Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 277

Buku 277

Namun peristiwa itu merupakan satu peringatan bagi Tanah Perdikan Menoreh, bahwa sebenarnyalah bahaya masih ada di antara mereka.

Orang-orang berilmu tinggi dan pengikutnya itu masih tetap mendendam Sabungsari dan Glagah Putih. Apalagi setelah beberapa orang di antara mereka justru terbunuh di Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lewat.

Malam itu seisi rumah Agung Sedayu seakan-akan tidak sempat untuk tidur. Sesaat-sesaat saja mereka terlena. Namun Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sama sekali tidak memejamkan matanya sekejappun sementara Glagah Putih dan Sabungsari berada di antara para pengawal dan anak-anak muda bersama Prastawa.

Ki Lurah Branjangan yang berada di rumah Agung Sedayu juga tidak sempat tidur semalaman. Meskipun Agung Sedayu dan Ki Jayaraga mempersilahkannya berada di dalam bilik di ruang dalam. Hanya kadang-kadang saja mata Ki Lurah terpejam sekejap. Tetapi kemudian iapun telah terbangun lagi.

Di pagi harinya, maka Ki Gede telah memanggil beberapa orang terpenting di Tanah Perdikan serta beberapa orang bebahu. Kepada mereka, Ki Gede memerintahkan untuk tetap berhati-hati, karena usaha untuk membalas dendam dari beberapa orang berilmu tinggi masih dilakukan.

“Para pemimpin pengawal di setiap padukuhan harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan,” berkata Ki Gede, “meskipun di-siang hari, para pengawal tidak boleh lengah. Harus ada sekelompok kecil pengawal yang siap di banjar, selain para pengawal yang lain harus selalu siap pula menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Meskipun mereka berada di sawah, di ladang dan pategalan atau di rumah. Setiap saat diperlukan, mereka sudah siap untuk menjalankan perintah,” berkata Ki Gede.

Agung Sedayu yang juga hadir sebelum ia pergi ke barak, sempat memberitahukan bahwa dua orang berilmu tinggi telah memasuki halaman rumahnya.

“Masih dalam rangka usaha mereka menangkap Glagah Putih dan Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu.

Demikianlah, maka seluruh Tanah Perdikan pun masih tetap dalam keadaan siaga penuh. Bahkan ketika Agung Sedayu sampai di barak bersama Ki Lurah Branjangan, maka kepada para pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu pun memerintahkan agar mereka bersiaga.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun tidak dapat mengabaikan peringatan Ki Lurah Branjangan, bahwa keluarga Rara Wulan masih tetap berada dalam ancaman, meskipun masih belum diketahui apa yang akan dilakukan oleh Keluarga Raden Antal itu.

Tetapi di hari berikutnya, menjelang senja, di rumah Agung Sedayu telah datang utusan dari Mataram.

Dua orang utusan Ki Wirayuda itu pun kemudian telah dipersilahkan duduk di pendapa.

“Nampaknya ada sesuatu yang penting,” desis Agung Sedayu kemudian setelah ia menanyakan keselamatan Ki Wirayuda dan keluarganya di Mataram.

“Ya Ki Lurah,” jawab salah seorang dari utusan itu. “Ki Wirayuda memerintahkan kami untuk datang dan memberitahukan Ki Lurah tentang orang kerdil itu.”

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Agung Sedayu bertanya, “Apa yang terjadi dengan orang kerdil itu?”

“Ki Lurah,“ berkata salah seorang dari utusan itu, “salah seorang di antara petugas sandi telah melihat orang kerdil itu keluar dari rumah seorang Tumenggung Wreda.”

“Seorang Tumenggung Wreda?“ bertanya Agung Sedayu, “Siapa nama Tumenggung itu?”

“Memang hanya satu kebetulan, karena para petugas sandi tidak pernah menghubungkan orang kerdil itu dengan Ki Tumenggung yang lebih sering dipanggil Tumenggung Selasih.”

“Tumenggung Selasih,“ Agung Sedayu mengulang, “aku belum begitu mengenalnya.”

“Juga disebut Tumenggung Wreda Sela Putih.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Meskipun ia juga seorang prajurit, tetapi hubungannya dengan para pemimpin di Mataram agak kurang dekat. Apalagi ia termasuk orang baru dan ditempatkan di luar lingkungan Kotaraja.

Namun Agung Sedayu itu pun kemudian bertanya, “Apa yang diketahui oleh Ki Wirayuda tentang Ki Tumenggung Wreda itu?”

“Tidak ada yang dapat dicurigai pada Ki Tumenggung Wreda itu,” jawab utusan itu.

“Tentu satu teka-teki yang perlu dipecahkan,” desis Agung Sedayu. Namun demikian ia masih bertanya, “Tetapi apakah orang kerdil itu keluar dari halaman rumah Ki Tumenggung Wreda dengan bersembunyi-sembunyi atau tidak?”

“Nampaknya tidak Ki Lurah,” jawab utusan itu, “menurut petugas sandi yang kebetulan melihat, orang kerdil itu keluar lewat regol halaman rumah Ki Tumenggung sebagaimana sewajarnya. Sehingga kesannya, orang kerdil itu tidak merasa perlu menyembunyikan diri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara utusan itu berkata seterusnya, “Ki Wirayuda memang menjadi bingung menghadapi teka-teki itu. Tetapi justru karena itu, maka Ki Wirayuda telah memerintahkan pengamatan secara khusus atas rumah Ki Tumenggung Wreda itu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun bertanya, “Dimana tempat tinggal Ki Tumenggung Wreda itu?”

Utusan itu pun kemudian menjelaskan, ancar-ancar rumah orang yang disebutnya Ki Tumenggung Wreda itu.

Tiba-tiba saja, hampir di luar sadarnya, Glagah Putih yang ikut menemui utusan itu berkata, “Jika demikian, Tumenggung itu adalah ayah anak muda yang disebut Raden Antal.”

“Raden Antal?” Agung Sedayu mengulangi.

“Ya. Raden Antal,” Glagah Putih menjawab tegas.

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Dengan cepat ia menghubungkan orang kerdil itu dengan ancaman keluarga Raden Antal terhadap keluarga Rara Wulan, sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.

Hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Darimana keluarga Raden Antal dapat mengenal orang kerdil itu?”

“Siapa yang Ki Lurah maksudkan?” bertanya utusan itu.

“Tolong sampaikan kepada Ki Wirayuda, yang barangkali dapat dipergunakan sebagai bahan bagi pengamatannya atas orang kerdil itu,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Diceritakannya persoalan yang pernah terjadi antara keluarga Ki Tumenggung Wreda itu dengan orang tua Rara Wulan, yang kini berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara keluarga Rara Wulan menganggap bahwa persoalannya telah selesai, namun ternyata belum. Bahkan keluarga Raden Antal telah berhubungan dengan Bajang Engkrek yang mengaku bernama Bajang Bertangan Baja, sebagaimana dikatakan kepada Glagah Putih dan Sabungsari.

“Ki Lurah Branjangan pernah memberitahukan, bahwa keluarga Raden Antal yang merasa tersinggung itu ternyata masih mendendam,“ berkata Agung Sedayu. Lalu katanya selanjutnya, “Nampaknya Bajang Engkrek itu akan dipergunakannya untuk melepaskan dendam. Namun Bajang itu bertemu dengan Ki Manuhara yang juga mendendam, sehingga dua kepentingan dapat bergabung. Kedua orang berilmu tinggi itu ternyata telah bekerja bersama. Seorang berurusan dengan Sabungsari dan Glagah Putih, seorang yang lain dengan Rara Wulan.” 

Kedua utusan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Bahan yang akan dapat dipergunakan sebagai landasan pengamatan kami atas tingkah laku Bajang Engkrek itu.”

“Tetapi berhati-hatilah,” pesan Agung Sedayu, “Bajang Engkrek itu termasuk orang yang berilmu sangat tinggi, sebagaimana Ki Manuhara. Karena itu, untuk menghadapi orang itu para prajurit Mataram harus benar-benar dipersiapkan.”

Utusan Ki Wirayuda itu mendengarkan pesan Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh. Mereka memang sudah mendengar bahwa kedua orang yang sedang dicari itu adalah orang yang berilmu tinggi. Tetapi ketika hal itu juga dikatakan oleh Agung Sedayu yang juga dianggap orang berilmu sangat tinggi, maka kedua orang utusan itu menjadi semakin yakin karenanya.

“Kami akan segera melaporkannya kepada Ki Wirayuda,“ berkata kedua orang utusan itu.

“Tetapi bukankah malam ini kalian akan bermalam di sini?” bertanya Agung Sedayu.

Keduanya saling berpandangan sejenak. Namun kemudian seorang di antara mereka pun berkata, “Baiklah. Kami akan bermalam di sini. Tetapi besok pagi-pagi sekali, kami berdua harus kembali ke Mataram.”

Demikianlah, sejenak kemudian, maka makan malam pun telah dipersiapkan. Sementara itu, Agung Sedayu pun minta agar Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk bersama mereka di ruang dalam, bersama kedua orang tamu dari Mataram itu. Agung Sedayu telah mengulang laporan utusan Ki Wirayuda, dan memperingatkan kepada Rara Wulan untuk semakin berhati-hati.

“Ternyata keluarga Raden Antal telah menghubungi Bajang Bertangan Baja itu,“ berkata Agung Sedayu.

Rara Wulan menundukkan wajahnya. Namun sebenarnyalah jantungnya tengah bergejolak. Kemarahannya terasa membakar isi dadanya, sehingga darahnya pun serasa telah mendidih.

Tetapi Rara Wulan tidak dapat berbuat sesuatu. Ia sadar, bahwa orang-orang yang mengancam keselamatannya dan keselamatan Sabungsari dan Glagah Putih adalah orang-orang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Jadi kedatangan Bajang Engkrek itu ke rumah ini tentu ada hubungannya dengan kehadiran Rara Wulan di sini. Namun bahwa hal ini kita ketahui sebelumnya, merupakan hal yang lebih baik, karena kita dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “tetapi aku minta Rara Wulan jangan terlalu berkecil hati. Kita di rumah ini, dan seluruh pengawal Tanah Perdikan, sudah bersiap. Kita bukan sasaran yang tidak berdaya bagi mereka. Yang perlu kita waspadai justru kelicikan mereka. Sebagaimana Ki Manuhara telah sampai hati membakar rumah dan membunuh orang-orang yang tidak tahu-menahu persoalannya. Mungkin Bajang itu pun akan berbuat kasar seperti itu pula.”

“Namun dengan demikian kita tahu bahwa Bajang itu mondar-mandir di antara Mataram dan Tanah Perdikan ini,” desis Ki Jayaraga kemudian.

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Bajang itu tentu mondar-mandir dari Tanah Perdikan ini ke Mataram, dan sebaliknya.”

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan berhubungan dengan tukang-tukang satang, apakah mereka sering melihat orang kerdil yang menyeberang.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Satu langkah yang mungkin dapat ditempuh. Namun cukup berbahaya bagi kita. Jika kita pergi ke tepian Kali Praga, maka rumah ini akan menjadi kosong. Jika kedua orang itu datang kemari, maka akan sangat berbahaya bagi Rara Wulan.”

“Kita harus membagi diri,“ berkata Ki Jayaraga.

“Ya,” desis Agung Sedayu, “setidak-tidaknya kita mengetahui kebiasaan orang kerdil itu.”

Ternyata Ki Jayaraga dan Agung Sedayu kemudian sepakat, bahwa Ki Jayaraga dan Glagah Putih-lah yang akan pergi ke tepian Kali Praga untuk menghubungi beberapa orang tukang satang.

“Besok jangan pergi ke barak sebelum kami datang,” berkata Ki Jayaraga.

“Ki Jayaraga akan pergi sekarang?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya,” Jawab Ki Jayaraga, “sekedar mengamati keadaan. Aku berharap akan dapat bertemu dengan Bajang dan Ki Manuhara. Aku ingin mengulangi permainan buruk yang pernah aku lakukan bersamanya. Mudah-mudahan Glagah Putih dapat ikut bermain bersama orang kerdil itu.”

“Tetapi tidak hanya satu jalur jalan dari Tanah Perdikan ke Mataram, dan sebaliknya,” berkata Sabungsari.

“Tetapi kita tahu jalan yang disukai oleh orang kerdil itu. Tetapi seandainya ia memilih jalan lain, maka pada kesempatan lain kami dapat menelusurinya satu demi satu,” jawab Ki Jayaraga sambil tersenyum.

Agung Sedayu tidak mencegahnya lagi. Tentu ada maksud lain dari Ki Jayaraga yang mengajak muridnya. Mungkin Ki Jayaraga memang ingin melihat hasil pewarisan Aji Sigar Bumi. Meskipun akibatnya dapat sangat berbahaya jika benar-benar Glagah Putih harus bertempur dengan orang kerdil itu, tetapi tentu Ki Jayaraga sudah memperhitungkannya dengan cermat.

Demikianlah, malam itu juga Ki Jayaraga telah mengajak Glagah Putih untuk pergi ke tepian. Mereka memilih jalan yang pernah diduga dilalui oleh Bajang Engkrek ketika ia menolong Ki Manuhara dan membawanya keluar dari Tanah Perdikan.

Rara Wulan nampak menjadi cemas. Ia sempat berpesan, “Hati-hatilah Kakang.”

Namun Sekar Mirah berdesis, “Ia pergi bersama gurunya.”

Rara Wulan mengangguk kecil.

Sepeninggal Ki Jayaraga dan Glagah Putih, maka Agung Sedayu telah mempersilahkan kedua orang utusan Ki Wirayuda itu beristirahat di gandok. Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan masih sibuk membenahi mangkuk dan sisa makan minum mereka.

Dalam pada itu, maka Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Para pengawal dan anak-anak muda yang ada di gardu di sudut lorong sempat bertanya ketika mereka melihat Glagah Putih dan Ki Jayaraga lewat.

“Kami hanya ingin melihat-lihat,“ sahut Glagah Putih.

Demikian Glagah Putih dan Ki Jayaraga lewat, maka seorang anak muda berdesis, “Mereka hanya berdua saja.”

“Orang kerdil itu masih berkeliaran,” sahut yang lain.

Namun seorang pengawal menjawab, “Tetapi kita tahu siapa mereka. Seandainya keduanya bertemu dengan orang kerdil itu sekaligus dengan Ki Manuhara, maka keduanya tentu akan mampu mengimbanginya.”

Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Ya. Mereka akan mampu menjaga diri mereka.”

Sementara itu Ki Jayaraga dan Glagah Putih langsung pergi menuju ke tepian. Mereka memilih jalan yang memang jarang dilalui orang. Mereka sadar bahwa jalur itu tidak cukup ramai, sehingga di malam hari tidak akan ada rakit yang menyeberang.

Tetapi menurut perhitungan Ki Jayaraga, maka kadang-kadang tukang satang itu tidur di tepian, karena kadang-kadang di malam hari ada orang yang terpaksa menyeberang dengan kesanggupan membayar tinggi.

Ketika Ki Jayaraga sampai ke tepian, maka yang dilihatnya tidak lebih dari sebuah rakit yang tertambat di sebelah barat sungai, dan di sisi sebelah timur sebuah.

“Tidak ada seorangpun tukang satang yang menunggui rakitnya,” desis Ki Jayaraga.

Glagah Putih mengangguk kecil. Namun kemudian katanya, “Jalan ini sangat sepi.”

“Ya,” Jawab Ki Jayaraga, “apalagi di malam hari.”

“Apakah kita akan melihat ke tempat penyeberangan yang lain yang lebih ramai?” bertanya Glagah Putih.

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita tunggu sebentar. Mungkin ada orang lewat, atau ada seorang yang dapat kita ajak bercakap-cakap di sini.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia mengikuti saja gurunya yang kemudian duduk di tepian.

Namun dalam pada itu, mereka justru melihat sesuatu bergerak di seberang. Beberapa orang naik ke atas rakit. Kemudian rakit itupun mulai bergerak menyeberang Kali Praga.

Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun kemudian telah bergeser ke tempat yang lebih gelap di bawah beberapa batang pohon pandan eri. Mereka menunggu rakit yang menyeberang. Mungkin tukang satang dari rakit itu dapat memberikan beberapa keterangan tentang orang kerdil yang sering melintasi Kali Praga.

Beberapa saat keduanya menunggu. Rasa-rasanya rakit itu berjalan sangat lambat

Namun akhirnya rakit itu merapat ketepi. Tiga orang penumpang turun dan memberikan upah kepada salah seorang dari kedua tukang satang. Seorang di antara mereka adalah perempuan.

“Kapan kalian kembali?“ bertanya salah seorang di antara tukang satang itu, yang nampaknya sudah mengenal ketiga penumpangnya.

“Belum pasti,“ jawab perempuan satu-satunya itu, “kapan saja jika keadaan Paman menjadi baik, baru aku kembali.”

“Jadi mungkin sehari, dua hari atau lebih?“ bertanya tukang satang itu pula.

“Ya. Bahkan mungkin sepekan,“ jawab perempuan itu. “Sudahlah Kang. Aku titip anak-anak.”

“Bukankah anak-anakmu sudah besar?“ sahut tukang satang yang seorang lagi.

“Ya. Justru sudah besar itulah mereka memerlukan pengawasan yang lebih baik. Sekarang banyak anak-anak yang tumbuh remaja sering melakukan hal-hal yang aneh-aneh,” berkata perempuan itu.

“Mudah-mudahan anak-anakmu tidak berbuat aneh-aneh. Nampaknya anak-anak cukup baik,” jawab tukang satang itu.

Ki Jayaraga dan Glagah Putih yang mendengar pembicaraan itu saling berpandangan sejenak. Mereka nampaknya orang-orang yang akan mengunjungi sanak kadangnya yang sedang sakit. Jika tidak gawat, maka mereka tidak akan menyeberang di malam yang gelap dan dingin itu.

Namun dengan demikian, Ki Jayaraga dan Glagah Putih akan dapat berbicara dengan kedua tukang satang itu.

Karena itu ketika ketiga orang penumpang itu meninggalkan tepian, dan tukang satang itu sudah bersiap-siap untuk mengayuh rakitnya menyeberang kembali, Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah bangkit dan melangkah mendekati rakit itu.

Kedua orang tukang satang itu terkejut. Namun kemudian mereka pun telah menarik nafas panjang ketika mereka melihat semakin jelas atas kedua orang itu.

“Ki Sanak,“ berkata Ki Jayaraga, “sudah lama aku menunggu di sini. Baru sekarang aku mendapat kesempatan untuk menyeberang ke timur.”

Kedua tukang satang itu menghentikan rakitnya yang mulai bergerak. Dengan ramah salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah Ki Sanak akan menyeberang?”

“Ya. Aku hampir tertidur di sini,“ jawab Ki Jayaraga.

“Apakah Kerti tidak ada?” bertanya tukang satang itu.

“Siapakah yang kau maksud dengan Kerti?” Ki Jayaraga justru bertanya.

“Tukang satang. Itu rakitnya ada. Aku kira Kerti menungguinya dan tidur di tepian,“ jawab tukang satang itu.

“Tidak ada seorangpun,” jawab Ki Jayaraga.

“Jika demikian, marilah. Silahkan naik. Kami memang harus kembali ke seberang,“ berkata tukang satang itu.

Ki Jayaraga dan Glagah Putih segera naik ke atas rakit. Meskipun mereka tidak berniat untuk menyeberang, tetapi dengan demikian mereka akan mendapat kesempatan untuk berbincang dengan kedua orang tukang satang itu.

Namun, demikian rakit itu bergerak, sebelum Ki Jayaraga bertanya tentang sesuatu, maka salah seorang tukang satang itu berkata, “Aku tadi terkejut sekali melihat kalian muncul dari kegelapan.”

“Kenapa?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Ada dua orang yang sering mondar-mandir menyeberang Kali Praga. Mereka orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka tidak pernah mau membayar upah penyeberangan,“ jawab tukang satang itu sambil melihat ke tepian. Tetapi tepian itu sudah menjadi semakin jauh.

“Tetapi bukankah kedua orang itu bukan kami?“ bertanya Ki Jayaraga sambil tertawa.

“Semula aku memang menduga bahwa dua orang yang muncul dari kegelapan itu adalah kedua orang yang sering menyeberang tanpa mau mengupah itu. Tetapi ketika kami melihat kalian berdua, maka kami merasa lega, karena kalian bukan kedua orang itu.”

Keterangan tukang satang itu memang sangat menarik perhatian Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Dengan nada tinggi Ki Jayaraga bertanya, “Kenapa orang-orang itu masih diberi kesempatan untuk naik rakit? Jika kalian tahu orang-orang itu tidak mau memberi upah saat mereka menyeberang, sebaiknya mereka tidak boleh ikut menyeberang. Bukankah itu wajar?”

“Tidak seorangpun yang berani menolak mereka,” jawab tukang satang itu.

“Sst, jangan keras-keras Kang,“ desis tukang satang yang seorang lagi.

Tetapi Ki Jayaraga masih bertanya lagi, “Kenapa kalian tidak berani melarang orang itu naik ke rakit?”

Kedua tukang satang itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antaranya kemudian berkata, “Apakah tidak ada orang lain di sini sekarang?”

“Tentu tidak, selain kalian berdua dan kami berdua,” jawab Ki Jayaraga.

“Hati-hati bicara, Kang,“ gumam yang seorang lagi.

“Tetapi bukankah memang tidak ada orang?” sahut Ki Jayaraga pula.

“Tetapi kalian pun harus menjaga diri,” desis tukang satang yang pertama, “aku memang sesekali ingin mengatakan kepada seseorang untuk mengurangi beban kejengkelanku.”

“Kami tidak akan mengatakan kepada siapapun juga,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

“Ya,” desis tukang satang itu, “jika kau mengatakannya juga, maka kalian-lah yang kena laknat.”

“Aku berjanji untuk menahan diri,“ berkata Ki Jayaraga.

Tukang satang itu terdiam sejenak, sementara rakitnya bergerak melintasi Kali Praga.

“Kedua orang itu ternyata orang-orang sakti,“ berkata tukang satang itu.

“Orang sakti?” bertanya Ki Jayaraga, “Apa tandanya bahwa mereka orang-orang sakti?”

“Mereka sering menunjukkan tingkah laku dan perbuatan yang tidak masuk akal. Pernah salah seorang di antara mereka melempar penumpang lainnya ke sungai. Begitu kuatnya orang itu, sehingga orang yang dilemparkannya itu seakan-akan hanya seringan kapuk randu. Kemudian, pernah orang itu menghentakkan rakit ini ketika ia sedang menumpang, sehingga rakit ini berguncang seperti dilanda ombak di Laut Selatan. Semua penumpang terlempar jatuh ke dalam sungai. Untung mereka dapat tertolong semua oleh rakit yang sedang tertambat itu, karena penumpangnya memang hanya beberapa orang, yang kebetulan sebagian besar dapat berenang, sedangkan rakit itu cepat dikayuh ke tengah. Namun hampir saja rakit itu akan ditenggelamkan karena menolong orang-orang yang terlempar ke sungai itu. Namun niatnya diurungkan. Ia justru tertawa melihat beberapa orang yang dengan susah payah merayap naik ke atas rakit.” “Apakah orangnya segagah raksasa?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Tidak. Orangnya justru kerdil,” jawab tukang satang itu. Namun tiba-tiba kawannya memotong, “Kang, hati-hati berbicara Kang. Siapa tahu telinga orang itu ada di sini.”

Wajah tukang satang itu menegang, sehingga tiba-tiba saja ia berhenti mengayuhkan satangnya. Katanya dengan ragu, “Tetapi bukankah kalian berdua bukan kawan-kawan orang kerdil itu?”

“Tentu bukan,” jawab Ki Jayaraga, “tetapi cerita Ki Sanak itu membuat kami ketakutan. Orang kerdil bertenaga raksasa. He, apakah ia manusia biasa atau sebangsa lelembut?”

“Nampaknya manusia biasa. Hanya ukuran tubuhnya yang tidak biasa. Kecil dan pendek. Namun tenaganya luar biasa.”

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi bukankah ia hanya menyeberang di siang hari?”

“Tidak tentu. Kadang-kadang, bahkan lebih sering, di malam hari. Memang satu dua kali ia menyeberang di siang hari. Tetapi jarang sekali terjadi,” jawab tukang satang itu.

“Apakah ia sering menyeberang?” bertanya Ki Jayaraga pula, meskipun agak ragu.

“Ya. Ia memang sering menyeberang, meskipun tidak tentu waktunya. Kadang-kadang sehari dua kali pulang balik. Tetapi kadang-kadang dua tiga hari ia tidak nampak batang hidungnya,” jawab tukang satang itu pula.

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba iapun berkata, “Jika demikian Ki Sanak, aku urungkan niatku ke sisi timur Kali Praga. Keperluanku pun tidak sangat penting. Aku minta agar kami berdua dibawa kembali ke sisi barat.”

Tetapi tukang satang itu tertegun.

“Aku akan membayar dua kali lipat,“ sahut Ki Jayaraga.

Tukang satang itu menjadi ragu-ragu. Namun Ki Jayaraga berkata pula, “Aku bayar lipat tiga.”

“Baiklah,“ jawab tukang satang itu, “mudah-mudahan orang itu tidak sedang menunggu di sisi barat Kali Praga.”

“Tidak. Jangan,“ desis Ki Jayaraga.

Tukang satang itu tidak menyahut lagi. Mereka pun berusaha untuk memutar rakit dan mendorongnya kembali ke sisi sebelah barat Kali Praga.

Namun Ki Jayaraga memenuhi janjinya. Ia membayar lipat tiga, sehingga tukang-tukang satang itu merasa beruntung juga. Namun seorang di antara mereka masih berdesis, “Agaknya itu sebabnya Kerti tidak pernah turun di malam hari.”

Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun segera melintasi tepian berpasir dan hilang di kegelapan bayangan gerumbul-gerumbul liar di tepian Kali Praga.

Sementara itu rakit yang ditumpangi mereka itu pun telah bergerak dengan cepat menyeberang kembali ke sisi sebelah timur.

Tetapi dalam pada itu Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak dengan segera meninggalkan tepian. Mereka berhenti di kegelapan, sementara Ki Jayaraga berkata, “Ternyata mereka memang sering mempergunakan jalan ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Guru. Tetapi sayang kita tidak dapat menentukan waktunya. Sudah tentu kita tidak dapat terus-menerus berada di sini.”

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Dipandanginya arus Kali Praga yang deras dengan bentangan permukaan yang cukup lebar. Airnya yang berwarna lumpur nampak bergejolak memantulkan cahaya bintang-bintang di langit.

“Satu-satunya kemungkinan untuk menemuinya adalah, bahwa kita harus sering berada di tepian ini,” berkata Ki Jayaraga.

Glagah Putih tanggap akan maksud gurunya. Jawabnya, “Ya Guru. Pada suatu saat, kita tentu akan dapat bertemu dengan mereka di sini.”

“Kita memang harus bekerja sama dengan para pengawal,” berkata Ki Jayaraga.

“Maksud Guru, jalur ini akan selalu diawasi oleh para pengawal Tanah Perdikan?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak. Tentu akan sangat membahayakan para pengawal itu, meskipun mereka sudah dilatih secara khusus untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Karena segala sesuatunya akan dapat terjadi di luar batas kemampuan para pengawal. Apalagi jika justru kedua orang itulah yang menyergap para pengawal dengan tiba-tiba.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan demikian maka satu-satunya jalan adalah mereka berdua harus sering berada di tepian.

Demikianlah, maka mereka berdua masih berada di tepian uniuk beberapa lama. Namun di dini hari mereka yakin bahwa Bajang Engkrek tidak akan lewat, sehingga keduanya pun memutuskan untuk pulang saja.

Ketika mereka sampai di rumah, maka suasana telah menjadi sepi. Nampaknya seisi rumah itu sudah tidur nyenyak. Demikian pula kedua orang utusan Ki Wirayuda.

Karena itu, maka keduanya tidak ingin membangunkan mereka yang sedang tidur nyenyak, sehingga keduanya memilih tidur di serambi. Di lincak bambu.

Namun ketika Glagah Putih terbangun di pagi hari menjelang fajar, maka barulah ia mengetahui bahwa ternyata Agung Sedayu tahu kapan ia dan Ki Jayaraga pulang.

“Aku ingin mempersilahkan kalian masuk. Tetapi nampaknya kalian langsung berbaring di lincak bambu itu. Akupun rasa-rasanya malas juga untuk bangun dan membuka pintu.”

Glagah Putih hanya tersenyum saja. Namun ia masih belum memberikan laporan tentang kepergiannya ke tepian. Glagah Putih berharap bahwa Ki Jayaraga sendiri yang akan berbicara dengan Agung Sedayu.

Sebenarnyalah, ketika mereka makan pagi bersama kedua orang utusan Ki Wirayuda, maka Ki Jayaraga pun telah menceritakan apa yang didengarnya dari tukang satang itu.

“Kami memang harus sering berada di tepian,“ berkata Ki Jayaraga, “karena hanya dengan demikian kemungkinan untuk bertemu dengan mereka menjadi lebih besar.”

“Kita memang harus telaten,” berkata Agung Sedayu, “namun selain Ki Jayaraga dan Glagah Putih sering pergi ke tepian Kali Praga, para pengawal pun masih tetap harus bersiap-siap. Ternyata Bajang itu tidak hanya berdua dengan Ki Manuhara. Mungkin orang-orang yang membantunya itu pengikut Bajang Engkrek. Tetapi juga mungkin sisa-sisa pengikut Ki Manuhara, karena para pengikut Ki Manuhara tentu masih ada yang tertinggal di Mataram.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua orang utusan Ki Wirayuda itu pun minta diri. Keduanya harus segera memberikan laporan bahwa mereka telah bertemu langsung dengan Ki Lurah Agung Sedayu.

“Baiklah,” Jawab Agung Sedayu, “hati-hatilah di perjalanan. Aku nanti akan menyampaikan berita ini kepada Ki Lurah Branjangan di barak Pasukan Khusus.”

Namun Agung Sedayu pun berpesan, bahwa apa yang didengar Ki Jayaraga di tepian, agar disampaikan pula kepada Ki Wirayuda.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah meninggalkan rumah Agung Sedayu. Sedangkan Agung Sedayu pun telah bersiap-siap untuk pergi ke barak Pasukan Khusus.

Sementara itu Glagah Putih dan Sabungsari pun telah pergi menemui Prastawa di rumah Ki Gede, untuk memberikan laporan tentang kedua orang yang mondar-mandir antara Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram.

“Apakah para pengawal harus mengawasi lintasan penyeberangan itu?“ bertanya Prastawa.

“Aku kira hal itu akan sangat membahayakan para pengawal,” jawab Glagah Putih, “karena itu, biarlah kami saja yang akan mengawasinya.”

“Lalu apa yang harus kami lakukan?“ bertanya Prastawa.

“Aku minta para pengawal tetap berjaga-jaga. Setiap saat akan dapat terjadi sesuatu di Tanah Perdikan ini,“ jawab Glagah Putih. Lalu katanya pula, “Sebagaimana yang baru saja terjadi, maka kelicikan-kelicikan seperti itu masih akan berlangsung.”

“Baiklah,” berkata Prastawa, “kami akan selalu siap kapanpun diperlukan.”

“Terima kasih,” jawab Glagah Putih, “persoalannya nampaknya justru akan berkembang.”

Demikianlah, dari rumah Ki Gede, Glagah Putih bersama Sabungsari telah pergi ke tempat penyeberangan yang sering dilalui oleh Bajang Engkrek dan Ki Manuhara. Namun setelah mereka beberapa saat menunggu, mereka tidak melihat orang bertubuh pendek dan kecil menyeberang.

“Mereka lebih sering menyeberang di malam hari,” berkata Glagah Putih.

Dengan demikian maka mereka berdua pun telah meninggalkan tepian itu dan berjalan melintasi bulak-bulak panjang di Tanah Perdikan Menoreh. Di padukuhan-padukuhan, mereka memang melihat sekelompok pengawal bersiap-siap di banjar. Beberapa kali Glagah Putih dan Sabungsari singgah di banjar padukuhan. Kepada para pengawal yang bertugas, mereka berdua sempat memberikan pesan-pesan khusus.

Dalam pada itu, ketika keduanya sampai ke rumah, mereka terkejut ketika mereka melihat dua ekor kuda tertambat di halaman.

“Agaknya ada dua orang tamu,” desis Glagah Putih.

“Ya,” sahut Sabungsari, “agaknya Ki Jayaraga yang menemui mereka di pendapa.”

“Kakang Agung Sedayu tentu sudah berangkat ke barak,” desis Glagah Putih kemudian.

Demikianlah, keduanya pun telah naik ke pendapa pula. Ki Jayaraga yang melihat keduanya datang itu pun berkata, “Marilah. Kita mendapat dua orang tamu.”

Ketika kedua orang tamu itu berpaling, maka Glagah Putih terkejut. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Raden Teja Prabawa.”

“Ya,” sahut Ki Jayaraga, “mereka belum lama datang.”

Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Namun bersama Sabungsari iapun duduk pula bersama Ki Jayaraga.

“Selamat datang Raden,” desis Glagah Putih sambil mengangguk hormat.

Namun nampaknya Raden Teja Prabawa tidak begitu tertarik pada basa-basi itu. Iapun langsung berkata, “Sebenarnya aku sudah agak lama ingin datang kemari. Tetapi aku tidak sempat. Ada satu hal yang sangat penting yang harus aku sampaikan kepada kalian di sini. Kepada Wulan dan kepada Kakek.”

“Baiklah Raden,“ yang menyahut adalah Ki Jayaraga, “aku akan memanggil Rara Wulan. Ia sudah tahu kalau Raden datang. Tetapi aku kira Rara Wulan sedang sibuk menyiapkan hidangan bagi Raden.”

Raden Teja Prabawa mengangguk sambil menyahut, “Baiklah, aku tidak akan terlalu lama di sini.”

Namun Sabungsari dengan cepat berkata, “Biarlah aku saja yang memanggilnya.”

Tetapi yang sudah beringsut dan kemudian bangkit berdiri adalah Glagah Putih.

Sabungsari dan Ki Jayaraga tersenyum. Tetapi ternyata Raden Teja Prabawa tidak memberikan tanggapan apapun. Bahkan wajahnya masih saja nampak gelap. Sementara kawannya hanya diam saja seakan-akan membeku, sebagaimana tatapan matanya.

Tetapi Glagah Putih ternyata tidak perlu masuk ke ruang dalam. Ketika ia membuka pintu pringgitan, Rara Wulan pun telah membawa nampan berisi mangkuk minuman dan makanan.

Sejenak kemudian maka Rara Wulan pun telah duduk pula di pendapa menemui kakaknya. Karena Agung Sedayu tidak ada, maka Sekar Mirah pun diminta untuk duduk pula menemui tamunya.

“Aku juga ingin berbicara dengan Kakek,“ berkata Teja Prabawa kemudian.

“Ki Lurah berada di barak Pasukan Khusus,” sahut Glagah Putih.

“Aku minta Kakek dipanggil kemari,“ berkata Teja Prabawa pula tanpa segan-segan.

Glagah Putih dan Sabungsari saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Mungkin Ki Lurah sedang sibuk.”

“Katakan, bahwa aku ingin berbicara dengannya,“ desak Raden Teja Prabawa.

“Ngger, sebaiknya Angger sajalah yang pergi ke barak. Bukankah tidak pantas jika anak muda memanggil agar kakeknya datang menemuinya? Sebaiknya Raden sajalah nanti pergi ke barak. Bukankah itu lebih pantas?”

“Tetapi persoalannya penting sekali,“ sahut Raden Teja Prabawa.

“Justru karena itu, maka sebaiknya Raden pergi menghadap kakek Raden itu,“ berkata Ki Jayaraga.

“Tidak. Biar Kakek datang kemari. Aku tidak mempunyai waktu untuk mondar-mandir di Tanah Perdikan ini.”

“Bukankah waktunya sama saja? Bukankah Angger juga harus menunggu Ki Lurah itu datang seandainya ia dipanggil? Sementara itu jika Raden pergi ke barak. Raden akan dapat langsung bertemu dengan Ki Lurah,” jawab Ki Jayaraga.

Sebelum Raden Teja Prabawa menjawab, Rara Wulan telah mendahuluinya, “Sekarang, katakan apa yang penting itu. Kemudian Kakangmas pergi ke barak untuk menemui Kakek. Itu memang lebih pantas daripada kau memanggil Kakek kemari, seakan-akan kau berhak berbuat demikian.”

Raden Teja Prabawa itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Rara Wulan dan Ki Jayaraga berganti-ganti. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Jika tidak ada seorangpun yang mau memanggil Kakek kemari, aku akan pergi ke barak.”

“Bukan tidak mau Raden,” jawab Glagah Putih, “tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga dan Rara Wulan, sebaiknya Raden pergi ke barak, sebagaimana seorang cucu menghadap kakeknya. Bukan sebaliknya.”

“Cukup!“ bentak Raden Teja Prabawa, “Kau tidak usah menggurui aku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”

Glagah Putih menjadi heran. Menurut penilaiannya sifat Raden Teja Prabawa sudah berubah. Namun tiba-tiba ia menjadi kasar kembali. Bahkan kesombongannya telah kambuh lagi.

Belum lagi keheranannya mereda, maka Raden Teja Prabawa itu telah berkata, “Jika demikian, aku akan segera mengatakan kepentinganku datang kemari. Setelah itu aku akan pergi ke barak.”

“Tetapi kami persilahkan Raden untuk minum dahulu,” Sekar Mirah menyela.

Raden Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menghirup minuman hangat yang dihidangkan oleh Rara Wulan. Demikian pula seorang kawannya yang menyertainya.

Namun demikian ia meletakkan mangkuknya, maka iapun berkata, “Wulan. Aku datang untuk memberitahukan kepadamu, bahwa Raden Antal telah memintamu kembali. Ia sudah menceraikan perempuan yang telah dinikahinya beberapa waktu yang lalu. Karena itu, aku datang untuk menyampaikan hal ini kepadamu.”

“Apa yang sebenarnya terjadi atasmu Kakangmas?“ bertanya Rara Wulan.

“Kenapa dengan aku?” Raden Teja Prabawa justru bertanya.

“Bukankah persoalan ini sudah kita anggap selesai?”

“Kau yang menganggap persoalan ini selesai. Tetapi tidak dengan Raden Antal. Ia masih tetap menghendaki kau menjadi istrinya,“ jawab Raden Teja Prabawa.

“Mungkin benar, bahwa Raden Antal menganggap persoalan ini belum selesai. Tetapi bagaimana dengan Kakangmas sendiri?” bertanya Rara Wulan, “Apakah aku harus menerima permintaan itu atau tidak?”

“Kau tidak mempunyai pilihan Wulan. Kau harus menerimanya. Ia benar-benar menghendakinya. Apalagi ia sudah menceraikan istrinya yang kau jadikan alasan penolakanmu waktu itu,” jawab Raden Teja Prabawa.

Rara Wulan memandang kakaknya dengan kening yang berkerut. Katanya kemudian, “Aku tidak mengerti sikapmu Kakangmas. Bukankah kau waktu itu ikut menyelamatkan aku dari kekasaran Raden Antal dan orang tuanya?”

“Tetapi waktu itu Raden Antal akan menikahi perempuan lain. Sekarang keadaannya adalah sebaliknya, ia akan menceraikan perempuan itu,“ jawab Raden Teja Prabawa.

“Jadi begitu mudahnya orang menikahi seorang perempuan dan begitu mudahnya pula ia menceraikannya? Apakah kau juga menghargai seorang perempuan sebagaimana Raden Antal? Apakah kau juga begitu saja menerima seandainya besok aku dijadikan istrinya, namun sebulan lagi aku diceraikannya begitu saja? Mungkin bagi seorang laki-laki perkawinan berikutnya masih dapat dilakukannya tanpa kesulitan. Tetapi bagi seorang perempuan?” bertanya Rara Wulan.

Wajah Raden Teja Prabawa menjadi tegang. Sementara Rara Wulan berkata selanjutnya, “Aku tidak yakin bahwa Ayah dan Ibu akan sependapat dengan kau.”

Raden Teja Prabawa terdiam sejenak. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Aku mendapat perintah dari Ayah dan Ibu untuk memanggilmu pulang.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Tetapi katanya kemudian, “Sikapmu tidak meyakinkan aku, Kakangmas. Tetapi ada juga baiknya jika aku menghubungi Ayah dan Ibu.”

Wajah Raden Teja Prabawa menjadi semakin tegang, sementara Rara Wulan berkata selanjutnya, “Jika Ayah dan Ibu benar-benar merubah sikapnya, maka akupun dapat merubah sikapku. Maksudku, aku dapat melepaskan diri dari ikatan keluargaku, karena aku merasa sudah dewasa. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi kemudian, namun aku tidak mau dikorbankan kepada ketamakan orang yang tidak tahu diri itu. Tidak seorangpun dapat memaksa aku, bahkan tidak ada kekerasan yang berarti bagiku, karena aku akan melawan kekerasan dengan kekerasan.”

“Wulan,“ potong Raden Teja Prabawa, “kau sadar akan kata-katamu itu?”

“Aku sadar sepenuhnya. Justru aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau sadari akan sikapmu itu?“ Rara Wulan justru bertanya lantang.

Raden Teja Prabawa memang menjadi ragu-ragu. Wajahnya memang menjadi semakin tegang. Namun nampak betapa sebuah pergolakan terjadi di dadanya.

Sementara itu Sekar Mirah pun mencoba untuk menengahi, “Sudahlah Rara. Masih ada waktu untuk membicarakannya. Persoalannya nampaknya memang sangat penting. Biarlah Kakang Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan ikut campur.”

Sementara itu Ki Jayaraga nampak mengangguk-angguk. Ia menghubungkan perubahan sikap Raden Teja Prabawa itu dengan kehadiran Bajang Engkrek di rumah keluarga Raden Antal.

Karena itu maka Ki Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Jika demikian maka memang seharusnya Raden berbicara dengan Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu. Persoalannya tentu tidak sesederhana itu. Bukan sekedar memaksa Angger Rara Wulan untuk menerima seseorang untuk menjadi suaminya. Tetapi latar belakang dari persoalan itu sendiri harus dicermati.”

Wajah Raden Teja Prabawa memang menjadi keruh. Kegelisahan hatinya pun mulai muncul di permukaan. Karena itu, untuk beberapa saat lamanya Raden Teja Prabawa hanya berdiam diri saja.

“Nah,” berkata Ki Jayaraga, “nampaknya Raden memang letih. Karena itu, setelah minum dan makan makanan sekedarnya, sebaiknya Raden beristirahat di gandok, sambil menunggu Agung Sedayu kembali dari barak. Namun sebelumnya, biarlah seseorang memberitahukan kehadiran Raden di rumah ini. Karena persoalannya memang penting, maka biarlah Ki Lurah datang bersama Agung Sedayu nanti.”

Kegelisahan yang mencekam memang terbayang di wajah Raden Teja Prabawa. Namun ia masih belum menjawab.

Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Jika demikian, biarlah aku dan Kakang Sabungsari pergi ke barak untuk memberitahukan kedatangan Raden di rumah ini.” Raden Teja Prabawa itu memandang kawannya sejenak. Baru kemudian ia berkata, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Terserah kepada Raden,“ jawab kawannya.

“Jika aku menunggu Kakek dan Agung Sedayu disini, apakah kita akan dapat kembali hari ini?“ bertanya Raden Teja Prabawa kepada kawannya itu pula.

“Jadi kapan mereka datang?” kawannya justru bertanya.

Raden Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya kepada Ki Jayaraga, “Kapan Agung Sedayu pulang dari barak Pasukan Khusus itu? “

“Di sore hari, saat matahari berada di atas punggung pegunungan sebelah. Tetapi jika ada persoalan penting yang harus diselesaikan, maka kadang-kadang ia pulang menjelang senja atau bahkan lebih lama lagi,” jawab Ki Jayaraga.

“Dan aku harus menunggu?“ bertanya Raden Teja Prabawa.

“Sudah tentu. Tetapi jika Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan mengetahui bahwa Raden ada di sini, mereka tentu akan lebih cepat datang,“ jawab Ki Jayaraga.

“Jika demikian, biarlah aku dan Sabungsari pergi sekarang,” berkata Glagah Putih.

Ki Jayaraga pun kemudian berpaling kepada Sekar Mirah. Agak ragu ia bertanya, “Apakah sebaiknya ia pergi sekarang?”

Sekar Mirah pun ragu-ragu. Bahkan ia bertanya kepada Glagah Putih, “Bagaimana sebaiknya menurutmu, Glagah Putih?”

“Kami akan pergi sekarang jika Mbokayu tidak berkeberatan,” jawab Glagah Putih.

“Baiklah. Tetapi hati-hati, jangan terlalu lama,” pesan Sekar Mirah.

Demikianlah, sejenak kemudian maka Glagah Putih dan Sabungsari telah berpacu menuju ke barak Pasukan Khusus. Namun ketika mereka lewat banjar padukuhan, maka Glagah Putih sempat berpesan kepada para pengawal untuk berhati-hati.

“Ki Jayaraga sendiri di rumah,“ berkata Glagah Putih, “jika dua atau tiga orang berilmu tinggi datang bersama-sama, ia memang memerlukan bantuan.”

“Tetapi di siang hari nampaknya Bajang Engkrek itu tidak bergerak. Ia menyadari bahwa dirinya terlalu mudah untuk dikenal karena kelainannya itu,“ sahut Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Orang kerdil itu tentu menyadari bahwa ia sudah dikenal oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Anak yang bermain pliridan itu tentu telah menceritakannya kepada keluarganya tentang orang bertubuh kecil dan pendek.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Glagah Putih dan Sabungsari telah sampai ke barak Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu. Karena orang-orang yang bertugas berjaga-jaga telah mengenalnya dengan baik, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah dipersilahkan untuk langsung menemui Ki Lurah Agung Sedayu.

Agung Sedayu memang terkejut. Jika keduanya menyusulnya, tentu ada hal yang penting disampaikan kepadanya.

Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun segera mempersilahkan keduanya duduk dan bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

“Tidak ada apa-apa Kakang,” jawab Glagah Putih yang menyadari kegelisahan Agung Sedayu. Namun iapun kemudian menceritakan bahwa Raden Teja Prabawa telah datang ke rumah.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia bertanya, “Untuk apa? Apakah sekedar menengok keselamatan adiknya, atau ada kepentingan lain?”

“Ia ingin berbicara dengan Ki Lurah Branjangan dan Kakang Agung Sedayu,“ jawab Glagah Putih.

“Kenapa tidak kau bawa saja anak itu kemari?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Agaknya dalam pembicaraan itu Rara Wulan juga harus hadir,“ jawab Glagah Putih pula, yang dengan ringkas menyampaikan pernyataan yang telah dikatakan oleh Raden Teja Prabawa.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi persoalan itu masih akan berkepanjangan? Tentu ada hubungannya dengan orang kerdil itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Mungkin sekali. Raden Teja Prabawa tidak akan merubah sikapnya tanpa sebab. Apalagi jika benar orang tua Rara Wulan juga berubah pendiriannya.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kita akan berbicara dengan Ki Lurah Branjangan.”

Ketika kemudian hal itu disampaikan kepada Ki Lurah Branjangan, maka Ki Lurah itu pun terkejut. Ia tidak mengira bahwa Teja Prabawa akan bersikap sekasar itu terhadap adiknya. Karena itu, maka iapun berkata, “Aku sependapat bahwa tentu ada sebabnya. Jika benar-benar orang kerdil itu pernah berhubungan dengan keluarga Raden Antal, maka mungkin sekali telah terjadi kekerasan terhadap keluarga anakku itu. Bukankah aku pernah mengatakan bahwa ancaman itu masih tetap ada?”

“Apakah ancaman itu menurut Ki Lurah benar-benar telah dilakukan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Baiklah. Aku akan berbicara dengan Teja Prabawa,“ berkata Ki Lurah Branjangan kemudian.

Ternyata Agung Sedayu dan Ki Lurah tidak menunggu saatnya Agung Sedayu pulang seperti hari-hari biasa. Setelah memberikan beberapa pesan kepada beberapa orang pimpinan di barak itu. maka Agung Sedyu pun segera berpacu kembali ke rumahnya, bersama Ki Lurah Branjangan serta Sabungsari dan Glagah Putih.

Ketika mereka sampai di rumah, maka Raden Teja Prabawa masih berada di gandok untuk beristirahat. Namun sebenarnyalah Raden Teja Prabawa yang gelisah itu hanya berjalan saja mondar-mandir di dalam bilik gandok. Sehingga demikian mereka mendengar derap kaki kuda, maka Raden Teja Prabawa itu pun segera melangkah keluar diikuti oleh kawannya, yang juga menjadi gelisah.

“Mereka telah datang,” desis Raden Teja Prabawa.

“Siapa?“ bertanya kawannya.

“Kakek dan Agung Sedayu,“ jawab Raden Teja Prabawa.

Kawannya tidak bertanya lagi. Namun diikutinya Raden Teja Prabawa yang menyongsong kakeknya di halaman.

Agung Sedayu pun kemudian mempersilahkan Raden Teja Prabawa, kawannya dan Ki Lurah Branjangan untuk naik ke pendapa. Sementara itu Sekar Mirah, Rara Wulan dan Ki Jayaraga pun telah dipanggil pula untuk menemui dan berbicara dengan Raden Teja Prabawa.

Kepada Ki Lurah Branjangan, Raden Teja Prabawa mengulangi permintaannya, agar Rara Wulan tidak menolak lamaran Raden Antal yang telah berniat untuk menceraikan istrinya.

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Namun sebagai orang yang telah menyimpan pengalaman sebangsal di dalam dirinya, maka iapun segera dapat meraba, apakah yang telah terjadi di Mataram.

Karena itu, maka Ki Lurah Branjangan pun dengan serta merta bertanya, “Siapa yang menggerakkanmu datang kemari dan mengajukan permintaan itu kepada Wulan?”

Pertanyaan itu memang membingungkan Teja Prabawa. Namun kemudian iapun menjawab, “Ayah dan Ibu.”

Namun Ki Lurah itu menyahut, “Pantaskah kau berbohong kepada kakekmu? Kau tahu, aku belum lama berselang telah berada di Mataram menemui ayah dan bumu. Kau tahu apa yang dikatakannya kepadaku?”

Wajah Raden Teja Prabawa menegang. Dengan bimbang ia menjawab, “Tidak Kek.”

“Jika kau tidak tahu, baiklah aku memberitahukan kepadamu. Bahwa ayah dan ibumu masih merasa terancam oleh keluarga Raden Antal. Nah, dalam hubungan inilah tentu kau datang kemari.”

Kegelisahan yang sangat telah menerpa jantung Raden Teja Prabawa, sehingga untuk beberapa saat ia telah terdiam. Namun nampaknya Ki Lurah Branjangan tidak mau kehilangan jejak pembicaraannya, sehingga karena itu maka Ki Lurah itu masih berbicara selanjutnya, “Katakan Ngger. Apa yang sebenarnya terjadi di rumahmu sepeninggalku? Tetapi aku yakin bahwa ayah dan ibumu tidak akan berubah sikap dan pendiriannya terhadap Raden Antal, tanpa sebab-sebab yang tidak teratasi yang datang dari luar diri mereka.”

Raden Teja Prabawa menjadi semakin gelisah. Wajahnya menjadi semakin tegang, sehingga nafasnya pun terasa sesak di dadanya.

Namun Ki Lurah masih mendesaknya, “Katakan, kenapa kau datang kemari untuk memaksa adikmu melakukan satu hal yang dapat menyakiti badan dan jiwanya? Kenapa kau sampai hati memaksa adikmu satu-satunya menerima lamaran seseorang yang dengan mudah menikahi seorang perempuan, dan kemudian dengan mudah pula mencerainya? Kenapa?”

Pertanyaan itu terasa begitu mendesaknya, menghimpitnya, sehingga seakan-akan tidak ada ruang lagi untuk bergerak. Sementara Ki Lurah masih memburunya dengan pertanyaan-pertanyaan, “Teja Prabawa. Bukankah kau tidak sedang mabuk sekarang? Atau kau merasa bahwa di lehermu telah dikalungkan tali yang dapat menjeratmu?”

Tiba-tiba saja Raden Teja Prabawa menjadi pucat. Dipandanginya kawannya itu sejenak.

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya hampir bergumam, “Sebaiknya kau berterus terang Raden.”

Raden Teja Prabawa menjadi semakin tegang. Bahkan kemudian iapun menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata Raden Teja Prabawa itu telah menangis.

Mereka yang hadir di pendapa itu pun tercenung sejenak. Mereka mengerti bahwa telah terjadi sesuatu pada anak muda itu, atau keluarganya. Namun Rara Wulan-lah yang kemudian berkata, “Kakangmas. Kenapa Kakangmas menangis seperti perempuan? Bukankah kau seorang laki-laki yang utuh? Sebaiknya kau katakan saja apa yang telah terjadi, sehingga kita bersama-sama akan mencari jalan keluar.”

“Sudahlah Ngger,” desis Ki Lurah Branjangan, “kami tahu bahwa kau tentu mengalami tekanan yang sangat berat. Mungkin secara wadag, tetapi mungkin juga jiwamu. Seperti kata-kata adikmu, maka sebaiknya sebut saja persoalannya, sehingga kita berusaha untuk memecahkannya. Seperti kau ketahui, bahwa kau, ayah dan ibumu, tidak sendiri. Kami semua di sini bersama kalian. Bahkan di Mataram pun kita mempunyai sahabat-sahabat yang akan dapat membantu kita. Mungkin keluarga Raden Antal yang kaya itu akan dapat mengupah orang-orang upahan untuk melakukan kekerasan. Tetapi meskipun kita tidak mempunyai uang untuk mengupah orang, tetapi kita yang berdiri di pihak yang benar mempunyai sahabat-sahabat, yang tentu bersedia membantu kita dengan niat yang bersih, sehingga hasilnya tentu melebihi orang-orang upahan itu, karena bantuan bagi kita bersandar kepada kesetia-kawanan.”

Raden Teja Prabawa memang berusaha menguasai perasaannya. Sementara kawannya itu pun berkata, “Sudahlah Raden. Berterus-teranglah. Tidak ada gunanya Raden mempergunakan cara yang ingin Raden lakukan itu, karena dengan demikian Raden akan mengorbankan adik Raden sendiri.”

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?” desak Rara Wulan.

“Aku minta maaf kepadamu Wulan,” desis Raden Teja Prabawa.

“Tetapi apa yang telah terjadi itu?” desak Rara Wulan.

Raden Teja Prabawa memang masih ragu-ragu. Tetapi kemudian iapun menjawab, “Kami telah mendapat ancaman, Wulan.”

“Kami siapa?” bertanya Rara Wulan. “Kau, Ibu, Ayah?”

Raden Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Aku dan Raras.”

“Raras?” ulang Rara Wulan.

Raden Teja Prabawa mengangguk. Namun Rara Wulan masih bertanya, “Apa hubungannya dengan Raras? Maksudmu Raras anak perempuan Paman Rangga Wibawa?”

Raden Teja Prabawa mengangguk. Tetapi ia tidak segera menjawab. Bahkan masih saja terasa matanya membasah.

Tetapi Ki Lurah Branjangan-lah yang segera tanggap. Katanya, “Aku mengerti maksudmu Ngger. Bukankah kau sering mengunjungi rumah Ki Rangga Wibawa?”

Raden Teja Prabawa mengangguk. Dengan demikian maka yang lain yang ada di pendapa itu pun segera tanggap pula. Tentu ada hubungan khusus antara Raden Teja Prabawa dengan gadis yang bernama Raras itu. Apalagi Wulan yang sudah mengenal Raras sejak lama.

Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan pun bertanya, “Ancaman apakah yang pernah kalian terima, dan dari siapa?”

“Raden Antal telah menemui aku. Ia minta Wulan bersedia menjadi istrinya. Jika tidak, maka Raras-lah yang akan diambilnya, karena mereka merasa sulit untuk dapat mengambil Wulan,” jawab Raden Teja Prabawa.

“Kau pernah menyampaikan ancaman itu kepada Ki Rangga Wibawa?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Belum,” jawab Raden Teja Prabawa.

“Raras sendiri?” desak Rara Wulan.

“Juga belum,” jawab Raden Teja Prabawa.

“Tetapi apakah Ki Rangga Wibawa sudah mengetahui hubunganmu dengan Raras?” bertanya Ki Lurah Branjangan pula.

“Sudah,” jawab Raden Teja Prabawa, “nampaknya Ki Rangga Wibawa tidak menaruh keberatan. Tetapi entahlah jika ia tahu bahwa Raras terancam keselamatannya. Bahkan seluruh keluarganya, sebagaimana keluarga kita.”

“Tetapi kenapa kau menjadi begitu cemas? Bukankah ayahmu juga seorang yang berilmu. Kau sendiri telah berguru, dan ada beberapa orang yang membantu menjaga rumahmu,” berkata Ki Lurah Branjangan selanjutnya.

“Tetapi bukankah kami tidak selalu berada di rumah? Raras juga tidak selalu di rumah. Mungkin ke pasar, atau pergi kemana saja menurut keperluannya,” jawab Raden Teja Prabawa.

Sementara itu kawan Raden Teja Prabawa itu pun berkata, “Kami memang sudah berusaha untuk melindungi Raras. Tetapi kemampuan kami tidak seimbang dengan besarnya ancaman yang kami terima. Seorang di antara mereka yang mengancam kami telah menunjukkan kelebihannya di hadapan kami.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Teja Prabawa berkata, “Kawanku ini adalah saudara sepupu Raras. Tetapi ia tinggal di rumah Ki Rangga Wibawa.”

“Tetapi aku belum pernah melihatnya,“ desis Rara Wulan, “padahal aku beberapa kali datang ke rumah Paman Rangga Wibawa untuk menemui Raras.”

“Aku belum lama berada di rumah Paman Rangga Wibawa,” jawab kawan Raden Teja Prabawa itu.

“Nama Ki Sanak?” bertanya Agung Sedayu.

“Wacana,” jawab orang itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Persoalannya justru akan berkembang. Kita memang harus semakin berhati-hati.”

Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Apakah memang ada kemungkinan bahwa Angger Raras benar-benar diambil oleh orang upahan Raden Antal itu?”

“Memang mungkin,” jawab Raden Teja Prabawa.

“Jika demikian, ayah gadis itu harus segera mengetahuinya. Mungkin ada satu cara untuk menyelamatkan gadis itu,” desis Ki Jayaraga.

“Kenapa Raras tidak kau ajak saja kemari dan berada di sini untuk sementara?” bertanya Rara Wulan.

Namun yang menjawab adalah Wacana, “Paman Rangga Wibawa tentu berkeberatan. Bukankah tidak pantas jika seorang gadis meninggalkan rumahnya dibawa oleh seorang anak muda, apapun alasannya?”

“Juga alasan keselamatannya?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Alasan apapun,” jawab Wacana.

Adalah di luar dugaan jika Rara Wulan tiba-tiba berkata, “Aku juga berada di sini. Ayah dan ibu tidak berkeberatan. Tentang apa yang terjadi di sini, tergantung sekali kepada kesiapan jiwani orang yang bersangkutan.”

Wacana itu termangu-mangu sejenak. Namun ia sama sekali tidak menjawab lagi.

Namun dalam pada itu Ki Lurah Branjangan pun berkata, “Jika demikian, aku tidak dapat berdiam diri menghadapi ancaman Raden Antal terhadap keluarga Rara Wulan dan keluarga Raras. Aku harus menemui Ki Rangga Wibawa dan menyampaikan persoalan yang menyangkut hubungan antara Teja Prabawa dengan Raras, dan ancaman yang ditujukan kepada Raras. Apapun sikap Ki Rangga Wibawa, dapat kita bicarakan kemudian.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Ki Lurah. Tetapi Ki Lurah jangan pergi sendiri ke Mataram. Jika terjadi sesuatu, maka persoalannya akan bertambah rumit.”

“Kami berdua dapat pergi bersama Ki Lurah,” berkata Wacana.

“Tetapi kita harus memperhitungkan orang yang ada di belakang keluarga Raden Antal. Bukan orang kebanyakan. Tetapi orang yang berilmu sangat tinggi,” Agung Sedayu memperingatkan.

Wacana termangu-mangu sejenak. Namun yang kemudian menyahut adalah Teja Prabawa, “Wacana adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia akan dapat melindungi Kakek di perjalanan.”

Di luar sadar, semua orang telah berpaling ke arah Wacana. Namun sambil menunduk Wacana sendiri berkata, “Tidak. Sama sekali tidak. Aku baru memasuki sebuah perguruan, sehingga aku baru mulai dengan ilmu dasar.”

Sambil mengangguk-angguk Ki Jayaraga berkata, “Bagaimana pun juga tetapi Ki Sanak telah memiliki bekal ilmu. Namun orang yang diupah Raden Antal adalah orang yang sulit dijajagi kemampuannya. Karena itu, maka lebih baik bagi kita untuk tetap berhati-hati.”

“Jadi bagaimana menurut Kakek?” desis Raden Teja Prabawa kemudian. Namun katanya pula, “Ketika kami datang kemari, ternyata juga tidak terjadi apa-apa.”

“Baiklah. Biarlah kami bertiga saja pergi ke Mataram. Bukankah orang-orang yang berbahaya tidak selalu berada di sepanjang jalan?” desis Ki Lurah Branjangan.

Namun Agung Sedayu ternyata tidak mau melepas mereka hanya bertiga. Jika orang-orang Ki Manuhara atau para pengikut Bajang Engkrek itu mengetahui mereka berada di tempat ini, maka mereka tentu akan dapat berbuat apa saja. Karena itu, maka iapun berkata, “Biarlah aku mempersiapkan empat orang prajurit dari Pasukan Khusus untuk menemani kalian pergi ke Mataram. Tetapi sudah tentu agar tidak menarik perhatian, mereka tidak usah berpakaian prajurit. Meskipun para prajurit itu juga tidak akan mampu melawan orang-orang berilmu sangat tinggi itu, namun setidak-tidaknya mereka akan dapat memberikan perlawanan, sementara Ki Lurah dapat mengambil kebijaksanaan penyelamatan.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas panjang. Katanya, “Angger Agung Sedayu terlalu berhati-hati. Tetapi baiklah. Memang lebih baik berhati-hati daripada menyesal di kemudian hari.”

Demikianlah, maka telah diambil keputusan bahwa Ki Lurah Branjangan akan pergi ke Mataram. Tetapi tidak hari itu. Esok pagi mereka akan berangkat dari barak Pasukan Khusus bersama dengan keempat prajurit.

Namun dalam pada itu, maka dalam pembicaraan yang khusus Agung Sedayu telah minta agar Ki Lurah Branjangan berhubungan dengan anak-anak dari kelompok Gajah Liwung.

“Tetapi mereka pun harus sangat berhati-hati. Bajang Engkrek dan Ki Manuhara adalah orang-orang yang bukan saja berilmu tinggi.”

Sabungsari dan Glagah Putih yang ikut dalam pembicaraan ilu tidak berkeberatan. Namun seperti pesan Agung Sedayu, anak-anak Gajah Liwung memang harus sangat berhati-hati menghadapi orang-orang yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi juga sangat licik.

“Kalau mungkin, Ki Lurah dapat berbicara langsung dengan Ki Ajar Gurawa melalui Ki Wirayuda,” berkata Glagah Putih.

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nampaknya persoalannya memang akan menjadi semakin luas. Khususnya yang berhubungan dengan keluarga Wulan dan Raras.”

Demikianlah, maka malam itu Raden Teja Prabawa, Wacana dan bahkan Ki Lurah Branjangan bermalam di rumah Agung Sedayu. Sementara malam itu Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih juga pergi ke tempat penyeberangan. Namun mereka sama sekali tidak menjumpai orang yang dicarinya. Ketika menjelang tengah malam rakit dari sisi timur menyeberang ke barat dengan membawa dua penumpang, ternyata keduanya adalah suami istri yang harus menengok kakeknya yang sakit keras.

Di tengah malam, maka Ki Jayaraga telah mengajak Glagah Pulih pulang. Tetapi ternyata Glagah Putih telah minta agar mereka singgah di pliridan. Mungkin ada orang yang mengawasinya setelah pliridan itu diperbaiki.

“Mereka akan mengira bahwa anak itu sudah mulai turun lagi ke sungai untuk membuka dan menutup pliridan,” berkata Glagah Putih.

Ki Jayaraga tidak berkeberatan. Mereka berdua tidak langsung kembali ke rumah Agung Sedayu, tetapi langsung menuju ke sungai untuk melihat keadaan.

Ternyata pliridan itu masih saja terbuka sebagaimana saat pliridan itu diperbaiki. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu ternyata mematuhi petunjuk Glagah Pulih agar tidak turun lebih dahulu ke sungai. Bahkan nampaknya anak-anak yang lain pun masih belum ada yang turun pula.

“Nampaknya kegiatan Bajang Engkrek dan Ki Manuhara lebih banyak dilakukan di Mataram,” desis Glagah Putih.

“Ya,” jawab Ki Jayaraga, “karena itu maka orang tua Raras memang harus segera diberitahu. Ki Rangga Wibawa tentu sama sekali tidak mengira bahwa anaknya akan terlibat dalam kesulitan. Bahkan dengan orang-orang berilmu tinggi.”

“Mudah-mudahan Wacana itu dapat benar-benar melindungi,” berkata Ki Jayaraga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, iapun telah turun dan berdiri di aliran air di pliridan yang terbuka itu.

Tiba-tiba saja telinganya yang tajam mendengar gemericik air yang tersibak. Karena itu, maka iapun berdesis lemah, “Ada orang menyeberang.”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi iapun memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Di kejauhan, di sela-sela gelapnya bayangan pepohonan di malam hari, Ki Jayaraga memang melihat sesuatu yang bergerak. Namun hanya sekilas, karena bayangan yang bergerak itu segera menghilang.

“Ketika orang itu melihat bahwa yang ada di sini bukan anak yang sering membuka dan menutup pliridan itu, maka agaknya ia mengurungkan niatnya untuk turun ke sungai,” desis Ki Jayarga perlahan.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Tentu bukan orang kerdil itu sendiri atau Ki Manuhara.”

“Ya. Geraknya terlalu sederhana dan kasar. Tetapi karena itu maka orang itu lebih baik menjauh.”

“Apakah orang itu mengenal kita?” bertanya Glagah Putih.

“Mengenal atau tidak, tetapi ia merasa bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak,” jawab Ki Jayaraga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berdiri di air yang mengalir lewat bagian dalam pliridan yang terbuka itu.

Namun ketika Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah meyakinkan bahwa orang itu benar-benar telah pergi, maka mereka pun meninggalkan tepian sungai itu pula.

Seperti malam sebelumnya, mereka tidak membangunkan orang-orang yang sudah tertidur nyenyak. Tetapi keduanya pun berbaring saja di amben bambu di serambi, setelah mereka mencuci kaki dan tangan mereka.

Pagi-pagi benar Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah bangun. Ketika Glagah Putih mulai menimba air, anak yang tinggal di rumah itu pun telah bangun pula. Dengan kelenting ia mengambil air untuk di bawa kedapur, sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berada di dapur pula. Sekar Mirah mulai menyalakan api, sedangkan Rara Wulan mencuci mangkuk-mangkuk yang masih kotor.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga sempat berbicara dengan Agung Sedayu yang sedang menghangatkan tubuhnya. Katanya, “Para tukang satang tidak melihat Bajang Engkrek itu beberapa hari terakhir. Mereka melihat Bajang itu terakhir justru menyeberang ke timur. Agaknya kegiatan mereka lebih banyak ditujukan kepada sasaran yang ada di Mataram.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Hari ini Ki Lurah Branjangan akan menghubungi keluarga Raras.”

“Semakin cepat semakin baik,” berkata Ki Jayaraga. Namun ia juga menceritakan tentang seseorang yang nampaknya masih saja mengamati pliridan yang sudah diperbaiki itu.

“Nampaknya mereka memang menunggu anak itu membuka atau menutup pliridan,” desis Ki Jayaraga kemudian.

“Kita masih belum dapat mengetahui gerakan orang-orang itu,” berkata Agung Sedayu, “tetapi agaknya mereka bergerak dalam jaringan yang semakin luas, meskipun sasarannya menjadi kabur.”

Ki Jayaraga pun kemudian telah meninggalkan Agung Sedayu dan pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Sementara Glagah Putih telah mengisi jambangan penuh.

Beberapa saat kemudian maka para tamu di rumah itu pun telah terbangun pula, sementara langit menjadi merah.

Ketika matahari mulai memanjat langit, maka Ki Lurah Branjangan, cucunya dan Wacana telah bersiap untuk pergi ke barak bersama Agung Sedayu. Dari barak mereka akan langsung pergi ke Mataram, melewati jalur penyeberangan sebelah selatan.

Namun Sekar Mirah masih mempersilahkan mereka untuk makan pagi lebih dahulu.

Demikianlah, maka Ki Lurah Branjangan, cucunya dan Wacana pun kemudian telah siap meninggalkan rumah itu bersama Agung Sedayu. Ki Jayaraga masih sempat berpesan, agar mereka berhati-hati menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi namun licik itu.

“Orang-orang berilmu tinggi itu lebih sering berada di Mataram,” berkata Ki Jayaraga, “karena itu, kalian harus sangat berhati-hati. Demikian pula anak-anak Gajah Liwung. Mereka harus juga sangat berhati-hati menghadapi keadaan.”

“Aku minta Ki Lurah berhubungan langsung dengan Ki Ajar Gurawa. Meskipun ilmunya mungkin masih belum setingkat dengan Ki Manuhara, namun ia memiliki kemampuan yang tinggi. Jika ia bersama dengan kedua muridnya, mungkin ia akan dapat setidak-tidaknya mengganggu kebebasan Ki Manuhara,” berkata Glagah Putih meskipun agak ragu.

Namun Sabungsari pun berkata pula, “Memang orang terbaik saat ini pada kelompok Gajah Liwung adalah Ki Ajar Gurawa. Mungkin Adi Wacana akan dapat melengkapinya, sehingga kekuatan kelompok Gajah Liwung akan menjadi semakin kokoh, jika ia berkenan.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berbicara dengan Ki Wirayuda.”

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian empat ekor kuda telah berlari meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh menuju ke barak Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Untuk selanjutnya Ki Lurah Branjangan, cucunya, Wacana dan beberapa orang prajurit yang dipersiapkan oleh Agung Sedayu akan langsung menuju ke Mataram.

Ternyata tidak ada hambatan di perjalanan Ki Lurah Branjangan dan orang-orang yang bersamanya hingga sampai di Mataram. Ki Lurah Branjangan yang disertai cucunya dan Wacana itu tidak langsung menuju ke rumah Ki Lurah, tetapi mereka singgah lebih dahulu di rumah orang tua Teja Prabawa. Namun keempat orang prajurit yang menyertainya itu justru telah minta ijin untuk mempergunakan waktu yang sempit itu untuk melihat-lihat Kotaraja. Kesempatan yang jarang mereka dapat. Ki Lurah Branjangan tidak berkeberatan. Namun kemudian Ki Lurah minta agar mereka nanti langsung menuju ke rumah Ki Lurah.

“Tetapi kami belum mengetahui letak rumah Ki Lurah,“ berkata orang yang tertua di antara mereka.

Ki Lurahpun kemudian telah memberikan ancar-ancar. Katanya kemudian, “Akupun akan segera berada di rumah itu. Bukankah kalian telah mengenal jalan-jalan di Kotaraja dengan baik?”

“Mudah-mudahan kami tidak tersesat,” jawab salah seorang dari mereka.

Namun kawannya pun berkata, “Ia memang anak Mataram dan tumbuh bersama pertumbuhan kota ini.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi berhati-hatilah. Kita sedang mengemban tugas yang masih samar-samar.”

“Baik Ki Lurah,” jawab prajurit itu, “sebelum matahari merendah di barat, aku sudah akan berada di rumah Ki Lurah.”

Demikianlah, ketika keempat prajurit itu meninggalkan regol rumah Teja Prabawa untuk melihat-lihat keadaan Kotaraja, maka Ki Lurah pun telah mengajak Teja Prabawa dan Wacana masuk.

“Ayah biasanya tidak ada di rumah pada saat begini,” berkata Teja Prabawa.

“Tetapi bukankah tidak lama lagi ayahmu pulang?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Ya. Biasanya demikian,” jawab Teja Prabawa.

Namun ternyata hari itu agak berbeda dengan hari-hari yang lain. Ketika mereka menuntun kuda mereka di halaman, ternyata ayah Teja Prabawa itu ada di rumahnya. Bahkan Ki Tumenggung itulah yang pertama-tama melihat kehadiran Ki Lurah Branjangan, Teja Prabawa dan Wacana.

Demikian mereka menambatkan kudanya, maka Ki Tumenggung itu pun segera memanggil ibu Teja Prabawa. Katanya, “Inilah anak itu. Ia datang bersama Ayah.”

Ibunya pun segera menghambur keluar. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia berkata, “Kau membuat kami cemas Teja. Apakah kau menyusul kakekmu ke Tanah Perdikan?”

Yang menjawab adalah Ki Lurah Branjangan, “Ya. Teja Prabawa telah pergi ke Tanah Perdikan.”

Ki Tumenggung kemudian telah mempersilahkan Ki Lurah dan seorang anak muda yang belum dikenalnya itu untuk naik ke pendapa. Ketika Teja Prabawa melangkah ke pintu pringgitan, ayahnya itu pun berkata, “Kau juga duduk di sini Teja. Aku ingin tahu, kenapa kau tiba-tiba saja pergi ke Tanah Perdikan tanpa memberi tahu lebih dahulu.”

Teja Prabawa itu hanya menunduk, sementara Ki Lurah bertanya, “Jadi ia pergi tanpa sepengetahuanmu ?”

Ki Tumenggung Purbarumeksa mengerutkan dahinya. Dengan nada dalam ia menjawab, “Teja Prabawa tidak pernah mengatakannya, bahwa ia akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kau dengar itu Teja Prabawa?” desis Ki Lurah Branjangan, “Ternyata kau tidak minta ijin lebih dahulu dari ayahmu, apalagi mendapat pesan dari ayah dan ibumu.”

Wajah Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung Purbarumeksa nampak berkerut. Dengan ragu Ki Tumenggung bertanya, “Pesan apa yang dibawanya ke Tanah Perdikan ?”

“Ayah,” tiba-tiba Raden Teja Prabawa menyela, “aku telah menjadi sangat gelisah, sehingga aku telah mengambil langkah sendiri yang barangkali mendahului kehendak Ayah.”

“Apa yang sudah kau katakan kepada kakekmu?” bertanya Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Raden Teja Prabawa menjadi ragu-ragu. Namun Ki Lurah yang justru iba melihat cucunya kebingungan berkata, “Jika demikian, maka biarlah aku yang menceritakannya, apa yang telah terjadi dengan anakmu, dan apa yang telah dilakukannya dalam kebingungannya. Agaknya ia memang tidak dapat berbuat lain pada waktu itu, karena nalarnya yang menjadi pepat.”

Ki Tumenggung dan istrinya menjadi semakin bersungguh-sungguh mendengarkan keterangan Ki Lurah. Sementara itu Ki Lurah pun telah menyampaikan persoalan-persoalan yang menyangkut keluarga Ki Tumenggung dan hubungannya dengan ancaman atas Raras, seorang gadis anak Ki Rangga Wibawa. Kemudian Ki Lurah Branjangan itu pun berkata, “Anak muda ini adalah Wacana, kemenakan Ki Rangga Wibawa yang belum lama tinggal di rumah Ki Rangga itu.”

Berita yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan itu ternyata telah membuat hati Ki Tumenggung menjadi semakin gelisah, Dipandanginya wajah anaknya itu dengan tajamnya. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, “Apaboleh buat. Tidak ada jalan lain kecuali mempertahankan diri dari kekasaran keluarga Raden Antal. Nampaknya Ki Tumenggung Wreda itu masih belum mampu mengurai persoalan ini dengan hati yang bening. Sebagai seorang yang usianya sudah menjadi semakin tua, serta kedudukannya yang semakin tinggi, seharusnya hatinya pun menjadi semakin mengendap. Namun yang terjadi ternyata lain sekali.”

Raden Teja Prabawa menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ayahnya tidak menjadi marah kepadanya, Namun demikian, ibunya pun berkata, “Tetapi sebaiknya kau tidak mengambil langkah sendiri seperi itu Teja Prabawa. Kau tidak dapat mengorbankan adikmu begitu saja. Persoalannya harus dilihat secara menyeluruh.”

“Teja Prabawa sudah minta maaf kepada adiknya,“ sahut Ki Lurah Branjangan.

“Untunglah, bahwa sesuatunya masih belum terlanjur,” berkata Ki Tumenggung kemudian. Namun katanya pula, “Tetapi dengan demikian, maka kau menjadi semakin yakin, bahwa niat Raden Antal bukanlah niat yang baik. Karena itu, maka kita pun harus berusaha untuk bertahan.”

“Tetapi persoalannya akan menyangkut Ki Rangga Wibawa,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun bertanya kepada Wacana, “Bagaimana sikap Ki Rangga Wibawa, menurut Angger Wacana ?”

“Paman belum mengetahui persoalan ini,” jawab Wacana, “namun nampaknya hubungan antara Teja Prabawa dan Raras sudah diketahuinya. Bahkan agaknya Paman tidak berkeberatan.”

Ki Tumenggung Purbarumeksa itu pun termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Lurah Branjangan berkata, “Kita harus menghubungi Ki Rangga Wibawa.”

“Jadi, apakah kita menemui Ki Rangga sekarang?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Baiklah. Kita akan berbicara dengan Ki Rangga,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Tetapi Nyi Tumenggung telah minta agar Ki Lurah dan Wacana minum lebih dahulu.

“Ayah dan Angger Wacana tentu haus,” berkata Nyi Tumenggung.

Demikianlah, sejenak kemudian, Ki Lurah Branjangan dan Ki Tumengung Purbarumeksa telah pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa. Mereka menganggap persoalannya memang persoalan yang harus ditanganinya dengan bersungguh-sungguh.

Ketika mereka sampai di rumah Ki Rangga, ternyata Ki Rangga baru saja pulang dari tugasnya. Dengan ramah diterimanya tamunya di pendapa rumahnya.

Namun ketika Ki Rangga memberitahukan kedatangan tamu-tamunya kepada istrinya, Nyi Rangga sempat terkejut dan bertanya, “Apakah keperluan mereka? Apakah ada hubungannya dengan Raras, atau ada persoalan lain ?”

“Jika mereka akan membicarakan Raras, tentu mereka datang dengan pemberitahuan lebih dahulu. Tentu juga tidak pada saat seperti ini,” jawab suaminya.

“Apakah Ki Tumenggung tidak setuju hubungan anaknya dengan Raras?” tiba-tiba saja istrinya bertanya.

“Entahlah,” jawab Ki Rangga, “sediakan saja minuman. Mereka nanti akan mengatakan juga, untuk apa mereka datang.”

Nyi Rangga tidak menyahut lagi. Tetapi iapun segera pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi kedua orang tamunya, sementara Ki Rangga segera menemui tamunya di pendapa.

Dengan jantung yang berdebaran Ki Rangga menanyakan keselamatan keluarga Ki Tumenggug dan Ki Lurah Branjangan, yang kedatangannya agak mengejutkan itu.

“Kami semua dalam keadaan baik Ki Rangga,” jawab Ki Lurah Branjangan. Lalu katanya pula, “Kami mohon maaf, bahwa kami telah mengejutkan Ki Rangga karena kedatangan kami yang tiba-tiba ini.”

“Apakah ada sesuatu yang penting Ki Lurah, atau Ki Lurah dan Ki Tumenggung sekedar melihat keadaan kami sekeluarga?” bertanya Ki Rangga agak ragu.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun Ki Tumenggung pun berdesis “Silahkan Ayah.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam Ki Lurah pun berkata, “Ki Rangga. Aku minta maaf, bahwa aku datang dengan membawa persoalan yang barangkali tidak begitu menyenangkan bagi Ki Rangga dan keluarga Ki Rangga.”

Wajah Ki Rangga memang menjadi tegang. Sejenak ia memandang Ki Tumenggung Purbarumeksa. Bahkan kemudian dengan penuh kebimbangan ia bertanya, “Persoalan tentang apa Ki Lurah?”

Ki Lurah Branjangan memang menjadi agak ragu. Namun ia harus mengatakannya, justru karena keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan Raras.

“Ki Rangga. Kami datang untuk berbicara secara terbuka dengan keluarga Ki Rangga. Aku tidak tahu apakah Ki Rangga pernah mendengar atau belum,” berkata Ki Lurah kemudian.

Ki Rangga Wibawa menjadi semakin gelisah. Karena itu iapun mendesak, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi?”

Ki Lurah Branjangan pun kemudian telah menguraikan persoalan yang dibawanya dengan singkat. Namun berurutan dengan jelas, sehingga Ki Rangga Wibawa itu pun mendapat gambaran yang utuh tentang persoalan yang menyangkut anak gadisnya, Raras.

Dalam pada itu, maka Ki Lurah itu pun berkata, “Barangkali keluarga Teja Prabawa perlu minta maaf kepada Ki Rangga, bahwa selama ini kami belum pernah datang untuk membicarakan hubungan antara Teja Prabawa dengan Raras. Namun tiba-tiba saja kami telah datang dengan membawa persoalan yang mungkin dapat menyulitkan Ki Rangga Wibawa.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku justru mengucapkan terima kasih Ki Lurah. Persoalan yang menyangkut hubungan antara Angger Teja Prabawa dengan Raras sebenarnya memang sudah kami amati. Kami melihat hubungan antara keduanya telah mengarah kepada hubungan yang khusus. Namun kami masih menunggu kebenaran dugaan kami. Apakah benar keduanya telah mengikat diri dalam pertalian batin yang lebih erat dari sekedar dua orang sahabat. Selebihnya, sebenarnyalah kami memang menunggu sikap Ki Tumenggung Purbarumeksa sebagai orang tua Angger Teja Prabawa. Namun kami sama sekali tidak mengetahui bahwa telah timbul ancaman dari keluarga Ki Tumenggung Wreda Sela Putih atas anak gadisku, Raras.”

“Sebenarnya persoalannya tidak berpusat pada Raras. Yang menjadi sasaran utamanya adalah Rara Wulan, adik Teja Prabawa. Tetapi karena keluarga Raden Antal itu tidak mampu mengambil Rara Wulan dengan paksa, maka ia mencoba untuk memeras Teja Prabawa agar ia mau memaksa adiknya untuk bersedia memenuhi keinginan Raden Antal, anak Ki Tumenggung Wreda Sela Putih itu.”

Ki Rangga Wibawa mengangguk-angguk kecil. Namun nampak di wajahnya kegelisahan yang mencengkam.

Dengan ragu-ragu Ki Rangga berkata, “Tetapi bukankah kita dapat mempertahankan diri? Sebagaimana Angger Wulan yang tidak dapat diambil oleh keluarga Ki Tumenggung Wreda, maka Raras pun akan dapat dilindungi. Kemenakanku telah berada di rumah ini pula sekarang.”

“Angger Wacana,” desis Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Ya Ki Tumenggung. Apakah Ki Tumenggung telah mengenal anak itu?” justru Ki Rangga bertanya.

“Ia berada di rumahku sekarang,” jawab Ki Tumenggung.

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya pula, “Ia memang minta ijin untuk pergi bersama Angger Teja Prabawa.”

“Mereka telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui Rara Wulan dan Ki Lurah Branjangan,” sahut Ki Tumenggung Purbarumeksa. Lalu katanya pula, “Teja Prabawa mencoba untuk membujuk adiknya agar bersedia menuruti keinginan Raden Antal.

“Jangan,” sahut Ki Rangga Wibawa, “seharusnya Angger Rara Rulan menolaknya.”

“Tetapi yang dicemaskan oleh Teja Prabawa adalah Angger Raras,“ berkata Ki Tumenggung kemudian.

“Ki Tumenggung,” berkata Ki Rangga, “bukankah kita juga seorang prajurit? Meskipun tugas kita sekarang tidak lagi memimpin sepasukan prajurit yang turun ke medan perang secara langsung, namun kita masih tetap seorang prajurit. Karena itu, maka kita akan mempertahankan diri sejauh dapat kita lakukan.”

Tetapi Ki Lurah pun yang menjawab, “Ki Rangga Wibawa. Kami ingin memberikan sedikit keterangan tentang orang-orang yang telah diupah oleh Ki Tumenggung Sela Putih. Seorang di antaranya adalah orang kerdil, yang dikenal oleh salah seorang yang berilmu yang berada di Tanah Perdikan Menoreh dengan nama Bajang Engkrek.”

Ki Rangga Wibawa mengerutkan dahinya. Sambil menggeleng ia berdesis, “Aku belum pernah mendengar nama itu.”

“Kami juga belum pernah berhadapan dengan orang kerdil itu. Selain itu, masih ada lagi orang yang berilmu tinggi. Namanya Ki Manuhara. Terhadap orang ini, orang-orang yang berilmu tinggi di Tanah Perdikan Menoreh pernah mengenalnya, dan bahkan pernah bertempur melawannya. Ki Manuhara memang jarang ada duanya. Karena itu, maka mereka berdua ditambah dengan para pengikutnya merupakan orang-orang yang sangat berbahaya.”

Ki Rangga Wibawa termangu-mangu sejenak. Namun dengan ragu-ragu iapun bertanya, “Bagaimana dengan Angger Rara Wulan, sehingga orang-orang itu merasa tidak mampu mengambilnya.”

“Anakku berada di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Rangga,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa. Bahkan kemudian ia menawarkannya, “Bagaimana jika Angger Raras untuk sementara ditempatkan juga di Tanah Perdikan Menoreh ?”

Ki Rangga Wibawa termangu-mangu sejenak. Katanya, “Anakku seorang gadis Ki Tumenggung. Agaknya ibunya akan sulit untuk melepaskannya tinggal di tempat orang lain.”

“Demi keselamatannya Ki Rangga,” berkata Ki Lurah Branjangan pula, “bukankah di sana ada Rara Wulan?”

“Tetapi kakek Rara Wulan ada di Tanah Perdikan itu pula. Bukankah Ki Lurah masih berada di barak Pasukan Khusus itu?” bertanya Ki Rangga.

“Ya Ki Rangga,” jawab Ki Lurah. Lalu katanya pula, “Tetapi Ki Rangga dapat menitipkan Raras kepadaku.”

Tetapi nampaknya Ki Rangga masih saja bimbang. Katanya kemudian, “Biarlah aku berbicara dengan ibu Raras.”

“Raras sendiri sekarang ada dimana Ki Rangga?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Ia berada di rumah pamannya, Adi Rangga Wiramijaya. Sudah agak lama ia tidak menengok paman dan bibinya, yang sudah dianggapnya seperti orang tua sendiri, karena Adi Rangga Wiramijaya sendiri tidak mempunyai anak. Baru besok Raras akan pulang. Wacana besok akan aku minta untuk menjemputnya.”

Kening Ki Lurah Branjangan nampak berkerut. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Ki Tumenggung yang nampak termangu-mangu. Tetapi Ki Lurah itu tidak berkata sesuatu.

Sementara itu, Nyi Rangga telah keluar dari pintu pringgitan sambil membawa hidangan bagi tamu-tamunya. Namun setelah meletakkan hidangan, Ki Rangga berkata, “Duduklah Nyi.”

Nyi Rangga tertegun sejenak. Namun iapun kemudian duduk pula bersama dengan suaminya.

Dengan singkat suaminya menceritakan kepentingan Ki Tumenggung Purbarumeksa dan Ki Lurah Branjangan datang mengunjungi mereka. Dengan sangat berhati-hati Ki Rangga juga menceritakan ancaman yang ditujukan kepada anak gadisnya, dari keluarga Ki Tumenggung Wreda Sela Putih. Meskipun sebenarnya sasaran utamanya adalah Rara Wulan, namun ternyata anaknya telah diancamnya pula.

Wajah Nyi Rangga menegang. Sebagaimana seorang ibu, maka meskipun Ki Rangga sudah berusaha untuk berhati-hati, namun Nyi Rangga telah menjadi ketakutan.

“Lalu bagaimana dengan anak kita?” bertanya Nyi Rangga.

“Itulah yang sedang kita pikirkan Nyi,” sahut suaminya.

“Tetapi bukankah Raras tidak bersalah?” bertanya Nyi Rangga pula.

“Tidak ada yang bersalah dalam hal ini Nyi,” Jawab Ki Rangga. Lalu katanya pula, “Bagiku yang bersalah adalah Ki Tumenggung Wreda yang terlalu memanjakan anaknya itu. Seharusnya ia justru mencegah tingkah laku anaknya, bukan justru membantunya. Agaknya Ki Tumenggung Wreda mengagungkan kekayaannya, sehingga ia merasa bahwa kekayaannya adalah segala-galanya. Ia dapat memenuhi segala kehendaknya dengan landasan kekayaan itu.”

“Tetapi apa yang dapat kita lakukan? Bukankah hubungannya dengan Angger Teja Prabawa-lah yang membuatnya mendapat ancaman itu? Seandainya tidak ada hubungan itu, maka Raras tentu tidak akan diancam untuk diambil sebagai ganti Angger Rara Wulan.”

“Tetapi bukankah hubungan itu sendiri bukan merupakan satu kesalahan? Jika Raden Antal tidak bermanja-manja, maka ancaman itu tentu tidak akan pernah ada,” jawab Ki Rangga.

“Tetapi bagaimana sekarang dengan Raras?” bertanya Nyi Rangga, “Apalagi ia tidak berada di rumah sekarang.”

Ki Rangga mengerutkan dahinya. Sementara itu Ki Tumenggung berkata, “Ki Rangga. Apakah tidak sebaiknya Raras dijemput pulang, atau Ki Rangga Wiramijaya diberi tahu akan ancaman itu, sehingga ia tidak membiarkan Raras berada di luar rumah tanpa pengawasan sama sekali.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, aku akan menjemput Raras. Meskipun sebenarnya masih ada waktu. Bukankah Raden Antal masih menunggu jawaban Angger Teja Prabawa yang membujuk adiknya itu ?”

“Mungkin. Tetapi dapat terjadi bahwa untuk semakin menekan Teja Prabawa, Raden Antal telah mengambil langkah lebih dahulu. Apalagi ternyata Raden Antal adalah seorang anak muda yang menyukai gadis-gadis cantik.”

Wajah Ki Rangga menjadi semakin tegang. Bahkan Nyi Rangga pun dengan cemas berkata, “Tolong Ki Rangga. Jemput anakmu sekarang juga. Sebelum terlambat.”

Ki Tumenggung Purbarumeksa memang menyesal, bahwa ia membuat Nyi Rangga sangat ketakutan. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun berkata, “Jika Ki Rangga tidak berkeberatan, biarlah aku menemanimu menjemput Angger Raras.”

Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Lurah berkata, “Biarlah ia menemani Ki Rangga. Aku akan minta diri lebih dahulu. Di rumahku sedang ada ampat orang tamu.”

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah Ki Tumenggung, biarlah aku pergi sendiri.”

“Yang penting bagiku sebenarnya bukan sekedar menemani Ki Rangga. Tetapi aku juga ingin melihat keadaan Angger Raras. Agaknya memang tidak akan terjadi sesuatu, karena selain Teja Prabawa belum memberikan jawaban, waktunya pun tidak menguntungkan bagi siapapun untuk mengambil Raras di siang hari seperti ini. Meskipun demikian, aku ingin ikut ke rumah Ki Rangga Wiramijaya untuk melihat Raras,” sahut Ki Tumenggung.

“Bukankah tidak ada keberatannya?” sela istrinya.

“Baiklah,” berkata Ki Rangga Wibawa, “kita pergi ke rumah adi Rangga Wiramijaya.”

Demikianlah, maka Ki Tumenggung Purbarumeksa itu pun telah pergi bersama Ki Rangga Wibawa, sementara Ki Lurah Branjangan kembali ke rumahnya sendiri, karena ia telah berjanji untuk menerima keempat orang prajurit yang menyertainya di rumahnya.

Ketika Ki Lurah kemudian sampai ke rumahnya, ternyata keempat orang prajurit itu memang sudah berada di rumahnya. Mereka telah duduk di pendapa sambil menghadapi minuman hangat, sementara kuda mereka tertambat di halaman.

“Maaf,” berkata Ki Lurah Branjangan, “aku datang terlambat. Aku kira kalian sampai petang melihat-lihat Kotaraja.”

“Tidak ada yang aneh yang dapat dilihat Ki Lurah,” jawab salah seorang di antara para prajurit itu. “Tetapi kelambatan Ki Lurah tidak mengganggu. sebelum Ki Lurah datang, kami sudah mendapat hidangan minuman hangat.”

“Hanya air yang di dalamnya dicelupkan daun sere.”

“Tetapi justru segar sekali Ki Lurah,” jawab prajurit-prajurit itu hampir berbareng.

Ki Lurah pun kemudian telah pergi ke belakang. Ia minta pembantu yang menunggu rumahnya itu menyiapkan makan bagi tamu-tamunya dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarumeksa dan Ki Rangga Wibawa dengan tergesa-gesa telah pergi ke rumah Ki Rangga Wiramijaya. Mereka ingin segera tahu, apakah Raras tidak mengalami gangguan selama ia berada di rumah Ki Rangga Wiramijaya. Apalagi di pagi hari, saat Ki Rangga melakukan tugasnya di istana.

Rumah Ki Rangga Wiramijaya memang agak jauh dari rumah Ki Rangga Wibawa. Rumah Ki Rangga Wiramijaya terletak agak di pinggir kota, dekat dinding kota Mataram.

Hati keduanya memang agak tenang, ketika mereka melihat dari pintu regol halaman bahwa halaman rumah itu nampak sepi. Bahkan rasa-rasanya terlalu sepi. Mereka mengira jika terjadi sesuatu, maka halaman rumah itu tentu akan menjadi ramai, sibuk atau pertanda-pertanda lain yang menggelisahkan.

Kedua orang itu pun kemudian telah menuntun kuda mereka memasuki halaman rumah Ki Rangga Wiramijaya. Semakin dalam mereka berada di halaman itu, rasa-rasanya jantung mereka berdebar semakin cepat. Mereka mendengar suara tangis seseorang dari ruang dalam rumah itu.

“Itu suara Raras,” desis Ki Rangga Wibawa yang segera mengenal suara anaknya. “Tetapi kenapa ia menangis ?”

Kegelisahan Ki Rangga telah tumbuh lagi. Tetapi bukan mencemaskan Raras, karena Raras jelas masih ada di rumah itu.

Ki Rangga Wibawa tersentak ketika ia mendengar suara Raras memanggil, “Paman, Paman.”

“Marilah Ki Tumenggung,” desis Ki Rangga.

Ki Rangga itu pun langsung melangkah naik melintasi pendapa menuju ke pintu pringgitan. Dengan tergesa-gesa ia mengetuk pintu pringgitan itu.

Suara tangis di dalam justru terhenti. Yang kemudian terdengar adalah suara perempuan yang lain, “Siapa?”

“Aku,” jawab Ki Rangga Wibawa yang mengenali suara ipar perempuannya. “Rangga Wibawa.”

Yang terdengar kemudian adalah langkah cepat menuju ke pintu rumah itu. Demikian pintu terbuka, maka seorang gadis telah muncul dan langsung memeluk Ki Rangga Wibawa.

“Ayah,” terdengar suara Raras di sela-sela isaknya.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Rangga Wibawa.

“Paman terluka, Ayah,” Jawab Raras.

“Kenapa?” bertanya Ki Rangga Wibawa. Tanpa menunggu jawab iapun langsung membimbing Raras masuk ke dalam, sehingga ia lupa mempersilahkan Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun Ki Tumenggung yang tanggap akan keadaan itu, telah mengikuti Ki Rangga masuk ke ruang dalam.

Ki Rangga Wibawa pun segera mendekati adiknya yang terbaring di amben di ruang dalam. Istrinya menungguinya sambil mengusap air matanya.

“Kau kenapa?” bertanya Ki Rangga Wibawa.

Ki Rangga Wiramijaya yang melihat kakaknya datang menjenguknya mencoba untuk tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa Kakang.”

“Kau tidak usah menutupi keadaanmu. Aku datang bersama Ki Tumenggung Purbarumeksa,” berkata Ki Rangga Wibawa.

“Ki Tumenggung Purbarumeksa?” bertanya Ki Rangga Wiramijaya dengan heran.

“Ya Ki Rangga,“ sahut Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Aku mohon maaf Ki Tumenggung, bahwa aku tidak dapat menerima kedatangan Ki Tumenggung sebagaimana seharusnya,” berkata Ki Rangga Wiramijaya, dengan sekali-sekali masih menyeringai menahan sakit di dadanya.

“Sudahlah Ki Rangga,” jawab Ki Tumenggung, ”berbaring sajalah. Mungkin kau memang perlu beristirahat.”

“Tetapi kenapa kau sebenarnya?” bertanya Ki Rangga Wibawa.

Ki Rangga Wiramijaya termangu-mangu sejenak. Nafasnya memang nampak agak sesak.

Nyi Rangga-lah yang kemudian menjawab, “Seseorang telah datang ke rumah ini Kakang. Dengan kasar ia mengancam akan mengambil Raras. Sudah tentu Kakang Rangga Wiramijaya tidak mengijinkannya, sehingga terjadi perselisihan dan kemudian keduanya bertempur.”

“Tetapi orang itu ilmunya sangat tinggi Kakang,” desis Ki Rangga Wiramijaya, “dengan mudah orang itu membuat aku tidak berdaya. Sentuhan tangannya pada dadaku membuat aku seakan-akan tidak dapat bernafas.”

“Apakah orang itu bertubuh kecil dan pendek?” tiba-tiba saja Ki Tumenggung Purbarumeksa bertanya.

“Darimana Ki Tumenggung tahu?” bertanya Ki Rangga Wiramijaya dengan heran.

“Nanti akan aku ceritakan,” jawab Ki Tumenggung, “tetapi bukankah Angger Raras selamat?”

“Ya. Aku juga tidak tahu, apa yang sebenarnya dikehendaki. Demikian aku terjatuh dan sulit untuk bangkit, orang itu telah pergi tanpa membawa Raras. Tetapi orang itu masih mengancam, bahwa pada suatu saat ia akan mengambil Raras,” sahut Ki Rangga Wiramijaya. Hampir di luar sadarnya ia berusaha untuk bangkit. Namun iapun terbaring lagi sambil berdesah menahan sakit di dadanya.

“Sudahlah, jangan bangkit,” minta Ki Rangga Wibawa.

Ki Rangga pun berbaring lagi. Sementara Ki Rangga Wibawa berdesis, “Ternyata mereka sudah mulai.”

“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” bertanya Nyi Rangga Wiramijaya.

Ki Rangga Wibawa pun kemudian berkata, “Biarlah kita duduk.”

Demikianlah, maka Nyi Rangga pun telah mempersilahkan tamunya duduk di ruang dalam, sehingga sambil berbaring Ki Rangga Wiramijaya dapat ikut menemui mereka.

Dengan singkat Ki Tumenggung Purbarumeksa pun telah menceritakan persoalan yang menyangkut Raras dan hubungannya dengan Teja Prabawa.

Ki Rangga Wiramijaya yang berbaring itu menarik nafas dalam-dalam, sementara Raras bergeser mendekati ayahnya sambil berdesis, “Ayah. Aku takut.”

“Nampaknya apa yang dilakukan oleh orang kerdil ini sekedar pernyataan bahwa ia akan dapat melakukan apa yang dikatakannya itu, jika ia mau,” desis Ki Rangga Wiramijaya sambil berbaring.

“Ya,” sahut Ki Tumenggung, “orang kerdil itu tahu pasti, bahwa Teja Prabawa akan mendengar peristiwa yang baru saja terjadi, sehingga ia akan menjadi semakin bersungguh-sungguh mendesak adiknya agar bersedia menerima lamaran Raden Antal.”

Ki Rangga Wibawa pun mengangguk-angguk. Katanya pula, “Iapun bermaksud agar aku dan Adi Wiramijaya pun ikut mendesak Ki Tumenggung, agar lamaran Raden Antal itu dapat diterima.”

“Apakah Ki Rangga benar akan berbuat demikian?” bertanya Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Tentu tidak Ki Tumenggung,” jawab Ki Rangga Wibawa, “aku sudah mengetahui latar belakang kehidupan Raden Antal. Meskipun dalam kehidupannya sehari-hari ia mampu menyembunyikan cacatnya itu, namun aku percaya akan keterangan Ki Tumenggung.”

“Yang perlu dibicarakan kemudian adalah pengamanan Angger Raras selanjutnya,” jawab Ki Rangga Wibawa. “Tetapi aku justru masih mempunyai kesempatan berpikir. Setidak-tidaknya nanti malam.”

“Ki Rangga,” berkata Ki Tumenggung, “aku minta Ki Rangga jangan segan-segan untuk membicarakannya dengan keluarga kami. Kami sekeluarga merasa ikut bertanggung jawab, justru karena persoalan yang menyangkut Raras adalah karena hubungannya dengan anakku. Teja Prabawa.”

“Baik Ki Tumenggung,” jawab Ki Rangga Wibawa, “aku mengucapkan terima kasih atas tanggung jawab Ki Tumenggung dalam persoalan Raras. Aku merasa bahwa aku tidak sendiri.”

“Lalu, bagaimana dengan Angger Raras sekarang? Apakah Ki Rangga akan membawanya pulang ?”

“Ya. Aku akan membawanya pulang. Namun sementara itu, aku harus mencari seorang tabib yang akan mengobati Adi Rangga Wiramijaya.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan Ki Rangga. Sementara itu biarlah aku menunggu di sini. Nanti kita akan kembali bersama-sama sambil membawa Angger Raras.”

“Ki Tumenggung tidak usah terlalu terikat dengan persoalan Raras. Jika Ki Tumenggung mempunyai keperluan lain, aku persilahkan Ki Tumenggung mendahului. Aku hanya mohon agar Wacana dapat segera datang kemari. Ia akan dapat menemani aku membawa Raras pulang, setelah Adi Rangga Wiramijaya diobati.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian aku minta diri. Biarlah Angger Wacana datang kemari untuk ikut menjaga Angger Raras.”

Demikianlah, maka Ki Tumenggung Purbarumeksa telah mohon diri kepada Ki Rangga Wiramijaya suami istri. Kemudian iapun telah meninggalkan rumah itu, diantar oleh Ki Rangga Wibawa sampai ke regol halaman.

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung itu pun telah melarikan kudanya cepat-cepat. Ia langsung pulang ke rumahnya agar Wacana tidak terlanjur meninggalkan rumahnya.

Untunglah bahwa ternyata Wacana masih berada di rumahnya, meskipun agaknya ia sudah bersiap-siap untuk pulang.

Dengan singkat Ki Tumenggung memberitahukan kepada Wacana tentang keadaan Raras yang sedang berada di rumah pamannya, Ki Rangga Wiramijaya. “Bagaimana keadaan Raras sekarang Ayah?” Teja Prabawa-lah yang bertanya dengan cemas.

“Raras tidak apa-apa, meskipun ia berada di bawah ancaman. Ki Rangga Wiramijaya-lah yang justru terluka. Namun nampaknya lukanya tidak terlalu parah,” jawab Ki Tumenggung. Lalu katanya pula, “Agaknya orang kerdil itu hanya ingin menunjukkan kelebihannya, dan menekan agar keinginan Raden Antal dapat segera terpenuhi.”

“Jadi Ayah setuju jika Wulan bersedia memenuhi kemauan Raden Antal?” bertanya Teja Prabawa.

“Siapa yang berkata begitu?” bertanya ayahnya.

“Jadi bagaimana maksud Ayah sebenarnya?” bertanya Teja Prabawa yang gelisah.

“Kita harus melawan kemauan iblis itu, apapun yang terjadi,” jawab ayahnya.

“Tetapi bagaimana dengan Raras?” suara Teja Prabawa menjadi bergetar oleh gejolak perasaannya.

“Dengar Teja Prabawa. Ki Rangga Wibawa, ayah Raras itu pun bersikap keras. Ia tidak akan menyerah begitu saja terhadap ancaman keluarga Raden Antal. Bagaimanapun juga di Mataram ini ada tatanan. Ki Rangga Wibawa tentu dapat berhubungan dengan para Senapati yang akan mampu memberikan perlindungan kepada keluarganya.”

“Tetapi tidak seorangpun yang dapat membuktikan bahwa dalam hal ini keluarga Raden Antal itu terlibat. Orang yang diminta melakukan tindak kekerasan itu tentu tidak akan dengan mudah dihubungkan dengan Ki Tumenggung Wreda, seandainya ia dapat ditangkap. Apalagi orang itu orang yang berilmu tinggi yang licin seperti belut, sehingga tentu sulit untuk menangkapnya, bahkan sulit untuk menghalangi niatnya mengambil Raras.”

“Sudahlah. Seharusnya kau lebih bersikap jantan. Kau harus menyadari bahwa kau adalah seorang laki-laki,” jawab ayahnya.

“Tetapi apakah tidak sebaiknya kita mempergunakan penalaran daripada sekedar bersikap jantan?” bertanya Teja Prabawa.

“Bertanyalah kepada Angger Wacana, seandainya ia mengalami,” minta ayahnya.

Teja Prabawa memang berpaling ke arah Wacana. Tetapi tidak bertanya sesuatu. Namun Wacana-lah yang justru berkata, “Tenanglah. Sekali lagi aku minta, kau tidak usah mengorbankan adikmu.”

Raden Teja Prabawa memang tidak menjawab lagi. Tetapi ia sama sekali tidak dapat tenang mengalami perlakuan seperti itu. Sementara itu, Wacana pun segera minta diri untuk pergi ke ruman Ki Rangga Wiramijaya untuk menjemput Raras. Juga untuk melihat keadaan Ki Rangga Wiramijaya itu.

“Hati-hatilah Ngger,” pesan Ki Tumenggung.

“Ya Ki Tumenggung. Mudah-mudahan kila akan segera dapat mengatasinya,” jawab Wacana.

Sejenak kemudian maka Wacana pun telah melarikan kudanya langsung menuju ke rumah Ki Rangga Wiramijaya.

Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarumeksa pun telah menyatakan kepada Nyi Tumenggung, bahwa ia akan pergi menemui Ki Lurah Branjangan di rumahnya.

“Tetapi siapa yang ada di rumah?” bertanya Nyi Tumenggung yang juga menjadi cemas.

“Bukankah aku juga sering keluar? Bukankah di rumah ini ada beberapa orang yang aku minta ikut menjaga keselamatan keluarga kita? Sementara itu, Teja Prabawa pun ada di rumah pula.”

“Aku ikut Ayah,” sahut Teja Prabawa.

“Kau di rumah. Jaga ibumu baik-baik,” jawab Ki Tumenggung tegas, sehingga Raden Teja Prabawa tidak berani membantah lagi.

Demikianlah, Ki Tumenggung langsung pergi menemui Ki Lurah Branjangan untuk memberitahukan apa yang telah terjadi dengan Raras di rumah Ki Rangga Wiramijaya.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan berbicara dengan Ki Wirayuda.”

Ki Tumenggung Purbarumeksa mengangguk. Katanya, “Marilah, aku antar Ki Lurah menemui Ki Wirayuda.”

Keempat prajurit yang ada di rumah Ki Lurah Branjangan itu pun telah menawarkan diri pula untuk mengantar Ki Lurah Branjangan. Tetapi Ki Lurah Branjangan itu berkata, “Kalian beristirahat sajalah di rumahku. Kalian akan bermalam semalam, dan besok kalian akan kembali ke Tanah Perdikan. Aku sendiri belum dapat kembali besok. Mungkin lusa atau hari berikutnya lagi.”

“Karena itu, maka sekarang kami akan mempunyai kesempatan untuk mengantar Ki Lurah,” berkata salah seorang di antara para prajurit itu.

Tetapi Ki Lurah berkata, “Beristirahatlah.”

Para prajurit itu tidak dapat memaksa Ki Lurah agar mereka diperkenankan untuk ikut bersamanya. Karena itu, maka mereka pun tidak membantah lagi.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan pun telah pergi ke rumah Ki Wirayuda diantar oleh Ki Tumenggung Purbarumeksa. Beruntunglah mereka, karena kebetulan Ki Wirayuda yang jarang ada di rumah itu, sedang tidak bepergian.

Setelah mereka dipersilahkan duduk, maka Ki Wirayuda pun segera menanyakan, apakah Ki Lurah membawa berita atau bahan yang dapat membantu pengamatan mereka terhadap orang kerdil itu.

“Kami sudah dapat memberikan keterangan, kenapa orang kerdil itu berhubungan dengan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih,” berkata Ki Lurah.

Dengan singkat Ki Lurah Branjangan pun menceritakan persoalan yang dihadapi oleh Ki Tumenggung Purbarumeksa, Ki Rangga Wibawa, Ki Rangga Wiramijaya dengan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah Ki Rangga Wibawa minta bantuan para prajurit untuk menjaga anak gadisnya itu? Atau bantuan macam lain? Orang-orang yang sedang mengacaukan ketenangan Mataram itu memang orang-orang berilmu tinggi, sehingga kita memang perlu berhati-hati menghadapinya.”

“Ki Wirayuda,” berkata Ki Lurah Branjangan, “sebenarnya aku agak segan untuk minta bantuan pengamanan kepada kekuatan prajurit Mataram. Persoalannya adalah persoalan pribadi, sehingga seharusnya kami menyelesaikannya secara pribadi pula.”

“Tetapi bukankah wajar jika seseorang minta perlindungan kepada prajurit Mataram jika hidupnya merasa terancam oleh siapapun juga?” sahut Ki Wirayuda.

“Aku mengerti Ki Wirayuda,” desis Ki Lurah kemudian, “namun sebaiknya kita menempuh jalan lain. Bagaimana dengan kekuatan Gajah Liwung?”

Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar seberapa jauh kekuatan yang berada di dalam tubuh kelompok Gajah Liwung. Namun kekuatan Gajah Liwung sudah tidak utuh lagi, karena Glagah Putih dan Sabungsari tidak ada di antara mereka.

Meskipun demikian, Gajah Liwung memang akan dapat membantu memecahkan persoalan itu dengan tidak usah menimbulkan kegelisahan orang-orang di sekitar rumah Ki Rangga Wibawa. Jika sekelompok prajurit berjaga-jaga di rumah itu, maka tetangga-tetangganya tentu akan bertanya-tanya dengan cemas, apa yang telah terjadi? Dengan dasar itu, Ki Wirayuda pun berkata, “Baiklah. Aku akan menghubungi anak-anak dari kelompok Gajah Liwung. Tetapi di samping itu, maka anak-anak dari petugas sandi pun akan membantu mengawasi keadaan. Khususnya rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa dan rumah Ki Rangga Wibawa. Setidak-tidaknya mereka akan dapat memberikan isyarat jika terjadi sesuatu.”

Demikianlah, maka Ki Lurah Branjangan dan Ki Tumenggung Purbarumeksa pun telah minta diri. Namun Ki Tumenggung berpesan kepada Ki Wirayuda, jika terbuka kesempatan, maka hendaknya Ki Wirayuda dapat menangani langsung Ki Tumenggung Wreda Sela Putih. Sumber dari persoalan ini.

“Aku tahu bahwa Ki Tumenggung Wreda adalah seorang yang berkedudukan tinggi dan mempunyai pengaruh yang besar. Tetapi bukankah ia masih juga berada dalam bingkai tatanan yang berlaku di Mataram?” berkata Ki Tumenggung.

“Baiklah Ki Tumenggung,” jawab Ki Wirayuda, “kami memang tidak membedakan siapapun.”

Demikianlah, maka Ki Lurah pun kembali pulang ke rumahnya, sementara Ki Tumenggung yang menyertai Ki Lurah, langsung pulang ke rumahnya, karena Nyi Tumenggung tentu menjadi gelisah jika ia terlalu lama pergi.

Ketika Ki Tumenggung sampai di rumahnya, maka iapun menjadi terkejut ketika ia melihat Teja Prabawa dan Nyi Tumenggung berada di ruang tengah dalam keadaan ketakutan.

“Apa yang telah terjadi?” bertanva Ki Tumenggung.

“Orang kerdil itu datang kemari,“ desis Teja Prabawa.

“Apa yang dilakukannya?” bertanya Ki Tumenggung.

“Tidak apa-apa,” jawab Teja Prabawa.

Namun Nyai Tumenggung pun melanjutkan, “Orang itu memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi ia mengancam, bahwa ia akan bertindak lebih kasar lagi jika lamaran Raden Antal ditolak. Katanya, ia telah datang menemui Raras. Jika Rara Wulan tetap menolak, maka Raras akan benar-benar diambilnya. Bahkan mungkin masih ada tindakan lain yang akan dilakukannya.”

Ki Tumenggung menggeram. Ia sadar, bahwa ilmu orang kerdil itu tentu jauh lebih tinggi dari ilmunya. Namun Ki Tumenggung tidak dapat ditakut-takuti, sebagaimana juga Ki Rangga Wibawa.

Dengan suara bergetar karena marah ia bertanya kepada Raden Teja Prabawa, “Apakah kau tidak memanggil orang-orang yang kita minta membantu kita mengamankan rumah ini sejak kita merasa terancam?”

“Aku tidak sempat Ayah,“ jawab Teja Prabawa, “demikian tiba-tiba ia datang. Bahkan ketika aku melihatnya, ia sudah berada di pintu pringgitan.”

“Sayang aku tidak ada di rumah,“ desis Ki Tumenggung.

“Jika Ayah ada di rumah, apakah Ayah mampu mengalahkannya?“ bertanya Raden Teja Prabawa.

“Aku tidak peduli apakah aku akan kalah atau menang. Tetapi aku tidak mau direndahkan oleh siapapun juga. Juga oleh orang kerdil itu,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat bersikap seperti ayahnya. Bahkan ia menjadi ketakutan dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat memanggil Rara Wulan agar ia mau memenuhi lamaran Raden Antal.

Jika Raden Teja Prabawa itu sedang berpikir bening, maka ia memang tidak ingin mengorbankan adiknya bagi keselamatan Raras. Tetapi di saat hatinya kecut, maka ia kehilangan penalarannya itu, sehingga ia mulai mementingkan dirinya sendiri lagi.

Sementara itu Nyi Tumenggung pun berkata, “Aku memang merasa cemas. Tetapi bukan berarti bahwa Rara Wulan harus dikorbankan. Kita harus berusaha mencari jalan untuk menyelamatkan semuanya. Wulan dan Raras.”

“Aku telah berbicara dengan Ki Wirayuda. Ia termasuk salah seorang di antara para pemimpin prajurit sandi. Mudah-mudahan ia dapat membantu,“ desis Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Apa yang dapat dilakukan oleh Ki Wirayuda?“ bertanya Teja Prabawa.

“Sudah aku katakan, ia termasuk salah seorang pemimpin prajurit sandi. Ia dapat menugaskan orang-orangnya untuk mengamati keadaan. Meskipun para prajurit sandi itu tidak akan mampu menghadapi langsung orang kerdil itu, namun mereka akan dapat memberikan isyarat, sehingga kekuatan prajurit Mataram akan membantu mereka menghadapi orang kerdil dan kawan-kawannya itu.”

Tetapi Raden Teja Prabawa menjawab, “Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Seandainya mereka melakukannya, agaknya hanya sekedar pasang gelar. Tetapi tidak bersungguh-sungguh.”

“Teja Prabawa. Jadi kau tidak percaya kepada kesungguhan prajurit Mataram? Jika kau sudah tidak mempercayainya, lalu siapa yang kau anggap mampu melindungi rakyat Mataram? Orang kerdil itu?“ desis Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Raden Teja Prabawa tidak menjawab. Namun hatinya memang menjadi kalut. Ia memikirkan keselamatan Raras yang bahkan akan dapat menjadi korban. Sedangkan menurut Teja Prabawa, Raras sama sekali tidak tahu menahu persoalan yang terjadi di dalam keluarganya, dalam hubungannya dengan keluarga Raden Antal.

Namun Raden Teja Prabawa tidak berani membantah lagi. Ia sadar, bahwa ayahnya mulai menjadi marah terhadapnya karena sikapnya itu.

“Nah Teja Prabawa,“ berkata ayahnya kemudian, “jika kau memang mencintai Raras, bersikaplah sebagai seorang laki-laki. Pertahankan Raras dengan segenap kemampuan yang ada padamu, bersama-sama dengan ayah Raras, Ki Rangga Wibawa, yang juga berkeras untuk bertahan, dan Wacana, sepupu Raras itu. Jika mereka bersedia berbuat apa saja untuk melindungi Raras, kaupun akan berbuat seperti itu. Bahkan kaupun akan mempertahankan adikmu pula.”

Raden Teja Prabawa tidak sempat menjawab. Ayahnya kemudian telah melangkah meninggalkannya. Ketika Teja Prabawa sempat melihat ayahnya sekilas, maka dilihatnya ayahnya itu mengambil tombak dari tempatnya. Satu di antara tiga tombak yang ditempatkan di sebuah plocon di ruang tengah, bersama sebuah songsong pertanda kedudukannya. Agaknya ayahnya telah menyiapkan sebatang di antara tombaknya itu di dalam biliknya, yang siap dipergunakan setiap saat diperlukan. Bahkan kemudian ayahnya telah memanggil empat orang yang memang ditempatkannya di rumah itu, untuk membantunya menjaga dan mengamankan rumah itu dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi, sejak ancaman keluarga Raden Antal menghangat lagi atas keluarganya.

Dengan pendek Ki Tumenggung memberitahukan bahwa rumah itu baru saja didatangi oleh orang kerdil yang berilmu sangat tinggi untuk mengancam keluarga mereka.

“Aku sudah bertekad untuk mempertahankan harga diriku. Meskipun aku sadar bahwa aku tidak mampu mengimbangi ilmu orang kerdil itu, tetapi aku tidak akan menyerah karena ancamannya. Karena dengan demikian akan menimbulkan kebiasaan buruk, bahwa kekerasan akan menjadi alat yang paling baik untuk memaksakan kehendak seseorang,“ berkata Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Keempat orang itu mengangguk-angguk kecil. Mereka adalah orang-orang yang menerima upah untuk ikut menjaga keselamatan seluruh keluarga Ki Tumenggung yang selalu berada dalam ancaman yang nampaknya semakin bersungguh-sungguh. Untuk beberapa saat ancaman itu terasa mereda. Namun kemudian ternyata justru semakin panas.

Sementara itu Ki Tumenggung tidak segera menghubungi Ki Lurah Branjangan, karena Ki Tumenggung tahu bahwa esok Ki Lurah tentu akan datang ke rumahnya.

Sementara itu, Ki Wirayuda pun telah bekerja cepat. Ia telah memerintahkan beberapa orang petugas sandi untuk mengawasi rumah Ki Rangga Wibawa dan Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun mereka telah mendapat pesan, bahwa mereka tidak harus menangani langsung jika mereka melihat orang kerdil memasuki rumah-rumah itu. Tetapi mereka harus memberikan isyarat sehingga kekuatan yang lebih besar akan datang, dan apabila mungkin menangkap orang kerdil itu, hidup atau mati.

Tetapi Ki Wirayuda pun sadar, bahwa orang kerdil itu tentu cukup cerdik, sehingga sulit untuk dapat mengamatinya secara langsung.

Namun malam itu memang tidak terjadi sesuatu di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa maupun Ki Rangga Wibawa. Nampaknya orang kerdil itu pun memberikan waktu bagi keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa untuk memikirkan permintaan Raden Antal.

Ketika matahari terbit di hari berikutnya, ternyata Ki Lurah Branjangan dan empat orang prajurit dari Pasukan Khusus telah datang ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Keempat prajurit itu berniat untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Namun ketika Ki Lurah Branjangan mendengar keterangan menantunya bahwa orang kerdil itu telah datang ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, maka Ki Lurah pun telah merubah niatnya. Katanya, “Jika demikian aku justru akan kembali ke Tanah Perdikan. Kita harus dapat mengambil sikap untuk mengimbangi langkah-langkah yang telah mereka lakukan, yang sudah tentu sangat menusuk perasaan.”

“Aku sependapat Ayah. Mungkin Ki Lurah Agung Sedayu akan dapat membantu memecahkan persoalan yang sudah sangat mendesak itu. Agaknya mereka benar-benar telah kehilangan penalaran,“ sahut Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Karena itulah maka Ki Lurah Branjangan pun telah minta diri untuk langsung pergi ke Tanah Perdikan. Katanya, “Aku harus segera bertemu dengan Angger Agung Sedayu.”

Ketika Ki Lurah kemudian turun ke halaman, maka Teja Prabawa telah menunggunya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Tolonglah, Kek. Jika tidak, maka Raras yang tidak tahu menahu persoalannya akan menjadi korban.”

“Tidak ada yang harus dikorbankan,” jawab Ki Lurah Branjangan, yang meskipun sudah menjadi semakin tua, namun ternyata hatinya masih tetap tegar.

Teja Prabawa tidak menjawab. Namun sorot matanya yang menuntut belas kasihan itu membuat Ki Lurah justru membentak. “Bangunlah kau anak cengeng! Bukankah kau memiliki sehelai pedang? Buat apa kau pernah berguru kepada seseorang, jika dalam keadaan yang sulit kau hanya dapat meratap seperti itu? Adikmu yang seorang gadis, tidak akan merengek seperti kau.”

Namun Teja Prabawa memang benar-benar menjadi cemas menghadapi keadaan yang terasa semakin keruh itu.

Demikianlah, sejenak kemudian maka Ki Lurah Branjangan telah meninggalkan rumah anaknya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh bersama dengan para prajurit dari Pasukan Khusus yang menyertainya. Mereka telah memacu kudanya demikian mereka keluar dari pintu gerbang kota.

Ketika mereka sampai di tepian, kemudian naik ke atas rakit, rasa-rasanya rakit itu berenang sangat lamban.

Namun akhirnya mereka sampai ke seberang, dan sejenak kemudian kelima ekor kuda itu telah berpacu lagi langsung menuju ke barak Pasukan Khusus, karena Ki Lurah Branjangan memperhitungkan bahwa Agung Sedayu tentu masih berada di barak.

Sebenarnyalah Agung Sedayu memang masih berada di barak. Ia memang agak terkejut melihat sikap Ki Lurah, demikian ia bersama para prajurit itu datang dengan tergesa-gesa.

“Aku perlu bicara dengan Angger,” berkata Ki Lurah.

“Tentang apa?” bertanya Agung Sedayu.

“Tentang orang kerdil itu,” jawab Ki Lurah.

Mereka berdua pun kemudian telah pergi ke sanggar, agar dapat berbicara tanpa diganggu orang lain.

Keterangan yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan memang membuat jantung Agung Sedayu berdesir. Orang kerdil itu benar-benar telah menantang keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa dan Ki Rangga Wibawa.

“Kita memang harus berbuat sesuatu,“ berkata Agung Sedayu, yang biasanya sering membuat banyak pertimbangan untuk mengambil satu sikap. Namun menghadapi tindakan orang kerdil itu, Agung Sedayu nampaknya tidak perlu lagi ragu-ragu. Karena itu maka katanya kemudian, “Marilah, kita pulang. Kita berbicara dengan Glagah Putih.”

Agung Sedayu pun kemudian memberikan beberapa pesan kepada beberapa orang kepercayaannya, sementara itu ia memberitahukan bahwa ia akan pulang lebih cepat dari biasanya.

“Ada persoalan penting yang harus aku selesaikan,” berkata Agung Sedayu. “Jika hari ini belum selesai, maka besok aku tidak datang ke barak. Selesaikan semua tugas dengan baik.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu bersama Ki Lurah Branjangan itu pun segera meninggalkan barak, sementara keempat prajurit yang menyertai Ki Lurah telah dikembalikan ke pasukannya.

Sejenak kemudian maka Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan pun telah menyusuri jalan ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Agung Sedayu ingin berbicara lebih dahulu dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih, apa yang sebaiknya dilakukannya.

Berita yang dibawa oleh Ki Lurah Branjangan tentang perilaku orang kerdil itu memang membuat telinga Glagah Putih menjadi panas. Seperti Agung Sedayu, maka Glagah Putih pun menganggap bahwa sebaiknya mereka malakukan sesuatu, yang akan dapat menunjukkan bahwa orang kerdil itu tidak dapat berbuat sekehendak hatinya.

“Kita semuanya pergi ke Mataram,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Siapakah yang Kakang maksud semuanya?” bertanya Sekar Mirah, “Termasuk aku? Rara Wulan? Atau siapa?”

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “kita akan mengumumkan perang melawan orang kerdil, Ki Manuhara dan kawan-kawannya.”

“Apakah hal ini tidak akan menyinggung kewenangan Ki Wirayuda?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Aku akan berbicara dengan Ki Wirayuda,” jawab Agung Sedayu, yang jarang sekali menentukan sikap setegas itu.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sudah cukup lama ia mengenal Agung Sedayu. Sejak Agung Sedayu itu masih mengikuti gurunya kemana-mana, bersama dengan murid utama Kiai Gringsing yang seorang lagi, Swandaru Geni. Namun sikap Agung Sedayu itu ternyata telah menggetarkan jantungnya.

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah pun bertanya, “Lalu, bagaimana dengan rumah ini?”

“Biarlah anak itu mengurusnya. Tanpa kita berada di rumah ini, maka orang kerdil itu tidak akan mengganggunya.”

Sekar Mirah termangu mangu sejenak. Tetapi iapun merasa heran akan sikap yang keras dari suaminya itu. Agaknya menurut suaminya, sikap orang kerdil itu sudah keterlaluan.

Demikianlah, maka seisi rumah itu pun segera bersiap-siap. Agung Sedayu dan Glagah Putih telah pergi menemui Ki Gede untuk mohon pamit.

Ki Gede memang merasa heran, bahwa mereka bersama-sama akan pergi ke Mataram. Namun Agung Sedayu pun telah menjelaskannya pula. Apa sebabnya mereka bersama-sama akan pergi ke Mataram.

“Selain tugas yang berat, kami tidak sampai hati meninggalkan Rara Wulan di rumah, Ki Gede. Jika terjadi sesuatu, maka kami harus mempertanggung-jawabkannya ke kedua orang tuanya. Sementara itu, Rara Wulan memang menjadi sasaran utama orang kerdil itu,” berkata Agung Sedayu.

“Bagaimana dengan Angger Sekar Mirah?” bertanya Ki Gede.

“Biarlah ia ikut pula untuk menemani Rara Wulan,“ jawab Agung Sedayu. “Keikut-sertaan Sekar Mirah merupakan salah satu cara untuk memberikan ketenangan bagi ibu Rara Wulan, karena dengan demikian maka Rara Wulan bukan satu-satunya perempuan di antara beberapa orang laki-laki. Apalagi di antara kami ada Glagah Putih.”

Ki Gede tersenyum, sementara Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja.

“Baiklah Ngger,” berkata Ki Gede, “biarlah Prastawa mempersiapkan para pengawal sebaik-baiknya. Selebihnya, jika terjadi sesuatu, biarlah aku berhubungan dengan para prajurit dari Pasukan Khusus. Bukankah Angger Agung Sedayu telah memberikan pesan kepada mereka>”

“Sudah Ki Gede. Jika Ki Gede memerlukan para prajurit dari Pasukan Khusus itu, kami mohon Ki Gede berhubungan dengan Sanggabaya, salah seorang pemimpin kelompok yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Apalagi Sanggabaya berasal dari Tanah Perdikan ini pula.”

“Baiklah,” Jawab Ki Gede, “aku mengenal anak itu.”

Demikianlah, atas nama seluruh keluarganya Agung Sedayu minta diri kepada Ki Gede, untuk beberapa hari berada di Mataram karena ada sesuatu yang penting.

Bahkan Agung Sedayu itu pun telah berkata pula, “Ki Gede. Persoalannya tentu tidak terbatas sepanjang persoalan Rara Wulan dan Raras, anak gadis Ki Rangga Wibawa. Tetapi orang kerdil itu telah bekerja bersama dengan Ki Manuhara, yang tentu mempunyai kepentingan terhadap Mataram, menilik tindakan-tindakan yang telah diambilnya. Antara lain ketika diadakan pertandingan ketangkasan oleh anak-anak muda di Mataram.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tindakan yang telah diambilnya di Tanah Perdikan ini juga menunjukkan bahwa kelompok itu adalah kelompok yang sangat berbahaya.”

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan keluarganya telah meninggalkan rumahnya. Tetapi mereka tidak beriringan dalam satu kelompok bersama-sama, agar tidak terlalu menarik perhatian.

Rara Wulan, Sekar Mirah mendahului yang lain disertai Glagah Putih dan Agung Sedayu, sementara Sabungsari dan Ki Jayaraga menyusul kemudian bersama Ki Lurah Branjangan.

Anak yang tinggal bersama Agung Sedayu hanya dapat bersungut-sungut. Namun Agung Sedayu memberikan uang sambil berkata, “Kami tidak akan terlalu lama. Bukankah kau seorang laki-laki? Kau tentu tidak akan pernah ketakutan. Tetapi ingat, kau tidak usah turun ke sungai.”

Anak itu mengangguk sambil bergumam, “Aku tidak takut.”

Demikianlah, maka iring-iringan berkuda itu pun melintas dengan cepat menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang memang heran melihat iring-iringan itu. Tetapi kepada setiap orang yang bertanya di sepanjang jalan Agung Sedayu selalu menjawab, “Ada sanak kadang kami mempunyai keperluan di Mataram.” Orang-orang yang bertanya itu telah menjadi puas dengan jawaban itu. Mereka telah mengartikan kepergian Agung Sedayu dan keluarganya itu untuk menghadiri sebuah peralatan.

Iring-iringan itu tidak menghiraukan langit yang menjadi suram ketika senja turun. Bahkan kemudian gelap malam mulai merambah jalan-jalan di Tanah Perdikan. Namun, mereka tidak menjadi cemas, karena biasanya sampai larut masih ada tukang satang yang bersedia menyeberang di penyeberangan sebelah selatan, yang terhitung penyeberangan yang terbesar.

Sebenarnyalah sebagaimana mereka perhitungkan. Ketika mereka sampai di tepian, maka masih ada dua rakit yang siap untuk melintasi Kali Praga.

Sebagaimana Agung Sedayu membagi iring-iringannya menjadi dua kelompok, maka mereka pun menyeberang secara terpisah. Agung Sedayu dan kelompoknya menyeberang lebih dahulu. Baru kemudian Ki Jayaraga dengan kelompoknya.

Malam itu juga mereka langsung menuju ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Mereka sama sekali tidak merasa cemas seandainya Bajang Engkrek dan Ki Manuhara atau orang-orangnya melihat kedatangan mereka.

Namun, demikian mereka sampai di rumah itu, maka mereka melihat suasana yang muram. Begitu mereka memasuki halaman, maka orang-orang yang diminta untuk membantu mengamankan rumah itu segera menyongsong mereka dengan kesiagaan penuh. Namun mereka pun menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat di antara mereka yang datang itu terdapat Rara Wulan.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan yang terdiri dari dua kelompok itu telah berkumpul di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Ki Tumenggung, Nyi Tumenggung dan Teja Prabawa telah menemui mereka di pendapa. Kegelisahan yang nampak telah memberikan kesan yang menggelisahkan.

“Apa yang terjadi?“ bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Raras benar-benar telah hilang,“ jawab Ki Tumenggung.

“Karena Kakek datang kemari dengan keempat orang pengiring itu,“ berkata Teja Prabawa dengan suara bergetar, “ternyata mereka melihatnya. Dengan alasan itu, maka mereka mempercepat rencananya mengambil Raras.”

“Bagaimana hal itu dapat terjadi? Bukankah di sekitar Raras ada orang-orang yang melindunginya?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

Ki Tumenggung menarik nafas panjang. Katanya, “Ki Rangga Wibawa tidak tahu bagaimana hal itu terjadi. Raras ada di rumah. Ki Rangga Wibawa dan Wacana juga ada di rumah. Tetapi mereka tidak tahu bahwa Raras telah hilang. Agaknya selagi Raras berada di dapur seorang diri, pada saat ibunya masuk ke dalam untuk mengambil sesuatu.”

“Apakah Raras tidak menjerit atau berteriak?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Mungkin mulutnya dibungkam, atau bahkan ia telah dibuat pingsan,“ jawab Ki Tumenggung.

“Dan itu terjadi di siang hari?” bertanya Ki Lurah Branjangan keheran-heranan.

“Ya. Tadi pagi. Agaknya Raras telah dibawa lewat lorong-lorong yang sempit,“ jawab Ki Tumenggung.

Namun tiba-tiba Teja Prabawa memotong, “Kakek yang bertanggung jawab.”

“Diam kau Teja Prabawa!“ bentak ayahnya, “Jika kau tidak berani mencari Raras, kau tidak usah ikut campur.”

“Apa yang sudah dilakukan oleh Ki Rangga Wibawa?” bertanya Ki Lurah Branjangan kemudian.

“Ki Rangga telah melaporkannya kepada Ki Wirayuda,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menemui Ki Wirayuda.” Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Marilah. Ikut aku.”

Tetapi Ki Tumenggung mencoba mencegahnya, “Nanti dulu Ki Lurah. Biarlah Ki Lurah minum lebih dahulu.”

“Semakin cepat semakin baik, Ayah,“ potong Teja Prabawa pula.

Ayahnya hampir membentaknya pula. Namun Agung Sedayu mendahuluinya, “Terima kasih Ki Tumenggung. Aku hanya sebentar.”

Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berpacu menuju ke rumah Ki Wirayuda, sementara malam menjadi semakin dalam.

Agung Sedayu memang tidak terlalu lama berada di rumah Ki Wirayuda. Beberapa saat kemudian ia sudah kembali berada di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Bahkan katanya kemudian, “Aku juga sudah singgah di rumah Ki Rangga Wibawa.”

Sambil minum minuman panas yang disuguhkan oleh Nyi Tumenggung, Ki Tumenggung berkata, “Mereka mengancam, jika dalam waktu tiga hari Wulan tidak diserahkan, Raras benar-benar akan menjadi korban kebiadaban Raden Antal. Satu hal yang tidak pernah dapat aku bayangkan tentang anak muda yang kelihatannya lembut dan baik hati itu.”

Agung Sedayu pun mengangguk pula. Katanya, “Ki Rangga Wibawa juga mengatakannya. Ia benar-benar menjadi bingung. Lebih-lebih Nyi Rangga. Setiap kali ia menjadi pingsan.”

“Apakah Ayah sampai hati membiarkan hal seperti itu terjadi pada keluarga Ki Rangga Wibawa?” bertanya Teja Prabawa.

“Jadi maksudmu bagaimana? Kita serahkan Wulan kepada iblis itu, dan kemudian biar ibumu yang setiap kali pingsan, bahkan untuk selama-lamanya ibumu akan mengalami goncangan jiwa?” Ki Tumenggung justru bertanya.

Teja Prabawa terdiam. Tetapi kecemasan yang sangat telah mencekam jantungnya.

“Rara Wulan hari ini telah berada di sini. Biarlah besok kita ajak Rara Wulan keluar. Biarlah iblis itu atau salah seorang pengikutnya melihatnya, dan menyangka bahwa kita akan menyerahkan Rara Wulan. Dengan demikian maka sebelum hari ketiga Raras masih selamat. Sementara itu kita mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat kita tembus,” berkata Agung Sedayu.

Ki Tumenggung Purbarumeksa mengangguk-angguk. Ia memang tidak mempunyai cara yang dapat dianggap tepat untuk membantu membebaskan Raras. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu hanya dapat menyerahkan segala sesuatunya kepada Agung Sedayu, yang nampaknya mempunyai ketangkasan berpikir lebih baik dari dirinya sendiri.

Malam itu, orang-orang yang datang bersama Agung Sedayu itu bermalam di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Seperti yang direncanakan, maka di hari berikutnya Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mengajak Rara Wulan berkunjung ke rumah Ki Rangga Wibawa. Mereka berharap bahwa kehadiran Rara Wulan akan dapat sedikit memperingan beban perasaan Nyi Rangga, karena dengan demikian ia melihat kesungguhan kelaurga Ki Tumenggung untuk membantu membebaskan Raras.

Selebihnya Agung Sedayu dan Glagah Putih memang berharap bahwa para pengikut orang kerdil itu melihat bahwa Rara Wulan telah berada di Mataram, sehingga mereka tidak akan segera bertindak sesuatu atas Raras.

Ketika mereka sampai di rumah Ki Rangga, maka mereka telah disambut oleh Ki Rangga dengan hati terbuka. Seperti yang diharapkan oleh Agung Sedayu, maka Ki Rangga memang melihat bahwa keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa memang tidak membiarkan Raras hilang tanpa melakukan sesuatu.

Namun ketika Nyi Rangga melihat Rara Wulan, maka tanggapannya justru berbeda. Tiba-tiba saja Nyi Rangga itu menangis sambil berteriak dengan gagap, “Kau, kau-lah yang menyebabkan anakku mengalami bencana. Kau-lah yang seharusnya menanggungnya. Bukan anakku. Bukan Raras.”

Agung Sedayu memberi isyarat kepada Rara Wulan agar ia berdiam diri. Ki Rangga-lah yang kemudian berusaha menenangkan istrinya dan mengajaknya masuk. Ketika ia keluar lagi menemui tamu-tamunya, maka Ki Rangga pun berkata, “Aku minta maaf Ngger. Istriku memang menjadi sangat gelisah. Ia tidak dapat lagi berpikir bening. Bahkan ia masih saja sering pingsan.”

“Kami dapat mengerti perasaannya Ki Rangga,” jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Aku sengaja membawa Rara Wulan keluar dan berjalan menyusuri jalan kota, agar orang-orang yang terlibat dalam pengambilan Raras, atau pengikutnya, dapat melihatnya. Sehingga mereka mengira bahwa kami akan menyerahkan Rara Wulan. Dengan demikian setidak-tidaknya kita mempunyai waktu tiga hari untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan untuk melepaskan Adi Raras.”

“Aku mengucapkan terima kasih atas perhatian kalian. Mudah-mudahan kalian berhasil. Jika kalian memerlukan tenagaku, aku akan bersedia melakukan apa saja. Demikian pula kemenakanku, Wacana,” berkata Ki Rangga.

“Dimana Wacana sekarang?” bertanya Agung Sedayu.

“Ia pergi bersama dua orang petugas sandi yang melakukan perintah Ki Wirayuda. Mereka pergi menemui Ki Tumenggung Sela Putih, untuk menanyakan apakah ia mengetahui bahwa Raden Antal anaknya telah menculik Raras,” jawab Ki Rangga.

“Jadi Ki Wirayuda melakukan pelacakan langsung?” bertanya Agung Sedayu dengan dahi yang berkerut.

“Ya, di samping langkah-langkah sandi yang dilakukannya,” jawab Ki Rangga Wibawa.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, ternyata Wacana pun telah kembali. Demikian ia menambatkan kudanya, maka iapun langsung naik ke pendapa.

“Kami telah menemui Ki Tumenggung Wreda Sela Putih,” berkata Wacana sambil menyeka keringatnya.

“Apa kata Ki Tumenggung?” bertanya Ki Rangga.

“Ki Tumenggung menjadi sangat marah. Ia menganggap itu fitnah yang keji. Menurut Ki Tumenggung, anaknya sama sekali tidak menghiraukan lagi Rara Wulan, yang disebutnya sebagai perempuan berbudi rendah,” jawab Wacana.

“Apa saja yang dikatakannya tentang aku?” bertanya Rara Wulan dengan nada tinggi.

Agung Sedayu menggamitnya sambil berdesis, “Biarlah Wacana menyelesaikan laporannya.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang diam.

Sementara itu Wacana pun berkata selanjutnya, “Ki Tumenggung yang marah itu akan melaporkan tindakan Ki Wirayuda itu langsung kepada Ki Patih Mandaraka.”

Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu iapun bertanya, “Apa yang kemudian dikatakan oleh kedua orang petugas yang diperintahkan oleh Ki Wirayuda itu?”

“Keduanya minta maaf kepada Ki Tumenggung Wreda. Jika hal itu dilakukan, karena orang yang mengambil Raras itu mengatakan bahwa hal itu dilakukan atas perintah Raden Antal dalam hubungannya dengan Rara Wulan.”

“Kenapa mereka minta maaf? Bukankah Raden Antal benar-benar memerintahkan orang kerdil itu untuk mengambil Raras?” potong Rara Wulan.

“Tetapi Raden Antal tidak mengakuinya,“ jawab Wacana.

“Memang sulit dibuktikan,” sahut Agung Sedayu, “jika saja orang kerdil itu dapat ditangkap. Tetapi tidak mudah untuk menangkapnya. Ia seorang yang berilmu sangat tinggi.”

“Agaknya memang demikian,” desis Wacana. Lalu katanya pula, “Ki Tumenggung Wreda itu justru minta Ki Wirayuda datang kepadanya untuk minta maaf. Jika Ki Wirayuda itu tidak mau datang maka Ki Tumenggung benar-benar akan mengadu.”

“Tetapi kau lihat Raden Antal ada di rumah itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Raden Antal ada di rumah itu,” jawab Wacana, “sebelumnya aku belum mengenal Raden Antal. Tetapi di rumah itu aku melihat seorang anak muda yang tampan, yang ternyata adalah Raden Antal itu. Anak muda itu pun marah-marah dengan kasar. Lebih kasar dari Ki Tumenggung. Kata-kata yang diucapkan sama sekali tidak sesuai dengan ujudnya yang nampak lembut dan bersih. Bahkan anak muda itu telah mengancam akan mengambil tindakan kekerasan jika dianggapnya perlu untuk menanggapi fitnah itu. Aku tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan kekerasan itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku minta diri. Aku akan mencari berbagai macam kemungkinan yang dapat dilakukan untuk membebaskan Raras.”

“Terima, kasih Ngger,” jawab Ki Rangga Wibawa.

“Kami mohon maaf bahwa kami telah menyusahkan keluarga Ki Rangga. Tetapi percayalah bahwa kami akan berbuat sesuatu untuk membebaskan Raras,” berkata Agung Sedayu, yang kemudian telah merasa cukup dan karena itu maka iapun telah minta diri.

Di perjalanan kembali ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, mereka justru telah menempuh jalan yang paling ramai di Mataram. Mereka dengan sengaja memancing perhatian khususnya orang-orang yang telah mengenal Rara Wulan, agar kehadirannya didengar oleh keluarga Raden Antal atau orang-orang upahannya.

Ternyata bahwa pancingan itu mengena. Kehadiran Rara Wulan segera diketahui oleh keluarga Raden Antal, sehingga mereka pun telah mengirim surat kepada keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa mengenai Rara Wulan.

Sudah tentu surat yang tidak bertanda tangan dan seakan-akan ditulis oleh kanak-kanak dengan huruf yang sulit untuk dibaca. Tidak seorangpun mengenal siapa yang lelah menyampaikan surat itu. Yang menerima surat itu seorang pembantu di rumah Ki Tumenggung, hanya mengenali anak kecil dengan kepala gundul. Demikian ia menyerahkan surat itu, maka iapun segera berlari menghambur keluar regol halaman dan hilang di keramaian jalan di depan rumah Ki Tumenggung itu.

Setelah dengan susah payah Ki Tumenggung mencoba membaca surat itu, maka akhirnya isinya pun dapat diketahuinya.

“Besok lusa, wayah sepi wong, Rara Wulan harus diserahkan kepada Raden Antal di padang rumput Tegal Wuru, di atas tanggul susukan Kali Opak. Pada saat yang sama Raras akan diserahkan pula kepada seseorang yang membawa Rara Wulan ke tempat itu. Kesempatan ini hanya diberikan selambat-lambatnya menjelang tengah malam. Jika sampai tengah malam Rara Wulan tidak diserahkan, maka Raras tidak akan pernah kembali.”

Jantung Ki Tumenggung bagaikan meledak. Namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Besok lusa malam. Waktunya terlalu sempit. Sementara itu langkah Ki Wirayuda tentu juga tidak akan terlalu lancar.

“Jika aku menghadap Ki Patih Mandaraka, apakah aku dapat membuktikan bahwa Ki Tumenggung Wreda Sela Putih memang bersalah? Surat ini sama sekali bukan satu bukti yang dapat diyakini. Tulisan anak-anak ini tidak akan dapat dinyatakan sebagai surat resmi Ki Tumenggung Wreda Sela Putih,“ gumam Ki tumenggung Purbarumeksa.

“Bagaimana jika di padang rumput Tegal Wuru itu kita membawa sepasukan prajurit?” desis Ki Lurah Branjangan.

“Tentu akan membahayakan keselamatan Raras. Jika mereka tahu kita membawa sekelompok prajurit, maka mereka tentu tidak akan segan-segan melakukan tindakan yang licik,” sahut Agung Sedayu.

“Jadi bagaimana?” desis Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Apakah Raden Antal itu setiap hari masih juga pergi keluar rumahnya? Apakah ia masih bertugas di istana?” bertanya Agung Sedayu.

“Nampaknya memang begitu. Tetapi aku tidak begitu jelas. Tetapi aku tahu, ia memang pernah bekerja di istana,” jawab Ki Tumenggung.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan memikirkannya masak-masak. Mungkin tidak dengan serta merta kita menemukan jalan.”

“Tetapi waktunya sudah terlalu sempit,” desis Ki Lurah Branjangan yang gelisah.

Sementara itu, Ki Wirayuda pun menjadi pening memikirkan hilangnya Raras. Malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih telah datang kepadanya untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan.

“Kedua orang petugas yang dikirim Ki Wirayuda disertai dengan Wacana telah minta maaf kepada Ki Tumenggung Wreda,” berkata Agung Sedayu, “sementara itu Ki Tumenggung Sela Putih minta Ki Wirayuda datang untuk minta maaf kepadanya.”

“Ya,” sahut Ki Wirayuda, “aku sudah datang untuk minta maaf kepadanya.”

“Apakah Ki Wirayuda yakin bahwa Ki Tumenggung itu tidak bersalah?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak. Aku justru percaya bahwa Raden Antal memang telah mengupah orang untuk mengambil gadis itu,” jawab Ki Wirayuda, “tetapi bahwa aku datang untuk minta maaf, aku berharap bahwa Ki Tumenggung Sela Putih menganggap bahwa aku telah menghentikan usaha untuk mengusut persoalan ini, dalam hubungannya dengan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.”

“Ki Wirayuda,” berkata Agung Sedayu kemudian, “nampaknya memang sulit untuk mengusut perkara hilangnya Raras. Jika Ki Wirayuda tidak berkeberatan, aku minta ijin untuk bertindak menurut caraku. Nampaknya aku dan keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa tidak mempunyai pilihan lain.”

“Apa yang akan Ki Lurah lakukan?” bertanya Ki Wirayuda.

Agung Sedayu menarik nafas. Namun iapun menjawab, “Aku belum tahu Ki Wirayuda. Tetapi aku mohon ijin untuk melakukan, agar tidak setiap kali aku harus menemui Ki Wirayuda.”

Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu telah menunjukkan surat yang disampaikan oleh seorang anak kepada Ki Tumenggung.

“Meskipun tulisan itu tulisan kanak-kanak, tetapi aku percaya bahwa ancaman itu benar-benar akan dilakukan jika Rara Wulan tidak diserahkan besok malam,” jawab Agung Sedayu.

Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah Ki Lurah. Tetapi apa yang Ki Lurah lakukan adalah tanggung jawab Ki Lurah sendiri. Namun aku mohon, tidak menimbulkan keributan dan keresahan rakyat Mataram. Aku justru akan menepi untuk sementara dari persoalan ini.”

“Terima kasih Ki Wirayuda,” jawab Agung Sedayu, “aku hanya mohon diperkenankan menggerakkan anak-anak dari kelompok Gajah Liwung meskipun tidak dengan secara terbuka, agar kemudian tidak menyulitkan anak-anak Gajah Liwung itu sendiri.”

“Silahkan Ki Lurah,” jawab Ki Wirayuda, “aku tidak berkeberatan menghubungi mereka.”

Ketika kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih minta diri setelah pembicaran mereka dianggap cukup, Ki Wirayuda masih berpesan, “Ingat Ki Lurah. Usaha Ki Lurah dan Glagah Putih ini tentu tidak luput dari pengawasan orang-orang upahan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih.”

“Aku mengerti Ki Wirayuda. Terima kasih,” jawab Agung Sedayu ketika ia keluar dari regol halaman rumah Ki Wirayuda. Namun Ki Wirayuda memang mempercayai kemampuan Agung Sedayu dan Glagah Putih, sehingga ia tidak merasa perlu mencemaskannya.

Di hari berikutnya, ketika matahari mulai memanjat langit, ternyata Ki Ajar Gurawa dan Rumeksa telah datang menemui Agung Sedayu di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun Agung Sedayu masih belum dapat memberikan rencana yang pasti, apa yang harus dilakukan oleh kelompok Gajah Liwung itu.

Namun Agung Sedayu telah berpesan kepada Ki Ajar Gurawa, “Tolong Ki Ajar. Siapkan anak-anak Gajah Liwung. Aku harap Ki Ajar besok datang lagi kemari. Besok siang.”

Ki Ajar Gurawa termangu-mangu sejenak. Dengan agak ragu iapun bertanya, “Bukankah waktunya tinggal sedikit?”

“Masih sulit bagiku untuk mengambil satu kepastian sikap. Tetapi besok siang, segala-galanya harus sudah pasti. Waktu kita tinggal besok, karena malam harinya, sesuai dengan surat yang kami terima, Rara Wulan harus sudah diserahkan.”

Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menyiapkan anak-anak, agar setiap saat diperlukan, kami dapat bertindak cepat.”

“Terima kasih,” jawab Agung Sedayu.

Namun ketika Ki Ajar minta diri, Sabungsari sempat bertanya, “Kenapa Ki Ajar nampak pucat?”

“Siapa bilang aku pucat?” Ki Ajar justru bertanya.

“Memang sedikit pucat,” Rumeksa-lah yang menjawab, “selama ini Ki Ajar tenggelam di dalam sanggarnya bersama kedua murid utamanya itu. Bahkan Ki Ajar telah berkenan untuk melengkapi dasar kanuragan anak-anak Gajah Liwung.”

“Ah, tidak,” sahut Ki Ajar, “jika aku berada di sanggar, hanya ingin mendapat kesempatan untuk dapat tidur.”

Sabungsari tertawa. Katanya, “Ternyata Ki Ajar tidak menjadi pucat, tetapi justru bertambah kuning karena selalu menghindari panas matahari.”

Agung Sedayu pun tersenyum pula. Namun Ki Ajar menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Sudahlah. Aku minta diri. Aku tidak sengaja membuat diriku bertambah muda lagi.”

Glagah Putih pun sempat tersenyum pula, betapapun kecemasan masih mencengkam perasaannya.

Sejenak kemudian, maka Ki Ajar Gurawa pun telah meninggalkan rumah Ki Tumenggung. Meskipun masih belum jelas apa yang harus dilakukan oleh anak-anak dari kelompok Gajah Liwung, namun Ki Ajar telah dapat mempersiapkan diri. Ia adalah orang tertua di antara kelompok Gajah Liwung itu, maka Ki Ajar adalah pemimpinnya.

Demikianlah, sehari itu Agung Sedayu mencari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipergunakannya untuk membebaskan Raras. Sementara itu, Ki Wirayuda pun masih belum mendapat laporan dari para petugas sandinya, dimana Raras disembunyikan.

Agung Sedayu yang kembali lagi kepadanya mendapat keterangan bahwa Raden Antal ada di rumahnya. Ia melakukan tugasnya sehari-hari, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

Ki Rangga Wibawa seakan-akan telah menjadi putus-asa. Meskipun masih ada sisa waktu, namun seakan-akan ia tidak melihat kemungkinan untuk membebaskan anak gadisnya. Satu-satunya jalan adalah menyerahkan Rara Wulan. Namun penalarannya tidak memungkinkannya untuk mendesak Ki Tumenggung Purbarumeksa untuk menyerahkan anak gadisnya itu. Ia sudah merasakan betapa sakitnya kehilangan seorang gadis. Sehingga iapun tidak sampai hati untuk memaksa Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung kehilangan Rara Wulan. Meskipun sebenarnya ia juga tidak ingin kehilangan Raras.

Ketika malam terakhir sebelum malam yang diminta sebagai batasan waktu oleh orang-orang upahan Raden Antal, maka Agung Sedayu berusaha untuk mendapatkan keterangan tentang anak muda itu sebanyak-banyaknya. Agung Sedayu pun mencari keterangan tentang rumah beberapa orang pembantu dan pelayan di rumah Ki Tumenggung.

Seorang dari antara para petugas sandi atas perintah Ki Wirayuda berhasil mengikuti salah seorang abdi di rumah Ki Tumenggung Wreda, yang kebetulan pulang ke rumahnya untuk menengok keluarganya. Kemudian dengan memberi sedikit uang, maka petugas sandi itu mendapat beberapa keterangan tentang para abdi. Terutama rumah mereka yang diketahui oleh abdi itu.

Memang ada beberapa keterangan yang didapat. Ada lima orang yang sudah dapat diketahui rumahnya.

Malam itu juga, beberapa orang petugas sandi telah diperintahkan untuk melihat rumah-rumah itu tanpa diketahui oleh pemiliknya, apakah Raras disembunyikan di salah satu rumah itu. Tetapi ternyata gadis itu tidak diketemukan.

Dengan demikian, maka rasa-rasanya semua jalan telah menjadi buntu sama sekali. Semua pihak yang berusaha mencari Raras bagaikan telah kehilangan pegangan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar