Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 297

Buku 297

Pada hari pertama, kedua pasukan yang besar dari Mataram dan Pati seakan-akan masih tetap dalam keseimbangan. Kedua Senapati Agung dari kedua pasukan itu masih belum langsung turun ke medan. Keduanya masih mengendalikan pertempuran dari kepala gelar mereka masing-masing.

Meskipun korban telah berjatuhan di kedua belah pihak, tetapi kekuatan kedua pasukan itu rasa-rasanya masih belum menjadi susut. Sampai saatnya matahari turun, pertempuran masih bergelora dengan garangnya.

Namun kedua belah pihak terikat oleh kesadaran untuk menepati tatanan perang yang berlaku. Ketika matahari kemudian turun ke balik pegunungan, maka kedua belah pihak telah bersiap-siap untuk menghentikan pertempuran.

Mereka tidak dapat dengan serta merta menundukkan senjata mereka. Bagaimanapun juga mereka masih harus tetap berhati-hati. Betapapun jantannya hati seorang prajurit, namun mereka mungkin saja sulit mengekang diri pada saat-saat yang paling menentukan, meskipun sangkakala sudah mengumandang menggetarkan udara medan pertempuran.

Namun akhirnya Panembahan Senapati dan Kanjeng Adipati Pragola dari Pati telah memerintahkan pasukannya untuk mundur dari garis benturan, yang seakan-akan tidak bergeser dari tempatnya sejak pertempuran itu terjadi.

Namun pada saat-saat terakhir ternyata ujung cambuk Swandaru masih mampu menggapai lengan lawannya, sesaat sebelum sangkakala mengumandang di atas medan. Lengan itu telah terkoyak dan darah pun mengalir dengan derasnya.

Swandaru memang menjadi sangat kecewa bahwa ia tidak mempunyai lebih banyak kesempatan. Demikian lawannya terdorong surut dan terhuyung-huyung, maka dua orang prajurit Pati telah menangkap tubuh itu dan membawanya, hilang tertelan oleh gelombang para prajurit yang bertaut seperti air yang disibakkan oleh badan biduk yang meluncur di wajah air itu.

Tetapi Swandaru tidak sempat memburu dengan menembus lapisan prajurit yang menakup di hadapan Senapati yang terluka itu, sementara pertempuran seakan-akan telah terhenti. Kedua pasukan bergerak mundur ke arah yang berlawanan.

“Jika saja sangkakala itu tidak menyelamatkan nyawanya,” geram Swandaru.

Ketika malam turun, maka seperti yang terjadi di sebelah utara Mataram di sebelah timur Kali Code, beberapa kelompok prajurit dari kedua belah pihak telah menelusuri bekas medan pertempuran. Kelompok-kelompok prajurit dan pengawal yang mencari korban yang telah jatuh selama pertempuran berlangsung.

Seperti juga di sebelah utara Mataram, kelompok-kelompok prajurit yang berpihak Mataram dan Pati sama sekali tidak saling mengganggu. Mereka justru saling membantu menemukan korban dari kedua belah pihak.

Ketika malam menjadi semakin dalam dan pekerjaan mereka sudah hampir selesai, Agung Sedayu yang ikut berada di bekas medan itu sempat duduk berbincang dengan seorang Lurah prajurit dari Pati.

“Anakku semuanya sebelas orang dan masih kecil-kecil,” kata Lurah prajurit dari Pati itu. Hampir di luar sadarnya ia bertanya kepada Agung Sedayu, Brapakah anak Ki Sanak? Ki Sanak adalah seorang Lurah Prajurit yang terhitung masih muda.”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya dengan nada berat, “Aku belum mempunyai seorang anak pun.”

“O, apakah Ki Sanak belum berkeluarga?” bertanya orang itu.

“Sudah. Sudah agak lama. Adikku sudah mempunyai seorang anak yang manis, yang tumbuh dengan suburnya dan nampaknya akan menjadi anak yang kokoh. Adikku juga ada di barisan Mataram sekarang ini,” jawab Agung Sedayu.

Orang itu menarik nafas panjang. Katanya, “Jika besok kita bertemu di medan dan aku berhasil membunuhmu, maka yang menangisimu hanya seorang istri saja. Tetapi jika kau yang berhasil membunuhku, maka seorang istri dan sebelas orang anak akan menangisi aku. Bukan sekedar menangisi, tetapi bayangan masa depan mereka akan buram. Dua belas buah mulut yang selama ini aku suapi, akan kehilangan sumbernya. Meskipun orang-orang di bumi Pati akan menaburkan setumpuk kembang di atas makamku sekalipun, namun anak-anakku akan menjadi seperti sebelas ekor anak burung yang menetas dari telurnya, tetapi induknya yang pergi mencari makan tidak sempat pulang.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Jadi apakah hanya sedangkal itu landasan Ki Sanak untuk turun ke medan perang?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Tidak. Tentu tidak. Ada landasan cita-cita yang besar dan luhur. Perjuangan mencari satu tatanan baru di atas bumi Pati dan Mataram. Bumi yang pernah diberikan kepada dua orang saudara seperguruan dari Kanjeng Sultan Pajang. Namun yang hubungannya kemudian menjadi pincang karena ketamakan Panembahan Senapati.” Orang itu mengangkat tangannya sambil berkata, “Jangan membantah lebih dahulu. Aku tahu bahwa sudut pandanganmu sebagai prajurit Mataram tentu berbeda. Kau tentu tidak akan mengatakan bahwa Panembahan Senapati adalah seorang yang tamak. Kau tentu akan mengatakan bahwa Kanjeng Adipati Pragola-lah yang tamak dan tidak tahu diri di hadapan saudaranya yang lebih tua.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menelan kembali kata-katanya yang siap dilontarkanya.

“Namun bagaimanapun juga Ki Sanak, ada dua dunia yang terpisah. Aku sebagai seorang pejuang atas suatu cita-cita bersama, dan aku sebagai pilar satu kehidupan keluarga.” Ia terdiam sejenak, lalu, “Mungkin aku pahlawan dari satu sisi dari kedua duniaku itu, tetapi justru sampah pada sisi yang lain.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak membantah kata-kata prajurit Pati itu.

Sementara itu, agaknya tugas kelompok-kelompok yang mencari korban yang jatuh di sepanjang bekas medan pertempuran itu sudah selesai. Karena itu, maka Lurah prajurit Pati itu pun berkata, “Selamat malam Ki Sanak. Aku besok akan turun ke medan sebagai seorang prajurit sejati. Ingat, aku dapat saja membunuhmu, atau sebaliknya kau membunuhku. Kita akan menjadi seorang pahlawan dari satu perjuangan atas satu cita-cita. Satu tatanan baru dalam hubungan keluarga besar Pati dan keluarga besar Mataram.”

“Apakah tatanan baru itu tentu menjadi lebih baik?” bertanya Agung Sedayu.

“Menurut sisi pandang kita masing-masing,” jawab orang itu, “tetapi jika kita masih tetap berdiri pada cita-cita semula, maka tatanan baru di hadapan akan menjadi lebih baik menurut penilaian kewajaran.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku hargai sikapmu. Ternyata kau tidak duduk di bawah tempurung yang menelungkup.”

Prajurit Pati itu mengerutkan dahinya. Namun iapun tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Agung Sedayu menyambut tangan itu sambil berkata, “Selamat malam.”

“Selamat malam,” jawab Lurah prajurit dari Pati itu, “meskipun aku seorang prajurit, tetapi lebih senang jika perang tidak terjadi.”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Mudah-mudahan anak cucu kita kelak akan menemukan satu jaman dimana perang akan tidak dikenal lagi.”

“Satu mimpi yang indah,” desis prajurit Pati itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tetapi bukankah kita berharap bahwa mimpi itu menjadi Daradasih?”

“Mudah-mudahan,” Lurah prajurit Pati itu tersenyum, “anak cucu kita tidak mengalami perang seperti yang kita alami sekarang. Pengalaman yang sangat pedih. Menang atau kalah.”

Tetapi tiba-tiba Agung Sedayu terbanting ke dalam masalah pribadinya, “Ya, anak cucumu.”

Prajurit Pati itu menepuk bahu Agung Sedayu, “Pada saatnya kau akan mempunyai seorang anak laki-laki yang gagah seperti kau. Kita akan berdoa bersama-sama, agar anak-anak kita tidak akan pernah bertemu di medan perang.”

“Bukankah kita bermimpi bahwa di masa depan akan datang jaman dimana perang tidak dikenal lagi?”

Keduanya tertawa. Dua orang Lurah prajurit dari pasukan yang saling bermusuhan. Namun betapa asamnya tawa itu sendiri.

Demikianlah, keduanya berpisah kembali ke perkemahan masing-masing. Namun keduanya berharap bahwa mereka besok tidak bertemu di medan perang yang akan membakar dataran di sebelah barat Kali Dengkeng itu.

Ketika Agung Sedayu sampai di perkemahan, ia telah mendapat perintah-perintah apa yang harus dilakukannya esok pagi. Panembahan Senapati telah mengambil keputusan bahwa besok pasukan Mataram akan turun kembali ke medan, tanpa menghiraukan apakah Pati akan memasang gelarnya lagi atau tidak.

“Jika Pati tidak keluar dari bentengnya, maka kita akan memasuki benteng itu.”

Tetapi pada saat yang sama, Pati juga memutuskan untuk melepas pasukannya dalam gelar yang sama. Tetapi apa yang terjadi dalam dua kali benturan kekuatan, menjadi bahan penyusunan kekuatan di hari yang akan datang.

“Kita jangan memberi kesempatan kepada pasukan Mataram untuk menghindarkan diri dari silaunya matahari pagi,” perintah Kanjeng Adipati Pati, “meskipun seandainya garis perang bertahan hingga cahaya matahari menjelang senja. Tetapi perubahan-perubahan akan dapat terjadi selama pertempuran berlangsung.”

Para Senapati Pati mengangguk-angguk. Mereka menyadari, meskipun nampaknya tidak terlalu penting, tetapi silaunya cahaya matahari pagi akan sangat berpengaruh atas ketajaman penglihatan prajurit Mataram. Jika pada benturan pertama prajurit Mataram mengalami kesulitan, maka untuk seterusnya para prajurit Mataram akan mengalami goncangan-goncangan.

Malam itu, para prajurit Pati dan Mataram yang akan turun ke medan berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya. Agung Sedayu pun telah beristirahat pula. Swandaru yang mengetahui bahwa Agung Sedayu bertugas di bekas medan pertempuran, maka ia tidak datang mencarinya. Tetapi Swandaru yang kecewa karena tidak sempat menyelesaikan pertempuran, telah berbaring sejak malam turun. Ia menugaskan beberapa orang pengawal untuk mencari para pengawal Sangkal Putung yang mengalami cedera dan gugur dalam pertempuran.

Di dini hari, para prajurit Mataram dan Pati pun telah mulai mempersiapkan diri. Ketika asap di dapur mulai mengepul, para prajurit mulai berbenah diri pula. Mereka melihat kembali senjata-senjata mereka. Yang senjatanya rusak atau patah, telah mendapatkan yang baru.

Agung Sedayu telah mulai bersiap-siap pula. la sempat menilik prajurit-prajuritnya. Agung Sedayu sempat memberikan peringatan-peringatan dan pesan-pesan, yang bukan saja membesarkan hati para prajuritnya, tetapi juga memberikan beberapa pilihan yang dapat mereka lakukan di medan pertempuran.

Beberapa saat sebelum keseluruhan pasukan Mataram itu dipersiapkan dalam gelar, Swandaru sempat mengunjungi Agung Sedayu. Seperti biasanya ia memberikan beberapa pesan kepada kakak seperguruannya itu, sambil menceritakan kekecewaannya karena ia tidak sempat menyelesaikan lawannya sampai tuntas.

“Orang itu tidak akan berani menemui aku lagi di medan,” berkata Swandaru, “jika besok pagi ia muncul lagi, maka aku yakin ia tidak akan sempat keluar lagi dari medan pertempuran.”

Agung Sedayu hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia percaya bahwa adik seperguruannya itu mempunyai kelebihan dari seorang Senapati Pati.

Tetapi Swandaru tidak terlalu lama berbicara dengan Agung Sedayu, karena pasukan Mataram segera dipersiapkan langsung dalam gelar sebelum pasukan itu mulai bergerak.

Hari itu, baik Mataram maupun Pati tidak merubah gelar yang telah dipergunakan. Mataram dengan gelar Garuda Nglayang, sementara Pati menggunakan gelar Supit Urang.

Beberapa saat kemudian, Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada para Panglima pasukannya untuk bersiaga sepenuhnya. Isyarat yang pertama, pasukan harus sudah berada di dalam barisan dari kesatuan masing-masing dan siap memasuki gelar sesuai dengan tempat yang ditentukan bagi mereka.

Ketika kemudian oleh petugas penghubung diberikan isyarat yang kedua, maka setiap kesatuan segera berada di dalam gelar dan siap untuk bergerak. Isyarat yang ketiga pertanda bahwa gelar Garuda Nglayang dari pasukan Mataram itu mulai bergerak ke medan pertempuran.

Sebagaimana pasukan Mataram, pasukan Pati pun telah bergerak pula. Gelar Supit Urang yang nampak garang itu merayap dalam keremangan cahaya fajar, menyeberangi Kali Dengkeng seperti kemarin.

Menjelang fajar menyingsing, kedua pasukan itu sudah berhadap-hadapan. Sementara itu supit kanan dari gelar Supit Urang dari Pati telah mendapat perintah khusus. Jika pasukan sayap kiri gelar Garuda Nglayang dari Mataram bergerak mundur, maka supit sebelah kanan jangan merasa mampu mendesak lawan, karena gerak mundur itu hanyalah cara orang-orang Mataram untuk menghindarkan diri dari silaunya cahaya matahari.

Demikianlah, ketika fajar menyingsing maka kedua pasukan itu pun segera bertemu. Dua gelar perang yang melebar, menebar di atas kotak-kotak sawah, tanpa menghiraukan tanaman yang tumbuh di atasnya. Apalagi tanaman itu memang sudah rusak sejak pecah perang gelar sebelumnya.

Ketika malam menjelang pertempuran itu, Kanjeng Adipati Pati mendapat laporan bahwa persedian bahan pangan sudah menjadi semakin tipis, sementara para prajurit yang bertugas untuk menambah persediaan bahan pangan itu mengalami kesulitan, maka Kanjeng Adipati memerintahkan agar perang itu lebih cepat selesai. Jika Pati dapat memecahkan gelar perang pasukan Mataram, maka pasukan Pati akan dengan cepat meluncur langsung menuju ke Mataram.

“Kita akan memasuki dinding Kota Mataram. Kita tidak akan kekurangan apa-apa lagi,” berkata Kanjeng Adipati Pati.

Para Panglimanya memang sependapat. Jika mereka memasuki dinding Kota Mataram, memang mereka tidak akan kekurangan apa-apa lagi. Tetapi untuk memasuki dinding kota itu diperlukan hentakan kekuatan yang sangat besar. Namun mereka pun sependapat, jika pertahanan gelar Mataram dalam pertempuran di sebelah Kali Dengkeng itu dapat dipatahkan, maka pertahanan jiwani pasukan Mataram tentu sudah terkoyakkan pula. Sehingga mereka tidak akan mampu bertahan terlalu lama lagi.

Dalam pada itu, Kanjeng Adipati Pati itu pun berkata pula, “Hari ini aku akan langsung turun ke dalam pertempuran. Aku tidak perlu menunggu lagi, apakah Panembahan Senapati sendiri akan melibatkan diri atau tidak.”

Para Panglima prajurit Pati itu memang sudah menduga, bahwa Kanjeng Adipati yang ingin menyelesaikan perang dengan cepat itu akan segera turun sendiri ke gelanggang.

Meskipun demikian, mereka menjadi berdebar-debar pula. Keputusan Kanjeng Adipati untuk langsung ikut serta bertempur itu seolah-olah memang merupakan keputusan hukuman mati bagi pasukan Mataram, meskipun seandainya Panembahan Senapati sendiri turun ke medan.

Karena itu, ketika pasukan Pati mulai bergerak, maka Kanjeng Adipati telah menempatkan seorang Panglimanya yang sangat berpengalaman untuk mengendalikan gelar Supit Urang itu, jika Kanjeng Adipati sendiri telah terlibat langsung di garis benturan kedua kekuatan yang besar itu.

Gemuruh pasukan telah menggetarkan udara. Beberapa langkah menjelang benturan, kedua pasukan telah mengambil ancang-ancang. Sementara supit sebelah kanan pasukan Pati tidak akan terpancing jika sayap kiri gelar lawan memancing mereka untuk membuat garis benturan tidak tepat menyilang sinar matahari.

Sesaat kemudian, benturan kedua kekuatan itu pun telah terjadi. Benturan dua kekuatan yang bukan saja besar, tetapi juga berkemampuan tinggi.

Panembahan Senapati masih memperingatkan agar pasukannya berusaha untuk tidak menentang cahaya matahari yang sedang terbit. Tetapi Panembahan Senapati pun memperingatkan bahwa cara yang pernah ditempuh sebelumnya tidak akan dapat dipergunakan lagi, karena gerakan pasukan Mataram itu adalah sekedar satu cara yang telah direncanakan. Bukan karena pasukan Mataram itu tidak mampu bertahan pada benturan pertama.

Karena itu, maka jalan yang ditempuh oleh pasukan Mataram adalah justru menghentak di sayap kanannya.

Adalah di luar dugaan pasukan Pati, dalam benturan yang terjadi, sayap sebelah kanan dari gelar Garuda Nglayang itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan para prajurit yang seharusnya berada di belakang garis benturan.

Pasukan Pati memang terkejut. Karena itu, supit sebelah kirinya justru telah terguncang dan terpaksa bergerak surut. Namun dengan cepat supit sebelah kiri itu memperbaiki kedudukan mereka.

Para Senapati prajurit Pati memang cukup berpengalaman. Karena itu, dalam waktu singkat maka supit sebelah kiri itu telah mapan kembali, sehingga keseimbangan pun segera dicapai.

Tetapi pada saat itu pula para Senapati Pati menyadari bahwa hentakan kekuatan di sayap kanan gelar perang prajurit Mataram adalah sekedar pendahuluan, untuk menghindari silauanya cayaha matahari pagi yang tajam.

Namun hal itu telah terjadi. Sementara prajurit Mataram tetap berusaha bertahan pada kedudukan itu.

Yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sengit. Hentakan-hentakan kemampuan para prajurit mewarnai medan pertempuran. Para prajurit tidak saja mengandalkan kemampuan mereka dalam perang gelar, tetapi kemampuan mereka secara pribadi ikut menentukan akhir dari pertempuran itu.

Di sayap kiri, Swandaru memang menjadi kecewa bahwa ia tidak bertemu lagi dengan Senapati yang telah dilukainya. Yang kemudian berdiri di hadapannya adalah seorang prajurit yang bagi Swandaru terasa agak aneh. Prajurit yang dihadapinya itu seakan-akan terlepas dari ikatan gelar di sekitarnya. Agaknya ia hadir di pertempuran sengaja ingin bertemu denan anak Demang Sangkal Putung yang bernama Swandaru.

Ketika orang itu berhasil berhadapan dengan Swandaru, orang itu berkata, “Kaukah yang bernama Swandaru? Seorang pengawal Kademangan yang bersenjata cambuk?”

“Ya,” jawab Swandaru, “kau siapa? Kau tidak pantas disebut seorang prajurit. Meskipun kau memakai pakaian prajurit, tetapi kau tidak mengenakannya dengan mapan.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Penglihatanmu memang tajam. Aku sebenarnya bukan seorang prajurit. Tetapi aku ditempatkan di antara para prajurit. Aku mendengar bagaimana kau melukai seorang Senapati dengan senjata cambukmu. Karena itu aku ingin melihat, siapakah sebenarnya anak Demang yang bersenjata cambuk itu.”

“Siapa namamu dan kedudukanmu yang sebenarnya?”

“Sebenarnya aku adalah salah seorang yang bertugas memelihara pusaka-pusaka Kanjeng Adipati Pati. Tetapi rasa-rasanya tidak pantas aku duduk bertopang dagu di Istana Pati, sementara Kanjeng Adipati berada di medan pertempuran. Karena itu, aku mohon untuk diperkenankan ikut dalam gelar ini.”

“Siapa namamu?” bertanya Swandaru.

Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Di duniamu yang baru kau akan dapat mengingat namaku. Orang memanggilku Ki Ajar Terepan. Nah, sekarang bersiaplah untuk mati. Kau sudah mengetahui namaku, pekerjaanku dan niatku untuk dengan sengaja menemuimu.”

“Bagus,” sahut Swandaru, “bersiaplah Ki Ajar. Kita akan membuat satu perbandingan ilmu.”

Ki Ajar Terepan itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Kau memang seorang yang berani. Kau sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang betapapun tinggi ilmunya.”

“O,” Swandaru tersenyum, “apakah kau berilmu tinggi?”

“Aku sudah mendengar tentang ilmu cambukmu dari Senapati yang kau lukai kemarin. Karena itu, kau tentu dapat menduga, bahwa tanpa ilmu yang tinggi aku tidak akan datang menemuimu sekarang ini.”

Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan cambuknya.

Lawannya, Ki Ajar Terepan, menggenggam sebuah tombak pendek. Ketika tombak itu mulai bergetar, maka mata tombak yang kehitam-hitaman itu seakan-akan berkeredipan.

Swandaru melihat pertanda itu. Iapun sadar bahwa lawannya itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Tetapi Swandaru justru menjadi semakin bergairah. Ia memang ingin menunjukkan bahwa ia mampu menandingi orang-orang berilmu tinggi.

Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ujung tombak Ki Ajar Terepan berputar dengan cepat. Bergerak mendatar, namun kemudian mematuk dengan cepatnya ke arah dada. Namun serangan itu urung, karena cambuk Swandaru telah menggeliat menyambar ke arah leher lawannya.

Ki Ajar meloncat surut ketika ia mendengar cambuk Swandaru meledak seakan-akan memecahkan daun telinga. Namun kemudian Ki Ajar itu pun berkata, “Kau tidak usah bermain kuda-kudaan lagi Ki Sanak. Aku sudah mendengar dari Senapati yang kau lukai, bahwa kau memiliki ilmu cambuk yang tinggi.”

Swandaru tidak menjawab. Namun cambuknya-lah yang menghentak dengan cepat. Tetapi sama sekali tidak terdengar hentakan yang memekakkan telinga. Bahkan cambuk itu seolah-olah tidak menggelepar sama sekali. Yang terdengar tidak lebih dari sebuah gesekan halus yang lemah.

Namun Ki Ajar Terepan itu melenting sekali lagi surut. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ternyata Senapati itu tidak bermimpi. Kau benar-benar memiliki ilmu cambuk yang dahsyat sekali. He, dari siapa kau mewarisi ilmu cambukmu itu?”

“Tentu saja dari guruku,” jawab Swandaru.

“Siapa gurumu itu?” bertanya Ki Ajar Terepan pula.

“Orang menyebutnya Orang Bercambuk,” jawab Swandaru.

“Setan kau,” geram orang itu, “tentu orang bercambuk. Siapa namanya?”

Swandaru mengerutkan dahinya. Ia tidak senang mendengar orang itu mengumpat. Dengan garangnya ia berkata, “Kau tidak berhak membentak dan mengumpati aku. Kau boleh bertanya siapakah guruku, tetapi dengan cara yang lebih baik.”

“Persetan dengan gurumu,” berkata Ki Ajar Terepan. “Siapapun gurumu, kau akan mati hari ini.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi cambuknya-lah yang menggeliat menggapainya.

Tetapi Ki Ajar Terepan memang tangkas pula. Ujung cambuk itu sama sekali tidak menyentuh kulitnya. Bahkan dengan cepat pula orang itu melenting. Tombaknya menggelapar di satu tangannya yang menebas mendatar menyambar ke arah lambung.

Namun Swandaru pun sempat meloncat menghindar pula, sehingga serangan itu tidak mengenainya.

Demikianlah, pertempuran pun berlangsung semakin sengit. Para Senapati yang sering bertemu dan berhadapan telah bertempur dengan sengitnya.

Dalam pada itu, Kanjeng Adipati yang sudah berniat untuk langsung terjun ke pertempuran telah memanggil Panglimanya, yang memang sudah ditunjuk untuk menggantikannya memegang kendali pertempuran.

“Sudah waktunya aku turun ke medan. Aku berhadap bahwa Panembahan Senapati berani bersikap jantan dengan menyongsong kehadiranku. Di medan pertempuran seperti ini, akan menjadi arena yang paling wajar untuk menguji siapakah yang lebih baik di antara aku dan Panembahan Senapati. Dengan demikian, maka akan ditentukan pula siapakah yang paling berhak untuk memerintah sepeninggal Kanjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang. Panembahan Senapati di Mataram, atau Adipati Pragola di Pati.”

Demikianlah, Kanjeng Adipati bersama dua orang Senapati pengapitnya telah bergerak langsung ke garis benturan perang kedua gelar yang besar itu.

Ketika pertempuran antara kedua belah pihak menjadi semakin sengit di saat matahari naik semakin tinggi, Kanjeng Adipati Pragola telah menghentak medan perang. Kehadirannya memang sudah direncanakan, sehingga para prajurit Pati telah mengetahui sebelumnya bahwa Kanjeng Adipati akan langsung terjun ke gelanggang.

Meskipun demikian, setiap jantung prajurit Pati masih juga berdebar-debar menyaksikan pemimpin tertinggi mereka langsung bertempur di medan yang sangat keras itu.

Bagi prajurit Mataram, kehadiran Kanjeng Adipati Pragola memang agak mengejutkan. Rasa-rasanya Kanjeng Adipati Pati itu terlalu cepat turun langsung ke lidah api pertempuran.

Tetapi itu sudah terjadi. Para Senapati yang bertugas di ujung paruh gelar Garuda Nglayang langsung berhadapan dengan Kanjeng Adipati Pati.

Para Senapati itu memang menjadi berdebar-debar. Sebagian dari mereka melihat bagaimana Kanjeng Adipati itu melumpuhkan Pangeran Adipati Anom sehingga menjadi pingsan. Untunglah bahwa pada waktu itu para Senapati bertindak cepat, sehingga Pangeran Adipati Anom sempat diselamatkan.

Namun kini yang memimpin pasukan Mataram bukan Pangeran Adipati Anom, tetapi Panembahan Senapati sendiri. Seorang yang memiliki ilmu yang seakan-akan tidak dapat dijajagi.

Namun para Senapati Mataram masih belum dengan serta merta menyerahkan perlawanan terhadap Kanjeng Adipati Pati itu kepada Panembahan Senapati. Dua orang Senapati yang berada di ujung paruh gelar Garuda Nglayang mencoba untuk menahan gerak maju Kanjeng Adipati Pragola, sementara beberapa orang prajurit telah berusaha untuk menahan para Senapati pengapitnya.

Tetapi usaha itu sia-sia. Kanjeng Adipati Pragola yang garang itu telah bertempur dengan kemampuan yang sangat tinggi, sehingga sulit untuk dapat menahannya.

Seorang Senapati yang dengan berani menyerang dengan ujung tombak, terkejut. Ia menduga bahhwa Kanjeng Adipati Pragola yang sibuk menghadapi beberapa orang prajurit itu tidak sempat menghindari serangan tombaknya, karena Kanjeng Adipati tidak menghindar dan tidak menangkis serangannya itu. Namun tiba-tiba terasa tubuhnya terpelanting. Tombaknya terlepas dari tangannya.

Barulah ia sadar, bahwa Kanjeng Adipati Pragola telah menjepit ujung tombaknya itu di antara tangan dan tubuhnya. Dengan hentakan yang keras Kanjeng Adipati memutar tubuhnya, sehingga Senapati yang memegang tombak itu terlempar.

Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, ia sudah menghadapi serangan seorang prajurit Pati yang garang. Hampir saja pedang prajurit Pati itu menebas lehernya. Namun Senapati Mataram itu sempat menjatuhkan diri lagi dan berguling mengambil jarak.

Beruntunglah bahwa tangannya sempat menggapai sehelai pedang yang tergeletak di dekatnya, sehingga ketika ia kemudian meloncat bangkit, maka ia telah menggenggam senjata di tangannya.

Namun dalam pada itu, seorang Senapati yang lain telah mengaduh tertahan. Sebuah goresan luka telah mengoyak pundaknya, sehingga Senapati itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut

Kehadiran Kanjeng Adipati Pragola bersama dua orang Senapati pengapitnya ternyata telah mengguncang ketahanan ujung paruh gelar Garuda Nglayang dari Mataram.

Akhirnya para Senapati Mataram tidak dapat membiarkan keadaan itu terlalu lama. Ketika seorang Senapati lagi terbanting jatuh dan harus diangkat ke belakang garis perang dalam keadaan yang membahayakan, sementara seorang prajurit yang berusaha menolongnya justru terluka parah pula, maka kehadiran Kanjeng Adipati Pati bersama dua orang Senapati pengapitnya itu telah dilaporkan kepada Panembahan Senapati.

Panembahan Senapati yang memang melihat goncangan di paruh gelarnya, menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Kanjeng Adipati Pragola benar-benar telah menantangnya.

Karena itu, Panembahan Senapati itu pun segera mempersiapkan diri untuk turun langsung ke medan pertempuran.

Kepada penghubung yang memberikan laporan tentang kehadiran Kanjeng Adipati Pragola, Panembahan Senapati telah menanyakan tentang kedua orang Senapati pengapitnya.

“Seorang berjanggut keputih-putihan, sedikit gemuk, bersenjata tongkat berwarna perunggu bersisik putih. Sedangkan seorang lagi bertubuh raksasa, bergelang kayu berwarna hitam dan bersenjata tombak pendek berkait,” jawab penghubung itu.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Patih Mandaraka iapun bertanya, “Bukankah keduanya guru Adimas Adipati Pati? Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi?”

“Ya. Aku yakin bahwa kedua orang itu memang Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi,” jawab Ki Patih Mandaraka.

“Siapakah yang pantas untuk menahan keduanya, sementara aku berhadapan dengan Adimas Adipati Pragola? Mangkubumi atau siapa, menurut Paman?”

“Para Pangeran itu berada di dalam tugas mereka masing-masing, yang tentu sulit untuk ditinggalkan.”

“Jadi?”

“Aku akan menemui orang tua yang tidak tahu diri itu. Biarlah aku mencoba untuk membujuk Ki Naga Sisik Salaka.”

“Ki Gede Candra Bumi?”

“Aku mohon Panembahan memanggil Agung Sedayu.”

“Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya Panembahan Senapati, “Ia masih terlalu muda untuk menghadapi Ki Gede Candra Bumi. Ingat, Ki Gede Candra Bumi itu adalah guru Adimas Adipati Pragola dari Pati.”

“Tetapi kemampuan Kanjeng Adipati Pragola itu dihimpunnya dari beberapa orang gurunya, sehingga seandainya sekarang ini Kanjeng Adipati Pragola harus bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi, maka Ki Gede tentu akan mengalami kesulitan. Ilmu yang dimiliki Ki Gede Candra Bumi dan kemudian dituangkan kepada Kanjeng Adipati Pragola, hanya merupakan sebagian saja dari perbendaharaan ilmunya. Sementara itu, Anakmas Panembahan mengetahui sendiri kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Agung Sedayu. Ilmunya yang masak, yang diwarisinya dari Orang Bercambuk, kemudian ilmunya yang disadapnya dari kitab yang dipinjamnya dari Ki Waskita, ilmu yang disadapnya dari getar ketajaman angan-angannya sendiri, benar-benar merupakan ilmu mumpuni yang dihadirkannya dalam dunia kanuragan, serta kemampuannya yang justru tidak diketahui darimana datangnya. Ia kebal, dan mampu mempengaruhi daya bayang lawannya tentang dirinya sehingga ia mampu membuat dirinya seakan-akan menjadi lebih dari seorang. Selebihnya, ia tawar dari segala macam racun dan bisa.”

Panembahan Senapati yang mengenal Agung Sedayu sejak lama, bahkan telah pernah melakukan petualangan bersama, mengenal Agung Sedayu dengan baik. Tetapi umurnya yang lebih muda dari Panembahan Senapati sendiri, memberikan kesan kurang meyakinkan untuk menghadapi Ki Gede Candra Bumi.

Tetapi keterangan Ki Patih Mandaraka membuat Panembahan Senapati menjadi mantap. Karena itu maka katanya, “Baik. Aku akan turun ke medan bersama dua orang Senapati pengapit, Paman Patih Mandaraka dan Ki Lurah Agung Sedayu. Aku akan langsung berada di paruh gelar Garuda Nglayang, untuk menghadapi Adimas Adipati Pragola yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Tetapi ilmu Panembahan rasa-rasanya tidak terbatas.”

“Apakah ada seseorang di lingkup langit ini yang memiliki kemampuan tidak terbatas?”

“Memang tidak ada, Panembahan. Tetapi aku ingin mengatakan bahwa ilmu yang Panembahan miliki tidak kalah tingginya dari ilmu yang dimiliki oleh Kanjeng Adipati Pragola.”

Dalam pada itu, seorang penghubung telah mendapat perintah untuk memanggil Ki Lurah Agung Sedayu. Ia harus menyerahkan pimpinan Pasukan Khususnya kepada Senapati yang dipercayanya, karena Ki Lurah Agung Sedayu akan menjadi salah seorang Senapati Pengapit dari Panembahan Senapati.

Tugas itu merupakan satu kehormatan yang besar bagi Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu pun menyadari bahaya yang dapat menerpanya. Senapati pengapit Kanjeng Adipati Pragola tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.

Demikianlah, sejenak kemudian Panembahan Senapati benar-benar telah mempersiapkan dirinya. Ia akan turun ke medan untuk menjawab tantangan adik iparnya, Kanjeng Adipati Pragola dari Pati.

Langit yang cerah jernih itu tiba-tiba telah disaput awan. Matahari yang memanjat ke puncak langit menjadi pudar. Seakan-akan ingin berlindung di balik mega-mega kelabu karena menjadi silau oleh kehadiran Panembahan Senapati dan Adipati Pragola itu.

Para prajurit Mataram pun segera menyibak ketika mereka melihat Panembahan Senapati bersama dua orang Senapati pengapitnya turun ke medan. Bahkan beberapa orang tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya, setelah beberapa saat mereka menyaksikan betapa Kanjeng Adipati dengan dua orang Senapati pengapitnya telah mengguncang paruh gelar perang pasukan Mataram.

Kedatangan Panembahan Senapati itu pun langsung disambut oleh Kanjeng Adipati Pragola. Dengan suara yang bergetar Kanjeng Adipati Pragola dari Pati itu pun berkata, “Selamat datang di medan, Kakangmas. Sayang aku tidak dapat memberikan sambutan lebih baik dari ini.”

Panembahan Senapati tersenyum. Dipandanginya adik iparnya itu sejenak. Kemudian dipandanginya kedua Senapati pengapit Kanjeng Adipati itu. Untuk sesaat pertempuran di sekitar kedua orang pemimpin tertinggi Mataram dan Pati itu seakan-akan terhenti, meskipun dibagian yang lain pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya.

“Terima kasih atas sambutanmu itu Dimas. Kau tidak perlu menyambut kedatanganku dengan berlebihan.”

“Sudah sejak beberapa hari aku menunggu,” berkata Kanjeng Adipati Pati.

“Aku sudah mengirimkan Pangeran Adipati Anom untuk mewakili aku. Ia telah menemui Adimas dan menyampaikan pesanku,” jawab Panembahan Senapati.

Tetapi Kanjeng Adipati Pragola tertawa. Katanya, “Anak itu terlalu sombong. Ia tidak tahu diri, dengan siapa ia berhadapan.”

“Aku minta maaf bagi anak itu, Adimas,” berkata Panembahan Senapati kemudian.

“Tidak apa-apa Kakangmas. Tidak apa-apa. Aku juga tahu watak anak-anak muda, karena aku pun pernah muda pula.”

“Terima kasih Adimas,” desis Panembahan Senapati.

Namun kata-kata Panembahan Senapati terputus oleh suara Ki Naga Sisik Salaka, yang seakan-akan bergulung-gulung di perutnya, “Baktiku bagi Panembahan Senapati yang Agung.”

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Terima kasih Paman Naga Sisik Salaka.”

“Juga kepada Ki Juru Martani, yang bergelar Adipati Mandaraka, Pepatih Mataram yang bijaksana.”

Ki Patih Mandaraka tertawa pendek. Katanya, “Kau masih saja suka bergurau Ki Naga Sisik Salaka.”

Orang yang disebut Naga Sisik Salaka itu tertawa, sementara Ki Candra Bumi pun berkata, “Aku mengenal Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka dengan baik. Tetapi aku belum mengenal orang muda ini.”

Panembahan Senapati berpaling kepada Ki Candra Bumi, yang memang lebih senang berbicara langsung daripada dengan basa-basi, yang baginya tidak ada artinya sama sekali itu.

Dengan nada rendah Panembahan Senapati berkata, “Ia adalah salah seorang Senapati pengapitku, Ki Candra Bumi. Aku sudah mendapat laporan, bahwa Kanjeng Adipati Pati hadir di medan bersama dua orang Senapati pengapitnya di antara para prajurit pilihan. Nah, karena itu aku juga datang bertiga. Aku, Ki Patih Mandaraka yang tua, dan orang muda itu. Ia adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khususku.”

“Wah,” Ki Candra Bumi mengangguk-angguk, “demikian tinggikah ilmunya, sehingga anak ingusan itu harus tampil di medan sebagai seorang Senapati Pengapit Panembahan Senapati dari Mataram? Apakah karena Mataram memang sudah kehabisan orang berilmu tinggi, sehingga Ki Juru Martani yang pikun dan anak yang baru mampu berdiri tegak itu harus menjadi Senapati Pengapit?”

“Ki Mandarakan memang ingin bermain-main lagi dengan Ki Naga Sisik Salaka. Kedua-duanya memang sudah pikun. Aku juga ingin melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh orang-orang pikun. Sedangkan Ki Lurah Agung Sedayu adalah kawan bermainku sejak mudanya.”

Wajah Ki Candra Bumi berkerut. Namun kemudian ia berkata, “Bagus. Bagus. Jika aku mendapat lawan orang-orang muda, maka aku pun akan menjadi tegar dan muda kembali.”

“Nah, Kakangmas,” berkata Kanjeng Adipati Pragola, “kita sudah bertemu. Apakah Pangeran Adipati Anom sudah menyampaikan jawabanku atas pesan Kakangmas?”

“Sudah. Ia sudah menyampaikannya. Iapun mengatakan bahwa ia telah pingsan di medan pertempuran melawan pamannya yang berilmu sangat tinggi.”

“Aku sudah memperingatkannya agar ia meninggalkan medan. Tetapi ia justru mulai menyerang. Tetapi aku masih dapat mengekang diri. Yang mengenainya bukan mata tombakku, tetapi pangkal landean tombakku ini, sehingga kulitnya sama sekali tidak terluka. Mungkin ia pingsan. Tetapi bukankah tidak membahayakan jiwanya? Jiwa seseorang yang bakal menggantikan kedudukan ayahandanya, memegang kuasa di Mataram.”

“Terima kasih Adimas, bahwa kau masih ingat kepada kemenakanmu itu. Pangeran Adipati Anom memang cepat kehilangan kendali diri. Ia masih muda, seperti yang Adimas katakan tadi,” berkata Panembahan Senapati pula. Namun kemudian katanya, “Tetapi apakah benar bahwa Adimas tidak mau menarik pasukan Adimas sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng?”

“Memang tidak Kakangmas. Aku justru ingin pergi ke Mataram,” jawab Kanjeng Adipati Pragola dari Pati.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih mencoba untuk mengendapkan perasaannya, sementara Kanjeng Adipati Pragola itu pun berkata, “Sudah lama aku ingin mengatakan kepada Kakangmas, bahwa biarlah aku saja yang memegang kepemimpinan di atas Tanah ini, setelah Kanjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang wafat. Sejak semula aku menganggap bahwa cara Kakangmas mengambil kekuasaan dari Pajang adalah tidak sah. Tetapi aku masih berharap bahwa Kakangmas akan dapat mendudukkan diri sebagai seorang pemimpin yang baik. Karena itu, aku bersedia membantu Kakangmas. Bahkan ketika Kakangmas menyerang dan menundukkan Panembahan Mas di Madiun. Namun ternyata harapanku itu sia-sia, sehingga akhirnya aku berkeputusan untuk mengambil alih kepemimpinan atas Pajang dari Kakangmas.”

Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak, la tidak menolak seseorang menilai tentang dirinya. Apa yang telah dilakukannya dan apa yang akan dilakukannya, tidak akan banyak terpengaruh oleh pendapat orang lain. Bahkan pendapat orang lain tentang dirinya akan dapat dipergunakannya untuk menjadi bahan pertimbangan atas langkah-langkah yang bakal diambilnya. Tetapi bahwa Kanjeng Adipati Pati, seakan-akan tanpa merenungi akibatnya, demikian mudahnya berkata bahwa ia akan mengambil alih kepemimpinan atas Tanah ini dari tangannya, ternyata telah membuat jantungnya berdetak semakin cepat

Karena itu, Panembahan Senapati itu pun kemudian menjawab, “Adimas Adipati. Sebenarnya aku tidak pernah menutup pintu bagi sebuah pembicaraan.”

Namun Kanjeng Adipati Pragola segera menyahut, “Kita sudah berada di tengah-tengah medan, Kakangmas.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita sudah berada di tengah-tengah medan pertempuran. Apa boleh buat.”

Panembahan Senapati memang tidak mempunyai pilihan lain. Ketika Kanjeng Adipati Pragola bergeser surut, maka Panembahan Senapati pun telah melangkah surut pula.

Dengan demikian, maka keduanya pun telah bersiap untuk segera bertempur. Nampaknya kedua saudara ipar itu tidak dapat menemukan jalan lain kecuali mengadu tajamnya ujung tombak.

Ki Patih Mandaraka yang tua itu pun segera bergeser menjauh. Ki Naga Sisik Salaka yang juga bergeser berkata, “Tunggu. Eh, aku tidak dapat lagi berjalan terlalu cepat.”

Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya, “Kau justru nampak menjadi semakin muda. Marilah, sudah lama kita tidak bergurau dengan cara yang mungkin tidak disenangi oleh anak-anak muda.”

Ki Naga Sisik Salaka pun segera mempersiapkan tongkatnya. Namun ia masih sempat berkata, “Dahulu, aku menganggap bahwa tongkatku ini terlalu ringan. Tetapi setelah aku menjadi semakin tua, rasa-rasanya tongkatku menjadi semakin berat”

Ki Patih tertawa. Katanya, “Apakah tongkatmu itu masih dapat kau pergunakan untuk membakar sampah seperti dahulu? Jika kau kedinginan di dini hari, kau kumpulkan sampah, kemudian kau bakar dengan ujuung tongkatmu itu untuk menghangatkan diri?”

Ki Naga Sisik Salaka tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Sekarang sudah tidak lagi. Aku tidak pernah lagi merasa kedinginan, justru karena aku sudah menjadi semakin tua.”

“He, apakah sebenarnya yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya Ki Mandaraka.

Ki Naga Sisik Salaka tiba-tiba berkata dengan sungguh-sungguh, “Ki Juru Martani. Kau adalah orang yang sangat aku kagumi. Sampai sekarang pun aku menyadari, bahwa aku tidak akan pernah dapat menandingi ilmumu. Tetapi kali ini aku minta tolong kepadamu, agar kau sudahi tugas-tugasku di samping Kanjeng Adipati. Aku tidak tahu kenapa Kanjeng Adipati berubah. Semakin lama ia menjadi semakin jauh dari kakandanya, Panembahan Senapati. Aku sudah berusaha untuk membujuknya. Tetapi aku tidak berhasil.”

“Jadi apa maksudmu?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Kita akan bertempur. Tetapi mimpiku tiga malam yang lalu telah memberitahukan kepadaku, bahwa tugas-tugasku akan berakhir sekarang.”

“Ah, kau selalu saja bergurau dalam keadaan apapun. Aku tahu bahwa ilmu yang bertimbun di dalam dirimu bertumpuk sampai menyentuh langit,” berkata Ki Patih Mandaraka kemudian.

“Kau-lah yang masih saja bergurau. Cobalah sedikit menunjukkan sedih hatimu sebagai pernyataan kesetia-kawananmu, bahwa sebentar lagi, seorang dari sekian banyak sahabatmu akan mati di pertempuran.”

“Jangan berkata begitu,” sahut Ki Patih Mandaraka.

Namun Ki Naga Sisik Salaka itu segera mengangkat tongkatnya dan memutarnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Marilah Ki Juru Martani. Jika kau tidak bersedia mengantar aku ke dunia abadiku, maka biarlah aku yang mengantarmu.”

Ki Juru tidak bertanya lagi. Tetapi iapun segera mempersiapkan diri menghadapi Ki Naga Sisik Salaka dengan senjata tongkatnya itu.

Dalam pada itu, ternyata Ki Candra Bumi justru telah lebih dahulu mulai menyerang Agung Sedayu. Tanpa senjata di tangan, Ki Candra Bumi meloncat menyambar ke arah kening.

Agung Sedayu pun dengan cepat menghindar. Namun karena lawannya masih belum bersenjata, maka Agung Sedayu pun belum mengurai cambuknya pula.

Dengan garangnya Ki Gede Candra Bumi berloncatan. Tangannya menyambar-nyambar dengan cepatnya. Namun Agung Sedayu pun mampu bergerak secepat serangan-serangan Ki Candra Bumi.

“Ternyata kau bukan sekedar anak bawang, Ki Lurah,” geram Ki Gede Candra Bumi.

“Siapapun aku, aku akan menjalankan perintah ini sebaik-baiknya,” jawab Agung Sedayu.

“Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Kau masih terhitung muda. Tetapi perintah Panembahan Senapati kepadamu untuk menjadi Senapati pengapitnya adalah sama saja dengan jatuhnya hukuman mati. He apakah kau belum pernah mengenal namaku?”

“Sebelum aku turun menjadi Senapati Pengapit Panembahan Senapati, belum Ki Gede.”

Ki Gede Candra Bumi menggeram. Serangan-serangannya semakin lama menjadi semakin deras. Seperti angin yang bertiup semakin kencang mengguncang pepohonan. Tetapi pertahanan Agung Sedayu sama sekali tidak terguncang.

Jantung Ki Candra Bumi semakin lama menjadi semakin panas. Lurah prajurit Mataram itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang tinggi. Bahkan dengan geram ia berkata, “He, Ki Lurah. Apakah kau tahu bahwa aku adalah salah seorang guru Kanjeng Adipati Pati?”

“Aku tahu Ki Candra Bumi,” jawab Agung Sedayu, “Tetapi kadang-kadang seorang murid memang menjadi lebih pandai dari gurunya. Apalagi seorang murid yang memiliki lebih dari dua tiga orang guru.”

“Kau benar. Tetapi aku adalah salah seorang di antara mereka yang membentuk Kanjeng Adipati Pragola menjadi seorang yang ilmunya tidak dapat dijajagi. Ia akan menggilas Panembahan Senapati dan merampas tahta Mataram, yang dirampas oleh Panembahan Senapati dari Pajang.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia justru meloncat menyerang.

Ki Gede Candra Bumi melihat serangan itu. Tetapi Ki Gede Candra Bumi sengaja tidak menghindar. Ia ingin menjajagi kekuatan Ki Lurah Agung Sedayu itu. Seorang Lurah prajurit yang telah dipasang menjadi Senapati Pangapit Panembahan Senapati.

Benturan yang keras telah terjadi. Dua kekuatan yang besar telah beradu.

Ternyata Agung Sedayu telah tergetar selangkah surut. Tangannya yang membentur pertahanan Ki Gede Candra Bumi pun terasa menjadi nyeri. Namun Ki Gede Candra Bumi pun telah terdorong surut pula. Iapun merasa nyeri pula sebagaimana Agung Sedayu.

Ki Candra Bumi itu pun menjadi yakin, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang memiliki kemampuan yang besar.

Tetapi itu bukan berarti bahwa Senapati Pengapit yang masih terhitung muda itu memiliki tataran ilmu yang memadai untuk mengimbangi ilmunya.

Ki Gede Candra Bumi pun kemudian telah meningkatkan ilmunya tataran demi tataran. Ia ingin mengukur seberapa tinggi tataran ilmu Senapati muda itu.

Nampaknya Agung Sedayu mengerti maksud lawannya. Sebagaimana sifatnya, maka Agung Sedayu tidak ingin melampaui tataran-tataran Ki Gede Candra Bumi itu. Karena itu, justru Agung Sedayu-lah yang menyesuaikan diri dengan tataran ilmu lawannya.

Dengan demikian maka pertempuran antara Ki Gede Candra Bumi melawan Ki Lurah Agung Sedayu itu menjadi semakin sengit. Keduanya menjadi semakin garang, sementara ilmu mereka pun merambat semakin tinggi.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudapamungkas telah mengerahkan kekuatan prajurit-prajuritnya yang ada di pangkal leher gelar perang dari Mataram itu untuk mendesak lawan. Tetapi lawan yang telah menyusun gelarnya lebih baik lagi, memang tidak mudah untuk diguncang.

Sementara itu, di ujung sayap, Ki Untara yang memiliki kemampuan yang tinggi di dalam perang gelar, harus mengakui bahwa pasukan lawan pun memiliki ketahanan yang tinggi pula.

Sementara itu, Swandaru yang ada di dalam sayap itu pula masih bertempur dengan Ki Ajar Terepan, seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Sementara itu, semakin seru pertempuran yang terjadi di antara Ki Ajar Terepan melawan Swandaru, maka mata tombak Ki Ajar itu semakin berkilat-kilat. Namun cambuk Swandaru pun menggelepar dan kemudian berputar dengan cepatnya. Tidak lagi terdengar ledakan-ledakan. Tetapi setiap hentakan, yang terasa adalah getarnya yang menyentuh dada.

Di sayap yang lain pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ketika matahari bergerak turun, maka prajurit cadangan yang berada di paruh gelar perang pun mulai berkeringat. Mereka-lah yang kemudian bertempur dengan garangnya, sementara jumlah kedua belah pihak menjadi semakin susut.

Tubuh para prajurit yang terluka banyak yang terbujur lintang di arena. Kawan-kawan mereka berusaha untuk membawa tubuh-tubuh itu keluar dari medan agar mereka tidak terinjak-injak kaki. Namun kadang-kadang kesempatan itu tertutup. Bahkan yang gugur pun harus dibiarkan berada di tempatnya. Para prajurit sibuk bertahan untuk tetap hidup, sementara senjata pun berputaran dimana-mana.

Beberapa orang yang memiliki ilmu yang khusus, mempunyai pengaruh yang kuat di setiap bagian dari gelar perang kedua belah pihak. Para Senapati dan orang-orang tertentu yang terselip d antara para prajurit secara khusus, baik di dalam pasukan Mataram maupun pasukan Pati.

Ki Demang Rancak yang bergabung dengan para prajurit Mataram yang berasal dari Ganjur, ternyata memiliki kelebihan yang menggetarkan para prajurit Pati. Tetapi di sayap yang lain, Ki Dadap Panutan, seorang pertapa di pesisir utara, harus dihadapi oleh beberapa prajurit Mataram bersama-sama, karena kelebihannya.

Sedangkan di pusat gelar perang dari kedua belah pihak, Panembahan Senapati tengah bertempur dengan serunya melawan Kanjeng Adipati Pati. Para prajurit justru telah menyibak. Keduanya memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak terjajagi oleh para prajurit

Di sebelah arena di pusat gelar itu, Ki Patih Mandaraka yang tua telah bertempur melawan Ki Naga Sisik Salaka. Keduanya adalah orang-orang tua yang berpijak lebih banyak para ilmunya daripada dukungan kewadagan mereka. Lontaran-lontaran ilmu yang bagaikan kilat yang menyambar-nyambar di langit

Sedangkan di sisi yang lain, Ki Lurah Agung Sedayu bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi. Ternyata Ki Gede Candra Bumi semakin lama menjadi semakin keras. Tenaganya meningkat berlipat.

Tetapi Agung Sedayu pun mengimbanginya. Dikerahkannya tenaga dalamnya untuk mengimbangi kekuatan tenaga lawannya. Namun untuk mengatasi perasaan nyeri di saat benturan-benturan terjadi maka, Agung Sedayu pun mulai mengetrapkan ilmu kebalnya.

Dengan demikian, maka pertempuran di antara kedua orang itu menjadi semakin dahsyat.

Langit makin buram ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi barat. Ternyata bahwa para prajurit Mataram perlahan-lahan mulai menguasai medan. Pasukan Untara di sayap gelar perang pasukan Mataram beberapa kali telah mengguncang supit lawannya. Namun Untara masih belum berhasil memecahkan atau mendesak surut. Meskipun demikian, Untara dengan kemampuannya mengatur gelar perang telah memberikan tekanan-tekanan yang sangat berat bagi lawannya.

Sementara itu, Swandaru yang bertempur dengan Ki Ajar Terepan, semakin lama menjadi semakin sengit pula. Ujung tombak Ki Ajar yang berkeredipan telah mulai menyentuh pakaian Swandaru. Ketika ujung tombak itu sempat mengoyak bajunya, maka Swandaru dengan cepat meloncat mengambil jarak.

Ki Ajar Terepan tidak memburunya. Ia juga ingin melihat apakah ujung tombaknya sempat menggores kulit lawannya yang agak gemuk, yang bertempur dengan garang itu.

Tetapi ternyata Swandaru tersenyum sambil berkata, “Kau hanya mampu mengoyak pakaianku.”

Ki Ajar Terepan menggeram. Kalanya, “Jika ujung tombakku menggores seujung rambut saja, maka tidak ada obat yang dapat menyelamatkan nyawamu.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia percaya bahwa warangan yang tajam memang sangat berbahaya. Goresan kecil, berarti membubuhi racun pada darahnya, yang akan dapat memungut nyawanya.

Namun dengan demikian Swandaru semakin berhati-hati. Ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam ilmu cambuk. Karena itu, maka dengan ujung cambuknya ia harus tetap memelihara jarak, sehingga ujung tombak lawannya itu tidak tergores pada tubuhnya.

Demikianlah, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ujung tombak Ki Ajar Terepan itu nampaknya tidak lagi sekedar berkeredipan. Tetapi nampak kilatan-kilatan cahaya yang menusuk penglihatan Swandaru.

Tetapi Swandaru tidak mau terpengaruhi oleh mata tombak lawannya. Karena itu, maka cambuk Swandaru itu berputar semakin cepat, menggelepar dan menggeliat Ujungnya sekali-sekali mematuk dengan cepat ke arah dada lawannya.

Tetapi Ki Ajar Terepan pun dengan cepat pula berloncatan menghindari kejaran ujung cambuk Swandaru. Sekali tombaknya berputar, kemudian terjulur lurus ke arah lambung.

Tetapi Swandaru yang mengerti betapa garangnya racun di ujung tombak itu, tidak membiarkan kulitnya tergores sama sekali.

Dengan demikian, kedua orang itu pun bergerak semakin cepat Tetapi ujung cambuk Swandaru ternyata lebih tangkas dari ujung tombak lawannya. Karena itu, ketika Ki Ajar Terepan gagal menusuk lambung Swandaru dan berusaha meloncat surut untuk mengambil jarak, maka ujung cambuk Swandaru sempat menyentuh pundaknya.

Ki Ajar Terepan berteriak marah. Sentuhan ujung cambuk Swandaru telah mengoyak pundaknya. Darah pun mulai mengalir dari luka-lukanya itu.

“Setan kau,” geram Ki Ajar Terepan. Ternyata bukan hanya Senapati yang kemarin bertempur melawan Swandaru. Tetapi hari itu, pundaknya juga telah terluka.

Dengan kemarahan yang menghentak jantungnya, Ki Ajar Terepan berusaha untuk membalasnya. Jika ia berhasil, maka itu berarti bahwa orang yang melukai pundaknya itu akan terbunuh.

Sementara itu, langit pun menjadi semakin muram. Matahari menjadi semakin rendah di sisi langit sebelah barat.

Agung Sedayu yang bertempur dengan Ki Gede Candra Bumi menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Serangan-serangan Ki Gede Candra Bumi yang masih saja tidak bersenjata itu, ternyata mampu menggoyahkan ilmu kebal Agung Sedayu. Ketika Ki Gede Candra Bumi menghentakkan serangannya dengan telapak tangannya, Agung Sedayu berusaha menangkisnya dengan tangannya pula. Ketika benturan itu terjadi, Agung Sedayu merasakan getar yang mengguncang menyusuri urat-urat darahnya sampai ke jantung, menyusup ketahanan ilmu kebalnya.

Agung Sedayu meloncat surut. Ia bersiap untuk menerima serangan berikutnya, betapapun jantungnya terasa nyeri.

Namun Ki Gede Chandra Bumi itu tidak memburunya. Wajahnya menjadi tegang. Ternyata benturan itu pun membuatnya tergetar. Bahkan ilmu kebal Agung Sedayu dalam tataran yang semakin tinggi, telah memancarkan udara panas pula.

Ki Gede Candra Bumi menggeram. Dengan nada dalam ia berkata, “Luar biasa Lurah yang masih terhitung muda ini.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia sadar bahwa Ki Candra Bumi tentu akan meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Dengan demikian, maka pertempuran di ujung paruh gelar perang Garuda Nglayang itu benar-benar telah menyibak. Para prajurit yang bertempur di sekitarnya tidak dapat mengerti dengan jelas apa yang telah terjadi. Pertempuran antara Panembahan Senapati melawan Kanjeng Adipati Pati itu benar-benar merupakan pertempuran yang tidak dapat dimengerti. Sementara Ki Patih Mandaraka yang bertempur melawan Ki Naga Sisik Salaka yang bersenjata tongkat itu, rasa-rasanya seperti dua orang yang sedang bermain-main. Mereka saling melontarkan ilmu mereka. Sekali-sekali mereka memang bertempur pada jarak jangkau wadagnya, namun kemudian mereka saling bergeser surut dan bertempur dari jarak beberapa langkah.

Sedangkan Ki Gede Candra Bumi telah bertempur pada landasan ilmu yang semakin tinggi pula. Ketika Ki Gede itu menjejak bumi, maka tiba-tiba saja angin pun seakan-akan telah bertiup dari dalam bumi. Berputaran seperti angin pusaran. Semakin lama semakin cepat, dan mulai bergerak ke arah Agung Sedayu.

Agung Sedayu pernah mengalami serangan seperti itu. Karena itu, maka iapun segera mengurai cambuknya. Dengan tataran tertinggi ilmu cambuknya, maka Agung Sedayu menghadapi serangan yang mengerikan itu.

Kanjeng Adipati Pati sempat melihat Ki Gede Candra Bumi menghentakkan ilmu puncaknya itu. Dengan demikian, Kanjeng Adipati sempat pula memperhitungkan, bahwa Senapati Pengapit Panembahan Senapati yang muda itu tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi pula, sehingga Ki Gede Candra Bumi terpaksa mempergunakan ilmunya yang menggetarkan jantung itu.

Para prajurit Pati pun melihat pusaran angin yang membubung tinggi. Memutar dan meremas, kemudian mengangkat dan membanting ke tanah, apa saja yang disentuhnya.

Agung Sedayu berdiri tegak di tempatnya. Ia tidak ingin meloncat menghindari serangan ilmu lawannya itu. Ia sadar, kemanapun ia pergi, ilmu pusaran angin itu akan memburunya, karena pusaran angin itu seakan-akan memiliki penglihatan.

Para prajurit yang berada di gelar perang kedua belah pihak itu pun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak sempat terlalu banyak mempergunakan waktu untuk mengamati pusaran angin itu.

Demikian pusaran angin itu bergulung menyerang Agung Sedayu dan siap untuk meremas dan mengangkatnya dan kemudian membantingnya jatuh ke bumi, maka Agung Sedayu pun sudah bersiap pada alas tataran tertinggi ilmu cambuknya. Karena itu, ketika angin pusaran itu memasuki batas jangkauan ujung cambuknya, maka Agung Sedayu pun telah mengangkat dan menghentakkan cambuknya dengan segenap kemampuan ilmunya.

Ledakan itu sendiri tidak terdengar terlalu keras. Namun akibatnya memang sangat mengejutkan.

Angin pusaran itu telah berguncang dengan dahsyatnya, kemudian pecah berhamburan. Benda-benda yang telah hanyut berterbangan, telah dilemparkan kembali terbaur di sekitarnya, termasuk debu dan tanah berpasir.

Ki Gede Candra Bumi terkejut. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa Lurah prajurit yang masih terhitung muda itu mampu mengimbangi kemampuan ilmunya yang mendebarkan itu.

Bahkan Kanjeng Adipati Pragolapun terkejut. Ia tahu bahwa Ki Gede Candra Bumi, salah seorang dari sekian banyak gurunya, memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun salah satu ilmunya telah dipecahkan oleh seorang Lurah prajurit yang masih muda itu.

Namun kemampuan ilmu itu bukan satu-satunya ilmu Ki Gede Candra Bumi. Demikian ia melihat angin pusarannya pecah menebar dan hilang dari udara, maka dengan cepat Ki Gede telah menapak ke ilmunya yang lain. Ia tidak mau kehilangan waktu, sementara langit sudah menjadi semakin buram. Ia ingin mengakhiri lawannya sebelum pertanda senja berkumandang, sehingga pertempuran akan berakhir.

Demikian debu terhambur dari udara, maka Ki Gede Candra Bumi telah menakupkan telapak tangannya. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya, sambil memusatkan nalar budinya.

Agung Sedayu yang melihat sikap itu pun segera tanggap. Iapun segera berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya menggenggam pangkal dan ujung juntai cambuknya.

Sejenak kemudian ia melihat Ki Gede Candra Bumi itu menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah tubuhnya.

Seleret sinar memancar dari telapak tangan Ki Gede Candra Bumi. Sinar yang berwarna kemerah-merahan meluncur dengan cepat ke arah dada Agung Sedayu.

Namun Agung Sedayu tidak terlambat. Demikian sinar yang kemerah-merahan itu bergerak, maka sorot mata Agung Sedayu pun tiba-tiba bagaikan menyala.

Demikianlah, benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua kekuatan ilmu yang sangat tinggi telah saling menghantam. Getar kekuatannya ternyata telah memantul, menggocang bagian dalam tubuh kedua orang itu.

Ki Lurah Agung Sedayu yang masih terhitung muda itu terpental beberapa langkah surut. Tubuhnya jatuh terbanting di atas tanah. Meskipun Agung Sedayu masih menggeliat, namun bagian dalam dadanya terasa menjadi sangat nyeri dan sakit. Perisai ilmu kebalnya ternyata tidak mampu menahan getar ilmunya sendiri, yang memantul karena benturan yang sangat dahsyat

Sementara itu, Ki Gede Candra Bumi pun telah terlempar surut beberapa langkah pula. Seperti Agung Sedayu, maka Ki Gede talah jatuh terlentang. Terdengar ia mengaduh tertahan. Namun suaranya kemudian seakan-akan tersumbat di kerongkongan, oleh darahnya yang kemudian mengalir di sela-sela bibirnya.

Para prajurit yang melihat keduanya terlempar dan terbanting jatuh itu pun untuk sesaat terhenyak ke dalam kebingungan. Namun kemudian beberapa orang segera berlari-lari mengambil tubuh itu dan membawanya ke belakang garis pertempuran.

Panembahan Senapati dan Kanjeng Adipati Pati melihat benturan serta akibatnya. Namun keduanya tidak dapat berbuat sesuatu, karena keduanya masih tetap bertempur dengan sengitnya.

Sementara itu matahari menjadi semakin rendah. Di sayap gelar perang prajurit Mataram, Untara telah mengguncang pertahanan supit lawannya. Beberapa kali supit gelar prajurit Pati itu harus memperbaiki kedudukannya.

Sementara itu, Swandaru yang bertempur melawan Ki Ajar Terepan menjadi semakin sengit pula. Swandaru berusaha untuk sama sekali tidak tersentuh ujung tombak Ki Ajar Terepan. Namun justru karena itu, dalam gejolak pertempuran yang terjadi Ki Ajar tidak saja bergantung kepada ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat menghindari ujung tombak Ki Ajar yang menyambar mematuk ke arah dada, maka Swandaru telah meloncat ke samping. Tetapi di luar dugaannya, Ki Ajar yang luput menikam sasaran dengan ujung tombak itu dengan cepat berputar. Kakinya terayun mendatar menyambar ke arah dada.

Swandaru yang terkejut berusaha menghindar sekali lagi. Tetapi serangan itu datang demikian cepat, sehingga Swandaru tidak berhasil menghindari sepenuhnya. Kaki lawannya telah menyambar pundaknya, demikian derasnya sehingga Swandaru itu terputar dan jatuh berguling di tanah.

Ki Ajar Terapan yang melihat lawannya jatuh terguling, dengan cepat berusaha untuk memburunya. Jika ia berhasil menyentuh tubuh lawannya itu dengan ujung tombaknya, maka selesailah pertempuran yang sengit itu.

Namun Swandaru menyadari keadaannya. Ia tidak tergesa-gesa bangkit, karena ia sadar bahwa serangan lawannya akan segera datang. Tetapi sambil berbaring, Swandaru telah menghentakkan cambuknya.

Lawannya-lah yang terkejut. Dengan cepat ia berusaha menghindar dengan meloncat tinggi-tinggi. Tetapi ujung cambuk Swandaru yang diberi karah baja itu menggeliat. Ujungnya sempat menyentuh betis Ki Ajar Terepan.

Perasaan sakit yang amat sangat telah menyengat kaki Ki Ajar. Dengan serta-merta ia meloncat mundur, sementara Swandaru dengan ceepat meloncat bangkit. Swandaru-lah yang kemudian memburu lawannya dengan ujung cambuknya.

Sekali lagi terdengar Ki Ajar mengaduh. Ujung cambuk itu menyentuh lambungnya. Hanya segores tipis. Tetapi darah telah mengalir pula dari luka di lambungnya itu.

Ki Ajar Terepan benar-benar menjadi gelisah. Keadaannya sudah menjadi semakin sulit. Luka-lukanya terasa pedih. Sementara luka di betisnya terasa mengganggu kecepatan geraknya.

Namun dalam keadaan yang demikian, terdengar pertanda bahwa matahari telah menyusup di balik bukit. Wajah langit menjadi kemerah-merahan. Kelompok-kelompok burung bangau terbang melintas di wajah mega-mega yang menggantung di langit, tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi di bawah.

Swandaru menggeram marah. Ia sudah yakin akan dapat membunuh lawannya beberapa saat lagi. Ia sudah melukai lawannya, sehingga tidak lagi mampu bertahan dengan baik. Ujung tombaknya yang beracun tajam tidak lagi memburunya seperti seekor lalat.

Ketika para prajurit dan pengawal mulai bergerak surut, Swandaru itu pun berteriak lantang, “Aku tantang kau berperang tanding, tanpa menghiraukan kesepakatan perang. Bukankah kita masing-masing bukan prajurit?”

Tetapi suara Swandaru itu bagaikan diterbangkan angin. Tidak seorangpun yang menghiraukannya. Ki Ajar Terepan juga tidak. Isyarat yang masih terdengar seolah-olah justru mentertawakan teriakan Swandaru itu.

Swandaru menggeram marah. Ia hanya dapat memandangi dua orang yang justru sedang membantu Ki Ajar Terepan menarik diri dari medan pertempuran.

Demikianlah, perlahan-lahan kedua gelar perang itu bergeser mundur. Panembahan Senapati pun telah menghentikan pertempurannya melawan Kanjeng Adipati Pati. Keduanya masih nampak segar. Seandainya mereka harus bertempur lagi sehari semalam, nampaknya mereka masih mampu melakukannya.

Meskipun demikian, ketika mereka mundur dari garis pertempuran, nampak Kanjeng Adipati Pati menggeliat sambil memijit lambungnya. Kemudian menghentakkan kedua tangannya berganti-ganti. Bagaimanapun Kanjeng Adipati juga merasa letih.

Yang lebih letih lagi adalah perasaan Kanjeng Adipati Pati. Satu kenyataan harus dihadapinya. Salah seorang gurunya, Ki Gede Candra Bumi, ternyata telah terluka parah di bagian dalam tubuhnya. Keadaannya lemah sekali, dan bahkan suaranya hampir tidak dapat didengar lagi.

“Guru,” desis Kanjeng Adipati Pati di dekat tubuh yang telah diangkat dengan tandu, yang dipersiapkan dengan tergesa-gesa itu.

Ki Gede Candra Bumi membuka matanya. Katanya dengan nada suara yang dalam, “Anak itu luar biasa. Aku melihat ciri-ciri unsur geraknya yang rumit dan sulit dimengerti. Juga ilmunya yang dua tiga ganda.”

Kanjeng Adipati Pati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Guru akan segera sembuh.”

Ki Gede Candra Bumi mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dadanya terasa sakit, seakan-akan ujung duri kemarung bersarang di dalam paru-parunya.

Kanjeng Adipati Pati tidak bertanya lagi. Ia berjalan dengan kepala tunduk di sebelah tandu yang membawa Ki Gede Candra Bumi. Di sebelahnya, Ki Naga Sisik Salaka juga berjalan bertelekan tongkatnya. Tetapi Ki Naga Sisik Salaka itu tidak mengatakan sesuatu.

Demikianlah, beberapa saat kemudian kedua pasukan itu sudah berada di pesanggrahan mereka masing-masing. Ketika malam turun, kedua belah pihak telah mengirimkan kelompok-kelompok untuk mencari kawan-kawan mereka yang menjadi korban. Yang gugur dan yang terluka.

Di perkemahan, Kanjeng Adipati Pati telah mengumpulkan para Panglima dan Senapati perang. Dari mereka Kanjeng Adipati Pati mendapat laporan, bahwa pasukan Pati itu telah mengalami luka yang cukup parah.

Ki Naga Sisik Salaka, meskipun tidak terluka menurut ujud lahiriahnya, namun sebenarnyalah Ki Naga Sisik Salaka memerlukan kesempatan untuk beristirahat. Benturan-benturan ilmu yang dilakukan dengan Ki Patih Mandaraka membuat Ki Naga Sisik Salaka menjadi sangat letih. Bahkan beberapa bagian tubuhnya merasa nyeri dan pedih.

Bahkan beberapa Senapati di sayap gelar pasukannya telah mengalami tekanan yang cukup berat dari pasukan Mataram.

Karena itu, Kanjeng Adipati Pati pun memutuskan untuk tidak turun ke gelanggang perang esok pagi.

“Tetapi kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sekali Panembahan Senapati membawa pasukannya, yang sudah terlanjur dipersiapkan, menyerang perkemahan kita.”

Namun seorang Senapati Pati berkata, “Aku kira Mataram tidak akan mempertaruhkan pasukannya untuk melakukan hal itu. Seandainya Mataram benar-benar melakukannya, alangkah bodohnya orang-orang Mataram itu. Karena untuk memecahkan sebuah pertahanan diperlukan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan pertahanan itu sendiri.”

Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya, “Besok, kita akan menilai kekuatan dan kemampuan kita. Apakah kita masih mempunyai kekuatan cukup untuk turun dengan gelar perang atau tidak.”

“Kita memang memerlukan waktu untuk beristirahat, Kanjeng,” berkata seorang Panglimanya, “setelah kita beristirahat, maka keadaan kita akan menjadi lebih baik. Besok lusa kita akan turun ke gelanggang dengan kekuatan dan kemampuan yang jauh lebih besar dari yang sebenarnya kita miliki, Kanjeng. Jika kita beristirahat sehari, maka kita akan mendapat kesempatan untuk mengatur kembali dan sekaligus memberikan petunjuk-petunjuk kepada para Senapati dan bahkan para prajurit.”

Kanjeng Adipati Pragola mengangguk-angguk. Namun sekali lagi ia berkata, “Tetapi kemungkinan Panembahan Senapati menyerang perkemahan kita masih tetap ada. Ia seorang yang keras hati dan terlalu percaya kepada kemampuan sendiri.”

Sebenarnyalah malam itu Panembahan Senapati tidak melihat kesulitan yang gawat di dalam pasukannya. Meskipun jumlahnya memang semakin susut, namun yang masih ada bagi Panembahan Senapati masih cukup kuat untuk menghadapi pasukan Pati, yang tentu juga telah menjadi susut pula.

Yang agak menggelisahkan adalah keadaan Agung Sedayu yang telah berbenturan ilmu dengan Ki Gede Candra Bumi. Bagaimanapun juga, Ki Gede Candra Bumi adalah seorang berilmu tinggi yang memiliki pengalaman lebih banyak dari Agung Sedayu, sehingga pertempurannya melawan Ki Gede merupakan pertempuran yang sangat berat baginya.

Meskipun demikian, ketika benturan ilmu itu harus terjadi, Agung Sedayu ternyata mampu mengimbangi kemapanan ilmu Ki Gede Candra Bumi. Meskipun Agung Sedayu tergetar dan terlempar surut, tetapi bagian dalam tubuh Agung Sedayu tidak dihancurkan oleh benturan itu. Ilmu kebalnya, meskipun telah tertembus oleh getar balik dari benturan yang dahsyat, namun masih juga dapat menahan, sehingga hentakan pada bagian dalam tubuhnya itu tidak merontokkan jantungnya.

Tetapi Agung Sedayu memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaannya. Ia harus mendapatkan kesempatan khusus untuk duduk bersemadi, mengatur pernafasannya serta memusatkan nalar budinya. Di samping serbuk obat ramuannya, berdasarkan pengetahuan obat-obatan yang dipelajarinya dari gurunya langsung atau dari kitab yang ditinggalkannya.

Meskipun demikian, Ki Juru menasehatkan kepada Agung Sedayu agar di keesokan harinya ia tidak ikut turun ke medan.

“Siapakah yang akan menjadi Senapati Pengapit?”

Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Panembahan Senapati masih belum menyebut. Mungkin Ki Tumenggung Yudapamungkas. Tetapi mungkin juga salah seorang Pangeran yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Itupun masih harus di sertai sekelompok Senapati pilihan yang dapat dipercaya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menyadari bahwa ia sendiri tentu masih belum dapat turun ke medan di keesokan harinya. Kekuatannya tentu masih belum pulih, meskipun daya tahannya sudah dapat mengatasi rasa sakitnya.

Malam itu, ketika Ki Patih Mandaraka kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang berada di sebuah ruang khusus di dalam lingkungan perkemahan pasukan Mataram, Swandaru telah mengunjunginya.

Sambil mengangguk-angguk Swandaru berdesis, “Syukurlah jika keadaanmu menjadi semakin baik, Kakang.”

“Yang Maha Agung masih melindungi aku,” desis Agung Sedayu.

“Untunglah bahwa lawanmu bukan seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga meskipun kau terluka, tetapi kau masih mampu bertahan dan bahkan mengatasinya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Swandaru pun berkata, “Ternyata yang kau katakan itu benar, Kakang. Sayap gelar perang dapat menentukan akhir dari pertempuran. Sementara kemenangan di sayap gelar dapat ditentukan pula oleh kelebihan bagian atau kelompok-kelompok tertentu dalam sayap gelar itu.”

Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, Swandaru pun telah menceritakan kemenangan-kemenangannya melawan Senapati Pati, dan kemudian melawan Ki Ajar Terepan.

“Jika saja aku mendapat waktu lebih banyak, aku tentu sudah membunuh keduanya. Ki Ajar Terepan adalah seorang hamba istana yang dipercaya untuk merawat pusaka-pusaka Kanjeng Adipati Pati. Ia adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi. Ia memiliki pusaka yang sangat dipercayanya, yang setiap goresan ujung rambut sekalipun akan dapat membunuh lawannya karena racun yang sangat tajam.”

“Untunglah bahwa kau tidak tersentuh ujung tombak itu,” desis Agung Sedayu.

“Jika kau memiliki kemauan berlatih serta niat dan ketekunan yang tinggi, kau pun tentu dapat melakukannya. Kau tidak akan selalu dilukai oleh lawan-lawanmu. Menurut pengetahuanku, hampir setiap kali Kakang turun di medan pertempuran, Kakang selalu terluka. Kadang-kadang tidak terlalu parah. Tetapi kadang-kadang parah sekali.”

Agung Sedayu memandang wajah Swandaru sekilas. Tetapi wajah itu nampaknya wajar sekali. Swandaru memang merasa berhak untuk mengatakan hal itu kepadanya.

Swandaru ternyata masih berkata selanjurnya, “Kakang. Berapa kali aku menganjurkan Kakang untuk lebih banyak berada di dalam sanggar. Meskipun Kakang seorang Lurah prajurit, tetapi Kakang harus menyisihkan waktu bagi kepentingan Kakang sendiri. Mungkin justru karena Kakang telah mendapat kedudukan, maka Kakang menjadi semakin malas untuk berlatih, sehingga dengan demikian maka ilmu yang Kakang miliki tidak akan berkembang. Sudah tentu bukan itu yang dimaksud Guru yang telah mewariskan kitabnya kepada kita.”

“Aku mengerti Swandaru,” jawab Agung Sedayu, “setelah perang ini selesai, aku akan mempergunakan waktuku sebaik-baiknya. Mudah-mudahan aku masih mampu mengembangkan ilmuku.”

“Kenapa tidak? Tidak ada batas umur seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya,” jawab Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula, sementara Agung Sedayu berkata, “Kita akan saling berdoa, mudah-mudahan kita selamat keluar dari pertempuran ini.”

“Bukankah dalam keadaan seperti ini Kakang tidak akan turun lagi ke medan?” bertanya Swandaru.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia berkata, “Agaknya memang tidak. Ki Patih tidak akan mengijinkan jika aku turun lagi ke pertempuran, meskipun bukan sebagai seorang Senapati Pengapit. Entah dua atau tiga hari lagi, jika keadaanku menjadi semakin baik.”

“Bagaimana keadaan lawan Kakang?” bertanya Swandaru.

“Aku tidak mengetahuinya,” jawab Agung Sedayu.

“Jika Ki Patih Mandaraka menunjuk aku menggantikan kedudukanmu, maka aku akan bersedia melakukannya,” berkata Swandaru.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Jika benar Swandaru itu ditempatkan di sisi Panembahan Senapati, maka kedudukan itu tentu akan sangat membahayakan adik seperguruannya. Betapapun tinggi ilmu Swandaru, namun Agung Sedayu mengetahui bahwa tataran kemampuan ilmu Swandaru agak terbatas pada ilmu cambuknya saja, tanpa melihat ke kedalaman ilmunya.

Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia takut Swandaru menjadi salah paham. Apalagi Swandaru sudah terlanjur menganggap kemampuannya jauh lebih tinggi dari kemampuan Agung Sedayu sendiri.

Setiap kali Agung Sedayu memang merasa bersalah. Ia tidak berani berterus-terang mengatakan kepada adik seperguruannya tentang tataran kemampuannya dalam perbandingan dengan kemapuan adik seperguruannya itu, sehingga kesalah-pahaman itu justru menjadi semakin berlarut-larut.

Dalam pada itu, Swandaru pun telah minta diri untuk kembali ke kesatuannya, pengawal Kademangan Sangkal Putung.

Sikap Swandaru memang menggelisahkan Agung Sedayu. Sebagai seorang saudara tua, ia berkewajiban mengatakan kebenaran kepada adiknya tentang tataran kemampuannya. Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak mampu melakukannya.

Dalam pada itu, perkemahan pasukan Mataram itu pun semakin lama menjadi semakin sepi. Para prajurit memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat. Mereka akan bersiap di dini hari untuk segera menyusun gelar perang. Tidak banyak perubahan terjadi dalam susunan kekuatan. Baik para Senapati maupun kesatuan-kesatuan yang ada di dalamnya.

Untuk menggantikan Agung Sedayu, Panembahan Senapati memang tidak menunjuk seorang Pangeran. Tetapi Panembahan Senapati telah menunjuk Ki Tumenggung Yudapamungkas, didampingi dua orang Senapati pilihan.

Dalam pada itu, Swandaru di kemahnya memang menunggu. Mungkin ia akan bermimpi ditimpa rembulan bulat di saat purnama. Betapapun kecilnya, ia memang berpengharapan untuk dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka atau oleh Panembahan Senapati sendiri untuk menerima perintah, agar ia menggantikan kedudukan Agung Sedayu menjadi Senapati Pengapit.

Tetapi perintah itu ternyata tidak pernah diturunkan.

Menjelang pagi, para prajurit Mataram itu pun sudah bersiap. Mereka sudah berada di kesatuan mereka masing-masing, yang setiap saat akan segera memasuki gelar sebagaimana direncanakan.

Namun ketika segala-galanya sudah disiapkan untuk segera mendapat isyarat untuk memasuki gelar, ternyata Panembahan Senapati mendapat laporan dari para pengawas, bahwa mereka tidak melihat gerak pasukan Pati menyusun gelar perang.

“Menurut pengamatan kami, pasukan Pati tidak akan keluar dari dinding perkemahan mereka yang mereka buat dari batang kelapa yang cukup tinggi.”

“Kenapa kau menganggap begitu?” bertanya Ki Patih Mandaraka yang mengerutkan dahinya.

“Kami melihat pasukan Pati mempersiapkan benteng mereka semakin mapan dan kuat. Mereka telah membuat beberapa panggung di belakang dinding perkemahan. Dari panggung itu para prajurit Pati akan menghambat gerak maju pasukan Mataram. Mereka telah mempersiapkan busur dan anak panah, lembing dan senjata-senjata yang lain. Mereka telah mempersiapkan busur-busur yang ukurannya lebih besar dari busur kebanyakan.”

Ki Patih mengangguk-angguk. Tetapi agaknya Panembahan Senapati ingin membuktikan kebenaran laporan itu. Karena itu, maka Panembahan Senapati telah mengirimkan petugas-petugas sandi yang khusus pula.

Sebenarnyalah laporan yang diterima kemudian adalah sama seperti laporan sebelumnya. Bahwa pasukan Pati nampaknya tidak akan bergerak keluar dari dinding yang mengelilingi perkemahannya. Karena itu, mereka telah mempersiapkan pertahanan yang sangat kuat.

Panembahan Senapati memang menjadi bimbang. Apakah ia akan menyerang perkemahan itu atau tidak.

Namun Ki Patih Mandaraka pun kemudian berkata, “Sebaiknya kita beristirahat hari ini Ngger. Kita belum siap untuk menyerang pertahanan Pati yang kuat itu. Karena itu, jika kita memaksa diri menyerang benteng pertahanan Pati itu Ngger, maka korban akan terlalu banyak yang jatuh.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita beristirahat hari ini.”

Keputusan itu memang menimbulkan perbedaan pendapat. Tetapi para prajurit dan pengawal tetap patuh kepada perintah Panembahan Senapati.

Seorang Senapati yang tidak dapat mengerti kenapa serangan harus ditunda, berdesis kepada kawannya, “Justru kita mendapat kesempatan yang paling baik untuk menghancurkan Pati di perkemahannya.”

“Untuk menyerang sebuah perkemahan, apalagi yang telah sempat membangun benteng seperti pasukan Pati itu, memang diperlukan kekuatan yang sangat besar. Mungkin kita dapat memecahkan pertahanan mereka dan memasuki dinding perkemahan untuk mengusir mereka. Tetapi yang dicemaskan oleh Panembahan Senapati adalah jumlah korban yang tidak terkendali.”

“Jika jatuh korban, bukan hanya dari pihak kita. Tetapi prajurit Pati pun akan memberikan korban yang banyak sekali.”

“Itulah yang tidak diinginkan oleh Panembahan Senapati. Apakah itu prajurit Mataram atau prajurit Pati, tetapi setiap nyawa harus mendapat perhatian.”

“Jika demikian, kenapa kita harus berperang? Kenapa kita tidak mengiakan saja semua kehendak Kanjeng Adipati Pati? Jika demikian, maka tidak akan ada korban yang jatuh,” berkata Senapati itu. “Bagi seorang prajurit, berperang adalah pekerjaan seorang laki-laki, sebagaimana seorang perempuan harus melahirkan anak-anaknya.”

“Tetapi Panembahan Senapati juga memikirkan, apakah jumlah korban yang jatuh itu tidak dapat ditawar lagi? Meskipun kita seorang prajurit yang memang dipersiapkan untuk perang, tetapi bagi Panembahan Senapati, adalah lebih baik jika kita dapat memenangkan perang dengan korban yang sesedikit-sedikitnya.”

Senapati itu tidak menjawab lagi. Tetapi wajahnya nampak gelap. Ia benar-benar merasa kecewa bahwa pasukan yang sudah siap itu tidak jadi bergerak.

Panembahan Senapati mengerti bahwa ada di antara prajuritnya dan bahkan Senapati yang merasa kecewa atas keputusannya. Karena itu, Panembahan Senapati itu pun melengkapi perintahnya dengan perintah berikutnya, “Setiap Senapati harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Besok, pasukan Mataram akan menyerang. Jika pasukan Pati tidak keluar dari dinding perkemahannya, maka pasukan Mataram akan menyerang perkemahan itu. Karena itu, setiap Senapati harus menempatkan diri sesuai dengan kemungkinan yang dapat terjadi.”

Perintah itu dapat mengurangi kekecewaan di dada para prajurit dan Senapati, yang ingin segera menyelesaikan pertempuran dengan mendesak Pati mundur sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng.

Meskipun pada hari itu pasukan Mataram tidak turun ke medan, namun pengawasan dan perlindungan terhadap perkemahan dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Mataram menyadari, jika mereka lengah, maka pasukannya akan dihancurkan oleh pasukan Pati.

Sementara hari itu pasukan Mataram tidak turun ke medan, maka para Senapati telah mendapat perintah dan petunjuk-petunjuk khusus, apa yang harus mereka lakukan jika mereka menyerang pertahanan Pati di belakang benteng batang kelapa mereka yang kokoh.

Para prajurit yang berperisai harus mengambil peranan. Para petugas sandi telah melaporkan, bahwa Pati telah bersiap untuk menahan arus serangan dengan anak panah dan lembing. Bahkan secara khusus, sekelompok prajurit telah mempersiapkan busur yang lebih besar dari ukuran busur kebanyakan.

Agung Sedayu yang terluka bagian dalam tubuhnya, merasa kecewa bahwa ia tidak mendapat kesempatan untuk ikut bertempur menyerang benteng pertahanan di perkemahan pasukan Pati. Ki Patih Mandaraka yang secara khusus menemuinya, menasehatkan bahwa sebaiknya Agung Sedayu berusaha memperbaiki keadaannya. Menyembuhkan luka dalam yang dideritanya.

Dalam pada itu, lewat tengah hari, Panembahan Senapati telah memanggil para Panglima, para Senapati dan para pemimpin pasukan pengawal yang ada di dalam barisan yang besar itu. Panembahan Senapati telah memberikan perintah-perintah langsung kepada mereka, seandainya besok pasukan Pati tidak turun ke medan dalam gelar perang.

“Bahwa pasukan Pati tidak turun dalam gelar perang, itu sudah merupakan isyarat bahwa kekuatan Pati telah terguncang. Mereka memperhitungkan kemungkinan yang lebih baik jika mereka bertahan di dalam dinding perkemahannya. Dengan demikian mereka mempunyai peluang lebih banyak untuk membunuh para prajurit Mataram yang datang menyerang dinding pertahanan mereka,” berkata Panembahan Senapati.

Dengan jelas Panembahan Senapati membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi di saat para prajurit Mataram berusaha memecahkan pintu gerbang atau memanjat dinding batang kelapa itu.

“Kita harus mempersiapkan tangga bambu sebanyak-banyaknya. Di sekitar tempat ini terdapat banyak sekali rumpun bambu. Kita akan membuat tangga bambu itu, meskipun mungkin kita tidak akan pernah mempergunakannya karena kita akan bertempur dalam gelar perang seperti yang pernah terjadi.”

Panembahan Senapati pun telah membagi pasukannya menjadi tiga bagian yang akan menyerang pertahanan Pati dari tiga jurusan, seandainya tidak terjadi perang gelar. Tetapi sekelompok pasukan khusus justru akan menyerang perkemahan Pati itu dari arah belakang. Mereka akan menyerang dengan diam-diam.

Demikianlah, para prajurit Mataram pun telah sibuk dengan segala macam persiapan perang.

Namun para prajurit Mataram masih berusaha untuk tidak menampakkan persiapan itu dengan semata-mata. Hal-hal yang masih mungkin disembunyikan, masih juga disembunyikan.

Tetapi ternyata para petugas sandi dari Pati memiliki ketajaman penglihatan. Mereka melihat bagaimana orang-orang Mataram membuat puluhan tangga bambu.

Ketika Kanjeng Adipati Pragola mendapat laporan itu, maka iapun segera memanggil para Panglima dan Senapati, untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

Kanjeng Adipati Pragola ingin mendengar pendapat para Panglima dan Senapati tentang parsiapan Panembahan Senapati, yang agaknya akan menyerang perkemahan.

“Apakah Panembahan Senapati dengan kekuatan yang seimbang akan menyerang perkemahan yang dikelilingi dengan dinding batang kelapa ini?” desis seorang Panglima.

“Nampaknya memang begitu,” jawab Kanjeng Adipati, “seperti aku katakan kemarin, Panembahan Senapati adalah orang yang keras hati dan terlalu percaya akan kemampuan sendiri.”

“Jika demikian, lebih baik kita menunggu di dalam dinding perkemahan ini,” berkata seorang Senapati.

Yang lain nampaknya sependapat. Bahkan Ki Naga Sisik Salaka yang nafasnya masih terasa sesak itu berkata, “Kanjeng, aku juga sependapat, bahwa kita akan bertahan di dalam dinding perkemahan ini. Tetapi kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya. Bukan saja senjata dan ketrampilan berperang, tetapi kita harus mempunyai tekad untuk menang.”

“Ya. Itu memang penting, Guru,” jawab Kanjeng Adipati Pragola.

“Nah, jika demikian, para Panglima dan para Senapati jangan sekedar main-main lagi. Kita harus dapat menghancurkan pasukan Mataram yang besar itu. Jika pasukan Mataram mundur dari arena pertempuran, maka kita harus dengan cepat mempersiapkan diri, untuk di keesokan harinya menyerang perkemahan Mataram. Jangan ada tenggang waktu sehingga Mataram sempat menyusun kekuatannya kembali,” berkata Ki Naga Sisik Salaka pula.

Kanjeng Adipati pun meneruskan, “Nah, kalian dengar. Dengan demikian, maka kalian harus bersiap-siap. Bukan saja mempertahankan perkemahan ini, tetapi sekaligus setiap kesatuan harus bersiap untuk keluar dari benteng dalam gelar yang mapan, tetapi juga siap memukul pasukan Mataram di perkemahannya. Kita memiliki kelebihan dari pasukan Mataram, bahwa kita sempat membuat dinding dari batang kelapa, sementara Mataram tidak.”

Dengan demikian Kanjeng Adipati Pragola pun telah memerintahkan untuk mempersiapkan pertahanan sebaik-baiknya.

“Apa yang sudah kita siapkan sampai hari ini, kita tingkatkan lagi. Sediakan anak panah sebanyak dapat disediakan. Demikian pula lembing. Sediakan galah untuk mendorong tangga-tangga bambu demikian orang-orang Mataram memanjat. Jika orang pertama hampir mencapai bibir dinding perkemahan, maka tangga itu didorong dengan galah sampai roboh. Dalam keadaan yang tidak seimbang bagi para prajurit yang terjatuh itu, mereka akan menjadi sasaran anak panah dan lembing para prajurit yang lain.”

Demikianlah, persiapan di perkemahan Pati pun ditingkatkan. Jika sebelumnya mereka bersiap-siap menghadapi kemungkinan serangan para prajurit Mataram, yang memang telah mempersiapkan perlengkapan untuk menyerang perkemahan.

Apa yang dilakukan oleh para prajurit Pati itu pun tidak luput dari perhatian para petugas sandi dari Mataram. Para petugas sandi itu pun melihat peningkatan persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Pati.

Demikianlah, persiapan-persiapan mereka pun sudah mengarah pada satu kepastian. Para prajurit Pati akan bertahan di belakang dinding perkemahannya, sementara pasukan Mataram akan menyerang perkemahan itu.

Agung Sedayu yang mendengar rencana yang pasti tentang serangan ke perkemahan prajurit Pati itu telah mencoba menghubungi Ki Patih Mandaraka, untuk minta ijin apakah dirinya diperkenankan untuk ikut pergi ke perkemahan para prajurit Pati.

Seorang prajurit yang mendapat perintah untuk menghadap Ki Patih itu tidak mendapat jawaban. Tetapi Ki Patih berkata, “Biarlah aku datang menemuinya.”

Sebelum menemui Agung Sedayu, Ki Patih telah singgah menghadap Panembahan Senapati. Namun Panembahan Senapati ternyata tidak mengijinkannya.

“Ia harus mengakui kenyataan tentang dirinya,” berkata Panembahan Senapati, “aku yakin bahwa Ki Gede Candra Bumi juga tidak akan ikut dalam pertempuran mempertahankan benteng mereka.”

Ketika jawaban Panembahan Senapati itu disampaikan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Tetapi ia sama sekali tidak berani menentang perintah itu.

Namun kepada Ki Patih, Agung Sedayu itu berkata, “Aku ingin melihat, bagaimana pasukan Pati itu pecah dan lari meninggalkan perkemahan mereka.”

“Doakan saja hal itu akan terjadi, Agung Sedayu,” desis Ki Patih Mandaraka.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Patih. Aku akan berdoa. Mudah-mudahan Panembahan Senapati berhasil.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk kecil. Sambil menepuk pundak Agung Sedayu, Ki Patih berkata, “Kau memerlukan waktu dua tiga hari untuk beristirahat penuh, Agung Sedayu.”

“Ya, Ki Patih,” Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam.

Dalam pada itu, kedua belah pihak pun telah benar-benar mempersiapkan diri. Ketika malam turun, Kanjeng Adipati Pragola dari Pati telah memerlukan melihat sendiri persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Pati. Busur dan beronggok-onggok anak panah dan lembing. Bahkan beberapa orang telah membuat alat pelontar batu dari bambu apus yang baru ditebang dari rumpun-rumpun bambu, sehingga masih lentur. Kemudian galah bambu yang dapat dipakai untuk mendorong tangga-tangga bambu orang-orang Mataram, yang akan disandarkan pada dinding perkemahan yang terbuat dari batang-batang kelapa utuh, yang ditanam berjajar rapat dan diikat dengan tali-tali ijuk dan tutus bambu.

Sementara itu di perkemahan orang-orang Mataram, Panembahan Senapati telah menyampaikan pesan-pesan terakhir bagi para pasukan yang terdiri dari para prajurit dan bukan prajurit. Sedangkan yang bukan prajurit pun terbagi atas mereka yang memiliki kemampuan setingkat dengan prajurit dan yang tidak.

“Untuk menyerang benteng pertahanan satu pasukan yang kuat, kita benar-benar harus mempunyai perhitungan yang cermat,” berkata Panembahan Senapati.

Setelah Panembahan Senapati merasa cukup memberikan pesan-pesan dan perintah-perintah, maka para prajurit Mataram itu pun segera diperintahkan untuk beristirahat.

“Besok kita akan memeras tanaga dan kemampuan kita.”

Malam itu, Swandaru memerlukan lagi menemui Agung Sedayu sebentar. Karena Swandaru mengetahui bahwa Agung Sedayu tidak akan turun ke medan esok, maka Swandaru tidak banyak memberikan pesan-pesan. Bahkan iapun berkata, “Bersyukurlah bahwa kau tidak akan ikut turun ke neraka besok. Aku membayangkan bahwa perang yang akan terjadi esok adalah perang habis-habisan. Mataram akan berusaha dengan segenap kemampuannya untuk merebut benteng orang-orang Pati dan mengusirnya sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng, sementara orang-orang Pati akan mempertahankan benteng itu habis-habisan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Berhati-hatilah kau Adi Swandaru. Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun ia tentu masih memiliki kelemahan-kelemahan.”

Swandaru tersenyum. Katanya, “Baik Kakang. Aku akan berhati-hati Tetapi bekal seseorang untuk turun ke medan perang akan ikut menentukan, apakah ia akan berhasil atau tidak.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tetapi kesadaran diri untuk berhati-hati tetap penting. Kepercayaan diri yang berlebih-lebihan kadang-kadang sering merugikan diri sendiri, karena orang itu akan salah menilai medan.”

Swandaru bahkan tertawa. Katanya, “Ya, ya. Aku mengerti. Tetapi apakah menurut Kakang, aku terlalu percaya kepada diriku sendiri, bahkan agak berlebihan?”

“Bukankah setiap orang mungkin sekali dihinggapi perasaan yang demikian pada suatu saat?” sahut Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Seseorang kadang-kadang memang tidak dapat mengukur kemampuan diri. Tetapi aku tidak pernah lepas dari kendali kesadaranku, sehingga aku mampu menilai lawan-lawanku dan lingkungan pertempuran di sekelilingku dengan baik.”

“Syukurlah,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Mudah-mudahan kau dan seluruh kekuatan Mataram akan berhasil.”

“Mudah-mudahan serangan ke benteng orang-orang Pati itu mampu memecahkan pertahanan mereka besok. Dengan demikian, kita tidak usah mengulanginya lagi besok lusa,” berkata Swandaru.

Demikianlah, Swandaru pun segera minta diri untuk beristirahat. Namun ketika ia berbaring di antara para pengawal Kademangan Sangkal Putung, ia teringat lagi pesan Agung Sedayu, agar seseorang tidak terlalu percaya kepada diri sendiri sehingga akan salah menilai medan.

“Apakah Kakang Agung Sedayu menganggap penilaianku atas kemampuanku itu berlebihan?” bertanya Swandaru di dalam hatinya.

Swandaru justru merasa kecewa, bahwa ia tidak pernah berada di satu lingkaran medan pertempuran dengan kakak seperguruannya itu. Jika saja mereka berada di dalam satu lingkaran medan, maka ia akan dapat memperlihatkan kepada kakak seperguruannya itu kenyataan tentang ilmunya yang tinggi.

“Seharusnya Kakang Agung Sedayu sempat melihat sendiri, apa yang dapat aku lakukan di medan pertempuran,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Sementara itu, Agung Sedayu yang dianggap masih belum sembuh benar dari luka-luka di dalam dirinya itu, duduk menyilangkan kakinya di sudut pembaringannya. Ia minta kepada dua orang pemimpin kelompok yang melaksanakan tugasnya selama ia tidak dapat turun ke medan, untuk menjaga agar ia tidak terganggu.

“Aku akan mencoba obat yang telah aku racik berdasarkan catatan-catatan Guru di kitabnya. Obat itu termasuk obat yang keras. Usahakan agar aku tidak terganggu. Namun jika keadaanku menjadi buruk karena obat itu, kau harus berusaha untuk memasukkan obat yang lain ke dalam mulutku hingga tertelan,” berkata Agung Sedayu, sambil memberikan dua butir obat kepada mereka.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Mereka masih belum memahami benar-benar pesan Agung Sedayu itu.

Agaknya Agung Sedayu mengerti keragu-raguan di hati keduanya. Karena itu, maka iapun segera menjelaskan, “Aku akan menelan obat yang terhitung keras itu. Jika saat obat itu bekerja di dalam tubuhku menimbulkan akibat buruk padaku, sehingga aku menjadi pingsan, maka kalian harus berusaha membuka mulutku dan memasukkan kedua butir obat itu sehingga tertelan. Jika kalian mengalami kesulitan, kalian dapat menuangkan cairan sedikit demi sedikit, sehingga obat itu akan hanyut lewat tenggorokanku, dan meredam kekuatan obat yang lebih dahulu kutelan. Tetapi jika kalian terlambat atau tidak berhasil memasukkan obat itu ke dalam tenggorokanku, maka akibat buruk itu akan menjadi semakin buruk bagiku.”

“Tetapi, kami tidak terbiasa melalukannya,” desis yang seorang di antara kedua prajurit itu.

“Kau akan dapat melakukannya. Hanya jika keadaanku menjadi sangat buruk sehingga aku menjadi pingsan. Jika tidak, kalian tidak usah berusaha memasukkan obat itu ke dalam tenggorokanku.”

Keduanya masih tetap ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata pula, “Lakukan. Jangan bimbang. Kalian harus yakin bahwa kalian dapat melakukannya. Sementara itu, kalian harus menjaga agar aku tidak terganggu oleh siapapun selama aku mencoba mengobati diriku sendiri dengan cara itu. Aku tidak menerima tamu siapapun juga, bahkan Panembahan Senapati sekalipun dan Ki Patih Mandaraka. Hanya jika mereka yang datang, kau harus dapat memberikan penjelasan sehingga mereka dapat mengerti.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk, betapapun mereka merasa beban tugas itu terasa sangat berat bagi mereka berdua.

Meskipun demikian, mereka berdua bertekad untuk dapat melaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Demikianlah, Agung Sedayu pun telah menelan ramuan obat-obatan yang disebutnya mempunyai kekuatan yang keras. Dengan beberapa teguk air masak yang sudah didinginkan, obat yang berupa serbuk lembut berwarna kecoklat-coklatan itu didorong masuk lewat tenggorokannya.

Kedua orang prajurit yang menungguinya itu menjadi tegang. Mereka melihat Agung Sedayu itu pun kemudian duduk dengan menyilangkan kaki dan tangannya di sudut pembaringannya sambil memejamkan matanya. Sementara salah seorang dari keduanya memegang sebuah bumbung kecil yang berisi dua butir obat untuk menawarkan obat yang telah ditelan oleh Agung Sedayu itu, apabila keadaannya menjadi sangat buruk.

Untuk beberapa saat keduanya menunggu dengan jantung yang berdebar-debar.

Ketika kedua prajurit itu melihat Agung Sedayu bergetar, bahkan seolah-olah menggigil kedinginan, maka seorang di antara keduanya berbisik, “Keadaannya memburuk.”

“Tetapi belum sampai pada batas yang dikehendaki,” jawab yang lain.

Dengan seksama keduanya mengikuti perkembangan keadaan Agung Sedayu. Beberapa saat Agung Sedayu memang seakan-akan menggigil. Namun kemudian tubuh itu mulai berkeringat. Di kening, di leher dan bahkan di wajah Agung Sedayu keringatnya mengembun semakin banyak. Kemudian mengalir dan menetes jatuh.

Tetapi Agung Sedayu masih tetap duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Wajahnya menunduk dengan mata yang masih juga terpejam. Kerut di dahinya nampak menjadi semakin dalam.

“Ia menjadi kesakitan,” desis salah seorang prajurit yang melihat perubahan wajah Agung Sedayu.

“Bukan kesakitan. Tetapi ia menahan gejolak di dalam dirinya saat obat itu bekerja,” sahut yang lain.

Tetapi yang seorang menjadi sangat cemas melihat keadaan Agung Sedayu. Di bawah cahaya lampu minyak dilihatnya wajah Agung Sedayu menjadi pucat. Bibirnya terkatup rapat-rapat.

“Keadaannya memburuk sekarang,” desis yang seorang.

“Tetapi ia tidak pingsan,” sahut yang lain.

Keadaan Agung Sedayu nampaknya memang menjadi semakin sulit. Nafasnya menjadi sesak, sementara keringatnya mengalir semakin deras.

“Apakah kita menunggu Ki Lurah pingsan?” bertanya yang seorang.

Kawannya memang mulai menjadi ragu-ragu. Tetapi dalam pesannya Agung Sedayu menyebut, jika ia pingsan, maka obat itu harus diusahakan dapat melewat kerongkongannya.

Sejenak kedua orang prajurit itu menjadi ragu-ragu. Ketegangan telah mencengkam mereka, sehingga untuk sesaat keduanya justru diam mematung.

Keadaan Agung Sedayu memang semakin memburuk, sehingga kedua orang prajurit itu tidak mau mengalami kelambatan. Seorang di antara mereka berdesis, “Sekarang. Tidak ada waktu lagi.”

Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah meraih mangkuk berisi air dingin.

“Bagaimana kita memasukkan obat ini ? Apakah kita angkat wajah Ki Lurah, atau kita membaringkannya?”

Keduanya tidak segera dapat mengambil keputusan. Mereka melihat wajah Agung Sedayu yang menunduk dengan mata yang terpejam. Sekali-sekali wajah itu terangkat saat Agung Sedayu berusaha mengatasi pernafasannya yang terasa semakin jauh dan dalam.

Kedua orang prajurit itu menjadi semakin gelisah. Untunglah bahwa tidak ada orang lain yang datang mencari Agung Sedayu, sehingga mereka tidak menjadi bertambah bingung.

Ketika mereka kemudian mendengar desah perlahan-lahan, maka mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Keduanya segera bergeser mendekat. Seorang di antara mereka berkata, “Kita baringkan saja Ki Lurah itu di pembaringannya. Dengan demikian, kita akan menjadi lebih mudah untuk memasukkan kedua butir obat penawar itu ke dalam kerongkangannya.”

Kawannya mengangguk.

Tetapi ketika mereka bersiap untuk membaringkan Agung Sedayu di pembaringannya, tiba-tiba mereka melihat perubahan pada Ki Lurah itu. Agung Sedayu telah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian melepaskannya, sehingga seolah-olah dadanya menjadi kosong sama sekali. Namun kemudian diulanginya, dan diulanginya.

Kedua orang prajurit itu tertegun sejenak. Mereka melihat tarikan nafas Agung Sedayu menjadi semakin teratur. Kepalanya menunduk, sementara matanya masih terpejam. Namun Agung Sedayu tidak lagi tersengal-sengal.

Beberapa saat, justru Agung Sedayu telah menegakkan dadanya. Meskipun matanya masih terpejam, tetapi kepalanya tidak lagi menunduk. Sementara itu, Agung Sedayu itu telah mampu mengatasi kesulitan pernafasannya. Perlahan-lahan Agung Sedayu telah mulai mengatur pernafasannya dengan baik. Bahkan kemudian Agung Sedayu telah berhasil menguasai gejolak getar di dalam dirinya. Obat yang keras yang diminumnya, telah bekerja di dalam dirinya, menyusuri urat-urat darahnya sampai ke ujung-ujungnya yang terkecil. Menyusup ke dalam setiap serat daging dan tulang sumsumnya, otot-otot serta syarafnya.

Kedua prajurit yang tegang itu pun menarik nafas dalam-dalam. Mereka melihat keadaan Agung Sedayu yang menjadi semakin baik, meskipun tubuhnya masih basah oleh keringat.

Tetapi bukan hanya Agung Sedayu saja-lah yang basah oleh keringat. Tetapi pakaian kedua orang prajuritnya itu pun seakan-akan baru saja di pungut dari rendaman air dan langsung mereka kenakan di tubuh mereka.

Kedua orang prajurit itu terkejut ketika mereka mendengar suara kentongan di sudut-sudut perkemahan. Ternyata mereka telah berada di tengah malam.

Agung Sedayu justru mulai membuka matanya. Diurainya tangannya, kemudian direntangkannya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu pun telah bangkit.

Dengan memusatkan nalar budinya, Agung Sedayu telah menelan obat yang diramunya sesuai dengan rincian yang tertulis di dalam kitab yang ditinggalkan oleh gurunya. Obat yang keras, yang belum pernah dicobanya sebelumnya.

Ternyata bahwa obat itu mempunyai manfaat yang sangat besar bagi tubuhnya yang terluka di dalam. Dengan obat yang keras itu, Agung Sedayu telah menemukan kembali tenaga dan kemampuannya seutuhnya. Luka di bagian dalam tubuhnya itu telah sembuh sama sekali.

Namun dengan demikian, Agung Sedayu pun mengetahui bahwa obat itu adalah obat yang berbahaya, yang tidak dapat diberikan kepada setiap orang. Hanya orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi sajalah yang dapat mempergunakannya untuk mempercepat kesembuhan. Jika seseorang tidak mempunyai daya tahan cukup tinggi, maka obat itu justru akan merusakkan jaringan-jaringan tubuhnya, sehingga akibatnya akan menjadi sebaliknya dari satu usaha penyembuhan.

Kedua prajurit yang berdiri termangu-mangu itu melihat keadaan Agung Sedayu yang menjadi segar dan tegar.

“Ki Lurah,” desis seorang dari kedua orang prajurit itu.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku berhasil mengobati luka-luka di dalam tubuhku.”

“Syukurlah,” prajurit itu mengangguk-angguk, “kami berdua hampir saja kehilangan akal. Ketika kami melihat keadaan Ki Lurah, maka kami berdua telah memutuskan untuk memberikan obat penawar itu.”

“Aku sekarang sudah menjadi baik seperti sediakala.”

“Apakah Ki Lurah besok akan turun ke medan?” bertanya pemimpin kelompoknya itu.

“Apa tugas kalian besok?” bertanya Agung Sedayu.

“Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mendapat tugas untuk memasuki dinding perkemahan dengan diam-diam.”

“Kalian tidak termasuk dalam kesatuan yang akan menyerang perkemahan dari arah yang terbuka?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak,” jawab pemimpin kelompok itu.

“Satu tugas yang sulit, justru serangan di siang hari,” berkata Agung Sedayu.

“Tetapi perhatian para prajurit Pati yang ada di perkemahan itu akan terikat pada serangan terbuka dari tiga arah.”

“Beristirahatlah. Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Pemimpin kelompok itu pun telah menyerahkan kembali obat penawar yang hampir saja disisipkan ke dalam mulut Agung Sedayu, yang justru akan dapat menawarkan obat yang disebutnya sangat keras itu.

Ki Patih Mandaraka yang sudah mulai berbaring di pembaringannya, memerlukan untuk menemui Agung Sedayu. Ketika ia mendengar prajurit yang berjaga-jaga di barak perkemahannya memberitahukan bahwa Ki Patih sedang beristirahat, maka Ki Patih itu justru keluar, untuk mempersilahkan Agung Sedayu masuk ke dalam barak kecilnya.

“Adakah yang penting kau beritahukan Ki Lurah?” bertanya Ki Patih.

“Ampun Ki Patih,” sahut Agung Sedayu, “aku ingin mohon agar aku diperkenanan untuk bersama-sama dengan prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, berada di medan esok.”

Ki Patih mengerutkan dahinya sambil berdesis, “Aku melihat perubahan pada dirimu. Apakah kau berhasil mengatasi luka-luka dalammu?”

“Yang Maha Agung telah menolongku,” jawab Agung Sedayu. “Aku telah mencoba minum obat ramuan sesuai dengan petunjuk Kiai Gringsing. Obat yang belum pernah aku coba, meskipun oleh diriku sendiri. Aku menyiapkan obat itu meskipun aku agak ragu mempergunakannya. Namun akhirnya aku coba juga meskipun mengandung bahaya.”

Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalau telah melakukan satu langkah yang sangat berbahaya bagi dirimu sendiri.”

“Aku sudah minta dua orang prajurit untuk bersiap-siap memberikan obat penawarnya jika keadaanku memburuk,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Seharusnya kau lakukan di hadapan orang-orang tua seperti aku. Dalam keadaan yang sangat gawat, aku dapat membantumu. Tetapi syukurlah bahwa segala sesuatunya telah berlangsung dengan baik. Dan nampaknya obat itu berpengaruh baik atasmu.”

“Ya, Ki Patih. Aku merasa segala sesuatunya telah pulih kembali.”

“Bangkitlah,” berkata Ki Mandaraka kemudian, “berdirilah.”

Agung Sedayu mengerti bahwa Ki Patih ingin mengetahui, apakah ia benar-benar sudah sembuh. Karena itu maka Agung Sedayu itu pun segera bangkit berdiri.

“Rentangkan tanganmu.”

Seperti yang diperintahkan oleh Ki Patih, Agung Sedayu pun telah merentangkan tangannya.

Dengan ujung-ujung jarinya Ki Patih meraba bahu, punggung, dada dan lambung Agung Sedayu. Kemudian pergelangan tangan dan pergelangan kakinya.

Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Obat yang kau pergunakan adalah obat yang sangat kuat. Jika saja bukan kau yang minum obat itu, maka akibatnya akan lain.”

Agung Sedayu pun kemudian telah duduk kembali. Sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata, “Aku mohon Ki Patih. Besok aku ingin dapat berada di antara prajurit-prajuritku yang mendapat tugas yang sangat berat itu.”

Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya memang sudah tidak ada alasan lagi untuk mencegahmu.”

“Jika demikian, apakah berarti bahwa aku besok dapat ikut serta?”

Ki Patih pun kemudian tersenyum sambil mengangguk kecil, “Baiklah. Semua perintah telah diberikan kepada dua orang pemimpin kelompokmu yang akan memimpin prajurit-prajurit Pasukan Khusus itu. Tetapi masih ada satu perintah rahasia yang belum aku sampaikan kepada kedua orang pemimpin kelompokmu itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu untuk bertanya, apakah ia boleh mendengar perintah rahasia itu.

Ki Patih pun kemudian memandang Agung Sedayu dengan seksama. Namun kemudian katanya, “Ki Lurah. Karena kau sendiri akan berada di dalam Pasukan Khususmu itu, maka kau boleh mendengar perintah rahasia itu.”

Agung Sedayu memang menjadi tegang. Sementara Ki Patih Mandaraka berkata selanjutnya hampir berbisik, “Besok, aku bersama lima orang perwira dari Pasukan Khusus pengawalku, akan berada di antara para prajurit dari Pasukan Khususmu.”

Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Ternyata Ki Patih Mandaraka sendiri akan memimpin Pasukan Khusus yang akan memasuki perkemahan pasukan Pati itu dengan diam-diam dari arah belakang, setelah pasukan Mataram yang besar menyerang dari tiga arah.

Sementara itu Ki Patih Mandaraka pun berkata pula, “Bersamamu Agung Sedayu, aku kira kekuatan pasukan kecil itu akan semakin bertambah. Besok pagi-pagi aku akan memberitahukan kehadiranmu di antara Pasukan Khusus itu kepada Angger Panembahan Senapati. Aku akan memberitahukan bahwa kau telah pulih kembali, sehingga kau akan dapat melakukan tugasmu dengan baik.”

“Terima kasih Ki Patih, dengan demikian maka aku tidak akan terpisah dari prajurit-prajuritku, justru dalam tugas yang berat ini.”

Ki Patih tersenyum. Ia tahu bahwa Agung Sedayu adalah seorang pemimpin yang bertanggung-jawab, sehingga ia akan merasa tenang berada di antara prajurit-prajuritnya, apapun yang terjadi atas dirinya sendiri.

Namun Ki Patih masih juga berpesan, “Tetapi biarlah perintah rahasia itu tetap menjadi rahasia sampai esok pagi.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Ki Patih.”

“Baiklah, jika demikian beristirahatlah di sisa malam ini. Kau memang perlu beristirahat, setelah kau berjuang melawan obat yang telah kau minum itu,” berkata Ki Patih.

Agung Sedayu pun kemudian telah mohon diri, kembali ke baraknya. Kepada kedua pemimpin kelompoknya ia berkata, “Besok aku akan pergi bersama kalian.”

Kedua orang pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian wajah mereka menjadi cerah. Dengan nada tinggi seorang di antara mereka bertanya, “Jadi besok Ki Lurah akan menyertai kami memasuki perkemahan itu?”

“Ya. Aku akan berada di antara kalian.” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya, “Beristirahatlah. Kau seharusnya sudah beristirahat.”

“Sulit untuk dapat tidur Ki Lurah. Tetapi sekarang kami akan tidur nyenyak.”

Demikianlah, di sisa malam yang tinggal sedikit itu, kedua orang pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah memanfaatkannya untuk beristirahat. Demikianlah pula Ki Lurah Agung Sedayu, dan bahkan juga Ki Patih Mandaraka.

Menjelang fajar, pasukan Mataram itu sudah bersiap. Pasukan Mataram telah mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan, baik dalam perang gelar, maupun untuk menyerang perkemahan yang dilindungi oleh dinding pohon kelapa yang berdiri berjajar rapat sebagai benteng yang kokoh.

Sesuai dengan perintah Panembahan Senapati, maka pasukan induk akan menyerang benteng pasukan Pati itu dari depan. Sementara kedua sayapnya akan menyerang dari arah sebelah kiri dan kanan.

Namun dalam pada itu, secara khusus pasukan kecil yang terdiri dari kelompok-kelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mendapat tugas sendiri. Sebelum fajar, pasukan itu harus sudah mendekati benteng dari arah belakang. Pasukan itu mendapat tugas untuk memasuki benteng dengan diam-diam. Tugas mereka yang utama adalah mendukung beban tugas Ki Patih Mandaraka untuk mencari jalan membuka pintu bagi pasukan Mataram, jika mereka tidak dapat memasuki benteng itu dengan tangga-tangga bambu atau memecah pintu gerbang.

Perintah bahwa yang akan memimpin Pasukan Khusus itu adalah Ki Patih Mandaraka sendiri, baru diberikan saat pasukan itu berangkat. Jika perintah itu sempat bocor sampai ke telinga petugas sandi Pati karena berbagai sebab, termasuk pengkhianatan, maka Ki Patih akan menjadi sasaran dan bahkan mungkin akan dijebak oleh orang-orang Pati.

Para prajurit dari Pasukan Khusus itu memang terkejut Tetapi hati mereka pun telah mekar. Mereka benar-benar merasa mengemban kepercayaan yang sangat tinggi, bahwa mereka akan melakukan satu tugas yang berat dan dipimpin langsung oleh Ki Patih Mandaraka, bersama lima orang perwira pengawalnya. Mereka menjadi semakin tegar ketika mereka mengetahui bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan berada di antara mereka.

Sebagaimana tugasnya yang khusus, maka Pasukan Khusus itu telah berangkat mendahului induk pasukannya. Mereka menyusup melalui jalan melingkar, mendekati perkemahan pasukan Pati. Dalam kegelapan menjelang fajar, mereka merangkak mendekati dinding perkemahan dari arah belakang.

Para prajurit Pati memang cukup berhati-hati. Pertahanan mereka menghadap ke segala arah, termasuk ke arah belakang perkemahan mereka. Sehingga dengan demikian maka Pasukan Khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Patih itu harus menjadi sangat berhati-hati, agar mereka tidak segera dilihat oleh para pengawas di sisi belakang benteng yang melindungi perkemahan orang-orang Pati.

Bersamaan dengan itu, pasukan Mataram dalam gelar perang telah bergerak pula meninggalkan perkemahan.

Ternyata bahwa Pati benar-benar tidak keluar dari perkemahan untuk menyongsong pasukan Mataram dengan gelar perang. Tetapi mereka telah bersiap menunggu di panggungan di belakang dinding perkemahan mereka.

Sebelum matahari terbit, pasukan Mataram sudah berada beberapa puluh patok di depan benteng pasukan Pati. Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti.

Seperti yang telah diperintahkan, pasukan Mataram akan bergerak setelah Panembahan Senapati membunyikan pertanda.

Di hadapan benteng yang mengelilingi perkemahan, Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk menunjukkan segala macam tanda kebesaran Mataram. Panji-panji, rontek, umbul-umbul, kelebet dan tunggul-tunggul. Kemudian setelah segala sesuatunya siap untuk bergerak, Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk membunyikan bende Kiai Bicak. Bende pusaka Mataram yang jarang sekali dikeluarkan dari Bangsal Pusaka.

Suaranya telah menggetarkan udara di atas perkemahan pasukan Pati, Menghentak bagaikan mengetuk setiap dada para prajurit yang ada di perkemahan. Sementara itu, para prajurit Mataram yang mendengar suara bende Kiai Bicak, telah bersorak gemuruh, seakan-akan mengguncang dan akan meruntuhkan langit.

Para prajurit Pati telah melihat kedatangan pasukan Mataram. Beberapa orang petugas sandi serta pengawas telah melaporkan, bahwa Mataram dengan kekuatan penuh telah datang menyerang perkemahan, sebagaimana telah mereka perhitungkan berdasarkan atas laporan-laporan para petugas sandi, serta atas dasar perhitungan orang-orang Pati atas sifat dan watak Panembahan Senapati.

Tetapi suara bende Kiai Bicak serta gemuruh sorak prajurit Mataram benar-benar telah menghentak-hentak jantung para prajurit Pati.

Kanjeng Adipati Pragola yang juga mendengar suara bende serta sorak para prajurit Mataram, ternyata juga menjadi berdebar-debar. Bukan karena gentar menghadapi lawan, tetapi suara bende dan sorak gemuruh itu akan mempunyai pengaruh jiwani terhadap prajurit-prajuritnya.

Karena itu, maka Kanjeng Adipati pun segera meneriakkan perintah agar semua prajurit Pati bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika kemudian pasukan Mataram itu bergerak, maka para prajurit Pati itu melihat dengan jelas, bahwa prajurit Mataram telah terbagi menjadi tiga. Kedua sayap gelar pasukan Mataram itu telah melepaskan diri dari pasukan induknya. Keduanya melingkari medan yang mereka hadapi, untuk mendekati barak itu dari arah samping.

Para prajurit Pati pun segera menyesuaikan diri. Sebagian para prajurit telah menebar memperkuat pertahanan di sisi-sisi benteng yang mereka bangun mengelilingi perkemahan mereka.

Prajurit Mataram bergerak dengan suara gemuruh. Bende Kiai Bicak telah bergaung lagi, semakin keras dalam irama yang semakin cepat. Sementara itu, sambil bergerak maju para prajurit Mataram masih saja bersorak-sorak mengguntur.

Sementara itu, para prajurit Pati yang di atas panggung yang memanjang telah bersiap dengan busur-busur mereka. Anak panah pun telah terpasang dan siap untuk meluncur ke arah para prajurit Mataram yang bergerak maju.

Sementara itu, para prajurit Mataram, terutama yang berada di lapisan terdepan, telah mempersiapkan perisai-perisai mereka. Para prajurit berperisai itu tidak saja harus melindungi dirinya sendiri, tetapi sejauh dapat mereka lakukan, mereka harus berusaha untuk melindungi para prajurit yang lain.

Demikianlah, sejenak kemudian Kanjeng Adipati Pragola telah menjatuhkan perintah untuk melepaskan anak panah serta lembing, demikian prajurit Mataram mendekati dinding pertahanan pasukan Pati.

Perintah yang diberikan oleh Kanjeng Adipati itu telah disambung oleh setiap Senapati dan pemimpin kelompok prajurit Pati yang ada di panggung di belakang dinding yang membentengi perkemahan mereka.

Sejenak kemudian, anak panah pun meluncur seperti hujan yang dituangkan dari langit.

Gerak maju pasukan Mataram memang terhambat Tetapi para prajurit yang berperisai segera menempatkan diri. Dengan tangkas mereka menepis anak panah yang meluncur semakin deras. Bahkan kemudian disusul oleh lontaran-lontaran lembing bambu berujung bedor besi yang tajam.

Namun dalam pada itu, para prajurit Mataram tidak sekedar membiarkan diri mereka menjadi sasaran serangan anak panah dan lembing. Namun prajurit Mataram pun telah mempersiapkan kelompok-kelompok yang bersenjata busur dan anak panah. Di bawah perlindungan perisai kawan-kawannya, kelompok prajurit yang bersenjata anak panah itu segera membalas serangan-serangan yang meluncur dari atas dinding batang pohon kelapa itu.

Dengan demikian, maka anak panah pun meluncur dari dua arah. Semakin lama semakin deras.

Beberapa saat kemudian, korban pun mulai jatuh dari kedua belah pihak. Para prajurit Pati yang berada di belakang dinding tidak lagi dapat menyerang dengan leluasa. Tetapi mereka pun harus memperhitungkan serangan balasan dari para prajurit Mataram. Jika para prajurit Pati itu terlalu asyik dengan lontaran-lontaran anak panah mereka, maka mereka akan dapat disengat oleh ujung anak panah prajurit Mataram.

Dalam pada itu, prajurit Mataram itu pun bergerak semakin dekat. Prajurit berperisai di paling depan menuntun gerak maju pasukan Mataram, dilindungi oleh lontaran-lontaran anak panah. Sementara itu, kelompok-kelompok prajurit telah mempersiapkan tangga yang akan dapat dipergunakan untuk memanjat dinding perkemahan.

Ternyata bahwa para prajurit Pati yang berada di atas dinding memang benar-benar harus memperhitungkan serangan balik para prajurit Mataram dengan anak panah mereka. Ternyata serangan-serangan itu tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan para prajurit Pati atas para prajurit Mataram. Para prajurit Mataram tidak saja sekedar melontarkan anak panah, tetapi ada di antara mereka adalah prajurit-prajurit yang mempunyai kemampuan bidik yang tinggi. Karena itu, setiap anak panah yang meluncur dari busur mereka akan mencari sasaran di antara prajurit lawan.

Dalam pada itu, para prajurit yang membawa tangga pun telah bersiap sepenuhnya. Mereka akan bergerak dengan cepat di bawah perlindungan para prajurit berperisai, sementara para prajurit yang bersenjata panah akan menghambat serangan-serangan yang dilontarkan dari atas dinding perkemahan.

Dalam pada itu, matahari pun memanjat semakin tinggi. Pertempuran antara prajurit Mataram dan Pati itu pun menjadi semakin sengit. Anak panah meluncur dari dua arah menyambar-nyambar.

Tetapi Panembahan Senapati masih belum memerintahkan para prajurit untuk memanjat dinding benteng perkemahan orang-orang Pati.

Sementara itu, Panembahan Senapati telah memerintahkan para prajuritnya untuk mencari dimanakah pintu gerbang utama benteng padepokan itu. Ciri-ciri gerbang utama benteng perkemahan itu agaknya sudah dihilangkan. Dengan demikian, benteng perkemahan prajurit Pati itu seakan-akan tidak berpintu gerbang lagi. Bahkan para prajurit yang menyerang dari lambung juga tidak melihat pintu gerbang samping atau bahkan pintu butulan.

Karena itu tangga-tangga bambu itu menjadi semakin penting. Jalan memasuki benteng itu terutama adalah tangga-tangga bambu itu.

Karena itu, Panembahan Senapati berusaha untuk mencapai jarak yang terpendek, sebelum memerintahkan para prajurit yang membawa tangga bambu itu berlari menyandarkan tangga-tangga itu untuk memanjat.

Namun dalam pada itu, di arah belakang perkemahan prajurit Pati, Ki Patih Mandaraka, lima orang perwira pengawalnya, bersama para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu, telah bersiap. Sementara itu perhatian para prajurit Pati tertuju arah sisi-sisi yang mendapat serangan langsung. Meskipun di arah belakang perkemahan itu juga ditempatkan beberapa orang pengawas, tetapi mereka menjadi lengah. Mereka tidak sempat melihat para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu menebar di belakang gerumbul-gerumbul perdu, sejak sebelum matahari terbit. Sejak induk pasukan Mataram belum menyerang perkemahan itu.

Dengan sabar Ki Patih Mandaraka menunggu kesempatan. Betapapun para prajurit itu gelisah, namun mereka sudah terbiasa patuh kepada setiap perintah. Sehingga karena itu, sebelum ada perintah apapun, mereka tetap berada di tempat mereka bersembunyi, meskipun jantung mereka bergejolak.

Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, lontaran anak panah meluncur dari kedua arah, sementara para prajurit Pati bersiap-siap menghadapi kemungkinan orang-orang Mataram memasang tangga-tangga bambu, maka perhatian terhadap bagian belakang benteng perkemahan prajurit Pati itu menjadi semakin lengah.

Dalam keadaan yang demikian, Ki Patih Mandaraka telah memberikan isyarat kepada kelima orang perwira pengawalnya serta Agung Sedayu, untuk segera mempersiapkan diri.

Sementara itu, Panembahan Senapati yang memimpin serangan di bagian depan dan lambung benteng perkemahan telah mencapai jarak yang diperhitungkan. Karena itu, Panembahan Senapati itu pun segera memberikan aba-aba agar para prajurit yang membawa tangga dengan cepat mendekati benteng, dan berusaha untuk memanjat tangga-tangga bambu itu.

Aba-aba itu disambut dengan sorak gemuruh. Sekali lagi Kiai Bicak ditabuh bertalu-talu. Suaranya bergema seakan-akan berputar-putar di atas perkemahan para prajurit Pati. Sementara itu para prajurit Mataram masih bersorak-sorak bagaikan mengguncang langit 

Dalam pada itu, para prajurit Mataram yang bersenjata busur dan panah berusaha melindungi serangan itu dengan lontaran anak panah yang tidak terhitung lagi jumlahnya.

Dalam keadaan yang demikian, maka semua perhatian tertuju kepada serangan itu. Tangga-tangga pun mulai dipasang. Para prajurit Mataram mencoba untuk memanjat tangga-tangga bambu itu untuk meloncati dinding perkemahan.

Tetapi hal itu tidak mudah dilakukan. Beberapa buah tangga memang sempat didorong jatuh bersama beberapa orang yang sudah terlanjur memanjat. Sedangkan yang lain, harus berjuang untuk melawan prajurit Pati yang siap menunggu dengan ujung tombaknya di atas dinding.

Ki Patih Mandaraka menunggu kesempatan itu. Para prajurit dari Pasukan Khsusus itu rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Tetapi mereka tidak berani mendahului perintah Ki Patih yang memimpin langsung pasukan kecil itu.

Ketika pertempuran di bagian depan dan lambung perkemahan menjadi semakin riuh, maka Ki Patih pun segera memberikan perintah agar para prajurit dari Pasukan Khusus itu berusaha untuk memasuki benteng dengan caranya.

Sesaat kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bergerak. Mereka tidak bersorak-sorak seperti para prajurit yang berada di induk pasukan. Dengan cepat mereka mencapai dinding. Dengan cepat pula mereka melontarkan jangkar-jangkar besi yang menggapai bibir benteng, yang terdiri dari potongan batang-batang pohon kelapa yang utuh itu.

Tali-tali yang dibuat dari serat-serat kayu yang terikat pada jangkar-jangkar yang menyangkut di sela-sela dinding batang kelapa itu pun kemudian menjadi alat prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk memanjat.

Beberapa orang prajurit terpilih dari Pasukan Khusus itu pun dengan cepat memanjat tali-tali yang berjuntai itu. Demikian cepatnya, sehingga para petugas yang mengawasi bagian belakang perkemahan prajurit Pati, yang perhatiannya memang sedang terikat pada pertempuran yang terjadi di bagian lain, suara bende dan sorak yang gemuruh, terlambat menyadari apa yang sedang terjadi di bagian belakang benteng perkemahan itu.

Namun, demikian mereka sadar akan kelengahan mereka, maka dengan cepat mereka pun bertindak. Beberapa orang dengan cepat berusaha untuk mencegah para prajurit Mataram yang memanjat naik itu.

Tetapi satu dua orang di antara mereka telah mencapai bibir benteng perkemahan itu dan melewatinya, sehingga mereka kemudian telah berdiri di panggungan yang memanjang di belakang dinding perkemahan itu.

Dengan demikian, maka prajurit yang telah berada di panggung yang membujur hampir sepanjang dinding perkemahan itu, di antara panggung-panggung khusus untuk mengawasi keadaan, telah berusaha untuk melindungi kawan-kawan mereka yang sedang memanjat tali.

Orang yang pertama kali melewati bibir benteng perkemahan itu adalah Agung Sedayu sendiri.

Dengan cambuknya Agung Sedayu telah bertempur melawan para prajurit Pati yang bertugas di bagian belakang benteng perkemahan mereka, sementara kawan-kawannya memanjat naik.

Namun dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang lain pun hampir bersamaan pula telah meloncati benteng perkemahan itu pula.

Demikianlah, pertempuran telah terjadi. Semakin lama prajurit Mataram yang berhasil naik ke belakang benteng itu pun menjadi semakin banyak pula. Bahkan sebagian dari mereka telah meloncat turun dari panggung yang membujur panjang itu.

Ternyata para prajurit yang bertugas di bagian belakang itu tidak segera mampu membendung arus para prajurit dari Pasukan Khusus, yang semakin lama menjadi semakin banyak itu.

Pemimpin kelompok prajurit Pati yang bertugas di bagian belakang benteng perkemahan itu menyadari bahwa mereka tidak akan mampu malawan prajurit Mataram yang memasuki benteng mereka. Karena itu, iapun segera memerintahkan dua orang penghubung untuk memberitahukan keadaan yang mencemaskan di bagian belakang benteng perkemahan itu.

“Apakah kita tidak membunyikan isyarat saja?” bertanya salah seorang penghubung itu.

“Jangan. Isyarat itu akan mempengaruhi seluruh medan. Jika kau cepat dan bantuan itu datang dengan cepat pula, maka prajurit Mataram akan segera dapat kita batasi geraknya, dan bahkan kemudian kita musnahkan. Kau dapat menyebut berapa kelompok prajurit yang kita butuhkan.”

Kedua penghubung itu tidak bertanya lagi. Dengan cepat mereka berlari memberikan laporan kepada seorang Senapati Pati, yang sedang sibuk di bawah panggungan memanjang di sepanjang dinding batang pohon kelapa itu.

Senapati itu terkejut. Namun kemudian iapun cepat mengambil langkah. Diperintahkannya seorang Senapati bawahannya untuk membawa beberapa kelompok prajurit ke bagian belakang perkemahan itu.

“Di sini kekuatan kita cukup untuk menahan arus serangan prajurit Mataram,” berkata Senapati itu. Lalu katanya pula, “Nanti aku memberikan laporan kepada Kanjeng Adipati.”

Demikianlah, beberapa kelompok prajurit telah bergeser. Dengan cepat mereka berlari-lari ke bagian belakang perkemahan itu.

Agung Sedayu yang memimpin Pasukan Khususnya menyadari pula, bahwa tugas mereka akan menjadi semakin berat. Tetapi hampir semua prajuritnya telah berada di dalam lingkungan perkemahan.

Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka dan lima orang perwira pengawalnya telah berada di dalam benteng pula. Tetapi mereka tidak melibatkan diri dalam pertempuran yang terjadi. Justru dalam hiruk-pikuk pertempuran, mereka telah berusaha menyusup untuk menemukan pintu butulan benteng pertahanan para prajurit Pati yang rapat itu.

Ternyata Kanjeng Adipati memang telah memerintahkan untuk mengganti semua pintu dengan dinding batang pohon kelapa, sebagaimana dinding yang mengelilingi perkemahan itu.

“Namun kita harus menemukan bagian yang paling lemah dari dinding perkemahan ini,” berkata Ki Patin Mandaraka.

Tetapi memang tidak mudah untuk menemukan bagian yang paling lemah pada dinding perkemahan itu.

Dalam pada itu, pertempuran di dalam benteng itu pun menjadi semakin lama semakin sengit. Agung Sedayu bertempur dengan garangnya. Setiap sentuhan ujung cambuknya, telah melemparkan lawannya dengan luka yang menganga.

Sementara itu, para prajuritnya pun bertempur dengan tanpa mengenal gentar. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, tetapi kehadiran mereka telah mengacaukan pertahanan lawannya.

Senapati yang memimpin kelompok-kelompok prajurit yang datang membantu para prajurit yang bertugas di dinding belakang benteng perkemahan itu pun segera berusaha untuk mendekati Agung Sedayu untuk menahannya. Namun, demikian Senapati yang melihat pertempuran antara Senapati pengapit ketika dua gelar perang bertempur itu melihat Agung Sedayu, ia terkejut. Orang itu adalah Senapati pengapit yang bertempur di sebelah Panembahan Senapati. Orang itulah yang telah melukai Ki Gede Candra Bumi.

Senapati itu menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa ia tidak akan mampu mengimbanginya.

Karena itu, Senapati itu telah memanggil lima orang prajurit pilihan di dalam pasukannya. Mereka bersama-sama harus mengurung dan membatasi gerak Agung Sedayu.

“Sulit bagi kalian untuk dapat mengalahkannya. Tetapi yang kalian lakukan adalah mengurungnya. Orang itu tidak boleh berkeliaran. Ia sangat berbahaya.”

Lima orang prajurit pilihan itu pun segera menjalankan perintah itu. Namun mereka tidak tahu, siapakah orang itu sebenarnya.

Tetapi kelima orang itu tidak banyak berarti bagi Agung Sedayu yang bertempur dengan garangnya. Apalagi Agung Sedayu yang sedang mengemban tugas yang berat. Ia harus memancing kekuatan di sisi belakang itu, untuk memberi kesempatan Ki Patih Mandaraka menemukan pintu gerbang sampinga atau pintu butulan sekalipun.

Ternyata Agung Sedayu dan Pasukan Khususnya berhasil menarik perhatian terbesar dari para prajurit Pati yang ada di bagian belakang benteng perkemahan itu. Mereka seakan-akan memang tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan, apa yang dilakukan oleh Ki Patih Mandaraka, sementara Ki Patih sendiri memang seorang yang sulit dicari duanya.

Dalam kekalutan perang, Ki Patih akhirnya menemukan bagian yang paling lemah di antara dinding batang pohon kelapa itu. Ki Patih yakin, bahwa bagian yang lemah itu adalah bekas pintu gerbang butulan, yang dengan tergesa-gesa diganti dengan batang pohon kelapa yang utuh. Namun batang pohon kelapa itu tidak cukup dalam tertanam, sebagaimana batang-batang yang lain.

Dengan cepat Ki Patih Mandaraka mendekati bagian yang dianggapnya lemah itu. Dengan pusakanya yang sangat tajam, Ki Patih Mandaraka telah menyentuh tali-tali pengikat batang-batang kelapa itu. Setiap sentuhan tidak perlu ulanginya, sehingga dalam waktu yang pendek, beberapa batang pohon kelapa itu sudah tidak terikat lagi oleh tali-tali ijuk, serta palang kayu yang dipasang di bagian dalam dinding itu.

Tetapi ketika para perwira pengawalnya ingin merobohkan batang kelapa yang sudah tidak terikat lagi itu, Ki Patih Mandaraka mencegahnya.

“Aku minta dua di antara kalian keluar dari benteng ini dan menghubungi Senapati yang memimpin sayap kiri dari pasukan Mataram. Kalian harus dapat menunjukkan bagian yang sudah tidak terikat lagi dengan batang-batang kelapa di sebelah-menyebelahnya. Jika kalian sudah siap di luar, maka aku akan memutuskan tali pengikat itu hingga terlepas sama sekali. Kalian dapat menariknya dari luar. Dengan mudah kalian akan dapat melakukannya dari luar dinding. Dengan demikian, maka pasukan di sayap kiri yang sudah siap akan dengan mudah memasuki lingkungan ini.”

Dengan demikian, dua orang di antara para perwira itu telah menyelinap dan meloncat keluar, sementara Ki Patih dan ketiga perwira pengawalnya yang masih ada telah melibatkan diri dalam pertempuran.

Sebagaimana Agung Sedayu, Ki Patih Mandaraka telah mengejutkan para prajurit Pati. Kelompok demi kelompok telah didera sehingga pecah dan kehilangan setiap kesempatan untuk mengurung mereka.

Dua orang penghubung telah menyampaikan kehadiran orang-orang berilmu tinggi itu kepada Kanjeng Adipati sendiri, sehingga karena itu Kanjeng Adipati telah menunjuk Ki Naga Sisik Salaka untuk mengatasi keadaan di bagian belakang benteng perkemahan itu.

“Bawa tiga atau empat orang berilmu,” berkata Kanjeng Adipati.

Ki Naga Sisik Salaka telah membawa beberapa orang berilmu tinggi bersamanya. Dua orang Tumenggung, dan tiga orang yang semula bukan prajurit Pati. Mereka adalah pemimpin-pemimpin padepokan dan perguruan, yang dianggap akan dapat membantu dan memperkuat kemampuan pasukan Pati.

Dalam pada itu, dua orang perwira pengawal Ki Patih yang keluar dari benteng berlari-lari menuju ke sayap kiri pasukan Mataram, untuk melaporkan bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk membuka dinding perkemahan.

Laporan itu ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Sementara itu usaha untuk memanjat dinding dengan tangga bambu masih belum berhasil.

Karena itu, Senapati itu telah menggeser pasukannya menyusuri dinding perkemahan. Sementara itu, ia telah mengirimkan dua orang penghubung untuk memberikan laporan kepada Panembahan Senapati.

Pasukan Pati memang melihat perubahan sikap sayap kiri pasukan Mataram. Mereka melihat sayap kiri itu bergeser semakin jauh ke arah lambung. Namun karena Ki Patih Mandaraka melarang prajuritnya merobohkan batang-batang yang sudah terlepas ikatannya dari yang lain, sementara batang-batang pohon kelapa yang dipasang tergesa-gesa itu tidak cukup dalam tertanam di tanah, maka para prajurit Pati masih belum menghubungkan gerak pasukan Mataram itu dengan pintu butulan. Para prajurit Pati hanya mengira bahwa pasukan Mataram itu sekedar menebar untuk mencari kesempatan memasang tangga-tangga bambunya di tempat-tempat yang memungkinkan.

Karena itu, maka para prajurit Pati itu pun telah bergeser di panggungan yang panjang di belakang dinding perkemahan.

Namun, demikian pasukan Mataram itu semakin dekat dengan pintu gerbang butulan itu, mereka pun menjadi semakin memusatkan perhatian mereka pada pintu butulan itu. Sementara dua orang perwira pengawal Ki Patih Mandaraka akan mengenali batang-batang pohon kelapa yang tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat dengan batang-batang yang lain.

Ki Patih Mandaraka yang mengetahui bahwa prajurit Mataram telah berada di tempat yang memungkinkan untuk dengan cepat menyelesaikan rencananya, karena para prajurit itu masih saja bersorak-sorak gemuruh, telah memanfaatkan kesempatan yang ada. Iapun telah membawa ketiga orang perwira pengawalnya untuk memotong tali-tali yang tersisa.

Sejenak kemudian, prajurit Mataram atas petunjuk kedua orang perwira pengawal Ki Patih Mandaraka itu telah dengan serta merta bergerak ke arah batang-batang yang telah terlepas dari ikatannya itu.

Dengan jangkar serupa yang dipergunakan oleh para prajurit dari Pasukan Khusus, para prajurit Mataram itu mengait ujung-ujung batang kelapa itu, di bawah perlindungan para prajurit yang bersenjata panah.

Prajurit Pati terlambat untuk kedua kalinya menyadari apa yang terjadi. Sejenak kemudian, maka beberapa batang pohon kelapa yang dipasang dengan tergesa-gesa menggantikan pintu butulan yang dilepas itu, telah ditarik oleh beberapa orang prajurit.

Usaha para prajurit Pati untuk mencegah mereka dengan serangan anak panah dan lembing tidak berhasil. Selain mereka bergerak dengan cepat, serta perlindungan dari para prajurit yang bersenjata panah, maka para prajurit yang berperisai pun berusaha untuk menghalau anak panah yang meluncur dari belakang dinding perkemahan itu.

Demikianlah, sejenak kemudian beberapa batang pohon kelapa itu pun telah roboh, sehingga dengan demikian maka benteng perkemahan yang terdiri dari potongan batang pohon kelapa yang ditanam rapat dan cukup tinggi itu telah menganga. Bahkan panggung yang panjang itu pun telah berguncang pula, sehingga beberapa orang prajurit yang kebetulan berada tepat pada batang-batang kelapa yang roboh itu pun telah berjatuhan pula.

Dengan cepat, pasukan Mataram telah memanfaatkan kesempatan itu. Para prajurit yang berada di sayap kiri itupun dengan cepat berusaha memasuki benteng perkemahan.

Prajurit Pati yang melihat hal itu pun berusaha untuk dengan cepat membendungnya, namun para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang sudah berada di dalam benteng it upun telah berusaha menahan mereka.

Pertempuran menjadi semakin seru. Gelombang demi gelombang pasukan Mataram pun memasuki benteng yang telah berhasil dikoyak itu. Sehingga dengan demikian, maka pertahanan pasukan Pati pun menjadi kalut

Perang brubuh tidak dapat dihindarkan lagi. Pasukan dari kedua belah pihak telah bertempur di dalam arena yang berbaur. Karena itu, maka kemampuan mereka secara pribadi menjadi sangat menentukan, apakah seseorang akan dapat dengan selamat keluar dari pergulatan yang sengit itu.

Dalam kekalutan itu, prajurit Pati tidak lagi mampu bertahan sepenuhnya di atas panggungan yang memanjang melekat pada dinding perkemahan. Mereka tidak lagi dapat memusatkan perhatian mereka kepada para prajurit yang masih berada di luar benteng mereka, karena di belakang mereka pertempuran berkobar dengan sengitnya. Para prajurit Mataram yang sudah berhasil memasuki benteng perkemahan itu menjalar kemana-mana. Mereka berada di segala sudut, sehingga pertempuran itu pun seakan-akan telah terjadi di setiap jengkal tanah di dalam perkemahan itu.

Kanjeng Adipati Pati menjadi sangat marah. Tetapi ia menyadari kenyataan yang dihadapinya. Jika dalam kekalutan itu ia harus bertempur sekali lagi melawan Panembahan Senapati, maka ia akan mengalami kesulitan. Kanjeng Adipati Pati harus mengakui, bahwa ilmunya ternyata tidak lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki oleh Panembahan Senapati. Bahkan dalam kesempatan yang lebih panjang, maka ia tentu akan mengalami kesulitan untuk mengimbanginya. Sementara itu, Kanjeng Adipati juga tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa di antara para prajurit Mataram terdapat orang-orang berilmu tinggi.

Sementara itu. perhatian para prajurit Pati yang terpecah telah memungkinkan beberapa orang prajurit Mataram yang berada di sayap sebelah kanan untuk memasang tangga-tangga bambu mereka, sehingga beberapa orang telah memanjat dan menembus pertahanan pasukan Pati yang terasa menjadi semakin lemah.

Dengan demikian, maka benteng perkemahan prajurit Pati telah pecah. Pasukan Mataram, lewat beberapa sisi dengan berbagai macam cara, telah berhasil memasuki benteng yang terhitung kuat itu.

Kanjeng Adipati Pragola dari Pati melihat kenyataan itu. Ia tidak dapat lagi bertahan lebih lama. Gelombang demi gelombang prajurit Mataram di sayap kanan hampir seluruhnya memasuki benteng. Sementara itu, induk pasukan Mataram pun telah mulai memanjat tangga-tangga yang sudah dipersiapkan.

Dengan demikian, maka Kanjeng Adipati Pragola talah memberikan isyarat kepada para Senapati. Dua orang penghubung telah mendapat perintah dari Kanjeng Adipati Pragola untuk melepaskan panah sendaren ke udara.

Sejenak kemudian, kedua panah sendaren itu meraung di udara. Satu ke arah utara, dan satu lagi ke arah selatan.

Perintah itu tidak segera dimengerti oleh prajurit Mataram. Tetapi perintah itu bagi prajurit Pati adalah perintah yang sangat pahit Semula para Senapati Pati tidak merasa perlu isyarat itu. Tetapi orang-orang yang terhitung tua telah menganjurkan, agar isyarat itu tetap merupakan bagian dari beberapa jenis isyarat sandi bagi pasukan Pati.

Dalam pada itu, beberapa orang prajurit Pati yang tanggap akan isyarat itu segera bergerak mendekati benteng perkemahan mereka. Kemudian dengan cepat mereka bergerak. Kapak-kapak kecil di tangan mereka pun segera memotong tali-tali yang mengikat beberapa potong batang pohon kelapa, yang ditanam sebagai dinding perkemahan prajurit Pati.

Beberapa saat kemudian, maka dua buah pintu rahasia telah terbuka.

Kemudian sekali lagi terdengar isyarat panah sendaren memekik di udara. Seperti sebelumnya, satu ke arah utara, satu lagi ke arah selatan. Namun kemudian disusul pula dua anak panah dengan arah yang sama.

Bagi para prajurit Pati, perintah sandi itu jelas. Karena itu, sejenak kemudian terjadi gejolak yang keras di dalam lingkungan benteng perkemahan itu. Beberapa saat para prajurit Mataram tidak tahu pasti, apa yang terjadi. Namun kemudian mereka pun menjadi jelas, bahwa prajurit Pati sedang berusaha untuk bergerak keluar dari dinding perkemahan itu.

Prajurit Mataram memang berniat untuk mencegahnya. Tetapi prajurit Pati yang masih cukup besar jumlahnya itu memang sulit untuk dibendung. Mereka telah mempersempit medan sebatas pintu rahasia yang telah mereka buka.

Jika prajurit Mataram masih saja mengalir bergelombang bergerak memasuki benteng dengan segala cara, maka prajurit Pati justru mengalir keluar benteng lewat dua pintu rahasia yang terbuka lebar.

Memang terjadi pertempuran di luar benteng yang ditinggalkan oleh prajurit Pati itu. Tetapi para prajurit Pati memiliki ketangkasan yang cukup tinggi, sehingga akhirnya mereka berhasil lepas dari hambatan para prajurit Mataram yang berusaha menahan dan mengejar mereka.

Sementara itu, Ki Padh Madaraka juga telah memerintahkan agar para prajurit Mataram tidak mengejar mereka. Tetapi Ki Patih Madaraka telah memerintahkan Agung Sedayu dan sekelompok Pasukan Khususnya untuk mengikuti gerak pasukan Pati.

“Jangan mendekati pasukan yang terhitung kuat itu. Amati saja mereka, apakah mereka benar-benar akan mundur sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng.”

Agung Sedayu sadar bahwa perintah itu adalah perintah yang berat. Perintah yang tidak cukup dijalani hanya sehari dua hari. Tetapi sekelompok Pasukan Khususnya akan menjalankan tugas itu untuk beberapa hari, hingga mereka yakin bahwa pasukan Pati benar-benar telah berada di arah belakang Pegunungan Kendeng.

Tetapi Agung Sedayu tidak mengingkari tugas itu. Tanpa bekal apapun, Agung Sedayu siap berangkat meninggalkan benteng itu pula, mengikuti gerak pasukan Pati dari jarak yang cukup jauh, sehingga mereka tidak akan terjebak atau disergap oleh pasukan Pati yang kuat itu.

“Pergilah. Aku akan memberikan laporan kepada Panembahan Senapati tentang kelompok Pasukan Khususmu yang kau pimpin sendiri itu.”

“Baik, Ki Patih, Aku mohon restu,”

Ki Patih menepuk bahu Agung Sedayu. Katanya, “Aku percaya kepadamu.”

Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah membawa sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang terpilih, untuk mengikuti gerak prajurit Pati itu. Tetapi Agung Sedayu memang telah mengambil jarak yang cukup untuk menghindari kemungkinan buruk terjadi atas pasukan kecilnya.

Agung Sedayu tidak langsung mengikuti gerak lawannya pada jarak penglihatannya. Tetapi Agung Sedayu merasa cukup untuk mengikuti jejak pasukan Pati yang masih terhitung besar itu, meskipun sudah jauh surut dari pasukannya ketika berangkat

Sebagaimana diperhitungkan oleh Agung Sedayu, bahwa Pati tentu mempunyai landasan yang sudah dipersiapkan untuk mengumpulkan prajurit-prajurit yang tercerai berai.

Agung Sedayu telah menempatkan pasukannya di tempat yang agak jauh. Ia sendiri bersama dua orang pengawalnya merayap mendekat untuk mengamati gerak pasukan Pati yang terdesak perkemahannya itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar