Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 266

Buku 266

Tetapi tiba-tiba saja sebuah pertanyaan muncul di dalam hatinya, “Apakah hakku untuk merasa berkeberatan? Bukankah seharusnya Rara Wulan memang berbicara kepada kedua orang tuanya?”

Di luar kehendaknya, telah muncul di dalam angan-angannya orang tuanya yang berada di Banyu Asri. Ayah Glagah Putih tidak lebih dari seorang prajurit, yang meskipun pernah memimpin satu kesatuan prajurit di Sangkal Putung, ayahnya hanyalah seorang perwira kecil dari seluruh jajaran keprajuritan Pajang pada waktu itu.

Karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka Ki Lurah itu telah berkata, “Jika kau bersedia membantu aku Ngger, mungkin Rara Wulan akan bersedia bertemu dengan kedua orang tuanya. Aku sudah mengatakan bahwa mungkin telah terjadi salah paham, sehingga sikapnya itu tidak akan menyelesaikan persoalan, karena bagaimanapun juga Rara Wulan tidak akan dapat ingkar bahwa kedua orang tuanya itu adalah satu kenyataan yang tidak dapat ditolaknya.”

Glagah Putih tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk kecil sambil menjawab, “Aku akan mencobanya Ki Lurah.”

“Terima kasih Ngger. Mudah-mudahan Rara Wulan dapat mengerti. Jika ia bersedia menemui kedua orang tuanya, maka pembicaraan di antara mereka akan tuntas. Rara Wulan maupun orang tuanya akan dapat menentukan langkah-langkah pasti berikutnya,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Glagah Putih memang menjadi semakin tidak mengerti perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Tetapi rasa-rasanya ia menjadi gelisah menghadapi persoalan yang memang tidak begitu jelas baginya.

Untuk beberapa saat ruangan menjadi hening. Glagah Putih sudah berniat untuk meninggalkan ruangan itu menemui Rara Wulan di dapur. Tetapi ia tidak yakin bahwa meskipun ia membujuknya, apakah Rara Wulan akan bersedia bertemu dengan kedua orang tuanya.

Namun dalam pada itu, sebelum ia bergeser, Ki Jayaraga berkata, “Glagah Putih. Cobalah. Kau mempunyai bahan yang cukup setelah kau mendengarkan keterangan Ki Lurah tentang sikap kedua orang tua Rara Wulan. Kau sudah cukup dewasa untuk tanggap pada keadaan. Karena itu kau harus menghadapi persoalan ini dengan sikap dewasa pula.”

Jantung Glagah Putih serasa berdebar semakin cepat. Tetapi untuk melihat langsung ke dalam dirinya sendiri, rasanya Glagah Putih masih ragu-ragu.

Tetapi gurunya itu berkata selanjutnya, “Pergilah. Katakan pada gadis itu, bahwa sebaiknya ia berbicara kepada orang tuanya. Gadis itu pun harus berbicara dengan terbuka, agar orang tuanya tahu apa yang dikehendakinya. Tanpa pembicaraan yang terbuka, maka kedua belah pihak hanya menduga-duga saja perasaan masing-masing, sehingga kemungkinan salah paham memang bisa terjadi. Karena itu, katakan putih apa yang dianggapnya putih. Katakan hitam apa yang dilihat hitam. Katakan kuning jika ia memang ingin kuning, dan katakan ungu jika itu yang diingininya. Tentang setuju dan tidak, itu persoalan kemudian. Tetapi yang dikehendakinya sudah jelas.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Hampir tak terdengar ia menjawab, “Ya Guru.”

“Nah, pergilah,” berkata Ki Jayaraga.

Glagah Putih pun kemudian telah minta diri untuk bertemu lagi dengan Rara Wulan. Terasa bahwa pesan yang dibawanya untuk disampaikan kepada Rara Wulan itu cukup berat baginya. Glagah Putih tidak tahu akibatnya jika Rara Wulan benar-benar akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Apakah Rara Wulan mampu menolak keinginan mereka untuk mempertemukan Rara Wulan dengan seorang yang mereka pilih di pelaminan. Meskipun menurut keterangan Ki Lurah Branjangan, bahwa kedua orang tua Rara Wulan masih belum sampai kepada keputusan itu.

Dengan penuh kebimbangan, Glagah Putih melangkah menuju ke dapur. Tetapi Rara Wulan sudah tidak berada di dapur lagi.

Namun Glagah Putih tahu, bahwa Rara Wulan tidak akan meninggalkan halaman rumah itu. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah mencarinya di kebun belakang, tempat yang sering mengikat Rara Wulan untuk duduk dan melihat-lihat tanaman sayuran yang tampak subur. Ranti yang buahnya nampak merah kekuning-kuningan. Terong yang ungu, dan beberapa jenis tanaman yang lain.

Sebenarnyalah, Glagah Putih menemukan Rara Wulan duduk di atas rerumputan kering sambil merenungi tanaman-tanaman yang segar itu. Sekali-sekali gadis itu mengusap matanya yang basah.

Ketika ia mendengar desah kaki di rerumputan mendekatinya, maka iapun berpaling. Rara Wulan tidak terkejut, karena ia sudah menduga bahwa Glagah Putih tentu akan menyusulnya.

Tanpa mengucap sepatah kata pun, Glagah Putih langsung duduk di sebelah Rara Wulan. Tetapi untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri sambil memandangi tanaman yang hijau segar terhampar di hadapan mereka.

Rara Wulan berkisar setapak ketika seekor belalang yang besar meloncat hampir menampar keningnya, sehingga gadis itu harus menghindar.

“Rara Wulan,” berkata Glagah Putih kemudian dengan nada berat, “aku telah bertemu dengan Ki Lurah Branjangan.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Apa yang dikatakan Kakek kepadamu?”

“Ki Lurah telah mengatakan semuanya,” jawab Glagah Putih.

“Semuanya itu apa?” bertanya Rara Wulan sambil bersungut.

Glagah Putih termangu-mangu. Namun iapun kemudian menjawab, “Apa yang telah dikatakan oleh kedua orang tuamu, serta sikapmu menanggapi keterangan itu.”

“Kakek berbohong kepadaku,” gumam Rara Wulan kemudian.

“Rara Wulan,” desis Glagah Putih.

Namun Rara Wulan telah memotongnya, “Kakek minta kau membujuk aku agar aku bertemu kedua orang tuaku?”

Glagah Putih menjadi bingung. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Ya Rara. Ki Lurah meminta aku berbicara dengan Rara.”

“Dan kau bersedia?” justru Rara Wulan-lah yang bertanya.

“Aku ingin berbicara denganmu. Aku ingin mendengar sikapmu dan alasanmu,” jawab Glagah Putih.

“Sikapku sudah tegas. Aku tidak mau bertemu dengan kedua orang tuaku,” jawab Rara Wulan.

“Alasanmu?” bertanya Glagah Putih.

“Kau itu memang dungu atau berpura-pura dungu?” bertanya Rara Wulan dengan nada tinggi.

“Ada beberapa hal yang ternyata tidak sesuai dengan pengertianku sebelumnya. Aku memang menjadi bingung. Apakah aku memang dungu atau keadaannya yang semakin kacau, sehingga sulit untuk diikuti,” jawab Glagah Putih.

“Jadi kau juga sengaja menyakiti hatiku?” bertanya Rara Wulan.

“Bukan maksudku,” jawab Glagah Putih, “tetapi sebenarnyalah bahwa aku ingin berbicara sungguh-sungguh.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ditatapnya pepohonan di kejauhan dengan pandangan kosong. Tetapi Glagah Putih itu duduk di sebelahnya untuk berbicara dengan sungguh-sungguh.

Rara Wulan mulai mengusap matanya lagi. Sementara Glagah Putih itu mencoba bersikap benar-benar dewasa.

“Rara,” desis Glagah Putih, “kesalahpahaman telah terjadi. Karena itu sebaiknya Rara Wulan menemui ayah dan ibumu. Semuanya harus dijelaskan. Berterus teranglah bahwa Rara mempunyai keinginan sendiri, serta citra yang barangkali lain dengan keinginan kedua orang tua Rara bagi masa depan Rara. Setuju atau tidak setuju, mau atau tidak mau. Apapun yang ada di dalam hati, agar disampaikan kepada kedua orang tua Rara. Baru kemudian Rara dan orang tua Rara dapat menentukan langkah berikutnya sebagaimana harapan kedua orang tua Rara. Tetapi mungkin ternyata sikap kedua orang tua Rara itu sesuai benar dengan sikap Rara.”

“Itu tidak mungkin,” potong Rara.

“Bukankah Rara belum mencoba? Jika Rara bersedia datang bersama Ki Lurah Branjangan yang menjadi saksi keterangan ayah Rara itu, maka tentu persoalannya akan menjadi lebih jelas,” sahut Glagah Putih.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Jadi kau meminta aku datang pada Ayah dan Ibu, apapun akibatnya?”

Glagah Putih memang menjadi bimbang. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kebimbangannya itu pada Rara Wulan. Karena itu maka iapun menjawab, “Ya.”

Wajah Rara Wulan menjadi tegang. Katanya dengan nada meninggi, “Baik. Baik, Aku akan datang pada ayah dan ibuku. Aku akan menyerahkan diriku kepada keputusan mereka, apapun yang harus kujalani. Mungkin besok aku sudah harus kawin dengan seseorang yang sesuai dengan pilihan Ayah dan Ibu. Aku sekaligus akan minta diri kepada kawan-kawan dari kelompok Gajah Liwung, bahwa aku tidak akan pernah kembali ke dalam kelompok ini.”

“Rara Wulan,” potong Glagah Putih dengan cemas.

“Apa pedulimu, he? Kita tidak mempunyai ikatan apa-apa, selain bahwa kita adalah sama-sama anggota Gajah Liwung. Jika aku sudah menyatakan diri keluar dari kelompok ini, maka aku dan kau adalah orang lain. Aku anak seorang pejabat Istana Mataram, sedangkan kau adalah seorang petani yang tubuhmu selalu dikotori lumpur,” Rara Wulan hampir berteriak.

“Rara, cukup!” bentak Glagah Putih.

Rara Wulan memang terdiam. Tapi ia sudah berdiri dengan dada tengadah. Matanya menatap dengan tajamnya, seakan-akan memancarkan gejolak yang bergelora di dadanya.

“Apa sebenarnya yang kau kehendaki?” bertanya Glagah Putih, “Kau ingin aku berjongkok di hadapanmu untuk mengabdi, karena kau anak seorang yang berkedudukan tinggi dan aku anak seorang petani miskin di Tanah Perdikan Menoreh? Atau kau menganggap ayahku seorang prajurit rendahan yang tidak pantas disebut namanya, sehingga kau telah menghinakan aku dengan cara seperti itu?”

Rara Wulan mengatupkan giginya rapat-rapat. Namun ternyata gadis itu tidak dapat menjawab lagi. Iapun terduduk sambil menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Yang terdengar kemudian adalah suara tangisnya yang tertahan-tahan. Tetapi isakannya pun telah mengguncangkan tubuhnya, sehingga dadanya menjadi sesak karenanya.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bergeser mendekat. Ternyata bahwa dada Glagah Putih pun menjadi sesak pula.

Namun dalam keadaan yang sendu itu, darah Glagah Putih serasa menjadi semakin cepat mengalir. Ketika panas darahnya sampai ke kepala, maka seakan-akan telah menjalar pula sifat-sifat kejantanannya. Anak muda memang seorang laki-laki jantan menghadapi segala macam bahaya yang betapapun gawatnya. Namun mula-mula hatinya merasa gemetar berhadapan dengan keadaan Rara Wulan yang dianggapnya sangat rumit itu. Tetapi akhirnya, Glagah Putih memang mampu menunjukkan sikapnya sebagai seorang laki-laki.

Ketika tangis Rara Wulan menjadi menghentak-hentak dadanya, terdengar suara Glagah Putih yang berat, “Rara Wulan. Sudahlah. Jangan menangis. Aku tidak berniat menyakiti hatimu. Aku minta maaf. Sebenarnyalah bahwa aku adalah orang yang paling keberatan jika ayah dan ibumu mengambil sikap terlalu keras terhadapmu. Apalagi memaksamu kawin dengan seorang laki-laki lain, karena sebenarnyalah aku akan merasa kehilangan kau.”

Kata-kata Glagah Putih itu telah mengetuk dinding jantung Rara Wulan demikian kerasnya sehingga gadis itu tersentak. Sambil mengangkat wajahnya, gadis itu bertanya di sela-sela isaknya, “Apa yang kau katakan?”

“Aku mencintaimu Rara Wulan,” desis Glagah Putih, “benih itu tertabur di jantungku sejak aku melihatmu. Tetapi aku harus memandang wajah sendiri di hadapan cermin. Aku memang anak seorang prajurit yang tidak berarti apa-apa, sementara aku sendiri adalah seorang petani yang menggarap sawah orang lain di Tanah Perdikan Menoreh.” Ketika suara Glagah Putih merendah dan bagaikan hilang di kerongkongannya, tangis Rara Wulan memang menyentak sejenak. Tetapi kemudian tangis itu menurun perlahan-lahan.

Demikian tangis Rara Wulan mereda, maka terdengar suaranya di sela-sela isaknya yang masih menyentak satu-satu, “Kakang Glagah Putih. Perasaan itu pula-lah yang selama ini membelit hatiku. Tetapi aku adalah seorang gadis. Aku harus menahan diri, betapapun desakan perasaan itu rasa-rasanya hampir memecahkan dadaku. Sikapmu selama ini telah meragukan aku, sehingga aku tidak dapat mengambil kesimpulan apapun juga. Dengan demikian, aku menjadi bingung ketika ayah dan ibuku sampai satu pembicaraan tentang aku, bahwa Ayah dan Ibu tidak mau anaknya menjadi seorang gadis yang terlambat kawin. Seakan-akan tidak ada seorang laki-laki pun yang mau mengambilnya. Bayangan itulah yang selama ini menakut-nakutiku.”

“Karena itu, maka kau menjadi salah paham dengan sikap ayah dan ibumu,” berkata Glagah Putih kemudian.

Rara Wulan hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Glagah Putih berkata selanjutnya, “Karena itu Rara, aku mohon kau menghadap ayah dan ibumu. Katakan apa yang memang tersimpan di dalam hatimu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sebenarnyalah ia merasa ragu, apakah ia dapat mengatakan hubungannya dengan Glagah Putih kepada ayah dan ibunya. Rara Wulan yakin bahwa kakeknya akan menyetujuinya. Tetapi keputusan terakhir memang ada di tangan kedua orang tuanya.

Namun Rara Wulan telah memperhitungkan persoalan yang dihadapinya itu sampai keputusan yang paling pahit sekalipun. Jika ia harus pergi dari rumahnya, maka ia akan pergi. Ia telah membiasakan diri hidup di antara orang kebanyakan.

“Nampaknya rumah tangga Mbokayu Sekar Mirah juga nampak baik meskipun Kakang Agung Sedayu, sebelum mendapat kedudukan yang baik di lingkungan keprajuritan, juga tidak lebih dari seorang petani yang sederhana,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya.

Dengan sadar Rara Wulan mampu menilai, cara hidup yang ditempuh oleh Glagah Putih memang jauh berbeda dengan cara hidup yang dijalani oleh kakaknya, Teja Prabawa. Glagah Putih bukan seorang yang manja dan tidak yakin akan kemampuan diri, tetapi Glagah Putih adalah anak muda yang terbiasa tegak pada sikap dan kemampuan sendiri. Ia ditempa oleh kehidupan di sekitarnya serta guru-gurunya.

Baru beberapa saat kemudian Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia ingin memenuhi permintaan Glagah Putih. Seandainya ayah dan ibunya tidak mau mendengarkan kata hatinya setelah ia berterus terang, maka niatnya sebagaimana dipikirkannya itu akan dilakukan dengan lebih mantap, justru setelah ia tahu sikap batin Glagah Putih.

Karena itu, maka beberapa saat kemudian Rara Wulan itu pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Kakang. Aku akan ikut bersama Kakek untuk menghadap Ayah dan Ibu. Tetapi sebelumnya aku mendapat firasat, bahwa Ayah dan Ibu memang tidak ingin aku menjadi seorang gadis yang dianggap terlambat kawin. Setidak-tidaknya sudah ada pembicaraan yang matang tentang hari-hari perkawinan itu, kapan pun dilakukan. Aku pun tahu, bukan sekedar salah paham, bahwa Ayah telah menerima bukan saja seorang anak muda, tetapi beberapa orang, untuk berbicara tentang aku. Aku kira, seandainya benar belum, pada saatnya Ayah tentu akan mempunyai pilihan. Dan pilihan itu tentu di antara anak-anak muda yang pernah datang melamar dengan perantara orang tuanya.”

Jantung Glagah Putih berdenyut keras. Ia tahu maksud Rara Wulan, agar iapun melakukannya sebagaimana anak-anak muda itu. Raja Wulan ingin ayahnya datang melamar gadis itu kepada orang tuanya.

Namun rasa rendah diri itu telah menjangkiti lagi hati Glagah Putih. Orang tuanya adalah perwira yang tidak memiliki nama besar, dan bukan termasuk seorang perwira tinggi sebagaimana orang-orang yang berbicara tentang anak gadis itu kepada orang tuanya. Tetapi Glagah Putih sadar, bahwa cara itu harus ditempuh. Orang tuanya, atau orang yang mewakili atas nama orang tuanya, harus datang dengan resmi untuk melamar.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih teringat akan kakak sepupunya. Untara yang juga sudah diwisuda menjadi seorang Tumenggung.

“Jika Kakang Untara tidak keberatan, maka Kakang Untara akan dapat menyertai Ayah datang ke tempat gadis itu, yang juga masih dalam tingkat sejajar dengan Kakang Untara itu. Dengan demikian, aku tentu tidak dianggap sekedar sampah yang hanyut di parit yang mengalir deras,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sejenak kedua orang anak muda itu hanyut ke dalam angan-angan mereka masing-masing. Sementara itu, beberapa orang kawannya yang mendengar dari kejauhan nada suara Rara Wulan yang tinggi melengking serta bentakan-bentakan Glagah Putih, sama sekali tidak berusaha mencampurinya, selama pembicaraan itu masih berlangsung wajar. Perbedaan pendapat di antara kedua anak muda yang terlibat dalam hubungan khusus itu tentu akan dapat mereka selesaikan dengan baik.

Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih berkata, “Rara. Ki Lurah menunggu jawaban Rara. Aku mohon Rara Wulan bersedia datang bersama Ki Lurah, Namun harapanku bahwa Rara tidak akan benar-benar pergi dari kelompok ini.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah anak muda itu. Rara Wulan memang melihat kesungguhan pada sorot mata Glagah Putih.

Karena itu, maka dengan nada lembut gadis itu berkata, “Baiklah Kakang. Aku akan menemui kakek dan menyatakan kesediaanku menghadap Ayah dan Ibu. Tetapi aku tidak akan menerima seorangpun, seandainya Ayah dan Ibu menyebut beberapa buah nama, dengan satu keyakinan bahwa Kakang tidak akan mengingkari pernyataan Kakang, apapun alasannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku berjanji Rara. Aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan, meskipun aku belum berbicara dengan Kakang Agung Sedayu dan Guru, Ki Jayaraga. Mudah-mudahan mereka dapat mengerti. Seandainya tidak, maka aku sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan-hidupku sendiri.”

Rara Wulan mengangguk sambil mengusap matanya yang basah. Namun tiba-tiba saja ia melihat keadaan Glagah Putih yang kusut dan kotor.

Dengan kerut di kening Rara Wulan bertanya, “Kau kenapa Kakang ?”

Glagah Putih baru ingat dirinya sendiri. Tulang-tulangnya yang terasa letih setelah ia memeras tenaganya bersama-sama dengan Sabungsari.

Dengan nada rendah Glagah Putih menjawab, “Aku dan Kakang Sabungsari harus berhadapan dengan seorang yang berilmu sangat tingi itu, Podang Abang. Orang yang pernah menaruh dendam pada Guru, yang tiba-tiba saja bertemu kembali setelah bertahun-tahun berpisah.”

Rara Wulan mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Bagaimana akhir pertempuran itu? Bukankah orang itu pernah membayangi kelompok kita?”

“Ya. Ia pernah mencoba menakut-nakuti kelompok kita,” jawab Glagah Putih.

“Tetapi ia pernah menghindari Kakang Agung Sedayu,” desis Rara Wulan.

“Saat itu tiba-tiba saja Ki Jayaraga hadir,” sahut Glagah Putih.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kau dan Kakang Sabungsari harus beristirahat. Mungkin kalian memerlukan sesuatu untuk memulihkan kembali kekuatan dan kemampuan Kakang setelah bekerja keras menghadapi Podang Abang. Tapi bagaimana dengan keadaan Podang Abang ?”

“Sebenarnya aku dan Kakang Sabungsari mampu mengatasinya. Tetapi kami harus bertempur berpasangan,” jawab Glagah Putih.

“Lalu?” desak Rara Wulan.

“Guru mencegahnya,” jawab Glagah Putih. “Nampaknya Guru tidak ingin dianggap menghindari orang itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Nah, pergilah. Temui Ki Lurah Branjangan.”

Rara Wulan mengangguk. Tetapi katanya, “Apakah kau akan menemui Kakek?”

Glagah Putih mengerti maksud Rara Wulan. Karena itu, iapun mengangguk sambil berkata, “Marilah. Aku antar kau menghadap Ki Lurah Branjangan.”

Demikianlah, keduanya pun melangkah menuju ke ruang dalam. Beberapa anggota Gajah Liwung yang lain justru memalingkan wajah mereka, seakan-akan mereka tidak melihat keduanya serta tidak mengetahui persoalannya.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan masuk ke ruang dalam justru dari arah dapur, maka yang ada di ruang dalam adalah Ki Lurah Branjangan yang hanya ditemani Ki Jayaraga.

“Marilah,” Ki Jayaraga bergeser setapak.

Kedua anak muda itu pun kemudian duduk bersama mereka dengan wajah menunduk.

“Ki Lurah,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku sudah berbicara dengan Rara Wulan sesuai dengan pesan Ki Lurah. Ternyata Rara Wulan telah menyatakan kesediaannya untuk menyertai Ki Lurah menemui kedua orang tuanya untuk menjelaskan sikapnya.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Dengan sikap yang terbuka, maka semuanya tentu akan segera selesai, bagaimanapun ujud penyelesaian itu.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Jika demikian, besok kita pergi menemui kedua orang tua Wulan.”

Rara Wulan mengangguk.

Namun Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Tetapi persoalannya sekarang tidak hanya sekedar menghadap orang tua Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan harus mengingat pula ancaman-ancaman lain yang mengganggu dalam perjalanan.”

“Maksud Ki Jayaraga?” bertanya Ki Lurah.

“Besok kita akan pergi bersama-sama,” berkata Ki Jayaraga. “Kekalahan Podang Abang hari ini akan membakar jantungnya. Memang ada kemungkinan lain, bahwa ia tidak akan mengganggu lagi. Tapi mungkin sebaliknya. Dendamnya sampai ke ubun-ubun.”

“Jadi apakah besok aku akan menyertainya?” bertanya Glagah Putih.

Ki Lurah menggeleng sambil berkata, “Bukan kamu Glagah Putih. Mungkin Angger Sabungsari.”

“Kita pergi bersama-sama Ki Lurah,” potong Ki Jayaraga, “kedua orang tua Wulan tentu belum mengenal aku. Jika Ki Lurah sudah sampai ke rumah anak Ki Lurah, aku akan segera kembali ke padukuhan ini. Dini hari berikutnya, aku akan datang menjemput Ki Lurah.”

Tetapi Ki Lurah tertawa. Katanya, “Seperti anak-anak yang diantar pulang dan dijemput kembali ke rumah kakeknya.”

Ki Jayaraga pun tertawa pula. Sambil menahan tertawanya ia menjawab, “Bukan begitu Ki Lurah, tetapi aku merasa bertanggung jawab jika Podang Abang itu hadir. Apalagi mengganggu Ki Lurah. Sementara Ki Lurah sedang mengemban satu tugas yang harus segera diselesaikan, meskipun sangat pribadi.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Meskipun ia merasa agak segan karena ia harus merepotkan Ki Jayaraga, tetapi Ki Lurah memang harus mengakui, seandainya Podang Abang itu melihatnya dan mengganggunya, maka sulit baginya untuk mengatasinya.

Karena itu, Ki Lurah itu pun berkata, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih Ki Jayaraga.”

“Sementara itu, biarlah Sabungsari dan Glagah Putih bersiap-siap di rumah. Seandainya iblis itu sudah melihat rumah ini, maka Sabungsari dan Glagah Putih akan dapat mengatasinya,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

Demikianlah, maka Ki Lurah pun berkata kepada Rara Wulan, ” Nah, bersiaplah. Kau akan menghadap ayah dan ibumu besok, tidak dengan pakaian seperti itu. Kau harus datang sebagai seorang gadis. Jika kau datang dengan ujud seperti itu, ibumu akan dapat pingsan karenanya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baik Kek. Aku akan berbenah diri. Namun segala sesuatunya Kakek akan bertanggung jawab. Kakek tahu sikapku menghadapi kemauan Ayah dan Ibu.”

“Ya,” berkata Ki Lurah Branjangan, “aku akan bertanggung jawab. Karena itu, kau harus mengatakan apa yang ada di dalam hatimu tanpa ada yang disembunyikan. Jika kau terbuka, maka persoalanmu akan cepat dapat diselesaikan.”

Rara Wulan menganggu-angguk. Sementara Ki Lurah pun berkata, “Baiklah. Beristirahatlah Wulan. Kau harus menenangkan hatimu. Jangan menemui kedua orang tuamu dengan hati yang tegang. Jika demikian, maka sebelum kau berbicara apapun juga, sikapmu telah memberikan kesan-kesan yang kurang wajar.”

Rara Wulan mengangguk kecil. Sementara Ki Lurah berkata, “Beristirahatlah. Sementara Glagah Putih biar duduk di sini bersamaku barang sebentar.”

Rara Wulan berpaling ke arah Glagah Putih. Namun iapun kemudian telah beringsut dan meninggalkan ruangan itu, sementara Glagah Putih tinggal di ruangan itu bersama Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga.

Sepeninggal Rara Wulan, Ki Lurah Branjangan berkata, “Aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu Ngger.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Aku merasa berkewajiban untuk membantu Ki Lurah.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata hanya Angger yang mampu meluluhkan hatinya yang mengeras seperti batu karang.”

“Aku mencoba meyakinkannya, bahwa ia memang perlu bertemu dengan kedua orang tuanya,” jawab Glagah Putih.

“Baiklah,” berkata Ki Lurah, “besok aku akan membawa Rara Wulan meninggalkan tempat ini di bawah perlindungan Ki Jayaraga. Kau dan Sabungsari sebaiknya tidak meninggalkan rumah ini,” pesan Ki Lurah.

“Ya Ki Lurah,” jawab Glagah Putih.

Ki Lurah masih mengangguk-angguk. Namun dengan sendat ia berkata, “Glagah Putih. Baiklah aku ingin bertanya kepadamu. Seperti aku berharap Rara Wulan berterus terang kepada kedua orang tuanya, akupun ingin mendengar pengakuanmu tentang hubunganmu dengan Rara Wulan.”

Wajah Glagah Putih menjadi berkerut. Sementara Ki Lurah berkata, “Gurumu akan menjadi saksi kata hatimu itu, Glagah Putih.”

“Apa yang Ki Lurah maksudkan?” bertanya Glagah Putih.

“Hubunganmu, dengan Rara Wulan,” ulang Ki Lurah.

“Kami adalah anggota kelompok Gajah Liwung, sehingga rasa-rasanya kami bagaikan saudara sendiri,” jawab Glagah Putih.

“Hanya itu?” desis Ki Lurah. Suaranya pun kemudian menurun. Katanya, “Aku akan mengantar Rara Wulan bertemu dengan kedua orang tuanya. Karena itu, aku harus mempunyai bekal yang cukup untuk ikut membantu Rara Wulan menyampaikan perasaannya dengan terbuka. Satu hal yang jarang, bahkan hampir tidak pernah dilakukan oleh gadis-gadis sebayanya. Pada umumnya, gadis sebayanya hanya akan menundukkan kepalanya jika kedua orang tuanya menyebut nama seorang laki-laki bakal suaminya. Bahkan dalam keadaan tidak seimbang sekalipun. Seandainya laki-laki yang oleh kedua orang tuanya ditentukan menjadi bakal suaminya itu umurnya setua ayahnya sekalipun, maka gadis itu tidak akan dapat menolak.” Ki Lurah itu berhenti sejenak. Lalu katanya selanjutnya, “Tetapi besok Rara Wulan akan bersikap lain. Ia tidak hanya sekedar menundukkan kepalanya dengan air mata yang menitik, tetapi Rara Wulan akan mengatakan dengan terbuka apa yang terbersit di hatinya. Jika hal itu menyangkut Angger Glagah Putih, apa yang sebaiknya aku katakan? Apakah aku harus mengatakan bahwa kau tidak ada hubungan apa-apa dengan Rara Wulan, selain kalian sama-sama anggota kelompok Gajah Liwung?”

Keringat dingin mulai membasahi punggung anak muda itu. Namun ia tidak sampai hati membiarkan Rara Wulan terdorong ke dalam satu sikap yang tanpa mendapat dukungan dari pernyataannya.

Karena itu, maka Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Ki Lurah. Apa boleh buat. Biarlah aku berterus terang, sebagaimana Rara Wulan akan berterus terang kepada kedua orang tuanya. Sebenarnyalah bahwa aku dan Rara Wulan telah terlibat ke dalam satu ikatan batin yang telah mencengkam kami selama ini. Tetapi kami tidak sempat untuk mengatakannya.”

Ki Lurah tersenyum sambil menggeleng, “Kalian tidak perlu mengatakan apa-apa di antara kalian. Tetapi jika hati kalian telah berpaut, maka tatapan muka kalian akan lebih berarti dari kata-kata yang meloncat dari bibir kalian.”

Ki Jayaraga tersenyum sambil berkata, “Itulah yang pernah dilakukan oleh Ki Lurah.”

Ki Lurah tertawa pendek sambil menyahut, “Kita memang pernah muda.”

Glagah Putih justru menunduk semakin dalam. Sementara Ki Lurah pun kemudian berkata, “Baiklah Glagah Putih. Aku memerlukan pengakuanmu. Dengan demikian maka langkah yang akan aku ambil besok menjadi pasti.”

Glagah Putih tidak menjawab.

“Nah, jika demikian semuanya sudah jelas bagiku. Sekarang sebaiknya kau beristirahat. Bukankah kau baru saja bertempur melawan Podang Abang?” bertanya Ki Lurah.

“Baik Ki Lurah,” jawab Glagah Putih, yang memang merasa semakin tegang. Jika ia harus duduk di tempat itu beberapa lama lagi, maka ia akan dapat menjadi pening.

Karena itu, Glagah Putih pun segera bergeser dan meninggalkan ruang dalam. Ketika ia menuju ke serambi, maka dilihatnya Sabungsari telah membenahi dirinya. Nampaknya ia telah mandi dan berganti pakaian.

Ketika Sabungsari melihat Glagah Putih mendekatinya, Sabungsari tersenyum sambil berkata, “Mandilah. Kau akan menjadi segar kembali.”

Glagah Putih mengangguk sambil tersenyum. “Ya. Aku akan mandi, berganti pakaian dan tidur.”

Hari itu, kelompok Gajah Liwung itu memang tidak mempunyai kegiatan apapun juga. Namun dengan demikian maka Rara Wulan justru selalu merenungi dirinya sendiri.

“Kenapa aku tidak dilahirkan sebagai seorang laki-laki?” pertanyaan itu memang terdengar di hatinya. Namun ketika hal itu dikatakannya kepada Glagah Putih menjelang sore hari, Glagah Putih berkata, “Kau harus mensyukuri kodratmu sebagai seorang perempuan. Kau tidak boleh menggugat Yang Maha Pencipta.”

Rara Wulan termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengangguk lemah.

Sementara itu Glagah Putih berkata selanjutnya, “Yang Maha Agung telah menitahkan laki-laki dan perempuan dengan segala macam kelebihan dan kekurangan-kekurangannya. Namun keduanya akan dapat saling mengisi sehingga dalam kebulatan hidupnya, laki-laki dan perempuan akan menjadi satu, sehingga akan menjadi pilar-pilar penjaga kelangsungan hidup jenis manusia. Itulah sebabnya, apakah ia dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan tentu tidak ada bedanya, karena bersama-sama akan mengemban tugas-tugas kehidupan menurut garis kodratnya masing-masing.”

Rara Wulan menundukkan kepalanya. Namun kemudian ia mengangguk kecil. Ternyata anak muda itu tidak hanya mampu menghitung batu di pliridannya atau membenamkan diri di dalam lumpur. Tetapi juga mempunyai wawasan ke depan tentang kehidupan.

Ketika kemudian malam turun dan Rara Wulan telah berada di dalam biliknya, maka ia mulai berangan-angan tentang dirinya sendiri. Ia mulai membayangkan wajahnya yang dilihatnya di permukaan air yang bening di blumbang. Atau jika sekali-sekali ia berjongkok berlama-lama di atas jembangan dengan airnya yang diam bagaikan membeku.

Sekali-sekali Rara Wulan mengamati tubuhnya yang mulai berkembang. Sebagai seorang gadis yang meningkat dewasa serta diwarnai dengan gejolak jiwanya yang bagaikan meronta-ronta, maka Rara Wulan adalah seorang gadis yang tumbuh dengan subur dan padat. Latihan-latihan olah kanuragan serta tingkah lakunya yang tidak ubahnya seperti seorang laki-laki muda, telah membuatnya menjadi seorang gadis yang tegar.

Ketika ia kemudian berbaring, maka yang membayang adalah anak muda yang hidup di Tanah Perdikan Menoreh sebagai seorang petani. Namun yang memiliki ilmu yang sangat tinggi serta pengetahuan yang memadai. Ia bukan saja seorang petani kebanyakan, tetapi sepupunya juga seorang Tumenggung. Sedang sepupunya yang lain, yang juga sebagai gurunya, telah mulai dengan tugas-tugas keprajuritannya pula. Meskipun mula-mula tidak lebih dari seorang lurah prajurit, tetapi ia langsung mendapat kepercayaan untuk memimpin Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Rara Wulan memang juga membayangkan beberapa orang anak muda yang lain. Seorang di antaranya adalah orang yang terdekat dengan ayahnya, yang juga bekerja di istana sebagai seorang Lurah Pelayan Dalam. Perlahan-lahan pangkat dan jabatannya tentu akan merambat pula, sehingga pada suatu saat ia akan dapat menjadi Tumenggung pula sebagaimana ayahnya dan ayah anak muda itu.

Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak tertarik kepadanya. Bahkan seandainya saat itu ia sudah seorang Tumenggung.

Seorang lagi anak muda yang memang agak dekat padanya sebagai kawan bermain. Tetapi demikian anak itu berada di dalam kelompok Macan Putih, maka sikapnya semakin tidak disukainya. Di samping kemanjaannya sejak kanak-kanak, maka bersama-sama dengan kelompoknya ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela. Tuak dan judi. Bahkan berhubungan dengan perempuan yang tidak sepantasnya. Yang lebih buruk lagi, kadang-kadang terlibat dalam kejahatan pula.

Sedangkan laki-laki yang lain, seorang yang merasa dirinya anak seorang pemimpin yang berkuasa. Yang lain lagi, laki-laki muda yang tampan tetapi cengeng dan tidak mempunyai sikap sama sekali.

Di antara sekian banyak laki-laki muda yang pernah dikenalnya atau diperkenalkan oleh ayahnya, maka yang paling baik bagi Rara Wulan adalah Glagah Putih. Seorang anak muda dari padesan. Namun yang ternyata memiliki beberapa kelebihan dari anak muda yang lain.

Dengan demikian Rara Wulan sudah bertekad untuk mengatakan dengan terbuka kepada ayah dan ibunya. Ia berharap bahwa kakeknya akan membantunya. Ia akan menolak dengan tegas jika ayahnya akan memaksakan sebuah nama untuk bakal suaminya. Agaknya anak muda yang paling dekat dengan ayahnya adalah anak muda yang kemudian telah bekerja pula di istana itu.

“Apakah cacatnya?” tiba-tiba saja sebuah pertanyaan telah muncul, seolah-olah ayah dan ibunya-lah yang bertanya kepadanya.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu memang tidak seburuk anak-anak muda lain, yang dikenalnya dan yang sepengetahuannya menaruh hati kepadanya. Bahkan mungkin sudah datang melamarnya lewat orang tuanya. Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak tertarik kepadanya. Ia memiliki kesungguhan dalam melakukan tugas-tugasnya. Bahkan menurut ayahnya yang sering didengarnya, anak itu termasuk anak muda yang cekatan. Cakap dan cepat tanggap akan tugas-tugasnya.

Tetapi menurut Rara Wulan, anak muda itu adalah salah satu ujud dari seorang yang berjalan menunduk sepanjang jalur jalan yang telah banyak dilalui orang lain. Begitu-begitu saja, tanpa ada gejolak sama sekali. Tanpa ada tantangan yang harus dijawabnya, dan tanpa ada cuatan-cuatan peristiwa di dalam hidupnya.

“Terlalu datar,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. “Satu langkah kehidupan yang tentu akan sangat menjemukan. Setiap hari aku akan berada di dapur. Masak, menyediakan makan dan minum dengan baik, memijitnya jika ia merasa letih, berjalan-jalan mengunjungi orang tua, dan kemudian tenggelam di belakang pintu bilik.”

Rara Wulan menggeleng lemah. Katanya, “Tidak. Tidak.”

Namun Rara Wulan berhasil menahan gumamnya, sehingga tidak terdengar dari luar biliknya.

Namun kemudian Rara Wulan itu sempat pula membayangkan kehidupan Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah tidak melupakan tugas-tugasnya sebagai seorang istri, bekerja di dapur, mencuci pakaian dan membersihkan perabot rumah, tetapi di dalam irama hidupnya terasa adanya warna yang lain yang membumbui kehidupannya itu. Memang terasa tenang dan tenteram. Tetapi terasa pula adanya gerak dan gejolak, meskipun masih dalam keseimbangan irama hidupnya.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Niatnya yang bulat dapat membuat hatinya menjadi sedikit tenang, sehingga beberapa saat kemudian gadis itu sudah tertidur nyenyak.

Dalam pada itu, Glagah Putih tidak segera dapat tidur. Ia mulai membayangkan satu tingkat kehidupan baru dalam garis perjalanan hidupnya. Jika ia banar-benar harus menyelesaikan persoalannya dengan Rara Wulan sampai tuntas, itu berarti saat-saat pernikahan akan tiba.

“Apakah kau sudah siap?” pertanyaan itu membebani perasaannya. Meskipun Glagah Putih tahu bahwa bahwa pernikahan itu tidak harus dilaksanakan esok atau lusa, tetapi ia harus benar-benar mempersiapkan diri jauh sebelumnya.

Glagah Putih mulai membayangkan kehidupan kakak sepupunya Agung Sedayu. Untara sempat merasa kecewa karena sikapnya. Jika saja Panembahan Senapati tidak langsung, bahkan hampir secara pribadi, menunjuknya menjadi pemimpin Pasukan Khusus Mataram di tanah Perdikan Menoreh, mungkin Agung Sedayu masih belum menempatkan diri dalam jajaran keprajuritan Mataram. Sedangkan kakak sepupunya itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bahkan termasuk tataran tertinggi di antara para senapati di Mataram.

Namun akhirnya Glagah Putih harus berusaha meletakkan kegelisahannya jika ia ingin benar-benar tidur untuk beristirahat malam itu.

Pranawa yang mendapat giliran untuk berjaga-jaga, duduk di ruang dalam sambil mengusap ukiran kerisnya dengan angkup kluwih, sehingga ukiran kerisnya semakin mengkilap. Ada beberapa butir permata pada ukiran kerisnya, sehingga kerisnya itu memang sebilah keris yang mahal. Bukan saja karena nilai besinya yang tinggi serta buatannya yang sangat baik.

Sementara itu, Rumeksa yang menggantikan Pranawa itu pun telah keluar dan turun di halaman. Berjalan dalam kegelapan mengitari rumah yang mereka huni, untuk meyakinkan bahwa tidak ada bahaya yang mengintai mereka.

Malam lewat tanpa persoalan. Pagi-pagi benar Rara Wulan telah mandi, paling awal sebagaimana dilakukannya sehari-hari. Baru kemudian anggota Gajah Liwung yang lain, termasuk Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga pun telah berbenah diri pula. Mereka akan meninggalkan rumah Ki Makerti di Sumpyuh untuk pergi ke Mataram.

“Kita akan berangkat sebelum matahari terbit,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Namun ternyata bahwa orang tua yang menunggui rumah itu, bersama dengan Rara Wulan, telah sempat menyediakan makan pagi bagi mereka.

Demikian, setelah Ki Lurah Branjangan, Ki Jayaraga dan Rara Wulan sendiri makan dan minum minuman panas, mereka segera meninggalkan sarang anggota Gajah Liwung itu untuk pergi ke Mataram

Di perjalanan, ternyata mereka tidak menjumpai hambatan apapun juga, sehingga dengan selamat sampai ke rumah anak dan menantu Ki Lurah Branjangan.

Adalah kebetulan bahwa menantu Ki Lurah Branjangan tidak ada di rumah karena tugasnya, sehingga mereka tidak segera berbicara tentang Rara Wulan.

“Kenapa Ayah begitu tergesa-gesa?” bertanya anak perempuan Ki Lurah Branjangan.

“Aku mempunyai perlu yang lain hari ini. Besok aku harus berada di Tanah Perdikan kembali,” jawab Ki Lurah.

“Jika demikian, sebaiknya Ayah menyelesaikan keperluan Ayah lebih dulu. Baru kemudian Ayah berbicara tentang Rara Wulan,” berkata anak perempuannya.

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Kepada Rara Wulan iapun bertanya, “Kau menunggu aku di sini Wulan? Hanya sebentar.”

“Aku ikut bersama Kakek,” jawab Rara Wulan.

“Kau di sini Wulan. Ibu sudah sangat rindu kepadamu,” desis ibunya.

Tetapi jawaban Rara Wulan membuat hati ibunya bergetar, “Bukankah Kakangmas Teja Prabawa ada di rumah? Kakangmas akan mengawani Ibu, dan barangkali juga mengawani Ayah.”

“Wulan,” potong kakeknya. Tetapi Rara Wulan berkata selanjutnya, “Barangkali seorang gadis memang kurang berarti di rumah ini, karena seorang laki-laki akan membahagiakan orang tuanya. Memikul kehormatan tinggi-tinggi dan menguburkan aib orang tuanya dalam-dalam. Sementara itu seorang gadis tidak lebih dari musuh di dalam pelukan.” “Siapa yang mengatakan itu Wulan?” suara ibunya menjadi serak.

“Bukankah Ayah menganggap aku sebagai musuh? Ayah pernah mengatakannya, bahwa aku adalah musuh mungguhing cangklakan,” jawab Rara Wulan.

“Wulan. Waktu itu ayahmu sedang marah. Kau harus memahami sikap serta perasaan ayahmu. Sebagai seorang gadis, kau telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kau lakukan.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Ayah sampai sekarang tentu masih marah.”

“Tidak Wulan. Ayahmu sudah tidak marah lagi,” jawab ibunya.

“Mungkin selama aku tidak ada di rumah. Tetapi jika Ayah tahu bahwa sikapku tidak berubah, maka Ayah tentu akan marah lagi,” jawab Rara Wulan, “lalu ayah akan menganggapku musuh dalam selimut. Atau bahkan duri dalam daging.”

“Tidak. Ayahmu pernah mengatakan kepadaku,” jawab ibunya.

Dalam pada itu, maka Ki Lurah Branjangan-lah yang kemudian menengahinya, “Baiklah. Aku tidak akan pergi kemana-mana.”

Tetapi Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Sebaiknya Ki Lurah memang tetap berada di sini, menunggu ayah Rara Wulan pulang. Biarlah aku saja yang minta diri. Aku akan menyelesaikan sedikit persoalan. Besok pagi-pagi aku kembali kemari.”

“Besok?” bertanya Ki Lurah, “tidak nanti sore, atau malamnya?”

“Besok pagi-pagi,” jawab Ki Jayaraga.

“Nanti malam Ki Jayaraga akan bermalam di mana?” bertanya Ki Lurah.

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Aku dapat bermalam di mana saja.”

Namun ibu Rara Wulan mencegahnya, “Nanti dulu Ki Sanak. Aku ingin menghidangkan sekedar minuman dan makanan.”

Ki Jayaraga pun tidak dapat menolak. Namun setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, iapun telah benar-benar minta diri.

Ki Lurah tidak dapat mencegahnya. Ki Lurah tahu bahwa Ki Jayaraga tidak ingin mengganggu pembicaraan keluarga itu tentang Rara Wulan. Karena itu Ki Jayaraga merasa lebih baik untuk meninggalkan mereka, meskipun ia sendiri tidak tahu di mana ia akan bermalam. Namun bagi Ki Jayaraga, bermalam bukannya satu hal yang sulit. Mungkin di rumah Ki Wirayuda, atau di rumah lain, atau bahkan di gubug-gubug sekalipun.

Rara Wulan memang kecewa bahwa kakeknya tidak jadi pergi kemanapun. Ia benar-benar merasa gelisah berada di rumah itu terlalu lama. Tetapi ia tidak memaksa kakeknya untuk pergi kemanapun dan membawanya serta.

Ketika Ki Jayaraga telah meninggalkan rumah itu, maka ibu Rara Wulan pun telah mengulangi pernyataannya tentang ayahnya, bahwa ayahnya sudah tidak marah lagi.

“Tetapi itu bukan sikap Ayah yang sebenarnya. Ayah telah sempat membuat perhitungan-perhitungan serta menilai untung ruginya,” berkata Rara Wulan.

“Kau memang aneh,” desis ibunya, “apa yang kau maui sebenarnya? Waktu ayahmu marah, maka ayahmu memang belum sempat membuat pertimbangan-pertimbangan atas dasar penalaran. Waktu itu perasaannya melonjak justru karena kau tidak bersikap sebagai gadis kebanyakan. Sikapmu tidak wajar menurut penilaian ayahmu dan menurut keterangan kakakmu. Tetapi apakah kau menganggap itu sudah cukup? Sekedar lonjakan perasaan? Sedangkan ketika ayahmu sempat merenungkannya, kau menganggap bahwa itu bukan sikap Ayah yang sebenarnya. Bukankah kau ingin mengatakan ayahmu tidak jujur terhadap sikapmu? Atau barangkali ayahmu berpura-pura?”

“Tidak,” jawab Rara Wulan, “Ayah memang tidak berpura-pura. Tetapi itu karena Ayah tidak melihat aku. Apalagi Kakangmas Teja Prabawa sudah memberikan pertimbangan-pertimbangan tertentu tentang aku, bahwa aku adalah gadis yang paling tidak menurut aturan. Pokoknya serba buruk, serba salah. Nah, jika Ayah melihat aku dan mendengar sikapku tidak berubah, maka perasaan Ayah akan melonjak lagi. Ayah akan marah lagi, akan menuding hidungku seperti waktu itu, mengatakan bahwa aku adalah musuh mungguhing cangklakan. Sebagai seorang gadis aku tidak berarti apa-apa bagi keluargaku, selain justru menjadi musuh.”

“Wulan,” potong ibunya. Mata ibunya menjadi redup. Tiba-tiba saja di pelupuknya telah mengembun air yang bening. Tetapi air mata itu tidak menitik.

Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan-lah yang menengahi lagi. “Sudahlah Wulan. Apapun yang terbersit di hatimu, kau dibatasi oleh satu hubungan tertentu antara anak dan orang tua. Bukan berarti bahwa kau tidak boleh menyatakan pendapatmu dengan terbuka. Tetapi kau harus menempuh cara yang paling baik, sesuai dengan tatanan dalam alur hubungan keluarga ini. Kau sekarang berbicara dengan ibumu. Bukan dengan kawan-kawanmu atau dengan pembantu-pembantumu.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja kepalanya menunduk. Di luar sadarnya ia telah mengusap matanya yang basah.

“Aku mohon ampun Ibu,” suara Rara Wulan merendah.

Ibunya tercenung sejenak. Namun kemudian dipeluknya anak gadisnya itu sambil berkata lirih, “Ibu dan ayahmu mencintaimu Wulan. Jika Ayah bersikap kasar, karena ayahmu mempunyai gambaran yang baik bagi masa depanmu, melalui jalan yang dirintisnya. Ayahmu ingin kau hidup bahagia.”

Yang terdengar kemudian adalah isak Rara Wulan. Sama sekali tidak mencerminkan sikap anggota kelompok Gajah Liwung yang keras dan tabah.

Ki Lurah Branjangan hanya dapat menarik nafas panjang, la tidak mengganggu gejolak perasaan Rara Wulan dan ibunya. Keduanya memang saling mencintai, sebagaimana ayah Rara Wulan juga mencintai anak gadisnya. Tetapi pada suatu saat jalan mereka ternyata sampai di persimpangan.

Ketika tangis Rara Wulan mereda, maka Ki Lurah pun berkata, “Beristirahatlah Wulan. Tidurlah, agar hatimu menjadi tenang. Kita menunggu ayahmu pulang. Aku tidak akan pergi kemana-mana.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Tetapi gadis itu memang tanggap. Sebagai gadis yang tumbuh dewasa, maka ia tahu apa yang sebaiknya dilakukan saat itu.

Karena itu, maka Rara Wulan pun kemudian minta diri kepada ibu dan kakeknya untuk pergi ke biliknya.

Di dalam biliknya Rara Wulan sempat mengamati benda-benda yang sudah agak lama ditinggalkannya. Semuanya masih berada di tempatnya. Bahkan masih ada sisa mangir yang berada di sebuah mangkuk di geledegnya.

Namun semuanya nampak bersih dan terawat. Yang berada di bagian bawah geledagnya masih ada di tempatnya dengan beberapa macam benda yang ditinggalkannya. Dlupak dari tembikar yang disaput perak masih juga berada di ajuk-ajuknya. Dua buah cemara masih tergantung di dinding. Namun kedua buah cemara itu sama sekali tidak berdebu. Nampaknya setiap hari cemara itu telah disisir rapi dan digantungkan kembali ke tempatnya.

Rara Wulan meraba rambutnya. Rambutnya memang tidak terlalu lebat meskipun cukup panjang, sehingga ia memerlukan cemara jika ia mengenakan sanggul.

Dalam keadaan yang demikian, terasa kerinduannya kepada keluarganya. Saat-saat mereka duduk di pendapa sambil berbincang di sore hari. Mengamati orang-orang lewat di depan pintu regol yang terbuka. Serta mendengarkan kicau burung yang tergantung di tiang-tiang bambu di halaman.

Ayah Rara Wulan tidak begitu senang memelihara burung perkutut. Tetapi ia lebih senang memelihara burung yang berkicau lantang. Di sudut halaman rumahnya terdapat dua buah kandang bekisar yang berhasil ditetaskan di antara ayam peliharaannya.

Dalam pada itu, demikian Rara Wulan pergi ke biliknya, Ki Lurah berkata dengan nada rendah, “Anak itu tidak bersalah.”

“Ayah akan mengatakan bahwa ayahnya yang bersalah,” sahut anak perempuan Ki Lurah itu.

“Kau menganggap begitu?” bertanya Ki Lurah.

“Aku mencoba mengaitkan pendapat Ayah terhadap sikap ayahnya selama ini. Nampaknya ada semacam penyesalan, meskipun tidak dalam keseluruhan,” berkata anak perempuannya.

“Ah,” desah Ki Lurah, “kau salah mengartikan sikapku. Aku tidak menyesal sama sekali. Aku telah berbuat yang sebaik-baiknya bagi Rara Wulan. Jika aku tidak membawanya mengembara, maka apa jadinya dengan anakmu itu? Sikapnya yang keras telah mendapat penyaluran dalam pengembaraannya. Tetapi jika ia tetap berada di rumah ini, ia akan mengalami tekanan jiwa tanpa dapat menumpahkannya dengan cara apapun juga. Jika pada satu saat ia tidak mampu lagi memikul beban itu, maka ia akan mencari penyelesaian dengan cara apapun juga. Bahkan mungkin dengan cara yang paling buruk sekalipun. Bunuh diri.”

“Ayah,” potong anak perempuan Ki Lurah itu. “Ayah jangan menakut-nakuti.”

“Kau mau mencoba? Lakukan. Tahan anak itu di rumah dengan paksa. Aku berani bertaruh, ia akan memilih satu di antara dua. Meninggalkan rumah ini tanpa pamit, atau membunuh diri,” jawab Ki Lurah. “Jangan berharap bahwa anak itu akan menerima keputusan kalian, jika keputusan kalian itu tidak disetujuinya. Kau dapat saja menuding aku dan mengatakan bahwa aku-lah yang telah membuat anak itu keras kepala. Tetapi menurut pendapatku, aku justru mencarikan saluran yang dapat mengalirkan gejolak perasaannya yang menekan dinding jantungnya.”

Ibu Rara Wulan itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Lurah Branjangan kemudian telah bertanya, “Apa sebenarnya yang ingin kau katakan kepada Rara Wulan? Aku telah bertemu dengan ayahnya di Tanah Perdikan Menoreh. Menurut keterangannya, ia tidak akan berbuat tanpa persetujuan Rara Wulan dalam persoalan jodohnya nanti.”

Ibu Rara Wulan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian meskipun agak ragu, “Jika Wulan bukan seorang gadis yang keras kepala, maka ia tentu sudah mendapat tempat yang baik di dalam hidupnya. Ada beberapa nama yang pantas untuk menjadi jodohnya. Dipandang dari segi lahiriah maupun sikap batinnya, anak muda itu bukan saja anak seorang yang berpangkat dan kaya raya. Tetapi anak muda itu sendiri sudah memiliki pangkat dan jabatan yang cukup mapan. Sedangkan anak muda yang lain, mempunyai harapan bagi hari depannya yang cerah. Ia satu-satunya anak dalam keluarganya, sementara itu sawah dan ladangnya terbentang menyelimuti ngarai yang sangat luas. Tanah yang subur, yang sanggup menghasilkan padi dua kali setahun. Seorang lagi sedang merintis jaringan pemasaran bagi barang-barang dagangannya yang mahal, karena ayahnya adalah seorang saudagar yang mempunyai darah jelajah sangat luas sampai ke pesisir utara.”

“Tetapi bukankah ayah Rara Wulan belum pernah mengiyakan semuanya itu?” bertanya Ki Lurah.

Ibu Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Semuanya memang harus dipikirkan baik-baik. Tetapi apa yang dirintis oleh ayahnya adalah semata-mata untuk kebaikan Rara Wulan.”

“Maksudmu di antaranya Lurah Pelayan Dalam itu?” berkata Ki Lurah.

“Ia adalah anak muda yang baik,” jawab anak perempuannya.

Ki Lurah tidak menjawab. Ia ingin berbicara langsung dengan ayah Rara Wulan. Ia ingin mengatakan bahwa sebaiknya kedua orang tua Rara Wulan mendengarkan pendapat anak gadisnya itu.

Keduanya untuk beberapa saat saling berdiam diri. Namun kemudian Ki Lurah berkata, “Aku akan ke pakiwan.”

Ki Lurah pun kemudian meninggalkan anak perempuannya duduk termangu-mangu. Sebenarnyalah ibu Rara Wulan itu pun menjadi gelisah. Ia ingin anak gadisnya seperti anak gadis yang lain. Patuh kepada orang tua. Tidak pernah menolak petunjuk-petunjuk yang akan dapat membahagiakan hidupnya kelak.

Tetapi Ki Lurah tidak segera masuk kembali. Ia duduk di sebuah lincak bambu di longkangan. Angin yang semilir mengusap keningnya yang telah berkerut oleh garis-garis umur.

Ki Lurah kemudian terkejut ketika ia mendengar derap kaki kuda. Seorang pelayan di rumah itu berlari-lari menyongsong dan kemudian menerima kendali kuda itu.

Ternyata yang datang adalah menantu Ki Lurah Branjangan.

Sejenak kemudian Ki Lurah pun telah diminta untuk duduk di ruang dalam. Tetapi menantunya tidak segera berbicara tentang anaknya. Ia minta Ki Lurah Branjangan untuk makan dahulu bersama-sama.

“Dimana Wulan?” bertanya menantu Ki Lurah itu.

“Ia berada di dalam biliknya,” jawab ibu Rara Wulan.

Menantu Ki Lurah itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ajak anak itu makan.”

Ibu Rara Wulan termangu-mangu. Tidak biasanya Rara Wulan diajak makan bersama-sama jika ada tamu di rumah itu. Tetapi karena tamunya kakeknya sendiri, maka agaknya ayah Rara Wulan tidak berkeberatan untuk mengajak anaknya makan bersama-sama.

Namun ia masih juga bertanya, “Apakah Teja Prabawa tidak ada di rumah?”

“Tidak,” jawab ibu Rara Wulan, “ia pergi sejak pagi.”

“Kemana?” bertanya ayahnya.

“Katanya, dan menurut perlengkapan yang dibawanya, ia akan pergi berburu bersama beberapa orang kawannya,” jawab ibunya.

Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita makan lebih dahulu.”

Rara Wulan semula memang berkeberatan ketika ibunya mengajaknya untuk makan bersama. Tetapi kemudian karena ibunya memaksanya, maka Rara Wulan pun telah ikut pula makan bersama ayah, ibu dan kakeknya, meskipun ia selalu menundukkan kepalanya serta merasa terlalu sulit untuk menelan nasi lewat kerongkongannya.

Tetapi satu hal yang terasa berbeda pada ayahnya. Ayahnya nampak lebih ramah kepadanya.

“Tetapi aku tidak tahu apa yang akan dikatakannya nanti,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya.

Ternyata bahwa ayah Rara Wulan itu tidak merasa terlalu tergesa-gesa untuk berbicara tentang anak gadisnya. Setelah mereka selesai makan, ayah Rara Wulan membawa Ki Lurah duduk di serambi sambil berbicara tentang berbagai macam burung peliharaannya.

“Aku tidak begitu suka burung perkutut,” berkata menantunya.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Ki Lurah sendiri tidak mempunyai seekor burung peliharaan pun. Apalagi Ki Lurah sampai usianya yang semakin tua itu, masih jarang berada di rumah untuk waktu yang panjang berturut-turut.

“Ayah akan berada di rumah ini untuk berapa hari?” tiba-tiba saja ayah Rara Wulan itu bertanya.

“Besok aku minta diri,” jawab Ki Lurah, “aku harus segera kembali ke Tanah Perdikan. Aku harus mendampingi Angger Agung Sedayu untuk beberapa bulan.”

“Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya menantunya.

“Ya. Pemimpin prajurit di barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan,” jawab Ki Lurah.

“Aku pernah mendengar namanya dan pernah melihat orangnya,” berkata menantunya, “setidak-tidaknya saat ia diwisuda.”

“Ya,” jawab Ki Lurah.

“Tetapi aku belum mengenal orangnya. Bukankah ia diangkat menjadi Senapati Pasukan Khusus itu dengan pangkat Lurah?” bertanya menantunya pula.

“Ya,” jawab Ki Lurah, “meskipun pengetahuan dan kemampuan Agung Sedayu setingkat dengan kakaknya yang telah diwisuda menjadi Tumenggung. Bahkan dalam olah kanuragan agaknya ia memiliki kelebihan.”

Menantunya menarik nafas dalam-dalam. Iapun merasa bahwa ia juga sudah menjadi Tumenggung. Bahkan seolah-olah mertuanya itu ingin mengatakan bahwa Agung Sedayu mempunyai kelebihan dari tumenggung-tumenggung yang lain pula, termasuk dirinya.

Tetapi ayah Rara Wulan masih dapat menahan diri untuk tidak mempersoalkannya, meskipun terasa juga sedikit gejolak di dalam hatinya.

Namun ayah Rara Wulan itu masih juga bertanya, “Apakah Agung Sedayu masih perlu didampingi orang lain?”

“Ya,” jawab Ki Lurah, “meskipun orang itu memiliki beberapa kelebihan, namun ia sama sekali tidak berpengalaman dalam tata keprajuritan. Karena itu, ia memerlukan seorang penasehat.”

Ayah Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan tugas Ayah segera dapat diselesaikan. Dengan demikian maka Ayah akan mempunyai banyak waktu untuk beristirahat.”

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Aku masih memerlukan kesibukan di dalam hidupku. Aku masih ingin mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu, serta menyatakan bahwa hidupku yang tersisa itu masih berarti buat orang banyak. Jika tidak demikian, serta aku merasa bahwa sisa hidupku sudah tidak berarti lagi, maka rasa-rasanya senja sudah menjadi semakin gelap.”

“Ah, tentu tidak,” jawab menantunya, “hidup dan mati, bukan persoalan kita.”

“Jika aku sudah merasa tidak berguna lagi, meskipun jasadku masih dapat dianggap hidup, tetapi aku tentu merasa bahwa aku sudah mati,” jawab Ki Lurah.

Menantunya juga tersenyum. Katanya, “Jangan ditarik benang terlalu panjang, sehingga merentang sampai ke ujung gagasan yang mendebarkan.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Seharusnya aku tidak berbicara tentang hal itu. Sebenarnyalah aku datang untuk mengantarkan Rara Wulan. Bukankah kau ingin berbicara dengan gadis itu?”

“Bukankah tidak perlu tergesa-gesa? Besok atau lusa atau kapan saja. Aku menunggu satu suasana yang paling baik untuk berbicara dengan Rara Wulan,” berkata ayah Rara Wulan itu.

Tetapi Ki Lurah menggeleng. Katanya, “Jangan. Jangan kau tunda-tunda lagi. Aku minta kau berbicara dengan gadis itu selagi aku masih ada di sini. Ia akan merasa mempunyai setidak-tidaknya seorang kawan.”

“Untuk apa seorang kawan? Apakah ia terperosok ke dalam satu lingkungan yang memusuhinya?” bertanya ayah Rara Wulan itu. Lalu katanya pula, “Atau setidak-tidaknya ke dalam satu lingkungan yang asing sekali baginya?”

“Ya,” jawab Ki Lurah, “ia memang sudah merasa asing di antara keluarganya sendiri. Aku akan mencoba menjadi jembatan antara kau dan istrimu dengan Rara Wulan.”

“Ayah, Rara Wulan memang benar-benar telah meninggalkan kami. Jika kehadiran Ayah dalam pembicaraan kami dengan Rara Wulan dapat memberikan akibat yang baik, maka kami akan sangat berterima kasih.”

“Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku?” sahut Ki Lurah Branjangan.

“Baiklah. Jika demikian, malam nanti kita akan berbicara,” sahut ayah Rara Wulan.

Ki Lurah mengangguk kecil. Sebenarnya ia ingin pembicaraan itu segera dilakukan, sehingga pekerjaannya segera selesai. Tetapi ia tidak dapat memaksa ayah Rara Wulan itu untuk berbicara saat itu juga. Nampaknya ia masih lelah setelah menunaikan tugas-tugasnya hari itu.

Saat menunggu memang terasa lama sekali. Ketika ayah Rara Wulan itu kemudian pergi ke pakiwan untuk mandi dan berbenah diri, maka rasa-rasanya hari-harinya berjalan sangat lamban.

Namun akhirnya setelah semuanya mendapat giliran pergi ke pakiwan dan bahkan setelah makan malam, ayah Rara Wulan telah minta seluruh keluarga yang ada untuk berkumpul.

Namun dalam pada itu, ibu Rara Wulan masih memperingatkan, “Teja Prabawa masih belum datang.”

“Apakah kita akan menunggunya?” bertanya ayahnya.

“Kita tunggu sesaat. Biasanya ia datang lewat senja. Agaknya ia sedikit terlambat,” desis ibunya.

“Anak itu tidak pernah mendapat binatang buruan. Tetapi ia tidak jemu-jemu pergi berburu. Kadang-kadang aku ingin tahu, apakah anak itu benar-benar pergi berburu,” desis ayahnya.

Ki Lurah menjadi gelisah. Apalagi Rara Wulan. Namun Rara Wulan benar-benar bulat hatinya untuk mengatakan perasaannya sejujur-jujurnya, apapun tanggapan kedua orang tuanya.

“Biarlah ia menyusul,” berkata ayah Rara Wulan, setelah mereka menunggu beberapa saat sambil meneguk minuman panas.

Ibunya tidak mencegah lagi. Memang kadang-kadang anak muda itu pulang jauh malam. Bahkan sekali-sekali ia pulang lewat tengah malam.

“Kau telah menghamburkan waktumu dengan sia-sia” beberapa kali terdengar ayahnya menegurnya. Tetapi anak itu masih saja melakukannya bersama dengan beberapa orang kawan-kawannya.

Dalam pada itu, ayah Rara Wulan itu pun kemudian berkata, “Ayah. Aku telah mendapat anugrah nama dalam kedudukanku yang baru.”

“O,” Ki Lurah mengangguk-angguk, “siapa namamu sekarang?”

“Aku telah diperkenankan mempergunakannya sejak sepekan yang lalu. Aku sekarang bergelar Ki Tumenggung Purbarumeksa,” berkata ayah Rara Wulan sambil mengangkat wajahnya.

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengucapkan selamat. Sekarang aku benar-benar mempunyai menantu seorang Tumenggung.”

“Mudah-mudahan dapat membuat keluargaku semakin sejahtera lahir dan batin,” sahut ayah Rara Wulan.

“Tentu,” jawab Ki Lurah Branjangan.

“Ke arah itulah aku ingin berbicara dengan ayah dan Rara Wulan,” suara Ki Tumenggung itu merendah. “Aku ingin keluargaku, bukan hanya sekarang tetapi juga saat-saat mendatang, akan menemukan kebahagiaan hidup.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah Rara Wulan. Namun gadis itu menundukkan wajahnya.

Sejenak suasana menjadi hening. Ki Lurah Branjangan menunggu apa yang akan dikatakan oleh ayah Rara Wulan itu.

“Ayah,” berkata Ki Tumenggung itu kemudian, “aku menunggu kesempatan ini. Aku ingin berbicara dengan Rara Wulan tentang masa depannya. Ia sudah menginjak dewasa. Sepantasnya ia sudah mulai berpikir tentang satu kemungkinan baru dalam jenjang kehidupan. Ia sudah pantas untuk berkeluarga.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Aku tidak mengada-ada Ayah,” berkata ayah Rara Wulan, “sudah ada beberapa orang yang telah datang mempertanyakan kemungkinan untuk dapat merintis pembicaraan tentang anak laki-lakinya yang merasa tertarik kepada Rara Wulan. Bukankah itu wajar? Bukankah wajar jika aku kemudian menyampaikannya kepada Rara Wulan?”

Ki Lurah Branjangan masih saja mengangguk-angguk. Ternyata ayah Rara Wulan belum mengatakan salah seorang di antara anak-anak muda yang pernah datang melamar cucunya.

Baru kemudian Ki Tumenggung itu berkata, “Rara Wulan. Aku berpendapat, bahwa kau adalah seorang gadis. Seperti gadis kebanyakan, kau akan menjalani masa-masa remajamu saat memasuki usia dewasa, sebagaimana gadis-gadis yang lain. Pada suatu saat, maka seorang gadis akan menempatkan diri ke dalam dunianya menjelang masa-masa perkawinannya. Tinggal di rumah, belajar mengerjakan pekerjaan seorang perempuan yang baik, yang akan dapat menjadi seorang ibu yang baik pula.”

Darah Rara Wulan mulai terasa menghangat. Sekali lagi Ki Lurah Branjangan memandang cucunya sekilas. Namun Rara Wulan yang menjadi berdebar-debar itu masih saja menundukkan kepalanya.

Sementara itu ibu Rara Wulan juga duduk sambil menunduk. Ia tidak ingin mencampuri kata-kata suaminya, meskipun ia merasakan perbedaan nada bicara suaminya itu.

Untuk sejenak suasana memang menjadi hening, meskipun jantung Rara Wulan terasa berdebar semakin cepat. Ki Lurah Branjangan pun menjadi berdebar-debar pula mendengar kata-kata ayah Rara Wulan itu.

Karena tidak ada yang menyahut, maka ayah Rara Wulan itu pun berkata pula, “Tetapi ternyata Rara Wulan tidak kerasan tinggal di rumah. Ia lebih senang pergi keluar untuk melihat cakrawala yang terbentang dari ujung sampai ke ujung bumi.” Ki Tumenggung Purbarumeksa berhenti sejenak. Kemudian iapun melanjutkan, “Namun justru karena itu maka aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Rara Wulan. Sehingga dengan demikian maka aku tidak pernah tahu dengan pasti kemauannya yang sebenarnya.”

Hampir di luar sadarnya Rara Wulan berkata, “Ayah tidak pernah berniat berbicara dengan aku. Setiap kali Ayah hanya memberitahukan keinginan Ayah kepadaku.”

“Ya. Sudah tentu dengan satu keinginan untuk mendapatkan tanggapanmu. Tetapi setiap kali Ayah mengatakan kepadamu bahwa kau sudah menjadi dewasa, wajahmu segera menjadi gelap. Bahkan kau lebih senang mencari kesempatan untuk menghindar. Tetapi kau tidak pernah memberikan isyarat apapun tentang keinginanmu yang sebenarnya,” berkata Ki Tumenggung.

Rara Wulan menundukkan kepalanya. Sementara ayahnya melanjutkannya, “Dalam keadaan seperti itu, maka aku telah merintis satu pembicaraan. Memang timbul niat di dalam hatiku untuk mengambil keputusan. Seperti orang tua yang lain, aku merasa mempunyai wewenang untuk menentukan, siapakah bakal jodoh anak gadisku. Dan pilihanku telah jatuh kepada seseorang yang aku anggap paling baik. Seseorang yang memenuhi penilaian yang tinggi dari unsur-unsur keturunan, kedudukan dan kekayaan. Sikapnya pun menunjukkan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan mengerti kewajibannya.”

Wajah Rara Wulan memang menjadi tegang. Untuk mengatakan nama laki-laki itulah maka ayahnya telah memanggilnya. Laki-laki yang sudah diketahuinya siapakah namanya, siapa orang tuanya, bahkan laki-laki itu sudah dikenalnya sejak masa anak-anaknya. Tetapi laki-laki itu bukan citra seorang laki-laki pilihan baginya.

“Rara Wulan,” berkata ayahnya kemudian, “kau tentu sudah mengenal seorang anak muda yang bernama Arya Wahyudewa.”

“Untuk itukah aku harus pulang?” bertanya Rara Wulan.

“Aku ingin berbicara dengan kau Wulan,” sahut ayahnya.

“Kenapa Ayah tidak pernah mengerti perasaanku?” suara Rara Wulan makin menjadi gemetar.

“Bagaimana aku dapat mengerti kalau kau tidak pernah menyatakannya? Kau nampaknya ingin aku dapat menebaknya sendiri. Tetapi kau sudah menjadi curiga bahwa aku akan menebak lain dari yang kau maksudkan,” berkata ayahnya.

Wajah Rara Wulan menjadi merah.

“Aku memang sempat tersinggung dengan sikapmu Wulan. Aku telah mengambil keputusan bahwa aku-lah yang menentukan segala-galanya,” berkata ayahnya.

“Dan Ayah sudah mengambil satu keputusan?” desak Rara Wulan dengan mata tinggi.

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata kita berdua telah melakukan kesalahan. Kau telah merasa curiga sejak semula. Kau sudah menganggap Ayah melakukan satu kesalahan, sebelum kita pernah berbicara dan mengerti maksud kita masing-masing dengan tuntas. Sikapmu mendorong aku menentukan sikap. Tetapi sikapku itu telah mendorong kau semakin jauh dari rumah ini. Dengan demikian, maka kita tidak akan pernah dapat bertemu.”

Rara Wulan menundukkan kepalanya. Namun ada satu hal yang telah terjadi pada ayahnya. Sikap ayahnya menjadi lebih lunak dari sikapnya terdahulu. Ayahnya tidak menjadi marah dan membentak-bentaknya sebelum persoalannya menjadi jelas.

Tetapi Rara Wulan pun sempat melihat kepada dirinya sendiri. Ia ternyata memang belum pernah mengatakan dengan terbuka apa yang tersimpan di dalam hatinya.

Namun Rara Wulan berkata di dalam hatinya, “Apa yang dapat aku katakan kepada Ayah? Baru kemarin Kakang Glagah Putih mengatakan perasaannya itu kepadaku, sehingga akan dapat aku jadikan pegangan di setiap pembicaraanku dengan Ayah.”

Dalam pada itu, maka Ki Lurah pun mencoba untuk berbicara pula, “Tetapi segala sesuatunya masih belum terlambat. Kalian dapat berbicara sekarang dengan terbuka. Masing-masing tentu akan memberikan alasan atas sikapnya. Mudah-mudahan dengan demikian hati kalian bertemu. Tetapi jika sejak semula kalian telah mengeraskan hati kalian masing-masing, maka segalanya tidak akan dapat terpecahkan.”

Ki Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak akan mengingkari kesalahan yang pernah aku buat. Aku memang merasa bahwa aku berhak menentukan. Aku merasa bahwa aku mempunyai wewenang untuk memaksakan kehendakku. Apalagi aku yakin bahwa pilihanku adalah yang terbaik.” “Terbaik buat Ayah,” potong Rara Wulan.

“Tunggu Wulan,” sahut Ki Lurah, “biarlah ayahmu selesai dengan keterangannya, baru kau memberikan penjelasan atas sikapmu.”

Ayah Rara Wulan itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dengan nada rendah ia berkata, “Ya. Terbaik menurut pendapatku waktu itu. Aku bahkan yakin, tidak ada anak muda yang lain yang lebih baik dari anak itu. Karena itu, aku telah menetapkan bahwa anak muda itu harus menjadi suami Rara Wulan kelak.”

“Ayah. Apakah Ayah ingin mendengar pendapatku, atau Ayah ingin memberitahukan kepadaku bahwa Ayah ingin memaksakan kehendak Ayah atasku?” potong Rara Wulan.

Ayahnya termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Namun ternyata bahwa tidak selalu yang dianggap baik oleh orang tua itu baik bagi anaknya. Demikian pula sebaliknya.”

“Maksud Ayah?” bertanya Rara Wulan.

“Rara Wulan. Untunglah bahwa semuanya belum terlanjur. Aku telah mendapatkan satu pelajaran yang sangat berharga. Anak muda yang aku anggap sangat baik, berpendidikan tinggi, bekerja dengan tekun dan penuh tanggung jawab, ramah dan akrab dengan siapapun, anak orang yang sangat kaya, namun orang itu gagal menggenapi unsur-unsur kebaikannya sampai jenjang kehidupannya kemudian,” sahut ayahnya.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara itu ibunya pun menunduk semakin dalam. Agaknya ibunya pun telah mengetahui sesuatu yang kurang mapan, namun ibunya itu tidak mengatakannya sebelumnya. Bahkan ibunya telah memberikan kesan yang lain kepada Rara Wulan dan Ki Lurah Branjangan.

“Ayah,” berkata Ki Tumenggung, “anak muda itu akan menikah dalam waktu sepuluh hari lagi. Dan tidak dengan Rara Wulan.”

“Maksud Ayah?” bertanya Rara Wulan. Nampak kerut di dahinya semakin dalam. Sementara Ki Lurah pun termangu-mangu sejenak.

“Satu di antara anak muda yang menghendakimu telah tergelincir dalam pergaulannya yang melampaui batas-batas kewajaran. Justru orang yang aku anggap paling baik itu adalah orang yang paling buruk di antara orang lain,” berkata Ki Tumenggung.

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Sementara Ki Tumenggung berkata, “Ia tidak sabar menunggu jawaban Rara Wulan. Ia ingin cepat mendapatkan kepastian. Namun ternyata bahwa ia telah terlibat dalam kehidupan yang sesat.” Ayah Rara Wulan berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Beruntunglah bahwa hal itu terjadi sebelum kau menjadi istrinya. Namun baru kemudian aku tahu, bahwa anak muda itu memang memiliki kelemahan yang akibatnya sangat buruk itu. Kelemahan itu berhasil disembunyikan sehingga aku tidak tahu sama sekali. Tetapi ketika pada suatu saat anak muda itu terbentur sikap yang keras pula dari ayah seorang gadis, maka aku harus menilai kembali, apakah aku mampu menentukan seseorang yang paling baik buat anak gadisku.”

Rara Wulan menjadi tegang melihat sikap ayahnya. Sementara itu ibunya telah menarik nafas dalam-dalam. Ada sesuatu yang nampaknya telah terlepas dari pundaknya.

“Rara Wulan,” berkata ayahnya kemudian, “yang terjadi itu merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi Ayah. Hati Ayah sangat terpukul oleh peristiwa itu. Meskipun aku tahu bahwa yang paling sakit karena kejadian itu adalah ayah dan ibunya, yang merasa bahwa kau adalah gadis yang paling baik untuk mereka ambil sebagai menantunya.”

Rara Wulan masih saja duduk termangu-mangu. Sementara ayahnya berkata, “Untuk selanjutnya Rara Wulan, aku tidak akan lagi menentukan siapakah yang akan menjadi jodohmu kelak. Aku akan menyerahkan segala sesuatunya kepadamu.”

“Ayah,” desis Rara Wulan.

“Tetapi yang Ayah minta, kau harus terbuka. Berterus-terang, dan tidak melakukan langkah-langkah yang salah dalam pergaulanmu, sesuai dengan ketentuan hidup dalam satu lingkungan yang telah membentuk nilai-nilai kehidupan tertentu,” berkata ayahnya. “Kau tidak boleh bersikap tertutup, diam tetapi marah tanpa ujung dan pangkal. Kau tidak boleh menghukum ayah dan ibumu tanpa alasan, yang justru mendorong ayah dan ibumu bersikap keras seperti sikapmu.”

Rara Wulan kembali menundukkan kepalanya.

Namun ayahnya pun berkata, “Tetapi seperti ayah dan ibumu, Wulan, kaupun harus menyadari bahwa kau pun dapat berbuat salah. Apalagi justru karena kau adalah orang yang terlibat langsung, maka kau tidak sempat membuat jarak dengan sasaran yang kau amati. Karena itu maka aku minta kau berhati-hati menentukan pilihan.”

Rara Wulan tidak menjawab. Seperti tekadnya semula, ia ingin berkata terus terang dan terbuka kepada kedua orang tuanya. Tetapi di hadapan mereka, ternyata hal itu tidak mudah dilakukannya.

Ki Lurah Branjangan yang mengikuti pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh telah berkata, “Rara Wulan. Ayahmu telah mengatakan segalanya kepadmu. Jadi apa yang kita dengar semula, bahwa ayah dan ibumu telah mengambil satu sikap, itu adalah benar. Namun hal itu antara lain juga didorong oleh sikapmu yang tidak mudah untuk saling berhubungan dengan kedua orang tuamu. Sekarang, keadaan telah berubah. Adalah giliranmu untuk mengatakan kepada kedua orang tuamu, apa yang sebenarnya tersimpan di dalam dadamu.”

Rara Wulan masih saja berdiam diri. Ternyata tidak mudah untuk mengatakannya kepada kedua orang tuanya. Kata-kata yang telah tersusun, tidak dapat menghambur keluar. Apalagi setelah ayahnya menyatakan pengakuannya bahwa ia telah salah memilih.

Untuk beberapa saat lamanya Rara Wulan justru bagaikan membeku. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Debar jantungnya terasa semakin cepat, sehingga dadanya serasa menjadi pepat.

Ayahnya melihat anaknya merasa kesulitan untuk mengatakan sesuatu. Karena itu maka ayahnya itu pun berkata, “Rara Wulan. Jika memang ada yang ingin kau katakan, katakanlah. Itu lebih baik daripada kau simpan saja di dalam dadamu. Lebih baik ayah dan ibumu mendengar. Apakah kemudian Ayah dan Ibu sesuai dengan dasar pemikiran itu atau tidak, itu soal kemudian. Tetapi Ayah dan Ibu sudah mendengar langsung dari mulutmu.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dikumpulkannya segenap keberaniannya. Ia mencoba untuk menghentak dinding yang telah membatasinya serta membuat jarak dengan ayah dan ibunya.

Ki Lurah Branjangan yang melihat pula kesulitan Rara Wulan berkata, “Wulan. Lebih baik kau berkata terus terang. Bukankah kau bertekad untuk membuka hatimu terhadap ayah dan ibumu?”

Rara Wulan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Namun demikian ternyata ia berhasil menembus keseganannya itu dan berkata, “Ayah. Sebelumnya aku mohon maaf. Aku memang belum pernah mengatakannya kepada Ayah dan Ibu. Sebenarnyalah bahwa telah ada seorang anak muda yang namanya menghuni hatiku.”

Wajah ayah dan ibunya menjadi tegang. Bagaimanapun juga mereka berusaha untuk meredamnya, namun Ki Lurah Branjangan dapat melihatnya sekilas. Sementara Rara Wulan sendiri masih saja menundukkan kepalanya.

“Jadi karena itukah kau menghindari ayah dan ibumu?” bertanya ayahnya.

“Aku tidak tahu Ayah,” jawab Rara Wulan, “namun yang terjadi adalah persamaan waktu. Saat aku menghindar dari Ayah dan Ibu justru karena Ayah dan Ibu mulai berbicara tentang jodohku kelak, maka hatiku justru mulai terisi.”

“Siapa laki-laki itu?” bertanya ayahnya.

Rara Wulan termangu-mangu. Ia memang ragu-ragu untuk mengatakannya. Namun ayahnya telah mendesaknya, “Sebut namanya.”

Rara Wulan tidak dapat mengelak lagi. Maka meskipun dengan suara yang bergetar ia mengucapkannya juga, “Namanya Glagah Putih, Ayah.”

“Glagah Putih,” ulang ayahnya. Wajahnya memang menegang. Dengan lantang ayahnya bertanya, “Sudah sejauh mana hubunganmu dengan anak itu?”

“Kami telah menyatakan kesediaan kami untuk mengikat hubungan kami dengan perkawinan kelak,” jawab Rara Wulan. Kata-kata di mulutnya tiba-tiba menjadi lancar, meskipun terasa sikap ayahnya yang tegang.

“Sebelum kau mendapat persetujuan dari ayah dan ibumu?” bertanya ayahnya.

Pertanyaan itu memang mengejutkan Rara Wulan. Namun iapun menjawab, “Aku memang tidak dapat memilih, apakah yang harus aku lakukan lebih dahulu. Apakah aku harus minta ijin kepada Ayah dan Ibu lebih dahulu, kemudian baru menyatakan kesediaanku untuk menerima perasaannya, atau aku meyakinkan dahulu bahwa kami benar-benar telah merasa saling membutuhkan, baru aku minta persetujuan ayah dan ibuku. Seandainya aku minta persetujuan Ayah dan Ibu lebih dahulu, namun ternyata hatinya tidak berpaling kepadaku, apakah jantungku tidak justru akan terkoyak? Sementara aku sudah terlanjur minta, bahkan mungkin dengan memaksa, agar Ayah dan Ibu menyetujuinya, serta membatalkan pembicaraan tentang masa depanku dengan orang lain. Atau bahkan aku telah bertengkar dengan Ayah dan Ibu sehingga Ayah dan Ibu marah kepadaku, namun ternyata laki-laki itu sama sekali tidak menaruh perhatian dengan sungguh-sungguh kepadaku?”

Ayah Rara Wulan itu mengerutkan dahinya. Jawaban anaknya memang masuk akal. Tetapi ia telah bertanya, “Bagaimana jika Ayah dan Ibu kemudian tidak sependapat?”

“Ayah dan Ibu belum mengatakan bahwa Ayah dan Ibu tidak sependapat. Jika Ayah dan Ibu benar-benar tidak sependapat, maka barulah aku akan memikirkan, apakah yang akan aku lakukan,” jawab Rara Wulan.

Sekali lagi ayahnya mengerutkan dahinya. Ternyata Rara Wulan telah pandai berbicara serta mengemukakan pendapatnya, dengan alasan-alasan yang dapat diterima dengan akal.

Karena itu, maka ayah Rara Wulan itu pun telah bertanya pula langsung kepada persoalannya, “Siapakah Glagah Putih itu?”

“Seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Rara Wulan.

“Anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh?” ayahnya mengulangi. Lalu katanya, “Orang yang berkedudukan tertinggi di Tanah Perdikan Menoreh itu adalah Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Apakah Glagah Putih itu anak Ki Argapati?”

“Bukan Ayah,” jawab Rara Wulan, “ia adalah seorang anak muda kebanyakan. Seorang petani yang bekerja menggarap sawah dan ladang.”

“Kau jangan bergurau Wulan,” potong ayahnya, “aku bersungguh-sungguh. Jika ia bukan anak Ki Argapati, siapakah nama ayahnya dan kedudukannya? Kau tidak bisa memperolok-olokkan ayahmu dengan mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang pembuat atap daun ilalang, yang dijajakannya sepanjang jalan-jalan padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh.”

Rara Wulan memandang ayahnya dengan ragu. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Aku pun bersungguh-sungguh Ayah. Anak muda itu memang seorang petani. Ayahnya adalah Ki Widura, seorang prajurit yang kini sudah mengundurkan diri karena umurnya.”

“Apakah pangkat Ki Widura?” bertanya Ki Tumenggung.

“Menurut Kakang Glagah Putih, ayahnya seorang Lurah prajurit,” jawab Rara Wulan.

“Hanya seorang Lurah?” desis ayahnya, “Jadi kau akan menjadi menantu seorang Lurah prajurit yang sudah mengundurkan diri dari tugasnya?”

“Ya, kenapa? Ayah juga menantu seorang Lurah prajurit. Bukankah kakek seorang Lurah pada masa kakek masih menjadi seorang prajurit?” jawab Rara Wulan.

Ki Tumenggung terkejut mendengar jawaban itu. Namun kemudian ia berkata, “Bukan maksudku merendahkan pangkat seorang Lurah. Meskipun kakekmu seorang Lurah, tetapi kakekmu dekat dengan Panembahan Senapati.”

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Glagah Putih memang anak seorang Lurah Prajurit Pajang yang kemudian mengundurkan diri. Kakak sepupu Glagah Putih adalah seorang Tumenggung yang memimpin langsung sebuah kesatuan yang besar di Jati Anom.”

“Hanya ada satu Senapati besar di Jati Anom, Untara, yang memang telah diangkat menjadi seorang Tumenggung,” berkata Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Nah, Glagah Putih adalah adik sepupu Agung Sedayu dan sekaligus adik sepupu Untara, karena Agung Sedayu dan Untara ini memang kakak beradik,” berkata Ki Lurah kemudian.

Dahi Ki Tumenggung berkerut. Ia juga seorang Tumenggung. Tetapi bukan Senapati perang yang memimpin satu pasukan yang besar seperti Untara.

Sambil menarik nafas dalam-dalam iapun berkata, “Jika demikian maka Glagah Putih bukannya sekedar seorang petani kecil di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ayah,” berkata Rara Wulan kemudian, “aku memang sengaja mengatakan bahwa Glagah Putih adalah seorang petani di Tanah Perdikan Menoreh, karena memang demikian keadaannya. Aku tidak mau anak muda itu meningkat harganya karena hubungan keluarga dengan seorang Lurah prajurit yang memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, atau karena ia sepupu seorang Tumenggung yang menjabat sebagai seorang Senapati besar. Ayah harus menilai Glagah Putih sebagai Glagah Putih. Dan Ayah harus tahu keadaan yang sebenarnya, sehingga Ayah tidak terkejut dan kecewa kelak.”

“Akulah yang seharusnya berkata seperti itu kepadamu Wulan. Dari sisi pandangan yang lain aku pun berpesan kepadamu, agar kau berhati-hati menentukan sikapmu. Kau tidak boleh sekedar menjadi silau dan kehilangan penalaran.”

“Ayah,” jawab Rara Wulan, “sudah aku katakan bahwa ia adalah seorang anak muda yang miskin. Seorang petani kecil yang hidup berlandaskan kerjanya di sawah dan ladang. Karena itu, Ayah jangan cemas bahwa aku telah disilaukan oleh sesuatu yang ada pada anak muda itu. Ia tidak mempunyai apa-apa yang dapat membuatku kehilangan penalaran.”

“Rara Wulan,” berkata ayahnya, “seseorang dapat menjadi silau terhadap orang lain bukan hanya karena pangkatnya. Bukan hanya karena kedudukannya atau jabatannya. Bukan pula karena kekayaannya. Tetapi seseorang dapat menjadi silau dan kehilangan akal justru karena kewajaran sikap seseorang. Seorang perempuan memang wajar tertarik kepada seorang laki-laki. Yang pertama-tama sekali ditangkap oleh indra bukan kekayaannya, bukan pangkatnya dan bukan kedudukannya, tetapi ujud orang itu sendiri. Tanpa selubung apapun juga, maka seseorang akan dapat segera tertarik dan jatuh cinta. Seorang laki-laki akan dapat mencintai seseorang perempuan karena perempuan itu sangat cantik di mata laki-laki itu. Sebaliknya, seorang perempuan akan dapat jatuh cinta karena seorang laki-laki itu sangat tampan. Nah, kadang-kadang seseorang kehilangan pengamatan diri karenanya. Jika ia gagal memilih karena mimpi indah tentang seorang laki-laki atau perempuan karena ujudnya, maka akan sulit untuk dapat dijelaskan persoalannya. Akan lebih mudah diurai kesalahan seseorang jika ia menjadi silau karena harta benda atau pangkat atau kedudukan.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ia mengerti maksud ayahnya dan masuk akal pula.

Sementara itu ayahnya pun berkata, “Karena itu Wulan. Jika kau memang tertarik kepada seseorang, maka kau harus menilai orang itu dari banyak segi. Dari ujudnya, dari sikapnya dan terutama kepribadiannya. Seperti aku katakan kepadamu, apa yang semula aku anggap terbaik itu ternyata adalah yang terburuk bagimu. Yang dapat keliru bukan hanya Ayah dan Ibu. Tetapi juga kau sendiri. Apalagi jika kau sudah disilaukan oleh ujud dan sikapnya, yang dapat saja dibuat-buat, tanpa mengenali kepribadian yang sebenarnya. Pernikahan tidak hanya untuk satu dua hari. Tetapi untuk selama-lamanya.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi hatinya memang mengiyakan petunjuk ayahnya. Ia harus memandang seseorang yang akan menjadi sandaran hidupnya dari banyak segi. Rara Wulan pun telah banyak mendengar dari beberapa orang, bahwa banyak pernikahan yang gagal meskipun itu pilihannya sendiri, jika seseorang kurang cermat melihat bakal pasangan hidupnya. Bukan sekedar bentuk lahiriahnya. Tetapi menerawang tembus ke dasar kepribadiannya.

Namun dari pembicaraan itu, Rara Wulan dapat menarik kesimpulan bahwa ayahnya tidak berkeberatan jika ia melanjutkan hubungannya dengan Glagah Putih. Meskipun demikian ia tidak ingkar bahwa apa yang dikatakan ayahnya itu ternyata benar, meskipun ayahnya harus melalui benturan yang keras lebih dahulu sebelum ia melangkah surut.

Rara Wulan memang harus mengakui, bahwa ia mula-mula lebih banyak tertarik kepada ujud dan kemudian kelebihan Glagah Putih dalam olah kanuragan. Rara Wulan sendiri masih belum terlalu dalam mengetahui pribadi Glagah Putih yang sebenarnya. Tetapi dengan pengenalannya yang agak banyak tentang anak muda itu, maka rasa-rasanya Glagah Putih termasuk dalam batasan anak muda yang setidak-tidaknya bukan anak muda yang tidak bertanggung jawab.

Namun dalam pada itu, Rara Wulan memang berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia ingin mengenal Glagah Pulih lebih jauh dan lebih dalam. Ia masih belum terlanjur terlibat terlalu dalam.

Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Rara Wulan, maka ayahnya itu pun berkata, “Rara Wulan. Aku sudah lebih dahulu mengambil sikap. Ternyata sikapku itu keliru sama sekali. Sekarang, aku akan memberimu kesempatan untuk mengambil keputusan. Mudah-mudahan kau tidak salah pilih sebagaimana aku lakukan, meskipun semuanya belum terlanjur.”

Rara Wulan menundukkan kepalanya. Tetapi terdengar ia berdesis, “Terima kasih Ayah.” Tetapi di dalam hatinya ia berkata, “Kesempatan itu memang milikku sejak semula.”

Namun dalam pada itu, ayahnya pun berkata, “Rara Wulan. Aku sudah berbicara tentang persoalan yang paling mendasar. Aku telah membatalkan semua pembicaraanku dengan anak muda yang aku katakan itu. Aku pun telah bersepakat dengan ibumu untuk memberikan kesempatan lebih banyak kepadamu, meskipun hal itu agak menyimpang dari kebiasaan gadis-gadis yang tinggal di kota maupun di padukuhan-padukuhan. Anak orang berpangkat atau anak orang kebanyakan. Tetapi ketahuilah bahwa persoalan kita dengan anak muda yang semula aku kira adalah anak muda yang paling baik itu belum selesai. Anak muda itu benar- benar anak muda yang paling buruk yang pernah aku kenal. Ia ternyata pandai memulas dirinya, sehingga di hadapanku, ia benar-benar seorang anak muda yang baik. Di lingkungan pekerjaannya, di luar lingkungan pekerjaan, di rumah, di jalan-jalan kapan saja aku berpapasan, dan di rumahnya sendiri yang besar dan sangat bagus, karena orang tuanya memang seorang yang sangat kaya. Aku kira sebagian kau pun akan mengiyakannya, karena kau juga sudah mengenalnya.”

“Kenapa masih belum selesai?” bertanya Rara Wulan.

“Anak muda itu sama sekali tidak merasa bersalah,” jawab ayahnya.

“Maksud ayah?” bertanya Rara Wulan.

“Ia dapat berbuat sebagaimana dilakukannya. Menurut pendapatnya, ia dapat melakukan pernikahan dengan siapa saja selain kau. Menurut pengertiannya, kau akan dijadikan istri utamanya, di samping beberapa orang selir,” jawab ayahnya.

“Gila!” teriak Rara Wulan, “Apa sangkanya ia mempunyai kedudukan sederajat dengan Panembahan Senapati yang boleh memiliki beberapa orang selir? Atau seperti beberapa orang Pangeran atau orang-orang tertentu di lingkungan istana?”

“Ia mempunyai uang,” jawab ayahnya, “ia dapat berbuat apa saja dengan uangnya. Ayahnya juga mempunyai tiga orang selir. Itu baru selirnya yang ada di rumahnya. Hal itu baru aku ketahui kemudian.”

“Apakah Ayah juga membenarkan kebiasaan seperti itu? Apakah ibu sependapat?” bertanya Rara Wulan dengan nada tinggi.

“Nanti dulu Wulan,” potong kakeknya, “ayahmu mengatakan tentang anak muda itu. Tentang ayahnya dan pandangan hidup mereka. Ayahmu tidak mengatakan tentang dirinya sendiri. Juga tidak tentang sikap ibumu.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun telah mengangguk kecil.

“Dengar kata-kata kakekmu Wulan,” sambung ibunya.

“Ya ibu,” jawab Rara Wulan.

“Nah, jika aku sependapat, dan bahkan jika ibumu sependapat, apakah aku juga sampai hati melihat anak gadisku mengalami perlakuan seperti itu?” bertanya ayahnya. “Seandainya seseorang melakukannya dan mempunyai dua tiga selir di rumahnya, tentu tidak akan membiarkan anak gadisnya diperlakukan seperti itu. Karena ia akan melihat, betapa kacaunya jiwa seseorang yang berbuat demikian. Karena perkawinan itu sebaiknyalah milik seorang laki-laki dan seorang perempuan, sampai maut memisahkannya. Tetapi sahabatku yang kaya itu tidak mengalami pertimbangan seperti itu, karena anaknya laki-laki.”

Rara Wulan tiba-tiba saja menggeretakkan giginya. Sementara ayahnya berkata dengan nada rendah, “Rara Wulan. Ketika aku mengambil keputusan membatalkan semua pembicaraan, maka anak muda itu telah mendendam. Ia tidak akan berani langsung menantangku, tetapi mungkin ia telah melakukan satu langkah yang tidak terpuji atasmu. Karena itu maka kau harus berhati-hati. Sebaiknya kau berada di rumah, di bawah perlindungan orang-orangku di sini.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ternyata perasaannya memang bergejolak. Tetapi permintaan ayahnya agar Rara Wulan berada di rumah saja agaknya sulit diterima oleh Rara Wulan. Ia sudah terlanjur merasa satu keluarga dengan anggota-anggota kelompok Gajah Liwung. Bukan sekedar karena di dalamnya ada Glagah Putih. Tetapi kelompok itu seakan-akan mampu menampung dan menyalurkan gelora yang ada di dalam hatinya.

Ki Lurah Branjangan mengerti gejolak di dalam dada cucunya. Tetapi ia tidak ingin mendahului pembicaraan antara Rara Wulan dan kedua orang tuanya. Karena itu, maka Ki Lurah pun justru seakan-akan menunggu.

Baru beberapa saat kemudian Rara Wulan berkata, “Ayah. Sebaiknya aku tidak berada di rumah ini. Ada beberapa kemungkinan buruk dapat terjadi.”

“Jika kau tidak berada di rumah ini, kau akan berada dimana? Rumah ini bagimu adalah tempat yang paling baik. Tempat yang paling aman, karena di sini ada empat orang yang telah aku upah untuk melindungi rumah ini dengan segala isinya,” berkata ayahnya.

“Aku akan berada di rumah Kakek,” jawab Rara Wulan, “di rumah Kakek tentu lebih aman. Kakek adalah seorang prajurit. Bahkan pernah menjadi pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan.”

“Tetapi kakekmu hanya seorang diri. Ingat, ayah anak muda ini adalah seorang yang kaya raya. Ia dapat mengupah orang lain untuk melakukan sesuatu terhadapmu dan terhadap kakekmu,” berkata ayahnya.

“Nah, iapun akan dapat mengupah lebih dari empat orang untuk berbuat jahat terhadapku di sini. Mungkin jika Ayah ada di rumah, orang-orang itu tidak akan berani berbuat sesuatu. Tetapi jika Ayah tidak ada?” bertanya Rara Wulan.

Ayahnya mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, “Di sini kau dijaga oleh empat orang. Bukankah itu lebih baik dari hanya kakekmu seorang? Bukankah pada satu hari kakekmu juga mempunyai keperluan sehingga kau harus ditinggalkan seorang diri di rumah? Mungkin karena kakekmu seorang prajurit maka ia akan dapat melindungimu. Tetapi jika kakekmu tidak ada di rumah?”

Jawab Rara Wulan tidak diduga-duga, “Aku akan ikut Kakek ke Tanah Perdikan Menoreh. Kakek berada di barak Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Kakang Agung Sedayu. Dengan demikian, maka aku tidak hanya akan dilindungi oleh empat orang, tetapi oleh satu pasukan, bahkan Pasukan Khusus.”

“Tetapi…” potong ayahnya.

“Jangan takut terhadap prajurit-prajurit itu ayah,” sahut Rara Wulan, “mereka tidak akan berani berbuat sesuatu terhadapku, karena Kakang Glagah Putih adalah adik sepupu Kakang Agung Sedayu dan aku adalah cucu Ki Lurah Branjangan.”

Ki Tumenggung berpikir sejenak. Ketika ia berpaling kepada istrinya, maka katanya, “Sebaiknya apa yang kita lakukan Nyai?”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun bertanya, “Apakah bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh anak muda itu cukup mencemaskan Kakang?”

“Nampaknya memang demikian. Meskipun anak muda itu dapat mengalami akibat buruk. Aku dapat berbuat sesuatu, sehingga ia terusir dari pekerjaannya. Tetapi pekerjaannya itu nampaknya tidak begitu penting baginya, justru karena ayahnya seorang berpangkat dan kaya raya yang harus aku perhitungkan juga. Mungkin aku harus menghadapi sikap ayahnya di lingkungan tugasku di istana. Apalagi ayahnya seorang yang mempunyai banyak uang untuk melakukan apa saja yang diinginkannya,” berkata Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Jika demikian, apakah sebaiknya Wulan kita titipkan saja kepada kakeknya agar disembunyikan di Tanah Perdikan Menoreh?” berkata ibunya. “Aku tidak perlu bersembunyi, Ibu,” sahut Rara Wulan.

“Jadi apa artinya jika kau berada di Tanah Perdikan?” bertanya ibunya.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya tidak pantas untuk menyembunyikan diri, takut ancaman seseorang.

Tapi Rara Wulan memang tidak mempunyai istilah lain, sehingga iapun akhirnya mengangguk sambil berkata, “Ya. Menyembunyikan diri.”

Sebelum ayahnya menjawab, maka Ki Lurah Branjangan pun berkata, “Baiklah. Besok aku akan membawa Rara Wulan. Pagi-pagi kawanku akan singgah di rumah ini. Aku akan bersamanya membawa Rara Wulan untuk menyingkirkan diri dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi di sini. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya atas keselamatan gadis itu.”

Kedua orang tua Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ayahnya berkata, “Aku merasa bersyukur bahwa Rara Wulan dapat segera datang. Aku sudah menunggunya cukup lama, sehingga aku menyusulnya ke Tanah Perdikan. Aku merasa wajib memberitahukan hal ini agar ia berhati-hati. Aku merasa cemas bahwa tiba-tiba saja ia telah disergap oleh bencana yang akan dapat menghancurkan masa depannya.”

“Aku sependapat dengan Rara Wulan,” berkata Ki Lurah, “ia akan berada di tempat yang aman.”

Namun dalam pada itu, malam pun menjadi semakin malam. Tetapi mereka yang sedang berbincang itu masih mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja pintu pringgitan diketuk orang. Semakin lama semakin keras.

“Siapa?” bertanya Ki Tumenggung.

“Tentu Teja Prabawa,” desis istrinya.

Ketika Rara Wulan bangkit untuk membukakan pintu, ayahnya mencegahnya, “Biar aku saja.”

Rara Wulan tidak jadi bangkit berdiri. Ayahnya-lah yang kemudian melangkah menuju ke pintu pringgitan.

Hal itu tidak luput dari perhatian Ki Lurah Branjangan. Meskipun bukan hal yang penting, tetapi Ki Lurah dapat menangkap kegelisahan ayah Rara Wulan menanggapi keadaan. Bagaimanapun juga Ki Tumenggung Purbarumeksa itu menjadi cemas tentang keselamatan anak gadisnya.

Ketika Ki Tumenggung membuka pintu, sebenarnyalah yang muncul adalah Teja Prabawa, dengan busur dan endong anak panah yang telah kosong.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Tumenggung bertanya, “Apa yang kau dapatkan dengan perburuanmu yang hampir sehari semalam?”

“Aku sudah lama kembali dari perburuan. Sebelum senja,” jawab Teja Prabawa.

“Lalu kemana kau selama ini?” bertanya ayahnya.

“Duduk-duduk di ujung lorong bersama kawan-kawan,” jawab Teja Prabawa.

“Sejak sebelum senja?” desak ayahnya.

“Ya, sejak sebelum senja,” jawab Teja Prabawa.

“Kau sudah menjadi semakin sering mengatakan yang tidak sebenarnya, Teja. Apakah kau tidak menyadari, bahwa dengan demikian maka kepercayaanku atasmu menjadi semakin tipis, sehingga pada suatu saat akan habis sama sekali?” berkata ayahnya.

“Silahkan saja Ayah. Tetapi aku tidak berbohong,” jawab Teja Prabawa. “Silahkan bertanya kepada kawan-kawanku.”

“Kawan-kawanmu berburu?” bertanya ayahnya.

“Ayah selalu mencurigai aku. Terserah kepada Ayah,” jawab Teja Prabawa sambil melangkah pergi.

“Tunggu,” ayahnya mencegahnya, “aku ingin berbicara sedikit saja Teja.”

“Aku masih letih Ayah. Aku ingin beristirahat. Dadaku terasa sakit. Lambungku mungkin bengkak. Di hutan kepalaku membentur dahan yang terlalu rendah dan tidak aku lihat,” berkata Teja Prabawa.

“Apamu yang sakit? Kenapa tidak kau katakan sebelum kau pergi hampir sehari semalam? Apa sebenarnya yang kau dapatkan dengan tingkah lakumu itu Teja? Kau tidak pernah mendapat binatang buruan apapun. Kau tidak berbuat sesuatu untuk menganyam masa depanmu. Setiap orang pada masa ini harus bekerja keras, justru saat Mataram membentuk dirinya. Tanpa kerja keras maka orang akan tersisih dari derap majunya kehidupan ini. Kau harus berbuat sesuatu untuk dirimu sendiri, berwawasan masa depan. Bukan sekedar menuruti kesenanganmu saja. Karena kesenanganmu sekarang hanya berarti bagimu sekarang. Tetapi tidak berarti bagimu kelak,” berkata ayahnya.

“Aku sudah mengerti Ayah. Tetapi bukankah wajar jika sekali-sekali aku pergi bersama-sama dengan beberapa orang kawan mengendapkan kesibukan sehari-hari? Aku juga perlu beristirahat Ayah. Berburu bagiku merupakan suatu kesempatan untuk melupakan kesibukan-kesibukan, kejengkelan-kejengkelan dan bahkan tekanan-tekanan dalam hidupku. Jika aku tidak mengisi semuanya itu dengan selingan yang cukup, aku akan dapat menjadi gila.,” jawab Teja Prabawa.

“Selingan? Apa arti selingan? Sebulan tiga puluh kali itukah yang kau maksud dengan selingan?” bertanya ayahnya.

“Bukankah aku jarang-jarang berburu Ayah? Kapan aku pergi berburu?” bertanya anaknya.

“Kemarin, kemarin lusa, dua hari yang lalu, tiga hari yang lalu,” jawab ayahnya.

Teja Prabawa menjadi tegang. Ketika ia memandang Rara Wulan yang duduk di sebelah ibunya tiba-tiba saja berkata, “Nah, ternyata kau pulang Wulan. Aku tahu sekarang kenapa Ayah marah-marah padaku. Menganggapku anak yang bengal, tidak tahu diri dan selalu melakukan pekerjaan sia-sia. Sementara itu kawan-kawanku menunjukkan kejantanannya sebagai seorang kesatria Mataram sejati dengan menunjukkan kemampuannya di medan perburuan.”

“Kenapa Kakangmas membawa-bawa namaku?” bertanya Rara Wulan.

“Kau anak terpenting di rumah ini,” jawab Teja Prabawa.

“Omong kosong,” bantah Rara Wulan.

“Teja,” potong ayahnya, “adikmu juga selalu mengatakan demikian. Adikmu selalu mengatakan bahwa aku terlalu memanjakanmu. Adikmu mengatakan bahwa kau anak terpenting di rumah ini. Anak laki-laki yang akan mampu memanggul kehormatan orang tuanya tinggi-tinggi dan mengubur aibnya dalam-dalam. Sedangkan anak perempuan tidak lebih dari musuh mungguhing cangklakan. Nah, aku senang kalian mengatakan demikian. Itu pertanda bahwa aku telah berbuat adil. Kalian menganggap aku telah menganggap yang lain terpenting. Yang aku tidak senang adalah bahwa kalian menganggap bahwa kata-kataku sudah tidak berarti bagi kalian. Seakan-akan aku tidak penting lagi hadir dalam kehidupan kalian.”

Wajah Teja Prabawa menegang. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Mandilah,” berkata ayahnya, “renungkan kata-kataku. Kau sudah cukup dewasa untuk mengerti arti dari kehidupan ini selengkapnya. Hidup bukan sekedar mencari hiburan. Tetapi justru menghadapi segala macam tantangan untuk diatasi. Tidak dihindari dan justru berusaha untuk melupakannya dengan berbagai macam kesenangan. Sesudah mandi, kami menunggumu untuk berbicara. Jangan segan, karena yang kami bicarakan bukan kau.”

Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi ia melangkah pergi sambil menyeret busurnya dan melemparkan endong anak panahnya yang telah kosong.

“Ambil!” bentak ayahnya.

Teja Prabawa masih melangkah. Sementara ayahnya membentak semakin keras, “Ambil!”

Teja Prabawa memang berhenti. Sambil bersungut-sungut ia melangkah surut untuk mengambil endong anak panahnya.

Ketika Teja Prabawa telah hilang di balik pintu, maka Ki Tumenggung telah duduk lagi bersama dengan mertuanya, istrinya dan anak gadisnya.

“Aku menjadi gelisah pula tentang Teja Prabawa,” berkata Ki Tumenggung, “seharusnya ia sudah bekerja keras mempersiapkan masa depannya.”

“Aku sudah berusaha untuk selalu memberinya peringatan,” desis ibunya, “tetapi agaknya masih belum didengarnya. Yang dapat aku lakukan hanyalah berdoa, semoga pada suatu saat Yang Maha Agung berkenan menyentuh hatinya dengan kasih-Nya yang melimpah.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Baginya, Teja Prabawa memang terlalu manja, sehingga kedua orang tuanya harus tanpa jemu-jemunya memberikan peringatan kepadanya bahwa hari-harinya akan menjadi semakin panas. Matahari akan menjadi semakin tinggi. Sementara ayah dan ibunya akan merambah sisi barat dari bulatan langit luas, sehingga akhirnya akan tenggelam. Jika Teja Prabawa sendiri tidak dapat mengemudikan mataharinya, maka hari tentu akan menjadi kelam baginya setelah kedua orang tuanya tidak akan ada di sampingnya.

Tetapi Ki Lurah tidak akan membuat kedua orang tua Teja Prabawa semakin gelisah menanggapi sikap kedua orang anaknya.

Dengan nada rendah, Ki Tumenggung itu berkata, “Ayah. Sebagaimana Ayah lihat, meskipun anakku hanya dua, tetapi kepalaku cukup pening memikirkan mereka. Apalagi Ki Rangga Citraganda. Anaknya dua belas orang.”

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Orang tua memang harus sabar menghadapi tingkah laku anak-anaknya. Mudah-mudahan anak-anak itu pada suatu saat akan mengerti, bahwa kemampuan dan kesabaran orang tua itu ada batasnya. Jika secara jiwani orang tuanya lemah, maka kemungkinannya akan dapat diperhitungkan. Umurnya akan menjadi semakin pendek.”

Ki Tumenggung hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Ki Lurah Branjangan. Tetapi memang tidak mudah untuk mengendapkan perasaan.

Beberapa saat kemudian, Teja Prabawa yang telah selesai membenahi diri telah masuk ke ruang dalam pula. Ketika dengan ragu-ragu ia duduk pula bersama dengan keluarga yang lain, maka ibunya pun berkata, “Makanlah dulu. Kami sudah makan.”

“Aku sudah makan di kedai,” jawab Teja Prabawa.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebaiknya hal itu jangan kau biasakan, Teja. Aku tidak senang kau terlau sering makan di luar. Di rumah bagimu telah disediakan makan secukupnya. Kenapa kau harus makan di luar?”

Teja Prabawa tidak menjawab. Iapun telah mendengar beberapa kali ibunya mengatakan hal itu.

Sementara itu, maka ayahny pun berkata, “Teja Prabawa. Ada yang ingin aku beritahukan kepadamu tentang adikmu. Ia adalah seorang gadis. Umurnya semakin meningkat dan bahkan sudah memasuki usia dewasa sepenuhnya. Aku sendiri sebebenarnya tidak begitu banyak mengikatkan diri pada umurnya. Tetapi kita masih harus mendengarkan pendapat orang lain. Aku tidak ingin Rara Wulan disebut perawan tua.”

“Dan Ayah akan menentukan hari pernikahannya,” potong Teja Prabawa.

“Belum,” jawab ayahnya, “kami sedang berbincang tentang calon jodoh Rara Wulan.”

“Bukankah sudah jelas? Bukankah Ayah telah menentukan?” bertanya Teja Prabawa.

“Adikmu tidak sependapat,” jawab ayahnya.

“Kenapa Ayah mendengarkan pendapatnya?” bertanya Teja Prabawa dengan nada tinggi.

“Bukankah yang akan menjalani Rara Wulan?” bertanya ayahnya pula.

“Aneh,” berkata Teja Prabawa sambil mengerutkan dahinya, “sebelumnya Ayah tidak pernah berkata seperti itu.”

“Ya, sebelumnya aku belum pernah menyadari bahwa pilihanku itu salah,” jawab ayahnya.

“Kenapa salah?” bertanya Teja Prabawa pula.

Dengan singkat ayahnya mengatakan apa yang telah dilakukan oleh anak muda yang diharapkan akan dapat menjadi menantunya itu. Ayahnya pun juga mengatakan tentang sikap ayah anak muda itu tentang nilai-nilai perkawinan.

“Karena itu maka aku telah membatalkan semua pembicaraan sebelumnya. Sebenarnya sebelumnya aku pun belum menyatakan satu kepastian. Tetapi aku memang condong untuk mengiyakannya,” berkata Ki Tumenggung.

Teja Prabawa mengangguk-anguk. Betapapun juga, ia memang sependapat dengan ayahnya. Meskipun ia sering bertengkar dengan adiknya, bahkan kadang-kadang keduanya benar-benar menjadi marah, tetapi Teja Prabawa juga tidak rela meyerahkan adiknya kepada seorang yang tidak akan menghargai adiknya.

“Bagaimana pendapatmu?” bertanya ayahnya.

“Aku setuju,” jawab Teja Prabawa singkat, karena ia tidak mau membuat adiknya menjadi manja setelah ia bertengkar.

Ayahnya pun tidak bertanya lebih jauh lagi. Tetapi iapun kemudian berkata kepada Ki Lurah Branjangan, “Mudah-mudahan persoalannya menjadi cepat selesai. Aku pun sudah mengatakan dengan tegas sikapku. Aku pun mengerti, bahwa dalam satu dua hari mungkin perasaan mereka masih terbakar. Tetapi setelah menjadi sepekan lewat, sebenarnya aku berharap bahwa mereka menjadi semakin tenang. Namun agaknya harapan itu masih belum terpenuhi.”

“Agaknya sudah cukup baik jika untuk sementara Rara Wulan disingkirkan saja. Kemudian harus ada laki-laki yang segera melamarnya. Laki-laki yang dapat dipercaya dan atas persetujuan Rara Wulan,” berkata kakeknya.

“Aku sependapat ayah,” Ki Tumenggung mengangguk-angguk, “jika hati Rara Wulan memang telah bulat, serta ia yakin tidak akan salah pilih, maka aku pun tidak berkeberatan menerima kehadiran orang tuanya. Meskipun aku belum mengenal anak itu, tetapi aku yakin bahwa Ayah telah mengenalnya dengan baik. Apa yang luput dari perhatian Rara Wulan, tentu akan dilihat oleh Ayah.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa masih tetap dibebani tanggung jawab atas Rara Wulan. Bukan saja keselamatannya, tetapi juga tentang pilihannya.

“Baiklah,” berkata Ki Lurah, “aku akan melihat anak itu dari segala sudut. Sampai saat ini aku belum pernah melihat cacat-cacatnya yang mendasar. Tentu setiap orang mempunyai cacat dan cela. Tetapi penilaian kita harus wajar.”

“Siapa anak itu?” bertanya Teja Prabawa.

Ki Lurah Branjanganlah yang menjawab, “Glagah Putih.”

“Anak pedesaan itu?” dahi Teja Prabawa berkerut. “Anak petani, kotor dan sombongnya menyentuh langit.”

Tetapi jawab Rara Wulan membuat jantung kakaknya berdenyut kencang. Katanya, “Kakangmas, sejak aku masih remaja aku sudah bermimpi untuk mendapatkan jodoh seorang laki-laki sederhana, petani miskin dan kotor tapi sombong.”

“Cukup!” bentak Teja Prabawa, “Ternyata penglihatanmu juga dikaburkan oleh secuwil wajah anak itu, karena memang hanya wajahnya yang kelihatan bersih.”

Wajah Rara Wulan menjadi merah. Tetapi ayahnya sudah membentak, “Diam kalian! Aku tidak memanggil kalian untuk bertengkar. Aku perlu pemecahan. Bukan justru menambah pening kepalaku.”

Kedua orang anaknya pun diam. Keduanya menundukkan kepala mereka, meskipun sekali-sekali sempat juga saling memandang dengan sorot mata yang memuat kemarahan.

Sejenak kemudian, dengan nada berat Ki Tumenggung itu berkata, “Seperti sudah aku katakan Ayah, aku tidak berkeberatan menerima orang tuanya. Tetapi Rara Wulan harus yakin dulu, bahwa ia tidak akan dikelabuhi oleh anak muda pilihannya itu, sebagaimana aku.”

“Nampaknya Ayah tergesa-gesa,” berkata Teja Prabawa.

“Tidak Teja Prabawa. Aku tidak tergesa-gesa. Aku telah membuat pertimbangan sepanjang-panjangnya. Aku sudah menggulung dan membentangkannya. Apalagi kakekmu pun tidak berkeberatan,” jawab ayahnya.

“Tetapi Ayah, barangkali Ayah belum tahu anak yang disebut itu adalah anak Tanah Perdikan Menoreh. Ia bukan seorang yang mempunyai lajur keturunan di Tanah Perdikan itu. Ia ikut kakak sepupunya dan melakukan pekerjaan apa saja tanpa kedudukan yang pasti. Ia memang dekat dengan Ki Gede Menoreh. Tetapi bukan karena ia orang kepercayaannya. Tetapi karena Glagah Putih itu salah seorang pesuruh Ki Gede,” berkata Teja Prabawa.

“Jangan berpura-pura Teja Prabawa,” berkata kakeknya.

“Aku tahu apa yang Kakek katakan,” berkata Teja Prabawa, “tentu Kakek akan memuji anak itu. Rajin bekerja dan tidak terlalu manja.”

“Ya,” sahut Ki Lurah Branjangan, “selebihnya, kakak sepupunya adalah Senapati yang memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan. Sepupunya yang seorang lagi adalah seorang Tumenggung, yang menjabat sebagai Senapati dari pasukan di Jati Anom. Glagah Putih sendiri adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi, pernah menolong Wirastama dari maut.”

“Benar?” bertanya Teja Prabawa dengan heran.

“Bukankah kau pernah mandi di sebuah kolam yang berair pusaran?” bertanya Ki Lurah Branjangan, “Pada saat Wirastama terhisap, maka tiba-tiba saja satu keajaiban telah terjadi. Air pusaran itu telah dihempas oleh kekuatan yang tak diketahui sumbernya, sehingga air pun bagaikan diguncang oleh kekuatan yang sangat besar. Wirastama selamat. Tetapi tidak seorangpun yang mengetahui, bahwa Glagah Putih yang telah melakukannya. Glagah Putih telah memukul air pusaran itu dengan kekuatan ilmunya, sehingga nyawa Wirastama diselamatkan. Nah, jika kau sudah pernah mendengar hal itu, maka biarlah hal ini didengar oleh ayahmu dan oleh ibumu. Betapa anak yang bernama Glagah Putih itu bukan anak bengal di pinggir Kali Praga. Sedangkan kemampuannya bukan hanya dapat dipergunakan untuk merusak, menyakiti orang lain, bahkan membunuh. Tetapi dengan ilmunya itu ia mampu menyelamatkan orang lain.”

Wajah Teja Prabawa menjadi tegang. Sementara itu ayah dan ibu Rara Wulan menjadi heran mendengar cerita Ki Lurah Branjangan tentang seorang anak muda yang bernama Glagah Putih itu.

“Teja Prabawa,” berkata Ki Lurah Branjangan kemudian, “aku kira kau tentu sudah mengetahui kelebihan Glagah Putih. Tetapi apakah kau mempunyai calon yang lain, yang kau anggap lebih baik dan Glagah Putih?”

Rara Wulan terkejut. Ia telah beringsut setapak. Tetapi untunglah, bahwa Teja Prabawa menggelengkan kepalanya, meskipun kakeknya dan kedua orang tuanya mengerti, sebenarnya anak itu menjadi kecewa. Teja Prabawa tentu mempunyai kawan yang pernah menyebut-nyebut Rara Wulan. Tetapi Teja Prabawa saat itu tidak berani melangkahi keinginan orang tuanya untuk menjodohkan Rara Wulan dengan orang pilihannya.

Namun kemudian agaknya orang tuanya pun telah condong untuk menerima Glagah Putih menjadi bagian dari keluarganya. Bahkan kakeknya telah memberikan tekanan cukup berat untuk tidak menolaknya.

“Kakak sepupunya juga seorang Tumenggung,” desis Teja Prabawa itu di dalam hatinya. Ia mencoba menghibur dirinya sendiri agar tidak menjadi kecewa oleh derajad dan kedudukan anak muda yang bernama Glagah Putih. Bahkan iapun telah berkata di dalam hatinya pula, “Ia sahabat Raden Rangga di masa hidupnya. Aku harus selalu mengingatnya itu.”

Namun dalam pada itu, selagi pembicaraan keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa mendekati kesepakatan, tiba-tiba saja seorang telah beringsut masuk ke ruang itu dari pintu samping.

“Ada apa?” bertanya Ki Tumenggung kepada salah seorang yang telah diupahnya untuk menjaga rumah itu bersama dengan tiga orang kawannya.

Orang itu duduk beberapa langkah dari tempat duduk keluarga Ki Tumenggung itu. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Ki Tumenggung, nampaknya ada orang-orang yang tidak kita kehendaki akan memasuki halaman rumah ini.”

“Siapa?” bertanya Ki Tumenggung.

“Kami belum tahu dengan pasti. Tetapi kami sudah melihat ketidakwajaran atas beberapa orang yang hilir mudik di luar regol halaman sambil memperhatikan rumah ini,” jawab orang itu.

“Hati-hatilah. Jangan sampai salah sangka. Jika orang itu sama sekali tidak berniat buruk, tetapi kalian sudah menuduh mereka demikian, maka kita telah melakukan kesalahan,” berkata Ki Tumenggung Purbarumeksa itu.

Orang yang datang menemui Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun ia menjawab, “Kami belum berbuat sesuatu kecuali mengamati mereka, Ki Tumenggung. Jika kami memberikan laporan ini, hendaknya kita semua berhati-hati.”

“Terima kasih. Amati mereka, tetapi jangan salah langkah,” pesan Ki Tumenggung.

Orang itu pun kemudian beringsut meninggalkan ruangan dalam itu.

“Kau percaya akan laporannya?” bertanya Ki tumenggung kepada Teja Prabawa.

“Aku tidak jelas Ayah,” jawab Teja Prabawa.

“Jika kau berlama-lama di ujung lorong, apakah kau tidak melihat seseorang atau beberapa orang yang mencurigakan?” bertanya ayahnya pula.

Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi kepalanya telah menunduk.

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis, “Aku memang merasa bahwa suasana malam ini kurang tenang. Mungkin karena persoalan-persoalan yang kita bicarakan di sini. Tetapi mungkin memang akan terjadi sesuatu.”

“Maksud Kakangmas ada hubungannya dengan pembatalan pembicaraan Kakangmas tentang Rara Wulan?” bertanya Nyi Tumenggung.

“Ya. Aku menghubungkan setiap kegelisahanku dengan persoalan itu,” jawab Ki Tumenggung.

Adalah di luar dugaan bahwa Rara Wulan tiba-tiba menyahut dengan suara bergetar, “Aku mohon maaf ayah.”

“Tidak. Bukan maksudku menganggapmu bersalah Wulan. Bahwa kau menarik perhatian anak-anak muda, itu bukan suatu kesalahan, karena dalam hal ini kau tidak sengaja melakukannya. Mungkin seorang gadis yang lain akan merasa bangga bahwa dirinya menjadikan perhatian banyak anak-anak muda, dan bahkan dengan sengaja menjerumuskan anak-anak muda itu ke dalam persaingan dan perselisihan. Tetapi aku yakin kau tidak melakukannya. Bahkan kecantikanmu itu malahan kau anggap sebagai beban,” berkata ayahnya.

Rara Wulan tidak menjawab. Teja Prabawa memandanginya sekilas dengan sudut matanya. Tetapi kemudian ia telah menunduk kembali.

Namun beberapa saat kemudian, ternyata pintu pringgitan rumah itu telah diketuk orang. Tidak terlalu keras. Namun ketukan itu agaknya terlalu malam jika yang datang seorang tamu.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Laporan orang yang diupahnya untuk menjaga rumah dan halamannya itu telah membuatnya gelisah.

“Kalian duduk saja di sini,” berkata Ki Tumenggung, “aku akan menemuinya di pendapa.”

“Bersamaku,” desis Ki Lurah.

Ki Tumenggung menjadi ragu-ragu. Tetapi istrinya berkata, “Biarlah Ayah ikut menemuinya.”

“Baiklah,” sahut Ki Tumenggung, yang kemudian melangkah ke pintu pringgitan diikuti oleh Ki Lurah Branjangan.

Ketika pintu terbuka, maka Ki Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam. Yang diduganya ternyata benar. Yang datang adalah beberapa orang yang bersangkut paut dengan persoalan Rara Wulan. Anak muda yang hubungannya dengan Rara Wulan itu dibatalkan, telah datang dengan ayahnya yang kaya raya, serta beberapa orang pengikutnya.

Ki Tumenggung kemudian mempersilahkan mereka duduk di pringgitan. Beberapa orang duduk melingkar di atas tikar yang telah dibentangkan. Namun beberapa orang yang lain duduk di-tangga longkangan di sebelah pringgitan itu.

Hampir di luar sadarnya Ki Tumenggung memandangi orang-orang itu sambil menghitung di dalam hatinya.

“Semua sepuluh orang,” tiba-tiba saja tamunya berkata.

“O,” Ki Tumenggung terkejut. Namun ia segera berkata, “Maaf. Mungkin masih ada minuman panas untuk dua belas orang, terhitung kami berdua.”

“Terima kasih,” potong tamunya, “kami tidak memerlukan minuman panas.”

“O,” Ki Tumenggung mengangguk-angguk.

“Maaf Ki Sanak,” berkata tamunya yang kaya raya dan berpangkat tinggi itu, “aku datang untuk menjelaskan persoalan.”

“Maksud Ki Tumenggung?” bertanya Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Tentang hubungan antara anakku dengan anak Ki Tumenggung Purbarumeksa. Bukankah Ki Sanak sekarang sudah diperkenankan mempergunakan nama itu?” jawab tamunya.

“Apa yang harus dibicarakan?” bertanya Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Anakku, Raden Antal. Bukankah pembicaraan kita tentang Antal dan Wulan sudah matang? Kenapa tiba-tiba saja pembicaraan yang sudah matang itu kau batalkan begitu saja?” bertanya ayah Raden Antal itu. “Bukankah aku telah mengatakan alasannya? Raden Antal tentu sudah tahu. Apalagi pembicaraan kita tentang kedua anak muda itu juga belum masak benar,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Kau jangan mengada-ada Ki Tumenggung. Kau jangan menyakiti hati kami sekeluarga. Apalagi beberapa orang sanak kadang serta tetangga-tetangga kami sudah mengetahuinya. Sanak kadang kami dan tetangga-tetangga kami bukan sekedar Lurah Prajurit seperti Ki Lurah Branjangan itu. Bukankah kakek Rara Wulan ini Ki Lurah Branjangan? Sanak kadang kami adalah orang-orang berpangkat tinggi.”

Ayah Rara Wulan itu megerutkan dahinya. Orang itu memang seorang Tumenggung yang mempunyai kedudukan lebih tua daripada dirinya. Tetapi tidak sepantasnya ia menghinanya seperti itu.

Meskipun demikian Ki Tumenggung Purbarumeksa itu masih berusaha untuk menahan diri. Dengan sareh ia berkata, “Bukan maksud kami sekeluarga menyakiti hati Ki Tumenggung. Tetapi aku mempunyai alasan yang mapan. Anakku tidak mau dimadu.”

“Seharusnya kau tahu,” jawab ayah Raden Antal itu, “anakku tidak akan menjadikan Rara Wulan istrinya untuk dimadu. Anakmu akan menjadi satu-satunya istri utamanya.”

“Aku tidak membedakan antara istri utama dan selir,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa. “Bagiku perkawinan itu terjadi antara satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan.”

“Jangan pura-pura tidak mengerti akan kekuasaan laki-laki di lingkungan kita,” berkata ayah Raden Antal. “Aku juga mempunyai tiga orang selir. Dan apakah kau tidak mempunyainya?”

“Kebetulan aku tidak, Ki Tumenggung,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Tetapi ayah Raden Antal itu tertawa. Katanya, “Kau tentu ingkar karena di sini ada mertuamu. Tetapi sebaiknya kau berkata sejujurnya.”

“Aku berkata sesungguhnya,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa dengan suara yang mulai berat. “Ki Tumenggung jangan mengada-ada.”

“Omong kosong,” geram ayah Raden Antal. “kau tentu menganut cara yang lebih licik. Perempuan-perempuan itu tentu kau jadikan triman dan kau berikan kepada pelayan-pelayanmu untuk mereka jadikan istri mereka, jika perempuan-perempuan itu mengandung.”

“Tidak Ki Tumenggung. Aku bukan jenis orang seperti itu,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa. “Mungkin di antara kita berlaku kebiasaan seperti itu, atau mungkin lebih licik lagi. Tetapi aku tidak. Dan aku pun tidak senang hal seperti itu terjadi atas anakku.”

“Kau sekarang berkata tidak. Tetapi dalam waktu dua puluh tahun mendatang, akan datang beberapa orang anak muda lembu peteng yang sebenarnya adalah anak-anakmu,” berkata ayah Raden Antal.

“Kita akan bertaruh untuk dua puluh tahun mendatang,” berkata Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Aku tidak peduli,” jawab orang yang kaya raya dan berpangkat tinggi itu, “tetapi aku tidak mau kau hinakan. Aku malu kepada tetangga-tetanggaku, kepada sanak kadangku dan kepada kawan-kawan kita di istana. Karena itu, selagi belum terjadi sesuatu, aku minta kau tidak menelan ludahmu kembali. Biarlah kedua anak kita itu menemukan kebahagiaan hidup mereka. Bukankah orang tua akan merasa ikut berbahagia jika anak-anaknya berbahagia?”

“Maaf Ki Tumenggung,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa, “mungkin Raden Antal akan dapat menemukan kebahagiaan, setidak-tidaknya kesenangan sementara, setelah ia mengawini anakku. Tetapi tidak demikian dengan anakku. Ketika ia mendengar bahwa Raden Antal telah menikahi seorang gadis, maka ia menyatakan bahwa ia tidak akan bersedia untuk menjadi istri Raden Antal.”

“Aku sudah mengira bahwa kau akan mempergunakan alasan seperti itu. Tetapi aku tidak percaya. Anakmu tentu tidak akan mengajukan alasan seperti itu,” jawab ayah Raden Antal.

“Anak perempuanku itu sekarang ada di rumah. Ia akan dapat mengatakannya sendiri kepada Ki Tumenggung,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa. “Jika perlu aku akan memanggilnya.”

Tetapi ayah Raden Antal itu tertawa. Katanya, “Kau kira aku tidak mengerti caramu bermain dengan anakmu itu? Seandainya anakmu menerima anakku untuk menjadi istrinya, ia tidak akan berani mengatakannya, karena kau tentu mengancamnya.”

Telinga Ki Tumenggung Purbarumeksa menjadi panas. Iapun segera bangkit dan melangkah ke pintu pringgitan. Sambil membuka pintu ia berkata kepada Rara Wulan, “Wulan. Kemarilah. Kau sudah berani menyatakan pendapatmu. Sekarang kau harus juga berani mengatakannya.”

“Maksud Kakangmas?” bertanya isterinya.

“Biarlah Rara Wulan menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan dari Raden Antal atau ayahnya tentang sikapnya,” jawab ayah Rara Wulan.

Rara Wulan memang menjadi ragu-ragu. Sementara Teja Prabawa berkata, “Itu tidak wajar Ayah. Ia seorang gadis.”

“Kali ini aku merubah sikap dan kebiasaanku atas anak gadisku. Wajar atau tidak wajar,” jawab ayahnya.

Rara Wulan yang sudah dibekali dengan kebiasaan-kebiasaan yang lain dari kebiasaan gadis-gadis yang menginjak dewasa, memang telah bangkit berdiri dan berdesis, “Aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaannya.”

Semuanya itu berlangsung cepat. Tidak ada yang sempat berpikir. Ibunya dan kakaknya hanya dapat melihat Rara Wulan keluar lewat pintu pringgiitan.

Yang berada di pendapa pun terkejut kecuali Ki Lurah Branjangan. Ia sudah mengira bahwa cucu perempuannya itu akan berani menunjukkan dirinya. Tidak sekedar bersembunyi di balik tirai sentong kiri, atau mencoba untuk mengintip keluar lewat celah-celah dinding jika ada kesempatan.

Dengan tanpa ragu-ragu Rara Wulan melangkah menuju ke tempat beberapa orang tamunya duduk. Demikian ayahnya duduk kembali di antara tamu-tamunya, maka Rara Wulan pun telah duduk pula di belakangnya.

Ketika matanya berpapasan dengan pandangan anak muda yang datang itu, hampir di luar sadarnya Rara Wulan berdesis menyebut namanya sebagaimana dikenalnya sejak kanak-kanak, “Raden Arya Wahyudewa.”

Tetapi ayah anak muda itu berkata, “Kau tidak usah memanggilnya dengan nama yang sulit itu. Panggil anak muda itu Kakangmas Raden Antal.”

“Kenapa?” tiba-tiba saja Ki Lurah Branjangan yang untuk beberapa saat berdiam diri saja telah bertanya.

“Ibunya lebih senang memanggil Antal, Sejak kecil ia memang lamban. Perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa. Tetapi setelah dewasa nama Antal sebenarnya kurang sesuai lagi. Ia bergerak cepat, tangkas dan cekatan. Ia ingin segala-galanya dengan segera diselesaikan. Juga tentang pernikahannya dengan Rara Wulan,” jawab ayah anak muda itu. Lalu katanya, “Tetapi ia suka kepada nama panggilannya.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Desis, “Semacam nama paraban.”

Ki Tumenggung itu tidak menjawab lagi. Katanya, “Aku datang untuk mendapatkan keputusan. Seandainya sebelumnya kami belum pernah mendapat janji kesediaan keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa, maka aku kira kami sekeluarga tidak akan merasa tersinggung. Tetapi sekarang kami akan mengalami banyak kesulitan jika kami melangkah surut.”

“Tetapi bukankah dalam waktu dekat Angger Raden Antal akan melangsungkan pernikahannya?” bertanya ayah Rara Wulan.

“Jangan sebut-sebut itu lagi. Pernikahannya itu tidak dapat dipergunakan sebagai alasan untuk membatalkan pembicaraan kita. Kami tidak akan memaksakan pernikahan Antal dengan Wulan tergesa-gesa,” berkata ayah Antal itu. “Sekali lagi aku katakan, pernikahan yang akan dilakukan beberapa hari lagi, tidak akan mengecilkan arti pernikahannya dengan Rara Wulan. Bahkan sama sekali tidak akan terpengaruh. Tidak akan ada upacara apa-apa di pernikahannya beberapa hari lagi, selain berkumpul dengan seluruh keluarga di ruang dalam dan makan bersama-sama. Kemudian perempuan yang dinikahi Antal akan kembali ke ruang di belakang, di antara para pelayan, meskipun ia akan mendapat bilik tersendiri. Ia akan tetap berada di belakang tanpa hak sebagaimana seorang istri.”

“Tetapi ada satu yang harus diperhatikan,” berkata ayah Rara Wulan, “kasih dan cinta Raden Antal akan terbagi.”

“Jangan mencari-cari alasan!” tiba-tiba saja ayah Raden Antal membentak.

Ki Tumenggung Purbarumeksa benar-benar merasa tersinggung. Meskipun jabatan orang itu lebih tua dari jabatannya, namun ia bukan lagi seorang pelayan yang pantas melayaninya dengan kepala menunduk dan tanpa membantah, melakukan tugasnya di bawah bentakan-bentakan kasar.

Sejenak kemudian, di luar sadarnya, Ki Tumenggung itu memandangi orang-orang yang ada di pringgitan, termasuk yang duduk di tangga.

Tetapi sekali lagi Ki Tumenggung Purbarumeksa itu terkejut ketika tamunya itu berkata, “Semua sepuluh orang. Bukankah sudah aku katakan? Mereka bukan anak-anak yang masih pantas bermain kejar-kejaran di bawah sinar bulan yang terang. Bukan anak-anak yang pantas lagi bermain sembunyi-sembunyian. Mereka adalah orang-orang yang telah kenyang makan pahit getirnya kehidupan.”

Ki Tumenggung Purbarumeksa mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian menjawab, “Sudah aku katakan, Rara Wulan ada di rumah sekarang. Ia akan dapat memberikan jawaban.”

“Kau telah melanggar adat keluarga orang-orang berkedudukan di Mataram. Kau telah membawa seorang perempuan dalam pembicaraan untuk menentukan masa depannya,” jawab ayah Raden Antal.

“Hari depan itu milik anakku. Bukan milikku,” jawab ayah Rara Wulan.

Namun wajah ayah Raden Antal itu menjadi merah. Katanya, “Aku tidak memerlukan jawaban dari seorang gadis. Aku memerlukan jawaban dari orang tuanya. Dari ayahnya.”

Namun orang-orang yang ada dipendapa itu terkejut lagi ketika Rara Wulan berkata, “Baik Uwa Tumenggung. Jika Uwa Tumenggung tidak mau mendengarkan jawabanku, biarlah aku akan menjawab langsung kepada Raden Arya Wahyudewa. Aku tidak mau menjadi istrimu. Kau sudah akan kawin dengan seorang gadis. Mudah-mudahan kau menemukan kebahagiaan dengan gadis itu. Jika kemudian Raden akan menikahi aku, maka hati gadis itu akan menjadi sangat sakit. Apalagi ia kemudian sadar akan tingkat dan kedudukannya. Ia tidak lebih dari seorang perempuan yang justru akan terbelenggu oleh nasib buruknya, meskipun ia istri seorang Lurah Pelayan Dalam dan menantu seorang Tumenggung Wreda.”

“Cukup!” bentak ayah Raden Antal. Dengan tatapan mata yang bagaikan menyala ia berkata, “Itukah anakmu Ki Tumenggung? Anak yang tidak tahu diri. Anak yang kehilangan unggah-ungguh, dan dengan deksura berani menyatakan pendapatnya di hadapan calon suaminya.”

“Aku sependapat dengan Ki Tumenggung,” jawab ayah Rara Wulan, “karena itu, sebaiknya hubungan anak-anak kita dibatalkan. Mutlak.”

Ayah Raden Antal tidak segera mengetahui maksud Ki Tumenggung Purbarumeksa. Karena itu, maka iapun bertanya, “Apa maksudmu?”

“Aku sependapat bahwa Rara Wulan adalah seorang gadis yang deksura, tidak tahu diri dan tidak mengenal unggah-ungguh. Karena itu ia tidak pantas menjadi istri anakmas Raden Antal,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Kemarahan ayah Raden Antal itu benar-benar telah membuat darahnya mendidih. Karena itu maka katanya, “Ki Tumenggung. Aku akan berkata langsung pada persoalannya. Hari ini aku mendapat keterangan dari seseorang, bahwa anak gadismu itu pulang bersama kakeknya dan seorang yang tidak dikenal. Tetapi orang itu telah pergi. Karena itu, malam ini aku perlukan datang untuk menjemput calon menantuku. Biarlah ia berada di rumahku sampai saatnya ia akan melangsungkan upacara pernikahannya. Aku akan menyelenggarakan upacara besar-besaran di saat pernikahan Raden Antal dengan Rara Wulan. Kita akan segera membicarakan hari-hari yang menentukan jalan hidup kedua orang anak muda itu.”

Jawaban Ki Tumenggung Purbarumeksa pun tegas, “Tidak Ki Tumenggung. Anak kita tidak akan melangsungkan pernikahannya. Jelas?”

“Jadi kau benar-benar ingin menghina kami?” geram ayah Raden Antal.

“Sebenarnyalah aku yang harus merasa terhina. Sebenarnya aku tidak ingin mengucapkannya. Tetapi Ki Tumenggung telah memaksa aku untuk mengatakannya,” jawab ayah Rara Wulan.

“Kenapa aku telah menghinamu?” bertanya ayah Raden Antal.

“Kau ingin membiarkan anak gadisku, anak Ki Tumenggung Purbarumeksa, dimadu oleh Raden Arya Wahyudewa. Bukankah itu penghinaan? Anakku adalah gadis yang sangat berharga bagiku. Ia tidak boleh dimadu dengan cara apapun juga. Itu sudah aku katakan sebelumnya,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.

“Jika demikian, untuk menghindarkan aib yang tercoreng di kening, aku akan mempergunakan caraku. Aku akan mengambil Rara Wulan. Sudah aku katakan, aku datang dengan sepuluh orang,” berkata ayah Raden Antal itu dengan nada berat. “Bersiaplah. Jika kau tidak ingin memberikannya, maka kami akan memaksa.”

“Sudah aku perhitungkan. Tetapi aku tidak akan menyerahkannya,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa. “Kita adalah orang-orang yang tidak boleh gentar melihat tindak kekerasan. Apalagi dalam hal ini aku sedang melindungi anakku.”

“Cukup,” berkata ayah Raden Antal lantang. Lalu iapun memberikan isyarat kepada orang-orangnya yang dengan sigap telah bangkit berdiri. Terutama yang duduk di tangga pringgitan.

“Marilah,” katanya, “kita datang tidak untuk mendapatkan semangkuk air panas. Tetapi kita harus menutup malu yang dibuat oleh keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa.”

Ketika orang-orang itu telah bersiap, maka Ki Tumenggung Purbarumeksa telah melihat pula empat orang yang bekerja untuknya telah bersiap pula di halaman. Sementara itu, Teja Prabawa ada pula di antara mereka. Dengan demikian maka bersama Ki Tumenggung dan Ki Lurah Branjangan, jumlah mereka menjadi tujuh orang.

“Tidak berselisih terlalu banyak,” berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya, sementara ia masih percaya bahwa orang-orangnya bukan orang-orang yang licik. Bahkan Teja Prabawa yang sudah berguru pula dalam olah kanuragan, akan dapat membantunya menyelamatkan adiknya, meskipun setiap kali mereka selalu bertengkar.

Namun dalam pada itu, semua orang yang tegang itu terkejut. Tiba-tiba saja Rara Wulan bangkit berdiri di tempatnya sambil tertawa. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Raden Arya Wahyudewa. Kenapa kau begitu cengeng seperti gadis kecil yang merajuk? Nah, bukankah kau yang menginginkan aku? Kenapa kau tidak datang sendiri, menemuiku dan bertanya tentang kesediaanku? Nah, bersikaplah seperti laki-laki. Aku akan bersedia menjadi istrimu jika kau mampu menangkap aku, setelah mengalahkan aku dalam satu perkelahian, seorang melawan seorang.”

Semua orang menjadi tegang. Ki Tumenggung Purbarumeksapun menjadi tegang. Tetapi Ki Lurah Branjangan justru tersenyum dan berkata kepada ayah gadis itu, “Biarlah ia menentukan sikapnya sendiri.”

“Tetapi…” ayahnya menjadi cemas.

Ki Lurah tidak menjawab. Ia justru berkata, “Nah, kau dengar tantangannya, Raden. Bukankah Raden seorang Lurah Pelayan Dalam yang memiliki tataran kemampuan seorang prajurit?”

Raden Antal menjadi tegang. Namun ayahnya bertanya kepada Rara Wulan, “Kau berkata sebenarnya?”

“Ya,” jawab Rara Wulan, “Uwa Tumenggung datang dengan alasan harga diri. Menutup malu dan alasan-alasan yang setumpuk itu. Sekarang, biarlah Raden Arya Wahyudewa juga menunjukkan harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Ia harus mempunyai kelebihan dari aku, agar keluarga yang akan kami bangun kelak serasi. Bukan justru setiap aku marah aku memukulinya, karena ia tidak mampu melindungi dirinya sendiri.”

“Kau memang perempuan liar,” geram ayah Raden Antal. Dengan nada tinggi ia berkata, “Antal. Lakukan. Jika kau muak terhadap perempuan itu dan tidak menginginkannya lagi, biarlah ia tahu bahwa ia tidak berharga bagimu. Kalahkan perempuan itu dan hinakan sekehendak hatimu di hadapan hidung ayahnya yang sombong itu. Kau tidak memerlukannya lagi.”

Wajah Raden Antal memang menjadi merah. Ia benar-benar merasa terhina oleh tantangan perempuan yang sebenarnya dicintainya itu. Tetapi Raden Antal memang sulit untuk membedakan antara cinta dan nafsu. Karena itu, maka ia sama sekali merasa tidak bersalah untuk meminang Rara Wulan meskipun beberapa hari lagi ia akan menikah dengan perempuan lain, yang disebutnya sebagai istri paminggir. Sedangkan Rara Wulan baginya akan dianggapnya sebagai istri utama.

Dengan demikian, maka Raden Arya Wahyudewa yang sejak kedatangannya hanya berdiam diri saja karena setiap kata-katanya telah diwakili oleh ayahnya itu berkata, “Baik. Sebenarnya aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk melawan seorang perempuan. Tetapi tingkah lakunya sudah keterlaluan. Ia memang pantas untuk mendapat peringatan. Ia mengira bahwa tantangannya akan diabaikan justru karena ia seorang perempuan. Ia mengira bahwa tidak ada seorang laki-lakipun yang mau berkelahi melawan seorang perempuan, karena jika seorang laki-laki mau berkelahi melawan seorang perempuan, maka ia akan dihinakan. Tetapi kali ini di hadapan saksi-saksi yang melihat betapa perempuan itu telah menghinakan aku, tidak seorangpun akan menyalahkan aku jika aku benar-benar akan melawanmu, mengalahkanmu dan menghinakanmu di sini.”

Rara Wulan tersenyum. Ia memang ingin membuat Raden Antal marah. Dengan demikian ia akan kehilangan sebagian dari pengamatan diri. Sehingga dalam perkelahian yang sesungguhnya, kemarahannya akan merugikannya.

Dengan nada tinggi Rara Wulan berkata, “Bagus Raden. Tunggulah. Aku akan berganti pakaian.”

“Pakaian apa? Kau akan melarikan diri?” geram Raden Antal.

“Sama sekali tidak. Aku tidak akan melarikan diri,” jawab Rara Wulan, yang tanpa menghiraukan siapapun telah melangkah dengan cepat masuk ke ruang dalam.

“Wulan,” ibunya yang cemas menyongsongnya.

“Jangan cemas Ibu. Aku tidak mempunyai cara lain untuk menolaknya. Mudah-mudahan aku berhasil,” jawab Rara Wulan.

Ibunya tidak mencegahnya lagi ketika kemudian Rara Wulan masuk ke dalam biliknya,

Beberapa saat kemudian Rara Wulan telah keluar dengan pakaian khususnya, sehingga ibunya terkejut sambil bertanya, “Pakaian apa yang kau pakai itu Wulan?”

“Khusus untuk menolak lamaran Raden Arya Wahyudewa,” jawab Rara Wulan.

Demikianlah, sejenak kemudian maka Rara Wulan pun telah berada di pringgitan. Semua orang mengumpatinya dengan kata-kata kasar.

Gadis itu ternyata berpakaian seperti seorang laki-laki sambil menjinjing pedang. Namun pedang itu pun kemudian diserahkannya kepada kakeknya sambil berkata, “Bawa pedangku Kakek. Aku ingin menyelesaikan pembicaraan ini dengan tanganku.”

Raden Antal tidak sabar lagi. Iapun segera turun ke halaman sambil berkata, “Semua orang menjadi saksi. Bukan aku yang telah menantangnya. Tetapi perempuan itulah yang mencari persoalan. Ia memang tidak pantas untuk menjadi istriku. Ia hanya pantas untuk menjadi perempuan liar.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Satu penilaian yang wajar. Jadi untuk apa kau datang malam-malam kemari? Sekarang kau tahu, bahwa aku tidak pantas menjadi istrimu.”

“Aku akan menebus aib yang telah dilontarkan oleh keluargamu atas keluargaku!” teriak Raden Antal marah sekali.

Rara Wulan pun telah turun ke halaman, diikuti oleh ayahnya dan kakeknya. Sementara itu ayah Raden Antal dan orang-orang yang datang bersama mereka telah berdiri di sekeliling arena. Sedangkan orang-orang yang telah diupah oleh ayah Rara Wulan pun telah mendekat pula besama dengan kakak Rara Wulan, Teja Prabawa.

Lampu minyak yang ada di pendapa ternyata telah menerangi halaman, sehingga kedua orang yang sudah mempersiapkan diri itu dapat melihat lawan-lawan mereka, meskipun hanya dalam keremangan cahaya lampu yang lemah.

“Kau tunggu apa lagi?” geram ayah Raden Antal. “Satu kesempatan bagimu untuk menebus aib keluargamu. Perempuan itu benar-benar tidak pantas dihormati.”

Rara Wulan sadar, jika ia benar-benar kalah, maka ia tentu akan diperlakukan melampaui batas-batas kewajaran. Justru karena ia seorang perempuan.

Dalam pada itu, sebenarnyalah Ki Lurah Branjangan pun menjadi berdebar-debar. Ia belum tahu tataran kemampuan Raden Antal. Tetapi menilik kedudukannya serta namanya yang tidak banyak didengar orang, tentu ia seorang Lurah Pelayan Dalam sewajarnya. Tidak lebih.

Ki Tumenggung Purbarumeksa-lah yang benar-benar menjadi tegang. Tetapi ia tidak sempat mencegahnya. Ia tidak pula mempunyai cara apapun yang dapat dipergunakan. Karena itu, yang akan dilakukan adalah melindungi Rara Wulan apabila diperlakukan tanpa menghiraukan tatanan yang berlaku dalam perkelahian itu. Tanpa tantangan yang diberikan oleh Rara Wulan, maka pertempuran itu pun tetap akan terjadi.

Namun bahwa Rara Wulan tiba-tiba menantang Raden Antal itu-lah yang telah membuat Ki Tumenggung benar-benar menjadi bingung.

Sejenak kemudian maka Raden Antal dan Rara Wulan itu pun telah berdiri berhadapan. Keduanya telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Anak iblis,” geram ayah Raden Antal melihat sikap Rara Wulan. Katanya di dalam hati, “Agaknya anak itu benar-benar mampu menunjukkan beberapa unsur gerak olah kanuragan. Tentu kakeknya yang mengajarinya, sehingga gadis itu benar-benar mempunyai tingkah laku dan bekal hidup yang tidak sepantasnya bagi seorang gadis.”

Raden Antal sendiri juga melihat, betapa Rara Wulan mampu mempersiapkan diri dengan baik. Namun bagaimanapun juga, menurut Raden Antal, Rara Wulan adalah seorang gadis.

Sejenak kemudian Raden Antal mulai menyerang. Betapapun kemarahan menghentak-hentak di dadanya, tetapi ia tidak menyerang dengan sepenuh tenaga dan kemampuannya. Tangannya bergerak berbareng dengan kakinya yang melangkah maju. Dengan jari-jarinya yang merapat, Raden Antal berusaha memukul bahu Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan dengan gerak yang sederhana bergeser ke samping. Namun yang kemudian di luar dugaan adalah bahwa Rara Wulan dengan cepat melenting, berputar sambil mengayunkan kakinya.

Ayunan kaki Rara Wulan yang berputar itu benar-benar tidak diperhitungkan oleh Raden Antal, sehingga kaki itu telah menghantam punggungnya.

Serangan Rara Wulan cukup keras. Raden Antal terdorong beberapa langkah maju. Untunglah bahwa Raden Antal dengan sigap menguasai diri sendiri sehingga ia tidak jatuh terjerembab.

Meskipun demikian, yang terjadi itu benar-benar telah membuatnya semakin marah. Beberapa orang yang berada di sekitar arena itupun terkejut. Mereka tidak mengira bahwa hal seperti itu akan dapat terjadi.

Raden Antal yang marah itu pun segera memeprbaiki keadaannya. Dengan garangnya ia telah menyerang. Tidak lagi dengan ragu-ragu atau sekedar menjajagi kemampuan lawannya yang seorang perempuan itu. Tetapi ia benar-benar telah menyerang dengan sepenuh hati. 

Rara Wulan juga telah bersiap. Ia sadar, bahwa Raden Antal tidak lagi sekedar mencoba-coba. Karena itu maka iapun telah meningkatkan kemampuannya pula.

Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin cepat. Raden Antal yang marah telah mengerahkan kemampuannya. Ia ingin dengan secepatnya menyelesaikan Rara Wulan, sehingga ia benar-benar mengalahkannya dan menebus aib yang tercoreng di kening.

Tetapi tidak mudah untuk menundukkan gadis itu. Ternyata Rara Wulan mampu bergerak dengan cepat. Apa yang telah dipelajarinya dari kakeknya, dari Sekar Mirah, dari Glagah Putih dan kawan-kawannya, benar-benar berarti saat itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar