Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 301

Buku 301

Glagah Putih tertawa pendek. Katanya, “Rasa-rasanya ingin makan dan minum dengan tenang dan tidak terganggu, sementara selera minuman dan makanannya sesuai dengan selera kita.”

Agung Sedayu pun tertawa pula. Katanya, “Kau ingin bermanja-manja lagi?”

“Sekali-sekali, Kakang,” jawab Glagah Putih.

Demikianlah, mereka pun kemudian masuk ke sebuah kedai yang tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil. Kedai yang cukup bersih dan cukup banyak dikunjungi orang.

Ketika keduanya memasuki kedai itu, beberapa pasang mata telah memandangi mereka. Bahkan juga pemilik kedai itu seakan-akan menjadi heran melihat mereka masuk.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak menyadari akan hal itu. Mereka masuk saja ke ruang yang memang agak luas dan duduk di sebuah lincak bambu.

Wajah pemilik kedai itu nampak berkerut. Ia sendiri merasa segan untuk datang menanyakan apakah yang akan dipesan oleh kedua orang tamunya itu. Karena itu, disuruhnya saja seorang pelayan datang kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk menanyakannya.

Ternyata Glagah Putih yang masih saja merasa letih segala-galanya itu, ingin memesan sesuatu yang terbaik untuk menyegarkan dirinya.

“Kakang, aku ingin wedang jahe dengan gula kelapa, dan makan nasi dengan mangut lele.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau masih senang ikan lele. Sebaiknya kau cari saja sendiri dengan pliridanmu itu.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Demikian aku pulang ke Tanah Perdikan, aku akan mulai lagi dengan pliridanku.”

Agung Sedayu tertawa tertahan. Tetapi Glagah Putih membiarkan suara tertawanya lepas. Rasa-rasanya sudah terlalu lama ia tidak tertawa.

Tetapi beberapa orang telah berpaling kepadanya. Seorang yang berpakaian bersih dan rapi berdesis, “Orang-orang melarat dan kasar seperti itu tidak pantas berada di kedai ini. Jika hal seperti ini sering terjadi, maka kedai ini akan banyak kehilangan langganan.”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Orang-orang kumal seperti itu sebaiknya tidak boleh masuk kemari.”

Sementara itu, pelayan kedai itu pun telah menyampaikan pesanan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Agung Sedayu pun ikut pula memesan mangut lele dan wedang jahe.

Tetapi pemilik kedai itu berkata kepada pelayannya, “Sampaikan kepada mereka, bahwa mangut lele termasuk hidangan yang mahal di sini. Kenapa mereka tidak memesan bothok mlanding atau megana saja?”

“Tetapi mereka memesan mangut lele,” jawab pelayan itu.

“Aku khawatir bahwa mereka akhirnya tidak sanggup membayar,” berkata pemilik kedai itu.

Pelayan itu pun kemudian mendatangi Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk menyampaikan pesan pemilik kedai itu.

Glagah Putih benar-benar tersinggung oleh pertanyaan itu. Namun Agung Sedayu yang cepat tanggap, segera menggamitnya sambil menjawab, “Ya, Ki Sanak. Kami memang memesan mangut lele. Kami sudah menabung bertahun-tahun untuk sekedar dapat menikmati mangut lele di kedai ini.”

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Memang tidak masuk akal, bahwa seseorang menabung bertahun-tahun untuk dapat membeli mangut lele.

Tetapi pelayan itu tidak menjawab. Iapun segera kembali ke pada pemilik kedai itu serta menyampaikan jawab Agung Sedayu itu.

“Persetan dengan pengemis-pengemis itu,” geram pemilik kedai yang menjadi kesal, tetapi tidak dapat mengusir kedua orang yang meskipun masih nampak muda, tetapi pakaiannya yang lusuh serta wajah mereka yang letih, rasa-rasanya mengganggu kebersihan kedai itu.

Ketika pelayan kedai itu sudah pergi, Agung Sedayu pun berkata kepada Glagah Putih, “Ada satu hal yang kita lupa.”

“Tentang apa?” bertanya Glagah Putih.

“Pakaian kita nampak lusuh dan kotor.”

“Kita baru saja mencucinya,” jawab Glagah Putih.

“Tetapi pada dasarnya pakaian kita nampak tua, jelek dan sobek, sehingga mereka yang ada di kedai ini dan bahkan pemilik kedai ini merasa terganggu. Ketika kita masuk tadi, aku lupa menyadari kenyataan itu.”

“Tetapi kita sudah duduk di dalam. Sebaiknya kita tidak menghiraukan orang-orang itu. Kita memesan minuman dan makan. Kemudian kita membayarnya.”

Agung Sedayu tersenyum. Glagah Putih tidak bersedia diajaknya untuk pindah ke tempat yang lebih tersisih.

Karena itu, Agung Sedayu hanya dapat tersenyum saja.

Dalam pada itu, dua orang yang telah selesai makan dan minum dengan tergesa-gesa meninggalkan kedai itu. Keduanya masih sempat berpaling memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Sedangkan empat orang yang duduk dekat Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat beringsut menjauh.

Glagah Putih yang kemudian menyadari sikap orang-orang yang ada di kedai itu sama sekali tidak memedulikannya. Ia justru bersikap semakin kasar. Digapainya sepotong sagon kelapa. Namun sagon itu hanya dimakannya separonya. Yang separo lagi dilemparkannya saja lewat pintu yang terbuka.

“Ini bukan sagon kelapa,” katanya, “tetapi sagon ampas kelapa.”

Orang-orang yang ada di kedai itu berpaling memandangnya. Tetapi Glagah Putih menjadi semakin acuh saja.

Nampaknya semakin siang, kedai itu pun menjadi semakin banyak dikunjungi orang. Agaknya memang sudah waktunya makan siang, sehingga tempat duduk yang disediakan pun menjadi semakin banyak terisi.

Kehadiran Agung Sedayu dan Glagah Putih di kedai itu nampaknya memang membuat beberapa orang menjadi tidak senang. Pada umumnya, orang-orang yang masuk ke dalam kedai itu adalah orang-orang yang nampak bersih, tertib, yang agaknya bukan dari tataran bawah dalam kehidupan di lingkungannya.

Ketika seorang yang tubuhnya agak gemuk, berkumis tipis bersama tiga orang memasuki kedai itu dan melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih sibuk dengan minuman dan makanan, sementara di hadapannya masih terdapat mangkuk berisi duri-duri ikan lele, iapun berkata kepada pemilik kedai itu, “He, sejak kapan kau berbaik hati memberikan tempat kepada orang-orang seperti ini?”

Pemilik kedai yang pada dasarnya memang tidak senang melihat kehadiran kedua orang itu pun kemudian menjadi tidak tahan lagi. Dengan wajah yang geram ia mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih sambil berkata, “Jika kalian sudah selesai makan, pergilah. Orang lain akan duduk dan makan di sini.”

“Silakan,” jawab Glagah Putih, “aku tidak pernah melarang mereka duduk dan makan di sini. Kenapa? Bukankah masih ada tempat duduk yang kosong di sebelah ini.”

“Mereka tidak ingin duduk di sebelah kalian berdua. Mereka orang-orang yang bersih dari tatanan kehidupan yang tertib.”

“Kalau kami?” bertanya Glagah Putih.

“Sudahlah. Pergilah,” berkata pemilik kedai itu, “jika kalian tidak mau pergi, kami akan mengusir kalian dengan kekerasan.”

Orang yang bertubuh gemuk dan berkumis tipis itu pun melangkah mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih. Demikian pula ketiga orang kawannya. Bahkan dua orang yang sudah ada di dalam pun berkata pula, “Usir saja pengemis-pengemis buruk itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Digamitnya Glagah Putih. Tetapi ternyata Glagah Putih masih menjawab, “Aku berhak duduk di sini seperti orang-orang lain.”

“Kedai ini milikku. Aku yang menentukan, siapakah yang boleh dan siapakah yang tidak boleh masuk.”

“Tetapi kau tidak melarang kami masuk. Kau hanya menunjukkan kecemasan bahwa kami tidak akan dapat membayar harga makan dan minuman yang kau hidangkan.”

“Sekarang aku bersikap lain. Kalian harus pergi,” berkata pemilik kedai itu.

“Oh, jadi inikah sifat watak orang-orang Mataram yang memandang nilai-nilai sekedar dari ujud lahiriahnya saja?” berkata Glagah Putih kemudian.

Nampak wajah-wajah yang berkerut di sekitarnya. Sementara Glagah Putih berkata pula,” He, apakah kalian tidak tahu bahwa orang-orang seperti aku inilah yang telah mendukung tegaknya Mataram? Siapakah yang menyediakan makanan buat para prajurit? Jika sepanjang hari aku tersuruk-suruk di sawah agar sawahku menghasilkan padi yang dapat mendukung perjuangan para prajurit Mataram menghadapi Pati, apa yang telah kalian lakukan? Bekerja keras? Buat siapa? Seandainya kalian juga telah melakukannya, bukankah apa yang kami lakukan tidak lebih buruk daripada yang kalian lakukan? Sekarang kalian menganggap bahwa aku tidak berhak duduk bersama-sama dengan kalian karena kalian melihat ujud lahiriah kami. Kotor, kumal dan barangkali tidak mempunyai banyak uang. Tetapi aku berjanji untuk membayar harga makanan dan minuman kami.”

Pemilik kedua itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang yang lain berkata, “Apakah aku harus mendengarkan igauanmu itu? Pergilah. Kau membuat mata kami sakit. Kau tidak usah bicara tentang dukungan terhadap perjuangan Mataram melawan Pati, karena kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tetapi kami harus menyerahkan sebagian hasil panen kami. Lalu, apa yang pernah kau serahkan?”

“Kami membayar pajak,” jawab orang itu.

“Kau kira kami tidak membayar pajak?”

“Cukup,” seorang yang bertubuh tinggi berdada bidang berkata, “pergilah kau dari tempat ini! Atau aku harus melemparkan kalian keluar?”

Agung Sedayu menjadi cemas. Glagah Putih masih dipengaruhi oleh suasana tugas yang diembannya. Ketegangan masih meliputi perasaannya, sehingga jika ia terlepas dari kendali, akibatnya dapat menjadi rumit.

“Anak ini ingin makan dan minum dengan tenang setelah ia merasa berada di Mataram yang tidak langsung terpengaruh oleh suasana. Tetapi ternyata keadaannya sangat berbeda dengan keinginannya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Karena itu, iapun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sanak. Kami akan pergi. Berapa kami harus membayar?”

“Pergi sajalah. Jika kalian cepat keluar, kalian tidak perlu membayar,” berkata pemilik kedai itu.

Glagah Putih benar-benar merasa terhina. Kemarahan yang sudah menggunung di dalam dadanya, tiba-tiba saja telah meledak. Dengan tidak diduga, Glagah Putih telah meraih mangkuk berisi sisa minumannya. Dengan serta-merta sisa minuman itu telah disiramkan ke wajah pemilik kedai itu.

Pemilik kedai itu terkejut sekali, sehingga meloncat surut. Wajahnya yang tersiram wedang jahe itu terasa panas. Jantungnya terasa lebih panas lagi.

Yang menjadi marah bukan hanya pemilik kedai itu. Orang yang bertubuh gemuk dan berkumis tipis itu pun menjadi sangat marah.

Demikian pula orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang itu. Tanpa mengatakan sesuatu, orang itu dengan serta-merta telah memukul Glagah Putih dari belakang.

Glagah Putih yang tidak menduga bahwa seorang telah memukul tengkuknya dari belakang, telah terdorong maju menimpa geledeg bambu. Dahinya yang membentur sepotong bambu yang melintang terasa sakit.

Tetapi ia tidak sempat memperbaiki keadaannya, ketika orang yang bertubuh agak gemuk itu menarik bajunya. Demikian Glagah Putih berdiri, sebuah pukulan yang keras telah mengenai dadanya.

Glagah Putih terlempar ke pintu kedai. Tetapi Glagah Putih sengaja menjatuhkan dirinya keluar dan berguling beberapa kali.

Orang yang bertubuh gemuk dan berkumis tipis, orang yang berubuh tinggi berdada bidang dan pemilik kedai itu pun segera memburunya. Bahkan beberapa orang yang lain yang merasa sangat terganggu dengan kehadiran kedua orang itu pun telah mengejar pula ke halaman.

Namun Glagah Putih yang sempat mengambil jarak itu tidak lagi membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan-serangan yang datang beruntun. Ketika orang yang berubuh gemuk dan berkumis tipis itu mendekat, sebelum tangannya sempat terayun, Glagah Putih telah meloncat tinggi-tinggi. Kakinya tiba-tiba saja bergerak dengan derasnya, menyambar dagu orang itu.

Terdengar orang gemuk itu mengaduh. Kepalanya bagaikan berputar ke samping. Dengan derasnya orang itu terbanting jatuh.

Tetapi sementara itu, orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang itu telah menyerang Glagah Putih pula. Tetapi ternyata bahwa dengan satu putaran, kaki Glagah Putih terayun mendatar menyambar dada.

Orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang itu pun telah terlempar pula. Tubuhnya terguling seperti sebatang pisang yang roboh, menimpa seorang laki-laki yang sudah siap untuk ikut menyerang.

Orang yang bertubuh gemuk dan berkumis tipis itu sudah berusaha untuk bangkit. Namun dari sela-sela bibirnya darah telah mengalir. Dua giginya tanggal, sementara dagunya dicengkam oleh perasaan nyeri. Sedangkan orang yang bertubuh tinggi besar dan berdada bidang itu nafasnya menjadi sesak. Dadanya seakan-akan telah dihimpit oleh sebongkah batu yang besar.

Tetapi pada saat itu, beberapa orang telah menyerangnya pula. Demikian pula pemilik kedai yang marah itu. Wajahnya yang disiram dengan minuman itu masih terasa panas, sedang kedua matanya terasa amat pedih.

Tetapi ternyata Glagah Putih telah menjadi mapan. Karena itu, iapun segera berloncatan dengan cepatnya. Beberapa orang yang berusaha membantu pemilik kedai itu pun segera mengalami kesulitan. Hampir semua orang telah dikenai oleh serangan Glagah Putih. Seorang yang isi perutnya bagaikan bergulung-gulung dan menjadi sangat mual, tidak lagi dapat berbuat apa-apa selain memegangi perutnya. Seorang yang lain, tulang belakangnya serasa menjadi retak.

Dalam waktu singkat Glagah Putih telah berhasil menguasai keadaan. Beberapa orang lawannya tidak lagi mampu untuk bangkit dan melawan. Pemilik kedai itu bersama pelayannya yang setengah terpaksa, masih berkelahi dibantu oleh beberapa orang.

Agung Sedayu sama sekali tidak mencampuri perkelahian itu. Agaknya Agung Sedayu juga ingin memberikan sedikit peringatan kepada orang-orang yang angkuh itu, agar mereka menyadari bahwa ujud lahiriah seseorang tidak selalu menjadi pertanda mutlak dari pribadi orang itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun segera ingin menyelesaikan perkelahian itu. Ia tidak ingin melepaskan seorang pun dari mereka yang bergabung untuk memusuhinya.

Namun dalam pada itu, seseorang tiba-tiba saja berteriak,” Sekelompok prajurit!”

Tiba-tiba saja perkelahian itu pun terhenti. Glagah Putih telah meloncat mengambil jarak. Sementara lawan-lawannya yang sudah tidak berpengharapan merasa bersyukur. Mereka dapat memberikan laporan kepada para prajurit tentang seorang yang sedang mengamuk itu.

Ternyata yang lewat bukan sekedar sekelompok prajurit berkuda. Di antara mereka terdapat Ki Patih Mandaraka yang baru pulang dari istana. Beberapa orang prajurit pengawalnya telah mengikutinya. Dua orang di depan, yang tiga orang di belakang.

Demikian ketika kedua orang pengawal Ki Patih itu sampai di depan kedai itu, pemilik kedai itu pun berkata lantang, “Dua orang telah mengamuk di kedai ini!”

Kedua orang prajurit berkuda itu berhenti. Mereka memang melihat beberapa orang terbaring dalam keadaan luka.

“Siapa yang sedang mengamuk?” bertanya Ki Patih yang telah sampai di depan kedai itu pula.

Beberapa orang berdiri termangu-mangu. Di jarak yang agak jauh, banyak orang yang menyaksikan peristiwa itu. Tetapi mereka tidak berani lebih mendekat.

Pemilik kedai itu pun segera menunjuk kepada Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu. Dengan lantang pemilik kedai itu berkata, “Anak itu telah merusak ketenangan di dalam kedaiku.”

Bukan hanya Glagah Putih yang menjadi berdebar-debar. Tetapi juga Agung Sedayu. Seandainya sempat, Agung Sedayu lebih baik menyembunyikan diri.

Tetapi Ki Patih telah melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih di antara orang-orang yang berada di depan kedai itu. Bahkan pemilik kedai itu telah menunjuk Glagah Putih dan menyebutnya sedang mengamuk.

Ki Patih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu telah mendekati Glagah Putih dan berbisik, “Marilah. Kita harus menghadap.”

Glagah Putih tidak menjawab. Keduanya pun kemudian melangkah mendekati Ki Patih Mandaraka.

Dua orang pengawal yang berada di belakang Ki Patih telah menggerakkan kendali kudanya untuk memotong langkah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi seorang kawannya yang telah mengenal Agung Sedayu dan Glagah Putih berkata, “Biarkan saja.”

Kedua orang prajurit itu menjadi heran. Apalagi ketika mereka melihat kedua orang prajurit yang berada di depan juga berdiam diri dekat Ki Patih Mandaraka.

“Bukankah kalian sedang bertugas?” bertanya Ki Patih.

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk hormat. Dengan nada rendah Agung Sedayu menjawab, “Kami baru saja pulang, Ki Patih. Kami singgah di kedai itu sebelum kami menghadap di Kepatihan. Namun ternyata telah terjadi persoalan di sini. Glagah Putih yang masih letih dan tegang dalam tugasnya, harus menghadapi sikap angkuh dari beberapa orang yang merasa dirinya orang-orang dari tataran yang lebih tinggi.”

Ki Patih justru tertawa. Ia melihat pakaian Agung Sedayu dan Glagah Putih yang kumal dan lusuh.

Di masa mudanya, Ki Patih Mandaraka yang dipanggil Ki Juru Martani itu juga pernah menjadi pengembara, menyusuri tempat-tempat yang rumpil. Lereng-lereng pegunungan dan menyusuri sungai yang panjang, dengan mengenakan pakaian sebagaimana dipakai oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih itu.

Orang-orang yang ada di halaman kedai itu menjadi tegang. Para prajurit itu tidak berbuat sesuatu. Bahkan Ki Patih Mandaraka sendiri sama sekali tidak berbuat apa-apa atas kedua orang itu.

Orang-orang yang telah berkelahi melawan Glagah Putih itu menjadi semakin tegang ketika Ki Mandaraka justru turun dari kudanya dan berkata, “Aku juga tertarik untuk singgah di kedai ini.”

Pemilik kedai, pelayan-pelayan dan bahkan orang-orang yang berkerumun itu menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Sementara itu, Ki Patih Mandaraka tanpa menghiraukan orang-orang yang kebingungan itu berkata kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih, “Marilah. Kita masuk ke dalam.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang tidak tahu maksud Ki Patih Mandaraka, telah melangkah mengikutinya. Sambil berjalan Ki Patih berdesis, “Kalian telah diusir karena pakaian dan ujud kalian?”

“Hampir seperti itu, Ki Patih,” jawab Agung Sedayu.

Ki Patih tertawa. Katanya, “Kita akan minum bersama-sama.”

Ketika Ki Patih itu sampai di depan pintu, iapun kemudian berbalik menghadap ke halaman kedai itu sambil berkata, “Siapa yang tadi sedang berada di dalam kedai ini, silakan meneruskannya. Aku jangan menjadi hantu bagi kalian. Sekali-kali aku juga ingin duduk di dalam kedai seperti ini.”

Orang-orang itu menjadi bingung. Sementara pemilik kedai dan para pelayannya tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Tetapi Ki Patih Mandaraka tidak menghiraukannya. Iapun kemudian duduk di tengah-tengah kedai itu. Meskipun Ki Patih itu melihat geledeg yang berguling dan lincak yang roboh, tetapi ia tidak menghiraukannya.

Ki Patih itu pun kemudian telah minta para pengawalnya duduk pula di dalam kedai itu.

Pemilik kedai itu menjadi bingung. Dengan jantung yang berdebaran, bersama para pelayanannya pemilik kedai itu membenahi perabot kedainya yang berserakan.

“Beri kami minum,” berkata Ki Patih yang duduk di sebelah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sementara di lincak yang lain, duduk para pengawalnya. Dua orang di antara mereka yang belum mengenal Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi bingung.

Pemilik kedai itu menjadi sangat ketakutan ketika Ki Patih itu kemudian berkata kepadanya, “Kedua orang ini adalah sahabatku. Jika seseorang tidak menyinggung harga dirinya, ia tidak akan mengamuk. Jika terjadi perkelahian di sini, tentu ada orang yang telah menyinggung harga dirinya.”

Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Katanya, “Kami mohon ampun. Kami tidak tahu, bahwa keduanya adalah sahabat Ki Pauh.”

Ki Patih tersenyum. Katanya, “Bukan hanya kedua orang ini. Tetapi semua orang adalah sahabatku. Yang berpakaian bagus, rapi dan bersih. Tetapi juga yang berpakaian kotor, kumal dan lusuh.”

Pemilik kedai itu menjadi semakin gemetar. Sementara Ki Patih berkata, “Mana minum kami?”

Dengan tergesa-gesa pemilik kedai itu menyiapkan minuman buat Ki Patih Mandaraka, para pengawalnya dan dua orang yang berpakaian kusut itu.

Sementara itu, Ki Patih minta Glagah Putih bercerita, kenapa ia marah kepada orang-orang di dalam kedai itu.

Setiap kali terdengar Ki Patih tertawa. Sambil menepuk bahu Glagah Putih ia berkata, “Jika kau ingin sedikit bersabar, belajarlah kepada kakak sepupumu. Tetapi nampaknya kakakmu juga tidak mencegahmu tadi.”

“Aku memang membiarkan Glagah Putih memberikan sedikit peringatan kepada orang-orang itu.”

Ki Patih tertawa semakin panjang.

Pemilik kedai itu, orang-orang yang berada di halaman dan bahkan yang kesakitan, benar-benar menjadi gelisah. Ternyata kedua orang yang mereka anggap pengemis yang mengotori kedai itu begitu akrab dengan Ki Patih Mandaraka.

Mereka yang sempat, diam-diam meninggalkan kedai itu. Tetapi mereka yang kesakitan, yang punggungnya bagaikan patah, yang perutnya menjadi sangat mual, yang nafasnya menjadi sesak, tidak segera dapat bangkit. Kawan-kawan mereka yang ingin menolong mereka mengalami kesulitan. Setiap kali orang-orang itu disentuh tubuhnya, mereka justru menyeringai menahan sakit.

Ki Patih Mandaraka tidak terlalu lama berada di kedai itu, Setelah meneguk minumannya, Ki Patih itu pun telah meninggalkan kedai itu. Kepada pemilik kedai itu, Ki Patih memberikan beberapa keping uang ketika ia melangkah ke halaman.

“Ampun, Ki Patih. Uang ini terlalu banyak,” berkata pemilik kedai itu.

“Kau perlu membeli geledeg dan lincak baru,” jawab Ki Patih. Lalu katanya, “Nah, lain kali kalian jangan merendahkan derajad orang lain.”

“Ampun Ki Patih,” pemilik kedai itu mengangguk hormat dalam-dalam.

Sementara itu, orang-orang yang berada di halaman pun menjadi gelisah. Ki Patih ternyata telah mendekati orang-orang yang kesakitan dan tidak dapat meninggalkan tempatnya. Katanya, “Kalian akan segera sembuh. Sebaiknya kalian selalu ingat peristiwa ini. Orang yang kau usir itu adalah salah satu dari orang terbaik yang kita punyai sekarang ini.”

Orang-orang itu tidak menjawab. Tetapi jantung mereka berdenyut semakin cepat.

Di halaman, Agung Sedayu pun kemudian berkata kepada Ki Patih Mandaraka, “Silakan Ki Patih mendahului. Dari sini, kami berdua akan langsung pergi ke Kepatihan untuk menghadap Ki Patih.”

Ki Patih mengangguk. Katanya, “Aku menunggu kalian.”

Demikianlah, Ki Patih pun segera meloncat ke punggung kudanya. Demikian pula para pengawalnya. Mereka pun segera meninggalkan tempat itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Baru ketika Ki Patih dan para pengiringnya hilang di tikungan, Agung Sedayu dan Glagah Putih bergeser dari tempatnya.

Pemilik kedai, para pelayan dan orang-orang yang masih tinggal di halaman itu menjadi ketakutan. Tetapi nampaknya Glagah Putih sudah dapat mengendalikan dirinya.

Kepada pemilik kedai itu Agung Sedayu berkata, “Kami akan selalu ingat akan kedaimu ini. Suatu ketika kami akan datang lagi dengan pakaian kepangeranan.”

Wajah pemilik kedai itu menjadi semakin pucat.

Tetapi Agung Sedayu pun tertawa sambil berkata, “Jangan cemas. Kami bukan pangeran. Kami adalah petani-petani yang bekerja keras untuk mendukung perjuangan Mataram mempertahankan keutuhan kesatuannya.”

Pemilik kedai itu benar-benar menjadi bingung. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melangkah menyusuri jalan menuju ke Kepatihan.

Orang-orang yang menonton peristiwa itu dari kejauhan baru berani keluar dari persembunyian mereka. Mereka bergegas mendekat dan melingkari pemilik kedai yang masih berdiri termangu-mangu.

Bermacam-macam pertanyaan telah dilontarkan oleh orang-orang itu, berebutan. Namun justru karena itu, tidak ada pertanyaan yang sempat dijawab oleh pemilik kedai yang juga masih kebingungan itu.

Tetapi justru orang yang dadanya menjadi sesak itu sempat berkata, “Ternyata mereka adalah orang-orang penting di Mataram. Mereka nampaknya sengaja melihat kehidupan rakyatnya.”

“Untunglah kepalamu tidak dipenggalnya,” desis seorang yang berambut putih, “keangkuhan kita kadang-kadang memang dapat menjerat leher kita sendiri.”

Satu-satu orang yang berkerumun itu pun pergi. Beberapa orang sempat membantu beberapa orang yang kesakitan masuk ke dalam kedai. Untuk beberapa lama pemilik kedai itu masih merenungi apa yang baru saja terjadi. Orang-orang yang sedang berada di dalam kedainya dan yang kemudian terlibat, akan dapat pergi meninggalkan kedai itu. Tetapi ia sendiri terikat pada kedainya, sehingga jika kedua orang itu masih memperpanjang persoalan, maka pertama-tama yang akan menjadi sasaran adalah dirinya.

“Tetapi agaknya mereka bukan pendendam,” berkata pemilik kedai itu kepada diri sendiri.

Meskipun demikian, pemilik itu menjadi selalu gelisah. Kedua orang yang berpakaian kusut dan kotor itu akan datang dengan pakaian kebesaran bersama beberapa orang prajurit pengawal mereka untuk menghancurkan kedainya dan membunuhnya dan menyurukkan tubuhnya di bawah reruntuhan kedainya itu. Kemudian membakarnya. Dan hilanglah jejak kematiannya. Orang itu akan dapat menghindar dari tanggung jawab, karena yang terjadi itu dapat dianggap sebagai satu kecelakaan. Kedai yang terbakar bersama pemiliknya.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah melupakan peristiwa di kedai itu. Mereka sudah berada di depan regol Kepatihan.

Yang bertugas di pintu regol melihat dua orang yang berpakaian kotor dan kumal mendekati regol depan, segera menghentikan mereka. Namun prajurit itu kemudian tersenyum sambil berdesis, “Darimana saja kau, Ki Lurah?”

Agung Sedayu pun tersenyum. Katanya, “Dari meronda seputar Kepatihan.”

Prajurit itu tertawa. Bahkan kemudian prajurit yang juga sudah mengenal Glagah Putih itu berkata, “Kau ikut kemana saja kakakmu pergi?”

“Aku juga ingin menjadi Lurah prajurit,” jawab Glagah Putih sambil tersenyum.

Prajurit itu tertawa semakin keras. Namun tiba-tiba suara tertawanya berhenti. Katanya, “Aku sedang bertugas sekarang. Masuklah!”

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang sudah sering berada di Kepatihan itu pun segera masuk. Ketika mereka berada di depan pendapa, seorang abdi Kepatihan telah menemui mereka sambil berkata, “Ki Sanak berdua, dipersilakan untuk pergi ke gandok sebentar.”

Keduanya termangu-mangu sejenak. Mereka tidak terbiasa dipersilakan langsung ke gandok. Jika mereka bermalam di Kepatihan, mereka tidur di sebuah bilik di belakang.

Tetapi keduanya tidak membantah. Diantar oleh abdi itu, keduanya pergi ke gandok sebelah kiri.

Ketika mereka memasuki bilik, maka mereka melihat pakaian lengkap dua pengadeg. Nampaknya Ki Patih telah memerintahkan menyediakan pakaian yang baik dan bersih bagi keduanya.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya kepada abdi itu, “Terima kasih.”

“Kalian berdua dipersilakan untuk pergi ke pakiwan.”

Glagah Putih pun tertawa pula. Di luar sadarnya ia mengamati pakaiannya yang kumal, kotor dan bahkan koyak.

Ketika keduanya telah berbenah diri dan mengenakan pakaian yang disediakan oleh Ki Patih Mandaraka, maka keduanya telah menghadap.

“Jika kalian masih merasa letih, sebaiknya kalian beristirahat lebih dahulu. Nanti kita masih mempunyai waktu panjang untuk berbincang-bincang,” berkata Ki Patih.

“Kami sudah cukup beristirahat, Ki Patih,” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi baru saja Glagah Putih berkelahi di kedai itu.”

Glagah Putih menundukkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab sama sekali.

Yang kemudian menyahut adalah Agung Sedayu, “Nampaknya Glagah Putih sekedar ingin melepaskan ketegangan.”

Ki Patih tertawa. Katanya, “Aku mengerti.”

Agung Sedayu pun tertawa pula. Sementara Glagah Putih masih tetap menundukkan kepalanya.

“Jika demikian,” berkata Ki Patih, “kita dapat berbincang. Kalian dapat bercerita tentang perjalanan kalian. Meskipun demikian, aku ingin minta kalian besok menghadap langsung Panembahan Senapati.”

Agung Sedayu bergeser setapak. Namun kemudian ia pun telah menceritakan perjalanannya, meskipun baru dalam garis besarnya saja.

Ki Patih Mandaraka mendengarkan laporan Agung Sedayu dengan bersungguh-sungguh. Ki Patih itu pun dapat menggambarkan, apa yang sedang bergerak di Pati.

Sambil mengangguk-angguk Ki Patih itu pun kemudian berdesis, “Gerak itu harus dihentikan.”

“Ya, Ki Patih,” desis Agung Sedayu, “menurut pendapatku, semakin lama keadaan akan menjadi semakin gawat. Jika Pati menjadi semakin kuat, maka Mataram akan mengalami kesulitan yang lebih pahit lagi. Untuk meredakan gejolak yang terjadi di Pati itu kemudian, harus jatuh korban yang tidak terhitung lagi jumlahnya.”

“Mumpung masih belum terlambat,” sahut Ki Patih Mandaraka.

“Ya, Ki Patih. Semakin cepat semakin baik.”

Ki Patih pun mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Besok kita menghadap Panembahan Senapati. Sebaiknya hari ini kalian beristirahat di sini.”

“Terima kasih, Ki Patih,” jawab Agung Sedayu.

“Atau kalian ingin berjalan-jalan, membeli makanan dan minuman di kedai tanpa terganggu?”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tidak Ki Patih. Kami benar-benar ingin beristirahat. Besok kami akan mengiringi Ki Patih menghadap Panembahan Senapati.”

Hari yang tersisa benar-benar telah dipergunakan untuk beristirahat oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka dapat duduk di serambi, menikmati hidangan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Mereka dapat berbicara tentang apa saja tanpa harus mengerutkan dahi dan tidak harus selalu membuat penilaian terhadap persoalan yang terjadi di sekitarnya. Tidak pula harus selalu berhati-hati setiap melangkahkan kaki.

Agung Sedayu dan Glagah Putih benar-benar merasa dapat mengendurkan syaraf-syarafnya yang tegang.

Di malam hari keduanya dapat tidur dengan nyenyak di tempat yang bukan saja hangat, tetapi juga aman. Mereka tidak perlu bergantian berjaga-jaga.

Meskipun demikian, Agung Sedayu dan Glagah Putih memang sudah terbiasa bangun pagi-pagi. Karena itu, ketika fajar menyingsing keduanya telah selesai berbenah diri.

Namun mereka justru merasa canggung, bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan. Setiap kali mereka bermalam di Kepatihan, di pagi hari mereka kadang-kadang digelisahkan oleh kecanggungan mereka itu.

Hari itu, bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka, mereka akan menghadap Panembahan Senapati untuk memberikan laporan tentang perjalanan mereka ke Pati.

Ternyata Panembahan Senapati telah menerima Ki Patih Mandaraka, Agung Sedayu dan Glagah Putih secara khusus. Bertiga mereka menghadap Panembahan Senapati di Paseban Dalam, tanpa ada orang lain yang ikut hadir.

Dengan jelas Agung Sedayu memberikan laporan perjalanannya bersama Glagah Putih ke Pati. Beberapa kenyataan yang mereka lihat dan beberapa keterangan yang mereka dengar dari orang dalam, serta uraian dan kesimpulan yang telah mereka buat berdasarkan atas pengamatan mereka di dalam dan di luar kota Pati.

Panembahan Senapati mendengarkan laporan Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh. Wajah Panembahan Senapati itu sekali-sekali nampak berkerut, nampaknya beberapa sentuhan telah menggamit hatinya.

Demikian Agung Sedayu selesai memberikan laporannya, Panembahan Senapati itu pun mengangguk-angguk. Ia memang tidak cepat mengambil kesimpulan dan menjatuhkan perintah. Tetapi dengan hati-hati Panembahan Senapati itu membicarakannya dengan Ki Patih Mandaraka.

Namun Panembahan Senapati itu pun kemudian bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah menurut pendapatmu, Pati akan dapat mengumpulkan kekuatan melampaui kekuatannya ketika pasukan Pati itu berada di Prambanan?”

“Dari sisi jumlahnya, mungkin sekali Panembahan,” jawab Agung Sedayu, “tetapi orang-orang yang sempat dikumpulkan oleh Pati sebagian besar adalah orang-orang baru. Namun justru karena itu,  jika terjadi benturan kematian akan menjadi semakin banyak.”

“Jika orang-orang baru itu sempat disiapkan dengan baik, Mataram pun akan memberikan korban yang cukup banyak pula,” desis Ki Patih Mandaraka.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita harus membuat pertimbangan dari beberapa segi.”

“Ya Panembahan. Kita memang harus berhati-hati mengambil sikap.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa perang masih harus terjadi. Korban harus diserahkan untuk menghindari korban yang lebih banyak.

“Aku akan membicarakan dalam pertempuran yang lebih luas, Paman. Aku akan memanggil para pangeran, para panglima dan senapati terpenting untuk mengambil keputusan.”

“Silahkan Panembahan. Segala langkah memang harus diperhitungkan baik-baik.”

“Aku mengucapkan terima kasih, Agung Sedayu dan Glagah Putih. Keterangan kalian akan menjadi patokan langkah-langkah penting yang akan kita ambil,” berkata Panembahan Senapati. Lalu katanya kepada Ki Patih Mandaraka, “Aku mohon Paman dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam pertemuan yang akan segera aku selenggarakan.”

“Baiklah Panembahan. Kita memang harus bergerak cepat, sebelum kekuatan Pati menjadi semakin teratur,” jawab Ki Patih.

Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah diperkenankan mundur dari Paseban Dalam bersama Ki Patih Mandaraka.

Namun ternyata bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih masih belum dapat melepaskan diri dari tugas-tugasnya. Keduanya memang diperkenankan untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi justru untuk bersiap melakukan tugas yang baru, yang menjadi lebih berat dari tugas yang pernah mereka jalani pada saat Mataram telah diserang oleh Pati. Agung Sedayu dan Glagah Putih justru harus bersiap untuk pergi ke Pati dengan kekuatan yang ada di barak Pasukan Khusus dan di Tanah Perdikan Menoreh.

“Dalam waktu yang sangat singkat, semua kekuatan harus sudah berkumpul.”

Beruntunglah Mataram, bahwa Mataram masih belum melepaskan kesiagaannya seluruhnya. Karena itu, para pemimpin Mataram yakin bahwa mereka akan dapat mengumpulkan pasukan dengan kekuatan yang besar dalam waktu yang pendek.

Dengan demikian, Agung Sedayu dan Glagah Putih masih belum sempat mengambil kuda mereka di Jati Anom.

Ketika mereka sampai di Kepatihan, Agung Sedayu dan Glagah Putih segera mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan. Waktu mereka memang tidak begitu panjang.

“Baiklah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “tetapi apakah kalian akan berjalan kaki?”

“Ya, Ki Patih, “jawab Agung Sedayu, “kami tidak membawa kuda.”

“Jika demikian kalian dapat membawa kuda dari sini. Akan segera disediakan dua ekor kuda bagi kalian.”

“Terima kasih Ki Patih. Besok kuda itu akan kami bawa bersama pasukan yang akan datang ke Mataram.”

“Kau tidak usah mengembalikan kedua ekor kuda itu.”

“Maksud Ki Patih?”

“Kalian berdua masih berhak untuk menerima yang lain, selain kedua ekor kuda itu. Kami tidak bermaksud memberi kalian semacam upah dari keberhasilan tugas kalian. Tetapi satu kewajaran saja, bahwa kalian memang berhak menerimanya.”

Agung Sedayu mengangguk hormat sambil berdesis, “Kami mengucapkan terima kasih Ki Patih.”

“Atas nama Mataram, aku juga mengucapkan terima kasih,” jawab Ki Patih Mandaraka.

Demikianlah, Ki Patih memang telah memerintahkan abdi Kepatihan untuk mempersiapkan dua ekor kuda. Meskipun tidak setegar dan sebesar kuda yang pernah dihadiahkan Raden Rangga kepada Glagah Putih, namun kedua ekor kuda itu juga terhitung kuda yang baik.

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun segera mohon diri. Mereka memang tidak dipanggil menghadap bersama para pemimpin Mataram untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya.

“Kalian harus segera bersiap. Waktunya tentu tidak akan lama lagi.”

“Kami menunggu perintah, Ki Patih.”

“Ya. Perintah akan segera menyusul. Tetapi tentu dalam waktu yang dekat.”

Demikianlah, beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berpacu di atas kudanya. Sinar matahari terasa semakin menyengat tubuh.

Keringat pun dengan cepat telah membasahi pakaian mereka. Sementara debu berhamburan dan melekat pada pakaian mereka yang basah.

Ketika Glagah Putih mengeluh bahwa pakaiannya menjadi kotor, Agung Sedayu tersenyum sambil berkata, “Kau mendapat pakaian baru kemarin. Jika kau masih mengenakan pakaianmu yang lama, maka kau justru tidak akan mengeluh bahwa pakaianmu kotor karena debu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa pula. Katanya, “Pakaianku yang kemarin sudah tidak akan dapat bertambah kotor lagi.”

Agung Sedayu tertawa berkepanjangan.

Demikianlah, di bawah terik matahari keduanya berpacu menuju ke penyeberangan Kali Praga. Mereka memang tidak melihat suasana perang di sepanjang jalan yang mereka lewati. Meskipun demikian keduanya mengetahui bahwa hembusan angin peperangan tentu sampai juga ke padukuhan-padukuhan yang nampak di antara luasnya bulak persawahan.

“Setidak-tidaknya mereka harus ikut membantu menyediakan bahan pangan bagi para prajurit.”

Sambil berpacu Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat membayangkan perjalanan pasukan Mataram yang akan menyusul ke Pati. Perjalanan pasukan itu tentu mirip dengan perjalanan pasukan Pati yang bergerak menuju ke Mataram. Namun terhenti di Prambanan. Bahkan tidak mampu meneruskan perjalanannya ke barat.

“Perjalanan yang berat,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di tepian Kali Praga. Beberapa rakit bergerak menyeberang. Nampaknya hari itu cukup ramai, sehingga rakit yang ada harus menyeberang hilir mudik.

Untuk beberapa saat lamanya keduanya menunggu rakit yang bergerak ke timur. Beberapa orang penumpang yang sudah menunggu berdiri berjajar di pinggir sungai. Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah berdiri pula di antara mereka.

Tetapi tiba-tiba seorang anak muda yang mengenakan pakaian bersih, rapi dan tentu mahal, berkata sambil menunjuk ke arah Agung Sedayu dan Glagah Putih, “Kalian jangan bersama kami. Bawa kudamu dengan rakit berikutnya.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba wajahnya menegang. Dilepaskannya kendali kudanya. Namun ketika ia melangkah setapak mendekati anak muda itu, Agung Sedayu memberinya isyarat. Katanya kemudian, “Kudamu akan lari jika kau tinggalkan begitu saja. Kita belum terbiasa dengan kuda-kuda ini.”

“Mulut anak itu harus dibungkam,” desis Glagah Putih

“Kenapa tiba-tiba kau menjadi pemarah?”

Glagah Putih tertegun. Pertanyaan itu telah menyentuh perasaannya. Tetapi mencuat pula pertanyaan di dalam dadanya, “Apakah aku harus selalu mengiakan apapun juga, termasuk yang tidak aku setujui?”

Tetapi Glagah Putih tidak mengucapkannya. Dipeganginya lagi kendali kudanya, meskipun rasa-rasanya jantungnya bergejolak.

Ketika rakit itu kemudian merapat, serta orang-orang yang ada di atasnya sudah berloncatan turun di pasir tepian, maka orang-orang yang sudah menunggu itu pun berloncatan naik. Anak muda yang telah menyinggung perasaan Glagah Putih itu pun segera naik pula ke atas rakit. Namun ia masih sempat memandang Glagah Putih dengan tatapan mata yang menyakitkan hati.

“Biar saja,” desis Agung Sedayu. Glagah Putih memang tidak berbuat apa-apa.

Sejenak kemudian rakit itu pun meluncur ke tengah. Dua orang tukang satang mendorong rakit itu dengan galah yang panjang.

Baru beberapa saat kemudian rakit berikutnya telah merapat. Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah membawa kudanya naik ke atas. Sementara beberapa orang yang lain, yang tidak menyatakan keengganannya berakit bersama dua ekor kuda, ikut naik pula.

Bahkan seorang di antara para penumpang itu berkata langsung kepada Glagah Putih, “Kudamu bagus anak muda.”

“Kuda pinjaman, Ki Sanak.”

“Beruntunglah bahwa kau dipercaya meminjam kuda sebagus itu,” berkata orang itu.

Agung Sedayu mendengarkannya sambil tersenyum. Sementara Glagah Putih berkata di dalam hatinya, “Kudaku yang seekor tentu lebih baik lagi.”

Air Kali Praga yang kebetulan tidak naik itu di seberangi tanpa hambatan. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di tepian sebelah barat.

Glagah Putih yang sudah melupakan sikap anak muda yang berpakaian bagus dan mahal itu, harus menahan diri lagi ketika ia bersiap untuk meloncat naik ke punggung kudanya. Anak muda yang naik rakit lebih dahulu itu memandanginya saja dengan sorot mata menantang.

Glagah Putih yang masih muda itu ternyata sangat sulit mengendalikan dirinya. Di luar pengetahuan Agung Sedayu, ketika ia melihat anak muda itu memandanginya dengan membelalakkan matanya, Glagah Putih justru telah menjulurkan lidahnya.

Adalah di luar dugaan Glagah Putih bahwa anak muda itu menjadi sangat marah. Dengan lantang anak muda itu berteriak, “He, turun kau tikus buruk!”

Glagah Putih justru terkejut melihat sikap anak muda itu. Ia mengira bahwa anak muda itu tidak akan berteriak-teriak seperti itu, sehingga beberapa orang yang baru saja turun dari rakit serta mereka yang berdiri di sisi barat menunggu rakit yang akan membawa mereka menyeberang, telah berpaling ke arahnya.

Agung Sedayu juga terkejut. Dengan serta-merta ia bertanya kepada Glagah Putih, “Kenapa?”

“Entahlah,” jawab Glagah Putih, “sejak tadi aku berada di belakang Kakang. Aku tidak berbuat apa-apa.”

Tetapi anak muda itu telah berlari mendekatinya. Glagah Putih itu pun telah meloncat turun pula tanpa menunggu isyarat Agung Sedayu. Jika anak itu menyerangnya, maka ia akan membuatnya jera.

Tetapi sebelum anak muda itu mendekati Glagah Putih, tiga orang laki-laki mengejarnya dan memegangi lengannya.

“Lepaskan! Lepaskan! Aku akan membunuh keparat itu. Ia tentu petugas sandi dari Pati.”

“Jangan. Jangan begitu,” berkata salah seorang dari ketiga orang laki-laki yang memeganginya.

Anak muda itu meronta, sementara Glagah Putih telah berdiri tegak menunggunya.

“Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu, “tentu ada sesuatu yang tidak beres dengan anak muda itu.”

Glagah Putih tidak menjawab.

Agung Sedayu pun kemudian menyerahkan kudanya kepada Glagah Putih sambil berkata, “Pegangi kuda itu. Aku akan berbicara dengan mereka. Bukan kau.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian telah memegangi kendali kuda Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu berjalan mendekati mereka.

Anak muda itu masih meronta-ronta. Bahkan sambil berteriak-teriak dengan keras, “Aku bunuh kau pengecut! Aku bunuh kau!”

Agung Sedayu berhenti beberapa langkah daripadanya. Sementara ketiga orang laki-laki itu masih saja memeganginya dengan eratnya. Seorang di antara mereka berusaha menenangkan anak muda yang meronta-ronta itu.

Selain ketiga orang laki-laki yang memeganginya itu, seorang laki-laki yang lain yang sudah lebih tua melangkah mendekati Agung Sedayu.

“Maafkan cucuku. Ki Sanak.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang.

“Dahulu cucuku tidak bertabiat seperti itu. Tetapi ketika ia pulang dari Prambanan, perangainya telah berubah.”

“Prambanan?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Di Prambanan telah terjadi perang besar antara Mataram dan Pati. Cucuku berada di antara pasukan Mataram. Ternyata secara jiwani ia tidak siap berada di pertempuran yang garang itu, sehingga setiap kali ia menjadi marah, kecewa atau gelisah, sikapnya menjadi kasar seperti ini.”

Agung Sedayu mendengar keterangan orang tua itu dengan dada yang berdebar-debar. Perang yang terjadi di Prambanan itu masih belum dapat dilupakannya.

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Sementara itu anak muda itu masih meronta-ronta sambil berteriak-teriak.

Perhatian semua orang yang berada di tepian itu telah tertarik oleh teriakan-teriakan anak muda itu. Sementara orang yang memeganginya itu berusaha untuk menenangkannya.

“Tangkap orang itu! Ia tentu petugas sandi dari Pati!” teriak anak muda itu.

“Tidak. Tidak Ngger. Anak muda itu bukan petugas sandi.”

Tetapi anak muda itu masih tidak mau diam.

Orang yang berambut putih itu pun kemudian berkata kepada Agung Sedayu, “Tolong Ki Sanak. Aku mohon Ki Sanak meninggalkan tempat ini. Bukan apa-apa. Aku hanya mohon pertolongan agar cucuku itu dapat menjadi tenang.”

“Baik, baik, Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu, “kami akan pergi.”

Demikianlah, Agung Sedayu pun kemudian telah mengajak Glagah Putih untuk pergi. Glagah Putih yang juga mendengar permintaan orang berambut putih itu ternyata dapat memaklumi keadaan, sehingga iapun kemudian telah kembali meloncat ke punggung kudanya, setelah menyerahkan kuda Agung Sedayu.

Sejenak kemudian keduanya telah berpacu meninggalkan tepian itu.

Beberapa saat anak muda itu masih meronta-ronta dan berteriak-teriak. Namun semakin lama suaranya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.

Tubuh dan pakaiannya telah menjadi basah oleh keringat. Nafasnya terengah, sedang pandangan matanya menjadi liar.

Namun orang-orang yang memeganginya itu pun berhasil melunakkan hatinya, sehingga anak muda itu tidak lagi meronta-ronta.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Glagah Putih memang menyesal bahwa ia telah membuat anak muda itu marah. Tetapi ia tidak tahu bahwa anak itu memang terganggu keseimbangan jiwanya.

Tiba-tiba saja, seakan-akan di luar sadarnya, Glagah Putih berdesis, “Kasihan anak itu.”

“Ya,” Agung Sedayu menyahut, “seperti kata kakeknya, anak itu tidak siap memasuki perang yang besar. Darah, jerit dan desah kesakitan, teriakan-teriakan yang lain yang terdapat di medan perang, membuat anak itu kehilangan kendali.”

“Apakah anak itu akan dapat sembuh?” bertanya Glagah Putih.

“Mudah-mudahan masih dapat disembuhkan meskipun perlahan-lahan. Namun dalam keadaan yang khusus, gejolak itu akan dapat muncul kembali. Agaknya dalam kehidupannya sehari-hari anak itu sudah nampak wajar. Tetapi karena ia melihatmu dan mungkin ujudmu menggugah kenangannya yang mengerikan itu, telah membuatnya kehilangan kendali penalarannya.”

“Kakang,” bertanya Glagah Putih, “apakah ujudku pantas untuk dicurigai bahwa aku petugas sandi?”

“Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apakah kau petugas sandi atau bukan.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Jika demikian, anak muda itu mempunyai penglihatan lebih tajam dari orang lain, meskipun anak itu tidak dapat membedakan antara petugas sandi Mataram dan petugas sandi Pati.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Semoga keluarganya bersedia merawatnya dengan sabar, sehingga pada suatu saat anak muda itu benar-benar dapat sembuh.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Ya. Mudah-mudahan ia dapat segera sembuh, pulih seperti sediakala.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya seakan-akan hanya sekedar bergumam, “Mudah-mudahan.”

Namun Glagah Putih berkata pula, “Padahal tentu tidak hanya seorang saja yang mengalami guncangan perasaan seperti itu.”

“Ya. Tentu ada beberapa orang. Bahkan juga keluarga yang kehilangan anak, suami atau orang lain yang dikasihinya, akan dapat terguncang pula jiwanya.”

Glagah Putih pun terdiam. Tetapi gejolak di dalam dadanya masih saja menggelepar, sementara kudanya berlari terus menuju padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Angin selatan berhembus perlahan-lahan. Daun padi di sawah yang diusap angin menggelombang, seakan-akan mengalir dari ujung selatan sampai ke cakrawala..

Kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih berlari sepanjang bulak yang luas, berpacu dengan arus gelombang daun padi yang hijau subur.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk, maka mereka pun mulai bertemu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan yang sedang berada di sawah. Apalagi ketika mereka memasuki sebuah padukuhan. Maka anak-anak muda itu pun selalu bertanya bukan saja tentang keselamatan mereka, tetapi juga tentang tugas yang diembannya.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih masih belum dapat bercerita tentang tugas-tugas mereka, justru karena hubungan antara Mataram dan Pati masih tetap gelap, dan bahkan setiap saat perang masih akan pecah lagi.

Karena itu, setiap kali mereka harus menjawab pertanyaan-pertanyaan, maka sambil tersenyum Agung Sedayu berkata, “Tidak banyak yang dapat aku ceritakan sekarang. Mungkin pada kesempatan lain. Apalagi sebenarnya tidak ada hal yang baru yang dapat aku katakan kepada kalian.”

Anak-anak muda itu mengerti bahwa keduanya tentu masih letih. Apalagi jika mereka sempat memperhatikan mata Glagah Putih yang redup seperti orang yang telah sepekan tidak pernah tidur.

Karena itu, anak-anak muda itu tidak menahan keduanya lebih lama lagi. Mereka segera mempersilahkan keduanya untuk melanjutkan perjalanan.

“Kalian tentu sangat letih,” berkata anak-anak muda itu.

Glagah Putih mencoba tersenyum sambil menjawab, “Ya. Kami memang sangat letih.”

Namun Agung Sedayu sempat melihat kejengkelan di balik senyum kecut Glagah Putih itu.

Demikianlah, beberapa saat kemudian keduanya telah memasuki padukuhan induk. Tetapi Glagah Putih tidak ingin memperlambat derap kaki kudanya, sehingga Agung Sedayu harus mengikutinya di belakangnya.

Kedatangan mereka disambut oleh seisi rumah dengan gembira, meskipun di mata Rara Wulan nampak titik-titik air keharuan.

Ki Jayaraga yang kebetulan berada di rumah pun menepuk bahu Agung Sedayu sambil berkata, “Aku yakin, bahwa kalian berdua dapat menyelesaikan tugas kalian dengan baik.”

“Kami berharap demikian, Ki Jayaraga,” sahut Agung Sedayu.

“Bukankah tidak ada masalah di perjalananmu?” bertanya Ki Jayaraga.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Yang Maha Agung masih melindungi kami berdua, sehingga kami masih dapat kembali dengan selamat.”

“Syukurlah,” desis Ki Jayaraga.

Demikianlah, Rara Wulan pun segera sibuk di dapur untuk menyiapkan minuman dan bahkan makan bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Hari itu keluarga Agung Sedayu nampak menjadi cerah. Apalagi ketika secara kebetulan Wacana dan istrinya datang mengunjungi mereka sebagaimana yang sering mereka lakukan. Kegembiraan di rumah itu nampak menjadi semakin besar.

Malam itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah memerlukan menghadap Ki Gede Menoreh untuk menyampaikan laporan, bahwa mereka telah kembali dari tugas khusus yang mereka lakukan atas perintah langsung dan Panembahan Senapati.

“Kami seisi Tanah Perdikan ini mengucapkan terima kasih Ngger,” berkata Ki Gede

Agung Sedayu dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Mereka tidak segera tahu alasan Ki Gede, kenapa ia justru mengucapkan terima kasih. Namun Ki Gede itu pun berkata selanjutnya, “Angger berdua telah melakukan satu tugas yang perintahnya langsung kalian terima dari Panembahan Senapati. Dengan demikian berarti bahwa Tanah Perdikan ini telah memberikan sumbangan yang dianggap terbaik oleh Panembahan Senapati. Sehingga penghargaan itu tidak saja memberikan kebanggaan kepada kalian berdua, tetapi juga kepada kami, Tanah Perdikan ini. Apalagi kami hanya akan menerima limpahan nama baik Angger berdua, tanpa harus ikut bertaruh apapun. Angger berdua masih harus mempertaruhkan nyawa Angger jika angger gagal. Sedangkan kami tidak akan menanggung akibat buruk apapun.”

“Kami berdua tidak akan dapat berbuat banyak tanpa Tanah Perdikan ini, Ki Gede. Kami merasa bahwa kami selalu mendapat dorongan kekuatan dari Tanah Perdikan ini. Doa yang selalu dipanjatkan oleh isi Tanah Perdikan ini sangat besar artinya bagi kami berdua selama kami menjalankan tugas kami.”

“Terpujilah Yang Maha Agung, Ngger.”

Namun malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih masih belum dapat dengan terbuka menceritakan tugas yang masih harus mereka lakukan kemudian. Baik kepada Ki Gede Menoreh maupun kepada mereka di rumah. Mereka tidak sampai hati merusak kegembiraan yang baru saja mereka reguk sejak keduanya pulang. Jika mereka menceritakan tugas yang masih akan dibebankan di pundak mereka, maka kegembiraan itu akan dengan cepat lenyap dari dada mereka. Mereka akan kembali dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan. Orang-orang yang baru saja pulang itu akan segera mempertaruhkan nyawa mereka lagi di medan perang.

Di hari berikutnya, Agung Sedayu masih belum datang ke baraknya, ia masih beristirahat di rumah bersama Glagah Putih, serta berada di dalam kegembiraan bersama keluarga mereka.

Bahkan beberapa orang telah datang mengunjungi rumah itu. Prastawa dan istrinya juga memerlukan datang untuk mengucapkan selamat kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Ketika kemudian malam turun, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berjalan-jalan mengunjungi padukuhan-padukuhan terdekat dengan padukuhan induk. Meskipun mereka tidak dapat menceritakan tugas khusus yang mereka lakukan, namun sebagian kecil dari pengalaman Agung Sedayu dan Glagah Putih telah membuat jantung anak-anak muda di padukuhan-padukuhan itu menjadi berdebar-debar.

“Pengalaman yang menarik,” berkata Glagah Putih.

“Jika kalian bertanya kepada kami apakah kami tertarik untuk mengalami, maka kami akan memilih untuk membajak saja,” desis salah seorang dari anak muda itu sambil tertawa.

Kawan-kawannya dan bahkan Agung Sedayu dan Glagah Putih pun tertawa pula. Di dalam hatinya Glagah Putih berkata, “Itu baru sebagian kecil dari pengalaman perjalanan kami.”

Sedikit lewat tengah malam, Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun kemudian telah melangkah kembali ke padukuhan induk. Gardu-gardu peronda sudah menjadi semakin sepi. Meskipun anak-anak muda masih duduk berjaga-jaga, tetapi mereka tidak lagi terdengar bergurau di antara mereka.

Agaknya mereka telah menjadi letih tertawa, atau mungkin mereka mulai terkantuk-kantuk. Beberapa orang di antara mereka justru sedang meronda berkeliling, membangunkan mereka yang tidur terlalu nyenyak..

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih tengah berjalan di sebuah bulak yang panjang, maka mereka pun terkejut. Dari dalam kesepian malam, terdengar suara seruling yang mengalun sendu. Seakan-akan suara seruling itu bersumber dari liang yang dalam sekali.

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Sementara Agung Sedayu menghentikan langkahnya. Wajahnya menengadah sejenak. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam.

Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan dahi yang berkerut. Anak muda yang berilmu tinggi itu masih belum menemukan, dari mana asalnya suara seruling itu.

Tetapi sebelum ia bertanya kepada Agung Sedayu, terdengar Agung Sedayu berbicara. Tidak terlalu keras, seakan-akan kepada Glagah Putih yang berdiri dekat di hadapannya, “Rudita. Sudah lama kita tidak bertemu.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun terkejut ketika ia mendengar jawaban, “Jarak di antara kita memang menjadi semakin jauh Agung Sedayu. Kau menjadi lebih akrab bermain dengan cambukmu. Sementara aku semakin terikat kepada anak-anakku yang jumlahnya menjadi semakin banyak. Perang antara Mataram dan Pati telah meningkatkan jumlah anakku menjadi dua kali lipat.”

“Kau berkata sebenarnya, Rudita?”

“Kenapa tidak, Agung Sedayu? Anak-anakku tidak hanya berasal dari Mataram. Tetapi ada di antara mereka yang berasal dari sebelah utara Pegunungan Kendeng. Kami, maksudku aku dan beberapa orang muridku, menemukan mereka dalam keadaan yang paling pahit dari lingkungan kehidupan sesama ini.”

“Rudita,” berkata Agung Sedayu kemudian, “jika hal itu tidak terjadi sekarang dan nanti dalam waktu yang dekat, maka anak-anak yatim dan piatu akan menjadi jauh lebih banyak lagi.”

Tidak segera terdengar jawaban. Namun kemudian terdengar jawaban dari seseorang yang seakan-akan berada di dalam lubang yang sangat dalam, “Menyedihkan sekali Agung Sedayu. Bumi memang menjadi semakin tua. Demikian pula sikap orang-orang yang menghuni bumi ini. Malanglah nasib anak-anak yang kehilangan kasih sayang karena nafsu ketamakan dan dengki.”

“Rudita. Kami hanya berusaha mengurangi korban, karena kami tidak kuasa untuk mencegahnya.”

“Jarak di antara kita memang menjadi semakin jauh, Agung Sedayu,” suara itu seolah-olah menjadi semakin jauh dan dalam.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun yang terdengar kemudian adalah suara seruling yang menukik ke kedalaman malam yang hening. Perlahan-lahan sekali. Dan akhirnya suara itu pun hilang.

“Marilah Glagah Putih,” desis Agung Sedayu.

Glagah Putih pun kemudian melangkah di sebelah Agung Sedayu. Beberapa lama ia merenung. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah Rudita itu hidup di dalam alam angan-angannya, Kakang?”

“Tidak Glagah Putih. Ia juga mengalami sebagaimana kita pernah mengalami.”

“Kenapa ia tidak pernah mengerti tentang kenyataan yang kita hadapi?”

“Bukannya tidak pernah mengerti tentang kenyataan. Tetapi ia mempunyai landasan yang berbeda untuk menanggapi kenyataan,” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu berkata, “Hatinya yang sejuk penuh kedamaian, membuatnya lain dari orang kebanyakan, karena jarang sekali orang yang memiliki nafas kedamaian sebagaimana Rudita itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun berkata di dalam hatinya, “Aku tidak mengerti.”

Agung Sedayu pun kemudian tidak banyak berbicara lagi. Ketika mereka memasuki padukuhan induk, terdengar kokok ayam jantan yang kedua kali.

Ketika mereka sampai di rumah, mereka melihat anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu baru pulang dari sungai.

“Aku mendapat sidat,” berkata anak itu kepada Glagah Putih.

“Jarang sekali ada sidat di sungai itu.”

“Kemarin malam sidat ini sudah memasuki pliridan. Tetapi dapat lepas dan hilang. Tetapi dengan umpan seekor katak, malam ini sidat itu dapat aku tangkap.”

Glagah Putih menepuk bahunya sambil berdesis, “Kau memang seorang pemburu ulung di sungai, Sukra.”

“Besok kita dapat turun ke sungai,” berkata anak itu.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Baiklah. Besok kita turun ke sungai.”

“Jangan bohong!”

Glagah Putih tertawa semakin keras. Tetapi ia tidak menjawab.

Di sisa malam itu, Glagah Putih mencoba untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya. Meskipun sekali-sekali ia teringat kata-kata yang diucapkan oleh Rudita, namun iapun kemudian tidak memikirkannya lagi.

Berbeda dengan Agung Sedayu. Ia tidak begitu mudah melupakan kata-kata yang diucapkan oleh Rudita itu. Justru ia dapat mengerti landasan berpikirnya. Sebenarnya Agung Sedayu pun yakin bahwa Rudita juga mengetahui cara berpikir Agung Sedayu, sehingga sebagaimana dikatakan oleh Rudita, bahwa jarak mereka menjadi semakin jauh.

Namun akhirnya Agung Sedayu sempat juga tidur meskipun tidak terlalu lama. Tetapi dengan demikian, ketika Agung Sedayu terbangun menjelang fajar, tubuhnya telah terasa menjadi segar.

Hari itu Agung Sedayu akan pergi ke baraknya yang sudah cukup lama ditinggalkannya menjalankan tugasnya yang berat. Tetapi ia tidak akan dapat beristirahat lama, karena dalam waktu yang singkat ia harus sudah berada di medan perang kembali.

Tetapi Agung Sedayu telah bersepakat dengan Glagah Putih untuk tidak tergesa-gesa mengatakan tentang rencana keberangkatan pasukan Mataram ke Pati. Sebab dengan demikian, mereka akan segera merampas kegembiraan keluarga dan bahkan orang-orang Tanah Perdikan, karena perang dapat berarti merenggut seseorang dari lingkungan kasih keluarga.

“Kita menunggu perintah itu datang,” berkata Agung Sedayu.

Ketika Agung Sedayu kemudian berangkat ke baraknya, Glagah Putih pun telah berada di antara para pemimpin pengawal Tanah Perdikan bersama Prastawa. Meskipun Glagah Putih tidak mengatakan sesuatu tentang perang yang masih akan berlangsung, namun Glagah Putih menganjurkan agar kesiagaan masih terus ditingkatkan. Latihan-latihan yang berat serta meningkatkan kemampuan secara pribadi.

“Selagi kita mempunyai waktu,” berkata Glagah Putih.

Tetapi kesempatan itu ternyata terlalu sempit.

Ketika Agung Sedayu kembali dari barak di sore hari, ternyata Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu telah mendapat perintah khusus pula. Pasukan Khusus itu telah ditetapkan menjadi bagian dari pasukan pengawal Panembahan Senapati.

Glagah Putih yang langsung diberi tahu oleh Agung Sedayu, menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Begitu cepat perintah itu datang.”

“Kami harus sudah bersiap di Mataram pekan ini juga.”

“Mungkin hari ini atau besok, Ki Gede juga akan segera menerima perintah,” desis Glagah Putih.

Dengan demikian Agung Sedayu tidak dapat menunda-nunda lagi. Ia harus segera memberitahukan perintah itu kepada Sekar Mirah dan seisi rumahnya yang lain, karena waktunya memang sudah terlalu sempit.

Glagah Putih hanya dapat mengangguk-angguk saja. Meskipun rasa-rasanya baik Sekar Mirah maupun Rara Wulan masih belum puas menikmati kegembiraan mereka.

Sebenarnyalah, ketika lewat senja seisi rumah itu duduk-duduk di ruang dalam menjelang makan malam, Agung Sedayu telah memberitahukan bahwa dalam waktu kurang dari sepekan, ia sudah harus berada di Mataram bersama pasukan khususnya.

Wajah Sekar Mirah memang berubah. Tetapi pengalaman hidupnya di samping Agung Sedayu yang kemudian menjadi Lurah prajurit telah mengajarnya, bagaimana ia harus bersikap sebagai seorang istri prajurit.

Yang juga terkejut mendengar berita itu adalah Rara Wulan. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah perintah itu juga berlaku bagi para pengawal Tanah Perdikan ini?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Surat perintah bagi Pasukan Khusus itu tentu hanya berlaku bagi Pasukan Khusus itu sendiri. Jika Tanah Perdikan ini diikut-sertakan dalam kesiagaan itu, tentu akan mendapat surat perintah tersendiri.”

“Apakah Tanah Perdikan ini sudah menerima surat perintah itu?”

“Sampai sekarang nampaknya belum,” jawab Agung Sedayu.

Meskipun demikian, Rara Wulan memang sudah menjadi cemas. Perintah yang serupa tentu akan datang pula bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Rara Wulan juga harus menerima kenyataan itu. Ia harus melepaskan Glagah Putih pergi. Apalagi dirinya yang belum mempunyai ikatan yang resmi dengan Glagah Putih, sedangkan Sekar Mirah pun tidak akan dapat mencegah kepergian Agung Sedayu.

Malam itu telah dilalui dengan gelisah. Ketika Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berada di dalam biliknya, Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga masih berbincang di ruang dalam.

Kepada Ki Jayaraga, Agung Sedayu telah menceritakan bahwa sejak semula sebenarnya ia sudah tahu, bahwa dalam waktu singkat mereka akan kembali lagi ke medan. Tidak hanya di sekitar Mataram atau Prambanan. Tetapi pasukan Mataram akan berangkat ke Pati.

“Mataram tidak mempunyai pilihan lain untuk menghentikan Pati,” berkata Agung Sedayu.

“Mataram memerlukan pasukan yang sangat kuat,” desis Ki Jayaraga.

“Ya. Meskipun kekuatan Pati sebenarnya sudah susut dibanding dengan kekuatannya semula.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi kekuatan untuk menyerang itu harus diperhitungkan lebih besar dari kekuatan untuk bertahan. Seandainya kekuatan Pati sama seperti saat mereka datang ke Prambanan, maka Mataram harus memiliki kekuatan lebih besar dari itu.

Tetapi Agung Sedayu itu berdesis, “Panembahan Senapati memiliki banyak kelebihan. Di Prambanan ternyata pasukan Mataram-lah yang menyerang pasukan Pati yang bertahan di dalam benteng pesanggrahannya.”

“Ya,” Ki Jayaraga mengangguk-angguk, “mungkin Panembahan Senapati dapat berbuat lain. Dengan pasukan yang kecil tetapi memiliki kemampuan yang tinggi, ia dapat menerobos dan menghancurkan pasukan yang lebih besar. Meskipun kecil, namun memiliki kekuatan dan kemampuan yang sangat tinggi, melampaui kekuatan lawannya yang jumlahnya lebih banyak.”

Agung Sedayu mengangguk mengiakan, karena kekuatan dan kemampuan satu pasukan tidak selalu ditentukan oleh jumlah orangnya. Namun kemampuan dan kekuatan secara pribadi juga banyak berpengaruh, di samping kemampuan bertempur dalam satu kesatuan yang utuh.

Ketiga orang itu tertegun ketika mereka mendengar pintu samping terbuka. Ketika mereka berpaling, mereka pun melihat Sukra berdiri termangu-mangu.

Sebelum Sukra mengatakan sesuatu, Glagah Putih sudah bangkit sambil berkata, “Oh, aku janji ya?”

“Kemarin kau sudah ingkar janji. Sekarang terserah kepadamu, apakah kau akan pergi atau tidak.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan pergi.”

Glagah Putih pun kemudian minta diri kepada Agung Sedayu dan Ki Jayaraga untuk pergi ke sungai.

“Aku akan menutup pliridanku dua kali malam ini,” berkata anak itu, “musim ikan di sungai. Kemarin aku mendapat ikan cukup banyak.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu kaki mereka melangkah menuruni jalan padukuhan menuju ke sungai.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya, “Apakah kau masih belum jemu bermain dengan pliridanmu?”

“Jemu?” anak itu menjadi heran. Namun tiba-tiba iapun bertanya, “Apakah kau sudah menjadi jemu?”

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “maksudku, kau masih sempat melakukannya di sela-sela kesibukan yang lain?”

“Bukankah aku tidak mempunyai kerja di malam hari?”

“Maksudku, barangkali kau sudah terlalu letih karena pekerjaan yang kau lakukan di siang hari.”

“Hanya orang-orang yang malas yang berbuat demikian.”

Glagah Putih tersenyum. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Tetapi beberapa langkah mereka berjalan, anak itu-lah yang berbicara lagi, “Kau tidak mau memberi kesempatan aku berlatih lebih banyak.”

Glagah Putih tertawa pendek. Katanya, “Bukan aku tidak mau. Tetapi kau tahu bahwa aku bertugas di luar Tanah Perdikan, sehingga aku tidak mempunyai banyak kesempatan untuk melakukannya. Besok, jika semuanya sudah berlalu, aku akan mempunyai waktu untuk melakukannya lebih banyak dari sekarang.”

Namun tiba-tiba anak itu berkata, “Anak-anak dari seberang bukit itu sering mengganggu kami.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya, “Maksudmu dari kademangan sebelah bukit?”

“Bukan. Mereka justru mengeluh. Anak-anak dari sebuah padepokan di Kronggahan.”

Glagah Putih tersenyum, “Padepokan itu sudah lama berada di sana. Bukankah biasanya anak-anak padepokan di Kronggahan itu tidak nakal?”

“Ya, aku tidak tahu kenapa para cantrik itu tiba-tiba saja berubah.”

“Mereka sudah mengenal kita di sini. Jika anak-anak itu nakal, tentu akan dicegah oleh pemimpin padepokan itu. Kiai Warangka sudah mengenal Ki Gede dengan baik. Kiai Warangka juga mengenal Kakang Agung Sedayu.”

Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi kenapa tiba-tiba mereka berubah?”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya kemudian, “Jika benar, katakan kepada Ki Jayaraga. Iapun mengenal Kiai Warangka yang memimpin padepokan di Kronggahan itu. Tetapi biasanya padepokan kecil itu tidak mengganggu orang lain. Kiai Warangka adalah orang yang baik.”

Anak itu terdiam. Sementara mereka telah berada di tepian.

Glagah Putih dan Sukra pun segera menutup pliridan. Seperti yang dikatakan Sukra, ternyata malam itu pun mereka mendapat ikan cukup banyak.

Tetapi ketika mereka kemudian pulang, Glagah Putih berkata, “Nanti aku tidak ikut turun jika kau menutup pliridan untuk yang kedua kalinya.”

“Kenapa?” bertanya anak itu.

“Bukankah aku belum tidur sama sekali? Kau tentu sudah tidur setelah makan malam.”

“Salahmu sendiri,” gumam anak itu, “kenapa kau tidak segera pergi tidur, tetapi berbincang tidak berkeputusan?”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Waktu untuk berbincang seperti itu sangat sempit. Lusa kami harus pergi lagi.”

Anak itu mengerutkan dahinya. Sambil bersungut-sungut ia berkata, “Kau akan pergi lagi?”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Aku masih harus melakukan tugas di luar Tanah Perdikan ini bersama Kakang Agung Sedayu untuk waktu yang agak lama.”

Anak itu tidak menjawab. Namun kemudian iapun mempercepat langkahnya menyusuri jalan padukuhan.

Setelah mencuci kakinya di pakiwan, Glagah Putih pun telah pergi ke biliknya. Ia ingin tidur nyenyak sampai menjelang fajar.

Di hari berikutnya, Ki Gede telah mengutus seorang pengawal untuk memanggil Glagah Putih.

“Aku sendiri?”

“Ya,” jawab pengawal itu, “bukankah Ki Lurah Agung Sedayu tidak ada di rumah?”

“Ya. Kakang Agung Sedayu pergi ke barak.”

Bersama pengawal itu, Glagah Putih pun telah pergi ke rumah Ki Gede. Demikian ia memasuki regol halaman, Glagah Putih memang agak terkejut. Ia melihat para bebahu dan pemimpin pengawal dari padukuhan-padukuhan sudah lengkap berada di pendapa rumah Ki Gede.

Tetapi Glagah Putih segera tanggap. Tentu ada surat perintah dari Mataram menjelang keberangkatan pasukan Mataram untuk menyusul Kanjeng Adipati Pragola ke Pati.

Demikian ia duduk di antara mereka yang sudah datang lebih dahulu, maka Ki Gede pun mengucapkan selamat datang kepadanya, Namun pertemuan itu pun kemudian segera dimulai.

Seperti yang diduga oleh Glagah Putih, Ki Gede telah memberitahukan kepada para bebahu dan para pemimpin pengawal, bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah menerima surat perintah dari Panembahan Senapati untuk mempersiapkan pasukannya. Dalam waktu sepekan, perintah berikutnya akan menyusul.

Atas dasar surat perintah itu, maka Ki Gede telah memerintahkan kepada para babahu, bekel dan pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan untuk segera mempersiapkan pasukan.

“Dalam sepekan,” perintah Ki Gede.

Suasana menjadi hening. Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Tetapi tidak seorang pun yang berbicara di dalam pertemuan itu.

Ki Gede-lah yang kemudian bertanya, “Ada yang merasa berkeberatan?”

Tidak seorang pun yang menjawab.

Namun Ki Gede-lah yang kemudian berkata, “Aku tahu perasaan kalian. Anak-anak kita belum lama kembali pulang. Dalam waktu dekat mereka harus berangkat lagi. Tetapi itu adalah beban kewajiban yang harus kita pikul. Kita tidak hanya dapat menghisap hasil bumi, air dan udara di atas Tanah Perdikan ini. Tetapi kita juga harus menjadi pilar-pilar yang menyangga keberadaannya.”

Orang-orang yang mendengarkan keterangan Ki Gede itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian, perintah Panembahan Senapati memang membuat mereka menjadi berdebar-debar.

Beberapa saat kemudian, Ki Gede masih memberikan penjelasan, terutama bagi para pemimpin pengawal dari padukuhan-padukuhan.

“Ingat, dalam waktu sepekan akan menyusul perintah berikutnya. Itu berarti bahwa dalam sepekan, pasukan Tanah Perdikan ini harus sudah siap. Bukan hanya anak-anak mudanya saja, tetapi termasuk laki-laki yang sudah lebih tua, tetapi memiliki kekuatan dan kemampuan yang masih memadai, bekas pengawal Tanah Perdikan, serta mereka yang dengan suka rela menyatakan diri ikut serta.”

Ketika Ki Gede memberi kesempatan bagi mereka yang ikut dalam pertemuan itu, tidak seorangpun di antara mereka yang bertanya. Nampaknya mereka semuanya sudah menyatakan diri tanpa diucapkan, bahwa segala-galanya sudah jelas.

Beberapa saat kemudian pertemuan itu pun telah dianggap selesai. Mereka yang hadir di pertemuan itu satu demi satu telah meninggalkan pendapa.

Yang kemudian tinggal hanyalah Glagah Putih, Prastawa dan beberapa orang pemimpin pengawal yang lain.

“Waktu kita sangat sempit,” berkata Prastawa.

“Untunglah bahwa tatanan kesatuan dari para pengawal Tanah Perdikan masih jelas bagi kita. Kita akan dapat menerapkannya kembali. Kita tinggal mengisi kekosongannya saja,” berkata Glagah Putih.

Prastawa mengangguk-angguk, “Besok kita harus sudah selesai menyusun tatanan kesatuan pasukan pengawal Tanah Perdikan untuk segera diterapkan. Besok lusa kita akan menyiapkan susunan itu sampai ke padukuhan-padukuhan. Besok lusa kita akan melihat kelompok-kelompok itu. Kemudian kita akan mengumpulkan mereka di ara-ara untuk melihat keutuhan pasukan itu. Dengan demikian, setiap saat kita mendapat perintah berikutnya, kita sudah siap melakukannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita tinggal berangkat ke Mataram.”

Hari itu juga Prastawa telah menyusun urutan kegiatan yang akan dilakukan oleh para pengawal, agar setelah sepekan, pasukan pengawal Tanah Perdikan telah siap melakukan perintah apa saja dari Mataram.

Demikianlah, dalam waktu yang singkat, Tanah Perdikan harus sudah menyiapkan pasukan pengawalnya dan membawanya ke Mataram. Tetapi pasukan pengawal itu tidak dapat berangkat bersama-sama dengan Pasukan Khusus yang dipimpin Ki Lurah Agung Sedayu, karena Pasukan Khusus itu harus lebih dahulu sampai di Mataram, untuk di tempatkan menjadi bagian dari pasukan pengawal Panembahan Senapati.

Karena itu, Agung Sedayu memang harus berangkat lebih dahulu bersama Pasukan Khusus-nya, baru kemudian Glagah Putih akan menyusul.

Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan, Ki Lurah Agung Sedayu dan Pasukan Khusus-nya sudah harus berangkat ke Mataram. Sekar Mirah dan Glagah Putih telah ikut pergi ke barak Pasukan Khusus saat pasukan itu dilepas.

Sekelompok dari Pasukan Khusus itu harus ditinggalkan di barak. Ternyata bahwa mereka yang justru tidak dapat ikut ke medan perang menjadi kecewa.

Tetapi mereka tidak dapat memaksa pergi. Kelompok yang pada pertempuran di Prambanan tidak diikut-sertakan karena harus tinggal di barak, mendapat kesempatan pertama untuk berangkat. Bukan sekedar bergiliran agar semuanya sempat pergi berperang, tetapi mereka adalah tenaga-tenaga yang masih segar, yang belum merasa letih sebagaimana mereka yang telah bertempur sebelumnya. Namun sebagian dari mereka memang orang-orang yang telah berada di antara pasukan Mataram yang bertempur di Prambanan.

Meskipun sebenarnya Sekar Mirah merasa gelisah atas kepergian suaminya, namun ia tidak menunjukkan perasaannya. Sekar Mirah sadar bahwa hampir semua keluarga para prajurit itu merasa gelisah. Tetapi mereka harus menyadari, untuk apa suaminya, anak, kakak atau adik, atau siapapun yang berada di dalam pasukan itu, pergi ke Mataram.

Ketika pasukan itu sudah berangkat, Sekar Mirah dan Glagah Putih serta keluarga para prajurit yang ikut melepas mereka pergi, telah meninggalkan barak. Sekar Mirah dan Glagah Putih pun telah kembali pula ke padukuhan induk.

Namun ketika mereka sedang berada di perjalanan, mereka terkejut melihat sekelompok anak muda yang bergerombol berjalan menyusuri jalan induk di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka berteriak-teriak di sepanjang jalan, dan bahkan sekali-sekali mengganggu orang yang sedang berjalan.

Glagah Putih pun kemudian teringat kepada keluhan Sukra, bahwa orang-orang dari padepokan di Kronggahan sering datang mengganggu orang-orang yang tinggal di sekitarnya, bahkan menyeberangi bukit sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Tetapi mereka tentu bukan anak-anak dari padepokan di Kronggahan itu. Mereka tentu bukan murid Kiai Warangka, atau sesuatu telah terjadi di padepokan itu,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Tetapi Glagah Putih masih berdiam diri. Ia tidak mengatakan sesuatu kepada Sekar Mirah. Namun karena Sekar Mirah melihat sendiri apa yang telah mereka lakukan, maka Sekar Mirah itu-lah yang justru bertanya kepada Glagah Putih, “Siapakah mereka?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Anak-anak muda itu berjalan searah dengan Glagah Putih dan Sekar Mirah, berjarak beberapa puluh langkah. Mereka berjalan di depan Glagah Putih dan Sekar Mirah sejak mereka muncul dari tikungan.

“Mereka bukan anak-anak kademangan sebelah,” desis Glagah Putih, yang kemudian menceritakan keluhan Sukra karena anak-anak yang menurut katanya dari padepokan di Kronggahan telah sering datang mengganggu.

Tetapi Sekar Mirah menggeleng. Katanya, “Aku kira mereka bukan murid Kiai Warangka. Bukankah Kiai Warangka itu baik dan sudah mengenal Tanah Perdikan ini dengan baik?”

“Aku kira mereka memang bukan murid Kiai Warangka,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Tetapi aku justru menjadi cemas jika mereka berbuat sesuatu yang tidak terpuji di padukuhan, justru saat para pengawal bersiap-siap untuk pergi ke Mataram.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Ternyata sekelompok anak-anak muda itu memang tidak tahu diri. Ketika mereka melihat seorang petani tua berjalan di tanggul parit, tiba-tiba saja seorang dari mereka dengan sengaja telah menyentuh sehingga orang tua yang sedang memanggul cangkul itu jatuh ke dalamnya.

Orang tua itu pun segera bangkit. Namun pakaiannya telah menjadi basah kuyup.

Namun anak-anak muda itu tertawa meledak. Mereka mengerumuni orang tua yang basah kuyup itu.

“He, kau mandi tanpa membuka pakaian, Kek?” bertanya seorang di antara mereka.

“Kenapa hanya sebentar? Mandi lagi ya Kek?”

Anak muda itu telah mendorong orang tua itu sekali lagi, sehingga orang tua itu telah jatuh pula ke dalam parit.

Sekali lagi suara tertawa meledak.

Namun ternyata tiga orang anak muda dari padukuhan terdekat telah melihatnya. Dua orang di antara mereka berlari-lari mendatangi anak-anak muda itu, sedang seorang lagi telah memberi tahu beberapa orang kawan mereka.

Kedatangan kedua orang anak muda yang berlari-lari itu membuat anak-anak muda yang telah mendorong orang tua itu masuk ke dalam parit menjadi semakin gembira. Mereka merasa seakan-akan mereka mendapatkan permainan baru, yang lebih mengasyikkan daripada seorang tua yang sudah menjadi basah kuyup itu.

“Kenapa kalian perlakukan orang tua itu dengan kasar?” bertanya salah seorang anak muda dari padukuhan terdekat itu, sementara kawannya yang seorang lagi berusaha menolong orang tua itu.

“Apa orang itu kakekmu, he?”

Anak muda yang sudah mengenal orang tua itu dengan baik, menjawab, “Ya. Orang ini kakekku.”

“Lalu kau mau apa?” bertanya salah seorang dari anak-anak muda yang nakal itu.

“Siapa yang telah mendorongnya sehingga kakekku tercebur ke dalam parit?”

“Kau mau apa?” bertanya anak muda yang nakal itu.

“Jika ia jantan, aku tantang ia berkelahi,” jawab anak padukuhan itu.

Terdengar anak-anak muda itu tertawa meledak.

Kemarahan anak muda dari padukuhan itu telah merambat sampai ke ubun-ubun. Namun ia justru terdiam ketika ia melihat Glagah Putih dan Sekar Mirah berjalan mendekati mereka.

“Apa yang terjadi?” bertanya Glagah Putih.

“Kakek telah didorong ke dalam parit,” jawab anak muda padukuhan itu.

“Kau akan ikut campur?” seorang anak muda yang lain bertanya sambil mendekati Glagah Putih.

“Kau siapa?” bertanya Glagah Putih.

“Oh, kau merasa perlu tahu, siapa kami? Jangan pingsan jika kau mendengar siapakah kami ini.”

“Aku tidak mudah menjadi pingsan,” jawab Glagah Putih.

Anak muda yang umurnya sebaya dengan Glagah Putih itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Kami adalah murid-murid dari padepokan Kiai Warangka di Kronggahan.”

“Bohong,” jawab Glagah Putih.

“Kenapa kau tidak percaya?” bertanya anak muda itu.

“Pertama, kami kenal baik dengan Kiai Warangka dari Kronggahan. Kami tidak percaya bahwa murid-murid Kiai Warangka itu senakal kalian ini. Kedua, jika benar kalian murid Kiai Warangka, pada saat-saat kalian berbuat nakal seperti ini kalian tidak akan berterus terang bahwa kalian adalah cantrik dari Kronggahan.”

Wajah anak muda itu menjadi tegang. Demikian pula kawan-kawannya. Sejenak mereka saling berdiam diri, bahkan hanya saling memandang. Namun kemudian seorang yang terbesar di antara mereka menyibak kawan-kawannya, dan berdiri sambil bertolak pinggang di hadapan Glagah Putih.

“Kau jangan main-main dengan kami, anak sombong. Kau tentu akan menyesal.”

Namun tiba-tiba anak muda itu berpaling kepada Sekar Mirah sambil berkata, “Apalagi kau tidak sendiri. Perempuan itulah yang akan mengalami nasib paling buruk jika kau akan bertingkah.”

“Ia kakak perempuanku,” desis Glagah Putih.

“Perempuan itu belum terlalu tua buat kami,” berkata orang itu, “karena itu, jangan mencampuri urusan orang lain.”

“Kenapa orang lain? Orang tua itu kakekku. Anak muda itu sepupuku,” jawab Glagah Putih.

“Kau gila. Kau sudah menyurukkan dirimu sendiri dalam kesulitan. Atau kau memang ingin jadi pahlawan?”

“Sudahlah,” berkata Glagah Putih, “pergilah. Kalian akan menyesal jika kalian berkeras untuk menyombongkan dirimu di sini.”

Anak-anak muda itu benar-benar merasa direndahkan oleh Glagah Putih. Karena itu, anak yang terbesar di antara mereka itu pun telah mengayunkan tangannya memukul mulut Glagah Putih.

Tetapi anak itu menjadi bingung. Tangannya sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Justru yang terjadi kemudian adalah sebaliknya. Mulutnya sendiri-lah yang menjadi kesakitan, dan bahkan dari celah-celah bibirnya telah meleleh darah. Ketika tangannya mengusap bibir yang pecah itu, terasa cairan yang hangat di tangannya.

Anak muda itu mengumpat. Tangannya itu menjadi merah oleh darah.

“Aku menjadi semakin yakin, bahwa kalian bukan murid Kiai Warangka,” berkata Glagah Putih.

Anak muda yang terbesar itu menjadi sangat marah. Dengan lantang ia berkata, “Buat anak itu menjadi jera!”

Tetapi sebelum mereka berbuat sesuatu, Glagah Putih pun berkata, “Kau lihat? Anak-anak padukuhan itu berdatangan kemari. Jika kau tidak melarikan diri, maka kalian akan menjadi ndeg pangamun-amun di sini.”

Sebenarnyalah beberapa orang anak muda berlari-lari dari padukuhan. Sebagian dari mereka adalah pengawal padukuhan yang sudah siap berangkat ke Mataram.

“Pergilah! Aku akan menahan mereka agar mereka tidak mengejar kalian.”

Anak yang terbesar di antara mereka itu termangu-mangu Tiba-tiba saja ia mendapat gagasan menangkap Sekar Mirah untuk dipergunakan sebagai perisai.

Karena itu, ketika anak-anak muda dari padukuhan itu sudah menjadi semakin dekat, maka tiba-tiba saja yang terbesar di antara mereka yang dengan sengaja mengganggu orang itu meloncat dan menyekap Sekar Mirah dari belakang.

Jari-jari tangan yang kuat telah melekat di leher Sekar Mirah.

Sekar Mirah sama sekali tidak bergerak. Ia memang tidak mengira bahwa anak muda itu langsung menerkamnya.

Sementara itu, anak-anak muda dari padukuhan itu tertegun. Mereka melihat Sekar Mirah telah dikuasai oleh salah seorang dari anak-anak muda yang mengaku datang dari padepokan di Kronggahan itu.

Anak muda yang merasa telah menguasai Sekar Mirah itu tertawa. Katanya, “Nah, apa yang akan kalian lakukan? Jika kalian berbuat sesuatu yang tidak aku inginkan, kalian akan menyesal. Perempuan ini akan mati. Lehernya akan berlubang sebanyak jari-jari tanganku.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang menjadi heran, bahwa anak muda itu mampu menguasai Sekar Mirah. Menurut pengertian mereka, Sekar Mirah adalah seorang perempuan yang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, anak-anak muda yang mengaku datang dari padepokan Kronggahan itu pun kemudian mulai berbuat aneh-aneh. Seorang di antara mereka berkata, “Nah, untuk menyelamatkan perempuan itu, kalian harus mencebur ke dalam parit. Semua orang berjongkok di dalam air. Cepat!”

Anak-anak muda dari padukuhan itu ragu-ragu. Mereka melihat Sekar Mirah masih tetap dikuasai oleh anak muda itu.

“Cepat!” teriak anak muda yang memerintahkan anak-anak padukuhan itu berjongkok di dalam air.

Anak muda yang menyekap Sekar Mirah itu mulai menekan leher Sekar Mirah dengan ujung-ujung jarinya. katanya, “Cepat! Atau perempuan ini akan mati.”

Namun ternyata Sekar Mirah masih juga berkata, “Jangan kau tekan leherku. Sakit.”

“Persetan! Kau tidak hanya akan menderita sakit. Tetapi kau akan mati jika kawan-kawanmu itu tidak menurut perintah kami.”

“Jangan mudah mengancam,” berkata Sekar Mirah, “kau kira mereka takut terhadap ancamanmu?”

“Kau yang akan mati!” bentak anak muda yang menyekap Sekar Mirah itu.

“Mereka tidak akan menghiraukan, apakah aku akan mati atau tidak, karena aku bukan orang penting bagi mereka.”

“Persetan!” anak muda itu mulai berteriak.

Tetapi anak-anak muda dari padukuhan itu sama sekali tidak melakukan perintah anak-anak yang mengaku datang dari Kronggahan itu

Glagah Putih-lah yang kemudian melangkah mendekati Sekar Mirah yang masih disekap itu, sambil berkata kepada anak muda yang menyekapnya, “Jangan main-main dengan kakak perempuanku, Ki Sanak. Sebaiknya kau pergi saja. Jika kau tetap berada di sini, maka kau akan menyesal.”

“Gila kau!” geram anak muda yang menyekap Sekar Mirah itu, “Jangan mendekat!”

Tetapi Glagah Putih masih tetap melangkah satu-satu mendekati Sekar Mirah sambil berkata, “Lepaskan!”

“Perempuan ini akan mati.”

Suasana menjadi tegang. Bahkan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu pun menjadi berdebar-debar, meskipun mereka mengetahui bahwa Sekar Mirah memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi justru karena jari-jari anak muda itu sudah ada di leher Sekar Mirah.

Ketika Glagah Putih maju selangkah lagi, maka anak muda yang menyekap Sekar Mirah itu berteriak, “Jika aku menghitung sampai tiga kau tidak mundur, maka perempuan ini akan mati!”

Tetapi Glagah Putih justru menjawab, “Kalau aku menghitung sampai tiga kakakku tidak kau lepaskan, maka kau akan menyesal.”

“Iblis kau!” anak muda itu berteriak semakin keras.

Tiba-tiba dengan tenangnya Sekar Mirah berkata, “Jangan berteriak-teriak di telingaku. Kau dapat membuat telingaku menjadi tuli.”

Jantung anak muda itu berdebar semakin cepat. Sementara itu, Glagah Putih justru sudah mulai menghitung, “Satu, dua, …”

Anak muda itu menjadi bingung. Tiba-tiba saja ia menghentakkan tangannya yang berada di leher Sekar Mirah.

Namun bersamaan dengan itu, tangan Sekar Mirah telah menangkap pergelangan tangan anak muda itu. Hanya dalam sekejap. Getaran yang tajam terasa menjalar lewat urat-urat darahnya sampai ke pusat dadanya.

Anak muda itu tiba-tiba saja seakan-akan telah kehilangan tenaganya. Ketika kemudian Sekar Mirah mengibaskannya, anak muda itu pun jatuh terjerembab. Tertatih-tatih ia berdiri. Namun tenaganya seakan-akan tidak lagi mampu mendukung tubuhnya.

Sekar Mirah kemudian melangkah menjauh. Dipandanginya anak muda yang meskipun masih tetap berdiri, tetapi menjadi gontai.

Sambil menepuk wajah anak muda itu Sekar Mirah berkata, “Kau harus belajar berjalan, Anak Manis.”

Jantung anak muda itu bergejolak dengan derasnya. Tetapi ketika ia mencoba melangkah, tubuhnya mulai goyah.

Kawan-kawannya menjadi bingung. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Dalam pada itu, Glagah Putih berkata, “Menyerahlah. Kalian harus kami kembalikan ke padepokan Kiai Warangka.”

Darah anak-anak muda yang mengaku murid dari padepokan itu terasa bergejolak. Sementara itu mereka merasa tidak sendiri. Kawan-kawan mereka cukup banyak. Karena itu, seorang anak muda yang bertubuh kekar berkata, “Jangan menakut-nakuti kami. Permainanmu jelek. Kami sama sekali tidak merasa takut.”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “kami tidak senang bertengkar. Kami sudah letih berperang dalam pertempuran yang besar di Prambanan melawan Pati. Sekarang kami sedang mempersiapkan diri dan akan membuat kami lebih letih lahir dan batin. Karena itu, jangan membuat darah kami yang panas ini bertambah mendidih.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Sekilas terlintas kecemasan di wajah mereka. Namun anak muda yang bertubuh kekar itu berkata, “Omong kosong. Kau jangan membual. Kau kira Mataram memerlukan anak-anak sombong tetapi dungu seperti kalian? Hanya orang-orang yang tidak sehat penalarannya yang percaya, bahwa kalian diperlukan oleh Mataram untuk ikut dalam perang yang manapun juga.”

Anak-anak muda yang datang dari padukuhan, yang ada di antara mereka adalah pengawal Tanah Perdikan, menjadi tidak sabar lagi. Seorang di antara mereka berkata, “Kita akan menangkap mereka Glagah Putih. Siapapun mereka.”

Glagah Putih yang mulai jengkel itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Tangkap mereka. Kita akan segera menghubungi Kiai Warangka. Apakah anak-anak ini benar-benar cantrik padepokan di Kronggahan itu.”

Anak-anak muda itu pun mulai bergerak. Tetapi anak-anak muda yang mengaku dari padepokan di Kronggahan itu nampaknya benar-benar tidak ingin menyerah. Mereka merasa cukup kuat untuk mempertahankan diri mereka.

Karena itu, mereka pun telah bersiap untuk melawan.

Dengan demikian maka perkelahian pun segera terjadi. Anak-anak muda Tanah Perdikan yang marah itu, segera mengepung lawan-lawan mereka. Mereka ingin menangkap anak-anak muda itu seluruhnya. Tidak seorangpun yang boleh terlepas dari tangan mereka.

Ternyata anak-anak muda yang mengaku datang dari padepokan di Kronggahan itu memang memiliki bekal dan pengalaman berkelahi. Agaknya mereka merupakan sekelompok anak-anak muda yang memang sulit untuk dikendalikan. Namun bahwa mereka mengaku murid Kiai Warangka, tentu bukannya tanpa maksud.

Karena itu, perkelahian itu pun menjadi semakin sengit. Sekar Mirah sendiri telah bergeser mundur. Ia sengaja tidak melibatkan diri.

Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung lama. Anak-anak yang mengaku dari padepokan Kiai Warangka itu benar-benar tidak menduga bahwa anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu adalah anak-anak yang garang dan memiliki kemampuan yang tinggi. Anak-anak yang mengaku dari padepokan di Kronggahan, yang merasa memiliki pengalaman yang luas itu, sama sekali tidak mampu bertahan menghadapi lawan-lawannya. Apalagi mereka sudah terlanjur membuat hati anak-anak Tanah Perdikan itu marah, maka mereka semuanya mengalami perlakukan yang sangat menyakitkan. Menyakitkan tubuh mereka dan menyakitkan hati mereka.

Untunglah bahwa Sekar Mirah dan Glagah Putih ada di antara mereka, sehingga keduanya akhirnya berusaha menghentikan kemarahan anak-anak muda dari Tanah Perdikan itu..

Anak-anak muda yang mengaku dari padepokan Kronggahan itu hampir semuanya merintih menahan sakit. Tubuh mereka menjadi kehilangan tenaga, sehingga seakan-akan mereka tidak dapat menggerakkan tangan, kaki dan bahkan jari-jari mereka.

Tidak seorangpun di antara mereka yang sempat melarikan diri. Mereka yang mencobanya, justru mengalami perlakuan lebih keras lagi daripada kawan-kawannya.

Orang tua yang telah tercebur ke dalam parit itu pun sempat mencegah pula, agar anak-anak Tanah Perdikan itu tidak memperlakukan anak-anak muda itu lebih kasar lagi.

Demikianlah, Glagah Putih telah memerintahkan agar anak-anak itu ditahan di padukuhan. Namun kepada para pengawal Glagah Putih telah berpesan, “Berhati-hatilah. Mungkin di belakang anak-anak itu ada orang lain yang lebih berbahaya. Aku akan minta Ki Jayaraga menghubungi padepokan di Kronggahan itu.”

“Baik,” jawab salah seorang dari mereka.

“Jika ada sesuatu yang penting dan berbahaya bagi kalian, segera hubungi kami. Kami akan menyelesaikan persoalan ini sampai tuntas, sebelum kami berangkat. Waktu kita memang sangat sempit.”

“Baik,” jawab pengawal itu.

Para pengawal dan anak-anak muda dari padukuhan itu pun kemudian telah menggiring mereka yang mengaku dari padepokan di Kronggahan itu ke padukuhan. Meskipun mereka kesakitan dan bahkan sampai mengeluh, tetapi mereka harus berjalan menuju ke padukuhan untuk tinggal, sampai persoalan mereka dianggap selesai.

Sementara itu, Glagah Putih dan Sekar Mirah pun telah melanjutkan perjalanan mereka kembali ke padukuhan induk.

Ketika hal itu diceritakan kepada Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga itu pun berkata, “Baiklah. Nanti aku akan menghubungi Kiai Warangka.”

Glagah Putih dan Sekar Mirah tidak banyak lagi memikirkan anak-anak muda yang nakal itu. Glagah Putih sendiri telah disibukan dengan persiapan keberangkatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh ke Mataram. Ia mendapat tugas untuk mendampingi Prastawa. Meskipun Glagah Putih masih terhitung muda, tetapi ia memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang luas.

Ketika matahari semakin turun di sisi langit sebelah barat, Ki Jayaraga telah pergi ke seberang bukit. Ia menempuh perjalanan yang dekat seorang diri, menuju ke sebuah padepokan yang terletak beberapa ratus patok dari sebuah padukuhan yang subur, Kronggahan.

Padepokan yang dipimpin oleh Kiai Warangka itu terletak di sebelah bukit kecil. Di sekitarnya terbentang sawah dan pategalan yang digarap oleh para cantrik yang ada di padepokan itu. Hubungannya dengan padukuhan Kronggahan nampak akrab. Bahkan anak-anak muda Kronggahan sering berada di padepokan itu. Sebaliknya, pada upacara-upacara yang diselenggarakan oleh padukuhan itu, termasuk merti desa, para cantrik selalu ikut meramaikannya. Sehingga dengan demikian maka seisi padepokan Kiai Warangka itu sudah merupakan keluarga sendiri di padukuhan Kronggahan.

Karena itu, Ki Jayaraga meragukan pengakuan anak-anak muda yang telah ditangkap itu, bahwa mereka adalah para cantrik dari padepokan Kiai Warangka.

Dengan demikian, Ki Jayaraga merasa perlu untuk bertemu dan berbicara dengan Kiai Warangka sendiri. Kiai Warangka harus mengetahui bahwa ada sekelompok anak-anak muda yang mengaku berasal dari padepokannya dan melakukan perbuatan yang kurang terpuji.

Kedatangannya di padepokan Kiai Warangka memang agak mengejutkan. Kiai Warangka sendiri yang menyambutnya dan membawanya naik ke pendapa bangunan induk padepokan yang memang tidak begitu besar itu.

“Kedatangan Ki Jayaraga agak mengejutkan kami,” berkata Kiai Warangka setelah mereka saling mempertanyakan keselamatan mereka masing-masing.

“Sudah lama kita tidak bertemu Kiai,” sahut Ki Jayaraga.

“Aku memang sudah lama tidak mengunjungi sanak kadang di Tanah Perdikan Menoreh. Sudah lama pula aku tidak bertemu dengan Ki Gede, Angger Agung Sedayu dan Ki Jayaraga,” berkata Kiai Warangka itu pula. “Kami sedang sibuk mengatasi hama yang menyerang tanaman padi di sawah. Bersama-sama para penghuni padukuhan Kronggahan, kami berhasil memberantasnya.”

“Kiai berhasil?”

“Syukurlah bahwa hama padi itu sudah teratasi,” jawab Kiai Warangka.

“Syukurlah,” Ki Jayaraga pun mengangguk-angguk, “mudah-mudahan untuk seterusnya hama itu tidak akan datang lagi.”

Kiai Warangka tersenyum. Katanya, “Kita berdoa sambil berusaha, Ki Jayaraga.”

Ternyata keduanya mempunyai perhatian yang sama besarnya terhadap tanaman di sawah dan ladang, sehingga pembicaraan mereka menjadi berkepanjangan. Dari hama tanaman sampai ke pengadaan bibit dan penyimpanan hasil bumi di lumbung-lumbung.

Namun ketika kemudian hidangan sudah disuguhkan, maka Ki Jayaraga pun mulai menyampaikan maksud kedatangannya.

Kiai Warangka terkejut mendengar cerita Ki Jayaraga tentang sekelompok anak-anak nakal yang sering mengganggu di Tanah Perdikan Menoreh.

“Sungguh memprihatinkan,” desis Kiai Warangka, “aku tidak tahu, kenapa ada orang lain yang sampai hati menjelekkan nama padepokan ini. Padahal, menurut pengetahuanku, kami tidak pernah merugikan orang lain. Kami tidak pernah mengganggu apalagi bermusuhan dengan siapapun juga.”

“Kami menangkap beberapa orang di antara mereka, Kiai. Kami akan mempersilakan Kiai bertemu dengan mereka.”

“Terima kasih, Ki Jayaraga. Aku memang ingin berbicara dengan mereka. Apa yang sebenarnya mereka inginkan.”

“Jika Kiai Warangka ingin pergi ke Tanah Perdikan, apakah bersama aku sekarang?”

“Besok, Ki Jayaraga. Besok aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Besok aku akan bertemu dengan anak-anak itu.”

“Besok aku mohon Kiai datang ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Nanti bersama-sama kita pergi menemui anak-anak itu.”

“Baiklah Ki Jayaraga. Besok aku akan langsung pergi ke rumah Ki Lurah. Tetapi apakah saat ini Ki Lurah tidak bertugas di luar Tanah Perdikan?” bertanya Kiai Warangka.

“Ki Lurah sendiri sedang pergi ke Mataram, Kiai. Tetapi Angger Glagah Putih ada di rumah. Ia akan membantu kita mempertemukan dengan anak-anak itu.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berdesis, “Apa pula maksud anak-anak itu.”

Demikianlah, Ki Jayaraga berbincang untuk beberapa lama dengan Kiai Warangka. Bahkan para cantrik sempat menghidangkan makan kepada Ki Jayaraga.

Dengan demikian, Ki Jayaraga baru dapat meninggalkan padepokan itu setelah senja.

“Terima kasih atas pemberitahuan ini Ki Jayaraga,” berkata Kiai Warangka ketika Ki Jayaraga meninggalkan regol halaman padepokan ini.

Ketika Ki Jayaraga meninggalkan padepokan, gelap telah turun. Tetapi tidak menjadi persoalan bagi Ki Jayaraga. Ki Jayaraga sudah amat akrab dengan gelapnya malam.

Tetapi perjalanan malam dari padepokan Kiai Warangka itu ternyata menjadi agak terganggu, ketika Ki Jayaraga menyadari bahwa dua orang telah mengikutinya.

Meskipun demikian Ki Jayaraga berjalan terus. Untuk beberapa lama ia tidak menghiraukan kedua orang yang mengikutinya itu.

Namun ternyata bahwa Ki Jayaraga tidak dapat untuk tidak menghiraukan mereka lagi ketika mereka menjadi semakin dekat, dan bahkan kemudian dengan sengaja mengikutinya hanya beberapa langkah di belakangnya.

Untuk beberapa lama Ki Jayaraga memang masih saja berjalan terus. Ia memang tidak berpaling. Tetapi pendengarannya yang tajam mendengar langkah kedua orang yang mengikutinya itu.

Ki Jayaraga yang melihat sebuah tikungan yang tajam di depannya justru pada saat ia mulai memanjat tebing bukit, segera mempersiapkan diri. Betapa ia berusaha untuk tidak menghiraukan kedua orang itu, akhirnya orang tua itu merasa terganggu juga.

Ki Jayaraga mempercepat langkahnya dengan tiba-tiba, sehingga kedua orang yang mengikutinya itu pun harus berlari-lari kecil untuk menyusulnya.

Tetapi ketika kedua orang itu sampai di tikungan, mereka tidak melihat lagi Ki Jayaraga

“Setan,” geram yang seorang, “kemana orang itu?”

Yang seorang lagi tidak segera menjawab. Dengan gelisah ia mencoba untuk mencari Ki Jayaraga. Disibaknya semak-semak dan gerumbul perdu yang tumbuh di pinggir jalan. Tetapi orang itu tidak menemukan orang yang diamatinya dan kemudian diikutinya jejak orang itu keluar dari padepokan Kiai Warangka.

“Agaknya kita telah mengikuti sesosok hantu,” desis orang itu.

“Tidak mungkin orang itu hilang begitu saja,” sahut yang lain.

“Tetapi kita tidak menemukannya.”

Keduanya pun kemudian berlari-lari kecil mengikuti jalan yang melintas tanah persawahan yang luas. Menurut perhitungan mereka, orang itu tentu masih berada di bulak panjang itu.

Tetapi ternyata orang itu tidak dapat ditemukan.

“Orang itu tentu berada di pematang.”

“Pematang yang mana? Ada berapa ratus pematang yang membujur lintang di bulak ini.”

“Ya. Tentu kita tidak akan dapat menelusurinya satu demi satu. Sementara orang itu telah berada di seberang bukit.”

Kedua orang itu memang menjadi kebingungan.

Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Sudahlah. Biarlah orang itu melarikan diri. Bukankah kita tidak mempunyai kepentingan, selain sekedar dugaan bahwa orang itu akan dapat mengganggu usaha kita menggeser padepokan Kiai Warangka?”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan kembali mengawasi padepokan itu.”

Dengan demikian, kedua orang itu pun segera meninggalkan tempat itu untuk kembali mengamati padepokan Kiai Warangka yang terletak tidak jauh dari padukuhan Kronggahan itu.

Namun tiba-tiba saja keduanya tertegun. Mereka mendengar suara orang terbatuk-batuk.

Ternyata seseorang duduk di pinggir jalan, di bawah sebatang pohon randu yang sedang berbuah. Satu dua buahnya yang tua dan pecah telah menaburkan bijinya, sedang lembar-lembar kapuk telah hanyut diterbangkan angin.

“Kau cari siapa Ki Sanak?” bertanya orang yang duduk di pinggir jalan itu.

Kedua orang itu mengamati orang yang duduk itu dengan seksama. Seorang di antara mereka tiba-tiba saja menggeram, “Bukankah orang ini yang kita cari?”

“Oh,” orang yang duduk itu pun kemudian bangkit berdiri, “kalian cari aku?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Sejak tadi aku duduk di sini. Aku melihat kalian berjalan tergesa-gesa dan nampaknya memang mencari sesuatu. Tetapi aku tidak mengira bahwa kalian mencari aku, karena aku kira kalian sudah melihat aku duduk di sini.”

“Setan kau. Kau kira permainanmu itu menarik?” bertanya seorang di antara mereka.

“Permainan apa. Ki Sanak? Aku tidak sedang bermain-main.”

“Persetan dengan igauanmu!” bentak orang itu, “Sekarang jawab pertanyaanku. Apa yang kau lakukan di padepokan Kiai Warangka?”

“Aku sahabat Kiai Warangka,” jawab Ki Jayaraga, “aku baru saja mengunjungi sahabatku. He, apakah kau melihat aku keluar dari padepokan itu? Atau kau sengaja mengamati padepokan itu?”

“Aku hanya bertanya, untuk apa kau pergi ke padepokan itu?”

“Dan aku sudah menjawab. Aku mengunjungi sahabatku.”

“Kau siapa dan berasal dari mana?”

“Namaku Jayaraga. Orang memanggilku Ki Jayaraga. Aku tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Apakah yang kau maksud Tanah Perdikan di seberang bukit itu?”

Ki Jayaraga memandang kedua orang itu dengan tajamnya. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah kalian orang baru di daerah ini?”

Kedua orang itu terkejut mendengar pertanyaan Ki Jayaraga. Sementara Ki Jayaraga bertanya selanjutnya, “Kalian datang dari mana, dan dimana kalian tinggal sekarang?”

“Aku-lah yang bertanya,” geram salah seorang dari keduanya, “Apakah hubungannya antara Tanah Perdikan itu dengan padepokan Kiai Warangka?”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya tanpa menghiraukan pertanyaan orang itu, “Siapakah nama kalian berdua?”

“Apakah kau tuli? Kami-lah yang bertanya. Bukan kau. Kau hanya dapat menjawab pertanyaanku,” sahut orang itu.

Tetapi Ki Jayaraga tetap tidak menghiraukannya. Katanya, “Kalian sudah mengetahui namaku. Sekarang sebut namamu.”

“Tidak!” seorang di antaranya hampir berteriak, “Jawab pertanyaanku. Apakah hubungannya Tanah Perdikan Menoreh dan padepokan Kiai Warangka?”

Tetapi Ki Jayaraga seakan-akan tidak mendengarnya. Katanya, “Sebut saja dua buah nama. Nama tetanggamu, nama anakmu atau nama siapa saja. Bukankah aku tidak akan dapat menilik kebenaran jawabmu itu?”

Kedua orang itu menjadi sangat marah. Orang tua itu rasa-rasanya tidak menghargainya sama sekali. Karena itu, seorang di antara mereka telah mengancam, “Jika kau tidak menjawab pertanyaanku, maka kau akan menyesal.”

“Kau belum menjawab pertanyaanku!” tiba-tiba saja Ki Jayaraga justru membentak, sehingga kedua orang itu terkejut karenanya. “Tanpa menjawab pertanyaanku, kalian berdua sama sekali tidak menghargai aku. Orang yang lebih tua dari kalian berdua.”

Kedua orang itu menjadi heran melihat tingkah laku orang tua itu. Orang yang mengaku bernama Ki Jayaraga itu tidak menjadi ketakutan. Bahkan orang tua itu justru telah berani membentak mereka.

Seorang di antara kedua orang itu pun menggeram, “Kakek tua. Jika kau tidak menjawab pertanyaanku, maka untuk selamanya mulutmu tidak akan dapat kau pergunakan lagi. Aku dapat mengoyaknya atau menyumbatnya.”

Tetapi jawaban Ki Jayaraga benar-benar mengejutkan. Bahkan orang tua itu telah membentak keras-keras, “Jawab pertanyaanku!”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita bawa saja orang ini. Biarlah Ki Lurah mengurusnya.”

Kawannya mengangguk. Katanya, “Agaknya orang ini memang orang gila.”

Ki Jayaraga menyadari bahwa ia harus menghadapi tindak kekerasan. Karena itu, iapun justru berkata, “Kalian akan memaksa aku, Ki Sanak?”

“Ikut kami, atau kau akan terbaring diam di sini sampai esok ditemukan orang lewat. Atau bahkan malam nanti tubuhmu akan diseret anjing liar ke hutan itu.”

“Bagus,” berkata Ki Jayaraga, “ada kalanya orang-orang tua harus bergurau untuk menghilangkan dingin malam. Aku tidak mendapat kesempatan pergi ke Prambanan. Nampaknya di sini aku pun mendapat teman bermain.”

“Gila. Apa yang kau katakan itu?”

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Marilah. Aku sudah siap.”

Kedua orang itu menjadi sangat marah. Karena itu, keduanya segera mengambil jarak. Seorang di antaranya berkata, “Marilah. Kita seret orang tua yang tidak tahu diri ini.”

Kedua orang itu pun mulai bergerak. Sementara Ki Jayaraga pun telah bersiap menghadapi mereka. Orang tua itu tidak ingin menganggap rendah terhadap kedua orang yang tidak dikenalnya itu, karena dengan demikian akan dapat menjerumuskannya ke dalam kesulitan.

Demikianlah, kedua orang itu pun mulai menyerangnya. Keduanya-lah yang merasa diri mereka berilmu, sehingga mereka menganggap bahwa perkelahian hanya akan berlangsung beberapa saat. Kemudian mereka akan menyeret orang tua itu untuk menghadap seseorang yang disebutnya Ki Lurah.

Tetapi kedua orang itu terkejut. Demikian perkelahian itu mulai, seorang di antara mereka telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling.

Dengan demikian, kawannya dengan cepat telah mengambil jarak.

Ketika kawannya yang terpelanting jatuh itu meloncat bangkit, maka keduanya telah mempersiapkan diri. Namun keduanya menyadari bahwa orang tua itu ternyata orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

“Kau akan memamerkan kemampuanmu Jayaraga?“ geram salah seorang dan keduanya, “Tetapi jangan terlalu cepat merasa bahwa kau akan menang.”

“Tidak. Aku tidak terlalu cepat merasa menang. Tetapi kalian-lah yang memulai perkelahian ini. Karena itu, kalian-lah yang harus bertanggung jawab, apa yang akan terjadi dengan perkelahian itu.”

Kemarahan kedua orang itu semakin menyala di dalam dada mereka.

Karena itu, keduanya pun tidak menahan diri lagi. Dengan garangnya keduanya menyerang Ki Jayaraga dari arah yang berbeda.

Tetapi Ki Jayaraga telah bersiap sepenuhnya. Dengan tangkas iapun meloncat mengambil jarak. Namun demikian kedua lawannya memburunya, maka sekali lagi orang tua itu telah mengejutkan lawannya. Seorang yang lain telah terlempar pula dan jatuh berguling di tanah. Jika saja tubuhnya tidak tertahan oleh tanggul, maka orang itu telah tercebur ke dalam parit.

Tertatih-tatih orang itu bangkit. Tetapi orang itu harus mengerang menahan sakit pada tulang belakangnya.

Perkelahian selanjutnya hanya berlangsung beberapa saat. Kedua orang itu segera dikuasai oleh Ki Jayaraga. Keduanya menjadi kesakitan di seluruh tubuh mereka. Tulang-tulang mereka rasa-rasanya hampir terlepas.

“Kalian harus ikut aku,” berkata Ki Jayaraga

“Kami mohon ampun,” pinta seorang di antaranya. Sementara yang seorang lagi berkata, “Kami tidak akan mengganggumu lagi.”

Tetapi Ki Jayaraga berkata sekali lagi, “Kalian harus ikut aku ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jangan bawa aku ke Tanah Perdikan.”

“Pilih! Ikut aku ke Tanah Perdikan, atau harus membunuhmu di sini.”

Kedua orang itu menjadi sangat ketakutan. Orang tua itu tentu tidak sekedar mengancam. Sejak semula ia telah menunjukkan ketegasannya.

Karena itu, kedua orang itu tidak dapat menolak. Mereka berdua berjalan dalam kegelapan diikuti oleh Ki Jayaraga.

“Siapa yang berusaha melarikan diri akan mati,” ancam Ki Jayaraga.

Kedua orang itu mengakui tataran ilmu Ki Jayaraga, sehingga keduanya sama sekali tidak berani mencoba untuk melarikan diri, meskipun ketika mereka berjalan di jalan sempit melalui pinggir hutan lereng pegunungan.

Ketika mereka sampai di rumah Agung Sedayu, Glagah Putih-lah yang telah membuka pintu. Dengan dahi yang berkerut, Glagah Putih memandang kedua orang yang datang bersama Ki Jayaraga itu.

“Duduklah,” berkata Ki Jayaraga kepada kedua orang itu. Kedua orang itu tidak berbuat lain. Keduanya pun kemudian duduk di atas tikar yang dibentangkan di pringgitan.

Sambil berdiri di pintu beberapa langkah dari kedua orang yang duduk itu, Ki Jayaraga menceritakan dengan singkat, kenapa ia telah membawa kedua orang itu pulang.

“Jika demikian, kita bawa mereka ke tempat anak-anak itu,” berkata Glagah Putih.

“Sekarang?” bertanya Ki Jayaraga.

“Jika Ki Jayaraga tidak letih, sebaiknya kita bawa saja sekarang ke padukuhan itu. Kecuali jika Ki Jayaraga merasa letih. Biarlah mereka kita titipkan di banjar padukuhan induk.”

“Tidak. Aku tidak letih,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

“Baiklah. Aku akan minta diri kepada Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan.”

Demikianlah, kedua orang itu telah dibawa ke padukuhan tempat Glagah Putih menyerahkan sekelompok anak-anak muda yang telah berbuat tidak sewajarnya di Tanah Perdikan Menoreh.

Para pengawal dan anak-anak muda yang meronda di padukuhan itu terkejut ketika mereka melihat Glagah Putih dan Ki Jayaraga datang bersama dua orang yang belum mereka kenal.

Glagah Putih-lah yang kemudian berbicara dengan pemimpin pengawal yang sedang bertugas meronda malam itu.

“Baiklah. Marilah,” ajak pemimpin pengawal itu. Glagah Putih dan Ki Jayaraga pun telah membawa kedua orang itu ke belakang banjar padukuhan.

Dengan beberapa orang pengawal dan anak-anak muda yang bersiap-siap di luar pintu, pintu bilik di belakang banjar itu telah dibuka.

Kedua orang yang dibawa Ki Jayaraga dan Glagah Putih itu terkejut. Mereka melihat beberapa orang anak muda yang ada di dalam bilik itu. Hampir di luar sadarnya, kedua orang itu berkata hampir berbareng, “Kalian ada di sini?”

Anak-anak muda itu pun terkejut. Mereka pun serentak berdiri menyambut kedatangan kedua orang itu.

“Jadi kalian pernah berkenalan?” bertanya Ki Jayaraga.

Kedua orang itu tidak dapat ingkar. Sikap mereka dan sapa mereka yang serta-merta itu, memang telah menunjukkan bahwa mereka memang telah saling mengenal.

“Silakan, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “kami persilakan Ki Sanak berdua berkumpul dengan anak-anak muda yang tentu Ki Sanak sudah kenal. Untuk selanjutnya, kalian akan berurusan dengan Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh, karena aku akan meninggalkan Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Keringat dingin telah membasahi tubuh mereka oleh kegelisahan yang mengguncang jantung.

Anak-anak muda itu pun menjadi heran bahwa kedua orang itu nampaknya telah ditangkap pula oleh orang-orang Tanah Perdikan itu.

Sejenak kemudian, kedua orang itu telah didorong masuk ke dalam bilik itu pula. Sedangkan pintu bilik itu pun telah tertutup kembali.

“Besok kita akan berbicara,” berkata Ki Jayaraga, sekejap sebelum pintu itu tertutup.

Setelah menyerahkan kedua orang itu kepada para pengawal dan anak-anak muda yang berada di banjar, Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun telah kembali ke padukuhan induk.

Di keesokan harinya, keduanya telah menghadap Ki Gede untuk memberikan laporan tentang orang-orang yang telah disimpan di dalam banjar padukuhan itu.

“Persoalannya menyangkut padepokan Kiai Warangka,” berkata Ki Jayaraga.

“Baiklah Ki Jayaraga,” berkata Ki Gede, “aku justru akan minta pertolongan Ki Jayaraga untuk menangani persoalan ini. Dalam waktu singkat, Angger Glagah Putih dan Prastawa akan berangkat ke Mataram. Aku sendiri tidak akan ikut bersama pasukan itu, sehingga segala sesuatunya kita akan dapat selalu berhubungan.”

Ki Jayaraga mengangguk kecil sambil menjawab, “Jika Ki Gede menghendaki, aku akan melakukannya.”

“Terima kasih Ki Jayaraga. Dengan demikian aku tidak merasa terlalu sepi di Tanah Perdikan ini jika Prastawa dan Glagah Putih berangkat nanti.”

“Hari ini Kiai Warangka akan datang ke Tanah Perdikan ini Ki Gede. Ia ingin berbicara dengan orang-orang yang telah menyebut-nyebut nama perguruannya itu.”

“Segala sesuatunya aku serahkan kepada Ki Jayaraga,” jawab Ki Gede.

Dengan demikian, maka Ki Jayaraga justru telah mengemban tugas selama Tanah Perdikan seakan-akan menjadi lengang, karena sebagian besar dari para pengawalnya akan pergi ke Mataram.

Bersama Glagah Putih keduanya pun menunggu kedatangan Kiai Warangka, sebagaimana dijanjikan saat Ki Jayaraga datang ke padepokannya.

Sebenarnyalah, ketika matahari menggapai puncak langit, Kiai Warangka bersama seorang putut dan seorang cantriknya telah datang ke rumah Agung Sedayu.

Mereka tidak terlalu lama berada di rumah itu. Setelah Sekar Mirah menghidangkan minuman dan makanan, Ki Jayaraga telah mengajak Kiai Warangka untuk menemui orang-orang yang telah ditahan di Tanah Perdikan itu.

“Setelah kita bertemu dengan mereka, kami akan mempersilakan Kiai Warangka bertemu dengan Ki Gede.”

Hari itu Glagah Putih masih sempat mengantar Kiai Warangka. Namun sementara itu Prastawa telah memerintahkan para pengawal yang telah ditunjuk untuk pergi ke Mataram, berkumpul di banjar padukuhan masing-masing. Di hari berikutnya, mereka harus sudah berada dalam kesiagaan tertinggi, karena di hari berikutnya mereka harus sudah berada di Mataram.

Ketika mereka sampai ke banjar padukuhan tempat anak-anak muda bengal dan kedua orang yang ditangkap oleh Ki Jayaraga itu disimpan, Kiai Warangka pun telah dipersilakan duduk di pendapa.

“Biarlah aku memanggil mereka,” berkata Ki Jayaraga. Sejenak Kiai Warangka menunggu bersama dua orang yang menyertainya, sementara Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah pergi ke bagian belakang banjar itu.

Ketika selarak pintu bilik yang memanjang itu dibuka, orang-orang yang ada di dalam itu pun menjadi berdebar-debar.

Tetapi Kiai Jayaraga hanya memanggil kedua orang yang telah ditangkapnya itu dan membiarkan anak-anak mudanya menunggu dalam kegelisahan.

Sejenak kemudian, keduanya telah duduk di hadapan Kiai Warangka, yang memandangi mereka dengan tajamnya. Kiai Warangka sudah mendengar tentang keduanya.

Kedua orang itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sekilas mereka memang sempat memandang wajah orang yang duduk di hadapannya bersama dengan dua orang yang masih muda pula.

“Aku perkenalkan kalian dengan Ki Bekel padukuhan Pajang,” berkata Ki Jayaraga.

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Apakah kau pernah bertemu dengan Ki Bekel ini?”

Keduanya menggeleng. Seorang di antara mereka berkata, “Belum Ki Jayaraga. Kami belum pernah mengenalnya.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Ia sangat berkepentingan dengan kalian, karena anak-anak kalian yang telah membuat onar di padukuhan ini.”

“Tingkah laku mereka di luar tanggung jawab kami, Ki Jayaraga,” jawab orang itu.

“Katakan sendiri kepada Ki Bekel,” sahut Ki Jayaraga. Mula-mula Kiai Warangka terkejut mendengar cara Ki Jayaraga memperkenalkan dirinya kepada kedua orang itu. Namun kemudian iapun tanggap. Karena itu, Kiai Warangka itu telah mengatur perasaannya untuk melakukan peranannya sebagaimana disebut oleh Ki Jayaraga.

Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga segera mengetahui bahwa kedua orang itu belum mengenal orang yang bernama Kiai Warangka.

“Kalau saja aku mengetahuinya,” berkata Ki Jayaraga di dalam hatinya, “malam itu aku tentu mengaku sebagai Kiai Warangka.”

Tetapi itu sudah lampau. Sementara itu, kini justru Kiai Warangka yang diharapkannya mengakui sebagai orang lain.

Dalam pada itu, Kiai Warangka bertanya, “Ki Sanak, kenapa anak-anak muda yang nakal itu mengaku berasal dari padepokan Kiai Warangka?”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang tidak dapat mengelakkan diri dari pertanyaan seperti itu. Karena itu, seorang di antaranya menjawab, “Mereka adalah anak-anak nakal. Mungkin mereka ingin disebut seorang yang berkemampuan dalam olah kanuragan karena mereka murid Kiai Warangka.”

“Ki Sanak sendiri dari mana, dan apa hubungan Ki Sanak dengan Kiai Warangka?”

Orang itu memandang Ki Jayaraga sekilas. Dengan nada yang berat orang itu menjawab, “Kami tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Kiai Warangka, Ki Bekel.”

“Tetapi kenapa kau mempersoalkan kunjungan Ki Jayaraga ke padepokan Kiai Warangka?”

Kedua orang itu terdiam. Sementara Kiai Warangka bertanya semakin mendesak, “Tentu ada hubungannya dengan tingkah laku anak-anak muda yang bengal itu.”

Kedua orang itu masih tetap berdiam diri.

“Nah, sekarang kalian harus menjawab pertanyaanku,” berkata Ki Jayaraga, “siapakah kalian dan kalian datang dari mana? Semalam kau telah mengikuti aku, dan kalian mempersoalkan kenapa aku mengunjungi padepokan Kiai Warangka.”

Kedua orang itu masih saja berdiam diri. Kiai Warangka yang telah mendengar cerita tentang kedua orang itu pun bertanya lebih jauh, “Kalian tidak dapat mencuci tangan. Kalian harus menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, sebelum kalian benar-benar akan bertemu dengan Kiai Warangka.”

“Benar Ki Sanak. Kami tidak mempunyai persoalan apa-apa.”

“Jawabmu lain dengan jawaban anak-anak muda itu,” berkata Glagah Putih kemudian, “sebelum kalian dibawa kemari oleh Ki Jayaraga, anak-anak muda itu sudah berbicara tentang hubungan mereka dengan Ki Warangka.”

“Apa kata mereka?” bertanya orang itu.

“Dan kalian hanya akan sekedar mendengarkan dan kemudian menirukan sebagaimana mereka katakan?’ desak Glagah Putih.

Kedua orang itu terdiam.

Sementara Ki Jayaraga berkata, “Ki Sanak. Kami tidak ingin memperlakukan kalian seperti kami memperlakukan seorang penjahat yang telah melakukan kejahatan di Tanah Perdikan ini. Karena itu kalian pun jangan bertingkah laku seperti seorang penjahat,” berkata Glagah Putih yang mulai geram.

“Benar, Anak Muda,” suara orang itu menjadi bergetar

“Aku hampir kehilangan kesabaran,” berkata Glagah Putih. Kedua orang itu menjadi sangat gelisah. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih memanggil seorang pengawal.

“Cari tampar ijuk.”

“Untuk apa?” bertanya pengawal itu.

“Aku memerlukan dua gulungan.”

Pengawal itu memang agak bingung. Namun pengawal itu pun kemudian telah mencari tali ijuk.

Tetapi pengawal itu tidak berhasil mendapat dua gulung tampar ijuk. Yang didapatnya adalah dua gulung tampar yang terbuat dari serabut kelapa.

“Panggil beberapa orang kawanmu,” berkata Glagah Putih kemudian kepada pengawal itu.

Kedua orang yang telah ditangkap oleh Ki Jayaraga itu menjadi gelisah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Glagah Putih dengan tampar serabut kelapa itu.

Ketika para pengawal datang, maka Glagah Putih berkata, “Bawa kedua orang ini ke ruang dalam. Hati-hati, jangan sampai melarikan diri. Jika mereka mencoba, terserah apa yang akan kalian lakukan.”

Ketika kedua orang itu sudah dibawa masuk ke ruang dalam, Glagah Putih mengajak Ki Jayaraga dan Kiai Warangka turun ke halaman.

“Kita bermain-main dengan anak-anak muda itu,” berkata Glagah Putih.

Kepada para pengawal Glagah Putih memerintahkan untuk membawa dua orang anak muda ke halaman.

“Yang tertua di antara mereka,” pesan Glagah Putih.

Sementara itu Glagah Putih telah melingkarkan tampar serabut kelapa yang dua gulung itu pada dua batang pohon sambil berkata, “Kita telah menyelesaikan dua orang itu sebelumnya.”

Kiai Warangka tersenyum. Ia mengerti maksud Glagah Putih.

Sementara Ki Jayaraga berkata, “Bekasnya pun harus meyakinkan.” Kepada seorang pengawal, Ki Jayaraga berkata, “Beri aku sepotong kayu.”

Pengawal itu pun kemudian telah mengambil sepotong kayu, selarak pintu samping banjar itu.

Beberapa orang pengawal masih belum tahu maksud Glagah Putih. Tetapi beberapa di antara mereka ada yang mulai tersenyum-senyum.

Ketika para pengawal membawa dua orang anak muda yang disimpan di dalam bilik di bagian belakang banjar itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Nah, dua orang telah kita habisi. Sekarang ikat pula keduanya pada batang pohon itu.”

Kedua orang anak muda itu menjadi pucat. Sementara para pengawal pun telah menyeret keduanya yang mencoba meronta. Tetapi mereka tidak berdaya, karena tangan-tangan yang kuat mendorong mereka berdiri, melekatkan tubuh mereka pada batang pohon yang kokoh kuat itu.

“Sekarang giliran kalian,” geram Glagah Putih. Sementara itu, Ki Jayaraga berdiri tegak dengan selarak pintu di tangannya.

Ketika Ki Jayaraga itu melangkah mendekat, anak-anak muda itu benar-benar menjadi ketakutan. Seorang di antaranya menangis sambil merengek, “Aku minta ampun.”

“Siapakah kedua orang itu? Mereka tidak mau menyebut nama mereka dan tempat tinggal mereka. Karena itu mereka sudah kami habisi. Tidak ada gunanya kami berbicara dengan orang-orang yang tidak mengenal dirinya sendiri lagi.”

“Ampun,” tangis anak itu. Sedangkan yang lain benar-benar hampir menjadi pingsan.

“Siapa mereka he?” Ki Jayaraga membentak.

Anak-anak muda itu menjadi semakin ketakutan. Seorang di antara mereka menjawab, “Yang seorang adalah Ki Winong, sedangkan yang seorang lagi kami panggil Ki Serut.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk.

Namun jantung anak-anak muda bagaikan akan berhenti berdetak ketika Ki Jayaraga melangkah mendekat sambil berkata, “Nah, jawab pertanyaanku, Anak Manis. Apakah kalian datang dari padepokan Kiai Warangka yang letaknya di dekat Kronggahan itu.?”

Anak itu menjadi ragu-ragu.

Namun Ki Jayaraga telah meletakkan ujung selarak pintu itu di pundak anak muda itu sambil berkata, “Tidak lebih dari dua ayunan, kau tentu sudah mati. Aku berani bertaruh.”

“Jangan. Jangan,” tangis anak muda itu.

“Ayo bertaruh. Jika dua ayunan kayu ini tidak membunuhmu, maka kau boleh membalas aku dengan dua ayunan pula tanpa dibalas.”

“Tidak. Aku tidak berani,” suara anak itu ditelan oleh suara isaknya yang menyesak, meskipun anak itu berusaha menahannya.

“Kalian belum menjawab pertanyaanku. Apakah benar kalian datang dari padepokan Kiai Warangka?”

“Ya, Ki Sanak. Kami memang cantrik dari padepokan Kiai Warangka.”

“Jika demikian, biarlah kalian kami bawa ke padepokan di sebelah padukuhan Kronggahan itu. Tetapi jika ternyata kalian bohong, kami akan menyelesaikan kalian di padepokan itu juga.”

“Jangan, jangan bawa kami kepada Kiai Warangka.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih, “Jika kalian memang cantrik dari padepokan itu, maka kalian tidak perlu takut.”

“Kami pergi tanpa minta ijin kepada Kiai Warangka.”

“Sudahlah. Jangan bohong. Siapakah kalian sebenarnya?”

“Kami berkata sebenarnya.”

“Bohong!” suara Glagah Putih meninggi. Kepada Ki Jayaraga Glagah Putih berkata, “Anak-anak ini agaknya lebih gila dari kedua orang itu.”

Ketakutan yang sangat membayang di wajah kedua orang anak muda itu. Sementara tangan-tangan mereka terikat pada batang pohon yang kuat yang tumbuh di halaman banjar itu.

Ki Jayaraga mulai menggerakkan sepotong kayu di tangannya sambil berkata, “Baiklah. Jika mereka tidak mau mengatakannya, kita habisi saja keduanya.”

“Jangan! Ampun,” anak muda itu merengek.

“Jika demikian, sebut siapakah yang telah menggerakkan kalian untuk mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini.”

Anak muda itu tidak dapat mengelak lagi. Dengan suara gemetar ia berkata, “Yang terjadi sama sekali bukan kehendak kami sendiri.”

“Itulah yang kami tanyakan. Kami tidak ingin menghukum kalian jika kalian berkata sebenarnya. Kami akan menuntut pertanggungjawaban kepada orang yang telah menggerakkan kalian.”

“Kami melakukan semuanya ini atas perintah Kiai Timbang Laras. Kami sedang menjalani pendadaran sebelum kami diterima menjadi murid-muridnya.”

“Timbang Laras?” tiba-tiba saja Kiai Warangka berdesis, “Jadi kalian ini murid Timbang Laras?”

“Ya, Kiai,” jawab anak muda itu.

“Ki Bekel,” sahut Glagah Putih, “sebut saja dengan Ki Bekel.”

“Ya, Ki Bekel,” anak muda itu mengangguk-angguk.

“Dimana Kiai Timbang Laras itu tinggal? Bukankah padepokannya berada jauh dari tempat ini?”

Glagah Putih mendekati Kiai Warangka sambil berdesis, “Kiai mengenalnya?”

“Justru ia saudara seperguruanku, “jawab Kiai Warangka.

“Kenapa hal seperti ini terjadi? Apakah Kiai mengetahui sebabnya?”

“Iri dan dengki,” jawab Kiai Warangka, “ia menginginkan padepokan di dekat padukuhan Kronggahan itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Kiai Warangka melangkah mendekati anak muda itu sambil bertanya, “Kenapa Kiai Timbang Laras memerintahkan kalian mengusik ketenangan padukuhan ini dengan mengaku sebagai murid Kiai Warangka?”

“Kami tidak tahu, Ki Bekel. Kami hanya menjalankan perintahnya.”

“Apakah kedua orang itu juga orang-orang dari padepokan Kiai Timbang Laras.”

“Ya, Ki Bekel. Tetapi mereka tidak mendapat tugas sebagaimana kami lakukan,” jawab anak muda itu.

Kiai Warangka pun kemudian memberi isyarat kepada Glagah Putih dan Ki Jayaraga untuk bergeser menjauh. Hampir berbisik Kiai Warangka itu berkata, “Persoalan ini adalah persoalanku dengan Timbang Laras.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Nampaknya saudara seperguruan Kiai Warangka ingin membenturkan kekuatan Kiai Warangka dengan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya. Tetapi Timbang Laras sejak muda memang ceroboh. Ia seharusnya berpikir bahwa anak-anak itu dapat tertangkap dan dipaksa untuk berbicara.”

“Kecuali jika Kiai Timbang Laras sengaja menantang Tanah Perdikan ini pula,” desis Glagah Putih.

“Baiklah. Aku akan membuat perhitungan dengan Timbang Laras. Aku ingin kedua orang itu pergi bersamaku ke padepokanku. Sementara itu, biarlah anak-anak itu pulang ke padepokan Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka.

Glagah Putih dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Mereka tidak berkeberatan menyerahkan kedua orang yang berada di dalam banjar itu kepada Kiai Warangka.

“Kiai,” berkata Ki Jayaraga, “nanti jika Kiai kembali ke padepokan sambil membawa kedua orang itu, biarlah aku membantu Kiai menjaganya di perjalanan.”

“Bukankah itu tidak perlu?” jawab Kiai Warangka.

“Keduanya sangat penting bagi Kiai. Karena itu, aku akan ikut menjaga agar mereka tidak melarikan diri.”

“Bukankah Ki Jayaraga dapat membawa keduanya hanya seorang diri?”

“Tetapi kami sudah berkelahi lebih dahulu, sehingga keduanya tidak mampu berlari cepat. Berbeda jika mereka dalam keadaan segar. Bukankah Kiai tidak perlu harus berkelahi lebih dahulu sekarang ini?

Kiai Warangka tertawa. Katanya, “Baiklah. Tetapi dengan demikian Ki Jayaraga akan berjalan hilir mudik.”

“Menyenangkan. Sudah lama aku tidak bepergian ke mana-mana selain membuka pematang untuk mengairi sawah.”

Ketiga orang itu pun mengangguk-angguk. Mereka sudah mendapatkan kesepakatan. Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga pun berkata, “Tetapi aku minta Kiai singgah barang sebentar di rumah Ki Gede. Aku sudah terlanjur memberitahukan bahwa Kiai hari ini datang ke Tanah Perdikan ini.”

“Baik. Aku akan menghadap Ki Gede sebelum aku kembali.”

Kiai Warangka itu pun kemudian telah melangkah kembali mendekati anak-anak muda yang terikat itu. Katanya, “Kami belum akan menghabisi kalian sekarang. Tergantung kepada kalian, apakah kalian bersikap baik dan bersahabat atau tidak.”

“Kami mohon ampun,” tangis anak-anak yang terikat itu.

Glagah Putih-lah yang kemudian memberi isyarat kepada para pengawal untuk menyimpan kembali anak-anak muda itu. Glagah Putih masih belum memberitahukan kepada para pengawal bahwa mereka akan melepaskan anak-anak muda itu.

Seperti yang direncanakan, maka Kiai Warangka kemudian telah membawa kedua orang yang tersimpan di ruang dalam, tanpa sepengetahuan anak-anak muda yang ditempatkan di bagian belakang banjar itu.

Kedua orang yang ketakutan itu telah dititipkan di banjar padukuhan induk ketika Kiai Warangka bersama Ki Jayaraga dan Glagah Putih menghadap Ki Gede.

Ki Gede telah menerima Kiai Warangka dengan akrab. Sudah lama mereka tidak bertemu, sehingga dalam pertemuan itu banyak hal yang dapat mereka bicarakan.

Tetapi Kiai Warangka tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh. Setelah Kiai Warangka dipersilakan makan dan minum, Kiai Warangka itu pun mohon diri untuk kembali ke padepokannya.

“Aku akan membantunya membawa dua orang tawanan itu, Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga.

“Silahkan Ki Jayaraga,” jawab Ki Gede. Namun iapun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan Glagah Putih?”

“Tidak Ki Gede. Aku tidak menyertainya.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Prastawa ingin menemuimu. Ada perintah dari Mataram.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah tahu bahwa perintah itu berarti para pengawal Tanah Perdikan harus segera berada di Mataram.

Sejenak kemudian, Kiai Warangka pun telah minta diri bersama Ki Jayaraga. Tetapi Glagah Putih tidak menyertai mereka, karena Glagah Putih harus bertemu dengan Prastawa.

Ki Jayaraga dan Kiai Warangka masih singgah untuk minta diri kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, untuk selanjutnya mereka menempuh perjalanan menyeberangi perbukitan menuju ke sebuah padepokan yang terletak di sebelah padukuhan Kronggahan.

Bersama Kiai Warangka dan Ki Jayaraga, kedua orang yang telah ditangkap oleh Ki Jayaraga itu berjalan dengan jantung yang berdebaran. Mereka tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya sedang terjadi atas diri mereka.

Bahkan sepanjang perjalanan, keduanya masih belum tahu bahwa orang tua yang diperkenalkan sebagai Ki Bekel itu adalah Kiai Warangka, meskipun mereka sudah mulai curiga.

Sementara itu di Tanah Perdikan, Glagah Putih telah bertemu dengan Prastawa. Seperti yang diduganya, pasukan pengawal Tanah Perdikan diperintahkan untuk tiba di Mataram di keesokan harinya sebelum senja.

Tetapi segala sesuatunya sudah dipersiapkan. Para pengawal telah bersiap di padukuhan mereka masing-masing. Setiap saat mereka sudah siap untuk berangkat.

Sejenak kemudian, para penghubung pun telah datang ke setiap padukuhan untuk memberitahukan perintah itu, sambil memanggil setiap pemimpin kelompok untuk datang ke rumah Ki Gede Menoreh di sore hari.

Dengan demikian, maka para pengawal di seluruh Tanah Perdikan menjadi sibuk. Terutama mereka yang akan berangkat ke Mataram. Mereka harus mempersiapkan segala-galanya yang akan mereka bawa. Terutama senjata mereka masing-masing.

Dalam pada itu, setelah sesuatunya dipersiapkan, Glagah Putih dan Prastawa telah menemui beberapa orang anak muda yang masih ditahan di banjar padukuhan. Sebagaimana disepakati, mereka memang akan dilepaskan hari itu juga.

Anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar ketika pintu bilik tempat mereka disimpan terbuka. Beberapa orang pengawal telah membawa mereka ke pendapa banjar itu.

Jantung mereka serasa berdetak semakin cepat ketika mereka melihat Glagah Putih sudah menunggu di pendapa.

“Dengar baik-baik,” berkata Glagah Putih, “kami tidak ingin memusuhi kalian. Tetapi kami juga tidak ingin bahwa ketenangan hidup di Tanah Perdikan ini terganggu. Karena itu, maka kali ini kalian akan kami lepaskan. Tetapi dengan syarat, bahwa kalian tidak akan mengulangi perbuatan kalian. Jika masih terjadi sebagaimana kalian lakukan, maka kami akan menghancurkan kalian dan sekaligus padepokan Kiai Timbang Laras.”

Anak-anak muda itu menundukkan kepala mereka. Ternyata mereka telah memasuki satu lingkungan yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Memiliki anak-anak muda yang berkemampuan sangat tinggi. Bahkan mereka telah bertemu dengan seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tidak mereka mengerti.

“Nah sekarang kalian kami persilahkan untuk meninggalkan tempat ini. Meninggalkan padukuhan ini dan juga meninggalkan Tanah Perdikan ini.”

Anak-anak muda itu semula tidak yakin akan pendengaran mereka. Bahkan ada di antara mereka yang merasa bahwa mereka sedang dipermainkan oleh anak-anak muda Tanah Perdikan itu.

Tetapi sekali lagi mereka mendengar Glagah Putih berkata, “Nah, sekarang tinggalkan banjar ini, dan selanjutnya kalian harus menyeberangi perbukitan itu sebelum kami mengubah keputusan kami.”

Anak-anak itu masih saja merasa ragu. Sementara Glagah Putih berkata pula, “Kalian tidak usah menanyakan kemana dan dimana Ki Winong dan Ki Serut sekarang ini. Kalian tidak usah menghiraukan apa yang terjadi atas mereka. Katakan kepada Kiai Timbang Laras apa yang telah terjadi atas kalian. Tetapi ingat, kalian harus berkata dengan jujur. Jika kalian berbohong kepada Kiai Timbang Laras, akhirnya tentu akan kami ketahui pula. Dengan demikian nasib kalian akan menjadi sangat buruk.”

Anak-anak muda itu termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya dapat dilakukan oleh orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

Tetapi mereka tidak mempunyai keberanian untuk bertanya apapun juga. Sehingga karena itu, maka mereka hanya saling berdiam diri.

Demikianlah, sejenak kemudian anak-anak muda itu benar-benar telah dilepaskan. Mereka diperintahkan untuk segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

“Kami sedang dibayangi oleh peristiwa yang sangat gawat. Karena itu, perasaan kami dapat bergoyang. Sekarang kami melepaskan kalian. Tetapi dalam guncangan berikutnya, mungkin kami ingin membunuh kalian semuanya.”

Demikianlah, anak-anak muda itu pun dengan tergesa-gesa meninggalkan padukuhan itu. Mereka dengan cepat menuju ke perbukitan. Kemudian memanjat naik menyusup hutan lereng perbukitan. Mereka masih selalu dibayangi oleh keraguan, bahwa mereka benar-benar telah dibebaskan begitu saja.

“Mungkin kita akan mereka jadikan sasaran permainan di hutan ini,” berkata salah seorang dari mereka.

“Tidak. Hutan ini terlalu lebat untuk melepaskan kita dan kemudian memburu kita, untuk menjadikan kita sasaran kemampuan bidik mereka.”

“Tetapi memburu kita tentu lebih aman dan lebih mudah daripada memburu seekor harimau.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar