Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 272

Buku 272

Pandan Wangi dan Sekar Mirah menundukkan kepalanya, matanya menjadi basah. Sementara Rara Wulan termangu-mangu. Sekali-sekali dipandanginya Ki Widura, kemudian Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Bahkan kemudian ia melihat dua orang cantrik yang menangis. Benar-benar menangis, sehingga terasa dada Rara Wulan ikut menjadi sesak oleh isaknya. Betapapun keduanya berusaha untuk bertahan, tetapi ternyata bahwa keduanya telah menangis.

“Jangan menangis,” berkata Agahan yang dianggap sebagai cantrik tertua, “di saat terakhir Kiai Gringsing masih sempat berkata, bahwa ia justru telah mendapatkan kesukaan besar. Ia telah diperkenankan menghadap Sumbernya dan dibebaskan dari derita yang berkepanjangan.” Agahan berhenti sejenak, lalu, “Bukankah kau percaya bahwa Yang Maha Adil itu juga Yang Maha Kasih?”

“Ya,” jawab kedua cantrik itu hampir berbareng di sela-sela isaknya.

“Jika demikian, kalian jangan menangis,” berkata Agahan yang agaknya telah menjadi lebih mengendap.

Kedua cantrik itu mengangguk. Mereka memang menjadi lebih tenang. Sementara itu Ki Widura berkata, “Cambuk ini adalah cambuk Kiai Gringsing. Karena Agung Sedayu dan Angger Swandaru telah memiliki cambuk, maka cambuk ini telah diberikannya kepadaku. Aku telah diserahi untuk selanjutnya memimpin padepokan ini.”

Para cantrik itu mengangguk-angguk. Agahan memang menjadi saksi, apa yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing di saat terakhirnya.

“Sekarang,” berkata Widura kepada Agahan, “biarlah para cantrik kembali kepada tugasnya. Padepokan ini tidak akan terhenti, sebagaimana perjalanan waktu. Kita menerima warisan dari Kiai Gringsing dan harus memeliharanya dengan baik. Melanjutkan kerja yang pernah dirintisnya dan melakukan ajaran-ajarannya dengan baik.”

Agahan mengangguk hormat. Sementara Ki Widura berkata selanjutnya, “Kau tahu apa yang harus kau lakukan sepeninggal Kiai Gringsing.”

“Ya, Ki Widura,” berkata Agahan, yang kemudian minta diri untuk menemui para cantrik. Demikian pula para cantrik yang berada di pendapa itu pun telah mengundurkan dirinya dan kembali kepada kawan-kawan mereka yang menunggu.

Ketika para cantrik kemudian telah tidak ada di pendapa, Pandan Wangi telah bertanya, “Apakah benar bahwa Kiai Gringsing telah tidak ada?”

Ki Widura mengangguk. Katanya, “Ya. Aku berkata sebenarnya. Kita memang bersedih. Rasa-rasanya begitu saja ia pergi setelah sekian lama kita mengenal dan menjadi keluarganya. Tetapi itulah yang terjadi. Kita tidak dapat mengelak dari kenyataan.”

“Kita memang menghadapi satu kenyataan,” berkata Sekar Mirah, “tetapi apa yang terjadi itu tidak pernah kita duga sebelumnya.”

“Ya,” sahut Ki Widura, “tetapi bagaimanapun juga, itulah yang terjadi.”

Kedua orang perempuan itu hanya dapat menunduk. Sementara Ki Widura berkata, “Nah, kau dapat berbicara dengan Angger Swandaru, Agung Sedayu. Bagaimana sebaiknya kita melakukan pesan-pesan terakhir Kiai Gringsing.”

“Ya Paman,” jawab Agung Sedayu dengan nada rendah. Namun kemudian katanya, “Kiai Gringsing berharap agar kitab yang berisi petunjuk tentang ilmu perguruan Orang Bercambuk itu, tataran-tataran serta petunjuk cara dan laku yang harus dijalani, latihan-latihan, serta beberapa tentang ilmu pengobatan, hendaknya berada di padepokan di saat-saat tidak dipergunakan. Kita masing-masing berhak untuk membaca dan mempelajari isinya untuk meningkatkan ilmu kita masing-masing, kapan kita menghendaki, bergantian sesuai dengan kebutuhan kita. Sedangkan yang aku maksud dengan kita adalah murid-murid utama Kiai Gringsing yang sekarang ada, yaitu aku, Adi Swandaru dan Paman Widura. Kemudian Kiai Gringsing mengijinkan Glagah Putih untuk melakukannya sebagaimana dilakukan oleh murid-murid utamanya, namun berada di dalam tanggung jawabku. Kemudian, siapa lagi yang akan diperkenankan untuk mempelajarinya langsung dari kitab itu, harus mendapat persetujuan kita bertiga.” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Bukankah begitu paman?”

“Sepengetahuanku memang demikian,” jawab Ki Widura, yang lalu bertanya kepada Swandaru, “Bukankah begitu?”

“Ya. Itulah pesan Guru,” jawab Swandaru.

“Kemudian Paman yang harus memimpin padepokan ini, serta bertanggung jawab atas keselamatan kitab itu jika kitab itu berada di sini,” berkata Agung Sedyu, yang lalu bertanya, “nah, siapakah yang memerlukan kitab itu sekarang?”

“Jika Kakang masih memerlukan, biarlah untuk sementara berada di Tanah Perdikan Menoreh. Aku ingin menganjurkan agar Kakang mempergunakan sebaik-baiknya. Bukankah Kakang adalah murid yang tertua di antara kita?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah mencoba untuk mempergunakannya sebaik-baiknya. Tetapi apakah Adi Swandaru tidak segera memerlukannya?”

“Tidak tergesa-gesa Kakang. Aku ingin mematangkan tingkat ilmuku yang sekarang. Jika aku menguasainya dengan baik pada tataran yang sekarang, maka aku kira bekalku sudah mencukupi. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan berhenti sampai sekian. Pada saat aku memerlukan kitab itu, aku akan mengatakannya kepada Kakang Agung Sedayu dan Paman Widura,” berkata Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sekilas ia teringat Glagah Putih, yang juga menyadap ilmu dari saluran ilmu Orang Bercambuk di samping cabang ilmu dari Ki Sadewa dan Ki Jayaraga.

Tetapi Glagah Putih sedang melakukan satu tugas yang khusus.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun berniat untuk menyerahkan kitab itu kepada Ki Widura untuk disimpan di padepokan. Namun lebih daripada itu, Ki Widura akan dapat serba sedikit meningkatkan ilmunya pula.

Ketiga orang murid utama Kiai Gringsing itu masih berbicara tentang beberapa hal yang menyangkut pesan terakhir Kiai Gringsing. Namun karena yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing bukan harta dan benda yang biasanya mudah memancing persoalan, maka pembicaraan di antara ketiga murid utamanya itu berlangsung dengan baik dan tanpa perbedaan pendapat yang tajam.

Namun baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah dengan demikian ikut mengetahui dengan pasti, apakah yang akan dilakukan oleh suami mereka masing-masing sebagai murid utama Kiai Gringsing.

Rara Wulan yang ikut mendengarkan pembicaraan itu, setiap kali mendengar nama Glagah Putih disebut-sebut. Bahkan menurut tangkapan Rara Wulan, Glagah Putih seakan-akan termasuk dalam urutan nama murid utama Kiai Gringsing, meskipun kedudukannya agak khusus karena ia masih harus berada di bawah pertanggungan jawab Agung Sedayu sebagai gurunya.

Namun di akhir pembicaraan itu, Agung Sedayu berkata, “Segala sesuatunya memang sudah lewat. Sementara itu, aku dituntut oleh kewajibanku untuk segera berada di Tanah Perdikan kembali. Namun di perjalanan kembali besok, aku akan singgah di Sangkal Putung. Meskipun demikian aku berharap bahwa Adi Swandaru dan Paman Widura masih berada di padepokan ini.”

Swandaru mengangguk-angguk. katanya, “Baiklah Kakang. Rumahku terhitung dekat dengan padepokan ini. Aku dapat setiap saat pulang dan kembali lagi kemari. Namun dalam sepekan aku masih akan menyelesaikan kesibukan di padepokan ini membantu Paman Widura. Tetapi aku berpesan jika besok Kakang dan Sekar Mirah singgah di Sangkal Putung, katakan kepada Ayah, jika ada yang penting dan aku harus pulang, biarlah Ayah memerintahkan satu dua orang menjemputku.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih. Jika saja aku tidak terikat oleh tugas seorang prajurit, maka aku akan tetap berada di padepokan ini untuk beberapa hari lagi.”

“Aku mengerti,” desis Ki Widura, yang pernah pula menjadi seorang prajurit.

Demikianlah, hari itu Agung Sedayu masih tetap berada di padepokan bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan, Mereka sudah merencanakan keesokan harinya untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, dan singgah barang sebentar di Sangkal Putung.

Namun dalam pada itu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih sempat berbicara di antara mereka, ketika Agung Sedayu dan Swandaru bersama dengan Ki Widura menemui para cantrik yang sedang sibuk pada tugas mereka masing-masing.

“Bagaimanapun juga aku tetap tidak mengerti,” berkata Sekar Mirah.

“Ya,” desis Pandan Wangi, “tetapi suami-suami kita tentu tidak akan mau memberikan penjelasan lebih banyak.”

“Bahkan rasa-rasanya aku tidak percaya atas apa yang terjadi menurut Ki Widura. Seperti cerita dalam mimpi. Aneh dan tidak dapat dicerna. Sementara itu Paman Widura, Kakang Swandaru dan Kakang Agung Sedayu, meskipun nampak muram, rasa-rasanya tidak seperti seseorang yang kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidup mereka,” berkata Sekar Mirah kemudian.

“Mereka pasrah dalam kepercayaan yang utuh. Agaknya demikian pula yang dikehendaki oleh Kiai Gringsing,” sahut Pandan Wangi. “Aku kadang-kadang tidak mengerti, apakah seseorang yang tidak menangisi orang yang paling berharga dalam hidupnya meninggalkannya untuk selama-lamanya, terhitung seorang yang tabah atau seorang yang tidak berjantung,” berkata Sekar Mirah hampir kepada diri sendiri.

“Memang sulit untuk membedakannya,” desis Pandan Wangi, “tetapi kedua-duanya memang dapat terjadi.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Namun iapun menganggap bahwa suaminya justru termasuk seorang yang tabah, seperti juga kakaknya Swandaru dan Ki Widura. Jika mereka tidak menangis seperti perempuan, bukan berarti bahwa hatinya tidak terluka dan kecewa. Namun seperti kata Pandan Wangi, bahwa murid-murid utama Kiai Gringsing telah pasrah dengan kepercayaan yang utuh.

Dalam pada itu, dua orang cantrik padepokan itu telah memberitahukan kepada Untara tentang keadaan Kiai Gringsing, sehingga menjelang malam Untara telah datang pula ke padepokan. Namun yang didapat oleh Untara adalah sekedar keterangan bahwa Kiai Gringsing telah meninggal dan dikuburkan sebagaimana seharusnya. Namun murid-murid Kiai Gringsing itu tidak dapat mengatakan, dimana Kiai Gringsing dikuburkan.

Untara mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya setelah mendengar penjelasan pamannya, Ki Widura.

Sepeninggal Untara, maka Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah pergi ke dalam biliknya, sementara Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Widura masih duduk beberapa lama di pendapa.

Mereka telah mendengar laporan Pandan Wangi dan Sekar Mirah tentang sekelompok orang yang datang ke padepokan, dan mereka sempat menengok para cantrik yang terluka.

Namun sebelum tengah malam mereka pun telah beristirahat pula. Apalagi Agung Sedayu yang di keesokan harinya akan kembali ke Tanah Perdikan dan singgah sejenak di Sangkal Putung.

Sementara itu Widura masih sekali lagi mengelilingi padepokannya, menjumpai para cantrik yang bertugas. Apa yang telah terjadi merupakan peringatan bagi mereka, bahwa mereka harus berhati-hati.

“Selama ini kita berusaha untuk berbuat baik. Tetapi kadang-kadang yang terjadi justru berbeda dari yang kita harapkan. Sekelompok orang telah memusuhi kita karena salah paham. Bahkan bukan sekedar salah paham. Tetapi orang-orang yang tidak mau mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi,” berkata Widura kepada para cantrik yang bertugas. Lalu katanya, “Karena itu kita harus berhati-hati.”

Tetapi malam itu tidak terjadi sesuatu di padepokan itu. Menjelang fajar, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah siap. Setelah minum minuman hangat dan makan ketela rebus yang masih mengepulkan asap, maka mereka pun telah minta diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dan singgah sebentar di Sangkal Putung.

Namun ketika mereka meninggalkan padepokan itu, terasa betapa jantung Agung Sedayu tergores oleh kegetiran yang mendalam. Kiai Gringsing yang singgah lama di dalam perjalanan hidupnya dan bahkan telah merubah sifatnya di masa kanak-kanaknya, begitu saja meninggalkannya. Di saat-saat terakhir. Kiai Gringsing tetap saja seorang yang sederhana sebagaimana masa hidupnya.

Tetapi Agung Sedayu tidak mau tenggelam dalam kegetiran perasaan itu. Ia masih harus mengemban banyak tugas yang tidak boleh berhenti karena meninggalnya Kiai Gringsing.

Perjalanan dari Jati Anom ke Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Kepada Rara Wulan, Sekar Mirah sempat bercerita tentang pohon randu alas yang dikenal sebagai sarang Gendruwo Bermata Satu.

“Kakangmu dahulu selalu ketakutan lewat di bawah pohon randu alas itu,” berkata Sekar Mirah,

Agung Sedayu yang mendengarkan tersenyum. Katanya, “Bukan hanya di bawah pohon randu alas sarang Gendruwo Bermata Satu aku menjadi ketakutan. Di dalam rumah pun aku selalu ketakutan jika harus tidur seorang diri.”

“Sekarang tidak lagi Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Tidak. Sekarang ada Mbokayumu Sekar Mirah,” jawab Agung Sedayu.

Rara Wulan tertawa. Sementara Sekar Mirah tersenyum saja sebagaimana Agung Sedayu.

Demikianlah, mereka melarikan kuda mereka menyusuri jalan yang menjadi semakin ramai dilalui orang, sehingga sarang Gendruwo Bermata Satu tidak lagi terasa menakutkan. Bahkan daerah Manahan pun bukan lagi daerah yang jarang diambah orang.

Teringat kepada Gendruwo Bermata Satu, maka Agung Sedayu pun teringat pula kepada Alap-Alap Jalatunda, Pande Besi Sendang Gabus, dan beberapa orang lagi yang waktu itu menjadi pengikut Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan, yang menginginkan untuk menguasai Sangkal Putung sebagai daerah subur untuk menjadi landasan perjuangan mereka selanjurnya, Namun rencana Macan Kepatihan itu dapat digagalkan oleh Untara, yang dengan cepat telah bertindak, membantu pasukan Ki Widura yang bertugas di Sangkal Putung.

Pada saat itulah Kiai Gringsing mulai hadir di dalam perjalanan hidupnya. Ia telah merombak sifat-sifatnya dan membuatnya menjadi seorang yang berilmu. Agung Sedayu tidak lagi gemetar melihat ujung keris yang bergetar. Tidak lagi merengek memanggil kakaknya Untara jika kawan-kawannya nakal. Tetapi Agung Sedayu kemudian ternyata mampu berdiri sendiri, dan bahkan kini menjadi seorang Lurah justru di Pasukan Khusus.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun seperti terbangun dari sebuah mimpi, Agung Sedayu mendengar Sekar Mirah berkata kepada Rara Wulan, “Kita sudah menjadi semakin dekat dengan Sangkal Putung. Di sebelah masih terdapat hutan yang meskipun tidak terlalu luas, tetapi memiliki berjenis-jenis binatang, termasuk binatang buas. Tetapi para petani yang sawahnya atau pategalannya hanya di antarai oleh padang perdu dengan hutan itu, telah mengenal watak hutan itu dengan baik, sehingga jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah terjadi, seorang petani diterkam oleh seekor harimau ketika sedang bekerja di sawah atau di ladangnya.”

Rara Wulan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Kenapa hutan itu tidak dibuka saja untuk dijadikan daerah persawahan atau pategalan, atau bahkan daerah pemukiman yang baru?”

“Pada saatnya sebagian dari hutan itu tentu akan dibuka. Namun bukankah hutan itu sendiri mempunyai arti yang khusus?” desis Sekar Mirah.

Rara Wulan hanya mengangguk-angguk saja. Ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka iapun melihat hutan yang justru masih lebih luas dan lebih lebat dari hutan yang disaksikannya di Sangkal Putung itu.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian mereka bertiga memasuki Kademangan Sangkal Putung. Meskipun mereka tidak tajam merasakan perbedaan antara Kademangan Sangkal Putung dan sekitarnya, namun rasa-rasanya mereka memang memasuki satu lingkungan yang lain, sebagaimana seseorang yang memasuki halaman rumah sendiri.

“Kita sudah sampai di rumah,” desis Sekar Mirah. Rara Wulan mengerti maksudnya, bahwa mereka telah berada di Kademangan Sangkal Putung.

Namun di luar sadarnya ia bertanya, “Dimanakah letak Banyu Asri?”

“O,” Sekar Mirah mengerutkan keningnya, “Banyu Asri justru terletak di sebelah barat Jati Anom. Tidak terlalu jauh. Hanya berantara beberapa patok saja.”

Agung Sedayu yang mendengar pertanyaan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku tidak secara khusus memperkenalkan Rara Wulan dengan Ki Widura. Meskipun aku sudah mengatakan serba sedikit tentang dirinya.”

“Aku sempat pula mengatakan, meskipun juga baru serba sedikit,” desis Sekar Mirah sambil memperlambat derap kaki kudanya.

Sekar Mirah sempat memandang Rara Wulan yang berkuda di sampingnya. Namun gadis itu hanya menunduk saja.

Demikianlah, mereka menyusuri tanah persawahan yang subur dan pategalan yang hijau rimbun dengan pohon buah-buahan. Sementara di bawah pohon-pohon buah-buahan di pategalan itu ditanam ketela pohon yang lebat. Pada pagar yang mengelilingi kotak-kotak pategalan merambat batang kacang panjang, yang daunnya sedang bersemi berwarna hijau muda, yang akan dapat menjadi sayuran yang segar.

Beberapa saat kemudian, maka mereka bertiga telah sampai ke padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Sebuah padukuhan yang terhitung besar. Bukan saja karena padukuhan itu cukup luas, tetapi isinya pun semakin lama menjadi semakin meningkat. Kesejahteraan hidup penghuninya, bahkan bukan saja penghuni padukuhan induk, tetapi para penghuni di seluruh Kademangan Sangkal Putung. Pasar yang bertambah ramai dan arus perdagangan yang semakin deras keluar masuk Kademangan Sangkal Putung dari kademangan-kademangan di sekitarnya. Sehingga Sangkal Putung seakan-akan menjadi pusat perdagangan antara beberapa Kademangan. Jalan-jalan yang menuju ke padukuhan induk diwarnai oleh jalur-jalur jejak roda pedati.

Sekar Mirah, anak Kademangan Sangkal Putung, merasa bangga melihat kademangannya yang menjadi mekar.

Demikianlah, beberapa patok kemudian, ketiga orang itu sudah berada di pintu gerbang halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Sebagaimana perkembangan kademangannya, maka rumah Ki Demang pun menjadi semakin cantik. Kehadiran Pandan Wangi di rumah itu memang membawa beberapa perubahan. Halamannya pun semakin lama menjadi semakin asri.

Ketika ketiganya memasuki halaman, maka dengan tergesa-gesa seorang pembantu di rumah Ki Demang yang sudah menginjak separo baya tergesa-gesa menyambutnya. Diletakkannya cangkulnya yang sedang dipergunakannya untuk menyiangi pohon bunga yang tumbuh di halaman.

“Marilah. Marilah naik ke pendapa. Ki Demang ada di belakang. Biarlah aku memanggilnya. Tetapi Swandaru tidak ada di rumah,” berkata orang itu.

“Aku baru saja datang dari Jati Anom. Aku sudah bertemu dengan Adi Swandaru di Jati Anom,” jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, ketiganya pun segera naik ke pendapa setelah mengikat kuda-kuda mereka di patok bambu di halaman. Sementara orang separuh baya itu dengan tergesa-gesa memberitahu Ki Demang Sangkal Putung, bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah datang.

Ki Demang pun dengan tergopoh-gopoh pula pergi ke pendapa untuk menemui anak dan menantunya.

Dengan gembira Ki Demang menerima mereka berdua. Namun seorang yang datang bersama anak dan menantunya itu rasa-rasanya belum dikenalnya.

“Apakah mata tuaku sajalah yang tidak lagi mampu mengenalinya?” berkata Ki Demang.

“Gadis ini bernama Rara Wulan, Ayah. Ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, menemani aku tinggal di rumah, karena Kakang Agung Sedayu sering berada di barak pasukannya,” jawab Sekar Mirah sambil tersenyum.

Ki Demang Sangkal Putung tersenyum sambil berdesis, “Bukankah itu memang kewajibannya?”

Sekar Mirah tidak menjawab. Namun kemudian katanya kepada Rara Wulan, “Marilah Rara. Kita melihat-lihat ke dalam. Kau sebaiknya mengenali keluargaku.”

“Masuklah,” desis Ki Demang.

Sekar Mirah pun kemudian telah mengajak Rara Wulan masuk ke dalam untuk menemui keluarganya.

Sementara itu di pendapa, Agung Sedayu telah menceritakan apa yang telah terjadi di padepokan. Sejak ia datang, sampai saatnya ia meninggalkan padepokan itu karena ia tidak dapat terlalu lama meninggalkan tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Demang Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ngger. Kau adalah seorang prajurit. Kau tidak lagi dapat meninggalkan Tanah Perdikan terlalu lama sebagaimana kau lakukan sebelumnya.”

“Karena itu, maka aku tinggalkan Adi Swandaru dengan istrinya di padepokan. Mungkin dalam waktu sepekan lagi mereka sudah akan pulang.”

“Kenapa Pandan Wangi juga tinggal di padepokan?” bertanya Ki Demang.

“Selain menemani Adi Swandaru, ia dapat membantu para cantrik,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Ki Demang mengangguk-angguk. Di padepokan itu tentu masih ada kesibukan-kesibukan lain yang memerlukan kehadiran Pandan Wangi. Tetapi Ki Demang itu kemudian berkata, “Seharusnya Pandan Wangi pulang barang satu dua hari. Jika ia harus kembali ke padepokan, ia dapat kembali. Sendiri atau dengan suaminya.”

“Kenapa Ki Demang?” berkata Agung Sedayu.

“Bukankah ia masih menyusui anaknya?” jawab Ki Demang.

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya, “Lalu bagaimana dengan bayi itu selama Adi Swandaru dan istrinya tidak ada?”

“Bayi itu sudah mau disuapi pisang. Kemudian tajin cair dengan gula kelapa. Untungnya anak itu makan cukup banyak. Tetapi sekali-sekali menangis juga mencari ibunya,” jawab Ki Demang.

“Jika demikian Ki Demang dapat mengirimkan dua atau tiga orang menjemputnya,” berkata Agung Sedayu, yang justru ikut memikirkan keadaan bayi itu.

Ki Demang mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi bayi itu sudah mulai disuapi nasi lembut dengan gula kelapa pula, selain pisang.”

“Tetapi apakah sudah waktunya anak itu makan nasi, meskipun lembut?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Demang tersenyum. Katanya, “Sudah. Nasi lembut dan gula kelapa membuatnya menjadi anak yang gemuk dan sehat.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkan perasaannya, namun sebenarnyalah ia menyadari bahwa ia masih belum diperkenankan menimang seorang anak. Ia tidak tahu, apakah pada suatu saat Yang Maha Pencipta akan memberikan kesempatan kepadanya untuk menimang seorang anak atau tidak.

Bahkan Agung Sedayu pun tahu, bahwa setelah mereka meninggalkan Sangkal Putung, Sekar Mirah akan merenung untuk satu dua hari. Istrinya memang sudah merindukan seorang anak.

Selagi Agung Sedayu merenung sejenak, Sekar Mirah telah keluar lagi ke pendapa diikuti oleh Rara Wulan sambil menggendong bayi yang gemuk dan sehat. Namun demikian Sekar Mirah duduk di pendapa, maka anak itu telah menangis.

Agung Sedayu tersenyum. Tangis bayi itu begitu keras menghentak.

“Anak ini tentu anak yang sangat sehat,” desis Agung Sedayu sambil menyentuh pipi bayi itu. Namun justru karena itu tangisnya menjadi semakin keras.

“Cup, cup,” Sekar Mirah mencoba menenangkan anak itu. Tetapi tangisnya masih saja menggetarkan pendapa Kademangan. Sehingga karena itu, maka Sekar Mirah harus berdiri lagi sambil berusaha untuk mengurangi tangis anak di gendongannya itu.

“Marilah, kita pergi ke kebun,” desis Sekar Mirah mengajak Rara Wulan.

Demikian keduanya turun dari pendapa, maka terasa angin yang sejuk mengusap wajah bayi itu, sehingga ia pun terdiam.

Ki Demang tertawa. Katanya, “Cucuku nakal sekali. Tetapi tangisnya membuat rumah ini menjadi hidup.”

Agung Sedayu pun tersenyum. Katanya, “Ya. Meskipun masih bayi, anak itu sudah menunjukkan kelebihannya. Tangisnya seolah-olah sudah menggemakan Aji Sangga Buwana.”

Ki Demang pun tertawa semakin keras. Katanya, “Mudah-mudahan anak itu kelak benar-benar mampu menguasai Aji Sangga Buwana, meskipun sekarang jenis Aji itu seakan-akan tidak pernah muncul lagi.”

Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan berjalan-jalan di halaman, seorang pembantu di rumah itu telah menghidangkan minuman hangat dan makanan beberapa potong.

“Marilah Ngger,” Ki Demang mempersilahkan, “kebetulan kami sedang panen ketela pohon. Bukan yang di pategalan, tetapi sekedar di belakang. Sebagian telah dibuat sawut seperti yang telah dihidangkan. Mumpung masih hangat, dengan serundeng kelapa yang masih agak muda.”

“Terima kasih Ki Demang,” sahut Agung Sedayu.

Sambil makan sawut, Agung Sedayu dan Ki Demang masih saja berbicara tentang padepokan Orang Bercambuk. Kepergian Kiai Gringsing yang terasa tiba-tiba meskipun sudah cukup lama kesehatannya semakin menurun, sehingga di saat-saat terakhir orang yang berilmu sangat tinggi itu menjadi semakin lemah.

Namun rencana Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk hanya singgah sebentar di Sangkal Putung, sulit untuk dilakukan. Ki Demang dan seluruh keluarganya tidak melepaskan Sekar Mirah terlalu cepat pergi.

Ketika Agung Sedayu mengatakan bahwa tugasnya tidak boleh terlalu lama ditinggalkan, maka orang-orang tua di Sangkal Putung berkata, “Aku tidak peduli. Tetapi Mirah tidak boleh tergesa-gesa pergi. Nanti sesudah makan. Orang-orang di dapur sudah terlanjur masak. Menangkap tiga ekor ayam dan menyembelihnya.”

“Tiga?” Sekar Mirah mengerutkan dahinya.

“Ya, tiga. Kenapa?” bertanya Ki Demang.

Sekar Mirah termangu-mangu. Namun Agung Sedayu pun tertawa. Katanya, “Dua ekor untuk aku sendiri.”

Ki Demang pun tertawa.

Sebenarnyalah, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan harus menunggu sampai matahari melewati puncaknya. Mereka dipersilahkan untuk makan siang bersama-sama dengan keluarga Kademangan Sangkal Putung.

Baru setelah beristirahat sejenak, mereka dapat minta diri untuk meneruskan perjalanan.

“Besok, dalam kesempatan tersendiri, kami akan datang lagi,” berkata Sekar Mirah, “aku akan bermalam sepekan di rumah ini.”

Ki Demang tersenyum. Katanya, “Baiklah. Sekarang aku tidak menahanmu lagi. Tetapi pada kesempatan lain, kalian harus bermalam di sini.”

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah minta diri. Sekar Mirah dan Rara Wulan menyempatkan diri untuk mencium anak Swandaru yang tersenyum sambil meraba-raba rambut Sekar Mirah yang seakan-akan tidak ingin melepaskan anak yang gemuk dan sehat itu. Apalagi ketika Sekar Mirah sempat melihat anak itu makan sebuah pisang. Begitu cepatnya habis lewat kerongkongannya yang kecil.

Namun akhirnya mereka bertiga pun meninggalkan Kademangan Sangkal Putung.

“Kita bermalam lagi di Mataram,” berkata Agung Sedayu, “aku harus bertemu lebih dahulu dengan Glagah Putih sebelum kita meneruskan perjalanan kembali ke Tanah Perdikan.”

Sekar Mirah mengangguk. Ia tahu bahwa Glagah Putih harus mendengar apa yang telah terjadi di padepokan Orang Bercambuk, apalagi pesan-pesan terakhir Kiai Gringsing telah menyebut namanya pula.

Yang pertama-tama mereka singgahi di Mataram adalah rumah Ki Lurah Branjangan. Tetapi mereka tidak akan bermalam di rumah itu sebagaimana mereka berangkat ke Jati Anom.

“Sebelum kita menemui Glagah Putih, aku akan bertemu lebih dahulu dengan Ki Wirayuda,” berkata Agung Sedayu, “dari Ki Wirayuda kita akan mendapat banyak keterangan. Seandainya ada perkembangan baru, maka agaknya ia akan tidak berkeberatan untuk mengatakannya. Sementara itu kalian berdua dapat beristirahat dan berbenah diri, sebelum kita pergi menemui Glagah Putih.”

Ketika Agung Sedayu kemudian bertemu lagi dengan Ki Wirayuda, maka iapun telah mendapat beberapa keterangan tentang perkembangan terakhir. Namun ternyata selama beberapa hari masih belum nampak persoalan-persoalan yang terasa cukup gawat.

“Glagah Putih sudah tahu bahwa kau pergi ke Jati Anom. Kemarin ia datang kemari untuk melihat-lihat keadaanku bersama Sabungsari,” berkata Ki Wirayuda.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun mengatakan bahwa ia ingin menemui Glagah Putih.

“Ia sebaiknya mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi di Jati Anom,” berkata Agung Sedayu yang kemudian sempat juga bercerita tentang keadaan padepokan Orang Bercambuk.

“Aku ikut berbela sungkawa dengan meninggalnya gurumu itu,” berkata Ki Wirayuda.

“Terima kasih Ki Wirayuda,” jawab Agung Sedayu, “begitu cepatnya hal itu terjadi.”

“Tetapi sudah banyak yang ditinggalkan oleh gurumu itu,” berkata Ki Wirayuda.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Wirayuda. Jika besok aku kembali ke Tanah Perdikan tanpa sempat minta diri lagi, maka aku menitipkan Glagah Putih dan kelompoknya kepadamu.”

“Mereka selalu menghubungi aku,” jawab Ki Wirayuda.

“Mereka adalah anak-anak muda. Apalagi tanpa Ki Jayaraga. Mereka harus dikendalikan dengan ketat, agar kehadiran mereka justru tidak menimbulkan persoalan baru,” berkata Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Setelah gerombolan yang dikendalikan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu dapat dihancurkan, maka persoalan-persoalan baru akan dapat timbul.”

“Kami sudah memikirkannya,” jawab Ki Wirayuda, “namun nampaknya Sabungsari dan Glagah Putih mempunyai pandangan yang cukup luas dan bertanggung jawab.”

“Syukurlah jika mereka bukannya semakin menyulitkan tugas Ki Wirayuda,” desis Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri untuk pergi menemui Glagah Putih.

Sejenak kemudian maka Agung Sedayu yang telah singgah di rumah Ki Lurah Branjangan, bersama-sama dengan Sekar Mirah dan Rara Wulan telah meninggalkan Kotaraja menuju ke sarang kelompok anak-anak muda yang menyebut nama kelompoknya Gajah Liwung.

Namun ternyata perjalanan mereka tidak serancak sebelumnya. Baru beberapa ratus patok dari dinding Kotaraja, mereka telah bertemu dengan beberapa orang anak-anak muda yang berkuda pula menyusuri jalan yang sama, namun dengan arah yang berbeda.

Agung Sedayu yang semula berada di belakang, telah melewati Sekar Mirah dan Rara Wulan sehingga ia berada di paling depan. Namun Agung Sedayu telah berpesan kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, “Jangan perhatikan mereka. Anggaplah bahwa kita berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar.”

Sekar Mirah tidak menyahut. Anak-anak muda yang memacu kudanya sesuka hati itu telah menjadi terlalu dekat. Bahkan kemudian mereka pun telah berpapasan tanpa saling menegur. Debu yang kelabu berhamburan mengotori udara.

Namun Agung Sedayu menarik nafas panjang, meskipun harus menutupi lubang lubang hidungnya dengan telapak tangannya.

Tetapi dahinya pun kemudian berkerut, ketika ia mengetahui, bahwa beberapa orang anak muda itu telah berbalik dan menyusulnya.

Agung Sedayu berpaling. Anak-anak muda itu memang berbalik arah. Nampaknya mereka melihat sesuatu yang menarik perhatian mereka.

“Tentu Sekar Mirah dan Rara Wulan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, beberapa orang berkuda itu tidak begitu saja melampaui mereka bertiga. Tetapi beberapa orang dengan sengaja telah berada di sebelah Rara Wulan sambil memperhatikan wajahnya dan wajah Sekar Mirah.

Tiba-tiba saja seorang di antara mereka berteriak, “Kau benar! Dua di antara mereka adalah perempuan! Kedua-duanya cantik, meskipun memakai ikat kepala dan berpakaian seperti laki-laki.”

“Nah, baru kau percaya terhadap ketajaman mataku menangkap bentuk perempuan,” sahut yang lain, “agaknya kebanyakan orang tentu tidak mengira bahwa mereka adalah perempuan.”

Rara Wulan dan Sekar Mirah sama sekali tidak berpaling. Seperti pesan Agung Sedayu, mereka tidak menghiraukan anak-anak muda itu. Tetapi keduanya mulai gelisah, ketika anak-anak muda itu masih saja mengikutinya, bahkan di sebelahnya. Seorang yang lain mendahului mereka, dan setelah memandangi Agung Sedayu sejenak, iapun berteriak, “Kalau yang ini nampaknya benar-benar seorang laki-laki.”

Sambil tertawa seorang yang lain berteriak. “Itu bagianmu. Biarlah aku memilih dua orang yang di belakang.”

Beberapa orang anak muda itu tertawa serentak. Suaranya sangat menyakitkan telinga.

Sementara itu, anak muda yang berada di sebelah Agung Sedayu telah berusaha menggapai kendali kudanya dan menariknya, sehingga kuda Agung Sedayu agak terkejut. Tetapi kemudian justru berhenti, ketika anak muda itu juga menghentikan kudanya.

Dengan demikian, maka dengan sendirinya yang lain pun telah berhenti pula.

“Apa yang kalian kehendaki Anak-Anak Muda?” bertanya Agung Sedayu.

“Ki Sanak,” berkata anak muda itu, “apakah kalian tergesa-gesa?”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Kita dapat berhenti sebentar. Berbincang-bincang dan saling memperkenalkan diri. Kedua kawanmu itu sangat menarik perhatian kawan-kawanku,” berkata anak muda itu.

“Maaf Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu, “kami memang tergesa-gesa.”

“Kenapa?” bertanya anak muda itu.

“Kami sedang menyelesaikan persoalan keluarga yang sangat penting,” jawab Agung Sedayu.

Tetapi jawaban anak muda itu benar-benar mengejutkan, “Baiklah. Jika demikian pergilah. Tinggalkan kedua orang kawanmu. Nanti jika persoalanmu sudah selesai, maka kau dapat mengambil kedua kawanmu ini.”

Kening Agung Sedayu berkerut. Ia terbiasa berusaha untuk menyabarkan diri. Tetapi karena sasaran anak-anak muda itu adalah istrinya, maka Agung Sedayu benar-benar tersinggung.

Karena itu, maka katanya, “Keduanya bukan sekedar kawan seperjalanan. Tetapi yang seorang adalah istriku, dan yang lain adalah adikku.”

“O,” anak muda itu mengangguk-angguk, “satu kebetulan. Apakah kau mengijinkan istri dan adikmu tinggal bersama kami selama kau menyelesaikan persoalan keluargamu?”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja kakinya telah menyentuh perut kuda anak muda itu, sehingga kuda itu terkejut. Dengan serta merta kuda itu meringkik sambil berdiri pada kedua kaki belakangnya, namun kemudian segera berloncat berlari.

Anak muda di punggung kuda itu tidak siap menghadapi sikap kudanya itu. Karena itu, maka iapun telah terpelanting dan jatuh di atas tanggul parit dan sekaligus terguling ke dalam air, yang untung tidak cukup dalam untuk membenamkan tubuhnya yang terbaring.

Sambil menyeringai kesakitan anak muda yang basah kuyup bahkan penuh dengan lumpur itu berusaha bangkit. Namun anak-anak muda itu terkejut ketika mereka mendengar Rara Wulan tertawa menghentak.

“Kau menjadi semakin tampan anak manis,” Rara Wulan hampir berteriak di sela-sela suara tertawanya.

Sekar Mirah justru menggamitnya. Tetapi agaknya Rara Wulan memang dengan sengaja membuat anak-anak muda itu marah. Karena itu maka iapun telah berkata, “Kenapa kau tiba-tiba saja ingin mandi? Mungkin kau tiba-tiba saja jatuh cinta melihat aku dan mbokayuku, sehingga kau perlu membenahi dirimu agar kau kelihatan lebih tampan dari kakakku.”

“Rara,” desis Sekar Mirah.

Tetapi Rara Wulan nampaknya sudah untuk beberapa lama menahan kemarahannya. Karena itu, seakan-akan ia tidak mendengar panggilan Sekar Mirah.

Anak-anak muda itu memang marah. Ketika anak muda yang jatuh menimpa tanggul itu berusaha untuk bangkit, maka terasa punggungnya sakit sekali.

Karena itu, bersandar pada sebelah tangannya ia menunjuk kepada Agung Sedayu sambil berkata, “Tangkap anak itu. Ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.”

Tetapi sebelum mulutnya terkatup rapat, ternyata Rara Wulan telah menarik cemeti kudanya yang tidak begitu panjang. Dengan derasnya ia mencambuk kuda anak muda yang ada di dekatnya, yang beberapa lama mendampinginya sambil selalu saja memandangi wajahnya. Rara Wulan berharap agar kuda itu juga meloncat seperti kuda anak muda yang terjatuh di tanggul parit itu.

Sebenarnyalah kuda itu pun terkejut, melonjak dan berlari. Seperti yang diharapkan, maka anak muda itu pun terjatuh dari punggung kudanya. Tetapi anak muda itu ternyata bernasib lebih baik. Ia tidak terbanting dan tidak menimpa tanggul parit. Tetapi ia jatuh di atas jalan berdebu.

Dengan cepat anak muda itu bangkit sambil mengumpat kasar. Namun ternyata Rara Wulan benar-benar tangkas. Kudanya dengan cepat bergerak. Kaki gadis itu sempat menyambar kening anak muda yang bangkit itu.

Sekali lagi anak itu terdorong beberapa langkah dan jatuh terlentang. Sementara kuda Rara Wulan berputar sambil melontarkan debu.

Beberapa orang anak muda yang lain terkejut melihat peristiwa itu. Hampir serentak mereka bersiap. Namun sekali lagi, sesaat sebelum mereka bergerak, mereka terkejut ketika Rara Wulan tiba-tiba saja telah menarik pedangnya.

Dengan lantang gadis itu berkata, “Ayo, siapa yang ingin mati lebih dahulu?”

Anak-anak muda itu termangu-mangu. Seorang di antara mereka berkata dengan geram, “Apa kau sadari, apa yang kau lakukan itu?”

“Aku sadar sepenuhnya. Aku tantang kalian untuk bertempur. Jika ada di antara kalian yang jantan, dan berani bertempur seorang melawan seorang, aku akan melayani dengan senang hati. Tetapi jika kalian laki-laki yang berhati betina, maka kalian dapat bertempur berpasangan,” jawab Rara Wulan.

Anak-anak muda itu justru menjadi ragu-ragu. Sekar Mirah dan Agung Sedayu sama sekali tidak dapat mencegah lagi. Mereka mengerti perasaan Rara Wulan terhadap sikap anak-anak muda itu.

Ternyata tidak seorangpun di antara anak-anak muda itu yang berani menyatakan diri untuk bertempur melawan gadis yang marah itu. Sehingga karena itu, maka mereka hanya berdiam diri saja mematung di atas punggung kuda mereka. Sementara itu kedua orang yang terjatuh dari kuda-kuda mereka berdiri termangu-mangu dengan keseimbangan yang masih goyah.

Karena anak-anak muda itu tidak ada yang menjawab, maka justru Rara Wulan-lah yang bertanya, “He Anak-Anak Muda, siapakah sebenarnya kalian? Dari kelompok Kelabang Ireng, Macan Putih, Sidat Macan atau Gajah Liwung?”

Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka menjawab, “Kami dari kelompok Gajah Liwung.”

Rara Wulan mengerutkan keningnya lalu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia menjawab, “Jadi kalian bagian dari orang-orang yang telah merampok beberapa orang di Mataram, dan terakhir berusaha untuk merampok rumah Ki Patih Mandaraka? Bagus. Jika demikian, kalian memang harus ditangkap atau dihancurkan sekarang juga.”

Anak-anak muda itu benar-benar menjadi bingung menghadapi sikap Rara Wulan. Apalagi ketika Rara Wulan berkata, “Bersiaplah. Tarik senjata kalian jika kalian punya. Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung memang harus ditangkap atau dihancurkan sampai orang yang terakhir.”

“Tidak,” tiba-tiba seorang di antara mereka berkata, “kami bukan dari kelompok Gajah Liwung yang merampok. Kami adalah anggota Gajah Liwung yang justru sebaliknya.”

“Jika kau dari kelompok Gajah Liwung yang lain, maka kau termasuk anak-anak muda yang berani. Ayo, lawan aku!” Rara Wulan berkata semakin lantang. Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka benar-benar tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Seakan-akan segala pilihan akan mengakibatkan kesulitan bagi mereka.

Beberapa saat anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba tanpa aba-aba dari siapapun, maka mereka telah menghentakkan kendali kudanya. Kuda-kuda itu pun mulai bergerak. Kemudian satu-satu berpacu meninggalkan gadis yang garang itu.

Dua orang kawan mereka yang tertinggal itu pun berteriak. Tetapi tidak seorangpun di antara kawan-kawan mereka yang berhenti.

Rara Wulan tidak memburu mereka. Dipandanginya kedua orang yang terjatuh dari kudanya. Dengan geram ia berkata, “Nah, hanya kalian berdua sajalah yang tinggal. Sekarang, kalian berdua harus memikul hukuman yang seharusnya ditimpakan kepada kawan-kawanmu.” 

“Ampun. Kami mohon ampun,” minta anak-anak muda itu.

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Namun sambil menyarungkan pedangnya ia berkata, “Aku akan mengampunimu. Pergilah.”

Kedua orang itu justru menjadi bingung, sehingga Rara Wulan membentak lagi, “Pergi! Cepat pergi atau aku akan mengambil keputusan lain.”

Kedua orang anak muda yang kesakitan itu tertatih-tatih meninggalkan Rara Wulan. Mereka tidak mempunyai kuda lagi, karena kuda mereka telah berlari menjauh.

Rara Wulan tertawa. Semakin lama semakin keras. Katanya, “Nah, sekali-sekali kau harus berjalan kaki menyusuri jalan berdebu.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka tidak berbuat sesuatu. Dibiarkannya Rara Wulan mentertawakan anak-anak muda yang telah membuatnya marah.

Namun akhirnya Rara Wulan itu berhenti tertawa. Sambil berpaling kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah ia berkata, “Jika saja tidak ada Kakang dan Mbokayu di sini, aku ingin menghajar anak-anak itu.”

“Sudahlah,” desis Agung Sedayu, “kita akan melanjutkan perjalanan.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi iapun telah menempatkan kudanya di sebelah Sekar Mirah.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun telah melanjutkan perjalanan. Agung Sedayu melarikan kudanya agak cepat agar mereka dapat segera bertemu dengan Glagah Putih. Tetapi juga untuk menghindari kemungkinan yang tidak mereka harapkan, karena jika anak-anak muda itu sempat berbuat lebih jauh dengan mengajak kawan-kawan mereka lebih banyak, maka persoalannya akan segera berkembang.

Karena itu, jika mereka dengan cepat meninggalkan tempat itu, maka anak-anak muda itu tidak akan dapat mengetahui kemana arah kepergian mereka. Apalagi langit pun menjadi semakin suram, sehingga beberapa saat kemudian, senja pun telah turun.

Meskipun malam menjadi semakin gelap, namun ketiga orang itu masih saja meneruskan perjalanan. Pandangan mata mereka yang terlatih, masih tetap mampu menembus kegelapan, bahkan di lebatnya pepohonan padukuhan sekalipun.

Ketika mereka bertiga sampai di sebuah rumah yang dipergunakan oleh anggota kelompok Gajah Liwung, maka mereka pun berhenti sejenak. Regol halaman rumah itu ternyata tertutup.

Agung Sedayu yang kemudian meloncat turun dan mendorong pintu yang tertutup itu, perlahan-lahan telah membukanya. Dari celah-celah pintu yang terbuka itu, dilihatnya dua orang masih duduk di pendapa rumah itu.

Kedua orang yang duduk dipendapa itu pun melihat pintu regol terbuka. Mereka pun kemudian melihat seseorang berdiri di pintu. Namun kemudian mereka melihat tiga orang sambil menuntun kuda memasuki halaman rumah itu.

Kedua orang yang duduk di pendapa itu segera berdiri. Keduanya ternyata adalah Sabungsari dan Rumeksa.

“Agung Sedayu,” desis Sabungsari, setelah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan memasuki sentuhan cahaya lampu minyak di pendapa. Kemudian katanya kepada Rumeksa, “Panggil Glagah Putih dan kawan-kawan.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka di pendapa rumah itu telah duduk Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan, ditemui oleh para anggota kelompok Gajah Liwung. Namun Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya sedang berada di rumahnya yang disebutnya pesanggrahan.

Setelah berbincang-bincang sejenak, maka Agung Sedayu pun kemudian minta kesempatan untuk berbicara dengan Glagah Putih tanpa orang lain, karena persoalannya menyangkut persoalan perguruan.

“Marilah. Silahkan. Biarlah kami berada di ruang dalam,” berkata Sabungsari.

“Tidak,” sahut Agung Sedayu, “biarlah kalian di sini bersama istriku dan Rara Wulan. Kalian dapat menceritakan pengalaman kalian selama ini. Rara Wulan tentu akan senang sekali mendengarkannya. Tetapi memang belum saatnya ia kembali memasuki kelompok Gajah Liwung.”

Dengan demikian, maka Agung Sedayu-lah yang kemudian pergi ke ruang dalam bersama Glagah Putih, untuk menceritakan apa yang terjadi di Jati Anom.

“Kenapa Kakang tidak singgah barang sejenak saat Kakang berangkat ke Jati Anom?” berkata Glagah Putih.

“Aku sama sekali tidak berpikir bahwa saat-saat terakhir Kiai Gringsing telah sampai,” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu di pendapa, Sabungsari dan kawan-kawannya tengah bercerita tentang pertempuran di halaman Kepatihan.

“Sayang aku tidak dapat ikut,” desis Rara Wulan.

“Sangat berbahaya bagimu Rara,” sahut Sekar Mirah. Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sementara anak-anak Gajah Liwung itu sempat pula bercerita bagaimana Ki Ajar Gurawa mengelabuhi dan berhasil menyusup ke dalam gerombolan yang juga menyebut namanya Gajah Liwung.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ternyata ada orang lain lagi yang menamakan diri Gajah Liwung.”

“Siapa?” Sabungsari menjadi tertarik karenanya.

Rara Wulanpun bercerita bahwa ia telah bertemu dengan beberapa orang anak muda yang mengaku anak-anak Gajah Liwung. Tetapi mereka nampak kebingungan ketika mereka harus menyebut Gajah Liwung yang mana.

Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun kemudian Katanya, “Meskipun mungkin saat itu mereka dengan serta merta saja menyebut nama Gajah Liwung, tetapi bahwa nama itu mendapat banyak perhatian, harus kita sadari sepenuhnya.”

“Ya. Mungkin beberapa saat kemudian, kelompok ini akan menjadi pusat perhatian banyak orang,” berkata Rara Wulan

Sabungsari pun mengangguk-angguk pula, sebagaimana kawan-kawannya yang lain, yang memang melihat kemungkinan sebagaimana dikatakan oleh Rara Wulan itu.

Selagi anak-anak anggota Gajah Liwung itu berbincang dengan Sekar Mirah dan Rara Wulan tentang peristiwa terakhir yang mencengkam Mataram, maka dengan sungguh-sungguh Agung Sedayu berbincang dengan Glagah Putih. Agung Sedayu pun telah mengatakan kedudukan Glagah Putih di dalam susunan murid Kiai Gringsing.

“Kau termasuk salah seorang murid utama, namun masih harus berada di bawah tanggung jawabku. Kau diakui sebagai seseorang yang disejajarkan dengan para murid utama Kiai Gringsing melalui aku. Satu kedudukan yang tidak terbiasa dalam satu perguruan. Namun anggap saja bahwa aku mendapat wewenang untuk mengasuhmu dan memberikan segala jenis ilmu yang aku dapatkan dari perguruan Orang Bercambuk itu. Kecuali itu, maka kau pun diperkenankan langsung mempelajari ilmu Orang Bercambuk lewat kitabnya yang berisi petunjuk, ajaran dan laku yang wajib dijalani jika kau benar-benar ingin disebut murid dari perguruan Orang Bercambuk,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia telah mendengar segalanya tentang Kiai Gringsing di saat-saat terakhirnya. Bagaimana orang tua itu menyingkir dari padepokannya.

“Kiai Gringsing adalah seorang yang rendah hati sampai saat terakhirnya,” berkata Agung Sedayu, “karena itu, ia telah mengambil langkah yang tidak banyak dilakukan orang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Seharusnya aku sempat mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan hati Kiai Gringsing.”

“Aku sudah menyampaikannya. Aku sudah mengatakan bahwa kau tentu akan sangat berterima kasih atas segala kesempatan khusus yang telah diberikan oleh Kiai Gringsing,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Katanya, “Rasa-rasanya aku ingin sekali mengunjungi padepokan kecil itu.”

“Kau selesaikan dahulu kewajibanmu di sini,” berkata Agung Sedayu dengan nada rendah. Lalu katanya pula, “Yang terpenting bagi Kiai Gringsing adalah pengamalan ilmu yang kau sadap daripadanya, sehingga ilmumu itu berguna bagi orang banyak.”

“Ya Kakang,” desis Glagah Putih kemudian.

“Keinginan Kiai Gringsing ini sejalan dengan keinginan gurumu yang seorang lagi, Ki Jayaraga, yang meskipun tingkat kemampuannya belum sejajar dengan Kiai Gringsing, namun ia juga seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun selama ini ia telah dikecewakan oleh murid-muridnya yang terdahulu. Tidak seorangpun murid Ki Jayaraga yang dapat memberikan arti bagi pergaulan manusia. Justru sebaliknya. Mereka telah mempergunakan ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga untuk kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan orang banyak. Bahkan untuk melakukan kejahatan. Nah, harapannya sekarang tinggal bertumpu kepadamu.” Agung Sedayu berhenti sejenak. Namun kemudian ia berkata pula, “Sedangkan jalur ilmumu yang satu lagi, jalur ilmu yang diturunkan oleh Ki Sadewa, juga menuntut agar kau tetap menjaga nama baiknya. Ki Sadewa adalah seorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan. Dan kesemuanya itu merupakan bagian dari pengabdian kepada sesama.”

“Ya Kakang,” Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Tentu saja hal itu kau lakukan dalam ujud persembahanmu kepada Yang Maha Agung, karena persembahan yang paling berharga adalah seluruh hidupmu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa betapa berat tanggung jawab yang harus dipikulnya, justru karena ia memiliki berbagai macam ilmu. Namun sejak semula ia sudah menyadari akan beban yang harus ditanggungkannya.

Karena itu maka Glagah Putih memang tidak akan ingkar dari beban dan tanggung jawabnya itu.

Untuk beberapa lama Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berbincang. Berbagai nasehat telah diberikan oleh Agung Sedayu, agar Glagah Putih tidak salah menafsirkan pengakuan Kiai Gringsing dan menganggapnya sebagai salah satu di antara murid utamanya, meskipun masih dengan beberapa keterangan khusus.

Namun agaknya Glagah Putih dapat mengerti. Ia menyadari sepenuhnya akan keadaannya.

Keduanya ternyata tidak mempunyai perbedaan pendapat atas semua pesan Kiai Gringsing. Apalagi Glagah Putih yang dapat menempatkan dirinya sebagai murid Agung Sedayu, dan bahkan juga sebagai saudara muda sepupunya. Karena itu, maka semua petunjuk dan nasehat Agung Sedayu merupakan pegangan yang sangat berarti baginya di kemudian hari,

Namun dalam pada itu, keduanya pun kemudian telah dikejutkan oleh suara ayam jantan yang berkokok bersahutan. Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu berdesis, “Baru tengah malam.”

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “kokok ayam untuk yang kedua kalinya.”

“O,” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, “sudah dini.”

Namun masih didengar pembicaraan yang ramai di pendapa. Nampaknya Rara Wulan masih tidak puas-puasnya mendengar cerita tentang permainan Ki Ajar Gurawa, usahanya yang berhasil memasuki gerombolan yang ternyata bukan saja sekedar merampok, tetapi justru berniat membunuh Ki Patih Mandaraka untuk memperlemah kedudukan Mataram. Selanjutnya pertempuran yang berlangsung di Kepatihan itu sendiri memang sangat menarik untuk diulang-ulang. Ternyata Rara Wulan telah bertanya tentang pertempuran di Kepatihan itu sampai ke bagian-bagian yang sekecil-kecilnya. Bahkan di antara anak-anak Gajah Liwung telah menceritakan pula bagaimana Glagah Putih menyelamatkan Ki Wirayuda dan sekaligus memecahkan tangga pendapa Kepatihan.

Rara Wulan memang mengagumi Glagah Putih. Apalagi ilmunya yang semakin tinggi. Bahkan namanya sudah disebut-sebut sebagai murid utama Kiai Gringsing. Meskipun Kiai Gringsing sudah tidak ada, tetapi pengakuan itu dapat dijadikan ukuran, bahwa Glagah Putih sudah pantas untuk disebut murid utama karena ilmunya sudah memadai. Khususnya yang bersumber dari perguruan Orang Bercambuk lewat Agung Sedayu, meskipun semula yang terbanyak Glagah Putih meyadap ilmu dari keturunan ilmu Ki Sadewa.

Dalam pada itu, setelah pesan-pesan Agung Sedayu kepada Glagah Putih dianggap cukup, maka Agung Sedayu pun mengajak Glagah Putih untuk keluar lagi ke pendapa sambil bertanya, “Apakah ada tempat bagi Mbokayumu Sekar Mirah dan Rara Wulan di rumah ini?”

“Ada Kakang,” jawab Glagah Putih.

Dengan demikian, maka di sisa malam itu Sekar Mirah dan Rara Wulan masih sempat tidur di sebuah bilik yang tidak terlalu bersih. Namun keduanya dapat mengerti, karena di rumah itu tinggal sekelompok anak-anak muda saja tanpa seorang perempuan.

Ketika matahari terbit, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah bersiap untuk meneruskan perjalanan. Mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Setelah minum minuman hangat, maka ketiganya telah minta diri. Sementara Agung Sedayu sempat berkata kepada Glagah Putih, “Besok sajalah kau lihat sendiri kitab itu.”

“Ya Kakang,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun kemudian telah minta diri untuk meneruskan perjalanannya.

Ketika Agung Sedayu bertanya tentang jalan yang lain, maka anak-anak Gajah Liwung itu pun tanggap, bahwa mereka ingin menghindari anak-anak muda yang nakal dan telah mengganggunya ketika ia menuju ke padukuhan itu.

Sepeninggal Agung Sedayu, maka Glagah Putih telah minta kawan-kawannya untuk berkumpul. Katanya, “Ada pesan Kakang Agung Sedayu yang menarik. Juga pesan-pesannya yang lain ditujukan kepadaku, sebagai adik sepupunya, maka ada sedikit pesan yang dapat dibicarakan untuk dilaksanakan.”

“Pesan apa?” bertanya Sabungsari.

“Untuk mengurangi kenakalan anak-anak muda, maka Kakang Agung Sedayu mempunyai satu pikiran,” berkata Glagah Putih. “Hendaknya Mataram mengadakan semacam pertandingan yang dapat menyalurkan kenakalan anak-anak muda itu.”

“Pertandingan apa?” bertanya Rumeksa.

“Bermacam-macam. Misalnya ketrampilan naik kuda di alun-alun. Pertandingan memanah. Sodoran di atas punggung kuda, atau bertarung dengan binatang buas, atau kerbau atau lembu jantan,” berkata Glagah Putih.

“Menarik,” desis Sabungsari.

“Semalam, setelah pesan-pesan yang khusus diberikan kepadaku pribadi selesai, maka ia mulai memberikan pesan-pesan yang mungkin berarti bagi anak-anak muda Mataram,” berkata Glagah Putih.

Sabungsari mengangguk-angguk. Satu cara yang agaknya dapat ditempuh. Anak-anak muda yang ingin membanggakan diri dapat mengikuti pertandingan itu. Mereka dapat menyalurkan gejolak kemudaan mereka. Pertandingan di alun-alun akan lebih baik daripada mereka berkelahi di jalan-jalan. Mereka pun akan mendapat kepuasan yang lebih besar karena pertandingan itu akan dilihat oleh banyak orang.

Ternyata anggota Gajah Liwung yang lain juga berpendapat sama. Anak-anak muda yang merasa dirinya memiliki kemampuan dan sering memamerkan kemampuannya dengan cara yang tidak wajar, akan mendapat saluran yang baik untuk menunjukkan kemampuannya itu.

Karena itu, maka Sabungsari pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Wirayuda. Mudah-mudahan Ki Wirayuda sependapat dan menyampaikannya kepada Ki Patih Mandaraka.”

Dengan demikian, maka anak-anak muda yang termasuk dalam kelompok Gajah Liwung itu bersepakat untuk apabila diperlukan, membantu melaksanakan pertandingan itu. Mereka bersepakat bahwa mereka tidak akan ikut serta dalam pertandingan yang agaknya akan sangat menarik itu.

Demikianlah, di hari berikutnya, Sabungsari dan Glagah Putih telah pergi ke Kotaraja untuk bertemu dengan Ki Wirayuda yang sudah mulai membaik. Luka-lukanya sudah hampir sembuh, meskipun masih harus dirawat dengan baik.

“Kakangmu Agung Sedayu kemarin lusa datang kemari,” berkata Ki Wirayuda. Lalu iapun bertanya pula, “Bukankah ia singgah ke sarangmu?”

“Ya Ki Wirayuda,” jawab Glagah Putih, “Kakang Agung Sedayu menghabiskan sisa malamnya di rumah tempat tinggal kami.”

“Dan sekarang?” bertanya Ki Wirayuda pula.

“Agung Sedayu sudah kembali ke Tanah Perdikan,” jawab Sabungsari pula.

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Sementara Sabungsari pun berkata, “Ada pesan yang ditinggalkan oleh Agung Sedayu kepada Glagah Putih. Karena itu, kami sekarang datang menemui Ki Wirayuda untuk membicarakan pesan itu.”

“Apakah pesan Agung Sedayu itu?” bertanya Ki Wirayuda.

“Glagah Putih,” berkata Sabungsari, “sebaiknya kau saja yang menyampaikannya kepada Ki Wirayuda. Kau yang mendengar langsung dari Agung Sedayu.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Kemudian katanya kepada Ki Wirayuda, “Kakang Agung Sedayu mempunyai satu gagasan tentang tingkah laku anak-anak muda di Kotaraja ini, Ki Wirayuda.”

“Apa gagasannya?” bertanya Ki Wirayuda.

Glagah Putih pun kemudian menceritakan apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu tentang pertandingan ketrampilan bagi anak-anak muda di Mataram.

Ki Wirayuda mendengarkan dengan seksama. Namun kemudian katanya, “Bukankah itu pertandingan ketrampilan yang biasa diselenggarakan bagi para prajurit, termasuk ngrampog macan di alun-alun?”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “tetapi apa salahnya jika hal ini dilakukan bagi anak-anak muda yang sedang bergejolak. Tentu saja dengan pengamatan yang lebih baik, sehingga tidak terjadi kecelakaan yang dapat membahayakan. Alat-alat yang dipergunakan harus juga alat-alat yang telah diamati dan diperhitungkan dengan saksama.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang akan sangat menarik. Tentu banyak anak-anak muda yang berminat. Namun sudah tentu bahwa aku akan berbicara dahulu dengan Ki Patih Mandaraka. Jika Ki Patih Mandaraka sependapat, maka Ki Patih tentu akan memanggil beberapa orang pimpinan prajurit yang akan dapat mengatur pelaksanaannya.”

Sabungsari dengan nada rendah berkata, “Jika diperlukan, kami akan dapat membantu pelaksanaannya.”

“Apakah kalian tidak akan ikut dalam pertandingan itu?” bertanya Ki Wirayuda. “Seandainya pertandingan itu disetujui pelaksanaannya, maka kalian akan dapat mengikutinya. Biarlah pelaksanaannya diatur oleh para prajurit. Apalagi pertandingan semacam itu tentu diperlukan banyak orang untuk melaksanakan dan mengamatinya, serta untuk menentukan siapakah pemenangnya.”

“Kami sudah menentukan bahwa kami tidak akan ikut, Ki Wirayuda,” berkata Sabungsari.

“Kenapa?” bertanya Ki Wirayuda.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak segera menjawab. Demikian pula Glagah Putih. Iapun tidak segera mampu menjawab pertanyaan itu.

Tetapi agaknya Ki Wirayuda memahami perasaan anak-anak kelompok Gajah Liwung itu. Karena itu, maka katanya, “Kalian tentu dengan sengaja memberikan kesempatan kepada orang lain untuk dapat memenangkan pertandingan itu.”

“Bukan begitu Ki Wirayuda,” desis Sabungsari, “tidak ada kelebihan apapun pada kami. Kami hanya ingin dapat membantu melaksanakannya. Jika kami ikut dalam pertandingan itu, maka kami tentu tidak akan dapat ikut melaksanakannya. Kami terikat pada pertandingan yang akan kami ikuti saja.”

Ki Wirayuda tertawa. Katanya, “Kau dapat berkata seperti itu kepada orang lain yang belum pernah mengenalmu. Tetapi kau tidak akan dapat berkata begitu kepadaku. Apalagi setelah terjadi pertempuran di Kepatihan itu.”

Sabungsari dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian telah tertawa pula. Dengan ragu-ragu Sabungsari berkata, “Aku tidak dapat ikut karena aku adalah seorang prajurit.”

“Dan aku adalah adik sepupu seorang prajurit,” sahut Glagah Putih sambil tertawa pula.

Ki Wirayuda tertawa semakin keras. Namun kemudian katanya, “Baiklah hal, itu akan kita bicarakan kemudian. Tetapi aku akan berbicara dengan Ki Patih Mandaraka.”

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan penuh harapan Sabungsari berkata, “Semoga Ki Patih sependapat. Hal ini tentu akan memeriahkan Mataram pula.”

“Namun para prajurit harus bersiaga sepenuhnya, agar tidak terjadi sesuatu dan tidak pula dianggap saat-saat Mataram menjadi lengah, sehingga dipergunakan pihak lain untuk mengganggu Mataram,” berkata Ki Wirayuda.

Dengan demikian, maka ternyata Ki Wirayuda telah menyatakan persetujuannya, meskipun ia masih akan menghadap Ki Patih Mandaraka.

Ternyata meskipun masih belum sembuh benar, Ki Wirayuda telah berniat untuk menghadap Ki Patih di keesokan harinya. Bersama seorang pengawalnya, maka Ki Wirayuda pun telah pergi ke Kepatihan.

Ketika Ki Wirayuda melihat pendapa Kepatihan, maka ia justru melihat Kepatihan menjadi semakin cantik. Yang telah rusak dalam pertempuran, telah diperbaiki. Bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Seperti biasa maka Ki Wirayuda telah diterima oleh Ki Patih di serambi. Sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih, maka Ki Wirayuda pun telah menyampaikan gagasan itu kepada Ki Patih Mandaraka.

“Satu cara yang baik,” berkata Ki Patih, “tetapi tentu tidak hanya sekali. Sesudah itu anak-anak muda akan kembali melakukan kenakalan-kenakalan di jalan-jalan, dan bahkan merambah ke lorong-lorong gelap.”

“Mungkin Mataram dapat menyelenggarakannya setahun sekali Ki Patih,” berkata Ki Wirayuda.

“Ya. Dan dimulai dari lingkungan-lingkungan yang lebih kecil. Baru kemudian yang terbaik itulah yang dikirim untuk ikut serta dalam pertandingan di alun-alun,” berkata Ki Patih Mandaraka. “Dengan demikian maka gema dari pertandingan itu akan mengumandang sampai ke kademangan-kademangan.”

“Jika demikian akan diperlukan waktu yang panjang,” desis Ki Wirayuda.

“Ki Wirayuda,” berkata Ki Patih kemudian, “aku sependapat bahwa untuk kali ini diselenggarakan langsung di alun-alun. Namun kemudian diberitahukan, bahwa untuk selanjutnya akan diselenggarakan bertingkat. Dengan demikian kesempatan untuk mengikuti acara ini menjadi semakin luas. Bahkan jika hal semacam itu diselenggarakan dilingkungan yang lebih kecil, maka dapat terjadi tidak usah menunggu setahun sekali. Tetapi dua kali misalnya. Dengan demikian, mereka tidak sempat lagi terhisap oleh kelompok-kelompok anak-anak nakal, karena demikian pertandingan selesai, mereka harus bersiap-siap dan melakukan latihan-latihan untuk pertandingan berikutnya. Bahkan mudah-mudahan anak-anak nakal dalam kelompok-kelompok tertentu itulah yang tertarik untuk ikut serta dalam kegiatan ini.”

“Mudah-mudahan kegiatan ini dapat mengurangi kegiatan dari kelompok-kelompok anak-anak nakal itu Ki Patih,” berkata Ki Wirayuda.

Ternyata bahwa pendapat itu telah mendapat tanggapan baik. Ki Patih benar-benar telah memanggil beberapa orang pimpinan prajurit untuk membicarakan tentang pertandingan di antara anak-anak muda. Ki Wirayuda yang diminta datang, telah menguraikan rencana itu terperinci, karena Ki Wirayuda-lah yang kemudian diperintahkan oleh Ki Patih untuk memerincinya. Sementara itu Ki Wirayuda memang telah melakukannya, dibantu oleh Sabungsari dan Glagah Putih.

Bahkan Ki Wirayuda telah memerinci pula sampai ke soal-soal yang terkecil. Bahwa mereka yang terlibat harus disediakan makan dan minum.

Dengan demikian, maka Ki Patih pun telah memerintahkan para pemimpin prajurit untuk menyusun nama-nama dari mereka yang bertanggung jawab pada bidang-bidang yang diperlukan. Seorang bertanggung jawab untuk menyediakan alat-alat. Yang lain bertanggung jawab tentang tempat. Yang lain lagi harus mengamankan bukan saja tempat pertandingan, tetapi seluruh lingkungan sekitar Kotaraja. Seorang lagi harus menyediakan minuman dan makanan selama pertandingan berlangsung, bagi semua orang yang ikut serta dalam kegiatan itu, termasuk para prajurit yang bertugas untuk mengamankan lingkungan. Dan ternyata tugas-tugas yang lain pun cukup banyak untuk ditangani.

“Ini merupakan satu kegiatan yang besar,” berkata Ki Patih Mandaraka, “aku akan segera memberikan laporan kepada Panembahan Senapati.”

Panembahan Senapati ternyata juga menyetujui diselenggarakannya kegiatan itu. Apalagi Ki Patih melaporkan rencana itu bersama perincian pelaksanaannya, sehingga Panembahan Senapati melihat satu rencana besar yang telah siap dilaksanakan. Bahkan Ki Patih Mandaraka pun telah meninjau kemungkinan biaya penyelenggaraannya dengan perbendaharaan negara yang ada.

“Baiklah Paman,” berkata Panembahan Senapati, “rencana yang telah Paman susun menurut pendapatku cukup baik dan mungkin diselenggarakan. Gagasan Agung Sedayu ini menurut pendapatku akan memberi pengaruh yang baik. Bukan saja untuk menyalurkan gejolak hati anak-anak muda, tetapi juga bagi kepentingan Mataram, yang pada suatu saat memerlukan angkatan baru dalam jajaran keprajuritan.” Ki Patih Mandaraka mengerutkan keningnya, Terlintas di angan-angannya, kesiagaan Pati yang nampaknya benar-benar tidak mau lagi mengakui kepemimpinan Mataram. Karena itulah agaknya Panembahan Senapati menghubungkan rencana itu dengan penyusunan satu angkatan yang baru dalam jajaran keprajuritan, untuk memperkuat yang telah ada. Agaknya Panembahan Senapati mulai mmikirkan kemungkinan Pati mempergunakan kekuatannya untuk melawan Mataram.

Namun dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka masih belum melihat bahaya yang sebenarnya mengancam Mataram. Karena itu maka Mataram masih mempunyai waktu untuk melaksanakan rencananya, meskipun seperti yang pernah dikatakannya sendiri bahwa Mataram harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sejak Panembahan Senapati menyatakan persetujuannya, maka rencana itu dapat mulai dilaksanakan. Para perwira yang mendapat tugas dalam kegiatan itu telah melaksanakan tugas mereka masing-masing dengan sungguh-sungguh.

Ketika persiapannya sudah menjadi semakin mapan, maka rencana itu pun telah diumumkan.

Seperti yang diduga, maka rencana pertandingan ketrampilan itu telah menggelitik anak-anak muda di Mataram, meskipun mula-mula mereka sekedar membicarakan satu dengan yang lain. Namun kelompok-kelompok anak-anak muda yang sudah mengaku bernama Gajah Liwung di Mataram dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga berani berusaha merampok dan membunuh Ki Patih Mandaraka, benar-benar telah tertarik untuk mengikutinya.

“Satu kesempatan untuk menunjukkan kelebihan mereka,” berkata seorang perwira yang ikut menangani pertandingan itu.

Namun Ki Wirayuda juga berkata, “Juga satu kesempatan untuk mengenali mereka dan mencatat nama-nama mereka.”

Perwira itu tersenyum. Katanya, “Ki Wirayuda memang cerdik. Pada kesempatan lain, belum tentu mereka akan dengan senang hati mendaftarkan diri lengkap dengan nama dan alamatnya.”

“Karena itu, maka Ki Wirayuda telah mengemban tugas khusus,” berkata perwira yang lain sambil tertawa.

Ki Wirayuda pun tertawa pula. Katanya, “Aku bersedia bertukar tempat.”

“Seandainya kami bersedia, belum tentu Panglima kami mengijinkannya,” jawab perwira yang pertama.

Ki Wirayuda pun kemudian hanya tersenyum saja.

Demikianlah, dari hari ke hari pertandingan itu menjadi semakin dekat. Jika mula-mula para perwira menjadi ragu-ragu karena tidak segera ada yang menyatakan ikut serta dalam pertandingan, namun kemudian anak-anak muda telah berdatangan. Ada di antara mereka yang hanya ikut untuk satu jenis pertandingan saja. Tetapi ada di antara mereka yang mengikuti dua bahkan tiga jenis pertandingan. Namun mereka telah menyatakan jenis-jenis yang diutamakan, jika terjadi waktu yang bersamaan.

Semakin dekat dengan hari-hari yang telah ditentukan, maka para petugas pun menjadi semakin sibuk. Bahkan hari-hari penyelenggaraan pun menjadi bertambah panjang karena banyaknya para peserta.

Namun satu hal yang diharapkan oleh Ki Wirayuda benar-benar telah terjadi. Anak-anak muda dari kelompok-kelompok tertentu telah dengan sengaja menunjukkan keanggotaan mereka pada kelompok-kelompok itu. Memang dengan demikian terjadi satu persaingan. Tetapi persaingan untuk satu pertandingan yang tertib. Bukan persaingan untuk menunjukkan kelebihan mereka masing-masing dengan berkelahi di pinggir jalan.

Sementara itu, ternyata di beberapa tempat telah nampak latihan-latihan yang bersungguh-sungguh. Hampir di setiap padang rumput, ara-ara yang agak luas, atau halaman-halaman bebahu kademangan, latihan-latihan berlangsung terus.

Bahkan di sawah-sawah yang baru saja dipanen hasilnya, beberapa kelompok anak muda telah mengadakan latihan memanah dengan sasaran sebagaimana akan dipergunakan dalam pertandingan. Bentuk orang-orangan yang kecil digantungkan pada sebuah tali. Orang-orangan yang memiliki kepala, leher dan tubuh. Kemudian di bawahnya digantungkan sebuah bulatan yang agak besar. Setiap bagian dari orang-orangan itu mempunyai nilai sendiri. Kepala mendapat nilai terbanyak, kemudian leher dan tubuh. Sedangkan mereka yang mengenai bulatan yang agak besar yang digantungkan, yang biasanya bahannya sebuah jeruk bali atau buah-buahan yang lain, justru malahan didenda.

Sedangkan anak-anak muda yang lain telah berlatih sodoran, dengan tongkat yang ujungnya ditutup dengan bahan yang lunak, yang biasanya menggunakan sobekan-sobekan kain atau sabut, dipergunakan sebagai tombak, sedangkan di tangan kirinya membawa perisai, serta duduk di punggung kuda, bertanding untuk menjatuhkan lawannya dari punggung kudanya.

Yang lain lagi bertanding melempar sasaran dengan tombak sambil naik kuda yang berlari cepat. Sedangkan bagi mereka yang benar-benar memiliki kemampuan, diselenggarakan pertarungan melawan lembu-lembu jantan.

Bagi para remaja diselenggarakan pertandingan khusus. Binten, bergumul di atas jerami dan semacam sodoran, tetapi tidak dengan naik kuda. Sebagai gantinya, mereka yang mengikuti sodoran duduk di pundak kawannya yang menjadi pasangannya.

Dengan demikian, maka Mataram menjadi ramai dengan latihan-latihan. Rasa-rasanya justru menjadi hidup, dan anak-anak muda pun rasa-rasanya mempunyai kegiatan yang dapat mengisi waktu-waktu mereka yang luang. Terutama anak orang-orang yang hidupnya berkecukupan, sehingga tidak perlu bekerja di sawah atau pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Namun bukan berarti bahwa anak-anak muda dari lingkungan petani tidak dapat ikut serta. Banyak di antara mereka yang ikut. Di sore hari, setelah bekerja di sawah, mereka berlatih dimana saja. Terutama jenis panahan.

Dalam pada itu, anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung benar-benar tidak ada yang ikut serta. Ketika kedua murid Ki Ajar Gurawa menghubungi Sabungsari dan Glagah Putih, maka mereka mendapat penjelasan bahwa anggota kelompok Gajah Liwung tidak ada yang ikut serta.

“Kami telah menyatakan untuk menyediakan diri membantu penyelenggaraan itu. Namun Ki Wirayuda mengatakan bahwa tenaga para prajurit sudah cukup banyak. Jika kami ikut serta, maka kami justru akan menjadi canggung,” berkata Sabungsari kepada kedua murid Ki Ajar Gurawa.

Sementara itu Ki Ajar Gurawa sendiri berkata, “Aku sependapat. Sebaiknya kalian tidak ikut serta. Namun kalian sempat mengenali anak-anak muda yang ikut dalam pertandingan-pertandingan itu, karena mereka akan mempergunakan ciri-ciri dari kelompok mereka masing-masing. Hal itu perlu, karena setelah pertandingan itu selesai, maka tentu ada golongan yang tidak puas.”

“Tetapi maksud dari pertandingan-pertandingan itu justru untuk meredam kenakalan para anak muda dan remaja,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Sebagian akan memilih kegiatan itu dari kenakalan-kenakalan yang tidak bertanggung jawab. Apalagi jika mereka tahu bahwa pada kesempatan lain akan dilangsungkan pertandingan serupa atau pendadaran untuk memasuki lingkungan keprajuritan, atau kepentingan-kepentingan yang lain yang berhubungan dengan ketrampilan olah kanuragan,” berkata Ki Ajar Gurawa. Namun katanya kemudian, “Tetapi di samping mereka itu tentu ada pula anak-anak muda yang masih saja berkeras kepala untuk mempertahankan sikapnya yang tidak bertanggung jawab itu. Atau karena mereka gagal meraih kemenangan di arena penandingan, maka mereka telah memilih dunia mereka yang lama. Dunia kenakalan anak-anak muda.”

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun Glagah Putih ternyata masih bertanya, “Jadi bagaimana menurut pendapat Ki Ajar? Apakah kegiatan ini ada juga gunanya?”

“Tentu, tentu,” jawab Ki Ajar, “gunanya banyak sekali. Namun yang aku katakan adalah, di sela-sela arti dari kegiatan ini, agaknya masih harus mendapat pengawasan yang baik.”

Sabungsari dan Glagah Putih masih juga mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Ki Ajar Gurawa, dan mereka pun sependapat bahwa kegiatan itu tidak dapat dengan serta merta menghapuskan kenakalan anak-anak muda. Tetapi kegiatan itu setidak-tidaknya akan dapat memalingkan perhatian anak-anak muda itu kepada sesuatu yang lebih berarti daripada berkelahi di jalan-jalan. Karena berkelahi di jalan-jalan tidak akan mendukung keberhasilan mereka dalam bidang apapun juga.

Ketika saatnya menjadi semakin dekat, maka alun-alun Mataram telah mulai sibuk. Beberapa arena telah dibuat. Alun-alun itu dibagi menjadi beberapa arena yang dipagari dengan gawar lawe.

Di hari-hari pertama akan diselenggarakan pertandingan yang tidak terlalu berat. Panahan, dan ternyata juga diselenggarakan paseran. Sedangkan di sudut lain, para remaja akan bermain binten. Di sebelah lain anak-anak remaja juga akan melakukan pertandingan yang lain lagi.

Ketika saatnya pertandingan itu tiba, maka anak-anak muda dan remaja yang akan mengikutinya telah bersiap-siap. Sebagaimana yang ditentukan, maka menjelang matahari sepenggalah semua jenis pertandingan yang ditentukan diselenggarakan pada hari pertama, akan dimulai.

Namun nampaknya hari-hari pertama, meskipun mula-mula alun-alun penuh dengan orang-orang Mataram yang akan melihat pertandingan itu, namun ketika matahari menjadi semakin terik, maka para penonton pun menjadi surut. Mereka memang tidak begitu telaten melihat pertandingan di hari-hari pertama. Yang mereka tunggu adalah pertandingan sodoran, melempar dengan lembing sasaran yang telah disediakan, dan puncak dari acara pertandingan adalah beradu dengan lembu jantan yang masih liar.

Pada permulaan dari pertandingan itu sudah nampak, kelompok-kelompok anak muda dengan ciri-cirinya masing-masing. Namun mereka pun telah memusatkan perhatian mereka pada pertandingan-pertandingan yang telah diselenggarakan. Mereka sesuai dengan gilirannya duduk dalam kelompok-kelompok menurut urutan mereka, dengan busur dan anak panah.

Yang setiap kali terdengar sorak gemuruh justru pada arena pertandingan para remaja. Ternyata para remaja mampu menunjukkan kelebihan mereka masing-masing. Mereka yang ikut bertanding dalam pertandingan gulat di atas jerami telah mampu menarik perhatian. Yang sudah merasa kalah harus memberi isyarat dengan mengembik seperti seekor kambing.

Sorak dan suara tertawa gemuruh bagaikan menggetarkan arena perkelahian anak-anak remaja di atas jerami itu. Setiap kali terdengar mereka yang merasa kalah mengembik, maka sorak pun telah meledak. Sementara dua orang pengamat yang terdiri dari para prajurit, mengikuti setiap perkelahian dengan seksama, agar anak-anak remaja yang mengikutinya tidak melakukan pelanggaran. Mereka tidak boleh menggigit, tidak boleh menggelitik, dan tidak boleh memukul dengan cara apapun juga.

Di sisi lain, anak-anak yang bertanding binten pun dikerumuni oleh banyak orang. Beberapa orang anak remaja harus meninggalkan arena dengan berjalan tertatih-tatih. Namun meskipun mereka menyeringai menahan sakit dan dinyatakan kalah, namun mereka merasa gembira bahwa mereka telah ikut dalam satu pertandingan yang diselenggarakan dan diawasi oleh para prajurit.

Demikian pula anak-anak muda yang bertanding di arena panahan dan paseran.

Dua hari pertandingan itu berlangsung. Terakhir dipilih beberapa orang terbaik untuk ikut dalam pertandingan terakhir untuk menentukan para pemenangnya.

Anak-anak dari kelompok Gajah Liwung hanya sekedar hadir untuk menonton pertandingan itu. Mereka menonton dari satu arena ke arena yang lain. Mereka memperhatikan terutama para peserta pertandingan bagi anak-anak muda.

Dari ciri-ciri yang nampak pada anak-anak muda itu, para anggota Gajah Liwung melihat bahwa pada putaran-putaran mendekati putaran terakhir, anak-anak muda itu benar-benar tersaring. Namun hampir semua kelompok yang terhitung besar di Mataram seakan-akan terwakili.

Sebelum jenis-jenis pertandingan diselesaikan pada putaran terakhir, maka pertandingan yang lain telah dilakukan.

Alun-alun menjadi penuh ketika pertandingan melemparkan lembing dari atas punggung kuda diselenggarakan. Arena pertandingan yang lain untuk sementara tidak dibuka. Tidak ada lagi anak-anak remaja yag harus bertanding. Yang masih tersisa putaran terakhir akan dilakukan pada hari-hari yang sudah ditentukan.

Pertandingan melemparkan lembing pada sasaran yang sudah disiapkan ternyata menghisap penonton banyak sekali. Beberapa ekor kuda yang terhitung baik sudah siap di alun-alun demikian matahari terbit. Pengikutnya memang jauh lebih sedikit dari pertandingan memanah. Namun nampaknya pertandingan ini akan menjadi sangat ramai.

Gawar lawe telah ditarik dari pinggir alun-alun sampai ke pinggir yang lain. Di luar gawar lawe terdapat beberapa orang-orangan dari jerami yang dilekatkan cukup tebal pada sebatang bambu yang ditanam setinggi orang. Jerami itu diikat menjadi beberapa kerat yang disebut kepala, badan dan kaki. Lontaran lembing yang mengenai keratan-keratan tersebut mendapat nilai yang tidak sama. Kepala adalah sasaran yang dinilai tertinggi.

Beberapa orang prajurit nampak bersiap-siap di sekitar arena pertandingan. Di luar gawar lawe, prajurit berjaga-jaga jika terjadi kemungkinan buruk pada peserta. Menurut perhitungan para penyelenggara, memang mungkin terjadi satu dua orang terlempar jatuh dari kudanya jika ada sedikit saja kesalahan perhitungan.

Ketika penandingan sudah hampir dimulai, maka anak-anak muda yang menyatakan diri ikut dalam pertandingan itu sudah bersiap. Seperti pertandingan yang terdahulu, maka di antara mereka terdapat anak-anak muda dengan ciri kelompok mereka masing-masing. Tetapi selain mereka, masih ada pula anak-anak muda yang ikut serta.

Tetapi karena pertandingan ini termasuk pertandingan yang agak lebih mahal, karena dalam latihan-latihan para pesertanya sudah harus memiliki seekor kuda, maka para pesertanya pada umumnya adalah anak-anak muda dari keluarga yang berada. Ada di antara mereka anak-anak para pemimpin pemerintahan di Mataram, anak-anak para pemimpin keprajuritan, serta pejabat-pejabat yang lain. Selain mereka adalah anak-anak muda dari beberapa padukuhan. Mereka adalah anak-anak para pedagang, para saudagar dan para petani yang berada, Tetapi ada pula anak-anak muda dari lingkungan orang kebanyakan yang dijagoi oleh para Demang dan bebahu kademangannya. Kademangannya-lah yang mengusahakan kuda bagi mereka sejak menjalani latihan-latihan. Para Demang akan berbangga jika ada di antara anak-anak mudanya yang dapat menduduki urutan atas dari pertandingan itu, Karena pada umumnya anak-anak orang berada hadir tidak mewakili kademangan atau apalagi padukuhannya. Mereka ikut dalam pertandingan atas nama mereka sendiri. Atau bahkan memakai ciri-ciri kelompok mereka.

Sedangkan kelompok yang lain adalah kelompok-kelompok dari perguruan-perguruan yang ada di sekitar Mataram. Meskipun jumlahnya tidak banyak, tetapi mereka adalah anak-anak muda yang justru terlatih dengan baik.

Ketika seorang di antara para penyelenggara membuka pertandingan itu, diumumkan bahwa pesertanya adalah dua puluh enam orang.

Sabungsari dan Glagah Putih berdiri di antara para penonton yang memenuhi alun-alun. Para anggota Gajah Liwung yang lain pun telah berada di alun-alun pula. Namun agaknya mereka sengaja berpencar. Demikian pula Ki Ajar Gurawa dengan kedua orang muridnya.

Ketika bende berbunyi sekali, maka para peserta telah berkumpul di tempat yang telah disediakan. Sementara kuda-kuda mereka pun telah ditempatkan di tempat yang ditentukan pula. Bende berbunyi dua kali, maka para peserta itu pun telah bersiap dengan kuda masing-masing, sesuai dengan urutan mereka hasil undian yang telah diselenggarakan sehari sebelumnya. Orang yang pertama kali mendapat giliran telah berada di punggung kudanya sambil membawa lembing. Ia harus mengenai satu di antara orang-orangan yang dipasang di luar gawar lawe di satu sisi yang tidak terlalu dekat dengan para penonton, untuk menjaga agar tidak terjadi kecelakaan, bahwa lembing itu akan meleset dan terlempar ke arah penonton.

Sejenak kemudian, setelah peserta itu dianggap cukup memusatkan perhatiannya pada pertandingan itu, terdengarlah bende yang ketiga kalinya. Kemudian seorang perwira yang telah ditunjuk telah berdiri di atas sebuah panggung kecil dengan pedang terhunus. Perwira itulah yang kemudian akan meneriakkan aba-aba bagi para peserta.

Ketika ia kemudian memberikan aba-aba setelah gaung bunyi bende berhenti, maka orang yang pertama telah memacu kudanya meluncur seperti anak panah. Tombaknya pun telah siap diayun dilontarkan ke arah orang-orangan yang disediakan.

Demikian lembing itu dilontarkan dan hinggap ke sasaran, maka terdengar sorak yang gemuruh.

Namun yang dikenai oleh peserta yang pertama itu bukan kepalanya, namun badannya. Sehingga nilai yang didapatkan dari hasil lontaran lembingnya bukan nilai terbanyak. Tetapi nilai lain ikut pula menentukan. Laju kudanya, ketrampilan menunggang kuda, serta cara melemparkan lembing. Sehingga dengan demikian maka peserta yang pertama, yang hanya mengenai badannya, masih dapat berharap untuk dapat menjadi peserta yang terpilih untuk mengikuti putaran terakhir dari pertandingan itu.

Dalam pada itu, peserta kedua pun telah bersiap pula. Perwira yang memberikan aba-aba it upun telah mengayunkan pedangnya untuk memberi isyarat kepada peserta itu. Kemudian, aba-aba itu pun telah diteriakkannya pula.

Seperti peserta yang pertama, kudanya juga meluncur berlari kencang sekali. Pada saatnya, lembingnya telah terlepas dari tangannya dan mematuk sasaran. Sorak pun meledak, namun kemudian terdengar keluhan di antara mereka yang kecewa. Lembingnya yang sebenarnya menyentuh kepala, namun lembing itu tidak mau hinggap. Ketika kuda peserta itu meluncur menuju ke batas akhir, lembing itu telah terjatuh di tanah. Sehingga dengan demikian, nilainya menjadi berkurang sesuai dengan ketentuan.

Demikianlah, satu demi satu para peserta telah melakukan pertandingan itu. Sorak pun selalu terdengar gemuruh memenuhi udara. Bahkan pada saat-saat yang memukau karena sebuah lembing yang hinggap di kepala, maka sorak pun bagaikan meruntuhkan langit.

Para petugas yang terdiri dari para prajurit pun menjadi sibuk, Mereka harus memungut lembing yang telah dilontarkan oleh para peserta, sehingga tidak mengganggu peserta berikutnya.

Sabungsari dan Glagah Putih mengikuti pertandingan itu dengan saksama. Dengan nada datar Sabungsari berkata, “Seandainya aku ikut serta, maka aku tidak akan mengenai apapun juga. Jangankan kakinya, tiangnya pun tidak.”

Glagah Putih tertawa pendek. Sambil mengikuti salah seorang peserta yang sedang meluncur ia berkata, “Nah, lihat. Bagaimana ia memegang lembing. Ia sama sekali tidak memperhitungkan, keseimbangannya sehingga nampaknya tangannya terlalu ke depan.”

Seperti yang diduga oleh Glagah Putih, lembing itu sebenarnya dapat mengenai badan salah satu sasaran yang dipasang. Tetapi ekornya tidak cukup terangkat, sehingga lembing itu akhirnya terjatuh.

“Nah. Mungkin kau akan dapat berbuat lebih baik,” berkata Glagah Putih kemudian, “jika kau hentakkan kekuatanmu, maka lembing itu tidak saja hinggap di ikatan jerami itu. Tetapi akan menembus langsung dan memecahkan tiang-tiangnya. Atau kau pakai cara lain. Kau bakar orang-orangan yang berdiri berderet itu sampai habis dengan pandangan matamu, sehingga tidak ada lagi sasaran yang harus kau kenai.”

Sabungsari tertawa pula. Sementara anak muda yang gagal itu menjadi sangat kecewa. Ia tidak lagi berharap untuk dapat ikut dalam putaran terakhir, karena yang akan dipilih dari semua peserta itu hanyalah lima orang saja.

Demikianlah, maka akhirnya orang yang terakhir pun telah bersiap-siap untuk berpacu dan melemparkan lembingnya. Sementara itu matahari telah mulai bergeser ke barat. Namun arah matahari tidak banyak berpengaruh atas pertandingan itu, karena arena untuk berpacu kuda para pelempar lembing adalah membujur dari utara ke selatan.

Ternyata anak muda yang mendapat giliran terakhir berdasarkan undian itu adalah anak muda yang sangat tangkas. Sejak ia meloncat ke punggung kuda sudah nampak, bagaimana ia memiliki ketrampilan yang tinggi. Ketika Glagah Putih melihat anak muda itu menimang lembing lebih dahulu untuk mendapatkan keseimbangan

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

Tetapi justru senjatamu terletak di biji matamu, maka kau terlalu jarang bermain dengan senjata.”

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Bukankah lebih ringan membawa biji mata daripada membawa lembing?”

Glagah Putih pun tersenyum pula. Namun dahinya mulai berkerut ketika ia melihat anak muda di punggung kuda itu bersiap-siap untuk menghentak kudanya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian kudanya meluncur dengan cepat. Tangannya yang memegang lembing pun mulai terayun ayun. Begitu kudanya mendekati sasaran, maka lembing itu pun ditariknya dalam ancang-ancang, kemudian dengan derasnya lembing itu meloncat dari tangannya.

Bersamaan dengan itu, maka sorak pun menggelegar. Lembing itu ternyata telah mengenai kepala orang-orangan yang menjadi sasaran tepat di tengah-tengah, sehingga lembing itu telah hinggap dengan kuatnya. Sementara itu, anak muda itu telah menarik kekang kudanya, sehingga tepat di ujung arena yang panjang itu, kudanya berhenti.

Tepuk tangan dan sorak masih memenuhi alun-alun. Para prajurit yang bertugas memungut lembing itu pun ikut bertepuk tangan pula. Ternyata bidikan anak muda itu tepat mengenai sasaran sesuai dengan keinginannya.

Para perwira yang bertugas menilai pertandingan itu pun mengangguk-angguk. Hampir tidak ada perbedaan sama sekali dalam penilaian di antara mereka terhadap anak muda yang terakhir.

Sementara itu pertandingan dinyatakan selesai pada putaran pertama. Anak-anak muda dan para penyelenggara mendapat kesempatan untuk beristirahat. Makan dan minum. Sementara para penilai akan memilih lima orang yang terbaik yang akan diikut-sertakan pada putaran terakhir. Dari lima orang itu akan dipilih seorang yang terbaik di antara mereka.

Namun putaran terakhir itu akan diselenggarakan pada pekan berikutnya. Selain para pesertanya dapat mematangkan latihan-latihannya dan mungkin juga untuk beristirahat, maka di hari-hari berikutnya masih akan diselenggarakan pertandingan jenis yang lain pada putaran pertama.

Sambil menunggu pengumuman tentang pemilihan lima peserta terbaik, maka diumumkan bahwa pada hari berikutnya akan diselenggarakan pertandingan sodoran. Pertandingan yang tentu akan memanggil lebih banyak penonton. Namun para penyelenggara pun harus lebih bersiap lagi menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.

Beberapa saat kemudian, maka diumumkanlah lima orang peserta terbaik dalam putaran pertama. Sebagian besar dari para penonton masih menunggu, sehingga di alun-alun itu masih nampak kelompok-kelompok orang yang ingin mendengarkan pengumuman, siapakah lima orang terbaik dalam pertandingan itu. Terutama anak-anak muda dari kelompok-kelompok yang ikut serta dalam pertandingan itu. Mereka ingin mengetahui, apakah kawan-kawannya akan dapat ikut dalam pertandingan putaran berikutnya.

Ketika seorang di antara para perwira kemudian naik ke atas sebuah panggungan kecil, maka orang-orang pun berkerumun di sekitarnya. Perwira itu membawa catatan nama-nama dari kelima orang anak muda yang akan diumumkan.

Orang-orang yang mengerumuninya menjadi tidak sabar ketika perwira itu masih saja memandang berkeliling, sehingga terdengar beberapa orang mulai berteriak.

Tetapi perwira itu justru dengan sengaja menggoda mereka yang ditekan oleh ketegangan itu. Sekali ia mengangkat catatannya, namun kemudian tangannya terkulai lagi sambil tersenyum.

“Apakah aku boleh menyebutkannya sekarang?” perwira itu justru bertanya.

Beberapa anak muda berteriak semakin keras. Katanya, “Cepat! Sebutkan!”

“Sabarlah,” berkata perwira itu, “kenapa tergesa-gesa? Kita menunggu para peserta yang sedang makan dan minum.”

“Mereka sudah selesai!” teriak anak-anak-anak muda di sekitar panggungan kecil itu.

“O,” perwira itu memandang berkeliling, “nampaknya mereka pun sudah siap mendengarkan.”

“Cepat! Kami menjadi tidak sabar!” teriak beberapa orang.

Perwira itu tertawa. Namun iapun kemudian membacakan nama-nama yang sudah ditunggu-tunggu.

Sabungsari dan Glagah Putih pun mengikuti pengumuman itu dengan seksama. Perwira itu mulai membaca berurutan sesuai dengan giliran mereka masing-masing.

Ternyata yang berhak ikut dalam putaran berikutnya adalah mereka yang mendapat giliran bertanding pada urutan ke-tiga, urutan ke-tujuh, urutan ke-dua belas, urutan ke-dua puluh dan urutan terakhir, urutan ke-dua puluh enam.

Tepuk tangan dan sorak pun kembali mengguruh mengguncang alun-alun Mataram. Sabungsari dan Glagah Putih pun sebagian besar sependapat dengan pendapat beberapa orang perwira yang bertugas untuk menilai. Namun menurut Sabungsari, peserta urutan ke-tiga belas termasuk peserta yang baik, yang tentu nilainya tidak akan terpaut banyak dengan peserta ke-dua puluh. Bahkan menurut Sabungsari, peserta ke-tiga belas mempunyai sedikit kelebihan dari peserta ke-dua puluh dalam menguasai kudanya. Namun Sabungsari seandainya ikut menilai, juga tidak keberatan untuk menyetujui peserta ke-dua puluh mendapat nilai lebih, jika penilai berpendapat demikian.

“Tetapi kau bukan penilai,” desis Glagah Putih.

“Seandainya,” jawab Sabungsari. Namun iapun bertanya, “Jika kau ditunjuk sebagai penilai, bagaimana pendapatmu?

Sambil tersenyum Glagah Putih menjawab, “Pendapatku sama seperti yang telah diumumkan itu.”

Sabungsari pun kemudian bersungut, “Kau hanya malas untuk sedikit merenung.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Tidak. Kau kira aku tidak sibuk menilai.”

Sabungsari pun kemudian tertawa pula sambil berkata, “Kau sekarang mulai menjadi pemalas. Nah, kita berjanji sekarang. Besok, dalam pertandingan sodoran, kita akan ikut menilai.”

“Tidak ada yang harus dinilai,” jawab Glagah Putih, “siapa yang jatuh dari kuda, ialah yang kalah.”

“Tetapi jika ada yang melanggar paugeran?” sahut Sabungsari.

“entu saja para pengamat yang terdekat yang melihatnya. Kita akan melihat sodoran itu dari kejauhan,” jawab Glagah Putih.

Sabungsari menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau sekarang memiliki kemampuan terbaru. Srekalan. Dimana kau berguru?”

Glagah Putih tertawa berkepanjangan.

Sementara itu. kelima orang yang disebut sebagai peserta terbaik yang akan turut dalam putaran terakhir, telah diminta untuk maju dan berdiri di panggungan kecil itu. Dari ciri-ciri mereka, Sabungsari dan Glagah Putih segera mengetahui bahwa seorang di antara mereka adalah anak muda dari kelompok Macan Putih, seorang dari kelompok Sidat Macan, dua orang nampaknya mewakili dua buah kademangan, dan seorang mewakili sebuah padepokan.

“Bagus,” desis Glagah Putih.

“Apa yang bagus?” bertanya Sabungsari.

Sebelum menjawab Glagah Putih sudah tertawa lebih dahulu. Namun akhirnya iapun berdesis, “Para peserta yang terpilih nampaknya cukup merata. Nah, kau akan berkata apa lagi?”

Sabungsari tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun dalam pada itu, Ki Ajar Gurawa pun mendekati mereka sambil berdesis, “Nah, nampaknya para penilai cukup bijaksana. Penilaian mereka cukup cermat. Sementara itu para peserta pun merasa puas. Tidak ada kelompok atau golongan yang di-anak emaskan dan golongan yang di-anak tirikan. Betapapun nakalnya anak-anak Macan Putih dan Sidat Macan, namun mereka yang benar-benar menunjukkan kemampuan dan ketrampilan, terpilih juga dalam putaran terakhir. Tetapi aku tidak melihat anak-anak dari Kelabang Ireng dan kelompok yang lain.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Kelabang Ireng dan yang lain termasuk kelompok-kelompok yang lebih kecil. Tetapi mungkin di antara mereka akan ada yang muncul di pertandingan yang lain.” Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Juga tidak ada peserta yang lolos dari kelompok Gajah Liwung.”

Sabungsari dan Glagah Putih tertawa. Sambil tertawa Sabungsari menjawab, “Seandainya anggota Gajah Liwung ada yang ikut serta, maka ia tentu akan menjadi seorang yang kebingungan di arena. Apalagi jika turun dalam pertandingan besok, sodoran.”

Ki Ajar Gurawa tertawa. Namun iapun segera melangkah pergi, menyusup di antara beberapa orang yang masih bertebaran di alun-alun.

Di keesokan harinya, ketika pertandingan sudah dipersiapkan dengan arena yang berbeda dari arena yang dipergunakan sebelumnya, maka para penonton pun telah memenuhi alun-alun. Sabungsari dan Glagah Putih juga sudah ada di alun-alun. Demikian pula para anggota Gajah Liwung yang lain, yang memencar. Ki Ajar Gurawa pun telah ada pula di antara para penonton, bersama kedua orang muridnya.

Ada delapan pasang anak-anak muda yang akan turun ke arena, sehingga jumlah seluruh peserta ada enam belas orang. Dari jumlah itu akan diperoleh empat pasang yang akan bertanding di keesokan harinya. Kemudian pada putaran terakhir, dua orang terbaik akan berhadapan.

Demikian pertandingan itu akan dimulai, maka sorak pun terdengar gemuruh memenuhi alun-alun. Mereka seakan-akan menjadi tidak sabar lagi menunggu lebih lama, sementara matahari mulai memanjat naik.

Arena yang disiapkan tidak lagi gawar yang ditarik memanjang, tetapi satu lingkaran yang besar dikitari oleh gawar lawe dan dijaga oleh sejumlah prajurit. Beberapa orang perwira mendapat tugas untuk mengamati dan menilai pertandingan yang akan dilaksanakan di tengah-tengah arena yang bulat dan cukup luas itu.

Ketika para penyelenggara sudah siap, maka terdengar suara bende sekali. Yang nampak kemudian, dua orang yang mendapat urutan undian pertama telah muncul di arena. Sekali lagi sorak pun membahana. Sementara kedua orang itu mendekati para penyelenggara sambil menuntun seekor kuda untuk memberikan urutan undian mereka. Seorang perwira masih memberikan beberapa pesan pendek untuk mengingatkan paugeran yang sudah disepakati bersama.

Kemudian ketika bende berbunyi kedua kalinya, keduanya pun segera membenahi diri dan kudanya. Melihat alat yang akan mereka pergunakan, menimang dan menelitinya. Kemudian ketika bende berbunyi untuk ketiga kalinya, keduanya pun telah meloncat ke atas punggung kuda mereka masing-masing.

Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap untuk mulai dengan pertandingan sodoran. Perisai sudah dikenakan di tangan kiri, sedang di tangan kanan memegang tongkat yang panjang, sementara ujungnya dibalut dengan sabut kelapa yang diikat kuat-kuat sehingga tidak mudah terlepas.

Siapa yang lebih dulu terjatuh dari punggung kudanya, maka ia akan dinyatakan kalah,

Demikianlah, sejenak kemudian seorang perwira telah memberikan aba-aba untuk mulai dengan pertandingan.

Diiringi sorak mereka yang menonton pertandingan itu, maka kedua ekor kuda itu pun telah berlari menjauh untuk mengambil ancang-ancang.

Kemudian, setelah mereka bersiap, maka keduanya pun memacu kudanya sambil menundukkan tongkat kayu mereka sepanjang tombak panjang itu. Namun mereka masing-masing pun telah menyiapkan perisai mereka untuk menahan dorongan ujung tongkat kayu, mereka agar mereka tidak terlempar dari punggung kuda mereka.

Ketika kedua ekor kuda itu berpapasan, maka ujung tongkat masing-masing telah membentur perisai lawan. Tetapi mereka pun telah beradu ketrampilan. Mereka tidak membentur ujung tongkat lawan dengan perisai mereka, sehingga mereka akan dapat terlempar karenanya. Tetapi mereka berusaha untuk menepis ujung-ujung tongkat itu, sehingga tidak terjadi benturan sepenuhnya.

Pada benturan pertama, kedua anak muda itu masih tetap berada di punggung kuda mereka. Karena itu, maka dengan tangkas mereka mempermainkan kendali kuda mereka sehingga kuda-kuda itu pun berputar. Ternyata keduanya tidak sempat mengambil ancang-ancang lagi. Ujung-ujung tongkat yang dibalut dengan sabut yang telah diperlunak itu, segera berusaha untuk mematuk lawan bertanding, sehingga dengan demikian, maka kuda-kuda itu pun telah berputaran di tengah-tengah arena. Sekali-sekali satu di antaranya telah berusaha menjauhi lawannya untuk memperbaiki keadaannya jika mereka mengalami kesulitan.

Sorak para penonton telah membuat kedua orang anak muda itu berdebar-debar. Mereka tidak terbiasa mendengar orang-orang bersorak dan berteriak-teriak bagi mereka. Dalam latihan yang mereka lakukan sebelumnya, banyak orang yang menonton dan juga berteriak. Tetapi tidak gemuruh seperti di alun-alun itu.

Karena itu, selain kedudukan mereka yang kadang-kadang sulit karena ketrampilan lawan dan tingkah kuda-kuda mereka, penonton pun ternyata membuat mereka menjadi agak gemetar juga.

Tetapi ketika keringat mulai membasahi tubuh mereka, maka sedikit demi sedikit mereka mampu melupakan para penonton itu.

Dengan demikian, maka pertandingan itu semakin lama menjadi semakin sengit, Keduanya berusaha untuk dapat menjatuhkan lawannya. Namun keduanya pun bertahan agar mereka tidak terlempar dari kuda masing-masing.

Keduanya kadang-kadang bertanding pada jarak yang pendek. Dengan tangkas mereka mempermainkan tongkat-tongkat mereka. Namun mereka pun trampil mempergunakan perisai-perisai mereka.

Namun akhirnya, seorang di antara mereka pun menjadi lengah. Mereka yang sedang terlibat dalam pertandingan jarak pendek itu saling mendesak. Namun tiba-tiba saja, seorang di antara keduanya telah kehilangan perisainya yang terjatuh dari tangannya.

Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka ujung tongkat lawannya telah menekan dadanya, sehingga iapun telah terjatuh dari kudanya.

Sorak bagaikan memecahkan dataran langit yang jernih. Tertatih-tatih anak muda yang jatuh dari kudanya itu berdiri. Seorang di antara para prajurit yang mengikuti pertandingan itu dengan cepat memasuki arena dan menolong anak muda itu melangkah menepi, sedang prajurit yang lain telah berusaha menangkap kendali kudanya. Sementara seorang di antara mereka yang mengamati pertandingan itu telah minta peserta yang lain untuk bergeser minggir.

Ternyata anak muda yang jatuh itu tidak mengalami cidera apapun. Ia masih sempat tersenyum meskipun harus menundukkan kepalanya.

Demikianlah, peserta pada urutan kedua pun telah bersiap-siap. Keduanya segera masuk ke arena setelah bende berbunyi sekali. Kemudian dua kali, dan akhirnya tiga kali seperti peserta yang pertama.

Seorang perwira telah berada di tengah tengah arena untuk memberikan aba-aba kepada keduanya untuk mulai dengan pertandingan.

Demikianlah, pertandingan itu pun telah berlangsung untuk kedua kalinya. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuannya. Tongkat mereka terayun-ayun dan kemudian mematuk ke arah lawan. Namun dengan tangkas perisai lawannya telah menepisnya, sehingga ujung tongkat yang dilapisi serabut kelapa yang telah dilunakkan itu tidak menyentuh tubuhnya.

Sorak penonton masih tetap gemuruh. Dengan demikian mereka telah membuat kedua orang anak muda yang sedang bertanding itu menjadi semakin bergairah.

Namun pertandingan itu pun akhirnya selesai juga. Seorang di antaranya harus mengakui kelebihan lawan bertandingnya, ketika ia perlahan-lahan bergeser dan akhirnya harus turun dari kudanya.

Anak muda itu sendiri tertawa. Meskipun ia dinyatakan kalah, tetapi ia merasa bahwa ia telah mendapatkan satu pengalaman yang sangat berharga.

Demikian ia meninggalkan arena sambil menuntun kudanya, maka seorang kawannya telah menemuinya, Sambil tertawa anak muda yang kalah itu berkata, “Lain kali jika diadakan, lagi aku akan tampil lebih baik.”

Peserta dalam urutan ke-tiga pun kemudian tampil, kemudian ke-empat, dan ketika urutan ke-lima memasuki arena, maka Sabungsari dan Glagah Putih mengerutkan dahinya. Hampir berbareng mereka berpaling. Hampir berbareng pula keduanya membuka mulutnya, namun keduanya urung berbicara.

“Kau atau aku yang berbicara,” desis Sabungsari kemudian.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Biar kau sajalah yang berbicara. Bukankah kau akan mengatakan bahwa yang memasuki arena itu perlu mendapat perhatian khusus, karena seorang di antara mereka adalah anak muda dari kelompok Macan Putih sesuai dengan cirinya. Seorang lagi dari kelompok Sidat Macan.”

Sabungsari justru melemparkan pandangan matanya kepada kedua orang yang berada di tengah-tengah arena.

“He, bicaralah. Bukankah kau akan berbicara?” desis Glagah Putih.

“Tidak. Aku tidak akan berbicara apa-apa,” sahut Sabungsari.

Glagah Putih tiba-tiba tertawa.

“Kenapa kau tiba-tiba saja tidak jadi berbicara?” bertanya Glagah Putih.

“Aku sudah lupa, apa yang akan aku katakan,” jawab Sabungsari.

Glagah Putih tertawa berkepanjangan. Namun iapun kemudian terdiam. Agaknya yang akan bertanding itu memang menarik perhatian.

Seorang perwira telah siap untuk memberikan aba-aba seperti pertandingan-pertandingan yang terdahulu. Namun selain perwira itu, dua orang perwira yang lain telah siap pula berada di pinggir arena. Dua orang prajurit yang lain telah bersiap-siap pula. Agaknya mereka telah mengenal ciri-ciri kedua orang anak muda itu. Seorang dari kelompok Macan Putih, dan seorang lagi dari kelompok Sidat Macan. Kelompok yang bermusuhan untuk waktu yang cukup lama.

Kedua orang anak muda yang memasuki arena itu pun menjadi tegang. Mereka pun dengan segera mengetahui, bahwa mereka akan saling berhadapan. Tidak di pinggir jalan, tetapi di arena yang ditunggui oleh para prajurit, ditonton oleh banyak orang dan dibatasi oleh berbagai macam paugeran, di dalam lingkaran gawar lawe di alun-alun Mataram.

Seperti sebelumnya, maka bende pun berbunyi sekali, dua kali dan tiga kali. Kemudian perwira yang ada di tengah-tengah arena itu pun telah memberikan aba-aba, agar pertandingan segera dimulai.

Sesaat kemudian, kuda-kuda mereka pun mulai bergerak. Ternyata keduanya tidak melarikan kuda mereka untuk mengambil ancang-ancang. Namun keduanya memilih untuk segera menjatuhkan lawannya dengan secepatnya, menyerang dari jarak yang pendek tanpa ancang-ancang.

Demikianlah, kedua anak muda dari kelompok yang bermusuhan itu agaknya memang telah membawa dendam di hati masing-masing, sehingga karena itu maka dengan cepat pertandingan itu menjadi seru.

Sebagian besar dari para penonton tidak mengetahui, bahwa kedua orang anak muda itu hadir bukan sekedar bertanding. Tetapi nampaknya keduanya memang berniat untuk menunjukkan kelompok manakah yang lebih unggul di antara |mereka.

Namun dalam pada itu, empat orang prajurit secara khusus telah menunggui mereka, selain mereka yang sedang bertugas mengamati pertandingan. Satu hal yang tidak dilakukan sebelumnya.

Tetapi para prajurit menganggap bahwa bertemu dalam pertandingan yang diawasi akan lebih baik daripada berkelahi di jalan-jalan.

Demikianlah, keduanya pun segera terlibat dalam pertandingan yang menjadi keras. Keduanya telah melakukan serangan-serangan yang cepat dan kuat. Namun perisai mereka pun dengan sigap telah menahan serangan-serangan itu.

Anak muda yang memakai ciri Macan Putih hampir saja terpelanting dari kudanya, ketika ujung tongkat lawannya mengenai pundak setelah berhasil memancing gerak perisainya, dan kemudian menyusupkan serangan yang cepat dan kuat.

Tetapi anak muda itu benar-benar tangkas. Dilarikannya kudanya untuk mengambil jarak. Demikian lawannya mengejar berputaran di arena, anak muda dari kelompok Macan Putih itu telah berhasil memperbaiki kedudukannya. Bahkan iapun tiba-tiba saja telah berbalik dan menyongsong lawannya dengan ujung tongkatnya.

Kuda lawannya berlari menyamping. Sambil membungkuk dalam-dalam hampir melekat di punggung kudanya, anak muda dari kelompok Sidat Macan itu berhasil menghindar. Tongkat lawannya hanya berjarak kurang dari sejengkal dari kepalanya ketika kudanya berlari menjauh.

Sejenak kemudian dari jarak yang agak jauh keduanya telah mengambil ancang-ancang. Kuda mereka pun kemudian berlari kencang ke arah yang berlawanan. Keduanya sudah siap untuk membenturkan kekuatan mereka jika kuda mreka berpapasan.

Demikianlah, terjadi benturan yang keras. Keduanya memang hampir saja terlempar dari kuda masing-masing. Tetapi keduanya dengan tangkasnya telah berhasil bertahan untuk tetap berada di punggung kuda. Bahkan dengan satu putaran keduanya telah berhadapan lagi. Sebuah serangan yang keras sekali telah dilontarkan oleh anak muda yang berciri kelompok Sidat Macan. Tongkatnya terjulur lurus mengarah ke dada lawannya. Namun lawannya telah menahan serangan itu dengan perisainya.

Tetapi dengan cepat anak muda dari Sidat Macan itu memutar tongkatnya, justru memukul perisai lawannya.

Pukulan itu memang keras sekali, sehingga perisai itu terpental dari tangan anak muda dari kelompok Macan Putih.

Kesempatan itu akan dipergunakan sebaik-baiknnya. Dengan cepat anak muda dari kelompok Sidat Macan itu menarik tongkatnya sebagai ancang-ancang untuk menyerang lawannya. Anak muda dari kelompok Macan Putih itu pun mampu bergerak cepat Demikian ia menyadari bahwa perisainya terlempar, maka iapun telah memukul tongkat lawannya yang sedang ditarik untuk membuat ancang-ancang. Pukulan itu demikian kerasnya, sehingga pegangannya menjadi goyah. Ketika tongkat anak muda dari Sidat Macan itu bergetar, maka satu hentakan keras telah membuat tongkat itu terlempar dari anak kelompok Sidat Macan itu.

Keduanya tidak dapat mengambil senjata-senjata mereka yang terlepas. Jika mereka turun dari kuda, maka yang menyentuh tanah terdahulu itu akan dianggap kalah.

Karena itu, maka keduanya pun telah meneruskan pertandingan itu dengan alat yang masih ada pada mereka. Anak muda dari kelompok Sidat Macan itu hanya mempergunakan perisai, sementara anak muda dari kelompok Macan Putih itu mempergunakan tongkat panjangnya.

Para prajurit yang bertugas serta empat orang prajurit yang secara khusus ikut menunggui pertandingan itu, menjadi tegang. Nampaknya kedua orang anak muda itu hatinya benar-benar telah terbakar, sehingga pertandingan itu menjadi semakin keras.

Dengan perisai di tangan kiri, maka anak muda dari kelompok Sidat Macan itu justru semakin garang. Ia berusaha bertempur pada jarak yang sangat dekat, sehingga kuda-kuda mereka seakan-akan telah menjadi saling mendesak. Sementara itu, anak muda yang bersenjatakan tongkat itu telah menekan lawannya dengan tongkat yang dipeganginya dengan kedua tangannya.

Sejenak mereka saling berdesakan. Namun tiba-tiba saja anak muda yang memegang tongkat itu telah sempat melepaskan tongkatnya memukul kepala lawannya. Tetapi dengan tangkas pula anak muda dari kelompok Sidat Macan itu menepis ayunan tongkat itu dan dengan kuatnya mendorong lawannya dengan sisi perisainya di arah dada.

Dada anak muda dari kelompok Macan Putih itu terasa sakit. Tetapi pada jarak yang begitu dekat, sulit baginya untuk mempergunakan tongkat panjang. Namun ketika ia terdesak dan hampir saja terjatuh, maka iapun telah melepaskan kendali kudanya dan menyangkutkan tongkatnya pada tubuh lawannya dengan dipeganginya dengan kedua tangannya.

Para perwira yang mengamati pertandingan itu segera tanggap akan apa yang terjadi. Dua orang yang mengamati telah berlari mendekat. Demikian pula para prajurit yang secara khusus ikut menunggui pertandingan itu.

Sebenarnyalah yang diperhitungkan oleh para prajurit itu telah terjadi. Keduanya kemudian telah berayun sejenak, Kemudian jatuh terguling di tanah.

Memang hampir bersamaan. Tetapi anak muda dari kelompok Macan Putih ternyata lebih dahulu menyentuh tanah, sehingga ketika keduanya bangkit kembali, perwira yang bertugas pun telah memberikan keputusannya. Bahkan anak muda yang masih memegang tongkat panjangnya itu dinyatakan kalah, sedangkan anak muda yang membawa perisai itu justru dinyatakan menang.

Sorak para penonton bagaikan menggugurkan langit. Anak-anak muda yang berciri kelompok Sidat Macan yang berada di sekitar arena bersorak dan berteriak-teriak.

Anak muda dari kelompok Macan Putih itu tidak segera menerima kekalahan itu. Ia telah mencoba untuk menyatakan bahwa ia tidak kalah.

“Bukankah kami jatuh bersama-sama?” bertanya anak muda dari kelompok Macan Putih itu.

“Ya,” jawab perwira yang memberikan keputusan itu, “tetapi kami, lima orang, telah menjadi saksi bahwa kau menyentuh tanah lebih dahulu.”

“Itu tidak adil!” anak itu hampir berteriak, “jika aku jatuh dari kuda dan lawanku tidak, maka aku dapat dinyatakan kalah.”

“Bukankah ketika kau memasuki lingkaran pertandingan kau sudah mengetahui peraturan dan ketentuan-ketentuannya?” bertanya perwira itu.

Anak muda dari kelompok Macan Putih itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang kawannya telah datang mendekatinya sambil berkata, “Sudahlah. Bukankah kau akan ikut pada putaran terakhir jenis panahan dalam rangkaian pertandingan ini?”

“Tetapi aku tidak mau begitu saja dianggap kalah dari anak Sidat Macan,” geram anak muda itu.

“Di sini tidak ada kelompok Macan Putih atau Sidat Macan, atau Kelabang Ireng atau kelompok apapun juga. Karena itu jangan sebut-sebut nama kelompok itu, meskipun kami tahu kalian tetap memakai ciri-ciri kelompok kelompok itu,” jawab perwira itu.

Anak muda itu nampaknya masih akan berbicara lagi. Tetapi kawannya telah menariknya dan membawanya pergi.

Namun di luar gawar anak muda itu masih berkata, “Seharusnya kau bantu aku menjelaskan persoalannya. Tetapi kau justru membawa aku pergi.”

“Aku tidak mau terjadi pertengkaran. Dua orang kawan kita dan kau sendiri telah termasuk di antara mereka yang akan ikut dalam putaran terakhir. Jika terjadi persoalan, dan kita kelompok Macan Putih dianggap gugur, maka kita akan kehilangan harapan untuk memenangkan satu saja di antara beberapa jenis yang dipertandingkan,” jawab kawannya.

“Kenapa kita begitu mudahnya dianggap gugur?” bertanya anak muda yang tidak mau mengaku kalah itu.

“Kita sudah melanggar paugeran,” jawab kawannya, “kita telah memakai pertanda kelompok kita. Agaknya hal itu dimaafkan. Tetapi kita tidak boleh menentang keputusan para pengamat, sepanjang mereka masih tetap berpegang pada paugeran. Ternyata keputusan yang diberikan kepadamu itu pun sesuai dengan paugeran, Dan bukankah kita sudah membaca bersama-sama?”

“Aku akan mengatakannya kepada Ayah,” berkata anak muda yang tidak mau kalah itu, “biar perwira yang memberikan keputusan tidak adil itu dipanggil dan dihukum.”

“Jangan sekarang. Maksudku, selama pertandingan ini berlangsung. Ayahmu, meskipun seorang Tumenggung, tetapi tidak berwenang mencampuri tugas para perwira yang ditunjuk. Bukankah kita tahu bahwa kegiatan ini langsung berada di bawah tanggung jawab Ki Patih Mandaraka?” berkata kawannya.

Anak muda yang tidak mengaku kalah itu terdiam. Iapun menyadari bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Keputusan para pengamat itu dianggap mutlak.

Dalam pada itu, di alun-alun telah terjadi pertandingan berikutnya. Tidak kalah serunya, meskipun tidak disertai dengan dendam dan kemarahan.

Sedangkan pertandingan yang ke-tujuh telah hadir di arena seorang anak muda yang mengenakan pertanda kelompok Kelabang Ireng. Namun lawannya adalah seorang anak muda yang mewakili kademangannya.

Penonton sempat bersorak dan berteriak-teriak. Namun kemudian anak muda yang mewakili sebuah kademangan itu kehilangan keseimbangannya ketika kudanya terkejut. Tongkat lawannya ternyata lepas dari sasaran dan mengenai lambung kuda, sehingga kuda itu telah melonjak. Penunggangnya pun ternyata terkejut pula, sehingga ia justru telah terlempar jatuh.

Ketika seorang prajurit menolongnya, anak muda itu memang menyeringai menahan sakit. Namun kemudian ia mampu bangkit berdiri dan berjalan sendiri menepi, sambil menuntun kudanya yang dengan cepat telah dipegangi oleh seorang prajurit.

Beberapa saat kemudian, maka telah turun pula ke arena dua orang anak muda yang akan terlibat dalam pertandingan di urutan terakhir. Namun keduanya justru tidak terlalu banyak menunjukkan kelebihan, sehingga sorak dan teriakan para penonton tidak lebih gemuruh dari pertandingan sebelumnya. Seorang dari kedua orang anak muda yang bertanding ternyata kurang menguasai kudanya, sehingga pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama.

Ketika seorang di antara kedua orang anak muda itu terjatuh, maka pertandingan di putaran pertama itu dinyatakan selesai. Para perwira yang bertugas tidak begitu sulit untuk menyatakan siapakah anak muda yang akan turun ke pertandingan berikutnya. Mereka tidak perlu menilai sebagaimana hari sebelumnya.

Meskipun demikian, seorang perwira masih juga naik ke panggung kecil untuk menyebut nama-nama dari delapan orang yang akan memasuki arena pertandingan di putaran berikutnya.

Sabungsari yang ada di luar arena bersama dengan Glagah Putih itu sempat berdesis, “Dari enam belas orang peserta, yang ikut ke putaran berikutnya adalah dua dari kelompok Sidat Macan, seorang saja dari Macan Putih, dan bahkan dua orang dari Kelabang Ireng. Tiga orang di antaranya mewakili kademangan, atau dari kelompok yang lain.”

“Kemarin kita tidak menemui seorangpun dari kelompok Kelabang Ireng yang ikut dalam putaran berikutnya,” desis Glagah Putih.

“Ya. Di sini justru ada dua,” berkata Sabungsari.

Sementara itu, perwira yang berada di atas panggungan kecil itu pun telah memberitahukan putaran terakhir bagi beberapa jenis pertandingan. Panahan, paseran, ketrampilan berkuda dengan kemampuan membidikkan lembing, serta sodoran. Demikian pula pertandingan bagi para remaja.

Baru kemudian perwira itu berkata, “Setelah semuanya berakhir, akan dilakukan pertandingan yang sangat khusus. Pertandingan melawan seekor lembu jantan. Ada lima ekor lembu jantan yang telah disediakan. Diharapkan ada lima orang yang menyatakan diri untuk ikut serta dalam pertandingan ini. Tetapi sampai pertandingan yang lain sudah hampir memasuki putaran berikutnya, untuk pertandingan melawan lembu jantan ini masih belum ada yang menyatakan ikut serta. Karena itu, untuk pertandingan terakhir itu nanti, masih diberikan kesempatan untuk menyatakan diri sampai sehari sebelum pertandingan. Jika tidak ada yang ikut serta, maka pertandingan itu akan dibatalkan. Hari yang sudah ditentukan itu akan dipergunakan oleh beberapa orang prajurit untuk mempertunjukkan ketrampilan dan kemampuan mereka.”

Para penonton memang merasa kecewa, bahwa acara pertandingan yang terakhir masih belum terisi. Nampaknya masih belum ada seorangpun di antara anak-anak muda yang merasa mampu untuk menandingi seekor lembu jantan yang liar. Apalagi setelah mereka melihat lima ekor lembu jantan yang sejak beberapa hari telah berada di sudut alun-alun itu. Lembu-lembu itu bukan saja dimasukkan ke dalam pagar yang sangat kuat, namun setiap lembu telah diikat dengan dua buah tali yang besar yang dianyam dari serabut kelapa, pada patok-patok yang kuat pula.

Anak-anak muda yang melihat kelima ekor lembu jantan yang liar itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka memang sudah menduga bahwa tidak akan ada yang berani melawan lima ekor lembu jantan itu.

Demikianlah, ketika di hari berikutnya terjadi pertandingan putaran kedua untuk panahan dan paseran yang dapat dilakukan bersama-sama, serta pertandingan untuk anak-anak remaja, maka alun-alun tidak dibanjiri oleh penonton sehingga hampir padat. Hanya beberapa orang yang bersungguh-sungguh serta benar-benar berniat pada panahan sajalah yang banyak berada di alun-alun.

Meskipun demikian, sekali-sekali juga terdengar para penonton itu bersorak, jika ada anak panah yang mengenai kepala dari sasaran, sehingga mendapat nilai terbanyak.

Yang justru sangat meriah adalah pertandingan bagi anak-anak remaja. Pertandingan pada putaran terakhir untuk jenis bergulat di atas jerami telah benar-benar menarik perhatian.

Setiap kali terdengar suara tertawa dan sorak yang meledak jika kedua orang yang sedang bergulat itu terjatuh, kemudian berguling-guling. Keduanya berusaha untuk menekan lawannya dengan tangannya, mengunci lawan sehingga tidak mampu bergerak lagi, sehingga kawannya akan mengembik seperti kambing, dibarengi dengan sorak penonton. Tetapi anak-anak yang keras kepala, meskipun sudah tidak mungkin dapat melepaskan diri, tidak mau juga mengembik. Jika terjadi demikian, maka para prajurit yang mengamati pertandingan itu dapat menghentikan pertandingan dan menyatakan pemenangnya. Juga sebaliknya, jika seseorang yang ikut dalam pertandingan tidak sempat mengembik karena tertekan wajahnya pada jerami atau karena hal-hal lain, maka para prajurit pun harus tanggap dan segera menghentikannya. Namun pertandingan bagi anak-anak remaja itu ternyata menumbuhkan gairah bagi anak-anak yang sebaya atau bahkan lebih kecil, untuk mencoba melakukannya juga di bawah pengawasan anak-anak yang lebih besar di padukuhan-padukuhan.

Karena itu maka gema dari pertandingan yang diselenggarakan di alun-alun itu telah memasuki padukuhan-padukuhan, justru pada anak-anak remaja.

Dengan demikian, maka pada hari pertama pertandingan putaran kedua itu, telah dapat ditentukan siapakah yang menjadi pemenangnya. Seorang yang dianggap terbaik dalam jenis panahan adalah seorang anak yang masih sangat muda. Bukan anak muda yang termasuk dalam kelompok-kelompok yang ada di Mataram. Bukan dari kelompok Macan Putih, bukan pula dari kelompok Sidat Macan, dan bukan pula dari kelompok Kelabang Ireng dan kelompok-kelompok yang lain. Tetapi anak muda itu adalah anak seorang Demang yang sangat pendiam. Anak muda yang tidak pernah pergi kemana-mana sampai batas kademangannya. Namun sejak kecil ia memiliki kemampuan bidik yang tinggi.

Ketika nama itu dinyatakan oleh seorang perwira yang bertugas mengamati pertandingan panahan itu, masih pula terdengar sorak yang meledak. Meskipun pada umumnya para penonton telah mengetahui siapa yang bakal disebut sebagai pemenang, namun pengumuman resmi itu telah memberikan kegembiraan kepada Ki Demang dan keluarganya. Ternyata anaknya yang penurut dan tidak pernah berbuat hal-hal yang dapat menimbulkan persoalan itu mampu menggapai kemenangan, sehingga mendapatkan kedudukan di tataran tertinggi dalam kemampuan memanah.

Ternyata bukan hanya anak Ki Demang itu saja yang mendapatkan kedudukan di tataran tertinggi. Pada jenis paseran, adik Ki Demang juga mendapat kedudukan tertinggi. Tetapi adik Ki Demang ini memiliki kebiasaan dan sifat yang sangat berbeda dengan kemenakannya. Adik Ki Demang adalah seorang anak muda yang tergabung dalam kelompok-kelompok anak-anak muda yang sering menimbulkan persoalan bagi orang banyak. Anak muda itu tergabung dalam kelompok Kelabang Ireng. Anak muda itu memang memiliki kemampuan melontarkan paser. Bahkan paser-paser kecil yang ujungnya sangat runcing. Kadang-kadang pada ujungnya dipasang duri kemarung yang sangat tajam dan panjang. Atau dipasang duri yang diambilnya dari tanaman bebondotan hutan.

Tetapi kemenangan adiknya itu sama sekali tidak menambah kegembiraan keluarga Ki Demang, yang selalu dibuat pening oleh adiknya itu. Tetapi bahwa anaknya juga menang, telah memberikan imbangan pada perasaannya. Apalagi bahwa anaknya sama sekali tidak tertarik untuk berbuat seperti pamannya.

Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok Kelabang Ireng telah bersorak-sorak kegirangan, karena seorang di antara mereka telah mendapatkan gelar sebagai pemenang utama dalam pertandingan jenis paseran.

Tetapi anak-anak muda yang ternyata dari kelompok-kelompok yang lain telah berteriak pula, “Permainan yang hanya pantas bagi perempuan. Kami laki-laki, tidak pantas untuk bermain paser-paseran seperti itu.”

Suasana memang menjadi sedikit hangat. Namun para prajurit yang sudah memperhitungkan hal seperti itu, dengan cepat menguasai keadaan, sehingga tidak terjadi hal-hal yang dapat membakar suasana.

Para pemenang remaja pun telah diumumkan pula. Sambutan para penonton justru lebih meriah, meskipun anak-anak muda dari kelompok-kelompok tertentu tidak menghiraukannya lagi. Tetapi orang-orang tua yang anaknya terlibat telah menunggui anak-anaknya sampai selesai. Ternyata meskipun bukan anak-anak mereka sendiri yang menjadi pemenangnya, namun dengan ikhlas mereka menyatakan kegembiraannya.

Dalam pada itu, ketika kemudian sampai pada giliran putaran kedua pertandingan melontarkan lembing sambil berkuda di hari berikutnya, maka alun-alun itu pun menjadi penuh kembali. Lima orang akan turun ke medan. Kemudian, beberapa orang prajurit akan memamerkan kepandaian mereka naik kuda sambil mempermainkan senjata, untuk memberikan kemungkinan pada pertandingan di tahun yang akan datang.

Pertandingan putaran kedua itu dimulai ketika matahari mulai memanjat langit. Seperti biasanya, maka terdengar bunyi bende untuk pertama, kedua dan ketiga kalinya. Kemudian seorang perwira memberikan aba-aba kepada peserta pada giliran pertama.

Demikianlah, anak-anak muda yang ikut dalam putaran terakhir adalah anak-anak muda yang terpilih. Karena itu maka pertandingan di putaran kedua itu pun telah sedikit dikembangkan. Setiap anak muda tidak hanya melontarkan sebuah lembing, tetapi tiga buah dari arah yang berbeda. Dari satu arah mereka melemparkan sebuah lembing. Kemudian memungut lembing kedua di ujung arena yang panjang itu. Sambil berpacu ke arah yang berlawanan, maka ia akan melontarkan lembing itu. Dan lembing yang ketiga harus diambilnya di tempat mereka mulai. Arah kudanya pun sama seperti arah yang pertama ditempuh.

Karena itu, sejak anak muda yang mendapat giliran pertama menghentakkan kendali kudanya dan berpacu pada arah pertama, sorak pun telah mengguruh. Tepuk tangan dan teriakan-teriakan keras mengikuti jalannya pertandingan. Lembing pertama yang dilontarkan oleh anak muda di giliran pertama itu telah tepat mengenai sasarannya dan hinggap pula dengan mantap. Kemudian kuda itu berlari terus sampai ke ujung arena yang panjang itu. Dengan tangkasnya kudanya berputar, sementara tangan penunggangnya telah menggapai lembing yang memang sudah disediakan tertancap di tanah.

Sekejap kemudian kuda itu telah berlari lagi ke arah yang berlawanan. Lembing kedua itu harus dilontarkan pula ke sasaran. Namun sasaran itu pada lontaran lembing kedua berada di sisi kiri dari arah kudanya, sehingga menjadi agak sulit. Namun peserta pada giliran pertama itu ternyata benar-benar mempunyai kemampuan bidik yang tinggi. Lembing kedua itu pun tepat mengenai bagian kepala meskipun sasarannya berbeda. Orang-orangan yang dikenainya dengan lembing kedua bukan orang-orangan yang dikenainya dengan lembing pertama.

Sorak pun mengguruh, sementara kuda itu masih tetap berpacu untuk menggapai lembing ketiga. Namun ketika lembing ketiga itu dilontarkan dari arah sebagaimana arah lari kudanya saat melemparkan lembingnya yang pertama, yang seharusnya tidak sesulit lembing kedua, ternyata lembing itu tidak tepat mengenai bagian kepala dari orang-orangan itu. Tetapi lembing itu agak lebih rendah sehingga hanya mengenai bagian badannya saja.

Tetapi anak muda yang mendapat giliran pertama ini telah menanam harapan, jika saja peserta berikutnya tidak dapat melampauinya.

Dengan cara yang telah dikembangkan itu, maka beberapa orang perwira telah memberikan nilai bukan saja sasaran yang dikenai oleh ketiga batang lembing. Tetapi juga ketangkasan dan kemampuannya berkuda.

Namun dengan demikian, waktunya pun menjadi lebih lama dari cara sebelum dikembangkan dengan tiga batang lembing.

Demikianlah, maka orang yang ke-dua pun telah bersiap-siap. Setelah isyarat bende ketiga berbunyi, maka peserta di giliran ke-dua itu pun telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka ketika aba-aba diberikan, kuda itu pun segera meluncur seperti anak panah. 

Penonton benar-benar menjadi gembira melihat pertandingan itu. Mereka bersorak-sorak dengan kerasnya. Bahkan anak-anak muda yang mengenali pesertanya, telah meneriakkan namanya pula sambil melonjak-lonjak dan melambai-lambaikan tangannya.

Tetapi peserta pertandingan itu sama sekali tidak sempat memperhatikan mereka. Jika pemusatan pikirannya terganggu, maka lembing pun tidak akan dapat mengenai sasaran.

Ternyata peserta ke-dua itu juga memiliki ketangkasan yang seimbang dengan peserta yang pertama, sehingga untuk menentukan siapakah yang lebih baik diperlukan kecermatan para perwira yang bertugas.

Demikian pula peserta yang ke-tiga. Bahkan peserta ke-empat dan ke-lima. Semuanya menunjukkan bahwa mereka benar-benar pantas untuk ikut dalam putaran kedua. Bahkan lebih baik dari yang mereka lakukan di putaran pertama, karena di putaran kedua pertandingan itu telah dikembangkan.

Ketika peserta kelima telah menyelesaikan pertandingan, maka seperti yang sudah diumumkan, maka akan dilakukan pameran ketangkasan dari para prajurit Mataram.

Dengan cepat, beberapa orang prajurit yang bertugas telah membersihkan arena dari beberapa orang-orangan yang dipasang di sebelah jalur arena yang panjang. Namun orang-orangan yang kemudian dipasang adalah batang-batang pisang yang ditanam. Tidak hanya satu batang, tetapi beberapa potong.

Sementara para perwira bertugas menilai kelima orang yang mengikuti pertandingan melemparkan lembing sambil berpacu di atas punggung kuda, maka beberapa orang prajurit telah siap di-punggung kuda mereka dengan pedang telanjang di tangan.

Demikianlah, satu-satu prajurit itu memacu kudanya. Dengan tangkasnya seorang prajurit telah mengayunkan pedangnya di saat kudanya berlari. Beberapa batang pisang telah terpotong sekaligus oleh pedang prajurit itu.

Di belakangnya disusul pula seorang prajurit yang lain. Seperti yang kedua, maka pedangnya telah memotong batang-batang pisang itu. Namun yang ketiga tidak melakukan hal yang sama. Tetapi kudanya berputar-putar di sekitar batang pisang itu. Prajurit yang menunggang kuda itu benar-benar menunjukkan ketangkasan bermain pedang.

Namun pameran ketangkasan itu tidak berlangsung terlalu lama. Para prajurit itu sekedar memberikan satu kemungkinan untuk melakukan pertandingan lain di kesempatan mendalang.

Dalam pada itu, seorang perwira telah naik ke sebuah panggungan kecil. Sebelum menyebut siapakah yang terbaik dari kelima peserta itu, maka perwira itu berkata, “Kelima peserta dianggap peserta yang terbaik dari seluruh peserta. Mereka dapat merasa bangga untuk kali ini. Tetapi mereka harus bersiap mempertahankan keperkasaannya di pertandingan mendatang. Karena itu, dituntut latihan-latihan yang terus-menerus dan ajeg.”

Yang tersenyum adalah Sabungsari dan Glagah Putih. Jika anak-anak muda itu benar-benar tertarik untuk berlatih, maka maksud dari pertandingan itu tentu akan dapat dicapai. Anak-anak muda itu akan terikat pada hari-hari latihan. Mereka tidak akan berkeliaran di jalan-jalan dan berkelahi yang satu dengan yang lain.

“Nampaknya perwira itu telah memberikan arah bagi anak-anak muda dan remaja sebagaimana dimaksudkan,” berkata Sabungsari.

“Kau akan ikut berlatih, sehingga tahun depan kau akan ikut dalam pertandingan?” bertanya Glagah Putih.

Sabungsari tertawa. Dengan nada rendah ia menjawab, “Aku sudah terlalu tua untuk ikut serta. Apalagi tahun depan.”

“Tentu tidak,” jawab Glagah Putih, “bukankah tidak ada batas umur untuk itu?”

Sabungsari hanya tertawa saja. Apalagi ketika perwira yang ada di panggungan kecil itu meneruskan kata-katanya, “Nah, waktu yang setahun bahkan mungkin kurang, akan memberikan peluang bagi kalian untuk menjadi orang terbaik dalam pertandingan jenis ini.”

Anak-anak muda sudah menjadi gelisah. Mereka ingin tahu siapakah yang terpilih untuk menjadi orang terbaik. Pada pertandingan sodoran di hari berikutnya, para penonton akan bisa mengetahui siapa pemenangnya meskipun belum diumumkan. Tetapi pertandingan yang baru saja dilakukan, semuanya harus menunggu para petugas menyebutkan.

Karena itu, maka beberapa orang mulai berteriak, “Sebut pemenangnya!”

“Sebut pemenangnya!” sahut yang lain. Bahkan beberapa orang sekaligus.

Perwira itu tersenyum. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Dengarkan. Pemenangnya adalah peserta pada urutan…”

Perwira itu sengaja berhenti sambil memandang berkeliling. Namun ketika ia melihat kegelisahan yang semakin memuncak di antara para penonton, iapun kemudian menyebutkannya.

“Pemenangnya adalah peserta pada urutan ke-dua,” berkata perwira itu.

Alun-alun itu rasa-rasanya telah meledak. Sorak yang mengguruh rasa-rasanya akan meruntuhkan langit.

Sabungsari mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum. Ia memang sudah mengira bahwa anak muda itulah yang memenangkan pertandingan. Justru anak muda dari kelompok yang banyak dikenalnya. Kelompok Sidat Macan.

Anak-anak muda dari kelompok itu telah berteriak-teriak dengan gembira. Kemenangan kawannya itu adalah kemenangan mereka. Mereka dapat berbangga bahwa salah seorang dari mereka memiliki ketrampilan berkuda serta melemparkan lembing dari atas punggung kuda.

Seperti yang sudah dilakukan oleh para prajurit, mereka pun dengan cepat berusaha menguasai keadaan sebelum terjadi sesuatu. Anak-anak dari kelompok Macan Putih ternyata merasa sakit hati. Namun kenyataan itulah yang mereka hadapi. Jika mereka tidak mengakuinya, maka mereka akan dianggap melawan keputusan dari beberapa orang petugas yang dianggap mengetahui dengan baik tugas mereka. Apalagi jika mereka berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan. Maka mereka akan langsung berhadapan dengan para prajurit.

Betapapun kecewanya, kelompok-kelompok yang lain harus menerima keputusan itu. Apalagi karena para prajurit sudah berbuat seadil-adilnya. Bahwa anak muda dari kelompok Sidat Macan itulah yang terbaik.

Anak-anak muda yang tidak termasuk dalam kelompok-kelompok yang manapun cukup merasa bangga bahwa mereka telah termasuk dalam sekelompok kecil anak-anak muda yang ikut pada putaran terakhir.

Yang mereka nanti-nanti kemudian adalah hari berikutnya. Sodoran pada putaran kedua dan tentu sekaligus pada putaran ketiga. Dalam pertandingan sodoran, mereka tidak perlu menunggu seorang perwira mengumumkan siapakah pemenangnya. Mereka akan dapat langsung melihat, siapakah yang terakhir masih tetap berada di punggung kuda.

Sebenarnyalah di hari berikutnya alun-alun pun menjadi semakin penuh. Lingkaran arena pun menjadi semakin luas.

Ada delapan orang yang ikut pada pertandingan di putaran kedua. Mereka akan menjadi ampat pasang dalam pertandingan sodoran. Untuk menentukan lawan masing-masing maka telah dilakukan undian bagi mereka.

Para perwira yang mengawasi pertandingan itu telah memerintahkan bahwa peraturan harus dipatuhi. Sebelumnya para perwira tidak begitu keras terhadap mereka yang mempergunakan tanda-tanda atau ciri-ciri kelompok mereka masing-masing. Tetapi pada pertandingan sodoran itu, semua tanda dan ciri-ciri itu harus dilepas.

“Siapa yang berkeberatan untuk melepaskan tanda dan ciri kelompok masing-masing, dinyatakan gugur,” berkata perwira yang memimpin pertandingan itu.

Anak-anak muda itu terpaksa melepas tanda-tanda dan ciri-ciri yang sebenarnya menjadi kebanggaan mereka. Namun mereka memang tidak dapat berbuat lain karena para prajurit nampaknya bersungguh-sungguh.

Sebenarnyalah para prajurit berusaha untuk mengurangi suasana yang dapat menjadi panas jika dua orang anak muda dari kelompok yang berbeda akan bertanding.

Ketika saatnya mulai, maka bende pun telah berbunyi untuk yang pertama kali, kedua dan ketiga. Dua orang peserta yang mendapat undian di giliran pertama akan memasuki arena. Mereka sudah tidak lagi mengenakan tanda-tanda atau ciri kelompok mereka. Namun kedua orang anak muda itu ternyata sudah saling mengetahui, bahwa seorang dari kelompok Sidat Macan, sedangkan yang seorang lagi dari kelompok Kelabang Ireng.

Ketika seorang perwira memberikan aba-aba, maka kedua orang anak muda itu dengan segera menggerakkan kendali kudanya. Keduanya langsung saling menyerang.

Yang membekali pertandingan itu bukan saja niat untuk menjadi peserta yang terbaik. Tetapi bahwa keduanya berasal dari dua kelompok yang berbeda, agaknya ikut membakar jantung mereka berdua.

Dengan demikian, maka sodoran itu menjadi cepat dan bahkan keras.

Beberapa orang petugas khusus telah berada di arena pula. Mereka mengamati pertandingan itu dengan seksama. Sehingga dengan demikian, maka kehadiran mereka memang mempengaruhi kedua peserta yang sedang bertanding itu, bahwa keduanya tidak boleh melanggar paugeran pertandingan.

Namun meskipun demikian, pertandingan itu memang merupakan pertandingan yang semakin keras.

Tetapi justru karena itu, maka pertandingan itu menjadi menarik bagi para penonton. Mereka berteriak-teriak memacu agar yang bertanding di arena itu menjadi semakin garang.

Ternyata pertandingan antara anak muda dari kelompok Sidat Macan dan kelompok Kelabang Ireng itu menjadi semakin seru. Beberapa kali keduanya hampir terjatuh dari kuda mereka.

Namun akhirnya, pemenangnya berhasil mendorong lawannya sehingga tidak lagi mampu bertahan duduk di atas punggung kuda. Anak muda dari kelompok Sidat Macan itulah yang kemudian justru lebih dahulu tergelincir, ketika ujung tongkat lawannya mampu menyusup pertahanan perisainya dan langsung menekan dadanya. Meskipun anak muda dari kelompok Sidat Macan itu kemudian sempat memukul tongkat itu dengan perisainya, namun tidak mampu menyelamatkannya sehingga ia pun benar-benar telah terjatuh menyentuh tanah.

Sekali lagi terdengar sorak yang gemuruh. Para penonton langsung dapat melihat, bahwa anak muda dari kelompok Kelabang Ireng itulah yang menang.

Beberapa orang di luar arena berteriak-teriak nyaring, “He, ternyata kami bukan sekedar perempuan yang pantas bekerja di dapur! Bukan sekedar memenangkan paseran. Tetapi juga sodoran!”

Tetapi suara lain menjawab, “Kau belum menang. Masih ada dua putaran lagi.”

Namun anak-anak Kelabang Ireng itu menjawab, “Kami pasti menang.”

Suara-suara itu terdiam dengan sendirinya ketika kemudian pertandingan ke-dua mulai. Disusul yang ke-tiga dan kemudian yang ke-empat.

Dari delapan orang yang ikut dalam putaran kedua, telah disisihkan empat orang di antaranya. Empat orang yang lain akan ikut dalam pertandingan di putaran berikutnya.

Ternyata dari empat orang yang terpilih untuk bertanding di putaran berikutnya adalah anak-anak muda yang ternyata dari kelompok Macan Putih, seorang dari kelompok Sidat Macan, seorang dari kelompok Kelabang Ireng dan seorang dari sebuah kademangan Kotaraja.

Empat orang itulah yang akan ikut dalam putaran berikutnya untuk memilih dua orang terbaik. Dua orang terbaik itu akan bertanding di keesokan harinya sebagai puncak pertandingan.

Namun sebelum pertandingan putaran berikutnya dilakukan oleh empat orang yang akan bertanding dalam dua pasang, para peserta, terutama yang akan bertanding lagi, mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mungkin mereka memerlukan perawatan jika ada di antara mereka yang mengalami kesakitan atau bahkan cedera di putaran sebelumnya.

Namun dalam pada itu, selagi mereka beristirahat, seseorang yang tidak dikenal, yang masih juga terhitung muda, telah naik dengan serta merta ke atas panggungan yang terbiasa dipergunakan oleh para perwira untuk memberikan pengumuman-pengumuman atau pemberitahuan, bukan saja kepada para peserta, tetapi kepada mereka yang menonton pertandingan itu.

Dengan lantang orang itu berkata, “Prajurit Mataram ternyata telah mengada-ada. Apa artinya pertandingan-pertandingan ini? Tentu kalian sedang mempersiapkan diri untuk memanggil anak-anak muda menjadi prajurit yang akan kalian hadapkan untuk melawan Pati. Cara ini adalah cara yang tidak wajar. Cara yang dilakukan untuk menyembunyikan niat yang sebenarnya. Apalagi dengan pertandingan melawan seekor sapi jantan. Itu sama artinya dengan membunuh orang. Aku tahu, pertandingan yang terakhir adalah satu cara untuk membunuh anak-anak muda dari kelompok-kelompok yang tidak disukai. Karena itu, pertandingan bertarung dengan lembu jantan adalah tidak masuk akal.”

Namun orang itu tidak sempat berbicara lebih panjang. Dua orang prajurit telah naik pula ke panggungan dan menarik orang itu untuk turun.

Tetapi adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja beberapa orang telah menyerang kedua orang prajurit itu, sehingga terjadi keributan. Ternyata pada kesempatan itu, mereka yang membuat keributan itu telah melarikan diri dan tenggelam ke dalam lautan manusia yang sedang menunggu pertandingan sodoran putaran berikutnya.

Peristiwa itu terjadi begitu tiba-tiba dan cepat, justru pada saat beristirahat. Perhatian para prajurit terutama tertuju kepada anak-anak muda dari kelompok-kelompok bersaing.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar