Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 280

Buku 280

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Aku akan berbicara dengan keduanya. Tetapi bukankah Mataram nampaknya juga dalam keadaan tenang?”

Ki Wirayuda mengangguk. Katanya, “Ya. Sekarang kita tidak melihat gejolak di Mataram. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mataram dalam keadaan tenang. Meskipun demikian, mendung yang mengalir dari Pati masih tetap memungkinkan untuk mencurahkan hujan angin dan prahara.”

Karena itulah, maka ketika Agung Sedayu kemudian berada di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, maka iapun segera menemui Glagah Putih dan Sabungsari.

Ketika Agung Sedayu menanyakan kepada kedua orang anak muda itu, maka baik Glagah Putih maupun Sabungsari menyatakan keinginan mereka untuk pergi ke Tanah Perdikan. Ternyata keduanya mempunyai alasan mereka masing-masing. Justru karena Rara Wulan akan kembai ke Tanah Perdikan, maka Glagah Putih pun ingin untuk sementara tetap berada di Tanah Perdikan. Sementara Sabungsari yang masih dikuasai oleh penalarannya, maka ia memang berniat untuk meninggalkan Mataram, agar ia tidak memasuki satu lingkaran hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Meskipun dengan jujur ia harus mengakui, setidaknya kepada diri sendiri, bahwa ia memang tetarik kepada gadis yang bernama Raras itu. Tetapi justru karena itu, maka nalarnya telah mendesaknya untuk meninggalkan Mataram dan menjauhi Raras.

Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, “Kecuali jika Mataram memerlukan tenaga kami. Kami tidak akan ingkar, seandainya kami harus berada di antara anak-anak Gajah Liwung.”

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan memberitahukan kepada Ki Wirayuda, bahwa kalian berdua untuk sementara akan berada di Tanah Perdikan. Tetapi jika diperlukan akan kembali ke Mataram.”

“Ya,“ Sabungsari-lah yang menyahut, “bukankah sekarang keadaan Mataram sedang tenang? Sepeninggal Ki Manuhara, agaknya orang yang disebut Resi Belahan itu tidak lagi berniat untuk melanjutkan tugas-tugasnya di Mataram. Tetapi seperti kata Glagah Putih, jika diperlukan kami akan berada di Mataram kembali.”

Glagah Putih memang sempat menjadi heran. Ia mengira bahwa Sabungsari telah tertarik kepada Raras. Namun ia berkeras untuk pergi bersama Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sudah barang tentu Glagah Putih tidak dapat langsung bertanya kepada Sabungsari. Tetapi Glagah Putih harus menyimpannya sebagai teka-teki yang belum terjawab.

Dengan demikian maka untuk sementara Agung Sedayu telah mengambil kesimpulan bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi setiap saat jika diperlukan, mereka akan segera berada kembali di Mataram, yang memang tidak terlalu jauh itu.

Demikinlah, maka niat Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan itu pun segera disampaikan kepada Ki Tumenggung Perbarumeksa sekeluarga. Agung Sedayu memang tidak dapat terlalu lama meninggalkan tugasnya.

Ternyata Ki Lurah Branjangan sependapat. Katanya, “Pasukan Khusus itu memang tidak dapat telalu lama ditinggalkan.”

Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung memang tidak dapat terlalu lama menahan mereka di Mataram. Mereka menyadari tugas Agung Sedayu sebagai seorang Lurah Prajurit. Karena itu maka Ki Tumenggung itu pun berkata, “Baiklah Ki Lurah. Kami mengerti akan tugas Ki Lurah yang berat. Karena itu maka kami tidak dapat menahan Ki Lurah lebih lama lagi, meskipun kami merasa aman dengan kehadiran Ki Lurah, Ki Jayaraga dan anak-anak muda itu.”

“Aku sudah berhubungan dengan Ki Wirayuda. Ki Wirayuda akan berusaha untuk mengamati keadaan sebaik-baiknya. Bukan saja tentang Bajang Bertangan Baja yang menerima upah untuk mengambil Rara Wulan. Tetapi juga mengamati seorang yang bernama Resi Belahan. Jika perlu, maka Ki Wirayuda akan dengan segera menghubungi kami.”

“Terima kasih Ki Lurah. Mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak ada persoalan baru lagi yang dapat menyulitkan kami sekeluarga, dan bahkan telah menjerat Ki Lurah dalam persoalan ini sehingga Ki Lurah terpaksa meninggalkan tugas Ki Lurah.”

“Aku memang sulit untuk membedakan tugasku sebagai seorang yang hidup dalam lingkungan keluarga yang besar, serta tugasku sebagai prajurit, karena pada keduanya terdapat persamaan. Pada dasarnya dalam kehidupan ini harus terpancar kasih sayang Yang Maha Agung. Yang mempunyai kelebihan harta benda, harus ikut menanggung beban mereka yang miskin. Yang kaya akan ilmu harus mengaliri mereka yang hidup dalam kebodohan. Yang kuat harus melindungi yang lemah. Sebagaimana air di blumbang yang penuh akan tumpah dan mengalir ke tempat yang lebih rendah, serta akan membasahi tempat yang kering.”

Ki Tumenggung Purbarumeksa hanya mengangguk-angguk saja. Namun hatinya ternyata tergetar juga mendengar kata-kata Agung Sedayu yang masih jauh lebih muda dari dirinya sendiri. Tetapi nampaknya pengalaman hidupnya yang luas telah membuat jiwanya menjadi matang.

Namun demikian Ki Tumenggung itu masih juga berdesis, “Benar Ki Lurah. Tetapi di antara citra seorang yang terpilih itu masih terdapat orang yang berbuat sebaliknya.”

“Ya Ki Tumenggung. Kita memang tidak mengingkari kenyataan itu. Mudah-mudahan orang yang demikian itu semakin lama kan menjadi semakin menyusut.”

“Mudah-mudahan Ki Lurah. Tetapi sampai saat ini kita masih melihat kesewenang-wenangan terjadi di antara sesama. Yang kaya justru menghisap yang kekurangan. Sementara yang kuat justru berdiri di atas tubuh-tubuh yang tak berdaya. Aku tidak dapat mengatakan dimana keluargaku berdiri sekarang ini.”

Agung Sedayu menari nafas dalam-dalam. Pembicaraan mereka ternyata jauh merambat ke persoalan yang lebih luas. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, “Asal kita masih berpegang kepada Sumber Hidup kita, maka kita tidak akan terlalu jauh tersesat, seandainya pada suatu saat kita kehilangan jalan. Setiap kali kita akan mendapat peringatan, dan lebih dari itu bimbingan, untuk menemukan jalan kita kembali,”

Ki Tumenggung masih saja mengangguk-anguk. Meskipun umurnya lebih tua dan kedudukan serta pangkatnya pada dasarnya lebih tinggi dari Ki Lurah Agung Sedayu, namun ia justru bersikap seperti seorang cantrik yang berbicara sesamanya.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah bersiap-siap untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh di keesokan harinya. Demikian pula Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan, Glagah Putih, Sabungsari, Rara Wulan dan Sekar Mirah. Namun esok pagi-pagi mereka masih akan minta diri kepada Raras. Dan bagi Agung Sedayu, ia masih akan bertemu lagi dengan Ki Wirayuda.

Malam itu Teja Prabawa sempat berbicara dengan Rara Wulan. Dengan memelas Raden Teja Prabawa minta agar Rara Wulan bersedia membujuk Raras untuk tidak menilainya sebagai seorang laki-laki yang lemah dan tidak bertanggung jawab.

“Aku akan melakukan apa saja untuk kebahagiannya,” berkata Teja Prabawa.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku akan mencobanya Kakangmas. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa kau akan berubah. Tetapi segala sesuatunya tentu tergantung kepada Raras sendiri.”

“Katakan kepadanya, bahwa aku akan berguru dan akan menjadi seorang yang berilmu tinggi,” berkata Teja Prabawa.

“Bagi seorang perempuan, yang penting bukan laki-laki yang berilmu tinggi. Tetapi seorang laki-laki yang bertanggung jawab menurut keadaannya. Meskipun demikian, ilmu memang merupakan bekal yang sangat berarti bagi kehidupan keluarga Kakangmas kemudian. Karena itu maka biarlah aku mengatakan kesediaan Kakangmas untuk mencari bekal bagi masa depan Kakangmas,” jawab Rara Wulan.

“Terima kasih Wulan,” jawab Teja Prabawa.

“Tetapi kenapa Kakangmas tidak pergi menengok Raras di hari-hari terakhir ini?” bertanya Rara Wulan.

“Kau tahu bahwa jalan-jalan menjadi tidak aman. Bukankah kau juga bertemu dengan Bajang Bertangan Baja itu ketika kau akan pergi mengunjungi Raras? Untunglah bahwa kau pergi bersama orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga Bajang Bertangan Baja itu tidak berani berbuat sesuatu atasmu. Coba bayangkan, bagaimana akibatnya jika aku-lah yang bertemu dengan Bajang kedil itu,” berkata Raden Teja Prabawa.

“Tetapi Bajang itu telah pergi,” jawab Rara Wulan.

“Bukankah ada sebuah nama lagi yang perlu mendapat perhatian?” Raden Teja Prabawa justru bertanya.

“Tetapi orang itu sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Raras dan dengan kita secara pribadi. Orang itu tentu membawa beban tugas yang lebih luas dari sekedar menculik gadis-gadis. Ternyata ia telah menolak bekerjasama dengan Bajang Bertangan Baja.”

“Tetapi aku tidak berani, Wulan,“ Teja Prabawa akhirnya mengaku terus terang.

“Itulah yang membuat Raras kecewa terhadap Kakangmas. Kenapa Kakangmas tidak berani? Bukankah menurut perhitungan, Kakangmas tidak akan mendapatkan hambatan di perjalanan? Seandainya Bajang itu masih ada, maka kemungkinan bertemu dengan orang itu pun sangat kecil. Kakangmas bisa menempuh jalan yang tidak biasa Kakangmas lalui, atau Kakangmas memilih jalan yang paling ramai. Bukankah dalam keadaan terakhir ini banyak prajurit yang meronda?”

Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi memang ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk pergi ke rumah Raras. Bahkan ia berfikir, bahwa jika ia akan pergi juga, artinya sama saja dengan jika ia membunuh diri.

Ketika kemudian matahari terbit di hari berikutnya, maka mereka yang akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah bersiap-siap. Namun mereka masih akan pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa. Tetapi Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari akan meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan di rumah Ki Rangga Wibawa, sementara mereka pergi ke rumah Ki Wirayuda. Baru kemudian mereka akan singgah kembali untuk mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Kedatangan Rara Wulan dan Sekar Mirah membuat Raras merasa semakin segar, meskipun ia nampak sedikit kecewa bahwa yang lain tidak singgah lebih dahulu di rumahnya.

Tetapi Rara Wulan segera memberitahukan bahwa mereka nanti akan segera kembali dan singgah di rumah Raras.

“Mereka sedang pergi menemui Ki Wirayuda untuk memohon diri,“ berkata Rara Wulan kemudian.

“Mohon diri? Mereka akan pergi kemana?“ bertanya Raras yang menemui tamu-tamunya ditemani oleh ayah dan ibunya, serta Wacana.

“Mereka dan kami berdua hari ini akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Rara Wulan.

Wajah Raras tampak berkerut sejenak. Terbayang betapa jantungnya bergejolak mendengar jawab Rara Wulan itu. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Semuanya kalian akan kembali ke Tanah Perdikan?”

“Ya,“ jawab Rara Wulan.

Sementara Sekar Mirah pun menyambung, “Kami sudah terlalu lama meninggalkan rumah kami. Apalagi Kakang Agung Sedayu juga sudah terlalu lama meninggalkan tugasnya di barak Pasukan Khusus itu.”

Raras menjadi termangu-mangu sejenak. Dengan ragu iapun berkata, “Tetapi bukankah yang lain tidak bertugas di lingkungan keprajuritan?”

Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Dan kemudian Sekar Mirah menjawab, “Ya. Tetapi mereka mempunyai kewajibannya masing-masing di Tanah Perdikan.”

Pada wajah Raras memang membayang kekecewaan hatinya. Sambil memandang ke kejauhan ia berkata, seakan-akan kepada diri sendiri, “Siapakah yang kemudian akan melindungi aku?“

Yang menjawab adalah justru Wacana, “Raras. Di sini ada Paman dan prajurit. Bahkan aku pun bersedia dan sanggup melindungimu. Siapapun yang akan mengganggumu.”

Raras berpaling kepada Wacana sejenak. Dengan ragu ia mengangguk kecil. Sementara ayahnya pun berkata, “Sudah berkali-kali aku katakan Raras. Para Prajurit itu masih ada di sini, sementara Ki Wirayuda meyakinkan, bahwa Bajang Bertangan Baja itu memang sudah tidak terlihat lagi di Mataram. Para petugas sandi melakukan tugas mereka dengan baik dan bersungguh-sungguh sehinga kita dapat mempercayainya. Jika kita kehilangan kepercayaan kepada para prajurit, maka hidup kita memang tidak akan dapat tenang. Kita akan selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran tentang kejahatan. Bukan saja sebagaimana kau alami, tetapi juga perampokan dan kekerasan-kekerasan lainnya.”

Raras mengangguk pula meskpun pandangan matanya menjadi kosong. Rasa-rasanya ada sesuatu yang akan hilang daripadanya. Sesuatu yang justru belum pernah dimilikinya.

Dengan demikian, jiwanya yang hampir tenang itu telah diguncang lagi oleh perasaan kecewa, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Meskipun Raras mengeluh karena kehilangan perlindungan, namun sebenarnyalah ia merasa betapa cepatnya orang yang datang kepadanya untuk menyelamatkannya itu pergi meninggalkannya.

Tetapi Raras tidak dapat mengatakanya kepada kedua orang tuanya bahwa sebenarnya ia memang merasa kehilangan. Teruatama orang yang telah langsung melidunginya di Tegal Waru.

Sikap Raras pun kemudian memang berubah. Betapapun gadis itu berusaha untuk menghilangkan kesan yang muncul ke permukaan, namun orang-orang yang duduk bersamanya itu mampu menangkapnya. Justru karena itu, maka mereka pun telah menjadi gelisah pula.

Sementara itu, maka Rara Wulan yang membawa pesan kakaknya, memang ingin menyampaikan kepada Raras. Tetapi rasa-rasanya ia menjadi ragu. Apakah jika hal itu dikatakannya, Raras tidak justru menjadi semakin gelisah.

Meskipun demikian, Rara Wulan memang mencobanya, meskipun hanya menyinggung-nyinggung serba sedikit.

Ketika ia berkesempatan, maka Rara Wulan pun berkata, “Raras, Kakangmas Teja Prabawa mengirimkan salam buatmu. Ia belum dapat datang karena sesuatu hal.”

Dahi Raras berkerut. Tanpa sengaja Raras telah berpaling kepada Wacana yang mendengar pesan itu sambil termangu-mangu. Baru sejenak kemudian Raras menjawab, “Terima kasih Wulan. Tetapi kenapa Raden Teja Prabawa tidak berani datang kemari? Bukankah ia tidak harus melewati bulak-bulak panjang yang sepi yang dihuni oleh kelompok-kelompok penyamun?”

“Raras,“ potong ayahnya yang duduk di sebelahnya.

Raras berpaling kepada ayahnya. Jawabnya, “Benar Ayah. Raden Teja Prabawa tidak memiliki keberanian untuk datang ke rumah ini. Bukannya rumah ini yang menakut-nakutinya. Tetapi ia tidak berani menempuh perjalanan yang hanya beberapa pathok itu. Bahkan di siang hari di jalan-jalan yang ramai di Kota Mataram.”

“Jangan berkata begitu Raras,” tiba-tiba saja Wacana berdesis, “mungkin Raden Teja Prabawa sedang sibuk.”

Raras memandang Wacana dengan tajamnya. Pandangan matanya yang aneh. Ia mendengar hal itu dari Wacana. Tetapi Wacana-lah yang kemudian justru menolak anggapan itu.

Rara Wulan dan Sekar Mirah memang tidak mengerti, apa yang tersirat di sorot mata tajam Raras yang menusuk langsung ke mata Wacana. Tetapi Ki Rangga Wibawa segera mengerti dan tanggap akan sikap Wacana itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Sudahlah Raras. Sikapmu akan dapat menimbulkan salah paham.” Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Aku yang memintakan maaf bagi Raras, Ngger.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak apa-apa Ki Rangga. Kami dapat mengerti perasaan Raras yang sangat kecewa, di saat ia benar-benar dicekam ketakutan.”

Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa keluarganya berhadapan dengan orang-orang yang mampu berpikir dewasa, meskipun di antara mereka termasuk orang-orang yang masih muda. Bahkan adik dari Raden Teja Prabawa itu sendiri.

Sementara itu, Raras yang sudah nampak semakin cerah, tiba-tiba telah menjadi murung lagi. Matanya menjadi redup. Ia kecewa bahwa orang-orang yang telah menolongnya itu akan meninggalkan Mataram. Tetapi iapun menjadi gelisah bahwa Wacana sikapnya terasa goyah, khususnya terhadap Raden Teja Prabawa.

Dalam pada itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari telah bertemu dan minta diri kepada Ki Wirayuda. Meskipun demikian Agung Sedayu masih mengulangi kesediaannya untuk datang sewaktu-waktu diperlukan. Demikian pula mereka yang lain. Terutama Glagah Putih dan Sabungsari, yang selalu siap untuk berada di antara anak-anak Gajah Liwung.

“Baiklah,“ berkata Ki Wirayuda, “mudah-mudahan tidak ada persoalan lagi di Mataram dalam hubungannya dengan Bajang Bertangan Baja dan Resi Belahan.”

“Yang masih tetap menjadi teka-teki adalah Resi Belahan,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Kami akan berhati-hati menanganinya,“ berkata Ki Wirayuda. “Bahkan Ki Patih Mandaraka sendiri sudah memberikan isyarat untuk meningkatkan kewaspadaan.”

Dengan demikian maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari pun segera minta diri. Mereka masih harus singgah di rumah Ki Rangga Wibawa untuk minta diri dan mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kepada Ki Wirayuda, Sabungsari sempat menitipkan anak-anak Gajah Liwung yang untuk sementara masih harus ditinggakannya.

“Seandainya,“ berkata Ki Wirayuda, “seandainya tidak ada masalah lagi di Tanah Perdikan Menoreh, bukankah Sabungsari dan Glagah Putih dapat segera kembali ke Mataram tanpa harus menunggu timbulnya persoalan di sini?”

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Tentu Ki Wirayuda. Kami akan merasa lebih tenang berada di antara anak-anak Gajah Liwung.”

Tetapi dalam pada itu, di dalam hatinya Sabungsari mengeluh. Perkenalan dengan Raras telah membuatnya seperti orang yang kebingungan. Ia harus mempertentangkan perasaannya dengan penalarannya. Sabungsari tidak dapat ingkar bahwa ia tertarik kepada Raras. Tetapi iapun mengerti bahwa Raras telah berhubungan dengan Raden Teja Prabawa.

Ketika keempat orang itu memasuki regol halaman rumah Ki Rangga Wibawa, maka wajah Raras yang murung itu telah menjadi sedikit terang. Bahkan tanpa disadari, Raras telah ikut bersama ayah dan ibunya bangkit berdiri dan menyongsong tamu mereka di tangga pendapa.

Wacana yang semula masih saja duduk bersama Rara Wulan dan Sekar Mirah, telah bangkit pula untuk ikut menyambut keempat orang tamu itu.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari pun telah duduk pula di pendapa, sementara Nyi Rangga beringsut dan pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya.

Nyi Rangga bahkan terkejut ketika ternyata Raras menyusulnya ke dapur dan berkata, “Biarlah aku yang menyuguhkan hidangan itu, Ibu.”

“Kau tidak apa-apa?“ bertanya ibunya.

“Tidak Ibu. Aku tidak apa-apa,” jawab Raras.

Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Anak gadisnya itu memang sulit dimengerti. Mungkin karena jiwanya itu belum tenang benar, atau mungkin karena persoalan lain. Baru saja wajahnya yang mulai cerah telah menjadi murung kembali. Namun tiba-tiba saja Raras menjadi seakan-akan tidak sedang dipengaruhi oleh ketidak-seimbangan jiwanya.

“Atau justru akibat ketidak-seimbangan jiwa itu Raras menjadi semakin sulit dimengerti?” pertanyaan itu telah mengganggu perasaan Nyi Rangga.

Tetapi Nyi Rangga tidak berkeberatan memberikan kesempatan kepada Raras untuk menyuguhkan hidangan-hidangan bagi tamu-tamunya yang ada di pendapa.

Ketika kemudian Raras dan Nyi Rangga telah duduk kembali di pendapa, maka Agung Sedayu, mewakili mereka yang datang bersamanya, mohon diri kepada Ki Rangga dan keluarganya untuk hari itu juga kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Rencana itu sudah didengar sebelumnya dari Rara Wulan. Dengan nada dalam Ki Rangga Wibawa berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk menahan kalian, maka aku akan mencoba untuk memperpanjang keberadaan kalian di Mataram. Tetapi karena aku tidak mempunyai wewenang itu, maka aku tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu jauh Ki Rangga,” berkata Agung Sedayu, “kami tentu akan selalu mondar-mandir antara Tanah Perdikan dan Mataram,” jawab Agung Sedayu.

“Kami berharap bahwa kalian akan selalu singgah di rumah ini dalam setiap kesempatan,“ minta Ki Rangga.

“Ya Ki Rangga. Rumah ini sudah menjadi bagian dari lingkungan kekeluargaan kami. Karena itu kami akan selalu berusaha untuk dapat selalu singgah meskipun sebentar.”

Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada dalam, “Terima kasih Ki Lurah, terima kasih. Aku kira meskipun setiap kejap aku mengucapkan terima kasih, namun tentu masih belum cukup.”

“Itu sudah berlebihan Ki Rangga. Berkali-kali aku katakan, bahwa apa yang kami lakukan adalah kewajiban kami,” jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, setelah mereka berbincang sejenak, maka Agung Sedayu dan yang lain pun telah minta diri. Bukan saja untuk kembali ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, tetapi mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Wajah Raras telah menjadi murung kembali. Seperti langit yang tiba-tiba saja disaput oleh mendung. Semakin lama menjadi semakin kelabu.

Ketika Rara Wulan kemudian turun ke tangga pendapa dan di sisinya Raras berdiri termangu-mangu, Rara Wulan sempat berdesis, “Kakangmas Teja Prabawa tentu akan segera datang. Ia akan mengatasi perasaan takutnya.”

Tetapi jawab Raras dingin, “Mudah-mudahan. Tetapi maafkan aku Wulan. Aku sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa.”

“Ia berjanji akan berubah,“ sahut Wulan perlahan.

“Sampai kapan aku harus menunggu perubahan itu? Aku sudah terlalu tua untuk menunggu ia berguru lagi,“ jawab Raras.

Rara Wulan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa kasihan kepada kakaknya. Tetapi ia juga merasa kasihan kepada Raras. Namun ternyata Rara Wulan telah melemparkan sebab dari segala kerumitan itu pada Raden Antal, sehingga ia semakin benci kepada anak muda itu.

Sejenak kemudian maka kelompok kecil tamu Ki Rangga Wibawa itu telah meninggalkan regol rumahnya. Seisi rumah itu telah mengantar mereka sampai ke regol. Sabungsari yang ada di antara mereka tidak terlalu banyak berbicara. Bahkan ia justru sering menundukkan kepalanya saja. Hanya sekali-sekali ia menyambung pembicaraan. Selebihnya ia hanya diam saja.

Tetapi beberapa langkah dari regol, ternyata Sabungsari berpaling. Di luar niatnya, maka Raras pun sedang memandanginya pula, sehingga tiba-tiba saja keduanya telah menunduk.

Seperti yang direncanakan, hari itu Agung Sedayu dengan kelompok kecilnya telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sekar Mirah dan Rara Wulan berkuda di paling depan, sedangkan Sabungsari berada di paling belakang. Ia memang lebih banyak berdiam diri dan seakan-akan menyendiri.

Rara Wulan pun nampaknya banyak merenung pula meskipun tidak di sepanjang perjalanan. Namun kadang-kadang ia merenungkan kakaknya yang mulai tersisih dari hati Raras. Justru karena ia dapat mengerti perasaan Raras dan dapat pula mengerti kepahitan perasaan kakaknya, maka hatinya pun ikut merasakan kegelisahan mereka.

Dalam pada itu, sepeninggal adiknya, ternyata Teja Prabawa itu merasakan betapa rumahnya menjadi sepi. Jika adiknya itu ada di rumah, seakan-akan setiap saat mereka itu selalu bertengkar. Tetapi jika adiknya itu pergi, maka Raden Teja Prabawa itu pun merasa semakin sendiri, justru karena sikap Raras kepadanya.

Sebelum Rara Wulan meninggalkan rumahnya, maka Rara Wulan serba sedikit telah memberitahukan kepada kakaknya itu. Tetapi Rara Wulan tidak sampai hati untuk mengatakan sebagaimana dikatakan Raras. Ia masih berusaha untuk memperlunaknya, meskipun ia tahu bahwa hal itu hanya dapat menunda kekecewaan saja.

Ki Lurah Branjangan yang berada pula di dalam iring-iringan itu juga tidak banyak bicara. Sebagai seorang kakek, ia dapat merasakan betapa Teja Prabawa mengalami goncangan perasaan mirip seperti Raras sendiri.

Beberapa lama mereka berkuda, maka mereka pun telah menuruni jalan yang langsung menuju ke tempat penyeberangan. Ternyata mereka memilih menyeberang di penyeberangan sebelah selatan yang agak lebih ramai. Beberapa buah rakit tersedia di sisi sebelah barat dan timur Kali Praga.

Ternyata bahwa kelompok kecil orang-orang berkuda itu tidak dapat berada di satu rakit. Sebuah rakit yang siap menyeberang hanya muat tiga orang di antara mereka bersama kudanya. Selebihnya harus mempergunakan rakit yang lain. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan-lah yang lebih dahulu yang menyeberang, bersama-sama dengan beberapa orang yang telah lebih dulu di atas rakit itu.

Seorang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal sempat menggerutu, “Kuda-kuda itu sangat mengganggu. Baunya aku tidak tahan.”

Agung Sedayu yang duduk tidak terlalu jauh dari oprang itu berdesis, “Kami mohon maaf Ki Sanak. Kami tidak mempunyai cara lain untuk menyeberang.”

“Sebaiknya kalian mempergunakan rakit khusus. Tidak bersama-sama dengan penumpang rakit yang lain.”

“Aku mengerti Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu.

“Apalagi bersama dengan perempuan-perempuan yang berpakaian tidak sewajarnya itu,“ katanya pula.

Beberapa orang penumpang yang lain memang sedang memandangi pakaian Sekar Mirah dan Rara Wulan, yang memakai pakaian khususnya karena mereka menempuh perjalanan berkuda.

Wajah Rara Wulan menjadi gelap. Tetapi Sekar Mirah yang lebih tua hanya tersenyum saja. Ia sudah terlalu sering mendengar suara-suara sumbang seperti itu, sehingga akhirnya Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi.

Tetapi orang yang berpakaian rapi dan bagus itu masih berkata, “Sebenarnya kedua perempuan itu cantik. Tetapi kenapa mereka tidak berpakaian dan berias seperti perempuan yang lain?”

Agung Sedayu yang menjawab dambil tersenyum, “Sejak kecil mereka senang berpakaian seperti laki-laki. Mereka senang menunggang kuda dan bahkan melakukan perbuatan-perbuatan lain seperti seorang laki-laki. Perempuan yang lebih tua itu adalah seorang tukang blandong. Ia menerima upah untuk menebang pohon-pohon besar dimanapun. Kemudian memotong-motongnya dan membelahnya. Karena itu, maka ia memiliki kekuatan dan bentuk tubuh seorang laki-laki.”

“Dan keluarganya tidak melarangnya?” bertanya orang itu.

“Aku kakaknya. Aku senang ia dapat membantu aku,” jawab Agung Sedayu.

Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya dengan nada tinggi, “Aku tidak percaya. Pakaianmu bukan seorang blandong.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tentu tidak, karena kami baru saja mengunjungi saudara kami yang sedang menyelenggarakan peralatan. Apakah dalam peralatan kami berpakaian seperti tukang blandong?”

Orang berpakaian rapi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil memandang Rara Wulan ia bertanya, “Apakah ia juga tukang blandong?”

“Ia baru belajar. Adikku yang bungsu itu mempunyai kebiasaan seperti kakaknya juga,” jawab Agung Sedayu.

Tetapi orang berpakaian rapi itu berkata, “Tukang blandong tidak akan memiliki seekor kuda seperti kudamu itu. He, kau jangan mempermainkan aku ya?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Aku minta maaf Ki Sanak. Tetapi sebenarnyalah bahwa keduanya memiliki sifat sebagai laki-laki.”

Orang berpakaian rapi itu termangu-mangu sejenak. Tetapi hampir tidak berkedip ia selalu memandangi Rara Wulan, sehingga Rara Wulan akhirnya menyadari pandangan mata laki-laki itu, sehingga ia harus berputar dan duduk membelakanginya.

Orang itu memang diam, meskipun ia masih saja memandang penggung Rara Wulan.

Sikap itu ternyata membuat Sekar Mirah dan Agung Sedayu berdebar-debar. Mungkin saja bahwa persoalan itu akan berkembang setelah mereka turun dari rakit di seberang.

Untuk beberapa saat mereka yang ada di atas rakit itu saling berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desah nafas para tukang satang yang bekerja keras mengayuh rakit itu ke seberang.

Tidak jauh di belakang rakit itu, sebuah rakit yang lain juga tengah menyeberang. Di atas rakit itu duduk beberapa orang yang menyeberang bersama dengan kuda tunggangan mereka.

Beberapa saat kemudian rakit itu pun telah merapat di tepian sebelah barat. Para penumpangnya segera berloncatan turun. Demkian pula Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan. Agung Sedayu yang telah hampir melupakan orang berpakaian rapi dan mahal itu, tiba-tiba terkejut ketika orang itu menggamitnya. Hampir berbisik orang itu bertanya, “He, apakah kedua adikmu itu sudah bersuami?”

Pertanyaan itu memang mengejutkan Agung Sedayu. Ia melihata sorot mata yang liar di mata orang yang terbungkus oleh pakaian yang rapi dan dibuat dari bahan yang mahal itu.

Tetapi Agung Sedayu tidak berubah sikapnya. Iapun kemudian menjawab, “Sudah Ki Sanak. Kedua-duanya sudah bersuami.”

“Dimana suaminya?” bertanya orang itu pula.

“Di rumah,” jawab Agung Sedayu singkat.

“Dimana rumahnya?” bertanya orang itu selanjutnya.

“Di Mataram. Keduanya istri prajurit. Lihat, lihat bagaimana ia mengenakan pakaian. Mereka meniru pakaian suami mereka,” jawab Agung Sedayu. Ia berharap dengan demikian maka orang itu tidak bertanya lebih jauh.

Tetapi ternyata perhitungan Agung Sedayu keliru. Orang itu tiba-tiba berkata, “Mumpung suami mereka tidak ada. He, aku mempunyai sepasang gelang bermata berlian. Aku akan memberikan kepada mereka berdua.”

“Ki Sanak,” Agung Sedayu benar-benar tersinggung, “sebaiknya Ki Sanak jangan membuat kami merasa tersinggung. Kami orang baik-baik yang sudah tentu tidak ingin mendengar kata-kata Ki Sanak seperti itu.”

Tetapi orang itu tertawa. Ketika ia berpaling sambil mengangguk, maka dua orang bertubuh raksasa mendekatinya. Sambil bertolak pinggang orang itu bekata, “Aku tidak memaksa Ki Sanak. Jika kalian keberatan, apa boleh buat. Tetapi jangan menjawab kasar begitu. Kau harus tahu dengan siapa kau bebicara sekarang ini.”

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “kami akan meneruskan perjalanan kami. Itu, kawan-kawan kami sudah turun pula dari rakit mereka.”

Orang itu berpaling. Dilihatnya beberapa orang meloncat turun. Kemudian menarik kendali kuda turun dari rakit pula.

Sejenak orang itu termangu-mangu. Dua orang yang bertubuh raksasa yang tadi juga berada di rakit yang sama, berdiri tegak sambil menggenggam hulu parang mereka yang besar.

Orang berpakaian rapi itu mengerutkan dahinya. Orang yang berkuda itu memang membuatnya berpikir ulang. Bukan karena mereka menggetarkan jantungnya. Tetapi justru ia berdesis, “Apakah aku harus membunuh sekian banyak orang?”

Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Tetapi ia berusaha untuk tidak memberikan kesan apapun juga, karena ia mengira bahwa orang itu tentu tidak bersungguh-sungguh. Mungkin hal itu hanya lontaran ungkapan kejengkelannya saja. Karena itu maka Agung Sedayu pun kemudian telah menarik kudanya sambil berkata kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, “Marilah. Kita pergi saja. Kita sudah terlalu siang berangkat.”

Tetapi Agung Sedayu justru telah mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan yang sangat lemah sekalipun dari orang yang berpakaian mahal itu.

Ternyata orang yang umurnya sudah separuh baya telah berdiri di sebelahnya sambil berkata, “Kau jangan berbuat sekehendakmu sendiri. Pamanmu Resi tidak senang dengan tingkah lakumu itu. Biarkan mereka pergi.”

Tetapi orang berpakaian rapi itu menjawab, “Paman Resi tidak akan mengurusi persoalanku dengan perempuan.”

“Tetapi kau datang bersamanya untuk kepentingan tertentu. Ingat, bahwa Kakang Resi tidak senang melihat orang yang pernah datang mendahuluinya terlibat dalam persoalan pribadi, khususnya perempuan, sehingga ia sama sekali tidak bersedia membantunya sampai orang itu terbunuh.”

Pembicaraan itu memang sangat menarik perhatian Agung Sedayu, yang dapat mendengarnya meskipun hanya sebagian. Tetapi jelas baginya bahwa orang itu mempunyai hubungan dengan seorang yang disebut Paman Resi. Dengan cepat Agung Sedayu menghubungkan sebutan itu dengan nama seseorang yang sedang menjadi pembicaraan orang-orang Mataram. Resi Belahan.

Tiba-tiba saja Agung Sedayu berbalik. Demikian cepat sehingga seseorang tidak sempat berpikir tentang sikapnya itu. Kepada orang yang separuh baya itu Agung Sedayu bertanya, “Kau adik Resi Belahan?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu orang itu bertanya, “Siapakah kau?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bahwa orang itu tidak menjawab dengan serta merta bahwa ia tidak mengenal Resi Belahan atau dengan tegas menolak pertanyaan Agung Sedayu itu, telah memperkuat dugaan Agung Sedayu, bahwa orang-orang itu mempunyai sangkut paut dengan Resi Belahan yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Mataram. Apalagi orang itu telah menyebut tentang orang yang mendahului mereka telah terbunuh. Agung Sedayu menduga bahwa yang dimaksud tentu Ki Manuhara.

Karena itu, maka sekali lagi Agung Sedayu memandang orang-orang itu dengan tajamnya. Orang yang umurnya separuh baya, orang yang berpakaian rapi dari bahan-bahan yang mahal namun matanya menyala dengan liar. Kemudian dua orang raksasa yang agaknya pengawal orang yang berpakaian rapi itu.

Agung Sedsayu yang memiliki ingatan yang sangat tajam itu seakan-akan telah mengukir wajah-wajah itu di dinding jantungnya, sehingga untuk seterusnya ia tidak akan dapat melupakannya.

Baru sejenak Agung Sedayu itu pun berkata, “Baiklah, aku minta diri untuk meneruskan perjalananku. Aku akan mengantarkan adik-adikku dan kawan-kawanku itu.”

Orang yang berpakaian rapi itu sudah akan bergerak, namun orang yang separuh baya telah menggamitnya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan membuat persoalan tentang hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita tidak boleh terjebak seperti orang yang telah mati itu, yang melibatkan diri dalam persoalan yang seharusnya tidak ditangani.”

“Tetapi orang itu justru bertanya tentang Paman Resi,” berkata orang berpakaian rapi itu.

Orang yang separuh baya itu baru menyadarinya. Karena itu, maka iapun berdesis, “Apa yang sebaiknya kita lakukan?”

“Sebelum orang itu sempat berbicara kepada kawan-kawannya, orang itu harus dibunuh. Mungkin ia mendengar pembicaraan kita selagi ia melangkah pergi. Agaknya kita berbicara terlalu keras, sehingga ia mendengar aku atau Paman menyebut Paman Resi.”

Orang yang sudah separuh baya itu termangu-mangu. Namun katanya, “Itu tidak perlu. Mereka mempunyai beberapa orang kawan.”

“Bagaimana dengan pengenalannya atas Paman Resi?”

“Ia hanya menyebut nama Kakang Resi Belahan. Tetapi orang itu tentu belum pernah melihat Kakang Resi itu. Sedangkan orang-orang Mataram juga sudah tahu bahwa Kakang Resi ada di Mataram beberapa saat yang lalu. Bahkan hampir saja Kakang Resi itu terjebak.” 

“Jika demikian, apakah orang itu termasuk orang penting di Mataram?” orang berpakaian rapi itu bertanya.

“Menurut pengakuannya, kedua perempuan itu adalah istri prajurit. Mungkin ia pernah mendengar dari suami kedua perempuan itu.”

“Kedua perempuan itu cantik,” desis orang yang berpakaian rapi dan mahal itu.

Orang yang sudah separuh baya itu menggeleng kecil sambil berkata, “Jaga dirimu baik-baik dengan kelemahanmu itu. Kau dapat terjerat sebagaimana Ki Manuhara, meskipun dengan maksud yang berbeda.”

Orang yang berpakaian bagus dan mahal itu tidak menjawab. Tetapi ia justru tertawa. Katanya, “Aku akan mencarinya sampai ketemu. Aku memerlukan mereka berdua.”

“Tetapi jika itu membatalkan semua rencana pamanmu Resi, maka kau tahu akibatnya.”

Sekali lagi orang itu tertawa. Katanya, “Apakah Paman menyangsikan ilmuku?”

“Siapa yang menyangsikan ilmu Ki Manuhara sebelumnya?“ orang yang sudah separuh baya itu bertanya pula.

Orang berpakaian rapi dan mahal itu tidak menjawab. Namun sekilas orang itu memandang Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berdiri di antara beberapa orang laki-laki yang menuntun kuda mereka masing-masing.

Adalah di luar dugaan orang yang berpakaian mahal itu, ketika ternyata Rara Wulan juga berpaling kepadanya. Bahkan kemudian nampak gadis itu tertawa.

“Setan betina,” geram orang yang berpakaian rapi itu, “perempuan itu memanggilku.”

“Tidak. Ia tidak memanggilmu. Yang memanggilmu justru iblis yang akan menelanmu ke dalam jebakannya.”

Orang yang berpakaian bagus itu memang mengurungkan niatnya untuk mendekati Rara Wulan. Orang itu sebenarnya tidak tahu sama sekali, bahwa Agung Sedayu sengaja minta agar Rara Wulan mengganggunya. Katanya hampir berbisik, “Pancing orang itu, agar kita dapat bertemu atau setidak-tidaknya berhubungan lagi. Orang itu akan dapat menjadi jembatan kita menuju kepada orang yang bernama Resi Belahan itu.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi wajah Glagah Putih menjadi gelap. Agaknya ia tidak sependapat dengan cara yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya, “Kenapa kita tidak membuat satu persoalan agar kita dapat berselisih dengan orang itu? Bukankah akibatnya akan sama saja? Orang itu dan mungkin Resi Belahan akan mencari kita.”

“Tetapi perselisihan itu sendiri akan dapat berkembang. Akibatnya mungkin tidak kita duga sebelumnya. Bagaimana jika orang itu terbunuh? Bukankah kemungkinan itu dapat terjadi, karena orang itu tentu juga orang berilmu tinggi?”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi Agung Sedayu pun mengerti, bahwa Glagah Pitih tidak ingin Rara Wulan dipergunakan untuk memancing orang itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Marilah. Kita meneruskan perjalanan.”

Sejenak kemudian, maka sekelompok kecil orang-orang berkuda itu pun segera meneruskan perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara orang berpakaian bagus itu masih berdiri di tepian.

Orang itu terkejut ketika seorang tukang satang bertanya, “Apakah Ki Sanak belum mengenal mereka?” “Belum,” jawab orang itu, “apakah kau mengenalnya?” orang itu tiba-tiba berharap.

“Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka memang sering menyeberang.”

“He,” orang itu semakin tertarik, “siapa namanya? Dan apakah kau juga mengenal kedua perempuan itu?”

“Aku tidak banyak mengenal mereka. Tetapi yang aku tahu mereka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Terima kasih, kau sangat baik.” Di luar dugaan tukang satang itu, maka orang yang berpakaian mahal itu telah mengambil beberapa keping uang dan diberikan kepada tukang satang itu, “Terima kasih atas keteranganmu.”

Tukang satang itu pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Terima kasih atas kemurahan hati Ki Sanak.”

Orang yang sudah separuh baya itu menarik nafas panjang. Ia tahu pasti, bahwa orang yang berpakaian rapi itu tentu akan mencari kedua perempun itu di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Namun iapun memperingatkan, “Kita juga bertugas di Tanah Perdikan Menoreh. Hati-hatilah. Jangan sampai tugas kita gagal hanya karena kedua perempuan itu. Kau dapat mencari ganti berapa saja kau ingin, kelak jika tugas itu sudah selesai.”

“Baik Paman. Tetapi senyum perempuan itu membuat aku gila,“ jawab orang itu.

“Kau memang gila,“ berkata orang yang sudah berumur separuh baya itu, “tetapi kegilaanmu itu jangan sampai merusak segala rencana yang sudah disusun oleh Resi Belahan.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Aku bukan anak-anak lagi Paman. Aku akan dapat mengatur segala-galanya.”

“Tetapi kegilaanmu itu kadang-kadang tidak terkendali,” berkata orang separuh baya itu.

Orang berpakaian bagus dan rapi itu hanya tertawa saja.

“Marilah,” berkata orang separuh baya. Lalu katanya kepada kedua raksasa yang mengawal orang berpakaian bagus itu, “Kau harus ikut mencegah setiap langkahnya yang kurang menguntungkan bagi rencana kita. Kau orang-orang tua, jangan hanya menurut saja seperti orang-orang dungu.”

Kedua orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu. Tetapi pada wajah mereka memang nampak betapa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir. Yang terpancar dari matanya bukan kecerdikan mereka serta ketajaman akal budi, tetapi seperti sorot mata seekor srigala yang lapar.

Orang yang sudah separuh baya itu tiba-tiba membentak, “He, kau dengar kata-kataku?”

Dengan gagap kedua orang itu menyahut hampir berbarengan, “Ya. Ya aku dengar.”

Tetapi orang yang berpakaian rapi dan bagus yang terbuat dari bahan-bahan yang mahal itu tertawa. Katanya, “Paman masih saja menganggap aku sebagai kanak-kanak.”

“Sudahlah,“ berkata orang yang sudah berumur separuh baya. “Orang-orang berkuda itu sudah hilang dari pandangan kita. Marilah kita meneruskan perjalanan. Menurut penglihatanku, orang-orang bekuda itu tentu orang-orang yang berpengaruh di Tanah Perdikan. Biarlah aku mencari keterangan tentang mereka. Orang-orang kita yang sudah lebih dahulu berada di Mataram tentu akan dapat memberikan keterangan. Tetapi ingat, jangan merusak segala-galanya.”

Orang yang bermata liar tetapi terbungkus oleh pakaian yang bagus itu tertawa berkepanjangan. Namun mereka kemudian telah meninggalkan tepian. Sementara orang separuh baya itu masih berdesis, “Tanah Perdikan adalah ladang yang harus kita garap sebelum Mataram mulai dicangkul.”

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kelompok kecilnya menyusuri jalan yang langsung menuju ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Di perjalanan mereka tidak terlalu banyak berbincang. Mereka seakan akan telah tenggelam dalam persoalan mereka masing-masing.

Tetapi Sabungsari memang tidak begitu memikirkan orang-orang yang ditemui di tepian itu. Pikirannya kadang-kadang masih tersangkut di rumah Ki Rangga Wibawa. Meskipun ia sudah bertekad untuk tidak akan menemui Raras lagi, tetapi wajah gadis itu masih saja sering melintas di angan-angannya.

Tetapi sekali-kali Sabungsari itu sempat juga mengingat bahwa umurnya telah menjadi semakin tua. Meskipun ujudnya masih tidak berselisih jauh dari Glagah Putih, tetapi umurnya terpaut agak banyak.

“Meskipun demikian, tentu bukan alasan untuk mengganggu keakraban hubungan antara dua orang yang telah mengarah pada satu kehidupan berkeluarga,” kata Sabungsari kepada dirinya.

Sementara itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berkuda di paling depan masih sempat sekali-kali berbincang. Dengan senyum kecil Sekar Mirah berkata, “Rara, aku yakin bahwa orang itu akan mencarimu sampai ketemu di seluruh Tanah Perdikan ini.”

Rara Wulan pun tersenyum pula. Katanya, “Bukan hanya aku, orang itu akan mencari Mbokayu.”

“Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak marah. Sementara nampaknya Glagah Putih tidak senang kau tersenyum dengan orang itu.”

“Bukankah aku hanya tersenyum saja?“ desis Rara Wulan, “Biarlah Kakang Agung Sedayu yang mempertanggung jawabkan.”

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Glagah Putih tentu tidak benar-benar marah. Ia hanya tidak setuju dengan cara yang dipilih Kakang Agung Sedayu.”

Rara Wulan pun tertawa. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Jadi, kita dapat mengerti betapa Raden Antal hampir menjadi gila karena Rara Wulan tidak menghiraukanya.”

“Ah Mbokayu,” desis Rara Wulan. Lalu iapun bertanya, “Bagaimana dengan Kakang Agung Sedayu waktu itu?”

“Tidak ada masalah,” jawab Sekar Mirah sambil tertawa pula.

Ternyata Rara Wulan juga tertawa semakin keras.

Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga yang berkuda di belakangnya tidak mendengar yang mereka bicarakan. Mereka hanya melihat kedua orang itu tertawa.

Demikianlah, maka iring-iringan itu pun semakin lama semakin mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itulah, maka perjalanan mereka mulai tersendat. Orang-orang yang sedang berada di sawah telah menyapa mereka yang sudah beberapa lama tidak nampak di Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan ramah mereka yang baru kembali ke Tanah Perdikan itu menjawab setiap pertanyaan, agar tidak mengecewakan orang-orang yang seakan-akan telah menyambut kedatangan mereka itu.

Semakin dekat dengan padukuhan induk, maka mereka pun menjadi sering menjawab pertanyaan-pertanyaan dan sapa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang mengenal mereka dengan baik. Terlebih-lebih lagi jika mereka melewati padukuhan-padukuhan yang cukup ramai.

Beberapa saat kemudian maka mereka pun telah memasuki padukuhan induk. Namun Agung Sedayu minta agar mereka langsung pergi menghadap Ki Gede untuk melaporkan kedatangan mereka.

“Daripada nanti kita harus pergi lagi setelah kita pulang,” berkata Agung Sedayu.

Ternyata yang lain pun sependapat. Jika mereka sudah sampai di rumah, agaknya mereka akan malas untuk segera pergi lagi, meskipun hanya untuk menghadap Ki Gede.

Ki Gede yang kebetulan ada di rumah, menyambut mereka dengan senang hati. Dengan kehadiran mereka kembali di Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya keadaan akan menjadi semakin tenang.

Tetapi dalam pertemuan itu pula Agung Sedayu telah melaporkan, bahwa beberapa orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Mereka orang-orang yang baru, sepeninggal Ki Manuhara yang telah terbunuh di dekat susukan Kali Opak.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, “Kami mohon maaf Ki Gede. Mungkin pesoalan itu masih menyangkut keberadaan kami di Tanah Perdikan ini.”

“Tidak ada yang salah dalam hal ini Ngger,“ sahut Ki Gede, “apa yang kita lakukan bukan untuk kepentingan diri kita sendiri semata-mata. Yang kita lakukan akan memberikan arti bagi kampung halaman khususnya, dan Mataram pada umumnya.”

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Ia sudah melaporkan segala-galanya yang terjadi di Mataram, sehingga Ki Gede mempunyai pandangan yang jelas dalam hubungannya dengan orang-orang yang memasuki Perdikan Menoreh.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Agung Sedayu pun telah minta diri bersama-sama dengan sekelompok orang yang datang bersamanya.

“Kami akan beristirahat dahulu Ki Gede. Besok kami akan menghadap lagi,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Gede pun telah memanggil Prastawa untuk memberitahukan kehadiran beberapa orang yang harus diawasi di Tanah Perdikan.

“Perintahkan para pengawal untuk semakin berhati-hati. Yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh sepengetahuan Agung Sedayu ada empat orang,“ berkata Ki Gede.

“Baik Ki Gede,“ jawab Prastawa.

Ki Gede pun telah memberikan beberapa ciri-ciri dari keempat orang itu sesuai dengan keterangan Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Kau dapat bertemu sendiri dengan Angger Agung Sedayu atau Glagah Putih. Kau dapat menanyakan langsung kepada merekam ciri-ciri orang yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh dengan niat yang kurang baik itu.”

“Baik Paman,“ jawab Prastawa, “aku akan menghubungi mereka dan para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan.”

Seperti biasanya maka Prastawa pun bekerja dengan cepat. Hari itu juga Prastawa telah memanggil para pemimpin kelompok di padukuhan-padukuhan. Bahkan Prastawa juga memanggil Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk memberikan penjelasan langsung kepada mereka. 

Sementara Tanah Perdikan Menoreh mempersiapkan diri menghadapi persoalan yang masih saja rumit, di Mataram, Raras merasa hari-harinya semakin sepi. Raden Teja Prabawa sudah tidak menarik lagi baginya. Apalagi Wacana selalu berkata kepadanya, bahwa anak-anak muda seperti Teja Prabawa tidak dapat di harapkan untuk dapat membahagiakannya.

“Dalam keadaan yang sulit, Raden Teja Prabawa tentu akan meninggalkan tanggung jawab,” berkata Wacana tidak hanya sekali dua kali.

Namun dalam pada itu, Ki Rangga Wibawa memang menjadi semakin cemas melihat perkembangan sikap Wacana. Ia nampak hampir selalu berada di dekat Raras. Bahkan ketika Raras sudah mau duduk di serambi seorang diri, Wacana masih saja ingin menemaninya. Ia tidak berusaha melatih agar Raras menemukan keberaniannya kembali.

Sedang menurut penglihatan kedua orang tua Raras, persoalan yang membuat Raras sering merenung telah bergeser dari persoalan yang semula. Raras tidak lagi selalu dibayangi oleh ketakutan. Tetapi ia masih saja nampak selalu murung.

Tetapi Ki Rangga Wibawa masih belum sampai hati untuk berbicara langsung dengan Raras maupun dengan Wacana.

“Ki Rangga,“ desis Nyi Rangga ketika ia sempat berbincang dengan suaminya, “bagaimana menurut pertimbangan Ki Ranga tentang Raras? Aku melihat semakin jelas sesuatu yang lain dalam pandangan mata Wacana terhadap adiknya.”

“Aku juga menjadi gelisah, Nyi,“ berkata Ki Rangga Wibawa. “Jika Raras mulai berpaling dari Raden Teja Prabawa, maka kita akan mengalami kesulitan lagi. Raras telah dibebaskan dari tangan-tangan orang yang menculiknya oleh keluarga atau orang-orang yang berhubungan dengan keluarga Raden Teja Prabawa. Jika benar dugaan kita bahwa benar ada hubungan antara Raras dan Wacana, maka persoalannya bukan saja persoalan kecil.”

“Apalagi mereka masih ada hubungan darah,” berkata Nyi Rangga.

“Seandainya soal itu dapat kita kesampingkan, persoalan lebih besar akan dapat menerpa keluarga kita. Bahkan mungkin akibatnya lebih parah daripada yang pernah terjadi dengan Raras. Orang-orang yang telah membebaskan Raras adalah orang-orang berilmu sangat tinggi. Mereka berhasil mengalahkan Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara. Bayangkan, jika mereka marah dan berbuat sesuatu atas kita.”

“Apakah sebaiknya kita berterus terang kepada Raras?” bertanya Nyi Rangga.

“Kita akan menunggu beberapa saat lagi. Jika kesempatan itu datang, maka kita memang harus berterus terang. Apapun yang akan terjadi, kita memang harus memberitahukan kepada Tumenggung Purbarumeksa. Itu tentu akan lebih baik daripada Ki Tumenggung mendengar dari orang lain,” jawab Ki Rangga meskipun ragu.

Tetapi Raras sendiri semakin lama merasa betapa dunianya menjadi semakin sunyi. Kehadiran Wacana hampir di setiap saat tidak dapat mengisi kesunyian di hatinya itu.

Hampir setiap saat Raras selalu diganggu oleh bayangan seorang laki-laki yang berilmu tinggi, yang telah melindunginya langsung di saat ia berada di dekat susukan Kali Opak. Raras merasa perasaannya menjadi sangat tenang jika ia berada di dekat orang itu. Tetapi orang itu sudah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, tanpa diketahui kapan ia akan datang lagi.

Semakin lama perasaan yang bergejolak di hatinya itu terasa menekan jantungnya. Pandangannya terhadap Raden Teja Prabawa benar-benar sedah berubah. Ia sependapat dengan Wacana, bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang laki-laki yang akan dapat melindunginya.

Tetapi satu hal yang sama sekali menyimpang dari keinginan Wacana. Ia memang berhasil mempengaruhi sikap Raras terhadap Raden Teja Prabawa dengan perlahan-lahan. Tetapi Raras tidak bergeser dari Raden Teja Prabwa, yang dinilainya tidak mampu melindunginya itu, kepadanya. Kepada Wacana. Meskipun setiap kali Wacana selalu menceritakan tentang dirinya sendiri. Tentang perguruannya, dan tentang apa saja yang sudah diperoleh dari perguruannya itu.

Raras memang menjadi heran ketika Wacana menunjukkan kepadanya betapa besar kekuatannya. Dengan kekuatan tangannya Wacana telah membengkokkan besi gligen. Bahkan kemudian dengan tangannya pula mampu memanasi batang besi itu sehingga benar-benar menjadi panas.

Tetapi sikap Raras kepadanya tidak berubah. Sikap seorang adik kepada kakaknya. Bahkan Wacana tidak mampu membuat wajah Raras menjadi tenang. Gadis itu masih saja tetap murung dan merasa dunianya sunyi.

“Raras,“ berkata Wacana pada suatu saat, “seharusnya kau sudah berubah. Aku lihat kau sudah menjadi semakin menemukan dirimu sendiri. Kau tidak lagi dibayangi oleh ketakutan. Kau sudah berani duduk sendiri di serambi. Bahkan kau sudah sering berada di dapur. Tetapi kenapa kau masih tetap murung? Wajahmu gelap, pandangan matamu menerawang ke tempat yang tidak pasti. Apa sebenarnya yang kau simpan di dalam hatimu? Apakah kau masih berharap Raden Teja Prabawa itu datang kepadamu? Menurut penglihatanku, ketika Raden Teja Prabawa datang kemari, kau tidak lagi menanggapinya sebagaimana sebelumnya, karena agaknya kau dapat mengerti bahwa Raden Teja Prabawa tidak akan dapat kau jadikan tempat untuk berlindung.”

Raras menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berdesis, “Hidupku memang sepi Kakang.”

“Kenapa? Kau dapat mengisi hari-harimu dengan apa saja yang kau inginkan. Mungkin sekali-sekali kau ingin keluar rumah dengan perasaan tenang tanpa ketakutan,“ desis Wacana.

Raras memandang Wacana sejenak. Namun ia kemudian mengangguk kecil sambil berkata, “Ya Kakang. Sekali-sekali aku memang ingin berjalan-jalan. Aku tidak dapat terus-menerus seperti hidup dalam penjara meskipun di rumahku sendiri.”

“Kenapa tidak kau katakan sejak awal? Bukankah aku dapat menemanimu kemanapun kau ingin pergi, tanpa merasa takut? Aku akan dapat melindungimu lebih dari siapa saja. Kau tahu bahwa aku memiliki ilmu dan kemampuan yang tidak kalah dengan orang lain. Bahkan dengan Bajang Bertangan Baja sekalipun.”

Raras mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak segera menjawab. Bahkan tatapan matanya justru menjadi semakin menerawang jauh sekali.

“Raras, apa yang sebenarnya kau pikirkan? Jika kau masih merindukan Raden Teja Prabawa, biarlah aku memanggilnya. Tetapi seperti yang sudah sering aku katakan, laki-laki seperti Raden Teja Prabawa itu tidak akan banyak berarti bagi seorang perempuan, karena dia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Selagi ayahnya masih berkuasa, mungkin Ki Tumenggung dapat memerintahkan sekelompok prajurit penjaga dan melakukan tugas-tugas yang seharusnya bukan tugas prajurit. Tetapi apakah selamanya ia akan menggantungkan diri pada keadaan seperti itu?”

Raras menggeleng lemah. Dengan nada dalam ia menjawab, “Tidak Kakang. Aku tidak lagi memikirkan Raden Teja Prabawa.”

“Nah, jika demikian tidak seharusnya kau menjadi murung seperti itu. Kau harus mulai memasuki duniamu yang wajar. Tanpa ketakutan dan kecemasan. Pergilah kemana saja yang kau ingini. Aku akan melindungimu,“ berkata Wacana.

Raras menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Kakang. Aku percaya bahwa kau dapat melakukannya. Sebenarnya aku juga ingin berbuat demikian. Tetapi aku tidak akan terlalu bergantung kepadamu untuk seterunya.“

“Kenapa tidak Raras? Bukankah aku ini kakakmu? Dan lebih dari itu, aku dapat kau minta untuk melakukan apa saja,” berkala Wacana.

Raras memandang Wacana sejenak. Dengan mata yang redup ia berkata, “Aku mengerti Kakang. Akupun merasa bahwa aku hanya dapat mengeluh dan bahkan menyampaikan gejolak di dalam hatiku kepadamu. Aku tidak dapat mengatakanya kepada Ayah dan Ibu, karena setiap kali Ayah dan Ibu masih saja menyebut nama Raden Teja Prabawa.”

Jantung Wacana menjadi berdegup semakin cepat. Dengan serta merta ia berkata, “Katakan Raras. Aku mengerti sepenuhnya persaanmu.”

“Kakang,“ berkata Raras dengan suara yang hampir tidak terdengar, “aku sudah tidak dapat memaksa diri untuk bergantung kepada Raden Teja Prabawa.”

Wajah Wacana pun menegang. Dengan suara yang sedikit bergetar ia berkata, “Kau sebaiknya berterus terang Raras. Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan bersedia berbuat apa saja bagimu. Aku bukan sekedar kakakmu. Tetapi aku adalah orang yang akan bersedia melindungimu. Bahkan seterusnya.”

“Terima kasih Kakang,” jawab Raras, yang kurang menilik kata-kata Wacana ke kedalaman. Ia lebih sibuk dengan angan-angan sendiri, daripada mendengar dan mengerti apa yang dikatakan oleh saudara sepupunya.

Namun kemudian dengan sendat ia berkata, “Kakang. Apakah kau benar akan berbuat apa saja untukku?”

“Tentu Raras,” jawab Wacana dengan serta merta.

Tetapi Raras menarik nafas dalam-dalam. Kepala tertunduk sementara mulutnya tiba-tiba saja terkatup.

“Raras. Katakan Raras,” desak Wacana tidak sabar lagi.

Tetapi Raras masih saja berdiam diri.

“Raras. Bagaimana aku mengetahui perasaanmu dan apalagi maksudmu, jika kau hanya diam saja seperti itu?” desis Wacana. Darahnya yang bagaikan semakin cepat mengalir itu telah menghentak-hentak jantungnya semakin keras.

“Tidak Kakang. Aku tidak dapat minta kepadamu,” gumam Raras hampir tidak terdengar.

“Kenapa tidak? Katakan, katakan Raras,” Wacana menjadi semakin mendesak. “Jangan kau hancurkan jantungmu sendiri dengan menahan gejolak perasaanmu. Jika kau bersedia mengatakan, maka hatimu tentu akan menjadi semakin lapang.”

Raras masih saja nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Kakang. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya dapat mengatakan kepadamu. Tidak kepada orang lain. Tidak pula kepada Ayah dan Ibu.”

“Baik Raras. Aku akan mendengarkan dan berbuat apa saja yang terbaik untukmu,” jawab Wacana.

Raras memandang Wacana dengan mata yang sayu. Namun akhirnya ia berkata, “Sejak peristiwa itu Kakang, aku benar-benar kehilangan segala perhatianku kepada Raden Teja Prabawa. Ternyata apa yang pernah kau katakan kepadaku itu benar. Bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang yang bertangung jawab. Ketika peristiwa yang mengerikan itu terjadi, Raden Teja Prabawa itu memang tidak berbuat sesuatu.” Raras terdiam sejenak, “Karena itu Kakang, maka aku tidak lagi berniat untuk menyambung hubunganku dengan Raden Teja Prabawa. Perhatianku ternyata mulai tertuju kepada orang lain.”

“Kepada orang lain?” ulang Wacana, ”Katakan, kepada siapa perhatianmu itu sekarang kau tujukan?”

Wajah Raras menjadi tegang, suaranya semakin bergetar. Katanya, “Apakah aku pantas mengatakannya Kakang? Aku adalah seorang perempuan.”

“Apakah seorang perempuan tidak berhak menyatakan perasaannya? Apakah seorang perempuan harus menyimpan gejolak dalam jiwanya dan membiarkan jantungnya terbakar karenanya?” Wacana menjadi semakin tidak sabar lagi.

Tiba-tiba Raras mengangguk. Katanya, “Aku minta kau menyimpannya bagimu sendiri Kakang.”

“Aku berjanji Raras,” jawab Wacana.

Raras masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kakang. Sejak peristiwa itu terjadi, sejak aku diselamatkan oleh beberapa orang di dekat susukan Kali Opak, maka sejak itu wajah orang yang telah menolongku itu selalu terbayang. Lebih kuat dan lebih dalam sampai ke dasar jantung daripada Raden Teja Prabawa. Selain keteranganmu tentang Raden Teja Prabawa Kakang, kejantanan orang yang menolongku itu telah mendesaknya jauh ke belakang. Sehingga bayangan yang nampak bukan lagi wajah, sikap dan tingkah laku Raden Teja Prabawa, tetapi wajah dan tingkah laku seorang laki-laki sejati yang bernama Sabungsari itu.”

Bagaikan disambar petir Wacana mendengar pengakuan Raras itu. Raras sama sekali tidak menyebut namanya. Gadis itu sama sekali tidak berpaling kepadanya dari Raden Teja Prabawa. Tetapi gadis itu justru berpaling kepada Sabungsari.

Darah Wacana bagaikan menggelegak. Ingin rasanya saat itu juga ia menantang Sabungsari di hadapan Raras, agar Raras menjadi saksi, siapakah di antara mereka yang berilmu lebih tinggi.

Raras yang terlanjur mengatakan perasaannya itu hanya dapat menunduk dalam-dalam. Ia tidak melihat perubahan wajah Wacana yang tiba-tiba menjadi gelap seperti langit yang tertutup mendung yang tebal. Beberapa saat suasana menjadi hening tegang. Kedua-duanya tenggelam dalam arus perasaan masing-masing.

Sejenak kemudian tiba-tiba terdengar Raras justru terisak. Dengan wajah yang masih menunduk ia mengusap air matanya yang mulai mengalir di pipinya.

Wacana pun seperti terbangun dari tidurnya yang dibayangi oleh mimpi yang buruk. Bahkan ia berdesah di dalam hatinya, “Bukan sekedar mimpi buruk. Tetapi keadaanku memang buruk sekali. Kenapa orang-orang Tanah Perdikan itu tiba-tiba hadir di Mataram, dan mendahului aku bertindak menyelamatkan Raras dari tangan Bajang Bertangan Baja itu?”

Tetapi sebenarnyalah hal itu memang sudah terjadi.

Perlahan-lahan Wacana berusaha menguasai gejolak perasaanya. Seandainya ia tidak mampu mengendalikan diri, maka apa yang akan dikatakan oleh pamannya Ki Rangga Wibawa dan bibinya? Karena itu, betapapun isi dadanya menjadi bagaikan terbakar hangus, namun Wacana masih berusaha untuk menguasai diri.

Bahkan dengan nada dalam Wacana bertanya, “Raras, jika itu yang kau kehendaki, maka biarlah aku bertemu dengan Sabungsari untuk mengatakan isi hatimu itu kepadanya.”

Tetapi dengan serta merta Raras menyahut sambil bangkit berdiri, “Jangan Kakang. Jangan katakan kepada siapapun. Apalagi kepada orang itu. Bukankah kau berjanji bahwa kau tidak akan mengatakan kepada siapapun? Aku tidak ingin seorangpun kecuali kau sendiri yang mendengarnya. Karena kau adalah kakakku. Selama ini hanya kepadamu-lah aku dapat mengadukan perasaanku tentang anak muda yang tinggal di hatiku.”

“Tetapi kau tidak dapat menyimpan perasaanmu itu untuk selama-lamanya Raras. Aku juga tidak ingin melihat kau menghancurkan hidupmu sendiri karena kau menyimpan perasaan yang bergejolak di hatimu itu.”

“Biarlah Kakang. Aku akan menyimpan rahasia ini di dalam hatiku, apapun yang terjadi kemudian atas diriku. Tetapi aku tidak mau menanggung malu, karena aku seorang gadis telah menyatakan perasaannya mendahului pernyataan seorang laki-laki. Apalagi Ayah dan Ibu yang sama sekali tidak mengetahui perkembangan perasaanku. Ayah dan Ibu akan dapat menuduhku sebagai seorang gadis yang tidak setia.”

“Jadi kepada ayah dan ibumu kau akan tetap mengatakan bahwa hatimu masih terpaut kepada Raden Teja Prabawa?” bertanya Wacana.

Raras menjadi bingung. Sekali-sekali ia pernah mengatakan kepada ayah dan ibunya tentang sikap dan perasaannya itu terhadap Raden Teja Prabawa.

“Jika demikian, maka kau tidak jujur Raras. Kau harus jujur terhadap kedua orang tuamu. Apa yang tesirat di hatimu, harus kau sampaikan kepada kedua orang tuamu, agar mereka mereka mendapat gambaran yang jelas tentang kau. Tentang anak gadisnya. Dengan demikian, maka kedua orang tuamu tidak akan salah mengambil langkah. Tetapi jika mereka tidak tahu perasaanmu yang sebenarnya, maka akan dapat terjadi langkah-langkah yang diambilnya bertentangan dengan sikap hatimu.”

“Kakang. Bukankah seorang gadis memang tidak dapat banyak memilih?” bertanya Raras.

“Tetapi kau harus mengatakannya. Tentang sikap kedua orang tuamu, itu tergantung pada mereka. Tetapi mereka sudah tahu pasti apa yang kau inginkan.”

Raras tetap menggeleng. Katanya, “Tidak Kakang. Bagiku sudah cukup jika kau saja yang mengetahuinya. Kepada Ayah dan Ibu aku memang pernah mengatakan tentang tanggapanku atas Raden Teja Prabawa sekarang. Terserah kepada Ayah dan Ibu, apa yang mereka lakukan. Tetapi aku tidak akan mengatakan kepada Ayah dan Ibu tentang sikapku terhadap orang yang telah menolongku.”

Wacana tidak menjawab lagi. Meskipun dalam kediamanya itu terasa betapa jantungnya bagaikan berputar di dalam dadanya. Meskipun demikian Wacana masih berusaha untuk menyembunyikan perasaanya.

Tetapi satu hal yang bergejolak di dalam hati anak muda itu. Setahu atau tidak setahu Raras, ia harus menemui Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki ia dapat mempertaruhkan Ilmu dan kemampuannya untuk mendapatkan seorang gadis yang diidamkanya.

“Siapa yang lebih buruk di antara kita harus mundur. Setahu atau tidak setahu Raras,” berkata Wacana di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka Wacana telah merencanakan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Menjumpai Sabungsari dan berbicara sebagai seorang laki-laki dengan seorang laki-laki.

Meskipun hal itu tidak dikatakannya kepada siapapun juga, namun Wacana berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan mencari kesempatan untuk melakukannya.

Di Tanah Perdikan Menoreh, Sabungsari dengan segala macam cara telah berusaha untuk melupakan Raras. Sabungsari benar-benar tidak berniat menjadi sebab terganggunya hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa.

Karena itu, begitu ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka Sabungsari pun telah menenggelamkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan anak muda di Tanah Perdikan bersama Glagah Putih.

Sedangkan dalam waktu luangnya, maka Sabungsari telah menghabiskan waktunya di sanggar atau di tempat-tempat terbuka yang tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Dengan sungguh-sungguh Sabungsari berusaha untuk mengembangkan ilmunya. Sejak ia dengan tuntunan Agung Sedayu berhasil memecahkan hambatan di dalam dirinya, maka Sabungsari perlahan-lahan telah meningkatkan kemampuannya.

Agung Sedayu yang kadang-kadang sempat menungguinya, telah mengagumi betapa tekunnya Sabungsari bergulat dengan ilmunya itu.

Tetapi di luar sadarnya, di tempat lain, Wacana pun telah mengasah tajam ilmu dan kemampuannya. Ia tidak lagi terlalu sering berada di dekat Raras. Tetapi Wacana lebih banyak berada di sanggar pamannya, atau pergi ke tempat-tempat yang sunyi dan terasing untuk menempa diri.

Ada perbedaan alasan antara Wacana dan Sabungsari, yang keduanya dalam waktu yang bersamaan telah menempa diri. Wacana mempersiapkan diri untuk menantang Sabungsari dalam sebuah perang tanding. Tuntas atau tidak tuntas, untuk menentukan siapakah di antara mereka yang harus menyingkir dari sisi Raras. Sedangkan Sabungsari menenggelamkan diri dalam latihan-latihan yang berat justru karena ia ingin melupakan Raras.

Sementara Sabungsari sibuk dengan kegelisahannya sendiri, maka Glagah Putih dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah sibuk pula mengamati keadaan. Sebagaimana dilaporkan oleh Agung Sedayu ketika ia kembali dari Mataram, bahwa empat orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh untuk melakukan tugas yang masih gelap, meskipun sudah diduga bahwa yang akan mereka lakukan itu bukan satu usaha yang baik bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi untuk beberapa saat masih belum ada tanda-tanda bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada gerakan yang dapat mengganggu ketenangan dan apalagi berusaha untuk merusak tata kehidupan.

Tetapi di samping kesiagaan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan juga selalu berhati-hati. Mereka menyadari, bahwa orang yang ditemui di Kali Praga itu pada suatu saat akan mencari mereka. Terutama Rara Wulan. Meskipun hal itu disengaja oleh Agung Sedayu, agar orang yang berpakaian bagus dengan bahan yang mahal itu tidak terlepas dari satu kemungkinan untuk menjadi jembatan usaha mereka bertemu dengan orang yang disebut Resi Belahan.

Sebenarnyalah bahwa orang itu benar-benar telah mencari kedua perempuan yang dikatakan oleh Agung Sedayu sebagai istri prajurit itu.

Namun justru karena itu, maka meskipun Bajang Bertangan Baja telah menyatakan untuk meninggalkan Mataram serta Ki Manuhara telah terbunuh, tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan masih saja harus didampingi oleh seseorang, apalagi jika mereka pergi keluar rumahnya atau pergi ke pasar.

Bahkan kadang-kadang Ki Jayaraga-lah yang harus mengantar mereka pergi ke pasar. Apalagi Ki Jayaraga sendiri memang senang melihat-lihat pasar. Bahkan kadang-kadang Ki Jayaraga yang semakin tua itu minta agar Sekar Mirah dan Rara Wulan membeli makanan anak-anak, karena Ki Jayaraga memang menyukainya. Clorot dan klepon, serta beberapa jenis makanan yang lain.

Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak dapat mencegah jika orang tua itu tiba-tiba saja ingin membeli dawet cendol dan minun di tempat itu juga sambil berjongkok. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan memang lebih senang berbelanja dengan Ki Jayaraga daripada dengan Glagah Putih atau Sabungsari, yang kadang-kadang menjadi tidak telaten jika mereka sedang menawar barang-barang yang akan dibelinya.

Ternyata bahwa akhirnya yang mereka tunggu itu datang juga. Selagi Sekar Mirah dan Rara Wulan berbelanja di pasar, maka tiba-tiba seorang telah menggamit Rara Wulan.

Gadis itu terkejut. Namun demikian ia berpaling, maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Orang itulah yang pernah bertemu di pinggir Kali Praga.

Untunglah bahwa Sekar Mirah dan Rara Wulan waktu itu berada di pasar bersama Ki Jayaraga yang kebetulan tidak pergi ke sawah.

“Ah, kau,” desis Rara Wulan.

“Kau masih ingat aku?“ bertanya orang itu. Matanya masih tetap liar seperti waktu mereka bertemu di pinggir Kali Praga.

“Tentu,” jawab Rara Wulan. “Bukankah kau yang menyeberang Kali Praga bersama kami waktu itu?”

“Ternyata ingatanmu tajam,” jawab orang tua itu. “Nah, apakah suamimu masih belum ada di rumah?“

Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ternyata orang itu berbicara langsung tentang dirinya.

Ketika ia melihat Rara Wulan ragu-ragu, maka iapun mendesak, ”Jangan takut. Jika suamimu marah, aku akan menyelesaikannya.”

“Suamiku ada di rumah sekarang,“ jawab Rara Wulan.

Orang itu mengerutkan dahinya. Iapun berpaling kepada Sekar Mirah, “Dan suamimu?”

“Ya,“ jawab Sekar Mirah, “mereka pulang kemarin sore. Karena itu kami pergi berbelanja untuk suami kami masing-masing.”

“Jangan hiraukan suamimu. Mari ikut aku. Nanti kalian aku antarkan pulang. Aku akan berbicara dengan suami kalian. Aku mempunyai barang-barang yang akan membuat suami kalian tidak akan marah.”

Orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah menjawab, “Hai, kau kira kami ini apa?”

Orang itu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Rara Wulan, Rara Wulan pun berkata, “Jangan menghina kami Ki Sanak. Nanti perutmu dapat dilubangi oleh suami-suami kami.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bukankah kalian bersikap baik ketika kalian berada di tepian Kali Praga?”

“Kami bersikap baik, karena kami mengira bahwa hatimu pun baik dan sebersih pakaiamu,“ jawab Sekar Mirah.

Jantung orang itu berdetak semakin cepat di dadanya. Wajahnya menjadi merah dan telinganya terasa panas. Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan memang sengaja membuat orang itu marah, untuk memancing persoalan. Agar sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu, orang itu akan dapat menjadi jembatan untuk sampai kepada orang yang bernama Resi Belahan.

Sebenarnyalah orang itu bukan saja menjadi marah. Tetapi ia merasa seakan-akan kedua orang perempuan itu sedang mempermainkannya. Karena itu maka iapun menggeram, “Setan-setan betina. Kau kira kau akan dapat luput dari tanganku?”

“Kau mau apa?” tantang Rara Wulan, “Kita berada di pasar. He, lihat. Berapa orang yang sudah mulai memperhatikan kita. Jika kau bertindak kasar dan aku berteriak di sini, maka orang-orang akan berdatangan dan mengerumuni kita. Petugas yang menjaga pasar dan Lurah pasar ini akan segera menangkapmu dan membawamu kepada Ki Gede Menoreh.”

Orang itu menggeretakkan giginya. Ketika ia memandang orang-orang di sekelilingnya, satu dua orang memang tengah memperhatikannya, meskipun yang dilakukannya tidak lebih dari sekedar bercakap-cakap dengan kedua perempuan itu.

Tidak jauh dari Sekar Mirah dan Rara Wulan berbicara dengan orang yang berpakaian bagus dan rapi itu, Ki Jayaraga berjongkok sambil meneguk semelak yang segar, meskipun tidak terlalu banyak orang yang menggemarinya. Ki Jayaraga seakan-akan tidak mempedulikan apa yang terjadi dengan kedua orang perempuan itu.

Ternyata memang tidak terjadi pertengkaran yang berkepanjangan. Orang yang dijumpai di Kali Praga itu segera meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Namun keliaran pandangannya telah memperingatkan agar Sekar Mirah dan Rara Wulan tetap berhati-hati.

Baru setelah orang itu pergi, maka Ki Jayaraga pun bangkit dan mendekati mereka, setelah membayar harga semelak yang diminumnya. Dengan nada rendah Ki Jayaraga berdesis, “Berhati-hatilah Ngger. Orang itu bukan jenis orang yang mudah melepaskan sesuatu yang diingininya.”

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

Ki Jayaraga pun mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Memang satu pancingan yang berbahaya. Tetapi kita tidak mempunyai cara lain. Jika kita tempuh cara yang lebih lunak, agaknya Angger Glagah Putih tidak sependapat. Bukankah itu terasa padamu Rara Wulan?”

“Ah,” desah Rara Wulan.

Ki Jayaraga tersenyum. Sementara itu Sekar Mirah justru tertawa kecil. Katanya, “Kau justru harus berbangga Rara. Jika Glagah Putih tidak mempedulikan apa saja yang kau lakukan, barulah kau mengeluh.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi merah. Yang dapat dilakukannya hanyalah menundukkan wajahnya. Meskipun demikian, seleret senyum nampak di bibirnya.

Demikianlah, mereka bertiga pun segera meninggalkan pasar itu setelah mereka selesai berbelanja. Tanpa meninggalkan kewaspadaan, mereka menyusuri jalan-jalan yang terhitung ramai di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi di sebelah tikungan, mereka harus mengikuti jalan yang berkelok melalui pinggir padukuhan, sebelum sampai di simpang empat dan kembali memasuki padukuhan.

“Di sepotong jalan di pinggir desa itulah satu-satunya kemungkinan bagi orang itu untuk berbuat sesuatu yang mungkin dapat menghambat perjalanan kita,“ berkata Ki Jayaraga.

Sekar Mirah dan Rara Wulan mengangguk kecil. Tetapi sepotong jalan itu tidak cukup panjang untuk berbuat banyak. Apalagi sepotong jalan itu masih tetap melekat pada padukuhan induk.

Sebenarnya masih ada jalan lain yang lebih terlindung dari kemungkinan buruk itu, jika mereka menghendaki. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan memang memilih jalan itu.

Sebelum mereka berbelok memasuki jalan yang menuju ke pinggir padukuhan itu Ki Jayaraga pun berkata, “Mereka ada di belakang kita.”

“Baiklah,“ berkata Sekar Mirah, “satu kesempatan. Tetapi sayang bahwa Kakang Agung Sedayu agaknya sudah berangkat ke barak.”

“Mereka, maksudku orang yang berpakaian bagus itu dengan kedua orang pengawalnya, tidak akan mengikuti kita sampai ke rumah,“ berkata Ki Jayaraga.

“Belum tentu, mungkin mereka ingin melihat rumah kita,“ jawab Rara Wulan.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. “Memang satu kemungkinan. Tetapi apakah kita berniat untuk membawa mereka sampai ke rumah kita?”

“Bagaimana pendapat Ki Jayaraga?“ bertanya Sekar Mirah.

“Jika demikian, maka peristiwa itu akan terulang. Seperti Ki Manuhara, maka mereka akan datang dan menyerang rumah kita.”

“Bukankah itu lebih baik? Kita membatasi persoalan ini di dalam dinding halaman rumah kita. Sementara itu kita akan dapat mengenali Resi Belahan jika ia datang untuk membantu orang yang menyebutnya Paman itu,” desis Sekar Mirah.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika Angger Agung Sedayu setuju.”

“Tetapi kita tidak mempunyai waktu untuk berbicara dengan Kakang Agung Sedayu sekarang,“ desis Rara Wulan.

“Jika demikian, biarlah kita mencoba. Tetapi justru karena kalian mengatakan bahwa suami kalian pulang, mungkin orang itu akan berbuat lain. Mungkin ia mempunyai cara lain selain datang ke rumah kita,” berkata Ki Jayaraga.

Sebenarnyalah, belum lagi Sekar Mirah dan Rara Wulan menjawab, maka orang itu telah menyusul mereka dan bahkan menghentikan langkah mereka.

“Tunggu,“ berkata orang itu, “aku masih ingin bicara. Tetapi tidak di dalam pasar yang ramai.”

Sekar Mirah dan Rara Wulan memang segera berhenti. Demikian pula Ki Jayaraga.

“He, kau orang tua. Kenapa kau juga berhenti? Pergilah. Kami bukan tontonan,“ berkata orang itu.

Tetapi Ki Jayaraga menjawab. “Ki Sanak. Aku adalah mertua mereka keduanya. Kedua perempuan itu adalah menantuku. Suami mereka dua orang kakak beradik.”

“He?” orang itu mengerutkan dahinya, “Jadi suami kalian kakak beradik dan kedua-duanya menjadi prajurit?”

“Ya,“ jawab Sekar Mirah dan Rara Wulan hampir berbareng.

“Aku tidak peduli. Sekarang aku minta kalian berdua mengikuti aku,” berkata orang itu.

“Untuk apa?“ bertanya Sekar Mirah.

“Kalian tidak usah bertanya,“ jawab orang itu, “cepat. Kalian harus turun ke jalan sempit itu dan berjalan ke arah petegalan di sebelah.”

“Ya, untuk apa?” desak Sekar Mirah.

“Jangan bertanya lagi supaya aku tidak menyumbat mulutmu!“ bentak orang itu, “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Cepat!”

Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka sempat memperhatikan dua orang yang bertubuh raksasa yang mengawal orang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal itu.

“Cepat! Jangan membuat aku kehilangan kesabaran.”

“Tatapi kami akan kau bawa kemana?“ bertanya Sekar Mirah.

“Jangan ribut. Pada saatnya kalian akan aku lepaskan untuk pulang ke rumah kalian dan mengadu kepada suami kalian,” geram orang itu.

Ki Jayaraga yang berdiri termangu-mangu itu pun kemudian berkata, “Pergilah. Kalian tidak mempunyai pilihan.”

Sekar Mirah dan Rara Wulan temangu-mangu sejenak. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa mulai bergerak mendekati Sekar Mirah dan Rara Wulan.

“Pergilah,“ Ki Jayaraga mengulang.

Sekar Mirah dan Rara Wulan pun mulai bergerak. Tetapi orang yang berpakaian mahal itu berkata, “Kakek tua. Kau juga harus ikut bersama kami.”

“Kenapa aku juga ikut?” bertanya Ki Jayaraga.

“Kau akan dapat merusakkan acara kami,” jawab orang itu.

Ki Jayaraga tidak membantah lagi. Sekali ia memandang orang yang bertubuh raksasa itu. Sambil membelalakkan matanya salah seorang dari yang bertubuh raksasa itu berkata, “Tutup mulutmu. Jangan banyak bertanya.”

Ki Jayaraga memang tidak bertanya. Sementara itu, orang berpakaian bagus itu berkata kepada salah seorang dari kedua pengawalnya itu, “Kau berjalan di muka.”

Orang itu pun berjalan menjauhi orang-orang yang ada di tempat itu. Kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan harus mengikuti di belakangnya. Baru kemudian orang yang berpakaian rapi itu, sementara Ki Jayaraga harus berjalan diiringi oleh pengawalnya yang seorang lagi.

Dua orang yang kebetulan lewat melihat iring-iringan itu berjalan menyusur jalan sempit. Dari arah yang lain, seorang yang berjalan juga merasa heran melihat Sekar Mirah dan Rara Wulan bersama beberapa orang menyusuri jalan sempit itu.

Tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, maka mereka tidak merasa perlu untuk dengan serta merta memberitahukannya kepada keluarga Agung Sedayu.

“Mungkin mereka mengantar tamu mereka untuk melihat-lihat Tanah Perdikan ini,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang lewat itu.

Sementara itu setelah beberapa saat mereka berjalan, maka seorang yang berpakaian rapi itu telah menggiring Sekar Mirah dan Rara Wulan memasuki sebuah pategalan yang ditanami dengan tanaman yang padat, sehingga demikian mereka memasuki pategalan itu, maka rasa-rasanya iring-iringan itu telah ditelan oleh dedaunan.

Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan terkejut. Ternyata di tengah pategalan itu terdapat lima ekor kuda.

“Cepat naik!“ bentak orang itu. “Kita harus segera menjauhi padukuhan induk. Orang-orang yang melihat kalian pergi bersama kami tentu akan memberikan laporan, sehingga mereka akan mencari kalian. Tetapi kalian akan kami bawa ke tempat yang tak mungkin diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan, meskipun tempat itu masih berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi kami tentu tidak akan dapat naik kuda,“ berkata Sekar Mirah.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian katanya, “Kau jangan bohong. Kau berkuda ketika kau menyeberang Kali Praga.”

“Tetapi tidak dengan pakaian seperti ini,” jawab Rara Wulan.

“Apa bedanya?” bertanya orang itu.

“Dengan kain panjang, bagaimana aku dapat meloncat ke punggung kuda?“ desis Rara Wulan.

“Aku akan mengoyakkan kain panjangmu,“ berkata orang itu.

“Jangan,“ minta Rara Wulan.

“Cepat. Kau ternyata berusaha untuk mengulur waktu. Tetapi aku tidak mau kau perbodoh seperti itu,” geram orang itu.

Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata orang yang berpakaian rapi itu benar-benar akan mengoyak kain panjang Rara Wulan dan Sekar Mirah.

Tetapi Rara Wulan dan Sekar Mirah segera meloncat surut. Ketika kedua orang raksasa itu akan membantu untuk memegangi kedua orang perempuan yang akan dipaksa untuk naik kuda itu, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan benar-benar telah mengejutkan mereka.

Justru karena sikap hati-hatinya, maka di bawah kain panjangnya Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mengenakan pakaian khususnya. Karena itu, sebelum kain panjangnya dikoyak agar mereka dapat meloncat ke punggung kuda, maka keduanya telah menyingsingkan kain mereka.

Orang berpakaian rapi serta kedua raksasa itu tertegun sejenak. Sementara itu Ki Jayaraga berkata, “Nah, mereka sudah siap untuk naik kuda. Tetapi kuda itu hanya lima ekor. Lalu aku harus naik yang mana?”

“Kau akan diseret di belakang salah seekor dari kuda itu. Tubuhmu akan terkelupas, dan setelah kau tidak bernyawa lagi, sosok mayatmu akan dibuang di semak-semak,“ geram salah seorang dari kedua orang raksasa itu.

Tetapi sebelum Ki Jayaraga menjawab, Sekar Mirah pun berkata, “Ki Sanak. Kalian tidak akan dapat memaksa aku untuk naik ke punggung kudamu, meskipun aku sudah mengenakan pakaian khususku. Demikian pula adikku.”

“Kau terpaksa harus mengikuti perintahku agar lehermu tidak dipatahkan oleh kedua raksasa itu,” geram orang itu pula.

“Kau jangan membuat lelucon di hadapanku. Kami berdua adalah istri prajurit. Karena itu, maka kami sering melihat bagaimana mereka berlatih menjaga diri mereka sendiri.”

“Iblis betina kau. Kau kira kau mampu bertahan dalam sekejap? Jangan membuat aku marah. Karena padaku batas antara kasmaran dan kemarahan tidak terlalu jauh. Kedua orang itu akan mengikatmu. Dan seperti yang dikatakannya, jika kalian mencoba melawan, kakek tua itu akan kami ikat di belakang kaki kudaku dan menyeretnya sampai seluruh kulitnya terkelupas.”

“Begitu mudahnya kau akan memaksa kami?” sahut Rara Wulan dengan nada tinggi. Lalu katanya, “Sudah kami putuskan bahwa kami akan melawan.”

“Persetan,“ geram orang itu. Lalu katanya kepada kedua pengawalnya. “Ikat mereka pada punggung kuda. Aku tidak mempunyai waktu.”

Tetapi kedua raksasa itu benar-benar terkejut. Demikian mereka mulai bergerak, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan telah meloncat menyerang.

Dengan sekuat tenaga Rara Wulan menyerang dagu salah seorang dari kedua orang bertubuh raksasa itu dengan tumitnya. Demikian kerasnya, sehingga terdengar giginya gemeretak.

Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira sama sekali bahwa hal itu dapat terjadi. Bahkan kemudian iapun telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan untuk tetap tegak berdiri.

Sementara itu Sekar Mirah pun telah menyerang lawannya. Tidak dengan kakinya. Tetapi telapak tangannya yang terbuka telah menghantam dada raksasa yang seorang lagi. Demikian kerasnya, raksasa itu benar-benar tidak mampu tetap bertahan untuk tegak berdiri. Tubuhnya bagaikan didorong dan dilemparkan sehingga jatuh terkapar di tanah. Meskipun ia dengan cepat bangkit kembali, namun wajahnya telah menjadi merah padam.

“Perempuan itu telah menjatuhkannya. Nah, hati hatilah dengan perempuan,” berkata Ki Jayaraga.

Kedua raksasa itu menjadi sangat marah. Seorang di antara mereka ternyata giginya telah berdarah, sementara yang lain nafasnya menjadi sesak.

Orang yang berpakaian bagus dan terbuat dari bahan yang mahal itu justru termenung untuk beberapa saat. Ia sama sekali tidak menduga bahwa perempuan-perempuan itulah yang justru lebih dahulu menyerang.

Ketika orang itu melihat pakaian kedua perempuan itu di atas rakit penyeberangan di Kali Praga, ia hanya menduga bahwa pakaian yang tidak terbiasa dipakai permpuan itu sekedar untuk memudahkan agar mereka dapat naik kuda. Tetapi ternyata perempuan yang berpakaian khusus itu memiliki kekhususan pula.

Dengan marah orang itu kemudian berkata, “Kalian benar-benar membuat aku marah. Jangan menyesal jika kalian akan diperlakukan kasar oleh kedua orangku itu.”

Tetapi Rara Wulan menjawab, “Aku juga dapat memperlakukan mereka dengan kasar. Tetapi jika mereka berbuat baik, akupun dapat berbuat baik pula.”

Jawaban itu membuat orang berpakaian bagus itu bagaikan terbakar. Demikian pula kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka orang yang berpakaian rapi itu berkata kepada orang-orangnya, “Terserah kepada kalian berdua, apapun yang akan kalian lakukan untuk mengikat keduanya pada kuda-kuda itu. Kalian dapat berlaku keras. Tetapi jangan membuat mereka cacat. Aku masih menyayangkan kecantikan mereka.”

Keduanya menggeram. Rasa-rasanya keduanya justru ingin menerkam wajah mereka dan menggoreskan dengan senjata mereka silang menyilang. Tetapi ternyata orang yang berpakaian rapi itu menginginkan kecantikan mereka.

Tetapi ternyata kedua orang raksasa itu tidak begitu mudah melakukan tugas mereka. Kedua perempuan itu justru telah bersiap untuk melawan mereka.

Yang terjadi kemudian memang petempuaran yang keras. Kedua orang yang bertubuh raksasa yang mendapat ijin dari orang yang mengupah mereka untuk berlaku kasar sekalipun, ternyata tidak dapat dengan mudah menangkap dan apalagi mengikat keduanya pada kuda-kuda yang telah disediakan. Bahkan pertempuran di antara mereka berdua dengan orang-orang bertubuh raksasa itu semakin lama justru menjadi semakin keras.

Orang yang berpakaian mahal itu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi heran bahwa kedua orang perempuan itu dapat mengimbangi kemampuan kedua orang pengawalnya. Bahkan semakin lama maka kedua raksasa itu menjadi semakin bingung. Terutama orang yang bertempur melawan Sekar Mirah. Dengan tangkasnya Sekar Mirah berloncatan. Bukan saja kelebihannya dalam kecepatan bergerak. Tetapi ketika sekali-sekali tangannya membentur serangan orang bertubuh raksasa itu, maka Sekar Mirah justru mampu mendorong lawannya satu dua langkah surut.

Dalam pada itu Rara Wulan sekali-sekali masih mampu menjaga keseimbangan pertempuran. Meskipun sekali-sekali Rara Wulan masih harus bergeser surut mengambil jarak, tetapi semakin lama Rara Wulan justru menjdi semakin mapan.

Orang berpakaian mahal itu terkejut ketika ia mendengar Ki Jayaraga tertawa sambil berkata, “Nah, kau lihat bahwa kedua perempuan itu mampu menjaga dirinya. Mereka tidak perlu memanggil suaminya. Apabila hal itu sempat mereka lakukan, maka lawan-lawan mereka itu akan segera dihancurkan.”

“Setan kau Kakek Tua. Karena kedua orang perempuan itu berani melawan aku, maka kau akan ikut mengalami nasib buruk. Aku tidak segan-segan memperlakukan kau dengan cara yang paling buruk.”

Tetapi Ki Jayaraga masih saja tertawa. Katanya, “Kau masih saja mengigau dalam keadaan seperti ini. Jika dengan menantu-menantuku saja kau tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi dengan mertuanya.”

Orang berpakaian mahal menjadi marah sekali mendengar jawaban orang tua itu. Karena itu, maka dengan serta merta tangannya telah terayun menampar wajah Ki Jayaraga.

Tetapi orang tua itu tidak dapat disentuhnya. Dengan bergeser setapak dan menarik wajahnya, maka ayunan tangan orang itu tidak dapat mengenainya.

Kemarahan orang itu semakin membakar jantung. Dengan cepat ia melenting menyerang. Kakinya terjulur lurus mengarah ke dada orang tua itu. Ia tidak mempedulikan seandainya tulang-tulang iga orang itu berpatahan.

Tetapi yang terjadi justru tidak seperti yang dikehendaki. Orang yang berpakaian bagus itu tidak mengerti apa yang dilakukan orang itu. Yang diketahuinya bahwa tiba-tiba saja kakinya telah terlempar, justru seakan-akan telah terangkat tinggi-tinggi. Dengan demikian maka tubuhnya pun telah jatuh terbanting di tanah. Tulang punggungnya serasa menjadi retak karenanya.

Tetapi orang itu masih juga bangkit dengan cepat. Giginya gemeretak, sedang dari sepasang matanya begaikan memancar api kemarahan yang akan membakar Ki Jayaraga.

Tetapi Ki Jayaraga telah bersiap sepenuhnya. Ia melihat pada mata orang itu bahwa orang itu pun memiliki kelebihan dari kebanyakan orang.

“Orang tua yang tidak tahu diri,“ geram orang itu, “ternyata kau masih merasa bahwa kau masih mampu melindungi dirimu. Baiklah jika cara itu yang kau kehendaki. Aku benar-benar akan membunuhmu. Aku sudah mencoba menahan diri, tetapi kau salah mengerti. Bahkan dengan sombong kau telah menyakiti aku.”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi iapun mulai bersungguh-sungguh. Apalagi ketika ia melihat orang yang berpakaian mahal itu mulai mengatupkan kedua belah telapak tangannya.

Demikianlah, maka sejenak orang itu mulai bergerak. Tidak lagi asal mengayunkan tangan atau kakinya. Ia mulai benar-benar membuat perhitungan untuk melawan orang tua itu.

Tetapi Ki Jayaraga pun telah bersiap pula. Ketika orang yang berpakaian mahal itu mulai bergeser, maka Ki Jayaraga pun lelah melakukannya pula. Sehingga dengan demikian, maka orang yang berpakaian mahal itu pun menyadari bahwa orang tua yang dihadapinya itu bukan orang kebanyakan pula.

Demikianlah, sejenak kemudian maka keduanya pun telah benar-benar bertempur. Orang yang berpakaian bagus itu meloncat-loncat dengan tangkas, sehingga kakinya seolah-olah tidak lagi menyentuh tanah.

Tetapi lawannya yang tua itu adalah Ki Jayaraga. Karena itu, betapapun cepatnya orang itu bergerak, tetapi serangan-serangannya sama sekali tidak dapat menembus pertahanan lawannya yang nampaknya lamban.

Bahkan beberapa saat kemudian, justru tangan Ki Jayaraga yang mampu menembus pertahanan orang itu. Semakin lama justru menjadi semakin sering. Kemarahan orang itu pun telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Dikerahkannya tenaga dalam yang mampu diungkapkannya sampai tuntas. Dengan segenap kekuatan dan kemampuannya orang itu berusaha secepatnya menyelesaikan orang tua itu, agar ia dapat segera membantu kedua orang pengawalnya, yang nampaknya tidak dapat segera menguasai kedua orang perempuan itu.

Tetapi usaha orang itu pun sia-sia. Dengan kemarahan yang membakar jantung, orang itu telah menyerang Ki Jayaraga dengan landasan kemampuan puncaknya. Sebuah loncatan yang deras sambil menjulurkan kedua tangannya menerkam ke arah dada. Jari-jarinya yang mengembang bagaikan jari-jari seekor elang yang menerkam mangsanya.

Ki Jayaraga melihat serangan itu. Ia sadar, bahwa jari-jari tangan lawannya itu akan dapat mencengkeram dan bahkan mengoyak dadanya.

Karena itu, maka Ki Jayaraga pun telah bersiap sepenuhnya. Demikian tangan itu hampir menggapai tubuhnya, maka Ki Jayaraga pun segera meloncat ke samping.

Tetapi Ki Jayaraga tidak sekedar menghindar. Ketika demikian serangan itu menyambar sejengkal dari tubuhnya, maka Ki Jayaraga justru dengan cepat menyerang lawannya. Kakinya terjulur cepat sekali menghantam lambung.

Lawannya itu berteriak nyaring. Perasaan nyeri telah menyengat lambungnya. Bahkan dorongan kekuatan yang sangat besar telah melemparkan orang itu searah dengan loncatannya sendiri.

Karena itulah, orang yang berpakaian mahal itu tidak dapat mempertahankan keseimbangannya. Ia justru terdorong beberapa langkah dan jatuh terjerembab.

Namun dengan tangkasnya orang itu berguling mengambil jarak. Sementara itu Ki Jayaraga memang tidak mengejarnya, sehingga orang itu pun telah bangkit berdiri.

“Setan Tua,“ geram orang itu, “jika kau keras kepala, maka kau akan benar-benar lebur menjadi debu.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. “Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Sementara itu kedua orangmu itu pun sebentar lagi akan menjadi tidak berdaya. Nah, ada pilihan yang aku tawarkan kepadamu. Pergi dari tempat ini, atau kalian akan kami tangkap dan kami bawa menghadap ke Ki Gede. Kedua orang suami perempuan-perempuan itu pun akan hadir. Mereka akan dapat melubangi perutmu dan perut kedua orang upahanmu itu dengan pedang-pedang mereka, di hadapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

Orang yang berpakaian bagus itu menggeram. Pakaiannya yang rapi telah menjadi kusut, bahkan kotor oleh debu yang melekat pada pakaian yang basah karena keringat. Ketika ia berguling-guling di tanah, dan lumut pun telah melekat pula.

“Sebaiknya kau pergunakan kesempatan ini sebelum terlambat,“ berkata Ki Jayaraga, yang memang tidak ingin menangkap orang itu agar orang itu sempat melaporkan kepada Resi Belahan.

Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa itu pun masih bertempur melawan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Orang yang harus bertempur melawan Sekar Mirah itu pun sudah tidak berdaya sama sekali. Satu dorongan yang tidak terlalu kuat telah menggoyahkan keseimbangannya. Sementara itu keduanya masih belum berani mempergunakan senjata, karena mereka tahu orang yang mengupahnya itu tidak ingin perempuan-perempuan itu terluka.

Tetapi tanpa senjata, keduanya memang tidak bedaya. Dalam pada itu, orang yang semula berpakaian rapi itu sedang berpikir. Ia tidak dapat menutup mata dari kenyataan yang dihadapainya. Apalagi sejenak kemudian, orang yang bertempur melawan Sekar Mirah itu pun telah terlempar jatuh. Dengan susah payah orang itu bangkit. Namun demikian ia mulai menapakkan kakinya, maka kawannya tiba-tiba saja telah terdorong surut oleh serangan Rara Wulan dan bahkan menimpanya.

Dengan demikian maka keduanya pun telah jatuh berguling beberapa kali.

“Nah, apakah kau lihat kedua orangmu itu?“ desis Ki Jayaraga, “Mereka sudah tidak berdaya sama sekali. Jika mereka kau paksa untuk bertempur terus, maka mereka benar-benar akan kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya. Ingat, kedua perempuan itu pun dapat kehilangan kesabaran. Apalagi mereka dibayangi oleh ketakutan bahwa mereka akan kau bawa serta. Ketakutan yang demikian besar akan dapat menjadikan mereka semakin garang. Melampaui kegarangan suami-suami mereka.”

Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun memang ia tidak melihat kemungkinan lain. Iapun menyadari bahwa orang tua itu tidak akan mudah dikalahkannya. Apalagi setelah kedua orang upahannya itu dapat dikalahkan oleh lawan-lawannya.

Karena itu, maka sambil melangkah surut iapun berkata, “Setan Tua. Kau aku ampuni hari ini. Jika aku mau mencabut senjataku, maka umurmu tidak akan lebih panjang dari kejapan mata. Tetapi kali ini kau akan aku biarkan untuk hidup. Meskipun demikian, berhati-hatilah. Aku tidak akan berhenti sampai di sini. Dendamku akan membakarmu dan kedua perempuan itu.”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Iapun memberi isyarat kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk tidak berbuat sesuatu.

Demikianlah, maka orang yang berpakaian bagus itu pun telah memberi isyarat kepada kedua kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun telah melangkah mendekati kuda-kuda mereka.

Namun dalam pada itu, ternyata Rara Wulan masih juga bertanya dengan nada lembut sambil tersenyum, “Namamu siapa Ki Sanak? Sudah sejak tadi kita berbincang, tetapi kau belum menyebutkan namamu.”

“Persetan dengan kau perempuan iblis,” geram orang itu.

Rara Wulan tidak hanya tersenyum. Tetapi iapun tertawa sambil berkata, “Apakah kau marah?”

“Kau akan menyesal dengan sikapmu,” geram orang itu sambil meloncat ke punggung kudanya.

“Bukankah yang dua ekor kuda itu untuk kami berdua?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku sumbat mulutmu dengan hulu pedangku,” geram orang yang semula berpakaian rapi itu.

Sekar Mirah dan Rara Wulan tertawa. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menggelengkan kepala. Ia tidak dapat mencegah kedua perempuan itu untuk mengganggu laki-laki yang bermata srigala tetapi berbulu domba itu.

Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak benar-benar merampas kedua ekor kuda yang nampaknya memang telah dipersiapkan bagi mereka berdua. Dibiarkannya laki- laki berpakaian mahal, yang sudah menjadi kumal, kotor dan bahkan koyak itu, melarikan kudanya, disusul oleh kedua orang pengawalnya sambil masing-masing menuntun seekor kuda.

“Mudah-mudahan pancingan ini berhasil membawa Resi Belahan ke Tanah Perdikan Menoreh,” desis Ki Jayaraga.

“Banyak kemungkinan dapat terjadi,” berkata Sekar Mirah. “Kita sudah membuat jebakan untuk mengenal Resi Belahan. Tetapi kita tidak tahu, apakah Resi Belahan juga mempunyai cara-cara yang tidak kita perhitungkan sebelumnya untuk memecahkan permainan kita.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Permainan yang menuntut perhitungan yang cermat.”

Demikianlah, maka Ki Jayaraga pun kemudian telah mengajak Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk pulang. Hari menjadi semakin siang. Sementara itu mereka membawa barang-barang belanjaan mereka dari pasar.

Sekar Mirah dan Rara Wulan masih harus membenahi pakaiannya lebih dahulu, karena pakaian mereka pun menjadi kusut pula oleh debu yang melekat karena pakaian mereka basah oleh keringat.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan pategalan itu.

Tetapi ketika mereka mulai beranjak, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Bagaimana dengan pategalan ini?”

Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi termangu-mangu. Tanaman memang menjadi rusak, meskipun hanya di tempat tertentu. Kaki-kaki kuda telah mematahkan pepohonan.

“Apa boleh buat,” berkata Sekar Mirah. “Tetapi jejak kaki kuda itu serta bekas yang ada, memberitahukan kepada pemiliknya bahwa telah terjadi pertempuran di sini.”

“Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang melihat kita turun ke lorong yang menuju ke pategalan ini?” desis Rara Wulan.

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun kemudian Sekar Mirah pun berkata, “Kita akan membicarakanya nanti di rumah.”

“Baiklah,“ berkata Ki Jayaraga, “kita pun nanti akan menghubungi pemiliknya jika perlu.”

Dengan demikian ketiga orang itu pun segera meninggalkan pategalan itu. Rara Wulan masih saja menjijing keranjang kecil yang berisi barang-barang belanjaan di pasar sebelumnya.

Namun demikian mereka keluar dari pategalan, mereka tertegun sejenak. Mereka melihat Sabungsari dan Glagah Putih berjalan menuju ke arah mereka.

“Kami menjadi gelisah,” berkata Glagah Putih demikian mereka mendekat.

“Dari mana kau tahu bahwa kami ada di sini?” bertanya Ki Jayaraga.

“Ada orang yang memberitahukan kepada kami bahwa kalian telah berbelok lewat lorong sempit menuju ke pategalan. Dengan mengikuti jejak kalian, maka kami sampai di sini,” jawab Glagah Putih.

“Marilah kita pulang. Nanti aku ceritakan apa yang terjadi. Pategalan ini menjadi rusak agak di tengah oleh kaki kami dan kaki-kaki kuda,” berkata Ki Jayaraga.

Tanpa banyak berbicara lagi, maka mereka pun segera beriringan pulang. Ternyata memang ada orang yang menyampaikan kepada Glagah Putih tenteng kejanggalan yang dilihatnya, karena mereka bertiga berbareng dengan orang-orang yang tidak dikenal. Dua di antara mereka adalah orang yang bertubuh raksasa.

Glagah Putih dan Sabungsari pun segera tanggap. Karena itu, maka mereka pun berusaha menyusul.

Demikian mereka sampai di rumah, maka Ki Jayaraga pun telah menceritakan apa yang terjadi, Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan segera sibuk di dapur, karena hari sudah menjadi semakin siang.

Glagah Putih dan Sabungsari mendengar cerita Ki Jayaraga yang bersungguh-sungguh. Dengan demikian mereka sadar, bahwa agaknya orang yang berpakaian rapi dan dibuat dari bahan-bahan yang mahal itu sudah benar-benar mulai. Tetapi seperti dikehendaki oleh Agung Sedayu, maka biarlah orang itu akan dapat dijadikan jembatan sampai kepada orang yang menyebut dirinya Resi Belahan.

“Jika demikian, maka kita harus bersiap-siap untuk menyongsong Resi Belahan,“ berkata Glagah Putih.

Ki Jayaraga menganguk-angguk. “Mudah-mudahan Resi Belahan benar-benar akan tertarik hatinya untuk datang ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Di sore hari ketika Agung Sedayu pulang dari barak, maka hal itu segera disampaikan oleh Ki Jayaraga. Bahkan dalam kesempatan itu Glagah Putih, Sabungsari, Sekar Mirah dan Rara Wulan ikut duduk bersama di ruang dalam.

“Tadi Ki Lurah hampir saja ikut aku kemari,” berkata Agung Sedayu, “jika saja Ki Lurah benar-benar ikut, Ki Lurah akan dapat mendengarnya pula.”

“Kenapa Kakek tidak jadi datang kemari?” bertanya Rara Wulan.

“Nampaknya Ki Lurah ingin beristirahat,“ jawab Agung Sedayu.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut keterangan orang yang kita temui di Kali Praga itu, mereka akan membawa kami ke tempat yang tidak akan diketahui, meskipun berada di Tanah Perdikan ini pula.”

“Jika demikian maka kita harus melihat tempat-tempat yang dianggap terpencil dan tersembunyi di Tanah Perdikan ini,” sahut Agung Sedayu.

“Hutan di Tanah Perdikan ini masih cukup luas,“ desis Glagah Putih, “bahkan sampai ke lereng-lereng pegunungan, membujur dari utara ke selatan. Kita akan memerlukan waktu yang panjang untuk melakukan hal itu. Meskipun bukan berarti bahwa kita tidak dapat menjelajahi seluruh daerah ini. Kita dapat menyebar para pengawal dan mengamati lingkungan di sekitar padukuhan mereka masing-masing. Sudah tentu termasuk hutan di lereng pegunungan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak dapat melepaskan para pengawal itu tanpa petunjuk khusus. Jika mereka terjerumus ke dalam jerat orang-orang yang berilmu tinggi yang ada di antara mereka, maka korban akan berjatuhan. Karena itu, maka mereka memerlukan bimbingan. Sementara sebelumnya kita harus lebih banyak mengetahui keadaan, sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan ini.”

Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat dengan Agung Sedayu. Jika para pengawal itu, bahkan dengan Prastawa sekalipun, terjebak dalam persoalan dengan orang-orang berilmu tinggi, maka bencana akan terjadi atas mereka.

Karena itu, maka Agung Sedayu memang berniat memancing orang berilmu tinggi yang menyebut dirinya Resi Belahan itu ke lingkungan halaman rumahnya untuk membatsi persoalan, apalagi di rumah itu terdapat beberapa orang yang akan dapat melawannya.

Namun Agung Sedayu masih juga berpesan, agar mereka tetap berhati-hati.

“Orang yang kita temui di Kali Praga dan yang telah membawa kalian ke pategalan itu tentu tidak akan melepaskan kalian begitu saja. Meskipun mungkin ia tidak lagi berharap akan dapat membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan, namun dendam mereka-lah yang mungkin akan dapat menyala semakain besar. Mudah-mudahan benar seperti yang kita harapkan, orang itu datang dan bahkan membawa serta Resi Belahan kemari. Tetapi jangan justru kita yang terjebak oleh rencana kita sendiri, karena kita kurang berhati-hati.”

Dengan demikian, terutama Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka menjadi semakin jarang pergi ke pasar. Meskipun demikian, mereka bukan sepenuhnya mengurung diri dalam rumahnya. Mereka memang berharap bahwa keduanya diketahui tempat tinggalnya.

Dari hari kehari mereka menunggu perkembangan keadaan. Tetapi ternyata untuk beberapa lama, mereka tidak lagi bertemu dengan orang yang mereka temui di Kali Praga dengan pakaian bagus yang terbuat dari bahan yang mahal itu, yang telah membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan ke pategalan, meskipun orang itu justru harus mengalami kekalahan.

Yang terjadi justru tidak terduga. Seperti petir yang menyambar saat matahari cerah, Wacana-lah yang justru datang ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Aku datang dengan sikap laki-laki,“ katanya setelah ia dipersilahkan duduk.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi?“ bertanya Agung Sedayu yang baru saja pulang dari barak.

“Aku ingin berbicara langsung dengan Sabungsari,“ berkata Wacana kemudian.

“Kenapa dengan Sabungsari?” bertanya Agung Sedayu.

“Ada persoalan yang sangat penting yang harus aku bicarakan dengan orang itu,” jawab Wacana dengan nada berat.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun nampaknya Wacana benar-benar ingin berbicara dengan Sabungsari langsung.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah memanggil Sabungsari untuk menemui Wacana di pendapa. Hadir juga bersama Sabungsari, Glagah Putih, dan bahkan Sekar Mirah dan Rara Wulan.

“Aku bukan orang yang senang menyimpan persoalan,“ berkata Wacana dengan tegas.

Orang-orang yang menemuinya memang agak heran. Wacana seakan-akan telah berubah. Ia bukan lagi Wacana yang mereka temui di rumah Ki Rangga Wibawa dan Wacana yang telah mengantar Raden Teja Prabawa ke Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lewat.

“Katakanlah,” desis Sabungsari meskipun dengan ragu.

“Aku memang tidak ingin berbicara hanya berdua saja. Biarlah orang lain menjadi saksi pembicaraan kita,“ berkata Wacana kemudian.

Sabungsari menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak merasa mempunyai persoalan apapun dengan Wacana. Tetapi karena Wacana sepupu Raras, serta ia tinggal untuk sementara di rumah Raras, apalagi Wacana adalah sahabat Raden Teja Prabawa, maka Sabungsari memang mengarahkan dugaannya bahwa persoalannya tentu berhubungan dengan Raras.

Namun Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya, “Apakah kalian ingin berbicara berdua saja?”

“Justru tidak,“ jawab Wacana.

“Jika demikian, katakanlah.”

Wajah Wacana menegang sesaat. Namun kemudian ia berusaha untuk dapat berbicara dengan wajar dan jelas. Katanya, “Sabungsari. Kau tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang selama ini dikenal berhubungan akrab dengan Raden Teja Prabawa, kakak Rara Wulan ini.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya ternyata benar. Arah pembicaraan Wacana terkait dengan persoalan Raras. Tetapi persoalan apa yang telah membuat Wacana bicara dengan bersungguh-sungguh, masih belum diketahui. Ia sendiri selalu berusaha menyembunyikan perasaannya, sehingga mereka merasa bahwa ia belum pernah hadir di antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Apalagi iapun telah berkeras untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjahui gadis itu.

Betapapun ragunya, Sabungsari pun kemudian menjawab, “Ya. Aku mengerti.”

“Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melibatkan diri menjadi orang ketiga dalam hubungan di antara mereka,“ berkata Wacana kemudian.

Sabungsari mengerutkan dahinya. Dengan darah rendah ia bertanya, “Kenapa kau berkata demikian Wacana? Apakah kau pernah melihat atau mendengar bahwa aku pernah menengahi hubungan mereka, atau bahkan melibatkan diri sebagai orang ketiga? Kau tahu bahwa aku masih belum begitu mengenal Raras. Demikian pula Raras. Aku jarang, atau katakan hanya datang ke rumah Raras dua atau tiga kali, bersama-sama dengan beberapa orang untuk menengok dan kemudian minta diri. Sebagaimana kau ketahui, aku sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bagaimana kau dapat mempersoalkan aku dalam hubungannya antara Raras dan Raden Teja Prabawa.”

“Kau tidak usah ingkar Sabungsari. Bahkan seandainya apa yang kau katakan itu benar, itu agaknya memang lebih baik. Tetapi aku minta kau berjanji bahwa kau tidak akan bertemu dengan Raras lagi.”

Wajah Sabungsari memang menjadi merah. Bukan karena dia tidak ingin melupakan Raras, karena hal itu memang sudah diinginkannya. Tetapi justru karena permintaan Wacana yang seakan-akan mengancamnya itu, ia sama sekali tidak senang.

Namun dalam pada itu bahwa Rara Wulan-lah yang bertanya, “Wacana. Apakah kau datang atas nama Kakangmas Teja Prabawa?”

Wacana menjadi ragu-ragu. Ia tahu bahwa pada suatu saat bahwa Rara Wulan akan dapat bertanya langsung kepada Raden Teja Prabawa.

Karena itu, maka seperti apa yang dikatakannya bahwa ia datang sebagai seorang laki-laki, ia tidak ingin bersembunyi di balik nama siapapun juga. Karena itu maka jawabnya, “Tidak. Aku datang atas keinginanku sendiri. Aku berniat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan Sabungsari, justru karena aku dan Sabungsari mempunyai kepentingan yang sama. “

“Kepentingan yang sama yang mana?“ bertanya Sabungsari dengan serta merta.

“Aku akan berterus terang,” berkata Wacana, “Raras menjadi sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa. Tidak ada orang yang berhasil menjelaskan persoalan yang sebenarnya tejadi atas Raden Teja Prabawa. Bahkan Raras telah menyatakan, terus terang atau tidak, bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan hubungannya dengan Raden Teja Prabawa. Apalagi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Ayah Raden Teja Prabawa belum pernah datang melamar gadis itu.”

Wacana berhenti sejenak, lalu iapun justru bertanya kepada Rara Wulan, “Bukankah begitu? Bukankah hubungan mereka baru terbatas dalam hubungan persahabatan, meskipun memang menjurus kepada hubungan yang lebih khusus lagi? Katakanlah bahwa mereka agaknya mulai menjalin hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sebagai pasangan yang akan menempuh hidup bersama. Mereka mulai merasa, sekali lagi, mereka baru mulai, seakan-akan mereka saling jatuh cinta.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang demikian. Keduanya baru mulai mengadakan pendekatan. Meskipun demikian Teja Prabawa benar-benar telah mencintai gadis yang bernama Raras itu.

Sementara itu Wacana pun berkata selanjutnya, “Tetapi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Bukankah begitu?”

Rara Wulan memang tidak dapat menjawab lain kecuali mengangguk mengiakan.

“Ya,“ katanya, “Ayah memang belum pernah melamarnya.”

“Nah, dalam keadaan demikian, sikap Raras menjadi goyah. Justru karena sikap Raden Teja Prabawa sendiri. Raras mulai menyadari, bahwa hubungan mereka, maksudku antara Raras dan Raden Teja Prabawa, tidak akan mendatangkan kebahagiaan baginya. Karena itu, maka Raras mulai bersikap bahwa ia harus mulai menjauhi Raden Teja Prabawa. Bukan orangnya, karena mereka berdua akan dapat tetap bersahabat. Tetapi persoalan khusus yang sebelumnya terasa mulai menjerat hati itu.”

Rara Wulan tiba-tiba memotong, “Katakanlah, bahwa Raras tidak mencintai Kakangmas Teja Prabawa lagi.”

“Ya,“ jawab Wacana.

“Lalu apa hubungannya dengan Kakang Sabungsari?“ bertanya Rara Wulan.

“Aku akan berterus terang. Raras sekarang berada di jalan simpang,“ jawab Wacana.

“Jalan simpang yang mana?“ desak Rara Wulan.

“Ada dua orang laki-laki yang mulai membayang di angan-angannya,“ jawab Wacana.

“Maksudmu ada dua orang laki-laki yang mencintainya, atau Raras mulai mencintai dua orang laki.-laki sekaligus?“ bertanya Rara Wulan.

“Apa bedanya?“ bertanya Wacana.

“Tentu berbeda,“ jawab Rara Wulan, “jika ada dua orang laki-laki yang mencintainya, itu bukan salah Raras. Tetapi jika Raras mencintai dua orang laki-laki setelah ia melepaskan diri dari Kakangmas Teja Prabawa, itu berarti bahwa Raras bukan seorang gadis yang baik.”

Wajah Wacana menegang sejenak. Namun ia benar-benar sudah bertekad untuk menyelesaikan persoalannya dengan Sabungsari dengan sikap seorang laki-laki. Karena itu maka jawabnya, “Sebaiknya jangan menjelekkan nama Raras. Katakanlah bahwa ada dua orang laki-laki yang mulai mencintainya,“ jawab Wacana.

“Selain Kakangmas Teja Prabawa?“ bertanya Rara Wulan.

Wacana termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil menjawab meskipun agak ragu, “Ya.” Tetapi kemudian dengan cepat ia berkata selanjutnya, “Tetapi seperti yang dikatakan oleh Raras sendiri, bahwa ia tidak dapat lagi mengharapkan Raden Teja Prabawa untuk melindunginya di masa mendatang.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Dari sisi yang mana sebenarnya kau berangkat? Dari sisi Raras atau dari sisi laki-laki yang mencintainya?”

Akhirnya Wacana tidak mau berbicara berputar-putar lagi. Katanya, “Aku tidak sempat memikirkannya. Tetapi yang penting, aku akan berbicara dengan Sabungsari. Kita tidak dapat bersama-sama hadir di hati Raras. Karena itu, salah seorang di antara kita harus menyingkir.”

Meskipun sejak sebelumnya Glagah Putih sudah menduga bahwa Sabungsari menaruh perhatian terhadap Raras, tetapi orang lain tentu belum dapat menilainya demikian. Sabungsari tidak pernah berhubungan dengan Raras secara khusus. Bahkan Sabungsari dengan sengaja telah menjauhkan dirinya dari Raras, bahkan dari Mataram, sebagaimana tadi dikatakannya.

Dalam pada itu Sabungsari pun merasa heran pula. Sedangkan yang lain bahkan terkejut karenanya, justru karena pengakuan Wacana.

Hampir di luar sadarnya Rara Wulan bertanya, “Kenapa kau menganggap Kakang Sabungsari terlibat dalam lingkaran hubungan dengan Raras? Sepengetahuanku, seperti dikatakan Kakang Sabungsari, ia belum begitu mengenal Raras, dan Raras pun belum begitu mengenalnya. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa Kakang Sabungsari tertarik kepada Raras? Dan bagaimana mungkin kau sendiri terlibat di dalamnya, jika yang dimaksudkan dua orang laki-laki itu kau dan Kakang Sabungsari? Bukankah kau sepupu Raras?”

“Siapapun aku, aku tidak menghiraukannya,“ jawab Wacana.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah ia berusaha menengahi, “Aku mengerti sekarang. Ternyata Raras ingin menarik diri dari hubungannya yang khusus dengan Raden Teja Prabawa, meskipun mereka masih akan dapat tetap bersahabat. Kemudian Wacana, meskipun saudara sepupu Raras, telah jatuh cinta kepada Raras. Tetapi Wacana menduga bahwa Sabungsari pun ternyata mencintai Raras juga, sehingga Wacana minta agar Sabungsari menyingkir dari persoalan yang berhubungan dengan Raras.”

“Ya,“ jawab Wacana tegas, “aku minta jawaban Sabungsari.”

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, “Sejak semula sudah aku katakan, Wacana. Aku tidak begitu mengenal Raras. Raras pun tidak begitu mengenal aku. Aku tidak akan berpengaruh apa-apa dalam kehidupan Raras. Apalagi bagi masa depannya yang panjang itu. Aku orang asing bagi Raras, dan Raras orang asing bagiku.”

Wacana mengerutkan dahinya. Dengan sorot mata yang tajam ia berkata, “Kau tidak usah berbelit-belit Sabungsari. Apapun yang kau katakan, tetapi bagiku kau adalah orang yang akan dapat menghalangi niatku untuk mendekati Raras. Bukan sebagai seorang kakak sepupu, tetapi sebagai seorang laki-laki. Raras bagiku bukan sekedar adik sepupu, tetapi aku memang mencintainya.”

Sebelum Sabungsari menjawab, maka Rara Wulan telah mendahuluinya bertanya, “Bagaimana sikapmu terhadap Kakangmas Teja Prabawa? Bukankah justru kau orang ketiga yang berdiri di antara Kakangmas Teja Prabawa dengan Raras?”

“Aku tidak merasa perlu untuk berbicara tentang Raden Teja Prabawa. Raden Teja Prabawa telah tersisih dari hati Raras. Dan itu sama sekali bukan salahku,“ jawab Wacana, yang kemudian sekali lagi berkata, “Aku ingin mendengar jawaban Sabungsari.”

“Kau sudah tahu jawabku Wacana. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Raras,“ jawab Sabungsari.

“Kenapa kau tidak bersikap jantan Sabungsari? Kenapa kau harus mengingkarinya? Apakah kau juga tidak berani bertanggung jawab, seperti Raden Teja Prabawa?”

“Apa yang harus aku pertanggung-jawabkan Wacana? Aku justru ingin tahu, kenapa kau menuduhku menyaingimu dalam hubungan dengan Raras. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa aku berniat mendekati Raras, dan bahkan menggeser Raden Teja Prabawa yang sudah sejak lama berhubungan dengan Raras.”

“Aku tidak mau mendengar kata-katamu selain sikapmu terhadap Raras. Kau harus berjanji sebagai seorang laki-laki bahwa kau tidak akan mendekati Raras lagi,“ berkata Wacana.

“Wacana,“ akhirnya Sabungsari juga kehilangan kesabaran, “meskipun aku tidak tahu pasti apakah yang kau maksud, tetapi aku ingin memperingatkanmu, bahwa aku bukan pengecut. Kau tahu itu. Aku sudah dengan suka-rela turun ke susukan Kali Opak untuk membantu membebaskan Raras. Sebelumnya aku sudah menyatakan diri untuk ikut menghadapi Ki Manuhara sebelum Bajang Bertangan Baja itu datang. Persoalan yang melibatkan aku ke dalamnya bukan sekedar soal perempuan, tetapi persoalan yang lebih luas lagi tentang Mataram. Karena itu, maka aku tidak mau kau menyudutkan aku tanpa alasan, seakan-akan asal saja kau ingin mencari perkara. Jika kau ingin menantang aku, katakanlah, bahwa kau menantang aku. Dengan cara apa yang kau kehendaki. Tetapi kau tidak dapat memperlakukan aku seperti itu.”

Wajah Wacana pun menjadi merah. Dengan nada tinggi ia menjawab, “Sabungsari. Jika kau ingin aku berkata lebih terbuka, baiklah. Bahwa kau bagiku adalah penghalang utama, justru aku dengar langsung dari Raras. Raras sendiri mengatakan bahwa ia mulai tertarik kepada seorang laki-laki muda yang telah melindunginya di dekat susukan Kali Opak. Apalagi setelah itu kau dengan sengaja berkali-kali datang ke rumah Raras dengan alasan apapun juga. Dengan membawa perisai beberapa orang, agar kau dapat mengelakkan tuduhan bahwa kau sengaja memancing perhatian Raras.”

Jantung Sabungsari terasa berdegup semakin keras. Darahnya seakan-akan menjadi panas memanasi urat-urat nadinya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang telah dibebaskannya itu justru menaruh perhatian yang demikian besar kepadanya.

Namun dalam pada itu, Wacana berkata selanjutnya, “Tetapi kau jangan menjadi besar kepala, seolah-olah Raras benar-benar telah jatuh cinta kepadamu. Yang terjadi pada gadis yang baru menginjak dewasa itu adalah sekedar kekaguman karena kau telah dianggap mampu menolongnya, melindunginya dan bertanggung jawab atas keselamatannya. Tetapi perasaan itu pada saatnya akan larut dengan sendirinya, jika pandangannya mengenai kehidupan telah berkembang. Karena itu, kau harus berjanji bahwa kau tidak akan menemuinya lagi dimanapun juga. Juga seandainya Raras mencarimu ke Tanah Perdikan ini.”

Tiba-tiba saja dada Sabungsari bergejolak seperti gejolaknya laut yang diaduk oleh angin pusaran. Gelombang yang menggelegar membentur dinding hatinya yang goncang karena pengakuan Raras.

Sementara itu Agung Sedayu dan mereka yang mendengarkan pembicaraan itu justru bagaikan terbungkam. Mereka tidak segera dapat mencari jalan untuk menengahinya. Meskipun demikian, Agung Sedayu pun kemudian berusaha untuk menyela, “Jika demikian, sebaiknya persoalan ini kita bicarakan dengan hati yang dingin. Jika kita menghanyutkan diri pada arus perasaan kita masing-masing, maka persoalannya tidak akan dapat diselesaikan. Bahkan mungkin akan bertambah rumit. Persoalan yang kalian hadapi akan menyangkut pihak ketiga, justru pihak yang menentukan, yaitu Raras. Bukankah sebaiknya kalian mendengarkan pendapat Raras?”

“Aku tidak menganggap perlu,“ sahut Wacana, “yang penting bagiku adalah janji Sabungsari. Jika Sabungsari tidak lagi menemui Raras dengan alasan apapun juga, maka lambat laun kekaguman Raras akan menjadi luntur. Raras akan dapat berpikir lebih baik dan berdasarkan pertimbangan nalar. Bukan sekedar perasaan kagum yang berlebihan.”

Agung Sedayu masih akan menyahut, tetapi Sabungsari-lah yang kemudian mendahuluinya, “Wacana. Jika demikian sikap Raras terhadapku, maka dengarlah jawabku. Aku tidak akan berkisar dari tempatku berdiri sekarang. Sebenarnya aku tidak begitu menghiraukan Raras. Tetapi sikapmu memaksa aku untuk tidak bergeser sejengkal pun. Aku tanggapi sikapmu sebagai seorang laki-laki dengan cara seorang laki-laki pula. Aku akan melayani apa saja yang kau maui dariku.”

Wajah Wacana menjadi tegang. Namun ia melihat sinar memancar dari mata Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki maka Sabungsari benar-benar telah dibakar oleh tantangan Wacana.

Dengan cepat Agung Sedayu mencoba untuk meredakan suasana. Katanya, “Apakah kita tidak dapat berbicara dengan cara yang lebih baik? Bukankah kita bukan kanak-kanak yang sedang berebut durian runtuh?”

“Agung Sedayu,“ jawab Sabungsari, “aku sudah mencoba untuk menjelaskan bahwa aku tidak mempunyai sangkut paut dengan Raras. Aku tidak tahu bagaimana sikap Raras terhadapku. Bahkan aku sekarang sudah berada di tempat yang jauh dari rumah Raras. Tetapi Wacana memaksa aku untuk mempertahankan harga diriku sebagai seorang laki-laki.”

“Aku mengerti,“ jawab Agung Sedayu, “aku harap Wacana pun dapat mengerti pula. Bukankah yang tersirat dari pernyataan Sabungsari itu sudah merupakan sebuah pernyataan, bahwa ia tidak akan melibatkan dirinya dengan kehidupan Raras?”

“Itulah yang ingin aku dengar dari mulut Sabungsari,“ jawab Wacana.

“Bukankah hal itu sudah dikatakannya, bahwa ia orang asing bagi Raras dan Raras adalah orang asing bagi Sabungsari?”

“Tidak,“ tiba-tiba Sabungsari memotong, “aku cabut pernyataanku justru karena sikap Wacana. Jika aku menyingkir dan menyatakan janji itu kepada Wacana, maka aku akan dianggapnya sebagai seorang pengecut. Apalagi Raras sendiri sudah mengatakan bahwa ia mengagumi aku, dan sudah tentu tertarik kepadaku. Karena itu, maka aku tidak akan menghindar dan mengingkari sikap seorang laki-laki. Jika benar Raras tertarik kepadaku dengan alasan apapun juga, maka aku akan menyambutnya dan menghormati sikapnya, apapun akibatnya.”

“Bagus,“ jawab Wacana, “jika demikian, kita akan menentukan siapa yang akan minggir dari persoalan ini.” “Aku akan melayanimu, cara apapun yang kau kehendaki.”

“Kita selesaikan persoalan kita di arena perang tanding. Siapa yang kalah, harus mengakui kekalahannya dengan jantan, dan untuk seterusnya akan memegang janji untuk tidak berhubungan lagi dengan Raras dengan alasan apapun juga,“ jawab Wacana.

“Bagus,“ jawab Sabungsari, “aku akan menerima tantanganmu ini. Bahkan aku menjadi tidak sabar lagi, kapan perang tanding yang kau maksudkan itu akan dilaksanakan.”

“Kau yang menentukan,“ jawab Wacana, “kau pula yang akan menunjuk saksi yang adil. Bahkan seandainya tidak ada orang yang dapat dianggap adil, siapapun dapat kau tunjuk sebagai saksi, karena kita masing-masing pasti akan mengakui di dalam hati kita, siapakah sebenarnya yang menang di antara kita.”

“Aku tidak memerlukan saksi,“ jawab Sabungsari, “jika kau merasa perlu, carilah sendiri. Aku setuju dengan pendapatmu, kita akan tahu pasti siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam perang tanding itu.”

“Tidak Sabungsari,“ Agung Sedayu-lah yang menyahut, “kalian memerlukan saksi. Sebenarnya aku condong untuk mencari jalan keluar yang lebih baik dari perang tanding. Apakah lambang kejantanan seseorang itu hanya dapat dilihat dengan kekerasan? Apakah dengan kekerasan kalian cukup menghargai sikap dan perasaan Raras?”

“Sejak semula aku tidak mengetahui perasaan Raras yang sebenarnya. Wacana telah datang dengan sikap dan caranya yang tidak aku sukai. Karena itu, maka aku memang berniat untuk berperang tanding,“ jawab Sabungsari, yang nampaknya telah mengeraskan hatinya. Ia benar-benar tersinggung oleh sikap Wacana, sehingga tidak ada lagi jalan kembali dari keputusannya itu.

Sementara itu Wacana pun telah membulatkan tekadnya pula. Ia harus menyingkirkan Sabungsari dengan cara yang telah dipilihnya. Ia berharap Sabungsari bersikap ksatria, sehingga ia akan memegang janjinya jika ia memang dapat dikalahkannya.

Karena itu, maka niat untuk berperang tanding itu tidak dapat diurungkan lagi. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu hanyalah berusaha untuk menegakkan sifat ksatria kedua anak muda yang sedang dibakar oleh kemarahan itu.

“Aku akan menjadi saksi bersama Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu.

Ternyata baik Wacana maupun Sabungsari tidak ingin menunda penyelesaian yang telah mereka pilih. Mereka sepakat untuk membuat penyelesaian, besok saat fajar menyingsing.

Demikianlah, maka malam itu Wacana bermalam di rumah Agung Sedayu. Anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan apa yang akan terjadi besok. Demikian ia selesai makan malam, maka iapun telah memasuki bilik yang disediakan baginya, di ujung gandok sebelah kanan. Beberapa saat kemudian, sudah terdengar nafasnya mengalir dengan tenang dan teratur. Ternyata Wacana itu sudah tertidur nyenyak.

Dengan demikian, maka baik Agung Sedayu maupun Ki Jayaraga menganggap bahwa Wacana terlalu yakin akan dirinya. Perang tanding itu dianggapnya sebagai permainan saja, tanpa harus direnunginya dan apalagi dipikirkannya berulang kali.

Di bilik yang lain, Sabungsari duduk bersama Glagah Putih yang lebih muda daripadanya. Dengan nada rendah Sabungsari berkata, “Aku sama sekali tidak mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah Glagah Putih dapat mengerti sepenuhnya sikap Sabungsari. Bahkan Glagah Putih sendiri merasa bahwa ia tidak akan dapat mengekang perasaannya, seandainya ia yang mengalami perlakuan sebagaimana dialami Sabungsari. Meskipun demikian, justru karena Glagah Putih tidak mengalami, ia dapat mengambil jarak dari persoalan yang dihadapi Sabungsari itu. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa mengambil sikap Kakang?”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hampir saja menjadi mata gelap. Aku sudah berjuang sejauh dapat aku lakukan untuk menahan diri. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan Raras. Bahkan aku benar-benar ingin menjauh daripadanya, meskipun aku tidak ingkar bahwa aku memang tertarik kepadanya. Tetapi sikap Wacana sangat menyakitkan hati.”

“Aku mengerti,“ Glagah Putih mengangguk-angguk, “tetapi jika aku boleh mengetahuinya, justru setelah Wacana datang kepadamu dengan sikapnya yang menyinggung perasaanmu, apakah kau akan mendekati Raras atau justru akan menjauhinya? Tanpa menghiraukan kesudahan dari perang tanding yang akan kau lakukan esok pagi.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku masih memikirkan Teja Prabawa. Aku justru menjadi curiga, mungkin Wacana dengan sengaja mempengaruhi Raras untuk menjauhi Raden Teja Prabawa, karena Wacana sendiri menginginkannya meskipun ia saudara sepupu Raras.”

“Apakah kau akan tetap menghindari Raras?“ bertanya Glagah Putih.

Sabungsari tidak segera menjawab. Dengan sayu Sabungsari menatap lampu minyak yang berkeredipan ditiup angin yang menyusup di sela-sela dinding.

“Glagah Putih,“ berkata Sabungsari kemudian, “seperti aku katakan tadi, aku masih memperhitungkan Raden Teja Prabawa. Aku tidak mau menjadi penghalang hubungan antara keduanya. Kecuali jika Raras benar-benar tidak dapat lagi diharapkan untuk kembali kepada anak muda itu.”

“Seandainya Raras masih dapat diharapkan untuk kembali kepada Raden Teja Prabawa, bagaimana dengan engkau sendiri?“ bertanya Glagah Putih kemudian.

“Aku tidak menyesali diriku sendiri. Aku akan merasa berbahagia jika keduanya dapat bersatu kembali dalam arti yang dalam. Bukan karena tekanan dari orang tua yang manapun juga,“ desis Sabungsari. Namun terdengar suaranya bergetar tertahan-tahan.

“Kau sudah mempertaruhkan jiwamu untuk membebaskannya. Apakah kau masih harus berkorban lagi?“ bertanya Glagah Putih.

“Apakah ketika aku ikut membebaskannya, terbersit pikiran bahwa akan timbul persoalan seperti ini? Aku membantumu membebaskan Raras, karena aku tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang akan menjadi sisihan Raden Teja Prabawa. Bukankah karena itu, maka kita semuanya berusaha untuk membebaskannya? Atau kita harus menyerahkan Rara Wulan? Seandainya kita tidak memikirkan untuk mengembalikan Raras kepada Raden Teja Prabawa, mungkin kita condong untuk sekedar menyembunyikan atau melindungi Rara Wulan, sementara persoalan Raras kita percayakan kepada Ki Wirayuda. Adalah memang menjadi tugasnya, atau katakanlah tugas para prajurit Mataram, untuk melindungi rakyatnya. Tetapi kita tidak mau menyerahkan Rara Wulan dan tidak mau membiarkan Raras hilang untuk seterusnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya, “Kau benar Sabungsari. Tetapi kita saat itu lebih condong membebaskan Raras sebagai satu laku untuk menegakkan kemanusiaan dan paugeran. Meskipun demikian, bahwa persoalan Raras menyangkut kita, adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan erat dengan Raden Teja Prabawa. Sementara itu Raden Teja Prabawa adalah kakak Rara Wulan. Sedangkan yang dikehendaki oleh Raden Antal sebenarnya adalah Rara Wulan.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, “Bukan maksudku mengingkari laku kemanusiaan sebagai alasan utama dari langkah kita. Tetapi bagaimanapun juga, kaitannya adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan khusus dengan Raden Teja Prabawa.”

Glagah Putih yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Jadi kau memang berniat untuk memberikan pengorbanan ganda?”

“Bukan maksudku untuk menjadi pahlawan, atau katakanlah agar aku dianggap sebagai seorang yang luhur budi dan pantas untuk mendapat pujian setinggi bintang. Tetapi sebenarnyalah nuraniku berkata demikian.”

“Jika ternyata Raras dan Raden Teja Prabawa sudah tidak dapat bertaut kembali?“ desak Glagah Putih.

“Terserah kepada Raras,“ jawab Sabungsari.

“Dan arti dari perang tanding esok?”

“Bagiku tidak ada hubungannya langsung dengan Raras. Aku menerima tantangan itu karena hatiku terbakar oleh sikap Wacana, yang bagiku sangat menyinggung perasaanku,“ jawab Sabungsari.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia merasa lebih muda, tetapi dipaksanya bibirnya berkata seakan-akan menasehati, “Tetapi kau harus mampu menahan diri Kakang. Apalagi setelah semua jalur ilmumu terbuka, demikian pula saluran tenaga dalammu.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berkata, “Aku tidak tahu apakah ilmuku mampu mengimbangi ilmu Wacana, yang nampaknya begitu yakin akan kemampuan diri. Ia tentu seorang yang berilmu sangat tinggi meskipun ia juga masih terhitung muda.”

Glagah Putih hanya dapat mengangguk kecil. Ia juga tidak tahu, seberapa tinggi ilmu yang dimiliki oleh Wacana. Namun ia sependapat bahwa menilik sikap dan keyakinan dirinya, Wacana agaknya memang memiliki ilmu yang tinggi.

Sambil bangkit Glagah Putih pun kemudian berkata, ”Baiklah. Sekarang sebaiknya kau beristirahat. Wacana telah tertidur nyenyak di dalam biliknya. Kau perlukan tenagamu besok, sehingga kau harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”

Sabungsari memandang Glagah Putih sekilas. Katanya dengan nada dalam, “Mudah-mudahan kau tidak usah mengalami persoalan seperti ini. Persoalan yang sama sekali tidak aku harapkan. Justru terjadi pada diriku.”

Glagah Putih pun kemudian meninggalkan bilik Sabungsari. Di luar udara malam terasa dingin. Angin bertiup lembut mengusap wajah Glagah Putih.

Di luar kehendaknya, maka Glagah Putih pun berjalan lewat halaman samping menuju ke halaman belakang. Malam menjadi semakin kelam. Bintang-bintang nampak bergayutan di langit yang kehitam-hitaman.

Namun telinga Glagah Putih yang tajam tiba-tiba saja mendengar sesuatu. Langkah lembut di kebun belakang. Gemerisik dedaunan kering yang terinjak kaki telah menimbulkan suara yang halus.

“Tentu langkah seseorang yang sangat berhati-hati,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Justru karena itu, maka Glagah Putih bergeser selangkah dengan sangat berhati-hati pula. Kemudian iapun telah berjongkok di bawah sebatang pohon perdu yang rimbun.

Tetapi Glagah Putih lupa bahwa beberapa ekor ayam yang dipelihara anak yang tinggal di rumah itu tidur di atas cabang-cabang batang perdu itu, sehingga karena itu maka ayam-ayam itu telah terbangun. Meskipun ayam-ayam itu tidak terkejut dan tidak berkotek keras-keras karena Glagah Putih bergerak dengan sangat berhati-hati, namun beberapa ekor di antaranya bergeser menjauhinya.

Ternyata suara ayam yang bergeser itu telah mengejutkan seseorang yang langkahnya telah didengar oleh Glagah Putih. Yang kemudian terjadi adalah orang itu berlari dengan tangkasnya dan meloncati dinding halaman.

Glagah Putih memang mencoba untuk mengejarnya. Iapun meloncat ke atas dinding dan hinggap seperti seekor burung yang hinggap di atas cabang pepohonan. Namun Glagah Putih tidak melihat sesuatu. Ia tidak melihat seseorang berlari. Iapun tidak melihat dedaunan yang bergoyang tersentuh tubuh orang yang berlari itu. Ia juga tidak mendengar derap kakinya.

Glagah Putih memang tidak mendengar dan tidak melihat sesuatu.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih mendengar suara berdesing. Ilmunya yang mapan segera mengisyaratkan kepadanya, bahwa bahaya tengah menyambarnya dari kegelapan di belakang dinding halaman rumah Agung Sedayu.

Dengan gerak naluriah maka Glagah Putih telah meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Ternyata sebuah lingkaran besi baja yang bergerigi hampir saja mengoyak kulitnya.

Dengan cepat Glagah Putih meloncat keluar dinding. Namun ia mendengar derap langkah orang berlari yang sudah menjadi semakin jauh.

Glagah Putih tidak mengejarnya. Ia justru kembali meloncat ke atas dinding. Ketika dengan saksama ia memperhatikan cabang pohon yang tumbuh di kebun di belakang ia berdiri, maka dalam kegelapan malam ia melihat lingkaran baja yang bergerigi itu tertancap dalam-dalam. Dengan hati-hati ia meraba benda yang bergerigi tajam itu dan dengan kuat ia menghentakkannya.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi berdebar-debar. Jika saja gerigi itu tertancap di dadanya.

Glagah Putih kemudian meloncat turun sambil membawa gerigi besi itu. Ia ingin memberitahukan hal itu kepada Agung Sedayu. Meskipun seandainya kakak sepupunya itu sudah tertidur, maka ia akan membangunkannya.

“Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana,“ berkata Glagah Putih, yang segera menghubungkan serangan itu dengan sekelompok orang yang dipimpin oleh orang yang disebut Resi Belahan itu.

Glagah Putih pun kemudian kembali masuk ke dalam rumahnya lewat pintu yang masih belum diselarak. Pintu darimana ia keluar tadi.

Ternyata Agung Sedayu masih belum tidur. Ia masih mendengar suaranya perlahan-lahan dari dalam biliknya.

Semula Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian memaksa diri untuk memanggil kakak sepupunya itu, karena ia menganggap peristiwa itu penting untuk segera diketahui oleh Agung Sedayu.

Agung Sedayu memang keluar dari biliknya bersama Sekar Mirah, sambil bertanya, “Ada apa Glagah Putih?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar