Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 260

Buku 260

Tetapi jawaban Agung Sedayu mengejutkan, “Anak itu ingin menempuh cara yang terbaik. Ia ingin melaporkannya lebih dahulu kepada pimpinan langsungnya. Tetapi ketika ia baru mulai, kalian telah datang. Sehingga ia belum sempat menceritakan apa yang telah terjadi. Tetapi ia sudah mulai serba sedikit.”

“Ki Lurah Branjangan bukan pimpinan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Kenapa ia harus lapor lebih dahulu kepada Ki Lurah Branjangan, tidak langsung kepada prajurit yang bertugas, atau kepada Ki Gede Menoreh yang juga masih berada di sini ? Menurut dugaan kami, anak muda itu adalah anak muda yang ada di antara kita sekarang ini.”

“Ya,” jawab Glagah Putih. Ia memang sudah menahan hatinya untuk tetap berdiam diri, sehingga jantungnya rasa-rasanya akan meledak.

“Anak ini yang telah melakukannya, Ki Sanak benar. Tetapi ia tidak ingin memberikan laporan kepada Ki Lurah Branjangan. Ia datang ke tempat ini, bukan saja mengantar Rara Wulan sampai ke tujuan, tetapi ia ingin memberikan laporan kepadaku,” jawab Agung Sedayu.

“Kau siapa?” bertanya prajurit itu.

“Aku adalah pemimpinnya langsung,” jawab Agung Sedayu.

“Nama Ki Sanak?” bertanya prajurit itu.

“Agung Sedayu.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia bertanya, “Adik Ki Untara yang baru saja diwisuda menjadi seorang Tumenggung.”

“Itu tidak penting,” jawab Agung Sedayu, “tetapi aku ikut bertanggung jawab atas peristiwa ini, karena anak muda ini langsung di bawah pimpinanku. la akan memberikan laporan. Ia baru saja selesai membenahi dirinya.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah jika demikian. Tetapi kami tetap menunggu laporan yang terperinci. Jika benar anak muda itu membunuh, maka ia harus bertanggung jawab. Kecuali jika ia dalam keadaan membela diri.”

“Ia sekedar membela diri,” berkata Rara Wulan, “aku adalah saksinya.”

“Tentu akan ada satu kelompok petugas yang akan mendengarkan keterangan kalian. Kami memang tidak mempunyai saksi yang lain yang langsung terlibat, selain Rara Wulan sendiri,” berkata prajurit itu.

“Siapa yang telah memberikan laporan kepada kalian?” bertanya Rara Wulan.

Para prajurit itu sadar, bahwa ayah Rara Wulan pun seorang Tumenggung. Karena itu maka mereka memang harus berhati-hati bersikap, meskipun para prajurit itu sadar, mereka sedang dalam tugas.

“Kami mendapat laporan dari orang yang melihat peristiwa itu, meskipun tidak begitu tahu apa yang sebenarnya telah terjadi,” jawab prajurit itu.

“Dua orang?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Mereka dalam keadaan letih,” jawab prajurit itu. Lalu, “Mereka menjadi ketakutan dan berlari sekuat-kuatnya, sehingga beberapa kali mereka terjatuh.”

Rara Wulan mendengarkan laporan itu dengan dahi yang berkerut. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Orang-orang itu berwajah kotor?”

Prajurit itu mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Mereka sangat ketakutan dan terkejut. Mereka terperosok dan jatuh menelungkup.”

“Dimana mereka sekarang?” bertanya Rara Wulan.

“Mereka hanya memberikan laporan,” jawab prajurit itu.

“Lalu kalian biarkan pergi?” bertanya Rara Wulan.

“Kenapa?” bertanya prajurit itu.

“Cari mereka sebelum mereka jauh. Mereka adalah orang-orang dari kelompok Sidat Macan yang akan menangkap dan menculik aku,” berkata Rara Wulan, “yang terbunuh itu adalah pemimpinnya.” Keempat prajurit itu termangu-mangu. Namun yang tertua di antara mereka berkata, “Mereka telah tidak mungkin dapat diketemukan lagi. Mereka tentu sudah pergi jauh, dan bahkan mungkin sudah berada di luar kota ini. ”

“Bagaimana mungkin hal seperti itu dapat terjadi? Seharusnya kalian mencurigainya. Dengan naluri keprajuritan kalian, kalian harus mencurigainya,” berkata Rara Wulan.

“Tetapi sebelumnya kami tidak mendapat keterangan apapun yang dapat mengarahkan dugaan kami. Seandainya kalian berdua melaporkan apa yang terjadi kepada kami segera, maka kalian mungkin akan dapat bertemu dengan kedua orang itu. Atau setidak-tidaknya waktunya masih dekat,” berkata prajurit yang tertua itu.

“Sudah aku katakan,” sahut Agung Sedayu, “Glagah Putih ingin memberikan laporan kepada atasannya langsung, baru kemudian memberikan laporan kepada para petugas.”

“Tetapi akibatnya, kedua orang itu sudah tidak di tangan kami. Selebihnya kami pun belum dapat meyakini bahwa keduanya terlibat langsung dalam persoalan yang menyangkut kalian berdua,” berkata yang tertua di antara para prajurit itu.

“Aku melempar wajah mereka dengan ranti. Wajah itu kotor bukan oleh debu, atau lumpur, atau apapun karena mereka jatuh menelungkup,” berkata Rara Wulan.

“Tetapi sudah terlambat,” berkata prajurit itu.

“Belum,” berkata Agung Sedayu, “bagaimanapun juga, para petugas harus berusaha untuk menemukan mereka. Berhasil atau tidak berhasil.”

Para prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun tahu, bahwa Agung Sedayu itu juga seorang prajurit. Di saat kakaknya Untara diwisuda menjadi Tumenggung, maka Agung Sedayu telah diangkat menjadi Senapati pada Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Namun ternyata mereka baru sempat mengenal langsung secara pribadi saat itu.

Dalam pada itu maka prajurit yang tertua itu pun berkata, “Baiklah. Kami akan melakukan apa saja dalam batas kemampuan kami. Tetapi setiap saat kalian berdua akan dapat dipanggil untuk memberikan keterangan. Selebihnya, selambat-lambatnya besok kalian harus sudah memberikan laporan secara terperinci.”

“Tetapi kalian harus mengetahui, bahwa kami tidak membunuh tanpa alasan. Kami membela diri dan kehormatan,” jawab Rara Wulan.

“Hal itu tentu akan kalian sebutkan dalam laporan kalian,” berkata prajurit itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Ki Lurah berkata, “Segala persoalan ini akan aku ambil alih. Besok Pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan kembali ke Tanah Perdikannya. Glagah Putih adalah salah seorang pemimpin pasukan Tanah Perdikan itu, Karena itu, sepeninggal Glagah Putih, aku-lah yang akan mempertanggung-jawabkannya. Ia akan menyelesaikan laporannya hari ini.”

Para prajurit itu termangu-mangu. Tetapi yang tertua pun kemudian berkata, “Jika demikian, maka panggilan akan dikirimkan ke Tanah Perdikan Menoreh, jika kami memerlukan kehadirannya.”

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih menjawab, “Aku tidak akan meninggalkan kota sebelum persoalannya selesai sampai tuntas.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam Agung Sedayu berkata, “Kau harus mematuhi perintah. Aku belum menjatuhkan perintah apapun kepadamu, apakah kau harus tinggal atau bersama kami kembali ke Tanah Perdikan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kadang-kadang ia memang tidak telaten dengan sikap kakak sepupunya. Namun ia sadar, bahwa kakaknya ingin mempersempit persoalannya.

Sementara itu Agung Sedayu berkata kepada prajurit yang tertua, “Aku akan menentukan kemudian. Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi jaminan bahwa anak itu tidak akan melarikan diri. Bahkan Ki Lurah Branjangan telah bersedia mengambil alih persoalan. Namun sebaiknya Ki Lurah hanya sekedar menanggung bahwa Glagah Putih tidak akan lari dan mengingkari perbuatannya.”

“Semuanya itu di luar kewajibanku untuk mengambil keputusan. Aku hanya dapat memberikan laporan. Perintah berikutnya akan datang dari perwira yang bertanggung jawab atas penjagaan di kota hari ini,” jawab prajurit itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Kalian benar. Tetapi dimana mayat orang yang mati itu sekarang?”

“Ada di banjar padukuhan terdekat,” jawab prajurit itu.

“Apakah kalian menunggu kehadiran keluarganya?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Ya. Kami menunggu keluarga orang yang terbunuh itu. Jika hari ini tidak ada yang datang mengurusnya, maka besok kami akan menguburkannya,” jawab prajurit itu.

“Jika ada orang yang mengaku keluarganya, maka orang itu akan dapat menjadi sumber keterangan. Orang itu harus diketahui kenyataan tentang dirinya. Rumahnya, keluarganya, dan hubungannya yang sebenarnya dengan orang yang terbunuh itu,” berkata Agung Sedayu.

“Ya,” Rara Wulan menyahut, “setiap orang yang datang untuk mengurus mayat itu akan dapat memberikan keterangan tentang kelompok Sidat Macan.”

Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kami mengerti. Kami akan memberikan laporan.”

“Jika keluarganya datang, kalian dapat bertindak meskipun kalian belum mendapat perintah. Jika kalian masih menunggu, mungkin kalian akan terlambat,” berkata Agung Sedayu.

Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kami mengerti. Sekarang kami minta diri. Kedua anak muda yang terlibat itu harus segera memberikan laporan terperinci tentang peristiwa yang terjadi itu.”

Para prajurit itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka pun kemudian minta diri. Ketika mereka turun dari pendapa, mereka masih berpesan, “Laporan kalian ditunggu secepatnya.”

“Aku akan segera datang,” jawab Glagah Putih yang menjadi jengkel.

Sepeninggal keempat prajurit itu, maka Agung Sedayu segera minta keterangan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya telah menceritakan apa yang telah terjadi.

“Kelompok-kelompok anak muda yang tidak tahu diri,” desis Ki Lurah Branjangan, “tetapi jika aku yang mengatakannya, maka anak-anak muda akan segera menudingku sebagai orang tua yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan arus jaman.” Ki Lurah berhenti sejenak, lalu iapun bertanya kepada Glagah Putih, “Bagaimana pendapatmu? Bukankah kau juga anak muda?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia menjawab, “Pikiranku sudah tentu tidak sejalan dengan mereka. Apalagi dalam keadaan yang gawat seperti sekarang ini. Menurut pendapatku, Mataram memerlukan tenaga anak-anak muda untuk banyak keperluan, justru saat Mataram menyembuhkan luka-luka yang dideritanya, sekaligus mengembangkan dirinya.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Kita pergi ke gardu pengendalian penjagaan di kota ini. Kita memberikan laporan selengkapnya kepada para prajurit yang bertugas.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, “Marilah Kakang.”

“Aku ikut,” berkata Rara Wulan.

“Tidak. Kau tidak usah ikut,” jawab Agung Sedayu, “bukankah Rara sedang masak untuk makan siang?”

“Tidak. Aku tidak mau masak lagi. Aku harus menjelaskan apa yang terjadi. Aku adalah saksi yang terpenting dalam persoalan ini,” berkata Rara Wulan.

“Tetapi bukankah kami baru akan memberikan laporan? Nampaknya belum akan dilakukan pemeriksaan,” berkata Agung Sedayu. “Aku pun agaknya kurang yakin apakah akan ada pemeriksaan. Jika kami dapat meyakinkan bahwa Glagah Putih hanya sekedar membela diri, maka persoalannya akan lain. Aku pun yakin bahwa sebenarnya para prajurit, setidak-tidaknya beberapa petugas sandi, sudah mengenali orang itu. Orang yang kau sebut bertubuh raksasa itu tentu sudah diketahui bahwa orang itu adalah pemimpin kelompok Sidat Macan.”

Tetapi Rara Wulan tetap menolak. Kepada kakeknya ia berkata, “Aku akan pergi. Kakek tidak usah ikut. Aku tidak ingin dianggap mempergunakan pengaruh Kakek. Sebenarnya Kakang Agung Sedayu tidak perlu ikut pula.”

Namun Agung Sedayu menjawab, “Dengan kedatangan para prajurit serta keteranganku bahwa Glagah Putih akan memberikan laporan lebih dahulu kepada atasannya langsung, maka aku sudah terlibat. Mau tidak mau. Sebenarnya aku pun berharap, sebagaimana pesan Ki Gede, agar tidak terjadi sesuatu yang dapat setidak-tidaknya menyentuh nama Tanah Perdikan Menoreh.”

“Maafkan aku Kakang,” desis Glagah Putih.

Tetapi Rara Wulan berkata lantang, “Kita tidak bersalah. Apakah Kakang Agung Sedayu juga menganggap kami bersalah? Kecelakaan seperti yang terjadi itu akan dapat terjadi atas siapa saja. Gadis yang manapun, anak siapapun. Kematian adalah hukuman yang paling pantas bagi pemimpin kelompok Sidat Macan itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat mencegah Rara Wulan. Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah. Marilah. Ki Lurah memang tidak akan pergi.”

Ki Lurah mengerti maksud Agung Sedayu. Karena itu, orang tua itu pun hanya mengangguk kecil saja.

Demikianlah, sejenak kemudian maka Agung Sedayu bersama-sama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan rumah Ki Lurah Branjangan dan pergi ke gardu pemimpin yang bertugas berjaga-jaga serta mengendalikan penjagaan di kota.

Ketika ia sampai ke gardu induk dari para petugas itu, maka kebetulan pula perwira yang bertugas memimpin penjagaan di kota telah dikenal oleh Agung Sedayu, sehingga pembicaraan pun menjadi lebih lancar.

Mereka telah berada di ruang khusus untuk bercerita tentang kematian seorang yang bertubuh tinggi besar, yang memang dikenal oleh para prajurit sebagai pemimpin kelompok Sidat Macan.

“Jadi kalian telah mengenal orang itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Tentu,” jawab prajurit itu, “kelompok Sidat Macan adalah kelompok yang telah membuat kami pusing selama ini. Beberapa kali kami telah menangkap orang itu. Menghukumnya dengan berbagai cara. Namun orang itu bersama kelompoknya nampaknya tidak segera menjadi jera.”

“Jika demikian, kenapa orang yang memberikan laporan tentang kematian pemimpin Sidat Macan itu tidak ditangkap, ketika mereka berpura-pura memberikan laporan kematian pemimpinnya?” bertanya Agung Sedayu.

“Kami benar-benar belum mengenal mereka,” jawab perwira itu.

“Dan kedua orang itu kalian lepaskan begitu saja?” bertanya Agung Sedayu.

Sebelum perwira itu menjawab, Rara Wulan telah mendahuluinya, “Seharusnya kalian mencurigainya.”

Perwira itu tertawa. Katanya, “Kami tidak melepaskannya begitu saja. Dua orang petugas sandi mengikutinya. Tetapi keduanya belum kembali untuk memberikan laporan.”

“Dan kenapa mayat pemimpin kelompok itu tidak dibawa kemari saja?” bertanya Agung Sedayu.

“Kami tidak ingin menakut-nakuti keluarganya untuk mengambilnya,” jawab pemimpin para prajurit yang bertugas itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Empat orang prajurit telah datang ke rumah Ki Lurah Branjangan.”

“Aku memang telah memerintahkan mereka. Aku memang ingin berbicara dengan orang yang telah membunuh pemimpin Sidat Macan itu, untuk mendapat gambaran yang lengkap tentang peristiwa itu. Kami mendapat petunjuk bahwa gadis yang telah diganggu oleh orang-orang dari kelompok Sidat Macan itu adalah cucu Ki Lurah Branjangan, bersama seorang anak muda yang agaknya seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apakah orang-orang Sidat Macan mengetahuinya?” bertanya Agung Sedayu.

Perwira itu menggeleng. Katanya, “Keterangan itu bukan dari orang Sidat Macan, tetapi orang-orang yang telah melihat kalian mengambil jalan kecil, setelah kalian bertengkar dengan orang-orang Macan Putih, yang sudah dikenal baik oleh cucu Ki Lurah Branjangan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dalam waktu singkat, para petugas sandi dari Mataram telah mendapat banyak keterangan tentang peristiwa yang terjadi.

Namun perwira itu kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Tetapi kami tidak akan mengambil tindakan apa-apa terhadap kalian. Kami tahu kalian membela diri. Yang kami perlukan adalah keterangan pertama dari orang-orang yang terlibat.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Empat orang prajurit yang datang ke rumah Kakek telah bersikap lain. Nampaknya mereka langsung mempersalahkan kami, menuduh kami dan bahkan akan menghukum kami.”

Perwira yang bertugas itu tersenyum. Katanya, “Kami tidak dapat bersikap lain. Demikian pula para prajurit. Tetapi sudah tentu kami mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang tidak dapat kami katakan kepada setiap orang, bahkan kepada para prajurit.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata dugaan Agung Sedayu benar, bahwa para perwira sudah tentu mempunyai bahan cukup untuk menilai kematian pemimpin Sidat Macan itu.

Namun perwira itu pun kemudian berkata, “Yang kami lakukan adalah sikap wajar yang harus dilakukan oleh setiap prajurit dalam keadaan gawat. Karena itu, kami memang ingin kalian datang kemari. Para prajurit dan orang banyak akan tahu, bahwa kami tidak membiarkan saja peristiwa ini terjadi. Namun kami juga tidak akan berbuat tanpa pertimbangan-pertimbangan yang masak.”

Agung Sedayu megangguk-angguk mendengarkan penjelasan perwira itu. Sementara itu perwira itu pun kemudian berkata, “Nah, sekarang aku ingin mendengar keterangan pelaku dan saksi utama dari peristiwa ini. Meskipun kami telah mempunyai banyak keterangan, tetapi keterangan dari kalian adalah keterangan yang tentu paling lengkap.”

Agung Sedayu pun kemudian berpaling kepada Glagah Putih yang masih berdiam diri. Ketegangan membayang di wajahnya, namun setelah mengatur gejolak di dalam dadanya. Glagah Putih pun mulai menceritakan apa yang telah terjadi. Ia mengatakan segalanya yang dialaminya dan diketahuinya.

Perwira yang bertugas itu mendengarkan cerita Glagah Putih dengan saksama. Ternyata apa yang dikatakan oleh Glagah Putih itu sesuai dengan keterangan yang didapat oleh perwira itu lewat beberapa orang petugas sandinya. Sehingga dengan demikian maka bagi perwira itu, Glagah Putih sama sekali tidak berniat untuk memutar-balikkan peristiwa yang dialaminya.

Demikian pula ketika Rara Wulan memberikan keterangannya. Sejak gadis itu bertemu dengan anak-anak muda dari kelompok Macan Putih, hingga terbunuhnya pemimpin kelompok Sidat Macan.

Perwira itu mengangguk-angguk, Dengan nada rendah ia berkata, “Terima kasih atas keterangan kalian. Aku sejak semula sudah yakin, bahwa kalian tidak akan mempersulit persoalan. Namun dengan demikian, para prajurit dan orang-orang yang menyaksikan kalian datang kemari akan berpendapat bahwa kami telah melakukan tugas kami dengan baik. Kami tidak berpihak kepada siapapun. Setiap persoalan akan kami tangani dengan wajar, meskipun pelakunya seorang pengawal atau bahkan seorang prajurit.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku memuji sikapmu. Dengan demikian, apakah yang harus dilakukan oleh anak ini?”

“Kami telah mendapatkan satu keyakinan bahwa Glagah Putih memang sekedar mempertahankan diri,” berkata perwira itu. Tetapi katanya kemudian, “Meskipun demikian, jika kami memerlukan keterangannya, kami akan mengundangnya.”

“Bagaimana menurut pertimbanganmu? Apakah ia akan dapat meninggalkan kota besok?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Ya, tentu,” jawab perwira itu, “sudah aku katakan, tidak ada masalah lagi.” Perwira itu berhenti sejenak. Tetapi agaknya masih ada yang ingin dikatakannya, “Tetapi hati-hatilah. Kelompok itu adalah kelompok yang licik, tetapi cukup besar. Pengikutnya tersebar di beberapa tempat. Satu dua padepokan di sekitar kota ini tersangkut. Bukan saja murid-muridnya, tetapi justru keluarga pimpinan padepokan itu sendiri. Tetapi untunglah bahwa lebih banyak yang menempatkan diri sebagai wadah anak-anak muda untuk benar-benar menuntut ilmu, daripada yang terlibat ke dalam tingkah laku yang membuat para petugas menjadi pusing.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara perwira itu berkata, “Orang yang terbunuh itu adalah adik pemimpin padepokan Wanatara, yang bergelar Ki Gede Karanglapis.”

“Aku belum pernah mendengarnya,” desis Agung Sedayu.

“Memang sebuah padepokan kecil. Tetapi mempunyai pengaruh yang kuat bagi kelompok Sidat Macan.”

Agung Sedayu yang menaruh perhatian atas keterangan perwira itu berdesis, “Untunglah bahwa besok Glagah Putih telah kembali ke Tanah Perdikan.”

Tetapi Rara Wulan-lah yang kemudian memotong, “Sebaiknya Glagah Putih tinggal di sini untuk beberapa hari. Ia harus mengetahui kelanjutan dari persoalan ini. Jika besok ia meninggalkan kota, maka tentu ada pihak yang menganggapnya licik.”

Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak Rara. Persoalannya sudah dianggap selesai. Jika pada suatu saat ia dipanggil, maka ia akan datang.” “Dan membiarkan aku menghadapi orang-orang Sidat Macan sendiri? Atau aku harus bergabung dengan orang-orang Macan Putih?” sahut Rara Wulan. Bahkan katanya kemudian, “Tetapi jika jalan itu yang harus aku tempuh, apa boleh buat. Aku tidak boleh sendiri menghadapi orang-orang Sidat Macan.”

Agung Sedayu memang terkejut mendengar pernyataan itu. Bahkan ternyata bukan hanya Agung Sedayu. Tetapi perwira yang bertugas itu segera menyahut, “Rara, jangan cemas, Rara tidak harus bergabung dengan salah satu dari kelompok-kelompok anak-anak yang kurang menyadari arti dari perkembangan keadaan ini. Juga tidak dengan kelompok-kelompok lain yang lebih kecil, namun yang juga membuat kepala kami pening. Kami akan melindungi Rara dari kenakalan mereka. Apalagi Rara termasuk keluarga prajurit. Kakek atau ayah Rara dapat memerintahkan para prajurit untuk melindungi Rara dari kekasaran kelompok-kelompok itu.”

“Kau yakin?” tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, “Apakah setiap saat para prajurit sempat mengawasi aku, atau aku yang harus menyesuaikan diri dengan tinggal di dalam bilik tanpa berani keluar rumah?”

Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tugas para prajurit adalah melindungi setiap orang yang memerlukannya. ”

“Apakah para prajurit juga sempat melindungi aku ketika aku dicegat orang-orang Sidat Macan?” desak Rara Wulan.

“Tentu saja kami tidak dapat menguasai semua masalah yang menyangkut kejahatan. Malam hari masih juga ada pencuri yang terlepas dari pengamatan prajurit dan para peronda. Di siang hari masih juga terjadi perampasan dan kejahatan lain. Namun kami berusaha berbuat sebaik-baiknya dalam batas-batas kemampuan kami,” jawab perwira itu.

Rara Wulan segera menjawab, “Karena itu, untuk sementara Glagah Putih harus tinggal.”

Agung Sedayu ternyata mempunyai pertimbangan lain. Rara Wulan bukan semata-mata menahan Glagah Putih dalam hubungannya dengan persoalan Sidat Macan. Rara Wulan tentu mempunyai alasan yang mendorongnya untuk menahan Glagah Putih. Namun itu berarti menghadapkan Glagah Putih pada persoalan-persoalan yang rumit. Ia tentu tidak hanya berhadapan dengan orang-orang Sidat Macan, tetapi juga dengan kawan-kawan Rara Wulan yang tergabung dalam kelompok Macan Putih.

Dalam keragu-raguan, Agung Sedayu akhirnya justru bertanya kepada Glagah Putih, “Bagaimana menurut pendapatmu sendiri Glagah Putih?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia bukannya tidak menyadari, bahwa ia akan dihadapkan kepada persoalan yang berkepanjangan, dan bahkan mungkin akan timbul persoalan-persoalan baru. Tetapi sebagai seorang anak muda, Glagah Putih tidak mau menunjukkan kesan seakan-akan ia ingin menghindarinya, apalagi di hadapan seorang gadis. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku tidak berkeberatan jika Kakang memerintahkan aku untuk tinggal.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sikap Glagah Putih cukup berhati-hati, meskipun ia telah menyatakan keinginannya. Namun Agung Sedayu memang sudah menduganya.

Tetapi perwira yang bertugas itu berkata, “Sebenarnya aku ingin memberikan peringatan kepadamu Anak Muda, agar untuk sementara kau justru tidak menampakkan diri. Karena itu, ada baiknya jika kau kembali ke Tanah Perdikan.”

“Tidak,” potong Rara Wulan, “ia akan bertanggung jawab atas perbuatannya.”

“Tetapi Rara,” berkata perwira itu, “jika Glagah Putih ternyata menimbulkan persoalan di kota yang sedang diliputi suasana yang suram ini, maka kami tidak akan segan-segan mengambil tindakan.”

“Jadi kalian mulai menyalahkan kami?” bertanya Rara Wulan.

“Sekarang tidak. Tetapi keadaan akan dapat berkembang lain di waktu mendatang,” berkata perwira itu.

“Baik. Kalian akan menyaksikan kelak, apa yang kami lakukan. Kami bukan kelompok-kelompok orang bambung seperti kelompok Sidat Macan, Macan Putih atau Kelabang Ireng. Tetapi kami pun tidak mau diperlakukan semena-mena oleh siapapun,” desis Rara Wulan.

“Jika demikian terserah kepada kalian. Kami tidak berkeberatan kota ini bertambah dengan seorang penghuni lagi, asal tidak menambah kesulitan kami mengatasi persoalan-persoalan yang sudah cukup rumit sekarang ini,” desis perwira itu.

Agung Sedayu mengerti, bahwa perwira itu memang agak menjadi jengkel kepada Rara Wulan. Tetapi justru karena ia mengenal Rara Wulan, maka perwira itu masih harus sedikit mengekang diri.

Dengan demikian, maka telah diputuskan bahwa Glagah Putih tidak akan segera kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi keberangkatan pasukan pengawal Tanah Perdikan tidak akan terhambat karenanya. Glagah Putih akan berada di rumah Ki Lurah Branjangan.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah minta diri kepada perwira yang memimpin penjagaan di kota hari itu. Bersama Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka telah beringsut untuk meninggalkan bilik itu.

Tetapi mereka tertegun ketika dua orang prajurit sandi memasuki bilik itu. Mereka memang menjadi ragu-ragu untuk masuk. Tetapi perwira yang mengendalikan para prajurit yang bertugas itu pun telah memanggil mereka.

“Duduklah,” perintah perwira itu.

Kedua prajurit sandi itu pun kemudian telah duduk pula bersama Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Apa yang kau dapatkan?” bertanya perwira itu.

Seorang di antara prajurit sandi itu menjawab, “Kedua orang itu memang orang-orang dari kelompok Sidat Macan.”

“Nah, bukankah benar kataku?” potong Rara Wulan.

Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Tetapi bukankah para prajurit tidak melepaskan mereka begitu saja?”

Rara Wulan pun tersenyum sambil mengangguk.

“Nampaknya orang-orang Sidat Macan benar-benar terpukul oleh kematian pemimpinnya. Aku sempat melihat, bagaimana mereka mengambil mayat orang yang bertubuh tinggi besar itu. Hampir saja terjadi benturan antara orang-orang yang mengambil mayat pemimpin Sidat Macan itu dengan para prajurit yang bertugas serta para bebahu yang ada di banjar. Nampaknya orang-orang Sidat Macan menuntut agar pembunuh pemimpinnya itu diserahkan kepada mereka,” berkata prajurit sandi itu.

“Memang satu persoalan yang rumit,” berkata perwira itu, “kita dapat menduga, apa yang akan terjadi.”

Tetapi Rara Wulan berkata, “Kenapa tidak disiapkan satu kelompok prajurit untuk menghancurkan padepokan-padepokan yang memang menjadi sarang kelompok-kelompok yang selalu mengacaukan ketenangan itu?”

“Kami tidak akan dapat berbuat begitu saja. Kami akan dapat dituduh berbuat sewenang-wenang. Kami harus mempunyai bukti yang cukup untuk melakukan satu tindakan yang menentukan. Apalagi terhadap sebuah padepokan. Sudah tentu bahwa kami akan dapat mengerahkan prajurit segelar sepapan. Betapapun tingginya ilmu yang dimiliki oleh pemimpin padepokan itu, mereka tidak akan dapat melawan kami. Tetapi kami harus mempunyai landasan yang sangat kuat untuk melakukan hal itu, agar kami tidak bertindak sewenang-wenang. Meskipun kami tahu bahwa seseorang atau sekelompok orang bersalah, namun kami harus bertindak dengan hati-hati justru karena kami prajurit,” jawab perwira itu.

“Jika demikian, kenapa kita tidak melakukan dengan cara yang sama dengan yang mereka lakukan?” berkata Rara Wulan.

“Maksud Rara?” bertanya perwira itu.

“Kita membuat sebuah kelompok yang terdiri dari para prajurit sandi. Kita akan menghancurkan mereka dengan cara sebagaimana mereka lakukan. Tentu saja dengan batas-batas tertentu untuk membedakan, bahwa kita tidak sejiwa dengan mereka, meskipun kita mempergunakan cara yang mungkin agak mirip. Tetapi kita tidak akan mengganggu orang lain yang tidak bersalah. Kita tidak akan menculik gadis-gadis. Kita tidak akan merampas milik orang lain karena kita menyukainya. Kita tidak akan masuk ke dalam pasar dan mengambil apa yang kita ingini. Atau berkelahi di jalan-jalan raya berebut sasaran perampokan,” berkata Rara Wulan. “Kelompok kita justru berbuat sebaliknya. Melindungi yang lemah, tetapi sekaligus menghancurkan mereka.”

Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum. Katanya, “Pikiran Rara ternyata baik. Kami akan memikirkannya. Tetapi keputusan terakhir tidak berada di tanganku. Seandainya kita menemukan jalan lain yang lebih baik, tentu kita akan memilihnya. Namun pendapat Rara akan kami perhatikan.”

“Kami akan membentuknya. Aku salah seorang di antaranya,” berkata Rara Wulan.

Tetapi perwira itu tertawa. Katanya, “Semua orang akan tahu permainan kita jika Rara ikut serta, karena hampir semua anak muda mengenal Rara.”

“Ah,” desah Rara Wulan. Namun kemudian katanya, “Terserah. Siapa saja orangnya. Tetapi aku tentu tidak akan berujud seperti aku sekarang.”

Perwira itu tertawa. Katanya, “Kekerasan hati Rara tidak ubahnya kekerasan hati Ki Lurah Branjangan.”

Namun Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, “Tetapi ini bukan main-main Rara. Jika rencana itu benar-benar dilakukan, persoalannya akan menjadi rumit. Kelompok itu suatu saat justru harus menghindari kekuatan prajurit Mataram sendiri dalam kebesarannya.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Tetapi ia dapat mengerti peringatan Agung Sedayu itu. Kelompok itu bukan kelompok prajurit dalam tugas keprajuritan. Justru satu penyimpangan dari tugas yang seharusnya dilakukan, meskipun tujuannya untuk menegakkan ketenangan bagi kehidupan rakyat, khususnya di Kota Mataram itu sendiri, serta melindungi mereka yang lemah. Namun cara yang ditempuh bukan cara yang dapat dilakukan oleh sekelompok prajurit.

Perwira yang memimpin penjagaan di hari itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya dan membicarakannya dengan petugas yang lain. Namun sudah tentu bahwa jika pikiran ini diujudkan, kelompok itu bagaimanapun juga adalah sekelompok orang-orang liar yang pada suatu saat akan ditertibkan oleh prajurit.”

Rara Wulan mengangguk kecil sambil berkata, “Ya, aku mengerti.”

Perwira itu pun kemudian berdesis, “Kita semuanya tentu tahu bahwa langkah ini adalah langkah rahasia, karena jika langkah ini kemudian menimbulkan satu kesulitan, maka aku akan dapat diseret ke depan para perwira tinggi di Mataram ini untuk mempertanggung-jawabkannya.”

Agung Sedayu tersenyum sambil berkata, “Tentu. Setiap penyimpangan akan membawa akibat yang harus dipertanggung-jawabkan. Tetapi jika mereka yang ditunjuk untuk memperkuat kelompok itu memiliki tanggung jawab bersama, maka tanggung jawab kita akan berkurang.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baginya, bahwa Agung Sedayu tidak menghalangi usaha itu, merupakan satu sikap yang agak berbeda dengan sikapnya yang selama ini kadang-kadang kurang dimengertinya.

Namun dengan memperhatikan akibat yang dapat timbul dari tingkah laku kelompok-kelompok orang yang tidak bertanggung jawab itu, maka Agung Sedayu ternyata sependapat untuk dengan jalan pintas mengatasinya.

Ternyata perwira itu menjadi tertarik kepada pendapat Rara Wulan yang timbul dengan serta merta. Namun ia berpesan kepada kedua prajurit sandinya untuk merahasiakan rencana itu.

“Orang-orang yang ada di dalamnya tentu orang-orang yang tidak banyak dikenal di kota ini,” berkata perwira itu. Lalu katanya kepada kedua orang prajurit sandi itu, “Kau akan menjadi penghubung antara aku yang tetap berada di dalam lingkungan keprajuritan, dengan pemimpin kelompok ini.”

Kedua prajurit sandi itu nampaknya juga tertarik kepada cara itu. Sambil tersenyum seorang di antara mereka berkata, “Menarik sekali. Aku senang sekali akan tugas ini.”

“Baiklah,” berkata perwira itu, “kita akan menyusunnya kemudian. Tetapi dengan kesadaran, bahwa kita akan dapat ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, karena kita telah melanggar ketentuan dan paugeran tugas seorang prajurit.”

Demikianlah, Agung Sedayu pun telah minta diri bersama Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka langsung menuju ke rumah Ki Lurah Branjangan. Namun Rara Wulan sudah tidak berniat lagi untuk meneruskan rencananya, masak di dapur untuk makan siang.

Karena itu, maka orang lain-lah yang harus menyelesaikannya.

Setelah makan siang, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah minta diri. Besok jika pasukan Tanah Perdikan berangkat kembali ke Tanah Perdikan, maka Glagah Putih akan berada di rumah Ki Lurah Branjangan untuk menyusun rencananya bersama Rara Wulan. Satu kelompok yang akan berkeliaran sebagaimana kelompok-kelompok yang pernah ada di kota itu.

Namun ternyata Agung Sedayu telah membawa Glagah Putih untuk bertemu dengan Untara di baraknya. Dengan terus terang Agung Sedayu mengatakan rencana Glagah Putih dan Rara Wulan untuk membuat sebuah kelompok yang akan mengimbangi tingkah laku kelompok-kelompok yang hanya dapat membuat keributan. Namun sudah tentu dengan tujuan yang terarah.

Untara tersenyum mendengar rencana itu. Nampaknya seperti sebuah permainan kasar. Tetapi agaknya akan dapat berguna bagi ketenangan masyarakat di kota Mataram, dengan membuat kelompok-kelompok itu menjadi jera tanpa mempergunakan tindakan kekerasan dari para prajurit, yang akan dapat dinilai tindakan yang sewenang-wenang.

Tetapi Untara itu berkata, “Meskipun demikian, kelompok itu pun harus mendapat pengawasan yang ketat. Jika kelompok itu kemudian tergelincir dari arahan yang telah diberikan, maka para prajurit, terutama mereka yang mengendalikannya, harus dengan tegas memotong kelanjutan dari keberadaan kelompok itu.”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Perwira yang hari ini bertugas, bersedia untuk mengendalikan kelompok ini. Dua orang prajurit sandi telah mendapat tugas sebagai penghubung.”

“Tetapi sekali-sekali kau pun harus ikut mengawasinya. Kau harus sering datang bukan saja untuk mengawasi kelompok ini, tetapi juga mengawasi kehidupan pribadi Glagah Putih, jika ia benar-benar berada di rumah Ki Lurah Branjangan,” berkata Untara.

Agung Sedayu tersenyum, sementara Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja.

Sementara itu Agung Sedayu masih sempat bertanya, “Kapan Kakang kembali ke Jati Anom?”

Untara termangu-mangu sejenak. Ia masih mempunyai beberapa kepentingan di Mataram. Ia masih mengurus surat-surat keterangan dan beberapa kepentingan yang lain.

Karena itu maka iapun menjawab, “Aku tunda keberangkatanku sehari”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Besok kami kembali ke Tanah Perdikan, kecuali Glagah Putih. Sebenarnya aku ingin mengajukan permohonan kepada Kakang Untara, dalam hubungannya dengan kelompok yang akan disusun oleh Rara Wulan dan Glagah Putih itu.”

“Apa?” bertanya Untara.

“Sabungsari,” jawab Agung Sedayu, “bukankah ia belum terlalu banyak dikenal di Mataram? Aku ingin menitipkan Glagah Putih kepadanya dalam permainan yang rumit, yang mungkin akan mempunyai akibat yang tidak terpikirkan sebelumnya. Sabungsari mempunyai kepribadian yang lebih masak dari Glagah Putih. Ia memiliki pengetahuan tentang paugeran dan ketentuan yang berlaku di kalangan para prajurit.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Beberapa orang perwira sudah mengenalnya. Tetapi hubungan dengan para prajurit di kota ini memang belum terlalu luas, karena ia berada di Jati Anom sejak semula.”

“Jadi Kakang tidak berkeberatan?” bertanya Agung Sedayu.

Untara memang ragu-ragu. Katanya, “Tetapi Sabungsari adalah seorang prajurit. Kedudukannya akan berbeda dengan Glagah Putih. Glagah Putih adalah seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Selebihnya segala sesuatunya tentang keterlibatan Sabungsari tentu akan menyangkut aku juga, karena aku memberi ijin kepadanya.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi segala sesuatunya terserah Kakang Untara. Sebenarnya kami tidak ingin melibatkan Kakang Untara. Namun seperti yang Kakang Untara katakan, jika Kakang mengijinkan berarti Kakang terlibat pula ke dalamnya.”

“Meskipun demikian, tentu akan dipertimbangkan pula tujuan dari permainan ini. Jika permainan ini benar-benar berhasil dan akan memberikan manfaat, maka keterlibatanku tentu akan diampuni. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka gelar yang aku terima kemarin akan dapat dicabut kembali,” berkata Untara.

Agung Sedayu mangangguk-angguk pula. Ia mengerti sepenuhnya pendapat Untara yang menyangkut dirinya sendiri itu. Tetapi sebelum Agung Sedayu menanggapinya, Untara berkata, “Sebaiknya aku berbicara dengan Sabungsari.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan Kakang. Nanti malam aku akan datang lagi.”

“Tidak perlu. Sekarang aku akan memanggilnya,” berkata Untara.

Sejenak kemudian, Sabungsari pun telah berada di antara mereka pula. Ternyata tanggapan Sabungsari cukup baik. Ia mengerti maksud dari kehadiran sebuah kelompok yang terkendali dengan ketat.

“Segala sesuatunya terserah Ki Untara,” berkata Sabungsari kemudian, “jika aku diperintahkan, maka aku akan melaksanakan dngan sebaik-baiknya.”

“Tetapi aku ingin mendengar pendapatmu,” berkata Untara. “Apakah menurut pendapatmu, kau akan dapat melakukan dengan baik dan sesuai dengan nuranimu?”

“Aku sependapat. Tetapi aku terikat dalam paugeran bagi seorang prajurit,” berkata Sabungsari.

“Aku memberimu ijin,” berkata Untara.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti kenapa Untara tidak memberinya perintah. Tetapi sekedar mengijinkannya.

Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Aku akan menitipkan Glagah Putih kepadamu. Bahkan seluruh kelompok yang akan terbentuk. Harus ada seseorang yang berwibawa untuk memimpinnya. Jika tidak, maka akan terjadi penyelewengan dari tujuan semula.”

Sabungsari mengangguk, la memang merasa lebih tua dari Glagah Putih. Karena itu, iapun kemudian berkata, “Jika aku mendapat kepercayaan, aku akan mencobanya.”

“Terima kasih,” berkata Agung Sedayu. Lalu katanya pula kepada Untara, “Jika demikian, maka nampaknya rencana ini akan dapat berjalan dengan baik. Angan-angan ini timbul di kepala seorang gadis yang tersinggung oleh perlakuan beberapa orang anak muda yang tidak bertanggung jawab, serta sikap para prajurit menghadapi mereka.”

“Meskipun permainan ini merupakan peletik kecil dari seluruh gejolak di dalam kehidupan masyarakat yang sedang bergerak ini, namun harus ditangani dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, biarlah para pemimpin di Mataram memikirkan persoalan-persoalan yang besar yang berkembang di saat-saat terakhir. Sikap Pati membuat jantung pemerintahan Mataram menjadi berdebar-debar. Bahkan Ki Patih Mandaraka sempat menunjukkan kecemasannya,” berkata Untara.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun sadar, bahwa Mataram yang sedang berkembang itu akan menghadapi banyak sekali masalah. Masalah anak-anak yang nakal itu memang merupakan bagian kecil dari seluruh pergolakan yang terjadi.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera minta diri. Besok Agung Sedayu akan meninggalkan Mataram menuju ke Tanah Perdikan Menoreh untuk memangku jabatannya yang baru, pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Pada hari yang ditentukan akan datang perwira tinggi dari Mataram untuk memimpin upacara penempatan Agung Sedayu di pasukan khusus yang akan dipimpinnya itu.

Namun pasukan khusus itu bukan sesuatu yang belum dikenalnya. Agung Sedayu sudah mengenal pasukan khusus itu dengan baik, karena ia pernah berada di pasukan khusus itu pula. Justru sebagai seorang pelatih.

“Hati-hati dengan tugasmu,” berkata Untara kemudian.

Agung Sedayu sebelum meninggalkan Untara itu sempat berkata, “Aku juga akan singgah di barak pasukan pengawal Sangkal Putung.”

“Apakah Glagah Putih juga akan mengajak Swandaru di dalam kelompoknya?” bertanya Untara.

“Tidak,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum. “Aku kurang yakin bahwa Swandaru akan dapat mengekang diri dalam keadaan yang khusus.”

Sabungsari pun menarik nafas sambil berkata, “Syukurlah. Aku agak cemas bahwa Swandaru akan ikut di dalamnya.”

Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah singgah pula di barak yang dipergunakan oleh para pengawal Sangkal Putung.

Ternyata pasukan pengawal dari Kademangan Sangkal Putung juga akan kembali keesokan harinya, sebagaimana pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.

“Aku baru bersiap-siap untuk menemuimu,” berkata Swandaru, “tetapi kau sudah datang kemari Kakang”

“Aku baru saja menemui Kakang Untara,” berkata Agung Sedayu, “Kakang Untara menunda keberangkatannya ke Jati Anom karena masih ada beberapa persoalan yang harus diselesaikannya.”

Keduanyapun kemudian telah menyatakan ucapan selamat berpisah, karena keesokan harinya masing-masing akan menempuh perjalanan menuju ke arah yang berlawanan. Agung Sedayu dan pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan menuju ke barat, sementara para pengawal Sangkal Putung akan menuju ke timur.

Namun Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan bahwa Glagah Putih akan tinggal di Mataram untuk melakukan satu permainan khusus yang harus dilakukan dengan sangat berhati-hati.

Malam itu adalah malam terakhir bagi pasukan Tanah Perdikan dan beberapa pasukan yang lain berada di Mataram. Di keesokan harinya, pasukan-pasukan pengawal akan kembali ke daerah mereka masing-masing.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah memberikan laporan kepada Ki Gede tentang rencana Glagah Putih untuk tinggal bersama Rara Wulan. Glagah Putih akan melakukan satu permainan yang sebenarnya termasuk berbahaya.

“Tetapi kelompok yang akan dibentuk sudah mendapat persetujuan dari seorang perwira Mataram yang bukan saja mempertanggung jawabkan, tetapi juga langsung mengendalikan. Apalagi Sabungsari telah menyatakan kesediaannya untuk ikut serta berada dalam kelompok itu,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Ki Gede mengangguk-angguk kecil. Hampir tidak terdengar ia berdesis, “Rara Wulan.”

“Kenapa dengan Rara Wulan Ki Gede?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Gede tidak segera menjawab. Sementara Agung Sedayu berkata, “Bukankah gadis itu telah pernah berada di Tanah Perdikan?”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya hampir kepada diri sendiri, “Nama itu.”

“Kenapa dengan nama itu?” bertanya Agung Sedayu.

Tetapi Ki Gede menggeleng. Katanya, “Tidak apa-apa.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak berani bertanya. Meskipun demikian, nama yang diucapkan oleh Ki Gede dengan nada rendah itu menarik perhatiannya.

Malam itu Agung Sedayu duduk untuk beberapa lama dengan Ki Demang Selagilang dan Prastawa. Ki Demang sempat berbicara tentang daerahnya yang diselubungi oleh alam yang keras, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Pegunungan Sewu harus bekerja keras.

Namun dengan demikian, maka para pengawal dari Pegunungan Sewu telah menunjukkan kelebihannya dari para pengawal yang lain, justru karena perjuangan hidup yang berat.

Sementara itu, para petugas telah menyiapkan segala sesuatu yang akan dibawa oleh setiap pasukan yang akan berangkat pagi-pagi. Sedangkan para pengawal telah menggunakan malam itu untuk beristirahat sebaik-baiknya, karena di keesokan harinya mereka akan menempuh perjalanan pulang.

Memang ada getar keharuan di setiap dada. Bukan saja karena mereka akan segera bertemu dengan keluarga. Tetapi bahwa ada beberapa orang kawan, saudara atau sahabat mereka yang tidak dapat ikut pulang melihat kampung halaman.

Mereka akan melihat keluarga yang terpaksa menangis karena kehilangan. Tetapi akibat seperti itu tidak akan pernah dapat dihindari bagi peperangan. Peperangan akan selalu disertai dengan kesan kematian. Sementara udara di atas Pati telah mulai nampak kelabu.

Apakah dalam waktu dekat para pengawal itu harus kembali lagi ke Mataram, dan bersama-sama dengan para prajurit menempuh perjalanan ke Pati?

Malam itu terasa kota Mataram menjadi lebih lengang. Hanya kelompok-kelompok prajurit yang meronda sajalah yang lewat di jalan-jalan utama. Sementara di padukuhan-padukuhan, gardu-gardu masih juga nampak terang oleh cahaya obor. Para peronda duduk-duduk sambil berselimut kain panjang mereka untuk menahan udara malam yang dingin.

Namun beberapa padukuhan menjadi cemas melihat sekelompok anak-anak muda dengan pakaian yang tidak mapan berjalan melewati jalan-jalan sempit. Tingkah laku mereka yang kasar dan tanpa unggah-ungguh membuat para peronda menjadi berdebar-debar. Namun karena mereka melintas dalam kelompok yang agak besar, maka para peronda sama sekali tidak berani menegurnya.

Seorang di antara mereka sempat berhenti di depan sebuah gardu sambil berkata lantang, “He, kau lihat orang yang berani menantang kelompok Sidat Macan itu, he?”

Para peronda menjadi gemetar.

Orang itu berkata selanjutnya, “Katakan kepada setiap orang. Juga kepada orang-orang dari Macan Putih atau Kelabang Ireng, atau kelompok Tangan Waja, bahwa Sidat Macan sekarang menguasai seluruh kota. Kelompok-kelompok lain yang memberanikan diri muncul, akan disapu bersih.”

Para peronda itu sama sekali tidak berani menjawab. Namun mereka sadari, bahwa orang-orang Sidat Macan menjadi sangat marah karena pemimpinnya telah terbunuh.

Orang-orang Sidat macan itu memang berusaha untuk melewati rumah Ki Lurah Branjangan, karena mereka tahu bahwa Rara Wulan berada di rumah Ki Lurah setelah terjadi peristiwa kematian pemimpin kelompok Sidat Macan. Namun ternyata di rumah ki Lurah terdapat beberapa orang prajurit yang meronda. Agaknya perwira yang mengendalikan penjagaan di seluruh kota telah memperhitungkan kemungkinan dendam yang dapat dilontarkan kepada Rara Wulan dan Glagah Putih. Menurut perhitungan perwira itu, orang-orang Sidat Macan belum mengetahui dengan pasti bahwa Glagah Putih adalah seorang pengawal Tanah Perdikan. Jika perwira itu mengetahuinya, keterangan itu justru bukan dari orang Sidat Macan, tetapi dari orang yang kebetulan melihatnya bersama Rara Wulan di pasar.

Dengan hadirnya sekelompok prajurit, maka orang-orang Sidat Macan itu tidak berani bertindak. Bagaimanapun juga mereka masih harus memperhitungkan kekuatan prajurit Mataram. Tetapi mereka masih juga berani berteriak-teriak di muka rumah Ki Lurah Branjangan dengan kata-kata kotor. Para prajurit yang ada di rumah Ki Lurah Branjangan memang bersiaga. Tetapi karena orang-orang Sidat Macan itu hanya berteriak-teriak saja, maka Ki Lurah sendiri, yang berada di antara para prajurit, telah mencegah para prajurit itu untuk bertindak.

“Rakyat Mataram yang baru saja mengalami pukulan dengan kematian beberapa orang prajuritnya, akan menjadi ketakutan lagi jika terjadi pertempuran. Luka yang belum sembuh di hati mereka, terutama yang kehilangan sanak-kadangnya, akan menjadi semakin parah. Karena itu, jika mereka tidak menimbulkan keresahan yang sungguh-sungguh, kita belum akan bertindak,” berkata Ki Lurah.

Para prajurit itu mengangguk-angguk. Namun mereka menjadi semakin berhati-hati pula tugasnya itu. Bahkan pemimpin para prajurit yang bertugas itu berkata, “Tidak di malam hari saja rumah Ki Lurah harus dijaga. Tetapi meskipun hanya lima atau enam orang, di siang hari harus mendapat perlindungan juga. Nampaknya mereka benar-benar mendendam kepada orang yang telah membunuh pemimpinnya, dan sudah tentu kepada Rara Wulan.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab, “Mungkin besok kalian masih perlu mengawasi rumah ini. Tetapi selebihnya tidak.”

“Dendam mereka tidak akan padam dalam dua tiga hari,” jawab pemimpin prajurit itu.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Orang-orang dari kelompok Sidat Macan yang kecewa karena di rumah Ki Lurah ada sekelompok prajurit itu pun kemudian telah meninggalkan kota. Di regol mereka sempat berteriak-teriak pula. Para prajurit yang berjaga-jaga di regol masih juga menahan diri. Mereka pun tahu, bahwa orang-orang itu tentu dari salah satu kelompok anak-anak muda yang kehilangan kendali. Di saat orang-orang yang sebaya dengan mereka menyabung nyawa di medan pertempuran, mereka justru berbuat aneh-aneh sehingga menakut-nakuti orang lain.

Meskipun demikian, prajurit-prajurit di regol itu sudah berdiri berjajar dengan senjata di tangan masing-masing. Sementara seorang anggota kelompok Sidat Macan itu sempat berkata, “Bukankah kami tidak melanggar paugeran? Apakah kalian akan menghukum kami? Kami hanya lewat. Kami kira ada pertunjukan wayang kulit. Ternyata tidak ada.”

Para prajurit itu tidak menjawab sama sekali. Yang terdengar adalah gelak tertawa orang-orang itu.

Ternyata kelompok-kelompok yang lain harus menyesuaikan diri. Mereka sadar bahwa kelompok Sidat Macan sedang marah. Apalagi kelompok itu termasuk kelompok yang besar, karena anggota-anggotanya datang dari berbagai padepokan.

Demikianlah, maka ketika saatnya tiba, para pengawal dan prajurit yang berasal dari daerah-daerah yang terpisah-pisah telah meninggalkan Mataram. Para pengawal dari Pegunungan Sewu, dari Tanah Perdikan Menoreh, dari Sangkal Putung, dari Ganjur dan dari beberapa daerah yang lain. Demikian pula prajurit Mataram yang berada di Jati Anom pun telah bersiap-siap. Tetapi Untara memang telah menunda keberangkatannya satu hari.

Dengan demikian, maka terasa keramaian di kota Mataram menjadi susut. Ketika pasukan-pasukan itu meninggalkan kota, maka beberapa orang perwira Mataram sempat melepas mereka. Para perwira itu telah membagi diri di barak-barak yang akan ditinggalkan oleh para pengawal. Sementara para penghuni kota telah keluar dari regol halaman, untuk melihat iring-iringan yang memakai tanda kebesaran masing-masing sebagai satu kebanggaan bagi setiap kesatuan.

Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu dan Prastawa memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang meninggalkan kota. Namun dalam pada itu, Glagah Putih ternyata telah tinggal.

Ketika pasukan-pasukan yang meninggalkan kota telah menjadi jauh, maka telah terjadi keributan lain di dalam kota. Beberapa orang anak muda telah hilir-mudik di atas punggung kuda. Seakan-akan mereka merasa lebih bebas untuk berbuat sesuka hati.

Tetapi mereka masih merasa terganggu karena beberapa kelompok prajurit masih ada di Mataram. Namun pada saatnya, mereka akan meninggalkan Mataram pula.

Hari itu Glagah Putih masih juga sempat menemui Untara yang masih belum meninggalkan kota. Ketika Untara melihat sendiri sekelompok anak muda yang berkuda tanpa mengenal unggah-ungguh di dalam kota, maka ia merasa bahwa Glagah Putih telah memilih cara yang baik untuk mengatasi mereka, tanpa harus menurunkan prajurit sehingga seakan-akan Kota Mataram ada dalam suasana perang.

Meskipun demikian, untuk mengatasi persoalan yang dapat saja timbul karena tingkah laku orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu, maka kelompok-kelompok prajurit pun telah bersiaga sepenuhnya.

Tetapi peristiwa yang terjadi di luar dinding kota kadang-kadang kurang dapat diawasi oleh para prajurit. Kejahatan dapat saja terjadi tanpa dapat menuduh siapa yang telah melakukannya. Kelompok yang mana atau gerombolan apa.

Ketika Glagah Putih menemui Untara sepeninggal pasukan pengawal Tanah Perdikan, maka Untara justru menganjurkan agar Glagah Putih lebih cepat mempersiapkan kelompoknya dan mulai turun ke jalan-jalan.

“Sepeninggal para prajurit Mataram maka kami akan mulai dengan kelompok kami,” berkata Glagah Putih.

“Berapa orang lagi yang harus kau himpun agar kelompokmu nampak besar?” bertanya Untara.

“Mungkin ada beberapa orang prajurit sandi dapat bergabung dengan kami. Sudah tentu prajurit sandi yang belum banyak dikenal,” jawab Glagah Putih.

“Sabungsari dapat membawa seorang kawan,” berkata Untara.

“Terima kasih Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Malam nanti kita dapat berbicara. Datanglah kemari,” berkata Untara.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia masih harus pergi ke rumah Ki Lurah Branjangan untuk berbicara dengan Rara Wulan.

Sebenarnya Untara menganjurkan agar Rara Wulan tidak usah ikut dalam rencana itu. Tetapi Glagah Putih berkata, “Sulit untuk mencegahnya Kakang. Sebenarnya bekal gadis itu masih belum mencukupi. Ia akan lebih banyak menjadi tanggungan kami daripada membantu, jika terjadi benturan. Tetapi tekadnya telah membakar jantungnya.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Sifat kakeknya nampaknya telah diwarisinya. Tetapi sebaiknya anak itu dipersiapkan menghadapi benturan kekerasan yang kasar dan mungkin menjadi buas.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan mengusahakan Kakang.”

Demikianlah, sejenak kemudian Glagah putih telah berada di rumah Ki Lurah Branjangan. Ia telah menyampaikan pesan Untara kepada Ki Lurah Branjangan. Bahkan Untara telah mengijinkan dua orang prajuritnya untuk ikut dalam kelompok ini.

“Tetapi diperlukan tidak hanya empat atau lima orang anggauta,” berkata ki Lurah.

“Aku akan menemui perwira yang telah menyetujui rencana ini. Meskipun ia pekan depan tidak lagi bertugas sebagai pemimpin para prajurit yang bertugas berjaga-jaga di kota ini dan kembali ke kesatuannya, tetapi ia tentu akan tetap pada sikapnya. Mungkin ia akan dapat membantu dengan satu dua orang petugas sandi,” berkata Glagah Putih.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Wulan pun telah datang pula dan ikut dalam pembicaraan itu.

“Tetapi biarlah aku pergi sendiri menemui perwira itu,” berkata Glagah Putih yang mencegah Rara Wulan untuk ikut bersamanya.

Ki Lurah Branjangan pun telah menasehatkan agar Rara Wulan justru jangan menyulitkan langkah-langkah Glagah Putih.

Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah menghubungi orang-orang yang akan terkait dalam rencananya. Mereka sudah bersepakat untuk bertemu di barak yang dipergunakan oleh Untara serta para prajurit dari Jati Anom.

Tenyata perwira yang bersedia mengendalikan dan bahkan bertanggung jawab atas terbentuknya kelompok itu telah mengijinkan dia orang petugas sandi yang belum banyak dikenal di Mataram untuk ikut serta dalam kelompok itu. Sedangkan perwira itu sendiri adalah perwira yang memang berada dalam kesatuan prajurit sandi di Mataram.

Di malam hari, beberapa orang telah bertemu dan berbicara tentang rencana mereka di barak Untara, yang keesokan harinya akan meninggalkan Mataram bersama pasukannya kembali ke Jati Anom.

“Kelompok ini masih terlalu kecil,” berkata perwira dari prajurit sandi yang juga hadir dalam pertemuan itu.

“Kita akan mengembangkannya,” berkata Glagah Putih.

Yang lain mengangguk-angguk. Namun setiap anggota dari kelompok ini harus ikut memikul tanggung jawab serta menjaga rahasia kelompok yang terlalu khusus itu.

“Kita harus mempunyai tempat yang dapat dipergunakan sebagai tempat untuk mengendalikan kelompok ini. Tentu tidak di barak prajurit sandi,” berkata Glagah Putih.

Perwira dari prajurit sandi itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku mempunyai kenalan yang dapat membantu kalian. Ia telah banyak membantu tugasku sebagai prajurit sandi. Ia belum berkeluarga, sementara ia mempunyai warisan rumah yang cukup baik dan tidak terlalu besar.”

“Kau percaya kepadanya?” bertanya Sabungsari.

“Tentu. Aku akan menemuinya dan berbicara kepadanya,” berkata perwira itu.

“Dimana letak rumahnya?” bertanya Sabungsari.

“Di luar dinding kota. Tetapi tidak terlalu jauh dari pintu gerbang,” jawab perwira itu.

“Bagus,” jawab Sabungsari, “tetapi tempat itu tidak akan kita jadikan tempat pengendalian yang terbuka, untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan buruk atas rumah itu.”

Demikianlah, beberapa kesepakatan telah dicapai. Sementara itu Untara pun telah minta diri bahwa keesokan harinya ia akan membawa pasukannya kembali ke Jati Anom. Sementara itu Sabungsari akan tinggal bersama seorang kawannya. Seorang prajurit yang juga memiliki banyak kelebihan dari para prajurit yang lain, meskipun ia tidak memiliki kemampuan seperti Sabungsari.

Sepeninggal Untara besok, maka Sabungsari dan seorang kawannya akan tinggal. Mereka akan dibawa oleh perwira dari petugas sandi itu ke rumah kawannya.

“Sebelumnya, aku akan menemuinya,” berkata perwira itu.

“Besok aku akan berangkat. Kapan kau akan menemuinya?” bertanya Untara.

“Malam ini,” jawab perwira itu.

Demikianlah, sebelum tengah malam pertemuan itu telah berakhir. Semuanya kembali ke tempat masing-masing. Sementara Glagah Putih telah menumpang di rumah Ki Lurah Branjangan.

Ketika ia pulang di tengah malam, Glagah Putih tidak masuk melalui regol halaman, agar tidak mendapat seribu macam pertanyaan dari para prajurit yang bertugas, tetapi ia masuk lewat pintu butulan, yang hanya dijaga oleh seorang saja.

Seorang prajurit yang ada di rumah Ki Lurah dan bertugas di serambi mendengar pintu butulan diketuk. Ketika ia yakin bahwa yang datang adalah Glagah Putih, maka iapun telah membukakan pintu itu.

“Darimana kau?” bertanya prajurit itu.

“Menemui Kakang Untara. Besok Kakang Untara akan kembali ke Jati Anom,” jawab Glagah Putih.

” Kenapa kau datang lewat butulan?” bertanya prajurit itu.

“Agar tidak terlalu banyak pertanyaan. Di sini hanya kau sendiri yang bertanya kepadaku. Di regol, mungkin lima atau enam orang akan bersama-sama bertanya. Bahkan mungkin aku harus ikut duduk-duduk dengan mereka. Aku mengantuk sekali,” jawab Glagah Putih. 

“Tetapi kau ternyata memang sombong,” berkata prajurit itu, “kau pulang sendiri di tengah malam. Bagaimana jika kau bertemu dengan orang-orang Sidat Macan yang berkeliaran. Kemarin mereka datang kemari, kau tidak ada di sini. Kau semalam tidur dimana?”

“Mengungsi,” jawab Glagah Putih singkat.

Glagah Putih tidak mau mendapat pertanyaan lebih banyak lagi. Iapun kemudian langsung menuju ke serambi belakang. Ia memang ditempatkan di serambi belakang, tidak digandok kiri atau kanan. Dengan demikian maka Glagah Putih tidak akan banyak diketahui orang yang hilir mudik di rumah Ki Lurah. Bahkan oleh para prajurit yang bertugas melindungi rumah Ki Lurah, karena orang-orang Sidat Macan masih tetap mendendam Rara Wulan.

Bahkan ternyata malam itu orang-orang Sidat Macan juga lewat di muka rumah Ki Lurah sambil berteriak-teriak. Agaknya mereka dengan sengaja membuat seisi rumah ketakutan.

Para prajurit yang berada di regol depan sudah berjaga-jaga dan siap menghadapi segala kemungkinan. Seorang di antara mereka berkata, “Jika Glagah Putih tidak bersembunyi dan secara kebetulan bertemu dengan orang-orang gila itu ketika anak itu pulang kemari, maka ia akan menjadi korban sia-sia. Bahkan tanpa dapat dibuktikan siapa yang telah melakukannya.”

“Anak itu sudah tidur,” berkata prajurit yang semula berada di butulan dan baru pergi ke halaman depan ketika mendengar orang-orang Sidat macan berteriak-teriak.

“Darimana kau tahu? Anak itu belum nampak datang,” berkata seorang prajurit yang lain.

“Ternyata ia cerdik. Ia datang lewat lorong sempit. Ia masuk ke halaman lewat pintu butulan,” jawab prajurit yang membuka pintu butulan bagi Glagah Putih.

Kawan-kawannya tersenyum. Katanya, “Ia memang cerdik.”

Sementara itu Glagah Putih juga mendengar teriakan-teriakan di depan rumah Ki Lurah Branjangan. Jika saja tidak ada para prajurit di rumah itu, mungkin ia justru telah berbuat sesuatu, meskipun tidak di depan pintu gerbang itu.

Namun ternyata teriakan-teriakan itu semakin lama menjadi semakin jauh, sehingga akhirnya hilang sama sekali.

Di dalam biliknya di ruang dalam, Rara Wulan juga mendengar teriakan-teriakan. Ia tahu, di depan rumahnya terdapat beberapa orang prajurit. Kakeknya juga memiliki kemampuan melampaui prajurit kebanyakan. Lebih daripada itu, Glagah Putih juga ada di serambi belakang rumah itu.

Karena itu maka demikian teriakan-teriakan itu hilang, Rara Wulan telah tertidur lagi dengan nyenyaknya.

Di hari-hari berikutnya, segala sesuatunya menjadi semakin terwujud. Seperti yang dijanjikan oleh perwira prajurit sandi yang bersedia mengendalikan sebuah kelompok anak-anak muda untuk mengimbangi kelompok-kelompok yang telah ada dengan cara yang khusus itu, Sabungsari telah dibawa ke rumah sahabatnya. Meskipun perwira itu sadar, bahwa dengan demikian ia sudah melanggar batas-batas tugasnya, bahkan melanggar wewenangnya, namun ia telah meneruskan rencana itu.

Sahabatnya yang telah dihubungi semalam, ternyata tidak berkeberatan sama sekali. Bahkan kakak beradik, kedua orang sahabatnya itu, telah menyatakan bersedia ikut dalam kelompok yang khusus itu.

“Tetapi kau tahu latar belakang dari kelompok ini serta tujuan gerakannya,” berkata perwira prajurit rahasia itu.

Ternyata kedua orang kakak beradik itu merasa gembira bahwa mereka dapat diterima menjadi anggota kelomppok yang akan dibentuk oleh perwira prajurit sandi itu, bersama-sama dengan beberapa orang lagi.

“Bukankan selama ini aku telah mempergunakan banyak waktuku untuk membantumu?” bertanya yang tertua dari kedua orang kakak beradik itu.

“Aku mengerti,” jawab perwira prajurit sandi yang menemuinya.

Karena itu, ketika kemudian kedua orang itu bertemu dengan Sabungsari, maka pembicaraan mereka pun menjadi semakin mapan.

“Kita harus melakukannya dengan cepat,” berkata Sabungsari, “sebelum ada pihak yang mencium rencana ini.”

“Kita akan segera bertemu,” berkata perwira itu.

“Aku akan mengundang kalian di sini besok siang,” berkata pemilik rumah itu, “agaknya di siang hari tidak terlalu banyak menarik perhatian orang.”

Perwira itu sependapat. Ia akan memberitahukan kepada orang-orang lain yang menjadi anggota dari kelompok yang akan dibentuk itu.

Sementara itu, Mataram memang terasa menjadi semakin sepi. Tidak lagi banyak prajurit dan pengawal yang berjalan-jalan hilir mudik di jalan-jalan kota. Kedai-kedai tidak lagi dipenuhi oleh mereka justru setelah lewat sore hari.

Yang terakhir meninggalkan kota adalah prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, yang dipimpin Untara yang telah mendapat gelar Tumenggung.

Namun dengan demikian, para prajurit yang tinggal justru harus bekerja lebih keras untuk tetap menjaga ketenangan kota. Mereka menyadari bahwa anak-anak muda yang tidak dapat mengikuti arus perkembangan Mataram justru telah mengganggu tugas-tugas mereka. Meskipun jumlahnya terhitung tidak terlalu banyak dibandingkan dengan anak-anak muda yang menyadari pergolakan dunianya, namun mereka rasa-rasanya sudah cukup mengganggu.

Di hari pertama sejak prajurit Jati Anom meninggalkan Mataram, telah terjadi keributan di pasar. Beberapa orang anak muda yang membeli makanan dan minuman di sebuah kedai, begitu saja pergi tanpa mau membayar.

Ketika sekelompok prajurit yang mendapat laporan datang, mereka telah pergi. Tidak seorangpun yang dapat memberikan laporan, siapa saja di antara mereka yang telah melakukannya.

“Mereka anak-anak setan,” geram salah seorang prajurit yang marah.

“Jika pada suatu saat kita mampu menangkap mereka, maka mereka akan kita jantur di alun-alun.”

“Digantung maksudmu?” bertanya kawannya.

“Tidak. Dijantur. Kalau digantung itu lehernya yang dijerat. Dan itu berarti hukuman mati. Tetapi kalau dijantur itu kakinya yang kita jerat. Kepalanya berada di bawah. Itu bukan hukuman mati. Paling-paling ia akan merasa pening dan mual untuk beberapa saat. Tetapi itu akan dapat mebuat jera, karena hukuman semacam itu akan menjadi tontonan yang menyenangkan,” jawab prajurit itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Desisnya, “Aku setuju. Di bawah kepalanya kita lepaskan beberapa ekor anjing liar.”

“Ah,” prajurit itu menggeleng, “jangan. Anjing itu dapat menggigit hidung mereka.”

Kawannya tidak menjawab lagi. Namun mereka terlambat datang, sehingga tidak lagi dapat menemukan anak-anak muda yang telah mengganggu orang banyak itu.

Di hari berikutnya, seorang gadis diketemukan pingsan. Untung tiga orang anak muda yang mengganggunya tidak sempat membawanya pergi, karena tiba-tiba saja muncul dua orang prajurit berkuda yang meronda. Namun ketiga orang itu sempat pula melarikan diri, karena salah seorang dari prajurit itu terpaksa menunggui gadis yang pingsan itu agar tidak diambil lagi oleh kawan-kawan anak-anak nakal itu.

Peristiwa-peristiwa yang sampai kepada perwira prajurit sandi yang dilaporkan oleh para petugas dan prajurit itu telah mempercepat terbentuknya satu kelompok kecil yang terdiri dari dua orang kakak beradik yang memang sudah lama membantu tugas-tugas prajurit sandi, seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh, dan Rara Wulan yang berkeras hati untuk ikut serta.

“Resminya kelompok ini mempunyai delapan orang anggota,” berkata perwira itu. Lalu katanya, “Aku sependapat bahwa pimpinan kelompok ini berada di tangan Sabungsari.”

Tidak ada seorangpun yang menolak. Karena itu, maka Sabungsari pun telah ditetapkan sebagai pimpinan kelompok yang baru terbentuk di rumah dua orang kakak beradik itu.

Sementara itu, Sabungsari dalam pertemuan itu sempat memperkenalkan kawannya kepada anggota-anggota yang lain.

“Namanya Pranawa,” desis Sabungsari.

Anak muda yang nampaknya pendiam itu hanya tersenyum saja. Sementara itu kedua orang prajurit sandi yang ada di dalam kelompok itu pun telah diperkenalkan pula namanya.

“Yang tinggi kurus itu namanya Rumeksa. Ia pantas menjadi anggauta kelompok anak-anak nakal. Ia memang ditakuti gadis-gadis. Kecuali Rara Wulan,” desis perwira itu.

Orang yang tinggi kurus bernama Rumeksa itu hanya tersenyum saja. Sementara Rara Wulan pun tertawa.

Perwira itu pun kemudian memperkenalkan prajurit sandi yang seorang lagi. Katanya, “Namanya memang menggetarkan jantung. Ludira. Nah, kalian tahu artinya. Ludira adalah darah. Namanya darah. Dan orang ini memang haus darah.”

Tetapi orang yang berwajah kekanak-kanakan itu tertawa kecil sambil berkata seperti seorang anak yang takut kena marah, “Namaku bukan Ludira.”

“Jadi siapa?” bertanya perwira itu.

“Mandira,” jawab orang itu.

Perwira itu tertawa. Ia tahu pasti bahwa prajurit sandi itu namanya Mandira.

Kedua orang sahabat perwira prajurit sandi itu pun kemudian telah diperkenalkan pula. Namanya Suratama dan Naratama.

Tetapi kawan Sabungsari yang bernama Pranawa itu masih bertanya nama perwira yang telah memperkenalkan nama-nama kawan-kawannya itu.

Perwira itu tertawa. Katanya, “Namaku Wirayuda.”

Dengan demikian maka orang-orang yang berada dalam kelompok khusus itu pun telah saling mengenal. Sabungsari yang kemudian menjadi pemimpin dari kelompok itu berkata, “Ki Sanak. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain yang terbentuk oleh sekelompok orang yang sudah saling mengenal sebelumnya, bahkan sudah mengalami banyak hal bersama-sama, maka kita adalah sekelompok orang yang baru saja saling mengenal. Karena itu, tugas kita pertama-tama adalah mengetahui kemampuan kita masing-masing. Dengan demikian, maka kita akan dapat membagi tugas pada orang yang tepat.”

Orang-orang dalam kelompok itu sependapat. Bahkan perwira prajurit sandi yang bertanggung jawab atas kelompok itu menganggap bahwa pikiran Sabungsari memang matang, sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu.

Demikianlah, maka mereka telah menentukan, malam itu juga mereka akan pergi ke sebuah bukit kecil.

“Aku percayakan kelompok ini kepadamu,” berkata perwira itu kepada Sabungsari, “nanti malam aku tidak dapat hadir bersama kalian. Bagaimanapun juga, aku harus membuat jarak dengan kelompok ini.”

Sabungsari mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Tetapi setiap saat kami akan selalu menghubungimu.”

Seperti yang direncanakan, maka malam itu juga Sabungsari dan kelompoknya telah pergi ke sebuah bukit kecil yang terpencil. Mereka berharap bahwa malam itu mereka masih belum bertemu dengan kelompok-kelompok lain yang telah ada sebelumnya.

Di sebuah bukit kecil, orang-orang yang telah bersepakat untuk membentuk satu kelompok khusus itu berganti-ganti telah menunjukkkan kemampuannya. Sabungsari memang sengaja untuk tidak mempertemukan mereka yang satu dengan yang lain, untuk menghindari kemungkinan buruk yang dapat terjadi, serta kemungkinan salah paham di antara mereka. Namun dengan ketajaman penglihatannya, ia mampu menilai orang-orang yang kemudian berada di kelompoknya. Kedua orang prajurit sandi yang membantu mereka itu ternyata memang prajurit pilihan. Keduanya mampu menunjukkan kemampuan mereka menguasai unsur-unsur gerak yang rumit. Sementara itu dua orang kakak beradik yang sebelumnya sudah sering membantu tugas para prajurit sandi itu pun ternyata memiliki bekal yang cukup kuat pula. Meskipun keduanya kakak beradik, tetapi menurut pengamatan Sabungsari, keduanya tidak berguru kepada orang yang sama.

Ternyata kemudian Suratama dan Naratama membenarkan. Keduanya memang berguru kepada orang yang tidak sama dan sumber ilmunya pun tidak sama. Namun menurut penilaian Sabungsari keduanya memiliki ilmu yang cukup. Bagi Sabungsari, Glagah putih memang sudah cukup meyakinkan. Bekas sahabat Raden Rangga itu tentu memiliki tingkat ilmu yang sulit diimbangi oleh orang-orang lain dalam kelompok itu.

Namun ternyata Glagah Putih tidak ingin menyombongkan dirinya. Meskipun ia menunjukkan kemampuan yang meyakinkan, namun masih dalam batas-batas yang tidak menumbuhkan berbagai macam pertanyaan dari anggota-anggota yang lain.

Menurut pengamatan Sabungsari dan juga orang-orang yang lain, sebenarnya Rara Wulan masih banyak ketinggalan. Tetapi gadis itu berkeras untuk ikut serta dalam kelompok itu.

“Bagaimana jika ayahmu mengetahuinya?” bertanya Sabungsari.

“Ayah tidak boleh tahu,” jawab Rara Wulan, “untunglah Kakek dapat mengerti keinginanku.”

Yang lain memang tidak dapat mencegah. Apalagi nampaknya Ki Lurah Branjangan sendiri justru membiarkan cucu gadisnya itu berada di antara anak-anak muda yang menyatakan diri dalam satu kelompok.

Malam itu, setelah orang terakhir menunjukkan kemampuannya, maka Sabungsari telah menawarkan nama kepada kawan-kawannya.

“Nama itu harus menggetarkan telinga bagi yang mendengarnya,” berkata Rara Wulan.

“Lintang Johar,” desis Naratama.

“Seperti nama seorang gadis,” jawab Rara Wulan.

Yang mendengarnya tertawa. Tetapi Naratama sempat menjawab, “Tidak. Nama gadis itu misalnya Rara Wulan.”

“Ah,” desah Rara Wulan.

Namun Suratama berkata, “Memang rasa-rasanya kurang garang. Nama itu terlalu lembut. Memang mirip dengan nama seorang gadis.”

“Jadi siapa nama kelompok ini? Gajah Liwung?” bertanya Rumeksa.

“Gajah Liwung,” Sabungsari bergumam, “nama yang baik. Gajah memang binatang yang kuat. Tetapi pada dasarnya bukan binatang yang buas.”

“Aku sependapat,” berkata Glagah Putih.

Mandira pun ternyata sependapat dengan nama itu. Nama yang cukup memberikan kesan garang tetapi tidak terlalu jahat.

Akhirnya sekelompok orang yang membentuk sebuah kelompok itu sependapat dengan nama yang diusulkan Rumeksa. Gajah Liwung.

“Kita akan membuat panji-panji. Atau secarik kain berwarna biru dengan lukisan kepala seekor gajah berwarna soga. Setiap di antara kita akan membawa kain seperti itu,” berkata Mandira.

“Baik,” jawab Sabungsari, “besok kita membuat perlengkapan yang kita perlukan. Pranawa pandai menggambar. Ia dapat melukis dengan canting. Kita akan mewarnai dengan biru wedel seperti birunya kain kelengan. Kemudian lukisan kepala gajah itu akan diwarnai dengan soga, seperti warna kain baik. Kecoklat-coklatan.”

Demikianlah maka kelompok yang menamakan diri Gajah Liwung itu telah melengkapi diri dengan pertanda-pertanda khusus. Mereka pun telah menyusun isyarat-isyarat rahasia yang hanya berlaku bagi kelompok mereka.

Beberapa hari kemudian, maka kelompok itu pun sudah siap untuk menyatakan kehadirannya. Segala kelengkapannya telah siap pula.

Sementara itu, kenakalan anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab masih saja menggelisahkan orang tua. Bukan saja mereka yang mempunyai anak gadis yang meningkat dewasa. Tetapi anak-anak itu sering juga mengganggu kedai-kedai dan mereka yang berjualan di pasar. Bahkan anak-anak muda itu mulai berani merampas kuda yang sedang ditunggangi oleh pemiliknya.

Perkelahian antara anak-anak muda pun sering pula terjadi. Dalam waktu lima hari, telah terjadi lebih dari empat kali perkelahian. Seorang di antara mereka yang berkelahi itu telah meninggal.

Ketika orang-orang tua dan para pemimpin prajurit Mataram menjadi semakin prihatin, maka mereka dikejutkan oleh kehadiran sebuah kelompok baru. Gajah Liwung.

Orang-orang Mataram dikejutkan oleh beberapa orang berkuda yang wajahnya tertutup oleh sebuah kain biru bergambar kepala gajah. Mereka membawa sebuah kelebet yang bertulisan dengan huruf-huruf yang jelas, “Gajah Liwung.”

Kehadiran kelompok baru itu membuat para prajurit Mataram dan orang-orang tua menjadi semakin prihatin. Pada hari yang pertama dari kehadiran kelompok Gajah Liwung, maka mereka telah melakukan kenakalan yang membuat beberapa pihak menjadi marah.

Orang-orang berkuda itu telah menyeret sebuah gubug dari tengah sawah dan meletakkan di tengah jalan yang menuju ke padepokan Wanatara yang dipimpin oleh Ki Gede Karanglapis. Pemimpin kelompok Sidat Macan yang terbunuh itu memang berasal dari padepokan Wanatara.

Pemilik gubug itu menjadi marah karena ia kehilangan. Tetapi yang lebih marah adalah orang-orang padepokan Wanatara. Selain itu juga orang-orang dari kelompok Sidat Macan.

Sampai saat terakhir, kelompok yang paling ditakuti di Mataram adalah kelompok Sidat Macan dan Macan Putih. Namun kadang-kadang yang juga membuat Mataram terguncang adalah kelompok-kelompok yang lebih kecil. Kelompok Kelabang Ireng pernah membakar sebuah kedai ketika kehadiran kedua orang anggotanya ditolak, karena pemilik kedai itu dapat mengenali mereka sering tidak membayar jika makan di kedai itu. Tetapi pemilik kedai itu tidak tahu bahwa kedua orang itu adalah orang dari kelompok Kelabang Ireng. Ketika kedainya terbakar, maka barulah ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan orang-orang dari kelompok Kelabang Ireng yang cukup ganas itu.

Tingkah laku kelompok Gajah Liwung itu bagi kelompok Sidat Macan merupakan satu tantangan. Karena itu, kelompok Sidat Macan mulai memusatkan perhatiannya kepada sebuah kelompok baru yang bernama Gajah Liwung, yang dengan sengaja meninggalkan secarik kain yang bergambar kepala gajah dan bertulisan Gajah Liwung.

“Nama baru,” desis salah seorang kelompok Sidat Macan yang menemukan secarik kain itu. Namun mereka sempat membentak-bentak petani yang sebelumnya marah-marah karena gubugnya hilang.

Tetapi gerakan kelompok Gajah Liwung selanjutnya memang agak berbeda dengan kelompok-kelompok lain, yang lebih senang menjelajahi kota dalam kelompok-kelompok yang agak banyak untuk menakut-nakuti orang. Kelompok Gajah Liwung bergerak dalam kelompok-kelompok kecil. Mungkin dua atau tiga orang. Bahkan mungkin hanya seorang diri.

Sabungsari memang tidak tergesa-gesa menggerakkan kelompoknya. Ia mulai dengan memperkenalkan diri kepada orang-orang Mataram dan kelompok-kelompok yang telah ada, dengan tingkah laku yang dapat menarik perhatian dan sedikit membuat mereka marah.

Ketika dua orang dari kelompok Gajah Liwung kebetulan berada di pasar, serta dilihatnya beberapa orang anak muda yang menarik perhatian mereka, maka keduanya telah mengikutinya.

Anak-anak muda itu memang belum mengenal anggota-anggota dari kelompok yang baru itu. Karena itu, maka anak-anak muda itu kurang memperhatikannya.

Namun kedua orang anggota kelompok Gajah Liwung, yang kebetulan adalah Sabungsari dan Glagah Putih itu, selalu memelihara jarak di antara mereka.

“Kita harus mulai berkenalan langsung dengan mereka,” berkata Sabungsari.

Glagah Putih menganguk-angguk. Sambil memandang kelompok anak-anak muda itu ia berkata, “Beberapa orang anak muda itu nampaknya sedang mencari atau menunggu.”

“Ya,” jawab Sabungsari, “mungkin kawan-kawannya. Tetapi mungkin juga orang lain.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Desisnya kemudian, “Marilah. Kita agak mendekat.”

Kedua orang itu pun menjadi semakin dekat dengan sekelompok anak-anak muda yang membuat orang-orang di pasar itu menjadi gelisah. Tetapi agaknya anak-anak muda itu tidak menaruh perhatian kepada para penjual atau barang dagangan yang sudah ada di pasar itu. Mereka justru berkelompok di dekat pintu masuk.

“Nampaknya mereka telah mengadakan pembicaraan untuk bertemu,” desis Sabungsari

“Tetapi kenapa harus di pasar?” bertanya Glagah Putih.

“Itulah yang aneh. Kita harus memahami hal-hal seperti itu, agar kelakuan kita mirip seperti mereka,” jawab Sabungsari.

“Tetapi terkendali,” sahut Glagah Putih.

Sabungsari tettawa. Katanya, “Jika pada suatu saat kita memahami kebiasaan mereka dan kita pun dapat menemukan kepuasan karenanya, maka kita benar-benar akan bertingkah laku seperti mereka.”

“Namun kita akan segera dikejar-kejar oleh para prajurit. Para prajurit di bawah pimpinan perwira dari prajurit sandi itu akan bertindak lebih keras terhadap kita daripada kelompok-kelompok yang lain,” jawab Glagah Putih.

Sabungsari tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Mereka pun kemudian bergeser menndekat. Mereka berjongkok di hadapan seorang penjual dawet cendol.

Tetapi ketika keduanya memesan, penjual dawet itu tidak segera melayaninya. Penjual dawet itu lebih banyak memperhatikan anak-anak muda yang berada di dekat pintu masuk.

Baru kemudian ketika Glagah Putih mengulanginya, penjual dawet itu seakan-akan terbangun dari mimpi buruknya. Dengan gagap ia bertanya, “Apa Anak Muda? Apakah kalian membeli dawet?”

Sabungsarip un kemudian bertanya, “Apa yang kau perhatikan Ki Sanak?”

“Anak-anak muda itu,” jawab penjual cendol sambil menyenduk dawet ke dalam mangkuk.

“Kenapa dengan anak-anak muda itu?” bertanya Glagah Putih.

“Tingkah laku mereka tidak dapat diduga sebelumnya,” desis penjual dawet itu.

“Misalnya apa saja?” desak Glagah Putih .

Penjual dawet itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan wajah tegang ia bertanya, “Apakah kau bukan kawan-kawan mereka?”

“Apakah ujud, pakaian dan tingkah laku kami sama seperti mereka?” bertanya Sabungsari.

“Tidak,” jawab penjual dawet itu.

“Nah, jika demikian, apakah kau mau memberi keterangan tentang mereka?” bertanya Glagah Putih kemudian.

“Tidak. Aku tidak tahu apa-apa,” penjual dawet itu menjadi tegang. Bahkan katanya kemudian, “Aku akan pindah tempat. Berikan mangkuk itu.”

“Tetapi aku belum habis minum dawetmu. Dawetmu enak sekali Ki Sanak. Tentu dengan legen aren,” berkata Sabungsari.

Tetapi penjual dawet itu masih saja nampak gelisah.

Sementara itu, anak-anak muda itu pun tiba-tiba telah berlari-lari keluar lewat pintu gerbang pasar. Dua orang yang dikenal sebagai orang-orang yang tugasnya mengamankan pasar, tidak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka.

Ternyata di luar pasar mereka menghentikan sekelompok anak-anak muda yang lain. Sikap mereka mejadi tegang. Nampaknya kedua belah pihak bukan terdiri dari anggota kelompok yang sama.

Penjual dawet itu menjadi semakin gelisah. Beberapa orang telah membenahi dagangan mereka dan menyimpannya ke dalam bakul.

“Kita akan melihat lebih dahulu kebiasaan mereka,” berkata Sabungsari.

“Menarik sekali,” desis Glagah Putih.

“Kita akan berbuat sesuatu yang lebih menarik,” sahut Sabungsari.

Beberapa orang yang berada di sekitar mereka yang bertengkar itu telah menyingkir. Dagangan mereka yang dapat dibawa, telah dibawa. Sedang yang lain telah mereka simpan dengan rapat di dalam bakul atau di dalam kotak-kotak kayu.

Tetapi Sabungsari dan Glagah Putih justru ingin melihat apa yang terjadi.

Ketika Glagah Putih bangkit berdiri, penjual dawet itu berdesis, “Lebih baik menjauhi mereka Anak Muda.”

“Siapakah mereka?” bertanya Sabungsari yang masih menghabiskan teguk-teguk terakhir dawet cendolnya.

“Kelompok-kelompok anak nakal,” berkata penjual dawet itu, “tidak ada yang dapat mencegah mereka. Para prajurit pun tidak.”

Sabungsari pun kemudian telah berdiri pula. Setelah membayar harga minuman yang mereka minum, maka keduanya pun berniat untuk pergi ke pintu.

“Jangan mencari perkara Anak-Anak Muda,” desis penjual dawet itu sambil membenahi jualannya. Tetapi iapun meneruskan, “Kecuali jika kau anggota kelompok salah satu dari mereka.”

Sabungsari dan Glagah Putih tersenyum. Dengan nada datar Sabungsari berkata, “Kami hanya ingin melihat.”

Penjual dawet itu tidak sempat berbicara lagi. Dengan tergesa-gesa ia telah membawa jualannya dengan sebuah pikulan menjauh.

Sabungsari dan Glagah Putih pun kemudian telah beringsut ke pintu. Keduanya masih berusaha berdiri di belakang regol pasar, sehingga anak-anak muda yang bertengkar itu tidak melhatnya.

“Kita akan berbicara di tempai lain!” terdengar seorang diantara mereka berteriak.

“Kita selesaikan saja di sini,” jawab seseorang pula.

“Tidak. Sebentar lagi tentu akan datang para prajurit,” berkata orang pertama.

“Baik,” terdengar jawaban, “kita pergi ke Bukit Kapur. Kita akan membuat perhitungan. Sudah lama kita tidak berbicara tentang daerah perburuan kita masing-masing, sehingga kalian dapat melanggar hak kami dengan seenaknya.”

“Omong kosong!” terdengar orang pertama membentak.

Tetapi suara lain yang dampaknya lebih berwibawa berkata, “Kita selesaikan persoalan kita di Bukit Kapur.”

Sabungsari dan Glagah Putih pun terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda. Begitu cepat para prajurit bergerak. Namun begitu cepat pula anak-anak muda itu memencar, dan seakan-akan mereka telah hilang ditelan bumi ketika para prajurit sampai di depan pasar.

Sabungsari dan Glagah Putih pun telah menghilang pula di antara kesibukan orang-orang yang ada di pasar itu. Tetapi ternyata kedatangan para prajurit itu telah membuat pasar itu menjadi tenang kembali. Apalagi anak-anak muda yang bertengkar itu telah hilang bertebaran.

Tetapi dalam pada itu, Sabungsari sempat berbisik kepada Glagah Putih, “Kita pergi ke bukit kapur.”

“Agak jauh,” berkata Glagah Putih.

“Justru sangat menarik,” jawab Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan langsung pergi ke Bukit Kapur.”

Sejenak kemudian, kedua orang anak muda itu telah meninggalkan pasar dan langsung menuju ke Bukit Kapur. Mereka ingin menyaksikan .apa yang akan terjadi antara kedua kelompok anak-anak muda yang bertengkar itu. Namun Sabungsari dan Glagah Putih masih belum tahu pasti, dari kelompok yang mana yang akan bertemu di Bukit Kapur itu.

Perjalanan ke Bukit Kapur itu memang agak lama. Tetapi kedua orang dari kelompok Gajah Liwung itu cukup berhati-hati, sehingga keduanya tidak terjebak ke dalam perselisihan itu. Dengan hati-hati Sabungsari dan Glagah Putih mendekati bukit kecil itu. Kemudian memanjat lerengnya dan merambat melingkar.

Mereka terhenti ketika mereka melihat sekelompok anak muda telah berada di sebuah padang perdu di sebelah Bukit Kapur itu.

“Agak terlalu jauh,” desis Glagah Putih.

“Ya. Ternyata mereka berada di padang perdu itu,” sahut Sabungsari.

“Jika kelompok lain benar-benar datang, kita tidak akan mendengar dengan jelas pembicaraan mereka,” berkata Glagah Putih pula perlahan-lahan.

Sabungsari pun kemudian memperhatikan keadaan sekitarnya. Bukit Kapur itu nampaknya memang tandus. Hanya ada beberapa batang pohon yang tumbuh di sela-sela gerumbul-gerumbul perlu.

“Memang sulit untuk mendekat tanpa mereka ketahui,” berkata Sabungsari. Namun katanya kemudian, “Kita akan berada di sini. Kita akan melihat keadaan. Meskipun agak sulit, jika perlu kita akan mendekat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sambil duduk di atas tanah berkapur ia berkata, “Kita menunggu disini.”

Sabungsari pun duduk pula. Di kejauhan nampak jalur jalan menuju ke bukit itu. Namun keduanya terlindung oleh segerumbul pohon perdu, sehingga orang-orang yang lewat di jalan itu tidak akan mudah melihat Sabungsari dan Glagah Putih.

Anak-anak muda yang menunggu itu sudah menjadi gelisah. Seorang di antara mereka telah berteriak memaki-maki.

Namun beberapa saat kemudian, sekelompok anak muda yang lain telah mendekati Bukit Kapur itu.

Sabungsari beringsut sedikit untuk menempatkan dirinya agar ia dapat melihat lebih jelas, tetapi tidak nampak oleh anak-anak muda itu.

“Jumlah mereka seimbang,” berkata Sabungsari, “apakah mereka telah sepakat dengan menentukan jumlah di antara mereka?”

“Marilah, kita mencoba menghitung. Kau hitung anak-anak muda yang telah menunggu. Aku akan menghitung mereka yang baru datang,” berkata Glagah Putih.

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi iapun mulai menghitung anak-anak muda yang bertebaran di bawah Bukit Kapur itu.

“Tiga belas orang,” desis Sabungsari.

“Yang datang sebanyak dua belas orang,” sahut Glagah Putih.

Keduanya pun terdiam. Dua kelompok anak muda itu sudah berhadapan.

Ternyata ada juga sopan santun di antara mereka. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersenjata. Agaknya mereka telah sepakat untuk membuat perhitungan tanpa senjata.

Glagah Putih dan Sabungsari sempat memperhatikan orang-orang yang ada di kedua belah pihak. Ada bermacam bentuk dan sikap. Mereka berpakaian tidak karuan. Masing-masing ingin menunjukkan perbedaan.

Beberapa saat kemudian, kedua belah pihak sudah berhadapan. Mereka seakan-akan telah mencari lawan mereka masing-masing. Orang-orang yang bertubuh tinggi besar telah berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai bentuk tubuh yang sama. Mereka yang bercambang dan berjenggot lebat, telah mencari lawan yang juga bercambang panjang dan berjenggot lebat. Seorang yang berperawakan tinggi kekurus-kurusan telah berhadapan dengan orang yang tinggi kekurus-kurusan pula.

Sementara itu pemimpin kedua kelompok itu pun telah berdiri di paling depan dari kelompok masing-masing.

“Kalian harus minta maaf kepada kami,” berkata pemimpin kelompok yang menunggu di kaki Bukit Kapur. “Kenapa?” bertanya pemimpin kelompok yang baru datang.

“Kau telah merambah daerahku. Kau datangi padukuhan Rampadan. Lima orang terkaya di Rampadan telah kau ancam. Kau harus tahu, bahwa mereka ada dalam perlindunganku,” berkata pemimpin kelompok yang menunggu.

Tetapi pemimpin kelompok yang baru datang itu tertawa. Katanya, “Siapa yang akan mengakui kuasamu lagi di Rampadan? Rampadan adalah kuasa dan daerah perlindungan kami. Tetapi pemimpin kelompokmu yang rakus itu telah mendesak kami. Waktu itu kami masih menjaga hubungan yang baik di antara kita. Tetapi setelah pemimpinmu mati dibunuh-pelayan di rumah Ki Lurah, maka penilaianku atas kalian jadi berbeda.”

“Setan kau. Tetapi kami telah mempunyai pimpinan baru. Aku,” berkata pemimpin kelompok itu.

Pemimpin kelompok yang lain tertawa pula. Katanya, “Siapa yang mau menghormatimu? Siapa yang bersedia mengakui wibawamu?”

“Kita akan membuktikannya,” berkata pemimpin kelompok itu, “tidak dengan kata-kata. Tetapi marilah, kita akan bertempur sekarang. Anak-anak akan menjadi saksi. Padukuhan Rampadan akan menjadi taruhan.”

Pemimpin kelompok yang lain mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa pemimpin yang baru itu nampaknya sedang diuji oleh anggota-anggotanya sendiri. Meskipun demikian, pemimpin kelompok yang datang kemudian itu pun tidak mau kehilangan wibawanya. Karena itu, maka iapun menjawab, “Baiklah. Aku akan membantumu membuktikan kepada orang-orangmu, bahwa kau memang layak menjadi pemimpin kelompokmu. Aku tahu, jika kau kalah kali ini, maka kau akan dicampakkan oleh orang-orangmu sendiri, seperti mencampakkan sampah ke kali.”

“Persetan,” geram pemimpin kelompok yang telah menunggu, “persoalan kami adalah persoalan kami sendiri. Kau tidak usah ikut campur. Tidak usah membumbui atau bahkan membakar perasaan kami. Usaha itu akan sia-sia.”

“Baiklah. Kita akan membuktikan apa yang sebenarnya ada di dalam dirimu,” sahut pemimpin kelompok yang datang kemudian.

Sejenak kemudian kedua orang pemimpin itu telah bersiap untuk bertempur. Keduanya melangkah maju. Kemudian keduanya telah memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk sedikit mundur dan mengambil jarak. Pemimpin kelompok yang datang kemudian itu berteriak, “Jangan ganggu kami! Kami akan membuktikan, siapakah yang terbaik di antara kami.”

Kedua belah pihak memang telah bergeser surut beberapa langkah.

Sabungsari dan Glagah Putih masih termangu-mangu di tempatnya. Ternyata kedua belah pihak telah saling berteriak, sehingga Sabungsari dan Glagah Putih dapat mendengar serba sedikit. Namun persoalannya dapat mereka tangkap dengan jelas. Mereka tahu pasti, apa yang telah terjadi di bawah Bukit Kapur itu, serta persoalan yang sedang mereka pecahkan dengan cara mereka.

“Kita akan mendapatkan satu bahan pertimbangan yang penting,” berkata Sabungsari perlahan-lahan, hampir berbisik, “kita sudah sempat mengukur kemampuan anggota-anggota kelompok Gajah Liwung. Kita akan sempat pula melihat kemampuan pemimpin baru dari kelompok yang tentu kelompok Sidat Macan, yang baru saja kehilangan pemimpin.”

Glagah Putih menganguk-angguk sambil berdesis, “Ternyata mereka bergerak cukup cepat.”

Sabungsari mengangguk-angguk, Kelompok Sidat Macan memang bergerak cepat. Dalam waktu singkat mereka berhasil mendapatkan seorang pemimpin baru, yang nampaknya cukup bertanggung jawab.

Sejenak kemudian, kedua orang pemimpin kelompok itu sudah bersiap. Keduanya adalah orang-orang yang ujudnya meyakinkan. Mereka bertubuh tinggi besar. Seorang di antara mereka berkumis lebat. Sedangkan pemimpin baru dari kelompok Sidat Macan wajahnya nampak bersih, meskipun tetap garang.

Sabungsari dan Glagah Putih memperhatikan pertempuran yang kemudian terjadi dengan seksama. Ketika pemimpin kelompok Sidat Macan itu meloncat menyerang, maka lawannya yang berkumis lebat itu meloncat menghindar. Namun iapun segera telah membalas menyerang dengan tidak kalah garangnya.

Demikianlah, keduanya telah bergerak dengan cepat. Mereka telah bertempur dengan mengerahkan tataran tertinggi dari kemampuan mereka. Mereka masing-masing ingin segera mengalahkan lawan mereka. Semakin cepat salah satu pihak menang, maka wibawanya akan menjadi semakin tinggi.

Tetapi ternyata bahwa masing-masing pihak tidak membiarkan dirinya terkapar dan dihinakan oleh angota-anggota mereka sendiri. Karena itu, maka keduanya telah berusaha untuk dapat memenangkan pertempuran itu.

Kedua orang pemimpin kelompok itu telah menjadi semakin garang. Mereka saling menyerang dan saling menghindar. Namun keduanya tidak mampu menghindari serangan-serangan lawannya sepenuhnya. Sekali-sekali serangan lawannya telah mengenai tubuhnya. Bahkan semakin lama, tubuh-tubuh mereka pun terasa menjadi semakin sakit oleh sentuhan serangan lawannya.

Sabungsari dan Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Meskipun kedua orang pemimpin kelompok itu berbekal ilmu, tetapi bagi Sabungsari dan Glagah Putih, ilmu mereka belum berarti apa-apa. Ilmu pemimpin kelompok Sidat Macan yang baru itu masih belum melampaui ilmu pemimpinnya yang telah terbunuh oleh Glagah Putih.

Sementara itu, pertempuran di antara kedua orang pemimpin kelompok itu semakin lama menjadi semakin keras. Bahkan kemudian mereka tidak lagi berusaha menghindari benturan-benturan. Tetapi mereka justru telah menguji kekuatan serta kemampuan mereka dengan membenturkan kekuatan mereka.

Ternyata bahwa kedua orang itu benar-benar telah tertelan oleh perasaan mereka yang sedang bergejolak. Darah mereka yang mendidih telah mengguncang penalaran mereka. Karena itu maka yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang keras dan bahkan kasar.

Namun setelah mereka bertempur beberapa lama, maka kemampuan mereka pun mulai menjadi susut. Tubuh mereka terasa semakin lemah, dan bahkan rasa sakit semakin lama telah menjadi semakin merata di tubuh mereka.

Pemimpin dari kelompok Sidat Macan yang masih baru dan ingin menunjukkan kelebihannya itu mencoba memaksa diri untuk menjatuhkan lawannya. Dengan garangnya ia menghentakkan sisa-sisa tenaga untuk menerkam lawannya. Tetapi ketika kedua tangannya terjulur lurus ke depan, maka lawannya dengan tangkasnya telah bergeser ke samping. Kakinya-lah yang kemudian terjulur lurus mengarah ke lambung lawan. Namun pemimpin kelompok Sidat Macan itu tidak membiarkan lambungnya dikenai kaki lawannya. Iapun telah meloncat mundur. Tetapi lawannya tidak melepaskannya. Lawannya itu pun segera meloncat memburunya. Dengan tangkasnya kakinya yang lain telah berputar mendatar, menghantam ke arah dada pemimpin kelompok Sidat Macan itu.

Pemimpin kelompok Sidat Macan itu tidak sempat menghindar. Karena itu, ia telah melindungi dadanya dengan kedua belah tangannya.

Satu benturan yang keras telah terjadi. Ternyata kedua-duanya yang telah menjadi letih itu tidak mampu bertahan. Keduanya terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Meskipun keduanya mencoba untuk menjaga keseimbangannya, namun ternyata mereka benar-benar telah menjadi letih. Pemimpin kelompok Sidat Macan itu telah jatuh pada lututnya. Tetapi ia berusaha dengan cepat bangkit berdiri. Sementara itu lawannya pun telah terjatuh pula. Bahkan sekali ia terguling. Baru kemudian bangkit berdiri.

Keduanya pun kemudian telah bersiap pula untuk melanjutkan pertempuran.

Namun nafas mereka telah menjadi terengah-engah. Keduanya seakan-akan telah tidak lagi mampu untuk berdiri tegak. Tetapi di wajah mereka masih terpancar kemarahan yang meluap.

Sementara itu anggota-anggota dari kedua kelompok itu pun menjadi tegang. Mereka melihat pemimpin kelompok mereka masing-masing menjadi letih, tanpa dapat menentukan siapakah yang menang dan siapakah yang kalah. Namun bagi pemimpin kelompok Sidat Macan, hal itu sudah memberikan arti tersendiri. Dengan demikian maka wibawanya tidak menjadi goyah.

“Setan kau,” geram pemimpin kelompok yang datang kemudian, “marilah. Kita selesaikan pertempuran ini.”

Pemimpin kelompok yang menunggu sejak beberapa lama di bawah Bukit Kapur itu pun menjawab tidak kalah garangnya, “Ayo, Cepat! Kita bertempur sampai tuntas.”

Tetapi keduanya tetap tidak beranjak dari tempat mereka berdiri. Mereka merasa bahwa tenaga mereka sudah menjadi semakin jauh susut.

Sementara itu, anggota-anggota mereka pun menjadi tidak sabar lagi. Mereka telah bersiap-siap untuk melibatkan diri dalam perkelahian yang akan dapat memberikan satu pengalaman baru bagi mereka, setelah kematian pemimpin kelompok Sidat Macan.

Karena kedua orang pemimpin dari kedua kelompok anak-anak muda itu nampaknya memiliki kemampuan yang setingkat, maka kemenangan akan ditentukan oleh pertempuran yang lebih luas lagi, dari seluruh kelompok yang datang.

Tetapi ketika anak-anak muda Sidat Macan mendekati pemimpinnya yang terengah-engah, maka pemimpin kelompok yang datang kemudian itu pun berkata, “Perkelahian yang melibatkan kita semuanya tidak akan ada artinya.”

“Kenapa?” bertanya seorang dari anggotanya.

“Kemenangan kelompok kita ataupun sebaliknya bukan ukuran,” jawab pemimpinnya. Lalu katanya, “Yang hadir di sini belum menunjukkan kekuatan yang sebenarnya dari kelompok kita, dan sebaliknya.”

“Tetapi kita akan mendapat kesempatan untuk saling menjajagi,” jawab orang itu.

Tiba-tiba saja seorang yang berada di dalam kelompok yang lain pun berteriak, “Beri kesempatan kepada kami!”

Kedua orang pemimpin yang sudah sama-sama kehabisan tenaga itu termangu-mangu sejenak. Namun kediaman mereka telah diartikan lain oleh anggota-anggotanya, yang sudah tidak dapat menahan diri.

Karena itu maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran antara kedua kelompok yang jumlahnya ternyata hampir sama itu.

Sabungsari dan Glagah Putih ikut menjadi tegang. Mereka menjadi cemas bahwa pertempuran itu akan membawa akibat yang sangat buruk. Jika mereka masing-masing kehilangan penalaran, maka mereka akan dapat mempergunakan senjata kecil yang barangkali mereka sembunyikan di bawah pakaian mereka.

Tetapi ternyata perkelahian itu memang benar-benar tidak diwarnai dengan senjata apapun. Kedua belah pihak telah mentaati persetujuan yang telah mereka buat. Berkelahi tanpa senjata.

Perkelahian itu memang berlangsung agak lama. Tidak ada yang memberikan laporan kepada para prajurit, sehingga perkelahian itu tidak ada yang melerai.

Tetapi ternyata bahwa kedua belah pihak, sebagaimana pemimpin mereka yang masih juga ikut bertempur di antara anggota-anggotanya, menjadi kehabisan tenaga. Mereka menjadi letih dan tidak lagi mampu bertempur dengan keras, sehingga semakin lama pertempuran itu pun menjadi semakin mereda dengan sendirinya.

Ketika kedua belah pihak seakan-akan tidak lagi mampu untuk berbuat sesuatu, bahkan untuk berdiri pun mereka harus menjaga keseimbangan dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, maka pertempuran itu seakan-akan telah berhenti. Jika seseorang mencoba untuk menyerang tetapi tidak mengenai sasarannya, maka ia justru telah terseret oleh ayunan sisa tenaganya sendiri dan jatuh terjerembab.

Dua puluh lima orang telah menjadi terengah-engah. Wajah mereka menjadi pengab dan mata mereka menjadi merah kebiru-biruan. Satu dua di antara mereka memang masih mampu berdiri tegak. Masih mampu mengumpat-umpat. Tetapi mereka tidak lagi garang dan memaksakan diri untuk berkelahi.

“Keseimbangan yang sebenarnya di antara kita bukan ditentukan di sini,” berkata seorang di antara mereka.

“Ya,” sahut seseorang dari kelompok yang lain, “kita akan membuktikan pada kesempatan-kesempatan yang akan datang. Kecepatan bergerak dan kemampuan seseorang akan sangat menentukan.”

“Jadi bagaimana dengan padukuhan Rampadan?” teriak yang lain lagi.

“Kita akan menentukan siapa yang sebenarnya berkuasa, tidak di bawah Bukit Kapur ini. Tetapi di lapangan perburuan itu sendiri,” jawab orang lain lagi.

“Bagus,” terdengar suara yang lain pula, “kita akan membuktikannnya kemudian.”

Ternyata bahwa kedua belah pihak, meskipun tidak diucapkan, tetapi saling menyetujui untuk menghentikan pertempuran. Meskipun semula mereka agak segan untuk lebih dahulu meninggalkan arena, namun akhirnya, kelompok yang datang kemudian itu pun telah berkumpul dan bergeser mengambil jarak.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Sabungsari menggamit Glagah Putih sambil berkata, “Kita akan menampakkan diri.”

“Untuk apa?” bertanya Glagah Putih.

“Kita adalah anggota kelompok Gajah Liwung. Kita akan menyesuaikan diri dengan sikap mereka” jawab Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk. Ia mengerti maksud Sabungsari. Tetapi ketika ia mulai bergerak, Sabungsari berkata, “Lepas bajumu.”

“Untuk apa lagi?” bertanya Glagah Putih.

“Lihat pakaian dan cara mereka berpakaian,” jawab Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk lagi. Dengan cepat ia membuka bajunya serta ikat kepalanya. Disangkutkannya bajunya di lehernya, sementara dikenakannya ikat kepala tidak beraturan.

Demikian pula yang dilakukan Sabungsari. Baru kemudian keduanya muncul dari balik gerumbul.

Ternyata suara tertawa Sabungsari tidak seperti biasanya. Ternyata Sabungsari dapat juga tertawa dengan memberikan kesan yang lain tentang dirinya, seolah-olah Sabungsari seorang yang keras dan kasar.

Orang-orang yang berada di bawah Bukit Kapur itu terkejut. Serentak mereka berpaling. Dilihatnya ada dua orang yang berdiri tegak dengan tangan bertolak pinggang. Mereka tidak mengenakan baju mereka, serta mengenakan ikat kepala tidak beraturan.

“He, siapa kalian?” bertanya pemimpin baru dari kelompok Sidat Macan.

Sabungsari tidak lagi tertawa. Dengan lantang ia menjawab, “Kami adalah orang-orang dari kelompok Gajah Liwung.”

Wajah-wajah menjadi tegang. Pemimpin kelompok Sidat Macan itu berkata, “Setan kau. Jadi kau yang telah memasang sebuah gubug di jalan yang menuju ke padepokan kami?”

“Padepokanmu? Apakah orang-orang Sidat Macan sekarang memiliki padepokan?” bertanya Sabungsari.

“Iblis kau. Jika kau memang seorang laki-laki, turunlah!” tantang pemimpin kelompok Sidat Macan.

“Aku tidak mau melawan orang-orang yang sudah tidak berdaya,” jawab Sabungsari, “tetapi aku senang telah mendapat kesempatan menonton perkelahian di antara kalian. Ternyata kalian memiliki kekuatan yang seimbang. Setidak-tidaknya untuk jumlah orang yang juga seimbang. Namun aku sependapat dengan kalian, bahwa kekuatan kita masing-masing tidak dapat ditentukan dalam pertempuran seperti ini. Tetapi kita harus mengingat apa yang dapat kita lakukan sehari-hari. Besok padukuhan Rampadan akan menjadi daerah perburuan kami.”

“Setan kau! Iblis, tetekan! Aku tantang kau sekarang juga! geram pemimpin kelompok yang datang kemudian.

Sabungsari tertawa. Katanya, “Sudah aku katakan. Aku tidak mau berkelahi dengan orang-orang yang sudah tidak berdaya.”

“Aku masih mampu memilin lehermu,” jawab orang itu.

Tetapi Sabungsari berkata, “Jika kau masih mampu datang kemari, maka aku akan melayani tantanganmu. Tetapi jika kau tidak lagi mampu naik sampai ke tempat ini, buat apa aku berkelahi? Tidak ubahnya dengan berkelahi melawan sepotong batang pisang. Itupun yang sudah roboh.”

Pemimpin kelompok itu ternyata hatinya telah terbakar. Tetapi tubuhnya memang sudah menjadi lemah, sehingga untuk naik lereng Bukit Kapur yang tidak begitu tinggi rasa-rasanya memang tidak mungkin lagi.

Karena itu maka iapun berkata, “Jika benar apa yang kau katakan, maka pada satu hari aku ingin bertemu dengan kau dan kelompokmu.”

Sabungsari tertawa lagi. Cukup keras. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Kau tidak usah berkata seperti itu. Kapan saja kita tentu akan bertemu di lapangan.”

“Kau dapat tertawa karena kami dalam keadaan letih seperti sekarang. Tetapi pada kesempatan lain, kau tentu akan menyesali kesombonganmu kali ini,” geram pemimpin Sidat Macan yang baru itu.

Tetapi Sabungsari masih tertawa terus. Suaranya tidak lagi terlalu keras. Tetapi dengan sengaja Sabungsari mulai menggelitik orang-orang dari kedua kelompok itu dengan ilmunya.

Glagah Putih yang berdiri di sisinya telah berpaling kepadanya ketika terasa sesuatu bergetar di dadanya. Tetapi Glagah Putih tidak bertanya sesuatu meskipun ia tahu, bahwa Sabungsari telah mempergunakan suara tertawanya untuk mengetuk jantung orang-orang dari kedua kelompok di bawah Bukit Kapur itu.

Sebenarnyalah orang-orang yang berdiri di bawah Bukit Kapur itu merasakan sesuatu yang asing di dalam dirinya. Pada saat mereka mendengar suara Sabungsari justru menurun, maka dada mereka rasa-rasanya menjadi sesak. Nafas mereka telah terganggu, dan jantung mereka menjadi berdebaran.

Tetapi Sabungsari memang tidak bersungguh-sungguh, ia hanya sekedar memperkenalkan dirinya, juga serba sedikit memperkenalkan ilmu, dan yang penting baginya adalah memperkenalkan kekuatan yang tersimpan di dalam kelompok Gajah Liwung.

Namun sejenak kemudian, maka Sabungsari pun telah terdiam dan berkata, “Sayang, kami tidak akan terlalu lama di sini. Kita akan bertemu pada kesempatan lain.”

Sabungsari tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian telah menggamit Glagah Putih dan melangkah meninggalkan tempatnya.

Glagah Putih mengikutinya di belakangnya. Tetapi Glagah Putih sempat berkata, “Kau telah bermain-main dengan ilmumu yang mendebarkan itu.”

“Tidak,” jawab Sabungsari, “aku tidak menguasai ilmu itu dengan sungguh-sungguh. Dalam benturan kekuatan yang sesungguhnya, aku tidak dapat mempergunakan ilmu yang baru aku kenal dasar-dasarnya saja. Tetapi kali ini aku hanya ingin sekedar bermain-main. Biarlah mereka sedikit merenungi kelompok Gajah Liwung.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, keduanya telah berada di sisi yang lain dari Bukit Kapur itu.

“Kita mengenakan baju kita lagi,” berkata Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk. Iapun telah mengenakan bajunya dan memperbaiki letak ikat kepalanya, sehingga keduanya tidak lagi menarik perhatian karena letak pakaian mereka.

Sementara itu, kedua kelompok yang ada di bawah Bukit Kapur itu pun termangu-mangu sejenak. Mereka merasakan sesuatu yang aneh di dalam diri mereka di saat orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu tertawa. Namun setiap orang dari kelompok itu berusaha untuk mengingkari perasaan mereka, sehingga mereka justru mencoba untuk mendorong diri mereka sendiri menjajagi kelompok yang baru itu.

“Persetan dengan orang-orang Gajah Liwung,” geram pemimpin kelompok yang datang kemudian di Bukit Kapur itu, yang masih belum dikenali oleh Sabungsari dan Glagah Putih.

Namun pada saat-saat terakhir, pemimpin kelompok Sidat Macan itu berkata, “Pergilah. Sejak semula kami memang tidak banyak memperhitungkan kekuatan kelompok Kelabang Ireng.”

“Tetapi kini kalian harus melihat kenyataan tentang keadaan kalian sendiri,” berkata pemimpin Kelabang lreng itu, “tetapi bagaimanapun juga kita akan membuktikannya.”

“Terserah kalian,” geram pemimpin kelompok Sidat Macan.

Demikianlah, maka kemudian kelompok yang datang kemudian itu telah meninggalkan Bukit Kapur. Namun yang kemudian mereka bicarakan di perjalanan justru bukan orang-orang dari kelompok Sidat Macan, tetapi justru kedua orang yang berada di lereng Bukit Kapur itu.

“Apakah mereka mampu melontarkan serangan dari jarak yang demikian jauh?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Aku merasakan getaran aneh di dadaku di saat orang itu tertawa,” sahut yang lain.

“Omong kosong!” bentak pemimpin mereka, “Tidak ada apa-apa. Kalian terpengaruh oleh sikap gilanya itu. Aku tidak merasakan apa-apa.”

“Daya tahan tubuh kita berbeda,” berkata seorang yang lain, “mungkin kau mampu mengatasinya. Tetapi kami memang merasakannya.”

“Jika demikian, maka kalian telah berada di bawah pengaruh kelompok Gajah Liwung. Seandainya demikian, maka tentu tidak lebih dari seorang itu saja-lah yang mampu melakukannya,” berkata pemimpinnya. “Atau barangkali kita mendatanginya saja sambil berjongkok dan menyembah serta mohon ampun?”

Orang-orang yang tergabung di dalam kelompok Kelabang Ireng itu pun terdiam. Namun bagaimanapun juga mereka tidak dapat mengabaikan pengalaman mereka di bawah Bukit Kapur itu. Sehingga dengan demikian, maka lahirnya satu kelompok baru yang menamakan dirinya kelompok Gajah Liwung memang harus diperhitungkan sebaik-baiknya.

Ternyata bahwa orang orang dari kelompok Sidat Macanpun mengalami hal yang serupa pula.

Mereka telah digelitik oleh lontaran ilmu Sabungsari yang mampu menggetarkan jantung mereka, meskipun tidak terlalu mengganggu. Namun orang-orang dari kelompok Sidat Macan itu menganggap bahwa ilmu seperti itu adalah dasar dari ilmu yang jarang ada duanya. Gelap Ngampar.

Tetapi juga seperti pimpinan kelompok yang lain, maka pimpinan kelompok Sidat Macan pun telah menyatakan kepada anggota-anggotanya bahwa mereka tidak perlumeng-hiraukan permainan yang tidak berarti apa-apa itu.

“Selama ini kelompok Sidat Macan adalah kelompok terbesar dan paling disegani. Kita tidak boleh terbenam hanya karena seorang dari kita terbunuh. Kita harus dapat menunjukkan bahwa kita masih tetap kelompok yang tidak terkalahkan oleh kelompok yang manapun. Apalagi kelompok yang baru tumbuh kemarin sore,” geram pemimpin kelompok Sidat Macan yang baru itu.

Kawan-kawannya tidak ada yang menjawab. Namun mereka berusaha tidak lagi menunjukkan kecemasan mereka menghadapi orang-orang Gajah Liwung.

Sementara itu, Sabungsari dan Glagah Putih telah meninggalkan Bukit Kapur itu melalui sisi yang lain. Mereka berjalan cepat menuju ke kota yang memang agak jauh.

Namun keduanya telah mendapatkan satu pengalaman yang menarik di bawah Bukit Kapur itu.

“Ternyata kemampuan mereka rata-rata hanya selapis lebih baik dari orang yang terlemah di antara kita,” berkata Sabungsari.

“Ya. Bahkan dalam keadaan khusus, Rara Wulan masih mampu melindungi dirinya jika mereka berhadapan seorang dengan seorang,” berkata Glagah Putih.

“Masih ada kesempatan,” berkata Sabungsari, “jika sedap hari kau tuntun Rara Wulan untuk memahami gerak dasar olah kanuragan, maka ia akan dapat mengimbangi kemampuan rata-rata orang-orang di kelompok-kelompok yang berkelahi di Bukit Kapur. Yang menakutkan pada mereka sebenarnya bukan kemampuan seorang-seorang. Tetapi bahwa mereka dalam kelompok-kelompok telah mengganggu orang banyak.”

Glagah Putih mengangguk-angguk . Katanya, “Aku akan berusaha jika Rara Wulan bersedia. Sebenarnya Rara Wulan memang ingin berguru kepada istri Kakang Agung Sedayu. Tetapi agaknya ia masih belum mendapat ijin untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Tidak terasa mereka telah memasuki padukuhan yang tidak jauh lagi dari kota. Mereka menelusuri induk pedukuhan yang lewat di depan banjar padukuhan.

Namun tiba-tiba mereka melihat beberapa orang keluar dari lorong kecil dengan tergesa-gesa. Bahkan ada di antara mereka yang berlari-lari kecil.

“Apa yang terjadi?” bertanya Sabungsari kepada Glagah Putih.

“Bukankah kita datang bersama-sama?” sahut Glagah Putih.

Sabungsari tersenyum. Namun ia sempat bertanya kepada seseorang yang nampaknya agak lebih tenang dari orang-orang yang lain, “Ada apa Ki Sanak?”

“Sedikit keributan di tempat sabung ayam,” jawab orang itu.

“Keributan apa?” bertanya Sabungsari.

“Kelompok anak-anak urakan itu. Mereka ternyata membuat onar dimana-mana,” jawab orang itu.

“Apa yang terjadi?” bertanya Glagah Putih pula.

“Seorang di antara mereka kalah dalam taruhan. Tetapi ia justru memukul orang yang menang yang menagih kekalahannya itu. Tetapi orang yang dipukul itu ternyata seorang yang berani. Karena itu maka ia telah melawan. Namun ternyata empat orang kawan dari anak muda yang kalah itu telah membantunya, sementara orang yang menang itu hanya mempunyai seorang kawan. Tentu saja dua orang yang harus melawan lima orang itu terdesak dan lebih banyak dipukuli daripada sebuah perkelahian. Tetapi tiba-tiba saja ada dua orang yang membantunya. Nampaknya kedua orang yang dibantu dan dua orang yang membantu itu masih belum saling mengenal,” jawab orang itu.

“Apakah Ki Sanak tidak tahu, darimanakah anak-anak muda itu. Maksudku dari kelompok apa jika mereka tergabung dalam satu kelompok?” bertanya Sabungsari.

“Yang lima orang itu menyebut dirinya dari kelompok Macan Putih, sementara dua orang yang membantu kedua orang yang dipukuli itu mengaku dari kelompok Gajah Liwung,” jawab orang itu. Lalu katanya, “Tetapi bagiku lebih baik menghindar saja daripada ikut dipukuli oleh anak-anak urakan itu.”

Sabungsari dan Glagah Putih kemudian meninggalkan orang itu setelah mengucapkan terima kasih. Mereka berniat untuk melihat apa yang terjadi. Sementara orang itu sempat mengingatkan, “Jangan ikut campur jika kalian bukan dari kelompok yang sedang bertengkar itu.”

“Tidak Ki Sanak,” jawab Sabungsari, “kami hanya ingin melihat apa yang telah terjadi.”

Sejenak kemudian dengan tergesa-gesa Sabungsari telah menuju ke tempat sabung ayam. Justru berlawanan dengan arah orang-orang yang menyingkir dari tempat sabung ayam itu.

Di arena sabung ayam, ternyata masih juga ada beberapa orang yang tidak menyingkir. Mereka justru melihat perkelahian yang terjadi. Bukan lagi ayam yang bersabung, tetapi beberapa orang yang telah berkelahi.

Lima orang yang mengaku dari kelompok Macan Putih masih berkelahi dengan sengitnya melawan empat orang. Dua di antaranya mengaku dari kelompok Gajah Liwung.

Sabungsari dan Glagah Putih yang kemudian memasuki arena telah melihat dua orang kawannya memang sedang berkelahi. Dua orang itu adalah Rumeksa dan Mandira.

Sejenak Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu. Keduanya melihat bahwa dua orang yang ikut bertaruh dalam sabung ayam itu sudah hampir tidak berdaya sama sekali. Dua orang dari kelompok Macan Putih tengah memukuli mereka, sesuka hati. Sementara Rumeksa dan Mandira masih sibuk melayani tiga orang yang lain dari kelompok Macan Putih.

Sabungsari dan Glagah Putih tidak segera turut campur. Mereka yakin bahwa Rumeksa dan Mandira akan segera menyelesaikan ketiga orang anak muda dari kelompok Macan Putih itu. Dengan demikian maka mereka akan segera dapat menangani kedua orang lainnya, yang masih memukuli kedua orang yang seharusnya justru memenangkan taruhan dalam sabung ayam itu.

Sebenarnyalah ketiga orang Macan Putih itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Serangan Rumeksa dan Mandira semakin lama semakin banyak mengenai tubuh mereka bertiga.

Dalam keadaan yang gawat itu, maka seorang di antara ketiganya telah memanggil kedua orang kawannya yang masih saja memukuli lawannya yang sudah hampir tidak berdaya.

Kedua orang itu segera melepaskan kedua orang yang sudah menjadi sangat lemah itu. Seorang di antaranya telah terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Sementara yang lain masih mencoba untuk berdiri tegak, meskipun wajahnya menjadi biru pengab.

Rumeksa dan Mandira menyadari bahwa lawannya akan menjadi lima orang. Namun justru karena itu, maka keduanya telah bersatu mengakhiri perlawanan ketiga orang lawannya.

Dengan sekuat tenaga, Mandira yang berhasil menghindari serangan seorang lawannya, justru telah berputar sambil melenting. Kakinya berputar pada ayunan yang deras sekali. Serangannya dengan tiba-tiba saja telah menyambar wajah seorang yang lain di antara ketiga orang lawan-lawannya itu. Demikian kerasnya, sehingga wajahnya itu telah terputar menyamping.

Tetapi Mandira tidak terhenti. Sekali lagi ia melakukannya. Dan sekali lagi kakinya menyambar muka lawannya. Demikian kerasnya, sehingga lawannya itu telah terlempar ke samping dan jatuh terbanting di tanah.

Ketika seorang kawannya berusaha membantunya dengan menyerang Mandira. maka Rumeksa telah memotong serangannya. Dengan kakinya terjulur lurus menyamping, maka Rumeksa telah berhasil mengenai dada seorang di antara anak muda dari kelompok Macan Putih.

Ternyata bahwa serangan Rumeksa itu demikian kerasnya, sehingga orang itu tidak dapat bertahan untuk tegak berdiri. Orang itu telah terlempar jatuh, justru menimpa seorang kawannya yang sedang berusaha untuk bangkit.

Namun tubuh yang menimpa badannya yang lemah itu telah membuatnya menjadi semakin payah.

Ternyata kedua orang itu tidak segera dapat bangkit, sehingga ketika kedua orang yang telah memukuli lawan bertaruhnya mendekat, mereka telah pingsan.

Rumeksa dan Mandira nampaknya tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mereka pun telah menyambut kedua orang itu dengan serangan-serangan yang baru, sehingga perkelahian pun semakin menjadi seru. Dua orang yang baru saja memukuli lawannya itu ternyata telah mendapat lawan yang lain. Mereka tidak dapat sekehendak hatinya memukuli lawan-lawannya itu. Bahkan kedatangan mereka telah disongsong oleh serangan yang beruntun.

Ketiga orang yang tersisa dari kelompok Macan Putih itu ternyata menjadi gentar juga melihat serangan-serangan yang membadai dari orang-orang Gajah Liwung. Apalagi setelah beberapa kali mereka mendapat serangan yang tidak dapat mereka tangkis dan tidak dapat mereka hindari, sehingga tubuh mereka terasa menjadi sakit.

Sementara itu, Sabungsari dan Glagah Putih yang memperhatikan perkelahian itu sempat menilai lebih bersungguh-sungguh kemampuan Rumeksa dan Mandira. Ternyata kedua orang prajurit sandi itu memang memiliki tenaga yang besar dan tingkat kanuragan yang tinggi. Ternyata keduanya mampu mendesak ketiga orang yang tersisa itu.

Dalam keadaan yang gawat bagi ketiga orang dari kelompok Macan Putih itu, tiba-tiba saja terdengar Sabungsari dan Glagah Putih bertepuk tangan.

Ketiga orang dari kelompok Macan Putih itu dengan serta merta telah berpaling. Mereka termangu-mangu ketika mereka melihat dua orang yang justru melangkah mendekat.

Rumeksa dan Mandira pun telah berpaling pula. Ternyata kedua orang yang bertepuk tangan itu adalah kawan-kawan dari kelompoknya pula.

“Kapan kalian datang?” bertanya Mandira,

“Sudah tadi. Aku melihat bagaimana kau menjatuhkan kedua orang itu,” berkata Sabungsari.

Mandira tertawa. Suara tertawanya aneh. Terasa agak kasar dan liar. Tetapi Sabungsari dan Glagah Putih mengerti, bahwa Mandira memang memberikan kesan liar dan kasar.

Ternyata orang-orang Macan Putih itu ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun Sabungsari dan Glagah Putih bertindak cepat. Mereka telah menutup kepungan, sehingga ketiga orang itu tidak mendapat jalan untuk keluar dari arena perkelahian.

“Jangan lari,” berkata Rumeksa. “Kau telah memukuli orang yang seharusnya menang itu sampai biru pengab. Meskipun aku belum mengenal mereka, tetapi aku benci pada solah tingkah kalian itu. Kalian tidak boleh sewenang-wenang terhadap orang lain. Jika kalian jantan, maka kalian hanya akan melawan kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan kebiasaan dengan kalian.”

Ketiga orang itu termangu-mangu. Sementara dua orang kawannya masih pingsan. Sedangkan empat orang dari kelompok Gajah Liwung telah mengepungnya. Melawan dua di antara mereka, anak-anak muda dari kelompok Macan Putih itu tidak dapat menang. Apalagi berhadapan dengan empat orang.

“Kalian harus minta maaf kepada kedua orang itu. Kau sakiti orang itu, justru mereka tidak bersalah. Kalianlah yang bersalah,” berkata Mandira.

“Kami tidak bersalah,” sahut salah seorang dari mereka, “dia telah mencoba mengelabuhi kami.”

Tetapi tiba-tiba Rumeksa telah memukul anak muda yang menjawab itu, sehingga bibirnya telah berdarah.

“Aku mengikuti semua peristiwa yang terjadi di sini!” bentak Rumeksa, “Jangan mencoba membohongi aku.”

Anak muda itu menyeringai menahan sakit. Sementara Mandira berkata, “Kalian harus bayar sebesar taruhan yang memang harus kalian bayar.”

Wajah anak muda itu menjadi tegang.

“Cepat!” bentak Rumeksa, “Kalian harus bayar. Aku termasuk orang yang tidak senang berjudi. Sabung ayam atau permainan sejenis. Tetapi kalian membuat aku menjadi semakin benci. Kalian sudah berada di tempat sabung ayam, masih menipu pula. Kau membuat aku benci berlipat ganda.”

“Kau juga berada di tempat sabung ayam,” yang seorang lagi menyahut.

Mandira-lah yang kemudian memukulnya di tengkuk. Orang itu telah terdorong maju dan hampir saja terjerembab. Untung kawannya yang lain sempat menangkapnya dan menahannya. Namun terasa kepalanya menjadi pening. Matanya berkunang-kunang. Hampir saja orang itu menjadi pingsan.

“Aku di sini untuk mengawasi kalian,” geram Mandira. “Cepat bayar. Atau kalian akan aku cekik sampai mati di sini. Kemudian aku tinggalkan sesobek kain dengan lukisan kepala gajah.”

Orang-orang Macan Putih itu termangu-mangu . Tubuh mereka sudah menjadi sakit-sakitan. Wajah mereka serasa menjadi bertambah tebal.

Namun dengan kata-kata sendat seorang di antara mereka berkata, “Kami tidak mempunyai uang.”

“Jika kalian tidak mempunyai uang, kenapa kalian bertaruh di tempat sabung ayam ini?” bentak Mandira.

Orang itu terdiam. Sementara Mandira berkata lantang, “Jadi kalian dengan sengaja telah membuat onar? Jika kalian menang, maka kalian akan mengambil uang kemenangan itu. Tetapi jika kalian kalah, maka kalian bermodal kekerasan memaksa orang yang menang untuk tidak menuntut bayaran dari kalian?”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Mereka hanya menunduk dengan wajah yang pucat dan keringat yang membasahi kening.

“Cepat. Atau aku akan melepas kamus pada ikat pinggang yang kalian pakai. Meskipun hanya perak, tetapi cukup memadai. Lima pasang kamus, satu bandul dan uang seadanya,” berkata Mandira.

“Jangan, jangan,” minta seorang di antara mereka, “nanti aku akan dimarahi Ayah.”

“Siapa peduli dengan ayahmu? Kau di sini datang sendiri. Berbuat sendiri, yang harus kau pertanggung jawabkan sendiri,” Mandira menjadi semakin marah.

Namun akhirnya seorang di antara mereka berkata, “Kami akan mencoba mengumpulkan uang kami.”

“Cepat! Sebelum kami menjadi semakin marah,” bentak Rumeksa.

Ketiga orang itu pun kemudian telah mengumpulkan uangnya. Namun Rumeksa berkata, “Ambil uang kedua orang kawanmu yang pingsan. Sekarang nampaknya mereka mulai sadar.”

Orang-orang Macan Putih itu tidak mmpunyai pilihan lain. Mereka harus mengumpulkan uang yang mereka bawa dan kemudian menyerahkannya kepada Mandira.

“Kau tidak bertaruh melawan aku. Serahkan kepada yang berhak. Sekaligus minta maaf kepada mereka,” berkata Mandira.

Anak muda itu tidak mempunyai pilihan lain. Iapun telah mendekati orang yang telah dipukulinya dan menyerahkan uang yang dapat mereka kumpulkan.

“Apakah uang itu cukup?” bertanya Mandira kepada orang yang menerimanya.

Orang itu termangu-mangu. Wajahnya masih terasa pengab. Namun iapun berkata, “Masih kurang sedikit. Tetapi biarlah.”

“Tunggu. Aku akan mencari sendiri di kantong-kantong ikat pinggang kalian,” berkata Rumeksa.

“Jangan, itu tidak perlu,” berkata seorang di antara orang-orang Macan Putih itu.

Tetapi Rumeksa nampaknya bersungguh-sungguh. Katanya, “Aku akan mencarinya sendiri jika kalian tidak mau memenuhi janji kalian membayar taruhan.”

Orang-orang Macan Putih itu menjadi tegang. Ternyata kelompok yang baru muncul itu terdiri dari orang-orang yang tidak kalah liarnya dengan kelompok-kelompok yang sudah ada.

Karena itu, maka orang-orang Macan Putih itu memang tidak dapat berbuat lain. Mereka memang harus membayar sebagaimana mereka janjikan dalam taruhan.

Tetapi ketika orang-orang Macan Putih itu sudah memenuhinya, Mandra masih berkata, “Kalian harus menambah lagi.”

Orang-orang dari kelompok Macan Putih itu heran. Seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa aku harus membayar lagi?”

“Kau sudah menyakiti orang-orang itu. Kau harus membayar lebih, karena mereka harus mengobati tubuhnya yang menjadi kesakitan karena pokal kalian,” berkata Mandra.

“Aku tidak mau. Ini pemerasan,” jawab anak muda dari kelompok Macan Putih itu.

“Jika kau tidak mau membayar, maka kami berempat akan memukuli kalian seperti kalian memukuli mereka. Wajah kalian harus menjadi biru pengab. Gigi kalian akan aku rontokkan semua. Pokoknya apapun yang ingin kami lakukan, akan kami lakukan atas kalian,” jawab Mandra. Lalu katanya pula, “Jika sekali lagi kalian menyebut ini sebagai pemerasan, maka kalian semua akan menjadi pingsan lagi.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar