Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 262

Buku 262

Orang-orang Gajah Liwung tidak memburu orang-orang yang melarikan diri. Namun Pranawa sempat berteriak sambil menekan lawannya, “Inilah orang-orang Gajah Liwung yang sebenarnya. Jika kau masih berani sekali lagi mengaku orang-orang Gajah Liwung, maka kami akan menyapu bersih semua kekuatan yang ada di bukit ini.”

“Persetan,” geram pemimpin kelompok itu, “kami-lah kelompok Gajah Liwung itu.”

“Jadi kalian-lah yang telah merampok sepadukuhan dengan mengaku sebagai orang-orang dari kelompok Gajah Liwung? Kau akan berusaha membenturkan kelompok Gajah Liwung dengan kelompok yang kau anggap kuat, sehingga kedua kelompok itu akan hancur bersama-sama?” bentak Pranawa sambil menekan lawannya.

Lawan Pranawa itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, iapun telah bergeser semakin jauh. Sementara itu, orang-orang dari kelompok Gajah Liwung yang lain memang telah kehilangan lawan-lawan mereka, karena orang-orang dari kelompok itu yang masih mampu menghindar, telah melarikan diri dari arena, menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar.

Beberapa saat kemudian, lawan Pranawa pun tidak lagi mampu bertahan lebih lama. Iapun kemudian telah meloncat dan menghindar, masuk ke dalam kegelapan.

Pranawa memang tidak mengejarnya, sebagaimana orang-orang dari kelompok Gajah Liwung yang lain.

Sejenak kemudian, maka Sabungsari pun telah memberikan isyarat agar orang-orang Gajah Liwung itu berkumpul. Satu-satu mereka yang ternyata telah memencar itu berdatangan. Glagah Putih dan Rara Wulan masih harus menemukan kedua orang gadis yang bersembunyi di antara gerumbul-gerumbul liar.

Ternyata bahwa suara Rara Wulan telah menarik perhatian kedua orang perempuan itu. Perempuan itu menyadari bahwa suara Rara Wulan itu pula-lah yang telah membangkitkan harapan mereka kembali.

“Ki Sanak. Ki Sanak,” Rara wulan memanggil di dalam gelapnya malam. Untuk beberapa saat Rara Wulan sempat cemas, bahwa kedua orang itu telah jatuh lagi ke tangan orang-orang yang tinggal di bukit itu.

Tetapi akhirnya seorang di antara kedua orang gadis itu menjawab, “Aku di sini.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang gadis itu kemudian telah dibawa berkumpul bersama-sama dengan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung. Seorang di antara kedua orang gadis itu masih saja menggenggam pisau di tangannya.

“Kalian sudah aman sekarang,” berkata Rara Wulan, “serahkan pisau itu kembali.”

Namun ternyata gadis yang membawa pisau itu tidak segera menyerahkannya. Diamatinya orang-orang Gajah Liwung itu seorang demi seorang dengan tatapan mata curiga.

“Jangan takut,” berkata Rara Wulan, “aku juga perempuan seperti kalian. Jika ada di antara mereka yang berniat buruk, maka aku adalah korbannya yang pertama.”

Gadis-gadis itu memang masih ragu-ragu. Namun kemudian pisau itu pun diserahkannya.

Dari pembicaraan selanjutnya, Rara Wulan tahu bahwa gadis itu memang gadis yang hilang, yang diambil oleh sekelompok orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung.

Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang Gajah Liwung itu telah bersiap-siap dan bergegas meninggalkan bukit yang disebut sangat wingit itu. Namun dalam pada itu Pranawa bertanya, ” Bagaimana dengan orang-orang yang pingsan dan terluka?”

“Kawan-kawannya tentu akan kembali,” berkata Sabungsari. Karena itulah, maka orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu pun kemudian telah menyusuri lorong-lorong sempit dan meninggalkan bukit kecil itu, sebelum para prajurit Mataram berdatangan.

Ketika Rumeksa yang sangat marah berniat membakar gubug-gubug di bukit itu, Sabungsari melarangnya, “Yang akan terbakar mungkin bukan hanya gubug-gubug itu saja. Tetapi juga ilalang kering, dan bahkan akan dapat merambat sampai ke hutan. Jika hutan terbakar, maka kita akan mengalami kerugian yang sangat besar.”

Rumeksa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Meskipun rasa-rasanya apa yang kita lakukan masih belum puas. Orang-orang itu telah melukai aku.”

“Mandira juga terluka,” desis Pranawa.

“Hampir semua di antara kita terluka,” desis Suratama yang ternyata juga terluka.

Beberapa saat kemudian, maka orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu telah medekati padukuhan tempat tinggal orang tua gadis yang telah diketemukan kembali itu, yang telah menantang orang-oang Gajah Liwung untuk bertempur.

Kepada gadis yang seorang lagi, Sabungsari berkata, “Biarlah malam ini kau tinggal bersama kawanmu. Aku akan menghubungi orang tuamu.”

Gadis yang semula sudah berputus asa itu mengangguk. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis, “Terima kasih.”

Ketika kemudian orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu menyerahkan gadis yang telah dibawa ke bukit kecil itu kepada orang tuanya, maka ibu gadis itu justru hampir pingsan. Demikian besar ledakan kegembiraan di hatinya, sehingga perempuan itu tidak dapat menguasai diri. Satu jerit yang tinggi dibarengi dengan pelukan, yang seakan-akan justru telah mencekik anak perempuannya yang diketemukan kembali itu.

“Kau tidak apa-apa anakku?” bertanya ibunya.

“Yang Maha Agung masih melindungi aku Ibu,” jawab gadis itu.

“Syukurlah. Syukurlah,” desis ibunya.

Ketika keduanya duduk di amben bersama gadis yang satu lagi, maka ayah gadis itu telah berjongkok sambil menyembah di hadapan Sabungsari. “Sudahlah, Ki Sanak,” berkata Sabungsari, “aku serahkan kembali anak gadis Ki Sanak. Aku titipkan seorang gadis yang lain yang kami ketemukan bersama anak gadis Ki Sanak itu. Kami akan menghubungi orang tuanya.”

“Baik, baik Anak Muda. Tetapi sebenarnya kami ingin mempersilahkan Anak Muda untuk duduk sebentar. Kami merasa sangat berterima kasih atas kesediaan Anak-Anak Muda untuk menolong kami,” berkata orang tua itu.

“Kami adalah orang-orang dari kelompok Gajah Liwung,” jawab Sabungsari, “kami memang berkewajiban untuk menolong sesama. Tetapi kami juga ingin membersihkan nama kelompok kami, karena sekelompok orang telah mempergunakan nama kelompok kami justru untuk melakukan kejahatan.”

“Aku menjadi saksi,” berkata orang tua itu, “aku tidak akan takut mengatakan kepada siapapun juga, bahwa ada sekelompok orang dengan sengaja telah mencemarkan nama baik kelompok Gajah Liwung.”

“Terima kasih,” sahut Sabungsari, “sekarang kami akan minta diri. Kami harus menghindari kesulitan jika para prajurit sempat menyusul kami.”

“Apakah mereka tahu bahwa Ki Sanak ada di sini?” bertanya orang tua itu.

“Justru orang-orang yang merasa kehilangan kedua gadis itu akan dapat melapor kepada para prajurit dengan alasan-alasan palsu. atau dengan laporan-laporan yang sengaja menyudutkan kelompok Gajah Liwung,” jawab Sabungsari.

Orang itu masih akan menjawab. Tetapi di kejauhan tiba-tiba saja telah terdengar suara kentongan dengan nada titir.

“Nah, isyarat itu tentu akan memanggil para prajurit. Kami tidak tahu siapakah yang memukulnya dan dengan alasan apa. Tetapi lebih baik kami pergi,” berkata Sabungsari.

Dari gadis yang seorang lagi, orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu dapat mengetahui orang tuanya, sehingga mereka berjanji untuk menyampaikan kepada orang tuanya itu bahwa gadis itu sudah diselamatkan.

Sesaat kemudian, maka orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu bagaikan telah menghilang dari padukuhan itu. Namun seperti yang telah diperhitungkan, maka sejenak kemudian telah terdengar derap kaki beberapa ekor kuda yang berlari memasuki padukuhan itu.

Ternyata para prajurit telah mendapat laporan tentang orang-orang Gajah Liwung dari orang yang tidak dikenal, dan yang kemudian telah menghilang pula. Seakan-akan orang-orang Gajah Liwung tiu telah membuat kekacauan di seluruh kota Mataram. Dari orang itu pula, para prajurit mendapat petunjuk bahwa orang-orang Gajah Liwung bergerak menuju ke padukuhan itu.

Namun ternyata para prajurit tidak menjumpai siapapun di padukuhan itu. Tidak ada kelompok Gajah Liwung, dan tidak ada pula kelompok yang lain.

Namun kelompok prajurit yang lain, yang mendapat petunjuk pula dari orang yang tidak dikenal, telah menemukan beberapa orang di sebuah bukit kecil di dekat hutan, yang terbaring dengan luka-luka di tubuh mereka. Sebagian dari mereka telah berusaha untuk bangkit dan membenahi diri mereka. Mengobati luka-luka mereka dengan obat yang ada, untuk sekedar memampatkan darah mereka. Tetapi ada di antara orang-orang yang terbaring itu terluka parah. Bahkan kemudian ternyata bahwa empat di antara orang-orang yang ditinggalkan di bukit itu telah tidak bernyawa lagi.

Mataram memang menjadi gempar. Sebelumnya memang sering terjadi perkelahian di antara anak-anak muda. Kadang-kadang memang dapat terjadi, di kedua belah pihak beberapa orang anggotanya mengalami luka-luka. Tetapi jarang terjadi bahwa ada di antara mereka yang terbunuh. Apalagi sampai empat orang sekaligus.

Semalam suntuk para prajurit telah bergerak. Mereka memang mencari orang-orang Gajah Liwung yang dianggap dapat memberikan banyak keterangan.

Ketika beberapa orang prajurit menemukan rumah gadis yang telah dilaporkan diculik oleh orang-orang dari kelompok Gajah Liwung, maka ayahnya berkata lantang, “Tidak. Tentu bukan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung. Justru orang-orang dari kelompok Gajah Liwung-lah yang telah mengembalikan anakku, dan seorang gadis yang belum sempat diantar kepada orang tuanya.”

Ketika prajurit itu kurang yakin, maka gadis yang telah dikembalikan itu dengan berani menyatakan bersedia menjadi saksi.

—”ernyata jauh berbeda. Orang-orang yang mengambil kami yang mengaku orang-orang dari kelompok Gajah Liwung, dengan orang-orang yang membebaskan kami, yang juga menyebut dirinya orang-orang Gajah Liwung,” berkata gadis itu.

Para prajurit itu mengangguk-angguk. Mereka memang sudah menduga bahwa telah terjadi usaha untuk saling mengadu kekuatan antara kelompok-kelompok yang bersaing.

Kepada ayah gadis itu, pemimpin prajurit Mataram itu pun bertanya, “Jadi kau yakin?”

“Aku yakin,” jawab orang tua itu.

Demikian pula gadis-gadis yang telah dibebaskan itu. Mereka yakin bahwa orang-orang Gajah Liwung yang sebenarnya adalah mereka yang justru telah membebaskan mereka. Bukan yang telah mengambil mereka.

“Baiklah,” berkata para prajurit, “tetapi bagaimanapun juga, kami harus menemukan orang-orang Gajah Liwung.”

Namun dalam pada itu, maka prajurit yang menjelajahi bukit kecil di sebelah hutan itu telah membawa beberapa orang ke pusat pengendalian pasukan yang bertugas malam itu.

Mereka yang terluka telah mendapatkan pengobatan. Namun mereka berada di bawah pengawasan yang ketat, karena mereka sangat diperlukan keterangannya. Sementara itu yang terbunuh telah ditempatkan di ruang sebelah. Para prajurit telah menunggu keluarga mereka untuk membawa tubuh-tubuh yang beku itu kembali ke rumah masing-masing untuk diselenggarakan penguburannya.

Di hari-hari berikutnya, di Mataram masih saja mengumandang pembicaraan tentang peristiwa di bukit kecil itu. Banyak orang yang saling menyatakan pendapatnya yang ternyata saling berbeda. Ada yang menganggap bahwa kelompok Gajah Liwung itu justru telah berbuat baik bagi orang banyak. Yang dilakukan justru menguntungkan. Tetapi orang lain berpendapat bahwa jika ada hal yang baik yang dilakukan oleh kelompok Gajah Liwung, hanyalah sekedar untuk menutupi kejahatan yang dilakukan, jauh lebih banyak dari hal-hal yang baik itu.

Tetapi orang-orang Mataram masih harus menunggu. Apa yang akan terjadi kemudian.

Para prajurit dan petugas sandi Mataram juga telah bekerja keras untuk memecahkan persoalan yang terjadi itu. Para petugas sandi telah memiliki keterangan hampir setiap orang dalam kelompok-kelompok yang ada. Tetapi belum seorangpun dari kelompok Gajah Liwung yang diketahui oleh para petugas sandi itu. Nampaknya kelompok Gajah Liwung memang tidak terlalu besar. Mereka bekerja dengan sangat rapi. Namun sementara itu, setiap orang anggota kelompok Gajah Liwung adalah orang yang benar-benar berilmu. Bukan sekedar mengandalkan kekerasan dan kekasaran saja.

Dalam keadaan yang gawat bagi kelompok Gajah Liwung itu, maka Glagah Putih mendapatkan kabar dari Ki Lurah Branjangan bahwa Agung Sedayu akan diwisuda menjadi pemimpin pada Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan.

“Agung Sedayu akan diwisuda langsung oleh Pangeran Mangkubumi, atas perintah langsung dari Panembahan Senapati. Bahkan Ki Patih Mandaraka pun akan hadir pula. Belum pernah terjadi, kehormatan bagi seorang pimpinan pasukan sebagaimana Agung Sedayu itu,” berkata Ki Lurah.

“Ki Lurah akan hadir?” bertanya Glagah Putih.

“Tentu. Aku harus hadir,” jawab Ki Lurah Branjangan.

Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Katanya, “Sebenarnya aku memang ingin datang. Tetapi kami, Gajah Liwung, tengah mengalami persoalan yang rumit. Peristiwa di bukit kecil itu nampaknya akan menjadi berkepanjangan.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kau tidak dapat hadir, aku akan mengatakannya kepada Agung Sedayu.”

“Apakah Kakang Swandaru juga diundang?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak. Agung Sedayu memang tidak ingin mengundang terlalu banyak orang,” jawab Ki Lurah.

Sebenarnyalah Glagah Putih memang menjadi bimbang untuk hadir dalam wisuda itu. Sementara di Tanah Perdikan Menoreh terjadi satu peristiwa penting, bahwa Pangeran Mangkubumi sendiri datang untuk mewisuda Agung Sedayu untuk menjadi seorang pemimpin pada Pasukan Khusus Mataram, dihadiri pula oleh Ki Patih Mandaraka, maka di Mataram Glagah Putih sedang sibuk mengatasi kesulitan bagi kelompoknya. Bersama Sabungsari dan anggota-anggota yang lain, mereka telah berusaha untuk tetap terlepas dari pengamatan para prajurit.

Namun akhirnya Glagah Putih memang tidak akan dapat pergi ke Tanah Perdikan, ketika pada saat yang bersamaan Glagah Putih dan Sabungsari telah dipanggil secara khusus oleh Ki Wirayuda. Mereka harus datang di satu tempat yang ditentukan oleh Ki Wirayuda, namun tidak akan banyak menarik perhatian orang lain.

“Aku mendapat laporan lengkap tentang peristiwa di bukit itu,” berkata Ki Wirayuda, “namun aku masih harus menyaring kebenaran dari berita itu. Nah, karena itu, aku ingin kalian bercerita tentang perisiwa itu apa adanya.”

Sabungsari pun kemudian telah menceritakan apa yang terjadi. Bahkan ia mulai dari perampokan yang terjadi di sebuah padukuhan dengan mempergunakan landasan nama kelompok Gajah Liwung.

“Kalian telah membunuh empat orang,” berkata Ki Wirayuda.

“Kami tidak sengaja melakukannya,” jawab Sabungsari, “lawan kami terlalu banyak waktu itu.”

“Aku menyetujui cara yang kalian tempuh, bukan untuk melakukan pembunuhan. Bukan untuk menjatuhkan hukuman,” berkata Ki Wirayuda

“Kami hanya bermaksud menghalau mereka,” jawab Glagah Putih, “tetapi melawan orang yang terlalu banyak, kadang-kadang kami mengalami kesulitan untuk menjaga ayunan senjata kami agar tidak membunuh sasaran.”

“Tetapi kalian tidak berhak membunuh,” berkata Ki Wirayuda.

“Kami hanya memikirkan keselamatan gadis-gadis itu,” jawab Sabungsari.

“Kenapa kalian tidak melaporkan saja kepada para prajurit yang bertugas? Dengan demikian maka perwira yang sedang bertugas akan dapat mengambil kebijaksanaan. Ia akan dapat menurunkan sekelompok prajurit dalam jumlah yang mencukupi,” berkata ki Wirayuda.

“Terlambat,” berkata Sabungsari, “jika kami harus melaporkan kepada para prajurit pada waktu itu, maka mungkin gadis itu sudah membunuh diri.”

Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Aku menyetujui langkah-langkah yang kalian ambil dalam batas tertentu. Kalian tidak dapat berbuat segala sesuatu tanpa pertimbangan yang matang.”

“Ki Wirayuda,” berkata Sabungsari, “sebaiknya Ki Wirayuda menilai kembali seluruh peristiwa yang terjadi. Seandainya ki Wirayuda dalam kedudukan kami pada waktu itu, apa yang akan Ki Wirayuda lakukan?”

“Apapun alasannya, tetapi kesempatan yang aku berikan tetap terbatas,” jawab Ki Wirayuda tegas.

Sabungsari dan Glagah Putih tidak menjawab lagi. Bahkan Sabungsari kemudian berkata, “Kami mohon maaf.”

“Kematian empat orang anggota dari satu kelompok akan dapat mengundang masalah yang berkepanjangan. Kawan-kawan mereka tentu akan menuntut balas. Dendam dan kebencian akan semakin menyala. Dengan demikian maka hadirnya kelompok Gajah Liwung tidak mencapai sasarannya,” berkata ki Wirayuda dengan nada tinggi.

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Sudahlah,” berkata Ki Wirayuda, “tetapi untuk selanjutnya aku tidak mau mendengar lagi kelompok Gajah Liwung telah membunuh.”

“Bagaimana jika hal itu dilakukan oleh orang lain dengan mempergunakan nama Gajah Liwung?” bertanya Glagah Putih.

“Adalah tugas kalian untuk membersihkan nama kalian. Tetapi tidak dengan membunuh, sebagaimana baru-baru saja kalian lakukan,” jawab Ki Wirayuda.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak membantah lagi. Ki Wirayuda merasa berkewajiban untuk mengendalikan kelompok Gajah Liwung yang terdiri di antaranya beberapa orang prajurit. Bahkan prajurit yang harus menyembunyikan diri dari pengamatan kawan-kawannya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Sabungsari dan Glagah Putih pun telah minta diri dengan harus menyatakan kesanggupan-kesanggupan baru. Ki Wirayuda memang minta agar Sabungsari dan Glagah Putih memberikan janji-janji. Jika tidak, maka Ki Wirayuda tidak mau lagi ikut bertanggung jawab jika di kemudian hari terjadi sesuatu.

Ketika keduanya berjalan menuju ke tempat kawan-kawan mereka menunggu, maka Sabungsari berkata dengan nada dalam, “Memang sulit utnuk melakukan tugas ini.”

Glagah Putih tersenyum betapapun kecut hatinya menghadapi kenyataan itu. Dengan nada dalam ia berkata, “Tidak seorangpun di antara kita yang dengan sengaja membunuh.”

“Ya, Sebenarnya salah mereka yang mati,” sahut Sabungsari, “mereka terlalu lemah, sehingga sentuhan sedikit saja telah membuat mereka mati.”

Glagah Putih masih saja tersenyum. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.

Demikian mereka sampai ke tempat kawan-kawan mereka menunggu, maka pertanyaan pun telah mengalir tanpa henti-hentinya.

Pesan Ki Wirayuda pada umumnya dianggap menyulitkan kedudukan Gajah Liwung. Tetapi Sabungsari berkata, “Memang kewajiban kita tidak untuk membunuh. Karena itu, maka kita harus lebih berhati-hati.”

“Tetapi kita tidak sengaja melakukannya,” berkata Mandira.

“Kita harus mencari cara yang terbaik untuk memenuhi pesan Ki Wirayuda,” berkata Naratama.

“Kita akan mempergunakan cara pukul dan menghindar,” berkata Sabungsari.

“Maksudnya?” bertanya Rumeksa.

“Kita akan menghindari pertempuran-pertempuran yang menentukan, seperti yang terjadi di bukit itu. Harus ada perhitungan khusus untuk hadir dalam pertempuran, namun kemudian meninggalkannya. Kita tidak perlu memaksa lawan kita meninggalkan arena pertempuran. Tetapi kita sendiri-lah yang harus menyingkir dari setiap pertempuran, namun dengan kesan yang khusus. Bukan melarikan diri karena kita tidak berdaya lagi untuk melawan. Kecuali jika kita yakin, bahwa dalam pertempuran itu tidak akan terjadi kematian,” berkata Sabungsari.

Yang lain mengangguk-angguk. Memang sulit untuk dapat melakukannya. Kadang-kadang dalam pertempuran, tanpa sengaja ujung senjata kita telah menghujam ke jantung lawan. Tetapi mereka harus berusaha mematuhi pesan Ki Wirayuda.

Dengan demikian, maka di hari-hari berikutnya kelompok Gajah Liwung harus membatasi langkah-langkahnya. Tetapi bukan berarti Gajah Liwung tidak berbuat apa-apa. Beberapa kali orang-orang dari kelompok Gajah Liwung telah menerobos masuk ke dalam rumah-rumah perjudian, sabung ayam, dan tempat-tempat lain yang sejenis. Mereka telah merampas uang dan barang-barang taruhan. Namun di kesempatan lain, orang-orang Gajah Liwung telah memberikan banyak pertolongan bagi orang-orang miskin di Mataram.

Tetapi kenakalan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung masih saja sering dilakukan. Beberapa kali mereka mengaliri halaman rumah orang-orang yang dianggap tamak dan kikir dengan air parit, sehingga ketika pagi-pagi benar penghuni rumah itu bangun, mereka telah terkejut karena halaman rumah mereka menjadi blumbang.

Sementara itu kelompok-kelompok yang lain pun menjadi semakin mendendam tetapi juga segan.

Beberapa hari kemudian, dari Ki Wirayuda orang-orang dari kelompok Gajah Liwung telah mendapat keterangan bahwa orang-orang yang berada di bukit itu bukan orang-orang dari kelompok yang pernah ada. Tetapi mereka adalah murid murid dari sebuah padepokan.

“Mereka adalah orang-orang padepokan yang justru agak jauh dari Mataram. Tetapi mereka telah membuat gubug-gubug kecil di bukit itu. Untuk beberapa lama mereka sempat mengamati keadaan yang bergejolak di Mataram karena tingkah laku anak-anak mudanya yang tidak bertanggung jawab,” berkata Ki Wirayuda kepada Glagah Putih dan Sabungsari, yang telah dipanggilnya secara khusus.

“Baru sekarang Ki Wirayuda mengetahui?” bertanya Sabungsari.

“Kami menunggu orang-orang yang terluka itu dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kami,” jawab Ki Wirayuda.

“Dugaan kami ternyata keliru,” berkata Glagah Putih, “kami menduga bahwa mereka adalah orang-orang dari salah satu kelompok yang pernah kita dengar namanya.”

“Justru karena mereka kelompok yang masih asing, maka mereka telah mempergunakan nama kelompok Gajah Liwung yang masih belum dikenal orang-orangnya,” berkata Ki Wirayuda.

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Sabungsari bertanya, “Dimanakah orang-orang yang lain dari kelompok yang masih belum dikenal itu sekarang?”

“Kawan-kawannya tidak dapat menyebutkan. Tetapi kami masih memeriksa mereka dengan cermat,” jawab Ki Wirayuda.

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata mereka akan berhadapan dengan kelompok yang lain dari yang pernah mereka kenal sebelumnya.

Namun dalam pada itu, Ki Wirayuda telah mengusulkan agar untuk sementara kelompok Gajah Liwung menghentikan kegiatan mereka.

“Kenapa?” bertanya Sabungsari.

“Beri kesempatan para prajurit mengusut orang-orang yang telah mengaburkan nama kelompok Gajah Liwung. Jika para prajurit kemudian memastikan ciri dari kelompok itu, maka kalian akan dapat menentukan langkah yang terbaik yang dapat kalian lakukan,” berkata Ki Wirayuda.

“Tetapi jika gagal, maka nama kelompok Gajah Liwung untuk selanjutnya akan tetap hancur,” berkata Glagah Putih. Lalu, “Sulit bagi kami untuk dapat bangkit kembali untuk mendapatkan kepercayaan.”

“Tetapi kami akan menjadi jelas. Jika kami mendapat jaminan bahwa kelompok Gajah Liwung yang sebenarnya tidak bergerak, maka setiap gerakan yang mempergunakan nama Gajah Liwung akan dapat kami tindak dengan keras jika perlu,” jawab Ki Wirayuda.

Sabungsari yang mengangguk-angguk kecil berkata, “Kami dapat mengerti.”

“Nah, jika demikian, kalian harus menghentikan setiap gerakan mulai besok. Perintah untuk memburu orang-orang itu akan segera dikeluarkan,” berkata Ki Wirayuda selanjutnya.

Sabungsari mengangguk-angguk. Kepada Glagah Putih ia berkata, “Kita akan menghentikan kegiatan. Tetapi kita mohon kepada Ki Wirayuda, bahwa waktu yang akan dipergunakan oleh para prajurit iu tidak lebih dari sepekan. Setelah sepekan, kita mohon diperkenankan untuk bergerak kembali. Masih banyak yang ingin kami lakukan, karena sebenarnya-lah yang kita lakukan barulah permulaan. Atau bahkan katakan baru ancang-ancang. Sehingga kita memerlukan waktu untuk benar-benar bergerak,” minta Sabungsari.

Ki Wirayuda mengangguk kecil. Iapun sadar, bahwa yang dilakukan oleh kelompok Gajah Liwung itu masih jauh dari tujuannya. Kelompok itu berniat untuk membuat kelompok-kelompok anak muda menjadi jera. Sudah tentu kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab.

Karena itu maka Ki Wirayuda pun berkata, “Pada dasarnya kami tidak berkeberatan. Tetapi jika waktu sepekan itu terlampaui, sementara kami melihat titik-titik terang sehingga kami memerlukan waktu satu dua hari lagi, maka kami minta kalian dapat mengerti.” 

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu Ki Wirayuda. Kami berniat membantu Ki Wirayuda sejak awalnya.”

Ki Wirayuda mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum sambil berkata, “Kau benar.”

Namun dalam pada itu, Glagah Putih berkata, “Jika demikian aku, mohon waktu untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Selama Gajah Liwung membekukan diri, maka aku tidak akan mempunyai kegiatan apapun di sini. Aku tidak dapat datang ke Tanah Perdikan ketika Kakang Agung Sedayu diwisuda, justru karena gejolak yang telah terjadi di sini.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Namun katanya, “Terserah kepada kalian.”

Glagah Putih pun kemudian berpaling kepada Sabungsari sambil berkata, “Bukankah kawan-kawan dapat mengikuti perkembangan keadaan dalam sepekan ini?”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berada di kota. Kau dapat menengok Tanah Perdikan Menoreh, serta mengucapkan selamat kepada Agung Sedayu yang telah diwisuda menjadi pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.”

Demikianlah, ketika kemudian kelompok Gajah Liwung itu menyelenggarakan pertemuan, maka Sabungsari telah menyampaikan pesan dari Ki Wirayuda. Ternyata bahwa anggota-anggota Gajah Liwung yang lain pun dapat mengerti, sehingga mereka semuanya merasa tidak berkeberatan untuk melaksanakannya.

Namun dalam pada itu Rara Wulan berkata, “Aku ikut ke Tanah Perdikan.”

“Jangan,” jawab Glagah Putih, “sebaiknya kau beristirahat di rumah Ki Lurah Branjangan.”

“Kenapa tidak boleh? Bukankah selama ini aku juga jarang ada di rumah Kakek?” bertanya Rara Wulan.

“Tetapi sulit bagi Ki Lurah Branjangan untuk mempertanggung-jawabkan kepergianmu ke Tanah Perdikan kepada kedua orang tuamu. Jika terjadi sesuatu, maka Ki Lurah akan memikul beban kesalahannya,” jawab Glagah Pulih.

“Terjadi sesuatu apa maksudmu?” bertanya Rara Wulan, “Jika aku pergi bersamamu, bukankah itu tergantung kepadamu juga?”

“Maksudku, jika ada orang yang telah mengenali kita dalam hubungannya dengan kelompok Gajah Liwung. Apalagi jika orang itu mendendam kepada kita,” jawab Glagah Putih.

“Apakah itu demikian menakutkan, sehingga aku harus mengurungkan keinginanku pergi ke Tanah Perdikan?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, la menyadari sifat gadis yang keras hati itu, sehingga sulit baginya untuk mencegah niatnya ikut ke Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun demikian, Glagah Putih masih menggoda, “Persoalannya bukan hanya sekedar hambatan di perjalanan. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, pertanggung-jawaban Ki Lurah, serta pandangan orang terhadap kepergian kita berdua. Rara adalah seorang gadis dari lingkungan terpandang, sementara aku tidak lebih dari anak Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kau tentu dapat menyusun seribu macam alasan. Tetapi yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh bukan Rara Wulan. tetapi salah seorang anggota kelompok Gajah Lawung yang sehari-hari berada di lingkungan laki-laki kasar seperti kalian semua,” berkata Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sulit untuk menahan keinginan Rara Wulan. Tetapi ia masih menjelaskan, “Rara. Kita semuanya di sini mengetahui bahwa Rara adalah salah seorang anggota kelompok Gajah Liwung. Tetapi apakah orang-orang Tanah Perdikan mengetahuinya?”

Rara Wulan memang merenung sejenak. Namun katanya, “Orang-orang Tanah Perdikan sudah mengenal aku.”

Habislah alasan Glagah Putih untuk mencegah Rara Wulan. Ia hanya dapat menggantungkan keputusan terakhir kepada Ki Lurah Branjangan. Katanya, “Baiklah Rara. Tetapi keputusan terakhir akan kita serahkan kepada Ki Lurah Branjangan. Jika Ki Lurah mengijinkan, maka Rara dapat ikut ke Tanah Perdikan. Tetapi jika Ki Lurah tidak mengijinkan, maka sudah tentu aku tidak akan dapat membawa Rara bersamaku.”

“Kau ingin memperalat Kakek untuk mencegahku? Kau kira aku dapat ditahan Kakek untuk tidak pergi?” desis Rara Wulan.

“Jika Ki Lurah tidak mengijinkan, aku akan pergi sendiri di luar pengetahuan Rara,” berkata Glagah Putih.

“Kau kira aku tidak dapat pergi sendiri? Aku sudah mengenal jalan ke Tanah Perdikan itu. Kau pergi atau tidak, aku akan tetap pergi,” geram Rara Wulan.

Glagah Putih memandang Sabungsari sekilas. Tetapi Sabungsari hanya tersenyum saja. Ia tidak mau mencampuri peristiwa yang nampaknya menjadi persoalan pribadi itu.

Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Suasana pertemuan itu memang menjadi hening. Semua orang merasa lebih baik berdiam diri daripada mencampuri persoalan yang tidak banyak mereka ketahui ujung pangkalnya itu.

Namun Glagah Putih kemudian berkata, “Kita akan menemui Ki Lurah. Bukankah Ki Lurah sudah kembali dari Tanah Perdikan Menoreh?”

Rara Wulan mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya. Kakek sudah kembali.”

“Kita akan berbicara dengan Ki Lurah,” berkata Glagah Putuh kemudian.

Bersama Glagah Putih, maka Rara Wulan pun kemudian telah meninggalkan kawan-kawannya. Dalam pakaian sehari-hari yang wajar, maka keduanya sama sekali tidak menarik perhatian orang. Bahkan gadis-gadis yang mengenal Rara Wulan sama sekali tidak pernah menghubungkannya dengan kelompok-kelompok yang kadang-kadang membuat keresahan di Mataram. Tetapi gadis-gadis itu saling mendorong dan tertawa tertahan melihat anak muda yang mengiringi Rara Wulan itu.

Rara Wulan merasakan maksud sikap anak-anak gadis kawannya itu. Tetapi ia berpura-pura tidak melihatnya. Ia berjalan saja dengan langkah yang tegap. Sementara suara tertawa yang tertahan-tahan itu menjadi semakin keras. Yang kemudian menunduk dalam-dalam dengan wajah yang terasa panas justru adalah Glagah Putih.

Beberapa langkah kemudian Rara Wulan sempat berpaling kepada anak muda itu. Wajah Glagah Putih masih kemerah-merahan menahan gejolak di hatinya.

“Tidak apa-apa,” desis Rara Wulan, “segala sesuatunya tergantung kepada kita sendiri.”

“Apa yang tergantung kepada kita?” Glagah Putih, yang sebenarnya mengetahui maksud Rara Wulan itu, masih juga bertanya.

Wajah Rara Wulan-lah yang menjadi merah. Tetapi ia berkata, “Kau mulai berani mengganggu aku.”

Tetapi di luar dugaan Glagah Putih masih menjawab, “Ini baru dalam perjalanan pendek. Apalagi jika kita pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Jaraknya panjang. Sementara kita akan melewati bulak-bulak panjang.”

Namun Rara Wulan masih juga menjawab pula, “Kau akan dihadapkan ke pengadilan kelompok Gajah Liwung.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih, “Apa yang kira-kira akan aku lakukan?”

Rara Wulan memang menjadi bingung. Dengan bersungguh-sungguh ia berkata, “Sudah. Sudah. Aku tidak mau berbicara lagi.”

Glagah Putih memang juga terdiam. Tetapi ia berjalan saja mengikuti Rara Wulan menuju ke rumah kakeknya. Gadis itu sama sekali tidak ingin pulang ke rumah orang tuanya yang dirasanya kurang ada kehangatan, karena orang tuanya yang terlalu sibuk dengan pangkat dan derajatnya, sehingga memang kurang memperhatikannya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Branjangan telah kembali dari Tanah Perdikan Menoreh. Ketika ia melihat Glagah Putih dan Rara Wulan datang, maka ditinggalkannya tanaman yang sedang disianginya di sudut halaman.

“Kek,” sapa Rara Wulan.

“Kau tidak pernah lagi mengurusi tanaman di halaman ini. Pohon soka itu hampir saja menjadi layu karena tidak pernah disiram lagi. Sedangkan pohon ceplok piring di sudut, tidak mau lagi berbunga,” berkata Ki Lurah.

“Bukankah aku sedang sibuk Kek?” jawab Rara Wulan. Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Seharusnya kau dapat membagi waktu.”

“Tetapi Kakek tahu, bahwa aku tidak dapat memperhitungkan waktu dengan baik. Setiap saat aku dituntut untuk melakukan sesuatu,” berkata Rara Wulan.

Ki Lurah justru tertawa. Sementara Rara Wulan mengerutkan dahinya sambil bertanya, “Kenapa Kakek tertawa?”

“Kau baru melakukan permainan anak-anak remaja itu saja sudah merasa tidak ada waktu untuk keperluan yang lain. Apalagi jika pada suatu saat kau mengemban tugas yang jauh lebih berat. Bukan saja pelaksanaannya, tetapi juga tanggung jawabnya,” berkata kakeknya.

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia langsung masuk ke ruang dalam.

“Marilah, duduklah,” Ki Lurah mempersilahkan Glagah Putih.

Glagah Putih pun kemudian telah naik ke pendapa. Ki Lurah masih membersihkan tangan dan kakinya. Baru kemudian iapun telah naik ke pendapa pula.

“Kapan Ki Lurah kembali dari Tanah Perdikan?” bertanyanya Glagah Putih.

“Baru kemarin,” jawab Ki Lurah.

“Apakah Pangeran Mangkubumi dan Ki Patih Mandaraka juga bermalam di Tanah Perdikan?” bertanya Glagah Putih.

Ki Lurah menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Demikian upacara selesai, maka keduanya bersama sekelompok pengiringnya telah kembali ke Mataram.”

“Sayang sekali,” desis Glagah Putih, “sebenarnya aku ingin sekali menyaksikannya. Tetapi sebagaimana pernah aku katakan, saat itu kelompok Gajah Liwung sedang menghadapi persoalan yang panas.”

“Aku sudah menyampaikannya kepada Agung Sedayu,” jawab Ki Lurah.

“Apakah Kakang Untara sempat datang?” bertanya Glagah Putih pula.

“Tidak. Tidak ada orang lain yang datang, selain para pemimpin dari Mataram. Swandaru juga tidak. Bahkan gurunya juga tidak,” jawab Ki Lurah.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti bahwa Agung Sedayu yang hatinya agak tertutup itu dengan sengaja tidak memberitahu siapapun juga.

“Tetapi hal itu tidak mengurangi nilai dari upacara itu,” berkata Ki Lurah Branjangan, “semua berjalan sesuai dengan rencana. Satu kebanggan telah meledak di Tanah Perdikan Menoreh. Agung Sedayu yang sudah dianggap keluarga sendiri bagi Tanah Perdikan Menoreh, telah mendapat kepercayaan yang cukup besar dari Mataram, sehingga mendapat kedudukan yang tinggi di lingkungan keprajuritan di Mataram.”

“Syukurlah,” berkata Glagah Putih. Iapun kemudian menyatakan niatnya untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Apakah keadaan kelompokmu sudah tidak gawat lagi?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Ki Wirayuda memerintahkan kelompok kami untuk menghentikan kegiatan sekitar sepekan. Jika dalam sepekan ada kegiatan kelompok Gajah Liwung, maka jelas itu bukan kelompok kami,” jawab Glagah Putih.

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Satu usaha yang baik. Mudah-mudahan akan segera jelas.”

“Selama tidak ada kegiatan apapun, aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara, Sabungsari dapat mengamati keadaan di sini,” berkata Glagah Putih.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata kau dapat memanfaatkan waktu dengan baik.”

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan keluar pula ke pendapa dan duduk di sebelah kakeknya sambil berkata, “Kek. Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti maksud cucunya itu. Karena itu, maka iapun bertanya, “Apakah kau akan pergi bersama Glagah Putih?” “Tidak. Glagah Putih pergi sendiri. Aku akan pergi sendiri,” berkata Rara Wulan.

“Aku tidak mengerti,” jawab Ki Lurah kemudian.

“Glagah Putih nampaknya tidak senang pergi bersama aku,” jawab Rara Wulan, “ia berusaha untuk menghalangi kepergianku ke Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin ia akan membujuk Kakek untuk melarang aku pergi.”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Kemudian iapun bertanya kepada Glagah Putih, “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan sendat ia mencoba menjelaskan sikapnya karena keinginan Rara Wulan akan ikut bersamanya pergi ke Tanah Perdikan.

Ki Lurah Branjangan mendengarkan keterangan Glagah Putih sambil mengangguk-angguk. Namun demikian Glagah Putih selesai, maka Ki Lurah berkata, “Jadi Rara Wulan akan pergi bersamamu ke Tanah Perdikan.”

“Tidak,” jawab Rara Wulan, “sudah aku katakan, aku akan pergi sendiri ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi Ki Lurah-lah yang kemudian berkata, “Jika kau pergi sendiri, aku tidak akan mengijinkannya.”

“Maksud kakek?” bertanya Rara Wulan.

“Jika kau pergi bersama Glagah Putih, baru aku dapat melepaskanmu,” berkata Ki Lurah. “Sebagaimana kau tahu, sekarang keadaan di Mataram menjadi semakin gawat dengan hadirnya sekelompok orang yang belum dikenal dengan pasti. Para petugas sandi masih dibingungkan oleh kehadiran kelompok Gajah Liwung yang sebenarnya, yang tiba-tiba saja ada di antara kelompok-kelompok anak muda, namun dengan watak yang berbeda. Tetapi kemudian kelompok Gajah Liwung itu menjadi kabur karena kedatangan orang-orang baru yang tidak dikenal itu.”

“Maksud Ki Lurah, sekelompok orang dari padepokan yang jauh itu?” bertanya Glagah Putih.

“Untuk sementara mereka disebut demikian,” jawab Ki Lurah.

“Kami sudah berhubungan dengan Ki Wirayuda,” jawab Glagah Putih, “tetapi nampaknya Ki Wirayuda juga belum pasti terhadap kelompok ini.”

“Nah, karena itu maka aku berkeberatan jika Rara Wulan pergi sendiri ke Tanah Perdikan,” berkata Ki Lurah kemudian.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Rara Wulan menundukkan kepalanya.

“Nah. aku ingin keteranganmu Rara Wulan. Apakah kau tetap akan pergi sendiri, atau akan pergi bersama-sama dengan Glagah Putih?” bertanya Ki Lurah.

Rara Wulan masih saja termangu-mangu. la tidak segera dapat menjawab pertanyaan kakeknya. Namun Ki Lurah kemudian mendesaknya, “Jawablah Wulan. Aku ingin ketegasanmu agar aku dapat menentukan sikap.”

Rara Wulan memang tidak dapat segera menjawab. Tetapi kakeknya berkata, “Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kau tidak menjawab, maka aku menganggap bahwa kau tidak akan berangkat ke Tanah Perdikan.”

Tetapi ketika Ki Lurah mulai menghitung, maka iapun mulai tertawa melihat kebingungan Rara Wulan, sehingga tiba-tiba saja Rara Wulan telah bergeser mendekat dan mencubitnya sekeras-kerasnya. “Kakek mengganggu aku. Semua orang mulai mengganggu aku.”

“Wulan,” desis Ki Lurah, “sakit.”

“Tetapi Kakek membuat aku menjadi bingung,” berkata Rara Wulan dengan suara dalam.

“Tidak Wulan,” jawab kakeknya, “aku tidak bermaksud mengganggumu. Tetapi aku benar-benar tidak dapat mengijinkan kau pergi sendiri. Kau harus mampu melihat keadaan yang sedang berkembang sekarang ini, justru setelah perang dengan Madiun selesai.”

“Karena itu,” Ki Lurah melanjutkan, “jika kau memang akan pergi, maka kau sebaiknya pergi bersama Glagah Putih. Itupun aku ingin berpesan, bahwa kalian harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.”

Rara Wulan menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Demikianlah, maka Rara Wulan memang tidak dapat mengelak, bahwa ia harus pergi ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Glagah Putih. Sebenarnyalah Rara Wulan memang akan pergi bersama Glagah Putih, namun semula Glagah Putih memang menjadi agak berkeberatan. Tetapi karena Ki Lurah Branjangan mengijinkan, maka Glagah Putih pun menjadi tidak dapat mengelak lagi.

Di hari berikutnya, maka kedua orang itu pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Mereka telah minta diri kepada Ki Lurah Branjangan, kepada kawan-kawan dalam kelompok Gajah Liwung, dan bahkan kepada Ki Wirayuda.

“Hati-hati,” pesan Ki Wirayuda, “nampaknya orang-orang yang belum begitu kita kenal itu memang orang-orang yang berbahaya. Mereka dengan cepat memasuki segi-segi kehidupan yang gelap di Mataram. Benturan-benturan memang sering terjadi dengan kelompok-kelompok yang telah ada. Tetapi setiap kali mereka memang sering mempergunakan nama kelompok Gajah Liwung. Nampaknya beberapa pihak mulai percaya bahwa yang paling ganas dari segala kelompok yang ada itu adalah kelompok Gajah Liwung, yang semula dikira kelompok yang akan dapat memberikan keseimbangan menghadapi kelompok-kelompok lain yang dinilai kasar dan liar. Namun tiba-tiba kelompok Gajah Liwung telah melakukan perbuatan-perbuatan yang keji melampaui kelompok-kelompok yang ada.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya Glagah Putih bertanya, “Menghadapi orang-orang yang demikian, sebagaimana di bukit kecil itu, rasa-rasanya sulit sekali untuk menghindari kekerasan yang barangkali dapat mengakibatkan kemungkinan yang buruk.”

Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab, “Kalian tidak wenang menjatuhkan hukuman sendiri kepada siapapun juga.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi Glagah Putih tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengerti, bahwa Ki Wirayuda tidak akan membejnarkan semua tindakan yang dilakukan langsung kepada penjahat yang paling berbahaya sekalipun, jika tidak dalam keadaan terpaksa dan dapat dibuktikan terutama untuk melindungi diri sendiri, atau melindungi jiwa orang lain yang tidak bersalah.

Setelah semua pihak dihubungi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan Mataram menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu Sabungsari yang melepasnya sampai ke gerbang kota sempat berdesis, “Kami mendengar desas-desus yang belum dapat diyakini kebenarannya, bahwa orang-orang yang menyebut dirinya dari kelompok Gajah Liwung adalah orang-orang dari Pegunungan Kendeng.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya, “Mudah-mudahan para petugas sandi segera dapat memecahkan teka-teki itu.”

“Mudah-mudahan, meskipun mereka tentu juga mengalami kesulitan. Tetapi mereka tentu akan bekerja keras untuk itu,” jawab Sabungsari, yang kemudian berpesan, “Hati-hatilah di perjalanan. Kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat diperhitungkan akan dapat terjadi. Mungkin kalian bertemu dengan orang-orang yang berniat buruk. Namun kalian juga harus berhati-hati terhadap nalar budi kalian sendiri.”

“Ah kau,” sahut Glagah Putih. Tetapi ia tidak berbicara lebih lanjut.

Demikianlah, sejenak kemudian dua ekor kuda telah berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Untuk tidak menarik perhatian, maka Rara Wulan telah berpakaian seperti seorang laki-laki, sebagaimana pernah dilakukan oleh Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Orang-orang yang berpapasan tetapi tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, tidak akan dapat melihat bahwa ia adalah seorang perempuan.

Beberapa saat mereka berkuda melewati bulak-bulak pendek dan panjang menuju ke tempat penyeberangan di Kali Praga. Jalan yang mereka tempuh termasuk jalan yang agak ramai. Karena itu, maka mereka pun banyak berpapasan dengan orang-orang lewat dan bahkan orang-orang berkuda.

Memang tidak banyak orang yang memperhatikan kedua orang berkuda dari Mataram menuju ke Tanah Perdikan itu. Mereka yang berpapasan menduga bahwa keduanya adalah anak-anak muda yang sedang menempuh perjalanan. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa seorang di antara mereka adalah seorang gadis.

Dengan demikian maka perjalanan keduanya sama sekali tidak mengalami hambatan.

Tetapi berdua mereka sempat menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat beberapa orang berkerumun di pinggir jalan. Nampaknya perhatian mereka tertuju kepada dua orang suami istri yang menggigil berdiri di pinggir jalan.

Glagah Putih dan Rara Wulan sempat memperlambat kuda mereka, dan bahkan berhenti beberapa langkah dari kerumunan orang-orang itu. Kepada seseorang Glagah Putih bertanya, “Apa yang terjadi dengan kedua orang itu?”

Orang itu pun kemudian telah menjawab, “Mereka telah dirampok.”

“Dirampok? Di siang hari dan di tempat seperti ini?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,” jawab orang itu.

“Apakah perampok itu dapat ditangkap?” bertanya Glagah Putih kemudian.

“Tidak seorangpun yang berani melakukannya. Mereka terdiri dari dua orang yang bertubuh raksasa. Mereka tiba-tiba saja telah meloncat dari punggung kuda, merampas keris dengan pendok emas, ikat pinggang dengan timang emas tretes berlian, perhiasan perempuan itu yang nampaknya juga bernilai tinggi,” jawab orang itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika Rara Wulan akan bertanya, Glagah Putih sempat memberinya isyarat untuk mengurungkannya.

Rara Wulan menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Untunglah bahwa ia segera menyadari bahwa ia berpakaian seperti laki-laki.

Namun agaknya Glagah Putih dan Rara Wulan sudah tidak akan dapat membantu apapun juga. Kedua orang yang merampas perhiasan dan keris kedua orang itu telah meninggalkan tempat itu di atas punggung kuda.

Karena itu maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera meneruskan perjalanan mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Begitu mereka menjauh, Rara Wulan pun berkata, “Tentu perbuatan kelompok-kelompok anak nakal itu. Ternyata gerakan mereka sampai ke tempat ini pula.”

“Mudah-mudahan tidak menyeberang Kali Praga,” berkata Glagah Putih.

“Kelompok yang telah ada di Mataram aku kira tidak akan menjangkau jarak yang terlalu jauh. Tetapi entahlah dengan kelompok yang baru, yang menurut Ki Wirayuda berasal dari Gunung Kendeng itu,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia berdesis, “Apakah begitu cepat mereka mengenal medan?”

“Tentu mereka sudah lama berada di Mataram dan sekitarnya,” jawab Rara Wulan.

Glagah Putih masih mengangguk-angguk. Bahkan iapun bergumam, “Ya. Mereka sudah mengenal kelompok Gajah Liwung.”

Rara Wulan terdiam. Dipandanginya jalan yang membujur panjang di hadapannya menuju ke Kali Praga.

Keduanya pun kemudian telah sampai ke tepian. Kepada Rara Wulan, Glagah Putih berkata, “Ingat. Kau berpakaian seperti pakaian laki-laki, tetapi suaramu tetap suara seorang perempuan.”

Rara Wulan mengangguk. Ia sadar, bahwa ia harus diam saja jika ia berada di dekat orang lain.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah berada di atas rakit. Ternyata tiga orang berkuda ada di rakit itu pula, selain beberapa orang yang lain.

Rara Wulan mulai memperhatikan ketiga orang itu. Ia mulai menjadi curiga melihat sikap dan pekaiannya. Meskipun tidak terlalu menyolok, tetapi nampak bahwa pakaian mereka bukan pakaian yang sewajarnya. Sikap mereka pun nampak agak kasar dan tidak menghiraukan orang-orang lain yang ada di perahu itu. Mereka berbicara keras-keras. Berjalan mondar-mandir. Bahkan telah mendorong kaki seseorang dengan kakinya yang kuat, sambil membentak, “Minggir! Jika tidak aku injak kakimu.”

Orang itu menjadi ketakutan. Dengan serta merta ia telah menarik kakinya dan duduk bersila sambil menundukkan kepalanya.

Beberapa orang yang lain pun telah menjadi ketakutan pula, sehingga mereka tidak berani lagi memandangi ketiga orang itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berpaling pula. Mereka memandang ke arus sungai yang berwarna lumpur itu.

Dalam pada itu Glagah Putih sadar, bahwa orang-orang itu telah memperhatikan kudanya. Namun mereka sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Mereka masih tidak mengganggu Glagah Putih dan kudanya.

Namun ketika tiba-tiba saja rakit terguncang karena arus pusaran yang tidak begitu besar menyentuh rakit itu, Rara Wulan telah memekik kecil. Suaranya adalah suara seorang perempuan.

Suara itu ternyata telah menarik perhatian orang-orang yang berada di atas rakit itu. Terutama ketiga orang berkuda itu. Bahkan seorang di antara mereka dengan serta merta telah memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan dengan tanpa berkedip.

Rara Wulan menyadari kesalahannya. Namun ia tidak sengaja melakukannya. Bahkan di luar sadarnya ia bersuara karena guncangan yang demikian tiba-tiba. Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Suara Rara Wulan akan dapat mengundang persoalan. Apalagi dengan kehadiran ketiga orang berkuda itu di atas rakit.

Tetapi Glagah Putih tidak segera bertindak, la masih mencoba untuk menunggu. Ia berharap bahwa tidak terjadi persoalan karena suara Rara Wulan itu.

Untuk beberapa saat memang tidak terjadi sesuatu. Tetapi tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan mendengar ketiga orang itu berbicara perlahan-lahan di antara mereka. Kemudian suara tertawa mereka yang meledak.

Glagah Putih dan Rara Wulan sadar, bahwa mereka memang tidak akan dapat mengelak lagi. Mereka harus menghadapi dan mengatasi kesulitan yang bakal datang.

Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ternyata ketiga orang itu benar-benar orang-orang kasar. Tanpa bertanya dan berbicara apapun juga, tiba-tiba seorang di antara mereka telah menggapai ikat kepala Rara Wulan. Dengan satu hentakan ikat kepala itu pun terlepas dan rambut Rara Wulan yang panjang telah terurai di pundak dan punggungnya.

Terdengar suara tertawa yang sekali lagi meledak. Seorang di antara mereka berdiri di belakang Rara Wulan sambil memegangi ikat kepala yang terlepas itu.

Orang-orang yang ada di rakit itu menjadi gemetar. Mereka menjadi berdebar-debar melihat sikap orang yang kasar itu. Apalagi ketika mereka juga telah melihat bahwa Rara Wulan adalah seorang perempuan yang diperlakukan dengan kasar itu.

Tetapi sebelum mereka sempat menyadari keadaan itu sepenuhnya, sekali lagi mereka terkejut. Ternyata Rara Wulan telah menjadi sangat marah atas perlakuan orang itu. Tanpa berpikir panjang, maka tiba-tiba saja ia telah menghentakkan kekuatannya. Dengan sebelah kakinya, ia telah menyerang orang itu tepat di dadanya.

Serangan itu memang tidak terduga-duga. Karena itu maka serangan itu benar-benar telah menggoyahkan keseimbangannya. Bahkan orang yang memegang ikat kepalanya itu telah terdorong surut dan terlempar mencebur ke Kali Praga.

Orang itu telah berteriak. Tetapi suaranya terputus ketika kepalanya mulai terbenam ke dalam air. Apalagi ketika di luar kemampuannya untuk menghindari, sudut rakit telah membentur kepalanya.

Orang itu merasa kepalanya bagaikan pisah karenanya. Rasa-rasanya kesadarannya pun mulai kabur. Apalagi air mulai masuk ke dalam mulutnya.

Meskipun masih berusaha untuk mencoba berenang, namun ternyata bahwa ia tidak lagi mampu melawan arus sungai yang cukup deras.

Kedua orang kawannya yang masih ada di atas rakit menjadi bingung. Mereka mencemaskan kawannya yang mulai hanyut dibawa arus Kali Praga. Mereka menyadari, tanpa pertolongan, maka kawannya itu tentu akan mati.

Karena itu maka seorang di antara mereka segera meloncat ke dalam sungai dan berenang menyusul kawannya. Dengan susah payah ia berusaha menolongnya. Namun sulit baginya untuk menolong kawannya, sekaligus melawan arus sungai.

Beruntunglah, bahwa beberapa langkah di bawah, terdapat sebuah rakit yang membawa beberapa orang menyeberang ke arah yang berlawanan. Dengan susah payah orang yang menolong kawannya itu berusaha menjangkau rakit itu dan membawanya naik.

Orang-orang yang berada di rakit itu menjadi ragu-ragu. Mereka melihat dari kejauhan apa yang dilakukan oleh orang-orang itu. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang memiliki keberanian untuk menentang niat orang yang menolong kawannya itu. Bahkan ketika orang yang menolong kawannya itu membentak minta pertolongan, maka beberapa orang termasuk tukang satangnya telah berusaha menolong mereka.

Demikian orang yang kepalanya terbentur sudut rakit itu dibaringkan di atas rakit, maka kawannya segera berusaha untuk menolongnya. Namun ia sempat berteriak, “Kejar rakit itu!”

Tukang satangnya menjadi bingung. Tetapi orang itu membentak sekali lagi, “Kembali ke seberang sebelah barat Kali Praga! Susul rakit itu! Aku akan membunuh perempuan gila itu, atau kalian yang akan aku bunuh.”

Tukang satang itu tidak menjawab. Mereka tidak berani menolak perintah itu, meskipun penumpang-penumpang yang lain semula berniat menuju ke tepian sebelah timur Kali Praga.

Dalam pada itu, seorang lagi yang masih ada di rakit bersama Glagah Putih dan Rara Wulan, telah menjadi sangat marah pula. Dengan garangnya ia berkata, “Kau telah melakukan kesalahan yang besar sekali. Kau melemparkan kawanku ke dalam sungai. Jika tadinya kami hanya ingin bergurau, tetapi sekarang kami berniat lain.”

“Aku tidak senang dengan caramu bergurau,” jawab Rara Wulan tanpa mengenal takut, “guraumu adalah gurau orang-orang liar.”

“Cukup!” bentak orang itu, Kami semula memang tidak berniat membawamu. Tetapi karena tingkah lakumu, maka kau akan kami bawa ke sarang kami. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi atasmu.”

Wajah Rara Wulan menjadi merah. Ia tidak minta pertimbangan Glagah Putih lagi. Iapun tidak menghiraukan bahwa rakit telah terguncang. Karena itu, maka iapun telah menjawab, “Kau kira aku siapa he? Kau kira kau dapat membawaku? Jika aku terpaksa harus kau bawa, maka kau akan membawa mayatku.”

“Perempuan yang sombong. Aku memang akan membunuhmu. Tetapi tidak di sini. Aku dan kawan-kawanku akan membunuhmu dengan cara kami!” bentak orang itu.

Tetapi sekali lagi terjadi tanpa diduga-duga oleh orang itu. Dengan cepat tangan Rara Wulan telah menampar wajah orang itu, sehingga rasa-rasanya seperti tersentuh api.

Orang itu memang menjadi sangat marah. Tetapi Rara Wulan telah bersiap. Sementara itu tukang satang yang menjadi cemas telah berteriak, “Jangan guncang rakit ini! Nanti terbalik. Kita semuanya akan tercebur kedalam air. Aku dan kawan-kawanku tukang satang dapat berenang dengan baik, tetapi tentu ada di antara para penumpang yang tidak dapat berenang.”

Rara Wulan mencoba menahan dirinya. Ia masih mendengar dengan jelas kata-kata tukang satang itu. Di luar sadarnya ia memandang berkeliling. Dilihatnya beberapa orang yang ketakutan. Seorang yang mendukung anaknya telah memeluk anaknya erat-erat. Seakan-akan orang itu tidak ingin kehilangan anaknya tercebur ke dalam arus Kali Praga.

Justru karena itu, maka Rara Wulan telah menahan diri. Ia memang berniat menunda perselisihan itu sampai ke seberang, meskipun ia sama sekali tidak ingin memaafkan orang yang telah menghinanya. Bahkan orang yang telah mengancamnya.

Tetapi orang yang kasar itu berteriak, “Aku tidak peduli apakah orang-orang lain akan mati tenggelam! Tetapi aku ingin menangkap perempuan itu, mengikatnya dan membawanya kesarang kelompok kami.”

Hampir di luar sadarnya justru Glagah Putih-lah yang bertanya, “Kelompok apa?”

“Kelompok Gajah Liwung. Kami adalah orang-orang dari kelompok Gajah Liwung,” jawab orang itu.

Glagah Putih justru terdiam sejenak. Jawaban itu membuat jantungnya berdegup semakin cepat. Namun ketika Rara Wulan akan menanggapi dengan serta merta, Glagah Putih telah menggamitnya.

Bahkan Glagah Putih masih mencoba menahan diri sambil berkata, “Kita akan menyelesaikan persoalan kita jika kita sudah sampai ke tepian. Aku memang menganggap bahwa persoalan kita harus diselesaikan dengan tuntas. Agar kami tidak dianggap curang, maka di tepian kami berdua akan berhadapan dengan setidak-tidaknya dua orang di antara kalian bertiga, karena seorang di antara kawan kalian tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi. Tetapi jika kau akan bertindak sekarang, maka kau akan berhadapan dengan dua orang sekaligus. Dan aku yakin kau akan mati sebelum sampai ke tepian.”

Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab, Glagah Putih berkata, “Lihat rakit yang ditumpangi kawanmu itu sudah menjadi semakin dekat. Apakah kau tidak sabar menunggu kedatangannya?”

“Setan kau,” geram orang itu.

“Terserah kepadamu. Apakah kau ingin mati, kemudian kami membunuh kawanmu yang ada di rakit itu, atau kita akan bertempur secara adil,” berkata Glagah Putih.

Orang itu termangu-mangu. Ternyata ia mulai berpikir. Sikap Glagah Putih memang sangat meyakinkan.

Namun demikian orang itu masih berkata, “Aku masih menaruh belas kasihan. Aku biarkan kalian hidup sampai tepian. Mungkin kau tidak ingin mayatmu hanyut di Kali Praga itu.”

“Tutup mulutmu!” bentak Rara Wulan, “Jika aku tidak mengingat orang-orang lain yang ada di rakit ini, aku bunuh kau di sini.”

“Perempuan sombong! Kau kira kau itu apa?” teriak orang itu.

“Kau kira apa?” Rara Wulan pun berteriak.

Dada orang itu hampir meledak. Tetapi ia mendengar kawannya yang ada di rakit yang lain yang menjadi semakin dekat, sejalan dengan jarak yang semakin dekat dengan tepian, berteriak, “Bertahanlah! Aku segera datang!”

Tetapi Glagah Putih berkata perlahan-lahan, “Nah, kau dengar bahwa kawanmu ingin ikut bermain-main?”

Orang itu menggeram, sementara Glagah Putih berkata, “Karena itu, jangan mati dulu.”

“Persetan kau. Di tepian aku koyakkan mulutmu.”

Glagah Putih tertawa kecil. Katanya, “Jangan kehilangan akal.”

“Kau akan menyesal,” geram orang itu.

Glagah Putih tidak menjawab. Rakit yang satu lagi, yang dikayuh dengan cepat karena tukang satangnya menjadi ketakutan, telah hampir mencapai rakit yang ditumpangi oleh Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi rakit Glagah Putih telah lebih dahulu mencapai tepian.

Dengan tangkasnya orang yang kasar itu telah meloncat lebih dahulu ke tepian sambil menuntun kudanya. Kemudian menambatkannya pada patok tambatan rakit yang berjajar-jajar di tepian, sementara orang itu telah mengambil kedua ekor kuda yang lain.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah turun pula ke tepian sambil menuntun kudanya. Namun mereka memang harus segera mempersiapkan diri. Orang-orang kasar itu sudah begitu mendendam mereka, sehingga setiap saat mereka akan segera bertindak. Karena itu maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah menambatkan kuda mereka pula.

Sementara itu rakit yang satu lagi telah merapat juga ke tepian. Dengan tergesa-gesa orang yang telah menolong kawannya itu meloncat ke tepian sambil berteriak, “Kita bunuh mereka jika kawan kita itu tidak tertolong lagi.”

Rara Wulan akan menjawab. Namun Glagah Putih telah menggamitnya.

Sementara itu, orang yang menolong kawannya itu tiba-tiba telah berteriak kepada tukang-tukang satang yang membawa rakitnya menepi, “Turunkan kawanku itu! Hati-hati!”

Tukang-tukang satang itu memang menjadi ketakutan. Setelah menambatkan rakitnya, maka mereka telah mengusung orang yang dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya itu menepi. Nampaknya benturan antara sudut rakit dan kepalanya membuatnya dalam keadaan yang parah.

Setelah kawannya diletakkan di pasir tepian, maka dengan wajah geram orang itu melangkah mendekati Rara Wulan

“Perempuan iblis. Kau telah membuat kawanku terluka parah. Kau akan menebus kesalahanmu dengan penuh penyesalan.”

“Kita bawa perempuan itu ke sarang kita,” berkata yang seorang lagi.

“Satu gagasan yang menarik,” jawab yang telah menolong kawannya itu.

Dalam pada itu, orang-orang lainpun telah meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa. Mereka tidak ingin melihat apa yang terjadi dengan perempuan yang semula dikira laki-laki itu. Tetapi tanpa ikat kepala sehingga rambutnya terurai di punggungnya, maka jelas kelihatan bahwa ia adalah seorang perempuan. Mereka tidak akan sampai hati melihat perempuan itu mengalami nasib yang sangat buruk.

Namun seorang di antara mereka berdesis dengan orang yang berjalan seiring, “Tetapi nampaknya perempuan itu juga bukan perempuan kebanyakan. Ternyata ia mampu melemparkan salah seorang dari orang-orang kasar itu masuk ke Kali Praga tanpa mengenal takut sedikitpun, meskipun sebelumnya ia lebih senang berdiam diri tanpa menanggapi sikap orang-orang kasar itu.”

Kawannya berjalan seiring mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Aku akan melihat apa yang terjadi, dari balik gerumbul-gerumbul liar itu.”

“Nanti kita terpercik api. Mereka nampaknya benar-benar telah terbakar sehingga telah siap untuk bertempur,” sahut yang lain.

“Tentu dari kejauhan,” berkata kawannya yang berjalan seiring itu.

Yang lain tidak menyahut. Tetapi mereka berjalan semakin cepat. Sementara itu rakit yang satu lagi telah semakin ke tengah, karena rakit itu memang menuju ke seberang sebelah timur.

Dalam pada itu, kedua orang yang kasar itu sudah berhadapan dengan Glagah Putih dan Rara Wulan. Baru kemudian Glagah Putih bertanya kepada kedua orang itu, “Jadi kalian dari kelompok Gajah Liwung?”

“Darimana kau tahu?” bertanya orang yang telah menolong kawannya.

“Kawanmu yang mengatakannya,” Jawab Glagah Putih.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Ya. Kami adalah orang-orang dari Kelompok Gajah Liwung.”

“Jika demikian, maka kalian adalah orang-orang buruan,” berkata Glagah Putih. “Sepengetahuan kami, orang-orang Gajah Liwung adalah orang buruan. Mereka telah melakukan beberapa macam kejahatan, sehingga setiap orang dari kelompok Gajah Liwung harus ditangkap.”

Tetapi orang itu justru berkata lantang, “Lalu apa yang akan kau lakukan? Berteriak-teriak memanggil prajurit Mataram di tepian ini? Atau kalian mau berpacu kembali ke Mataram dan memberikan laporan bahwa kami ada di sini? Kalian tidak dapat bermimpi apapun lagi. Kalian adalah orang yang bernasib paling buruk, tetapi juga karena kesombongan kalian. Perempuan itu akan kami bawa ke sarang kami. Sementara kau akan kami lemparkan ke dalam sungai itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Dua orang di antara kalian telah merampok perhiasan sepasang suami istri di jalan. Aku menemukan mereka dikerumuni banyak orang.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Kau seperti orang bermimpi. Aku tidak tahu bagaimana kau dapat mengigau seperti itu. Atau kau berusaha mengalihkan persoalan? Jangan mengharap kalian dapat terlepas dari tangan kami. Perempuan itu akan menjadi budak kami. kawan-kawanku tentu akan bergembira menerima kedatangannya.”

Rara Wulan benar-benar sudah tidak sabar. Ia sama sekali tidak berkata apa-apa. Tetapi tangannya telah terayun menampar wajah orang itu, sebagaimana dilakukannya di atas rakit.

Orang itu sama sekali tidak mengira bahwa Rara Wulan akan menamparnya. Karena itu. maka ia sama sekali tidak sempat mengelak dan tidak pula berusaha menangkis Karena itu, maka telapak tangan Rara Wulan telah mengenai wajahnya dengan keras.

Orang itu melangkah mundur sambil menggeram. Tangan Rara Wulan tidak seperti kebanyakan tangan gadis-gadis. Terasa wajahnya bagaikan tersengat api.

Tetapi orang itu pun tidak menahan diri pula. Kemarahannya telah sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu, maka iapun telah meloncat pula menerkam Rara Wulan. Ia ingin hanya sekali tangkap, dan kemudian dengan mempertaruhkan gadis itu, ia akan memaksa kawannya untuk menyerah.

Namun ternyata bahwa Rara Wulan tidak semudah itu dapat ditundukkan. Demikian orang itu menerkam, maka Rara Wulan dengan tangkasnya meloncat mundur. Dengan tangkas pula telah mengayunkan kakinya menyerang ke arah lambung.

Tetapi orang itu sudah mulai bertempur. Karena itu, maka ketika kaki Rara Wulan terjulur ke arahnya, maka iapun telah siap untuk menangkisnya.

Dengan kedua tangannya orang itu justru ingin menangkap kaki Rara Wulan yang terjulur. Namun Rara Wulan mengurungkan serangannya. Sambil menggeliat ia telah berputar. Kakinya yang lain telah berputar dan menyambar lawannya mendatar.

Serangan yang datang beruntun dan tidak terduga itu benar-benar telah mengejutkannya. Seakan-akan begitu tiba-tiba kaki gadis itu menghantam pundaknya menyamping. Orang yang bertubuh kekar itu terhuyung-huyung. Untunglah bahwa ia masih dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia tidak jatuh terguling di tepian.

Namun dengan demikian, ia sadar bahwa lawannya bukanlah seorang perempuan kebanyakan. Ternyata bahwa perempuan itu berpakaian seperti seorang laki-laki karena ia memang memiliki kemampuan seperti seorang laki-laki.

Dengan demikian maka orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu telah bersiap sepenuhnya menghadapi Rara Wulan. Meskipun di mata lawannya Rara Wulan adalah seorang perempuan, namun ia telah memberikan perlawanan sebagaimana seorang laki-laki.

Karena itu maka keduanya pun kemudian telah bertempur dengan serunya. Rara Wulan yang menyadari bahwa kekuatan orang itu tentu lebih besar dari kekuatannya, telah berusaha untuk tidak membenturkan kekuatannya sepenuhnya. Rara Wulan berusaha untuk mengatasinya dengan kecepatan geraknya.

Sebenarnyalah bahwa lawannya memang sangat bertumpu kapada kekuatannya. Tetapi ia tidak banyak memiliki bekal kemampuan olah kanuragan. Ia tidak mempelajari unsur-unsur gerak yang khusus apalagi rumit. Meskipun Rara Wulan termasuk belum memiliki kedalaman ilmu, tetapi ia sudah mampu membuat perhitungan-perhitungan khusus menghadapi lawannya, serta pemanfaatan unsur gerak yang telah dipelajarinya. Latihan-latihan yang berat yang diberikan oleh kakeknya ternyata sangat besar pengaruhnya dalam pertempuran sebagaimana yang terjadi itu.

Sementara orang yang berhadapan dengan Glagah Putih pun telah mulai bergerak. Tetapi Glagah Putih sempat berkata, “Apakah kau tidak ingin melihat, bagaimana kawanmu dikalahkan oleh seorang perempuan?”

“Anak iblis kau,” geram orang itu, “kau kira kau sendiri mampu membebaskan diri dari tangan kami? Kau akan mati di tepian ini. Sementara perempuan itu dan kudamu akan menjadi milik kami.”

Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, “Bukankah kau lihat bahwa kawanmu tidak mudah untuk menundukkan gadis itu?”

“Tetapi aku tidak akan mengalami kesulitan untuk membunuhmu,” berkata orang itu dengan kemarahan yang memuncak.

Tetapi Glagah Putih masih saja tertawa. Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap lawannya, sehingga ia masih saja tersenyum-senyum menyaksikan lawannya itu mencoba untuk mempengaruhinya.

“Kau sama sekali tidak menyadari keadaanmu yang gawat. Anak Muda, kau akan segera mati di sini,” orang yang bertubuh kekar itu menggeram.

Tetapi Glagah Putih menjawab, “Sudahlah. Jangan membentak-bentak begitu. Jika kau benar-benar yakin, lakukan apa yang kau katakan itu.”

Orang itu memang tidak sabar lagi. Iapun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Namun Glagah Putih sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu maka ia sama sekali tidak terkejut ketika tangan orang itu menyambar ke arah tengkuknya.

Dengan cepat Glagah Putih mengelak, namun dengan cepat pula kakinya telah terayun menyambar orang itu. Lebih cepat dari gerak orang itu, sehingga karena itu, maka orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu sama sekali tidak sempat menghindar.

Meskipun ayunan kaki Glagah Putih tidak dilambari dengan sepenuh tenaga dan kemampuannya, namun rasa-rasanya kaki itu bagaikan sebongkah batu padas yang menghantam dadanya.

Orang itu mengaduh tertahan, terdorong beberapa langkah dan kemudian jatuh terlentang.

Namun iapun segera melenting dan bangkit berdiri. Meskipun nafasnya bagaikan tersumbat, tetapi ia berusaha untuk tetap nampak tegar.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara orang itu berusaha memperbaiki keadaan dirinya, maka Glagah Putih sempat melihat Rara Wulan yang bertempur melawan seorang yang bertubuh kekar.

Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjadi cemas. Ia melihat ketangkasan Rara Wulan jauh melampaui lawannya, meskipun kekuatan Rara Wulan tentu masih belum dapat mengimbangi, karena kemampuan Rara Wulan mempergunakan tenaga cadangannya masih sangat terbatas.

Namun dengan kecepatan geraknya, Rara Wulan setiap kali telah mengejutkan lawannya. Beberapa kali Rara Wulan mampu menembus pertahanan lawannya itu, sehingga serangannya mampu mengenai tubuh yang tegar itu.

Sekali dua kali lawan Rara Wulan mampu mengabaikan sentuhan-sentuhan tangan Rara Wulan, karena daya tahan tubuhnya yang tinggi. Tetapi ketika serangan Rara Wulan semakin sering mengenainya, maka tubuhnya pun terasa mulai digelitik oleh perasaan sakit.

Ketika Rara Wulan berhasil menyusup di sela-sela pertahanan lawannya dan dengan kakinya sempat mengenai lambung, maka terasa perut lawannya itu menjadi mual. Namun dengan cepat orang itu dapat mengabaikannya. Dengan garang ia mulai berusaha untuk menerkam Rara Wulan, menangkapnya, dan dengan demikian maka Rara Wulan tidak akan mampu melepaskan dirinya lagi.

Tetapi ternyata tidak mudah menangkap Rara Wulan. Ia bergerak secepat burung sikatan menyambar belalang. Menukik menyambar, kemudian melenting terbang tinggi.

Ternyata bahwa lawan Rara Wulan itu semakin lama semakin mengalami kesulitan. Beberapa kali ia harus berloncatan menjauh. Sementara serangan-serangan Rara Wulan semakin sering mengenai tubuhnya. Orang itu terkejut ketika Rara Wulan tiba-tiba saja telah berdiri dekat di belakangnya, justru sesaat setelah ia gagal menyerang kening gadis itu. Tangannya yang terayun mendatar mengarah ke kening, ternyata tidak menyentuhnya. Dengan cepat Rara Wulan merendahkan diri. Demikian tangan itu terayun, maka Rara Wulan dengan cepat meloncat dan berdiri di belakang lawannya.

Lawannya menyadarinya, tetapi betapapun cepatnya ia berusaha untuk meloncat menjauhi gadis itu, namun Rara Wulan telah sempat menyerangnya. Kakinya dengan derasnya menghantam punggung orang bertubuh kekar itu. Demikian kerasnya, sehingga orang itu seakan-akan terlempar selangkah maju. Kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah, dan jatuh terjerembab di pasir tepian.

Orang itu masih berusaha untuk bangkit. Sekali ia berguling untuk mengambil jarak, kemudian dengan cepat melenting berdiri, meskipun punggungnya terasa bagaikan patah.

Rara Wulan tertegun sejenak. Ia sendiri tergeser surut ketika kakinya mengenai punggung lawannya. Namun ia telah tegak di atas kedua kakinya, ketika lawannya itu jatuh terjerembab dan kemudian melenting bangkit kembali.

Keduanya pun kemudian telah bersiap kembali untuk bertempur dengan kemarahan yang semakin membakar jantung.

Dalam pada itu, Glagah Putih telah berkata kepada lawannya, “Nah kau lihat? Kawanmu tidak akan mampu mengalahkan gadis yang telah dihinakannya itu. Gadis itu biasanya tidak garang. Ia bukan seorang pemarah. Tetapi kawanmu benar-benar telah menghinanya. Apalagi kawanmu yang terbaring itu. Penghinaan itu telah membuatnya marah dan kemudian menjadi garang.”

“Persetan,” geram lawan Glagah Putih itu, “setelah aku membunuhmmu, maka aku akan membantu menangkap gadis itu dalam keadaan utuh.”

“Jangan berpura-pura. Dadamu telah menjadi sesak. Jika kau paksa juga untuk bertempur, maka kau benar-benar tidak akan dapat bernafas lagi,” jawab Glagah Putih.

Tetapi lawannya yang ingin tetap garang itu tiba-tiba saja telah melangkah mendekat sambil berkata lantang, “Aku akan membuktikan bahwa orang-orang dari kelompok Gajah Liwung tidak terkalahkan.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau benar-benar merasa anggota kelompok Gajah Liwung?”

“Ya. Apapun yang akan terjadi,” jawab orang itu.

“Bagaimana jika ada orang lain yang mengaku anggota kelompok Gajah Liwung, seperti yang kemarin aku jumpai di Mataram?” bertanya Glagah Putih.

“Kelompok Gajah Liwung memang tidak hanya terdiri dari tiga orang. Tetapi banyak. Lebih banyak dari kelompok-kelompok yang telah ada sebelumnya,” jawab orang itu.

Glagah Putih termangu-mangu. Satu masalah yang tentu akan sulit dipecahkan. Orang-orang itu seakan-akan telah meyakinkan diri mereka, bahwa mereka memang orang-orang dari kelompok Gajah Liwung. Bahkan nampaknya mereka tidak sekedar ingin mengadu domba antara kelompok-kelompok yang telah ada dengan kelompok Gajah Liwung. Tetapi agaknya mereka mempunyai tujuan lain.

Namun Glagah Putih kemudian berkata, “Ki Sanak, sepengetahuan orang-orang Mataram, orang-orang dari kelompok Gajah Liwung adalah orang-orang yang telah melakukan tindakan yang dianggap menguntungkan orang banyak.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kami memang selalu melakukan hal yang baik. Kecuali terhadap orang-orang yang sombong dan tidak tahu diri seperti kalian.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi hampir di luar sadarnya ia berkata, “Dan mengumpulkan gadis-gadis di bukit kecil dekat hutan itu?”

Wajah orang itu tiba-tiba saja menjadi tegang. Dengan geram ia bertanya, “Dari siapa kau mendengarnya?”

Glagah Putih menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Semua orang di Mataram memperbincangkan tingkah laku kalian. Sementara orang-orang Mataram sedang mencari kebenaran tentang dua kelompok Gajah Liwung yang mempunyai watak dan sifat yang sangat berbeda.”

Orang itu menjadi semakin tegang. Dengan suara bergetar orang itu bertanya, “Apakah kau pernah mendengarnya?”

“Ya,” jawab Glagah Putih.

Orang itu menggeretakkan giginya. Katanya, “Jika demikian kau memang harus mati.”

Dengan serta merta orang itu pun telah menyerang Glagah Putih. Tetapi dengan cepat Glagah Putih telah mengelakkan serangan itu sambil berkata, “Aku belum selesai.”

“Persetan dengan kau. Kau termasuk orang yang tentu akan memfitnah orang-orang dari kelompok Gajah Liwung. Karena itu kau tidak pantas untuk tetap hidup!” bentak orang itu pula.

Glagah Putih memang tidak bertanya lagi. Iapun kemudian harus mengimbangi serangan-serangan yang datang bagaikan banjir bandang. Namun Glagah Putih menghadapi serangan-serangan itu tak kurang kokohnya dari karang yang tegak menghujam ke dalam bumi. Karena itu maka serangan-serangan orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu hampir tidak berarti sama sekali. Apapun yang dilakukannya, maka orang itu tidak mampu menggoyahkan pertahanan Glagah Putih.

Sementara itu, Rara Wulan pun telah mendesak lawannya pula. Dengan tangkasnya ia telah berloncatan. Sekali menghindari serangan, namun kemudian meloncat menyerang dengan cepatnya.

Namun dalam pada itu, ternyata di lingkaran yang jauh, orang-orang yang baru saja menyeberang dan yang akan turun ke tepian telah melihat pertempuran itu. Justru dari kejauhan. Mereka tidak berani mendekat dan apalagi mencampuri persoalan yang tidak diketahui ujung pangkalnya itu, kecuali orang-orang yang semula serakit dengan Rara Wulan. Namun ternyata orang-orang yang serakit itu pun telah memberitahukan kepada orang-orang yang ada di dekatnya, tentang gadis yang berkelahi dengan seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan kekar.

Apalagi ketika tiba-tiba saja rambut Rara Wulan yang terurai itu terhempas ketika ia berputar dan tertangkap oleh tangan lawannya.

Rara Wulan memang terkejut. Tetapi ia sadar sepenuhnya atas apa yang terjadi pada dirinya. Karena itu. maka ketika lawannya itu menarik rambutnya. Rara Wulan tidak berusaha untuk bertahan. Ia justru memanfaatkan ayunan tarikan lawannya sambil berputar. Namun demikian tubuhnya hampir melekat tubuh lawannya yang berusaha menangkap tubuh gadis itu, lutut Rara Wulan telah terangkat, bahkan terdorong pula oleh gerak tubuhnya, telah menghantam bagian bawah perut lawannya.

Yang terdengar adalah keluhan menghentak. Tangan orang itu justru urung menangkap Rara Wulan. Bahkan orang itu telah terbungkuk-bungkuk sambil menyeringai menahan sakit. Perutnya menjadi mual dan seakan-akan isinya telah mendesak ke dadanya.

Pada saat yang demikian, Rara Wulan yang marah itu telah mendorong dahi orang itu sehingga wajahnya menengadah. Satu pukulan yang keras kemudian telah mengenai keningnya.

Sekali lagi terdengar orang itu mengeluh. Kepalanya terangkat sehingga hampir saja ia jatuh terlentang. Tetapi Rara Wulan cepat menangkap kepala itu. Ia tidak menggenggam rambut lawannya sebagaimana dilakukan atas dirinya. Tetapi gadis itu telah menekan kepala lawannya dengan kerasnya bersamaan dengan lututnya yang terangkat.

Dahi orang itu telah membentur lutut Rara Wulan, demikian kerasnya sehingga orang itu berteriak kesakitan. Ketika Rara Wulan melepaskannya, maka orang itu telah terhuyung-huyung beberapa saat. Ia masih mencoba berdiri tegak. Namun matanya menjadi kabur.

Rara Wulan masih akan menyerang perut orang itu. tetapi ia terkejut ketika Glagah Putih menggamitnya.

“Cukup,” berkata Glagah Putih.

“Aku ingin membuatnya jera,” geram Rara Wulan.

Tetapi sejenak kemudian, orang itu ternyata telah terhuyung-huyung dan jatuh di pasir tepian.

Tiga orang telah terbaring di atas pasir. Mereka ternyata tidak mampu berbuat banyak. Lawan Glagah Putih dan lawan Rara Wulan memang tidak mengalami luka parah sebagaimana seorang lagi yang kepalanya membentur rakit. Namun keduanya untuk beberapa saat seakan-akan telah kehilangan sebagian dari kesadaran mereka.

“Aku ingin membunuhnya,” geram Rara Wulan.

“Ingat pesan Ki Wirayuda. Kita jangan membunuh, apapun yang kita lakukan,” desis Glagah Putih.

“Tetapi mereka benar-benar ingin memperlakukan aku seperti barang mainan,” jawab Rara Wulan.

“Bukankah Ki Wirayuda berkata, bahwa kita tidak boleh membunuh apapun yang terjadi?” desis Glagah Putih.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dendamnya sampai ke ujung rambutnya yang terurai itu. Sambil menyanggul rambutnya ia berkata, “Jadi bagaimana dengan aku? Ikat kepalaku sudah terlempar entah di rakit, entah masuk ke dalam sungai.”

“Sebaiknya kita tinggalkan orang itu. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sudah terbiasa melihat seorang perempuan berpakaian seperti laki-laki. Mbokayu Pandan Wangi dan Mbokayu Sekar Mirah juga melakukannya,” berkata Glagah Putih

“Tetapi tanpa ikat kepala seperti ini?” bertanya Rara Wulan.

“Kau dapat menyanggulnya dengan agak baik,” berkata Glagah Putih.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang memperbaiki sanggulnya. Kemudian tanpa ikat kepala mereka telah pergi ke kuda mereka.

Namun Glagah Putih sempat melihat ikat kepala Rara Wulan yang ternyata masih tersangkut di rakit. Karena itu, maka iapun telah berlari-lari mengambilnya.

“Basah,” desis Glagah Putih, “tetapi sebentar lagi akan kering. Sebelum kita sampai ke padukuhan pertama, kau telah dapat memakai ikat kepalamu itu lagi.”

Rara Wulan menerima ikat kepalanya yang basah dan kotor. Tetapi itu tentu akan lebih baik daripada tidak memakainya. Karena itu maka setelah ikat kepalanya itu diperasnya, maka kemudian diletakkannya di leher kudanya.

Beberapa saat kemudian, tanpa menghiraukan orang-orang yang bersembunyi di balik tanggul dan gerumbul-gerumbul liar, keduanya telah meninggalkan ketiga orang yang masih terbaring di tepian. Namun beberapa saat kemudian, mereka tentu akan segera bangkit lagi.

Namun Glagah Putih telah meninggalkan pesan kepada orang-orang itu, bahwa kelompok Gajah Liwung merupakan persoalan yang mendapat perhatian yang luas. Mereka harus memperhatikan sikap banyak orang terhadap kelompok itu. Bukan orang-orang yang sekedar ketakutan. Tetapi orang-orang yang berilmu tinggi.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah memacu kuda mereka di bulak-bulak persawahan. Meskipun tidak terlalu cepat, namun mereka seakan-akan ingin dengan cepat meninggalkan tepian Kali Praga. Melepaskan diri dari berpasang-pasang mata yang mengenggap mereka sebagai tontonan yang mengasyikkan. Ketika ikat kepala Rara Wulan menjadi agak kering karena panas dan angin semilir di perjalanan, maka Rara Wulan pun telah berhenti sejenak di pinggir jalan bersama Glagah Putih.

“Bantu aku,” minta Rara Wulan yang mengenakan ikat kepalanya itu.

Rara Wulan memang belum begitu trampil mengenakan ikat kepala, sehingga ia memang masih memerlukan bantuan.

Sejenak kemudian mereka telah berpacu kembali menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Namun dalam perjalanan itu, ternyata masih ada yang menyangkut di hati Rara Wulan. Karena itu, maka tiba-tiba iapun bertanya, “Bagaimana dengan harta yang dirampas oleh orang-oang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu?”

“Harta yang mana?” bertanya Glagah Putih.

“Bukankah kau juga bertanya tentang harta yang dirampasnya dari suami istri yang kita temui di perjalanan itu?” desis Rara Wulan kemudian.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita tidak akan menemukan buktinya. Mungkin benda-benda itu sudah tidak ada di tangan mereka, atau memang bukan mereka yang melakukannya.”

“Memang mungkin bukan mereka,” desis Rara Wulan. –

“Tetapi agaknya mereka benar-benar berasal dari bukit kecil itu. Ketika hal itu aku tanyakan kepada salah seorang dari mereka, maka nampak wajahnya telah berubah. Orang itu pun tidak membantah dengan serta merta,” berkata Glagah Putih.

“Itulah, sebenarnya orang itu pantas disingkirkan,” geram Rara Wulan.

“Tetapi kita terikat pada pesan Ki Wirayuda,” jawab Glagah Putih.

“Sampai kapan pesan itu mengikat kita? Jika kita tidak mampu bertindak lebih tegas lagi, maka orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu akan menjadi semakin garang dan buas,” sahut Rara Wulan.

Glagah Putih tidak menjawab. Rara Wulan memang sangat membenci orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu, sejak kelompok itu menculik gadis-gadis, apalagi setelah ia diperlakukan dengan sangat kasar dan bahkan liar. Kecuali itu, maka kelompok itu telah mencemarkan nama baik dari orang-orang kelompok Gajah Liwung yang sebenarnya.

Tetapi mereka tidak dapat melanggar pesan Ki Wirayuda.

Demikianlah, untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Sementara itu, mereka telah melintasi beberapa bulak panjang. Di padukuhan-padukuhan maka orang-orang yang kebetulan melihat Glagah Putih telah menyapanya. Namun mereka tidak segera mengetahui, apakah kawan Glagah Putih itu laki-laki atau perempuan.

Semakin dekat mereka dengan padukuhan induk, maka semakin banyak orang menyapanya. Anak-anak muda, orang-orang tua dan bahkan kanak-kanak. Hanya gadis-gadis yang kadang-kadang hanya sempat mengagguk hormat sambil menundukkan kepala mereka.

“Gadis-gadis pemalu,” berkata Rara Wulan.

“Pada umumnya gadis-gadis padesan memang pemalu,” jawab Glagah Putih.

“Apakah Mbokayu Sekar Mirah juga pemalu?” bertanya Rara Wulan.

“Mbokayu Sekar Mirah memiliki pengalaman yang sangat luas. Ia mempunyai latar belakang dan pengalaman yang berbeda dengan gadis-gadis itu,” berkata Glagah Putih.

“Jika mereka tetap menjadi pemalu seperti itu, maka perembangan mereka akan sangat terhambat. Seharusnya Mbokayu Sekar Mirah berusaha merubah cara hidup gadis-gadis Tanah Perdikan ini,” berkata Rara Wulan.

“Itu memerlukan waktu,” jawab Glagah Putih, “selebihnya, jika cara hidup gadis-gadis di padukuhan ini harus berubah, maka perubahan yang manakah yang paling baik diterapkan kepada mereka itu? Menjadi gadis yang tidak pemalu? Atau menjadi gadis yang bagaimana?”

“Kau cemas kalau gadis-gadis itu akan berubah menjadi gadis seperti aku?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.

Keduanya pun kemudian telah menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Di sepanjang jalan, Glagah Putih semakin banyak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan, sapa dan ucapan selamat datang di Tanah Perdikan, setelah agak lama tidak kelihatan. Bahkan saat Agung Sedayu diwisuda oleh Pangeran Mangkubumi atas nama Panembahan Senapati itu sendiri.

Ketika mereka sampai di bulak terakhir, maka Glagah Putih pun berdesis, “Kita sudah sampai Rara.”

Rara Wulan mengangguk kecil. Katanya, “Ya, Sebentar lagi kita akan memasuki padukuhan induk. Tetapi apakah Kakang Agung Sedayu masih berada di rumahnya, atau tinggal di barak Pasukan Khusus itu?”

Glagah Putih tidak segera manjawab. Namun kemudian sambil memandang ke padukuhan induk yang semakin dekat ia berkata, “Kita akan langsung pergi ke rumah Kakang Agung Sedayu. Aku juga tidak tahu apakah Kakang Agung Sedayu masih berada di rumah.”

“Jika tidak?” bertanya Rara Wulan.

“Kau akan bermalam di rumah Ki Gede,” jawab Glagah Putih.

“Lebih baik aku bermalam di barak jika Mbokayu Sekar Mirah juga berada di barak itu,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sendiri dapat berada dimana saja. Bahkan berada di tepian sungai sambil menungu pliridan.

Demikian mereka memasuki regol padukuhan induk, maka Glagah Putih menjadi semakin sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. Namun akhirnya Glagah Putih pun telah mendekati rumah Agung Sedayu yang berada di tepi jalan induk.

Dengan ragu-ragu keduanya memasuki regol halaman. Namun mereka masih melihat halaman rumah itu terawat dengan baik. Pendapa yang bersih dan tanaman-tanaman yang hijau.

Kedua orang yang berkuda memasuki halaman itu menduga bahwa Agung Sedayu tentu masih tinggal di rumah itu.

Ternyata dugaan mereka benar. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu telah melihat kedatangan Glagah Putih dan seorang kawannya, sehingga anak itu pun segera memberitahukan kepada Sekar Mirah.

Dengan tergesa-gesa Sekar Mirah telah menyambut mereka. Berlari-lari kecil Sekar Mirah yang berada di belakang langsung turun ke halaman lewat seketheng.

“Glagah Putih,” desisnya, “kakakmu menunggumu. Hampir setiap saat Kakang Agung Sedayu bertanya apakah kau sudah pulang.”

Glagah Putih yang sudah meloncat turun dari kudanya dan menambatkannya di halaman segera menjawab, “Aku terlalu sibuk dengan permainanku di Mataram, Mbokayu.”

“Ternyata kau tidak datang seorang diri,” desis Sekar Mirah.

“Apakah Mbokayu tidak mengenalnya lagi?” bertanya Glagah Putih.

Sekar Mirah memandang Rara Wulan yang mengenakan pakaian laki-laki itu. Namun kemudian hampir memekik ia menebak, “Rara? Rara Wulan?”

Rara Wulan pun kemudian telah berlari mendekatinya dan memeluknya, “Aku sudah menjadi sangat rindu.”

“Aku selalu menunggu kedatanganmu Rara,” berkata Sekar Mirah kemudian, setelah Rara Wulan melepaskan pelukannya.

“Sebenarnya sudah lama aku ingin kembali. Tetapi keadaanku belum memungkinkan, Mbokayu. Apalagi di saat-saat terakhir, aku telah ikut terlibat di dalam permainan Kakang Glagah Putih,” berkata Rara Wulan kemudian.

“Permainan yang berbahaya,” desis Sekar Mirah, “tetapi jika kalian berhasil, maka kalian telah ikut serta membuat hati rakyat Mataram menjadi damai.”

“Agaknya satu perjuangan yang masih panjang,” berkata Rara Wulan kemudian, “apalagi setelah tumbuh sekelompok orang yang telah mencemarkan nama kelompok kami.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia tahu apa yang dimaksudkan oleh Rara Wulan. Namun kemudian Sekar Mirah telah mempersilahkan mereka duduk, setelah beberapa saat mereka hanya berdiri saja di halaman.

“Marilah, duduklah.”

Ketika Rara Wulan naik ke pendapa, maka Glagah Putih telah melangkah ke belakang. Tetapi Sekar Mirah mencegahnya. Katanya, “Kawani Rara Wulan sebentar. Aku-lah yang akan pergi ke dapur.”

Rara Wulan sengaja berdiam diri. Tetapi demikian Sekar Mirah masuk dan Glagah Putih naik ke pendapa, maka Rara Wulan pun telah mengikuti Sekar Mirah lewat pringgitan dan ruang dalam.

Sekar Mirah yang kemudian sampai di dapur terkejut. Katanya, “Kau sekarang tamuku. Silahkan duduk.”

Tetapi Rara Wulan menjawab, “Aku tidak ingin diperlakukan sebagai tamu, supaya aku kerasan di sini. Seorang tamu hanya akan betah duduk paling lama setengah hari. Tetapi aku berada di sini lebih dari satu hari satu malam.”

Sekar Mirah tidak dapat memaksanya. Bahkan Rara Wulan telah membantu Sekar Mirah mengerjakan pekerjaannya. Ketika Sekar Mirah mengisi periuk untuk merebus air, maka Rara Wulan telah menyiapkan perapiannya.

Sambil mengipasi api di perapian, Rara Wulan bertanya, “Dimana Kakang Agung Sedayu?”

“Ia sekarang lebih banyak berada di barak,” jawab Sekar Mirah.

“Ia sekarang seorang Senapati,” desis Rara Wulan, “ia tidak lagi dapat berbuat sekehendak hatinya. Kakang Agung Sedayu tidak lagi dapat mengembara berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, seperti saat-saat sebelumnya.”

“Ya,” sahut Sekar Mirah, “kakangmu Agung Sedayu telah mulai mengeluh. Ia tidak betah tinggal di barak meskipun ia mempunyai wewenang tertinggi di barak itu. Tetapi rasa-rasanya ia lebih senang menelusuri pematang dan tanggul-tanggul parit.”

Rara Wulan termangu-mangu. Tetapi ia dapat mengerti sikap Agung Sedayu yang terbiasa mengembara, bekerja di sawah bersama dengan para petani, dan berada di gardu-gardu dengan anak-anak muda. Meskipun ia sudah terbiasa memberikan bimbingan dan tuntunan kepada anak-anak muda, namun ia masih belum terbiasa bersikap sebagai seorang prajurit.

Seperti yang disepakati, maka Ki Lurah Branjangan akan mendampinginya untuk beberapa saat. Tetapi ternyata Ki Lurah telah kembali ke Mataram untuk menyelesaikan satu persoalan kecil, sebelum ia akan kembali lagi ke Tanah Perdikan dan berada di barak Pasukan Khusus itu untuk beberapa bulan.

Tetapi Ki Lurah memang tidak memberitahukan kepada Rara Wulan dan bahkan Glagah Putih, bahwa iapun sebenarnya akan pergi ke Tanah Perdikan setelah urusannya dapat diselesaikan.

Dalam pada itu, sementara Rara Wulan membantu Sekar Mirah di dapur, Glagah Putih telah berada di belakang rumah menemui pembantu di rumah Agung Sedayu itu.

“Kau sekarang jarang-jarang ada di rumah,” berkata anak itu.

“Ya,” jawab Glagah Putih, “aku sedang melakukan sesuatu di Mataram.”

“Apa?” bertanya anak itu.

Glagah Putih tersenyum. Jawabnya, “Bukan apa-apa. Satu permainan bagi anak-anak muda.”

“Sekarang pliridan kita menjadi semakin besar dan panjang,” berkata anak itu.

“Syukurlah,” Glagah putih mengangguk-angguk.

Namun kemudian terdengar suara Sekar Mirah memanggilnya. Katanya, “Minuman telah siap Glagah Putih. Minumlah.”

Tidak biasa ia minum sambil duduk di pendapa. Tetapi saat itu Glagah Putih memang harus berada di pendapa untuk mengantarkan Rara Wulan minum wedang sere yang panas dan makan hidangan yang telah disuguhkan, meskipun Sekar Mirah telah ikut pula menemui Rara Wulan di pendapa. Bahkan keduanya-lah yang menghidangkannya.

Tetapi sejenak kemudian, Glagah Putih telah minta diri kepada Sekar Mirah untuk menemui gurunya, sebelum ia akan pergi ke barak mencari kakak sepupunya.

“Ki Jayaraga sudah sejak pagi tadi pergi ke sawah. Sebentar lagi ia tentu akan kembali. Kau tidak perlu menyusulnya ke sawah,” berkata Sekar Mirah.

“Aku sudah lama tidak melihat sawah kita,” berkata Glagah Putih.

“Baiklah,” berkata Sekar Mirah, “pergilah. Tetapi bawa kuda-kuda itu ke belakang.”

Glagah Putih pun kemudian telah minta diri pula kepada Rara Wulan. Agaknya anak muda itu memang tidak telaten duduk di pendapa, minum minuman panas dan makan makanan.

Setelah membawa kuda-kuda yang ditambatkan ke belakang, maka Glagah Putih pun telah meninggalkan halaman rumahnya, setelah ia berpesan kepada pembantu dirumah Agung Sedayu itu untuk melepas pelana dan menyiapkan makan dan minum bagi kuda-kuda itu.

“Kau akan pergi kemana?” bertanya anak itu.

“Menyusul Ki Jayaraga,” jawab Glagah Putih.

“Ia menjadi semakin tua sekarang,” berkata anak itu.

“Bukankah itu wajar? Setiap orang akan menjadi semakin tua,” berkata Glagah Putih.

Anak itu tidak menjawab. Ia hanya bersungut-sungut saja. Sementara Glagah Putih tersenyum sambil berkata, “Maksudku, kita tidak perlu mencemaskannya.”

Anak itu tidak menjawab. Sementara Glagah Putih telah melangkah pergi.

Ternyata ketika Glagah Putih sampai ke sawah, Ki Jayaraga masih belum pulang. Ia masih duduk di gubug sambil terkantuk-kantuk. Kaki dan tangannya masih berlumuran lumpur karena ia belum berniat mencuci tangan dan kakinya untuk segera pulang. Ki Jayaraga masih akan menyelesaikan pekerjaannya yang tinggal sedikit. Namun tulang-tulang tuanya nampaknya sudah ingin beristirahat menikmati kantuknya.

“Satu pertanda,” berkata Ki Jayaraga dalam hatinya, “bahwa tidak seorangpun akan mampu mengatasi kerapuhan jasmaninya, meskipun ilmunya menggapai langit lembar ke tujuh. Beberapa waktu yang lalu, aku masih dapat sesumbar bahwa aku akan mampu bertempur tiga hari tiga malam tanpa berhenti, tanpa makan dan tanpa minum. Sekarang aku tidak akan dapat bertahan bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga untuk satu hari penuh.”

Namun Ki Jayaraga itu terkejut ketika ia melihat Glagah Putih meniti pematang mendekati gubug itu. Dengan tergesa-gesa iapun telah turun dari gubugnya dan menunggu muridnya sambil bertolak pinggang.

“Kau Glagah Putih?” sapa Ki Jayaraga.

Glagah Putih sempat membungkuk hormat ketika Ki Jayaraga menepuk bahunya, “Baktiku Guru.”

“Kau nampak semakin dewasa,” sahut gurunya, “aku selalu berdoa bagimu Glagah Putih.”

“Terima kasih Guru,” jawab Glagah Putih.

“Apakah kau sudah bertemu dengan kakakmu?” bertanya Ki Jayaraga pula.

Glagah Putih menggeleng. Jawabnya, “Belum Guru. Sebenarnya aku juga ingin segera bertemu dengan Kakang Agung Sedayu. Tetapi Kakang Agung Sedayu masih berada di baraknya. Rasa-rasanya agak segan juga menyusul Kakang Agung Sedayu yang sedang bertugas.”

“Sebentar lagi kakakmu pulang. Kau tidak usah menyusulnya ke barak. Jika kita pulang nanti, maka kakakmu tentu sudah berada di rumah,” berkata Ki Jayaraga pula.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kebetulan sekali. Aku juga agak kurang berminat untuk pergi ke barak.”

“Marilah, duduklah,” desis Ki Jayaraga.

Glagah Putihpun kemudian telah duduk di gubug itu pula.

“Aku telah mendengar dari Agung Sedayu, apa yang kau lakukan di Mataram. Aku pun telah mendengar alasanmu kenapa kau tidak dapat datang ketika kakakmu diwisuda. Ki Lurah Branjangan yang sempat hadir, telah menceritakan apa saja yang telah kau lakukan di Mataram,” berkata Ki Jayaraga.

“Ampun Guru. Aku tidak sempat meminta ijin kepada Guru,” sahut Glagah Putih.

“Tidak apa-apa, Glagah Putih. Aku tidak berkeberatan atas apa yang telah kau lakukan di Mataram, asal kau selalu ingat tujuanmu sejak semula,” berkata Ki Jayaraga.

“Kami berada di bawah kendali seorang perwira petugas sandi dari Mataram, Guru,” jawab Glagah Putih.

“Syukurlah bahwa kalian tidak dilepaskan begitu saja, karena tanpa kendali, anak-anak muda akan mudah tergelincir justru kerena kemudaannya. Darahnya yang masih mudah mendidih, serta tekadnya yang bagaikan lidah api yang menyala-nyala,” berkata Ki Jayaraga. “Namun denggan kendali yang kuat, maka kalian akan tetap berada dalam keseimbangan.”

“Ya Guru,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi ada sesuatu yang ternyata timbul kemudian. Ada sekelompok orang yang menyatakan diri dengan nama yang yang sama dengan nama kelompok kami, Guru.”

Ki Jayaraga mendengarkan keterangan dari Glagah Putih tentang kelompok Gajah Liwung yang timbul kemudian, dengan sifat dan watak yang bertentangan dengan tujuan kehadiran kelompok Gajah Liwung yang dihimpun oleh Glagah Putih dan kawan-kawannya.

“Menurut keterangan terakhir yang kami dengar Guru, mereka ternyata adalah orang-orang dari Gunung Kendeng. Tetapi segala sesuatunya masih harus diteliti lebih jauh. Para petugas sandi dari Mataram sedang berusaha keras untuk mengungkap kenyataan dari orang-orang itu,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Dari Gunung Kendeng?” bertanya Ki Jayaraga.

“Ya Guru,” jawab Glagah Putih.

“Pegunungan Kendeng adalah pegunungan yang panjang. Dari sisi mana orang-orang yang telah menyebut dirinya dari kelompok Gajah Liwung itu?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku tidak tahu Guru. Sedangkan keterangan bahwa mereka berasal dari situ pun masih harus diteliti kembali,” jawab Glagah Putih.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan bukan orang-orang dari padepokan Cundamanik.”

“Padepokan Cundamanik?” ulang Glagah Putih.

“Satu nama yang telah lama tidak terdengar. Tetapi pada suatu saat di Pegunungan Kendeng terdapat sebbuah padepokan yang semula tidak begitu besar, bernama padepokan Cundamanik,” berkata Ki Jayaraga lebih jauh.

“Tetapi yang datang ke Mataram dan mengaku orang-orang dari Gajah Liwung itu jumlahnya cukup besar,” berkata Glagah Putih.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Memang masih memerlukan satu penelitian yang cermat. Tetapi jika orang-orang itu ternyata dari Perguruan Cundamanik, maka perguruan itu tentu sudah berkembang. Dan yang perlu mendapat perhatian adalah pimpinan padepokan itu. Seorang yang berilmu tinggi, sehingga sulit untuk dapat ditundukkan. Tetapi sudah agak lama namanya tidak terdengar, sehingga mungkin sekali telah hadir orang lain di padepokan itu. Atau memang telah berdiri sebuah padepokan lain di lereng Pegunungan Kendeng yang panjang itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Namun keterangan gurunya merupakan satu bahan yang akan dapat disampaikan kepada para petugas sandi di Mataram dalam penyelidikan mereka terhadap orang-orang yang dianggap baru di Mataram itu.

“Mungkin kakakmu juga pernah mendengarnya, atau barangkali Ki Gede,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “atau Ki Waskita, yang kebetulan juga berada di Tanah Perdikan Menoreh sekarang ini. Ki Waskita juga sempat menghadiri wisuda kakak sepupumu di barak.”

“Ya Guru,” jawab Glagah Putih.

“Nah. Jika demikian, aku akan menyelesaikan pekerjaanku besok. Sekarang marilah kita pulang. Kakakmu mudah-mudahan sudah ada di rumah. Kemudian kita pergi ke rumah Ki Gede. Ki Waskita ada di sana,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

“Jika Guru masih akan menyelesaikan pekerjaan, aku dapat membantu,” berkata Glagah Putih.

“Tidak. Kita kembali saja,” berkata Ki Jayaraga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi masih menjawab, “Jadi Guru sudah tidak akan bekerja lagi?”

“Besok saja aku akan menyelesaikan pekerjaanku yang tersisa. Tinggal sedikit lagi,” jawab Ki Jagaraga.

Demikianlah maka keduanya pun telah meninggalkan gubug itu, menelusuri pematang. Ki Jayaraga membawa cangkul di pundaknya. Tanpa mengenakan baju.

Ketika mereka turun ke jalan, maka Ki Jayaraga telah mencuci cangkul, kaki dan tangannya di air parit yang bening. Kemudian mereka melalui jalan di antara kotak-kotak sawah, kembali ke padukuhan induk.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Jagaraga, ketika keduanya sampai ke rumah, maka Agung Sedayu telah berada di rumahnya. Disambutnya adik sepupunya dan dimintanya duduk di pendapa.

“Aku ingin kau bercerita,” berkata Agung Sedayu. Demikianlah, maka Agung Sedayu yang baru pulang dari barak itu telah minta Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di pendapa bersama dengan Ki Jayaraga dan Sekar Mirah, untuk menceritakan permainan mereka di Mataram.

Glagah Putih pun kemudian telah mengulangi ceritanya, sementara Rara Wulan telah menambahkan di sana-sini. Mereka pun telah menceritakan tiga orang yang bertemu di atas rakit, sehingga mereka telah berkelahi melawan ketiga orang itu.

“Ternyata permainan kalian telah mendapatkan tantangan yang berat,” berkata Agung Sedayu.

“Ya,” jawab Jawab Glagah Putih, “kami harus membersihkan nama kami. Sementara itu orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu masih saja melakukan kejahatan-kejahatan. Bukan lagi sekedar kenakalan anak-anak muda, tetapi benar-benar perampokan dan kejahatan-kejahatan yang lain. Termasuk penculikan gadis-gadis.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Rasa-rasanya ia ingin melihat apa yang terjadi di Mataram. Tetapi ia telah terikat dengan barak Pasukan Khusus itu.

Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga berkata, “Tetapi jika benar orang-orang itu berasal dari Pegunungan Kendeng, maka mereka memang harus mendapat perhatian khusus. Di Pegunungan Kendeng yang panjang itu tentu terdapat tidak hanya sebuah perguruan. Tetapi yang pernah aku dengar adalah Perguruan Cundamanik. Perguruan yang dipimpin oleh seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga pernah menelusuri Gunung Kendeng, justru bersama Pangeran Benawa. Tetapi aku kurang mengenali perguruan-perguruan yang ada di pegunungan itu. Adalah kebetulan bahwa kami juga tidak menyentuh Perguruan Cundamanik, meskipun nama itu juga pernah aku dengar.”

“Kita nanti malam akan berbicara dengan Ki Gede dan Ki Waskita,” desis Ki Jayaraga, “mudah-mudahan mereka mengenali perguruan-perguruan di pegunungan Kendeng.”

“Ki Gede nampaknya tidak benyak mendengar tentang daerah itu,” sahut Agung Sedayu, “mungkin Ki Waskita.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga ingin menghadap Ki Gede.”

“Aku ikut,” desis Rara Wulan.

Beberapa saat kemudian mereka pun telah membenahi pakaian mereka. Rara Wulan ternyata ingin ikut pula bertemu dengan Ki Gede, sehingga karena itu maka Sekar Mirah telah diajaknya pula pergi ke rumah Ki Gede.

Akhirnya Sekar Mirah tidak dapat menolak, la harus menemani Rara Wulan menghadap Ki Gede Menoreh.

Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin rendah, maka seisi rumah itu, kecuali pembantu Agung Sedayu, telah pergi ke rumah Ki Gede. Beberapa orang yang bertemu di jalan telah menyapa mereka, terutama Glagah Putih yang datang kemudian, setelah Agung Sedayu beberapa lama mendahuluinya.

Kedatangan mereka telah disambut Ki Gede dengan gembira. Demikian pula Ki Waskita yang masih berada di rumah Ki Gede itu pula.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah berada di pendapa. Minuman dan makanan telah dihidangkan pula. Untuk beberapa saat maka Ki Gede dan Ki Waskita masih mempertanyakan keselamatan Glagah Putih dan Rara Wulan, sebelum mereka kemudian menanyakan keadaan Mataram sepeninggal pasukan Tanah Perdikan Menoreh dari Kotaraja.

Namun pembicaraan mereka akhirnya sampai juga ke Pegunungan Kendeng. Sebuah pegunungan yang memanjang membujur ke timur membelah Tanah ini.

Ternyata tidak banyak yang diketahui oleh Ki Gede dan Ki Waskita. Ki Gede bahkan belum pernah mendengar tentang Padepokan Cundamanik. Ki Waskita yang pernah menjadi pengembara ternyata mengenal dua nama padepokan di Pegunungan Kendeng. Satu, Padepokan Cundamanik, dan yang lain padepokan yang lebih kecil, disebut Padepokan Taligawe. Padepokan yang lebih banyak mengembangkan pertanian daripada hubungan keluar dan olah kanuragan.

Dengan demikian maka tidak banyak bahan yang didapat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan tentang orang-orang yang datang dan mengaku dari kelompok Gajah Liwung.

Namun Glagah Putih pun kemudian telah mengatakan pula, bahwa dalam sepekan ini mereka tidak mempunyai tugas apa-apa, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan sempat mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata mereka sempat berbincang-bincang di rumah Ki Gede sampai larut malam. Baru menjelang tengah malam Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan telah minta diri, sementara Ki Jayaraga akan tinggal di rumah Ki Gede.

“Jangan tunggu aku malam ini,” berkata Ki Jayaraga, “aku akan bermalam di sini. Sudah lama aku tidak bermain mul-mulan melawan Ki Waskita.”

Ki Waskita tertawa. Katanya, “Terakhir kami tiga kali bermain, aku telah memenangkan dua kali.”

Ki Gede pun tertawa. lapun menyahut pula, “Siapa yang menang baru akan melawan aku.”

Tetapi Agung Sedayu menyahut, “Besok aku akan ikut bermain.”

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berada di rumahnya. Dipersilahkannya Rara Wulan beristirahat di bilik sebelah kiri di ruang dalam.

“Tempatnya sangat sederhana,” berkata Sekar Mirah.

“Aku sekarang sudah terbiasa berada dimana saja,” jawab Rara Wulan, “bilik yang bagus dan terang tidak menarik lagi bagiku. Di tempat seperti ini aku merasakan akrabnya sebuah keluarga. Tetapi itu tidak aku rasakan di rumahku yang serba mewah. Setiap orang seakan-akan hidup sendiri-sendiri, bagi kepentingan sendiri-sendiri pula. Ibu sibuk dengan keperluan Ibu sendiri, sedangkan Ayah tidak mempunyai waktu luang untuk duduk-duduk dengan keluarga di rumah. Ada saja persoalan yang harus dibicarakan dengan kawan-kawan Ayah. Sementara Kakangmas mempunyai kepentingan sendiri.”

“Rara-lah yang harus menyesuaikan diri dengan kehidupan keluarga Rara itu,” desis Sekar Mirah.

“Aku lebih senang berada di rumah Kakek, atau di sarang sekelompok anak-anak muda yang pikirannya sejalan dengan aku. Meskipun aku satu-satunya perempuan di antara mereka,” berkata Rara Wulan.

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Nampaknya Rara telah menentukan satu sikap dalam mengarungi kehidupan, di atas biduk yang agaknya kurang sesuai dengan perasaan dan penalaran Rara.”

“Ya,” jawab Rara Wulan.

“Baiklah,” berkata Sekar Mirah, “besok kita berbincang-bincang lagi. Sekarang Rara beristirahatlah.”

“MBokayu,” desis Rara Wulan, “sebenarnya aku mempunyai kepentingan khusus datang ke Tanah Perdikan ini.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Rara Wulan nampaknya bersungguh-sungguh. Karena itu maka Sekar Mirah pun kemudian justu duduk di pinggir pembaringan.

“Ada apa Rara?” bertanya Sekar Mirah.

“MBokayu. Dalam permainan yang kami lakukan di Mataram, aku memerlukan kemampuan yang lebih baik dari yang aku miliki sekarang. Kakek telah memberikan beberapa pengetahuan tentang olah kanuragan. Tetapi ternyata bahwa kesempatan Kakek pun sangat terbatas. Karena itu, aku memerlukan datang kepada Mbokayu, untuk serba sedikit mendapat bekal bagi permainan yang ternyata cukup berbahaya itu,” jawab Rara Wulan.

“Berapa lama Rara akan berada di sini?” bertanya sekar Mirah.

“Sepekan,” jawab Rara Wulan.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Waktu sepekan adalah waktu yang terlalu pendek.”

“Aku mengerti Mbokayu. Tetapi yang aku perlukan adalah satu atau dua unsur saja, yang mampu mendukung kemampuan kanuraganku yang baru sedikit sekali itu. Satu dua unsur yang akan dapat menentukan, menurut tataran kemampuanku,” berkata Rara Wulan.

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Satu pekerjaan yang sangat berat. Sepekan itu tidak lebih dari lima hari.”

“Jika perlu, aku dapat menunda barang dua tiga hari,” berkata Rara Wulan.

“Baiklah Rara,” jawab Sekar Mirah, “jika demikian besok kita akan segera mulai. Aku tentu tidak akan dapat memberikan sesuatu selain mempertajam apa yang telah Rara miliki. Itupun seperti yang Rara katakan, hanya satu dua unsur, namun memiliki kekuatan yang lebih baik dari unsur-unsur lain yang telah Rara miliki.”

“Ya, Mbokayu,” jawab Rara Wulan. “Serta kemungkinan-kemungkinan yang dapat Rara kembangkan kemudian, berdasarkan pengalaman Rara,” berkata Sekar Mirah pula.

“Ya Mbokayu,” Rara Wulan mengangguk.

“Nah, jika demikian, beristirahatlah. Rara dapat tidur sampai esok pagi. Baru besok kita akan mulai,” berkata Sekar Mirah sambil bangkit. Lalu katanya, “Selamat malam.”

Ketika kemudian Sekar Mirah menutup pintu, maka Rara Wulan pun telah membaringkan dirinya. Namun agaknya sulit bagi Rara Wulan untuk segera tidur.

Sekar Mirah di biliknya telah mengatakan kepada Agung Sedayu maksud Rara Wulan. Seperti Sekar Mirah, Agung Sedayu pun berpendapat bahwa waktu yang hanya sepekan itu tentu sangat pendek.

Namun Sekar Mirah telah menjelaskan, “Yang penting bukan penguasaan unsur yang menentukan itu Kakang. Tetapi satu pengaruh jiwani yang membuat Rara Wulan semakin percaya kepada kemampuannya sendiri, di samping kemungkinan pengembangan atas unsur itu, sebenarnya justru karena pengalaman dan kemampuannya sendiri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Keyakinan atas kemampuan diri pun sangat berpengaruh. Sementara pengalamannya benar-benar akan meningkatkan kemampuan itu. Tetapi kita dapat minta tolong kepada Glagah Putih dan barangkali kawan-kawannya yang lain untuk membantu memberikan pengalaman kepada Rara Wulan, dengan latihan-latihan yang berat dan mapan. Jika hal itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan setiap hari meskipun hanya sebentar, tentu benar-benar akan menambah kemampuan Rara Wulan.”

“Kau katakan saja besok kepada Glagah Putih,” sahut Sekar Mirah, “besok aku akan mulai memasuki sanggar. Tetapi aku juga ingin Kakang dan Glagah Putih melihat tataran kemampuan Rara Wulan.”

“Besok sebelum aku berangkat, aku akan memerluan melihatnya,” jawab Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Glagah Putih ternyata sudah tidak ada di rumah. Bersama pembantu di rumah itu, Glagah Putih telah pergi ke sungai. Ia sudah terlalu lama tidak melihat pliridannya.

Ternyata pliridan itu telah menjadi semakin besar. Pembantu di rumah Agung Sedayu itu telah membuat pliridan itu lebih panjang dan lebih lebar, meskipun tidak mengganggu aliran sungai yang memang tidak begitu besar itu.

“Anak-anak nakal itu sering lewat lagi,” berkata pembantu rumah tangga Agung Sedayu, “tetapi mereka tidak berani lagi mengganggu aku.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Aku telah berkelahi lagi. Dua orang anak nakal itu telah lari terbirit-birit,” jawab pembantu rumah tangga Agung Sedayu itu.

“Jangan suka berkelahi,” pesan Glagah Putih, ” jika keadaan tidak memaksa, lebih baik kita bersahabat dengan siapa saja.”

“Kau dapat menasehati orang lain seperti seorang kakek-kakek. Tetapi kau sendiri hampir setiap hari berkelahi,” gumam anak itu.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Tetapi aku tidak bersungguh-sungguh berkelahi.”

“Kau masih suka omong kosong. Setiap orang membicarakan kau dan Ki Agung Sedayu,” berkata anak itu.

“Membicarakan apa?” bertanya Glagah Putih.

“Kau tentu tahu sendiri apa yang kau lakukan,” jawab anak itu.

Glagah Putih tertawa Namun iapun kemudian telah berdiri di tanggul pliridannya. Dilihatnya kilatan air yang bening. Namun malam cukup gelap, sehingga Glagah Putih tidak dapat melihat dengan jelas beberapa ekor ikan yang berenang di dalam pliridannya. Jika ikan-ikan itu tidak keluar pada saat pliridan itu ditutup, maka ikan itu akan segera masuk ke dalam kepis sebagai hasil tangkapan.

Namun berjalan-jalan di tepian di malam hari terasa betapa tenangnya. Udara terasa sejuk mengalir dari arah laut yang menyusuri lereng pengunungan.

Di Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih sempat melupakan keributan anak-anak muda yang kurang bertanggung jawab di Mataram. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan anak-anak muda yang baik, namun keberadaan mereka terasa semakin meresahkan. Apalagi dengan kehadiran sekelompok anak-anak muda yang justru mengaku dari kelompok Gajah Liwung.

Dalam pada itu, maka anak yang memelihara pliridan itu pun kemudian bertanya, “Apakah kita akan membukanya sekali saja menjelang dini?”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Sudah terlalu malam untuk membukanya dua kali.”

“Jika demikian, kita pulang saja dahulu sekarang,” ajak anak itu.

“Pulanglah, aku akan berjalan-jalan menelusuri sungai ini,” jawab Glagah Putih, “nanti menjelang dini aku sudah di sini, ikut membuka pliridan.”

Anak itu termangu-mangu. namun kemudian katanya, “Kau akan pergi kemana?”

“Berjalan-jalan di tepian,” jawab Glagah Putih.

“Hati-hatilah. Kau dapat berjumpa dengan anak-anak nakal yang sering mencuri ikan di pliridan orang lain. Justru pada saat-saat seperti ini,” pesan anak itu.

“Bukankah tidak setiap hari?” bertanya Glagah Putih.

“Siapa tahu hari ini mereka melakukannya,” jawab anak itu.

“Tetapi bukankah mereka sudah kau kalahkan?” bertanya Glagah Putih pula.

“Tetapi kau?” desis anak itu kemudian.

Glagah Puth tertawa. Tetapi ia justru berkata, “Baiklah. Jika aku melihat mereka, aku akan segera bersembunyi.”

Anak itu termangu-mangu. Sementara Glagah Putih pun telah berjalan menelusuri tepian. Ia merasakan suasana yang tenang dan damai. Seakan-akan tidak ada pertentangan antara sesama di dunia ini. Setidak-tidaknya di sebelah-menyebelah sungai itu.

Ternyata ia bukan satu-satunya orang yang berada di tepian. Glagah Putih telah bertemu dengan seorang yang sudah berumur setengah abad, namun masih mampu bekerja keras. Sambil membawa jala yang disangkutkan di pundaknya orang itu berjalan menelusuri sungai. Sekali-sekali ia mengangkat jalanya dan ditebarkannya ke dalam air.

“Ki Dali,” sapa Glagah Putih.

Orang tua itu tersenyum sambil bertanya, “Kau masih juga sempat turun ke sungai?”

“Sekali-sekali Ki Dali,” jawab Glagah Putih, “nampaknya Ki Dali masih juga setiap malam turun ke sungai.”

“Tidak ada kerja di sawah, Glagah Putih,” jawab orang itu, “aku sudah selesai menyiangi tanaman. Di siang hari aku dapat tidur, sementara istriku pergi ke pasar menjual rempeyek wader yang aku dapatkan malam ini. Sekedar untuk tambah membeli garam.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia sempat berpesan, “Hati-hati Ki Dali, jangan menangkap ular.”

Orang tua itu pun tertawa. Katanya, “Aku masih dapat membedakan antara sidat dan ular.”

Ki Dali pun berjalan semakin jauh menelusuri arus sungai yang tidak begitu besar itu. Sudah bertahun-tahun Ki Dali mengais uang di sungai itu, di saat-saat kerja di sawah sedang longgar. Ternyata bahwa kerja kerasnya tidak sia-sia. Ki Dali sempat menabung serba sedikit, sehingga akhirnya Ki Dali telah dapat membeli lembu sendiri untuk mengerjakan sawahnya. Dengan demikian maka kehidupannya menjadi lebih baik dari orang-orang yang meskipun lebih muda, tetapi enggan bekerja keras. Bahkan lebih banyak membuang waktunya untuk melakukan kerja yang tidak berarti. Tidak berarti bagi dirinya sendiri. Tidak berarti bagi keluarganya, dan apalagi bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata Glagah Putih yang berjalan-jalan di tepian, yang sekali-sekali harus naik ke atas tanggul kemudian turun di antara batu-batu padas yang terjal, telah mendapat kesan tersendiri setelah beberapa lamanya ia berada di medan pertempuran, di perjalanan, dan yang terakhir di riuhnya kenakalan anak-anak muda.

Seperti yang dijanjikan, maka menjelang dini Glagah Pulih telah kembali di tepian di sebelah pliridannya. Bersama dengan pembantu di rumah Agung Sedayu itu, maka Glagah Putih telah menutup pliridan. Meskipun ia telah menjelajahi berbagai macam pengalaman, namun kerja di sungai itu telah memberinya kegembiraan tersendiri.

Di ujung malam setelah pulang dari sungai, Glagah Putih sempat tidur sejenak di bilik pembantunya itu. Tetapi seperti biasa sebelum matahari terbit, Glagah Putih telah bangun.

Tetapi Glagah Putih termangu-mangu ketika Agung Sedayu memanggilnya. Masih terlalu pagi untuk berbincang.

Namun Glagah Putih datang juga ke ruang dalam.

Di ruang dalam ditemuinya Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah bersiap-siap untuk memasuki sanggar.

“Apa yang akan kita lakukan?” bertanya Glagah Putih.

“Kami menunggumu. Bersiaplah. Mbokayumu akan melihat tataran kemampuan Rara Wulan. Aku dan kau dimintanya untuk ikut menyaksikan. Karena itu, kita melakukannya pagi-pagi, sebelum aku pergi ke barak,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab, la langsung pergi ke pakiwan, mandi dan kemudian berbenah diri. Glagah Putih tidak sempat membersihkan halaman dan menimba air. Ketika ia melihat pembantu di rumah Agung Sedayu berdiri termangu-mangu, maka iapun berkata, “Ada sedikit perlu. Nanti aku bantu mengisi jambangan di pakiwan dan menyapu halaman. Tetapi nanti.”

“Nanti setelah jambangan penuh dan halaman menjadi bersih,” sahut anak itu.

“Jangan begitu. Kau tahu, aku dipanggil Kakang Agung Sedayu,” jawab Glagah Putih sambil bergegas pergi ke ruang dalam.

“Maaf, aku menghambat. Kakang tidak memberitahukan semalam,” desis Glagah Putih.

“Aku baru tahu menjelang tidur semalam,” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Berempat mereka pun kemudian telah pergi ke sanggar. Sementara itu, pembantu di rumah Agung Sedayu itu menyapu halaman sambil bersungut-sungut.

Demikianlah, sejenak kemudian mereka telah berada di sanggar. Sekar Mirah telah memberitahukan kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih, bahwa mereka akan menilai kemampuan Rara Wulan, sebelum Sekar Mirah akan memanfaatkan waktu yang hanya sepekan itu untuk mencari kekuatan unsur-unsur gerak yang dimiliki oleh Rara Wulan.

Glagah Putih memang menjadi heran. Apa yang dapat dilakukan dalam waktu sepekan? Namun Agung Sedayu nampaknya telah menjadi bersungguh-sungguh, sehingga Glagah Putih tidak memberikan tanggapan apapun juga.

Ketika semuanya telah siap, maka Sekar Mirah pun telah mempersilahkan Rara Wulan untuk berdiri di tengah-tengah sanggar.

“Mulailah Rara,” desis Sekar Mirah, “tunjukkan yang mungkin kau tunjukkan dalam hubungannya dengan kemampuanmu.”

Rara Wulan pun kemudian telah mempersiapkan diri. Dipusatkannya nalar budinya untuk mengungkapkan ilmunya, yang memang belum cukup banyak untuk langsung terjun ke dunia olah kanuragan yang keras. Meskipun demikian namun kemampuan gadis itu sudah cukup memadai untuk mengimbangi kemampuan anak-anak nakal di Mataram, yang semakin lama menjadi semakin menggelisahkan.

Sejenak kemudian Rara Wulan pun telah mulai. Mula-mula Rara Wulan sekedar menghangatkan badannya. Gerak-gerak yang sederhana dan lentur. Namun semakin lama gerak Rara Wulan pun menjadi semakin semakin cepat dan semakin kuat. Unsur-unsur geraknya pun menjadi semakin rumit.

Agung Sedayu memang mengenali unsur-unsur gerak itu diwarisinya dari Ki Lurah Branjangan. Tetapi masih baru pada tataran pemula, meskipun ada beberapa unsur yang sudah agak rumit. Bahkan pada bagian terakhir Rara Wulan mampu menunjukkan kemampuannya bergerak dengan cepat dan kuat. Meskipun Rara Wulan baru mulai dengan ungkapan tenaga cadangannya, namun ternyata bahwa gadis itu memiliki kemampuan dasar yang tinggi.

Sebagaimana Pandan Wangi dan Sekar Mirah, Agung Sedayu melihat kemungkinan yang besar ada di dalam diri Rara Wulan. Keberaniannya memberikan dorongan yang besar bagi kemajuan ilmunya, jika gadis itu mendapat penanganan yang baik.

Glagah Putih yang sudah pernah melihat ungkapan ilmu kanuragan Rara Wulan masih juga memperhatikan dengan seksama. Dalam keadaan yang lain di dalam sanggar, mungkin Rara Wulan mampu menunjukkan unsur-unsur yang terlewati dalam pertempuran yang sebenarnya, namun yang ternyata mengandung kekuatan yang besar.

Beberapa lama Glagah Putih masih memperhatikan Rara Wulan yang berusaha mengungkapkan ilmunya sejauh dapat dilakukan.

Namun kemudian Sekar Mirah tidak hanya sekedar ingin melihat bekal yang ada di dalam diri gadis itu. Tetapi juga kemampuannya menanggapi kemungkinan-kemungkinan yang timbul di dalam satu pertempuran.

Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun kemudian berkata, “Hati-hati. Aku akan memasuki latihan, Rara.”

Rara Wulan bergeser surut ketika Sekar Mirah meloncat memasuki lingkaran latihannya. Dengan serta merta, Sekar Mirah telah melontarkan serangan-serangan beruntun, meskipun Sekar Mirah harus memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Dengan demikian bentuk latihan itu pun telah berubah. Rara Wulan tidak sekedar mengungkapkan unsur-unsur gerak yang dikuasainya, tetapi Rara Wulan juga harus memperhatikan lawannya berlatih.

Beberapa saat lamanya keduanya berlatih. Namun Rara Wulan harus memeras tenaga dan kemampuannya untuk mengimbangi serangan-serangan Sekar Mirah.

Tetapi hal itu tidak terlalu lama berlangsung. Sekar Mirah segera mengetahui bahwa bekal kanuragan Rara Wulan masih terlalu sedikit. Meskipun untuk menghadapi kelompok-kelompok anak-anak nakal yang hanya mengandalkan keberanian dan kekuatan kelompok-kelompok mereka bekal Rara Wulan terhitung cukup memadai, namun jika ia bertemu dengan seorang yang terlatih meskipun baru pada tataran yang pertama, maka Rara Wulan harus memeras segenap kemampuannya.

Agung Sedayu dan Glagah Putih juga melihat hal itu. Apalagi Glagah Putih yang sudah sering melihat Rara Wulan benar-benar bertempur.

Beberapa saat kemudian, Sekar Mirah telah menganggap cukup. Apalagi Rara Wulan telah benar-benar memeras keringatnya, sehingga tenaganya sudah menjadi semakin susut. Karena itu maka Sekar Mirah pun telah meloncat surut sambil berkata, “Sudah cukup Rara.”

Rara Wulan memang sudah menjadi sangat lelah. Nafasnya menjadi terengah-engah. Pakaiannya basah, seakan-akan Rara Wulan telah berendam di dalam air dengan seluruh pakaian yang dipakainya itu.

Demikian Sekar Mirah meloncat surut, maka Rara Wulan pun telah berdiri dengan letihnya di tengah-tengah sanggar itu.

“Kita mengatur pernafasan kita,” berkata Sekar Mirah.

Rara Wulang mengangguk. Kakeknya juga pernah mengajarinya. Namun Sekar Mirah minta Rara Wulan menirukannya.

Rara Wulan yang berdiri berhadapan dengan Sekar Mirah telah menirukan apa yang dilakukan oleh Sekar Mirah. Mengangkat kedua belah tangannya, merentang dan kemudian diangkat lebih tinggi lagi. Ketika kedua tangan itu menurun, maka Sekar Mirah telah telah membuat beberapa gerakan kecil dengan pergelangan tangannya yang terbuka. Kemudian mengatupkan kedua telapak tangan tepat di depan wajahnya dan menurun perlahan-lahan. Kedua telapak tangan yang terkatup itu berhenti di depan dadanya. Satu tarikan nafas panjang seakan-akan telah mengendapkan segala kelelahan.

Sekar Mirah pun kemudian melangkah mendekat sambil menepuk bahu Rara Wulan sambil berkata, “Rara telah berusaha dengan sungguh-sungguh.”

Namun Rara Wulan masih juga terengah-engah, meskipun dadanya sudah terasa sedikit lapang. “Hanya itu yang dapat aku lakukan,” desahnya.

“Sebagai bekal, itu sudah memadai,” berkata Sekar Mirah. Lalu katanya, “Namun Rara harus bekerja keras. Tidak hanya dalam waktu sepekan. Tetapi untuk selanjutnya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Sedangkan Sekar Mirah berkata selanjutnya, “Glagah Putih akan dapat membantu Rara jika kelak Rara kembali ke Mataram.”

Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

“Nah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku sudah melihat landasan kemampuan Rara. Nanti sore, setelah aku kembali dari barak, aku akan memberikan beberapa tanggapan. Sekarang aku akan bersiap-siap untuk pergi ke barak. Aku sekarang terikat dengan waktu. Meskipun tidak ada tugas-tugas yang penting dan mendesak, aku harus berada di barak.”

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar