Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 259

Buku 259

Beberapa saat kemudian, Panembahan Senapati menganggap bahwa pertemuan itu telah cukup. Tiga orang prajurit telah diwisuda menjadi Tumenggung. Kemudian Agung Sedayu telah ditetapkan menjadi seorang prajurit, sekaligus ditetapkan menjadi pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan.

Karena itu maka pertemuan itu pun telah dianggap selesai. Panembahan Senapati sempat mengucapkan selamat jalan kepada pasukan yang akan meninggalkan Mataram. Di hari berikutnya, seorang petugas akan menyerahkan tunggul dan panji-panji kehormatan kepada setiap pasukan. Sedangkan bagi pasukan yang sudah langsung kembali ke daerahnya masing-masing, akan segera dikirimkan melalui para penghubung.

Demikianlah, sejenak kemudian pertemuan itu pun segera dibubarkan setelah Panembahan Senapati meninggalkan paseban. Para pemimpin Mataram yang lain masih sempat mengucapkan selamat kepada ketiga orang yang baru saja diwisuda, serta kepada Agung Sedayu. Tetapi tidak semua orang yang mengucapkan selamat kepada ketiga orang Tumenggung itu juga mengucapkan selamat kepada Agung Sedayu.

Untara setelah menerima ucapan selamat dari para pemimpin di Mataram itu telah mendekati Agung Sedayu. Sambil menepuk pundaknya ia berkata, “Akhirnya kau telah menemukan jalan yang aku kira paling baik bagimu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Kakang, Tetapi apakah Kakang pernah menyampaikan kepada Panembahan Senapati tentang sikapku?”

“Aku tidak akan berani mengatakannya,” sahut Untara. “Aku sudah mengira bahwa kau tentu menyangka bahwa aku-lah yang telah memohon kepada Panembahan Senapati agar kau mendapat kedudukan. Tetapi kau tentu sudah mengenal Panembahan Senapati, karena kau pernah bersama-sama mengembara. Seandainya aku pernah menyampaikannya dan memohon kedudukan bagimu, maka aku sendiri tidak akan pernah diwisuda menjadi seorang Tumenggung.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Katanya, “Maafkan aku Kakang.”

“Seharusnya kau bergembira. Kecuali jika beban yang diberikan kepadamu itu terlalu berat. Tetapi menurut pendapatku, beban itu sesuai dengan kemampuanmu. Hanya karena kau belum berpengalaman sajalah, maka kau masih perlu banyak belajar. Bukan tentang tataran kemampuan dan ilmu, tetapi tentang paugeran dan sikap seorang prajurit,” desis Untara.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti maksud Untara. Biasanya seorang prajurit harus memasuki masa latihan untuk mengenal tentang dunianya. Meskipun seseorang telah memiliki ilmu yang cukup tinggi, tetapi ia harus melalui satu tempaan yang membuatnya menjadi seorang prajurit,

Namun Untara pun berkata selanjutnya, “Tetapi serba sedikit kau tentu telah mengenalnya. Kau pernah berada di barak pasukan khusus itu pula.”

“Ya Kakang,” jawab Agung Sedayu. Namun iapun kemudian berkata, “Meskipun demikian, aku memang harus banyak belajar. Sekarang aku tidak akan mungkin ingkar lagi dari tugas ini.”

“Ki Gede tentu akan banyak membantumu,” berkata Untara, “apalagi kau telah mendapat kekhususan yang memang dapat menimbulkan persoalan. Kau boleh tinggal di luar barak. Kau dapat memilih pembantu-pembantumu, dan agaknya kau mempunyai terlalu banyak kebebasan-kebebasan yang tidak dimiliki oleh para prajurit yang lain, termasuk aku.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Namun sebagai seorang yang telah terbiasa menguasai dirinya sendiri dalam latihan-latihan yang berat, maka tentu tidak akan terlalu sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan dunia keprajuritan.

Dalam pada itu, Swandaru pun telah memberikan pernyataan selamat kepada Agung Sedayu. Dengan nada rendah ia berkata, “Kau memang sangat beruntung Kakang. Dengan demikian, kau telah mendapatkan satu kedudukan yang jelas. Masa depanmu pun menjadi jelas. Guru akan sangat bergembira jika mendengar hal ini. Karena sebenarnyalah Guru selalu merasa berprihatin tentang masa depanmu yang mengambang.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Bagaimanapun juga ia menangkap maksud yang bergetar di balik kata-kata Swandaru. Agaknya selama ini Swandaru pun ikut memikirkan nasibnya yang mengambang itu.

Tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya kepada diri sendiri, “Jadi apa yang selama ini aku lakukan di Tanah Perdikan Menoreh? Menjual tenaga sekedar untuk mendapatkan sebidang tanah garapan buat memberi makan istri dan adik sepupuku?”

Namun Agung Sedayu masih dapat menyembunyikan getar perasaannya itu. Karena itu, sambil tersenyum Agung Sedayu menjawab, “Terima kasih. Semoga Guru dan keluargaku dapat menerima kemurahan hati Panembahan Senapati ini dengan gembira.”

“Tentu. Tidak seorangpun menduga, bahwa kau tiba-tiba saja akan mendapat sebuah kedudukan yang cukup tinggi. Bukan saja karena pangkat yang akan kau terima, tetapi kedudukan seorang pemimpin dari sebuah Pasukan Khusus tentu dianggap seorang yang berilmu yang akan dihormati oleh banyak orang. Baik karena pangkatnya, kedudukannya maupun ilmunya,” berkata Swandaru kemudian. Namun Swandaru itu pun kemudian berkata, “Tetapi Kakang harus benar-benar menempatkan diri sebagai seorang pemimpin pasukan yang dianggap terbaik. Meskipun pasukan itu terhitung kecil dibandingkan dengan pasukan Kakang Untara, tetapi yang sedikit itu dianggap memiliki daya tempur yang sangat tinggi. Dengan demikian, maka Kakang akan ikut pula menjunjung nama perguruan Orang Bercambuk. Bagaimanapun juga Kakang harus menyempatkan diri memperdalam ilmu yang selama ini nampaknya kurang Kakang tekuni. Selain bagi kepentingan Kakang dalam kedudukan Kakang sebagai pemimpin Pasukan Khusus, juga untuk menjunjung nama perguruan Orang Bercambuk, yang dianggap sebagai satu perguruan kecil namun dihormati karena tataran ilmunya,” berkata Swandaru kemudian.

Yang telinganya merasa digelitik adalah Glagah Putih. Tetapi karena Agung Sedayu justru tersenyum mendapat pesan itu, maka iapun tidak berbuat sesuatu.

Untara yang tidak ingin mendengar sesorah Swandaru lebih panjang lagi, telah minta diri. Bersama Sabungsari yang telah mengucapkan selamat pula kepada Agung Sedayu, keduanya telah meninggalkan Agung Sedayu yang masih dikerumuni oleh beberapa orang.

“Kami masih mempunyai tugas di barak kami,” berkata Sabungsari. Namun iapun kemudian berkata, “Menurut pendapatku, kau adalah satu-satunya orang yang paling tepat menduduki jabatan itu. Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan tentu akan menjadi jauh lebih baik dari Pasukan Khusus yang ada di kota ini, juga yang ada di Ganjur, yang selama ini dianggap pasukan yang paling baik. Justru di hadapan kekuatan yang ada di Mangir.”

Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Sabungsari sambil tersenyum beranjak pergi mengikuti Untara, yang telah minta diri pula kepada Ki Gede.

Swandaru yang mendengar pujian itu mengerutkan keningnya. Apa sebenarnya yang membuat orang-orang itu begitu menghormati Agung Sedayu, yang ilmunya menurut Swandaru masih harus ditingkatkan.

“Aku masih belum mendapat kesempatan yang baik untuk melakukannya,” berkata Swandaru yang kecewa di dalam hatinya, karena Sabungsari justru berhasil menyelesaikan lawannya ketika ia terluka. “Aku menjadi lengah. Sebetulnya aku pun dapat menyelesaikannya.” 

Yang kemudian datang memberikan pernyataan selamat adalah Ki Lurah Branjangan. Dengan gembira Ki Lurah Branjangan mengguncang kedua lengan Agung Sedayu.

Ki Gede dan Agung Sedayu pun menjadi semakin gembira dengan kehadiran Ki Lurah. Dengan nada tinggi Ki Lurah Branjangan itu pun berkata, “Aku telah memberikan ucapan selamat kepada Ki Tumenggung Untaradira serta kedua orang Tumenggung baru yang lain. Ternyata Tumenggung Wirapraja terlalu banyak berbicara, sehingga aku hampir terlambat mengucapkan selamat kepadamu.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Di mana Ki Lurah duduk sejak tadi?”

“Aku berada di belakang. Aku datang hampir terlambat. Untung regol masih belum tertutup,” jawab Ki Lurah Branjangan.

“Ternyata aku harus memasuki tugas yang tidak banyak aku ketahui,” berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah tertawa. Katanya kepada Ki Gede, “Bukankah suara seperti itu yang selalu diperdengarkan kepada orang lain, Ki Gede? Dengan demikian kita sudah tidak terkejut lagi.”

Ki Gede pun tertawa pula. Sambil mengangguk-angguk Ki Gede menyahut, “Nampaknya itu sudah menjadi satu ciri.”

Ki Lurah Branjangan itu pun kemudian berkata agak bersungguh-sungguh, “Panembahan Senapati memang pernah memanggil aku langsung menghadapnya. Kemudian segala sesuatunya telah terbuka bagi Angger Agung Sedayu. Namun aku masih mendapat tugas yang pada saatnya tentu akan diberitahukan kepada Angger Agung Sedayu, bahwa aku akan tetap diperbantukan untuk sementara di barak pasukan Khusus itu. Aku harus memberikan tuntunan, maaf, aku mempergunakan istilah Panembahan Senapati, kepada Angger Agung Sedayu, khususnya di bidang keprajuritan. Aku akan mengguruimu, meskipun ilmumu sebenarnya sudah jauh lebih tinggi dari ilmuku. Juga pengetahuan tentang keprajuritan.”

“Ah, tentu belum,” jawab Agung Sedayu dengan serta merta, “aku akan berterima kasih jika Ki Lurah berada di barak itu.”

“Untuk sementara. Mungkin untuk lima atau enam bulan, atau paling lama setahun. Kau memang dalam keadaan yang khusus. Pengangkatanmu pun terjadi secara khusus, langsung dalam jabatan yang nampaknya disukai oleh para prajurit, yang tidak terduga-duga justru diberikan kepada bukan seorang prajurit, meskipun dengan serta merta telah dianggap seorang prajurit. Hal itu tidak akan terjadi tanpa sebab yang diyakini kebenarannya oleh Panembahan Senapati,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Ah,” desah Agung Sedayu, “Ki Lurah masih saja memuji.”

Ki Lurah tertawa. Namun ia pun kemudian berkata, “Aku akan pergi ke barakmu untuk berbicara agak panjang. Tidak di sini. Apalagi halaman paseban ini sudah menjadi semakin sepi. Marilah, kita pulang.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Halaman paseban itu memang sudah menjadi semakin sepi. Tinggal beberapa orang yang berkelompok sambil berbincang-bincang.

Ki Gede pun kemudian telah melangkah pula menuju ke regol bersama-sama dengan beberapa orang lain yang bersamanya, termasuk Ki Lurah Branjangan. Namun di luar regol Ki Lurah Branjangan telah minta diri untuk langsung pulang ke rumah.

“Nanti aku akan pergi ke barak kalian,” berkata Ki Lurah.

Ki Gede mengangguk hormat sambil menjawab, “Kami akan menunggu Ki Lurah.”

Ki Lurah pun kemudian berjalan ke arah yang berbeda. Dalam usianya yang semakin tua, Ki Lurah masih nampak cekatan dan tangkas. Tubuhnya memang tidak cukup tinggi dan tidak pula besar. Namun agaknya karena itulah, maka Ki Lurah adalah seorang prajurit yang mampu bergerak seperti seekor burung sikatan di padang rumput yang sedang berburu belalang.

Ketika Ki Gede dan orang-orang yang bersamanya sampai ke barak, maka mereka telah masuk ke bilik masing-masing. Namun Agung Sedayu sempat duduk di pendapa bersama dengan Ki Demang Selagilang.

Namun beberapa saat kemudian, Ki Gede yang sudah berganti pakaian telah keluar lagi untuk menemui para pemimpin kelompok, yang masih tetap bersiap sepenuhnya untuk menjalankan setiap perintah.

“Kalian sudah dapat beristirahat,” berkata Ki Gede, “kecuali mereka yang bertugas. Tidak ada perintah yang harus kita lakukan hari ini.”

Dengan demikian, maka para pengawal pun sempat pula beristirahat hari itu. Sementara Ki Gede pun telah memberitahukan bahwa besok lusa pasukan telah diperkenankan meninggalkan kota.

Namun berita yang paling menggembirakan telah mereka dengar pula, bahwa Agung Sedayu kemudian akan menjadi pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan.

Tetapi tiba-tiba saja seorang di antara mereka bertanya, “Jadi Agung Sedayu akan segera meninggalkan kita?”

“Tidak,” jawab Ki Gede, “Agung Sedayu akan tetap tinggal di rumahnya. Ia akan tetap bersama kita dalam kehidupan sehari-hari. Namun sebagian waktunya sekarang diperuntukkannya bagi Pasukan Khusus itu.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka memang merasa ikut bergembira. Namun kemudian mereka pun merasa sayang jika Agung Sedayu tidak lagi dapat membina Tanah Perdikan Menoreh, karena kemajuan yang dicapai oleh Tanah Perdikan itu sebagian besar adalah karena kerja keras Agung Sedayu.

Swandaru yang telah langsung kembali ke baraknya pula, telah berbicara dengan beberapa orang pemimpin kelompok pengawal Kademangan Sangkal Putung. Diceritakannya pula bahwa Untara yang sudah sejak lama dipersiapkan untuk menerima jabatan Tumenggung, dalam pertemuan di paseban telah diwisuda menjadi seorang Tumenggung bersama dua orang yang lain.

“Tetapi nampaknya hal itu lebih wajar daripada yang terjadi pada Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru. “Kakang Agung Sedayu tiba-tiba saja telah ditetapkan, atau dianggap, atau dalam pengertian apapun, sebagai seorang prajurit, dan langsung menjabat sebagai pimpinan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh.”

Para pemimpin kelompok pengawal Kademangan Sangkal Putung itu termangu-mangu. Mereka tidak mengerti, perasaan apakah yang telah bergejolak di hati Swandaru. Apakah ia berbangga atau justru kecewa, atau perasaan lain.

Tetapi para pemimpin kelompok itu hanya berdiam diri saja.

“Kita masih mendapat kesempatan hari ini dan besok untuk beristirahat di sini,” berkata Swandaru, “besok lusa kita sudah dapat pulang.”

Para pemimpin kelompok itu merasa bergembira bahwa mereka akan segera dapat bertemu dengan keluarga mereka. Tetapi dalam pada itu Swandaru berkata, “Kita harus bersiap-siap memberikan jawaban, berapa orang dan siapa yang tidak dapat kembali bersama-sama dengan kita.”

Para pemimpin pengawal yang bergembira itu tiba-tiba saja telah menjadi gelisah. Mereka sadar, bahwa mereka harus menghadapi keadaan sebagaimana pernah terjadi di Madiun, ketika pasukan Mataram itu memasukinya.

Tetapi mereka tidak dapat mengelakkan hal itu.

Dalam pada itu, di sisa hari itu, para prajurit dan pengawal masih dapat beristirahat. Khusus bagi para prajurit yang tinggal di kota, hari itu mereka masih berada di barak. Baru esok pagi mereka diperkenankan kembali ke rumah mereka masing-masing bergantian, sesuai dengan pembagian waktu yang diberikan oleh pemimpin kelompok mereka masing-masing. Sementara itu dengan resmi pimpinan keprajuritan Mataram telah mengumumkan, para prajurit yang tidak dapat kembali pulang bersama mereka.

Tetapi pengumuman itu tidak terlalu menarik lagi. Betapapun rapatnya para prajurit merahasiakannya, namun nama-nama mereka yang tidak kembali sudah dapat didengar oleh keluarga mereka sebelumnya.

Dalam pada itu, menjelang sore hari ketika matahari mulai turun, maka Ki Lurah Branjangan telah benar-benar berada di barak pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Namun ternyata Ki Lurah tidak datang sekedar keperluannya sendiri. Cucunya, Rara Wulan telah berpesan kepadanya untuk mencari barak pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

Setelah duduk beberapa saat ditemui oleh Ki Gede, Ki Demang Selagilang dan Agung Sedayu, Ki Lurah Branjangan pun berkata kepada Agung Sedayu, “Sebenarnya Rara Wulan ingin ikut bersamaku.”

“Kenapa tidak?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Aku tidak memperbolehkannya. Agaknya kurang pantas jika Wulan memasuki barak prajurit seperti ini.”

Agung Sedayu tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Aku mengerti Ki Lurah. Memang kurang pantas bagi seorang gadis.”

Ki Lurah pun kemudian berdesis, “Biar kalian saja datang ke rumahku. Angger Agung Sedayu dan Angger Glagah Putih. Nampaknya akan lebih pantas daripada Wulan yang datang kemari.”

“Aku akan membawa Glagah Putih ke rumah Ki Lurah besok. Bukankah besok kami masih ada di sini?” sahut Agung Sedayu.

“Ya,” Ki Lurah mengangguk-angguk. “Rara Wulan masih saja bertanya tentang kemungkinannya untuk berguru kepada Sekar Mirah. Menurut Rara Wulan, Sekar Mirah sudah setuju, meskipun pada kedudukan yang tidak sepenuhnya sebagaimana guru dan murid, karena Sekar Mirah sendiri masih merasa bahwa ilmunya jauh daripada cukup.”

“Bukankah ayah dan ibunya kurang setuju jika Rara Wulan berada di Tanah Perdikan? Apalagi kakaknya itu,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Entahlah apa yang akan dilakukan oleh anak itu,” berkata Ki Lurah, “tetapi kini seorang anak muda selalu datang mengunjunginya. Bahkan nampaknya anak muda itu sangat memperhatikan Wulan, meskipun Wulan sendiri kurang senang kepadanya. Tetapi anak muda itu mempunyai kesamaan sifat dan watak dengan kakak Wulan, sehingga mereka justru bersahabat rapat sekali.”

“Maksud Ki Lurah, anak muda yang bernama Sawung Panunggul, putra Ki Tumenggung Tambakrana?” desis Agung Sedayu.

“Darimana kau tahu?” bertanya Ki Lurah.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kami telah pernah bertemu dengan Rara Wulan dan Sawung Panunggul di pasar.”

“Wulan memang pernah bercerita kalau ia bertemu dengan kau dan Glagah Putih. Tetapi ia tidak bercerita bahwa saat itu ia bersama dengan Sawung Panunggul,” berkata Ki Lurah kemudian.

“Keduanya berbelanja di pasar. Keduanya tengah membeli bahan yang akan dipergunakan untuk mengadakan satu pertemuan keluarga,” berkata Agung Sedayu dengan agak ragu.

“Ya,” berkata Ki Lurah, “pertemuan yang meriah. Aku tidak tahu apa kepentingan mereka menyelenggarakan pertemuan itu. Nanti malam aku juga diundang. Mungkin mereka ingin mengurangi tabungan mereka yang sudah terlalu penuh. Mereka sama sekali tidak mau mempertimbangkan keadaan prihatin yang sedang meliputi Mataram sekarang ini.”

“Bukankah Ki Lurah termasuk di dalamnya?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Aku juga diundang. Bahkan aku termasuk yang dituakan oleh keluarga yang akan menyelenggarakan pertemuan itu. Tetapi aku sudah menyatakan, bahwa aku tidak dapat datang dalam pertemuan itu.”

“Ah, mereka tentu kecewa,” berkata Ki Gede, “bukankah sebaiknya Ki Lurah datang dan memberikan sedikit sentuhan tentang suasana terakhir di Mataram?”

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Sebaiknya aku tidak datang. Pertemuan itu akan diselenggarakan di rumah Ki Tumenggung Tambakrana, ayah Sawung Panunggul.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun ia dapat mengerti sikap Ki Lurah itu. Ki Lurah nampaknya terbenam dalam suasana prihatin yang sedang menyelimuti Mataram, sehingga rasa-rasanya ia menjadi segan untuk bergembira dalam satu pertemuan sekelompok kecil pemimpin Mataram yang meriah.

“Memang hak mereka untuk melakukannya,” berkata Ki Lurah, “karena itu aku juga tidak mencegahnya. Namun nuraniku agaknya tidak sesuai dengan pertemuan itu. Meskipun dalam pertemuan itu akan dihidangkan suguhan yang tentu sangat menarik, namun aku lebih senang menghadiri pertemuan seperti tadi pagi di paseban tanpa hidangan apapun. Minum pun tidak.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin mencampuri persoalan keluarga Ki Lurah Branjangan, sehingga karena itu maka Ki Gede pun tidak bertanya lebih jauh tentang pertemuan keluarga itu.

Yang kemudian dibicarakan oleh Ki Lurah pun telah berkisar. Ki Lurah lebih senang berbicara tentang rencananya untuk tetap berada di barak pasukan khusus, meskipun dalam kedudukan yang jauh berbeda dari yang pernah dipangkunya.

“Tetapi aku akan merasa sangat senang. Sesuai dengan umurku yang telah tua,” berkata Ki Lurah.

“Terima kasih Ki Lurah,” jawab Agung Sedayu.

Ternyata Ki Lurah Branjangan sempat berbicara panjang bersama Ki Gede dan Ki Demang Selagilang tentang perkembangan Mataram kemudian. Bahkan mereka pun telah menyinggung pula sikap Adipati Pati ketika ia berada di Madiun.

“Tidak semua yang dilakukan Panembahan Senapati tanpa cacat,” berkata Ki Lurah, “namun kita semua berharap bahwa kepemimpinan Panembahan Senapati akan dapat berlangsung langgeng, sehingga Mataram akan dapat menjadi semakin kokoh.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah Branjangan itu pun bertanya, “Kapan kau akan mulai dengan tugas barumu Agung Sedayu?”

“Sebenarnya aku juga harus bertanya-tanya. Sebagaimana Ki Lurah ketahui, kedudukan dan jabatan itu aku terima begitu saja dalam sebuah pertemuan seperti itu. Menurut pendengaranku, maka tugas akan dilakukan setelah seseorang menerima surat kekancingan yang menetapkan kedudukannya. Tetapi aku belum menerima apa-apa,” jawab Agung Sedayu.

“Kau sebaiknya mohon waktu untuk menghadap,” berkata Ki Lurah Branjangan, “tentu sulit bagi orang lain, tetapi tentu tidak bagimu. Kau akan mendapatkan kejelasan tentang langkah-langkah yang harus kau tempuh, meskipun barangkali Panembahan Senapati sendiri tidak akan mengurus soal surat kekancingan atau semacamnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia masih mempunyai waktu sehari. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Besok, jika diijinkan aku akan menghadap Panembahan Senapati.”

Namun ternyata Agung Sedayu tidak perlu melakukannya. Di saat Ki Lurah Branjangan masih berada di barak Pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, telah datang tiga orang berkuda. Seorang di antaranya adalah seorang Tumenggung.

“Tumenggung Reksanegara,” desis Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah Branjangan, Ki Gede, Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang segera dengan tergopoh-gopoh telah menyambut kedatangan mereka, dan mempersilahkan mereka untuk naik ke pendapa.

Ternyata Ki Tumenggung Reksanegara telah mendapat tugas untuk menyelesaikan kekancingan penetapan Agung Sedayu menjadi seorang prajurit, dan sekaligus penetapannya menjadi pimpinan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan dengan pangkat sementara Lurah Prajurit.

“Bukan main,” desis Ki Lurah Branjangan, “aku mulai dari tataran terendah ketika aku mengabdi di Pajang. Kau langsung diangkat menjadi seorang Lurah Prajurit dengan kedudukan Pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan. Itu pun tentu tidak lama. Kau akan segera menjadi seorang Panji, dan kemudian Tumenggung.”

Ki Tumenggung, kedua orang yang menyertainya, Ki Gede dan Ki Demang Selagilang tertawa, sementara Agung Sedayu sendiri menarik nafas dalam-dalam.

“Nah Ki Lurah,” berkata Ki Lurah Branjangan pula, “apa rencanamu berikutnya?”

“Ah,” Agung sedayu berdesah, “sebelumnya Kakang Untara tidak pernah dipanggil dengan sebutan kepangkatannya.”

“Tetapi aku selalu dipanggil Ki Lurah,” jawab Ki Lurah Branjangan.

Orang-orang yang mendengarnya masih saja tertawa. Sementara Agung Sedayu menjawab, “Itu adalah soal kebiasaan saja.”

“Kau benar,” berkata Ki Tumenggung. “Agaknya kau lebih senang dipanggil namamu saja. Seperti beberapa orang yang lain justru segan untuk disebut pangkatnya.”

“Mungkin mereka menunggu jika sudah menjadi Tumenggung,” jawab Ki Lurah. Lalu katanya, “Seperti Ki Tumenggung Reksanegara, sebelumnya juga tidak pernah disebut Ki Panji Reksapraja. Ki Tumenggung lebih senang disebut saja namanya, Reksapraja.”

“Ah, sudahlah,” berkata Ki Tumenggung, “nampaknya kakak Agung Sedayu sampai sekarang masih segan juga disebut Ki Tumenggung Untaradira. Ia masih lebih senang dipanggil namanya saja, Untara. Memang agak berbeda dengan Ki Demang. Bahkan di Pegunungan Sewu sebutan Ki Demang lebih dikenal dari namanya, Ki Selagilang.”

“Kedudukan kepangkatan kita memang berbeda,” berkata Ki Demang.

“Ya. Demang adalah kedudukan yang turun temurun. Tetapi tidak dengan pangkat seorang prajurit,” jawab Ki Tumenggung.

Demikianlah, untuk beberapa saat mereka masih sempat berbincang. Namun ketika Ki Tumenggung sudah duduk beberapa lama, maka iapun berkata, “Dengan kelengkapan surat kekancingan dan surat perintah, maka Ki Lurah Agung Sedayu sudah dapat langsung melakukan tugasnya.” “Terima kasih Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu, “namun aku mohon Ki Tumenggung memanggil namaku saja, agar tidak terbiasa disebut pangkatku di depan namaku.”

Ki Tumenggung tertawa pula. Katanya, “Baiklah. Tetapi dalam pembicaraan resmi, pangkat itu akan selalu terucapkan.”

Agung Sedayu tidak dapat mengelak. Tetapi rasa-rasanya sebutan itu justru membuatnya kurang mapan dan canggung.

Dalam pada itu, maka Ki Tumenggung pun kemudian telah minta diri untuk meninggalkan barak itu, karena keperluannya telah diselesaikannya.

Namun dalam pada itu Ki Gede pun berkata, “Maaf Ki Tumenggung. Kami tidak dapat menghidangkan apa-apa bagi Ki Tumenggung.”

Ki Tumenggung tertawa. Katanya, “Aku tahu. Di barak ini untuk keperluan sendiri pun Ki Gede tidak dapat menyediakan sekehendak sendiri. Apalagi untuk hidangan para tamu.”

Yang lain pun tertawa, sementara Ki Tumenggung dan kedua orang yang menyertainya telah membawa kudanya keluar regol. Ki Gede dan yang lain telah melepas ketiga orang itu sampai di regol.

Ketika mereka kembali ke pendapa, maka Ki Lurah Branjangan berkata, “Nah, semuanya sudah selesai. Agung Sedayu tinggal datang ke barak dan memperkenalkan diri sebagai pimpinan yang baru. Agaknya salah seorang perwira dari Mataram, mungkin juga Ki Tumenggung Reksanegara atau yang lain, akan ditugaskan untuk menyampaikan kepada para prajurit tentang kedudukan Agung Sedayu, dan memperkenalkannya sebagai pimpinan yang baru.”

“Kapan itu dilaksanakan?” bertanya Agung Sedayu.

“Akan datang perintah kemudian,” berkata Ki Lurah Branjangan, “tetapi sekarang, Pasukan Khusus itu sudah tidak mempunyai pimpinan lagi. Seorang perwira yang tertua bertugas untuk sementara memimpin pasukan yang tinggal di barak, sedang seorang perwira yang lain memimpin Pasukan Khusus yang ada di Mataram sekarang ini, setelah melakukan perlawanan. Semua pemindahan, pergeseran jabatan dan pengaturan kembali kelompok-kelompok setelah perang Madiun, telah dilakukan dalam waktu singkat. Baru kemudian Panembahan Senapati memanggilmu. Tugasmu adalah menyempurnakan dan kemudian meningkatkan kemampuan pasukan itu. Baik lahiriah maupun batiniah.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Lurah Branjangan berkata selanjutnya, “Nah, kau boleh tahu, bahwa semua itu langsung ditangani oleh Pangeran Mangkubumi, dibantu oleh Ki Tumenggung Surarana.”

Yang mendengarkan keterangan Ki Lurah Branjangan itu mengangguk-angguk. Semuanya memang menjadi lebih jelas. Namun semuanya masih menunggu perintah berikutnya, meskipun surat kekancingan dan surat perintah untuk melaksanakan tugas telah ada di tangan Agung Sedayu.

“Sudahlah,” berkata Ki Lurah, “jangan kau pikir. Bukankah besok kalian masih akan tinggal di sini sehari? Namun pada saat kalian berangkat kembali ke Tanah Perdikan, maka semuanya tentu sudah jelas dan tuntas.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah Branjangan berkata, “Nah, sekarang sebaiknya aku mohon diri. Besok kau dan Glagah Putih aku harap datang ke rumahku.”

“Baik Ki Lurah,” Jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah pun kemudian telah minta diri kepada Ki Gede dan Ki Demang, yang lebih banyak mendengarkan pembicaraan daripada ikut berbicara.

Sepeninggal Ki Lurah, maka Ki Gede, Ki Demang dan Agung Sedayu masih berbincang beberapa saat. Mereka masih berbicara sekitar tugas Agung Sedayu yang akan datang.

“Sayang,” berkata Ki Demang Selagilang, “aku tidak dapat menyaksikan Angger Agung Sedayu menempa Pasukan Khusus itu sehingga menjadi semakin tinggi kemampuannya.”

“Ah, apa yang dapat aku lakukan Ki Demang?” desis Agung Sedayu.

“Bukankah aku pernah menyaksikan sendiri tataran kemampuanmu?” sahut Ki Demang.

“Tetapi apakah aku dapat melimpahkannya kepada orang lain, itulah soalnya. Sementara itu, aku masih berguru kepada Ki Lurah tentang paugeran dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi seorang prajurit,” jawab Agung Sedayu.

Tetapi Ki Demang pun kemudian berdesis, “Semuanya tentu akan berjalan dengan sangat baik.”

Pembicaraan mereka pun kemudian terputus ketika Ki Demang minta diri, “Aku ingin melihat anak-anak.”

Ki Gede pun kemudian telah meninggalkan Agung Sedayu pula. Sementara Agung Sedayu telah turun pula ke halaman. Yang direnungkan memang tidak ada lain kecuali kedudukannya yang baru. Agung Sedayu sendiri masih merasa bimbang, apakah ia bergembira atau kecewa. Namun ia telah mengucap syukur bahwa ia telah mendapatkan kepercayaan yang sangat tinggi.

“Yang Maha Agung akan memberikan terang di hatiku,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Agung Sedayu itu berpaling ketika ia menyadari Glagah Putih ada di belakangnya, mengikuti langkahnya menuju ke gerbang, sementara senja telah turun perlahan-lahan.

“Besok kita pergi ke rumah Ki Lurah,” ajak Agung Sedayu, “Ki Lurah telah mempersilahkan kita singgah ke rumahnya.”

“Malam ini ada pertemuan keluarga yang besar dan meriah,” berkata Glagah Putih.

“Ki Lurah tidak mau hadir,” jawab Agung Sedayu.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Ki Lurah lebih condong untuk mengamati lingkungan yang lebih luas. Menurut Ki Lurah, tidak sepatutnya menyelenggarakan pertemuan seperti itu dalam suasana seperti ini. Justru di saat Mataram harus berprihatin,” jawab Agung Sedayu.

“Aku sependapat dengan Ki Lurah,” desis Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Rencana beberapa orang untuk menyelenggarakan keramaian besar-besaran di seluruh kota pun nampaknya tidak disetujui oleh Panembahan Senapati.”

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih pun berkata, “Apakah kita dapat berjalan-jalan?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk, “Mari. Tetapi kau harus minta ijin dahulu kepada Ki Gede. Katakan, bahwa kita berdua akan berjalan-jalan sebentar.”

Glagah Putih pun kemudian berlari-lari ke ruang dalam menemui Ki Gede untuk minta diri.

“Aku dan Kakang Agung Sedayu akan berjalan-jalan sebentar Ki Gede,” berkata Glagah Putih.

“Berhati-hatilah,” pesan Ki Gede, “banyak pasukan yang masih berada di kota ini. Jangan terjadi sentuhan-sentuhan yang dapat membuat kesulitan.”

Glagah Putih mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya Ki Gede. Kami mengerti.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melangkah keluar regol. Kepada para petugas di regol keduanya mengatakan bahwa mereka tidak akan terlalu lama.

Dalam keremangan sinar lampu minyak di regol-regol halaman, keduanya berjalan perlahan-lahan sambil menyaksikan kota yang menjadi semakin hening.

“Kakang pernah mengenal jalan-jalan kota ini dengan baik?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak begitu baik. Tetapi aku sering berada di kota ini, lebih-lebih dahulu. Bukankah kau juga sering berada di kota, apalagi ketika Raden Rangga masih ada?” sahut Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi masih banyak jalan-jalan yang belum pernah aku lalui.”

“Aku juga,” desis Agung Sedayu, “aku hanya mengenal jalan-jalan utamanya saja. Aku kira, Raden Rangga lebih banyak menyusuri sudut-sudut kota ini daripada kota lain.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu mereka masih saja berjalan, semakin lama semakin jauh dari barak mereka.

Ternyata selain Agung Sedayu dan Glagah Putih, nampaknya banyak juga prajurit dan pengawal yang tidak tinggal di kota itu, berjalan-jalan pula menyusuri jalan-jalan kota. Agaknya mereka juga ingin melihat-lihat Mataram setelah matahari tenggelam.

Memang tidak ada yang berlebihan. Regol-regol halaman justru banyak yang sudah terkatub meskipun belum diselarak, atau masih terbuka sedikit. Lampu-lampu di pendapa masih nampak menyala dengan terangnya. Bahkan masih ada beberapa orang yang duduk-duduk di sudut-sudut padukuhan sambil melihat orang-orang yang masih berjalan-jalan.

Selama para pengawal dan prajurit dari berbagai daerah berada di Mataram, maka kedai-kedai yang biasanya hanya buka di siang hari, masih juga ada yang membuka kedainya sampai menjelang sepi wong.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang berjalan-jalan itu agaknya kurang memperhatikan jarak dan waktu. Mereka berjalan saja sampai malam menjadi semakin malam. Mereka menyusuri jalan-jalan yang belum pernah mereka lewati.

Mereka tertarik ketika mereka mendengar suara gamelan agak di kejauhan. Karena itu, maka Glagah Putih pun berdesis, “Kita lihat, apakah memang ada keramaian.”

Agung Sedayu tidak menolak. Karena itu, maka keduanya pun telah mengikuti jalan yang agaknya akan sampai ke suara gamelan itu.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka melihat cahaya obor yang lebih terang dari daerah di sekitarnya. Karena itu, maka tanpa kesulitan mereka telah mendekati tempat keramaian itu.

Ternyata di tempat itulah pertemuan keluarga yang meriah diselenggarakan. Keluarga Ki Tumenggung Tambakrana telah mengundang seluruh keluarganya dan sahabat-sahabatnya untuk mengunjungi hari yang dianggapnya hari yang sangat berarti dalam hidupnya. Pada hari itu umur Ki Tumenggung genap tujuh windu. Karena itu Ki Tumenggung telah merayakannya dengan sebuah pertemuan keluarga.

Dari seorang yang berdiri di regol, Agung Sedayu mendapat keterangan bahwa akan diselenggarakan tari tayub di pendapa rumah Ki Tumenggung.

“Ki Sanak akan menonton?” bertanya Agung Sedayu.

Orang itu termangu-mangu. Katanya, “Sebenarnya aku memang ingin menonton. Tetapi aku ragu-ragu. Rasa-rasanya aku akan melihat kakakku yang memiliki kemampuan menari di pendapa, jika diselenggarakan tari tayub.”

“Kenapa jika Ki Sanak melihatnya? Dan apakah sekarang kakak Ki Sanak itu juga hadir?” bertanya Agung Sedayu.

“Jika kakakku masih ada, Ki Tumenggung tentu akan memanggilnya. Kakakku termasuk orang yang dekat dengan Ki Tumenggung,” jawab orang itu.

“Bagaimana dengan kakakmu sekarang?” desak Agung Sedayu.

“Kakak telah gugur dalam perjalanan ke Timur kemarin,” jawab orang itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang itu adalah salah seorang dari antara mereka yang kehilangan.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah melangkah masuk bersama Glagah Putih. Agung Sedayu masih sempat bertanya, “Bagaimana dengan kau? Kami akan masuk ke halaman.”

Orang itu justru bergeser surut sambil berkata, “Aku akan pulang saja.”

Sebenarnyalah orang itu pun telah meninggalkan tempat keramaian itu, karena bayangan tentang kakaknya yang sering melakukan tari tayub telah mengganggunya.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di halaman, maka di pendapa para penari tayub telah mulai menari diiringi gending-gending yang kocak dan sedikit menggelitik. Suasana yang sebelumnya terasa bersungguh-sungguh, telah menjadi hangat.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang memang jarang melihat jenis tari-tarian itu pun telah berdiri di bawah sebatang pohon sawo di belakang sekelompok anak-anak muda yang bergerombol. Setiap kali terdengar suara tertawa meledak. Anak-anak muda itu nampak menjadi gembira melihat para penari yang naik ke pendapa. Sekali-kali terdengar seorang di antara mereka bersuit nyaring.

Ketika suasana menjadi semakin hangat, maka Agung Sedayu telah menggamit Glagah Putih sambil berdesis, “Sudah malam. Kita sudah terlalu lama berkeliling kota ini. Apakah sebaiknya kita pulang saja?”

“Sebentar Kakang. Sebentar saja lagi,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu memang tidak ingin membuat Glagah Putih kecewa. Karena itu maka iapun tidak memaksanya. Namun Agung Sedayu kemudian berdiri bersandar pohon sawo itu.

Suasana menjadi semakin hangat ketika para penari laki-laki mulai turun. Mereka adalah para tamu yang paling terhormat yang mendapat kehormatan pertama mendapat sampur dari para penari itu.

Anak-anak muda yang berdiri di dekat Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun menjadi semakin riuh. Mereka berteriak-teriak semakin keras. Apalagi ketika para penari yang ada di pendapa menjadi semakin panas karena dikipasi oleh gending-gending yang hangat.

Ternyata Glagah Putih senang juga melihat pertunjukan itu, sebagaimana anak-anak muda yang berdiri di sebelahnya. Namun Glagah Putih tidak berteriak-teriak. Tidak pula bersuit dan bahkan memaki.

“Aku tidak sabar lagi,” berkata seorang di antara anak muda itu, “aku harus mendapat kesempatan menari, karena di antara para penari terdapat Tlenik.”

“Apa hubungannya antara penari dan kesempatan buatmu? Kau bukan tamu di sini,” jawab kawannya.

“Tetapi Tlenik menari di sini,” jawab anak muda yang pertama.

“Tlenik itu apamu?” jawab kawannya yang lain.

Anak muda itu tidak segera menjawab. Tetapi iapun kemudian berkata, “Jika para tamu yang terhormat telah mendapat gilirannya, maka yang lain akan mendapat kesempatan. Nah, aku pun akan naik ke pendapa.”

“Kau akan diusir,” jawab kawannya.

“Jadi apa yang akan kita lakukan di sini?” bertanya anak muda yang pertama.

Tiba-tiba seorang di antara mereka bergeser maju selangkah sambil berkata, “Kita datang untuk bersenang-senang di sini. Tidak usah menahan hati.”

“Tetapi rumah ini adalah rumah seorang Tumenggung. Rumah seorang pemimpin yang dijaga oleh sekelompok prajurit bersenjata. Nah, apa yang kita lakukan di hadapan para prajurit bersenjata?”

Anak muda yang melangkah maju itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Jika demikian, mari kita tinggalkan saja tempat ini. Aku tidak akan dapat menahan hati melihat Lintang menari dengan sejumlah laki-laki yang tidak aku kenal.”

“Nanti dulu,” cegah seorang di antara mereka, “kita akan melihat sejenak lagi. Aku ingin melihat Pletik menari.”

“Setan kau,” geram kawan-kawannya. Sementara anak muda yang pertama berkata, “Aku tidak akan melepaskan Tlenik malam ini. Aku akan menunggu di luar meskipun harus sampai pagi. Aku akan mengikutinya dan mengambilnya. Siapa yang menghadapiku, mereka akan menyesal.”

“Kau akan menculiknya?” bertanya kawannya.

“Ya,” jawab anak muda yang pertama.

“Bagus,” berkata yang lain, “aku juga akan mengambil Lintang.”

“Jika demikian, aku tidak hanya akan sekedar melihat Pletik menari. Aku juga akan mengambilnya,” berkata yang lain lagi.

Tetapi seorang di antara mereka mengingatkan, “Jangan melakukan tindakan bodoh pada saat seperti sekarang. Di kota ini tersebar prajurit di setiap sudut. Mereka adalah prajurit-prajurit yang garang karena mereka baru saja kembali dari medan perang.”

“Apa peduliku dengan mereka,” sahut anak muda yang pertama.

Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara anak-anak muda itu berdesis, “Kita harus mempertimbangkannya. Kemarin seorang di antara kawan kita sudah ditangkap di depan gerbang pasar. Untung kawan kita yang satu lagi sempat melarikan diri dan menyusup di antara orang-orang yang berada di pasar.”

Tetapi anak muda yang pertama tetap pada pendiriannya. Katanya, “Tidak akan ada yang dapat mencegahku. Prajurit-prajurit itu tidak akan sempat melihat apa yang akan aku lakukan. Jika rencanaku ini diketahui oleh para prajurit, maka tentu ada di antara kalian yang berkhianat.”

Kawan-kawannya tidak ada yang menjawab. Sementara itu suara gamelan di pendapa menjadi semakin hangat. Beberapa orang penari telah menari di pendapa bersama-sama dengan beberapa orang laki-laki.

Glagah Putih ternyata sempat mendengarkan pembicaraan anak-anak muda itu. Anak-anak muda sebayanya, bahkan ada satu dua di antara mereka yang sedikit lebih tua dari Glagah Putih itu.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah beringsut mendekati Agung Sedayu. Ketika ia mulai berbisik di telinga kakak sepupunya itu, maka Agung Sedayu pun berdesis pula, “Aku mendengar apa yang mereka bicarakan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apa kita akan menunggu sampai tayub ini selesai?”

“Untuk apa?” bertanya Agung Sedayu.

“Kita harus mencegah penculikan itu,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk kecil. Tetapi ia berkata, “Tetapi bukan kita yang harus bertindak langsung. Kita menghubungi gardu pusat pimpinan para prajurit yang bertugs malam ini di seluruh kota. Kita melaporkan kemungkinan yang dapat terjadi esok, di dini hari. Jika kita langsung bertindak, mungkin akan dapat terjadi salah paham dengan para petugas.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kita masih mempunyai waktu.”

“Maksudmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku akan melihat sebentar lagi,” jawab Glagah Putih.

“Ah, kau,” desah Agung Sedayu.

Namun Glagah Putih telah beringsut ke tempatnya semula. Meskipun agak mengangkat wajahnya, namun ia dapat melihat para penari itu agak jelas.

Ketika tarian itu berhenti, sebelum penari-penari itu tampil lagi dengan pasangan yang berbeda, maka Agung Sedayu telah menggamitnya sambil berdesis, “Marilah. Kita kembali. Nanti kita terlalu malam.”

Tetapi Glagah Putih menjawab, “Satu tarian saja lagi Kakang.”

“Tarian itu tidak terbatas waktu. Satu tarian dapat panjang dapat pendek, sesuai dengan keinginan para penarinya. Terutama penari laki-lakinya. Kau pun harus mengingat waktu. Nanti kita kemalaman. Bukankah kita sudah dipesan agar tidak pulang terlalu malam?” desis Agung Sedayu.

Glagah Putih sebenarnya masih terlalu malas untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi nampaknya Agung Sedayu benar-benar telah mengajaknya pulang.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang di antara anak-anak muda yang berkerumun itu telah berkata, “Pulanglah anak muda. Nanti ibu marah. Hari sudah malam. Besok saja kita bermain lagi. Bermain loncat-loncatan atau sembunyi-sembunyian. Kau belum waktunya bermain tayub.”

Glagah Putih mendengar kata-kata itu. Telinganya memang bagaikan ditusuk duri batang randu alas.

Namun Agung Sedayu yang melihat gelagat itu, telah menarik lengannya sambil berkata, “Marilah. Kita harus pulang.”

Anak-anak muda itu tertawa. Seorang di antaranya sempat memperolok-olokkan, “He, apa ibumu ikut menari di pendapa?” Tetapi Agung sedayu tidak melepaskan lengan Glagah Putih, meskipun Glagah Putih berkata, “Aku harus menyumbat mulutnya, Kakang.”

“Kau ingat pesan Ki Gede?” bertanya Agung Sedayu.

“Ki Gede melarang kita berbenturan dengan prajurit dan pengawal. Mereka bukan prajurit dan bukan pengawal,” berkata Glagah Putih pula.

“Sudahlah. Kita harus melaporkannya,” desis Agung Sedayu, yang sudah menarik Glagah Putih sampai ke regol.

Suara tertawa anak-anak muda itu masih terdengar. Orang-orang yang ada di halaman itu hampir semuanya telah berpaling ke arah sekelompok anak-anak muda yang tertawa meledak-ledak itu.

Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di luar regol. Mereka berjalan dengan cepat menjauhi tempat itu.

“Kita menuju ke pusat pengendalian tugas para prajurit yang bertugas malam ini,” berkata Agung Sedayu. Lalu katanya, “Kita pergi ke regol butulan sisi barat istana.”

Adalah kebetulan sekali, bahwa seorang perwira yang bertugas mengendalikan penjagaan di seluruh kota malam itu telah mengenal Agung Sedayu dengan baik. Karena itu, maka laporan Agung Sedayu pun telah diterima dengan baik.

“Kami akan mengirimkan kesatuan petugas sandi ke tempat itu,” berkata perwira itu, “mudah-mudahan mereka mengurungkan niatnya, sehingga para petugas sandi tidak perlu bertindak.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke barak. Namun di sepanjang jalan Glagah Putih masih saja menunjukkan kekesalannya.

“Kau jangan bertindak sendiri. Kehadiranmu di sini sekarang adalah karena kau menjadi salah seorang di antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Agak berbeda dengan kedudukanmu sebagai pribadi,” berkata Agung Sedayu.

Tetapi Glagah Putih berkata di dalam hatinya, “Dalam kedudukan apapun Kakang Agung Sedayu tentu akan melarangnya.” Namun Glagah Putih tidak mengucapkannya.

Meskipun demikian Agung Sedayu masih juga sempat berkata, “Sebenarnyalah kita merasa kecewa, bahwa dalam keadaan seperti ini, dimana Mataram sedang berusaha meningkatkan kesejahteraan hidup seluruh warganya, masih ada anak-anak muda yang bersikap seperti itu. Seharusnya anak-anak muda mampu mendukung kerja besar yang sama-sama kita lakukan ini.”

Glagah Putih seakan-akan mendapat jalan untuk membuka perasaannya. Katanya, “Kakang benar. Itulah sebabnya, terhadap anak-anak muda yang tidak mengenal lingkungannya itu kita harus berbuat sesuatu.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah kita sudah berbuat sesuatu melalui saluran? Kita sudah memberikan laporan kepada yang bertugas malam ini tentang tingkah laku mereka.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak berkata sesuatu.

Ketika keduanya sampai di barak, maka petugas yang ada di regol sudah diganti orang. Barak itu telah menjadi sepi. Bahkan Ki Gede pun telah tertidur pula.

Tetapi Ki Demang Selagilang masih duduk di serambi. Ketika dilihatnya Agung Sedayu dan Glagah Putih datang, ia telah menyapanya.

Agung Sedayu ternyata telah berhenti pula dan duduk bersama Ki Demang di serambi itu. Namun Glagah Putih telah langsung pergi ke biliknya.

Kepada Ki Demang, Agung Sedayu sempat bercerita tentang anak-anak muda yang ternyata tidak mendukung suasana, bahkan akan dapat menjadi hambatan.

“Di segala jaman, tentu ada golongan-golongan yang dapat menjadi hambatan bagi usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup sesama,” berkata Ki Demang Selagilang. “Bagi mereka, dunia ini adalah lingkaran di sekitar diri mereka, berpusar pada mereka dan menyelimuti mereka. Mereka tidak mengenal kepentingan orang lain selain diri mereka sendiri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Karena itu, maka orang lain perlu mengetuk pintu hati mereka agar terbuka. Dengan demikian mereka akan melihat keluar diri mereka, bahwa kehidupan itu saling berkaitan, serta dengan ujud yang beraneka ragam.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Namun iapun mulai mengenang kampung halamannya sendiri. Iapun tidak ingkar, bahwa di lingkungannya yang sempit dan merupakan bagian dari Mataram yang luas, jenis-jenis orang seperti anak-anak muda yang dikatakan Agung Sedayu itu pun ada. Betapapun diusahakan untuk memberikan keterangan serta usaha memperkenalkan mereka dengan seluruh warna kehidupan yang ada di sekitarnya, namun mereka masih saja diselubungi oleh kepentingan diri sendiri. Terutama kesenangan yang langsung dapat dinikmati tanpa menghiraukan nilai-nilai kehidupan yang lebih baik.

Agung Sedayu pun dapat membayangkan, bahwa semakin malam anak-anak muda itu tentu akan menjadi semakin kasar Bahkan mereka agaknya akan terlibat kedalam satu perbuatan yang tidak terpuji. Orang-orang yang berada di pendapa dalam keramaian dengan acara tayub, biasanya dilengkapi dengan tuak dan minuman-minuman lain yang memabukkan. Mereka yang menonton tayub dan berharap untuk mendapat kesempatan setelah malam larut, juga akan melakukannya. Minum tuak dan minuman-minuman lain yang memabukkan, seperti air tape ketan ireng dan semacamnya

Ternyata Ki Demang Selagilang dan Agung Sedayu sempat berbincang-bincang sampai menjelang dini hari. Sambil mengawasi mereka yang bertugas, keduanya masih saja berbincang-bincang di serambi.

Menjelang fajar, dua orang petugas sandi telah datang ke barak itu dan bermaksud bertemu dengan Agung Sedayu. Kepada petugas di pintu gerbang petugas sandi itu berkata, “Tetapi jika Agung Sedayu sedang tidur, biarlah besok saja aku kembali menemuinya.”

Ternyata Agung Sedayu yang berada di serambi masih juga mendengar pembicaraan itu, meskipun tidak jelas. Karena itu, maka bersama Ki Demang Selagilang ia telah menemui kedua orang yang mencarinya itu.

Setelah mereka duduk di pendapa, maka salah seorang dari kedua orang itu memperkenalkan diri mereka sebagai petugas sandi dari Mataram.

“Kami mendapat perintah untuk memberitahukan, bahwa laporan yang kau berikan ternyata tidak terhindarkan. Para prajurit sandi telah melakukan tindakan yang terpaksa dilakukan dengan kekerasan, karena anak-anak muda itu benar-benar ingin menculik beberapa orang penari yang sedang meninggalkan rumah Ki Tumenggung.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu para petugas sandi itu pun bercerita bergantian, “Lewat tengah malam kami telah mengirimkan dua orang untuk melihat keadaan. Namun seorang di antara mereka kembali ke gardu untuk minta bantuan, sehingga kami telah mengirimkan dua orang lagi. Mereka berempat telah mengawasi anak-anak muda yang mulai menjadi mabuk karena tuak itu. Menjelang dini, setelah para tamu puas, maka para penonton pun mendapat kesempatan untuk menari tayub di bawah pengawasan beberapa orang petugas agar tidak terjadi keributan. Namun karena orang-orang itu mulai mabuk, maka setiap kali keributan itu memang terjadi. Tetapi para petugas yang sudah disediakan oleh Ki Tumenggung mampu mengatasinya.

Sementara itu, para petugas sandi melihat keadaan yang nampaknya memburuk, sehingga mereka memberi isyarat untuk mempersiapkan sekelompok prajurit, yang hanya akan bertindak jika para petugas sandi memintanya.

Ternyata ketika para penari itu pulang diiringi para penabuh, anak-anak muda yang setengah mabuk itu benar-benar berusaha untuk menculik beberapa orang penari, sehingga mereka telah berkelahi dengan para penabuh.

Tetapi anak-anak muda itu jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan para penabuh yang pada umumnya sudah tua, sehingga mereka tidak banyak berdaya. Namun dengan cepat, para petugas sandi bertindak, disusul oleh para prajurit yang segera mendapat isyarat.

Empat orang anak muda dapat ditangkap. Beberapa orang yang lain dapat melarikan diri. Namun dua lagi di antara mereka dapat ditangkap pula oleh peronda yang kebetulan lewat.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu peristiwa yang memprihatinkan.”

“Justru dalam keadaan seperti ini,” berkata petugas sandi itu. Lalu katanya pula, “Namun karena itu, maka mungkin Ki Agung Sedayu akan dapat dipanggil setiap saat untuk menjadi saksi.”

“Besok lusa kami telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Agung Sedayu, “meskipun demikian, jika diperlukan kami akan datang. Maksudku aku dan Glagah Putih, yang mendengar langsung pembicaraan anak-anak muda itu.”

Para petugas sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian terserah kepada Ki Lurah. Apakah kehadiran Ki Agung Sedayu diperlukan sekali atau tidak.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi sebenarnya kesalahan itu tidak hanya dilakukan oleh anak-anak muda itu. Dalam keadaan seperti ini, Ki Tumenggung juga bersalah. Jika Ki Tumenggung sebagai orang tua masih juga menyelenggarakan tayub hampir semalam suntuk, mabuk-mabuk dan membiarkan anak-anak muda yang ada di halaman rumahnya ikut menari tayub sambil mabuk pula, maka ia telah memberi kesempatan kenakalan anak-anak muda itu terjadi. Apalagi dalam saat yang gawat seperti sekarang ini.”

Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Jika hal seperti ini sering berulang, dimana orang-orang tua tanpa menghiraukan anak-anak muda mencari kesenangan sendiri, maka akibatnya akan menjadi parah. Sengaja atau tidak sengaja, mereka telah meracuni jiwa anak-anak muda itu.”

“Ya,” desis salah seorang dari petugas sandi itu. “Hal seperti yang Ki Agung Sedayu katakan itu harus mendapat perhatian.”

“Yang dapat kami lakukan terbatas pagar Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Agung Sedayu, “tetapi pada satu kesempatan yang baik, aku akan berbicara dengan para pemimpin di Mataram.”

Petugas sandi itu mengangguk-angguk pula. Seorang di antaranya berkata kemudian, “Baiklah. Kami minta diri. Maaf, bahwa kami datang sebelum pagi, karena menurut pendapat kami semakin cepat Ki Agung Sedayu mendengar hal itu, tentu akan lebih baik.”

“Terima kasih. Seperti aku katakan, setiap saat aku diperlukan, maka aku akan segera datang,” jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, sesaat kemudian para petugas sandi itu pun telah meninggalkan barak, sementara Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang pun telah kembali ke bilik mereka masing-masing.

“Masih ada waktu sedikit,” berkata Ki Demang.

“Besok kita bangun terlambat,” sahut Agung Sedayu.

Keduanya memang masih mempunyai waktu sedikit. Tetapi keduanya memang terlambat bangun. Biasanya mereka bangun sebelum matahari terbit. Namun pagi itu, mereka terbangun ketika langit telah diterangi oleh cahaya matahari yang mulai terbit.

Hari itu, para pengawal masih akan berada di kota. Karena itu mereka masih dapat melihat-lihat. Namun para pengawal dan prajurit yang di keesokan harinya akan meninggalkan kota, pada umumnya telah mulai mengatur diri. Bersiap-siap dan membenahi peralatan yang akan mereka bawa.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pagi itu berniat untuk mengunjungi Ki Lurah Branjangan. Ketika matahari memanjat langit, maka keduanya telah minta diri kepada Ki Gede dan Ki Demang Selagilang untuk mengunjungi Ki Lurah Branjangan ke rumahnya.

Ki Gede yang telah mendengar peristiwa yang terjadi semalam telah berpesan, “Hati-hatilah. Jangan mudah terlibat dalam perkelahian, apapun alasannya. Jangan mudah membiarkan hati menjadi panas.”

Glagah Putih yang merasa mendapat peringatan khusus menundukkan kepalanya. Namun ia merasa beruntung bahwa semalam ia telah dicegah oleh kakak sepupunya, sehingga tidak terjadi benturan kekerasan dengan anak-anak muda itu.

Demikianlah, keduanya pun meninggalkan barak menuju ke rumah Ki Lurah Branjangan.

Ketika mereka memasuki halaman regol rumah Ki Lurah, Glagah Putih terkejut ketika ia melihat Wulan ada di serambi. Bahkan gadis itu telah berlari-lari menyongsongnya sambil menyapa, “Pagi-pagi Kakang Agung Sedayu dan Kakang Glagah Putih telah sampai di sini.”

“Hari ini kami mendapat kesempatan sehari penuh untuk melihat-lihat,” berkata Agung Sedayu.

“Marilah. Silahkan duduk,” gadis itu mempersilahkan. Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian naik ke pendapa dan duduk dalam bentangan sehelai tikar, ditemui oleh Ki Lurah yang telah diberitahu oleh Wulan bahwa ada tamu dari Tanah Perdikan Menoreh.

“Bukankah semalam ada keramaian di rumah Ki Tumenggung?” bertanya Agung Sedayu.

“Seperti yang sudah aku katakan,” jawab Ki Lurah, “aku tidak datang.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia bertanya, “Tetapi pagi-pagi begini Rara Wulan telah berada di sini?”

“Ya. Pagi-pagi benar ia telah datang kemari. Ia merasa pening karena kesibukan yang sebenarnya tidak begitu disetujuinya,” berkata Ki Lurah.

“Nampaknya Ki Lurah telah mempengaruhinya,” desis Agung Sedayu.

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Aku tidak perlu mempengaruhinya. Penalaran anak itu lebih baik dari kakaknya. Karena itu pagi-pagi ia telah meninggalkan tempat keramaian itu, dan langsung pergi kemari.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja.

Sementara itu, Glagah Putih terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar Rara Wulan memanggilnya dari sebelah pendapa itu.

Ketika Glagah Putih berpaling, maka Rara Wulan pun berkata, “Kakang Glagah Putih. Antarkan aku pergi ke pasar. Aku ingin berbelanja dan masak sendiri di sini hari ini.”

Glagah Putih menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Karena itu maka dipandanginya wajah Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan berganti-ganti.

“Apakah kau berkeberatan?” tiba-tiba saja Ki Lurah bertanya.

Glagah Putih memang agak segan. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat mengatakan bahwa ia berkeberatan.

Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Pergilah. Tetapi berhati-hatilah. Kau harus selalu mengingat pesan Ki Gede. Jangan sampai bersinggungan dengan siapapun.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian minta diri ketika Rara Wulan mendesak, “Marilah. Mumpung masih pagi.”

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah mengikuti Rara Wulan yang ingin pergi ke pasar untuk berbelanja. Ia ingin berbuat sesuatu sebagai seorang gadis.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun sempat berpesan, “Aku tidak akan terlalu lama berada di sini.”

“Aku juga hanya sebentar,” sahut Rara Wulan.

Sepeninggal Glagah Putih, Ki Lurah Branjangan pun berkata kepada Agung Sedayu, “Sejak anak itu pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya ia menjadi semakin dewasa. Sikapnya, caranya berpikir dan wawasannya. Berbeda dengan kakaknya, yang sudah terlanjur menjadi bagian dari satu kehidupan yang terasing dalam sebuah panggungan yang tinggi. Tetapi Rara Wulan ternyata tidak seperti itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Rara Wulan dapat menjadi teladan bagi kakaknya.”

Dalam pada itu Agung Sedayu yang berbincang dengan Ki Lurah Branjangan, yang kemudian berkisar pada Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan yang pernah dibentuk oleh Ki Lurah Branjangan, dan yang diserahkan kepemimpinannya kepada Agung Sedayu, menjadi berkepanjangan. Nampaknya keduanya mempunyai banyak persesuaian pendapat tentang masa depan pasukan itu.

Sementara itu, dengan agak segan Glagah Putih berjalan bersama Rara Wulan menuju ke pasar. Matahari pun memanjat langit semakin tinggi. Panasnya sudah terasa menggatalkan kulit.

“Kita agak kesiangan sedikit,” berkata Rara Wulan, “tetapi pasar itu tentu masih ramai. Bahkan semakin lama menjadi semakin ramai, sampai saatnya pasar itu temawon.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Tentu masih banyak orang yang berjualan.”

“Tetapi lebih pagi, kita akan mendapatkan sayuran yang lebih segar,” jawab Rara Wulan.

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja.

Beberapa saat kemudian, keduanya telah tenggelam dalam kesibukan orang-orang yang berbelanja di pasar. Keduanya menyusuri lorong-lorong di antara orang-orang yang berjualan.

Namun Glagah Putih menyadari, bahwa mereka berdua diikuti oleh dua orang anak muda yang belum dikenalnya. Bukan kakak Rara Wulan, dan bukan pula kawannya yang pernah dijumpainya di pasar itu pula, Sawung Panunggul. Tetapi kedua orang anak muda itu adalah anak-anak muda yang bagi Glagah Putih masih asing. Namun sekan-akan Glagah Putih dapat melihat bahwa kedua orang anak muda itu adalah jenisnya sebagaimana yang dijumpainya di halaman keramaian semalam.

Ketika Glagah Putih kemudian berdiri di belakang Rara Wulan yang sedang memilih ranti yang kemerah-merahan, maka Glagah Putih sempat mendengar seorang di antara kedua orang itu berkata, “Bukan. Bukan yang menari semalam.”

“Tentu bukan,” desis yang lain, “pandanganmu memang kabur. Itu adalah jenis seorang gadis anak seorang priyayi.”

Kawannya tertawa kecil. Katanya, “Apa bedanya priyayi dan bukan priyayi?”

“Tunggu,” berkata yang lain, “kau jangan menganggap persoalan yang ringan. Kau tahu, gadis itu adalah Rara Wulan.”

“Kenapa dengan Rara Wulan? Kau takut dengan anak muda yang mengantarkannya itu?” geram kawannya, yang seakan-akan dengan sengaja diperdengarkan kepada Glagah Putih.

Yang lain tertawa kecil. Katanya, “Anak itu tentu pembantu di rumah Ki Tumenggung, atau pekatiknya, atau siapa saja salah seorang di antara orang-orang yang mengabdi di Katumenggung-an.”

“Jadi bagaimana?” bertanya yang lain.

“Gadis itu terlalu cantik. Tetapi gadis itu tentu berada di bawah bayangan kelompok anak-anak muda yang terdiri dari anak-anak para pemimpin di Mataram ini, kelompok Macan Putih,” berkata kawannya.

“Apakah anak itu juga salah seorang dari kelompok Macan Putih itu?” desis yang lain.

“Tentu bukan. Seperti yang kita sebut tadi, ia hanya sekedar seorang pembantu di rumah Ki Tumenggung,” jawab kawannya. Lalu, “Nah, Macan Putih dan kelompok Sidat Macan memang sudah terlanjur bermusuhan.”

“Apa boleh buat,” berkata yang lain, “permusuhan itu memang tidak akan mungkin diredakan. Karena itu, tidak ada masalah lagi. Tikus kecil itu akan kita singkirkan jika ia ikut-ikutan.”

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Namun seorang di antara mereka dengan sengaja menggamitnya. Ketika Glagah Putih berpaling, anak muda itu justru tertawa.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Agaknya anak-anak itu dengan sengaja ingin membuat persoalan.

Meskipun demikian Glagah Putih masih tetap mengekang dirinya. Ia tidak berbuat apa-apa meskipun kedua orang anak muda itu nampaknya dengan sengaja memanaskan hatinya.

Namun kedua orang anak muda itu ternyata masih ingin berbicara, justru langsung kepadanya.

“He, anak muda,” berkata salah seorang dari mereka, “kau tentu bukan anak orang besar di Mataran menilik pakaianmu. Kau tentu pembantu di rumah gadis itu. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah ikut campur.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia justru bertanya, “Apa sebenarnya yang telah terjadi?”

“Dengar anak muda,” berkata seorang di antara keduanya, “kemarin, ternyata salah seorang adik perempuan dari anak-anak kelompok Sidat Macan hilang. Baru kemudian kami tahu bahwa anak gadis itu telah dibawa oleh anak-anak dari kelompok Macan Putih, yang sebagian terdiri dari anak-anak orang-orang berpengaruh di Mataram ini. Akhirnya kami ketemukan adik perempuan kawan kami itu dalam keadaan pingsan Nah, bukankah wajar jika kami juga melakukannya?”

“Itu tidak mungkin,” berkata Glagah Putih, “aku tidak tahu menahu tentang Macan Putih, dan tidak tahu menahu pula tentang Sidat Macan. Tetapi tentu tidak ada yang pernah terjadi sebagaimana kau katakan. Atau jika kalian ragu, kenapa kalian tidak melaporkan hal itu kepada para prajurit?”

“Kenapa kami harus melapor jika kami merasa akan dapat menyelesaikannya sendiri?” desis orang itu.

“Tetapi itu tidak benar. Jika demikian, akan dapat terjadi keributan antara kelompok-kelompok anak muda tanpa ada penyelesaian, karena masing-masing akan saling membalas dendam,” berkata Glagah Putih.

“Itulah yang menarik,” jawab anak muda itu. Lalu berkata pula orang itu, “Kau tahu, di antara anak-anak muda yang bergabung dalam kelompok Macan Putih terdapat anak orang-orang berpengaruh. Tetapi di kelompok Sidat Macan pun terdapat beberapa orang anak dari perguruan-perguruan yang berpengaruh pula di sekitar kota Mataram ini. Nah, kau tahu, pada saat seperti ini para pemimpin di Mataram tidak akan dapat mengabaikan pengaruh para pemimpin padepokan itu.”

“Jadi atas dasar itukah maka kalian bersikap? Kalian bertumpu pada kuasa orang tua kalian masing-masing?” bertanya Glagah Putih, “Bagaimana nasib kalian jika orang tua kalian justru menghukum kalian, jika mereka mengetahui tindakan kalian?”

Kedua anak muda itu tertawa. Namun sebelum mereka menjawab, Rara Wulan telah selesai memilih ranti. Ternyata Rara Wulan adalah seorang yang senang sekali pada ranti, sehingga ketika ia melihat ranti yang kemerah-merahan, maka ia telah membeli sekeranjang kecil.

“Ranti yang sangat menarik,” berkata Rara Wulan. Glagah Putih mengangguk. Iapun kemudian berkata, “Marilah, aku bantu kau membawa ranti itu.”

Tetapi dalam pada itu, kedua orang anak muda yang telah berbicara dengan Glagah Putih itu mengangguk hormat. Seorang di antara mereka telah menyapa, “Bukankah kau Rara Wulan?”

“Ya, kenapa?” bertanya Rara Wulan yang sama sekali tidak menaruh curiga.

“Bukankah kau kawan yang paling akrab dari Sawung Panunggul?” bertanya anak muda itu lagi.

“Ah,” Rara Wulan berdesah, “aku memang mengenalnya dengan baik. Tetapi jangan sebut kawan akrab, apalagi paling akrab. Bagiku Sawung Panunggul tidak lebih dari kawan-kawanku yang lain.”

Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Seorang di antara kedua anak muda itu pun mengangguk hormat sambil berkata, “Terima kasih. Silahkan menyelesaikan tugas Rara. Kami akan mendahului.”

“Silahkan,” jawab Rara Wulan.

Seorang di antara kedua orang itu telah menepuk bahu Glagah Putih sambil berkata, “Lakukan tugasmu dengan baik, kami akan mendahului.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Demikian kedua orang itu pergi, Rara Wulan bertanya, “Kau kenal kedua orang itu?”

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “tetapi mereka bertanya, apakah aku mengantarmu.”

“Apa jawabmu?” bertanya Rara Wulan.

“Ya, aku menjawab bahwa aku memang mengantarmu,” jawab Glagah Putih yang berusaha untuk tidak menggelisahkan gadis itu.

Rara Wulan memang tidak memperhatikan lagi kehadiran kedua orang anak muda itu. Namun iapun segera menyelesaikan niatnya berbelanja karena ia ingin masak di rumah kakeknya hari itu. Justru karena Ki Lurah Branjangan tidak dapat ikut menghadiri keramaian semalam.

Glagah Putih-lah yang menjadi gelisah. Meskipun ia berusaha untuk menyembunyikannya, namun Glagah Putih telah mendengar, bahkan ternyata kedua orang itu dengan sengaja telah mengatakan kepadanya tentang niat mereka. Namun Glagah Putih pun berharap bahwa hal itu tidak benar-benar akan mereka lakukan.

Tetapi jalan kembali dari pasar itu menurut pengertian Glagah Putih adalah jalan yang ramai, yang agaknya tidak akan dipergunakan oleh anak-anak muda yang mengaku dari kelompok Sidat Macan itu. Namun demikian Glagah Putih akan tetap berhati-hati, karena segala sesuatunya akan mungkin terjadi. Apalagi orang-orang yang mengaku dari kelompok Sidat Macan itu telah mengatakan kepadanya bahwa mereka akan berbuat sesuatu sebagai balas dendam atas perbuatan orang-orang dari kelompok Macan Putih.

Tetapi Glagah Putih tidak tahu gaya tingkah laku mereka. Apakah yang dikatakan orang-orang itu sekedar satu tantangan, atau sekedar penghinaan untuk memancing tindakan kelompok lawannya, atau apa. Namun bahwa dalam keadaan yang gawat karena perang yang nafasnya masih terasa berhembus di tengkuk para prajurit itu, beberapa kelompok anak muda di kota Mataram justru tenggelam dalam kenakalan yang berlebihan.

“Mereka tidak membantu menertibkan suasana,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “tetapi mereka justru mempersulit keadaan.”

Rara Wulan yang berjalan bersama Glagah Putih itu tidak begitu menghiraukan sikap anak muda itu. Bahkan iapun telah berbicara tentang banyak hal yang kadang-kadang tidak diketahui oleh Glagah Putih, karena sasaran pembicaraannya adalah kehidupan yang terjadi di dalam kota.

Namun Glagah Putih telah berusaha untuk menanggapi semua pembicaraan itu sejauh pengertiannya.

“Kedai-kedai ini letakniya kurang menguntungkan,” berkata Rara Wulan, “dengan demikian maka jalan ini terasa sangat sempit. Pedati-pedati berhenti seenaknya selagi pemiliknya sedang berada di kedai. Kuda-kuda ditambatkan di pepohonan yang menebar. Dengan demikian maka lingkungan ini nampak menjadi kotor dan tidak terawat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan rendah ia berkata, “Nampaknya harus disediakan tempat khusus bagi pemberhentian pedati dan tempat-tempat kuda-kuda itu ditambatkan, sehingga tempat ini tidak berkesan sempit dan kotor.”

“Nah, bukankah kau sependapat?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Aku sependapat,” jawab Glagah Putih.

“He, kau berbicara dengan sadar, atau sekedar bermimpi?” bertanya Rara Wulan.

“Aku berkata sebenarnya,” jawab Glagah Putih agak gagap. Sebenarnyalah Glagah Putih memang sedang memperhatikan beberapa orang anak muda yang berdiri bersandan dinding halaman di sebelah jalan yang akan mereka lalui.

“Apa yang kau lihat?” bertanya Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Masih ada juga anak-anak muda yang sempat bermain-main pada saat seperti ini? Apakah mereka tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali duduk-duduk atau berdiri berjajar di pinggir jalan?”

Rara Wulan pun kemudian memperhatikan sekelompok anak-anak muda itu. Namun kerut di keningnya menunjukkan kegelisahan di hatinya.

“Mereka adalah anak-anak muda yang malas, yang lebih senang berkeliaran tanpa arti,” desis Rara Wulan, “mereka adalah kawan-kawan Sawung Panunggul.”

“O,” Glagah Putih jadi tidak mengerti, “apakah kedua orang yang kita temui di pasar itu juga kawan Sawung Panunggul?”

“Tentu bukan,” jawab Rara Wulan, “bukankah mereka bertanya kepadaku, bahwa aku dianggapnya teman akrab Sawung Panunggul?”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun dalam hati ia berkata, “Jika demikian kelompok ini justru kelompok yang disebut Macan Putih.”

“Jangan hiraukan mereka,” berkata Rara Wulan.

“Tetapi bukankah mereka tidak akan mengganggumu?” bertanya Glagah Putih.

“Seharusnya tidak,” jawab Rara Wulan, “tetapi semalam aku berselisih dengan Sawung Panunggul. Sebenarnya bukan untuk yang pertama kali. Tetapi tadi malam aku sempat menampar wajahnya ketika ia berusaha memperlakukan aku dengan kasar, meskipun di rumahnya sendiri.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu mereka melangkah, semakin lama semakin dekat dengan anak-anak muda yang berkumpul di pinggir jalan.

Demikian Rara Wulan dan Glagah Putih melintas, maka Sawung Panunggul yang memang ada di antara mereka telah mendekati Rara Wulan sambil bertanya, “Darimana kau Wulan?”

“Sebagaimana kau lihat,” jawab Rara Wulan.

“Kau masih berbelanja lagi? Buat apa?” bertanya Sawung Panunggul kemudian.

“Pertanyaanmu aneh,” jawab Wulan sambil melangkah melanjutkan perjalanan.

“Tunggu,” berkata Sawung Panunggul, “aku akan mengantarkanmu. Bukankah anak ini yang kita temui di pasar kemarin lusa?”

“Terima kasih,” berkata Rara Wulan, “aku akan pulang bersama Glagah Putih.”

Beberapa orang di antara anak-anak muda itu tertawa. Namun dengan demikian wajah Sawung Panunggul menjadi merah.

“Kau jangan membuat keributan lagi Wulan,” desis Sawung Panunggul.

Rara Wulan memandang Sawung Panunggul dengan tajam. Dengan lantang pula ia menjawab, “Siapa yang telah membuat keributan? Aku atau kau?” justru Rara Wulan bertanya.

“Tentu kau,” jawab Sawung Panunggul, “semalam kau juga membuat keributan di rumahku. Untunglah tidak ada orang yang mengetahui. Kau selalu salah paham dan menganggap orang lain berkelakuan buruk.”

“Aku tidak salah paham,” jawab Rara Wulan. Lalu katanya, “Sudahlah. Aku akan pulang.” Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Marilah. Kita pulang.”

Glagah Putih mencoba untuk tidak mencampurinya. Iapun kemudian telah berjalan dengan tergesa-gesa mengikuti Rara Wulan.

Tetapi Sawung Panunggul itu meloncat ke tengah jalan menghadang langkah Rara Wulan sambil berkata, “Kau akan pulang bersamaku.”

Namun ketika tangan Sawung Panunggul menangkap tangan Rara Wulan, maka dengan cepat Rara Wulan pun segera menghentakkan tangannya, bahkan kemudian tangannya telah menampar wajah Sawung Panunggul sebagaimana dilakukan semalam sebelumnya. Sawung Panunggul terkejut. Dengan wajah yang merah membara ia memandang Rara Wulan dengan kemarahan yang membakar ubun-ubun. Apalagi ketika ia mendengar kawan-kawannya tertawa meledek di pinggir jalan.

“Kau masih akan mengulangi perbuatan kasarmu?” bertanya Rara Wulan, “Aku bukan anak jalanan yang tidak mempunyai ibu bapak. Kau tahu akibatnya jika ayahku mendengar perbuatanmu. Selama ini ayah kita merupakan kawan yang akrab.”

Sawung Panunggul hampir saja kehilangan penalaran. Tetapi ketika Rara Wulan menyebut hubungan antara ayahnya dengan ayah gadis itu, maka anak muda itu berusaha mengekang dirinya.

Ketika Sawung Panunggul kemudian melangkah menepi, kawan-kawannya bersorak membakar jantungnya. Tetapi Sawung Panunggul tiba-tiba saja berteriak, “Jika saja ayahmu bukan sahabat baik ayahku!”

Rara Wulan tidak menyahut. Tetapi ia berjalan terus, sementara Glagah Putih mengikutinya.

Beberapa orang yang berjalan di jalan itu terhenti. Mereka memang menjadi berdebar-debar melihat anak-anak muda yang nampaknya akan mengganggu seorang gadis yang lewat. Tetapi ketika gadis itu kemudian menjauh, maka orang-orang itu pun menarik nafas dalam-dalam.

Glagah Putih pun menjadi berdebar-debar. Ketika ia kemudian berpaling, dilihatnya bahwa anak-anak muda yang hampir saja mengganggu Rara Wulan itu sudah tidak ada di tempatnya lagi.

Ternyata Rara Wulan pun telah berpaling pula. Ia tertegun sejenak dan berdesis, “Mereka telah pergi.”

“Kemana?” justru Glagah Putih yang bertanya.

“Mereka tentu memasuki lorong-lorong sempit,” berkata Rara Wulan.

“Apakah mereka akan mencegat Rara?” bertanya Glagah Putih.

“Mudah-mudahan tidak,” jawab Rara Wulan. Tetapi Rara itu nampak gelisah pula. Sementara itu Glagah Putih berjalan di sebelahnya.

“Jika ia masih sempat mempergunakan nalarnya, ia tidak akan berbuat kasar, karena ayahnya dan ayahku berkawan baik,” berkata Rara Wulan, yang lebih banyak berusaha untuk menenangkan hatinya sendiri.

Tetapi jalan kembali ke rumah Ki Lurah Branjangan adalah jalan yang cukup ramai. Jika terjadi sesuatu, maka tentu akan segera mengundang banyak orang. Di antara mereka tentu ada yang melaporkan kepada para prajurit yang bertugas.

Namun langkah Rara Wulan memang terhenti. Dua orang anak muda dengan wajah tegang menghentikannya.

“Jangan kau lanjutkan perjalananmu lewat jalan ini,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Aku akan pulang ke rumah Kakek,” jawab Rara Wulan.

“Anak-anak muda dari kelompok Macan Putih itu ternyata merasa terhina. Mereka mencari tempat yang paling baik untuk mengambilmu dan membawanya. Agaknya kau terlalu berani melawan mereka,” berkata anak muda itu.

Rara Wulan termangu-mangu. Ketika ia berpaling kepada Glagah Putih, maka Glagah Putih pun berkata, “Kita berjalan terus. Aku setuju bahwa mereka tidak akan mengganggu Rara.. Mereka tahu bahwa Rara adalah seorang yang pantas mereka hormati, karena orang’tua Rara adalah seorang yang mereka tentu saling mengenal dan bahkan saling berkawan. Jika mereka kecewa terhadap sikap Rara, maka mereka tentu akan mengambil tindakan yang lain. Bukan memungut Rara dari jalan seperti yang sekarang ini.”

Tetapi salah seorang di antara kedua orang itu berkata, “Mereka benar-benar telah kehilangan akal. Mereka telah menyediakan sebuah pedati.”

“Mereka benar- benar telah menjadi gila. Kita sebaiknya memang mengambil jalan lain,” desis Rara Wulan.

“Apakah ada jalan lain?” bertanya Glagah Putih.

“Lewat lorong kecil. Mereka tentu tidak memperhitungkan kemungkinan itu,” sahut Rara Wulan.

“Tetapi siapakah kedua orang anak muda ini?” bertanya Glagah Putih pula.

Pertanyaan itu telah mengejutkan Rara Wulan. Seharusnya ia memang tidak begitu cepat percaya kepada orang yang belum dikenalnya. Karena itu maka dengan ragu-ragu Rara bertanya, “Siapakah kalian?”

Seorang dari mereka telah menjawab dengan tegas, “Kami adalah petugas sandi dari Mataram. Jika kami melakukan hal ini, semata-mata karena kami tidak ingin melihat keributan terjadi. Sedangkan jika para prajurit harus mengambil tindakan, maka tindakan itu akan mengenai anak-anak kawan sendiri, karena kami tahu, ada di antara anak-anak muda itu adalah justru anak orang yang berpengaruh. Bahkan seorang Tumenggung.”

Rara Wulan menjadi ragu-ragu. Sementara itu, orang yang menghentikan mereka itu berkata, “Tetapi terserah kepada kalian. Jika kalian ingin berjalan terus, maka kami akan mengikuti dan mengawal kalian sampai di rumah Ki Lurah Branjangan. Baru kemudian setelah kami yakin tidak terjadi sesuatu, kami akan meninggalkan kalian.”

“Tetapi bagaimana mungkin anak-anak muda itu sempat menyiapkan pedati. Baru saja mereka berada di pinggir jalan itu. Apakah mereka dapat bergerak begitu cepatnya?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Kadang-kadang di luar penalaran,” jawab salah seorang dari mereka. Namun orang itu pun segera bertanya, “Siapakah kau?”

Dengan cepat Glagah Putih menjawab, “Aku adalah pembantu di rumah Ki Lurah Branjangan yang harus mengantar Rara berbelanja.”

“Nah, jika demikian terserah kepada Rara Wulan untuk mengambil keputusan. Namun jika Rara menghendaki, aku akan mengawal Rara lewat jalan yang manapun. Tetapi lewat jalan sempit, memang kemungkinan terjadi keributan menjadi kecil. Rara Wulan tidak akan menjadi tontonan orang-orang yang hilir mudik pergi ke pasar,” berkata orang itu.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menjadi bingung. Dengan nada datar ia bertanya kepada Glagah Putih, “Bagaimana menurut pertimbanganmu?”

“Kita berjalan terus. Kedua orang petugas sandi itu akan menemani kita. Aku kira, hal itu akan menjadi pertimbangan anak-anak muda itu,” jawab Glagah Putih.

“Penalaranmu ternyata terlalu pendek. Nampaknya kau hanya terbiasa mengurusi kuda Ki Tumenggung atau Ki Lurah Branjangan,” berkata salah seorang dari anak muda yang mengaku petugas sandi itu. “Sebenarnya kami juga tidak berkeberatan. Tetapi bagi kami, lebih baik tidak terjadi keributan daripada kita harus menjadi tontonan, serta aku harus menangkap anak-anak muda itu, yang tentu akan berekor panjang.”

Rara Wulan menjadi semakin bingung. Namun kemudian iapun berkata, “Kita akan lewat jalan kecil ini saja.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi Rara Wulan berkata, “Mereka lebih mengenal kota ini daripada kau.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia lebih senang berjalan terus. Ia tidak yakin bahwa kedua orang anak muda itu benar-benar petugas sandi. Di pasar ia telah berbicara dengan dua orang anak muda. Namun menilik pakaian dan sikapnya, kedua orang anak muda itu memang lain. Kedua anak muda yang mengaku petugas sandi itu berpakaian lebih rapi, dan sikapnya pun lebih sopan. Menilik tubuhnya yang kekar, maka memang pantas jika mereka adalah petugas sandi dari Mataram.

“Marilah,” salah seorang dari kedua orang itu berdesis, “supaya aku dapat segera melakukan tugas yang lain.”

Rara Wulan pun kemudian mulai melangkah. Tetapi Rara Wulan sempat berbisik kepada Glagah Putih, “Marilah. Dekat aku. Bukankah kau mengaku pembantu di rumah Kakek?”

Glagah Putih tidak menjawab. Sementara Rara Wulan berkata, “Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Keduanya pun kemudian berjalan dengan cepat. Dua orang anak muda yang mengaku petugas sandi itu pun mengikutinya pada jarak beberapa langkah.

“Jalan kecil itu memang sedikit jauh. Tetapi selisihnya tidak seberapa,” berkata Rara Wulan yang melangkah dengan cepat, meskipun langkahnya kecil-kecil.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah muncul di sebuah bulak kecil. Mereka melintasi lorong di tengah-tengah padang perdu, sebelum memasuki padukuhan di hadapan mereka. Padang yang terhitung berada di dalam kota yang tidak terlalu luas itu merupakan cadangan tanah untuk dibangun sebagai lingkungan tempat tinggal yang baru.

Namun yang dicemaskan Glagah Putih telah terjadi. Di padang perdu yang tidak terlalu luas itu, berdiri beberapa orang yang nampaknya memang telah menunggu.

Rara Wulan terkejut. Ketika ia berpaling kepada kedua orang yang mengaku petugas sandi itu, ia menggeretakkan giginya. Kedua anak muda yang mengaku petugas sandi itu tertawa dengan nada yang berbeda sekali dengan nada kata-katanya sebelumnya.

“Maaf Rara,” berkata seorang di antara mereka, “aku memang mendapat tugas untuk membawa Rara kemari.”

Sementara itu Glagah Putih pun telah melihat kedua orang yang ditemuinya di pasar ada pula di antara mereka yang telah menunggu di padang perdu.

Rara Wulan berjalan semakin dekat dengan Glagah Putih. Dengan nada rendah ia berkata, “Kau ternyata lebih peka dari aku. Ternyata pilihanmu-lah yang benar.”

“Kita sudah terlanjur memasuki sarang serigala. Apa boleh buat,” berkata Glagah Putih.

Namun Glagah Putih pun segera teringat pesan Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh, agar ia tidak terlibat dalam perselisihan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, Glagah Putih tidak mempunyai pilihan.

Rara Wulan tiba-tiba saja telah menggamit Glagah Putih sambil berkata, “Kita berhenti di sini. Seperti yang kau katakan, kita sudah berada di sarang serigala. Kita tidak boleh menyerah.”

“Rara akan melawan?” bertanya Glagah Putih.

“Kau yang melawan. Bukankah begitu? Tetapi aku pun akan melawan. Selama ini aku telah belajar dari Kakek, sebelum aku sempat pergi ke Tanah Perdikan Menoreh belajar pada Mbokayu Sekar Mirah. Meskipun aku baru belajar pada tingkat pertama, tetapi aku tidak mau menyerah begitu saja.”

“Rara akan berkelahi dengan pakaian seperti itu?” bertanya Glagah Putih.

“Apa boleh buat. Segalanya apa boleh buat,” jawab Rara Wulan.

Kedua orang yang mengajak mereka memasuki jalan itu telah mendekati Rara Wulan dan Glagah Putih yang berhenti. Dengan nada rendah, di sela-sela tertawanya salah seorang di antara kedua orang itu bertanya, “Kenapa kalian berhenti?”

Rara Wulan tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Ternyata kau telah terbuang dari kelompok yang seharusnya melindungimu, Rara. Kelompok Macan Putih tidak lagi membantumu jika kau berada dalam kesulitan, karena kau nampaknya tidak bersikap bersahabat dengan mereka, terutama dengan Sawung Panunggul. Nah, sekarang kau berada di tangan kelompok Sidat Macan, yang semalam tidak sempat ikut menikmati keramaian di rumahmu. Kawan-kawanku gagal mengambil beberapa orang penari, karena para prajurit lebih dahulu mencium rencana kami. Tentu orang-orang Macan Putih telah melaporkannya. Nah, sebagai gantinya, maka kami sekarang akan memungutmu dari tempat ini.”

Yang tidak terduga telah terjadi. Rara Wulan tidak menjawab sama sekali. Tetapi tiba-tiba satu pukulan yang keras telah menyambar orang itu. Satu hal yang tidak disangka sama sekali, sehingga orang itu tidak sempat mengelak atau menangkis.

Bahkan pukulan Rara Wulan itu telah membuat wajah orang itu berpaling.

Tetapi Rara Wulan bukan hanya sekedar memukul wajahnya, tetapi selagi orang itu masih belum menyadari apa yang terjadi, meskipun wajahnya terasa sakit, Rara Wulan telah menyerangnya pula. Satu pukulan yang sangat keras telah mengenai perutnya sehingga orang itu terbungkuk. Dengan kecepatan yang tinggi Rara Wulan langsung menghantam tengkuknya dengan sisi telapak tangannya.

Glagah Putihp un tertegun melihat Rara Wulan yang tangkas itu. Ternyata Ki Lurah Branjangan telah memberikan latihan-latihan dasar, Namun agaknya Rara Wulan memang memiliki kemauan yang keras dan dasar yang baik untuk mewarisi ilmu kanuragan.

Orang yang dikenai tengkuknya itu terhuyung. Sedangkan Rara Wulan memang tidak tanggung-tanggung. Ia benar-benar ingin melumpuhkan orang yang telah menipunya itu. Tetapi ia tidak dapat mempergunakan kakinya dengan baik karena ia mengenakan kain. Karena itu, maka dengan cepat Rara Wulan menangkap bajunya, menariknya dan satu pukulan lagi mengenai kening.

Yang dilakukan oleh Rara Wulan itu demikian cepatnya, sehingga orang itu benar-benar tidak sempat berbuat sesuatu. Baru kemudian, ketika wajahnya terasa pengab dan tengkuknya bagaikan patah, ia menyadari bahwa ia harus berbuat sesuatu. Karena itu, demikian keningnya dikenai pukulan Rara Wulan, barulah ia berusaha untuk menghindar.

Ketika orang itu kemudian menjatuhkan dirinya dan berguling cepat menjauhi Rara Wulan, maka kawannya yang seorang lagi, yang menyadari apa yang terjadi, telah meloncat menyerang Rara Wulan untuk memberi kesempatan kepada kawannya melepaskan diri dari libatan serangan Rara Wulan yang tiba-tiba itu.

Tetapi orang itu benar-benar tidak menyangka bahwa Glagah Putih yang dianggapnya sekedar pembantu yang tidak diperhitungkan, telah meloncat pula membentur orang itu. Satu pukulan yang terayun deras sekali telah menghantam leher tepat di bawah telinga orang itu.

Glagah Putih yang juga merasa dijebak oleh kedua orang itu pun menjadi sangat marah pula. Karena itu, ayunan tangannya pun tidak tanggung-tanggung pula. Demikian tangannya mengenai sasarannya, maka orang itu pun telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Pukulan Glagah Putih yang marah itu ternyata telah membuat orang yang bertubuh tegar itu pingsan.

Sementara itu, orang yang telah diserang beruntun oleh Rara Wulan itu pun dengan cepat meloncat bangkit. Namun tanpa diduga pula Glagah Putih telah meloncat dengan cepat. Demikian orang itu tegak, maka kaki Glagah Putih telah menghantam dadanya, sehingga orang itu pun telah terlempar pula dan jatuh terlentang. Seperti kawannya yangmengaku petugas sandi itu, maka iapun telah pingsan pula.

Sikap Rara Wulan dan Glagah Putih memang mengejutkan beberapa orang yang menyebut diri mereka kelompok Sidat Macan. Karena itu, mereka memang menjadi agak ragu-ragu.

Namun seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar telah melangkah mendekati Glagah Putih. Ketika ia melepas bajunya, maka nampak tubuhnya yang kekar dan berbulu lebat di dadanya.

Rara Wulan memang menjadi ngeri melihat orang itu, sementara Glagah Putih yang masih muda itu tubuhnya tidak lebih dari orang kebanyakan.

“Kau anak gila,” geram orang yang bertubuh tinggi besar itu. Sementara kedua orang yang dijumpainya di pasar itu pun telah melangkah mendekati pula.

“Jangan ganggu kami,” justru Glagah Putih-lah yang menggeram.

“Persetan dengan kau,” jawab orang bertubuh tinggi besar dan berbulu lebat itu sambil melemparkan bajunya begitu saja. Lalu katanya, “Kau mencoba menunjukkan kemampuanmu. Tetapi cara yang licik itu sama sekali tidak mengejutkan kami. Setiap orang akan dapat menjatuhkan lawannya dengan tiba-tiba tanpa peringatan lebih dahulu.”

Jawab Glagah Putih memang mengejutkan. Agak berbeda dengan Agung Sedayu, Glagah Putih bersikap tegas, “Aku tantang kau jika kau berani. Bukankah kau juga laki-laki? Atau barangkali perempuan?”

“Anak iblis. Apa maumu?” bertanya orang itu.

“Jika kau berani melawan aku, mari. Kita bertempur. Tetapi jika kau ingin mengeroyok aku, aku pun tidak takut. Soalnya adalah terletak pada keberanianmu bertindak sebagai laki-laki,” berkata Glagah Putih.

Kata-kata itu ternyata telah membakar jantung orang yang bertubuh tinggi besar dan berbulu lebat itu. Seperti raksasa yang marah ia menggeram sambil melangkah maju mendekati Glagah Putih yang kemudian nampak kecil.

Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak gentar. Ia bahkan masih sempat menyingkirkan sekeranjang kecil ranti yang begitu saja diletakkan sebelumnya. Namun ia sempat pula berbisik kepada Rara Wulan, “Berhati-hatilah. Orang ini agaknya menjadi panutan mereka.”

Rara Wulan tidak menjawab. Meskipun ia mengerti bahwa Glagah Putih memiliki kemampuan yang tinggi, tetapi menilik ujud lawannya yang bertubuh raksasa itu, iapun menjadi cemas. Perut lawannya yang sebesar perut kerbau, serta kepalanya yang besar melekat di pundaknya, seakan-akan tanpa ruas leher sama sekali, membuatnya benar-benar menjadi raksasa yang mendebarkan. Meskipun wajahnya tidak ditumbuhi kumis dan janggut, namun garis-garis wajah itu membuatnya nampak bengis.

Pemimpin kelompok Sidat Macan itu memang menjadi marah mendengar tantangan Glagah Putih. Karena itu, maka sambil melangkah mendekat ia menggeram, “Aku ingin memilin lehermu sehingga patah. Dengan demikian kau tidak akan dapat menyombongkan diri lagi di hadapanku. Bukan salahku jika kau akan mati di sini. Tidak ada saksi yang dapat menjerat kami, karena gadis itu akan kami bawa untuk selama-lamanya.”

“Pikiran kotor yang terkutuk,” geram Glagah Putih, “memang tidak ada cara yang dapat menghentikan tingkah lakumu itu selain kematian. Kau akan mati di sini. Baru kemudian kelompokmu akan menjadi tenang.”

“utup mulutmu! Aku dapat mengoyak bibirmu,” geram orang itu.

“Ancaman-ancaman yang kau ucapkan tidak berarti sama sekali. Mengoyak bibir, membunuh, memilin leher, dan apa lagi. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku karena kau akan mati,” ternyata Glagah Putih pun menggeram.

Tiba-tiba saja orang itu berteriak. Satu loncatan panjang dengan kedua tangan terjulur ke depan. Orang itu ingin menjangkau leher Glagah Putih.

Tetapi ternyata orang itu sama sekali tidak mengenai Glagah Putih. Seharusnya dari sikap dan geraknya ketika Glagah Putih menyerang kedua orang yang mengaku petugas sandi itu, pemimpin kelompok Sidat Macan yang bertubuh raksasa itu dapat menilainya.

Namun agaknya ia terlalu percaya kepada diri sendiri, sehingga ia yakin akan dapat dengan mudah mengalahkan lawannya yang bertubuh kecil serta masih terlalu muda itu.

Karena itu, maka raksasa itu harus terbangun dari mimpinya ketika tiba-tiba saja Glagah Putih bagaikan melenting meloncat ke samping. Satu putaran yang cepat disertai ayunan kakinya, tiba-tiba saja telah menghentakkannya. Kaki Glagah Putih yang berputar itu tepat menghantam keningnya, sehingga orang bertubuh raksasa itu terhuyung-huyung. Hampir saja ia terjatuh. Namun dengan susah payah raksasa itu berhasil mempertahankan keseimbangannya.

Sekali lagi pemimpin kelompok Sidat Macan itu menggeretakkan giginya sambil berteriak, “Anak iblis! Kau memang licik!”

“Kenapa aku licik?” bertanya Glagah Putih.

“Kau menyerang dengan tiba-tiba,” geram orang itu.

“Siapakah yang menyerang lebih dahulu?” bertanya Glagah Putih.

Orang bertubuh raksasa itu melangkah maju mendekati Glagah Putih. Namun Glagah Putih sudah siap. Dengan cepat ia meloncat menyerang. Kakinya terjulur menyamping. Orang bertubuh raksasa itu tidak menghindar. Dengan tangannya ia telah membentur serangan Glagah Putih. Dengan mengandalkan kekuatannya ia ingin menggertak anak muda itu.

Sebuah benturan memang terjadi. Glagah Putih terdorong dua langkah surut. Sementara orang bertubuh raksasa itu hanya tergetar sedikit.

Dengan demikian, maka orang itu pun kemudian sambil tertawa melangkah maju mendekati Glagah Putih.

Glagah Putih menyadari bahwa orang itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Tetapi kekuatan itu adalah kekuatan wantah kewadagan. Karena itu Glagah Putih masih merasa mungkin untuk mengimbanginya, karena ia mampu mengangkat kekuatan dasar yang merupakan kekuatan cadangan di dalam dirinya.

Dengan demikian maka Glagah Putih itu pun kemudian telah mengetrapkan ilmunya untuk mengangkat kekuatan di dalam dirinya. Meskipun tubuhnya jauh lebih kecil dari lawannya, namun kekuatan dasar di dalam diri Glagah Putih itu merupakan kekuatan yang sangat besar. Dengan kekuatan cadangan itu, ia kemudian siap untuk menghadapi lawannya yang bertubuh raksasa itu.

Pemimpin kelompok Sidat Macan itu masih tertawa. Selangkah lagi ia maju sambil berkata, “Apa boleh buat. Kau akan mati di sini. Ki Lurah Branjangan akan menemukan mayatmu. Tetapi ia akan menjadi bingung, karena ia juga kehilangan cucunya. Namun ia tidak akan tahu siapakah yang harus dicurigai.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun ketika orang bertubuh raksasa itu maju selangkah lagi, maka Glagah Putih tiba-tiba saja melenting. Seperti seekor belalang ia meloncat menyerang. Demikian cepatnya, kemudian seakan-akan menggeliat di udara. Tubuhnya kemudian telah mendatar miring dengan kedua kakinya terjulur lurus.

Satu serangan yang sangat deras mengarah ke dada orang bertubuh raksasa itu. Pemimpin kelompok Sidat Macan itu melihat serangan Glagah Putih. Namun ia sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Sekali lagi orang bertubuh raksasa itu berusaha membentur serangan Glagah Putih dengan menyilangkan tangannya di depan dadanya.

Pemimpin Sidat Macan itu memperhitungkan bahwa benturan yang pernah terjadi akan terulang kembali. Anak muda yang menyerangnya semakin keras itu tentu akan mengalami benturan yang keras pula. Lebih keras dari sebelumnya. Anak muda yang sombong itu tentu akan terpental. Bukan saja beberapa langkah, tetapi anak muda itu akan terlempar jauh dan terbanting jatuh.

Sejenak kemudian memang terjadi benturan yang jauh lebih keras dari yang pernah terjadi. Tetapi anak muda itu tidak terlempar dan terbanting jatuh. Benturan itu merupakan benturan yang sama sekali tidak diduganya. Glagah Putih memang tergetar selangkah surut. Tetapi raksasa yang menjadi pemimpin kelompok Sidat Macan itu ternyata telah terlempar beberapa langkah. Justru pemimpin kelompok itu-lah yang kemudian kehilangan keseimbangan dan terbanting jatuh.

Raksasa itu berusaha untuk dengan cepat bangkit. Tetapi ternyata ia harus menyeringai menahan sakit. Tangannya yang bersilang di dadanya itu justru telah menekan tulang-tulang iganya sehingga rasa-rasanya menjadi retak.

Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak muda itu mampu menekannya dengan kekuatan yang demikian besarnya, sehingga ia harus kehilangan keseimbangan, kesakitan dan nafasnya menjadi sesak.

Glagah Putih tidak memburu lawannya yang kesakitan. Bahkan ia sempat berkata, “Aku beri kau waktu. Kau harus mengatur pernafasanmu. Hentakan kekuatan yang mengenai dadamu telah mengguncang bagian dalam tubuhmu sehingga memerlukan sedikit pembenahan. Kau dapat mengatasinya lewat pernafasanmu. Tetapi kau juga dapat melakukannya dengan mengerahkan daya tahanmu.”

“Persetan,” geram raksasa itu, “kau masih saja mencuri kesempatan. Jika aku sempat menangkap bahumu kiri dan ka nan, maka aku akan dapat mematahkan dan melepas kedua lenganmu.”

“Cukup!” justru Glagah Putih yang membentak, “Aku muak mendengar ancamanmu yang tidak berkesudahan. Kenapa kau tidak mencoba melakukannya, daripada sekedar berteriak-teriak seperti itu. Kita akan bertempur. Tidak memaki, mengancam dan menakut-nakuti.”

Telinga raksasa itu bagaikan tersentuh bara. Meskipun dadanya masih terasa sesak, tetapi ia sudah bersiap untuk bertempur.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah bergeser. Justru tubuhnya yang lebih kecil itu, maka ia memiliki lebih banyak peluang. Raksasa itu bergerak agak lamban. Namun kemudian ternyata bahwa ia tidak hanya mengandalkan kekuatannya saja. Ketika ia menyadari bahwa anak muda yang datang bersama Rara Wulan itu memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, maka orang itu pun telah menyiapkan diri untuk benar-benar bertempur melawannya.

“Aku terlalu merendahkannya,” berkata pemimpin kelompok Sidat Macan itu di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka raksasa itu pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Ia tidak sekedar mempercayakan kekuatannya, tetapi juga ilmunya dalam olah kanuragan.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah menghadapi seorang raksasa yang mampu menguasai beberapa unsur gerak dasar ilmu kanuragan. Tetapi Glagah Putih ternyata telah jauh meninggalkan tataran itu.

Karena itu maka sejenak kemudian raksasa itu telah mengalami kesulitan. Glagah Putih mampu bergerak terlalu cepat dan tangkas. Bahkan kemudian membingungkannya. Beberapa kali serangan Glagah Putih telah mengenainya.

Serangan tangan Glagah Putih mampu menggapai keningnya. Beberapa kali wajahnya harus berpaling karena pukulan Glagah Putih. Bahkan kemudian wajahnya telah terangkat ketika tumit Glagah Putih tepat mengenai dagunya.

“Anak iblis,” raksasa itu mengumpat.

Tetapi serangan-serangan Glagah Putih justru semakin cepat. Bukan saja tangannya yang mengenai keningnya, tetapi kakinya berkali-kali menghantam tubuhnya. Dadanya, pundaknya dan bahkan dalam ayunan kaki yang berputar, sekali-sekali kaki Glagah Putih singgah di wajah orang itu.

Raksasa itu beberapa kali terhuyung-huyung. Namun Glagah Putih akhirnya berusaha untuk membuktikan, bahwa tubuh yang besar dan kekar itu bukan tidak dapat dikalahkannya dengan cepat.

Ketika serangan Glagah Putih kemudian berhasil mengguncang keseimbangan raksasa itu, maka dengan garangnya Glagah Putih meloncat maju. Tangannya terjulur lurus ke arah perut lawannya yang besar itu. Satu pukulan yang sangat keras membuat raksasa itu terbongkok kesakitan. Perutnya itu menjadi sangat mual. Namun dalam pada itu, ketika ia masih terbongkok-bongkok kesakitan, maka tangan Glagah Putih terayun dengan deras sekali mengenai keningnya. Dengan demikian maka wajah raksasa itu telah terangkat. Kaki Glagah Putih terayun deras sekali ke arah kening.

Satu benturan kekuatan yang sangat besar. Raksasa itu terhuyung-huyung dan jatuh terlentang. Kepalanya menjadi sangat pening, sementara perutnya bagaikan akan tertumpah semua isinya.

Sejenak kemudian dicengkam oleh ketegangan yang diam. Semua orang memperhatikan raksasa yang terlentang kesakitan itu. Sambil mengerang orang itu menggeliat, kemudian perlahan-lahan berusaha untuk bangkit berdiri. Dipegangnya perutnya dengan kedua belah tangannya. Namun matanya tidak dapat terbuka sepenuhnya, karena keningnya serasa menjadi retak.

“Anak iblis,” geram raksasa itu. “Bunuh anak itu!”

Perintah itu tidak diduga-duga oleh Glagah Putih. Ia mengira bahwa jika ia sudah dapat mengalahkan pimpinan kelompok Sidat Macan itu, maka persoalannya sudah selesai. Tetapi ternyata pimpinan kelompok yang kesakitan itu telah memerintahkan orang-orangnya untuk bergerak.

Beberapa orang memang telah bergerak. Dan di antaranya adalah orang yang dijumpainya di pasar.

Glagah Putih yang marah menjadi semakin marah. Apalagi ketika salah seorang di antara orang-orang Sidat Macan itu berkata lantang, “Kau akan mati di sini. Justru karena tingkah lakumu, maka Rara Wulan akan mengalami nasib yang sangat buruk.”

“Aku akan berbuat apa saja untuk mencegah kelakuan iblis itu,” jawab Glagah Putih dengan suara parau, “kalau perlu aku akan membunuh. Benar-benar membunuh. Aku akan terlepas dari tanggung jawab paugeran tata pergaulan, karena aku hanya membela diriku dan melindungi seorang gadis yang akan terancam jiwanya.”

“Persetan,” geram orang itu, “apapun alasanmu.” Tetapi orang itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya.

Glagah Putih benar-benar tidak dapat menahan diri lagi. Tanpa Agung Sedayu, Glagah Putih ternyata cukup garang mengambil tindakan. Apalagi terhadap orang-orang yang gila seperti orang-orang dari kelompok Sidat Macan itu.

Sebelum mulut orang itu terkatup rapat, maka Glagah Putih telah meloncat menyerangnya. Satu loncatan panjang, dengan tangan terjulur mengarah ke dada.

Orang itu mencoba untuk meloncat menghindar, tetapi Glagah Putih sudah memperhitungkannya. Satu sapuan rendah menebas kedua kaki orang itu, sehingga iapun telah jatuh terbanting.

Pertempuran pun telah meledak lagi. Glagah Putih harus bertempur tidak saja melawan seorang, meskipun bertubuh raksasa. Tetapi ia harus bertempur melawan lima orang dari kelompok Sidat Macan yang tersisa.

Namun Glagah Putih memang tangkas. Iapun berloncatan dengan cepatnya. Sekali menghindar, namun kemudian meloncat menyerang. Berputar, melenting dan menggeliat cepat sekali. Beberapa kali kakinya menyambar lambung, dada dan bahkan seorang bibirnya telah koyak karena sambaran tumit Glagah Putih.

Orang yang bertubuh raksasa yang masih saja kesakitan itu berteriak marah, “Cepat! Bunuh cecurut itu.”

Tetapi tidak mudah membunuh Glagah Putih. Anak muda itu tidak juga dapat ditundukkan, meskipun ia harus bertempur melawan lima orang.

Dalam pada itu, kedua orang yang pingsan itu pun perlahan-lahan mulai sadar kembali. Hampir bersamaan keduanya berusaha untuk bangkit, setelah mereka menyadari apa yang baru saja terjadi atas diri mereka.

Ketika angin yang segar berhembus, maka terasa tubuh mereka pun menjadi segar pula. Karena itu maka perlahan-lahan kekuatan mereka pun seakan-akan telah sembuh kembali.

Tertatih-tatih keduanya bangkit berdiri. Tubuh mereka masih terasa sakit-sakit pada ruas-ruas tulang mereka. Nafas mereka pun masih belum beredar dengan teratur. Tetapi ketika mereka melihat jelas apa yang terjadi, maka keduanya pun telah melangkah mendekat.

Rara Wulan melihat keduanya. Karena itu, maka ia menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu tentu mendendam pula kepadanya.

Sebenarnyalah, pada saat Glagah Putih mendesak lawan-lawannya, kedua orang itu telah sepakat untuk menjadikan Rara Wulan taruhan. Karena itu maka keduanya telah memaksa diri dengan sisa tenaganya melangkah mendekati gadis yang termangu-mangu itu.

“Jangan mempersulit dirimu sendiri,” berkata salah seorang di antara mereka, “sebaiknya kau menyerah saja. Kau akan menikmati satu kehidupan yang belum pernah kau rasakan sebelumnya.”

Tetapi kata-katanya terputus ketika Rara Wulan tiba-tiba saja telah melemparkan buah ranti masak ke wajahnya. Sebagian dari bijinya telah masuk ke dalam matanya, sehingga terasa matanya menjadi sangat pedih. Secepat kilat, Rara Wulan pun telah melakukan hal sama atas seorang lagi, yang belum menyadari apa yang telah terjadi.

Selagi keduanya sibuk mengusap mata mereka yang pedih, Rara Wulan tidak memberi kesempatan lagi. Iapun segera bergerak secepat dapat dilakukan mendekati keduanya. Pukulan yang keras datang beruntun pada kedua wajah orang itu. Kemudian perut mereka pun menjadi sasaran. Dengan sisi telapak tangannya Rara Wulan telah menghantam tengkuk mereka berganti-ganti.

Kedua orang yang baru sadar dari pingsannya sementara tubuhnya masih lemah dan kesakitan itu, tidak mendapat kesempatan untuk melawan. Apalagi mata mereka tidak mampu menembus perasaan sakit dan pedih.

Ternyata Rara Wulan yang serba sedikit telah mendapat tuntunan olah kanuragan dari kakeknya itu, telah membuat kedua orang yang masih terlalu lemah itu benar-benar kehilangan kesempatan. Rara Wulan yang merasa sulit untuk mempergunakan kakinya itu dengan sekuat tenaga telah menyerang dengan kedua belah tangannya berganti-ganti.

Ketika kedua orang itu kehilangan kesempatan lagi, maka Rara Wulan pun telah menjadi letih. Sebagaimana diajarkan oleh kakeknya, maka Rara Wulan telah menyerang di tempat-tempat yang paling lemah dari kedua orang itu. Ketika ketiga jari-jari tangannya yang merapat menghentak pangkal leher seorang di antaranya, maka orang itu telah terjatuh. Bahkan untuk beberapa saat ia berguling-guling kesakitan. Nafasnya serasa akan terputus.

Rara Wulan justru terkejut melihat akibat serangannya itu.

Namun akhirnya orang itu pun menjadi sedikit tenang, meskipun ia masih mengalami kesulitan untuk bernafas. Sementara yang seorang lagi, terbaring sambil menggeliat. Perutnya terasa sangat mual, sedangkan matanya masih saja terasa pedih.

Tetapi Rara Wulan pun sadar, jika mereka menjadi semakin baik, maka mereka tentu akan membalasnya. Sehingga karena itu, maka Rara Wulan pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun bagaimanapun juga, kakinya masih saja terkekang oleh pakaiannya yang tidak siap menghadapi peristiwa seperti ini.

Namun Rara Wulan pun telah menjadi letih. Ia telah mengerahkan segenap tenaganya untuk menjatuhkan kedua orang yang masih lemah itu. Meskipun demikian ia menyadari, bahwa ia tidak boleh menyerah dalam keadaan apapun juga.

Sementara itu, Glagah Putih bergerak semakin cepat. Kelima orang lawannya menjadi semakin terdesak. Tidak seorang pun di antara mereka yang dapat berhasil mengenai tubuh Glagah Putih, sementara itu serangan-serangan Glagah Putih jarang sekali mengalami kegagalan.

Bahkan Glagah Putih sempat tersenyum melihat Rara Wulan melumpuhkan kedua orang yang baru sadar dari pingsannya itu. Ketika ia melihat Rara Wulan melemparkan ranti masak ke wajah orang-orang itu, maka ia sudah menduga bahwa kedua orang itu akan dapat dikalahkannya. Apalagi keadaan tubuh mereka yang masih sangat lemah.

Sementara itu orang yang bertubuh raksasa itu pun mulai membenahi diri. Diangkatnya kedua tangannya dan digerakkannya perlahan-lahan. Semakin lama semakin cepat. Dibungkukkannya pinggangnya, lalu menggeliat. Kemudian dengan geramnya orang itu berkata kepada kawan-kawannya, “Kenapa kalian tidak mempergunakan senjata kalian? Sudah aku katakan, bunuh tikus itu. Jangan banyak membuat pertimbangan-pertimbangan lagi.”

Sejenak kelima orang yang bertempur melawan Glagah Putih itu telah berloncatan mengambil jarak. Namun mereka menjadi ragu-ragu. Selain mereka sejak semula memang tidak merencanakan untuk membunuh, mereka pun merasa harga diri mereka tersinggung. Mereka berlima ternyata tidak mampu mengalahkan seorang anak muda. Mereka memang merasa segan untuk mempergunakan senjata mereka, hanya untuk melawan seorang yang sama sekali tidak mereka kenal namanya sebelumnya.

Orang yang bertubuh raksasa itu pun kemudian berteriak, “Lakukan! Orang itu memang harus mati. Ia akan dapat menjadi sumber bencana jika ia menyebut kelompok kita yang telah mengambil Rara Wulan. Karena itu maka bukan saja karena kesombongannya, tetapi ia harus dilenyapkan untuk menghilangkan jejak. Kitap un harus melakukannya dengan cepat sebelum ada orang lain yang melihat kita di sini.”

Untuk sesaat orang-orang itu masih ragu-ragu. Tetapi orang bertubuh raksasa itu telah memasang senjatanya. Semacam keling yang dipasang di antara jari-jarinya. Seakan-akan lima buah cincin raksasa yang saling berhubungan. Bahkan pada cincin itu terdapat duri-duri yang runcing.

Dengan sepasang keling raksasa itu ia melangkah mendekati Glagah Putih.

“Kau akan mati. Wajahmu akan hancur terkoyak-koyak. Tidak seorangpun yang akan dapat mengenalimu lagi,” geram raksasa yang tubuhnya menjadi lebih segar itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Kelima orang yang lain memang masih nampak ragu-ragu. Tetapi karena raksasa itu sudah memasang keling di kedua tangannya, maka mereka pun telah mengambil senjata masing-masing.

Seorang di antara mereka telah mengurai seuntai rantai besi dari bawah bajunya. Seorang lagi menggenggam pisau belati yang tajamnya berkilat-kilat. Seorang lainnya memegang sepotong besi di kedua tangannya. Sedangkan kedua orang lainnya menggenggam keris yang dibawa dengan sarung yang khusus, sehingga tidak nampak karena tersembunyi di bawah baju mereka. Keris yang kehitam-hitaman, yang menurut pengamatan Glagah Putih justru berbahaya, karena keris itu tentu mengandung warangan. Goresan keris itu akan sama artinya dengan gigitan seekor ular yang berbisa.

Meskipun demikian, kelima orang itu masih nampak ragu-ragu, sehingga orang bertubuh raksasa itu berteriak, “Jangan takut membunuh keledai dungu itu. Aku akan bertanggung jawab. Kematiannya akan menghilangkan semua jejak kita jika kita membawa gadis yang garang itu. Tetapi justru kegarangannya itulah yang membuatnya semakin menarik.”

Wajah Rara Wulan yang juga mendengar teriakan itu menjadi marah, la benar-benar menjadi cemas melihat keenam orang yang siap melawan Glagah Putih itu sudah bersenjata. Meskipun senjata yang mereka pergunakan adalah senjata-senjata pendek yang umumnya dapat disembunyikan di bawah baju, namun senjata-senjata itu tentu akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih. Apalagi senjata-senjata itu ada di tangan enam orang sekaligus.

Glagah Putih menanggapi sikap keenam orang itu dengan sungguh-sungguh pula. Sementara itu, kedua orang yang telah dilumpuhkan oleh Rara Wulan itu pun lambat laun akan terbangun juga. Pedih di mata mereka akan hilang, dan Rara Wulan tentu tidak akan dapat mengulanginya lagi dengan melemparkan buah ranti yang matang.

Menanggapi keadaan itu Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Apakah ia terpaksa membunuh atau berusaha untuk menghindar.

Tetapi Glagah Putih yang harus melindungi Rara Wulan itu merasa akan mengalami kesulitan untuk menghindar. Padang perdu yang meskipun tidak sangat luas itu, akan menyulitkannya.

Glagah Putih tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Orang bertubuh raksasa yang sudah menjadi semakin baik keadaannya itu telah sekali lagi memerintahkan untuk menyerang. Bahkan langsung dipimpinnya sendiri.

Karena itu, Glagah Putih pun telah bersiaga sepenuhnya. Ketika enam orang itu mulai mengurungnya, Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya. Keenam orang itu memang termangu-mangu melihat ikat pinggang anak muda itu. Tetapi orang bertubuh raksasa itu kemudian tertawa. Katanya, “Jadi kau tidak membawa senjata sama sekali? Nasibmu memang sangat buruk. Kau akan dihukum picis di sini sampai mati. Jika kau tetap hidup, maka kau akan melaporkan kepada Ki Lurah Branjangan bahwa cucunya telah kami bawa. Bahkan Ki Lurah tentu akan memberitahukannya kepada Ki Tumenggung bahwa anaknya ada di tangan kelompok Sidat Macan. Sepasukan prajurit akan segera memburu kami. Meskipun kami mempunyai kemampuan menghilang dari mata para prajurit, tetapi lebih baik kami tidak dikejar-kejar di saat kami sedang bertamasya dengan gadis cantik itu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ikat pinggangnya itu mulai bergetar di tangannya, meskipun Glagah Putih menyadari bahwa senjata itu diberikan kepadanya tidak untuk berkelahi dengan kelompok-kelompok anak nakal. Tetapi ikat pinggang itu baginya merupakan bekal dalam pertempuran yang sungguh-sungguh.

Tetapi dalam keadaan seperti itu, Glagah Putih terpaksa mengurai ikat pinggangnya itu. Iapun menganggap bahwa yang dilakukannya itu memang bukan sekedar main-main. Orang-orang itu nampaknya benar-benar akan membunuhnya. Lebih dari itu, mereka akan mengambil Rara Wulan dan membuatnya menderita sepanjang hidupnya.

Meskipun hal itu terjadi karena permusuhan antara kelompok Sidat Macan dengan kelompok Macan Putih, namun kedudukan Rara Wulan yang menjadi sulit itu harus mendapat perlindungan, karena Rara Wulan akan dapat dimusuhi oleh kedua kelompok itu.

Sejenak kemudian, maka keenam orang dari kelompok Sidat Macan itu benar-benar telah mulai menyerangnya. Orang yang bertubuh raksasa itu melangkah maju. Sementara seorang yang bersenjata rantai itu telah memutar rantainya pula di samping tubuhnya. Mendahului kawan-kawannya, maka iapun telah meloncat mengayunkan rantainya ke arah lambung Glagah Putih. Namun dengan cepat Glagah Putih telah menghindari serangan itu. Tetapi dengan cepat pula dua orang yang lain telah menyerang bersama-sama. Seorang bersenjata keris yang berwarna kehitam-hitaman, sementara yang lain mempergunakan pisau belati yang tajam berkilat-kilat.

Sekali lagi Glagah Putih harus meloncat menghindar. Namun dengan demikian, Glagah Putih menjadi semakin dekat dengan orang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka raksasa itu pun telah meloncat sambil mengayunkan tangannya yang dilengkapi oleh keling baja yang bergigi.

Keadaan Glagah Putih memang menjadi sulit. Karena itu, ia tidak menghindari serangan itu. Tetapi ia telah mengibaskan ikat pinggangnya membentur serangan raksasa itu.

Pemimpin kelompok Sidat Macan itu terkejut, sehingga iapun telah meloncat surut beberapa langkah. Menurut penglihatan matanya, anak muda itu hanya menggenggam ikat pinggang yang dibuat dari kulit. Tetapi ketika terjadi benturan dengan keling besinya, maka tangannya terasa tergetar. Kelingnya seakan-akan telah membentur lempengan baja yang tebal.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya raksasa itu di dalam hatinya.

Sementara itu, seorang yang menggenggam sepotong besi di masing-masing tangannya telah menyerang pula. Dengan tangkasnya ia telah berusaha memukul kepala Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih sempat mengelak. Bahkan dengan ikat pinggangnya ia memukul lambung orang itu.

Meskipun ikat pinggang itu masih dipergunakan sebagaimana keadaannya tanpa dialiri getaran kekuatan ilmunya sebagaimana saat ikat pinggang itu membentur keling baja orang bertubuh raksasa itu, namun orang yang dikenainya itu telah terdorong dan jatuh terguling.

Glagah Putih memang memburu orang itu. Tetapi tidak untuk menyerangnya lagi. Ia ingin melihat akibat dari serangan ikat pinggangnya itu. Meskipun hanya dengan tenaga wajarnya, namun ikat pinggang itu benar-benar telah menyakiti lawannya.

Tetapi serangan-serangan dari lawan-lawannya semakin lama terasa semakin deras serta mengurungnya dengan ketat. Ujung pisau, keris, belati dan ayunan rantai yang berdesing membuat Glagah Putih menjadi semakin kesulitan. Sementara itu raksasa yang mempergunakan keling di jari-jarinya itu pun telah beberapa kali menyerangnya pula dengan ayunan tangannya. Bahkan Glagah Putih tidak lagi menyerangnya tanpa perhitungan yang cermat, karena orang itu telah berusaha untuk menangkis setiap serangannya dengan kelingnya yang bergerigi runcing.

Karena itu, maka Glagah Putih pun kembali berniat untuk melumpuhkan pimpinan kelompok Sidat Macan itu. Apalagi ketika Glagah Putih melihat kedua orang yang wajahnya dilempar dengan ranti masak itu mulai berusaha untuk bangkit.

“Tinggalkan tempat ini,” teriak Glagah Putih kepada Rara Wulan.

Sebenarnya Rara Wulan masih mempunyai kesempatan. Ia dapat memukul kedua orang yang berusaha untuk bangkit itu, kemudian melarikan diri menyeberangi padang perdu, masuk ke lingkungan padukuhan yang berpenghuni dan bahkan memasuki jalan-jalan kota.

Tetapi Rara Wulan ternyata merasa berkeberatan untuk meninggalkan Glagah Putih bertempur sendiri. Sedangkan persoalan yang sebenarnya adalah persoalannya.

Justru karena Rara Wulan itu ragu-ragu, maka Glagah Putih benar-benar telah mengambil sikap. Ia tidak lagi sekedar mempergunakan tenaga wajarnya dan hanya sekali-sekali saja menangkis serangan lawannya dengan mengalirkan ilmunya, sehingga ikat pinggangnya menjadi sekeras baja.

Dalam saat yang semakin gawat, maka serangan Glagah Putih atas lawan-lawannya pun menjadi semakin meningkat. Tetapi keenam lawannya itu seperti lalat yang selalu terbang mengitarinya dan sekali-sekali berusaha hinggap di tubuhnya.

Pada saat yang demikian, maka serangan Glagah Putih lebih banyak telah ditujukan kepada raksasa yang memimpin kelompok Sidat Macan, yang justru telah mengambil keputusan untuk membunuhnya.

Ketika serangan dari dua orang lawan Glagah Putih itu dapat dihindarinya, maka orang bertubuh raksasa itu merasa mendapat kesempatan. Karena itu maka iapun telah meloncat maju. Satu tangannya siap menangkis ikat pinggang anak muda itu jika anak muda menyerangnya pula, sementara tangannya yang lain terayun ke arah wajah Glagah Putih. Jika gerigi keling itu menyentuh wajah anak muda itu, maka wajah itu akan terkoyak mengerikan.

Namun ternyata bahwa Glagah Putih pun telah berniat mengakhiri pertempuran itu. Apalagi ketika ia melihat kedua orang yang berusaha menguasai Rara Wulan telah tertatih-tatih bangkit.

Meskipun kemudian Rara Wulan dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk menyerang kedua orang yang berusaha untuk bangkit itu, namun Rara Wulan sendiri telah menjadi letih. Gadis yang baru mendapatkan dasar dari ilmu kanuragan itu masih belum mampu mengungkapkan tenaga cadangan di dalam dirinya dengan baik, sehingga ia masih belum dapat berbuat terlalu banyak.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang melihat serangan pemimpin kelompok Sidat Macan itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pada saat yang hampir bersamaan, seorang di antara kedua orang yang bersenjata keris itu telah menyerang pula.

Ternyata Glagah Putih memiliki kemampuan yang jauh dari jangkauan kemampuan orang-orang Sidat Macan. Dengan tangkas Glagah Putih meloncat tinggi-tinggi, menggeliat di udara, dan dengan cepat kakinya justru telah menyambar kepala lawannya yang menyerangnya dengan keras itu, sebelum kakinya yang lain menginjak tanah.

Lawannya yang dikenai serangan kaki di kepalanya itu telah terdorong beberapa langkah. Bahkan ia telah membentur kawannya yang bersenjata pisau belati. Sementara itu orang yang membawa rantai dan siap diayunkan, telah kehilangan sasaran, karena lawannya yang menggenggam sepotong besi di kedua tangannya itu justru memasuki garis serangannya.

Raksasa yang kehilangan lawan itu pun menggeram. Tetapi ia telah meloncat memburu Glagah Putih, yang kemudian berdiri tegak tidak jauh dari padanya.

Namun ternyata Glagah Putih mampu bergerak jauh lebih cepat dari orang itu. Ketika raksasa itu meloncat ke arahnya, Glagah Putih pun telah menyongsongnya. Dengan tangkasnya Glagah Putih merendahkan dirinya ketika tangan raksasa itu menyapu ke arah wajahnya. Sementara itu Glagah Putih telah menyerang lambung pemimpin kelompok Sidat Macan itu.

Glagah Putih memang tidak membiarkan raksasa itu untuk bertempur lebih lama lagi. Glagah Putih tidak sekedar mempergunakan tenaga wadagnya. Namun dengan kekuatan ilmu di dalam dirinya, maka ikat pinggangnya itu seakan-akan telah berubah menjadi sekeping baja. Karena itu, sentuhan ikat pinggang itu pada lambung pemimpin kelompok Sidat Macan bukan saja menyengat dan menjadikan lambung itu panas dan pedih, tetapi ikat pinggang Glagah Putih telah mengoyak lambungnya sehingga luka telah menganga.

Raksasa itu mengaduh kesakitan. Ia terdorong beberapa langkah ke samping. Namun kemudian terasa betapa lambungnya menjadi pedih dan sakit. Ketika tangannya meraba, maka terasa darah yang hangat membasahi jari-jarinya.

Sejenak raksasa itu termangu-mangu. Namun kemudian kemarahannya bagaikan membakar kepalanya. Betapapun darah mengalir dan rasa sakit yang menggigit, namun raksasa itu telah meloncat dengan sisa-sisa tenaganya, menerkam Glagah Putih dengan jari-jarinya yang dibalut dengan keling bergerigi.

Tetapi Glagah Putih dengan cepat mengelak. Sambil meloncat ke samping Glagah Putih telah mengayunkan ikat pinggangnya. Ikat pinggang yang terbuat dari kulit, namun ketika ikat pinggang itu menyambar dada raksasa itu, maka sekali lagi sebuah goresan luka telah menyilang.

Raksasa itu tidak sekedar terdorong beberapa langkah. Namun iapun kemudian telah terhuyung-huyung dan jatuh terlentang di tanah.

Beberapa saat ia mengerang kesakitan, sementara kawan-kawannya yang menyaksikannya telah berloncatan surut.

Glagah Putih berdiri tegak di sebelah raksasa yang terbaring itu. Diamatinya kelima orang yang lain seorang demi seorang, sementara kedua orang yang berusaha untuk bangkit itu pun tertegun pula. Demikian pula Rara Wulan yang telah bersiap menyerang kedua orang yang baru saja berdiri dengan sisa-sisa tenaganya itu. Namun sebenarnyalah bahwa Rara Wulan sendiri sudah hampir tidak bertenaga sama sekali.

Sejenak suasana menjadi tegang. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Nah, siapa yang akan menyusul?”

Orang-orang Sidat Macan itu bagaikan membeku di tempatnya. Raksasa itu adalah lambang kekuatan kelompok Sidat Ma can. Namun orang itu telah terbaring dengan luka di lambung dan di dadanya.

Tetapi yang mengejutkan telah terjadi. Selagi Glagah Putih berdiri termangu-mangu memandangi orang-orang yang bagaikan mematung itu, tiba-tiba pemimpin Sidat Macan itu telah mengerahkan tenaga yang terakhir. Dengan cepat ia justru menangkap kaki Glagah Putih dan menghentakkannya.

Glagah Putih benar-benar tidak menyangka. Karena itu, maka ia tidak dapat mencegah ketika ia terbanting jatuh di tanah. Bahkan Glagah Putih belum sempat berbuat sesuatu ketika orang bertubuh raksasa itu dengan cepat telah meraih lehernya.

Ternyata tenaga raksasa itu benar-benar sangat kuat. Dalam keadaan yang gawat dengan luka yang menyilang di dada dan di lambung, orang itu masih mampu menindih Glagah Putih sambil mencekik lehernya, dengan menghentakkan sisa-sisa kekuatannya yang terakhir.

Glagah Putih merasa lehernya bagaikan tersumbat. Namun dalam waktu yang singkat, iapun segera menyadari keadaannya. Apalagi ketika raksasa itu masih juga berteriak, “Bunuh anak ini!”

Namun suaranya segera terputus. Glagah Putih yang terkejut, telah dengan gerakan naluriah menyelamatkan dirinya sendiri. Ketika lehernya terasa bagaikan terputus, maka ia telah menekankan ikat pinggangnya yang tidak terlepas dari tangannya pada leher lawannya pula. Satu hentakan yang kuat telah menyelesaikan segala-galanya.

Demikian kawan-kawan raksasa itu berloncatan maju, maka Glagah Putih telah menyingkirkan tubuh raksasa itu dan dengan cepat bangkit berdiri.

Nafasnya memang masih terasa sesak. Tetapi beberapa saat kemudian, terasa saluran pernafasannya yang bagaikan tersumbat itu telah terbuka kembali.

Kelima orang Sidat Macan yang telah terlanjur berloncatan mendekat itu pun selangkah demi selangkah-mundur menjauh. Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka tidak tahan lagi. Tiba-tiba saja orang itu telah berloncatan melarikan diri.

Demikian seorang di antara mereka berlari, yang lain pun telah melakukannya pula. Mereka berlari-larian ke arah yang berbeda-beda.

Dua orang yang masih dalam keadaan lemah, berusaha untuk melarikan diri pula. Tetapi Glagah Putih mendekati keduanya sambil berkata, “Kalian tidak akan dapat melarikan diri.”

Kedua orang itu menjadi pucat. Apalagi ketika Glagah Putih berkata, “Kau lihat nasib pemimpinmu itu?”

“Tetapi, tetapi,” suaranya menjadi gagap, “aku tidak berbuat apa-apa. Aku hanya sekedar melakukan perintahnya. Aku mohon ampun.”

Glagah Putih menggerakkan ikat pinggangnya perlahan-lahan. Ternyata kedua orang itu telah berjongkok dengan gemetar. “Kami mohon ampun,” berkata keduanya hampir berbareng.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Pemimpinmu itu telah melakukan suatu tindakan yang sangat bodoh, sehingga telah membunuh dirinya sendiri.”

“Tetapi kami tidak bersalah,” seorang di antara kedua orang itu merengek.

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Kemudian katanya kepada Rara Wulan, “Marilah. Kita tinggalkan saja mereka. Biarlah kedua orang itu mengurus kawannya, yang di luar kemauanku telah terbunuh itu. Aku sama sekali tidak menyangka, bahwa dalam keadaan terakhir ia masih mampu membantingku jatuh. Bahkan berusaha mencekikku.”

Rara Wulan mengangguk. Tetapi ia masih juga ingat kepada buah rantinya.

Beberapa saat kemudian, maka kedua orang itu telah mendekati padukuhan. Karena itu, maka keduanya sempat membenahi pakaian mereka dan kemudian berjalan seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Demikian pula ketika mereka berada di rumah Ki Lurah Branjangan.

“Begitu lama kau berbelanja?” bertanya Ki Lurah yang masih saja duduk di pendapa bersama Agung Sedayu.

“Sambil melihat-lihat pasar, Kakek. Ramai sekali,” jawab Rara Wulan. Sementara Glagah Putih pun telah naik ke pendapa pula.

“Dengan demikian, maka kalian tidak akan dapat meninggalkan rumah ini sampai Wulan selesai masak,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Tetapi Ki Gede akan menjadi gelisah,” berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah Branjangan tersenyum sambil berkata, “Tetapi jika kalian pergi sebelum masakan Wulan dihidangkan, maka akibatnya akan parah. Tidak buat kalian, tetapi buat kami yang kalian tinggalkan.”

Agung Sedayu pun tersenyum, sementara Glagah Putih menundukkan kepalanya tanpa terlalu banyak ikut menyahut pembicaraan itu. Ia masih saja memikirkan kemungkinan yang dapat timbul setelah peristiwa kematian orang yang justru pemimpin dari kelompok Sidat Macan itu.

Tetapi sebenarnyalah mereka harus menunggu Rara Wulan selesai masak. Dengan demikian, maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Lurah Branjangan harus mengisi waktu mereka dengan berbincang-bincang tentang apa saja. Namun nampaknya Glagah Putih menjadi tidak begitu berminat.

Tetapi kedua orang yang duduk bersamanya ternyata mempunyai dugaan yang sama dan sama-sama keliru. Mereka menyangka bahwa ada kesan tersendiri pada hati Glagah Putih terhadap gadis yang telah mengajaknya berbelanja di pasar.

Ternyata pembicaraan antara Agung Sedayu dan Ki Lurah cukup menarik, sehingga mereka telah melupakan waktu. Sementara Glagah Putih juga terpaksa menyahut satu-satu.

Tetapi dalam pada itu, mereka terkejut ketika empat orang prajurit telah memasuki regol halaman rumah Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah dan Agung Sedayu pun kemudian telah mempersilahkan mereka untuk naik ke pendapa. Ki Lurah yang agak berdebar-debar telah mempersilahkan mereka duduk. Dengan nada ragu Ki Lurah bertanya, “Apakah Ki Sanak prajurit yang sedang dalam tugas?”

“Ya Ki Lurah,” jawab yang tertua di antara keempat orang itu.

“Jadi kalian memang bertugas untuk datang ke rumahku?” bertanya Ki Lurah.

“Ya Ki Lurah. Kami ingin memberitahukan, bahwa cucu Ki Lurah bersama seorang kawannya laki-laki telah membunuh dalam satu perkelahian,” berkata prajurit itu.

Agung Sedayu terkejut. Demikian pula Ki Lurah, namun tersembunyi.

Karena itu, Ki Lurah pun kemudian telah mencari Rara Wulan. Dengan nada rendah dan hati-hati Ki Lurah bertanya, “Apakah telah terjadi perkelahian ketika kau pergi ke pasar?”

“Ya Kakek,” jawab Rara Wulan.

“Katakan, apa yang terjadi sebenarnya,” minta kakeknya.

Rara Wulan telah menceritakan dengan singkat apa yang terjadi. Tidak ada yang dikurangi dan tidak ada yang ditambah. Dengan cermat Rara Wulan menceritakan apa yang terjadi. Juga tentang kelompok Macan Putih.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Iapun kemudian telah mengajak Rara Wulan ke pendapa.

“Apakah tidak cukup Kakek saja? Aku sedang masak,” jawab Rara Wulan.

“Sudahlah. Kita harus mempertanggung-jawabkan apa yang telah terjadi,” berkata Ki Lurah.

Rara Wulan tidak dapat ingkar. Iapun kemudian telah mengikuti Ki Lurah menuju ke pendapa.

Keempat prajurit itu termangu-mangu sejenak melihat Rara Wulan yang menunduk. Namun seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Kami sudah mendapat keterangan tentang kawan Rara Wulan. Seorang telah melihat Rara Wulan berada di pasar dengan seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka kami datang untuk mendapat keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi itu. Kenapa pengawal dari Tanah Perdikan itu sama sekali tidak melaporkan peristiwa itu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar