Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 290

Buku 290

“Senang atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya.”

“Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya? Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?” geram orang bertubuh tinggi kekar itu.

“Ki Argajaya hanya ingin menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud apa-apa. Anak-anak menunjukkan satu sikap jujur dan tidak dibuat-buat, sedang seorang perempuan menampakkan niatnya untuk bersikap baik, damai dan tanpa kekerasan.”

“Itulah yang sangat licik,“ berkata orang yang lebih tua itu, “ia ingin berlindung di belakang isyaratnya itu untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan oleh anaknya. Untuk menghindari tanggung jawab, ia ingin dianggap jujur dan damai. Damai dalam keadaan seperti sekarang akan sama artinya dengan meletakkan tali di leher Kanthi. Setiap saat hal itu akan dapat menyeretnya dan membunuhnya.”

Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Bagaimanapun juga aku hargai niat baik Ki Argajaya. Aku berterima kasih bahwa ia telah mengirimkan utusan pagi ini untuk memberitahukan sore nanti akan datang utusan resmi.”

Orang yang bertubuh tinggi kekar itu berkata, “Ki Argajaya telah memanfaatkan kelemahan Kakang itu.”

Ki Suracala memandang orang yang bertubuh tinggi kekar itu sambil berkata, “Suradipa. Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apakah yang kau katakan itu benar?”

Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada keras, “Kakang tidak usah berkata seperti itu. Tidak akan ada gunanya sama sekali.”

“Dan kau tidak perlu memperlakukan anak-anak ini dengan caramu itu,“ sahut Ki Suracala.

Orang yang bertubuh tinggi kekar dan disebut Suradipa itu pun tiba-tiba membentak Glagah Putih, “Pergilah! Katakan kepada Argajaya. Jika ia mengirimkan orang kemari, sebaiknya mereka hanya membawa pesan satu kalimat. Jawaban dari pertanyaan, kapan pernikahan anaknya dan anak Kakang Suracala dilakukan. Itu saja. Jika mereka membawa cerita panjang lebar, maka semuanya itu tidak akan ada gunanya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih bertanya kepada Ki Suracala, “Apakah Ki Suracala akan memberikan pesan bagi Ki Argajaya?”

“Sampaikan salamku kepada Ki Argajaya dan keluarganya. Aku menunggu kehadiran utusannya sore nanti.”

“Terima kasih, Ki Suracala,“ sahut Glagah Putih, yang kemudian berkata selanjutnya, “jika demikian, kami akan mohon diri. Kami akan menyampaikan pesan Ki Suracala kepada Paman Argajaya.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri dan meninggalkan pringgitan itu. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Seorang laki-laki yang berwajah garang, yang sehari sebelumnya melihat Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Sedang seorang yang lain adalah seorang laki-laki yang masih terhitung muda, serta seorang yang bertubuh pendek tetapi otot-ototnya nampak menjalari wajah kulitnya dari dahi sampai ke ujung jari-jari kakinya.

Ternyata laki-laki yang berwajah garang itu masih mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka iapun telah menceritakannya kepada laki-laki yang masih terhitung muda itu.

“Memang mencurigakan,“ berkata laki-laki muda itu, “tetapi perempuan itu cantik sekali. Menurut penghitunganku, lebih cantik dari kanthi.”

Orang yang bertubuh pendek itu pun berkata, “Kau selalu mengatakan perempuan yang kau lihat lebih cantik dari perempuan yang sebelumnya pernah kau kenal. Kau juga mengatakan bahwa Kanthi lebih cantik dari istrimu ketika itu.”

“Aku koyak mulutmu,” geram laki-laki muda itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi ia pantas dicurigai jika kemarin ia sudah lewat di depan regol halaman ini. Apalagi dengan pakaian keseharian. Tentu mereka mempunyai maksud tertentu.”

“Lalu, apa yang akan kita lakukan?” bertanya orang yang berwajah garang.

“Kita harus mengetahui, apa maksud kedatangannya kemarin,“ berkata laki-laki muda itu, “kita akan menemui mereka di bulak pategalan.”

Kedua orang yang lain tidak menjawab. Demikian laki-laki muda itu bergerak, keduanya pun ikut pula bergerak.

Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Mereka menelusuri jalan yang kemarin mereka lalui. Tetapi mereka tidak sempat sampai ke simpang tiga tempat mereka menunggu Kanthi sambil membeli dawet cendol.

Demikian mereka keluar dari padukuhan, maka mereka telah berjalan di tepi sebuah bulak yang tidak terlalu luas. Sebuah jalan simpang berbelok ke kiri. Jalan itu agaknya juga menuju ke sungai, lewat pategalan yang agak luas yang sedang ditanami ketela pohon yang tumbuh di sela-sela pohon buah-buahan.

Glagah Putih dan Rara Wulan mulai tertarik melihat tiga orang berdiri di mulut lorong. Nampaknya mereka memang sedang menunggu. Bahkan Glagah Putih pun kemudian berdesis, “Kau kenal salah seorang dari mereka?”

“Ya,” jawab Rara Wulan, “orang yang kemarin berada di regol halaman ketika perempuan yang mencari Kanthi keluar dari halaman rumah Ki Suracala.”

“Berhati-hatilah,“ berkata Glagah Putih, “nampaknya mereka bukan orang yang ramah.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Untung kita tidak mengikuti jalan pikiran Kakang Agung Sedayu.”

“Tetapi Kakang Agung Sedayu dapat mengerti bahwa kita bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Namun ia tidak sempat menjawab, karena mereka menjadi semakin dekat dengan ketiga orang itu.

Sebenarnyalah, ketika mereka lewat di depan mulut lorong itu, laki-laki muda salah seorang dari ketiga orang itu berkata dengan nada keras, “Berbeloklah. Jangan macam-macam, agar kami tidak menyakiti kalian.”

“Berbelok kemana?” Rara Wulan-lah yang bertanya, “kami akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Aku tidak peduli kalian akan pergi ke mana. Tetapi berbeloklah. Kita akan berbicara di pategalan.”

“Kami harus segera pulang, Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian.

“Aku tidak mau mendengar jawab kalian. Aku perintahkan berbelok. Lakukan, atau kami akan melakukan kekerasan.”

Glagah Putih yang sudah berdiri di sisi Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ketiga orang itu bersungguh-sungguh ingin memaksa mereka membelok mengikuti lorong itu.

Glagah Putih sempat memperhatikan jalan yang dilaluinya. Beberapa orang lewat memperhatikan mereka. Agaknya mereka mengira bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan itu bertemu dengan kawan-kawannya, sehingga keduanya berhenti sejenak untuk berbincang-bincang.

“Cepat,” geram orang yang masih terhitung muda itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sejenak. Namun ternyata Rara Wulan-lah yang menjawab, “Baiklah. Kami akan berbelok. Tetapi kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, kami minta apa yang ingin kalian katakan, cepat katakan.”

“Berbeloklah. Berbelok masuk ke dalam lorong. Jangan berbicara saja di situ.” Orang itu nampak tidak sabar lagi.

Rara Wulan dan Glagah Putih memang tidak berbicara lagi. Keduanya pun kemudian berjalan memasuki lorong kecil menuju ke pategalan.

Semakin dalam mereka memasuki lorong kecil itu, terasa bahwa lingkungannya menjadi semakin sepi. Lorong itu menjadi semakin sempìt dihimpit oleh pagar pategalan.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka tahu bahwa ketiga orang itu tentu bermaksud tidak baik atas diri mereka berdua.

Sebenarnyalah, ketika mereka menjadi semakin jauh dari jalan yang cukup ramai itu, orang yang masih terhitung muda itu dengan serta merta lelah menangkap lengan Rara Wulan dan menariknya lewat pintu pagar, masuk ke pategalan yang sedang ditanami ketela pohon di sela-sela pohon buah-buahan itu.

“Jangan ribut,” geram orang itu.

Rara Wulan terkejut. Ia memang tersentak ke dalam pategalan dan segera menyeruak di antara batang-batang ketela pohon yang berdaun rimbun.

Tetapi Raia Wulan itu berusaha mengibaskan tangannya. Selangkah ia mundur sambil berkata lantang, “Apa artinya ini?”

Orang yang masih terhitung muda itu memandangnya dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata kepada kedua orang kawannya, “Kendalikan anak muda itu. Aku akan menjinakkan gadis ini.”

Wajah Rara Wulan menjadi merah. Namun orang itu berkata, “Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya kalian lakukan di sini berdua.”

“Kami datang untuk menyampaikan pesan Paman Argajaya, bahkan sore nanti Paman akan mengirimkan utusannya untuk menemui Ki Suracala,” jawab Rara Wulan lantang.

“Bohong,“ sahut orang itu, “jika demikian, kenapa kemarin kau juga datang kemari?”

Tetapi ternyata Rara Wulan cukup tangkas untuk menjawab, “Kami belum pernah melihat rumah Ki Suracala. Karena itu kami harus mencari dan menemukannya lebih dahulu. Baru kemudian kami datng untuk menemuinya.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Aku tidak percaya. Jika demikian, kenapa kemarin kau memakai pakaian yang berbeda sama sekali dengan pakaian yang kau kenakan sekarang?”

“Bukankah kemarin kami hanya sekedar mencari untuk mengetahui letak rumah Ki Suracala? Nah, sekarang kami akan datang menemuinya. Bukankah kami harus berpakaian lebih sopan?”

“Kau tidak dapat membohongi aku. Kalian berdua tentu mempunyai maksud tertentu. Nah, sebelum kau mengatakannya, maka kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan tempat ini,“ berkata orang itu.

“Aku tidak dapat mengatakan yang lain,” jawab Rara Wulan.

Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Ia berkata sebenarnya.”

“Diam kau!” bentak orang itu, “Aku tidak bertanya kepadamu. Tetapi aku bertanya kepada gadis ini.”

Glagah Putih hanya menarik nafas panjang, sementara itu dua orang yang lain bergeser mendekatinya dari kedua sisi.

Orang yang masih muda itu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita berbicara di gubug itu.”

“Tidak,“ sahut Rara Wulan.

“Kau tidak dapat menolak,“ berkata orang itu.

“Tidak ada lagi yang akan dibicarakan,” jawab Rara Wulan.

“Masih banyak yang dapat kita bicarakan. Mungkin persoalan yang lain yang tidak menegangkan,“ berkata orang itu.

“Tetapi siapakah sebenarnya kau? Apakah kau berkepentingan dengan persoalan yang sedang dibicarakan antara keluarga Paman Argajaya dan Ki Suracala?”

“Tentu. Aku keluarga dekat Paman Suracala,” jawab orang itu.

Wajah Rara Wulan berkerut. Orang itu menyebut Paman pada Ki Suracala. Karena itu, tiba-tiba saja Rara Wulan teringat kepada anak sepupu Ki Suracala.

Bahkan hampir di luar sadarnya Rara Wulan bertanya, “Kau saudara misan Kanthi? Anak saudara sepupu Ki Suracala?”

Wajah orang itu menjadi merah justru karena Rara Wulan menyebut nama Kanthi. Untuk beberapa saat orang itu justru terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Ya. Aku saudara misan Kanthi. Karena itu, aku berkepentingan dengan persoalan yang terjadi di rumah Paman Suracala.”

Wajah Kara Wulan menegang. Demikian pula Glagah Putih. Ternyata mereka berhadapan dengan orang yang licik tetapi buas seperti seekor serigala.

Pertemuan yang tidak terduga itu membuat jantung Rara Wulan bergejolak. Ia mulai membayangkan nasib Kanthi yang tidak menentu. Sebagai seorang gadis, maka Rara Wulan dapat membayangkan derita yang disandang oleh Kanthi, sementara Kanthi tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkannya.

Selagi Rara Wulan merenung, maka orang itu telah memegang pergelangan tangan Rara Wulan sambil berkata, “Marilah, kita berbicara di gubug itu. Kita akan dapat berbincang tanpa ketegangan, serta tidak akan terganggu oleh siapapun juga.”

Ternyata Rara Wulan tidak menolak. Ketika orang itu menarik tangannya, Rara Wulan mengikuti saja tanpa melawan.

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tahu maksud Rara Wulan. Dan itulah yang dicemaskan oleh Agung Sedayu, justru Rara Wulan tidak berusaha menghindarinya.

Tetapi Glagah Putih sendiri bahkan sependapat dengan Rara Wulan. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Bahkan iapun telah berjalan pula mengikuti Rara Wulan yang tangannya masih saja ditarik oleh orang itu.

Sambil berjalan Rara Wulan sempat berkata, “Siapa namamu, Ki Sanak?”

“O,” orang itu tergagap, “namaku Wiradadi. Kenapa?”

“Tidak apa-apa,” jawab Rara Wulan, “aku hanya ingin tahu.”

Wiradadi tidak berbicara lagi. Ia berjalan semakin cepat sambil menarik tangan Rara Wulan. Kesannya memang sangat tergesa-gesa, sehingga Rara Wulan harus berlari-lari kecil.

Beberapa puluh langkah di hadapan mereka memang terdapat sebuah gubug yang tidak terlalu kecil. Di bawah sebatang pohon belimbing lingir yang besar dan berbuah lebat. Di depan gubug itu terdapat tanah yang luang, seakan-akan merupakan halaman bagi gubug itu.

“Marilah. Kita akan berbicara di dalam,“ berkata Wiradadi.

Rara Wulan tidak menjawab. Ia berjalan saja di belakang Wiradadi, sementara orang itu masih memegang pergelangan tangannya.

Di halaman yang sempit itu Wiradadi berhenti sejenak. Sambil berpaling ia berkata kepada kedua orang kawannya yang berjalan di sebelah-menyebelah Glagah Putih, “Biarlah anak itu menunggu aku diluar. Aku akan berbicara dengan gadis ini tanpa diganggu oleh siapapun juga.”

Kedua orang itu dengan serta-merta telah memegangi lengan Glagah Putih sebelah-menyebelah pula. Orang yang berwajah garang itu berkata, “Berhenti. Kau tunggu di sini.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia memang berhenti. Dipandanginya saja Rara Wulan yang masih saja dibimbing oleh Wiradadi menuju ke pintu gubug kecil itu.

Namun ketika mereka sampai di halaman kecil di depan gubug itu, maka Rara Wulan tiba-tiba berhenti sambil mengibaskan tangannya. Demikian tiba-tiba sehingga pegangan Wiradadi pun telah terlepas.

“Kenapa?“ berkata Wiradadi.

“Kita dapat berbicara di sini,“ berkata Rara Wulan.

“Tidak,” jawab Wiradadi, “kita berbicara di dalam.”

“Sama saja,“ berkata Rara Wulan kemudian, “di sini pun kita dapat berbicara dengan tenang tanpa ketegangan. Nah, katakan, apa yang akan kau katakan.”

“Tidak. Aku akan mengatakannya setelah kita duduk di dalam. Di dalam gubug itu ada sebuah amben bambu, yang di atasnya digelari pandan yang bersih,“ berkata Wiradadi.

“Tidak banyak yang akan kita bicarakan. Bicaralah di sini,“ sahut Rara Wulan.

“Tidak, Anak Manis. Marilah kita berbicara di dalam,“ berkata Wiradadi sambil menggapai pergelangan tangan Rara Wulan.

Tetapi Rara Wulan melangkah surut sambil berkata, “Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya akan berbicara di sini.”

“Kau jangan keras kepala. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau hanya dapat melakukan perintahku.”

“Aku dapat berteriak,“ berkata Rara Wulan.

Tetapi Wiradadi tertawa. Katanya, “Kita ada di tengah-tengah pategalan. Seandainya kau berteriak sekeras guntur di langit, maka tidak akan ada yang mendengarnya.”

“Jika demikian, tempat ini baik sekali bagiku. Jika kau nanti berteriak-teriak minta tolong, maka tidak akan ada orang yang mendengar dan datang menolongmu,“ berkata Rara Wulan.

Dahi orang itu berkerut. Namun kemudian ia bertanya, “Apa yang kau katakan?”

“Tempat ini merupakan tempat yang baik untuk menghukummu. Seandainya kau berteriak-teriak memanggil orang-orangmu, maka mereka tentu tidak akan mendengar,” jawab Rara Wulan.

Orang itu menjadi semakin bingung. Sementara itu Rara Wulan berkata, “Wiradadi. Aku-lah yang akan menghukummu. Aku tahu apa yang akan kau lakukan atasku di gubug itu. Karena itu, maka kau harus dihukum. Juga tingkah lakumu yang tidak tahu diri.”

Glagah Putih yang sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Rara Wulan justru mendahului, “Kami datang hanya untuk menyampaikan pesan Paman Argajaya. Itu saja. Karena itu, maka kami tidak mempunyai kepentingan yang lain di sini.”

Wiradadi memang menjadi bingung. Justru karena itu, untuk sesaat ia terdiam.

Sementara Wiradadi kebingungan, maka Glagah Putih pun berkata, “Karena itu, kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa di sini. Dengan demikian, maka biarkan kami pergi.”

Ki Wiradadi memang seperti orang mimpi. Namun ia masih juga berkata, “Kalian tidak boleh pergi. Aku memerlukan gadis ini.” Lalu katanya kepada kedua pengikutnya, “Jaga anak itu.”

Tetapi Wiradadi itu menjadi kebingungan lagi ketika Rara Wulan berkata sambil bertolak pinggang dan menunjuk ujung ibu jari kakinya, “Wiradadi. Berjongkok di hadapanku. Menyembah dan memohon ampun atas perlakuan gilamu terhadapku.”

Wiradadi justru terdiam. Dipandanginya wajah Rara Wulan. Gadis itu memang cantik, tetapi Wiradadi jadi berpikir lain. Apakah mungkin gadis itu syarafnya agak terganggu?

Sementara itu Rara Wulan berkata lagi. Lebih keras, “Cepat. Berjongkok di hadapanku dan mohon ampun. Jika pikiranku berubah, aku tidak akan memberimu ampun lagi.”

Wiradadi tidak mau membiarkan dirinya kebingungan. Karena itu, maka iapun menggeram, “Gila. Jadi kau gadis yang begitu mudah kehilangan akal dan bahkan terganggu kesadaranmu?”

“Aku tidak peduli. Lakukan perintahku sebelum kau menyesal,“ berkata Rara Wulan.

“Persetan,” geram Wiradadi. Namun kemudian iapun berkata, “Aku tidak peduli bahwa kau gila. Tetapi kau gadis cantik. Mari, ikut aku. Masuk ke dalam gubug itu.”

Namun Wiradadi terkejut. Ternyata Rara Wulan sudah menampar mulutnya.

Wiradadi mengumpat kasar. Namun ia menjadi semakin bingung ketika ia melihat Rara Wulan yang marah itu menyingsingkan kainnya sambil bergeser mendekat.

“Agaknya gadis ini benar-benar gadis gila,“ berkata Wiradadi di dalam hatinya.

Namun Wiradadi itu kemudian menyadari jenis gadis yang dihadapinya ketika kemudian ia melihat pakaian khusus Rara Wulan yang dipakai di bawah pakaian luarnya.

Wiradadi melangkah surut. Sementara Rara Wulan berkata, “Aku memang ingin mendapat kesempatan seperti ini Wiradadi. Aku datang sekedar melakukan tugas kami, diutus oleh Paman Argajaya. Namun ternyata bahwa kau bersikap seperti seekor srigala. Tingkah lakumu yang liar itu telah memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi atas Kanthi.”

“Sudahlah,“ berkata Glagah Putih yang kedua lengannya masih dipegang oleh kedua orang pengikut Wiradadi, “kita tidak perlu memperpanjang persoalan ini.” Lalu katanya kepada Wiradadi, “Ki Sanak. Biarkan kami kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita anggap bahwa tidak ada persoalan di antara kita.”

Tetapi Rara Wulan menyahut, “Ia sudah menghina aku. Aku tidak mau begitu saja berlalu tanpa memberikan hukuman kepadanya sesuai dengan kesalahannya.”

“Gila. Kalian memang gila,” geram Wiradadi, “kau kira kami ini, apa he? Dengar, kalian akan menyesal karena kesombongan kalian. Apapun yang akan terjadi kemudian atas kalian, maka itu adalah akibat dari kesalahan kalian sendiri.”

“Aku juga akan berkata seperti itu,“ jawab Rara Wulan, “apapun yang akan terjadi atasmu, itu adalah akibat dari kegilaanmu sendiri.”

Kesabaran Wiradadi benar-benar sudah sampai ke batas. Perempuan cantik itu sudah keterlaluan. Bahkan ia sudah menampar pipinya pula.

Karena itu, maka ia tidak mau lebih banyak berbicara lagi. Ia akan menundukkan gadis itu dan memperlakukannya menurut keinginannya. Maka iapun segera bersiap untuk menangkap gadis itu. Kepada kedua pengikutnya ia berkata, “Jaga anak muda itu. Aku akan menyelesaikan perempuan liar ini.”

Kata-kata Wiradadi itu hampir tidak selesai diucapkan. Sekali lagi tangan Rara Wulan menampar mulut Wiradadi.

Wiradadi tidak menunggu lagi. Iapun segera meloncat menyerang Rara Wulan.

Tetapi dengan tangkasnya Rara Wulan mengelak. Meskipun agak lama ia berbaring di pembaringan dan baru satu dua kali ia berlatih di sanggar setelah ia sembuh dari lukanya, namun ternyata bahwa Rara Wulan memang memiliki kelebihan dari Wiradadi.

Meskipun Wiradadi agaknya juga memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi ketika Rara Wulan yang marah itu menyerang seperti badai yang berhembus dari arah lautan, maka Wiradadi itu pun segera terdesak.

Rara Wulan tidak memberinya kesempatan. Ketika Wiradadi meloncat mundur menghindari serangan tangannya, maka dengan cepat Rara Wulan meloncat. Ia tidak menyerang dengan tangannya lagi. Tetapi kakinya pun terjulur lurus menghantam dada.

Wiradadi terlempar beberapa langkah surut, sehingga punggungnya menghantam dinding gubug itu, sehingga dinding itu terkoyak.

Ketika Wiradadi berusaha untuk bangkit, maka Rara Wulan telah berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Nah, sekarang lakukan perintahku. Berjongkok di hadapanku. Menyembah dan mohon maaf kepadaku.”

Harga diri Wiradadi benar-benar tersinggung. Namun ketika ia akan meneriakkan perintah kepada kedua orang pengikutnya, ia melihat keduanya telah terbaring diam di sebelah-menyebelah anak muda itu. Pingsan tanpa diketahui sebabnya.

Dengan sorot mata yang aneh Wiradadi memandang Glagah Putih yang berdiri diam. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya meskipun dua orang yang memegangi lengannya itu pingsan.

Namun Wiradadi tidak mau dihinakan oleh Rara Wulan. Karena itu. maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Demikian ia berdiri tegak, maka tangannya telah menarik parangnya.

“Anak-anak iblis. Kau apakan kedua orang kawanku itu?“ geram Wiradadi.

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Entahlah. Tiba-tiba saja mereka melepaskan lenganku dan jatuh pingsan.”

“Ternyata kau memiliki ilmu iblis. Tetapi kau akan menyesal karena kalian berdua akan mati di pategalan ini.”

“Jangan banyak bicara,” Rara Wulan, “berjongkoklah dan mohon ampun kepadaku.”

Wiradadi tidak menjawab lagi. Tetapi parangnya pun segera berputar. Katanya, “Marilah, majulah bersama-sama. Aku akan memenggal kepala kalian dan menguburkan kalian di sini.”

“Tetapi jika aku tidak pulang siang ini, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh akan mengetahui bahwa aku menemui bencana di Kleringan. Maka Ki Gede tidak akan mempunyai pilihan lain. Kau, orang tuamu, anak istrimu, pamanmu dan semua keluargamu akan dihancurkan oleh Ki Gede dengan pasukannya. Prastawa akan datang tidak sebagai seorang yang akan diadili di sini. Tetapi ia akan membawa pasukan segelar-sepapan. Kleringan akan menjadi karang abang, Kemana pun kau akan lari, maka kau akan diburu. Bahkan sampai ke liang semut sekalipun.”

Wajah Wiradadi menjadi tegang. Namun Rara Wulan tidak ingin Wiradadi ketakutan serta melarikan diri. Ia ingin mencoba untuk berkelahi dan mengalahkannya. Menghukumnya, dan lebih dari itu mempermalukannya. Dendam Kanthi seakan-akan telah menjalar di hatinya pula.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak, “Cepat! Berjongkok!”

“Jangan berteriak,” Glagah Putih memperingatkan.

“Tidak apa-apa. Srigala licik ini mengatakan bahwa seandainya aku berteriak sekeras guntur sekalipun, tidak akan ada orang yang mendengarnya,” jawab Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rara Wulan memang tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Karena itu. sulit baginya untuk mencegah perkelahian yang memang diinginkan oleh Rara Wulan.

Wiradadi yang berkali-kali merasa tersinggung harga dirinya dan bahkan dengan sengaja dihinakan oleh Rara Wulan, juga tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka iapun mulai menyerang dengan garangnya. Parangnya berputaran dan terayun-ayun mengerikan.

Beberapa kali Rara Wulan memang berloncatan surut. Namun tiba-tiba saja ia telah melepas selendang yang dipinjamnya dari Sekar Merah. Wiradadi semula tidak menghiraukan selendang itu, namun ketika selendang itu berputar semakin cepat dan terdengar suaranya berdesing disertai getar angin yang menerpa wajahnya, maka hatinya mulai tergetar.

Tetapi ia tidak mempunyai banyak pilihan. Ujung selendang itu tiba-tiba telah mulai menyentuh kulitnya.

Wiradadi meloncat surut. Kulitnya terasa pedih oleh sentuhan ujung selendang itu. Bahkan kemudian ternyata bahwa kulitnya menjadi merah kehitam-hitaman.

Baru kemudian Wiradadi sadar, bahwa selendang itu memang sejenis senjata yang sangat berbahaya.

Demikianlah, maka Wiradadi yang marah itu harus menjadi semakin berhati-hati. Sekali dua kali, ujung selendang itu telah menyengat kulitnya. Semakin lama terasa semakin sering.

Wiradadi mulai menjadi semakin cemas. Sentuhan itu terasa semakin sakit dikulitnya. Bahkan kemudian sentuhan-sentuhan itu menjadi semakin sering dirasakannya.

Tetapi Wiradadi tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Betapapun ia berusaha menyerang dengan ujung parangnya, tetapi usahanya selalu sia-sia saja. Rara Wulan itu baginya bagaikan bayangan yang tidak dapat disentuh sama sekali.

Ketika ujung selendang Rara Wulan semakin sering menyakitinya, maka Wiradadi menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ujung selendang yang digantungi bandul timah-timah kecil itu menyambar keningnya, sehingga rasa-rasanya matanya menjadi berkunang-kunang.

Wiradadi itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Keningnya bukan saja menjadi sakit. Tetapi rasa-rasanya tulang pelipisnya menjadi retak

Tetapi sebelum Wiradadi sempat memperbaiki kedudukannya, maka bandul timah di ujung selendang itu telah menghantam punggungnya.

Wiradadi-lah yang kemudian berteriak keras-keras karena kemarahan yang mencengkam jantungnya. Tetapi sebelum mulutnya terkatup rapat, maka ujung selendang Rara Wulan justru telah menghantam mulutnya.

Terasa bibirnya menjadi pecah. Sebuah giginya tanggal, dan darah pun mulai mengalir dari mulutnya.

Jantung Wiradadi terasa bagaikan membara. Namun ia memang tidak dapat berbuat banyak. Parangnya seakan-akan tidak berarti sama sekali. Selendang itu memang lebih panjang dari parang di tangannya, sehingga sebelum parangnya menggapai sasaran, ujung selendang itu telah mengenai tubuhnya lagi. Bahkan semakin lama semakin sering.

Dengan demikian, perasaan sakit dan nyeri rasa-rasanya sudah menjalar di seluruh tubuhnya. Pada kulitnya terdapat noda-noda merah biru. Bahkan beberapa gores luka dan berdarah sebagaimana darah mengalir dari mulutnya.

Akhirnya Ki Wiradadi itu menjadi tidak tahan lagi. Ia harus mengakui kenyataan, bahwa gadis itu tidak akan dapat dilawannya. Jika ia bertahan untuk bertempur terus, maka ia akan dapat menjadi pingsan seperti kedua orang pengikutnya itu.

Karena itu, maka Ki Wiradadi itu pun dengan sisa tenaganya telah berusaha untuk melarikan diri.

Namun demikian ia berusaha meloncat berlari meninggalkan arena, maka ujung selendang Rara Wulan telah terjulur menggapai kakinya, sehingga Wiradadi itu telah jatuh terjerembab.

Wiradadi tidak sempat lagi melarikan diri. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia melihat sepasang kaki yang renggang di depan matanya. Kaki Rara Wulan.

“Bangkit dan berjongkok,“ perintah Rara Wulan.

Wiradadi menggeram. Namun ujung selendang Rara Wulan tiba-tiba saja telah menghantam punggungnya.

Wiradadi mengaduh kesakitan. Namun yang didengarnya adalah suara Rara Wulan, “Berjongkok dan mohon ampun kepadaku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan Kanthi. Tetapi justru karena kau telah menghina aku. Dengan demikian aku mengerti, bahkan kau pun telah memperlakukan gadis-gadis lain sebagaimana akan kau lakukan atas aku.”

“Tidak. Aku tidak pernah melakukannya sebelumnya,” jawab Wiradadi.

“Tetapi sesudahnya?” bertanya Rara Wulan.

“Aku berjanji untuk tidak melakukannya,” jawab Wiradadi.

Namun Rara Wulan dengan cepat menyahut, “Omong kosong. Orang-orang seperti kau ini tidak akan dapat dipercaya.”

“Sungguh, aku bersumpah,“ berkata Wiradadi.

Tetapi Rara Wulan membentak, “Aku tidak memerlukan sumpahmu! Cepat berjongkok dan minta ampun kepadaku!”

Tetapi Wiradadi yang masih mengingat harga dirinya tidak segera melakukannya.

Namun Rara Wulan pun menjadi seperti orang yang telah kehilangan nalarnya. Sekali lagi selendangnya terayun dan menghantam punggung Wiradadi, sehingga terdengar Wiradadi itu mengaduh kesakitan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia memberi isyarat agar Rara Wulan meninggalkan Wiradadi yang kesakitan itu.

Tetapi Rara Wulan justru menjawab lantang, “Tidak. Ia harus berjongkok dan mohon ampun. Jika tidak, maka ia akan mati di sini. Dua orang yang pingsan itu akan mati juga, sehingga tidak akan ada saksi, apa yang telah aku lakukan di sini.”

Glagah Putih memang menjadi gelisah. Persoalannya tentu akan berkembang semakin buruk. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi sore nanti jika Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri datang ke rumah Ki Suracala.

Sementara itu, Rara Wulan masih juga mengayunkan selendangnya ke punggung Wiradadi, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.

“Aku akan menghitung sampai lima. Jika kau masih juga tidak mau berjongkok dan mohon ampun kepadaku, maka aku akan melecutmu dengan selendangku ini sampai kau mati. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Jika perlu, maka Kakang Prastawa aku minta untuk mengerahkan pasukan menghancurkan semua isi Kademangan Kleringan. Apalagi jika Kademangan ini berusaha melindungi keluargamu.”

Seperti yang dikatakan, maka Rara Wulan benar-benar mulai menghitung. Namun sampai kehitungan ketiga, maka Wiradadi pun telah memaksa dirinya untuk berjongkok di depan Rara Wulan sambil berkata, “Baik. Baik. Aku akan minta maaf kepadamu.”

“Mohon ampun. Bukan minta maaf. Cepat lakukan, sebelum aku mencambukmu lagi.”

“Aku mohon ampun,“ suara Wiradadi hampir tidak terdengar.

“Aku tidak mendengar suaramu. Ulangi!” bentak Rara Wulan.

Wiradadi terpaksa mengulanginya. Ternyata ia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis yang garang, dan lebih dari itu, ilmunya ternyata lebih tinggi dari ilmunya.

Karena itu, maka Wiradadi pun terpaksa mengulangi dengan kata-kata yang lebih keras, “Aku mohon ampun.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah bergeser dan berkata, “Marilah, kita tinggalkan tikus-tikus cecurut itu.”

Glagah Putih mengangguk. Namun ia berkata, “Benahi pakaianmu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah masuk ke dalam gubug, meskipun ia tetap berhati-hati. Ketika ia memasuki pintu gubug itu ia berhenti sejenak, berpaling kepada Wiradadi sambil berkata, “Kau juga akan ikut masuk?”

Wiradadi tidak berani menjawab. Tetapi ia mengumpat-umpat di dalam hati.

Rara Wulan pun kemudian membenahi pakaiannya di dalam gubug itu. Hanya beberapa saat, ia-un segera keluar lagi. Dikenakannya selendangnya seperti semula, sebagaimana seorang perempuan mengenakan selendang.

Kemudian tanpa mengatakan sepatah katapun, Rara Wulan melangkah meninggalkan pategalan itu, diikuti oleh Glagah Putih.

Ketika mereka keluar dan mulut lorong, maka Glagah Putih berdesis, “Kau bersikap terlalu keras Rara.”

“Kau dapat berkata begitu karena kau tidak mengalami penghinaan yang mendasar. Kau tahu apa yang akan dilakukannya atas diriku? Tidak ada ampun bagi siapapun yang demikian. Untung aku masih mampu mengendalikan diri dan tidak membunuhnya.”

“Tetapi bukankah tidak terjadi apa-apa?” bertanya Glagah Putih.

“Tetapi itu sudah terjadi di kepala orang itu. Itu satu kenyataan bagi angan-angannya. Dan karena itu sudah sepantasnya ia menerima hukuman, yang seharusnya jauh lebih berat dari yang aku lakukan,” jawab Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Kau dapat membayangkan apa yang akan terjadi sore nanti.”

“Aku akan ikut. Jika aku harus mempertanggung-jawabkan perbuatanku, aku akan melakukannya,” jawab Rara Wulan.

“Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru tentu tidak akan mengijinkan kau ikut sore nanti.”

“Kenapa? Bukankah yang terjadi tadi harus dipertanggung-jawabkan? Bukankah aku akan dapat menjadi saksi atas sifat dan watak orang itu?“ sahut Rara Wulan.

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa perasaan Rara Wulan sudah menjadi gelap, sehingga sulit baginya untuk dapat berbicara dengan tenang. Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Kita akan mengambil jalan lain. Bukan jalan yang paling baik yang menuju ke Tanah Perdikan.”

“Kenapa?” bertanya Rara Wulan.

“Wiradadi dapat menjadi gila. Ia akan dapat mengerahkan banyak orang untuk memburu kita dan mencegat kita sebelum kita memasuki Tanah Perdikan. Karena itu, kita memilih jalan yang lain, sehingga jika ada sekelompok orang yang menyusul kita, mereka tidak akan segera menemukan kita, sehingga kita mencapai batas Tanah Perdikan. Di Tanah Perdikan, kita akan dapat berbuat lebih banyak.”

“Apa salahnya jika sekelompok orang dungu itu menyusul kita?“ bertanya Rara Wulan

“Bukankah lebih baik jika kita tidak bertemu dengan mereka, yang sudah dapat kita bayangkan akibatnya?” bertanya Glagah Putih dengan kata-kata yang berat menekan.

Rara Wulan tidak menjawab. Namun ketika Glagah Putih mengajaknya berbelok melalui jalan kecil, mereka pun berbelok.

Meskipun Glagah Putih belum pernah melalui jalan-jalan sempit di Kademangan Kleringan, namun dengan mengenali arah perjalanannya, maka Glagah Putih tidak mengalami kesulitan untuk sampai ke perbatasan Tanah Perdikan Menoreh di lereng pegunungan.

Untunglah bahwa kawan perjalanannya bukan seorang gadis sebagaimana gadis kebanyakan. Ketika mereka melewati jalan berbatu padas dan bahkan kemudian mulai miring di kaki pegunungan, maka Rara Wulan tidak lagi menghiraukan pakaiannya. Ia telah menyingsingkan lagi kain panjangnya, sehingga pakaian khususnya-lah yang nampak dikenakannya.

Namun ternyata bahwa Wiradadi tidak mengerahkan orang-orangnya untuk mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Tubuhnya terasa nyeri, sedangkan tulang punggungnya bagaikan menjadi retak. Dua orang pengikutnya yang pingsan itu pun mulai menjadi sadar kembali. Perlahan-lahan mereka mulai menemukan ingatannya, apa yang telah terjadi atas diri mereka. Namun mereka tetap tidak mengetahui, apa yang diperbuat oleh anak muda itu. Ketika mereka siap untuk memaksa anak muda itu agar tidak berbuat sesuatu, tiba-tiba saja mata mereka menjadi berkunang-kunang dan akhirnya semuanya menjadi gelap.

Demikian kedua orang itu melihat Wiradadi yang kesakitan, maka mereka menjadi gugup. Orang yang bertubuh pendek itu bertanya dengan kata-kata yang terbata-bata, “Apa yang terjadi?”

Mata Wiradadi menjadi merah oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya. Sambil menyeringai menahan sakit, Wiradadi yang masih merasa sakit untuk berdiri tegak itu berkata, “Ternyata kalian memang tikus cecurut seperti yang dikatakan perempuan liar itu. Apa yang kalian lakukan, sehingga tiba-tiba saja kalian berdua pingsan?”

“Anak itu mempunyai ilmu iblis,“ desis orang yang berwajah garang.

“Omong kosong! Kalian mencoba untuk menutupi kedunguan kalian!“ bentak Wiradadi.

“Kami benar-benar tidak mempunyai kesempatan,“ berkata orang yang bertubuh pendek. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi apa yang terjadi dengan Ki Wiradadi?”

“Tutup mulutmu!” bentak Wiradadi. Ia mencoba untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Namun ketika ia menggerakkan kakinya, maka terasa nyeri yang sangat telah menyengat punggungnya.

Meskipun demikian, Wiradadi memaksa dirinya untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Tetapi ia tidak segera kembali. Untuk mengurangi kesan buruk atas dirinya, maka Wiradadi telah turun ke sungai untuk mandi. Ia harus menghapus titik-titik darah yang meleleh dari mulutnya, serta balur-balur luka di tubuhnya. Jika ia mandi, maka tubuhnya akan nampak segar kembali, meskipun mula-mula tentu terasa perih.

Namun Wiradadi tetap saja merasa ragu. Apakah ia harus mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya, atau tidak. Tetapi rasa-rasanya dendam telah membuat jantungnya membara.

Ketika Wiradadi kemudian pulang ke rumah Ki Suracala, maka keadaannya memang nampak lebih baik. Bekas-bekas perkelahiannya tidak lagi nampak jelas. Dengan demikian maka orang-orang yang bertemu di jalan pulang, tidak mengetahui bahwa Wiradadi baru saja mengalami kesulitan menghadapi seorang gadis yang garang.

Namun Wiradadi ingin memberitahukan apa yang telah terjadi atas dirinya kepada ayahnya. Kepada pamannya, dan kepada orang-orang lain yang ada di rumahnya, meskipun harus dibumbuinya dengan kebohongan. Jika sore nanti benar-benar utusan Ki Argajaya datang, maka mereka harus mengalami perlakuan yang sama sebagaimana gadis itu memperlakukan dirinya.

Sebenarnyalah, ketika Wiradadi itu sampai di rumah, iapun langsung bertemu dengan ayahnya, dengan Ki Suracala dan dengan seorang pamannya yang lain. Ki Suradipa.

“Apa yang terjadi atas dirimu?” bertanya Ki Suratapa, ayahnya. Ia adalah sepupu Ki Suracala, yang ikut menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Umurnya memang lebih tua dari Ki Suracala, meskipun tidak terpaut terlalu banyak. Sedangkan seorang lagi sepupu Ki Suracala adalah orang yang bertubuh tinggi kekar, yang sikapnya justru sangat keras terhadap keluarga Ki Argajaya.

Wiradadi memang ragu-ragu menceritakan, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang perempuan. Ia merasa malu, terutama kepada Ki Suracala sendiri.

Karena itu, ketika ia berjalan pulang, dua orang pengikutnya telah dibekalinya dengan cerita dusta, sebagaimana diceritakannya kepada ayah dan paman-pamannya.

“Kami tahu bahwa kedua orang itu kemarin sudah mengamati rumah ini,“ berkata Wiradadi, “karena itu, aku berniat untuk bertanya kepada mereka, untuk apa mereka kemarin datang kemari dan kemudian hari ini mereka datang pula. Ketika kami menemui mereka di luar padukuhan, ternyata mereka membawa beberapa orang kawan.”

“Jadi mereka tidak hanya berdua?” bertanya Ki Suratapa.

“Ya. Lebih dari lima orang. Mereka membawa aku ke pategalan. Dan mereka telah memperlakukan aku dengan sewenang-wenang.”

“Dan kau biarkan dirimu diperlakukan seperti itu?” bertanya Ki Suratapa.

“Aku, maksudmu kami bertiga, telah melawan. Tetapi jumlah mereka lebih banyak, sehingga kami berada dalam kesulitan,” jawab Wiradadi.

“Kenapa salah seorang dari kalian tidak memberitahukan kepada kami?” bertanya Ki Suradipa.

“Ternyata bahwa kami tidak perlu melakukannya, Paman,” jawab Wiradadi, “mereka telah melarikan diri.”

“Dan kalian tidak mengejarnya dan menangkap seorang dari mereka?” bertanya Ki Suradipa.

“Mereka telah berlari memencar. Sementara itu, kami memang tidak ingin membuat padukuhan ini, dan apalagi kademangan ini, menjadi gaduh,” jawab Wiradadi.

“Tetapi bukankah ada di antara mereka seorang perempuan?” bertanya Ki Suratapa.

“Ketika terjadi perkelahian, maka perempuan dan anak muda yang datang kemari itu sudah pergi. Mereka meninggalkan kawan-kawannya, sehingga sulit bagi kami untuk melacak jejaknya.”

Ki Suratapa itu pun menggeram. Dengan nada garang ia berkata, “Iblis yang tidak tahu diri. Tentu siasat Argajaya yang licik.”

“Siapa yang licik di antara kita dan keluarga Ki Argajaya?” bertanya Ki Suracala.

“Kau juga gila,” geram Suratapa, “kita sudah sepakat untuk memilih jalan terbaik. Kenapa kau masih ragu-ragu?”

“Apakah benar kita sudah sepakat?” bertanya Ki Suracala.

“Jadi kau mau apa? Kau akan membiarkan cucumu lahir tanpa ayah?” bertanya Ki Suratapa.

“Bukankah aku mengatakan bahwa hal itu akan lebih baik daripada menyangkutkan keluarga Ki Argajaya?”

“Kau masih saja dungu,” geram Ki Suratapa, “aku bermaksud baik. Jika Prastawa kawin dengan anakmu, maka kau akan dapat berharap ikut berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh. Anak Argapati itu tentu akan lebih senang mengikuti suaminya di Sangkal Putung dan akan mengabaikan tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh. Nah, hanya tinggal Prastawa yang ada di antara keluarga Ki Argapati.”

“Tetapi Ki Argajaya bukan sejenis lembu perahan yang akan menurut saja diperas tanpa berbuat sesuatu. Ia akan dapat berbuat banyak sebagai adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

“Menoreh tidak akan mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Jika demikian maka mereka akan berhadapan dengan Kademangan Kleringan. Kau kira Tanah Perdikan berani menghadapi Kademangan Kleringan? Aku yakin, bahwa aku akan dapat mempengaruhi Ki Demang Kleringan, jika Argajaya berniat menggerakkan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh untuk kepentingan pribadinya. Aku pun mengira, bahwa Ki Argapati tidak akan memberikan kesempatan Argajaya berbuat demikian. Nama Argajaya itu sendiri di Tanah Perdikan Menoreh sudah tersisih sejak ia memberontak melawan kakaknya. Namun ternyata bahwa anaknya masih dianggap seorang pemimpin yang baik di Tanah Perdikan.”

“Ternyata kau tidak dapat membaca keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Kau kira Ki Demang Kleringan berani melawan Tanah Perdikan Menoreh? Kecuali jika Ki Demang ingin melebur Kademangan ini menjadi debu,“ berkata Ki Suracala.

“Kami akan membatasi persoalan ini sebagai persoalan keluarga. Kami akan menyinggung harga diri keluarga Ki Argajaya agar tidak mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Nah, kita akan mencobanya sore nanti,” desis Suradipa.

Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apa yang akan kalian lakukan sore nanti?”

“Kita akan melihat, apakah keterangan mereka memuaskan atau tidak. Jika mereka masih berbelit-belit dan tidak mau dengan tangan terbuka menerima tawaran kita agar Prastawa segera menikah dengan Kanthi, maka kita akan memperlakukan mereka sebagaimana orang-orang Argajaya memperlakukan Wiradadi,“ berkata Ki Suratapa.

“Itu tidak adil,“ berkata Ki Suracala.

“Apa yang tidak adil? Bukankah itu justru adil sekali?” Ki Suradipa justru bertanya.

“Terus terang, aku tidak yakin akan kebenaran cerita Wiradadi,“ berkata Ki Suracala.

“Kau selalu berprasangka buruk,” geram Ki Suratapa. “Aku peringatkan, bahwa kau tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menentukan sikap. Kau berada di bawah kekuasaan kami. Kau harus mengakui kenyataan buruk tentang anakmu. Ia telah menjerat Wiradadi yang sudah beristri. Seharusnya ia tahu, bahwa tingkah lakunya sangat tercela bagi seorang gadis. Lebih dari itu, maka anakmu harus mengetahui bahwa tidak boleh terjadi perkawinan di antara saudara pada keturunan ketiga. Sedangkan keturunan kedua justru tidak ada keberatannya. Perkawinan antara saudara sepupu tidak menjadi pantangan bagi kita.“ Ki Suratapa itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada berat, “Suracala. Kau harus mempertimbangkan satu kemungkinan bahwa sebenarnya Kanthi memang sudah merasa mulai mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Baru kemudian karena Prastawa ingkar, maka ia telah menjebak Wiradadi, kakangnya sendiri. Namun sayang, justru pada keturunan ketiga.”

“Tidak. Bohong. Itu fitnah. Anakku tidak pernah berhubungan dengan Prastawa lebih dari hubungan persahabatan, sebagaimana aku dengan Adi Prastawa,” jawab Ki Suracala.

“Apakah kau tidak pernah mendengar pengakuan kanthi, bahwa ia memang mencintai Prastawa?” bertanya Ki Suradipa.

“Seandainya demikian, mereka tentu tidak akan melakukan larangan itu,” jawab Ki Suracala

Ki Suratapa dan Ki Suradipa tertawa. Dengan nada tinggi Ki Suratapa berkata, “Kau memang keras kepala. Karena itu, kami akan menentukan kehendak kami tanpa minta persetujuanmu. Ingat, kau tidak akan dapat melawan kehendak kami. karena kami bermaksud baik terhadap Kanthi. Kami memang merasa kasihan kepadanya.”

Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak mempunyai kekuatan apapun untuk mendukung sikapnya. Tetapi ia yakin bahwa Prastawa memang tidak bersalah.

Namun Ki Suracala memang menjadi cemas, bahwa sore nanti akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Utusan Ki Argajaya akan dapat mengalami kesulitan. Bahkan mungkin bencana.

“Wiradadi memang iblis,” geram Ki Suracala di dalam hatinya.

Namun Ki Suracala pun memperhitungkan bahwa Ki Argajaya tidak akan dapat berbuat banyak. Seandainya ia mengalami kesulitan, maka kakaknya, Ki Argapati, belum tentu akan mau ikut campur, meskipun Prastawa terhitung salah seorang di antara para pemimpin pengawal di Tanah Perdikan. Ki Argajaya yang sudah bertahun-tahun tersisih, agaknya tidak akan dapat menggerakkan hati Ki Gede. Bahkan mungkin Prastawa justru akan dapat disisihkan, karena fitnah yang dilemparkan oleh keluarga Wiradadi yang menyangkut anak gadisnya, Kanthi.

Ki Suracala memang menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin berteriak keras-keras, melontarkan gejolak di dalam hatinya. Ingin rasa-rasanya ia meneriakkan kebenaran yang terjadi atas anak gadisnya yang ternyata memang sedang mengandung itu. Tetapi suaranya tidak dapat meluncur dari sela-sela bibirnya.

Yang dapat dilakukan memang hanya menunggu dengan berdebar-debar, apa yang akan terjadi sore nanti, jika utusan Ki Argajaya benar-benar datang ke rumahnya.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ki Suratapa telah mempersiapkan sekelompok orang yang dapat membalas sakit hati anaknya. Tetapi Ki Suratapa sudah berpesan, agar mereka tidak bertindak lebih dahulu sebelum ada perintahnya. Ia harus mendengar lebih dahulu, hasil pembicaraan yang akan dilakukan.

“Jika hasilnya baik, sehingga perkawinan itu akan segera dapat dilaksanakan, maka kita akan melupakan kesalahan mereka atas Wiradadi. Tetapi jika mereka masih menunda-nunda, maka mereka akan mengalami nasib buruk,“ berkata Ki Suratapa.

Orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban, namun tubuhnya masih nampak kuat dan kekar menjawab, “Kami sudah cukup sabar menunggu. Jangan kecewakan cantrik-cantrikku.”

“Aku mengerti,” jawab Ki Suratapa, “tetapi ingat, bahwa di Tanah Perdikan terdapat orang-orang berilmu tinggi. Aku sendiri tidak tahu seberapa tinggi tataran ilmu mereka, karena sudah agak lama aku meninggalkan Kleringan. Jika sekarang aku kembali, itu adalah karena ada persoalan yang menyangkut anakku di sini.”

“Kemana kau pergi selama ini? Bukankah kau hanya bergeser sedikit ke barat dan tinggal di Pringsurat?”

“Ya,” jawab Suratapa, “meskipun tidak terlalu jauh, tetapi perhatianku sama sekali tidak pernah lagi tertuju pada Kademangan ini, apalagi Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jangan cemas. Padepokanku tidak akan mengecewakanmu. Terserah kepadamu, percaya atau tidak.”

Ki Suratapa mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Bagaimanapun juga, menghadapi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kita harus berhati-hati. Seandainya mata kita buta, tetapi kuping kita tentu mendengar. Sebaliknya seandainya kuping kita tuli, kita pun dapat melihat, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat orang-orang berilmu tinggi.”

“Apakah kau memperkirakan bahwa Ki Argajaya akan memanfaatkan kedudukan kakaknya?” bertanya orang itu.

“Aku kira tidak. Bagaimanapun juga ia masih mempunyai harga diri. Kecuali itu, Ki Gede tidak akan mudah melupakan pengkhianatan adiknya itu, sehingga mungkin justru Prastawa-lah yang akan disingkirkan,” jawab Ki Suratapa.

“Segala kemungkinan dapat terjadi. Tetapi satu hal yang sudah pernah aku katakan dan masih tetap berlaku. Aku tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan mengerahkan pasukan pengawalnya. Padepokanku, bahkan bergabung dengan Kademangan Kleringan sekalipun, tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tetapi jika hanya sekelompok orang, apalagi keluarga dekat Ki Argajaya atau orang-orang upahannya, aku akan menghancurkan mereka.”

“Tetapi jika benar kata-kata Wiradadi, agaknya Argajaya sudah benar-benar menjadi gila,“ berkata Suratapa.

“Jika hanya kelompok-kelompok kecil seperti itu, maka persoalannya akan mudah diatasi. Bahkan jika perlu, kita ambil saja Argajaya itu sendiri, untuk memaksa Prastawa memenuhi keinginanmu serta keluarga Suracala.”

“Kakang Suracala juga hampir menjadi gila,” geram Suratapa.

“Suracala bukan apa-apa,” jawab orang itu.

“Nah, hati-hatilah. Bersiaplah. Aku tidak tahu berapa jumlah utusan Ki Argajaya. Tetapi sudah tentu tidak sejumlah pengawal di Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Suratapa.

Orang itu tertawa. Katanya, “Kau nampak sangat cemas.”

“Kita harus membuat perhitungan yang cermat. Argajaya tidak akan berani berbuat gila dengan mengirimkan orang kemari dan menyerang Wiradadi, jika ia tidak merasa memiliki kekuatan.”

”Kenapa ia menyerang Wiradadi? Apakah ia mengetahui persoalan yang menyangkut Wiradadi?” bertanya kawan Suratapa itu.

“Seharusnya tidak. Tetapi mungkin justru Wiradadi-lah yang dijumpainya, sehingga secara kebetulan ia menjadi sasaran kegilaan Argajaya, atau bahkan Prastawa.”

“Apakah mungkin mereka termasuk para pengawal Tanah Perdikan Menoreh? Justru pengawal terpilih yang dikirim oleh Prastawa untuk menakut-nakuti kalian, karena kalian telah menakut-nakuti ayahnya. Sementara itu Prastawa merasa pasti bahwa ia tidak bersalah?”

“Nah, bukan aku yang menjadi cemas. Tetapi kau sudah menjadi ragu-ragu pula,“ berkata Ki Suratapa.

“Tidak, aku tidak ragu-ragu. Bebanku ringan. Jika persoalannya kemudian melibatkan Tanah Perdikan Menoreh, aku tidak bertanggung jawab. Aku dapat pergi begitu saja dan membiarkan kademangan ini digilas oleh kekuatan Tanah Perdikan.”

“Setan kau,” geram Suratapa.

Orang itu tertawa. Namun katanya kemudian, “Jangan cemas. Jika utusannya sore nanti tidak membuat persoalannya menjadi jernih, maka kami akan melakukan apa yang sebaiknya kami lakukan. Kami telah menyiapkan sepuluh orang berilmu tinggi. Lima orang dari perguruanku sendiri, sedangkan lima orang dari perguruan lain. Bukan karena aku tidak mempunyai orang cukup, tetapi melibatkan perguruan lain akan mempunyai pengaruh yang baik jika terjadi permusuhan yang panjang di kemudian hari. Setidak-tidaknya ada kawan untuk memanggul beban. Nanti sore aku akan melibatkan tiga perguruan yang besar dari barat.”

Ki Suratapa mengangguk-angguk.

Namun orang itu kemudian berkata, “Tetapi seperti yang kau janjikan. Kami akan mendapat imbalan yang cukup.”

Ki Suratapa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mempunyai berpuluh-puluh ekor lembu dan kerbau. Kau tahu itu. Sementara itu keluarga Wiradadi perlu diselamatkan.“ Ki Suratapa itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Bukankah kau tahu, siapakah mertua Wiradadi itu?”

“Ya. Tetapi kenapa ia tidak kau libatkan sekarang?” bertanya orang itu.

“Untuk sementara mereka tidak usah mengetahui apa yang terjadi di sini. Tetapi jika perlu, maka kami dapat membohonginya, sebagaimana kami membohongi Argajaya. Jika. mertua Wiradadi sudah termakan, maka persoalannya akan meluas.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun mengerti, kenapa Ki Suratapa belum melibatkan mertua Wiradadi. Agaknya jika mungkin, persoalan antara Wiradadi dan Kanthi akan disembunyikan saja. Namun jika tidak mungkin, maka fitnah atas Prastawa akan diperluas lagi.

Demikianlah, maka semua persiapan dilakukan seandainya pembicaraan Ki Suracala dengan utusan Ki Argajaya itu gagal. Mereka akan memperlakukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu dengan tindak kekerasan, sebagaimana mereka lakukan atas Wiradadi sesuai dengan laporan Wiradadi itu sendiri.

Dalam pada itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumahnya. Mereka telah memberitahukan apa yang terjadi di Kademangan Kleringan itu kepada Ki Jayaraga.

“Nanti sore aku akan ikut,“ berkata Rara Wulan dengan tegas.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah yang ikut mendengarkan laporan Rara Wulan dan Glagah Putih itu pun menjadi berdebar-debar. Ternyata persoalannya menjadi semakin rumit.

“Tetapi itu bukan salah kami, Mbokayu,“ berkata Rara Wulan kemudian kepada Sekar Mirah. “Mereka mencegat kami.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Memang bukan salah kalian.”

“Karena itu, nanti sore aku harus ikut. Aku akan menjelaskan kepada keluarga Ki Suracala, bahwa orang yang bernama Wiradadi itu memang srigala.”

“Tetapi kita tidak akan dapat mengatakan bahwa kau telah bertemu dengan Kanthi,“ berkata Sekar Mirah.

“Kenapa? Aku tidak takut. Biarlah hal itu dikatakan. Jika mereka mendendam kami berdua, kami tidak keberatan,” jawab Rara Wulan.

“Aku percaya. Tetapi yang juga akan mengalami kesulitan adalah Kanthi itu sendiri. Bukankah ayahnya tidak lagi mampu melindunginya karena tingkah laku saudara sepupunya itu?“ sahut Sekar Mirah.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Mbokayumu benar, Rara. Kau dan Angger Glagah Putih, dan berangkali kita semuanya, akan dapat meninggalkan mereka dan kembali ke Tanah Perdikan ini. Tetapi bagaimana dengan Kanthi? Bagaimana pula dengan Ki Suracala?”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Memang, kasihan Kanthi.”

“Karena itu, kita tidak dapat membawa-bawa nama Kanthi. Tetapi kita sudah mengetahui kebenaran dari persoalan yang kami hadapi. Jelasnya, Prastawa tidak bersalah,“ berkata Sekar Mirah.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata selanjurnya, “Tentang apakah kau dapat ikut atau tidak, sebaiknya kita bicarakan nanti dengan Kakangmu Agung Sedayu dan Kakang Swandaru.”

“Tetapi bagaimana dengan pendapat Mbokayu sendiri? Dan bagaimana dengan Ki Jayaraga?” bertanya Rara Wulan. “Apa sebenarnya keberatannya jika aku ikut? Aku tidak akan mengganggu pembicaraan Ki Jayaraga. Tetapi jika mereka berdusta, aku dapat menjadi saksi.”

“Berdusta tentang apa? Tentang peristiwa yang baru saja terjadi, atau tentang Prastawa?” bekerja Sekar Mirah.

Rara Wulan memang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tentang semuanya. Tentang semuanya.”

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Rara Wulan nampaknya benar-benar tersinggung oleh perlakuan Wiradadi atasnya, sehingga kemarahannya masih saja melonjak-lonjak.

Sambil mengangguk-angguk Sekar Mirah pun berkata, “Baiklah. Kita menunggu Kakang Agung Sedayu. Kakang sudah mengatakan bahwa ia akan pulang lebih awal, agar kita tidak terlalu malam sampai di Kleringan.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya masih nampak gelap. Sementara itu Sekar Mirah berkata, “Sekarang, beristirahatlah Rara. Kau tentu letih.”

Rara Wulan mengangguk kecil. Iapun kemudian telah pergi ke biliknya. Namun Rara Wulan sama sekali tidak beristirahat, Ia justru memasuki sanggar seorang diri.

Tetapi Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak mencegahnya. Mereka tahu bahwa Rara Wulan ingin melepaskan gejolak yang menghimpit jantung di dadanya.

Sebenarnyalah Rara Wulan pun telah melakukan latihan-latihan berat seorang diri. Seakan-akan ia ingin tahu puncak kemampuannya selama ia berguru kepada Sekar Mirah. Bahkan kemudian, iapun telah berlatih dengan selendang yang masih belum dikembalikan kepada Sekar Mirah, karena ia tahu bahwa Sekar Mirah tidak hanya memiliki selembar.

Seperti yang dikatakan, ternyata Agung Sedayu pulang lebih awal dari biasanya. Iapun segera minta agar Glagah Putih pergi menemui Swandaru untuk mengatakan bahwa Agung Sedayu telah berada di rumah.

“Sebentar lagi kami akan datang. Kita akan segera berangkat ke Kleringan,“ pesan Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Karena itu, kami minta Swandaru berdua mempersiapkan diri.”

Demikian Glagah Putih berangkat ke rumah Ki Gede untuk menemui Swandaru, maka Sekar Mirah pun telah memberitahukan persoalan yang dihadapi Rara Wulan dan Glagah Putih di perjalanan.

“Orang itu memang keterlaluan, “desis Agung Sedayu.

“Sore ini Rara Wulan memaksa untuk ikut,“ berkata Sekar Mirah pula, “nampaknya kemarahannya masih memanasi jantungnya.”

“Dimana ia sekarang?” bertanya Agung Sedayu.

“Ia berada di sanggar. Sudah cukup lama,” jawab Sekar Mirah.

Kepada Ki Jayaraga Agung Sedayu pun minta pertimbangan, bagaimana sebaiknya dengan Rara Wulan.

“Seandainya kita melarangnya, mungkin ia akan menyusul meskipun hanya sendiri,“ berkata Ki Jayaraga.

“Apakah Glagah Putih tidak dapat mencegahnya?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Agaknya terlalu sulit untuk menahan agar anak itu tidak pergi,” jawab Ki Jayaraga.

Agung Sedayu memang menjadi bingung. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Ki Jayaraga, “Apakah lebih baik anak itu kita bawa, daripada ia berbuat sesuatu di luar pengetahuan kita?”

Ki Jayaraga mengangguk sambil menjawab, “Aku kira memang demikian. Tetapi ia harus berjanji bahwa ia akan menurut perintah kita. Gadis itu tidak boleh berbuat menurut kehendaknya sendiri.”

Namun Sekar Mirah pun berkata, “Nampaknya pembicaraan akan menjadi keras.”

“Aku juga menduga demikian. Bahkan seandainya Rara Wulan tidak terlibat dalam perkelahian sekalipun, persoalannya akan menjadi rumit. Mereka menghendaki kita memberikan jawaban hanya soal waktu. Kapan pernikahan dilaksanakan. Padahal Prastawa tidak akan menikahinya, karena ia memang tidak seharusnya bertanggung jawab.”

“Memang nampaknya tidak ada pilihan lain. Kita tidak tahu, apakah mereka sudah mempersiapkan sekelompok orang untuk menyambut kedatangan kita dengan caranya,“ berkata Ki Jayaraga.

“Kita memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Agung Sedayu pun kemudian minta agar Sekar Mirah memanggil Rara Wulan. Jika ia memang akan ikut, sebaiknya ia mandi dan berbenah diri.

“Kita akan segera berangkat. Jika kita terlalu lama, maka Swandaru akan terlalu lama menunggu,“ berkata Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Sekar Mirah pun segera memanggil Rara Wulan yang berada di dalam sanggar. Ketika Sekar Mirah memberitahukan bahwa Agung Sedayu telah datang, maka Rara Wulan pun segera akan berlari.

“Kau mau kemana, Rara?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku akan minta kepada Kakang Agung Sedayu agar diperkenankan untuk ikut pergi ke Kleringan,” jawab Rara Wulan.

“Aku sudah mengatakannya,” jawab Sekar Mirah.

“Lalu?” wajah Rara Wulan menadi tegang.

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kakangmu tidak berkeberatan.”

“Jadi aku boleh ikut?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Kau boleh ikut,” jawab Sekar Mirah.

Rara Wulan pun segera meloncat memeluk Sekar Mirah dan menciumnya sambil berkata, “Terima kasih. Aku akan berkemas.”

“Tetapi ada syaratnya, Rara,“ berkata Sekar Mirah kemudian.

“Syaratnya apa?” bertanya Rara Wulan dengan dahi berkerut.

“Rara harus menurut segala perintah Ki Jayaraga,” jawab sekar Mirah, “karena Ki Jayaraga adalah orang yang diserahi memimpin kita semuanya sebagai utusan Ki Argajaya.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Ya. Aku berjanji.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah berpakaian rapi pula. Karena Rara Wulan akan ikut, maka Glagah Putih pun akan ikut pula.

Kepada anak yang tinggal di rumahnya, Agung Sedayu berpesan agar ia melayani Wacana sebaik-baiknya.

“Bantulah jika diperlukan, keadaannya sudah berangsur baik,” berkata Agung Sedayu.

Ketika Agung Sedayu minta diri, Wacana yang sudah dapat duduk dan bahkan berjalan selangkah-selangkah itu bertanya, “Apakah kalian akan pergi ke sebuah peralatan?”

“Tidak,” jawab Agung Sedayu. “Kami sedang diutus oleh Ki Argajaya untuk membicarakan anaknya, Prastawa.”

“Melamar?” bertanya Wacana pula.

“Juga tidak,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.

“Jadi?” desak Wacana yang keheranan.

“Justru membatalkan satu pembicaraan tentang pernikahan Prastawa. Tetapi sejak pertama, pembicaraan tentang pernikahan itu sudah tidak wajar,” jawab Agung Sedayu.

Wacana hanya mengangguk-angguk saja. Persoalan yang dibawa oleh Agung Sedayu itu tentu berbelit, sehingga untuk menjelaskannya diperlukan waktu.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian seisi rumah itu pun telah berangkat. Mereka lebih dahulu singgah di rumah Ki Gede. Kemudian bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi, mereka berangkat ke Kademangan Kleringan.

Namun sebelum mereka berangkat, maka Agung Sedayu telah memberikan sedikit cerita tentang peristiwa yang terjadi atas Rara Wulan, sehingga mereka pun harus bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

Tetapi Swandaru tersenyum sambil berkata, “Pandan Wangi telah bersiap menghadapinya. Karena persoalannya telah jelas. Kita tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Sementara itu, bagi mereka sikap ini berarti kekerasan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi betapapun beban itu memberati keberangkatan kita, tetapi kita harus berusaha. Sejauh dapat kita lakukan.”

Swandaru justru tertawa. Katanya, “Satu harapan yang sia-sia. Sebaiknya kita tidak mempertimbangkan kemungkinan itu. Meskipun demikian, tidak ada di antara kita yang menunjukkan sikap seperti itu. Kita semuanya tidak ada yang semata-mata membawa senjata.“ 

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Senjata Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak nampak karena berada di bawah baju mereka. Sementara itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan membawa selendang, Sedangkan Pandan Wangi membawa sepasang pisau belati di lambung, di bawah bajunya yang longgar.

Pisau belati memang hanya pendek saja, sehingga sama sekali tidak nampak justru karena Pandan Wangi memakai baju yang longgar.

Adapun Glagah Putih telah mengenakan ikat pinggang kulitnya, yang juga merupakan senjatanya yang diandalkannya.

Hanya Ki Jayaraga saja-lah yang memang tidak membawa senjata. Tetapi ia memiliki kemampuan untuk mempergunakan ikat kepalanya, baik sebagai perisai maupun sebagai senjata, jika diperlukan. Meskipun Ki Jayaraga tidak memiliki ikat kepala khusus sebagaimana Ki Waskita.

Ki Gede yang sudah mendapat penjelasan tentang keadaan yang akan dihadapi oleh sekelompok orang yang pergi ke Kademangan Kleringan itu, memang menjadi berdebar-debar. Namun Ki Gede memang tidak menawarkan kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, karena persoalannya menurut Ki Gede memang persoalan pribadi.

“Berhati-hatilah,” pesan Ki Gede, “namun bagaimanapun juga kalian harus berusaha untuk dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa harus mempergunakan kekerasan. Mungkin Angger Swandaru benar, bahwa harapan itu akan sia-sia. Tetapi segala sesuatunya yang belum terjadi itu tidak lebih dari satu kemungkinan, yang masih dipengaruhi oleh keadaan terakhir dari persoalan itu sendiri. Tetapi juga mungkin sekali pengaruh lain.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena yang mengatakannya adalah mertuanya, maka ia tidak mengatakan sesuatu.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, sekelompok kecil utusan Ki Argajaya itu telah berangkat. Prastawa sendiri tidak ikut bersama utusan itu. Namun ketika ia berdiri di regol saat utusan itu berangkat, Prastawa sempat bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah aku harus mempersiapkan sekelompok pengawal terpilih dan memasuki Kademangan Kleringan?”

“Jangan,“ berkata Agung Sedayu, “jika hal itu kau lakukan, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Ki Demang Kleringan akan dapat tersinggung.”

“Jika Ki Demang Kleringan tersinggung, ia mau apa? Jika ia melibatkan diri dalam persoalan ini, maka aku akan menggilas Kleringan dengan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tidak. Itu tidak perlu. Serahkan segala-galanya kepada kami. Kami akan berusaha membuat penyelesaian terbaik.”

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa cemas atas keselamatan orang-orang yang telah dipilih menjadi utusan ayahnya untuk pergi ke Kleringan itu.

Namun Prastawa berusaha untuk meyakini bahwa yang pergi ke Kademangan Kleringan itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sementara itu menurut perhitungannya, Ki Demang Kleringan tentu tidak akan melibatkan dirinya. Bahkan mungkin Ki Demang tidak tahu menahu persoalan yang menyangkut dirinya itu.

Keberangkatan beberapa orang ke Kademangan Kleringan itu memang menarik perhatian. Orang-orang yang berpapasan selalu bertanya, mereka akan pergi kemana.

“Kami akan pergi ke Kleringan,” jawab Agung Sedayu, “ada persoalan sedikit menyangkut hubungan Kleringan dan Tanah Perdikan, setelah orang-orang di perkemahan itu terusir.”

“Apakah orang-orang Kleringan akan membuat persoalan?” bertanya seorang anak muda.

“Tidak. Bukan itu. Tetapi bagaimana kita akan bersama-sama menangani perkemahan yang ditinggalkan oleh para penghuninya, karena sebagian dari perkemahan itu berada di Tanah Perdikan, tetapi ada pula yang berada di Kademangan Kleringan.”

“Kenapa Ki Gede tidak memanggil saja Ki Demang Kleringan, sehingga beberapa orang Tanah Perdikan harus pergi kesana?” bertanya anak muda yang lain.

“Karena selain pembicaraan yang sungguh-sungguh, kami akan melihat keadaannya,” jawab Agung Sedayu pula.

Jawaban itu agaknya dapat memberi kepuasan sedikit kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan itu.

Sementara itu. Ki Suratapa benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendakinya. Kawannya sudah mempersiapkan sepuluh orang berilmu tinggi untuk melakukan tindak kekerasan, jika pembicaraan yang akan dilakukan itu gagal.

Dengan kesadaran bahwa di Tanah Perdikan ada orang-orang yang berilmu tinggi, maka sepuluh orang yang dipilih adalah orang-orang yang menurut perhitungan mereka adalah orang-orang yang tidak terkalahkan. Mereka bukan sekelompok orang dari satu perguruan. Tetapi kawan Ki Suratapa itu telah membawa orang-orang terbaik dari tiga perguruan yang lain.

“Seandainya yang datang sebagai utusan Ki Argajaya itu berjumlah dua puluh orang sekalipun, maka kami tentu akan dapat mengatasinya,“ berkata kawan Ki Suratapa itu.

“Aku dan Suradipa tentu tidak hanya akan tinggal diam,“ berkata Ki Suratapa. “Hanya Suracala saja-lah yang tidak dapat kami harapkan. Wiradadi dan kedua orang kawannya, yang tadi siang sudah harus menghalau sekelompok orang dari Tanah Perdikan, tentu masih mendendam.”

“Kalian tidak perlu turut campur,“ berkata kawan Ki Suradipa itu, namun katanya selanjutnya, “kecuali jika kalian sendiri menginginkan untuk membalas dendam dengan tangan kalian sendiri.”

“Ya,” jawab Suratapa, “Wiradadi tentu ingin menangkap orang yang siang tadi telah memperlakukannya dengan kasar. Atau salah seorang dari mereka, jika nanti ikut datang kemari.”

Kawan Ki Suratapa itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kami akan berada di luar padukuhan. Jika kami harus bertindak, maka kami akan lebih bebas melakukannya. Karena itu, maka apapun yang harus kami lakukan, kau harus mengirimkan orangmu menemui kami di bulak di luar padukuhan.”

“Sekali lagi aku ingatkan meskipun kalian sudah mengerti, bahwa di Tanah Perdikan banyak terdapat orang berilmu tinggi.”

“Ya. Tetapi kami sudah siap. Meskipun demikian, kami tetap ragu-ragu bahwa Ki Gede akan membantu adiknya yang telah mengkhianatinya. Meskipun demikian, aku pun ingin mengingatkanmu, bahwa kami tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan langsung melibatkan pasukan pengawalnya.”

“Menurut perhitunganku, hal itu tidak mungkin dilakukan,” jawab Ki Suratapa.

“Baiklah. Apapun yang akan terjadi kemudian adalah tanggung jawabmu Suratapa. Tetapi jangan cemaskan tentang orang-orang yang bakal datang sore ini.”

Dengan demikian, maka sepuluh orang yang sudah dipersiapkan itu telah mengambil tempat di luar padukuhan. Mereka berada di pategalan. Namun dua orang di antara mereka duduk di pinggir jalan, untuk melihat siapa saja yang bakal datang ke rumah Ki Suracala. 

Ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi barat, maka seorang yang ditugaskan oleh Ki Suratapa untuk melihat-lihat keadaan, dengan bergegas lewat jalan bulak yang menuju ke padukuhan itu. Ketika kedua orang yang menunggu itu melihatnya, maka orang itu pun dihentikannya.

“Apakah mereka sudah datang?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ya, aku sudah melihat mereka,” jawab orang itu.

“Berapa orang?”

“Belum jelas. Tetapi kurang dari sepuluh. Separuh dari mereka adalah perempuan,” jawab orang itu.

“Perempuan?”

“Ya. Mereka nampaknya utusan resmi Ki Argajaya. Menilik pakaiannya, mereka seperti orang yang sedang pergi melamar. Resmi sekali.”

“Licik. Ki Argajaya bersembunyi di belakang punggung perempuan. Tadi pagi ia mengutus anak-anak. Bahkan seorang di antaranya juga perempuan. Agaknya ia tidak mempunyai cara yang lebih jantan untuk membuat penyelesaian masalahnya.”

“Sudahlah,“ berkata orang itu, “aku akan menyampaikan kabar ini kepada Ki Suratapa.”

Kedua orang itu tidak mencegahnya, sehingga orang itu pun segera berlari-lari kecil menuju ke padukuhan.

Kedua orang itu pun segera memberitahukan kedatangan orang-orang Tanah Perdikan itu kepada kawan-kawannya. Mereka memang menjadi sangat kecewa, bahkan ada yang mengumpat-umpat ketika mereka tahu bahwa yang datang separuh di antaranya adalah perempuan, sehingga dengan demikian, maka kemungkinan terjadinya kekerasan menjadi kecil.

“Aku sudah kehilangan banyak waktu. Tetapi jika tidak terjadi apa-apa di sini, maka waktu yang hilang itu benar-benar tidak berarti lagi.”

“Kita masih menunggu. Jika perlu, maka perempuan-perempuan itu justru akan dapat menjadi bahan taruhan jika Ki Argajaya menjadi keras kepala.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang yang berkumis lebat berkata dengan suaranya yang mengguntur, “Sudah aku katakan, bahwa aku akan berbuat apa saja menurut kehendakku. Jika mereka membawa perempuan kepadaku, itu salah mereka.”

“Apapun yang dapat kita lakukan, tetapi kita masih tetap terikat pada tugas yang sudah kita bicarakan dengan Suratapa. Karena itu, maka kita harus menunggu, apa saja yang dapat kita lakukan atas orang-orang yang datang ke padukuhan itu.”

“Jika aku berbuat atas tanggung jawabku sendiri, maka tidak seorang pun yang mampu mencegah aku,” jawab orang berkumis lebat itu.

“Kau dapat melakukannya setelah tugas pokok kita selesai. Ingat, yang menentukan adalah Suratapa.”

Orang itu tidak menjawab. Sementara orang yang berkepala botak berkata, “Kita lihat, siapa saja yang lewat.”

“Jika kita semuanya turun ke jalan, maka mereka tentu akan membuat perhitungan tentang kehadiran kita.”

“Tetapi mereka sudah ada di sini. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Jika mereka akan kembali, kita justru akan menggiring mereka agar mereka berjalan terus.”

Ternyata yang lain pun sependapat. Karena itu, maka sepuluh orang itu pun telah pergi ke pinggir jalan. Namun mereka masih juga berusaha untuk tidak semata-mata berkumpul sepuluh orang. Tetapi mereka berusaha untuk menebar.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, lewat sebuah iring-iringan kecil. Mereka adalah Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Swandaru, Glagah Putih, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan.

Ketika mereka melewati beberapa orang yang duduk di pinggir jalan meskipun menebar, panggraita mereka sudah tersentuh. Nampaknya orang-orang yang duduk di pinggir jalan itu bukan para petani yang memiliki kotak-kotak sawah di sebelah-menyebelah jalan itu. 

Tetapi sepanjang orang-orang itu tidak berbuat sesuatu, maka Ki Jayaraga dan para pengiringnya sama sekali tidak menghiraukan mereka. Dengan tenangnya orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu melintasi mereka, orang-orang yang menebar di pinggir jalan sambil memperhatikan sekelompok orang yang lewat itu dengan mata yang hampir tidak berkedip.

Di antara utusan Ki Argajaya itu terdapat tiga orang perempuan. Seorang di antaranya masih terlalu muda. Sedangkan yang dua orang, adalah perempuan yang mulai menjadi masak.

Yang sangat menarik perhatian, ketiganya adalah perempuan-perempuan yang cantik. Justru mereka menggunakan pakaian yang terpilih. Sehingga dengan demikian maka utusan Ki Argajaya itu nampaknya benar-benar utusan yang resmi.

Demikian iring-iringan itu lewat, maka sepuluh orang yang menebar itu telah berkumpul kembali. Orang yang berkumis lebat itu berkata, “Aku dapat dibuat gila karenanya.”

“Ki Argajaya memang cerdik sekali. Ia mengirim utusan resmi yang separuh di antaranya adalah perempuan. Dengan demikian, sulit bagi Ki Suratapa untuk bertindak dengan kekerasan jika ia masih mempunyai harga diri,“ berkata kawan Ki Suratapa.

“Kenapa?” bertanya orang yang berkumis lebat, “Bukankah itu salah Argajaya sendiri? Bagiku, kita tidak akan peduli siapapun yang datang. Jika mereka tidak memenuhi keinginan Ki Suracala, maka mereka akan dibereskan di sini.”

“Tentu tidak semudah itu. Meskipun Ki Suratapa sudah berjanji bahwa akibat yang timbul dari rencananya ini bukan tanggung jawab kita, tetapi apakah kita akan melakukan kekerasan terhadap sekelompok utusan resmi, yang separuhnya terdiri dari perempuan?”

“Aku berpikir sebaliknya,“ berkata seorang yang bertubuh agak pendek tetapi sedikit gemuk, “perempuan itu akan dapat menjadi taruhan. Jika Argajaya tidak memenuhi tuntutan Suratapa, maka perempuan-perempuan itu tidak akan pulang ke rumah mereka.”

“Jika demikian, maka harga diri Tanah Perdikan Menoreh-lah yang tersinggung. Keluarga Suratapa akan dapat digilas sampai lumat. Bahkan keluarganya yang berada di Pringsurat sekalipun.”

“Bukankah jika terjadi demikian bukan tanggung jawab kita?” bertanya orang yang berkumis lebat.

“Itu menyalahi pembicaraan kita dengan Ki Suratapa. Kecuali jika Ki Suratapa menghendaki demikian.”

Orang berkumis lebat itu tidak menjawab. Tetapi agaknya ia tidak menghiraukan pembicaraan itu. Tiga orang perempuan yang ada di dalam iring-iringan itu adalah perempuan-perempuan yang sangat cantik. Bahkan seandainya ia diberi hak untuk memilih, maka ia akan mengalami kesulitan.

Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu sudah mendekati padukuhan. Ketika mereka kemudian memasuki regol, maka dari belakang dinding halaman di sudut padukuhan, Wiradadi dan kedua orang pengikutnya ternyata telah mengintip mereka dari balik rumpun bambu.

Jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda dan gadis yang pagi tadi datang ke padukuhan itu, telah ikut pula bersama sekelompok utusan Ki Argajaya.

“Setan anak itu,” geram Wiradadi.

“Bukankah satu kebetulan,“ berkata orang yang berwajah garang itu, “kita akan dapat membalas dendam.”

“Apakah kau masih berani bertempur melawan mereka?” bertanya Wiradadi.

“Ada sepuluh orang di bulak. Kita bergabung dengan mereka.” jawab orang yang berwajah garang itu.

Wiradadi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Perempuan yang telah mempermalukan aku itu harus menyesali perbuatannya. Ia tidak akan terlepas dari tanganku.”

Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu telah mendekati rumah Ki Suracala. Glagah Putih yang sudah mengetahui letak rumah itu, berjalan di depan.

Dalam pada itu. Ki Suracala sudah mendapat pemberitahuan bahwa utusan dari Tanah Perdikan sudah datang. Karena itu, maka iapun telah bersiap-siap untuk menyambut kedatangan mereka.

Untuk menghormati tamunya, maka Ki Suracala telah mengenakan pakaian yang pantas. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin dianggap seorang yang tidak mengenal unggah-ungguh.

“Buat apa kau memakai pakaian lengkap seperti itu?” bertanya Ki Suratapa.

“Bukankah utusan Ki Argajaya juga mengenakan pakaian yang baik dan pantas? Bahkan kedua orang anak yang datang pagi tadi pun berpakaian rapi sesuai dengan tugas mereka.”

“Aku tidak peduli,“ berkata Ki Suradipa.

“Itu terserah kepadamu,” jawab Ki Suracala, “tetapi aku peduli atas kedatangan mereka.”

“Tetapi ingat Suracala,” geram Suratapa, “kau harus tahu diri. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu sekarang ini. Apalagi jika mertua Wiradadi mengetahui apa yang terjadi. Mungkin seluruh keluargamu sudah dibunuhnya, karena ia tentu tidak mau nama keluarga anaknya tercemar karena tingkah laku gadis liarmu itu.”

“Tidak, itu fitnah,” geram Ki Suracala.

“Sekali lagi aku peringatkan. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu. Hidup mati Kanthi berada di ujung lidahmu,“ berkata Ki Suratapa.

Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa keselamatan Kanthi, dan bahkan seluruh keluarganya, tergantung pada sikapnya. Ki Suracala memang mempercayainya. Bahkan mertua Wiradadi yang garang akan dapat berbuat apa saja atas Kanthi, yang dianggapnya dengan sengaja mengganggu ketenangan keluarga anaknya itu. Saudara sepupunya yang bengis itu, untuk melindungi keselamatan anak lelakinya, akan dapat saja melemparkan fitnah, seakan-akan Kanthi sengaja menggodanya sehingga perbuatan yang tercela itu telah terjadi.

Namun demikian, sebenarnya hati Ki Suracala tidak membenarkan langkah yang diambil oleh sepupunya itu dengan mengorbankan Prastawa, anak Ki Argajaya, justru karena Ki Argajaya sejak lama tersisih dari keluarga Tanah Perdikan Menoreh karena pengkhianatannya yang menelan banyak korban itu.

Namun bagaimanapun juga, Ki Suracala harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Ki Suratapa sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk memaksakan kehendaknya.

Dalam pada itu, sejenak kemudian, utusan Ki Argajaya dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah sampai ke depan regol halaman rumahnya. Seseorang yang diperintahkan oleh Ki Suracala menunggu, segera mempersilahkan mereka masuk.

Ki Suracala sudah mempersiapkan diri untuk menerima mereka. Ki Suradipa juga sudah berada di pendapa pula.

Dengan ramah dan dengan unggah-ungguh yang utuh, Ki Suracala menerima utusan Ki Argajaya. Mereka pun kemudian dipersilakan untuk naik dan duduk di pendapa. Sementara itu, Ki Suratapa dan Ki Suradipa juga ikut menerima tamu-tamu itu.

Ki Suracala pun kemudian telah mempertanyakan keselamatan tamunya di perjalanan, serta keluarga yang mereka tinggalkan.

Baru kemudian Ki Suracala telah memperkenalkan kedua orang saudara sepupunya itu.

Ki Jayaraga yang ditugaskan untuk memimpin utusan itu pun telah memperkenalkan diri pula. Disebutnya dirinya sendiri sebagai saudara sepupu Ki Argajaya. Kemudian diperkenalkannya orang-orang yang menyertainya seorang demi seorang.

Ketika Ki Jayaraga menyebut nama Pandan Wangi, istri Swandaru, sebagai putri Ki Gede Menoreh, maka Ki Suratapa, Ki Suradipa dan bahkan Ki Suracala sendiri menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga anak Ki Gede Menoreh itu tentu datang atas sepengetahuan Ki Gede. Jika terjadi sesuatu atas anak perempuannya, sudah tentu Ki Gede tidak akan tinggal diam.

Ki Suratapa sudah mulai merasa bahwa perhitungannya tidak seluruhnya benar. Ia mengira bahwa Ki Gede dan keluarganya tidak akan mempedulikan nasib Ki Argajaya, dan bahkan nasib Prastawa.

Namun ternyata bahwa anak perempuan Ki Gede itu sendiri telah datang ke rumah Ki Suracala.

Kedatangan Pandan Wangi agaknya benar-benar berpengaruh. Bagaimanapun juga mereka harus memperhitungkan sikap Ki Gede di belakang utusan yang datang itu.

Tetapi Ki Suratapa masih mempunyai satu jalan. Mengungkit harga diri keluarga Ki Argajaya, sehingga tidak berlindung di bawah kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Karena persoalannya sangat terbatas pada persoalan pribadi dan harga diri sebuah keluarga.

Beberapa saat Ki Suracala masih belum menyinggung persoalan yang sebenarnya. Ia masih saja berbicara tentang berbagai hal di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Bahkan mereka juga berbicara tentang orang-orang yang ada di perkemahan, yang terusir oleh kekuatan dari Tanah Perdikan Menoreh.

Beberapa saat kemudian, maka minuman dan makanan pun telah dihidangkan, sehingga pembicaraan pun terputus untuk beberapa saat.

Baru kemudian, setelah minum beberapa teguk, maka Ki Suracala pun telah bertanya, “Ki Sanak. Sebagaimana Ki Sanak katakan tadi, bahwa kedatangan Ki Sanak adalah mengemban tugas dari Ki Argajaya. Nah, barangkali Ki Sanak dapat menguraikan pesan dari Ki Argajaya itu?”

Ki Jayaraga yang rambutnya sudah ubanan itu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Ki Suracala. Kami sudah menerima pesan-pesan Ki Suracala. Jika hari ini kami datang sebagai utusan Ki Argajaya, maka persoalan yang pernah Ki Suracala sampaikan kepada Ki Argajaya itulah yang ingin kami bicarakan sekarang ini.”

Sebelum Ki Suracala menjawab, maka Ki Suratapa sudah menyahut, “Lalu, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan itu? Tetapi tidak terlalu lama lagi, karena keadaan Kanthi sudah tidak memungkinkan lagi untuk bersembunyi lebih lama.”

“Maaf, Ki Suratapa,” jawab Ki Jayaraga, “bukan maksud kami menunda-nunda persoalan. Tetapi sebagaimana waktu yang ditetapkan oleh Ki Suracala sendiri. Bahkan masih tersisa satu hari lagi.”

“Ya. Memang masih ada waktu,“ sahut Ki Suracala.

Tetapi Ki Suradipa segera memotong, “Tugas Ki Sanak tinggal menyampaikan keputusan Ki Argajaya, kapan ia akan melangsungkan pernikahan Kanthi dengan Prastawa. Bukankah tinggal menyebut hari, pasaran dan tanggal. Kenapa ragu-ragu?”

Ternyata orang berwajah garang itu memang licik. Sementara Ki Jayaraga belum menjawab, Ki Suradipa sudah mendahului, “Tentu saja semakin cepat akan menjadi semakin baik.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengangguk pula sambil menjawab, “Ya. Semakin cepat persoalan ini selesai, tentu semakin baik.”

Ki Suradipa mengangguk-angguk sambil berkata, “Bagus. Jika demikian, sebut saja, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan anaknya. Nanti setelah persoalan pokok yang kita bicarakan selesai, kita dapat berbicara tentang apa saja. Mungkin tentang pelaksanaannya atau tentang hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan pernikahan itu. Biaya, misalnya.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya yang ditujukan kepada Ki Suracala, “Maaf. Ki Suracala. Sebelumnya, baiklah aku menyampaikan pesan Ki Argajaya lebih dahulu. Bukan tentang hari-hari pernikahan, tetapi tentang kebenaran persoalan itu sendiri.”

“Cukup,” potong Ki Suratapa, “sudah aku katakan bahwa kami hanya mau mendengar pesan Ki Argajaya tentang saat pernikahan. Yang lain tidak.”

“Tentu kita akan sampai kepada persoalan pernikahannya itu sendiri. Tetapi bukankah pernikahan itu bukan satu persoalan yang berdiri sendiri?” berkata Ki Jayaraga. Lalu katanya pula, “Karena itu. maka jika kita berbicara tentang pernikahan itu, maka kita tentu akan berbicara tentang hal-hal yang bersangkutan dengan pernikahan itu sendiri. Misalnya, siapa orangnya, bagaimana sikap keluarganya, dan kenapa pernikahan itu harus berlangsung. Tanpa kejelasan tentang hal itu, maka pernikahan itu akan menjadi kabur. Siapa yang akan menikah, apakah orang tuanya sependapat, atau apakah kedua orang yang akan menikah itu sudah setuju atau bahkan menolak.”

“Jangan berputar-putar Ki Jayaraga,“ berkata Ki Suradipa, “kami tidak mempunyai minat untuk berbicara tentang hal-hal yang lain kecuali pernikahan itu sendiri.”

“Tetapi bukankah harus dijelaskan, siapa yang akan menikah dengan siapa. Tentu bukan aku.”

“Itu sudah jelas. Jangan mengada-ada. Yang menikah adalah Prastawa dengan Kanthi. Mereka harus menikah karena hubungan mereka telah melampaui batas sehingga Kanthi mengandung. Sementara itu hubungan antara keduanya semula sudah direstui oleh orang tuanya. Nah, apa lagi?“ berkata Ki Suratapa.

“Itulah yang ingin kami cocokkan,” jawab Ki Jayaraga, “bukan karena kami tidak mempercayainya, tetapi mungkin ada kekeliruan atau salah paham. Menurut pengakuan Prastawa, ia sama sekali tidak pemah berhubungan dengan Kanthi dalam pengertian yang menyebabkannya mengandung. Prastawa mengaku bahwa ia kenal baik dan akrab dengan Kanthi. Tetapi tidak lebih dari persahabatan biasa. Apalagi sampai melakukan pelanggaran seperti yang dimaksudkan.”

“Siapa yang mengatakan itu?” bertanya Ki Suradipa.

“Prastawa sendiri,” jawab Ki Jayaraga.

“Kami sudah menduga bahwa Prastawa yang licik itu tidak akan berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Itulah sebabnya kami harus mempergunakan cara yang khusus untuk memaksa Prastawa berani bertanggung jawab,” geram Suradipa.

“Soalnya bukan tidak berani bertanggung jawab, tetapi Prastawa tidak melakukannya,“ berkata Ki Jayaraga, “hal itu berkali-kali dikatakannya. Baik di hadapan ayahnya, Ki Argajaya, maupun di hadapan Ki Gede Menoreh.”

“Ia berbohong. Apakah kalian akan melindungi seorang pengecut yang berbohong?” bertanya Ki Suratapa.

“Ki Suracala,“ berkata Ki Jayaraga kepada Ki Suracala, “Ki Suracala adalah ayah gadis yang mengandung itu. Kami mengusulkan, agar Prastawa dan Kanthi dipertemukan di hadapan orang-orang tua yang berpengaruh dari kedua belah pihak. Biarlah keduanya berbicara dengan jujur. Apakah Prastawa memang bersalah.”

“Tidak,“ Ki Suratapa hampir berteriak, “tidak ada gunanya. Prastawa tentu tetap berbohong. Kebohongan yang mantap tentu akan memberikan kesan bersungguh-sungguh. Dan itu akan dapat dilakukan oleh Prastawa.”

“Tetapi kita harus berusaha untuk sampai pada satu kebenaran. Jika keduanya berbicara sendiri-sendiri, maka tidak akan pemah dapat dicari kenyataan yang sebenarnya terjadi,” berkata Ki Jayaraga.

“Tidak. Aku sudah mengatakan tidak. Aku hanya ingin ketetapan waktu pernikahan, itu saja,” garam Ki Suratapa.

“Tetapi bukankah ayah Kanthi adalah Ki Suracala?” bertanya Ki Jayaraga.

Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi merah. Sementara itu Ki Suracala menjadi sangat gelisah.

Namun Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku tidak mau banyak berbicara lagi. Waktu yang kami berikan masih tersisa satu hari. Namun karena kalian sudah ada di sini sebagai utusan Ki Argajaya, maka kita akan menetapkan saja hari pernikahan itu, dengan janji untuk ditepati oleh kedua belah pihak.”

“Tetapi kami tidak mendapat wewenang untuk itu,“ jawab Ki Jayaraga.

“Kalian menyampaikan keputusan ini kepada Ki Argajaya. Biarlah Ki Argajaya mematuhinya.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berpaling kepada Pandan Wangi sambil berkata, “Apakah menurut pendapat Angger Pandan Wangi, kita dapat bertindak sebagaimana dikatakan oleh Ki Suratapa?”

Pandan Wangi menggeleng lemah. Sementara itu, Swandaru duduk dengan sangat gelisah, ia sudah mulai tidak telaten dengan pembicaraan yang berkepanjangan itu.

“Tidak, Ki Jayaraga,“ berkata Pandan Wangi kemudian, “wewenang yang ada pada kami adalah menyampaikan kebenaran itu.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya pula, “Nah, kau dengar? Angger Pandan Wangi adalah anak perempuan Ki Gede. Bahwa Angger Pandan Wangi disertakan dalam kelompok utusan ini, karena Ki Gede ingin tahu dengan pasti apakah Prastawa bersalah atau tidak. Jika Prastawa memang bersalah, maka Ki Gede sendiri akan mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka Prastawa akan mendapat perlindungan.”

“Persoalan ini adalah persoalan Ki Suracala dengan Ki Argajaya. Tentu saja Ki Gede dapat mengerahkan pasukannya untuk memaksakan kehendaknya. Tetapi itu adalah sikap yang sangat licik. Ia telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk melindungi kesalahan kemenakannya.”

“Tidak. Ki Gede belum memutuskan untuk melindungi Prastawa. Ki Gede sedang berusaha untuk melihat kebenaran dari persoalan ini. Karena itu, maka aku berpendapat sebaiknya Prastawa dan Kanthi dipanggil bersama-sama untuk berbicara langsung, dengan jujur menyatakan kebenaran itu.”

“Tidak. Itu tidak perlu,” jawab Ki Suratapa, “dalam keadaan yang demikian, Kanthi akan dapat menjadi ketakutan, dan tidak akan berani mengatakan kebenaran itu.”

“Bukankah ia akan disertai oleh ayahnya, dan barangkali kalian berdua?” jawab Ki Jayaraga.

“Tidak. Kami tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi,“ berkata Ki Suratapa. “Selebihnya, aku ingin menegaskan bahwa persoalannya adalah persoalan antara keluarga Ki Suracala dengan keluarga Ki Argajaya. Kecuali jika seperti Prastawa, Ki Argajaya tidak berani mempertanggung-jawabkan tingkah laku anaknya, sehingga Ki Gede terpaksa ikut campur dan menyalah-gunakan kekuasaannya.”

“Tidak. Ki Gede tidak akan menyalah-gunakan kekuasaannya,” potong Swandaru yang tidak sabar. “Jika kebenaran itu sudah kami yakini, maka kami akan menyelesaikan persoalan ini tanpa dukungan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Maksudku, pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.”

Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi tegang. Sejak mereka mengetahui bahwa Ki Gede mengirimkan langsung anak perempuannya, maka mereka sudah menjadi gelisah. Karena jika terjadi sesuatu dengan anak perempuannya, maka Ki Gede tentu tidak akan diam saja.

“Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh memang licik,“ berkata Ki Suratapa di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku tidak mengira bahwa Ki Argajaya akan melibatkan Ki Gede sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa Ki Argajaya telah mengikut sertakan anak perempuan Ki Gede, maka maksudnya tentu sudah jelas. Tetapi dengan demikian, maka kebenaran itu tidak akan pernah ditegakkan.”

Adalah di luar dugaan ketika tiba-tiba saja Rara Wulan memotong, “Apakah yang kau maksud dengan kebenaran dalam persoalan ini? Kenyataan dari kejadian yang telah terjadi, atau kenyataan yang terjadi di dalam angan-anganmu?”

Agung Sedayu terpaksa menggamitnya sambil berdesis, “Biarlah Ki Jayaraga menegaskannya, Rara.”

Tetapi Swandaru justru menyahut, “Aku pun akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Apa yang dimaksud dengan kebenaran yang harus ditegakkan itu?”

Wajah Ki Suratapa menjadi tegang. Namun Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Kami menunggu keputusan Ki Suracala. Seperti tadi aku katakan, sebaiknya kita memanggil Prastawa dan Kanthi bersama-sama. Kita minta keduanya berbicara dengan jujur, agar persoalan yang sebenarnya dapat kita lihat.”

“Jawabannya tidak berbeda dengan jawabanku,” Ki Suratapa hampir berteriak.

Namun Ki Jayaraga berkata, “Jika di sini tidak ada Ki Suracala, maka aku akan mendengarkan keterangan orang yang mewakilinya. Tetapi di sini ada Ki Suracala, yang justru lebih banyak berdiam diri.”

Sebenarnyalah bahwa perasaan Ki Suracala bagaikan diremas oleh persoalan yang dihadapinya. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan wajahnya menjadi pucat sekali.

“Kalian tidak perlu memaksanya berbicara,” geram Ki Suradipa, “ia sudah menyerahkan segala sesuatunya kepada kami.”

Tetapi Ki Jayaraga seolah-olah tidak mendengarnya. Dengan suaranya yang masih saja sareh dan tenang ia bertanya, “Katakanlah, apa yang terbaik menurut Ki Suracala.”

Suasana benar-benar telah mencengkam. Jantung Ki Suracala rasa-rasanya akan meledak. Ia tahu bahwa Prastawa tidak bersalah. Bahkan ia telah difitnah. Tetapi ia berada di bawah ancaman kedua sepupunya. Bahkan bayangan kegarangan mertua Wiradadi telah menghantuinya pula.

Dalam keadaan yang kalut dimana kebenaran tidak dapat diutarakannya, maka tiba-tiba saja Ki Suracala itu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya telah menutupi wajahnya. Laki-laki itu tiba-tiba saja menangis.

Ki Suratapa dan Ki Suradipa yang melihat Ki Suracala menangis, hampir bersamaan membentak, “He! Kau kenapa?”

Ki Suracala tidak dapat menjawab. Bahkan laki-laki itu terguncang karena menahan tangisnya.

“Setan kau. Kenapa kau menjadi cengeng?“ Ki Suratapa hampir berteriak, “Kau seorang laki-laki, Suracala. Betapapun berat beban perasaanmu, kau tidak akan menangis.”

Ki Suracala tidak menjawab. Ia masih berjuang untuk mengatasi gejolak perasaannya.

Namun dalam pada itu, Ki Suratapa tidak melihat lagi kemungkinan untuk memaksakan kehendaknya. Ternyata Ki Argajaya mempunyai cara tersendiri untuk memancing agar Ki Gede terlibat ke dalamnya, dengan menempatkan anak perempuannya menjadi salah satu dari utusannya ke rumah Ki Suracala.

Dengan demikian, maka Ki Suratapa dan Ki Suradipa pun menjadi mata gelap. Mereka tidak lagi dapat berpikir jauh. Niatnya adalah menangkap tiga orang perempuan yang ada di dalam sekelompok utusan Ki Argajaya. Jika Prastawa tidak mau menikahi Kanthi, maka perempuan-perempuan itu tidak akan dilepaskan. Tetapi jika Ki Gede melibatkan diri dengan mengerahkan pasukan pengawal Tanah Perdikan, maka ketiga perempuan itu akan dibunuh saja.

Ancaman itu harus didengar oleh Ki Argajaya dan Ki Gede. Karena itu, maka jika terjadi benturan kekerasan, tidak semua orang dalam sekelompok utusan itu akan dibunuh.

“Satu dua di antara mereka akan tetap hidup, memberitahukan ancaman itu kepada Ki Argajaya dan Ki Gede.”

Karena itu, maka Ki Suratapa yang sudah menjadi kehilangan akal itu pun berkata, “Ki Jayaraga. Jika kau tidak dapat mengatakan kapan pernikahan itu dilakukan, atau kau tidak mau membicarakannya sekarang, maka pembicaraan selanjutnya tidak ada gunanya. Aku minta kalian meninggalkan tempat ini.”

Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Ia tidak mengira bahwa akhir dari pembicaraan itu hanya sampai di situ. Ia mengira bahwa akan terjadi benturan kekerasan karena kedua belah pihak sama sekali tidak mau mengalah. Namun ternyata saudara-saudara sepupu Ki Suracala itu hanya mengusirnya saja.

Namun sebenarnyalah bahwa pengusiran itu bukan langkah terakhir bagi Ki Suratapa dan Ki Suracala. Mereka masih mempunyai sepuluh orang upahan yang menunggu di bulak. Jika utusan dari Tanah Perdikan itu lewat di bulak itu, maka mereka akan disergap. Tiga orang perempuan itu akan menjadi tanggungan. Setidak-tidaknya seorang di antara laki-laki dalam kelompok utusan itu harus hidup dan menyampaikan pesan Ki Suratapa kepada Ki Argajaya dan Ki Gede Menoreh.

Karena persoalannya tidak lagi dapat dibicarakan, maka Ki Jayaraga pun menganggap bahwa tidak ada gunanya untuk berbicara lebih jauh. Ki Jayaraga menganggap bahwa dengan demikian, maka Prastawa telah bebas dari tuntutan mereka. Atau akan ada utusan lagi dari keluarga Ki Suracala yang akan menyampaikan syarat-syarat pembicaraan yang baru.

Namun demikian, penggraita Ki Jayaraga, bahkan semua orang dalam kelompok utusan itu, tidak yakin bahwa Ki Suratapa benar-benar akan melepaskan mereka begitu saja. Apalagi mereka mengetahui bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah dicegat di tengah bulak pula, sehingga peristiwa buruk itu akan dapat terulang.

Meskipun demikian, maka Ki Jayaraga itu pun berkata, “Baiklah Ki Suracala. Jika Ki Suracala sama sekali tidak dapat memberikan jawaban, sementara itu Ki Suratapa dan Ki Suradipa menganggap bahwa pembicaraan selanjutnya sudah tidak perlu, maka kami akan minta diri. Langit sudah mulai buram, sehingga malam akan segera turun.”

Ki Suracala benar-benar tidak dapat menjawab. Ia tahu benar apa yang akan dilakukan oleh kedua sepupunya atas orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh jika pembicaraan mereka tidak menemukan titik temu. Namun ia tidak dapat meneriakkan hal itu, karena ia tahu bahwa persoalannya akan menyangkut keselamatan Kanthi dan keluarganya.

Sementara itu, lampu minyak memang sudah dinyatalan di ruangan-ruangan, dan di pendapa, bahkan oncor pun telah dipasang di regol halaman.

Namun dalam pada itu, selagi Ki Jayaraga minta diri, maka tiba-tiba tiga orang berkuda telah memasuki halaman rumah Ki Suracala tanpa turun dari punggung kudanya.

Kuda-kuda yang tegar itu pun kemudian telah berhenti di depan pendapa rumah Ki Suracala. Baru kemudian ketiga orang itu meloncat turun dari kuda mereka.

Setelah menambatkan kuda-kuda itu pada patok di sisi tangga pendapa, maka ketiga orang itu pun segera naik ke pendapa.

Kedatangan ketiga orang itu benar-benar telah mengejutkan Ki Suracala, Ki Suratapa dan Ki Suradipa. Orang itu adalah mertua Wiradadi yang garang. Orang yang mereka takuti, karena mertua Wiradadi adalah orang yang berilmu sangat tinggi.

Ketika Ki Suracala, Ki Suratapa dan Ki Suradipa bangkit berdiri menyambut orang yang datang itu, maka Ki Jayaraga dan orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan itu pun telah bangkit pula untuk ikut menghormati mereka, meskipun mereka belum tahu siapakah yang telah datang itu.

Betapapun segannya, Swandaru pun telah ikut berdiri pula. Kepada Glagah Putih ia berbisik, “Siapakah mereka itu?”

Glagah Putih menggeleng. Desisnya, “Aku belum tahu.”

Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.

“Kami mengucapkan selamat datang,“ berkata Ki Suratapa.

“Terima kasih, “jawab orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang dan bercambang lebat.

“Aku sudah tahu semuanya apa yang terjadi di sini,” geram orang itu, “karena itu aku datang untuk mengambil Kanthi, perempuan liar yang telah merusakkan rumah tangga anakku.”

Wajah-wajah mereka yang berdiri di pendapa itu menjadi tegang, termasuk utusan Ki Argajaya.

Sementara itu orang itu pun berkata selanjutnya, “Aku pun ingin bertemu dan berbicara dengan Wiradadi. Aku ingin tahu apakah Wiradadi yang bersalah atau Kanthi yang bersalah. Setelah aku tahu dengan pasti, maka aku akan mengambil keputusan. Aku tidak mempunyai belas kasihan kepada siapapun yang telah menista kehidupan keluarga anakku.”

Ketegangan telah mencengkam pendapat itu. Ki Suratapa yang berusaha membuat penyelesaian sendiri tanpa setahu ayah mertua Wiradadi, ternyata tidak berhasil. Ternyata orang itu sudah mengetahui apa yang terjadi.

Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu pun berkata, “Kakang Wreksadana, di sini kami sedang berusaha untuk mencari kebenaran tentang seorang anak muda yang bernama Prastawa.”

“Aku sudah tahu. Kalian menduga Kanthi telah mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Tetapi karena Prastawa tidak mau bertanggung jawab, maka Kanthi telah menjebak Wiradadi, sekedar untuk menyandarkan keadaannya yang tidak dapat disembunyikan lagi.”

“Ya. Kakang,“ jawab Ki Suratapa, “dengan demikian maka Prastawa-lah yang harus bertanggung jawab atas keadaan Kanthi sekarang ini.”

“Apapun yang terjadi dalam hubungan antara Prastawa dan Kanthi, aku tidak peduli. Tetapi bahwa Wiradadi sudah terjebak, itu merupakan persoalan bagi anak perempuanku, dan sudah tentu bagiku,” jawab orang yang disebut Wreksadana itu.

Ki Suratapa menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang itu pun berteriak, “Panggil Wiradadi!”

Suasana memang menjadi bertambah tegang. Sementara itu Ki Suracala yang justru menjadi tegang melihat keadaan itu berkata, “Ki Wreksadana, silahkan duduk.”

“Terima kasih. Aku tidak akan lama. Aku hanya akan berbicara dengan Wiradadi sebentar. Kemudian mengambil Kanthi.”

Tidak ada seorangpun yang berani membantah. Sementara itu utusan Ki Argajaya hanya dapat menunggu, apakah yang akan terjadi kemudian.

Sejenak kemudian, maka Wiradadi pun telah diajak ke pendapa itu pula. Ternyata orang itu telah menjadi gemetar. Wajah mertuanya yang menyala itu membuat darahnya serasa telah membeku.

“Wiradadi,“ berkata Ki Wreksadana, “aku sudah tahu semuanya. Di antara orang-orang yang dikumpulkan oleh ayahmu itu, terdapat beberapa di antaranya adalah orang-orangku pula. Jadi kalian tidak dapat membohongi aku. Kau dan Kanthi telah melakukan hubungan terlarang. Aku tidak peduli, apakah sebelumnya tersangkut nama Prastawa. Yang ingin aku tanyakan, apakah kau atau Kanthi yang mula-mula memancing sehingga terjadi perbuatan yang tidak pantas itu?”

Wiradadi memang tergagap. Tetapi otaknya yang licik itu dengan cepat mampu bekerja. Yang kemudian dipikirkan oleh Wiradadi adalah justru keselamatannya sendiri. Ia tidak peduli apa yang akan dialami oleh orang lain. Bahkan penderitaan yang paling pahit sekalipun. Karena itu, maka Wiradadi tidak peduli bahwa keterangannya akan dapat mencekik Kanthi sekalipun.

Karena itu, dengan licin Wiradadi menjawab, “Ayah tentu dapat membayangkan, apa yang terjadi atas diriku di sini, di rumah Paman, justru saat Kanthi memerlukan jalan keluar. Saat itu aku benar-benar terjebak di dalam biliknya sehingga aku tidak mungkin lagi menghindar.”

“Jadi, kau dalam hal ini tidak bersalah? Kau hanya menjadi korban keliaran Kanthi?” bertanya Ki Wreksadana.

“Ya Ayah. Aku memang menjadi sangat menyesal bahwa hal itu terjadi, sementara itu aku sangat mencintai istriku.”

“Jika demikian, maka Kanthi yang pantas dihukum. Ia telah merampok suami orang, justru dengan maksud yang sangat buruk. Bukan karena ia mencintai Wiradadi, apalagi cinta yang mendapat tanggapan.”

“Tentu Ayah. Aku sama sekali tidak tertarik pada Kanthi. Saat itu aku tidak menduga sama sekali bahwa aku telah dijebaknya dalam biliknya, justru karena ia masih saudaraku justru pada garis ketiga. Garis terlarang bagi seseorang untuk berumah tangga, seandainya kami saling mencintai sekalipun.”

“Bagus. Jika demikian hati istrimu akan menjadi tenteram. Tetapi dengan demikian, bawa Kanthi kemari. Aku akan membawanya. Ia harus mendapatkan hukuman langsung dari istri Wiradadi.”

“Tidak,“ tiba-tiba saja Ki Suracala menjadi tegar, “aku akan mempertahankan anakku. Ia tidak bersalah. Ketika Kanthi dalam keadaan putus asa karena isyarat yang diberikan oleh Prastawa, bahwa Prastawa tidak mencintainya, maka Wiradadi itu datang kemari. Ia memanfaatkan kekosongan di hati Kanthi.”

“Diam!” bentak Ki Wreksadana, “aku tidak bertanya kepadamu.”

“Tetapi aku Ayah Kanthi,” jawab Suracala.

“Aku tidak peduli. Jika kau berkeras mempertahankan anakmu, maka kau pun akan aku anggap ikut bersalah. Kau tentu telah membantu anakmu menjebak Wiradadi.”

“Bohong!” tiba-tiba saja Rara Wulan yang tidak dapat menahan diri berteriak, “Wiradadi bohong. Aku tahu bahwa wataknya tidak lebih baik dari seekor srigala. Kanthi baginya tidak lebih dari seekor kelinci. Apalagi dalam keadaan putus asa.”

“Siapa kau?” bertanya Wreksadana.

“Aku adalah salah seorang antara gadis-gadis yang mengalami perlakuan kasar Wiradadi. Untunglah aku dapat mempertahankan kehormatan dan memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadaku!” teriak Rara Wulan.

Wajah Ki Wreksadana menjadi tegang, sementara wajah Wiradadi menjadi merah. Dengan suara lantang Ki Wreksadana berkata, “Gadis gila. Kenapa kau turut campur? Aku tahu, kau tentu salah seorang dari keluarga Prastawa. Kau datang membawa fitnah atas menantuku Wiradadi.”

“Tidak. Kau-lah yang tidak jujur dalam persoalan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang kau berikan kepada Wiradadi sama sekali tidak berarti. Kau kira orang lain tidak tahu bahwa apa yang kau lakukan tidak lebih dari satu pagelaran lelucon, buat memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah? Aku, Ki Suracala, Kanthi, bahkan semua orang tahu, bahwa sebenarnya kau tidak mencari kebenaran. Tetapi kau ingin seakan-akan kau sudah bertindak adil di hadapan banyak orang.”

“Tutup mulutmu!” bentak Ki Wreksadana.

Tetapi Swandaru telah menyela, “Teruskan Rara. Berkatalah terus. Aku senang mendengarnya.”

Sebenarnya Rara Wulan pun berkata selanjutnya, “Pertanyaan-pertanyaanmu dan jawaban-jawaban Wiradadi juga kau gunakan untuk mengangkat harga diri anak perempuanmu, bahwa seolah-olah suaminya tidak pernah berpaling kepada perempuan lain. Tetapi sebenarnyalah menantumu adalah seorang laki-laki yang lebih ganas dari srigala lapar.”

“Kau kira orang lain dapat mempercayai kata-katamu?” teriak Ki Suratapa, “Bagaimana mungkin kau dapat membebaskan diri dari Wiradadi, seandainya ia benar-benar mengingininya? Apalagi memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadamu.”

“Baru tadi siang hal itu terjadi. Ketika aku pulang dari rumah ini, Wiradadi dan dua orang pengikutnya telah mencegat kami di pategalan dan berusaha menyeretku masuk ke dalam gubug. Tetapi ternyata kemampuannya tidak lebih dari kemampuan anak-anak yang baru dapat berjalan selangkah-selangkah.”

“Gila! Kenapa kau dapat membual demikian kasarnya di hadapan kami?” teriak Ki Wreksadana.

“Aku tidak membual. Jika kalian ingin membuktikan, aku tantang sekarang Wiradadi berkelahi di halaman ini. Kalian akan menjadi saksi, siapakah yang menang dan siapakah yang kalah!“ Rara Wulan pun berteriak pula.

Wajah Wiradadi menjadi pucat. Untunglah bahwa cahaya lampu minyak yang kekuning-kuningan telah menyaput wajah itu, sehingga Ki Suratapa tidak dengan segera melihatnya.

Dalam ketegangan itu, Ki Wreksadana pun berkata, “Perempuan itu mencoba mengalihkan persoalan yang sebenarnya. Ki Suratapa, aku minta kau selesaikan perempuan ini. Sekarang aku minta agar Kanthi dibawa kemari. Aku memerlukannya. Ia harus datang menemui anak perempuanku, minta ampun dan menerima hukuman apapun yang akan diberikan oleh anak prempuanku itu, sehingga untuk selanjutnya Kanthi tidak akan pernah dapat merampok suami orang lain lagi.”

“Tidak,” jawab Ki Suracala, “Kanthi tidak akan dibawa kemana-mana oleh siapapun.”

“Ki Suracala. Kau tidak dapat menolaknya. Anakmu memang harus mendapat hukuman karena kesalahannya.”

Rara Wulan-lah yang berteriak lebih keras lagi, “Kanthi tidak bersalah, kau dengar? Kanthi tidak bersalah!”

Ki Wreksadana akhirnya kehabisan kesabaran. Dengan garangnya ia berkata kepada Ki Suratapa, “Usir perempuan itu. Jika yang lain mencoba menghalanginya, selesaikan saja mereka.”

Ki Suratapa memang menjadi bingung. Orang-orangnya tidak ada di halaman rumah itu, tetapi mereka menunggu di bulak.

Ki Wreksadana melihat kebimbangan itu. Dengan lantang ia berkata, “Orang-orangmu ada di sini. Aku membawa mereka kemari. Sebagian dari mereka sebenarnya adalah orang-orangku, sehingga aku tahu apa yang terjadi di sini. Juga tentang utusan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan mereka. Aku hanya ingin membawa Kanthi. Tetapi jika mereka sengaja melibatkan diri, apa boleh buat.”

“Ki Wreksadana,“ berkata Ki Suracala, “apa yang dikatakan Angger Rara Wulan adalah benar. Kau tentu hanya sekedar ingin menyelamatkan perkawinan anakmu dengan Wiradadi. Kau ingin memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah, meskipun bagimu itu hanya sekedar pura-pura. Aku tidak peduli kepura-puraanmu, Ki Wreksadana. Tetapi kau tidak perlu mengorbankan orang lain. Kau tidak perlu mengorbankan Kanthi yang sudah terlalu banyak menderita itu. Jika aku terlibat dalam kecurangan ini terhadap Ki Argajaya, karena aku sampai sesaat tadi masih takut mati. Tetapi sekarang tidak. Aku sudah tidak takut lagi menghadapi kematian itu lagi. Aku sependapat dengan saudara-saudaraku dari Tanah Perdikan Menoreh, bahwa kita harus menemukan kebenaran sekarang ini. Bukan fitnah dan bukan kebohongan serta kepura-puraan lagi.”

Jantung Ki Wreksadana bagaikan membara. Terdengar ia memberikan isyarat dengan sebuah suitan nyaring. Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang berada di bulak itu telah berada di luar regol halaman, sehingga sejenak kemudian mereka sudah memasuki halaman.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” geram Ki Wreksadana, “aku akan membawa Kanthi dengan kekerasan. Siapa yang mencoba menghalangi, akan dihancurkan. Jika terjadi kematian, sama sekali bukan tanggung jawab kami, karena kami sudah memperingatkan sebelumnya.”

“Jadi tanggung jawab siapa?” bertanya Swandaru.

Namun Ki Suracala justru melangkah maju sambil berkata lantang, “Aku tidak akan menyerahkan Kanthi. Apapun yang terjadi, aku akan mempertahankannya. Ia adalah anakku. Karena itu, maka harganya sama dengan nyawaku.”

“Setan kau Suracala. Agaknya kau memang ingin mati. Seharusnya kau biarkan anak perempuan yang liar mendapat hukuman. Tetapi kau justru melindunginya.”

“Apakah ia liar, apakah ia gila atau apakah ia sampah sekalipun, tetapi ia adalah anakku,” jawab Ki Suracala.

Ki Wreksadana tidak sabar lagi. Iapun memberi isyarat kepada kedua orangnya dan orang-orang yang baru datang itu sambil berteriak, “Kita selesaikan orang-orang yang mencoba menghalangi rencanaku!”

“Premana,“ tiba-tiba terdengar suara Ki Jayaraga, “sampai rambutmu ubanan ternyata kau masih liar dan ganas. Jika kau berbicara tentang Kanthi yang kau anggap gadis yang liar, bagaimana dengan dirimu sendiri?”

Ki Wreksadana memandang Ki Jayaraga dengan mata yang tanpa berkedip. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Siapa kau iblis tua?”

“Apakah kau lupa kepadaku? Memang sudah lama kita tidak bertemu. Mula-mula aku lupa kepadamu. Tetapi setelah kau banyak berbicara dan kemudian kau berniat memaksakan kehendakmu, maka aku segera teringat bahwa yang bernama Wreksadana itu adalah Premana yang tampan, berilmu tinggi dan disukai banyak gadis-gadis cantik. Aku kira anak perempuanmu itu juga cantik, Premana. Tetapi sayang, bahwa menantumu mempunyai tabiat yang kurang baik. Kau tentu tahu itu. Tetapi menantumu itu tidak lebih dari sebuah cermin bagimu. Kau dapat melihat wajahmu sendiri didalamnya, se hingga kau dapat melihat cacat-cacat yang melekat pada dirimu.”

“Tutup mulutmu! Siapa kau?” teriak Wreksadana.

“Untuk menyenangkan hati anak perempuanmu, serta sedikit memulas wajah cerminmu, maka kau melemparkan kesalahan itu kepada Kanthi, anak Ki Suracala. Sebenarnyalah bahwa Kanthi sudah terlalu menderita dengan peristiwa yang menimpa dirinya. Bukan berarti bahwa Kanthi tidak bersalah. Menurut pendapatku, Kanthi tetap bersalah. Tetapi tentu tidak seberat keputusan yang kau jatuhkan. Karena itu, jika kau akan menghukum, hukumlah Wiradadi. Biarlah Ki Suracala menghukum anaknya yang bersalah.”

“Siapa kau? Siapa kau?” Wreksadana berteriak semakin keras.

“Kau ingat kepada Jayaraga?”

“Jayaraga,“ Ki Wreksadana mengingat-ingat, “Jayaraga. Jadi kau iblis yang sering berkeliaran di pesisir utara itu?”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ya Premana. Aku memang sering berkeliaran di pesisir utara. Tetapi aku juga berkeliaran sampai kemana-mana. Gombel, Bawen, Banyu Biru, memutari kaki Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Juga menelusuri Kali Opak dan Kali Praga. Terakhir aku berkeliaran di Pegunungan Menoreh.”

“Lalu kenapa kau sekarang berada di sini?” bertanya Ki Wreksadana.

“Aku sedang menjadi utusan Ki Argajaya untuk mencari kebenaran tentang anaknya, Prastawa, yang dituduh telah melakukan pelanggaran hubungan dengan Kanthi.”

“Bagus. Kau sudah tahu bahwa Prastawa tidak berkaitan dengan persoalan Kanthi dan anak perempuanku. Karena itu, untuk selanjutnya jangan turut campur urusan kami.”

“Maaf, Premana. Aku sudah terlanjur mendengar ancamanmu. Sementara itu aku tahu bahwa Kanthi tidak mutlak bersalah. Karena itu, maka aku tidak akan dapat menutup mata dan telinga. Aku harus ikut menegakkan kebenaran di sini.”

“Setan kau Jayaraga. Sejak kapan kau mengenal kebenaran?”

“Premana. Semua muridku mati sebagai orang-orang jahat. Seandainya ada yang masih hidup pun, ia jahat pula. Kecuali satu. Murid yang aku ketemukan setelah pribadinya terbentuk. Nah, karena itu, biarlah aku berusaha untuk membersihkan nama perguruanku dengan perbuatan baik di sisa hidupku.”

“Jadi kau benar-benar akan melibatkan diri?” bertanya Wreksadana.

“Ya. Sejak semula hubungan kita memang kurang baik. Seandainya hubungan itu menjadi semakin buruk, apa boleh buat.” Ki Jayaraga melangkah maju mendekati Ki Wreksadana, “Sudah waktunya tingkah lakumu itu kau hentikan. Wreksadana, coba aku ingin bertanya kepadamu. Jawablah dengan jujur. Buat apa sebenarnya Kanthi akan kau bawa? Tentu tidak akan kau serahkan kepada anak perempuanmu. Mungkin memang kau bawa Kanthi kepadanya. Kau paksa ia untuk mohon ampun. Tetapi setelah itu? Kau kira aku tidak tahu tabiatmu?” 

“Setan kau Jayaraga. Kau benar-benar iblis yang terkutuk. Kau harus mati sekarang, agar kau untuk selanjutnya tidak akan mengganggu aku lagi.”

Ki Jayaraga pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu kedua orang pengiring Ki Wreksadana telah bersiap pula.

“Jangan di pendapa,“ berkata Ki Jayaraga, “di halaman kita dapat bermain gobag sodor, karena halaman itu cukup luas.”

Pertemuan antara Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana yang disebut Premana itu telah mencengkam suasana.

Nampaknya Ki Wreksadana tidak berkeberatan untuk turun dari pendapa. Ketika ia sudah mulai bergeser, maka iapun berkata, “Jayaraga. Jadi kau benar-benar ingin ikut campur dalam persoalan ini?”

“Aku tidak dapat berdiam diri melihat orang-orang kuat seperti kau memaksakan kehendakmu dengan sewenang-wenang kepada orang-orang yang lemah, sehingga tatanan kehidupan ini tidak akan lebih dari kehidupan di dalam rimba yang buas. Atau katakanlah bahwa kehidupan kita sebagai mahluk yang memiliki akal budi, tidak lebih dari kehidupan binatang di hutan.”

“Kau memang iblis. Bersiaplah untuk mati Jayaraga. Aku setuju dengan usulmu. Kita bertempur di halaman.”

Ki Jayaraga itu pun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu, Swandaru dan yang lain sambil berdesis, “Berhati-hatilah. Kita sudah mulai. Nampaknya lawan kita cukup kuat.”

Swandaru-lah yang menjawab, “Ternyata yang terjadi berbeda dari yang kita duga. Kita ternyata justru mendapat lawan yang lain.”

“Ya,“ sahut Ki Jayaraga, “tetapi sepuluh orang di halaman itu tentu juga orang-orang berilmu tinggi.”

Swandaru mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan melawan salah seorang dari pengiring Ki Wreksadana itu. Nampaknya ia juga seorang berilmu tinggi.”

“Ya. Aku setuju. Ia nampaknya memang berilmu tinggi,” jawab Ki Jayaraga.

Sementara itu Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, “Hadapi yang seorang lagi. Aku akan turun ke halaman.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Iapun kemudian melangkah turun ke halaman, mendekati Ki Wreksadana yang sudah menunggu. Swandaru pun melangkah pula. Namun sekali-sekali ia memandang Glagah Putih yang berjalan di sebelahnya. Swandaru memang menjadi agak heran, bahwa bukan Agung Sedayu sendiri yang menghadapi salah seorang pengawal Ki Wreksadana, yang tentu juga seorang yang berilmu tinggi.

“Apakah anak itu akan dapat mengimbangi lawannya?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, ia masih berusaha menahan diri. Jika hal itu diucapkannya, maka hati anak muda itu akan menyusut, sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi kemampuannya.

Sementara itu, Agung Sedayu pun berkata kepada Rara Wulan, ”Masuklah. Cari Kanthi. Lindungi perempuan itu. Mungkin ada orang yang licik yang menyusup masuk ke ruang dalam. Jika perlu, panggil salah seorang dari kami.”

Rara Wulan mengangguk. Ia memang tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya gadis itu telah menyusup lewat pintu pringgitan dan hilang di ruang dalam.

Sementara itu, Ki Suratapa yang marah melihat sikap Ki Suracala itu pun menggeram, “Ternyata kau telah merusak segala pembicaraan yang sebelumnya pernah kita sepakati.”

“Aku tidak pernah menyepakati untuk menyerahkan Kanthi kepada Ki Wreksadana,” jawab Ki Suracala.

“Tetapi semuanya ini masih tetap dalam bingkai persoalan yang timbul karena Kanthi!” bentak Ki Suratapa.

“Hanya orang gila yang akan menyerahkan anaknya, betapapun besar dosanya sehingga darahnya menjadi hitam sekalipun, kepada orang lain untuk dihukum dengan semena-mena tanpa menimbang kesalahannya dengan saksama. Apalagi Ki Wreksadana tidak berhak menghukum Kanthi.”

“Aku yang akan memaksamu menyerahkan Kanthi,“ berkata Suratapa.

“Aku tidak peduli siapa kau!” Ki Suracala pun membentak, “Aku siap melindungi anakku, apapun yang akan terjadi.”

Ki Suratapa tidak dapat menahan diri lagi. Dengan garangnya ia menyerang Ki Suracala yang bergeser ke tangga pendapa. Ternyata Ki Suracala pun lebih senang bertempur di halaman daripada di pendapa rumahnya.

Sementara itu Ki Suradipa memang licik. Ia mengetahui bahwa yang mencoba melindungi Kanthi hanyalah seorang perempuan muda. Karena itu, maka iapun segera meloncat masuk lewat pintu pringgitan untuk mencari Kanthi.

Di halaman, Ki Jayaraga sudah siap bertempur melawan Ki Wreksadana. Sedangkan Swandaru menghadapi salah seorang pengawalnya. Demikian pula Glagah Putih. Sedangkan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah tetap bersiap meghadapi sepuluh orang yang semula telah dipersiapkan oleh Ki Suratapa di bulak, untuk mencegat utusan dari Tanah Perdikan itu jika mereka kembali.

Namun yang mengejutkan adalah kedatangan dua orang yang memasuki regol halaman. Cahaya lampu minyak yang redup menggapai wajah mereka, sehingga hampir di luar sadarnya Agung Sedayu berkata, “Ki Argajaya.”

Ki Argajaya berdiri tegak di depan regol. Di sebelahnya Prastawa nampak gelisah.

“Aku sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi,“ berkata Ki Argajaya. “Karena itu aku wajib menyusul kemari. Adalah tidak pantas jika aku dan Prastawa duduk sambil minum minuman hangat di rumah, sementara orang-orang yang datang atas namaku harus menyabung nyawanya.”

Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Persoalannya telah bergeser dari persoalan semula. Kami sedang berusaha melindungi Kanthi dari tindak sewenang-wenang.”

“Apa yang terjadi dengan Kanthi?” bertanya Ki Argajaya.

“Ceritanya panjang Ki Argajaya,” jawab Agung Sedayu.

Ki Argajaya menyadari, bahwa bukan waktu untuk mendengarkan sebuah dongeng yang betapapun menariknya. Sementara itu, Ki Jayaraga yang sudah siap untuk bertempur berkata, “Selamat datang Ki Argajaya. Seperti yang dikatakan oleh Angger Agung Sedayu, kita sedang melindungi Kanthi dari sergapan seekor srigala, setelah disergap oleh srigala yang lain.”

Ki Wreksadana tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia tidak peduli akan kehadiran Ki Argajaya. Karena itu, maka iapun segera menyerang Ki Jayaraga dengan garangnya.

Ki Jayaraga tidak lengah meskipun ia sempat berbicara dengan Ki Argajaya. Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Ki Jayaraga dengan cepat meloncat menghindar.

Sementara itu, Swandaru pun telah mulai bertempur pula. Demikian pula Glagah Putih yang telah mengambil jarak.

Dalam pada itu, maka Ki Argajaya dan Prastawa pun segera menempatkan diri bersama-sama dengan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Sementara itu, seorang di antara mereka yang semula siap mencegat utusan Ki Argajaya itu berkata, “Jadi perempuan-perempuan ini juga merasa mampu untuk bertempur?”

Sekar Mirah yang telah menyingsingkan kain panjangnya tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja selendangnya telah dikibaskannya dengan cepatnya.

Orang yang berbicara itu terkejut. Semula ia tidak mengira bahwa selendang itu demikian cepatnya mematuk ke arahnya. Karena itu, maka dengan serta-merta orang itu meloncat surut.

Namun bandul-bandul timah kecil di ujung selendang itu meluncur lebih cepat. Karena itu, maka ujung selendang itu telah sempat menggapai dada orang itu.

Orang itu mengeluh tertahan. Namun kemudian iapun segera mengumpat kasar. Terasa dadanya menjadi sakit dan nafasnya pun seakan-akan telah tersendat.

“Iblis betina,” geramnya. Kemarahannya telah menjalar lewat darahnya yang mendidih ke seluruh tubuhnya. Namun dadanya itu memang terasa sakit dan panas.

Ternyata sepuluh orang yang marah itu tidak menunggu lebih lama. Mereka pun segera mencabut senjata-senjata mereka. Sepuluh ujung senjata telah tejulur ke arah lima orang yang berada di dalam kepungan.

Ki Argajaya sudah cukup lama tidak memegang tombaknya. Tetapi demikian tangannya mulai bergetar, maka rasa-rasanya tombaknya itu telah bergerak dengan sendirinya.

Meskipun demikian, iapun berdesis, “Aku tidak bermimpi masih akan mengangkat senjata lagi. Tetapi ternyata aku telah disudutkan oleh keadaan, sehingga aku terpaksa menarik tombakku dari plonconnya.”

“Bukan salah Ki Argajaya,“ desis Agung Sedayu.

Ki Argajaya tidak menyahut lagi. Serangan-serangan mulai datang beruntun.

Pandan Wangi yang memang telah menyiapkan dua pisau belati di pinggangnya, telah menggenggamnya pula. Meskipun pisau belati itu hanya pendek saja, tetapi di tangan yang terampil, maka pisau itu menjadi sangat berbahaya.

Orang yang berkumis lebat yang ikut mencegat utusan Ki Argajaya di bulak itu menggeram, “Ternyata mereka bukan perempuan-perempuan yang pasrah untuk taruhan.”

“Baru tahu kau sekarang,“ desis kawannya.

Orang itu ternyata tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sepasang pisau belati Pandan Wangi telah menjepit senjatanya, sebuah parang yang besar. Untunglah bahwa kawannya yang lain sempat membantunya dengan serangan yang deras menebas ke arah leher Pandan Wangi. Sebuah kapak yang besar itu terayun dengan deras sekali.

Tetapi Pandan Wangi cukup tangkas. Meski-pun ia harus melepaskan parang lawannya, namun ia sempat menghindari serangan kapak yang besar itu.

Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Namun Ki Argajaya ternyata masih sempat melihat Ki Suracala yang bertempur melawan Ki Suratapa. Dua orang sepupu yang harus bermusuhan karena masing-masing membela kepentingan anaknya. Salah atau tidak salah.

“Kenapa Ki Suracala?” bertanya Ki Argajaya kepada Agung Sedayu yang bertempur tidak jauh daripadanya.

“Ia sedang melindungi anaknya. Kita berdiri di pihaknya,” jawab Agung Sedayu.

Ki Argajaya tidak bertanya lagi. Lawannya dengan serta-merta menyerangnya. Namun tombak Ki Argajaya sempat berputar dan mulai mematuk dengan cepatnya.

Prastawa sendiri telah mempergunakan pedangnya. Ia memang agak mengalami kesulitan menghadapi ujung-ujung senjata. Namun ternyata perhatian orang-orang itu lebih banyak tertuju kepada Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian mereka mendengar cambuk Agung Sedayu yang meledak dengan kerasnya.

Swandaru terkejut mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu. Bukan karena suara cambuk yang keras itu. Namun ledakan cambuk itu menunjukkan bahwa Agung Sedayu seakan-akan masih belum memanjat sampai tataran yang lebih tinggi lagi.

Tetapi Agung Sedayu Sendiri memang harus menilai ungkapan kemampuannya itu, karena seorang di antara lawan-lawannya justru telah tertawa pula.

Dengan nada lantang orang itu berkata, “He, gembala dungu. Jika kau hanya dapat melecut lembu atau kerbau yang sedang menarik bajak, sebaiknya kau tidak berada di halaman ini.”

Justru orang lain yang mendengar kata-kata itu, jantungnya menjadi panas. Bahkan Sekar Mirah rasa-rasanya ingin mendorong suaminya untuk lebih bersungguh-sungguh menghadapi lawan yang jumlahnya terlalu banyak itu.

Namun justru Agung Sedayu sendiri tidak menanggapinya. Ia masih saja melecutkan cambuknya dengan ledakan yang menggetarkan seisi halaman itu.

Dalam pada itu Wreksadana pun berteriak pula, “Kenapa kalian biarkan sais yang sombong itu masih tetap di situ?”

Orang yang diupah Ki Suratapa untuk memimpin kawan-kawannya itu menggeram, “Aku akan membunuhnya mendahului kawan-kawannya.”

Orang itu memang segera menyerang Agung Sedayu. Serangan-serangannya memang mendebarkan. Senjatanya dengan cepat terayun menebas mengarah ke leher Agung Sedayu.

Tetapi dengan tangkas Agung Sedayu menghindar. Cambuknya berputar sekali. Kemudian satu ledakan yang keras terdengar saat ujung cambuknya menggapai tubuh lawannya itu.

Lawannya bergeser selangkah. Ujung cambuk itu memang mengenai kulitnya. Tetapi hanya sentuhan yang tipis, karena orang itu dengan cepat menghindar. Dengan daya tahannya yang tinggi, maka orang itu dapat mengabaikannya sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu yang hanya wantah itu.

Namun dengan demikian orang itu menjadi lengah. Ia merasa bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu orang yang bersenjata cambuk itu. Karena itu, maka dengan garangnya ia menyerang tanpa kendali lagi. Senjatanya terayun mengerikan memburu Agung Sedayu yang berloncatan.

Namun demikian ia berusaha menggapai dada Agung Sedayu dengan menjulurkan senjatanya, maka Agung Sedayu tidak menghindarinya. Tetapi dengan dilandasi oleh ilmu dan kemampuannya, maka cambuknya telah berputar menjerat senjata orang itu.

Demikian Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka senjata orang itu tidak dapat diselamatkannya lagi.

Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak pernah mengira bahwa lawannya memiliki kemampuan dan kekuatan yang demikian besarnya. Bahkan ketika kemudian sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka ledakan cambuk itu tidak lagi terdengar memekakkan telinga. Tetapi sentuhan ujung cambuk itu ternyata telah mengoyak lengan lawannya.

Terdengar teriakan tertahan. Lawannya itu pun dengan serta merta meloncat mengambil jarak. Sementara itu, kawannya yang melihat keadaannya, dengan cepat telah menyerang Agung Sedayu pula.

Agung Sedayu tidak memburu lawannya yang sudah dilukainya. Tetapi ia melihat Prastawa yang mulai terdesak. Namun iapun melihat bagaimana Sekar Mirah yang sedang memutar selendangnya telah membuat lawannya terdesak. Tetapi lawannya yang lain pun segera menyerangnya pula dari arah yang berbeda.

Dalam sekilas Agung Sedayu melihat, bahwa orang-orang di Tanah Perdikan itu akan segera mengalami kesulitan jika jumlah lawannya yang sepuluh orang itu tidak segera berkurang.

Di sisi lain, Pandan Wangi dengan pisau rangkapnya berloncatan dengan tangkasnya. Dengan senjata pendeknya Pandan Wangi tetap merupakan seorang yang sangat berbahaya. Dengan tangan kirinya ia menebas serangan lawannya. Kemudian dengan loncatan panjang, senjata di tangan kanannya mematuk ke arah dada.

Sementara itu, Ki Argajaya yang menurut pengakuannya sendiri tidak pernah bermimpi untuk mempergunakan tombaknya lagi, namun ternyata ia masih juga Ki Argajaya yang garang. Dengan keras ia mendesak lawan-lawannya. Meskipun ia mulai nampak menjadi lamban karena Ki Argajaya tidak pernah lagi berlatih mempergunakan tombaknya, tetapi tangannya masih menggetarkan lawan-lawannya.

Ketika Swandaru mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu yang berubah, ia sempat menarik nafas panjang. Bahkan di luar sadarnya ia berkata, “Nah, ternyata Kakang Agung Sedayu telah sedikit mengalami kemajuan.”

Bahkan sesaat kemudian, Swandaru mendengar lagi hentakan cambuk Agung Sedayu. Tidak dengan ledakan yang memekakkan telinga, tetapi getarannya mengguncang udara di halaman itu.

Tetapi Swandaru tidak sempat melihat apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Agung Sedayu bertempur bersama-sama dalam satu putaran pertempuran yang kalut. Sementara itu, Swandaru bertempur di sisi lain melawan salah seorang pengawal Ki Wreksadana yang ternyata memang berilmu tinggi.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Glagah Putih menghadapi pengawal Ki Wreksadana yang seorang lagi. Juga seorang yang berilmu tinggi. Beberapa kali Glagah Putih memang berloncatan surut mengambil jarak agar ia dapat bertempur di tempat yang bebas di sudut halaman.

Namun setiap kali Swandaru mengerutkan dahinya. Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk segera menyelesaikan lawannya agar ia dapat membantu Glagah Putih, karena Swandaru mencemaskan anak muda itu.

Sementara itu Ki Suradipa yang licik itu tengah mencari Kanthi di ruang dalam. Ia memperhitungkan jika ia dapat menguasai Kanthi, maka ia akan dapat memaksa orang-orang yang sedang bertempur itu untuk berhenti. Ia dapat memaksa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh untuk meninggalkan tempat itu dengan taruhan Kanthi.

Tetapi ia tidak melihat Kanthi di ruang dalam. Tetapi ia mendengar keributan telah terjadi di serambi samping. Sehingga karena itu maka iapun telah berlari pula ke serambi.

Ki Suradipa itu terkejut. Ternyata telah terjadi pertempuran di longkangan dalam di depan serambi itu. Karena itu, maka iapun segera berlari mendorong pintu dan turun ke longkangan.

Ki Suradipa melihat dua orang yang mengerang kesakitan. Di bawah cahaya lampu minyak di seketheng, ia melihat Wiradadi duduk bersandar dinding serambi, sementara seorang yang lain masih sedang bertempur melawan seorang perempuan.

Jantung Ki Suradipa menjadi berdebar-debar. Di sudut longkangan, di bawah sebatang pohon kemuning, dua orang perempuan sedang memeluk Kanthi yang ketakutan. Ibunya dan kakak perempuannya.

Ki Suradipa itu menggeram marah. Ia harus dapat menguasainya. Namun ia belum sempat mendekati perempuan itu, ketika laki-laki yang sedang bertempur melawan seorang perempuan itu terdorong beberapa langkah surut dan kemudian kehilangan keseimbangannya. Meskipun demikian, orang itu berusaha untuk segera dapat bangkit berdiri.

Tetapi orang itu seakan-akan sudah tidak mampu lagi untuk tegak. Sementara kawannya yang berusaha untuk bangkit itu pun tidak berhasil. Demikian ia mencoba menapak, maka iapun telah terduduk kembali.

Ki Suradipa mengumpat kasar. Perempuan yang bertempur itu adalah perempuan yang datang lebih dahulu bersama anak muda yang bertempur di halaman, untuk memberitahukan bahwa utusan Ki Argajaya akan datang.

“Agaknya anak itu tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia telah mengalahkan Wiradadi. Kini bahkan perempuan yang masih semuda Kanthi itu telah mengalahkan tiga orang sekaligus, termasuk Wiradadi itu sendiri,“ berkata orang itu di dalam hati.

Namun Ki Suradipa tetap pada niatnya untuk menguasai Kanthi. Ia sadar bahwa ia harus menyingkirkan perempuan yang garang itu lebih dahulu.

Ketika kemudian Rara Wulan berdiri tegak sambil menggenggam kedua ujung selendangnya, Ki Suradipa itu berkata, “Aku akan menyelamatkan Kanthi. Sebaiknya kau tidak usah turut campur.”

Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya, “Kau termasuk orang-orang yang ingin mencelakakannya. Karena itu enyahlah. Jangan mencoba untuk menyentuhnya.”

“Perempuan liar. Kau dapat mengalahkan Wiradadi dan dua orang kawannya yang tidak lebih dari cucurut-cucurut yang dungu itu. Tetapi jangan bermimpi untuk dapat mencegah aku,“ berkata Ki Suradipa.

Rara Wulan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia memang menyadari bahwa Suradipa tentu memiliki kelebihan dari Wiradadi dan kawan-kawannya. Tetapi Rara Wulan tidak akan beringsut dari tempatnya. Ia sudah bertekad untuk melindungi Kanthi dari kesewenang-wenangan. Apalagi ketika ia mendengar pembicaraan antara Ki Wreksadana dengan Ki Jayaraga.

Karena itu, maka ketika Ki Suradipa bergeser maju, Rara Wulan mulai menggerakkan selendangnya sambil berkata, “Aku sudah memperingatkanmu, jangan sentuh anak itu.”

Ki Suradipa tidak menjawab. Tetapi kemarahannya sudah merambat sampai ke ubun-ubun. Sambil menggeram Ki Suradipa itu mencabut pedangnya dan bergeser semakin dekat.

Kanthi, ibunya dan kakak perempuannya menjadi semakin tegang. Mereka tahu bahwa Ki Suradipa adalah seorang laki-laki yang keras dan bahkan garang. Ki Suracala sendiri merasa tidak dapat menolak kehendaknya serta kehendak Ki Suratapa.

Tetapi ketiga orang perempuan itu sudah melihat sendiri bagaimana gadis itu mengalahkan ketiga orang lawannya.

Ketika kemudian Ki Suradipa mulai menjulurkan pedangnya, maka Rara Wulan pun telah memutar selendangnya pula.

Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin cepat. Ki Suradipa berusaha untuk dengan cepat menyingkirkan perempuan itu, agar dengan cepat pula dapat membawa Kanthi ke halaman depan. Orang-orang Tanah Perdikan itu tentu akan menghentikan pertempuran jika ia kemudian mengancam Kanthi.

Namun Rara Wulan yang sadar benar akan nasib Kanthi telah berusaha untuk mempertahankannya. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, ia melawan Ki Suradipa yang bertempur dengan garangnya. Namun ternyata bahwa Rara Wulan memiliki bekal yang lebih lengkap. Meskipun terhitung baru pada tataran dasar, tetapi Rara Wulan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk menempa dirinya. Karena itu, maka ternyata Suradipa pun tidak mudah untuk dapat menundukkannya.

Sementara itu. pertempuran di halaman pun menjadi semakin sengit. Ki Jayaraga yang berhadapan dengan Ki Wreksadana pun telah meningkatkan kemampuan mereka masing-masing. Ternyata kedua orang yang memang telah saling mengenal itu masih harus kembali menjajagi kemampuan masing-masing, setelah untuk waktu yang lama mereka tidak bertemu.

Swandaru yang sedang bertempur itu mencoba untuk melihat barang sekilas pertempuran antara Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana. Tetapi karena Ki Jayaraga agaknya telah mengenalnya, maka Swandaru tidak berusaha untuk menggantikan Ki Jayaraga. Namun sebagaimana ia mencemaskan Glagah Putih, maka Swandaru pun berharap agar Ki Jayaraga mampu mengimbangi lawannya, yang nampaknya sangat yakin akan kemampuannya sendiri.

Namun Swandaru sendiri ternyata harus bertempur dengan sengitnya. Lawannya ternyata memang seorang yang berilmu tinggi pula. Bahkan setelah bertempur beberapa saat, Swandaru dapat meraba lewat unsur-unsur gerak lawannya, bahwa lawannya itu memiliki jalur ilmu yang sama dengan Ki Wreksadana. Mungkin muridnya. Tetapi mungkin saudara seperguruannya.

“Jika orang ini sekedar murid Ki Wreksadana, tentu aku tidak perlu melayaninya. Aku lebih senang bertempur melawan sekelompok orang,“ berkata Swandaru di dalam hatinya.

Ternyata ia menganggap bahwa Agung Sedayu cukup cerdik memilih lawan. Dalam pertempuran berkelompok seperti itu, maka sulit untuk memberikan penilaian yang tepat atas kemampuannya. Bahkan seandainya ilmunya masih di bawah tataran yang seharusnya.

Tetapi dengan mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu, maka Swandaru menganggap bahwa Agung Sedayu tidak lagi jauh ketinggalan dari tataran yang diharapkannya.

Dalam pada itu, ketika pertempuran antara Swandaru dan lawannya menjadi semakin sengit, maka Swandaru justru menyempatkan diri untuk bertanya, “Apakah kau murid Ki Wreksadana?”

“Setan kau. Aku adalah adik seperguruannya,” jawab orang itu.

“O,“ Swandaru meloncat menghindari serangan orang itu. Namun mulutnya sempat berkata, “Aku kira kau muridnya yang paling dungu.”

“Kau memang terlalu sombong. Tetapi kau tidak akan berarti apa-apa bagiku,” geram orang itu.

Swandaru tertawa. Tetapi dengan cepat ia harus meloncat ke samping ketika kaki lawannya terjulur lurus ke arah dada.

Demikianlah, mereka pun terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Namun demikian Swandaru masih sempat berusaha untuk melihat keadaan Glagah Putih.

Tetapi cahaya lampu minyak di pendapa dan di regol ternyata terlalu lemah untuk menggapai lingkaran pertempuran di sudut halaman itu.

“Jika lawan Glagah Putih itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana, maka anak itu akan segera mengalami kesulitan,“ berkata Swandam di dalam hatinya.

Namun Swandaru memang tidak mempunyai banyak kesempatan. Lawannya telah meningkatkan ilmunya semakin lama semakin tinggi, sehingga Swandaru pun harus melakukannya pula.

Benturan-benturan kekuatan yang terjadi kemudian, telah memperingatkan kedua belah pihak agar mereka menjadi semakin berhati-hati.

Dalam pada itu, Glagah Putih sendiri memang harus meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi lawannya. Ternyata tanpa ditanya oleh Glagah Putih, lawannya itu telah bercerita tentang dirinya.

“Kau akan menyesal anak muda, bahwa kau telah mencoba untuk melawan aku.”

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia menyerang semakin deras. Meskipun demikian lawannya masih juga sempat berkata, “Anak Muda, kau harus menebus kesombonganmu dengan harga yang sangat mahal. Karena kau telah berhadapan dengan saudara seperguruan Ki Wreksadana.”

Glagah Putih bergeser sedikit menjauh. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi kau saudara seperguruan Ki Wreksadana?”

“Ya,” jawab orang itu.

“Baiklah,“ berkata Glagah Putih, “jika demikian aku memang harus berhati-hati.”

“Setan kau,” geram lawan Glagah Putih itu.

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia benar-benar harus berhati-hati menghadapi saudara seperguruan Ki Wreksadana.

Namun saudara seperguruan Ki Wreksadana itu harus menghadapi kenyataan, bahwa anak yang masih sangat muda itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Jika semula ia menganggap lawannya itu tidak lebih dari gejolak anak muda yang tidak berperhitungan, namun kemudian ia harus menyadari bahwa anak muda itu mempunyai bekal yang cukup lengkap untuk turun ke medan menghadapinya.

Karena itu, semakin lama lawan Glagah Putih itu justru semakin dipaksa untuk meningkatkan ilmunya, karena anak muda itu selalu mendesaknya. Serangan-serangannya justru menjadi semakin berbahaya.

Dalam pada itu, Ki Wreksadana sendiri benar-benar harus membentur ilmu yang sangat tinggi. Ki Wreksadana memang orang yang sangat ditakuti. Tetapi lawannya yang dikenalnya pernah berkeliaran di pesisir utara itu juga seorang yang disegani.

Benturan-benturan yang kemudian terjadi, membuat Ki Wreksadana semakin meningkatkan ilmunya. Tetapi selapis demi selapis, Ki Jayaraga pun meningkatkan ilmunya pula.

“Kau masih tetap iblis sebagaimana saat kau menyusuri pesisir utara,” geram Ki Wreksadana.

Ki Jayanegara tertawa. Meskipun kemudian serangan Ki Wreksadana membadai, namun Ki Jayaraga masih sempat menyahut, “Ya. Dan kau masih juga seekor serigala yang rakus, licik dan buas. Tetapi seharusnya kau mulai sadar, Permana. Anakmu juga seorang perempuan. Bukankah anakmu merengek dan bahkan hatinya menjadi pedih ketika ia tahu suaminya selingkuh? Apakah yang terjadi itu merupakan pantulan dari perbuatanmu? Apakah yang pernah kau lakukan terhadap banyak perempuan itu terjadi juga atas anakmu? Di mana-mana kau beristri, tetapi dimana-mana pula istrimu kau tinggalkan karena kau tertarik perempuan lain. Bedanya, mertuamu bukan seorang yang garang bagaimana kau sendiri, sehingga menantumu jadi sangat ketakutan. Tetapi apapun yang terjadi atas menantumu, hati anakmu sudah terlanjur terluka.”

Ki Wreksadana yang marah itu berusaha untuk menghentikan Ki Jayaraga. Ia menyerang semakin garang. Namun Ki Jayaraga masih juga dapat bertempur sambil berbicara berkepanjangan.

Namun ketika serangan Ki Wreksadana menjadi semakin sengit, maka Ki Jayaraga memang harus terdiam. Ia harus memusatkan penalarannya kepada serangan-serangan Ki Wreksadana yang berbahaya itu. Bahkan hampir menyentuh kulitnya.

Dengan demikian, maka keduanya telah telibat dalam pertempuran yang semakin panas. Kemarahan Ki Wreksadana yang semakin menyala di dalam dadanya, telah meyulut ilmunya pula. Dalam pertempuran yang keras dan garang itu, maka perlahan-lahan tangan Ki Wreksadana seakan-akan semakin lama menjadi semakin menggetarkan. Tidak banyak orang yang melihat, tetapi Ki Jayaraga yang bertempur melawannya melihat dalam keremangan cahaya lampu minyak di pendapa, telapak tangan Ki Wreksadana seakan-akan telah membara.

Ketika tangan itu menyambar tubuhnya, Ki Jayaraga sempat meloncat menghidarinya. Namun terasa panas mengapai kulit tubuhnya itu.

“Kau mulai bersungguh-sungguh, Permana,“ desis Ki Jayaraga.

“Aku tahu bahwa kau mempunya ilmu yang jarang ada duanya. Kau mampu menyemburkan api dari telapak tanganmu. Tetapi itu tidak berbahaya bagiku. Karena aku sendiri bermain-main dengan api pula, maka aku mempunyai penangkalnya,“ berkata Ki Wreksadana sambil menyerang.

“Jika demikian, maka kau juga mengetahui bahwa aku pun dapat menangkal bara apimu?” bertanya Ki Jayaraga

“Tidak. Kau tidak akan dapat menangkal semburan bara apiku. Dasar ilmu kita berbeda. Mungkin kau dapat menangkal serangan api sejenis apimu yang tidak berbahaya. Apimu kau hembuskan melampaui jarak dan menjalar lewat getar udara. Aku dapat melihat arus lidah apimu di udara dan meredam panasnya. Tetapi kau tidak dapat melakukannya atas apiku. Sentuhan telapak tanganku akan langsung menghanguskan kulit dagingmu.”

Ternyata Ki Jayaraga menjawab, “Kau benar. Sentuhan tanganmu akan dapat menghanguskan kulit dagingku. Tetapi itu jika kau berhasil menyentuh aku.”

Ki Wreksadana mengumpat. Dengan garangnya ia menyerang Ki Jayaraga. Kedua tangannya bergerak bergerak dengan cepat, menggapai tubuh Ki Jayaraga. Ki Wreksadana itu kemudian seakan-akan tidak lagi mempergunakan tangannya untuk menyerang, karena tekanan serangan tidak pada besarnya tenaga dan kekuatan, tetapi pada daya kekuatan bara telapak tangannya

Ki Jayaraga memang harus menjadi semakin hati-hati. Ia harus menghidari sentuhan dengan telapak tangannya. Jika Ki Jayaraga harus menangkis serangan lawannya karena ia tidak sempat lagi menghindari, maka Ki Jayaraga berusaha untuk menebas tangan lawan di pergelangan.

Tetapi Ki Wreksadana menyadari kesulitan Ki Jayaraga. Karena itu maka Ki Wreksadana menyerang semakin garang.

Sementara itu, Swandaru pun menjadi semakin gelisah. Bukan semata-mata karena dirinya sendiri, Swandaru juga memikirkan keadaan medan itu seluruhnya. Ia melihat Ki Jayaraga beberapa kali harus berloncatan surut. Seakan-akan lawannya mempunyai beberapa kelebihan sehingga mampu mendesak orang tua itu. Sementara itu dengan menilai lawannya yang ternyata juga berilmu tinggi, maka ia mencemaskan keadaan Glagah Putih, yang lawannya mungkin memiliki kemampuan seimbang dengan lawannya sendiri. Sedangkan di lingkaran pertempuran yang agak jauh di seberang pendapa, istrinya sedang bertempur dengan lawan yang jumlahnya terlalu banyak. Demikian pula adik perempuannya dan saudara seperguaruannya, yang dinilai kurang greget untuk meningkatkan ilmunya, apalagi sepeninggal gurunya.

Namun Swandaru untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu ternyata mengalami kesulitan. Lawannya ternyata berilmu tinggi, karena ia adalah saudara seperguruan Ki Wreksadana.

Tetapi Swandaru, murid utama Perguruan Orang Bercambuk itu juga menggelisahkan lawannya. Bagi lawannya, Swandaru masih terhitung muda. Tetapi orang yang agak gemuk itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar dan kemampuan sangat tinggi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar