat Ki Jelanthir menyerah, mengumpat dengan kasar. Dengan lantang ia berteriak, “Apa yang kau lakukan Paman? Kau mencemarkan nama baik perguruan kita!”

“Aku tidak mau mati,” desis Ki Jelanthir.

Dalam pada itu, setelah diikat tangannya, Serat Waja telah menyerahkan Ki Jelanthir itu kepada beberapa orang cantrik. Dengan nada berat ia berpesan, “Hati-hatilah! Jika ia mau, ia dapat memutuskan ikatan pada tangannya itu. Ia juga mampu melepaskan ilmunya yang mengerikan. Dari tubuhnya itu seakan-akan memancar arus angin pusaran yang deras. Nah, sebelum kalian hanyut, maka jika kalian melihat sesuatu yang tidak wajar pada orang itu, kalian harus memanggil aku.”

“Ki Serat Waja akan ke mana?” bertanya seorang cantrik.

“Orang yang mirip dengan Jelanthir ini harus diselesaikan juga.”

“Bagus!” teriak kemenakan Ki Jelanthir, “Mendekatlah! Lehermu akan aku tebas dengan luwukku ini.”

Ki Serat Waja mengerutkan dahinya. Orang itu memang menggenggam sebilah luwuk.

Ki Serat Waja termangu-mangu sejenak. Ia melihat lima orang prajurit dari Pasukan Khusus yang tidak mengenakan pakaian keprajuritan itu harus mengerahkan tenaganya. Ada di antara mereka yang seakan-akan telah kehabisan tenaga. Namun tiba-tiba saja seorang yang lain meloncat menggantikan tempatnya.

Prajurit yang kelelahan itu berdiri bertolak pinggang di pinggir arena pertempuran itu. Nafasnya terengah-engah. Namun ia sama sekali belum terluka. Ia telah mengerahkan segenap tenaganya untuk menyerang dan menghindar, sehingga tenaganya segera menjadi susut.

Sejenak ia memandangi pertempuran itu sambil beristirahat barang sejenak.

Namun yang kemudian mendekati pertempuran itu adalah Ki Serat Waja. Kepada para prajurit ia pun berkata, “Aku yakin, orang ini tidak memiliki kemampuan setinggi Jelanthir.”

“Setan kau!” geram kemenakan Ki Jelanthir. Lalu katanya, “Aku bukan pengecut seperti Paman Jelanthir. Aku akan mencincangmu sampai lumat.”

Ki Serat Waja tertawa pendek. Katanya, “Baiklah. Kita akan mencoba. Aku akan segera tahu, apakah kau benar-benar memiliki kemampuan seperti pamanmu.”

“Marilah! Jangan sendiri. Ajak semua pengikutmu!”

Ki Serat Waja pun tiba-tiba berkata lantang kepada para prajurit, “Minggirlah! Biarlah aku mencoba menyelesaikannya!”

Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera menyibak. Mereka melepaskan lawan mereka yang akan dihadapi oleh Ki Serat Waja, adik seperguruan Kiai Warangka dan Kiai Timbang Laras.

Kemenakan Ki Jelanthir itu mengumpat-umpat dengan kasar, sementara Ki Serat Waja sama sekali tidak menghiraukannya. Dihadapinya kemenakan Ki Jelanthir itu dengan sikap yang mapan. Sama sekali tidak nampak ketegangan di wajah Ki Serat Waja, betapapun sikap kemenakan Ki Jelanthir yang kasar itu seakan-akan menakut-nakutinya. Senjatanya berputaran dengan cepatnya mengitari tubuhnya, seakan-akan gumpalan awan yang menyelimuti dirinya.

Selangkah demi selangkah Ki Serat Waja mendekatinya. Dengan hati-hati Ki Serat Waja memperhatikan permainan senjata lawannya

Dalam pada itu, dengan serta-merta kemenakan Ki Jelanthir itu pun meloncat menyerangnya.

Namun Ki Serat Waja benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, serangan kemenakan Ki Jelanthir itu sama sekali tidak mengejutkannya

Sejenak kemudian, telah terjadi pertempuran di antara keduanya. Kemenakan Ki Jelanthir itu telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk menyerang Ki Serat Waja. Namun tataran ilmu Ki Serat Waja memang lebih tinggi. Karena itu, maka kemenakan Ki Jelanthir itu sama sekali tidak mendapat kesempatan. Dengan garangnya Ki Serat Waja menyerang seperti banjir bandang.

Kemenakan Ki Jelanthir itu benar-benar tidak mendapat kesempatan. Ketika luwuknya terlepas dari tangannya, maka terlepas pula kesombongan yang mencengkam jantungnya.

Kemenakan Ki Jelanthir itu tiba-tiba merasa sangat kecil di hadapan Ki Serat Waja. Karena itu, maka ia pun segera meloncat mengambil jarak, namun kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah, “Ampun, ampunkan aku.”

Ki Serat Waja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Jadi, mana keberanianmu itu? Bukankah kau menganggap pamanmu pengecut. Kenapa kau sendiri sekarang menyerah?”

“Aku belum ingin mati. Bukankah Paman juga belum ingin mati sekarang?”

“Ternyata kau bukan saja pengecut, tetapi kau juga pembual,” geram Ki Serat Waja

“Aku mohon ampun.”

Ki Serat Waja pun memanggil para prajurit dari pasukan khusus yang masih berdiri menyaksikan pertempuran antara Ki Serat Waja dan kemenakan Ki Jelanthir itu. Mereka tertawa sambil melangkah mendekat.

“Ikat orang ini,” berkata Ki Serat Waja.

Kemenakan Ki Jelanthir itu sama sekali tidak membantah. Diacungkannya tangannya untuk diikat.

Seorang prajurit telah melepas ikat kepalanya, yang kemudian dipergunakannya untuk mengikat tangan kemenakan Ki Jelanthir itu.

Dalam pada itu, pertempuran di mana-mana sudah mulai mereda. Jumlah orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi jauh susut. Ada yang terbaring diam, terluka, dan ada yang menyerah. Sementara para pemimpinnya pun harus melihat kenyataan, bahwa mereka tidak mampu mengalahkan orang-orang berilmu tinggi yang ada di padepokan Kiai Warangka itu.

Kiai Timbang Laras semakin lama menjadi semakin cemas, Sementara itu, dua orang yang rambutnya telah beruban bertempur dengan landasan ilmu yang sangat tinggi. Ki Jayaraga yang berhadapan dengan Ki Naga Dakgrama semakin meningkatkan ilmu mereka.

“Ternyata ilmumu memang semakin tinggi, Jayaraga,” berkata Ki Naga Dakgrama.

“Kau mulai menjadi cemas?” bertanya Ki Jayaraga.

“Apakah kau tidak merasa cemas sama sekali? Meskipun rambutku sudah ubanan, tetapi memasuki pertempuran melawan orang-orang yang berilmu tinggi, aku selalu merasa cemas,” jawab Ki Naga Dakgrama.

“Kau selalu berkata dengan jujur, “sahut Ki Jayaraga.

“Tetapi aku selalu memenangkan pertempuran dimanapun, melawan siapapun. Jika kau ingin bukti, adalah ubanku ini. Meskipun aku sudah ubanan, aku masih tetap hidup. Itu satu pertanda bahwa tidak seorangpun yang pernah mengalahkan aku sampai aku setua ini, karena setiap kekalahan berarti mati.”

“Tidak selalu. Apakah kau belum pernah melarikan diri dari medan?”

“Hanya sekali-sekali,” Ki Naga Dakgrama itu tertawa

Namun Ki Naga Dakgrama itu harus tetap berhati-hati. Serangan Ki Jayaraga datang membadai. Meskipun keduanya tidak bersenjata, tetapi tangan-tangan mereka menjadi jauh lebih berbahaya dari jenis senjata apapun juga.

Keduanya pun kemudian bertempur semakin lama semakin sengit. Ilmu mereka pun meningkat semakin tinggi, sehingga pada saatnya, keduanya telah merambah ke ilmu simpanan mereka.

“Iblis tua,” geram Ki Naga Dakgrama, “kau masih juga mampu mengimbangi ilmuku. Bertahun-tahun aku menjalani laku. Aku kira aku sudah meninggalkan kau sangat jauh.”

“Kau kira selama ini aku diam saja?” jawab Ki Jayaraga, “Aku kembangkan ilmuku. Aku cari kemungkinan-kemungkinan baru. Ternyata aku mampu mengimbangimu.”

“Jangan berbangga. Aku belum sampai ke puncak.”

“Kau kira aku sudah?” bertanya Ki Jayaraga.

“Jadi kau masih mampu meningkatkan ilmumu?” bertanya Ki Naga Dakgrama.

“Kita akan melihat nanti,” jawab Ki Jayaraga.

“Semula aku sudah memastikan bahwa aku akan membunuhmu. Tetapi ternyata belum tentu. Mungkin kau-lah yang akan membunuhku dalam pertempuran ini.”

“Doakan saja.”

“Mendoakan apa?” bertanya Ki Naga Dakgrama.

“Mendoakan agar aku dapat membunuhmu.”

Ki Naga Dakgrama tertawa meledak. Namun bersamaan dengan itu, dalam getar suara tertawanya yang menyusup di antara bibirnya, telah mengalir udara panas pula. Udara panas yang memancar tidak kasat mata menerpa Ki Jayaraga.

Ki Jayaraga terkejut. Untunglah bahwa dengan cepat ia menyadari apa yang telah dilakukan oleh lawannya. Karena itu, maka dengan serta-merta Ki Jayaraga pun segera meloncat mengelak. Menjatuhkan dirinya berguling beberapa kali untuk mengambil jarak.

“He, apa yang kau lakukan?” bertanya Ki Naga Dakgrama.

“Aku tidak pernah melakukannya dengan diam-diam,” berkata Ki Jayaraga, “aku akan melakukannya dengan terbuka.”

Naga Dakgrama tidak segera mengerti maksud Ki Jayaraga. Namun tiba-tiba saja Ki Jayaraga telah menghentakkan tangannya dengan kedua telapak tangannya menghadap ke arah Ki Naga Dakgrama.

Tiba-tiba saja lidah api telah berhembus dari telapak tangan orang tua itu. Seleret kecil saja. Namun panasnya melampaui panasnya bara pandai besi yang meluluhkan baja.

Ki Naga Dakgrama mengumpat. Namun dengan tangkasnya ia melenting menghindari sambaran lidah api yang tidak lebih besar dari pergelangan tangan kanak-kanak yang menyembur ke arahnya

“Setan kau!” geram Ki Naga Dakgrama, “Kau berhasil menghindari serangan ilmuku. Bahkan kau telah membalas menyerangnya pula.”

“Aku tidak mau sekedar menjadi sasaran.”

Ki Naga Dakgrama menggeram. Katanya, “Seharusnya kau sudah mati ketika aku menghembuskan nafas apiku. Tetapi kau masih tetap hidup dan justru mencoba membalas seranganku, Jayaraga. Kau membuatku marah. Karena itu, sebelum kemarahanku meledak, sebaiknya kau biarkan seranganku mengenaimu. Kau seharusnya tidak melawan ilmuku dengan ilmumu, karena dengan demikian akan dapat menggagalkan usahaku membunuhmu.”

“Kau ingin aku membunuh diriku saja di hadapanmu?”

“Tidak. Kau tidak boleh membunuh diri. Kau harus membiarkan aku membunuhmu.”

“Kenapa tidak sebaliknya saja? Biarlah aku membunuhmu.”

“Itu tidak adil. Aku-lah yang menyerang padepokan ini. Kau hanya sekedar bertahan. Biarlah orang yang bertahan itulah yang mati.”

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Aku tidak mau berbaik hati. Kita akan bertempur dan mempertaruhkan nyawa kita masing-masing. Kau atau aku yang mati.”

“Apakah timangmu dibuat dari emas dengan tretes berlian?”

“Tidak. Timangku terbuat dari tembaga.”

“Ternyata kau masih tetap miskin. Sebenarnya aku ingin bertaruh. Siapa yang mati harus membiarkan timangnya dimiliki lawannya. Tetapi karena timangmu tembaga, aku tidak jadi menantangmu bertaruh.”

“Kalau kau mati, bagaimana kau akan mempertahankan timangmu yang terbuat dari emas dengan tretes berlian itu?”

“Benda-benda itu akan menjadi benda-benda terkutuk. Siapa yang memiliki, maka perutnya akan terjerat sehingga tidak akan dapat bernafas lagi.”

“Kau bodoh sekali,” Ki Jayaraga tertawa.

“Kenapa?”

“Jika aku yang mengambilnya, maka aku tidak akan memakai ikat pinggang itu. Aku akan melepas timang yang sepasang itu dan menjualnya.”

“Setan, licik kau!”

“Kalau benda-benda itu benar-benar menjadi benda terkutuk, biarlah yang memakai terkena kutukmu. Tetapi aku tidak.”

“Kau tidak akan menang. Kau akan mati.”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi ia justru berteriak, “Hati-hatilah! Kita akan bertempur lagi.”

Ki Jayaraga pun kemudian telah menghentakkan tangannya. Karena itu, maka Ki Naga Dakgrama itu harus meloncat menghindarinya.

“Licik kau!”

“Aku sudah memberi peringatan kepadamu. Salahmu kau terlalu banyak berbicara dalam pertempuran, sementara itu para pengikutmu sebagian sudah mati, sebagian luka-luka parah dan menyerah.”

Ki Naga Dakgrama tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera menyerang dengan ilmunya yang tinggi. Getaran udara meluncur dari sela-sela bibir Ki Naga Dakgrama, ketika dihembuskannya udara seolah-olah sedang meniup seruling.

Namun sebenarnyalah udara yang meluncur dari mulutnya adalah udara yang panasnya melampaui api.

Tetapi Ki Jayaraga menyadari sepenuhnya serangan lawannya itu. Karena itu, ia pun segera berloncatan menghindar. Tetapi demikian kakinya tegak, kedua telapak tangan terjulur menghadap ke arah Ki Naga Dakgrama.

“Kau bodoh, Jayaraga,” berkata Ki Naga Dakgrama sambil meloncat, “anak-anak pun tahu bagaimana harus menghindari seranganmu, karena ujud seranganmu jelas dapat dilihat oleh mata wadag.”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Namun justru Ki Naga Dakgrama-lah yang terkejut. Selagi mulutnya masih menganga, serangan Ki Jayaraga telah menyambarnya pula.

Ki Naga Dakgrama meloncat ke samping. Tetapi Ki Jayaraga seakan-akan tahu benar apa yang akan dilakukannya. Karena itu, maka serangannya pun segera menyambar lawannya.

Ki Naga Dakgrama terkejut. Begitu cepat serangan berikutnya itu menyusul. Karena itu, dengan cepat ia pun menjatuhkan dirinya berguling di tanah. Namun bersamaan dengan itu, Ki Naga Dakgrama pun telah berteriak keras-keras.

Yang kemudian terkejut adalah Ki Jayaraga. Serangan itu datang bukan oleh hembusan nafas Ki Naga Dakgrama, tetapi getar suaranya itu seakan-akan bergulung-gulung dengan cepat melibat ke segala arah. Namun terutama ke sasaran yang dikehendaki oleh Ki Naga Dakgrama.

Jayaraga meloncat mengambil jarak. Ia pun berdiri tegak sambil meningkatkan daya tahannya. Teriakan Ki Naga Dakgrama itu bagaikan menyusup bukan saja lewat telinganya. Tetapi lewat setiap lubang kulitnya, menukik sampai ke jantung.

Ketika kemudian Ki Naga Dakgrama meloncat bangkit, teriakan-teriakan itu masih terdengar, sehingga getaran udara masih saja mengandung pancaran ilmu orang tua yang sedang marah itu.

Jantung Ki Jayaraga bagaikan diguncang-guncang. Apalagi ketika Ki Naga Dakgrama kemudian bangkit berdiri. Teriakan-teriakannya terasa semakin menusuk-nusuk seisi dada.

Ki Jayaraga tidak dapat membiarkan keadaan itu berlangsung lebih lama lagi. Serangan ilmu yang tinggi itu tidak saja menyakiti jantung Ki Jayaraga, tetapi orang-orang yang bertempur tidak terlalu jauh dari keduanya, isi dadanya juga terguncang.

Namun beberapa pengikut Ki Naga Dakgrama memiliki penangkalnya. Mereka membawa kapuk randu di dalam kantong ikat pinggangnya. Ketika Ki Naga Dakgrama melontarkan ilmunya, maka mereka telah menyumbat telinga mereka dengan kapuk itu, sehingga tusukan suara teriakan Ki Naga Dakgrama agak dapat diredam.

Tetapi meskipun demikian, mereka tidak terlepas seluruhnya dari pengaruh ilmu itu. Dada mereka pun terasa sakit. Tetapi keadaan mereka lebih baik dari lawan-lawan mereka yang tidak menutup telinga mereka dengan kapuk.

Ki Jayaraga menjadi semakin tersudut ke dalam kesulitan. Ki Naga Dakgrama ternyata mampu berteriak terus tanpa berhenti, sehingga serangan itu datang beruntun, susul-menyusul menusuk jantung.

Selain dadanya menjadi semakin kesakitan, Ki Jayaraga pun melihat kesulitan yang dialami oleh mereka yang bertempur di sekitarnya Sebagian dari mereka adalah pengawal Tanah Perdikan Menoreh, dan yang lain adalah cantrik dari padepokan Kiai Warangka, di samping beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus.

Beberapa orang prajurit dan pengawal yang berpengalaman, demikian merasakan serangan di jantung mereka, segera berusaha mengambil jarak. Mereka tahu, bahwa pengaruh ilmu yang sejalan dengan ilmu Gelap Ngampar ini tergantung juga pada jarak. Semakin jauh mereka dari sumber ilmu itu, maka pengaruhnya akan menjadi semakin kecil.

Karena itu, mereka yang masih sempat segera berloncatan menjauh. Tetapi beberapa orang cantrik dari perguruan Kiai Warangka yang belum berpengalaman, benar-benar telah terjerat oleh ilmu itu. Keadaan mereka menjadi sangat buruk. Meskipun lawan mereka yang menyumbat telinga mereka dengan kapuk juga terpengaruh, tetapi keadaan mereka lebih baik. Mereka akan sempat menghujamkan senjata mereka di dada para cantrik yang kehilangan tenaganya itu sebelum mereka merangkak menjauh.

Tetapi Ki Jayaraga tidak tinggal diam. Ia tahu bahwa jika Ki Naga Dakgrama itu tidak dihentikan, maka keseimbangan pertempuran akan segera berubah lagi. Dengan ilmunya, ia akan dapat mengacaukan pertahanan padepokan Kiai Warangka.

Karena itu, maka Ki Jayaraga pun telah sampai pada keputusan terakhir. Ia tidak saja bertahan dengan mengerahkan daya tahannya yang sangat tinggi. Tetapi Ki Jayaraga pun telah mengerahkan ilmu puncaknya. Ia tidak sekedar menyerang Naga Dakgrama dengan lidah apinya, karena Ki Naga Dakgrama akan dapat menghindarinya tanpa harus berhenti berteriak untuk melepaskan ilmu Gelap Ngampar-nya.

Ki Jayaraga itu menyadari, jika ia terlambat, maka terutama para cantrik yang belum berpengalaman itu akan bernasib sangat buruk di tangan para pengikut Ki Naga Dakgrama.

Karena itu, pada saat yang sangat gawat itu, Ki Jayaraga pun telah memusatkan nalar budinya.

Tanpa menghiraukan serangan aji Gelap Ngampar, Ki Jayaraga telah meloncat, bertumpu pada tangannya dan melenting berputar di udara. Demikian kakinya menginjak tanah, maka sekali lagi ia melompat sambil mengayunkan tangannya.

Pada saat yang bersamaan, Ki Naga Dakgrama yang melihat Ki Jayaraga menyerang dengan garangnya, telah berteriak pula menghentakkan ilmunya Gelap Ngampar.

Dada Ki Jayaraga rasa-rasanya bagaikan terbelah. Tetapi pada saat itu pula ia telah mengayunkan tangannya ke arah dada Ki Naga Dakgrama.

Ki Jayaraga telah melepaskan kemampuan ilmunya, Aji Sigar Bumi.

Satu benturan ilmu telah terjadi. Keduanya saling menyerang dengan kekuatan puncak. Jika dada Ki Jayaraga terasa bagaikan terbelah, maka dada Ki Naga Dakgrama rasa-rasanya telah menjadi lumat.

Ki Jayaraga itu terdorong beberapa langkah surut. Kemudian ia pun terjatuh pada lututnya. Dengan susah payah ia mencoba bertahan, namun perlahan-lahan Ki Jayaraga itu jatuh terguling.

Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan berlari-lari mendapatkannya. Mereka berusaha membantu agar tubuh Ki Jayaraga tidak terhentak jatuh di tanah.

Seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Marilah, kita bawa Ki Jayaraga ke tempat yang tidak terlalu hiruk-pikuk.”

Beberapa orang telah mengangkat tubuh itu. Sementara itu, beberapa orang yang lain berlari-lari mendekat pula.

Sebenarnyalah pengaruh aji Gelap Ngampar telah lenyap bersamaan dengan hentakan Aji Sigar Bumi. Dengan demikian, maka para pengawal, para cantrik dan prajurit yang tidak sempat menjauhkan dirinya dari sumber ilmu itu, dan terancam oleh kekuatan Aji Gelap Ngampar, segera telah bangkit sebelum mereka benar-benar kehilangan kesadaran mereka. Dengan demikian, maka pada saat-saat terakhir para pengikut Ki Naga Dakgrama akan menghabisi nyawa lawan-lawannya, mereka telah siap untuk melawan. Bahkan beberapa orang pengawal yang sempat mengambil jarak, telah berloncatan mendekat pula untuk membantu kawan-kawan mereka, yang ada di antaranya masih bingung menghadapi kenyataan itu.

Dalam pada itu, i Naga Dakgrama yang telah dikenai serangan Ki Jayaraga dengan kekuatan Aji Sigar Bumi, terbaring diam. Dari sela-sela bibirnya meleleh darah merah segar. Agaknya Aji Sigar Bumi benar-benar telah menghancurkan bagian dalam tubuh orang itu. 

Ketika beberapa orang berjongkok di sampingnya, Ki Naga Dakgrama masih sempat bertanya perlahan, “Di mana iblis tua itu sekarang?”

Seorang pengikutnya yang melihat Ki Jayaraga terlempar jatuh, tanpa berpikir lebih panjang segera menjawab, “Lawan Ki Naga Dakgrama telah mati.”

Tiba-tiba saja Ki Naga Dakgrama itu mengangkat kepalanya. Sambil tertawa ia berkata, “Jadi iblis tua itu mati? Aku telah mampu membunuhnya.”

Namun tiba-tiba suara tertawa K Naga Dakgrama yang berkepanjangan itu terputus. Kepalanya jatuh membentur tanah.

Kemudian segala-galanya diam. Jantungnya pun diam pula. Nafasnya berhenti mengalir. Demikian pula darah di urat-urat nadinya di seluruh tubuhnya.

Ki Naga Dakgrama itu telah meninggal.

Ternyata Ki Jayaraga justru belum meninggal. Nafasnya masih mengalir. Matanya bahkan masih berkedip, meskipun badannya menjadi sangat lemah.

“Ambilkan obat di kantong ikat pinggangku,” desisnya.

Para pengawal tidak segera mendengar dan mengerti, sehingga Ki Jayaraga harus mengulanginya, namun suaranya justru menjadi lebih lemah.

Tetapi seorang pengawal dapat mengerti maksudnya. Karena itu, ia pun segera mengambil obat dari kantong ikat pinggang Ki Jayaraga.

Sebutir obat pun kemudian telah dimasukkan ke sela-sela bibir Ki Jayaraga. Demikian sebutir obat itu berada di mulutnya, maka obat itu pun seakan-akan telah menjadi cair dan mengalir lewat kerongkongan Ki Jayaraga.

Obat itu telah membantu memperkuat daya tahan tubuh Ki Jayaraga, sehingga kesulitan di dalam tubuhnya itu serba sedikit dapat diatasinya.

Namun demikian, Ki Jayaraga itu masih dalam keadaan yang sangat lemah.

Glagah Putih yang mendengar keadaan Ki Jayaraga itu pun dengan tergesa-gesa telah bangkit. Namun dua orang pengawal yang mendampinginya menahannya sambil berkata, “Berhati-hatilah. Kau sendiri sedang terluka.”

Glagah Putih menganggukkan kepalanya. Namun kemudian dengan hati-hati dan perlahan-lahan, ia dibantu oleh kedua orang pengawal melangkah menuju ke tempat Ki Jayaraga dibaringkan.

Namun dalam pada itu, pertempuran benar-benar sudah mereda. Sebagian dari mereka yang ikut menyerang padepokan itu sudah menyerah. Apalagi mereka yang telah kehilangan pemimpin mereka, sehingga mereka tidak berpengharapan lagi. Jika pemimpin mereka yang berilmu tinggi saja sudah tidak berdaya, apalagi para pengikutnya

Meskipun demikian, pertempuran masih berlangsung di beberapa tempat. Masih ada di antara orang-orang yang menyerang padepokan itu yang tidak mau melihat kenyataan.

Tetapi ada di antara mereka yang memang tidak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi di sudut-sudut padepokan yang lain. Mereka tidak tahu bahwa sebagian kawan-kawan mereka telah terbunuh di peperangan, yang lain terluka parah, dan sebagian lagi menyerah.

Sementara itu, Ki Jatha Beri masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Resa. Ilmunya yang mempunyai beberapa persamaan dengan Aji Gelap Ngampar semakin menyulitkan kedudukan Ki Resa, yang jantungnya terasa bagaikan tertusuk-tusuk duri.

Tetapi Ki Resa tidak membiarkan dirinya dihancurkan oleh Ki Jatha Beri. Pada saat yang paling sulit, maka Ki Resa telah meloncat mengambil jarak. Ia memerlukan kesempatan barang sekejap untuk melepaskan ilmunya.

Ki Jatha Beri ternyata menyadari. Dengan garangnya ia meloncat memburunya. Ia tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya untuk membangunkan ilmu puncaknya.

Tetapi ternyata waktu yang sekejap itu telah cukup. Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba mata Ki Resa itu bagaikan memancarkan cahaya. Lebih terang dari cahaya siang yang semakin bergulir ke ujung hari.

Cahaya itu memang hanya sekejap. Tetapi mata Ki Jatha Beri menjadi silau. Cahaya yang seakan-akan pantulan sinar matahari di permukaan air itu membuat matanya menjadi kabur sejenak.

Namun ternyata yang sejenak itu telah memberikan kesempatan kepada Ki Resa untuk menyelesaikan pertempuran. Dengan cepat ia meloncat sambil menjulurkan senjatanya, langsung menghunjam di dada Ki Jatha Beri.

Ki Jatha Beri terkejut sehingga ia pun berteriak nyaring. Teriakan terakhir yang masih mampu mempengaruhi jantung lawannya.

Ki Resa terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Tetapi cengkeraman serangan ilmu Ki Jatha Beri itu pun kemudian telah lenyap, bersamaan dengan lenyapnya gaung teriakannya.

Ki Resa kemudian melihat Ki Jatha Beri itu terhuyung-huyung jatuh terbanting di tanah.

Ketika beberapa orang pengikutnya mendekatinya, maka Ki Jatha Beri itu sudah tidak berdaya sama sekali. Namun matanya yang terbuka membayangkan dendam yang masih mencengkam jantungnya. Ternyata Ki Resa yang diburunya itu justru telah membunuhnya.

Dalam pada itu, orang-orang yang menyerang padepokan itu telah kehilangan para pemimpinnya. Sementara itu, korban sudah terlalu banyak. Satu-satunya pemimpin yang masih bertempur adalah Kiai Timbang Laras melawan saudara seperguruannya, Kiai Warangka.

Dalam keadaan yang sulit bagi mereka yang datang menyerang padepokan itu, Kiai Warangka pun berkata, “Timbang Laras, kau dapat membuat pertimbangan-pertimbangan terakhir. Apakah kau akan melawan terus, atau kau akan mengambil keputusan lain.”

Kiai Timbang Laras tidak segera menyahut. Tetapi ia pun berloncatan semakin cepat menyerang Kiai Warangka.

“Aku masih memberi kesempatan, Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka kemudian, “seperti yang aku katakan, kita akan menyelesaikan persoalan di antara kita tanpa campur tangan orang lain. Terutama Ki Jatha Beri. Bukankah kau juga mendengar laporan seorang penghubung, bahwa Ki Resa yang selalu diburu oleh Ki Jatha Beri itu mampu mengakhiri petualangannya, yang di mana-mana selalu meninggalkan jejak-jejak hitam?”

“Omong kosong!” geram Kiai Timbang Laras.

“Apakah kau ingin melihatnya sendiri?” bertanya Kiai Warangka.

Kiai Timbang Laras menjadi termangu-mangu sejenak. Sementara Kiai Warangka justru meloncat mundur sambil berkata, “Timbang Laras. Aku bersedia memberimu kesempatan untuk melihat keseluruhan dari pertempuran ini, karena agaknya kau tidak menyimak beberapa orang penghubung sebelumnya.”

“Kakang Warangka. Kakang tidak bertempur dengan jujur. Kakang berusaha mempengaruhi perlawananku secara jiwani.”

“Sama sekali tidak, Timbang Laras. Apa yang kau dengar itu adalah satu kenyataan. Kau agaknya tidak mau menerima kenyataan itu, sehingga jiwamu menjadi terguncang-guncang.”

Kiai Timbang Laras tidak menjawab. Tetapi ia menyerang semakin garang, sementara Kiai Warangka masih tetap mengendalikan dirinya. Justru karena Kiai Warangka memiliki ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi, sehingga sebenarnyalah bahwa Kiai Warangka dapat menentukan arah dan akhir dari pertempuran itu.

Untuk beberapa saat lamanya, keduanya masih bertempur terus. Kiai Timbang Laras tidak mau mendengar kenyataan yang terjadi di padepokan itu.

Dalam pada itu, pertempuran di padepokan itu benar-benar telah hampir padam. Para cantrik dari padepokan Kiai Warangka, para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus benar-benar telah menguasai lawan mereka. Beberapa cantrik dan putut yang paling setia kepada Kiai Timbang Laras pun mulai kehilangan harapan. Jika mereka bertempur terus, maka yang mereka lakukan itu adalah ungkapan kesetiaan mereka kepada Kiai Timbang Laras, sehingga apa yang mereka lakukan itu tidak lagi mempunyai kemungkinan-kemungkinan lain kecuali bersama-sama mati dengan Kiai Timbang Laras.

Tetapi Kiai Warangka sama sekali tidak berniat membunuh Timbang Laras. Justru dengan kelebihannya, Kiai Warangka dapat mengendalikan Kiai Timbang Laras tanpa membahayakan dirinya sendiri. Sehingga dengan demikian, Kiai Timbang Laras memang tidak mempunyai kesempatan apapun juga dalam pertempuran itu.

Sekali-sekali Kiai Warangka memang memancing agar Kiai Timbang Laras menghentakkan tenaganya. Kemudian menyerang untuk menyakitinya. Tetapi Kiai Warangka tidak pernah mengarah dan mengenai sasaran yang berbahaya.

Kiai Timbang Laras yang masih mencoba mengimbangi kemampuan saudara seperguruannya itu tenaganya semakin lama menjadi semakin menyusut. Wajahnya menjadi sangat tegang ketika ia melihat Ki Serat Waja telah berdiri menyaksikan pertempuran itu.

Beberapa saat kemudian Ki Resa pun telah mendekat pula. Meskipun wajahnya masih pucat, tetapi ia dapat berdiri tegak menyaksikan pertempuran antara Kiai Warangka dan Kiai Timbang Laras. Dua orang saudara seperguruan yang terlibat dalam satu permusuhan, sehingga akhirnya mereka mencari penyelesaian di medan pertempuran.

Tiba-tiba saja Ki Resa itu pun berkata, “Aku telah membunuh Ki Jatha Beri.”

“Omong kosong!” teriak Kiai Timbang Laras dengan serta-merta.

Tetapi Ki Resa pun menyahut, “Apakah aku harus membawa tubuhnya kemari?”

Kiai Timbang Laras tidak menyahut. Tetapi ia mencoba menghentakkan kemampuannya. Namun sebenarnyalah bahwa kemampuannya tidak dapat mengimbangi kemampuan Kiai Warangka.

Kiai Timbang Laras sejak semula menyadari bahwa ilmunya memang masih belum setingkat dengan saudara seperguruannya. Ia memberanikan diri menyerang padepokan Kiai Warangka karena dukungan dan dorongan beberapa orang berilmu tinggi, yang mempunyai gagasan yang dapat membuka masa depan yang jauh lebih baik dari masa yang sedang dijalaninya.

Ketika ia bertempur berhadapan dengan Kiai Warangka, ia berharap bahwa salah seorang yang berilmu tinggi, terutama Ki Jatha Beri, akan datang membantunya. Namun sampai pertempuran itu berakhir, tidak seorang pun yang datang membantunya.

Bahkan setiap kali ia mendengar saudara seperguruannya itu berkata, “Kita akan menyelesaikan persoalan kita tanpa campur tangan orang lain.”

Ternyata saudara seperguruannya itu berhasil memisahkannya dari orang-orang berilmu tinggi yang datang bersamanya ke padepokan itu.

Sementara itu, Kiai Timbang Laras pun menjadi semakin lemah. Para cantrik dan putut yang setia kepadanya pun sudah tidak berdaya sama sekali. Mereka tidak dapat menunjukkan kesetiaan mereka sampai pada batas akhir dari hidup mereka. Sementara itu, lawan-lawan mereka telah memaksa mereka untuk menghentikan perlawanan, sebelum Kiai Timbang Laras bertempur sampai batas akhir.

Namun akhirnya Kiai Timbang Laras itu pun telah kehabisan tenaga. Ia tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Ketika ia menyerang Kiai Warangka, maka demikian Kiai Warangka menghindar, Kiai Timbang Laras telah terhuyung-huyung terseret oleh tenaganya sendiri. Sementara itu, Kiai Timbang Laras tidak berani melepaskan ilmu pamungkasnya, karena ia tahu bahwa ilmu Kiai Warangka yang bersumber dari guru yang sama itu lebih matang dari ilmunya. Jika ia memaksa untuk mencobanya, maka akan sia-sia saja. Dan bahkan akan mempercepat kematiannya.

Pada saat yang demikian, Kiai Timbang Laras tidak mempunyai pilihan apapun juga. Bahkan Kiai Timbang Laras seakan-akan tidak mampu lagi berdiri tegak, karena tenaganya benar-benar telah terkuras habis.

“Kakang Warangka,” berkata Kiai Timbang Laras kemudian , “ternyata Kakang masih terkuat di antara kita. Karena itu, maka kewajiban Kakang adalah menghukum aku. Nah, lakukan Kakang. Aku sudah siap untuk mati.”

“Kenapa aku harus menghukummu?” bertanya Kiai Warangka.

“Aku telah melakukan satu kesalahan besar, bahwa aku telah berani menantang saudara tua seperguruanku.”

“Jadi kau merasa bersalah, Timbang Laras?”

“Menurut Guru, orang yang mengaku salah dan bersedia mempertanggung-jawabkannya, itu berarti bahwa sebagian dari kesalahan itu sudah dibetulkan.”

“Apakah arti mempertanggung-jawabkan kesalahan itu sama dengan mati?”

“Itu terserah kepada Kakang,” jawab Kiai Timbang Laras, “jika Kakang ingin membunuhku, lakukan. Apalagi orang-orang berilmu tinggi yang datang bersamaku juga sudah mati.”

“Ya, mereka sudah mati,” Ki Serat Waja-lah yang menyahut, “Naga Dakgrama telah mati dibunuh oleh Ki Jayaraga. Glagah Putih telah membunuh Jaran Banggal.”

“Jadi Jaran Banggal telah terbunuh pula?”

“Ya,” jawab Serat Waja, “tetapi Jelanthir masih tetap hidup.”

“Apakah ia berhasil melarikan diri?” bertanya Kiai Timbang Laras.

“Tidak,” jawab Ki Serat Waja, “Jelanthir itu telah menyerahkan diri. Demikian pula kemenakannya, yang semula aku kira saudara kembarnya.”

Terdengar Timbang Laras itu bergumam, “Ternyata keduanya hanya pandai berteriak-teriak, menyombongkan diri dan membual.”

“Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain, Kakang,” sahut Ki Serat Waja, “sebagaimana Kakang sekarang, tidak ada yang dapat Kakang lakukan.”

Kiai Timbang Laras menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang berkeliling, maka pertempuran benar-benar telah berhenti.

Dalam pada itu, di padepokan yang terhitung luas itu, korban terbaring di mana-mana. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang datang menyerang padepokan itu yang berhasil melarikan diri. Ada di antara mereka yang berhasil memanjat tangga panggungan. Namun ketika mereka meloncat keluar dinding, kaki mereka terkilir, sehingga tidak dapat lari lebih cepat dari kanak-kanak.

Karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun telah digiring kembali masuk ke dalam lingkungan padepokan.

Sebelum matahari terbenam, seisi padepokan itu pun sibuk mengumpulkan mereka yang menjadi korban. Mereka yang terluka, terutama yang terluka parah, telah dikumpulkan. Para cantrik dari padepokan Kiai Warangka, para prajurit dari Pasukan Khusus dan para pengawal Tanah Perdikan yang terluka, telah dibaringkan di bangunan utama padepokan itu. Sementara yang gugur telah dikumpulkan pula untuk dimakamkan. Sedangkan mereka yang terbunuh di antara para penyerang, telah dikumpulkan terpisah. Kiai Warangka minta kawan-kawan mereka untuk menguburkan, di bawah pengawasan para cantrik dari padepokan itu serta para prajurit dan pengawal.

Di luar padepokan itu kemudian terdapat dua makam yang terpisah. Yang terdekat dengan padepokan adalah makam para cantrik, para prajurit dan pengawal yang gugur, sementara di makam yang lain dikuburkan orang-orang yang telah datang menyerang padepokan itu.

Sementara itu, di padepokan, mereka yang terluka telah mendapat perawatan sejauh dapat dilakukan oleh Kiai Warangka sendiri, serta para cantriknya yang secara khusus mempelajari ilmu obat-obatan.

Ketika malam turun, Kiai Warangka telah membawa Kiai Timbang Laras untuk melihat-lihat mereka yang terluka parah dari kedua belah pihak. Setelah menjelang malam, Kiai Timbang Laras telah diminta untuk melepas mereka yang telah menjadi korban di padepokan yang baru saja terjadi.

“Kau lihat, Timbang Laras?” bertanya Kiai Warangka.

Kiai Timbang Laras tidak menjawab. Tetapi dengan jantung yang seakan-akan berdegup semakin keras, ia melihat orang-orang yang terbaring sambil merintih kesakitan. Lambung yang terkoyak. Dada yang berlubang, dan lengan yang putus oleh tajamnya pedang.

“Timbang Laras. Untuk apa mereka mengalami keadaan seperti itu? Untuk apa pula beberapa orang yang telah mati dan sekarang terbaring di kuburan? Aku dapat mengatakan bahwa para cantrik dari padepokan telah gugur untuk mempertahankan haknya. Para cantrik yang terluka itu bertempur untuk mempertahankan diri. Tetapi untuk apa orang-orangmu mati? Untuk apa mereka terluka parah dan merintih kesakitan sepanjang siang dan malam? Bahkan kemudian menjadi cacat, serta hidupnya tergantung belas kasihan orang lain?”

Kiai Timbang Laras tidak menjawab. Namun ia mulai membayangkan apa yang pernah dilakukannya.

Keduanya masih berjalan menyusuri barak yang panjang. Masih terdengar rintihan dan sesambat. Beberapa orang sibuk menolong mereka yang mengaduh. Yang lain menuangkan minuman ke mulut mereka yang tenggorokannya serasa menjadi kering.

Bahkan beberapa orang di antara mereka yang terluka berat tidak lagi mampu mengeluh. Matanya terpejam, sementara nafasnya tersengal-sengal.

Tiba-tiba Kiai Timbang Laras itu pun berkata, “Kakang, marilah kita tinggalkan tempat ini.”

“Kenapa?”

“Pemandangan ini sangat menyiksaku. Aku merasa seakan-akan semua ini terjadi karena kesalahanku.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Kita tinggalkan tempat ini.”

Keduanya pun telah keluar dari barak itu. Ketika mereka pergi ke bangunan utama, maka mereka melewati barak yang lain yang pintu-pintunya diselarak dari luar. Beberapa orang cantrik bersenjata telanjang berjaga-jaga di sekitar barak itu.

“Mereka yang menyerah, sebagian ada di dalam barak itu,” desis Kiai Warangka.

Kiai Timbang Laras menarik nafas panjang. Terasa beban di pundaknya semakin lama menjadi semakin berat.

Kiai Timbang Laras pun kemudian telah diajak ke bangunan utama. Glagah Putih dan Kiai Jayaraga yang terluka ternyata ada di ruang dalam. Justru mereka-lah yang telah menghabisi nyawa orang-orang terkuat dalam pasukan Kiai Timbang Laras, meskipun mereka juga terluka. Tetapi baik Glagah Putih maupun Ki Jayaraga, keadaannya telah berangsur baik.

Ki Resa pun kemudian ikut menemui Kiai Timbang Laras yang kemudian duduk di ruang dalam.

Kiai Timbang Laras itu menjadi sangat gelisah. Seakan-akan ia telah duduk di atas bara api yang panas. Beberapa kali ia bergeser. Sekali-sekali mengangkat wajahnya, namun kemudian telah menunduk lagi.

Ia tidak berani menatap wajah-wajah yang tegang dari orang-orang yang duduk di sekitarnya.

Bagi Kiai Timbang Laras, rasa-rasanya ia berada di satu ruang yang pengap, panas dan mencengkam. Dindingnya seakan-akan menghimpit dadanya, sehingga nafasnya menjadi sesak. Sorot mata orang-orang yang ada di sekitarnya menusuk sampai ke pusat jantung.

Kiai Timbang Laras itu merasa, bahwa ia sedang dihadapkan pada sebuah sidang pengadilan.

“Timbang Laras,” terdengar suara Kiai Warangka bagaikan guntur yang meledak sejengkal dari telinganya, sehingga Kiai Timbang Laras itu terkejut. Ia dengan serta-merta mengangkat kepalanya. Namun kemudian kepalanya itu tertunduk lagi.

“Sebenarnyalah bahwa aku ingin tahu, apa sebenarnya yang telah mendorongmu untuk melakukan semuanya ini?”

“Tidak ada apa-apa Kakang, selain keinginanku untuk mendapatkan dan kemudian mengetahui isi peti tembaga itu. Itulah sebabnya bahwa aku telah minta tolong Ki Resa untuk mengetahui di manakah peti itu disimpan.”

Kiai Warangka tersenyum. Katanya, “Jika kau hanya ingin memiliki, katakanlah peti itu seisinya, apakah seimbang dengan usahamu mengumpulkan kekuatan yang begitu besar? Seandainya peti itu ditemukan, dan isinya seluruhnya kau miliki, tetapi karena bukankah seharusnya peti itu milik kita bertiga, maka seberapa besar warisan yang ada di dalamnya?”

Kiai Timbang Laras menunduk semakin dalam. Sementara Kiai Warangka bertanya lebih lanjut, “Karena itu Timbang Laras, aku ingin tahu. Apakah tidak ada alasan lain sehingga kau dan beberapa orang berilmu tinggi itu datang ke padepokan ini?”

Kiai Timbang Laras menggeleng. Katanya, “Tidak ada alasan lain, Kakang.”

“Jadi, hanya karena warisan itulah, maka sekarang berbaring beberapa orang di kuburan itu? Kemudian yang lain terbaring dalam keadaan luka parah? Apakah artinya warisan seberapapun beserta peti tembaga itu, dibanding dengan nyawa beberapa orang berilmu tinggi seperti Naga Dakgrama, Jaran Banggal, Jatha Beri dan sekian banyak orang yang lain?”

Kepala Kiai Timbang Laras semakin menunduk.

“Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka kemudian, “katakan. apakah yang pernah kau janjikan kepada mereka, sehingga orang-orang berilmu tinggi itu bersedia membantumu dengan mempertaruhkan nyawanya?”

Suara Kiai Timbang Laras hampir tidak terdengar, “Tidak ada yang aku janjikan, Kakang.”

“Apakah aku harus mempercayaimu? Orang-orang yang datang bersamamu kemari adalah orang-orang yang pekerjaannya memang berburu harta di setiap kesempatan. Jika mereka tetap berdiri pada sikapnya itu, maka mustahil mereka bersedia datang kemari tanpa janji yang memadai.”

“Di samping isi peti itu, aku janjikan isi padepokan ini.”

“Jika demikian, aku ingin bertanya kepadamu. Apa keuntunganmu dengan langkahmu itu? Kau akan memberikan isi peti itu dan bahkan isi padepokan ini kepada mereka. Termasuk nyawaku. Lalu apa yang kau dapatkan? Bahkan aku yakin, seisi padepokan ini masih belum cukup untuk mengupah mereka datang kemari beramai-ramai, sebagaimana yang kau lakukan.”

Kiai Timbang Laras tidak menjawab. Tetapi keringatnya mulai membasahi tubuhnya. Jantungnya serasa berdebar-debar dan nalarnya menjadi bagaikan berhenti bekerja

“Timbang Laras. Apakah justru tidak sebaliknya yang terjadi? Bukan kau yang mengajak mereka untuk merebut warisanmu dan bahkan padepokan ini. Tetapi kau-lah yang telah terperangkap oleh rencana mereka. Kau telah terbujuk oleh orang-orang itu, terutama Jatha Beri, sehingga Jatha Beri-lah yang sebenarnya berdiri di balik semua peristiwa yang telah terjadi ini.”

“Tidak Kakang,” jawab Kiai Timbang Laras dengan serta-merta, “semuanya aku-lah yang mengatur. Karena itu Kakang, jika Kakang menganggap aku pantas dihukum dengan hukuman yang paling berat, lakukanlah. Aku sudah siap untuk menerima hukuman.”

Kiai Warangka tersenyum. Katanya, “Timbang Laras. Aku memang sudah mempertimbangkan untuk menjatuhkan hukuman. Jika perlu memang hukuman mati. Tetapi aku ingin mengetahui, apakah kau masih juga berteguh hati untuk tetap pada keteranganmu itu?” Kiai Warangka berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian, “Timbang Laras. Sebenarnyalah bahwa aku masih berharap bahwa pada saat terakhir kau akan membuka hatimu, agar sepeninggalmu, namamu setidak-tidaknya menjadi lebih baik dari saat. ini.”

Kiai Timbang Laras menggeleng. Katanya, “Tidak ada yang dapat aku katakan lagi, Kakang.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin pengakuanmu sangat mengejutkan. Hal yang sangat buruk akan nampak jelas terpahat di hatimu. Tetapi bahwa kau berani mengakui, itu adalah satu kelebihan. Kau sendiri mengatakan, bahwa pengakuan atas kesalahan adalah menghapus sebagian dari kesalahan itu sendiri.”

Wajah Kiai Timbang Laras menjadi sangat tegang. Namun sekali lagi ia menggeleng, “Tidak ada yang dapat aku jelaskan lagi.”

“Jadi kau benar-benar sudah mengeraskan hatimu, Timbang Laras? Apakah ini ujud dari kesetiakawananmu terhadap orang-orang yang telah terbunuh di peperangan ini?”

Kiai Timbang Laras tidak segera menjawab. Tetapi ia nampak menjadi semakin gelisah. Setiap kali Kiai Timbang Laras beringsut setapak. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi pakaiannya. Rasa-rasanya setiap pasang mata memandanginya dengan penuh kebencian.

Namun kemudian ia pun menjawab, “Kakang. Aku sudah mengatakan segala-galanya. Karena itu, tidak ada lagi yang dapat aku katakan kepada Kakang.”

Namun Kiai Warangka pun berkata dengan nada yang agak keras, “Jika demikian, maka kau adalah adikku yang jauh lebih bodoh dari dugaanku.”

Kiai Timbang laras terkejut. Dari nada kata-kata Kiai Warangka, Kiai Timbang Laras mengetahui bahwa Kiai Warangka mulai digelitik oleh kemarahannya.

“Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka, “setiap orang dapat meraba, bahwa kalian yang menyerang padepokan ini tentu mempunyai maksud lebih jauh dari sekedar menguasai padepokan ini serta peti yang selalu kau sebut-sebut. Apakah kau justru tidak merasakannya? Alangkah bodohnya kau dan alangkah tumpulnya penggraitanmu.”

Wajah Kiai Timbang Laras menjadi merah. Sementara Kiai Warangka pun berkata selanjutnya, “Aku memang mengetahui bahwa di antara kami bertiga, kau adalah murid yang paling bodoh dan terbelakang. Tetapi aku tidak menduga bahwa ternyata kau demikian bodohnya, sehingga kau tidak tahu sama sekali apa yang telah kau lakukan sekarang ini. Alangkah sia-sianya para putut dan cantrikmu yang terbunuh di peperangan. Bahkan yang kini mengerang kesakitan di barak sebelah.”

Bibir Kiai Timbang Laras bergerak-gerak. Tetapi tidak sepatah kata pun yang meloncat dari mulutnya.

“Baiklah Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka kemudian, “sebagai seorang saudara tua, aku wajib memberitahukan kepadamu, apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku tentu tidak akan sampai hati membiarkan kau tetap dalam ketidaktahuanmu sampai perang ini berakhir. Dengan demikian, maka matamu akan terbuka bahwa kau tidak lebih dari seekor lembu yang telah dicocok hidung.”

Telinga Kiai Timbang Laras terasa bagaikan disentuh api. Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat mencegah Kiai Warangka itu berkata, “Timbang Laras. Jika kau sampai saat ini masih tetap berbangga, seakan-akan kau disujudi sekian banyak orang berilmu tinggi yang bersedia membantumu mencari dan kemudian merebut peti bahkan bersama padepokan ini, adalah satu anggapan yang sangat dungu. Sebaliknya, orang-orang berilmu tinggi itu sudah memanfaatkanmu untuk kepentingan mereka.”

Kiai Timbang Laras masih berusaha menahan pedih hatinya mendengar kata-kata saudara seperguruannya itu. Namun akhirnya Kiai Timbang Laras tidak tahan lagi. Dengan serta-merta ia menyahut dengan suara membentak, “Cukup Kakang! Cukup! Aku memang bodoh dan dungu, tetapi tidak lebih bodoh dari seekor kerbau. Aku tahu bahwa orang-orang berilmu tinggi itu bersedia merebut padepokan ini karena kami sepakat untuk membangunkan landasan bagi perjuangan yang lebih besar. Bukan sekedar padepokan dan peti tembaga itu.”

Kiai Warangka tertawa. Katanya, “Ternyata ada juga yang kau ketahui. Tetapi apakah hanya itu?”

Kiai Timbang Laras menjadi semakin gelisah. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi pakaiannya. Tetapi tubuhnya serasa menjadi semakin dingin.

“Tetapi meskipun kau sudah mengetahui tujuan orang-orang berilmu tinggi itu, kau sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Kau tidak menghubungi aku dan berusaha untuk membantu aku membebaskan diri dari orang-orang berilmu tinggi itu.”

Kiai Timbang Laras tidak menjawab.

“Atau kau juga merupakan bagian dari mereka, yang ingin mempergunakan padepokan ini sebagai landasan gegayuhan yang lebih tinggi lagi?”

Kiai Timbang Laras masih tetap tidak menyahut.

“Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka, “ternyata bahwa kau tidak terlalu dungu. Tetapi kau terlalu tamak. Kau korbanku aku, saudara tuamu, untuk satu gegayuhan yang mustahil dapat kau gapai bersama kawan-kawanmu itu. Apalagi menentang kekuatan yang lebih besar, sedangkan menghadapi padepokan ini saja kau sudah tidak mampu memenangkannya. Kawan-kawanmu telah mati terbunuh. Kau sadari itu? Katakanlah kau ingin kelak mengimbangi kekuatan Mataram. Bukankah itu tidak lebih dari sebuah mimpi yang sangat buruk? Lebih buruk dari racun bisa ular bandotan?”

Kiai Timbang Laras masih tetap berdiam diri. Karena itu, Kiai Warangka itu pun bertanya lebih lanjut, “Apakah sebenarnya pamrihmu dengan permainan kotormu ini? Kedudukan, pangkat dan kekuasaan?”

Kiai Timbang Laras menjadi semakin menunduk. Kata-kata Kiai Warangka bagaikan ujung duri yang menusuk sampai ke pusat jantung di dalam dadanya.

Tetapi Kiai Timbang Laras tidak dapat menolaknya.

Dengan nada berat Kiai Warangka pun kemudian telah mendesaknya, “Timbang Laras. Apakah pamrihmu bahwa kau telah mengorbankan nilai-nilai persaudaraan yang selama ini kita junjung tinggi? Berapa keping emas padepokan ini telah kau jual? Atau imbalan kedudukan apakah yang kau gayuh kelak jika mimpimu terwujud?”

Kiai Timbang Laras hanya membisu. Kepalanya menunduk semakin dalam. Namun keringatnya semakin banyak mengalir di tubuhnya.

“Kenapa kau diam saja Timbang Laras?” bertanya Kiai Warangka.

Dengan suara yang gemetar Kiai Timbang Laras itu pun menjawab, “Aku akan mendapatkan kedudukan yang terbaik, Kakang. Hanya namaku sajalah yang tidak cacat di antara mereka yang ingin mempergunakan padepokan ini sebagai landasan untuk menggapai kekuatan tertinggi di Tanah ini. Nama-nama yang lain telah dikenal dan bahkan ditakuti, karena mereka adalah orang-orang yang selama ini melakukan banyak kejahatan.”

“Oh, Jadi kau akan menjadi seorang penguasa tertinggi kelak jika rencana kalian berhasil, karena namamu masih belum cacat di mata banyak orang? Tetapi apakah kau yakin bahwa kau akan benar-benar berkuasa?”

“Menurut rencana orang-orang yang datang bersamaku ke padepokan ini, memang tidak. Mereka hanya akan mempergunakan namaku, tetapi aku akan menjadi golek yang hanya dapat bergerak jika mereka gerakkan.”

“Jika hal itu kau sadari, kenapa kau menerimanya juga?” desak Kiai Warangka.

“Tetapi aku mempunyai rencana sendiri Kakang. Justru karena nama mereka yang telah cacat, aku akan mencari dukungan untuk menggilas mereka pada suatu saat.”

“Bagus, Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka, “jadi kau tanggapi sikap licik mereka dengan cara yang licik pula.”

Kiai Timbang Laras tidak menjawab.

Namun tiba-tiba saja Kiai Warangka itu bertanya, “Apakah kau sudah berpikir masak-masak tentang rencanamu itu?”

Kiai Timbang Laras mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Kiai Warangka sejenak. Dilihatnya saudara seperguruannya itu tersenyum.

“Maksud Kakang?”

“Apakah tidak ada alasan lain, kenapa kau begitu bernafsu untuk melakukannya?”

“Aku merasa yakin bahwa aku akan berhasil Kakang.”

“Syukurlah, jika alasanmu adalah sesuatu yang kau yakini. Tetapi bagaimana dengan pengaruh Jatha Beri atasmu? Aku melihat pengaruh Jatha Beri atasmu demikian besarnya, sehingga menurut perhitunganku, kelak kau tidak akan mungkin mampu melepaskan diri. Kau akan tetap berada di bawah pengaruhnya.”

“Aku harus dapat berbuat seolah-olah memang demikian Kakang, karena Jatha Beri-lah yang dapat menghimpun kekuatan yang akan dapat mendukung rencana itu.”

Kiai Timbang Laras terkejut ketika ia mendengar Kiai Warangka tertawa. Katanya, “Apakah kau berkata sebenarnya dan tidak ada yang kau sembunyikan, Timbang Laras?”

“Apakah Kakang tidak percaya?“

“Aku percaya Timbang Laras. Tetapi aku pun percaya terhadap cerita yang lain, yang pernah aku dengar sebelumnya.”

“Cerita tentang apa, Kakang?”

“Sebenarnya aku ingin mendengar pengakuanmu sendiri, Timbang Laras.”

“Pengakuan tentang apa lagi, Kakang?”

“Kau kira aku tidak mempunyai telinga untuk mendengarkan cerita tentang mimpimu di bawah terangnya sinar bulan purnama, Timbang Laras?”

Timbang Laras menjadi bertambah tegang. Dipandanginya wajah Kiai Warangka dengan tajamnya. Sementara Kiai Warangka sambil tersenyum berkata selanjutnya, “Berapa umurmu sekarang Timbang Laras?”

Jantung timbang Laras bagaikan meledak. Kepalanya tertunduk lesu. Tubuhnya rasa-rasanya menjadi gemetar.

“Malam-malammu telah dibalut oleh mimpimu yang semerbak. Kau telah menjadi anak muda yang sedang meningkat dewasa. Nalar budimu tidak lagi mampu menembus tirai mimpi-mimpimu itu.”

“Kakang. Dari mana Kakang mengetahuinya?”

“Perempuan yang diaku sebagai adik Jatha Beri itu telah menjeratmu ke dalam satu petualangan yang menyurukkanmu ke dalam petaka seperti sekarang ini. Nafsu yang membakar jantungmu, telah mengakibatkan tubuh-tubuh membeku di kuburan sekarang ini. Indahnya cahaya gebyar duniawi telah membuat beberapa orang mengerang kesakitan karena luka-lukanya yang parah. Beberapa orang berilmu tinggi telah membenturkan ilmu dan kemampuannya, yang lain terluka, sedangkan yang lain lagi terbunuh.”

“Kakang.”

“Timbang Laras,” suara Kiai Warangka menjadi semakin berat, “aku sudah melihat uban di sela-sela rambutmu yang hitam legam itu.”

“Sudah Kakang! Sudah! Sekarang sudah saatnya Kakang menghukum aku. Terserah menurut kebijaksanaan Kakang. Cara apapun yang dapat memuaskan Kakang, aku tidak akan mengeluh. Aku siap untuk digantung, ditikam di arah jantung atau dihukum picis sekalipun.”

“Aku masih belum berbicara tentang hukuman yang harus kau jalani, Timbang Laras.”

“Tetapi kata-kata Kakang itu jauh lebih sakit dari goresan-goresan pisau dari hukuman picis itu.”

Namun Kiai Warangka pun menyahut, “Manakah yang lebih pedih dari dikhianati oleh saudara sendiri?”

Kiai Timbang Laras membungkukkan badannya semakin dalam sehingga wajahnya hampir menyentuh tikar pandan tempat ia duduk. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Sementara terdengar kata-katanya dengan sendat dan terputus-putus, “Aku memang sudah tidak pantas untuk hidup di kolong langit yang sama dengan Kakang Warangka dan dengan Adi Serat Waja.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang ada di ruang itu pun terdiam. Mereka merasakan penyesalan yang sangat dalam yang mencengkam jantung Timbang Laras. Namun demikian, yang sudah dikuburkan tidak akan dapat bangkit kembali.

Sebenarnyalah penyesalan yang sangat dalam telah meremas isi dada Kiai Timbang Laras. Namun yang sudah terjadi itu sudah terjadi. Betapapun ia menyesalinya, waktu tidak akan dapat diputar balik.

Dengan suara yang berat menekan, Kiai Timbang Laras itu pun berkata, “Kakang Warangka. Aku sudah menyerahkan diriku untuk menjalani hukuman apa saja. Kakang, aku mohon Kakang segera menjatuhkannya. Hanya dengan menjalani hukuman itulah, jiwaku akan terbebas dari penyesalan yang tidak berkeputusan.”

“Aku tidak menghukummu, Timbang Laras.”

“Kakang. Kakang tidak boleh berbuat demikian. Kakang harus menghukum aku. Hukuman mati sekalipun. Baru dengan menjalani hukuman, jiwaku akan merasa terbebaskan dari ikatan dosa yang pernah aku lakukan.”

“Tidak ada gunanya aku menghukummu.”

“Kakang tidak berhak menyiksa aku seperti itu.”

“Kau mendapatkan kebebasanmu, Timbang Laras. Kau boleh pergi kemanapun juga. Kau juga boleh pergi ke perempuan itu.”

“Kakang, bunuh aku! Bunuh aku Kakang!” teriak Kiai Timbang Laras.

Tetapi Kiai Warangka menggelengkan kepalanya. Katanya dengan nada datar, “Sudah aku katakan. Aku tidak akan menghukummu. Penyesalanmu adalah hukuman yang paling baik bagimu.”

“Ternyata Kakang jauh lebih kejam dari yang aku duga. Bunuh aku Kakang.”

“Tidak, kau dengar?”

“Kakang akan menyesal bahwa Kakang tidak membunuhku. Lain kali justru akulah yang akan membunuh Kakang dengan cara apapun juga.”

“Kau tidak usah mengancam dan menakut-nakuti aku seperti menakut-nakuti kanak-kanak,” jawab Kiai Warangka. “Tetapi bahwa aku membebaskanmu dari hukuman itu, karena aku ingin melihat apakah kau masih dapat memperbaiki tingkah lakumu. Jika aku membunuhmu, mungkin kau merasa seolah-olah kau menjadi bebas dari himpitan penyesalanmu. Tetapi kau tidak mempunyai kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakumu. Kau tidak mempunyai kesempatan untuk mohon ampun. Bukan saja dengan kata-kata, tetapi dengan sikap dan perbuatan.”

“Kakang, hukuman mati itu akan menebus dosa-dosaku.”

“Jangan bodoh. Kematian akan memantapkan dosa-dosa yang telah kau perbuat. Tetapi jika kau masih hidup, kau masih mempunyai kesempatan untuk mohon ampun langsung dari dasar jiwamu yang penuh dengan penyesalan itu. Kalau kau digantung atau dipancung, kau bebas dari penderitaan batinmu oleh penyesalan, tetapi kau akan masuk ke dalam penyesalan abadi, karena kebebasan yang kau dapatkan adalah kebebasan duniawi semata-mata.”

Tubuh Kiai Timbang Laras menjadi semakin lemas. Rasa-rasanya ia tidak sanggup lagi duduk di hadapan kakak seperguruannya dan beberapa orang yang memperhatikannya dengan seksama.

Sementara itu Kiai Warangka pun berkata, “Timbang Laras. Aku kira kau mengetahui hal itu. Aku kira kau tahu, bahwa bunuh diri dengan cara apapun tidak akan menolongmu dalam kehidupan abadimu. Bukankah selama ini kau tidak saja memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi, tetapi kau juga melakukan olah kajiwaan? Jika pada suatu saat hatimu sedang kelam disaput oleh gelapnya ampak-ampak yang tidak tertembus oleh mata batinmu, kau harus mendapat kesempatan untuk melihat dengan kebeningan mata batinmu itu.”

“Kakang,” suara Timbang Laras hampir tak terdengar.

“Karena itu,” berkata Kiai Timbang Laras, “besok atau lusa, atau kapan saja kau kehendaki, kau dapat pulang ke padepokanmu, Bawa cantrik-cantrikmu. Tetapi beberapa orang tertentu, akan tetap berada di sini untuk sementara. Jika perlu, mereka akan aku bawa ke Mataram, karena yang mereka lakukan itu telah menantang kewibawaan Mataram pula.”

Kiai Timbang Laras telah bertahan sekuat tenaganya untuk tidak menangis. Meskipun ia mengakui betapa lemahnya ketahanan jiwanya, sehingga ia dapat terperosok ke dalam perbuatan yang hina itu.

Dalam pada itu, Kiai Warangka itu pun berkata, “Sekarang, angkatlah wajahmu. Pandanglah orang-orang yang duduk di sekelilingmu. Mereka menjadi saksi, bahwa kau berniat untuk memperbaiki tingkah lakumu. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi yang terlibat dalam perang yang baru saja selesai. Tatap mata mereka yang sama sekali tidak menyorotkan dendam, meskipun ada di antara mereka yang terluka.”

Kiai Timbang laras sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Justru ia menjadi semakin menunduk. Keringatnya semakin banyak terperas dari tubuhnya, sehingga pakaiannya menjadi basah kuyup.

Kiai Warangka melihat betapa hati adik seperguruannya itu tersiksa. Rasa-rasanya ia sudah cukup dalam menusuk jantung Kiai Timbang Laras dengan kata-katanya. Karena itu, maka Kiai Warangka itu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Sekarang beristirahatlah. Kau masih mempunyai waktu untuk membuat pertimbangan-pertimbangan bagi masa depanmu.”

Kiai Timbang Laras tidak menunggu lebih lama lagi. Semakin cepat ia meninggalkan tempat itu, adalah semakin baik baginya. Hatinya telah penuh dengan luka. Kata-kata saudara seperguruannya itu menusuk-nusuk dengan tajamnya. Sementara itu tatapan mata orang-orang yang duduk di sekitarnya itu pun menghunjam pusat jantungnya.

Seorang cantrik kemudian telah diperintahkan untuk mengantarkan Kiai Timbang Laras ke bilik yang disediakan baginya.

Sepeninggal Kiai Timbang laras, ruangan itu menjadi hening. Kiai Warangka sendiri duduk tepekur dengan kepala tunduk.

Baru kemudian Kiai Warangka itu pun berkata, “Aku persilakan kalian beristirahat.”

Sejenak kemudian, ruangan itu telah menjadi sepi. Semua orang telah meninggalkan ruangan itu ke dalam bilik masing-masing.

Namun Kiai Warangka masih duduk di ruang itu. Sendiri. Ki Serat Waja yang menemaninya telah diminta oleh Kiai Warangka untuk pergi ke biliknya pula.

Dalam kesendiriannya, Kiai Warangka menyesali tingkah laku adik seperguruannya. Ternyata ketahanan jiwaninya terlalu rapuh. Sejak semula ia sudah mengetahui, bahwa hati Kiai Timbang Laras mudah bergulir dari satu sikap ke sikap yang lain. Tetapi Kiai Warangka tidak mengira bahwa kepribadian saudara seperguruannya itu tidak lebih kokoh dari batang ilalang. Ke mana angin bertiup, maka ke arah itu pula daunnya merunduk.

“Pengalaman ini terlalu mahal,” berkata Kiai Warangka di dalam hatinya. Ia tahu ada dua orang prajurit dari Pasukan Khusus yang gugur. Lima orang pengawal Tanah Perdikan. Lebih dari dua puluh orang terluka cukup parah. Selain mereka itu, beberapa orang cantrik pun menjadi korban. Gugur dan terluka. Di pihak lawan, ternyata jauh lebih banyak lagi yang terbunuh dan yang terluka. Mereka pada umumnya hanya mengandalkan keberanian, kekasaran dan kekuatan badaniah. Namun mereka kurang mempergunakan otak mereka.

Bahkan bukan saja yang terbunuh di dalam dinding padepokan. Bahkan ada di antara mereka yang tidak sempat memasuki pintu gerbang padepokan, karena mereka telah terbunuh sebelum mereka melekat dinding. Di dada mereka terhunjam anak panah atau lembing.

Namun akhirnya Kiai Warangka itu pun telah bangkit berdiri. Sambil berdesah ia melangkah meninggalkan ruangan dalam bangunan utama padepokan itu, pergi ke biliknya.

Meskipun kemudian Kiai Warangka sudah berbaring, tetapi semalam suntuk ia tidak dapat tidur.

Menjelang fajar, padepokan itu sudah terbangun. Para penghuninya segera menunaikan kewajiban mereka masing-masing.

Ketika fajar menyingsing, Kiai Warangka telah teringat kepada Kiai Timbang Laras. Beberapa orang yang terluka bahkan telah terbangun dan melakukan kewajiban mereka. Namun Kiai Timbang Laras masih belum keluar dari biliknya.

Kiai Warangka dan Ki Serat Waja yang juga merasa heran bahwa Kiai Timbang Laras masih belum bangun, segera menghampiri biliknya.

Perlahan-lahan Kiai Warangka mengetuk pintu bilik itu. Sekali, dua kali. Namun tidak ada jawaban dari dalam.

Wajah Kiai Warangka berkerut. Ada semacam kecemasan membayang di wajahnya. Ketika ia memandang Ki Serat Waja, Ki Serat Waja pun berdesis, “Kakang, apa yang terjadi?”

Kiai Warangka mengetuk pintu itu semakin keras. Tetapi sama sekali masih belum terdengar jawaban dari dalam.

Ternyata Ki Serat Waja tidak tahan lagi. Dengan serta-merta itu pun telah mendorong pintu lereg itu.

Pintu lereg itu tidak diselarak dari dalam. Karena itu, pintu itu pun segera telah terbuka. Kedua-duanya terkejut demikian pintu bilik itu terbuka.

“Kakang!” Ki Serat Waja meloncat ke pembaringan. Diguncangnya tubuh Kiai Timbang Laras yang terbaring diam. Membeku.

“Kakang!” suara Ki Serat Waja menjadi keras. Namun Kiai Timbang Laras itu benar-benar telah membeku.

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Serat Waja dengan gugup bertanya, “Kakang. Apa yang terjadi dengan Kakang Timbang Laras?”

“Betapa rapuh hatinya,” desis Kiai Warangka

“Luka hatinya sangat parah.”

“Hanya orang-orang yang lemah jiwanya sajalah yang mengambil keputusan untuk membunuh diri.”

“Ia tidak melihat jalan untuk kembali merambah dunia yang jernih.”

Wajah Kiai Warangka pun menjadi basah oleh keringat. Dengan nada dalam ia berkata, “Serat Waja, beritahukan para cantrik, terutama cantrik Timbang Laras sendiri. Perbatang dan Pinuji, serta beberapa orang lainnya.”

Padepokan Kiai Warangka menjadi gempar. Orang-orang di padepokan itu terkejut, ketika mereka mendengar bahwa Kiai Timbang Laras membunuh diri.

Banyak di antara mereka menjadi heran. Justru Kiai Warangka sudah menyatakan bahwa Kiai Timbang Laras tidak akan dihukum. Kiai Timbang Laras boleh meninggalkan padepokan itu kapan saja di kehendaki.

Namun seorang di antara para cantrik itu berkata, “Justru karena Kiai Warangka menyatakan bahwa Kiai Timbang Laras tidak dihukum itulah, maka Kiai Timbang Laras telah membunuh diri. Seandainya Kiai Warangka menyatakan bahwa Kiai Timbang Laras dihukum gantung, maka Kiai Timbang Laras tidak akan membunuh dirinya.”

Seorang kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai Timbang Laras sudah merasa dibebani kesalahan yang tidak terhitung besarnya.”

Hari itu, seisi padepokan Kiai Warangka menjadi sibuk. Seandainya Kiai Timbang Laras kemarin terbunuh, kematiannya tidak akan menyerap perhatian sedemikian besarnya.

Hari itu, Kiai Warangka menjadi lebih banyak duduk diam sambil merenung. Kiai Warangka memang menyalahkan dirinya, bahwa sikapnyalah yang membuat Kiai Timbang Laras tidak mampu lagi bertahan untuk hidup lebih lama lagi.

Dengan upacara seperlunya, tubuh Kiai Timbang Laras pun telah dikuburkan. Perlakukan atas dirinya memang agak khusus. Ia tidak dikubur bersama-sama dengan orang-orang yang telah menyerang padepokan itu. Tetapi Kiai Timbang Laras dikuburkan di kuburan yang satu lagi. Kuburan yang berisi para prajurit, pengawal Tanah Perdikan, serta para cantrik dan putut yang telah gugur.

Malam itu juga Kiai Warangka telah memanggil para putut dan cantrik yang paling berpengaruh di padepokan itu. Kepada mereka Kiai Warangka memberitahukan, betapa pahitnya akhir dari kehidupan Kiai Timbang Laras.

Ia tidak dapat mengendalikan pribadinya. Seandainya ia tidak pernah melakukan kesalahan sebagaimana telah terjadi, maka jalan hidupnya tentu akan sangat jauh berbeda.

“Tetapi yang terjadi itu sudah terlanjur terjadi,” berkata Kiai Warangka. “Namun bagi mereka yang belum terjerumus ke dalam perilaku yang tidak sewajarnya, peristiwa ini akan dapat menjadi cermin yang paling baik.”

Para putut dan cantrik yang memimpin padepokan itu mengangguk-angguk Sementara itu Kiai Warangka berkata selanjutnya, “Karena itu, sebelum melangkah, kalian harus berpikir dengan sungguh-sungguh.”

Mereka yang mendengarkan pesan Kiai Warangka itu mengangguk-angguk. Para putut dan cantrik itu pun telah mendengar apa yang sebenarnya terjadi dengan Kiai Timbang Laras. Mereka sudah mendengar bahwa Kiai Timbang Laras sudah terjerat oleh seorang perempuan, yang diaku sebagai adik Ki Jatha Beri. Kelemahan jiwaninya-lah yang telah menuntun Kiai Timbang Laras menuju kehancuran.

“Ingatlah pesan ini sebaik-baiknya,” berkata Kiai Warangka kemudian.

Sejenak kemudian, para pemimpin padepokan itu telah meninggalkan ruang pertemuan. Yang tinggal kemudian adalah para pemimpin prajurit dan Pasukan Khusus, pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan, dan orang-orang berilmu tinggi yang ada di padepokan itu.

Dengan ikhlas Kiai Warangka mengucapkan terima kasih kepada mereka, serta mohon maaf bahwa perang yang terjadi di padepokan itu telah menelan korban.

“Pengorbanan para prajurit, para pengawal serta para cantrik bukan pengorbanan yang sia-sia. Tetapi pengorbanan kalian akan sangat berarti bagi mereka yang menegakkan kebenaran.”

Namun demikian, Kiai Warangka masih minta para prajurit dan pengawal untuk tinggal beberapa hari lagi di padepokan itu, sambil menunggu mereka yang terluka menjadi semakin baik.

Glagah Putih sendiri memang segera sembuh. Goresan kapak itu tidak terlalu dalam Sementara itu Glagah putih telah dibekali dengan obat yang sangat baik.

Sementara itu, Ki Jayaraga pun sudah menjadi semakin baik pula. Tetapi nampaknya Ki Jayaraga memerlukan waktu yang lebih panjang dari Glagah Putih.

Kepada Glagah Putih Ki Jayaraga berkata, “Aku dapat tinggal di sini. Jika kau sudah baik, demikian pula para pengawal dan prajurit yang terluka, kalian dapat segera meninggalkan padepokan ini. Kelak jika aku sudah baik, aku akan pulang sendiri.”

Glagah Putih hanya dapat mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Guru.”

“Sampaikan kepada Ki Lurah Agung Sedayu serta Ki Gede Menoreh, bahwa untuk sepekan dua pekan aku masih akan tinggal di padepokan.”

“Baik, Guru,” jawab Glagah Putih.

Demikianlah, dari hari ke hari keadaan mereka yang terluka itu pun menjadi semakin baik. Ketika pemimpin prajurit dan pengawal merasa sudah tiba waktunya, maka mereka pun telah minta diri.

Ki Warangka berulang kali mengucapkan terima kasih kepada mereka. Kepada para pengawal Tanah Perdikan dan kepada para prajurit dari Pasukan Khusus, yang telah menyelamatkan padepokan itu dari ketamakan saudara seperguruannya. Kerapuhan hati Kiai Timbang laras telah menimbulkan malapetaka yang besar bagi dua padepokan yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik itu. Namun bersamaan dengan itu, beberapa gerombolan dari orang-orang yang menempuh jalan sesat telah hancur pula.

Namun seperti yang dikatakan, Ki Jayaraga masih akan tinggal di padepokan itu untuk beberapa hari. Ki Jayaraga masih ingin meningkatkan kesehatannya yang sudah hampir pulih kembali.

Sementara itu, Ki Serat Waja dan Ki Resa masih juga berada di padepokan itu. Sedangkan Perbatang dan Pinuji telah bersiap untuk kembali ke padepokan Kiai Timbang Laras.

“Padepokan itu harus tetap berdiri,” berkata Kiai Warangka. “Jika tidak berkeberatan, biarlah Serat Waja memimpin padepokan itu. Ilmunya sejalan dengan ilmu Timbang Laras, karena mereka adalah saudara seperguruan.”

Perbatang dan Pinuji ternyata mendukung sekali gagasan itu. Demikian pula para cantrik yang masih berada di padepokan Kiai Warangka. Baik yang telah datang ke padepokan itu sebelumnya, maupun yang datang kemudian bersama Kiai Timbang Laras. Namun mereka telah mendapat penjelasan apa yang sebenarnya terjadi.

Mula-mula Ki Serat Waja berkeberatan untuk melakukan tugas yang sangat berat itu. Namun akhirnya ia tidak dapat menolak. Ia menjadi tidak sampai hati melihat para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras itu seperti sapu lidi yang kehilangan ikatannya. Tentu akan berserakan cerai berai.

Dengan demikian, beberapa saat kemudian padepokan Kiai Warangka itu menjadi sepi. Ketika para prajurit dari Pasukan Khusus meninggalkan padepokan itu bersama-sama dengan para pengawal, mereka telah membawa orang-orang yang dianggap masih berbahaya. Orang-orang dari sisa-sisa gerombolan yang telah dihancurkan. Mereka akan dibawa ke barak Pasukan Khusus, untuk selanjutnya dibawa ke Mataram. Mereka bukan saja orang-orang yang telah merampok sebuah padepokan, tetapi tujuan jauh mereka adalah merongrong kewibawaan Mataram.

Sementara itu, para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras telah kembali ke padepokannya, yang kemudian akan dipimpin oleh Ki Serat Waja. Saudara muda Kiai Timbang Laras.

Ketika Glagah Putih kemudian berada di Tanah Perdikan kembali, Agung Sedayu telah sembuh benar. Setiap hari ia sudah berada di barak Pasukan Khusus-nya.

Kedatangan para pengawal dari padepokan Kiai Warangka telah mengguncang ketenangan Tanah Perdikan itu lagi. Beberapa orang perempuan telah menitikkan air matanya, karena mereka kehilangan sanak kadang mereka di padepokan Kiai Warangka.

Tetapi Tanah Perdikan Menoreh tidak akan pernah kehilangan kekuatannya. Setiap kali ada yang tumbang, maka beberapa puncak trubus telah tumbuh dan menjadi besar pula.

Para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh tidak jemu-jemunya mempersiapkan kekuatan yang akan dapat menjadi perisai bagi Tanah Perdikan itu. Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan itu memperhitungkan bahwa gejolak masih akan datang beruntun.

Namun untuk sementara keadaan Tanah Perdikan menjadi tenang. Demikian pula Mataram. Sejak perang dengan Pati berakhir, agaknya para pemimpin Mataram dapat beristirahat. Mereka mendapat kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan serta tata kehidupan rakyatnya.

Demikian pula Tanah perdikan Menoreh. Prastawa dan para pengawal sempat meletakkan senjata mereka. Dengan tenang mereka dapat turun kembali ke sawah dan ladang. Meskipun mereka masih tetap waspada dan setiap saat siap menghadapi segala kemungkinan yang mengganggu ketenangan Tanah Perdikan mereka.

Di malam hari, di banjar setiap padukuhan beberapa orang pengawal masih tetap melakukan tugas mereka. Sedangkan di gardu-gardu, anak-anak muda yang bertugas meronda tidak pernah ingkar akan kewajiban mereka. Bahkan gardu-gardu peronda juga menjadi tempat anak-anak muda yang segan tidur di ujung malam. Duduk-duduk berbincang dan bergurau sesama mereka

Dalam kesempatan yang demikian, anak-anak muda yang pernah ikut dalam pasukan pengawal Tanah Perdikan turun ke medan perang, telah menceritakan pengalaman mereka. Ada yang menceritakan pengalaman mereka dalam pertempuran di Prambanan, ada yang bercerita tentang pasukan pengawal yang ikut menyerang ke Pati, dan ada di antara mereka yang menceritakan betapa ganasnya orang-orang dalam gerombolan yang menyerang padepokan Kiai Warangka. Bahkan ada di antara mereka yang sempat ikut dalam ketiga peristiwa itu.

“Sekarang kami sempat beristirahat,” berkata salah seorang dari mereka, “kami sempat ikut turun ke sawah, meskipun pada hari-hari tertentu kami harus berada di banjar sebagai anggota pasukan pengawal Tanah Perdikan, serta mengikuti latihan-latihan.”

Kawan-kawannya yang belum sempat mendapat pengalaman turun ke medan yang sebenarnya, mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya mereka tidak ingin ketinggalan. Cerita yang mengandung nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan itu sangat menarik hati mereka, sehingga kadang-kadang ada di antara mereka yang sempat berangan-angan untuk menjadi seorang pahlawan.

Dalam pada itu, selagi keadaan Tanah Perdikan itu tenang, Rara Wulan telah minta lebih banyak waktu untuk meningkatkan ilmunya. Atas ijin Sekar Mirah, Rara Wulan telah melakukan latihan-latihan khusus dengan Glagah Putih. Meskipun sumber ilmu mereka berbeda, tetapi atas petunjuk dari Agung Sedayu, Glagah Putih mampu menyesuaikan dirinya. Sehingga dengan demikian, tidak terjadi guncangan-guncangan ilmu di dalam diri Rara Wulan.

Dengan bekerja keras, maka dari hari ke hari kemampuan Rara Wulan pun telah meningkat semakin tinggi.

Apapun yang harus di jalani, telah dijalaninya. Sehingga karena kemauannya yang sangat besar, maka kemampuan Rara Wulan pun dengan cepat telah meningkat.

Sekar Mirah sendiri sama sekali tidak berhenti. Pada setiap kesempatan bersama Agung Sedayu, Sekar Mirah pun masih juga mengembangkan ilmunya. Meskipun senjata utama Sekar Mirah adalah sebuah tongkat, namun karena ilmu Agung Sedayu yang tinggi, maka Agung Sedayu mampu memberikan jalan untuk mengembangkan ilmu Sekar Mirah.

Namun dalam pada itu, ketika Glagah Putih sedang sibuk menimba air di pagi-pagi menjelang fajar, ia melihat seorang remaja yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan melintas dengan kepis di tangannya.

Tangan Glagah Putih tiba-tiba saja berhenti. Dengan ragu ia memanggil, “Sukra.”

Remaja yang sudah memasuki dunia anak muda itu berhenti. Selangkah ia mendekati Glagah Putih sambil bertanya, “Kenapa kau memandang aku seperti itu?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia justru melepaskan senggot timbanya. Sambil melangkah mendekati Sukra ia menepuk bahunya. Katanya, “Selama ini aku kurang memperhatikan kau, Sukra. Ternyata kau sudah memasuki dunia anak-anak muda.”

“Aku tahu, kau selalu sibuk. Perhatianmu selalu tertuju ke luar lingkungan kecil ini.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Karena itu maka kau terkejut melihat aku sekarang,”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kau masih turun ke sungai?”

“Ya. Aku baru saja naik.”

“Kau tidak mengajak aku lagi?”

Sukra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah harus menyesuaikan diriku. Tentu aku tidak lagi dapat menggelitikmu untuk turun ke sungai. Perhatianmu tertuju kepada persoalan-persoalan yang jauh lebih besar dari sekedar pliridan.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Sikapmu pun sudah jauh berubah. Kau tidak lagi merengek dan marah jika aku menolak pergi ke sungai.”

“Tentu tidak selamanya seseorang bersikap kekanak-kanakan. Dari hari ke hari aku tentu tumbuh, sebagaimana kau pada umur seperti aku sekarang ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Sukra berkata, “Bedanya, kau tumbuh di tanah yang subur, dan aku tumbuh di tanah yang tandus. Karena itu, kau memiliki sesuatu yang dapat kau banggakan, aku tidak. Tidak sama sekali.”

“Maksudmu?” bertanya Glagah putih.

“Kau mempunyai ilmu yang tinggi. Aku sama sekali tidak memiliki apapun juga.”

“Kau menilai seseorang dari tingkat ilmu kanuragannya saja?”

Sukra tidak segera menjawab. Sementara itu Glagah Putih berkata selanjutnya, “Ilmu kanuragan hanyalah salah satu dari beberapa sisi penilaian atas sebuah kepribadian.”

“Tetapi sisi yang menentukan,” jawab Sukra.

“Tidak. Betapapun tinggi ilmu kanuragan seseorang, tetapi bila ilmunya itu justru dipergunakan untuk melakukan kejahatan, maka ilmu itu tidak mendukung penilaian atas orang itu.”

Sukra mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Aku akan membersihkan ikanku ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bertanya, “Sukra, apakah anak-anak remaja sebayamu masih ada juga yang turun ke sungai untuk membuka pliridan, sebagaimana kau lakukan?”

“Tinggal dua orang. Aku dan Nriman.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Sukra berkata selanjutnya, “Yang lain sudah dilakukan oleh adik-adiknya, sepupunya atau kemenakannya.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Baiklah. Bersihkan ikan itu. Aku akan meneruskan kerjaku. Jambangan itu belum penuh.”

Sejenak kemudian, Sukra pun telah meninggalkan Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih itu pun kemudian telah kembali menggapai senggot timba untuk mengisi jambangan di pakiwan.

“Sebentar lagi, Sukra itu akan menginjak masa dewasanya,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. “Alangkah cepatnya. Jika demikian, bagaimana dengan aku?”

Glagah putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu tangannya sibuk dengan senggot timbanya.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih itu pun telah selesai mandi dan berbenah diri, sementara di langit mulai membayang cahaya fajar.

Demikianlah, seisi rumah itu pun telah terbangun pula. Sukra sudah menyimpan ikan hasil tangkapannya di dapur dan telah digarami pula. Ia masih mempunyai tepung beras yang akan dipergunakannya untuk menggoreng ikannya, yang malam itu agak lebih banyak dari yang didapat malam sebelumnya.

Ketika kemudian matahari terbit, Sekar Mirah telah menyiapkan minuman hangat dan makan pagi bagi Agung Sedayu yang akan pergi ke baraknya.

Seperti biasa Sekar Mirah selalu mengantar Agung Sedayu yang berangkat ke barak, sampai ke halaman. Jika Agung Sedayu sudah meloncat ke punggung kudanya di regol, maka Sekar Mirah pun baru kembali naik ke pendapa rumahnya.

Ketika kemudian matahari naik semakin tinggi, Glagah Putih pun telah pergi pula ke banjar untuk bertemu dengan para pemimpin pengawal, yang akan menyelenggarakan pertemuan yang langsung dipimpin oleh Prastawa sendiri. Prastawa tidak ingin para pengawal justru tertidur ketika keadaan Tanah Perdikan itu menjadi tenang. Bagaimanapun juga para pengawal harus tetap waspada, dan bahkan berkesempatan untuk meningkatkan keterampilan dalam olah kanuragan. Baik secara pribadi maupun keterampilan dalam gelar perang.

Dengan demikian, maka yang tinggal di rumah adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan saja, sementara Sukra berada di kebun belakang membelah kayu bakar.

Dalam pada itu, ketika Sekar Mirah baru membersihkan ruang dalam rumahnya, sementara Rara Wulan berada di dapur, terdengar pintu depan telah diketuk orang.

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun melangkah membuka pintu pringgitan.

Sekar Mirah agak terkejut. Dua orang laki-laki telah berdiri di pendapa. Demikian mereka melihat Sekar Mirah, maka keduanya pun telah mengangguk hormat.

“Maaf, Nyi. Kami datang untuk bertemu dengan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ia belum pernah mengenal kedua orang itu. Namun demikian, Sekar Mirah itu pun telah mempersilakan mereka untuk duduk.

Demikian keduanya duduk, Sekar Mirah telah pergi ke dapur untuk memanggil Rara Wulan.

“Ada apa Mbakayu?” bertanya Rara Wulan.

“Ada tamu. Dua orang laki-laki yang belum aku kenal. Marilah, kita temui bersama. Bawalah minuman ke pringgitan, dan sekaligus ikut menemui tamu-tamu itu. Rasanya kurang enak aku menemui mereka sendiri.”

Rara Wulan mengerti. Mungkin Sekar Mirah memerlukan kawan untuk berbincang dengan tamu yang belum dikenalnya itu. Atau mungkin saksi bagi satu pembicaraan penting.

Sejenak kemudian Sekar Mirah telah duduk bersama dengan kedua tamunya. Namun sejenak kemudian Rara Wulan telah menyusulnya pula sambil membawa minuman. Namun Sekar Mirah menahannya. Katanya, “Duduk sajalah di sini, Wulan. Kita temui tamu kita bersama-sama.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak berbicara apa-apa.

“Marilah, Ki Sanak. Silakan minum, mumpung masih hangat,” Sekar Mirah mempersilakan.

Kedua tamunya termangu-mangu sejenak. Mereka belum mengatakan sesuatu, tetapi mereka lebih dahulu sudah dipersilakan untuk minum.

Yang tertua di antara kedua orang itu pun berkata kepada yang lain, “Marilah. Kita tidak boleh menolak rejeki.”

Keduanya pun kemudian telah minum beberapa teguk.

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah mulai menjadi gelisah. Ia melihat salah seorang dari kedua orang itu membawa sesuatu di dalam selongsong kain putih. Sebuah benda yang panjang, sepanjang tongkat penyangga tubuh orang-orang tua yang mulai sulit berjalan karena ketuaannya.

Setelah minum beberapa teguk, maka yang tertua berkata, “Maaf Nyi. Jadi aku sekarang berhadapan dengan Nyi Lurah Agung Sedayu?”

“Ya, Ki Sanak,” jawab Sekar Mirah.

Sambil memandang Rara Wulan orang itu bertanya, “Yang ini? Bagaimana aku harus memanggil? Nyi atau Nini?”

“Ia masih gadis, Ki Sanak. Adikku.”

“Oh,” orang itu mengangguk-angguk.

Sementara Sekar Mirah-lah yang kemudian bertanya, “Siapakah Ki Sanak berdua ini, dan apakah maksud kedatangan Ki Sanak?”

“Namaku Ki Saba Lintang. Adikku ini bernama Ki Welat Wulung. Apakah Nyi Lurah pernah mendengar?”

Sekar Mirah menggeleng sambil berdesis, “Belum, Ki Sanak. Aku belum pernah mendengarnya.”

“Baiklah. Tetapi aku boleh memperkenalkan diri sebagai saudara-saudaramu yang menyadap ilmu dari sumber yang sama,” berkata orang yang mengaku bernama Saba Lintang itu. Lalu katanya, “Nyi Lurah seharusnya menyebutku Kakang.”

“Aku tidak mengerti,” desis Sekar Mirah dengan dahi berkerut

“Nyi Lurah. Bukankah Nyi Lurah memiliki ciri landasan kekuatan sebuah tongkat baja yang berkepala tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan?”

Sekar Mirah menjadi semakin heran. Sekilas dipandanginya kedua orang itu berganti-ganti. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Dari mana kalian mengetahuinya?”

Orang yang menyebut dirinya Ki Saba Lintang itu pun menjawab, “Sudah aku katakan Nyi, bahwa kita bersaudara.”

“Apakah alasan Ki Sanak menganggap kita bersaudara? Maksud Ki Sanak tentu dalam hubungannya dengan perguruan kita?”

“Kita mempunyai warisan yang sama dari perguruan kita. Mungkin tongkatku sedikit lebih panjang dari tongkat Nyi Lurah Agung Sedayu,” jawab Ki Saba Lintang.

Wajah Sekar Mirah menjadi semakin tegang. Bahkan Rara Wulan pun menjadi berdebar-debar pula.

Sementara itu, Ki Saba Lintang itu pun telah membuka selongsong kain putihnya. Dari dalam selongsong itu telah dikeluarkannya sebuah tongkat baja putih, sebagaimana tongkat milik Sekar Mirah.

“Apakah dengan menunjukkan tongkat ini masih belum cukup untuk membuktikan bahwa kita bersaudara?”

“Dari mana kau dapatkan tongkat itu?” bertanya Sekar Mirah.

“Nyi Lurah tidak usah mengetahui dari mana aku mendapatkannya. Tetapi hanya murid-murid tepercaya sajalah yang akan mendapat warisan tongkat seperti ini. Nyi Lurah tentu mendapat tongkat itu dari Paman Sumangkar.”

“Tongkat yang satu lagi ada pada jalur Kepatihan Jipang pada waktu itu.”

“Ya. Meskipun sejak kekalahan Adipati Arya Penangsang jalur Kepatihan Jipang tidak pernah disebut-sebut lagi, tetapi bukan berarti telah lenyap. Karena itu, aku datang untuk membuka hubungan di antara saudara-saudara seperguruan. Jika Nyi Lurah memiliki tongkat itu, berarti Nyi Lurah adalah salah seorang yang pantas mendapat kehormatan tertinggi dari saudara-saudara seperguruan kita. Karena tongkat itu hanya ada dua, maka dua orang yang memiliki tongkat itulah yang harus bertanggung jawab atas kelanjutan perguruan ini.”

“Maksud Ki Saba Lintang?”

“Nyi Lurah. Sudah lama aku menelusuri tongkat yang satu itu. Setelah sekarang kita bertemu, maka sudah sewajarnya jika kita berusaha untuk membangun perguruan kita kembali, agar perguruan kita tidak akan terhapus dari permukaan bumi.”

Sekar Mirah merenung sejenak. Sekali-sekali ia memperhatikan tongkat baja putih yang berada di pangkuan orang lain.

Ternyata Ki Saba Lintang seakan-akan dapat membaca keraguan di hati Sekar Mirah. Sambil mengangkat tongkat baja putih itu ia pun berkata, “Apa Nyi Lurah meragukan keaslian tongkat ini? Sebagai salah satu pemilik ciri tertinggi perguruan kita, maka Nyi Lurah tentu dapat mengenali, apakah tongkat ini benar-benar tongkat pertanda murid utama perguruan kita atau bukan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar