Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 258

Buku 258

“Ya,” Ki Demang mengangguk-angguk, “bahkan ia telah mengirimkan kebutuhan kita secukupnya. Ternyata ia sempat mempergunakan penalarannya menghadapi keadaan.”

Dengan demikian maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Pegunungan Sewu tidak lagi mengalami kesulitan dengan perbekalan mereka. Sementara itu, mereka sempat beristirahat sambil menunggu kedatangan Panembahan Senapati.

Namun demikian, para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu masih harus sibuk merawat para pengawal dan tawanan yang terluka parah. Sebagian ada yang masih harus mendapat perhatian sepenuhnya. Bahkan ada yang nampak semakin parah dan tidak berpengharapan lagi.

Sebenarnyalah, meskipun mereka telah berada di Madiun, namun mereka masih harus melihat kenyataan, bahwa satu dua di antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu harus mereka lepaskan untuk dikuburkan.

Para tawanan pun menjadi berdebar-debar. Setiap mereka mendengar bahwa masih ada pengawal yang gugur, mereka menjadi berdebar-debar. Jika kemarahan para pengawal yang memang sudah tertimbun di dalam dada mereka itu meledak karena sudah tidak termuat lagi, mereka akan dapat mengalami nasib buruk.

Namun semakin hari, jiwa para pengawal termasuk para pemimpinnya menjadi semakin tenang dan mengendap. Setelah beristirahat dan sempat melihat-lihat keadaan kota Madiun yang telah menjadi tenang setelah perang, maka darah yang seakan-akan mendidih di dalam kulit daging, telah menjadi semakin dingin.

Dengan demikian, maka para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu itu sempat beristirahat sambil menunggu kedatangan Panembahan Senapati dan pasukannya.

Dalam kesempatan yang khusus, maka Glagah Putih sering duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang. Ternyata pandangan Ki Demang Selagilang dengan Agung Sedayu tentang perang yang baru saja terjadi, mempunyai beberapa kesamaan. Ki Demang Selagilang ternyata tidak segarang yang diduga oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Aku telah kehilangan orang yang paling aku percaya,” berkata Ki Demang Selagilang.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ki Bekel Wadasmiring ternyata tidak dapat ikut kembali ke Pegunungan Sewu. Di saat Ki Demang merasa kehilangan kepercayaannya itu bersama beberapa orang pengawal dari Pegunungan Sewu, maka jantungnya memang bagaikan terbakar. Namun akhirnya Ki Demang telah menemukan keseimbangannya kembali, serta dengan pandangan yang bening menilai peristiwa yang telah terjadi.

Ki Demang tidak lagi menilai sikap seseorang terlepas dari peristiwa yang telah terjadi itu sendiri. Perang. Bahkan perang memang telah membuat seseorang berubah. Tetapi cenderung menjadi semakin kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya.

“Kau masih muda,” berkata Ki Demang kepada Glagah Putih, “kau masih akan mengalami berbagai macam liku kehidupan. Menurut gelar kewadagan, umurmu masih panjang. Karena itu, hendaknya kau sempat mengetrapkan pengalaman yang pahit dan yang manis itu di sepanjang perjalanan hidupmu kemudian pada tempatnya, yang sesuai sebagai bahan perhitungan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Terima kasih Ki Demang. Aku akan selalu mengingatnya.”

Ki Demang mengangguk-angguk pula sambil berkata, “Namun mudah-mudahan kau tidak akan pernah mengalami pertempuran yang gila seperti yang pernah kita alami sepulang dari padepokan Kebo Lungit itu.”

“Ya Ki Demang,” jawab Glagah Putih, “pertempuran itu mempunyai kesan tersendiri yang sulit untuk dilupakan. Mudah-mudahan tidak memberikan bekas yang hitam di dalam jantungku sehingga di saat-saat mendatang akan dapat mewarnai sikapku.”

Ki Demang tersenyum. Katanya, “Aku yakin, kau akan dapat menyaring endapan-endapan dari setiap kesan yang terpahat pada dinding jantungmu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil dengan kerut di dahinya. Dengan nada rendah ia berkata, “Ya Ki Demang. Namun nampaknya kesan dari pertempuran itu telah sangat berpengaruh bagi Ki Gede Menoreh.”

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “setiap saat Ki Gede masih menyebut-nyebut beberapa peristiwa dari pertempuran yang garang itu. Setiap kali nampak kesan yang buram di wajah Ki Gede. Bukan karena luka-lukanya yang seakan-akan menjadi kambuh setelah perjalanan yang berat, tetapi luka itu terdapat di perasaan Ki Gede yang paling dalam.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Suaranya merendah, “Agaknya memerlukan waktu beberapa lama. Tetapi keadaan kewadagan Ki Gede menjadi semakin baik.”

“Memang agak membesarkan hati,” sahut Agung Sedayu, “mudah-mudahan dengan beristirahat yang cukup, keadaan Ki Gede segera pulih kembali.”

Ki Demang dengan nada rendah tiba-tiba berdesis, “Kapan Panembahan Senapati datang? Aku sudah terlalu lama meninggalkan Pegunungan Sewu. Rasa-rasanya aku sudah merindukan tanah liat yang kemerah-merahan, serta gugusan batu-batu kapur yang keputih-putihan di lereng miring pegunungan. Jika aku dapat segera kembali ke Pegunungan Sewu, serta Ki Gede berada kembali di kaki-kaki perbukitan di Tanah Perdikan Menoreh, maka hati kami tentu akan segera menjadi dingin kembali, meskipun setiap kali kami akan selalu teringat kawan-kawan dan saudara-saudara kami yang telah gugur.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun terdiam. Perasaan itu sebenarnya bergejolak pula di dalam hati keduanya. Tetapi sebagai pengawal dalam tugas keprajuritan, mereka tidak akan dapat berbuat lain daripada menunggu perintah.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun menyahut, “Bagaimanapun juga kita harus menunggu Panembahan Senapati. Namun agaknya tidak akan terlalu lama lagi Panembahan Senapati akan datang.”

Ki Demang pun mengangguk-angguk kecil. Namun ia mulai berangan-angan tentang perjalanan kembali ke Pegunungan sewu. Namun seperti juga para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, mereka akan menunggu sampai Panembahan Senapati dan pasukannya kembali dari Timur. Sementara itu, keadaan Ki Gede akan menjadi semakin baik untuk menempuh kembali perjalanan yang panjang.

Dari hari ke hari, keadaan Ki Gede memang menjadi semakin baik secara jasmaniah. Namun kadang-kadang Ki Gede masih diganggu oleh kesan pertempuran yang bagaikan nyala api neraka yang membakar pasukannya serta pasukan dari Pegunungan Sewu.

Karena itu, maka kadang-kadang tiba-tiba saja Ki Gede telah turun dari pendapa bangunan induk, berjalan dari satu barak ke barak yang lain, melihat-lihat pasukannya. Seakan-akan masih saja dibayangi oleh luka-luka yang menganga di tubuh para pengawal. Kadang-kadang Ki Gede seakan-akan telah melihat wajah seseorang yang ternyata telah gugur di pertempuran.

Agung Sedayu yang kadang-kadang juga masih merenung, ternyata mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengesampingkan kesan-kesan yang sebenarnya juga mencengkam jantungnya. Kesibukannya mengatur pasukan Tanah Perdikan bersama Prastawa tidak banyak memberikan peluang baginya untuk merenung, sebagaimana Ki Demang Selagilang, Glagah Putih dan Prastawa.

Dalam pada itu, ketika para pengawal itu menjadi semakin gelisah menunggu, maka mereka mendapat pemberitahuan bahwa utusan Panembahan Senapati telah datang mendahului pasukannya.

Ki Lurah Reksoboga-lah yang berbicara kepada Agung Sedayu tentang utusan yang datang itu.

“Kalian tentu akan segera diberitahu pula,” berkata Ki Lurah.

“Ternyata Ki Lurah mengetahui lebih dahulu,” sahut Agung Sedayu.

“Tentu, karena aku harus menyediakan perbekalan bagi mereka yang akan datang. Nampaknya seperti pasukan kalian waktu kalian datang. Di saat apapun aku harus menyediakan makan bagi mereka. Siang atau malam.” Ki Lurah berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tetapi jika aku sudah mengetahuinya lebih dahulu, maka tidak akan sangat menyibukkan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun Ki Lurah itu dengan serta merta berkata, “Tetapi bukan maksudku menyalahkanmu, bahwa kau tidak mengirimkan penghubung lebih dahulu. Keadaanmu dan pasukanmu memang berbeda dengan keadaan dan pasukan Panembahan Senapati.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas pengertian Ki Lurah.”

Sebenarnyalah bahwa dari Ki Tumenggung, secara resmi Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang telah mendapat pemberitahuan. Seorang penghubung telah datang menemui Ki Gede dan ki Demang, untuk memberitahukan bahwa Panembahan Senapati sudah mendekati Madiun bersama pasukannya.

“Dalam waktu dua hari lagi, Panembahan Senapati akan memasuki Madiun,” berkata penghubung itu.

“Dua hari lagi? Begitu lama?” bertanya Ki Demang Selagilang di luar sadarnya.

“Perjalanan Panembahan Senapati memang sangat lamban,” jawab penghubung itu, “nampaknya memang tidak tergesa-gesa. Selain itu, Panembahan juga menjaga agar para prajuritnya yang terluka tidak mengalami kesulitan di perjalanan. Sementara itu penghubung yang datang lebih dahulu adalah penghubung berkuda, sehingga perjalanannya menjadi jauh lebih pendek dari perjalanan pasukannya.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Gede berkata, “Mungkin Panembahan Senapati juga memerlukan singgah di beberapa kota yang dilewatinya.”

“Ya,” sahut penghubung itu, “hal itu perlu dilakukan untuk menjalin keakraban hubungan dengan Mataram.”

Ki Gede yang masih saja mengangguk-angguk itu bertanya, “Apakah ada perintah penyambutan oleh seluruh pasukan yang ada di Madiun?”

“Tidak,” jawab penghubung itu, “Panembahan Senapati hanya memerintahkan semua pasukan bersiap. Setiap saat akan jatuh perintah untuk segera kembali ke Mataram.”

“Perjalanan kembali itu tentu tidak tergesa-gesa,” desis Ki Demang Selagilang. Namun katanya kemudian, “Tetapi kami merasa sangat rindu kepada kampung halaman kami, meskipun kenangan kami kepada kawan-kawan kami yang telah gugur akan menjadi semakin menusuk.”

Penghubung itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku kira demikian pula perasaan Panembahan Senapati dan para pemimpin di Mataram.”

Ki Demang mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak jadi mengucapkan sepatah katapun. Hampir saja ia mengatakan, bahwa keadaan Panembahan Senapati agak berbeda, setelah ia bertemu dengan Putri Madiun.

Tetapi karena Ki Demang terdiam, justru penghubung itu yang berbicara ,”Namun agaknya ada persoalan lain yang mendorong Panembahan Senapati harus segera kembali ke Mataram.”

“Persoalan apa?” bertanya Ki Gede.

“Bukankah kita semuanya tahu sikap Adipati Pati terhadap Panembahan Senapati?” desis penghubung itu.

Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sikap Adipati Pati memang akan dapat menjadi benih baru yang akan tumbuh dan berkembang. Bukan pohon buah-buahan yang akan memberikan buah yang manis, tetapi sebatang pohon yang penuh dengan duri-duri tajam yang akan dapat menusuk kulit daging.

Meskipun tidak terdengar keluhan, tetapi terasa betapa pahitnya perasaan Ki Gede menanggapi keadaan. Perang yang susul menyusul tidak ada henti-hentinya. Sejak Demak pecah, maka perang bagaikan membakar seluruh daratan tanah ini. Bahkan sejak sebelumnya.

Tetapi Ki Gede tidak mengatakan sesuatu. Seperti Ki Demang, maka rasa-rasanya Ki Gede menjadi rindu kepada kampung halamannya.

Sementara itu, dalam waktu dua hari, Madiun telah berbenah untuk menyambut kedatangan Panembahan Senapati dari Timur. Namun segala sesuatunya diselenggarakan sesuai dengan keadaan. Madiun masih berada dalam keadaan perang, meskipun telah dirintis suasana yang lebih baik.

Sebenarnyalah seperti yang sudah diberitahukan sebelumnya, di hari yang direncanakan pasukan induk Mataram yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati telah memasuki Madiun kembali.

Tidak ada penyambutan secara khusus. Pasukan Mataram datang menjelang matahari turun. Kemudian mereka berkumpul di alun-alun sebentar. Para pemimpin pasukan telah mendapat perintah langsung dari Panembahan Senapati untuk membawa pasukannya masing-masing ke barak-barak yang telah disiapkan. Sementara Panembahan Senapati dan para pengawal khusus akan berada di istana bersama Putri Madiun Retna Jumilah.

Para petugas memang telah mengatur barak-barak yang ada bagi para prajurit. Bahkan rumah-rumah yang besar yang memang sejak sebelumnya dipinjam untuk barak-barak prajurit.

Ki Lurah Reksaboga dengan beberapa orang pembantunya telah sibuk mengatur anak buahnya dalam tugas yang besar, karena harus menyediakan makan, minum dan keperluan lain bagi seluruh pasukan Mataram.

Dalam pada itu, Panembahan Senapati masih belum memanggil dan memberikan gambaran menyeluruh tentang hasil perjalanannya ke Pasuruan. Namun dari mulut ke mulut telah terdengar berita keberhasilan perjalanan Panembahan Senapati.

Ki Lurah Reksaboga dalam kesibukannya sempat juga bertemu dengan Agung Sedayu, yang justru dikenalnya semakin akrab, dan bercerita, “Panembahan Senapati berhasil menyatukan Pasuruan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Kau lagi yang lebih dahulu mengetahui.”

“Tentu,” jawab Ki Lurah, “semua orang dalam setiap pasukan tentu mencari aku. Maksudku semua orang khusus yang memimpin tugas perbekalan.”

“Mereka agaknya telah bercerita?” desis Agung Sedayu.

“Ya,” jawab Ki Lurah. “Di antara para korban di peperangan antara Mataram dan Pasuruan terdapat Ki Rangga Keniten.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Ki Lurah telah berkata pula, “Agaknya kau belum pernah mendengar namanya. Seorang yang sakti pilih tanding. Ki Rangga telah dengan berani menantang Panembahan Senapati berperang tanding. Namun Ki Rangga dapat dikalahkan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia tidak pernah merasa heran atas kemenangan-kemenangan yang diraih oleh Panembahan Senapati, karena Panembahan Senapati memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sebagai orang yang pernah mengalami pengembaraan bersama meskipun hanya dalam waktu singkat. Agung Sedayu menyadari bahwa panembahan Senapati adalah orang yang berilmu sangat tinggi dari berbagai jenis. Puncak-puncak dari jenis ilmunya sulit untuk diimbangi oleh siapapun juga, sehingga dengan demikian maka Panembahan Senapati adalah prajurit yang seakan-akan tidak ada duanya.

Dalam pada itu, karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, Ki Lurah bertanya, “Kau tidak percaya? ”

“Bukannya tidak percaya. Tetapi aku memang tidak pernah merasa heran atas kemenangan-kemenangan itu,” jawab Agung Sedayu.

“Kau merendahkan Panembahan Senapati,” desis Ki Lurah.

“Kau salah,” jawab Agung Sedayu, “aku tidak menjadi heran justru karena aku yakin akan kelebihan Panembahan Senapati. Orang yang merasa heran akan kemenangan Panembahan Senapati adalah justru orang yang masih meragukan kelebihannya.”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Namun seharusnya kau menyatakan kegembiraanmu bahwa dalam perang tanding itu Panembahan Senapati menang.”

“Bukankah itu wajar sekali?” desis Agung Sedayu.

“Ya, ya. Seharusnya akupun tidak menjadi heran,” jawab Ki Lurah, yang kemudian katanya, “besok, semua pemimpin pasukan akan dipanggil. Tentu termasuk pimpinan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu.”

“Kami berharap demikian, sehingga kami mendapat gambaran yang utuh atas hasil peperangan itu,” jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah pun mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian telah minta diri pula.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah, sebenarnyalah para pemimpin pasukan telah mendapat pemberitahuan agar esok pagi saat matahari naik sepenggalah, semuanya telah berada di paseban Istana Madiun.

Tetapi apa yang akan diberitahukan oleh Panembahan Senapati tentang pertempuran di Pasuruan semuanya telah didengar oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh, pasukan dari Pegunungan Sewu serta pasukan-pasukan yang tinggal di Madiun.

Meskipun demikian, ketika matahari terbit di keesokan harinya, maka rasa-rasanya para pemimpin pasukan itu menjadi tegang untuk mendengarkan keterangan yang langsung akan diberikan oleh Panembahan Senapati. Namun para pemimpin pasukan itu sadar, bahwa yang akan diberitahukan oleh Panembahan Senapati bukan saja keterangan tentang perang di Timur, tetapi juga perintah-perintah bagi pasukan Mataram.

Saat matahari naik, maka para pemimpin pasukan, baik yang ikut bersama Panembahan Senapati maupun yang tinggal di Madiun, serta yang mendapat perintah tugas tersendiri untuk pergi dan menguasai padepokan Kebo Lungit, telah berada di paseban. Sedangkan beberapa saat kemudian, Panembahan Senapati pun telah hadir pula bersama Ki Patih Mandaraka.

Dengan nada rendah Panembahan Senapati telah menguraikan, yang ternyata tidak sebanyak yang diduga, tentang perang dengan Pasuruan. Agaknya Panembahan Senapati sama sekali tidak ingin membanggakan kemenangan itu. Bahkan ia hanya menyinggung sedikit tentang kematian Ki Rangga Keniten.

“Aku tidak membunuhnya,” berkata Panembahan Senapati, “aku hanya mengalahkannya.”

Namun semua orang yang hadir di paseban itu sudah mengetahui bahwa Ki Rangga Keniten justru telah mengalami nasib buruk, karena ia telah dihukum mati oleh pimpinannya sendiri.

Yang kemudian penting bagi para pemimpin kelompok adalah perintah Panembahan Senapati untuk mempersiapkan diri. Dalam waktu dekat, Panembahan Senapati akan kembali ke Mataram.

Dalam pertemuan itu, Panembahan Senapati juga telah mendengarkan laporan Ki Gede Menoreh yang hadir bersama Agung Sedayu serta Ki Demang Selagilang, tentang pertempuran di padepokan Ki Gede Kebo Lungit.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede. Dengan laporannya, Ki Gede berhasil memberikan gambaran tentang peristiwa yang mendebarkan jantung yang terjadi atas pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan dari Pegunungan Sewu.

Panembahan Senapati serta para pemimpin yang tidak menyaksikan sendiri pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa perang di Pasuruan tidak segarang perang yang terjadi di padepokan Ki Gede Kebo Lungit. Jumlah pasukan di kedua belah pihak memang telah terlalu besar. Tetapi bahwa kedua belah pihak seakan-akan tidak lagi menyadari apa yang telah mereka lakukan, adalah pertanda bahwa pertempuran yang terjadi adalah pertempuran yang sulit untuk dikendalikan.

Dengan demikian maka orang-orang yang terluka, yang harus mendapat perawatan karena luka yang parah, terhitung cukup banyak.

Namun perintah Panembahan Senapati tetap. Dalam waktu dekat maka pasukan Mataram akan kembali ke Mataram.

Bagi yang terluka parah, akan disediakan pedati khusus, selain pedati yang akan mengangkat alat-alat dan perbekalan, sehingga bagi mereka tidak lagi memerlukan tandu.

Sebagai ancar-ancar waktu maka Panembahan Senapati telah memerintahkan semua pasukan siap dalam waktu lima hari, termasuk para petugas perbekalan, kesiagaan bagi angkutan orang-orang yang terluka parah, serta persediaan apapun bagi perjalanan kembali.

“Kita akan singgah di Pajang dan bermalam dua hari. Para penghubung akan mendahului. Mereka akan minta Pajang mempersiapkan segala sesuatunya bagi kita selama kita berada di Pajang untuk beristirahat. Pasukan Pajang kemudian akan tinggal, Namun mereka harus tetap bersiaga sepenuhnya, karena sewaktu-waktu pasukan itu akan kita perlukan lagi,” berkata Panembahan Senapati.

Kemudian yang di luar dugaan adalah bahwa secara terbuka Panembahan Senapati berkata, “Kita harus memperhatikan setiap langkah Adimas Adipati Pati, yang telah dengan serta merta meninggalkan Madiun.”

Para pemimpin pasukan Mataram yang ada di pasukan itu pun menjadi berdebar-debar. Pernyataan itu tidak ubahnya sebagai perintah untuk bersiap-siap menghadapi perang berikutnya. Melawan Pati, yang mempunyai pengaruh yang besar di pesisir utara.

Nampaknya pertumbuhan Mataram harus dibayangi oleh perbedaan pendapat yang berkepanjangan dan silih berganti. Perjuangan yang berat yang ditandai dengan peperangan yang tidak henti-hentinya.

Namun Panembahan Senapati tidak akan melangkah surut. Ia akan berusaha sejauh mungkin menghindari kekerasan, tetapi ia tidak ingin usaha yang dirintisnya akan tenggelam dan hilang ditelan gejolak yang timbul karenanya. Jika ia gagal, bukan sekedar hilangnya kekuasaan yang sudah ada di tangannya, tetapi cita-citanya dan citra masa depan tanah ini pun akan menjadi tenggelam pula.

Demikianlah, Panembahan Senapati masih memberikan beberapa pesan lagi kepada para pemimpin pasukan yang tergabung dalam pasukan Mataram. Tetapi Panembahan Senapati tidak terlalu lama berbicara dengan pemimpin pasukan yang datang menghadapnya. Beberapa saat kemudian, maka pertemuan itu pun telah dibubarkan, dengan pesan bahwa semua pasukan siap berangkat dalam waktu lima hari.

Sementara itu, Panembahan Senapati dan beberapa orang pemimpin tertinggi pasukan Mataram telah menyelenggarakan pertemuan khusus dengan para pemimpin Madiun yang masih tinggal, yang bersedia bekerja bersama dengan Mataram. Panembahan Senapati telah membicarakan pula susunan pemerintahan serta kesiapan prajurit Madiun sepeninggal Mataram.

Dalam pada itu, demikian para pemimpin pasukan berada di barak mereka masing-masing, maka perintah Panembahan Senapati segera dilaksanakan. Para pemimpin pasukan itu telah memanggil para pemimpin kelompok dan mengalirkan perintah Panembahan Senapati agar mereka bersiap dalam waktu lima hari, karena pasukan itu akan bergerak kembali ke Mataram dalam waktu lima hari itu.

“Kita akan mendapatkan beberapa pedati,” berkata Ki Gede, “dengan demikian kita tidak akan mendapatkan kesulitan untuk membawa kawan-kawan kita yang terluka parah. Perjalanan kembali ke Mataram termasuk perjalanan yang panjang.”

Namun demikian, para tabib dari semua kesatuan yang ada dalam pasukan Mataram harus bekerja keras. Mereka yang masih parah harus mendapat perawatan khusus, agar mereka tidak semakin menderita dalam perjalanan yang jauh itu, meskipun mereka berada di pedati.

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Jangan terlalu lama,” berkata Ki Gede.

“Baik Ki Gede,” jawab Agung Sedayu.

“Bukankah tidak terjadi sesuatu dengan mereka?” bertanya Ki Gede pula.

“Menurut pendengaran kami, mereka dalam keadaan baik,” jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, setelah minta diri pula kepada Ki Demang Selagilang, Agung Sedayu telah pergi ke barak yang jaraknya beberapa ratus patok dari baraknya untuk menemui Untara dan Swandaru, karena menurut pengertiannya, kesatuan dari Kademangan Sangkal Putung berada di bawah pimpinan Untara pula.

Yang pertama-tama ditemui oleh Agung Sedayu adalah Untara. Mereka bertemu sejenak setelah mereka menghadiri pertemuan di paseban. Tetapi hanya sebentar, karena Untara harus segera mengikuti pertemuan khusus yang diselenggarakan kemudian.

Agung Sedayu dan Glagah Putih diterima oleh Utara dengan gembira. Bagaimanapun juga keduanya adalah adiknya. Yang seorang adik kandungnya, dan seorang lagi adik sepupunya.

“Aku mendengar laporan Ki Gede Menoreh dengan hati yang berdebar-debar,” berkata Untara. Namun kemudian ia bertanya, “Bukankah laporan yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh itu gambaran sebenarnya dari peristiwa yang terjadi saat kalian menarik diri dari padepokan Kebo Lungit? ”

“Benar Kakang,” jawab Agung Sedayu, “Ki Gede tidak menambah dan tidak mengurangi. Para tawanan yang kemudian mendapat kesempatan untuk melawan, menjadi seperti gila. Mereka tidak terkendali lagi, sehingga para pengawal yang harus menguasainya pun telah menjadi seperti gila pula.”

“Bagaimana dengan kau?” bertanya Untara.

“Aku tengah mencoba menemukan pimpinan mereka yang telah berhasil menyalakan api di antara para tawanan itu,” jawab Agung Sedayu.

“Dan kau menemukannya?” bertanya Untara. Agung Sedayu mengangguk kecil.

Untara pun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Untara kemudian berkata, “Pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan dari Pegunungan Sewu mendapat penilaian baik dari Panembahan Senapati. Dengan kebanggaan tersendiri Panembahan Senapati menyebut beberapa kali namamu. Bahkan Panembahan Senapati mengatakan bahwa kau adalah salah seorang di antara mereka yang pernah bersamanya mengembara di masa mudamu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Untara berkata selanjutnya, “Sebenarnya kau memiliki banyak kesempatan, Agung Sedayu. Sedangkan kau menjadi semakin dewasa, bahkan semakin matang untuk memikirkan dirimu sendiri. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepadamu.” Lalu Untara pun berpaling kepada Glagah Putih, “Kau pun pernah mendapat kesempatan yang baik, karena kau adalah sahabat terdekat Raden Rangga. Seperti yang pernah kau ceritakan, bahwa kau mendapat banyak keuntungan justru karena kau dekat dengan Raden Rangga, namun kau telah mendapatkan sebagian daripadanya, sehingga kau pun termasuk anak muda yang melampaui tataran kewajaran.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil menunduk ia berkata, “Kakang terlalu memuji. Aku belum apa-apa.”

“Aku tidak memuji. Aku hanya ingin memacu penalaran kalian agar kalian sempat memikirkan diri kalian dan masa depan kalian sendiri,” sahut Untara pula.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu hanya menunduk saja. Namun Untara pun kemudian berkata, “Sudahlah. Aku tidak berniat berbicara tentang masa depan kalian. Aku hanya ingin menyampaikan tanggapan Panembahan Senapati atas Agung Sedayu.”

“Terima kasih Kakang,” jawab Agung Sedayu perlahan-lahan.

“Bagaimana dengan Ki Gede sendiri?” bertanya Untara, “Aku lihat, keadaannya masih belum pulih seutuhnya.”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “semula keadaannya sudah baik. Bahkan hampir pulih. Tetapi pertempuran yang garang itu telah membuat Ki Gede terguncang lagi perasaannya. Apalagi perjalanan yang harus kami tempuh dari kaki Gunung Wilis sampai ke kota ini.”

Untara mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah dalam waktu sepekan keadaannya akan bertambah baik, sehingga perjalanan kita kembali ke Mataram tidak akan memperberat keadaan kesehatannya?”

“Keadaannya sudah semakin baik. Kemarin Ki Gede sudah bergerak agak banyak dengan mempermainkan tombaknya di halaman belakang barak, untuk membiasakan dirinya dan memulihkan kembali otot-ototnya,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi di paseban aku masih melihatnya seperti orang yang sangat letih,” berkata Untara.

“Terutama perasaannya,” jawab Agung Sedayu.

“Ki Gede memang menjadi semakin tua,” berkata Untara, “kemudian akan datang saatnya Swandaru memimpin Tanah Perdikan Menoreh dan sekaligus Kademangan Sangkal Putung.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mengira bahwa kakaknya akan kembali lagi mempersoalkan dirinya. Namun ternyata tidak. Untara justru berkata, “Kiai Gringsing pun sudah terlalu tua. Bahkan menurut penilaian wajar, wadagnya sudah tidak mampu mendukung lagi betapapun tinggi ilmunya.”

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Kiai Gringsing sudah menjadi sakit-sakitan. Tubuhnya memang sangat lemah, sehingga ia sudah harus banyak beristirahat.”

“Siapakah yang merawatnya? Apakah para cantrik dapat melakukannya?” bertanya Untara, “Atau Paman Widura akan selalu berada di padepokan itu?”

“Paman Widura telah menjadi murid termuda Kiai Gringsing, justru setelah umur Paman Widura menjadi semakin mendekati senja. Tetapi dengan bekal yang telah dimiliki, Paman Widura adalah murid yang paling baik,” berkata Agung Sedayu.

Untara tersenyum. Katanya, “Aku juga mendengar. Tetapi apa salahnya? Mungkin justru akan membuat Paman Widura menjadi semakin kuat dan tidak menjadi cepat pikun.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun tersenyum pula. Namun mereka memang sependapat, bahwa Ki Widura dalam usia senjanya ternyata masih mampu menyerap ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. Namun karena gurunya juga sudah menjadi lemah, sementara Ki Widura sendiri juga sudah menjadi semakin tua, maka sudah tentu peningkatan ilmunya dilakukan dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh Agung Sedayu dan Swandaru.

Dalam pada itu, setelah berbincang cukup panjang, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah minta diri untuk menemui Swandaru.

“Ia berada di bagian belakang dari rumah sebelah, yang juga dipinjam untuk menjadi barak dari para pengawal Kademangan Sangkal Putung dan beberapa kelompok prajurit di bagian depan. Aku tidak sempat mengatakan kepadamu, bahwa Swandaru terluka dalam pertempuran itu. Tetapi lukanya tidak terlalu parah, meskipun harus mendapat perawatan yang sungguh-sungguh. Namun keadaannya kini sudah menjadi semakin baik. Lima hari lagi mudah-mudahan luka-lukanya sudah sembuh, sehingga dalam perjalanan kembali ke Mataram dia tidak akan mengalami kesulitan,” berkata Untara.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia bertanya, “Di bagian tubuhnya yang mana Adi Swandaru terluka?”

“Di dadanya. Untunglah bahwa tusukan pedang itu tidak menembus bagian dalam dadanya yang gawat. Pedang itu hanya mengenai kulit dan dagingnya di bawah ketiaknya. Namun dagingnya yang koyak itu telah mengalirkan darah yang mula-mula agak sulit dipampatkan, sehingga tabib yang langsung merawatnya menjadi cemas,” berkata Untara.

“Syukurlah jika luka itu hanya di bagian luar tubuhnya saja,” berkata Agung Sedayu.

“Swandaru agak sulit dikendalikan,” berkata Untara, “ia terlalu menuruti perasaannya. Seorang yang dengan berani mendahului menyerang lawan, dalam gelar perang tidak selalu menguntungkan. Selain itu, ia justru telah melakukan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya sendiri.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Ketika ia terluka, maka ia tidak mau segera menyerahkan lawannya kepada orang lain yang menggantikannya. Sabungsari yang sempat mengambil alih lawannya melihat Swandaru menolak untuk dirawat. Tetapi akhirnya ia harus mengakui kenyataan, bahwa darah yang mengalir terlalu deras itu membuatnya menjadi semakin lemah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Untara berkata selanjutnya, “Swandaru ternyata lebih banyak mengikuti perasaan diri sendiri daripada memasuki satu kesatuan yang utuh dalam satu gelar pasukan.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mengenal Swandaru dengan baik dapat mengerti keterangan Untara. Swandaru memang lebih banyak melihat ke dalam dirinya sendiri, sehingga kadang-kadang ia mengabaikan orang lain.

Tetapi selain sifatnya itu, Swandaru pun ingin nampak lebih baik dari orang-orang lain. Dengan sikapnya itu ia ingin menunjukkan kepada para pemimpin tertinggi Mataram, bahwa ia memiliki kelebihan dari para pemimpin pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram itu.

Karena itu, maka Swandaru tentu berkeberatan jika ada orang lain yang sanggup menyelesaikan pekerjaan yang tidak dapat diselesaikannya. Agaknya Swandaru tidak senang melihat Sabungsari mengambil lawannya dan bahkan kemudian menyelesaikannya.

Tetapi Agung Sedayu pun mengenal Sabungsari dengan baik. Prajurit muda itu memang memiliki kemampuan dan ilmu yang tinggi. Bagaikan sebilah pedang yang selalu diasahnya, maka ilmu Sabungsari pun menjadi semakin tajam.

Demikianlah, sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan Untara untuk menemui Swandaru di rumah sebelah.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai ke serambi belakang rumah yang dipergunakan oleh para pengawal dari Sangkal Putung, dilihatnya Swandaru duduk bersama beberapa orang pengawal Kademangannya. Di hadapannya semangkuk minuman hangat dengan gula kelapa.

Ketika Swandaru melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih menengoknya, maka dengan serta merta iapun bangkit sambil mempersilahkan Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Aku sudah mengira bahwa kalian akan datang,” berkata Swandaru, “kalian tentu mendapat keterangan bahwa aku telah terluka. Tetapi sebagaimana kalian lihat, aku tidak apa-apa.” Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Syukurlah. Aku memang mendengar dari Kakang Untara bahwa kau terluka ”

Swandaru tertawa. Katanya pula, “Kakang Untara adalah seorang kakak yang baik. Ia selalu cemas tentang adik-adiknya. Ia menganggap aku seperti Kakang Agung Sedayu yang manja, sehingga ketika segores kecil luka di kulitku, Kakang Untara sudah menjadi kebingungan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Baru saja ia datang, tetapi Swandaru telah mulai menyinggung perasaannya.

Namun Agung Sedayu seperti biasanya telah menahan diri. Ia tidak cepat menjadi marah. Apalagi ia sadar bahwa pada saat itu Swandaru ingin membuat imbangan dari kegagalannya di medan, karena yang kemudian berhasil menyelesaikan lawannya adalah orang lain, sementara Swandaru sendiri telah terluka.

Karena itulah, maka Agung Sedayu masih saja tersenyum.

“Marilah, duduklah Kakang,” Swandaru mempersilahkan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah duduk pula bersama Swandaru. Namun dengan demikian, Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat, bahwa Swandaru masih nampak pucat. Lukanya tentu masih belum sembuh benar, karena masih nampak obat yang melekat pada lukanya itu, sementara tangannya masih belum dapat bergerak wajar.

Tetapi keduanya sama sekali tidak ingin mempersoalkan, karena hal itu tentu akan dapat menyinggung perasaannya. Meskipun Swandaru sendiri tidak pernah memikirkan kemungkinan seperti itu atas Agung Sedayu.

Sejenak kemudian, maka seorang pengawal Kademangan Sangkal Putung yang telah mengenal Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan baik telah menghidangkan minuman hangat pula bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Sementara itu, maka Swandaru telah menceritakan pengalamannya selama ia mengikuti pasukan Mataram dalam perjalanannya ke Timur.

Memang ada sedikit perbedaan pandangan antara Swandaru dan Untara mengenai perang itu sendiri. Swandaru merasa sering di kecewakan oleh Untara, bahkan Swandaru merasa bahwa Untara kurang mempercayainya.

“Aku tahu, tentu maksudnya baik,” berkata Swandaru, “tetapi dengan demikian, aku dan bahkan seluruh pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung masih saja dianggap anak-anak.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Sudahlah. Jangan hiraukan. Kakang Untara yang terbiasa memimpin para prajurit yang mempunyai ikatan yang sangat kuat dan paugeran yang ketat. Kita yang tidak terbiasa mengalami perlakuan seperti itu tentu menjadi agak terkejut karenanya.”

Swandaru mengangguk-angguk pula. Dengan nada tinggi ia masih menceritakan bahwa pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung sebenarnya akan dapat selalu menjadi paruh dari gelar seluruh pasukan, meskipun letaknya di sayap kanan.

Agung Sedayu termangu-mangu sambil bertanya, “Bagaimana mungkin paruh gelar berada di sayap?”

“Kenapa tidak mungkin? Kami selalu mendahului pasukan yang lamban. Gelar yang panjang sangat menghambat. Ternyata bahwa pasukan Kademangan Sangkal Putung setiap benturan mampu menembus pasukan lawan dan menusuk ke dalam gelar mereka, sulit untuk diikuti oleh pasukan yang lain. Bahkan oleh prajurit Mataram yang ada di sayap bersama Sangkal Putung, yang dipimpin langsung oleh Kakang Untara sendiri.” Swandaru berhenti sejenak. Lalu katanya tiba-tiba, “Sebenarnya Kakang Untara tidak boleh terlalu percaya kepada Sabungsari. Kakang Untara menganggap Sabungsari itu segala-galanya, sehingga aku pernah dikecewakan olehnya.”

Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut, “Mungkin di dalam pasukan Kakang Untara tidak ada orang lain yang lebih baik dari Sabungsari.”

Swandaru tertawa sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian. Tetapi ia menganggap semua orang seperti para prajuritnya, yang tidak tanggap terhadap medan. Semua menunggu perintah. Jika perintah diteriakkan, baru semuanya bergerak, meskipun sebelumnya kesempatan telah terbuka sejak lama.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Agaknya hal itulah yang mendorong Swandaru kadang-kadang kurang mematuhi ikatan kesatuan pasukannya dan bertindak sendiri, sehingga menurut Untara kadang-kadang justru merugikan seluruh kekuatan Mataram. Terutama bagian dari sayap kanan.

Sementara itu, lampu pun telah terpasang dimana-mana. Malam mulai turun sehingga halaman belakang rumah yang dipergunakan untuk barak itu sudah mulai gelap.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri sambil berkata, “Mudah-mudahan kau cepat sembuh. Lima hari lagi kita kembali ke Mataram.”

“Aku tidak apa-apa,” berkata Swandaru, “sejak aku tersentuh senjata lawan, sebenarnya aku sudah sembuh. Apalagi sekarang. Tetapi tabib yang sombong itu menganggap aku masih perlu diobati, sehingga justru aku merasa sangat terganggu. Tetapi aku tidak ingin menyakiti hatinya, sehingga aku biarkan saja obat itu melekat pada bekas lukaku. Sebagaimana aku memang memberikan kesempatan kepada Sabungsari yang merasa dirinya memiliki kemampuan lebih dari kemampuanku.”

Agung Sedayu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi masih juga meluncur pesannya, “Bagaimanapun juga, jaga bekas lukamu agar tidak menjadi kambuh lagi.”

Agung Sedayu tidak memberikan pesan apa-apa lagi. Iapun kemudian telah minta diri dan meninggalkan rumah itu.

Ketika ia melewati barak yang dipergunakan oleh Untara dan prajuritnya, ia telah bertemu dengan Sabungsari yang berdiri di regol halaman.

“Kau Agung Sedayu,” sapa Sabungsari dengan wajah terang, “aku mendengar dari Ki Untara, bahwa kau baru mengunjungi Swandaru.”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “kami baru saja mengunjungi Adi Swandaru.”

“Apakah lukanya sudah berangsur baik?” bertanya Sabungsari.

“Ya. Menurut Swandaru lukanya sudah menjadi baik,” jawab Agung Sedayu.

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan ia tidak membuat lukanya sendiri semakin parah.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti maksud Sabungsari. Tetapi Saburgsari pun segera berkata, “Namun Swandaru adalah seorang yang daya tahan tubuhnya sangat tinggi. Tubuhnya tergores senjata dari punggung sampai ke dada. Tetapi seakan-akan ia tidak mengalami kesakitan sama sekali. Jika tidak dipaksa, ia masih akan tetap memberikan perlawanan. Namun darahnya yang mengalir sangat membahayakannya, sehingga dengan terpaksa aku memberanikan diri untuk mengambil lawannya. Tetapi aku sudah minta maaf kepadanya. Hal itu aku lakukan justru karena tugasku sebagai prajurit.”

“Nampaknya Swandaru dapat mengerti,” desis Agung Sedyu.

“Syukurlah. Tetapi begitu tinggi daya tahannya, sehingga di hari berikutnya ia sudah sehat kembali. Seakan-akan tidak pernah mengalami luka di peperangan hari sebelumnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kakang Untara sudah menceriterakan pula, apa yang telah dilakukan oleh Adi Swandaru.”

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung memang cukup tangguh. Tidak kalah dari pasukan prajurit yang terpilih.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau memuji. Tetapi pasukan pengawal Sangkal Putung memang memiliki ciri tersendiri. Kau harus mengingat sejarah kelahirannya, saat pasukan Tohpati ada di sekitar Sangkal Putung.”

“Ya. Itulah agaknya yang membuat pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung cukup meyakinkan,” berkata Sabungsari. Namun kemudian Sabungsari itupun mempersilahkan, “Marilah, silahkan singgah sejenak.”

“Aku tadi sudah singgah dan bertemu Kakang Untara,” berkata Agung Sedayu.

“Tetapi aku belum kembali,” berkata Sabungsari, “aku sedang melihat-lihat keadaan kota setelah perang.”

“Terima kasih,” berkata Agung Sedayu, “malam sudah turun. Aku harus segera kembali ke barak. Ki Gede juga terluka. Tetapi keadaannya menjadi semakin baik.”

“Aku juga mendengar. Tetapi Panembahan Senapati mengagumi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Sabungsari.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Mudah-mudahan para pengawal Tanah Perdikan dapat membawa beban pujian itu dan mewujudkannya sebagai satu kenyataan.”

“Hal itu berlaku jika pujian itu diberikan sebelumnya. Tetapi pujian ini diberikan setelah hal itu terjadi,” berkata Sabungsari kemudian.

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kami minta diri. Bukankah kita masih lima hari lagi berada di sini?” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Aku menunggu kau singgah sekali-sekali ke barak pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Baiklah,” berkata Sabungsari, “besok aku akan datang, jika tidak ada tugas yang tiba-tiba.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian telah minta diri meninggalkan barak para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom. Mereka kemudian telah menyusuri jalan-jalan kota yang sepi. Nampaknya nafas kehidupan penghuni Kota Madiun masih belum pulih kembali. Demikian matahari terbenam, maka jalan-jalan telah menjadi sunyi. Yang lewat kemudian hanyalah prajurit-prajurit yang meronda. Ada yang berjalan kaki, tetapi ada pula pasukan berkuda. Di setiap regol rumah yang dipergunakan oleh para prajurit dan pengawal atau barak-barak yang memang ada sejak sebelumnya, nampak para petugas berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.

Ketika keduanya kemudian kembali ke barak, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah menghadap Ki Gede yang masih duduk-duduk berbincang dengan Ki Demang Selagilang. Mereka menceritakan keadaan para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, serta para prajurit yang berada di Jati Anom.

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ia ikut merasa bangga atas beberapa pujian bagi para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, serta pujian bagi menantunya. Namun Agung Sedayu pun serba sedikit juga mengatakan sikap Swandaru yang kurang menguntungkan bagi dirinya sendiri.

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Itu memang sudah sifatnya. Sulit untuk merubahnya. Kau adalah saudara tua seperguruan. Barangkali lewat guru kalian, meskipun hanya sedikit, sifat Swandaru dapat berubah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, “Guru juga mengalami kesulitan. Tetapi kami akan mencobanya.”

Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, Agung Sedayu telah mohon agar Ki Gede beristirahat. Meskipun keadaannya berangsur baik, namun Ki Gede masih memerlukan banyak beristirahat.

Ki Gede pun kemudian telah masuk ke dalam biliknya. Ia tidak perlu ikut mengawasi para petugas yang berjaga-jaga malam itu, sebagaiamana malam-malam di saat mereka menuju ke padepokan Kebo Lungit sampai saat mereka kembali ke Madiun. Di barak itu Ki Gede tidak perlu merasa cemas, karena peronda dan penjagaan telah berlapis di seputar kota. Bahkan di halaman barak itu sendiri.

Demikianlah, maka sejenak kemudian bukan saja barak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, tetapi juga barak-barak yang lain telah menjadi sepi. Para prajurit dan pengawal telah tertidur nyenyak, kecuali mereka yang sedang bertugas.

Ternyata sambil menunggu saat pasukan kembali ke Mataram, maka para prajurit dan pengawal seakan-akan mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka tidak mempunyai kewajiban selain bergantian berjaga-jaga di barak masing-masing. Sementara bagi pasukan khusus, berjaga-jaga di regol dan pintu gerbang kota serta meronda berkeliling.

Di siang hari, para prajurit dan pengawal yang berasal dari daerah yang berbeda sempat saling berkunjung. Sedangkan mereka yang terluka dan menjadi sakit mendapat kesempatan untuk mengobatinya, sehingga saat mereka kembali ke Mataram, keadaannya sudah menjadi semakin baik.

Di hari yang ketiga, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat berjalan-jalan di sepanjang jalan kota. Mereka pun sempat singgah di pasar yang sudah hampir menjadi pulih kembali sejak terjadi perang. Para pedagang berdatangan dari tempat yang cukup jauh untuk menjual dan membeli barang-barang yang mereka butuhkan.

Tetapi ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai ke dekat pintu pasar, ia terkejut. Ia melihat seseorang yang juga akan masuk ke dalam pasar dari arah lain. Ketika ia menggamit Glagah Putih, maka Glagah Putih pun segera tanggap.

Tetapi orang yang mereka perhatikan itu pun telah melihat Agung Sedayu pula. Orang itu pun agaknya terkejut karenanya. Namun dengan demikian ia jutru dengan cepat menyelinap dan hilang.

Glagah Putih telah siap untuk menyusul orang itu masuk ke dalam pasar. Tetapi Agung Sedayu telah mencegahnya.

“Kita harus menangkapnya. Bukankah orang itu Ki Gede Kebo Lungit?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Orang itu adalah Ki Gede Kebo Lungit,” jawab Agung Sedayu.

“Karena itu, marilah, kita harus menangkapnya,” berkata Glagah Putih.

“Sulit untuk melakukannya. Ia tahu pasti, bahwa hal itu tidak akan dapat kita lakukan di tengah-tengah pasar. Begitu banyak orang berkumpul, berdesakan tanpa mengetahui bahaya yang bakal mengancam. Jika terjadi pertempuran, maka korbannya bukan Ki Gede Kebo Lungit. Bukan pula salah seorang dari kita berdua, tetapi puluhan orang-orang yang ada di pasar itu. Kebo Lungit dapat menghindari serangan-serangan kita, sebaliknya kita pun akan berusaha menghindari serangan-serangannya. Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang berdesakan itu?” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Jika demikian, kita tunggu orang itu keluar dari pasar.”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak ada gunanya. Ia tentu sudah meninggalkan pasar lewat jalan lain. Orang itu telah melihat kita di sini. Agaknya iapun segera dapat mengenali kita.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata Ki Gede Kebo Lungit memang orang yang sangat berbahaya. Baik bagi Mataram maupun bagi Madiun.

“Kita harus memberikan laporan tentang kehadirannya di kota ini agar sepeninggal pasukan Mataram, mereka yang mendapat tugas untuk memimpin Madiun berhati-hati menghadapinya. Beberapa orang perwira Madiun tentu sudah mengenalnya dengan baik, karena Ki Gede Kebo Lungit pernah berpura-pura bekerja bersama dengan para prajurit Madiun menghadapi Mataram. Namun ternyata Ki Gede Kebo Lungit mempunyai perhitungan tersendiri,” berkata Agung Sedayu.

“Kepada siapa kita harus melaporkannya?” bertanya Glagah Putih.

“Kita minta Ki Gede Menoreh memberikan laporan kepada Pangeran Mangkubumi. Terserah, kepada siapa Pangeran Mangkubumi akan meneruskan laporan itu. Kepada Ki Patih Mandaraka atau langsung kepada Panembahan Senapati,” jawab Agung Sedayu.

“Sebaiknya hal ini memang harus dilaporkan. Mudah-mudahan Madiun sepeninggal pasukan Mataram tidak dikacaukan oleh kehadiran Ki Gede Kebo Lungit,” berkata Glagah Putih.

“Mungkin sasaran Ki Gede Kebo Lungit sekarang, bukan lagi Madiun. Tetapi ia ingin mengamati orang-orang yang di dendamnya,” berkata Agung Sedayu, “terutama aku. Mungkin ia justru tengah mengawasi aku sebelum kita kebetulan sempat melihatnya. Atau dengan sengaja ia memperlihatkan diri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tingkah laku orang berilmu tinggi itu memang sulit untuk ditebak. Beberapa kemungkinan memang dapat terjadi. Mungkin ia memang dengan sengaja membayangi Agung Sedayu untuk menimbulkan kegelisahan di hatinya, sebelum ia benar-benar turun untuk membalas dendam kekalahannya.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera meninggalkan pasar itu dan kembali ke barak. Iapun segera memberikan laporan tentang keberadaan Ki Gede Kebo Lungit di dalam kota Madiun.

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia memang kecewa bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak berhasil menangkap Ki Gede Kebo Lungit. Namun apa yang berhasil dilakukan oleh pasukannya dan pasukan Ki Demang Selagilang adalah langkah yang paling panjang.

“Baiklah,” berkata Ki Gede, “aku akan menghadap Pangeran Mangkubumi.”

Dengan demikian, maka Ki Gede Menoreh telah berusaha untuk menghadap Pangeran Mangkubumi. Ternyata ketika hal itu disampaikan kepada Pangeran Mangkubumi, maka Ki Gede pun segera di persilahkan untuk masuk ke dalam istana lewat pintu butulan, karena Pangeran Mangkubumi berada di serambi kanan bangsal Kesatrian.

“Marilah, silahkan Ki Gede,” berkata Pangeran Mangkubumi mempersilahkan.

Ki Gede mengangguk hormat. Keduanya pun kemudian telah duduk di atas permadani yang terbentang di serambi bangsal Kesatrian Istana Madiun itu.

“Nampaknya ada sesuatu yang penting?” bertanya Pangeran Mangkubumi.

“Benar Pangeran,” jawab Ki Gede, “memang ada sesuatu yang penting aku laporkan.”

“Silahkan Ki Gede,” berkata Pangeran Mangkubumi dengan sungguh-sungguh. Pangeran itu menyadari, bahwa Ki Gede adalah seorang pemimpin pasukan yang memiliki kelebihan, sehingga keterangannya serta laporannya tentu akan sangat berarti bagi Mataram.

Demikianlah, Ki Gede telah meneruskan laporan Agung Sedayu tentang kehadiran Ki Gede Kebo Lungit di Kota Madiun. Sementara itu, Ki Gede juga sempat menceritakan beberapa hal tentang Ki Gede Kebo Lungit.

“Ki Gede Kebo Lungit pernah menyatakan kesediaannya membantu Madiun melawan Mataram. Tetapi ternyata bahwa Ki Gede Kebo Lungit tidak jujur. Ia telah menjerumuskan para prajurit Madiun dalam kesulitan. Ki Gede Kebo Lungit sendiri telah meninggalkan kota saat pasukan Mataram memasuki kota ini, dan ternyata sudah mendirikan satu pemusatan pasukan di padepokannya,” berkata Ki Gede Menoreh.

“Ya. Pemusatan pasukan yang sudah kalian hancurkan itu,” berkata Pangeran Mangkubumi.

“Benar Pangeran Tetapi ternyata Ki Gede Kebo Lungit sendiri berhasil meloloskan diri. Kini ia masih membayangi ketenangan Kota Madiun. Tetapi kemungkinan lain adalah, bahwa Ki Gede Kebo Lungit yang mendendam kepada Agung Sedayu itu pada suatu saat akan muncul di Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Gede Menoreh.

Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi menurut pendapat Ki Gede Menoreh, selain Menoreh, maka Madiun pun harus bersiap-siap menghadapinya?”

“Ya Pangeran,” jawab Ki Gede Menoreh, “apalagi sepeninggal pasukan Mataram dua atau tiga hari mendatang.”

Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk pula. Katanya, “Terima kasih atas laporan Ki Gede. Ki Gede Kebo Lungit termasuk orang yang sangat berbahaya yang harus mendapat pengawasan khusus.”

“Untungnya bahwa Ki Gede Kebo Lungit sudah banyak dikenal oleh para perwira di Madiun. Tetapi nampaknya para perwira di Madiun tidak sempat lagi untuk turun ke pasar dan melihat-lihat sudut kota yang lain. Justru di situ-lah Ki Gede Kebo Lungit itu berkeliaran,” berkata Ki Gede kemudian.

Sambil mengerutkan dahinya Pangeran Mangkubumi berkata, “Aku akan menyampaikan semua pesanmu kepada Panembahan Senapati. Perintah itu tentu akan turun, sehingga para perwira yang akan tinggal di Madiun akan memperhatikannya.”

Demikianlah, setelah berbincang beberapa saat lagi, Ki Gede pun telah minta diri. Bersama dua orang pengawal yang menunggu di seketheng, maka Ki Gede pun kemudian sempat berjalan-jalan melihat Kota Madiun yang telah menjadi hampir pulih kembali.

Ketika Agung Sedayu kemudian menyambut kedatangan Ki Gede kembali di barak, maka Ki Gede sempat memberikan sedikit keterangan tentang tanggapan baik dari Pangeran Mangkubumi. Namun mumpung Ki Gede teringat, iapun telah memperingatkan Agung Sedayu, bahwa pada suatu saat Ki Gede Kebo Lungit itu pun akan dapat muncul di Tanah Perdikan.

“Kau jangan menjadi jemu mendengar peringatanku ini, Agung Sedayu. Aku sudah beberapa kali mengatakannya. Tetapi aku pun selalu mengatakan kepadamu, meskipun demikian hidupmu jangan tenggelam dalam kecemasan bahwa pada suatu saat kau akan bertemu dengan Ki Gede Kebo Lungit,” berkata Ki Gede Menoreh.

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Aku sudah siap Ki Gede. Kapanpun ia datang. Jika ia berniat meningkatkan ilmunya lebih dahulu, maka aku pun akan mendapatkan kesempatan yang sama.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga, Ki Gede Menoreh merasa harus berhati-hati menghadapi Ki Gede Kebo Lungit.

Ki Demang Selagilang juga memperhatikan kemungkinan kehadiran Ki Gede Kebo Lungit di Pegunungan Sewu, tetapi dendamnya yang utama adalah kepada Agung Sedayu. Meskipun demikian Ki Demang juga merasa wajib untuk selalu bersiaga.

Sementara itu, semua persiapan dari seluruh pasukan yang berada di Madiun dan yang akan kembali ke Mataram sudah dipersiapkan. Di hari berikutnya, semuanya sudah siap. Di keesokan harinya adalah hari yang sudah ditentukan, bahwa pasukan Mataram akan berangkat meninggalkan Madiun.

Setiap pasukan Mataram yang ada di Madiun telah menjadi sibuk. Mereka yang memerlukan pedati untuk mengangkut para prajurit atau pengawal yang terluka, sudah disediakan. Kuda-kuda pun siap dipergunkan oleh para pemimpin pasukan. Sementara itu, tanda-tanda kebesaran setiap pasukan akan dibawa oleh kesatuan masing-masing. Umbul-umbul, rontek dan tunggul akan menandai setiap kesatuan yang akan ikut dalam iring-iringan itu.

Menjelang malam hari semuanya telah terpasang. Barang-barang apapun yang akan dibawa telah dimasukkan ke dalam pedati pula. Sedangkan pedati yang akan membawa orang-orang yang terluka telah dibentangi tikar, dan di bawahnya telah ditebari jerami yang bersih, agar dasar pedati itu tidak menjadi terlalu keras.

Malam itu adalah malam terakhir para prajurit dan pengawal berada di Madiun. Namun mereka tidak meninggalkan kewaspadaan. Justru karena Ki Gede Kebo Lungit masih belum tertangkap, maka kemungkinan buruk akan dapat terjadi. Terutama pada para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu.

Namun semalaman para prajurit dan pengawal rasa-rasanya tidak ingin tidur sekejappun. Mereka sudah mulai membayangkan jalan-jalan di kampung halaman mereka. Rasa-rasanya mereka justru menjadi semakin rindu kepada keluarga mereka masing-masing. Kepada orang tua mereka, kepada anak dan istri, kepada saudara-saudara yang telah cukup lama mereka tinggalkan. Mereka yang sempat pulang adalah di antara para prajurit dan pengawal yang wajib mengucap syukur bahwa mereka masih dapat bertemu dengan keluarga mereka, sementara beberapa orang di antara kawan-kawan mereka harus mereka tinggalkan.

Panembahan Senapati pun telah mempersiapkan segala-galanya. Demikian pula Ki Patih Mandaraka, para Pangeran, Senapati dan Tumenggung. Satu iring-iringan yang besar besok pagi-pagi akan meninggalkan Madiun.

Dalam pada itu, Panembahan Senapati memang sudah menjatuhkan perintahnya bahwa pasukan Mataram tidak akan menunda saat keberangkatan mereka. Dalam waktu lima hari Panembahan Senapati telah berhasil mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk Madiun yang akan ditinggalkan oleh pasukan Mataram.

Menjelang dini hari, maka Madiun telah menjadi ramai. Kota itu telah terbangun oleh kesibukan para prajurit yang akan meninggalkan kota menuju ke Mataram setelah tugas mereka dapat mereka selesaikan, meskipun dengan banyak pengorbanan.

Untara telah siap pula dengan pasukannya, termasuk pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung, yang ternyata telah memasang tanda-tanda kebesarannya pula. Beberapa tunggul dengan kelebet yang memanjang dalam warna-warna cerah akan menjadi ujung dari pasukan pengawal Kademangan. Swandaru yang terluka itu telah merasa sembuh atau pulih sama sekali, meskipun bekas luka itu sendiri masih nampak. Sementara tabib yang merawatnya masih selalu mengobatinya. Tetapi luka yang tertutup oleh bajunya itu tidak lagi berpengaruh pada gerak tubuh dan tangannya.

Seekor kuda telah siap untuk dipergunakannya. Sementara sebuah pedati telah dipergunakan untuk membawa tiga orang pengawal dari Sangkal Putung yang lukanya masih parah. Beberapa orang yang terluka ringan tidak lagi memerlukan pedati untuk membawa mereka. Mereka akan merasa lebih berbangga jika mereka kembali dengan berjalan kaki bersama-sama kawan-kawannya yang utuh.

Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu memerlukan beberapa buah pedati untuk membawa para pengawal yang terluka. Mereka memerlukan pedati lebih banyak. Tanah Perdikan sendiri memerlukan lima buah pedati, sedangkan Pegunungan Sewu memerlukan tiga buah.  Namun pada umumnya para prajurit dan pasukan yang tergabung dalam pasukan Mataram itu telah mendengar peristiwa yang dialami oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan dari Pegunungan Sewu itu. Sehingga karena itu, maka bagi mereka adalah wajar sekali jika diperlukan pedati yang cukup banyak untuk membawa para pengawal yang terluka.

Pada saat yang ditentukan, maka semua pasukan benar-benar telah siap berangkat. Namun sebelumnya para pimpinan telah dipanggil menghadap Panembahan Senapati. Pesan-pesan singkat telah diberikan kepada mereka, sehingga perjalanan mereka akan menjadi tertib dan tidak mengikuti keinginan setiap kelompok di dalam pasukan itu sendiri.

Pasukan yang banyak itu pada saatnya kemudian telah berkumpul di alun-alun Madiun. Berbagai macam tanda kebesaran nampak menghiasi pasukan yang siap untuk berangkat. Obor-obor yang jumlahnya tidak terhitung masih terpasang di alun-alun.

Beberapa saat kemudian terdengar bende berbunyi satu kali. Pertanda bahwa semua pasukan harus sudah berada di alun-alun. Ketika bende berbunyi dua kali, maka seluruh pasukan harus sudah siap untuk berangkat.

Juru pemukul bende masih menunggu perintah untuk membunyikan bende untuk ketiga kalinya. Namun ternyata Ki Patih Mandaraka masih memberikan sedikit kesempatan kepada setiap pasukan.

Baru kemudian, setelah Ki Patih yakin bahwa semua kesatuan dalam pasukan Mataram bersiap, bende pun telah dipukul untuk ketiga kalinya.

Dengan demikian maka ujung pasukan Mataram itu pun mulai bergerak dengan urutan sebagaimana pernah diberitahukan dalam pertemuan, serta sesuai dengan tempat setiap kesatuan itu dalam susunan pasukan di alun-alun.

Seperti seekor ular raksasa, maka pasukan Mataram itu menjalar meninggalkan Madiun. Para pemimpin dari setiap kesatuan memimpin pasukannya masing-masing di atas punggung kuda. Sementara itu, pasukan Mataram tidak berjalan terlalu cepat, karena di dalam pasukan itu terdapat beberapa buah pedati. Baik yang membawa barang-barang, maupun yang membawa para prajurit dan pengawal yang terluka.

Ternyata bahwa pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu berada di urutan yang hampir di paling belakang. Namun di ujung belakang iring-iringan itu adalah pasukan Mataram yang tidak terlalu banyak, yang dipimpin oleh seorang Lurah prajurit.

Beberapa orang penghubung dari Pajang telah mendahului pasukan itu sejak beberapa hari sebelumnya. Mereka harus mempersiapkan sambutan bagi kehadiran pasukan Mataram. Bukan sekedar upacara penyambutan, tetapi yang penting adalah menyediakan perbekalan yang cukup untuk dua hari, serta tempat bagi para prajurit.

Para penghubung itu memang membuat para pemimpin yang tidak ikut dalam pasukan Mataram ke Timur menjadi sibuk. Mereka telah menyiapkan barak-barak prajurit serta meminjam rumah-rumah yang cukup besar untuk menampung para prajurit dan para pengawal yang ikut dalam pasukan Mataram.

Sementara itu telah dibuat dapur-dapur yang akan menyediakan makan dan minum bagi seluruh pasukan.

Dalam pada itu, pasukan Mataram merambat dengan lamban. Namun mereka memang tidak tergesa-gesa. Tidak ada tugas lain yang harus mereka selesaikan dengan cepat.

Meskipun demikian, sebenarnyalah bahwa Ki Patih Mandaraka masih saja dibayangi oleh kegelisahan karena sikap Adipati Pati di Madiun. Begitu saja Adipati Pati meninggalkan Madiun, maka bayangan yang buram mulai menggantung lagi di atas langit Mataram. Karena kemudian Pati telah menunjukkan gejala yang mencemaskan.

Apalagi jika diingat, bahwa ayahanda Panembahan Senapati dan ayahanda Adipati Pati adalah dua orang yang bukan saja bersahabat dengan akrab, tetapi keduanya adalah saudara seperguruan yang telah bersama-sama, di bawah petunjuk-petunjuk Ki Mandaraka saat ia masih disebut Ki Juru Martani, menyelesaikan permusuhan antara Jipang dan Pajang. Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi adalah dua orang pimpinan prajurit Pajang yang telah mendapat tugas untuk memimpin pasukan Pajang menghadapi pasukan Jipang di Bengawan Sore. Pada saat itu, Panembahan Senapati yang masih sangat muda yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar dan yang juga dipanggil Sutawijaya, telah turun pula ke medan, dan berhasil membunuh Adipati Jipang yang bergelar Arya Penangsang.

“Keduanya sebaiknya mengingat hubungan ayah mereka yang akrab,” berkata Ki Patih Mandaraka di dalam hatinya.

Tetapi baik Panembahan Senapati maupun Adipati Pati, agaknya, adalah orang-orang yang berpijak pada harga diri yang tinggi, sehingga di antara keduanya sulit untuk diharapkan seseorang lebih dahulu melakukan pendekatan.

Mendung itu sebenarnya sudah mulai terasa membayangi pasukan Mataram. Beberapa orang pemimpin pasukan telah membayangkan, bahwa pada suatu saat mereka harus berkumpul lagi untuk melakukan perjalanan yang panjang sambil membawa senjata masing-masing.

Namun sebagian terbesar dari para prajurit dan pengawal berusaha untuk menyingkirkan perasaan itu. Mereka justru membayangkan kampung halaman mereka yang sudah lama mereka tinggalkan.

Iring-iringan yang lamban itu masih harus berhenti untuk beristirahat ketika matahari terasa membakar tubuh mereka. Tetapi tidak ada tempat yang mapan untuk beristirahat seluruh pasukan, sehingga karena itu mereka hanya beristirahat sejenak, mengeringkan keringat di tepi sebuah hutan yang masih cukup luas.

Iring-iringan itu baru mencapai tujuan ketika malam sudah sangat larut. Bahkan lewat tengah malam. Iring-iringan itu langsung menuju ke alun-alun Pajang. Beberapa orang petugas yang menerima mereka telah menghubungi para pemimpin pasukan. Setiap pasukan akan diantar oleh petugas tertentu ke barak mereka masing-masing.

“Mungkin kurang memadai,” berkata para petugas itu, “tetapi inilah yang terbaik yang dapat kami sediakan.”

Para prajurit dan pengawal yang telah terbiasa tinggal dimanapun dalam keadaan yang khusus itu memang tidak mengeluh. Dalam keadaan letih, mereka memasuki barak masing-masing. Beberapa orang langsung berbaring dan bahkan tertidur di serambi barak-barak mereka. Di pendapa, di pringgitan dan dimana-mana.

Beberapa saat kemudian, maka beberapa buah pedati telah memencar di seluruh kota Pajang, membawa makanan dan minuman yang dibagi-bagikan kepada para prajurit di barak-barak mereka, dari dapur-dapur raksasa yang dibangun di beberapa tempat di bagian kota Pajang.

Mereka yang sudah tertidur pun telah dibangunkan. Bagaimanapun juga para prajurit itu memang merasa lapar dan haus.

Selesai makan dan minum, maka para prajurit dan pengawal yang letih itu telah kembali berbaring, setelah berbincang-bincang sejenak menilai makanan yang baru saja mereka makan.

“Tidak ada sambal,” berkata seorang prajurit berkumis lebat.

“Buat apa sambal? Sayurnya pedas sekali. Lidahku terasa menyentuh api,” sahut kawannya.

“Kau terbiasa makan makanan bayi. Kalau kau tidak membiasakan diri makan sambal, maka kau masih akan tetap tidak dapat berbicara dengan jelas,” jawab prajurit berkumis itu.

“Apakah aku tidak dapat berbicara jelas?” bertanya kawannya.

“Ya,” jawab prajurit berkumis itu,

“Ternyata kau kebanyakan sambal, sehingga telingamu menjadi kurang baik,” desis kawannya sambil berbaring lagi.

Kawannya yang berkumis itu menggeram. Tetapi kawannya itu telah memejamkan matanya dan tidak menghiraukannya lagi

Demikianlah, di sisa malam itu, para prajurit dan pengawal tidur semakin nyenyak setelah perut mereka kenyang, kecuali yang memang bertugas.

Di hari berikutnya, maka para prajurit dan pengawal masih sempat beristirahat. Namun Panembahan Senapati telah memanggil semua pemimpin pasukan.

Panembahan Senapati telah memerintahkan di hari berikutnya semua pasukan akan meninggalkan Pajang, kecuali pasukan Pajang sendiri. Tetapi tidak semua pasukan harus menuju ke Mataram lebih dahulu. Pasukan yang akan menuju ke utara, dapat langsung kembali ke daerah masing-masing. Demikian pula yang lain, apabila dikehendaki.

Agaknya keputusan Panembahan Senapati itu mendapat sambutan baik dari para pemimpin pasukan. Mereka tidak harus pergi ke Mataram lebih dahulu, baru kemudian kembali ke tempat masing-masing.

“Tetapi semua yang akan memisahkan diri harus memberikan laporan baik kepada Pangeran Mangkubumi maupun kepada Pangeran Singasari,” perintah Panembahan Senapati.

Demikianlah, maka Swandaru pun telah mendapat keterangan pula dari Untara tentang perintah itu. Karena itu, Untara telah memberikan kesempatan kepada Swandaru, jika pasukannya ingin langsung kembali ke Jati Anom, maka ia akan menyampaikannya kepada Pangeran Singasari.

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Swandaru telah menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak. Biarlah pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung sampai ke Mataram lebih dahulu, baru kami kemudian akan meninggalkan Mataram bersama-sama dengan para prajurit yang berada di Jati Anom. Bukankah pasukan Kakang Untara juga akan ke Mataram lebih dahulu sebelum kembali ke Jati Anom?”

“Ya, pasukanku memang akan menuju ke Mataram lebih dahulu,” jawab Untara.

“Biarlah para pengawal Sangkal Putung mengenal lebih banyak tentang Mataram,” jawab Swandaru.

“Baiklah. Jika demikian, aku akan menyampaikannya agar bagi pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung disediakan tempat dan perbekalan,” berkata Untara.

“Bukankah asal kita tidak memberikan laporan akan memisahkan diri, maka dengan sendirinya persediaan itu diadakan?” bertanya Swandaru.

“Aku hanya ingin agar tidak terjadi kekeliruan,” jawab Untara.

Demikianlah, maka di keesokan harinya pasukan itu akan berangkat ke tujuan yang berbeda-beda. Swandaru telah memberitahukan pula kepada Agung Sedayu, bahwa ia akan membiarkan pasukannya memasuki Mataram lebih dahulu. Baru kemudian bersama-sama dengan pasukan Untara kembali ke Sangkal Putung.

“Kau tidak ingin segera berada di Sangkal Putung kembali?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku akan memperkenalkan para pengawal lebih banyak tentang Mataram,” jawab Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia tidak berkeberatan, Namun bagi Agung Sedayu hal itu tidak perlu sama sekali. Ia yakin bahwa Panembahan Senapati tidak akan memerintahkan penyambutan yang berlebihan. Karena Agung Sedayu mengerti, Swandaru ingin menyaksikan penyambutan atas pasukan yang kembali dari peperangan. Termasuk pasukan pengawal dari Ka-demangan Sangkal Putung.

Di hari berikutnya, pasukan Mataram di Pajang telah berangkat ke tujuan yang berbeda. Baru yang terakhir, pasukan Mataram yang akan menuju ke Mataram. Termasuk pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, dari Pegunungan Sewu dan dari Sangkal Putung.

Perjalanan dari Pajang ke Mataram memang lebih pendek dari perjalanan dari Madiun ke Pajang. Namun pasukan Mataram tidak menunggu matahari menjadi semakin tinggi. Demikian pasukan yang lain yang semula berada dalam kesatuan pasukan Mataram meninggalkan alun-alun Pajang, maka pasukan yang akan berangkat ke Mataram pun telah meninggalkan Pajang pula.

Satu iring-iringan yang sudah tidak terlalu panjang lagi, meskipun masih menunjukkan satu pasukan yang mendebarkan karena semua tanda kebesaran dan setiap kesatuan masih dipasang. Umbul-umbul, rontek, kelebet pada tunggul-tunggul yang berwarna kuning keemasan.

Sementara itu, di Mataram memang sudah dipersiapkan penyambutan. Tetapi sebagaimana pesan Panembahan Senapati sendiri, sambutan itu tidak berlebihan.

“Apa yang dapat diibanggakan?” bertanya Panembahan Senapati kepada diri sendiri.

Meskipun jarak Pajang sampai ke Mataram tidak sepanjang jarak antara Madiun dan Pajang, namun pasukan itu memasuki pintu gerbang kota Mataram setelah jauh malam, meskipun belum sampai tengah malam.

Sebenarnyalah rakyat Mataram memang menunggu-nunggu kehadiran pasukannya yang kembali dari peperangan. Berita tentang keberhasilannya pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati itu telah lebih dahulu sampai ke Mataram, jauh sebelum pasukan itu datang. Hampir setiap hari, datang penghubung dari Madiun memberikan laporan-laporan khusus kepada para pemimpin yang berada di Mataram, untuk dapat menyesuaikan dirinya serta mengambil kebijaksanaan tertentu apabila diperlukan.

Meskipun Panembahan Senapati tidak memerintahkan, namun ternyata bahwa rakyat Mataram seakan-akan telah tumpah ke jalan-jalan raya yang menuju ke alun-alun. Rakyat Mataram dengan bangga menunggu kedatangan para prajurit dan pengawal yang telah menyemarakkan nama Mataram yang sedang berkembang.

Para prajurit dan para pengawal memang merasa bangga atas sambutan itu. Meskipun hari telah larut malam, namun rakyat Mataram seakan-akan tidak lagi mengenal waktu.

Berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus obor menyala di sepanjang jalan dan di sekitar alun-alun. Sorak pun mengguruh mengumandang memenuhi seluruh kota. Anak-anak yang telah tertidur pun menjadi terbangun pula karenanya. Mereka menangis meronta-ronta. Tetapi ketika mereka dibawa keluar rumah dan melihat kebesaran pasukan Mataram menyusuri jalan-jalan, maka mereka pun telah terdiam.

Para prajurit dan pengawal dapat melupakan sejenak perasaan letih dan lapar. Namun ketika mereka telah berada di alun-alun untuk beberapa saat sambil menunggu setiap pemimpin pasukan yang menghadap Penembahan Senapati untuk mendapat penjelasan, maka perasaan letih dan lapar itu mulai mengganggu mereka lagi.

Sementara itu, rakyat menjadi semakin berdesakan. Ternyata mereka tidak saja ingin memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada para prajurit dan pengawal. Tetapi sebagian dari mereka juga segera ingin tahu, apakah keluarga mereka yang ikut dalam kesatuan yang tergabung dalam pasukan Mataraam itu sempat kembali atau tidak.

Panembahan Senapati memang menghendaki, agar pengumuman tentang para prajurit yang gugur diberikan setelah seluruh pasukan sempat beristirahat di barak yang sudah disediakan.

Beberapa saat kemudian, maka para pemimpin pasukannya telah kembali ke pasukan masing-masing. Mereka telah menyampaikan perintah Panembahan Senapati. Para prajurit dan pengawal telah diperkenankan untuk pergi ke barak masing-masing. Namun mereka belum boleh meninggalkan Mataram sampai menunggu perintah berikutnya,

Sementara itu, ada petugas khusus yang akan mengumumkan siapakah yang telah gugur di medan pertempuran. Khususnya para prajurit Mataram sendiri. Termasuk para prajurit yang berada di Sangakal Putung, Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, dan pasukan-pasukan lain yang mengikuti perjalanan ke Timur. Sementara itu, pasukan pengawal akan mengumumkan para pengawal yang gugur di daerah mereka masing-masing oleh para pemimpin pasukannya.

Dengan demikian, maka para prajurit dan pengawal yang berada di alun-alun dalam keadaan letih dan lapar itu pun kemudian telah menuju ke barak masing-masing. Sementara itu beberapa orang yang tidak sabar telah berusaha mendekati para prajurit yang sedang berbaris itu untuk menanyakan apakah keluarganya selamat atau tidak. Apalagi mereka yang telah mengenal satu dua orang prajurit yang berjalan di antara iring-iringan itu. Cahaya obor yang berjajar di sepanjang jalan telah menggapai wajah-wajah yang layu itu.

Tetapi setiap prajurit selalu menggeleng sambil menjawab, “Besok, pada saatnya akan diumumkan.”

“Kau kenal suamiku, bukan?” bertanya seorang perempuan, “Apakah ia ada dalam pasukan ini?” Prajurit itu termangu-mangu. Ia mengenal perempuan itu dengan baik. Ia mengenal suaminya dengan baik. Ia tahu pasti bahwa suami perempuan itu telah gugur. Tetapi ia tidak berhak memberi jawaban atas pertanyaannya.

Perempuan itu mengikutinya sambil membawa obor di tangan kanannya. Dengan nada tinggi serta menahan tangis ia bertanya, “Kau tahu suamiku bukan?”

Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Besok akan diumumkan, siapakah yang tidak dapat kembali bersama-sama dengan kami.”

“Jawablah. Jawablah,” desak perempuan itu.

Tetapi prajurit itu justru menjadi semakin bingung, sehingga pemimpin kelompoknya telah terpaksa ikut mencampurinya, “Maaf Nyi. Kami tidak mendapat wewenang untuk menjawab pertanyaan itu. Kami tidak tahu pasti apakah yang terjadi di antara kawan-kawan kami yang banyak itu. Sebagaimana diketahui, bahwa pasukan kami terdiri dari beberapa pasukan dari berbagai daerah.”

Perempuan itu memang tidak dapat memaksa. Tetapi iapun segera berlari ke kesatuan yang lain untuk melihat, apakah suaminya ada di sana.

Ternyata perempuan yang gelisah itu tidak hanya sendiri. Sepasang suami istri yang sudah melewati pertengahan abad menunduk sambil mengusap air mata, setelah usahanya untuk melihat anak mereka tidak berhasil.

Seorang gadis menangis tersedu-sedu, sementara dua orang anak dalam pelukan ibunya memandang berkeliling tanpa tahu apa sebabnya ibunya menangis.

Namun mereka yang telah melihat keluarganya di dalam barisan itu telah bersorak dengan gembiranya. Seakan-akan mereka telah menemukan kembali harta yang paling berharga yang telah dicemaskan akan hilang. Mereka telah bersorak-sorak dan menari-nari. Anak mereka ternyata pulang dengan membawa keberhasilan.

Kegembiraan dan air mata mewarnai rakyat Mataram yang telah menyambut kedatangan para prajurit dan para pengawal. Tetapi para pengawal yang masih berada di Mataram itu pun menjadi gelisah. Jika ia pulang ke kampung halaman, maka akan datang gilirannya, tangis dan tawa akan mewarnai penyambutan atas kehadiran mereka.

Agung Sedayu yang melihat hal itu hanya dapat mengusap dadanya. Tanah Perdikan Menoreh adalah salah satu daerah yang akan ikut mengalaminya.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat ingkar dari akibat yang terjadi dalam satu peperangan. Madiun telah mengalaminya pula sebelumnya. Pasuruan dan Pajang tentu juga mengalami. Kemudian datang gilirannya Mataram, Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan yang lain.

Sejenak kemudian maka para prajurit dan pengawal telah berada di barak yang telah disiapkan sebelumnya. Seperti saat mereka berada di Pajang, maka mereka pun telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk beristirahat. Beberapa saat kemudian, maka beberapa pedati pun telah menyebar pula mendatangi barak-barak itu untuk membagikan makan dan minum.

Karena jumlah prajurit dan pengawal tidak lagi sebanyak saat mereka berangkat, maka mereka telah mendapat tempat yang lebih lapang bagi setiap kesatuan. Mereka tidak perlu lagi berdesak-desakan dan tidak lagi harus tidur di serambi dan di sudut-sudut yang sempit. Dengan demikian, maka para prajurit dan pengawal dapat beristirahat dengan sebaik-baiknya.

Ketika fajar menyingsing, maka para prajurit dan pengawal tidak telaten saling menunggu mandi di pakiwan. Tetapi atas ijin para pemimpin pasukan, sebagian dari mereka telah pergi ke sungai yang terdekat.

Hari itu, para prajurit dan pengawal tidak mempunyai kewajiban khusus. Mereka benar-benar berhak untuk bertistirahat sepenuhnya, kecuali beberapa orang yang bertugas.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun sempat mengunjungi Untara dan Swandaru di barak mereka. Ternyata Swandaru benar-benar telah pulih kembali. Perjalanan yang panjang itu justru telah membuatnya menjadi segar serta mendapatkan kekuatan sepenuhnya.

Kemudian keduanya sempat berjalan-jalan menyusuri jalan-jalan kota. Bahkan bukan hanya Agung Sedayu dan Glagah Putih, tetapi Swandaru pun telah ikut bersama-sama mereka.

Mereka sempat melihat pasar yang penuh dengan orang-orang yang bukan saja berjual beli bahan-bahan makanan dan keperluan sehari-hari, tetapi di pinggir pasar itu pun terdapat beberapa orang pande besi yang membuat alat-alat pertanian. Mereka telah membuat parang, sabit, dan bahkan bajak serta alat-alat yang lain.

Ketiganya asyik memperhatikan pembuatan alat-alat itu, karena alat-alat seperti itu sangat diperlukan di lingkungan mereka masing-masing. Baik di Sangkal Putung, maupun di Tanah Perdikan Menoreh.

Bukan berarti bahwa di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Mnenoreh tidak ada pande besi yang mampu membuat alat-alat seperti itu, tetapi di pasar yang terdapat di pusat kota itu, berderet-deret pande besi yang semuanya bekerja keras membuat alat-alat pertanian dan pertukangan serta senjata yang sederhana. Dengan melihat kerja keras para pande besi itu, terbayang derap kerja para petani yang sedang menggarap sawah. Tukang kayu yang membuat perabot rumah dan bagian rumah yang lain yang sedang dikerjakan pembuatannya. Serta kerja-kerja yang lain di seluruh bagian dari Mataram yang sedang berkembang itu.

Namun dalam pada itu, ketika mereka bertiga sedang berjalan menyusuri lorong-lorong sempit yang berjejal di pasar itu, Glagah Putih terkejut sehingga ia terhenti sambil menarik lengan baju Agung Sedayu.

Agung Sedayu pun terhenti. Demikian pula Swandaru.

“Ada apa?” bertanya Agung Sedayu, “Apakah kau melihat Ki Gede Kebo Lungit?”

Glagah Putih tidak menjawab. Yang terdengar adalah suara seorang gadis menyebut namanya, “Glagah Putih. Kaukah itu?”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Seorang gadis menyelinap di antara orang-orang yang berdesakan di pasar itu.

“Wulan,” desis Glagah Putih.

Langkah Wulan pun terhenti ketika kemudian ia sadar akan dirinya sebagai seorang gadis yang sedang meningkat dewasa. Sementara itu di hadapannya kemudian telah berdiri seorang anak muda yang telah dipanggil namanya, bersama dengan dua orang lagi. Seorang dikenalnya karena Wulan pernah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi yang seorang masih belum. Bahkan wajah Wulan menjadi merah.

Glagah putih yang tidak menduga akan bertemu dengan gadis itu untuk sejenak bagaikan membeku. Namun kemudian Glagah Putih berusaha untuk menguasai dirinya dan bertanya, “Sudah lama kita tidak bertemu Rara. Bagaimana keadaanmu?”

Wulan menunduk. Tetapi ia menjawab “Baik Glagah Putih. Kenapa kau sekarang berada di sini? Apakah kau sedang mengunjungi seseorang?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku bersama Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru.”

Wulan memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Gadis itu pun kemudian telah mengangguk hormat. Sementara Agung Sedayu-lah yang bertanya, “Sudah lama kau tidak pergi ke Tanah Perdikan. Mbok Ayumu Sekar Mirah selalu menanyakan, kapan kau berkunjung lagi.”

Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia berkata sesuatu seorang anak muda telah dengan tergesa-gesa mendekatinya. Kemudian menarik lengannya dan bertanya, “Apa yang kau lakukan? Marilah, kita masih belum selesai.”

Tetapi Wulan mengibaskan lengannya sambil berkata, “Tunggu sebentar.”

Anak muda itu memperhatikan Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih berganti-ganti. Kemudian iapun telah bertanya, “Siapakah mereka?”

Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Mereka adalah keluarga Ki Gede Menoreh dari Tanah Perdikan Menoreh.”

Namun Glagah Putih membetulkan, “Kakang Swandaru datang dari Kademangan Sangkal Putung.”

“O,” Wulan mengangguk-angguk, “karena itu agaknya maka aku belum pernah melihatnya.”

Anak muda itu memandangi Swandaru sejenak. Orang yang masih terhitung muda dan sedikit gemuk itu tersenyum-senyum saja.

Namun tiba-tiba anak muda itu berkata, “Apa hubunganmu dengan mereka?”

“Bukankah aku pernah ikut kakek ke Tanah Perdikan Menoreh? Nah, aku telah berkenalan dengan Glagah Putih dan kakak sepupunya, Kakang Agung Sedayu, yang memimpin para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Wulan.

Tetapi anak muda itu seakan-akan tidak mendengarkannya. Katanya, “Kita selesaikan pesan Ibu lebih dahulu. Kita masih harus membeli beberapa macam bahan.”

“Ya. Aku mengerti. Kita akan cepat selesai,” jawab Wulan. Namun kemudian iapun bertanya kepada Glagah Putih, “Dimana kau menginap?”

“Buat apa kau tanyakan itu?” berkata anak muda itu dengan wajah buram.

“Apa salahnya?” jawab Wulan.

“Sudahlah! Marilah!” bentak anak muda itu.

Swandaru merasa tidak senang melihat sikap anak muda itu. Tetapi ketika ia bergeser selangkah, maka Agung Sedayu telah menggamitnya.

Tetapi sekali lagi Wulan mengibaskan lengannya. Justru ia berkata kepada Glagah Putih, “Singgahlah ke rumah. He, kau menginap dimana? Atau barangkali kau hari ini akan kembali ke Menoreh?”

“Jangan hiraukan mereka. Orang-orang padesan itu tentu bermalam di tempat pemberhentian pedati. Dan kau tidak pantas untuk menemuinya di tempat-tempat seperti itu,” berkata anak muda itu.

Glagah Putih sama sekali tidak menyahut. Namun Swandaru-lah yang dengan tidak sabar berkata, “Maaf Rara. Kami tidak sedang sekedar mengunjungi Mataram untuk melihat-lihat. Tetapi kami justru datang dari Timur. Kami baru dalam satu perjalanan panjang.”

“Dari Timur?” bertanya Wulan.

“Ya. Kami baru saja kembali dari Madiun bersama Panembahan Senapati. Bahkan dari Pasuruan, bersama sepasukan prajurit segelar sepapan. Di Mataram kami berada di barak kami masing-masing. Tidak dipemberhentian pedati seperti yang dikatakan oleh anak muda itu.”

“O,” Wulan tiba-tiba saja teringat untuk memperkenalkan anak muda itu. Katanya, “Anak muda ini bernama Sawung Panunggul. Putera Paman Tumenggung Tambakrana.”

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, “Apakah Ki Tumenggung Tambakrana juga pergi ke Madiun? Bukankah Ki Tumenggung juga seorang prajurit?”

“Paman Tumenggung tidak pergi ke mana-mana,” berkata Wulan. Namun kemudian gadis itu bertanya, “Jadi kalian ikut dalam pasukan yang melawat ke Timur?”

“Ya,” jawab Swandaru.

“Jika demikian, kalian ikut serta dalam penyambutan semalam. Semua orang keluar dari rumah untuk menyambut kedatangan pasukan itu,” berkata Wulan.

“Ya,” jawab Swandaru pula.

“Kau juga Glagah Putih?” bertanya Wulan.

“Ya Rara. Kami bertiga memang baru datang dari perlawatan itu,” jawab Glagah Putih.

“Kalian ikut berperang?” bertanya gadis itu pula.

“Kakang Swandaru telah terluka. Tetapi luka itu telah sembuh,” jawab Glagah Putih.

“Bukan main. Kalian termasuk prajurit-prajurit yang pantas mendapat sambutan,” berkata Wulan.

“Yang kami lakukan tidak lebih dari satu kewajiban yang tidak perlu mendapat perhatian berlebihan,” berkata Agung Sedayu dengan nada rendah. “Seperti juga orang lain melakukan kewajibannya di bidang lain. Apa yang dapat kami lakukan di medan perang adalah karena dukungan semua pihak yang melakukan kewajiban mereka masing-masing.”

Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sawung Panunggul itu pun berkata, “Cukup. Marilah. Kita masih belum selesai seluruhnya.”

“Sampai kapan kau berada di sini?” bertanya Wulan.

“Kami belum tahu,” jawab Glagah Putih, “kami harus menunggu perintah.”

“Tentu tidak hari ini bukan?” bertanya Wulan pula.

“Agaknya tidak hari ini,” jawab Glagah Putih.

“Bagus. Dimana letak barakmu?” bertanya Wulan kemudian.

“Buat apa kau tanyakan itu?” potong Sawung Panunggul.

Tanpa menghiraukan anak muda itu Glagah Putih menyahut, “Kami berada di barak pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu. Maaf Rara, aku belum begitu mengenal nama-nama tempat di sini.”

“Bagus. Tidak akan terlalu sulit untuk menemukannya,” berkata Wulan.

Tetapi anak muda yang menemani Wulan itu merasa tidak senang dengan pembicaraan itu. Karena itu, maka sekali lagi ia mengajak Wulan meninggalkan mereka, “Kita akan kesiangan nanti.”

“Ah, kau ini mengada-ada saja. Kenapa kesiangan? Bukankah bahan-bahan yang harus kita beli baru akan dipergunakan nanti sore? Ibumu baru akan mulai masak setelah lewat tengah hari. Apalagi sebagian besar bahan itu telah tersedia. Bukankah kita hanya membeli kekurangannya saja?” jawab Wulan.

“Tetapi aku tidak senang kau berbicara dengan orang-orang yang tidak begitu kita kenal di sini. Di pasar,” berkata Sawung Panunggul.

“Kenapa kau berkeberatan?” bertanya Wulan, “Mereka adalah prajurit seperti ayahmu.”

“Tetapi ayahku adalah Tumenggung,” jawab Sawung Panunggul.

Jawaban itu memang menyakitkan hati. Tetapi Agung Sedayu telah terbiasa membiarkan orang lain menyinggung perasaannya dalam batas-batas tertentu. Glagah Putih pun harus menahan diri jika ia berada di hadapan kakak sepupunya. Namun Swandaru agak bersikap lain. Dengan nada tinggi ia berkata, “Yang menjadi Tumenggung itu adalah ayahmu. Tetap sikapmu melampaui sikap seorang Tumenggung.”

Wajah anak muda itu menjadi merah. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Kau mulai menghina aku? Kau kira kau berhak berkata seperti itu kepadaku? Orang-orang pedesaan memang tidak tahu unggah-ungguh.”

“Anak muda,” berkata Swandaru, “lukaku di peperangan sudah sembuh. Karena itu, aku telah tergelitik untuk berbuat sesuatu.”

Agung Sedayu mulai cemas. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Sudahlah. Kami minta diri. Kami harus segera kembali ke barak kami dan melaporkan diri kepada Ki Gede Menoreh.”

Wulan mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan mencari barakmu. Kakek tentu tidak berkeberatan mengantarku.” “Tidak perlu,” geram Sawung Panunggul.

“Yang akan mencari bukan kau. Tetapi aku,” jawab Wulan.

“Terima kasih,” berkata Glagah Putih yang mulai jengkel melihat sikap anak muda itu, “kami akan menunggu.”

Agung Sedayu-lah yang kemudian mengajak Glagah Putih dan Swandaru meninggalkan gadis itu. Semakin lama pembicaraan mereka berlangsung, maka suasana akan berkembang menjadi semakin buruk. Mungkin ia akan dapat mengendalikan Glagah Putih. Tetapi belum tentu Agung Sedayu dapat mengendalikan Swandaru.

Beberapa langkah mereka menjauh, Glagah Putih sempat berpaling. Ia masih melihat Wulan yang agaknya bertengkar pula dengan kawannya.

Namun kesan yang timbul pada Glagah Putih, anak muda itu adalah kawan Wulan yang tidak mempunyai hubungan lebih jauh daripada kawan biasa. Mungkin karena keduanya kebetulan anak pimpinan prajurit di Mataram yang mempunyai hubungan yang akrab, maka anak-anak mereka pun berkenalan dengan baik. Tetapi bagi Wulan, agaknya tidak lebih dari itu.

Sebenarnyalah Wulan menyesali sikap anak muda yang mirip dengan sikap kakaknya itu. Dengan nada tinggi Wulan berkata, “Kau terlalu sombong.”

“Buat apa kau memperhatikan anak-anak padesan itu?” bertanya kawannya, Sawung Panunggul.

“Kau belum tahu siapa mereka. Mereka adalah sahabat-sahabat Panembahan Senapati. Seorang Tumenggung tidak dapat menghadap Panembahan Senapati setiap saat mereka kehendaki, tetapi Kakang Agung Sedayu akan selalu dipersilahkan masuk ke ruang khusus, kapan saja ia ingin berbicara dengan Panembahan Senapati,” berkata Wulan.

“Kau jangan mengigau, Wulan,” sahut Sawung Panunggul, “Panembahan Senapati bukan orang kebanyakan. Ia mempunyai kesibukan yang tidak kita mengerti. Karena itu, maka yang kau katakan itu tidak masuk akal.”

Tetapi Wulan tertawa. Katanya, “Kau-lah yang picik. Kau ternyata tidak tahu apa-apa di luar dinding rumahmu. Tidak lebih dari aku. Itulah agaknya kenapa kita tidak tahu bahwa mereka ada dalam pasukan Mataram yang datang semalam.”

Sawung Panunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia berkata, “Ada beribu orang yang berangkat untuk melawat ke Timur. Jadi orang-orang yang berangkat bukannya orang yang memiliki kelebihan apa-apa, selain kebetulan saja kesatuannya ditunjuk untuk berangkat. Mereka hanyalah tiga orang di antara beribu orang. Apakah kelebihannya?”

“Mereka adalah tiga orang di antara beribu orang. Kita? Kita sama sekali tidak ada di antara yang beribu orang itu. Karena itu, sementara mereka sibuk mengatur pasukannya, kita tidak lebih daripada sibuk berbelanja bahan-bahan untuk menyiapkan suguhan pada satu pertemuan keluarga yang besar dan meriah. Apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh keluargamu dan keluargaku itu tidak dapat dianggap berlebihan dalam suasana seperti sekarang ini? Di saat pasukan Mataram yang luka dan letih itu kembali dari medan perang? Kita semalam sempat menyaksikan betapa banyak orang yang menangis karena mereka tidak melihat sanak kadangnya di antara mereka yang datang. Meskipun belum tentu bahwa orang yang ditangisi itu masih ikut berbaris dengan tegaknya,” sahut Wulan.

Sawung Panunggul tidak senang mendengar kata-kata Wulan itu. Karena itu, maka katanya, “Cukup. Sekarang, kita selesaikan tugas kita. Sebenarnya kau-lah yang harus menentukan bahwa kita sebaiknya segera membawa bahan-bahan itu pulang, aku hanya mengantarkanmu. Justru kau yang menyebabkan kita menjadi lambat.”

“Sudahlah. Kau memang hanya mengantarkan aku. Jika keterlambatan ini membuat ibumu dan ibuku marah, biar mereka marah kepadaku,” berkata Wulan.

“Kau memang tidak tahu diri,” berkata Sawung Panunggul, “kita tidak boleh merendahkan derajad orang tua kita.”

“Siapakah orang tua kita?” bertanya Wulan, “Apakah orang tua kita mempunyai kedudukan lebih tinggi dari mereka?

“Itu sudah jelas,” jawab Sawung Panunggul.

“Baik. Orang tua kita memang mempunyai kedudukan lebih tinggi. Tetapi apakah nilai seseorang hanya diukur dengan kedudukan?” bertanya Wulan.

“Sudah. Sudah,” desis Sawung Panunggul, “kita akan berbicara nanti di rumah. Di sini kita akan menjadi tontonan.”

Wulan pun menyadari. Karena itu maka iapun tidak menjawab lagi. Berdua mereka menyusup di antara orang-orang yang masih berjejal di dalam pasar.

Glagah Putih tidak lagi merasa tenang berada di dalam pasar yang ramai itu. Ia tidak lagi menghiraukan orang-orang yang berdesakan. Setiap kali ia mulai menunduk, sehingga beberapa kali orang yang berpapasan telah mendorongnya menepi.

Agung Sedayu dan Swandaru melihat perubahan sikap Glagah Putih itu. Agung Sedayu yang lebih banyak mengenal hubungan Glagah Putih dan gadis itu sempat berbisik di telinga Swandaru.

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Kenapa Glagah Putih tidak menantang anak itu? Ia punya alasan. Anak itu telah menghinanya.”

“Ah. Tentu kurang baik. Persoalannya akan menyangkut banyak pihak. Apalagi ayah anak itu seorang Tumenggung,” berkata Agung Sedayu.

“Kenapa jika ia seorang Tumenggung? Kakang Agung Sedayu mempunyai hubungan baik dengan pimpinan tertinggi di Mataram ini. Jika ia bertumpu kepada pangkat ayahnya yang Tumenggung itu, maka kau dapat menghubungi kakakmu Untara, atau bahkan Panembahan Senapati.”

“Ah,” Agung Sedayu justru tersenyum, “dengan cara ini bukankah tidak terjadi sesuatu?”

“Kau selalu terlalu mengalah dalam setiap persoalan. Pada suatu saat kau akan mengalami kesulitan dengan sikapmu itu,” berkata Swandaru.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku bermaksud bahwa dengan sikapku itu, aku dapat menghindari perselisihan-perselisihan yang tidak perlu. Tetapi sudah tentu ada batasnya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Sejak ia mengenal Agung Sedayu pertama kali, ia menganggap bahwa sikap Agung Sedayu memang terlalu lemah. Ia tidak mau menghadapi Sidanti dalam lomba kemampuan memanah, sehingga Swandaru telah meneriakkan kelebihan Agung Sedayu kepada orang-orang Sangkal Putung. Juga saat Agung Sedayu harus menghadapi penyelesaian yang dipilih oleh Sidanti dengan menjadikan diri masing-masing sasaran dalam adu kemampuan memanah. Ternyata Agung Sedayu bersikap ragu-ragu dan tidak membuat penyelesaian sama sekali.

Namun Swandaru tidak mengungkitnya lagi di hadapan Glagah Putih. Ia lebih tertarik kepada sikap Glagah Putih yang terpengaruh oleh Agung Sedayu itu.

Sementara itu, Glagah Putih berjalan beberapa langkah di hadapan Agung Sedayu dan Swandaru. Justru karena Glagah Putih ingin segera menjauhi tempat itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru kemudian justru berada beberapa langkah di belakangnya.

Tetapi pertemuan itu sendiri ternyata memang mempengaruhi sikap Glagah Putih, bukan saja dalam perjalanan kembali ke barak setelah mereka keluar dari pasar. Tetapi juga kemudian setelah berada di barak.

Swandaru yang tidak singgah di barak Agung Sedayu, sempat berpesan di saat mereka berpisah, “Bersikaplah sebagai seorang laki-laki, Glagah Putih.”

Glagah Putih termangu-mangu. Ia tidak tahu pasti maksud Swandaru. Namun sambil tersenyum, Swandaru berkata, “Sudahlah. Aku akan kembali ke barak. Bukankah aku tidak bersalah jika aku bercerita kepada Kakang Untara?”

“Jangan,” minta Glagah Putih.

Swandaru tidak menjawab. Tetapi iapun masih saja tertawa sambil melangkah pergi.

Glagah Putih yang menjadi gelisah kemudian bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah Kakang Swandaru benar-benar akan menyampaikannya kepada Kakang Untara?”

Agung Sedayu pun tersenyum. Katanya, “Kau tidak usah menjadi gelisah. Seandainya Swandaru mengatakannya, Kakang Untara tidak akan mempunyai kesempatan terlalu banyak untuk mempersoalkannya.”

“Tetapi apa maksud Kakang Swandaru dengan berpesan agar aku bersikap sebagai seorang laki-laki?” bertanya Glagah Putih pula.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah kau mengenal sifat kakangmu Swandaru dengan baik? Nah, dengan landasan itulah ia menganjurkan kepadamu, agar kau bersikap sebagai seorang laki-laki. Karena menurut pengenalan Adi Swandaru, laki-laki itu sejalan dengan sikap yang keras.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia menyahut, “Aku mengerti.”

“Nah, sementara itu sasaran langkah yang dianjurkan agar kau bersikap sebagai seorang laki-laki itu tidak jelas,” berkata Agung Sedayu.

“Ya,” sahut Glagah Putih.

“Anak muda yang mengantar Wulan itu bukan orang yang harus dimusuhi,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu menghubungkan persoalannya langsung dengan gadis yang ditemuinya di pasar itu.

Hari itu Glagah Putih memang menjadi terlalu banyak merenung. Sudah agak lama Glagah Putih tidak bertemu dengan gadis yang menarik perhatiannya itu. Namun ketika tiba-tiba ia telah bertemu lagi dengan Wulan, maka wajah gadis yang semula menjadi agak kabur tertindih oleh bayangan-bayangan yang keras dalam pertempuran di daerah Timur itu, telah menjadi semakin jelas tergambar di angan-angannya.

Agung Sedayu tidak ingin mengganggunya. Ia mengerti, bahwa dalam keadaan yang demikian seorang yang menjadi dewasa akan menjadi lebih banyak merenung dan bahkan menjadi agak mudah tersinggung.

Sementara itu, para prajurit dan pengawal yang ada di Mataram masih belum mendapat perintah apapun. Karena itu, maka mereka masih belum dapat meninggalkan Mataram. Mereka tidak tahu berapa hari lagi mereka baru dapat kembali ke tempat mereka masing-masing.

Sebenarnya para pemimpin pasukan ingin dapat segera meninggalkan Mataram, karena mereka telah menjadi sangat rindu kepada kampung dan halaman mereka.

Tetapi menurut pendengaran para pemimpin pasukan, Panembahan Senapati masih akan mengadakan satu pertemuan untuk menghormati para prajurit dan pengawal yang telah melakukan tugas mereka dengan sebaik-baiknya. Di Mataram akan dilangsungkan pula satu keramaian di beberapa tempat, sebagai pernyataan syukur bahwa tugas yang diemban oleh para prajurit dan pengawal telah berhasil.

Agung Sedayu yang juga mendengar rencana itu telah berbicara dengan Ki Gede Menoreh, apakah kira-kira rencana itu benar akan dilaksanakan.

Dengan nada rendah Ki Gede menjawab, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa hal itu sama sekali tidak benar. Panembahan Senapati tidak pernah memerintahkan untuk menyelenggarakan keramaian di seluruh kota.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede Menoreh bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Jika aku mendapat kesempatan untuk menyatakan pendapatku, maka aku menganggap bahwa hal itu kurang pada tempatnya. Keramaian dalam suasana seperti ini akan dapat menumbuhkan kegelisahan dan bahkan keresahan, karena di antara mereka yang berangkat ke Timur, sebagian tidak pernah akan dapat kembali. Meskipun hal itu adalah satu akibat yang wajar bagi seorang prajurit atau pengawal yang memasuki medan perang, namun sebaiknya rencana itu ditunda untuk beberapa waktu,” berkata Agung Sedayu.

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Bagi kita yang selama ini tinggal di luar lingkungan sempit Mataram, meskipun kita masih merupakan keluarga besar Mataram, yang paling baik memang kesempatan untuk kembali ke kampung halaman.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Agaknya memang demikian Ki Gede. Namun rasa-rasanya juga kurang adil bagi mereka yang keluarganya, apakah itu anaknya atau suaminya atau bakal suaminya atau keluarga yang lain, tidak dapat kembali pulang.”

“Meskipun niat itu sendiri dapat dimengerti,” berkata Ki Gede, “karena niat itu menurut pendengaranku justru timbul dari mereka yang tidak ikut dalam perlawatan itu. Mereka menyatakan niatnya untuk memberikan ucapan selamat, pernyataan syukur serta ungkapan kegembiraan atas keberhasilan Panembahan Senapati.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ki Gede. Tetapi apakah hal itu tidak membuat luka di hati mereka yang kehilangan itu semakin pedih? Agak berbeda jika hal ini dilakukan setelah beberapa waktu kemudian, setelah mereka yang kehilangan sempat merenung serta menemukan keseimbangan jiwanya.”

“Aku sependapat,” berkata Ki Gede, “tetapi pembicaraan ini masih belum berlandaskan pada satu persoalan yang pasti. Kita masih akan menunggu kebijaksanaan Panembahan Senapati.”

“Ya Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “mudah-mudahan akan segera mendapat kejelasan, sehingga kita tidak perlu meraba-raba lagi.”

Hari itu, para pemimpin pasukan masih belum menerima perintah apapun juga. Tetapi menjelang senja, beberapa orang penghubung telah datang ke barak-barak para prajurit dan pengawal untuk menyampaikan perintah Panembahan Senapati, agar para pemimpin pasukan serta beberapa orang pembantunya menghadap pada satu paseban yang lengkap, meskipun tidak pada tataran Paseban Agung yang dihadiri oleh para Adipati dari pesisir Utara dan dari daerah Timur.

Pertemuan besar itu lebih banyak ditujukan bagi para pemimpin pasukan yang masih ada di Mataram, serta para pemimpin Mataram sendiri.

Namun ketika penghubung itu datang ke barak pengawal Tanah Perdikan, maka ia menambah perintah Panembahan Senapati dengan sebuah pesan khusus, “Panembahan Senapati memerintahkan malam ini Agung Sedayu menghadap. Jika Ki Gede Menoreh berminat, Ki Gede dapat menemaninya.”

Perintah khusus itu memang mendebarkan. Tetapi tidak ada pilihan lain. Keduanya memang harus menghadap, terutama Agung Sedayu sendiri.

Lepas senja maka keduanya telah bersiap. Keduanya minta agar Ki Demang Selagilang dan Glagah Putih mengawasi barak itu sebaik-baiknya.

“Kami ternyata telah mendapat perintah khusus. Terutama Agung Sedayu,” berkata Ki Gede Menoreh.

Agung Sedayu memang tidak mendapat kesulitan untuk menghadap langsung Panembahan Senapati. Apalagi beberapa orang petugas dalam telah mendapat pesan, bahwa Panembahan Senapati memang memanggil Agung Sedayu dan Ki Gede untuk menghadap.

“Kami telah mendapat laporan khusus tentang peranan Agung Sedayu di padepokan Ki Gede Kebo Lungit,” berkata Panembahan Senapati ketika keduanya telah menghadap.

“Hamba hanya sekedar melaksanakan tugas, Panembahan,” jawab Agung Sedayu.

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Aku sudah tahu bahwa kau akan memberikan jawaban seperti itu. Bukankah aku sudah mengenalmu sejak kau masih sangat muda?”

Agung Sedayu menunduk dalam-dalam. Sementara Panembahan Senapati berkata, “Ilmumu menjadi semakin mapan. Aku tahu bahwa kau telah mencapai tataran gurumu. Jika kau sempat mematangkannya, maka kau tidak ubahnya sebagaimana Orang Bercambuk itu sendiri, meskipun masih ada bagian-bagian yang harus kau lengkapi dari kemampuan Kiai Gringsing, yang sebagian memang tersembunyi karena Kiai Gringsing merasa tidak sepantasnya lagi untuk mempergunakannya.”

“Panembahan terlalu memuji. Hamba masih jauh dari yang Panembahan katakan itu,” sahut Agung Sedayu.

Panembahan Senapati tertawa kecil. Kepada Ki Gede, Panembahan bertanya, “Bagaimana pendapat Ki Gede? Bukankah yang aku katakan itu benar?”

Ki Gede memang menjadi sulit untuk menjawab. Tetapi sambil mengangguk dalam-dalam ia berkata, “Hamba kurang mampu melihat ilmu seseorang, Panembahan.”

Panembahan Senapati tertawa semakin keras. Namun kemudian katanya, “Memang ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh.”

Agung Sedayu dan Ki Gede mulai mendengarkan dengan bersungguh-sungguh. Sementara suara Panembahan Senapati pun mulai menurun, “Aku ingin memberikan tawaran yang barangkali dapat dipertimbangkan oleh Agung Sedayu.”

Panembahan Senapati berhenti sejenak. Diperhatikannya wajah Agung Sedayu yang menjadi tegang.

“Agung Sedayu. Besok, dalam pertemuan besar yang akan diselenggarakan bersama dengan para pemimpin pasukan, para pemimpin prajurit dan pemerintahan di Mataram, aku ingin memberikan beberapa penghargaan. Tiga orang akan mendapat wisuda dengan gelar Tumenggung. Antara lain adalah Untara, yang sebenarnya sudah agak lama mendapatkan kedudukan itu. Besok Untara akan dengan resmi mendapatkan gelarnya bersama dua orang Senapati yang lain, lengkap dengan nama kehormatannya. Tetapi aku minta kalian berdua masih merahasiakannya. Hanya beberapa orang saja yang telah mengetahuinya, yang tersangkut dalam upacara wisuda besok.” Panembahan Senapati berhenti pula sejenak. Dengan bersungguh-sungguh Panembahan Senapati kemudian berkata, “Agung Sedayu. Aku tahu bahwa kau selama ini kurang berminat untuk menjadi seorang prajurit. Namun aku masih ingin menawarkan satu kedudukan keprajuritan bagimu. Karena menurut pengamatanku, meskipun kau tidak menjadi seorang prajurit, namun apa yang kau lakukan selama ini tidak ubahnya sebagaimana seorang prajurit. Bahkan seorang Senapati. Karena itu, selagi besok ada pertemuan besar meskipun bukan Paseban Agung, maka aku ingin memberimu kedudukan yang dapat kau lakukan bersamaan dengan pengabdianmu bagi Tanah Perdikan Menoreh,”

Agung Sedayu termangu-mangu. Ia merasa gembira bahwa akhirnya kakaknya akan diwisuda besok, sehingga ia benar-benar berhak mempergunakan gelar itu. Sebagai seorang prajurit, maka gelar itu akan sangat mempengaruhi kedudukannya. Agaknya Pangeran Singasari telah memberikan laporan kelebihan Untara di medan perang, sehingga Panembahan Senapati memutuskan untuk segera memberikan gelar itu dengan resmi dalam satu wisuda di hadapan para pemimpin prajurit dan pemerintahan di Mataram.

Namun Agung Sedayu juga menjadi berdebar-debar. Perintah apa lagi yang akan diberikan oleh Panembahan Senapati itu kepadanya. Apakah kakaknya Untara telah menyampaikan kepada Panembahan Senapati tentang sikapnya menghadapi masa depannya, sehingga kakaknya mohon Panembahan Senapati langsung memberikan perintah kepada Agung Sedayu?

Sementara Agung Sedayu termangu-mangu, maka Panembahan Senapati itu pun telah menarik nafas dalam-dalam. Dibiarkannya Agung Sedayu berteka-teki untuk beberapa saat, baru kemudian Panembahan Senapati berkata, “Agung Sedayu, aku telah mendahuluimu. Sebelum aku bertanya kepadamu, aku sudah mengambil langkah-langkah, meskipun terbatas. Namun aku sudah melakukan pergeseran-pergeseran, sehingga saat ini Senapati yang memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh telah kosong.”

Jantung Agung Sedayu bergetar semakin cepat. Yang dikatakan oleh Panembahan Senapati itu telah memberikan arah dugaan bagi Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh. Namun keduanya masih tetap berdiam diri, sehingga Panembahan Senapati berkata selanjutnya, “Karena itu Agung Sedayu, aku akan memerintahkanmu lewat Ki Gede Menoreh, agar kau menyatakan diri menjadi prajurit Mataram. Kemudian sekaligus kau akan ditetapkan menjadi Senapati pada Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.”

Agung Sedayu terhenyak sesaat. Ia tidak bermimpi untuk menjadi seorang prajurit. Ia merasa sulit untuk memenuhi segala paugeran dan ketetapan tingkah laku sebagai seorang prajurit. Apalagi seorang Senapati.

“Tetapi Panembahan Senapati kali ini tidak menanyakan kepadaku, apakah aku bersedia atau tidak. Tetapi Panembahan Senapati telah memerintahkan kepadaku untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi apakah itu wajar? Apakah Panembahan Senapati berhak memerintahkan seseorang untuk menjadi prajurit, tanpa menghiraukan sikap, pendapat dan kemauan seseorang?” bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya.

Panembahan Senapati melihat keragu-raguan itu. Karena itu maka katanya, “Aku melihat bagaimana kau merasa ragu-ragu. Tetapi Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh. Aku sudah berbicara dengan beberapa orang. Dan aku juga sudah berbicara dengan Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah yang menjadi semakin tua itu, namun ia masih tetap seorang yang memiliki pemikiran yang baik dan pandangan luas ke depan.”

Agung Sedayu memang menjadi bingung. Sementara Panembahan Senapati berkata selanjutnya, “Aku akan berterus terang. Di sini ada Ki Gede Menoreh yang memiliki Tanah Perdikan Menoreh, berdasarkan atas kekancingan yang berlaku turun-temurun. Kehadiran Agung Sedayu di Tanah Perdikan akan dapat mempersulit Ki Gede pada suatu saat. Agung Sedayu banyak berjasa kepada Tanah Perdikan, bahkan seakan-akan yang membuat Tanah Perdikan itu dewasa adalah Agung Sedayu. Namun berdasarkan atas hubungan darah, maka Agung Sedayu tidak akan mempunyai hak dan wewenang apapun atas Tanah Perdikan itu. Satu-satunya anak Ki Gede Menoreh adalah Pandan Wangi, yang menjadi istri Swandaru. Maka Swandaru-lah yang berhak untuk memimpin Tanah Perdikan Menoreh atas nama istrinya. Kelak hak itu akan temurun kepada anaknya. Jika Swandaru mempunyai anak yang lain, maka seorang akan memimpin Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan yang lain akan menjadi pemimpin di Kademangan Sangkal Putung. Lalu bagaimana dengan kau? Apakah kau merasa bahwa tempatmu adalah di padepokan kecil di Jati Anom, menjauhkan diri dari segala macam persoalan duniawi? Seandainya istrimu sependapat, bagaimana kira-kira anakmu kelak?”

Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab. Pertanyaan seperti itu pernah diucapkan pula oleh kakaknya, Untara. Karena itu maka Agung Sedayu telah menduga bahwa Panembahan Senapati telah mendapat keterangan itu dari kakaknya pula.

Panembahan Senapati yang melihat keragu-raguan masih saja bergejolak di hati Agung Sedayu telah berkata pula, “Kau tidak dapat mengabaikan masa depanmu Agung Sedayu. Seandainya aku sekarang bertanya kepada Ki Gede, kedudukan apakah yang dapat diberikan kepadamu di Tanah Perdikan Menoreh, yang telah kau bina dan kau kembangkan selama ini, Ki Gede tentu akan menjadi bingung. Selain Swandaru dan anaknya, di Tanah Perdikan juga ada Prastawa yang mempunyai hubungan darah pula dengan Ki Gede. Bahkan sangat dekat, meskipun ayahnya mempunyai noda hitam dalam hidupnya, ditilik dari segi kesetiaan. Tetapi itu dilakukan oleh ayahnya.”

Agung Sedayu masih belum menjawab. Ia tidak menduga bahwa tiba-tiba saja ia dihadapkan pada persoalan yang demikian rumitnya.

“Agung Sedayu,” berkata Panembahan Senapati selanjutnya, “aku minta kau tidak menolaknya kali ini. Besok aku akan mengumumkan, bahwa pimpinan prajurit Mataram yang dikenal dengan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh akan dipegang oleh Agung Sedayu. Tidak ada orang yang tidak mengenalmu. Pangeran Mangkubumi sependapat sekali ketika hal ini aku bicarakan dengannya. Demikian pula Pangeran Singasari.”

Agung Sedayu rasa-rasanya tidak mungkin dapat mengelak lagi. Yang diucapkan oleh Panembahan Senapati itu memang sebuah perintah.

Namun ternyata Panembahan Senapati masih berkata, “Agung Sedayu. Aku memberikan waktu kepadamu untuk beberapa lama. Jika ternyata kelak kau benar-benar tidak merasa sesuai dengan tugas itu, maka kau dapat mengajukan keberatanmu. Namun selama kau melakukan tugasmu, kau masih mendapat beberapa kekhususan lagi. Kau dapat tinggal di luar barak, sehingga kau tidak usah berpindah rumah. Sementara dengan demikian maka hubunganmu dengan lingkunganmu tidak terbatasi oleh dinding barak. Selanjutnya kau akan dapat memilih orang yang akan dapat membantumu, diangkat atau tidak diangkat sebagai seorang prajurit. Karena agaknya sulit bagi seseorang untuk mendapatkan kawan bekerja yang tepat jika itu bukan pilihannya sendiri. Sebenarnya hal seperti itu tidak berlaku dalam hubungan antara tugas-tugas keprajuritan, karena seorang prajurit akan dapat bekerja bersama dengan siapa saja yang mendapat tugas untuk mendampinginya. Tetapi kau adalah orang yang khusus bagiku.”

Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Sementara itu. Panembahan Senapati bertanya kepada Ki Gede Menoreh, “Bagaimana pendapat Ki Gede?”

“Bagi hamba,” jawab Ki Gede, “perintah Panembahan adalah yang sebaik-baiknya bagi Angger Agung Sedayu. Apa yang Panembahan katakan memang benar. Hamba tidak akan dapat berbuat sesuatu bagi masa depan Angger Agung Sedayu. Sebenarnyalah hal ini telah hamba pikirkan selama ini.”

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Nah, bukankah kau mendengar sendiri, apa yang dikatakan oleh Ki Gede Menoreh? Sebenarnyalah aku ingin berbicara dengan terbuka. Selebihnya, aku juga mempunyai kepentingan dengan menunjukmu sebagai seorang Senapati, yang tentu dengan kepangkatan seorang prajurit. Selama ini kau sudah berbuat terlalu banyak bagi Mataram. Jika kau selalu menolak untuk menerima sebuah kedudukan, maka orang akan menganggap bahwa aku adalah orang yang tidak mempunyai perasaan terima kasih, khususnya kepadamu. Mungkin satu sikap yang mementingkan diriku sendiri. Tetapi karena hal itu terkait dengan persoalan-persoalan lain, maka hal itu telah aku kemukakan pula kepadamu. Sekali lagi, aku memberi kesempatan untuk menarik diri kelak, jika kau merasa kurang mapan dengan kedudukan itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi hatinya tiba-tiba terbuka ketika ia mendengar langsung kesulitan yang akan dialami oleh Ki Gede Menoreh. Alasan itulah sebenarnya dorongan yang terkuat baginya untuk tidak dapat menolak perintah itu, jika hal itu dapat meringankan kesulitan Ki Gede.

Beberapa saat Agung Sedayu masih merenungi perintah itu. Namun ia tidak dapat berkata lain kecuali, “Hamba akan menjalankan segala perintah Panembahan.”

“Bagus,” berkata Panembahan Senapati, “yang aku lakukan bukan sekedar satu gelar semata-mata, tetapi dengan satu keyakinan bahwa kau akan dapat menempa Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan itu menjadi pasukan yang benar-benar memiliki kelebihan dari pasukan yang lain. Sekarang pasukan khusus itu sudah cukup memberikan kebanggaan. Tetapi tentu akan menjadi lebih baik lagi jika kau benar-benar memimpinnya sepenuhnya. Bukan hanya sekedar sebagai seorang yang memberikan latihan-latihan olah kanuragan.”

“Hamba mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas penghargaan ini Panembahan,” desis Agung Sedayu.

“Aku tahu bahwa seharusnya kau mendapat tempat yang lebih baik. Tetapi saat ini baru itulah yang dapat aku berikan kepadamu,” berkata Panembahan Senapati.

“Apa yang Panembahan berikan itu bagi hamba merupakan satu kehormatan yang sangat tinggi,” desis Agung sedayu. Namun kemudian Agung Sedayu itu pun berkata, “Tetapi apakah hal itu tidak menumbuhkan persoalan di antara para Senapati?”

“Aku telah melihat dan mendengarkan pendapat dan sikap para prajurit. Aku kira para prajurit Mataram telah mengenalmu dengan baik, terutama para perwira terpenting. Dengan demikian maka tentu tidak akan ada persoalan lagi dengan kedudukan yang aku berikan kepadamu itu,” jawab Panembahan Senapati.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Gede Menoreh pun berkata, “Hamba juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya Panembahan. Dengan demikian Panembahan telah memberikan pemecahan atas masa depan Angger Agung Sedayu. Selama ini aku memang dihadapkan kepada persoalan masa depannya. Aku merasa bahwa aku tidak akan dapat memberikan apa-apa yang seimbang dengan jasa yang telah diberikan oleh Angger Agung Sedayu bagi Tanah Perdikan itu.”

Agung Sedayu menunduk. Hatinya serasa memang terluka. Ia orang lain di Tanah Perdikan Menoreh. Ia adalah sekedar saudara seperguruan dari seseorang yang sepantasnya berhak memerintah di Tanah Perdikan itu atas nama istrinya, anak perempuan Ki Gede Menoreh itu.

Bahkan dengan segala macam kaitannya, sikap dan anggapan Swandaru atas dirinya serta kemampuannya, maka tanpa Ki Gede Menoreh tentu akan timbul persoalan yang rumit di Tanah Perdikan itu. Padahal adalah satu hal yang pasti, bahwa pada suatu saat Ki Gede Menoreh itu akan tidak ada lagi.

Dengan demikian maka Panembahan Senapati itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Agaknya keperluanku dengan Agung Sedayu dan Ki Gede malam ini sudah selesai. Besok akan diselenggarakan pertemuan besar, meskipun tidak setingkat dengan Paseban Agung. Tetapi sekali lagi pesanku, semuanya masih dirahasiakan sampai besok. Hal itu akan diumumkan oleh salah seorang Tumenggung Wreda yang ditunjuk oleh Pamanda Ki Mandaraka.”

Agung Sedayu dan Ki Gede menjawab hampir bersamaan, “Hamba, Panembahan.”

“Karena itu, maka kalian berdua dapat kembali ke barak,” berkata Panembahan Senapati kemudian.

Demikianlah, Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh telah meninggalkan istana. Ketika mereka melintasi jalan di pinggir alun-alun, maka Ki Gede Menoreh berkata dengan suara lembut, “Aku harus mohon maaf kepadamu Ngger.”

Agung Sedayu terkejut. Dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa Ki Gede harus minta maaf?”

“Aku telah memberikan pengakuan di hadapan Panembahan Senapati. Sebenarnyalah kau memang merupakan satu masalah bagiku. Angger Agung Sedayu adalah seseorang yang terlalu besar bagi Tanah Perdikan Menoreh. Jika pada suatu saat aku harus mengundurkan diri karena umurku yang lanjut, maka apa yang akan dapat aku berikan kepadamu? Kedudukanku yang tertinggi pun tidak akan pantas bagi Angger Agung Sedayu. Aku tidak dapat membayangkan, apakah Angger Agung Sedayu akan dapat menjadi pemimpin Tanah Perdikan ini, karena menurut saluran darah kau adalah orang lain bagi Tanah Perdikan ini. Apa yang dikatakan oleh Panembahan Senapati semuanya adalah benar,” jawab Ki Gede Menoreh.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata selama ini ia terlalu melihat ke dalam dirinya sendiri. Ia terlalu mendengarkan kata hatinya, tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain.

“Aku yang seharusnya minta maaf Ki Gede,” berkata Agung Sedayu dengan suara dalam, “selama ini aku tidak pernah mempertimbangkan perasaan Ki Gede.”

“Tetapi aku tahu kenapa Angger Agung Sedayu berbuat demikian,” jawab Ki Gede. Lalu katanya, “Angger telah memberikan satu pengabdian yang tulus tanpa memikirkan diri Angger sendiri. Tanpa memikirkan kepada siapa pengabdian itu diberikan, selain bagi kemanusiaan dan peningkatan kesejahteraan hidup sesama.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Tetapi Panembahan Senapati telah memberikan pemecahan yang bijaksana. Angger tetap dalam lingkungan sehari-hari, sementara itu Angger dapat memberikan pengabdian yang lebih luas.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa pengangkatan itu dilakukan tanpa urutan yang biasanya dilakukan dalam lingkungan keprajuritan. Ia sampai malam hari sebelum wisuda masih belum mendapatkan surat kekancingan, yang barangkali akan diserahkan di saat wisuda itu dilakukan, atau bahkan sesudahnya, atau malahan sama sekali tidak dengan surat kekancingan. Tetapi karena ketidak-urutan menurut paugeran itu dilakukan oleh Panembahan Senapati, maka segala sesuatu tentu akan menyusul kemudian dan menyesuaikan dengan kepu-tusan yang telah diambil oleh Panembahan Senapati itu.

Malam itu di barak, Agung Sedayu dan Ki Gede benar-benar tidak mengatakan kepada siapapun tentang wisuda yang akan dilakukan di pertemuan yang akan diselenggarakan di keesokan harinya. Kepada Glagah Putih pun tidak. Bahkan Agung Sedayu seakan-akan justru telah menghindari pertemuan dengan Glagah Putih dan Ki Demang Selagilang. Demikian ia sampai barak, seperti Ki Gede Menoreh, maka Agung Sedayu pun segera pergi ke pembaringan.

Glagah Putih melihat sesuatu yang lain pada sikap Agung Sedayu. Ia memang mendekati Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu hanya menyapanya, “Kau belum tidur Glagah Putih?”

“Masih belum terlalu malam Kakang,” jawab Glagah Putih.

Namun Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, “Aku merasa letih sekali. Aku akan tidur.”

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia justru meninggalkan Agung Sedayu di pembaringannya. Sementara itu Agung Sedayu sebenarnya juga merasa iba membiarkan Glagah Putih sendiri, sementara hatinya pun sedang menjadi risau setelah ia bertemu dengan Rara Wulan. Seorang gadis yang pernah dikenalnya ketika gadis itu berkunjung ke Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan yang telah menimbulkan beberapa persoalan tersendiri.

Tetapi jika ia berbincang-bincang dengan Glagah Putih, maka Glagah Putih tentu akan bertanya, apa saja yang telah dibicarakan dengan Panembahan Senapati.

Meskipun Agung Sedayu tidak dapat segera tidur justru karena perintah Panembahan Senapati itu, namun ia bertahan untuk tetap berada di pembaringan, meskipun rasa-rasanya ia justru menjadi sangat lelah.

Namun akhirnya Agung Sedayu itu pun tertidur juga ketika barak itu menjadi sepi.

Tetapi pagi-pagi benar Agung Sedayu telah terbangun. Ternyata Ki Gede pun telah bangun pula. Bersama-sama dengan para pemimpin yang lain, mereka segera mengatur diri. Meskipun pasukannya tidak diminta untuk berkumpul, namun Ki Gede telah mempersiapkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Jika ada perintah apapun juga, pasukan itu sudah bersiap.

Yang kemudian datang ke pertemuan besar di paseban bukan hanya Ki Gede dan Agung Sedayu, tetapi juga Ki Demang Selagilang, Glagah Putih dan Prastawa. Sementara itu, para pemimpin dari setiap pasukan pun telah membawa beberapa orang pembantunya. Untara juga datang bersama Sabungsari, Swandaru, dan seorang perwira yang lain dari pasukan Mataram yang berada di Jati Anom.

Ketika matahari sepenggalah, maka paseban telah menjadi hampir penuh. Yang hadir hampir sebanyak jika di paseban itu diadakan Paseban Agung. Namun suasana dan urutan penempatannya yang berbeda, meskipun dalam pertemuan itu juga hadir para pemimpin pemerintahan di Mataram dan para Senapati.

Dalam pertemuan itu, Panembahan Senapati hadir dengan segala pertanda kebesarannya. Sebagai penguasa tertinggi di Mataram yang pengaruhnya sampai ke pesisir Utara dan wilayah sebelah Timur.

Setelah segala macam upacara berlangsung, maka Panembahan Senapati pun kemudian telah memerintahkan Ki Patih Mandaraka untuk memerintahkan kepada seorang perwira wreda agar membacakan keputusan Panembahan Senapati, untuk mewisuda beberapa orang prajurit dalam kedudukannya sebagai Senapati dengan gelar Tumenggung.

Ketika perwira wreda itu kemudian menyebut tiga buah nama, maka dengan serta merta pertemuan itu menjadi riuh. Mereka lupa bahwa mereka berada di hadapan Panembahan Senapati, justru karena sebagian dari mereka merasa gembira, orang-orang yang mereka anggap tepat telah mendapat wisuda.

Tetapi sesaat kemudian, paseban itu telah menjadi tenang kembali. Ketiga orang yang telah mendapat wisuda itu diijinkan untuk bergeser ke depan. Mereka selain mendapatkan gelar dan berhak mengenakannya, mereka pun telah mendapat anugerah nama dari Panembahan Senapati.

Agung Sedayu tidak terkejut. Tetapi ia ikut bersama mereka yang hadir menjadi gembira. Apalagi Glagah Putih yang jauh sebelumnya memang telah mendengar. Tetapi ia tidak mengira bahwa hari itu telah dilakukan wisuda dan sekaligus pemberian anugerah nama bagi ketiga orang Tumenggung itu.

“Tumenggung Untaradira,” desis Glagah Putih. “Aku akan memanggilnya Kakang Tumenggung Untaradira.”

Glagah Putih tidak memperhatikan lagi nama kedua orang Tumenggung yang lain yang tidak begitu dikenalnya. Ia memang mendengar perwira wreda itu menyebut Tumenggung Ranasudira dan Tumenggung Wirapraja. Namun yang terkait di hatinya adalah Tumenggung Untaradira.

Swandaru yang juga hadir dalam pertemuan besar itu mengangguk-angguk. Di dalam hati ia berdesis, “Apa sebenarnya kelebihan Kakang Untara, sehingga ia langsung mendapat kedudukan, gelar dan nama yang demikian besarnya? Secara pribadi aku tentu lebih baik dari Kakang Untara.”

Namun Swandaru pun mengerti, bahwa pengabdian Untara di dalam lingkungan keprajuritan sudah cukup lama. Setidak-tidaknya Untara telah menunjukkan pengabdiannya dalam lingkungan keprajuritan cukup panjang. Tentu demikian pula kedua orang yang lain, yang bersama-sama dengan Untara telah diwisuda pula menjadi Tumenggung.

Setelah suasana menjadi tenang kembali, maka perwira wreda yang masih berada di tempatnya itu meneruskan sesorahnya. Perwira wreda itu kemudian menyatakan, bahwa atas kehendak dan atas pilihan langsung dari Panembahan Senapati, maka telah ditentukan bahwa, “Telah ditunjuk untuk menjabat kedudukan yang telah kosong sebagai Senapati yang memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, seorang prajurit muda yang diangkat dan ditetapkan bersama kedudukan itu, serta mendapatkan hak dan kewajibannya, Agung Sedayu.”

Sejenak paseban yang besar dan luas itu menjadi hening. Berbeda dengan saat diumumkannya wisuda atas ketiga orang Tumenggung sebelumnya. Beberapa orang perwira yang ada di paseban itu termangu-mangu. Kedudukan itu adalah kedudukan yang menarik bagi para prajurit yang merasa memiliki kelebihan, karena pasukan khusus adalah pasukan yang memang ditempa untuk menjadikan setiap orang di dalamnya memiliki kelebihan, baik secara pribadi maupun bersama-sama. Apalagi nama yang kemudian disebut adalah bukan nama seorang prajurit yang sudah cukup lama mengabdi. Namun itu adalah nama seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Agung Sedayu diangkat dan ditetapkan menjadi prajurit, bersamaan dengan pengangkatannya menjadi seorang Senapati yang memimpin satu kesatuan pasukan khusus yang banyak dikenal. Pasukan khusus yang mampu berada di segala medan dan bertempur dalam keadaan yang bagaimanapun juga.

Beberapa orang memang telah mengenal Agung Sedayu dengan baik. Mereka yang telah melihat sendiri betapa Agung Sedayu memiliki kelebihan dari para perwira yang dianggap berilmu tinggi, dapat mengerti pilihan yang telah dijatuhkan oleh Panembahan Senapati itu sendiri. Tetapi bahwa Agung Sedayu sebelumnya bukan seorang prajurit, memang telah menimbulkan beberapa persoalan di dalam hati para perwira yang sedang berkumpul itu.

Perwira wreda yang membacakan keputusan itu merasakan suasana yang lain itu. Bahkan Panembahan Senapati juga merasakan. Karena itu maka setelah perwira itu selesai dengan pernyataan pengangkatan itu, Panembahan Senapati secara pribadi telah memberikan penjelasan khusus. Dengan pendek Panembahan Senapati memberikan keterangan tentang dasar-dasar pilihannya. Bahkan katanya kemudian, “Jika ada orang yang tidak sependapat dengan pilihanku, apakah orang itu dapat menunjuk seorang pimpinan yang lebih baik bagi pasukan khusus itu? Meskipun Agung Sedayu bukan seorang prajurit sebelumnya, namun Agung Sedayu pernah menjadi salah seorang pelatih yang sangat dihargai pada Pasukan Khusus itu, justru pada saat pembentukannya. Karena itu, maka Agung Sedayu bukan orang asing bagi pasukan yang akan dipimpinnya, meskipun ia baru saja ditetapkan sebagai seorang prajurit. Menjadi atau tidak menjadi seorang prajurit, namun Agung Sedayu telah memberikan banyak sekali sumbangan kepada Pasukan Khusus itu sejak pembentukannya.”

Semua orang yang ada di paseban itu terdiam. Untara yang baru saja berbesar hati atas pengangkatannya menjadi seorang Tumenggung dengan resmi meskipun sebelumnya ia sudah mengetahuinya, hatinya telah mengembang pula. Ia sendiri tidak pernah berbicara tentang adiknya itu kepada Panembahan Senapati. Namun agaknya beberapa orang, langsung atau tidak langsung, telah menangkap kesan sikap adiknya itu, bahkan tentu juga dari pendapatnya sebagai seorang kakaknya, dan menyampaikannya kepada Panembahan Senapati.

Penjelasan Panembahan Senapati atas sikapnya itu telah memberikan pengertian kepada sebagian besar para Senapati, Tumenggung, pemimpin keprajuritan dan pemerintahan yang ada di paseban. Namun ternyata ada juga di antara mereka yang tidak dapat mengerti, kenapa hal seperti itu dapat terjadi.

“Apa yang telah membuat Panembahan Senapati silau kepada orang itu?” bertanya salah seorang Senapati kepada dirinya sendiri.

Bahkan Swandaru pun telah terkejut mendengar keputusan itu. Ia menjadi sangat heran, bahwa Agung Sedayu, yang menurut pendapatnya di dalam tataran kemampuan ilmu di perguruan Orang Bercambuk berada di bawah kemampuannya meskipun ia adalah saudara seperguruan yang lebih muda, tiba-tiba saja telah diangkat dalam jabatan yang memerlukan satu kelebihan yang meyakinkan.

“Kebesaran nama Untara di lingkungan keprajuritan telah sangat berpengaruh,” berkata Swandaru kepada diri sendiri, “selama ini Kakang Agung Sedayu sendiri bukan apa-apa. Ia bukan orang yang menentukan apa-apa di Tanah Perdikan yang pada satu saat akan menjadi tanggung jawabku. Ia tidak lebih dari orang yang selama ini menumpang hidup.”

Tetapi satu kenyataan yang harus diterimanya, bahwa Agung Sedayu oleh Panembahan Senapati telah diangkat menjadi Senapati yang akan memimpin Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Prastawa yang mendengar pengangkatan itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya dunianya menjadi terbuka. Jalan di hadapannya menjadi lapang. Meskipun ia tidak lagi bermimpi seperti ayahnya sehingga ayahnya telah meninggalkan kesetiaan seorang adik kepada kakaknya, seorang di antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh yang memberontak terhadap Kepala Tanah Perdikannya, namun bagaimanapun juga Prastawa menginginkan satu masa depan yang lebih baik. Jika Agung Sedayu masih tetap berada di antara pimpinan Tanah Perdikan Menoreh, maka Prastawa merasa bahwa ia tidak akan dapat melampauinya, meskipun menurut urutan darah ia adalah kemenakan Ki Gede. Tetapi Prastawa tidak dapat menyingkir dari satu kenyataan tentang kesalahan yang pernah dilakukan oleh ayahnya, sehingga ia tidak akan dapat berbuat sesuatu. Jika ia menyatakan sikapnya, maka orang akan dengan cepat menuduh bahwa ia akan melakukan sebagaimana pernah dilakukan oleh ayahnya itu.

Namun jika Agung Sedayu telah minggir dengan sendirinya, justru karena satu kedudukan yang terhormat, maka ia tidak akan merasa bersalah jika ia mulai berpengharapan bagi masa depannya. Jika sepupunya Pandan Wangi serta suaminya tidak dapat melakukan tugasnya di Tanah Perdikan, maka ia adalah pemangku jabatan itu menurut urutan keturunan darah.

Beberapa saat keadaan paseban itu memang menjadi sepi. Semuanya seakan-akan merenungi penjelasan yang langsung diberikan oleh Panembahan Senapati.

Namun kemudian, suara Panembahan Senapati telah memecahkan keheningan itu. Panembahan Senapati telah menyatakan pernyataan terima kasihnya kepada semua pihak yang telah membantu Mataram sampai tuntas. Panembahan Senapati pun akan mengutus beberapa orang Senapati penghubung untuk menyampaikan pernyataan yang sama.

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih,” berkata Panembahan Senapati, “besok lusa pasukan yang ada di Mataram telah dapat meninggalkan kota, kecuali yang memang ingin tinggal lebih lama lagi. Tidak akan ada ungkapan kegembiraan yang berlebihan atas hasil tugas kita, selain pertemuan hari ini.”

Dengan demikian maka menjadi jelas, bahwa tidak akan ada keramaian di seluruh kota sebagaimana yang pernah didengar sebelumnya. Keberhasilan Mataram tetap diliputi oleh suasana prihatin. Sehingga karena itu, maka keramaian yang ingin diselenggarakan itu harus ditunda.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar