Buku 276
“Dan kalian telah mengulang kembali kesalahan itu. Di sini kalian telah mulai dengan cara yang salah. Bencana itu akan datang lagi pada suatu saat. Seandainya hal itu bukan kalian anggap bencana, namun ternyata telah mengusir kalian dari pemukiman kalian,“ berkata Sabungsari.
“Jadi apa yang harus kami lakukan?“ bertanya orang yang tertua di antara orang-orang itu.
“Temuilah Ki Demang Kleringan. Tidak perlu semua orang datang ke Kademangan. Jika demikian akan dapat timbul salah paham. Karena itu, tiga atau ampat orang sajalah yang datang,“ berkata Sabungsari kemudian. “Katakan apa yang kalian inginkan. Namun kemudian kalian taati apa yang diperintahkan. Ki Demang akan menempatkan kalian di tempat yang paling baik. Kemudian jadilah anggota keluarga kademangan yang baik, sebagaimana anggota keluarga Kademangan Kleringan yang lain.”
“Jika Ki Demang tidak mengijinkan?“ bertanya orang tertua di atara mereka.
“Datanglah kepada Ki Gede Menoreh di Tanah Perdikan. Sebelumnya aku akan melaporkan kepadanya apa yang terjadi di sini, sehingga jika kalian datang kepadanya, Ki Gede tidak akan terkejut lagi,“ berkata Glagah Putih kemudian.
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Yang tertua di antara mereka itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan menemui Ki Demang di Kleringan. Mudah-mudahan kami mendapatkan ijinnya.”
“Jika kalian tidak membawa ijinnya, maka kalian tentu akan diusir dengan kekerasan pula,“ berkata Sabungsari kemudian.
Demikianlah, maka Sabungsari dan Glagah Putih pun telah meninggalkan tempat itu. Untunglah bahwa pepohonan yang ditebangi oleh orang-orang itu belum terlalu banyak.
Peristiwa itu memang menarik perhatian kedua anak muda itu. Namun pembicaraan mereka justru lebih banyak berkisar pada kedua orang remaja asuhan Rudita.
“Kita akan melaporkannya kepada Kakang Agung Sedayu,“ berkata Glagah Putih.
Namun Sabungsari justru bertanya, “Apakah tidak lebih tepat kau laporkan hal ini kepada Ki Gede?”
“Maksudmu tentang penebangan hutan itu?“ bertanya Glagah Putih dengan nada tinggi.
“Ya,“ jawab Sabungsari, “bukankah Agung Sedayu sudah mempunyai tugas sendiri di barak Pasukan Khusus itu? Sementara penebangan hutan itu terjadi di daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
“Yang akan aku sampaikan kepada Kakang Agung Sedayu adalah kehadiran Rudita dan kedua orang anak asuhannya itu,“ jawab Glagah Putih. Namun seperti dikatakan oleh Glagah Putih, maka mereka berdua pun kemudian telah menghadap Ki Gede Menoreh untuk memberikan laporan tentang sekelompok orang yang berusaha menebang hutan di lereng pegunungan.
“Mereka sudah berjanji untuk menghubungi Ki Demang Kleringan, Ki Gede. Namun jika Ki Demang tidak mengijinkan, serta tidak bersedia memberi tempat pemukiman bagi mereka, maka aku minta mereka menghubungi Ki Gede,“ berkata Glagah Putih kemudian.
“Baiklah,“ sahut Ki Gede, “jika mereka benar-benar memerlukan, kita akan dapat memberikan tempat bagi mereka. Syukurlah jika Ki Demang Kleringan sudah dapat menyelesaikan persoalan sekelompok orang yang kehilangan tempat tinggalnya itu.”
Dalam pada itu, Glagah Putih telah mengusulkan kepada Prastawa untuk mengirimkan peronda sekali-sekali melintasi puncak pegunungan untuk melihat-lihat lereng sebelah barat, yang masih termasuk lingkungan Tanah Perdikan Menoreh yang menghadap ke Kademangan Kleringan.
“Aku perhatikan pendapatmu itu Glagah Putih,“ berkata Prastawa. “Agaknya selama ini kita memang kurang memperhatikan lereng di sisi barat pegunungan, justru yang menjadi batas wilayah Tanah Perdikan ini,“ jawab Prastawa.
Kepada Ki Gede dan Prastawa, Glagah Putih memang tidak menyinggung persoalan kedua anak remaja asuhan Rudita itu. Bukan karena Rudita masih mempunyai hubungan darah meskipun agak jauh dengan Ki Gede, namun persoalan Ruduta itu tentu tidak akan menarik untuk dibicarakan selain dengan Agung Sedayu, yang justru namanya telah disinggung-singgung oleh Rudita itu sendiri.
Di sore hari, setelah Agung Sedayu pulang serta telah mandi dan berbenah diri, Sabungsari dan Glagah Putih yang menjadi semakin baik, bahkan hampir sembuh kembali itu, telah ikut pula duduk bersama.
Pada kesempatan itulah Glagah Putih telah menceritakan kembali pertemuannya dengan dua orang remaja yang ternyata adalah asuhan Rudita di rumah yatim piatunya.
Agung Sedayu mendengarkan keterangan Glagah Putih dan Sabungsari dengan seksama. Sekali-sekali kepalanya mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun tersenyum kecil.
“Rudita itu telah membawa anak-anak asuhannya pergi. Namun agaknya mereka tidak datang bersama-sama ke tempat itu. Nampaknya kedua anak asuhannya itu sedang menempuh satu perjalanan. Baru kemudian Rudita itu menyusulnya,“ berkata Glagah Putih kemudian.
“Untuk dapat mengerti maksudnya, kita harus memahami jalan pikirannya serta landasan dan pegangan hidupnya. Tanpa memahaminya, maka kita akan sulit untuk dapat mengerti, kenapa ia bertingkah laku seperti itu,“ berkata Agung Sedayu.
“Aku telah mencoba,“ desis Sabungsari, “meskipun agak samar, namun aku mulai melihat sosok Rudita itu setelah aku memperbincangkannya dengan Glagah Putih.”
“Memang hanya sedikit orang yang mempunyai landasan hidup seperti Rudita. Tetapi ia seorang yang merindukan satu kehidupan yang sebenarnya juga dirindukan oleh setiap orang. Namun banyak diantara kita yang masih berpaling untuk mengagumi kemilaunya kehidupan duniawi, dan berusaha untuk menggapainya dengan cara apapun juga,“ sahut Agung Sedayu.
Sabungsari mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berkata, “Namun selama masih ada orang yang memanjakan dirinya dengan gemerlapannya warna kehidupan, orang-orang seperti Kakang Agung Sedayu masih diperlukan.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pada suatu saat aku juga pernah bertemu dengan Rudita. Ia menganggap bahwa aku termasuk orang-orang yang membuat padepokannya semakin penuh dengan anak yatim piatu.”
“Masih diperlukan waktu untuk menggapai satu kehidupan seperti yang diinginkan oleh Rudita itu,“ berkata Sabungsari kemudian. “Ya. Tetapi diperlukan beribu-ribu bahkan berjuta-juta Rudita untuk membina dunia ini agar bebas dari nafsu ketamakan manusia, yang justru akan menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri.”
Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun Rudita masih tetap merupakan seorang yang belum dapat dimengerti sepenuhnya pada saat itu.
“Tetapi aku tetap memperhatikan pendapatnya,“ berkata Agung Sedayu kemudian.
Ki Jayaraga yang memperhatikan pembicaraan itu pun kemudian berkata, “Kita memang harus beusaha untuk mengerti. Seandainya aku tidak memiliki ilmu apapun, setidak-tidaknya aku tidak melahirkan beberapa orang jahat yang berilmu tinggi.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Ki Jayaraga merenungi dirinya sebagaimana sering dilakukan. Setiap kali ia teringat akan murid-muridnya yang telah melanggar dan menginjak-injak nilai-nilai kehidupan, maka hatinya bagaikan telah tersayat. Tidak seorangpun dari murid-muridnya yang terdahulu memenuhi harapannya, menjadi orang yang mampu menjunjung nama perguruannya. Apalagi pengabdian yang tinggi bagi sesamanya.
Untuk beberapa saat mereka yang duduk di serambi itu pun terdiam. Masing-masing tengah merenungi perjalanannya hidup mereka sendiri-sendiri.
Namun dalam pada itu, selagi mereka masih termangu mangu dibayangi oleh warna-warna kehidupan, Sekar Mirah telah masuk ke serambi sambil berkata, “Seorang penghubung telah datang untuk mencari kakang Agung Sedayu. ia duduk di pendapa sekarang.”
“O,“ Agung Sedayu pun bangkit. Katanya, “Marilah, kita temui penghubung itu. Mungkin ada berita yang penting. Ketika aku ada di barak tadi, masih belum ada masalah apapun yang aku dengar, sehingga aku meninggalkan barak pada waktu seperti biasanya.”
“Tetapi agaknya ada persoalan baru yang datang setelah kakang meninggalkan barak itu,“ sahut Sekar Mirah.
Bersama Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari, maka Agung Sedayu pun telah pergi ke pendapa untuk menemui penghubung yang baru datang dari baraknya.
Setelah duduk pula, maka Agung Sedayu pun bertanya, “Apakah ada yang penting yang ingin kau sampaikan ?”
“Ya Ki Lurah,“ jawab penghubung itu, “ada dua orang penghubung datang dari Mataram.”
“Apakah mereka tidak mau kau bawa kemari?“ bertanya Agung Sedayu. “Atau mereka menganggap perlu aku datang ke barak ?”
“Mereka akan datang kemari sebentar lagi, Setelah mandi dan makan. Aku mendahului mereka untuk memberitahukan kepada Ki Lurah bahwa penghubung itu akan datang kemari, agar Ki Lurah sempat menemui mereka,“ jawab penghubung itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. katanya, “Baiklah aku akan menunggunya. Apakah mereka belum mengatakan sesuatu ?”
“Belum Ki Lurah. Mereka akan berbicara langsung dengan Ki Lurah sendiri,“ jawab penghubung itu pula.
Demikianlah, maka mereka pun telah menunggu sejenak sambil berbincang tentang berbagai masalah yang tumbuh dan berkembang di Tanah Perdikan itu, termasuk orang-orang yang menebangi pepohonan di lereng-lereng pegunungan. Ternyata bahwa Agung Sedayu pun menaruh perhatian terhadap peristiwa itu. Meskipun peristiwa itu lebih banyak menjadi beban Ki Gede Menoreh, namun Agung Sedayu tidak dapat mengabaikannya sepenuhnya.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian kedua penghubung dari Mataram itu telah datang, diantar oleh seorang prajurit dari barak Pasukan Khusus itu.
Setelah mereka duduk di pendapa, maka kedua penghubung itu pun langsung menyampaikan pesan yang dibawanya dari Ki Wirayuda di Mataram, tentang orang-orang yang sedang mereka cari.
Dengan nada rendah salah sorang dari kedua penghubung itu berkata, “Sekelompok prajurit yang sedang meronda telah menjumpai orang kerdil yang pernah dilaporkan berada di Tanah Perdikan ini.”
“Apakah orang itu dapat ditangkap?“ bertanya Agung Sedayu.
Penghubung itu menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Lurah. Sekelompok peronda itu tidak mampu menangkapnya. Orang kerdil itu mampu meloncat melenting seperti seekor belalang. Bahkan dari enam orang peronda, empat orang telah dilukainya. Seorang di antaranya parah. Meskipun setelah ditangani oleh seorang tabib yang baik, maka nyawanya tidak lagi terancam. Namun nampaknya orang kerdil itu tidak menghiraukan apakah lawan-lawannya akan mati atau tidak.”
“Jadi bagaimana kesan peronda yang telah menjumpainya itu? Apakah ia orang yang sangat berbahaya atau tidak, sementara ia tentu orang yang berilmu tinggi?“ bertanya Agung Sedayu.
“Menurut para peronda, orang kerdil itu adalah orang yang sangat berbahaya. Ia memang tidak mau membunuh seorangpun di antara para peronda itu meskipun ada di antaranya yang terluka parah. Namun bukan berarti bahwa orang itu tidak berbahaya,“ jawab penghubung itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian kita yakin, bahwa orang kerdil itu dan Ki Manuhara masih berada di Mataram. Pada suatu saat ia akan muncul lagi di Tanah Perdikan ini. Namun yang masih belum jelas, apakah sebenarnya maksud orang itu membuat kekacauan di Mataram. Ketika mereka gagal mengacaukan permainan di alun-alun karena Sabungsari dan Glagah Putih berhasil menguasai lembu-lembu jantan yang mengamuk, maka mereka berusaha menyingkirkan Sabungsari dan Glagah Putih. Bahkan setelah Sabungsari dan Glagah Putih berada di Tanah Perdikan ini, mereka masih juga memburunya.”
“Pesan Ki Wirayuda memang demikian. Agar Tanah Perdikan ini tetap berhati hati,“ berkata penghubung itu. Lalu katanya pula, “Dendam mereka kepada Sabungsari tentu masih belum padam. Dalam pada itu, Ki Wirayuda masih memerintahkan para anggota Gajah Liwung masih tetap diam untuk sementara.”
Agung Sedyu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas keterangan ini. Aku berharap bahwa Ki Wirayuda selalu menghubungi kami di Tanah Perdikan ini. Sebaliknya jika ada sesuatu yang penting terjadi di sini, kami akan melaporkannya ke Mataram, khususnya kepada Ki Wirayuda.”
Penghubung itu mengangguk-angguk. Katanya pula, “Ki Wirayuda juga selalu memberikan laporan secara khusus langsung kepada Ki Patih Mandaraka, yang pernah mendapat serangan langsung dari orang-orang yang telah mengacaukan Mataram.”
“Syukurlah,“ berkata Agung Sedayu, “Ki Patih tentu memperhatikan persoalan ini dengan sungguh-sungguh. Setidaknya Ki Patih tentu masih selalu berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan, sebagaimana tiba-tiba saja terjadi atas istananya itu.”
Demikianlah, untuk beberapa saat mereka masih berbincang. Rara Wulan pun telah menyuguhkan hidangan bagi tamu-tamunya di pendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan.
Ternyata para penghubung itu berada di rumah Agung Sedayu cukup lama. Baru menjelang tengah malam mereka minta diri untuk kembali ke barak Pasukan Khusus, karena mereka bermalam di barak itu. Besok pagi-pagi mereka akan kembali ke Mataram.
“Nah, selamat jalan. Hati-hati di perjalanan,“ berkata Agung Sedayu. “Jika kau besok berangkat pagi-pagi benar, mungkin aku belum datang ke barak itu.” “Terima kasih Ki Lurah,“ jawab salah seorang dari penghubung itu, “nampaknya kami akan sering datang kemari.”
Sepeninggal para penghubung itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan justru telah ikut duduk-duduk di pendapa pula. Agung Sedayu telah memberitahukan kepada mereka, bahwa orang kerdil yang oleh Ki Jayaraga disebut Bajang Engkrek itu ternyata masih berkeliaran di Mataram.
“Kalian pun harus berhati-hati. Mungkin mereka masih akan muncul di Tanah Perdikan ini,“ berkata Agung Sedayu pula.
Sekar Mirah dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun mereka menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa di hadapan orang-orang yang berilmu sangat tinggi seperti Ki Manuhara, dan barangkali juga Bajang Engkrek itu. Namun demikian mereka pun juga menyadari, bahwa mereka bukannya orang yang tidak mempunyai kemampuan sama sekali.
Ketika kemudian malam menjadi semakin larut, ketika di gardu terdengar kentongan yang memberikan isyarat bahwa tengah malam telah mereka lampaui, maka mereka pun segera masuk kembali ke ruang dalam. Mereka pun kemudian telah memasuki bilik mereka masing-masing. Sementara Glagah Putih sempat pergi ke belakang untuk melihat pembantu di rumah Agung Sedayu itu. Ternyata anak itu sedang bersiap-siap untuk turun ke sungai.
“Kenapa baru tengah malam kau sudah akan turun ke sungai?“ bertanya Glagah Putih.
“Aku tidak dapat tidur,“ jawab anak itu.
“Sebaiknya tidak usah setiap hari turun ke sungai,“ berkata Glagah Putih, “bukankah ikan tidak lagi banyak singgah di pliridan kita yang sudah terlalu tua itu?”
“Kau yang malas. Jika kau tidak ingin turun, biarlah aku turun sendiri. Apa pula bedanya pliridan yang sudah tua dan yang baru? Justru yang telah tua itu pematangnya sudah menjadi rapat. Bukankah kau tahu juga bahwa semakin tua pliridan itu, pematangnya justru menjadi semakin baik?“ jawab anak itu.
Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kau benar. Maksudku, kau tidak perlu memaksa diri untuk turun ke sungai seperti malam ini. Dinginnya bukan main.”
Tetapi anak itu tidak menghiraukan lagi. Iapun kemudian membawa cangkul dan kepis keluar melalui pintu butulan.
Glagah Putih hanya sempat menggelengkan kepalanya. Namun ia kagum akan niat anak itu. Ia sama sekali tidak menjadi jemu menutup pliridan setiap malam. Padahal, kawan-kawannya yang bersama-sama mulai, satu-persatu telah menghentikan kesenangannya itu. Bahkan orang-orang lain yang muncul kemudian pun telah berganti orang pula.
Namun Glagah Putih pun kemudian telah masuk ke dalam biliknya. Agaknya iapun merasa lelah, sehingga tidak mengikuti pembantunya turun ke sungai.
Pagi-pagi Glagah Putih bangun seperti biasanya, sebelum sinar matahari yang pertama menyentuh dedaunan. Ketika ia pergi ke bagian belakang rumah, iapun melihat pembantu rumah itu terbangun pula. Ketika ia melihat Glagah Putih, maka iapun berkata, “Untunglah aku tidak mendengarkan kata-katamu. Jika aku urung turun ke sungai, aku tentu akan menyesal.”
“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.
“Aku mendapat ikan hampir dua kali lipat dari biasanya,“ jawab anak itu. Lalu katanya pula, “Lihat sendirilah jika kau tidak percaya. Separuh di antaranya ternyata udang.”
Glagah Putih tersnyum. Katanya, “Untunglah bahwa kau tidak mau mendengar kata-kataku. Tetapi kebetulan ini tidak berlaku setiap kali.”
Anak itu tidak menjawab meskipun nampak ia bersungut-sungut.
Dalam pada itu, ketika Glagah Putih masih menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan, Ki Jayaraga sempat berbicara dengan Agung Sedayu. Meskipun hanya berdiri di sebelah pintu pringgitan, namun nampaknya ia bersungguh-sungguh.
Ternyata dahi Agung Sedayu pun telah berkerut pula. Iapun mendengarkan pendapat Ki Jayaraga dengan sungguh-sungguh pula.
“Jika kau sependapat Ngger, akan segera mulai,“ berkata Ki Jayaraga kemudian.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah menurut penilaian Ki Jayaraga, Glagah Putih tidak masih terlalu muda untuk menerima ilmu yang dahsyat itu?”
“Tidak,“ jawab Ki Jayaraga, “meskipun umurnya masih muda, tetapi pengalamannya seakan-akan telah mendorongnya lebih cepat menjadi dewasa penuh. Sebenarnya anak itu telah kehilangan sebagian dari masa mudanya. Namun sesuai dengan sifat dan wataknya, maka ia memang seorang yang tekun pada ilmu dan tanggap akan lingkungannya. Ia tidak terjerat kepada kesenangan anak-anak muda sebayanya. Namun ia lebih banyak mencoba memahami kehidupan.“
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku mohon Ki Jayaraga mengadakan penjajagan-penjajagan, agar tidak menyesal di kemudian hari. Murid-murid Ki Jayaraga yang terdahulu nampaknya juga terlalu cepat menerima ilmu yang tinggi sebelum jiwanya masak benar. Sehingga akibat-akibatnya tidak menguntungkan sama sekali bagi semua pihak.”
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau benar Ngger. Tetapi untuk yang satu ini, aku melihat perbedaan dasar pada sifat dan wataknya. Meskipun demikian Ngger, aku mohon Angger Agung Sedayu bersedia ikut menilai anak itu dari segi kewadagan dan kajiwan, apakah ia sudah pantas untuk menerima Aji Sigar Bumi. Karena sebenarnyalah aku mencemaskannya, karena Ki Manuhara selalu memburunya. Sehingga pada suatu saat anak itu akan dijumpainya seorang diri, sehingga Glagah Putih kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga tidak mau kehilangan anak itu.“ Ia berhenti sejenak, lalu, “Baiklah. Aku akan membantu Ki Jayaraga untuk mengamati keadaan anak itu. Baik wadagnya maupun jiwanya, apakah ia sudah pantas untuk menerima ilmu yang dahsyat itu.”
Ketika kemudian setelah makan pagi Agung Sedayu pergi ke barak Pasukan Khusus sebagaimana biasanya, maka hatinya selalu digelitik oleh maksud Ki Jayaraga. Ia dapat mengerti bahwa Ki Jayaraga mencemaskan nasib Glagah Putih, sebagaimana ia juga mencemaskannya. Tetapi bukan hanya Glagah Putih. Nasib Sabungsari pun mencemaskannya juga.
Sementara itu, untuk beberapa saat keadaan terasa tenang. Meskipun demikian setiap kali Agung Sedayu menerima pemberitahuan dari Mataram, bahwa orang kerdil itu masih sering nampak di Mataram.
Pada suatu saat, dua orang penghubung yang datang ke barak Pasukan Khusus telah memberitahukan bahwa orang kerdil itu pernah dilihat bersama seorang yang umurnya sudah lebih dari setengah abad. Namun badannya masih nampak kokoh dan kuat.
“Agaknya orang itulah yang bernama Ki Manuhara,“ berkata Agung Sedayu yang meskipun tidak terlalu pasti.
“Mungkin sekali,“ jawab penghubung itu, “namun para peronda sangat sulit untuk menangkap mereka.”
“Sia-sia saja untuk menangkapnya,“ berkata Agung Sedayu. “Lebih baik mereka diawasi oleh petugas sandi tanpa mengusiknya,“ berkata Agung Sedayu kemudian.
“Ya,“ jawab penghubung itu, “tugas berikutnya memang diserahkan kepada petugas sandi tanpa berusaha untuk menangkapnya. Namun jika pada suatu saat sekelompok peronda menjumpai mereka, maka rasa-rasanya peronda itu akan merasa bersalah jika mereka tidak berbuat sesuatu. Meskipun mereka sadar bahwa mereka tidak akan mungkin menangkap keduanya atau salah seorang di antara mereka. Sedangkan yang terjadi kemudian biasanya para peronda itu mengalami luka-luka.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kecemasannya tentang keselamatan Glagah Putih semakin mencengkamnya. Namun ia tidak dapat berusaha menyelamatkan Glagah Putih tanpa memberikan bantuan sama sekali kepada Sabungsari.
“Tetapi diperlukan waktu yang cukup,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Ketika Agung Sedayu kemudian bertemu dengan Ki Jayaraga di rumah, sambil menyampaikan keterangan tentang orang kerdil yang masih dijumpai di Mataram, Agung Sedayu pun bertanya, “Berapa lama diperlukan waktu untuk mewariskan Aji Sigar Bumi itu kepada Glagah Putih?”
“Landasan ilmu Glagah Putih telah lengkap,“ berkata Ki Jayaraga, “tidak ada kesulitan lagi bagi dirinya untuk memahami ilmu terbaik yang pernah aku pelajari itu. Aji Sigar Bumi. Ia hanya tinggal menjalani laku untuk mendapatkan kemampuan menyalurkan puncak kemampuannya sehingga mencapai inti dari ilmu yang telah dikuasainya. Getaran yang kemudian meledak itu akan menimbulkan hentakan yang mengungkapkan Aji Sigar Bumi. Sampai saat ini Glagah Putih telah mampu mengungkapkan getar kekutan bumi, api, udara dan air. Sehingga karena itu, maka langkah ke Aji Sigar Bumi tidak akan terlalu panjang lagi. Rasa-rasanya seperti sudah disiapkan lajur-lajur jangat, yang tinggal memilinnya menjadi juntai cambuk yang memiliki kemampuan yang tinggi. Katakanlah, seperti juntai cambukmu itu Ngger.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Ki Jayaraga berkata selanjutnya, “Apalagi Glagah Putih telah pernah berhubungan dengan Raden Rangga, sehingga landasan kemampuan Glagah Putih seakan-akan berada beberapa lapis lebih tinggi dari landasan kemampuan orang lain. Karena itu, dengan menyerap ilmu yang sama, kemampuan Glagah Putil menjadi lebih tinggi karenanya. Apalagi Glagah Putih telah memiliki berbagai macam ilmu di dalam dirinya. Terakhir ia telah diakui sebagai salah seorang penerus ilmu dan Perguruan Orang Bercambuk.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika Ki Jayaraga menganggap bahwa Glagah Putih telah mampu mewarisi ilmu Ki Jayaraga yang sangat tinggi itu, maka akupun tidak berkeberatan. Anak itu telah pula sampai ke puncak ilmu dari perguruan Ki Sadewa, sementara ia sudah memiliki dasar ilmu dari Perguruan Orang Bercambuk.”
“Aku akan menjajaginya langsung di sanggar,“ berkata Ki Jayaraga. “Jika ternyata wadag dan jiwanya belum matang untuk menerima warisan ilmu itu, maka aku tidak akan memaksanya”
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk.
“Aku juga akan ikut ke sanggar pada kesempatan itu,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Namun kemudian katanya pula, “Tetapi jika Ki Jayaraga sependapat, aku ingin meningkatkan kemampuan Sabungsari. Meskipun tidak sepenuhnya. Aku hanya ingin meningkatkan daya tahannya serta kemampuannya melepaskan tenaga dalamnya. Dengan demikian, maka kemampuan ilmunya seakan-akan telah meningkat pula. Kemampuannya menyerang dengan sorot matanya merupakan modal yang sangat berharga baginya. Meskipun semula Sabungsari berdiri di sisi yang hitam, namun perkembangan wataknya telah menggesernya sehingga ia telah ikut melawan kekuatan hitam itu.”
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Satu rencana yang sangat baik. Angger Sabungsari tentu akan menjadi jemu jika ia harus menunggui Glagah Putih menjalani laku. Namun jika ia sendiri juga meningkatkan kemampuannya dengan cara apapun juga, maka ia akan merasa keberadaannya di Tanah Perdikan ini mempunyai arti pula.”
Ternyata kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu telah sepakat untuk segera mulai dengan peningkatan ilmu sebagaimana telah mereka bicarakan.
Jika keduanya telah bertekad bulat, maka keduanya akan membicarakannya dengan Glagah Putih sendiri. Anak itu harus benar-benar bersiap untuk menerima warisan ilmu yang sangat tinggi itu. Bukan saja kewadagannya, tetapi juga secara jiwani.
Dalam pada itu, selagi keduanya merencanakan untuk melihat kematangan wadag dan jiwa Glagah Putih, maka di Tanah Perdikan Menoreh telah datang pula laporan, bahwa telah dilihat seorang kerdil bersama dengan seorang yang umurnya sudah lebih dari setengah abad, namun masih nampak tegar dengan mata yang bagaikan mata burung hantu.
Karena itu, dengan segera Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede serta menyatakan pendapatnya, agar Ki Gede memerintahkan para pengawal untuk selalu bersiap-siap melebihi yang pernah mereka lakukan.
“Orang-orang itu sangat berbahaya Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu kemudian.
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita tidak mempunyai pilihan lain. Tanah Perdikan ini harus menunjukkan bahwa Tanah Perdikan ini bukan ladang perburuan yang lunak bagi mereka berdua.”
“Terima kasih Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “meskipun sebab dari kekacauan yang akhir-akhir ini timbul di Tanah Perdikan adalah karena kehadiran Glagah Putih dan Sabungsari.”
“Tetapi tanggung jawab atas isi Tanah Perdikan ini tetap ada di tanganku Ngger,“ jawab Ki Gede Menoreh.
“Terima kasih Ki Gede,“ sahut Agung Sedayu. “Selain para pengawal, aku juga akan menyiapkan para prajurit dan Pasukan Khusus. Bagaimanapun juga pasukan itu juga berada di Tanah Perdikan ini. Karena itu maka kami tidak boleh berpangku tangan membiarkan Tanah Perdikan ini dalam kegelisahan.
Sebenarnyalah, ketika Agung Sedayu berada di baraknya, ia telah langsung memberikan perintah untuk menyusun kelompok-kelompok prajurit pilihan yang dapat bergerak setiap saat, khususnya menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Pasukan terpilih dari antara para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah dipersenjatai dengan senjata jarak jauh. Mereka telah dilatih secara khusus untuk dengan cepat mampu mempergunakan busur dan anak panah. Yang lain lembing dan tombak, serta melontarkan pisau belati dari jarak tertentu.
Kepada kelompok terpilih itu Agung Sedayu berkata, “Kalian tidak akan mampu mendekati orang yang berilmu sangat tinggi itu. Selain mereka mampu bermain-main dengan udara panas, mereka pun memiliki ilmu yang dapat menjangkau lawan tanpa menyentuhnya.”
Para prajurit itu segera mengerti, karena mereka pun mengetahui bahwa Agung Sedayu pun mampu melakukannya pula.
Untuk meyakinkan para prajurit dari Pasukan Khusus yang terpilih itu, Agung Sedayu telah memberikan latihan-latihan khusus pula. Mereka pun diperintahkan untuk mempertajam kemampuan bidik mereka, sehingga serangan mereka dari jarak jauh itu akan dapat berarti pula.
Persiapan-persiapan yang sama telah diberikan kepada kelompok-kelompok pengawal pilihan di banjar Tanah Perdikan itu. Glagah Putih dan Sabungsari langsung menangani latihan-latihan itu bersama Prastawa. Dua kelompok pengawal pilihan telah menjalani latihan-latihan yang berat.
Namun dalam pada itu, tanpa disadari, Glagah Putih selalu berada dalam pengamatan Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, untuk menilai apakah ia sudah pantas untuk menerima puncak kemampuan dari perguruan Ki Jayaraga. Namun kehadiran Bajang Engkrek dan Ki Manuhara di Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan telah mendorong Ki Jayaraga untuk dengan segera mengamankan Glagah Putih. Meskipun seandainya Glagah Putih baru akan menguasai dasarnya saja dari Aji Sigar Bumi, namun dasar dari kemampuan ilmu itu dipadu dengan ilmu yang telah dimiliki oleh Glagah Putih yang pernah menjadi sahabat Raden Rangga itu, akan mampu setidak-tidaknya menyelamatkan nyawanya. Ilmu itu di dalam diri Glagah Putih akan berkembang sesuai dengan pengalamannya. Pengalaman kewadagan dan pengalaman kajiwan.
Ketika pada suatu malam Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk di serambi sementara Glagah Putih dan Sabungsari berada di pringgitan maka Ki Jayaraga telah menyampaikan kesimpulan pengamatannya atas Glagah Putih kepada Agung Sedayu.
“Anak itu sudah cukup matang,“ berkata Ki Jayaraga, “aku telah mengujinya di sanggar, sementara apa yang dilakukan sehari-hari juga menunjukkan kematangan jiwanya. Ia segera tanggap atas laporan kehadiran orang kerdil itu di Tanah Perdikan Menoreh. Ia segera menyiapkan dua kelompok pengawal pilihan sebagaimana Angger Agung Sedayu lakukan atas para prajurit dari Pasukan Khusus itu.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya akupun tidak melihat keberatan apapun juga seandainya Glagah Putih itu akan menerima warisan Aji Sigar Bumi. Nampaknya ia memang sudah cukup matang. Satu-satunya persoalan yang menjadi pertimbangan adalah umurnya yang masih muda.”
“Umurnya yang muda itu telah diimbangi dengan kematangan jiwanya. Mungkin Glagah Putih termasuk anak muda yang terlalu cepat dewasa. Tetapi itu sudah terjadi. Selain latar belakang kehidupan anak itu sendiri yang kemudian membentuk sifat dan wataknya, maka pergaulannya dengan Raden Rangga telah ikut serta menentukan perkembangan jiwanya.”
“Jika demikian,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “baiklah kita sekali lagi melihat, tingkat kemampuan kewadagan Glagah Putih di sanggar.”
Demikianlah, sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu maka Glagah Putih telah diminta untuk menunjukkan kemampuan kewadagannya di sanggar. Sabungsari telah dipersiapkan pula untuk menyaksikan, seberapa jauh batas kemampuan Glagah Putih.
Ketika matahari menyusup di batas cakrawala di senja hari, maka Glagah Putih telah bersiap di dalam sanggar. Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Sabungsari telah berada di dalam sanggar itu pula.
Untuk beberapa saat Glagah Putih telah bersiap-siap. Kemudian memusatkan nalar dan budinya untuk memasuki satu latihan yang akan dipergunakan oleh Ki Jayaraga dan Agung Sedayu untuk mengukur batas kemampuan kewadagannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian Glagah Putih pun telah diberi isyarat oleh Ki Jayaraga untuk memulainya.
Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih pun telah memulainya. Kakinya berloncatan dengan tangkasnya, sementara kedua tangannya bergerak dengan mantap. Seolah-olah gerak tangannya telah mampu menggetarkan udara di sekitarnya.
Latihan itu pun berlangsung semakin lama semakin cepat. Namun juga terasa semakin kuat. Keringat pun mulai membasahi tubuh Glagah Putih. Kakinya yang tangkas dan tangannya yang cekatan telah menunjukkan betapa anak muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Ternyata Sabungsari yang ikut menyaksikan latihan itu menjadi heran. Ia sudah cukup lama bersama Glagah Putih dalam kelompok yang diberi nama Gajah Liwung. Berdua mereka telah bersama-sama memasuki arena pertempuran melawan orang-orang berilmu tinggi. Yang terakhir pertempuran di halaman rumah Agung Sedayu, yang menyebabkan Glagah Putih terluka di pundaknya, sehingga ketika luka itu sembuh, bekasnya tidak dapat hilang bersih seperti sediakala. Masih nampak bintik-bintik kecil di pundak Glagah Putih itu. Namun Sabungsari belum pernah melihat tataran ilmu Glagah Putih yang sebenarnya. Baru saat itu ia melihat dengan jelas, betapa anak muda itu sudah mempunyai alas ilmu yang tinggi, lebih tinggi dari dugaannya semula.
Agung Sedayu dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk melihat tingkat kemampuan Glagah Putih. Bahkan di dalam dirinya terpadu unsur-unsur gerak yang bersumber dari beberapa perguruan tanpa saling mengganggu. Bahkan justru saling mendukung. Pada Glagah Putih nampak bahwa ia pernah mewarisi ilmu dari perguruan Ki Sadewa, dari perguruan Orang Bercambuk dan dari perguruan Ki Jayaraga. Sifat-sifat yang agak nakal bahkan nampak juga, karena pengaruh Raden Rangga. Namun dari Raden Rangga pula, Glagah Putih seakan-akan mendapat alas kemampuan yang tinggi.
Agung Sedayu dan Ki Jayaraga membiarkan Glagah Putih untuk berlatih beberapa lama. Bahkan di luar sadar, malam pun telah menjadi semakin dalam. Sehingga ketika terdengar kentongan berbunyi dengan nada dara muluk di tengah malam. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga bersepakat untuk menghentikan latihan itu.
Glagah Putih yang telah melepaskan tenaga yang besar untuk melakukan latihan dengan bersungguh-sungguh, memang mulai menjadi letih. Namun Glagah Putih merasa sedikit berbangga oleh pujian Ki Jayaraga dan Agung Sedayu sebagai gurunya. Apalagi Sabungsari. Dengan jujur ia berkata, “Aku tidak mengira bahwa ternyata ilmumu jauh melampaui kemampuanku. Aku yakin bahwa aku telah mulai lebih dahulu darimu. Namun apa yang aku capai, sama sekali tidak berarti dibanding dengan apa yang telah kau kuasai dalam waktu yang tentu lebih singkat dari waktu yang aku pergunakan. Namun sudah tentu aku tidak heran, bahwa kedua gurumu juga jauh lebih baik dari guruku yang berangkat dari ilmu hitam. Dan beruntunglah aku, bahwa aku tidak terhisap ke dalam anutan hidup yang dianut oleh guruku. Untuk itu aku wajib berterima kasih kepada Agung Sedayu.”
“Ah,“ sahut Agung Sedayu, “yang terjadi sudah lama lewat.”
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat ingkar bahwa ketika ia bertemu dan berusaha menundukkannya, kelebihan Agung Sedayu masih belum terlalu jauh daripadanya. Namun kemudian jarak itu menjadi semakin panjang, dan bahkan Sabungsari tidak lagi tahu perbandingan ilmunya dengan Agung Sedayu, yang rasa-rasanya tidak akan dapat diukur lagi.
Ketika kemudian Ki Jayaraga mempersilahkan Glagah Putih beristirahat, Agung Sedayu berkata, “Besok kami akan melihat kau berlatih di luar. Kami akan mengetahui sejauh mana kekuatan serta daya lontar ilmu yang telah kau kuasai.”
Glagah Putih hanya mengangguk saja. Sebenarnyalah ia ingin tahu, untuk apa ia harus menunjukkan baas kemampuan puncaknya kepada kedua orang gurunya, karena Ki Jayaraga masih belum mengatakan untuk apa ia harus melakukannya.
Namun Ki Jayaraga ternyata agak meragukannya. Ketika mereka kemudian keluar dari sanggar, Ki Jayaraga berkata, “Apakah tidak mungkin Bajang Engkrek itu sempat mengintip latihan itu?”
“Aku kira ia tidak akan mengetahui rencana kita. Kita justru berangkat dari rumah ketika hari masih terang, sehingga kita yakin bahwa tidak ada orang yang mengikuti kita sampai ke lereng bukit yang terasing,“ jawa Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Iapun ternyata sependapat dengan Agung Sedayu, bahwa mereka dapat mengatur agar tidak ada orang yang sempat mengetahui apa yang mereka lakukan di lereng.
Malam itu Glagah Putih masih sempat beristirahat. Setelah mandi dan minum minuman hangat yang disediakan oleh Rara Wulan, maka Glagah Putih pun segera masuk ke dalam biliknya.
Di hari berikutnya, Glagah Putih dan Sabungsari telah berada kembali di antara para pengawal khusus yang dipilih oleh keduanya. Kelompok pengawal yang terpilih itu telah mengadakan latihan-latihan yang berat untuk menghadapi orang berilmu tinggi dengan kelompok mereka. Mereka ditempa untuk memanfaatkan senjata jarak jauh.
“Agaknya kedua orang itu tidak memiliki ilmu kebal sebagaimana Kakang Agung Sedayu,“ berkata Glagah Putih kepada para pengawal itu. Lalu katanya pula, “Karena itu, jika bidikan kalian dapat mengenainya, maka mereka akan terluka. Dengan demikian meskipun kalian tidak memiliki ilmu yang sepadan dengan mereka, namun jika kalian mampu melawan dalam kelompok yang cukup, maka setidak-tidaknya kalian akan dapat mengusirnya, atau bertahan sambil menunggu datangnya bantuan. Tentu saja jika kalian sempat mengirimkan isyarat dengan cara apapun. Dengan kentongan, dengan panah sendaren atau dengan panah api.”
Para pengawal itu memperhatikan dengan sungguh-sungguh semua petunjuk dan pemberitahuan. Juga perintah-perintah. Demikianlah, Glagah Putih dan Sabungsari yang telah tenggelam dalam kesibukan di siang hari itu, maka ketika matahari menjadi semakin rendah, mereka harus sudah bersiap untuk bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga pergi ke punggung perbukitan untuk melakukan latihan-latihan khusus. Terutama bagi Glagah Putih yang tengah diamati kematangan wadag dan jiwanya.
Demikian mereka sampai di punggung bukit, maka Agung Sedayu dan Ki Jayaraga telah meyakini bahwa tidak ada orang yang sempat mengikuti mereka. Karena itu maka sejak menjelang senja, mereka pun telah mempersiapkan diri.
Seperti yang direncanakan, demikian malam turun, Glagah Putih pun segera mulai dengan latihan-latihannya. Seperti ketika ia melakukan latihan di sanggar, mula-mula ia mulai dengan gerakan yang sederhana. Namun kemudian semakin lama semakin cepat. Bahkan sebagaimana disiapkan oleh gurunya, maka Glagah Putih pun memang telah mempersiapkan dirinya untuk sampai pada kemampuan puncaknya.
Ketika saatnya sudah sampai, maka Glagah Putih pun segera mengerahkan segenap kemampuannya. Memusatkan nalar budinya dan mulai dengan penguasaan diri, membangunkan ilmu-ilmu yang telah dikuasainya. Berturut-turut Glagah Putih telah melepaskan serangan dengan mempergunakan puncak kemampuannya atas batu-batu padas yang telah ditunjuk sebagai sasaran oleh Ki Jayaraga.
Gempuran kekuatan ilmu Glagah Putih tanpa menyentuh sasaran telah menggetarkan hati para gurunya. Lebih-lebih lagi Sabungsari. Ia menjadi semakin kagum terhadap anak muda yang hampir setiap hari bersamanya itu. Namun Sabungsari belum pernah mendapat kesempatan untuk menyaksikan puncak kemampuan ilmunya sebagaimana disaksikannya saat itu. Dalam pertempuran ia memang sudah sering melihat kelebihan Glagah Putih. Tetapi tidak secermat saat itu. Bagaimana serangan anak muda itu mampu meruntuhkan batu-batu padas di lereng pegunungan. Suaranya yang gemuruh menunjukkan betapa besar tenaga yang mampu dilontarkan oleh anak muda itu.
Agung Sedayu dan Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang menjadi semakin yakin bahwa Glagah Putih sudah pantas untuk menerima warisan puncak kemampuan ilmu Ki Jayaraga, meskipun Agung Sedayu belum berniat untuk menurunkan puncak ilmu dari Perguruan Orang Bercambuk, yang dikuasainya sebagian besar dari kitab Kiai Gringsing yang ditinggalkan untuk murid-murid utamanya.
Sedikit lewat tengah malam, maka latihan itu pun segera diakhiri. Glagah Putih memang menjadi sangat letih. Namun apa yang telah ditunjukkan kepada kedua gurunya benar-benar telah memberikan kepuasan kepada mereka.
“Marilah. Kita pulang,“ berkata Agung Sedayu kemudian.
Mereka memang tidak banyak bercakap-cakap lagi ketika kemudian menuruni tebing perbukitan. Apalagi Glagah Putih, yang merasa dirinya sedang dinilai oleh kedua orang gurunya.
Seperti malam sebelumnya, maka Glagah Putih pun demikian sampai di rumah langsung pergi ke pakiwan. Keringatnya memang sudah mengering di perjalanan, dalam silirnya angin malam.
Setelah mandi dan berbenah diri, maka Glagah Putih masih sempat minum minuman hangat yang dapat menyegarkan tubuhnya kembali. Kemudian setelah beristirahat sejenak, iapun segera pergi ke biliknya untuk beristirahat di sisa malam itu.
Sabungsari dengan kekaguman di hati telah berada di dalam biliknya pula. Untuk beberapa saat ia masih membayangkan, bagaimana Glagah Putih mampu menggugurkan batu-batu padas di tebing pegunungan dengan suara yang gemuruh.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk di pringgitan. Mereka masih berbincang dengan mendalam tentang rencana mereka untuk mewariskan Aji Sigar Bumi kepada Glagah Putih.
“Kita tidak boleh terlambat,“ berkata Ki Jayaraga.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Apalagi kedua orang yang kita cemaskan itu mulai berkeliaran lagi di Tanah Perdikan Menoreh.”
“Nah, jika demikian bukankah sudah waktunya aku mewariskan ilmu itu kepadanya? Beri waktu kepadaku untuk menuntun Glagah Putih menjalani laku. Ia harus berada di sanggar selama sepuluh hari. Ia hanya boleh keluar untuk minum dan makan di tengah malam. Sebelum fajar, ia harus sudah berada di sanggar kembali. Setelah itu, maka selama tiga hari ia harus pati geni. Baru kemudian ia akan dapat menguasai Aji Sigar Bumi. Laku yang harus dijalani memang berat. Sementara itu, aku harus menyediakan alat-alat untuk melakukan latihan-latihan khusus, membuka ilmu yang sudah ada di dalam dirinya, sehingga akhirnya Aji Sigar Bumi itu benar-benar dikuasainya dan mampu menghimpun ilmu yang telah dimilikinya. Seperti yang aku katakan, ia sudah menguasai landasan serta unsur-unsurnya. Tinggal memilin untuk menjadi semacam janget kinatelon pada juntai cambukmu itu. Meskipun kemampuannya masih belum setingkat dengan janget kinatelon di tangan murid utama Orang Bercambuk.”
“Ah, ilmuku tidak lebih baik dari Aji Sigar Bumi,“ desis Agung Sedayu sambil menggeleng.
Tetapi Ki Jayaraga berkata, “Bukankah kita sudah menjajaginya lewat Ki Manuhara dan Ki Samepa? Seperti dikatakan oleh orang-orang yang tertawan, keduanya adalah saudara seperguruan yang memiliki ilmu yang seimbang. Bahkan mereka memperkirakan bahwa ilmu Ki Samepa masih lebih baik dari ilmu Ki Manuhara.”
“Tetapi aku tidak yakin,“ desis Agung Sedayu, “tetapi sudahlah. Kapan Ki Jayaraga akan memulainya?”
“Biarlah esok Glagah Putih beristirahat. Lusa, lewat senja kami akan mulai memasuki sanggar,“ berkata Ki Jayaraga.
“Baiklah. Besok kita berbicara dengan Glagah Putih. Sementara itu, akupun akan berbicara dengan Sabungsari. Aku tidak akan mengusik ilmunya meskipun mempunyai beberapa persamaan dengan ilmuku. Aku hanya ingin meningkatkan daya tahannya serta kemampuannya meningkatkan pengungkapan tenaga dalamnya, yang nampaknya masih ada hambatan. Agaknya karena Sabungsari ketika wataknya berubah, dasar ilmunya justru menghambat kemajuannya.”
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian kita akan mempunyai tugas kita masing-masing.”
“Tetapi aku hanya akan melakukannya di malam hari, karena di siang hari aku harus berada di barak,“ berkata Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun ia bertanya, “Apakah kau tidak dapat melakukannya di barak Pasukan Khusus itu? Bukankah di barak itu tersedia sanggar tertutup dan sanggar terbuka yang dapat kau pergunakan?”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Rasa-rasanya aku harus banyak berada di rumah di luar tugas-tugasku. Seakan-akan rumah ini sedang dibayangi oleh orang yang Ki Jayaraga sebut Bajang Engkrek dan Ki Manuhara. Jika saja Ki Jayaraga tidak berada di sanggar bersama Glagah Putih, maka aku akan merasa tenang untuk tetap berada di barak. Tetapi selama Ki Jayaraga berada di sanggar bersama Glagah Putih, akan banyak hal yang dapat terjadi. Karena itu, biarlah aku lakukan latihan bersama Sabungsari itu di malam hari. Aku kira dalam waktu yang sama dengan waktu yang diperlukan oleh Glagah Putih, maka daya tahan Sabungsari tentu sudah meningkat. Demikian pula hambatan atas ungkapan tanaga dalamnya akan dapat dikurangi.”
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu memang harus sangat berhati-hati, karena buruan Ki Manuhara itu berada di rumahnya.
Demikianlah, keduanya telah sepakat untuk mulai dengan peningkatan kemampuan Glagah Putih dan Sabungsari meskipun kadarnya tidak sama. Namun peningkatan itu tentu akan memberikan arti bagi keduanya.
Di hari berikutnya, Ki Jayaraga telah membuat persiapan-persiapan terutama di sanggar. Ki Jayaraga telah menyediakan alat-alat yang akan dipergunakan. Karena pada dasarnya, selama Glagah Putih menjalani laku selama sepuluh hari dan pati geni tiga hari, mereka tidak akan keluar dari sanggar kecuali hanya di tengah malam. Itu pun hanya beberapa saat untuk minum dan makan seperlunya. Sebelum fajar mereka harus sudah bersiap kembali untuk melanjutkan laku yang harus dijalani untuk mewarisi Aji Sigar Bumi.
Sementara itu, sebelum Agung Sedayu berangkat ke barak Pasukan Khusus, bersama Ki Jayaraga ia telah memanggil Sabungsari dan Glagah Putih. Dengan jelas keduanya telah menyampaikan maksud mereka untuk meningkatkan kemampuan mereka berdua, meskipun dengan cara yang berbeda, dan bahkan mungkin dalam kadar yang berbeda pula.
Bagi keduanya, tidak ada pilihan lain kecuali mengiyakannya. Bahkan mereka sadar bahwa mereka harus bekerja keras. Mereka tidak dapat dengan bermalas-malas duduk tepekur sambil menunduk dan menyilangkan tangan di dadanya, menerima warisan ilmu yang manapun juga. Apalagi ilmu yang tinggi. Karena itu, maka mereka harus mempersiapkan diri lahir dan batin. Bersedia memeras keringat menjalani laku yang berat. Karena gurunya tidak akan dapat dengan mengelus kepalanya saja, ilmu itu sudah mengalir lewat ubun-ubunnya.
Namun dengan demikian maka selama sedikitnya tiga belas hari sanggar itu tidak akan dapat dipergunakan oleh Rara Wulan. Sehingga Rara Wulan harus berlatih di tempat yang lain.
Tetapi ketika hal itu kemudian dibicarakan oleh seisi rumah, maka tidak seorangpun yang berkeberatan. Apalagi Rara Wulan. Ia sadar bahwa peningkatan ilmu Glagah Putih akan memberikan arti pula kepadanya.
Demikianlah, hari pun merangkak terus, sehingga saat ditentukan bagi Glagah Putih untuk memasuki sanggar itu pun menjadi semakin mendekat.
Yang kemudian menjadi gelisah adalah justru Rara Wulan. Seakan-akan Rara Wulan itu akan melepaskan Glagah Putih untuk pergi berperang melawan orang-orang yang berilmu sangat tinggi.
Tetapi Sekar Mirah selalu menghiburnya. Glagah Putih tentu akan dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang akan dijumpainya dalam laku untuk mewarisi ilmu yang sangat tinggi itu.
Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah benar-benar membenamkan diri di dalam sanggar bersama Ki Jayaraga. Sementara itu seperti janjinya, maka Agung Sedayu pun telah memberikan beberapa petunjuk serta tuntunan, agar Sabungsari mampu membuka hambatan-hambatan yang ternyata masih menghalangi kesempatannya mengungkapkan tenaga dalamnya sepenuhnya.
Dalam pada itu, untuk menyatakan diri keikutsertaannya mendorong agar Glagah Putih berhasil mewarisi Aji Sigar Bumi, maka Rara Wulan pun telah menyampaikan keinginannya kepada Sekar Mirah untuk mempergunakan waktu sebaik-baiknaya. Rara Wulan itu pun akan bekerja keras agar ilmunya dapat segera meningkat. Jika Glagah Putih nanti keluar dari sanggar, maka Rara Wulan pun ingin menunjukkan bahwa ilmunya telah meningkat.
“Kita dapat berlatih di pendapa,“ berkata Sekar Mirah. “Kita akan menutup pintu regol halaman, sehingga latihan-latihan yang kita lakukan tidak nampak dari jalan.”
“Tetapi bagaimana jika ada tamu?“ bertanya Rara Wulan.
“Hanya di malam hari. Di siang hari kita dapat berlatih di halaman belakang,“ jawab Sekar Mirah.
“Bukankah Kakang Sabungsari akan mempergunakan halaman belakang?“ bertanya Rara Wulan itu pula.
“Hanya di malam hari, jika kakangmu Agung Sedayu sudah kembali dari barak,“ jawab Sekar Mirah.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara jantungnya serasa sudah berdegup semakin cepat, seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu hari esok.
Dengan demikian, maka seakan-akan seisi rumah itu telah tenggelam dalam kesibukan olah kanuragan. Siang dan malam, terasa suasana latihan yang bersungguh-sungguh. Bukan saja di sanggar, tetapi juga di halaman belakang. Sementara itu, di siang hari, Sabungsari telah melatih diri sesuai dengan petunjuk dari Agung Sedayu untuk meningkatkan daya tahannya. Untuk itu Sabungsari kadang-kadang berada di dalam biliknya untuk melakukan latihan pernafasan. Namun juga latihan-latihan yang lain yang tidak memerlukan tempat yang luas. Sabungsari kadang-kadang berdiri tegak pada kedua tangannya dengan kaki lurus ke atas. Perlahan-lahan ia harus menekuk sikunya sehingga rambutnya yang disisir dan disanggul rapi itu menyentuh lantai. Beberapa kali ia melakukannya, di samping latihan-latihan yang lain.
Sedangkan di malam hari, Sabungsari berada di halaman belakang bersama dengan Glagah Putih. Latihan-latihan yang dilakukan terasa agak lebih berat, terutama ditujukan untuk membuka ilmunya dan menghilangkan hambatan-hambatan yang terdapat di dalam dirinya, karena ia bertolak dari ajaran ilmu hitam.
“Namun bagaimanapun juga, hasil terakhir memang tergantung kepadamu,“ berkata Agung Sedayu.
Sabungsari menyadari akan hal itu. Karena itu, maka iapun telah mulai usahanya yang dituntun oleh Agung Sedayu itu dengan keterbukaan jiwa. Sabungsari sama sekali tidak menyembunyikan apapun juga kepada Agung Sedayu.
Sementara itu, Rara Wulan pun seakan-akan telah mengerahkan segala kemungkinan yang ada di dalam dirinya untuk menyadap ilmu Sekar Mirah. Seakan-akan Rara Wulan pun telah diburu oleh kesempatan yang sangat sempit.
Meskipun demikian, Rara Wulan tidak pernah lambat menyiapkan minum dan makan bagi Glagah Putih dan Ki Jayaraga di tengah malam. Demikian terdengar kentongan berbunyi dengan nada dara muluk di tengah malam, maka Rara Wulan dan Sekar Mirah telah mempersiapkan segala-galanya.
Sementara itu, Glagah Putih pun dari hari ke hari telah bekerja keras untuk membajakan diri di bawah bimbingan Ki Jayaraga. Tidak ada waktu yang terbuang. Dengan tekad yang bulat Glagah Putih benar-benar telah menjalani laku sebagaimana dikehendaki oleh gurunya.
Waktu pun bergeser terus. Hari ke hari. Malam ke malam. Seisi rumah Agung Sedayu masih saja memeras keringat, bekerja keras untuk menggapai ilmu yang lebih tinggi. Mereka menyadari memang tidak ada jalan lain selain bekerja keras menjalani laku sesuai dengan jalurnya masing-masing.
Yang tidak terlibat ke dalam kerja untuk meningkatkan ilmu dan kemampuan di rumah Agung Sedayu itu adalah pembantunya yang masih menginjak remaja itu. Namun anak itu setiap malam masih saja turun ke sungai untuk membuka dan menutup pliridannya. Bahkan ketika seisi rumah rasa-rasanya tidak ada lagi yang menghiraukannya, maka ia menjadi semakin rajin turun ke sungai.
Namun pada suatu malam, ketika anak itu sedang sibuk membuka pliridannya, seorang yang bertubuh kecil dan pendek telah mendekatinya. Dengan ramah orang itu bertanya, “Kau tinggal di rumah Agung Sedayu?”
“Ya,“ jawab anak itu dengan jujur.
“Siapa saja yang ada di rumah itu?“ bertanya orang bertubuh pendek itu.
Anak itu mulai heran mendengar pertanyaannya. Sambil mengerutkan keningnya ia masih menjawab, “Ki Lurah Agung Sedayu dengan istrinya, seorang gadis yang bernama Rara Wulan, Sabungsari dan Glagah Putih. Di samping seorang tua yang bernama Ki Jayaraga. Tetapi yang namanya Sabungsari dan Rara Wulan itu orang baru di rumah kami.”
Orang pendek itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Masih dengan ramah ia bertanya, “Apa yang mereka kerjakan di rumah Agung Sedayu itu?”
Anak itu menjadi semakin heran. Namun ternyata anak itu lantip juga, sehingga ia tidak lagi menjawab dengan sejujurnya, karena ia mulai merasa pertanyaan orang itu agak mengarah kepada sebuah penyelidikan. Karena itu, maka jawabnya, “Mereka tidak berbuat apa-apa. Ke sawah di siang hari dan tidur di malam hari. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu di siang hari berada di barak Pasukan Khusus, karena ia seorang lurah di barak itu.”
“Tetapi untuk beberapa lama, orang-orang yang kau sebut itu tidak nampak pergi ke sawah. Sekar Mirah juga tidak pernah pergi ke pasar. Glagah Putih dan Sabungsari juga seperti orang bersembunyi. Hanya Agung Sedayu saja yang sering keluar rumah menuju ke baraknya.”
“Mereka memang orang-orang malas. Ki Jayaraga tiba-tiba juga menjadi malas. Setelah ia terluka dalam perkelahian di halaman rumah, maka seakan-akan ia tidak lagi berniat untuk pergi ke sawah. Malas dan selalu minta dilayani. Glagah Putih nampaknya tidak mau kalah, sehingga tiba-tiba iapun tidak mau berbuat apa-apa. Tidak lagi mau menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan. Akhirnya istri Ki Lurah Agung Sedayu menjadi kesal menghadapi semua itu, dan ikut menjadi malas pula.”
“Sudahlah,“ potong orang pendek itu, “siapa yang mengajarimu berbohong seperti itu?”
Anak itu terdiam. Jantungnya memang menjadi berdebar-debar. Namun orang pendek itu masih berkata dengan ramah, “Berkatalah terus terang Anak Manis. Aku tidak mempunyai maksud apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja, karena aku justru merasa cemas kenapa tiba-tiba saja seisi rumah telah mengurung diri.”
Anak itu memang menjadi bingung. Tetapi dengan demikian, maka iapun tidak berniat untuk mengatakan yang sebenarnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Mereka tentu merasa takut.”
“Takut apa?“ bertanya orang pendek itu, “Bukankah musuh-musuhnya sudah dihancurkan? Yang tertawan sudah diserahkan kepada para prajurit dari Pasukan Khusus. Jadi takut apa lagi?“
“Mungkin di antara mereka masih tersisa,“ jawabnya sekenanya saja. Asal ia tidak mengatakan bahwa orang-orang yang ada di rumah Agung Sedayu itu sedang berlatih dengan sungguh-sungguh bahkan siang dan malam.
Tetapi orang bertubuh kecil dan pendek itu mulai terasa tidak ramah. Katanya, “Kau jangan mengada-ada Anak Manis. Katakan, apa yang sedang mereka lakukan? Tentu bukan sekedar bersembunyi.” “Lalu apa yang mereka lakukan?“ anak itu justru bertanya.
“Anak Manis, jangan membuat aku marah. Kau tahu bahwa aku dapat memilin lehermu hingga patah,“ geram orang itu.
Anak itu mulai gemetar. Tetapi ia sudah bertekad untuk tidak mengatakan sesuatu. Apapun yang terjadi atas dirinya.
Karena itu, ketika orang bertubuh pendek itu semakin mendesak, maka anak itu justru terdiam. Ia sama sekali tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang semakin mendesaknya.
“Kenapa kau tiba-tiba menjadi tuli atau bisu? Jawab pertanyaanku!“ bentak orang pendek yang mulai marah itu.
Tetapi anak itu masih tetap diam, sehingga dengan demikian maka orang itu pun menjadi semakin marah karenanya. Dengan kasar orang pendek itu telah menggenggam rambut anak itu. Diguncangnya kepala anak sambil mengulang-ulang pertanyaannya.
Namun anak itu tetap diam.
Karena itu, kemarahan orang itu tidak tertahankan lagi. Sekali dua kali orang itu mulai memukul wajah anak itu. Namun anak itu sama sekali tidak membuka mulutnya.
Dengan kemarahan yang semakin memuncak, di luar sadarnya orang itu telah menghentakkan kekuatannya untuk menyalurkan kemarahannya, sehingga seakan-akan sebuah kekuatan telah meluncur dan menyapu sebagian pematang pliridan itu.
Tiba-tiba anak itu berteriak, “Jangan! Jangan kau rusakkan pliridanku!”
Wajah orang itu menegang. Sambil memegangi rambut anak itu ia berkata, “Nah, jika kau tidak mau pliridanmu rusak, katakan. Apa yang dilakukan orang-orang yang berada di rumah Agung Sedayu. Apakah mereka sedang mempersiapkan sebuah jebakan? Atau mereka sedang menyusun kekuatan dengan mendatangkan orang-orang baru?”
Tetapi anak itu kembali terdiam. Betapapun orang pendek itu mengguncang kepalanya, namun anak itu tetap tidak membuka mulutnya.
“Kenapa kau diam saja? Apakah kau sudah ingin mati? Sayang, umurmu belum seberapa panjang. Belum banyak yang sempat kau lihat, jangan mati lebih dahulu.”
Anak itu mulutnya bagaikan membeku.
Dengan geram orang pendek itu telah mengayunkan tangannya. Pematang pliridan itu bagaikan tersapu. Hampir sebagian besar. Namun anak itu tidak berteriak lagi. Bahkan anak itu telah menjadi semakin lemas. Ketika orang pendek itu memukul wajah anak itu sekali lagi dengan telapak tangannya, maka anak itu menjadi pingsan.
Orang kerdil itu mengumpat kasar. Dilemparkannya anak itu ke tepian sambil berkata, “Jika umurmu pendek, matilah di situ. Tetapi jika kau masih akan hidup, kau akan sadar sendiri.”
Sejenak kemudian, maka orang kerdil itu telah melangkah meninggalkan anak itu terbaring di tepian. Separo tubuhnya terendam air, sedangkan dada dan kepalanya tergolek di atas pasir tepian yang basah.
Anak itu tidak tahu berapa lama ia terbaring. Ia menjadi sadar setelah ia berada di rumah. Beberapa orang kawannya berdiri di sisi pembaringannya, sementara Agung Sedayu duduk di bibir amben sambil membawa mangkuk obat yang telah di teteskan ke dalam mulutnya, sehingga ia segera dapat sadar kembali.
Demikian anak itu sadar, maka Agung Sedayu pun berkata kepada kawan-kawannya yang menemukan anak itu terbaring di tepian dan mengantarkannya pulang. “Nah, anak itu sudah sadar. Terima kasih atas pertolongan kalian. Sekarang kalian boleh pulang. Nanti orang tua kalian mencari kalian.”
“Kami masih akan ke sungai untuk menutup pliridan kami,“ jawab salah seorang di antara mereka.
Tetapi Agung Sedayu berkata, “Sebaiknya malam ini kalian tidak usah turun ke sungai. Agaknya sesuatu yang tidak diinginkan telah terjadi di sungai sehingga anak itu mengalami nasib yang buruk. Untunglah kalian segera menolongnya, sehingga ia segera dapat diselamatkan.”
Anak-anak itu mengangguk-angguk. Seorang yang umurnya sebaya dengan pembantu di rumah Agung Sedayu itu berkata, “Sebaiknya kita memang tidak usah kembali ke sungai.”
Sambil menepuk bahu anak itu, Agung Sedayu berkata, “Bagus. Sebaiknya kalian memang pulang saja. Anak ini telah menjadi pingsan, dan menurut cerita kalian, pliridannya telah menjadi rusak. Tentu ada yang merusakkan. Karena itu, lebih baik kalian malam ini langsung pulang saja dan memberitahukan kepada orang tua masing-masing. Jika kalian lewat gardu perondan, katakan kepada anak-anak muda yang meronda, bahwa kalian telah menemukan anak ini pingsan di tepian.”
“Untuk apa?“ bertanya salah seorang anak.
“Biarlah mereka tahu kejadian ini. Dengan demikin mereka akan berjaga-jaga agar tidak terjadi peristiwa seperti ini,“ berkata Agung Sedayu.
“Apakah mereka akan pergi ke sungai?“ bertanya anak itu.
“Mungkin tidak. Tetapi mereka setidak-tidaknya akan mengawasi jalur-jalur jalan penyeberangan, meskipun orang yang merusak pliridan dan menyakiti anak ini tidak akan lewat melalui jalur jalan itu.”
Anak-anak itu mengangguk-angguk. Namun kemudian mereka pun segera meninggalkan rumah Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu berkata, “Tolong Sabungsari, sebaiknya kau antar anak-anak itu.”
“Tidak usah,“ jawab anak yang terbesar di antara mereka, “bukankah kami tidak hanya sendiri?”
“Siapakah yang terakhir?“ bertanya Sabungsari.
“Tiga orang di antara kami rumahnya sangat berdekatan,“ jawab anak yang terbesar.
“Tetapi sebaiknya aku mengantar kalian,“ sahut Sabungsari.
“Di sudut halaman rumahku ada gardu ronda,“ jawab anak terbesar itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi kalian harus berhati-hati.”
Ternyata anak-anak merasa lebih baik pulang tanpa harus diantarkan oleh siapapun juga. Dengan demikian mereka akan dianggap sebagai laki-laki sejati, tanpa mengetahui bahaya yang dapat mengancam mereka.
Namun ternyata bahwa orang kerdil itu benar-benar telah pergi dari padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa saat kemudian, anak yang pingsan itu telah nampak menjadi semakin baik. Namun di wajahnya nampak noda-noda kebiru-biruan di beberapa tempat. Bahkan sebelah matanya menjadi merah dan sedikit membengkak.
“Apa yang telah terjadi?“ bertanya Agung Sedayu.
Anak itu pun kemudian telah bercerita apa yang diingatnya, sehingga pada suatu saat matanya menjadi gelap dan iapun menjadi kehilangan seluruh kesadarannya. Pingsan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada lembut iapun berkata, “Terima kasih atas ketabahan hatimu sehingga kau tidak mengatakan apa-apa tentang isi rumah ini.”
“Aku memang tidak tahu apa-apa,“ berkata anak itu sendat.
“Aku menganggap bahwa kau mengerti serba sedikit apa yang kami lakukan di sini. Tetapi kau telah dengan tabah tidak mau mengatakan apa yang kau ketahui itu. Besok, jika Glagah Putih telah selesai, ia akan membantumu memperbaiki pliridan. Paman Sabungsari tentu juga bersedia membantumu, sehingga pliridanmu akan menjadi semakin baik. Pematangnya semakin kuat, dan pliridan itu akan menjadi semakin panjang dan semakin lebar.”
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih.”
“Sekarang kau harus beristirahat. Tidurlah. Mudah-mudahan kau segera sembuh. Aku akan membuat obat untukmu,“ berkata Agung Sedayu.
Anak itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil.
Agung Sedayu yang menghentikan latihan yang dilakukannya bersama Sabungsari telah duduk di pringgitan bersama Sabungsari, Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sementara itu Glagah Putih dan Ki Jayaraga yang berada di sanggar tidak mengetahui apa yang telah terjadi dengan anak itu. Bahkan kemudian Agung Sedayu pun berpesan kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, apabila mereka menyediakan makan dan minum bagi mereka yang ada di sanggar, untuk tidak mengatakan peristiwa yang menimpa anak yang menjadi pembantu di rumah Agung Sedayu itu.
“Ternyata mereka masih berkeliaran di sekitar padukuhan induk Tanah Perdikan ini,“ berkata Sabungsari.
“Ya. Dan itu sangat berbahaya,“ sahut Agung Sedayu, “terhadap anak-anak saja ia dapat bertindak kasar. Apalagi terhadap orang tua. Karena itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun harus berhati-hati. Orang itu memang tidak berjantung.”
Sekar Mirah dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka memang merasa ngeri, seandainya mereka jatuh ke tangan orang-orang itu. Yang terjadi tentu di luar kemungkinan yang dapat dibayangkan oleh orang banyak.
Namun dengan demikian, maka peristiwa itu justru telah mendorong orang-orang yang tinggal di rumah itu untuk meningkatkan ilmu mereka. Sabungsari pun telah bekerja lebih keras untuk membuka hambatan yang terdapat di dalam dirinya, sehingga tenaga dalamnya tidak dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Pada satu batasan tertentu, tenaga dalamnya itu justru terasa menghalangi kemampuannya. Karena itu, maka Sabungsari itu tidak dapat memanfaatkan tenaga cadangan di dalam dirinya sampai tuntas.
Namun setelah mengadakan latihan-latihan sesuai dengan petunjuk Agung Sedayu, serta hampir di setiap malam Sabungsari justru mengadakan latihan bersama Agung Sedayu itu sendiri, maka lambat laun hambatan di dalam dirinya itu terasa makin lama semakin tipis. Apalagi berbareng dengan itu, Sabungsari semakin meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar tidak akan pernah bersentuhan lagi dengan sikap dan keyakinan yang mula-mula hadir di dalam dirinya, di dalam lingkungan ilmu hitam.
Laku kewadagan dan kajiwan yang dijalankannya itu benar-benar telah membuka hambatan yang untuk beberapa lama rasa-rasanya teiah menghalangi penggunaan tenaga dalamnya.
Pertentangan antara sumber ilmunya dan sikapnya kemudian, merupakan salah satu sebab, bahwa ia tidak dapat membuka ilmunya seluas-luasnya. Karena itu, ketika ia sampai pada satu tataran yang menghampiri kemampuan puncaknya dalam ungkapan ilmunya, maka Sabungsari merasa sangat berterima kasih kepada Agung Sedayu.
“Mudah-mudahan di hari-hari terakhir, kau benar-benar dapat melepaskan diri dari hambatan yang betapapun kecilnya,“ berkata Agung Sedayu, ketika hari-hari yang ditentukan hampir berakhir.
Sepuluh hari telah lewat. Glagah Putih telah memasuki tahap terakhir dari peningkatan ilmunya sehingga ia akan dapat mewarisi Aji Sigar Bumi sepenuhnya, meskipun masih harus dikembangkannya sehingga benar-benar akan menjadi kekuatan yang jarang ada tandingnya.
Sementara itu, Agung Sedayu telah melarang anak yang tinggal di rumahnya itu untuk turun ke sungai. Meskipun anak itu kadang-kadang nampak kecewa, namun anak itu telah mematuhinya. Setiap kali Agung Sedayu selalu menghiburnya.
“Pada saatnya kita akan bersama-sama turun ke sungai membuat pliridan yang lebih besar dan lebih panjang dari pliridanmu itu. Bukankah tempatnya cukup memungkinkan?”
Anak itu mengangguk-angguk. Namun kadang-kadang ia bertanya meskipun kepada diri sendiri, kapan? Jika pliridan rusak itu dibiarkannya, maka orang lain yang akan memperbaikinya, dan selanjutnya pliridan itu akan dianggap sebagai miliknya tanpa menghiraukan pemilik sebelumnya.
Namun anak itu memaksa diri untuk menunggu. Apalagi sebenarnya iapun agak menjadi takut kepada orang bertubuh pendek itu. Jika sekali lagi orang itu menemuinya dan ia masih juga tetap diam, maka mungkin ia akan benar-benar mati di tepian sungai itu, atau bahkan telah dihanyutkannya.
Tetapi menunggu itu rasa-rasanya memang terlalu lama, sehingga anak itu memang menjadi kesal.
Sementara itu yang dilihatnya siang dan malam di halaman belakang dan bahkan di pendapa adalah orang-orang yang berlatih olah kanuragan. Demikian pula yang diketahuinya, di sanggar Glagah Putih justru telah sampai puncak lakunya.
Anak itu memang menjadi kesal, justru karena ia tidak terlibat dalam latihan-latihan olah kanuragan itu. Namun ia tidak dapat mengatakan bahwa sebenarnyalah ia ingin ikut berlatih apa saja. Bukan sekedar untuk mengusir kejemuan, tetapi ia memang ingin menjadi seorang yang kuat. Namun ia masih belum tahu, untuk apa ia ingin menjadi kuat. Yang ada di angan-angannya dalam umurnya, ia dapat menang melawan siapa saja.
Dalam pada itu, selama hari-hari menempa diri, seisi rumah itu seakan-akan memang terpisah dari pergaulan di padukuhan induk itu. Hanya Agung Sedayu saja-lah yang sering nampak keluar halaman rumahnya menuju ke barak, atau sekali-sekali menuju ke rumah Ki Gede untuk mengadakan pembicaraan tentang keadaan Tanah Perdikan. Namun Ki Gede dan Prastawa mengetahui, apa yang sedang dilakukan oleh seisi rumah Agung Sedayu itu.
Karena itu, maka mereka tidak pernah mempersoalkan bahwa Glagah Putih untuk beberapa lama tidak berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan itu.
Sekar Mirah dan Rara Wulan pun tidak lagi sering tampak di pasar, atau pergi ke sawah membawa makanan buat Ki Jayaraga. Apalagi Ki Jayaraga sendiri, seakan-akan telah menghilang.
Orang-orang Tanah Perdikan itu memang menduga, bahwa Glagah Putih dan tamunya yang bernama Sabungsari masih harus berhati-hati. Apalagi orang-orang Tanah Perdikan itu tahu, bahwa pemimpin sekelompok orang yang mencari kedua orang itu masih belum berhasil ditangkap.
Sementara itu, orang kerdil itu menjadi penasaran. Ia ingin tahu apa yang terjadi di halaman rumah itu. Namun demikian, orang itu masih juga ragu-ragu, bahwa ia akan terjebak ke dalam satu keadaan yang tidak dapat dielakkan lagi.
Kebimbangan orang bertubuh pendek yang menyebut dirinya Bajang Bertangan Baja itu, ternyata telah menghambat niatnya untuk melihat langsung ke halaman rumah Agung Sedayu. Namun ia sadar sepenuhnya bahwa di rumah itu tinggal beberapa, setidak-tidaknya ada dua, orang yang berilmu sangat tinggi. Seorang yang mampu membunuh Ki Samepa, dan seorang lagi yang mampu mengimbangi ilmu puncak Ki Manuhara.
Sementara itu Ki Manuhara, menurut Bajang Bertangan Embun yang mengobatinya, agaknya kemampuannya belum pulih seutuhnya. Agaknya kekuatan dan daya kemampuan obatnya masih tertinggal beberapa lapis dari obat yang dibuat oleh Agung Sedayu berdasarkan ilmu dari Perguruan Orang Bercambuk.
Karena itu maka kesembuhan Ki Jayaraga berlangsung agak lebih cepat dari Ki Manuhara yang ditangani oleh Bajang Bertangan Embun itu. Namun sebenarnyalah bahwa Bajang itu memang agak menghambat kesembuahannya, untuk tetap mengikat Ki Manuhara pada pengaruhnya.
Ki Manuhara yang telah menjadi semakin baik itu memang merasa agak terikat pada Bajang Bertangan Baja, yang juga disebut Tabib Bertangan Embun. Ki Manuhara ingin ilmunya segera dapat pulih kembali, demikian pula dukungan wadagnya. Namun setiap kali Bajang itu berkata kepadanya, “Kau harus bersabar Ki Manuhara. Dalam waktu dekat segalanya akan putih kembali. Tidak akan terhitung pekan. Tetapi hanya terhitung hari.”
“Sejak kapan kau berkata seperti itu?“ desis Ki Manuhara, “Sudah terlalu lama aku bersabar. Atau kau sengaja mengganggu kesembuhanku karena kau takut aku membunuhmu?“ geram Ki Manuhara.
“Bukankah sejak semula aku mengatakan bahwa aku sama sekali tidak takut kepadamu? Buat apa aku menghambat kesembuhanmu?“ Bajang Bertangan Baja itu justru bertanya.
Ki Manuhara memang harus lebih banyak mengalah. Namun di hari-hari terakhir Ki Manuhara merasa bahwa segala-galanya telah pulih kembali.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih telah memasuki hari terakhir dari laku yang dijalaninya. Hari-hari yang berat karena Glagah Putih yang harus menjalani laku pati geni itu sudah hampir selesai. Ketika malam mulai turun, maka Glagah Putih benar-benar sudah sampai ke puncak lakunya. Meskipun selama tiga hari tiga malam ia tidak makan sama sekali, kecuali minum hanya seteguk air di siang hari dan seteguk di malam hari, namun di malam terakhir, Glagah Putih masih menunjukkan bahwa secara wadag ia benar-benar sudah matang untuk mewarisi Aji Sigar Bumi.
Sebenarnyalah malam itu segala-galanya menjadi tuntas. Glagah Putih telah mampu membuka diri untuk melepaskan kekuatan Aji Sigar Bumi. Di dalam sanggar tertutup itu, menjelang ayam berkokok untuk yang terakhir kalinya, Glagah Putih berdiri tegak sambil memusatkan nalar budinya. Beberapa langkah di hadapannya terletak sebongkah batu hitam. Dengan isyarat, Ki Jayaraga mempersilahkan Glagah Putih untuk melepaskan Aji Sigar Bumi. Tidak dengan sasaran batu padas, tetapi batu hitam yang telah dipersiapkan sebelumnya. Batu yang diangkat oleh beberapa orang ke atas pedati dan di bawa ke sanggar itu.
Tidak seorangpun dari antara mereka yang mengangkut batu itu tahu, untuk apa sebenarnya batu sebesar itu dibawa masuk ke dalam sanggar.
Namun menjelang fajar setelah saat-saat terakhir Glagah Putih menjalani laku, maka batu itu akan merupakan alat pendadaran. Apakah Glagah Putih memang mampu mewarisi ilmu yang sangat dahsyat itu.
Dalam pada itu, bersamaan dengan fajar yang lahir menjelang hari baru, Glagah Putih telah memusatkan nalar budinya, menelakupkan kedua telapak tangan di depan dadanya. Kedua telapak tangan yang menelakup itu kemudian nampak bergetar. Selapis tipis nampak asap mengepul. Namun kemudian Glagah Putih itu menghentakkan sebelah kakinya ke depan sambil membuka kedua telapak tangannya, menghadap ke arah batu itu dengan menghentak pula. Satu kakinya condong ke depan, yang lain sedikit ditekuk pada lututnya, dan kedua telapak tangannya menghadap ke sasaran. Dan lepaslah Aji Sigar Bumi. Batu hitam itu seakan-akan telah meledak dan pecah berserakan. Meskipun ledakan itu tidak terlalu keras dan tidak mengejutkan orang-orang yang berada di luar sanggar, namun akibat yang nampak di hadapan Glagah Putih adalah dahsyat sekali. “Bagus!“ teriak Ki Jayaraga di luar sadarnya. Ia yakin, bahwa Glagah Putih telah benar-benar mampu mewarisi ilmunya yang jarang ada duanya itu.
Namun dalam pada itu, ia melihat keadaan wadag Glagah Putih yang sangat lemah. Wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi gemetar.
“Glagah Putih,“ desis Ki Jayaraga.
Mata Glagah Putih menjadi berkunang-kunang. Namun Glagah Putih masih tetap berdiri meskipun agak goyah.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengalaminya ketika ia menerima warisan itu dari gurunya. Bahkan saat itu ia hampir menjadi pingsan karenanya.
“Duduklah,“ berkata Ki Jayaraga.
Glagah Putih kemudian telah duduk di sebuah balok kayu yang ada di sanggar itu. Namun Ki Jayaraga pun kemudian menggandengnya dan membawanya duduk di atas amben bambu di sudut sanggar itu sambil berkata, “Kau dapat mengatur pernafasanmu. Kemudian kita akan keluar dari sanggar ini. Kau telah selesai dengan laku yang harus kau jalani.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam sambil menjawab, “Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga Guru, atas kepercayaan Guru mempercayaiku menerima warisan Aji Sigar Bumi.”
Ki Jayaraga tidak menjawab. Namun ia mengulangi, “Beristirahatlah. Atur pernafasanmu.”
Glagah Putih pun kemudian telah menyilangkan kedua kakinya. Kedua tangannya diletakkannya di atas lututnya. Sambil menunduk dan memejamkan matanya, iapun telah mengatur pernafasannya. Namun kemudian kedua tangannya itu terjulur ke depan, baru kemudian sikunya ditariknya ke belakang dengan telapak tangan menengadah. Namun dengan gerakan khusus telapak tangan itu pun ditelungkupkannya dan merendah perlahan-lahan, bersamaan dengan tarikan nafas panjang.
Dalam pada itu, pada saat-saat menjelang fajar, Rara Wulan telah sibuk. Gadis itu telah menyiapkan abu merang yang kemudian direndam di dalam air. Air yang telah disisihkan dari endapannya, telah disediakan bagi Glagah Putih yang akan mandi keramas, setelah menjalani laku selama sepuluh hari ditambah tiga hari pati-geni.
Pada saat Rara Wulan sibuk itulah, dari tempat yang gelap menjelang fajar, dua orang telah mengintip ke halaman belakang rumah Agung Sedayu itu. Bajang Engkrek yang penasaran telah mengajak Ki Manuhara untuk melihat, apa yang telah terjadi di halaman rumah itu, karena beberapa orang penghuninya untuk beberapa lama tidak nampak keluar dari halaman rumah itu.
Namun yang dapat dilihat oleh kedua orang itu adalah seorang gadis yang sedang menyiapkan landa merang.
“Untuk apa Rara Wulan menyiapkan landa merang sepagi ini? Tentu tidak akan dipergunakannya sendiri. Jika ia akan mandi keramas, tentu tidak perlu dini hari menyiapkan abu merang itu,“ berkata Bajang Bertangan Baja itu.
“Kau kenal gadis itu?“ bertanya Ki Manuhara.
“Nah, sekarang aku akan berkata sebenarnya kepadamu, kenapa aku telah menawarkan satu kerjasama kepadamu. Ketika aku mulai mengobatimu, aku sudah berkata bahwa aku ingin bekerja bersama untuk melakukan tugas kita masing-masing, namun yang saling berkaitan. Kau mendendam kedua orang anak muda itu, sementara aku mendapat beban tugas untuk mengambil gadis itu.”
“Mengambil gadis itu? Untuk apa?“ bertanya Ki Manuhara.
“Seseorang memerlukan gadis itu,“ jawab Bajang Bertangan Baja itu.
“Siapa?“ bertanya Ki Manuhara pula.
“Aku masih belum dapat mengatakannya sekarang,“ desis Bajang Engkrek itu.
Namun mereka telah terdiam ketika mereka mendengar sebuah ledakan. Memang tidak terlalu keras. Namun yang menggetarkan hati mereka adalah justru salah sebuah bangunan yang ada di halaman belakang rumah Agung Sedayu itu berguncang.
“Menurut pendapatmu apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Manuhara.
“Bangunan itu tentu sebuah sanggar,“ jawab Bajang Bertangan Baja itu.
Ki Manuhara mengangguk-angguk. Namun ia bertanya lagi, “Kenapa sanggar itu berguncang?”
“Tentu telah dilakukan latihan oleh orang berilmu sangat tinggi,“ jawab Bajang itu.
“Aku kira juga demikian,“ desis Ki Manuhara.
“Nah, siapa menurut dugaanmu?“ bertanya Bajang Bertangan Baja itu.
“Orang yang telah membenturkan ilmunya melawan ilmuku. Agaknya ia juga baru saja sembuh. Di dalam sanggar itu ia ingin membuktikan apakah ilmunya sudah utuh kembali,“ jawab Ki Manuhara sambil mengerutkan keningnya, justru karena ia telah mencoba menilai dirinya sendiri.
Namun tiba-tiba Bajang itu berkata, “Jika demikian, apakah ia memerlukan abu merang?”
“Mungkin tidak ada hubungannya dengan landa merang itu. Tetapi mungkin orang itu telah berpesan untuk menyiapkan abu merang demikian ia selesai menguji dirinya sendiri,“ berkata Ki Manuhara.
Bajang itu tidak menjawab lagi. Sebenarnya ia ingin tahu, siapakah yang akan keluar dari sanggar itu. Namun agaknya langit telah menjadi semakin terang, sehingga mereka tidak dapat menunggu lebih lama lagi, karena penghuni rumah itu akan dapat melihat mereka. Apalagi di rumah itu tinggal beberapa orang berilmu tinggi.
Karena itu, dengan kecewa maka Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara itu pun segera meninggalkan tempat persembunyian mereka, tanpa mengetahui dengan jelas apa yang telah terjadi di halaman rumah Agung Sedayu itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sabungsari memang tidak melakukan latihan setelah lewat tengah malam di hari itu. Mereka telah membantu menyiapkan segala sesuatunya menjelang saat-saat terakhir bagi Glagah Putih yang menjalani laku itu.
Namun dalam pada itu, Sabungsari pun telah hampir selesai pula. Ia sudah mampu membuka hambatan yang telah menghalangi kemampuannya untuk mengungkapkan tenaga cadangannya sampai tuntas. Menurut Agung Sedayu, Sabungsari masih memerlukan tiga empat hari lagi untuk menuntaskan usahanya, meskipun pada hari terakhir bagi laku Glagah Putih itu, sudah terasa kemampuan ilmu Sabungsari dengan landasan tenaga dalamnya sudah meningkat dari sebelumnya.
Pagi itu, ketika matahari menguak keremangan fajar, Glagah Putih benar-benar telah selesai seutuhnya. Dengan tubuh yang sangat lemah, Glagah Putih telah dibimbing keluar dari sanggar oleh Ki Jayaraga. Namun demikian pintu terbuka, maka Glagah Putih telah berusaha berjalan sendiri.
Yang dilakukan oleh Glagah Putih mula-mula adalah mandi dengan air yang segar di dinginnya udara pagi. Dengan demikian maka Glagah Putih pun merasakan tubuhnya menjadi segar, meskipun ia masih saja merasa tubuhnya itu sangat lemah.
Dengan landa merang Glagah Putih telah mandi keramas sehingga rambutnya bersih. Bukan saja rambutnya, tetapi keramas telah memberikan pengaruh jiwani, bahwa Glagah Putih telah menyiapkan dirinya untuk melakukan kewajibannya dengan hati yang bersih.
Baru kemudian setelah berbenah diri, berpakaian rapi dan menyanggul rambutnya Kadal Menek, maka Glagah Putih pun kemudian telah duduk di ruang dalam. Demikian pula Ki Jayaraga yang juga ikut mandi keramas pula, telah duduk bersama-sama dengan Glagah Putih, Agung Sedayu, Sabungsari, Sekar Mirah dan Rara Wulan.
“Minumlah Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu.
“Rara Wulan telah membuat minuman khusus buatmu,“ desis Sekar Mirah sambil memandang Rara Wulan sekilas.
Gadis itu hanya menundukkan wajahnya saja. Ia sama sekali tidak menjawab.
Glagah Putih yang tubuhnya lemah sekali itu telah menghirup minuman hangat. Wedang sere dengan gula kelapa.
Rasa-rasanya minuman hangat itu telah mengalir menyusuri urat-urat darahnya ke seluruh tubuhnya, sehingga tubuhnya pun menjadi semakin segar. Dan baru kemudian, Rara Wulan menghidangkan makan pagi bagi Glagah Putih. Nasi yang ditanak lembut.
Ternyata Glagah Putih pun mengerti bahwa ia tidak boleh makan terlalu banyak. Hanya beberapa suap nasi lembut saja, agar perutnya tidak justru sakit setelah mengalami pati geni tiga hari tiga malam. Namun rasa-rasanya kekuatannya, yang seakan-akan terhisap habis dalam menjalani laku itu, mulai tumbuh kembali. Perlahan-lahan. Tetapi Glagah Putih yakin, bahwa dalam waktu singkat ia akan pulih kembali, sebagaimana dikatakan oleh gurunya.
Ki Jayaraga pun kemudin seakan-akan memberikan laporan kepada Agung Sedayu, “Semuanya telah berjalan sesuai dengan rencana Ngger. Glagah Putih telah mampu mewarisi Aji Sigar Bumi sebagaimana yang kita inginkan.”
“Aku mengucapkan selamat, Glagah Putih,“ desis Agung Agung Sedayu.
“Terima kasih Kakang,“ jawab Glahgah Putih.
“Kau harus menyadari arti dari peristiwa pewarisan Aji Sigar Bumi itu. Dengan demikian maka kau harus bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan tingkat ilmu yang telah kau warisi. Ilmu yang kau warisi itu akan memberikan arti yang sebesar-besarnya dan sebaik-baiknya, jika setiap langkahmu kau landasi dengan niat yang baik. Baik, dalam pengertian yang luas, Bukan sekedar baik bagi dirimu sendiri. Karena sebenarnyalah kau harus mempertanggung jawabkan semua tingkah lakumu selama hidupmu kepada Sumber Hidupmu itu.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Hampir tidak terdengan ia menjawab, “Ya Kakang, Aku mengerti.”
Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Dengarlah baik-baik pesan kakakmu itu. Barangkali ada gunanya jika aku mengulangi cerita yang pernah aku ceritakan. bahwa tidak ada seorangpun dari murid-muridku yang terdahulu memenuhi harapanku. Hampir semuanya telah menempuh jalan sesat. Mungkin benar dugaan kakakmu, bahwa aku terlalu cepat memberikan kemampuan yang tinggi kepada murid-muridku, sebelum jiwanya menjadi dewasa, meskipun umurnya sudah lebih dari sepertiga abad. Sehingga akhirnya salah memanfaatkan ilmunya itu.”
Glagah Putih hanya menunduk saja. Tetapi semuanya itu didengarnya dengan baik. Meskipun nasehat seperti itu pernah didengarnya sebelumnya, namun Glagah Putih tidak pernah merasa jemu untuk mendengarnya sekali lagi dan sekali lagi.
Demikianlah, setelah berbincang-bincang sejenak, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Beristirahatlah. Kau baru saja menyelesaikan laku yang berat. Karena itu maka kau perlu beristirahat secukupnya. Mudah-mudahan setelah beristirahat, kau akan menjadi segar, dan segala-galanya akan pulih kembali.”
“Baik Kakang,“ jawab Glagah Putih, “aku memang merasa sangat letih.”
Sementara Glagah Putih kemudian beristirahat di biliknya, maka Agung Sedayu pun berkata kepada Ki Jayaraga, “Selama Ki Jayaraga masih berada di sanggar, menjelang fajar, aku telah melihat dua orang yang mencoba untuk mengintip apa yang terjadi di halaman rumah ini.”
(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Akupun yakin akan hal itu. Pengalaman dan landasan yang dimilikinya akan memungkinkannya. Bahkan tentu tidak akan terlalu lama.”
“Aku harap ilmu itu akan dapat menjadi bekal baginya menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang buruk, karena hadirnya orang-orang yang tiba-tiba saja telah memburunya.”
“Sementara itu aku masih memerlukan dua tiga hari lagi bersama Sabungsari,“ berkata Agung Sedayu kemudian.
Ki Jayaraga pun mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya kabut masih akan meliputi Tanah Perdikan ini.”
“Bukan hanya Tanah Perdikan ini,“ sahut Agung Sedayu, “tujuan mereka tentu Mataram. Jika mereka datang ke Tanah Perdikan, itu justru karena mereka memburu Sabungsari dan Glagah Putih.”
Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Iapun sependapat dengan Agung Sedayu bahwa persoalannya ada pada Sabungsari dan Glagah Putih. Namun persoalannya tentu tidak sendiri. Kehadiran Ki Manuhara di Mataram tentu bukan karena Sabungsari dan Glagah Putih. Demikian pula rencana mereka untuk mengacaukan Mataram, pada saat Mataram menyelenggarakan semacam lomba bagi anak-anak muda.
Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah mempersilahkan Ki Jayaraga untuk beristirahat. Sementara Agung Sedayu sendiri akan pergi ke baraknya, karena ia tidak dapat meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang Lurah Prajurit.
“Hati-hatilah kau di rumah,“ pesan Agung Sedayu kepada Sabungsari, “jika terjadi sesuatu, beritahukan kepada Ki Jayaraga. Apalagi jika orang kerdil bersama Ki Manuhara itu kembali kemari, sebagaimana aku lihat semalam.”
“Baiklah,“ jawab Sabungsari, “mudah-mudahan mereka bersabar menunggumu,“ jawab Sabungsari.
“Siapa?“ bertanya Agung Agung Sedayu.
“Orang kerdil itu,“ jawab Sabungsari pula sambil tersenyum.
Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi mudah-mudahan aku tidak bertemu dengan mereka berdua di perjalanan menuju ke barak.”
“Apakah kau akan membawa kentongan?“ bertanya Sabungsari sambil tertawa pula.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja tertawa.
Demikianlah, setelah minta diri kepada Sekar Mirah, maka Agung Sedayu pun telah meninggalkan rumahnya menuju ke barak Pasukan Khusus yang dipimpinnya.
Di rumah Sabungsari tidak hanya berdiam diri. Tetapi iapun telah mempersiapkan diri untuk berlatih sendiri. Namun Sabungsari tidak berlatih di dalam sanggar, meskipun sanggar itu telah tidak dipergunakan lagi oleh Glagah Putih. Apapagi karena pesan Agung Sedayu, bahwa ia harus berhati-hati. Dua orang telah mengintip keadaan rumah itu semalam.
Karena itu, Sabungsari justru berlatih di dalam biliknya. Hanya latihan pernafasan dan latihan-latihan ringan untuk menunjang ketahanan tubuhnya.
Namun ketika kemudian Ki Jayaraga telah keluar dari biliknya, maka Sabungsari justru mulai memasuki sanggar dan berlatih seorang diri. Laku yang telah dijalaninya telah menuntunnya membuka hambatan penggunaan tenaga dalamnya hampir tuntas.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, ia masih memerlukan waktu dua atau tiga hari lagi. Namun kemajuan yang dicapainya selama Glagah Putih berada di sanggar itu telah menunjukkan hasilnya.
Lewat tengah hari, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan telah telah nenyiapkan makan siang tanpa menunggu Agung Sedayu, karena Agung Sedayu biasanya pulang menjelang sore hari. Agung Sedayu biasanya makan siang di barak Pasukan Khusus.
Setelah makan siang, maka keadaan Glagah Putih menjadi semakin segar pula. Kekuatannya telah berangsur pulih kembali, meskipun ia masih merasa sangat letih.
“Kau memerlukan waktu Glagah Putih,“ berkata Ki Jayaraga, “mudah-mudahan besok atau besok lusa segala-gelanya telah pulih kembali.”
Glagah Putih mengangguk-angguk-angguk kecil. Sementara itu Ki Jayaraga telah memperbincangkan pula tentang kedua orang yang telah mencoba untuk melihat keadaan di dalam rumah itu.
“Ternyata mereka masih berusaha untuk mendapatan kalian berdua,“ berkata Ki Jayaraga.
Glagah Putih yang masih letih itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimana menurut pertimbanganm Guru? Apakah aku diperkenankan untuk langsung menghadapi orang yang bernama Ki Manuhara itu?”
“Tentu tidak sekarang,“ jawab Ki Jayaraga, “kau tahu bahwa ketika benturan ilmu, aku pun mengalami luka di dalam. Tetapi aku berharap bahwa dukungan wadagmu dalam umurmu yang masih muda itu nantinya akan lebih kokoh dari dukungan wadagku. Tetapi kau masih perlu berlatih beberapa hari untuk mengembangkan penguasaanmu atas Aji Sigar Bumi itu, sehingga ilmu itu akan menyatu dengan kehendakmu. Jika demikian, maka kau tidak memerlukan waktu yang lama untuk membangunkan Aji Sigar Bumi, demikian kau berniat mempergunakannya.”
Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi rasa-rasanya ia tidak sabar lagi menunggu beberapa hari itu. Bukan karena ketamakannya, tetapi justru karena lawan masih ada di depan hidungnya.
Tetapi ia tidak dapat memaksa diri untuk berbuat lebih dari yang ditunjukkan oleh gurunya. Karena Glagah Putih sadar, bahwa hal itu akan dapat justru merugikan dirinya sendiri. Terutama wadagnya yang akan dapat terganggu karenanya. Bagaimanapun juga wadagnya termasuk pendukung yang penting bagi ilmunya.
Karena itu, maka Glagah Putih pun harus mengikuti langkah-langkah setapak sebagaimana dituntun oleh gurunya.
Sebagaimana Glagah Putih, maka Sabungsari pun harus menahan diri untuk tidak berusaha dengan satu loncatan panjang menggapai sasaran terakhir dari latihan-latihan yang dilakukannya dengan tuntunan yang diberikan oleh Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, Bajang Bertangan Baja itu masih saja ingin mengetahui, apa saja yang dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu. Kenapa mereka seakan-akan telah mengurung diri untuk beberapa lama.
Anak kecil yang sering turun ke sungai itu ternyata sudah tidak lagi membuka dan menutup plindannya. Bahkan bukan saja anak itu yang tidak turun ke sungai. Tetapi sungai itu menjadi sepi, anak-anak yang malas tidak mempergunakan pliridannya setiap malam. Hanya di saat bulan terang saja mereka beramai-ramai turun ke sungai. Bukan sekedar membuka dan menutup pliridan. Tetapi juga bermain sembunyi-sembunyian atau kejar-kejaran di sepanjang tepian.
Bajang Engkrek itu rasa-rasanya memang kehilangan sumber keterangan. Ia menyesal bahwa ia telah mempergunakan kekerasan.
“Jika saja waktu itu aku dapat mengendalikan diri dan membujuk anak itu dengan uang atau benda-benda lain yang memikat. Atau membantunya membuka dan menutup pliridannya,“ berkata Bajang itu di dalam hatinya.
Namun Bajang itu tidak menghentikan usahanya. Ia berniat untuk dengan cara apapun dapat menyelesaikan tugasnya.
Ki Manuhara yang merasa telah berhutang budi kepadanya ternyata memang telah terikat untuk bekerja sama dengan Bajang Bertangan Baja itu. Tetapi berbeda dengan Bajang yang bekerja seorang diri, maka Ki Manuhara masih mempunyai beberapa orang kawan di Mataram.
Dengan kesediaan Ki Manuhara membantunya, maka Bajang dapat memanfaatkan satu dua orang pengikut Ki Manuhara untuk selalu mengawasi rumah Agung Sedayu.
“Berbeda dengan kita,“ berkata Bajang itu, “orang itu sama sekali belum dikenal di Tanah Perdikan ini.”
“Ya. Tetapi tugasnya tidak lebih sekedar mengawasi saja,“ sahut Ki Manuhara.
“Tentu,“ jawab Bajang itu, “orang-orangmu itu tidak akan mampu berbuat apa-apa. Untuk mengawasi pun orangmu itu harus banyak diberi petunjuk dan pesan-pesan.”
“Setan kau,“ geram Ki Manuhara.
Bajang itu hanya tertawa saja. Tetapi ia tidak menyahut lagi.
Demikianlah, seperti yang direncanakan oleh Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara, maka dua orang pengikut Ki Manuhara itu telah mengawasi regol halaman rumah Agung Sedayu dari kejauhan. Namun mereka memang jarang sekali melihat penghuni rumah itu keluar rumah. Mereka hanya sempat melihat Sekar Mirah mengantar Agung Sedayu sampai ke regol ketika Agung Sedayu berangkat ke barak.
Namun pada kesempatan lain, ketika matahari terasa terik di kepala, mereka melihat dua orang berdiri beberapa saat di luar pintu. Hampir setiap orang yang lewat mengangguk memberi salam.
“Mereka-lah Pembunuh Lembu Jantan itu,“ berkata salah seorang dari kedua pengikut Ki Manuhara.
“Satu kesempatan,” desis kawannya.
“Kesempatan apa?“ bertanya orang pertama.
“Menangkap mereka,“ jawab kawannya.
“Apakah kau sudah jemu memiliki kepala?“ bertanya orang pertama, “Ki Manuhara sendiri belum berhasil menangkap mereka.”
Kawannya mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berdesis, “Ujudnya sama sekali tidak meyakinkan. Tetapi keduanya memang berilmu tinggi. Ternata keduanya dengan tangannya mampu membunuh Lembu Jantan yang sedang mengamuk di alun-alun.”
“Tetapi ternyata mereka tidak berbuat apa-apa. Jika mereka tidak pernah keluar rumah, tentu hanya karena mereka takut ditangkap oleh Ki Manuhara dan Bajang Bertangan Baja itu. Bukankah mereka terlepas dari tangan Ki Manuhara karena mereka mendapat perlindungan dari orang-orang berilmu tinggi di rumah itu? Tanpa mereka, Ki Manuhara tentu akan berhasil.”
Keduanya terdiam ketika mereka melihat Sabungsari dan Glagah Putih masuk kembali ke regol halaman rumahnya. Mereka ternyata harus kembali memasuki latihan-latihan mereka.
Namun dalam pada itu, anak yang membantu di rumah Agung Sedayu itu tiba-tiba telah menagih janji. Tetapi tidak kepada Agung Sedayu. Justru kepada Glagah Putih. “Apakah pliridanku itu jadi akan diperbaiki ?”
“Kenapa dengan pliridanmu ?“ bertanya Glagah Putih, yang belum sempat mendengar peristiwa yang menimpa anak pembantu di rumah itu.
“Jangan berpura-pura. Ki Agung Sedayu berjanji untuk memperbaiki pliridan yang rusak itu.”
Glagah Putih memang menjadi heran. Tetapi ia tidak dengan serta merta membantahnya. Bahkan sambil tersenyum ia bertanya, “Kenapa dengan pliridanmu ?”
Anak itu termangu-mangu sejenak. Katanya, “Pliridanku rusak. Tetapi apakah Ki Agung Sedayu belum mengatakan kepadamu, kenapa pliridanku menjadi rusak ?”
“Mungkin Kakang Agung Sedayu sudah mengatakannya, tetapi aku kurang jelas. Mungkin pendengaranku yang agak terganggu,“ jawab Glagah Putih.
“Pliridanku telah dirusak oleh orang kerdil itu. Bahkan aku hampir mati karenanya, sementara kau sibuk dengan kepentinganmu sendiri,“ jawab anak itu.
“Kepentinganku yang mana?“ bertanya Glagah Putih.
“Kau bersembunyi di dalam sanggar,“ jawab anak itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku masih harus menyelesaikan tugas-tugasku di dalam sanggar. Tetapi kenapa dengan pliridanmu dan dengan kau sendiri?”
“Bertanyalah kepada Paman Sabungsari,“ jawab anak itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Sabungsari yang ikut mendengarkan pembicaraan itu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Biarlah aku yang bercerita.”
Anak itu memandang Sabungsari yang dipanggilnya paman itu. Tetapi ia tidak berkata apa-apa, sementara Sabungsari telah menceritakan apa yang dilihatnya atas anak itu selagi Glagah Putih berada di sanggar, serta apa yang didengarnya dari anak itu pula.
“Jadi orang kerdil itu telah menyakitinya?“ bertanya Glagah Putih dengan kerut di dahinya.
“Ya. Dan telah merusakkan pliridannya,“ jawab Sabungsari.
Glagah Putih mengangguk kecil. Hampir kepada dirinya sendiri ia berkata, “Tingkah lakunya tidak boleh dibiarkan lebih lama lagi. Kita harus berbuat sesuatu.”
“Ya. aku sependapat. Tetapi kita masih memerlukan waktu,“ desis Sabungsari.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Kita sudah hampir selesai. Besok kita akan menuntaskan segala-galanya.”
“Mudah-mudahan kita benar-benar dinyatakan selesai. Nanti malam kita akan menjalani pendadaran,“ desis Sabungsari.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Jika nanti malam kita berhasil, maka besok kita akan memperbaiki pliridan. Besok malam kita akan turun ke sungai.”
Sabungsari tidak sempat menjawab, karena anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu mendahului, “Kau berkata sungguh-sungguh? Biasanya kau tidak pernah menepati janjimu.”
Tetapi Glagah Putih justru tersenyum. Katanya, “Jika nanti malam aku berhasil, maka aku, Paman Sabungsari dan kau akan memperbaiki pliridan itu”
“Berhasil apa?“ bertanya anak itu pula.
Glagah Putih menepuk bahunya. Katanya, “Berhasil menyelesaikan tugas-tugasku.“
“Tugasmu apa saja? Tentu semata-mata bagi kepentinganmu sendiri. Bahkan kau akan dapat mengatakan bahwa tugasmu tidak pernah dapat kau selesaikan,“ gumam anak itu.
Glagah Putih tertawa. Sabungsari pun tertawa pula. Namun kemudian dengan sungguh-sungguh Sabungsari berkata, “Jika Glagah Putih sering tidak menepati janjinya, biarlah aku yang berjanji bahwa kami akan membantumu memperbaiki pliridanmu. Tetapi sudah tentu, jika kau mendapat banyak ikan, kami akan mendapat bagiannya. Kendo udang atau pepes wader pari.”
“Apakah Paman mengira selama ini hasil pliridan itu aku makan sendiri?“ bertanya anak itu juga bersungguh-sungguh.
Sabungsari terpaksa tertawa lagi meskipun ditahannya. Katanya, “Ya, ya. Aku tahu itu.”
“Nas pati geni. Kalian berjanji,“ desis anak itu sambil melangkah pergi.
Sabungsari dan Glagah Putih hanya dapat tertawa saja. Namun kemudian Glagah Putih itu berkata, “Anak itu adalah anak yang sangat tekun, bersungguh-sungguh dan tidak mudah menjadi jemu.”
“Ya. Tubuhnya juga meyakinkan. Sebentar lagi ia akan menjadi remaja yang gagah. Dadanya bidang dan sorot matanya yang tajam, menunjukkan wataknya yang keras dan otaknya yang cerdas,“ sahut Sabungsari.
Namun seperti dikatakan oleh Glagah Putih, maka Glagah Putih masih harus berlatih secara khusus untuk membuka pintu pengembangan ilmu yang baru saja diwarisinya. Aji Sigar Bumi. Sementara Sabungsari telah sampai kepada langkah akhir untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang menghalanginya mempergunakan tenaga dalamnya sampai tuntas, setelah menempuh laku kewadagan dan kajiwan bersama Agung Sedayu.
Namun setelah menempuh laku yang berat untuk waktu yang terhitung lama, maka yang sehari itu pun telah mereka jalani dengan sungguh-sungguh pula. Sehingga baik Glagah Putih dan Sabungsari telah berhasil menyelesakan kewajiban mereka masing-masing.
Namun mereka menyadari, bahwa laku yang mereka jalani bukanlah laku yang terakhir untuk mengembangkan ilmu mereka masing-masing. Mereka masih harus selalu bertekun menilai dan mencari kemungkinan-kemungkinan baru bagi ilmu mereka, sehingga ilmu mereka tidak akan berhenti sampai pada bobot saat ilmu itu diwarisinya. Tetapi ilmu itu akan menjadi semakin tinggi tingkatnya dan lebih berarti bagi lingkungannya.
Ki Jayaraga dan Agung Sedayu yang telah menyelesaikan tugas-tugas mereka, telah berusaha untuk menilai kembali, apa yang telah dicapai oleh Glagah Putih dan Sabungsari. Mereka masih melakukan semacam pendadaran di dalam sanggar. Apakah usaha mereka berhasil atau tidak. Sehingga apa saja yang telah mereka kuasai akan dapat berkembang di kemudian hari.
Namun ternyata baik Glagah Putih maupun Sabungsari cukup meyakinkan. Meskipun Sabungsari kemudian tertinggal oleh Glagah Putih, tetapi dengan keberhasilannya melenyapkan hambatan pada ungkapan tenaga dalamnya, maka Sabungsari pun akan mampu untuk berbuat lebih banyak dengan ilmunya. Kecerdasannya akan membuat Sabungsari mampu membangunkan nilai-nilai baru bagi landasan ilmunya yang sudah termasuk ilmu yang tinggi itu
Dengan demikian, maka Ki Jayaraga tidak ragu-ragu untuk melepas Glagah Putih keluar dari halaman rumah Agung Sedayu, meskipun di Tanah Perdikan itu masih berkeliaran Bajang Engkrek dan Ki Manuhara. Namun Ki Jayaraga masih menasehatkan agar Glagah Putih masih selalu berhati-hati. Demikian pula Sabungsari, karena bagaimanapun juga mereka adalah orang yang berilmu sangat tinggi.
Tetapi Ki Jayaraga yakin bahwa Glagah Putih akan mampu mengimbangi kemampuan Ki Manuhara. Glagah Putih yang masih muda itu memiliki wadag yang masih utuh, kuat dan dilandasi dengan berbagai macam ilmu yang akan mampu melengkapi kemampuan Aji Sigar Bumi. Kemampuan puncak ilmu warisan Ki Sadewa lewat Agung Sedayu, landasan kekuatan yang disadapnya dari Raden Rangga, serta dasar ilmu dari Perguruan Orang Bercambuk, akan membuat Glagah Putih menjadi seorang yang benar-benar kuat. Sementara kematangan jiwanya membuatnya mapan.
Dalam pada itu, ketika Glagah Putih melihat anak yang tinggal di rumah itu membawa cangkul ke kebun untuk membersihkan rerumputan yang tumbuh liar, maka iapun teringat akan janjinya. Karena itu, maka Glagah Putih itu pun menemui Agung Sedayu untuk minta ijin memperbaiki pliridan bersama Sabungsari.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Baiklah. Tetapi kita harus minta agar Ki Jayaraga tinggal di rumah. Sebentar lagi aku akan berangkat ke barak.”
“Aku akan menyampaikannya Kakang. Aku kira Ki Jayaraga juga belum berniat pergi ke sawah,“ jawab Glagah Putih.
“Tetapi tadi aku mendengar bahwa Ki Jayaraga sudah rindu untuk merendam kakinya di dalam lumpur,“ desis Agung Sedayu.
“Jika demikian, aku akan minta Ki Jayaraga untuk tidak pergi. Anak itu sudah beberapa kali menanyakan, kapan pliridannya akan diperbaiki.”
“Ya. Aku juga pernah berjanji. Tetapi jika pliridan itu diperbaiki, maka anak itu akan turun lagi ke sungai,“ desis Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa keadaan memang masih sangat berbahaya. Juga bagi anak itu.
Tetapi Glagah Putih tidak sampai hati untuk menunda-nunda lagi. Nampaknya wajah anak itu selalu muram. Apalagi jika ia teringat akan pliridannya, saat-saat ia menjemur kepis dan icirnya yang dipeliharanya dengan baik. Namun bahwa anak itu bersedih karena pliridannya yang rusak, kadang-kadang membuatnya malas untuk bekerja, meskipun ia termasuk anak yang rajin.
Karena itu, maka setelah Agung Sedayu memberinya ijin, demikian pula Ki Jayaraga, maka Glagah Putih pun telah siap untuk turun ke sungai bersama Sabungsari. Sementara itu Ki Jayaraga pun telah menyatakan kesediaannya untuk tinggal di rumah.
Hampir berbareng dengan keberangkatan Agung Sedayu ke barak, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah mengajak anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu untuk pergi ke sungai.
“Nah, tugas-tugasku yang mendesak telah selesai,“ berkata Glagah Putih, “marilah. Kita pergi ke sungai untuk memperbaiki pliridan itu.”
“Bukankah kali ini Glagah Putih menepati janjinya?“ desis Sabungsari kemudian.
“Tetapi sudah tertunda berapa kali?“ sahut anak itu.
“Belum terlambat,“ berkata Glagah Putih.
“Siapa tahu,” jawab anak itu, “jika kita turun ke sungai dan pliridan itu sudah diambil alih oleh orang lain, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
“Sekarang kita lihat, apakah kita terlambat atau tidak,“ desis Glagah Putih.
Bertiga mereka pergi ke sungai sambil membawa beberapa peralatan. Cangkul, parang, patok-patok bambu dan icir, untuk menentukan tempat yang paling baik jika pliridan itu ditutup.
Ketika mereka menuruni tebing, maka mereka melihat bahwa pliridan itu masih seperti semula. Rusak, dan bahkan pematangnya sudah ditumbuhi rerumputan liar.
Namun anak itu menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih berkata, “Nah, bukankah kita belum terlambat?”
Anak itu mengangguk kecil. Matanya nampak berbinar, dan kegembiraannya telah membersit di wajahnya.
Dengan tangkasnya anak itu pun segera berlari melintasi tepian dan langsung terjun ke tengah-tengah bekas pliridannya, tanpa menghiraukan air yang memercik membasahi pakaiannya.
“Pliridan ini akan segera kita perbaiki,“ katanya.
Glagah Putih dan Sabungsari yang sudah melintasi tepian mengangguk mengiyakan. Dengan nada tinggi Glagah Putih pun menjawab, “Ya. Dalam waktu tiga atau empat hari pliridan ini akan siap dan dapat dipergunakan lagi.”
Wajah anak itu tiba-tiba menjadi buram. Dengan kecewa ia bertanya, “Kenapa harus tiga atau empat hari? Bukankah sehari ini kita akan dapat menyelesaikan pliridan ini?”
Glagah Putih tertawa. Katanya, “Memang. Tetapi kita belum tahu apakah pliridan ini akan dapat menghisap ikan yang berkeliaran di malam hari atau tidak. Baru setelah kita coba dan kita sempurnakan di sana-sini, pliridan ini baru dapat dikatakan selesai seluruhnya.”
Anak itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab lagi. Bahkan anak itu pun langsung membuka bajunya dan melemparkannya ke atas sebuah batu yang besar. Sambil menyeret cangkulnya ia berkata, “Aku akan memperbaiki pematangnya lebih dahulu.”
Glagah Putih dan Sabungsari pun telah membawa cangkul mereka turun ke sungai. Namun Glagah Putih sempat berbisik, “Dua orang tengah mengawasi kita.” “Ya,“ sahut Sabungsari.
“Tetapi tentu bukan Ki Manuhara,“ berkata Glagah Putih sambil turun ke air.
“Nampaknya memang bukan. Bukan orang yang bertempur melawan Ki Jayaraga waktu itu. Meskipun hanya remang-remang, tetapi cahaya lampu di pendapa itu sempat menerangi wajahnya,“ sahut Sabungsari yang juga sudah terjun ke air.
Kedua orang itu pun kemudian telah membantu memperbaiki bendungan pliridan itu. Sabungsari di bagian bawah dan Glagah Putih di bagian atas, sedangkan anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu di bagian tengah.
Namun Sabungsari dan Glagah Putih harus berhati-hati. Dua orang yang mengawasi dari kejauhan itu nampaknya belum menyadari bahwa Sabungsari dan Glagah Putih mengetahui, bahwa mereka selalu mengawasinya.
Sementara mereka memperbaiki pematang pliridan itu, dua orang anak-anak, kawan anak yang tinggal bersama Glagah Putih itu, datang mendekati mereka. Dari kejauhan mereka sudah berteriak, “He, kau perbaiki pliridanmu?”
“Ya,“ jawab anak itu.
“Apakah kau sudah akan turun ke sungai?“ bertanya kedua orang anak yang datang itu.
“Ya,“ jawab anak yang tinggal bersama Glagah Putih itu.
“Apakah sudah tidak berbahaya lagi?“ bertanya anak yang datang itu hampir berbareng.
Anak yang memperbaiki pliridan itu termangu-mangu. Namun yang menjawab kemudian adalah Glagah Putih, “Tentu masih sangat berbahaya. Karena itu, sebaiknya kalian tidak turun seorang diri atau hanya berdua saja. Kalian dapat mengatur waktunya sehingga kalian bersama-sama berkumpul di gardu parondan di atas itu pada saat tertentu. Baru kemudian kalian turun bersama-sama untuk membuka dan menutup pliridan.”
“Tetapi pliridanku terletak di bawah tikungan. Beberapa patok dari sini,“ jawab salah seorang di antara kedua orang anak yang datang itu.
“Kalian dapat saling membantu. Empat orang anak bekerja untuk empat buah pliridan bersama-sama. Empat yang lain menjadi satu kelompok pula, yang mempunyai pliridan di sini dan di arah udik itu. Bukankah dengan demikian kalian dapat bekerja sambil bergurau, bermain-main dan lebih cepat pula, tanpa memberi kesempatan ikan-ikan itu melarikan diri saat pliridan ditutup?“ berkata Glagah Putih.
Anak-anak itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Tetapi kita menjadi terikat yang satu dengan yang lain. Apalagi jika hasil yang kami peroleh tidak seimbang. Tentu akan dapat menimbulkan iri hati.”
Glagah Putih tersenyum. Sementara Sabungsari berkata, “Kau benar. Namun yang penting, jangan turun ke sungai sendiri. Lebih baik jika kalian turun bersama para peronda. Bukankah kalian tahu apa yang telah terjadi?”
“Ya,“ anak itu menjawab bersamaan.
“Kita tidak tahu apakah orang itu masih berkeliaran atau tidak. Jika orang itu masih sering berkeliaran di sungai ini, maka ia akan dapat mengganggu kalian. Apalagi jika kalian sendiri. Untunglah waktu itu kawan-kawannya segera mengetahui dan membawanya pulang. Jika tidak ada orang tahu? Bukankah nyawanya akan terancam justru hanya karena ikan di pliridan?“ berkata Sabungsari lebih lanjut.
Anak-anak yang datang itu termangu-mangu. Namun nampaknya mereka mengerti keterangan Sabungsari itu. Meskipun anak-anak itu tidak mau disebut penakut, tetapi kenyataan yang pernah terjadi atas salah seorang dari mereka memang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Setelah menunggu beberapa saat, maka kedua anak itu pun minta diri untuk pulang ke rumah masing-masing.
Sementara itu Glagah Putih, Sabungsari dan anak yang tinggal bersamanya di rumah Agung Sedayu itu masih menyelesaikan pekerjaan mereka memperbaiki pliridan itu. Namun dalam pada itu, Glagah Putih dan Sabungsari tidak melihat lagi kedua orang yang mengawasi mereka.
Tetapi justru karena itu, maka Glagah Putih pun telah mendekati Sabungsari sambil berkata, “Kedua orang itu telah pergi.”
“Mungkin,“ jawab Sabungsari, “tetapi mungkin mereka hanya bersembunyi di balik gerumbul atau di sebelah sudut padukuhan.“
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kemungkinan yang lain, mereka telah memanggil orang kerdil atau Ki Manuhara untuk menemui kita di sini.”
Sabungsari mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Apakah mereka akan berani berbuat sesuatu di siang hari? Betapapun tinggi ilmu mereka, tetapi mereka akan berpikir ulang jika mereka harus melawan orang se-Tanah Perdikan. Apalagi para pengawal sudah dibekali cara untuk melawan mereka dengan mempergunakan senjata jarak jauh.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Namun kita harus tetap berhati-hati. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mereka tentu dapat mempergunakan cara apapun untuk dapat mencapai niatnya.”
Sabungsari mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Kita memang harus berhati-hati menghadapi mereka.”
Demikianlah, Glagah Putih pun telah melanjutkan kerjanya, memperbiki pliridan itu. Ketika matahari menjadi semakin tinggi maka pematang pliridan itu pun sudah selesai. Demikian pula bendungan kecil yang menyilang sebagian aliran sungai untuk mengalirkan air ke pliridan di malam hari. Sedangkan tempat icir pun sudah disediakan, sesuai dengan besar icir yang ada.
“Nah,“ berkata Glagah Putih kemudian, “pliridanmu sudah pulih kembali seperti sediakala.”
Anak itu mengangguk-angguk. Wajahnya nampak gembira. Tetapi ia masih berkata, “Kita akan melihat, apakah pliridan ini cukup baik dan dapat menyerap ikan sebagaimana sebelumnya.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap ragu membiarkan anak itu turun ke sungai. Karena itu, maka katanya, “Kaupun harus berhati-hati. Sebaiknya jangan tergesa-gesa turun ke sungai. Bukankah setelah diperbaiki, pliridanmu tidak akan diambil alih oleh orang lain?”
“Jadi untuk apa kita memperbaiki pliridan, jika kita tidak akan turun untuk membuka dan menutupnya?”
“Sekedar agar pliridan ini tidak diaku orang lain,“ jawab Glagah Putih.
Wajah anak itu menjadi muram. Kegembiraannya lenyap bagaikan hanyut di arus sungai yang gemercik di bawah kakinya.
“Dengarlah,“ berkata Glagah Putih sambil menepuk pundak anak itu, “bukankah anak-anak yang lain dapat mengerti bahwa sangat berbahaya untuk turun ke sungai di malam hari? Setidak-tidaknya untuk sementara. Nampaknya kau termasuk anak yang akan dapat menjadi sasaran, karena mereka mengira bahwa kau mengetahui apa yang terjadi di belakang dinding halaman rumah Kakang Agung Sedayu. Karena itu, aku harap kau dan tentu juga anak-anak yang lain bersabar sedikit. Bukankah orang itu bukan saja dapat menyakitimu, tetapi mungkin akan membunuhmu.”
Nampaknya anak itu dapat mengerti. Meskipun wajahnya masih nampak muram, namun ia mengangguk kecil.
“Bagus,“ berkata Glagah Putih, “jika aku tidak terlalu sibuk, maka pada satu malam aku akan dapat mengantarmu.”
“Kau tidak usah berjanji,“ jawab anak itu.
Glagah Putih tertawa kecil. Sabungsari pun tersenyum sambil berkata, “Jika Glagah Putih tidak menepati janjinya, biarlah aku saja yang berjanji.”
Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Demikianlah, setelah membersihkan diri dan membersihkan alat-alat yang dipergunakan, maka mereka pun telah bersiap-siap untuk pulang. Seorang anak muda yang sebaya dengan Glagah Putih yang lewat sambil memanggul cangkul sempat bertanya, “He, kau sudah akan turun ke sungai lagi?”
Glagah Putih tersenyum. Jawabnya, “Hanya sekedar memperbaiki saja. Entahlah, kapan aku turun ke sungai.”
Anak muda yang agaknya baru pulang dari sawahnya itu tidak berhenti. Ia berjalan terus menyusuri arus sungai, karena rumahnya memang di tepi sungai.
Namun dalam pada itu, ketika Glagah Putih, Sabungsari dan anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu siap meninggalkan pliridannya, maka mereka melihat dua orang yang melintas menyeberangi sungai. Dua orang yang dikenali oleh Glagah Putih dan Sabungsari sebagai orang-orang yang tengah mengawasinya.
Namun jaraknya memang tidak terlalu dekat, sehingga Glagah Putih dan Sabungsari tidak dapat menyapanya.
Tetapi jelas bagi mereka, bahwa kedua orang itu adalah orang yang asing bagi padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Mereka tidak meninggalkan kita,“ desis Sabungsari.
“Ya. Mereka memang mengawasi kita,“ jawab Glagah Putih.
Keduanya tidak banyak memperhatikan orang-orang itu lagi ketika mereka kemudian memanjat tebing meninggalkan tepian sungai itu.
Namun bukan berarti bahwa keduanya tidak bersikap terhadap kedua orang itu. Sabungsari dan Glagah Putih di sepan jang jalan kembali ternyata telah berbicara tentang kedua orang itu.
“Kita akan melihat, apakah besok mereka masih mengawasi kita,“ berkata Glagah Putih.
Di sore hari setelah Agung Sedayu pulang dari barak, maka bersama Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari mereka duduk di serambi samping. Glagah Putih dan Sabungsari telah menceritakan kedua orang yang mengawasinya.
Sambil mengangguk-angguk Agung Sedayu berkata, “Perhatikan mereka. Apakah mereka besok masih mengawasi kalian berdua.”
“Baiklah,“ desis Glagah Putih, “besok kami akan memancing mereka, dan kalau mungkin menangkapnya.”
“Jangan tergesa-gesa menangkap mereka. Kita akan memancing ikan yang lebih besar dari kedua orang yang sedang mengawasi kalian. Di belakang mereka tentu berdiri orang-orang yang selama ini diawasi baik di Mataram maupun di Tanah Perdikan ini,“ berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Sabungsari berkata, “Jika demikian, kita masih harus membiarkan mereka mengikuti kita untuk beberapa lama.”
“Kita akan melihat perkembangan keadaan,“ jawab Agung Sedayu, “jika saja kita dapat menangkap Ki Manuhara atau Bajang Engkrek itu.”
Sejenak kemudian maka Sekar Mirah dan Rara Wulah pun telah ikut duduk pula di serambi itu sambil menghidangkan minuman hangat dengan gula kelapa. Wedang jahe yang sedap bersama gandos ketan.
Sambil menghirup minuman hangat, maka Agung Sedayu telah menceritakan pula bahwa Ki Lurah Branjangan tengah berada di Mataram.
“Untuk apa Kakek pergi ke Mataram?“ bertanya Rara Wulan.
“Sekedar melihat keadaan rumahnya yang sudah agak lama ditinggalkannya,“ jawab Agung Sedayu, “tidak ada maksud yang lain. Tetapi Ki Lurah akan singgah barang sebentar di rumah ayah dan ibu Rara Wulan, sekedar menengok keselamatan mereka.”
Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Ia tidak ingin mempersoalkan kepergian kakeknya ke Mataram, karena ia tahu bahwa kakeknya tidak akan mempersoalkan pula keberadaannya di Tanah Perdikan itu.
Namun selagi mereka berincang menjelang senja, tiba-tiba saja anak yang tinggal di rumah itu datang memberitahukan, “Ada tamu di halaman depan”
“Siapa?“ bertanya Agung Sedayu.
(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sebenarnya bukan persoalan baru. Tetapi justru persoalan yang kita anggap sudah selesai.”
“Persoalan apa lagi Ki Lurah?“ bertanya Agung Sedayu.
“Kedua orang tua Wulan masih menerima ancaman dari Raden Antal. Ternyata ia masih mendendam,“ jawab Ki Lurah.
“Raden Antal?“ hampir di luar sadarnya Rara Wulan berdesis.
Sekar Mirah pun berpaling kepada gadis itu. Dilihatnya wajah Rara Wulan yang berkerut menegang.
Ki Lurah Branjangan mengangguk. Katanya selanjutnya, “Mereka masih mengancam orang tua Rara Wulan.”
“Mereka siapa?“ bertanya Rara Wulan.
“Raden Antal dan kedua orang tuanya,“ jawab Ki Lurah Branjangan, “mereka telah mengingatkan kepada kedua orang tua Rara Wulan, bahwa mereka tidak akan menerima penghinaan yang pernah mereka terima dari keluarga Rara Wulan.”
“Penghinaan apa?“ bertanya Rara Wulan, “Bukankah waktu itu kita sekedar mempertahankan harga diri kita? Jika akibatnya dapat dianggap sebagai penghinaan atas keluarga Raden Antal, bukankah itu kesalahan mereka sendiri ?”
“Mereka tidak mempergunakan penalaran, “jawab Ki Lurah Branjangan. “tetapi mereka mengikuti arus perasaan mereka yang dibakar oleh dendam dan kemarahan.”
“Tetapi apa yang kira-kira akan mereka lakukan?“ bertanya Agung Sedayu.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku tidak tahu apakah yang akan mereka lakukan. Namun sampai saat ini, nampaknya tidak terjadi apa-apa dengan kedua orang tua Rara Wulan. Tetapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. “
“Bagaimana dengan Kakangmas Teja Prabawa?“ bertanya Rara Wulan dengan cemas.
“Juga tidak terjadi sesuatu dengan Teja Prabawa. Tetapi entahlah besok atau lusa. Namun kedua orang tua Rara Wulan berpesan agar Rara Wulan berhati-hati di sini. Mungkin sasaran dendam mereka akan tertuju kepada Rara Wulan,“ jawab Ki Lurah.
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Baiklah Ki Lurah. Sebenarnyalah kita di sini memang sedang berlindung dari ancaman orang kerdil yang menurut dugaan kita telah menolong Ki Manuhara dan membawa keluar dari Tanah Perdikan. Namun ternyata keduanya kini telah berada di Tanah Perdikan ini lagi. Setidak-tidaknya salah seorang dari mereka.”
“Tetapi aku percaya kepada kalian yang tinggal di rumah ini. Tetapi jika sekali-sekali Rara Wulan keluar dari rumah ini, harus sangat berhati-hati. Kita memang tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh keluarga Raden Antal itu.”
Demikianlah, pembicaraan mereka tentang dendam Raden Antal dan kemungkinan-kemungkinannya itu pun telah berlangsung sampai malam turun. Mereka berhenti ketika kemudian Sekar Mirah mempersilahkan mereka yang duduk di pendapa untuk makan malam di ruang dalam. Namun di ruang dalam sambil makan, mereka masih juga berbincang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dan tentang keadaan Tanah Perdikan itu.
Malam itu, Agung Sedayu telah mempersilahkan Ki Lurah untuk bermalam di rumahnya. Karena tidak ada tugas khusus yang harus dilakukan oleh Ki Lurah, maka Agung Sedayu pun berkata, “Daripada Ki Lurah masih harus menempuh perjalanan di gelapnya malam ke barak, lebih baik Ki Lurah tidur di sini. Besok kita bersama-sama pergi ke barak.”
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun Ki Jayaraga pun mempersilahkan pula, “Kita dapat berbincang semalam suntuk.”
“Baiklah,“ berkata Ki Lurah kemudian, “sudah lama kita tidak menyempatkan diri untuk berbincang. Biarlah malam ini aku tidur di sini.”
Seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, maka malam itu mereka tidak segera masuk ke bilik mereka masing-masing. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan telah menyiapkan lagi minuman panas bagi mereka yang masih duduk dan berbincang di ruang dalam.
Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga yang menjadi semakin tua itu, ternyata masih juga betah berbincang berkepanjangan. Bahkan kadang-kadang mereka membicarakan masa lalu mereka dengan riuhnya. Pengalaman mereka yang menarik dan bahkan perjalanan hidup mereka, yang kadang-kadang telah memancing gejolak perasaan mereka. Namun mereka pun telah mengenang pula kenangan-kenangan manis yang pernah mereka lalui.
Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih mendengarkan pembicaraan orang tua-tua itu sambil mengangguk-angguk. Kadang-kadang perasaan kagum telah bergejolak di dalam jantung mereka atas orang-orang tua itu. Namun kadang-kadang mereka terpaksa menahan tawa mereka yang meledak.
Sekar Mirah dan Rara Wulan ternyata tertarik juga untuk mendengarkan. Meskipun ia sering mendengar kakeknya bercerita tentang masa lampaunya, juga masa-masa mudanya, namun ada saja cerita yang terasa baru di telinga Rara Wulan.
Baru setelah lewat tengah malam, orang-orang tua itu merasa letih berbicara. Agung Sedayu yang juga ingin beristirahat kemudian berkata, “Hari telah larut malam. Jika Ki Lurah Branjangan ingin beristirahat, biarlah Glagah Putih mengantar Ki Lurah ke gandok.”
“Baiklah,“ berkata Ki Lurah Branjangan, “kita tidak jadi berbincang semalam suntuk.”
Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Ternyata mata tua ini terasa mengantuk juga.”
Namun, demikian mereka bangkit, mereka terkejut oleh keributan yang terjadi. Bahkan kemudian terdengar suara kentongan di gardu yang tidak terlalu jauh dari rumah Agung Sedayu itu. Gardu yang berada di depan mulut lorong.
Agung Sedayu pun segera bersiap. Katanya kepada Ki Jayaraga, “Aku harap Ki Jayaraga dan Ki Lurah tinggal di rumah bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan. Aku, Sabungsari dan Glagah Putih akan melihat, apa yang telah terjadi di luar.”
Ki Jayaraga mengangguk. Ia sadar, bahwa harus ada orang yang menjaga rumah itu. Mungkin keributan itu hanya sekedar pancingan untuk menghisap penghuni rumah ini keluar.
Karena itu maka katanya, “Baiklah. Aku akan tinggal di rumah. Hati-hatilah.”
“Jika terjadi sesuatu yang gawat, sebaiknya Sekar Mirah membunyikan kentongan di longkangan,“ berkata Agung Sedayu.
“Baik Kakang,“ jawab Sekar Mirah.
Demikianlah, maka Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih pun segera berlari keluar pintu, turun ke halaman dan keluar regol halaman, turun ke jalan.
Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih itu pun kemudian langsung pergi ke gardu. Suara kentongan ternyata sudah tidak terdengar lagi di gardu itu. Tetapi gardu yang lain ternyata sudah menyahut suara isyarat itu, sehingga suara kentongan pun segera mengumandang di seluruh padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Apa yang terjadi ?“ bertanya Agung Sedayu.
Beberapa orang anak muda yang tinggal di gardu merasa senang ketika mereka melihat Agung Sedayu datang. Seorang di antara mereka pun kemudian menjawab, “Kami sedang berusaha menangkap dua orang yang mencurigakan. Dua orang anak muda yang sedang meronda melihat dua orang yang mencurigakan. Ketika keduanya disapa, maka keduanya berusaha untuk melarikan diri. Kedua peronda yang berusaha menangkap justru mendapat perlawanan. Namun ketika kami mendengar keributan itu dan berlari-lari mendekat, kedua orang yang mencurigakan itu telah melarikan diri. Beberapa orang kawan kami sedang mengejar mereka. Mudah-mudahan isyarat kentongan kami dapat menyiapkan para peronda dan membantu menangkap kedua orang yang melarikan diri itu.”
“Apakah seorang di antaranya orang kerdil?“ bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
“Bukan. Keduanya orang yang mempunyai ujud tubuh wajar. Bahkan seorang di antaranya terhitung agak tinggi,“ jawab peronda itu yang mengetahui maksud Agung Sedayu. Bahkan katanya kemudian, “Menurut dugaan kami keduanya bukan Bajang Engkrek dan Ki Manuhara, sebagaimana menurut ciri-ciri yang pernah kami dengar tentang keduanya.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata iapun menjadi curiga sebagaimana Ki Jayaraga, bahwa keributan itu sekedar usaha untuk memancing mereka keluar dari rumahnya. Karena itu maka Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah, jika demikian kami akan melihat, apakah orang-orang yang justru kita cari itu tidak memasuki halaman rumahku.”
Sebelum Agung Sedayu beranjak, Prastawa yang juga mendengar suara kentongan yang bersumber dari gardu itu telah datang bersama empat orang pengawal. Justru karena itu, maka Agung Sedayu pun telah menyerahkan persoalan kedua orang yang sedang dikejar itu kepada Prastawa dan para pengawal. Katanya kemudian, “Kami akan melihat apakah ada orang yang masuk ke halaman rumah kami.”
“Silahkan,“ jawab Prastawa, “jika ada sesuatu yang penting di sini, biarlah salah seorang di antara kami memberitahukan ke rumahmu.”
Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih pun dengan tergesa-gesa telah kembali ke rumah mereka.
Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat halaman rumah mereka ternyata masih saja sepi. Meskipun demikian mereka segera mengetuk pintu pringgitan.
“Siapa?“ bertanya Ki Jayaraga.
“Aku, Agung Sedayu.”
Terdengar langkah mendekati pintu. Demikian pintu terbuka, maka Agung Sedayu melihat seisi rumah itu telah berkumpul di ruang tengah. Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mengenakan pakaian khusus mereka.
“Bukankah tidak terjadi sesuatu?“ bertanya Agung Sedayu.
“Belum,“ jawab Ki Jayaraga.
“Kenapa belum?“ desak Agung Sedayu.
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ada seseorang di luar dinding. Tetapi tidak ada usaha untuk memasuki rumah ini.”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Katanya, “Ternyata memang ada usaha untuk melakukan kekerasan di sini.”
“Tetapi sasarannya mungkin berubah, mungkin tidak. Jika mereka yang melakukan adalah Bajang Engkrek, Ki Manuhara dan para pengikutnya, maka sasarannya adalah Sabungsari dan Glagah Putih. Tetapi mungkin juga pihak lain yang diperalat oleh Raden Antal yang masih mendendam itu,“ berkata Ki Jayaraga.
“Tetapi bukankah Raden Antal tidak melakukan sesuatu?“ bertanya Agung Sedayu.
“Di Mataram memang tidak ada tindakan apapun terhadap keluarga Rara Wulan. Tetapi seperti yang kita perhitungkan, mungkin dendam itu justru ditimpakan kepada Rara Wulan, “sahut Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian kita memang harus berhati-hati. Karena itu, maka biarlah aku juga tinggal di rumah. Nampaknya orang-orang yang penting di antara mereka justru memusatkan perhatian mereka pada rumah ini. Biarlah Glagah Putih dan Sabungsari saja yang pergi ke gardu. Mungkin anak-anak muda itu memerlukan bantuan.”
Sabungsari dan Glagah Putih tidak bertanya lebih banyak lagi. Mereka berdua pun dengan cepat telah berada di gardu kembali, sementara di gardu itu masih banyak anak-anak muda yang berjaga-jaga. Di antara mereka terdapat Prastawa.
Namun dalam pada itu, laporan-laporan yang datang menyatakan bahwa orang-orang yang sedang dikejar-kejar itu tidak tertangkap. Meskipun ada di antara anak-anak muda dan pengawal yang sempat melihat keduanya berlari, tetapi keduanya rasa-rasanya hilang begitu saja di dalam gelap.
“Satu pancingan yang cerdik,“ desis Glagah Putih.
Prastawa mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apakah kedua orang yang lari itu justru masuk ke halaman rumah Agung Sedayu untuk menangkap kalian berdua?”
“Memang ada orang yang memasuki halaman rumah kami. Tetapi orang itu tidak berbuat apa-apa kecuali sekedar mengintip dari luar dinding. Untung Ki Jayaraga dan Ki Lurah Branjangan ada di rumah ketika kami dan Kakang Agung Sedayu sedang berada di sini tadi,“ jawab Glagah Putih.
“Apakah mungkin orang itu masih ada di sekitar rumahmu?“ bertanya Prastawa pula.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berdesis kepada Sabungsari, “Marilah. Kita lihat.”
Sabungsari mengangguk kecil sambil menyahut, “Marilah. Mungkin masih ada orang di halaman rumah itu.“
Kemudian Glagah Putih pun berkata kepada Prastawa, “Tolong awasi lorong-lorong di sekitar rumahku. Aku akan mencoba melihat apakah masih ada orang di halaman.”
Prastawa pun kemudian memerintahkan beberapa pengawal untuk memencar dan mengamati rumah Agung Sedayu itu. Namun Glagah Putih berpesan, “Jika kalian melihat dua orang yang satu di antaranya orang bertubuh pendek kecil, maka kalian harus melawannya dalam kelompok. Kemudian sebaiknya kalian memberikan isyarat. Salah seorang dari kami atau Kakang Agung Sedayu akan datang untuk membantu kalian.”
Demikianlah, Sabungsari dan Glagah Putih dengan sangat berhati-hati telah mendekati halaman rumah mereka dari arah belakang. Sementara seluruh padukuhan induk menjadi sibuk, orang-orang yang mereka cari mungkin justru bersembunyi di halaman rumahnya.
Di luar dinding halaman Glagah Putih dan Sabungsari berhenti sejenak. Mereka mencoba untuk mendengarkan, apakah ada suara di balik dinding halaman itu. Beberapa kali mereka bergeser. Namun mereka tidak mendengarnya sama sekali.
Sementara itu di kejauhan masih terdengar suara kentongan. Bahkan menjadi ramai lagi. Nampaknya ada beberapa orang peronda yang melihat dua orang berlari di dalam kegelapan.
“Tentu masih ada sesuatu yang bakal terjadi. Nampaknya kedua orang itu masih memancing keributan di sisi lain dari padukuhan induk ini,“ desis Glagah Putih lirih.
Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih memberi isyarat. Ternyata telinganya yang tajam telah mendengar sesuatu di balik dinding di halaman rumah Agung Sedayu itu.
Dengan demikian maka keduanya pun telah berusaha untuk menempatkan diri. Namun agaknya desir di balik dinding itu bergeser beberapa langkah, sehingga dengan sangat berhati-hati Glagah Putih dan Sabungsari mendengar orang berbisik di dalam dinding, “Jadi kita tinggalkan rumah ini?”
“Kita tidak dapat berbuat banyak,“ jawab suara yang lain. “Selain orang tua itu, Agung Sedayu pun justru telah kembali.”
“Baiklah. Kita mencari kesempatan lain.“
Glagah Putih dan Sabungsari menjadi semakin berhati-hati. Ketika mereka mendengar langkah di belakang dinding, mereka pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian mereka melihat dua orang muncul dari balik dinding dan hinggap di atas dinding halaman itu. Sesaat kemudian, maka bayangan itu pun segera meloncat turun di halaman rumah di belakang rumah Agung Sedayu.
Ketajaman indra mereka menangkap bahwa ternyata di halaman itu sudah ada orang yang menunggu mereka. Karena itu maka demikian kaki mereka menginjak tanah, maka mereka pun segera bersiap.
Jantung kedua orang anak muda yang menunggu di halaman belakang rumah di sebelah rumah Agung Sedayu itu menjadi berdebar-debar. Seorang di antara kedua orang itu adalah orang yang bertubuh kecil dan pendek.
“Bajang Engkrek,“ desis Glagah Putih.
Tetapi orang bertubuh pendek itu sempat menjawab, “Kau salah Anak Muda. Namaku Bajang Bertangan Baja, atau jika kau lebih senang mendengar namaku yang lain adalah Tabib Bertangan Embun.”
Glagah Putih dan Sabungsari segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Namun Glagah Putih, yang memang telah dipersiapkan untuk menghadapi Ki Manuhara, segera menempatkan diri. Karena menurut pengertian Glagah Putih, orang itu adalah Ki Manuhara yang pernah bertempur melawan gurunya, Ki Jayaraga.
Ternyata Ki Manuhara itu tertawa sambil berkata, “Adalah kebetulan sekali bahwa kita bertemu di sini. Bukankah kalian berdua ini anak-anak yang selama ini kami buru? Nah, kesempatan ini tidak akan aku lepaskan.”
Glagah Putih dan Sabungsari tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya benar-benar telah bersiap-siap menghadapi kedua orang lawan yang berilmu sangat tinggi.
Dalam pada itu Ki Manuhara dan Bajang Bertangan Baja itu tidak ingin membuang banyak waktu. Mereka menyadari bahwa para pengawal Tanah Perdikan akan dapat ikut campur, jika mereka mengetahui bahwa di belakang rumah Agung Sedayu itu telah terjadi pertempuran.
Meskipun kentongan masih terdengar sehingga perhatian para pengawal Tanah Perdikan itu masih tertuju kepada orang-orang yang mereka kejar, namun keributan yang terjadi dapat memanggil setidak-tidaknya isi rumah Agung Sedayu yang lain.
Karena itu maka dengan serta merta Ki Manuhara pun telah menyerang Glagah Putih sambil berkata, “Hati-hatilah Bajang. Kedua anak ini telah berhasil membunuh Ki Patitis dan Ki Tangkil di halaman depan rumah ini.”
Bajang Bertangan Baja itu tertawa. Katanya, “Patitis dan Tangkil memang pantas untuk mati. Mereka hanya memiliki ilmu untuk berburu kancil.”
Ki Manuhara tidak menunggu jawaban Bajang Bertangan Baja itu. Dengan garangnya Ki Manuhara telah menyerang Glagah Putih.
“Nampaknya memang aku sendiri yang harus mengakhirimu,“ geram Ki Manuhara.
Tetapi Glagah Putih telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika Ki Manuhara menyerangnya, maka Glagah Putih pun dengan sigapnya telah bergeser menghindari. Namun Ki Manuhara yang sudah berniat untuk membunuhnya tidak melepaskannya. Dengan cepat iapun telah memburunya dengan serangan-serangan.
Tetapi Glagah Putih benar-benar telah menyiapkan diri untuk menghadapi Ki Manuhara. Karena itu maka iapun segera melenting mengambil jarak. Namun sesaat kemudian iapun telah berganti menyerang dengan tangkasnya.
Namun keduanya sadar, bahwa pertempuran itu hanya sekedar semacam pemanasan. Karena keduanya pun akan segera merambah ke puncak ilmu mereka.
Bajang Bertangan Baja itu pun tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera meloncat menyerang pula. Namun Bajang Bertangan Baja itu ternyata masih ingin serba sedikit menjajagi ilmu lawannya.
Sejenak kemudian pertempuran antara Glagah Putih dan Ki Manuhara itu pun telah menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan semakin cepat pula, sementara tangan mereka bergerak menyambar-nyambar. Benturan-benturan kekuatan pun telah semakin sering terjadi.
Namun dengan demikian Ki Manuhara pun menyadari, bahwa anak muda itu benar-benar seorang yang telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Bajang Bertangan Baja pun harus mengakui kemampuan lawannya. Sabungsari yang telah berhasil melepaskan hambatan yang menahan kemampuannya melepaskan tenaga dalamnya sampai tuntas, ternyata telah menunjukkan kemampuannya yang sangat tinggi kepada Bajang Bertangan Baja itu.
Dengan demikian maka pertempuran pun segera meningkat semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka langsung pada tataran tertinggi. Bahkan kemudian mereka pun telah bersiap-siap untuk sampai ke ilmu simpanan mereka.
Namun tiba-tiba mereka yang sedang bertempur itn telah dikejutkan oleh kehadiran bayangan yang demikian saja hinggap di atas dinding halaman rumah Agung Sedayu.
Meskipun dalam kegelapan, namun Ki Manuhara pun langsung dapat mengenali bahwa orang itu adalah Agung Sedayu. Demikian pula Bajang Bertangan Baja, yang pernah menyaksikan bagaimana Agung Sedayu mampu membunuh Ki Samepa.
Karena itu, maka nampaknya Ki Manuhara tidak mempunyai pilihan lain. Mereka berdua tidak akan mampu menghadapi tiga orang yang berilmu tinggi itu. Mungkin Agung Sedayu akan menghadapi Ki Manuhara, sementara Bajang Bertangan Baja tidak akan mampu menghadapi kedua orang anak muda yang disebutnya Pembunuh Lembu Jantan itu.
Dengan satu isyarat maka Ki Manuhara telah mengajak Bajang Bertangan Baja untuk menyingkir, sebelum Agung Sedayu melibatkan diri.
Agaknya Bajang Bertangan Baja itu pun segera tanggap. Karena itu maka keduanya pun tiba-tiba saja telah meloncat menghambur ke kegelapan.
Sabungsari dan Glagah Putih tidak membiarkan keduanya lepas begitu saja. Karena itu, maka keduanya pun segera berusaha mengejarnya.
Agung Sedayu yang berdiri di atas dinding tidak meloncat turun. Dibiarkannya Glagah Putih dan Sabungsari berusaha mengejar kedua orang yang melarikan diri itu.
Tetapi yang dijumpai oleh Sabungsari dan Glagah Putih kemudian adalah justru para pengawal yang mengawasi lorong-lorong di sèkitar rumah Agung Sedayu, sebagaimana mereka diminta.
Sementara itu Agung Sedayu sendiri justru telah berada di halaman belakang rumahnya kembali, la tidak mau meninggalkan rumahnya, karena orang-orang yang berilmu tinggi itu akan mampu mengelabuhi anak-anak muda yang mengejarnya itu dan justru kembali ke halaman rumah itu.
Tetapi ternyata bahwa Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara itu seakan-akan telah hilang begitu saja. Tidak seorang pengawal pun yang melihat mereka, sementara Glagah Putih dan Sabungsari juga kehilangan jejak.
“Mereka lenyap seperti iblis,“ desis Sabungsari di antara para pengawal.
“Kedua orang yang dikejar-kejar para peronda itu pun telah hilang pula,“ desis Prastawa.