Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 300

Buku 300

Tetapi Glagah Putih yang sudah jemu dengan pembicaraan yang berkepanjangan itu-lah yang menyahut, “Peluang kita menjadi sama. Kalian membunuh kami, atau kami membunuh kalian.”

“Anak iblis,” geram Ki Rangga, “kau sadari apa yang kau katakan?”

“Sadar atau tidak sadar, kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami harus mempertahankan diri dari kesewenang-wenangan. Jangan kalian mengira bahwa kami tidak mengetahui cara licik kalian. Terutama orang yang disebut Ki Rangga itu. Jika ia memberi kesempatan kami melarikan diri, itu berarti bahwa ia mempunyai alasan untuk membunuh kami. Karena itu, daripada punggung kami dipatuk oleh senjata Ki Rangga yang licik itu, biarlah kami angkat dada kami.”

“Cukup!” teriak Ki Rangga. Lalu katanya kepada para prajurit, “Aku akan membunuh mereka. Aku perintahkan kalian mengepung keduanya, agar keduanya tidak dapat benar-benar melarikan diri.”

Ki Rangga itu pun segera mulai bergeser. Yang menjadi sasaran utamanya justru Glagah Putih. Karena itu, sejenak kemudian Ki Rangga itu pun mulai menyerang.

Sementara itu, para prajurit yang lain segera mengepung Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Serangan Ki Rangga sama sekali tidak menemui sasaran. Glagah Putih dengan cepat mengelak dengan loncatan panjang.

Namun tidak diduga sama sekali, bahwa Ki Rangga itu sekaligus telah menyerang Agung Sedayu pula. Nampaknya Ki Rangga itu berniat untuk bertempur sekaligus melawan Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Sebenarnyalah Ki Rangga yang berilmu tinggi itu merasa terlalu yakin akan dirinya. Ia merasa bahwa ia akan dapat membunuh kedua orang prajurit Mataram itu. Meskipun dalam pertempuran di Prambanan ia sempat melihat bagaimana Agung Sedayu itu bertempur di antara prajurit-prajurit Mataram dari Pasukan Khusus.

Agung Sedayu pun dengan cepat menghindar pula, sehingga serangan Ki Rangga tidak menyentuhnya.

Berbeda dengan Agung Sedayu, Glagah Putih merasa sangat tersinggung bahwa Ki Rangga itu ingin melawan Glagah Putih dan Agung Sedayu bersama-sama. Karena itu, Glagah Putih itu pun telah meningkatkan ilmunya dengan cepat. Ia ingin memperingatkan Ki Rangga, bahwa jika ia tidak merubah niatnya, maka ia justru akan segera mati.

Dalam pada itu, ketujuh orang prajurit dan prajurit sandi itu telah mengepung tempat itu, sehingga memang sulit bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk melarikan diri. Tetapi yang terjadi benar-benar mengejutkan mereka.

Justru ketika Glagah Putih menyerang seperti banjir bandang, sehingga Ki Rangga terdesak, tiba- tiba saja Agung Sedayu telah berada di luar kepungan. Seorang prajurit terpelanting dan jatuh terlentang tanpa menyadari, apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu.

Para prajurit dan kedua orang prajurit sandi itu terkejut. Sementara itu, Ki Rangga juga terkejut. Serangan Glagah Putih yang tiba-tiba dengan kecepatan yang sangat tinggi itu ternyata telah menembus pertahanannya. Serangan Glagah Putih dengan keempat jari-jari tangan kanannya yang merapat telah mengenai pundak Ki Rangga, yang sangat merendahkan lawannya itu.

Ki Rangga menyeringai menahan sakit. Dari mulutnya terdengar umpatan kasar. Namun kemudian iapun terkejut pula melihat bahwa Agung Sedayu telah berada di luar kepungan. Tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk melarikan diri.

Barulah kemudian Ki Rangga itu menyadari, dengan siapa ia berhadapan. Sambil meyakinkan diri bahwa kedua orang itu adalah prajurit Mataram, Ki Rangga pun harus mengakui kenyataan, bahwa kedua orang itu bukannya orang yang tidak berilmu.

Tetapi Ki Rangga tidak mempunyai banyak kesempatan untuk merenung. Glagah Putih yang merasa terhina itu telah meloncat menyerangnya.

Serangan Glagah Putih yang dilandasi oleh kekuatannya yang besar, kemampuannya yang tinggi, serta kemarahan yang membakar jantung, datang bagaikan gemuruhnya angin prahara.

Ki Rangga yang tidak sempat meloncat menghindar berusaha membentur serangan itu. Dengan kedua tangannya yang bersilang ia telah melindungi dadanya.

Benturan yang keras telah terjadi. Kekuatan dan kemampuan Glagah Putih telah membentur pertahanan Ki Rangga.

Yang terjadi telah menggetarkan jantung para prajurit yang sempat melihat apa yang terjadi.

Glagah Putih telah tergetar dan terdorong selangkah surut. Sejenak Glagah Putih harus berlutut dengan sebelah kakinya. Dadanya terasa sesak sesaat. Namun kemudian, anak muda itu telah bangkit kembali dan berdiri tegak, siap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, Ki Rangga justru telah terlempar beberapa langkah surut tanpa dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Ia terbanting jatuh dan berguling beberapa kali. Meskipun dengan sigapnya Ki Rangga berdiri, tetapi nampak di wajahnya betapa ia menahan sakit. Dadanya terasa bagaikan terhimpit oleh segumpal batu hitam, sehingga nafasnya menjadi sesak. Tulang-tulangnya terasa nyeri.

Glagah Putih yang berdiri tegak itu justru mulai bergeser selangkah mendekati lawannya.

Wajah Ki Rangga menjadi sangat tegang. Ternyata kedua orang itu benar-benar berilmu tinggi. Dengan demikian, Ki Rangga tidak lagi merendahkan lawannya. Dengan lantang ia berteriak, “Bunuh kedua orang itu! Jangan menunda-nunda waktu lagi!”

Para prajurit itu pun menyadari apa yang mereka hadapi. Karena itu, serentak mereka bergerak. Jika mereka tidak bergerak bersama-sama, maka satu demi satu mereka tidak akan banyak berarti bagi kedua orang yang berilmu tinggi itu.

Delapan orang prajurit, termasuk dua orang prajurit sandi itu, telah bersiap untuk bertempur. Empat orang akan menghadapi Glagah Putih dan empat orang yang lain akan menghadapi Agung Sedayu. Ki Rangga sendiri, yang mendendam Glagah Putih, bersama tiga orang prajurit telah mengelilingi Glagah Putih yang masih sangat muda itu. Namun yang ternyata telah memiliki ilmu yang tinggi.

Dalam pada itu, orang-orang yang lewat di jalan itu pun berlari-larian menjauh. Beberapa orang perempuan dan anak-anak justru menjerit-jerit ketika mereka melihat para prajurit telah menggenggam senjata di tangan.

“Memang tidak akan ada pengampunan,” geram Ki Rangga, “alam keadaan seperti ini, tidak ada penyelesaian lain kecuali membunuh kalian berdua.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Karena keempat orang lawan mereka bersenjata, Agung Sedayu pun telah mengurai senjatanya pula.

Keempat orang prajurit yang mengepung Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lawan mereka itu ternyata hanya bersenjata cambuk yang juntainya agak panjang.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang menyadari bahwa jarak arena itu ke pintu gerbang kota Pati masih cukup dekat, memikirkan kemungkinan datangnya lebih banyak lagi prajurit. Sehingga bersama Glagah Putih, ia harus dengan cepat menyelesaikan pertempuran dan secepatnya pula pergi.

Karena itu, Agung Sedayu tidak ingin mengulur-ulur waktu, agar tidak mengalami kesulitan yang lebih besar lagi.

Karena itulah, sejenak kemudian cambuk Agung Sedayu itu telah meledak. Suaranya yang menggelegar telah mengejutkan keempat orang lawannya. Selaput telinga mereka rasa-rasanya akan menjadi koyak oleh suara cambuk itu.

Cambuk Agung Sedayu itu tidak hanya sekali dua kali menghentak dan menggetarkan udara. Tetapi beberapa kali, sehingga keempat orang lawannya menjadi semakin berdebar-debar.

Sementara itu, Glagah Putih telah mengurai ikat pinggang kulitnya pula. Senjata yang tersembunyi itu ternyata menjadi sangat berbahaya di tangan Glagah Putih, yang telah mempelajari dengan sebaik-baiknya sifat dan watak senjatanya itu, sehingga ia dapat menguasai dan mempergunakannya sebaik-baiknya pula.

Ki Rangga menjadi heran melihat senjata Glagah Putih, sehingga justru ia telah meloncat mundur.

“Kau jangan terlalu sombong dan menjadi besar kepala dengan keberhasilanmu pada benturan pertama dari pertempuran ini,” berkata Ki Rangga, “dengan licik kau menyerang sebelum lawanmu siap untuk bertempur.”

Glagah Putih memandang orang itu dengan tajamnya. Sambil memutar ikat pinggangnya Glagah Putih bertanya, “Apakah kau sekarang sudah siap?”

Gigi Ki Rangga gemeretak. Anak itu memang terlalu sombong, sehingga kemarahan Ki Rangga memuncak sampai ke ubun-ubun.

Karena itu, sejenak kemudian Ki Rangga itu telah meloncat menyerang. Sebilah keris yang besar tergenggam di tangannya. Keris yang besar dan panjangnya dua kali lipat dari keris kebanyakan.

Tetapi Glagah Putih cukup tangkas. Ia justru mulai dari ketiga orang prajurit yang lain. Ketiga-tiganya bersenjata pedang keprajuritan.

Dengan tangkasnya Glagah Putih meloncat-loncat. Kecepatan geraknya justru jauh di atas dugaan ketiga orang prajurit yang bersama-sama dengan Ki Rangga bertempur melawannya.

Namun bagaimanapun juga, Ki Rangga itu harus mendapat perhatian khusus. Nampaknya Ki Rangga tidak membiarkan Glagah Putih melumpuhkan lebih dahulu ketiga orang prajuritnya.

Tetapi Glagah Putih memiliki kemampuan yang tinggi. Meskipun ia masih terhitung muda, namun ilmunya sudah cukup masak dengan pengalamannya yang luas.

Tetapi lawan Glagah Putih adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman pula. Ki Rangga bukan pula prajurit kebanyakan. Ia mempunyai kelebihan yang harus diperhitungkan oleh Glagah Putih.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Meskipun Glagah Putih berniat menghentikan perlawanan keempat orang prajurit itu dimulai dari ketiga orang prajurit yang membantu Ki Rangga itu, tetapi Glagah Putih justru harus menumpahkan perhatiannya terbanyak kepada Ki Rangga.

Berbeda dengan Glagah Putih, Agung Sedayu justru bertempur menghadapi empat orang prajurit yang memiliki ilmu yang pada dasarnya tidak bertaut. Karena itu, Agung Sedayu tidak harus memperhatikan seseorang lebih banyak dari yang lain.

Mengingat kemungkinan yang lebih buruk yang dapat terjadi seandainya beberapa orang prajurit di pintu gerbang itu mengetahui bahwa telah terjadi pertempuran, dan mereka akan berdatangan membantu kawan-kawannya untuk menangkapnya, maka Agung Sedayu pun bertempur cukup keras.

Cambuknya berputaran dan meledak-ledak di sela-sela ayunan pedang para prajurit Pati. Dengan cepatnya Agung Sedayu berloncatan, sementara ujung cambuknya menebas dengan derasnya. Sekali-sekali ujung cambuk itu mematuk seperti seekor ular. Bahkan memburu sasarannya, seolah-olah mempunyai sepasang mata yang sangat tajam.

Keempat orang lawan Agung Sedayu memang segera mengalami kesulitan. Mereka sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuhnya dengan ujung pedang. Empat orang yang menyerang dari jurusan yang berbeda itu mengalami kesulitan untuk mendekati lawannya yang bersenjata cambuk itu.

Bahkan sejenak kemudian, seorang di antara mereka telah meloncat mundur mengambil jarak, ketika ujung cambuk Agung Sedayu menyentuh lengannya.

Semula orang itu hanya merasakan sengatan di lengannya itu. Namun kemudian ketika ia meraba lengannya itu, ia terkejut. Tangannya menjadi merah oleh darah.

Baru kemudian disadarinya bahwa sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu itu telah mengoyakkan lengannya. Jika semula hanya terasa sebagai sengatan kecil, kemudian terasa betapa lengannya itu menjadi pedih dan nyeri.

Tetapi prajurit itu tidak menyingkir dari arena pertempuran. Justru kemarahan yang membakar jantungnya telah mendorongnya untuk bertempur semakin garang.

Sementara itu, ketiga orang kawannya pun menjadi semakin garang pula. Mereka tidak mau dihancurkan oleh hanya seorang. Sementara mereka bertempur bersama-sama sebanyak empat orang.

Tetapi mereka harus menghadapi kenyataan. Lawannya yang hanya seorang itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Di sisi lain Glagah Putih harus bekerja keras untuk melindungi dirinya. Ki Rangga yang marah itu bertempur seperti seekor harimau yang terluka. Sementara ketiga orang prajuritnya berusaha untuk menyesuaikan diri. Mereka selalu mengisi setiap kesempatan, sehingga perhatian Glagah Putih memang sering terpecah.

Namun Glagah Putih yang tangkas itu memang tidak begitu mudah untuk dikuasai, meskipun oleh empat orang sekalipun.

Dalam pada itu, beberapa orang yang berlari-lari menjauhi pertempuran itu, memang ada yang tiba-tiba saja berkata kepada seorang yang lain, “Kita laporkan saja kepada para prajurit yang bertugas di pintu gerbang.”

“Ya,” sahut yang lain, “kita laporkan kepada para prajurit di pintu gerbang.”

Dengan sekuat-kuatnya kedua orang itu telah berlari ke pintu gerbang, yang memang belum terlalu jauh dari tempat kejadian.

Agung Sedayu yang menyadari akan bahaya yang mungkin bakal datang dari sekelompok prajurit di pintu gerbang, telah semakin meningkatkan tekanannya. Cambuknya semakin sering meledak dengan suara yang memekakkan telinga, sehingga keempat lawannya menjadi semakin bingung menghadapinya.

Dalam pada itu, orang yang telah terluka di lengannya itu menjadi semakin gelisah. Darahnya masih saja mengalir dari lukanya, sehingga tubuhnya terasa menjadi semakin lemah.

Namun ujung cambuk Agung Sedayu masih saja memburu lawan-lawannya.

Seorang lawannya yang kehilangan kesempatan, berteriak kesakitan ketika ujung cambuk Agung Sedayu mematuk pundaknya. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia berusaha mempertahankan keseimbangannya. Namun jantungnya menjadi berdebaran ketika ia menyadari, darah mengalir dari luka di-pundaknya itu.

Dengan demikian, maka kekuatan lawan Agung Sedayu menjadi semakin surut. Meskipun demikian, mereka yang terluka itu masih berusaha membantu kawan-kawannya bertempur terus.

Sementara itu, Agung Sedayu masih sempat memperingatkan, “Jika kalian yang terluka bergerak terlalu banyak, maka darah akan mengalir semakin banyak pula. Itu sangat berbahaya bagi kalian, karena jika kalian kehabisan darah, maka kalian akan mati.”

“Persetan,” geram prajurit yang masih belum terluka, “kami akan membunuhmu.”

Baru saja mulutnya terkatup, cambuk Agung Sedayu telah meledak. Ujungnya menyambar betis orang itu, sehingga dagingnya telah terbuka. Demikian parahnya, sehingga tulangnya yang keputih-putihan nampak di sela-sela lukanya.

Orang itu pun berteriak pula. Hentakan cambuk Agung Sedayu telah mendorongnya surut. Bahkan kemudian orang itu tidak mampu lagi berdiri. Kakinya terasa sakit sekali, sehingga hampir tidak tertahankan.

Dalam pada itu, di lingkaran pertempuran yang lain, ikat pinggang Glagah Putih telah bergerak menyambar-nyambar pula. Seorang di antara ketiga orang prajurit yang bertempur bersama Ki Rangga terlempar beberapa langkah surut dan jatuh berguling di tanah. Sisi ikat pinggang Glagah Putih menyambar lambung orang itu, sehingga goresan lukanya telah mengoyak lambungnya setajam mata pedang.

Kedua orang prajurit yang lain serta Ki Rangga menjadi semakin berhati-hati. Mereka telah melihat kenyataan di hadapan mata mereka, bahwa kedua orang itu tidak mudah mereka kalahkan, apalagi mereka bunuh.

Ketika lawannya telah berkurang, Glagah Putih semakin mendapat lebih banyak kesempatan. Karena itu, ketiga orang lawannya yang tersisa harus memeras tenaga mereka.

Ki Rangga mulai menjadi gelisah. Karena itu, iapun meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Kedua orang prajurit yang bertempur bersamanya tidak lagi dapat diharapkan. Karena itu, Ki Rangga tidak lagi memperhitungkan mereka.

Apalagi seorang di antara mereka mengaduh tertahan ketika pundaknya tergores ikat pinggang Glagah Putih, yang seakan-akan menjadi setajam pedang.

“Anak iblis,” geram Ki Rangga, “ternyata bahwa kau memang harus segera dibunuh dengan caraku. Apapun yang terjadi atas dirimu, itu adalah karena salahmu sendiri.”

Glagah Putih tertegun sejenak. Ia sadar, bahwa Ki Rangga akan sampai pada puncak kemampuannya. Karena itu, Glagah Putih pun menjadi semakin berhati-hati.

Sementara itu, Agung Sedayu telah menghentikan perlawanan prajurit yang terakhir. Ujung cambuknya menjilat punggung lawannya, justru saat lawannya akan melarikan diri. Prajurit itu berniat untuk memberikan laporan kepada para prajurit yang bertugas di pintu gerbang. Tetapi Agung Sedayu tidak melepaskannya. Ujung cambuknya yang memburunya, telah menghentikannya. Prajurit itu jatuh tertelungkup. Tetapi kemudian ia menggeliat menahan sakit.

Karena itu, Agung Sedayu pun kemudian telah mendekati Glagah Putih yang masih bertempur. Justru pada saat Glagah Putih mengayunkan ikat pinggangnya, prajurit terakhir yang bertempur bersama Ki Rangga itu pun menggeliat. Glagah Putih tidak menggoreskan sisi ikat pinggangnya untuk mengoyak dada lawannya, tetapi ikat pinggangnya itu menapak melintang. Dengan demikian, maka warna merah kehitaman telah membekas di dada lawannya selebar ikat pinggang Glagah Putih. Bekasnya itu tidak ubahnya seperti luka oleh jilatan bara api.

Orang itu terlempar jatuh. Beberapa kali ia berguling dan menggeliat. Dadanya terasa pedih dan panas membakar.

Yang kemudian berhadapan adalah Glagah Putih dan Ki Rangga. Namun agaknya Ki Rangga benar-benar telah siap.

Karena itu, ketika Glagah Putih bergerak selangkah maju, Ki Rangga itu pun segera bergeser menyamping. Demikian ikat pinggang Glagah Putih berputar, Ki Rangga itu pun segera meloncat sambil mengayunkan kerisnya yang terhitung besar, melampaui ukuran keris kebanyakan.

Dengan tangkasnya Glagah Putih mengelak, namun dengan cepat pula ikat pinggang kulitnya berputar.

Ki Rangga itu dengan cepat menghindar surut. Tetapi Glagah Putih tidak melepaskannya. Dengan cepat pula ia memburunya dengan loncatan panjang.

Glagah Putih terkejut ketika orang itu tiba-tiba saja mengayunkan tangan kirinya. Ia melihat seleret bayangan terbang dari tangan Ki Rangga yang terayun itu.

Dengan cepat Glagah Putih meloncat menghindar. Tetapi terlambat. Sebuah pisau belati kecil yang meluncur ke arah dadanya itu masih juga tersangkut di tubuhnya, menggores lengannya.

Glagah Putih berdesis menahan pedih. Dengan cepat ia meloncat mengambil jarak untuk mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.

Terdengar Ki Rangga itu tertawa. Katanya, “Nah, anak manis. Jangan menyesal, bahwa kau sudah memasukkan kepalamu ke dalam mulut buaya.”

Tetapi Glagah Putih menjawab, “Aku tidak pernah takut melawan buaya kerdil.”

“Setan kau,” geram orang itu. Sekali lagi pisau kecilnya meluncur ke arah dada Glagah Putih.

Namun Glagah Putih yang sudah bersiaga menghadapi jenis senjata lawannya, mampu mengelak. Dengan cepat iapun bergeser ke samping.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang sudah tidak lagi menghadapi lawan berkata, “Ki Rangga. Kau tinggal seorang diri. Bersama dengan tujuh orang prajurit, kau tidak dapat mengalahkan kami berdua. Apalagi kau seorang diri.”

“Persetan. Kau pun akan mati.”

Dengan geram orang itu telah menyerang Agung Sedayu pula. Sambil meloncat menyamping ia melemparkan sebuah pisau kecil ke dada Agung Sedayu.

Pisau itu meluncur demikian cepatnya. Tepat mengenai dada Agung Sedayu di arah jantung.

“Mati kau, iblis,” geram orang itu, “kawan-kawanku yang terluka masih sempat melihat tubuhmu terbaring diam.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun Ki Rangga itu terbelalak ketika ia melihat Agung Sedayu melangkah mendekat sambil berkata, “Jangan kau buang-buang senjatamu dengan sia-sia.”

Namun tiba-tiba Glagah Putih berkata, “Lepaskan orang itu Kakang. Biarlah aku mengakhiri perlawanannya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Glagah Putih yang muda itu benar-benar marah kepada Ki Rangga, yang telah menghinanya dan bahkan melukainya.

Karena itu, Agung Sedayu tidak berbuat lebih jauh. Namun ia sempat memperingatkan, “Waktu kita sempit Glagah Putih. Prajurit di pintu gerbang itu akan dapat datang kemari.”

“Aku akan menyelesaikannya dengan cepat Kakang,” jawab Glagah Putih.

Jawaban Glagah Putih itu membuat telinga Ki Rangga menjadi merah. Ia sadar bahwa keadaannya akan menjadi sangat sulit jika orang yang pernah dilihatnya di Prambanan itu ikut mencampuri pertempuran itu. Agaknya orang itu memiliki ilmu kebal. Mungkin Lembu Sekilan, mungkin Tameng Waja atau jenis yang lain. Namun pisau belatinya tidak mampu menembus pertahanan ilmu kebalnya itu.

Tetapi agaknya Agung Sedayu memang tidak ingin mencampuri pertempuran itu, atas permintaan Glagah Putih, la justru bergeser menepi ketika Glagah Putih kemudian telah bersiap.

Namun orang yang disebut Ki Rangga itu tidak memberinya kesempatan. Demikian Glagah Putih siap untuk bertempur, maka Ki Rangga itu mulai menyerangnya. Kerisnya sudah tidak ada di tangan nyalagi. Tetapi demikian ia menyimpan kerisnya di wrangkanya, maka kedua belah tangannya dengan tangkasnya mempermainkan pisau-pisau kecilnya.

Tetapi Glagah Putih dengan tangkasnya berloncatan menghindar. Dengan ikat pinggangnya ia menangkis pisau-pisau yang berterbangan itu.

Tetapi pisau-pisau itu seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Pisau yang disimpan berderet di ikat pinggangnya itu seakan-akan berjumlah tidak terbatas.

Karena itu, Glagah Putih memang mengalami kesulitan. Bahkan ketika ia terlambat menangkis serangan pisau itu dengan ikat pinggangnya, maka pisau itu telah mengogres pundaknya.

Kemarahan Glagah Putih tidak terbendung lagi. Apalagi mengingat kemungkinan hadirnya para prajurit dari pintu gerbang.

Karena itu, Glagah Putih yang sangat marah itu tidak menahan diri lagi. Lukanya yang tersentuh keringatnya yang mengalir menjadi semakin pedih.

Ketika Glagah Putih itu semakin terdesak oleh lontaran-lontaran pisau yang tidak terhitung jumlahnya itu, maka iapun segera mempersiapkan dirinya Demikian ia meloncat menghindari lontaran pisau dengan loncatan panjang, maka Glagah Putih telah mengayunkan tangannya, setelah ia mengalungkan ikat pinggangnya di lehernya. Kedua telapak tangannya menghadap ke arah tubuh lawannya dengan satu hentakan, dilambari ilmunya yang sangat mengejutkan lawannya.

Seleret sinar seakan-akan telah meluncur dari kedua telapak tangan Glagah Putih. Demikian cepatnya menyambar ke arah lawannya yang sedang melontarkan pisau belati kecilnya.

Ki Rangga tidak sempat mengelak. Sinar itu begitu cepat menukik mematuk dadanya.

Terdengar teriakan kesakitan. Benturan yang keras telah terjadi. Ki Rangga itu terlempar beberapa langkah surut dan kemudian jatuh terlentang.

Agung Sedayu-lah yang kemudian berlari memburu, la berharap bahwa daya tahan Ki Rangga itu cukup tinggi, sehingga ilmu Glagah Putih itu tidak membunuhnya.

Tetapi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Rangga tidak mempunyai daya tahan yang mampu menyelamatkan hidupnya.

Glagah Putih masih berdiri termangu-mangu. Ia menundukkan kepalanya ketika Agung Sedayu memandanginya dengan tajamnya.

“Kau telah membunuhnya,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Ia harus mengaku bahwa ia telah kehilangan kendali.

Namun dalam pada itu, ketujuh orang prajurit termasuk dua orang prajurit sandi itu masih tetap hidup, meskipun mereka terluka parah.

Agung Sedayu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Kita serahkan Ki Rangga ini kepada kawan-kawannya. Kita tidak boleh menunggu kedatangan para prajurit dari pintu gerbang kota.”

Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian mengikuti Agung Sedayu yang meninggalkan tubuh Ki Rangga sambil berkata kepada salah seorang prajurit yang terluka, “Kawan-kawanmu akan segera datang. Jika tidak, kau dapat minta seseorang memberitahukan kepada para prajurit yang bertugas di pintu gerbang.”

Dengan cepat Agung Sedayu melangkah meninggalkan tempat itu, diikuti oleh Glagah Putih yang berlari-lari kecil di belakangnya. Sambil menjauhi tempat itu Agung Sedayu berkata, “Jika kita sempat bertempur dengan prajurit, maka kita akan membunuh lebih banyak lagi.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengikuti saja kemana Agung Sedayu pergi.

Dalam pada itu, setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih menjauh, beberapa orang pun telah memberanikan diri untuk mendekat. Mereka pun kemudian berusaha menolong para prajurit yang terluka. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Ki Rangga yang sudah terbunuh.

Beberapa saat kemudian, sekelompok prajurit berlari-larian datang, dipimpin langsung oleh pemimpin kelompok yang bertugas di pintu gerbang. Namun yang mereka jumpai adalah orang-orang yang terluka. Bahkan Ki Rangga telah terbunuh.

“Kemana kedua orang itu melarikan diri?” bertanya pemimpin sekelompok prajurit itu.

Seorang di antara mereka yang datang mendekati para prajurit yang terluka itu menjawab sambil menunjuk, “Kesana. Mereka menuju ke bulak itu.”

Pemimpin prajurit itu termangu-mangu sejenak. Dalam keadaan yang gawat itu ia sempat membuat penilaian atas kemampuan kedua orang itu. Ki Rangga dan tujuh orang prajurit, termasuk dua orang prajurit dalam tugas sandi yang terlatih dengan baik, tidak dapat menangkap mereka.

Namun pemimpin prajurit itu merasa membawa beban tanggung jawab dalam tugasnya. Karena itu maka iapun telah memerintahkan kepada prajurit-prajuritnya untuk mempergunakan kuda-kuda yang ada.

“Kita kejar mereka,” berkata pemimpin kelompok itu, “kita akan pergi semuanya.”

“Jumlah kita lebih banyak dari jumlah kuda yang ada,” berkata salah seorang prajuritnya.

“Biarlah kuda-kuda yang lebih besar membawa dua orang penumpang di punggungnya.”

Prajurit-prajurit itu pun saling berpandangan. Pemimpinnya yang mengetahui gejolak perasaan para prajuritnya itu pun berkata, “Kita tidak akan berpacu dan bertaruh siapa yang paling cepat. Kedua orang itu hanya berlari dengan mempergunakan kakinya. Kuda-kuda kita akan dapat berlari lebih cepat. Setidak-tidaknya kuda-kuda yang tidak membawa beban rangkap. Baru kemudian yang lain menyusul. Ingat, kedua orang itu memiliki ilmu iblis. Tujuh orang prajurit di tambah dengan Ki Rangga tidak dapat menangkap mereka.”

Para prajurit itu tidak bertanya lagi. Mereka tidak ingin kehilangan waktu lebih banyak lagi. Karena itu, mereka segera berloncatan ke atas punggung kuda yang ada.

Hampir semua kuda bermuantan rangkap. Hanya ada dua ekor kuda yang membawa masing-masing seorang penumpang.

Demikianlah, kuda-kuda itu pun berlari. Dua ekor kuda yang hanya membawa masing-masing seorang penumpang itu telah berlari lebih dahulu. Sedangkan yang lain berderap menyusulnya.

Tetapi setelah beberapa saat kedua orang yang berkuda di paling depan itu melarikan kuda mereka, namun mereka sama sekali tidak menemukan kedua orang yang mereka buru. Mereka pun tidak melihat kedua orang itu berlari di atas pematang atau menyusuri parit

“Kedua sosok iblis itu menghilang,” geram pemimpin prajurit yang berusaha mengejar itu.

“Mereka tentu belum terlalu jauh,” sahut prajurit yang menyertainya.

Pemimpin prajurit itu termangu-mangu. Diperlambatnya derap kaki kudanya sambil mengamati lingkungan di sekitarnya.

Tetapi yang nampak hanyalah sawah yang terbentang luas, batang padi yang hijau sampai ke cakrawala.

“Mereka dapat bersembunyi di belakang padi seluas bulak ini,” desis pemimpin sekelompok prajurit berusaha mengejar Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih sedang merangkak di pematang sawah. Semakin lama semakin jauh dari jalan yang membujur dari pintu gerbang kota. Batang padi yang tumbuh subur telah melindungi mereka dari penglihatan para prajurit yang mengejar mereka.

Pemimpin sekelompok prajurit itu memang menjadi bimbang. Ia merasa sangat sulit untuk menemukan dua orang di bulak seluas itu. Iapun sama sekali tidak dapat melihat jejak kedua orang ilu, apakah ia berlari ke sebelah kiri atau ke sebelah kanan jalan.

Pemimpin sekelompok prajurit itu telah bertanya kepada beberapa orang yang dijumpainya, apakah mereka melihat dua orang yang sedang mereka buru.

Tetapi semua orang menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak melihatnya.”

“Kalian akan mendapatkan hadiah yang besar jika kalian dapat menunjukkan,” berkata pemimpin sekelompok prajurit itu, “bahkan kalian juga sudah menyelamatkan banyak orang, karena kedua orang itu sangat berbahaya. Mereka akan dapat membunuh siapapun. Termasuk sanak kadang kalian. Seorang prajurit telah dibunuhnya pula, sedang beberapa orang yang lain telah dilukai.”

Tetapi orang-orang itu memang tidak melihat, bagaimana Agung Sedayu dan Glagah Putih menyelinap dan menghilang di bulak yang luas itu.

Ketika pemimpin sekelompok prajurit itu melihat batang padi yang bergoyang, maka perhatiannya segera memusat. Tetapi ternyata bahwa angin semilir telah menggoyang batang padi di bulak yang luas. Seperti gelombang lembut, batang padi itu bergerak-gerak mengalir dengan irama yang manis.

“Apakah mereka anak iblis yang dapat menghilang?” bertanya pemimpin prajurit yang geram itu.

Memang timbul niatnya untuk menyebar para prajuritnya di bulak yang luas itu. Namun pemimpin sekelompok prajurit itu tidak dapat mengabaikan keselamatan para prajuritnya. Karena kerja itu akan sia-sia, maka pemimpin prajurit itu memutuskan untuk tidak melakukannya.

“Ki Rangga dan tujuh prajurit gagal menangkap mereka. Jika prajurit-prajurit menyebar di bulak yang luas ini, maka seorang demi seorang mereka akan dapat dibunuh oleh kedua orang yang sangat berbahaya itu,” berkata pemimpin sekelompok prajurit itu.

Akhirnya pemimpin sekelompok prajurit itu memutuskan untuk tidak melanjutkan perburuan mereka. Yang mereka lakukan kemudian adalah kembali untuk menolong kawan-kawan mereka yang terluka.

Ternyata orang-orang yang berkerumun di sekitar para prajurit yang terluka itu telah berusaha menolong mereka. Orang-orang itu telah menghentikan beberapa buah pedati. Dengan pedati itu, maka para prajurit yang terluka akan dibawa ke kota.

“Terima kasih,” berkata pemimpin sekelompok prajurit itu kepada orang-orang yang telah berusaha menolong para prajurit yang terluka.

Namun Ki Rangga sudah tidak akan dapat ditolong lagi dengan cara apapun juga.

Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berjalan semakin jauh. Mereka tidak lagi melangkah di sepanjang pematang, di sela-sela batang padi yang subur. Ketika mereka mengetahui bahwa para prajurit telah menghentikan pengejaran mereka, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih menganggap bahwa mereka tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi. Apalagi mereka sudah menjadi semakin jauh.

Ketika mereka kemudian naik ke sebuah jalan kecil, ternyata bahwa jalan itu adalah jalan yang sepi. Karena itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih merasa senang berjalan di jalan itu

Pengalaman mereka sebagai pengembara telah membuat mereka yakin, bahwa mereka tidak akan tersesat. Mereka akan dapat menemukan jalan yang akan sampai ke Mataram.

Dalam pada itu, ketika matahari melampaui puncak langit, udara rasa-rasanya telah menjadi semakin panas. Di kejauhan nampak ndeg amun-amun yang bergetar seperti uap air yang mendidih. Matahari di langit memancarkan panasnya tanpa belas kasihan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun berjalan terus. Terik matahari membuat leher mereka terasa kering.

“Nampaknya kita sudah bebas,” desis Glagah Putih.

“Ya. Agaknya memang demikian,” jawab Agung Sedayu.

“Jika demikian, kita akan dapat mencari tempat untuk melawan haus.”

“Kita akan sampai ke sebuah belik.”

“Kenapa harus menunggu sampai kita menemukan sebuah belik? Apakah kita tidak dapat singgah di sebuah kedai?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih pun berkata selanjutnya, “Kita sudah cukup jauh berjalan.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kadang-kadang kau ingin memanjakan diri juga Glagah Putih.”

Glagah Putih pun tertawa. Katanya, “Tidak setiap kali Kakang.”

“Tetapi bajumu kotor, koyak dan berbekas darah. Meskipun lukamu sudah pampat.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Bajuku memang sudah sangat kotor Kakang. Bekas darah itu tidak akan terlalu menarik perhatian. Terakhir kita mencuci pakaian di sungai kecil itu adalah dua hari yang lalu. Kemudian kita tidak sempat melakukannya lagi, selain mandi dengan tergesa-gesa.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita usahakan agar tidak menarik perhatian.”

Keduanya kemudian memang singgah di sebuah kedai. Keduanya sengaja duduk di sudut yang tidak mendapat perhatian banyak orang. Meskipun bercak-bercak darah di baju Glagah Putih sudah mengering dan tidak nampak terlalu menyolok pada bajunya yang memang berwarna gelap, namun mereka masih juga harus berhati-hati.

Bersyukurlah Agung Sedayu dan Glagah Putih, bahwa tidak ada orang yang memperhatikan mereka. Demikian mereka selesai, Agung Sedayu pun segera membayarnya dan meninggalkan kedai itu.

Di luar kedai keduanya menarik nafas dalam-dalam. Sambil berdesah panjang Glagah Putih berkata, “Ternyata tidak ada orang yang memperhatikan bajuku yang koyak.”

“Memang tidak terlalu nampak menyolok,” desis Agung Sedayu.

Demikanlah, keduanya pun kemudian berjalan menjauhi kedai itu. Setelah agak jauh berjalan, keduanya pun berhenti di bawah sepasang pohon raksasa yang tumbuh beberapa puluh langkah dari jalan yang mereka lalui. Di bawah sepasang pohon raksasa yang ternyata pohon beringin tua itu, terdapat sebuah mata air yang cukup besar, sehingga airnya dapat mengaliri sawah di sekitarnya.

“Aku lihat lukamu,” berkata Augng Sedayu.

Glagah Putih kemudian telah membuka bajunya sambil berkata, “Aku telah mengusap luka-luka itu dengan serbuk obat yang Kakang berikan itu.”

Luka itu memang tidak seberapa. Nampaknya sambil menghindar dari kejaran para prajurit, Glagah Putih masih sempat mengusapkan serbuk yang dibawanya dalam bumbung kecil.

Untuk beberapa saat keduanya beristirahat di tempat yang teduh itu. Belik yang terdapat di bawah batang pohon beringin raksasa itu membuat udara menjadi semakin sejuk.

“Jika terlalu lama di sini, aku justru akan dapat tertidur,” desis Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Marilah. Agar kau tidak tertidur di sini. Meskipun kita sudah berjalan cukup jauh, tetapi masih terlalu dekat dengan pintu gerbang kota.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang sudah bersiap-siap untuk pergi itu justru termangu-mangu. Mereka melihat dua orang berjalan mendekati mereka.

“Nah. benar kata orang itu,” desis seorang di antara mereka tanpa ragu-ragu, “tentu kedua orang inilah yang dicurigai oleh para prajurit itu.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih tertegun melihat keduanya. Dua orang yang menilik ujud lahiriahnya serupa.

“Agaknya keduanya saudara kembar,” desis Glagah Putih.

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-angguk.

Kedua orang itu menjadi semakin dekat. Seorang di antaranya berkata, “Kami mencari kalian berdua.”

“Siapakah kalian, dan untuk apa kalian mencari kami?” bertanya Agung Sedayu.

“Sebagaimana kalian lihat, kami adalah saudara kembar. Kami memang menyusul kalian. Para prajurit Itu mengatakan, siapa yang dapat menunjukkan dimana kalian bersembunyi, akan mendapat upah cukup banyak. Apalagi jika dapat menangkap kalian.”

“Jadi kalian berdua akan menangkap kami?”

“Ya. Kebetulan kami sedang membutuhkan uang itu. Karena itu, jika kalian mau berbaik hati membantu kesulitan kami, menyerah sajalah.”

“Berapa keping uang yang akan kalian dapatkan, sehingga kalian dengan susah payah menyusul kami?”

“Para prajurit itu tidak menyebut beberapa banyak mereka akan memberikan uang. Tetapi aku yakin bahwa uang itu tentu cukup banyak. Kami juga pemah menangkap seorang yang dibutuhkan oleh para prajurit Pati. Seorang penjahat yang sudah beberapa tahun luput dari kejaran para prajurit. Ternyata kami juga mendapat upah cukup banyak. Apalagi jika kami dapat menangkap petugas sandi dari Mataram. Maka upahnya tentu akan lebih banyak.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih-lah yang berkata, “Kau tahu, bahwa delapan orang prajurit tidak berhasil menangkap kami?”

Kedua orang kembar itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Jangan kau pamerkan kemenangan kecilmu itu. Aku sudah lama berhubungan dengan para prajurit Pati. Aku memang sering melakukan tugas seperti ini. Menangkap seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan upah, sebagaimana aku menangkap penjahat yang mempunyai ilmu yang tinggi dan Aji Welut Putih itu.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “kalau begitu, kalian berdua tentu orang yang berilmu sangat tinggi.”

“Ya. Karena itu menyerah sajalah. Nasib kalian memang buruk. Kebetulan aku lewat di tempat kalian memamerkan ilmu kalian. Pemimpin sekelompok prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu adalah sahabat kami. Ia telah mengenal kami dengan baik, juga mengenal tugas-tugas yang sering kami lakukan untuk membantu para prajurit.”

“Kemudian pemimpin sekelompok prajurit itu menawarkan kepada kalian berdua, apakah kalian bersedia menangkap dua orang buruan mereka, dengan janji untuk mendapat upah yang inggi?” sahut Glagah Putih.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Anak ini memang sombong dan keras kepala. Dengar, kami mendapat wewenang untuk menangkap kalian hidup atau mati. Kami ingin memperingatkan kalian sekali lagi. Menyerahlah, agar kami tidak terpaksa membunuh kalian, karena upah yang akan kami terima akan sama saja. Hidup atau mati.”

“Bagaimana jika kalian yang mati?” bertanya Glagah Putih, “Apakah kalian juga mendapat upah? Maksudku, biaya penyelenggaraan penguburan kalian akan ditanggung oleh para prajurit? Kemudian hidup anak istri kalian juga akan mendapat jaminan?”

Agung Sedayu justru menggamit Glagah Putih sambil berkata, “Sudahlah. Kita minta saja mereka membatalkan niat mereka.”

“Ki Sanak,” berkata seorang di antara kedua orang kembar itu, “sebaiknya kalian tidak usah berusaha untuk melawan. Tidak ada artinya sama sekali, meskipun kalian dapat mengalahkan delapan orang prajurit. Perlawanan itu hanya akan membuat kalian semakin menyesal.”

“Kalian tentu tahu bahwa kami tidak akan menyerah,” berkata Glagah Putih, “karena itu, lakukan yang ingin kalian lakukan. Kami sudah siap.”

Kedua orang kembar itu tersenyum. Sejenak mereka saling berpandangan. Seorang di antara mereka berkata, “Apa boleh buat. Kita sudah berusaha untuk mencegah kematian. Tetapi agaknya mereka tidak mau mengerti.”

“Mereka terlalu sombong,” sahut yang lain, “sebaiknya kita selesaikan saja mereka. Kita bawa kepala mereka sebagai bukti.”

“Kalian membuat kami bingung,” berkata Agung Sedayu, “kami semula menganggap bahwa kalian adalah sahabat-sahabat prajurit untuk memerangi kejahatan. Tetapi ketika kalian mengatakan bahwa kalian akan membunuh dan membawa kepala kami, maka penilaian kami terhadap niat baik kalian membantu para prajurit jadi berbalik.”

“Jangan menganggap kami orang baik-baik. Kami berbuat apa saja jika ada orang yang mengupah kami. Itu saja.”

“Juga membunuh tanpa segan-segan?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Bukankah kalian juga sudah membunuh? Ki Rangga telah kalian bunuh pula dengan tanpa berkedip. Nah, apakah tidak sepantasnya kalian juga dibunuh?”

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak menjawab. Namun mereka menjadi yakin, siapakah yang mereka hadapi. Dua orang pembunuh upahan yang tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali sekedar untuk mendapatkan upah. Mungkin pada suatu saat ia menangkap dan membunuh seorang penjahat. Tetapi di saat yang lain membunuh seorang yang tidak bersalah, karena dengki orang lain yang kemudian mengupah mereka berdua.

Ketika kedua orang kembar itu melangkah semakin dekat, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bersiap pula menghadapi keduanya. Kedua orang kembar yang nampaknya telah terlalu biasa melakukan tindak kekerasan itu sama sekali tidak menunjukkan ketegangan di wajahnya. Keduanya masih saja tersenyum. Seorang di antara mereka bertanya, “Tempat ini dikeramatkan oleh orang-orang di sekitarnya. Belik yang terdapat di bawah sepasang pohon beringin itu disebut Belik Kendil, yang ditunggui oleh sepasang peri yang dapat menjadi cantik sekali, tetapi dapat pula menjadi sangat menakutkan. Nah, jika kalian berdua mati di sini, maka kalian akan menjadi budak-budak sepasang peri itu. Mungkin kalian dapat mempunyai kedudukan yang baik, tetapi mungkin kalian akan menjadi budak yang paling hina.”

Yang seorang lagi tertawa berkepanjangan. Katanya, “Jangan menyesal. Kalian telah memilih jalan kematian kalian.”

Namun Glagah Putih masih juga menjawab, “Bagaimana jika kalian yang mati? Kedua peri itu tentu akan sangat berterima kasih, karena mereka akan mendapat hamba dua orang yang kembar. Dengan demikian mereka tidak akan berebut yang paling tampan di antara kalian.”

“Setan kau,” geram seorang diantara keduanya sambil melangkah maju. Namun Glagah Putih sudah bersiap.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua orang kembar itu telah bersiap untuk bertempur, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih bergeser mengambil jarak.

Sejenak kemudian, seorang dari kedua orang kembar itu telah mulai menyerang Agung Sedayu. Dengan cepat Agung Sedayu pun bergeser menghindar.

Namun dalam pada itu, yang seorang lagi telah meloncat menyerang Glagah Putih pula.

Demikianlah kedua orang kembar itu telah terlibat dalam pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit.

Agung Sedayu dan Glagah Putih bertempur dengan berhati-hati. Mereka sadar bahwa lawan mereka adalah orang-orang yang terlalu yakin akan dirinya. Nampaknya keduanya memang mempunyai pengalaman yang sangat luas. Ketika Agung Sedayu melihat bagaimana mereka menyerang, maka ia memberi isyarat kepada Glagah Putih bahwa lawannya memang orang yang berilmu tinggi.

Sejenak kemudian, pertempuran pun menjadi semakin cepat. Keempat orang yang terlibat dalam pertempuran itu saling berloncatan menyerang dan menghindar.

Kedua orang kembar yang meyakini kemampuan mereka sendiri itu ternyata juga berhati-hati menghadapi Agung Sedayu dan Glagah Putih. Keduanya mengerti bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mengalahkan delapan orang prajurit, termasuk Ki Rangga yang memiliki ilmu yang tinggi, yang justru telah terbunuh.

Namun seorang di antara keduanya yang bertempur melawan Glagah Putih yang nampak masih terlalu muda, merasa memiliki kesempatan lebih banyak. Orang itu mengira bahwa Glagah Putih tentu tidak memiliki ilmu setinggi Agung Sedayu.

Karena itu, orang itu dengan garangnya telah melibat Glagah Putih dalam pertempuran yang cepat dan rapat.

Namun orang itu terkejut ketika terjadi benturan kekuatan di antara keduanya. Untuk menjajagi kekuatan lawannya, Glagah Putih memang dengan sengaja telah membentur serangan lawannya, meskipun ia harus sangat berhati-hati.

Lawan Glagah Putih itu meloncat surut selangkah. Dipandanginya anak yang dianggap masih terlalu muda itu dengan tajamnya. Ternyata anak itu memiliki tenaga yang cukup besar.

Glagah Putih sendiri juga merasakan bahwa lawannya juga mempunyai kekuatan yang besar. Glagah Putih sadar, bahwa lawannya masih belum mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya.

“Kau mempunyai bekal yang baik, Anak Muda,” berkata lawan Glagah Putih. “Sayang bahwa kau tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan dasar kemampuan itu. Sebenarnya kau harus menyalahkan Mataram, bahwa kau yang masih sangat muda itu telah mendapat tugas yang sangat berat dan harus mempertaruhkan nyawamu. Langsung atau tidak langsung, Mataram telah memotong tunas yang subur yang dapat menjadi harapan masa depan.”

“Kenapa kau menyalahkan Mataram?” bertanya Glagah Putih.

“Seharusnya Mataram tidak menunjuk kau untuk melakukan tugas sandi ke Pati. Kekalahan Pati di Prambanan telah mengaburkan penglihatan Mataram, bahwa seakan-akan Pati tidak mempunyai orang yang berilmu tinggi.”

“Aku tidak mempunyai hubungan dengan Mataram. Sudah kami katakan kepada para prajurit,” jawab Glagah Putih.

Tetapi lawannya tertawa. Katanya, “Hanya orang-orang Mataram yang memiliki petugas sandi seperti kalian, selain Pati.”

“Jangan mengecilkan arti Demak, Pajang dan kadipaten kadipaten yang lain.”

Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau semakin meyakinkan aku bahwa kau adalah petugas sandi dari Mataram. Jangan ingkar, agar hasil kerjaku kali ini dianggap kerja yang cukup berarti, sehingga aku akan mendapat upah lebih banyak dari yang pernah aku terima.”

“Supaya upahmu lebih banyak, bagaimana jika kau menyebut diriku Pangeran Singasari dari Mataram?”

Orang itu mengerutkan dahinya. Suara tertawanya berhenti dengan tiba-tiba. Katanya, “Kau memang iblis kecil. Baiklah. Kau memang harus segera menyesali sikapmu itu.”

Glagah Putih-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Jangan marah. Jika kau marah, kau akan kehilangan perhitungan. Apalagi kau sedang bertempur dengan seorang Pangeran.”

Lawan Glagah Putih itu menjadi semakin marah. la belum pernah dipermainkan orang seperti itu. Setiap kali ia menggertak lawannya, maka lawannya tentu menjadi ketakutan. Setidak-tidaknya menjadi tegang dan cemas. Tetapi anak ini justru sempat membakar hidungnya.

Dengan geram orang itu melangkah mendekat. Tetapi ia sadar bahwa tenaga dan kemampuan anak itu memang tinggi.

Glagah Putih pun segera mempersiapkan diri. Iapun menjadi semakin berhati-hati. Lawannya benar-benar menjadi marah.

Sejenak kemudian, salah seorang dari dua orang bersaudara kembar itu telah meloncat menyerangnya. Tangannya terayun dengan deras. Namun dengan tangkasnya Glagah Putih meloncat menghindar.

Tetapi Glagah Putih meloncat lagi mengambil jarak. Ia merasakan sesuatu yang agak lain. Ketika lawannya mengayunkan tangannya menyerangnya, ia memang berhasil menghindar. Tetapi ia merasakan getaran udara yang menyentuhnya.

“Orang itu mulai dengan mengetrapkan ilmunya,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Karena itu, Glagah Putih pun menjadi semakin berhati-hati. Ia sadar bahwa ilmu lawannya itu semakin lama akan menjadi semakin meningkat.

Karena kemampuan ilmunya yang tinggi itulah agaknya orang itu memilih pekerjaan yang gawat, karena setiap kali ia harus mempertaruhkan nyawanya. Namun selama ini ia telah berhasil memanfaatkan ilmunya untuk mendapatkan uang yang cukup banyak.

Demikianlah, keduanya pun semakin lama semakin terbenam dalam pertempuran yang sengit. Sekali-sekali Glagah Putih merasakan ilmu lawannya itu menjadi semakin kuat. Sambaran angin pada ayunan tangan dan kakinya terasa seakan-akan menusuk sampai ke jantung. Namun kadang-kadang ia merasa bahwa ilmu lawannya itu telah mengendor. Gelar udara itu tidak terlalu tajam menyentuh kulitnya.

Glagah Putih memang harus menjadi sangat berhati-hati. Ditingkatkannya daya tahan tubuhnya, agar ia tidak kehilangan kemampuan untuk melawan orang kembar itu. Jika sambaran angin dari setiap serangan itu meningkat tinggi, rasa-rasanya Glagah Putih memang sulit untuk dapat mendekatinya. Ia hanya dapat mengelakkan serangan-serangan lawannya.

Namun ketika terjadi benturan, Glagah Putih terkejut. Tenaga dan kekuatan lawannya seakan-akan menjadi berlipat, sehingga Glagah Putih itu terdorong beberapa langkah surut.

Tetapi ketika lawannya memburunya dan mempergunakan kesempatan untuk menyerangnya, terasa bahwa tenaga lawannya justru menyusut. Glagah Putih yang tidak sempat menghindar terpaksa menangkis serangan itu. Ketika terjadi benturan, maka tenaga lawannya tidak lagi mampu menggetarkannya.

“Orang ini mencoba membalas sakit hatinya karena ia menganggap aku sudah mempermainkannya,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Dengan demikian, Glagah Putih harus selalu berhati-hati. Kekuatan lawannya yang terasa berubah-ubah itu memang agak mengganggu perlawanannya. Namun Glagah Putih menduga bahwa lawannya memang sedang bermain-main.

Tetapi bagaimanapun juga, Glagah Putih harus mengakui bahwa kemampuan lawannya memang tinggi. Sekali-sekali serangan lawannya memang dapat mengenai tubuhnya. Sedangkan serangan yang gagal, masih juga terasa anginnya menampar kulitnya. Jika getaran itu terasa sangat kuat, maka terasa kulit Glagah Putih menjadi pedih.

Namun Glagah Putih pun memiliki ilmu yang tinggi. Bukan saja serangan lawannya yang berhasil mengenai tubuhnya. Tetapi serangan-serangan Glagah Putih pun telah mampu menyusup pertahanan lawannya itu pula. Sekali-sekali orang kembar itu memang terdorong surut. Namun kemudian serangan balasannya pun datang membadai dengan derasnya.

Tetapi bahwa Glagah Putih itu tidak segera dapat ditundukkan, telah membuat orang itu menjadi gelisah. Apalagi ketika serangan-serangan Glagah Putih juga mampu menembus pertahanannya. Serangan-serangan yang terasa semakin menyakiti tubuhnya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang bertempur dengan seorang yang lain, merasakan hal yang sama dengan Glagah Putih. Agung Sedayu kadang-kadang harus berloncatan mundur untuk mengambil jarak jika serangan lawannya datang membadai dengan kecepatan yang sangat tinggi dan dengan kekuatan yang sangat besar. Namun tiba-tiba kemampuan lawannya itu seakan-akan menyusut.

Mula-mula Agung Sedayu menduga bahwa tenaga lawannya yang dikerahkannya itu memang mulai menyusut setelah bertempur beberapa lama. Tetapi dugaan itu ternyata keliru. Tenaga dan kemampuan lawannya itu datang dengan kekuatan dan kemampuan yang serasa hampir berlipat.

“Jenis ilmu apalagi ini,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Sebagai seorang yang memiliki berbagai macam ilmu di dalam dirinya, Agung Sedayu merasa belum pernah menjumpai dan apalagi mengenal jenis ilmu yang seakan-akan menjadi pasang dan surut, yang kadang-kadang memang membuatnya ragu.

Pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Agung Sedayu telah meningkatkan ilmunya pula. Sekali-sekali Agung Sedayu mendesak lawannya yang berloncatan surut. Namun kemudian kekuatan dan kemampuan lawannya pun menjadi semakin tinggi, sehingga ketika terjadi benturan, Agung Sedayu harus bergeser surut.

Tetapi kedua orang kembar itu memang mulai menjadi gelisah. Baik anak yang masih terlalu muda itu, apalagi yang lebih tua, terlalu sulit untuk ditundukkannya. Beberapa kali mereka terlibat dalam tindakan kekerasan dalam tugas-tugas yang pernah dilakukannya, bahkan melawan penjahat-penjahat yang paling disegani sekalipun. Namun mereka dapat dengan cepat menguasai dan bahkan membunuh mereka. Apalagi jika diupah untuk membunuh orang-orang yang tidak berilmu tinggi, maka pekerjaan itu seakan-akan dilakukannya dengan mata tertutup.

Tetapi kedua orang yang diduga prajurit Mataram itu ternyata sulit untuk diatasinya.

Dalam pada itu, Glagah Putih masih saja merasa heran akan ilmu lawannya. Tetapi justru karena itu, ia ingin mengetahui apakah sebenarnya yang dilakukan oleh lawannya itu, sekedar bermain-main atau karena sesuatu hal yang memang mendasari ilmunya itu.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah mengerahkan kemampuannya untuk mengatasi perlawanan orang kembar itu.

Jika Glagah Putih berhasil mendesaknya, maka tiba-tiba saja kekuatan dan ilmu orang itu meningkat dengan tiba-tiba. Tetapi jika Glagah Putih melangkah surut oleh tekanan lawannya itu, maka ilmu lawannya itu rasa-rasanya telah menyusut.-

Namun ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih bersama-sama berusaha untuk menekan kedua orang itu, sehingga kedua orang itu seakan-akan dipaksa untuk bertempur dengan punggung melekat, kekuatan dan kemampuan kedua orang itu justru meningkat semakin tinggi. Mereka sama sekali tidak merasa terkurung oleh serangan-serangan Agung Sedayu dan Glagah Putih yang sengaja berdiri berseberangan.

Bahkan serangan-serangan kedua orang itu mulai berhasil menembus pertahanan Glagah Putih dan Agung Sedayu, Glagah Putih yang mencoba untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada lawannya itu, terpelanting ketika tangan orang itu sempat menghantam dagunya.

Glagah Putih memang kehilangan keseimbangan. Kekuatan orang itu bukan main besarnya. Untunglah bahwa gigi Glagah Putih tidak rontok karenanya.

Sekali Glagah Putih berguling. Namun kemudian iapun telah melenting berdiri dengan tangkasnya. Tetapi lawannya dengan cepat memburunya. Serangan berikutnya datang tanpa dapat dihindari lagi. Kaki orang itu terayun dengan derasnya ke arah dada Glagah Putih.

Dengan tergesa-gesa Glagah Putih menyilangkan tangannya untuk melindungi dadanya, sehingga serangan kaki orang itu tidak langsung menghantam dada Glagah Putih.

Glagah Putih yang tergesa-gesa itu menyadari, jika lawannya mampu melepaskan segenap kekuatannya sebagaimana sebelumnya, maka Glagah Putih tentu akan terlempar lagi. Karena itu, Glagah Putih memang tidak ingin membentur kekuatan orang itu dengan kekuatan. Glagah Putih ingin meredam kekuatan itu justru dengan membiarkan dirinya terlempar dan jatuh berguling beberapa kali, sebelum ia akan melenting berdiri.

Ketika kaki lawannya itu mengenai tangannya yang menyilang melindungi dadanya, Glagah Putih telah terdorong surut, justru karena Glagah Putih sama sekali tidak melawan kekuatan itu. Glagah Putih itu pun telah menjatuhkan diri dari berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Dengan cepat, Glagah Putih pun kemudian melenting berdiri.

Tetapi ternyata lawannya tidak memburunya. Ia membiarkan saja Glagah Putih bangkit berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi orang itu tetap berdiri di tempatnya.

Glagah Putih memang menjadi heran. Namun selangkah demi selangkah ia bergerak maju mendekati orang itu dengan jantung yang berdebar-debar. Lawannya itu justru melangkah surut, seperti orang yang merasa sangat cemas menghadapi lawan yang sangat tangguh.

Sikap itu membuat Glagah Putih semakin bertanya-tanya di dalam hati. Justru saat ia mendapatkan kesempatan, kesempatan itu sama sekali tidak dipergunakannya.

Yang tidak kalah herannya adalah Agung Sedayu. Namun dengan demikian Agung Sedayu berusaha dengan sungguh-sungguh mengenali ilmu lawannya yang aneh itu. Sekali-sekali dengan mengerahkan ilmunya Agung Sedayu mendesak orang itu. Namun kemudian ia berusaha untuk bergeser mundur. Sambil mengetrapkan ilmunya ia mendesak maju. Namun pada suatu saat terasa serangan orang itu mampu menggoyahkan ilmu kebalnya. Bahkan serangan orang itu yang tepat mengenai keningnya, mampu menembus ilmu kebalnya, sehingga kepala Agung Sedayu merasa pening.

Tetapi sesaat kemudian, serangan orang itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Jangankan menembus ilmu kebalnya, menggoyahkan pun tidak.

Namun semakin lama Agung Sedayu mulai dapat melihat beberapa kemungkinan. Dengan menyerang lawannya dari arah yang berbeda-beda, ia berusaha mendesak lawannya ke beberapa arah.

Tetapi lawannya yang memiliki pengalaman yang luas itu pun berusaha pula untuk mengaburkan setiap usaha pengamatan Agung Sedayu atas lawannya itu.

Namun akhirnya Agung Sedayu itu tiba-tiba berteriak kepada Glagah Putih, “Glagah Putih! Kita bertempur berpasangan!”

Glagah Putih tidak mengetahui maksud kakak sepupunya itu. Tetapi iapun segera berusaha untuk dapat mendekatinya dan bertempur berpasangan.

Ternyata lawannya sama sekali tidak berusaha menghalanginya. Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi semakin dekat, kedua orang kembar itu pun bertempur berpasangan pula.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang bertempur berpasangan itu merasakan bahwa ilmu kedua orang kembar itu seakan-akan menjadi semakin meningkat. Kekuatan dan kemampuan mereka seakan-akan telah menjadi berlipat.

Untuk mengatasi keduanya, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun harus meningkatkan ilmu mereka pula, agar mereka tidak benar-benar dihancurkan oleh kedua orang kembar yang justru menjadi semakin tegar.

Dalam pada itu, ketika pertempuran menjadi semakin sengit, Agung Sedayu sempat berbisik di telinga Glagah Putih, “Kita usahakan untuk memisahkan mereka.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia tidak sempat bertanya. Lawannya telah meluncur dengan serangan kakinya yang terjulur menyamping ke arah dadanya.

Glagah Putih dengan tangkasnya mengelak. Tetapi demikian ia bergeser, lawannya itu pun telah berputar. Satu kakinya terayun dengan derasnya mengarah ke kening.

Tetapi Glagah Putih cukup tangkas. Dengan kedua belah tangannya Glagah Putih membentur serangan itu.

Satu benturan keras telah terjadi. Lawan Glagah Putih ternyata telah tergetar selangkah surut. Namun Glagah Putih terdorong beberapa langkah surut. Dengan susah payah Glagah Putih berusaha mempertahankan keseimbangannya.

Pada saat itu, lawannya telah memburunya. Satu loncatan panjang dengan tangan yang terayun mendatar menyambar dada anak muda itu.

Dalam keadaan yang sulit, Glagah Putih berusaha untuk menangkis serangan itu, sementara Glagah Putih sudah siap untuk menjatuhkan dirinya dan berguling mengambil jarak.

Tetapi ternyata tenaga lawannya tidak lagi sebesar serangan sebelumnya. Meskipun Glagah Putih terdorong beberapa langkah surut, tetapi ia tidak merasakan hentakan kekuatan yang memadai.

Dalam pada itu, Glagah Putih segera teringat bisikan Agung Sedayu untuk memisahkan kedua orang lawannya itu.

Tiba-tiba saja Glagah Putih mengerti apa yang harus dikerjakannya. Berdasarkan atas pengamatannya selama ia bertempur, peringatan kakak sepupunya serta perhitungannya yang mapan, maka iapun segera berdiri tegak dengan kesiagaan tertinggi.

Sementara itu, ternyata Agung Sedayu juga telah mengerahkan kemampuanya, meskipun ia masih belum melepaskan puncak-puncak ilmunya. Dengan berlindung di belakang ilmu kebalnya serta ilmu meringankan tubuhnya, Agung Sedayu berhasil mendesak lawannya menjauhi saudara kembarnya.

Kedua orang kembar itu ternyata telah terdesak untuk saling menjauhi. Bahkan seorang di antara mereka berusaha memburu Glagah Putih untuk segera mengakhiri pertempuran. Namun hal itu ternyata merupakan kesalahan yang besar.

Pada saat itulah Agung Sedayu dan Glagah Putih mendapat kesimpulan, bahwa kedua orang saudara kembar itu memiliki ilmu yang jarang ditemui. Tenaga, kekuatan dan kemampuan mereka akan meningkat semakin tinggi, jika keduanya menjadi semakin dekat.

Karena itu, ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berhasil memaksa mereka bergeser semakin jauh, maka tenaga serta kemampuan mereka pun seakan-akan telah menyusut.

Karena, itu, perlawanan kedua orang kembar itu menjadi semakin lemah. Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak lagi memberi kesempatan kepada keduanya untuk dapat saling mendekat.

Dengan demikian, serangan-serangan Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi semakin sering menembus pertahanan mereka. Beberapa kali kedua orang kembar itu terdorong surut dan bahkan terlempar jatuh. Dengan demikian, maka jarak mereka berdua menjadi semakin jauh pula.

Akhirnya keduanya merasa bahwa mereka tidak akan mampu lagi bertahan menghadapi kedua orang yang diduga prajurit sandi dari Mataram itu. Jika semula mereka meragukan berita bahwa orang-orang Mataram, terutama para prajurit sandinya, memiliki ilmu yang tinggi, ternyata mereka telah mendapat kesempatan untuk membuktikannya.

Karena itu, salah seorang dari kedua orang kembar itu telah memberikan isyarat dengan suitan nyaring.

Tetapi baik Agung Sedayu maupun Glagah Putih segera tanggap pula akan isyarat itu. Mereka memang sudah memperhitungkan bahwa kedua orang itu akan berusaha untuk melarikan diri, atau setidak-tidaknya mencari kesempatan untuk dapat memperpendek jarak antara keduanya. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera bersiap pula untuk mencegahnya.

Sebenarnyalah bahwa kedua orang kembar itu tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri.

Ketika mereka mulai meloncat meninggalkan lawan-lawan mereka, maka baik Agung Sedayu maupun Glagah Putih telah dengan cepat menghalangi mereka. Bahkan Glagah Putih telah menyerang lawannya dengan derasnya, sehingga lawannya itu terpelanting jatuh.

Demikian kerasnya serangan Glagah Putih yang mengenai lambungnya, serta punggungnya yang menimpa batu-batu padas, maka orang itu pun mengeluh menahan sakit.

Kedua orang kembar itu tidak dapat berbuat sesuatu. Karena itu, lawan Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, “Kami menyerah. Kami mohon ampun.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara itu lawan Glagah Putih yang kesakitan itu berusaha untuk bangkit. Namun iapun berkata pula, “Aku juga menyerah. Ternyata kalian memang memiliki ilmu yang tinggi.”

“Apa yang kalian lakukan jika lawan-lawan kalian menyerah?” bertanya Agung Sedayu.

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun lawan Agung Sedayu itu pun menjawab, “Kami menyerahkannya kepada prajurit yang mengupah kami untuk menangkapnya. Kami tidak tahu apa yang kemudian dilakukan oleh para prajurit itu.”

“Jika seseorang mengupahmu untuk membunuh, apa yang kalian lakukan jika orang yang akan kau bunuh tidak mengadakan perlawanan? Melepaskan mereka, atau membunuh mereka?”

Kedua orang itu menjadi bingung. Dengan suara yang bergetar, salah seorang dari orang itu menjawab, “Kami mohon ampun. Kami tidak akan melakukan lagi.”

“Apakah kalian berkata sebenarnya?”

“Kami berjanji demi langit dan bumi.”

“Jika kalian langgar janji itu?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Nyawa kami akan dihabisi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Duduk sajalah di situ. Aku akan berbicara dengan adikku.”

Agung Sedayu pun kemudian mendekati Glagah Putih sambil berbisik, “Kita akan mencoba kejujuran mereka. Biarlah mereka saling mendekat. Tetapi berhati-hatilah. Mereka akan dapat melakukan serangan dengan tiba-tiba jika mereka tidak jujur.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata kepada kedua orang yang berdiri agak berjauhan itu, “Baiklah. Kami akan mengampuni kalian. Adikku setuju, tetapi kalian harus jujur terhadap janji kalian itu.”

“Jadi?” bertanya lawan Agung Sedayu.

“Pergilah,” jawab Agung Sedayu.

“Terima kasih. Kami akan selalu mengingat kebaikan hati kalian berdua.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu kedua orang itu pun segera beringsut.

“Berhati-hatilah,” sekali lagi Agung Sedayu memperingatkan Glagah Putih, “mudah-mudahan mereka bersikap jujur.”

Kedua orang itu pun kemudian bersama-sama melangkah pergi meninggalkan Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Namun ketika Agung Sedayu melihat kedua orang itu saling berpegangan erat-erat, maka Agung Sedayu berdesis sekali lagi, “Bersiaplah dengan kemampuan puncakmu.”

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia segera memusatkan nalar budinya, siap menghadapi segala kemungkinan.

Sebenarnyalah yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu itu terjadi. Kedua orang yang saling berpegangan dengan erat itu dengan cepat berputar menghadap ke arah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Dengan cepat pula keduanya mengangkat sebelah tangannya. Yang seorang tangan kanannya, yang seorang tangan kirinya.

Segumpal cahaya yang kemerah-merahan meluncur dari telapak tangan mereka. Seorang menyerang Agung Sedayu, dan yang seorang menyerang Glagah Putih.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih telah siap menghadapi kemungkinan itu. Karena itu, demikian mereka melihat lawannya menyerang, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyerang pula dengan kemampuan puncak mereka. Seleret sinar telah memancar dari mata Agung Sedayu. Sementara itu, Glagah Putih pun telah meluncurkan serangannya pula. Dengan cepat ia mengangkat tangannya dengan telapak tangannya yang terbuka, menghadap ke arah lawannya itu.

Benturan yang dahsyat telah terjadi. Sorot mata Agung Sedayu ternyata memiliki kekuatan yang sulit diimbangi. Ketika benturan ilmu itu terjadi, maka lawannya itu bagaikan diguncang oleh petir yang menyambar dari langit. Lawannya itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Sedangkan Agung Sedayu sendiri tergetar selangkah surut. Namun ilmu kebal dan daya tahan Agung Sedayu melindunginya, sehingga getar dari benturan ilmu itu tidak mempengaruhi bagian dalam tubuhnya.

Sementara itu, benturan yang lain telah terjadi pula. Glagah Putih telah berhasil melawan serangan orang kembar itu. Dengan kemampuan ilmunya yang tinggi, Glagah Putih mampu membentur ilmu lawannya, yang justru getar baliknya telah menghantam isi dada orang kembar itu sendiri.

Terdengar orang itu mengaduh kesakitan, sementara tubuhnya terpelanting jatuh. Orang itu masih sempat menggeliat dan mengumpat kasar. Namun kemudian terdiam untuk selamanya.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih telah terdorong beberapa langkah surut. Tubuhnya menjadi gemetar, sedang keringatnya menjadi bagaikan terperas dari tubuhnya. Pakaiannya menjadi basah kuyup bagaikan tercelup ke dalam air.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih berdiri. Namun kemudian iapun jatuh berlutut.

“Glagah Putih,” dengan cepat Agung Sedayu meloncat mendekatinya. Sambil berjongkok di sisinya Agung Sedayu membantu Glagah Putih untuk duduk di tanah.

Glagah Putih kemudian menakupkan kedua telapak tangannya di pangkuannya. Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam berulang-ulang.

Agung Sedayu pun membiarkan adik sepupunya itu mengatur pernafasannya untuk mengatasi kesulitan di dalam tubuhnya. Benturan ilmu yang telah terjadi ternyata mampu mengguncang isi dadanya. Dengan mengatur pernafasannya serta pemusatan nalar budinya, perlahan-lahan Glagah Putih memperbaiki keadaannya. Tangannya yang menakup itu pun kemudian terangkat di depan dadanya. Dengan wajah menunduk dan mata terpejam, Glagah Putih berusaha mengatasi getar yang rasa-rasanya menghimpit jantung.

Agung Sedayu tidak mengganggunya. Dibiarkannya adik sepupunya mengatasi sendiri kesulitan di dalam dirinya akibat dari benturan ilmu yang mendebarkan itu.

Tetapi Agung Sedayu tetap mengamatinya. Sebagai murid Kiai Gringsing, Agung Sedayu mempunyai pengetahuan tentang pengobatan yang luas dengan berbagai macam cara. Bukan sekedar reramuan akar-akaran, dedaunan, dan bagian-bagian dari tumbuh-tumbuhan dan berjenis-jenis binatang, tetapi juga mempergunakan getar tenaga yang tersimpan di dalam diri.

Dengan demikian, Agung Sedayu dapat mengamati perkembangan keadaan Glagah Putih. Apakah ia menjadi lebih baik atau justru sebaliknya.

Namun beberapa saat kemudian Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa saat-saat yang paling sulit telah dilampaui oleh Glagah Putih. Karena itu, Agung Sedayu itu pun justru tersenyum sambil berkata kepada diri sendiri, “Anak ini memang luar biasa. Ia memiliki bekal kewadagan dan kejiwaan yang sangat baik.”

Dengan demikian, Agung Sedayu pun merasa bersyukur bahwa adik sepupunya itu kelak akan dapat meneruskan pengabdiannya kepada banyak orang, jika datang saatnya Agung Sedayu sendiri harus sudah beristirahat.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih itu mengangkat wajahnya perlahan-lahan. Ketika matanya terbuka, dilihatnya sosok tubuh berdiri beberapa langkah di hadapannya. Mula-mula nampak kabur. Namun kemudian menjadi semakin jelas.

“Kakang,” desis Glagah Putih.

“Bagaimana keadaanmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Baik Kakang. Rasa-rasanya sekarang sudah baik.”

Agung Sedayu memandang Glagah Putih yang sudah tidak nampak terlalu pucat. Bahkan kemudian Glagah Putih itu telah berusaha untuk bangkit berdiri. Agaknya daya tahannya telah mampu mengatasi rasa sakit di dalam dirinya.

Agung Sedayu mendekatinya. Dipegangnya kedua lengan Glagah Putih sambil mengguncangnya perlahan-lahan.

“Kau sudah merasa benar-benar baik?”

“Sudah Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Syukurlah. Kita masih berada di tempat yang jauh, sehingga kita masih harus menempuh perjalanan yang panjang.” Lalu katanya kemudian, “Aku akan melihat kedua orang kembar itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ketika Agung Sedayu melangkah mendekati lawan Glagah Putih itu, nampak tubuhnya terbujur diam. Di tubuhnya nampak saluran darahnya seakan-akan telah membengkak dan berwarna kebiru-biruan.

Glagah Putih pun telah melangkah mendekati lawannya itu pula. Namun meskipun sudah teratasi, tetapi dadanya kadang-kadang masih terasa sakit juga. Jika kakinya melangkah selangkah maju, perasaan sakit itu ikut menghentak di dalam dadanya.

Tetapi Glagah Putih tidak lagi mengeluh, la berusaha untuk melupakan perasaan sakit itu.

Beberapa saat kemudian, berdua mereka melihat apa yang terjadi pada lawan Agung Sedayu. Tubuh itu terbaring diam membeku. Di beberapa bagian tubuhnya nampak luka seolah-olah tersentuh bara api.

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Lawannya itu tentu orang yang memiliki daya tahan yang tinggi.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dua orang saudara kembar itu telah terbunuh di bawah sepasang pohon beringin yang sangat besar.

“Kita tidak dapat meninggalkan mereka begitu saja,” berkata Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Kita akan menimbun tubuh itu dengan bebatuan. Kita tidak mempunyai alat untuk menggali lubang.”

Glagah Putih memandang berkeliling. Di sekitarnya memang terdapat banyak bebatuan. Sementara mereka memang tidak mempunyai alat apapun untuk menggali lubang bagi kedua orang itu.

Tetapi sebelum mereka melakukannya, mereka telah melihat dua orang lagi yang berdiri termangu-mangu di tanggul parit. Ketika kemudian kedua orang itu melompati parit dan berjalan ke arah mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah mempersiapkan diri. Namun Agung Sedayu yang berdiri di sebelah Glagah Putih itu sempat bertanya kepada adik sepupunya itu, “Bagaimana keadaanmu?”

“Aku siap menghadapi segala kemungkinan, Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Apakah dadamu kadang-kadang masih terasa sakit?”

“Sedikit Kakang. Tetapi aku dapat mengatasinya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu kedua orang itu menjadi semakin dekat.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian melihat dengan jelas, bahwa kedua orang itu adalah prajurit sandi dari Pati yang pernah mereka tolong, mereka lepaskan dari tangan orang-orang padukuhan yang marah dan mengikat mereka di pendapa.

Meskipun demikian, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak mereka duga sebelumnya.

Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak melihat tanda-tanda bahwa kedua orang itu akan berniat buruk terhadap mereka.

Dalam pada itu, kedua orang itu melangkah semakin dekat. Yang tertua di antara mereka, yang kemudian berjalan di depan, mengangkat tangan kanannya sambil berkata, “Apakah kalian lupa kepada kami, Ki Sanak?”

“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “tetapi darimana kalian tahu kami di sini? Atau secara kebetulan kalian lewat?”

“Tidak. Bukan kebetulan. Ketika aku berada di pintu gerbang kota, aku mendengar bahwa kedua Iblis Kembar itu telah mendapat perintah untuk menyusul kalian, dengan janji mendapat upah yang tinggi. Sulit bagi seseorang dapat melawan kedua Iblis Kembar itu, karena kedua-keduanya memang memiliki kemampuan Iblis.”

“Kalian lalu menyusul mereka?” bertanya Agung Sedayu. Kedua orang prajurit sandi itu berdiri beberapa langkah dari Agung Sedayu. Keduanya tidak tergesa-gesa mendekat, karena mereka melihat Agung Sedayu telah bersiap untuk bertempur. Demikian pula anak muda yang diakunya sebagai adiknya itu.

“Ya. Aku menyusul mereka, karena aku yakin bahwa dua orang yang dimaksudkan sedang diburu oleh kedua Iblis Kembar itu adalah kalian berdua. Dari prajurit yang terluka, aku mendapat keterangan tentang ciri-ciri orang yang harus diburu dan ditangkap hidup atau mati oleh kedua Iblis Kembar itu.”

“Ternyata kalian benar,” jawab Agung Sedayu.

“Ya. Karena itu aku menyusuri langkah kalian. Beberapa orang sempat memberikan keterangan tentang kalian dan tentang Iblis Kembar, yang sudah banyak dikenal orang di lingkungan ini.”

“Sekarang kalian telah berhasil menyusul kami dan orang yang kau sebut Iblis Kembar itu,” berkata Agung Sedayu.

“Apakah Iblis Kembar itu telah berhasil menyusul kalian?” bertanya kedua orang itu.

“Apakah sebenarnya maksudmu menyusul kedua orang yang kau sebut Iblis Kembar itu? Membantu mereka atau apa?”

“Tidak Ki Sanak. Kami memang berniat untuk menyusul mereka. Kami ingin mencegah mereka, justru karena kami merasa berhutang budi terhadap kalian. Mungkin kedatangan kami akan berarti seandainya harus terjadi benturan kekerasan. Kami tahu rahasia kelemahan kedua iblis itu.”

“Mereka memang ada di sini sekarang,” berkata Agung Sedayu.

Keduanya termangu-mangu. Keduanya telah memandang berkeliling pula. Tetapi mereka tidak melihat dua orang yang mereka sebut Iblis Kembar itu.

“Mendekatlah,” berkata Agung Sedayu, “mereka ada di sini.”

Dengan ragu-ragu keduanya melangkah mendekat. Baru kemudian mereka melihat orang yang mereka sebut Iblis Kembar itu terbaring di tanah. Mati.

Dengan tergesa-gesa keduanya mendekati Iblis Kembar itu. Keduanya menjadi berdebar-debar melihat kedua tubuh yang membeku itu. Mereka melihat luka-luka bukan karena senjata, sehingga keduanya pun menduga bahwa kedua Iblis Kembar itu telah terbunuh oleh kekuatan ilmu yang sangat tinggi.

“Luar biasa,” berkata yang tertua dari kedua orang prajurit itu, “apakah yang kalian lakukan terhadap mereka?”

“Kami mempertahankan diri kami,” jawab Agung Sedayu, “mereka dengan curang telah menyerang kami, saat kami melepaskan mereka.”

“Apakah yang telah mereka lakukan?” bertanya prajurit sandi itu.

Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan apa yang telah terjadi atas kedua orang kembar itu.

“Jika saja mereka jujur dan tidak menyerang kami dengan licik, kami telah melepaskan mereka dengan janji,” berkata Agung Sedayu.

“Mereka memang iblis yang licik,” sahut prajurit yang muda, “keduanya tidak mengenal harga diri dan kehormatan. Mereka berbuat apa saja untuk mendapatkan upah. Menangkap dan membunuh. Kadang-kadang mereka nampak berarti jika mereka menangkap penjahat yang diburu. Tetapi pada kesempatan lain, mereka membunuh orang yang tidak bersalah sama sekali, sekedar untuk mendapatkan upah.”

“Mereka juga mengaku sebagaimana kau katakan.”

Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk. Namun yang tertua di antara mereka berkata, “Tetapi aku masih sulit membayangkan, bagaimana kalian dapat membunuh kedua Iblis Kembar itu.”

“Kau tidak perlu membayangkannya,” jawab Glagah Putih, “yang penting, bagaimana mengubur mereka berdua. Kita harus menyembunyikannya, agar tempat yang dianggap keramat ini tidak menjadi semakin dikeramatkan orang. Jika banyak orang mengetahui bahwa di sini terbunuh orang yang disebut Iblis Kembar ini, maka tempat ini akan semakin menakutkan.”

Kedua prajurit itu mengangguk-angguk. Yang muda di antara keduanya berkata, “Ya. Tempat ini memang dianggap tempat yang keramat. Kedua Iblis Kembar itu memang harus disingkirkan.”

“Nah,” berkata Agung Sedayu, “bukankah kalian datang untuk membantu kami?”

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian yang tertua menjawab, “Ya. Kami memang berniat untuk membantu kalian. Kami ingin memberitahukan kelemahan kedua iblis itu. Tetapi tanpa itu pun kalian sudah dapat membinasakannya.”

“Kami sudah mengetahui kelemahan mereka. Mereka harus dipisahkan. Semakin jauh jarak yang satu dengan yang lain, mereka menjadi semakin lemah.”

“Ya. Darimana kalian mengetahuinya?” bertanya prajurit itu.

“Kami telah bertempur beberapa lama, sehingga akhirnya kami mengetahui kelemahan mereka. Tetapi ketika kami membunuh mereka, justru mereka sedang saling berpegangan erat-erat.”

“Ternyata kalian memang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Kalian tidak usah memuji,” sahut Glagah Putih, “yang penting bagi kami, apakah kalian bersedia mengubur mereka atau tidak.”

“Baiklah,” jawab yang tertua, “kami akan melakukannya. Tetapi kami tidak membawa alat apapun untuk menggali lubang kubur. Karena itu, kami akan menimbuninya dengan bebatuan saja.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Ternyata gagasan mereka bersamaan.

Tetapi ternyata Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak ingin membebankannya kepada kedua orang prajurit itu saja. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Marilah, kita lakukan bersama-sama.”

Kedua prajurit sandi itu termangu-mangu sejenak. Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih justru telah mendekati salah satu dari kedua sosok itu sambil berkata, “Kita kuburkan di tempat yang agak jauh dari sendang ini.”

Sejenak kemudian, agak jauh dari sendang itu telah terbujur dua gundukan bebatuan menandai tubuh dua orang yang disebut Iblis Kembar ilu.

“Terima kasih atas bantuan kalian,” berkata Agung Sedayu kepada kedua orang prajurit Pati itu.

“Apa artinya bantuan yang aku berikan kepada kalian? Sekedar melemparkan bebatuan ke atas tubuh yang sudah membeku?”

“Aku semula menduga bahwa sebagai prajurit Pati kalian akan ikut menangkap kami.”

Yang tertua di antara kedua orang prajurit itu tertawa pendek. Katanya, “Aku masih mempunyai nalar dan budi. Mungkin aku bukan seorang prajurit yang baik. Demikian pula kawanku ini. Tetapi memang sulit bagiku untuk memisahkan kedudukan sebagai seorang prajurit dengan aku sebagai diriku. Jika kalian pernah menolong jiwaku, apakah aku sebagai seorang prajurit akan menangkap kalian dengan alasan apapun juga?”

Agung Sedayu mengangguk-anguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian kami minta diri. Kami akan melanjutkan perjalanan kami.”

“Silahkan Ki Sanak. Tetapi satu pertanyaanku yang sebelumnya tidak terjawab, tetapi justru baru sekarang terjawab.”

“Apa?” bertanya Agung Sedayu.

“Bukankah kalian petugas sandi dari Mataram?”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Bukan Ki Sanak. Kami bukan siapa-siapa. Kami adalah pengembara yang ingin melihat dinding cakrawala.”

Prajurit itu tertawa. Katanya, “Apapun yang kau katakan, tetapi kami sudah pasti, bahwa jawaban itu benar.”

“Terserah kepada kalian,” berkata Agung Sedayu. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi kenapa orang-orang berilmu tinggi seperti Iblis Kembar itu tidak diikut-sertakan dalam pasukan Pati ketika mereka pergi ke Prambanan?”

“Di Prambanan ada kalian. Jika mereka pergi, maka mereka sudah mati beberapa waktu yang lalu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun tertawa. Katanya, “Sudahlah. Siapapun kami, sebenarnya tidak penting bagi kalian.”

“Ada bedanya. Ki Sanak. Jika kalian bukan prajurit sandi Mataram, maka kebaikan hati kalian yang telah menolong kami tidak akan pernah kami lupakan. Bagi kami kalian adalah orang yang baik hati, berbudi luhur dan mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Sedangkan jika kalian adalah prajurit sandi Mataram yang selama ini bermusuhan dengan Pati, maka apa yang kalian lakukan tidak dapat dinilai lagi dengan takaran sekedar kebaikan hati.”

“Sudahlah. Terserah apa yang akan kalian katakan, tetapi kalian harus bersedia menjawab banyak pertanyaan karena kalian tidak dapat menangkap kami.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun yang tertua di antara mereka pun menjawab, “Tidak ada beban bagi kami, karena kami sekedar menyusul kalian. Kami dapat mengatakan bahwa ketika kami sampai di sini, kami menemukan Iblis Kembar itu sudah menjadi mayat. Bukankah jika perlu aku dapat membuktikannya? Sementara itu kalian berdua sudah hilang tanpa diketahui kemana kalian pergi. Selain alasan itu, sebenarnya tugas ini bukan tugasku. Aku menyusul kalian atas kemauanku sendiri.”

Agung Sedayu mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Sekarang kami minta diri sebelum sekelompok prajurit menyusul kami, karena agaknya mudah bagi mereka untuk melacak arah perjalanan Iblis Kembar. Jika hampir setiap orang mengenalnya, maka orang-orang yang dijumpainya di perjalanan akan dapat menunjukkan kemana ia pergi.”

“Baiklah,” berkata prajurit ilu. Bahkan kemudian prajurit itu sempat memberikan petunjuk, jalan manakah yang sebaiknya mereka lalui untuk sampai ke jalan yang lebih ramai untuk menuju ke selatan.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meninggalkan tempat itu. Mereka memilih jalan dengan berpegangan pada petunjuk kedua orang prajurit Pati itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih percaya bahwa keduanya tentu tidak berniat menjerumuskan mereka. Tentu juga dengan sengaja memberikan arah perjalanan agar keduanya tidak dapat dengan mudah disusul oleh sekelompok orang berilmu tinggi.

Sambil berjalan, Agung Sedayu selalu memperhatikan keadaan Glagah Putih. Dengan obat yang ada pada Agung Sedayu, diharapkan bahwa Glagah Putih akan menjadi lebih baik sepanjang sisa perjalanan yang mereka tempuh.

Ketika mereka merasa sudah tidak akan diburu lagi oleh para prajurit Pati, keduanya telah singgah di sebuah sungai untuk mandi dan mencuci pakaian mereka. Dengan demikian, Agung Sedayu berharap keadaan Glagah Putih akan menjadi semakin baik.

Sambil menunggu bajunya kering, Glagah Putih beristirahat di bawah sebatang pohon gayam tua yang tumbuh di pinggir sungai. Bajunya dibentangnya di atas sebuah batu yang besar di bawah panasnya sinar matahari.

Ketika baju mereka sudah menjadi kering, keadaan Glagah Putih memang menjadi semakin baik. Dadanya sudah tidak lagi terasa sakit. Luka-lukanya bahkan sudah tidak mengganggunya sama sekali.

Beberapa saat kemudian, kedua orang itu sudah siap untuk melanjutkan perjalanan.

Sementara itu, matahari pun telah menjadi semakin rendah. Agung Sedayu dan Glagah Putih yang merasa harus dan lapar itu pun telah singgah di sebuah kedai yang ada di sudut sebuah padukuhan yang terhitung besar.

Nampaknya padukuhan-padukuhan di jalur jalan yang dilaluinya itu tidak banyak terpengaruh oleh keadaan perang, sebagaimana padukuhan-padukuhan yang ada di jalur jalan yang mereka lalui ketika mereka berangkat ke Pati.

“Padukuhan-padukuhan ini rasa-rasanya tidak banyak disentuh oleh suasana perang,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Suasananya nampak tenang,” sahut Agung Sedayu, “meskipun demikian, kita harus berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun menyadari bahwa kadang-kadang permukaan yang nampak itu berbeda dengan gejolak yang terdapat di tempat yang lebih dalam.

Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun telah duduk di sudut sebuah warung yang agak luas. Mereka pun segera memesan minuman dan makan.

Di kedai itu ada beberapa orang yang telah duduk lebih dahulu pada saat Agung Sedayu dan Glagah Putih masuk. Tetapi nampaknya orang-orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Demikian pula saat mereka minum minuman hangat dan makan. Orang-orang yang sudah ada di dalam kedai itu seakan-akan tidak melihat mereka.

“Orang-orang di sini sama sekali tidak mengacuhkan orang lain,” berkata Glagah Putih hampir berbisik.

Agung Sedayu mengangguk kecil sambil berdesis, “Mereka sedang menikmati pesanan mereka masing-masing.” Glagah Putih pun mengangguk pula.

Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian tidak menghiraukan orang-orang itu pula.

Beberapa saat kemudian, keduanya pun telah selesai. Setelah membayar harga makanan dan minuman, keduanya pun segera minta diri.

Orang-orang yang lain pun sama sekali tidak menghiraukan mereka pula. Bukan karena Agung Sedayu dan Glagah Putih nampak berpakaian lusuh, tetapi mereka yang satu dengan yang lain nampaknya memang tidak saling memperhatikan.

“Mungkin orang-orang itu untuk waktu yang lama hidup dalam suasana yang lain. Mungkin mereka sudah lama saling mencurigai. Saling tidak percaya, atau sejenis pengaruh perang yang lain. Bukan pengaruh dalam ujud kewadagan, kerusakan misalnya, tetapi pengaruh jiwani yang tidak kalah parahnya dengan pengaruh kewadagan itu sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Apakah sikap orang-orang di kedai itu menggambarkan sikap ketidak-pedulian dari para penghuni padukuhan di sekitamya? Jika demikian, maka tatanan kehidupan akan berubah.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun berjalan semakin jauh ke selatan.

Ketika malam turun. Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak segera berhenti mencari tempat untuk bermalam. Tetapi mereka masih saja berjalan menyusuri jalan-jalan bulak panjang.

Baru kemudian ketika malam menjadi semakin dalam, Agung Sedayu-lah yang bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah kita akan berjalan terus atau berhenti?”

“Bagaimana menurut pendapat Kakang?” Glagah Putih justru bertanya.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah kita beristirahat barang sejenak. Kita tidak usah pergi ke padukuhan untuk minta diijinkan bermalam di banjar.”

Ternyata Glagah Putih sependapat. Ia tidak ingin menemui persoalan-persoalan yang membuatnya semakin lelah seandainya mereka bermalam di banjar adukuhan.

Karena itu, kedua orang itu pun segera mencari tempat yang mereka anggap baik untuk sekedar beristirahat.

Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun kemudian telah meniti pematang dan menuruni tanggul sungai yang tidak terlalu jauh dari jalan yang mereka lalui. Keduanya pun kemudian berhenti dan duduk bersandar bebatuan yang berserakan di tepian.

“Tidurlah,” berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih, “jika kau sempat tidur meskipun hanya sekejap, maka keadaanmu akan menjadi semakin baik. Meskipun dadamu sudah tidak terasa sakit lagi, namun istirahat akan masih kau perlukan.”

“Kakang sendiri bagaimana?” bertanya Glagah Putih.

“Jika kau sudah sempat tertidur, biarlah aku membangunkanmu menjelang fajar. Barangkali aku masih mempunyai waktu sedikit untuk tidur.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi. la memang perlu beristirahat sebaik-baiknya.

Ternyata beberapa saat kemudian, Glagah Putih yang letih itu sudah terlelap. Ia tidur sambil duduk di atas pasir tepian, bersandar sebuah batu yang cukup besar. Dinginnya embun agaknya tidak terasa lagi.

Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak tidur, tetapi ia sudah merasa cukup beristirahat dengan duduk bersandar batu sambil menyilangkan tangannya di dadanya.

Namun dalam pada itu, di dini hari Agung Sedayu mendengar, langkah beberapa orang menuruni tanggul sungai itu. Mereka menyusuri tepian beberapa puluh langkah. Namun kemudian mereka pun telah berhenti.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu masih belum melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih yang duduk bersandar batu.

“Siapa pula mereka?” bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya.

Ternyata beberapa orang yang turun di tepian itu telah duduk tidak terlalu jauh dari Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Dari pembicaraan beberapa orang itu Agung Sedayu telah mengetahui, bahwa mereka adalah sekelompok perampok yang baru kembali dari perampokan yang baru saja mereka lakukan.

Semakin lama Agung Sedayu menjadi semakin tertarik pada pembicaraan pembicaraan itu. Seorang di antara mereka agaknya sedang membagi hasil yang mereka peroleh dalam perampokan yang baru saja mereka lakukan ilu.

Jantung Agung Sedayu terasa berdetak semakin cepat ketika ia mendengar salah seorang di antara mereka dengan memelas berkata, “Kakang, aku minta uangnya saja, Kakang. Aku jangan kau beri barang-barang yang masih harus dijual lagi. Kakang, anakku sudah tidak makan dua hari ini. Yang agak besar masih dapat menahan diri dengan makan apa saja yang ada di halaman. Daun ketela pohon, melinjo dan tuntut pisang. Tetapi yang kecil selalu merengek kelaparan.”

“Diam kau!” bentak orang yang sedang membagi hasil rampokan itu. “Kau kira anakku tidak kelaparan? Kita sama-sama orang lapar. Padi kita yang hanya segenggam itu harus kita serahkan untuk mendukung perang.”

“Kau jangan minta berlebihan,” terdengar suara yang lain, “uangnya, meskipun hanya beberapa keping, harus kita bagi rata. Barang-barangnya juga harus kita bagi rata. Istriku sedang sakit. Ia ingin membeli obat sebagaimana dikatakan oleh dukun yang mengobatinya.”

Orang yang minta diberi uang saja itu terdiam.

Tetapi persoalannya masih belum selesai. Ketika mereka membagi uang, nampaknya memang tidak ada kesulitan, karena jumlahnya pasti, dibagi untuk sejumlah orang yang pasti, meskipun setiap orang hanya mendapat beberapa keping saja. Namun kemudian ketika mereka membagi barang-barang yang mereka dapat, telah timbul lagi perselisihan.

Tetapi agaknya ada seorang yang paling disegani di antara mereka. Karena itu, ketika orang itu mulai membentak, maka yang lain pun telah terdiam.

“Kalian mau mendengar aku atau tidak?” berkata orang itu dengan garangnya.

Kawan-kawannya tidak ada yang berani membantah. Mereka tinggal menerima saja sesuai dengan pemberian dari orang yang paling berpengaruh itu. Namun agaknya orang itu juga tidak ingin merampas hak kawan-kawannya. Ia mencoba untuk berbuat adil, meskipun ia menemui kesulitan untuk menilai barang-barang rampasan mereka dengan cepat.

Namun akhirnya mereka menerima pembagian itu, meskipun ada di antara mereka yang tidak terlalu puas.

“Aku tidak dapat membagi lebih adil dari ini,” berkata orang itu, “kita memang sulit untuk menentukan harga setiap barang yang berhasil kita dapat malam ini.”

Tiba-tiba seorang di antara mereka berdesis dengan suara bergetar, “Ampuni hamba, Yang Maha Agung, jika saja anakku tidak kelaparan, aku tidak akan melakukan hal ini.”

Kawannya yang bertubuh kurus membentaknya, “Jangan cengeng! Kita sudah sepakat untuk melakukannya. Bukankah kau juga tahu bahwa aku tidak pernah melakukannya sebelumnya?”

“Cukup!” bentak orang yang paling berpengaruh. “Aku tahu bahwa kalian tidak terbiasa melakukannya. Tetapi kalian berhasil kali ini. Jangan sesali apa yang sudah kalian lakukan. Aku sudah pernah melakukannya berpuluh kali.” Namun kemudian suaranya merendah, “Sudah lebih dari setahun aku menghentikan pekerjaan ini. Tetapi akhir-akhir ini kehidupan keluargaku menjadi sulit, karena hasil sawah kami tidak dapat kami nikmati sepenuhnya lagi. Tetapi aku tidak menyesal. Aku tidak menangis karenanya.”

Suasana menjadi hening. Beberapa orang yang duduk melingkar itu menundukkan kepalanya, seakan-akan mereka sedang menilai, apa yang sebenarnya baru saja terjadi atas diri mereka itu.

Tiba-tiba saja mereka terkejut ketika terdengar suara dari dalam kegelapan, “Kalian menjadi kelaparan akibat perang yang terjadi.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Dalam keremangan malam mereka melihat dua orang yang duduk di atas batu yang cukup besar di pinggir sungai itu.

“Siapakah kalian?” bertanya orang yang paling berpengaruh di antara mereka.

“Aku menjadi terharu mendengar alasan kalian masing-masing, kenapa kalian merampok. Perang itu terjadi di luar kehendak lain masing-masing. Tetapi yang terjadi itu sudah terjadi.”

“Siapa kau? Mengakulah!” bentak orang yang paling berpengaruh itu.

“Itu tidak penting,” jawab Agung Sedayu, yang telah mendekati orang-orang yang sedang membagi hasil rampokan itu.

“Jadi apa maksudmu?” bertanya orang itu pula

“Aku ikut prihatin terhadap kesulitan-kesulitan yang kalian alami.”

“Terima kasih Ki Sanak. Tetapi setelah itu? Aku yakin bahwa kalian tidak hanya sekedar ingin menyatakan keprihatinan kalian berdua saja. Tetapi kalian tentu ingin berbuat lebih jauh lagi. Nah, jika hal itu ingin kalian lakukan, lakukanlah. Kami, setidak-tidaknya aku, sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.”

“Tidak Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu, “aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku benar-benar hanya ingin menyatakan keprihatinanku terhadap keadaan yang telah mencekik kalian dan membuat keluarga kalian kelaparan. Perang memang terkutuk. Tetapi aku juga ingin menyatakan keprihatinanku terhadap orang yang telah kalian rampok habis-habisan. Bahkan mungkin telah kau sakiti.”

“Tidak,” tiba-tiba salah seorang dari mereka menjawab hampir berteriak, “kami tidak menyakiti keluarga yang telah kami rampok. Kami hanya mengambil barang-barang mereka yang paling berharga dan uang. Itu saja.”

“Ya. Itu saja,” sahut Agung Sedayu, “aku membayangkan betapa mereka akan dicekik oleh kesulitan. Keluarga itu akan menjadi kelaparan di saat kalian mendapat makanan.”

“Itu baru adil,” jawab orang yang paling berpengaruh, “selama ini, ketika kami kelaparan, mereka masih sempat menikmati kekayaan mereka. Sekarang, biarlah mereka menjadi lapar untuk satu dua hari. Keluarga itu mempunyai simpanan kekayaan yang sangat banyak. Rumahnya berjajar di beberapa padukuhan. Sawahnya terbentang dari cakrawala sampai ke cakrawala. Ternaknya bertumpuk di dalam kandang. Jika mereka kelaparan, mereka dapat menukarkan seekor lembunya dengan padi atau beras, atau mereka akan menyembelih dua ekor lembu di satu atau dua hari ini untuk pengganti beras, seandainya padi dan beras mereka sudah diambil oleh para prajurit, sedangkan masih belum ada orang yang mau menukar lembunya dengan beras.”

“Aku mengerti,” jawab Agung Sedayu, “tetapi aku juga menjadi prihatin bahwa kalian tidak lagi menghargai hak orang lain atas barang-barangnya, sehingga kalian telah mengambil dengan kekerasan.”

“Jangan bicara tentang hak dalam keadaan seperti ini.”

“Jika demikian, kau tentu akan dapat membayangkan, apa yang terjadi.”

Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Ki Sanak. Jika aku tidak melakukan ini, maka anakku yang kecil akan mati kelaparan. Esok atau lusa. Tetapi jika hal ini kami lakukan, orang yang kehilangan barang-barangnya ini tidak akan kelaparan.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Dengan nada berat ia berkata, “Ki Sanak. Aku mengerti kesulitanmu. Anakmu memang tidak boleh mati kelaparan. Tetapi kau juga tidak boleh merampas hak orang lain seperti itu. Kau harus mencari jalan, agar anakmu tidak mati kelaparan tanpa merampas milik orang lain.”

“Kalau aku dapat melakukannya, tentu sudah aku lakukan. Pada dasarnya aku bukan perampok. Tetapi aku pun tidak dapat melihat anakku mati kelaparan.”

“Ki Sanak” berkata orang yang lain, “kami memang terlalu miskin, bahkan untuk makan sehari sekalipun. Apalagi untuk membeli obat ibuku yang sakit. Aku memang memilih merampas milik orang lain daripada membiarkan ibuku mati tanpa berbuat apa-apa.”

“Tidak Ki Sanak. Kita harus saling menghormati hak seseorang, apapun alasannya. Karena itu, aku mohon kalian kembalikan barang-barang itu. Aku lihat ada dua bilah keris. Jika keris itu peninggalan orang yang dihormati oleh keluarga itu, maka mereka akan meratapi kehilangan itu sepanjang hidup mereka.”

“Meratapi kehilangan itu tidak akan membunuh mereka,” jawab orang yang paling berpengaruh di antara mereka.

“Sekali lagi aku mohon, kembalikan barang-barang itu. Mereka akan sangat berterima kasih.”

“Kau gila. Jika kami kembali ke rumah itu, maka kami akan menjadi mayat. Rumah itu sekarang tentu penuh dengan tetangga-tetangga mereka yang kemudian mengetahui bahwa telah terjadi perampokan itu. Ketika kami melarikan diri menjauh, kami masih mendengar kentongan dengan irama lima pukulan ganda berturut-turut. Orang sepadukuhan tentu segera berkumpul.”

“Jika demikian, besok pagi kalian harus membawa dan mengembalikan barang-barang itu. Biarlah aku menyertai kalian. Aku akan menyampaikan kepada pemilik barang-barang itu permohonan kalian, agar uang yang telah terlanjur ada di tangan kalian tidak dipertanyakan lagi.”

Orang-orang yang baru saja merampok itu termangu-mangu. Namun orang yang paling berpengaruh itu berkata lantang, “Tidak mungkin Ki Sanak. Yang sudah kami miliki akan menjadi hak kami.”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Sanak. Aku mohon semua harus kalian kembalikan, kecuali uangnya. Itu pun kalian harus memberitahukan dan minta kerelaan mereka yang memiliki uang itu.”

“Kau memang aneh Ki Sanak,” berkata orang yang paling berpengaruh di antara mereka, “sudahlah. Pergi sajalah. Kau tidak usah mencampuri urusanku.”

“Jika kali ini kalian berhasil, maka kalian tentu akan melakukannya lagi dan lagi. Itu akan sangat berbahaya bagi jiwa kalian. Keberhasilan kali ini akan menjadi racun bagi jalan kehidupan kalian berikutnya.”

“Sudahlah Ki Sanak,” berkata orang yang paling berpengaruh itu, “jangan terlalu banyak sesorah. Pergilah. Biarlah kami menentukan jalan hidup kami.”

“Sekali lagi aku beritahukan, serahkan kembali barang-barang itu, atau aku akan merampasnya dan mengembalikannya.”

Orang yang paling berpengaruh itu berkata, “Ki Sanak. Sudah setahun lebih aku tidak lagi melakukan pekerjaan seperti ini. Sudah setahun lebih pula aku tidak bertengkar dan tidak berkelahi. Tetapi jika kalian memaksa, aku masih mampu untuk menghadapi kalian berdua.”

“Tidak, Ki Sanak, kau tidak akan mampu menghadapi kami berdua,” jawab Agung Sedayu.

“Jika kalian ingin mencoba, bersiaplah kalian berdua,” berkata orang itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Baiklah. Kita berdua akan berkelahi. Jika aku menang, maka besok pagi kalian semuanya akan mengembalikan barang-barang itu. Sudah tentu tidak semata-mata, agar tidak menimbulkan persoalan di sepanjang jalan. Tetapi jika kau menang, maka aku akan membiarkan kalian berbuat sesuka hati kalian.”

Orang itu merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Kau sendiri atau berdua?”

“Aku sendiri,” jawab Agung Sedayu.

“Aku ingin kalian berdua bersama-sama.”

“Biarlah kita bersikap adil.”

“Baiklah, jika itu yang kau kehendaki.”

Agung Sedayu pun segera bersiap. Sementara itu orang yang paling berpengaruh di antara mereka yang telah merampok itu pun telah bersiap pula.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu tidak ingin menyakiti orang itu. Tidak pula ingin terjadi benturan kekerasan yang lebih luas lagi dengan orang-orang yang terlibat dalam perampokan itu, karena sebenarnyalah mereka melakukan hal itu karena tekanan yang sulit mereka hindarkan.

Namun justru karena itu, Agung Sedayu pun segera mengetrapkan ilmu kebalnya.

Karena itulah, ketika mereka mulai berkelahi, Agung Sedayu hampir tidak berbuat apa-apa sama sekali. Ia membiarkan lawannya menyerangnya dan memukulnya dengan sekuat tenaga.

Orang yang paling berpengaruh di antara kawan-kawannya itu menjadi sangat heran. Beberapa kali ia menyerang. Tetapi lawannya itu sama sekali tidak beringsut. Tidak pula membalas.

Orang yang paling berpengaruh itu mulai merasa tersinggung. Ia memiliki pengalaman yang luas meskipun kemudian segalanya telah dihentikannya. Tetapi pada saat ia mulai lagi, di hadapan orang-orang yang dianggap baru, ia sudah dihinakan orang. Tanpa membalas, orang itu ingin mengalahkannya.

Karena itu, maka orang itu pun kemudian menarik goloknya sambil berkata, “Aku akan mempergunakan senjata. Pergunakan senjatamu agar kau tidak mati sia-sia.”

“Aku tidak membawa senjata, Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu.

Tiba-tiba saja orang itu berteriak kepada kawan-kawannya, “Beri orang itu senjata. Jika orang itu mati, maka aku tidak akan dikatakan licik.”

Tetapi dengan cepat Agung Sedayu menyahut, “Aku tidak memerlukan senjata. Meskipun kalian bersama-sama bertempur melawanku dengan senjata kalian, kalian tidak akan dapat mengalahkan aku.”

Orang-orang itu menjadi tegang. Kepada orang yang paling berpengaruh itu iapun berkata, “Lakukan apa yang ingin kau lakukan atasku.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Sejak semula ia sudah menjadi berdebar-debar dan gelisah bahwa serangannya sama sekali tidak menggetarkannya. Bahkan menggelitik pun tidak.

Sekali lagi Agung Sedayu berkata, “Lakukan apa yang akan kau lakukan.”

“Kenapa kau tidak membalas?” bertanya orang itu.

“Jika aku membalas, maka akan dapat terjadi kematian di tepian ini. Sedangkan aku sama sekali tidak menghendakinya.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diletakkannya goloknya sambil berkata, “Ampun Ki Sanak. Siapakah sebenarnya Ki Sanak ini?”

“Aku bukan siapa-siapa. Secara kebetulan kita bertemu di sini. Kalian datang pada saat kami beristirahat.”

“Kami menyerahkan nasib kami kepada Ki Sanak,” berkata orang itu.

“Kemasi kembali barang-barang itu. Besok kita kembalikan kepada pemiliknya.”

“Tetapi sebelum kami sampai ke rumahnya, kami sudah ditangkap beramai-ramai. Mungkin kami akan mati dibunuh oleh banyak orang itu.”

“Salah seorang akan datang lebih dahulu menemui pemilik barang-barang itu bersamaku. Biarlah adikku tinggal di sini. Kita akan menyampaikan niat kita. Kita minta agar orang itu tidak berbuat sesuatu atas kita. Maksudku, seorang dari kalian dan aku.”

Orang itu mengangguk.

“Biarlah aku yang akan pergi bersamamu Ki Sanak,” berkata orang yang paling berpengaruh itu.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kita masih mempunyai sedikit waktu untuk beristirahat.”

Demikianlah, ketika fajar menyingsing, Agung Sedayu dan orang yang paling berpengaruh di antara para perampok itu segera bersiap-siap. Mereka mencuci muka, membersihkan tubuh mereka dan membenahi pakaian mereka.

Dengan jantung yang berdebar-debar, orang yang paling berpengaruh di antara para perampok itu bersama Agung Sedayu telah pergi ke rumah yang telah dirampok semalam.

Ternyata perjalanan mereka cukup jauh. Ketika matahari sepenggalah, barulah mereka mendekati rumah itu.

“Jangan takut,” berkata Agung Sedayu, “tidak ada yang tahu bahwa kau semalam telah merampok rumah itu.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun demikian, tubuhnya telah menjadi gemetar.

Ketika mereka sampai ke halaman rumah yang telah dirampoknya itu, kelihatan bahwa rumah itu telah menjadi sepi.

“Rumah ini yang semalam telah kami rampok,” berkata orang itu.

“Baiklah. Marilah kita masuk,” desis Agung Sedayu. Meskipun dengan ragu-ragu, tetapi orang itu telah mengikuti

Agung Sedayu memasuki halaman rumah yang besar itu. “Orang ini memang kaya,” Agung Sedayu berdesis.

“Seorang saudagar ternak. Tetapi juga saudagar emas dan permata. Sawahnya terbentang luas di bulak sebelah-menyebelah padukuhan ini. Istrinya menguasai perdagangan gula kelapa di pasar sebelah. Para pedagang gula menyerahkan dagangannya kepada perempuan itu. Perempuan itulah satu-satunya orang yang kemudian berjualan gula di pasar itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau banyak mengetahui tentang saudagar kaya itu.”

“Kebetulan saudaraku ada yang bekerja kepadanya. Tetapi beberapa bulan yang lalu, saudaraku itu telah dipecat.”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku tidak tahu. Tetapi justru pada saat istrinya sedang sakit keras.”

“Saudaramu itu telah menjadi sakit hati, dan minta agar kau melakukan perampokan itu?”

“Tidak. Ia tidak tahu menahu apa yang aku lakukan. Dalam kekecewaannya, saudaraku itu telah menceritakan banyak hal tentang rumah itu. Aku-lah yang memancing dengan pertanyaan-pertanyaan. Tetapi ia tidak tahu, untuk apa aku banyak bertanya tentang orang kaya itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Demikianlah, kedua orang itu pun telah memasuki halaman rumah yang luas itu menuju ke seketheng.

Perlahan-lahan mereka mengetuk pintu seketheng. Namun tidak seorang pun yang datang untuk membuka pintu.

“Darimana kau tadi malam masuk?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku mengetuk pintu pringgitan,” jawab orang itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak ingin mengetuk pintu pringgitan. Karena itu, Agung Sedayu telah mengetuk pintu itu semakin keras.

Agaknya salah seorang pembantu rumah itu-lah yang kemudian mendengar ketukan pintu itu. Tetapi nampaknya orang itu masih dibayangi ketakutan setelah semalam rumah itu telah dirampok orang.

Karena itu, maka orang itu tidak sendiri pergi ke pintu seketheng. Demikian pintu itu terbuka, Agung Sedayu yang berdiri di paling depan telah mengangguk hormat.

“Siapa yang kau cari Ki Sanak?”

“Aku ingin menemui pemilik rumah ini Ki Sanak.” jawab Agung Sedayu.

“Kau siapa?” bertanya pembantu itu.

“Namaku Truna, Ki Sanak. Kami datang dari Pati, Ki Sanak. Kami adalah pengembara. Di tepian sebuah sungai, kami menemukan seonggok barang-barang yang ditinggalkan orang. Kami mengumpulkan barang-barang itu. Ternyata kami mendengar bahwa rumah ini semalam telah dirampok orang. Mungkin barang-barang itu adalah barang-barang pemilik rumah ini yang dibawa oleh para perampok dan ditinggalkan begitu saja di pinggir kali.”

“Rumah ini semalam memang telah dirampok orang,” jawab pembantu rumah itu.

“Jika demikian, aku mohon bertemu dengan pemilik rumah ini. Aku ingin berbicara tentang barang-barang yang kami temukan itu.”

Pembantu rumah itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kau tunggu saja di sini.”

“Baiklah,” jawab Agung Sedayu, “kami akan menunggu di sini.”

Ternyata pembantu itu menjadi sangat berhati-hati. Ketika mereka meninggalkan pintu seketheng, pintu itu telah ditutup lagi dan bahkan telah diselarak.

Agung Sedayu dan orang yang datang bersamanya ilu ternyata dapat mengerti, kenapa pembantu rumah itu menjadi sangat berhati-hati. Mereka tidak mau mengalami perampokan sekali lagi sebagaimana terjadi semalam.

Beberapa saat kemudian, selarak pintu seketheng itu telah terbuka lagi. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap, berkumis tebal berdiri di pintu seketheng. Di belakangnya berdiri tiga orang yang berwajah garang. Nampaknya pagi itu pemilik rumah itu telah memanggil beberapa orang berilmu tinggi untuk melindunginya.

“Apakah benar kau menemukan barang-barangku yang semalam dirampok orang?” bertanya orang yang bertubuh tinggi tegap itu.

“Kami tidak tahu pasti. Kami hanya menemukan beberapa macam barang, antara lain dua buah keris bersama wrangkanya. Sementara itu kami mendengar bahwa rumah ini baru saja mengalami perampokan. Karena itu, kami datang untuk memberitahukannya. Seandainya barang-barang itu milik Ki Sanak.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Aku ingin melihat barang-barang itu.”

“Marilah. Adikku sekarang menunggui barang-barang itu.”

Pemilik rumah itu pun kemudian berkata, “Tunggu. Aku berpakaian dulu.”

Ternyata Agung Sedayu dan orang yang semalam merampok rumah itu tidak dipersilahkan duduk.

Sementara pemilik rumah itu membenahi pakaiannya, Agung Sedayu berkata kepada orang itu, “Pergilah dahulu. Beri tahu kawan-kawanmu agar menyingkir. Biar adikku saja yang tinggal menunggui barang-barang itu.”

Orang itu mengangguk. Dengan cepat ia berjalan mendahului pemilik rumah itu pergi ke tepian.

“Kemana kawanmu itu?” bertanya salah seorang pengawal pemilik rumah itu.

“Aku minta ia mendahului kita. Barang-barang itu tidak boleh ditinggalkan terlalu lama, sementara hanya adikku saja-lah yang menungguinya.”

Orang itu mengangguk-angguk. Nampaknya memang ada sesuatu yang membuatnya ragu. Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu.

Diantar Agung Sedayu, pemilik rumah itu bersama dengan para pengiringnya berjalan tergesa-gesa menuju ke tepian.

Pemilik rumah itu mulai menjadi ragu ketika iring-iringan kecil itu sudah menempuh jalan yang panjang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kemana kami akan kau bawa?”

“Ke tepian,” jawab Agung Sedayu, “memang agak jauh.”

“Apakah kau tidak berbohong?” bertanya orang yang telah dirampok itu.

“Tidak. Nanti Ki Sanak akan mengetahuinya.”

Tetapi orang yang semalam dirampok itu tidak menjadi cemas seandainya orang-orang yang mengajaknya itu berbohong kepadanya. Tiga orang berilmu tinggi telah diupahnya untuk menjadi pengawalnya. Jika ajakan itu satu jebakan, maka berempat dengan para pengawalnya itu ia akan dapat menghancurkannya.

“Semalam aku sendiri berhadapan dengan perampok yang jumlahnya terlalu banyak untuk dilawan,” katanya di dalam hati, “tetapi sekarang aku tidak sendiri Seandainya sekelompok perampok yang semalam hendak menjebakku, maka aku bersama orang-orang yang aku upah itu justru akan dapat menangkap mereka.”

Demikianlah, iring-iringan itu pun kemudian telah mendekati tepian tempat barang-barang hasil rampokan itu dikumpulkan.

“Kita akan meniti pematang menuju ke tepian,” berkata Agung Sedayu.

Orang yang semalam dirampok dan tiga orang pengawalnya mengikuti Agung Sedayu di belakangnya.

Melihat sikap Agung Sedayu yang sama sekali tidak ragu-ragu, membuat orang yang semalam dirampok itu tidak mencurigainya. Meskipun demikian, orang itu tetap berhati-hati.

Sejenak kemudian mereka telah berada di atas tanggul. Dengan hati-hati mereka turun ke tepian. Mereka pun segera melihat dua orang yang menunggu kedatangan mereka di tepian itu.

“Anak muda itu adalah adikku,” berkata Agung Sedayu.

Pemilik barang-barang yang telah dirampok itu termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak melihat orang lain lagi kecuali dua orang itu.

Ketika orang itu melangkah mendekati Glagah Putih dan orang yang paling berpengaruh di antara kawan-kawannya yang telah merampok itu, pemilik barang-barang yang telah dirampok itu telah melihat seonggok barang di dekat sebuah batu yang besar.

Agung Sedayu yang membawanya ke tempat itu segera bertanya, “Apakah barang-barang itu milikmu?”

“Aku akan melihatnya,” jawab orang itu.

Orang yang semalam dirampok itu pun kemudian memperhatikan barang-barang yang diletakkan di atas pasir tepian itu.

“Ya. Barang-barang ini milikku,” jawab orang itu.

“Jika demikian, ambillah,” berkata Agung Sedayu.

Orang itu memang menjadi heran, sementara Agung Sedayu menjelaskan, “Mereka menyesal, kenapa mereka harus merampok. Sebenarnya mereka termasuk orang baik-baik. Tetapi karena keadaan, mereka tidak mempunyai pilihan. Seorang anaknya telah kelaparan. Seorang lainnya, ibunya memerlukan untuk berobat.”

Sambil mengamati barang-barangnya orang itu berkata, “Seseorang dapat membuat alasan apapun juga untuk membenarkan perbuatannya yang jelas salah dan melanggar paugeran.”

“Ya.”

“Apapun alasannya, seseorang tidak boleh melanggar paugeran,” berkata orang yang sedang melihat barang-barang itu.

“Nah, apa benar barang-barang itu milikmu?” berkata Agung Sedayu.

“Ya. Semuanya memang milikku,” jawab orang itu.

Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Jika demikian, ambillah. Bawalah barang-barang itu, karena Ki Sanak memang berhak atas barang-barang itu.”

“Masih ada yang belum aku ketemukan di sini,” berkata orang itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia bertanya, “Apa?”

“Uang,” jawab orang itu, “para perampok itu telah membawa uangku pula.”

“Relakan uang itu,” berkata Agung Sedayu, “tetapi barang-barangmu yang lain telah kembali.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dua buah keris lengkap dengan wrangkanya telah kembali padanya. Keris itu memang keris yang dianggapnya bertuah. Kemudian beberapa perhiasan emas dan permata. Pakaian, sebagian masih baru, dan beberapa jenis barang yang lain.

Ketiga orang upahannya itu menjadi heran, bahwa ada orang yang dengan jujur mengembalikan barang-barang itu. Seandainya mereka menemukan barang-barang seperti itu di tepian, maka ia tidak akan mengatakannya kepada siapapun juga. Barang-barang itu akan dimilikinya sendiri.

Namun pemilik barang-barang itu justru berkata, “Aku harus mendapatkan uangku kembali.”

Agung Sedayu, orang yang berpengaruh di antara para perampok itu serta Glagah Putih, termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu Agung Sedayu berkata, “Apakah uang yang hilang itu nilainya lebih besar dari barang-barang yang telah kau temukan kembali ini?”

“Memang tidak. Tetapi itu tetap hakku.”

“Kau benar Ki Sanak. Tetapi yang kami ketemukan di sini hanyalah barang-barang itu.”

“Aku menuntut uangku itu kembali.”

“Kepada siapakah kau akan menuntut?”

“Karena kau yang telah menemukan barang-barangku ini, maka kau juga bertanggung jawab atas uangku yang telah dirampok itu,” berkata orang itu pula. Bahkan katanya kemudian, “Aku curiga bahwa kalian adalah tiga orang di antara para perampok itu.”

“Bukankah kau dapat mengenali wajahku, jika aku telah merampok rumah Ki Sanak?” berkata Agung Sedayu.

Orang itu termangu-mangu. Sementara itu, orang yang semalam benar-benar merampok rumah orang kaya itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia yakin bahwa orang itu tidak dapat mengenalinya, karena orang itu menutupi wajahnya dengan ikat kepalanya.

Sebenarnyalah orang yang telah dirampok semalam itu menjawab, “Kalian tentu tidak terlalu bodoh untuk membiarkan wajah kalian dikenali. Kalian telah menutup wajah kalian dengan ikat kepala kalian.”

“Jika demikian, amati ikat kepala kami,” sahut Agung Sedayu.

“Kalian tentu tidak hanya mempunyai satu ikat kepala,” jawab orang itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika orang itu tetap berkeras menuduhnya, maka ia akan mengalami kesulitan.

Sementara itu, orang yang semalam telah dirampok itu pun berkata, “Aku memang mencurigaimu. Kau mengatakan bahwa kau temukan barang-barang ini di tepian. Tetapi kau dapat mengatakan bawah para perampok ini menyesali perbuatannya. Mereka terdorong melakukan perampokan karena anaknya kelaparan, orang tuanya sakit atau alasan apapun juga.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Agaknya lidahnya telah salah ucap. Namun kemudian ia menjawab, “Ki Sanak. Tentu tidak tepat sebagaimana aku katakan. Aku menduga bahwa para perampok itu telah menyesal. Jika tidak, kenapa barang-barang ini di tinggalkan begitu saja? Jika uang yang ikut dirampok itu tidak ada di antara barang-barangmu, mungkin karena mereka sangat membutuhkan, karena itu relakan saja.”

“Aku menuntut semua yang diambil dari rumahku dapat kembali kepadaku,” berkata orang itu.

“Kau tentu dapat membayangkan, seandainya kami yang telah merampok Ki Sanak, buat apa kami datang kepada Ki Sanak untuk mengembalikan hasil rampokan? Jika penyesalan itu datang, maka yang dilakukan adalah pergi dan meninggalkan hasil rampokan ini.”

“Tidak. Kalian sama sekali tidak menyesal. Tetapi kalian merasa bahwa kalian akan menemui kesulitan untuk menjual atau memiliki barang-barang itu.”

Agung Sedayu benar-benar menjadi kebingungan. Orang yang semalam telah merampok barang-barang itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Ketika Agung Sedayu sempat berpaling kepadanya, mata orang itu seakan-akan telah menyalahkannya.

Tetapi yang tidak terduga adalah, salah seorang dari ketiga orang pengawal orang kaya itu berkata, “Sudahlah Ki Manca, bukankah Ki Manca seharusnya berterima kasih kepada orang-orang yang sudah dengan suka rela mengembalikan barang-barang Ki Manca itu? Apakah ia yang telah merampok Ki Manca atau bukan, tetapi bukankah dengan demikian sebagian besar harta kekayaan Ki Manca yang dirampok sudah kembali?”

Wajah Ki Manca menjadi tegang. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Soalnya bukan sekedar harta benda itu saja. Tetapi mereka telah menghina aku dan merendahkan derajadku. Mereka telah membuat istri dan anak-anakku ketakutan, sehingga mereka selalu dibayangi oleh kengerian.”

“Tetapi apa yang mereka lakukan itu merupakan tindakan yang langka kita jumpai. Betapapun sulitnya mereka menjual barang-barang itu, ataupun tidak akan tenang untuk memilikinya, namun mereka akan dapat menyembunyikannya dan menjualnya pada satu kesempatan. Seandainya tidak, sedangkan barang-barang itu tetap dalam prsembunyian, maka kau juga tetap kehilangan. Tetapi sekarang barang-barang yang berharga itu sudah kembali ke tanganmu. Kau telah mendapatkan kekayaanmu kembali. Apalagi?”

“Cukup!” bentak orang kaya itu, “aku sudah mengupahmu. Nah, kau harus menepati perjanjian kita. Atau kau takut terhadap ketiga orang di antara sekelompok perang yang semalam datang ke rumahku itu?”

“Ki Manca, Kau selalu menilai apapun dengan uang. Kau selalu menganggap bahwa dengan uang kau dapat berbuat apa saja.”

“Lalu apa maumu? Menaikkan upahmu?”

“Tidak,” jawab orang itu, “karena aku sudah kau upah, maka aku akan menurut perintahmu. Menangkap atau membunuh ketiga orang itu, atau apa? Tetapi dengar, Ki Manca. Setelah barang-barang itu nanti kembali kepadamu, aku akan merampokmu dan membawa barang-barang itu. Aku tidak berkeluarga. Tidak mempunyai anak dan tidak pula istri dan saudara. Aku dapat melarikan diri kemana saja.”

Wajah orang itu menjadi merah. Kemudian sambil berpaling kepada kedua orang upahannya yang lain, ia berkata lantang, “Aku berharap kau dapat menyelesaikan persoalan ini. Aku akan membayar upahmu lebih tinggi.”

Tetapi salah seorang dari keduanya menjawab, “Saudara tertua kami akan menentukan, apa yang harus kami lakukan, Jika ia ingin merampok harta benda itu, maka kami akan melakukannya. Senang sekali memiliki harta benda sebanyak itu.”

Orang itu benar-benar menjadi bingung. Ternyata bahwa orang-orang yang telah diupahnya itu tidak mau melakukan perintahnya, bahkan seandainya upahnya dinaikkan sekalipun.

Sementara itu, orang yang diupahnya, yang pertama kali menolak perintahnya itu berkata, “Renungkan, Ki Manca. Jika orang-orang miskin itu masih menghargai kejujuran lebih tinggi dari harta bendamu, bagaimana dengan kau Ki Manca?”

Ki Manca itu pun termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Agung Sedayu, orang yang benar-benar telah merampok rumahnya, dan Glagah Putih yang masih muda itu. Kemudian dipandanginya ketiga orang pengawalnya itu sambil berkata, “Beruntunglah kalian, karena orang-orang yang telah aku upah tidak mau melakukan perintahku untuk memaksa kalian menunjukkan dimana uangku itu kalian sembunyikan. Ini satu penyelesaian yang sangat tidak baik bagi semua pihak. Apapun alasannya, setiap kejahatan harus dihukum Persoalannya bukan terletak pada kemiskinan dan kekayaan. Tetapi seseorang yang telah bersalah, harus dihukum.”

“Aku setuju Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “jika Ki Sanak menemukan orang yang telah mengambil barang-barang itu dengan paksa di rumahmu, orang itu memang harus dihukum. Tetapi kau tidak dapat menuduh orang yang tidak pernah melakukan kesalahan itu.”

“Persetan dengan kau. Pada suatu saat kau akan menyesal.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Agaknya memang tidak ada gunanya ia berselisih dengan orang yang memiliki harta benda yang nilainya sangat tinggi itu.

Kepada salah seorang di antara ketiga orang upahannya orang itu berkata, “Pulanglah. Ambil pedati. Jangan ribut, agar tidak setiap orang keluar dari rumahnya untuk menonton barang-barangku yang akan aku bawa pulang itu.”

Orang itu tidak menjawab. Iapun kemudian melangkah meninggalkan tepian untuk mengambil pedati di rumah orang yang semalam telah dirampok itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun berkata, “Ki Sanak. Kami telah mengembalikan barang-barang Ki Sanak, kecuali uang. Karena itu, maka kami mohon diri.”

“Persetan dengan kalian,” geram orang itu, “tetapi jika kalian ingin mencoba sekali lagi merampok rumahku, maka kepala kalian akan kami penggal.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar-benar telah membuat jantungku berdebaran. Sudah berkali-kali aku katakan, aku tidak merampok rumahmu.”

“Siapa yang akan percaya kepada mulutmu?” bentak orang itu.

Sementara itu, salah seorang dari orang upahan Ki Manca itu berkata, “Aku percaya Ki Sanak, Kau bukan orang yang telah merampok rumah Ki Manca.”

“Diam kau!” bentak Ki Manca, “aku mengupahmu tidak untuk turut memfitnah aku.”

“Aku berkata sesuai dengan nuraniku.”

“Cukup! Mulai besok, kalian bertiga tidak lagi aku perlukan. Aku akan mengupah orang yang lebih mengerti tentang kewajibannya daripada menerima upahnya.”

“Terima kasih. Ki Manca, bahwa sejak besok aku tidak lagi harus melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan nuraniku,” jawab orang itu. Meskipun demikian orang itu pun berkata, “Tetapi aku akan menyelesaikan tugasku hari ini.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata tidak semua orang yang mendapat upah karena jasa kemampuannya selalu orang-orang yang berlatar belakang kehidupan yang jahat. Ternyata orang-orang upahan Ki Manca itu memiliki nilai kemapanan jiwani yang tinggi. Mereka tidak asal saja melakukan pekerjaan apapun juga asal mendapatkan upah yang cukup.

Namun dalam pada itu, Ki Manca itu masih saja berkata kasar, “Nah, kalian para perampok, berbahagialah kalian, karena masih ada orang yang melindungi kalian. Tetapi pada kesempatan lain, jika aku menemukan kalian, maka kalian akan menyesali tingkah laku kalian.”

Ternyata Glagah Putih-lah yang tidak tahan lagi. Karena itu, setelah ia menahan diri beberapa lama, meledaklah isi dadanya, “Ki Manca. Aku peringatkan, jangan terus-menerus menuduh bahwa kami telah merampokmu semalam. Tuduhan itu sangat menyakitkan hati. Kami dapat menahan diri untuk beberapa lama. Tetapi pada suatu saat kesabaran kami akan sampai ke batas.”

Telinga Ki Manca menjadi merah mendengar kata-kata Glagah Putih itu. Dengan lantang iapun berkata, “He, kau mau apa anak jahanam? Kalau kesabaranmu habis, lalu kau mau apa? Kau yang masih begitu muda sudah pula berani merampok. Apalagi besok jika umurmu sudah setua perampok dan penipu ulung ini.”

Dada Glagah Putih ternyata tidak dapat dikekang lagi. Sebelum jantungnya sendiri meledak, maka tiba-tiba saja Glagah Putih itu berdiri tegak menghadap ke arah barang-barang berharga yang teronggok di tepian itu.

“Glagah Putih, jangan,” cegah Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu terlambat. Glagah Putih telah menghentakkan tangannya menghadap ke arah barang-barang berharga itu.

Seleret sinar memancar dari telapak tangannya, meluncur deras dengan kecepatan yang sangat tinggi, Sinar itu pun dengan cepatnya menyambar pasir tepian, sejengkal dari setumpuk barang-barang berharga itu.

Sebuah ledakan telah terjadi. Semua orang yang berdiri di sekitar benda-benda berharga itu terkejut. Bahkan Ki Manca yang berdiri di paling dekat telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling di tepian berpasir.

Sementara itu, harta benda yang harganya seakan-akan tidak terhitung itu telah berhamburan berserakan di tepian.

Semua orang yang berada di tepian itu terkejut. Orang yang semalam telah merampok rumah Ki Manca itu menjadi gemetar. Sementara itu Ki Manca sendiri dengan susah payah berusaha untuk bangkit berdiri.

Tetapi seperti orang yang merampok rumahnya itu, iapun menjadi gemetar.

Glagah Putih yang marah itu kemudian berkata, “Ki Manca. Jika kau masih menuduh kami merampok rumahmu, maka berikutnya aku akan mengarahkan ilmuku ke kepalamu. Aku ingin melihat kepalamu yang penuh dengan kedengkian dan ketamakan itu meledak.”

“Tidak. Tidak Ki Sanak,” Ki Manca benar-benar menjadi ketakutan, “aku tidak akan menuduhmu lagi.”

“Sekali lagi aku ingin menjelaskan kepadamu, bahwa aku tidak berkepentingan dengan barang-barangmu. Jika aku ingin merampok, aku dapat merampok bangsal perbendaharaan Kadipaten Pati, atau Pajang atau bahkan istana Panembahan Senapati di Mataram. Buat apa aku merampok sejumput harta bendamu yang tidak berharga itu.”

“Aku mohon maaf Ki Sanak. Aku minta ampun.”

“Sekarang, kumpulkan barang-barangmu yang berserakan itu, atau aku akan menghamburkannya sekali lagi.”

Ki Manca itu benar-benar menjadi ketakutan. Iapun kemudian telah memungut barang-barangnya yang berserakan. Kepada kedua orang yang diupahnya itu ia berkata, “Tolong, kumpulkan barang-barangku.”

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata mereka tidak menolak, membantu Ki Manca mengumpulkan barang-barangnya yang berhamburan.

“Ternyata kalian benar,” berkata Ki Manca kepada kedua pengawalnya.

Sambil merangkak di tepian untuk mengumpulkan barang-barang yang berserakan itu, salah seorang pengawalnya berkata, “Satu pengalaman yang menarik bagi Ki Manca.”

“Ya, ya,” sahut Ki Manca dengan suara bergetar.

Yang kemudian menjadi perhatian Ki Manca pertama-tama adalah dua kerisnya. Hatinya menjadi sedikit tenang bahwa kedua keris yang diangapnya bertuah itu telah diketemukan.

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu sambil mengusap dadanya. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan Glagah Putih yang muda itu. Nampaknya darahnya cepat menggelegak setelah beberapa hari anak muda itu menempuh perjalanan yang menegangkan. Perasaan letih dan gelisah membuat Glagah Putih menjadi cepat marah.

Beberapa saat Agung Sedayu Glagah Putih dan orang yang benar-benar merampok rumah Ki Manca itu menunggui Ki Manca dan kedua orang upahnya mengumpulkan harta bendanya. Ki Manca tidak mempersoalkan lagi, apakah harta bendanya itu dapat dikumpulkannya seluruhnya. Namun menurut penglihatan Agung Sedayu dan Glagah Putih, setidak-tidaknya sebagian besar dari harta benda itu dapat dikumpulkannya kembali.

“Sekarang, kami akan pergi,” berkata Glagah Putih, “mudah-mudahan rumahmu tidak akan dirampok lagi.”

Ki Manca termangu-mangu sejenak. Dengan suaranya yang masih gemetar ia berkata, “Aku mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Aku mohon maaf atas keterlanjuranku.”

Glagah Putih tidak menghiraukannya. Tetapi iapun kemudian berkata kepada Agung Sedayu, “Marilah Kakang. Kita tinggalkan tempat ini sebelum aku benar-benar kehilangan kendali. Aku muak melihat wajah orang itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kita akan meneruskan perjalanan kita.”

Agung Sedayu pun kemudian memberi isyarat kepada orang yang semalam merampok di rumah Ki Manca, agar iapun mengikuti pula pergi meninggalkan tempat itu.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih melangkah pergi, maka berlari-lari kecil orang yang telah merampok rumah Ki Manca itu mengikuti mereka. Orang itu menjadi semakin kagum terhadap kedua orang yang tidak dikenalnya itu. Ketika ia berselisih dengan orang-orang itu, ia sudah mengaguminya. Serangan-serangannya sama sekali tidak menyakiti orang itu. Tanpa membalas sama sekali, orang itu sudah mengalahkannya. Kemudian baru saja ia melihat seorang yang lain, yang masih muda itu, telah menghamburkan benda-benda berharga milik Ki Manca itu tanpa menyentuhnya.

“Untunglah bukan kepala Ki Manca yang telah diserang dengan ilmunya yang mengerikan itu.”

Ketika mereka sudah berada di atas tanggul, mereka melihat sebuah pedati yang merangkak di kejauhan melalui jalan bulak yang panjang.

“Pulanglah,” berkata Agung Sedayu, “sebenarnya aku ingin kalian memiliki uang itu atas dasar keikhlasan pemiliknya. Tetapi yang terjadi justru berbeda. Tetapi biarlah. Aku kira kalian dapat mempergunakan uang itu. Tetapi ingat, yang kau lakukan ini adalah yang terakhir. Apapun alasannya, merampas milik orang lain dengan kekerasan itu tetap merupakan kesalahan.”

Orang itu mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Sanak. Kami telah menjadi sangat bingung karena tekanan kesulitan yang rasa-rasanya sudah tidak teratasi.”

“Tetapi ingat. Cara yang kau tempuh semalam merupakan kesalahan yang besar,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku berjanji Ki Sanak. Aku tidak akan melakukannya lagi. Sebenarnya telah agak lama aku hentikan kegiatan itu. Tetapi ketika kami, beberapa orang yang tertekan oleh beban kehidupan, berkumpul dan saling mengeluh, maka niat buruk itu tiba-tiba telah muncul kembali.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Lakukan kerja yang lain, yang pantas kalian lakukan. Kalian masih kuat untuk bekerja keras.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah, Ki Sanak. Aku akan mengingat pesanmu.”

“Sekarang pulanglah. Dimana kau tinggal?”

“Jika Ki Sanak tidak berkeberatan, aku mohon singgah barang sebentar di rumahku. Aku akan mempunyai kebanggaan tersendiri, jika Ki Sanak berdua sudi menginjakkan kaki di halaman rumahku. Meskipun rumahku jelek dan di rumah aku sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, tetapi aku akan dapat menyuguhkan beberapa buah kelapa muda bagi Ki Sanak.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak menolak. Mereka mengikuti orang itu menuju ke pedukuhannya yang memang agak jauh.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di rumah orang itu, mereka melihat betapa sulitnya kehidupan orang itu. Sekotak sawah yang digarapnya, tidak mampu menjadi tumpuan hidup mereka sekeluarga, karena sebagian dari hasilnya harus diserahkan sebagai persembahan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang duduk di serambi rumah orang itu sempat minum air kelapa muda. Sementara itu, Agung Sedayu berdesis, “Akibat perang memang sangat luas.”

Glagah Putih mengangguk-angguk katanya, “Tetapi perang itu tidak pernah berhenti. Seakan-akan perang memang menjadi hiasan bagi pergaulan hidup manusia.”

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “orang yang paling benci berperangpun pada suatu saat telah terdorong untuk terjun ke medan.”

Keduanya pun terdiam ketika orang yang mempersilahkan keduanya singgah itu datang menemuinya.

Beberapa saat Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk di serambi rumah itu. Agung Sedayu yang melihat halaman rumah orang itu cukup luas berkata, “Kau dapat mengambil hasil halaman rumah serta kebunmu untuk membantu memenuhi kebutuhanmu sehari-hari.”

Ya, Ki Sanak, Aku menanam ketela di kebun belakang. Di sepanjang pagar itu aku tanami ubi panjang dan gembili.”

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih minta diri, orang itu menahannya. Katanya, “Aku sedang merebus ketela pohon yang aku cabut di kebun belakang.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak menolak. Mereka cukup sabar menunggu ketela pohon itu masak.

Demikianlah, beberapa saat kemudian setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih mendapat hidangan ketela yang direbus dengan santan dan garam, keduanya pun minta diri.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Mataram. Betapapun mereka menyadari bahwa akibat perang itu ternyata sangat luas mencekam kehidupan orang banyak, namun mereka akan kembali ke Mataram untuk memberikan laporan, bahwa perang akan berlanjut.

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak melihat jalan lain yang dapat dipilih oleh Mataram kecuali datang ke Pati, menghentikan kegiatan Pati yang akan menjadi semakin berbahaya. Semakin baik persiapan Pati untuk mengulangi serangannya ke Mataram, maka perang pun akan menjadi semakin menakutkan.

Karena itu, maka satu-satunya jalan adalah menghentikan kesiagaan Pati untuk menciptakan perang baru yang lebih dahsyat. Untuk mencegah perang yang lebih besar, maka harus ditempuh dengan jalan perang pula.

Perjalanan selanjutnya tidak banyak lagi menemui habatan. Tetapi sepanjang jalan, Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat betapa kehidupan menjadi semakin sulit. Bahkan ketika Agung Sedayu memasuki daerah yang mengakui kuasa Mataram, keadaannya tidak jauh berbeda.

Sementara itu, orang-orang yang tinggal di perbatasan yang samar dari daerah yang mengakui kuasa Pati dan kuasa Mataram, tidak merasakan kerusuhan itu secara langsung. Seorang anak yang tinggal di padukuhan yang berada di daerah yang mengakui kuasa Mataram, masih selalu mengunjungi orang tuanya yang tinggal di daerah yang mengakui kuasa Pati.

Dalam suasana perang, masih juga ada seorang jejaka yang menikah dengan perawan dari daerah kuasa yang berbeda, tanpa merasa terganggu oleh batas wilayah itu.

Tetapi Mataram dan Pati telah mempersiapkan diri untuk berperang.

Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih semakin lama menjadi semakin dekat dengan Mataram. Meskipun demikian, mereka masih harus bermalam semalam lagi di perjalanan.

Tetapi jarak mereka dengan Mataram sudah tidak terlalu jauh lagi. Besok jarak itu akan dapat ditempuh tidak sampai matahari bertengger di puncak lagi.

Namun demikian, Agung dan Glagah Putih ingin beristirahat di perjalanan.

Keduanya yang kemudian bermalam di sebuah banjar padukuhan, ternyata masih juga mendengar keluhan-keluhan sebagai akibat terjadinya perang. Beberapa orang anak muda yang terpanggil untuk ikut memperkuat pasukan Mataram, masih juga belum pulang.

Ternyata daerah yang berkiblat kepada Mataram dan daerah yang berkiblat kepada Pati, mempunyai keluhan yang sama. Laki-laki terbaik di padukuhan mereka masih belum kembali, sementara mereka harus menyerahkan persembahan untuk mendukung kegiatan perang.

Tetapi perang masih akan tetap membayangi kehidupan manusia, yang saling berperang karena perbedaan kepentingan. Tetapi dapat juga terjadi karena persamaan kepentingan.

Ketika hari baru kemudian terbit, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun bersiap melanjutkan perjalanannya. Setelah mengucapkan terima kasih kepada orang yang bertugas menjaga banjar kademangan itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih minta diri.

“Hati-hati di perjalanan Ki Sanak,” berkata penjaga banjar itu, “kesulitan hidup membuat orang-orang yang terhimpit oleh keadaan melakukan perbuatan yang kadang-kadang di luar kehendaknya sendiri.

“Terima kasih,” jawab Agung Sedayu, “semoga perjalanan kami tidak menemui kesulitan.”

Demikianlah, dalam perjalanan yang sudah hampir sampai di ujungnya itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat suasana di pedesaan yang lesu. Ketika mereka melewati sebuah pasar, pasar itu nampaknya tidak seramai pada hari-hari yang lepas dari bayangan perang, meskipun perang itu sendiri tidak menjamah daerah itu.

Perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih memang sudah tidak terlalu panjang lagi. Tetapi untuk memasuki Kotaraja, keduanya merasa perlu untuk sedikit berbenah diri.

Karena itu, keduanya telah menyempatkan diri untuk mencuci baju mereka di sebuah sungai kecil, menjemurnya di terik matahari dan kemudian memakainya kembali.

Ternyata mereka memasuki pintu gerbang kota setelah lewat tengah hari. Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat kehidupan di Kotaraja itu tidak banyak berbeda dari kehidupan sehari-hari sebelum perang terjadi. Namun mereka melihat kesiagaan yang cukup tinggi. Mereka melihat para prajurit yang bertugas di tempat-tempat yang penting.

“Kita pergi kemana, Kakang? Apakah kita akan langsung menghadap di istana, atau kita akan menemui orang lain?” bertanya Glagah Putih.

“Kita pergi ke Kepatihan,” jawab Agung Sedayu, “kita akan menghadap Ki Patih Mandaraka.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimana dengan Ki Tumenggung Wirayuda?”

“Bukankah kita berangkat dari Kepatihan?”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimana dengan kuda-kuda kita?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kuda-kuda itu tidak akan hilang. Sesudah kita melaporkan hasil perjalanan kita, kita akan pergi mengambil kuda-kuda itu. Meskipun kita masih harus menempuh perjalanan yang cukup panjang, tetapi tentu tidak sepanjang perjalanan kita ke Pati. Sementara itu, perjalanan kita kemudian adalah perjalanan tamasya, tidak mengalami ketegangan di perjalanan. Kita justru akan dapat menyegarkan kembali jiwa kita yang letih.”

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja, meskipun sebenarnya bukan saja jiwanya yang letih, tetapi juga wadagnya. Apalagi setelah lama ia meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya ia sudah sangat ingin segera kembali pulang.

“Kalau saja kita langsung kembali ke Mataram lewat Jati Anom sebagaimana saat kita berangkat,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Tetapi sejak mereka keluar dari Pati, mereka sudah menempuh jalan yang lain. Bukan jalan yang mereka lalui di saat mereka berangkat. Sehingga karena itu, mereka tidak lagi melewati Jati Anom. Seandainya mereka akan singgah, mereka juga harus menempuh jalan panjang. Sementara itu Agung Sedayu ingin segera memberikan laporan ke Mataram.

Seperti yang mereka rencanakan, mereka berdua pun langsung pergi ke Kepatihan untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.

“Jika Ki Patih menghadap Panembahan Senapati hari ini, mudah-mudahan Ki Patih sudah pulang,” desis Glagah Putih.

“Seandainya belum, kita dapat menunggu. Bahkan kita akan mendapat kesempatan untuk beristirahat lebih dahulu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu bertanya, “Kakang, mumpung kita masih belum masuk ke halaman Kepatihan, apakah kita dapat singgah sebentar?”

“Singgah dimana?” bertanya Agung Sedayu.

“Jika kita harus menunggu Ki Patih, perut kita sudah tenang. Kita pun tidak merasa haus lagi.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kita Singgah sebentar.” 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar