Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 302

Buku 302

Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka sama sekali tidak melihat persiapan orang-orang Tanah Perdikan itu untuk melakukan perburuan.

Meskipun demikian, anak-anak muda itu telah berusaha secepatnya memanjat tebing. Kemudian menuruni sisi yang lain dan keluar dari tlatah Tanah Perdikan Menoreh.

Pada saat yang bersamaan, Ki Jayaraga telah berada di padepokan Kiai Warangka di dekat padukuhan Kronggahan. Ki Winong dan Ki Serut pun segera disimpan dalam bilik khusus. Kepada para cantriknya Kiai Warangka berpesan, “Berhati-hatilah. Kedua orang itu berbahaya, jangan sampai lepas. Awasi bilik tahanan. Mereka susah untuk melarikan diri, tetapi kemungkinan orang lain yang berusaha membebaskan mereka.”

Seorang putut dan seorang cantrik yang ikut pergi ke Tanah Perdikan itu-lah yang diserahi tanggung jawab terhadap kedua orang tawanan mereka itu.

“Siapakah mereka?” bertanya seorang putut yang lain.

Putut yang pergi bersama Kiai Warangka itu menjawab, “Mereka adalah para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras.”

“Kiai Timbang Laras?” putut yang bertanya itu menjadi heran. Ia mengenal Kiai Timbang Laras sebagai saudara seperguruan Kiai Warangka.

“Ya. Nampaknya keberadaan mereka di padepokan ini dianggap penting, sehingga Ki Jayaraga harus mengantar perjalanan kami.”

“Apakah keduanya berilmu sangat tinggi?”

“Tidak. Keduanya tidak berilmu tinggi. Tetapi kemungkinan lain dapat terjadi. Justru usaha untuk membebaskan kedua orang itu oleh saudara-saudara seperguruan mereka.”

Putut itu pun kemudian menceritakan kepada kawannya, apa yang telah dilakukan oleh kedua orang itu, sehingga Kiai Warangka merasa perlu untuk membawa keduanya ke padepokan itu.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga masih berbincang dengan Kiai Warangka tentang banyak kemungkinan yang dilakukan oleh Kiai Timbang Laras. Setelah beristirahat sejenak, keduanya telah pergi ke bilik tempat kedua orang murid Kiai Timbang Laras itu disimpan.

Dalam pada itu, para cantrik dari padepokan Kiai Warangka itu telah berjaga-jaga dengan sebaik-baiknya. Jika Kiai Timbang Laras datang untuk mengambil kedua muridnya, padepokan Kiai Warangka itu sudah siap untuk menghadapi mereka.

“Apakah Kiai Timbang Laras mengetahui bahwa dua orang muridnya ada di sini?” desis seorang cantrik.

“Entahlah. Tetapi Kiai Timbang Laras itu mempunyai seribu mata dan seribu telinga. Bahkan seakan-akan dedaunan di pepohonan itu adalah telinganya pula, sementara di dinding-dinding padukuhan itu melekat matanya yang tidak pernah berkedip,” jawab kawannya. 

Dalam pada itu, Kiai Warangka dan Ki Jayaraga telah berada di dalam bilik kedua orang murid dari padepokan Kiai Timbang Laras itu. Dengan nada berat Kiai Warangka itu bertanya, “Apakah kalian ingin berbicara dengan Kiai Warangka?”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Kiai Warangka yang diperkenalkan sebagai Ki Bekel itu berkata selanjutnya, “Menurut para cantrik, Kiai Warangka sedang pergi ke Kronggahan. Tetapi ia akan segera kembali.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka memandang Kiai Warangka dan Ki Jayaraga berganti-ganti. Mereka memang mencurigai bahwa yang diperkenalkan kepada mereka sebagai Ki Bekel itu tentu bukan seorang Bekel. Bahkan mereka pun curiga bahwa orang itu adalah Kiai Warangka.

Karena kedua orang itu sama sekali tidak menyahut, maka Kiai Warangka itu pun telah bertanya pula, “Nah, sebelum Kiai Warangka datang, apakah ada sesuatu yang ingin kalian katakan? Kami tidak akan terlalu lama berada di sini. Kami akan segera kembali ke Tanah Perdikan.”

Keduanya masih tetap berdiam diri.

“Ki Winong dan Ki Serut,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “tugas apakah yang sebenarnya kalian emban dari Ki Timbang Laras, sehingga kalian telah mengawasi padepokan ini dan kemudian mengikuti aku, dan tentu kalian akan mengambil tindakan-tindakan lebih jauh?”

Kedua orang itu masih tetap berdiam diri.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Jayaraga, “kalian sekarang sudah tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tidak ada lagi yang akan mencegah jika kami ingin berbuat sesuatu atas kalian. Kami tidak akan dapat melakukannya di bawah penglihatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, agar mereka tidak terlibat dalam persoalan ini. Karena itu, maka kalian harus berada di luar Tanah Perdikan, sehingga segala tanggung jawab akan aku pikul sendiri. Bahkan Ki Bekel yang daerahnya kau sentuh itu pun harus ikut keluar dari Tanah Perdikan jika ia mempunyai kepentingan lebih banyak dengan kalian.”

Jantung kedua orang itu terasa berdegup semakin cepat. Sebenarnyalah keduanya menjadi ragu. Siapa sebenarnya yang mereka hadapi dan apa sebenarnya yang mereka kehendaki.

Tiba-tiba saja Ki Jayaraga itu membentak, “Apa tugas yang dibebankan oleh Kiai Timbang Laras kepada kalian?”

Kedua orang itu terkejut. Mereka bergeser setapak ketika mereka melihat Ki Jayaraga itu berdiri sambil bertolak pinggang. Bahkan Kiai Warangka pun terkejut pula sehingga dadanya bergetar.

“Jawab pertanyaanku! Atau kalian akan mengalami nasib yang lebih buruk. Aku akan menantang kalian berperang tanding. Kalian berdua, aku seorang diri.”

“Tetapi, tetapi..,” salah seorang dari mereka menjadi gagap. Sedangkan yang lain menjadi pucat

“Cepat jawab pertanyaanku! Apa tugas yang dibebankan kepada kalian? Anak-anak muda yang tertangkap di Tanah Perdikan itu sudah mengaku tugas apa yang mereka bawa, meskipun aku harus memaksa mereka.”

Ketika Ki Jayaraga melangkah maju, orang yang wajahnya pucat itu berkata, “Ampun Kiai.”

Wajah Ki Jayaraga menjadi semakin nampak garang. Sementara Kiai Warangka justru berdiri termangu-mangu.

Ki Jayaraga yang kemudian berdiri selangkah di hadapan kedua orang itu, mulai menyentuh salah seorang dari mereka. Sambil menepuk pundaknya Ki Jayaraga berkata, “Apakah kalian tidak mau berbicara? Kalian kira kalian akan dapat menyelamatkan diri kalian dengan menunggu kedatangan Kiai Warangka?”

Kedua orang itu benar-benar menjadi ketakutan. Ketika Ki Jayaraga menekan pundak yang disentuhnya itu, terasa kekuatan yang besar telah menindihnya.

“Ampun Kiai,” berkata orang itu.

“Katakan! Apa tugas kalian?”

Kedua orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka melihat justru Ki Jayaraga yang memandangi mereka dengan sorot mata yang menyala.

“Kalian menunggu setelah kalian dipaksa berbicara?” bertanya Ki Jayaraga. “Baiklah. Jika demikian, kalian akan kami serahkan kepada para cantrik. Karena Kiai Warangka sendiri tidak ada, maka biarlah beberapa orang cantrik tertua di padepokan ini berbicara dengan kalian.”

“Tidak. Jangan,” hampir berbareng kedua orang itu memohon.

“Kenapa?” bertanya Ki Jayaraga, “Bukankah itu yang menjadi pilihan kalian.”

“Jangan serahkan kami ke tangan para cantrik.”

“Jika demikian, kenapa kalian tidak mau berbicara?”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Mereka benar-benar hanya mempunyai satu pilihan. Berbicara tentang tugas yang sedang mereka lakukan.

Sementara itu, Ki Jayaraga pun berkata, “Ki Bekel. Jika mereka tetap berdiam diri, kita serahkan saja kepada para cantrik, karena kita harus segera kembali ke Tanah Perdikan.”

“Terserah kepada Ki Jayaraga,” jawab Kiai Warangka.

“Baiklah,” Ki Jayaraga mengangguk-angguk, “aku akan berbicara dengan para cantrik.”

Tetapi ketika Ki Jayaraga beringsut, Ki Winong pun berdesis, “Tunggu Kiai.”

“Kau jangan mempermainkan aku,” sahut Ki Jayaraga, “aku harus segera kembali ke Tanah Perdikan. Kau kira Ki Bekel tidak mempunyai kerja lain daripada menunggui kalian di sini?”

“Kiai,” berkata Ki Winong, “jangan serahkan kami kepada para cantrik.”

“Cukup!” Ki Jayaraga justru membentak, “Aku muak mendengarnya. Kau mencoba mengulur waktu sampai Kiai Warangka datang?”

“Tidak, Kiai. Aku akan berbicara. Didengar atau tidak didengar oleh Kiai Warangka,” berkata Ki Winong.

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak, sementara Ki Winong memandangi Kiai Warangka dengan kerut di dahinya.

Namun Kiai Warangka dan Ki Jayaraga sudah tanggap, bahwa sebenarnya kedua orang itu sudah menyadari dengan siapa mereka berhadapan. Karena itu, keduanya memang merasa bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjawab pertanyaan Ki Jayaraga.

“Kiai,” berkata Ki Winong kemudian, “sebenarnyalah kami mendapat tugas dari Kiai Timbang Laras untuk mengetahui keadaan dan kelebihan serta kekurangan padepokan Kiai Warangka.”

“Aku sudah tahu,” jawab Ki Jayaraga, “tetapi untuk apa?”

Wajah Ki Winong menegang. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Kiai Timbang Laras memang mempunyai rencana tentu. Tetapi tidak semua cantrik mengetahui rencana tersebut. Bahkan orang-orang yang sudah lama menjadi muridnya seperti kami berdua, tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Hanya beberapa orang tertentu saja-lah yang diajak berbicara oleh Kiai Timbang Laras.”

“Apakah kalian tidak termasuk orang penting di padepokanmu itu?” bertanya Kiai Warangka.

“Bukan, Kiai,” jawab Ki Winong, “kami berdua adalah orang-orang yang seolah-olah sekedar mengabdi.”

“Bukankah kalian sudah lama berada di padepokan itu?”

“Tetapi orang-orang seperti kami tidak banyak mendapat perhatian dari Kiai Timbang Laras.”

“Meskipun demikian, dengan setia kalian tetap tinggal di padepokan itu serta menjalankan tugas apapun yang dibebankan kepada kalian. Bahkan mempertaruhkan nyawa kalian.”

“Bagi kami, kesetiaan adalah segala-galanya.”

Ki Jayaraga tiba-tiba tertawa. Katanya, “Kalian tentu setia kepada kedunguan kalian karena kalian setia pada keberadaan kalian di padepokan Kiai Timbang Laras. Tetapi sebenarnya kesetiaan kalian hanya selapis. Ketika kalian mengalami kesulitan seperti sekarang ini, maka kesetiaan kalian itu segera larut.”

“Kami tidak tahan mengalami penderitaan yang berlebihan. Ketika Kiai mengancam kami untuk mengalaminya jika kami berada di tangan para cantrik, maka larutlah kesetiaan itu ke dalam ketakutan dan barangkali kedunguan kami.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ternyata masih ada sisa

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

memandang Kiai Warangka sekilas. Dari mata mereka memancar pengharapan.

Ki Winong dan Ki Serut saling berpandangan. Sebuah pertanyaan telah timbul, “Apakah besok mereka masih ada di sini?”

Ternyata bukan kedua orang itu saja yang bertanya meskipun di dalam hati. Tetapi Ki Jayaraga pun mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba saja Ki Jayaraga tersenyum kecil sambil berkata, “Apakah kita masih mempunyai waktu besok?”

Kiai Warangka termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum pula sambil berkata, “Jika perlu, kita akan tinggal di sini sehari atau bahkan sebulan, atau setahun.”

Ki Winong dan Ki Serut termangu-mangu. Wajah mereka menjadi merah. Mereka memang merasa bahwa dalam keadaan yang bagi keduanya cukup gawat itu, ternyata bagi kedua orang itu seakan-akan tidak lebih dari sebuah kelakar yang pantas mereka tertawakan.

Tetapi keduanya tidak bertanya sesuatu. Mereka sadar bahwa mereka tidak berdaya di hadapan kedua orang yang berilmu tinggi itu.

Sementara itu, Ki Jayaraga pun berkata, “Beristirahatlah Ki Sanak. Mungkin kalian harus menjawab pertanyaan-pertanyaan lain esok. Jika bukan aku dan Ki Bekel, Kiai Warangka-lah yang akan datang kepada kalian.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Yang nampak pada mereka adalah gejolak perasaan mereka yang tidak menentu.

Sebenarnyalah bahwa Ki Winong dan Ki Serut itu seakan-akan dihadapkan pada bayangan-bayangan keraguan yang berubah-ubah. Kadang-kadang bayangan itu nampak menjadi semakin jelas. Namun tiba-tiba menjadi kabur dan tidak dapat dikenalinya kembali.

Dalam kebingungan itu, pintu bilik mereka telah ditutup. Orang yang mengaku sebagai Ki Bekel dan Ki Jayaraga telah meninggalkan mereka.

“Aku hampir menjadi gila,” desis Ki Winong.

“Mereka memang membuat kita gila,” jawab Ki Serut.

“Aku tidak akan peduli lagi apa yang akan terjadi. Aku tidak mau menjadi gila karena tingkah laku kedua orang itu.”

“Tetapi mereka berilmu tinggi. Terutama yang sudah kita kenal langsung adalah Ki Jayaraga.”

“Orang-orang berilmu tinggi kadang-kadang tidak lagi berbuat wajar.”

Kedua orang itu pun kemudian justru telah pasrah apapun yang akan terjadi atas diri mereka. Mereka tidak mau berpikir lagi apakah yang akan terjadi atas diri mereka.

“Biarlah kita tinggal menjalani,” desis Ki Winong.

“Ya. Kita tidak mau tersiksa sebelum kita benar-benar akan mengalami secara wadag,” sahut Ki Serut.

Namun dengan demikian, kedua orang itu justru segera dapat tidur nyenyak. Mereka tidak lagi digelisahkan oleh teka-teki serta sikap kedua orang yang sulit mereka pahami itu.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga telah duduk di pendapa bersama Kiai Warangka. Ternyata Ki Jayaraga tidak dapat tinggal terlalu lama di padepokan itu. Apalagi Ki Jayaraga juga mengetahui bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan akan segera berangkat ke Mataram. Mataram telah mempersiapkan pasukan yang besar yang akan berangkat ke Pati. Pasukan yang tentu harus lebih kuat dari pasukan yang ada di Prambanan, terutama kekuatan dari pasukan khususnya untuk menembus pertahanan Pati.

Kiai Warangka tidak dapat menahan Ki Jayaraga telah lama lagi. Dengan nada dalam Kiai Warangka berkata, “Aku mengucapkan terima kasih, Ki Jayaraga. Tetapi sepeninggal Ki Jayaraga, aku akan bermain sendiri. Permainan yang Ki Jayaraga mulai, aku-lah yang harus menyelesaikannya.”

Ki Jayaraga justru tertawa pendek. Katanya, “Dalang tidak akan kekurangan lakon. Kiai Warangka akan dapat menyelesaikan dengan baik.”

Kiai Warangka pun tertawa pula. Katanya, “Kedua orang itu nampaknya benar-benar menjadi bingung.”

“Semula aku tidak berniat membuat mereka bingung,” sahut Ki Jayaraga, “tetapi keadaan berkembang dengan sendirinya.”

Kedua orang itu tertawa. Namun Kiai Warangka pun berkata, “Jika Tanah Perdikan bersiap untuk pergi ke Mataram, maka padepokan ini pun harus bersiap untuk menghadapi Kiai Timbang Laras. Jika ia mengetahui bahwa dua orangnya ada di sini, mungkin petunjuk dari anak-anak muda yang tertangkap di Tanah Perdikan itu, ia tentu tidak akan tinggal diam. Apalagi sejak semula, ia memang sudah berniat untuk mengambil alih padepokan ini.”

“Bukankah Kiai Timbang Laras itu sudah membuat padepokannya sendiri?”

“Ki Jayaraga,” Kiai Warangka menjadi bersungguh-sungguh, “Timbang Laras mempunyai niat buruk terhadap padepokan ini. Meskipun aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya dikehendaki menurut pengakuannya sendiri, tetapi secara tidak langsung ia pernah mengatakan bahwa ia menduga, peninggalan Guru telah disembunyikan di padepokan ini, termasuk dua pusaka milik Guru, di samping beberapa jenis benda-benda berharga lainnya. Tetapi aku sendiri tidak pernah mengetahui bahwa Guru pernah menyimpannya di padepokan ini. Tetapi Timbang Laras tidak percaya. Ia justru telah dibakar oleh perasaan iri dan dengki.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Warisan memang dapat menimbulkan persoalan.”

“Ya,” Kiai Warangka mengangguk-angguk, “tetapi yang disebut warisan itu justru tidak aku ketahui.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Persoalannya nampak tidak terlalu sederhana bagi Kiai Timbang Laras. Namun Ki Jayaraga itu pun kemudian berdesis, “Agaknya Kiai Timbang Laras ingin merusak hubungan Kiai Warangka dengan Tanah Perdikan Menoreh itu tentu dengan maksud menjelekkan nama Kiai Warangka.”

“Mungkin Ki Jayaraga benar. Tetapi aku tidak mengira bahwa Timbang Laras itu demikian bodohnya sehingga ia mempergunakan cara yang sangat kasar itu.”

“Kesalahannya mungkin terletak pada kecerobohan Kiai Timbang Laras. Tetapi juga mungkin pada anak-anak itu. Agaknya ada pesan Kiai Timbang Laras yang tidak mereka lakukan, atau sebaliknya mereka telah melakukan sesuatu yang tidak dipesankan oleh Kiai Timbang Laras.”

“Mungkin sekali, Kiai. Karena itu,aku akan membuat penyelesaian dengan Timbang Laras. Jika ia mengetahui, warisan yang disembunyikan di padepokan ini dan mengingininya, akan aku persilakan untuk mengambilnya. Aku sudah cukup banyak menerima warisan dari Guru, meskipun berujud ilmu.”

“Ilmu tidak akan dapat dicuri orang, Kiai. Berbeda dengan benda-benda yang tinggi nilainya. Bahkan pusaka-pusaka sekalipun. Karena itu, berbahagialah Kiai Warangka yang mendapat warisan ilmu itu.”

Kiai Warangka tersenyum. Katanya, “Ya. Aku harus berbangga bahwa aku menerima lebih dari saudara-saudara seperguruanku yang lain. Guru juga memberikan kesempatan kepadaku melihat jalan yang terbuka untuk menentukan arah pengembangan ilmuku. Segalanya kemudian tergantung kepadaku, apakah aku akan melakukannya dengan rajin atau justru aku hanya bermalas-malas saja.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai akan menemukan sesuatu yang berharga. Tidak hanya buat Kiai sendiri, tetapi buat banyak orang di sekitar Kiai. Jika Kiai berhasil mengembangkan ilmu yang Kiai warisi melampaui ilmu yang pernah dimiliki oleh guru Kiai, sehingga Kiai memiliki kemampuan yang lebih tinggi, maka ilmu itu akan menjadi setapak lebih maju. Jika hal yang sama terjadi pada murid-murid Kiai, maka perkembangan ilmu pada jalur perguruan Kiai akan menjadi semakin tinggi.”

“Mudah-mudahan Ki Jayaraga. Tetapi ternyata bahwa di antara kami saudara seperguruan, telah terjadi persoalan yang mungkin akan menjadi rumit.”

“Kiai,” berkata Ki Jayaraga, “dalam hubungannya dengan Kiai Timbang Laras yang telah mengirimkan anak-anak muda ke Tanah Perdikan Menoreh serta akibat yang dapat timbul kemudian, Ki Gede telah menyerahkan persoalannya kepadaku. Karena itu, aku akan selalu berhubungan dengan Kiai Warangka. Mungkin persoalan yang timbul dengan Kiai Timbang Laras itu akan dapat kita selesaikan bersama-sama.”

“Baiklah, Ki Jayaraga. Aku akan dengan senang hati berbuat sesuatu untuk membantu Ki Jayaraga. Tetapi pada suatu saat aku-lah yang akan mohon bantuan Ki Jayaraga.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Kita masih belum tahu pasti, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras.”

“Aku akan berusaha untuk bertemu dan berbiara dengan Timbang Laras, agar di antara kami dan tentu saja juga dalam hubungannya dengan Tanah Perdikan Menoreh, tidak selalu dibayangi oleh ketidakpastian. Kecurigaan dan bahkan permusuhan.”

“Tetapi, Kiai,” suara Ki Jayaraga merendah, “bukankah Kiai Timbang Laras tidak mempunyai hubungan dengan Pati, sehingga mungkin langkah yang diambilnya sejalan dengan perkembangan hubungan yang memburuk antara Mataram dan Pati?”

Kiai Warangka nampak merenung. Dengan nada ragu ia berkata, “Entahlah, Ki Jayaraga. Tetapi kemungkinan itu agaknya dapat terjadi. Timbang Laras ingin bermain dengan tombak bermata rangkap. Ia ingin menusuk ke depan dan ke belakang sekaligus dalam satu gerakan.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kita memang harus berhati-hati. Kiai Timbang Laras agaknya dengan sengaja berusaha meretakkan hubungan antara Kiai Warangka dan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Untunglah cara yang dipergunakan oleh Timbang Laras adalah cara yang kasar yang mudah dapat dilihat, meskipun mungkin itu kesalahan anak-anak muda yang menjalankan perintahnya. Tetapi bahwa ia memberikan perintah kepada anak-anak muda justru pada masa pendadaran untuk tugas penting itu, sudah merupakan kesalahan yang dapat merusak seluruh rencananya.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun dalam pembicaraan seterusnya, keduanya mendapatkan banyak persamaan pendapat menanggapi sikap Kiai Timbang Laras itu.

Demikianlah, Ki Jayaraga kemudian minta diri untuk kembali ke Tanah Perdikan.

“Aku akan melaporkannya kepada Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga, “sementara para pengawal bersiap untuk berangkat ke Mataram.”

Beberapa saat kemudian, Ki Jayaraga pun telah meninggalkan padepokan Kiai Warangka. Namun Ki Jayaraga itu sadar, bahwa untuk selanjutnya Ki Jayaraga itu akan lebih sering berhubungan dengan Kiai Warangka.

Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sudah bersiap sepenuhnya untuk segera berangkat ke Mataram setiap saat.

Pada malam terakhir menjelang keberangkatan ke Mataram itu, para pengawal yang sudah bersiap untuk berangkat di keesokan harinya masih sempat berada di antara keluarganya. Tetapi sebelum tengah malam mereka harus sudah berada di banjar padukuhan masing-masing. Besok pagi-pagi mereka akan berangkat ke Mataram. Tetapi sebelumnya mereka harus berkumpul lebih dahulu di banjar padukuhan induk.

Pasukan pengawal Tanah Perdikan itu tidak terlalu banyak berbeda dengan pasukan yang telah pergi ke Mataram. Beberapa orang baru nampak di antara mereka, untuk mengisi kekosongan dalam kelompok-kelompok yang sudah tersusun sejak perang yang terdahulu, tetapi tidak dapat ikut bersama pasukan yang baru itu. Ada di antara mereka yang telah gugur. Ada pula yang karena sakit atau sebab-sebab yang lain.

Di tengah malam semua orang harus sudah mulai beristirahat. Mereka harus sudah berbaring di tempat yang disediakan.

Ada di antara mereka yang langsung dapat tidur nyenyak. Tetapi ada yang menjadi gelisah. Ada pula yang rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu pagi. Tetapi ada pula di antara mereka yang bertanya-tanya, untuk apa mereka itu pergi ke medan perang.

Meskipun ada di antara para pengawal itu sulit untuk dapat tidur, namun dengan berbaring mereka sudah beristirahat. Sehingga di keesokan harinya jika mereka menempuh perjalanan ke Mataram, mereka tidak akan kelelahan dan apalagi kantuk di perjalanan.

Pagi-pagi benar para pengawal yang ada di banjar-banjar padukuhan itu telah bersiap-siap. Asap di dapur pun telah mengepul. Pada saat matahari terbit, mereka akan berangkat ke banjar padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, untuk selanjutnya akan berangkat menuju ke Mataram.

Karena itu, sebelum mereka meninggalkan banjar padukuhan, makan dan minum pun telah dipersiapkan secukupnya.

Ketika para pengawal itu berangkat dari padukuhan, para penghuni padukuhan itu pun masih juga memberikan penghormatan yang terakhir. Apalagi mereka yang memiliki sanak keluarga ikut dalam pasukan yang sedang berangkat itu.

Di sebuah padukuhan, seorang anak laki-laki yang sedang tumbuh menangis menjerit-jerit. Biasanya ia selalu didukung oleh ayahnya jika ayahnya pergi berjalan-jalan di pagi hari.

Tetapi hari itu ayahnya tidak mendukungnya. Ayahnya pergi dengan banyak laki-laki, justru sambil menimbang tombak pendek.

“Ayah! Ayah!” teriak anak itu. Suaranya masih belum mapan berbaur dengan tangis dan isaknya.

Ayahnya mendengar dan kemudian melihat anaknya meronta-ronta di dalam dukungan ibunya, sebagaimana hatinya yang meronta di dalam dadanya. Tetapi kesadarannya untuk mengabdi telah mendorongnya untuk berketetapan hati berangkat ke Mataram.

Beberapa saat kemudian, para pengawal Tanah Perdikan itu sudah berkumpul di banjar padukuhan induk. Mereka telah bersiap sepenuhnya untuk berangkat ke Mataram dan seterusnya menuju ke Pati.

Ki Gede yang berada di banjar telah memberikan beberapa pesan kepada mereka. Hanya pendek, tetapi langsung menyentuh jantung mereka.

Selain Ki Gede, Ki Jayaraga dan Ki Argajaya pun telah ikut melepas para pengawal yang berangkat ke Mataram itu.

Ketika matahari naik sepenggalah, para pengawal Tanah Perdikan itu pun telah dilepas untuk berangkat ke Mataram.

Seperti di padukuhan-padukuhan yang lain, mereka yang tinggal di padukuhan induk itu pun telah melepas para pengawal itu. Mereka berdiri di sepanjang jalan dari banjar sampai ke regol padukuhan. Bahkan beberapa orang berdiri di luar regol padukuhan, Mereka melambai-lambaikan tangan mereka. Namun ada di antara mereka yang mengusap air matanya yang mulai menitik.

Sejenak kemudian, para pengawal Tanah Perdikan itu sudah berjalan menyusuri jalan bulak. Mereka berbaris dengan tertib. Mereka masih belum membuka pertanda kebesaran dari Tanah Perdikan Menoreh, umbul-umbul, rontek dan kelebet, meskipun beberapa orang yang berdiri di paling depan membawa beberapa tunggul yang berdiri tegak.

Prastawa yang menjadi Senapati dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu berjalan di sebelah mereka yang membawa tunggul. Sementara Glagah Putih yang membantunya, justru berjalan di sebelah mereka yang berada di ujung ekor barisan.

Orang-orang yang melihat pasukan yang berjalan dalam sebuah barisan itu berlari-larian ke tepi jalan. Tetapi pada umumnya orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sudah mengetahui, bahwa sepasukan pengawal akan berangkat ke Mataram.

Ketika pasukan itu sampai ke tepian, mereka memerlukan waktu yang agak panjang untuk menyeberang. Beberapa buah rakit yang ada telah dipergunakan seluruhnya. Itupun harus hilir mudik beberapa kali sehingga orang yang terakhir. Prastawa ikut pada rakit yang pertama, sedangkan Glagah Putih ikut pada rakit yang terakhir.

Beberapa orang telah terpaksa tertahan di tepian. Mereka harus menunggu sampai seluruh pengawal Tanah Perdikan itu menyeberang.

Meskipun ada yang merasa mendapat kesempatan melihat sepasukan pengawal yang menyeberangi Kali Praga, namun ada juga yang mengumpat-umpat karena perjalanannya tertahan beberapa lama.

Seorang yang berpakaian rapi berdesis, “Orang-orang itu hanya memikirkan dirinya sendiri.”

“Kenapa?” bertanya orang yang berdiri di sebelahnya.

“Bukan hanya mereka yang mempunyai kepentingan untuk menyeberangi Kali Praga. Bukan hanya mereka yang dikejar waktu. Akupun tergesa-gesa.”

“Kau ingin mendapat kesempatan menyeberang lebih dahulu karena kau tergesa-gesa?”

“Tentu,” jawab orang berpakaian rapi itu.

“Apakah itu bukan semacam mementingkan diri sendiri?” bertanya orang yang berdiri di sebelahnya.

Orang itu membelalakkan matanya. Tetapi orang yang berdiri di sebelahnya memandanginya sambil tersenyum.

Orang berpakaian rapi itu pun melangkah menjauhinya sambil bergeremang panjang.

Beberapa saat kemudian, rakit yang terakhir pun telah merapat di tepian. Para pengawal terakhir bersama Glagah Putih telah berloncatan turun. Sementara rakit yang lebih dahulu merapat, telah mulai memuat orang-orang yang tertahan.

“Pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh,” desis seseorang setelah ia berdiri di atas rakit yang mulai bergerak menyeberang.

“Mereka akan ke Mataram?” bertanya orang yang berdiri berhadapan.

“Ya, nampaknya demikian.”

Orang yang berdiri berhadapan itu mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa kepergian pasukan pengawal Tanah Perdikan itu ke Mataram berarti bahwa perang masih akan berkelanjutan.

Sementara itu, pasukan pengawal dari Tanah Perdikan itu sudah menyusun barisan di tepian. Orang yang merasa terganggu yang masih berada di tepian sebelah barat Kali Praga itu masih saja bergeremang. Ia merasa bahwa waktunya telah dirampas oleh pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Orang itu termasuk salah satu di antara mereka yang tidak mau mengerti persoalan yang dihadapi oleh banyak orang, selain persoalan yang menyangkut dirinya sendiri.

Sejenak kemudian, barisan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah mulai bergerak lagi. Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke Mataram. Teriknya matahari rasa-rasanya membakar punggung, sehingga keringat mereka seakan-akan telah diperas dari tubuhnya.

Perjalanan pasukan pengawal itu menjadi semakin lambat. Telapak kaki mereka bagaikan menyentuh bara oleh panas yang semakin membakar.

Namun memenuhi perintah dari Mataram, sebelum senja pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berada di Mataram.

Ternyata di Mataram telah berdatangan para prajurit dan pengawal dari segala penjuru. Pasukan yang berada di Jati Anom telah berada di Mataram pula. Demikian pula pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung. Para prajurit Mataram yang berada di Ganjur. Para pengawal kademangan di Pegunungan Kidul.

Sementara itu pasukan dari beberapa kadipaten akan bergabung di sepanjang perjalanan pasukan Mataram itu ke Pati.

Dengan pasukan itu Mataram yakin akan dapat menundukkan kekuasaan Kanjeng Adipati Pati, yang telah mempersiapkan diri mengumpulkan pasukan untuk menyerang Mataram. Tetapi Mataram justru akan datang dan menikam Pati langsung sampai ke jantungnya, agar untuk selanjutnya Pati tidak akan lagi mengusik ketenangan Mataram.

Di Mataram, Glagah Putih sempat bertemu dengan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu berada di dalam satu pasukan yang akan selalu melekat pada Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Sementara itu beberapa orang pangeran yang ikut dalam pasukan itu, akan membawahi kesatuan-kesatuan mereka masing-masing, Namun semuanya itu akan tetap berada langsung di bawah perintah Panembahan Senapati sendiri.

“Besok, sehari kita akan mengatur pasukan,” berkata Agung Sedayu yang menemui Prastawa dan Glagah Putih di barak yang sudah disiapkan bagi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Dua buah rumah tinggal yang cukup besar lengkap dengan gandok kiri dan kanan, yang letaknya berseberangan jalan.

“Apakah besok lusa kita berangkat?” bertanya Prastawa.

“Ya. Besok lusa menjelang fajar kita akan berangkat. Pasukan ini akan dibagi menjadi tiga. Masing-masing akan berjalan lewat jalan yang berbeda. Namun kita akan bertemu di tempat yang sudah ditentukan, sebelum bersama-sama menyerang Pati. Sementara itu, beberapa kesatuan prajurit dari beberapa kadipaten akan menyatukan diri pula dalam serangan ini.”

Prastawa mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih bertanya, “Apakah Kakang sudah bertemu dengan Kakang Swandaru?”

“Sudah. Siang tadi,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum. Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun iapun tersenyum pula. Ia mengerti bahwa Swandaru agaknya telah memberikan banyak pesan bagi Agung Sedayu.

“Mudah-mudahan aku tidak bertemu dengan Kakang Swandaru,” desis Glagah Putih.

Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia masih juga bertanya, “Kenapa kau tidak ingin bertemu dengan Adi Swandaru?”

Glagah Putih pun tertawa pula. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu.

Namun keduanya tiba-tiba terdiam. Wajah mereka nampak berkerut ketika Prastawa berdesis, “Bukankah itu Kakang Swandaru?”

Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Ternyata mereka harus menahan tawa yang akan meledak.

Swandaru pun kemudian mendekati mereka sambil tersenyum pula. Kepada Glagah Putih ia berkata, “Aku mendengar bahwa pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh baru datang.”

“Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Ternyata kami dari Sangkal Putung telah datang lebih dahulu,” berkata Swandaru kemudian.

“Kami berangkat pagi tadi.”

“Berapa lama kau perlukan waktu perjalananmu?” bertanya Swandaru.

“Yang memerlukan waktu lama adalah saat kami menyeberangi Kali Praga. Jumlah rakitnya terbatas, sehingga rakit itu harus hilir mudik beberapa kali. Meskipun saat itu penyeberangan bagi orang-orang yang sedang dalam perjalanan dihentikan sama sekali dari kedua arah, namun kami memerlukan waktu yang panjang untuk menyeberangkan orang pertama sampai orang terakhir.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Penyeberangan memang dapat menghambat. Aku membawa pasukanku berangkat di dini hari. Tengah hari aku sampai di sini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kakang tidak menyeberangi sungai dengan rakit.”

“Tidak. Kami dapat menyeberangi Kali Opak tanpa rakit,” sahut Swandaru.

Untuk beberapa saat mereka duduk di pringgitan, sementara para pengawal telah beristirahat pula. Ada di antara mereka yang duduk di serambi gandok. Di tangga pendapa. Berdiri bergerombol di regol atau ber-jalan-jalan melihat-lihat keadaan kota.

Sementara itu, lampu telah menyala di mana-mana, Di setiap ruangan, di pendapa, serambi dan bahkan di regol-regol halaman.

Glagah Putih dan Agung Sedayu seperti biasanya harus mendengarkan pesan-pesan dari Swandaru, sedangkan Prastawa minta diri untuk melihat keadaan para pengawal yang berada di rumah di seberang jalan.

“Mungkin kita berada di jalur perjalanan yang berbeda,” berkata Swandaru.

“Agaknya memang demikian,” jawab Agung Sedayu, “Adi Swandaru akan berada di jalur jalan kedua, sedangkan Glagah Putih akan menyusuri jalur ketiga.”

“Kakang akan berada di jalur pertama bersama Panembahan Senapati?” sahut Swandaru.

“Tetapi baru besok kita akan mendapatkan kepastiannya. Segala sesuatu sedang dibicarakan malam ini oleh Panembahan Senapati dengan para Pangeran, para Panglima dan Senapati.” jawab Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bergumam, “Kakang selalu mendapat kesempatan yang terbaik. Kali ini Kakang akan berada dalam pasukan pengawal Panembahan Senapati. Seharusnya Kakang menanggapi kesempatan-kesempatan itu dengan sungguh-sungguh.”

“Maksudmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Kesempatan yang akan Kakang peroleh tentu akan menjadi semakin baik jika Kakang benar-benar meningkatkan diri. Jika Panembahan Senapati kemudian meyakini kemampuan Kakang dalam olah kanuragan, Kakang tentu akan mendapat kedudukan yang lebih baik. Bukan sekedar seorang Lurah prajurit yang di tempatkan di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin Kakang akan diangkat menjadi seorang Senapati dengan pangkat yang lebih tinggi dan dipercaya untuk memimpin satu kesatuan yang lebih besar.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan. Tetapi kesempatanku memang tidak terlalu banyak.”

“Kakang adalah seorang prajurit. Setiap hari Kakang bergelut dengan olah kanuragan. Di rumah Kakang ada sanggar, sementara di barak Kakang juga terdapat sanggar, yang justru jauh lebih lengkap peralatannya. Bukan saja sanggar tertutup, tetapi juga sanggar terbuka.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang sudah mencobanya. Mudah-mudahan serba sedikit dapat berhasil.”

“Aku telah membiarkan kitab Guru berada di tangan Kakang agar Kakang dapat mempergunakannya sebaik-baiknya. Jika kemudian Kakang mendapat kesempatan yang lebih baik, bukankah aku dapat ikut berbangga?”

Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Ya. Semoga aku dapat lebih maju lagi.”

Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya, “Pergunakan kesempatan Kakang sebaik-baiknya.”

“Aku akan mencobanya,” desis Agung Sedayu.

Glagah Putih memang selalu gelisah jika ia mendengarkan Agung Sedayu dan Swandaru berbincang. Tetapi semakin sering ia mendengar, akhirnya ia menjadi tidak peduli lagi. Rasa-rasanya Glagah Putih mendengar desir angin di dedaunan. Justru membuatnya mulai mengantuk.

Glagah Putih merasa seakan-akan terbangun ketika ia mendengar Swandaru itu minta diri kembali ke pasukannya.

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa dadanya menjadi lapang ketika ia mendengar Swandaru berkata kepadanya, “Beristirahatlah, Glagah Putih. Kita semuanya akan mendapat tugas yang tentu akan terasa sangat berat.”

“Baik, Kakang,” jawab Glagah Putih, “malam nanti aku akan tidur nyenyak.”

Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu masih tinggal beberapa lama bersama Glagah Putih. Namun kemudian Agung Sedayu pun minta diri pula.

“Besok baru kita tahu pasti, apa yang harus kita lakukan.”

Dalam pada itu, malam pun telah menyelimuti Mataram, yang terasa semakin pepat oleh para prajurit dan para pengawal dari berbagai daerah, yang siap untuk berangkat ke Pati.

Seperti dikatakannya, Glagah Putih memang berusaha untuk dapat tidur dengan nyenyak. Setelah bersama Prastawa mengatur penjagaan di barak mereka, Glagah Putih pun telah berada di pembaringannya. Ia berada dalam satu bilik yang agak luas di gandok sebelah kanan bersama beberapa orang pengawal. Sebuah amben yang agak besar menjadi tempat tidur mereka. Sementara itu masih ada beberapa orang lagi di dalam bilik itu yang tidur di atas tikar pandan.

Ketika Gelagah Putih melihat seorang anak muda yang gelisah, maka iapun berkata, “Apakah kau tidak terbiasa tidur di lantai? Nah, jika demikian, kau tidur saja di amben itu. Biarlah aku tidur di atas tikar di bawah.”

“Tidak,” jawab anak muda itu, “aku terbiasa tidur dimana-mana. Di lantai, di gubuk dan bahkan di mana saja.”

“Tetapi kau nampak gelisah,” berkata Glagah Putih.

“Bukan karena aku tidur di lantai,” jawab anak muda itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa yang sebenarnya gelisah bukan hanya anak muda itu saja. Tetapi beberapa orang anak muda yang lain juga menjadi gelisah.

Karena itu, Glagah Putih tidak bertanya lebih jauh.

Glagah Putih pun kemudian telah terbaring di sebelah para pengawal. Ia ingin tidur beberapa lama. Di dini hari ia akan bangun dan menemani para pengawal yang bertugas.

Ternyata seperti yang dikatakannya kepada Swandaru, Glagah Putih pun kemudian telah tertidur nyenyak. Tetapi ia tidak terlambat bangun, sebagaimana diinginkan. Ketika ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, Glagah Putih pun telah bangkit dengan hati-hati. Ia tidak ingin mengejutkan kawan-kawannya yang tidur dengan nyenyak. Anak muda yang gelisah itu telah tertidur pula. Tetapi dalam tidurnya, masih juga nampak betapa jiwanya gelisah.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu baru pertama kali ikut dalam satu kesatuan yang akan pergi ke medan perang. Perang yang sebenarnya.

Sejenak kemudian Glagah Putih telah keluar dari dalam bilik itu. Halaman rumah yang dipergunakan sebagai barak pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu nampak sepi. Tetapi masih ada beberapa orang yang duduk di pendapa sambil berbincang. Mereka menyelimuti tubuhnya dengan kain panjangnya sambil memeluk lutut.

Glagah Putih berjalan mendekatinya sambil bertanya, “Kalian tidak beristirahat?”

“Kami tidur terlalu sore, sehingga ketika kami bangun, rasa-rasanya mata kami tidak mau dipejamkan lagi,” jawab salah seorang dari mereka.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian turun ke halaman dan melangkah ke regol. Empat orang duduk beberapa langkah dari regol. Mereka membentangkan tikar mendong di bawah sebatang pohon kemiri. Sedangkan dua orang yang lain, bertugas berdiri di sebelah menyebelah regol.

Glagah Putih menyapa orang-orang yang sedang bertugas itu. Namun kemudian iapun melangkah ke luar regol halaman.

Jalan di depan regol nampak sepi. Tidak nampak seorang pun yang lewat. Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih mendengar derap kaki kuda. Empat orang prajurit berkuda tengah meronda berkeliling kota.

Glagah Putih itu pun kemudian menyeberangi jalan dan masuk ke halaman rumah seberang yang juga dipergunakan oleh pasukan pengawal Tanah Perdikan. Seperti di regol di seberang, para pengawal yang bertugas pun tetap berjaga-jaga di regol halaman.

“Kakang Prastawa baru saja masuk,” berkata salah seorang pengawal yang bertugas.

“Biar sajalah,” berkata Glagah Putih, “aku hanya melihat-lihat saja.”

Pengawal itu tidak menyahut lagi, sementara Glagah Putih melangkah naik ke pendapa.

Ada beberapa orang yang tidur di pendapa. Nampaknya mereka lebih senang tidur di tempat terbuka daripada di dalam bilik yang rapat. Apabila di sebuah bilik terdapat enam atau bahkan delapan orang pengawal, rasa-rasanya bilik-bilik itu menjadi pengap.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih pun telah kembali ke rumah seberang. Iapun kemudian melangkah lewat pintu seketheng menuju ke halaman belakang.

Beberapa orang petugas di dapur juga sudah bangun. Mereka sudah mulai bersiap-siap untuk menyalakan perapian. Sebentar lagi mereka harus masak buat pasukan pengawal Tanah Perdikan itu.

Glagah Putih tidak kembali ke pembaringannya sampai fajar mewarnai langit Setelah mandi dan berbenah diri, iapun pergi ke seberang jalan untuk menemui Prastawa.

Sejenak kemudian, Prastawa pun telah memerintahkan para pemimpin kelompok dari pasukan pengawalnya untuk mengumpulkan semua orang di dalam pasukan itu di halaman rumah yang dipergunakan sebagai barak.

“Semua harus berkumpul di halaman rumah sebelah selatan jalan,” perintah Prastawa.

Sejenak kemudian, seluruh pasukan telah berkumpul. Prastawa telah memberikan sesorah pendek, serta memperingatkan para pengawal itu agar mereka tetap teguh memegang semua perintah dan pesan. Baik sebagai pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maupun sebagai putra-putra terbaiknya, agar tetap menjaga dan menjunjung tinggi nama kampung halaman mereka.

“Tidak hanya dengan menunjukkan kelebihan kalian dalam olah kanuragan, memenangkan perkelahian dan tindak kekerasan yang lain. Tetapi justru dengan sikap dan tingkah laku yang baik dan bersahabat, serta unggah-ungguh yang mapan.”

Demikianlah, hari itu para pengawal Tanah Perdikan itu dapat beristirahat sebaik-baiknya. Mungkin besok mereka harus berangkat menempuh perjalanan jauh. Menuju ke Pati.

Tetapi Prastawa juga memperingatkan, meskipun mereka dapat beristirahat tetapi mereka harus tetap mempersiapkan diri sebaik-baiknya, termasuk mempersiapkan senjata-senjata dan perlengkapan mereka.

Dalam pada itu, hari itu para pemimpin, para pangeran dan para senapati telah mengadakan pertemuan. Mereka telah membicarakan pelaksanaan keberangkatan mereka ke Pati.

Ketika para pemimpin itu telah mencapai kesepakatan, maka setiap panglima yang akan memimpin satu pasukan yang berangkat ke Pati akan mengumpulkan para pemimpin pasukan yang akan berada di dalam pasukannya.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Untara, pasukan Mataram akan dibagi menjadi tiga. Di tengah akan dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati. Kemudian yang satu akan menuju ke Pati melalui jalan sebelah timur, dan yang lain akan menempuh perjalanan lewat sisi sebelah barat. Mereka akan berhenti di tempat-tempat yang telah ditentukan, untuk menunggu saatnya mereka akan menyerang. Sedangkan pasukan dari para bupati dan adipati akan bergabung dengan mereka sesuai dengan garis kebijaksanaan yang sudah ditentukan.

Karena itu, beberapa orang penghubung berkuda pada hari itu juga berangkat mendahului pasukan, untuk menyampaikan perintah Panembahan Senapati kepada para bupati dan adipati yang telah menyatukan diri dengan Mataram.

Dalam pada itu, ternyata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat benar-benar beristirahat. Mereka harus bersiap-siap untuk berangkat esok pagi-pagi sekali bersama-sama dengan kesatuan-kesatuan yang lain.

Menjelang sore, setiap pemimpin dari kesatuan yang akan berangkat telah dikumpulkan oleh panglima masing-masing untuk mendapatkan penjelasan.

Prastawa dan Glagah Putih pun ikut pula dalam pertemuan itu. Mereka mendengarkan perintah-perintah, pesan-pesan dan petunjuk-petunjuk untuk menjalankan tugas mereka. Baik di perjalanan maupun setelah mereka berada di Pati.

Pada gilirannya, Prastawa dan Glagah Putih telah memanggil para pemimpin kelompok dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk memberikan penjelasan, apa yang harus mereka lakukan.

Dalam pada itu di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga telah menerima utusan Kiai Warangka yang memberi-tahukan bahwa hubungannya dengan saudara seperguruannya menjadi semakin buruk.

“Apakah Kiai Warangka telah menemui Kiai Timbang Laras?” bertanya Ki Jayaraga kepada utusan itu.

“Belum Kiai,” jawab utusan itu.

“Jadi, kenapa Kiai Warangka dapat mengatakan bahwa hubungannya dengan Kiai Timbang Laras menjadi semakin buruk?”

“Dua orang cantrik Kiai Timbang Laras telah datang menemui Guru.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Apa yang dikatakan oleh kedua orang utusan itu?”

“Tentang harta warisan,” jawab utusan itu, “tetapi aku tidak begitu jelas, warisan apakah yang dipersoalkan oleh Kiai Timbang Laras itu.”

“Baiklah. Aku akan datang menemui Kiai Warangka,” jawab Ki Jayaraga. Namun iapun masih juga bertanya, “Bukankah kedua orang dari padepokan Kiai Timbang Laras itu masih berada di sana?”

“Masih, Kiai. Kedua orang itu juga menjadi persoalan antara Kiai Warangka dan Kiai Timbang Laras.”

Ki Jayaraga pun kemudian telah minta diri kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, bahwa ia akan mengunjungi Kiai Warangka.

“Nampaknya ada persoalan yang lebih bersungguh-sungguh antara Kiai Warangka dengan saudara seperguruannya,” berkata Ki Jayaraga.

“Tetapi bukankah Ki Jayaraga tidak terlalu lama berada di padepokan?” bertanya Rara Wulan.

“Tidak Rara. Aku akan segera kembali.” jawab Ki Jayaraga.

“Kecuali jika ada perkembangan lain,” desis Sekar Mirah.

Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Katanya, “Ada berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Mudah-mudahan kemungkinan yang terbaik saja-lah yang aku temui.”

“Mudah-mudahan Ki Jayaraga, sehingga Ki Jayaraga akan segera kembali,” berkata Rara Wulan.

“Tidak ada seorang laki-laki pun di rumah ini,” berkata Sekar Mirah kemudian, “kecuali Sukra.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Tidak ada seorang laki-laki pun yang berani mengganggu rumah ini, meskipun di rumah ini tidak ada seorang laki-laki pun.”

Sekar Mirah dan Rara Wulan pun tertawa. Meskipun demikian, Rara Wulan masih berkata, “Tetapi Ki Jayaraga harus segera kembali.”

Sebenarnyalah Tanah Perdikan Menoreh terasa sepi. Sebagian besar laki-laki di Tanah Perdikan itu telah pergi ke Mataram. Meskipun demikian, masih ada kelompok-kelompok pengawal yang bertugas untuk menjaga ketenteraman Tanah Perdikan.

Malam itu juga Ki Jayaraga telah berada di padepokan Kiai Warangka. Dari Kiai Warangka, Ki Jayaraga mendengar bahwa Kiai Timbang Laras benar-benar ingin mendapatkan warisan dari perguruannya.

“Timbang Laras akan datang kemari,” berkata Kiai Warangka.

“Kapan?” bertanya Ki Jayaraga.

“Besok. Jika Ki Jayaraga sempat bertemu, Ki Jayaraga dapat bertanya kepadanya, apa yang dikehendakinya dengan mengirimkan anak-anak muda untuk membuat keresahan di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi bagaimana dengan Kiai Warangka sendiri? Bagaimana dengan warisan yang disebut-sebut itu?”

“Aku benar-benar tidak tahu, Ki Jayaraga. Jika hal itu sekedar merupakan cara Timbang Laras mengganggu ketenangan padepokan ini serta sekedar membuat persoalan, apa boleh buat.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi hal seperti itu memang dapat terjadi. Sebaiknya dua orang saudara seperguruan mempunyai ikatan tidak ubahnya dengan saudara kandung.

Ketika hal itu dikatakan oleh Ki Jayaraga, maka Kiai Warangka itu menjawab, “Bukankah dua orang saudara kandung juga ada yang berselisih berebut warisan?”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Iri dan dengki kadang-kadang akrab sekali hubungannya dengan fitnah, kebencian dan permusuhan.”

“Itulah yang sudah terjadi pada padepokan ini, Ki Jayaraga. Aku menyesal bahwa aku tidak dapat mengatasinya dengan hati damai.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kiai Warangka. Besok Kiai Timbang Laras akan datang. Selama ini mungkin kalian sekedar dibayangi oleh kesalah-pahaman. Karena itu, selagi kalian mendapat kesempatan untuk bertemu, mudah-mudahan kalian justru dapat mengurangi kesalahan-kesalahan itu. Dengan berbincang langsung, mungkin kalian akan menemukan titik temu dari perbincangan itu.”

“Mudah-mudahan. Aku memang masih berharap.”

Meskipun demikian Kiai Warangka tidak menjadi lengah. Sejak malam itu, semua putut dan cantriknya diperintahkannya untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Sampai jauh malam Kiai Warangka masih berbincang dengan Ki Jayaraga. Baru setelah terdengar kokok ayam jantan bersahutan di tengah malam, Kiai Warangka mempersilakan Ki Jayaraga untuk beristirahat.

Pagi-pagi benar Ki Jayaraga pun sudah bangun sebagaimana biasa dilakukannya di Tanah Perdikan Menoreh. Ketika Ki Jayaraga itu turun ke halaman, ternyata para cantrik pun telah terbangun pula. Kiai Warangka yang keluar ruang dalam tersenyum memandang Ki Jayaraga yang sudah berada di halaman.

“Ternyata Ki Jayaraga sudah bangun,” berkata Kiai Warangka.

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Sudah menjadi kebiasaan, Kiai.”

Demikianlah, setelah matahari terbit seisi padepokan itu pun telah berbenah diri. Mereka mengetahui bahwa hari itu Kiai Timbang Laras, saudara seperguruan Kiai Warangka, akan datang. Beberapa orang cantrik yang seharusnya pergi menjual hasil bumi ke pasar pun tidak pula pergi.

Meskipun tidak nampak semata-mata, namun para cantrik dan putut dari padepokan itu benar-benar telah mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi Kiai Warangka telah berpesan kepada mereka,, “Hati-hatilah. Jangan tergesa-gesa ambil sikap. Tunjukkan bahwa kalian adalah orang yang berhati dingin.”

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa mereka akan membiarkan perlakuan yang tidak adil atas diri mereka.

Semakin tinggi matahari, seisi padepokan itu menjadi semakin tegang menunggu kedatangan Kiai Timbang Laras. Mereka tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Pembicaraan yang lembut antara dua saudara, atau sikap yang keras dan geram.

Ki Jagabaya, seorang tamu di padepokan itu, ternyata turut menjadi tegang pula.

Dalam pada itu, Mataram pun terasa menjadi sepi pula. Para prajurit dan pengawal dari beberapa daerah yang bertimbun di Mataram telah mulai bergerak. Mereka telah berada di perjalanan menuju ke Pati.

Tiga pasukan segelar sepapan telah menempuh jalan yang berbeda menuju ke Pati.

Meskipun demikian, ketiga pasukan itu selalu berhubungan. Beberapa orang penghubung berkuda pada saat-saat tertentu menyampaikan berita kepada pasukan induk yang berjalan di tengah, di antara kedua pasukan yang lain.

Bagi ketiga pasukan itu telah ditentukan jalur jalan yang harus dilalui. Di kademangan atau padukuhan mana mereka harus berhenti dan menerima penghubung dari kedua pasukan yang lain.

Ketika matahari memanjat semakin tinggi di hari pertama, pasukan itu merayap menyusuri jalan yang masing-masing. Jarak yang ditentukan di setiap harinya harus dicapai, sehingga setiap panglima harus benar-benar memperhitungkan di mana mereka dapat beristirahat, dan seberapa lama mereka berhenti untuk makan di perjalanan.

Setiap pasukan pun telah mengirimkan beberapa kelompok kecil untuk berjalan mendahului. Mereka memperhatikan keadaan yang ada di hadapan mereka, agar pasukan mereka dalam keseluruhan tidak terjebak dalam perangkap lawan.

Sementara itu, matahari pun telah memanjat semakin tinggi. Keringat mulai mengalir di tubuh para prajurit dan pengawal yang menempuh perjalanan.

Sementara itu, para cantrik di padepokan Kiai Warangka pun menjadi semakin tegang pula. Rasa-rasanya mereka tidak sabar menunggu lagi. Bahkan sampai matahari mencari puncak langit, Kiai Timbang Laras masih juga belum datang.

“Apakah Timbang Laras mulai mengajak bermain sembunyi-sembunyian?” berkata Kiai Warangka.

“Kiai Timbang Laras sengaja membuat Kiai Warangka dan para cantrik menjadi tegang. Baru kemudian ia akan datang,” berkata Ki Jayaraga. Lalu katanya pula, “Karena itu, Kiai Warangka tidak usah banyak memikirkannya. Demikian pula para cantrik. Jika ia datang, kita akan menerimanya dengan baik. Jika tidak, biar sajalah ia tidak datang. Bukankah Kiai Timbang Laras yang berkepentingan dengan padepokan ini, bukan sebaliknya?”

“Nalarnya memang demikian, Ki Jayaraga,” jawab Kiai Warangka, “tetapi perasaan ini kadang-kadang tidak mau berdamai dengan nalar.”

Ki Jayaraga tertawa. Kiai Warangka yang gelisah itu sempat pula berseloroh.

Dua orang cantrik yang berganti-ganti mengamati jalan yang menuju ke padepokan itu pun menjadi gelisah pula. Namun kepada dua orang cantrik yang akan menggantikan tugas mereka, Kiai Warangka telah berpesan, “Kalian tidak usah menjadi tegang menunggu. Jika mereka kelihatan mendatangi padepokan ini, kalian memberikan isyarat dengan panah sendaren. Jika tidak, anggap saja kalian sedang beristirahat.”

Keduanya mengerutkan kening. Namun sambil tersenyum keduanya mengangguk-angguk.

Namun sedikit lewat tengah hari, yang mereka tunggu-tunggu itu benar-benar datang. Sebuah iring-iringan kecil orang berkuda, nampak memasuki jalan yang menuju ke padepokan itu.

Dua orang cantrik yang mengamati jalan menuju ke padepokan itu segera melontarkan panah sendaren ke arah padepokan.

“Akhirnya mereka datang,” berkata Kiai Warangka.

“Justru pada saat kita tidak lagi menunggu dengan gelisah,” berkata Ki Jayaraga sambil tersenyum.

Keduanya pun kemudian telah menunggu di pendapa.

Justru pada saat mereka menunggu, Ki Jayaraga sempat berangan-angan. Bukan saja perguruan Kiai Warangka yang mengalami persoalan yang menyangkut saudara-saudara seperguruan yang sebaiknya tidak terjadi. Ki Jayaraga yang tiba-tiba mengenang dirinya dan jalur perguruannya, menjadi berdebar-debar. Perguruannya bukan perguruan yang baik. Perselisihan telah terjadi pula. Bahkan tidak ada seorang pun di antara murid-muridnya yang menempuh jalan yang baik. Untunglah bahwa Ki Jayaraga telah menemukan seseorang untuk mewarisi ilmunya. Seorang yang kepribadiannya telah terbentuk. Glagah Putih.

Tetapi Ki Jayaraga tidak sempat berangan-angan lebih lama. Beberapa saat kemudian, iring-iringan kecil orang berkuda itu telah sampai di regol halaman padepokan.

Kiai Warangka, Ki Jayaraga dan dua orang putut telah menyongsong mereka.

Ki Jayaraga yang belum pernah mengenal Kiai Timbang Laras langsung dapat mengetahui, yang manakah di antara mereka yang bergelar Kiai Timbang Laras.

“Marilah, Timbang Laras,” Kiai Warangka mempersilakan.

“Kakang nampak semakin muda,” berkata Kiai Timbang Laras sambil tertawa.

“Kau masih juga suka bergurau,” sahut Kiai Warangka, “marilah.”

Kiai Timbang Laras dan para pengiringnya itu pun segera dipersilahkan duduk di pendapa bangunan induk padepokannya.

Kiai Timbang Laras itu pun kemudian segera diperkenalkan pula dengan Ki Jayaraga yang ikut menemuinya di pendapa.

Ki Timbang Laras itu mengangguk-angguk. Katanya dengan nada berat, “Jadi Ki Sanak ini tamu dari Tanah Perdikan Menoreh?”

“Begitulah Kiai Timbang Laras,” jawab Ki Jayaraga.

“Aku pernah mendengar serba sedikit tentang Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Kiai Timbang Laras.

“Jika Kiai sempat, aku persilakan Kiai singgah di Tanah Perdikan, mumpung Kiai sudah berada di padepokan yang tidak terlalu jauh lagi.”

Kiai Timbang Laras tersenyum. Katanya, “Terima kasih Kiai. Sayang bahwa aku tidak mempunyai banyak kesempatan. Aku hanya dapat bermalam semalam di sini. Itupun kalau Kakang Warangka tidak berkeberatan.”

“Kenapa keberatan?” sahut Kiai Warangka, “Sudah agak lama kita tidak bertemu. Aku senang sekali jika kau nanti malam bermalam di sini, Timbang Laras.”

“Kerinduan pada masa lampau, Ki Jayaraga,” berkata Kiai Timbang Laras.

“Ya. Kita kadang-kadang memang ingin mengembara di masa lampau meskipun hanya di angan-angan, karena kita tidak akan pernah dapat mengulanginya.”

Kiai Timbang Laras tersenyum. Katanya, “Tetapi tidak selamanya masa lampau itu nikmat untuk dikenang.”

“Tentu, Kiai,” jawab Ki Jayaraga, “tetapi lampau bukannya tidak berarti apa-apa.”

Ki Timbang Laras tertawa. Tetapi ia tidak sempat menjawab, karena dua orang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan bagi tamu-tamu di padepokan itu.

Sambil meneguk minuman dan mencicipi makanan, mereka telah berbincang mengenai bermacam-macam hal. Kiai Timbang Laras sempat menceritakan keadaan padepokannya yang sedang berkembang. Mereka telah merintis membuka hutan untuk dijadikan sawah dan ladang.

“Kami tidak pernah kekurangan air,” berkata Kiai Timbang Laras, “dalam setahun tanah yang kami buka itu selalu dialiri air cukup, sehingga kami dapat menanam padi dua kali dan sekali palawija.”

“Aku dapat membayangkan, betapa padepokan Kiai tidak pernah mengalami kesulitan pangan. Bahkan mungkin Kiai dapat menukarkan kelebihannya dengan kebutuhan-kebutuhan yang lain.”

Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Meskipun padepokan kami berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan kami. Cantrik-cantrik di padepokan kami menenun pakaian mereka sendiri. Membuat alat-alat pertanian sendiri, serta menganyam barang-barang anyaman.”

“Mengagumkan,” Ki Jayaraga mengangguk-angguk, “rasa-rasanya aku ingin mengunjungi padepokan Kiai Timbang Laras.”

“Kami akan menerima Ki Jayaraga dengan senang hati,” sahut Kiai Timbang Laras.

Terbesit niat di hati Ki Jayaraga untuk mengatakan bahwa Tanah Perdikan Menoreh pernah dikunjungi oleh beberapa orang anak muda yang mengaku berasal dari padepokan Kiai Timbang Laras. Tetapi niat itu diurungkannya. Ki Jayaraga tidak mau merusak suasana yang baik dalam pertemuan itu. Pertemuan antara dua orang saudara seperguruan yang sudah lama tidak bertemu.

Ternyata sore itu, pembicaraan antara kedua orang saudara seperguruan itu masih belum sampai ke pokok persoalan. Mereka sama sekali belum menyinggung tentang warisan yang diinginkan oleh Kiai Timbang Laras. Yang mereka bicarakan tidak lebih dari keadaan padepokan mereka masing-masing.

Setelah berbincang-bincang beberapa lama, Kiai Warangka pun telah mempersilahkan tamu-tamunya beristirahat. Kiai Timbang Laras dipersilakan untuk beristirahat di gandok sebelah kanan. Sementara para pengiringnya menempati gandok sebelah kiri.

“Jika kalian merasa letih setelah menempuh perjalanan jauh, silahkan untuk beristirahat.”

“Aku tidak terbiasa untuk berada di dalam sentong di siang hari, Kakang. Kami di padepokan harus bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan kami, sehingga kami tidak pernah sempat beristirahat di siang hari. Kecuali bagi kami yang sedang sakit, atau sedang dalam keadaan yang khusus.”

Kiai Warangka tersenyum. Katanya, “Jika demikian, silahkan duduk-duduk di serambi atau berjalan-jalan melihat-lihat padepokan ini, sebelum kalian mandi dan membenahi diri.”

“Satu tawaran yang lebih baik,” desis Kiai Timbang Laras, “kami akan melihat-lihat keadaan padepokan ini.”

Diantar oleh dua orang putut, Kiai Timbang Laras serta beberapa orang pengiringnya telah melihat-lihat keadaan padepokan Kiai Warangka itu.

Setiap kali Kiai Timbang Laras dan para pengiringnya harus mengerutkan kening. Ternyata apa yang mereka ceritakan tentang padepokan mereka, telah ada pula di padepokan itu.

Kiai Timbang Laras melihat sekelompok cantrik yang bekerja sebagai pandai besi di sudut halaman samping padepokan itu. Di belakang perapian mereka menempa besi dan baja, membuat alat-alat pertanian yang mereka butuhkan untuk menggarap sawah.

Ketika mereka berjalan lagi menyusuri bangunan-bangunan yang ada di padepokan itu, mereka memasuki sebuah barak yang berisi alat-alat untuk menenun.

“Kenapa alat-alat ini tidak dipergunakan?” bertanya Kiai Timbang Laras.

Salah seorang putut yang mengantarkannya itu pun menjawab, “Alat-alat ini tidak dipergunakan setiap hari, Kiai. Tetapi ada masanya alat-alat ini menjadi sangat sibuk.”

Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.

Iring-iringan kecil itu pun kemudian telah bergeser lagi dari satu barak ke barak yang lain, sehingga akhirnya mereka sampai ke kebun di belakang bangunan-bangunan di padepokan itu. Sebuah kebun yang terhitung luas. Di tengah-tengah kebun itu terdapat tiga buah blumbang yang diisi dengan ikan air dari berbagai macam jenis.

Kiai Timbang Laras dan pengiringnya telah melihat-lihat blumbang itu pula. Blumbang yang di dalamnya berenang berbagai macam ikan yang sudah menjadi besar. Beberapa ekor ikan emas yang berwarna kekuning-kuningan berenang bergerombol. Sekali-sekali timbul, kemudian menyusup ke kedalaman. Beberapa ekor gurami nampak melintas dengan tenangnya.

“Apakah para cantrik juga menggarap sawah dan pategalan?” bertanya Kiai Timbang Laras.

“Ya, Kiai. Sawah di belakang padepokan ini adalah sawah kami. Ki Bekel Kronggahan memberikan wewenang kepada kami untuk membuka hutan di daerah ini. Bahkan Ki Bekel di Kronggahan juga telah memberikan tanah cadangan yang masih berupa hutan belukar di sebelah. Jika kita berdiri di luar dinding padepokan ini, maka kita dapat melihat hutan yang membujur ke utara. Tetapi tidak seluruhnya. Kiai. Ki Bekel telah memasang beberapa buah tugu batu hitam untuk memberikan batasan. Karena menurut Ki Bekel, sebagian dari hutan itu harus tetap dibiarkan sebagai hutan belukar.”

Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Ternyata padepokan Kiai Warangka ini justru setapak berada di depan padepokannya. Segala sesuatunya nampak sudah mapan dan berjalan dengan sendirinya.

Demikian pula ketika mereka memasuki sanggar-sanggar di padepokan itu. Ada dua buah sanggar tertutup dan sebuah sanggar terbuka. Satu di antara sanggar tertutup itu lebih kecil dari yang lain. Sedangkan sanggar terbuka yang ada di belakang cukup luas untuk berlatih beberapa orang bersama-sama.

Melihat peralatan yang ada di sanggar-sanggar itu. Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Ternyata padepokan saudara seperguruannya itu benar-benar terpelihara dengan baik. Bahkan beberapa jenis peralatan yang ada di sanggar-sanggar padepokan itu tidak terdapat di sanggar padepokannya.

Meskipun semua itu menarik perhatian Kiai Timbang Laras, tetapi masih ada satu hal yang belum dilihatnya. Ia masih belum melihat tanda dalam ujud apa pun juga yang dapat menunjukkan kepadanya, di mana warisan dari perguruannya itu disimpan.

Tetapi Kiai Timbang Laras sudah memutuskan, bahwa malam nanti saudara seperguruannya akan diminta untuk menunjukkan kepadanya, warisan apa saja yang pernah ditinggalkan oleh gurunya.

Beberapa lama Kiai Timbang Laras berputar-putar. Dimasukinya setiap bangunan yang ada di padepokan itu, dijelajahinya sudut-sudut pekarangan dan kebun di belakang.

Namun akhirnya, Kiai Timbang Laras pun kembali ke gandok. Mereka duduk-duduk di serambi untuk menghirup udara yang sejuk.

“Terima kasih,” berkata Kiai Timbang Laras kepada kedua orang putut itu, “padepokan kalian adalah padepokan yang menarik. Memang tidak terlalu besar, tetapi cukup lengkap.”

“Terima kasih Kiai,” jawab kedua putut itu hampir berbareng.

Namun kedua putut itu menjadi berdebar-debar ketika Kiai Timbang Laras itu berkata, “Semuanya sudah aku lihat. Yang belum aku lihat adalah tingkat kemampuan kalian dalam olah kanuragan.”

Seorang di antara putut itu dengan agak ragu menjawab, “Kami tidak terlalu banyak menimba ilmu kanuragan, Kiai. Kami berusaha untuk mendapatkan ilmu yang lain, yang juga dapat memberikan arti bagi hidup kami dan banyak orang.”

Kiai Timbang Laras mengerutkan dahinya. “Apa saja misalnya?” bertanya Kiai Timbang Laras.

“Kami mempelajari cara-cara terbaik untuk cocok tanam, memelihara sawah agar tanahnya tetap subur, memelihara tanaman di kebun-kebun, dan kami juga mempelajari bagaimana sebaiknya kami beternak.”

“Di mana peternakan kalian?” bertanya Kiai Timbang Laras.

“Agak jauh di belakang Kiai.”

Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Katanya, “Maksudmu peternakan kalian ada di luar dinding padepokan ini?”

“Ya, Kiai. Kami satukan kandang-kandang peternakan itu dengan padang perdu sebagai tempat penggembalaan.”

“Bagus sekali,” Kiai Timbang Laras itu mengangguk-angguk. Ternyata ia belum melihat keseluruhan isi padepokan itu. Dan satu lagi yang tidak ditunjukkan oleh kedua putut itu, adalah tempat kedua orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras yang ditahan di padepokan itu.

Sejak semula kedua orang itu memang sudah ditempatkan di tempat yang tidak menarik perhatian. Sementara kedua orang itu juga tidak mengetahui bahwa Kiai Timbang Laras akan datang ke padepokan itu, sehingga mereka tidak dapat dengan sengaja menarik perhatiannya.

Dalam pada itu, kedua orang putut itu pun telah meninggalkan Kiai Timbang Laras bersama para pengiringnya, agar tidak terdapat kesan bahwa keduanya bertugas bukan saja mengantar Kiai Timbang Laras melihat-lihat, tetapi justru untuk mengawasinya.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Warangka tidak ingin lengah. Yang bertugas sebenarnya mengawasi Kiai Timbang Laras dan para pengiringnya, justru orang lain. Beberapa orang cantrik dan putut telah mendapat petunjuk yang khusus, sehingga yang mereka lakukan itu tidak memberikan kesan yang akan dapat menarik perhatian.

Tetapi Kiai Timbang Laras dan para pengiringnya memang tidak melakukan apa-apa. Mereka duduk-duduk saja di serambi sambil berbincang. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa. Persoalan yang mereka perbincangkan agaknya banyak soal-soal yang tidak penting, yang justru menggelikan.

Menjelang senja, para tamu itu pun telah dipersilahkan untuk mandi dan berbenah diri. Demikian gelap mulai turun, Ki Warangka telah minta agar para tamu itu duduk di ruang dalam untuk makan malam.

“Biarlah anak-anak menunggu di luar,” berkata Kiai Timbang Laras.

“Biarlah mereka makan bersama kita,” ajak Kiai Warangka.

Tetapi Kiai Timbang Laras berkata, “Mereka akan makan di luar saja. Mereka justru akan merasa segan untuk makan bersama kita.”

Kiai Warangka tidak dapat memaksa. Kiai Timbang Laras nampak keras untuk mengambil jarak justru dengan para pengikutnya sendiri.

Tetapi baik Kiai Warangka maupun Ki Jayaraga telah menduga, bahwa Kiai Timbang Laras ingin mendapatkan waktu untuk berbicara secara khusus dengan Kiai Warangka. Karena itu, Ki Jayaraga mulai mempertimbangkan kemungkinan bahwa iapun akan diminta untuk tidak ikut mendengarkan pembicaraan antara kedua orang saudara seperguruan itu.

Tetapi ternyata Kiai Timbang Laras tidak menyatakan keberatannya bahwa Ki Jayaraga ikut bersama makan dengan kedua saudara seperguruan itu. Kiai Timbang Laras tidak pernah minta kepada Kiai Warangka untuk berbicara hanya berdua saja.

Karena itu, akhirnya Kiai Timbang Laras telah makan malam bersama Kiai Warangka dan Ki Jayaraga.

Sebenarnyalah seperti yang ditunggu oleh Kiai Warangka, maka sambil makan, Kiai Timbang Laras sudah mulai berbicara tentang isi padepokan sebagaimana dilihatnya.

“Ternyata dugaanku salah, Kakang Warangka,” berkata Kiai Timbang Laras.

“Apa yang salah?” bertanya Kiai Warangka.

“Aku kira padepokan ini masih belum melangkah maju. Ternyata banyak hal yang justru melampaui kemampuan para cantrik dari padepokan kami.”

“Ah, Adi hanya memuji.”

“Tidak, Kakang,” jawab Kiai Timbang Laras, “aku berkata sebenarnya. Sanggar yang ada di padepokan ini tentu jauh melebihi kebutuhan para cantrik dan putut.”

“Ah, sanggar kami bukan sanggar yang dapat memanjakan para cantrik dan putut, Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka, “kami hanya dapat menyediakan alat-alat yang masih terlalu sederhana. Apalagi di sanggar terbuka. Yang ada di dalamnya tidak lebih dari potongan-potongan kayu dan bambu. Seonggok pasir dan batu-batu kerikil. Tali-tali sabut kelapa yang bergayutan.”

Kiai Timbang Laras tersenyum. Katanya, “Apalagi yang harus berada di sanggar selain tonggak-tonggak kayu dan bambu yang ditanam, kemudian palang-palang kayu dan bambu serta tali-tali yang bergayutan? Tetapi di sanggar terbuka Kakang terdapat berbagai macam bentuk senjata. Senjata bertangkai pendek, bertangkai panjang, bahkan senjata lontar dan berjenis-jenis perisai.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah itu tidak penting? Seseorang yang mumpuni dalam olah kanuragan, akan dapat mempergunakan apa saja untuk senjata. Yang ilmunya lebih tinggi lagi, sama sekali tidak memerlukan apa-apa.”

“Kakang benar,” jawab Kiai Timbang Laras.

“Sementara itu, cantrik-cantrikku semuanya masih baru mulai, sehingga mereka memerlukan bermacam-macam senjata. Bukankah itu pertanda bahwa ilmu mereka masih terlalu rendah?”

Kiai Timbang laras tertawa. Katanya, “Kakang selalu merendahkan diri. Tetapi itu sudah sifat Kakang sejak dahulu. Tidak seorangpun akan dapat mengubahnya.”

Kiai Warangka pun tertawa pula. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat mendengarkan pembicaraan itu sambil mengangguk-angguk saja.

Tetapi Ki Jayaraga itu mulai mengerutkan keningnya ketika ia mendengarkan Kiai Timbang Laras itu berkata, “Kakang, sebenarnyalah bahwa kedatanganku sekarang ini bukannya sekedar singgah.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya iapun sudah menunggu, apa yang akan dikatakan saudara seperguruannya itu.

Karena itu, maka Kiai Warangka itu pun bertanya, “Apakah ada yang ingin kau katakan?”

“Mungkin Kakang sudah mengetahui apa yang ingin aku katakan, karena beberapa kali aku memang pernah menyinggungnya.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin aku sudah mengetahui. Tetapi sebaiknya kau katakan sekali lagi, agar aku menjadi lebih jelas.”

Kiai Timbang Laras termangu-mangu. Sambil memandang Ki Jayaraga ia berkata, “Maaf Ki Jayaraga, jika aku lebih banyak berbicara tentang kepentinganku sendiri, sehingga seakan-akan aku hanya akan berbicara dengan Kakang Warangka saja.”

“Silahkan, Kiai. Jika berkenan di hati Kiai berdua, biarlah aku duduk di pringgitan bersama para cantrik Kiai Timbang Laras,” berkata Ki Jayaraga.

Tetapi dengan cepat Kiai Warangka menyahut, “Tidak usah Kiai. Biarlah Kiai duduk di sini. Persoalan di antara kami bukan rahasia yang harus disembunyikan. Justru Ki Jayaraga mungkin akan dapat memberikan banyak masukan kepada kami berdua, sehingga jika ada persoalan di antara kami, akan dapat kami selesaikan dengan baik.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam, sementara Kiai Timbang Laras pun berkata, “Ya. Kami tidak berkeberatan Kiai mendengarkan pembicaraan kami. Aku minta maaf, karena persoalan yang kami bicarakan terlalu khusus, sehingga Ki Jayaraga tidak mengetahui ujung dan pangkalnya.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk sambil berkata, “Terima kasih jika Kiai berdua mempunyai kepercayaan yang tinggi kepadaku.”

Kiai Timbang Laras-lah yang kemudian berkata selanjurnya, “Kedatanganku ini ada hubungannya dengan keinginanku untuk mengetahui, apa sebenarnya yang telah ditinggalkan Guru bagi perguruan kita.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam Kiai Warangka menjawab, “Adi Timbang Laras. Sebenarnyalah pertanyaan serupa telah menjalari relung-relung di dadaku. Tetapi aku tidak tahu kepada siapa aku harus bertanya. Murid utama Guru hanyalah tiga orang. Aku, kau dan Serat Waja. Jika kau tidak tahu dan aku tidak tahu, apakah Guru justru menyerahkan kepada Serat Waja, dan Serat Waja tidak memberitahukan kepada kita?”

“Mustahil Kakang,” sahut Kiai Timbang Laras, “murid tertua adalah Kakang. Tentu Kakang adalah orang yang paling tahu tentang warisan bagi perguruan kita itu.”

“Timbang Laras. Seingatku, aku sudah pernah mengatakan kepadamu bahwa aku tidak pernah mengetahui bahwa perguruan kita ini mempunyai warisan dari Guru.”

“Kakang. Waktu itu aku belum bersungguh-sungguh ingin mengetahui serba sedikit tentang warisan itu. Tetapi sekarang aku dihadapkan pada sebuah rencana yang besar bagi padepokanku, sehingga aku ingin mengetahuinya, apakah warisan itu dapat membantu rencanaku untuk mengembangkan padepokanku.”

“Aku berkata sebenarnya Timbang Laras. Bahkan aku justru ingin bertanya kepadamu, apakah kau pernah mendengarnya, bahwa Guru telah meninggalkan warisan bagi perguruan kita?”

“Kakang. Jika aku bertanya tentang warisan itu, sama sekali tidak untuk kepentinganku sendiri. Tetapi juga untuk kepentingan perguruan. Jika salah satu dari perguruan kita berkembang, bukankah itu juga berarti bahwa ilmu yang ditinggalkan Guru itu akan berkembang pula?”

“Aku mengerti Timbang Laras. Aku pun merasa ikut berbahagia jika padepokanmu akan berkembang sesuai dengan rencanamu. Tetapi sekali lagi aku katakan bahwa aku tidak mengerti sama sekali apakah yang pernah diwariskan oleh Guru bagi kita semuanya, selain ilmu yang telah kita kuasai.”

“Kakang,” berkata Timbang Laras, “apakah sebenarnya keberatan Kakang bahwa aku dan perguruanku dapat berkembang? Apakah warisan itu lebih baik dimakan ngengat daripada aku pergunakan?”

“Sebaiknya kita mengundang Serat Waja untuk berbicara bersama-sama. Jika ia pernah mendengar, mungkin kita dapat menelusuri bersama-sama.”

“Aku sudah cukup lama menunggu Kakang. Jangan membiarkan aku selalu dibayangi oleh kegelisahan, karena rencana-rencanaku yang tidak dapat berjalan sesuai dengan keinginan kami se-padepokan.”

“Sekarang aku menyerahkan segala kebijaksanaan kepadamu, Timbang Laras. Apakah sebaiknya yang harus aku lakukan jika aku benar-benar tidak mengetahui di mana letak warisan itu. Tetapi aku mengusulkan agar kita memanggil Serat Waja. Ia tidak akan berkeberatan untuk datang, jika ia berada di rumahnya.”

“Serat Waja adalah seorang pengembara.”

“Tetapi suatu kali ia akan pulang, karena ia mempunyai istri dan anak.”

“Kakang, kita sudah sama-sama menginjak usia senja. Nampaknya tidak baik jika kita harus bertengkar,” berkata Timbang laras. Lalu katanya kepada Ki Jayaraga, “Bukankah begitu Ki Jayaraga?”

“Ya, ya Kiai,” jawab Ki Jayaraga agak tergagap menerima pertanyaan yang tiba-tiba itu.

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Dengan sareh ia pun berkata, “Timbang Laras. Aku juga bukan orang yang ingin bertengkar. Sebenarnyalah aku merasa sedih karena aku tidak dapat menunjukkan warisan sebagaimana kau sebut-sebut itu.”

“Aku tidak mengira bahwa Kakang benar-benar bersikap keras. Aku yang telah mengenal sifat dan watak Kakang, sebenarnya tidak dapat mengerti, kenapa sifat dan watak Kakang itu berubah.”

“Aku menyerahkan segala-galanya kepadamu, Timbang Laras. Apa yang sebaiknya harus aku lakukan, justru karena aku benar-benar tidak tahu apa yang kau maksudkan,” berkata Kiai Warangka kemudian. Lalu katanya pula, “Bahkan aku minta kau sebutkan, apa yang kau ketahui tentang warisan itu. Katakan, bahwa aku hanya sekedar berpura-pura. Tetapi jika kau mau mengatakan apa yang kau dengar tentang ujud warisan itu, mungkin akan dapat membantu ingatanku untuk mengetahui, di mana kira-kira warisan itu sekarang ini.”

Timbang Laras termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menyebutkannya, meskipun sebenarnya Kakang tentu sudah mengetahuinya. Warisan itu tersimpan dalam sebuah peti tembaga yang besar dan berat. Bukankah kita sering melihat peti tembaga itu di sanggar khusus Guru semasa hidupnya.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk, Katanya, “Aku ingat tentang peti tembaga itu.”

“Sanggar khusus Guru itu berada di padepokan ini. Nah, bukankah wajar jika aku bertanya kepada Kakang, di mana peti tembaga itu sekarang.?”

Dahi Kiai Warangka nampak berkerut. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Di sanggar khusus Guru itu terdapat sebuah peti tembaga. Tetapi kau pun tentu ingat Timbang Laras, bahwa aku tidak segera menggantikan kedudukan Guru setelah Guru wafat. Kita bertiga harus mengambil perguruan ini dari tangan seorang yang mengaku adik seperguruan Guru.”

“Tidak, Kakang. Aku tidak ikut berperang pada saat terjadi benturan antara Kakang dengan paman Narpada. Waktu itu aku sedang mengembara di pesisir utara. Bahkan pada saat aku merasa jenuh dengan pengembaraan itu dan menetap di suatu tempat yang sekarang menjadi padepokan itu, aku tidak lagi tahu-menahu perkembangan padepokan ini. Baru kemudian pada suatu hari aku telah menghubungi Kakang kembali. Namun Kakang tidak pernah lagi berbicara tentang peti tembaga itu.”

“Kau seharusnya juga memikirkan satu kemungkinan yang dapat terjadi pada saat-saat peralihan itu.”

“Paman Narpada tidak berhasil menguasai padepokan ini sepenuhnya. Menurut nalar, Paman Narpada tidak akan sempat membawa peti yang besar dan berat itu.”

“Mungkin saja Paman Narpada tidak sempat membawa peti itu keluar. Tetapi dalam kekisruhan yang terjadi saat itu, mungkin ada tangan-tangan lain yang melakukannya. Aku sendiri saat itu memusatkan perhatianku untuk mengambil kembali warisan terbesar Guru, yaitu padepokan ini, tanpa memikirkan kemungkinan adanya warisan yang lain.”

“Tetapi setelah segala-galanya dapat Kakang atasi, Kakang tidak pernah menyebut-nyebut lagi tentang peti tembaga itu. Kakang tidak pernah mengatakan kepadaku, bahwa kita telah kehilangan. Kakang nampaknya merasa tenang-tenang saja, meskipun peti tembaga itu tidak lagi berada di tempatnya.”

“Baiklah, Timbang Laras. Aku akan memerintahkan dua orang cantrik untuk menemui Serat Waja. Aku ingin ia ada di antara kita untuk membicarakan tentang peti tembaga itu. Mungkin Serat Waja mengetahui apa yang terjadi, setidak-tidaknya mengingat sesuatu yang dapat kita pergunakan untuk menelusuri arah hilangnya peti tembaga itu.”

“Untuk sementara, aku dapat menyetujuinya Kakang, Tetapi aku tidak akan dapat menunggu terlalu lama. Rencanaku harus berjalan secepatnya.”

“Besok pagi-pagi kedua orang cantrikku akan berangkat. Jika Serat Waja ada di rumah, maka besok lusa ia akan berada di sini.”

“Tidak perlu secepat itu Kakang. Aku mempunyai waktu sepekan. Besok aku akan minta diri. Sepekan lagi aku akan datang kemari. Meskipun aku harus menempuh perjalanan panjang, tetapi itu-lah yang terbaik bagiku. Dalam keadaan sekarang ini, aku tidak dapat meninggalkan padepokanku terlalu lama.”

“Bukankah tidak akan lebih dari dua hari?” bertanya Kiai Warangka.

“Jika besok pagi-pagi aku pulang, maka besok malam aku sudah berada di padepokan. Sepekan lagi aku akan datang kemari. Mudah-mudahan Adi Serat Waja sudah berada di sini.”

“Baiklah,” berkata Kiai Warangka, “aku akan berusaha untuk menghadirkan Serat Waja sebelum sepekan. Seperti aku katakan, jika ia ada di rumah, maka besok lusa ia sudah berada di sini.”

“Jika demikian, besok aku akan minta diri, Kakang. Aku sempat berada di rumah selama empat hari. Itu sangat penting bagiku, justru saat-saat penting bagi padepokanku.”

“Kalian besok akan mendapat tambahan dua orang pengiring lagi, Timbang Laras.”

“Dua orang pengiring?” bertanya Timbang Laras dengan kerut di kening.

“Ya. Aku mempunyai dua orang tamu yang mengaku datang dari padepokanmu.”

Wajah Kiai Timbang Laras itu menjadi tegang. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah mereka berada di sini sekarang?”

Kiai Warangka mengangguk. Dengan datar ia menjawab, “Ya. Mereka ada di sini sekarang.”

“Jika benar mereka mengaku orang-orangku, apakah aku dapat bertemu dengan mereka?”

“Tentu,” jawab Kiai Warangka, “biarlah kau nanti diantar kepada mereka.”

Ki Jayaraga melihat ketegangan di wajah Kiai Timbang Laras. Tetapi Ki Jayaraga masih tetap berdiam diri. Ia tidak ingin mencampuri persoalan yang terjadi antara kedua orang saudara seperguruan itu. Jika ia terlibat di dalamnya, adalah karena tugas yang dibebankan oleh Ki Gede Menoreh, justru karena ada sekelompok anak muda yang mengaku berasal dari padepokan Kiai Warangka. Namun kemudian mereka pun mengaku bahwa mereka adalah anak-anak muda yang sedang menjalani pendadaran di padepokan Kiai Timbang Laras.

“Kenapa mereka berada di sini?” bertanya Kiai Timbang Laras dengan kerut di dahinya. “Kakang. Ijinkan aku menemui mereka.”

“Kau tentu akan diantar kepada mereka. Tetapi masih ada satu pertanyaan lagi, Timbang Laras. Bukan dari aku. Tetapi dari Ki Jayaraga.”

“Pertanyaan apa?” Kiai Timbang Laras memandang Ki Jayaraga dengan sorot matanya yang membayangkan berbagai macam pertanyaan.

“Maaf, Kiai,” berkata Ki Jayaraga, “aku tidak mengerti, dimana letak kesalahannya. Tetapi beberapa hari yang lalu, sekelompok anak muda nampak berada di Tanah Perdikan Menoreh. Karena kami orang-orang Tanah Perdikan Menoreh belum mengenal mereka, maka kami telah membawa mereka ke banjar untuk sekedar berbincang. Ternyata mereka mengaku datang dari padepokan Kiai Timbang Laras. Mereka adalah anak-anak muda yang sedang mengalami pendadaran, sebelum mereka diterima menjadi cantrik di padepokan Kiai Timbang Laras.”

“Oh,” Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk, “jadi mereka berkeliaran sampai sedemikian jauh?”

“Apakah yang mereka lakukan itu atas kehendak mereka sendiri, atau atas perintah Kiai Timbang Laras?” bertanya Ki Jayaraga.

Kiai Timbang Laras tersenyum. Katanya, “Ternyata mereka tidak layak untuk diterima menjadi cantrik di padepokanku. Agaknya mereka terlalu dungu untuk dapat menerima berbagai macam ilmu dan pengetahuan.” Kiai Timbang Laras itu berhenti sejenak. Lalu iapun bertanya, “Apa lagi yang mereka katakan?”

Kiai Jayaraga menarik nafas. Ia memang merasa ragu. Ketika ia berpaling memandangi Kiai Warangka, Kiai Warangka itu pun berkata, “Nah, mumpung Ki Jayaraga bertemu dengan Timbang Laras. barangkali banyak hal yang akan ditanyakan.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kiai. Ketika kami bertanya kepada mereka, mula-mula mereka mengaku cantrik dari padepokan Kiai Warangka. Namun kemudian mereka telah berterus terang, bahwa mereka adalah anak-anak muda yang sedang menjalani pendadaran di padepokan Kiai Timbang Laras.”

Wajah Kiai Timbang Laras menegang. Dengan suara yang berat ia berdesis, “Bukan hanya dungu, tetapi mereka benar-benar tidak punya otak.”

“Apa yang seharusnya terjadi, Kiai Timbang Laras?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku menyesal bahwa hal itu telah terjadi. Aku dapat membayangkan bahwa mereka tidak sekedar berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka tentu sudah berbuat sesuatu yang tercela.”

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Kiai Timbang Laras.

“Ki Jayaraga,” berkata Kiai Timbang Laras kemudian, “aku memang memerintahkan agar mereka melakukan sedikit perjalanan untuk mengenal satu lingkungan tertentu, sebelum mereka dapat aku terima untuk menjadi cantrik di padepokanku. Aku memberikan arah kepada mereka, yang antara lain memang aku sebut Tanah Perdikan Menoreh. Aku telah mengatakan kepada mereka, bahwa padepokan Kiai Warangka, saudaraku seperguruan, letaknya tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan Menoreh. Itulah agaknya yang telah memberikan gagasan kepada mereka untuk mengatakan bahwa mereka datang dari padepokan Kiai Warangka.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Alasan itu memang masuk akal. Apalagi melihat perubahan wajah yang terjadi pada Kiai Timbang Laras. Sementara itu, Kiai Timbang Laras itu pun berkata, “Baik Ki Jayaraga. Jika aku bertemu dengan mereka sepulangku dari padepokan ini, aku akan berbicara dengan mereka.”

“Kiai akan mendapat keterangan yang lebih terperinci dari mereka.”

“Tetapi nampaknya mereka tidak dapat dipercaya. Meskipun demikian, keterangan mereka memang sangat aku perlukan.” Kiai Timbang Laras berhenti sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apa yang telah mereka lakukan di Tanah Perdikan Menoreh?”

“Seperti biasanya yang dilakukan anak-anak muda, Kiai. Meskipun agak sedikit berlebihan.”

“Aku mengerti. Tetapi anak-anak itu benar-benar bodoh. Seharusnya mereka tahu bahwa isi dari Tanah Perdikan Menoreh adalah ilmu dan kemampuan yang sangat tinggi.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah Ki Jayaraga itu pun berkata, “Tidak ada apa-apa di Tanah Perdikan Menoreh, Kiai. Yang terjadi hanyalah sedikit terkejut dan heran. Sehingga harus bertanya kepada anak-anak muda itu.”

“Baiklah, Ki Jayaraga. Aku tentu akan berbicara dengan mereka.. Mereka yang telah melakukan kesalahan itu tidak akan dapat kami terima sebagai cantrik di padepokanku.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk kecil. Katanya dengan ragu-ragu, “Untunglah bahwa mereka masih mempunyai kejujuran untuk mengaku bahwa mereka datang dari padepokan Kiai Timbang Laras, sehingga tidak terjadi geseran antara Tanah Perdikan ini dengan padepokan Kiai Warangka. Sebenarnya karena anak-anak itu-lah maka aku berkunjung ke padepokan ini. Tetapi tanpa persoalan itu pun, aku memang telah lama sekali tidak bertemu Kiai Warangka, dan juga lama tidak datang kemari.”

Kiai Timbang Laras tersenyum. Katanya, “Ki Jayaraga tentu akan panjang umur. Segala sesuatunya diterima dengan baik, bahkan dipandang dari sisi yang bermanfaat.”

Ki Jayaraga tersenyum pula. Katanya, “Doakan saja Kiai, agar aku benar-benar panjang umur.”

Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata kepada Kiai Warangka, “Kakang, sekarang apakah aku dapat menemui kedua orang yang mengaku dari padepokanku itu?”

“Tentu, Timbang Laras. Marilah, biarlah aku sendiri mengantarmu. Apakah Ki Jayaraga juga akan ikut bersama kami?”

“Baiklah, Kiai. Aku akan ikut.”

Demikianlah, Kiai Timbang Laras, Kiai Warangka dan Ki Jayaraga telah pergi ke tempat kedua orang dari Padepokan Kiai Timbang Laras itu disimpan.

Ki Timbang Laras yang berjalan di sebelah Kiai Warangka menjadi berdebar-debar. Sementara Ki Jayaraga berjalan di belakang mereka.

Ki Timbang Laras merasa heran, bahwa ketika ia melihat-lihat padepokan itu, rasa-rasanya tidak ada sebuah ruangan pun yang dilampauinya. Ternyata bahwa dugaannya itu salah. Tentu masih ada beberapa ruang yang terlampaui. Salah satunya adalah tempat kedua orang cantriknya ditahan.

Ketika mereka sampai ke ruang tempat kedua cantriknya itu ditahan, Kiai Timbang Laras termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya ia sudah berjalan melewati bangunan itu.

“Terlalu banyak bangunan di padepokan ini,” berkata Kiai Timbang Laras di dalam hatinya.

Dua orang cantrik yang duduk di serambi ruang itu pun bangkit berdiri ketika mereka melihat Kiai Timbang Laras, Kiai Warangka dan Ki Jayaraga datang ke tempat itu.

“Silakan, Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka kepada adik seperguruannya itu. Lalu katanya kepada cantrik yang berjaga-jaga di serambi itu, “Buka selaraknya.”

Cantrik itu pun kemudian membuka selarak pintu itu. Ketika pintu itu kemudian dibuka, kedua orang yang ada di dalam bilik itu terkejut. Dengan serta merta mereka bangkit berdiri.

Tetapi wajah mereka segera menjadi pucat. Yang berdiri di muka pintu adalah Kiai Timbang Laras.

“Jadi kalian bermalam di sini?” bertanya Kiai Timbang Laras.

Jantung kedua orang itu seakan-akan telah berhenti berdetak. Mereka memandangi wajah Ki Timbang Laras sejenak. Namun mata mereka rasa-rasanya menjadi kabur, sehingga keduanya menunduk dalam-dalam.

Kiai Timbang Laras melangkah masuk. Sementara Kiai Warangka dan Ki Jayaraga menunggu di luar.

Tidak seorang pun pengiring Kiai Timbang Laras yang ada di padepokan ikut menemui orang itu.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” bertanya Kiai Timbang Laras.

Kedua orang itu menjadi bingung. Mereka tidak tahu bagaimana harus menjawab.

“Aku telah berbicara dengan Kiai Warangka dan Ki Jayaraga, dari Tanah Perdikan Menoreh. Sekarang aku ingin mendengar jawaban kalian, kenapa kalian berada di sini?”

Kedua orang itu benar-benar bingung. Apa yang harus dikatakannya.

“Jawablah yang sebenarnya. Kalian tidak usah takut.”

Kedua orang itu tidak melihat orang lain di depan pintu. Meskipun mereka tahu di luar ada orang yang menunggu mereka, tetapi jaraknya tentu tidak terlalu dekat. Karena itu, seorang di antaranya menyahut perlahan sekali, “Bukankah Kiai memerintahkan kami mengawasi padepokan ini?”

“Ya. Tetapi tidak masuk ke dalamnya,” desis Kiai Timbang Laras.

Kedua orang itu masih saja ragu-ragu. Meskipun demikian, seorang di antara mereka berkata, “Aku telah terjebak oleh Ki Jayaraga itu.”

“Kenapa hal itu dapat terjadi?”

Perlahan-lahan dan dengan hati-hati orang itu menceritakan bagaimana keduanya mengawasi Ki Jayaraga. Namun justru mereka-lah yang telah ditangkap.

Adalah di luar dugaan bahwa Kiai Timbang Laras itu tertawa. Katanya, “Betapa dungunya cantrik-cantrik dari padepokanku. Tetapi baiklah, Kiai Warangka sudah mengisyaratkan bahwa besok kalian dapat kembali bersamaku.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sementara Kiai Timbang Laras pun berkata, “Kita akan membicarakan persoalan ini di padepokan kita sendiri.”

Kedua orang itu tidak menjawab.

Karena keduanya hanya berdiam diri, maka Kiai Timbang Laras itu pun berkata, “Di luar ada Ki Jayaraga dan Kiai Warangka. Tetapi nampaknya mereka tidak akan berbiara apa-apa sekarang ini. Entahlah besok, menjelang kalian meninggalkan padepokan ini.”

Kedua orang itu masih saja berdiam diri. Tetapi mereka menjadi sangat berdebar-debar. Mereka selalu meragukan sikap Kiai Timbang Laras. Jika Kiai Timbang Laras nampak tersenyum-senyum, berbicara dengan manis dan bahkan sekali-kali menepuk bahu, kemudian yang terjadi justru sebaliknya. Kemarahan yang ditahan di balik sikap manisnya itu pada suatu saat akan dapat meledak.

Namun malam itu Kiai Timbang Laras memang tidak berbuat apa-apa. Bahkan kemudian ditepuknya bahu kedua orang cantriknya yang tertawan di padepokan Kiai Warangka itu.

Kiai Timbang Laras tidak berbicara lebih panjang lagi. Iapun kemudian telah meninggalkan kedua orang cantriknya itu.

Kiai Warangka dan Ki Jayaraga tidak menemui kedua orang itu. Mereka pun kemudian telah meninggalkan barak itu, kembali ke bangunan utama.

Tetapi mereka tidak berbincang terlalu lama lagi. Kiai Warangka pun kemudian mempersilahkan Kiai Timbang Laras untuk beristirahat.

Sebelum Kiai Timbang Laras masuk ke dalam biliknya, ia sempat berbicara dengan para pengiringnya sejenak. Namun kemudian Kiai Timbang Laras itu pun berkata, “Beristirahatlah. Aku juga akan beristirahat.”

Sejenak kemudian, padepokan Kiai Warangka pun menjadi sepi. Ki Jayaraga dan Kiai Warangka sendiri juga segera masuk ke dalam bilik mereka.

Dalam pada itu, malam itu juga pasukan Mataram yang menuju ke Pati sedang beristirahat pula di perjalanan.

Tetapi malam itu Glagah Putih ternyata tidak sempat beristirahat, karena ia mendapat tugas untuk menghubungi pasukan induk yang dipimpin oleh Panembahan Senapati.

Glagah Putih telah mendapat tugas bersama seorang prajurit malam itu. Mereka harus memberikan laporan dan sekaligus mendapatkan keterangan tentang keberadaan pasukan induk dan pasukan yang satu lagi, yang melalui jalur paling kanan.

Lewat tengah malam, Glagah Putih telah melarikan kudanya melalui jalan-jalan yang belum pernah dikenalnya. Tetapi mereka telah mendapat petunjuk dan ancar-ancar ke mana mereka harus pergi.

Meskipun malam gelap pekat, namun Glagah Putih dan prajurit yang terpilih untuk menjadi penghubung itu akhirnya dapat menemukan tujuan mereka. Ketika mereka sampai ke sebuah padang perdu, mereka merasa bahwa mereka telah menempuh arah yang benar. Apalagi ketika mereka melihat dua batang pohon raksasa di sebelah sebuah batu yang besar. Tidak jauh dari kedua pohon raksasa itu, terdapat sebuah kolam yang mata airnya terhitung deras, sehingga dari blumbang itu mengalir sebuah parit yang mengalir menuju ke sebuah sungai.

“Sayang,” berkata Glagah Putih, “jika saja air itu dimanfaatkan, maka padang perdu ini akan menjadi sawah yang subur.”

Tetapi prajurit itu menyahut, “Orang-orang di daerah ini merasa mempunyai kelebihan tanah garapan. Sawah yang ada pun kadang-kadang tidak tergarap.”

“Darimana kau tahu?” bertanya Glagah Putih.

“Aku mendapat banyak penjelasan tentang lingkungan ini. Tetapi aku juga belum pernah melihat sebelumnya.”

Di dini hari, Glagah Putih dan seorang prajurit yang pergi bersamanya telah sampai ke tujuan. Sebuah padukuhan yang tidak begitu besar. Namun ternyata prajurit Mataram justru tidak berada di dalam padukuhan itu. Mereka justru menebar di luar padukuhan.

Sekelompok prajurit telah menghentikan Glagah Putih dan kawannya ketika mereka mendekati peristirahatan para prajurit Mataram itu.

“Sebut angkamu!” bentak seorang prajurit yang langsung menjulurkan tombak ke dada Glagah Putih, sementara prajurit yang lain meletakkan ujung tombak di pundaknya.

“Tujuh,” jawab Glagah Putih dan kawannya hampir berbareng.

“Buah yang telah matang?”

“Kapuk randu,” sahut kedua orang penghubung itu. Ujung-ujung tombak itu pun kemudian telah merunduk. Dengan nada yang lebih dalam, prajurit itu bertanya, “Siapa nama pengiringmu?”

“Bintang api,” jawab Glagah Putih.

Sementara kawannya menjawab, “Mega-mega.”

Para prajurit yang menghentikan Glagah Putih dan prajurit yang berkuda bersamanya itu berkata, “Teruslah. Kalian akan bertemu dengan perwira penghubung yang akan menerima kalian.”

Glagah Putih dan prajurit itu pun menggerakkan kendali kudanya untuk berjalan terus. Tetapi kuda-kuda itu tidak lagi berlari. Tidak terlalu jauh di hadapan mereka nampak sekelompok kecil prajurit yang juga berjaga-jaga.

Glagah Putih dan prajurit itu pun segera menghadap. Menunjukkan pertanda yang mereka bawa, serta beberapa pesan yang harus mereka sampaikan.

Sejenak kemudian, diantar oleh dua orang prajurit, Glagah Putih telah menghadap seorang perwira yang memang bertugas sebagai penghubung. Dari perwira itu Glagah Putih mendengar pesan-pesan dari pasukan induk serta pasukan yang berjalan lewat sisi kanan dari pasukan induk itu.

Ternyata bahwa Glagah Putih dan prajurit yang menyertainya itu mendapat kesempatan untuk beristirahat beberapa lama. Karena itu, Glagah Putih pun mendapat kesempatan pula untuk bertemu dan berbicara dengan Agung Sedayu meskipun hanya sebentar.

Ketika kemudian Glagah Putih harus kembali ke pasukannya, maka Agung Sedayu pun berpesan, “Berhati-hatilah.”

“Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih telah berpacu kembali melintasi bulak-bulak panjang, padang perdu, menyeberangi sungai dan melintasi jembatan-jembatan.

Sebelum fajar, Glagah Putih telah berada di pasukannya kembali. Berdua, Glagah Putih pun segera melaporkan pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya.

Namun kemudian Glagah Putih tidak sempat beristirahat. Demikian laporannya selesai, pasukannya pun siap bergerak melanjutkan perjalanan.

Karena itulah, Glagah Putih dan prajurit itu telah mempergunakan waktunya sebaik-baiknya untuk berbenah diri serta makan pagi.

Rasa-rasanya Glagah Putih hanya sempat menelan saja nasi dan lauk-pauknya, karena aba-aba untuk bersiap dan berangkat telah terdengar.

“Lambungku akan dapat menjadi sakit,” desis Glagah Putih kepada Prastawa.

“Duduk sajalah di atas kudamu,” sahut Prastawa, “jangan kau serahkan kembali dahulu kuda itu. Baru setelah nasi itu turun sampai ke dalam perut, kau serahkan kuda itu kembali.”

“Apakah yang bertanggung jawab atas kuda ini tidak mencarinya?” bertanya Glagah Putih.

“Kalau ia datang untuk mengambil, serahkan saja. Tetapi kau sudah sempat beristirahat sejenak.”

Ternyata Glagah Putih setuju. Ia tidak segera menyerahkan kudanya, tetapi ia justru naik kuda di belakang pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Untuk beberapa lama Glagah Putih dapat menikmati kuda yang tidak segera dikembalikannya. Namun ketika matahari menjadi semakin tinggi, seorang petugas penghubung telah datang menghubungi Prastawa dan menyampaikan perintah agar kuda yang dipergunakan Glagah Putih segera dikembalikan.

“Maaf, Ki Sanak. Aku masih letih, sehingga untuk beberapa lama aku masih pinjam kuda ini.”

“Kuda itu akan dipergunakan oleh petugas yang lain.”

“Baiklah,” jawab Glagah Putih sambil menyerahkan kuda itu, “silahkan.”

Untuk selanjutnya Glagah Putih harus berjalan kaki. Tetapi lambungnya tidak akan terasa sakit.

Pagi itu, di padepokan Kiai Warangka dekat dengan padukuhan Kronggahan, Kiai Timbang Laras telah minta diri. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Warangka, pengiring Kiai Timbang Laras telah bertambah dengan dua orang. Tetapi karena keduanya tidak mempunyai kuda, keduanya harus bergabung dengan pengiring Kiai Timbang Laras yang lain.

“Kuda itu akan membawa beban terlalu berat,” berkata seorang putut yang ada di antara para pengiring Kiai Timbang Laras itu, “karena itu, setiap kali kalian harus berganti kuda.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Ketika sekilas ia memandang wajah Kiai Timbang Laras, maka darahnya terasa tersirap sampai ke kepala.

Tetapi Kiai Timbang Laras itu pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kita tidak akan berpacu terlalu cepat. Kuda yang membawa beban rangkap itu memang harus bergantian.”

Beberapa saat kemudian, Kiai Timbang Laras itu pun telah minta diri. Kiai Warangka dan Ki Jayaraga mengantar mereka sampai ke gerbang padepokan.

“Sepekan lagi aku sudah berada di sini lagi, Kakang,” berkata Kiai Timbang Laras.

Kiai Warangka mengangguk sambil menjawab, “Baik, Timbang Laras. Hari ini aku akan memerintahkan cantrikku untuk pergi menemui Serut Waja. Tidak sampai sepekan lagi, ia sudah akan berada di sini.”

Demikianlah, sejenak kemudian Kiai Timbang Laras telah meninggalkan padepokan itu. Mereka memang tidak memacu kudanya terlalu cepat. Dua ekor di antara kuda-kuda itu harus membawa beban rangkap, sehingga kudanya tidak akan dapat berpacu sebagaimana kuda yang lain juga.

Tetapi ternyata kedua ekor kuda itu tidak harus membawa beban rangkap terlalu lama. Ketika mereka sudah melewati dua buah padukuhan, Kiai Timbang Laras memberi isyarat agar iring-iringan itu berhenti.

Para pengiringnya pun segera menarik kekang kudanya. Mereka memang bertanya-tanya di dalam hati, apa maksud Kiai Timbang Laras menghentikan perjalanan mereka itu.

Ketika Kiai Timbang Laras meloncat turun, para pengiringnya pun segera berloncatan turun pula.

“Perjalanan kita masih jauh,” berkata Kiai Timbang Laras.

Para pengiringnya termangu-mangu sejenak. Sementara itu, kedua orang yang telah tertawan di padepokan Kiai Warangka menjadi sangat berdebar-debar. Ketika mereka memandang wajah Kiai Timbang Laras, jantung mereka seakan-akan telah berhenti berdetak. Senyum yang mereka lihat melekat di bibir Kiai Timbang Laras itu bagaikan tajamnya ujung welat yang teracu ke perut mereka.

Para pengiringnya menjadi bingung ketika Kiai Timbang Laras itu berkata, “Marilah. Kita lanjutkan perjalanan. Naiklah ke kuda kalian masing-masing.”

Perintah itu terdengar aneh di telinga para pengiringnya. Namun tanpa bertanya lebih jauh, maka mereka pun segera berloncatan naik ketika Kiai Timbang Laras telah meloncat naik pula. Tetapi sekali lagi Kiai Timbang Laras itu berkata, “Naiklah ke punggung kuda masing-masing.”

Dalam waktu sekejap, para pengiringnya telah berada di punggung kudanya. Namun dua orang yang telah tertawan di padepokan Kiai Warangka itu masih tetap berdiri termangu-mangu.

Para pengiring Kiai Timbang Laras yang semula berada di satu punggung kuda dengan orang-orang itu termangu-mangu. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Cepat! Kenapa kau diam saja?”

Tetapi yang menyahut adalah Kiai Timbang Laras, “Naiklah ke punggung kuda kalian masing-masing.”

Barulah para pengiring itu jelas maksudnya. Kiai Timbang Laras tidak ingin membawa kedua orang itu bersamanya.

“Marilah. Kita lanjutkan perjalanan.”

Namun sebelum kuda-kuda itu berlari, Kiai Timbang Laras itu pun berkata, “Aku ingin berbicara dengan kalian berdua.”

Sebelum kedua orang itu sempat menjawab, Kiai Timbang Laras telah melarikan kudanya, meneruskan perjalanannya kembali ke padepokannya.

Para pengiringnya pun kemudian telah menyusulnya pula. Sekali-sekali mereka masih berpaling memandang kedua orang yang berdiri termangu-mangu itu.

Kawan-kawannya yang melarikan kuda mereka mengikuti Kiai Timbang Laras, tidak tahu pasti apakah kesalahan kedua orang kawannya itu. Namun bahwa keduanya berada di padepokan Kiai Warangka, memang telah menimbulkan pertanyaan di hati kawan-kawannya itu.

Kedua orang yang ditinggalkan itu pun berdiri termangu-mangu. Sejenak mereka diam mematung. Namun kemudian seorang di antara mereka pun berkata, “Apa yang akan kita lakukan?”

“Kita harus kembali ke padepokan. Kita dapat menduga, apa yang akan terjadi atas diri kita, karena kesalahan yang pernah kita buat.

“Apakah kita harus kembali ke padepokan?”

“Kita dapat saja tidak kembali dan mencoba untuk melarikan diri. Tetapi kita akan menjadi buruan seumur hidup kita. Jika kita tertangkap, maka nasib kita akan menjadi lebih buruk lagi.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Kita akan kembali ke padepokan dengan berjalan kaki.”

“Bukankah kita juga berjalan kaki ketika kita pergi ke padepokan Kiai Warangka?”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita tidak mempunyai pilihan.”

Demikianlah, kedua orang itu pun segera melanjutkan perjalanan mereka. Berjalan kaki itu sendiri bagi mereka tidak menjadi soal, karena mereka tidak akan kehabisan nafas di perjalanan. Tetapi yang merisaukan mereka, apakah yang akan mereka alami nanti jika mereka telah berada di padepokan.

Meskipun demikian mereka melangkah terus, karena mereka tidak dapat kembali atau mencari jalan lain.

Panas matahari semakin terasa menyengat tubuh. Langit nampak tenang. Angin yang kering bertiup mengguncang dedaunan.

Pohon turi yang tumbuh di tanggul parit mulai berbunga. Bunganya yang putih nampak menyembul di antara daunnya yang hijau rimbun.

Kedua orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras itu berjalan terus. Keringat mereka mengalir semakin banyak, sehingga baju mereka menjadi basah.

Dalam pada itu, pasukan Mataram yang berada di perjalanan merayap maju terus. Ketiga jalur pasukannya masih tetap berada sesuai dengan rencana. Meskipun terik matahari terasa membakar, namun para prajurit Mataram dan para pengawal yang ikut di dalam pasukan itu masih tetap maju dengan derap langkah keprajuritan.

Seperti yang direncanakan, sedikit lewat tengah hari pasukan itu berhenti. Para petugas segera mempersiapkan makan dan minum bagi para prajurit, yang memang sudah mulai haus dan lapar itu.

Di dalam pasukan yang berjalan di jalur paling kiri, Glagah Putih duduk di bawah sebatang pohon yang rindang. Silirnya angin membuat matanya sedikit terkatup. Setelah makan dan minum, maka mata Glagah Putih rasa-rasanya tidak lagi dapat dibuka.

“’Kau memang letih,” berkata Prastawa, “semalam kau tidak sempat tidur.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika aku tidur di sini, maka aku tentu akan ditinggal oleh seluruh pasukan ini.”

Prastawa tersenyum. Katanya, “Aku akan membangunkanmu.”

“Jika aku hanya tidur sekejap, kepalaku justru akan menjadi pening,” sahut Glagah Putih.

Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, beristirahatlah baik-baik meskipun kau tidak tidur.”

Sebenarnyalah, meskipun waktu beristirahat tidak lama, tetapi ternyata ada juga beberapa prajurit dan pengawal yang sempat tidur, meskipun mega-mega di langit nampak menyilaukan mata.

Tetapi rencana yang sudah tersusun, tidak berubah. Pada saat yang ditentukan pasukan itu harus bergerak lagi. Mereka yang baru saja sempat memejamkan mata, harus bergerak lagi. Mereka yang harus segera bangkit dan meneruskan perjalanan.

Demikianlah, sejenak kemudian pasukan itu pun segera mempersiapkan diri. Terdengar aba-aba dari setiap senapati kesatuan yang ada di dalam pasukan itu, disambung oleh pemimpin kelompok.

Beberapa orang prajurit dan pengawal yang baru saja sempat memejamkan matanya, dengan malasnya bangkit berdiri. Dipaksanya membuka matanya lebar-lebar mengamati senjatanya.

Seorang prajurit yang mengantuk meraba-raba senjatanya dari ujung sampai ke pangkalnya. Ia harus yakin bahwa yang dipegang itu adalah senjata. Bukan sekedar sepotong kayu. Meskipun sepotong kayu dapat dipergunakannya sebagai senjata, tetapi tentu lebih mantap jika ia bersenjatakan tombak bertangkai pendek.

Demikianlah, sejenak kemudian perintah berikutnya telah diteriakkan. Semua kesatuan pun telah bersiap. Sehingga ketika terdengar perintah yang ketiga, maka pasukan itu pun mulai bergerak. Derap kaki para prajurit dan pengawal pun rasa-rasanya telah menggetarkan bumi.

Dalam pada itu, tiga pasang mata mengamati gerak pasukan itu dengan seksama. Dari jarak yang agak jauh mereka menyaksikan pasukan itu bergerak maju, merayap menyusuri jalan yang berkelok-kelok, seperti seekor ular naga yang panjang.

“Gila orang-orang Mataram,” geram salah seorang dari ketiga orang itu.

“Mereka sedang dalam perjalanan membunuh diri. Mereka tidak mengira bahwa pasukan Pati sudah siap menunggu, seperti mulut seekor buaya yang sedang menganga.”

“Ada dua kemungkinan. Orang-orang Mataram itu dengan sombongnya menganggap dirinya orang-orang yang memiliki ilmu yang tidak tertandingi, sehingga mereka berani datang ke Pati dengan pasukan yang kecil itu, atau orang-orang Mataram demikian bodohnya, sehingga mereka mengira bahwa Pati yang telah mereka kalahkan di Prambanan itu tidak mampu lagi untuk bangkit.”

Tetapi kawannya yang menyahut, “Atau kita yang terlalu bodoh sehingga menyangka bahwa pasukan Mataram yang pergi ke Pati hanya satu pasukan itu? Kenapa kita tidak memperhitungkan bahwa mungkin ada pasukan lain yang juga sedang bergerak ke Pati?”

Kawannya mengangguk-angguk. Orang yang pertama berkata dengan nada rendah, “Ya. Memang mungkin.”

“Kita harus melaporkannya agar Pati mengirimkan petugas sandi lebih banyak lagi. Dengan demikian, maka semua jalur yang mungkin dilalui pasukan Mataram dapat diawasi.”

Ketiga orang itu pun kemudian sepakat, seorang di antara mereka akan kembali ke Pati untuk memberikan laporan, sedangkan dua orang yang lain akan tetap mengamati pasukan Mataram. Jika perlu, maka seorang berikutnya akan kembali untuk memberikan laporan pula.

Dengan tergesa-gesa orang yang ditugaskan untuk memberikan laporan ke Pati telah meninggalkan kawan-kawannya untuk kembali mendahului mereka. Sedangkan kedua orang kawannya akan tetap mengikuti gerak maju para prajurit Mataram.

Petugas sandi dari Pati merasa memiliki keuntungan waktu. Selain pasukan Mataram itu tentu berjalan lebih lamban dari perjalanannya yang seorang diri, di malam hari pasukan itu tentu akan berhenti. Dengan demikian, petugas sandi itu yakin bahwa ia akan datang lebih dahulu sampai ke Pati.

Sementara itu, induk pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati bergerak maju pula. Ditelusurinya jalan-jalan yang menembus bulak-bulak panjang dan pendek serta padukuhan-padukuhan besar dan kecil. Pasukan induk Mataram memang kelihatan lebih besar dari kedua pasukan yang berjalan di sisi kanan dan di sisi kiri pasukan induk itu pada jarak yang agak jauh.

Tetapi hubungan antara pasukan induk dan kedua pasukan yang lain berjalan dengan lancar sebagaimana mereka rencanakan.

Namun sebenarnyalah para petugas sandi dari Pati tidak sedang tertidur di sarangnya. Karena itu, petugas sandi yang sudah ditempa dengan sungguh-sungguh sebelum diterjunkan ke dalam tugasnya itu tidak mengecewakan.

Ketika petugas sandi yang melihat pasukan di sisi barat itu mengirimkan laporannya ke Pati melalui salah seorang di antara mereka, ternyata sudah ada petugas sandi dari kesatuan yang lain yang telah menghadap Kanjeng Adipati di Pati.

Ternyata ketiga pasukan yang menuju ke Pati itu sudah diketahui oleh para petugas sandi dan yang kemudian dilaporkan kepada Kanjeng Adipati Pati.

Dada Kanjeng Adipati Pragola bergetar mendengar laporan itu. Bukan karena Kanjeng Adipati menjadi ketakutan. Tetapi kemarahannya benar-benar telah membakar jantungnya.

Bahwa Panembahan Senapati telah mendahului menyerang Pati, membuat jantungnya bagaikan membara, sehingga darahnya telah mendidih memanasi kepalanya.

“Alangkah sombongnya Panembahan Senapati, sehingga ia berani datang menyerang Pati. Kemenangannya di daerah timur membuatnya menjadi takabur. Ia menyangka bahwa Pati dapat dilindas sebagaimana ia melindas Madiun.”

Para panglima dan senapati Pati tidak ada yang berani memberi tanggapan. Mereka tidak berani mengatakan keadaan yang sebenarnya dari pasukan Pati. Meskipun Pati berhasil mengumpulkan prajurit, pengawal dan bahkan semua orang laki-laki yang masih mampu mengangkat senjata, tetapi sebagian dari mereka adalah orang-orang baru sama sekali. Orang-orang yang sebelumnya seakan-akan sama sekali belum pernah menyentuh senjata.

Meskipun para senapati Pati sempat memberikan latihan dasar bagi mereka tentang keprajuritan, tetapi yang mereka dapatkan baru sebagian kecil dari landasan yang seharusnya dimiliki oleh seseorang yang turun ke medan perang.

Selain itu, gairah mereka untuk bertempur pun tidak terlalu tinggi. Orang-orang di sebelah utara Gunung Kendeng, yang dengan resmi menjadi wilayah Pati, tidak melakukan tugas keprajuritan mereka dengan sepenuh hati.

Dengan demikian, para senapati Pati itu sebenarnya sudah mengetahui kerapuhan yang terdapat di dalam pasukannya. Tetapi mereka tidak dapat memberitahukan dengan terbuka kepada Kanjeng Adipati.

“Jika kita tetap berdiam diri, maka jika perang besar akan terjadi lagi, kita akan mengalami kesulitan. Pasukan Mataram akan dengan mudah menerobos memasuki celah-celah yang rapuh dari pertahanan kita,” berkata salah seorang senapati Pati.

“Kita harus mengisi kekurangan itu. Aku yakin jumlah manusia yang berhasil kita kumpulkan lebih banyak. Serba sedikit kita juga sudah melakukan latihan-latihan. Maka di sisi yang dianggap kurang, jumlah manusianya harus dipadatkan. Sementara itu di seluruh medan, inti kekuatan pasukan kita akan bertumpu pada para prajurit Pati,” sahut kawannya, juga seorang prajurit.

“Itu sudah menjadi kewajibannya. Tetapi apakah prajurit Pati jumlahnya cukup memadai?”

“Pertempuran yang akan terjadi memang satu pertempuran yang besar,” berkata senapati yang lain, “Tetapi kita mempunyai pengalaman yang dapat dipercaya.”

Namun senapati yang lain berkata, “Kau kira para prajurit Mataram tidak mempunyai pengalaman yang luas?”

Para senapati itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa para prajurit Mataram adalah prajurit yang memiliki dasar kemampuan yang tinggi, ketabahan dan keterikatan yang kuat akan tugas dan kewajibannya.

Tetapi sebagai seorang senapati Pati, mereka tidak dapat menyerah sebelum berjuang.

“Kami juga prajurit,” berkata para senapati itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, mereka tidak akan dapat ingkar dari kenyataan.

Dalam pada itu, Pati pun telah menyusun pertahanan yang disesuaikan dengan gerak pasukan Mataram. Para petugas sandi dari Pati sudah memberikan laporan yang lebih terperinci tentang pasukan Mataram yang semakin mendekat

Laporan-laporan itu kemudian telah dibahas oleh Kanjeng Adipati dengan para panglima dan para senapati. Mereka telah mempersiapkan pertahanan untuk menghadapi pasukan Mataram yang dibagi menjadi tiga. Pati telah membagi pasukannya menjadi tiga pula. Kanjeng Adipati sendiri akan memimpin pasukan induk untuk menghadapi pasukan yang terbesar, yang tentu dipimpin sendiri oleh Panembahan Senapati. Kemudian pasukan yang akan menghadapi kekuatan Mataram di sisi kiri dan kanan, yang merupakan sayap-sayap dari seluruh kekuatan Mataram yang menuju ke Pati.

Mataram yang membagi pasukannya sejak berangkat, tentu akan tercermin di dalam gelar yang akan dipasang kemudian.

Tetapi Kanjeng Adipati sama sekali tidak menjadi cemas. Ia terlalu yakin akan kekuatan pasukan Pati.

Seorang senapati telah mencoba untuk secara tidak langsung memperingatkan kepada Kanjeng Adipati, bahwa jumlah orang tidak akan menentukan kemenangan, meskipun diakuinya bahwa jumlah itu akan berpengaruh.

Pasukan Mataram yang menyerang Madiun jumlahnya jauh lebih kecil dari pasukan yang telah disiapkan oleh Madiun. Tetapi ternyata Mataram menembus memasuki dinding kota.

Tetapi Kanjeng Adipati tidak tanggap akan peringatan itu. Setiap kali Kanjeng Adipati berkata, “Prajurit Pati akan tersebar di seluruh medan, dan akan menjadi penggerak perlawanan pasukan Pati.”

Demikianlah, Pati pun telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Pati telah menyusun pasukannya yang akan di tempatkan di induk pasukan dan di sayap-sayapnya. Pati akan menyongsong pasukan Mataram dengan gelar perang. Tidak sekedar bersembunyi di belakang dinding kota.

Namun beberapa orang senapati yang berpengalaman telah menghadap Kanjeng Adipati dan memohon agar prajurit Pati bertahan di belakang dinding kota.

“Kau kira kita semuanya pengecut seperti kalian?” bentak Kanjeng Adipati.

“Sama sekali tidak, Kanjeng,” jawab Ki Tumenggung Wirabaya, “tetapi sebaiknya kita tidak kehilangan perhitungan.”

“Perhitungan apa? Jumlah kita lebih banyak. Prajurit Pati memiliki banyak kelebihan dari prajurit Mataram. Kita bertempur di atas tanah kita sendiri. Apalagi?”

“Jika kita bertempur dari balik dinding, maka kita dapat menyusut korban sebanyak-banyaknya. Sementara itu, jika kita cukup terampil, kita akan dapat menelan korban lebih banyak lagi.”

“Kita bukan pengecut!” bentak Kangjeng Adipati.

“Bukan Kanjeng. Seperti sudah kami katakan, bukan karena kita pengecut. Tetapi sebagaimana kita di Prambanan bertempur di belakang benteng kayu gelugu itu, justru karena kita memperhitungkan banyak kemungkinan.”

“Itu tidak akan terulang lagi.”

“Kanjeng, keputusan untuk bertahan di belakang benteng di pesanggrahan itu justru merupakan satu keputusan yang bijaksana. Karena dengan demikian, Kanjeng telah menyelamatkan banyak sekali jiwa prajurit Pati.”

Kanjeng Adipati merenung sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Apakah kita harus menarik diri dari gelar perang dan bertahan di belakang dinding kota?”

“Tentu itu yang terbaik bagi Pati sekarang, Kanjeng.”

Kanjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Jika kita berada di belakang dinding kita maka ruang gerak kita sangat terbatas. Kita tahu bahwa pasukan Mataram membawa bekal yang cukup banyak bagi pasukannya. Di Pati mereka dapat mengambil beras, padi dan jagung sekehendak hati mereka. Dengan demikian maka pasukan Mataram itu tidak akan kehabisan bahan makanan. Berbeda dengan kita yang berada dalam keterbatasan. Jika Mataram mengepung dinding kita untuk waktu yang lama, kita akan dapat kehabisan pangan.”

“Kita masih mempunyai kesempatan untuk mengumpulkan bahan pangan. Setidak-tidaknya dalam dua hari. Sementara itu, kita dapat meninggalkan beberapa kelompok kecil prajurit yang dengan sukarela menyatakan diri untuk mati dalam peperangan.”

“Apa yang akan mereka lakukan?” bertanya Kanjeng Adipati Pati.

“Mereka akan mengacaukan persediaan makan para prajurit Mataram. Sasaran mereka adalah lumbung-lumbung yang mereka bangun untuk sementara selama perang. Pedati-pedati yang penuh dengan padi, beras dan jagung. Menghalangi para prajurit Mataram yang berusaha mengumpulkan bahan makanan baru.”

Kanjeng Adipati Pati mulai berpikir tentang kemungkinan,-kemungkinan yang dapat terjadi di Pati. Tetapi sesuatu telah bergejolak di dalam hatinya, apabila ia harus menarik pasukannya untuk bertempur di belakang dinding kota. Seakan-akan Pati telah bersembunyi untuk sekedar menyelamatkan diri.

Dalam pada itu, para penghubung telah memberikan laporan bahwa prajurit Mataram telah menjadi semakin dekat.

“Apakah hari ini mereka akan sampai ke Pati?”

“Tidak. Belum hari ini. Mereka bergerak dengan sangat lamban, karena mereka membawa beberapa buah pedati berisi pangan.”

“Kapan mereka akan sampai?”

“Dua hari lagi,” jawab prajurit itu, “secepat-cepatnya esok sore.”

Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Sejenak dipandanginya beberapa panglima dan senapati yang datang menghadapnya.

Ternyata bahwa beberapa orang Tumenggung itu berhasil meyakinkannya, sehingga katanya, “Aku minta waktu sampai nanti sore.”

“Segala sesuatunya terserah kepada Kanjeng Adipati.”

“Aku akan mempertimbangkan buruk dan baiknya.”

“Ya, Kanjeng.”

Namun demikian, para senapati itu mulai berpengharapan. Jika mereka bertahan di belakang dinding kota, maka mereka akan mendapat kesempatan lebih baik. Dari atas dinding kota mereka dapat berbuat lebih banyak dari pasukan Mataram yang berada di luar dinding.

Meskipun Kanjeng Adipati Pati masih belum memberikan keputusan, tetapi para senapati itu berpendapat bahwa hampir pasti Pati tidak akan menyongsong pasukan Mataram dalam gelar perang.

Dengan demikian, para senapati itu pun telah memerintahkan para pemimpin pasukan untuk menyesuaikan diri. Mereka harus mempersiapkan senjata lontar sebanyak-banyaknya. Bahkan para senapati itu pun telah memerintahkan untuk melihat semua pintu gerbang dan memperkuatnya. Pintu-pintu gerbang yang cacat harus segera diperbaiki.

“Jika pasukan Pati bertahan di dalam dinding kota, maka pintu gerbang akan menjadi sasaran utama para prajurit Mataram.”

Sementara itu, para senapati setelah menghubungi beberapa padepokan yang terpercaya. Pati menawarkan tugas yang sangat berbahaya kepada mereka.

Dengan tergesa-gesa Ki Tumenggung Wirabaya telah memanggil beberapa pemimpin padepokan. Kepada mereka Ki Tumenggung Wirabaya memberitahukan apa yang akan terjadi di Pati.

Sebagian para pemimpin padepokan itu sudah mengetahui bahwa para prajurit dari Mataram telah bergerak menyerang Pati.

“Apakah yang harus kami lakukan?” bertanya salah seorang pemimpin padepokan itu.

Ki Tumenggung Wirabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pati memerlukan bantuan kalian.”

“Kami sudah berjanji untuk hidup dan mati bagi kejayaan Pati.”

“Terima kasih,” berkata Ki Tumenggung Wirabaya. Lalu katanya, “Saat ini kalian dapat membuktikan kesediaan kalian hidup dan mati bersama Pati.”

“Kami menunggu perintah Ki Tumenggung.”

Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Dengan nada berat Ki Tumenggung kemudian berkata, “Kanjeng Adipati Pati sudah memutuskan bahwa Pati akan bertahan di belakang dinding kota. Karena itu, kekuatan terbesar akan segera ditarik masuk ke dalam kota.”

“Apakah kami juga harus ikut masuk ke dalam kota?”

“Tidak. Justru karena itu, kami ingin bicara langsung dengan kalian. Bukan sekedar mengirimkan penghubung untuk menghubungi kalian.”

“Tugas apakah yang akan dibebankan kepada kami?” bertanya salah seorang dari para pemimpin padepokan itu.

“Kira-kira dalam dua hari ini pasukan Mataram akan sampai di Pati. Mereka tentu akan mengepung kota, karena pasukan Pati akan bertahan di belakang dinding kota. Sementara itu, pasukan Mataram tentu akan berkemah tidak terlalu jauh. Mereka akan membuat lumbung-lumbung pangan untuk menyimpan persediaan pangan bagi para prajurit Mataram. Baik induk pasukannya maupun pasukan yang akan menjadi sayap-sayap gelarnya.”

Para pemimpin padepokan itu mendengarkan keterangan Ki Tumenggung Wirabaya dengan seksama. Sementara itu Ki Tumenggung pun berkata selanjurnya, “Karena para prajurit dan pengawal yang disiagakan Pati akan berkumpul di dalam dinding kota, maka kami memerlukan kelompok-kelompok kecil yang tetap berada di luar kota. Kami memang akan meninggalkan beberapa kelompok prajurit yang akan kami titipkan pada beberapa padepokan, agar semua gerakan dapat dikendalikan dengan pasti.”

Para pemimpin padepokan itu menunggu dengan berdebar-debar.

Ki Tumenggung itu memandangi wajah-wajah pemimpin padepokan itu dengan tajamnya. Kemudian katanya dengan nada berat, “Yang kami harapkan mungkin melampaui kemampuan kalian. Tetapi kesempatan ini adalah kesempatan yang baik, jika kalian ingin menunjukkan bantuan kalian kepada Pati.” Ki Tumenggung berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Salah satu sandaran kekuatan pasukan Mataram itu adalah dukungan pangan dan perlengkapannya. Nah, dari sisi inilah kita akan memperlemah pasukan Mataram.”

“Maksud Ki Tumenggung, kami harus berusaha menghancurkan persediaan pangan dan perlengkapan mereka?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Tepat,” sahut Ki Tumenggung, “tetapi untuk melakukannya tentu diperlukan syarat-syarat khusus.”

“Syarat apa yang Ki Tumenggung maksudkan?” bertanya pemimpin padepokan yang lain.

“Terutama kesediaan untuk berkorban. Bayangan maut selalu mengikuti setiap langkah.”

Salah seorang pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, “Apakah Ki Tumenggung meragukan kesetiaan kami? Bukankah kami sudah menyatakan kesediaan kami untuk bertempur melawan Mataram dengan segala macam cara?”

“Aku tahu,” jawab Ki Tumenggung Wirabaya, “tetapi tugas yang satu ini adalah tugas yang sangat berat. Karena itu, harus dipilih orang-orang yang benar-benar berani dan bersedia untuk melakukan tugas itu dengan batas mati.”

“Bukankah sejak semula kami sudah menyatakan kesediaan kami untuk mati?”

“Aku mengerti. Justru karena itu, kami telah memanggil untuk berbicara dengan para pemimpin padepokan,” sahut Ki Tumenggung.

Pembicaraan itu kemudian berlangsung semakin bersungguh-sungguh. Mereka mulai merambah pada tugas-tugas yang harus mereka lakukan bersama dengan beberapa kelompok prajurit. Mereka harus berusaha membakar dan memusnahkan pangan dan perlengkapan, yang tentu dijaga ketat oleh para prajurit Mataram.

“Kalian harus memukul dan lari,” berkata Ki Tumenggung Wirabaya, “tetapi setiap kali kalian tentu meninggalkan korban. Satu, dua dan bahkan mungkin lima orang sekaligus.”

“Tidak, Ki Tumenggung,” jawab salah seorang pemimpin padepokan, “kami tidak akan meninggalkan korban sebanyak itu. Asal prajurit Mataram tidak mampu menangkap angin, maka tugas-tugas kami akan dapat kami lakukan dengan baik. Bahan pangan dan perlengkapan itu dalam waktu singkat akan terbakar habis.”

“Bagus,” sahut Ki Tumenggung Wirabaya, “namun tugas kalian tidak terbatas pada pembakaran bahan pangan dan perlengkapan itu saja.”

Para pemimpin padepokan itu termangu-mangu sejenak. Baru sejenak kemudian seorang di antara mereka berdesis, “Jadi, apalagi yang harus kami lakukan?”

“Mencegah Pasukan Mataram mengambil bahan pangan ke padukuhan-padukuhan di sekitar kota ini.”

Pemimpin padepokan itu tertawa. Katanya, “Kami akan melakukan dengan sebaik-baiknya.”

“Ingat, pasukan Mataram dibagi menjadi tiga. Yang di tengah adalah pasukan induk. Pasukan yang terkuat. Kemudian pasukan yang lebih kecil di sisi kiri dan kanan, yang dipersiapkan untuk menjadi sayap jika terjadi perang gelar. Tetapi Kanjeng Adipati Pragola telah setuju untuk bertahan di belakang dinding kota, meskipun semula agak berkeberatan.”

Para pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Tumenggung Wirabaya berkata, “Aku akan memberikan beberapa kelompok prajurit untuk membantu kalian.”

Demikianlah, untuk selanjutnya Ki Tumenggung telah menyerahkan kepada para pemimpin padepokan itu untuk mengatur diri. Mereka telah mendapat gambaran bahwa prajurit Mataram telah dipecah menjadi tiga.

“Waktunya tinggal sedikit sekali. Dalam satu dua hari ini mereka akan sampai dan membuat perkemahan di sekitar kota,” berkata Ki Tumenggung, “nah, terserah kepada kalian, apa yang akan kalian lakukan.”

Demikianlah, Ki Tumenggung pun telah memerintahkan dua orang Lurah prajurit pilihan untuk menunjuk beberapa kelompok prajurit yang akan diperbantukan kepada para pemimpin padepokan itu. Mereka akan menyatu dalam ujud cantrik-cantrik padepokan untuk melakukan tugas yang berat itu.

Demikianlah, malam itu Kanjeng Adipati akhirnya memang memutuskan untuk memerintahkan menarik semua kekuatan untuk bertahan di belakang dinding kota. Para pemimpin kesatuan harus mempersiapkan prajurit dan pengawal sebaik-baiknya.

Malam itu juga para Panglima di Pati telah menyusun kerangka pertahanan sebaik-baiknya. Mereka telah mengatur penempatan pasukan serta pembagian wilayah. Semua dinding kota, pintu-pintu gerbang utama dan gerbang-gerbang yang lain harus diteliti kembali, agar tidak mudah dipecahkan oleh pasukan Mataram. Di tempat-tempat yang lemah, pertahanan harus diatur dengan cermat agar tidak menjadi lubang-lubang yang akan dapat disusupi oleh para prajurit Mataram.

“Kita hanya mempunyai waktu satu hari,” berkata salah seorang Panglima prajurit Pati.

Malam itu juga perintah Kanjeng Adipati dan keputusan pertemuan para panglima telah sampai kepada semua senapati, sampai ke pemimpin kelompok-kelompok prajurit dan pengawal di Pati.

Dengan demikian, dengan cepat mereka telah menempatkan diri sesuai dengan keputusan itu.

Dalam pada itu, para petugas telah memindahkan lumbung-lumbung padi seluruhnya ke belakang dinding kota. Panggung telah dibuat di mana-mana, sementara segala jenis senjata telah dipersiapkan pula.

Para prajurit Pati telah mempersiapkan lorong-lorong untuk melakukan perang brubuh jika para prajurit Mataram berhasil memasuki dinding kota.

“Segala tempat akan menjadi tempat pembantaian. Sudut-sudut lorong, simpang tiga dan simpang empat, regol-regol halaman dan kebun-kebun yang rimbun,” berkata seorang Panglima, “kita berada di kampung halaman sendiri. Kita menguasai medan jauh lebih baik dari orang-orang Mataram.”

Dengan demikian, dalam waktu yang singkat jebakan-jebakan pun telah dipersiapkan. Jika pasukan Mataram memasuki dinding kota, mereka akan mendapat sambutan jauh lebih baik dari sambutan yang pernah mereka berikan ketika prajurit Mataram memasuki benteng pesanggrahan Kanjeng Adipati Pati di Prambanan.

Dalam pada itu, malam itu pasukan Mataram berhenti dan beristirahat di tempat yang memang sudah mereka rencanakan. Tiga pasukan yang besar berada di tiga padukuhan yang tidak terlalu dekat.

Para prajurit dan pengawal mempergunakan waktu istirahat mereka dengan sebaik-baiknya. Selain yang bertugas, demikian mereka selesai makan malam, mereka telah mencari tempat yang terbaik untuk tidur.

“Besok pasukan ini masih akan berjalan sehari lagi. Kita masih akan bermalam di perjalanan. Sedangkan di hari berikutnya kita masih akan melanjutkan perjalanan mendekati Pati.”

Namun malam itu juga Panembahan Senapati mendapat laporan bahwa Pati telah menarik semua kekuatannya ke belakang dinding kota.

“Jadi kita tidak akan memasang gelar perang,” berkata Panembahan Senapati.

Laporan itu menjadi pasti, ketika petugas sandi yang lain pun telah memberikan keterangan yang sama. Pati telah menarik semua kekuatannya ke dalam dinding kota.

“Satu tugas yang berat,” berkata Panembahan Senapati, “Dimas Adipati akan memanfaatkan penguasaan mereka atas medan.”

“Ya Ngger,” Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk, “karena itu, maka setiap prajurit dan pengawal harus diperingatkan agar mereka tidak mudah terjebak. Semua gerakan harus diperhitungkan dengan cermat dan berhati-hati.”

Panembahan Senapati pun kemudian berkata, “Besok pagi-pagi sebelum kita berangkat, aku akan berbicara dengan para panglima dan senapati.”

“Pasukan yang akan ada di kedua jalur kita pun harus mengetahui pula,” sahut Ki Patih Mandaraka.

Malam itu, Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk menghubungi kedua pasukan yang terpisah. Panembahan Senapati telah memberikan beberapa pesan sehubungan dengan keputusan Pati untuk menarik semua pasukannya ke dalam dinding kota.

Beberapa ekor kuda pun telah berderap memecah kesunyian malam. Para penghubung yang mendapat perintah untuk menyampaikan perintah Panembahan Senapati itu berpacu menembus dinginnya angin malam.

Di sepanjang perjalanan, mereka hampir tidak berbicara. Mereka harus mencari tujuan secepatnya. Bahkan tidak mustahil bahwa di sepanjang perjalanan mereka akan menjumpai hambatan.

Tetapi para penghubung, baik yang menghubungi pasukan yang berjalan di sebelah kiri maupun pasukan yang beriringan di sebelah kanan, tidak menemui kesulitan apapun di perjalanan. Mereka dapat dengan selamat sampai ke tujuan serta menyampaikan perintah Panembahan Senapati kepada panglima kedua pasukan itu.

Dengan demikian, para panglima harus menyampaikan perintah untuk mempersiapkan diri menghadapi pertahanan Pati itu kepada setiap prajurit dan pengawal yang ada di dalam pasukannya.

Demikianlah, ketika fajar menyingsing, ketiga pasukan itu sudah siap untuk mulai bergerak lagi. Tetapi para panglima dan bahkan Panembahan Senapati sendiri telah memanggil para senapati untuk memberikan penjelasan tentang kedudukan lawan mereka di Pati.

Pasukan Mataram akan menentukan langkah-langkahnya setelah pasukan Mataram berada di perkemahan.

Hari itu, pasukan Mataram bergerak sebagaimana direncanakan. Iring-iringan yang berjalan lamban, karena di dalamnya terdapat bukan saja para prajurit dan pengawal, tetapi juga bahan pangan dan perlengkapan.

Segala-galanya berjalan sebagaimana direncanakan. Malam berikutnya, pasukan Mataram itu masih bermalam satu malam lagi di perjalanan. Para penghubung berkuda masih juga berpacu dari satu pasukan ke pasukan yang lain untuk memberitahukan kedudukan mereka masing-masing.

Di hari berikutnya, setiap pasukan telah mempersiapkan diri untuk memasuki hari terakhir dari perjalanan yang panjang dan lamban itu. Jarak perjalanan mereka tidak terlalu jauh lagi. Mereka akan menyelesaikan perjalanan mereka menjelang tengah hari.

Para petugas sandi telah memperkuat laporan-laporan mereka sebelumnya, bahwa pasukan Pati memang telah ditarik masuk ke dalam dinding kota.

Namun seperti juga para petugas sandi dari Mataram yang selalu mengawasi gerak para prajurit Pati, maka para petugas sandi dari Pati pun selalu mengawasi setiap gerak pasukan Mataram. Para petugas sandi dari Pati itu pun selalu memberikan laporan setiap perkembangan.

Namun di samping para petugas sandi yang terdiri dari para prajurit sandi, beberapa orang cantrik dari beberapa padepokan telah mengawasi gerak pasukan Mataram itu pula. Para pemimpin padepokan mendapat tugas untuk memperlemah kedudukan pasukan Mataram dengan menghancurkan persediaan bahan pangan dan peralatan yang lain. Karena itu, mereka selalu mengamati di mana pasukan Mataram itu akan berkemah.

Seperti yang direncanakan, maka menjelang tengah hari pasukan Mataram telah sampai ke tempat yang mereka tetapkan untuk menjadi landasan seluruh kekuatan Mataram. Di tempat itu, pasukan Mataram dari ketiga pasukan akan membangun perkemahan. Jarak dari ketiga pasukan itu yang satu dengan yang lain tidak lagi terlalu jauh, sehingga hubungan di antara mereka menjadi lebih mudah dan lebih cepat.

Tetapi para prajurit Mataram yang letih itu tidak segera membangun perkemahan. Hari itu mereka beristirahat di sebuah padukuhan terdekat

Namun sambil beristirahat, para prajurit Mataram itu telah meneliti kemungkinan untuk menjadikan padukuhan itu sebagai perkemahan mereka.

Ternyata padukuhan itu memang sudah kosong. Sebelumnya, Pati telah memperingatkan kepada penghuninya untuk mengungsi, karena padukuhan itu berada di jalur lintasan pasukan Mataram. Baik padukuhan yang berada di lintasan jalan pasukan induk, maupun kedua pasukan yang lain, yang berada di sebelah kiri dan kanan dari pasukan induk itu.

Ketika kedua pasukan yang berada di sisi sebelah kiri dan sebelah kanan itu melaporkan bahwa mereka berada di sebuah padukuhan yang dapat mereka jadikan landasan pasukan Mataram, maka Panembahan Senapati menyatakan bahwa tidak ada keberatannya sama sekali jika mereka membangun perkemahan di sebuah padukuhan yang kosong.

Bahkan pasukan induk pun akan membangun perkemahan di sebuah padukuhan yang kosong pula.

Tetapi hari itu ketiga pasukan itu masih belum mulai membangun landasan itu.

Para prajurit Mataram itu tiba-tiba merasa sangat letih setelah mereka menempuh perjalanan panjang dan lamban. Karena itu, mereka masih membiarkan segala sesuatunya seperti ketika mereka datang. Mereka membiarkan bahan pangan dan peralatan masih tetap berada di dalam pedati. Mereka masih belum membagi tempat bagi setiap kesatuan, setiap kelompok dan tempat khusus bagi para pemimpin pasukan. Mereka belum menentukan tempat-tempat para prajurit harus berjaga-jaga.

Karena itu, di hari pertama itu para pemimpin pasukan telah menugaskan untuk mengadakan penjagaan sebaik-baiknya.

Lebih banyak pengawasan akan menjadi lebih baik bagi pasukan yang berada di medan yang kurang dipahami. Penjagaan tidak hanya dilakukan di sudut-sudut padukuhan atau di mulut-mulut lorong. Tetapi juga di tempat-tempat yang dianggap rawan. Para prajurit harus meronda setiap kali mengelilingi padukuhan dengan diam-diam. Mereka harus menguasai benar sebutan-sebutan sandi, agar tidak terjadi salah paham.

Demikianlah, para prajurit dan pengawal itu masih saja berserakan di padukuhan yang akan mereka jadikan landasan loncatan menyerang Pati.

Namun dalam pada itu, para prajurit yang bertugas telah menebar di seluruh padukuhan, di regol-regol dan di tempat-tempat yang dianggap rawan. Sebagian dari mereka terbaring di pendapa-pendapa rumah yang kosong di dalam padukuhan itu. Tetapi untuk sementara mereka berada di rumah-rumah sekitar banjar padukuhan. Untuk sementara pula para pemimpin pasukan itu mempergunakan banjar sebagai tempat para pemimpin pasukan melakukan tugas mereka.

Ketika matahari mulai miring di sebelah barat, sebagian dari para prajurit itu sempat tidur terbujur lintang sambil memeluk senjata mereka.

Tetapi sementara itu, mereka yang bertugas pun telah melakukan tugas mereka dengan bersungguh-sungguh, meskipun mereka juga merasa letih sebagaimana para prajurit yang tertidur nyenyak itu.

Tetapi di siang hari itu tidak ada peristiwa penting yang terjadi. Padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan itu pun nampak sunyi. Penghuninya tentu juga pergi mengungsi sebagaimana padukuhan yang dipergunakan oleh para prajurit Mataram itu.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, para prajurit dan pengawal pun menjadi semakin bersiaga. Mereka yang tertidur telah bangun. Mereka segera mandi dan berbenah diri.

Dalam pada itu, para pemimpin mereka telah sempat menentukan beberapa hal yang harus dilakukan para prajurit dan pengawal. Mereka telah menugaskan sekelompok orang untuk mengatur di mana kesatuan-kesatuan yang ada di dalam pasukan itu akan tinggal. Selanjutnya mengatur tugas untuk berjaga-jaga, serta tugas-tugas lainnya yang harus di tangani bersama.

Dengan demikian orang-orang yang mempunyai tugas khusus itu telah mengamati rumah-rumah yang ada di padukuhan itu. Mereka juga mengamati regol-regol serta jalan-jalan dan lorong-lorong kecil yang dapat dipergunakan untuk lewat masuk dan keluar padukuhan itu. Mereka pun mengamati tempat-tempat yang rawan, serta kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi.

Dengan bahan itulah, maka sekelompok orang yang mendapat tugas khusus itu telah menyusun berbagai macam ketentuan yang berlaku bagi para prajurit dan pengawal yang ada di dalam pasukannya, yang akan berlaku sejak hari kedua.

Sementara itu, pasukan induk yang dipimpin oleh Panembahan Senapati sendiri justru mempergunakan tiga buah padukuhan yang berdekatan. Bukan saja karena jumlah mereka terlalu banyak untuk satu dan bahkan dua buah padukuhan, tetapi dengan menempatkan mereka di tiga padukuhan, maka mereka akan merasa menjadi lebih tenang. Mereka masing-masing akan dapat saling mengamati. Para petugas di satu padukuhan akan dapat melihat padukuhan yang lain dari Jarak yang cukup. Tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar