Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 287

Buku 287

Sekali-sekali Glagah Putih juga bertemu dengan sekelompok pengawal yang meronda menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Namun Glagah Putih pun tahu bahwa di padukuhan-padukuhan lain, para pengawal tentu juga bersiaga sepenuhnya.

Ketika Glagah Putih sampai di rumah Agung Sedayu, maka suasananya pun tidak berbeda dengan suasana seluruh pedukuhan. Sepi dan lengang. Meskipun lampu-lampu minyak tetap menyala, namun seakan-akan rumah itu tidak berpenghuni.

Ketika gelap mulai turun, maka seisi rumah itu pun telah berkumpul di ruang dalam untuk makan malam. Kemudian merekapun telah berada di bilik masing-masing. Yang kemudian duduk di ruang dalam adalah Ki Lurah Branjangan, Ki Ajar Gurawa dan Sekar Mirah.

Ketika Glagah Putih memasuki rumah itu, maka iapun ikut duduk pula di ruang dalam. Beberapa orang berbaring di ruang dalam itu. Termasuk Agung Sedayu.

“Bagaimana keadaan mereka yang terluka?“ bertanya Glagah Putih kepada Sekar Mirah.

“Agaknya mereka sudah menjadi berangsur baik,” jawab Sekar Mirah.

“Kakang Agung Sedayu?” desis Glagah Putih pula.

“Ya. Kakang Agung Sedayu sudah menjadi semakin baik. Tetapi Kakang Agung Sedayu sudah terlalu lama duduk, sehingga aku minta kakangmu berbaring dan apabila mungkin tidur, agar keadaannya menjadi semakin baik,” jawab Sekar Mirah.

“Guru?“ bertanya Glagah Putih selanjutnya.

“Juga sudah semakin baik,” jawab Sekar Mirah. Namun katanya kemudian, “Hanya Wacana saja-lah yang masih dalam keadaan yang sulit. Luka dalamnya ternyata termasuk parah. Memang ada perkembangan. Tetapi sedikit sekali.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Iapun kemudian bangkit dan melangkah ke amben besar di bagian sebelah kiri ruang dalam itu. Dilihatnya beberapa orang yang terbaring diam. Namun keadaan mereka memang berbeda-beda. Wacana yang berbaring di paling kanan, keadaannya masih sangat mencemaskan. Sedangkan Agung Sedayu yang sudah lebih baik berada di tengah. Ketika ia melihat Glagah Putih menghampirinya, maka Agung Sedayu itu pun bangkit dan duduk di tepi amben itu.

“Berbaring sajalah Kakang,” desis Glagah Putih.

“Aku sudah menjadi semakin baik,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kau sudah terlalu lama duduk,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Agung Sedayu tersenyum. Sementara Ki Jayaraga malahan ikut bangkit pula.

“Guru,“ desis Glagah Putih, “sebaiknya Guru juga berbaring saja, sampai keadaan Guru benar-benar menjadi lebih baik.”

“Aku sudah cukup baik Glagah Putih,” jawab Ki Jayaraga.

Glagah Putih pun kemudian duduk di amben itu pula. Sementara Agung Sedayu berkata, “Aku sengaja ikut berbaring di sini. Di serambi aku hanya sendiri, meskipun udaranya lebih segar. Untuk memindahkan semuanya ke serambi, tempat tidak cukup luas.”

Sekar Mirah pun kemudian telah mendekat pula dan duduk bersama mereka. Di amben yang lain, berbaring Rumeksa yang keadaannya juga menjadi semakin baik, sementara kedua orang murid Ki Ajar telah di tempatkan di gandok. Keadaan mereka sudah menjadi lebih baik lagi.

Ketika Glagah Putih memperhatikan Wacana yang masih saja berbaring sambil memejamkan matanya, maka Agung Sedayu pun berkata, “Aku sengaja berada di sebelahnya agar aku dapat mengamati keadaannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan keadaan Rara Wulan?”

“Ia juga sudah berangsur baik. Jika memungkinkan, besok aku akan membawanya kemari. Agaknya ia lebih baik berada di sini daripada di rumah Ki Gede, agar Mbokayu dapat mengawasi langsung keadaannya.”

“Baiklah,“ berkata Sekar Mirah,“ katakan saja kepada Ki Gede. Mungkin kita memerlukan sebuah pedati.“

Demikianlah, mereka masih berbincang sejenak. Kemudian Glagah Putih pun mempersilahkan Ki Jayaraga dan Agung Sedayu untuk berbaring. Sementara itu Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri dan berkata, “Aku akan menemui kawan-kawan yang lain.“

Sebelum melangkah keluar, Glagah Putih sempat duduk sejenak di pembaringan Rumeksa yang sudah banyak tersenyum.

“Kau tidak usah duduk,“ cegah Glagah Putih ketika Rumeksa akan bangkit.

Demikianlah, maka Glagah Putih pun segera menemui para anggota kelompok Gajah Liwung, dan Sabungsari yang berada di gandok pula. Sabungsari-lah yang kemudian mengatur siapakah yang harus berjaga-jaga di halaman rumah itu, karena bagaimanapun juga masih akan dapat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di halaman rumah itu.

Untuk beberapa saat Glagah Putih yang kemudian duduk di serambi masih berbincang dengan Sabungsari. Bahkan mereka agaknya telah lupa waktu, sehingga mereka tertegun ketika mereka mendengar suara kentongan yang dipukul dengan irama dara muluk.

“Tengah malam,“ desis Glagah Putih, “aku kembali ke rumah Ki Gede.”

“Bukankah keadaan Rara Wulan sudah semakin baik?“ bertanya Sabungsari.

“Ya. Besok aku akan membawanya kemari,” jawab Glagah Putih.

Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara itu iapun kemudian berdesis, “Keadaan Wacana yang masih mencemaskan.”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “dalam keadaan sakit, Kakang Agung Sedayu sudah berupaya sejauh dapat dilakukan, dibantu oleh Ki Ajar dan Ki Lurah Branjangan. Namun perkembangan keadaan Wacana ternyata sangat lamban.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Sementara itu Glagah Putih pun telah bangkit dan berkata, “Aku akan minta diri kepada Kakang Agung Sedayu.”

“Mungkin ia sudah tidur,” jawab Sabungsari.

“Sebaiknya Kakang Agung Sedayu memang banyak tidur dalam keadaannya itu,“ berkata Glagah Putih, “tetapi salah satu tentu masih terbangun di dalam.”

Ketika perlahan-lahan Glagah Putih melangkah ke ruang dalam, maka yang masih duduk tinggal Sekar Mirah. Ki Ajar dan Ki Lurah Branjangan telah dipersilahkan istirahat sampai menjelang dini. Baru kemudian bergantian Ki Lurah dan Ki Ajar akan menunggui mereka yang terluka, serta berjaga-jaga karena keadaan masih terasa gawat.

“Mbokayu,“ desis Glagah Putih, “aku mohon diri. Aku akan melihat keadaan Rara Wulan.”

“Hati-hatilah di jalan Glagah Putih,” pesan Sekar Mirah, “jarak ke rumah Ki Gede memang hanya beberapa langkah. Tetapi jika terjadi sesuatu di beberapa langkah itu, maka kau harus bersiap menghadapinya.“

“Baik Mbokayu,” jawab Glagah Putih.

Namun dalam pada itu terdengar suara Agung Sedayu yang ternyata telah terjaga, “Kau tidak tidur di sini saja, Glagah Putih?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak, sementara Sekar Mirah mendekatinya sambil berdesis, “Seharusnya Kakang tidur saja.”

Tetapi Agung Sedayu justru bangkit dan duduk di tepi pembaringannya. Bahkan Ki Jayaraga pun telah terbangun pula.

“Aku merasa sudah terlalu lama tidur,“ berkata Agung Sedayu.

“Baru tengah malam,” sahut Sekar Mirah.

“Rasa-rasanya aku sudah lelah berbaring,“ berkata Agung Sedayu pula. Bahkan Ki Jayaraga pun menyambung, “Aku juga. Punggungku justru menjadi pegal sekali.”

Glagah Putih yang sudah minta diri itu justru duduk di bibir pembaringan. Katanya, “Aku sudah berjanji untuk datang lagi ke rumah Ki Gede, Kakang.”

“Ingat pesan Mbokayumu,“ pesan Agung Sedayu.

“Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Malam rasa-rasanya sepi sekali. Lebih sepi dari malam sebelumnya,” desis Ki Jayaraga.

“Tentu saja,” sahut Sekar Mirah, “jantung Tanah Perdikan ini baru saja terguncang. Kecemasan masih melanda setiap rumah. Apalagi hampir semua laki-laki masih dalam tugas.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Silirnya angin terasa dingin sekali. Meskipun demikian, keringatku mengalir banyak sekali sehingga pakaianku menjadi basah.”

“Sudahlah,“ berkata Sekar Mirah, “sebaiknya Kakang dan Ki Jayaraga tidur saja.”

“Ada sesuatu yang bergetar di jantung ini,“ berkata Ki Jayaraga sambil mengusap keringatnya.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia berpesan lagi kepada Glagah Putih, “Kadang-kadang suasana mengajak kita untuk berbincang. Glagah Putih, hati-hatilah.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia tidak segera menjawab. Lamat-lamat ia mendengar suara seruling.

Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Sekar Mirah pun mendengarnya pula.

Suara seruling itu pun menjadi semakin jelas terdengar. Suaranya naik meninggi. Namun kemudian menukik turun seperti seekor burung merpati yang menukik dari atas sawah.

“Suara seruling itu aneh,“ desis Ki Jayaraga.

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun suara itu bagaikan menggelepar menggapai-gapai. Sumber suara itu seakan-akan berputar-putar dari satu sudut ke sudut yang lain.

“Suara yang aneh,“ berkata Glagah Putih, “aku akan melihat, siapakah yang meniup seruling itu Kakang.”

Agung Sedayu tidak mencegahnya. Dibiarkannya Glagah Putih keluar dari ruang dalam dan pergi ke gandok untuk menemui Sabungsari lagi.

Sebelum Glagah Putih mengatakan sesuatu, Sabungsari telah berkata lebih dahulu, “Apakah kau tertarik pada suara seruling itu?”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “marilah, kita cari sumber suara itu. Agaknya bukan orang kebanyakan yang meniup seruling itu, sehingga sumber suaranya tidak segera dapat kita ketahui.”

Sabungsari mengangguk sambil menjawab, “Marilah. Aku minta diri kepada kawan-kawan. Biarlah mereka berjaga-jaga.”

Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Sabungsari telah turun ke jalan induk. Sejenak mereka termangu-mangu di luar regol. Namun kemudian Glagah Putih berkata, “Kita ambil jalan ini. Aku akan singgah di rumah Ki Gede agar Rara Wulan tidak menjadi cemas.”

Keduanya memang menyusuri jalan induk menuju ke rumah Ki Gede. Sepanjang jalan mereka mencoba untuk mendengarkan suara seruling itu. Suaranya kadang-kadang mengeras menyapu sepinya malam. Namun kadang-kadang terdengar jauh menggapai-gapai.

Glagah Putih dan Sabungsari memang singgah di rumah Ki Gede. Ternyata suara seruling itu telah menggetarkan bukan saja seisi rumah Agung Sedayu. Tetapi para pengawal yang meronda pun tiba-tiba telah meningkatkan kewaspadaan mereka. Di gardu-gardu, para peronda bahkan telah turun dari gardu mereka dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika keduanya memasuki regol halaman rumah Ki Gede, maka mereka pun melihat para pengawal bertebaran.

Ki Gede dan Prastawa ternyata masih duduk di pendapa. Ketika keduanya melihat Glagah Putih dan Sabungsari, maka mereka telah mempersilahkan keduanya naik.

“Suara seruling itu,” desis Ki Gede.

“Ya, Ki Gede,” sahut Glagah Putih, “kedengarannya memang aneh.”

“Bukan hanya karena lagunya yang aneh. Tetapi sumber suara itu pun sulit diketahui,“ berkata Ki Gede.

“Kami berdua memang ingin mencari sumber suara itu. Jika mungkin, bertemu dengan orang yang meniup seruling itu,” jawab Glagah Putih.

“Apakah kau hanya berdua saja?“ bertanya Prastawa.

“Ya, kami hanya berdua,” jawab Glagah Putih.

Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Apakah aku dapat ikut bersama kalian?“

Glagah Putih juga menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab, “Sebaiknya kau berada di sini bersama Ki Gede, Prastawa.“

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang tidak ingin meninggalkan Ki Gede. Agaknya kaki Ki Gede yang cacat itu masih terasa sakit setelah Ki Gede mengerahkan tenaga dan kemampuannya ketika ia bertempur di halaman rumah itu.

Glagah Putih dan Sabungsari pun kemudian minta diri. Kepada Ki Gede ia berpesan agar diberitahukan kepada Rara Wulan, bahwa ia dan Sabungsari sedang mencari sumber suara seruling itu.

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Namun mereka sama sekali tidak menjumpai sumber suara seruling itu, apalagi bertemu dengan seseorang yang sedang meniup seruling. Hampir setiap sudut telah didatangi. Bahkan keduanya telah berjalan keluar dari padukuhan dan berdiri termangu-mangu di pematang sawah. Namun mereka tetap tidak dapat mengetahui, dimana sumber suara seruling itu.

Dengan mengerahkan daya tangkap mereka atas suara yang kadang-kadang melengking tinggi, namun kemudian terkulai lemah itu, keduanya masih juga tidak berhasil mengetahui darimana sumber suara seruling itu.

Glagah Putih dan Sabungsari seakan-akan menjadi putus-asa. Bintang Waluku sudah bergeser jauh ke arah barat. Bahkan lintang Panjer Rina sudah mulai nampak. Cahayanya memancar terang seperti lentera yang tergantung di langit yang tinggi. Namun mereka sama sekali masih belum tahu arah suara seruling yang masih saja terdengar menyusuri sepinya malam.

Sambil mengusap keringatnya Glagah Putih pun kemudian duduk di tanggul yang membujur di pinggir jalan. Sabungsari menggeliat sambil menekan lambungnya. Namun kemudian iapun duduk pula di sebelah Glagah Putih.

Untuk beberapa saat keduanya duduk sambil berdiam diri. Namun mereka masih saja mencoba untuk menangkap sumber suara seruling itu.

Namun tiba-tiba suara seruling itu berhenti. Glagah Putih dan Sabungsari justru menjadi terkejut karenanya. Di luar sadarnya, keduanya telah bangkit berdiri.

“Suara itu berhenti,“ berkata Glagah Putih.

“Ya,” jawab Sabungsari.

Dengan nada merendah Glagah Putih pun berdesis, “Kita telah gagal menemukan sumber suara seruling itu.”

Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ya. Kita tidak mempunyai kemampuan cukup untuk menemukan sumber suara itu.”

Dengan lesu maka keduanya telah duduk kembali. Sementara itu wajah langit pun mulai berubah. Malam sudah mulai menuju ke ujungnya.

“Hampir pagi,“ desis Glagah Putih kemudian.

“Ya,” jawab Sabungsari, “kita akan menunggu, apakah malam yang akan datang suara seruling itu akan kita dengar lagi.”

Namun keduanya terkejut bukan buatan. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara, “Tidak Anak-Anak Muda. Besok aku tidak akan meniup seruling lagi di sekitar padukuhan indukmu.”

Kedua anak muda itu telah bersiap menghadapi kemungkinan. Namun orang yang berbicara di belakang mereka itu justru duduk sambil membelakangi mereka pula.

Baru ketika Glagah Putih dan Sabungsari itu berdiri tegak, maka perlahan-lahan orang itu pun bangkit berdiri pula. Demikian orang itu berputar, maka Glagah Putih pun berdesis, “Kakang Rudita.”

“Kenapa kalian terkejut?“ bertanya Rudita.

“Kakang bukan saja mengejutkan kami. Jika Kakang yang meniup seruling itu, maka suara seruling kakang telah menggelisahkan seisi padukuhan induk. Bahkan mungkin juga padukuhan-padukuhan lain di Tanah Perdikan ini.”

“Kenapa? Apakah suara serulingku menggetarkan maksud buruk atau memancarkan tantangan perang?“ bertanya Rudita.

“Memang tidak,” jawab Glagah Putih, “tetapi suara seruling Kakang di hari-hari yang gelisah telah membuat jantung seisi padukuhan induk menggelepar.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak bermaksud demikian. Aku justru ingin menyatakan ikut berbelasungkawa atas peristiwa yang terjadi di tanah perdikan ini. Beturan kekerasan yang berulang-ulang terjadi.”

“Tetapi akibatnya sangat berbeda dari maksud Kakang itu.” berkata Glagah Putih kemudian.

“Itulah yang terjadi,“ desis Rudita.

“Apa maksudmu?“ bertanya Sabungsari.

“Kalian sudah memendam kecurigaan dalam hati. Kalian menyimpan perasaan benci dan dendam. Itulah sebabnya, maka kalian selalu berprasangka buruk terhadap perbuatan orang lain.”

“Tetapi dalam keadaan seperti ini kami harus berhati-hati menanggapi segala sesuatu yang terasa asing bagi kami,” jawab Glagah Putih.

“Jika aku meniup serulingku, maka anak-anakku justru tertidur nyenyak. Mereka yang gelisah karena udara panas, akan menjadi lelap meskipun keringat membasai seluruh tubuhnya,“ berkata Rudita kemudian. Lalu katanya kemudian, ”Kenapa?”

Glagah Putih dan Sabungsri termangu-mangu sejenak. Sementara itu Rudita berkata selanjutnya, “Karena meraka tidak menaruh curiga terhadap orang lain. Mereka tidak mendendam serta tidak cemas bahwa ada orang yang mendendam kepada mereka. Mereka tidak dengki dan tidak iri. Dengan demikian maka jiwa mereka akan merasa damai.”

“Tetapi kau tidak mengalami apa yang baru saja kami alami di sini,” jawab Sabungsari.

“Nah, bukankah kami tidak mengalami tindak kekerasan sebagaimana kalian alami? Kami juga tidak merasa perlu untuk melakukan kekerasan.” Rudita itu terdiam sejenak. Lalu katanya, “Aku mempunyai sebuah padepokan kecil. Aku mempunyai anak-anak yang manis di padepokan itu. Perang, kematian dan kekerasan merupakan hantu yang sangat manakutkan bagi mereka. Aku kira bukan hanya anak-anakku yang menjadi ketakutan terhadap perang dan kekerasan, tetapi anak-anak manis di seluruh dunia akan menjadi ketakutan.”

Glagah Putih dan Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu langit pun menjadi semakin terang. Cahaya kemerah-merahan mulai membayangi sinar lintang panjer rina yang masih belum pudar.

Namun Glagah Putih pun bertanya, “Kakang, lalu apa yang harus kami lakukan jika perang itu datang melanda kampung halaman kami?”

“Kenapa perang itu datang? Itu tentu bukan terjadi dengan tiba-tiba. Satu putaran perisatiwa berantai yang haris dipatahkan. Apakah ujungnya, di pangkalnya atau di tengah,” jawab Rudita.

“Kakang, kenapa Kakang tidak berbicara dengan Resi Belahan, pemimpin dari kelompok orang yang ada di perkemahan, yang kemudian menyerang Tanah Perdikan ini? Mereka ingin merebut Tanah Perdikan ini. Mereka datang menebarkan kekerasan, bahkan menyakiti dan membunuh.”

“Aku berbicara kepada semua orang. Aku tahu suaraku bergaung seperti gema di lereng pegunungan. Hilang ditelan lebatnya hutan di lembah. Tetapi aku berbicara dengan siapa saja. Aku akan meniup seruling bela sungkawaku atas kematian karena kekerasan. Aku akan selalu berdoa bagi kedamaian hati.”

Sabungsari masih akan menjawab. Tetapi Rudita itu mulai melangkah sambil berkata, “Hari sudah pagi. Aku akan kembali ke padepokanku. Anak-anakku sudah menunggu. Mereka adalah anak-anak miskin, sederhana dan kesrakat. Tetapi mereka memiliki kedamaian di hati mereka.”

Glagah Putih dan Sabungsari memandangi langkah Rudita meyusuri jalan bulak, semakin lama semakin jauh. Di Timur, matahari mulai bangkit melangkahi punggung bukit.

“Marilah,“ berkata Glagah Putih.

“Rudita dapat berkata seperti itu, karena lingkungannya. Ia dapat memagari lingkunganya sehingga tidak terjadi persoalan dengan pihak lain,” desis Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi dengan nada berat ia berkata, “Dunia ini memang sudah demikian buram. Aku tidak tahu seandainya kita tidak berbuat sesuatu, apakah akan menjadi semakin baik atau justru kesewenang-wenangan menjadi semakin menjalar ke segala penjuru.”

Keduanya pun kemudian melangkah kembali sambil menundukkan kepala. Glagah Putih tidak langsung menuju ke rumah Ki Gede, tetapi ia ingin segera berbicara dengan Agung Sedayu, memberitahukan bahwa bersama Sabungsari ia telah bertemu dengan Rudita.

Ketika Glagah Putih dan Sabungsari kemudian memberitahukan pertemuannya dengan Rudita, maka Agung Sedayu berkata, “Rudita memang akan berbicara kepada semua orang. Ia ingin mengatakan bahwa kedamaian hati akan sangat berarti bagi tatanan kehidupan. Seperti yang selalu dikatakannya, dan bahkan dilakukannya, betapa ia mengasihi sesamanya sebagaimana ia merasa betapa sejuknya kasih sayang yang bersumber dari Yang Maha Agung.”

Glagah Putih dan Sabungsari hanya termangu-mangu. Masih banyak yang ingin diketahuinya. Namun keduanya justru terdiam.

“Sejak semula aku sudah mengira bahwa suara seruling adalah suara seruling Rudita,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku juga sudah menduga,“ desis Glagah Putih, “tetapi aku ingin membuktikannya. Mungkin seperti apa yang dikatakan Kakang Rudita, hatiku sudah dibubuhi oleh kecurigaan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Rudita memang seorang yang memiliki sikap dan pandangan hidup yang berbeda dari kebanyakan orang.

Namun bagaimanapun juga, apa yang dikatakan oleh Rudita tidak dapat begitu saja dilupakan. Baik Glagah Putih, maupun Sabungsari, masih saja merenunginya.

Bahkan tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Pada suatu saat, aku ingin mengajak kalian pergi ke padepokan kecilnya.”

Glagah Putih mengangguk kecil sambil menyahut, “Ya Kakang. Aku memang ingin melihat anak-anak Kakang Rudita sebagaimana dikatakannya.”

Namun dalam pada itu, ketika matahari mulai merambat langit, Glagah Putih telah teringat kepada Rara Wulan. Ia memang merencanakan untuk membawa Rara Wulan kembali ke rumah itu.

Ketika hal itu kemudian dikatakannya, maka Agung Sedayu pun berkata, “Biarlah Mbokayumu ikut mengambil Rara Wulan.”

Demikianlah, maka Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsari pun pergi ke rumah Ki Gede untuk menjemput Rara Wulan. Di sepanjang jalan yang tidak terlalu panjang itu, mereka memang tidak melihat anak-anak yang bermain. Meskipun beberapa rumah pintunya telah terbuka, tetapi halaman rumah itu masih belum terasa hidup sebagaimana biasa.

Agaknya anak-anak masih bersembunyi di balik pintu rumahnya. Perasaan takut masih mencengkam mereka. Apalagi anak-anak yang kehilangan ayahnya, kakaknya atau keluarganya yang lain.

Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Gede, maka pendapa rumah itu sudah menjadi semakin sepi. Perempuan dan anak-anak yang mengungsi di rumah itu sudah kembali ke rumah masing-masing.

Keadaan Rara Wulan memang sudah menjadi semakin baik. Ia mengerti bahwa semalam Glagah Putih dan Sabungsari telah mencari sumber suara seruling yang bergema melingkari seluruh padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Demikian mereka naik ke tangga pendapa, maka Ki Gede telah menerima mereka dengan ramah. Ki Gede sendiri nampak masih letih. Ia belum mendapat cukup waktu untuk beristirahat.

“Marilah, silahkan melihat keadaan Angger Rara Wulan,“ Ki Gede mempersilahkan.

“Terima kasih Ki Gede,” jawab Sekar Mirah.

Demikian Sekar Mirah masuk ke dalam bilik Rara Wulan, maka Rara Wulan itu pun tersenyum cerah. Keadaannya memang sudah lebih baik. Meskipun demikian, Rara Wulan tentu masih belum dapat berjalan dari rumah Ki Gede sampai ke rumah Agung Sedayu.

Tetapi demikian Sekar Mirah duduk di bibir amben, maka Rara Wulan pun berdesis, “Nanti jika Mbokayu pulang, aku akan ikut.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Bukankah kau masih belum sembuh?”

“Tetapi aku ingin pulang,“ desis Rara Wulan.

Sekar Mirah memandang Glagah Putih dan Sabungsari yang duduk di atas tikar pandan bersama seorang perempuan yang menunggui Rara Wulan. Katanya, “Rara Wulan ingin pulang.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sejak mereka berangkat, maka Glagah Putih sudah mengatakan bahwa mereka akan mengambil Rara Wulan.

Sekar Mirah yang melihat Glagah Putih kebingungan tersenyum sambil berkata, “Apakah tidak sebaiknya Rara Wulan tinggal di sini sampai luka-lukanya sembuh?”

“Tidak. Aku ikut pulang,“ katanya sambil bergerak bangkit.

Namun Sekar Mirah menahannya. Katanya, “Jangan bangkit Rara. Luka-lukamu akan berdarah lagi.”

“Tetapi aku akan pulang.”

Sekar Mirah akhirnya tertawa. Katanya, “Katakanlah kepada Glagah Putih.”

“Ah, Mbokayu,” desis Rara Wulan.

Sebenarnyalah, maka Sekar Mirah-lah yang kemudian menemui Ki Gede, minta agar Rara Wulan diperkenankan dibawa kembali ke rumah Glagah Putih.

“Bukankah lukanya masih berbahaya baginya?“ bertanya Ki Gede.

“Kami akan mohon agar tabib yang mengobatinya bersedia datang ke rumah kami,” jawab Sekar Mirah.

Ki Gede tidak menahan lebih lama lagi. Iapun tahu bahwa Agung Sedayu juga memiliki pengetahuan tentang obat-obatan. Namun agaknya karena yang menangani Rara Wulan sejak semula adalah tabib dari Tanah Perdikan itu, maka sebaiknya tabib itu pula-lah yang meneruskannya. Apalagi agaknya obatnya cukup baik dan cocok bagi luka-luka Rara Wulan.

Namun karena keadaan Rara Wulan, maka Sekar Mirah telah mohon untuk meminjam sebuah pedati. Rara Wulan masih belum dapat berjalan sendiri pulang ke rumah Agung Sedayu.

Ki Gede pun kemudian telah memerintahkan beberapa orang pengawal untuk mengusung pembaringan Rara Wulan dan menempatkannya ke atas pedati itu.

Demikianlah, setelah pedati itu ditutup, maka Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsari pun telah mohon diri untuk kembali ke rumah Agung Sedayu.

Sejenak kemudian, maka pedati itu pun telah merayap melalui jalan di tengah-tengah padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih dan Sabungsari berjalan di belakang pedati itu, sedangkan Sekar Mirah juga ikut berada di dalam pedati menjaga Rara Wulan.

Rasa-rasanya memang tidak telaten berjalan di belakang pedati yang lamban itu. Namun karena jaraknya tidak jauh, maka perjalanan itu juga tidak memerlukan waktu yang panjang.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian pedati itu telah memasuki halaman rumah Agung Sedayu. Beberapa orang anggota kelompok Gajah Liwung yang ada di rumah itu pun segera membantu mengusung pembaringan dengan Rara Wulan itu sendiri di atasnya.

Namun keadaan Rara Wulan memang sudah berangsur baik, sehingga Rara Wulan tidak lagi nampak menderita. Bahkan gadis itu sudah tersenyum-senyum geli ketika pembaringannya diturunkan dari pedati dan kemudian dibawa masuk ke dalam rumah. Namun berdasarkan berbagai macam pertimbangan, karena masih ada juga yang terbaring di ruang dalam, maka Rara Wulan akan di tempatkan di dalam biliknya sendiri. Sekar Mirah akan menungguinya, dan untuk sementara ikut tidur di dalam bilik itu pula.

Dengan demikian, maka keluarga Agung Sedayu serta anggota kelompok Gajah Liwung yang terluka telah dikumpulkan di rumah itu. Termasuk Wacana yang kebetulan juga berada di rumah itu ketika datang serangan dari orang-orang yang tinggal di perkemahan di seberang perbukitan. Bahkan Wacana telah mendapatkan luka yang terberat di antara mereka, sehingga keadaannya masih mencemaskan. Meskipun berbagai usaha sudah dilakukan, tetapi perkembangan keadaannya lambat sekali.

Dalam pada itu, Prastawa pun masih sibuk mengurus orang-orang yang tertawan. Mereka di tempatkan di banjar padukuhan, setelah para pengungsi yang berada di banjar pulang ke rumah masing-masing. Orang-orang yang dianggap berbahaya dimasukkan ke dalam bilik-bilik yang ada, sedangkan yang lain di tempatkan di gandok dan pringgitan dengan penjagaan yang sangat kuat.

Sementara itu, setelah Rara Wulan berada di rumah Agung Sedayu, maka Glagah Putih justru mempunyai kesempatan yang cukup untuk membantu Prastawa. Karena itu, maka Glagah Putih yang kemudian mengajak Sabungsari telah ikut menjadi sibuk pula.

Lewat tengah hari, beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus telah datang melihat keadaan Agung Sedayu. Mereka menjadi berlega hati ketika mereka melihat keadaan Agung Sedayu yang menjadi semakin baik. Bahkan Agung Sedayu telah dapat menerima mereka di pendapa rumahnya bersama Ki Lurah Branjangan.

Kepada seorang pemimpin kelompok yang terpercaya Agung Sedayu telah memberikan pesan-pesan bagi para prajurit di barak Pasukan Khusus. Agung Sedayu juga memberikan petunjuk-petunjuk tentang kelompok-kelompok prajurit yang masih berada di perkemahan yang sudah ditinggalkan penghuninya.

Selain itu, Agung Sedayu pun berkata kepada pemimpin kelompok itu, “Dua orang di antara kalian harus segera pergi ke Mataram melengkapi laporan tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan ini.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk sambil menjawab, “Ya Ki Lurah. Dua orang akan segera pergi ke Mataram. Yang sudah kami sampaikan baru laporan sepintas. Nanti, kami akan dapat membawa laporan yang lebih lengkap.”

“Kau dapat menghubungi Prastawa, kemenakan Ki Gede yang menjadi pemimpin pengawal di Tanah Perdikan ini. Kau akan mendapat bahan yang lengkap tentang peristiwa yang telah terjadi. Kau juga akan dapat mengetahui berapa banyak korban yang gugur serta orang-orang perkemahan yang terbunuh. Juga orang-orang yang terluka dan yang tertawan,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Baik Ki Lurah,” jawab pemimpin kelompok itu, “kami akan menghubungi Prastawa.”

“Kau dapat berbicara dengan Glagah Putih yang sekarang berada di banjar atau di rumah Ki Gede. Nanti Glagah Putih akan menghubungkanmu dengan Prastawa,“ berkata Agung Sedayu pula.

Seperti yang diperintahkan oleh Agung Sedayu, maka pemimpin kelompok itu pun telah pergi ke banjar untuk menemui Glagah Putih, agar dapat dihubungkan dengan Prastawa.

Dalam kesibukan itu, maka seisi rumah Agung Sedayu itu masih digelisahkan oleh keadaan Wacana. Luka-luka terutama di bagian dalamnya masih mencemaskan. Agung Sedayu sudah berusaha sejauh dapat dilakukan untuk meringankan penderitaannya. Namun seolah-olah segala usaha itu masih belum berhasil.

Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan pun telah membantu dengan sungguh-sungguh. Tetapi hasilnya memang belum seperti yang diharapkan.

Ketika tabib yang mengobati Rara Wulan datang ke rumah Agung Sedayu, maka bersama Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan mereka membicarakan keadaan Wacana.

Tetapi mereka masih belum berhasil mengatasi keadaannya yang mencemaskan itu.

Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Lurah itu pun bertanya, “Apakah kita perlu memberitahukan keadaannya kepada pamannya di Mataram?”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Agaknya kemungkinan itu memang sedang dipikirkannya.

Sementara itu, Sekar Mirah yang ikut dalam pembicaraan itu pun berkata, “Aku kira tidak ada salahnya jika kita memberitahukan keadaannya kepada pamannya. Jika terjadi sesuatu, maka pamannya itu tidak akan menyalahkan kita. Atau setidak-tidaknya akan menyesali kita bahwa kita tidak memberitahukan keadaannya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Jika demikian, maka biarlah prajurit dari Pasukan Khusus yang akan memberikan laporan ke Mataram itu pergi bersama Glagah Putih dan Sabungsari. Keduanya akan memberitahukan keadaan Wacana kepada Ki Rangga Wibawa.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga itu pun berkata, “Aku setuju. Memang tidak ada orang lain yang sebaiknya kita tugaskan untuk pergi ke Mataram. Meskipun keadaan sudah menjadi tenang di Tanah Perdikan, tetapi kemungkinan-kemungkinan buruk masih saja dapat terjadi. Apalagi menurut laporan dari perkemahan, mereka masih melihat orang-orang yang berkeliaran. Satu dua berhasil mereka tangkap, tetapi masih ada di antara mereka yang lolos. Bahkan agaknya ada di antara mereka yang berilmu tinggi.”

“Ya. Para pengawal dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di perkemahan memang masih selalu diganggu, sebagaimana di katakan oleh para pengawal sesuai dengan laporan dari perkemahan, sehingga dengan demikian maka perjalanan ke Mataram masih termasuk perjalanan yang berbahaya,” sahut Agung Sedayu.

Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Nanti, kita berbicara dengan Glagah Putih dan Angger Sabungsari.”

Demikianlah, ketika kemudian Glagah Putih dan Sabungsari kembali dari rumah Ki Gede setelah mereka berada di banjar beberapa lama bersama prajurit dari Pasukan Khusus yang mendapat tugas dari Agung Sedayu untuk mendapatkan bahan laporan selengkapnya, telah dipanggil oleh Agung Sedayu. Kepada keduanya telah diberitahukan bahwa mereka berdua akan ditugaskan untuk pergi ke Mataram menemui Ki Rangga Wibawa.

“Beritahukan keadaan Wacana sebagaimana adanya.”

“Tentang kepentingannya datang ke Tanah Perdikan atau tentang luka-lukanya?“ bertanya Glagah Putih.

“Hanya tentang luka-lukanya,” Sabungsari-lah yang menyahut, “justru saat Wacana ada di sini, maka di Tanah Perdikan ini telah terjadi perang, sehingga Wacana harus melibatkan dirinya. Justru untuk membantu menyelamatkan Tanah Perdikan ini.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun Agung Sedayu pun mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ya. Apapun pendahuluan dari pemberitahuan kalian kepada Ki Rangga Wibawa, namun kalian harus memberitahukan bahwa Wacana telah terluka parah. Telah dicoba untuk mengobatinya dengan segala cara. Tetapi keadaannya masih sangat mencemaskan.”

Sabungsari dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanya pun mengangguk-angguk.

Demikianlah, maka telah ditetapkan dalam pembicaraan itu bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan pergi ke Mataram bersama empat orang prajurit dari Pasukan Khusus. Keempat orang prajurit itu esok pagi-pagi akan berangkat dari barak, singgah sebentar di rumah Agung Sedayu, dan kemudian bersama-sama dengan Glagah Putih dan Sabungsari pergi ke Mataram.

Demikianlah, maka para prajurit itu pun kemudian telah meninggalkan rumah Agung Sedayu. Mereka akan mempersiapkan dan menyusun laporan yang bahannya telah terkumpul. Besok pagi-pagi mereka akan berangkat dari barak.

Ketika kemudian malam turun, maka suasana di padukuhan induk Tanah Perdikan itu masih sangat lengang. Demikian gelap menyelimuti padukuhan induk, maka pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat. Tidak ada lagi sekelompok anak-anak yang bermain-main di halaman, meskipun bulan muda terlihat memancar di langit. Sinarnya yang menyiram halaman, pepohonan dan dedaunan tidak mendapat perhatian sama sekali dari anak-anak yang terbiasa bermain di terangnya cahaya bulan. Tidak terdengar kidung anak-anak perempuan yang bermain soyang dan uri-uri. Tidak pula terdengar teriakan anak-anak remaja yang bermain gobag atau sembunyi-sembunyian.

Yang nampak masih ada di luar regol halaman adalah para pengawal yang berjaga-jaga.

Di rumah Agung Sedayu, beberapa orang duduk di sebelah Wacana yang terbaring diam. Tubuhnya masih saja panas. Namun sekali-sekali Wacana itu menggigil seperti orang kedinginan.

Jika sekali-sekali Sekar Mirah menyuapinya dengan bubur summsum, mulut Wacana seakan-akan tidak mau terbuka.

Sekali-sekali Wacana itu terdengar berdesis, “Tidak. Aku tidak ingin makan.”

Namun Sekar Mirah masih selalu mencoba. Meskipun hanya setitik demi setitik. Hanya karena Sekar Mirah sangat telaten, maka meskipun hanya sedikit, perut Wacana pun terisi juga.

Malam itu tubuh Wacana sedikit menggigil, meskipun jika disentuh dahinya terasa panas.

Sekar Mirah mencoba membasahi dahi Wacana itu dengan air jeruk nipis. Agaknya air jeruk nipis itu dapat membantu mengurangi panas tubuhnya.

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar Wacana yang agaknya kesadarannya terganggu itu berdesis perlahan, “Raras. Raras.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun Sabungsari yang juga mendengar desis itu menundukkan kepalanya. Jantungnya serasa berdesak semakin cepat.

Ternyata bahwa bagaimanapun juga Raras masih tetap tersangkut di hati Wacana. Apapun yang pernah dikatakannya, tetapi Wacana tidak dapat menipu dirinya sendiri.

Kenyataan itu telah membuat perasaan Sabungsari terguncang. Bahkan ia merasa ikut bersalah bahwa keadaan Wacana justru tidak segera menjadi baik. Meskipun Sabungsari sudah menyingkir dan menjauhi setiap hubungan dengan Raras, namun persoalan yang rumit itu tidak dapat dihindarinya lagi. Bahkan Wacana telah menyusulnya ke Tanah Perdikan dengan membawa persoalan yang justru telah dijauhinya itu.

Ternyata Wacana tidak hanya sekali dua kali saja menyebut nama Raras. Tetapi berulang-ulang.

Sabungsari menjadi tidak tahan lagi. Iapun kemudian telah bangkit dan melangkah keluar.

Udara malam terasa dingin. Angin basah bertiup dari selatan menyentuh kulit Sabungsari, yang kemudian duduk di serambi gandok. Tatapan matanya jauh menerawang menembus kegelapan.

Sabungsari terkejut ketika Naratama datang mendekatinya. Ia tidak mendengar langkah. Namun tiba-tiba saja Naratama itu sudah duduk di sebelahnya.

Dengan nada berat Naratama itu bertanya, “Apa yang sedang kau renungkan Sabungsari?”

Sabungsari mencoba untuk tersenyum. Katanya kemudian, “Tidak Naratama. Aku tidak sedang merenung.”

“Tetapi tentu ada sesuatu yang kau pikirkan,” sahut Naratama kemudian.

“Ya,“ Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku masih mengenang betapa kita telah bertempur di halaman rumah ini. Beberapa orang telah menjadi korban. Agung Sedayu sendiri telah terluka, meskipun keadaannya sudah menjadi baik. Satu hal yang tidak akan terjadi pada orang lain. Seandainya aku terluka seperti Agung Sedayu dan mendapat pengobatan yang sama, aku akan memerlukan waktu tiga kali lipat untuk menjadi baik sebagaimana Agung Sedayu sekarang.”

“Daya tahannya memang luar biasa,“ desis Naratama.

“Sementara itu keadaan Wacana masih mencemaskan. Justru sebenarnya Wacana tidak bersangkut paut dengan perang yang terjadi di Tanah Perdikan. Ia datang untuk sekedar melihat-lihat Tanah Perdikan ini. Namun nasibnya agaknya memang kurang baik.”

“Bukankah ia telah mendapat pengobatan yang terbaik?“ bertanya Naratama.

“Ya,” jawab Sabungsari, “bukan hanya Agung Sedayu, Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan. Tetapi tabib terbaik di Tanah Perdikan ini juga sudah diundang. Tabib yang telah berhasil dengan baik mengobati Rara Wulan yang juga terluka.”

Naratama mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak melihat, apa yang sebenarnya tergores di jantung Sabungsari.

Di ruang dalam, Sekar Mirah masih sibuk membasahi dahi Wacana dengan air jeruk nipis. Sementara Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan duduk termangu-mangu. Segala usaha sudah dilakukan. Namun keadaan Wacana massih mencemaskan.

Namun ketika kemudian malam menjadi semakin malam, setelah Sekar Mirah berhasil memasukkan sebutir ramuan obat ke dalam mulut Wacana dengan jenang sumsum yang lembut, maka panas Wacana menjadi sedikit turun. Ia tidak lagi memanggil-manggil Raras. Bahkan perlahan-lahan kesadarannya telah menjadi bulat kembali.

Ketika ia membuka matanya dan melihat Sekar Mirah duduk di sebelahnya, maka Wacana itu pun berkata, “Sudahlah. Sebaiknya Mbokayu beristirahat. Aku tidak apa-apa.”

Sekar Mirah mengangguk sambil menjawab, “Kau juga harus beristirahat Wacana. Tetapi sebelum kau tidur, kau harus mencoba untuk makan. Jenang sumsum itu harus kau makan sampai habis. Jika kau cukup makan, maka tubuhmu akan menjadi kuat dan kau akan segera menjadi baik.”

Wacana mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Tetapi Sekar Mirah pun tanggap. Sedikit demi sedikit Sekar Mirah menyuapi Wacana dengan jenang sumsum.

Baru kemudian, setelah sedikit-sedikit perut Wacana terisi, Sekar Mirah pun telah meninggalkan Wacana dan pergi ke bilik Rara Wulan.

Namun Rara Wulan yang keadaannya telah menjadi semakin baik itu telah dapat tidur, meskipun sekali-sekali masih terdengar ia berdesis menahan nyeri yang tersisa di lukanya.

Ki Ajar Gurawa dan Ki Lurah Branjangan telah mengatur waktu. Mereka berdua akan berganti-ganti menunggui Wacana yang sakit sambil berjaga-jaga, meskipun di luar anak-anak dari kelompok Gajah Liwung juga sudah berjaga-jaga.

“Tidurlah,“ berkata Ki Ajar kepada Glagah Putih, “bukankah kau besok akan pergi ke Mataram?”

Glagah Putih mengangguk. Jawabnya, “Baik Ki Ajar. Tetapi aku akan melihat Sabungsari sebentar.”

“Ajak anak itu tidur. Tidak sepatutnya Sabungsari membiarkan perasaannya bergejolak. Ia bukan seorang laki-laki yang cengeng dan perajuk.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Namun iapun segera bangkit dan melangkah keluar. Sementara Agung Sedayu sudah berada di dalam biliknya, karena ia masih juga harus banyak beristirahat karena luka-lukanya yang sedang dalam masa penyembuhan.

Ketika Glagah Putih melangkahi pintu pringgitan, maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat bahwa Sabungsari tidak duduk seorang diri, tetapi bersama Naratama.

Dengan demikian, maka Sabungsari ternyata tidak sedang merenung membiarkan perasaannya bergejolak.

Sebenarnyalah bahwa persoalan yang membelit perasaan Wacana dalam hubungannya dengan Raras dan Sabungsari, tidak dapat disembunyikan lagi. Apa lagi ketika Wacana berkali-kali menyebut nama Raras. Sementara itu Sabungsari menjadi sangat gelisah.

Ki Lurah Branjangan yang juga pernah mendengar persoalan yang tumbuh antara Wacana dan Sabungsari itu masih juga sempat membincangkannya dengan Ki Ajar Gurawa, meskipun sambil berbisik agar tidak didengar oleh Wacana.

“Ternyata bahwa Wacana memang tidak dapat melupakan Raras,“ berkata Ki Lurah Branjangan, “meskipun ia sudah berusaha.”

“Kasihan Wacana,“ desis Ki Ajar Gurawa, “tetapi kita juga tidak dapat menyalahkan Sabungsari.”

“Ya,” sahut Ki Lurah, “ia justru telah berusaha menghindar. Tetapi Wacana menyusulnya kemari. Mereka sudah menyelesaikan persoalan mereka. Menurut kenyataan lahiriah, persoalan itu memang sudah selesai. Keduanya tidak lagi mempersoalkannya. Namun dalam keadaan yang gawat, maka yang dibenamkan jauh di dalam jantung Wacana itu telah muncul di luar sadarnya.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Sabungsari agaknya masih juga merasa bersalah.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan persoalan itu tidak akan tetap menjadi beban bagian kedua-duanya,” desis Ki Lurah Branjangan. “Jika besok Glagah Putih dan Sabungsari memberitahukan keadaan Wacana kepada pamannya, dan kita sempat mengambil langkah-langkah yang dapat mengurangi penderitaan Wacana sehingga ia benar-benar dapat sembuh, maka persoalannya dengan Sabungsari memang harus diselesaikan dengan tuntas.”

“Maksud Ki Lurah?“ bertanya Ki Ajar.

“Raras harus segera kawin,” jawab Ki Lurah Branjangan.

Ki Ajar mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku sependapat. Tetapi bagaimana melaksanakannya?”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Itulah soalnya.”

Keduanya tersenyum, betapa hambarnya. Bagaimanapun juga mereka merasa ikut prihatin dengan keadaan Wacana, dan bahkan juga perasan Sabungsari yang tentu merasa tertekan. Bahkan Ki Lurah itu teringat pula kepada cucunya, Raden Teja Prabawa.

Demikianlah, keduanya pun kemudian terdiam untuk beberapa lama. Wacana agaknya sudah dapat tidur. Tubuhnya memang masih panas meskipun sedikit turun. Namun keadaannya memang masih sangat menggelisahkan.

Di luar, Glagah Putih telah mengingatkan bahwa sebaiknya Sabungsari beristirahat.

“Besok pagi-pagi kita akan pergi ke Mataram. Beberapa orang prajurit dari barak Pasukan Khusus akan singgah kemari dan kemudian bersama-sama menempuh perjalanan.”

Sabungsari mengangguk kecil. Sementara Naratama berakata, “Tidurlah. Simpan tenagamu untuk besok. Orang-orang perkemahan yang memencar dari serangannya itu mungkin masih ada yang berkeliaran. Mungkin di sebelah barat Kali Praga. Tetapi mungkin juga di sebelah timur.”

“Apakah kau tidak tidur?“ bertanya Sabungsari kepada Naratama.

“Nanti. Aku bertugas sekarang untuk mengamati keadaan,” jawab Naratama.

Sabungsari pun kemudian bangkit dan melangkah ke dalam biliknya di gandok. Meskipun ia kemudian berbaring, tetapi ia memerlukan waktu cukup lama untuk dapat tidur. Akhirnya ia dapat tidur meskipun juga agak gelisah.

Pagi-pagi sekali Glagah Putih telah terbangun. Ketika ia pergi ke pakiwan, maka anak yang membantu di rumah itu telah duduk di atas sebuah batu sudut rumah. Glagah Putih pun kemudian melangkah mendekat sambil bertanya, “Kenapa kau masih pagi sekali duduk bertopang dagu?”

Anak itu memandang Glagah Putih sejenak, lalu katanya, “Pliridanku rusak.”

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih, “Bukankah selama ini tidak seorang pun di antara penghuni padukuhan induk ini yang sempat menghiraukan pliridan di sungai itu?”

“Tetapi pliridanku rusak. Nampaknya terinjak-ijak kaki kuda. Tidak hanya seekor, tetapi beberapa ekor kuda,” jawab anak itu.

“Kaki kuda ?“ bertanya Glagah Putih dengan dahi yang berkerut, “Apakah kau yakin?”

“Ya, kaki kuda. Kau kira aku tidak dapat membedakan jejak kaki kuda? Tentu berbeda dengan jejak kaki kambing atau kaki lembu, atau kaki kerbau,” jawab anak itu.

“Jadi kapan kau lihat jejak kaki kuda itu?“ bertanya Glagah Putih, “Semalam atau kemarin malam?”

“Semalam,” jawab anak itu.

“Apakah kau dapat membedakan jejak kaki kuda semalam atau kemarin di atas tepian yang basah?“ bertanya Glagah Putih.

“Kemarin malam aku belum lihat jejak kaki kuda itu,” jawab anak itu.

“Jadi kemarin malam kau juga pergi ke sungai?“ bertanya Glagah Putih pula.

“Ya,” jawab anak itu.

“Kau telah melakukan sesuatu yang sangat berbahaya. Keadaan Tanah Perdikan ini belum tenang benar. Sementara itu kau sudah turun ke sungai,“ berkata Glagah Putih.

Anak itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apakah aku harus takut keluar halaman rumah ini? Ketika terjadi pertempuran di halaman rumah ini, aku sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi karena kau selalu berbohong kepadaku, maka aku tidak dapat ikut campur.”

“Kenapa aku berbohong?“ bertanya Glagah Putih.

“Kau katakan bahwa kau akan mengajari aku berkelahi. Tetapi tidak pernah kau lakukan dengan sungguh-sungguh. Seandainya kau benar-benar mengajariku berkelahi, maka saat itu aku tentu akan dapat membantu,“ berkata anak itu.

“Siapakah yang akan mengajarimu berkelahi?“ bertanya Glagah Putih.

“Kau. Apakah kau akan ingkar?“ anak itu tiba-tiba berdiri.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak akan mengajarimu berkelahi Anak Manis. Tetapi aku akan mengajarimu sedikit ilmu bela diri.”

“Apa bedanya?“ bertanya anak itu.

“Dalam pelaksanaannya mungkin tidak jauh berbeda. Tetapi landasannya sangat berbeda. Jika kau belajar berkelahi, maka kau tentu akan mencari lawan di mana-mana. Atau kau akan menjadi pemarah karena kau pandai berkelahi, atau sombong atau semacamnya. Tetapi tidak bagi mereka yang belajar ilmu bela diri. Orang-orang yang menguasai ilmu bela diri, tidak akan mempergunakannya jika tidak terpaksa, untuk melindungi dirinya sendiri atau melindungi orang lain yang lemah jika keadilannya tersinggung.”

“Apapun namanya, tetapi bukankah tidak kau lakukan dengan sungguh-sungguh?“ bertanya anak itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat berbantah terlalu lama dengan anak itu. Katanya, “Baiklah. Besok kita berbicara lagi. Tetapi aku tidak pernah mencabut kesediaanku mengajarimu sedikit pengetahuan tentang bela diri. Pada saat yang tepat, aku akan melakukannya.”

“Sejak dulu kau berkata begitu,“ anak itu mulai bersungut-sungut.

Glagah Putih menepuk pundak anak itu sambil berkata, “Ketahuilah. Orang-orang berkuda itu akan dapat menjadi kasar dan bahkan menjadi buas. Jika kebetulan kau sedang ada di pliridan ketika mereka lewat, maka akibatnya akan sangat buruk bagimu.”

Anak itu tidak menjawab. Sementara Glagah Putih pun pergi ke pakiwan untuk mandi.

Namun jejak kaki kuda itu ternyata selalu mengganggu pikirannya. Karena itu, maka iapun telah membicarakannya dengan Sabungsari.

“Jika demikian, masih ada sekelompok orang berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan ini,“ desis Sabungsari.

“Ya. Mereka tidak menempuh perjalanan lewat jalan-jalan sewajarnya. Tetapi mereka menempuh perjalanan mereka lewat jalan-jalan simpang dan bahkan lewat sungai. Mereka tentu berusaha untuk menghilangkan jejak mereka, atau setidak-tidaknya tidak mudah diketahui orang,” sahut Glagah Putih.

“Tetapi kehadiran mereka cukup berbahaya. Bukankah belum ada laporan dari para pengawal tentang orang-orang berkuda itu, sehingga Tanah Perdikan ini belum mengetahuinya?“ bertanya Sabungsari.

“Nampaknya memang belum,” jawab Glagah Putih.

“Apakah tidak sebaiknya kita memberitahukan hal ini kepada Agung Sedayu, agar disampaikan kepada Prastawa lewat salah seorang di antara anak-anak Gajah Liwung?”

“Ya. Prastawa memang harus mengetahuinya,” jawab Glagah Putih.

Demikianlah, setelah berbenah diri mereka telah menyampaikan hal itu kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu ternyata juga menganggap bahwa hal itu adalah hal yang penting untuk segera diketahui. Orang-orang yang berkeliaran itu akan dapat berbuat sesuatu yang mengguncang lagi ketenangan Tanah Perdikan yang baru mulai pulih kembali itu.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah minta Pranawa dan Mandira untuk menemui Prastawa di rumah Ki Gede. Mereka diminta untuk memberitahukan bahwa di sungai semalam terdapat jejak kaki beberapa ekor kuda, sehingga dengan demikian maka para pengawal masih harus waspada terhadap beberapa orang berkuda itu.

Sementara keduanya pergi ke rumah Ki Gede, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah mempersiapkan diri untuk berangkat ke Mataram. Sambil menunggu para prajurit dari Pasukan Khusus yang akan singgah untuk bersama-sama pergi, keduanya telah dipersilahkan oleh Sekar Mirah untuk makan lebih dahulu.

Hampir bersamaan, ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu datang, Pranawa dan Mandira yang menemui Prastawa pun telah datang pula. Ternyata saat mereka bertemu dengan Prastawa, dua orang pengawal dari perkemahan telah datang. Mereka juga melaporkan bahwa semalam beberapa orang berkuda telah berkeliaran tidak terlalu jauh dari perkemahan. Nampaknya mereka memang akan memasuki perkemahan. Namun mereka telah melihat lampu dan oncor yang menyala, sehingga mereka mengurungkan niatnya.

“Atau satu dua di antara mereka telah merayap mendekati perkemahan dan mengetahui bahwa di perkemahan itu terdapat sekelompok pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus,“ berkata Agung Sedayu.

“Mungkin sekali,” desis Ki Lurah Branjangan, “namun bagaimanapun juga, kita masih harus sangat berhati-hati.”

“Juga mereka yang akan pergi ke Mataram,” desis Ki Jayaraga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Peringatan gurunya itu memang harus diperhatikan. Banyak kemungkinan masih akan dapat terjadi. Orang-orang berkuda itu tentu orang-orang perkemahan yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mereka tidak segera melarikan diri, tetapi justru berkeliaran di Tanah Perdikan. Bahkan mereka telah lewat tidak jauh dari padukuhan induk, meskipun mereka menempuh perjalanan lewat sungai.

Demikianlah, setelah memberikan beberapa pesan, maka Agung Sedayu telah memerintahkan empat orang prajurit dari Pasukan Khusus untuk berangkat ke Mataram bersama Glagah Putih dan Sabungsari.

Beberapa saat kemudian, maka enam orang berkuda telah meninggalkan Tanah Perdikan menuju ke Mataram. Mereka menyadari sepenuhnya kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan mereka. Di bulak-bulak panjang, atau di tepian atau dimana saja, mereka akan dapat bertemu dengan orang-orang berkuda itu.

Selagi hari masih pagi, maka keenam orang itu telah memacu kudanya agak cepat setelah mereka berada di bulak-bulak panjang. Namun jika mereka memasuki padukuhan, maka kecepatan lari kuda mereka harus disusut. Apalagi di tempat-tempat yang terhitung ramai. Bahkan ketika mereka lewat di sebelah pasar, maka kuda-kuda mereka itu tidak berlari lebih cepat dari orang yang berjalan dalam keramaian yang memenuhi jalan. Para pedagang yang tidak tertampung di pasar, telah menggelar dagangannya di pinggir-pinggir jalan.

“Agaknya hari ini hari pasaran,“ berkata Glagah Putih.

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya pasar ini menjadi ramai oleh para pedagang yang datang dari kademangan-kademangan di sekitar lingkungan ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Di sebelah pasar memang nampak tempat pemberhentian pedati yang agak luas. Sebuah kedai yang besar berada di sebelah tempat pemberhentian pedati itu. Bahkan sebuah rumah panjang yang agaknya menjadi penginapan para pedagang dan sais pedati yang datang dari tempat yang jauh.

Untuk beberapa saat kuda-kuda mereka yang menempuh perjalanan ke Mataram itu berjalan sangat lambat. Semakin tinggi matahari memanjat langit, maka pasar itu pun menjadi semakin ramai. Biasanya pada saat matahari sepenggalah, maka pasar itu akan menjadi temawon. Saat yang paling ramai, apalagi di hari pasaran. Baru kemudian, sedikit demi sedikit keramaian itu pun berkurang.

Baru ketika mereka keluar dari kepadatan jalan di sebelah pasar, maka kuda-kuda itu pun mulai berlari meskipun tidak terlalu kencang.

Namun keenam orang berkuda itu sama sekali tidak menghiraukan ketika seorang yang berdiri di antara beberapa buah pedati di pemberhentian pedati itu memandangi mereka sampai hilang di tikungan.

Namun kemudian orang itu pun dengan tergesa-gesa telah berlari-lari menyusup di antara pedati-pedati yang berhenti, mencari kawan-kawannya.

Ternyata di rumah itu telah menginap sekelompok orang yang agaknya bukan pedagang yang sering singgah dari pasar ke pasar, terutama pasar-pasar yang besar dan di hari pasaran pula. Ketika seorang kawannya yang berlari-lari itu memberitahukan kepada mereka tentang enam orang berkuda, maka orang-orang itu pun bergerak cepat sekali. Dalam waktu yang pendek sepuluh orang berkuda telah berpacu meninggalkan tempat itu.

“Mereka berenam,“ berkata orang yang melihat keenam orang berkuda yang akan pergi ke Mataram. Lalu katanya pula, “Empat orang di antara mereka berpakaian prajurit. Agaknya mereka terdiri dari para prajurit dari Pasukan Khusus yang akan pergi ke Mataram. Mungkin ada hubungannya dengan pertempuran di Tanah Perdikan ini.”

“Siapapun mereka, jika mereka prajurit Mataram, sebaiknya kita binasakan. Mereka telah membantu Tanah Perdikan Menoreh melawan kawan-kawan kita. Bahkan menghancurkan seluruh kekuatan kita di Tanah Perdikan ini,” geram pemimpin mereka.

“Jika mereka membantu Tanah Perdikan, itu wajar sekali. Agung Sedayu adalah pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus itu. Tetapi ia juga salah seorang pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh,” sahut seorang yang sudah separuh baya. Namun masih menunjukkan betapa orang itu seorang yang tegar dan perkasa.

Pemimpin sekelompok orang-orang berkuda itu tidak menyahut. Namun ia telah mempercepat laju kudanya.

Tetapi orang yang sudah separuh baya itu berkata, “Kita tidak tergesa-gesa. Kita akan menemui mereka di tepian, sesaat sebelum mereka menyeberang.”

“Apakah pasti bahwa mereka akan pergi ke Mataram?“ bertanya pemimpin kelompok itu.

“Bukankah kita dapat mengikuti jejak kaki kuda mereka? Jika ternyata tidak, maka kita memang harus segera mengambil langkah. Tetapi jika mereka lewat jalan ini, maka tujuan mereka agaknya tidak lain dari Kotaraja. Mereka akan mengambil lintas penyeberangan sebelah utara,” sahut orang yang sudah separuh baya itu.

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun ia mulai memperlambat laju kudanya yang meluncur seperti anak panah.

Dengan demikian, maka sepuluh orang berkuda itu tidak lagi harus berpacu dengan waktu. Orang-orang yang mereka kejar tidak akan sempat menyeberang Kali Praga saat mereka berhasil menyusul. Selain mereka harus menunggu rakit yang akan menyeberang dan luang sehingga dapat membawa mereka, maka untuk naik ke rakit dengan kuda-kuda mereka itu pun tentu diperlukan waktu.

Meskipun demikian, kesepuluh orang itu juga tetap memelihara laju kudanya agar mereka dapat menyusul keenam orang yang menurut perhitungan mereka akan menyeberang Kali Praga di penyeberangan sebelah utara.

Dengan memperhatikan jejak keenam ekor kuda yang masih baru itu, kesepuluh orang itu melarikan kuda-kuda mereka. Sebagaimana mereka perhitungkan, maka jejak kaki kuda itu memang menuju ke penyeberangan sebelah utara. Meskipun bukan penyeberangan terbesar, tetapi ada juga beberapa rakit yang menghubungkan kedua tepian Kali Praga.

Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih, Sabungsari dan keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu sudah menuruni tebing yang landai sampai ke tepian berpasir yang basah. Sebuah rakit yang sedang memuat beberapa bakul gula masih tertambat di sisi sebelah barat. Namun rakit yang sudah terisi itu tidak akan dapat membawa mereka bersama-sama menyeberang. Kecuali hanya satu dua orang bersama kuda-kuda mereka.

Meskipun demikian, Sabungsari berdesis, “Nah, siapa yang akan menyeberang lebih dahulu? Jika dua orang di antara kita dapat menyeberang bersama rakit itu, maka yang tersisa akan dapat menumpang satu rakit yang sedang bergerak kemari itu.”

Keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Biarlah dua orang di antara kami menyeberang.”

Tetapi ketika dua orang di antara para prajurit itu bergerak menuju ke rakit yang sedang memuat beberapa bakul gula kelapa, mereka tertegun ketika mereka mendengar derap kaki kuda di atas tebing.

Glagah Putih, Sabungsari dan para prajurit itu pun berpaling. Mereka melihat di atas tebing beberapa orang berkuda berhenti sambil memandangi mereka yang sudah berada di tepian.

Glagah Putih pun berdesis, “Berhati-hatilah. Mungkin mereka termasuk orang-orang berkuda yang berkeliaran di Tanah Perdikan sepeninggal Resi Belahan.”

“Mungkin sekali,” sahut Sabungsari, “nampaknya mereka memang tidak bermaksud baik.”

Para prajurit itu pun kemudian telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Namun mereka adalah prajurit dari Pasukan Khusus. Apalagi mereka adalah orang-orang terpilih di antara mereka.

Beberapa saat kemudian orang-orang berkuda itu pun juga menuruni tebing. Demikian mereka turun dari kuda, maka mereka pun telah mendekati Glagah Putih dan kawan-kawannya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi beruntunglah bahwa anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu pun telah bercerita tentang orang-orang berkuda yang merusak pliridannya, serta laporan dari para pengawal yang di perkemahan. Sehingga sejak berangkat kemungkinan seperti yang terjadi itu sudah diperhitungkan.

Ketika dua orang di antara orang-orang berkuda itu kemudian mengikat kuda-kuda mereka, maka dua orang prajurit telah menuntun keenam ekor kuda mereka yang akan pergi ke Mataram dan mengikatnya pada patok-patok tempat mengikat rakit di tepian.

Orang yang memimpin sepuluh orang berkuda itu pun kemudian bertanya, “Siapakah pemimpin di antara kalian?”

Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun prajurit yang tertua pun segera menyahut, “Aku. Aku-lah yang bertanggung jawab atas kawan-kawanku para prajurit ini.”

“Dan kedua orang ini?“ bertanya pemimpin sekelompok orang berkuda itu.

“Mereka menempuh perjalanan bersama kami para prajurit. Dengan demikian, maka mereka tunduk di bawah perintahku sebagaimana para prajurit,” jawab prajurit itu.

Pemimpin dari sekelompok orang berkuda itu mengangguk-angguk sambil memandangi Sabungsari dan Glagah Putih berganti-ganti. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah mereka orang Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya,” jawab prajurit itu singkat.

“Bagus,” sahut orang itu, “jika demikian, maka kalian tidak ada bedanya. Jika mereka berdua bukan orang Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka akan aku bebaskan dari hukuman. Tetapi karena mereka orang-orang Tanah Perdikan, maka mereka pun akan menerima hukuman sebagaimana para prajaurit.”

“Hukuman apa? Kenapa kami harus mendapat hukuman?”

“Kalian telah menghancurkan kawan-kawan kami. Para prajurit dari Pasukan Khusus dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” jawab orang itu.

Prajurit tertua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kalian adalah kawan-kawan dari para perampok yang telah merampok dengan besar-besaran Tanah Perdikan Menoreh?”

“Kami bukan perampok. Tetapi kami mengemban tugas pengabdian yang luhur.”

“Pengabdian?“ bertanya prajurit tertua itu, “Kepada siapa kalian mengabdi?”

“Kami mengabdi kepada cita-cita luhur pemimpin kami.”

“Bagaimanakah ujud pengabdian kalian? Merampok Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya prajurit itu.

Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian ia berkata, “Apapun yang kami lakukan, sudah kami pikirkan masak-masak. Persoalannya sekarang tidak lagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kami ingin membalas dendam sejauh dapat kami lakukan. Kami akan membunuh semua prajurit dari Pasukan Khusus dengan cara kami sebagaimana kami lakukan sekarang. Kami juga akan membunuh setiap anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh, apalagi para pengawal atau mereka yang berhubungan dengan para prajurit dari Pasukan Khusus, yang telah membantu Tanah Perdikan Menoreh menggagalkan rencana kami.”

“Rencanamu memang mengerikan Ki Sanak,” sahut prajurit yang tertua itu, “tetapi sama sekali tidak menggetarkan jantung kami. Jumlah kalian tinggal beberapa orang, sementara kekuatan Tanah Perdikan Menoreh dan prajurit dari Pasukan Khusus itu masih tetap utuh.”

“Kami bukan orang-orang dungu yang akan membenturkan kekuatan kami langsung dengan kekuatan Tanah Perdikan. Tetapi kami akan membunuh mereka seorang demi seorang.”

“O,” Sabungsari-lah yang menyahut, “ancamanmu membuat buluku meremang. Kau kira seorang prajurit akan memberikan lehernya untuk dipenggal? Jika seorang prajurit mati dalam pertempuran, meskipun dikeroyok, namun ia akan membawa satu atau dua lawannya serta. Nah, bukankah dalam waktu singkat orang-orangmu akan segera habis, sementara itu di barak Pasukan Khusus itu sama sekali tidak terasa bahwa jumlah mereka berkurang?”

“Tidak,” jawab orang itu, “kami akan membunuh kalian sekarang ini tanpa mengorbankan seorangpun di antara kami.”

“Kita akan melihat,” jawab prajurit tertua itu, “siapakah yang akan terbujur di tepian ini.”

Namun seorang yang lain, yang bertubuh kekurus-kurusan telah melangkah maju sambil berkata, “Ki Sanak. Tidak ada harapan bagi kalian untuk dapat hidup. Yang terbaik bagi kalian sekarang adalah memilih cara mati yang paling baik. Yang tidak menimbulkan penderitaan sama sekali. Tetapi jika kalian melawan, maka kami-lah yang akan menentukan cara mati bagi kalian yang mungkin tidak kalian senangi.”

Tetapi Sabungsari justru tertawa. Bahkan kemudian para prajurit itu pun tertawa pula. Dengan nada tinggi Sabungsari berkata, “Kau pandai bergurau Ki Sanak. Aku senang mendengar guraumu yang lucu meskipun mendebarkan.”

“Aku tidak bergurau Anak Muda,“ geram orang itu, “aku berkata sesungguhnya. Dan aku tidak akan segan melakukannya.”

“Kau tidak akan dapat melakukannya,“ berkata Sabungsari. “wajahmu nampak lembut. Tatapan matamu menunjukkan bahwa kau adalah seorang yang hatinya seluas lautan. Sabar dan memuat segala persoalan tanpa pernah menjadi penuh. Kau tidak akan dapat marah dan akan memaafkan segala kesalahan orang lain.”

Wajah orang itu menjadi merah. Tiba-tiba saja ia menggeram, “Anak iblis. Jangan menyesal jika kau akan hancur menjadi debu.”

Tetapi Sabungsari masih saja menjawab, “Jangan berpura-pura marah. Kau sama sekali tidak pantas untuk marah.”

Kemarahan orang itu justru memuncak. Ia sadar bahwa anak muda dari Tanah Perdikan itu telah mempermainkannya. Karena itu, tiba-tiba ia bergeser selangkah surut. Kedua tangannya bergerak dengan cepat. Kedua telapak tangan menakup kemudian bergerak dalam putaran yang cepat.

Sabungsari, Glagah Putih dan keempat orang prajurit itu meloncat surut. Tiba-tiba saja pasir tepian itu berputar. Angin pusaran yang keras tiba-tiba saja timbul di hadapan mereka. Hanya sesaat. Tetapi segumpal pasir telah terbang naik ke udara. Kemudian pecah menghambur menghujani orang-orang yang ada di tepian itu.

Wajah Sabungsari, Glagah Putih dan keempat prajurit itu menjadi tegang. Mereka sadar bahwa orang itu belum benar-benar menyerang mereka. Yang dilakukan adalah sekedar menakut-nakuti keenam orang yang akan pergi ke Mataram itu.

Dengan suara bergetar karena kemarahannya, orang itu berkata, “Kalian telah melihat dengan mata kepala kalian sendiri, apa yang dapat kami lakukan. Menyerahlah. Jika kalian mencoba untuk melawan, maka kalian akan diangkat oleh angin pusaran yang jauh lebih besar. Kalian akan dilemparkan ke udara dan jatuh dari ketinggian yang tidak terhingga, sesuai dengan keinginanku.”

Tidak seorang pun yang menjawab, meskipun keenam orang dari Tanah Perdikan itu telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, orang itu berkata selanjutnya, “Tetapi aku dapat berbuat lain. Kalian akan aku putar untuk di angkat ke udara. Tidak begitu tinggi, namun kalian akan terhempas di atas batu-batu padas. Kalian tidak akan segera mati. Tetapi luka-luka kalian tidak akan dapat diobati, karena setiap orang yang akan menolong kalian akan mengalami nasib yang sama.”

Suasana memang menjadi tegang. Orang-orang yang ada di tepian itu menjadi ketakutan. Rakit yang memuat gula itu pun segera bergerak ke seberang, sementara rakit yang akan merapat di tepian di sisi barat, telah mengurungkan niatnya. Para penumpangnya pun minta agar rakit itu kembali saja ke arah timur.

Namun yang terjadi kemudian sangat mengejutkan orang yang mampu memutar pasir tepian dan melontarkannya ke udara itu. Ternyata orang-orang Tanah Perdikan ini tidak menjadi ketakutan. Bahkan Sabungsari dan Glagah Putih justru tertawa karenanya.

Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan mata terbelalak ia memandang Sabungsari dan Glagah Putih berganti-ganti. Mereka masih muda, apalagi Glagah Putih. Tetapi mereka sama sekali tidak terkejut melihat ilmunya yang jarang ada duanya itu.

Bahkan keempat prajurit dan Pasukan Khusus itu pun harus berpikir ulang, apa yang mereka lakukan untuk melawan ilmu orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu.

Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, “Aku juga pernah melihat ilmu seperti itu. Debu, pasir dan daun-daun kering berterbangan di halaman rumah Kakang Agung Sedayu. Seperti payung yang berwarna hitam kelabu. Namun, demikian orang yang melontarkan ilmu itu mati, maka ilmu itu lenyap dengan sendirinya.”

“Setan kau,“ geram orang itu, “siapa kau yang telah berani meremehkan ilmuku?”

“Aku tidak meremehkan ilmumu. Ilmu itu menggetarkan jantungku. Tetapi bukan berarti bahwa justru karena itu kami harus menundukkan kepala dan menyerahkan leher kami.”

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menjadi semakin marah. Dengan geram ia berkata, “Tangkap mereka hidup-hidup. Aku akan membunuh mereka dengan caraku.”

Kawan-kawan orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu pun segera bersiap. Pemimpin merekapun telah mengulangi perintah itu. “Kepung mereka! Jangan ada seorangpun yang melarikan diri. Mereka harus tertangkap hidup-hidup.”

Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bersiap pula. Sabungsari dan Glagah Putih mulai bergeser. Namun Glagah Putih telah langsung menempatkan diri berhadapan dengan orang yang kekurus-kurusan itu.

“Ternyata kau seorang pemberani anak muda. Kau sudah melihat apa yang dapat aku lakukan. Namun kau sama sekali tidak merasa takut,” geram orang yang kekurus-kurusan itu.

“Kenapa aku harus merasa takut?” Glagah Putih justru bertanya, “Aku juga berpendapat bahwa kau bukan seorang pendendam. Kau tidak akan pernah marah kepada siapapun juga. Tatapan matamu memancarkan kelunakan hatimu.”

“Cukup!” teriak orang itu. Dengan kecepatan yang tinggi ia telah meloncat menyambar wajah Glagah Putih. Tetapi dengan kecepatan yang sama Glagah Putih telah menghindarinya. Selangkah ia bergeser ke samping sambil memiringkan wajahnya.

Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Anak Muda, Nnmpaknya kau memang memiliki bekal yang baik. Tetapi agaknya kau masih belum dapat menilai apa yang sebenarnya kau hadapi.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun desir angin yang timbul dari ayunan tangan orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu merupakan peringatan bagi Glagah Putih, bahwa kekuatan orang yang meskipun tubuhnya nampak kekurus-kurusan itu, ternyata besar sekali.

Dengan demikian, maka Glagah Putih benar-benar harus berhati-hati menghadapi orang itu. Tetapi menurut perhitungan Glagah Putih, jika orang itu benar-benar ingin menangkapnya hidup-hidup, maka ia tentu tidak akan segera mempergunakan ilmu pusarannya.

Sementara itu, sembilan orang yang lain pun telah bergerak pula. Empat orang prajurit dari Pasukan Khusus serta Sabungsari telah bersiap menghadapi mereka.

Ketika orang-orang itu mulai bergerak, maka para prajurit pun telah berloncatan pula. Mereka dengan sengaja telah bertempur bersama-sama. Namun karena Sabungsari tidak terbiasa melakukannya bersama para prajurit dari Pasukan Khusus itu, maka ia berusaha untuk dapat menyesuaikan diri, agar tidak justru mengganggu para prajurit yang bertempur itu.

Ternyata keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu benar-benar prajurit pilihan. Meskipun mereka menghadapi lawan yang lebih banyak, namun mereka masih juga mampu membuat lawan-lawannya itu berloncatan mundur.

Namun seorang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis berteriak, “Beri aku kesempatan menghancurkan mereka! Lingkari orang-orang itu. Kalian mempunyai banyak kesempatan jika ada di antara mereka yang terdesak.”

Sabungsari dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun tanggap. Orang itu akan bertempur menghadapi mereka berlima. Namun kawan-kawannya akan membantunya menyerang dari kepungan yang segera akan mereka buat, tanpa menghiraukan kawannya yang bertubuh kekurus-kurusan itu, Karena orang itu dianggap akan dapat menyelesaikan lawannya, anak muda yang sombong itu.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian delapan orang telah melingkari kelima orang itu. Mereka akan menyerang Sabungsari dan kawan-kawannya dari delapan arah. Sementara itu, seorang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis itu akan berada di dalam lingkaran.

Sabungsari untuk sesaat membiarkan dirinya berada dalam kepungan. Ia ingin tahu apa saja yang akan dilakukan oleh orang yang berkumis tipis serta kawan-kawannya.

Sejenak kemudian, maka delapan orang yang berada di lingkaran yang memutari kelima orang itu telah menyiapkan senjata mereka. Dengan garangnya mereka menyerang seorang demi seorang. Bahkan kadang-kadang dua tiga orang maju bersama-sama dari arah yang berbeda, sementara orang yang berkumis tipis yang ada di dalam lingkaran itu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak menjadi bingung. Merekapun telah menggenggam senjata mereka, menangkis setiap serangan yang datang dari beberapa arah. Namun para prajurit itu pun telah mengahadap ke beberapa arah pula.

Orang yang berkumis tipis yang ada di dalam lingkaran itu ternyata tidak dapat berbuat sebagaimana direncanakan. Orang itu ingin menguasai kelima orang yang ada di dalam kepungan itu, selagi mereka menjadi kebingungan karena ujung-ujung senjata dari kedelapan kawan-kawannya. Bahkan tanpa dibicarakan lebih dahulu, Sabungsari dan para prajurit itu seakan-akan telah membagi tugas. Keempat prajurit itu menghadapi delapan orang yang mengepung mereka dan menyerang dari delapan penjuru, sedang Sabungsari menghadapi orang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis itu.

Demikian, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sulit. Bahkan kemudian Sabungsari tidak lagi merasa bebas bertempur di antara para prajurit dari Pasukan Khusus. Ruang geraknya terasa menjadi terlampau sempit.

Namun ternyata orang yang berkumis tipis itu juga merasa demikian. Justru karena rencananya tidak berjalan sebagaimana dikehendaki, karena di antara lima orang kawan-kawannya itu terdapat seorang yang agaknya memiliki kelebihan dari kawan-kawannya, maka orang itu telah berusaha memancing Sabungsari keluar dari lingkaran.

“Beri kami jalan. Aku akan menyelesaikan yang satu ini lebih dahulu.”

Namun orang-orang yang memimpin kelompok itu berteriak, “Tangkap orang itu hidup-hidup.”

“Aku akan menangkapnya hidup-hidup, meskipun kaki dan tangannya akan patah,” sahut orang berkumis tipis itu.

Sabungsari yang juga merasa terlalu sempit bertempur di dalam kepungan itu pun kemudian tidak menunggu lebih lama lagi ketika lawannya itu berteriak, “Ternyata kau memiliki kelebihan dari kawan-kawanmu. Marilah, kita bertempur di tempat terpisah.”

Ketika orang itu meloncat keluar dari lingkaran, maka Sabungsari pun segera cepat menyusulnya pula. Sementara itu, keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu harus bertempur melawan delapan orang lawan.

Namun ternyata delapan orang itu tidak menggetarkan jantung para prajurit itu. Meskipun mereka harus mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri, namun kedelapan orang itu tidak memiliki kemampuan sebagaimana orang berkumis tipis yang kemudian bertempur melawan Sabungsari itu. Apalagi seperti orang yang bertubuh kekurus-kurusan yang sedang bertempur melawan Glagah Putih.

Dalam pada itu, Sabungsari yang telah berada di luar lingkaran justru merasa mendapat kebebasan lebih banyak untuk menghadapi lawannya. Orang yang bertubuh sedang dan berkumis tipis itu ternyata telah menggenggam pedang di tangannya. Dengan lantang orang itu berkata, “Anak Muda. Kau telah menimbun kemarahanku atas dirimu sendiri dengan perbuatanmu. Seharusnya kau menyadari apa yang akan terjadi atas dirimu dengan tingkahmu itu.”

“Ya,” jawab Sabungsari, “aku tahu bahwa aku akan mampu membebaskan diri dari dendam yang membakar jantungmu. Sebenarnyalah bahwa dendam itu akan menghancurkan isi dadamu sendiri.”

Orang itu tidak menjawab. Namun pedangnya telah berputar dengan cepat. Kemudian dengan loncatan pendek, pedangnya telah terjulur lurus ke arah dada Sabungsari.

Sabungsari meloncat surut. Namun ketika ia berdiri tegak, maka iapun telah menarik pedangnya pula.

“Bagus Anak Muda,“ berkata orang berkumis tipis itu, “aku ingin tahu seberapa tinggi ilmu pedangmu.”

Sabungsari bergeser ke samping sambil menjawab, “Kita akan melihat, siapakah yang akan keluar dari arena ini dengan selamat.”

Lawan Sabungsari itu tidak menjawab lagi. Tetapi serangan-serangannya datang beruntun dengan cepatnya. Meskipun demikian Sabungsari tidak menjadi bingung. Dengan cepat ia menghindari setiap serangan. Namun kemudian pedangnya yang mematuk dengan cepatnya.

Dalam pada itu, orang-orang yang ada di tepian itu pun telah menyingkir semua. Mereka yang menyeberang ke timur telah merapat di tepian, sebagaimana rakit yang justru telah kembali ke timur.

Tetapi ternyata ada di antara mereka yang tidak segera meninggalkan tepian. Yang sedikit mempunyai keberanian justru ingin melihat dari seberang Kali Praga, apa yang akan terjadi di tepian sebelah barat itu. Namun yang hatinya rapuh, segera berlari menjauhkan dirinya.

Sementara itu, Glagah Putih yang bertempur melawan orang yang kekurus-kurusan itu berloncatan dengan cepatnya. Ternyata lawannya mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih pun harus berusaha untuk mengimbanginya.

Namun sebenarnyalah lawannya justru merasa heran, bahwa lawannya yang masih terhitung amat muda itu mampu mengimbanginya. Karena itu, ketika ia sempat mengambil jarak maka iapun bertanya, “Anak Muda, aku tidak ingkar bahwa kau termasuk anak muda yang luar biasa. Siapakah kau sebenarnya ?”

“Aku adalah satu dari antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” jawaban Glagah Putih.

Orang yang kekurus-kurusan itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah maksudmu mengatakan bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memiliki kemampuan sebagaimana kemampuanmu?”

“Aku tidak mengatakan demikian. Aku hanya mengatakan bahwa aku adalah salah seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Demikian juga kawanku itu. Ia juga salah seorang pengawal sebagaimana aku,” jawab Glagah Putih.

Orang itu memang sempat sekali-sekali melihat apa yang terjadi dengan kawan-kawannya. Ia memang melihat anak muda yang seorang lagi itu juga mampu mengimbangi kemampuan kawannya yang berkumis tipis itu.

Tetapi orang tidak meyakini bahwa kemampuan kedua anak muda itu adalah kemampuan rata-rata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Namun dalam pada itu, maka iapun bertanya, “Siapa namamu Anak Muda? Jika kau mati dengan cara yang sangat menyakitkan, biarlah aku tetap mengenang bahwa aku pernah membunuh seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi.”

Glagah Putih yang kemudian telah bertempur lagi dengan garangnya menjawab, “Namaku Glagah Putih, Ki Sanak.”

“Glagah Putih,“ orang itu mengulang, “nama yang baik. Aku kelak akan dapat bercerita bahwa aku pernah membunuh Glagah Putih, salah seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa.”

Sambil meloncat surut menghindari serangan lawannya, Glagah Putih bertanya, “Ki Sanak. Kau sudah mengetahui namaku. Coba sebutkan siapakah namamu, agar kelak aku juga dapat bercerita bahwa hari ini aku akan dibunuh oleh seorang pendendam, yang telah kehilangan beberapa kawannya di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Anak iblis kau. Kau tidak akan dapat bercerita kepada siapapun. Kau akan mati hari ini,” geram orang itu.

“Tetapi kau belum menjawab, siapa namamu,” sahut Glagah Putih.

Tetapi orang itu tidak segera menjawab. Namun ia meloncat menyerang dengan garangnya. Tetapi Glagah Putih pun dengan tangkasnya menghindari serangan itu.

Orang itu mengumpat kasar. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Meskipun tubuhnya nampak kekurus-kurusan dan umurnya sudah merambat menjelang hari-hari tuanya, namun ternyata orang itu masih sangat tangkas. Kekuatannya masih sangat besar, sehingga Glagah Putih benar-benar harus berhati-hati menghadapinya.

Namun dalam umurnya yang masih muda, Glagah Putih telah memiliki pengalaman yang luas. Beberapa kali ia bertempur melawan orang berilmu tinggi. Karena itu, menghadapi orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu, Glagah Putih tidak menjadi gelisah.

Yang kemudian melompat mengambil jarak adalah Glahgah Putih. Demikian ia berdiri tegak, maka kemudian iapun bertanya, “He, kau belum menjawab Ki Sanak. Siapa namamu.”

Orang itu justru tertegun. Ia tidak segera memburu Glagah Putih. Namun ia menyempatkan diri menjawab, ”Namaku Sana Kikis.”

“Sana Kikis,” ulang Glagah Putih, “aku pernah mendengar nama itu.”

“Mungkin sekali,” jawab Sana Kikis, “banyak orang telah mengenal namaku.”

“Bukankah kau salah seorang pemimpin dari orang-orang yang berkemah di sebelah pebukitan?” bertana Glagah Putih.

“Ya. Bukankah aku sudah mengatakannya?” jawab Ki Sana Kikis.

“Tetapi kenapa kau tidak ikut menyerang Tanah Pewrdikan Menoreh?” bertanya Glagah Putih pula.

“Aku terlambat. Aku sedang melakukan satu tugas. Ketika aku kembali, maka aku tinggal menemukan sisa-sisa dari pasukan kami. Seorang yang dapat aku jumpai memberikan laporan bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan para prajurit dari Pasukan Khusus-lah yang telah menghancurkan kawan-kawanku. Karena itu, maka kehancuran itu harus kalian tebus dengan harga yang sepantasnya, beserta bunganya sama sekali.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia melihat di mata orang itu, bayangan dendam yang tiada taranya. Meskipun demikian Glagah putih berkata, “Kau seharusnya tidak mendendam. Wajahmu bukan wajah pendendam. Seandainya kau lakukan juga rencanamu yang mengerikan ini, tentu tidak tumbuh dari hatimu sendiri.”

Kemarahan Ki Sana Kikis telah sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu, maka ia tidak berbicara lagi. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang. Tangannya terayun deras menyambar ke arah kening Glagah Putih.

Namun Glagah Putih dengan cepat menghindar. Demikian tangan Ki Sana Kikis terayun lewat sejengkal dari kepalanya, maka kaki Glagah Putih-lah yang terayun mendatar ke arah lambung.

Tetapi Ki Sana Kikis dengan tangkas pula menghindar. Bahkan kemudian setengah lingkaran ia berputar, namun dengan cepat melenting maju sambil menjulurkan tangannya menerkam wajah Glagah putih. Tetapi Glagah Putih tidak sekedar berdiri termangu-mangu. Tetapi iapun dengan cepat pula menghindar.

Dengan demikian, maka pertempuran telah kembali menyala antara kedua orang yang berilmu tinggi. Namun Ki Sana Kikis yang ingin menangkap Glagah Putih hidup-hidup nampaknya tidak segera mempergunakan ilmu pamungkasnya. Orang itu mencoba untuk melumpuhkan perlawanan Glagah Putih dengan serangan-serangannya yang cepat dan tenaganya yang semakin kuat.

Namun ternyata bahwa Glagah Putih masih saja dapat mengimbanginya. Tekanan-tekanan Ki Sana Kikis tidak menggoyahkan pertahanan anak muda itu. Bahkan Glagah Putih pun mampu menyerang dengan cepat pula.

Ki Sana Kikis mengumpat dengan kasar. Ia tidak mengira bahwa anak itu memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka Ki Sana Kikis pun kemudian telah mengerahkan kemampuannya. Ia masih yakin, tanpa ilmu pamungkasnya ia akan dapat menangkap anak itu hidup-hidup.

Sikap Ki Sana Kikis memang sangat menyakitkan hati Glagah Putih. Ia menganggap bahwa Ki Sana Kikis bukan sekedar ingin membalas dendam. Tetapi Ki Sana Kikis tentu seorang yang bengis, yang senang melihat orang lain mengalami penderitaan sampai ke puncak. Ia tidak sekedar ingin membunuh lawannya, tetapi pembunuhan yang akan dilakukannya diharapkannya dapat memberikan kepuasan tersendiri pada nafsunya yang rendah. Penderitaan atas orang lain agaknya dapat memberikan hidangan jiwani yang segar baginya.

Justru karena itu, maka Glagah Putih pun semakin menjadi marah karenanya. Semakin kuat orang itu berusaha menekannya, maka Glagah Putih pun semakin menjadi garang pula.

Kemampuan Glagah Putih mengimbangi ilmu Ki Sana Kikis telah membuat orang itu juga semakin marah. Tetapi ia benar-benar tidak ingin membunuh lawannya dalam pertempuran itu. Karena itu, maka ketika kekuatan dan kemampuannya tidak segera dapat menguasai anak muda itu, maka Ki Sana Kikis itu pun telah menarik senjatanya. Sebuah luwuk yang berwarna keehitam-hitaman dengan pamor yang gemerlap.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia menjadi semakin yakin, bahwa Ki Sana Kikis tidak akan segera mempergunakan ilmu pamungkasnya, justru karena ia ingin menangkapnya dan mencari kepuasan dengan penderitaannya.

Namun Glagah Putih sama sekali tidak tergetar. Ketika luwuk yang kehitaman mulai berputar, maka Glagah Putih pun telah menarik pedangnya pula.

Ki Sana Kikis itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menggeram, “Bagus Anak Muda. Aku ingin melihat apakah kau juga memiliki ilmu pedang yang mantap.”

Glagah Putih tidak menjawab, namun iapun telah mengangkat pedangnya pula. Ketika luwuk Ki Sana Kikis terjulur, maka Glagah Putih telah menangkisnya.

Ternyata keduanya memang masih ingin menjajagi kemampuan dan kekuatan lawan-lawannya. Sentuhan itu memang bukan benturan yang keras. Tetapi sentuhan itu bagi keduanya merupakan bagian dari penjajagan mereka.

Namun sentuhan itu pun segera disusul dengan sentuhan-sentuhan yang berikutnya. Bahkan kemudian terjadi benturan-benturan yang semakin keras.

Dengan demikian, maka kedua belah pihak mulai dapat menilai lawan mereka. Ki Sana Kikis sekali lagi mengumpat kasar. Ternyata anak muda itu juga memiliki ilmu pedang yang mapan.

Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin keras. Benturan senjata yang semakin keras telah melontarkan bunga-bunga api.

Sementara itu empat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah mengerahkan kemampuan mereka untuk melawan delapan orang yang mengepung mereka. Namun latihan-latihan yang berat, telah membuat keempat orang prajurit itu memiliki ketahanan yang tinggi. Meskipun mereka harus mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka, namun mereka sama sekali tidak segera mengalami kesulitan. Tenaga mereka tidak segera menjadi susut.

Yang kemudian segera menguasai lawannya adalah justru Sabungsari. Lawannya yang berkumis tipis itu tidak menduga, bahwa lawannya itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Sabungsari bukan saja seorang yang mempunyai tenaga yang kuat, tetapi iapun terlalu tangkas bagi lawannya yang berkumis tipis itu.

Dengan demikian, maka orang berkumis tipis itu tidak lagi menghiraukan perintah untuk menangkap lawannya hidup-hidup. Ia merasa bahwa sulit baginya untuk melakukannya. Karena itu, maka iapun telah memutuskan untuk membunuh saja lawannya dengan senjatanya. 

Karena itu, maka orang berkumis tipis itu tidak lagi mengekang diri. Senjatanya segera berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali terayun menyilang ke arah dada. Tetapi kemudian berputar dan mematuk menusuk lambung.

Namun Sabungsari tidak kalah tangkasnya. Serangan-serangan itu tidak segera mampu menyentuh kulitnya. Senjata Sabungsari pun berputaran pula. Bahkan ternyata kemampuan Sabungsari telah membuat lawannya kadang-kadang menjadi kebingungan.

Orang berkumis tipis itu berteriak marah ketika kemudian Sabungsari justru berhasil menembus pertahanan senjatanya. Ujung senjatanya telah menyusup dan menyentuh lengan orang berkumis tipis itu.

Orang itu mengumpat sejadi-jadinya. Meskipun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi darah sudah mulai mengalir dari lukanya itu.

Namun ia tidak dapat berbuat terlalu banyak. Lawannya memiliki kemapuan yang memang tinggi. Jika semula ia membawa lawannya keluar dari kepungan untuk dapat melumpuhkan sebelum keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu, ternyata bahwa justru ia semakin lama semakin terdesak.

Meskipun orang berkumis tipis itu sudah mengerahkan segenap kemampuannya, namun Sabungsari sama sekali tidak tergetar. Ia justru semakin mendesak. Ujung pedangnya semakin menggapai-gapai kulitnya. Goresan-goresan kecil telah membekas di bagian-bagian tubuhnya. Bukan saja lengannya, tetapi pundaknya, dadanya dan lambungnya. Meskipun goresan-goresan itu hanya sekedar mengambang tipis, tetapi titik-titik keringatnya membuat goresan-goresan itu menjadi pedih. Sementara itu pakaiannya pun telah terkoyak pula di lengan, di dada, di lambung dan bahkan ikat pinggangnya hampir saja putus. Untunglah bahwa orang itu memiliki ikat pinggang kulit yang kuat, sehingga bukan perutnya-lah yang terkuak. Timang pada kamusnya telah melindunginya dari goresan ujung pedang Sabungsari.

Dalam keadaan yang sulit, maka orang yang berkumis tipis itu tidak dapat berbuat lain. Iapun telah berteriak lantang kepada kawan-kawannya yang masih bertempur melawan para prajurit dari Pasukan Khusus itu, “He, dua di antara kalian, kemarilah! Jaga orang ini agar tidak melarikan dirinya. Aku akan segera membinasakannya.”

Delapan orang yang bertempur melawan keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu mendengar panggilan itu. Karena itu, maka pemimpin kelompok yang ikut bertempur bersama kedelapan orang itu telah memerintahkan dua orang di antara mereka untuk meninggalkan kepungan.

“Tutup kepungan itu. Mereka harus tetap berada di dalam,” teriak pemimpin kelompok itu.

Namun dalam pada itu, pemimpin kelompok itu justru menjadi gelisah. Ia sadar, bahwa orang berkumis tipis itu ternyata tidak dapat menyelesaikan sendiri anak muda yang semula juga berada di dalam kepungan itu.

Sabungsari yang melihat dua orang yang lain berloncatan memasuki lingkaran pertempurannya, maka iapun merasa bahwa ia ia akan mendapat tekanan yang lebih berat. Karena itu, maka demikian keduanya mendekat, maka pedang Sabungsari pun telah berputar lebih cepat lagi.

Namun bagaimanapun juga kehadiran kedua orang itu terasa berpengaruh juga. Sabungsari tidak lagi dapat memusatkan perhatiannya kepada orang berkumis tipis itu. Tetapi ia harus memperhatikan pula kedua orang lawannya yang baru, yang menyerang dari arah yang berbeda.

Tetapi justru karena itu, maka Sabungsari menjadi semakin garang. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengekang diri. Pedangnya berputaran dan menyambar-nyambar. Berbeda dengan saat ia bertempur melawan seorang saja, sehingga pada saat-saat yang paling gawat bagi lawannya, justru Sabungsari sempat menahan diri.

Sementara itu, keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu justru telah kehilangan dua orang lawan. Dengan demikian, maka tekanan atas mereka pun menjadi berkurang. Jika semula keempat orang itu harus bertempur melawan delapan orang, kemudian mereka tinggal melawan enam orang saja.

Karena itulah, maka keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu seakan-akan sempat bernafas, meskipun mereka masih harus mengerahkan kemampuan mereka untuk melindungi diri mereka.

Tetapi dengan demikian, maka kepungan keenam orang itu terasa menjadi semakin longgar. Bahkan kadang-kadang dinding kepungan itu sempat terdesak dan mengembang. Meskipun kemudian orang-orang yang mengepung para prajurit itu berusaha untuk mempersempit kembali kepungannya, namun kepungan itu tidak terasa sangat ketat.

Yang kemudian masih saja merasa kesulitan adalah orang berkumis tipis itu. Sabungsari yang mendapat dua orang lawan baru, justru telah menjadi semakin berbahaya. Pedangnya berputar menyerang ketiga orang lawannya berganti-ganti. Namun tekanan terberat serangan Sabungsari adalah tetap pada orang berkumis tipis itu.

Tetapi orang berkumis tipis itu memiliki kelibihan dari kawan-kawannya. Dibantu oleh dua orang yang lain, maka ia mempunyai beberapa kesempatan yang terbuka. Karena itu, maka jika kulitnya telah terluka, maka kemudian ia justru mampu membuka serangan yang berbahaya. Ketika Sabungsari sibuk menangkis dan menghindari serangan dari kedua lawannya yang baru, maka orang berkumis tipis itu sempat mempergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya. Serangannya yang mapan pada kesempatan yang tepat telah berhasil menembus pertahanan Sabungsari. Ujung senjatanya sempat menggapai pundak anak muda itu.

Sabungsari merasakan sengatan di pundaknya. Karena itu maka iapun telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak, menjauhi ketiga orang lawannya.

Ketika kemudian terasa darah yang hangat mengalir dari lukanya, maka jantung anak muda itu bagaikan membara.

“Kau bersungguh-sungguh, Ki Sanak,“ geram Sabungsari.

“Jangan menyesali kesombonganmu,” jawab orang berkumis tipis itu, “aku memang akan membunuhmu. Aku akan membuat luka arang kranjang di tubuhmu. Kemudian membiarkan kau terkapar di tepian ini sampai mati dengan sendirinya.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sampai saat ini aku masih saja berpikir bahwa aku bertempur untuk membela diri. Tetapi jika kau memang bersungguh-sungguh akan membunuhku, apalagi dengan cara yang bengis, maka akupun akan berlaku sebagaimana kau lakukan. Aku juga tidak akan menahan diri. Aku akan membunuhmu.”

Kata-kata Sabungsari itu memang menggetarkan jantung ketiga lawannya. Tetapi bahwa orang yang berkumis tipis itu sempat melukainya, maka ia merasa bahwa ia akan dapat mengakhiri pertempuran itu bersama dengan dua orang kawannnya.

Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, “Kau sedang berusaha untuk menyembunyikan kegelisahanmu. Kau sudah terluka. Kau tentu akan kehilangan tenaga karena darahmu yang mengalir dari lukamu.”

“Lukamu lebih banyak dari lukaku. Jika darahku mengalir setitik, maka kau telah kehilangan darah setempurung,” jawab Sabungsari.

Tetapi orang itu menjawab, “Sekarang kami bertiga. Kau ternyata tidak mampu melawan kami.”

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi sambil menggeram, Sabungsari pun telah mengerahkan tenaga dalamnya.

Ketika kemudian Sabungsari melangkah maju, maka gerakannya nampak semakin berat dan semakin mantap. Karena itu, maka ketiga orang lawannya itu pun menjadi semakin berhati-hati.

Sejenak kemudian, maka pedang Sabungsari telah terjulur kembali. Ketiga orang lawannya telah bergeser menempatkan dirinya di sekitar Sabungsari. Mereka memang berusaha untuk menyerang Sabungsari dari arah yang berbeda.

Sambil melangkah maju ke arah orang yang berkumis tipis itu, Sabungsari menjulurkan pedangnya ke arah dada orang yang berkumis tipis itu. Tetapi orang itu sempat mengelak dengan memiringkan tubuhnya, sementara itu kawannya yang seorang dengan cepat meloncat menyerang lambung Sabungsari.

Sabungsari bergeser menghindar, sehingga ujung senjata lawannnya itu tidak menyentuhnya. Namun dalam pada itu, lawannya yang seorang lagi telah mengayunkan pedangnya, menebas ke arah leher.

Sabungsari tidak sempat mengelak. Tetapi ia sempat mengangkat pedangnya menangkis serangan itu.

Ketika benturan terjadi, maka lawannya yang seorang itu terkejut. Benturan senjatanya dengan senjata anak muda itu hampir saja merenggut senjatanya. Meskipun Sabungsari hanya sekedar menangkis, tetapi senjata lawannya itu hampir saja terlepas dari tangannya. Telapak tangannya terasa pedih bagaikan tersentuh api.

Sementara orang itu termangu-mangu, senjata Sabungsari telah berputar. Ketika ujung pedangnya hampir saja terhunjam di perut orang itu, tiba-tiba saja ada sesuatu yang menahannya. Kemarahannya tidak terpusat kepada orang itu, tetapi kepada orang berkumis tipis itu. Dalam keadaan yang demikian, Sabungsari masih sempat menahan diri, sehingga pedangnya tidak benar-benar menghunjam ke dalam perut orang itu. Namun ujungnya masih juga menyentuh kulit lawannya di arah perut.

Orang itu meloncat mundur. Perutnya memang terasa pedih karena goresan ujung pedang Sabungsari, sementara keringatnya telah membasahi sekujur tubuhnya.

Namun selagi Sabungsari menahan diri untuk tidak melubangi perut lawannya, orang berkumis tipis itu telah menyerangnya dari arah samping. Sabungari melihat ujung senjata lawannya itu terjulur. Karena itu, maka dengan cepat iapun meloncat menghindar. Tetapi pada saat yang bersamaan lawannya yang seorang telah menyerang pula.

Karena itu, maka Sabungsari harus melenting dengan loncatan panjang. Ia berhasil menghindari kedua serangan itu. Namun orang berkumis tipis itu dengan cepat memburunya. Demikian Sabungsari tegak, maka serangan berikutnya telah menyambarnya.

Hampir saja senjata lawannya itu menyambar keningnya. Bahkan rasa-rasanya sentuhan ujung senjata itu sudah terasa menyengat.

Sabungsari terkejut. Angin yang menyapu keningnya itu bagaikan menghembus api kemarahan di jantungnya. Karena itu, maka demikian senjata itu terayun melewati keningnya, Sabungsari dengan cepat meloncat maju. Satu kakinya melangkah ke depan, sedangkan pedangnya terjulur lurus ke depan.

Orang berkumis tipis itu tidak sempat menghindar. Selagi tangannya sedang manahan ayunan senjata yang tidak mengenai sasaran, maka pedang Sabungsari telah terjulur menggapai dadanya.

Orang berkumis tipis itu terdorong beberapa langkah surut. Pedang Sabungsari memang tidak tertanam dalam-dalam di dadanya. Tetapi demikian ujung pedang itu mengoyak dadanya, maka darah pun memancar dari luka itu.

Orang berkumis tipis itu tekejut. Namun darah yang mengalir dari lukanya itu membuat kepalanya menjadi pening. Karena itu, meskipun kemarahan dan dendam membakar jantungnya, namun matanya kemudian bagaikan menjadi berkunang-kunang. Tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga beberapa saat kemudian rasa-rasanya keseimbangannya menjadi goyah.

Dalam pada itu, dua orang kawannya berdiri saja termangu-mangu. Orang berkumis tipis itu adalah orang terbaik selain Ki Sana Kikis. Karena itu, keadaan yang mencemaskan itu mengguncangkan perasaan kawan-kawannya.

Sabungsari masih berdiri tegak di tempatnya. Ia tidak segera berbuat sesuatu. Sementara orang yang dilukainya itu terjatuh pada lututnya.

Sejenak kemudian barulah Sabungsari memandang kedua orang lawannya yang lain. Keduanya menjadi berdebar-debar. Menurut perhitungan mereka, orang berkumis tipis itu adalah orang yang terkuat di antara mereka, sehingga tanpa orang itu, keduanya tidak akan mampu berbuat apa-apa.

Bahkan keenam orang yang bertempur melawan empat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka juga tergantung kepada kedua orang yang mereka anggap berilmu tinggi. Ki Sana Kikis yang mereka anggap ilmunya tidak terbatas, dan orang yang berkumis tipis itu.

Ternyata orang yang berkumis tipis itu tidak mampu melawan anak muda yang mengaku pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Namun orang-orang itu masih berpengharapan, Ki Sana Kikis tentu akan segera menyelesaikan lawannya, anak muda yang juga mengaku pengawal Tanah Perdikan itu.

Sebenarnyalah Ki Sana Kikis juga melihat orang berkumis itu tidak mampu mengimbangi lawannya. Bahkan karena lukanya, ia tidak lagi mampu memberikan perlawanan. Sementara itu, kedua orang kawannya tidak mungkin akan dapat mengalahkan pengawal Tanah Perdikan itu.

Demikian pula keenam orang yang lain. Agaknya mereka juga sulit menguasai apalagi menangkap keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu. Sehingga dengan demikian, maka akhir dari pertempuran di tepian itu akan bertumpu kepadanya.

Karena itu, maka Ki Sana Kikis harus melepaskan niatnya untuk menangkap anak muda yang bertempur melawannya itu hidup-hidup. Ia justru harus mengalahkannya, meskipun harus membunuhnya tanpa memberi kesempatan kepada anak muda itu untuk mengakui kekalahannya dan menyesali perbuatannya.

Karena itu, maka Ki Sana Kikis tidak menunggu lebih lama lagi. Ia tidak ingin terlambat, sehingga selain orang yang berkumis tipis, kawan-kawannya yang lain akan menjadi korban pula.

Dengan demikian, maka Ki Sana Kikis pun segera meningkatkan kemampuannya merambah ke ilmu puncaknya. Dengan demikian maka senjata tidak lagi diperlukan karena ia akan dapat melepaskan Aji Cleret Tahun, sebagaimana dikuasai oleh Ki Tempuyung Putih yang mati sampyuh bersama Bajang Bertangan Baja.

Glagah Putih melihat kesiagaan orang itu. Apalagi ketika orang itu mengambil jarak untuk mendapat kesempatan untuk melepaskan ilmu puncaknya.

Sementara itu Glagah Putih tidak mau terlambat. Ia segera mempersiapkan diri. Pedangnya tidak lagi penting baginya. Dengan bekal ilmu yang ada di dalam dirinya, maka anak muda itu sudah siap beradu kemampuan dalam tataran tertinggi.

Sebenarnyalah bahwa Ki Sana Kikis tidak mau menunda lebih lama lagi, karena kecemasannya melihat kawan-kawannya. Meskipun ia merasa bahwa ia masih mempunyai kesempatan untuk menangkap Glagah Putih hidup-hidup, namun ia masih memerlukan waktu. Sementara itu keadaan kawan-kawannya menjadi sangat gawat.

Ketika Sabungsari menyadari keadaan seluruh medan itu, maka iapun segera mempersiapkan diri pula. Ia tidak lagi menghiraukan kedua orang lawannya yang lain. Tetapi ia justru memperhatikan Glagah Putih. Ia sadar, bahwa Ki Sana Kikis telah siap untuk melepaskan ilmu puncaknya, sementara Glagah Putih pun telah bersiap-siap pula.

Karena itu, maka Sabungsari tidak mau mengalami kenyataan yang sangat pahit baginya dan kawan-kawannya. Meskipun ia yakin akan kemampuan Glagah Putih, namun jika terjadi sesuatu atas anak muda itu, maka ia tidak boleh menjadi lengah.

Karena itu, maka perhatian Sabungsari segera ditujukan kepada Ki Sana Kikis dan Glagah Putih yang masing-masing telah mempersiapkan diri. Menurut perhitungan Sabungsari, jika Glagah Putih gagal melawan ilmu Ki Sana Kikis yang nampaknya telah benar-benar masak itu, maka ia tidak boleh terlambat. Sebelum Ki Sana Kikis sempat menyiapkan dirinya untuk melepaskan serangan berikutnya, maka ia harus mendahuluinya, menyerang dengan cepat. Ia harus melepaskan serangan dengan sorot matanya berlandaskan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Setelah Sabungsari merasa terbebas dari hambatan-hambatan di dalam dirinya, maka kemampuan ilmu pamungkasnya menjadi semakin tinggi.

Karena itu, maka Sabungsari telah meninggalkan kedua lawannya yang termangu-mangu, justru mendekati arena pertempuran antara Ki Sana Kikis dan Glagah Putih. Namun Sabungsari menyadari, bahwa Glagah Putih tentu tidak ingin pertempuran itu dicampurinya, apapun akibatnya.

Dalam pada itu, kedua orang lawan Sabungsari pun menjadi heran bahwa Sabungsari justru telah meninggalkan mereka. Sementara itu, pertempuran antara keempat prajurit dari Pasukan Khusus melawan keenam orang kawan-kawan mereka itu masih berlangsung dengan sengitnya.

Ternyata pemimpin kelompok pengikut Ki Sana Kikis itu ternyata tidak cepat tanggap akan suasana. Karena Sabungsari meninggalkan kedua orang lawannya, pemimpin kelompok itu mengira bahwa Sabungsari akan bertempur bersama Glagah Putih yang mengalamai kesulitan. Sehingga dengan demikian, maka iapun telah berteriak memangggil keduanya untuk bergabung kembali ke dalam kelompoknya.

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka juga tidak mengerti, kenapa Sabungsari membebaskannya. Keduanya menduga bahwa Sabungsari melihat kelemahan Glagah Putih sehingga dengan tergesa-gesa ia harus membantunya.

Karena itu, maka keduanya pun tidak berpikir panjang lagi. Ketika mereka mendengar perintah pemimpin kelompoknya, maka keduanya dengan tergesa-gesa telah bergabung kembali bersama keenam kawannya melawan keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu.

Sebenarnyalah bahwa keempat orang prajurit itu juga tidak mengerti kenapa Sabungsari tergesa-gesa mendekati Glagah Putih, meskipun mereka melihat bahwa Glagah Putih tidak sedang terdesak. Namun mereka pun melihat sesuatu yang nampak lebih bersungguh-sungguh pada tatanan gerak Ki Sana Kikis.

Ki Sana Kikis memang tidak mau terlambat. Karena itu, maka ketika ia melihat Sabungsari mendekatinya, maka niatnya untuk membinasakan Glagah Putih seakan-akan justru telah dipacu. Jika anak muda yang berhasil mengalahkan orang yang berkumis tipis itu ikut campur, mungkin ia harus menunda pelepasan ilmu pamungkasnya, karena ia harus mencari kesempatan baru.

Dengan demikian, maka Ki Sana Kikis itu pun segera memusatkan nalar budinya. Mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada di dalam dirinya dalam ungkapan ilmu pamungkasnya. Aji Cleret Tahun.

Namun pada saat yang bersamaan, Glagah Putih pun telah menghimpun kemampuannya pula dilambari segenap ilmu yang pernah diserapnya dari guru-gurunya.

Karena itu, ketika Ki Sana Kikis menghentakkan tangannya, kemudian dengan telapak tangannya yang menakup mulai berputar, maka Glagah Putih pun telah siap untuk melawan ilmu Ki Sana Kikis yang dahsyat itu.

Dalam sekejap maka udara pun mulai berputar. Pusaran udara yang mengangkat pasir dan kerikil tepian itu akan menjadi semakin besar dan semakin kuat, sehingga akan dapat mengangkat tubuh sasarannya dan membantingnya dari ketinggian di batas penglihatan.

Dengan menghentakkan ilmunya, maka pusaran udara itu menjadi semakin cepat dan semakin keras, melampaui kerasnya angin puting beliung.

Namun Glagah Putih tidak menunggu diangkat dan dibanting di atas batu-batu padas sehingga menjadi berrkeping-keping, atau justru tubuhnya bertahan namun ia tidak segera mati, sebagaimana dikatakan oleh Ki Sana Kikis.

Karena itu, demikian angin pusaran yang masih saja dihembuskan oleh Aji Cleret Tahun itu menjadi semakin dahsyat, siap menelannya dan mengangkatnya ke udara, maka Glagah Putih telah melontarkan ilmunya pula. Dengan mengacukan tangannya serta membuka telapak tangannya menghentak ke arah angin pusaran yang seakan-akan tumbuh dari dalam pasir tepian dan merambat dengan cepat ke arahnya itu, Glagah Putih telah melepaskan ilmu puncaknya.

Demikianlah, satu benturan ilmu telah terjadi. Dua kekuatan yang jarang ada tandingnya.

Tepian Kali Praga itu telah diguncang oleh dua kekuatan ilmu yang beradu. Seakan-akan telah terjadi ledakan yang dahsyat. Pasir yang memang telah mulai terangkat itu menghambur ke udara. Tetapi tidak karena putaran ilmu puncak Ki Sana Kikis. Tetapi justru karena benturan yang telah terjadi.

Dua kekuatan yang berbenturan itu memang telah memantul ke arah kedua orang yang melontarkannya. Terasa dada mereka memang berguncang. Ki Sana Kikis terdorong beberapa langkah surut, sebagaimana Glagah Putih.

Namun ternyata bahwa kekuatan tenaga dalam yang mendorong melontarkan kekuatan ilmu mereka memang tidak sama. Glagah Putih yang meskipun masih muda namun telah ditempa oleh kedua orang gurunya, serta landasan yang kokoh yang diberikan oleh Raden Rangga dengan cara yang tidak dimengerti oleh Glagah Putih sendiri, serta latihan-latihan dan pengalaman yang luas, ternyata mampu mengatasi kedahsyatan ilmu Ki Sana Kikis, seorang yang telah matang menguasai ilmunya. Namun ilmu yang berpijak pada landasan yang kokoh dan berakar dalam diri Ki Sana Kikis itu masih belum mampu mengimbangi kekuatan ilmu Glagah Putih.

Karena itu, maka keadaan Ki Sana Kikis ternyata jauh lebih buruk dari keadaan Glagah Putih. Namun ternyata Ki Sana Kikis tidak segera menyerah. Meskipun dadanya terasa bagaikan pecah, tetapi ia masih mencoba untuk menghimpun kekuatannya yang tersisa. Sekali lagi ia mengatupkan telapak tangannya dan memutarnya. Ki Sana Kikis masih ingin menyerang sekali lagi dengan ilmu puncak yang dimilikinya.

Namun Glagah Putih tanggap pula. Sementara itu, kemarahan anak muda itu tidak dapat lagi dikekangnya. Ketika ia melihat Ki Sana Kikis mempersiapkan serangan berikutnya, maka Glagah Putih pun telah siap melakukannya pula.

Bahkan Glagah Putih tidak lagi menunggu. Justru pada saat Ki Sana Kikis siap melontarkan ilmunya, maka Glagah Putih telah melakukannya. Ia telah menghentakkan tangannya dengan telapak tangan yang terbuka menghadap ke arah lawannya.

Dengan kecepatan yang sangat tinggi, kekuatan ilmu Glagah Putih telah terlepas dari sarangnya, menyambar tubuh Ki Sana Kikis yang juga sudah bersiap untuk menyerang.

Tetapi Ki Sana Kikis terlambat sekejap. Selain kekuatan tenaganya yang sudah menyusut, maka keadaannya telah menuntut persiapan sedikit lebih lama dari sebelumnya, saat tenaganya masih utuh.

Keterlambatannya itu telah menimbulkan akibat yang sangat parah. Pada saat Ki Sana Kikis melepaskan ilmunya, maka kekuatan ilmu Glagah Putih telah menerpanya.

Sekali lagi terjadi benturan ilmu. Tetapi keadaannya tidak seimbang. Selain kelambatannya yang sekejap, Ki Sana Kikis pun tidak lagi berada dalam puncak kemampuan dan kekuatannya.

Dengan demikian maka benturan ilmu itu menjadi tidak seimbang, sehingga akibatnya menjadi sangat parah bagi Ki Sana Kikis.

Dengan kerasnya Ki Sana Kikis telah terlempar dan terbanting jatuh. Meskipun ia jatuh di pasir tepian, tetapi sebenarnyalah bahwa hentakan ilmu Glagah Putih seakan-akan telah meremas isi dadanya.

Ki Sana Kikis sempat mengaduh sesaat. Kemudian menggeliat sambil menggeretakkan giginya. Dari sela-sela bibirnya telah menitik darah.

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Sementara itu, Sabungsari di luar sadarnya telah melangkah mendekatinya. Dipandanginya tubuh Ki Sana Kikis yang terbaring diam.

Selagi Glagah Putih dan Sabungsari termangu-mangu, maka tiba-tiba saja mereka dikejutkan teriakan para prajurit dari Pasukan Khusus hampir berbareng, ”Jangan lari!”

Tetapi kedelapan orang pengikut Ki Sana Kikis itu serentak telah melarikan diri.

Ketika mereka melihat orang berkumis tipis itu terbaring diam sambil mengerang, maka orang-orang itu sudah menjadi gelisah. Apalagi ketika mereka melihat Ki Sana Kikis dapat dikalahkan oleh anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Maka rasa-rasanya mereka benar-benar menjadi berputus asa.

Karena itu, dengan isyarat yang mereka pahami, pemimpin kelompok itu memerintahkan agar orang-orangnya melarikan diri dari medan.

Serentak kedelapan orang itu berhasil meninggalkan lawan-lawan mereka. Dengan tangkasnya mereka meloncat memanjat tebing tanpa menghiraukan kuda-kuda mereka lagi, karena mereka tidak akan sempat melepaskan tali pengikatnya kemudian meloncat naik.

Karena itu, maka mereka telah melarikan diri memencar justru di atas tanah berbatu-batu padas.

Namun keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak membiarkan lawan-lawan mereka lepas. Karena itu, maka mereka pun telah meloncat memburu mereka.

Tetapi para pengikut Ki Sana Kikis itu mendapat kesempatan lebih dahulu melangkah saat mereka melarikan diri. Karena itu, maka mereka sempat mengambil jarak beberapa langkah.

Tetapi para prajurit itu juga tidak ingin melepaskan lawan-lawan mereka, sehingga karena itu mereka pun telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mengejar lawan-lawan mereka.

Tetapi para prajurit itu hanya dapat menangkap tiga orang di antara mereka, sementara lima orang yang lain meloloskan diri dengan berlari di sepanjang tebing berbatu-batu padas.

Demikianlah, maka di tepian itu telah terbaring seorang yang terluka parah, dengan seorang yang ternyata tidak dapat lagi bertahan untuk hidup. Daya tahan Ki Sana Kikis tidak mampu mengatasi luka dalam yang parah karena serangan ilmu puncak Glagah Putih.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Sabungsari masih berdiri termangu-mangu di tepian. Ketika Glagah Putih melihat darah pada pakaian Sabungsari, maka iapun bertanya, ”Kau terluka?”

“Ya,” jawab Sabungsari, “tetapi tidak berpengaruh.”

“Kau harus mengobati lukamu agar darahnya tidak menitik lagi. Meskipun luka itu tidak dalam, tetapi jika darahnya terus saja mengalir, maka akan berakibat buruk.”

Sabungsari mengangguk kecil. Namun kemudian katanya, “Darah agaknya tidak mengalir lagi. Luka itu tidak seberapa.”

Glagah Putih pun tidak sempat menjawab lagi. Para prajurit pun telah kembali sambil membawa tiga orang tawanan.

“Apa yang akan kita lakukan kemudian ?” bertanya prajurit yang tertua, “Kita tentu tidak akan membawa orang-orang ini ke Mataram sekarang juga.”

“Ya,“ Glagah Putih mengangguk. Setelah merenung sejenak, maka iapun berkata, “Kita harus menghubungi padukuhan terdekat. Kita memanggil para pengawal untuk membawa tubuh Ki Sana Kikis ke padukuhan. Juga orang yang terluka, dan para tawanan. Sementara kita melanjutkan perjalanan ke Mataram.”

“Aku memerlukan baju yang lain,” desis Sabungsari.

“Pergilah ke padukuhan bersama dua orang prajurit untuk memanggil para pengawal,“ berkata Glagah Putih, “kau juga akan mendapatkan pakaian di padukuhan itu.”

“Kau juga memerlukan pakaian yang lain,” berkata Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk. Katanya, ”Tolong, pinjam pakaian salah seorang pengawal di samping pakaian yang kau perlukan.”

Demikianlah, maka Sabungsari bersama dua orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pergi ke padukuhan terdekat. Para pengawal akan membawa korban yang jatuh di pertempuran itu sambil membawa para tawanan pula.

“Ingat, orang berkumis tipis itu sangat berbahaya,“ berkata Glagah Putih, “para pengawal harus mengetahui, meskipun ia sedang terluka sekarang.”

Untuk beberapa saat Glagah Putih dan kedua orang prajurit dari Pasukan Khusus menunggu di tepian. Sementara itu di seberang, semakin banyak orang yang berdiri di tepian untuk melihat apa yang telah terjadi. Namun mereka masih belum berani menyeberang. Sementara orang-orang yang akan turun di tepian sebelah barat Kali Praga terpaksa menunggu dari jarak yang jauh.

Sementara itu, Glagah Putih ternyata tidak membiarkan orang berkumis tipis itu kehabisan darahnya. Kecuali mereka berkewajiban untuk membantu sesamanya meskipun orang itu dapat dianggap sebagai lawan, Glagah Putih juga berkepentingan agar orang itu tetap hidup untuk dapat memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan. Sedangkan para prajurit dari Pasukan Khusus yang tinggal, menjaga tiga orang yang terperangkap. Ketiganya duduk di atas pasir tepian dengan kepala tunduk.

Beberapa saat kemudian, mereka telah mendengar derap kaki kuda. Sekelompok pengawal berkuda telah datang bersama Sabungsari dan dua orang prajurit berkuda dari Pasukan Khusus yang menyertainya.

Kepada para pengawal itu Glagah Putih menyerahkan tubuh Ki Sana Kikis serta para tawanan termasuk, orang yang terluka itu.

“Tolong, rawat orang yang terluka itu. Kami masih memerlukannya,“ berkata Glagah Putih.

Pemimpin pengawal itu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Kami akan membawa mereka ke padukuhan.”

“Kau harus membuat laporan kepada Ki Gede segera,“ berkata Glagah Putih kemudian. Lalu katanya pula, “Hati-hati dengan orang yang terluka itu.”

“Ya,” jawab pemimpin pengawal itu, “tadi Kakang Sabungsari juga sudah memberikan pesan.”

“Baiklah. Kami akan meneruskan perjalanan ke Mataram,“ berkata Glagah Putih pula.

Dalam pada itu, maka Sabungsari telah mendapat pula selembar baju buat dirinya sendiri dan selembar baju buat Glagah Putih, agar pakaian mereka yang kusut, kotor, koyak dan bernoda darah tidak menarik perhatian sepanjang perjalanan mereka.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih, Sabungsari dan keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu telah meloncat ke kuda masing-masing. Namun Sabungsari terkejut melihat Glagah Putih tidak sekaligus dapat langsung duduk di punggung kudanya itu. Bahkan kemudian Sabungsari melihat keringat yang masih membasah di kening anak muda itu.

“Glagah Putih,” desis Sabungsari, “apakah kau baik-baik saja?”

“Aku tidak apa-apa,” sahut Glagah Putih.

“Kau nampak pucat,“ berkata Sabungsari kemudian.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar, bahwa benturan ilmu yang terjadi telah membuat dadanya terasa sakit. Meskipun masih dapat diatasi oleh daya tahannya, namun Glagah Putih tidak dapat mengesampingkan begitu saja. Sehingga pengaruhnya masih dapat dilihat Sabungsari.

Tetapi keadaan Glagah Putih masih cukup baik untuk melanjutkan perjalanannya. Karena itu, maka katanya, “Dalam waktu singkat, aku akan mengatasi sepenuhnya. Jika kita sudah mulai melanjutkan perjalanan, maka angin yang segar akan menyegarkan tubuhku lagi.”

Sabungsari tidak menjawab lagi. Iapun kemudian sudah bersiap pula di punggung kudanya.

Glagah Putih, Sabungsari dan para prajurit itu sepakat untuk naik kembali ke atas tanggul dan menyusuri jalan yang sejajar dengan Kali Praga untuk menyeberang di penyeberangan yang lain. Di penyeberangan sebelah utara itu rasa-rasanya sulit untuk mendapatkan rakit, karena masih belum berani mendekati tepian di sisi barat itu.

Sepeninggal Glagah Putih, Sabungsari dan para prajurit itu, maka para pengawal dari padukuhan terdekat telah menjadi sibuk. Mereka membawa tubuh Ki Sana Kikis, orang yang terluka serta tiga orang tawanan ke padukuhan mereka. Mereka bukan saja harus menjaga para tawanan, tetapi juga harus merawat orang berkumis tipis yang terluka itu.

Baru setelah para pengawal itu pergi, maka perlahan-lahan orang-orang yang menunggu di kejauhan itu berani mendekat. Bahkan satu dua orang mencoba untuk bertanya kepada para pengawal, apa yang telah terjadi.

Dengan singkat seorang pengawal menjawab, “Mereka adalah bagian dari orang-orang yang telah menyerang Tanah Perdikan itu beberapa hari yang lalu.”

Orang-orang itu masih akan bertanya lebih lanjut, tetapi pengawal itu tidak berhenti.

Dalam pada itu Glagah Putih, Sabungsari dan keempat prajurit dari Pasukan Khusus itu berpacu menyusuri jalan menuju ke tempat penyeberangan yang lain. Sabungsari yang melihat keadaan Glagah Putih, berkuda dekat di sebelah anak muda itu.

Namun seperti yang dikatakan Glagah Putih, bahwa angin yang segar telah membuat tubuhnya menjadi lebih segar.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, berenam mereka telah melintasi Kali Praga. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju Mataram.

Di Mataram, para prajurit itu akan langsung memberikan laporan terperinci tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh, sementara Glagah Putih dan Sabungsari menuju ke rumah Ki Rangga Wibawa.

Semakin dekat dengan pusat pemerintahan Mataram, maka keadaan Glagah Putih menjadi semakin baik. Wajahnya tidak terlalu pucat lagi. Meskipun sekali-sekali Glagah Putih masih menyapu keringat di keningnya, namun dadanya terasa menjadi semakin longgar. Perlahan-lahan daya tahan Glagah Putih berhasil mengatasi nyeri di dadanya, sehingga ketika mereka mendekati pintu gerbang kota, maka tidak ada kesan lagi bahwa Glagah Putih baru saja membenturkan ilmunya dengan orang yang berilmu tinggi.

Namun yang ada dalam keadaan sebaliknya adalah Sabungsari. Luka-luka Sabungsari memang tidak begitu gawat, karena hanya luka di permukaan. Bahkan seeolah-olah sudah tidak terasa lagi. Tetapi kegelisahan telah bergejolak di hatinya. Semakin dekat jarak, terasa jantungnya berdebar semakin cepat. Ia semakin menyadari, bahwa jika ia pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa, maka itu berarti bahwa ia akan bertemu dengan Raras.

“Mudah-mudahan gadis itu tidak ada di rumah,“ berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Tetapi Sabungsari tahu bahwa Raras pernah mengalami goncangan perasaan yang tentu masih membekas, sehingga gadis itu tentu jarang keluar rumahnya jika tidak mempunyai keperluan yang sangat penting.

Karena itulah, maka Sabungsari merasa bahwa perjalanan itu menjadi semakin tegang. Keringatnyalah yang kemudian mulai mengalir di keningnya.

Tidak seorangpun yang mengetahui keadaan Sabungsari. Namun ketika mereka mendekati pintu gerbang dan mulai memperlambat kuda mereka, maka Glagah Putih pun berdesis sambil berpaling ke arah Sabungsari, “Kita akan segera memasuki pintu gerbang. Kita akan segera berpisah dengan para prajurit. Kita harus berjanji, dimana kita menunggu mereka.”

“Kita akan menyusul mereka,” sahut Sabungsari.

“Atau kita menunggu mereka di rumah Ki Rangga Wibawa?”

“Tidak,” sahut Sabungsari singkat.

Glagah Putih yang sebelumnya tidak begitu menghiraukan keadaan Sabungsari karena ia masih saja membayangkan kerusuhan yang setiap saat dapat timbul di Tanah Perdikan Menoreh, mulai memperhatikannya. Ada sesuatu yang lain pada anak muda itu. Ia tampak menjadi sangat gelisah.

Namun Glagah Putih segera menyadari apa yang telah terjadi dengan Sabungsari dalam hubungannya dengan Raras dan Wacana. Karena itu, maka iapun segera mengerti, kenapa Sabungsari menjadi gelisah. Agaknya ia memang merasa sangat segan pergi ke rumah Raras, apalagi setelah pengakuan Wacana bahwa Raras memang menaruh perhatian terhadap Sabungsari.

Untuk beberapa saat Sabungsari justru berdiam diri. Namun, demikian mereka memasuki pintu gerbang, maka iapun berdesis, “Pada saat seperti ini, Ki Rangga Wibawa tentu tidak berada di rumah. Apakah tidak sebaiknya kita pergi ke tempatnya bertugas?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Mereka sudah terhambat untuk waktu yang terhitung agak lama di tepian, sehingga meskipun mereka berangkat pagi-pagi, tetapi saat mereka memasuki gerbang kota, hari sudah terlalu siang, bahkan setelah matahari turun di sisi barat langit.

Karena itu, maka agaknya Ki Rangga Wibawa memang tidak berada di rumah, kecuali jika memang ia tidak sedang bertugas.

Selain pertimbangan itu, maka Glagah Putih pun mengerti bahwa Sabungsari berusaha untuk menghindari sebuah pertemuan dengan Raras.

Karena itu, maka Glagah Putih berkata, “Baiklah Kakang. Kita akan mencari Ki Rangga Wibawa di tempatnya bertugas. Baru jika Ki Rangga tidak berada di tempat tugasnya, maka kita akan singgah di rumahnya. Bukankah kita sudah tahu dimana Ki Rangga Wibawa bertugas? Asal ia belum dipindahkan ke tempat tugas yang lain”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sabungsari merasa seakan-akan ia telah terlepas dari kegelisahan yang mencengkam jantungnya sejak ia menyeberangi Kali Praga.

Demikianlah, maka bersama para prajurit itu Glagah Putih menyusuri jalan kota. Namun beberapa saat kemudian, para prajurit itu pun memberitahukan bahwa mereka akan berbelok untuk memberikan laporan tentang peristiwa di Tanah Perdikan.

“Bukankah kalian akan pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa?” bertanya salah seorang di antara keempat prajurit itu, yang kebetulan sudah mengetahui rumah Ki Rangga Wibawa.

Tetapi Glagah Putih menjawab, “Kami memang akan menemuinya. Tetapi tidak di rumahnya. Bukankah di saat seperti ini Ki Rangga Wibawa berada di tempat tugasnya?”

Para prajurit itu menengadahkan wajahnya. Seorang di antara mereka berkata, “Atau malahan sudah pulang dari tempat tugasnya.”

“Belum,“ Sabungsari-lah yang menyahut, “jika kita cepat-cepat ke tempat tugasnya, maka aku kira Ki Rangga masih ada di sana sekarang.”

“Baiklah,” jawab salah seorang prajurit itu, “tetapi dimana kita bertemu nanti?”

Sebelum Glagah Putih menjawab, Sabungsari-lah yang lebih dahulu berkata, ”Di rumah Ki Lurah Branjangan.”

“Tetapi Ki Lurah berada di Tanah Perdikan,” jawab prajurit itu.

“Tidak apa-apa. Kami sudah terbiasa datang ke rumah yang kosong itu. Bukankah kalian sudah mengetahui letak rumah itu?”

Glagah Putih hanya dapat menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak ingin mengecewakan Sabungsari. Karena itu, ia tidak mengusulkan apa-apa.

Namun demikian, para prajurit itu masih juga memandangi Glagah Putih. Seorang di antara mereka bertanya, “Apakah kita akan bertemu di rumah Ki Lurah Branjangan?”

“Ya,” jawab Glagah Putih, karena ia tidak dapat berkata lain, “menjelang sore, agar kita tidak terlalu kemalaman di perjalanan kembali ke Tanah Perdikan.”

Demikianlah, maka mereka berpisah. Keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu telah langsung memberikan laporan tentang peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, sementara Sabungsari dan Glagah Putih menuju ke tempat tugas Ki Rangga Wibawa.

Ternyata perhitungan Sabungsari benar. Ki Rangga masih berada di tempat tugasnya, meskipun ia sudah bersiap-siap untuk pulang.

Kedatangan Glagah Putih dan Sabungsari memang mengejutkan. Karena itu, maka dengan wajah yang nampak gelisah, Ki Rangga mempersilahkan Glagah Putih dan Sabungsari duduk.

Ki Rangga yang segera ingin tahu apa yang terjadi itu tidak sempat mempertanyakan keselamatan kedua anak muda itu, apalagi keluarga di Tanah Perdikan Menoreh. Yang ia ketahui adalah bahwa Wacana pergi ke Tanah Perdikan Menoreh tanpa menyebut kepentingannya. Wacana hanya sekedar ingin melihat-lihat.

“Apakah Angger berdua membawa berita penting bagi keluarga kami? Bukankah Wacana ada di Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya Ki Rangga.

“Ya, Ki Rangga,” jawab Glagah Putih.

“Ia sudah terlalu lama pergi. Kami tidak tahu pasti, untuk apa ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, karena ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan rasa-rasanya ia tidak terbuka mengatakan bahwa ia pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Ki Rangga kemudian. Lalu katanya pula, “Ia sudah terlalu lama tidak pulang, sehingga kami menjadi gelisah karenanya. Bukankah ia benar-benar pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, dan sekarang masih berada di sana? Tetapi kenapa Wacana tidak pulang bersama Angger berdua? Atau Wacana telah berada di rumah?”

“Wacana memang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, Ki Rangga. Ia sekedar ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu, karena ketika ia datang sebelumnya ia tidak mendapat kesempatan untuk melihat-lihat lebih banyak.”

“Lalu sekarang? Apakah ia langsung pulang?” desak Ki Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan perasaannya. Sekilas ia berpaling kepada Sabungsari yang justru menundukkan kepalanya.

Ki Rangga menjadi semakin gelisah. Karena itu, maka iapun kemudian mendesaknya lagi, “Apa yang terjadi Ngger?”

“Ki Rangga,“ desis Glagah Putih, “kami mohon maaf, bahwa kami datang untuk memberitahukan sesuatu yang tidak diharapkan.”

“Apakah Wacana melakukan suatu perbuatan jahat di Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya Ki Rangga Wibawa.

“Tidak. Sama sekali tidak Ki Rangga,” jawab Glagah Putih dengan serta merta, “tetapi kami di Tanah Perdikan memang mengalami satu keadaan yang tidak menyenangkan.”

Wajah Ki Rangga menjadi semakin tegang. Sementara itu, dengan hati-hati Glagah Putih menceritakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.

“Wacana telah berusaha membantu kami yang saat itu memang mengalami kesulitan,“ berkata Glagah Putih, “namun ternyata ia mendapat lawan yang memang memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang bahkan kemudian berhasil lolos dari tangan kami.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah keadaannya gawat sekali?”

“Kami sedang berusaha Ki Rangga,” jawab Glagah Putih, “segala upaya telah kami lakukan. Mudah-mudahan kami berhasil. Kami berpengharapan karena Wacana justru mampu bertahan beberapa hari. Keadaannya nampaknya tidak menjadi semakin buruk.”

Ki Rangga menganguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kasihan Wacana. Ia masih sedang tumbuh.”

“Kehadirannya sangat berarti bagi kami. Tetapi sayang, bahwa Wacana sendiri mengalami kesulitan agak parah,” sahut Glagah Putih, yang juga menceriterakan bahwa Rara Wulan juga terluka cukup parah. Bahkan Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan beberapa orang lainnya.

Namun keadaan Wacana memang paling gawat.

“Kapan Angger berdua akan kembali ke Tanah Perdikan?” bertanya Ki Rangga.

“Nanti Ki Rangga,” jawab Glagah Putih.

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya aku juga ingin pergi untuk melihat keadaan Wacana. Tetapi tentu tidak hari ini. Mungkin besok aku akan menyusul ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Meskipun ragu-ragu, ia terpaksa mengatakan justru untuk kepentingan Ki Rangga, ”Tetapi keadaan Tanah Perdikan masih belum tenang sepenuhnya. Karena itu jika Ki Rangga pergi ke Tanah Perdikan, sebaiknya Ki Rangga tidak sendiri.”

Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Sementara itu Glagah Putih dan Sabungsari menjadi berdebar-debar, bahwa Ki Rangga menjadi tersinggung karenanya.

Namun untunglah bahwa Ki Rangga dapat mengerti sepenuhnya. Karena itu, maka katanya, “Aku akan membawa satu dua orang kawan. Juga agar ada yang diajak berbincang-bincang di sepanjang perjalanan.”

“Baiklah Ki Rangga, besok kami menunggu kedatangan Ki Rangga Wibawa di Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Glagah Putih.

Glagah Putih dan Sabungsari tidak terlalu lama di tempat tugas Ki Rangga Wibawa. Merekapun kemudian telah minta diri untuk menemui keempat prajurit dari Pasukan Khusus dari Tanah Perdikan.

“Aku persilahkan kalian singgah sebentar di rumah,“ Ki Rangga mempersilahkan.

Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sabungsari-lah yang kemudian menjawab, “Kami sepakat untuk segera kembali, Ki Rangga. Keadaan Tanah Perdikan memang belum tenang benar.”

“Tetapi kalian telah sampai di Mataram,” sahut Ki Rangga.

Namun Sabungsari tetap merasa keberatan. Katanya, “Kami mohon maaf Ki Rangga.. Kami harus segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya seperti meninggalkan seorang bayi di tepian kolam yang dalam.”

Ki Rangga tidak dapat menahan mereka. Apalagi kemudian Glagah Putih pun kemudian berkata, “Beberapa orang saudara kami masih terbaring di pembaringan karena luka-luka mereka. Karena itu, kami harus segera berada di Tanah Perdikan kembali.”

Ki Rangga Wibawa mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, baiklah. Aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Sabungsari itu pun segera meninggalkan Ki Rangga di tempat kerjanya. Namun iapun sudah berkemas-kemas pulang. Karena itu, demikian Glagah Putih dan Sabungsari meninggalkannya, maka iapun segera kembali pulang pula.

Demikian ia sampai di rumah, maka Ki Rangga pun telah menceritakan kedatangan Glagah Putih dan Sabungsari di tempat tugasnya. Dengan hati-hati Ki Rangga Wibawa pun menceritakan pula peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Juga yang terjadi atas Wacana.

“Bagaimana dengan Kakang Wacana?“ bertanya Raras dengan sangat cemas.

“Kakakmu terluka Raras. Tetapi ia sudah mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh masih tetap berpengharapan bahwa Wacana akan dapat sembuh. Meskipun keadaan belum membaik, tetapi setelah lewat beberapa hari, keadaannya tidak bertambah buruk.”

Wajah Raras tiba-tiba menjadi pucat. Keringatnya mengalir di punggungnya, sehingga bajunya menjadi basah. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Tetapi, apakah Kakang Wacana akan dapat tertolong?”

“Kita semuanya berharap demikian,” jawab Ki Ranggga Wibawa, yang kemudian berkata, “besok aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk melihat keadaannya.”

“Aku ikut Ayah,” minta Raras dengan serta merta. Kecemasannya tentang nasib kakaknya telah mengaburkan segala penalarannya. Ia tidak lagi ingat, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada seorang anak muda yang bernama Sabungsari.

Tetapi permintaan Raras itu mengejutkan ayah ibunya. Dengan nada dalam ayahnya berkata, “Raras. Ketika aku menyatakan bahwa besok aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih memperingatkan aku agar aku tidak pergi sendiri. Maksudnya agar aku pergi ke Tanah Perdikan Menoreh bersama satu dua orang prajurit, karena di Tanah Perdikan Menoreh masih berkeliaran orang-orang yang luput dari penangkapan, namun masih mendendam. Sehingga mereka akan dapat berbuat kerusuhan dan kekacuan di Tanah Perdikan.”

“Apakah Ayah akan pergi sendiri?” bertanya Raras.

“Memang tidak. Aku akan mengajak dua orang prajurit bersamaku besok,” jawab ayahnya.

“Jika demikian, maka aku benar-benar akan ikut. Bukankah Ayah dan kedua orang prajurit itu dapat melindungi aku?“ berkata Raras pula.

“Raras,“ berkata ayahnya, “kau sudah pernah mengalami betapa pahitnya berhubungan dengan orang-orang yang berniat jahat itu. Apalagi orang-orang yang sedang berputus asa, seperti sisa-sisa orang-orang yang disebut Glagah Putih sebagai orang perkemahan, karena mereka membuat perkemahan di balik pebukitan Menoreh. Mereka akan menjadi liar dan buas. Apalagi terhadap seorang perempuan.”

“Aku akan membawa keris, Ayah. Jika aku harus jatuh lagi ke tangan orang-orang yang jahat itu, maka aku akan membunuh diri.”

“Raras. Bunuh diri bukan satu perbuatan yang pantas dianjurkan. Karena itu, yang terbaik bagimu adalah tetap tinggal di rumah bersama ibumu. Aku akan minta dua orang prajurit menjaga rumah ini, jika masih dibayangi oleh perbuatan orang-orang jahat itu.”

“Tidak Ayah,” jawab Raras, ”aku akan ikut Ayah.”

“Raras,“ berkata ibunya kemudian, “sebaiknya kau memang berada di rumah saja bersama Ibu. Bukankah kau dapat membayangkan, jika yang menganjurkan kepada ayahmu untuk membawa satu dua orang kawan adalah orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri.”

Tetapi Raras menggeleng. Ia sudah bertekad untuk ikut bersama ayahnya ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan nada tinggi ia berkata, “Apapun yang akan terjadi, aku ingin ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak mau menyesal bahwa aku tidak dapat bertemu dengan Kakang Wacana. Kita semuanya berharap bahwa Kakang Wacana akan sembuh dan pulih kembali. Tetapi jika ia sekarang dalam keadaan gawat, maka aku harus menengoknya.”

Ternyata Ki Rangga dan Nyi Rangga tidak dapat mencegah niat Raras. Meskipun keduanya sudah memahami sifat anak gadisnya yang keras, tetapi saat itu Raras benar-benar tidak mau mengurungkan niatnya. Hatinya menjadi sekeras batu.

Karena itu, maka Ki Rangga Wibawa pun berkata, “Apa boleh buat. Aku akan membawa empat orang bersamaku, justru karena Raras akan ikut serta. Tetapi perjalanan kami akan menjadi lama sekali, karena bersama Raras kami harus berjalan kaki.”

Ibunya menarik napas dalam-dalam. Raras memang tidak terbiasa bepergian dengan naik kuda. Sehingga karena itu, maka perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tetapi jika itu sudah dikehendaki, maka perjalanan itu akan ditempuhnya juga.

Sore itu Ki Rangga telah menghubungi kawan yang bertugas di tempat yang sama untuk memberitahukan bahwa esok ia tidak dapat pergi ke tempat tugasnya. Bahkan mungkin untuk tiga hari lamanya, karena Ki Rangga akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan Ki Rangga telah minta ijin pula untuk minta bantuan empat orang prajurit yang terpilih, untuk bersamanya ke Tanah Perdikan esok pagi-pagi.

Demikianlah, maka Ki Rangga telah bersiap-siap untuk berangkat dini hari agar mereka tidak kepanasan terlalu lama di perjalanan.

Sementara itu, Glagah Putih dan Sabungsari telah meninggalkan Mataram bersama empat orang prajurit dari Pasukan Khusus yang telah menyelesaikan tugasnya pula. Sebagaimana yang telah mereka sepakati, maka mereka saling menunggu di rumah Ki Lurah Branjangan. Orang yang menunggui rumah itu segera mengenali pakaian para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, karena Ki Lurah merupakan bagian dari pasukan itu pula. Sedangkan Glagah Putih dan Sabungsari telah mereka kenal dengan baik sejak sebelumnya.

Namun Glagah Putih, Sabungsari dan para prajurit itu memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh ketika malam mulai turun.

Kepada Agung Sedayu, Glagah Putih melaporkan, bahwa besok Ki Rangga Sabawa akan datang ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Sebaliknya ia tidak seorang diri,“ desis Agung Sedayu.

“Aku sudah mengatakannya, bahwa sebaiknya ia datang dengan dua atau tiga orang prajurit,” sahut Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu salah seorang di antara keempat prajurit itupun telah memberikan laporannya pula. Juga tentang pertempuran di tepian.

Dalam pada itu, kemudian Glagah Putih telah menanyakan keadaan Wacana di hari terakhir itu.

“Ia masih seperti sebelumnya. Namun badannya tidak lagi panas. Ia sudah mulai dapat menelan minumannya dengan baik,” jawab Agung Sedayu, yang dengan tekun menanganinya.

“Apakah itu berarti bahwa keadaannya menjadi semakin baik? Maksudku, harapan baginya menjadi semakin besar?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Kita semuanya harus berdoa bagi keselamatan dan kesembuhannya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Sabungsari hanya dapat menundukkan kepalanya.

Demikianlah, maka keempat orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan kembali ke barak mereka.

“Berhati-hatilah,” pesan Agung Sedayu.

“Nampaknya keadaan sudah menjadi semakin baik. Di perjalanan kembali kami tidak mendapat hambatan apapun juga,“ berkata salah seorang di antara para prajurit itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga berkata, “Syukurlah. Tetapi banyak hal masih dapat terjadi.”

Sejenak kemudian keempat orang prajurit itu pun telah minta diri. Ketika Sekar Mirah mempersilahkan mereka untuk makan lebih dahulu, maka mereka hanya dapat mengucapkan terima kasih.

“Supaya kami tidak terlalu malam sampai di barak,” jawab salah seorang dari mereka.

Sementara Agung Sedayu sambil tersenyum berkata, “Nanti nasi di barak akan terlalu banyak tersisa. Tetapi sebaliknya, mungkin kalian sudah tidak akan kebagian apapun di dapur barak.”

Salah seorang prajurit itu menjawab sambil tertawa, “Itu sudah nasibku Ki Lurah.”

Karena itu, kemudian yang dipersilahkan untuk makan hanyalah Glagah Putih dan Sabungsari, setelah mereka membenahi diri.

Ketika kemudian Glagah Putih melihat keadaan Rara Wulan, maka gadis itu telah bertanya apakah Glagah Putih sempat singgah di rumahnya.

“Sayang Rara,” jawab Glagah Putih, ”waktu kami terlalu sempit, sehingga kami tidak dapat singgah di mana-mana. Bahkan tidak di rumah Ki Rangga Wibawa.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi Kakang sudah sampai ke Mataram.”

“Lain kali dalam keadaan yang lebih baik, aku akan singgah,” jawab Glagah Putih kemudian.

Rara Wulan tidak bertanya lagi tentang kesempatan Glagah Putih untuk singgah di rumahnya. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan keadaan Raras? Bukankah ia sudah sembuh sama sekali dari cengkeraman rasa takutnya?”

“Kami tidak bertemu dengan Raras,” jawab Glagah Putih.

“Bukankah kau pergi ke rumahnya? Apakah Raras tidak ada di rumah?”

“Aku tidak singgah di rumahnya. Tetapi aku dan Sabungsari menemui ayahnya di tempat tugasnya.”

“Kemudian sama sekali tidak singgah ke rumahnya?” desak Rara Wulan.

“Memang tidak Rara. Kesempatan kami waktu itu memang sedikit sekali,” jawab Glagah Putih.

Rara Wulan tidak bertanya lebih lanjut. Ia menyadari, betapa sempitnya waktu bagi Glagah Putih dan Sabungsari. Apalagi mereka masih harus berhenti di tepian untuk bertempur. Justru melawan orang yang berilmu tinggi pula.

Dalam pada itu, di ruang dalam Agung Sedayu juga masih berbincang dengan Sabungsari, Ki Lurah Branjangan, Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa, dan beberapa orang lainnya juga ikut duduk bersama mereka, kecuali dua orang yang bertugas yang sedang duduk di pringgitan. Sabungsari telah diminta untuk bercerita tentang pertempuran yang terjadi di tepian.

Sementara Sabungsari bercerita, maka di dapur Sekar Mirah dan pembantu rumah itu sibuk membuat minuman bagi mereka yang masih berbincang-bincang di ruang dalam. Namun beberapa saat kemudian Glagah Putih yang telah meninggalkan Rara Wulan di biliknya telah berada di dapur pula untuk membantu Sekar Mirah.

“Duduk sajalah di dalam,” minta Sekar Mirah.

Tetapi Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Sabungsari tengah bercerita. Ceritanya tentu saja sama dengan ceritaku,” jawab Glagah Putih.

“Jika demikian, sambil menunggu air mendidih, kau bercerita kepadaku tentang pertempuran di tepian itu.”

Glagah Putih tersenyum. Namun iapun kemudian bercerita serba sedikit tentang pertempuran di tepian.

“Untunglah bahwa kau mampu mengatasinya,” berkata Sekar Mirah kemudian.

“Ilmunya tentu belum matang,” jawab Glagah Putih, “meskipun demikian, dadaku memang terasa sakit waktu itu. Namun dalam perjalananku ke Mataram, sambil duduk di atas punggung kuda, aku sempat mengatasinya dengan daya tahanku, meskipun tidak sepenuhnya. Namun semakin lama keadaanku memang menjadi semakin baik.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Tetapi kemudian ia berkata, “Sabungsari agaknya justru terluka.”

“Hanya goresan-goresan kecil,” jawab Glagah Putih.

Sementara itu air pun sudah mendidih. Karena itu, maka Sekar Mirah pun kemudian sibuk menuang air panas untuk membuat wedang jahe dengan gula kelapa.

Ketika kemudian Sekar Mirah membawanya ke ruang dalam, maka Glagah Putih sempat berbicara dengan pembantu di rumah itu. “Sebaiknya kau jangan turun ke sungai lebih dahulu.”

“Siang tadi aku sempat memperbaiki pliridanku. Malam nanti aku akan turun.”

“Dengar,“ berkata Glagah Putih, “jika orang-orang berkuda itu datang lagi, maka nasibmu akan lebih buruk dari saat kau dipukuli di pinggir sungai itu.”

“Jika aku dipukuli orang sampai pingsan, maka kau-lah yang bersalah,” berkata anak itu.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku tahu maksudmu. Kau tentu akan mengatakan bahwa aku yang bersalah, karena aku belum mengajarimu berkelahi. Tetapi ingat, aku tidak akan mengajarimu berkelahi. Aku akan mengajarimu membela diri. Ingat, sekedar melindungi diri sendiri.”

“Kau bohong,” sahut anak itu, “kau berkelahi untuk menyakiti, dan bahkan kau pemah menjadi pembunuh. Apa itu sekedar melindungi dirimu sendiri?”

“Ya. Jika aku terpaksa sekali bertempur dan bahkan membunuh lawan, itu karena aku tidak mau dibunuh. Yang penting, apakah kau berdiri di pihak yang benar atau yang bersalah.”

Anak itu tidak menjawab. Sementara itu ia telah mengisi tempayan dan kemudian diletakkan lagi di atas api.

“Bukankah Mbokayu sudah tidak akan membuat minuman lagi?” bertanya Glagah Putih.

“Sudah terbiasa kami menyimpan air yang sudah mendidih, meskipun menjadi dingin,” jawab anak itu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia mengulang pesannya, “Yang penting, jangan turun ke sungai. Itu saja. Seandainya kau sudah mempelajari ilmu bela diri dengan baik, tetapi kemampuan seseorang tentu terbatas. Jika kau seorang diri harus menghadapi beberapa orang yang lewat menyusuri tepian, maka akibatnya juga akan buruk bagimu.”

Anak itu tidak menjawab. Namun dengan wajah yang muram ia duduk di muka perapian. Sekali-sekali tangannya menyentuh kayu bakar yang menyala memanasi air di tempayan. Semakin lama menjadi semakin pendek.

Namun sejenak kemudian, Glagah Putih pun telah beranjak dari tempatnya sambil berkata, “Jangan pergi-pergi. Nanti Mbokayu Sekar Mirah mencarimu.”

Anak itu masih duduk di depan perapian. Tetapi ia memang tidak berniat untuk turun ke sungai. Ia ternyata dapat mengerti, bahwa turun ke sungai malam itu agaknya masih sangat berbahaya.

Di pagi hari berikutnya, maka Galagah Putih dan Sabungsari telah menghadap Ki Gede. Mereka ingin membicarakan tentang orang-orang yang tertangkap di tepian.

Sebenarnyalah bahwa Ki Gede sudah mendapat laporan tentang orang-orang yang tertangkap. Bahkan mereka sudah berada di padukuhan induk. Orang yang dilukai oleh Sabungari memang mendapat penjagaan khusus, karena orang itu dianggap orang yang berbahaya.

Kepada Ki Gede, Glagah Putih sempat menyampaikan hasil pembicaraan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ditugaskan oleh Agung Sedayu untuk memberikan laporan ke Mataram.

“Terima kasih,“ Ki Gede mengangguk-angguk, “namun bagaimanapun juga kita masih harus berhati-hati. Menurut tawanan yang kalian tangkap di tepian, masih ada beberapa orang yang berkeliaran di Tanah Perdikan. Tetapi mereka sudah seperti sapu lidi yang kehilangan ikatan. Berserakan.”

Glagah Putih dan Sabungsari menyadari, bahwa maksud Ki Gede tentu juga mengatakan bahwa kemungkinan-kemungkinan buruk masih dapat terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, semuanya masih harus berhati-hati.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Glagah Putih dan Sabungsari sempat ikut bersama Prastawa untuk melihat keadaan Tanah Perdikan. Berkuda mereka bertiga serta beberapa orang pengawal melihat keadaan padukuhan-padukuhan kecil yang tersebar. Namun ternyata tidak ada keributan yang berarti yang telah terjadi. Orang-orang padukuhan tidak melihat lagi orang-orang asing yang berkeliaran di padukuhan mereka.

Lewat tengah hari, maka keduanya baru kembali ke rumah Ki Gede. Prastawa pun telah memberikan laporan, bahwa tidak terjadi sesuatu di padukuhan-padukuhan yang telah mereka datangi.

Dari rumah Ki Gede, maka Glagah Putih dan Sabungsari pun langsung kembali ke rumah Agung Sedayu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar