Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 299

Buku 299

“Baik,” geram orang yang di dadanya ditumbuhi bulu-bulu yang lebat itu, “kami akan memaksa kalian untuk menyerahkan leher kalian. Tetapi kami ingin melihat lebih dahulu, bagaimana kalian menyesali kesombongan kalian.”

Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Tetapi iapun segera mempersiapkan diri.

Orang yang bertubuh tegap dan berdada bidang itu pun kemudian menggeram, “Marilah. Kita bertempur di halaman. Kita akan dapat menunjukkan kemampuan kita masing-masing.”

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Kita bertempur di sini.”

“Tidak,” geram orang itu, “kita akan bertempur di halaman yang cukup luas itu.”

“Aku lebih senang bertempur di tempat yang sempit,” jawab Agung Sedayu.

Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka membentak marah, “Keluar! Kita akan bertempur di luar.”

Tetapi Agung Sedayu justru menjawab, “Tidak. Apakah kau takut bahwa isi kedai ini akan berhamburan? Barang-barangmu akan hancur berserakan? Demikian pula barang daganganmu. Nasi, sayur lodeh, makanan dan minuman. Juga mungkin racun kalian akan tersebar dan membunuh orang dan binatang?”

“Aku-lah yang mempunyai kedai ini. Kalian harus tunduk kepadaku,” berkata pemilik kedai yang bertubuh tegap itu.

Tetapi Agung Sedayu menjawab lantang, “Tidak. Keluar atau tidak keluar, kalian sudah mengancam untuk membunuhku. Jika benar kalian berhasil, maka biarlah kami terbunuh di dalam kedai.”

Wajah orang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan jambang dan kumisnya yang tebal itu menjadi semakin tegang. Namun seorang di antara kawan-kawannya itu berkata, “Kita akhiri kesombongan orang itu dengan cara yang paling baik. Kita ikat mereka di belakang kedai ini. Aku akan membakar matanya dengan besi yang membara.”

Keempat orang itu pun segera mempersiapkan diri. Ternyata Agung Sedayu dan Glagah Putih benar-benar tidak mau keluar. Mereka akan bertempur di ruang yang tidak begitu luas, yang menjadi semakin sempit karena beberapa amben dan geledek bambu yang terdapat di dalamnya.

Orang-orang yang ada di dalam kedai itu mulai bergeser mencari kesempatan serta tempat yang mapan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mengambil jarak beberapa langkah. Mereka berdiri menghadap ke arah yang berlawanan. Sementara itu, keempat orang itu pun mulai mengepung dari arah yang berbeda-beda.

Orang yang bertubuh tegap dan berbulu di dadanya itulah yang pertama-tama mulai menyerang. Dengan tangannya ia mencoba menggapai kening Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu memiringkan kepalanya, sehingga serangannya itu tidak mengenai sasaran.

Namun serangan itu seakan-akan merupakan aba-aba bagi ketiga kawannya yang lain. Mereka pun serentak telah menyerang.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bersiap sepenuhnya. Dengan tangkasnya mereka menghindar, hanya dengan langkah-langkah kecil, sehingga amben bambu, geledeg dan peralatan lain yang ada di dalam kedai itu seakan-akan tidak mengganggunya.

Ternyata pemimpin dari keempat orang itu bukan orang yang bertubuh tinggi tegap berdada bidang dan berbulu lebat di dadanya.

Ketika pertempuran berlangsung semakin lama, yang kemudian memberikan aba-aba adalah orang yang wajahnya nampak garang, dengan mata yang bagaikan membara. Beberapa kali ia memberikan perintah yang membuat jantung Glagah Putih berdegup semakin keras.

Orang itu telah meneriakkan perintah beberapa kali untuk mengakhiri perlawanan Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan cara apapun juga. Kedua orang itu, menurut perintahnya, harus mati.

Perintah-perintah itu benar-benar telah menusuk perasaan Glagah Putih. Orang itu benar-benar akan membunuh. Dan bahkan menurut pendapatnya, sudah banyak orang yang mati di kedai itu dengan cara yang sama yang dilakukannya atas dirinya dan Agung Sedayu.

Untunglah bahwa Agung Sedayu mengenal dan tawar atas segala jenis racun dan bisa, sehingga mereka tidak menjadi korban sebagaimana orang-orang sebelumnya.

Karena itu, maka kemarahan Glagah Putih terhadap orang itu sulit dikekangnya.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat. Keempat orang itu berloncatan menyerang, semakin lama semakin cepat. Mereka berloncatan dari amben bambu yang satu ke amben yang lain. Suaranya berderak-derak dengan kerasnya. Bahkan sebuah amben bambu telah menjadi roboh karenanya.

Namun serangan-serangan mereka selalu gagal. Bahkan mereka-lah yang semakin lama menjadi semakin terdesak. Bahkan Glagah Putih yang membayangkan apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang itu, menjadi sulit untuk mengekang diri.

Dengan demikian, benturan-benturan kekuatan pun telah terjadi. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun dapat mengetahui tataran kekuatan dan bahkan kemudian kemampuan lawan-lawan mereka.

Keempat orang lawan Agung Sedayu dan Glagah Putih itu mulai menjadi gelisah, ketika ternyata kedua orang itu tidak segera dapat mereka tundukkan. Keempat orang itu sama sekali tidak menahan diri lagi. Mereka memang benar-benar ingin membunuh Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Karena itu, beberapa saat kemudian keempat orang itu telah menggenggam senjata di tangan mereka.

Seorang yang bertubuh tinggi dan berbulu lebat di dadanya, tiba-tiba saja telah mengambil sebuah kapak dari dalam geledeg bambu, tempat ia menyimpan makanan. Seorang bersenjata tongkat besi yang diambilnya dari sudut kedai, yang agaknya memang sudah disediakannya. Seorang bersenjata pedang yang memang tergantung di lambungnya, sedang seorang lagi telah memungut tombak pendek dari sebelah tempat duduknya.

Agung Sedayu dan Glagah Putih termangu mangu sejenak. Namun karena tempatnya yang sempit, memang berbahaya bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih jika mereka tidak membawa senjata apapun.

Namun menghadapi lawan-lawannya yang sudah sempat diketahuinya tataran kemampuan serta kekuatannya, Agung Sedayu tidak segera mengurai cambuknya, agar kehadirannya di daerah itu tidak tersebar dan banyak diketahui orang, jika saja ada yang sudah mengenalinya lewat ciri senjatanya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera memungut selarak pintu dan dipergunakannya sebagai senjatanya. Sementara Glagah Putih pun telah mematahkan sebuah geledeg bambu dan memungut sepotong kayu tiang kerangka geledeg itu.

Lawannya memang terkejut. Geledeg bambu itu bagi lawannya yang masih sangat muda itu kelihatannya demikian lunaknya. Anak muda itu dengan sisi telapak tangannya telah mematahkan kerangka geledeg. Kemudian ia harus melawan orang yang bersenjata sepotong besi, atau yang bersenjata kapak, atau tombak pendek, atau yang bersenjata pedang, Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar karena jenis senjatanya. Seperti Agung Sedayu, Glagah Putih tidak mengurai ikat pinggangnya dan mempergunakannya sebagai senjata. 

Demikianlah, pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Meskipun dengan senjata yang sederhana, lawan Agung Sedayu dan Glagah Putih itu justru menjadi semakin terdesak.

“Apakah kedua orang ini anak iblis?” bertanya pemimpin dari sekelompok kecil orang itu bertanya kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, sepotong kayu di tangan Glagah Putih itu pun berputaran dengan cepatnya. Bahkan kemudian Glagah Putih itu telah berloncatan pula di antara amben dan lincak bambu. Berbeda dengan lawan-lawannya, kaki Glagah Putih sama sekali tidak mengguncang amben dan lincak, apalagi merobohkannya.

Demikianlah, keempat orang itu pun menjadi semakin terdesak. Sementara Glagah Putih yang marah menyerang semakin sengit, meskipun hanya dengan sepotong kayu.

Keempat orang lawannya benar-benar tidak menduga, bahwa di kedai mereka telah datang dua orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga mereka berempat sama sekali tidak mampu mengimbangi, apalagi mengalahkan dan membunuh mereka.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang marah itu telah mendesak dua orang lawannya. Seorang yang bersenjata tongkat besi merasa seakan-akan tongkatnya tidak banyak berarti lagi. Beberapa kali ia mengayunkan tongkatnya ke arah kepala lawannya yang masih muda itu. Tetapi dengan sentuhan sepotong kayu di tangan lawannya, tongkatnya telah kehilangan arah.

Sementara itu, kawannya yang bersenjata pedang seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk mengayunkan senjatanya. Sepotong kayu di tangan Glagah Putih itu rasa-rasanya selalu memburunya, sehingga orang itu setiap kali harus meloncat mundur.

Namun Glagah Putih tidak memberinya banyak kesempatan. Ketika orang itu mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher, maka Glagah Putih telah merendah. Namun bersamaan dengan itu, dengan sekuat tenaga ia telah menjulurkan sepotong kayunya tepat mengenai dada lawannya.

Terdengar lawannya mengaduh kesakitan. Bahkan kemudian orang itu terlempar menimpa geledeg bambu. Demikian derasnya, sehingga geledeg bambu tempat makanan itu roboh.

Kawannya yang memegang tongkat besi yang berusaha untuk membantunya, telah mengayunkan tongkatnya dengan sekuat tenaganya mengarah ke tengkuk Glagah Putih. Namun sekali lagi Glagah Putih mampu menghindar dengan bergeser selangkah ke samping. Tetapi kemudian dengan cepat ia meloncat, selagi tongkat besi itu masih terayun. Dengan hentakan yang deras, sepotong kayu di tangan Glagah Putih itu telah memukul bahu lawannya. Hentakan yang didorong dengan kekuatan yang sangat besar terasa seakan-akan sebatang pohon yang roboh telah menimpanya, sehingga orang itu telah terpelanting jatuh di atas geledeg bambu yang roboh bersama seorang kawannya itu.

Namun orang itu masih berusaha untuk bangkit, meskipun bahunya rasa-rasanya telah menjadi patah.

Tetapi dengan demikian ia telah melakukan kesalahan yang besar. Justru karena ia berusaha untuk bangkit, maka sekali lagi Glagah Putih mengayunkan sepotong kayunya mengenai tengkuknya Sekali lagi orang itu terbanting jatuh menimpa kawannya di atas geledeg bambu yang roboh.

Seperti kawannya yang tulang-tulang iganya retak karena dorongan tongkat Glagah Putih, maka orang itu pun telah menjadi pingsan.

Namun yang tidak mereka sadari bahwa geledeg bambu yang roboh itu ternyata telah menimpa kayu-kayu bakar yang masih menyala di perapian untuk memanasi wedang sere agar tetap hangat. Api yang menjilat geledeg bambu itu kemudian telah merambat dan membakar geledeg bambu yang cukup besar itu.

Api yang semula tidak nampak itu tiba-tiba saja telah melonjak membakar geledeg bambu itu.

Glagah Putih terkejut. Dua orang yang pingsan ada di atas geledeg yang terbakar itu.

Tetapi ternyata di dalam geledeg itu terdapat juga minyak, sehingga dengan cepat api telah membubung. Dinding kedai itu pun terbuat dari bambu pula. Karena itu, maka lidah api itu dengan cepat merambat ke dinding.

Glagah Putih yang terkejut itu dengan serta merta berusaha untuk menarik kaki orang yang pingsan di atas geledeg yang terbakar. Tetapi api menjadi semakin membesar.

Hampir di luar sadarnya Glagah Putih berteriak, “Bantu menarik orang-orang ini!”

Agung Sedayu yang masih bertempur melawan dua orang lawannya, telah menghentikan serangan-serangannya. Ketika ia melihat api yang membesar, maka iapun berkata, “Tolong kawan-kawanmu itu.”

Kedua orang lawannya itu memang menjadi bingung sejenak. Tetapi ketika menyadari keadaan, mereka pun berlarian mendekat.

Tetapi mereka telah terlambat. Api sudah menjadi semakin besar, sehingga mereka tidak dapat lagi menolong kedua orang yang pingsan di atas geledeg yang terbakar itu. Bahkan kemudian bukan hanya geledeg bambu itu, tetapi juga kedai itu sendiri telah mulai menyala.

Agung Sedayu pun kemudian telah mengajak Glagah Putih dan kedua orang lawannya itu keluar. Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak melepas kedua orang itu begitu saja.

Api yang membakar kedai itu semakin lama menjadi semakin besar, sehingga akhirnya menjadi seonggok lidah api yang menjilat-jilat ke udara.

Agung Sedayu dan Glagah Putih berdiri termangu-mangu memandang api yang menjilat tinggi itu. Sementara itu dua orang yang sudah tidak berdaya itu pun berdiri dengan wajah yang tegang dan hati yang kalut.

Namun di antara keduanya itu tidak terdapat pemimpin dari sekelompok orang yang membuka kedai sebagai kedok untuk merampok dan membunuh itu.

Dalam pada itu, meskipun api menjilat tinggi serta asap membubung sampai ke langit, namun tidak ada seorangpun yang datang untuk melihat apa yang terjadi. Agaknya orang-orang yang tinggal di padukuhan terdekat telah mengetahui, siapakah yang telah membuka kedai itu, serta apakah sebenarnya tujuan mereka dengan kedai mereka.

Tetapi agaknya tidak seorangpun yang berani mencegah dan mengusir keempat orang yang membuat kedai itu.

Ketika kemudian api mulai surut, Agung Sedayu pun berkata, “Nah, hukuman itu datang tanpa diduga-duga. Kedua orang kawanmu telah terbunuh oleh api yang membakar kedai kalian. Kedai yang selama ini kalian pergunakan untuk melakukan kejahatan yang tidak dapat dimaafkan. Sebenarnya sepantasnya kalian berdua juga dilemparkan ke dalam api itu pula, sehingga kalian tidak akan dapat melakukan kejahatan lagi.”

Orang yang bertubuh tegap, tinggi dan berbulu lebat di dadanya itu tiba-tiba saja telah merengek, “Kami mohon ampun. Bukan kami yang mempunyai gagasan buruk dengan membuka kedai itu. Tetapi salah seorang dari kedua orang kawan kami yang terbakar itu.”

“Kenapa kalian tidak menolak gagasan itu?” bertanya Glagah Putih

“Kami tidak berani melakukannya. Saudara tua kami itu adalah seorang yang garang, kasar dan berilmu tinggi. Jika kami berani menolak, maka kami-lah yang akan dibunuhnya.”

“Kalian dapat menyingkir,” desak Glagah Putih.

“Kemanapun kami melarikan diri, saudara tua kami itu akan memburu kami.”

“Aku tidak peduli,” geram Glagah Putih, “kalian berdua harus kami tangkap dan kami bawa ke padukuhan terdekat.”

Kedua orang itu saling berpandangan. Namun orang yang dadanya ditumbuhi bulu yang lebat itu berkata, “Aku tidak dapat menolak. Tetapi aku mempunyai permohonan.”

“Apa?” bertanya Glagah Putih

“Aku mohon diberitahukan bahwa saudara tua kami itu sudah terbunuh di dalam api yang membakar kedai itu.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih pula.

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang yang bertubuh tinggi itu berkata, “Orang-orang padukuhan itu tahu, bahwa sumber dari kejahatan yang terjadi di sini adalah dari saudara tuaku itu. Karena sebenarnyalah bahwa kami juga berasal dari padukuhan itu. Dengan demikian, maka mereka tidak justru menjadi ketakutan.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Sambil memandangi api yang menjadi surut itu Agung Sedayu pun berkata, “Marilah. Kita pergi ke padukuhan.”

Ketika mereka mendekati padukuhan, dari kejauhan mereka melihat orang-orang padukuhan berdiri di luar dinding menyaksikan api yang menyala, menelan kedai beberapa puluh langkah di luar padukuhan itu. Namun ketika mereka melihat empat orang berjalan ke padukuhan, maka orang-orang itu pun dengan tergesa-gesa masuk regol padukuhan mereka dan hilang di belakang dinding.

Agung Sedayu dan Glagah Putih mendapat kesan bahwa orang-orang padukuhan itu menjadi ketakutan. Mereka menyangka bahwa empat orang yang melangkah ke padukuhan itu adalah empat orang yang membuka kedai sebagai kedok untuk melakukan kejahatan, sementara keadaan setelah perang masih belum mantap benar.

Ketika mereka memasuki padukuhan, jalan di padukuhan itu menjadi sepi. Orang-orang yang semula berdiri di luar regol, seakan-akan telah lenyap ditelan dinding halaman rumah mereka masing-masing.

“Kita pergi ke rumah Ki Bekel,” berkata Agung Sedayu.

Kedua orang itu tidak membantah. Bahkan keduanya-lah yang menunjukkan dimana Ki Bekel itu tinggal.

Ketika mereka memasuki regol halaman rumah Ki Bekel, mereka melihat beberapa orang berkumpul di halaman rumah itu. Namun demikian keempat orang itu masuk, orang-orang itu pun terkejut. Jantung mereka rasa-rasanya berdetak semakin keras.

Namun akhirnya mereka melihat bahwa dua di antara empat orang itu adalah orang lain. Orang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.

Agung Sedayu dan Glagah Putih membawa kedua orang yang telah menyerah itu mendekati tangga pendapa. Dipaksanya kedua orang itu untuk duduk di tanah di dekat pendapa.

“Aku akan berbicara dengan Ki Bekel,” berkata Agung Sedayu.

Orang-orang yang ada di halaman itu menjadi tegang. Mereka belum tahu dengan siapa mereka berhadapan.

Namun sekali lagi Agung Sedayu berkata, “Aku akan berbicara dengan Ki Bekel.”

Akhirnya Ki Bekel pun harus menyatakan dirinya. Iapun melangkah ke tangga pendapa rumahnya sambil berkata, “Akulah Bekel di padukuhan ini.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Mereka melihat kecemasan di wajah Ki Bekel. Sekali-sekali Ki Bekel memandang kedua orang yang oleh Agung Sedayu dipaksa duduk di tanah itu.

“Aku telah menangkap keduanya,” berkata Agung Sedayu.

Pertanyaan Ki Bekel justru mengherankan, “Kenapa keduanya ditangkap?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia justru bertanya, “Apakah Ki Bekel melihat kedai di luar padukuhan ini terbakar?”

“Ya,” jawab Ki Bekel ragu-ragu.

“Bersamaan dengan terbakarnya kedai itu, keduanya telah kami tangkap. Kami berniat menyerahkan keduanya kepada Ki Bekel.”

“Ya. Tetapi kenapa keduanya kau tangkap? Apakah kau pula yang telah membakar kedai itu?”

“Kedai itu terbakar sendiri,” sahut Glagah Putih.

“Tentu kalian yang membakarnya,” berkata Ki Bekel, “kenapa kalian lakukan hal itu? Kedai itu merupakan tempat untuk mencari nafkah beberapa orang penghuni padukuhan ini. Jika kedai itu kau bakar, berarti kau telah merampas nafkah orang yang memiliki kedai itu.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata, “Sudahlah Ki Bekel. Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Bukankah kalian juga merasa bersyukur bahwa kedai itu terbakar dan bahwa kedua orang itu dapat ditundukkan?”

“Mereka adalah penghuni padukuhan ini. Aku harus melindungi mereka.”

“Sudahlah,” potong Agung Sedayu, “aku sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalian takut mengambil tindakan terhadap keempat orang yang membuka kedai sebagai kedok untuk melakukan kejahatan itu. Ketika kedai itu terbakar, tidak seorangpun berusaha untuk datang menolong.”

Wajah Ki Bekel menjadi tegang. Sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Kalian sekarang tidak perlu takut lagi kepada mereka. Kedua orang ini sudah berjanji untuk tidak meneruskan tindak kejahatan yang selama ini dilakukan.”

Ki Bekel tidak segera menjawab. Dipandanginya kedua orang yang duduk di tanah itu. Sementara Agung Sedayu berkata kepada keduanya, “Berjanjilah, bahwa kalian tidak akan melakukan kejahatan lagi. Kalian akan tunduk kepada Ki Bekel dan hidup wajar seperti tetangga-tetanggamu yang lain.”

Kedua orang itu memang menjadi ragu. Tetapi Glagah Putih menepuk bahu orang yang di dadanya tumbuh bulu yang lebat itu sambil berkata, “Berjanjilah di hadapan Ki Bekel, bahwa kau akan menjalani kehidupan yang wajar seperti tetangga-tetanggamu. Bahwa kau tidak akan melakukan kejahatan lagi, bukan saja sebagaimana pernah kau lakukan, tetapi kau tidak akan melakukan kejahatan-kejahatan yang lain. Apalagi terhadap tetangga-tetanggamu sendiri.”

Kedua orang itu tidak segera mengatakan sesuatu. Mereka masih merasa ragu. Apalagi sebelumnya keduanya adalah termasuk orang yang ditakuti oleh seisi padukuhan itu.

“Katakan!” bentak Glagah Putih sambil menekan punggung kedua orang itu dengan jari-jarinya. Tetapi tekanan jari-jari Glagah Putih terasa sakit di punggungnya.

“Baik, baik. Aku berjanji,” berkata orang yang berbulu lebat di dadanya itu.

“Katakan janji itu!” bentak Glagah Putih, “Jika kau masih saja mempermainkan aku, maka kau akan aku lemparkan ke dalam api. Aku dapat membakar rumahmu dan mengikatmu pada saka guru rumahmu itu.”

“Baik, baik,” orang itu menjadi gagap.

Namun kemudian orang itu benar-benar menyatakan janjinya, bahwa mereka berdua akan merubah cara hidup mereka.

“Nah, kau dengar Ki Bekel?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Bekel tidak segera menjawab. Namun di wajahnya nampak keragu-raguan yang mencengkam.

“Kau ingin tahu, dimana kedua orang yang lain?” bertanya Agung Sedayu.

Di luar sadarnya Ki Bekel itu mengangguk.

“Kedua-duanya telah ditelan api. Ketika kami berkelahi melawan keempat orang itu, maka dua di antaranya menjadi pingsan. Tetapi kedai itu dengan cepat terbakar, sehingga keduanya tidak tertolong lagi. Aku tidak tahu apakah kematian mereka itu memang harus terjadi karena kejahatan yang bertimbun telah mereka lakukan. Aku menduga bahwa sudah banyak orang yang terbunuh di kedai itu, sebagaimana akan mereka lakukan terhadap kami berdua.”

Adalah di luar sadarnya bahwa Ki Bekel itu mengangguk. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih telah bertanya kepada dua orang tawanannya itu, “Berapa orang telah kalian bunuh dengan racun itu, he? Berapa orang?”

“Bukan gagasan kami,” desis seorang di antara mereka.

“Aku tidak menanyakan gagasan siapa itu. Tetapi aku bertanya berapa orang yang telah terbunuh.”

Kedua orang itu terdiam. Namun sekali lagi tiga jari tangan Glagah Putih yang merapat menekan punggung mereka.

Orang itu menyeringai menahan sakit. Sementara Glagah Putih berkata, “Aku dapat menekan simpul-simpul syarafmu sehingga kau tidak mampu bergerak sama sekali. Atau bahkan membuatmu lumpuh untuk selamanya.”

“Baik. Baik,” orang itu menyahut dengan serta-merta, “menurut ingatanku, telah ada dua orang yang terbunuh.”

“Bohong,” geram Glagah Putih, “jadi kau benar-benar ingin lumpuh?”

“Tidak. Jangan,” kedua orang itu bersamaan telah bergeser. Tetapi Glagah Putih memijit pundak kedua orang itu dengan kedua tangannya, sehingga keduanya mengeluh menahan sakit.

“Jika kau membuat kesabaranku habis, maka yang terjadi akan membuat kalian berdua menyesal untuk selama-lamanya.”

Seorang yang lain, yang merasa sangat cemas akan nasibnya, berkata, “Aku berkata sebenarnya. Sudah ada tujuh orang yang kami bunuh di kedai itu. Tubuhnya kami kuburkan di belakang kedai itu.”

“Jadi kalian telah membunuh tujuh orang?” wajah Glagah Putih menjadi merah.

Namun orang itu berkata, “Bukan gagasan kami. Saudara tua kami itu pula yang telah mengusahakan racun yang ditebarkan di atas nasi yang dipesan oleh orang-orang yang singgah di kedai kami.”

Glagah Putih hampir tidak dapat menguasai diri. Tetapi Agung Sedayu pun berdesis, “Baiklah. Kita akan selalu mengingatnya. Karena itu, pada saat yang lain kami akan singgah lagi di padukuhan ini.”

Ki Bekel menjadi termangu-mangu. Bahkan agak kebingungan.

Karena itu, Agung Sedayu pun berkata, “Ki Bekel. Kami kembalikan orang-orangmu. Terus-terang, dua orang yang lain terbunuh. Mungkin memang karena salah kami, karena di luar kendali dan tentu di luar kemauan kami, kedai itu terbakar, sedangkan kedua orang itu sedang pingsan.”

Dengan ragu Ki Bekel berkata, “Baiklah Ki Sanak. Kami, seisi padukuhan ini menerima keduanya dengan syarat sebagaimana Ki Sanak katakan.”

“Bukankah Ki Bekel juga mendengar janji yang mereka ucapkan tadi?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya, Ki Sanak,” jawab Ki Bekel.

“Jangan takut, Ki Bekel. Jika keduanya masih berbuat jahat, aku akan datang untuk membunuh mereka seperti kedua orang kawannva yang lain.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah. Kami akan melanjutkan perjalanan kami.”

Ki Bekel menjadi seperti orang yang baru sadar dari sebuah mimpi. Dengan gagap iapun berkata, “Tetapi, tetapi Ki Sanak, aku persilahkan Ki Sanak singgah barang sebentar.”

“Terima kasih,” sahut Agung Sedayu, “kami akan melanjutkan perjalanan kami.”

“Ki Sanak akan pergi kemana?” bertanya Ki Bekel itu seakan-akan di luar sadarnya.

“Kami akan mengikuti saja langkah kaki kami,” jawab Agung Sedayu, “kami tidak mempunyai tujuan.”

“Tetapi apakah Ki Sanak akan pergi ke utara atau ke selatan, atau tujuan-tujuan lain?”

“Kami akan pergi ke utara.”

“Berhati-hatilah Ki Sanak,” pesan Ki Bekel, “semakin ke utara keadaannya menjadi semakin gawat. Kadang-kadang suasana menjadi tidak terkendali. Orang-orang yang semula mengungsi, masih tetap berada di pengungsian. Sedangkan semakin ke utara, justru orang-orang baru mulai mengungsi. Semula orang-orang itu tidak mengungsi ketika pasukan Pati pergi ke selatan. Tetapi ketika pasukan Pati kembali dari selatan, keadaan tidak terkendali sama sekali. Kelompok-kelompok prajurit yang baru datang kemudian, sama sekali telah meninggalkan sikap keprajuritan mereka. Apalagi mereka yang sejak semula bukan prajurit. Mereka telah merampas harta benda orang-orang padukuhan. Seorang pernah mengalami dua tiga kali dirampok oleh kelompok-kelompok prajurit yang kembali dari Selatan. Justru kelompok-kelompok kecil.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Bekel berkata selanjurnya, “Karena itu, sebagian dari mereka pergi mengungsi, keluar dari jalur jalan yang biasa ditempuh oleh kelompok-kelompok kecil, yang nampaknya semula terpisah dari induk pasukan mereka.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Namun kemudian Agung Sedayu pun berkata, “Terima kasih atas peringatan Ki Bekel. Mudah-mudahan kami tidak mengalami hambatan apapun, setelah baru saja kami hampir binasa karena racun orang-orangmu.”

“Aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka,” sahut Ki Bekel.

“Maksudku, orang-orang padukuhanmu, seperti yang kau katakan sendiri,” jawab Agung Sedayu.

Ki Bekel mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Tetapi yang terjadi adalah di luar kemampuan kami untuk mencegahnya.”

“Mudah-mudahan di tempat lain tidak terjadi lagi. Di luar kemampuan para bebahu untuk mencegahnya, atau bahkan para bebahu itu yang melakukannya.”

Ki Bekel tidak menjawab. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melangkah meninggalkan rumah Ki Bekel itu untuk melanjutkan perjalanannya.

Semakin jauh berjalan, maka semakin nampak bahwa keadaan sesudah perang masih tetap kusut. Daerah yang tidak terjangkau oleh pengawasan prajurit Mataram rasa-rasanya tidak lagi dapat tenang.

Para prajurit Pati atau kelompok-kelompok orang yang semula ikut bertempur di Prambanan, telah kehilangan kendali sama sekali. Sementara itu, kelompok-kelompok lain justru memanfaatkan keadaan, sehingga menjadi semakin kacau.

Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat berbicara dengan seorang yang sudah berumur pertengahan abad, yang sempat menyiangi tanamannya. Ternyata orang itu dapat membedakan, apakah ia berhadapan dengan orang baik atau orang yang jahat. Ternyata kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih yang ikut duduk bersamanya, orang itu sama sekali tidak menyembunyikan kenyataan yang terjadi di padukuhannya, meskipun ia baru saja mengenal Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Padukuhan kami terhitung padukuhan yang paling aman di lingkungan ini,” berkata orang itu, “di padukuhan-padukuhan lain, suasananya masih lebih buruk lagi. Karena itu, beberapa orang justru mengungsi di padukuhan kami.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi dengan ragu Glagah Putih bertanya, “Kenapa padukuhan Ki Sanak lebih aman dari padukuhan-padukuhan lain?”

Orang itu juga menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kami sepakat untuk melawan jika ada sekelompok orang yang berniat buruk di padukuhan kami.”

“Kalian nampaknya berhasil,” desis Glagah Putih.

“Ada tiga orang yang memiliki ilmu yang tinggi yang tinggal di padukuhan kami.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Seorang bekas seorang lurah prajurit Pajang. Meskipun umurnya sudah sedikit lebih tua dari aku, tetapi kemampuannya masih dapat diandalkan.” Orang itu berhenti sejenak. Namun kemudian ia melanjutkan, “Yang seorang lagi seorang Putut. Ia meninggalkan padepokannya setelah terjadi perpecahan di perguruannya, la memilih untuk menjauhi pertengkaran itu dan kemudian terdampar di padukuhan kami.”

“Dan yang seorang lagi?” desak Glagah Putih.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ah, tidak. Memang hanya dua orang itu saja.”

Tetapi Glagah Putih segera menebak, “Yang seorang lagi tentu Ki Sanak sendiri.”

Orang itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk meyakinkan dirinya bahwa keduanya bukan orang jahat. Baru kemudian ia berkata, “Aku memang memiliki kelebihan serba sedikit, meskipun tidak seperti kedua orang yang aku sebutkan.”

“Ki Sanak juga bekas prajurit?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak,” jawab orang itu, “ayahku seorang Demang yang disegani. Sejak kanak-kanak aku telah mendapat tuntunan olah kanuragan oleh ayahku sendiri.”

“Ki Sanak Demang di sini?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Dalam keadaan yang lebih baik, aku memang seorang Demang. Tetapi dalam keadaan yang kacau seperti sekarang ini, Demang atau bukan, kami mempunyai kewajiban dan wewenang yang sama.”

“Beruntunglah kademangan ini mempunyai seorang pemimpin seperti Ki Sanak. Di kademangan lain, tidak ada lagi orang yang sempat memimpin para penghuninya untuk bersama-sama menghadapi kekerasan, yang setiap saat dapat datang mengacau serta merampas harta benda para penghuninya.”

“Kami sudah sepakat untuk mengamankan kademangan kami. Justru setelah perang ini nampaknya para prajurit masih sibuk berbenah diri.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk pula.

Namun sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih itu telah minta diri pula untuk melanjutkan perjalanan.

Tetapi seperti orang-orang yang terdahulu, Demang itu juga memperingatkannya, “Semakin ke utara, keadaan menjadi semakin gawat.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” sahut Agung Sedayu, “kami hanya sekedar lewat karena keperluan yang sangat mendesak. Jika kami tidak mengganggu orang lain, maka agaknya kami juga tidak akan diganggu.”

“Ungkapan itu tidak berlaku di daerah ini, apalagi lebih ke utara,” berkata orang itu, “orang yang bisu tuli pun dapat diganggu pula. Bahkan orang buta sekalipun.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu itu pun berkata, “Kami akan berhati-hati.”

Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melanjutkan perjalanan pula. Ketika kemudian malam turun, keduanya sempat masuk ke dalam sebuah banjar yang sepi. Agaknya padukuhan itu masih juga belum tenang benar. Masih banyak rumah yang belum berpenghuni karena penghuninya masih berada di pengungsian. Tetapi ternyata bahwa penunggu banjar itu dengan keluarganya telah berada di rumahnya, di belakang banjar itu.

Penunggu banjar itu memang bukan orang yang berlebihan. Menilik rumah dan perabotnya, penunggu banjar itu termasuk orang yang sederhana.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih menyatakan permintaan mereka untuk bermalam di banjar, penunggu banjar itu nampaknya bukan menjadi curiga, tetapi menjadi keheranan.

“Siapakah kalian berdua ?”

“Kami memang pengembara, Paman,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi jangan dilakukan sekarang,” berkata penunggu banjar itu. Lalu iapun justru bertanya, “Apakah kalian berdua tidak tahu, bahwa daerah ini baru saja dikacaukan oleh perang? Meskipun arena pertempuran itu terjadi di Prambanan, tetapi daerah ini merupakan jalur jalan bagi pasukan Pati. Baik ketika berangkat ke selatan, maupun ketika kembali ke utara.”

“Bukankah mereka hanya lewat?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Kami memang tidak mempunyai keberatan apa-apa jika mereka hanya lewat. Tetapi baik ketika mereka berangkat, lalu terutama ketika pasukan Pati yang besar itu kembali ke utara dalam keadaan parah. Dan orang-orang yang mencoba mengail di air keruh telah menambah keadaan menjadi semakin rumit,” berkata orang itu. “Nah, kalian datang kemari, justru padukuhan ini berada dalam keadaan yang demikian.”

“Tetapi apakah setiap hari terjadi kerusuhan di padukuhan ini?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak. Dalam beberapa hari ini memang tidak terjadi apa-apa. Beberapa orang yang kembali dari pengungsian telah mengungsi lagi ke tempat yang dianggapnya lebih aman.”

“Mudah mudahan malam ini juga tidak terjadi apa-apa,” desis Agung Sedayu.

“Mudah mudahan,” berkata penunggu banjar itu, “agaknya prajurit Pati yang lewat jalur ini sudah habis.”

“Apakah tidak ada tindakan apapun dari para Senapati prajurit Pati terhadap prajurit-prajuritnya yang melanggar paugeran itu?”

“Tentu,” jawab penunggu banjar itu. “Beberapa orang prajurit pernah dihukum cambuk ketika mereka ditemui langsung oleh Senapatinya sedang merampas barang barang yang sebenarnya tidak terlalu berharga.”

“Tetapi hukuman itu tidak membuat prajurit-prajuritnya jera,” desis Glagah Putih.

“Yang melakukan kemudian adalah kelompok yang lain lagi, Ki Sanak.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan apa yang telah terjadi.

Beberapa kali mereka mendapat keterangan dan pesan yang hampir sama. Penunggu banjar itu juga mengatakan seperti yang pernah dikatakan oleh yang lain, bahwa semakin ke utara keadaan menjadi semakin gawat.

Namun malam itu ternyata di padukuhan itu tidak terjadi apa-apa. Tidak ada sekelompok prajurit yang kelelahan dan dalam keadaan parah lewat. Tidak ada pula sekelompok orang yang ingin mendapat keuntungan dalam keadaan yang kacau itu.

Pagi-pagi sekali Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mandi. Namun ternyata penunggu banjar itu telah lebih dahulu bangun. Demikian Agung Sedayu dan Glagah Putih selesai, maka telah tersedia minuman panas dan ketela rebus yang masih berasap.

“Maaf Ki Sanak,” berkata penunggu banjar itu, “aku tidak dapat menjamu lebih baik lagi. Keadaan padukuhan kami memang sedang kacau. Persediaan padi yang sedikit sudah habis diambil sekelompok prajurit yang lapar.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” sahut Agung Sedayu, “terima kasih kami buat Ki Sanak sekeluarga.”

Demikianlah, ketika matahari terbit, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melanjutkan perjalanan. Semakin ke utara mereka menjadi semakin berhati hati. Padukuhan-padukuhan menjadi semakin sepi, karena kebanyakan para penghuninya masih belum kembali.

Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata memang memilih lewat jalur jalan itu, meskipun mereka tahu, untuk sampai ke Pati ada beberapa jalan lain yang mungkin tidak mengalami gangguan sebagaimana jalur jalan yang mereka pilih itu.

Namun melalui jalan itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih mendapat sedikit gambaran tentang sikap para prajurit Pati, terutama mereka yang tidak sejak semula memang seorang prajurit

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi semakin ke utara, keadaan memang terasa menjadi semakin sepi. Bahkan beberapa kali mereka lewat padukuhan-padukuhan yang kosong.

“Sampai batas manakah kekisruhan itu terjadi?” desis Agung Sedayu.

Glagah Putih menarik nafas dalam dalam. Katanya, “Bukankah seharusnya daerah ini tidak mengalami goncangan sebagaimana daerah yang dekat dengan medan?”

“Daerah ini mengalami gangguan sejak pasukan Pati membuat landasan-landasan perbekalan. Kelompok-kelompok yang kurang terikat dengan paugeran telah melakukan perampasan terhadap orang-orang di sekitar jalur yang dipersiapkan itu. Kemudian, hal yang serupa terjadi lagi ketika pasukan Pati terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang kembali ke Utara.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Diamatinya padukuhan-padukuhan yang dilaluinya. Sepi.

Namun keduanya berjalan terus. Mereka sempat melihat rumah-rumah kosong yang pintunya terbuka. Tetapi ketika mereka masuk ke dalam, perabot rumah itu berserakan di lantai. Geledeg-geledeg telah terbuka. Isinya yang tersisa berceceran dimana-mana.

“Nampaknya orang-orang yang tidak bertanggung jawab telah memasuki rumah ini,” desis Glagah Putih.

“Ya. Tentu demikian juga rumah yang lain,” sahut Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian keduanya melangkah keluar dari halaman rumah itu.

Ternyata Glagah Putih merasa jemu untuk berjalan menelusuri jalan-jalan sepi dan padukuhan-padukuhan yang kosong. Karena itu, iapun kemudian berkata, “Apakah kita dapat mencari jalan lain? Mungkin ada sesuatu yang menarik untuk diketahui.”

Agung Sedayu mengerti perasaan adik sepupunya itu. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Kita akan melihat padukuhan-padukuhan yang agak jauh dari garis lintasan prajurit Pati ini.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Mungkin kita akan menemukan sesuatu yang berarti, atau tidak menemukan apa-apa.”

Agung Sedayu justru tertawa. Katanya, “Jalan manakah yang akan kita lalui, tidak penting bagi tugas kita. Yang penting, apa yang kita ketahui tentang Pati dan isinya.”

Demikianlah, keduanya kemudian telah berusaha untuk mencari jalan lain. Mereka mulai meninggalkan jalur jalan pasukan Pati.

Ternyata semakin jauh mereka meninggalkan garis lintas pasukan Pati, mereka memasuki padukuhan-padukuhan yang semakin ramai. Padukuhan-padukuhan yang sudah mulai dihuni lagi. Bahkan padukuhan-padukuhan yang menjadi tempat pengungsian.

“Nah, dengan begini kita merasa ada di antara sesama kita,” berkata Glagah Putih.

“Tetapi perhatikan Glagah Putih, semua mata memandang kepada kita.”

“Asal kita tidak berbuat sesuatu yang dapat menyinggung perasaan mereka”, sahut Glagah Putih.

Agung Sedayu tak menjawab. Sementara itu, mereka berjalan semakin jauh memasuki lingkungan yang lebih baik. Bahkan mereka sampai ke sebuah padukuhan yang lebih ramai dari keadaannya sehari-hari. Justru karena di padukuhan itu tinggal pula para pengungsi yang belum kembali ke padukuhan asal mereka.

Di padukuhan itu pula Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat beristirahat di sebuah kedai yang masih membuka pintunya, meskipun matahari telah menjadi terlalu rendah.

Meskipun suasana di padukuhan itu berbeda dari suasana padukuhan yang pernah dilewatinya sebelumnya, namun Agung Sedayu tetap berhati hati. Ketika makan dan minum yang dipesannya dihidangkan, maka Agung Sedayu telah mengamatinya, apakah makan dan minum itu beracun.

“Minum dan makanlah,” berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih.

Glagah Putih tidak menunggu lagi. Dihirupnya wedang jahe yang masih hangat. Kemudian iapun mulai menyuapi mulutnya dengan nasi yang masih hangat pula.

Namun yang kemudian terjadi adalah di luar perhitungan mereka.

Agung Sedayu dan Glagah Putih terlambat menyadari, bahwa kedai itu telah dikepung oleh beberapa orang bersenjata.

“Kenapa dengan mereka itu Kakang?” bertanya Glagah Putih.

Tetapi Agung Sedayu masih tetap tenang. Ditelannya butir-butir nasinya yang terakhir. Bahkan ia masih sempat minum, karena sayur nasinya yang agak kepedasan bagi lidah Agung Sedayu.

“Jangan berbuat sesuatu. Kita harus mendapat penjelasan lebih dulu, apa yang sebenarnya terjadi.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Seperti Agung Sedayu, iapun kemudian meneguk kembali minumannya.

Beberapa saat kemudian, tiga orang telah memasuki kedai itu. Dengan lantang seorang di antaranya berkata kepada pemilik kedai itu. “Aku perlu berbicara dengan kedua orang tamumu.”

“Silahkan Ki Demang,” jawab pemilik kedai itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera mengetahui, bahwa orang itu adalah Demang yang memimpin kademangan itu.

Ketika ketiga orang itu mendekatinya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera bangkit berdiri sambil mengangguk hormat.

Ki Demang dan dua orang yang datang bersamanya memandangi Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan seksama. Sementara itu pemilik kedai itu telah menyalakan lampu minyak di ruang dalam kedainya, yang sudah menjadi semakin suram karena matahari telah menjadi sangat rendah di sisi barat langit.

“Selamat sore Ki Sanak,” sapa Ki Demang, yang kemudian duduk di hadapan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Dua orang pengiringnya pun duduk pula bersama mereka di sebuah lincak bambu yang lain, di sebelah tempat duduk Ki Demang.

“Ternyata mereka cukup berhati-hati,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya.

“Ki Sanak,” berkata Ki Demang kemudian, “kami minta maaf, bahwa kami telah mengganggu Ki Sanak berdua.”

“Tidak apa-apa Ki Demang,” jawab Agung Sedayu.

Ki Demang mengangguk-angguk kecil. Dengan nada berat Ki Demang itu bertanya, “Siapakah Ki Sanak berdua ini? Menurut penglihatan kami, Ki Sanak bukan orang dari kademangan kami.”

“Memang bukan Ki Demang. Kami adalah dua orang pengembara. Namaku Samekta dan ini adikku, Sembada.”

Ki Demang masih saja mengangguk-angguk sambil memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti. Dari sorot matanya, nampak bahwa ada semacam kecurigaan Ki Demang terhadap kedua orang yang berada di kedai dan mengaku bernama Samekta dan Sembada itu.

“Di manakah tempat tinggal kalian berdua?” bertanya Ki Demang itu pula.

“Tempat tinggal kami jauh, Ki Demang. Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tanah Perdikan Menoreh?” ulang Ki Demang.

“Ya. Tanah Perdikan Menoreh. Arahnya di sebelah barat Mataram. Jaraknya dari Mataram masih agak jauh, melintas kali Praga. Membujur ke utara menyusur ngarai di sebelah timur perbukitan.”

Tetapi jawaban Ki Demang memang agak mengejutkan, “Aku sudah pernah ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“O,” Agung Sedayu yang mengaku bernama Samekta itu mengangguk-angguk, “syukurlah.”

“Tetapi, apakah keperluan Ki Sanak sampai di tempat ini? Tempat yang terhitung jauh dari tempat tinggal kalian?”

“Kami memang pengembara Ki Demang. Kami jelajahi padukuhan demi padukuhan. Kademangan demi kademangan.”

“Untuk apa?” desak Ki Demang.

“Kami tidak mempunyai tujuan, Ki Demang. Kami juga tidak mempunyai maksud tertentu, kecuali ingin melihat lingkungan yang lebih luas serta keaneka-ragaman kehidupan.”

Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun berkata, “Ki Sanak. Aku agak ragu akan keterangan Ki Sanak. Adalah mustahil bahwa Ki Sanak tidak mengetahui, Mataram sedang berperang dengan Pati. Sehingga suasana perang itu meliputi daerah yang sangat luas.”

“Ketika kami berdua berangkat, perang itu belum terjadi, Ki Demang.”

“Ketika perang terjadi, kalian berada dimana ” bertanya Ki Demang.

“Ketika perang terjadi di Prambanan, kami berada di Bayat. Meskipun tidak terlalu jauh dari Prambanan, tetapi kami tidak dapat menyaksikan perang itu.”

“Perang memang bukan tontonan,” berkata Ki Demang kemudian.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, sementara Ki Demang berkata, “Apapun yang Ki Sanak katakan, kami terpaksa membawa Ki Sanak ke banjar. Kami telah menangkap dua orang lain yang kami curigai. Keduanya mengaku pengembara pula. Namun ternyata bahwa keduanya adalah orang-orang yang dengan sengaja mengamati padukuhan-padukuhan di kademangan ini. Mereka ditugaskan oleh sekelompok orang yang berniat buruk atas kademangan ini.”

“Maksud Ki Demang dengan berniat buruk itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Mereka menjajagi kemungkinan apakah kelompok mereka dapat memasuki kademangan ini untuk merampok.”

“Jadi kalian juga menyangka demikian terhadap kami berdua?”bertanya Glagah Putih dengan nada tinggi.

Agung Sedayu pun telah menggamitnya, sehinga Glagah Putih tidak melanjutkan pertanyaannya.

“Aku tidak akan menjawab sekarang Ki Sanak. Mari, ikut kami ke banjar.”

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Baik Ki Demang. Kami akan ikut pergi ke banjar.”

Ki Demang justru termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian telah bangkit dan berkata kepada beberapa orang kawannya, “Kita bawa mereka ke banjar.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak melawan. Mereka menurut saja perintah Ki Demang yang membawa mereka ke banjar kademangan.

Ketika mereka sampai di banjar, malam sudah menjadi semakin gelap. Beberapa buah oncor terpancang di halaman.

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Di halaman banjar itu terdapat banyak orang. Sementara itu, dua orang terikat di tiang pendapa.

“Lihat Kakang,” berkata Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Nampaknya keduanya sudah mengalami perlakuan buruk.”

“Apakah kita juga membiarkan diri kita mengalami perlakuan seperti itu?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita tidak akan membiarkan diri kita terikat.”

“Jadi Kakang tidak berkeberatan?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi kita tidak berniat buruk. Mungkin orang-orang padukuhan ini sekedar ingin berhati-hati.”

Tetapi pembicaraan mereka terputus. Seseorang telah mendorong Agung Sedayu dan Glagah Putih sambil berkata kasar, “Lihat kedua orang kawanmu itu.”

Glagah Putih menjadi tegang. Ia sudah mendapat isyarat untuk tidak membiarkan dirinya diikat, dari Agung Sedayu. Meskipun demikian, Agung Sedayu sempat berdesis, “Tunggu. Kita lihat perkembangannya.”

Glagah Putih mengurungkan niatnya untuk melawan. Karena itu, bersama Agung Sedayu keduanya didorong maju mendekati tangga pendapa. Orang-orang yang ada di banjar itu telah mengerumuni mereka.

“Kita telah menangkap dua orang lainnya,” berkata salah seorang yang datang bersama Ki Demang ke kedai itu. Namun Ki Demang segera menyahut, “Kita akan berbicara dengan keduanya.”

“Apalagi yang dibicarakan?” bertanya seseorang di antara banyak orang itu.

“Kita dapat mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka. Baru kemudian kita mengambil kesimpulan,” sahut Ki Demang.

Namun tiba-tiba seorang yang bertubuh tegap tinggi meloncat naik ke pendapa. Dengan serta-merta ia telah memegang rambut salah seorang dari kedua orang yang terikat itu, “He, apakah kedua orang itu kawanmu?”

Orang yang sudah tidak memakai ikat kepala itu menyerangi. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya. Keduanya adalah kawan-kawan kami.”

“Nah, bukankah kita mendengar langsung dari mulutnya, bahwa kedua orang itu adalah kawan-kawan mereka?”

Terdengar orang-orang yang ada di halaman banjar itu bergeremang. Suaranya semakin lama menjadi semakin keras dan semakin keras. Akhirnya seseorang telah berteriak, “Gantung mereka berempat!”

Tetapi yang lain menyahut, “Serahkan kepada kami! Kami akan membantai mereka di halaman ini!”

“Kita bakar saja mereka di atas api yang kecil saja!”

Ki Demang akhirnya berdiri di atas tangga pendapa sambil merentangkan tangannya dan berteriak, “Diam! Semuanya diam! Kita akan mulai dengan beberapa pertanyan kepada kedua orang ini.”

Orang-orang itu pun terdiam. Sementara Ki Demang berkata, “Bawa mereka naik ke pendapa.”

Beberapa orang telah mendorong Agung Sedayu dan Glagah Putih naik ke pendapa. Mereka mendorong dengan kasar. Bahkan ada di antara mereka yang mulai memukul.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih masih tetap menahan diri, meskipun sebenarnya darahnya sudah mulai mendidih.

“Nah, Ki Sanak,” berkata Ki Demang, “apakah Ki Sanak berdua mengenal kedua orang yang terikat itu?”

Agung Sedayu dan Glagah Putih memandang kedua orang itu dengan saksama. Namun kemudian mereka menggelengkan kepalanya.

Dengan nada rendah Agung Sedayu menjawab, “Tidak, Ki Demang. Kami tidak mengenal mereka.”

“Bohong! Bohong!” orang-orang di halaman itu pun berteriak.

Sementara itu Ki Demang berkata, “Tetapi mereka menyatakan bahwa mereka mengenal Ki Sanak.”

“Jika benar demikian, Ki Demang, mereka tentu akan dapat mengatakan siapakah nama kami, dan kami berasal darimana, sebagaimana telah kami katakan kepada Ki Demang.”

Ki Demang menganguk-angguk. Iapun kemudian bertanya kepada kedua orang yang terikat itu, “Jika kalian memang mengenal mereka, siapakah nama mereka dan darimana asal mereka?”

Kedua orang itu terdiam. Mereka memang tidak dapat menyebut nama dan asal Agung Sedayu dan Glagah Putih, yang memang tidak mereka kenal itu.

“He, kenapa kalian terdiam?” bentak Ki Demang. Lalu katanya, “Jika demikian, kalian memang tidak mengenal mereka berdua.”

Tetapi orang-orang di halaman itu berteriak, “Mereka hanya berpura-pura tidak tahu! Tetapi mereka tadi sudah menyatakan bahwa mereka mengenal kedua orang itu.”

“Mereka mencoba melindungi kawan-kawan mereka!” teriak seseorang.

Namun tiba-tiba seorang yang bertubuh sedang, berwajah tampan dengan kumis tipis di atas bibirnya, melangkah maju sambil berkata, “Ki Demang. Keduanya tentu akan berusaha melindungi kawan-kawan mereka, meskipun mereka terlanjur mengatakan bahwa mereka telah mengenal kedua orang yang baru saja kita tangkap itu.”

“Aku yang membawa mereka kemari,” berkata Ki Demang.

“Ya. Memang Ki Demang yang membawa mereka kemari. Tetapi bukankah ada orang yang telah memberikan keterangan tentang kedua orang itu lebih dahulu? Baru Ki Demang dapat bertindak,” berkata orang berkumis tipis itu. Lalu katanya pula, “Apakah Ki Demang juga akan melindungi mereka?”

“Aku tidak akan melindungi siapa-siapa. Aku hanya ingin bahwa langkah yang kita ambil itu benar.”

“Nah, jika demikian, jangan halangi kami. Kami sudah merasa bahwa langkah yang kami ambil adalah benar.”

“Belum. Langkah yang kalian ambil belum tentu benar.”

“Kami yakin,” berkata orang itu.

“Sebaiknya kita ajukan beberapa pertanyaan lagi untuk meyakinkan kebenaran sikap kita.”

“Itu tidak perlu,” berkata orang berwajah tampan itu, “kita sudah yakin. Karena itu, kita akan bertindak atas dasar keyakinan itu.”

Ki Demang menjadi tegang. Dengan lantang ia berbicara, “Aku-lah Demang di sini! Jika ada orang yang tidak setuju, katakan! Aku akan menyerahkan jabatanku kepadanya.”

Orang-orang di halaman itu terdiam. Agaknya Ki Demang sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Namun dengan demikian, orang-orang di halaman itu terdiam, meskipun tampak di wajah-wajah mereka bahwa mereka tidak puas dengan sikap Ki Demang itu.

Ki Demang itu pun kemudian bertanya dengan nada kecil, “Ki Sanak. Dalam suasana seperti sekarang ini, apakah Ki Sanak tidak merasa ragu untuk meneruskan pengembaraan Ki Sanak? Apakah Ki Sanak tidak membayangkan bahwa Ki Sanak akan menghadapi kesulitan seperti sekarang ini?”

“Ki Demang. Justru karena kami tidak mempunyai maksud apa-apa, maka semula kami tidak merasa cemas bahwa kami akan mengalami perlakuan seperti ini.”

“Menilik sikap, kata-kata dan pilihan jawaban yang Ki Sanak berikan, Ki Sanak berdua bukan orang yang tidak berpengetahuan, Dengan demikian, bahwa kalian tidak memperhitungkan kemungkinan seperti ini terjadi, adalah sangat mengherankan.”

“Kami mencoba mengatakan apa yang terbersit di dalam hati kami,” jawab Agung Sedayu.

Ki Demang memang menjadi ragu-ragu. Menilik sikap dan ujudnya, maka kedua orang itu agaknya bukan orang yang bermaksud buruk. Tetapi dalam suasana yang panas, sulit bagi Ki Demang untuk menahan gejolak hati orang-orangnya.

Ternyata orang yang berwajah tampan itu berkata, “Sudahlah Ki Demang. Jangan membuang-buang waktu. Kita akan mengikat keduanya pada tiang pendapa seperti kedua orang itu. Kami belum akan menggantungnya malam ini. Karena itu, jika Ki Demang masih belum puas, maka Ki Demang masih mendapat kesempatan untuk bertanya jawab semalam suntuk. Tetapi kami tidak boleh kehilangan kedua orang itu. Mereka sangat berbahaya.”

“Ya,” sahut seseorang, “jangan kasihani orang-orang jahat itu. Mereka pun tidak pernah mempunyai belas kasihan kepada siapapun juga. Jika kita memberi kesempatan mereka meninggalkan kademangan ini, maka esok mereka akan kembali untuk mencekik leher kita.” 

Ki Demang memang menjadi bimbang. Tetapi orang-orang yang ada di halaman sudah mempunyai sikap sendiri.

“Ikat kedua orang itu!” teriak seseorang. Yang lain pun menyambut, “Ikat saja. Cambuk punggungnya! Besok kita akan membantainya.”

Orang di halaman itu pun berteriak-teriak pula, sehingga Ki Demang tidak mampu lagi mengatasinya. Ketika orang-orang di halaman itu mulai bergerak, maka Ki Demang pun berkata, “Terserahlah kepada kalian. Aku tidak bertanggung jawab atas kelakuan kalian.”

“Serahkan kepada kami!” orang-orang itu berteriak, “Biarlah kami yang bertanggung jawab.”

Orang-orang di halaman itu mulai bergerak. Orang yang berwajah tampan itu agaknya mempunyai pengaruh yang besar trrhadap kawan-kawannya. Sementara orang yang bertubuh tinggi tegap, yang telah menghentak rambut orang yang diikat itu, telah melangkah mendekati Agung Sedayu pula.

Agung Sedayu bergeser surut. Ia sempat berbisik kepada Glagah Putih, “Apaboleh buat. Kita tidak mempunyai pilihan lain.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, Ki Demang justru bergeser menjauh. Ia benar-benar tidak mau bertanggung jawab, karena menurut pendapatnya kedua orang itu bukan orang-orang jahat. Meskipun Ki Demang juga tidak percaya bahwa keduanya sekedar melakukan pengembaraan tanpa maksud.

Agung Sedayu memandang orang-orang padukuhan itu dengan jantung yang berdebaran. la memang merasa bimbang untuk melawan dengan kekerasan, karena akibatnya dapat terjadi di luar dugaannya.

Teiapi sebagai orang kebanyakan, Agung Sedayu pun mempunyai naluri melindungi dirinya sendiri.

Dalam pada itu, Glagah Putih telah benar-benar bersiap. Ketika beberapa orang mendekatinya, maka Glagah Putih telah berdiri di atas kedua kakinya yang renggang dan sedikit merendah pada lututnya.

Orang berwajah tampan itu tersenyum. Katanya, “Kau akan melawan, Anak Manis?”

Glagah Putih tiba-tiba saja menjadi sangat benci kepada orang itu. Sikapnya, kata-katanya dan kesombongannya.

Karena itu, maka ia tidak menunggu lagi. Ketika orang berwajah tampan itu melangkah mendekati, Glagah Putih langsung menyerangnya. Kakinya terayun mendatar tepat mengenai arah ulu hati orang itu.

Serangan yang sama sekali tidak terduga. Orang berwajah tampan itu sama sekali tidak menduga bahwa anak itu akan langsung menyerangnya, sehingga karena itu ia tidak sempat menangkis dan mengelak.

Ternyata bahwa Glagah Putih tidak perlu mengulanginya. Orang berwajah tampan itu jatuh terkulai. Pingsan.

Orang-orang yang bergerak mendekatinya justru tertahan.

Orang yang berwajah tampan itu termasuk orang yang disegani di kademangan itu. Namun, demikian cepat ia dilumpuhkan oleh orang muda itu.

Tetapi seorang yang lain, bertubuh pendek dengan otot-otot yang menjorok di wajah kulitnya, meloncat maju sambil berteriak, “Licik! Ia memanfaatkan kelengahan lawannya. Tetapi kita tidak akan lengah lagi. Kita tidak akan menunggu sampai besok. Kita akan membantainya sekarang!”

Beberapa orang kemudian telah mengangkat tubuh orang berwajah tampan yang pingsan itu menjauh. Sementara itu, orang-orang yang berada di halaman itu pun menjadi semakin marah.

Dalam pada itu, orang bertubuh raksasa yang mendekati Agung Sedayu itu pun mulai menyerang pula. Tangannya terayun dengan derasnya mengarah ke kening.

Orang-orang yang menyaksikan serangan itu merasa yakin, bahwa orang yang menjadi sasaran pukulan itu akan segera menjadi pingsan, karena orang bertubuh raksasa itu memiliki tenaga yang sangat besar.

Tetapi dugaan mereka ternyata keliru. Agung Sedayu bergesar setapak. Dengan cepat ia menangkap pergelangan tangan orang itu sambil memutar tubuhnya. Kemudian ia sedikit merendah, menarik tangan itu lewat di atas pundaknya dengan hentakan kekuatannya.

Orang itu telah terlempar dengan derasnya. Kakinya terangkat dan berputar di udara. Kemudian tubuhnya terbanting jatuh di tangga pendapa.

Terdengar orang itu berteriak kesakitan. Ia berguling di atas tangga dan jatuh di tanah. Namun orang itu sudah tidak mampu lagi untuk bangkit. Tulang punggungnya rasa-rasanya menjadi retak.

Yang terdengar adalah keluhan tertahan.

Sekali lagi jantung orang-orang yang ada di halaman itu terguncang. Orang berwajah tampan dan orang bertubuh raksasa itu adalah orang-orang yang miliki kelebihan. Namun ternyata keduanya seakan-akan begitu mudahnya dibuat tidak berdaya.

Tetapi orang-orang yang marah itu masih menganggap bahwa yang terjadi itu kebetulan semata-mata, justru karena mereka menjadi lengah.

Demikianlah, sejenak kemudian orang-orang yang berkerumun di halaman itu telah bergerak. Masih saja ada di antara mereka yang berteriak teriak membakar hati kawan-kawannya.

Tetapi ternyata mereka segera mengalami kesulitan. Agung Sedayu dan Glagah Putih yang tidak membiarkan diri mereka diikat di tiang pendapa, telah memberikan perlawanan. Sambil berloncatan.

Glagah Putih menghindar dan menangkis serangan-serangan. Namun setiap terjadi benturan, maka ada saja orang yang merasa lengannya atau kakinya kesakitan.

Namun Glagah Putih menjadi agak gelisah ketika orang-orang kademangan itu mulai mengacu-acukan senjata. Senjata-senjata itu justru berbahaya bagi mereka sediri, karena Glagah Putih tentu tidak akan membiarkan dirinya dilukai oleh senjata-senjata itu.

Glagah Putih pun kemudian telah berusaha untuk mendapatkan senjata, la masih belum merasa perlu mempergunakan ikat pinggangnya, karena ia akan dapat menghadapi lawannya dengan senjata yang lain.

Karena itu, Glagah Putih itu pun kemudian dengan tangkasnya telah menyerang seseorang yang memegang sebuah tombak pendek. Senjata itu menarik perhatian Glagah Putih, karena jenis senjata itu hanyalah satu-satunya yang dipergunakan oleh orang-orang yang berkumpul di halaman. Orang-orang lain mempergunakan pedang, parang, golok, tongkat besi dan bahkan tongkat kayu yang agaknya dipergunakan untuk selarak pintu di rumah, dan keris.

Orang yang membawa tombak itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja tangan yang kuat telah mencengkam lengannya, sehingga rasa-rasanya lengannya itu akan menjadi patah. Selagi ia berusaha melepaskan lengannya, tiba-tiba saja tombak di tangannya telah berada di tangan anak muda itu.

Ketika Glagah Putih kemudian meloncat menjauh, pemilik tombak itu memburunya sambil berteriak, “Kembalikan tombakku! Tombak itu peninggalan kakekku yang pernah menjadi seorang prajurit di Demak.”

Tetapi Glagah Putih bertanya, “Apakah kakekmu mengajarimu mempergunakan tombak ini?”

Orang itu tidak menjawab. Namun ketika ia meloncat maju, ia harus dengan cepat bergeser surut. Ujung tombak itu ternyata telah menyentuh pundaknya.

Dengan tombak di tangan, maka Glagah Putih menjadi semakin garang. Satu dua orang benar-benar telah digoresnya dengan ujung tombak itu. Meskipun Glagah Putih sama sekali tidak ingin membunuh, namun ia tidak dapat menghindari kemungkinan goresan-goresan itu melukai kulit orang-orang kademangan itu.

Sementara itu Agung Sedayu pun telah bertempur dengan cepat pula. Ia memang tidak memerlukan senjata. Dengan ilmu kebalnya, sebenarnya ia sudah dapat terhindar dari serangan-serangan senjata lawannya. Tetapi Agung Sedayu tidak mau memamerkannya. Ia tidak ingin membuat orang-orang kademangan itu terheran-heran, dan kemudian meyebarkan cerita itu kemana-mana. Cerita tentang kekebalan akan cepat menjalar dan menarik perhatian.

Karena itu, Agung Sedayu nampaknya telah bertempur dengan wajar, meskipun orang-orang kademangan itu masih tetap menganggapnya berilmu sangat tinggi. Bergerak sangat cepat dan mempunyai kekuatan yang besar. Tetapi cerita tentang orang berilmu tinggi tidak langsung memberikan ciri-ciri tertentu pada seseorang. Dan karena itu pula, Agung Sedayu tidak mempergunakan cambuknya.

Demikianlah, pertempuran itu berlangsung beberapa lama. Satu demi satu orang yang mengeroyok Glagah Putih terlempar keluar arena, terbanting jatuh dan tidak segera dapat bangkit, sementara yang lain tidak berani lagi mendekatinya. Tombak pendek di tangan Glagah Putih menjadi sangat berbahaya, meskipun Glagah Putih mempergunakannya dengan berhati-hati.

Dengan demikian, orang-orang yang bertempur melawan Agung Sedayu dan Glagah Putih itupun semakin menyusut. Bukan saja karena satu demi satu mereka kehilangan kemampuan untuk bertempur, tetapi beberapa orang benar-benar menjadi ketakutan.

Karena itu, beberapa orang bukan saja tidak berani mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih, Tetapi ketika Glagah Putih kemudian turun ke halaman dan bertempur sambil berloncatan, orang-orang itu satu demi satu melarikan diri keluar dari halaman banjar.

Orang-orang yang masih mempunyai keberanian untuk bertempur itu pun akhirnya terpengaruh juga. Karena kawan-kawannya menjadi semakin meyusut dan bahkan hampir habis, maka mereka pun segera berlari pula meninggalkan halaman itu.

Hanya orang-orang yang terluka dan tidak dapat meningalkan halaman banjar yang masih berada di dalam sambil mengerang kesakitan.

Bahkan mereka tidak lagi berpengharapan, karena mereka menganggap bahwa kedua orang yang akan dibantai itu benar-benar menjadi sangat marah.

Tetapi ternyata dugaan mereka keliru. Ketika orang-orang berlari keluar dari halaman banjar, maka kedua orang itu pun telah menghentikan perkelahian pula. Satu dua orang yang tidak sempat melarikan diri, sama sekali tidak dilukainya, apalagi dibunuhnya. Yang tertua di antara kedua orang yang ditangkap itu hanya memerintahkan mereka untuk duduk di tangga banjar.

Ki Demang yang berdiri dengan tegang mengamati pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Dua orang yang berhasil mempertahankan dirinya dari kekerasan orang-orang kademangan itu masih berdiri di halaman. Glagah Putih masih memegangi tombak pendek di tangannya.

Selangkah-selangkah Ki Demang mendekati kedua orang itu.

Bagaimanapun juga, ia merasa ragu-ragu bahwa kedua orang itu tidak marah kepadanya. Atau bahkan mungkin menimpakan segala macam tanggung jawab kepadanya.

Tetapi nampaknya kedua orang itu dapat melihat persoalan yang mereka hadapi dengan hati yang bening. Karena itu, keduanya nampaknya tidak mendendam kepada Ki Demang, meskipun Ki Demang-lah yang telah membawa mereka ke banjar itu.

“Ki Sanak,” berkata Ki Demang kemudian dengan suara ragu, “aku mohon maaf bagi orang-orang kademangan ini.”

“Ki Demang,” jawab Agung Sedayu, “aku akan melupakan peristiwa ini. Tetapi aku mempunyai satu syarat.”

“Apakah syarat itu?” bertanya Ki Demang.

“Aku akan berbicara dengan kedua orang yang kau ikat itu. Jika perlu, akan minta mereka dilepaskan.”

“Tetapi dengan demikian, maka orang-orang kademangan ini akan marah,” jawab Ki Demang.

“Baiklah. Jika demikian, sebelum orang-orang kademangan ini marah, kami-lah yang akan marah lebih dahulu.”

“Maksud Ki Sanak?”

“Kami akan minta kedua orang itu. Jika tidak boleh, kami akan memaksa,” berkata Agung Sedayu.

Ki Demang memang tidak dapat berbuat sesuatu. Apalagi ia seorang diri, sedangkan orang banyak yang ada di halaman itu pun tidak mampu mencegahnya.

Karena itulah, maka Ki Demang pun hanya dapat memandangi ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih melepaskan kedua orang yang terikat itu.

Dalam pada itu, orang yang berwajah tampan itu pun mulai sadar. Ketika ia kemudian bangkit, dilihatnya halaman banjar itu sudah sepi.

Ia melihat satu dua orang terbaring diam. Agaknya mereka masih juga pingsan. Sementara itu, satu dua orang mengerang kesakitan. Orang yang bertubuh raksasa itu telah duduk pula bersandar tangga pendapa banjar. Tetapi orang itu masih belum dapat bangkit berdiri.

Orang yang berwajah tampan itu pun kemudian bangkit. Ketika ia melihat Ki Demang termangu-mangu, maka iapun bertanya, “Ki Demang. Apa yang telah terjadi?”

“Sebagaimana kau lihat,” jawab Ki Demang.

Orang itu mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. Namun orang itu kemudian menggeram, “Kau licik. Kau serang aku sebelum aku bersiap. He, sekarang apa yang akan kalian lakukan terhadap kedua orang itu?”

Glagah Putih menarik nafas dalam dalam untuk mengendapkan gejolak perasaannya yang terungkit kembali. Namun ia masih menjawab dengan tenang, “Ki Sanak. Kau lihat bahwa kawan-kawanmu telah melarikan diri? Yang tersisa adalah mereka yang pingsan, kesakitan, luka dan mereka yang tidak mampu lagi untuk bangkit.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat Ki Demang berdiri membeku, orang itu pun bertanya, “Apa yang terjadi Ki Demang?”

“Kau dengar sendiri, apa yang dikatakan oleh anak muda itu,” jawab Ki Demang.

Orang berwajah tampan itu memandang berkeliling. Ia memang tidak melihat lagi orang-orang Kademangan yang semula berkumpul di halaman banjar itu.

Namun ketika orang itu melihat Agung Sedayu melepas orang yang terikat itu, maka iapun berteriak, “He, jangan kau lepaskan orang itu!”

“Aku ingin melepaskannya,” jawab Agung Sedayu. Sementara Glagah Putih pun telah melepaskan tali ikatan yang seorang lagi.

Orang yang berwajah tampan itu menggeram. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Glagah Putih.

Namun Glagah Putih cukup tangkas. Ia bergeser setapak. Ketika orang itu menggeliat dan berusaha untuk mengayunkan tangannya ke samping, kaki Glagah Putih telah mendahuluinya menghantam lambung.

Dengan kerasnya orang itu terlempar dan terbanting jatuh di pendapa. Kepalanya telah membentur ompak batu penyangga tiang.

Orang itu mengaduh tertahan. Namun kemudian pendapa itu bagaikan berputar. Orang berwajah tampan itu telah menjadi pingsan lagi.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berhasil melepaskan kedua orang itu. Diajaknya kedua orang itu duduk di pringgitan.

“Maaf, Ki Demang,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kami akan berbicara dengan kedua orang ini.”

“Silahkan, Ki Sanak,” sahut Ki Demang. Ia memang tidak dapat berbuat lain. Ia tidak dapat mencegah jika hal itu dikehendaki oleh kedua orang itu. Tetapi juga tidak dapat memaksa jika keduanya tidak ingin melakukannya.

Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian duduk di pringgitan bersama kedua orang yang telah terikat di tiang pendapa itu.

Yang pertama kali ditanyakan oleh Agung Sedayu adalah, “Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak tadi mengaku mengenal kami? Apakah Ki Sanak memang mengenal kami?”

Orang itu menggeleng. Kalanya, “Tidak Ki Sanak.”

“Jadi kenapa kau katakan di depan orang-orang padukuhan ini bahwa kau mengenal kami?”

“Selama aku ditahan di banjar ini, setiap pertanyaan harus aku jawab sesuai dengan keinginan mereka. Aku tidak dapat mengatakan apa yang sebenarnya, karena jika yang sebenarnya itu tidak sesuai dengan jawaban yang mereka inginkan, maka aku akan dipaksa dengan kekerasan.”

Agung Sedayu mengangguk-anguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua?”

Orang itu menjadi bimbang. Dipandanginya Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti. Tetapi tiba-tiba saja orang itu justru bertanya, “Siapakah Ki Sanak berdua ini, yang mampu mengalahkan sekian banyak orang?”

“Kami adalah dua orang pengembara yang mengunjungi satu kademangan ke kademangan yang lain.”

“Aku tidak percaya, Ki Sanak,” jawab orang itu.

“Baiklah. Katakan Ki Sanak berdua tidak percaya. Tetapi Ki Sanak belum menjawab pertanyaanku. Siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua? Aku tidak ingin Ki Sanak menjawab menurut kehendakku, karena aku justru menginginkan kebenaran.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Orang yang tertua di antara keduanya itu berkata, “Kami berdua bukannya penjahat seperti yang dituduhkan kepada kami. Tetapi kami memang tidak dapat membuktikan bahwa kami bukan penjahat.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya bahwa Ki Sanak bukan penjahat Aku memang tidak melihat kejahatan itu di sorot mata kalian. Tetapi dengan demikian, lalu siapakah kalian berdua?”

Kedua orang itu masih saja ragu. Tetapi di hadapan kedua orang yang telah melepaskannya dari ikatan itu, mereka tidak dapat lagi berbohong. “Kami adalah petugas sandi dari Pati.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut. Namun keduanya berusaha untuk tidak menunjukkan perasaannya itu kepada mereka.

Namun Agung Sedayu pun berkata, “Apakah kalian, dalam keadaan yang memaksa, tidak dapat mengatakan atau menunjukkan ciri keprajuritan kalian, agar kalian tidak diperlakukan seperti itu oleh orang-orang kademangan ini?”

“Aku sedang dalam tugas sandi,” jawab orang itu. Namun kemudian katanya, “Meskipun demikian, jika perlu, pada saat terakhir aku baru akan menunjukkan pertanda sandi itu. Tetapi pertanda itu akan dapat membebaskan kami atau justru mempercepat kematian kami, karena kami tidak tahu pasti, kepada siapa orang-orang kademangan ini berpihak.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sebagai seorang prajurit Mataram, baginya kedua orang itu adalah musuh yang berbahaya. Jika saja orang itu tahu bahwa Agung Sedayu itu adalah prajurit Mataram, mungkin mereka akan bersikap lain.

Tetapi kedua orang itu belum tahu bahwa Agung Sedayu adalah prajurit Mataram, sedangkan Glagah Putih adalah seorang Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, yang juga terlibat dalam perang melawan Pati.

Tetapi, Agung Sedayu ternyata mempunyai tanggapan lain. Ia tidak segera menempatkan dirinya sebagai musuh dari kedua orang prajurit Pati itu. Bagi Agung Sedayu, kedua orang itu adalah orang-orang yang wajib ditolongnya dari tindak kekerasan.

Karena itu, Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Jika demikian Ki Sanak, marilah, kita bersama-sama meninggalkan kademangan ini. Kami akan meneruskan pengembaraan kami. Sementara itu, terserahlah apakah Ki Sanak berdua akan kembali ke Pati atau pergi kemana lagi.”

Kedua orang itu saling berpandangan. Seorang di antara mereka pun kemudian bertanya, “Apakah orang-orang kademangan ini akan membiarkan kami berdua pergi?”

“Kita tidak usah menghiraukan mereka. Bahkan selagi Ki Sanak masih bersama kami berdua, kami minta Ki Sanak menunjukkan pertanda keprajuritan Ki Sanak kepada orang-orang padukuhan ini. Ki Sanak akan mengetahui kepada siapa orang-orang padukuhan ini berpihak. Tetapi pihak mana sajakah yang Ki Sanak maksudkan?”

“Pati dan Mataram. Bukankah Ki Sanak tadi juga mengatakan bahwa telah terjadi perang antara Pati dan Mataram?”

“Dalam tata pemerintahan, kademangan ini termasuk lingkungan yang mana? Mataram atau Pati?”

“Sebenarnya lingkungan ini termasuk wilayah Mataram. Tetapi pada saat terakhir, daerah di sebelah utara Gunung Kendeng telah direlakan kepada Pati. Bahkan kemudian Pati menguasai pula beberapa kademangan lain dan merambat ke selatan. Sejalan dengan gerak pasukan Pati ke Prambanan, maka beberapa kademangan lain dinyatakan berada di bawah pemerintahan Pati.”

“Tetapi apakah hal itu dapat dianggap sah?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah sebenarnya arti pernyataan sah atau tidaknya suatu lingkungan dikuasai oleh salah satu pusat pemerintahan yang ada di Tanah ini? Seandainya Mataram menyatakan tidak sah, tetapi Pati mempunyai kekuatan untuk tetap mempertahankan keberadaannya, sah atau tidak sah itu tidak ada artinya sama sekali.”

“Jadi maksud Ki Sanak, tegaknya kekuasaan di satu lingkungan ditentukan oleh kekuatan senjata?”

“Ya.”

“Dengan demikian, satu lingkungan yang kecil dan lemah tidak mempunyai hak hidup sama sekali?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Tidak,” jawab orang itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja Glagah Putih pun bertanya, “Bagaimana dengan sebuah Tanah Perdikan, yang mempunyai wewenang untuk mengatur diri sendiri?”

“Menurut pendapatku, keberadaan sebuah Tanah Perdikan harus tetap mendukung tegaknya pemerintahan yang mengesahkan keberadaan Tanah Perdikan itu.”

“Dengan demikian, wewenang apakah yang dilimpahkan kepada Tanah Perdikan itu?” bertanya Glagah Putih pula.

“Menurut pendapatku, Tanah Perdikan sebaiknya dihapuskan saja. Para pemimpin Tanah Perdikan biasanya hanya mengganggu saja arus pemerintahan dari atas ke bawah.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengerutkan dahinya. Di luar sadarnya Agung Sedayu pun berkata, “Apakah yang kau katakan itu trap-trapan pemerintahan di Pati?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak Ki Sanak. Aku hanya sekedar berangan-angan.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak bertanya lagi. Dengan nada dalam Agung Sedayu berkata, “Nah, marilah. Katakan kepada Ki Demang, siapakah sebenarnya kalian.”

Kedua orang itu masih nampak ragu-ragu. Namun Agung Sedayu berkata pula, “Pergunakan kesempatan ini dengan sebaik baiknya.”

Orang itu mengangguk.

Berempat mereka pun kemudian bangkit berdiri. Ki Demang duduk di ujung pendapa, setelah berusaha untuk menolong beberapa orang terluka dan membantu mereka naik ke pendapa. Sementara satu dua orang yang pingsan telah sadar pula. Ki Demang telah membawa mereka untuk naik ke pendapa pula.

“Ki Demang,” berkata Agung Sedayu, “kami akan pergi.”

Ki Demang yang bangkit berdiri itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada ragu ia berkata, “Bagaimana dengan kedua orang itu?”

“Mereka juga akan pergi bersama kami,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kedua orang itu adalah tawanan kami,” berkata Ki Demang.

“Aku memerlukan mereka. Apakah ada yang ingin mempertahankan?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Demang terdiam. Ketika ia memandang orang-orang yang terluka serta mereka yang baru sadar dari pingsannya, orang-orang itu sama sekali tidak memberikan tanggapan apa-apa. Pandangan mata mereka nampak kosong dan redup.

Agaknya tidak seorangpun yang akan dapat menghalangi.

Meskipun demikian, Ki Demang itu pun berkata kepada Agung Sedayu, “Ki Sanak. Apapun yang kau kehendaki, akan dapat terjadi di sini, karena kalian berdua mempunyai kekuatan dan kemampuan yang lebih tinggi dari kekuatan dan kemampuan yang ada di kademangan ini. Karena itu, kalian akan dapat memaksakan segala kehendak kalian. Kami, orang se-kademangan ini tidak akan dapat membatalkannya. Tetapi aku ingin memperingatkan kepada kalian, bahwa kedua orang itu adalah tawanan kami. Jika kalian berdua masih menghormati hak-hak kami, maka kami minta kedua orang itu kalian tinggalkan di sini.”

Namun Agung Sedayu pun menjawab, “Maaf, Ki Demang. Orang-orang di kademangan ini juga tidak menghormati hak-hak kami sama sekali. Maksudku, kami berdua dan kedua orang ini. Apakah karena itu kami justru harus menghormati hak-hak orang-orang kademangan ini? Seandainya kami berdua tidak dapat melindungi diri kami, apakah jadinya dengan kami berdua? Itukah yang kalian maksud menghormati hak-hak orang lain, sebagaimana Ki Demang menuntut aku menghormati hak-hak orang-orang kademangan ini?”

Ki Demang menarik nafas panjang. Ia memang tidak dapat menjawab, karena yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu memang sudah terbukti.

Namun demikian, Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Tetapi Ki Demang. Seandainya kami berdua tidak datang kemari pun, kedua orang ini memang harus kalian lepaskan.”

“Kenapa?” bertanya Ki Demang.

Agung Sedayu pun kemudian berpaling kepada kedua orang itu. “Kenapa tidak kau tunjukkan kepada Ki Demang pertanda yang menyatakan siapakah kalian berdua ini?”

Wajah Ki Demang menjadi tegang. Sementara itu, kedua orang itu pun melangkah mendekati Ki Demang sambil berkata, “Ki Demang Panggilah dua orang saksi. Orang yang telah sadar dari pingsannya itu, atau siapapun. Jika mungkin lebih dari dua orang, itu lebih baik.”

Ki Demang menjadi semakin gelisah melihat orang yang pernah diikat pada tiang pendapa itu.

Namun Ki Demang pun telah memanggil orang-orang yang telah sadar dari pingsannya itu untuk mendekat.

“Jangan takut,” berkata Agung Sedayu, “kami bukan pendendam.”

Tiga orang berjalan tertatih-tatih mendekati Ki Demang. Sementara Ki Demang sendiri menjadi gelisah.

Demikian tiga orang itu mendekat, maka kedua orang itu menyingkapkan baju mereka untuk memperlihatkan timang yang melekat pada ikat pinggang mereka.

“Kau pernah melihat benda seperti itu, Ki Demang?” bertanya Agung Sedayu.

Wajah Ki Demang menjadi pucat. Sementara itu, orang-orang yang telah sadar dari pingsannya itu tidak tahu, benda apakah yang telah ditunjukkan oleh kedua orang itu.

Dengan suara yang bergetar Ki Demang berkata, “Pertanda keprajuritan dari Pati.”

“Ya,” sahut orang itu, “kami berdua adalah prajurit Pati.”

“Tetapi, kenapa Ki Sanak tidak mengatakannya sejak semula?” bertanya Ki Demang.

“Aku sengaja ingin tahu, apakah yang akan kalian lakukan terhadap orang-orang yang belum kalian kenal.”

Ki Demang menjadi sangat gelisah. Ia tidak dapat berkata lain kecuali, “Kami, kami tidak tahu, bahwa Ki Sanak berdua adalah prajurit dari Pati.”

“Kami sedang melakukan tugas sandi,” berkata orang itu, “dengan cara ini, kami tahu bahwa kalian telah memusuhi Pati.”

“Tidak. Tidak. Kami sama sekali tidak memusuhi Pati. Justru kami memperlakukan Ki Sanak seperti itu, karena kami tidak tahu bahwa Ki Sanak berdua ini prajurit Pati.” Ki Demang itu pun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih, “Apakah Ki Sanak juga prajurit dari Pati?”

“Tidak. Sudah aku katakan, bahwa kami berdua bukan prajurit. Tetapi kami berdua adalah pengembara yang menjelajahi Tanah ini. Kami ingin mendapat pengalaman yang lebih banyak. Baik mengenai kewadagan, maupun kejiwaan.”

Ki Demang itu benar-benar menjadi ketakutan. Bahkan ia mengira bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih itu juga prajurit sandi dari Pati, yang bertugas untuk membebaskan kedua orang yang telah ditangkap itu. Atau barangkali secara kebetulan mereka lewat, atau karena apapun.

Tetapi Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Beritahu saja orang-orangmu Ki Demang. Bahwa orang-orang kademangan ini telah menangkap, menyakiti, mengancam dan menghinakan prajurit Pati.”

“Tetapi Ki Sanak, kami mohon juga dimengerti. Suasana di kademangan ini menuntut agar kami menjadi sangat berhati-hati. Perampokan, perampasan, pencurian dan tindak kekerasan yang lain telah terjadi di kademangan kami. Karena itu, kami benar-benar menjadi sangat berhati-hati. Adalah sama sekali bukan maksud kami untuk memperlakukan prajurit Pati sebagaimana yang telah kami lakukan ini.”

“Sulit bagi kami untuk mempercayainya. Aku rasa, orang-orang padukuhan ini telah menyatakan tekadnya untuk tetap berdiri di belakang Mataram.”

“Tidak Ki Sanak,” sahut Ki Demang, “memang ada satu dua orang yang menyatakan agar kita semuanya berpihak kepada Mataram. Tetapi sebagian terbesar menolak.”

Telinga Glagah Putih menjadi panas. Tetapi tatapan mata Agung Sedayu memberikan isyarat kepadanya, agar ia tidak berbuat sesuatu.

Bahkan Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, “Jika demikian, beruntunglah kalian, bahwa kalian belum terlanjur berbuat lebih buruk lagi terhadap kedua orang prajurit dari Pati ini. Jika hal itu terjadi, maka nasib kalian pun akan menjadi sangat buruk. Padahal kedua orang prajurit Pati itu sengaja tidak mau menunjukkan pertanda keprajuritan mereka, karena mereka ingin tahu, sampai sejauh manakah sikap yang kalian maksudkan dengan berhati-hati itu.”

“Kami mohon ampun,” berkata Ki Demang kemudian.

“Baiklah,” berkata Apung Sedayu, “aku yakin bahwa para prajurit Pati ini akan mengampuni kalian.” Sambil berpaling kepada kedua orang prajurit Pati itu Agung Sedayu berkata, “Bukankah begitu?”

Kedua orang prajurit Pati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian hampir berbareng keduanya mengangguk.

“Ya,” berkata yang tertua, “kami akan mengampuni kalian.”

Demikianlah, Agung Sedayu, Glagah Putih dan kedua orang prajurit Pati itu pun kemudian telah meninggalkan banjar yang sudah menjadi sepi itu. Yang tinggal hanyalah orang-orang yang sedang mengerang kesakitan, mengeluh karena tubuhnya menjadi tidak berdaya, serta orang-orang yang kebingungan karena kepalanya menjadi sangat pening oleh benturan yang terjadi.

Namun dalam pada itu, ada juga beberapa orang yang berani mengamati banjar itu dari jarak yang agak jauh. Ada di antara mereka yang bersembunyi di belakang dinding halaman di seberang. Ada yang mengintip di sela-sela pintu regol yang hanya terbuka selebar jari.

Orang yang mengintip di belakang regol di seberang jalan terkejut, ketika Agung Sedayu yang lewat di depan regol itu berkata, “Selamat malam Ki Sanak yang mengintip di belakang pintu regol.”

Dengan serta merta orang itu merapatkan daun pintu regol. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu sama sekali tidak berhenti. Ia melangkah terus di sepanjang jalan. Beberapa langkah kemudian ia sempat menyapa pula, “Kenapa kau mengintip dari balik dinding? Keluar sajalah. Aku tidak akan menerkammu.”

Agung Sedayu memang tidak menghiraukan mereka lagi. Berempat mereka berjalan menembus kegelapan dan hilang di kelok jalan.

Orang-orang yang bersembunyi di balik pintu regol dan di balik dinding itu perlahan-lahan bergeser. Ketika mereka yakin bahwa keempat orang itu sudah menjadi semakin jauh, maka beberapa orang di antara mereka telah melangkah dengan sangat berhati-hati menuju ke regol halaman banjar.

Baru setelah mereka yakin bahwa dua orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi itu sudah tidak ada lagi di halaman, maka satu-satu orang-orang itu baru berani masuk ke dalam.

Ki Demang pun kemudian memanggil orang-orang itu agar mereka duduk di pendapa.

“Nasib kita memang buruk,” berkata Ki Demang.

“Kedua orang itu tentu memiliki ilmu iblis,” berkata orang yang bersembunyi dan mengintip dari balik regol seberang jalan, “orang itu dapat melihat aku yang berdiri di balik regol. Sementara itu malam gelap, dan tidak ada oncor di regol itu.”

“Ada oncor di regol halaman banjar.”

“Tetapi sinarnya tidak akan dapat menerangi tempat aku berdiri.”

“Orang itu juga melihat aku bersembunyi di balik dinding,” berkata yang lain.

“Ia mempunyai mata setajam mata burung hantu,” desis yang seorang lagi.

“Bukan itu,” potong Ki Demang, “ternyata mereka adalah prajurit dari Pati.”

“Prajurit dari Pati?” beberapa orang mengulanginya.

Kegelisahan kemudian telah mencekam. Seorang yang berjambang lebat berkata, “Kenapa mereka membiarkan kita mengikat dan memukuli, bahkan menghinakan mereka?”

“Menurut orang yang terikat itu, mereka sengaja membiarkan diri mereka diperlakukan seperti itu. Mereka ingin melihat, sampai ke batas manakah kita, orang-orang kademangan ini, menekan mereka dengan kekerasan. Baru dalam keadaan puncak, mereka akan menyatakan diri mereka, bahwa mereka adalah prajurit Pati.”

“Darimana Ki Demang tahu bahwa mereka prajurit Pati?”

“Mereka telah menunjukkan pertanda keprajuritan mereka. Timang khusus bagi para prajurit Sementara kedua orang yang datang kemudian itu tentu kawan-kawan mereka pula, meskipun keduanya sama sekali tidak mengakuinya. Keduanya tidak menunjukkan pertanda keprajuritan di ikat pinggang mereka.”

“Mereka sengaja menjebak kita. Mereka mencari alasan untuk menghukum kita,” berkata seseorang.

“Orang yang datang kemudian, yang kalian anggap mempunyai ilmu iblis itu, berkata kepada kita, bahwa para prajurit Pati tidak akan mendendam kita. Aku sudah mengatakan kepada mereka, bahwa semuanya ini kami lakukan justru karena kami harus sangat berhati hati pada suasana seperti sekarang ini.”

“Bagaimana tanggapan mereka?”

“Nampaknya mereka dapat mengerti,” jawab Ki Demang. Lalu katanya pula, “Tetapi aku harus mengatakan kepada mereka, bahwa kita sepadukuhan berpihak kepada Pati dan menentang Mataram.”

Orang-orang yang mendengar penjelasan Ki Demang itu termangu-mangu. Namun mereka memang tidak tahu, apakah mereka harus berdiri di pihak Pati atau di pihak Mataram, dalam suasana yang kalut itu.

Dalam pada itu, seorang di antara mereka bertanya, “Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang Ki Demang? Jika yang Ki Demang katakan itu terdengar oleh orang Mataram, maka besok yang datang justru orang-orang Mataram.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Besok, kita akan berbicara. Aku akan mengumpulkan semua bebahu, para Bekel dari padukuhan-padukuhan, dan orang-orang tua di kademangan ini.”

“Kita memang harus menentukan sikap,” berkata seseorang.

Namun Ki Demang pun berkata, “Tetapi kita juga harus melihat wajah sendiri. Jika kita berhati-hati dan tidak bertindak sewenang-wenang, maka kita tidak akan terlempar dalam satu keadaan yang rumit seperti sekarang ini. Kita harus bertanya kepada diri sendiri, kenapa kita harus mengikat kedua orang prajurit Pati itu, dan kemudian memperlakukan kedua orang yang datang kemudian dengan kasar, dan bahkan kita sudah mempergunakan kekerasan senjata dan benar-benar akan membunuh mereka.”

Orang-orang kademangan itu termangu-mangu sejenak. Pertanyaan Ki Demang itu telah menyentuh hati mereka.

“Kenapa?”

Tetapi segala sesuatunya sudah terjadi.

Meskipun demikian, orang-orang kademangan itu mau tidak mau harus menilai kembali sikap mereka terhadap orang-orang yang mereka anggap asing. Jika mereka dengan semena-mena menjatuhkan hukuman terhadap orang-orang yang mereka anggap asing, ternyata pada suatu saat akan dapat menimbulkan persoalan yang mencemaskan bagi seisi kademangan.

Dalam pada itu, Agung Sedayu, Glagah Putih dan kedua orang prajurit Pati itu telah berjalan semakin jauh dari kademangan itu. Kedua orang prajurit Pati yang merasa berhutang budi itu, di luar sadar telah banyak menceritakan keadaan dan persiapan yang dilakukan oleh Pati, setelah mereka dikalahkan oleh Mataram dalam perang yang terjadi di Prambanan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih berhasil memancing beberapa keterangan yang mereka perlukan bagi tugas mereka di Pati, tanpa menimbulkan kecurigaan.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian mengajak mereka untuk beristirahat untuk menghabiskan malam yang tersisa.

“Tidurlah,” desis Agung Sedayu kepada Glagah Putih, ketika mereka berhenti di sebuah pategalan yang nampaknya sudah agak lama tidak digarap. Mungkin ada hubungannya pula dengan perang yang baru saja terjadi, atau oleh sebab lain.

Tetapi Glagah Putih sempat bertanya, “Kakang sendiri bagaimana?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Besok aku akan mencari kesempatan untuk tidur, jika terasa mataku mengantuk.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ketika ia berpaling kepada kedua orang prajurit Pati itu, mereka pun telah berbaring pula di atas rerumputan kering. Tetapi Glagah Putih tidak tahu, apakah mereka berdua tidur bersama-sama, atau salah seorang dari mereka berjaga-jaga bergantian.

Tetapi malam yang tersisa tinggal beberapa saat saja, sehingga jika mereka harus bergantian, maka akhirnya kedua-keduanya tidak akan pernah sempat tidur.

Glagah Putih yang percaya kepada kakak sepupunya itu telah memejamkan matanya. Sebentar kemudian, Glagah Putih pun telah tertidur, justru karena ia merasa tenang ditunggui oleh kakak sepupunya.

Ketika fajar menyingsing, mereka berempat telah bersiap dan berbenah diri. Mereka sempat mandi di sebuah sungai kecil. Tetapi airnya yang jernih mengalir cukup deras.

Bersama kedua orang prajurit itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih menempuh perjalanan ke Pati. Kepada kedua orang prajurit itu Agung Sedayu berkata, “Aku belum pernah datang ke Pati.”

“Kota Pati tidak begitu rumit. Begitu kau berada di dalamnya, maka kau akan segera mengetahui segala sudut-sudutnya,” berkata prajurit itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi Pati masih jauh.”

Agung Sedayu pun menjawab, “Kami tidak tergesa-gesa. Kami adalah pengembara yang berjalan kemana saja dan kapan saja.”

“Apakah kalian ingin sampai ke Pati bersama kami?” tiba-tiba yang tertua dari kedua orang prajurit itu bertanya.

Agung Sedayu termangu-mangu. Bahkan kemudian iapun ganti bertanya, “Kenapa?”

“Ki Sanak. Bukan maksudku untuk menghindar dari Ki Sanak berdua. Aku sudah berhutang budi kepada Ki Sanak, karena Ki Sanak telah melepaskan kami dari tangan orang-orang kademangan itu.”

“Tanpa aku pun kalian berdua akan bebas,” sahut Agung Sedayu, “bukankah pertanda keprajuritan kalian memberikan kesan tersendiri kepada para penghuni kademangan itu?”

“Tanpa kalian berdua, belum tentu kami dilepaskan,” berkata prajurit yang tertua. “Bahkan mungkin demikian takutnya mereka menghadapi pembalasan, kami berdua justru dimusnahkan untuk menghilangkan jejak, karena kami tidak mempunyai kemampuan untuk melawan orang se-kademangan itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Agung Sedayu masih mencoba bertanya, “Seandainya kalian melakukannya, apakah kalian tidak dapat melawan mereka?”

“Tidak Ki Sanak. Kami berdua tidak berani mencoba sebagaimana kalian lakukan. Kalian nampaknya yakin akan dapat menang melawan orang-orang yang berada di halaman banjar itu. Kami yang hanya dapat menyaksikan sambil terikat, menjadi ngeri melihat orang-orang di banjar itu mengacu-acukan senjata mereka. Tetapi dengan senjata seadanya, Ki Sanak mampu mengalahkan mereka tanpa melakukan pembunuhan dengan semena-mena.”

Agung Sedayu tidak menjawab, sementara orang itu berkata selanjutnya, “Apa yang Ki Sanak lakukan, mencerminkan kepribadian Ki Sanak. Namun aku yakin bahwa Ki Sanak tidak akan mengatakan siapakah Ki Sanak sebenarnya. Karena itu, kami tidak bertanya lebih jauh tentang diri Ki Sanak berdua.”

“Sudahlah,” jawab Agung Sedayu, “sekarang apa yang kalian katakan? Apakah kalian berniat untuk memisahkan diri dan melakukan tugas kalian yang tersisa?”

Orang itu mengangguk. katanya, “Maaf Ki Sanak. Sebenarnya kami ingin mengantar Ki Sanak berdua sampai ke Pati. Tetapi sebagian tugas kami masih belum kami selesaikan. Karena itu, kami terpaksa memisahkan diri kami berdua untuk tugas-tugas itu.”

“Baiklah Ki Sanak. Kami hanya minta petunjuk saja. Seandainya kami pergi ke Pati, jalan manakah yang sebaiknya kami tempuh, meskipun belum tentu aku akan sampai ke Pati.”

“Kenapa?” bertanya prajurit Pati itu.

“Kadang-kadang niat kami berubah dengan tiba-tiba. Jika ada hal yang menarik perhatian kami, maka dapat saja rencana kami berubah pada saat itu juga.”

Prajurit prajurit Pati itu mengangguk angguk. Namun sambil berjalan, mereka telah memberikan petunjuk, jalan manakah yang sebaiknya dilalui untuk dapat sampai ke Pati.

“Ada beberapa jalur jalan yang dapat kalian lalui,” berkata prajurit yang tertua, “tetapi jalan itulah yang menurut pendapatku paling baik kalian tempuh. Meskipun sedikit agak jauh, tetapi tidak banyak hambatan yang kau hadapi, meskipun aku yakin bahwa kalian akan dapat mengatasi hambatan apapun juga di perjalanan.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk angguk. Dengan nada berat Agung Sedayu berdesis, “Terima kasih Ki Sanak. Mudah-mudahan kami mendapat kesempatan melihat-lihat kota Pati yang tumbuh dengan cepat itu.”

Kedua orang prajurit itu termangu-mangu sejenak. Yang tertua di antara mereka berkata, “Baiklah Ki Sanak. Kami mengucapkan selamat menempuh perjalanan panjang dalam pengembaraan Ki Sanak. Pergi atau tidak pergi ke Pati, semoga kalian menemukan apa yang kalian cari sepanjang pengembaraan, karena mustahil bahwa kalian tidak ingin menemukan sesuatu. Mungkin pengembaraan kalian merupakan laku untuk melengkapi dan mengembangkan ilmu kalian. Tetapi juga mungkin kalian mengemban kewajiban yang harus kalian lakukan atas perintah orang lain, atau justru karena beban kewajiban yang kalian letakkan sendiri di atas pundak kalian.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Kami pun berharap mudah-mudahan Ki Sanak berdua dapat menyelesaikan tugas yang kalian emban. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi dalam suasana yang lebih baik.”

Demikianlah, mereka pun berpisah. Kedua orang prajurit Pati itu telah menempuh jalan mereka sendiri. Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah menelusuri jalan yang lain.

Demikian mereka berpisah, prajurit Pati yang tertua itu pun berdesis, “Keduanya tentu bukan orang kebanyakan.”

“Ya,” sahut kawannya. “Tetapi apakah mungkin keduanya justru orang Mataram, atau setidak-tidaknya berpihak kepada Mataram? Karena dalam suasana seperti sekarang ini, kebanyakan orang hanya dapat berdiri di dua alas yang berseberangan, Pati atau Mataram. Sementara itu, keduanya tidak mungkin lepas dari pilihan itu.”

“Yang terang, mereka tidak berdiri di pihak Pati,” jawab yang tertua, “mereka tidak menunjukkan sikap sebagai prajurit Pati ketika mereka mengetahui bahwa kita berdua adalah prajurit Pati. Tetapi jika mereka prajurit Mataram, kenapa mereka bersikap begitu baik terhadap kita?”

Prajurit Pati yang muda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Entahlah. Tetapi kita memang harus memisahkan diri dari mereka. Tugas kita masih jauh.”

“Kita benar-benar harus berterima kasih kepada keduanya, karena kita sampai saat ini masih tetap hidup. Siapapun mereka. Bahkan seandainya mereka orang Mataram dalam tugas sandi di Pati.”

Keduanya mengangugk-angguk kecil.

Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun berjalan semakin jauh pula. Mereka mencoba mempercayai kedua orang prajurit Pati, dengan menempuh jalan sebagaimana mereka tunjukkan.

“Agaknya mereka tidak ingin menjerumuskan kita,” berkata Agung Sedayu.

“Aku juga mempercayai mereka Kakang,” sahut Glagah Putih, “mereka agaknya benar-benar merasa berhutang budi, meskipun mereka tetap mencurigai kita.”

“Ya. Mereka sudah berterus terang bahwa mereka tidak percaya bahwa kita benar-benar pengembara.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan ragu iapun kemudian berdesis, “Apakah keduanya sudah menduga bahwa kita datang dari Mataram?”

“Mungkin mereka tidak mengira sejauh itu. Mungkin mereka mengira bahwa kita adalah murid dari sebuah padepokan yang sedang menjalankan laku,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi mereka tentu juga memperhitungkan, bahwa padepokan yang ada pun hanya dapat mempunyai dua pilihan. Berpihak kepada Mataram atau Pati,” berkata Glagah Putih.

“Tetapi mereka telah memberikan beberapa keterangan tentang gerakan yang sekarang sedang dilakukan oleh Pati, serta tentang tugas mereka sendiri.”

“Mungkin mereka ingin sekedar membalas budi.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi jika mereka mengetahui atau setidak-tidaknya menduga bahwa kita orang-orang Mataram atau yang terlibat dalam pertempuran antara Mataram dan Pati, apakah mereka bersedia juga mengatakan beberapa keterangan yang menurut kita penting?”

Glagah Putih mengangguk angguk kecil.

Demikianlah, mereka berjalan menyusuri jalan bulak yang semakin lama menjadi semakin lengang. Panas matahari terasa membakar kulit.

Namun nampak bahwa kegiatan sehari-hari di lingkungan itu sudah mulai hidup kembali. Sawah sudah nampak terpelihara. Air parit pun sudah mengalir dengan derasnya. Jika mereka melewati padukuhan, maka kehidupan di padukuhan-padukuhan itu sudah nampak pulih kembali. Anak-anak nampak bermain-main di halaman. Bahkan sekelompok anak bermain bentik di jalan padukuhan.

Agaknya perang sudah dilupakan di daerah yang memang tidak tersentuh langsung oleh peperangan itu.

Semakin jauh mereka berjalan, mereka pun semakin yakin bahwa para prajurit Pati itu tidak membohongi mereka, apalagi menjerumuskan mereka ke dalam kesulitan.

Ketika mereka sampai di sebuah padukuhan yang besar, maka mereka pun singgah di sebuah kedai nasi. Meskipun kehidupan nampaknya wajar-wajar saja, tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih tetap berhati-hati.

Sambil minum dan makan Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat mendengarkan orang-orang di dalam kedai itu berbincang. Ternyata mereka membicarakan tenggang perintah dari Ki Demang untuk mengumpulkan kembali anak-anak muda serta laki-laki yang umurnya tidak lebih dari empat puluh lima tahun.

“Yang kemarin pergi sampai sekarang masih belum kembali. Sekarang mereka telah minta lagi anak-anak dan laki-laki terkuat di kademangan ini,” desis salah seorang dari mereka.

“Perang ternyata masih belum selesai,” berkata yang lain.

“Pati yang terpaksa menarik pasukannya, masih belum mengaku kalah,” berkata orang yang pertama.

“Kenapa daerah ini oleh Mataram diserahkan kepada Pati sebelum perang terjadi?” berkata seorang laki-laki setengah baya.

“Seandainya kita masih tetap berada di lingkungan kuasa Mataram, keadaannya akan sama saja. Kita pun harus mengirimkan laki-laki terbaik kita ke Mataram untuk berperang melawan Pati. Setelah daerah di sebelah Gunung Kendeng ini menjadi daerah Pati, maka laki-laki terbaik kita harus pergi ke Pati. Kita memang seharusnya berdiri di belakang Kanjeng Adipati Pragola, karena daerah kita ini sudah menjadi daerah Pati.”

“Kemudian kita harus memerangi Mataram, yang telah menyerahkan daerah ini kepada Pati.”

“Bukankah itu salah Mataram sendiri?” berkata seseorang yang berbadan kurus, “seandainya Mataram tidak menyerahkan wilayah di sebelah utara Gunung Kendeng ini kepada Pati, maka kita tidak akan ikut memerangi Mataram.”

Tetapi seorang yang berjanggut putih berkata, “Seharusnya Pati menghentikan perlawanannya terhadap Mataram setelah kekalahannya di Prambanan. Seandainya Pati akan mengulangi serangannya, maka yang terjadi hanyalah kesia-siaan saja. Korban yang berjatuhan dan biaya yang terhambur tanpa arti. Katakan, Pati menyusun rencana dan perhitungan baru. Mereka melihat jalan yang lain untuk sampai ke Mataram. Namun Mataram yang memiliki ketajaman penglihatan akan dapat membacanya jauh sebelum pasukan itu sampai. Seperti di Prambanan, pasukan Pati akan dihancurkan lagi. Bahkan akan menjadi jauh lebih parah lagi.”

Orang-orang itu pun terdiam Untuk beberapa saat mereka tidak saling berbicara lagi.

Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak.

Tetapi keduanya tidak berbicara apapun tentang persoalan yang sedang dibicarakan oleh orang-orang itu. Tetapi namapknya keduanya mendengarkan pembicaraan itu dengan baik.

Tetapi orang-orang itu tidak lagi banyak berbicara. Orang yang berjanggut putih itu pun kemudian meninggalkan kedai itu setelah membayar minuman dan makanan yang dipesannya.

Sepeninggal orang tua itu, maka seseorang berkata, “Ia adalah bekas prajurit Mataram.”

“Tetapi aku setuju dengan pendapatnya. Seharusnya kita tidak memusuhi Mataram.”

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Sanak kadang kita sudah berada di Pati, jika mereka tidak mati di Prambanan. Nah, apa kita dapat ingkar dari kewajiban itu?”

Yang lain terdiam. Rasa-rasanya memang tidak ada pilihan lain. Mereka harus memberikan lagi orang-orang terbaik yang tersisa di padukuhan itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang telah selesai makan dan minum, telah minta diri kepada pemilik kedai itu setelah mereka membayar harga. Sekali mereka berpaling. Dilihatnya beberapa orang yang sedang berbincang itu nampaknya bersungguh-sungguh, karena yang mereka bicarakan menyangkut sanak-kadang mereka, dan bahkan mereka sendiri.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang meninggalkan kedai itu justru telah mendapat beberapa kesimpulan. Meskipun perjalanan mereka masih belum sampai ke Pati, namun mereka sudah meyakini bahwa Pati sama sekali tidak mengakui kekalahan yang dialaminya di Prambanan. Hasil pembicaraan yang didengar Agung ‘Sedayu dan Glagah Putih dari orang-orang yang berada di kedai itu mengisyaratkan agar keduanya menjadi semakin berhati-hati.

Dalam pada itu, kedua orang itu tidak mengalami hambatan ketika mereka melintasi jalan-jalan bulak dan padukuhan-padukuhan berikutnya. Kehidupan padukuhan-padukuhan tampak wajar dan tidak ada gejolak yang nampak di permukaan.

Namun ternyata bahwa kegelisahan telah menyusup di dasar jantung, karena Pati masih memanggil anak-anak muda dan laki-laki yang masih pantas turun ke medan perang. Kegelisahan itu memang tidak segera dapat dilihat. Tetapi setiap pembicaraan akan segera menyangkut persoalan yang menggelisahkan itu.

Ketika malam turun, Agung Sedayu dan Glagah Putih mendapat kesempatan untuk bermalam di sebuah banjar padukuhan. Seperti ketika mereka berada di kedai itu, maka mereka pun telah mendengar keluhan-keluhan beberapa orang tentang panggilan itu.

Tetapi di banjar itu, seorang laki-laki yang masih nampak muda dengan berapi-api telah menjelaskan, betapa pentingnya mereka ikut serta turun ke medan perang untuk melawan Mataram.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang ditempatkan di sebuah ruangan yang disekat dengan dinding bambu setinggi tubuhnya di serambi belakang, dapat mendengar pembicaraan itu.

“Dengan perjuangan yang gigih, Kanjeng Adipati Pati telah membebaskan kita dari kungkungan kuasa Mataram. Kini kita harus menunjukkan bahwa kita dengan segenap hati mendukung perjuangan Kanjeng Adipati itu untuk selanjutnya. Pati memang harus menegakkan panji-panjinya.”

“Tetapi bukankah kekalahan Pati di Prambanan itu sudah menunjukkan bahwa Mataram memang terlalu kuat untuk dilawan?”

Tetapi orang yang tengah membakar hati kawan-kawannya itu menjawab, “Harus diakui bahwa saat itu Pati kurang mempersiapkan dirinya menghadapi perang besar. Karena itu maka Pati sekarang membuat persiapan sebaik-baiknya.”

Sejenak suasana menjadi hening. Namun kemudian seseorang berdesis, “Rasa-rasanya kami sudah sangat letih. Sejak Pati mempersiapkan perang di Prambanan itu, rasa-rasanya jantung kita selalu tertekan. Sampai sekarang sanak-kadang kita yang pada waktu itu pergi ke Prambanan bersama seluruh pasukan Pati, masih belum kembali.”

“Mereka tidak akan kembali,” jawab laki-laki itu, “mereka masih sangat dibutuhkan. Baru kemudian, setelah Mataram pecah, mereka akan kembali dengan membawa kemenangan.”

Seorang anak muda tiba-tiba berkata, “Baiklah. Bukankah masih ada waktu kira-kira sepekan sebelum kita pergi ke Pati? Nah, aku akan mengusulkan kepada Ki Bekel bahwa kita akan membentuk pasukan kecil. Kita akan pergi ke Pati sudah dalam satu kelompok.”

“Satu gagasan yang bagus,” berkata laki-laki yang dengan berapi-api menganjurkan agar orang-orang padukuhan itu bersedia mendukung perjuangan Kanjeng Adipati untuk melawan Mataram.

“Jika demikian,” berkata anak muda itu, “kita harus menunjuk seorang pemimpin.”

“Setuju,” berkata seorang yang lain.

“Siapakah di antara kita yang pantas untuk memimpin?” bertanya anak muda yang mempunyai gagasan menyusun pasukan itu.

Orang-orang yang sedang berbincang itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara orang-orang yang berkumpul itu tiba-tiba memecahkan keheningan dengan menunjuk anak muda yang mempunyai gagasan itu, “Kau. Kau sajalah.”

Tetapi dengan serta merta anak muda itu menyahut, “Bukan aku. Tetapi ada orang yang lebih pantas dari aku. Lebih tua dan lebih berpengalaman. Ia mempunyai kesadaran yang tinggi untuk bergabung dengan pasukan Pati.”

Kembali suasana menjadi hening. Baru anak muda itu berkata, “Kita akan menunjuk Kakang Wirasembada untuk memimpin kita.”

“Setuju!” teriak seseorang, yang disahut oleh orang-orang lain, “Bagus! Aku setuju!”

Banjar itu menjadi riuh. Namun laki-laki yang disebut itu, yang telah sesorah dengan berapi-api, tiba-tiba menjadi pucat. Dengan gagap ia berkata, “Jangan aku. Aku sudah terlalu tua untuk ikut berperang. Aku… aku akan menunjuk seorang yang lebih pantas untuk memimpin kalian.”

“Tidak!” orang-orang itu berteriak, “Kakang Wirasembada saja. Kakang Wirasembada!”

Orang itu menjadi sangat gelisah. Keringatnya mengalir membasahi punggungnya. Teriakan-teriakan orang-orang di banjar itu semakin keras, sehingga rasa-rasanya akan memecahkan selaput telinganya.

“Kita akan menghadap Ki Bekel. Kita bentuk pasukan kecil yang akan dipimpin oleh Kakang Wirasembada,” berkata seorang anak muda sambil mengacukan tinjunya.

“Setuju! Setuju!” teriak yang lain semakin keras.

Wirasembada menjadi gemetar. Katanya dengan gagap, “Jangan. Jangan aku. Aku tidak dapat meninggalkan istri dan lima orang anak-anakku yang masih kecil-kecil. Kedua orang tuaku sakit-sakitan, sedangkan mertuaku sudah pikun.”

“Tetapi Kakang yang paling berapi-api menganjurkan kami untuk berjuang. Kami memang akan pergi. Kami mengerti apa yang Kakang maksudkan dengan perjuangan itu. Nah, karena itu, marilah kita pergi bersama-sama.”

“Sudah aku katakan, jangan ajak aku.”

“Kakang sendiri yang menganjurkan agar kami maju ke medan perang. Kakang harus memberikan contohnya. Kakang harus ikut berperang bersama kami.”

Orang itu menjadi semakin kebingungan. Teriakan-teriakan orang-orang yang ada di banjar itu semakin nyaring terdengar di telinganya. Sehingga ketika ia berteriak karena kehilangan akal, maka suaranya hilang ditelan oleh teriakan-teriakan orang-orang yang berada di banjar itu. Mereka beramai-ramai mengelilingi Wirasembada sambil berteriak-teriak. Beberapa orang justru mengangkat Wirasembada di atas pundak mereka sambil berteriak nyaring, “Hidup Kakang Wirasembada! Hidup pemimpin kita!”

Seorang yang lain berteriak pula, “Senapati kita yang sakti mandra guna! Yang kebal terhadap segala jenis senjata dan ilmu!”

Wirasembada itu masih saja berteriak, “Tidak! Jangan! Jangan bawa aku ke medan perang. Aku takut!”

Tetapi teriakannya itu tidak terdengar oleh siapapun. Orang-orang yang mengangkatnya membawa berputar-putar halaman banjar sambil meneriakkan namanya.

Suara Wirasembada melengking semakin tinggi. Suara-suara gaduh itu semakin berputar-putar di kepalanya. Bayangan perang tiba-tiba saja mencengkam jantungnya. Ujung senjata yang bergetar mencuat di atas pasukan yang rampak bergerak, seperti ujung daun ilalang di padang bergetar dihembus angin lembut. Teriakan-teriakan dan jerit kesakitan. Dentang senjata, Darah. Tangis.

Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Suaranya yang memekik tinggi pun tiba-tiba terdiam.

Orang-orang yang mengusungnya terkejut ketika tiba-tiba saja Wirasembada terdiam dan tidak meronta lagi.

“Apa yang terjadi?” seseorang berbisik.

“Apa yang terjadi?” yang lain bertanya.

Akhirnya seseorang berkata, “Kita turunkan Kakang Wirasembada di pendapa.”

Ketika Wirasembada kemudian diletakkan di lantai pendapa, ternyata Wirasembada sudah pingsan.

“Ia mati,” seorang anak muda menjadi ketakutan.

Tetapi seorang yang lebih tua berkata, “Tidak. Ia tidak mati. Ia pingsan. la kelelahan menjerit-jerit dan meronta-ronta.”

Namun orang lain berkata, “Tidak. Bukan karena lelah. Tetapi ia menjadi ketakutan. Ia tidak berani ikut pergi ke Pati menjadi seorang prajurit, dan turun ke medan perang melawan Mataram.”

“Tetapi ia menganjurkan kita untuk berjuang melawan Mataram sebagai prajurit Pati.”

“Ia menganjurkan orang lain melakukannya. Tetapi bukan ia sendiri,” berkata seorang yang lain.

“Jadi bagaimana?” bertanya seorang anak yang masih terlalu muda.

“Bagaimana apanya?” sahut yang lain. “Jelas. Ia menyuruhkan orang lain. Tetapi bukan dirinya sendiri.”

Sejenak halaman banjar itu menjadi hening. Namun seorang anak muda yang bertubuh tegap berkata, “Sekarang, kita rawat Kakang Wirasembada. Kasihan. Ia memang pingsan karena gelisah, lelah, tetapi juga ketakutan dan malu.”

Seorang anak muda kemudian telah mengambil air. Setitik demi setitik air itu diteteskan ke bibir Wirasembada yang pingsan. Seorang yang lain telah memijit-mijit kakinya yang dingin.

Baru beberapa saat kemudian Wirasebada itu mulai sadar. Dibukanya matanya perlahan-lahan. Beberapa saat ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya, dan apa pula yang telah dilakukannya.

Perlahan-lahan segala sesuatunya mulai membayang kembali di ingatannya. Bagaimana ia dengan berapi-api telah sesorah agar anak-anak muda bersedia untuk pergi ke Pati, ikut berjuang melawan Mataram. Bagaimana ia mendorong agar setiap laki-laki merasa ikut bertanggung jawab atas kekalahan Pati melawan Mataram di Prambanan.

Namun kemudian ia teringat pula, bagaimana anak-anak muda itu menunjuknya untuk menjadi pemimpin pasukan kecil dari padukuhan mereka untuk pergi ke Pati. Bagaimana anak-anak muda itu mengangkatnya, berteriak-teriak menyebut namanya.

Tiba-tiba Wirasembada itu bangkit. Tanpa mengatakan sesuatu, iapun segera berdiri dan melangkah tergesa-gesa meninggalkan banjar, meskipun mula-mula langkahnya tertatih-tatih.

Orang-orang yang berdiri di halaman itu termangu mangu. Tetapi tidak ada di antara mereka yang mencoba menahannya. Mereka membiarkan Wirasembada itu menyusup keluar pintu regol halaman dan turun ke jalan. Dengan tergesa-gesa pula ia menghilang di dalam kegelapan.

Beberapa orang yang ada di halaman banjar itu saling berpandangan. Namun tiba-tiba saja seorang anak muda tertawa meledak. Suaranya menghentak-hentak, sehingga perutnya terguncang guncang.

Ternyata bahwa bukan anak muda itu seorang diri yang menahan tawanya. Demikian anak muda itu tertawa, maka beberapa orang pun telah tertawa pula berkepanjangan.

“Sudah menjadi kebiasaannya,” berkata seorang anak muda yang berjambang lebat.

Seorang yang sudah lebih tua, yang berjanggut lebat berkata, “Ia ingin menjadi seorang pahlawan. Tetapi ia seorang penakut. Karena itu, ia sering berbuat aneh-aneh, seolah-olah ia menjadi seorang pemimpin yang disegani dan mempunyai wibawa yang tinggi.”

“Sekali-sekali orang seperti itu memang harus mendapat peringatan serba sedikit,” berkata seorang bertubuh gemuk.

Namun orang yang berjanggut lebat itu berkata, “Tetapi jangan dihancurkan harga dirinya seperti itu. Ia akan dapat kehilangan segala-galanya. Biarlah ia berbangga dengan angan-angannya tentang pahlawan itu.”

Orang-orang yang berada di banjar itu terdiam. Beberapa orang mengangguk-angguk. Mereka memang merasa iba kepada Wirasembada yang telah dipermalukan oleh anak-anak muda itu.

Namun akhirnya orang-orang yang di banjar itu kembali mempersoalkan perintah untuk mengirimkan anak-anak muda serta laki-laki yang masih mampu dan pantas turun ke medan perang.

“Siapa yang akan pergi?” bertanya orang berjanggut lebat itu.

“Kita usulkan kepada Ki Bekel, biarlah mereka yang bersedia pergi dengan suka rela saja-lah yang akan berangkat ke Pati.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak dapat menahan diri untuk menyaksikan apa yang terjadi. Karena itu, keduanya telah keluar dari ruang yang disediakan baginya dan turun ke halaman samping.

Glagah Putih harus bertahan agar tidak ikut tertawa ketika ia menyaksikan Wirasembada yang dengan tergesa-gesa meninggalkan halaman banjar itu.

Tetapi ketika orang-orang di banjar itu duduk kembali di pendapa, mereka telah dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang memasuki regol halaman.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang berdiri di kegelapan di halaman samping, dan sudah mulai beranjak dari tempatnya untuk kembali ke ruang yang disekat di serambi itu, tertegun. Mereka mengurungkan niatnya, dan bahkan mereka duduk di bawah sebatang pohon kemiri yang besar.

Namun keduanya menjadi berdebar-debar ketika orang tua penunggu banjar itu datang mendekatinya.

Tetapi ternyata penunggu banjar itu justru duduk di sebelahnya sambil berkata, “Yang berbaju lurik coklat bergaris-garis hitam itu adalah Ki Bekel. Yang berbaju hitam ketan ireng itu adalah Ki Jagabaya padukuhan. Dua orang bebahu, dan yang dua orang itu aku belum pernah mengenalnya.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada berat Agung Sedayu berdesis, “Apakah ada yang penting?”

“Entahlah,” jawab penunggu banjar itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak bertanya lagi. Mereka menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Ki Bekel kepada orang-orang yang berada di banjar itu.

Tetapi nampaknya Ki Bekel tidak segera memberikan sesorah. Tetapi Ki Bekel justru memerintahkan untuk memukul kentongan.

Sejenak kemudian kentongan di banjar itu sudah bergema menggetarkan udara di atas padukuhan itu.

“Isyarat apakah itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Irama dara muluk ganda adalah isyarat agar orang-orang padukuhan ini berkumpul di banjar.”

“Malam-malam begini?” bertanya Glagah Putih.

“Tentu ada yang penting,” jawab penunggu banjar itu.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, beberapa orang laki-laki telah berdatangan dan berkumpul di halaman banjar. Anak-anak remaja, yang sudah menjadi dewasa, yang sudah berkeluarga namun masih terhitung muda, orang-orang separuh baya, dan bahkan mereka yang sudah terhitung tua.

Di luar sadarnya Agung Sedayu pun bertanya kepada penunggu banjar itu, “Apakah daerah ini sudah termasuk daerah Pati?”

“Ya,” jawab penunggu banjar itu, “daerah ini sudah diserahkan kepada Pati oleh Panembahan Senapati di Mataram.”

“Bagaimana menurut pendapat Ki Sanak? Lebih baik menjadi daerah yang berkiblat ke Mataram atau Pati?” bertanya Agung Sedayu.

“Sama saja,” jawab orang itu, “kehidupan kami tidak berubah. Pengaruhnya tidak terasa sama sekali. Apalagi sejak semula sentuhan kuasa Mataram tidak begitu terasa di sini. Mungkin karena jarak yang panjang. Demikian pula kuasa Pati kemudian. Juga tidak terasa.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Bagaimana setelah perang antara Mataram dan Pati terjadi?”

“Juga sama saja. Jika kita tidak mengirimkan anak-anak muda dan bahkan laki-laki yang masih mampu bertempur ke Pati, pada akhirnya kami juga harus mengirimkannya Ke Mataram.”

“Bukankah ada bedanya? Seandainya daerah ini berada di dalam lingkungan kekuatan yang akhirnya menang?” bertanya Agung Sedayu pula.

Tetapi penunggu banjar itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada bedanya. Jika anak, suami, kakak atau adik kita mati di medan perang, maka kematian itu akan tetap membuat kita berduka. Kemenangan tidak akan membangkitkan mereka dari kubur.”

“Lalu, apakah artinya satu perjuangan bagi tanah kelahiran serta kampung halaman?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Haruskah kami memikul beban pengorbanan bagi satu pertengkaran keluarga? Kenapa di antara kita harus terjadi perang? Masing-masing mengaku berperang bagi masa depan yang lebih baik. Kenapa tidak bekerja bersama-sama saja?”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk angguk kecil. Mereka dapat mengerti bahwa kademangan yang terguncang-guncang ini menjadi sangat letih.

Sementara itu, di pendapa banjar, Ki Bekel berdiri menghadap kepada orang-orang yang berkumpul di halaman. Ki Bekel memberitahukan bahwa yang datang bersamanya itu adalah prajurit Pati yang bertugas untuk membawa laki-laki dan anak-anak muda ke Pati.

“Kalian dapat mendengar sendiri apa yang akan dikatakannya,” berkata Ki Bekel.

Apa yang dikatakan oleh prajurit Pati itu sudah dapat diduga sebelumnya. Dengan sedikit tekanan, padukuhan itu, seperti juga padukuhan-padukuhan yang lain, harus melaksanakan perintah Kanjeng Adipati. Dalam waktu sepekan, laki-laki di padukuhan itu yang masih mampu bertempur akan berkumpul di Kademangan. Bersama-sama, mereka kemudian akan berangkat ke Pati.

“Kita harus merebut kembali kemenangan atas Mataram yang lepas di Prambanan.”

Dengan kerut di kening orang-orang yang ada di halaman banjar itu mendengarkan sesorah kedua orang prajurit itu. Yang mereka katakan sama seperti yang dikatakan oleh Wirasembada.

Agung Sedayu dan Glagah Putih ikut mendengarkan sesorah itu.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih yang belum sampai menginjakkan kakinya di Pati itu sudah dapat menyusun laporan, seandainya mereka langsung kembali ke Mataram.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih bertekad untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Malam itu, setelah Ki Bekel, para bebahu dan prajurit dari Pati itu meninggalkan banjar, maka banjar itu menjadi sepi. Tinggal beberapa orang anak muda yang bertugas meronda saja-lah yang tinggal. Dari mulut mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih mendengar bahwa padukuhan itu telah mengirimkan anak-anak mereka yang terbaik sebelumnya, yang masih belum kembali.

“Padukuhan ini akan menjadi kosong. Hanya laki-laki tua, remaja dan perempuan saja-lah yang ada. Mereka tentu tidak akan mampu menggarap sawah padukuhan ini seluruhnya.”

“Perang selalu menggelisahkan,” sahut yang lain, “seandainya kita tidak mati pun, namun tatanan kehidupan yang kita tinggalkan akan mengalami kesulitan.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang sudah ada di dalam biliknya itu telah berbaring. Mereka berjanji untuk tidur bergantian.

“Kakang tidur saja-lah dahulu,” berkata Glagah Putih.

Pagi-pagi sekali keduanya telah terbangun. Mereka harus segera mempersiapkan diri agar mereka dapat berangkat sebelum matahari terbit. Agung Sedayu dan Glagah Putih berharap, bahwa pada hari itu mereka akan dapat sampai ke Pati.

Perjalanan panjang itu akhirnya berakhir. Kedua orang itu telah berada di Pati sebelum senja.

Mesikpun Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat kesiagaan yang tinggi, tetapi kehidupan di Pati nampaknya masih berjalan sewajarnya. Jalan-jalan masih nampak ramai, meskipun senja mulai turun.

“Dimana kita bermalam?” bertanya Glagah Putih, “agaknya kita tidak dapat bermalam di banjar-banjar yang terdapat di dalam kota. Kita akan dicurigai. Seribu pertanyaan harus kita jawab.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun sadar bahwa dalam keadaan siaga seperti Pati saat itu, akan mudah timbul kecurigaan yang dapat membahayakan keselamatan mereka. Jika terjadi benturan kekerasan, keduanya tidak akan dapat meyakinkan bahwa mereka akan dapat melindungi diri sebagaimana terjadi di padukuhan, karena di Pati tentu banyak terdapat orang berilmu tinggi yang akan dapat ikut campur. Bukan saja prajurit Pati, tetapi yang bukan prajurit pun tentu ada yang berilmu tinggi.

Karena itu, mereka memutuskan untuk tidur di tempat yang terlindung. Dengan nada rendah Agung Sedayu berkata, “Tentu ada tempat bagi kita berdua di kota yang terhitung luas ini.”

Sebenarnyalah Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat menemukan tempat yang mereka cari. Di tepian sungai yang nampaknya memang jarang di sentuh kaki.

Ternyata Agung Sedayu dan Glagah Putih menganggap bahwa tempat itu akan dapat mereka pergunakan selama mereka berada di Pati dalam tugas itu.

Tidak banyak yang harus dilakukan oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka telah mendapat bahan yang cukup selama mereka berada di perjalanan. Namun di Pati keduanya mendapat keterangan lebih jauh tentang persiapan Pati menghadapi Mataram.

Pati telah menghimpun kekuatan sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya. Para prajurit yang kembali dari Prambanan dalam pasukan yang terluka parah, telah melatih anak-anak muda dan laki-laki yang masih mampu turun ke medan perang, untuk dipersiapkan sekali lagi menyerang Mataram.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang menyusuri jalan-jalan di Pati harus sangat berhati hati karena kesiagaan Pati yang tinggi. Meskipun kehidupan sehari-hari berjalan wajar, seakan-akan tidak terjadi apapun juga, namun Agung Sedayu dan Glagah Putih merasa betapa di jalan-jalan petugas sandi Pati berkeliaran untuk mengamati keadaan.

Dua hari Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di Pati, keduanya sudah dapat memperhitungkan apa yang akan dilakukan oleh Kanjeng Adipati Pragola dari Pati.

Meskipun Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak mempunyai jembatan untuk berhubungan langsung dengan orang-orang dan apalagi prajurit Pati, tetapi apa yang didengarnya, kegelisahan dan kesiapan yang ada di Pati, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak akan ragu-ragu lagi bahwa Pati telah bangkit dari kekalahannya di Prambanan dan siap untuk bertempur lagi dengan Mataram dalam perang gelar yang besar.

Setiap hari Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat prajurit berkuda yang pergi dan datang di pintu gerbang kota. Mereka prajurit-prajurit yang bertugas sebagai penghubung dengan daerah-daerah yang jauh dalam masa persiapan itu.

“Kita tidak boleh terlambat,” berkata Agung Sedayu, “kita harus segera kembali dan memberikan laporan tentang persiapan ini. Jika kita terlambat, maka Mataram akan dapat ditembus sebelum bersiap untuk mengadakan perlawanan.”

“Tetapi untuk pergi ke Mataram diperlukan persiapan yang matang,” berkata Glagah Putih, “mereka harus mempunyai persediaan pangan yang cukup, perlengkapan dan senjata yang memadai.”

“Bukankah kita sudah melihat lumbung yang penuh dengan bahan pangan di banyak tempat dalam kota ini?” berkata Agung Sedayu.

“Tetapi bahan pangan itu harus disediakan di sepanjang perjalanan yang akan dilalui pasukan Pati, yang pemah dilakukan sebelum terjadi perang besar di Prambanan.”

“Tetapi Pati dapat melakukan cara lain, Glagah Putih. Persediaan makanan dan perlengkapan itu dapat bergerak bersama gerak pasukannya.”

“Tetapi tentu diperlukan alat pengangkutan yang sangat besar.”

“Ya. Dan agaknya Pati mampu mempersiapkannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi kemudian iapun berkata, “Baiklah. Kita akan segera kembali ke Mataram.”

“Apa yang kita lihat, keterangan dua orang prajurit yang kita selamatkan itu, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di sepanjang jalan, telah memberikan bahan yang cukup bagi kita,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Dengan demikian, keduanya pun telah memutuskan untuk segera kembali ke Mataram.

Pagi-pagi sebelum matahari naik, keduanya sempat singgah di sebuah kedai dekat pasar untuk makan. Nasi yang hangat dan minuman yang masih mengepul membuat tubuh mereka menjadi segar. Dengan demikian, mereka akan dapat menempuh perjalanan dengan lebih cepat.

Namun di luar dugaan Agung Sedayu dan Glagah Putih, ternyata ada dua orang petugas sandi Pati yang mengamatinya atas petunjuk seorang perwira prajurit Pati.

“Rasa-rasanya aku pernah melihat seorang di antara mereka,” berkata perwira itu.

“Dimana Ki Rangga pernah melihatnya?” bertanya prajurit sandi itu.

“Di Prambanan. Ketika perang gelar itu terjadi. Orang itu adalah salah seorang pemimpin kesatuan di dalam pasukan Mataram. Rasa-rasanya memang lupa-lupa ingat. Tetapi amati mereka. Jika perlu, ajak mereka berbicara.”

Kedua orang prajurit sandi itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat bekerja dengan tergesa-gesa. Mereka tidak dengan serta merta menemui dan berbicara dengan keduanya.

Karena itu, maka kedua orang prajurit sandi itu telah mengikuti Agung Sedayu dan Glagah Putih sejak dari kedai itu.

Namun ternyata Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mempunyai ketajaman panggraita, dapat mengetahui bahwa dua orang selalu mengikuti mereka. Bahkan ketika mereka mendekati pintu gerbang kota.

“Kedua orang itu tentu mencurigai kita,” berkata Agung Sedayu.

“Apa yang akan kita lakukan, Kakang?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Kita berjalan terus. Mudah-mudahan setelah kita keluar dari pintu gerbang, mereka tidak mengikuti kita lagi.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih berjalan terus. Mereka tidak hanya berdua melintasi pintu gerbang. Beberapa orang lain juga berjalan melewati pintu gerbang itu. Ada yang masuk dan ada yang keluar. Bahkan ada orang berkuda yang lewat tanpa hambatan.

Para prajurit yang bertugas hanya mengamati saja orang-orang yang lewat, tanpa menghentikan dan menegur mereka.

Agung Sedayu dan Glagah Putih juga tidak dihentikan. Mereka lewat seperti orang-orang lain yang sedang lewat. Namun demikian Agung Sedayu keluar dari regol, dua orang yang mengikutinya menemui pemimpin prajurit yang bertugas. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau lihat dua orang yang baru saja lewat?”

“Yang seorang masih sangat muda?” bertanya pemimpin prajurit yang bertugas.

“Ya,” jawab prajurit sandi itu.

“Aku mendapat tugas untuk mengamati mereka.”

“Kenapa?”

“Ki Rangga pernah melihat salah seorang dari mereka di Prambanan. Orang itu adalah salah seorang perwira prajurit Mataram yang ikut bertempur di Prambanan.”

Pemimpin prajurit yang bertugas itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga berada di Prambanan saat itu. Tetapi begitu banyak prajurit yang terlibat, sehingga mungkin sekali aku tidak melihatnya.”

“Beri aku beberapa orang prajuritmu. Aku akan menghentikan mereka dan bertanya tentang keduanya.”

Pemimpin prajurit itu segera memerintahkan empat orang prajuritnya. Tetapi hanya seorang dari kedua orang prajurit sandi itu yang menyusul Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sedangkan yang seorang lagi akan memberikan laporan kepada Ki Rangga, yang merasa telah mengenal salah seorang dari kedua orang itu.

Demikianlah, lima orang prajurit berkuda telah menyusul Agung Sedayu dan Glagah Putih, yang masih belum terlalu jauh dari pintu gerbang.

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang menjadi berdebar debar. Mereka segera mengetahui bahwa prajurit berkuda itu tentu menyusul mereka berdua. Tetapi keduanya tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar.

Beberapa orang yang juga sedang berjalan lewat jalan itu, ikut menjadi gelisah. Tetapi mereka segera pula mengetahui bahwa para prajurit berkuda itu telah menyusul kedua orang yang baru saja meninggalkan gerbang kota.

Keempat orang prajurit dan seorang prajurit sandi itu memang berhenti demikian mereka melampaui Agung Sedayu dan Glagah Putih. Berlima mereka meloncat turun.

Agung Sedayu dan Glagah Putih terpaksa berhenti pula.

“Maaf Ki Sanak,” prajurit sandi itu-lah yang melangkah mendekat, “barangkali kami terpaksa mengganggu perjalanan Ki Sanak berdua.”

“Apakah ada kepentingan Ki Sanak dengan kami berdua?” bertanya Agung Sedayu.

“Ki Sanak. Kami minta Ki Sanak dapat mengerti. Kami tidak bermaksud apa apa. Kami hanya ingin bertanya, siapakah Ki Sanak berdua ini?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun menjawab, “Namaku Samekta, dan ini adikku Sembada.”

“Apakah Ki Sanak berdua juga orang Pati?” bertanya prajurit sandi itu.

“Bukan Ki Sanak. Kami orang Kuwu, sebuah padukuhan di tepi Kali Gandu.”

Glagah Putih harus mendengarkan jawaban kakak sepupunya dengan baik, agar ia tidak salah menanggapinya jika orang-orang itu bertanya pula kepadanya.

“Dimanakah letak Kali Gandu?” bertanya prajurit sandi itu.

Namun seorang di antara para prajurit itu berdesis, “Di sebelah utara Gunung Kendeng.”

Prajurit sandi itu berpaling. Dipandanginya prajurit itu dengan sorot mata yang tajam. Tetapi prajurit itu justru berkata, “Ya, benar. Sebelah utara Gunung Kendeng. Kali Gandu adalah sebuah sungai yang tidak begitu besar, yang bermuara pada Kali Lusi, kepanjangan Kali Serang.”

Karena prajurit itu tidak segera diam, maka seorang prajurit yang lain, yang umurnya lebih tua daripadanya, berdesis, “Ia tidak bertanya kepadamu.”

“O,” prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Maaf. Aku berasal dari padukuhan Panjang, sebelah padukuhan yang bernama Kuwu di pinggir Kali Gandu itu.”

“Benar Ki Sanak,” sahut Agung Sedayu, “kami berdua meninggalkan Kuwu karena kami sedang mencari paman kami, yang pergi meninggalkan Kuwu tanpa kami ketahui arahnya. Tetapi beberapa hari sebelumnya, paman kami itu telah mengatakan kepada tetangga-tetangga kami, bahwa Paman ingin pergi ke Pati.”

“Siapakah nama paman Ki Sanak?” bertanya prajurit itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi semakin berdebar-debar.

Namun Agung Sedayu itu pun kemudian menjawab, “Namanya Wiranata. Ki Lurah Wiranata.”

“Wiranata,” prajurit yang sejak semula berbicara itu telah menyahut lagi, “Ki Lurah Wiranata. Aku pernah mendengar namanya. Aku tidak yakin apakah aku sudah pernah melihatnya atau belum. Tetapi yang aku tahu, ia seorang pemimpin sebuah padepokan.”

Prajurit yang lebih tua itu berkata pula, “Apakah kau tidak dapat diam?”

“O, maaf. Tetapi aku mengetahui tentang Ki Lurah Wiranata.”

“Cukup!” bentak orang yang lebih tua.

“O, maaf,” desis prajurit itu.

Dalam pada itu, prajurit sandi itu pun telah bertanya pula, “Apakah Ki Sanak bertemu pamanmu yang bernama Ki Lurah Wiranata itu?”

“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “aku sudah mengelilingi seluruh kota Pati. Aku sudah menyusuri jalan-jalan, dan bahkan aku sudah menyelinap di antara orang-orang yang berdesakkan di pasar. Tetapi aku tidak menjumpai Paman Wiranata.”

Prajurit sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Jawaban Agung Sedayu yang lancar itu nampaknya dapat dipercaya. Meskipun demikian, prajurit sandi itu tidak segera melepaskan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Ia sengaja memperpanjang waktu sambil menunggu seorang perwira prajurit yang merasa pernah bertemu dengan salah seorang dari kedua orang itu.

Karena itu, orang itu masih bertanya lagi, “Apakah menurut dugaan kalian, pamanmu ikut bergabung dengan prajurit Pati bertempur dengan prajurit Mataram di Prambanan?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi Paman tentu sudah terlalu tua untuk menjadi seorang prajurit.”

“Secara umum memang demikian. Tetapi ada seorang yang semakin tua justru menjadi semakin berbahaya. Kemampuan dan ilmunya menjadi semakin masak.”

“Tetapi tentu sampai pada satu batas tertentu, wadag seseorang, betapapun tinggi ilmunya, tidak akan mampu mendukungnya lagi.”

“Ya, tentu,” jawab prajurit sandi itu.

“Baiklah Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu kemudian, “jika sudah tidak ada pertanyaan lain, kami mohon diri. Kami ingin meneruskan perjalanan kami.”

“Kalian akan kemana?” bertanya prajurit sandi itu.

“Kembali ke Kuwu. Biarlah pada saatnya Paman akan kembali.”

Tetapi prajurit sandi itu masih ingin menahan Agung Sedayu lebih lama lagi. Katanya, “Apakah Ki Sanak ingin mencari paman Ki Sanak itu di antara para prajurit Pati? Jika Ki Sanak berniat demikian, kami akan berusaha membantu. Mungkin dalam satu dua hari kita akan dapat menemukannya.”

Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, “Tidak Ki Sanak. Terima kasih. Perkenankanlah kami mohon diri.”

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih memang terlambat. Perwira yang mengaku pernah melihat salah seorang di antara kedua orang itu di medan perang di Prambanan, telah datang ke tempat itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Mereka sadar bahwa ternyata mereka telah terjebak. Mereka baru sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berkepanjangan itu sekedar untuk mengikat agar mereka tidak segera meninggalkan tempat itu.

Tetapi segala sesuatunya telah terjadi.

Karena itu, Agung Sedayu pun kemudian berdesis, “Apa boleh buat.”

Glagah Putih ternyata tanggap terhadap pernyataan kakak sepupunya itu. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri.

Demikianlah, sejenak kemudian prajurit yang pernah melihat Agung Sedayu di medan perang itu pun telah meloncat turun. Demikian pula kedua orang yang menyertainya.

Sambil tersenyum perwira itu melangkah mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Agaknya kita pernah bertemu, Ki Sanak,” berkata perwira itu, “setidak-tidaknya kita pernah saling melihat meskipun hanya sekilas. Tetapi aku tidak akan pernah melupakan Ki Sanak.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih berusaha mengelak. Katanya, “Apakah Ki Sanak tidak salah lihat? Selama ini aku tinggal di Kuwu. Aku tidak pernah pergi kemana-mana.”

Tetapi perwira itu tertawa. Katanya, “Tidak Ki Sanak. Kau adalah seorang prajurit Mataram. Jika kau berada di sini sekarang, maka kau tentu sedang dalam tugas sandi. Karena itu, Ki Sanak tidak usah ingkar. Kalian berdua sekarang harus diadili.”

Prajurit sandi yang datang lebih dahulu itu pun berkata, “Menyerahlah Ki Sanak. Kami harus menangkap kalian.”

“Nanti dulu,” berkata Agung Sedayu, “apakah kalian tidak keliru?”

“Cukup. Kau membuat aku menjadi muak. Kalau kalian memang bukan prajurit Mataram, kalian tidak akan berada di medan perang di Prambanan.”

“Tetapi aku tidak berada di medan,” jawab Agung Sedayu.

“Baik. Jika kalian memang bukan petugas sandi Mataram, aku beri kesempatan kalian melarikan diri. Cepat.”

“Ki Rangga, jangan,” potong prajurit sandi itu.

Tetapi Ki Rangga itu membentak, “Jangan ikut campur. Aku adalah orang yang berjiwa besar. Aku memaafkannya. Karena itu, biarlah keduanya melarikan diri.”

Wajah petugas sandi itu menjadi tegang. Dengan lantang ia berkata, “Ki Rangga tidak dapat berbuat demikian. Biarlah mereka menyerah dengan cara yang baik. Bukan dengan cara yang Ki Rangga tawarkan. Kita pun memerlukan mereka berdua.”

“Cepat lari. Atau kami akan membunuh kalian berdua.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya prajurit sandi itu dengan tajamnya.

Dengan suara yang bergetar prajurit sandi itu berkata, “Kalian lebih baik menyerah daripada berusaha untuk melarikan diri.”

“Diam kau! Jangan ikut campur! Biarlah aku yang mempertanggung-jawabkannya,” bentak Ki Rangga.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih mengetahui cara licik dari Ki Rangga itu, karena hal seperti itu juga sering dilakukan oleh prajurit Mataram yang kehilangan pegangan. Mungkin karena bahaya maut selalu membayanginya. Mungkin karena-kawan baiknya, saudaranya atau bahkan keluarganya ada yang terbunuh di dalam perang, sehingga dendamnya membakar ubun-ubunnya. Orang-orang yang kadang-kadang bahkan dipaksa untuk melarikan diri, akan dibunuh dengan lemparan senjata ke arah punggung, dengan alasan bahwa orang itu lari dari tangkapan.

Karena itu, Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, “Kami tidak akan lari Ki Sanak. Kami sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri.”

Ternyata perwira itu benar-benar ingin membunuh. Dengan garang ia berkata, “Aku akan menghitung sampai lima. Jika kalian masih belum beranjak dari tempat kalian, maka kami akan membunuh kalian seperti membunuh musang.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Sebenarnya dengan ilmu meringankan tubuh, Agung Sedayu yakin akan dapat lolos dari tangan para prajurit Pati itu. Tetapi Glagah Putih tidak akan mampu mengimbangi kecepatannya melarikan diri.

Karena itu, maka Agung Sedayu menjawab sekali lagi, “Kami tidak akan melarikan diri, Ki Sanak.”

Wajah perwira itu menjadi tegang. Kemarahan dan dendam telah menghentak-hentak dadanya. Karena itu, iapun berkata kepada para prajurit, “Beri mereka senjata. Biar mereka berusaha untuk melindungi diri mereka.”

Karena prajurit-prajuritnya menjadi ragu-ragu, Ki Rangga itu membentak, “Cepat! Berikan senjata kepada mereka!”

Akhirnya Agung Sedayu-lah yang menjadi tidak telaten melihat sikap itu. Karena itu, iapun berkata, “Ki Sanak. Apa yang sebenarnya Ki Sanak kehendaki? Kalau Ki Sanak ingin menangkap kami, maka kami akan menyerah.”

Tetapi perwira itu menggeram. “Kami akan membunuhmu, lari atau tidak lari. Melawan atau tidak melawan.”

Prajurit sandi yang datang lebih dahulu itu masih mencoba mencegahnya. Katanya, “Ki Rangga. Apakah tidak ada kemungkinan yang lebih baik?”

“Aku yang bertanggung jawab. Jika kau melihat bagaimana buasnya orang-orang Mataram membunuh saudara-saudara kita, maka kau pun akan bersikap sebagaimana aku.”

Tetapi prajurit yang rumahnya dekat padukuhan Kuwu itu berkata, “Aku juga berada di Prambanan waktu itu. He, orang ini juga, dan prajurit brewokan itu juga. Kita semuanya berada di Prambanan waktu itu.”

“Cukup! Kau tidak membuka mata dan telinga waktu itu. Aku melihat darah mengalir dari luka arang keranjang. Telingaku mendengar jerit dan teriakan kesakitan dari mulut saudara-saudara kita. Karena itu, prajurit Mataram ini harus mati.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain. Di sekitar mereka ada delapan orang prajurit Pati. Jika terjadi pertempuran, tidak mau petugas sandi yang berusaha mencegah tindakan Ki Rangga itu tentu juga akan bergabung dengan Ki Rangga itu sendiri.

Karena itu, Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku tidak mau diperlakukan seburuk itu. Prajurit atau bukan, tetapi aku mempunyai hak untuk membela diri.”

“Bagus. Itulah yang aku tunggu, agar aku tidak dituduh membunuh orang dengan sewenang-wenang. Nah, tengadahkan wajahmu, berikan perlawanan sejauh dapat kalian lakukan, agar aku dapat membunuh kalian dengan tidak usah menyesal.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih bergeser mundur. Sudah sejak tadi Glagah Putih kehilangan kesabaran. Ia kadang-kadang tidak sabar menunggu kakak sepupunya itu mengulur-ulur waktu. Apalagi akhirnya mereka juga harus bertempur.

“Kenapa tidak sejak tadi Kakang Agung Sedayu memutuskan untuk bertempur?” geram Glagah Putih di dalam hatinya.

Seperti yang diperhitungkan oleh Agung Sedayu, ketika pertempuran itu kemudian benar-benar terjadi, maka para prajurit dan prajurit sandi itu telah berdiri di satu pihak. Prajurit sandi itu telah berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya kalian tidak melakukan perlawanan, karena dengan demikian kami mendapat peluang untuk membunuh kalian di tempat kejadian. Tetapi jika kalian menyerah, maka kalian akan mendapat kesempatan untuk hidup, jika kalian memang tidak bersalah.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar