Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 295

Buku 295

Tetapi para pemimpin prajurit Pati masih saja berteriak-teriak. Mereka berusaha untuk mendorong para prajuritnya untuk meningkatkan kemampuan mereka.

Tetapi para prajurit Pati itu sudah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka memang tidak mampu berbuat lebih dari yang sudah mereka lakukan.

Karena itu, perlahan-lahan para prajurit Mataram yang semula jumlahnya lebih sedikit itu kemudian mampu mendesak dan bahkan menguasai lawan-lawan mereka. Orang-orang Pati itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Satu-satu mereka kehilangan kesempatan untuk meneruskan pertempuran. Beberapa sosok tubuh terbaring diam. Namun masih ada yang sekali-sekali menggeliat kesakitan.

Sabungsari juga masih saja memberikan aba-aba bagi para prajurit Mataram, agar mereka tidak mengendorkan pertempuran. Mereka harus dengan cepat mampu menguasai keadaan.

Ternyata para prajurit Pati tidak mampu bertahan terlalu lama. Ketika para pemimpin prajurit Pati itu melihat keadaan yang pahit, maka mereka pun segera mengambil keputusan.

Seorang dari mereka telah memberikan isyarat. Sebuah aba-aba sandi yang tidak diketahui oleh para prajurit Mataram. Namun para prajurit Mataram itu sudah menduga, bahwa aba-aba sandi itu akan menimbulkan perubahan pada tatanan pertempuran.

Baru kemudian para prajurit Mataram itu memahami. Aba-aba sandi itu adalah perintah bagi para prajurit Pati untuk melarikan diri dari medan pertempuran.

Demikianlah, para prajurit Pati itu telah mempergunakan kesempatan pertama untuk meninggalkan arena. Mereka dengan cepat telah menghambur masuk ke dalam hutan Nglungge.

Beberapa orang prajurit Mataram memang berusaha mengejar mereka. Tetapi Sabungsari memberikan isyarat dengan suitan, agar para prajurit Mataram tidak mengejar mereka yang melarikan diri, tetapi menguasai para prajurit yang tidak sempat meninggalkan arena pertempuran.

Ternyata ada beberapa prajurit Pati yang menyerah dan tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri, di samping kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh di pertempuran.

Sejenak kemudian, pertempuran di pinggir hutan Nglungge itu pun telah berakhir. Namun yang terjadi itu baru satu permulaan dari perang besar yang akan terjadi. Namun Sabungsari pun kemudian berkata kepada prajurit-prajuritnya, “Perang antara Mataram dan Pati telah dimulai.”

Para prajuritnya mengangguk-angguk. Mereka memang melihat dan mengalaminya, bahwa perang memang sudah dimulai.

Namun sejenak kemudian, Sabungsari pun telah memerintahkan semua orang berkumpul. Baik para prajurit Mataram, maupun para prajurit Pati yang tertawan. Sabungsari memerintahkan untuk membawa mereka yang terluka bersama mereka.

“Kita harus segera meneruskan perjalanan ke Jati Anom. Jaraknya memang masih jauh, tetapi kita tidak mempunyai pilihan. Kita harus membawa mereka yang terluka dengan cara apapun juga. Namun kita juga harus menyediakan waktu untuk mengubur orang-orang yang terbunuh dalam pertempuran.”

Sabungsari memang harus melepaskan beberapa orang prajuritnya gugur. Tiga orang harus ditinggalkan untuk dikuburkan. Sementara itu, ada lima orang yang terhitung parah. Dan lebih dari sepuluh orang yang tergores senjata, namun tidak berbahaya.

“Kita harus memisahkan kuburan para prarjurit Mataram dan Pati, agar kita mudah mengenalinya. Mungkin pada suatu ketika kita harus mengambilnya.”

Demikianlah, sebelum mereka meninggalkan tempat itu, mereka harus mengubur tiga sosok tubuh prajurit Mataram dan tujuh sosok tubuh prajurit Pati yang terbunuh di peperangan. Sementara itu, mereka masih harus membawa kawan-kawan mereka yang terluka parah.

Namun Sabungsari berniat untuk meminjam dua buah pedati di padukuhan yang pertama mereka singgahi. Jika tidak ada pedati, mereka dapat meminjam cikar atau keseran, atau alat pengangkut apapun juga, untuk membawa orang-orang yang terluka parah.

“Kita harus segera sampai ke Jati Anom. Para prajurit Pati yang melarikan diri akan dapat memberikan laporan kepada pemimpin mereka. Pertempuran ini akan dapat mempercepat serangan induk pasukan Pati atas Jati Anom dan sekitarnya.“ berkata Sabungsari kepada para prajuritnya.

Tetapi seorang tawanan, tanpa diminta, dengan suka rela memberikan keterangan, “Tidak ada yang akan memberikan laporan tentang peristiwa ini kepada para pemimpin prajurit Pati.”

“Kenapa?” bertanya Sabungsari.

“Kami telah meninggalkan tugas kami,” jawab prajurit itu.

“Tugas apa?” desis Sabungsari.

“Kami bertugas untuk menjaga lumbung yang dipersiapkan bagi pasukan induk yang bakal lewat. Kami sedang membangun landasan perbekalan. Tetapi sebagian besar dari prajurit yang bertugas telah meninggalkan padukuhan itu atas persetujuan kawan-kawan kami yang lain, yang akan tinggal di lumbung.”

“Bagaimana jika lumbung itu diserang? Katakanlah, kami datang menyerangnya?” berkata Sabungsari.

“Kami yakin bahwa tidak akan ada pasukan Mataram sampai ke tempat itu.”

“Tetapi kalian lihat, kami ada di sini. Dan sebenarnya kami telah melihat lumbung yang kalian persiapkan di Ngaru-Aru.”

Prajurit Pati itu terkejut. Ternyata landasan perbekalan itu sudah diketahui oleh prajurit Mataram.

Tetapi ia sudah berada di tangan prajurit Mataram. Sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Sementara kawan-kawannya tidak akan berani melaporkan kepada para senapati, apa yang telah terjadi di hutan Ngungge itu, karena yang mereka lakukan justru melanggar paugeran prajurit.

Para prajurit Pati itu tanpa dipaksa telah menyatakan pengakuan mereka, bahwa mereka telah membentuk satu kelompok yang melakukan perampokan di padukuhan-padukuhan. Pada saat tertentu, mereka memecah diri menjadi beberapa kelompok kecil yang tersebar ke arah sasaran yang berbeda.

Sabungsari harus menahan diri agar ia tidak kehilangan kendali, betapapun kemarahan telah menyala di dalam hatinya. Para prajurit Pati itu ternyata telah melakukan tindakan yang justru menodai nama mereka sendiri.

Di padukuhan berikutnya, Sabungsari memang mendapatkan beberapa alat angkutan untuk membawa orang-orang yang terluka parah. Sabungsari berjanji untuk mengembalikan pedati-pedati itu kemudian, setelah orang-orang yang terluka itu sampai ke Jati Anom.

Demikian Sabungsari sampai di Jati Anom, maka iapun segera memberikan laporan kepada Untara, apa yang mereka lihat dan alami di perjalanan.

“Jika demikian, maka pasukan induk dari Pati itu akan segera bergerak,“ berkata Untara.

“Nampaknya memang demikian, “jawab Sabungsari.

“Kita harus segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita masih menunggu laporan dari petugas sandi, seberapa besar pasukan Pati yang bergerak itu.”

“Nampaknya pasukan mereka akan dipecah menjadi dua. Sebagian akan menyusuri jalan yang akan turun lewat lereng Gunung Merapi dan menyerang Mataram dari sisi utara. Sedangkan sebagian lagi akan menuju ke Jati Anom, untuk selanjutnya bergerak ke barat.”

“Kita akan segera menyusun laporan ke Mataram,” berkata Untara.

Namun dalam pada itu, Untara tidak sekedar menunggu laporan dari para petugas sandi. Tetapi Untara telah memerintahkan Sabungsari untuk melakukan tugas sandi, mengamati landasan yang dibangun oleh para prajurit Pati itu. Landasan yang menjadi simpang tiga bagi pasukannya yang akan dibelah.

“Tetapi kalian harus datang lebih dahulu dari pasukan induk dari Pati itu,“ perintah Untara kepada Sabungsari dan empat orang yang dibawanya dalam tugas sandi itu.

Satu tugas yang sangat berat, tetapi Sabungsari harus melaksanakannya. Ia harus kembali menyusuri jalan yang pernah dilaluinya menuju ke Ngaru-Aru, dan bahkan maju lagi untuk melihat padukuhan yang akan menjadi landasan utama prajurit Pati yang akan membagi diri.

Sabungsari hanya beristirahat satu hari di Jati Anom. Kemudian iapun segera bergerak kembali untuk melaksanakan tugas sandinya.

Demikian Sabungsari berangkat, maka Untara telah pergi sendiri ke Mataram dengan tiga orang pengawalnya. Ia ingin langsung memberikan laporan tentang gerakan pasukan Pati kepada Ki Patih Mandaraka. Terutama tentang rencana Pati untuk membagi prajuritnya, sehingga nampaknya Pati akan menyerang Mataram lewat dua arah.

Untara yang telah berada di Mataram, diterima langsung oleh Ki Patih Mandaraka. Dengan sungguh-sungguh Ki Patih mendengarkan laporannya. Tarutama tentang kemungkinan Pati membagi pasukannya.

“Menarik sekali,“ berkata Ki Patih Mandaraka, “Pati mengharap akan mengacaukan pertahanan Mataram. Menurut perhitunganku, pasukan yang datang dari utara akan datang lebih dahulu. Dengan demikian diharapkan Mataram akan menarik pasukannya di garis pertempuran dan menyongsong pasukan Pati ke utara. Namun kemudian induk pasukan Pati akan datang dari timur, menghantam langsung Kotaraja yang lemah karena pasukan Mataram terpancing menyongsong lawan dari utara.”

“Kita akan menghadap Panembahan Senapati,“ berkata Ki Patih Mandaraka kemudian.

Panembahan Senapati pun ternyata sangat memperhatikan laporan itu. Sementara laporan dari para petugas sandi serta dari Pajang mengatakan bahwa pasukan Pati sudah berada dalam perjalanan.

“Baiklah,” berkata Panembahan Senapati, “kita tidak dapat tinggal diam. Aku perintahkan pasukan di tahan di Jati Anom. Semakin lama semakin baik. Kami harus menyelesaikan pasukan yang datang dari utara.”

“Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan, Panembahan,“ jawab Untara.

“Pasukan yang berada di Ganjur akan ditarik dan diperbantukan ke Jati Anom,” berkata Panembahan Senapati.

“Pasukan yang manakah yang akan bergerak ke utara?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Apakah kita dapat memerintahkan sebagian prajurit dari Kotaraja?”

“Sangat berbahaya Angger Panembahan,“ jawab Ki Patih Mandaraka, “Kotaraja tidak boleh menjadi kosong, atau menjadi lemah. Mungkin Pati mempunyai cara lain untuk menyusup masuk, selain kedua pasukannya itu.”

“Jadi, menurut Paman?” bertanya Panembahan Senapati.

“Kita menunggu laporan terakhir. Namun dalam pada itu, Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, serta sebagian dari pasukan pengawal Tanah Perdikan itu, dapat dipergunakan.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Ki Patih Mandaraka. Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan akan dapat di tempatkan di sisi utara, sementara Tanah Perdikan diminta untuk membantu menempatkan sebagian pengawalnya bersama Pasukan Khusus itu.

Demikianlah, Mataram pun telah bersiap menghadapi Pati. Mataram memaklumi ketika Pajang mengisyaratkan untuk menempatkan pasukannya melindungi diri sendiri, sehingga tidak dapat membantu pasukan Mataram secara langsung, sebagaimana pasukan Demak yang tidak terlalu jauh jaraknya dari Pati, di belahan utara.

Perintah Panembahan Senapati untuk Pasukan Khusus yang di tempatkan di Tanah Perdikan Menoreh pun segera disampaikan oleh utusan khusus Panembahan Senapati, sekaligus menyampaikan perintah kepada Ki Gede, untuk menempatkan sebagian dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk menahan pasukan Pati yang akan datang di Mataram dari arah utara.

Perintah itu dengan cepat ditanggapi oleh Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh. Mereka pun dengan cepat menyiapkan pasukan untuk segera diberangkatkan ke Mataram. Perintah selanjutnya akan diterima langsung dari Ki Patih Mandaraka di Mataram.

Di Tanah Perdikan. Pasukan Khusus yang telah dipersiapkan akan dipimpin langsung oleh Agung Sedayu, sementara para pengawal Tanah Perdikan akan dipimpin oleh Prastawa. Namun atas permintaan Ki Gede, maka Glagah Putih akan mendampingi Prastawa membawa pasukannya ke Mataram.

Ketika pasukan itu berangkat, maka beberapa orang perempuan mengusap matanya yang basah. Ada di antara mereka yang melepaskan suami mereka, ada yang melepaskan anak-anak mereka, dan ada yang melepaskan bakal suami mereka, yang tinggal menunggu saat pernikahannya saja.

Namun para pengawal Tanah Perdikan itu sendiri telah berangkat ke Mataram sambil menengadahkan wajah mereka. Mereka sama sekali tidak merasa gentar untuk turun ke medan pertempuran menghadapi prajurit Pati.

Namun para pengawal yang tetap tinggal di Tanah Perdikan pun telah diperintahkan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mungkin Pati atau orang lain yang ingin mengambil keuntungan dari perang yang timbul, telah memasuki wilayah Tanah Perdikan Menoreh dengan maksud buruk.

Dalam waktu yang singkat, maka Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh serta para pengawal telah berada di Mataram untuk menerima perintah lebih lanjut.

Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Gede telah minta kepada Ki Jayaraga, Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk membantu kesiagaan para pengawal. Sementara itu Wacana yang sehari-hari berada di Kleringan, menjadi sering berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh. Iapun telah menawarkan diri untuk membantu apa saja jika di perlukan bagi Tanah Perdikan.

Dalam pada itu, Mataram memang tidak sekedar menunggu. Tetapi Mataram sudah memerintahkan petugas sandinya untuk mengamati kemungkinan gerak pasukan Pati yang memisahkan diri dan menempuh jalan di lereng Gunung Merapi, untuk mencapai Mataram dari sisi yang lain dari pasukan yang lainnya.

Semuanya dilakukan dengan cepat, agar Mataram tidak mengalami kesulitan jika tiba-tiba saja pasukan Pati menyerang.

Karena itu, sebelum segala sesuatunya dapat dipastikan, maka Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu, serta para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Prastawa didampingi oleh Giagah Putih, telah ditempatkan di sebelah utara dinding kota, bersama satu kesatuan prajurit Mataram yang memang disiagakan sebelumnya.

Dalam pada itu, Sabungsari yang ditugaskan untuk mengawasi gerak prajurit Pati telah melihat kehadiran pasukan yang besar di padukuhan dekat Ngaru-Aru. Padukuhan yang diduga keras menjadi simpang tiga bagi prajurit Pati.

Dengan sangat hati-hati Sabungsari mengamati, apakah yang akan dilakukan oleh para prajurit Pati itu.

Sebenarnyalah, sebagaimana diperhitungkan oleh Sabungsari, bahwa sebagian dari pasukan itu telah bergerak ke barat, menyusuri lereng Gunung Merapi. Mereka tentu akan melingkar lambung Gunung Merapi dan turun di sisi selatan, langsung menuju ke Mataram. Sedangkan yang lain akan melewati Jati Anom dan sekitarnya, menyeberangi Kali Dengkeng, Kali Opak dan langsung menuju ke Mataram.

Kesimpulan itulah yang kemudian dibawa kembali oleh Sabungsari dan dilaporkannya kepada Untara.

Dengan cepat pula Untara mempersiapkan diri. Ia memerintahkan para pengawal kademangan di sekitar Jati Anom untuk bersiap pula. Kepada Swandaru. Untara sudah memberikan isyarat bahwa pasukan Pati akan lewat.

Namun menurut laporan Sabungsari, prajurit Pati itu terlalu kuat untuk ditahan oleh prajurit Mataram di Jati Anom. Karena itu, maka harus ada pemusatan kekuatan untuk menghadapi kedatangan pasukan yang besar itu.

Seperti yang sudah diperintahkan oleh Panembahan Senapati, maka pasukan yang ada di Ganjur, di sebelah selatan Mataram, telah ditarik pula dan diperintahkan untuk bergabung dengan prajurit Mataram di Jati Anom.

Ternyata Untara masih mendapat kesempatan untuk mengumpulkan kekuatan untuk menahan pasukan Pati, karena Pati agaknya memang memberi kesempatan pasukannya yang lewat lambung Gunung Merapi untuk bergerak lebih dahulu.

Kepada rakyat di Jati Anom dan sekitarnya, terutama perempuan dan anak-anak, Untara memerintahkan untuk menyingkir dari padukuhan-padukuhan yang diberinya gawar sebagai daerah berbahaya. Daerah yang agaknya akan dilalui pasukan Pati menurut perhitungan Untara. Juga menurut tanda-tanda serta isyarat yang diberikan oleh Sabungsari serta para petugas sandi yang lain. Juga atas petunjuk dari Mataram.

Mereka juga diperintahkan untuk memindahkan lumbung-lumbung bahan pangan, agar tidak dapat dipergunakan oleh para prajurit dari Pati jika mereka kelak berada di sekitar Jati Anom, dalam perjalanan mereka ke Mataram.

Sementara itu, padukuhan-padukuhan yang telah diberi gawar itu akan menjadi daerah berbahaya, yang kemungkinan terbesar akan menjadi lintasan garis perang.

Sementara itu, Panembahan Senapati juga memerintahkan para penghubung untuk menghubungi kekuatan yang ada di daerah Pegunungan Kidul. Panembahan Senapati juga memerintahkan mereka untuk ikut membantu bertempur melawan prajurit Pati, serta kekuatan yang dapat mereka himpun di sebelah utara Gunung Kendeng.

Dalam pada itu, sebagian dari pasukan Pati yang memisahkan diri telah mengelilingi lambung Gunung Merapi. Mereka membuat perkemahan di padang perdu di tepi Kali Code.

Di perkemahan itu mereka meletakkan landasan perbekalan mereka. Bukan saja bahan pangan, tetapi juga peralatan dan senjata.

Dua orang petugas sandi sempat memberikan laporan tentang gerak prajurit Pati itu kepada Ki Patih Mandaraka.

“Mereka berada di padang perdu Ngadong di tepi Kali Code,” petugas sandi itu menjelaskan.

Ki Patih Madaraka mengangguk-angguk. Namun dengan demikian maka jalur yang akan dilalui oleh pasukan Pati itu menjadi jelas. Mereka akan bergerak ke selatan sepanjang tepi sebelah timur Kali Code. Pasukan itu akan menebar dan kemudian membentuk gelar sebelum mereka mendekati kota, karena mereka pun memperhitungkan bahwa kedatangan mereka tentu sudah diketahui oleh prajurit Mataram, sehingga mereka akan menyongsongnya di luar dinding kota.

Mataram tentu tidak ingin membiarkan lawan mengepung kota, dan tidak akan bertahan di belakang dinding kota, sebagaimana prajurit Demak dan Pajang.

Karena itu, maka Ki Patih Mandaraka telah menghubungi Senapati Mataram yang ditugaskan memimpin pasukan yang akan menghadapi para prajurit Pati itu.

Ki Tumenggung Wirayuda, yang ditunjuk menjadi Senapati perang menghadapi lawan yang akan datang dari utara, segera menghadap.

“Sebaiknya pasukan Mataram jangan menunggu,” berkata Ki Patih Mandaraka, “bawalah pasukanmu maju dan menghadang pasukan Pati di Bulak Amba. Pasukan Pati tentu akan datang melewati jalur jalan di sebelah timur Kali Code, kemudian bergerak ke selatan sebelum mereka akan bergeser sedikit ke timur.”

“Baik Ki Patih. Aku akan mulai bergerak nanti untuk menutup jalan yang akan dilalui para prajurit Pati. Kami akan berhadapan dalam perang gelar.”

“Kau dapat mempercayai sepenuhnya prajurit dari pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kau masih harus membimbing pasukan pengawalnya. Pasukan itu tentu tidak akan sekuat Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Baik Ki Patih. Pasukan Khusus yang dipimpin Ki Lurah Agung Sedayu akan berada di pasukan induk. Sementara separuh pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh akan berada di sayap kanan bersama beberapa kelompok prajurit. Sedang yang akan berada di sayap kiri adalah para pengawal Tanah Perdikan yang separuh lagi, dengan para prajurit pula. Kami sudah mempertimbangkan bahwa pengawal akan berada di pangkal sayap, sehingga dalam keadaan yang gawat mereka akan dapat berlindung pada para prajurit dari Pasukan Khusus, yang menurut penilaian para perwira Mataram dianggap memiliki kemampuan yang tinggi,” jawab Ki Tumenggung.

“Aku sependapat Ki Tumenggung. Meskipun para prajurit dari pasukan pengawal kota sangat diperlukan untuk melindungi kemungkinan yang tidak diperhitungkan, namun aku tidak berkeberatan jika sebagian dari mereka ikut memperkuat pasukanmu. Aku akan memerintahkan Ki Rangga Pakis Aji untuk bergabung dengan pasukanmu. Ia akan membawa sebagian perajurit pilihan untuk berada dalam pasukanmu. Sementara itu, sebagian dari pasukan pengawal istana akan bertugas di luar istana, untuk mengatasi setiap kemungkinan yang tidak terduga sebelumnya.”

“Tetapi bagaimana dengan medan di sebelah timur?” bertanya Ki Tumenggung Wirayuda.

“Panembahan Senapati telah memerintahkan Pangeran Adipati Anom untuk langsung memimpin Pasukan Khusus yang telah dipersiapkan, yang akan menyongsong pasukan induk dari Pati. Selain Pasukan Khusus, maka akan berkumpul pula para prajurit di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara, serta para pengawal kademangan di sekitarnya, terutama pengawal Kademangan Sangkal Putung yang memiliki pengalaman yang cukup. Pasukan dari Pegunungan Kidul juga akan segera turun. Panembahan Senapati masih belum merasa perlu untuk memanggil para prajurtit cadangan dan apalagi pengerahan tenaga. Meskipun menurut perhitungan jumlah, pasukan Pati akan jauh lebih banyak, tetapi mereka tidak semuanya terdiri dari para prajurit yang terlatih. Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang dapat dikumpulkan di sebelah utara Pegunungan Kendeng.”

Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk-angguk. Seakan-akan kepada dirinya sendiri ia bergumam, “Pangeran Adipati Anom sendiri akan tampil di medan perang.”

“Ya. Pangeran Adipali Anom akan membawa pasukan pengawal istana dan pasukan pengawal kota secukupnya, Kemudian Pasukan Khusus berkuda dan prajurit-prajurit pilihan akan menyertainya.”

Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk-angguk. Agaknya segala sesuatunya sudah dipertimbangkan sebaik-baiknya oleh Panembahan Senapati.

Demikianlah, maka perintah terakhir telah diberikan kepada Ki Tumenggung Wirayuda untuk menyiapkan pasukannya dalam kesiagaan tertinggi. Ki Patih Mandaraka menyetujui rencana Ki Tumenggung untuk membawa pasukannya malam nanti menyongsong pasukan Pati yang datang dari arah utara.

“Kami akan berangkat demikian malam turun. Kami akan berhenti beberapa ratus pathok dari perkemahan prajurit Pati. Kami akan bersiap-siap dan mengamati medan sehari penuh besok. Menurut perhitungan kami, lusa kami sudah turun ke medan dengan gelar perang. Jika pasukan Pati tidak bergerak, maka kami-lah yang akan bergerak. Kecuali jika prajurit Pati besok sudah mendahului menyerang kami.”

“Berhati-hatilah,” Ki Patih Mandaraka berpesan, sebagaimana seorang ayah berpesan kepada anaknya.

Ki Tumenggung Wirayuda pun kemudian telah minta diri. Ketika ia meninggalkan Kepatihan ia berkata, “Pasukan Ki Rangga Pakis Aji aku tunggu sebelum senja.”

“Perinlah itu tentu sudah diterimanya. Sebelum senja pasukannya tentu sudah bergabung dengan pasukanmu.”

Demikianlah, maka Ki Tumenggung Wirayuda pun kemudian telah kembali ke pasukannya. Perintah-perintah pun segera disampaikan. Sementara itu, Ki Tumenggung masih menunggu kehadiran pasukan terpilih yang akan dipimpin oleh Ki Rangga Pakis Aji.

Ternyata seperti yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka, sebelum senja beberapa kelompok prajurit terpilih telah berada pula di antara pasukan Ki Tumenggung Wirayuda. Demikian pasukan itu datang serta ditempatkan di tempat yang sudah disediakan, maka Ki Tumenggung telah memanggil para pemimpin dari kesatuan-kesatuan yang ada di dalam pasukannya. Selain Ki Rangga Pakis Aji, hadir pula Ki Lurah Agung Sedayu, Prastawa, Ki Lurah Semita, dan Ki Demang Klajoran dan juga Ki Demang Jejeran. Meskipun tidak terlalu banyak, tetapi menurut para Demang itu para pengawal kademangannya cukup terlatih. Dengan dipimpin oleh Ki Demang sendiri, yang masih nampak muda dan tegar, maka para pengawal kademangan itu telah ikut pula dalam pasukan Mataram.

“Perintah Ki Lurah Semita memberikan kebanggaan kepada kami,“ berkata Ki Demang Klajoran dan Ki Demang Jejeran itu.

“Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Demang,“ berkata Ki Tumenggung Wirayuda.

Demikianlah, dalam pertemuan itu Ki Tumenggung telah membicarakan rencana mereka jika mereka pada saatnya akan turun ke medan.

Seperti yang direncanakan, maka Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan Menoreh akan berada di induk pasukan. Kemudian pada pangkal sayapnya adalah para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, pengawal Kademangan Klajoran dan Kademangan Jejeran. Di ujung-ujung sayap akan di tempatkan para prajurit. Di ujung sayap kanan akan dipimpin oleh Ki Rangga Pakis Aji, sedangkan di ujung sayap kiri akan dipimpin oleh Ki Lurah Semita.

Ki Tumenggung Wirayuda akan berada di paruh induk pasukan sebagai Senapati perang, dengan Senapati pengapit Ki Lurah Suratapa dan Ki Lurah Uwangwung. Seorang Lurah prajurit yang sedikit gemuk, agak kocak dan tidak pernah lepas dari suara tertawanya. Namun ia terhitung seorang prajurit yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Para prajurit yang sudah terbiasa bergaul dengan Ki Lurah yang digelari Uwangwung ini, akan merasa sepi jika Ki Lurah tidak nampak.

Demikianlah, ketika segala sesuatunya telah matang dibicarakan, maka para pemimpin itu dipersilahkan kembali ke pasukan masing-masing untuk memberikan penjelasan kepada semua anggotanya. Mereka harus memahami benar apa yang akan mereka lakukan dan apa yang akan mereka hadapi. Mereka akan menghadapi prajurit Pati yang jumlahnya lebih banyak.

“Tetapi kita tidak boleh berkecil hati,“ berkata Ki Tumenggung, “kita yakin bahwa kemampuan pasukan kita akan dapat mengatasi mereka.“

Demikianlah, pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Wirayuda itu pun telah bersiap sepenuhnya. Kepada Agung Sedayu, Ki Tumenggung Wirayuda yang telah mengetahui kelebihan Agung Sedayu, secara terpisah berkata, “Kami sangat mengharapkan bahwa Ki Lurah serta Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu benar-benar akan menjadi pilar penyangga utama kekuatan pasukan ini.”

Agung Sedayu pun mengangguk sambil menjawab, “Kami hanya dapat berjanji untuk berbuat sebaik-baiknya. Tetapi bukankah selain Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan, di pasukan ini terdapat pula pasukan Ki Rangga Pakis Aji dan pasukan Ki Lurah Semita, yang mempunyai pengalaman yang sangat luas itu?”

“Aku harap bahwa mereka akan mampu menusuk lambung lawan. Tetapi kita belum tahu, gelar apa yang akan dipergunakan oleh pasukan Pati untuk melawan gelar Garuda Nglayang kita.”

“Tidak mustahil bahwa Pati juga mempergunakan gelar yang sama,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk kecil. Katanya, “Gelar apapun yang akan dipergunakan oleh pasukan Pati, kita berharap bahwa kita akan dapat menahan gerak maju mereka. Dengan pasukan yang lebih kecil, kita harus mengandalkan kelebihan para prajurit dan pengawal yang ada di dalam pasukan itu. Sedangkan harapan terbesar kami bebankan kepada Ki Lurah Agung Sedayu.”

Sekali lagi Agung Sedayu menjawab, “Kami akan berusaha.”

Ki Tumenggung Wirayuda pun kemudian berkata, “Baiklah. Kita yakin, bahwa kita akan berhasil. Semoga Yang Maha Agung selalu melindungi kita.”

Seperti yang direncanakan, maka pasukan Mataram itu berangkat ketika gelap malam turun. Mereka menuju ke tempat yang sudah ditunjuk sebelumnya, tidak terlalu jauh dari perkemahan para prajurit Pati.

Untuk membesarkan hati para prajurit Mataram dan mempengaruhi perasaan lawan yang tentu akan mengirimkan pengamat-pengamat serta petugas sandi, prajurit Mataram telah memasang tanda-tanda kebesaran pasukannya. Para prajurit Mataram yang langsung memasang gelar, telah memasang rontek, umbul-umbul dan kelebet dari ujung sayap sampai ke ujung sayap yang lain, menandai tiap-tiap kesatuan yang ada di dalam pasukan itu.

Di induk pasukan, pertanda kebesaran prajurit Mataram telah dipancangkan pula. Beberapa rontek dan kelebet dipasang pada tunggul-tunggul kebesaran.

Kehadiran pasukan Mataram di malam hari itu memang tidak segera dapat dilihat secara utuh oleh para petugas sandi dari Pati. Namun mereka mengetahui bahwa pasukan Mataram justru menyongsong mereka dan berhenti di Bulak Amba, serta mendirikan perkemahan pula.

Ketika langit mulai terang menjelang fajar, para pengawas dari Pati telah melihat rontek, umbul-umbul dan kelebet yang terpasang di sepanjang gelar.

Seperti yang diharapkan, maka para pengawas dan petugas sandi dari Pati terpengaruh juga oleh pertanda-penanda kebesaran yang terpasang itu. Mereka melihat seakan-akan pasukan Mataram adalah satu pasukan segelar sepapan yang perkasa dan tidak akan mudah ditembus.

Namun beberapa orang perwira dari Pati justru berpengharapan bahwa Mataram telah mengerahkan sebagian besar dari kekuatannya untuk menyongsong pasukan Pati yang datang itu. Para perwira yang ikut mengatur gerak pasukan Pati mengharap, bahwa justru pasukan Mataram yang akan menuju dan bertahan di bagian timur adalah pasukan yang lebih kecil. Pati berharap bahwa pasukan Pati yang akan datang dari arah timur itu akan berhasil mematahkan pertahanan Mataram dan justru dapat memasuki Kotaraja.

Dalam sehari pasukan Mataram telah mempersiapkan diri. Mereka telah mengamati medan. Mereka melihat padang perdu yang berhubungan dengan bulak persawahan yang panjang dan luas. Mereka seakan-akan telah melihat satu medan yang akan menjadi ajang pertempuran. Prajurit dari dua arah akan bertemu dan bertempur tanpa menghiraukan apa yang ada di bawah kaki mereka.

Ki Tumenggung Wirayuda, kedua Senapati pengapitnya dan para pemimpin kesatuan yang ada di dalam pasukan Mataram itu telah menyesuaikan hasil pembicaraan mereka dengan medan yang mereka hadapi.

Ternyata bahwa gelar yang mereka rencanakan dapat disesuaikan dengan medan. Mereka telah menentukan panjang gelar pasukan dari ujung sampai ke ujung. Namun mereka pun telah memerintahkan semua pemimpin kesatuan untuk melihat, menilai dan menyesuaikan dengan gelar lawan yang akan mereka hadapi.

Para pemimpin Mataram itu tidak hanya sekedar mempercayakan rencana mereka sesuai dengan laporan para petugas sandi, tetapi mereka langsung melihat apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Dalam pada itu, maka matahari pun berjalan terus di garis edarnya. Demikian sampai ke puncak langit, maka matahari itu mulai menurun lagi di sisi sebelah barat.

Ketika matahari kemudian sampai di punggung bukit, maka Ki Tumenggung Wirayuda pun telah menentukan sikap sebagai keputusan terakhir. Besok di dini hari, pasukan Mataram telah memasang gelar dan siap bertempur dengan pasukan Pati.

“Ingat,” berkata Ki Tumenggung Wirayuda kepada para pemimpin kesatuan yang ada di dalam pasukannya, “lawan kita jumlahnya lebih banyak. Tetapi kita tidak akan terpengaruh oleh jumlah, karena kita memiliki kelebihan dari mereka. Terutama kemampuan pribadi prajurit-prajurit dan pengawal-pengawal yang ada di dalam pasukan kita.”

Hal itu telah disampaikan pula oleh para pemimpin kesatuan itu kepada pemimpin kelompok, yang mengalir ke telinga setiap prajurit dan pengawal.

Sedangkan para Senapati Pati memberikan pengharapan kepada prajurit-prajuritnya, bahwa jumlah mereka ternyata lebih besar dari jumlah prajurit Mataram.

“Kita akan menyeleaikan mereka dengan cepat,” berkata Senapati tertinggi pasukan Pati itu.

Namun dalam pada itu, para perwira itu memperhitungkan bahwa Mataram lebih banyak mengirim prajuritnya ke medan di sebelah utara.

“Apapun yang dilakukan oleh Mataram, apakah pasukan ini atau pasukan yang datang dari timur, tidak akan banyak bedanya. Pertahanan Mataram akan dihancurkan,“ berkata Senapati tertingi pasukan Pati itu.

Dalam pada itu, sementara prajurit dari kedua belah pihak telah berhadapan di medan sebelah utara, maka Panembahan Senapati telah memanggil Pangeran Adipati Anom. Dengan nada dalam Panembahan Senapati memberikan perintah kepada Pangeran Adipati Anom untuk maju ke medan perang.

Ki Patih Mandaraka masih memperingatkan kepada Panembahan Senapati, bahwa yang akan dihadapi adalah Adipati Pati, yang memiliki kemampuan dan ilmu yang sangat tinggi.

Sementara itu, istri Panembahan Senapati, kakak perempuan Adipati Pati, menundukkan kepalanya sambil menitikkan air mata.

“Kenapa hal ini harus terjadi?” desisnya.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Panembahan Senapati.

“Yang akan berhadapan di medan adalah kemanakan dengan pamannya sendiri. Seorang putraku, yang seorang adalah adikku. Siapapun yang kalah, aku akan kehilangan.“

“Aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan,“ berkata Panembahan Senapati, “jika aku memerintahkan Adipati Anom untuk menjadi Panglima pasukan Mataram, itu adalah usahaku yang terakhir. Aku berharap bahwa dengan melihat kemenakannya, Adi Adipati Pati masih akan mengekang dirinya. Sehingga justru karena ia berhadapan dengan kemenakannya sendiri, maka upaya untuk mencegah perang dapat dilanjutkan.”

Istri Panembahan Senapati itu mengangguk. Tetapi air matanya masih saja mengalir.

Sementara itu, Panembahan Senapati masih memberikan beberapa pesan kepada putranya itu. Pangeran Adipati Anom diperintahkan untuk berkemah serta menempatkan kekuatan induknya di Prambanan.

“Hanya dalam keadaan terpaksa kau dapat mempergunakan kekuatan prajurit yang kau bawa.”

“Hamba Ayahanda,” jawab Pangeran Adipati Anom.

“Eyangmu Patih Mandaraka telah memerintahkan para prajurit di Jati Anom untuk menghambat perjalanan prajurit Pati. Sementara itu, aku masih akan berusaha lewat utusan-utusan khusus untuk menghentikan gerak maju pasukan Pati, bahkan apabila mungkin mencegah pertempuran yang lebih parah lagi.”

“Tetapi pasukan Pati sudah ada di sebelah utara Bulak Amba, di sebelah timur Kali Code.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Seandainya perang telah pecah di medan sebelah utara itu, maka aku masih berharap bahwa Adi Adipati Pati mampu menahan diri jika ia melihat kemanakannya berada di medan.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk kecil, meskipun ia tidak yakin bahwa kehadiran Pangeran Adipati Anom dapat mencegah perang itu menjalar sampai ke Kotaraja, meskipun Ki Patih Mandaraka mengetahui bahwa Kangjeng Adipati Pati mengasihi anak kakak perempuannya itu.

Dengan demikian, maka Pangeran Adipati Anom itu pun segera bersiap untuk berangkat ke Prambanan. Tugas yang dibebankan di pundaknya itu sudah diketahuinya sejak beberapa hari sebelumnya. Ayahandanya serta Ki Patih Mandaraka telah pernah berunding tentang hal itu dan memanggilnya menghadap. Pangeran Adipati Anom sendiri tidak pernah menaruh keberatan apapun untuk maju ke medan perang. Tetapi ketika ia dihadapkan kepada pamannya sendiri, maka terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Bukan karena ia menyadari betapa tinggi ilmu pamannya itu, tetapi karena ia mempunyai hubungan yang akrab sekali dengan Kanjeng Adipati Pati.

Namun tugas itu harus dijalankan. Pangeran Adipati Anom sendiri menyadari, kenapa harus dirinya yang tampil di medan. Bukan pamannya Pangeran Mangkubumi, atau yang lain.

Ketika saatnya Pangeran Adipati Anom harus berangkat, maka ibunya tidak dapat menahan tangisnya. Dipeluknya Pangeran Adipati Anom, yang sudah dipersiapkan untuk memegang tampuk pemerintahan di Mataram kelak. Ia benar-benar tidak ingin kehilangan anaknya itu. Betapa mungkin anaknya yang masih sangat muda itu harus berhadapan dengan Kanjeng Adipati yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Yang kemudian dapat dilakukan adalah berdoa agar perang dapat dicegah, sehingga Pangeran Adipati Anom tidak harus bertempur melawan Kanjeng Adipati Pati.

Sepasukan yang sangat kuat telah siap untuk pergi ke medan perang. Dengan membawa tanda kebesaran yang lengkap, maka Pangeran Adipati Anom turun ke alun-alun di atas punggung kudanya, untuk memeriksa pasukan yang akan menyertainya. Berbagai macam rontek dan umbul-umbul, kelebet dan tunggul-tunggul kebesaran, mengisyaratkan bahwa Putra Mahkota Mataram turun langsung menyongsong lawan yang akan menyerang Mataram.

Demikianlah, maka Pangeran Adipati Anom telah dilepas oleh rakyat Mataram dengan doa dan harapan.

Beberapa saat kemudian, maka bende pun telah berbunyi satu kali. Peringatan bahwa semua harus sudah berada di tempat masing-masing. Kemudian bende kedua pun berbunyi. Semua pasukan siap untuk bergerak. Dan ketika terdengar bende yang ketiga, maka pasukan Mataram yang besar dan megah itu pun mulai bergerak, didahului oleh sekelompok pasukan berkuda.

Ki Patih Mandaraka melepas pasukan itu dengan jantung yang berdebaran. Namum betapapun kecilnya, masih juga terselip harapan bahwa kehadiran Pangeran Adipati Anom di medan akan mempengaruhi kekerasan hati Kanjeng Adipati Pati.

Sementara itu, pasukan yang telah mendahului perjalan Pangeran Adipati Anom telah mempersiapkan perkemahan yang akan dipergunakannya di Prambanan.

Ketika pasukan Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Adipati Anom itu mulai berkemah di Prambanan di malam yang pertama, maka pasukan Mataram di medan sebelah utara telah bersiap untuk bertempur di pagi harinya. Sejak senja, Ki Tumenggung Wirayuda sudah memerintahkan para prajuritnya untuk beristirahat sebaik-baiknya, karena lewat tengah malam mereka harus sudah bersiap unluk memasang gelar. Sehingga saat fajar menyingsing, mereka sudah siap untuk bertempur dalam perang gelar.

Namun pada malam itu juga, pasukan induk Pati telah bergerak pula dari landasan utama, yang juga menjadi simpang tiga dari gerak pasukannya.

Ternyata bahwa pasukan Pati memang dipimpin langsung oleh Kanjeng Adipati Pati sendiri.

Sebelum tengah malam, pasukan itu sudah melewati Ngaru-Aru, lumbung induk bagi pasukan yang bergerak ke Jati Anom. Namun ternyata pasukan itu tidak berhenti. Pasukan itu bergerak terus di dalam gelapnya malam.

Untara telah mendapat laporan tentang gerakan itu. Bahkan hampir setiap saat, ada petugas sandi yang datang kepadanya untuk memberikan laporan tentang gerak pasukan Pati itu.

Untara memang tidak mempersiapkan prajuritnya untuk melawan pasukan induk Pati dalam perang gelar. Untara sadar bahwa jika ia melakukannya, akan berarti satu kebodohon baginya. Pasukannya tentu akan dihancurkan oleh pasukan Pati yang besar dan kuat.

Karena itu, pasukan Untara akan menyerang pasukan Pati pada saat yang tepat dan tidak dalam perang gelar.

Ketika Untara mendapat laporan bahwa pasukan Pati telah melewati Ngaru-Aru, maka Untara pun segera memerintahkan Sabungsari justru pergi ke Ngaru-Aru.

“Sudah saatnya kau hancurkan lumbung utama pasukan Pati itu. Meskipun mungkin Pati akan sempat merampas padi dan jagung di sepanjang jalan, tapi hal itu akan sangat mempengaruhi ketahanan jiwani mereka. Selanjutnya, kalian tahu apa yang harus kalian lakukan. Besok malam kita masih mempunyai kesempatan untuk menghentikan gerak mereka. Meskipun hanya untuk sehari.”

Sabungsari pun segera bersiap. Beberapa kelompok prajurit yang dipilihnya dengan cermat telah dibawanya serta. Tugas mereka adalah tugas yang cukup berat.

Sementara itu, Untara telah menghimpun prajurit dan para pengawal. Mereka tidak lagi berada di Jati Anom, tetapi mereka sengaja menyingkir ke Macanan. Sementara itu para pengawal, termasuk para pengawal Sangkal Putung, telah berada di Macanan pula.

Dengan cepat Sabungsari bergerak. Karena mereka sudah mengetahui jalur perjalanan pasukan Pati, maka mereka dapat menghindarinya. Karena jika mereka berpapasan dengan induk pasukan Pati, akan berarti bencana bagi pasukan kecil itu. Bukan itu saja, tugas utama mereka pun akan gagal.

Di dini hari Sabungsari telah mendekati sasaran. Namun Sabungsari tidak segera berbuat sesuatu. Sabungsari tidak segera bergerak. Ia masih memberi kesempatan prajuritnya untuk beristirahat beberapa saat lamanya.

“Menjelang matahari terbit, kita akan menyerang lumbung utama pasukan Pati itu. Tetapi ingat, jangan bermain dengan api. Maksudku, jangan ada yang berusaha membakar lumbung serta persediaan bahan makan yang ada di lumbung itu.”

“Tetapi bukankah semuanya harus kita musnahkan?” bertanya salah seorang pemimpin kelompok.

“Ya. Tetapi jangan dibakar. Asap yang membubung dapat dilihat dari pasukan Pati, dan akan membuat jantung mereka terbakar pula.”

“Tetapi bukankah kita dengan sengaja membuat mereka gelisah dan berkecil hati?” bertanya pemimpin kelompok yang lain.

“Berita tentang hancurnya lumbung itu akhirnya tentu akan mereka dengar. Tetapi jika mereka melihat asap api, maka itu akan dapat mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama. Kita tahu Jati Anom tidak akan dipertahankan mati-matian, karena hal itu memang tidak mungkin dilakukan. Prajurit Mataram yang berada di Jati Anom memang tidak diperintahkan untuk menghentikan atau berusaha mendesak mundur pasukan Pati, karena hal itu tidak mungkin dilakukan. Tetapi yang harus kita lakukan di Jati Anom adalah menghambat dan mengganggu mereka di sepanjang perjalanan mereka dari Jati Anom sampai k eperkemahan mereka. Nah, jika mereka mulai membakar rumah-rumah yang ada di Jati Anom, akibatnya tentu tidak akan menyenangkan.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Sabungsari. Namun mereka tidak segera menemukan jalan untuk merusak dan menghancurkan bahan pangan itu.

Namun tiba-tiba Sabungsari bertanya, “Apakah kita harus menghancurkan bahan pangan itu? Yang penting adalah pengaruh jiwani bagi para prajurit Pati, karena mereka akan dapat mengumpulkan lagi, bahkan dengan paksa, di daerah-daerah yang mereka lewati. Sehingga pengaruh kewadagan dari rencana perebutan lumbung utama itu hanya merupakan sebagian saja dari tujuan tugas pasukan ini. Karena itu, dengan membongkar dan menghambur-hamburkan isi lumbung ke kotak-kotak sawah yang tergenang oleh air berlumpur, aku kira sudah cukup memadai. Bahan pangan yang terendam air tidak akan dapat dipergunakan lagi. Sedangkan yang masih baik, biar sajalah pada suatu saat dipungut lagi. Tetapi hal itu tidak akan dilakukan oleh prajurit Pati.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti, jika orang-orang Pati marah karena persediaan bahan makan dan perbekalan mereka dibakar, maka mereka tentu akan membakar pula rumah-rumah penduduk yang tidak tahu menahu persoalannya. Meskipun para penghuni padukuhan-padukuhan di sekitar Jati Anom sudah mengungsi, namun jika rumah mereka terbakar habis, maka sesudah perang selesai mereka akan menderita untuk waktu yang lama.

Karena itu, maka Sabungsari sekali lagi memerintahkan agar para prajurit Mataram tidak membakar lumbung utama itu.

Demikianlah, setelah sempat beristirahat sejenak, prajurit Mataram itu pun segera mempersiapkan diri untuk menyerang menjelang matahari terbit. Dua orang yang mendahului pasukan telah memberikan laporan, bahwa prajurit yang berjaga-jaga di sekitar lumbung utama itu tidak terlalu banyak.

“Apakah jumlah kita memadai?” bertanya Sabungsari.

“Mungkin masih ada prajurit Pati yang tidak dapat kita lihat karena mereka berada di dalam rumah atau terlindung oleh lumbung-lumbung bahan makanan. Tetapi menurut perhitunganku, kita akan dapat menembusnya, karena kita mempunyai kesempatan lebih dahulu di luar perhitungan mereka.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Dengan pasti iapun kemudian berkata, “Kita mendekati sasaran sekarang. Sebentar lagi, menjelang matahari terbit, kita akan menyerang.”

Dengan sangat berhati-hati pasukan yang dipimpin oleh Sabungsari itu pun kemudian bergerak mendekati sasaran. Mereka datang dari dua arah yang berbeda.

Pada saat yang sama, pasukan Mataram yang berada di Bulak Amba pun telah tersusun dalam gelar Garuda Nglayang yang utuh. Ki Tumenggung Wirayuda yang memimpin seluruh pasukan iiu berada di paruh gelar, dengan dua orang Senapati pengapit. Ki Lurah Suratapa, dengan senjatanya yang tidak banyak dipergunakan orang. Sebuah tongkat besi dengan kepala besi baja bulat sebesar kepalan tangan. Beberapa orang prajurit pilihan yang ada di paruh pasukan itu adalah prajurit yang bersenjata pedang dengan perisai di tangan kiri. Kemudian di induk pasukan itu telah bersiap Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, di bawah pimpinan Ki Lurah Agung Sedayu. Sementara di pangkal sayapnya, para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari beberapa kademangan. Sedang ujung-ujung sayap adalah kelompok-kelompok prajurit pilihan dengan senapatinya masing-masing.

Ketika bayangan fajar mulai nampak di langit, maka gelar pasukan itu pun mulai bergerak ke arah perkemahan para prajurit dari Pati.

Dalam pada itu, para prajurit Pati pun telah bersiap pula. Ternyata mereka pun telah menyusun gelar yang utuh pula. Dengan jumlah prajurit yang lebih banyak, maka Pati telah menyusun gelar Wulan Tumanggal dengan beberapa lapis pasukan di induk gelarnya.

Ki Tumenggung Wirayuda yang mendapat laporan tentang gelar lawan, telah mengirimkan pesan kepada kedua Senapati yang berada di ujung sayap, Ki Lurah Semita dan Ki Rangga Pakis Aji. Dua orang perwira yang memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain.

“Berhati-hatilah dengan ujung-ujung sayap gelar lawan. Kedudukan kalian menjadi semakin penting, karena kedua ujung sayap gelar ini akan berhadapan langsung dengan kedua ujung sayap gelar lawan.”

Ki Lurah Semita dan Ki Rangga Pakis Aji menyadari pentingnya pesan itu. Jika saja lawannya mempergunakan gelar Gajah Meta atau Cakra Byuha atau bahkan Gedong Minep, maka kedua ujung sayap itu akan dapat menusuk lambung gelar lawan. Tetapi ternyata lawan juga mempergunakan gelar menebar, sehingga ujung-ujung sayap kedua gelar itu akan bertemu sebagaimana induk pasukan.

Namun kedudukan induk pasukan pun akan menjadi gawat pula. Pada gelar Wulan Tumanggal, barisan lawan akan berlapis di induk pasukan. Bahkan gelar lawan akan memungkinkan membuka anak gelar di pasukan induknya dengan gelar Jurang Grawah, yang mampu menghisap lawan dan kemudian menenggelamkannya.

Tetapi para prajurit di induk pasukan adalah prajurit Mataram dari Pasukan Khusus, yang tentu tidak akan mudah terpancing oleh gelar yang sudah dipahami sebelumnya.

Tetapi Ki Tumenggung Wirayuda masih juga memperingatkan kepada Agung Sedayu dan para pemimpin kesatuan di pangkal sayap, agar tidak mudah terpancing oleh dugaan bahwa pertahanan lawan menjadi lemah. Karena demikian para prajurit dan pengawal menusuk masuk ke dalamnya, maka kelemahan itu akan menjadi pintu yang dapat terkatup, sehingga para prajurit dan pengawal itu akan terbenam dalam kemantapan pasukan lawan, di balik kelemahan yang semu itu.

Demikianlah, kedua gelar itu pun telah bergerak maju. Pati ternyata tidak mau digertak oleh pertanda kebesaran pasukan Mataram. Dalam gelar Wulan Tumanggal, Pati pun telah memasang pertanda kebesaran pada setiap kesatuan. Rontek, umbul-umbul dan kelebet yang dipasang di tunggul-tunggul.

Ketika kedua gelar pasukan itu berderap saling mendekat, maka perhatian para prajurit dan pengawal telah terpusat pada gelar lawan serta kemungkinan yang bakal terjadi, sehingga mereka tidak menghiraukan lagi apa yang ada di bawah kaki mereka. Mereka tidak menghiraukan batang-batang padi yang subur, pematang dan parit. Juga semak-semak berduri di padang perdu.

Kedua pasukan dalam gelar yang utuh itu semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara langit pun menjadi merah sebelum darah mulai tertumpah.

Sementara itu, pasukan induk Pati telah mendekati Jati Anom. Perjalanan sebuah pasukan yang besar itu agaknya memang lebih lambat dari pasukan kecil yang dipimpin oleh Sabungsari.

Ketika kemudian pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Kanjeng Adipati itu berhenti sebelum memasuki Jati Anom, untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan kesiapan pertahanan pasukan Mataram, maka Sabungsari telah bergerak dengan cepat menyerang para prajurit Pati yang berada di Ngaru-Aru.

Serangan yang datang dengan tiba-tiba itu sangat mengejutkan. Para prajurit Pati menyadari hadirnya pasukan Mataram, ketika mereka mendengar aba-aba dekat di sisi telinga mereka.

Dengan tergesa-gesa prajurit Pati yang bertugas menjaga lumbung utama prajurit Pati itu bersiap dan menyongsong kehadiran lawan. Namun para prajurit Mataram telah memegang kesempatan pertama, sehingga sempat membuat para prajurit Pati terkejut dan kehilangan waktu sesaat.

Namun para pemimpin kelompok prajurit Pati itu segera menyadari keadaan. Mereka pun dengan cepat mengambil sikap serta meneriakkan aba-aba bagi para prajuritnya.

Pertempuran pun segera terjadi dengan sengitnya. Karena para prajurit Mataram sempat memasuki lingkungan lumbung utama itu, maka pertempuran pun terjadi dalam suasana yang kalut.

Tetapi berbeda dengan kehadiran pasukan Mataram yang pertama, maka saat itu Sabungsari datang bersama prajurit-prajuritnya dalam kelengkapan keprajuritan yang utuh. Setiap orang telah mengenakan pakaian serta ciri-cirinya sebagai prajurit Mataram.

Sementara itu, di arah utara Mataram, pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Wirayuda telah berhadapan langsung dengan pasukan Pati. Jarak mereka menjadi semakin dekat, sementara langit pun menjadi terang.

Demikian cahaya matahari mulai menyentuh rontek, umbul-umbul dan kelebet yang terpasang pada tunggul-tunggul kebesaran, Ki Tumenggung Wirayuda telah memberi isyarat kepada para Senapati pengapitnya. Jarak mereka tinggal beberapa ratus langkah saja. Mereka akan segera berbenturan, dan ujung-ujung senjata pun akan menjadi merah.

Dalam pada itu, telah terdengar perintah dari Senapati perang Pati yang memimpin gelar Wulan Tumanggal. Sambil mengangkat pedangnya, maka Senapati itu telah memerintahkan pasukannya bergerak semakin cepat.

Demikianlah, maka senjata pun segera merunduk. Pasukan Pati itu pun bergerak dengan cepat maju dalam gelar yang melebar.

Ki Tumenggung Wirayuda dengan cepat tanggap, lapun segera memerintahkan pasukannya untuk menyongsong lawan yang tinggal berada pada jarak beberapa ratus langkah.

Namun perintah dari Senapati Pati itu masih saja terdengar mengumandang. Sahut-menyahut dan sambung-menyambung dari mulut para pemimpin kelompok yang ada dalam pasukan itu.

Ki Tumenggung Wirayuda justru menjadi curiga. Itulah sebabnya ia justru memperlambat gerak pasukannya. Ia segera memberi isyarat kepada pasukannya untuk memperlambat geraknya.

Kecurigaan Ki Tumenggung itu beralasan. Pada jarak beberapa ratus langkah, ia melihat gerak yang aneh pada gelar lawan. Apalagi sejak semula ia melihat gelar lawan yang melebar itu meskipun nampak utuh, tetapi tidak sempurna. Ia tidak melihat ujung-ujung gelar lawan bergerak mendahului induk pasukannya, tetapi gelar itu justru nampak terlalu datar. Dan bahkan semakin lama semakin datar. Ki Tumenggung juga tidak melihat kekuatan yang besar berada di ujung-ujung gelar lawan. Bahkan menilik pertanda kebesaran, rontek, umbul-umbul dan kelebet, pasukan yang kuat tidak terdapat di ujung-ujung gelar.

Dalam keadaan yang gawat itu, maka pasukan Mataram itu menyaksikan gelar lawan tiba-tiba saja berubah. Gelar Wulan Tumanggal itu nampaknya seolah-olah telah berbaur dan menyempit. Namun kemudian gelar itu bagaikan menghambur laju menuju ke gelar lawan.

Ki Tumenggung Wirayuda dan para prajurit Mataram terkejut. Lawan mereka ternyata telah dengan sengaja memanfaatkan keterkejutan prajurit Mataram. Gelar Wulan Tumanggal itu pun segera berubah menjadi gelar Dirada Meta.

“Satu gerakan yang manis,” berkata Ki Tumenggung, betapapun hatinya terhentak dan kemarahan membakar jantungnya.

Tetapi Ki Tumenggung sama sekali tidak berniat merubah gelarnya. Namun ia harus menanggapi perubahan gelar lawan, agar induk pasukannya tidak dihancurkan oleh gelar Gajah Meta yang memusatkan serangannya pada sasaran yang dipilih.

Kepada Senapati pengapitnya Ki Tumenggung berkata, “Pasukan ini harus menjadi lentur. Jangan bertahan. Beri kesempatan kepada sayap pasukan untuk mengambil sikap.”

Perintah itu segera sampai ke telinga Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu pun segera memerintahkannya kepada prajurit-prajuritnya agar mereka bertempur dalam gerak yang lentur.

“Kemenangan tidak terletak di saat pertempuran dimulai. Tetapi pada saat pertempuran diakhiri,“ berkata Agung Sedayu kepada para pemimpin kelompoknya lewat para penghubung.

Sementara itu, para penghubung pun dengan tergesa-gesa telah menyampaikan perintah Ki Tumenggung Wirayuda kepada para Senapati di sayap pasukan dan di ekor gelar, agar tanggap pada keadaan.

Para Senapati di ujung sayap gelar Garuda Nglayang mengerti maksud Ki Tumenggung Wirayuda dengan pesannya. Mereka pun segera berusaha untuk menempatkan diri dalam kedudukan sebagaimana mereka menghadapi gelar Gajah Meta, yang memusatkan sasarannya pada bagian tertentu gelar Garuda Nglayang itu.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua gelar itu pun telah berbenturan. Gelar Gajah Meta yang menempatkan kekuatan terpilihnya pada ujung belalai dan dua ujung gadingnya, telah langsung menyergap induk gelar Garuda Nglayang.

Untuk menghadapi gelar itu, maka Agung Sedayu telah mempersilahkan Ki Tumenggung Wirayuda pada kedudukan yang sebenarnya bagi seorang Panglima yang memimpin gelar itu. Agung Sedayu telah mempersilahkan Ki Tumenggung Wirayuda untuk berada di bagian kepala gelarnya, sementara Agung Sedayu telah menempatkan diri di paruh gelar.

Ki Tumenggung Wirayuda yang mengenal Agung Sedayu dengan baik serta mengenal kemampuannya yang sangat tinggi, tidak menolak. Sementara itu, ia telah memerintahkan kedua Senapati pengapitnya untuk menahan gerak maju kedua ujung gading gelar lawan.

Namun sekali lagi Agung Sedayu sempat memperingatkan agar pasukannya itu bertempur dalam gerak yang lentur, untuk menghindari benturan yang keras dengan gelar lawan yang sangat kuat dan jumlah yang lebih banyak itu.

Benturan kedua gelar itu memang menggetarkan. Prajurit Pati yang merasa jumlahnya lebih banyak, serta menganggap bahwa perubahan gelarnya dapat membingungkan pasukan Mataram, telah dengan dada tengadah menempuh induk pasukan gelar Garuda Nglayang.

Ternyata arus serangan gelar lawan yang menyempit itu memang mampu mengguncang pertahanan pasukan Mataram. Tetapi seperti yang diperintahkan oleh Ki Tumenggung Wirayuda, maka pasukan Mataram bertempur dalam kedudukan yang lentur. Itulah sebabnya, maka induk pasukan Mataram tidak membendung serangan pasukan Pati seperti bendungan yang menahan arus banjir bandang yang melanda. Cara yang demikian akan dapat membuat bendungan itu pecah.

Karena itu, maka Agung Sedayu dan Pasukan Khususnya telah memberikan isyarat untuk bertahan sambil bergerak surut.

Para prajurit Pati yang menghantam gelar lawan dengan sepenuh kekuatan, segera bersorak. Mereka yakin akan segera dapat memecah pasukan Mataram, yang dalam saat yang pendek telah dapai didesak mundur.

Sebenarnya harga diri para prajurit Mataram telah tergetar. Namun sebagai seorang prajurit mereka harus menempatkan diri dalam kesatuan. Meskipun secara pribadi mereka sama sekali tidak berniat bergerak mundur, tetapi isyarat telah diberikan. Mereka pun teringat pesan Agung Sedayu, bahwa kemenangan sebuah pertempuran tidak terletak pada bagian permulaan. Tetapi pada saat pertempuran itu berakhir.

Dalam pada itu, para pengawal yang berada di pangkal sayap dan bahkan ujung gelar, telah menyesuaikan diri. Bahkan serangan lawan dalam gelar yang lebih sempit dan padat itu merupakan tekanan yang berat pada pangkal sayap gelar Garuda Nglayang. Sehingga gerak mundur dari gelar itu dalam keseluruhan akan memberikan kesempatan para pengawal di pangkal sayap itu untuk berbenah diri.

Dalam pada itu, Ki Lurah Suratapa dan Ki Lurah Uwangwung telah bergerak ke pangkal sayap yang justru harus berhadapan lengan ujung-ujung gading gelar Gajah Meta, yang juga disebut gelar Dirada Meta itu.

Namun gelar Garuda Nglayang itu masih saja harus bertempur sambil bergerak mundur. Tetapi kedua ujung sayap gelar Garuda Nglayang yang tidak langsung berhadapan dengan lawan, karena gelar lawan yang sempit, tidak mundur secepat gerak induk pasukannya. Ujung-ujung gelar itu justru membuat gerakan seolah-olah sayap seekor burung yang sedang berlaga. Kedua sayap itu pun kuncup dan langsung menghantam lambung gelar Dirada Meta.

Gerak inilah yang pernah disebut-sebut Ki Tumenggung Wirayuda ketika ia mengatur gelarnya. Ki Tumenggung justru memperingatkan bahwa lawannya akan bertempur dengan gelar yang melebar sebagaimana gejar Garuda Nglayang. Waktu itu Ki Tumenggung menganggap kedudukan ujung sayap itu menjadi sangat penting. Namun pada waktu itu, para Senapati di ujung sayap itu pun telah memikirkan kemungkinan untuk menyerang lambung jika lawan mempergunakan gelar yang sempit.

Ternyata gelar lawan mereka telah berubah. Karena itu, maka serangan lambung itu kembali menjadi pilihan.

Serangan kedua ujung sayap itu ternyata memang sudah diperhitungkan. Lambung gelar Gajah Meta itu telah dilapisi dengan kekuatan yang bukan saja besar dari segi jumlah, tetapi juga dengan prajurit yang memiliki kemampuan yang tinggi.

Namun ujung-ujung sayap gelar Garuda Nglayang itu terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. Demikian burung Garuda itu menggeliat dan mengatupkan sayapnya, maka pasukan Pati itu mulai merasa mendapat perlawanan yang berat.

Serangan prajurit Mataram atas lambung gelar Gajah Meta itu benar-benar berpengaruh atas gerak maju pasukan Pati. Karena belalai dan ujung-ujung gadingnya masih saja bergerak maju, sementara pasukan lambungnya harus bertahan, maka gelar Gajah Meta itu pun menjadi semakin sempit.

Tetapi Senapati tertinggi pasukan Pati itu dengan cepat mengambil sikap. Ia mulai mengendalikan gerak maju pasukannya. Sementara itu ekor gelar Gajah Meta itu harus dengan cepat mengisi kekosongan, sehingga gelar itu akan tetap menggelembung.

Namun bagaimanapun juga, benturan kedua gelar itu telah memberikan kesan bahwa gelar pasukan Mataram telah terdesak mundur, sehingga para prajurit Pati merasa berhasil mengejutkan prajurit Mataram dengan permainan gelar.

Tetapi gerak lentur gelar pasukan Mataram itu ternyata telah berhasil memelihara keutuhannya di induk pasukan. Kepala dalam gelar Garuda Nglayang itu tidak terpecah oleh hentakan kekuatan gelar Dirada Meta yang garang itu, meskipun harus bergerak mundur dan mundur lagi. Tetapi bukan berarti bahwa pasukan Mataram tidak memberikan perlawanan yang berarti.

Sambil bergerak mundur, Agung Sedayu serta pasukan khususnya telah membuat lawan mereka menjadi geram. Meskipun pasukan Mataram itu terdesak mundur, tetapi perlawanan yang diberikan telap menunjukkan tataran kemampuan yang tinggi.

Kekuatan dan kegarangan serangan gelar Dirada Meta itu tidak membentur perlawanan yang keras. Tetapi justru karena pasukan Mataram itu bergerak mundur, maka benturan itu memang tidak terasa menyakitkan bagi gelar pasukan Mataram.

Sementara itu, ujung-ujung gelar Garuda Nglayang yang menyerang lambung gelar lawan itu mulai menunjukkan kekuatan prajurit Mataram yang sebenarnya. Prajurit Mataram di bawah pimpinan Ki Lurah Semita dan Ki Rangga Pakis Aji adalah prajurit pilihan. Sementara itu, prajurit terbaik Pati berada di belalai dan ujung-ujung gadingnya. Meskipun kemungkinan serangan ujung-ujung sayap gelar lawan sudah diperhitungkan, dengan memasang prajurit-prajurit yang juga berpengalaman di lambung gelar, tetapi ternyata bahwa prajurit Mataram yang meskipun jumlahnya lebih kecil itu benar-benar telah menghambat gerak maju pasukan Pati.

Ki Lurah Semita dan Ki Rangga Pakis Aji dengan pasukannya telah menghantam lambung gelar lawan dengan sepenuh kemampuan mereka.

Agung Sedayu yang bertempur dengan penuh perhitungan, mulai merasakan bahwa tekanan pasukan Pati itu mulai menyusut. Tetapi Agung Sedayu tidak segera memberikan tekanan pada pasukan lawan. Agung Sedayu bahkan masih mundur, meskipun semakin lambat dan mapan.

Ketenangan Agung Sedayu serta perhitungannya yang cermat justru membuat Agung Sedayu tetap mengambil keputusan untuk bergerak mundur terus.

Ki Tumengung Wirayuda yang berada di belakang paruh pasukannya itu mengerti sepenuhnya perhitungan Agung Sedayu, sehingga karena itu ia tidak memberikan perintah lain.

Dengan gerak mundur yang masih dilakukan oleh Agung Sedayu, maka kepala gelar lawannya yang merasa mampu mendesak pasukan Mataram itu masih bergerak maju terus. Tetapi sementara itu lambung gelarnya mulai tertahan oleh ujung-ujung sayap gelar pasukan Mataram.

Ketika hal itu disadari oleh Senapati tertinggi pasukan Pati, maka dengan susah payah ia harus mengendalikan gelarnya agar tetap utuh dalam kesatuan gerak dan sasarannya.

Dalam pada itu, di Ngaru-Aru, Sabungsari masih bertempur dengan sengitnya. Kedua pasukan Mataram dan Pati telah berada di lingkungan yang sama. Pertempuran telah terjadi seseorang melawan seorang di sela-sela lumbung-lumbung bahan pangan.

Kesempatan pertama bagi para prajurit Mataram saat menyerang tempat itu dengan tiba-tiba, memberikan banyak keuntungan. Karena itu para prajurit Mataram itu telah berhasil menyusup di segala sudut lingkungan lumbung utama persediaan bahan pangan pasukan Pati itu.

Tetapi para prajurit Pati yang mendapat tugas untuk menjaga lumbung itu pun telah bertempur dengan gigihnya. Mereka tahu arti dari lumbung itu bagi pasukan Pati.

Dalam pertempuran itu, maka kemampuan pribadi setiap prajurit dalam olah kanuragan akan sangat berarti. Dalam pertempuran yang terjadi di pategalan sekitar lingkungan lumbung utama, bahkan di antara bangunan-bangunan sederhana yang penuh dengan bahan pangan itu, para prajurit dari kedua belah pihak tidak dapat menggantungkan diri pada kelompok mereka masing-masing.

Sabungsari yang ada di antara pertempuran itu memperhatikan keadaan dengan seksama. Ia melihat beberapa orang prajuritnya berhasil menghentikan perlawanan lawannya. Tetapi iapun melihat beberapa orang prajuritnya yang terluka.

Ketika Sabungsari melihat seorang perwira Pati yang bertempur dengan garangnya dalam tataran ilmu yang tinggi, maka Sabungsari tidak menunggu lebih lama lagi. Orang itu akan dapat mengacaukan perlawanan para prajurit Mataram.

Karena itu, maka Sabungsari pun dengan cepat mendekati orang yang sedang menghadapi dua orang prajurit Mataram itu. Namun orang itu justru berhasil mendesak kedua prajurit itu.

Sabungsari yang telah terlepas dari lawannya setelah lawannya itu tidak mampu lagi mengangkat senjatanya, kemudian telah berada di dekat perwira dari Pati itu.

Kepada kedua orang prajurit Mataram itu, Sabungsari berkata, “Tinggalkan orang itu. Aku akan menghadapinya.”

Perwira Pati itu meloncat surut untuk mengambil jarak. Dipandanginya Sabungsari sekilas. Kemudian katanya, “Kaukah yang memimpin prajurit Mataram yang dengan licik menyerang kami?”

“Ya,“ jawab Sabungsari. Namun iapun kemudian bertanya, “Tetapi apakah kami dapat dianggap licik?”

“Kau menyerang dengan diam-diam,“ jawab perwira dari Pati itu.

Sabungsari bergeser setapak ketika lawannya itu juga bergeser. Ujung senjata lawannya itu mulai bergetar, sementara Sabungsari pun berkata, “Bukan kami yang licik. Tetapi kalian menjadi lengah.”

Perwira dari Pati itu tidak berbicara lebih banyak lagi. Sementara prajurit-prajuritnya harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Ketika perwira itu mulai mengayunkan senjatanya, maka Sabungsari pun telah bersiap sepenuhnya unluk mengatasinya.

Demikianlah, sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Senjata mereka pun berputar dengan cepat. Terayun dan mematuk dengan cepat ke arah dada.

Namun ternyata keduanya adalah prajurit-prajurit yang tangkas. Keduanya memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga dengan demikian pertempuran itu pun berlangsung dengan sengitnya.

Sementara keduanya bertempur, maka para prajurit pun telah bertempur pula di segala sudut lingkungan lumbung utama itu. Namun semakin lama prajurit Pati itu pun menjadi semakin mengalami kesulitan. Prajurit Mataram seakan-akan berada di segala lempat. Mereka menyerang dengan tiba-tiba, melumpuhkan lawan dan kemudian mencari lawan yang baru. Meskipun prajurit Pati lebih memahami medan, tetapi kadang-kadang mereka terkejut ketika tiba-tiba saja muncul prajurit Mataram meloncat menyerang.

Perwira yang memimpin prajurit Pati mempertahankan lumbung utama itu menjadi semakin marah ketika ia menyadari keadaan para prajuritnya. Karena itu, maka iapun semakin meningkatkan serangan-serangannya. Ia ingin segera mengakhiri perlawanan pemimpin pasukan Mataram itu, sehingga ia akan dapat berada di antara prajurit-prajuritnya untuk membinasakan pasukan Mataram yang datang menyerang itu.

Namun ternyata lawannya adalah Sabungsari. Ia bukan saja seorang yang memiliki kelebihan dalam ilmu keprajuritan, tetapi Sabungsari adalah seorang yang ketika memasuki dunia keprajuritan sudah membekali dirinya dengan ilmu yang tinggi.

Karena itu, maka usaha perwira dari Pati untuk segera menundukkan Sabungsari itu tidak dapat dilakukannya. Bahkan kemudian ternyata bahwa Sabungsari justru telah berhasil mendesaknya.

Karena itu, perwira yang memimpin prajurit Pati mempertahankan lumbung utama itu telah meningkatkan perlawanannya, dan sekaligus memberikan aba-aba sandi bagi prajurit-prajuritnya yang ada di sekitarnya.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja tiga orang prajurit Pati telah berloncatan berlari mendekati pertempuran antara pemimpinnya melawan Sabungsari. Sementara itu, beberapa orang prajurit yang lain telah mengambil alih lawan-lawannya. Bahkan satu dua orang prajurit yang bertempur di antara bangunan-bangunan di lingkungan lumbung utama itu, berusaha untuk menanggapi aba-aba sandi itu. Tetapi lawan-lawan mereka berusaha untuk tetap menahan mereka dalam pertempuran. Meskipun para prajurit Mataram tidak mengetahui maksud isyarat sandi itu, namun mereka menduga bahwa isyarat sandi itu akan mempengaruhi jalannya pertempuran.

Sabungsari yang melihat kehadiran tiga orang prajurit Pati itu pun segera berloncatan surut. Ia harus menjadi semakin berhati-hati jika ia harus melawan empat orang bersama-sama. Namun sebelum ia mulai bertempur, dua orang prajurit Mataram telah dengan tangkasnya menyambar dua orang prajurit Pati yang berniat bergabung dengan pemimpinnya itu, sehingga dengan demikian, maka keduanya harus meninggalkan pemimpinnya untuk mempertahankan diri.

Dengan demikian, yang harus dihadapi oleh Sabungsari hanya tinggal dua orang. Namun seorang di antara mereka adalah pemimpin pasukan Pati itu sendiri.

Dengan demikian, maka Sabungsari harus meningkatkan kemampuannya. Ia harus bergerak lebih cepat. Kedua orang lawannya ternyata telah berusaha untuk mengambil garis serangan yang menyilang, sehingga Sabungsari benar-benar harus membagi perhatiannya.

Namun Sabungsari yang berilmu tinggi itu tidak segera dapat didesak. Bahkan ia masih juga mampu mendesak kedua orang lawannya. Meskipun keduanya telah mengerahkan segenap kemampuannya, tetapi keduanya tidak mampu menguasai Sabungsari dan apalagi menghentikan perlawanannya.

Beberapa kali pemimpin prajurit Pati itu bergeser surut. Sementara seorang prajurit yang bertempur bersamanya berusaha menyesuaikan dirinya. Tetapi bagi Sabungsari, prajurit yang bertempur bersama pemimpinnya itu tidak berbahaya sebagaimana perwira dari Pati itu sendiri.

Namun dalam pada itu, Sabungsari yang mendesak lawannya itu sama sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja dari balik sudut lumbung yang ada di antara lumbung yang lain, telah muncul seorang prajurit Pati. Dengan serta-merta prajurit itu telah melemparkan sebuah pisau belati ke arahnya.

Sabungsari yang tidak menduga hal itu terjadi, memang terkejut. Tiba-tiba saja ia melihat seleret pisau belati itu menyambarnya dengan kecepatan tinggi.

Dengan serta-merta Sabungsari pun meloncat menghindarinya. Ia memang luput dari sambaran pisau belati itu. Tetapi dengan kecepatan yang tinggi, pemimpin prajurit Pati itu memburunya sambil menjulurkan senjatanya.

Sekali lagi Sabungsari terkejut. Tidak ada lagi kesempatan untuk menangkis serangan itu.

Karena itu, maka Sabungsari pun menggeliat untuk menghindari serangan itu. Namun pada saat yang bersamaan, senjata prajurit Pati yang bertempur bersama pemimpinnya itu pun terayun mendatar.

Sabungsari tidak dapat berbuat banyak. Betapapun ia berusaha, namun akhirnya ia terpaksa menghindari serangan prajurit yang mengayunkan senjatanya itu justru dengan menjatuhkan diri dan berguling menjauh. Namun demikian ia meloncat bangkit, serangan pemimpin prajurit Pati itu datang dengan cepat. Pedang Sabungsari berhasil menepisnya, tetapi ia tidak dapat membebaskan dirinya sepenuhnya. Ujung senjata prajurit Pati itu telah menggores pundaknya.

Sabungsari telah berusaha meloncat mengambil jarak. Kemarahan telah membuat darahnya mendidih. Luka itu bagaikan bara api yang memanasi jantungnya.

Dalam pada itu, prajurit Pati itu berusaha memburunya. Namun luka di pundaknya membuat senjata Sabungsari seakan-akan tidak terkekang lagi.

Karena itu, ketika prajurit itu meloncat mendekati Sabungsari yang sudah terluka itu sambil mengayunkan senjatanya, maka Sabungsari justru merendah dan berlutut pada satu lututnya. Pedangnya terjulur lurus, menyongsong prajurit yang menyerangnya itu.

Terdengar prajurit itu mengaduh. Senjatanya sama sekali sekali tidak menyentuh tubuh Sabungsari, tetapi justru ujung pedang Sabungsari telah menancap di dadanya.

Tetapi Sabungsari tidak tercengkam oleh keberhasilannya itu. Ia sadar bahwa lawannya yang seorang lagi, yang justru lebih tangguh, masih harus dihadapi.

Sebenarnyalah pemimpin prajurit Pati itu meloncat menyerang. Senjatanya dengan garang terjulur lurus mengarah ke dada Sabungsari, yang telah menghunjamkan pedangnya di dada prajurit yang menyerangnya itu.

Namun Sabungsari pun dengan tangkasnya telah meloncat bangkit dan mendorong lawannya ke samping dengan pedangnya, yang masih tertancap di dada lawannya itu.

Ternyata senjata pemimpin prajurit Pati itu tidak menggapai tubuh Sabungsari, justru telah menusuk punggung prajuritnya sendiri.

Bersamaan dengan itu, Sabungsari telah menarik pedangnya sambil meloncat surut.

Pada saat itu pula, Sabungsari melihat prajurit yang melemparnya dengan pisau belati itu tengah bertempur dengan prajuritnya. Namun tidak terlalu lama kemudian, prajurit Pati itu telah terlempar dari arena dan jatuh menimpa dinding salah satu dari lumbung-lumbung bahan makanan itu.

Pemimpin prajurit Pati yang telah menusuk punggung prajuritnya itu menggeram. Ia terpaksa memalingkan wajahnya ketika ia menarik senjatanya itu.

Sejenak kemudian, maka ia harus menghadapi pemimpin prajurit Mataram itu seorang diri.

Dalam pada itu, betapa kemarahan mencengkam jantung Sabungsari. Tetapi Sabungsari masih mampu menahan diri untuk tidak mengetrapkan ilmu puncaknya lewat sorot matanya. Ia menyadari, bahwa cara itu tidak sebaiknya dipergunakan pada setiap terjadi benturan kekerasan. Hanya dalam keadaan yang memaksa saja maka ia akan mempergunakan.

Tetapi pada dasarnya, ilmu kanuragan Sabungsari memang lebih tinggi meskipun tanpa mempergunakan ilmu pamungkasnya. Sehingga karena itu, semakin lama pemimpin prajurit Pati yang mempertahankan lumbung utama itu menjadi semakin terdesak.

Tetapi ternyata prajurit Pati tidak ingin melepaskan tanggung jawab mereka. Apapun yang terjadi, mereka telah bertempur dengan segenap kemampuan tanpa mengenal gentar. Meskipun satu-satu perlawanan kawan-kawan mereka dihentikan, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang meninggalkan gelanggang.

Semakin lama perlawanan para prajurit Pati memang menjadi semakin lemah. Meskipun tekad mereka masih menyala di dalam dada mereka, namun mereka tidak dapat menghalau kenyataan yang telah terjadi.

Apalagi ketika pemimpin mereka tidak lagi mampu bertahan. Meskipun pemimpin prajurit Pati itu tidak berniat menyerah, namun ketika luka-luka di tubuhnya menjadi semakin parah, maka pemimpin prajurit Pati itu tidak lagi mampu bertahan. Meskipun sampai saat terakhir di saat ia sudah tidak lagi mampu berdiri tegak, perwira Pati itu masih berusaha mengangkat senjatanya dan menyerang Sabungsari, tetapi keterbatasannya telah menghentikannya. Justru pada saat pemimpin prajurit Pati itu mengayunkan senjatanya dan tidak mengenai sasarannya, ia telah terseret oleh tenaganya yang tersisa serta berat tubuhnya sendiri, sehingga ia jatuh terguling di tanah.

Betapapun ia berusaha, tetapi ia tidak lagi mampu bangkit berdiri.

Meskipun demikian, suaranya masih lantang dan menantang, “Bunuh aku!”

Sabungsari berdiri termangu-mangu. Sekilas ia melihat bahwa perlawanan prajurit Pati sudah tidak banyak berarti lagi.

“Bunuh aku!“ teriak pemimpin prajurit Pati itu. Lalu katanya, “Apakah kau takut melihat darahku menyembur dari jantung? He, bukankah kau seorang prajurit?”

Sabungsari masih berdiri tegak. Pedangnya bergetar di tangannya. Sedangkan luka di pundaknya terasa semakin pedih. Tetapi ia tidak mengangkat pedangnya dan tidak menikam jantung perwira dari Pati itu.

Pemimpin prajurit Pati itu justru berusaha untuk bangkit. Namun ia sudah tidak mampu lagi. Bahkan ketika ia terjatuh lagi, maka iapun telah menjadi pingsan.

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya beberapa orang prajuritnya bergerak dengan bebas. Mereka tidak lagi bertempur di sela-sela lumbung-lumbung bahan pangan.

Dua orang prajurit kemudian telah menemuinya. Mereka memberikan laporan bahwa pertempuran sudah selesai. Beberapa orang prajurit Pati terbunuh, sementara yang lain luka-luka. Beberapa di antara mereka telah tertawan.

Namun beberapa orang prajurit Mataram pun telah menjadi korban pula. Ada yang terbunuh, ada yang terluka, bahkan parah.

Sabungsari sendiri telah terluka meskipun tidak parah, sebagaimana pemimpin prajurit Pati itu.

“Kumpulkan semua prajurit dan para tawanan,“ perintah Sabungsari.

Sambil menunggu para prajurit berkumpul, maka Sabungsari minta salah seorang prajuritnya untuk menaburkan obat di lukanya.

Sejenak kemudian, setelah para prajuritnya berkumpul, Sabungsari pun telah memerintahkan untuk merawat kawan-kawan mereka yang telah terluka. Juga merawat para prajurit Pati. Namun Sabungsari itu pun berkata kepada para prajurit Pati yang terluka, “Kami tidak dapat menunggu kalian atau membawa kalian. Tetapi kalian tahu bahwa sebentar lagi, tentu ada iring-iringan prajurit Pati yang lewat. Mungkin peronda, mungkin penghubung atau apapun, yang akan singgah di lumbung utama ini. Para petugas yang mengurusi perbekalan akan selalu melihat lumbung-lumbung yang tersedia. Karena itu, jangan menjadi ketakutan bahwa kawan-kawan kalian yang tidak terluka akan kami bawa sebagai tawanan kami.”

Para prajurit Pati itu tidak ada yang menyahut. Suka atau tidak suka, mereka memang tidak dapat membantah.

Sementara itu, Sabungsari pun berkata, “Tetapi sebelum kami meninggalkan lumbung utama ini, maka kami harus menyelesaikan tugas kami. Tugas yang sangat berat, tetapi kami tidak mempunyai pilihan. Kami harus menghancurkan persediaan pangan yang ada di Ngaru-Aru ini.”

Para prajurit Pati itu sudah mengetahui, bahwa tugas itu-lah yang diemban oleh para prajurit Mataram. Sehingga karena itu, mereka sama sekali tidak terkejut mendengar pengakuan Sabungsari itu.

Sebenarnyalah tugas itu terasa sangat berat bagi Sabungsari. Menghancurkan bahan makanan adalah pekerjaan yang bertentangan dengan tingkah laku seseorang. Jika seseorang bekerja memeras keringat dari matahari terbit sampai matahari terbenam, adalah karena mereka tidak ingin kelaparan. Mereka bekerja untuk dapat antara lain, memberi makan kepada keluarganya. Namun tiba-tiba ia dan para prajuritnya harus menghancurkan bahan makanan yang sudah tertimbun di lumbung-lumbung.

Tetapi Sabungsari tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus menyingkirkan bahan pangan itu. Cara yang paling mudah untuk menghancurkan lumbung-lumbung itu adalah dengan membakarnya. Tetapi Sabungsari mencemaskan bahwa para prajurit Pati akan melakukan pembalasan dengan membakar rumah-rumah penduduk di sepanjang jalan yang mereka lalui sampai ke Jati Anom.

Karena itu, maka Sabungsari tidak memusnahkan bahan pangan itu dengan api. Seperti yang direncanakan, maka Sabungsari telah memerintahkan untuk melemparkan bahan pangan itu ke sawah di sebelah pategalan itu. Sabungsari pun telah memerintahkan mengaliri sawah itu dengan membendung parit.

Ternyata pekerjaan itu memerlukan waktu yang cukup lama. Namun yang terutama dirusakkan adalah padi dan jagung.

“Jika ada yang tidak rusak, biarlah diambil oleh orang-orang padukuhan yang kekurangan pangan.”

“Mereka tidak akan berani,” desis seorang pemimpin kelompok.

Sabungsari mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Setidak-tidaknya setelah perang selesai.”

Dalam pada itu, induk pasukan Pati yang dipimpin langsung oleh Kanjeng Adipati telah berada di Jati Anom. Mereka memang tidak mendapatkan perlawanan. Sementara itu, orang-orang Jati Anom seakan-akan telah hilang ditelan bumi. Rumah-rumah nampak kosong. Pintu tertutup rapat. Namun tidak ada suara apapun di dalam rumah itu.

Tanpa ragu-ragu, pasukan induk itu telah menduduki barak prajurit Mataram yang dipimpin oleh Untara. Bangunan induk dan bahkan rumah Untara, yang sejak semula memang telah diperuntukkan bagi prajurit Mataram di Jati Anom.

Tugas pertama bagi para prajurit Pati adalah mengamankan lingkungan itu. Beberapa kelompok prajurit Pati telah menebar dan menempati tempat-tempat yang dianggap penting bagi pengamanan barak yang kosong. Karena Kanjeng Adipati pun telah menerima laporan bahwa prajurit Mataram telah mempersiapkan pasanggrahan di sebelah barat Kali Dengkeng.

“Besok kita akan maju lagi,“ berkata Kanjeng Adipati Pati, “kita akan berkemah di hadapan pasukan Mataram.”

“Pasukan Mataram berkemah beberapa ratus patok di sebelah barat Kali Dengkeng,” berkata petugas sandi yang memberikan laporan itu.

“Tepatnya dimana?” bertanya Kanjeng Adipati.

Petugas sandi yang mengamati gerak pasukan Mataram itu menjawab, “Mereka berkemah di Prambanan.”

Kanjeng Adipati Pati itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Jika Mataram berkemah beberapa ratus patok saja di sebelah barat Kali Dengkeng, maka kita akan berkemah beberapa ratus patok di sebelah timur Kali Dengkeng.”

Dengan demikian, maka Kanjeng Adipati pun telah memerintahkan sekelompok prajuritnya untuk mempersiapkan perkemahan bagi pasukan Pati, yang di hari berikutnya akan bergerak maju.

Sementara itu di medan pertempuran di arah utara, pasukan Mataram dan pasukan Pati masih bertempur dengan sengitnya. Pada saat-saat terakhir, gelar Garuda Nglayang dari pasukan Mataram tidak lagi bergerak mundur. Segala bagian gelar itu setelah menjadi mapan, ternyata telah menahan gerak maju gelar Dirada Meta yang garang itu.

Serangan-serangan pada lambung gelar memaksa gelar Dirada Meta itu memperkuat ketahanannya. Sementara itu di induk pasukan, seorang penghubung telah memberikan laporan dari Agung Sedayu, bahwa pasukannya akan mulai bertahan dan bahkan mulai menekan lawannya.

Ki Tumenggung Wirayuda yang mendapat laporan itu pun telah memerintahkan Agung Sedayu agar pasukannya tidak tergesa-gesa berusaha mendesak lawannya.

“Pangkal sayap gelar ini harus mendapat perhatian,” perintah Ki Tumenggung Wirayuda lewat penghubung itu.

Agung Sedayu mengerti maksud Ki Tumenggung. Karena itu, iapun telah meneruskan perintah itu kepada Ki Lurah Suratapa dan Ki Lurah Uwangwung.

Dalam pertempuran yang sengit, Ki Lurah Uwangwung sempat mengirimkan pesan kepada Agung Sedayu lewat penghubung itu, “Adik sepupu Ki Lurah Agung Sedayu sungguh luar biasa. Bahkan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh juga luar biasa. Mereka memiliki kemampuan keprajuritan yang mapan.”

Penghubung itu memang menyampaikannya kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang sedang memimpin pertempuran di pusat gelar itu sempat tersenyum.

“Katakan kepada Ki Lurah Uwangwung, terima kasih atas pujian itu,“ jawab Agung Sedayu.

Dalam pada itu, para perwira prajurit Pati telah berusaha dengan segenap kemampuan pasukannya untuk mendesak, dan jika mungkin memecah, gelar Garuda Nglayang itu. Namun perlawanan Mataram semakin lama justru menjadi semakin tegar.

Bahkan ketika matahari menjadi semakin rendah, pasukan Pati yang mengerahkan tenaga sejak benturan pertama terjadi, mulai menjadi letih.

Agung Sedayu melihat saat yang tepat untuk mulai mendesak gelar Dirada Meta itu. Namun waktunya tidak banyak lagi. Ketika matahari bertengger di punggung bukit, maka kedua belah pihak memang telah menjadi letih.

Meskipun demikian, pada saat-saat terakhir menjelang senja, Agung Sedayu dan Pasukan Khusus telah mulai mendorong gelar Dirada Meta perlahan-lahan. Namun beberapa saat kemudian, sinar matahari pun menjadi pudar.

Ki Tumenggung Wirayuda kemudian telah meneriakkan aba-aba agar pasukan Mataram dengan hati-hati menarik diri dari pertempuran, karena malam telah turun.

Aba-aba itu mengumandang di seluruh medan. Setiap pemimpin kelompok telah meneriakkan isyarat, sehingga isyarat itu menjalar sampai ke ujung sayap.

Namun pasukan Mataram cukup hati-hati. Mereka tidak dengan serta-merta menghentikan pertempuran. Mereka menunggu waktu yang tepat, apakah Pati juga akan segera menghentikan pertempuran. Jika Pati masih tetap ingin bertempur meskipun malam turun, maka Mataram pun akan tetap berada di medan.

Namun pemimpin tertinggi Pati masih juga berpegang kepada pegangan yang dihormati oleh para prajurit. Perang gelar akan berhenti jika malam mulai turun.

Demikianlah, Senapati tertinggi dari Pati itu pun telah memberikan aba-aba yang sama pula kepada prajurit-prajuritnya, sehingga para prajurit Pati yang letih itu telah mengendorkan pertempuran.

Beberapa saat kemudian pertempuran pun berhenti. Kedua pasukan yang bertempur dalam gelar itu telah mulai merenggangkan kedudukan mereka.

Demikianlah, ketika malam turun, pertempuran itu benar-benar telah terhenti. Kedua pasukan telah ditarik ke perkemahan mereka masing-masing. Kedua belah pihak telah menjadi sangat letih dan lapar. Mereka tidak sempat makan dan minum selama pertempuran terjadi.

Ketika malam menjadi semakin gelap, baik Mataram maupun Pati telah mengirimkan kelompok-kelompok prajurit yang khusus mencari korban di bekas medan pertempuran itu. Mereka telah membawa orang-orang yang terluka dan yang gugur ke perkemahan.

Kelompok-kelompok yang membawa obor itu ternyata saling menghormati, sehingga mereka tidak saling mengganggu meskipun mereka berada di bekas medan yang sama. Bahkan kadang-kadang mereka bersama-sama berusaha mengenali korban yang terbaring dan kadang-kadang saling menindih.

Malam itu, Glagah Putih dan Prastawa ikut dalam tugas khusus itu bersama beberapa orang pengawal Tanah Perdikan, di samping para prajurit Mataram, untuk mengenali terutama para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan obor di tangan, Glagah Putih dan Prastawa berada di antara kelompok-kelompok orang yang mencari korban pertempuran di jalur medan yang bergerak. Sedangkan di tempat yang sama, kelompok-kelompok prajurit Pati juga melakukan hal yang sama.

Meskipun kedua belah pihak cukup hati-hati, tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang bertengkar dan apalagi bertempur.

Bahkan ketika prajurit Pati itu menemukan sosok tubuh prajurit Mataram yang terluka atau terbunuh, maka mereka pun memanggil sambil menunjuk sosok itu, “Ini salah satu kawanmu.”

Namun sebaliknya, orang-orang Mataram pun berbuat demikian pula. Seakan-akan kedua pihak itu tidak sedang saling bermusuhan.

Dalam pada itu, ketika pertempuran antara kedua gelar pasukan Mataram dan Pati di sisi utara itu mereda dan bahkan terhenti oleh cahaya senja yang berangsur menjadi gelap, maka di sekitar Jati Anom, Utara justru sedang mempersiapkan pasukannya.

Kepada beberapa kelompok prajuritnya, Untara telah memberikan petunjuk-petunjuk, apa yang harus mereka lakukan. Sementara itu Swandaru dengan para pengawal Kademangan Sangkal Putung serta kelompok-kelompok kecil lainnya, telah bersiap pula untuk melaksanakan perintah yang serupa.

Untara atas dasar laporan para petugas sandi tahu pasti, dimana kelompok-kelompok prajurit Pati membuat landasan pengamanan bagi induk pasukannya, yang dipimpin langsung oleh Kanjeng Adipati Pati.

Untara tahu bahwa ia tidak akan mampu melawan kekuatan yang datang dari Pati itu. Namun ia dapat berbuat sesuatu untuk memperlemahnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sabungsari dengan kelompok prajuritnya.

Demikianlah, setelah memberikan petunjuk-petunjuk kepada para pemimpin kelompok prajuritnya serta kelompok-kelompok pengawal, termasuk pengawal Kademangan Sangkal Putung, maka Untara pun melepas prajurit-prajuritnya turun ke gelanggang. Untara sendiri membawa beberapa kelompok parjurit untuk menyerang salah satu Iandasan pengamanan yang kuat di sisi barat Jati Anom. Untara akan membawa pasukan kecilnya dari Macanan, melingkar dan kemudian turun dari arah lereng Gunung Merapi. Sementara Swandaru dan pengawal terpilihnya akan menyerang prajurit Pati yang membuat landasan pengaman di sisi selatan, dan yang lain lagi di arah utara.

Mereka menyerang pada tengah malam.

“Mungkin kita tidak dapat bergerak tepat pada saat yang bersamaan. Tetapi perbedaan waktu sedikit tidak akan menganggu rencana itu, asal selisih waktu itu tidak lebih dari waktu yang dipergunakan oleh para penghubung untuk memberikan laporan dan memberikan peringatan kepada landasan-landasan pengamanan itu,” pesan Untara kepada para pemimpin kelompok-kelompok pasukan, yang mendapat tugas untuk menyerang landasan-landasan pengamanan itu.

Sejenak kemudian, pasukan-pasukan kecil itu pun segera meninggalkan Macanan.

Swandaru dengan para pengawal terpilihnya telah menuju ke Jati Anom dari arah timur. Dari para petugas sandi mereka telah mendapat petunjuk, dimana letak pasukan-pasukan Pati dalam tugas mengamankan induk pasukan mereka yang berada di jati Anom.

Namun Swandaru tidak menempatkan Pandan Wangi di dalam pasukannya. Bagaimanapun juga ia harus memperhitungkan banyak hal, karena tugas yang diembannya adalah tugas yang terhitung besar dan berbahaya. Meskipun Pandan Wangi memiliki kemampuan jauh lebih baik dari para pengawalnya, tetapi untuk bersama-sama berada di medan, Swandaru masih harus berpikir ulang. Justru karena Pandan Wangi adalah istrinya, sementara itu mereka meninggalkan seorang anak di rumah.

Sebelum tengah malam, pasukan-pasukan kecil itu sudah berada di tempat masing-masing. Mereka tinggal menunggu saatnya saja untuk menyerang. Pasukan Mataram yang berada di Jati Anom, serta para pengawal Kademangan Sangkal Putung, memiliki keuntungan dari lawan mereka, karena mereka mengenali medan jauh lebih baik dari para prajurit Pati.

Sementara itu, di medan sebelah utara Kotaraja, para prajurit Mataram dan Pati telah selesai mengumpulkan korban pertempuran yang terjadi di siang harinya, yang tertinggal di medan pertempuran. Glagah Putih, Prastawa dan kelompok-kelompok yang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang lerluka dan gugur di pertempuran, telah mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sedangkan kelompok yang lain akan mendapat tugas untuk merawat mereka selanjutnya.

Di sekitar Jati Anom, setiap tarikan nafas membuat ketegangan semakin memuncak. Saat-saat menunggu tengah malam itu rasa-rasanya telah membuat jantung berdetak lebih lamban. Nafas pun rasa-rasanya menjadi berat di dalam setiap dada.

Keempat pasukan kecil itu tidak mempunyai petunjuk waktu yang tepat. Di padukuhan-padukuhan tidak akan terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk di tengah malam. Namun mereka mendasarkan pada pengenalan mereka atas suasana malam, serta benda-benda langit yang mereka kenali. Pada saat ljntang Gubug Penceng berdiri tegak di ujung langit sebelah selatan, maka para prajurit itu menganggap bahwa mereka telah berada pada saat tengah malam itu.

Meskipun ada selisih waktu, tetapi serangan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan kecil di sekitar Jati Anom itu berlangsung hampir bersamaan.

Dalam pada itu, Swandaru dengan pasukan pengawal terpilih dari Kademangan Sangkal Putung, telah menyempatkan diri untuk singgah di padukuhan Ngablak. Atas perintah Untara, maka Ki Widura pun telah membawa seisi padepokannya menyingkir ke Ngablak.

Ternyata Ki Widura dan beberapa orang cantrik yang dianggap pantas untuk ikut, telah dibawanya pula bersama dengan para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung.

Ki Widura adalah bekas seorang prajurit. Ia dapat memberikan beberapa petunjuk penting kepada Swandaru untuk menyergap pasukan Pati yang berjaga-jaga di arah timur Jati Anom.

Ketika saatnya dianggap sudah tiba, maka Swandaru telah membawa anak buahnya mendekati sasaran. Mereka menyusuri jalan-jalan sempit mendekati sebuah padukuhan kecil yang dipergunakan oleh pasukan Pati untuk mengaawasi keadaan.

Dalam kegelapan malam, atas petunjuk Widura, Swandaru telah memerintahkan separuh dari pasukan yang dibawanya untuk mendekati padukuhan itu dari arah yang terbuka. Mereka melalui jalan induk serta meniti tiga jajaran pematang, maju dengan cepat menuju ke padukuhan kecil itu. Sementara yang lain merayap di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu, mendekati dinding padukuhan itu pula.

Dengan cepat, prajurit yang berjaga-jaga di padukuhan itu segera dapat melihat kehadiran para pengawal yang datang dari tempat terbuka. Merekapun segera memberikan isyarat kepada para prajurit Pati yang ada di padukuhan itu untuk segera bersiap.

Separuh dari para pengawal Kademangan Sangkal Putung itu kemudian telah menebar. Sebagian dari mereka dengan cepat menuju ke pintu gerbang padukuhan, sementara yang lain akan berusaha memasuki padukuhan dengan memanjat dinding.

Namun prajurit Pati yang ada di padukuhan itu tidak membiarkan mereka memasuki padukuhan itu. Karena itu, sebelum mereka mencapai pintu gerbang serta berhasil memanjat dinding, para prajurit Pati telah menyongsong mereka untuk bertempur di tempat terbuka. 

Dengan tegar prajurit dari Pati itu menyongsong lawan yang menurut penglihatan mereka jumlahnya tidak sebanyak jumlah prajurit Pati itu sendiri. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak mencemaskan datangnya serangan itu. Mereka justru mentertawakan para pengawal yang datang menyerang sambil bersorak-sorak gemuruh itu.

“Sebentar lagi, maka akan diam,” desis seorang prajurit Pati yang menggenggam tombak pendek di tangannya.

Namun dalam pada itu, ketika perhatian para prajurit Pati itu tertuju pada para pengawal yang datang dari arah yang terbuka itu, maka Swandaru dan Ki Widura bersama sebagian para pengawal dan para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk itu telah mendekati dinding padukuhan. Demikian mereka mendengar di kejauhan sorak para pengawal yang menyerang melalui pintu gerbang, maka Swandaru pun segera memberikan isyarat kepada para pengawalnya. Ia tidak mau terlambat sehingga para pengawalnya yang datang dari arah terbuka akan banyak yang menjadi korban.

Karena itu, maka dengan cepat Swandaru pun segera membawa pasukan pengawalnya menyerang padukuhan itu.

Perhatian para prajurit Pati yang masih dihentak oleh kedatangan serangan dari arah pintu gerbang, membuat petugas yang tertinggal di sisi lain padukuhan itu terlambat menyadari serangan yang datang dari arah lain. Mereka menyadari keadaan ketika Swandaru dan pasukannya telah berusaha meloncati dinding padukuhan. Sementara yang lain memecahkan pintu gerbang butulan pada dinding padukuhan itu.

Dengan cepat petugas itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Dengan teriakan-teriakan nyaring, pengawal itu memberitahukan datangnya serangan dari arah lain.

Para prajurit Pati memang terlambat menyadari. Apalagi sebagian besar mereka telah berada pada satu sisi, menyongsong datangnya serangan dari arah yang terbuka itu.

Ketika prajurit yang tersisa berdatangan menyongsong serangan itu, maka Swandaru dan Ki Widura serta sebagian besar pengawalnya telah berada di dalam dinding padukuhan.

Dengan demikian, maka pertempuran segera berkobar di dua tempat. Para prajurit Pati yang menyongsong datangnya serangan dari arah terbuka itu pun telah terlibat dalam pertempuran, sedangkan yang lain telah bertempur pula justru di dalam padukuhan. Para prajurit Pati yang sudah siap keluar dari padukuhan lewat pintu gerbang utama untuk bertempur melawan serangan yang datang dari arah terbuka, telah membatalkan gerakan mereka dan beralih menghadapi lawan yang sudah ada di dalam padukuhan.

Pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Baik di dalam maupun di luar dinding padukuhan.

Swandaru dan Ki Widura serta para pengawal dan cantrik terpilih yang bertempur di dalam dinding padukuhan, mendapat kesempatan lebih baik dari para prajurit Pati yang sebagian sudah berada di luar dinding. Namun sebaliknya, para pengawal yang datang dari arah terbuka, mengalami kesulitan karena mereka menghadapi lawan yang lebih banyak.

Namun kesulitan itu tidak berlangsung lama. Sebagian prajurit Pati yang tertumpah keluar itu bagaikan dihisap kembali melalui pintu gerbang, masuk ke padukuhan untuk menghadapi lawan yang sudah berada di dalam.

Ternyata para pengawal Kademangan Sangkal Putung adalah pengawal yang sudah berpengalaman. Karena itu, dengan cepat mereka berhasil menyesuaikan diri dengan pertempuran yang rumit itu. Pertempuran yang terjadi di sela-sela pepohonan, jalan-jalan yang dibatasi dinding-dinding halaman, rumah-rumah dan rumput-rumput bambu, memerlukan ketangkasan yang tinggi.

Untunglah bahwa para pengawal Kademangan Sangkal Putung itu hampir setiap kali mengenali lingkungan yang mirip dengan padukuhan kecil itu. Di Sangkal Putung juga terdapat pepohonan yang terhitung rapat. Jalan-jalan padukuhan yang dibatasi oleh dinding-dinding halaman. Rumah besar dan kecil, serta kebun-kebun dan rumput-rumput bambu. Hampir setiap hari para pengawal itu hidup dalam lingkungan serta suasana yang demikian, sehingga mereka tidak lagi ragu-ragu untuk menerobos semak-semak serta tidak takut akan gelugut bambu.

Dalam pertempuran yang kalut itu, para pengawal Kademangan Sangkal Putung serta para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk ternyata dengan cepat menguasai lingkungan padukuhan kecil itu. Meskipun pertempuran masih terjadi, tetapi tidak lagi banyak berarti bagi para pengawal Sangkal Putung.

Tetapi di luar padukuhan, justru pasukan Pati telah mendesak para pengawal yang menyerang dari arah terbuka. Namun karena sebagian dari para prajurit itu telah kembali memasuki padukuhan dan bertempur di dalamnya. maka para prajurit Pati itu mulai mendapat perlawanan yang seimbang.

Dengan demikian, pemimpin prajurit Pati yang berada di padukuhan itu menjadi gelisah. Serangan itu sama sekali tidak diduganya. Prajurit Pati yang menduduki Jati Anom mengira bahwa prajurit Mataram yang ada di Jati Anom sudah ditarik dan memperkuat pasukan Mataram yang akan bertahan di Prambanan.

Dalam pertempuran yang kalut itu, serta kesulitan yang semakin menekan prajurit Pati dan ketidakpastian yang membingungkan, maka pemimpin prajurit Pati itu telah memberikan isyarat agar para prajuritnya meninggalkan padukuhan itu.

Demikianlah, sejenak kemudian terdengar isyarat yang diteriakkan oleh pemimpin prajurit Pati itu. Prajurit yang mendengarnya telah melanjutkan isyarat itu sambung bersambung.

Para pengawal Sangkal Putung tidak mengerti arti isyarat sandi itu. Tetapi mereka menduga, bahwa pasukan Pati akan menarik diri dari medan pertempuran.

Sebenarnyalah, bahkan dalam waktu yang pendek, para prajurit Pati itu bagaikan terhisap oleh kegelapan. Kemampuan mereka cepat dan teratur. Bahkan para prajurit yang bertempur di luar dinding padukuhan itu pun mampu menyesuaikan diri mereka pula.

Namun para pengawal Kademangan Sangkal Putung itu tidak ingin melepaskan mereka. Ki Widura yang dengan cepat memberi peringatan kepada Swandaru agar para pengawal kademangannya tidak mengejar lawan, agaknya telah terlambat. Kelompok-kelompok pengawal telah berloncatan memburu para prajurit Pati yang mengundurkan diri.

Namun ketangkasan prajurit Pati memang mengagumkan. Perintah sandi yang diberikan oleh Senapati mereka telah memungkinkan para prajurit Pati itu menyusun sisa kekuatannya. Demikian mereka sampai di tempat terbuka, maka prajurit Pati itu telah berdiri dalam satu kesatuan yang utuh dan siap untuk bertempur melawan para pengawal yang mengejarnya.

Sementara itu, para pengawal Kademangan Sangkal Putung masih saja berlari-lari memburu lawan. Dalam keremangan malam, mereka tidak segera melihat dengan jelas tatanan para prajurit Pati yang sudah mapan untuk menerima serangan itu.

Swandaru dan Ki Widura pun harus berlari-lari menyusul para pengawal. Mereka harus mengerahkan tenaga dalam mereka agar mereka tidak terlambat.

Karena itu, sebelum mereka mendahului para pengawal yang berlari-lari di paling depan, maka Swandaru pun telah meneriakkan perintah kepada para pengawalnya untuk berhenti.

“Dengar perintahku!” teriak Swandaru, “Berhenti di tempat kalian berada sekarang!”

Perintah itu mengumandang di gelapnya malam. Namun para pemimpin kelompok yang mendengarnya telah meneruskan perintah itu kepada para pengawal yang masih saja berlari-lari.

Namun beruntunglah bahwa perintah itu akhirnya didengar oleh para pengawal. Namun beberapa pengawal telah berdiri hanya beberapa langkah saja dari para prajurit Pati. Mereka memang terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat prajurit Pati itu berdiri dalam kesatuan yang mapan dan siap untuk bertempur.

Bahkan sejenak kemudian pemimpin prajurit Pati itu telah memberikan perintah kepada pasukannya untuk maju menyerang para pengawal yang berlari-lari di depan mereka.

Ki Widura melihat kemungkinan yang buruk bakal terjadi. Karena itu, sebagai seorang perwira prajurit maka iapun memahami tatanan gelar bagi pasukan kecil yang dihadapkan pada keadaan yang tiba-tiba, seperti pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung.

Maka Ki Widura pun segera mendahului Swandaru, meneriakkan aba-aba bagi para pengawal Sangkal Putung itu.

Tetapi sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Sangkap Putung juga sudah mendapat latihan keprajuritan, meskipun tekanan kemampuan mereka masih ada pada kemampuan mereka secara pribadi. Karena itu, ketika Swandaru mengulangi perintah Ki Widura, maka para pengawal berusaha untuk menyesuaikan diri dengan perintah itu.

Pada saat yang demikian, sebelum tatanan pasukan pengawal itu mapan, maka prajurit Pati telah menyerang mereka.

Ki Widura dan Swandaru harus mengambil langkah yang cepat. Jika benturan terjadi, maka pasukan pengawalnya akan mengalami kesulitan sebelum pasukan itu mapan. Mereka terlanjur berhadapan dalam satu garis perang. Tidak lagi bertempur dalam satu lingkungan yang berpohon-pohon dan di sela-sela rumah dan dinding halaman.

Karena itu, maka Ki Widura dan Swandaru pun kemudian telah memerintahkan pasukan yang terdiri dari para pengawal dan sekelompok cantrik dari padepokan Orang Bercambuk itu untuk bergeser mundur sambil mengatur diri.

Ternyata para pengawal itu tanggap akan perintah kedua orang pemimpin mereka. Dengan sigap pula mereka telah menarik diri, namun sekaligus menempatkan diri dalam susunan yang lebih mapan untuk melawan prajurit Pati yang mulai berlari-lari menyerang. Para prajurit itu tidak ingin memberi kesempatan lawan mereka menata diri, agar perlawanan mereka terpecah-pecah dan tidak saling mendukung.

Tetapi para pengawal dan para cantrik itu pun telah berhasil menyusun gelar, yang meskipun tidak utuh, namun cukup memadai untuk melawan pasukan Pati yang menjadi semakin tidak sabar.

Dengan demikian, maka pertempuran yang kemudian terjadi adalah pertempuran terbuka di antara kedua pasukan yang berhadapan dalam garis perang.

Sebelum benturan itu terjadi, maka Swandaru telah menggetarkan udara di atas medan dengan cambuknya. Ketika ia menghentakkan cambuknya, maka ledakan-ledakan pun terjadi. Ledakan-ledakan itu merupakan aba-aba yang membesarkan hati para pengawal dan para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk.

Ki Widura yang kemudian terhitung salah satu dari murid utama padepokan Orang Bercambuk itu, juga telah menggenggam cambuk di tangannya. Meskipun tataran ilmunya masih belum setinggi Swandaru, namun Widura yang di hari-hari tuanya hidup di padepokan telah menekuninya pula, sehingga tataran ilmunya setapak demi setapak telah meningkat.

Ternyata ledakan cambuk Ki Widura telah menggetarkan hati para prajurit Pati, namun telah meningkatkan gejolak perlawanan para pengawal dan para cantrik.

Sejenak kemudian, maka kedua pasukan itu telah berbenturan. Justru setelah mereka terlibat dalam pertempuran, cambuk Swandaru tidak lagi meledak-ledak. Bunyinya terdengar menjadi semakin lunak. Tetapi akibat sentuhan juntai cambuknya, telah menghentikan perlawanan para prajurit Pati yang menghadapinya.

Namun dengan cepat prajurit Pati itu mengambil sikap. Demikian mereka sadari kelebihan Orang Bercambuk itu, maka mereka pun telah menghadapinya dalam kelompok kecil. Empat orang prajurit Pati dengan cepat berusaha mengatasinya.

Namun para pengawal Sangkal Putung tidak membiarkan mereka mengepung Swandaru. Para pengawal pun telah berusaha untuk memancing para prajurit Pati bertempur di antara mereka.

Demikianlah, meskipun dalam pertempuran terbuka yang membentang pada garis perang. para pengawal Sangkal Putung dan para cantrik yang jumlahnya lebih banyak itu akhirnya berhasil mendesak para prajurit Pati. Perlahan-lahan, pasukan Sangkal Putung itu maju, langkah demi langkah.

Akhirnya para pemimpin prajurit Pati itu menyadari, bahwa mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Jika mereka memaksa diri, maka korban tentu akan berjatuhan lebih banyak lagi. Karena itu, maka pemimpin prajurit Pati itu telah memerintahkan dua penghubungnya untuk memberitahukan keadaan pertempuran itu kepada induk pasukannya.

“Kau tahu apa yang harus kau katakan. Kau pun tahu waktu yang sempit sebelum pasukan ini dihabisi.”

Dua orang penghubung itu pun segera berlari meninggalkan medan, menuju ke induk pasukannya.

Sementara itu, pasukan Pati itu bertempur sambil menarik diri. Mereka menghindari benturan-benturan keras di antara kedua pasukan itu. Namun dengan demikian maka pasukan Pati akan mendapat kesempatan untuk mengulur waktu lebih panjang lagi, sebelum bantuan akan datang dari induk pasukan.

Namun Ki Widura menyadari usaha lawannya. Karena itu, maka iapun telah memerintahkan seorang cantriknya untuk menghubungi Swandaru.

“Katakan bahwa aku mengusulkan agar seluruh pasukan ditarik sebelum bantuan Pati datang. Kita jangan terseret mendekati Jati Anom, karena induk pasukannya ada di sana.”

Ketika hal itu disampaikan kepada Swandaru, ternyata Swandaru pun menyetujuinya. Selagi kekuatan pasukannya masih lebih besar, maka gerakan mundur tidak akan membahayakannya. Tetapi jika bantuan dari induk pasukan Pati itu datang, maka mungkin sekali keadaan akan berbeda.

Karena itulah, maka Swandaru segera memberikan isyarat, agar pasukannya menarik diri.

Para pengawal terkejut mendapat perintah untuk mundur. Mereka menganggap bahwa pasukannya akan dapat menghancurkan lawan yang semakin lama menjadi semakin lemah.

Namun perintah Swandaru dan Ki Widura tetap, pasukan harus mundur.

“Jangan ada yang tertinggal. Selagi kita masih mempunyai keunggulan, kita akan mundur dengan membawa kawan-kawan kita yang gugur dan terluka,” perintah Swandaru, yang kemudian diteruskan kepada semua pemimpin kelompok dan prajurit.

Sebenarnyalah para pengawal Kademangan Sangkal Putung dan para cantrik menjadi kecewa. Mereka memperhitungkan kemenangan sudah diambang. Namun mereka mendapat perintah untuk menarik diri.

Tetapi mereka terikat pada kepatuhan dalam tugas kepada para pemimpin mereka, sehingga betapapun mereka merasa kecewa, namun mereka melakukannya pula.

Demikianlah, perlahan-lahan pengawal Sangkal Putung-lah yang kemudian menarik diri dari arena. Sambil bertempur mereka melangkah surut, sambil membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka. Mereka bergerak menuju ke padukuhan kecil, tempat para prajurit Pati membangun landasan.

Sebenarnyalah prajurit Pati merasa kecewa pula, bahwa pasukan yang menyerang mereka itu menarik diri. Sebenarnya mereka ingin memancing pertempuran sampai saatnya bantuan yang lebih besar datang, sehingga pasukan yang menyerang itu akan dapat di hancurkan.

Ketika kemudian pasukan pengawal itu kembali memasuki padukuhan, maka prajurit Pati tidak menyusulnya. Mereka sadar bahwa jika mereka memburunya ke dalam padukuhan itu, maka keadaan mereka akan menjadi semakin buruk.

Untuk beberapa saat, para pengawal dan para cantrik sempat mencari kawan-kawan mereka yang menjadi korban di padukuhan itu. Kemudian dengan segera mereka meninggalkan padukuhan itu pula.

Beberapa saat kemudian, maka pasukan Sangkal Putung dan para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk itu pun telah hilang dalam kegelapan sambil membawa korban pertempuran itu. Yang gugur dan yang terluka. Sementara itu, para prajurit Pati masih berada di luar padukuhan. Mereka tidak berani dengan serta merta memasuki padukuhan itu, karena pada dasarnya mereka tidak dapat melawan pasukan pengawal dan para cantrik itu.

Baru beberapa saat kemudian, telah datang sepasukan prajurit Pati dengan jumlah yang lebih besar. Mereka dengan cepat bergerak langsung menuju ke medan. Namun ternyata medan telah bergeser, sehingga pasukan itu pun langsung memburu ke padukuhan.

Ketika mereka mendapat laporan bahwa pasukan yang telah menyerang landasan pengamanan itu memasuki padukuhan, maka Senapati yang memimpin pasukan itu pun langsung memerintahkan dua orang untuk mengamati keadaan.

Dua orang prajurit itu dengan sangat berhati-hati mendekati padukuhan itu. Namun ternyata padukuhan itu sepi. Ketika keduanya sampai ke sebuah pintu butulan, bahkan pintu butulan itu telah terbuka.

Tetapi keduanya tidak memasuki padukuhan itu lewat pintu butulan. Dapat saja pintu butulan itu dibuka justru sebagai satu jebakan. Sehingga demikian mereka masuk, maka mereka segera berada di tangan pasukan yang telah menyerang.

Karena itu, maka keduanya memilih mengamati keadaan dengan meloncati dinding halaman yang terlindung oleh serumpun bambu yang lebat. Mereka pun kemudian dengan sangat berhati-hati meloncat masuk dengan panah sendaren siap di tangan. Demikian terjadi sesuatu atas mereka, maka panah sendaren itu akan segera meloncat ke udara, memberikan isyarat kepada pasukan Pati yang berada di luar padukuhan.

Namun ternyata bahwa padukuhan itu sepi. Mereka tidak melihat seorangpun yang tinggal di padukuhan itu. Rumah-rumah yang sebelumnya memang sudah kosong, tetap saja kosong. Pasukan yang menyerang itu ternyata telah meninggalkan padukuhan.

Dengan demikian, keduanya pun segera meninggalkan padukuhan itu untuk memberikan laporan, bahwa padukuhan itu telah kosong.

Dalam waktu yang singkat, maka pasukan Pati seluruhnya itu pun telah berada di dalam padukuhan itu. Mereka menyadari bahwa pasukan itu tentu bagian dari pasukan Mataram yang ada di Jati Anom, atau bagian-bagiannya. Mereka datang menyerang, kemudian segera meninggalkan tempat.

Ternyata yang terjadi tidak hanya di satu landasan pengamanan pasukan Pati di Jati Anom. Dari empat arah telah datang pasukan-pasukan kecil, yang menyerang dan kemudian melarikan diri setelah menimbulkan kerusakan pada pasukan Pati.

Laporan itu benar-benar menyakitkan hari. Empat landasan pengamanan telah mendapat serangan dan terpaksa menarik mundur pasukan mereka. Bahkan pasukan Pati di sisi barat, yang mendapat serangan dari prajurit Mataram yang dipimpin langsung oleh Untara, telah mengalami kerusakan yang cukup parah. Meskipun pasukan yang berada di landasan pengamanan sebelah barat itu cukup kuat, namun Untara berhasil mendesaknya keluar dan bahkan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.

Sebagaimana di sisi yang lain, bantuan dari induk pasukan selalu datang terlambat.

Laporan tentang pertempuran-pertempuran itu membuat Kanjeng Adipati Pati menjadi sangat marah. Tetapi Pati memang tidak dapat berbuat lebih banyak Pasukan-pasukan yang menyerang itu telah hilang tanpa diketahui tujuannya. Mungkin dengan menelusuri jejak, mereka akan dapat mencari sarang pasukan yang menyerang itu. Tetapi Kanjeng Adipati justru mencemaskan bahwa masih ada pasukan yang kuat, yang akan dapat menyergap dengan tiba-tiba.

Kemarahan Kanjeng Adipati menjadi semakin menyala di dadanya, ketika datang laporan dari Ngaru-Aru bahwa lumbung utama, tempat bahan makanan Pati disimpan, telah dihancurkan oleh orang Mataram.

Namun semuanya itu sama sekali tidak mengendorkan niat Kanjeng Adipati Pati untuk menyerang Mataram. Justru kemarahannya telah mendorongnya untuk bergerak lebih cepat ke Prambanan.

Tetapi Kanjeng Adipati tidak dapat bergerak malam itu juga. Bahkan tidak pada hari berikutnya, karena Kanjeng Adipati masih harus mengumpulkan laporan tentang pasukan-pasukannya di landasan pengaman yang telah mendapat serangan dari pasukan Mataram.

Namun malam itu juga Kanjeng Adipati memerintahkan bahwa pasukan itu akan segera bergerak sehari kemudian, setelah menyusun kembali segala rencananya.

Tentang persediaan bahan makanan dan perbekalan, Kanjeng Adipati justru memerintahkan, “Kita harus mendapatkan bahan makanan pengganti di sepanjang perjalanan. Tetapi jangan takut, di Mataram terdapat banyak lumbung yang telah disiapkan bagi kita semua. Kita akan mendapatkan bahan makanan dan perbekalan yang melimpah.”

Di sisa malam itu, Kanjeng Adipati Pati justru menunggu laporan-laporan berikutnya tentang perkembangan keadaan. Kelompok pengawas telah dilepaskan untuk mengamati keadaan, apakah Mataram merencanakan serangan yang lebih besar ke Jati Anom. Atau bahkan mungkin Mataram telah mengepung Jati Anom dari beberapa penjuru, dengan menggerakkan pasukan yang berkemah di Prambanan serta prajurit Mataram yang berada di Jati Anom.

Namun para petugas sandi pun kemudian melaporkan bahwa mereka tidak melihat lagi gerakan pasukan Mataram, sehingga para petugas sandi yakin bahwa Mataram tidak akan menyerang lewat fajar hari itu.

“Yang terjadi tidak lebih dari sekedar gangguan-gangguan kecil,” berkata seorang Senapati kepada Kanjeng Adipati. Tetapi Kanjeng Adipati itu menjawab, “Besar atau kecil, tetapi kita sudah kehilangan banyak prajurit. Selebihnya, kita juga sudah kehilangan lumbung utama kita.”

“Tetapi hal itu tidak mengurangi kemampuan pasukan kita,” berkata Senapati itu.

“Aku bukan orang dungu!“ Kanjeng Adipati justru membentak, “Satu saja prajuritku terbunuh, itu berarti bahwa kemampuan kita sudah berkurang!“

Senapati itu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Dalam pada itu, menjelang fajar, di medan sebelah utara Kotaraja, prajurit Mataram yang dipimpin Ki Tumenggung Wirayuda sudah bersiap. Agung Sedayu dengan Pasukan Khususnya akan tetap berada di kepala gelar Garuda Nglayang. Ki Tumenggung Wirayuda yang menilai pertempuran di hari pertama, ternyata tidak merubah gelar dan letak pasukan. Gelarnya akan dapat dengan mantap menghadapi gelar-gelar yang membentang atau gelar yang sempit menggelembung, seperti gelar yang sebelumnya dipergunakan Pati, Dirada Meta.

Namun sebelum gelar pasukan Mataram tersusun rapi, maka dua orang pengawas dengan tergesa-gesa memberitahukan bahwa pasukan Pati justru sudah mulai bergerak.

“Kita belum mendengar isyarat dan aba-aba,“ sahut Ki Lurah Semita.

“Nampaknya isyarat dan aba-aba dberikan dari kelompok ke kelompok,” jawab pengawas itu.

“Apakah kalian lihat gelar yang dipergunakan?” bertanya Ki Tumenggung Wirayuda.

“Mereka kembali menggelar gelar Dirada Meta atau Cakra Byuha, yang dalam ujud kewadagan hampir sama,” jawab pengawas itu.

Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk-angguk. Namun kemudian ia memperingatkan kepada para Senapati dalam Pasukannya, “Jika mereka mempergunakan gelar Cakra Byuha, maka gelar itu akan berputar. Kita harus lebih berhati-hati. Namun jika orang-orang Pati itu tidak memahami watak gelar yang mereka pergunakan, maka gelar Cakra Byuha itu akan dapat menghancurkan mereka sendiri.”

“Nampaknya pasukan Pati tidak seluruhnya terdiri dari prajurit-prajurit murni. Sebagian dari mereka tentu terdiri pada pengawal, dan bahkan mungkin orang-orang yang berhasil mereka himpun dari daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng,” sahut Agung Sedayu.

“Ya,“ Ki Tumenggung mengangguk-angguk, “agaknya Senapati dari Pati itu tidak akan berani mempergunakan gelar Cakra Byuha yang rumit, meskipun sangat berbahaya bagi lawan.“

Demikianlah, maka Ki Tumenggung Wirayuda pun dengan cepat mempersiapkan pasukannya dalam gelar Garuda Nglayang. Dengan cepat gelar itu turun ke medan, lengkap dengan segala macam pertanda kebesaran pasukan masing-masing.

Pada saat langit menjadi merah, maka kedua gelar pasukan itu sudah siap untuk memasuki medan pertempuran. Bahkan pasukan Pati yang telah bersiap lebih dahulu, telah mulai bergerak, semakin lama semakin cepat.

Ketika kemudian matahari terbit, pasukan Pati telah mempercepat gerak maju pasukannya. Semakin terang, maka semakin jelas bahwa pasukan Pati memang mempergunakan gelar Dirada Meta. Namun tentu sudah dengan beberapa perbaikan tatanan. Agaknya Pati pun memperhitungkan bahwa Mataram masih akan mempergunakan gelar yang sama dengan hari sebelumnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua pasukan itu pun sudah saling berhadapan. Ki Tumenggung Wirayuda yang seperti hari sebelumnya berada di bagian kepala gelarnya, telah memberikan aba-aba yang disahut dan kemudian menjalar dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain.

Beberapa saat kemudian, ketika matahari terbit, kedua pasukan itu pun telah berbenturan. Gelar Dirada Meta yang garang itu telah menghantam pasukan Mataram dalam gelar Garuda Nglayang. Tidak seperti di hari pertama, pasukan Mataram sempat dikejutkan oleh perubahan gelar dari pasukan Pati. Pada hari kedua, pasukan Mataram yang mapan telah siap menghadapi gelar Dirada Meta yang garang itu.

Pada saat gelar Dirada Meta itu menghantam induk pasukan Mataram di tengah-tengah gelarnya, maka gelar Garuda Nglayang itu memang sempat terguncang. Tetapi gelar Garuda Nglayang itu tidak perlu terdorong surut. Ki Tumenggung Wirayuda telah memerintahkan pasukannya untuk tetap bertahan pada garis benturan. Sementara itu, ujung-ujung sayapnya dengan cepat bergerak menghantam lambung gelar lawan.

Namun pasukan Pati itu pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, hempasan sayap gelar Garuda Nglayang itu tidak dengan serta-merta menggoyahkan pertahanan pasukan Pati.

Sejenak kemudian pertempuran pun telah menyala dengan sengitnya. Meskipun kedua belah pihak menyadari bahwa mereka tidak boleh menghentakkan tenaga sehingga mereka akan menjadi sangat letih sebelum matahari turun, namun untuk melindungi diri mereka rnasing-masing, maka para prajurit itu harus mengerahkan kemampuan mereka.

Sementara itu, di paruh gelar Garuda Nglayang, Agung Sedayu bertempur dengan garangnya. Cambuknya kadang-kadang menggelepar memekakkan telinga. Para prajurit Pati yang bertempur di sekitarnya seakan-akan mendapat peringatan, betapa garangnya Pasukan Khusus Mataram itu. Namun kadang-kadang hentakan cambuk Agung Sedayu justru tidak menimbulkan bunyi ledakan. Tetapi justru hentakan cambuk yang seakan-akan lunak itulah yang telah mengguncang jantung orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Sentuhan ujung cambuknya mampu mengoyak kulit daging sampai ke putih tulang.

Salah seorang Senapati Pati yang berada di ujung belalai gelar Dirada Meta melihat betapa garangnya Senapati Mataram yang ada di paruh gelarnya. Karena itu, dengan serta merta perwira Pati itu telah berdiri tegak di hadapan Agung Sedayu sambil berkata, “Minggir. Biarlah anak ini aku selesaikan.“

Agung Sedayu sempat memperhatikan perwira yang berdiri di hadapannya. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada lapang. Kumisnya yang tebal sebelah-menyebelah telah berbaur dengan warna putih. Demikian pula helai-helai rambutnya yang sedikit tergerai di bawah ikat kepalanya.

“Namamu siapa Ki Sanak?” orang itu sempat bertanya.

“Agung Sedayu. Kau?”

“Wirapamungkas,“ jawab orang itu.

Agung Sedayu tidak berbicara lebih lanjut. Ujung juntai cambuknya telah mulai bergetar. Bahkan kemudian sebuah ledakan yang sangat keras seakan-akan telah mengoyakkan selaput telinga.

Wirapamungkas mengerutkan dahinya. Bunyi yang keras itu memang mengganggu pendengarannya. Namun katanya, “He, siapakah kau sebenarnya? Apakah kau seorang gembala yang biasa berkeliaran di padang rumput, atau seorang prajurit yang berada di medan pertempuran? Jarang sekali aku bertemu dengan prajurit yang bersenjata cambuk. Apalagi yang berkemampuan tidak lebih dari seorang sais pedati beban.”

Agung Sedayu segera tanggap. Orang itu tentu juga berilmu tinggi, sehingga ia mampu menilai ledakan cambuknya. Namun demikian mulut orang itu terkatup, maka cambuk Agung Sedayu telah dihentakkannya lagi. Tidak menimbulkan bunyi yang menghentak. Namun Wirapamungkas itu mengerutkan dahinya sambil berkata, “Aku salah menilaimu Ki Sanak. Baiklah. Kita akan menentukan, siapakah yang akan keluar dari pertempuran ini utuh. Wadag dan nyawanya.”

Agung Sedayu tidak menjawab, sementara Wirapamungkas telah mengacukan ujung tombaknya.

Agung Sedayu memang harus berhati-hati menghadapi lawannya. Apalagi ketika ia melihat ujung tombak yang kehitam-hitaman itu seakan-akan telah memancarkan cahaya yang kehijau-hijauan.

Demikianlah, sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Tombak Wirapamungkas berputar dengan cepatnya. Namun tiba-tiba tombak itu terayun mendatar. Kemudian mematuk seperti kepala seekor ular.

Tetapi Wirapamungkas harus berloncatan menghindari ujung cambuk Agung Sedayu yang menyambar ke arah leher, namun kemudian menghentak sendal pancing.

Untuk beberapa saat keduanya bertempur dengan sengitnya, sementara pertempuran menjadi semakin sengit. Ujung-ujung sayap gelar Garuda Nglayang berkali-kali menghantam lambung gelar pasukan Pati. Sekali-sekali pertahanan pasukan Pati itu memang tergetar. Namun kemudian justru gelar itu berusaha menghentak pasukan induk Mataram, yang tersusun sebagai kepala seekor garuda dalam gelar Garuda Nglayang.

Semakin tinggi matahari, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak semakin meningkatkan kemampuan mereka, sementara tenaga mereka masih sesegar saat pertempuran itu dimulai.

Namun satu-satu korban mulai berjatuhan. Beberapa orang prajurit justru bertugas untuk menyingkirkan kawan-kawan mereka yang terluka dari keganasan medan pertempuran.

Sementara pertempuran menjadi semakin menjadi-jadi, maka di Jati Anom, Kanjeng Adipati telah memanggil semua Panglima dan Senapatinya untuk berkumpul.

Kepada para Panglima dan Senapatinya, Kanjeng Adipati Pati menyatakan kemarahannya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar dugaannya. Serangan atas lumbung utama serta landasan landasan pengamanan di sekitar Jati Anom, menunjukkan betapa tangkasnya prajurit Mataram bergerak dan betapa lemahnya ketahanan prajurit Pati.

Karena itu, maka Kanjeng Adipati pun memerintahkan bahwa hal-hal seperti itu tidak boleh terjadi lagi.

“Kita harus mendapatkan ganti atas hancurnya lumbung utama itu. Jika kita dengan cepat dapat memecahkan pertahanan Mataram dan masuk menembus dinding kota, maka kita akan mendapatkan gantinya di dalam kota itu. Tetapi jika tidak, dalam beberapa hari kita akan mengalami kesulitan. Karena itu, maka di sepanjang perjalan dari Jati Anom ke Prambanan, kita harus menemukan kemungkinan untuk mendapatkan bahan pangan.”

Para Senapati itu mengangguk-angguk. Perintah itu jelas. Mereka harus memasuki pasukan untuk mendapatkan lumbung-lumbung padi. Namun mereka tidak akan menemukannya di Jati Anom, karena semua lumbung yang ada telah dikosongkan sebelumnya.

Dengan demikian, maka para Senapati dan Panglima dari Pati itu akan memperhitungkan bahwa perjalanan mereka akan menjadi semakin lamban.

Beberapa orang Senapati dan Panglima menjadi gelisah oleh perintah itu. Bukan karena mereka mencemaskan kekurangan pangan atau kelambanan gerak maju mereka. Tetapi perintah itu akan dapat membuka kemungkinan buruk bagi para prajurit Pati. Jika mereka harus memasuki padukuhan-padukuhan untuk menemukan lumbung-lumbung padi dan jagung, maa kesempatan itu akan dapat dipergunakan untuk bukan saja memasuki lumbung bahan pangan, tetapi juga sentong-sentong rumah orang-orang yang dianggap memiliki harta benda yang bernilai mahal.

Tetapi para Senapati itu tidak dapat menentang perintah Kanjeng Adipati itu.

“Besok kita tinggalkan tempat ini. Kita akan bergerak ke Prambanan. Kita akan membuat pesanggrahan di sebelah timur Kali Dengkeng,“ perintah Kanjeng Adipati.

Perintah itu tegas dan pasti.

Dengan demikian, maka pada hari itu para prajurit Pati di Jati Anom segera mempersiapkan diri. Para prajurit yang kemudian ditugaskan untuk mengadakan landasan pangamanan di sekitar Jati Anom pun harus menyesuaikan diri. Besok mereka harus kembali ke induk pasukan menjelang fajar, dalam kesiagaan untuk segera bergerak menuju ke Jati Anom.

Hari itu juga Kanjeng Adipati telah mendapat berita dari pertempuran yang terjadi di sisi utara. Pertempuran berlangsung dengan sengitnya di hari pertama. Pasukan Pati itu tidak berhasil memancing kekuatan terbesar Mataram, karena kekuatan yang besar dari Mataram itu telah berangkat menuju Prambanan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom.

“Jika demikian, pasukan kita itu akan dapat menghancurkan pasukan Mataram yang kecil itu. Kemudian bergerak di belakang pasukan Mataram yang sudah terlanjur menuju ke Prambanan,” berkata Kanjeng Adipati.

Penghubung yang memberikan laporan itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Di hari kedua sekarang ini masih terjadi pertempuran gelar. Menurut keterangan dari seorang prajurit Mataram yang dapat kami tangkap, pasukan Mataram terdiri dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh dan beberapa Kademangan, serta sepasukan prajurit terpilih dari Kotaraja.”

“Kenapa pasukan kita itu tidak segera dapat mengoyak pertahanan lawan, yang hanya terdiri dari pasukan kecil itu?”

“Kekuatan kedua pasukan cukup berimbang, Kanjeng,” jawab penghubung itu, “pertempuran terjadi dalam perang gelar yang utuh. Meskipun di hari pertama kami berhasil mendesak pasukan Mataram, namun kami tidak berhasil memecahkan gelarnya.”

“Kenapa kalian tiba-tiba menjadi dungu?” geram Kangjeng Adipati, “Kalian harus mampu menghancurkan pasukan yang dua kali lipat lebih besar dari pasukan kalian. Bahkan lebih dari itu.”

Penghubung itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Mudah-mudahan di hari kedua ini Kanjeng.”

Namun sebenarnyalah penghubung itu tidak yakin akan kata-katanya. Ia menyadari kekuatan pasukan Mataram. Penghubung itu melihat sendiri kelebihan Pasukan Khusus yang ada di induk pasukan Mataram. Kemudian kedua ujung sayap yang bagaikan menusuk menghunjam lambung gelar pasukan dari Pati.

Sebenarnyalah pertempuran pada hari kedua itu pasukan Mataram justru berhasil mendorong pasukan Pati perlahan-lahan mundur. Meskipun dengan sekuat tenaga dan kemampuan para prajurit Pati berusaha untuk bertahan, namun pasukan Mataram berhasil menggetarkan gelar Dirada Meta yang garang itu.

Bahkan semakin lama kedudukan pasukan Pati itu menjadi semakin sulit. Para Senapati yang menjadi ujung belalai serta Senapati pengapitnya yang menjadi ujung gading Garuda Nglayang.

Agung Sedayu di ujung paruh gelarnya serta kedua Senapati pengapit di pangkal sayapnya, cukup tangguh untuk melawan hentakan gelar lawan.

Namun gelar Dirada Meta itu. masih tetap utuh, meskipun harus bergerak mundur.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wirayuda yang memimpin gelarnya dari induk pasukan berdasarkan laporan-laporan serta benturan pertempuran di induk pasukan, memperhitungkan bahwa kemungkinan yang terbaik dapat dilakukan oleh pasukannya pada saat itu. Karena itu, Ki Tumenggung kemudian telah memerintahkan seluruh pasukan pendukung untuk mengerahkan segenap kemampuan seluruh pasukannya. Selagi gelar pasukan Pati menjadi goyah, maka kesempatan terbaik itu tidak boleh dilewatkan.

Pada saat yang hampir bersamaan, para penghubung telah menyampaikan perintah itu kepada para Senapati. Namun pelaksanaannya para Senapati itu harus menunggu isyarat dari Ki Tumenggung Wirayuda, agar hentakan itu dapat dilakukan serentak dalam waktu yang bersamaan.

Demikianlah, para Senapati pun segera mempersiapkan diri. Para Senapati pun telah menyampaikan perintah itu kepada para pemimpin kelompok untuk mempersiapkan diri pula.

Ketika menurut perhitungan Ki Tumenggung Wirayuda perintahnya sudah sampai ke ujung-ujung sayap, paruh dan pangkal sayap gelarnya, maka Ki Tumenggung pun telah memerintahkan tiga orang penghubungnya untuk mempersiapkan panah sendaren. Demikian Ki Tumenggung mengangkat tangannya, maka tiga buah anak panah sendaren meluncur dari tiga buah busurnya, terbang ke tiga arah. Ke kedua ujung sayap, dan satu justru ke arah gelar lawan, lewat di atas paruh gelar Garuda Nglayang.

Dengan isyarat itu, maka serentak para Senapati dan pemimpin kelompok telah meneriakkan aba-aba untuk menghentakkan kekuatan pasukannya, menghantam gelar lawan yang sedang goyah.

Isyarat dengan anak panah sendaren itu rnemang menggetarkan. Para prajurit Pati menyadari bahwa sesuatu akan terjadi. Namun yang terjadi itu memang terlalu cepat. Demikian anak panah itu meraung di udara, maka para Senapati dan pemimpin kelompok pasukan Mataram telah meneriakkan perintah itu.

Tetapi perintah yang diberikan oleh para Senapati Mataram itu merupakan isyarat pula bagi para prajurit Pati, bahwa mereka harus dengan cepat menyesuaikan diri dengan sikap yang akan diambil oleh pasukan Mataram.

Dengan demikian, maka medan itu pun segera terguncang. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka. Namun karena para prajurit Mataram mempunyai kesempatan yang lebih baik, maka tekanan hentakan kekuatan prajurit Mataram itu terasa semakin berat. 

Dalam pada itu. Agung Sedayu telah berusaha untuk mendesak lawannya pula. Ujung cambuknya menghentak-hentak dengan garangnya. Bagi lawannya, Wirapamungkas, ujung juntai cambuk Agung Sedayu itu seakan-akan dapat melihat kemanapun ia meloncat menghindar. Namun ujung tombaknya sekali-kali berhasil mendorong Agung Sedayu untuk bergeser mundur. Tetapi setiap kali Wirapamungkas memang tidak dapat mengejarnya, karena ujung cambuk Agung Sedayu yang menggelapar selalu menahannya.

Tetapi Wirapamungkas memang tidak dapat mengingkari kenyataan. Agung Sedayu semakin lama semakin menekannya. Ketika ujung cambuk itu mulai menyentuh kulit Wirapamungkas, maka Wirapangungkas menjadi semakin yakin bahwa lawannya berilmu sangat tinggi.

Bersamaan dengan itu, maka gelar Dirada Meta itu dalam keseluruhan memang terguncang. Karena itu, maka Wirapamungkas itu menjadi semakin gelisah.

Dalam pada itu, Panglima pasukan Pati yang memegang kendali pertempuran itu melihat kesulitan yang semakin mendera pasukannya yang terguncang. Ia memang tidak dapat berbuat lain kecuali memberi kesempatan kepada prajurit-prajurit untuk bergeser surut selagi gelarnya masih belum pecah. Bahkan Panglima pasukan Pati itu justru telah memberikan perintah agar pasukannya bergeser mundur. Jika pasukannya berusaha bertahan pada tempat mereka berpijak, maka korban tentu akan menjadi semakin banyak.

Perlahan-lahan gelar Dirada Meta itu memang terdesak. Dalam keadaan yang sulit, gelar itu seakan-akan menggeliat. Pasukan yang berada di ekor gelar, telah mendesak ke lambung. Namun tekanan pasukan Mataram memang terlalu kuat.

Pertahanan Pati dalam gelarnya, semakin lama memang menjadi semakin goyah. Senapati yang bertempur di ujung belalai gelar Dirada Meta sudah terluka. Beberapa orang prajurit berusaha untuk membantunya. Namun Agung Sedayu memang terlalu garang.

Di pangkal sayap, Prastawa bertempur dengan keras. Namun ia tidak mempunyai banyak kelebihan. Namun bahwa para pengawal Tanah Perdikan benar-benar sudah terlatih dalam perang gelar, ternyata sangat membantu kedudukan gelar pasukan Mataram. Meskipun Prastawa sendiri bukan seorang yang berilmu tinggi, namun ia mampu memberikan peluang-peluang bagi para pengawal untuk mengatasi kesulitan kesulitan yang terjadi di medan.

Sementara itu di pangkal sayap yang lain, Glagah Putih ternyata mampu membuat lawan-lawannya gelisah. Anak itu masih terhitung muda, tetapi ia memiliki kelebihan yang sulit dimengerti. Di dalam perang yang sengit itu, Glagah Putih tidak bersenjata pedang. Tetapi ia justru bersenjata sehelai ikat pinggang yang ujudnya seperti ikat pinggang kulit. Namun ternyata bahwa ikat pinggang itu memiliki kelebihan dari senjata yang lain. Sekali-sekali ikat pinggang itu nampak lentur. Tetapi dengan ayunan yang kuat, maka ikat pinggang itu mampu menebas setajam mata pedang.

Dengan senjatanya itu, Glagah Putih mampu menggoyahkan perlawanan para prajurit Pati. Bahkan prajurit yang telah banyak berpengalaman sekalipun. Sehingga karena itu maka akhirnya Glagah Putih harus menghadapi lebih dari seorang lawan.

Ki Lurah Uwangwung yang menyaksikan Glagah Putih bertempur di antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh benar-benar menjadi heran. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah ilmuku dapat menyamai ilmu anak yang masih sangat muda itu?”

Apalagi melihat senjata yang dipergunakan. Senjata itu tidak biasa dipergunakan oleh prajurit manapun. Namun Ki Lurah Uwanguwung mengerti bahwa kelebihan anak itu tentu dimilikinya lebih dahulu sebelum ia menjadi pengawal Tanah Perdikan.

Meskipun demikian, Ki Lurah Uwangwung itu juga merasa heran bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu memiliki kemampuan prajurit.

“Tentu anak itu memegang peranan penting dalam pengembangan kemampuan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Lurah Uwangwung di dalam hatinya.

Sementara itu, gelar Dirada Meta itu pun telah mulai bergetar. Sendi-sendinya mulai melemah. Namun para prajurit Pati itu berusaha bertahan dengan mengerahkan sisa-sisa kekuatan yang ada. Mereka berusaha untuk dapat bertahan sampai matahari memudar di sisi barat.

Ki Tumenggung Wirayuda memang tidak dapat memaksakan kehendaknya. Betapapun ia inginkan, namun gelar Garuda Nglayangnya ternyata tidak mampu memecahkan gelar pasukan dari Pati itu.

Ketika matahari turun, maka pertempuran pun berhenti. Gelar Dirada Meta itu ternyata jauh terdesak surut. Tetapi sampai saat isyarat terdengar, gelar Dirada Meta itu masih tetap utuh, meskipun terluka parah.

Ketika gelap turun, maka pertempuran itu pun telah berhenti. Kedua belah pihak telah berada kembali di perkemahan mereka masing-masing. Sementara itu, para petugas yang mencari korban yang terluka dan gugur di pertempuran menjadi sibuk.

Glagah Putih yang ada di bekas medan pertempuran itu bersama beberapa kelompok prajurit dan pengawal, bekerja keras untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka. Yang terluka sgera mendapat perawatan. Sementara yang telah gugur dikumpulkan di belakang perkemahan mereka.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih tertegun ketika ia melihat seorang prajurit Pati yang sedang merenungi sesosok tubuh yang telah membeku. Di bawah cahaya oncor dari mereka yang sedang mencari korban itu, Glagah Putih sempat melihat orang itu mengusap air matanya.

Hampir di luar sadarnya Glagah Putih mendekati orang itu. Agaknya prajurit Pati itu pun menyadari bahwa seseorang tengah mendekatinya.

Orang itu masih mengusap matanya basah ketika ia berdesis, “Apakah kau juga seorang prajurit Ngger?”

“Bukan, Paman. Aku adalah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Glagah Putih.

“Ya. Kau memang tidak mengenakan pakaian yang sama dengan para prajurit. Kau terlalu muda untuk berada di medan perang yang ganas seperti ini.”

“Itu merupakan tugas yang harus aku lakukan, Paman,“ jawab Glagah Putih.

Orang itu mengangguk-angguk. Kemudian sambil merenungi sesosok tubuh yang terbaring di hadapannya ia berkata, “Anak ini juga masih sangat muda. Mungkin sebaya dengan kau, Ngger.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah ia sudah gugur?”

“Ya. Ia sudah gugur dalam pertempuran ini. Siapapun yang telah membunuhnya, maka ia sudah merampas masa depannya yang panjang. Ia adalah satu-satunya anakku.”

“O,” Glagah Putih pun kemudian berjongkok di sebelah orang itu. Ditatapnya wajah anak muda yang tergolek diam. Cahaya oncor yang bergerak-gerak ditiup angin memberikan kesan, seakan-akan anak muda itu masih berdarah dan bernafas.

Tetapi orang yang kehilangan anaknya itu berkata, “jika kita melihat wajahnya yang merah, itu bukan karena darahnya. Tetapi api oncor itulah yang mewarnainya. Jika dadanya nampak bergerak, itu bukan karena pernafasannya. Tetapi angin telah menggoyang lidah api oncor itu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Suara orang itu menjadi semakin sendu. Bahkan kemudian seakan-akan telah tersangkut di tenggorokannya, “Anak Muda. Kenapa bukan aku saja yang mati di pertempuran ini? Tetapi kenapa harus anakku? Satu-satunya anak laki-laki dalam keluargaku.”

“Paman. Ia gugur dalam mengemban tugasnya, “sahut Glagah Putih.

“Ya. Ia memang gugur dalam tugas mulia. Aku tahu. Tetapi kenapa anakku itu yang gugur? Kenapa bukan aku? Kenapa? Aku sudah jauh lebih lama hidup di dunia ini. Aku sudah banyak makan pahit manisnya kehidupan. Tetapi kenapa anakku yang masih sangat muda itu?”

“Tidak seorangpun yang mampu merubah garis kehidupan seseorang Paman,” berkata Glagah Putih.

Orang itu mengangguk. Sekali lagi ia mengusap matanya sambil berdesis, “Anak Muda. Kenapa kau ikut berperang? Tugas? Kewajiban? Perang adalah jalan yang terburuk untuk mencari penyelesaian tentang apapun juga. Perang adalah perlambang dari bencana bagi umat manusia.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sementara orang itu pun kemudian bangkit dan mengangkat tubuh yang sudah membeku itu.

Cahaya oncor masih nampak kemerah-merahan menyentuh tubuh-tubuh yang basah oleh keringat. Tetapi juga satu dua tubuh yang-berbaring diam.

Prajurit yang mengangkat tubuh anaknya itu berjalan menuju ke kegelapan, sebagaimana gelapnya hatinya sendiri.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, betapa sedihnya hati laki-laki yang kehilangan anaknya. Betapa sedihnya pula ibunya jika kelak suaminya datang sambil membawa berita tentang kematian anak laki-lakinya. Apalagi jika laki-laki itu juga tidak pernah pulang. Mungkin jika pertempuran terjadi lagi di medan itu, laki-laki yang kehilangan anaknya itu akan kehilangan nyawanya sendiri.

Glagah Putih memandang medan yang luas itu. Di sana-sini masih nampak oncor yang menyala. Beberapa orang masih sibuk mencari korban di bekas medan pertempuran itu.

Perang memang kejam. Perang bukan saja menelan banyak jiwa. Tetapi perang juga menelan banyak kepribadian.

Glagah Putih menengadahkan wajahnya ke langit. Betapa luasnya. Bintang yang tidak dapat dihitung jumlahnya bertebaran.

Alangkah besarnya ciptaan Yang Maha Agung. Manusia tidak lebih dari debu di hadapan-Nya. Namun di antara sesama manusia merasa dirinya dapat berbuat apa saja. Bahkan kadang-kadang dengan memaksakan kehendaknya kepada sesamanya itu.

Glagah Putih terkejut ketika Prastawa menghampirinya sambil berkata, “Nampaknya tugas kita sudah selesai. Jumlah kawan-kawan kita yang gugur dan terluka sudah kita ketahui. Semuanya sudah kita ketemukan.”

“Marilah,” sahut Glagah Putih.

Ketika keduanya meninggalkan medan, maka lamat-lamat di kejauhan terdengar suara seruling. Seakan-akan begitu saja dihanyutkan oleh angin.

Prastawa yang tubuhnya masih basah oleh keringat itu menggeram, “Orang gila itu sempat juga meniup seruling.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia teringat kepada Rudita. Ia tidak tahu apakah yang meniup seruling itu Rudita, atau orang lain, atau bahkan prajurit yang menemukan dirinya dalam kelengangan medan perang di malam hari. Namun suara seruling itu rasa-rasanya menyentuh dinding jantungnya.

“Apakah akal budi yang dikaruniakan oleh Yang Maha Agung itu sekedar dipergunakan untuk menemukan cara yang terbaik untuk membunuh sesama?” pertanyaan itu tiba-tiba saja bergema di hatinya.

Namun Glagah Putih sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia berjalan di sebelah Prastawa sambil menundukkan kepalanya. Yang terbayang adalah wajah Rudita yang sejuk, memancarkan kedamaian di harinya. Namun kemudian juga terbayang wajah anak muda dalam dukungan ayahnya. Di bawah gapaian cahaya oncor, wajah itu pun membayangkan kedamaian yang jernih. Semua persoalan yang terjadi pada dirinya sudah diselesaikan dengan tuntas.

Ketika malam itu Glagah Putih sempat menemui Agung Sedayu ketika mereka beristirahat sebelum sempat memejamkan mata mereka di sisa malam, Agung Sedayu pun berkata bahwa ia telah mendengar suara seruling di kejauhan.

“Aku tidak tahu siapakah yang telah meniup seruling itu,“ berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Tidurlah. Kau masih mempunyai sedikit waktu.”

Glagah Putih pun kemudian pergi menemui Prastawa, yang sudah berbaring di atas ketepe yang dibuat dari anyaman daun kelapa.

“Apakah kau tidak akan beristirahat?” bertanya Prastawa.

“Ya. Aku ingin tidur meskipun hanya beberapa saat,“ jawab Glagah Putih.

Glagah Putih pun kemudian berbaring di sebelah Prastawa. Juga di atas anyaman daun kelapa.

Keduanya memang sempat tidur meskipun hanya sebentar. Namun mereka telah mendapatkan kesegaran mereka kembali.

Pada saat keduanya masih tidur nyenyak di dini hari, maka Untara telah menyiapkan seluruh pasukannya. Para prajurit Mataram yang ada di Jati Anom. Semua pengawal Kademangan Sangkal Putung dan beberapa kademangan yang lain, yang menyatakan diri untuk bergabung dengan para prajurit, meskipun tidak sebesar dan sekuat para pengawal Kademangan Sangkal Putung yang berpengalaman luas. Serta para cantrik yang jumlahnya kecil, namun dengan ketegaran jiwa sebagaimana Ki Widura sendiri.

“Pada saat pasukan Pati yang besar itu bersiap, maka kita akan menyerang. Pertanda dan isyarat serta perintah dari para pemimpin mereka untuk mempersiapkan diri, merupakan perintah pula bagi kita untuk menyerang. Tetapi ingat, kita tidak sedang membunuh diri. Kekuatan kita jauh berada di bawah kekuatan pasukan Pati. Tetapi mereka tidak siap untuk bertempur. Mereka justru bersiap untuk menempuh perjalanan. Karena itu, kita akan mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menyerang dan kemudian menghilang sebelum fajar. Kita akan lebih banyak mempergunakan senjata jarak jauh. Busur dan anak panah, lembing dan bandil,” perintah Untara kepada para pemimpin di dalam pasukannya.

Dengan beberapa petunjuk, maka semuanya mengerti apa yang harus mereka lakukan.

“Kita tidak akan mungkin mengalahkan pasukan yang besar itu,“ berkata Untara, “kita hanya akan mengganggunya, sesuai dengan tugas kita di sini.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar