Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 304

Buku 304

“Dengan demikian, apakah Ki Resa benar-benar melakukan semadi dalam rangka menemukan peti itu?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku memang benar-benar melihat apakah peti itu ada di padepokan ini. Ternyata di dalam semadiku, aku mendapatkan keyakinan bahwa peti itu tidak ada di sini. Maksudku, tidak ada di padepokan ini. Tetapi aku belum berhasil mengetahui di mana peti itu berada, jika memang benar-benar seperti yang disebut oleh Kiai bahwa sejak Ki Warangka mulai memimpin, peti itu sudah tidak ada di sini.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Peti itu memang ada. Tetapi aku juga tidak tahu di mana peti itu sekarang. Sebenarnyalah bahwa aku juga tidak tahu, apakah isi peti yang sedang dicari oleh Timbang Laras. Entahlah jika Timbang Laras justru mengetahuinya.”

“Tetapi mengapa Kakang Timbang Laras baru sekarang meributkannya?” desis Ki Serat Waja.

“Tentu pengaruh Ki Jatha Beri,” desis Ki Resa.

Yang lain mengangguk-angguk. Jika benar Ki Jatha Beri berhasil mempengaruhi Kiai Timbang Laras, maka persoalannya tentu akan menjadi rumit. Bahkan mungkin akan benar-benar terjadi perselisihan di antara saudara seperguruan.

Namun pembicaraan mereka terputus. Pinuju dan Perbatang telah naik tangga pendapa. Keduanya baru saja melihat-lihat halaman padepokan, diantar oleh dua orang cantrik.

Tetapi mereka tidak lama berkeliling halaman, karena seakan-akan semuanya telah mereka lihat. Sedangkan para cantrik itu sama sekali tidak menyinggung-nyinggung peternakan yang terdapat di tempat lain, yang justru menjadi tempat beberapa kelompok cantrik menghindar dari penglihatan orang-orang Kiai Timbang Laras itu.

Untuk beberapa saat lamanya mereka berbincang-bincang tentang kemajuan yang telah dicapai oleh Kiai Warangka. Padepokan itu seakan-akan telah mampu mencukupi segala kebutuhan mereka sendiri. Padi di lumbung, ikan di blumbang, ayam yang berkeliaran serta kambing yang terikat di kebun belakang.

Di bagian samping dari padepokan itu terdapat beberapa perapian bagi beberapa orang cantrik yang memiliki kemampuan menggarap besi dan baja. Beberapa orang pande besi itu sudah mampu membuat bukan saja beberapa jenis alat pertanian, tetapi juga senjata.

Di bagian belakang terdapat bangunan yang terpisah. Di dalamnya terdapat beberapa alat tenun, sehingga para cantrik itu dapat memenuhi sebagian kebutuhan sandangnya sendiri, meskipun sebagian yang lain masih harus membeli dengan menjual sebagian dari hasil sawah dan petegalan mereka.

Tetapi menurut Pinuji dan Perbatang, padepokan itu kekurangan lembu atau kerbau yang dapat membantu mengerjakan sawah.

“Aku hanya melihat dua tiga pasang. Itu terlalu sedikit bagi sebuah padepokan sebesar ini.”

“Kami baru merencanakan untuk menambahnya,” jawab Kiai Warangka sambil tersenyum.

Perbatang tertawa. Katanya, “Sebenarnya sudah terlambat. Selama ini sawah dan pategalan padepokan ini agaknya telah disia-siakan.”

“Sawah kami tidak terlalu luas,” berkata Kiai Warangka dengan nada dalam.

“Ah, bagaimana Kiai Warangka mengatakan bahwa sawah padepokan ini tidak begitu luas? Sementara itu beberapa buah lumbung penuh dengan padi dan jagung.”

Kiai Warangka tertawa. Katanya, “Kami berusaha untuk menghemat pangan, justru karena kami merasa bahwa persediaan kami terlalu sedikit. Perluasan sawah di lingkungan ini mulai mengalami kesulitan. Kami sudah terlalu banyak menebangi hutan, sehingga kami telah mendapat peringatan dari Ki Demang, agar kami tidak memperluas tanah persawahan lagi.”

“Kenapa harus dibatasi? Hutan memang disediakan bagi mereka yang bersedia membuka dan menjadikan tanah yang lebih berarti bagi kita.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk. Namun katanya, “Menurut Ki Demang, hutan perlu dipertahankan keberadaannya untuk berbagai macam kepentingan.”

Perbatang mengangguk-angguk, sementara Pinuji pun bertanya, “ Selama kami berada di padepokan ini, kami melihat bahwa dua buah bangunan sanggar itu jarang sekali dipergunakan. Apalagi sanggar yang terbuka di belakang padepokan ini. Apakah dengan demikian, Kiai Warangka dapat melahirkan seorang cantrik yang memiliki kemampuan yang memadai?”

“Kami berharap demikian Pinuji. Berharap bahwa para cantrik serba sedikit mempunyai bekal dalam berbagai macam bidang yang akan dijumpainya dalam kehidupan. Mereka memang belajar sedikit oleh kanuragan. Tetapi mereka juga mencari pengalaman di bidang pertanian. Pengetahuan serba sedikit tentang kesusastraan, pengenalan terhadap masa lalu dan kesiapan menyongsong masa depan.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Mereka percaya terhadap keterangan Kiai Warangka, karena mereka melihat sendiri ruangan-ruangan yang dipergunakan untuk keperluan yang berbeda beda di samping sanggar olah kanuragan.

Namun menurut penglihatan keduanya, para cantrik di padepokan Kiai Warangka justru tidak begitu banyak tertarik kepada sanggar olah kanuragan mereka.

Malam itu adalah malam terakhir bagi ketiga orang yang akan meninggalkan padepokan kembali ke padepokan Kiai Timbang Laras.

Demikianlah, menjelang fajar ketiga orang itu sudah siap. Kuda-kuda mereka telah terikat di depan pendapa bangunan utama padepokan Kiai Warangka itu.

Setelah minum wedang jahe yang hangat serta makan beberapa potong makanan yang sempat disediakan, maka Ki Resa pun telah minta diri.

“Aku berharap bahwa aku akan dapat datang lagi ke padepokan ini,” berkata Ki Resa sebelum meninggalkan padepokan itu.

“Kami akan menunggu, Ki Resa. Banyak hal yang dapat kami pelajari dari Ki Resa.”

Ki Resa tersenyum. Katanya, “Aku-lah yang masih harus banyak belajar dari Kiai Warangka dan bahkan kepada Ki Jayaraga.”

“Bagus,” sahut Ki Jayaraga, “aku adalah seorang petani yang berpengalaman. Di Tanah Perdikan Menoreh, banyak orang yang belajar bagaimana menabur benih padi gaga di tempat yang kekurangan air.”

“Itu-lah yang menarik pada Ki Jayaraga,” berkata Ki Resa, “tangannya yang dingin membuatnya menjadi seorang petani yang baik. Apa yang dipegangnya dapat menghasilkan. Bahkan tongkat pun jika ditanamnya akan tumbuh. Tetapi di pertempuran, tangannya menjadi panas melampaui bara perapian pande besi.”

“Kau ini ada-ada saja,” desis Ki Jayaraga sambil tersenyum.

Demikianlah, kedua orang yang lain pun telah minta diri pula. Mereka akan memulai perjalanan justru sebelum matahari terbit. Selagi udara masih segar.

Tetapi ketika mereka memasuki jalan bulak, mereka sudah berpapasan dengan orang-orang yang pergi ke pasar. Orang-orang yang akan menjual barang dagangannya. Ada yang membawa hasil buminya, ada yang membawa barang-barang anyaman dan hasil kerajinan tangan mereka yang lain, buah-buahan, dan ada pula yang menuntun kuda-kuda beban membawa gula kelapa. Seorang laki-laki dengan hati-hati membawa sekeranjang kecil telur di atas kepalanya.

Ki Resa dan kedua orang kawannya tidak dapat berpacu secepatnya. Jalan semakin dalam justru menjadi semakin banyak dilalui orang.

Dalam pada itu, langit pun menjadi cerah. Cahaya matahari mulai tampak bergayutan pada ujung pepohonan yang tinggi. Kicau burung terdengar bersahutan, semerdu dendang perempuan yang sedang menunai padi di sawah.

Sepeninggal Ki Resa dan dua orang kawannya, Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga masih duduk-duduk di pendapa. Mereka masih menilai sikap ketiga orang yang baru saja meninggalkan padepokan itu.

“Perbatang dan Pinuji adalah jelas pengikut Kiai Timbang Laras,” berkata Ki Jayaraga, “namun bagaimana dengan Ki Resa?”

Kiai Warangka mengangguk-angguk. Katanya, “Orang itu justru meragukan. Tetapi mudah-mudahan ia orang yang baik, yang nuraninya tidak goyah karena kesediaan Timbang Laras mengupahnya.”

“Kakang,” desis Ki Serat Waja kemudian dengan ragu, “mudah-mudahan ia baik. Tetapi jika ia benar-benar memiliki penglihatan jiwani yang sangat tajam, sehingga ia benar-benar dapat melihat peti itu, bukankah ia dapat bersikap mendua?”

Kiai Warangka mangangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Serat Waja. Ia dapat melakukannya untuk kepentingannya sendiri. Tetapi untuk sementara kita tidak berprasangka buruk. Kita akan menunggu apa yang akan dilakukan oleh Timbang Laras. Mungkin ia juga mencurigai Ki Resa, atau malah langkah-langkah lebih jauh dari sekedar mencurigai.”

“Ya. Kita memang hanya dapat menunggu lagi,” desis Ki Serat Waja.

“Tetapi, bukankah Ki Jayaraga tidak tergesa-gesa ingin pulang ke Tanah Perdikan Menoreh? Juga karena kehadiran Ki Jatha Beri yang sudah dikenal oleh Ki Jayaraga, aku ingin mohon agar Ki Jayaraga tetap berada di padepokan untuk sementara.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan tinggal untuk sementara di padepokan ini. Tetapi aku ingin melihat Tanah Perdikan sebentar. Hanya hari ini. Nanti malam aku sudah kembali berada di padepokan ini.”

“Apakah ada firasat yang memaksa Ki Jayaraga berniat untuk menengok Tanah Perdikan?”

“Tidak. Nampaknya tidak ada apa-apa. Tetapi karena Tanah Perdikan seakan-akan sedang kosong, ada baiknya aku menengok hanya untuk hari ini.”

Kiai Warangka memang tidak berkeberatan. Bahkan ia merasa tidak dapat menahan, jika itu dikehendaki oleh Ki Jayaraga

Ketika matahari memanjat langit, Ki Jayaraga melarikan kudanya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia memang tidak mempunyai kepentingan apapun selain sekedar melihat keadaan.

Kedatangannya disambut oleh Rara Wulan dengan gembira. Sudah beberapa lama Ki Jayaraga tidak pulang.

“Dimana Sekar Mirah?” bertanya Ki Jayaraga.

“Mbokayu sedang pergi ke sawah, memetik kacang panjang. Mumpung masih belum terlalu tua.”

Ki Jayaraga tersenyum. Ia menanam kacang panjang di sepanjang pematang. Ternyata hasilnya cukup memadai.

Ketika Sekar Mirah pulang, iapun bergembira pula. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi kecewa, karena Ki Jayaraga sore itu juga akan kembali ke padepokan Kiai Warangka.

“Tetapi Ki Jayaraga harus menunggu sayur kacang panjangku masak,” berkata Sekar Mirah.

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Aku akan menunggu.”

Ketika Ki Jayaraga sedang duduk di bawah bayangan daun pohon jambu air yang rimbun, seseorang memasuki regol halaman. Orang itu mengangguk hormat ketika ia melihat Ki Jayaraga

“Marilah,” Ki Jayaraga yang telah mengenal orang itu mempersilahkan, “naiklah ke pendapa.”

“Terima kasih Ki Jayaraga. Aku hanya ingin menyampaikan pesan dari Ki Gede.”

Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Sambil melangkah mendekat, Ki Jayaraga bertanya, “Pesan apa?”

“Pesan buat Nyi Agung Sedayu.”

“Pesan apa? Baiklah. Aku akan memanggilnya. Apakah pesan itu ada hubungannya dengan kepergian Agung Sedayu dan Glagah Putih?”

“Benar Ki Jayaraga. Tetapi bukan apa-apa. Hanya sekedar berita yang tidak terlalu penting.”

“Baiklah. Duduklah.”

Sekar Mirah dan Rara Wulan yang sedang berada di dapur pun segera menemui orang itu di pendapa. “Aduk sayurnya Sukra. Santannya jangan sampai pecah.”

Sukra tidak menjawab. Tetapi sebenarnya ia tidak senang diminta untuk menunggui sayur di perapian. Ia lebih senang bekerja di luar. Membelah kayu atau mengambil air di sumur.

“Apa yang terjadi?” bertanya Sekar Mirah.

“Tidak ada apa-apa Nyi. Justru karena tidak ada apa-apa itu aku datang. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih masih harus menunggu perintah menyerang kota. Seorang penghubung telah datang untuk meredam kegelisahan.”

Sekar Mirah dan Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam.

“Kau berkata sebenarnya?” bertanya Rara Wulan.

“Aku hanya menirukan penghubung yang sedang berada di rumah Ki Gede. Penghubung itu membawa kabar tentang hari-hari terakhir yang menjemukan di perkamahan. Lumbung yang terbakar, udara yang panas dan perintah untuk menunggu.”

Sekar Mirah, Rara Wulan dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk.

“Tetapi penghubung itu juga membawa berita yang sedikit menyengat ketenangan Tanah Perdikan ini.”

“Berita apa?”

“Dua orang telah gugur dalam penjajagan yang dilakukan oleh pasukan Mataram.”

“Siapakah mereka?” wajah Rara Wulan menjadi pucat. Tetapi ketika orang itu menyebut dua buah nama, maka Rara Wulan pun menarik nafas panjang.

“Tetapi dalam satu dua hari ini, Mataram akan menyerang,” berkata orang itu.

Ki Jayaraga, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah pada saat itu, pasukan Mataram yang sedang berkemah di Pati benar-benar sudah siap. Bahkan sudah ada perintah dari Panembahan Senapati, meskipun baru didengar oleh para panglima, bahwa di keesokan harinya pasukan Mataram benar-benar akan menyerang. Bukan sekedar penjajagan.

Tetapi menjelang sore, Agung Sedayu telah mendapat perintah untuk meninjau keadaan medan. Bersama sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus-nya, Agung Sedayu berkuda mendekati pintu gerbang kota yang tertutup. Beberapa orang prajurit yang bertugas memperhatikannya, dengan busur dan anak panah yang siap dilontarkan di tangan mereka.

Tetapi Agung Sedayu cukup berhati-hati. Ia tidak berada di jarak jangkau anak panah yang setiap saat dapat dilontarkan dari panggungan di sebelah pintu gerbang itu.

Kuda Agung Sedayu dan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu berjalan perlahan-lahan. Diamatinya dinding kota yang cukup tinggi. Di panggung para prajurit yang bertugas selalu siap menghadapi segala kemungkinan.

“Tidak ada celah-celah sama sekali,” desis Agung Sedayu.

Seorang pemimpin kelompok yang berkuda di sebelahnya mengangguk. Katanya, “Kita harus menerobos hujan anak panah. Kita telah membuat perisai-perisai bambu yang besar itu, yang akan dapat melindungi para prajurit dari sergapan ujung-ujung anak panah yang jumlahnya tentu tidak terhitung.”

“Kita harus bersiap sebelum fajar. Kemudian kita harus bekerja keras menggapai bibir dinding itu. Usaha memecahkan pintu gerbang tentu akan makan waktu dan korban.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang tidak ada pilihan. Korban tentu akan berjatuhan.

Agung Sedayu yang bertugas untuk mengamati keadaan itu pun telah memperhatikan sasaran dengan seksama. Tidak ada yang terlepas dari perhatian dan terlampaui dari penglihatan Agung Sedayu.

Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat seorang prajurit yang berada di sebuah panggung melambaikan tangannya.

“Apa maksudnya?” bertanya pemimpin kelompok yang berkuda di depan dinding kota

Agung Sedayu menarik kendali kudanya. Setelah termangu-mangu sejenak, Agung Sedayu telah melambaikan tangannya pula

“Marilah singgah sebentar, Ki Sanak,” teriak prajurit yang berada di atas panggungan itu.

Agung Sedayu pun menyahut, “Apakah kau sudah menyediakan suguhan?”

“Sudah, Ki Sanak. Apa yang kau sukai? Wedang jahe, wedang sere dan rujak degan? Di panasnya terik matahari, rujak degan tentu akan memberikan kesegaran kepadamu, Ki Sanak.”

Tiba-tiba pemimpin kelompok itu berteriak pula, “Aku inginkan rujak pace. He, kau punya rujak pace?”

“Ada. Kemarilah,” jawab orang itu.

Agung Sedayu tertawa. Dilambaikannya tangannya. Prajurit yang ada di panggungan itu tentu juga ingin mengusir kejemuan. Atau bahkan keseganannya untuk melihat cucuran darah. Di Prambanan darah telah banyak tertumpah.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Iapun kemudian berpesan kepada para prajuritnya agar tetap berada di tempatnya.

“Aku akan mendekat. Kalian tinggal di luar jangkauan anak panah. Jangan ada yang melanggar perintahku, apapun yang terjadi. Jika seorang saja di antara kalian melanggar perintahku, maka aku akan menanggung akibat yang sangat buruk.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk kecil. Namun nampak keraguan di sorot matanya.

“Tidak akan terjadi apa-apa denganku.”

Sebenarnyalah Agung Sedayu pun telah melarikan kudanya mendekati dinding kota, sementara para prajuritnya tetap berada di tempatnya.

Namun Agung Sedayu tidak mau menjadi korban yang sia-sia. Karena itu, maka iapun telah mengetrapkan ilmu kebalnya.

Tetapi ternyata para prajurit yang berada di atas panggungan itu tidak menyerangnya. Beberapa orang bahkan menjengukkan kepalanya memandang Agung Sedayu yang duduk di punggung kudanya sambil menengadahkan kepalanya.

“Apa yang ingin kau berikan?” bertanya Agung Sedayu.

“Terimalah,” berkata prajurit yang ada di atas panggungan.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ternyata-prajurit yang berada di atas panggung itu telah melemparkan buah manggis. Tidak hanya satu, tetapi beberapa buah berturut-turut, sehingga Agung Sedayu menjadi kesulitan. Beberapa buah jatuh di tanah.

Tetapi Agung Sedayu meloncat dari punggung kudanya. Dipungutnya beberapa buah manggis itu dan diletakkannya di pelana kudanya di atas kedua kakinya.

“Di sini masih banyak,” berkata prajurit yang ada di atas.

“Aku tidak dapat membawanya lagi,” jawab Agung Sedayu, “terima kasih. Tolong sediakan buat besok. Aku akan datang dengan membawa sebuah keranjang.”

Ketika Agung Sedayu bergerak menjauh, prajurit itu melambaikan tangannya pula. Demikian pula Agung Sedayu, dan bahkan pemimpin kelompok prajuritnya yang masih tetap berada di tempatnya.

Ternyata para prajurit berkuda yang sedang mengamati sasaran itu ragu-ragu untuk makan manggis yang dilemparkan oleh para prajurit Pati. Tetapi Agung Sedayu-lah yang lebih dahulu membuka manggisnya dan mencicipi daging buahnya yang putih bersih. Agung Sedayu yang tawar racun itu dengan saksama merasakan dengan ujung lidahnya apakah buah itu beracun atau tidak.

“Tidak apa-apa,” berkata Agung Sedayu.

Di udara yang panas, manggis itu terasa segar sekali.

Pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan khusus itu pun kemudian bertanya, “Apa maksud mereka memberikan buah manggis itu kepada kita?”

“Aku kira tidak ada maksud apa-apa. Kita tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan para prajurit Pati. Agaknya mereka pun ingin mengatasi kejemuan mereka menunggu perang berlangsung. Tetapi sebagai sesama, bukankah kita tidak bermusuhan dengan mereka?”

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Secara pribadi, pemimpin kelompok itu memang tidak bermusuhan dengan orang-orang Pati.

Tiba-tiba saja terbersit satu pertanyaan, “Kenapa pada satu saat kami harus berperang dengan orang-orang yang tidak mempunyai persoalan dengan kami?”

Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Ada yang lebih besar dari sekedar persoalan pribadi.

Demikianlah, sekelompok prajurit berkuda itu pun segera berpacu kembali ke pesanggrahan.

Agung Sedayu pun langsung telah memberikan laporan tentang tugasnya kepada Ki Patih Mandaraka. Tetapi Ki Patih pun kemudian telah membawanya menghadap Panembahan Senapati.

Berdasarkan laporan Agung Sedayu dan para petugas sandi sebelumnya, Panembahan Senapati pun segera menyusun rencana serangan yang akan dilakukan oleh pasukan Mataram. Beberapa panglima dan senapati terpenting lebih membicarakan rencana itu dari ujung sampai ke ujung. Semua segi telah mendapat penilaian dengan seksama, sehingga jangan sampai terjadi kesalahan-kesalahan yang tidak perlu, karena taruhannya adalah nyawa.

Pasukan Mataram harus dengan cepat menyelesaikan perang itu. Persediaan makanan mereka sebagian telah terbakar. Mereka tidak yakin bahwa mereka akan mendapatkan bahan pangan yang mencukupi. Karena itu, maka dalam waktu yang sesingkat mungkin, Pati harus dapat ditundukkan.

Ketika malam turun, pasukan Mataram pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Jangan sampai ada yang mengecewakan. Segala rencana harus dapat berjalan dengan baik.

Sementara pasukan Mataram mempersiapkan diri untuk melakukan serangan yang menentukan, Ki Jayaraga justru masih dalam perjalanan menuju ke padepokan Kiai Warangka. Ternyata Ki Jayaraga agak terlalu malam kembali ke padepokan, karena Ki Jayaraga bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan pergi ke rumah Ki Gede untuk mendengarkan langsung berita tentang pasukan Mataram yang sedang berada di Pati.

Mereka ingin berbicara langsung dengan penghubung yang datang mengabarkan keadaan medan yang mulai menggelisahkan. Justru para prajurit dan pengawal harus menunggu.

Karena itulah, baru menjelang malam Ki Jayaraga berangkat ke padepokan.

“Kenapa tidak besok saja, Ki Jayaraga?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku sudah terlanjur janji bahwa aku akan kembali.”

“Tetapi bukankah tidak ada masalah yang penting sekali untuk diselesaikan hari ini?”

“Memang tidak,” jawab Ki Jayaraga, “tetapi jika aku tidak kembali, orang-orang padepokan itu akan menjadi gelisah. Justru karena sedang terjadi pergolakan di padepokan itu, Kiai Warangka dapat menduga-duga. Bahkan mungkin dugaan yang kurang baik.”

“Maksud Ki Jayaraga?”

“Kiai Warangka dapat menduga bahwa di perjalanan aku bertemu dengan para pengikut Jatha Beri. Sikapnya yang bermusuhan itu memang dapat mengundang banyak kemungkinan.”

“Tetapi bagiamanakah jika Ki Jayaraga benar-benar bertemu dengan orang itu dan pengikut-pengikutnya?”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan tidak.”

Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak dapat menahan lagi. Ki Jayaraga benar-benar kembali ke padepokan malam itu juga

Memang tidak ada hambatan sesuatu di perjalanan. Tetapi Ki Jayaraga sempat melihat sesuatu yang tidak wajar. Penglihatannya yang tajam sempat melihat bayangan seseorang di kegelapan, menghilang di balik gerumbul.

Bahkan tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali. Ki Jayaraga segera teringat saat ia diikuti oleh dua orang pengikut Kiai Timbang Laras yang sedang mengawasi padepokan Kiai Warangka.

Ki Jayaraga telah memberitahukan penglihatannya itu kepada Kiai Warangka dan Ki Serat Waja, demikian ia sampai di padepokan.

“Apakah Kakang Timbang Laras akan bersungguh-sungguh?” desis Ki Serat Waja.

Kiai Warangka pun menarik nafas dalam-dalam. Namun Ki Jayaraga berkata, “Aku yakin bahwa yang berdiri di belakang semua peristiwa ini adalah Jatha Beri. Ia benar-benar orang yang sangat licik.”

Ki Serat Waja mengangguk-angguk sambil berdesis, “Aku percaya Ki Jayaraga. Bagaimanapun juga ketamakan Kakang Timbang Laras, tetapi ia tentu tidak akan mengambil langkah sejauh ini. Ia tentu tidak dengan semena-mena memusuhi saudara-saudara seperguruannya sendiri.”

Kiai Warangka-lah yang menyahut dengan nada berat, “Mungkin Ki Jatha Beri telah mempengaruhinya, Serat Waja. Tetapi aku tetap kecewa terhadap Timbang Laras. Bagaimanapun juga orang lain berusaha mempengaruhinya, jika jiwanya kokoh, ia tidak akan terperosok ke dalam sikap yang tercela itu. Di sini-lah letak kedewasaan sikap seseorang. Jika ia masih berada di bawah bayang-bayang sikap orang lain, maka ia masih belum cukup dewasa meskipun rambutnya sudah beruban.”

Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Mereka sependapat, bahwa betapapun kuatnya pengaruh orang lain, segala sesuatunya masih akan ditentukan oleh sikap pribadi seseorang.

Namun pemberitahuan Ki Jayaraga itu telah mendorong Ki Warangka untuk memerintahkan para cantriknya semakin berhati-hati. Beberapa orang cantrik yang semula berada di peternakan telah berada di padepokan mereka kembali. Bahkan pengamatan di sekitar padepokan pun semakin ditingkatkan. Para cantrik tidak saja mengamati keadaan di sekitar padepokan dari panggungan-panggungan di belakang dinding, Tetapi para cantrik pun dalam kelompok-kelompok kecil telah meronda di luar dinding padepokan.

Para cantrik dengan penuh kewaspadaan melangkah di dalam kegelapan menembus sepinya malam.

Sementara itu, malam itu pula pasukan Mataram di Pati benar-benar telah bersiap. Segala sesuatunya benar-benar telah dipersiapkan dengan baik, sehingga Panembahan Senapati mengharap bahwa serangan mendatang tidak akan mengecewakan.

Malam itu para prajurit dan pengawal yang berada di dalam pasukan Mataram itu masih sempat beristirahat dengan baik, agar mereka tidak akan kehabisan tenaga di dalam pertempuran yang akan terjadi. Para panglima dan senapati tahu benar bahwa pertempuran akan berlangsung dengan sengitnya. Usaha untuk memecah pertahanan Pati memerlukan pengerahan kekuatan dan kemampuan.

Demikianlah, di dini hari, para prajurit dan pengawal Mataram telah mempersiapkan diri. Semua peralatan telah disediakan. Sehingga setiap saat terdengar perintah, pasukan akan segera bergerak.

Menjelang fajar, terdengar suara bende mengumandang di induk pasukan Mataram. Kemudian panah api-pun nampak menyala di langit. Para penghubung berkuda telah berderap dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, yang dipergunakan sebagai perkemahan prajurit Mataram.

Sejenak kemudian, terdengar suara bende berkumandang di padukuhan-padukuhan yang dipergunakan sebagai pesanggrahan dari pasukan induk Mataram, sebagai pertanda agar pasukan Mataram mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak seorang pun akan menyesal akan kelengahannya mempersiapkan diri memasuki perang. Tidak seorang pun yang belum sempat makan dan tidak seorang pun yang akan kelupaan apapun juga yang bakal dipergunakan di medan.

Beberapa saat kemudian, bende pun telah bergaung untuk kedua kalinya. Pasukan Mataram sudah siap untuk bergerak. Dan ketika bende berbunyi untuk ketiga kalinya, maka pasukan Mataram itu benar-benar telah bergerak.

Panembahan Senapati sendiri telah memimpin pasukannya yang besar itu. Segala pertanda kebesaran dipasang oleh pasukan yang bergerak di saat langit mulai nampak kemerah-merahan. Rontek, umbul-umbul, kelebet yang berkibar pada tunggul-tunggul, yang mewujudkan lambang-lambang kekuatan dan keperkasaan pasukan Mataram, telah membuat jantung para prajurit dan pengawal yang berada di dalam pasukan Mataram itu menjadi semakin mantap. Bahkan di setiap kesatuan prajurit maupun pengawal nampak tunggul-tunggul serta kelebet lambang setiap kesatuan itu.

Mataram memang tidak merahasiakan serangannya itu. Mataram yakin bahwa Pati sudah mengetahui bahwa hari itu Mataram benar-benar akan datang menyerang.

Panembahan Senapati yang memimpin pasukan itu berjalan di ujung pasukannya. Matanya dengan tajam menatap ke depan. Tetapi sepanjang langkahnya, Panembahan Senapati hampir tidak berbicara apa-apa. Hanya sepatah-sepatah terdengar perintahnya kepada para senapati pengapitnya.

Ki Patih Mandaraka menyadari, betapa beban perasaan harus dipikul oleh Panembahan Senapati. Bagaimanapun juga Panembahan Senapati tidak akan dapat melupakan hubungan yang akrab antara dirinya dan Kanjeng Adipati Pragola dari Pati. Apalagi jika Panembahan Senapati mengingat hubungan antara ayahnya Ki Gede Pemanahan dan ayah Kanjeng Adipati Pragola, yang tidak ubahnya seperti hubungan antara dua orang saudara kandung. Keduanya seakan-akan telah menyatu di dalam suka dan dukanya

Tetapi Panembahan Senapati pun kemudian harus menghadapinya sebagai lawan.

Kekecewaan Kanjeng Adipati Pragola di Madiun nampaknya tidak akan pernah dilupakannya, meskipun sampai saat terakhir Panembahan Senapati tidak tahu pasti, apakah sebenarnya yang menyebabkan Kanjeng Adipati Pragola menjadi sangat kecewa sehingga hatinya menjadi patah arang.

Panembahan Senapati memang menyesali keterlanjurannya, bahwa ia tidak berbicara lebih dahulu dengan Kanjeng Adipati Pragola ketika ia mengambil putri Kanjeng Adipati Madiun menjadi isterinya. Meskipun tidak pasti, tetapi mungkin salah satu sebab kekecewaan Kanjeng Adipati Pragola adalah justru pada saat para prajurit menyerahkan nyawanya untuk satu perjuangan, Panembahan Senapati menemukan seorang putri cantik yang kemudian diperistrinya.

“Bukan sekedar putri boyongan,” berkata Panembahan Senapati di dalam hatinya. Agaknya hal itulah yang membuat Kanjeng Adipati Pragola kecewa. Ketika darah masih belum kering dari luka, Panembahan Senapati telah memasuki senthong tengah Kadipaten Madiun bersama putri Madiun itu.

Tetapi kenapa Adipati Pragola tidak berterus-terang? Seandainya Adipati Pragola bersedia menunjuk kesalahannya dan hal itu dapat dimengertinya, Panembahan Senapati akan bersedia minta maaf.

Tetapi semuanya itu sudah lampau. Sekarang pasukan Mataram telah bergerak mendekati dinding kota Pati yang dipertahankan oleh Kanjeng Adipati Pragola. Perang sudah tidak mungkin dapat dihindarkan lagi.

Demikianlah, pasukan Mataram itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan dinding kota. Segala sesuatu telah bergerak sesuai dengan rencana.

Perisai-perisai dari anyaman bambu yang diberi bingkai lebih kuat dari yang pernah dibuat, akan melindungi pasukan yang akan mendekati dinding. Tangga-tangga bambu berkaki yang dapat berdiri tanpa bersandar pada dinding, telah direncanakan pula dengan sebaik-baiknya.

Pada saat langit menjadi semakin terang oleh cahaya fajar, pasukan Mataram telah mendekati dinding kota. Para prajurit Pati telah melihat umbul-umbul, rontek dan kelebet yang berkibar pada tunggul-tunggul yang megah, melambangkan kebesaran Mataram di bawah pemerintahan Panembahan Senapati.

Kanjeng Adipati Pragola sendiri yang berada di atas panggung di sebelah pintu gerbang itu pun menggeletakkan giginya. Dengan geram Kanjeng Adipati Pragola itu pun berkata kepada senapati pengapitnya, “Sombongnya Ngabehi Loring Pasar itu. Salah Kanjeng Sultan Pajang, bahwa ia telah mengangkat Sutawijaya itu menjadi anaknya. Ia menjadi besar kepala dan tidak lagi mengenal sangkan paraning dumadi.”

Senapati pengapitnya itu pun mengangguk-angguk. Sementara Adipati Pragola itu berkata selanjutnya, “Sekarang ia datang ke Pati dengan pertanda-pertanda kebesaran seorang Maha Prabu yang Agung. Ia merasa bahwa semua Adipati dan bahkan raja-raja yang ada itu harus tunduk kepadanya.”

Senapati pengapitnya masih mengangguk-angguk pula. Sementara itu, pasukan Mataram sudah menjadi semakin dekat.

Para prajurit dan pengawalnya telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mulai dengan serangannya yang sebenarnya.

Dalam pada itu, Kanjeng Adipati Pragola yang berada di atas panggungan itu pun menjadi tegang. Dengan seksama ia memperhatikan setiap gerak dari pasukan Mataram. Baik induk pasukan maupun pasukan yang bergerak di sisi kiri dan di sisi kanan, yang kemudian merupakan sayap kiri dan sayap kanan dari pasukan yang besar itu, meskipun Mataram dan Pati tidak akan terlibat dalam perang gelar yang langsung.

Ketika para pemimpin Mataram kemudian meneriakkan perintah sambung-bersambung untuk menyerang, yang kemudian disusul gerak pasukan yang besar itu, maka Kanjeng Adipati Pragola memerintahkan seorang perwira penghubung untuk membunyikan pertanda. Sebuah bende di panggungan yang ada di sebelah pintu gerbang itu telah ditabuh. Namun hampir di setiap panggungan ternyata disediakan sebuah bende, yang kesemuanya pun kemudian telah ditabuh. Suaranya bergaung menggetarkan seluruh kota Pati.

Suara bende itu ternyata telah menumbuhkan gejolak yang dahsyat di dalam setiap dada para prajurit. Getarnya telah menggetarkan setiap jantung, sehingga gairah perjuangan mereka pun meningkat semakin tinggi. Darah mereka serasa telah mendidih di dalam tubuh mereka.

Dalam waktu yang singkat, anak panah pun telah melekat di busur. Beberapa langkah lagi pasukan Mataram itu maju, anak panah itu akan meluncur dengan derasnya.

Suara bende yang gemuruh sahut menyahut dengan gaung yang panjang susul-menyusul itu mempunyai pengaruh yang sebaliknya bagi para prajurit Mataram. Gaung suara bende itu bagaikan aum harimau yang kelaparan, merunduk dan siap untuk menerkam. Dengan demikian, maka tanpa ada perintah dari siapapun juga, langkah para prajurit dan pengawal dari Mataram itu pun seolah-olah telah tertegun.

Panembahan Senapati yang bijaksana itu pun melihat pengaruh suara beberapa buah bende yang berhasil menggetarkan udara Pati. Panembahan Senapati pun dapat melihat pengaruh suara bende itu langsung kepada para prajurit dan pengawal yang berada di dalam pasukan Mataram.

Dengan penuh kesadaran, Panembahan Senapati pun harus mengimbanginya untuk memulihkan keberanian dan tekad yang menyala di dada para prajurit dan pengawal. Panembahan Senapati tidak mau mengalami kegagalan karena secara jiwani para prajurit dan pengawal seakan-akan telah dikalahkan sebelum bertempur. Karena itu, langkah yang diambil oleh Panembahan Senapati tidak tanggung-tanggung. Setelah berbicara dengan Ki Patih Mandaraka, maka Panembahan Senapati pun segera memerintahkan membunyikan sebuah bende yang mempunyai pengaruh sangat besar bagi para prajurit Mataram. Kiai Bicak.

Demikianlah, sejenak kemudian seorang Senapati penghubung telah melakukan sendiri, menabuh bende yang dikeramatkan itu.

Sebenarnyalah ketika bende itu ditabuh, ternyata suaranya bagaikan mengguncang langit. Gaungnya mengumandang berputar-putar tiada berkeputusan. Meskipun bende yang ditabuh oleh prajurit Mataram hanya sebuah, tetapi suaranya yang melengking berkepanjangan telah mengatasi suara beberapa buah bende yang ditabuh oleh para prajurit Pati.

Jantung yang berkerut oleh getar suara bende para prajurit Pati, tiba-tiba telah mengembang kembali. Darah pun mulai bergejolak di dalam pembuluhnya. Langkah yang tertegun pun seakan-akan telah didorong dengan kekuatan yang tidak ternilai besarnya.

Suara bende Kiai Bicak memang menggetarkan jantung. Dari ujung sampai ke ujung pasukan Mataram telah mendengarnya. Mereka pun tahu pasti, bahwa suara bende itu adalah suara bende Kiai Bicak.

Suasana pun telah berubah. Para prajurit Mataram tidak menjadi termangu-mangu lagi. Dengan isi dada yang membara melangkah maju mendekati dinding kota Pati.

Pada saat yang demikian itulah, perintah pun jatuh bagi para prajurit Pati. Anak panah pun mulai meluncur dari busurnya.

Para prajurit dan pengawal dari Mataram pun bergerak semakin cepat. Mereka mempergunakan perisai dari anyaman bambu yang besar, yang diberi bingkai dan kaki-kaki yang cukup banyak. Di bawah perisai-perisai raksasa itulah para prajurit dan pengawal Mataram berlindung.

Anak panah memang tidak dapat menembus anyaman bambu yang rapat itu. Tetapi para prajurit Pati tidak hanya menyediakan anak panah. Mereka pun kemudian telah mempergunakan batu-batu yang cukup besar dan dilontarkan dengan tali-tali yang kuat oleh tangan-tangan yang kuat pula.

Hal itu memang sudah diperhitungkan oleh para prajurit dan pengawal Mataram, sehingga mereka tidak terkejut karenanya. Ketika para prajurit Mataram menjajagi kekuatan Pati, para prajurit Pati sudah mempergunakannya, meskipun saat itu dilakukan dengan serta-merta tanpa direncanakan lebih dahulu. Sedangkan yang terjadi pada saat pertempuran yang sebenarnya, pasukan Pati telah mempersiapkannya dengan baik. Tetapi perisai-perisai bambu yang dibuat oleh para prajurit Mataram pun lebih baik pula serta jauh lebih kuat.

Meskipun demikian, batu-batu yang besar itu telah merusakkan perisai-perisai bambu itu. Namun pasukan Mataram telah menjadi semakin dekat dengan dinding kota.

Tetapi para prajurit Pati tidak hanya mempergunakan batu untuk merusak perisai-perisai bambu itu. Agaknya mereka telah mempersiapkan senjata yang lain untuk menghancurkan perisai-perisai anyaman bambu itu. Senjata yang belum dipergunakan. Panah api.

Dengan panah api, para prarjurit Pati telah membakar perisai-perisai bambu yang besar, yang dipergunakan untuk berlindung para prajurit dan pengawal dari Mataram.

Namun jarak dinding kota itu sudah menjadi semakin dekat. Api itu tidak dengan cepat membakar perisai-perisai yang besar itu, sehingga para prajurit dan pengawal dari Mataram yang berlari sekencang-kencangnya itu telah mencapai dinding kota.

Para prajurit dan pengawal dari Mataram itu pun telah mempergunakan tangga-tangga berkaki untuk mencoba memanjat dinding.

Sementara itu para prajurit dan pengawal yang bersenjata panah pun telah berusaha untuk melindunginya. Dengan bidikan-bidikan yang mapan, mereka telah menghentikan perlawanan para prajurit Pati yang berada di panggungan di belakang dinding.

Tetapi mereka pun terlindung oleh dinding kota itu.

Demikianlah, pertempuran dengan senjata lontar pun menjadi semakin sengit. Anak panah itu seperti semburan air dari bawah serta siraman hujan dari atas dinding.

Sementara itu, para prajurit Pati berusaha untuk menggapai dan mendorong tangga-tangga bambu yang dipergunakan untuk memanjat oleh para prajurit dan pengawal Mataram tanpa mengenal takut.

Korban memang berjatuhan. Tetapi gerak yang cepat dari para prajurit Mataram memang mendebarkan. Bukan hanya tangga-tangga bambu, tetapi juga jangkar yang diikat dengan tali yang panjang.

Selain usaha untuk memasuki dinding kota dengan tangga dan jembatan bambu, jangkar yang diikat tali yang panjang, juga usaha untuk memecahkan pintu gerbang telah dilakukan. Sementara para prajurit yang bersenjata panah terus-menerus tanpa henti-hetinya menghujani para prajurit Pati yang berada di atas panggungan.

Sementara itu Kanjeng Adipati Pati masih berada di atas panggungan. Dengan saksama ia menyaksikan gerak pasukan Mataram yang bagaikan banjir yang melanda bendungan yang menghalanginya.

Pasukan Mataram telah melakukan apa saja yang sudah mereka persiapkan. Tangga-tangga yang berkaki dan semacam jembatar setinggi dinding itu sendiri. Arus prajurit dan pengawal yang deras. Kemampuan para prajurit yang berada di ujung pasukan telah menggetarkan pertahanan Pati.

Sementara itu usaha untuk memecahkan pintu gerbang masih berlangsung. Sebuah balok yang besar dan panjang, dipanggul oleh beberapa orang yang kuat dan dilindungi dari hujan anak panah dan lembing oleh sekelompok prajurit khusus, masih berlangsung. Beberapa kali balok yang besar itu surut untuk mengambil ancang-ancang. Kemudian berderap maju dengan cepatnya. Beberapa kali hal itu dilakukan, sehingga akhirnya pintu kayu yang tebal dan kuat itu mulai menjadi retak.

Ketika hal itu disampaikan kepada Kanjeng Adipati Pragola di Pati, maka telinganya bagaikan disengat lebah.

“Apakah kalian tidak dapat melindungi pintu gerbang itu? Apa yang kalian kerjakan dengan anak panah dan lembing kalian terhadap orang-orang yang memanggul sepotong kayu itu?”

“Kami sudah berusaha, Kanjeng. Tetapi orang-orang Mataram itu seakan-akan telah kerasukan. Mereka mampu melindungi kawan-kawannya yang memanggul balok kayu itu.”

“Kenapa kalian tidak mempergunakan panah api, sebagaimana kalian pergunakan untuk membakar perisai-perisai anyaman bambu itu?”

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kami akan mencobanya Kanjeng.”

Demikianlah, prajurit penghubung itu telah kembali ke panggungan di atas pintu gerbang. Ia telah memerintahkan untuk menyerang para prajurit Mataram yang berusaha memecah pintu gerbang itu dengan anak-panah api. Setidak-tidaknya api itu akan mengganggu orang-orang yang memanggul balok kayu itu.

Ketika para prajurit Pati mulai melontarkan anak panah api, maka para prajurit Mataram yang berusaha memecahkan pintu gerbang itu benar-benar telah tertahan. Api yang bertebaran telah menghambat gerak para prajurit yang berlari-lari hilir mudik itu.

Namun seorang perwira dari Mataram pun kemudian berteriak, “Balut kaki kalian dengan apa saja yang dapat melindungi panasnya api.”

Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Namun seorang prajurit yang nampaknya tidak sabar lagi, telah membuka ikat kepalanya. Merobeknya menjadi dua bagian, dan kemudian membalut kakinya dengan ikat kepalanya itu beberapa putaran.

Para prajurit yang lain, dengan serta-merta telah menirukannya. Mereka telah membuka ikat kepala mereka dan membalut kaki mereka dengan ikat kepalanya itu.

Sejenak kemudian, api itu pun tidak dihiraukannya lagi. Meskipun sentuhan api itu di kaki mereka masih terasa panas, tetapi kaki mereka sudah merasa sedikit terlindung.

Karena itu, hentakan-hentakan balok kayu itu pun sudah mulai lagi mengguncang pintu gerbang. Seorang prajurit penghubung telah melaporkan pula kepada Kanjeng Adipati Pati, bahwa pasukan Mataram masih saja berusaha memecahkan pintu kayu yang sudah mulai menjadi retak itu.

Dari atas panggungan di sisi pintu gerbang itu, Kanjeng Adipati memang telah melihat apa yang terjadi. Karena itu, Kanjeng Adipati tidak dapat menyalahkan prajurit-prajuritnya.

Namun sudah mulai membayang, peristiwa yang terjadi di Prambanan itu akan terulang lagi. Para prajurit Pati yang membuat benteng di Prambanan tidak berhasil mempertahankannya. “Tetapi sekarang kami berada di rumah kami sendiri,” geram Kanjeng Adipati Pati.

Karena itu, Kanjeng Adipati itu pun telah memerintahkan dua orang Senapati yang ada di panggungan itu untuk mempersiapkan para prajurit yang akan menahan arus pasukan Mataram, yang nampaknya akan berhasil memecah pintu gerbang dinding kota.

Sebenarnyalah bahwa Pati memang telah memperhitungkan kemungkinan yang terburuk itu terjadi. Karena itu ketika pintu gerbang kota mulai retak, pasukan yang memang dipersiapkan sebelumnya itu pun segera disiagakan.

Kanjeng Adipati Pragola pun kemudian turun dari panggungan. Ia akan memimpin sendiri para prajurit yang akan memberikan perlawanan habis-habisan kepada prajurit Mataram.

Hiruk-pikuk pertempuran yang terjadi semakin menggetarkan jantung. Beberapa orang prajurit Mataram berhasil memecahkan pertahanan para prajurit Pati lewat jembatan-jembatan bambu yang telah mereka persiapkan pada tangga-tangga berkaki dan jangkar-jangkar yang mengait bibir dinding, dilindungi oleh semburan anak panah oleh para prajurit yang memiliki bidikan yang tepat.

Prajurit Pati memang sulit menahan arus yang demikian kuatnya. Betapapun mereka bertahan, namun arus itu mampu menyusup di antara pertahanan mereka. Satu dua jembatan pada tangga-tangga berkaki itu sempat didorong dan terguling. Tetapi yang lain telah dialiri prajurit yang jumlahnya tidak terhitung.

Satu dua tali yang terkait pada jangkar sempat diputuskan. Tetapi jangkar-jangkar besi yang dilemparkan jumlahnya banyak sekali, di bawah perlindungan anak panah para prajurit dan pengawal dari Mataram.

Sementara itu, usaha untuk memecahkan pintu gerbang nampaknya segera akan berhasil. Pintu yang tebal mulai retak. Hentakan-hentakan yang berkali-kali tidak lagi dapat ditahan.

Pada saatnya, terdengar derak yang keras. Pintu gerbang kota Pati telah pecah. Pintu yang tebal itu pun telah terbuka.

Demikian pintu itu terbuka, maka seperti bendungan yang pecah arus pasukan Mataram tidak tertahankan lagi. Begitu derasnya melanda pasukan Pati, yang telah menunggu di dalam dinding kota. Anak panah meluncur dengan derasnya Tetapi perisai-perisai baja di tangan para prajurit terdepan melindungi tubuh mereka.

Demikianlah, arus pasukan Mataram tidak tertahankan lagi. Dengan demikian, pertempuran pun telah terjadi dengan sengitnya. Namun arus yang keras itu telah mendorong pertahanan para prajurit Pati semakin surut. Medan pun semakin luas. Dan bahkan ujung-ujung arus pasukan Mataram itu menusuk ke berbagai sisi pertahanan.

Pecahnya pintu gerbang memang sangat berpengaruh. Para prajurit dan pengawal Mataram telah bersorak gemuruh, seakan-akan meruntuhkan dinding itu.

Saat itu telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para prajurit dan pengawal dari Mataram yang berusaha menerobos pertahanan Pati. Saat para prajurit Pati terhenyak sejenak itu, akibatnya cukup besar. Pasukan Mataram menjadi semakin banyak menyusup di sela-sela pertahanan para prajurit Pati yang bertahan di atas panggungan di belakang dinding kota.

Dengan demikian, setelah berjuang beberapa lama, akhirnya para prajurit dan pengawal dari Mataram telah berhasil memasuki kota Pati.

Tetapi itu belum berarti kemenangan akhir. Pasukan Pati tidak begitu saja menyerah. Di bawah pimpinan Kanjeng Adipati Pragola sendiri, pasukan Pati telah bertahan dengan gagah berani. Meskipun mereka terdesak mundur, namun mereka tidak dengan serta-merta melepaskan tanggung jawab mereka.

Karena itu pertempuran pun telah terjadi di mana-mana. Di jalan-jalan, di lorong-lorong, dan bahkan kemudian ujung pasukan Mataram pun telah memasuki alun-alun Pati.

Namun para prajurit Pengawal Istana telah bertahan mati-matian. Kanjeng Adipati Pragola yang kemudian mundur masuk ke dalam benteng di seputar istananya, masih memimpin perlawanan tanpa mengenal gentar.

Karena itulah, kemudian pasukan Mataram mengalami kesulitan untuk bergerak maju. Pertempuran di alun-alun merupakan pertempuran yang sangat menggetarkan jantung. Kedua belah pihak mengerahkan kemampuan mereka dilandasi dengan tekad dan niat yang membakar jantung. Tidak seorang pun dari prajurit Pati yang dengan rela menyerahkan sejengkal tanahnya kepada Mataram.

Dalam pada itu, pertahanan di dinding kota telah retak di mana-mana. Sayap-sayap pasukan Mataram telah meloncati dinding pula. Di sebelah kanan, pasukan Mataram merambah sisi kanan kota, sedangkan sayap kirinya menjalar sepanjang dinding kota, namun kemudian berbelok langsung menuju ke alun-alun.

Langit pun bagaikan menyala ketika matahari melewati puncak dan perlahan-lahan turun ke sisi langit di sebelah barat. Panasnya bagaikan menusuk menghunjam ke dalam tubuh. Keringat para prajurit dan pengawal yang bertempur itu bagaikan terperas dari dalam kulit daging mereka. Pakaian sebagian para prajurit dan pengawal tidak saja basah oleh keringat. Tetapi juga basah oleh darah.

Dalam pada itu, induk pasukan Mataram yang langsung dipimpin oleh Panembahan Senapati telah berada di alun-alun pula. Untuk beberapa saat pasukan itu memang tidak dapat bergerak maju. Perlawanan pasukan Pati benar-benar menggetarkan jantung. Beberapa orang berilmu tinggi memimpin kelompok-kelompok prajurit yang tidak mau mundur setapakpun.

Bahkan kemudian sekelompok prajurit Pati dengan mengenakan pakaian keprajuritannya lengkap dengan segala pertanda kebesarannya, telah bergerak menyusup di antara kedua belah pihak yang sedang bertempur. Sekelompok prajurit yang dipimpin oleh seorang yang justru tidak mengenakan pakaian keprajuritan.

Pertempuran itu seakan-akan telah menyibak. Mereka sadar atau tidak sadar telah memberikan jalan kepada sekelompok prajurit pilihan itu. Semua orang di dalam kelompok itu menggenggam sebilah keris di tangan kirinya, sementara di tangan kanan mereka memegang berbagai macam senjata. Ada yang menggenggam nenggala yang bermata tajam di kedua ujungnya.

Setiap usaha untuk menghentikan gerak kelompok prajurit itu dengan mudah dikibaskan. Orang yang justru tidak berpakaian keprajuritan yang memimpin sekelompok prajurit itu agaknya seorang yang berilmu sangat tinggi. Tangannya terjulur ke depan, seakan-akan sedang meraba-raba. Orang itu tidak buta. Bahkan matanya bagaikan menyala. Namun ia memang sedang mencari seseorang yang tidak dilihatnya dengan matanya itu, karena yang dicarinya berada di tengah-tengah medan pertempuran.

Tangannya yang seperti meraba-raba itulah yang menuntunnya bersama kelompoknya mencari pimpinan tertinggi pasukan Mataram, Panembahan Senapati.

Sekelompok prajurit yang menggetarkan jantung itu pun telah dilihat oleh para prajurit pengawal Panembahan Senapati. Mereka segera menyadari bahwa sekelompok prajurit itu tentu akan mencari Panembahan Senapati. Seorang yang berilmu sangat tinggi memimpin mereka untuk melakukan tugas mereka itu.

Kelompok-kelompok prajurit Mataram yang berusaha menghentikan mereka ternyata tidak berhasil. Sekelompok orang itu seakan-akan memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Ketika hal itu disampaikan kepada Panembahan Senapati, Panembahan Senapati itu pun berkata dengan tenang, “Jika mereka mencari aku, biarlah aku menerima mereka.”

Tetapi Ki Patih Mandaraka-lah yang mencegahnya. Katanya, “Jangan, Panembahan. Tugas Panembahan masih banyak. Jika nanti kita bertemu langsung dengan Kanjeng Adipati Pragola, silahkan Panembahan untuk melawannya.”

“Tetapi bukankah para prajurit dan senapati mengalami kesulitan untuk menghentikan sekelompok prajurit itu?”

“Biarlah seseorang mencoba mencegahnya.”

“Siapa?” bertanya Panembahan Senapati.

“Agung Sedayu dan pasukan khususnya,” jawab Ki Patih Mandaraka.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah Agung Sedayu mencobanya. Tetapi jika Agung Sedayu merasa sulit untuk mengatasinya, biarlah aku sendiri akan menghadapi orang itu. Aku sudah berada di medan perang. Buat apa aku menghindari musuh yang datang?”

“Baik Panembahan. Jika Agung Sedayu gagal, terserahlah kepada Panembahan Senapati. Tetapi sebenarnya masih banyak para Senapati yang akan dapat melakukannya.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Patih Mandaraka telah memanggil Agung Sedayu.

“Tiga orang senapati pilihan akan berada di dalam kelompok Pasukan Khususmu.”

“Baiklah, Ki Patih. Kami akan melaksanakan perintah.”

Agung Sedayu pun kemudian telah menyusun sekelompok orang-orang pilihan dari Pasukan Khususnya. Tiga orang Lurah prajurit yang memiliki ilmu yang tinggi ikut bersamanya.

Untuk menyakinkan kekuatannya, maka Agung Sedayu telah membawa prajurit dari Pasukan Khusus yang terpilih dengan jumlah lebih banyak dari sekelompok prajurit Pati, yang mengikuti orang berilmu sangat tinggi itu untuk mencari Panembahan Senapati.

Dengan petunjuk beberapa orang penghubung, akhirnya Agung Sedayu sempat melihat kedatangan sekelompok prajurit Pati yang disebut-sebut oleh para prajurit yang telah melaporkan kehadiran mereka itu.

Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar melihat seseorang yang berjalan dengan tangan teracu ke depan. Tetapi Agung Sedayu mengerti bahwa tangan itulah yang membawa sekelompok prajurit terpilih itu kepada Panembahan Senapati.

Orang itu seakan-akan tidak lagi dapat dicegah. Dengan ilmunya yang tinggi orang itu telah membuka jalan.

Agung Sedayu bersama-sama sekelompok prajurit dari Pasukan Khususnya-pun segera menyongsong orang itu.

Baru kemudian Agung Sedayu mengetahui, bahwa di depan orang yang seakan-akan sedang meraba-raba itu terasa menjadi panas. Kekuatan ilmunya telah melontarkan getar kekuatan api dari dalam dirinya. Tidak seorangpun dalam keadaan wajar dapat bertahan berdiri di dalam panasnya kekuatan api itu.

Agung Sedayu pun segera mengetrapkan ilmu kebalnya. Namun itu tidak cukup. Dengan kekuatan ilmunya, Agung Sedayu telah melawan kekuatan ilmu orang itu. Agung Sedayu harus menghentikan panas itu pada sumbernya, karena getar udara panas itu akan dapat merusak kesiagaan para prajurit dari pasukan khususnya.

Karena itu, Agung Sedayu pun memberi isyarat kepada para prajuritnya untuk berhenti. Sementara itu berselimutkan ilmu kebalnya, Agung Sedayu melangkah mendekati orang yang tangannya teracu itu.

Ternyata orang itu berhenti melangkah. Ia merasa heran bahwa seseorang dapat berdiri sedemikian dekat di hadapannya. Panas apinya seakan-akan sama sekali tidak berpengaruh terhadapnya.

Orang itu pun berhenti melangkah. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, “Siapa kau yang berani menghentikan langkahku?”

“Ki Sanak. Kita berada di medan perang. Karena itu, setiap orang harus memiliki keberanian untuk mengambil langkah-langkah yang dianggapnya benar.”

“Sebut namamu,” geram orang itu, “kau masih cukup muda. Tetapi nampaknya kau memiliki ilmu yang tinggi.”

“Kita tidak perlu nama di medan ini. Aku pun tidak akan bertanya, siapakah namamu. Tetapi yang penting, hentikan permainan apimu. Orang-orangku tidak senang melihat kau bermain api dalam keadaan yang kemelut ini.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Kau anak yang sombong. Tetapi ingat, suatu ketika nanti kau akan berjongkok di hadapanku, mohon ampun agar aku tidak membunuhmu.”

“Sebuah mimpi yang indah,” sahut Agung Sedayu, “di medan pertempuran seperti ini, kau tidak akan dapat bermimpi terus-menerus.”

“Persetan kau. Minggirlah! Aku sedang mencari orang yang disebut Panembahan Senapati.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah orang yang berdiri di hadapannya. Wajah yang sudah mulai berkerut. Kumis dan janggutnya yang jarang sudah mulai putih. Tetapi sorot matanya masih memancarkan cahaya tekadnya yang menyala.

“Ki Sanak. Di dalam perang brubuh seperti ini, kita tidak perlu memilih lawan. Aku yang sekarang kau hadapi. Karena itu kita akan bertempur di sini.”

“Kau jangan salah menilai lawan di medan seperti ini,” geram orang itu, “jika kau sempat mengatasi panasnya getar ilmuku, bukan berarti bahwa kau adalah segala-galanya. Benar kau mampu mengatasi salah satu jenis ilmuku. Tetapi ketahuilah bahwa ilmuku yang sebangsal akan bertimbun menindih kesombonganmu.”

“Aku tahu bahwa di dalam dirimu tersimpan sebangsal ilmu. Tetapi bukan berarti bahwa semua orang harus minggir dan membiarkan kau meraba-raba mencari jalan yang ternyata salah, karena Panembahan Senapati tidak berada di arah petunjuk tanganmu.”

“Setan kau!”

“Arah tanganmu telah membawamu kepadaku, meskipun aku bukan Panembahan Senapati.”

“Tidak. Aku tidak datang kepadamu,” jawab orang tua yang berkumis yang berjanggut jarang itu.

“Jika demikian, aku-lah yang datang kepadamu. Menghentikan usaha gilamu untuk menemukan Panembahan Senapati. Kau telah menghina lapis-lapis pengawalnya, sehingga kau bermimpi untuk dapat bertemu dengan Panembahan Senapati itu.”

“Baik. Nampaknya kau tidak mau minggir. Karena itu, kau memang harus disingkirkan.”

Ketika orang itu bersiap untuk bertempur, maka Agung Sedayu pun telah bersiap pula.

Agaknya orang itu telah mengerahkan ilmunya, sehingga getar panas yang dipancarkan oleh ilmunya itu menjadi semakin panas. Dengan demkian, maka Agung Sedayu pun telah meningkatkan ilmu kebalnya pula. Pada puncaknya, ilmu kebal Agung Sedayu itu pun telah memancarkan getar panas pula dari dalam dirinya.

Orang tua itu menggeram. Iapun kemudian telah memberikan isyarat kepada para prajurit yang menyertainya untuk bergerak. Tetapi prajurit pilihan dari Pati itu tidak dapat mendekati Agung Sedayu yang bertempur melawan orang tua itu, yang kedua-duanya telah memancarkan getar panas dari dalam dirinya.

Sementara itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang datang bersama Agung Sedayu pun telah bergerak pula, sehingga kedua kelompok prajurit terpilih itu telah terlibat dalam pertempuran.

Di antara riuhnya pertempuran yang menebar hampir di seluruh kota, terutama di alun-alun Pati, maka dua kelompok pasukan pilihan telah terlibat dalam benturan kemampuan yang sengit.

Pasukan Pati yang terpilih yang bertekad untuk langsung menyerang kedudukan Panembahan Senapati, telah bertemu dengan prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang bertugas mengawal Panembahan Senapati. Dua kelompok prajurit pilihan yang dipimpin masing-masing oleh seorang yang berilmu tinggi.

Namun di antara para prajurit yang bertempur itu pun terdapat orang-orang berilmu tinggi pula. Tiga orang Lurah prajurit yang berada di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu segera melibat lawan-lawannya dalam pertempuran yang garang. 

Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka, sehingga pertempuran itu menjadi pertempuran habis-habisan antara kedua kekuatan yang tinggi.

Para prajurit dan pengawal Mataram serta prajurit Pati yang bertempur di sekitarnya, tidak segera melibatkan diri. Mereka sendiri masih terlibat dalam perang. Selain itu, pertempuran antara dua kelompok terpilih itu rasa-rasanya seperti pertempuran yang terjadi di neraka jahanam.

Agung Sedayu sendiri terlibat dalam pertempuran dengan pemimpin sekelompok prajurit pilihan dari Pati itu. Keduanya adalah orang yang berilmu tinggi. Masing-masing memiliki kelebihan serta ilmu yang bertimbun di dalam diri mereka.

Orang tua berjanggut dan berkumis jarang itu kemudian tidak dapat membanggakan getar panasnya, karena lawannya yang terhitung masih muda itu dapat melakukannya pula. Bahkan lawannya itu seakan-akan tidak merasa betapa panas yang dipancarkannya itu menyentuh kulitnya. Sementara itu, orang tua berjanggut jarang itu sudah menjadi basah oleh keringat

Karena itu, orang tua itu pun segera melibat Agung Sedayu dalam benturan ilmu langsung.

Demikianlah, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling menyerang dan bertahan. Benturan-benturan telah terjadi, semakin lama semakin keras dan semakin kuat, sehingga kedua-duanya telah terguncang.

Namun dengan berperisai ilmu kebal Agung Sedayu mampu melindungi kulit dagingnya dari serangan-serangan lawannya. Namun ternyata lawannya pun kemudian telah mengetrapkan ilmu Lembu Sekilan yang memiliki kemampuan sebagaimana ilmu kebal, karena setiap serangan tidak akan dapat menyentuh tubuhnya.

Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang semakin seru. Dua orang yang berlindung di balik ilmu yang tinggi sehingga masing-masing seakan-akan tidak lagi dapat disakiti.

Tetapi keduanya tidak segera menghentikan pertempuran. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Mereka berusaha untuk dapat memecahkan perisai ilmu lawannya. Tetapi ternyata serangan-serangan mereka sama sekali tidak mampu menyakiti lawannya.

Karena itu, maka orang berkumis dan berjanggut jarang itu tidak sabar lagi. Ketika benturan-benturan terjadi semakin keras namun tidak mampu menggoncang pertahanan lawannya, orang tua itu pun segera menarik senjatanya, sepucuk keris yang besar yang terselip di punggungnya.

Agung Sedayu bergeser surut. Keris yang besar itu bagaikan menyala. Pamornya yang gemerlap pada daun kerisnya yang hitam kelam menandai bahwa keris itu adalah keris pilihan.

“Tidak seorang pun pernah terlepas dari ujung kerisku ini, apabila aku sudah mencabutnya dari warangkanya.”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa orang tua itu tidak sekedar membual. Sentuhan keris itu tentu akan segera mengoyak tubuh lawannya. Agung Sedayu tidak tahu apakah ujung keris itu mampu menembus ilmu kebalnya. Namun Agung Sedayu tidak menjadi takabur. Ia tidak ingin mencoba membiarkan ujung keris itu membentur langsung ilmu kebalnya.

Karena itu, Agung Sedayu pun telah mengurai senjatanya pula. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang.

Tiba-tiba saja terdengar juntai cambuk Agung Sedayu itu meledak. Demikian kerasnya, sehingga seakan-akan telah mengoyak selaput telinga.

Tetapi orang tua itu pun tiba-tiba tertawa. Katanya, “Itukah yang kau andalkan untuk memenangkan pertempuran ini? Hati-hatilah. Ujung kerisku akan mampu menembus ilmu yang melindungi tubuhmu. Jenis ilmu kebal yang manapun juga.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia menghentakkan cambuknya dengan derasnya. Langsung mengenai tubuh lawannya.

Sekali lagi lawannya tertawa. Ujung cambuk Agung Sedayu yang mampu meledak menggetarkan udara se-alun-alun itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Hentakan cambuk yang gemuruh itu tidak akan mampu menyentuh kulitnya.

Tetapi Agung Sedayu tidak berbuat licik. Ia tidak mau langsung menjajagi ilmu kebal lawannya dengan hentakan yang dilambari dengan puncak ilmunya.

Ia ingin memberi peringatan lebih dahulu kepada lawannya, sebelum ia benar-benar menyerang dengan puncak ilmunya, sehingga pertempuran antara dua orang berilmu tinggi itu tidak dinodai oleh kelicikan.

Karena itu, ketika lawannya masih tertawa berkepanjangan, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya sekali lagi. Agung Sedayu sengaja tidak langsung menyerang lawannya yang belum siap itu.

Hentakan cambuk Agung Sedayu itu memang tidak meledak memekakkan telinga. Tidak pula menggetarkan udara se-alun-alun. Tetapi orang tua berkumis dan berjanggut jarang itu justru sangat terkejut.

Karena itu, suara tertawanya tiba-tiba terputus. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Kau licik. Kau sengaja menipuku agar aku menjadi lengah, sehingga kau dapat menyerang saat aku tidak siap.”

“Bukankah aku belum menyerangmu?” bertanya Agung Sedayu. “Aku hentakkan cambukku tanpa menyentuh ilmu kebalmu, agar aku tidak kau anggap sengaja menunggu kau lengah.”

Wajah orang tua menjadi tegang. Kerisnya yang besar dan panjang itu pun kemudian bergetar di tangannya. Pamornya yang berkilat seakan-akan memancarkan cahaya kemerah-merahan.

“Bagus,” geram orang itu, “ternyata kau memiliki bekal yang cukup dapat kau andalkan. Itulah sebabnya, maka kau berani langsung menghadapi aku di medan perang ini.”

“Sudah aku katakan. Di medan perang kita tidak akan memilih lawan. Di sini aku bertemu dengan kau, Ki Sanak. Maka aku akan menghadapimu.”

“Bersiaplah. Kita akan sampai ke puncak kemampuan kita masing-masing.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak kemudian, lawannya itu pun mulai menyerangnya dengan menjulurkan kerisnya. Tetapi dengan sigapnya Agung Sedayu pun menghindar. Ia masih harus memperhitungkan kemungkinan bahwa dengan ilmunya yang tinggi orang itu akan mampu menembus ilmu kebalnya. 

Namun ketika orang itu meloncat memburunya, Agung Sedayu pun telah menghentakkan cambuknya pula.

Orang itu menggeliat menghindari sambaran ujung cambuk Agung Sedayu. Ternyata iapun masih belum yakin bahwa ilmu Lembu Sekilannya akan mampu melindunginya dari sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu, yang ternyata memiliki landasan ilmu cambuk yang sangat tinggi.

Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang yang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Keduanya masih berusaha menjajagi ilmu lawannya.

Dalam pada itu, Panembahan Senapati setiap saat menerima laporan dari para penghubung yang tersebar di seluruh medan pertempuran. Panembahan Senapati sendiri masih belum langsung terjun ke dalam kancah benturan kekuatan antara Pati dan Mataram. Meskipun Panembahan Senapati akan dapat menggilas para prajurit Pati, namun Panembahan Senapati tidak melakukannya. Biarlah para prajurit, para senapati dan panglimanya yang turun langsung ke medan. Tetapi jika Kanjeng Adipati Pragola sendiri berada di arena, maka Panembahan Senapati tentu akan menghadapinya langsung.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di mana-mana menjadi semakin sengit. Beberapa kelompok prajurit Mataram harus bergerak mundur ketika mereka bertemu dengan pasukan Pati yang kuat di simpang empat. Dari dua arah berdatangan prajurit Pati yang marah. Sambil berteriak marah mereka mengacung-acungkan senjata mereka.

Beberapa kelompok prajurit Mataram yang menyadari kelemahannya menghadapi prajurit Pati yang jumlahnya jauh lebih banyak itu pun bergerak mundur. Seorang penghubung yang ada di antara mereka telah melepaskan anak panah sendaren dua kali berturut-turut.

Glagah Putih dan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Prastawa mendengar isyarat itu. Karena itu, mereka pun sadar bahwa ada sekelompok prajurit atau pengawal yang terjebak dalam kesulitan. Karena itu, bersama pasukannya Glagah Putih dan Prastawa segera pergi ke arah sumber isyarat itu.

Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu datang tepat pada waktunya. Ketika para prajurit Mataram itu terhimpit, pasukan pengawal Tanah Perdikan segera melibatkan dirinya.

Pertempuran tidak saja berlangsung di simpang empat. Tetapi para prajurit dan pengawal pun telah berloncatan memasuki halaman di sebelah-menyebelah jalan.

Dalam pada itu, Lurah prajurit yang memimpin pasukan Mataram yang terjepit itu ternyata tidak mampu mengimbangi ilmu lawannya, yang nampaknya seorang prajurit pilihan. Seorang prajaurit Mataram yang berusaha membantu Lurah prajurit itu justru terlempar dan terbanting jatuh. Pundaknya tergores pedang lawannya itu. Sementara Lurah prajurit Mataram itu sendiri telah kehilangan senjatanya. Lengannya berdarah dan keningnya tergores pula.

Pada saat yang gawat itu, Glagah Putih telah meloncat di sampingnya dengan pedang teracu di tangannya.

Prajurit pilihan dari Pati itu tertegun sejenak. Ia melihat seorang anak muda yang tiba-tiba telah berada di hadapannya. Menilik dari pakaiannya, anak muda itu bukan bagian dari prajurit Mataram.

Lurah prajurit Mataram yang kehilangan senjata itu bergeser ke samping. Dengan telapak tangannya ia mengusap keningnya yang berdarah.

Prajurit Pati itu pun kemudian bertanya, “Siapakah kau anak muda? Bukankah kau bukan prajurit Mataram?”

“Ya. Aku memang bukan prajurit Mataram. Aku adalah salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ada di dalam lingkungan pasukan Mataram, “ jawab Glagah Putih, yang kemudian ganti bertanya, “Kau siapa?”

“Aku Rangga Dipayana. Aku bertugas untuk membersihkan pasukan Mataram di sisi sebelah barat ini. Karena itu, menyerahlah. Jika kalian tidak menyerah, maka kalian akan mati.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia melihat Prastawa telah bertempur bersama sebagian pengawal Tanah Perdikan, karena sebagian yang lain bersama dengan seorang pemimpin pengawal yang terpercaya, bersama para pengawal dari Ganjur dan sekelompok prajurit Mataram, menuju ke bagian belakang istana, dalam rangka usaha prajurit Mataram mengepung Istana Pati.

Namun nampaknya usaha itu tidak selancar yang diinginkan. Pasukan Pati yang kuat berada di sekitar istana, dan berusaha dengan sekuat tenaga menghancurkan pasukan Mataram yang telah berhasil memasuki dinding kota.

Namun dengan nada dalam Glagah Putih itu pun berkata, “Sebaiknya kalian saja-lah yang menyerah. Di segala sudut kota pasukan Mataram bergerak ke istana, sementara pasukan Mataram di alun-alun sudah semakin mendesak.”

“Hanya orang-orang dungu yang percaya ceritamu anak muda. Tetapi siapa namamu? Kau memberikan kesan yang aneh kepadaku. Kau masih terlalu muda, tetapi sinar matamu memancarkan kelebihanmu. Meskipun demikin, kau harus menghadapi kenyataan yang berat di medan pertempuran ini.”

“Namaku Glagah Putih.”

“Nama yang bagus. Sekarang menyerahlah. Kau akan tetap hidup.”

Glagah Putih berpaling ke arah Lurah prajurit yang terluka dan kehilangan senjatanya itu. Sementara itu, seorang prajurit yang lain tengah berusaha untuk menolong kawannya yang terluka pundaknya, dilindungi oleh dua orang kawannya.

“Hentikan perlawananmu,” desis Glagah Putih.

Wajah Rangga Dipajaya itu menjadi merah. Katanya, “Kau terlalu sombong anak muda.”

Glagah Putih memandang Ki Rangga dengan tajamnya. Dengan nada berat iapun berkata, “Aku mengemban kewajiban. Mengemban kewajiban bukan satu kesombongan.”

“Kau masih terlalu muda untuk berdiri di hadapanku dalam pertempuran seperti ini.”

“Akukah yang sombong menghadapi sikapmu itu?”

“Aku seorang Rangga. Juga seorang prajurit yang sudah berpuluh tahun bertugas. Yang telah hidup di medan pertempuran untuk yang ke sekian kalinya. Karena itu jangan bergurau dengan aku.”

“Aku tidak bergurau, Ki Rangga. Apapun yang terjadi, kita sudah berhadapan di medan pertempuran.”

Ki Rangga Dipajaya tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bersiap sambil berdesis, “Bagaimanapun juga, aku kagum terhadapmu anak muda.”

Glagah Putih justru mulai bergeser sambil menjulurkan pedangnya, sementara Ki Rangga pun menapak selangkah surut.

Namun sejenak kemudian Ki Rangga itu pun meloncat maju sambil mengayunkan senjatanya.

Demikianlah, keduanya pun mulai bertempur. Lurah prajurit yang telah terluka itu sempat memungut senjatanya. Sejenak ia berdiam diri memandangi Glagah Putih yang masih muda itu bertempur melawan seorang Rangga yang berilmu tinggi.

Tetapi Lurah prajurit yang terluka itu ternyata merasa tidak mampu untuk melibatkan diri. Darahnya sudah banyak yang mengalir dari lukanya. Meskipun demikian, ia masih harus mempersiapkan diri jika tiba-tiba datang seseorang menyerangnya.

Sejenak kemudian Glagah Putih pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ki Rangga Dipajaya yang menganggap lawannya masih sangat muda, tidak dengan serta-merta menghentakkan kemampuannya. Ia masih menjajagi sampai di mana sebenarnya kemampuan anak muda itu.

Glagah Putih yang mengetahui sikap lawannya itu, tidak ingin memanfaatkan keadaan sehingga dengan sekaligus menyerang dengan ilmu puncaknya. Tetapi Glagah Putih ingin membuat perbandingan ilmu yang sebenarnya dengan Ki Rangga Dipajaya, yang sudah mengalahkan seorang Lurah prajurit Mataram.

Karena itu, maka yang dilakukan oleh Glagah Putih adalah sekedar mengimbangi ilmu lawannya. Jika Ki Rangga meningkatkan ilmunya selapis, maka Glagah Putih pun melakukannya pula.

Dengan demikian, pertempuran pun semakin bertambah sengit. Ki Rangga Dipajaya yang sudah meningkatkan ilmunya beberapa lapis menjadi berdebar-debar. Anak muda yang mengaku pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu masih saja mampu mengimbanginya.

Sementara itu pertempuran di sekitarnya berlangsung semakin sengit. Para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang sudah melibatkan diri dalam pertempuran itu berhasil membantu para prajurit, yang semula dalam kesulitan untuk tetap bertahan. Prastawa sendiri bertempur dengan garangnya di antara beberapa orang pengawal. Mereka berusaha menutup celah-celah pertahanan para prajurit, sehingga tidak memungkinkan pasukan Pati itu menyusup dan kemudian mengepung para prajurit Mataram. Bahkan kehadiran para pengawal Tanah Perdikan itu benar-benar telah merubah keseimbangan pertempuran.

Para prajurit Pati memang merasa heran melihat beberapa kelompok orang yang mengenakan pakaian seragam, tetapi bukan seragam prajurit Mataram sebagaimana sudah mereka kenal dengan baik. Namun kemudian beberapa pemimpin kelompok sempat bertanya, siapakah mereka dan dari mana mereka datang.

“Kami adalah pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” berkata salah seorang pemimpin kelompok pengawal itu.

Para prajurit Pati memang merasa heran, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu memiliki kemampuan seorang prajurit. Sebagaimana Mataram, Pati juga mengerahkan anak muda untuk bersama-sama para prajurit menghadapi serangan Mataram. Bahkan ketika Pati menyerang Mataram, anak-anak muda itu juga sudah ada bersama mereka. Tetapi anak-anak muda itu tidak memiliki ilmu sebagaimana seorang prajurit. Sehingga para pengawal itu tentu anak-anak muda yang pernah berguru di padepokan-padepokan atau secara pribadi berguru olah kanuragan.

Dengan demikian, pertempuran itu pun berlangsung dengan sengitnya. Dentang senjata beradu, disusul oleh teriakan teriakan marah, namun juga jerit kesakitan serta umpatan-umpatan kekecewaan.

Di antara mereka yang bertempur, nampak beberapa orang sedang mengangkat kawan-kawan mereka yang terluka menepi, atau bahkan diusung ke bawah sebatang pohon yang rindang. Namun ada di antara mereka yang terluka tidak sempat digeser sama sekali dari tempamya, karena pertempuran yang terlalu riuh.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang bertempur melawan Ki Rangga Dipajaya sudah mencapai tataran ilmu yang semakin tinggi. Ki Rangga Dipajaya benar-benar menjadi heran akan kemampuan anak muda itu, yang melebihi tataran prajurit yang sudah dikalahkannya. Itulah sebabnya, maka anak muda itu berani menghadapinya tanpa seorang prajurit atau pengawal yang menyertainya.

Senjata kedua orang itu mulai berbenturan. Bunga api berloncatan memercik berhamburan. Keduanya berusaha untuk menembus pertahanan lawan. Namun keduanya mampu melindungi diri dengan rapat.

Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Prajurit Pati itu semakin meningkatkan kemampuannya. Namun sejalan dengan itu, Glagah Putih pun telah meningkatkan ilmunya pula.

Sebenarnyalah prajurit Pati itu menjadi semakin heran. Ia sendiri hampir sampai ke batas puncak ilmunya. Sementara anak muda itu masih belum mengalami kesulitan.

“Luar biasa,” berkata prajurit itu.

“Apa yang luas biasa?” bertanya Glagah Putih.

“Kau. Ternyata ilmumu lebih tinggi dari Lurah prajurit yang telah aku kalahkan. Sebelum aku sampai ke puncak ilmuku, ia sudah kehilangan senjata serta terluka. Jika kau tidak datang membantunya, maka Lurah prajurit Mataram itu tentu sudah terbunuh.”

“Sekarang, aku-lah yang kau hadapi.”

“Ya. Dan aku harus mengakui, kau adalah anak muda yang luar biasa. Aku belum pernah bertemu dengan anak muda seumurmu dengan tataran ilmu setinggi ilmumu.”

“Kau jangan membius aku dengan pujian.”

“Aku berkata sebenarnya. Kau memiliki yang tidak dimiliki oleh orang lain.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi pedangnya harus berputar semakin cepat. Lawannya menyerang semakin garang. Benturan-benturan semakin sering terjadi. Benturan ilmu yang semakin tinggi.

Namun Glagah Putih masih belum mampu dikalahkannya.

Di sayap yang lain, pasukan Mataram pun mendesak pasukan Pati semakin jauh. Mereka mundur mendekat ke istana. Perintah yang mereka terima, dalam keadaan terjepit semua kekuatan akan ditarik ke dalam dinding istana untuk bertahan pada lapis terakhir.

Tetapi sebagian prajurit Pati tidak berusaha mendekati pintu gerbang utama maupun pintu gerbang butulan. Mereka dengan segenap tekad pengabdian bertempur dan bertahan di tempat mereka menghadapi lawan. Dengan demikian, mereka berharap bahwa mereka akan menghambat dan bahkan mengurangi kekuatan Mataram, jika pasukan Mataram itu kemudian mengepung dan menyerang lapisan pertahanan terakhir pasukan Pati.

Swandaru yang berada di pasukan itu dengan garangnya menusuk memecah pasukan lawan bersama pasukan pengawalnya. Bahkan prajurit Mataram sendiri merasa heran, bahwa pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi memiliki kekuatan dan kemampuan yang tinggi, yang tidak kalah dengan prajurit Mataram. Para pengawal nampaknya mempunyai landasan ilmu serta pengalaman yang cukup. Baik sebagai pribadi, maupun dalam perang gelar.

Beberapa kali para pengawal Kademangan Sangkal Putung terlibat dalam perang yang besar bersama para prajurit Mataram.

Cambuk Swandaru pun berputaran dengan cepat, sehingga seakan-akan lengkung kabut putih yang menyelimuti dirinya. Namun sedap kali cambuknya itu meledak memekakkan telinga. Ledakan yang keras sekali itu ternyata memang berpengaruh pada para prajurit Pati. Hanya orang yang berilmu tinggi sajalah yang sama sekali tidak tergetar hatinya mendengar ledakan cambuk yang bagaikan memecahkan selaput telinga.

Tetapi Swandaru yang menguasai ilmu cambuk dengan baik itu, sekali-kali menghentakkan cambuknya tanpa melontarkan bunyi yang keras. Bahkan seakan-akan satu hembusan lunak saja. Tetapi mereka yang berilmu tinggi, yang tidak menghiraukan ledakan cambuk yang menggetarkan udara, justru telah tergetar jantungnya.

“Satu permainan cambuk yang luar biasa,” desis seseorang yang berilmu tinggi.

Orang itu pun merasa terpanggil untuk mencari sumber getaran cambuk itu. Sekali-sekali terasa meledak-ledak, kemudian suaranya menjadi lunak. Namun menunjukkan kematangan ilmu cambuknya.

Seorang yang nampaknya bukan seorang prajurit Pati, tiba-tiba saja telah berdiri di hadapan Swandaru. Dengan tongkat besi baja yang cukup panjang, orang itu bersiap menghadapi Swandaru dalam pertempuran itu.

“Cambukmu menggetarkan semua orang. Sekali-sekali bagi mereka yang tataran ilmunya tidak terlalu tinggi. Namun untuk menunjukkan bahwa kau tidak sekedar bermain-main dengan kekuatan wadagmu dalam permainan cambuk, maka kau getarkan jantungku pula.”

“O,” Swandaru berdiri tegak sambil memegang tangkai dan ujung cambuknya dengan kedua belah tangannya, “apakah jantungmu juga tergetar?”

“Jangan sombong. Sudah aku katakan, bahwa ilmu cambukmu matang.”

“Aku mempersiapkan bekal sebaik-baiknya sebelum aku berangkat ke Pati. Aku tahu, di Pati terdapat banyak sekali orang berilmu tinggi.”

“Kau tidak usah memuji. Sekarang kita buktikan, siapakah yang berhasil membunuh lawannya lebih dahulu. Kau atau aku. Atau kita akan mau bersama-sama.”

“Marilah. Aku sudah siap,“ sahut Swandaru. Demikianlah, keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit, di antara perang yang semakin menggila.

Prajurit Pati ternyata tidak mudah untuk didera masuk ke dalam dinding istana, meskipun mereka mendapat perintah untuk bertahan pada lapisan terakhir jika sudah tidak mungkin menahan arus serangan para prajurit Mataram. Sehingga apapun yang terkadi, mereka bertempur habis-habisan. Berbeda dengan saat-saat mereka bertempur di Prambanan. Mereka lebih cepat terdesak dan menyelamatkan diri dari medan, di saat mereka tidak lagi dapat menghindari kenyataan bahwa kekuatan Mataram lebih besar dari kekuatan mereka. 

Tetapi di Pati, di bumi mereka sendiri, mereka tidak rela untuk melepaskan barang sejengkal sekalipun. Karena itulah, maka pertempuran yang terjadi di mana-mana itu menjadi semakin sengit.

Glagah Putih yang bertempur melawan Ki Rangga Dipajaya masih berlangsung dengan garangnya. Semakin lama kekaguman Ki Rangga Dipajaya terhadap Glagah Putih menjadi semakin mencengkamnya. Meskipun ia masih bertempur dengan garangnya sebagai prajurit Pati, namun beberapa kali ia berkata dengan jujur, bahwa Glagah Putih adalah anak muda yang linuwih.

Semakin lama senjata mereka semakin sering berbenturan. Ki Rangga pun kemudian benar-benar telah sampai pada tataran tertinggi ilmunya. Namun Glagah Putih masih juga sanggup mengimbanginya.

Bahkan kemudian ternyata bahwa Glagah Putih masih belum sampai pada tataran tertinggi ilmunya itu.

Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lagi bagi Ki Rangga Dipajaya selain mempergunakan ilmu simpanannya. Sebagai seorang prajurit pilihan, ia tidak dapat berhenti sebelum tuntas. Sementara itu sebagai prajurit Pati, Ki Rangga pun tidak akan begitu saja membiarkan orang-orang Mataram menjamah Kadipaten.

Karena itu, Ki Rangga itu pun segera meloncat surut untuk mengambil jarak. Justru menyarungkan senjata sambil berkata, “Anak Muda, menyerahlah. Jika kau menyerah, aku akan mengampunimu. Kau adalah salah seorang dari sedikit anak-anak muda yang benar-benar dapat diharapkan bagi masa depan. Karena itu, sayang sekali jika kau harus berhenti di sini.”

Glagah Putih memandang Ki Rangga sejenak. Ia melihat kejujuran terpancar di wajah Ki Rangga. Tetapi sebagai seorang pengawal yang berada di dalam pasukan Mataram, ia tidak dapat memenuhinya. Karena itu, maka katanya, “Terima kasih Ki Rangga. Tetapi sebagaimana Ki Rangga mengemban kewajiban bagi Pati, aku pun mengemban kewajiban sebagai salah seorang pengawal yang berada di dalam pasukan Mataram.”

“Aku tahu Anak Muda. Tetapi sulit dimengerti, bahwa pertumbuhan tunas yang sangat baik ini harus dipatahkan.”

“Maaf Ki Rangga. Jika itu sudah menjadi kewajiban Ki Rangga Dipajaya, kenapa masih ragu-ragu? Sebaliknya, aku mohon maaf bahwa aku harus melawannya dengan kekuatan ilmu yang aku miliki. Ki Rangga, kita sebagai sesama tidak akan sampai pada keadaan seperti ini. Tetapi justru karena kita berdiri di atas kewajiban kita masing-masing, maka kita tidak dapat mengelak.”

“Ternyata bukan hanya kemampuanmu yang tingi, tetapi kau juga berpikir dewasa,” sahut Ki Ranga Dipajaya, Lalu katanya pula, “Baiklah Anak Muda. Kau tahu di mana kau berdiri dan di mana aku berdiri.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun telah menyarungkan pedangnya pula.

Ki Rangga Dipajaya menjadi semakin heran. “Apa yang akan dilakukan oleh anak ini?” bertanya Ki Rangga di dalam hatinya.

Namun Ki Rangga Dipajaya tidak mempunyai pilihan lain. Apalagi ketika ia melihat pertempuran yang terjadi di sekitarnya. Nampaknya prajurit-prajuritnya harus bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya. Bahkan Ki Rangga Dipajaya mulai melihat kesulitan yang terjadi pada pasukannya, setelah sekelompok pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu datang membantu prajurit Mataram yang diyakininya akan dapat dimusnahkan.

Karena itu, maka Ki Rangga Dipajaya itu pun kemudian telah sampai pada satu keputusan, betapapun berat hatinya, untuk menghentikan perlawanan Glagah Putih dengan ilmu pamungkasnya.

Glagah Putih mengerutkan dahinya ketika ia melihat Ki Rangga Dipajaya itu berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua telapak tangannya menelakup di depan dadanya.

Karena itulah, Glagah Putih pun telah memusatkan nalar budinya pula. Ia sadar bahwa lawannya akan mengerahkan ilmu simpanannya. Glagah Putih tidak mau menjadi korban tanpa memberikan perlawanan dengan puncak ilmunya pula.

Karena itu, Glagah Putih pun segera berada pada kesiagaan tertinggi pula. Ia siap menghadapi segala kemungkinan. Jika ilmu simpanan Ki Rangga Dipajaya itu lebih tinggi dari ilmunya, maka Glagah Putih telah siap menghadapi kematian, karena ia sudah berada di tengah-tengah medan pertempuran.

Demikianlah, kedua orang berilmu tinggi itu sudah siap dengan landasan ilmu mereka masing-masing. Sehingga sesaat kemudian, keduanya telah mengambil ancang-ancang untuk melontarkan ilmu mereka.

Ketegangan nampak di wajah kedua orang itu. Tetapi mereka memang tidak mempunyai pilihan. Karena itu, maka Ki Rangga-lah yang kemudian meloncat mengayunkan telapak tangannya mengarah ke kening Glagah Putih.

Sekilas Glagah Putih melihat asap tipis yang mengepul dari telapak tangan Ki Rangga Dipajaya. Bahkan telapak tangan itu nampak menjadi kemerah-merahan seperti bara.

Glagah Putih sadar, jika tubuhnya tersentuh telapak tangan itu, maka kulit dan bahkan dagingnya akan terkelupas sampai ke tulang.

Glagah Putih juga tidak mempunyai pilihan lain. Sebelum telapak tangan itu menyentuh tubuhnya, Glagah Putih telah menghentakkan ilmunya pula. Diangkatnya kedua tangannya dengan telapak tangan yang terbuka, mengarah ke tubuh lawannya yang seolah-olah sedang melayang itu.

Ki Rangga Dipajaya benar-benar terkejut melihat seleret cahaya seakan-akan meloncat dari telapak tangan Glagah Putih itu, meluncur menyongsong tubuh Ki Rangga.

Ki Rangga yang sama sekali tidak mengira bahwa anak muda itu mampu melontarkan ilmunya dari jarak tertentu itu, tidak dapat berbuat lain. Dengan kekuatan ilmunya yang tinggi, Ki Rangga Dipajaya telah mengayunkan tangannya, yang semula diarahkan ke kening Glagah Putih, untuk menghantam seleret cahaya yang menyambarnya, karena Ki Rangga Dipajaya sudah tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak.

Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua ilmu yang tinggi saling berbenturan. Namun Glagah Putih mempunyai keuntungan. Ilmu yang dilontarkan telah lepas dari telapak tangannya, meluncur ke arah tubuh lawannya.

Meskipun demikian, benturan yang terjadi telah menimbulkan getaran panas yang besar. Getaran yang seakan-akan merupakan gelombang balik dari benturan yang terjadi itu.

Ternyata Glagah Putih telah terdorong beberapa langkah surut. Tubuhnya bagaikan terpanggang di atas api, sementara keseimbangannya telah menjadi goyah. Bahkan Glagah Putih tidak mampu lagi bertahan, sehingga karena itu Glagah Putih pun telah jatuh terlentang.

Beberapa kali Glagah Putih berguling. Ia sengaja tidak melawan gelombang itu, sehingga tubuhnya bagaikan hanyut. Glagah Putih sadar bahwa untuk melawan gelombang balik yang terjadi karena benturan itu, dibutuhkan tenaga yang besar sekali, sementara getar panasnya hampir tidak terlawan oleh daya tahan tubuhnya. Sehingga karena itu, Glagah Putih justru membiarkan tubuhnya terlempar dan berguling-guling. Namun kemudian dengan sisa tenaganya Glagah Putih pun berusaha untuk bangkit.

Tetapi hampir saja Glagah Putih tidak mampu untuk berdiri tegak. Tubuhnya telah dicengkam oleh kesakitan yang sangat. Tulang-tulangnya seakan-akan telah menjadi retak. Sedangkan kulit dan dagingnya bagaikan menjadi matang terpanggang api.

Pada saat yang demikian, hampir saja tubuh Glagah Putih disambar ujung tombak yang dilontarkan oleh seorang prajurit Pati. Namun dengan tangkas seorang pengawal Tanah Perdikan sempat memukul tombak itu sehingga tidak mengenai sasarannya. Dua orang prajurit Pati yang meloncat menyerang Glagah Putih yang lemah itu, harus berhadapan dengan para pengawal yang dengan cepat tanggap akan keadaan Glagah Putih. Bahkan Lurah prajurit Mataram yang terluka, yang merasa telah diselamatkan oleh Glagah Putih, telah siap menahan serangan-serangan terhadap Glagah Putih yang lemah. Namun ketika para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan telah berada di sekitarnya, Lurah prajurit itu segera mendekati dan membantu Glagah Putih berdiri tegak.

Sementara itu Glagah Putih sempat melihat Ki Rangga Dipajaya terpelanting dan terjatuh pula. Bahkan kemudian Ki Rangga itu sudah tidak mampu untuk bangkit lagi. Tubuhnya menjadi sangat lemah. Bahkan nafasnya menjadi sendat pula.

Beberapa orang prajurit Pati telah berlari-lari mengerumuninya dan siap membawa Ki Rangga itu menyingkir dari medan. Tetapi Ki Rangga Dipajaya itu masih mempertanyakan keadaan lawannya yang masih muda itu.

“Bukankah ia masih hidup?” bertanya Ki Ranga Dipajaya.

Para prajurit Pati yang mengerumuninya termangu-mangu sejenak. Pertanyaan itu agak membingungkannya. Ki Rangga tidak bertanya apakah lawannya telah terbunuh atau cedera karenanya.

“Bukankah anak itu masih hidup dan mampu bertahan?” Ki Rangga itu bertanya pula.

“Ya, Ki Rangga,” jawab salah seorang prajuritnya.

“Aku ingin berbicara. Jangan curang. Jangan berkhianat terhadapnya.”

Para prajurit itu menjadi ragu-ragu, sementara pertempuran masih berlangsung.

Namun ketika Ki Rangga memerintahkan prajuritnya sekali lagi, maka seorang prajurit telah melangkah mendekati sekelompok prajurit dan pengawal yang berdiri di sekitar Glagah Putih. Prajurit Pati itu menyarungkan senjatanya untuk meyakinkan bahwa ia tidak berniat buruk.

Ketika hal itu disampaikan kepada Lurah prajurit yang membantu Glagah Putih berdiri tegak itu, maka Lurah prajurit itu menjadi ragu-ragu.

Tetapi Glagah Putih sendiri yang kemudian menjawab, “Aku minta semua prajurit minggir. Aku akan berbicara dengan Ki Rangga Dipajaya seorang diri.”

Prajurit Pati itu pun segera kembali menemui Ki Rangga Dipajaya dan menyatakan kesediaan anak muda yang berilmu tinggi itu untuk menemuinya.

Beberapa orang prajurit Pati serta beberapa orang prajurit dan pengawal dari Mataram berdiri beberapa langkah dari Ki Rangga yang berbaring. Lurah Prajurit yang sudah terluka itu ternyata tidak mau beranjak dari tempatnya. Ia ikut mengawasi jika terjadi sesuatu atas Glagah Putih, yang masih lemah karena benturan ilmu dengan Ki Rangga Dipajaya.

Glagah Putih berjalan dengan gontai mendekati Ki Rangga yang terbaring diam.

Ketika kemudian Glagah Putih berjongkok di sampingnya, Ki Rangga itu pun tersenyum sambil berkata, “Anak Muda, kau adalah harapan bagi masa depan. Aku benar-benar kagum kepadamu.”

“Terima kasih, Ki Rangga. Tetapi bagaimana dengan keadaan Ki Rangga sekarang?”

“Kemapanan ilmumu di luar dugaanku.”

“Tetapi agaknya Ki Rangga tidak berada pada puncak ilmu Ki Rangga, karena Ki Rangga tidak sampai hati mencederai aku.”

“Tidak,” Ki Rangga menyahut dengan serta-merta. Namun kemudian wajahnya menegang menahan sakit di dadanya. “Aku sadari di mana aku berdiri, Anak Muda. Meskipun pada kesempatan yang lain aku tidak akan melakukannya, tetapi dalam pertempuran seperti ini, adalah kewajibanku untuk berbuat sejauh dapat aku lakukan untuk mempertahankan Pati. Tetapi ilmumu memang lebih tinggi dari ilmuku.” Suara Ki Rangga menjadi parau dan bahkan hampir tidak terdengar lagi.

Glagah Putih menjadi cemas. Katanya, “Biarlah para prajurit Pati merawat Ki Rangga. Mereka tentu mempunyai tabib yang akan dapat membantu Ki Rangga Dipajaya.”

Ki Rangga tersenyum. Tetapi ia menjadi semakin lemah.

“Anak Muda. Semoga kau kelak benar-benar menjadi seorang yang dapat menjadi panutan. Bukan hanya kemampuan olah kanuragan, tetapi juga sikap dan pilihan jalan hidupmu.”

“Aku akan selalu mengingatnya, Ki Rangga.”

Ki Rangga tersenyum. Ketika tangannya mencoba untuk bergerak, ternyata Ki Rangga benar-benar sudah kehilangan tenaganya.

Karena itu, Glagah Putih-lah yang kemudian memegang tangan Ki Rangga. Telapak tangan itu pula yang telah memaksanya untuk menghentakkan ilmunya untuk melawannya.

Tetapi telapak tangan itu tidak lagi merah membara. Bahkan telapak tangan itu telah menjadi dingin dan lemah.

“Sudahlah,” berkata Ki Rangga kemudian, “aku sudah puas dapat berbicara dengan kau Anak Muda. Kembalilah ke dalam pasukanmu. Secara pribadi kita tidak pernah bermusuhan.”

Glagah Putih mengangguk. Diletakkannya tangan kanan Ki Rangga dengan hati-hati di atas dadanya yang sesak. Perlahan-lahan Glagah Putih pun bergeser sambil berdesis, “Mudah-mudahan Ki Ranga dapat segera sembuh dari luka dalam ini.”

Ki Ranga tersenyum. Namun di sudut bibirnya nampak darah yang mengembun.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya sendiri terasa sangat lemah. Namun keadaannya masih lebih baik dari keadaan Ki Rangga Dipajaya.

Sejenak kemudian, Glagah Putih pun melangkah meninggalkan Ki Rangga Dipajaya yang terbaring diam. Tetapi nampak senyumnya masih menghiasi bibirnya.

Demikian Glagah Putih meninggalkan Ki Rangga dengan langkah yang berat, maka seorang prajurit Pati segera berlari-lari membawa bumbung berisi cairan obat yang telah dipersiapkan. Di belakangnya seorang tua menyusul. Beberapa orang prajurit Pati pun segera bersiaga melindungi Ki Rangga yang menjadi sangat lemah itu.

Glagah Putih yang kemudian berdiri di tengah-tengah beberapa orang pengawal dan prajurit itu pun berkata, “Biarlah para prajurit itu mencoba menyelamatkan nyawanya. Jika ada seorang tabib yang pandai, nyawanya akan dapat tertolong. Meskipun demikian, segala sesuatunya tergantung kepada Sang Pencipta.”

Dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Kekuatan yang tidak berselisih terlalu banyak itu justru membuat pertempuran menjadi semakin garang.

Namun kekalahan Ki Rangga Dipajaya ternyata memberikan pengaruh yang besar terhadap ketegaran prajurit Pati. Bagi mereka, Ki Rangga adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Kekalahannya membuat para prajurit Pati menjadi gelisah.

Justru karena itu, maka perlahan-lahan para prajurit Pati itu mulai terdesak. Semakin lama semakin jauh mendekati dinding Istana Kadipaten.

Pertempuran yang terjadi di mana-mana itu pun memang mulai menjadi surut.

Swandaru dengan garangnya telah menyerang lawannya yang bersenjata tongkat besi yang panjang itu. Beberapa saat lamanya mereka bertempur. Keduanya berloncatan dengan cepat. Ayunan-ayunan senjata berdesingan.

Namun akhirnya ujung cambuk Swandaru berhasil menggapai tubuh lawannya. Segores luka telah menganga di lambungnya.

Tetapi sebelum orang itu sempat memperbaiki keadaannya, ujung cambuk Swandaru telah mematuk dadanya. Satu hentakan ilmu yang sangat tinggi rasa-rasanya telah mengetuk jantungnya, sehingga orang itu tidak mampu lagi mempertahankan hidupnya

Lawan Swandaru itu pun terpelanting beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah. Namun tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi. Bahkan jantungnya pun telah berhenti berdetak.

Dengan demikian, Swandaru pun segera memasuki pertempuran yang semakin garang. Satu-satu lawannya disingkirkan. Orang yang agak gemuk itu tertahan ketika empat orang bersama-sama menghadapinya. Empat orang prajurit pilihan yang memiliki kemampuan lebih tinggi dari prajurit-prajurit yang lain.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih bertempur melawan lawannya yang bersenjata sebilah keris yang besar dan panjang.

Benturan senjata pun telah terjadi beberapa kali. Lawan Agung Sedayu dengan sengaja mencoba membabat ujung cambuknya. Tetapi ujung tombak Agung Sedayu itu tidak terputus karenanya. Bahkan sentuhan antara keris dan ujung cambuk itu telah membuat tangannya bergetar, meskipun ia masih dilindungi oleh ilmu Lembu Sekilan.

Demikianlah, pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Ketika senjata-senjata mereka menjadi semakin cepat bergerak, maka keduanya menyadari bahwa mereka sulit menembus perisai ilmu lawan mereka masing-masing. Ketika ujung keris lawan Agung Sedayu itu berhasil menyusup pertahanan cambuknya, ujung keris itu seakan-akan telah menggapai tubuh Agung Sedayu. Tetapi ternyata bahwa ujung keris itu belum mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.

Orang tua yang berkumis dan berjanggut jarang itu menggeram. Sementara itu, ia harus berloncatan menghindari ujung cambuk Agung Sedayu yang menghentak-hentak meskipun tidak menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga.

Meskipun ujung keris lawannya tidak menggores kulitnya karena perlindungan ilmu kebalnya, namun Agung Sedayu masih harus berhati-hati. Mungkin orang tua itu masih mampu meningkatkan ilmunya, sehingga mampu menyusup menembus ilmu kebalnya.

Sebenarnyalah orang tua yang berjanggut dan berkumis jarang itu telah meningkatkan segenap kemampuannya sampai ke puncak. Ia ingin benar-benar menyusupkan ujung kerisnya menembus ilmu kebal lawannya. Jika ia berhasil, maka segores kecil saja sudah cukup kuat untuk mengakhiri perlawanan lawannya yang masih terhitung muda itu.

Karena itu, orang itu benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan ilmu puncaknya.

Ketika ia mendapat kesempatan, maka dengan sekuat tenaga dan kemampuan ilmunya, orang itu mengayunkan senjatanya mendatar menggores ilmu kebal Agung Sedayu.

Agung Sedayu memang menggeliat. Tetapi hentakan yang dilambari dengan segenap kemampuan dan kekuatan ilmu lawannya itu benar-benar telah berhasil menyusup ilmu kebal Agung Sedayu.

Meskipun hanya segores tipis, namun ujung keris itu telah mampu melukai kulit Agung Sedayu.

Agung Sedayu berdesah tertahan. Ia merasakan goresan itu di kulitnya. Ketika ia mengusap goresan itu, terasa cairan yang hangat di telapak tangannya.

Agung Sedayu menyadari bahwa ia telah terluka. Orang tua berkumis dan berjanggut jarang itu meloncat selangkah mundur untuk mengambil jarak. Terdengar orang itu tertawa sambil berkata, “Betapapun tinggi ilmumu, namun akhirnya aku berhasil membunuhmu.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Hampir saja ia menyerang lawannya dengan sorot matanya, yang menurut perhitungannya akan dapat menembus ilmu Lembu Sekilan lawannya. Tetapi niatnya diurungkan. Sebagai murid utama dari Perguruan Orang Bercambuk, maka Agung Sedayu pun yakin bahwa ilmu cambuknya akan mampu memecahkan ilmu Lembu Sekilan lawannya.

Karena itu, selagi lawannya masih dicengkam oleh kebanggaan karena menduga bahwa Lurah prajurit dari Mataram itu akan segera mati, maka Agung Sedayu pun telah menyerangnya. Seperti lawannya, Agung Sedayu pun telah menghimpun segala kekuatan dan kemampuan ilmu cambuknya. Dengan ancang-ancang yang mapan, iapun segera meloncat sambil menghentakkan cambuknya.

Dengan derasnya cambuk itu pun terayun menghantam tubuh orang tua yang berjanggut dan berkumis jarang itu.

Orang itu memang terkejut. Dengan serta-merta iapun meloncat menghindar. Namun ujung cambuk Agung Sedayu ternyata masih mampu menggapainya.

Ternyata hentakan segenap kekuatan dan kemampuan ilmu Agung Sedayu itu berhasil memecahkan ilmu Lembu Sekilan lawannya

Terdengar orang tua itu berteriak kesakitan. Dengan loncatan panjang ia mengambil jarak. Namun ujung cambuk Aung Sedayu yang berhasil mengoyak ilmu Lembu Sekilannya itu mampu melukai lambungnya, sehingga seakan-akan lambungnya itu telah menganga.

Perasaan sakit dan pedih telah menggigitnya. Dengan sebelah telapak tangannya ia mencoba menahan lukanya itu. Namun darah mengalir dengan derasnya.

“Iblis kau,” geram orang itu, “tetapi jangan merasa gembira karena kemenangan kecilmu. Siapa yang tertawa terakhir di peperangan, ialah yang menang. Sebentar lagi tubuhmu akan terbaring membeku di medan ini.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Hampir saja ia mengulangi serangannya. Tetapi melihat keadaan lawannya, Agung Sedayu pun mengurungkan niatnya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu pun melangkah surut.

Keadaan lawannya nampaknya menjadi semakin parah. Darah mengalir dari lukanya yang menganga. Namun orang itu pun kemudian berkata dengan suara yang gemetar, “Kau jangan berbangga dengan sedikit kemampuanmu itu, Ki Sanak. Meskipun ilmu cambukmu dapat memecahkan ilmu Lembu Sekilanku, tetapi sebentar lagi kau akan mati. Serambut luka oleh ujung kerisku sudah berarti maut, karena kerisku mengandung warangan yang sangat tajam.”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia sadar bahwa kulitnya telah tergores ujung senjata lawannya. Namun Agung Sedayu sama sekali tidak menjadi cemas.

Beberapa saat lamanya, orang yang terluka lambungnya itu mencoba bertahan. Ia ingin melihat Agung Sedayu itu terjatuh dan mati karena racun warangan kerisnya yang besar dan panjang itu.

Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiri saja di tempatnya.

Sementara itu, beberapa orang prajurit Pati yang berusaha untuk membawa orang itu pergi, telah ditolaknya. Katanya, “Aku akan pergi setelah orang itu mati. Aku ingin melihat bagaimana ia terjatuh dan kemudian menggeliat sehingga akhirnya membeku.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Yang Maha Agung masih melindungi nyawaku. Waranganmu tidak dapat membunuhku.”

“Omong kosong. Kau akan mati dalam sekejap.”

“Tetapi yang sekejap itu telah lewat. Dan aku masih tetap hidup.”

Orang itu menggeram. Tubuhnya sendiri semakin lama menjadi semakin lemas.

Ketika orang tua yang berjanggut dan berkumis lebat itu tidak lagi mampu bertahan lebih lama, maka ia mulai bersandar pada salah seorang prajurit yang memapahnya. Dengan sendat orang itu bertanya, “Kenapa kau tidak mati?”

“Sudah aku katakan. Yang Maha Agung masih melindungi nyawaku.”

“Dengan lantaran apa?” desak orang tua itu.

“Darahku tawar akan segala jenis racun.”

Wajah orang tua itu menegang sejenak. Namun kemudian tubuhnya menjadi lunglai. Dengan nada rendah ia berkata, “Kau mendapat kurnia kelebihan dari sesama, Ki Sanak. Ternyata aku harus mengakui kekalahanku.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun orang itu benar-benar menjadi lemah.

Beberapa orang prajurit pun kemudian telah membawa orang itu menepi. Tetapi sekelompok pasukan Pati yang terpilih, dipimpin oleh orang tua yang berjanggut dan berkumis tipis itu, sudah berada agak dalam di belakang medan pertempuran. Orang tua itu telah membawa pasukannya yang terpilih langsung menusuk medan, untuk dapat bertemu dengan Panembahan Senapati. Namun sebelum ia dapat langsung berhadapan dengan Panembahan Senapati, seorang Lurah prajurit Mataram dari Pasukan Khusus telah menghentikannya.

Dengan demikian, maka pasukan kecil itu justru mengalami kesulitan. Ketika pemimpin pasukan kecil itu dapat dikalahkan, pasukan itu seakan-akan tidak lagi mempunyai kekuatan, meskipun mereka terdiri dari orang-orang pilihan.

Dalam pada itu di segala medan, pasukan Pati menjadi semakin terdesak. Kelompok demi kelompok yang tidak dapat mengingkari kenyataan telah membawa pasukannya memasuki lingkaran pertahanan terakhir, dinding Istana Kadipaten Pati.

Menjelang sore hari, pasukan Mataram seakan-akan telah menguasai semua medan. Karena itu, sebelum senja mereka telah berhasil mendesak dan memaksa pasukan Pati memasuki lingkaran pertahanan terakhir mereka.

Ketika kemudian senja turun, pasukan Mataram telah memperdengarkan isyarat untuk menghentikan pertempuran. Anak panah sendaren berterbangan di udara sebagai perintah untuk berhenti berperang. Apalagi para prajurit Pati telah berada di pertahanan terakhir. 

Meskipun demikian, ketika pertempuran itu benar-benar berhenti, masih ada kelompok-kelompok kecil pasukan Pati yang menyusul memasuki pintu gerbang utama maupun pintu gerbang butulan.

Namun sebaliknya, ada juga kelompok-kelompok prajurit Pati yang justru keluar dari pintu gerbang sambil membawa obor dan kelebet berwarna putih.

Pasukan Mataram memang tidak mengganggu para prajurit Pati, baik mereka yang memasuki pintu gerbang maupun yang keluar dari pintu gerbang. Para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram mengerti, bahwa para prajurit yang membawa obor dan kelebet berwarna putih adalah para prajurit yang bertugas untuk mencari kawan-kawan mereka yang gugur, dan bahkan terutama yan terluka dan tidak dapat beringsut dari tempatnya di medan perang.

Para prajurit Mataram pun melakukan hal yang sama pula. Sebagai prajurit yang bersikap jantan, kedua pasukan dalam tugas yang sama itu tidak saling mengganggu. Bahkan mereka saling membantu dengan menunjukkan korban dari masing-masing pihak kepada pasukan yang sedang bertugas mencarinya itu.

Dalam kegelapan, Panembahan Senapati bersama beberapa orang pengawalnya berdiri termangu-mangu. Dengan mata kepala sendiri ia melihat tubuh yang terbujur lintang di bekas arena pertempuran. Sementara itu pertempuran masih belum selesai.

Besok pagi, pada saat matahari terbit, pertempuran akan berkobar lagi. Para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram akan menyerang istana yang dikelilingi deh dinding yang kuat.

Kenyataan yang ada di bekas arena pertempuran itu telah membuat jantung para pemimpin dari kedua belah pihak tergetar.

Sebenarnyalah malam itu, dalam pakaian prajurit kebanyakan, Kanjeng Adipati Pati juga berada di bekas medan pertempuran. Adipati Pragola itu melihat langsung sebagaimana Panembahan Senapati, keadaan para prajuritnya yang menjadi korban. Meskipun mereka gugur dalam tugas mereka sebagai seorang prajurit yang baik, namun pada saat Kanjeng Adipati itu menyaksikan langsung korban yang terbujur lintang, terasa dadanya menjadi sesak.

Karena itu, maka iapun segera mengumpulkan para senapati dan panglimanya yang sangat dipercayainya.

Selain mereka yang berbicara langsung, tidak seorang pun tahu apa yang telah dibicarakan oleh Kanjeng Adipati dan orang-orang tertentu itu.

Demikianlah, para prajurit dan pengawal dari kedua belah pihak telah beristirahat sebaik-baiknya. Besok pagi-pagi mereka akan mendengar bende yang ditabuh dengan suara yang bergaung memenuhi udara. Ujung-ujung senjata pun kemudian telah teracu dan darah pun akan mendidih di dalam dada. Namun kemudian akan tertuang dalam bumi.

Menjelang fajar, para prajurit dan pengawal Mataram pun telah bersiap sepenuhnya. Mereka tinggal menunggu perintah untuk menyerang. Para prajurit dan pengawal itu pun telah mempersiapkan balok-balok kayu untuk membuka pintu gerbang utama dan butulan. Telah disiapkan pula tangga-tangga bambu, serta perisai-perisai yang besar untuk melindungi para prajurit dari hujan anak panah dari balik dinding istana.

Para prajurit Mataram itu menjadi berdebar-debar ketika beberapa orang petugas sandi memberikan laporan bahwa mereka tidak melihat kesiagaan Pati untuk menghadapi perang di keesokan harinya. Meskipun mereka melihat para prajurit yang ada di panggungan di belakang dinding, namun tidak ada tanda-tanda bahwa perang yang besar, perang habis-habisan yang akan menentukan akhir dari perang yang besar itu, akan terjadi.

Ketika hal itu dilaporkan kepada Panembahan Senapati, maka Panembahan Senapati pun segera melihat langsung keadaan medan menjelang fajar.

Matahari masih bersembunyi ketika Panembahan Senapati dari jarak yang lebih dekat melihat kesiagaan prajurit Pati. Dengan tidak membawa pertanda kebesaran apapun, Panembahan Senapati yang mengenakan pakaian prajurit kebanyakan itu berjalan menyusuri dinding istana di bagian depan dari sudut sampai ke sudut. Tetapi memang tidak terdapat tanda-tanda kesiagaan tertinggi pada prajurit Pati.

Panembahan Senapati menjadi bimbang. Ia tidak segera mengetahui dengan pasti, apa yang telah terjadi pada pasukan Pati itu. Namun Panembahan Senapati tidak mau terjebak. Karena itu, Mataram tetap mengerahkan segenap kekuatannya. Dengan segala persiapan yang sudah dilakukan, pasukan Mataram telah bergerak pula mendekati dinding istana pada saat yang sudah ditentukan.

Tetapi tidak terdengar gaung bende di dalam lingkungan dinding istana. Tidak terdengar aba-aba dan perintah-perintah.

Para prajurit dan pengawal dari Mataram itu justru menjadi berdebar-debar. Ada di antara para senapati yang menduga bahwa Pati akan menyerah. Namun mereka tidak melihat isyarat bahwa Pati akan menyerah.

Dalam ketidakpastian, maka para prajurit dan pengawal Mataram telah berada dalam kesiagaan tertinggi.

Ketika cahaya matahari mulai membayang di langit, Panembahan Senapati benar-benar telah mempersiapkan diri. Segala macam alat yang diperlukan serta senjata yang ada di dalam pasukan itu telah dipersiapkan sebaik-baiknya.

Tetapi tidak ada pertanda kesiagaan pada para prajurit Pati.

Namun justru karena itu, Panembahan Senapati tidak segera memberikan perintah untuk menyerang. Meskipun demikian, diperintahkannya para prajuritnya untuk bergerak beberapa langkah maju.

Gerak itu pun tidak memancing perubahan pada sikap prajurit Pati. Bahkan para prajurit yang nampak di panggung pun menjadi semakin tidak meyakinkan.

Panembahan Senapati pun kemudian telah memanggil Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi. Sejenak mereka berbincang. Agaknya Panembahan Senapatipun kemudian telah mengambil satu keputusan.

Para prajaurit di pasukan induk yang telah dipersiapkan untuk memecahkan pintu gerbang-lah yang akan bergerak lebih dahulu. Apapun yang terjadi, mereka akan membuka pintu gerbang dinding Istana Pati.

Ketika matahari kemudian terbit, maka pasukan kecil itu pun mulai bergerak. Beberapa kelompok prajurit dengan busur dan anak panah bersiap melindungi mereka. Perisai-perisai pun telah disiapkan pula, jika dengan tiba-tiba prajurit Pati muncul dari balik dinding dan menghujani pasukan kecil itu dengan anak panah dan lembing.

Tetapi sama sekali tidak nampak perlawanan dari para prajurit Pati. Para prajurit yang berada di panggungan, yang melihat gerak pasukan Mataram itu, sama sekali tidak nampak bersiap untuk memberikan perlawanan.

Karena itu, keragu-raguan semakin mencengkam para prajurit Mataram. Meskipun demikian, namun perintah untuk membuka pintu gerbang utama itu pun telah diberikan.

Beberapa orang yang memang telah ditentukan untuk melaksanakan tugas itu segera berlari ke pintu gerbang. Sebelum mereka mempergunakan balok kayu yang besar untuk menghantam pintu gerbang itu, beberapa orang mencoba untuk melihat dan menduga-duga seberapa kekuatan pintu gerbang yang tertutup rapat itu.

Ketika dua orang prajurit mengguncang pintu gerbang itu, rasa-rasanya pintu itu tidak sekuat pintu gerbang kota, yang harus dipecahkan dengan sebatang balok kayu yang besar yang dipanggul oleh beberapa orang.

Karena itu, mereka tidak segera mempergunakan balok kayu yang besar dengan ancang-ancang yang panjang. Apalagi mereka masih juga sempat merasa sayang, bahwa pintu gerbang dengan ukiran yang rumit itu akan pecah berserakan.

Karena itu, mereka pun telah berusaha untuk membuka pintu gerbang itu dengan linggis agar tidak menimbulkan kerusakan yang besar.

Ternyata tidak terlalu sulit untuk membuka pintu gerbang itu dengan paksa. Hanya beberapa saat kemudian, pintu itu pun berderak terbuka.

Namun justru karena pintu itu terbuka dengan tidak banyak mengalami kesulitan, serta tidak ada perlawanan dari para prajurit, Panembahan Senapati telah memerintahkan agar para prajurit tidak tergesa-gesa masuk ke dalam istana.

Dalam pada itu, keadaan di halaman Istana Pati itu pun menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Panembahan Senapati dan para prajurit serta pengawal dari Mataram itu tidak melihat sepasukan prajurit yang kuat memagari halaman. Mereka juga tidak melihat ujung-ujung tombak yang tegak rapat seperti ujung batang ilalang.

Sejenak Panembahan Senapati memperhatikan keadaan. Ki Patih Mandaraka pun telah berdiri di sampingnya.

“Bagaimana menurut pertimbangan Paman?” bertanya Panembahan Senapati.

“Marilah. Kita masuk ke dalam. Hanya para pengawal terbaik saja yang akan ikut bersama kita,” jawab Ki Patih Mandaraka.

“Tetapi yang lain harus tetap bersiaga. Setiap saat ada perintah, maka mereka akan bergerak,” berkata Pangeran Mangkubumi, yang akan menyertai Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka masuk ke halaman Istana Kadipaten Pati.

Sejenak kemudian, Panembahan Senapati sendiri, Ki Patih Mandaraka, Pangeran Mangkubumi, dan sekelompok pengawal terpilih yang di antara mereka adalah Ki Lurah Agung Sedayu, melangkah masuk.

Ternyata memang tidak ada jebakan sama sekali. Panembahan Senapati memang sudah mengira, bahwa bukan watak Kanjeng Adipati Pragola untuk mempergunakan akal yang licik.

Namun Panembahan Senapati tertegun ketika dilihatnya beberapa orang yang nampaknya memang sudah dipersiapkan untuk menyongsongnya. Dengan mengenakan pakaian keprajuritan serta pertanda kebesaran mereka turun dari pendapa.

Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang berdiri di paling depan dari beberapa orang yang turun dari pendapa itu. Sambil mengerutkan dahinya Panembahan Senapati berdesis, “Paman Tumenggung Wimbasara.”

“Ya Panembahan,” jawab orang itu.

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” bertanya Panembahan Senapati.

“Sebagaimana Panembahan lihat.”

“Apakah ini berarti Pati sudah menyerah?” bertanya Panembahan Senapati itu pula

“Tidak. Pati tidak pernah menyatakan menyerah.”

“Jadi apa artinya semuanya ini? Istana ini kosong. Tidak ada perlawanan. Dimana Adimas Adipati Pragola?”

“Kami siap untuk melawan setiap orang yang akan memasuki istana ini. Kami pertahankan istana ini sampai orang yang terakhir.”

Panembahan Senapati memandang orang itu dengan dada yang berdebar. Katanya, “Kenapa hal ini hanya Paman lakukan sendiri dengan beberapa orang saja? Apakah dengan demikian Paman akan dapat berbuat sesuatu yang berarti?”

“Kami tidak pernah menyerah. Kami akan bertempur untuk mempertahankan diri.”

Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku menghargai keteguhan hati Paman Tumenggung dengan sekelompok prajurit. Yang mereka lakukan adalah bagaikan serangga yang menjelang api. Tetapi hal seperti ini sebenarnya tidak usah terjadi, Paman.”

“Kenapa? Kami sedang mempertahankan bumi Pati.”

“Aku tahu betapa tinggi kesetiaan Paman terhadap Pati. Tetapi kenapa Paman tidak berterus-terang, apa yang sebenarnya terjadi?”

Ki Tumenggung Wimbasara memandang Panembahan Senapati sejenak. Dengan nada berat ia berkata, “Panembahan, yang aku katakan adalah yang sebenarnya. Hanya setelah melewati mayatku, seseorang dapat memasuki istana ini.”

“Jangan begitu, Ki Tumenggung,” berkata Ki Patih Mandaraka, “bukankah kita dapat mempergunakan penalaran kita dengan bening? Ki Tumenggung tidak disertai pasukan yang kuat untuk bertahan. Sedangkan Mataram membawa prajurit secukupnya. Dalam pertimbangan perang, kekuatan kita tidak seimbang, sehingga perlawanan Ki Tumenggung akan sia-sia. Aku tahu bahwa Ki Tumenggung adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Mungkin beberapa orang pengawal Ki Tumenggung sekarang ini juga berilmu sangat tinggi. Tetapi menurut penalaran kita, maka perlawanan Ki Tumenggung akan sia-sia.”

“Aku tidak membuat pertimbangan-pertimbangan seperti itu, Ki Patih,” jawab Ki Tumenggung, “kesediaanku mengabdi kepada Kanjeng Adipati Pragola akan tetap aku junjung tinggi sampai batas umurku.”

“Begitukah Ki Tumenggung mengartikan kesetiaan? Kematian Ki Tumenggung dalam keadaan seperti ini adalah sia-sia. Jauh berbeda dengan perlawanan Ki Tumenggung di peperangan yang sebenarnya. Seandainya Ki Tumenggung gugur, Ki Tumenggung sudah berbuat sebaik-baiknya bagi bumi Pati. Tetapi apa yang Ki Tumenggung lakukan sekarang, adalah sekedar luapan perasaan. Kematian Ki Tumenggung sama sekali tidak ada artinya.”

“Jangan merendahkan perlawananku sekarang,” berkata Ki Tumenggung.

“Sudahlah, Paman,” berkata Panembahan Senapati. “Tolong katakan, dimana Adimas Pragola. Aku ingin berbicara.”

“Bukan kewajibanku untuk menunjukkan di mana Kanjeng Adipati sekarang.”

“Aku tahu, Paman. Tetapi jika aku dapat bertemu dan berbicara dengan Adimas Adipati, mungkin kami dapat menemukan penyelesaian yang lebih baik daripada mengorbankan banyak orang dalam perang yang panjang.”

“Perang tidak dapat dihindarkan,” jawab Ki Tumenggung Wimbasara. “Panembahan sudah menginjakkan kaki di bumi Pati. Adalah hak kami untuk mempertahankan diri. Sebagaimana Panembahan mengetahui, bahwa Pati telah diserahkan oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya kepada Ki Panjawi, ayahanda Kanjeng Adipati Pragola. Sedangkan Ki Gede Pemanahan telah menerima Tanah Mentaok, yang sekarang Panembahan kuasai. Karena itu, tidak semestinya Panembahan datang untuk merebut Pati.”

“Jangan seperti kanak-kanak begitu Paman. Atau Paman menganggap aku masih kanak-kanak?”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kenapa Panembahan menganggap aku seperti kanak-kanak, atau sebaliknya aku menganggap Panembahan seperti kanak-kanak?”

“Ki Tumenggung tentu tahu, kenapa aku datang ke Pati. Bukankah Paman juga pergi ke Prambanan bersama Adimas Adipati Pragola? Kenapa Adimas Adipati pergi ke Prambanan?”

“Tentu bukan tanpa sebab, Panembahan,” jawab Ki Tumenggung.

“Nah, jika demikian, persoalannya bukan sekedar persoalan Pati dan Mentaok, yang oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya diserahkan kepada Paman Panjawi dan Ayah, Ki Gede Pemanahan.”

“Sudahlah,” berkata Ki Tumenggung Wimbasara, “apapun yang pernah terjadi, sekarang aku tidak dapat mengijinkan siapapun naik ke istana ini.”

“Aku tidak tahu, bagaimana Paman dapat berpikir seperti itu,” berkata Panembahan Senapati.

“Bukankah sudah jelas, Panembahan?”

“Bagaimana pendapat Paman, jika aku memerintahkan Paman Patih Mandaraka untuk membawa sekelompok pengawal memasuki seketheng sebelah kanan dan memerintahkan Adimas Mangkubumi untuk memasuki istana lewat seketheng kiri? Seandainya ada kelompok-kelompok prajurit Pati, maka mereka akan disingkirkan dengan kekerasan senjata. Seandainya kami yang ada di sini tidak mampu melakukannya, pasukan Mataram seluruhnya ada di luar dinding. Dengan satu isyarat, mereka akan memasuki halaman istana ini. Jika itu terjadi, sebagaimana jika istana ini kami rebut dengan perang yang besar, maka sulit bagi kami untuk mengendalikan prajurit-prajurit kami yang jantungnya dikendalikan oleh keinginan untuk memiliki harta benda yang ada di istana ini. Aku tidak dapat mengatakan bahwa orang-orang Mataram adalah orang-orang yang tangannya bersih dan hatinya seputih kapas. Di peperangan mereka menjadi orang-orang yang garang dan bahkan dapat kehilangan kendali diri. Mereka adalah orang-orang kebanyakan, sebagaimana orang Pati.”

Ki Tumenggung Wimbasara termangu-manggu sejenak. Kata-kata Panembahan Senapati itu telah menyentuh hatinya. Ia dapat membayangkan, apa jadinya jika para prajurit Mataram itu memasuki gerbang utama dan kemudian berlari-larian naik dan masuk ke dalam istana. Segala macam benda-benda berharga yang ada tentu akan dijarah tanpa pertimbangan apapun juga. Bahkan para prajurit Mataram tentu akan menerobos masuk sampai ke bilik-bilik pribadi keluarga Kanjeng Adipati Pragola. Geledeg-geledeg kayu berukir itu akan dibongkar. Isinya akan diperebutkan.

Beberapa saat Ki Tumenggung itu merenung. Namun kemudian katanya, “Panembahan, aku mempunyai satu gagasan.”

Panembahan Senapati itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Ki Tumenggung Wimbasara itu pun berkata, “Sebagai lambang perlawanan prajurit Pati terhadap kedatangan prajurit Mataram, biarlah aku layani Panembahan Senapati dalam perang tanding. Perang tanding itu tidak akan banyak menelan korban. Sementara itu, tidak pula mengundang prajurit Mataram naik ke dalam istana. Tetapi Panembahan harus berjanji. Jika aku menang, maka Panembahan akan mengendalikan para prajurit Mataram, sehingga mereka tidak akan menghancurkan istana ini. Tidak sebuah guci pun akan pecah, dan tidak segores luka pun pada ukiran-ukiran yang rumit. Tidak pula ada barang yang hilang, termasuk selembar tirai. Sedangkan jika aku kalah, aku tidak akan berkata apa-apa, karena hanya kematian sajalah yang dapat menghentikan perlawananku.”

Wajah Panembahan Senapati menjadi merah. Dengan menahan diri, Panembahan Senapati berkata, “Paman, aku sebenarnya menaruh hormat kepada Paman Tumenggung Wimbasara. Tetapi untuk apa sebenarnya Paman merendahkan aku seperti itu, seakan-akan aku akan berlutut sambil mohon ampun agar tidak dibunuh? Sementara itu Paman sendiri akan berhenti berperang tanding jika kematian menghentikannya.”

“Bukan maksudku, Panembahan,” berkata Ki Tumenggung, “aku hanya menyayangkan jiwa Panembahan. Panembahan masih terhitung muda dibanding dengan umurku. Karena itu, sayang sekali jika Panembahan harus mati dalam satu perang tanding. Sementara itu umurku sendiri sudah cukup tua, sehingga jika aku mati dalam perang tanding melawan Panembahan Senapati dari Mataram, maka namaku akan tetap dikenang orang.”

Namun tiba-tiba saja Pangeran Mangkubumi berkata, “Itu tidak adil. Hanya jika Kakangmas Adipati Pragola turun ke medan, maka Panembahan Senapati akan menghadapinya. Tetapi Panembahan Senapati tidak akan turun ke gelanggang untuk berperang tanding melawan seorang tumenggung dalam taruhan yang tidak berarti sama sekali ini. Karena bagaimanapun juga, segala sesuatunya tergantung kepada Mataram. Karena setiap saat Mataram akan dapat menggilas Pati, bahkan seandainya di balik setiap lembar daun pintu, tiang-tiang ruang dalam, sudut-sudut bilik dan di dalam geledeg-geledeg bambu, berjejalan bersembunyi prajurit Pati yang akan menjebak kami.”

Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya, “Maksud Pangeran?”

“Kami dapat mempergunakan wewenang kami mengerahkan semua kekuatan Mataram, karena pada dasarnya Pati memang tidak mau menyerah dan tidak ada pernyataan menyerah,” jawab Pangeran Mangkubumi. “Karena itu, Ki Tumenggung tidak berhak menantang Kakangmas Panembahan Senapati. Meskipun aku tahu bahwa Ki Tumenggung tidak akan mempunyai kesempatan sama sekali untuk memenangkannya, seandainya perang tanding itu berlangsung.”

Ki Tumenggung Wimbasara tersenyum. Katanya, “Aku hanya menawarkan satu gagasan. Terserah kepada Panembahan Senapati, apakah tantanganku itu diterima atau tidak.”

“Kenapa kita harus melakukan permainan-permainan yang tidak berarti seperti ini?” desis Ki Patih Mandaraka.

“Aku tidak sedang bermain-main, Ki Patih,” sahut Ki Tumenggung Wimbasara, “aku sedang mempertahankan apa yang dapat aku pertahankan di atas bumi Pati.”

Namun Panembahan Senapati menjadi tidak sabar. Katanya, “Dimana Adimas Adipati? Aku akan menemuinya.”

“Aku tidak dapat mengatakannya,” jawab Ki Tumenggung Wimbasara dengan wajah yang tegang.

“Jika demikian, kami akan mencarinya sendiri.”

“Sudah aku katakan, tidak seorangpun dapat naik dan memasuki istana ini.”

“Minggir,” berkata Panembahan Senapati kepada para pengiringnya, “aku tidak telaten. Aku akan memaksa Paman Tumenggung untuk tidak menghalangi aku lagi. Meskipun hanya seorang dan beberapa pengiringnya, tetapi rasa-rasanya terlalu mengganggu.” Lalu katanya kepada Pangeran Mangkubumi, “Perintahkan seorang penghubung memberitahukan kepada para prajurit di luar agar tetap berada dalam kesiagaan tertinggi. Tetapi mereka harus menunggu perintah-perintahku selanjutnya.”

“Apa yang akan Angger lakukan?” bertanya Ki Patih Mandaraka dengan dahi yang berkerut.

“Aku akan melayani tantangan Paman Tumenggung agar segalanya segera selesai. Jika kita hanya berbicara saja di sini, maka waktu kita akan tertelan habis, sementara Paman Tumenggung sengaja mengulur-ulur waktu.”

Tetapi Ki Patih Mandaraka berkata, “Jangan Panembahan Senapati sendiri yang melakukan. Di sini ada orang lain yang siap untuk berperang tanding. Kita datang bersama seorang Lurah prajurit dari pasukan Khusus. Jika seorang Tumenggung telah menantang Panembahan Senapati, biarlah seorang Lurah melayaninya.”

“Ki Patih akan merendahkan aku di hadapan para pengiringku?” bertanya Ki Tumenggung.

“Tidak. Tetapi biarlah gagasan Ki Tumenggung dapat terwujud sekarang. Sebagai lambang pertahanan atas bumi Pati, Ki Tumenggung hadir di sini sekarang tanpa menghiraukan kekuatan lawan. Satu ujud kesetiaan menurut pengertian Ki Tumenggung. Nah, sebagai lambang kekuatan Mataram, maka biarlah Ki Lurah Agung Sedayu turun ke dalam arena perang tanding ini.”

Kerut yang dalam nampak di dahi Ki Tumenggung Wimbasara. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Agaknya orang-orang di sekitar Panembahan Senapati juga merasa bahwa Panembahan Senapati telah direndahkan oleh tantangannya. Menurut Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi yang mendampingi Panembahan Senapati memasuki halaman Istana Pati itu, Panembahan Senapati hanya akan turun ke gelanggang jika Kanjeng Adipati Pragola juga turun.

Dengan demikian, maka Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku terima tantangan seorang Lurah pajurit Mataram dalam perang tanding. Tetapi dengan syarat lebih. Maksudku, selain syaratku yang pertama, yaitu jika aku menang maka Mataram akan mengendalikan para prajuritnya untuk tidak memasuki istana ini apalagi merusaknya, maka aku ajukan syarat kedua.”

“Apakah syarat itu?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Jika aku menang, aku berhak menantang Panembahan Senapati. Aku sudah menerima tantangan seorang Lurah prajurit. Jika tantanganku terhadap Panembahan Senapati dianggap deksura, maka aku sudah memulainya lebih dahulu. Aku akan melawan Lurah prajurit itu tanpa menghiraukan tataran derajad.”

Ternyata Panembahan Senapati-lah yang lebih dahulu menyahut dengan tegas, “Ya. Aku tidak berkeberatan. Aku hanya ingin persoalan yang tidak berarti ini cepat selesai, sehingga persoalan yang lebih besar segera dapat kita lakukan. Meskipun sebenarnya aku dapat mengabaikan permainan yang tidak pantas ini, tetapi aku sejak semula memang menghormati Paman Tumenggung Wimbasara. Meskipun aku tidak mengira bahwa Paman Tumenggung Wimbasara ternyata mempunyai gagasan yang aneh-aneh seperti ini.”

Ki Tumenggung Wimbasara mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Sabda Pendita Ratu. Panembahan tidak akan bergeser dari kata-kata yang telah terucapkan.”

“Baik,” berkata Ki Patih Mandaraka, “sekarang, sebagai satu penghormatan khusus bagi Ki Tumenggung Wimbasara, maka perang tanding ini akan dilakukan.”

Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati mengulangi perintahnya kepada Pangeran Mangkubumi, “Perintahkan seorang penghubung untuk menyampaikan perintahku. Semua harus tetap berada dalam kesiagaan tertinggi.”

Perintah itu ternyata membingungkan para panglima yang masih berada di luar dinding istana. Namun mereka harus melaksanakan perintah itu. Sehingga karena itu, mereka tidak dapat dengan segera memasuki pintu gerbang utama atau meloncati dinding.

Namun para prajurit dan pengawal di luar dinding istana pun segera mendengar bahwa akan terjadi perang tanding antara Ki Tumenggung Wimbasara melawan Ki Lurah Agung Sedayu.

Para prajurit dan pengawal yang mendengar berita itu menjadi berdebar-debar. Mereka tidak dapat membayangkan, apa yang sebenarnya terjadi di halaman istana. Mereka sulit mengerti bahwa dalam perang yang siap meledak hari ini, masih ada perang tanding antara dua orang prajurit dari kedua belah pihak.

Para penghubung yang menyampaikan perintah Panembahan Senapati itu mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi. Beberapa orang senapati dapat membayangkan serba sedikit, tetapi ada di antara mereka yang tetap tidak mengerti, kenapa Panembahan Senapati begitu sabar menghadapi Ki Tumenggung Wimbasara.

Sementara itu di halaman istana, Ki Patih Mandaraka telah memanggil dan kemudian memberikan perintah kepada Ki Lurah Agung Sedayu untuk memasuki gelanggang perang tanding. Di telinganya Ki Patih berbisik, “Hati-hati Agung Sedayu. Kau harus berhasil. Jika kau gagal, maka orang itu akan merendahkan martabat Panembahan Senapati dan menantangnya untuk berperang tanding. Tetapi satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa orang itu adalah saudara seperguruan Kanjeng Adipati Pati. Jika kau pernah mengenal salah seorang guru Kanjeng Adipati, namun hanya pada satu sisi ilmu, Ki Tumenggung Wimbasara adalah saudara seperguruan Kanjeng Adipati yang memiliki berbagai macam ilmu. Karena itu ia berani dengan wajah tengadah merendahkan Panembahan Senapati dengan menantangnya dalam perang tanding.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku akan menjalankan perintah ini. Aku mohon doa restu para pemimpin Mataram, agar aku dapat melakukan tugas ini dengan sebaik-baiknya. Semoga Yang Maha Agung melindungi aku.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah melangkah maju. Kepada Panembahan Senapati, Agung Sedayu itu pun kemudian berkata pula, “Hamba mohon doa restu, Panembahan.”

Panembahan Senapati mengangguk kecil. Katanya, “Kau mewakili aku dalam perang tanding ini. Tetapi aku mengenalmu dengan baik Agung Sedayu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia melangkah maju berhadapan dengan Ki Tumenggung Wimbasara.

Ki Tumenggung Wimbasara termangu-mangu sejenak melihat Lurah prajurit yang dihadapkan kepadanya. Orang itu masih muda.

Dengan nada tinggi Ki Tumenggung Wimbasara itu pun bertanya, “Jadi orang inikah yang bernama Agung Sedayu, Lurah prajurit Mataram yang akan melakukan perang tanding?”

Agung Sedayu memandang wajah Ki Tumenggung dengan tajamnya. Sementara itu terdengar Ki Patih Mandaraka menjawab, “Ya, Ki Tumenggung. Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang Lurah prajurit yang dipercaya untuk memimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu seorang yang berilmu tinggi. Hanya orang-orang yang mempunyai kelebihan sajalah yang dipercaya untuk memimpin Pasukan Khusus. Tetapi baiklah Ki Lurah. Kau tentu sudah tahu bahwa aku adalah Tumenggung Wimbasara,. Aku tidak dapat menolak ketika Ki Patih Mandaraka mengatakan bahwa seorang Lurah prajurit Mataram yang akan turun ke perang tanding ini. Sebenarnya aku menantang Panembahan Senapati sendiri untuk turun ke gelanggang. Tetapi Mataram menganggap bahwa itu tidak wajar. Hanya jika Kanjeng Adipati Pragola turun ke medan maka Panembahan Senapati akan berperang. Perang gelar atau perang tanding. Tetapi karena aku yang menjadi lambang perlawanan Pati sekarang ini, maka Mataram telah menunjuk seorang Lurah prajurit.”

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia tidak menjawab sama sekali. Sementara Ki Tumenggung itu pun berkata, “Aku tidak tahu apakah alasan sebenarnya bahwa para pemimpin Mataram menunjukmu, Ki Lurah. Ada dua kemungkinan, Mataram yakin akan kemampuanmu yang tinggi. Tetapi kemungkinan lain, kau hanya sekedar akan menjadi tumbal harga diri para pemimpin Mataram yang berlebihan, sehingga mereka merasa tidak pantas untuk menanggapi tantanganku. Baru setelah kau menjadi tumbal, maka Panembahan Senapati akan memasuki arena perang tanding.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Panembahan Senapati-lah yang menyahut, “Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang pernah melakukan pengembaraan bersamaku di masa muda. Kalau Paman Tumenggung adalah saudara seperguruan Adimas Adipati Pragola, Agung Sedayu telah mengalami pembinaan diri bersama aku, meskipun kami bukan saudara seperguruan. Karena itu, sama sekali tidak terpikir oleh kami orang-orang Mataram, bahwa Ki Lurah akan sekedar menjadi tumbal.”

“Jadi Panembahan merasa, meskipun hanya seujung duri, bahwa Ki Lurah akan menang?”

“Jika kami menunjuk Ki Lurah Agung Sedayu, bukan berarti bahwa kami sedang memutuskan hukuman mati bagi Ki Lurah Agung Sedayu,” jawab Panembahan Senapati.

“Jika demikian, Panembahan yakin bahwa Ki Lurah akan menang dalam perang tanding ini? Jika kepercayaan Panembahan begitu tinggi kepada Ki Lurah, kenapa sampai sekarang ini ia masih juga seorang Lurah prajurit?”

Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Matahari sudah menjadi semakin tinggi. Apa sebenarnya yang ingin Paman lakukan?”

“Bagus,” sahut Ki Tumenggung Wimbasara. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Bersiaplah Ki Lurah. Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin merendahkan derajadmu. Dalam tataran kepemimpinan memang sering terjadi, bahwa seseorang yang lebih rendah pangkat dan jabatannya memiliki kemampuan pada satu sisi yang lebih tinggi dari orang yang lebih tinggi pangkat dan jabatannya. Tetapi kemampuan seseorang dalam olah kanuragan memang bukan satu-satunya syarat untuk mendapatkan derajad.”

Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi dengan tajamnya Agung Sedayu memandang wajah orang yang disebut Ki Tumenggung Wimbasara itu.

Sejenak kemudian, Ki Tumenggung itu pun melangkah maju. Namun ia sempat berkata kepada para pengiringnya, “Jangan ikut campur. Biarlah aku berjuang untuk mengamankan istana ini. Hanya itulah yang dapat kita lakukan sekarang.”

Para pengiringnya termangu-mangu sejenak. Nampaknya mereka pun sudah siap untuk melakukan apa saja, bahkan untuk mati sekalipun. Tetapi gagasan Ki Tumenggung Wimbasara itu telah menempatkan mereka sekedar sebagai penonton.

Meskipun demikian, para prajurit Pati itu pun telah bersiap sepenuhnya. Jika orang-orang Mataram ingkar janji, mereka telah siap bertempur, meskipun mereka tahu benar akibatnya.

Demikianlah, Ki Tumenggung Wimbasara itu telah bersiap. Ketika ia bergeser selangkah, maka Agung Sedayu pun telah bergerak pula.

Sebagai seorang yang berilmu tinggi dan memiliki pengalaman yang sangat luas, maka Ki Tumenggung pun melihat bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang memiliki keyakinan yang tinggi pada kemampuannya.

Sejenak kemudian, kedua orang itu pun mulai saling menjajagi kemampuan lawan. Keduanya mulai saling menyerang, meskipun serangan-serangan mereka masih belum bersungguh-sungguh.

Namun semakin lama keduanya menjadi semakin cepat bergerak. Ki Tumenggung yang memiliki pengalaman yang luas itu mulai mencoba memancing lawannya yang masih muda, agar cenderung untuk bersikap atas landasan arus perasaannya. Ki Tumenggung berniat membuat Agung Sedayu tergelitik dan membuat darahnya menjadi panas. Ki Tumenggung itu ingin membuat lawannya yang masih terhitung muda itu marah, sehingga Ki Lurah itu akan kehilangan kendali penalarannya

Karena itu, serangan-serangan Ki Tumenggung itu menjadi semakin cepat. Tangannya setiap kali bergerak dengan cepat menggapai ikat kepala Agung Sedayu.

Tetapi meskipun masih terhitung muda, ternyata pengalaman Agung Sedayu tidak kalah luasnya. Ketika serangan-serangan lawannya menjadi semakin cepat, Agung Sedayu menyadari bahwa lawannya tidak langsung berusaha menghentikan perlawanannya, tetapi Ki Tumenggung itu justru ingin membakar jantungnya dan membuatnya marah.

Agung Sedayu mengerti, hal itu dilakukan oleh Ki Tumenggung karena Ki Tumenggung mulai melihat kemampuannya. Namun justru karena itu, maka Ki Tumenggung telah kehilangan beberapa saat yang sebenarnya dapat dipergunakannya sebagai ancang-ancang, jika ia langsung ingin menghentikan perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu.

Tetapi sikap hormat Panembahan Senapati terhadap Ki Tumenggung Wimbasara itu ternyata berpengaruh pula atas sikap Agung Sedayu. Selain ia menyadari bahwa lawannya adalah seorang yang benar-benar pilih tanding, Agung Sedayu pun ingin menghormatinya dengan sikapnya menghadapi lawannya.

Ki Tumenggung pun bertempur dengan penuh perhitungan, meskipun tidak seluruh perhitungannya benar. Ternyata pada tataran pertama dari pertempuran itu, Ki Tumenggung tidak berhasil membuat Agung Sedayu tersinggung dan marah agar lebih banyak dikendalikan oleh perasaannya, bukan oleh penalarannya.

Ki Tumenggung yang ingin menyambar ikat kepala Agung Sedayu itu tidak pernah berhasil. Bahkan ketika Agung Sedayu dengan mantap membentur tangannya yang terjulur, maka terasa pergelangan tangannya menjadi nyeri.

Karena itu, Ki Tumenggung telah merubah rencananya. la tidak berusaha membuat lawannya tersinggung dan marah, tetapi sekaligus menyerang tempat-tempat yang berbahaya.

Namun itu pun tidak mudah dilakukannya. Semakin cepat Ki Tumenggung bergerak untuk menyerang, maka semakin cepat pula Agung Sedayu berloncatan menghindar.

Bahkan kemudian Agung Sedayu pun telah merasa sampai pada waktunya untuk membalas serangan demi serangan.

Ki Tumenggung Wimbasara mengerutkan dahinya. Benturan-benturan menjadi semakin sering terjadi. Jika selapis Ki Tumenggung meningkatkan kekuatannya setelah terjadi benturan, maka Agung Sedayu pun telah melakukannya pula.

Dengan demikian, pertempuran itu menjadi semakin seru. Keduanya menjadi semakin garang. Ketika keringat mulai membasahi pakaian mereka, pertempuran itu pun telah memanjat mencapai puncak.

Panembahan Senapati memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. la mengenal Agung Sedayu sejak mudanya, ketika keduanya, tanpa menyandang kedudukan mereka masing-masing, bersama-sama mengembara memperdalam ilmu mereka.

Panembahan Senapati mengetahui bahwa Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Berbagai macam ilmu tersimpan di dalam dirinya. Seakan-akan ilmu itu datang dengan sendirinya tanpa harus menjalani laku yang rumit.

Karena itu, Panembahan Senapati berani berharap bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat dihancurkan oleh lawannya, meskipun Panembahan Senapati pun mengerti bahwa Ki Tumenggung Wimbasara adalah seorang yang mempunyai landasan sebangsal ilmu.

Demikianlah, keduanya telah mulai mengungkap kekuatan tenaga dalam mereka masing-masing, sehingga tingkat pertempuran itu sudah menjadi semakin sengit.

Para prajurit pilihan dari Pati yang menyertai Ki Tumenggung itu pun menjadi tegang. Dua orang Rangga, tiga orang Lurah dan beberapa orang prajurit pilihan itu melihat, betapa seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khusus Mataram itu mampu mengimbangi kemampuan Ki Tumenggung lapis demi lapis, sampai pada tataran yang paling tinggi. Bahkan kemudian Ki Tumenggung itu telah mengangkat tenaga dalamnya pula.

Serangan-serangan Ki Tumenggung yang menghentak-hentak telah mendesak Agung Sedayu beberapa langkah surut. Sambil meloncat maju, tangan Ki Tumenggung itu terjulur lurus mengarah ke dada. Terasa hempasan angin yang terdorong oleh getaran gerak tangan Ki Tumenggung menyentuh tubuh Agung Sedayu. Tetapi karena Agung Sedayu kemudian bergeser surut, maka tangan Ki Tumenggung itu tidak menyentuhnya. Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu memutar tubuhnya. Kakinya yang terayun mendatar menyambar kepala Agung Sedayu.

Dengan cepat Agung Sedayu merendahkan diri. Ditariknya satu kakinya menyilang kakinya yang lain. Tetapi demikian kaki Ki Tumenggung yang berputar itu terayun lewat di atas kepalanya, Agung Sedayup un dengan cepat melontarkan kakinya yang menyilang sambil bangkit berdiri.

Hampir saja kaki Agung Sedayu menyambar lambung. Tetapi Ki Tumenggung itu pun menggeliat, sehingga kaki Agung Sedayu tidak mengenalnya.

Namun Agung Sedayu tidak membiarkan lawannya itu terlepas Dengan cepat ia memburu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar