Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 271

Buku 271

Murid-murid Ki Ajar Gurawa justru mulai gelisah melihat lawan-lawannya. Mereka telah melukai di beberapa tempat. Bahkan senjata-senjata mereka telah menggores dada, menusuk lambung dan pundak serta lengan mereka. Tetapi Rubah-Rubah itu masih saja berloncatan menerkam tanpa perhitungan, karena mereka tidak pernah berhasil.

Sabungsari pun akhirnya kehilangan kesabaran. Tetapi ia tidak merasa perlu untuk menghentikan Rubah Hitam itu dengan kekuatan sorot matanya. Tetapi ia justru meminjam kekuatan dorong Rubah itu sendiri. Ketika Sabungsari berhasil menyerang lawannya dengan kakinya yang menghantam dada, maka Rubah itu telah terlempar beberapa langkah. Namun tiba-tiba saja ia telah bangkit dan meloncat menyerang sambil berteriak nyaring.

Sabungsari yang telah menjadi muak melihatnya, justru telah menunggu sambil mengacukan pedangnya, tepat saat Rubah Hitam itu meloncat.

Terdengar pekik kesakitan bagaikan mengguncang Istana Kepatihan. Ujung pedang Sabungsari justru telah menikam lawannya tepat di arah jantung. Ketika kemudian Sabungsari menarik pedangnya, maka Rubah Hitam itu pun telah terjatuh menelungkup. Bulu kuduk Sabungsari justru meremang ketika Rubah itu masih juga bangkit. Namun selangkah ia maju, maka Rubah Hitam yang terluka sampai ke jantung itu pun terjatuh kembali. Mati.

Pada saat yang hampir bersamaan pula, kedua murid Ki Ajar Gurawa terpaksa menghabisi kedua Rubah Hitam yang menjadi lawan mereka, justru karena Rubah-Rubah Hitam itu telah membuat mereka menjadi gelisah karena sikapnya yang seakan-akan tidak mengenal surut sama sekali.

Yang masih bertempur adalah Glagah Putih. Ketika ia melihat Rubah-Rubah Hitam yang lain terbunuh, maka timbul niatnya untuk menundukkan Rubah yang menjadi lawannya itu tanpa membunuhnya.

Sebenarnyalah Rubah Hitam itu seperti seorang yang kerasukan. Apa yang dilakukan itu seakan-akan bukan kemauannya sendiri. Matanya yang memancarkan kekosongan pribadinya justru menjadi menakutkan. Liar, tetapi beku.

Sabungsari yang telah kehilangan lawannya sempat memperhatikan, apa yang dilakukan oleh Glagah Putih, sementara kedua orang murid Ki Ajar Gurawa telah mendekati gurunya. Namun gurunya itu sempat berkata, “Jangan mendekat. Tangan iblis itu sepanas bara api.”

Kedua orang muridnya memang tidak mendekat. Mereka pun tidak menjadi cemas, karena mereka melihat bahwa gurunya masih tetap tegar menghadapi lawannya. Meskipun ada beberapa noda sentuhan bara api dari Aji Tapak Geni ini, namun Ki Ajar justru telah berhasil mendesak lawannya. Sentuhan-sentuhan tangan dan kaki Ki Ajar membuat Ki Rangga semakin kesakitan.

Dalam pada itu, Sabungsari yang menunggui Glagah Putih memang ingin mengetahui batas kemampuan wadag Rubah Hitam itu. Apalagi melawan ikat pinggang Glagah Putih.

Pertempuran itu memang menjadi sengit. Beberapa kali Rubah Hitam, yang tinggal satu-satunya di antara ketujuh orang itu, terlempar jatuh. Namun kemudian dengan cepat telah bangkit lagi. Menyerang, menerkam dan berteriak dengan buasnya.

Glagah Putih dengan sengaja tidak dengan serta merta membunuhnya. Tetapi ia telah mempergunakan kemampuannya untuk melawan Rubah Hitam yang justru membuatnya menjadi gelisah, sehingga hampir saja Glagah Putih menjadi tidak telaten dan menghancurkan lawannya dengan puncak ilmu dari aliran Ki Sadewa, yang tentu tidak perlu mengulangi untuk kedua kalinya.

Tetapi Glagah Putih masih mencoba untuk bertahan. Dengan mempergunakan ikat pinggangnya dalam kemampuan kewadagannya yang wajar, ia melawan kebuasan Rubah Hitam itu.

Beberapa kali Glagah Putih yang memiliki kemampuan yang mapan dengan senjatanya itu telah berhasil mengenai tubuh Rubah Hitam itu. Beberapa kali Rubah Hitam itu terpelanting jatuh. Namun iapun segera bangkit dan menyerang dengan garangnya.

Namun Glagah Putih masih juga menahan diri. Ia tidak ingin mematahkan tulang belakang Rubah itu sehingga mati.

Namun dengan demikian maka Glagah Putih masih harus berloncatan menghindari terkaman Rubah Hitam yang tinggal seorang itu.

Tetapi betapapun pengaruh kelam yang ada di dalam diri Rubah Hitam itu, namun ketahanan wadagnya ternyata ada batasnya pula. Ternyata Rubah Hitam itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi menghadapi sabetan ikat pinggang kulit Glagah Putih. Beberapa kali ia terpelanting jatuh, meloncat bangkit dan jatuh lagi.

Tetapi akhirnya pada suatu saat Rubah Hitam itu telah kehilangan dukungan wadagnya. Ketika ikat pinggang Glagah Putih menghantam keningnya, maka Rubah Hitam itu terlempar ke samping dan jatuh berguling. Seperti saat-saat sebelumnya, maka dengan tangkasnya Rubah Hitam itu melenting berdiri. Tetapi sebelum ia sempat menerkam Glagah Putih, maka iapun telah terhuyung-huyung.

Masih terdengar Rubah Hitam itu menjerit tinggi sambil meloncat menyerang. Namun tanpa dukungan kekuatan wadagnya, maka Rubah Hitam itu pun telah jatuh terjerembab. Meskipun ia masih juga berusaha untuk bangkit, tetapi orang itu benar-benar sudah tidak berdaya.

Glagah Putih berdiri tegak di sebelah tubuh yang terbaring diam itu. Tetapi masih terdengar nafas yang terengah-engah mengalir lewat lubang hidung dan mulutnya.

Sabungsari yang mendekat, melihat, betapapun pengaruh ilmu hitamnya yang mampu membakar tekad dan kemampuannya untuk bertempur dan membunuh, namun wadagnya sama sekali tidak lagi dapat mendukungnya,

Glagah Putih dan Sabungsari saling berpandangan sejenak, ketika keduanya melihat Rubah itu kemudian justru menjadi pingsan. Wadagnya telah mengerahkan kekuatan melampaui kewajaran.

Dengan isyarat, Sabungsari memanggil dua orang prajurit yang sedang mengawasi tawanan di depan pintu gerbang. Ketika keduanya mendekat, maka Sabungsari berkata, “Jaga orang ini. Biarlah ia hidup. Mereka akan menjadi sumber keterangan selain tentang gerombolannya, juga tentang ilmunya yang aneh itu.”

Kedua orang prajurit itu mengangguk hormat. Meskipun keduanya sadar bahwa orang itu bukan salah seorang pimpinan jajaran keprajuritan yang bertugas di Istana Kepatihan, namun sikapnya tidak berbeda dengan sikap para perwira, sehingga perintahnya terasa mempunyai wibawa. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Sabungsari adalah salah seorang perwira kepercayaan Untara di Jati Anom.

Setelah menyerahkan Rubah Hitam yang sudah tidak bertenaga lagi itu kepada kedua orang prajurit, maka keduanya telah meninggalkannya. Namun langkah mereka terhenti ketika dua orang menyusul mereka dengan tergesa-gesa.

Keduanya ternyata adalah Suratama dan Naratama.

“Apa yang terjadi?” bertanya Sabungsari.

“Pertempuran disekitar istana sudah selesai,” jawab Suratama.

“Bagaimana dengan keadaan di dalam istana?” bertanya Sabungsari kemudian.

“Kami tidak berani masuk,” jawab Suratama.

“Kenapa?” bertanya Sabungsari.

“Terjadi pertempuran di ruang dalam. Rasa-rasanya ruang dalam telah menjadi neraka. Sinar-sinar api sambar-menyambar. Kemudian kabut seakan-akan telah memenuhi ruangan, namun sekejap kemudian lenyap seperti terhisap bumi. Sekali-sekali terdengar suara prahara. Namun kemudian seakan-akan debur ombak bergulung menghantam batu karang,” jawab Suratama.

Sabungsari dan Glagah Putih memaklumi apa yang terjadi. Ternyata Ki Wanayasa adalah seorang yang memang berilmu tinggi. Seandainya Ki Resapraja ada di dalam ruang dalam, maka kemampuannya tidak akan banyak berarti. Namun jika kedua Rangga serta Podang Abang bersama-sama melawan Ki Patih Mandaraka, maka keadaan Ki Patih memang menjadi agak sulit.

Namun pertempuran yang seperti itu terjadi juga di sudut halaman Kepatihan. Podang Abang yang sedang bertempur melawan Ki Jayaraga semakin lama menjadi semakin sengit. Ternyata keduanya memang orang-orang berilmu tinggi. Agaknya seperti yang terjadi di ruang dalam, setiap kali nampak cahaya yang meluncur dari kedua belah pihak saling menyambar. Tetapi kedua belah pihak ternyata memiliki kecepatan yang mampu mengimbangi kecepatan ilmu masing-masing.

Tetapi kadang-kadang keduanya justru telah bertempur pada jarak jangkau tangan-tangan mereka. Udara yang panas serta ilmu yang lebih tinggi tingkatnya dari Tapak Geni ternyata dimiliki pula oleh Podang Abang. Aji Tapak Gundala. Namun Ki Jayaraga adalah seorang yang memiliki landasan kekuatan dari empat unsur kekuatan yang ada di alam sekitarnya. Kekuatan yang mendukungnya dari inti kekuatan bumi, air, udara dan api.

Dalam gelapnya malam, maka kilatan-kilatan sinar yang sambar-menyambar membuat halaman Kepatihan itu menjadi sangat mengerikan. Maut seakan-akan telah berterbangan membayangi seluruh halaman dan Istana Kepatihan.

Sabungsari dan Glagah Putih seakan-akan justru telah melupakan pertempuran antara Ki Ajar Gurawa yang ditunggui oleh kedua orang muridnya melawan Ki Resapraja, justru karena pertempuran yang mendebarkan di sudut halaman itu.

Apalagi keduanya yakin bahwa Ki Ajar Gurawa akan dapat mengatasi lawannya yang memiliki Aji Tapak Geni itu, karena Ki Ajar mampu bergerak jauh lebih cepat dari kemampuan gerak Ki Rangga Resapraja, sehingga Ki Ajar telah mampu mengenai lawannya jauh lebih sering dari sentuhan-sentuhan Aji Tapak Geni itu. Sedangkan kekuatan tenaga cadangan Ki Ajar seakan-akan semakin lama semakin bertambah-tambah. Bukannya sebaliknya, meskipun pertempuran itu telah terjadi beberapa lama.

Dalam pada itu, Sabungsari dan Glagah Putih menjadi tegang melihat pertempuran antara Ki Jayaraga dan Podang Abang. Keduanya pernah bersama-sama bertempur melawan Podang Abang yang kemudian melarikan diri. Namun melihat Podang Abang bertempur melawan Ki Jayaraga, mereka berdua masih juga merasa gelisah.

Dalam gelapnya malam, lontaran-lontaran ilmu dari kedua belah pihak nampaknya seperti cahaya yang berterbangan. Sambar-menyambar dengan sengitnya. Namun beberapa saat kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran dengan benturan-benturan kewadagan. Namun sudah barang tentu di lambari dengan kekuatan ilmu yang dahsyat, Ilmu Tapak Gundala sebagai satu kekuatan yang lebih tinggi dari ilmu Tapak Geni memang dahsyat, Tetapi Ki Jayaraga memiliki sandaran kekuatan inti air dan udara yang mampu mematahkan panasnya api ilmu Tapak Gundala. Sedangkan kekuatan yang diserapnya dari getaran kekuatan bumi telah membuatnya menjadi kuat kokoh, dan tidak tergoyahkan oleh deraan serangan Podang Abang yang menghantamnya bagaikan gelegar ombak yang datang bergulung-gulung.

Podang Abang yang merasa bahwa kemampuannya telah jauh meningkat dari beberapa tahun sebelumnya sehingga ia merasa sudah menjadi lebih baik dari Ki Jayaraga, ternyata masih belum mampu mematahkan perlawanan orang tua itu.

“Iblis kau,” geram Podang Abang.

“Apapun yang kau katakan,” sahut Ki Jayaraga yang justru mulai mendesak lawannya.

“Ilmu iblismu telah membuat semua muridmu menjadi iblis bajak laut, perompak, penyamun. He, adakah di antara murid-muridmu yang dapat kau banggakan?” geram Podang Abang yang merasa mulai terdesak.

“Aku akui itu. Murid-muridku semua menjadi jahanam, kecuali satu,” jawab Ki Jayaraga, “dan yang satu ini akan membuktikan, betapapun hitamnya duniaku, namun masih juga ada sepercik sinar yang dapat menerangi kegelapan di sekelilingku.”

“Jika ia memiliki kemampuan yang cukup, maka iapun akan menjadi jahanam, justru melampaui murid-muridmu yang lain!” teriak Podang Abang.

“Aku menemukannya setelah pribadinya terbentuk. Aku hanya menuangkan ilmuku tanpa menggelitik pribadinya sama sekali,” jawab Ki Jayaraga.

“Tetapi pancaran ilmumu sejalan dengan wajah kekelaman, sehingga betapapun kuat pribadinya, maka pengaruh dunia kelammu akan mencengkamnya,” berkata Podang Abang lantang sambil melontarkan serangan-serangannya.

Glagah Putih yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi berdebar-debar. Ia memang sudah mengetahui sebelumnya, bahwa murid-murid Ki Jayaraga sebelumnya tidak seorangpun yang dapat menjadi murid kebanggaan. Semuanya tergelincir kedalam laku kejahatan yang tidak dapat dimaafkan. Itulah sebabnya, Ki Jayaraga ingin ikut serta mengakui Glagah Putih, yang pribadinya sudah terbentuk, sebagai muridnya, karena ia merindukan seorang murid yang akan dapat menjadi orang kebanggaan.

Namun bagaimanapun juga, pembicaraan itu telah membuat Glagah Putih menjadi berdebar-debar.

Namun Sabungsari yang juga mendengar pembicaraan itu, berkata, “Kau dengar cara Podang Abang mempengaruhi lawannya lewat perasaannya? Satu cara yang sangat licik. Ia berharap Ki Jayaraga menjadi gelisah, sehingga tidak dapat memusatkan nalar budinya menghadapi ilmu Podang Abang yang cukup berbahaya.”

Glagah Putih mengangguk sambil berdesis, “Cara yang harus dicegah.”

“Biarkan saja. Ki Jayaraga hatinya tidak serapuh dugaan Podang Abang,” jawab Sabungsari.

Sebenarnyalah Ki Jayaraga tidak banyak terpengaruh oleh lontaran kata-kata Podang Abang, yang dengan sengaja berusaha menyinggung perasaannya.

Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu masih saja berlangsung sebagaimana sebelumnya. Podang Abang yang merasa ilmunya telah memanjat ke tataran yang semakin tinggi, harus menghadapi kenyataan bahwa Ki Jayaraga sekarang juga bukan Ki Jayaraga beberapa tahun yang lalu.

Dengan demikian, maka Ki Jayaraga semakin lama semakin mendesak lawannya. Jika benturan ilmu terjadi, maka kekuatan ilmu Ki Jayaraga-lah yang berhasil mendesak kekuatan ilmu Podang Abang, betapapun kecil selisihnya. Sentuhan serangan-serangan kedua belah pihak yang terjadi pun menunjukkan, bahwa ilmu dan kemampuan Ki Jayaraga masih berada di atas ilmu dan kemampuan Podang Abang. Beberapa kali Podang Abang melangkah mengambil jarak. Namun Ki Jayaraga tidak membiarkannya mengambil jarak terlalu jauh. Dengan kemampuannya melontarkan kekuatan ilmunya, Ki Jayaraga telah mengurung Podang Abang, yang selalu berusaha memecahkannya dengan kemampuan ilmunya pula.

Namun semakin lama Podang Abang memang menjadi semakin sulit. Ruang geraknya terasa menjadi semakin sempit. Sementara benturan-benturan ilmu yang terjadi telah memberikan isyarat kepadanya, bahwa kemampuannya masih berada di bawah kemampuan ilmu Ki Jayaraga, meskipun hanya selapis tipis. Karena itu, kemungkinan yang ditunggunya adalah jika Ki Jayaraga satu kali membuat kesalahan yang dapat dimanfaatkannya.

Tetapi Ki Jayaraga menyadari tingkat kemampuan Podang Abang, sehingga ia sama sekali tidak menjadi lengah. Ia bahkan semakin lama semakin berhati-hati.

Podang Abang mengumpat tidak habis-habisnya. Tetapi kesadaran akan harga dirinya telah membuatnya tetap garang menghadapi serangan-serangan Ki Jayaraga. Meskipun serangan-serangan itu semakin lama justru semakin terasa menyentuh pakaiannya, dan bahkan kulitnya.

Kedua orang itu bertempur justru semakin garang. Keduanya telah sampai ke puncak ilmu mereka. Sambaran-sambaran ilmu dan kekuatan berbagai macam kemampuan kedua orang itu telah mengoyak suasana malam. Sementara pertempuran-pertempuran di lingkaran-lingkaran yang lain sudah berhenti sama sekali, kecuali Ki Ajar Gurawa yang telah berada pada tahap-tahap terakhir untuk menyelesaikan lawannya, Ki Rangga Resapraja.

Sabungsari dan Glagah Putih menjadi semakin tegang ketika kedua orang tua itu kemudian telah bertempur lagi dalam jarak jangkau serangan-serangan kewadagan mereka, meskipun dilambari dengan berbagai macam ilmu dan kekuatan landasan penguasaan tubuh mereka. Sentuhan-sentuhan tangan mereka pun telah meninggalkan bekas yang sangat mendebarkan. Betapapun Ki Jayaraga mampu memasang perisai dengan landasan kekuatan ilmunya atas kekuatan Aji Tapak Gundala, namun bukan saja pakaiannya, tetapi kulitnya pun telah dilukai oleh kekuatan Aji Tapak Gundala itu. Di beberapa bagian tubuhnya, nampak kulitnya menjadi merah kehitam-hitaman. Namun dengan kemampuannya mengetrapkan daya tahannya berlandasan kekuatan yang dapat disadapnya, maka Ki Jayaraga masih tetap mampu bertahan. Ia mampu mengatasi perasaan nyeri dan panas pada luka-lukanya itu.

Namun sebaliknya, hentakan kekuatan getaran bumi yang menjadi sandaran kekuatan Ki Jayaraga bukan saja membuatnya tidak tergetar oleh serangan-serangan Podang Abang, tetapi lontaran kekuatan itu telah membuat tulang-tulang Podang Abang bagaikan menjadi retak. Perlahan-lahan tetapi pasti, dukungan kewadagan Podang Abang mulai turun.

Podang Abang yang menyadarinya, mempunyai perhitungan tersendiri. Ia tidak menjadi gelisah karena kemampuan ilmu Ki Jayaraga, tetapi juga karena kekuatannya mulai menjadi susut setelah ia mengerahkan segenap kekuatan dan ilmunya. Betapapun tinggi ilmu yang dimilikinya, namun kemampuan dan daya wadagnya tetap terbatas.

Itulah sebabnya, maka semakin lama keadaannya menjadi semakin sulit. Podang Abang semakin terdesak oleh serangan-serangan Ki Jayaraga.

Dengan landasan puncak-puncak ilmu mereka, maka keduanya telah menghentakkan segala-galanya. Podang Abang yang kekuatan dan kemampuannya menjadi semakin surut, sama sekali tidak berusaha untuk menghemat tenaganya. Tetapi ia justru menumpahkan segala kemampuannya untuk mengimbangi desakan Ki Jayaraga. Ki Podang Abang ingin memanfaatkan satu kesempatan saja untuk menghancurkan lawannya.

Ki Jayaraga memang tertahan sesaat. Tetapi Ki Jayaraga pun telah merasa terlalu lama bertempur melawan Podang Abang. Segala macam kemampuan dan ilmunya telah diperasnya. Karena itu, maka sudah saatnya untuk mengakhiri pertempuran itu, sebelum segenap kekuatannya menyusut.

Dengan demikian maka nafas pertempuran itu pun justru meningkat. Keduanya telah menghentakkan sisa-sisa kemampuan mereka masing-masing.

Pada kesempatan itulah, Ki Jayaraga telah mengungkapkan segenap landasan kekuatan yang ada padanya. Ia telah meredam kekuatan Tapak Gundala Podang Abang dengan kekuatan yang bersumber pada kekuatan air dan udara, sementara ia telah mempergunakan kekuatan yang diserapnya dari getaran bumi serta menyerang dengan dasar kekuatan panasnya api.

Ki Jayaraga sama sekali tidak melontarkan ilmunya itu, karena beberapa kali Podang Abang mampu menghindarinya. Tetapi Ki Jayaraga langsung melibat Podang Abang dalam satu pergulatan yang sengit. Betapapun keduanya memiliki ketrampilan penguasaan tubuh serta unsur-unsur gerak yang rumit, namun keduanya ternyata harus membenturkan kekuatan dan ilmu mereka beberapa kali.

Ki Jayaraga merasa bahwa pertahanan Podang Abang semakin lama menjadi semakin goyah. Karena itu, serangan-serangannya justru menjadi semakin mendesak. Ketika Ki Jayaraga melihat satu kesempatan terbuka, selagi serangannya sebelumnya hampir saja menyambar keningnya, maka Ki Jayaraga tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Podang Abang yang bergeser selangkah menyamping dengan tergesa-gesa, hampir kehilangan keseimbangannya. Justru selagi Podang Abang memperbaiki keadaannya, Ki Jayaraga telah menyerangnya dengan menghentakkan segala kemampuan dan ilmunya sampai tuntas.

Serangan itu tersalur lewat lontarannya yang meluncur sederas anak panah. Kakinya terjulur lurus mengarah ke dada.

Podang Abang melihat serangan itu. Ia mencoba melawannya dengan ilmu Tapak Gundala. Namun tenaganya sudah jauh berkurang karena wadagnya yang dalam keterbatasan.

Namun panasnya ilmu Tapak Gundala telah diredam oleh kekuatan ilmu Ki Jayaraga. Kebekuan yang dinginnya berlipat dari air yang wayu sewindu, serta hembusan getaran udara yang menukik pada intinya, berhembus dan mendorong dengan hembusan kekuatan yang tidak terlawan, dilandasi dengan kekuatan getaran bumi serta kobaran panasnya api yang mampu mengimbangi panasnya api Aji Tapak Gundala, telah melanda sederas hantaman prahara yang dahsyat, memukul dada Podang Abang.

Benturan ilmu yang dahsyat telah terjadi. Bagaimanapun juga Ki Jayaraga telah terpental selangkah surut. Terasa betapa tubuhnya menjadi panas untuk beberapa saat, sebelum panas itu dapat diredam dengan tuntas. Namun beberapa saat kemudian, maka keadaan pun segera berubah. Ki Jayaraga dengan cepat telah menguasai dirinya sepenuhnya, meskipun sakitnya luka pada kakinya masih terasa menggigit, setelah panasnya diserap sampai batas kebekuan.

Namun dalam pada itu, Podang Abang ternyata telah mengalami keadaan yang sangat buruk. Bukan saja kekuatan ilmu lawannya yang menghantamnya, tetapi ilmunya sendiri yang terpental justru telah menusuk ke pusat jantungnya.

Podang Abang menyeringai sesaat. Perasaan sakit yang tajam telah menusuk dadanya. Namun kemudian seakan-akan seisi dadanya telah terbakar.

Podang Abang tidak sempat berbuat banyak. Ia mencoba menggeliat dan mengatur pernafasannya dengan menyilangkan tangannya di dadanya sambil terbaring diam. Namun ternyata bagian-bagian wadagnya sudah tidak dapat bekerja lagi dengan baik. Karena itu, ketika Ki Jayaraga kemudian tertatih-tatih mendekatinya, Podang Abang masih sempat mengumpat, “Kau benar-benar iblis.”

Ki Jayaraga sama sekali tidak menjawab. Dipandanginya wajah Podang Abang yang pucat. Kemudian terdengar giginya gemeretak. Podang Abang masih mencoba mengangkat kepalanya dengan sorot mata penuh kebencian. Namun kemudian kepalanya itu telah terhempas kembali ke tanah, dan sebuah tarikan nafas yang sendat telah menutup jalan pernafasannya. Podang Abang pun terkulai untuk selama-lamanya.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya Sabungsari dan Glagah Putih sesaat. Dengan nada rendah ia berkata, “Cara inilah yang telah dipilihnya. Ia menghindari kematian saat orang ini bertempur melawan kalian berdua.”

“Ternyata ia memiliki ilmu yang sangat tinggi,” desis Sabungsari.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ilmunya memang sudah meningkat. Kesalahannya adalah bahwa ia tidak memperhitungkan bahwa orang lain juga telah meningkatkan ilmunya pula.”

“Ilmu apinya sangat mendebarkan,” desis Glagah Putih.

“Tapak Gundala,” desis Ki Jayaraga.

“Ilmu itu tidak dipergunakannya ketika ia melawan kami berdua,” berkata Glagah Putuh kemudian.

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu sepenuhnya apa saja yang telah terjadi pada saat itu. Namun katanya, “Mungkin ia mempergunakan dalam ujudnya yang lain. Tetapi iapun sadar, bahwa ilmu Tapak Gundala pun tidak akan dapat mengalahkan kalian berdua.”

“Kami tidak akan mampu mengimbanginya,” sahut Glagah Putih.

“Itulah kelemahan kalian berdua,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “kalian kurang menyadari akan kemampuan diri. Mungkin menjadi kebiasaan kalian merendahkan diri, sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu adalah seorang yang tidak dapat diperbincangkan. Ia seorang yang justru menjadi tidak wajar karena tingkat ilmunya yang sangat tinggi. Hanya satu dua orang yang dapat mengimbanginya. Mungkin Panembahan Senapati, atau mungkin Kanjeng Adipati Pati.” Orang tua itu berhenti sejenak sambil memandang tubuh Podang Abang, “Kemampuan kalian berada jauh di atas kemampuan Podang Abang jika kalian bergabung. Bahkan kalian masing-masing sudah pantas untuk ditempatkan di antara kami. Hanya karena umur kalian yang masih muda, maka kalian selalu merasa berada di bawah tataran ilmu orang-orang tua. Glagah Putih memiliki kemampuan yang mempunyai landasan rangkap. Landasan ilmu itu sendiri, serta landasan getaran kekuatan yang kau peroleh dari Raden Rangga. Di samping itu kau memiliki penguasaan tubuh dan ketrampilan yang jarang ada duanya. Paduan ilmu, kekuatan kewadagan dan ketampilan penguasaan tubuhmu merupakan kekuatan utuh yang sangat besar. Sementara itu, Angger Sabungsari yang memiliki lontaran ilmu lewat sorot matanya yang menjadi matang, juga mempunyai kelebihan. Ilmu yang dipancarkan lewat sorot mata sebagaimana Agung Sedayu itu mempunyai luas sapuan yang lebih besar dari lontaran ilmu yang setingkat.”

“Tetapi Agung Sedayu mempunyai landasan ilmu yang tidak terhitung jumlahnya,” desis Sabungsari.

“Tetapi di antaranya mempunyai kesamaan dengan ilmu Angger Sabungsari,” jawab Ki Jayaraga.

Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu. Mungkin yang dikatakan oleh Ki Jayaraga itu benar. Justru karena mereka merasa masih muda, maka mereka justru kurang yakin akan kemampuan dan ilmu yang telah mereka kuasai.

Sementara itu, ternyata bahwa Ki Ajar Gurawa benar-benar telah menguasai lawannya. Ki Rangga Resapraja yang semakin sering dikenai oleh serangan-serangan Ki Ajar Gurawa menjadi semakin tidak berdaya. Perasaan sakit telah mencekam seluruh tubuhnya. Nyeri dan pedih oleh luka-luka yang ditimbulkan oleh serangan Ki Ajar Gurawa terasa di mana-mana. Tulang-tulangnya pun seakan-akan telah retak di setiap sendi-sendinya.

Karena itu, maka Ki Rangga Resapraja itu pun akhirnya tidak mampu lagi bertahan lebih lama. Serangan-serangan Ki Ajar berikutnya telah mendorongnya semakin surut, sehingga akhirnya Ki Rangga itu pun menjadi sangat sulit untuk mempertahankan keseimbangannya. Tubuhnya yang lemah tidak berdaya sama sekali untuk menahan serangan-serangan Ki Ajar yang menentukan. Sehingga akhirnya Ki Rangga itu pun telah jatuh terkulai dengan lemahnya.

Untunglah bahwa Ki Ajar Gurawa pun mampu menahan diri. Ia sadar, bahwa Ki Rangga berdua itu sangat diperlukan untuk memberikan keterangan dan pertanggung-jawaban atas apa yang telah dikerjakannya.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang telah menyelesaikan tugasnya di halaman istana itu pun segera teringat kepada Ki Wanayasa. Apa yang telah dilakukannya terhadap Ki Patih Mandaraka? Betapapun mereka yakin akan kemampuan Ki Patih, namun mereka masih juga merasa berdebar-debar.

“Biarlah aku menengok apa yang telah terjadi di dalam,” berkata Ki Jayaraga.

“Aku akan melihat dari pintu butulan,” desis Glagah Putih.

Akhirnya bersama-sama Ki Jayaraga, Glagah Putih, Sabungsari dan Ki Ajar Gurawa telah sepakat untuk melihat apa yang terjadi di ruang dalam, namun dari pintu yang berbeda-beda.

Tetapi belum lagi mereka beranjak dari tempat mereka, tiba-tiba angin yang sangat kencang telah bertiup lewat pintu pringgitan Istana Kepatihan. Demikian kencangnya, sehingga daun pintu yang terhembus itu pun ikut hanyut dan berderak terbanting di pendapa.

Selagi orang-orang yang melihat masih belum menyadari apa yang terjadi, maka tiba-tiba pula sesosok bayangan telah terlempar demikian kerasnya jatuh terguling di pendapa. Namun demikian derasnya hembusan angin yang bagaikan angin pusaran yang berputar mendatar, maka sosok yang terguling di pendapa itu telah terlempar jauh melalui tangga pendapa, ke halaman.

Orang-orang yang menyaksikannya tegak membeku di tempatnya. Sosok yang jatuh terlempar ke halaman itu ternyata sudah tidak bergerak sama sekali. Namun sementara itu, angin pun telah mereda. Suasana pun menjadi hening kembali.

Untuk beberapa saat lamanya, halaman Istana Kepatihan itu bagaikan membeku. Orang-orang yang berdiri tegak di halaman hanya saling memandang. Demikian pula para prajurit di regol yang tertutup, serta orang-orang yang telah menyerah.

Namun kemudian suasana itu telah dipecahkan oleh kehadiran seseorang dari ruang dalam melalui pintu pringgitan yang telah rusak, yang daunnya telah dihanyutkan oleh prahara yang berhembus deras dari dalam.

Ternyata Ki Patih Mandaraka-lah yang berjalan melintasi pringgitan, dan kemudian berdiri di pendapa Kepatihan.

Sejenak Ki Patih Mandaraka memandang berkeliling. Tidak seorangpun yang bergerak. Semuanya tertegun diam, sementara beberapa sosok terbaring diam di halaman.

Meskipun Ki Patih masih berdiri tegak, namun nampak betapa orang tua itu menjadi letih. Agaknya Ki Patih pun telah mengerahkan segenap ilmu dan kemampuannya untuk menghadapi Ki Wanayasa.

Beberapa saat kemudian, maka Ki Patih pun telah melangkah menuruni tangga pendapa. Sekilas ia sempat berpaling, memperhatikan bagian yang pecah dari tangga pendapa yang dihantam oleh kekuatan ilmu Glagah Putih.

Demikian Ki Patih berdiri di dekat tubuh yang terlempar dari ruang dalam itu, maka iapun telah memberi isyarat kepada Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa dan yang lain untuk mendekat.

“Aku tidak dapat berbuat lain,” desis Ki Patih, setelah beberapa orang mengerumuninya. “Aku sudah menawarkan agar Ki Wanayasa mengurungkan niatnya. Kita dapat berbicara dengan baik tanpa harus mengerahkan tenaga dan membuat penyelesaian dengan kekerasan. Tetapi orang itu ternyata hatinya sekeras batu. Ia benar-benar ingin membunuhku, sehingga aku harus membela diri dengan cara ini.”

Orang-orang yang berkerumun itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Patih pun berkata, “Seandainya ada seorang saja di antara mereka yang membantu orang ini, maka mungkin aku sudah tidak akan mampu bertahan. Apalagi menurut rencana mereka, aku harus menghadapi beberapa orang sekaligus. Seandainya rencana ini tidak tercium oleh Ki Ajar Gurawa dan kemudian kalian datang membantu, aku hanya tinggal nama saja.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan jujur ia berkata, “Ternyata yang datang ke Istana Kepatihan adalah orang-orang berilmu tinggi.”

“Ya,” berkata Ki Patih. Namun kemudian sambil memandang berkeliling ia berkata, “Tetapi ternyata semua sudah tidak berdaya. Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih kepada kalian.”

“Kami juga mempunyai kepentingan dengan mereka,” berkata Ki Jayaraga, “terutama dengan Podang Abang. Aku memang sudah berjanji untuk membuat penyelesaian.”

“Adalah kebetulan bahwa penyelesaian itu kau lakukan di sini, sehingga aku tidak dibebani oleh ilmunya yang tinggi. Apalagi bersama-sama dengan Ki Wanayasa,” berkata Ki Patih. Namun kemudian iapun bertanya, “Dimana Ki Wirayuda?”

Glagah Putih pun kemudian telah dengan tergesa-gesa mendekati Ki Wirayuda yang duduk dengan lemahnya. Namun ia sempat mengobati sebagian dari luka-lukanya. Sementara ia sama sekali tidak meletakkan pedangnya.

“Ki Patih menanyakan Ki Wirayuda,” berkata Glagah Putih. Ternyata Ki Wirayuda sudah menjadi semakin lemah. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku ada di sini. Aku tidak mempunyai tenaga lagi untuk menghadap.”

Namun Ki Wirayuda memang tidak perlu menghadap. Ki Patih Mandaraka bersama beberapa orang yang lain telah mendekatinya.

“Ternyata kita memerlukan perawatan dengan cepat,” berkata Ki Patih.

Dengan isyarat, Ki Patih pun kemudian memanggil beberapa orang prajurit. Diperintahkannya untuk memanggil seorang tabib yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi. Tabib yang sering dipanggil menghadap Ki Patih Mandaraka jika ia memerlukan.

“Cepat. Beberapa orang memerlukan perawatan segera. Di antaranya Ki Wirayuda. Perintahku, tabib itu supaya membawa pembantunya sebanyak-banyaknya,” berkata Ki Patih.

Sejenak kemudian, maka empat orang prajurit telah meninggalkan Kepatihan. Rumah tabib itu memang tidak terlalu jauh dari Istana Kepatihan.

Ki Patih pun kemudian telah memerintahkan beberapa orang prajurit yang ada di halaman dan di sekitar istana untuk mengumpulkan para tawanan. Kemudian membagi tugas. Sebagian dari mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang telah gugur dan telah terluka. Sedangkan para tawanan yang tenaganya masih cukup kuat, diperintahkan untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang telah gugur dan telah terluka untuk mendapat perawatan, termasuk Ki Rangga Resapraja, Ki Rangga Ranawandawa dan Ki Dipacala. Sedangkan Podang Abang, Truna Patrap dan para Rubah Hitam serta yang terbunuh lainnya, telah disatukan di sebelah pendhpa bersama tubuh Ki Wanayasa.

Ternyata Ki Patih tidak sempat menceritakan apa yang telah terjadi. Ia lebih sibuk memperhatikan mereka yang telah gugur dan terluka, sementara yang lain pun merasa segan untuk menanyakannya.

Namun kemudian, setelah orang-orang itu berkesempatan untuk melihat bagian dalam Istana Kepatihan, barulah mereka dapat menduga, apakah yang telah terjadi.

Bagian dalam istana itu benar-benar telah hancur. Meskipun dindingnya masih berdiri tegak, namun peralatan yang ada benar-benar telah lebur.

Dengan demikian, maka orang-orang itu dapat menduga bahwa telah terjadi pertempuran yang sangat seru di ruang dalam. Tetapi yang Glagah Putih dan beberapa orang yang lain tidak mengerti, kenapa lontaran-lontaran ilmu kedua orang yang bertempur di ruang dalam itu tidak merusakkan dinding. Sementara itu, sentuhan kekuatan ilmu Glagah Putih telah memecahkan sebagian dari tangga pendapa.

“Tentu ilmu yang jarang ada duanya,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Ketika fajar kemudian menyingsing, maka para prajurit dan para tawanan masih sibuk mengumpulkan orang-orang yang terluka dan yang telah terbunuh di medan pertempuran. Baik para prajurit, maupun orang-orang yang telah menyerang Istana Kepatihan itu.

Ki Rangga Resapraja dan Ki Rangga Ranawandawa menda-pat perawatan yang khusus untuk menyelamatkan nyawa mereka. Keduanya adalah orang penting yang akan dapat menjadi jalur keterangan tentang orang-orang yang telah menyerang Istana Kepatihan itu. Demikian pula Dipacala, yang dianggap akan dapat menjadi sumber keterangan pula.

Sedangkan Ki Wirayuda yang telah mendapat pengobatan telah menjadi semakin baik. Darahnya memang cukup banyak mengalir meskipun luka-lukanya sebagian berujud luka bakar.

Ketika kemudian matahari terbit, Ki Patih dan para pemimpin prajurit yang bertugas di Kepatihan serta anggota Gajah Liwung telah berkumpul di pendapa. Sepuluh orang prajurit sandi dalam tugas khusus yang ditunjuk oleh Ki Wirayuda, ternyata dua orang di antaranya terluka parah. Seorang telah gugur. Sedangkan anggota Gajah Liwung selamat, tetapi dua orang terluka agak parah, Rumeksa dan Pranawa. Namun luka-luka mereka tidak sampai membahayakan jiwa mereka. Apalagi setelah dengan cepat mendapat pengobatan.

Baru ketika matahari telah terbit serta persoalan yang timbul di Kepatihan itu selesai, maka berita tentang pertempuran itu telah menjalar. Namun Ki Patih sendiri, bersama Sabungsari dan Glagah Putih, di samping tiga orang prajurit yang bertugas di Kepatihan, telah berpacu menuju ke istana Panembahan Senapati untuk memberikan laporan.

Di sepanjang jalan, Glagah Putih sempat bertanya, “Bagaimana jika tiba-tiba orang-orang itu merubah rencana mereka dan menyerang istana Panembahan Senapati?”

“Di istana Panembahan Senapati pun telah disiapkan sekelompok pengawal yang kuat. Di antara mereka terdapat para Pangeran, yang akan dapat menyelesaikan persoalan. Apalagi Panembahan Senapati sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Jumlah prajurit pengawal pun telah berlipat, sejak aku memberikan isyarat tentang kemungkinan yang tidak diharapkan akan dapat terjadi di Kepatihan,” jawab Ki Patih Mandaraka. Lalu katanya pula, “Semuanya dilakukan dengan diam-diam pula. Namun sejak semula aku telah mempunyai dugaan yang keras, bahwa serangan itu akan datang kemari.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Patih berkata dengan nada rendah, “Di luar istana Panembahan Senapati telah disiapkan dua orang penghubung berkuda. Seandainya serangan itu dirubah dan menuju ke istana Panembahan Senapati, maka dua orang penghubung itu tentu akan menghubungi aku, sehingga kita akan dapat pergi ke istana. Setidak-tidaknya sebagian dari kita.” Ki Patih berhenti sejenak. Lalu, “Ternyata mereka benar-benar datang ke Kepatihan.”

Glagah Putih tidak sempat bertanya lagi. Mereka telah memasuki pintu gerbang halaman istana. Dengan demikian maka mereka pun telah berloncatan turun, langsung menghadap Panembahan Senapati.

Dengan cukup terperinci Ki Patih Mandaraka telah memberikan laporan, apa yang telah terjadi di Istana Kepatihan.

Panembahan Senapati mendengarkan laporan itu dengan sungguh-sungguh. Dengan nada dalam ia bertanya, “Jadi kedua orang Rangga itu masih tetap hidup?”

“Aku sudah berpesan kepada tabib yang merawat agar keduanya mendapat perhatian terbanyak, di samping Ki Wirayuda yang ternyata juga terluka parah,” jawab Ki Patih Mandaraka.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Kepada Sabungsari dan Glagah Putih pun Panembahan Senapati mengucapkan terima kasih pula.

Demikianlah, setelah semua laporannya diterima, maka Ki Patih pun segera mohon diri. Ia harus membenahi Kepatihan. Bukan saja pengawalannya, tetapi juga Istana Kepatihan yang menjadi porak poranda.

Hari itu, Ki Patih terpaksa memanggil beberapa orang undhagi untuk memperbaiki Istana Kepatihan.

Dalam pada itu, Mataram pun telah menjadi gempar. Setiap orang berbicara tentang rencana yang gila beberapa orang bersama kelompoknya untuk merampok Istana Kepatihan. Orang-orang itu tidak begitu mengerti latar belakang yang sebenarnya dari perampokan yang meskipun sudah diperhitungkan dengan baik, namun masih juga gagal.

Bagi orang kebanyakan, yang terjadi itu semata-mata adalah kegilaan sebuah kelompok yang menganggap bahwa mereka akan dapat merampok Kepatihan sebagaimana yang mereka lakukan di rumah orang-orang kaya.

“Tentu mereka pula yang sebelum ini melakukan perampokan-perampokan yang berani di Kotaraja,” berkata setiap orang yang satu dengan dengan yang lain.

Dalam pada itu, ketika para petugas sandi yang dikirim keluar kota kembali dari tugas mereka, maka mereka menemukan Ki Wirayuda sedang terluka parah, terbaring di bawah perawatan seorang tabib yang khusus di rumahnya.

“Kenapa Ki Wirayuda mengirimkan kami keluar? Sebenarnya kami akan merasa senang sekali bertempur bersama Ki Wirayuda,” berkata salah seorang perwira dari pasukan sandi.

Ki Wirayuda yang terluka cukup parah itu masih dapat tersenyum. Katanya, “Kau tentu tahu maksudnya. Jika aku tidak mengirimmu keluar kota, maka kedua orang Rangga itu tidak akan terjebak bersama-sama dengan orang-orang penting dalam kelompoknya.”

Perwira prajurit sandi itu pun tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya, aku mengerti. Tetapi kenapa bukan orang lain yang harus pergi, dan menempatkan aku bersama Ki Wirayuda di Kepatihan?”

Ki Wirayuda tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja sambil mengusap bagian tubuhnya yang terluka. Namun Ki Wirayuda menyeringai menahan pedih yang masih saja mencengkam tubuhnya.

Perwira itu pun kemudian minta diri sambil berkata, “Baiklah. Ki Wirayuda harus banyak beristirahat.”

Ki Wirayuda masih juga mencoba tersenyum sambil berdesis, “Aku akan beristirahat sebaik-baiknya. Namun kalian masih harus selalu mengawasi keadaan. Mungkin ada sisa persoalan yang belum diselesaikan dengan tuntas.”

“Serahkan kepada kami. Ki Wirayuda jangan memikirkan apapun juga, agar luka-luka itu lekas sembuh,” jawab perwira itu.

Namun dalam pada itu, sesuai dengan kesepakatan Ki Wirayuda, Ki Patih Mandaraka dan bahkan kemudian telah diketahui oleh Panembahan Senapati sendiri, bahwa kelompok Gajah Liwung masih tetap tersembunyi. Beberapa orang petugas sandi dan prajurit di Kepatihan pun tidak mendapat penjelasan tentang orang-orang yang disebut sebagai abdi Kepatihan itu. Apalagi abdi Kepatihan itu sendiri. Mereka merasa aneh jika tiba-tiba saja ada abdi Kepatihan yang belum pernah mereka kenal. Namun sebagian dari mereka ada yang mengenali Glagah Putih sebagai sahabat Raden Rangga, yang pernah berada di Kepatihan itu pula.

Tetapi mereka tidak mengerti hubungannya dengan peristiwa yang baru saja terjadi di Kepatihan.

Hari-hari berikutnya, orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu masih tetap berada di Kepatihan. Mereka masih ikut berjaga-jaga. Kemungkinan yang tidak mereka duga-duga akan dapat terjadi.

Namun dalam pada itu, kegiatan prajurit di Kotaraja telah meningkat pula. Jika sebelumnya Ki Patih berusaha untuk tidak membuat para penghuni Kotaraja menjadi resah, maka setelah peristiwa itu terjadi, justru kegiatan para prajurit yang meningkat dapat menimbulkan ketenangan di hati orang banyak, karena mereka merasa terlindungi.

Dalam pada itu, selagi Ki Patih Mandaraka masih menahan para anggota Gajah Liwung pada hari-hari berikutnya lagi, maka Panembahan Senapati telah memanggil Sabungsari dan Glagah Putih untuk ikut menghadap bersama Ki Patih Mandaraka.

“Jika kalian berdua tidak terlibat langsung dalam peristiwa di Kepatihan, maka aku tidak akan memanggil kalian berdua bersama Paman Patih Mandaraka,” berkata Panembahan Senapati.

Sabungsari dan GLagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara Ki Patih Mandaraka berkata, “Ki Ajar Gurawa dan Ki Jayaraga juga masih berada di Kepatihan.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Jika aku berbicara dengan Sabungsari dan Glagah Putih, rasa-rasanya aku sudah berbicara dengan Untara dan Agung Sedayu.” Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Sudah tentu bahwa Panembahan Senapati mempunyai penilaian yang khusus terhadap Sabungsari dan Glagah Putih, sebagaimana Panembahan Senapati menilai Untara dan Agung Sedayu. Kakak beradik yang memiliki penilaian yang tinggi dari Panembahan Senapati.

Dalam pada itu, Panembahan Senapati pun kemudian berkata, “Aku sudah menerima permohonan dari dua orang utusan yang akan menghadap.”

“Utusan siapa Panembahan?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Dua orang utusan dari Pati,” jawab Panembahan Senapati.

“Dari Pati?” suara Ki Patih merendah. Dari orang-orang yang tertawan. Ki Patih mendapat keterangan, bahwa mereka melakukan rencana mereka yang ternyata gagal itu untuk kepentingan Pati.

“Mungkin kedua utusan itu membawa berita penting dari Adimas Adipati Pati,” desis Panembahan Senapati seakan-akan kepada diri sendiri.

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin ada hubungannya dengan peristiwa yang baru saja terjadi di Kepatihan.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk lemah. Katanya, “Ada persoalan yang sulit diterima dengan akal. Aku tetap tidak yakin bahwa Adimas Adipati Pati melakukan langkah-langkah seperti itu.”

“Menurut orang-orang yang dalang ke Kepatihan, mereka memang bukan utusan Kanjeng Adipati di Pati. Mereka berbuat atas kehendak mereka sendiri, karena mereka ingin memberikan pengabdian yang pantas bagi Pati dan bagi Kanjeng Adipati,” sahut Ki Patih Mandaraka.

“Mungkin mereka benar. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pamrih yang besar. Namun jangan lupa, bahwa di antara mereka tentu terdapat orang-orang yang benar benar ingin merampok Istana Kepatihan. Mungkin baru kali ini Istana Kepatihan telah dirampok orang. Mereka mengira bahwa di Istana Kepatihan tentu terdapat emas dan permata. Bahkan mungkin mereka mengira bahwa tiang-tiang di ruang dalam dilapisi dengan emas dan diberi permata di ukirannya, atau setidak-tidaknya logam-logam berharga lainnya. Mereka mungkin mengira bahwa di dalam istana terdapat lampu-lampu minyak dan dlupak, benda berharga lainnya,” desis Panembahan Senapati.

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk mengiakan.

Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati pun kemudian mengajak Ki Patih, Sabungsari dan Glagah Putih untuk memasuki Paseban Dalam. Di paseban telah berkumpul beberapa orang pemimpin pemerintahan dan para panglima prajurit, yang secara khusus dipanggil oleh Panembahan Senapati untuk mendengar pembicaraan dengan dua orang utusan dari Pati.

Sesaat sebelum Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka memasuki paseban, maka kedua orang utusan itu pun telah dibawa memasuki Paseban Dalam. Sabungsari dan Glagah Putih pun mendapat kesempatan untuk ikut duduk di paseban meskipun di belakang sekali, sesuai dengan tataran kedudukan dan kepangkatan dari mereka yang hadir.

Memang tidak begitu banyak orang yang hadir di Paseban Dalam, karena pertemuan itu memang agak khusus, sehingga tidak semuanya yang terbiasa hadir di Paseban Luar ikut dalam pertemuan itu.

Dalam pertemuan itu, Panembahan Senapati dengan resmi akan menerima kedua orang utusan dari Pati dan mendengarkan pesan-pesan yang mereka bawa dari Kanjeng Adipati di Pati.

Sejak sebelumnya, Panembahan Senapati memang telah mengatakan kepada Ki Patih Mandaraka, bahwa pembicaraan itu bukan satu perundingan. Karena dalam perundingan masing-masing pihak akan duduk dalam tataran yang sama. Tetapi semata-mata mendengar pesan Kanjeng Adipati dari Pati.

Ketika segala macam tata cara telah dilakukan, maka Panembahan Senapati pun kemudian berkata kepada kedua utusan itu, “Nah, sekarang aku persilahkan kalian menyampaikan pesan dari Adimas Adipati itu.”

“Ampun Panembahan,” berkata salah seorang dari kedua orang utusan itu, “peristiwa yang terjadi di Kepatihan Mataram telah didengar oleh Kanjeng Adipati. Dengan segera Kanjeng Adipati telah memanggil para pemimpin pemerintahan di Pati serta para Senapati dan Tumenggung. Setelah dibicarakan dengan mendalam, maka akhirnya Kanjeng Adipati mengambil kesimpulan, bahwa orang-orang yang melakukan tindakan kotor itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kanjeng Adipati.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang yakin, bahwa yang terjadi tentu bukan karena perintah Adimas Adipati. Aku percaya akan hal itu. Orang-orang yang kemudian tertangkap hidup-hidup mengaku, bahwa mereka melakukannya atas kehendak mereka sendiri.”

“Hamba Panembahan,” berkata utusan itu, “mereka adalah orang-orang yang bermimpi untuk memegang jabatan terpenting jika usaha mereka berhasil. Mereka berharap bahwa Kanjeng Adipati akan menganggap mereka telah berjasa. Apabila Pati kemudian berhasil mengalahkan Mataram, mereka berharap akan mendapatkan imbalan sepantasnya. Mereka yang memang tinggal di Mataram tentu berharap untuk mendapat kedudukan penting di Mataram kelak, atas nama Adipati Pati. Sedangkan yang lain masih bermimpi untuk berada di Pajang, atau bahkan Madiun.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku berterima kasih bahwa Adimas Adipati telah memerlukan mengirimkan utusan untuk menjelaskan keadaan. Mudah-mudahan hubungan antara Mataram dan Pati akan menjadi pulih kembali.”

“Hamba tidak dapat mengatakan apapun tentang pulihnya hubungan Mataram dan Pati. Kanjeng Adipati hanya memerintahkan untuk menyampaikan pesan tentang peristiwa di Istana Kepatihan Mataram itu,” berkata utusan itu.

“Apakah kedatangan kalian bukan pertanda bahwa Adimas Adipati akan bersedia untuk datang lagi ke Mataram?” bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba tidak mendapat pesan tentang hal itu Panembahan,” jawab utusan itu.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya hati Adipati Pati yang kecewa itu masih belum dapat dicairkan. Namun kedatangan utusan itu bagi Panembahan Senapati dapat menjadi pertanda baik hubungan antara Pati dan Mataram.

Karena itu, maka Panembahan Senapati pun kemudian berkata kepada utusan itu, “Baiklah. Aku terima semua pesan Adimas Adipati Pati. Namun aku-lah yang kemudian berpesan kepada kalian, jika kalian menghadap Adimas Adipati. Katakan bahwa aku, Panembahan Senapati, selalu menunggu kehadirannya di Mataram. Karena sejak kami bersama-sama ke Madiun sampai sekarang, Adimas Adipati tidak pernah datang ke Mataram. Baik sebagai saudara maupun sebagai seorang Adipati di Pati, yang mempunyai kewajiban untuk setiap kali datang ke Mataram.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun mereka tidak segera menjawab.

Panembahan Senapati tanggap akan sikap itu. Karena itu, maka katanya, “Kalian tidak usah membuat pertimbangan sendiri. Sebagaimana kalian datang menyampaikan pesan Adimas Adipati, maka demikian pula kalian menyampaikan pesanku kepada Adimas Adipati.”

Kedua utusan itu mengangguk hormat. Hampir berbareng mereka menjawab, “Hamba Panembahan.”

“Bagaimanapun juga, bahwa Adimas Adipati Pati mengirim kalian sekarang ini, sudah merupakan satu pertanda baik bagiku. Dengan demikian Adimas Adipati tidak benar-benar melupakan aku.”

“Hamba Panembahan,” desis keduanya hampir berbareng pula.

“Nah, pesan apalagi yang akan kalian sampaikan?” bertanya Panembahan Senapati.

Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Tidak ada lagi Panembahan. Pesan Kanjeng Adipati sudah kami sampaikan semuanya sampai tuntas.”

“Baiklah. Semua orang-orang terpenting di Mataram mengetahui bahwa yang terjadi di Mataram, khususnya di Istana Kepatihan, tidak ada hubungannya dengan Adimas Adipati,” berkata Panembahan Senapati kemudian.

“Hamba Panembahan. Hamba mengucapkan terima kasih atas nama Kanjeng Adipati, bahwa Panembahan telah mengijinkan hamba untuk menyampaikan pesan Kanjeng Adipati di hadapan para pemimpin di Mataram,” desis seorang di antara keduanya.

Panembahan Senapati tersenyum. Namun kemudian katanya, “Bukankah dengan demikian aku tidak perlu memberitahukan kepada mereka, karena mereka telah mendengar langsung dari kalian. Bahkan tidak akan ada salah paham, kelebihan atau kekurangannya.”

Kedua utusan itu pun mengangguk dalam-dalam penuh hormat. Namun beberapa saat kemudian, maka kedua orang utusan itu pun telah mohon diri.

“Kalian akan bermalam di Mataram malam ini,” berkata Panembahan Senapati, “besok baru kalian akan kembali.”

Tetapi kedua utusan itu berniat untuk kembali hari itu juga, sehingga akhirnya Panembahan Senapati pun telah melepasnya.

Sepeninggal kedua utusan itu, Panembahan Senapati tidak membuat ulasan apapun juga. Panembahan hanya menegaskan pernyataan kedua utusan itu, bahwa yang terjadi di Istana Kepatihan sama sekali tidak ada hubungannya dengan langkah-langkah yang diambil oleh Kanjeng Adipati di Pati terhadap Mataram.

“Aku tahu, bahwa Adimas Adipati adalah seorang kesatria yang tegar dalam sikap dan pendiriannya. Ia tidak akan melakukan hal itu,” berkata Panembahan Senapati.

Namun setelah para pemimpin yang menghadap meninggalkan paseban, serta Kanjeng Panembahan Senapati telah berada di ruang dalam bersama Ki Patih Mandaraka, dan yang kemudian memanggil Sabungsari dan Glagah Putih, Panembahan Senapati telah mencoba untuk mengurai suasana.

“Paman,” berkata Panembahan Senapati, “bagaimana menurut kesan Paman terhadap kedua utusan itu?”

“Semula aku menganggap bahwa yang dilakukan oleh Angger Adipati Pati adalah satu pendekatan,” berkata Ki Patih Mandaraka.

“Aku juga menganggap demikian,” berkata Panembahan Senapati, “tetapi ternyata pendapatku kemudian menjadi ragu-ragu.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata pula, “Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan Ngger.”

“Ya Paman,” jawab Panembahan Senapati, “aku berterima kasih bahwa Adimas Adipati telah mengirimkan utusan untuk menyampaikan keterangan tentang ketidak-terlibatannya dalam peristiwa di Kepatihan. Tetapi yang justru menjadi perhatianku, demikian cepat Adimas Adipati mengetahui bahwa hal itu telah terjadi.”

“Apakah yang sebenarnya terjadi, kita memang tidak tahu Panembahan. Tetapi seandainya benar Anakmas Adipati di Pati tidak mengetahui rencana itu, maka tentu ada hal lain yang perlu dibicarakan,” berkata Ki Patih Mandaraka.

“Ya. Itulah yang ingin aku sampaikan kepada Paman. Bukankah dengan demikian jaringan petugas sandi Pati di Mataram sudah demikian luasnya, sehingga apa yang terjadi sekarang di Mataram, malam nanti Pati sudah mengetahuinya. Selambat-lambatnya esok pagi,” sahut Panembahan Senapati.

“Angger Panembahan benar. Hal itu memang memerlukan perhatian secara khusus,” berkata Ki Patih Mandaraka. “Selebihnya, aku meragukan apakah Anakmas Adipati Pati masih bersedia untuk datang ke Mataram.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Agaknya kita masih harus menunggu untuk waktu yang panjang, Mungkin kita bagaikan menunggu munculnya batu hitam dari dalam lautan. Namun segala sesuatunya akan dapat terjadi. Bahwa ia mengirimkan utusan ke Mataram, berarti bahwa ia masih setidak-tidaknya mengakui kehadiranku di sini, meskipun hal itu dianggap tidak ada hubungannya dengan kedudukan Adimas Adipati.”

Sambil mengangguk-angguk Ki Patih berkata, “Sikap kedua utusan itu, serta tertibnya pengamatan sandi di Mataram, justru membuat kita harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.”

“Baiklah Paman,” berkata Panembahan Senapati kemudian, “aku percaya kepada kemampuan berpikir dan ketajaman panggraita Ki Wirayuda. Sesudah ia sembuh, maka kita akan berbicara dengan orang itu. Apakah yang sebaiknya kita lakukan. Mungkin kita akan berbicara juga dengan para Senapati yang berada di luar lingkungan. Mungkin Untara di Jati Anom, mungkin Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh, atau Senapati yang lain, serta para Adipati. —

Ki Patih mengangguk-angguk. Namun Panembahan Senapati masih berkata lagi, khusus tentang Kotaraja, “Namun yang perlu juga diperhatikan adalah keadaan Kotaraja ini sendiri, Paman. Jika gerombolan yang besar itu telah dihancurkan, maka kelompok-kelompok kecil dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu akan tumbuh lagi. Mungkin mereka tidak mempunyai niat tertentu, tetapi kehadiran mereka akan dapat meresahkan rakyat Mataram, khususnya di Kotaraja ini.”

Ki Patih mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ya Panembahan. Dan karena itu, maka kehadiran Sabungsari dan Glagah Putih masih kita perlukan. Mereka akan dapat berbuat banyak, sebagaimana sebelum kehadiran gerombolan dari orang-orang yang ternyata telah melakukan tugas yang jauh lebih besar dari sekedar merampok dan membuat keresahan itu.”

“Semuanya nanti akan kita serahkan kepada Ki Wirayuda, juga tentang pengamatan para petugas sandi dari Pati,” berkata Panembahan Senapati. “Namun sebaiknya juga tugas yang akan dapat kita berikan kepada beberapa orang untuk berada di Pati. Kita sebaiknya juga mengetahui, apa yang dilakukan oleh orang-orang Pati. Juga kita harus tahu jika ada sekelompok orang yang mengaku petugas dari Mataram untuk mengacaukan Pati, namun yang sebenarnya hanya untuk mencari keuntungan pribadi, sebagaimana yang baru saja terjadi di Mataram.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Ia tahu benar apa yang dimaksud Panembahan Senapati. Karena itu, maka Ki Patih pun kemudian berkata, “Kami akan melakukan sebaik-baiknya Panembahan. Agaknya Ki Wirayuda juga tidak akan terlalu lama berbaring di pembaringan. Kemauannya untuk tetap melakukan tugasnya mendorongnya untuk lebih cepat sembuh.”

Demikianlah, setelah terjadi pembicaraan beberapa saat lagi, serta memberikan pesan kepada Sabungsari dan Glagah Putih, maka Panembahan Senapati telah memperkenankan Ki Patih Mandaraka kembali ke Kepatihan bersama Sabungsari dan Glagah Putih, karena masih banyak yang harus dikerjakan oleh Ki Patih Mandaraka di Istana Kepatihan yang masih dalam perbaikan itu.

Sementara itu, Ki Rangga Ranawandawa dan Ki Rangga Resapraja masih berada dalam perawatan. Namun keduanya telah dijaga sebaik-baiknya oleh para prajurit pilihan, sebagaimana Ki Dipacala. Mereka adalah orang-orang terpenting yang akan dapat banyak memberikan keterangan tentang jaringannya di Mataram.

Namun dalam pada itu bahwa keduanya diketahui masih hidup, telah menjadi isyarat, orang-orang yang berhubungan dengan mereka segera bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika kemudian Ki Patih Mandaraka, Sabungsari dan Glagah Putih telah berada di Kepatihan, maka mereka telah berbicara pula dengan para anggota Gajah Liwung yang lain, bahwa masih diperlukan kehadiran mereka di Mataram. Karena menurut perhitungan, setelah gerombolan yang besar itu dapat dihancurkan, maka anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab itu akan segera mengambil alih kekosongan itu untuk tampil dengan kenakalan-kenakalan, yang kadang-kadang memang menimbulkan keresahan.

“Apakah kalian masih juga mempergunakan nama Gajah Liwung?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Ya Ki Patih,” jawab Sabungsari.

“Tetapi sebagaimana kau ketahui, nama Gajah Liwung telah dinodai oleh gerombolan yang telah berusaha merampok dan membunuh di Istana Kepatihan,” berkata Ki Patih Mandaraka kemudian. “Apakah kehadiran kalian dengan nama Gajah Liwung tidak justru akan menyulitkan kalian?”

“Tetapi masih harus diumumkan, bahwa kelompok Gajah Liwung yang sebenarnya bukanlah gerombolan yang ganas itu. Mereka dengan sengaja telah mengacaukan nama Gajah Liwung yang sebelumnya mulai mendapat kepercayaan orang banyak. Jika hal itu diketahui oleh orang-orang Mataram, maka yang hadir kemudian tentu diterima sebagai kelompok Gajah Liwung yang asli,”jawab Sabungsari.

“Tetapi apakah dengan demikian tidak memperkecil arti kelompok Gajah Liwung? Bahkan kelompok itu tidak berdaya karena kehadiran gerombolan Gajah Liwung yang lain?” bertanya Ki Patih pula.

“Setiap orang tentu akan dapat menilai, bahwa yang menamakan diri gerombolan Gajah Liwung adalah satu kekuatan yang sangat besar, karena kekuatan itu telah berani berusaha merampok Istana Kepatihan,” jawab Sabungsari.

Ki Patih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, jika kalian masih mantap mempergunakan nama kelompok Gajah Liwung. Kalian akan segera bangkit kembali jika keadaan memerlukan. Tetapi kita memang masih harus menunggu.”

Sabungsari dan para anggota kelompok Gajah Liwung yang diperbanyak dengan Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya, mohon agar mereka diperkenankan untuk menunggu di sarang mereka.

Ternyata Ki Patih Mandaraka tidak berkeberatan, sambil menunggu keadaan kesehatan Ki Wirayuda.

“Jika ada sesuatu yang penting, aku akan memberitahukan kepada kalian,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Namun para anggota kelompok Gajah Liwung itu masih bermalam semalam lagi di Kepatihan. Waktu itu dipergunakan oleh Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih untuk menemui Ki Wirayuda yang terluka. Selain sekedar menengoknya atas nama seluruh anggota Gajah Liwung, maka mereka pun telah mohon diri pula, untuk kembali ke tempat tinggal mereka di luar Kota.

“Baiklah. Kita akan selalu melakukan hubungan. Dalam keadaan yang penting, aku akan mengirimkan petugas untuk menghubungi kalian,” berkata Ki Wirayuda.

Demikianlah, setelah semalam lagi mereka bermalam di Istana Kepatihan, maka di keesokan harinya, anggota Gajah Liwung itu sudah meninggalkan Istana Kepatihan. Tetapi mereka tidak berjalan bersama-sama sehingga akan dapat menarik perhatian orang banyak. Tetapi mereka berjalan antara dua atau tiga orang di setiap kelompok kecil. Dengan demikian, maka mereka sama sekali tidak menarik perhatian orang. Meskipun orang yang bernama Podang Abang yang akan dapat mengenali Sabungsari dan Glagah Putih telah tidak ada lagi.

Kepada Ki Ajar Gurawa dan Ki Jayaraga, Ki Patih telah secara khusus mengucapkan terima kasihnya. Ki Ajar telah berhasil memecahkan rencana sandi gerombolan Ki Wanayasa, sementara Ki Jayaraga telah berhasil mengakhiri bayangan Podang Abang yang membuat Kotaraja menjadi suram.

Malam itu, para anggota kelompok Gajah Liwung telah berkumpul di sarang mereka. Untuk beberapa saat mereka dapat beristirahat sambil menunggu perkembangan keadaan.

Namun seperti pesan Ki Patih Mandaraka, sebaiknya kelompok itu masih dibiarkan hadir di Mataram. Setelah orang-orang yang untuk beberapa waktu seakan-akan menguasai kehidupan di luar kuasa paugeran, serta ketenangan kembali di Mataram, justru akan memberi kesempatan kepada anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab untuk merasa dirinya mendapat kesempatan berbuat sesuai dengan keinginannya, tanpa mau tunduk kepada paugeran yang berlaku. Meskipun landasannya berbeda dengan gerombolan yang telah dihancurkan, tetapi keduanya sama-sama menimbulkan keresahan.

Anak-anak muda itu akan kembali melakukan petualangan yang kerdil. Kebanggaan diri dengan keberanian melanggar paugeran, dengan landasan cakrawala penglihatan yang sempit. Sementara anak-anak muda yang lain sedang mempersiapkan diri untuk melakukan kerja-kerja yang besar bagi Mataram.

“Mudah-mudahan kenakalan yang tidak berarti sama sekali itu tidak akan terjadi lagi,” desis Sabungsari, “karena masih banyak yang harus dilakukan oleh anak-anak muda selain mengganggu ketenangan, mengotori Kotaraja dan menyakiti dirinya sendiri dengan perkelahian-perkelahian yang tidak berarti.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “bukankah lebih baik bagi mereka untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi hidupnya sendiri kelak, bagi sanak kadangnya dan bagi Mataram?”

“Setidak-tidaknya di Mataram ada seorang anak muda yang berpikir demikian,” berkata Ki Ajar Gurawa.

Beberapa orang serentak berpaling kepada Glagah Putih, sehingga Glagah Putih justru menundukkan kepalanya. Namun sambil tersenyum Ki Jayaraga berkata, “Ditambah dengan dua orang murid Ki Ajar Gurawa.”

Ki Ajar Gurawa tertawa. Yang lain pun ikut tertawa pula.

“Namun setidak-tidaknya, dalam beberapa hari ini kita dapat melepaskan ketegangan. Aku dapat tidur dari waktu ke waktu,” berkata Ki Jayaraga pula.

“Ya. Aku sekarang justru sudah mempunyai satu pesanggrahan,” sahut Ki Ajar Gurawa.

“Pasanggrahan?” bertanya Ki Jayaraga.

“Bukankah aku sudah membeli rumah dan pekarangannya?” desis Ki Ajar Gurawa.

Yang lain tertawa pula. Dengan nada tinggi Sabungsari berkata, “Baiklah. Pada suatu saat kami akan singgah di pesanggrahan itu.”

Namun dengan sungguh-sungguh Glagah Putih pun berkata, “Kita dapat memanfaatkan rumah itu jika Ki Ajar tidak berkeberatan. Dari sana, jarak dengan Kotaraja menjadi lebih dekat.”

“Ya,” hampir berbareng beberapa orang menyahut.

Namun Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Kita akan memikirkan pada kesempatan lain. Kita dalam beberapa hari ini dapat beristirahat.”

Sebenarnyalah kelompok Gajah Liwung yang memang merasa letih itu ingin beristirahat barang dua tiga hari, sambil menunggu perkembangan keadaan Kotaraja, serta perkembangan kesehatan Ki Wirayuda. Yang kemudian akan mereka hadapi agaknya bukan saja kenakalan anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab.Tetapi juga jaringan petugas sandi dari Kadipaten Pati, yang agaknya masih belum diketemukan cara untuk memulihkan hubungannya kembali dengan Mataram.

Demikianlah, selagi anggota Gajah Liwung sempat beristirahat, di Tanah Perdikan Menoreh, Rara Wulan masih tetap menempa dirinya di bawah bimbingan Sekar Mirah, di samping usaha Sekar Mirah untuk meningkatkan dirinya sendiri. Sementara itu Agung Sedayu pun berusaha juga membantu membimbing Rara Wulan, namun juga menuntun Sekar Mirah meningkatkan ilmunya. Meskipun Agung Sedayu dan Sekar Mirah memiliki landasan ilmu yang berbeda, tetapi tingkat kemampuan ilmu Agung Sedayu yang sangat tinggi itu seakan-akan telah meliputi segala macam ilmu kanuragan. Dengan cepat Agung Sedayu menguasai landasan ilmu orang lain, dan bahkan mengembangkannya, meskipun arahnya mungkin agak berbeda dengan mereka yang meningkatkan ilmunya secara murni dari perguruan sendiri.

Demikian pula Sekar Mirah yang berguru kepada Ki Sumangkar, yang mempunyai aliran ilmu sama dengan Macan Kepatihan yang gagal merebut Sangkal Putung, setelah perang antara Pajang dan Jipang selesai.

Namun dengan tuntunan Agung Sedayu, maka perkembangan ilmu Sekar Mirah tentu akan berbeda dengan orang lain yang mempunyai landasan ilmu yang sama.

Namun sebenarnyalah Sekar Mirah justru memiliki ilmu secara khusus yang semakin meningkat, sementara unsur-unsur gerak dari landasan ilmunya masih juga nampak mewarnai ilmunya yang sudah berkembang itu.

Ilmu yang sudah berkembang itulah yang kemudian diwariskannya kepada Rara Wulan. Namun bagaimanapun juga, pada Rara Wulan pun masih nampak juga aliran ilmu yang disadapnya dari Ki Sumangkar.

Karena kesungguhannya, maka dari hari ke hari, ilmu Rara Wulan pun maju dengan pesatnya. Kemudaannya, niatnya yang menyala serta kesungguhannya, telah membuat Rara Wulan dengan cepat menjadi seorang gadis yang memiliki landasan ilmu yang kokoh.

Namun ketika Rara Wulan pada suatu saat berbicara tentang kelompok Gajah Liwung, maka Sekar Mirah pun berkata, “Nampaknya kelompok itu masih sibuk dengan tugas-tugas mereka.”

“Apakah sesekali aku diperkenankan untuk menemui mereka?” bertanya Rara Wulan.

“Tentu Rara. Tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Kita harus tahu benar apa yang terjadi di Kotaraja,” jawab Sekar Mirah.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya ada keinginan untuk pergi ke Kotaraja.

Tetapi sejak semula Rara Wulan telah menyatakan untuk patuh terhadap Sekar Mirah, meskipun Sekar Mirah masih enggan disebut guru. Namun dalam kenyataannya, Rara Wulan telah menyadap ilmu Sekar Mirah yang bersumber dari ilmu Ki Sumangkar. Namun yang kemudian telah berkembang dan diperkaya dengan unsur-unsur dari ilmu yang lain, terutama dari Agung Sedayu yang berguru pada Kiai Gringsing, dan menguasai ilmu dari jalur ilmu Ki Sadewa.

Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu kemudian datang dari barak, maka iapun telah membawa berita dari Kotaraja. Seorang penghubung telah memberitahukan apa yang telah terjadi di Istana Kepatihan. Namun laporan itu agaknya tidak cukup terperinci, sehingga tidak diketahui dengan jelas peranan anak-anak muda yang ada di dalam kelompok Gajah Liwung.

Tetapi dengan tidak disangka-sangka, maka Ki Jayaraga pun tiba-tiba saja telah muncul. Dengan tergopoh-gopoh, seisi rumah telah menyambutnya. Antara cemas dan berharap, mereka pun kemudian ingin mendengar dari Ki Jayaraga, apa yang telah terjadi di Istana Kepatihan.

“Tetapi aku haus,” desis Ki Jayaraga.

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Baiklah. Sebelum minum, Ki Jayaraga tidak akan mau bercerita.”

“Baiklah, aku mengambilkan minum,” desis Rara Wulan sambil bangkit dari tempat duduknya.

Ki Jayaraga pun tersenyum sambil bertanya, “Bagaimana dengan gadis itu?”

“Anak itu cepat sekali maju. Ia bersungguh-sungguh dan tekun. Penurut dan melakukan semua yang diwajibkan,” jawab Sekar Mirah.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk, sementara Rara Wulan datang sambil membawa minuman, “Dingin Ki Jayaraga. Nanti aku akan membuat minuman hangat. Air baru dijerang.”

“Terima kasih,” jawab Ki Jayaraga yang meneguk minuman meskipun dingin. Namun rasa-rasanya justru menjadi segar sekali.

Baru kemudian, Ki Jayaraga pun telah bercerita tentang peristiwa yang terjadi di Istana Kepatihan, termasuk peranan anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan mendengarkannya dengan seksama. Bahkan tiba-tiba saja Rara Wulan berkata, “Senang sekali jika mendapat kesempatan untuk ikut serta.”

“Mereka tidak sedang bermain-main,” desis Sekar Mirah.

Rara Wulan mengangguk kecil. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya.

“Sekarang, kami mendapat kesempatan untuk beristirahat,” berkata Ki Jayaraga. “Karena itu, aku sempatkan untuk melihat Tanah Perdikan ini. Apalagi aku tentu tidak banyak dibutuhkan lagi setelah Podang Abang tidak ada lagi. Anak-anak muda itu tentu akan dapat menyelesaikan tugas-tugas mereka berikutnya.”

“Asal mereka tidak terlibat langsung dengan tugas-tugas yang berhubungan dengan laku sandi dari para prajurit Pati,” berkata Agung Sedayu. “Untuk itu mereka memerlukan seseorang yang dapat mengendalikan mereka.”

“Ki Ajar Gurawa ada di antara mereka,” jawab Ki Jayaraga, yang kemudian serba sedikit telah memperkenalkan orang yang disebutnya Ki Ajar Gurawa dengan kedua orang muridnya.

Namun Ki Jayaraga itu akhirnya berkata, “Tetapi setiap kali aku juga akan melihat mereka. Mungkin mereka memerlukan pengalaman orang-orang tua ini. Selebihnya, aku lebih senang berada di sini. Di sini aku dapat bekerja di sawah. Tidak banyak menyia-nyiakan waktu. Apalagi saat-saat beristirahat seperti ini.”

“Kami akan merasa senang sekali jika Ki Jayaraga akan berada di antara kami kembali,” berkata Sekar Mirah, “rumah ini tidak menjadi sangat sepi.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia memang merasa lebih berarti di Tanah Perdikan, di saat-saat tidak ada persoalan di antara anak-anak Gajah Liwung. Umurnya yang terpaut panjang, memang membuat dunianya agak berbeda dengan dunia anak-anak muda. “Apalagi ketika Ki Ajar Gurawa tinggal di rumah yang disebut pesanggrahannya bersama kedua muridnya, meskipun ia masih tetap menyatakan sebagai anggota kelompok Gajah Liwung. Aku menjadi sendiri.”

Dengan demikian sejak hari itu, Ki Jayaraga telah menempatkan diri sebagaimana ia sebelum pergi ke Mataram. Pagi-pagi sekali, Ki Jayaraga telah bersiap pergi ke sawah. Setelah minum minuman hangat, maka ia telah meninggalkan rumah dengan cangkul di pundaknya. Bahkan lebih dahulu dari Agung Sedayu yang pergi ke barak, dan Sekar Mirah yang pergi berbelanja.

Ternyata sawah memberikan kesegaran bukan saja pada tubuh Ki Jayaraga. Tetapi juga bagi jiwanya. Hijaunya daun padi, beningnya air di parit, serta kicau burung menyongsong terbitnya matahari.

Namun dalam pada itu, selagi Ki Jayaraga menikmati masa istirahatnya di Tanah Perdikan Menoreh, maka telah datang utusan khusus dari Jati Anom. Dua orang cantrik dari padepokan Orang Bercambuk datang untuk menemui Agung Sedayu.

Agung Sedayu yang saat itu masih berada di baraknya, telah disusul oleh Ki Jayaraga. Kedua utusan dari Jati Anom itu mengatakan, bahwa ia datang membawa pesan yang penting dari Ki Widura.

Agung Sedayu pun setelah memberitahukan kepada Ki Lurah Branjangan tentang utusan itu, segera minta diri untuk kembali menemui mereka.

Ternyata berita yang dibawanya memang penting. Agung Sedayu diminta untuk segera datang ke Jati Anom.

“Bagaimana keadaan Guru?” bertanya Agung Sedayu.

“Itulah yang akan dibicarakan,” jawab utusan itu.

“Ya, kenapa? Apakah sakitnya menjadi semakin parah, atau ada sebab lain?” desak Agung Sedayu.

Kedua orang utusan itu menjadi ragu-ragu. Namun seorang di antara mereka kemudian berkata, “Kami sedang mencari, dimana Kiai Gringsing berada.”

Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Keduanya tidak dapat mengatakan dengan jelas, apa yang sebenarnya terjadi di padepokan kecil itu, kecuali bahwa Kiai Gringsing tiba-tiba saja tidak ada di padepokan.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun tidak menunggu lebih lama lagi. Namun ketika ia sedang bersiap-siap, maka Sekar Mirah pun menemuinya sambil bertanya, “Bagaimana jika aku ikut serta Kakang?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Sekar Mirah pun telah agak lama tidak menengok keluarganya di Sangkal Putung. Karena itu, maka jawabnya, “Baiklah jika kau mau ikut. Tetapi bagaimana dengan Rara Wulan?”

“Kita bawa anak itu serta,” jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan bersiap-siap. Aku harus berbicara dengan Ki Lurah Branjangan dan minta diri kepada Ki Gede. Untunglah bahwa Ki Jayaraga telah berada di sini. Ia akan dapat mengawani Ki Gede. Atau jika perlu, biarlah Ki Waskita diminta untuk datang pula.”

“Ki Waskita sudah nampak terlalu tua untuk mondar-mandir,” desis Sekar Mirah.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sebentar lagi Ki Gede pun akan menjadi terlalu tua. Juga Ki Jayaraga, dan Ki Demang Sangkal Putung.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun segera kembali ke baraknya untuk memberikan beberapa pesan kepada Ki Lurah, serta memberitahukan bahwa ia akan berada di Jati Anom untuk beberapa hari. Kemudian singgah di rumah Ki Gede untuk minta diri bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan.

“Nampaknya memang ada sesuatu yang penting sekali,” berkata Agung Sedayu.

“Hati-hatilah di jalan Ngger,” pesan Ki Gede, yang juga sudah mendengar peristiwa yang terjadi di Mataram. “Mungkin masih ada sisa dari kekisruhan yang terjadi di Mataram.”

“Baik Ki Gede. Kami akan berhati-hati,” jawab Agung Sedayu.

“Apakah Angger Agung Sedayu akan singgah di Mataram untuk mengajak Angger Glagah Putih?” bertanya Ki Gede.

“Mungkin tidak Ki Gede. Hari ini kami harus sudah berada di Jati Anom, meskipun malam,” berkata Agung Sedayu.

“Perjalanan yang berat Ngger. Apalagi bersama Angger Rara Wulan,” desis Ki Gede.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun menyadari bahwa perjalanan ke Jati Anom adalah perjalanan yang cukup jauh. Karena itu, maka Agung Sedayu memang harus berpikir lagi, apakah ia akan berangkat saat itu dan kemalaman di perjalanan, atau berangkat esok pagi-pagi sekali.

Namun Ki Gede ternyata memberikan satu di antara banyak kemungkinan, “Jika kau berangkat hari ini, kau dapat singgah di Mataram menemui Angger Glagah Putih. Besok pagi-pagi kalian berangkat ke Jati Anom.”

“Tetapi Glagah Putih tidak berada di Kotaraja Ki Gede. Ia berada di sebuah padukuhan yang berada di luar Kotaraja,” jawab Agung Sedayu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun Agung Sedayu justru berkata, “Aku dapat bermalam di rumah Ki Lurah Branjangan. Meskipun Ki Lurah tidak ada di rumah, tetapi pembantu-pembantunya yang menunggui rumah itu tentu sudah ada yang mengenal aku,” berkata Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Apalagi aku datang bersama cucu Ki Lurah. Baru besok pagi-pagi, kami meneruskan perjalanan ke Jati Anom.”

Demikianlah, seperti yang dikatakan kepada Ki Gede, mereka akan berangkat hari itu juga dan bermalam di Mataram. Namun kedua utusan yang menemui Agung Sedayu itu berniat untuk langsung kembali ke Jati Anom.

“Kami akan mengatakan, bahwa Ki Agung Sedayu sedang dalam perjalanan,” berkata salah seorang dari kedua orang utusan itu.

“Baiklah. Aku akan segera menyusul kalian. Besok menjelang fajar kami akan berangkat dari rumah Ki Lurah,” berkata Agung Sedayu.

Meskipun kemudian mereka berangkat bersama-sama, namun kedua orang utusan itu akan berjalan terus, sebagaimana dikatakannya.

Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan memang singgah di rumah Ki Lurah Branjangan. Pembantu yang ada di rumah itu telah mempersilahkan mereka dan memperlakukan mereka dengan baik. Apalagi di antara mereka terdapat Rara Wulan. Bahkan para pembantu itu telah mempertanyakan, kapan Ki Lurah Branjangan akan pulang.

“Aku tidak tahu pasti,” jawab Rara Wulan.

Seperti yang direncanakan, maka Agung Sedayu memang tidak menemui Glagah Putih yang berada di luar Kotaraja. Namun Agung Sedayu yang telah mendengar peristiwa yang terjadi di Mataram, telah berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Wirayuda.

Ki Wirayuda merasa gembira dapat bertemu dengan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu kemudian berkata, “Tetapi aku hanya sekedar singgah Ki Wirayuda. Aku akan pergi ke Jati Anom.”

“Kau tidak menemui adikmu?” bertanya Ki Wirayuda.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Besok saja, jika aku kembali dari Jati Anom. Mudah-mudahan aku akan segera dapat kembali jika keadaan Guru tidak mencemaskan. Apalagi seisi padepokan tidak tahu, dimana guruku berada.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk kecil. Sementara Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Cepatlah sembuh. Tenagamu sangat diperlukan dalam keadaan seperti ini.”

“Aku sudah hampir sembuh,” jawab Ki Wirayuda sambil tertawa. Namun sebenarnyalah ia masih dalam perawatan karena luka-lukanya yang parah. Dengan nada dalam ia berkata, “Adikmu telah menyelamatkan nyawaku.”

“Ia melakukan tugasnya dalam sebuah pertempuran,” jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, Agung Sedayu tidak terlalu lama berkunjung kepada Ki Wirayuda yang masih belum benar-benar sembuh. Namun Ki Wirayuda itu kemudian sempat berkata, “Dalam keadaan seperti ini, aku masih harus menahan diri. Seperti sudah diduga, justru setelah gerombolan itu dihancurkan, anak-anak muda mulai lagi dengan kenakalan-kenakalannya.”

“Satu tugas buat anak-anak Gajah Liwung,” desis Agung Sedayu.

Malam itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan bermalam di Mataram. Tidak ada peristiwa apapun yang terjadi. Di sana-sini masih nampak para prajurit meronda. Sementara para petugas sandi hilir mudik memasuki lorong-lorong sempit untuk melihat-lihat keadaan.

Menjelang fajar, seperti yang direncanakan maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah minta diri kepada para pembantu di rumah Ki Lurah Branjangan. Mereka tidak sempat makan lebih dahulu. Namun para pembantu telah menghidangkan minuman hangat bagi mereka.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah berpacu meninggalkan Kotaraja menuju ke Jati Anom. Mereka memang tidak ingin singgah di Sangkal Putung, meskipun Sekar Mirah ingin sekali mengunjungi keluarganya. Tetapi Sekar Mirah menyadari, bahwa Agung Sedayu ingin segera sampai ke padepokan Orang Bercambuk, untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari gurunya, Kiai Gringsing. Sekar Mirah pun telah memperhitungkan, bahwa kakaknya tentu juga berada di padepokan.

Rara Wulan yang belum terbiasa menempuh perjalanan jauh, meskipun di Tanah Perdikan Menoreh ia sudah sering berlatih menyusuri jalan-jalan padukuhan di atas punggung kuda, merasakan bahwa perjalanan itu cukup panjang. Tetapi oleh latihan-latihannya yang teratur, maka Rara Wulan dapat mengatur dirinya, sehingga ia tidak merasa terlalu letih.

Ketika ketiganya kemudian sampai ke Kali Opak, maka mereka telah beristirahat sesaat. Kuda-kuda mereka mendapat kesempatan untuk minum air Kali Opak yang jernih, serta makan rumput segar.

Agung Sedayu sempat bercerita kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, bahwa Kali Opak pernah menyaksikan pertumpahan darah yang menggetarkan jantung ketika terjadi perang antara Mataram dan Pajang.

“Mudah-mudahan perang tidak terjadi lagi,” desis Agung Sedayu.

“Tetapi bagaimana dengan Pati?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ketika awan gelap yang menyelubungi Mataram dan Madiun mulai terkuak, maka mendung telah mengalir di atas Pati.

“Apakah memang sudah menjadi naluri kita untuk saling membunuh di antara sesama?” pertanyaan itu telah bergejolak di dalam hati Agung Sedayu. Sebuah pertanyaan lain telah mengikuti pula menggelepar di dalam hatinya, “Kenapa manusia tidak dapat saling mengasihi di antara sesamanya? Kenapa kehidupan yang tenang dan damai hanya terjadi di dalam mimpi?”

Namun Agung Sedayu tidak dapat merenung terlalu lama. Rara Wulan menjerit kecil ketika ia melihat seekor ular yang menelusur beberapa langkah mengarah ke kakinya, seekor ular belang.

Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu telah menggapai sebongkah kecil batu. Dengan serta merta dilemparkannya batu itu tepat mengenai kepala ular itu. Kemampuan bidiknya yang jarang ada duanya telah membuat sekali lempar, remuklah kepala ular itu, sebelum ular itu mematuk tumit Rara Wulan.

Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita sudah cukup lama beristirahat. Kita akan meneruskan perjalanan. Kita masih akan menempuh perjalanan yang agak panjang.”

Ketiganyap un kemudian telah meninggalkan tepian Kali Opak. Namun mereka masih menyempatkan diri untuk singgah sebentar di sebuah kedai untuk sekedar minum dan makan.

Sejenak kemudian mereka pun telah berpacu kembali langsung menuju ke Jati Anom.

Ternyata mereka tidak menemui hambatan apapun di perjalanan. Lewat tengah hari, maka mereka pun telah memasuki tlatah Kademangan Jati Anom. Sejenak kemudian mereka pun telah sampai ke padepokan kecil yang disebut Padepokan Orang Bercambuk.

Ketika mereka memasuki gerbang padepokan, maka dua orang cantrik telah menyongsong mereka. Wajahnya nampak muram, sementara keduanya tidak banyak berbicara sebagaimana kebiasaan mereka menyambut Agung Sedayu.

Suasana yang sendu nampak menyelubungi padepokan itu.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah dipersilahkan masuk ke bangunan induk padepokan kecil itu.

Seperti yang diduga oleh Sekar Mirah, maka Swandaru memang sudah ada di padepokan itu. Justru bersama Pandan Wangi. Pertemuan yang diliputi oleh suasana yang buram karena keadaan Kiai Gringsing yang tidak menentu.

“Paman Widura sedang pergi,” berkata Swandaru.

“Bagaimana dengan Guru?” bertanya Agung Sedayu tidak sabar.

“Kita menunggu Paman Widura sebentar,” jawab Swandaru.

“Paman pergi kemana?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak ada yang tahu,” jawab Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak bertanya lagi. Bahkan iapun kemudian bangkit berdiri dan melangkah menuju ke bilik Kiai Gringsing.

Swandaru hanya memandangi saja. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa. Demikian pula Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Ketika Agung Sedayu memasuki bilik gurunya, maka terasa jantungnya bergetar, Bilik itu nampak bersih dan teratur rapi, untuk ditinggalkan agar tidak nampak kotor dan berserakan. Tidak ada tanda-tanda apapun yang dapat dipergunakan untuk memecahkan teka-teki tentang kepergian gurunya, justru pada saat gurunya sedang sakit. Bahkan semakin keras.

Sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah duduk kembali bersama Swandaru dan beberapa orang yang lain. Seorang cantrik yang termasuk dituakan di padepokan itu hanya dapat mengatakan, bahwa dalam keadaan yang sakit keras, Kiai Gringsing ingin melihat-lihat halaman.

“Sendiri?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak,” jawab cantrik itu, “bersama Ki Widura.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya segala sesuatunya masih harus menunggu kedatangan Ki Widura.

Dalam kegelisahan menunggu, Swandaru sempat bertanya, “Kapan Kakang berangkat?”

“Kemarin,” jawab Agung Sedayu, “semalam aku bermalam di Mataram.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ketika matahari terbit, aku sudah berada di sini.”

“Kau bertemu Paman Widura?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku bertemu beberapa saat. Tetapi Paman Widura nampaknya sangat gelisah, sehingga tidak banyak yang dikatakannya. Ia pergi beberapa lama. Kemudian kembali lagi. Tetapi ia masih belum mengatakan apa-apa. Bahkan kemudian ia telah pergi lagi,” jawab Swandaru. Lalu katanya pula, “Kedua orang yang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh semalam telah kembali. Mereka mengatakan bahwa Kakang sedang dalam perjalanan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak dapat datang lebih cepat.”

Swandaru hanya mengangguk-anguk saja. Sementara ruangan itu telah menjadi hening kembali.

Beberapa saat kemudian, mereka telah mendengar derap kaki kuda. Berbareng orang-orang yang ada di ruang itu bangkit berdiri.

“Paman Widura,” desis Agung Sedayu, yang dengan tergesa-gesa melangkah keluar diikuti oleh Swandaru.

Sebenarnyalah yang datang memang Ki Widura. Ketika ia melihat Agung Sedayu, maka iapun berkata, “Nah, kau sudah datang. Bersiaplah. Kita pergi bersama-sama dengan Angger Swandaru.”

“Kemana?” bertanya Agung Sedayu.

“Ikut sajalah,” jawab Ki Widura.

“Tetapi Paman baru saja datang,” desis Agung Sedayu.

“Aku hanya melihat, apakah kau sudah datang,” jawab Ki Widura.

Agung Sedayu pun segera bersiap. Sekar Mirah, Rara Wulan dan Pandan Wangi diminta untuk menunggu. Bahkan Ki Widura berkata, “Aku tidak tahu kapan kami kembali.”

“Jadi?” desis Pandan Wangi.

“Kalian tunggu saja di sini,” jawab Ki Widura.

Mereka tidak sempat bertanya lagi. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera mengikuti Ki Widura. Sejenak kemudian, maka tiga ekor kuda telah berderap meninggalkan padepokan itu, tanpa menyebut tujuan kepergian mereka.

Ketika mereka menyusuri bulak panjang, maka Ki Widura berkata, “Kita memanjat kaki Gunung Merapi.”

Tidak ada lagi yang berbicara. Kuda-kuda mereka berderap di atas jalan setapak yang berbatu-batu kecil. Jalan yang semakin lama semakin sulit dilalui. Namun kuda-kuda itu tidak berhenti.

Di padepokan, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan menunggu dengan gelisah. Tetapi tidak seorangpun di padepokan itu yang dapat diajak berbicara. Semua orang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Yang mereka tahu hanyalah Kiai Gringsing tidak ada lagi di padepokan.

“Selain Ki Widura, siapa lagi yang tidak ada di padepokan?” bertanya Pandan Wangi.

“Seorang. Yang tertua di antara kami para cantrik,” jawab salah seorang cantrik.

“Siapa?” desak Sekar Mirah tidak sabar.

“Kakang Agahan,” jawab cantrik itu.

“Dimana Agahan itu sekarang?” bertanya Sekar Mirah pula.

“Kami tidak tahu. Kakang Agahan juga tiba-tiba saja tidak ada di padepokan,” jawab cantrik itu.

“Apakah ada hubungannya antara hilangnya Kiai Gringsing dan kepergian Agahan itu?” bertanya Pandan Wangi.

“Kami tidak tahu,” jawab cantrik itu.

Baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah tidak mendesak. Cantrik itu nampaknya benar-benar tidak tahu kemana cantrik tertua itu pergi.

Malam itu, padepokan Orang Bercambuk itu menjadi semakin sepi. Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan masih saja duduk-duduk di pendapa dengan dua orang cantrik yang termasuk dituakan di padepokan itu, sambil menunggu mereka yang pergi bersama Ki Widura.

Mereka berbincang tentang sikap dan tingkah laku Kiai Gringsing di saat-saat terakhir.

“Setelah Kiai Gringsing merasa tubuhnya semakin lemah, maka ia tidak lagi mampu langsung memimpin latihan-latihan dan menunggui kami bekerja di sawah dan ladang. Hanya kadang-kadang saja Kiai Gringsing melihat-lihat kami bekerja di kebun belakang,” berkata cantrik itu. “Namun di saat-saat wadagnya menjadi semakin lemah, maka Kiai Gringsing telah mempergunakan kemampuannya dalam hal obat-obatan untuk menolong orang banyak, sehingga setiap hari padepokan ini banyak dikunjungi orang untuk berobat. Namun Kiai Gringsing menjadi sangat prihatin ketika orang-orang itu menjadi salah menafsirkan kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan ada yang menganggap bahwa Kiai Gringsing adalah orang tua yang memiliki ilmu gaib, yang dapat menghidupkan orang mati.”

Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan mendengarkan keterangan itu dengan seksama. Sementara cantrik itu bercerita selanjutnya, “Puncak dari keprihatinan Kiai Gringsing adalah ketika beberapa orang datang dengan membawa seorang gadis yang sudah meninggal. Mereka minta dengan sangat agar anak gadis yang beberapa pekan lagi akan melangsungkan perkawinan itu dihidupkan lagi.”

Cantrik itu berhenti sejenak. Lalu, “Jiwa Kiai Gringsing benar-benar terpukul. Bagaimanapun ia menjelaskan bahwa yang dilakukan itu adalah sekedar karena pengenalannya atas beberapa jenis dedaunan yang mengandung khasiat pengobatan, namun keluarga dari gadis itu tidak percaya. Mereka mendesak terus. Sementara ibu gadis itu beberapa kali jatuh pingsan. Ternyata betapapun kuatnya jiwa Kiai Gringsing, namun ternyata runtuh juga menyaksikan keadaan itu. Tiba-tiba saja Kiai Gringsing lupa akan dirinya. Ia telah berusaha dan mencoba untuk menolong keluarga yang kehilangan itu. Kiai Gringsing telah berdoa dan memohon agar gadis itu dapat hidup kembali.”

“Dan gadis itu hidup kembali?” Rara Wulan hampir berteriak.

Cantrik itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Gadis itu tidak dapat hidup kembali. Gadis itu tetap saja terbaring tanpa bernapas.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Ketegangan telah mencengkam jantungnya.

“Ada dua akibat yang membuat Kiai Gringsing semakin menyesali dirinya,” berkata cantrik itu. “Ia menyesal sekali, kenapa hal itu dilakukannya. Kenapa ia merasa berhak untuk mencoba dan memohon agar gadis yang telah meninggal itu dapat hidup kembali. Penyesalan yang lain adalah, keluarga gadis itu justru menjadi semakin marah. Bahkan ada di antara mereka yang menuduh bahwa Kiai Gringsing hanya berbuat pura-pura. Tetapi ia tidak benar-benar ingin menghidupkan gadis itu.”

Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan benar-benar menahan nafasnya.

Sementara cantrik itu berkata, “Sejak saat itu, jiwa Kiai Gringsing benar-benar terguncang. Ia merasa telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar. Ia merasa seakan-akan mempunyai wewenang untuk melakukan sesuatu lebih dari orang lain.”

“Sesudah peristiwa itu?” bertanya Sekar Mirah.

“Kiai Gringsing masih memberikan pertolongan pengobatan. Namun setiap kali ia menjelaskan, bahwa ia sekedar mengenali jenis-jenis dedaunan dan akar-akaran pepohonan yang dapat dijadikan obat. Itu saja. Tentu saja dengan perkenan Yang Maha Agung. Setiap orang dapat melakukannya asal ia tekun mempelajarinya.”

Cantrik itu menarik nafas panjang. Suaranya merendah, “Namun mereka tidak percaya. Mereka tetap menganggap bahwa Kiai Gringsing memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Ia mampu menyembuhkan setiap penyakit, dan bahkan kepercayaan bahwa Kiai Gringsing dapat menghidupkan orang mati masih saja ada di antara orang-orang banyak itu.”

Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan mendengarkan dengan penuh perhatian setiap kata yang diucapkan oleh cantrik itu. Seakan-akan mereka dapat merasakan betapa gaduhnya perasaan Kiai Gringsing yang menjadi semakin tua itu.

Dalam pada itu, cantrik itu masih bercerita terus, “Dari hari ke hari, maka anggapan orang terhadap Kiai Gringsing menjadi semakin tidak masuk akal. Obat-obatan Kiai Gringsing memang baik dan seakan-akan mampu menyembuhkan segala macam penyakit, karena Kiai Gringsing memang seorang ahli di dalam hal ini. Tetapi orang-orang yang salah tafsir itu semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga ada di antara mereka yang menganggap bahwa Kiai Gringsing itu lebih dari manusia biasa. Keadaan itu membuat kesehatan Kiai Gringsing menjadi semakin buruk. Ia mengobati banyak orang dan mendapatkan kesembuhan. Tetapi satu kenyataan betapa keterbatasan manusia, Kiai Gringsing tidak dapat menolong dirinya sendiri.”

“Itukah sebabnya Kiai Gringsing meninggalkan padepokan ini?” bertanya Sekar Mirah.

“Kiai Gringsing tidak pernah mengatakan bahwa ia akan pergi. Tetapi Kiai Gringsing memang tidak mengharapkan orang banyak menganggapnya lebih dari orang kebanyakan,” jawab cantrik itu.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Memang tidak ada seorangpun yang akan dapat mengatakan, kenapa dan kemana Kiai Gringsing itu pergi. Apakah mungkin ada orang yang mengambilnya untuk satu kepentingan atau sebab apapun juga? Namun yang pasti Kiai Gringsing tidak ada di tempat.

“Sepeninggal Kiai Gringsing, masih banyak orang yang datang untuk minta pertolongan,” berkata cantrik itu pula, “namun apa yang dapat kami lakukan?” Cantrik itu termangu-mangu sejenak, lalu katanya, “Tetapi banyak di antara mereka yang salah mengerti. Mereka menganggap bahwa Kiai Gringsing menolak untuk mengobati mereka yang datang setelah Kiai Gringsing itu pergi.”

Cantrik itu berhenti sejenak. Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-angguk saja.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin malam. Udara menjadi bertambah dingin, sehingga cantrik itu berkata, “Aku persilahkan kalian beristirahat di dalam. Kami sudah membersihkan bilik di bangunan induk itu. Namun sebagaimana adanya.”

Pandan Wangi mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih. Apa yang ada sudah cukup baik bagi kami. Tetapi kami masih ingin menunggu beberapa saat.”

Sekar Mirah pun menyahut, “Ya. Kami akan menunggu.”

“Nampaknya sudah lewat tengah malam,” berkata cantrik itu.

“Ya,” jawab Pandan Wangi, “tetapi kami belum merasa mengantuk.”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah justru berkata, “Jika kau merasa letih, beristirahatlah. Nanti kami akan segera masuk pula.”

Cantrik itu tersenyum. Katanya, “Aku bertugas malam ini. Aku harus berada di sini sampai dini.”

“Baiklah. Jika demikian, kita akan dapat bersama-sama duduk di sini,” desis Pandan Wangi pula.

Dalam pada itu, seorang cantrik yang masih muda telah menghidangkan minuman panas. Wedang jahe dengan gula kelapa. Beberapa potong makanan, yang ternyata dapat membantu mereka yang duduk di pendapa itu untuk menahan kantuk.

Namun ketika tengah malam lewat semakin jauh, orang-orang yang ada di pendapa itu terkejut. Mereka mendengar pintu gerbang halaman padepokan itu berderak keras. Kemudian ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang menyusup masuk dengan tergesa-gesa.

Kedua cantrik yang ada di pendapa itu bangkit berdiri dan menyongsong orang-orang yang melintasi halaman menuju ke pendapa itu. Sementara dua orang cantrik yang lain telah muncul pula dari samping bangunan induk itu.

Salah seorang cantrik yang turun dari pendapa itu bertanya, “Ki Sanak, siapakah Ki Sanak ini, dan apakah keperluan Ki Sanak datang di malam begini?”

“Kami ingin bertemu dengan Orang Bercambuk itu,” jawab salah seorang dari mereka.

“Untuk apa?” bertanya cantrik itu.

“Aku harus mengambilnya malam ini. Ki Lurah yang sakit menjadi semakin parah. Kiai Gringsing ternyata menolak untuk mengobatinya kemarin,” jawab orang itu.

“Kiai Gringsing tidak ada di padepokan, Ki Sanak. Bukankah sudah aku katakan?” jawab cantrik itu.

“Omong kosong. Kiai Gringsing menolak karena menganggap bahwa Ki Lurah adalah orang yang sering melakukan kejahatan. Aku tahu itu. Tetapi Kiai Gringsing tidak akan dapat mengelak. Sekarang aku akan membawanya. Aku tidak percaya bahwa Kiai Gringsing memiliki tuah yang dapat membuat kami menjadi terkutuk. Apalagi beralih ujud menjadi binatang yang hina,” berkata orang itu.

“Ki Sanak benar,” jawab canrik itu, “Kiai Gringsing tidak dapat berbuat seperti itu. Tidak dapat mengutuk orang lain, apalagi menjadikannya seekor binatang.”

“Jika demikian, serahkan Kiai Gringsing itu kepada kami. Kami akan membawanya. Ia kami minta mengobati Ki Lurah. Kemudian kami akan segera mengembalikannya.”

Tetapi cantrik itu menggeleng sambil berkata, “Maaf Ki Sanak. Kiai Gringsing masih belum kembali. Kami justru telah memanggil orang-orang terdekat, yang sekarang agaknya sedang mencarinya. Sampai saat ini mereka masih belum kembali.”

“Kau jangan mengada-ada!” bentak orang itu, “Kami adalah orang-orang yang tidak mau dibohongi. Apalagi kami terbiasa untuk melakukan apa saja yang kami ingini.”

“Jadi apa yang harus kalian bawa, jika Kiai Gringsing tidak ada? Jika kalian tidak percaya, kalian dapat melihat seluruh padepokan ini,” berkata cantrik itu.

“Itu tidak perlu. Aku tidak perlu melihat seluruh padepokan ini. Tetapi aku minta kalian menjawab, dimana Kiai Gringsing? Sekarang kami akan membawanya. Dengar. Sekarang. Ki Lurah sudah tidak tahan lagi. Sakitnya terlalu menyiksanya,” berkata orang itu.

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia melihat orang-orang yang datang itu. Mereka berpencar di halaman. Ada yang berdiri di bawah cahaya oncor di pintu gerbang. Ada yang berdiri di bawah pepohonan, dan ada yang berdiri di belakang orang yang agaknya memimpin kawan-kawannya untuk mengambil Kiai Gringsing itu.

“Jumlah kami cukup banyak untuk menghancurkan padepokan kecil ini,” geram orang itu, “karena itu, sebelum hal itu terjadi, biarlah kami membawa Kiai Gringsing.”

“Ki Sanak jangan membuat hati kami semakin pedih. Kami kehilangan Kiai Gringsing. Sekarang Ki Sanak datang untuk memaksa kami melakukan sesuatu yang tidak dapat kami lakukan,” jawab cantrik itu.

“Cukup!” bentak pemimpin orang-orang yang datang itu, “Kami tidak mempunyai waktu banyak.”

Namun sebelum cantrik itu menjawab, seorang di antara orang-orang itu yang berkumis tipis, bertubuh sedang, memandangi ketiga orang perempuan di pendapa itu sambil bertanya, “Siapa mereka?”

Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Mereka adalah istri dari murid-murid Kiai Gringsing.”

“Dimana murid-murid Kiai Gringsing itu?” bertanya orang berkumis tipis itu.

“Mereka sedang mencari Kiai Gringsing,” jawab cantrik itu.

Orang berkumis tipis itu tersenyum. Katanya. “Jika kalian tidak menyerahkan Kiai Gringsing, maka ketiga orang perempuan itu akan aku bawa. Ketiganya tentu akan dapat mengobati Ki Lurah dengan caranya.” Pemimpin dari kelompok orang yang datang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu pikiran yang baik. Kami akan membawa mereka sampai Kiai Gringsing datang kepada kami.”

Wajah cantrik itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Mereka adalah tamu-tamu kami.”

“Aku tidak peduli. Ketika aku datang untuk minta agar Kiai Gringsing mengobati penyakit Ki Lurah dan ditolak dengan alasan yang tidak masuk akal bahwa Kiai Gringsing tidak ada di padepokan, kami tidak membawa kawan cukup seperti sekarang. Sekarang kami membawa kawan yang terlalu banyak untuk ditolak lagi. Karena itu, maka kau boleh memilih. Menyerahkan Kiai Gringsing, atau perempuan-perempuan itu,” berkata pemimpin sekelompok orang yang mendatangi padepokan itu.

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak. Kedua-duanya tidak mungkin. Kau tidak akan dapat membawa Kiai Gringsing karena Kiai Gringsing tidak ada di padepokan. Tetapi kau juga tidak dapat membawa perempuan-perempuan itu. Mereka tamu-tamu kami, tamu padepokan ini.”

“Aku tidak peduli apakah mereka tamu atau istri-istri para cantrik dan siapapun mereka. Kami akan membawa mereka sampai kami menemukan Kiai Gringsing. Jika Kiai Gringsing tidak dapat kami temukan, maka perempuan-perempuan itu tidak akan pernah kami lepaskan. Mereka akan menjadi penghuni sarang kami,” berkata pemimpin dari kelompok orang-orang yang datang itu. Sementara orang yang berkumis tipis itu berkata, “Sarang kami tidak akan terasa kering jika mereka menjadi penghuni sarang kami. Hidup kami pun rasa-rasanya akan mempunyai arti yang lebih tinggi daripada sekedar makan tidur dan menimbun harta benda.”

Cantrik itu menjawab, “Ki Sanak. Kami mempunyai beberapa orang kawan pula untuk mempertahankan padepokan ini. Kami pun wajib untuk melindungi tamu-tamu kami, karena keselamatannya adalah tanggung jawab kami seisi padepokan ini.”

Pemimpin dari sekelompok orang yang datang itu pun memandang berkeliling pula. Jika semula hanya ada empat orang cantrik, ternyata kemudian di sudut-sudut bangunan di padepokan itu berdiri para cantrik yang nampaknya juga sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Namun orang itu berkata, “Jangan bodoh. Jika kau melawan, artinya kalian akan hancur. Padepokan ini akan lenyap dari muka bumi untuk selama-lamanya.”

“Jika akibat itu yang harus kami alami demi pertanggungjawaban kami, apaboleh buat,” sahut cantrik itu.

Pemimpin kelompok orang yang datang ke padepokan itu menggeram. Sementara orang berkumis tipis itu berkata, “Sudahlah, kita tidak usah terlalu banyak membuang waktu. Kita ambil saja perempuan itu. Siapa yang menghalangi, akan kita selesaikan sama sekali.” 

“Baik. Ambil perempuan itu,” sahut pemimpinnya.

Orang berkumis itu pun segera melangkah maju tanpa menghiraukan para cantrik itu. Namun sudah tentu para cantrik tidak membiarkannya.

Karena itu, maka sejenak kemudian di halaman padepokan itu telah terjadi pertempuran. Orang-orang yang datang ke padepokan itu serentak menyerang. Namun para cantrik pun telah siap mempertahankan padepokan itu.

Ternyata yang datang itu adalah sekelompok perampok yang ingin membawa Kiai Gringsing untuk mengobati pimpinannya.

Karena itu, maka mereka adalah orang-orang yang telah berpengalaman mempermainkan senjata mereka yang terdiri dari berbagai macam jenis. Ada yang membawa pedang sebagaimana kebanyakan pedang. Tetapi ada pula yang membawa jenis-jenis senjata yang tidak terbiasa dipergunakan. Ada yang membawa kapak, tongkat baja berujung runcing, parang, golok yang besar, dan bahkan tombak pendek berujung rangkap, yang sering disebut canggah.

Namun yang mereka hadapi adalah para cantrik yang mendapat tuntunan olah kanuragan dari Kiai Gringsing dan Ki Widura. Meskipun mereka bukan murid-murid utama, namun mereka telah ditempa pula lahir dan batinnya.

Karena itu, maka para cantrik itu pun sama sekali tidak gentar menghadapi para perampok yang garang itu.

Tetapi ternyata bahwa jumlah mereka agak berselisih banyak. Sehingga karena itu, maka para cantrik, terutama yang dianggap tertua di antara mereka, harus bekerja keras untuk menghalangi para perampok itu memasuki bangunan induk padepokan.

Sebenarnyalah ketika pertempuran itu terjadi, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah bangkit berdiri. Ketika kemudian Pandan Wangi berlari masuk ke dalam, maka Sekar Mirah pun berlari pula sambil menarik lengan Rara Wulan.

Dalam pada itu, orang berkumis tipis itu ketika melihat ketiga perempuan itu berlari masuk dan kemudian menutup pintu, segera berteriak, “Kepung bangunan induk itu! Jangan sampai mereka melarikan diri!”

Sementara itu, seorang di antara para perampok itu pun segera berusaha menyelinap di antara pertempuran yang sengit, sehingga orang itu pun sempat naik ke pendapa. Tidak seorang cantrik pun dapat mengejarnya, karena mereka semuanya sedang menghadapi lawan masing-masing. Bahkan ada di antara para cantrik yang harus bertempur menghadapi lebih dari seorang.

Dengan kasarnya orang itu pun telah berusaha membuka pintu bangunan induk. Orang itu berniat menangkap ketiga orang perempuan yang berlari masuk ke dalam. Jika ia berhasil, maka ia tentu dianggap telah melakukan sesuatu yang pantas mendapat pujian dan hadiah.

Ternyata pintu itu memang tidak diselarak. Karena itu, maka sejenak kemudian pintu itu pun telah terbuka.

Kedua cantrik yang dianggap tertua di antara para cantrik itu menjadi gelisah. Tetapi mereka memang tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika seorang di antara mereka berniat menyusul orang yang naik ke pendapa itu, seorang yang lain di antara mereka telah menghalanginya. Sebelum ia sempat mengelakkan serangan orang itu, maka lawannya yang semula telah meloncat memburunya, sehingga dengan demikian cantrik itu harus meloncat berguling mengambil jarak. Tetapi ia ternyata tidak mampu meninggalkan dua orang lawannya.

Demikian pula cantrik yang seorang lagi. Ia bahkan telah dikurung sama sekali, sehingga tidak dapat berbuat lain kecuali melindungi dirinya.

Dalam pada itu, seorang yang telah masuk ke bangunan induk itu telah menyusup ke ruang dalam, mencari ketiga orang perempuan yang berlari ke dalam bangunan itu.

Orang yang berkumis tipis yang bertempur melawan salah seorang tetua para cantrik itu berkata sambil tersenyum, “Nah, sebentar lagi perempuan itu akan kami kuasai. Jika kalian tidak menyerah, maka akibatnya akan menjadi semakin buruk bagi kalian dan bagi perempuan-perempuan itu.”

“Pengecut yang licik,” geram cantrik itu. Orang berkumis tipis itu tertawa.

Namun mereka yang ada di halaman depan itu terkejut. Meskipun mereka masih juga bertempur, namun mereka sempat melihat orang yang berhasil menyelinap masuk itu telah terlempar keluar pintu bangunan induk itu dan jatuh terguling di pendapa.

Demikian ia berusaha bangkit, maka seorang gadis telah melangkah keluar. Gadis itu adalah salah seorang dari antara ketiga orang perempuan yang duduk di pendapa. Namun ia sudah mengenakan pakaian yang lain.

“Bangkitlah,” desis gadis itu.

Orang itu pun kemudian telah tegak berdiri. Sambil menggeram ia melangkah maju. Senjatanya, sebuah kapak, telah diayunkannya sambil berkata, “Iblis betina kau. Siapa kau he?”

“Namaku Rara Wulan,” jawab gadis itu.

“Jadi kau berniat untuk melawan kami?” bertanya orang yang berdiri termangu-mangu di pendapa itu.

“Kenapa tidak? Apakah kami harus menyerahkan kedua pergelangan tangan kami untuk diikat, kemudian ditarik seperti seekor lembu?” sahut Rara Wulan.

Orang itu menggeram. Namun sementara itu, dua orang perempuan yang lain pun telah keluar pula. Mereka telah mengenakan pakaian yang lain pula. Seperti pakaian seorang laki-laki.

Kehadiran mereka memang mengejutkan. Apalagi kemudian Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah melangkah dengan cepat mendekati orang-orang yang justru ingin menangkapnya, yang kemudian bertempur melawan para cantrik yang dianggap tertua di padepokan itu.

Dengan lantang Pandan Wangi pun berkata kepada cantrik yang bertempur dengan pemimpin orang-orang yang datang menyerang padepokan itu, “Lepaskan orang itu! Biarlah ia berusaha menangkap aku, kalau dapat.”

Pemimpin orang-orang yang datang itu menggeram. Katanya, “Kau telah menghinaku. Kau akan mengalami perlakuan yang akan membuatmu menyesal sepanjang hidupmu.”

“Aku sudah siap,” berkata Pandan Wangi.

Cantrik itu memang ragu-ragu. Namun iapun sadar, bahwa istri murid-murid utama Kiai Gringsing itu memang bukan orang kebanyakan. Karena itu, maka iapun telah meloncat mengambil jarak.

Seorang lawannya memang memburunya. Tetapi pemimpin dari sekelompok orang yang datang itu telah meloncat naik ke pendapa.

Sementara itu, Sekar Mirah justru meloncat turun. Didekatinya arena pertempuran yang lain. Ketika ia melihat orang berkumis tipis yang diterangi oleh sinar lampu minyak di pendapa, maka iapun berkata, “Bukankah kau yang ingin membawa kami?”

Orang berkumis itu pun segera meloncat menyerang Sekar Mirah. Demikian tiba-tiba, sehingga Sekar Mirah harus berloncatan mundur. Namun sejenak kemudian, maka tongkat bajanya pun telah berputar seperti baling-baling.

Orang berkumis tipis itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa perempuan itu begitu tangkasnya. Tongkat baja itu berkilauan memantulkan cahaya lampu minyak yang kekuning-kuningan. Suaranya yang mendesing memberikan isyarat, bahwa tenaga perempuan itu cukup besar.

Dengan pedang yang besar orang berkumis tipis itu menyerang Sekar Mirah. Namun ketika pedangnya menyentuh putaran tongkat baja Sekar Mirah, orang itu terkejut. Tenaga perempuan itu memang sangat besar.

“Siapa kau sebenarnya?” bertanya orang berkumis tipis itu.

“Aku istri murid utama Orang Bercambuk,” jawab Sekar Mirah. Lalu katanya, “Nah, seharusnya kau memperhitungkan sikapmu.”

“Persetan kau,” geram orang berkumis itu. Namun katanya kemudian, “Tetapi aku senang kepada perempuan-perempuan garang seperti kau.”

Tetapi begitu mulutnya terkatup, maka tongkat Sekar Mirah hampir saja menyambar keningnya, sehingga orang itu harus meloncat surut beberapa langkah.

Sekar Mirah tidak segera memburunya. Ia sengaja memberi waktu agar orang berkumis tipis itu sempat bersiap-siap menghadapinya. Baru kemudian ketika orang berkumis tipis itu sudah berdiri tegak, maka Sekar Mirah pun berkata, “Marilah. Kita akan menilai, siapakah yang lebih baik di antara kita.”

Orang berkumis tipis itu termangu-mangu sejenak. Debar jantungnya masih terasa menghentak, justru karena tongkat Sekar Mirah hampir mengenai keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Aku belum pernah menjumpai seorang perempuan segarang kau. Tetapi baiklah. Kita akan menguji kemampuan kita lebih dahulu, sebelum aku membawamu kembali ke lingkungan yang tentu belum pernah kau kenal sebelumnya.”

Sekar Mirah tidak berbicara lagi. Tetapi tongkat baja putihnya telah berputar kembali.

Ketika orang berkumis tipis itu bergeser selangkah, maka tiba-tiba saja di luar perhitungannya, Sekar Mirah telah meloncat dengan kecepatan yang tinggi menyerangnya. Tongkatnya terayun mendatar kearah lambung.

Dengan tergesa-gesa orang berkumis tipis itu mencoba menghindar sambil menangkis ayunan tongkat baja putih itu. Namun ternyata ayunan senjata Sekar Mirah terlalu kuat, sehingga di luar perhitungannya pula, pedang yang besar itu bergetar sehingga telapak tangannya terasa menjadi pedih. Bahkan ketika ia mencoba memperbaiki pegangannya, maka tongkat baja Sekar Mirah telah terayun sekali lagi. Mengarah ke leher.

Meskipun telapak tangannya masih terasa sakit, tetapi orang berkumis tipis itu telah berusaha untuk menangkis serangan Sekar Mirah itu. Namun tiba-tiba saja tongkat Sekar Mirah bagaikan berputar dan membelit pedangnya. Ketika Sekar Mirah menghentakkan tongkatnya, maka pedang orang berkumis itu telah terlepas dari genggamannya.

Orang berkumis itu terkejut dan meloncat mundur. Tetapi Sekar Mirah tidak memburunya. Bahkan katanya, “Ambillah. Aku tidak akan menyerangmu selama kau tanpa senjata.”

Orang itu masih saja ragu-ragu. Tetapi Sekar Mirah tertawa sambil berkata, “Aku adalah istri salah seorang murid utama Kiai Gringsing. Aku tidak akan menyerangmu dengan licik. Ambil senjatamu, dan kita lanjutkan permainan kita. Bukankah kita ingin tahu siapakah yang terbaik di antara kita?”

Orang itu masih ragu-ragu. Sekar Mirah bahkan melangkah surut menjauhi pedang orang itu sambil berkata, “Ambil. Ambillah. Kau tidak usah bingung. Bukankah kau belum pernah menjumpai seorang perempuan seperti aku?”

Selangkah orang itu maju. Kemudian dengan cepat ia menggapai pedangnya sambil memandangi ujung tongkat Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah benar-benar membiarkannya menggenggam pedangnya dan bergeser surut.

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Rasa-rasanya aku pun belum pernah bertemu seorang laki-laki pengecut seperti kau. Kalau kau senang pada perempuan-perempuan yang garang, maka aku pun senang dengan laki-laki pengecut. Nampaknya kau akan dapat menjadi barang mainan yang sangat menyenangkan. Mungkin kakak perempuanku itu juga senang bermain-main dengan laki-laki pengecut seperti kau. Bahkan mungkin kemenakanku itu.”

Laki-laki berkumis tipis itu menggeram. Dengan geram ia berkata, “Kau jangan terlalu sombong iblis betina. Adalah kebetulan saja kau dapat menjatuhkan pedangku karena aku tidak mengira bahwa kau begitu kasar dan liar. Tetapi setelah aku menyadari dengan siapa aku berhadapan, maka kau tidak akan dapat tersenyum lagi.”

Sekar Mirah masih tertawa. Katanya, “Marilah. Bangkitlah dengan puncak ilmumu.”

Orang itu pun segera menggerakkan pedangnya. Namun telapak tangannya masih saja terasa pedih. Meskipun demikian, ia menjadi semakin marah menghadapi perempuan yang benar-benar garang itu.

Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat lagi dalam satu pertarungan yang keras. Namun Sekar Mirah segera mendesaknya dengan serangan-serangannya yang membingungkan.

Di pendapa, pemimpin dari orang orang yang menyerang padepokan itu berhadapan dengan Pandan Wangi. Perempuan itu telah menggenggam sepasang pedang di kedua tangannya. Sepasang pedang yang berputar bagaikan gumpalan asap yang menyelubungi tubuhnya.

Pemimpin sekelompok perampok yang datang untuk mengambil Kiai Gringsing itu memang terkejut. Ia tidak mengira bahwa ia akan bertemu dengan perempuan yang memiliki kemampuan bermain pedang demikian tinggi.

“Iblis darimana yang telah mengajarimu bermain pedang?” geram perampok itu.

“Suamiku adalah satu di antara kedua orang murid utama Kiai Gringsing,” jawab Pandan Wangi.

“Jika kau tetap melawan, maka kau benar-benar akan mengalami nasib lebih buruk lagi,” ancam perampok itu.

Tetapi Pandan Wangi tidak menjawab. Pedangnya berputar semakin cepat. Bahkan kemudian, satu di antaranya mulai mematuk ke arah lawannya.

Lawannya yang terkejut dan meloncat mundur. Di tangannya tergenggam sebuah tombak pendek, namun yang ujungnya berkait seperti duri pandan, sehingga mata tombak itu menjadi sangat berbahaya.

Tetapi Pandan Wangi cukup berpengalaman menghadapi bermacam-macam senjata, sehingga karena itu ia sama sekali tidak menjadi gentar.

Di pendapa itu pula, Rara Wulan benar-benar telah menguasai lawannya yang akan menangkap ketiga orang perempuan itu. Serangan-serangannya yang datang berturut-turut telah mendesak lawannya itu sampai ke bibir pendapa. Ketika kemudian kakinya terjulur lurus mengenai dada orang itu, maka orang itu telah terlempar dari pendapa dan jatuh di halaman. Namun demikian ia berusaha bangkit, Rara Wulan telah meloncat turun pula dari pendapa, langsung menyerang orang itu dengan kakinya pula.

Orang itu mengaduh kesakitan ketika kaki Rara Wulan menyambar keningnya. Demikian kepalanya menengadah, maka kakinya yang masih bergerak memutar itu terayun sekali lagi mengenai dagunya.

Orang itu berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Namun Rara Wulan masih saja memburunya. Sehingga demikian orang itu berusaha bangkit, maka tangan Rara Wulan terjulur lurus menghantam leher di bawah telinga lawannya.

Sekali lagi orang itu mengaduh sambil menyeringai menahan sakit. Namun sekali lagi pula ia telah terbanting jatuh.

Namun orang itu kemudian tidak segera bangkit. Kepalanya lenar-benar menjadi pening. Nafasnya terengah-engah. Dadanya eakan-akan terhimpit kekuatan yang tidak terlawan.

Tetapi Rara Wulan tidak sempat untuk memperhatikan lebih lama lagi. Seorang yang lain berlari menyerangnya dengan garang.

Tetapi Rara Wulan telah bersiap menyongsongnya. Ketika Rara Wulan melihat orang itu mengayunkan kapaknya yang besar, maka keningnya pun berkerut.

“Kau bunuh kawanku he? Kau pun harus mati!” teriak orang bersenjata kapak itu.

“Kawanmu belum mati,” jawab Rara Wulan yang bertempur tanpa mempergunakan senjata, karena senjata orang yang dikalahkannya itu terjatuh ketika ia terlempar keluar dari dalam bangunan induk. Tetapi karena orang yang datang menyerangnya itu mempergunakan sebuah kapak yang besar, maka Rara Wulan pun telah mencabut pedangnya.

Orang itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Iapun segera menyerang dengan kapaknya yang besar itu. Ayunannya telah menimbulkan desing yang keras serta sambaran angin yang tajam.

Rara Wulan menyadari bahwa lawannya adalah seorang yang kuat. Tetapi ia telah menempa dirinya beberapa lama di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun masih baru dalam tataran permulaan, namun Rara Wulan telah memiliki bekal ilmu pedang yang cukup. Karena itu, maka dengan tabah Rara Wulan menghadapi orang yang bersenjata kapak, yang hanya sekedar membanggakan kekuatannya saja. Sementara Rara Wulan selain kemampuannya menguasai senjata, ia juga mampu bergerak cepat dan tangkas. Petunjuk-petunjuk Agung Sedayu banyak sekali memberikan warna dalam tata geraknya.

Karena itu, ketika orang berkapak itu mulai bertempur melawan Rara Wulan, iapun segera terkejut. Perempuan itu ternyata mampu membuatnya kebingungan. Apalagi ketika ujung pedang Rara Wulan telah meraba kulitnya.

Kehadiran ketiga orang perempuan itu di pertempuran telah memperingan beban para cantrik. Meskipun masih ada beberapa orang cantrik yang harus bertempur melawan lebih dari seorang lawan, namun dengan gerakan-gerakan yang khusus, mereka mampu membingungkan lawan-lawan mereka. Dua tiga orang cantrik dengan berlandaskan pada kemampuan geraknya telah berloncatan berputaran, sehingga lawan-lawannya kadang-kadang kehilangan, namun tiba-tiba seorang di antara mereka telah menyerang dengan garangnya.

Di depan pendapa, Sekar Mirah benar-benar telah menguasai lawannya. Orang berkumis tipis itu tidak mampu berbuat sesuatu menghadapi tongkat baja Sekar Mirah yang berputaran. Ketika tongkat baja itu mengenai punggungnya, meskipun tidak diayunkan dengan tenaga yang besar, orang itu terdorong beberapa langkah dan jatuh terjerembab. Pedangnya telah terloncat lagi dari tangannya yang memang sudah terasa pedih.

Sekali lagi Sekar Mirah sambil tertawa berkata, “Kenapa kau lepaskan lagi pedangmu? Ambillah. Aku tidak berkeberatan. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan melawan seorang yang tidak bersenjata, sementara aku memegang tongkat bajaku. Tanpa senjata kau tidak akan dapat menangkapku dan membawaku ke sarangmu, yang menjanjikan satu lingkungan yang belum pernah aku kenal sebelumnya.”

Orang berkumis tipis itu mengumpat kasar. Sambil merangkak ia telah menggapai pedangnya lagi. Pedang yang sudah cukup lama menemaninya bertualang di dunia yang gelap.

Ketika ia sudah memegang pedangnya lagi, maka sambil bangkit berdiri iapun berteriak, “Tangkap perempuan ini! Ia memiliki ilmu iblis!”

Beberapa orang diantara p ara perampok yang datang ke padepokan untuk mengambil Kiai Gringsing itu termangu-mangu. Namun dua orang telah berlari mendekatinya dan bersiap untuk bertempur melawan Sekar Mirah.

Dengan demikian, maka tugas para cantrik menjadi lebih ringan lagi. Apalagi ketika pemimpin mereka yang bertempur di pendapa itu bersuit nyaring. Satu isyarat untuk memanggil satu atau dua orang agar membantunya.

Sejenak kemudian maka Sekar Mirah dan Pandan Wangi itu harus bertempur melawan masing-masing tiga orang. Di samping pemimpin dari sekelompok gerombolan yang datang ke padepokan itu dan bersenjatakan canggah, maka Pandan Wangi harus melawan dua orang laki-laki garang. Seorang membawa bindi dan seorang lagi membawa parang yang panjang.

Namun pedang rangkap Pandan Wangi masih saja berputaran.

Ketiga orang lawannya memang merasa sulit untuk menembus kabut yang melindungi tubuh Pandan Wangi. Kabut yang terjadi oleh putaran sepasang pedangnya yang sangat cepat.

Apalagi Pandan Wangi itu mampu berloncatan dengan tangkas dan cepat sekali. Setelah ia melahirkan anaknya yang pertama, serta mendapat obat yang mampu dengan cepat memulihkan kekuatannya dari Kiai Gringsing, serta latihan-latihan yang teratur, maka kemampuan Pandan Wangi sama sekali tidak menjadi surut, justru terasa menjadi semakin matang.

Karena itu, maka ketiga orang lawannya seakan-akan tidak memiliki kesempatan sama sekali. Gumpalan kabut itu seakan-akan bergulung melibat ketiga orang lawannya, meskipun ketiga orang lawannya itu berdiri berpencaran.

Bahkan seorang di antara mereka pun tiba-tiba saja berteriak mengumpat kasar sambil meloncat mundur. Bahkan hampir saja ia terjatuh dari pendapa, yang meskipun tidak begitu tinggi, tetapi tentu akan mengejutkannya.

Ternyata ketika ia mengusap pundaknya, darah telah mengalir dari luka yang tergores menyilang. Meskipun luka itu tidak begitu dalam, tetapi perasaan pedih telah menggigit ketika keringatnya menyentuh lukanya itu.

Namun sejenak kemudian, orang itu pun telah meloncat maju dengan senjata teracu.

Di depan pendapa, Sekar Mirah telah mendesak ketiga orang lawannya pula. Dengan kekuatan tenaga di dalam dirinya maka Sekar Mirah mengayunkan tongkatnya dengan cepat. Angin pun telah berdesing pula. Lebih keras dari desing yang ditimbulkan oleh ayunan pedang lawannya yang besar, yang telah pernah terlepas dari tangannya itu.

Dua orang kawannya yang membantu tidak mampu mengurung perempuan yang bersenjatakan tongkat baja itu. Bahkan semakin lama maka sentuhan-sentuhan tongkat baja itu menjadi semakin sering mengenai lawan-lawannya.

Seorang lawannya yang bersenjata pedang pula mencoba untuk menembus pertahanan tongkat baja Sekar Mirah. Namun ketika benturan terjadi, maka pedangnya pun telah terlempar dari tangannya. Adalah di luar kehendaknya, jika ujung pedang itu telah melukai kawannya sendiri. Kawannya itu mengumpat-umpat panjang. Namun ia masih mampu membantu orang berkumis tipis itu menahan Sekar Mirah dan memberi kesempatan kawannya mengambil pedangnya. Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Hati-hatilah. Jangan melukai kawan sendiri. Untunglah bahwa ujung pedangmu tidak menggores lehernya.”

“Setan kau,” orang yang telah mengambil pedangnya itu menjadi sangat marah. Dengan cepat ia menyesuaikan dirinya dengan kedua orang kawannya. Namun usaha mereka sia-sia mengepung Sekar Mirah yang telah berada di luar garis yang menghubungkan mereka bertiga, sementara tongkat baja putihnya masih berputaran.

“Kemarilah sedikit,” berkata Sekar Mirah sambil tertawa pendek, “aku ingin bertempur sambil melihat, bagaimana kawan-kawanmu di pendapa itu kehilangan akal.”

Lawan-lawannya tidak menjawab. Mereka mencoba menghentakkan kemampuan mereka menyerang Sekar Mirah bersama-sama. Namun dengan satu ayunan, dua orang di antara ketiga lawannya itu mengaduh kesakitan. Ujung tongkat Sekar Mirah yang terayun deras itu telah menyentuh lambung kedua orang lawannya yang membantu orang berkumis tipis itu.

Orang berkumis tipis itu menggeram. Dengan garangnya ia mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah yang kemudian berjongkok telah menyodok perut lawannya dengan kepala tongkat bajanya. Tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan

Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Perutnya menjadi sangat mual. Bahkan rasa-rasanya nafasnya pun telah tersumbat oleh isi perutnya yang seakan-akan terdorong naik ke dadanya.

Sekar Mirah memang tidak memburunya. Bukan karena kedua orang lawannya yang lain menyerang, karena serangan itu dengan mudah dapat dielakkannya, tetapi ia ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk memperbaiki keadaannya.

Sebenarnyalah Sekar Mirah tidak dengan cepat ingin mengalahkan lawannya. Ia ingin mengatakan kepada lawan-lawannya itu dengan kemampuannya, bahwa mereka sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. Perampok-perampok itu hanya dapat menakut-nakutinya, tetapi tidak mampu mengimbangi kemampuannya meskipun mereka bertiga.

Demikian pula lawan Pandan Wangi. Mereka segera terdesak, sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan.

Yang juga mengalami kesulitan adalah lawan Rara Wulan. Ternyata Rara Wulan terlalu garang bagi orang berkapak itu. Pedangnya berputaran, mematuk, terayun menyambar dan kadang-kadang seakan-akan langsung menggapai dadanya.

Sementara itu, orang yang pingsan itu pun telah berusaha untuk mengingat-ingat apa yang telah terjadi, ketika ia mulai menjadi sadar. Bahkan kemudian iapun telah membuka matanya dan melihat apa yang telah terjadi.

Dalam keremangan malam ia sempat melihat orang berkapak itu bertempur melawan perempuan yang telah membuatnya pingsan. Iapun melihat bagaimana kawannya itu mengalami kesulitan, sementara kawan-kawannya yang lain juga tidak berhasil menguasai kedua orang perempuan yang lain.

Dengan demikian, maka usaha mereka untuk dapat mengambil Kiai Gringsing pun tentu akan mengalami kesulitan.

Justru karena itu, maka telah timbul niat liciknya. Ia merasa lebih aman untuk berbaring terus. Meskipun ia telah menjadi sadar, tetapi ia masih saja berpura-pura pingsan dan berbaring di tempatnya. Berbaring dan pura-pura pingsan ternyata lebih aman baginya daripada harus bertempur melawan perempuan-perempuan garang serta para cantrik di padepokan itu.

Sementara itu, keadaan orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi semakin sulit. Mereka terdesak semakin jauh mendekati pintu gerbang. Sementara itu, mereka yang melawan Pandan Wangi dan Sekar Mirah sama sekali tidak akan mampu mengalahkannya, apalagi menangkap ketiga orang perempuan itu. Karena itu, sebelum keadaan menjadi semakin parah, maka pemimpin para perampok yang datang untuk mengambil Kiai Gringsing itu telah mengambil satu keputusan. Mereka lebih baik meninggalkan padepokan itu daripada mereka tidak akan dapat pergi untuk selamanya. Atau bahkan terkubur di padepokan itu.

Dengan demikian, maka orang itu pun telah mengambil kesempatan. Ketika ia sempat mengambil jarak, maka iapun telah bersuit nyaring. Satu isyarat untuk meninggalkan padepokan itu.

Dengan demikian, maka para perampok itu pun telah berloncatan. Yang terluka pun telah berusaha untuk berlari menuju ke pintu gerbang. Sementara orang yang berpura-pura pingsan itu pun telah bangkit pula dan berlari dengan cepat.

Pandan Wangi yang ada di pendapa melihat para perampok itu berlari tunggang langgang. Karena itu, maka iapun sempat mengambil keputusan, “Cukup. Kalian tidak usah mengejarnya keluar pintu gerbang.”

Rara Wulan yang telah berlari memburu orang yang bersenjata kapak itu berhenti. Namun ia bertanya, “Kenapa mereka dibiarkan lepas?”

“Mereka hanya sekedar mencari Kiai Gringsing,” jawab Pandan Wangi.

“Tetapi kelakuan mereka mirip dengan perampokan. Bahkan mereka benar-benar akan membunuh jika mereka mampu,” jawab Rara Wulan.

Sekar Mirah-lah yang kemudian mendekatinya sambil berkata, “Sudahlah Rara. Mereka telah pergi. Mereka tidak akan mengganggu kita lagi.”

“Belum tentu,” jawab Rara Wulan, “mungkin mereka akan datang lagi justru dengan kawan yang lebih banyak, atau dengan orang yang berilmu lebih tinggi.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Biarlah mereka datang lagi. Jika pada saat mereka datang Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru, apalagi paman Widura dan Kiai Gringsing, sudah ada di padepokan, maka mereka tentu akan menyesal bahwa mereka telah kembali.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah melangkah ke pendapa.

Sementara itu, para cantrik pun telah mengurungkan niat mereka untuk mengejar orang-orang yang telah menyerang padepokan itu. Dengan lantang seorang cantrik yang dituakan di padepokan itu berkata, “Rawatlah kawan-kawanmu yang terluka. Apakah ada yang gawat atau bahkan gugur dalam pertempuran ini?”

“Tidak Kakang,” jawab seorang cantrik yang lain, “tidak ada yang gugur di antara para cantrik. Tetapi empat orang telah terluka. Seorang di antaranya memang agak gawat.”

“Rawatlah dengan baik,” perintah cantrik yang dituakan itu, “terutama yang terluka parah. Hati-hatilah. Jika kalian mengalami kesulitan, panggillah aku.”

Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah duduk lagi di pendapa. Para cantrik kemudian menjadi sibuk dengan kawan-kawan mereka, dan penjagaan di seluruh padepokan pun diperkuat. Beberapa orang cantrik justru telah berada di belakang dan samping padepokan, sementara dua orang cantrik mengawasi regol halaman di depan dengan senjata telanjang.

Sejenak kemudian maka langit pun menjadi merah. Fajar mulai membayang.

“Paman Widura masih belum kembali,” desis Pandan Wangi.

“Ya. Cukup menggelisahkan,” jawab Sekar Mirah.

“Tetapi kita hanya dapat menunggu,” berkata Pandan Wangi pula.

Sekar Mirah pun mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Kita memang tidak dapat berbuat lain kecuali menunggu.”

Ketika kemudian langit menjadi semakin terang, maka bergantian ketiganya telah pergi ke pakiwan. Mandi dan berbenah diri lahir dan batin.

Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah duduk kembali di pendapa ketika kemudian matahari terbit menembus cakrawala. Cahayanya yang kekuning-kuningan mulai menyiram dedaunan. Bintik-bintik embun memantulkan cahayanya berkedipan oleh goncangan lembut angin pagi.

Seorang cantrik kemudian telah menghidangkan minuman hangat serta beberapa potong ketela rebus. Ternyata ketika kawan-kawannya merawat para cantrik yang terluka, ada di antara para cantrik yang mempersiapkan minuman dan mencabut beberapa pohon ketela di kebun belakang.

Minuman hangat itu ternyata dapat membuat badan Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi segar. Juga ketela yang masih hangat pula, terasa hangatnya mengalir menyelusuri tubuh mereka.

Namun yang mereka tunggu masih juga belum datang.

Ketika matahari memanjat langit sepenggalah, maka ketiganya telah bangkit dan turun dari pendapa. Berjalan melintasi halaman dan keluar lewat gerbang di depan.

“Kami akan berjalan-jalan,” berkata Pandan Wangi kepada para cantrik yang bertugas berjaga-jaga di regol.

“Seorang di antara kami akan mengawani kalian,” berkata cantrik yang bertugas itu.

“Tidak perlu,” jawab Pandan Wangi yang mengenakan pakaian khususnya. Demikian pula Sekar Mirah dan Rara Wulan. Bahkan di lambung Pandan Wangi kiri dan kanan tergantung sepasang pedangnya, sedangkan Sekar Mirah menjinjing tongkat baja putihnya. Demikian pula Rara Wulan, telah membawa pedangnya pula.

Para cantrik yang bertugas tidak memaksa. Mereka sadar, bahwa ketiga orang perempuan itu tidak memerlukan pengawalan, karena tidak seorangpun di antara para cantrik yang memiliki kemampuan melampaui istri murid-murid utama Orang Bercambuk itu.

Beberapa lama ketiga orang perempuan itu menyusuri jalan-jalan bulak persawahan. Sawah yang dibuka dan dikembangkan oleh para cantrik dengan ijin Ki Demang Jati Anom itu. Tetapi pagi itu tidak seorang cantrik pun yang turun ke sawah. Mereka masih sibuk dengan padepokan mereka, sementara yang lain merawat kawan-kawan mereka yang terluka.

Menjelang tengah hari, ketiga orang perempuan itu telah berada di pendapa padepokan itu lagi. Tetapi Ki Widura, Agung Sedayu dan Swandaru masih juga belum datang. Bahkan menjelang matahari turun, ketiganya masih juga belum datang.

Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin gelisah. Demikian pula para cantrik di padepokan itu. Seorang di antara para cantrik yang dituakan telah menemui Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan yang duduk di pendapa.

“Apa yang harus kita lakukan?” bertanya cantrik itu.

“Kita tidak dapat berbuat apa-apa, selain masih harus menunggu,” jawab Pandan Wangi.

Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, kita masih harus menunggu, Tetapi sampai kapan?”

“Sampai mereka kembali,” jawab Pandan Wangi.

Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi selama ini kalian bertiga masih belum beristirahat sama sekali. Biarlah kami berjaga-jaga di luar bangunan induk ini. Nanti jika perlu, kami akan membangunkan kalian.”

Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Katanya, “Kami sudah terbiasa untuk berjaga-jaga.”

“Tetapi sekarang ada waktu untuk beristirahat. Para cantrik juga beristirahat bergantian. Jika pada suatu saat ada tugas yang penting harus kami lakukan, tenaga kami menjadi utuh kembali,” berkata cantrik itu. Lalu katanya, “Agaknya demikian pula bagi kalian. Kalian harus tidur dan memulihkan tenaga kalian.”

“Tetapi kami tidak terbiasa tidur di siang hari,” jawab Pandan Wangi.

“Bukankah sekarang kita semuanya berada dalam keadaan yang khusus?” bertanya cantrik itu.

Namun Sekar Mirah-lah yang menjawab, “Beristirahat bagi kami tidak selalu berarti tidur. Duduk-duduk di pendapa, minum minuman hangat dan makan ketela pohon, juga sudah merupakan saat-saat beristirahat yang baik.”

Cantrik itu tidak memaksa mereka. Sementara seorang cantrik telah menghidangkan makan siang yang agak terlambat. Nasi putih masih mengepulkan asap, dan gurami yang digoreng kering disertai sambal terasi dan lalapan.

“Kami justru akan makan,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum.

Cantrik yang menghidangkan makan itu berkata, “Maaf, hampir senja kami baru sempat menyiapkan makan siang. Kami masih harus menangkap gurami lebih dahulu, sementara ada kesibukan yang lain.”

Pandan Wangi tertawa. Katanya, “Kami tahu. Seperti kebiasaan kami terlambat tidur, maka kami pun terbiasa terlambat makan.”

Cantrik itu hanya termangu-mangu. Sementara Pandan Wangi pun berkata, “Tetapi makan yang dihidangkan ini membuat kami menjadi sangat lapar.”

Demikianlah, maka ketiga orang perempuan itu pun dipersilahkan untuk makan, sementara cantrik yang menghidangkan serta salah seorang di antara cantrik tertua di padepokan itu telah meninggalkan pendapa.

Namun bagaimanapun juga ketiganya masih saja dibayangi oleh kegelisahan. Yang mereka tunggu masih belum datang.

Bahkan sampai matahari terbenam dan malam merayap semakin dalam, Ki Widura, Agung Sedayu dan Swandaru masih juga belum datang.

Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan pun kemudian benar-benar merasa letih setelah mengalami peristiwa yang mengejutkan malam sebelumnya, bahkan kemudian tidak tertidur bukan saja malam itu, tetapi juga sehari berikutnya. Karena itu, ketika para cantrik mendesak mereka untuk beristirahat, maka mereka pun pergi ke pembaringan setelah menyelarak pintu bangunan induk.

“Kami berjaga-jaga di luar,” berkata para cantrik.

Oleh perasaan letih, maka ketiga orang perempuan itupun sempat tidur nyenyak sampai menjelang dini. Ketika kemudian mereka terbangun, maka Ki Widura, Agung Sedayu dan Swandaru masih juga belum kembali.

Kegelisahan memang menjadi semakin memuncak. Tetapi mereka tetap tidak dapat berbuat apapun juga. Menjelang matahari terbit, ketiganya telah berdiri di pintu gerbang padepokan. Tetapi mereka masih harus kecewa. Yang mereka tunggu belum juga datang.

Ketika mereka dipersilahkan makan pagi, maka rasa-rasanya nasi tidak lagi dapat lancar melintasi tenggorokan.

Namun ketika matahari hampir sampai ke puncak langit, maka mereka telah dikejutkan oleh derap kaki beberapa ekor kuda. Ketika mereka turun dari pendapa, maka mereka melihat empat ekor kuda memasuki pintu gerbang padepokan. Mereka adalah orang-orang yang selama itu mereka tunggu-tunggu dengan jantung yang berdebaran.

Yang paling depan adalah Ki Widura, kemudian Agung Sedayu diikuti oleh Swandaru. Yang paling belakang adalah Agahan. Cantrik yang dianggap tertua di padepokan itu.

Rasa-rasanya ketiga orang perempuan itu tidak sabar lagi. Dengan tergesa-gesa mereka menyongsong orang-orang yang ban datang itu, sehingga mereka pun telah menarik kekang kuda mereka.

Tetapi Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling berpandangan ketika mereka melihat Ki Widura menjinjing segulung cambuk. Meskipun Ki Widura telah menyadap ilmu dari Kiai Gringsing di hari tuanya, namun ia tidak terbiasa membawa cambuk seperti itu. Agung Sedayu dan Swandaru pun selalu melingkarkan cambuk mereka di bawah baju mereka.

Ki Widura, Agung Sedayu, Swandaru dan Agahan pun segera meloncat turun dari kuda mereka. Sementara hampir berbareng Pandan Wangi dan Sekar Mirah bertanya, “Dimana Kiai Gringsing sekarang?”

Ki Widura tidak segera menjawab. Wajahnya memang nampak muram. Namun ia justru menyerahkan kudanya lebih dahulu kepada seorang cantrik yang mendekat.

Cantrik itu pun telah membawa kuda Agung Sedayu pula ke sebelah pendapa, sementara Agahan telah membawa kuda Swandaru untuk diikat pada patok-patok bambu yang telah disediakan.

Pandan Wangi dan Sekar Mirah nampaknya memang segara ingin tahu. Karena itu, mereka pun telah mendesak, “Dimana Kiai Gringsing, Paman?”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita duduk dahulu di pendapa.”

Mereka pun kemudian naik ke pendapa. Rara Wulan ikut naik pula dan duduk bersama mereka. Tetapi ia justru menjadi bingung, sehingga karena itu maka iapun hanya dapat memperhatikan orang-orang di sekitarnya, dengan sekali-sekali mengerutkan dahinya.

Sejenak kemudian, Ki Widura, Agung Sedayu dan Swandaru pun telah duduk bersama Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Rara Wulan. Di sebelah lain Agahan pun telah ikut duduk bersama mereka pula. Demikian pula beberapa orang cantrik yang juga dianggap tertua di padepokan itu, telah ikut menemui mereka, karena sebenarnyalah mereka mewakili para cantrik yang lain yang ingin segera tahu dimana Kiai Gringsing mereka tinggalkan.

Namun Ki Widura pun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu sambil berkata, “Kau sajalah yang mengatakan.”

“Jika tidak ada Paman Widura, aku akan mengatakannya. Tetapi justru karena di sini ada Paman Widura, maka tentu lebih baik Paman yang menyampaikannya,” jawab Agung Sedayu.

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian katanya dengan nada dalam, “Kiai Gringsing tidak ada lagi.”

“Maksud paman?” Pandan Wangi dan Sekar Mirah hampir berbareng bertanya.

“Ternyata Kiai Gringsing tidak berhasil mengobati dirinya sendiri,” berkata Ki Widura. “Tetapi Kiai Gringsing menyadari bahwa akhirnya ia akan sampai pada satu batas, dimana kemampuan ilmu pengobatannya tidak dapat mengatasinya. Kiai gringsing telah meninggal.”

“Meninggal?” hampir semua orang yang mendengar mengulanginya. Salah seorang cantrik yang ikut duduk di pendapa dengan serta merta bertanya, “Dimana tubuh Kiai Gringsing sekarang?”

“Tubuhnya telah diserahkan ke pangkuan bumi sebagaimana seharusnya,” jawab Ki Widura,

“Tetapi dimana?” bertanya cantrik itu.

Ki Widura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Atas pesan Kiai Gringsing sendiri, kuburnya akan dirahasiakan.”

“Kenapa?” desak cantrik itu.

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Kiai Gringsing tidak ingin terjadi salah paham sebagaimana saat-saat terakhir dalam hidupnya, Kiai Gringsing tidak ingin seseorang atau sekelompok orang menganggap bahwa setelah kematiannya, ia masih dapat memberikan pengaruhnya, selain akibat dari apa yang pernah dilakukan semasa hidupnya. Kiai Gringsing tidak ingin dianggap sebagai manusia linuwih. Sebenarnya Kiai Gringsing tidak berkeberatan seseorang mengenangnya. Mengenang perjalanan hidupnya, mengenang perbuatan-pcrbuatannya. Mengenang petunjuk-petunjuk dan nasehatnya. Juga mengenang ajaran-ajarannya. Itupun yang dianggap baik dan memberikan arti bagi orang lain. Sedangkan yang dianggap tidak baik, maka sebaiknya dilupakan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar