Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 294

Buku 294

Rara Wulan yang melihat Kanthi tersenyum itu pun ikut tersenyum pula. Bahkan di luar sadarnya Rara Wulan berkata, “Jika kau tersenyum, maka kau menjadi sangat cantik Kanthi.”

“Ah, kau Rara,“ Kanthi menjulurkan tangannya untuk mencubit lengan Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan bergeser sambil berkata, “Aku berkata sesungguhnya.”

Sekar Mirah pun tertawa. Namun Sekar Mirah tahu bahwa ada sesuatu yang meledak di hati Rara Wulan.

Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan itu berkata di dalam hatinya, “Jika Kanthi tersenyum, maka ia tidak akan kalah cantik dari Anggreni.”

Ternyata hal itu dikatakannya kepada Sekar Mirah ketika Kanthi pergi ke dapur untuk mengambil sirih.

“Apakah kau sudah pernah bertemu dengan Anggreni?” bertanya Sekar Mirah.

“Belum,” jawab Rara Wulan sambil tersenyum.

“Mungkin kau pernah bertemu dengan gadis itu dimanapun. Tetapi agaknya kau belum pernah mengenalnya secara pribadi. Tetapi kenapa justru kau yang menjadi cemburu jika seseorang menyebut Anggreni itu cantik dan bibirnya selalu dihiasi dengan senyum?”

“Ah, tidak,” sahut Rara Wulan sambil menggeleng.

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa. Aku tahu, bahwa kau merasa sangat prihatin melihat nasib Kanthi sebelumnya. Sehingga kau merasa bahwa kau sendiri-lah yang telah mengalami peristiwa yang pahit itu.”

“Ya. Agaknya memang demikian,” jawab Rara Wulan.

Namun Rara Wulan pun terdiam ketika kemudian Kanthi datang sambil membawa seberkas sirih dan kelengkapannya. Ternyata meskipun masih muda, Kanthi telah terbiasa makan sirih.

“Semula aku hanya mencoba-coba jika Ibu makan sirih,” berkata Kanthi, “namun kemudian aku sendiri menjadi pemakan sirih.”

Demikianlah maka persoalan Kanthi itu pun disampaikan kepada Agung Sedayu, dan Wacana juga minta tolong agar Agung Sedayu bersedia mewakili keluarga Wacana untuk melamar Kanthi. Agung Sedayu pun telah menyanggupinya.

“Aku juga mohon Ki Jayaraga untuk bersedia datang ke Kleringan sebagai orang yang dituakan di sini.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Tentu Ngger. Aku akan pergi Ke Kleringan dengan senang hati. Tentu berbeda dengan nafas kepergianku beberapa waktu yang lalu.”

Ketika hal itu disampaikan kepada Kanthi, maka Kanthi hanya menundukkan kepalanya saja. Ia tidak tahu bagaimana tanggapan orang tuanya terhadap permintaan Wacana itu. Bahkan Kanthi justru merasa cemas, bahwa ayah dan ibunya telah mempunyai rencana yang lain.

Tetapi Sekar Mirah berkata kepada Kanthi, “Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku yakin bahwa kedua orang tuamu tentu tidak akan berkeberatan, Kanthi. Bahkan mereka akan mengucap syukur bahwa akhirnya kau menemukan jalan yang terbaik bagi masa depanmu.”

Kanthi mengangguk-angguk. Iapun berharap bahwa kedua orang tuanya dapat menerima permintaan Wacana, yang bagi Kanthi memang merupakan jalan keluar yang terbaik.

Demikianlah, hati Wacana rasa-rasanya telah menjadi mapan. Yang dapat dilakukan adalah menunggu kepergian Ki Jayaraga, Agung Sedayu, dan tentu saja bersama dengan Sekar Mirah, ke Kademangan Kleringan, menemui kedua orang tua Kanthi.

Malam itu, baik Wacana maupun Kanthi sebelum terlena sempat berangan-angan tentang masa depannya. Langkah yang mereka ambil mereka harapkan akan menjadi alas bagi hari depan mereka yang terang, setelah mereka mengalami masa-masa yang sangat suram dan bahkan hampir saja membuat mereka berputus asa.

Ketika Ki Jayaraga dan Agung Sedayu menyatakan kesediaan mereka pergi ke Kleringan esok sore, maka kedua orang yang sedang dibayangi oleh harapan-harapan itu merasa sangat berterima kasih, karena keadaan Kanthi memang menuntut segala sesuatunya diselesaikan dengan cepat.

Bahkan Rara Wulan pun merasa sangat bergembira pula atas tanggapan Ki Jayaraga dan Agung Sedayu.

Namun ketika matahari di keesokan harinya terbit, serta Agung Sedayu sudah bersiap-siap untuk pergi ke barak, maka datang utusan Ki Gede ke rumah Agung Sedayu membawa pesan, agar sebelum berangkat ke baraknya, Agung Sedayu sempat singgah barang sebentar di rumahnya.

“Apakah ada yang penting?” bertanya Agung Sedayu yang memang sedikit menjadi berdebar-debar.

“Aku tidak tahu Ki Lurah. Ki Gede hanya berpesan agar Ki Lurah bersedia singgah barang sebentar,” jawab utusan Ki Gede.

“Baiklah,” jawab Agung Sedayu, “aku akan singgah nanti jika aku pergi berangkat ke barak.”

“Terima kasih Ki Lurah. Kesediaan Ki Lurah akan aku sampaikan kepada Ki Gede.”

Pesan Ki Gede itu memang menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Sekar Mirah sendiri memang menjadi berdebar-debar. Karena itu, maka iapun kemudian berpesan kepada Agung Sedayu ketika ia akan berangkat ke rumah Ki Gede, “Nanti, setelah Kakang menemui Ki Gede, aku harap Kakang singgah barang sebentar di rumah. Aku ingin tahu, apakah yang ingin dibicarakan Ki Gede. Jika Kakang langsung pergi ke barak, aku akan gelisah sepanjang hari sampai Kakang pulang.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku tentu akan pulang dahulu. Bukankah aku masih harus mengambil kudaku jika aku pergi ke barak.”

“Kakang tidak berkuda sekarang?” bertanya Sekar Mirah.

“Bukankah rumah Ki Gede Hanya beberapa langkah saja dari sini?”

“Mungkin Kakang ingin cepat berangkat ke barak.”

“Tidak. Hari masih pagi.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun segera berangkat ke rumah Ki Gede memenuhi panggilannya.

Ketika Agung Sedayu sampai di rumah Ki Gede, dilihatnya Ki Gede telah duduk di pringgitan bersama Swandaru.

“Marilah Ngger,“ Ki Gede mempersilahkan, “silahkan duduk.”

Agung Sedayu pun kemudian duduk pula bersama mereka. Sementara itu, Pandan Wangi pun menghidangkan minuman hangat kepada mereka yang duduk di pendapa itu. Tetapi Pandan Wangi sendiri tidak ikut duduk di antara mereka.

Ketika mereka sudah minum seteguk, maka Ki Gede pun berkata, “Angger Agung Sedayu. Aku mendapat pesan dari Prastawa, bahwa sore nanti keluarga Anggreni akan mengirimkan utusan menemui Adi Argajaya untuk menyampaikan keputusan keluarga Anggreni, kapan pernikahan Prastawa dan Anggreni itu akan dilaksanakan.”

Dahi Agung Sedayu pun segera berkerut. Ia sudah terlanjur menyanggupi Wacana untuk pergi ke Kleringan sore nanti bersama Ki Jayaraga. Sementara itu, Ki Gede tentu juga akan minta Ki Jayaraga pergi ke rumah Ki Argajaya untuk menerima utusan keluarga Anggreni.

Melihat wajah Agung Sedayu serta keragu-raguannya, maka Ki Gede pun bertanya, “Apakah nanti sore Angger Agung Sedayu ada tugas penting?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ki Gede. Sebenarnya aku sudah menyanggupi Wacana untuk pergi ke Kleringan sore nanti bersama Ki Jayaraga.”

“Untuk apa?” Swandaru-lah yang bertanya.

“Nampaknya Kanthi telah mendapat jalan keluar dari kesulitannya. Wacana, anak muda yang untuk sementara tinggal di rumahku itu, ternyata bersedia menjadi suami Kanthi. Bukan sekedar menutup malu keluarga Kanthi atau karena ia mengasihani Kanthi, serta untuk memberikan satu keadaan yang lebih baik bagi anak yang bakal hadir. Namun agaknya Wacana dan Kanthi telah menemukan persesuaian untuk dapai hidup bersama.”

“Syukurlah,” Swandaru mengangguk-angguk, “tetapi apakah Wacana itu tidak akan menjadi sangat kecewa terhadap anak yang bukan anaknya itu?”

“Wacana mengetahui keadaan Kanthi dengan pasti. Karena itu, maka ia tentu tidak akan menjadi kecewa,” jawab Agung Sedayu.

Swandaru tersenyum. Katanya, “Tetapi kepergian Kakang ke Kleringan dapat ditunda kapan saja. Kanthi tidak boleh menjadi terlalu manja, bahwa apa yang diingini harus dipenuhi. Sementara itu, keluarga kita sendiri mempunyai keperluan yang lebih penting. Selain itu, Prastawa berhak mendapat perhatian lebih besar dari Kanthi.“

“Bukan begitu, Ngger,” sahut Ki Gede, “kita harus mencari kemungkinan yang terbaik.”

“Bukankah Kanthi orang lain sama sekali bagi kita?” sahut Swandaru, “Apalagi Kanthi bukan seorang yang berkedudukan. Bahkan seorang yang telah melanggar tatanan kehidupan lingkungannya, sehingga kedudukannya menjadi sulit.”

“Semuanya itu benar,” berkata Agung Sedayu, “jika aku kemukakan bahwa aku sudah terlanjur menyatakan kesanggupanku itu, aku berharap dapat dipertimbangkan. Bukan karena siapakah Kanthi itu dan siapa pula Wacana. Kedua-duanya memang hanya orang yang menumpang di rumahku. Keduanya juga orang-orang kecil yang tidak berkedudukan. Tetapi yang berharga bagiku adalah kesanggupanku. Janjiku.”

“Jadi, apakah maksud Kakang Agung Sedayu, keluarga Anggreni harus menunda rencananya untuk datang ke rumah Paman Argajaya? Sementara itu, aku sendiri harus segera kembali ke Sangkal Putung dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Bukankah hubungan antara Mataram dan Pati menjadi semakin muram? Selain itu, maka anakku tentu sudah mulai mempertanyakan ayah dan ibunya.”

“Sebaiknya Angger Agung Sedayu berbicara lagi dengan Angger Wacana. Apakah ia tidak berkeberatan jika kepergian Angger Agung Sedayu dan Ki Jayaraga ditunda satu hari? Aku tidak memandang yang mana yang lebih berhak mendapat perhatian pertama. Bukan pula karena kedudukan masing-masing. Tetapi mana yang dapat ditunda, itu saja-lah yang ditunda.”

“Jika mereka berkeberatan?” bertanya Swandaru.

Ki Gede menarik nafas panjang. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu.

Tetapi Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Jika Wacana berkeberatan untuk ditunda, maka aku akan pergi ke Kleringan tengah hari. Sore nanti aku sudah akan berada di rumah Ki Argajaya.”

“Begitu cepat?” bertanya Swandaru.

“Kami dapat pergi berkuda,” jawab Agung Sedayu.

Namun Ki Gede-lah yang kemudian berkata, “Baiklah Ngger. Sudah tentu kami tidak menghendaki Angger Wacana dan Kanthi menjadi kecewa.”

“Ki Gede,” sahut Agung Sedayu, “aku akan berusaha untuk dapat memenuhi semuanya. Aku akan berbicara dengan Ki Jayaraga. Tetapi sekarang aku dapat menyatakan kesediaanku untuk datang sore nanti. Pergi atau tidak pergi ke Kademangan Kleringan.”

Swandaru mengerutkan dahinya. Ia memang menjadi heran, demikian besar perhatian keluarga Agung Sedayu itu terhadap Kanthi, sehingga seakan-akan justru Agung Sedayu itu dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan Kanthi.

Namun dalam pada itu, Ki Gede pun berkata, “Baiklah. Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Angger. Aku minta Angger Agung Sedayu juga menyampaikan permohonan kami kepada Ki Jayaraga, agar bersedia hadir di rumah Argajaya sore nanti.”

“Baiklah Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “kami akan datang. Aku akan datang bersama Sekar Mirah.”

Demikianlah, Agung Sedayu pun segera minta diri. Namun ia menyadari bahwa sulit baginya untuk menunda kepergiannya ke Kademangan Kleringan, justru karena ia sudah menyatakan kesediaannya. Bukan saja Wacana dan Kanthi akan menjadi sangat kecewa, tetapi tentu juga Rara Wulan akan menyesalinya.

“Memang sulit untuk mencabut sebuah janji,” berkata Agung Sedayu kepada dirinya sendiri di perjalanan pulang, “meskipun janji itu diberikan kepada pidak-pedarakan sekalipun, namun harga sebuah janji adalah sangat tinggi.”

Karena itu, Agung Sedayu memutuskan justru untuk pergi ke Kademangan Kleringan menjelang tengah hari. Ia akan pergi ke barak sebentar, mengatur tugas para prajurit, kemudian kembali pulang, sementara Ki Jayaraga sudah bersiap-siap untuk pergi ke Kademangan Kleringan.

“Tidak harus dengan Sekar Mirah,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “jika ia berkeberatan mengenakan pakaian khususnya di perjalanan ke Kleringan karena perjalanan itu harus ditempuh berkuda, maka biarlah ia tidak pergi.”

Demikian Agung Sedayu sampai di rumah, maka iapun segera berbicara dengan Sekar Mirah. Ternyata Sekar Mirah berpendapat bahwa sebaiknya Agung Sedayu pergi bertiga dengan Glagah Putih saja.

“Rasa-rasanya kurang mapan untuk pergi melamar seorang perempuan dengan pakaian khusus,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Agung Sedayu tersenyum Katanya, “Apa salahnya?”

“Aku dapat menjadi tontonan di Kleringan, karena agaknya di sana belum terbiasa seorang perempuan mengenakan pakaian khusus seperti pakaianku,” jawab Sekar Mirah yang justru tertawa.

Agung Sedayu pun tertawa pula. Namun kemudian suaranya merendah, “Aku tidak sampai hati untuk menunda kepergianku ke Kademangan Kleringan. Wacana dan Kanthi tentu berharap agar persoalannya segera dipecahkan, sehingga keduanya tidak lagi terombang-ambing oleh ketidakpastian. Berbeda dengan keluarga Prastawa, yang agaknya tinggal menetapkan hari pernikahan saja.”

“Selain itu, Rara Wulan tentu akan marah. Diungkapkan atau tidak diungkapkan,” sahut Sekar Mirah.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah aku berbicara dengan Ki Jayaraga.”

“Tetapi bukankah Kakang akan pergi ke barak lebih dahulu? Matahari sudah naik,” berkata Sekar Mirah.

“Ya. Tetapi aku akan berbicara dengan Ki Jayaraga sebentar saja.”

Agung Sedayu memang menyempatkan diri berbicara dengan Ki Jayaraga sejenak. Baru kemudian ia meninggalkan rumahnya, pergi ke barak. Agung Sedayu menyerahkan kepada Ki Jayaraga agar memberitahukan kepada Glagah Putih bahwa mereka akan pergi ke Kleringan menjelang tengah hari, agar di sore hari mereka telah berada di Tanah Perdikan itu kembali.

“Ki Jayaraga tidak usah pergi ke sawah,” pesan Agung Sedayu sambil tersenyum.

Tetapi Ki Jayaraga menjawab, “Seandainya aku pergi, bukankah aku dapat menyesuaikan diri?”

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah pergi ke baraknya. Tetapi ia berniat untuk segera kembali, setelah membagi tugas bagi para prajurit di barak Pasukan Khusus itu.

Di rumah, Ki Jayaraga pun telah memberitahukan kepada Glagah Putih bahwa ia harus bersiap sebelum tengah hari untuk pergi ke Kademangan Kleringan.

“Kenapa sebelum tengah hari?” bertanya Glagah putih.

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun karena yang ada hanya Glagah Putih, maka iapun telah mengatakan, apa alasannya sehingga mereka harus berangkat menjelang tengah hari, sebagaimana dipesankan oleh Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia tidak banyak memberikan tanggapan.

Ketika Wacana dan Rara Wulan mengetahui bahwa Agung Sedayu akan berangkat lebih awal, maka merekapun bertanya-tanya meskipun hanya di dalam hati. Namun keduanya tidak mengemukakan pertanyaan itu kepada siapapun juga.

Bahkan Rara Wulan juga menjadi heran. Tetapi tidak seperti Wacana dan Kanthi, maka Rara Wulan pun telah bertanya kepada Sekar Mirah, kenapa waktunya justru menjadi maju, meskipun hanya kurang dari setengah hari.

“Kakangmu Agung Sedayu mendapat tugas di sore hari Rara, sementara ia tidak ingin membatalkan janjinya. Karena itu, maka ia memilih untuk berangkat lebih awal bersama dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih.”

“Mbokayu tidak berangkat?” bertanya Rara Wulan.

“Besok Rara, jika persoalannya sudah menjadi jelas. Kami tentu akan datang untuk mematangkan pembicaraan,” jawab Sekar Mirah.

Rara Wulan memang agak kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksakan kehendaknya. Bahwa Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bersedia pergi ke Kademangan Kleringan sudah merupakan satu kemurahan hati bagi Kanthi, yang menurut gelar lahiriahnya sama sekali bukan sanak kadangnya.

Demikianlah, Agung Sedayu memang tidak terlalu lama berada di baraknya. Setelah memberikan perintah-perintah kepada para pemimpin kelompok dalam pasukannya, maka Agung Sedayu pun telah minta diri.

“Ada sesuatu yang penting dalam keluarga kami,” berkata Agung Sedayu kepada pemimpin kelompok tertua di barak Pasukan Khusus itu. Sementara itu Ki Lurah Branjangan sedang tidak ada di barak, tetapi Ki Lurah sedang menengok anak dan cucunya di Mataram.

Nampaknya Ki Lurah Branjangan yang sudah menjadi semakin tua itu tidak lagi banyak terikat pada satu kewajiban di barak Pasukan Khusus itu.

Dengan demikian, maka sebelum tengah hari Agung Sedayu memang sudah ada di rumahnya. Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun sudah siap pula. Karena itu, setelah minum beberapa teguk serta sedikit berbenah diri, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun segera berangkat ke Kademangan Kleringan.

Ketika tiga orang berderap, maka kuda Glagah Putih yang berada di paling belakang, memang nampak paling besar dan paling tegar dari kedua ekor kuda yang lain.

Kedatangan ketiga orang itu di rumah Ki Suracala sedikit lewat tengah hari itu memang mengejutkan. Ayah dan ibu Kanthi pun menjadi berdebar-debar. Mereka mengira sesuatu telah terjadi dengan Kanthi.

“Kenapa selama ini kami belum pernah menengoknya?“ keluh orang tua Kanthi di dalam hatinya.

Namun menilik wajah-wajah yang terang, maka orang tua Kanthi itu memang sedikit terhibur. Agaknya mereka memang tidak membawa berita duka tentang Kanthi.

Setelah duduk sejenak, sementara Nyi Suracala pergi ke dapur serta kedua belah pihak sudah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Suracala yang nampaknya tidak sabar lagi, segera bertanya, “Kami minta maaf Ki Jayaraga, Angger Agung Sedayu dan Angger Glagah Putih, bahwa kami tergesa-gesa mohon keterangan. Apakah kedatangan kalian membawa sesuatu yang penting tentang Kanthi, atau tentang hal-hal yang lain?”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa kedatangan kami akan dapat mengejutkan keluarga ini. Tetapi sebenarnyalah kami tidak membawa berita yang dapat menimbulkan keresahan bagi keluarga ini. Sehingga karena itu, maka keluarga ini tidak perlu menjadi gelisah.”

“Syukurlah,” Ki Suracala mengangguk-angguk, “kami minta maaf bahwa kami tergesa-gesa ingin mengetahuinya. Tetapi jika ternyata memang tidak ada berita yang dapat membuat kami resah, maka kami tidak akan mendesak-desak Ki Jayaraga untuk mengatakannya, meskipun keinginan untuk mengetahui kepentingan Ki Jayaraga demikian besarnya.”

Ki Jayaraga tertawa pendek, “Baiklah. Kami akan segera menyampaikannya, agar pertemuan ini tidak dibayangi oleh kegelisahan. Kami tahu, bagaimanapun juga berita tentang Kanthi merupakan berita yang sangat penting bagi Ki Suracala sekeluarga.”

“Ki Jayaraga benar,” jawab Ki Suracala.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia pun kemudian menyampaikan kepentingannya datang ke Kademangan Kleringan.

Akhirnya Ki Jayaraga itu berkata, “Ki Suracala. Menurut pendapat kami, hal itu adalah yang terbaik bagi Kanthi. Ia akan dapat menemukan kembali hari depannya yang seakan-akan telah hilang darinya.”

Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah pendengaranku ini tidak salah?”

“Tidak, Ki Suracala. Ki Suracala mendengar sebagaimana aku katakan,” jawab Ki Jayaraga.

Namun tiba-tiba Ki Suracala itu bangkit dan dengan tergesa-gesa melangkah ke pintu pringgitan sambil berdesis, “Aku akan memanggil Nyi Suracala.”

Dengan tergesa-gesa Ki Suracala pergi ke dapur. Dengan serta-merta ditariknya tangan Nyi Suracala yang sedang membuat minuman.

“Ada apa Kakang?” bertanya Nyi Suracala yang menjadi berdebar-debar.

“Marilah, ikut aku.”

“Tetapi minuman ini?” bertanya Nyi Suracala.

“Tinggalkan saja dahulu. Ada suatunya yang penting buat kita,” sahut Ki Suracala.

“Ada apa dengan Kanthi? Ada apa?” desak Nyi Suracala.

Ki Suracala tidak menjawab. Tetapi ditariknya Nyi Suracala ke pringgitan.

Nyi Suracala memang menjadi tegang. Tetapi ia melihat ketiga orang tamunya itu justru tersenyum.

“Apa yang terjadi?” bertanya Nyi Suracala dengan jantung yang berdebar-debar.

“Tenang, Nyi, tenang,” Ki Suracala mencoba menenangkan istrinya, tetapi ia sendiri tidak segera menjadi tenang.

Ki Jayaraga tersenyum melihat sikap Ki Suracala dan Nyi Suracala. Demikian pula Agung Sedayu dan Glagah Putih. Namun mereka dapal mengerti gejolak perasaan di hati kedua orang suami istri itu.

Karena itu, untuk meredakan gejolak perasaan kedua orang tua itu, maka Ki Jayaraga telah mengulangi keterangannya tentang keinginan Wacana untuk mengambil Kanthi sebagai istrinya.

Nyi Suracala tidak dapat menahan air matanya. Perempuan itu telah menangis terisak-isak.

Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih justru terdiam beberapa saat. Mereka membiarkan Nyi Suracala menumpahkan perasaannya lewat tangisnya.

Baru kemudian, Nyi Suracala itu mulai dapat merenungi keadaan. Ia mulai dapat melihat persoalan Kanthi itu dengan hati yang bening.

Karena itu, maka iapun mulai bertanya, “Ki Jayaraga. Apakah laki-laki yang akan mengambil Kanthi menjadi istrinya itu sudah mengetahui keadaan Kanthi seluruhnya?”

“Sudah, Nyi,” jawab Ki Jayaraga, “orang itu bernama Wacana. Ia juga pernah mengalami goncangan perasaan seperti Kanthi. Ia pernah mencintai saudara sepupunya sendiri, sementara sepupunya menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Karena itu, maka orang itu pun pernah merasa kehilangan dan berputus-asa. Ia menantang untuk berperang tanding seorang laki-laki yang ia ketahui memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ilmunya. Agaknya ia berharap bahwa ia akan mati dalam perang tanding itu. Tetapi ternyata tidak. Lawannya perang tanding ternyata bukan seorang pembunuh.”

Nyi Suracala mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bertanya, “Bagaimana menurut pendapat Ki Jayaraga, sikap Kanthi sendiri?”

“Nampaknya Kanthi dapat menerima kenyataan tentang dirinya dan tentang laki-laki itu. Kami langsung bertanya kepada Kanthi. Dan Kanthi menyatakan kesediaannya untuk menerima laki-laki itu sebagai suaminya.”

“Apakah laki-laki itu menaruh belas kasihan kepada Kanthi, sehingga ia bersedia untuk berkorban?” bertanya Ki Suracala.

“Tidak. Meskipun unsur-unsur itu ada pula, tetapi bukan itu dasarnya. Sebelum keduanya berterus terang, keduanya sudah saling mengenal. Mereka sudah mencoba untuk saling mengetahui sifat dan watak masing-masing.”

“Syukurlah,” berkata Ki Suracala, “kami hanya dapat mengucap syukur kepada Yang Maha Agung.”

“Baiklah Ki Suracala. Kanthi tentu akan sangat bergembira jika ayah dan ibunya merestuinya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang baik, yang akan dapat menjadi seorang suami yang mengerti tentang dirinya,” berkata Ki Jayaraga.

“Nah, Nyi,” berkata Ki Suracala kemudian, ”sekarang kau dapat kembali ke dapur. Tamu kita tentu sudah merasa sangat haus setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang.”

Nyi Suracala pun kemudian mempersilahkan tamunya untuk duduk bersama Ki Suracala, sementara ia sendiri akan pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangannya.

Baru sejenak kemudian, Nyi Suracala sempat duduk lagi di pendapa bersama suaminya dan tamu-tamunya.

Sambil minum-minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, mereka telah berbicara tentang langkah-langkah berikutnya, setelah pada dasarnya kedua orang tua Kanthi tidak berkeberatan.

“Dengan demikian, Kanthi akan kami minta kembali. Baru kemudian kita akan membicarakan pelaksanaan dari pernikahan itu.” berkata Ki Suracala kemudian.

“Sebaiknya memang demikian,” berkata Ki Jayaraga, “kami akan mengantarkan Kanthi dalam sepekan ini. Sementara kita dapat menyiapkan segala sesuatunya. Kami akan mewakili orang tua Wacana untuk membicarakan langkah-langkah selanjutnya, justru waktunya sudah menjadi semakin sempit bagi Kanthi. Baru kemudian persoalannya akan dibawa Wacana kepada orang tuanya. Tetapi menurut Wacana, tentu tidak akan ada kesulitan apapun juga. Apalagi Wacana sendiri sudah cukup dewasa. Sebagai seorang laki-laki, setelah ia dewasa maka ia akan dapat bertindak atas namanya sendiri.”

Kedua orang tua Kanthi mengangguk-angguk. Sementara itu, di hati mereka telah tumbuh harapan yang semula telah pupus. Mereka sebelumnya sama sekali tidak melihat jalan yang terang yang akan dapat dilalui oleh Kanthi dalam keadaannya itu.

Dalam pada itu, setelah beberapa lama ketiga orang tamu dari Tanah Perdikan Menoreh itu duduk ditemui oleh Ki Suracala, maka mereka pun segera minta diri. Namun Ki Suracala dan Nyi Suracala masih menahan mereka untuk makan lebih dahulu.

Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak dapat menolak. Namun demikian mereka beristirahat sejenak setelah makan, maka mereka pun segera minta diri.

“Begitu tergesa-gesa?” bertanya Ki Suracala.

“Masih ada pekerjaan yang menunggu sore nanti, Ki Suracala,” jawab Ki Jayaraga.

Ki Suracala dan Nyi Suracala memang tidak dapat menolak ketika ketiga orang itu kemudian minta diri.

Demikianlah, sejenak kemudian ketiga orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu sudah berderap di atas punggung kudanya. Sepanjang jalan, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berbicara tentang keluarga Kanthi yang menerima berita tentang Kanthi dengan gembira itu.

“Mudah-mudahan untuk selanjutnya Kanthi dapat mengalami kehidupan yang baik. Tidak usah berlebihan, asal keluarganya itu dapat hidup tenang dan tenteram,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

“Mudah-mudahan,” sahut Agung Sedayu, “pengalaman pahit yang pernah mereka lalui itu akan dapat memberikan banyak ajaran tentang hidup dan kehidupan.”

Namun kemudian Agung Sedayu itu pun berpaling kepada Glagah Putih sambil berkata, “Glagah Putih, kau yang masih muda, perlu banyak belajar dari pengalaman orang lain. Kau dapat memetik nilai-nilai yang berarti dalam kehidupanmu kelak.”

Glagah Putih mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya, Kakang.”

“Dengan demikian kau tidak akan terjerumus kedalam kesalahan yang sama,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Terdengar Glagah Putih menjawab lagi, “Ya, Kakang.”

Sementara itu, kuda mereka pun berlari semakin cepat. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga harus segera berada di rumah Ki Argajaya. Agung Sedayu juga sudah berjanji untuk datang ke rumah Ki Argajaya, menerima utusan dari keluarga Anggreni.

Perjalanan dari Kademangan Kleringan memang tidak terlalu lama ditempuh berkuda. Karena itu, maka sebelum waktu yang ditentukan, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu sudah berada di rumah Ki Gede, untuk bersama-sama pergi ke rumah Ki Argajaya, bersama dengan Sekar Mirah.

Sebagaimana yang sudah diduga, tidak ada masalah lagi dalam pembicaraan dengan keluarga Anggreni. Mereka hanya membawa ketetapan waktu yang paling baik bagi saat pernikahan Prastawa dan Angfreni.

Dengan kesadaran bahwa mereka tidak akan dapat menunggu terlalu lama, justru karena mendung yang menggelantung di atas hubungan antara Mataram dan Pati, maka pernikahan Prastawa dengan Anggreni itu pun akan diselenggarakan secepat mungkin, tetapi tidak meninggalkan perhitungan.

Menurut pendapat orang-orang tua di lingkungan keluarga Anggreni, maka pernikahan itu dapat dilangsungkan pekan kedua bulan berikutnya. Tepat pada hari lahir Anggreni sendiri.

“Dihitung sejak sekarang, masih ada waktu kira-kira satu bulan lagi,” berkata orang tertua dari utusan keluarga Anggreni itu.

Ternyata keluarga Ki Argajaya tidak berkeberatan. Apalagi kesibukan akan lebih banyak dilakukan di rumah keluarga Anggreni itu sendiri.

Sebenarnyalah bahwa memang tidak ada masalah lagi pada pembicaraan antara keluarga Anggreni dan keluarga Prastawa. Hampir semua persoalan dapat disetujui oleh kedua belah pihak.

Setelah dijamu minuman, makanan dan bahkan kemudian makan, maka utusan keluarga Anggreni itu pun telah minta diri.

Sementara itu, Ki Jayaraga, Agung Sedayu suami istri, dan Ki Gede serta Swandaru suami istri masih tinggal untuk beberapa saat di rumah Ki Argajaya. Mereka masih berbicara tentang rencana hari pernikahan. Mereka membicarakan apa saja yang harus mereka persiapkan.

“Aku besok lusa akan kembali ke Sangkal Putung,” berkata Swandaru, “dua atau tiga hari sebelum hari pernikahan, aku akan datang lagi kemari. Kecuali jika ada perinlah khusus dari Mataram dalam hubungannya dengan Pati.”

“Jangan terlalu dekat,” sahut Ki Gede, “aku memerlukan kawan untuk ikut membicarakan upacara pernikahan itu selain ayah Prastawa, karena Prastawa kebetulan juga seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan, sehingga secara resmi Tanah Perdikan juga terlibat dalam kerja ini.”

Swandaru tertawa. Katanya, “Bukankah di sini sudah ada beberapa orang yang dapat diajak berbincang? Di sini ada Ki Jayaraga, ada Kakang Agung Sedayu, dan beberapa orang tua yang lain.”

“Tetapi rasa-rasanya aku memerlukan kalian berdua,” jawab Ki Gede.

“Baiklah,” desis Swandaru, “jika saja tidak ada persoalan yang sangat penting, kami akan datang sebelumnya.”

Namun ketika kemudian Prastawa datang dan duduk di antara mereka, maka tiba-tiba iapun bertanya, “Bagaimana dengan hasil pembicaraan Ki Jayaraga dan Ki Lurah Agung Sedayu di Kademangan Kleringan?”

Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Ternyata Prastawa masih juga menyisakan perhatiannya kepada Kanthi.

Dengan nada dalam Ki Jayaraga berkata, “Nampaknya tidak akan ada hambatan yang berarti. Kedua orang tua Kanthi menyerahkan segala sesuatunya kepada Kanthi sendiri untuk mengambil keputusan. Karena Kanthi pun yang paling mengetahui kemungkinan yang terbaik baginya.”

“Syukurlah,” berkata Prastawa, “bagaimanapun juga, aku merasa terkait dalam persoalannya yang kemudian menjadi rumit itu.”

“Kau tidak usah menambah beban perasaanmu dengan persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak perlu kau pikirkan,” Swandaru pun telah menyahut pula.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara Prastawa pun berkata, “Nalarku memang mengatakan demikian Kakang. Tetapi perasaanku ternyata tidak sejalan. Setiap kali aku teringat Kanthi. maka aku ikut menjadi berdebar-debar.”

Swandaru tertawa. Dengan nada tinggi berkata, “Jika demikian, maka segala sesuatu akan tersangkut di dalam hatimu. Sedikit demi sedikit akan bertumpuk, sehingga akhirnya akan menjadi beban yang tidak terangkat.”

Prastawa termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya ada sesuatu yang akan dikatakan. Tetapi Prastawa masih harus menahan diri.

Mereka ternyata tidak terlalu lama lagi berada di rumah Ki Argajaya. Berulang kali Ki Argajaya mengucapkan terima kasih ketika tamu-tamunya minta diri.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih akan singgah di rumah Ki Gede, sementara Ki Jayaraga langsung pulang ke rumah Agung Sedayu.

Di rumah Ki Gede, Swandaru sekali lagi memberitahukan kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah, bahwa besok lusa Swandaru dan Pandan Wangi akan kembali akan ke Sangkal Putung.

“Besok lusa kami akan berangkat pagi-pagi sekali,” berkata Swandaru. “Selain aku sudah terlalu lama meninggalkan tugas-tugasku, agaknya anakku tentu sudah selalu mempertanyakan ayah dan ibunya.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah Agung Sedayu pun berkata, “Besok lusa, pagi-pagi sekali aku akan datang kemari.”

“Terima kasih,“ jawab Swandaru, “bahkan aku berharap Kakang berdua pergi ke Sangkal Putung barang satu dua hari. Ayah selalu menanyakan Sekar Mirah.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil Sekar Mirah itu berkata, “Aku sebenarnya juga merasa rindu untuk menemui keluarga di Sangkal Putung. Tetapi entahlah, kapan aku akan dapat sampai ke sana.”

“Kalau kau dapat pulang sekitar dua pekan sebelum hari pernikahan Prastawa, maka kita akan dapat bersama-sama menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan ini,” berkata Swandaru.

Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Tetapi agaknya para prajurit harus bersiaga di barak masing-masing.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tetapi mudah-mudahan Kakang Agung Sedayu sempat meninggalkan baraknya barang satu dua hari.”

Agung Sedayu tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kecil ia menyahut, “Mudah-mudahan kami mendapatkan waktu itu.”

Hari pun kemudian menjadi gelap. Ketika lampu-lampu telah menyala, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun minta diri untuk pulang.

Dalam pada itu, perasaan Wacana dan Kanthi rasa-rasanya tidak lagi dibebani oleh ketegangan. Mereka berdua rasa-rasanya telah melihat sebuah pintu yang terbuka, setelah beberapa lama mereka terkungkung di dalam ruangan yang gelap. Seberkas cahaya rasa-rasanya telah terlempar jatuh ke dalam, menembus kegelapan.

Agung Sedayu yang secara khusus berbicara dengan Sekar Mirah dan Ki Jayaraga, berkesimpulan bahwa sebaiknya hari pernikahan Wacana dilangsungkan lebih dahulu dari Prastawa, karena mereka menyadari bahwa upacara pernikahan itu tentu akan jauh berbeda. Pernikahan Wacana dan Kanthi akan dilangsungkan dalam keadaan yang jauh lebih sederhana.

“Aku akan berbicara dengan Prastawa sendiri,” berkata Agung Sedayu, “aku harap ia dapat mengerti, kenapa justru pernikahan Wacana dan Kanthi sebaiknya diselenggarakan lebih dahulu. Jika pernikahan Wacana dan Kanthi yang diselenggarakan dengan cara yang sederhana itu dilakukan lebih dahulu, maka rasa-rasanya suasana pernikahan yang diselenggarakan itu akan jauh lebih besar dan lengkap.”

“Prastawa tentu dapat mengerti,” desis Ki Jayaraga.

Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Wacana, maka anak muda itu berkata, “Aku menyerahkan segala sesuatunya kepada keluarga di sini. Aku sangat merasa berhutang budi kepada seisi rumah ini.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau tidak perlu merasa berhutang budi. Bukankah kita memang berkewajiban saling menolong?”

Wacana menundukkan kepalanya. Terbayang kembali di dalam angan-angannya, saat ia datang ke Tanah Perdikan itu. Ia datang untuk melepaskan dendamnya kepada Sabungsari, yang dianggapnya telah menjadi penghalang niatnya untuk mendapatkan seorang gadis yang masih sanak kadangnya sendiri. Wacana masih ingat jelas, bagaimana ia dikalahkan oleh Sabungsari dengan cara yang khusus.

“Jika saja Sabungsari itu seorang pembunuh,” katanya di dalam hati, “aku tentu tidak akan pernah bertemu dengan Kanthi.”

Bukan saja Sabungsari telah membiarkannya hidup, tetapi seisi rumah itu pun bersikap baik kepadanya.

Dengan demikian, maka mereka pun telah memutuskan bahwa pernikahan Wacana dengan Kanthi akan dilakukan sebelum pernikanan Prastawa dengan Anggreni. Namun segala sesuatunya tentu masih juga tergantung keluarga Kanthi sendiri.

Dalam pada itu, ketika saatnya tiba, maka pagi pagi sekali Agung Sedayu, Sekar Mirah, bahkan Glagah Putih, telah berada di rumah Ki Gede. Hari itu Swandaru dan Pandan Wangi akan kembali ke Kademangan Sangkal Putung, setelah beberapa lama mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam kesempatan itu, Swandaru masih sempat berkata kepada Agung Sedayu, “Kakang, sebagai murid tertua dari perguruan Orang Bercambuk, maka Kakang mempunyai hak untuk menentukan dimana kitab guru itu harus disimpan. Mungkin Kakang masih memerlukannya, sehingga terserah kepada Kakang.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ia sudah terbiasa dengan sifat adik seperguruannya itu. Karena itu, tanpa timbul kesan apapun di dalam hatinya, ia menjawab, “Guru memberi kesempatan yang sama kepada kita untuk mempelajari isi kitab itu. Sebaiknya kapan kita masing-masing memerlukan, maka ia akan menyimpan kitab itu.”

“Aku setuju. Tetapi nampaknya Kakang lebih memerlukan daripada aku. Karena itu, maka biarlah Kakang menyimpan kitab itu. Jika pada saatnya aku memerlukannya, maka aku akan mengatakannya kepada Kakang,” berkata Swandaru kemudian.

“Baiklah,” jawab Agung Sedayu, “aku akan menyimpannya dengan baik.”

Glagah Putih mendengar pembicaraan itu. Nampak dahinya berkerut. Tetapi ia tidak berani dan merasa tidak berhak untuk menyatakan pendapatnya. Bahkan Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun tidak mencampuri pembicaraan kedua orang saudara seperguruan itu. Meskipun demikian, Sekar Mirah dan bahkan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar mendengarnya.

Dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi pun kemudian telah minta diri kepada semua orang yang datang untuk melepaskan keberangkatannya. Di antara mereka terdapat pula Ki Argajaya dan Prastawa.

Kepada Sekar Mirah, Pandan Wangi sempat berdesis, “Salamku buat Rara Wulan. Aku kira ia akan ikut bersamamu datang kemari pagi ini.”

“Ia harus menemani Kanthi di rumah,” jawab Sekar Mirah.

Mendengar jawab Sekar Mirah itu, Swandaru berpaling. Ia sudah terlalu banyak mendengar nama Kanthi disebut-sebut. Namun Pandan Wangi-lah yang mendahuluinya, “Ya. Bagaimanapun juga Kanthi masih memerlukan seseorang yang dapat menjadi kawan untuk membantunya membawa beban.”

Swandaru menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Demikianlah, menjelang matahari terbit, Swandaru dan Pandan Wangi meninggalkan rumah Ki Gede kembali ke Sangkal Putung. Dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, maka Swandaru akan menempuh berjalanannya yang cukup panjang.

Ketika mereka keluar dari regol di mulut jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, langit sudah menjadi semakin cerah. Berkas-berkas cahaya matahari yang kekuning-kuningan telah menusuk awan yang selembar-selembar dihanyutkan angin pagi.

Swandaru dan Pandan Wangi mulai melarikan kuda mereka, meskipun tidak terlalu kencang.

Keduanya telah memilih menyeberang di penyeberangan sisi selatan. Mereka berniat untuk menempuh perjalanan melewati Mataram. Hanya untuk sekedar melihat-lihat. Karena itu, maka Pandan Wangi telah menyesuaikan pakaiannya dengan perjalanan yang ingin ditempuhnya, sehingga Pandan Wangi menurut ujudnya tidak ubahnya sebagai seorang laki-laki. Baju lurik ketan ireng yang longgar, serta rambut yang rapi disanggul di bawah ikat kepalanya, sebagaimana juga Swandaru yang rambutnya terhitung panjang, meskipun tidak sepanjang rambut Pandan Wangi.

Swandaru dan Pandan Wangi memang tidak menarik perhatian di sepanjang perjalanan mereka. Setiap orang yang berpapasan atau yang kebetulan melihat keduanya saat keduanya mendahului mereka, tidak seorangpun yang mengira bahwa seorang di antara keduanya adalah seorang perempuan.

Namun Pandan Wangi memang harus menjaga diri jika ia berbicara sehingga tidak didengar oleh orang lain kecuali Swandaru, karena suara Pandan Wangi akan dapat menarik perhatian orang lain jika mereka mendengarnya.

Ketika keduanya menyeberangi Kali Praga dengan rakit bersama-sama dengan beberapa orang yang lain, maka Pandan Wangi benar-benar harus memandangi wajah Swandaru yang berkerut. Bahkan kadang-kadang Pandan Wangi hampir tidak dapat menahan tertawanya, justru mentertawakan dirinya sendiri.

Untunglah bahwa orang-orang yang kebetulan bersama mereka di atas rakit yang sama, sama sekali tidak menghiraukan keduanya. Sehingga keduanya kemudian meninggalkan tepian tanpa hambatan apapun juga.

Demikian pula perjalanan mereka sampai di Mataram.

Demikian mereka memasuki gerbang kota, maka Swandaru pun segera merasakan kesiagaan Mataram yang tinggi. Beberapa orang prajurit bersiaga di sebuah gardu dekat pintu gerbang. Demikian pula para prajurit yang meronda di jalan-jalan. Bukan saja di jalan-jalan utama, tetapi bahkan di jalan-jalan kecil pun rasa-rasanya tidak luput dari pengamatan para prajurit yang meronda.

Terasa betapa udara yang panas yang berhembus dari Pati telah menghangatkan suasana di Mataram.

Dengan demikian maka Swandaru pun menduga bahwa para pemimpin di Mataram telah memperhitungkan bahwa kemungkinan yang terbesar akan terjadi perang. Nampaknya segala usaha yang ditempuh selama ini tidak menemukan jalan keluar. Agaknya kedua belah pihak tetap berpegang pada sikap mereka masing-masing.

“Seharusnya Mataram tidak perlu menunda-nunda lagi,” berkata Swandaru.

“Agaknya selama ini Mataram masih melihat satu kemungkinan betapapun kecilnya, untuk mencari penyelesaian tanpa kekerasan,” sahut Pandan Wangi.

Tetapi Swanrjaru itu menggeleng sambil berdesis, “Yang betapapun kecilnya itu ternyata hanya sebuah mimpi buruk saja.”

“Tetapi bagaimanapun juga, para pemimpin di Mataram dan di Pati tentu tidak akan menutup mata tentang satu kemungkinan yang pahit jika perang pecah,” berkata Pandan Wangi.

“Jika demikian, maka kedua belah pihak harus bersedia mengorbankan kepentingan mereka masing-masing meskipun serba sedikit. Bukankah wajar, jika kedua belah pihak berkeras untuk mempertahankan sikap masing-masing, kemudian timbul perang? Perang memang sama artinya dengan pembunuhan, kekerasan, kekejian dan tingkah laku lainnya yang dibenci orang. Tetapi bukankah kita tahu bahwa untuk menghindari perang harus ada satu persetujuan? Bagaimana mungkin kita ingin menghindari perang sekaligus ingin menghindari satu persetujuan, karena masing-masing berpijak pada sikapnya? Betapapun masing-masing pihak meneriakkan usaha menghindari perang dan menuduh pihak yang lain memaksakan kekerasan, tetapi tanpa disertai kesediaan untuk memberi dan menerima, bagaimana mungkin perang itu dapat dihindari? Di satu pihak, dengan melanggar paugeran bebrayan agung telah menuduh pihak yang lain melanggar paugeran bebrayan agung itu. Bukankah ini tidak lebih pikiran yang menyimpang dari penalaran wajar?”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia mengangguk. Memang apa yang terjadi antara Pati dan Mataram adalah sikap keras dari masing-masing pihak.

Dalam pada itu, Swandaru pun berdesis pula, “Menurut pendapatku, akan terjadi perang antara Pati dan Mataram.”

“Dengan menunda terjadinya perang, masih ada kemungkinan untuk menemukan titik temu itu, Kakang. Mungkin sesuatu tiba-tiba mencuat dari satu pihak. Satu gagasan yang memungkinkan dicapainya satu persetujuan. Tetapi jika perang itu sudah terjadi, maka kemungkinan seperti itu tidak akan ada,” desis Pandan Wangi.

Swandaru tertawa. Katanya, “Aku dapat mengerti jalan pikiranmu. Tetapi dalam persoalan Mataram dan Pati, nampaknya kesempatan seperti itu tidak akan pernah ada.”

“Doa dari mereka yang membenci dan ketakutan menghadapi peperangan mungkin akan dapat berpengaruh,” desis Pandan Wangi.

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Demikianlah, keduanya pun telah melintasi jalan-jalan kota Mataram. Beberapa saat kemudian, mereka telah keluar dari pintu gerbang di sisi yang lain. Apa yang mereka lihat di Mataram, menunjukkan kepada mereka bahwa Mataram telah sampai pada satu kesiagaan tertinggi untuk menghadapi Pati.

Demikian Swandaru dan Pandan Wangi lepas dari pintu gerbang kota, maka kuda mereka pun berlari semakin cepat menuju ke Sangkal Putung.

Keduanya tidak mengalami hambatan yang berarti di perjalanan. Mereka memang harus berhenti di sebuah kedai untuk beristirahat. Juga memberi kesempatan kuda mereka beristirahat. Di dalam kedai itu, Pandan Wangi harus benar-benar menjaga diri agar suaranya tidak didengar dan menarik perhatian orang lain.

Namun kemudian, mereka telah meneruskan perjalanan mereka dengan selamat sampai ke Sangkal Putung.

Betapa rindunya Pandan Wangi kepada anaknya, sehingga begitu ia meloncat turun dari kudanya, maka iapun segera berlari-lari mencari anaknya yang tidak menyongsongnya.

Di Tanah Perdikan Menoreh, ketika senja turun, Agung Sedayu telah menemui Prastawa yang kebetulan sedang berada di banjar. Dengan berterus-terang Agung Sedayu minta pengertian Prastawa, bahwa keluarganya merencanakan untuk mengadakan upacara pernikahan Wacana dan Kanthi sebelum hari pernikahan Prastawa.

“Tidak ada maksud apa-apa, Prastawa, selain sekedar memberikan sedikit kesan kepada pernikahan itu. Jika pernikahanmu dilaksanakan lebih dahulu, maka pernikahan Wacana dan Kanthi akan tenggelam. Setidak-tidaknya kesannya bagi Wacana sendiri.”

Ternyata Prastawa dengan hati terbuka menjawab, “Silahkan Ki Lurah. Aku sama sekali tidak mempunyai keberatan apa-apa. Bahkan aku akan mendapat kesempatan untuk membantu terselenggaranya pernikahan itu.”

“Terima kasih,” desis Agung Sedayu sambil mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Bagaimana dengan Ki Gede dan Ki Argajaya?”

“Tidak akan ada masalah pada keduanya. Aku sendiri akan menyampaikan hal itu kepada mereka. Ayah dan Paman tentu akan ikut merestuinya,” jawab Prastawa.

Dengan demikian, maka rasa-rasanya sudah tidak akan ada hambatan yang berarti lagi. Nampaknya segala pihak telah memberikan isyarat bahwa pernikahan itu akan dapat berlangsung dengan lancar.

Demikianlah, maka melalui pembicaraan-pembicaraan yang terus-menerus, telah ditentukan waktunya pula untuk mengantarkan Kanthi pulang. Seperti saat mereka pergi ke Tanah Perdikan, maka Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan akan mengantar Kanthi pulang ke rumahnya.

Sementara itu, Glagah Putih-lah yang hilir mudik menjadi penghubung antara keluarga Kanthi dengan keluarga Ki Lurah Agung Sedayu, yang mengambil alih kedudukan orang tua Wacana yang masih belum sempat dihubungi.

Namun menurut Wacana, mereka tidak usah memikirkannya, karena menurut pendapat Wacana tidak akan ada persoalan dari orang tuanya maupun pamannya di Mataram.

Ketika sampai pada waktunya Kanthi harus pulang ke rumahnya, maka terasa betapa beratnya meninggalkan rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu. Bukan karena di rumah itu ada Wacana, tetapi justru karena ia merasa di rumah itu ia mendapat perlindungan, sehingga ia menemukan ketenangan. Bahkan kemudian di rumah itu pula ia menemukan kembali hari depanya yang rasa-rasanya sudah hilang.

Tetapi Kanthi pun menyadari bahwa ia memang harus pulang. Semakin dekat saatnya hari pernikahannya, maka ia harus sudah berada di rumahnya.

Seperti saat Kanthi pergi ke Tanah Perdikan, maka perjalanan kembali ke Kademangan Kleringan itu pun Kanthi diantar oleh Ki Jayaraga, Rara Wulan dan Glagah Putih. Juga seperti saat Kanthi pergi, maka Kanthi pun minta diantar pulang di malam hari.

Justru karena Kanthi semakin mengenali siapakah Ki Jayaraga, Rara Wulan dan Glagah Putih, maka iapun sama sekali tidak merasa gentar berjalan di malam hari. Seandainya mereka bertemu dengan binatang buas sekalipun, Kanthi tidak perlu menjadi ketakutan.

Perjalanan kembali itu pun ditempuh Kanthi dalam waktu yang terhitung panjang. Selain jalan yang naik dan turun di lereng pegunungan, maka gelap malam pun merupakan hambatan yang harus diatasi.

Meskipun demikian, perjalanan kembali ke Kademangan Kleringan itu ternyata lebih cepat dari saat Kanthi pergi ke Tanah Perdikan. Meskipun iring-iringan kecil itu juga harus berhenti beberapa kali sepanjang perjalanan, namun di dini hari sebelum fajar, mereka sudah sampai di rumah Ki Suracala.

Kedatangan Kanthi memang mengejutkan, tetapi juga menggembirakan. Ibunya yang masih belum sempat membenahi dirinya, telah memeluk Kanthi sambil menangis. Demikian pula kakak perempuannya yang juga tidak dapat menahan air matanya.

Ki Suracala pun kemudian telah mempersilahkan Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan.

Di dini hari itu, dapur rumah Ki Suracala telah mulai berasap. Sementara Ki Suracala dan Nyi Suracala mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala kebaikan dari Ki Jayaraga dan keluarga Ki Lurah Agung Sedayu itu.

“Bukan apa-apa, Ki Suracala,” sahut Ki Jayaraga, “bukankah itu sudah menjadi kewajiban kita semuanya?”

“Tetapi jarang sekali dijumpai seseorang atau sebuah keluarga yang demikian baik seperti keluarga Ki Lurah Agung Sedayu,“ desis Ki Suracala.

Demikianlah, menjelang fajar telah dihidangkan minuman hangat untuk menyegarkan badan mereka yang baru saja menempuh perjalanan dalam dinginnya malam.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga bukan saja menyerahkan Kanthi kepada kedua orang tuanya, tetapi ia juga berbicara dengan Ki Suracala tentang pelaksanaan pernikahan antara Wacana dan Kanthi. Ki Jayaraga dan Ki Suracala kemudian telah mendapatkan kesepakatan waktu, bahwa pernikahan itu akan dilakukan sepuluh hari sebelum pernikahan Prastawa.

Waktunya memang sudah terlalu sempit. Tetapi bagi Kanthi dan keluarganya, semakin cepat pernikahan itu diselenggarakan, tentu akan menjadi semakin baik.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah mendapatkan perintah-perintah baru dari Mataram. Ia benar-benar harus mempersiapkan prajurit-prajuritnya untuk setiap saat menghadapi perang yang kemungkinan besar akan pecah.

Dengan demikian Agung Sedayu hampir setiap hari mempersiapkan latihan-latihan yang semakin sering dilakukan oleh para prajurit dari Pasukan Khususnya. Bahkan sudah datang perintah, bahwa para prajurit tidak boleh minta ijin meninggalkan barak sama sekali. 

Ketika hal itu disampaikan kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun menjadi berdebar-debar. Pada suatu saat, tentu terjadi bahwa Agung Sedayu sendiri tidak keluar pula dari baraknya. Itu berarti bahwa Agung Sedayu akan tidur di dalam barak itu pula, sehingga tidak setiap hari dapat pulang sebagaimana dilakukannya sehari-hari.

Tetapi untuk sementara Agung Sedayu masih dapat menangani pasukannya sebagaimana hari-hari biasa. Ia datang ke baraknya pagi-pagi. Kemudian menjelang sore hari, Agung Sedayu pulang ke rumah. Namun pada saat-saat terakhir, Agung Sedayu berangkat lebih pagi dan pulang lebih lambat.

Dengan sungguh-sungguh, para prajurit dari Pasukan Khusus itu berlatih dari hari ke hari. Setiap hari, secara khusus Agung Sedayu memberikan latihan-latihan yang berat kepada para pemimpin kelompoknya. Bahkan Agung Sedayu selalu melakukan penilikan pribadi atas para pemimpin kelompoknya itu.

Dalam pada itu, usaha yang dilakukan oleh Mataram untuk mencari penyelesaian yang lebih baik dari perang, masih belum berhasil. Utusan-utusan yang dikirim oleh Panembahan Senapati selalu kembali dengan tangan hampa. Sehingga para pemimpin Mataram akhirnya telah kehilangan kesabaran. Para Pangeran tidak lagi telaten menghadapi sikap Panembahan Senapati yang masih saja mencari jalan untuk memecahkan persoalan yang timbul antara Mataram dan Pati.

Dengan mengingat bahwa ayahnya Ki Gede Pemanahan, yang kemudian juga disebut Ki Gede Mataram, dengan Ki Penjawi ayah Kanjeng Adipati Pati, adalah saudara seperguruan yang bahkan sudah seperti saudara kandung sendiri, maka Panembahan Senapati masih berusaha untuk menyabarkan para pemimpin di Mataram.

Tetapi nampaknya sejak Kanjeng Adipati meninggalkan Madiun dengan tergesa-gesa setelah perang Madiun berakhir, hatinya tidak pernah dapat dilunakkan kembali.

Utusan yang mondar-mandir mencari kemungkinan-kemungkinan untuk membuat penyelesaian yang paling baik tanpa mempergunakan tajamnya senjata, nampaknya tidak ada artinya sama sekali.

Justru para pemimpin di Mataram terkejut ketika datang utusan dari Pati untuk menghadap Panembahan Senapati, langsung tanpa pemberitahuan lebih dahulu.

Tetapi Panembahan Senapati tidak menolak. Panembahan Senapati telah memberi kesempatan utusan itu menemuinya. Beberapa orang Pangeran serta Ki Patih Mandaraka ikut menemui utusan itu.

Apa yang dikemukakan utusan itu sangat mengejutkan pula. Dengan tanpa segan-segan utusan itu berkata, “Ampun Panembahan. Hamba menyampaikan permohonan Kanjeng Adipati Pati, agar Kanjeng Adipati mendapat pengesahan atas kuasanya di sebelah utara Pegunungan Kendeng.”

“Apa?” di luar sadarnya Pangeran Singasari, yang merasa tersinggung sebagaimana para pemimpin Mataram.yang lain, menyahut, “Apakah Kanjeng Adipati Pati sedang sakit panas dan mengigau tanpa kendali nalarnya?”

Utusan itu tersenyum. Katanya, “Satu permohonan yang sangat wajar, karena pada dasarnya sebelah utara Pegunungan Kendeng adalah daerah Pati.”

“Tidak,” sahut Pangeran Mangkubumi.

Namun Panembahan Senapati pun kemudian menengahi, “Biarlah aku yang mengambil keputusan.”

Para Pangeran itu pun menundukkan wajah mereka. Sementara Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam.

“Bagaimana pendapat Paman Patih Mandaraka, jika aku memenuhi permintaan Adimas Adipati Pati?”

“Tidak mungkin,” berbareng beberapa orang Pangeran menyahut.

Ki Mandaraka memandang beberapa orang Pangeran itu. Namun kemudian katanya, “Terserah kepada kebijaksanaan Panembahan.”

Panembahan Senapati tahu bahwa Ki Patih Mandaraka dengan demikian menyetujui kebijaksanaannya. Karena itu, maka katanya kemudian kepada utusan itu, “Kembalilah ke Pati. Salamku buat Adimas Adipati Pati. Aku tidak berkeberatan dengan permohonannya. Daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng aku lepaskan untuk menjadi lingkungan kuasa Pati.”

Wajah para pemimpin Mataram menjadi tegang. Tetapi mereka tidak mengatakan sesuatu setelah keputusan itu diucapkan oleh Panembahan Senapati. Tidak seorangpun yang akan mampu mengoyahkannya lagi.

Tetapi utusan itu masih berkata lagi, “Terima kasih Panembahan. Tetapi masih ada permohonan Kanjeng Adipati Pati.”

“Apa lagi? Leher para pemimpin di Mataram?” geram pangeran Singasari.

Utusan itu tertawa. Katanya, “Pangeran ternyata senang bergurau.”

Wajah Pangerah Singasari menjadi merah. Tetapi sekali lagi Panembahan Senapati menengahi, “Aku akan memberikan keputusan.”

Pangeran Singasari terdiam. Sementara Panembahan Senapati bertanya, “Apalagi yang diminta oleh Adimas Adipati di Pati?”

“Ampun Panembahan, Kanjeng Adipati mohon, sudilah kiranya Panembahan menghadiahkan seratus batang tombak bagi para prajurit di Pati.”

Wajah Panembahan Senapati-lah yang kemudian menjadi tegang. Ia sadar bahwa sulit bagi Mataram untuk menghindari perang antara Mataram dan Pati. Permohonan itu bagi Panembahan Senapati terdengar bagaikan bunyi genderang perang yang sengaja ditabuh di depan telinga Panembahan Senapati.

Namun Panembahan Senapati masih menahan diri. Dicobanya untuk tersenyum sambil menjawab, “Aku tidak berkeberatan. Tetapi yang akan aku berikan hanya mata tombaknya saja. Bukankah seratus mata tombak dan landean dalam keutuhannya merupakan senjata yang banyak dipergunakan di medan perang gelar?”

Utusan itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia berkata, “Panembahan. Kanjeng Adipati Pati sangat mengagumi tombak dan landean buatan Mataram. Itulah sebabnya maka Kanjeng Adipati memohon untuk mendapat hadiah tombak yang utuh sebanyak seratus batang.”

“Sayang,” jawab Panembahan Senapati, “landean tombak yang ada di Mataram masih akan kami pergunakan sendiri. Jika terjadi perang, maka landean itu akan sangat berarti bagi para prajurit. Landean kayu berlian bagi Mataram lebih berharga dari mata tombak yang tertimbun di bangsal senjata.”

Dahi utusan dari Pati itu berkerut. Namun kemudian ia berkata, “Apa boleh buat. Kami akan membawa mata tombak itu dan kami akan menyampaikan pesan Panembahan kepada Kanjeng Adipati Pati, bahwa Mataram sendiri kekurangan landean tombak jika terjadi perang.”

Panembahan Senapati menarik nafas panjang. Tetapi ia justru mengangguk sambil berkata, “Ya. Kami memang kekurangan landean tombak yang baik. Tetapi terhadap musuh yang tidak berarti, kami dapat mempergunakan landean dengan pring cendani yang menghutan di Mataram.”

Wajah utusan itu-lah yang menjadi merah. Tetapi utusan itu mencoba juga tersenyum sebagaimana Panembahan Senapati.

“Terima kasih Panembahan,” berkata utusan itu kemudian, “mata tombak yang hanya seratus itu akan berarti bagi kami, meskipun prajurit Pati jumlahnya beribu-ribu.”

Panembahan Senapati tersenyum saja. Namun seorang Pangeran justru berkata, “Jika mata tombak itu hanya seratus, tetapi jumlah prajurit Pati beribu-ribu, apakah yang lain cukup bersenjata lembing bambu dengan bedor besi?”

Telinga utusan itu terasa menjadi panas. Tetapi ia harus tetap menyadari bahwa ia sedang berada di Mataram, di hadapan Panembahan Senapati, Ki Patih Mandaraka, para Pangeran dan para pemimpin Mataram yang lain.

Karena itu, maka utusan itu hanya dapat mengatupkan giginya rapat-rapat. Justru karena gejolak jantungnya yang menghentak-hentak, maka utusan itu bagaikan terbungkam.

“Sudahlah,” berkata Panembahan Senapati, “pulanglah. Serahkan mata tombak itu kepada Adimas Adipati. Katakan pula kepadanya, bahwa Mataram masih memiliki mata tombak sebangsal penuh.”

“Hamba, Panembahan,” jawab utusan itu, yang kemudian segera mohon diri untuk meninggalkan istana dan meninggalkan Mataram.

Di sepanjang jalan pulang, utusan itu sempat berkata kepada kawan-kawannya, “Panembahan Senapati nampaknya ingin memberitahukan kepada Kanjeng Adipati Pati, bahwa Mataram pun sudah siap menghadapi segala kemungkinan.”

Seorang kawannya yang rambutnya sudah memutih menyahut dengan nada dalam, “Aku tidak tahu, kenapa Panembahan Senapati begitu mudahnya menyerahkan kuasa di sebelah utara Pegunungan Kendeng kepada Kanjeng Adipati.”

Seorang yang lain pun menyahut, “Nampaknya ikatan persaudaraan antara Panembahan Senapati dan Kanjeng Adipati masih tetap ingin dipertahankan oleh Panembahan Senapati.”

“Ya. Bagaimanapun juga sebagai kakak ipar, Panembahan Senapati masih berusaha untuk mengekang diri,” desis orang yang rambutnya sudah menjadi putih itu.

Para utusan itu hanya dapat mengangguk-angguk. Mereka memang sulit untuk menjajagi jalan pikiran Panembahan Senapati. Sikapnya kadang-kadang terasa lunak. Namun terbayang juga kesiagaan Mataram menghadapi keadaan yang paling buruk sekalipun.

Di Mataram, beberapa orang Pangeran dan Senapati prajurit memang merasa kecewa. Mereka menganggap bahwa Panembahan Senapati masih saja memanjakan Kanjeng Adipati Pati, yang nampaknya sudah mengirimkan tantangan langsung kepada Mataram dengan permintaannya yang aneh itu.

Di Kepatihan, Ki Patih Mandaraka yang berbincang dengan seorang Tumenggung berkata, “Nampaknya Kanjeng Adipati Pati benar-benar tidak dapat melihat kenyataan bahwa Panembahan Senapati, kakak iparnya itu, mengambil putri Madiun sebagai istrinya. Ada beberapa alasan. Mungkin Kanjeng Adipati yang bertempur mempertaruhkan nyawa merasa sangat kecewa, bahwa perang Madiun hanya diakhiri dengan kisah asmara antara pemimpin tertinggi Mataram dengan putri Madiun. Ada orang yang menduga bahwa sebenarnya Kanjeng Adipati Pati sendiri mengiginkan putri Madiun itu. Tetapi menurut pendapatku, yang paling mungkin adalah justru karena Kanjeng Adipati menjadi sangat kecewa, bahwa kakak perempuannya telah diperbandingkan dengan putri dari Madiun itu. Sudah tentu Kanjeng Adipati Pati tidak ingin kedudukan kakak perempuannya didesak oleh putri dari Madiun, putri Panembahan Mas yang masih dialiri darah Sultan Demak.”

Tumenggung itu mengangguk-angguk mengiakan. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Demikianlah, kedatangan utusan dari Pati itu merupakan isyarat bagi Mataram untuk meningkatkan kesiagaan. Panembahan Senapati telah mengulangi perintahnya agar setiap kesatuan bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berita tentang kehadiran para utusan dari Pati itu segera telah tersebar, terutama di lingkungan para prajurit. Para Senapati yang saat itu melihat langsung kehadiran utusan itu di penghadapan Panembahan Senapati telah mempertegas perintah Panembahan Senapati. Mereka seakan-akan telah memastikan, bahwa perang tidak akan mungkin dihindari.

Seperti juga para prajurit yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, di Ganjur, di Pagunungan Kidul dan yang lain-lain, maka Untara pun telah mendapat perintah untuk menempatkan pasukannya dalam kesiagaan tertinggi. Perintah itu harus disampaikan pula kepada para Demang di sekitar barak-barak pasukan, terutama kademangan-kademangan yang memiliki kekuatan yang besar seperti Kademangan Sangkal Putung. Karena itu, maka Swandaru pun telah menerima perintah serupa pula.

Kepada Pandan Wangi, Swandaru itu pun berkata, “Aku jadi ragu, apakah pada saatnya kita dapat pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menunggui pernikahan Prastawa.“

“Jika keadaan menjadi semakin panas, mungkin kita memang tidak akan sempat pergi. Tetapi jika masih memungkinkan, meskipun hanya dua atau tiga malam, kita perlukan menunggui pernikahan Prastawa itu.”

Swandaru mengangguk-angguk. Masih dengan ragu ia berdesis, “Mudah-mudahan. Sebaiknya untuk itu aku akan berbicara dengan Kakang Untara langsung. Ia adalah seorang yang mendapat tugas sebagai pengikat kekuatan yang ada di Jati Anom dan sekitarnya.”

“Aku kira memang ada baiknya Kakang Swandaru menemui Kakang Untara, Karena Kakang Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan, tentu Kakang Untara akan memberikan perhatian lebih besar terhadap pernikahan Prastawa itu.”

Sementara itu, seperti di Tanah Perdikan Menoreh, maka Untara telah meningkatkan latihan-latihan bagi prajurit-prajuritnya untuk menghadapi keadaan yang semakin memanas itu.

Setiap hari kelompok-kelompok prajurit berada di tempat-tempat terbuka untuk berlatih. Bukan saja latihan-latihan perang gelar, tetapi juga ketrampilan dan kemampuan setiap orang dalam olah senjata.

Di samping latihan-latihan di tempat terbuka, maka beberapa sanggar prajurit di Jati Anom setiap saat terisi oleh pemimpin-pemimpin kelompok, yang mendapat latihan-latihan khusus menghadapi keadaan yang paling gawat, serta peningkatan kemampuan secara pribadi.

Latihan-latihan yang terasa semakin banyak dan bahkan semakin keras itu telah berpengaruh pula kepada tatanan kehidupan di sekitarnya. Orang-orang padesan mulai berbicara tentang kemungkinan perang yang dapat terjadi antara Mataram dan Pati. Apalagi karena anak-anak muda di kademangan-kademangan juga mulai mendapat latihan-latihan khusus tentang keprajuritan.

Bagi anak-anak muda Kademangan Sangkal Putung, latihan-latihan seperti itu bukan merupakan satu hal yang baru. Kademangan Sangkal Putung yang besar, yang pernah menjadi landasan pasukan Pajang di saat-saat menghadapi kelompok-kelompok terakhir dari prajurit Jipang, telah membuat Sangkal Putung menjadi kademangan yang memiliki kemampuan keprajuritan yang baik. Bahkan kemudian berlanjut sampai tahun-tahun berikutnya. Pengaruhnya memang mampu menembus batas kademangan-kademangan di sebelah-menyebelah, meskipun tidak setinggi Kademangan Sangkal Putung sendiri.

Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Swandaru pun telah meningkatkan latihan-latihan bagi para pengawal kademangannya. Gema perintah kesiagaan tertinggi memang juga mengumandang di telinga anak-anak muda Sangkal Putung.

Bahkan beberapa kademangan di sekitar Sangkal Putung telah mengirimkan beberapa orang anak mudanya untuk mengikuti latihan-latihan yang diselenggarakan oleh Swandaru.

Kesiagaan Mataram memang diketahui oleh Pati lewat para petugas sandinya. Selain pernyataan Panembahan Senapati sendiri ketika utusan Pati menghadap, maka para petugas sandi telah melihat peningkatan latihan keprajuritan di mana-mana.

Tetapi agaknya Pati memang sudah bertekad bulat untuk melawan Mataram, apapun akibatnya. Isyarat-isyarat yang diberikan oleh Mataram untuk mengelakkan perang, sama sekali tidak mendapat perhatian dari Kanjeng Adipati di Pati. Bahkan kesediaan Panembahan Senapati mengakui kuasa Pati atas daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng bukannya dianggap sebagai satu usaha untuk mengelakkan perang. Demikian juga bahwa Panembahan Senapati tidak memberikan seratus batang tombak lengkap dengan landeannya sama sekali, tidak diartikan isyarat untuk mencari jalan lain selain perang.

Pengakuan Mataram atas kuasa Pati di sebelah utara Pegunungan Kendeng telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Kanjeng Adipati, dengan mengirimkan pasukannya keluar dari perbatasan memasuki lingkungan di sebelah utara Pegunungan Kendeng.

Langkah Kanjeng Adipati Pati memang menimbulkan kecemasan. Tetapi beberapa daerah tidak dapat berbuat banyak. Pasukan Pati yang kuat, berdasarkan atas pengakuan Mataram, telah menebar untuk menguasai daerah di sekitarnya, merambat semakin melebar.

Panembahan Senapati di Mataram telah mendapat laporan dari para petugas sandinya tentang gerak prajurit dari Pati, sehingga Panembahan Senapati itu menjadi semakin berprihatin karenanya. Keprihatinan itu pun kemudian telah disampaikannya pula kepada istrinya, kakak perempuan Kanjeng Adipati Pati.

“Hamba mohon Panembahan bersabar, pada suatu saat anak itu tentu akan melihat kekeliruannya.”

“Aku sudah berusaha untuk selalu menahan diri. Tetapi para pemimpin di Mataram nampaknya semakin lama menjadi semakin sulit dikendalikan, Permintaan Adimas Adipati semakin lama menjadi semakin tidak masuk akal. Ketika ia mohon agar aku mengakui kuasanya di sebelah utara Pagunungan Kendeng, aku sudah mengabulkannya, meskipun aku harus menentang arus pendapat para pemimpin di Mataram. Namun yang menyakitkan hati adalah bahwa Adimas Adipati mohon seratus batang tombak utuh dengan landeannya bagi para prajurit Pati.”

“Bukankah hanya seratus, Panembahan? Ada berapa puluh ribu batang tombak yang ada di Mataram? Apa arti seratus orang prajurit bertombak sebaik apapun bagi Mataram?”

“Bukan seratus batang tombak itu sendiri yang menyakitkan hati. Tetapi isyarat yang diberikan oleh permintaannya itu. Adimas Adipati telah memberikan isyarat bahwa seratus batang tombak itu akan dirundukkannya ke arah dadaku.”

Kakak perempuan Kanjeng Adipati Pati itu tidak menjawab. Tetapi kedua belah matanya mulai membasah.

“Sudahlah,” berkata Panembahan Senapati, “aku berusaha sejauh dapat aku lakukan untuk mencegah perang. Tetapi segala sesuatunya masih juga tergantung kepada Adimas Adipati.”

Kakak perempuan Adipati Pati itu mengangguk. Tetapi hatinya justru telah pasrah. Ia tahu bahwa suaminya telah berusaha dengan sungguh-sungguh. Tetapi kesabaran seseorang memang ada batasnya.

Seperti laporan-laporan yang diterima oleh Mataram, maka Kanjeng Adipati Pati memang telah memperluas kuasanya. Ia menghimpun kekuatan di daerah-daerah yang telah didudukinya. Anak-anak muda telah dikumpulkan, dilatih dan disiapkan untuk maju ke medan perang.

Dengan kekuatan yang besar, Pati dapat memaksakan kehendaknya atas daerah di sebelah utara Pegunungan Rendeng. Yang menolak perintah Adipati Pati akan mengalami nasib yang buruk. Pati akan memaksakan kehendaknya dengan kekerasan.

Tetapi Demak tidak mau tunduk kepada kekuasaan Kanjeng Adipati Pati. Namun karena kekuatan Demak tidak terlalu besar, maka Demak mengambil kebijaksanaan untuk mempersenjatai diri, dan jika diserang akan bertahan di dalam dinding kota.

Tetapi agaknya Pati juga mempunyai perhitungan yang cermat. Untuk menundukkan Demak, diperlukan kekuatan yang besar. Sementara itu Pati sedang menghimpun kekuatan untuk melawan Mataram. Karena itu, maka untuk sementara Pati tidak menghiraukan Demak, yang menurut perhitungan Pati tidak akan mengganggunya, karena pasukan Demak tidak akan keluar dari dinding kota.

Sementara itu, beberapa orang yang tidak sependapat dengan Adipati Pati, tetapi tidak mampu menolak perintahnya untuk melawan Mataram, memang merasa lebih baik untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Dengan diam-diam beberapa kelompok orang telah meninggalkan daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Mereka pergi ke timur atau ke barat, atau menyeberangi Pegunungan Kendeng, pergi mengungsi ke Pajang atau ke daerah di sekitarnya.

Getar dari persiapan Pati yang telah menyentuh ketenangan Pajang, telah mendapat tanggapan yang cepat dari Adipati Pajang. Dengan cepat Pajang membuat hubungan dengan Mataram. Kanjeng Adipati di Pajang telah memberi laporan tentang kedatangan para pengungsi serta berita tentang kesiagaan Pati.

Panembahan Senapati pun telah memerintahkan Kanjeng Adipati Pajang untuk mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Panembahan Senapati pun telah memerintahkan pula agar Pajang melakukan pengawasan yang ketat terhadap segala gerak-gerik Pati di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Setiap gerakan hendaknya Pajang memberikan laporan kepada Mataram.

Dengan demikian, maka di Pajang pun udara menjadi hangat. Para prajurit di Pajang pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Mungkin Pati akan menyerang Pajang lebih dahulu dan membuat landasan sebelum menyerang Mataram.

Menurut laporan para petugas sandinya, maka kekuatan Pati memang menjadi sangat besar. Lebih besar dari kekuatan yang mungkin dapat dihimpun oleh Pajang. Karena itu, jika Pati menyerang Pajang lebih dahulu, maka sulit bagi Pajang untuk mempertahankan diri.

Tetapi para pemimpin di Pajang pun telah mencoba untuk mengurai sasaran serangan Pati. Para pemimpin di Pajang pun mengerti berdasarkan atas laporan para petugas sandinya, bahwa Pati tidak menyerang Demak yang bersiap dan mempersenjatai diri, meskipun hanya terbatas di dalam lingkungan dinding kota saja.

Pati tidak ingin kekuatannya berkurang jika harus bertempur melawan Demak. Mungkin Pati dapat menundukkan Demak. Bahkan mungkin Pati mampu menumpas Demak. Tetapi prajurit Pati pun akan jauh menyusut. Itu berarti bahwa kekuatannya untuk menyerang Mataram berkurang, sementara Pati tidak dapat mengharapkan orang-orang Demak yang tersisa akan dapat menggantikan kekuatan yang hilang itu.

Karena itu, maka Pajang pun berniat untuk melawan jika Pati datang menyerang Pajang. Melawan habis-habisan, meskipun harus tumpas sampai prajurit yang terakhir

Namun Pajang pun masih juga berharap bahwa pasukan Mataram akan bergerak dengan cepat, jika Mataram mengetahui Pati telah mulai dengan perjalanannya menuju ke Mataram. Mataram tentu tidak akan menghadapi Pati sebagaimana Demak, yang akan bertahan di dalam dinding kota saja. Pajang pun yakin, bahwa pasukan Mataram akan menyongsong pasukan Pati.

Tetapi nampaknya Kanjeng Adipati Pati tidak kehilangan perhitungan. Pati tidak dengan serta-merta menyerang Mataram lewat atau tidak lewat Pajang. Tetapi Pati benar-benar ingin mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya.

Dengan demikian, maka lingkungan di sebelah utara Pegunungan Kendeng telah menjadi sanggar raksasa yang menampung latihan-latihan yang semakin meningkat. Bukan saja daerah-daerah yang ramai dan berpenghuni padat, tetapi juga padukuhan dan padesaan-padesaan kecil yang sepi.

Kanjeng Adipati sendiri setiap kali berkenan menyaksikan latihan-latihan itu. Diiringi oleh kelompok-kelompok pasukan berkuda, Kanjeng Adipati menilik langsung latihan-latihan vang diselenggarakan di daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng.

Dengan demikian, maka tidak ada satu daerah pun yang sempat mengabaikan perintah untuk meningkatkan latihan-latihan. Kanjeng Adipati Pati menjadi orang yang sangat ditakuti. Sikapnya yang keras memaksa setiap orang mematuhinya. Kata-kata yang diucapkan merupakan paugeran yang tidak dapat diganggu-gugat.

Kanjeng Adipati Pati memang tidak sekedar mengancam. Tetapi ia benar-benar menjatuhkan hukuman kepada mereka yang dianggapnya tidak menjalankan perintahnya dengan baik.

Persiapan itu tidak luput dari pengamatan para petugas sandi dari Mataram, sehingga Mataram pun mengimbangi kesiagaan itu pula.

Dengan demikian, maka setiap senapati prajurit, setiap pemimpin dari satu kelompok atau kesatuan, tidak lagi mempunyai kesempatan untuk meninggalkan pasukannya. Karena itu, maka ternyata pada saatnya, Swandaru tidak dapat datang ke Tanah Perdikan Menoreh menunggui pernikahan Prastawa.

Swandaru memang sudah berhubungan dengan Untara di Jati Anom dan membicarakan kemungkinan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sebenarnya Untara juga tidak berkeberatan, asal Swandaru tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan.

“Bukankah kau hanya memerlukan waktu satu dua hari saja?” bertanya Untara.

Tetapi Swandaru sendiri akhirnya menganggap bahwa sebaiknya ia tidak pergi. Selain ia akan merasa diburu oleh waktu, juga bayangan-bayangan yang menggelisahkan. Maka akhirnya Swandaru hanya akan mengutus dua orang pengawal kademangan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menyampaikan pesan-pesannya.

“Ayah tentu akan mengerti,” berkata Pandan Wangi, “Tanah Perdikan menoreh tentu juga mendapat perintah yang sama dengan kita di sini.”

“Ya. Kakang Agung Sedayu tentu juga akan dapat memberikan penjelasan,” jawab Swandaru, “apalagi persoalan pernikahan Prastawa yang sudah jelas dan nampaknya tidak ada lagi hambatan yang akan dapat mengganggu.”

Dalam keadaan yang paling gawat, Pandan Wangi memang lebih senang berada di rumah bersama anaknya. Karena Pati akan dapat bertindak dengan tiba-tiba dan tidak diduga lebih dahulu.

Dalam pada itu, meskipun Agung Sedayu dalam kesibukan mempersiapkan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, namun Agung Sedayu memerlukan menyediakan waktunya untuk menunggui Wacana memasuki saat-saat pernikahannya.

Tidak ada upacara yang berlebihan. Semuanya berlangsung dengan sederhana, namun peristiwa itu merupakan satu kebahagiaan bagi keluarga Kanthi. Bahkan Rara Wulan pun ikut merasa berbahagia pula. Beberapa kali ia berkata kepada Kanthi, “Tersenyumlah. Kau akan menjadi seorang perempuan yang sangat cantik.”

Kanthi memang tersenyum. Tetapi dari kedua belah matanya telah menitik air keharuan.

Namun kemudian Agung Sedayu tidak dapat pula menyingkir dari keterlibatannya saat upacara pernikahan Prastawa. Apalagi karena Swandaru dan Pandan Wangi tidak dapat hadir di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu dan Sekar Mirah seakan-akan harus mewakili mereka berdua.

Tetapi Prastawa ternyata juga menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan. Karena ketegangan semakin meningkat, maka Prastawa memang minta agar upacara pernikahannya dapat dibatasi.

“Letak Tanah Perdikan ini lebih menguntungkan daripada Jati Anom dan Sangkal Putung,” berkata Ki Gede, “jika Pati datang ke Mataram, maka kemungkinan yang terbesar akan datang dari arah timur. Bahkan mungkin akan singgah lebih dahulu di Pajang.”

“Tetapi rasa-rasanya segan juga untuk mengadakan upacara berlebihan dalam suasana seperti ini Paman,” jawab Prastawa.

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku puji sikapmu. Upacara yang berlebihan pada saat seperti ini akan dapat menimbulkan persoalan di hati para pengawal, yang sehari-hari harus menjalani latihan-latihan yang berat. Sementara itu, lumbung Tanah Perdikan ini telah diisi untuk berjaga-jaga jika peperangan akan memerlukan waktu yang panjang, sedangkan sawah tidak tergarap. Upacara yang berlebihan akan berarti mempergunakan bahan yang banyak pula, terutama beras, yang sebenarnya dapat disumbangkan untuk ikut mengisi lumbung persediaan itu.”

Prastawa menarik nafas panjang. Sebenarnya ia lebih senang untuk diselenggarakan dengan sederhana sebagaimana pernikahan Wacana dan Kanthi. Tetapi keluarga Anggreni nampaknya ingin upacara tetap berlangsung, meskipun tidak berlebihan.

“Kau jangan mencegah keramaian yang sudah direncanakan. Pandai-pandai sajalah mecari keseimbangan. Ada pula baiknya jika keramaian itu dapat ditonton pula oleh para pengawal yang selama ini tenggelam dalam latihan-latihan yang berat. Mungkin justru akan dapat mengendorkan ketegangan jantung mereka. Tentu saja dalam keterbatasannya. Tidak semua pengawal di seluruh Tanah Perdikan ini akan mendapat kesempatan.”

Prastawa mengangguk-angguk Pendapat pamannya itu ternyata sangat menarik. Ia akan minta keluarga Anggreni mengundang para pemimpin pengawal Tanah Perdikan dari padukuhan-padukuhan yang terpencar, sehingga mereka merasa mendapat perhatian. Tidak hanya untuk mengemban tugas-tugas berat, tetapi juga di saat-saat yang memberikan kegembiraan.

Ketidak-datangan Swandaru dan Pandan Wangi memang membuat Prastawa kecewa. Tetapi ia dapat mengerti sepenuhnya, bahwa keadaan tidak mengijinkan keduanya datang hanya sekedar untuk menunggui saat-saat pernikahannya.

Tetapi kedua utusan dari Sangkal Putung telah mengurangi perasaan kecewa itu. Dalam keadaan yang gawat serta saat tugas yang berat membebaninya, Swandaru dan Pandan Wangi tidak melupakannya. Meskipun mereka tidak dapat datang, namun utusan itu menyatakan perhatian mereka terhadap pernikahan Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata sebagaimana dikehendaki oleh Ki Gede, upacara dan keramaian saat pernikahan Prastawa justru dapat menjadi saat-saat untuk mengendorkan ketegangan yang mencengkam Tanah Perdikan Menoreh. Para pemimpin pengawal, dan bahkan para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus, dapat ikut menonton keramaiannya, yang diselenggarakan dua malam berturut-turut dengan penonton yang berlainan.

Bahkan Prastawa sendiri telah mengembangkan gagasan itu. Ia telah berhubungan dengan orang-orang Tanah Perdikan yang memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan pertunjukan apapun. Prastawa telah bekerja bersama mereka untuk menyelenggarakan pertunjukan-pertunjukan di padukuhan-padukuhan, untuk memberikan hiburan kepada para pengawal.

“Tidak ada hubungannya dengan hari pernikahanku,” berkata Prastawa kepada mereka yang menyelenggarakan pertunjukan, “gagasan itu memang timbul karena keramaian yang akan di selenggarakan di hari pernikahanku. Tetapi pertunjukan-pertunjukan di padukuhan-padukuhan itu akan diselenggarakan tidak pada saat pernikahan. Tetapi satu dua pekan kemudian, sebagai satu kegiatan tersendiri.”

Ternyata gagasan itu mendapat tanggapan yang baik. Namun Prastawa menyadari, bahwa penyelenggaraannya tidak sederhana cetusan gagasan itu sendiri. Terutama dari segi kesiagaan.

Demikianlah, pernikahan Prastawa dengan Anggreni berlangsung dengan selamat. Tidak ada kesan terlepas dan bahkan mengabaikan suasana yang gawat. Bahkan gagasan Ki Gede yang berkembang untuk menyelenggarakan hiburan bagi para pengawal dan anak-anak muda yang seakan-akan tenggelam dalam ketegangan.

“Hiburan akan dapat memberikan kesegaran bagi mereka,” berkata Prastawa kepada mereka yang menyatakan kesediaannya membantu gagasan itu.

Di hari-hari pertama dalam kehidupannya sebagai seorang suami, Prastawa tidak dapat meninggalkan tugas-tugasnya sepenuhnya. Setelah pada hari kelima Anggreni dibawa kembali ke rumah Prastawa, maka Prastawa telah kembali ke dalam tugas-tugasnya. Namun Anggreni yang sudah mengetahui kedudukan dan tugas suaminya, sama sekali tidak mengeluh. Iapun mengerti bahwa jika perang benar-benar pecah, maka suaminya sebagai pemimpin pengawal di Tanah Perdikan Menoreh akan segera berada di medan.

Seperti daerah-daerah yang lain, maka sehari-hari Tanah Perdikan Menoreh diwarnai dengan kesiagaan penuh dari para pengawal Tanah Perdikan. Demikian pula para prajurit di barak Pasukan Khusus. Atas kebijaksanaan Agung Sedayu, serta atas ijin Ki Gede, maka para prajurit itu pun memperluas lingkaran arena latihan mereka di lereng-lereng pegunungan. Meskipun latihan-latihan itu memberikan kesan dan suasana yang tegang, namun kehadiran para prajurit itu juga membantu memberikan sedikit ketenangan kepada orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya, jika pada suatu saat musuh benar-benar akan datang.

Sebagaimana Agung Sedayu sendiri yang memiliki kemampuan secara pribadi yang tinggi, maka kemampuan pribadi para prajurit dari Pasukan Khusus itu mendapat penilikan dengan sungguh-sungguh. Tetapi Agung Sedayu tidak hanya sekedar melihat kemampuan mereka, tetapi Agung Sedayu pun langsung menangani mereka, terutama para pemimpin kelompok. Yang kemudian kemampuan itu harus mengalir kepada setiap prajurit di dalam barak Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Dalam pada itu, Panembahan Senapati masih harus menahan diri. Hampir setiap hari Panembahan Senapati mendapat laporan gerakan yang dilakukan oleh pasukan Pati. Ternyata dalam keadaan yang gawat itu, ada saja orang-orang yang memanfaatkan keadaan untuk kepentingan diri sendiri. Terutama para prajurit Pati, yang seperti air yang tumpah mengalir ke segala arah di sebelah utara Pegunungan Kendeng.

Yang menjadi perhatian Kanjeng Adipati Pati terutama kekuatan dan kemampuan tempur pasukannya. Tetapi dalam pemusatan pengamatan atas kekuatan dan kemampuan itu, Kanjeng Adipati dan para pemimpin tertinggi Pati lupa mengamati tingkah laku para senapati, yang memimpin kesatuan-kesatuan prajurit yang bergerak di seluruh daerah sebelah utara Pegunungan Kendeng.

Dengan demikian, maka kadang-kadang telah terjadi perbuatan-perbuatan yang justru dapat mencemarkan nama baik serta kewibawaan Pati sendiri.

Untara yang bersiaga sepenuhnya di Jati Anom, terkejut ketika lima orang yang mengaku mengungsi dari daerah sebelah utara Pegunungan Kendeng telah dihadapkan kepadanya oleh prajurit-prajuritnya.

“Kami belum mengenal mereka. Apalagi mereka mengaku datang dari daerah di sebelah utara Pegunungan Kendeng,” berkata pemimpin kelompok prajurit yang membawa kelima orang itu.

Untara mengangguk-angguk. Namun nampaknya orang-orang itu memang bukan orang-orang yang berniat buruk menurut ujud, sikap dan kata-katanya. Tetapi ujud lahiriah itu memang belum merupakan kepastian sikap mereka yang sebenarnya.

Ketika Untara bertanya kepada mereka tentang asal-asul mereka, maka orang yang tertua di antara mereka berkata, “Kami tinggal di sebuah padepokan kecil di daerah Kuwu, Anakmas. Tetapi kami tidak dapat menahan diri untuk tetap tinggal. Setelah kami menitipkan keluarga kami, maka kami berniat untuk menemui seseorang yang pernah aku kenal dengan baik beberapa sepuluh tahun yang lalu. Yang menurut pendengaran kami tinggal di sebelah timur Gunung Merapi.”

“Dimanakah letaknya Padepokan Kuwu itu?” bertanya Untara kemudian.

“Kuwu adalah nama sebuah tempat di utara Pegunungan Kendeng. Di tepi Kali Gandu. Kami meninggalkan Kuwu menyusuri Kali Gandu, sampai ke lereng Pegunungan Kendeng. Kemudian dengan susah payah merayap di lereng Pegunungan Kendeng ke arah barat.”

Untara mendengarkan cerita itu dengan seksama. Sementara orang yang tertua di antara mereka pun nampak bersungguh-sungguh. Dengan nada dalam orang itu bercerita selanjutnya, “Berhari-hari kami menempuh perjalanan. Kami menembus hutan-hutan lereng pegunungan, menyebarangi Kali Klempis, Kali Peganding, Kali Glugu, dan kemudian menyusuri Kali Uter. Ada niat kami pergi ke Pajang. Tetapi kemudian kami putuskan untuk pergi ke lereng sebelah timur Gunung Merapi. Tetapi di daerah ini kami memang asing, ternyata dicurigai oleh sekelompok prajurit peronda, sehingga kami telah dibawa kemari. Kami memang tidak membayangkan bahwa di sini ada sepasukan prajurit yang terhitung besar dan kuat. Namun dengan demikian kami justru merasa aman di daerah yang bagi kami masih asing ini.”

“Siapakah yang kalian cari di daerah ini? Apakah kalian tidak mengetahui nama padukuhannya?” bertanya Untara.

“Sebenarnya aku adalah bekas seorang prajurit Pajang di masa lampau. Tetapi aku sudah mengundurkan diri dan tinggal di sebuah padepokan kecil. Di daerah ini aku mempunyai seorang kawan yang aku kenal dengan baik. Tetapi sudah lama tidak bertemu. Aku juga tidak tahu, apakah ia masih hidup atau sudah tidak ada lagi.”

“Siapakah namanya? Aku adalah anak Jati Anom sejak lahir. Mungkin aku dapat mengenalnya.”

“Menurut ingatanku, rumahnya di Banyu Asri,” berkata orang tua itu.

“Banyu Asri memang dekat dengan tempat ini. Hanya beberapa puluh patok saja.”

“Namanya Widura,” jawab orang itu.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku mengenal orang itu dengan baik, Ki Sanak. Paman Widura memang tinggal di Banyu Asri. Ia sudah tua memang. Tetapi Paman Widura masih hidup dan tetap tegar sebagaimana masa mudanya.”

“Ki Sanak mengenalnya?” wajah orang tua itu menjadi terang, “Jadi aku tidak sia-sia menempuh perjalanan yang jauh ini.”

“Ya. Tetapi sekarang Paman Widura tidak berada di Banyu Asri. Ia lebih banyak berada di sebuah padepokan kecil di sisi timur daerah ini.”

“O,“ orang itu menjadi kecewa, “jadi Ki Widura sudah tidak ada di rumahnya lagi?”

“Paman Widura masih sering pulang. Tetapi ia kini memimpin sebuah padepokan kecil, sehingga Paman Widura lebih sering berada di padepokannya.”

Orang itu mengangguk-angguk. Sementara sebelum orang itu minta ijin untuk pergi ke padepokan pamannya, Untara yang tidak begitu saja mempercayainya telah mendahuluinya berkata, “Baiklah, jika Ki Sanak akan pergi menemui Paman Widura, biarlah kami mengantarkan. Kami tidak ingin menahan Ki Sanak lebih lama di sini, sementara itu mungkin ada sesuatu yang dapat kami dengar dari Ki Sanak berlima.”

Wajah orang-orang itu menjadi cerah kembali. Dengan serta merta orang itu menyahut, “Terima kasih Ngger. Terima kasih.”

Demikianlah, maka Untara sendiri ternyata akan mengantar orang-orang itu menemui pamannya, sekaligus meyakinkan bahwa orang-orang itu justru tidak berbahaya bagi pamannya. Di samping itu, Untara memang ingin mendengar cerita mereka di sepanjang perjalanan mereka, serta sikap prajurit Pati terhadap orang-orang yang tinggal di sebelah utara Pegunungan Kendeng.

Bersama sekelompok prajurit berkuda, Untara telah mengantar kelima orang itu.

Ketika Untara menawarkan untuk meminjami mereka kuda, maka dengan ucapan terima kasih, merekapun menerimanya.

“Apakah letak padepokan itu jauh?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Tidak,” jawab Untara, “tetapi Ki Sanak tentu sudah letih. Mudah-mudahan perjalanan pendek ini tidak membuat Ki Sanak semakin letih.”

“Terima kasih Ngger. Kami sangat menghargai sikap Angger.”

“Bukankah sikapku biasa-biasa saja, Ki Sanak?” jawab Untara sambil tersenyum.

Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil telah menuju ke padepokan Orang Bercambuk, yang kemudian di pimpin oleh Ki Widura. Padepokan kecil yang tidak banyak dibicarakan orang.

Ketika mereka memasuki halaman padepokan yang terhitung luas, maka Ki Widura yang agak terkejut telah turun ke halaman untuk menyongsongnya.

Untara yang telah turun dari kudanya pun kemudian berkata, “Kami mengantarkan beberapa orang yang mencari Paman.”

Ki Widura mengerutkan dahinya. Namun ketika orang tertua di antara kelima orang itu melangkah mendekatinya, maka Widura pun langsung menyebut namanya, “Ki Lurah Wiranata.”

Dengan akrab Widura menerima orang yang mencarinya itu. Demikian pula orang itu. Menurut sikapnya, mereka memang dua orang sahabat yang telah lama tidak bertemu.

“Marilah, marilah naik ke pendapa,“ Widura mempersilakan tamu-tamunya dan Untara untuk naik, sementara beberapa orang prajurit berkuda yang menyertai mereka dipersilahkan duduk di serambi gandok pada bangunan induk padepokan itu.

Untara hanya tersenyum-senyum saja ketika kedua orang tua itu saling mempertanyakan keselamatan mereka dan lingkungan mereka masing-masing.

Namun dengan demikian Untara yakin, bahwa orang-orang itu benar-benar sudah saling mengenal dengan pamannya sebagaimana dikatakannya.

Meskipun demikian, Untara tidak kehilangan kewaspadaan. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Meskipun orang itu bekas prajurit Pajang dan sahabat lama pamannya, namun masih ada kemungkinan orang itu bekerja untuk Kanjeng Adipati Pati dalam tugas sandi di Jati Anom, karena di Jati Anom terdapat pasukan yang akan dapat menghambat gerak prajurit Pati jika benar-benar akan menyerang Mataram.

Dalam pertemuan itu, Untara sempat bertanya tentang banyak hal kepada orang-orang yang mengaku tinggal di sebuah padepokan kecil di Kuwu itu.

“Prajurit Pati seakan-akan tidak terkendali lagi,” berkata Ki Lurah Wiranata, “mungkin tingkah laku mereka sama sekali tidak dikehendaki oleh Kanjeng Adipati Pati. Namun beberapa orang senapati seakan-akan telah memanfaatkan kesempatan itu untuk kepentingan diri sendiri.”

“Sangat memperihatinkan,” desis Untara.

“Sementara Kanjeng Adipati lebih mementingkan penyusunan kekuatan yang sebesar-besarnya, daripada sikap dan tingkah laku prajurit-prajuritnya itu,” berkata Ki Lurah Wiranata.

“Menurut Ki Lurah, apakah Kanjeng Adipati mempersiapkan diri untuk menyerang Mataram, atau sekedar bertahan jika Mataram menyerang?” berkata Untara.

“Apakah ada kemungkinan Mataram yang akan menyerang?” Ki Lurah Wiranata justru bertanya.

“Kemungkinan itu selalu ada. Karena Kanjeng Adipati Pati tidak mau lagi menghadap ke Mataram, maka hal itu dapat diartikan bahwa Pati tidak mengakui lagi kekuasaan Mataram.”

Tetapi Ki Lurah itu pun berkata, “Menurut penglihatanku, Pati telah bersiap untuk menyerang ke Mataram. Persiapan untuk itu telah dilakukan. Dukungan perbekalan dan perlengkapan telah diatur sebaik-baiknya.”

Untara mengangguk-angguk. Ia menjadi semakin yakin bahwa Ki Lurah Wiranata benar-benar bemiat untuk menyingkir dari prajurit-prajurit Pati yang kehilangan kendali. Apa yang dikatakannya, ternyata sama sebagaimana dilaporkan oleh para petugas sandi.

Karena itulah, maka Untara pun telah minta diri kepada pamannya, dan menyerahkan kelima orang tamu itu kepada Ki Widura.

Tetapi ketika Ki Widura mengantar Untara itu sampai ke regol halaman, Untara sempat berdesis, “Bagaimanapun juga Paman harus berhati-hati. Meskipun orang itu dahulu sahabat Paman, tetapi dalam keadaan seperti ini banyak hal yang tidak terduga-duga dapat terjadi.”

Widura mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Ya. Aku akan berhati-hati. Nampaknya mereka akan tinggal di padepokan ini selama mereka dalam pengungsian.”

Demikianlah, Untara pun segera meninggalkan padepokan kecil itu bersama para pengiringnya. Namun kemudian Untara telah mengirimkan utusan kepada Swandaru, bahwa kemungkinan terbesar Pati akan segera bergerak ke Mataram.

Sebenarnyalah Pati memang berniat untuk menyerang Mataram. Pasukan yang telah dihimpun menjadi semakin besar. Disamping para prajurit dan pengawal lingkungan masing-masing yang ikut serta dihimpuan oleh Kanjeng Adipati, maka kemudian hampir setiap laki-laki yang masih pantas untuk bertempur telah dipanggil pula, untuk memperkuat pasukan yang akan menyerang Mataram.

Para petugas sandi dengan sangat berhati-hati mengikuti rencana gerak pasukan Pati. Ternyata menilik persiapan yang mendahului gerak pasukan, maka Pati tidak akan menyerang Pajang, sebagaimana Pati menghindari benturan kekuatan melawan Demak. Apalagi Demak agaknya lebih memusatkan pertahanannya di dalam dinding kota.

Panembahan Senapati memang menjadi semakin prihatin atas sikap Kanjeng Adipati Pati. Sementara itu, istri Panembahan Senapati, kakak perempuan Kanjeng Adipati Pragola, setiap kali hanya dapat menangis.

Putra Panembahan Senapati yang lahir dari kakak perempuan Kanjeng Adipati Pati itu ikut pula menjadi gelisah. Apalagi kedudukannya sebagai Pangeran Adipati Anom di Mataram, yang oleh Panembahap Senapati diharapkan akan dapat menggantikan kedudukannya memimpin pemerintahan di Mataram. Bahkan Panembahan Senapati berharap bahwa puteranya itu kelak tidak saja akan diangkat menjadi seorang Panembahan, tetapi diharapkannya akan dapat diangkat menjadi seorang raja, yang kuasanya melampaui kuasa Panembahan Senapati sendiri.

Dalam pada itu, benturan-benturan kekerasan telah terjadi di saat Kanjeng Adipati Pati mempersiapkan perbekalan dan perlengkapan di jalur yang akan dilalui oleh pasukannya. Meskipun Pati berusaha untuk merahasiakannya, tetapi para petugas sandi dari Mataram dapat membuat uraian rencana perjalanan pasukan Kanjeng Adipati Pati.

Atas dasar laporan itu, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukan Mataram di Jati Anom untuk bersiaga sepenuhnya. Menurut perhitungan para petugas sandi, pasukan Pati akan melewati jalur jalan tidak terlalu jauh dari Jati Anom.

Dengan demikian, maka Untara telah memperintahkan semua kekuatan yang ada di Jati Anom dan sekitarnya untuk siap bergerak setiap saat. Swandaru telah mendapat perintah untuk menghimpun kekuatan yang ada di sekitar Kademangan Sangkal Putung.

Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Untara telah memerintahkan membentuk pasukan yang terdiri dari beberapa kelompok prajurit untuk bergerak ke depan sesuai dengan petunjuk para petugas sandi, tentang jalur yang mungkin akan dilewati oleh para prajurit Pati.

Untara telah memberikan isyarat, agar pasukan itu jika perlu berusaha menghambat kemajuan pasukan Pati, jika benar Pati bergerak sesuai dengan perhitungan.

Meskipun demikian, Untara tidak dengan serta-merta memerintahkan pasukannya tanpa pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Karena itu, maka sebelum Untara memutuskan untuk memberangkatkan pasukannya itu, ia telah memanggil Sabungsari.

“Sabungsari,” berkata Untara hati-hati, “menurut pendapatku, tidak ada orang yang lebih baik yang akan aku serahi beberapa kelompok prajurit untuk melihat agak jauh ke depan, selain kau. Aku ingin kita mengetahui segera jika terjadi gerak lawan yang berbahaya bagi kita di sini.”

“Aku siap melaksanakan,” jawab Sabungsari.

“Tetapi bagaimana rencanamu dengan pernikahanmu? Menurut pendengaranku, Wacana telah melaksanakan pernikahannya. Prastawa juga sudah. Karena itu, maka untuk memastikan apakah aku akan memberikan perintah kepadamu, aku berbicara dengan kau lebih dahulu.”

“Maksud Ki Tumenggung?”

“Jika kau memang ingin melaksanakan pernikahanmu sebelum perang benar-benar terjadi, maka perintah ini akan aku berikan kepada orang lain. Aku akan memberikan kesempatan kepadamu untuk pergi ke Mataram.“

“Tidak Ki Tumenggung,” jawab Sabungsari, “aku tidak akan mendahulukan kepantinganku, justru keadaan sudah menjadi sangat gawat. Aku akan melaksanakan perintah Ki Tumenggung, membawa beberapa kelompok prajurit bergerak maju menyongsong mereka.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa Sabungsari memang memiliki tekad seorang prajurit. Sejak ia menyadari bahwa ia telah memilih jalan yang sesat dan kemudian berusaha untuk memperbaikinya, maka ia benar-benar seorang prajurit pilihan.

Karena itu maka Untara pun berkata, “Baiklah. Kau akan memimpin kelompok itu. Kau akan membawa tiga kelompok prajurit, yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang, ditambah seorang pemimpin kelompok.”

Demikianlah, maka dalam waktu yang terhitung singkat, Sabungsari telah mempersiapkan satu pasukan kecil yang terdiri dari tiga kelompok. Dalam waktu dua hari dua malam segalanya harus sudah bersiap, sehingga pada hari yang ketiga, menjelang senja, pasukan itu telah dilepas oleh Untara.

Tiga kelompok prajurit terpilih yang masing-masing dipilih oleh seorang pemimpin kelompok, telah bergerak menyongsong jalur yang diperhitungkan akan dilalui prajurit Pati jika mereka akan menuju ke Mataram, namun menghindari Pajang.

Sabungsari memang sengaja membawa pasukannya berjalan di malam hari. Mereka tidak ingin pasukan itu diketahui oleh banyak orang, sehingga diketahui oleh petugas sandi dari Pati.

Bahkan pasukan kecilnya itu telah mengambil jalur jalan lain dari jalan yang sedang mereka amati. Hanya dua orang, dan di belakangnya dua orang yang meyakinkan keselamatan kedua orang yang terdahulu, yang berjalan melalui jalur jalan yang mereka perhitungkan akan dilalui oleh pasukan Pati.

Sabungsari telah memberikan pesan-pesan kepada keempat orang itu. Mereka harus memberikan laporan di tempat-tempat tertentu kepada para prajurit yang akan ditugaskan menemui mereka. Semua hubungan akan terjadi tanpa banyak menarik perhatian orang lain, sementara induk pasukan itu akan berusaha untuk menghindari lingkungan yang banyak didiami orang. Mereka lebih banyak berjalan di pinggir-pinggir hutan, menyusuri sungai dan padang-padang yang sepi.

Dengan demikian maka perjalanan pasukan itu memang menjadi lambat. Tetapi bagi Sabungsari, perjalanan yang lambat itu akan lebih baik daripada perjalanan yang tidak berarti sama sekali, karena dengan mudah diketahui oleh lawan, atau bahkan dijebak oleh kekuatan yang tidak tertandingi.

Ketika fajar menyingsing, Sabungsari telah membawa pasukannya ke sebuah padang perdu di pinggir hutan, tidak jauh dari sebuah tempat yang mulai dihuni meskipun masih belum ramai. Padukuhan yang sedang mulai tumbuh itu disebut sebagaimana nama hutan itu, Ngaru-Aru.

Sabungsari memberi kesempatan kepada para prajuritnya untuk berburu. Sebagai prajurit yang ditempa dengan keras oleh Untara, mereka sama sekali tidak membawa bekal apapun dari barak mereka, kecuali senjata. Beberapa orang memang dilengkapi dengan alat berburu. Busur dan anak panah, yang juga dapat dipergunakan untuk bertempur dan menghambat gerak maju lawan.

Namun dalam pada itu, Sabungsari pun juga memerintahkan enam orang prajurit untuk menyebar, mencari keterangan tentang jalur jalan yang dipersiapkan oleh Pati.

“Carilah keterangan tentang kemungkinan Pati membuat dan menyiapkan lumbung-lumbung padi atau jagung untuk mendukung gerak pasukan mereka. Usahakan untuk mengetahui lingkungan manakah yang telah dipengaruhi atau bahkan dikuasai oleh prajurit-prajurit pendahulu dari Pati.”

Demikianlah, enam orang prajurit itu pun membagi diri menjadi tiga kelompok kecil. Masing-masing menuju ke arah yang berbeda. Mereka dibekali dengan uang dan kelengkapan lain, karena hal itu akan diperlukan untuk mendapatkan keterangan dari orang lain.

Kepada keenam orang itu Sabungsari berpesan, “Sebelum matahari terbenam, kalian harus sudah berada kembali di tempat ini. Karena itu, kalian harus dapat memperhitungkan jarak penilikan kalian di sekitar tempat ini.”

Demikianlah, keenam orang itu pun kemudian meninggalkan Ngaru-Aru. Mereka berpisah tidak jauh dari padukuhan yang mulai dihuni orang itu, untuk memilih arah berbeda.

Daerah di sekitar lingkungan itu memang masih belum terlalu ramai. Namun dengan ketajaman naluri mereka, keenam orang yang berpisah menjadi tiga kelompok itu telah melintas menuju ke tempat yang lebih banyak dihuni orang.

Ketiga kelompok kecil itu telah berusaha berhubungan dengan orang-orang yang mereka temui. Mereka telah singgah di kedai-kedai kecil. Di pasar-pasar yang tidak terlalu banyak dikunjungi orang, atau di tempat-tempat yang menarik perhatian mereka.

Dua orang di antara mereka yang berpapasan dengan beberapa orang laki-laki yang berjalan beriringan, telah berhenti sejenak. Dalam pakaian yang sederhana, maka kedua orang itu memang tidak banyak menarik perhatian orang-orang yang berpapasan itu. Namun justru sebaliknya, kedua orang itu-lah yang memperhatikan iring-iringan beberapa orang laki-laki yang membawa berbagai macam peralatan itu.

“Kemana mereka pergi?” desis seorang dari kedua orang prajurit itu.

“Apakah mereka pergi ke sawah?” yang lain justru bertanya.

“Aku kira tidak. Jika mereka pergi ke sawah, tentu tidak beriringan seperti itu. Nampaknya mereka sedang mengerjakan sesuatu.”

Kedua orang prajurit itu pun kemudian sepakat untuk mengamati iring-iringan itu. Namun keduanya harus berhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak kedalam kesulitan. Apalagi jika hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas mereka.

Ternyata iring-iringan itu menuju ke sebuah pategalan. Nampaknya tanah di tempat yang agak tinggi itu kekurangan air dan tidak begitu subur, sehingga tidak dijadikan tanah persawahan. Tetapi tempat itu digarap sebagai tanah pategalan yang ditanami pohon kelapa, pohon buah-buahan, dan di beberapa kotak dicoba untuk ditanami jagung dan padi gaga.

Kedua orang prajurit itu menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak berani dengan serta-merta mendekati pategalan itu. Mereka sudah menduga, bahwa beberapa orang laki-laki itu tidak akan menggarap pategalan mereka. Tetapi mereka tentu sedang melakukan sesuatu di pategalan mereka.

Karena itu, kedua orang prajurit itu berusaha untuk mendekati pategalan itu tanpa diketahui oleh orang-orang yang sudah hilang di dalam rimbunnya pepohonan di pategalan.

Semakin dekat keduanya dengan pategalan itu, maka mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka mulai mendengar orang yang bukan saja bercakap-cakap, tetapi meneriakkan perintah-perintah.

Mereka kemudian terkejut ketika mereka melihat kesibukan di pategalan itu. Bahkan kemudian mereka melihat beberapa buah bangunan yang telah dibuat di pategalan itu.

“Itu tidak biasa,” desis salah seorang prajurit itu.

“Ya. Orang-orang padukuhan itu tidak akan membangun barak di tengah-tengah pategalan. Tentu ada sesuatu yang tidak biasa,” sahut yang lain.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka melihat bukan saja bangunan-bangunan sederhana dari bambu dan beratap ilalang, tetapi juga beberapa buah pedati.

“Padi,” desis salah seorang dari kedua orang prajurit. Tahulah kedua orang prajurit itu, bahwa bangunan itu tentu termasuk lumbung-lumbung padi yang dipersiapkan oleh para prajurit Pati. Dengan demikian, maka perhitungan Untara berdasarkan laporan-laporan para petugas sandi tidak salah, bahwa prajurit Pati akan melewati lingkungan yang masih belum terlalu banyak dihuni orang.

Bahkan yang mereka lihat kemudian, bukan saja padi yang diturunkan dari beberapa pedati dan dimasukkan ke dalam lumbung, tetapi juga peralatan dan senjata.

Kedua orang itu tidak menunggu terlalu lama. Mereka harus meninggalkan tempat itu sebelum mereka diketahui oleh orang-orang yang sedang sibuk itu. Karena menurut pengamatan kedua orang prajurit itu, di antara mereka terdapat sekelompok prajurit Pati yang mengawal bahan makanan dan peralatan itu. Tetapi juga sekelompok yang lain yang mempersiapkan tempat itu.

Demikianlah, kedua orang prajurit itu pun dengan sangat berhati-hati telah meninggalkan pategalan itu. Mereka berusaha agar mereka selalu berada di belakang gerumbul-gerumbul perdu di saat mereka berjalan menjauhi pategalan itu.

“Kita melihat padukuhan terdekat. Beberapa orang laki-laki yang membantu mengangkat dan memindahkan bahan makanan dan perbekalan itu tentu berasal dari padukuhan itu,” berkata salah seorang dari mereka.

Kawannya mengangguk-anguk sambil berdesis, “Marilah. Mudah-mudahan kita mendengar tentang sesuatu.”

Kedua orang itu pun kemudian telah pergi ke sebuah padukuhan. Dengan hati-hati mereka memasuki regol. Namun padukuhan itu nampak sepi.

Untuk beberapa saat mereka melihat-lihat keadaan padukuhan itu. Namun yang mereka jumpai kebanyakan hanyalah orang-orang perempuan, kanak-kanak dan orang-orang tua.

Di sebuah simpang empat dilihatnya seorang perempuan yang sedang sibuk menyapu jalan di depan rumahnya. Kedua orang prajurit itu pun kemudian mendekatinya. Agar tidak mengejutkan, maka beberapa langkah sebelum mendekati perempuan itu keduanya telah berhenti dan mengangguk normat.

Perempuan itu memandangi mereka dengan kerut di dahinya. Namun di penglihatannya, kedua orang itu adalah orang kebanyakan yang kebetulan lewat padukuhannya.

Seorang di antara prajurit itu pun kemudian bertanya, “Apakah di padukuhan ini ada sebuah kedai nasi? Kami adalah dua orang pejalan yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Sejak pagi kami belum makan, karena kami tidak menemukan sebuah kedai pun di sepanjang perjalanan kami.”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang itu menggelengkan kepala sambil berkata, “Sayang Ki Sanak. Di padukuhan ini tidak ada sebuah kedai pun di saat seperti ini. Di pagi hari, ada kedai kecil yang menjual makanan di sebelah sebuah warung kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari, serta beberapa orang berjualan barang anyaman dan gula kelapa, yang sering diambil oleh pedagang gula dari padukuhan lain. Tetapi hanya sampai menjelang tengah hari.”

Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk. Namun salah seorang di antara para prajurit itu berkata, “Sayang sekali. Aku mempunyai uang, tetapi aku tidak dapat membeli makanan apapun juga. Jika aku haus, aku dapat mencari sebuah belik yang bening, atau jika kebetulan menjumpai persediaan air di dalam gentong yang memang diletakkan di depan regol-regol halaman. Tetapi jika aku kelaparan seperti ini, bagaimana kami mendapatkan nasi.”

Perempuan itu nampaknya menjadi iba. Karena itu, maka katanya, “Aku mempunyai sedikit nasi di rumah. Apakah kalian mau makan nasi di rumahku?”

Kedua orang prajurit itu pun kemudian saling berpandangan. Namun seorang di antara mereka pun berkata, “Terima kasih Nyi. Tetapi kami tidak ingin merugikan. Karena itu, biarlah nasi itu kami tukar dengan uang.”

“O, tidak. Aku dengan ikhas memberikan nasi itu kepada Ki Sanak berdua.”

“Bukan kami menolak, Nyi, tetapi sudah menjadi ketetapan hati kami untuk tidak berhutang budi dalam pengembaraan kami. Karena itu, jika uang kami ditolak, maka kami terpaksa tidak dapat menerima pemberianmu itu. Tetapi untuk kemurahan hati itu, kami mengucapkan beribu terima kasih.”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, salah seorang prajurit itu pun berkata, “Baiklah Nyi. Kami mohon diri. Kami akan meneruskan perjalanan dengan perut yang kelaparan.”

Perempuan itu memang menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Baiklah. Aku terima uang Ki Sanak. Tetapi yang penting bagiku bukan uang Ki Sanak itu. Tetapi aku tidak dapat membiarkan Ki Sanak berdua melanjutkan perjalanan dalam keadaan sangat lapar.”

Kedua orang prajurit itu tertegun. Seorang di antara mereka pun kemudian mengambil sekeping uang dari kantong ikat pinggangnya dan memberikannya kepada perempuan itu.

Perempuan itu terkejut. Sambil memandangi uang itu ia berkata, “Ini terlalu banyak Ki Sanak.”

“Biarlah Nyi. Kami hanya membawa bekal uang. Ternyata dalam keadaan yang paling sulit, uang itu tidak dapat membantu. Ketika kami kelaparan dan kami tidak menemukan kedai, uang itu tidak ada gunanya sama sekali.”

Perempuan itu masih saja ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Marilah, aku akan menyediakan nasi seadanya.”

“Terima kasih Nyi. Kami menunggu di sini,” jawab salah seorang prajurit.

“Maksud Ki Sanak, aku harus membungkus nasi itu?” bertanya perempuan itu pula.

“Jika tidak berkeberatan Nyi,” jawab prajurit itu, “dengan demikian, sebagian akan dapat kami bawa untuk makan malam nanti.”

Perempuan itu pun kemudian telah masuk ke dalam regol halamannya. Beberapa saat kedua orang prajurit itu menunggu sambil duduk di pinggir jalan.

Ketika perempuan itu keluar lagi, maka ia sudah membawa dua bungkus nasi yang dibungkus dengan daun pisang. Sambil menyerahkan kedua bungkus nasi, perempuan itu pun berkata, “Hanya seadanya. Sayur kacang panjang yang aku petik di kebun belakang.”

“Terima kasih Nyi, terima kasih,” berkata salah seorang prajurit itu sambil mengangguk dalam-dalam.

Namun kemudian prajurit itu bertanya, “Tetapi Nyi, nampaknya padukuhan ini sepi sekali. Aku hampir tidak pernah bertemu dengan laki-laki.”

“Mereka bekerja di pategalan,” jawab perempuan itu.

“Bekerja apa Nyi? Apakah memang musimnya menggarap pategalan sekarang ini?”

“Tidak. Mereka tidak mengerjakan pategalan,” jawab perempuan itu.

Kedua orang prajurit itu saling berpandangan. Seorang di antara mereka pun kemudian bertanya, “Lalu, apa yang mereka lakukan jika mereka tidak mengerjakan pategalan?”

“Aku tidak tahu. Tetapi tiga hari yang lalu, sekelompok prajurit telah datang ke padukuhan ini. Mereka minta kepada Ki Bekel untuk menyediakan tenaga, membantu para prajurit mempersiapkan sebuah perjuangan,” jawab perempuan itu.

“Perjuangan apa?” bertanya prajurit itu.

“Aku tidak tahu,” jawab perempuan itu.

“Apakah hanya laki-laki dari padukuhan in?” bertanya prajurit itu selanjurnya.

“Menurut suamiku, tidak. Selain laki-laki dari padukuhan ini, maka ada pula dari padukuhan lain,” jawab perempuan itu.

“Menurut suamimu, semuanya ada berapa orang, Nyi?”

“Aku tidak bertanya,“ jawab perempuan itu.

Kedua orang prajurit itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian mereka pun segera minta diri dengan sekali lagi mengucapkan terima kasih.

“Nasi ini jauh lebih berharga dari uangku itu Nyi. Uang itu tidak akan menolong ketika aku kelaparan di perjalanan,” berkata prajurit itu pula.

Demikianlah, kedua orang prajurit itu pun segera melanjutkan perjalanan mereka. Demikian mereka meninggalkan padukuhan itu, maka mereka pun segera mengambil arah menuju ke tempat induk pasukannya menunggu.

Kedua orang prajurit itu sampai ke induk pasukannya sebelum senja. Ternyata keempat orang kawannya pun mendapat keterangan yang sama. Tetapi mereka tidak sempat melihat sendiri, bangunan-bangunan yang nampaknya hanya untuk sementara, dibangun dipategalan sehingga sedikit terlindung oleh tumbuhan yang ada di pategalan itu.

Sabungsari kemudian menyimpulkan, bahwa Pati memang akan menyerang Mataram lewat daerah itu, sebagaimana diperhitungkan oleh Untara berdasarkan laporan para petugas sandi. Dengan demikian maka nampaknya Pati memang akan menyerang dari arah timur.

Untuk itu, maka Pati harus menempatkan perbekalannya di sepanjang jalur jalan yang akan dilalui. Tetapi agaknya Pati memang harus menghapus hambatan-hambatan di sepanjang perjalanan pasukannya.

“Kita hancurkan lumbung itu,” berkata seorang pemimpin kelompok.

Tetapi Sabungsari menggeleng, “Tidak. Kita tidak akan mengusik lumbung itu.”

“Kenapa?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Jika kita menghancurkan lumbung itu, maka mereka akan mengetahui bahwa Mataram atau pasukannya telah mengetahui jalur jalan yang dipersiapkan oleh Pati, serta tempat mereka menyiapkan bahan makanan dan perbekalan. Karena itu, kita akan membiarkannya. Tetapi pada saatnya lumbung-lumbung itu akan kita hancurkan. Mungkin bukan kelompok ini, tetapi kelompok-kelompok yang lain, menurut petunjuk yang kita berikan.”

Pemimpin kelompok itu tanggap. Perbekalan itu akan dihancurkan justru saat pasukan Pati sudah lewat, sehingga dukungan bahan makan dan perbekalannya akan terganggu.

Namun bukan berarti bahwa mereka akan segera kembali ke Jati Anom. Sabungsari masih akan membawa pasukannya lebih jauh lagi, untuk melihat lebih banyak persiapan-persiapan yang dilakukan Pati untuk menyerang Mataram.

Namun satu hal yang dapat mereka yakini, bahwa Pati memang tidak akan menyerang Pajang.

Sabungsari dan pasukan kecilnya itu beristirahat untuk beberapa saat lagi di tempat itu. Namun kemudian menjelang tengah malam, mereka pun segera melanjutkan perjalanan lagi. Sabungsari telah menugaskan empat orang yang lain untuk melihat-lihat jalan yang menurut perhitungan akan dilalui pasukan Pati. Namun mereka harus menjadi semakin berhati-hati.

“Kita tidak tergesa-gesa,” berkata Sabungsari. “Perjalanan kita memang akan menjadi lamban. Tetapi kalian tahu dimana kalian dapat menemukan induk pasukan ini. Kami akan selalu membuat jejak sandi sebagaimana sudah kita sepakati.”

Dengan demikian, maka Sabungsari telah maju lagi beberapa ratus patok. Perjalanan mereka memang lamban. Kecuali mereka masih belum menguasai medan yang mereka tempuh, malam gelapnya bukan main.

Namun prajurit-prajurit yang terlatih itu mampu mengatasi medan yang sulit itu. Mereka tidak lupa membuat jejak-jejak sandi bagi kepentingan kawan-kawan mereka yang bertugas terpisah, agar mereka dapat menemukan pasukan induknya.

Di malam dan di hari berikutnya, prajurit-prajurit di bawah pimpinan Sabungsari itu menemukan tanda-tanda yang memastikan jalur jalan pasukan Pati.

Namun para prajurit yang memisahkan diri dari induk pasukannya itu telah terhenti di sebuah padukuhan.. Mereka melihat padukuhan kecil itu tidak tertidur di malam hari. Bahkan terlihat kesibukan yang berlebihan.

Dengan hati-hati mereka sempat mendekat. Barulah mereka yakin, bahwa padukuhan itu menjadi tempat pemberhentian prajurit-prajurit Pati, yang nampaknya mendahului untuk mempersiapkan jalur yang akan dilalui.

“Kanjeng Adipati benar-benar telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya,“ berkata salah seorang dari para prajurit itu.

“Ya,“ kawan-kawannya mengangguk-angguk.

Namun para prajurit Mataram itu menduga bahwa prajurit Pati masih belum akan bergerak dalam satu dua hari ini. Mereka masih melihat para prajurit yang ada di padukuhan itu mempersiapkan landasan bagi para prajurit, yang jumlahnya tentu akan banyak sekali. 

Para prajurit Mataram itu berusaha mengamati padukuhan itu dengan saksama. Mereka telah memencar untuk dapat melihat padukuhan itu dari segala sisi.

Menurut pengamatan para prajurit Mataram itu, padukuhan itu akan menjadi tempat pemberhentian sebuah pasukan yang besar. Mereka telah mempersiapkan rumah-rumah penduduk untuk dapat dipergunakan olen para prajurit. Pendapa banjar, rumah Ki Bekel dan rumah-rumah yang agak besar yang lain.

Tetapi para prajurit Mataram itu melihat bahwa arah yang akan ditempuh oleh para prajurit Pati itu bercabang. Kegiatan mereka pun nampaknya menuju ke dua arah.

Para prajurit Mataram melihat prajurit penghubung berkuda yang keluar dan masuk padukuhan itu dari dan ke arah selatan dan barat.

Untuk beberapa saat mereka mencoba memecahkan kemungkinan itu. Namun mereka tidak segera dapat mengambil kesimpulan.

Ketika hal itu dilaporkan kepada Sabungsari, maka Sabungsari pun kemudian berniat untuk melihat sendiri.

Karena itu, maka sehari-harian mereka menunggu di tepi sebuah hutan, sampai saatnya senja turun.

Malam itu Sabungsari sendiri melihat padukuhan yang nampaknya akan menjadi landasan gerak pasukan Pati. Namun menurut perhitungan Sabungsari, jarak itu masih terlampau jauh dari Mataram.

“Mungkin tempat ini tidak akan dijadikan landasan utama,” berkata Sabungsari kepada prajuritnya yang menyertainya.

“Jadi?” bertanya prajurit itu.

“Aku menduga bahwa di tempat ini pasukan Pati akan dipecah menjadi dua. Satu menuju ke selatan, yang lain menuju ke barat.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Mereka memang melihat beberapa buah pedati yang menuju ke arah barat.

Dengan kesimpulan itu, ketika ia kembali ke pasukan induknya, maka iapun berkata kepada para prajuritnya, “Kita harus melihat semuanya. Kita harus menelusuri lebih jauh persiapan pasukan Pati ini. Tetapi kita juga akan melihat jalur barat, yang nampaknya tidak kalah pentingnya dari jalur ke selatan. Kita sudah dapat menduga, jalur ke selatan akan menuju ke Jati Anom dan menguasai daerah di sekitarnya. Kemudian pasukan Pati akan bergerak ke barat. Sementara itu kita belum dapat membayangkan arah pasukan yang akan menuju ke barat dari padukuhan itu.”

Prajurit-prajuritnya mendengarkan keterangan Sabungsari itu dengan saksama. Apalagi ketika Sabungsari kemudian menentukan bahwa pasukan kecilnya itu akan dibagi menjadi tiga. Sepertiga meneruskan perjalan melihat jalur jalan yang akan dilalui prajurit Pati. Sepertiga tetap berada di tempat itu untuk mengamati kegiatan di padukuhan yang nampaknya menjadi tempat yang penting itu. Dan sepertiga akan mencoba melihat ke arah barat. Apakah ada persiapan-persiapan yang memerlukan perhatian.

“Aku sendiri akan menelusuri jalur jalan ke arah barat itu,” berkata Sabungsari kemudian. Lalu katanya, “Kita akan berkumpul lagi dua hari mendatang. Aku yakin, kalian tidak akan menjadi kelaparan.”

Demikianlah, malam itu juga Sabungsari dan kelompoknya mulai bergerak. Demikian juga kelompok yang harus melanjutkan perjalanan. Sementara kelompok yang tinggal, mempunyai kesempatan untuk beristirahat.

Tetapi bukan berarti bahwa kewajiban mereka menjadi lebih ringan. Mereka harus mengawasi kegiatan-kegiatan yang terjadi di padukuhan itu.

Demikianlah, maka ketiga kelompok kecil itu telah berusaha melaksanakan tugas mereka dengan sebaik-baiknya. Sabungsari yang menelusuri arah hubungan prajurit Pati ke barat, mendapatkan kesimpulan bahwa pasukan Pati akan dibagi dua. Kekuatan utama akan langsung menuju ke Jati Anom dan sekitarnya untuk kemudian bergerak ke barat, sementara yang lain akan mengganggu pemusatan kekuatan Mataram dengan menyerang Mataram dari arah utara.

Sementara itu, kelompok yang mengawasi padukuhan yang akan menjadi landasan utama pasukan Pati itu memperkuat dugaan bahwa pasukan Pati memang akan terbagi. Sementara kelompok yang menelusuri jalur berikutnya melihat lalu lintas pasukan yang sibuk.

Sabungsari tidak banyak membuang waktu. Menurut perhitungannya, meskipun tidak dalam satu dua hari mendatang, tetapi dalam waktu yang dekat Pati akan menyerang.

Karena itu, Sabungsari telah membawa pasukan kecilnya kembali ke Jati Anom, untuk memberikan laporan hasil pengamatan mereka.

Seperti saat mereka berangkat, maka mereka pun telah mengambil jalan yang sepi di saat mereka kembali. Merekapun menempuh perjalanan di malam hari untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

Bahkan kemudian Sabungsari memutuskan untuk menjauhi jalur jalan yang sudah mereka ketahui di saat mereka berangkat, agar mereka dapat berjalan lebih cepat.

Namun ketika mereka sampai di dekat hutan Nglungge, mereka terhenti. Di kejauhan mereka melihat perapian di sebuah padang perdu.

Dengan berbagai macam pertanyaan di hati, para prajurit Mataram yang ditempatkan di Jati Anom itu memperhatikan api yang memang tidak terlampau besar. Tetapi yang dapat mereka lihat adalah dua onggok perapian yang nampaknya sedang dikerumuni oleh beberapa orang.

“Aku ingin melihat, siapakah yang membuat parapian itu,” desis Sabungsari.

“Biarlah kami berangkat,” berkata seorang pemimpin kelompok.

Tetapi Sabungsari menjawab, “Aku sendiri akan melihat. Aku minta kau dan dua orang lagi pergi bersamaku.”

Demikianlah, maka empat orang dengan sangat berhati-hati berusaha mendekati parapian itu. Mereka terkejut ketika mereka menyadari bahwa di hadapan mereka sekelompok prajurit sedang merubungi dua onggok parapian, sambil memanggang jagung muda yang nampaknya mereka petik dari sawah atau pategalan.

“Siapa mereka?” desis salah seorang prajurit tertahan.

Sabungsari memberi isyarat agar prajurit itu berhati-hati berbicara. Namun kemudian Sabungsari sendiri berbisik perlahan. “Menilik pakaian dan kelengkapan mereka, mereka bukan prajurit Mataram. Tetapi mereka tentu prajurit Pati.”

“Tetapi bagaimana mungkin mereka ada di sini?” bertanya pemimpin kelompok yang menyertai Sabungsari itu, “bukankah daerah ini menurut perhitungan tidak termasuk jalur jalan yang akan dilalui oleh para prajurit Pati jika mereka akan bergerak ke selatan?”

“Mungkin mereka termasuk sekelompok prajurit yang harus mengamankan lingkungan ini sebelum induk pasukannya akan lewat. Atau sekelompok prajurit yang dengan sengaja menyesatkan perhitungan pasukan Mataram yang ada di Jati Anom,” jawab Sabungsari.

Para prajurit itu terdiam. Mereka masih saja memperhatikan orang-orang yang ada di sekitar perapian itu.

Namun tiba-tiba saja Sabungsari berdesis, “Berhati-hatilah. Nampaknya ada orang yang melihat kehadiran kita”

Para prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Sabungsari memberi isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk mundur.

“Kita akan menghindari benturan kekerasan sejauh dapat kita lakukan,” berkata Sabunggsari.

Tetapi demikian mereka bergerak mundur, maka Sabungsari telah mendengar langkah kaki beberapa orang di belakangnya.

“Kita sudah dikepung,” desis Sabungsari.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Apa boleh buat,” jawab Sabungsari.

“Kita akan melawan mereka?” bertanya salah seorang prajurit yang menyertainya.

“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” jawab Sabungsari.

Sebenarnyalah, beberapa orang pun kemudian telah bergerak mendekati mereka dari beberapa arah. Karena itu, Sabungsari dan ketiga orang itu pun segera berdiri tegak menghadap ke empat arah.

“Jangan bergerak!“ terdengar sebuah perintah.

Sabungsari memandang berkeliling. Yang berdiri di sekitarnya terdiri dari sekitar sepuluh orang. Apalagi ketika orang-orang yang berkerumun di dekat parapian itu mendengar perintah yang lantang itu.

“Ada apa?” bertanya seseorang.

“Ada beberapa orang yang nampaknya sedang mengintai kita,” jawab salah seorang dari orang yang mengepung Sabungsari dan prajurit-prajuritnya itu.

“O. Berapa orang?” bertanya orang di dekat parapian itu.

“Yang kami lihat di sini empat orang,” jawab salah seorang dari mereka yang mengepung Sabungsari itu.

Orang-orang yang duduk di perapian itu berkata, “Tangkap mereka, bawa kemari. Jika perlu, biarlah mereka kita panggang di atas api ini.”

Orang yang berdiri di kepungan itu tidak menjawab lagi. Namun orang itu pun bertanya kepada Sabungsari, “Siapakah kalian, dan apa kepentingan kalian mengintip kami?”

Sabungsari pun menjawab, “Kami tidak dengan sengaja mengintip kalian. Kami hanya sekedar lewat. Tetapi kami melihat perapian di sini, sehingga kami tertarik untuk melihatnya.”

“Omong kosong,” jawab orang yang berdiri di lingkaran yang mengepung Sabungsari dan kawan-kawannya itu, “kalian tidak akan dapat ingkar. Tetapi siapapun kalian yang sudah terlanjur melihat kehadiran kami di sini, harus menanggung akibatnya. Mungkin kalian memang sedang bernasib buruk semata-mata, karena kalian tanpa sengaja mendekati parapian ini. Namun setiap orang yang telah melihat kami di sini, tidak akan pernah dapat mengatakan kepada siapaun juga.”

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi Sabungsari itu memandang berkeliling, seakan-akan ia sedang melihat sisi kelemahan kepungan itu.

Tetapi orang yang nampaknya pemimpin kelompok yang mengepung itu tertawa. Katanya, “Kalian tidak akan dapat lari.”

Sabungsari memang melihat kepungan itu rapat. Namun bukan berarti tidak dapat ditembusnya.

Tetapi Sabungsari pun sadar, bahwa dengan satu teriakan saja, maka orang-orang yang duduk di seputar perapian itu akan bangkit dan menyerang mereka bersama-sama.

Tetapi Sabungsari pun sadar, bahwa iapun tidak sekedar berempat. Dengan satu isyarat, maka kawan-kawannya yang berada tidak terlalu jauh akan segera datang pula.

Justru karena itu, maka Sabungsari nampak tetap tenang menghadapi orang-orang yang mengepungnya. Demikian pula ketiga orang kawan-kawannya.

Bahkan Sabungsari itu masih sempat bertanya, “Ki Sanak. Siapakah sebenarnya Ki Sanak yang membuat perapian di sini?”

“Siapa menurut pendapatmu, sehingga kau berusaha untuk mengamati kami?”

“Sudah aku katakan, kami tidak mengamati kalian. Kami hanya lewat saja di sini.”

“Baiklah. Siapapun kalian, maka kalian akan kami panggang di atas api itu. Kalian berempat harus dibunuh di sini, agar kalian tidak dapat bercerita tentang kami di sini.”

“Bagaimana mungkin kami dapat bercerita tentang kalian, kami memang tidak mengenal kalian dan tidak mengerti apa yang kalian lakukan di sini,” berkata Sabungsari.

“Cukup!” bentak orang itu, ”Sekarang, nasib buruk itu akan menimpa kalian. Kalian tidak usah mencoba melawan. Kami terdiri dari banyak orang. Segala perlawanan akan sia-sia. Perlawanan hanya akan membuat darah kami semakin panas, sehingga kami akan dapat berbuat lebih buruk dari sekedar membunuh kalian.”

“Jadi kalian akan membunuh kami?” bertanya Sabungsari.

“Ya. Bukankah sudah aku katakan, agar kalian tidak dapat berbicara tentang kami di sini?”

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia berbuat sesuatu, dilihatnya seorang yang bertubuh tinggi dan agak kekurus-kurusan melangkah mendekatinya, menyibak orang-orang yang mengepungnya.

“Kami memang harus membunuh kalian Ki Sanak. Kami minta maaf, bahwa kami tidak mempunyai pilihan lain,” berkata orang itu. Kemudian katanya lebih lanjut, “Tetapi sebelum kalian mati, aku tidak berkeberatan jika kalian mengetahui, siapakah kami sebenarnya.“Oorang itu berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Kami adalah prajurit-prajurit Pati.”

“Prajurit Pati,“ ulang Sabungsari.

“Bukankah kau melihat sebagian dari kami masih mengenakan ciri-ciri prajurit Pati? Sebagian yang lain memang tidak,” berkata orang itu pula, “tetapi kami berada di sini bukan karena tugas kami sebagai prajurit Pati. Kami sedang melakukan tugas bagi kepentingan pribadi kami di luar pengetahuan para senapati kami. Karena itu kalian harus mati, agar pelanggaran yang kami lakukan ini tidak sampai terdengar oleh para senapati Pati sendiri, karena jika mereka mendengar tingkah laku kami, kami akan dapat dihukum sendiri oleh senapati-senapati kami.”

“Apa yang telah kalian lakukan?” bertanya Sabungsari.

Orang itu tertawa. Katanya, “Sudah cukup. Aku tidak akan memberitahukan lebih banyak lagi.”

Sabungsari menyadari, bahwa kesempatan tidak banyak lagi. Karena itu, maka iapun kemudian telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Jangan mencoba berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan kalian sendiri,” berkata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu. “Kau sudah terjebak dari sifat burukmu, ingin tahu sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentinganmu sendiri.”

“Baiklah,” berkata Sabungsari, “dalam kesempatan terakhir, biarlah aku juga berterus-terang. Aku ingin kalian menyerah tanpa pertumpahan darah, karena kami adalah prajurit-prajurit Pati yang bertugas untuk menjaga nama baik dan wibawa Pati. Karena itu, maka kami harus menangkap kalian dan membawa kalian menghadap para senapati.”

Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu tertawa. Justru berkepanjangan. “Kalian jangan berusaha menyelamatkan diri dengan cara yang licik itu. Kalian tidak usah mengaku prajurit Pati, karena aku mengenal mereka yang bertugas mendahului pasukan induk dengan baik. Tidak ada seorangpun yang tampangnya seperti tampang kalian ini.”

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Sedangkan orang itu berkata, “Kesempatan kalian untuk memperpanjang umur kalian sudah cukup. Sekarang, menyerahlah. Kami mempunyai cara yang baik untuk membunuh orang yang patuh kepada perintah kami. Tetapi kami pun mempunyai cara yang baik pula untuk membunuh orang yang menentang perintah kami.“

Sabungsari memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Karena itu, maka iapun telah meletakkan jari-jarinya di mulutnya. Terdengar suitan nyaring menggetarkan udara malam di tepi hutan Nglungge.

Ketiga orang prajurit yang mengikutinya itu pun berbuat hal yang sama pula, sehingga suitan itu terdengar bersahut-sahutan.

Orang-orang yang mengepung Sabungsari dan kawan-kawannya itu terkejut. Mereka segera sadar, bahwa yang mereka hadapi bukan hanya empat orang itu, tetapi tentu lebih dari itu.

Orang-orang yang masih berkerumun di sekitar kedua onggok perapian itu pun terkejut. Mereka pun segera menyadari pula bahwa mereka akan berhadapan dengan sekelompok orang.

Ketika para prajurit Pati itu masih termangu-mangu, maka Sabungsari pun berkata, “Atas nama pemerintah Mataram, menyerahlah. Aku berjanji bahwa kalian akan diperlakukan sesuai dengan paugeran atas prajurit yang tertawan.”

“Setan kau,“ geram orang yang bertubuh kekurus-kurusan, “kami akan membunuh kalian semua.”

Ketika orang-orang yang mengepung Sabungsari dan ketiga orang kawannya itu mulai bergerak, maka orang-orang yang berkerumun di sekitar perapian itu pun segera bangkit. Mereka segera menyadari bahwa mereka ada dalam keadaan bahaya. Mereka mendengar Sabungsari menyebut dirinya prajurit Mataram.

Karena itu, mereka harus segera berbuat sesuatu untuk mengatasinya.

Dalam pada itu, isyarat yang diberikan oleh Sabungsari dan ketiga orang prajuritnya telah ditangkap oleh para prajurit Mataram yang dengan sungguh-sungguh sedang mengamati keadaan. Demikian mereka mendengar isyarat, maka para pemimpin kelompok pasukan Mataram itu segera memerintahkan prajurit-prajuritnya bergerak. Mereka mendekati sasaran dari ketiga arah yang berbeda.

Sementara itu, Sabungsari dan ketiga orang prajurit yang menyertainya sudah terlibat dalam pertempuran. Orang-orang yang mengepungnya mulai menyerang dari segala arah.

Namun mereka tidak dapat memusatkan segenap perhatian mereka kepada keempat orang yang berada di dalam kepungan itu. Para prajurit Mataram yang berlari ke arah mereka, telah bersorak-sorak. Mereka sengaja memecah perhatian orang-orang yang masih belum mereka kenali. Namun yang pasti, bahwa telah terjadi benturan kekuatan antara mereka dengan Sabungsari dan ketiga orang prajurit yang menyertainya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian para prajurit Mataram itu telah menyerang dengan garangnya. Orang-orang yang semula berkerumun di sekitar perapian itu pun telah menyongsong pula. Sehingga dengan demikian maka pertempuran pun telah terjadi antara sekelompok prajurit Pati melawan sekelompok prajurit Mataram.

Di saat-saat pasukan Mataram membentur kekuatan prajurit Pati, Sabungsari telah memanfaatkan keadaan. Bersama ketiga prajurit yang menyertainya, mereka telah memecahkan kepungan di sekitar mereka. Sabungsari dan ketiga prajuritnya itu telah menerobos keluar dari kepungan, dan bahkan kemudian bergabung dengan para prajurit Mataram yang telah datang dari tiga arah itu.

“Kita akan menangkap mereka!“ teriak Sabungsari, “Mereka adalah prajurit-prajurit Pati.”

Dalam pada itu pemimpin sekelompok prajurit Pati itu pun berteriak pula, “Kita hancurkan prajurit Mataram itu sekarang.”

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun segera meningkat menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.

Para pemimpin kelompok dari Mataram yang merasa bahwa jumlah prajurit yang mereka bawa lebih sedikit dari jumlah para prajurit dari Pati, telah mengisyaratkan agar para prajuritnya menyerang dengan mengandalkan kemampuan pribadi mereka. Mereka diisyaratkan untuk menusuk sampai ke jantung perlawanan para prajurit Pati.

Sabungsari sendiri menyadari bahwa prajurit Mataram harus mengerahkan segenap kemampuan mereka, jika para prajurit Mataram itu tidak ingin digilas oleh orang-orang Pati itu.

Dengan demikian pertempuran itu pun menjadi semakin seru, tetapi juga menjadi semakin rumit. Prajurit Mataram yang jumlahnya sedikit itu berusaha mengimbangi lawannya dengan kecepatan gerak mereka seorang-seorang.

Dalam pada itu, gelar pasukan Mataram itu ternyata mampu menggoyahkan perlawanan prajurit Pati. Apalagi prajurit Pati yang sedang bertempur itu, sebagian adalah orang-orang baru yang dihimpun dengan tergesa-gesa untuk menyerang Mataram, sehingga mereka belum memiliki tingkat kemampuan yang sama dengan kawan-kawannya yang lebih dahulu berada di lingkungan keprajuritan. Setidak-tidaknya dari segi pengalaman.

Dengan demikian, mereka memang menjadi bingung menghadapi para prajurit Mataram yang terlatih baik serta mempunyai pengalaman yang luas pula.

Karena itu, satu-satu para prajurit Pati itu pun terlempar dari medan pertempuran. Apalagi mereka yang berada dekat dengan Sabungsari. Pedang Sabungsari menyambar-nyambar seperti burung sikatan.

Prajurit Pati yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu beberapa kali meneriakkan aba-aba. Namun prajurit-prajuritnya memang mengalami kesulitan untuk berbuat lebih banyak lagi.

Bagi para prajurit yang belum memiliki banyak pengalaman serta latihan yang kurang matang, maka bertempur dalam kegelapan serta tanpa jarak antara lawan dan kawan, membuat mereka kadang-kadang kehilangan kesempatan. Mereka tidak segera mengenali sasaran, namun senjata lawan lebih dahulu telah mematuknya.

Pertempuran di tepi hutan Nglungge itu rasa-rasanya telah mengguncang udara malam. Sekali-sekali terdengar teriakan nyaring. Sekali-sekali terdengar aba-aba. Namun sekali-sekali terdengar jerit kesakitan.

Mereka yang kulit dan dagingnya dikoyak oleh ujung senjata, mengaduh tertahan. Tetapi ada juga yang berteriak mengumpat-umpat, selain mereka yang berusaha untuk menggeretakkan giginya menahan sakit dan kemarahan

Namun dalam pada itu, sejenak kemudian ternyata bahwa para prajurit Mataram memiliki beberapa kelebihan. Mereka memiliki kemampuan pribadi lebih tinggi. Mereka memiliki pengalaman yang lebih luas, serta landasan tekad yang lebih mapan. Para prajurit Mataram itu merasa bertempur untuk melaksanakan tugas dan kewajiban mereka, sementara prajurit Pati justru sedang melakukan penyimpangan dari tugas keprajuritan mereka.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar