Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 256

Buku 256

Anak muda itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat mempertahankan pedangnya yang berputar dan bahkan terlepas dari tangannya. Sementara itu, Ki Demang yang telah terluka itu pun rasa-rasanya telah terdesak oleh serangan-serangan yang sangat berbahaya, sehingga iapun tidak lagi sempat mengekang diri ketika ujung trisulanya-lah yang kemudian menyambar dada anak muda itu. Anak muda itu mengaduh. Ia terlempar beberapa langkah ke samping. Sementara itu Putut Jalak Serut pun telah mengambil kesempatan untuk menyerang lagi.

Namun dua orang pengawal dari Pegunungan Sewu telah melibatkan diri pula, sehingga serangan Putut Jalak Serut itu telah tertahan. Namun kemarahan Putut itu ternyata telah tertumpah kepada pengawal itu, sehingga ketika Putut itu melenting dengan cepat,, maka senjatanya telah menyambar salah seorang dari kedua orang yang menahannya itu, sehingga orang itu pun telah terpelanting jatuh.

Dua orang pengawal yang lain sempat membantunya dan membawanya menepi. Namun yang terjadi kemudian di sekitar Ki Demang adalah pertempuran antara para pengawal Pegunungan Sewu dengan para penghuni padepokan itu. Sementara itu, Ki Demang pun telah berhadapan kembali dengan Putut Jalak Serut.

Sorak yang bagaikan meruntuhkan langit terdengar ketika Ki Demang yang mempunyai pengalaman yang luas telah mendorong Putut Jalak Serut jauh ke belakang, sehingga hampir saja tenggelam dalam pertempuran yang sengit antara beberapa kelompok pengawal dari kedua belah pihak.

Dalam kesulitan itu, maka ujung trisula Ki Demang telah menyentuh pundak Putut Jalak Serut.

Putut itu meloncat surut. Pundaknya terasa pedih, sedang darah pun telah mengalir dari lukanya itu. Kemarahan yang menghentak di dadanya telah membuatnya berteriak keras-keras.

Ki Demang terkejut mendengar teriakan itu. Berbeda dengan teriakan-teriakan gemuruh orang-orang Pegunungan Sewu yang begitu saja terlontar dengan serta merta, teriakan Putut Jalak Serut rasa-rasanya mengandung getaran yang menghentak.

Tetapi Ki Demang sama sekali tidak terpengaruh oleh teriakan kemarahan itu. Ki Demang sendiri juga sudah terluka. Karena itu, maka apa yang akan dilakukan oleh Putut Jalak Serut sama sekali tidak menggetarkan jantungnya.

Namun teriakan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar bagi pertempuran yang terjadi di sekitar Putut Jalak Serut itu. Teriakan itu selain ungkapan kemarahan, ternyata juga merupakan isyarat bagi para murid Ki Gede Kebo Lungit serta para cantrik dan orang-orang yang berada di padepokan itu.

Karena itu, maka garis pertempuran pun telah bergetar dan bahkan bergeser. Beberapa kelompok pasukan Pegunungan Sewu telah terdesak surut.

Tetapi hanya untuk sesaat. Ki Demang yang marah itu pun dapat menangkap gerakan lawan. Sementara Ki Bekel yang bertempur di medan pun menyadari pula goncangan itu. Karena itu, maka Ki Bekel-lah yang kemudian berteriak nyaring, meneriakkan aba-aba agar para pengawal Pegunungan Sewu tidak beranjak dari tempat mereka.

Sementara itu, Ki Demang yang tidak terguncang oleh teriakan Putut itu justru telah menyerang semakin garang. Trisulanya berputaran, terayun susul menyusul. Menebas mendatar dan kemudian mematuk bersama-sama pada sasaran yang berbeda.

Putut Jalak Serut memang mengalami kesulitan. Ia merasakan guncangan pada medan petempuran. Namun iapun mendengar seseorang meneriakkan aba-aba, kemudian keseimbangan pertempuran itu pun telah kembali lagi.

Sementara itu Ki Demang justru menjadi semakin garang. Sedangkan para pengawal Pegunungan Sewu telah menempatkan diri dengan baik, sehingga para penghuni padepokan itu menjadi sulit untuk bertempur dalam pasangan melawan Ki Demang.

Dengan demikian Putut Jalak Serut semakin lama justru menjadi semakin terdesak. Bukan hanya Putut Jalak Serut, tetapi para penghuni padepokan itu rasa-rasanya tidak dapat menahan desakan pasukan Pegunungan Sewu itu.

Tetapi di tempat lain, Prastawa tidak mampu menembus pasukan padepokan yang mempertahankan bangunan induk. Betapapun Prastawa memaksa pasukannya untuk menerobos masuk, namun pertahanannya memang terlalu rapat.

Sementara itu, Ki Demang Selagilang memang tidak mau melepaskan lawannya. Bersama-sama dengan para pengawalnya ia mendesak terus. Namun demikian, Ki Demang memang menemui kesulitan, karena yang kemudian bertempur menghadapinya adalah kelompok pasukan penghuni padepokan itu yang harus dihadapinya dengan kelompok Pengawal Pegunungan Sewu. Meskipun Ki Demang dan pasukannya mampu mendesak lawannya, tetapi mereka tidak tahu batasnya sampai dimana mereka harus mendorong lawannya.

Di bagian lain, Ki Gede Menoreh masih bertempur dengan sengitnya pula. Dengan unsur-unsur gerak yang khusus, Ki Gede yang kakinya telah cacat itu berusaha untuk mengimbangi lawannya yang umurnya sebaya.

Ki Ajar Ringin Panjer ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi dengan ilmu kapaknya. Bahkan kapak yang besar itu mampu diputarnya seperti putaran baling-baling. Namun ayunan yang kemudian mengarah ke tubuh lawannya adalah ayunan yang disertai dengan kekuatan yang sangat besar. Kapak baja putih yang berkilat-kilat itu dengan cepat menyambar ke arah kening Ki Gede Menoreh.

Namun Ki Gede Menoreh masih cukup tangkas. Dengan memperhatikan kemungkinan yang dapat terjadi pada kakinya, maka Ki Gede bergeser selangkah surut.

Kapak itu memang tidak akan dapat menyentuh sasarannya. Namun kekuatan Ki Ajar Ringin Panjer yang besar itu mampu mengemudikan ayunan kapaknya. Kapak itu seakan-akan menggeliat. Sementara Ki Ajar meloncat maju, maka kapak itu telah menebas mendatar.

Adalah suatu keuntungan bahwa senjata Ki Gede bertangkai lebih panjang dari tangkai kapak lawannya. Karena itu, maka dengan kemampuan ilmunya yang tinggi, Ki Gede tidak beranjak dari tempatnya. Namun tombaknya-lah yang tiba-tiba mematuk, menyusup di belakang ayunan kapak lawannya.

Lawannya memang terkejut melihat kesigapan Ki Gede mempermainkan tombaknya, sehingga justru Ki Ajar-lah yang telah bergerak mundur. Namun Ki Ajar itu masih juga berusaha untuk memukul landean tombak Ki Gede. Tetapi Ki Gede yang menyadari bahwa kapak baja putih itu tajamnya melampaui tajam kapak kebanyakan, maka ia telah menarik tangkai tombaknya, sehingga ayunan kapak yang besar itu tidak mematahkan tangkai tombak pendeknya itu.

Ternyata Ki Ajar Ringin Panjer harus mengakui kemampuan lawannya, pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu.

Karena itu, maka Ki Ajar itu pun telah mengerahkan kemampuannya. Bukan saja kemampuannya mempergunakan kapak raksasanya, tetapi juga mengerahkan kemapuan tenaga cadangan di dalam dirinya.

Tetapi Ki Gede Menoreh pun telah melakukan hal yang sama pula. Karena itu, jika ilmu Ki Ajar Ringin Panjer meningkat, maka ilmu Ki Gede pun demikian pula. Dengan demikian maka Ki Ajar tidak segera mampu menguasai lawannya dari Tanah Perdikan itu. Kapaknya tidak mampu mematahkan landean tombak Ki Gede Menoreh, apalagi mematahkan perlawanannya. Bahkan ujung tombak Ki Gede semakin lama semakin dekat dengan kulitnya.

Ki Ajar Ringin Panjer telah mencapai puncak kemampuannya ketika ia masih saja terdesak mundur. Ternyata bahwa Ki Gede Menoreh yang telah mengembangkan ilmunya secara khusus disesuaikan dengan kemungkinan pada kakinya yang cacat itu, telah menumbuhkan kemampuan yang sangat besar. Dengan menghemat gerak kakinya, maka Ki Gede Menoreh tidak lagi mengalami kesulitan karena cacat kakinya menjadi kambuh di saat-saat yang gawat.

Ki Ajar Ringin Panjer yang terdesak itu pun kemudian telah berusaha untuk memancing Ki Gede ke dalam pertempuran yang rumit, karena melibat kelompok-kelompok pengawal dan penghuni padepokan itu. Namun ternyata Ki Ajar Ringin Panjer tidak segera mampu mengatasi kesulitan. Ki Gede masih saja dapat memburunya, sementara para pengawal Tanah Perdikan menyibak para pengikut Ki Ajar yang terdesak.

Namun tiba-tiba saja seorang pengikut Ki Ajar sempat menghindar dari hiruk-pikuknya pertempuran. Dari jarak beberapa langkah ia sempat membidik Ki Gede. Dengan kemampuan bidiknya yang tinggi, orang itu telah melemparkan lembingnya mengarah ke punggung Ki Gede yang sedang menghindari serangan Ki Ajar.

Tidak ada orang yang mengira bahwa hal itu terjadi. Namun seorang pengawal Tanah Perdikan, yang kebetulan meloncat meyerang lawannya, sempat melihat tombak itu meskipun sudah agak terlambat. Dengan serta merta pengawal itu berteriak. Namun ia tidak saja berteriak. Tetapi ia telah berusaha untuk mengurungkan serangannya dan meloncat memukul tombak yang sedang melayang itu.

Orang itu berhasil menggeser arah tombak itu. Tetapi ternyata bahwa ia tidak sepenuhnya dapat membebaskan Ki Gede dari sentuhannya. Meskipun tombak itu tidak mengenai punggungnya, tetapi tombak itu telah menggores lengannya.

Ki Gede terkejut sehingga ia meloncat ke samping. Tombak itu jatuh beberapa langkah dari kakinya. Sementara itu, ia sempat melihat pengawal Tanah Perdikan yang telah menyelamatkannya dari ujung tombak itu. Namun ternyata bahwa orang yang menyelamatkannya itu tidak sempat melihat serangan yang datang dari seorang pengikut Ki Ajar.

Ki Gede-lah yang kemudian berteriak menyebut namanya. Tetapi Ki Gede juga terlambat. Ujung pedang telah menggores lambung pengawal itu di saat ia berusaha untuk menggeliat. Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan Ki Ajar Ringin Panjer juga mencoba untuk memanfaatkan kesempatan itu. Namun seorang pengawal Ki Gede-lah yang kemudian telah melontarkan tombak. Tombak itu tidak mengenainya. Tetapi Ki Ajar telah mengurungkan serangannya.

Ki Gede-lah yang kemudian menjadi sangat marah melihat orang yang menyelamatkannya itu kemudian terjatuh di tanah. Dua orang kawannya telah mengusir penyerangnya yang menghindar jauh-jauh. Sementara kawan yang lain melindungi serangan-serangan yang datang kemudian.

Ketika orang itu dibawa menepi, maka tangan Ki Gede menjadi gemetar. Dengan geram ia berkata, “Aku juga harus mencabut nyawanya.”

Ki Gede tidak sempat merenung lebih lama. Kapak yang besar itu telah terayun dengan cepat mengarah ke lengannya yang memang sudah terluka. Namun Ki Gede yang menjadi sangat marah itu benar-benar telah memusatkan segenap nalar budinya. Mengerahkan segenap tenaga cadangan di dalam dirinya, bahkan telah melupakan cacat di kakinya.

Karena itu, maka Ki Gede tidak lagi bergeser setapak-setapak, beringsut dengan satu kaki atau melenting menghindar dengan hati-hati. Tetapi Ki Gede telah benar-benar berloncatan dengan tombaknya yang berputar, terayun menyambar dan bahkan kemudian mematuk dengan cepatnya.

Ki Ajar terkejut mengalami perubahan itu. Untuk beberapa saat ia masih mampu bertahan, bahkan berusaha membentur ayunan tombak Ki Gede dengan kapaknya. Tetapi tombak Ki Gede Menoreh itu bagaikan mempunyai mata. Dengan cepat ujung tombak itu mampu menyusup di antara ayunan kapaknya. Begitu cepat dan tiba-tiba.

Ki Ajar semakin terdesak surut. Namun Ki Gede tidak mau membiarkannya. Selalu terbayang pengawalnya yang terbunuh saat menyelamatkannya.

Karena itu, maka ketika kapak Ki Ajar itu terayun tanpa menyentuh sasarannya, Ki Gede telah meloncat dengan garangnya menyerang, Namun kapak yang besar itu berputar dan bagaikan menggeliat mengarah ke tengkuknya. Tetapi Ki Gede sempat menghindar. Satu loncatan panjang telah melepaskan Ki Gede dari arus serangan berikutnya. Namun sambil meloncat, di luar dugaan, Ki Gede justru mengayunkan tombaknya ke arah samping hanya dengan sebelah tangannya.

Serangan itu tidak terduga sama sekali, Karena itu, maka Ki Ajar tidak sempat mengelak. Ujung tombak Ki Gede itu telah menggores lambungnya.

Ki Ajar Ringin Panjer masih sempat meloncat surut. Goresan di lambungnya itu tidak sampai mengoyak isi perutnya. Namun demikian, darah sudah mengalir dari lukanya itu.

Kemarahan yang membakar ubun-ubunnya telah mendorongnya untuk berteriak. ”Setan kau Ki Gede! Berdoalah untuk yang terakhir kali. Aku akan segera mengakhiri perlawananmu!”

Tetapi Ki Gede Menoreh pun sedang marah. Kematian orang yang telah memberinya isyarat dan bahkan langsung membebaskannya dari ujung tombak salah seorang pengikut Ki Ajar, benar-benar telah menggetarkan jantungnya.

Karena itu, justru pada saat Ki Ajar Ringin Panjer berteriak, Ki Gede telah meloncat menyerang dengan ujung tombaknya. Ki Gede tanpa mengingat keadaan kakinya telah meloncat sambil menjulurkan tombaknya.

Tetapi Ki Ajar Ringin Panjer sempat menangkisnya dengan kapaknya. Sementara Ki Gede yang tidak ingin landean tombaknya patah justru telah menarik tombaknya. Tetapi ia memanfaatkan saat kapak Ki Ajar terayun. Ujung tombaknya telah mematuk sekali lagi menyusup menyentuh dadanya.

Ki Ajar terdorong surut. Bukan saja dari lambungnya, tetapi dari dadanya darahnya pun sudah mulai mengalir. Meskipun luka di dadanya itu tidak menembus sampai ke jantung, namun darah yang mengalir itu akan dapat menyusut tenaganya.

Karena itu, maka sebelum tenaganya jauh menyusut, maka Ki Ajar telah memilih untuk mengerahkan kemampuannya yang tersisa, apapun yang terjadi. Meskipun dengan mengerahkan kekuatan dan kemampuannya darahnya akan semakin banyak mengalir, namun Ki Ajar itu juga melihat bahwa lengan lawannya pun telah berdarah pula.

Dengan demikian, justru pada saat kedua orang tua itu telah menitikkan darah dari luka-lukanya, maka keduanya telah menghentakkan ilmu dan kemampuannya.

Ternyata bahwa ayunan kapak yang semakin membabi buta memang telah sedikit menyulitkan Ki Gede. Kapak yang besar itu seakan-akan menjadi semakin ringan di tangan Ki Ajar, yang semakin marah setelah darahnya mulai bercampur dengan keringatnya, sehingga luka-lukanya terasa menjadi pedih.

Betapapun Ki Gede berusaha untuk menghindari sentuhan kapak itu, namun karena kemarahannya yang mencengkam jantungnya sehingga kadang-kadang Ki Gede kurang menyadari langkahnya, justru telah mengakibatkan goresan yang mengoyak kulit pundaknya.

Tetapi luka yang baru itu telah membuatnya semakin marah. Karena itu, maka gerakannya pun menjadi semakin garang. Tombaknya berputaran dengan cepatnya, sehingga seolah-olah menjadi beberapa ujung tombak yang berputar-putar dan siap mematuk tubuh Ki Ringin Panjer.

Namun Ki Gede tidak dapat mengingkari, ketika terasa sakit pada kakinya mulai menjalar. Tetapi seperti Ki Ajar, Ki Gede justru tidak mau terlambat. Ia harus menyelesaikan lawannya sebelum kakinya benar-benar kambuh dan sulit dikuasainya dalam keadaan gawat. Apalagi darahnya pun telah mengalir dari lengan dan pundaknya.

Karena itu, maka kedua orang tua itu telah mengerahkan segala sisa-sisa kekuatan, kemampuan dan ilmunya pada saat-saat yang menentukan.

Kapak Ki Ajar justru semakin terayun-ayun dengan derasnya. Sementara itu Ki Gede masih sempat mempergunakan penalarannya. Ia justru memanfaatkan saat-saat ayunan kapak Ki Ajar meluncur dengan derasnya.

Karena itulah maka beberapa saat kemudian, ketika tenaga Ki Ajar menjadi semakin susut, sementara kaki Ki Gede menjadi semakin terasa sakit selain darahnya yang juga mengucur serta tenaganya yang mulai menjadi lemah, maka kedua orang tua itu berniat untuk membuat penyelesaian terakhir. Ki Ajar tidak lagi mengekang dirinya, karena ia sudah tidak mempunyai waktu lagi. Dengan serta merta ia telah meloncat dengan ayunan kapaknya mengarah langsung ke dahi Ki Gede. Jika tajam kapak yang terbuat dari baja putih itu sempat mengenai dahi Ki Gede, maka kepala Ki Gede itu memang akan dapat terbelah.

Tetapi Ki Gede sempat mengelakkan serangan itu, dengan sisa tenaga yang terakhir. Bahkan daya tahan yang telah sampai ke puncak serta usahanya mengatasi rasa sakit pada kakinya. Namun demikian Ki Gede tidak melepaskan kesempatan terakhir. Ketika kapak itu terayun, maka Ki Gede justru meloncat maju dengan berteriak nyaring untuk mengatasi rasa sakit pada kakinya, serta menghentakkan sisa tenaganya.

Ujung tombaknya telah meluncur deras dengan dorongan sisa-sisa kekuatannya. Demikian cepatnya, ujung tombak itu benar-benar telah terhunjam di dada Ki Ajar Ringin Panjer. Sejenak Ki Gede memandang wajah orang itu. Wajah yang masih memancarkan kemarahan yang tersimpan di dalam dadanya. Namuan dada itu telah tertembus ujung tombak, menyentuh jantung.

Ketika Ki Gede kemudian menarik ujung tombaknya, maka Ki Ajar pun terhuyung-huyung sejenak. Namun iapun kemudian telah jatuh terjerembab.

Yang terdengar kemudian adalah sorak gemuruh seakan-akan mengguncang seluruh padepokan itu. Para pengawal Tanah Perdikan yang menyaksikan kemenangan Ki Gede telah bersorak dengan serta merta, sehingga mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur di seluruh padepokan.

Sementara itu, orang yang sedang bertempur itu dapat mengenali suara itu. Baik para pengawal Tanah Perdikan, maupun para pengawal dari Pegunungan Sewu dan para penghuni padepokan itu. Karena itu, maka mereka pun segera mengetahui bahwa seorang pemimpin dari padepokan itu tentu mengalami kesulitan yang parah, atau bahkan telah terbunuh di peperangan.

Namun berita tentang kekalahan Ki Ajar Ringin Panjer itu pun segera tersebar ke seluruh medan. Ki Ajar Ringin Panjer telah terbunuh oleh Ki Gede Menoreh.

Tetapi ternyata bahwa keadaan Ki Gede Menoreh sendiri menjadi sangat buruk. Darah terlalu banyak mengalir dari tubuhnya. Sedangkan kakinya terasa menjadi sakit sekali. Pada saat terakhir Ki Gede meloncat menghunjamkan tombaknya, maka rasa-rasanya kakinya tidak lagi banyak membantunya. Untunglah, bahwa ia dapat menyelesaikan tepat pada saat kakinya mengalami kesulitan yang parah.

Karena itu, maka Ki Gede sendiri kemudian sulit mempertahankan keseimbangannya. Ia justru berpegangan pada landean tombaknya untuk menopang kakinya yang sakit hampir tidak tertahankan.

Untunglah beberapa orang pengawalnya menyadari keadaannya. Ki Gede pun kemudian segera diusung menepi, sementara beberapa orang pengawal telah menjaganya dengan sebaik-baiknya.

Seorang di antara para pengawal telah berusaha mengobati luka-luka Ki Gede menurut petunjuk Ki Gede sendiri. Karena betapapun ia menjadi lemah, tetapi ia masih tetap sadar sepenuhnya.

Beberapa orang penghuni padepokan itu memang berusaha untuk menyerangnya. Mereka menjadi dendam karena kematian Ki Ajar Ringin Panjer. Namun para pengawal dengan segenap kemampuannya telah melindunginya dan mendesak mereka mundur.

Tetapi usaha itu dilakukan tanpa ada henti-hentinya. Bahkan beberapa orang murid terbaik dari perguruan Ringin Panjer.

Prastawa pun segera mengetahui keadaan pamannya. Karena itu maka ia telah menyerahkan pimpinan beberapa kelompok pengawal yang belum berhasil merebut bangunan induk itu kepada seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan, sementara Prastawa sendiri telah berlari mendapatkan pamannya yang terluka parah bersama dua orang pengawal.

Prastawa sempat bertempur dengan orang-aorang Ringin Panjer yang ada di Padepokan itu, sebelum akhirnya ia dapat sampai ke tempat pamannya berbaring.

“Paman,“ desis Prastawa.

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa.“

“Paman terluka,“ berkata Prastawa.

“Tetapi lukanya sudah diobati,“ jawab pamannya, “hanya kakiku yang masih terasa sakit. Tetapi jika aku sudah beristirahat sejenak, serta minum obat, maka kakiku tentu akan segera terasa baik.“

“Paman sudah minum obat?“ bertanya Prastawa.

“Belum,“ jawab Ki Gede, “aku memerlukan air.“

Prastawa mengerutkan keningnya. Namun Ki Gede berkata, “Biarlah aku menunggu keadaan menjadi semakin baik. Sekarang masih sangat berbahaya untuk mencari air. Aku tidak apa-apa. Darahku sudah tidak mengalir lagi.“

Prastawa termangu-mangu sejenak, la memang melihat darah tidak lagi mengalir dari luka Ki Gede, meskipun luka di pundaknya terhitung dalam. Untunglah bahwa luka di pundak itu tidak memutuskan tulangnya atau urat-urat nadinya.

Sementara itu pertempuran masih berlangsung dengan garangnya. Justru semakin lama orang-orang yang bertempur itu semakin kehilangan pengendalian diri. Tenaga mereka yang terasa mulai susut membuat mereka menjadi semakin keras bertempur, agar mereka dapat segera mengurangi kekuatan lawan, Namun karena kedua belah pihak berbuat serupa, maka pertempuran pun seolah-olah menjadi semakin keras dan semakin kasar.

Ki Gede Kebo Lungit sudah mendapat laporan bahwa Ki Ajar Ringin Panjer terbunuh. Sementara itu, iapun telah mendapat laporan pula bahwa kedua muridnya mulai terdesak di pertempuran. Putut Jalak Serut semakin kehilangan pijakan, sementara Putut Jalak Weris memang terlalu sulit untuk dapat mengatasi kemampuan Glagah Putih.

Sementara itu, Ki Gede Kebo Lungit sendiri mengalami kesulitan untuk segera mengakhiri perlawanan lawannya yang terhitung muda itu. Setelah bertempur beberapa lama, maka Ki Gede Kebo Lungit mengetahui bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki kemampuan meringankan tubuh, memiliki ilmu kebal, mempunyai penangkal racun yang kuat, serta memiliki tenaga cadangan yang besar. Ilmu cambuknya sudah mencapai tataran tertinggi, serta kekuatan yang dapat dihentakkan lewat ujung cambuknya sangat berbahaya, Sentuhan ujung cambuk orang muda itu akan dapat mengoyak kulitnya dan bahkan mematahkan tulangnya.

Ki Gede Kebo Lungit memang tidak menduga, bahwa ia telah bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu yang demikian tingginya. Ia mengira bahwa hanya Panembahan Senapati dan Patih Mandaraka sajalah yang memiliki ilmu yang dapat mengimbangi ilmunya. Atau mungkin Pangeran Mangkubumi atau Pangeran Singasari. Ternyata orang muda dari Tanah Perdikan Menoreh ini memiliki ilmu yang benar-benar di luar perhitungannya.

Karena itulah maka Ki Gede Kebo Lungit benar-benar harus berhati-hati menghadapi lawannya yang mengaku murid dari Orang Bercambuk itu.

Dalam pada itu, sepeninggal Ki Ajar Panjer, memang terjadi perubahan keseimbangan di beberapa bagian dari pertempuran itu. Beberapa orang yang kehilangan akal karena kemarahan yang meluap, telah berusaha menyerang Ki Gede Menoreh yang lemah. Tetapi para pengawalnya telah melindunginya dengan tanpa mengenal surut. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan nyawa mereka sendiri. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang dari perguruan Ringin Panjer itu telah menjadi gelisah.

Karena usaha mereka untuk membunuh Ki Gede Menoreh tidak segera berhasil, maka mereka sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang justru memperlemah hati mereka sendiri. Tanpa Ki Ajar Ringin Panjer, mereka bagaikan telah kehilangan induk.

Tetapi untuk beberapa saat, mereka masih bertempur. Mereka sadar, bahwa di padepokan itu terdapat beberapa golongan yang telah bersepakat untuk menghancurkan Madiun yang lemah.

Namun tanpa pemimpin mereka sendiri, maka mereka akan menjadi orang-orang yang tidak akan mendapat perlindungan. Menang atau kalah, mereka akan dapat tersisihkan begitu saja.

Ternyata keragu-raguan itu telah langsung mempengaruhi tekad yang semula telah membakar jantung. Semakin lama tekad itu rasa-rasanya menjadi semakin memudar. Apalagi ketika korban berjatuhan semakin banyak.

Prastawa yang menunggui pamannya beberapa saat, telah bangkit. Dengan kemarahan menyala Prastawa telah langsung terjun ke medan menghadapi orang-orang Ki Ajar Ringin Panjer yang tersisa.

Dengan pimpinan langsung -dari Prastawa, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang mulai letih telah bangkit kembali. Sesekali mereka bersorak oleh kemenangan-kemenangan kecil. Namun sorak yarig gemuruh itu sendiri telah mampu mendorong mereka untuk bertempur lebih keras.

Di bagian lain di medan pertempuran itu, orang-orang Pegunungan Sewu pun menjadi semakin garang. Namun para murid dan pengikut Ki Gede Kebo Lungit pun tidak kalah kerasnya pula. Mereka bertempur bagaikan orang kehilangan akal. Sedikit sekali di antara mereka yang sempat membuat pertimbangan-pertimbangan baru untuk mengambil langkah. Meskipun mereka masih berusaha memanfaatkan pengenalan mereka yang lebih baik atas medan, namun mereka tidak dapat mengesampmgkan kekalahan-kekalahan yang terjadi di beberapa bagian dari medan yang luas itu. Setiap kali mereka mendengar sorak yang gemuruh, maka jantung mereka menjadi berdebaran. Meskipun sekali-sekali mereka mendengar para penghuni padepokan itu bersorak, tetapi hal itu jarang sekali terjadi.

Namun tiba-tiba saja medan itu bergetar. Orang-orang padepokan itu dengan serta merta telah bersorak tidak kalah gemuruhnya dengan sorak orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata Ki Bekel Wadasmiring yang bertempur di antara orang-orangnya, terpancing ke sebuah celah-celah yang sempit. Ki Bekel tidak mengira sama sekali, ketika tiba-tiba saja dinding barak di sebelahnya terbuka. Sebuah tombak terjulur lurus menggapainya.

Ki Bekel mengaduh bertahan. Namun ia masih sempat bergerak surut.

Beberapa orang pengikutnya yang menyertainya berloncatan membantunya. Seorang di antara pengikutnya telah menghujamkan ujung tombaknya menembus dinding. Ternyata orang itu cukup tajam menanggapi keadaan. Orang yang menjulurkan tombaknya dari balik dinding itu masih belum beringsut dari tempatnya. Karena itu, terdengar keluhan kesakitan. Ketika pengikut Ki Bekel itu menarik ujung tombaknya, maka ujung tombak yang menembus dinding itu telah berlumuran darah.

Namun beberapa orang dari Pegunungan Sewu terpaksa membawa Ki Bekel menyingkir dari arena pertempuran. Lukanya memang cukup parah. Namun Ki Bekel masih sempat minta kepada orang-orangnya untuk mengobati lukanya itu.

Dengan demikian maka kekuatan dari para pengawal Pegunungan Sewu menjadi semakin berkurang. Seorang Bekel lain telah mengambil alih tempat Ki Bekel yang terluka itu. Namun dua orang Bekel baru dapat mengimbangi kemampuan Ki Bekel Wadasmiring itu.

Ki Demang Selagilang yang kemudian mendapat laporan tentang Ki Bekel Wadasmiring yang terluka karena serangan orang yang tersembunyi, menjadi sangat marah. Iapun kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya, la tidak lagi memusatkan perhatiannya kepada Putut Jalak Serut yang sekali-sekali menghilang di dalam kekisruhan pertempuran antara kedua pihak. Tetapi kemarahan Ki Demang telah membuatnya semakin keras menghadapi lawan-lawannya. Trisulanya menyambar siapa saja yang dekat padanya. Ia tidak peduli, apakah orang itu orang penting atau bukan.

Luka di tubuh Ki Demang membuatnya semakin garang. Namun bagaimanapun juga, darah masih mengalir. Justru karena itu maka Ki Demang menyadari bahwa tenaganya mulai menjadi susut. Tetapi ia masih belum mempunyai kesempatan untuk mengobati lukanya itu, meskipun Ki Demang mengerti bahwa hal itu akan dapat membahayakan dirinya.

Di depan pintu gerbang, Glagah Putih bertempur dengan Putut Jalak Werit. Glagah Putih memang masih terlalu muda untuk berhadapan dengan murid terpercayanya dari perguruan Ki Gede Kebo Lungit itu. Tetapi tidak lebih dari muda umurnya. Namun dalam ilmu, ternyata bahwa Glagah Putih mampu mengimbangi kemampuan Putut itu.

Beberapa saat keduanya masih bertempur dengan keras. Putut Jalak Werit yang telah mewarisi ilmu gurunya itu mampu beberapa kali mengejutkan Glagah Putih. Tetapi murid Agung Sedayu, sekaligus murid Ki Jayaraga itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Pergaulannya dengan Raden Rangga serta getaran kekuatan di dalam diri Raden Rangga yang mengalir ke tubuhnya, serta usaha peningkatan alas dari segenap ilmunya yang dilakukan oleh gurunya, meskipun dengan kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi atas guru dan muridnya itu, telah membuat Glagah Putih bukan lagi terlalu muda dalam tataran penguasaan ilmu.

Beberapa kali Glagah Putih telah menunjukkan beberapa kelebihan. Kekuatannya serta kecepatan geraknya yang dilandasi dengan tenaga cadangan di dalam dirinya yang sudah semakin meningkat, telah membuatnya menjadi seorang yang berilmu tinggi, jauh melampaui dugaan Putut Jalak Werit.

Karena itu, dalam pertempuran yang cepat dan keras, Putut Jalak Werit beberapa kali telah terdesak.

Namun Putut yang garang itu sama sekali belum merasa bahwa ilmunya tidak akan mampu mengatasi lawannya. Dengan mengerahkan kemampuan dan ilmunya, Putut itu masih berharap bahwa ia akan dapat mengatakan kesulitan yang untuk beberapa saat dialaminya.

Tetapi apa yang pernah terjadi itu pun terjadi lagi. Putut Jalak Werit mengalami kesulitan menghadapi Glagah Putih. Meskipun ia sudah mengerahkan segenap kemampuannya.

Karena itu, sebelum ia benar-benar dikalahkan oleh anak muda itu, maka iapun telah memutuskan untuk mempergunakan senjatanya yang sangat dibanggakannya, namun hanya dipergunakan di saat terakhir saja, apabila ia tidak mampu lagi mengatasi lawannya. Sementara itu, lawannya yang masih sangat muda itupun ternyata sangat sulit diatasinya. Putut Jalak Werit tidak mampu menyentuh tubuh Glagah Putih dengan tongkatnya. Ilmu pedang Glagah Putih benar-benar sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Benturan-benturan yang terjadi telah memperingatkan Putut Jalak Werit, bahwa kekuatan anak muda itu ternyata sangat besar. Kekuatan tenaga cadangan di dalam dirinya tidak akan mampu mengimbanginya.

Karena itu, maka Putut Jalak Werit telah mengambil keputusan, apalagi sepeninggal Ki Ajar Ringin Panjer, bahwa ia harus dengan cepat menyelesaikan lawannya yang masih sangat muda itu.

Sementara itu Glagah Putih masih selalu membatasi diri. Ia masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya, karena Glagah Putih merasa bahwa ia masih mampu mengimbangi lawannya. Bahkan masih mampu sekali-sekali mendesaknya. Ilmu pedangnya masih cukup dapat dipercaya untuk mengatasi putaran tongkat lawannya itu.

Namun Glagah Putih pun harus berhati-hati menghadapi lawannya yang pernah melarikan diri dari arena ketika mereka bertempur di Madiun.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, dalam keadaan yang sulit maka Putut Jalak Werit telah mengacukan tongkatnya dan menghentakkannya.

Glagah Putih melihat serangan itu, sebagaimana pernah dilihatnya di Madiun. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk meloncat menghindar.

Asap yang mengepul dari ujung tongkat itu memang tidak langsung mengenainya. Tetapi asap itu bagaikan menebar. Cepat sekali, sehingga beberapa saat kemudian, Glagah Putih telah diselimuti oleh asap itu.

Seperti yang pernah dialaminya, matanya memang menjadi sangat pedih, rasa-rasanya Glagah Putih tidak dapat lagi membuka matanya dalam kabut yang melibatnya.

Namun bagaimanapun juga, Glagah Putih tidak boleh berdiam diri. Jika sebelumnya, Putut Jalak Werit melontarkan gumpalan asap itu untuk menahannya agar tidak sempat menyusulnya ketika ia melarikan diri, maka serangannya itu tentu untuk tujuan yang lain.

Betapapun pedihnya mata Glagah Putih, namun ia telah memaksa diri dengan mengerahkan daya tahannya mengatasi rasa pedih itu, untuk membuka matanya.

Glagah Putih terkejut, ketika remang-remang ia melihat bayangan Putut Jalak Werit itu meloncat ke arahnya.

Glagah Putih sadar, bahwa lawannya telah meloncat sambil mengayunkan tongkat bajanya. Karena itu, maka dengan serta merta Glagah Putih telah berusaha untuk meloncat menghindari serangan itu. Geraknya yang tidak terduga-duga telah menyelamatkannya, karena Glagah Putih justru menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali. Ayunan tongkat lawannya tidak mengenainya, sementara Glagah Putih telah sempat mengambil jarak.

Tetapi tongkat lawannya yang juga berkemampuan tinggi itu tidak membiarkannya. Dengan tongkat ia memburunya, dan di saat Glagah Putih meloncat bangkit, lawannya telah mengayunkan tongkatnya. Agak tergesa-gesa, sehingga tidak dapat mengerahkan segenap kemampuan.

Namun ayunan tongkat itu begitu derasnya. Glagah Putih yang matanya masih terasa pedih, sempat juga melihat sekilas. Tetapi ia tidak sempat mengelak lagi. Yang dapat dilakukannya adalah menangkis serangan itu dengan pedangnya.

Tetapi keadaan Glagah Putih memang tidak menguntungkan, justru karena matanya yang pedih sekali. Karena itu, maka ia tidak dapat menolak sepenuhnya ayunan tongkat lawannya itu, sehingga tongkat itu masih juga mengenai lengannya.

Dorongan ayunan tongkat itu telah membuat Glagah Putih itu terhuyung-huyung. Beberapa saat ia mencoba bertahan agar tidak terjatuh. Namun pada saat yang demikian, lawannya telah meloncat maju dan sekali lagi mengayunkan tongkatnya.

Glagah Putih tidak dapat berbuat lain, kecuali justru sekali lagi menjatuhkan dirinya. Kemudian bergulung dan meloncat bangkit. Namun ia sudah bersiap untuk menghadapi serangan jika lawannya memburunya.

Namun ternyata Putut Jalak Werit tidak menyerangnya dengan ayunan tongkatnya. Tetapi sekali lagi ia mengangkat tongkatnya dan mengacukan kepada lawannya.

Glagah Putih tahu bahwa lawannya telah menyerangnya dengan asap yang dapat membuat matanya menjadi pedih. Sebelumnya matanya telah dikenainya, apalagi jika asap itu sempat menyentuh pelupuknya lagi.

Tetapi Glagah Putih memang tidak dapat terlepas. Meskipun ia sudah meloncat menghindar, tetapi sekali lagi asap itu bagaikan menebar dengan cepat meliputi tubuh Glagah Putih.

Glagah Putih tahu pasti, bahwa lawannya tentu akan mempergunakan saat yang demikian. Karena itu, maka Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Ia tidak menghiraukan lagi matanya yang dikenai asap yang pedih itu, yang bahkan akan dapat memeras air matanya. Asap yang bagaikan serbuk halus itu seakan-akan telah menusuk-nusuk putih matanya, karena Glagah Putih tetap membiarkan matanya terbuka.

Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, dengan memusatkan nalar budinya, maka Glagah Putih telah melepaskan kekuatan ilmunya.

Saat yang bersamaan, Putut Jalak Werit telah meloncat sambil mengangkat tongkatnya. Ia sudah siap mengayunkan tongkatnya dengan segenap kekuatannya. Bahkan dengan mengerahkan kekuatan cadangan di dalam dirinya, serta puncak dari segenap kemampuannya.

Putut Jalak Werit itu memperhitungkan, bahwa pada kesempatan terakhir itu ia akan mampu mengakhiri perlawanan Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih yang membuka matanya yang pedih dan kemudian berair itu masih sempat melihat bayangan lawannya yang meloncat ke arahnya. Glagah Putih pun melihat samar-samar lawannya itu mengayunkan tongkat bajanya langsung mengarah ke ubun-ubunnya.

Glagah Putih sadar sepenuhnya, bahwa tongkat itu akan dapat benar-benar memecahkan kepalanya jika mengenainya.

Tetapi pada saat itu Glagah Putih telah mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya, setelah melepaskan pedangnya yang jatuh di depan kakinya.

Seleret sinar telah memancar. Ternyata Glagah Putih telah melepaskan kekuatan ilmunya yang mengandung panasnya api.

Satu hentakan yang dahsyat telah menghantam tubuh Putut Jalak Werit, sehingga tubuh yang sedang melayang itu telah berbenturan dengan kekuatan ilmu yang luar biasa besarnya, serta memancarkan panasnya api yang dibangunkan oleh kekuatan ilmu Glagah Putih yang diwarisinya dari Ki Jayaraga.

Yang terdengar kemudian adalah teriakan yang menggetarkan jantung. Tubuh Putut Jalak Werit yang sedang melayang itu seakan-akan telah membentur dinding baja, sehingga justru telah terlempar beberapa langkah surut. Namun yang membekas di tubuhnya adalah sengatan panasnya api yang membuat tubuh itu menjadi hangus. Sehingga demikian tubuh itu terkapar, maka yang dilihat oleh para penghuni padepokan adalah tubuh yang telah tidak bernyawa lagi, dengan luka-luka oleh jilatan lidah api.

Glagah Putih berdiri termangu-mangu menyaksikan keadaan lawannya. Sementara itu, perasaan pedih di matanya terasa semakin menusuk-nusuk, sehingga tubuh yang terkapar itu semakin menjadi kabur.

Glagah Putih akhirnya tidak dapat menahan pedih di matanya itu, sehingga ia harus menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.

Sorak yang gemuruh telah terdengar lagi. Namun beberapa orang Tanah Perdikan sempat mendekati Glagah Putih sambil bertanya, “Apa yang telah terjadi denganmu?“

“Mataku sakit sekali,“ jawab Glagah Putih, “asap dari tongkat orang itu mengandung serbuk yang dapat membuat mata menjadi sangat pedih.“

Orang-orang Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berdesis, “Pantas, aku yang berdiri agak dekat pun merasa pengaruh itu di mataku.“

“Pedangku,“ desis Glagah Putih.

Orang yang membantunya itu telah memungut pedang Glagah Putih dan kemudian menyerahkannya.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih sibuk dengan matanya. Sementara itu beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus berusaha menghalau orang-orang padepokan yang menjadi marah. Murid-murid Ki Gede Kebo Lungit dan para cantrik yang merasa kehilangan saudara tertua mereka.

Namun mereka tidak mampu mendekati Glagah Putih. Apalagi beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih telah menjadi semakin baik. Perasaan pedih itu pun semakin susut, sehingga kemudian Glagah Putih telah mampu membuka matanya, meskipun air matanya masih saja mengambang di pelupuknya.

Dengan demikian orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu pun menjadi semakin mantap. Mereka menjadi semakin yakin bahwa beberapa orang pemimpin padepokan itu telah dapat dikalahkan oleh para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Meskipun jatuh korban pula di antara para pengawal Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu, namun hal itu sudah mereka perhitungkan sejak semula.

Sebenarnyalah keadaan para penghuni padepokan itu menjadi semakin sulit. Meskipun Ki Bekel Wadasmiring dan Ki Gede Menoreh sendiri sudah tidak dapat turun ke medan, namun kekuatan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu masih cukup besar. Apalagi setelah Glagah Putih bebas dari lawannya, sehingga ia akqn dapat berbuat lebih banyak.

Tetapi Glagah Putih yang kemudian menyadari keadaan Ki Gede setelah ia mendapat laporan dari seorang penghubung demikian ia menyelesaikan lawannya, maka Glagah Putih pun dengan tergesa-gesa telah menemuinya.

Tetapi keadaan Ki Gede justru sudah semakin baik, meskipun Ki Gede masih lemah. Tetapi Ki Gede sudah dapat duduk tegak sambil menggenggam tombaknya.

Ketika Glagah Putih duduk di sebelahnya, maka Ki Gede itu pun bertanya, “Bagaimana keadaanmu Glagah Putih?“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menjawab, “Aku baik-baik saja Ki Gede. Tetapi sebenarnya aku-lah yang harus bertanya kepada Ki Gede.“

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Aku memang terluka. Tetapi lukaku sudah diobati. Aku tidak akan mengalami kesulitan apapun meskipun keadaanku menjadi lemah.“

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Ia melihat darah memang sudah pampat. Wajah Ki Gedepun telah menjadi sedikit terang.

Namun dalam pada itu, Ki Gede itu pun berkata, “Prastawa sedang berada di medan. Tetapi ia belum berhasil memecahhkan pertahanan orang-orang padepokan ini yang mempertahankan bangunan induknya.“

Glagah Putih tanggap akan kata-kata itu. Yang dimaksudkan tentu perintah kepadanya agar Glagah Putih turun pula ke medan. Sementara itu, beberapa pengawal akan berada di sekitar Ki Gede Menoreh.

Karena itu, maka Glagah Putih pun segera bangkit berdiri sambil berkata, “Aku akan menyusul Prastawa.“

Sejenak kemudian maka Glagah Putih telah meninggalkan Ki Gede. Bersama seorang pengawal ia menuju ke medan untuk menjumpai Prastawa yang sedang berada di arena pertempuran.

Namun Glagah Putih menjumpai Prastawa tidak sedang berada di seputar bangunan induk. Tetapi Prastawa bertempur melawan orang-orang dari pergurun Ringin Panjer.

Namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak lagi mengalami kesulitan. Murid-murid dari perguruan Ringin Panjer itu benar-benar telah kehilangan tekad perjuangan mereka, sehingga dengan demikian maka semakin lama menjadi semakin terdesak surut.

Glagah Putih yang berhasil mendekati Prastawa sempat bertanya, “Bagaimana dengan bangunan induk?“

“Aku belum berhasil,“ jawab Prastawa.

“Marilah. Kita kembali ke bangunan induk. Bukankah para pengawal di arena itu tidak banyak mengalami kesulitan?” ajak Glagah Putih.

Prastawa mengangguk-angguk. Ia sempat mengamati keadaan sejenak. Kemudian setelah ia yakin bahwa arena itu dapat ditinggalkannya tanpa membahayakan keadaan Ki Gede Menoreh, maka Prastawa pun bersama dengan Glagah Putih telah menuju ke bangunan induk.

Ternyata pertempuran di sekitar bangunan induk itu masih berlangsung dengan sengitnya. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh memang masih belum berhasil. Para penghuni padepokan itu telah mempertahankan bangunan induk dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada pada mereka. Ternyata orang-orang padepokan itu menganggap bangunan induk padepokan sebagai lambang ketahanan pertahanan mereka.

Namun dengan kedatangan Glagah Putih dan Prastawa, keseimbangan pun segera berubah. Kedua orang itu telah membagi diri. Seorang berada di satu sisi, sedangkan yang lain berada di sisi yang lain.

Perlahan-lahan tetapi pasti, Prastawa dan Glagah Putih telah berhasil mengguncang pertahanan atas bangunan induk itu. Terutama Glagah Putih. Apalagi perasaan pedih yang menyengat matanya itu telah terhapus sama sekali.

Orang-orang yang mempertahankan bangunan induk itu semakin lama memang merasa semakin berat. Satu-satu kawan mereka telah berkurang, sementara sulit bagi mereka untuk mengurangi jumlah lawan. Apalagi setelah Glagah Putih dan Prastawa datang.

Beberapa saat kemudian, maka pertahanan yang goncang itu menjadi semakin terbuka. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan sempat memanfaatkan celah-celah yang kemudian timbul. Dengan demikian, maka mereka pun menjadi semakin mendesak maju. Glagah Putih seakan-akan telah membuat jalur yang langsung menuju ke pintu bangunan induk itu untuk naik tangga pendapa.

Karena itu, demikian seorang saja di antara orang-orang Tanah Perdikan yang berhasil naik ke pendapa, maka pertahanan para penghuni padepokan itu benar-benar telah pecah. Mereka telah terdesak sehingga pertempuran pun telah sampai ke pendapa pula. Sementara yang lain telah mendesak mendekati pintu butulan setelah berhasil menerobos masuk seketheng.

Beberapa saat kemudian, maka telah terdengar sorak gemuruh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih telah memasuki rumah itu lewat pintu pringgitan. Tidak seorangpun yang mampu mencegahnya. Sementara itu Prastawa pun telah berada di longkangan menuju ke pintu butulan. Beberapa orang yang mencoba mempertahankannya, ternyata telah terdesak minggir dan berlari bertebaran, sehingga Prastawa pun telah membawa beberapa pengawal memasuki bangunan induk itu dari samping, sementara Glagah Putih dari depan.

Dengan demikian, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil merebut bangunan induk padepokan itu. Sementara sebagian dari kekuatan pasukan pengawal itu justru telah menghalau penghuni padepokan itu yang tersisa.

Dengan sisa-sisa kekuatan terakhir para penghuni padepokan itu telah berusaha untuk merebut kembali bangunan induk itu. Namun mereka merasa bahwa usaha itu tidak akan berhasil.

Dalam pada itu, maka beberapa kelompok pasukan dari Tanah Perdikan telah menyatu dengan para pengawal dari Pegunungan Sewu. Karena itu, maka ruang gerak para penghuni padepokan itu pun semakin lama menjadi semakin sempit.

Jatuhnya bangunan induk ke tangan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh ternyata berpengaruh besar sekali. Para penghuni padepokan itu merasa bahwa mereka tidak lagi memiliki kebanggaan di padepokan itu, serta mereka tidak lagi memiliki pusat pengendalian kekuatan.

Bangunan kedua yang dipertahankan mati-matian oleh para penghuni padepokan itu adalah sanggar-sanggar kecil dan sanggar utama. Namun bangunan-bangunan itu pun satu-satu telah jatuh ke tangan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Kelompok-kelompok pengawal telah memasuki sanggar-sanggar itu dan seakan-akan telah disediakan bagi mereka, berbagai jenis senjata yang tersimpan di dalam sanggar itu.

Namun demikian, para pemimpin kelompok yang memasuki sanggar utama berusaha untuk membiarkan senjata-senjata berada di tempatnya.

Karena itu maka para pemimpin kelompok itu telah memberikan peringatan dengan keras, agar para pengawal tidak mengambil apapun dari sanggar utama padepokan itu.

Dengan kemenangan-kemenangan itu, maka semakin banyak para penghuni padepokan itu yang harus menyerah. Mereka kehilangan ruang untuk bergerak, sementara ujung-ujung senjata rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan tubuh mereka yang berloncatan di medan.

Para pengawal dari Pegunungan Sewu pun semakin mendesak pula di segala medan, dan bahkan mereka telah memburu para penghuni padepokan yang bersembunyi di ruang-ruang barak mereka.

Dalam kekalutan itu, maka Agung Sedayu masih bertempur dengan kerasnya melawan Ki Gede Kebo Lungit. Seperti ketika mereka bertempur di Madiun, maka Ki Gede Kebo Lungit memang tidak mempunyai banyak kesempatan untuk memenangkannya. Sementara itu Ki Gede menyadari sepenuhnya, bahwa orang-orangnya ternyata tidak mampu untuk bertahan lebih lama lagi.

Karena itu, selagi pertempuran masih terjadi di sekitarnya, maka Ki Gede Kebo Lungit telah memutuskan untuk mengambil langkah terakhir.

Dengan segenap kemampuannya, maka Ki Gede Kebo Lungit telah berusaha untuk mendesak Agung Sedayu. Namun karena Agung Sedayu juga meningkatkan ilmunya, maka usaha itu sama sekali tidak berhasil. Bahkan Ki Gede Kebo Lungit-lah yang mengalami kesulitan untuk dapat bertahan di tempatnya.

“Menyerahlah,“ desak Agung Sedayu yang telah mengerahkan beberapa jenis ilmunya. Dari ilmu meringankan tubuhnya, ilmu kebal, dan beberapa ilmu yang lain, yang meyakinkan lawannya, bahwa orang muda itu sulit untuk diatasinya.

Tetapi sudah tentu sama sekali tidak terlintas di angan-angan seorang Kebo Lungit untuk menyerahkan diri.

Sementara itu Agung Sedayu masih menunggu salah satu senjata Ki Gede Kebo Lungit yang sangat berbahaya baginya. Dari ujung tongkatnya itu dapat meloncat serangan yang dapat meledak.

Sebenarnyalah bahwa ketika Ki Gede menjadi semakin terdesak, maka serangan itu pun telah dilakukannya. Serangan yang meluncur dari ujung tongkat itu dan kemudian meledak hampir saja mengenai tubuh Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu yang memiliki ilmu meringankan tubuh itu masih sempat meloncat menghindar, sebagaimana dilakukannya di Madiun.

Serangan yang berujud seleret sinar yang kemudian meledak itu kemudian telah mengepulkan kabut yang tebal. Sejenak Agung Sedayu kehilangan lawannya karena kabut yang menutupi pandangannya. Namun dengan kekuatan aji Sapta Pandulu, Agung Sedayu kemudian dapat melihat bayangan lawannya.

Tetapi Agung Sedayu benar-benar terkejut. Ternyata lawannya yang ditunggu meloncat menyerangnya itu, sama sekali tidak melakukannya. Ia justru meloncat menghindar menjauhi Agung Sedayu.

Agung Sedayu yang tidak menduga itu, dengan serta merta telah meloncat memburunya. Namun ketajaman penglihatannya itu melihat, sekali lagi lawannya mengacukan ujung tongkatnya dan seleret sinar telah memancar ke arahnya.

Sekali lagi Agung Sedayu meloncat. Ledakan itu pun telah menghamburkan kabut yang tebal, sehingga di sekitar Agung Sedayu itu pun menjadi semakin gelap pula. Lawannya sekejap telah hilang dari penglihatannya. Namun sekali lagi ketajaman Aji Sapta Pandulu dapat menembus ketebalan kabut itu. Meskipun hampir tidak nampak, namun Agung Sedayu masih melihat lawannya menyusup di antara para pengikutnya yang masih bertempur di sekitarnya.

Dengan cepat, Agung Sedayu mempergunakan kesempatan yang ada untuk mengejar lawannya. Tetapi Ki Gede Kebo Lungit itu sempat menyusup di antara kekisruhan pertempuran antara para penghuni padepokan itu dengan para pengawal Tanah Perdikan.

Untuk sesaat Agung Sedayu terhalang. Ia tidak dapat dengan cepat mengatasi keadaan.

Namun kemudian ia berhasil melihat Ki Gede Kebo Lungit itu telah menjadi semakin jauh. Bahkan kemudian orang itu telah meloncati dinding padepokan yang masih tegak.

Agung Sedayu yang hampir saja mengetrapkan ilmunya yang dapat dilontarkan lewat sorot matanya menjadi urung, ketika ki Gede Kebo Lungit telah terhalang oleh dinding padepokan yang masih tegak.

Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkannya. Iapun dengan cepat meluncur ke arah Ki Gede meloncari dinding. Tetapi ia tidak meloncat di tempat Ki Gede itu meloncat. Agung Sedayu yang hati-hati itu telah meloncat beberapa langkah di sebelah kiri dari tempat Ki Gede meloncat, karena Agung Sedayu memperhitungkan, bahwa Ki Gede akan menunggunya dan menyerang demikian ia nampak di atas dinding.

Namun perhitungan Agung Sedayu ternyata keliru. Ki Gede sama sekali tidak menyerangnya. Ketika Agung Sedayu sempat berdiri di atas dinding, ia melihat Ki Gede telah berada di tempat yang jauh.

Tetapi masih terdengar suaranya mengumandang didorong oleh kekuatan ilmunya, “Orang Muda. Kali ini aku dapat kau kalahkan. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku akan dapat melupakanmu. Kemanapun kau bersembunyi, pada suatu hari, aku akan datang menemuimu.“

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia sadar bahwa lawannya memang memiliki ilmu untuk dengan cepat menjauhinya.

Karena itu, dalam sesaat Ki Gede Kebo Lungit itu bagaikan telah hilang dihisap celah-celah batu padas di lereng gunung itu.

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia harus mengakui kenyataan itu. Ki Gede Kebo Lungit telah terlepas dari tangannya.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu telah meloncat turun dan menghubungi Ki Gede Menoreh, untuk memberikan laporan.

Sementara itu, keseimbangan pertempuran di padepokan itu telah menjadi berat sebelah. Kelompok demi kelompok para pengikut Ki Gede Kebo Lungit dan orang-orang yang berpihak kepadanya telah dapat ditundukkan. Mereka telah meletakkan senjata dan menyerah. Namun sebagian dari mereka tidak sempat lagi menyaksikan pertempuran itu berakhir.

Sehingga dengan demikian, maka beberapa saat kemudian pertempuran itu pun telah menjadi reda, dan bahkan padam sama sekali. Isi padepokan itu benar-benar telah menyerah. Mereka telah kehilangan kepemimpinan yang dapat memberikan dorongan gairah perjuangan bagi orang-orang padepokan itu.

Kepergian Ki Gede Kebo Lungit merupakan pukulan yang paling parah bagi tekad yang semula membara di hati para penghuni padepokan itu. Ketika mereka mengetahui bahwa Ki Gede Kebo Lungit meninggalkan mereka, sedangkan beberapa pemimpin yang lain telah terbunuh, maka hilanglah keberanian isi padepokan itu menghadapi pasukan yang justru menjadi semakin garang.

Dengan demikian, maka di padepokan itu kemudian telah terjadi kesibukan yang berbeda. Tidak lagi dua kekuatan yang bertempur, namun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan orang-orang Pegunungan Sewu sibuk untuk mengumpulkan isi padepokan itu sebagai lawannya, dalam tiga kelompok yang diawasi dengan hati-hati oleh para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Sementara para pengawal masih sibuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh, maka sebagian besar dari para tawanan itu harus diikat tangannya. Sedangkan sebagian yang lain, dibawah pengawasan yang kuat, harus bekerja sebagaimana para pengawal. Mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh di peperangan.

Sementara itu, matahari telah menjadi semakin rendah, dan akhirnya menyusup di balik cakrawala. Namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu masih sibuk meneliti medan di bawah penerangan obor. Yang terluka segera mendapat perawatan menurut tataran keadaan mereka. Yang paling parah mendapat perawatan lebih dahulu. Sementara yang terluka ringan telah mendapat pengobatan dari kawan-kawan mereka, yang serba sedikit telah pernah mendapat tuntunan untuk melakukan pengobatan sederhana.

Sementara para pengawal dari Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu sibuk mengumpulkan kawan-kawan mereka, demikian pula sebagian dari para tawanan, maka para pengawal yang mempunyai tugas khusus telah datang pula ke padepokan itu dari perkemahan. Para penghubung telah memanggil mereka dan membantu membawa perlengkapan yang diperlukan.

Namun mereka tidak hanya sekedar mempersiapkan minum dan makan bagi para pengawal. Mereka juga harus mempersiapkan makan dan minum bagi para tawanan. Karena itu, maka mereka pun telah minta beberapa orang yang tertawan, terutama mereka yang memang sering bertugas di dapur, untuk membantu para petugas dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Sementara itu, persediaan yang ada di padepokan itu pun telah dipergunakan pula, termasuk alat-alat yang ada.

Dalam pada itu, Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa telah berbicara secara khusus dengan Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang. Agung Sedayu telah memberikan laporan secara khusus selain pertempuran yang terjadi, juga lolosnya Ki Gede Kebo Lungit. Bahkan juga ancaman yang diucapkan ketika Ki Gede itu meninggalkan medan pertempuran.

Ki Gede Menoreh yang telah menjadi lebih baik, mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, ”Peristiwa ini harus kau ingat dengan baik Agung Sedayu. Menurut pendapatku, Ki Gede Kebo Lungit tidak akan melupakan kekalahannya ini. Mungkin setahun atau dua tahun, bahkan lebih, Ki Gede Kebo Lungit benar-benar akan datang kepadamu dengan membawa dendam yang membara di hatinya.” “Aku sadari itu Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu.

“Kau harus bersiap-siap menghadapinya. Meskipun kau tidak boleh mengikat sisa hidupmu sejak kini semata-mata untuk menghadapi saat kedatangan Ki Gede Kebo Lungit, namun kau tidak boleh mengabaikannya. Peningkatan ilmu akan berarti sekali bagimu. Karena hal itu akan bermanfaat bukan saja sekedar karena ancaman Ki Gede Kebo Lungit. Karena menurut dugaanku Agung Sedayu, Ki Gede Kebo Lungit masih akan kembali ke induk perguruannya,“ berkata Ki Gede Menoreh pula.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede meneruskan, “Persoalannya memang akan dapat beralih. Bukan lagi berhubungan dengan Mataram, Madiun atau Tanah Perdikan Menoreh atau manapun juga. Tetapi persoalannya akan dapat beralih menjadi persoalan pribadi.”

“Aku akan berhati-hati Ki Gede. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak akan mengorbankan sisa hidupku dalam kecemasan dan ketakutan,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga ia telah memperingatkan, bahwa banyak kemungkinan dapat dilakukan oleh Ki Gede Kebo Lungit.

Bahkan Ki Gede berkata, “Ki Gede Kebo Lungit memang sudah termasuk angkatan yang lebih tua dari kau. Bahkan dengan jarak yang agak jauh. Tetapi tidak mustahil bahwa orang itu masih mempunyai tempat bersandar. Mungkin satu perguruan yang memiliki orang-orang berkemampuan tinggi. Meskipun terbatas, namun dukungan perguruannya itu akan sangat berpengaruh.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun merasa memiliki sandaran. Sebuah perguruan. Namun gurunya sudah terlalu tua, sehingga keadaan wadagnya semakin lama menjadi semakin lemah. Tidak seorangpun dapat mencegahnya jika saat itu tiba. Meskipun Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi di dalam ilmu obat-obatan.

Terkilas di angan-angannya adik seperguruannya, Swandaru yang berusaha untuk meningkatkan ilmunya, khususnya ilmu cambuk. Ilmu Swandaru memang meningkat. Tetapi Swandaru masih belum dapat mengembangkannya dengan baik. Namun agaknya Agung Sedayu sudah terlanjur berdiri di sisi yang salah menurut anggapan Swandaru.

Karena itu maka Agung Sedayu harus menyadari sepenuhnya, setelah gurunya, maka ia adalah orang yang pertama dalam perguruannya. Ia tidak dapat mengharap orang lain untuk membantu kesulitannya, apalagi dengan harapan dapat membantunya menghadapi orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Satu-satunya orang yang diharapkannya adalah guru Glagah Putih yang lain, Ki Jayaraga. Seorang lagi, tetapi yang nampaknya sudah menghindari kemungkinan-kemungkinan benturan kekerasan adalah Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita pun sudah tumbuh menjadi semakin tua dan keadaan wadagnya telah mengendor.

Namun Agung Sedayu tidak tenggelam ke dalam kecemasan. Pembicaraan selanjutnya telah merambah pada rencana selanjutnya yang akan dilakukan oleh Ki Gede Menoreh sebagai pimpinan tertinggi dari pasukan itu.

“Kita tidak akan mengambil keputusan hari ini,” berkata Ki Gede Menoreh, ”kita akan tinggal di padepokan ini satu dua hari. Kita harus mengingat orang-orang yang terluka, bahkan yang terluka parah. Sementara itu menurut perhitungan kita, Panembahan Senapati tentu masih dalam perjalanan. Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara tentang rencana kita selanjutnya.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Demikian pula Ki Demang Selagilang, yang ternyata juga telah terluka, meskipun tidak sebesar Ki Gede.

Dengan demikian, maka Ki Gede pun telah mempersilahkan para pemimpin untuk beristirahat, meskipun dengan pesan bahwa yang sedang dilakukan oleh para pengawal memerlukan pengawasan.

Agung Sedayu pun kemudian bersama Glagah Putih telah melihat-lihat keadaan di padepokan yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan dari Pegunungan Sewu itu.

Para pengawal itu dibantu oleh sekelompok tawanan tengah sibuk dengan orang-orang yang terluka dan yang telah terbunuh di peperangan. Disana-sini obor telah dipasang menerangi lingkungan padepokan yang menjadi gelap oleh malam yang semakin dalam.

Ki Demang Selagilang pun bersama dua orang Bekel telah melihat-lihat keadaan pasukan pengawal dari Pegunungan Sewu. Mereka sempat melihat keadaan Ki Bekel Wadasmiring yang ternyata terluka cukup parah. Bahkan keadaannya nampak mencemaskan.

Namun Ki Bekel sempat tersenyum melihat kehadiran Ki Demang Selagirang.

“Aku tidak apa-apa Ki Demang,“ desis Ki Bekel Wadasmiring.

Ki Demang mengangguk kecil. Katanya, ”Kau akan segera sembuh. Ki Gede Menoreh juga terluka. Agak parah. Tetapi iapun akan segera menjadi baik.“

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun terasa nyeri pada luka-lukanya bagaikan menusuk-nusuk sampai ke tulang.

Namun Ki Bekel tidak ingin menunjukkannya kepada Ki Demang. Karena itu, dengan tabah ia berusaha untuk menekan perasaan sakit itu. Bagaimanapun juga ia harus menahan sengatan rasa nyeri itu. Ki Bekel juga berusaha untuk tetap tersenyum.

Ki Demang Selagilang sebenarnya dapat mengerti keadaan Ki Bekel itu sepenuhnya. Tetapi iapun tidak ingin mengecewakan Ki Bekel, yang dengan tabah tidak menghiraukan atau bahkan menyisihkan rasa sakit itu. Karena itu, maka Ki Demang itu pun berkata, “Besok keadaan Ki Bekel tentu sudah bertambah baik.“

Ki Bekel berusaha untuk mengangguk kecil. Dengan nada dalam iapun menjawab, “Mudah-mudahan Ki Demang.“

Ki Demang pun kemudian telah meninggalkan Ki Bekel yang mendapat perawatan secara khusus dari tabib yang memang berada dalam pasukan pengawal Pegunungan Sewu.

Dengan demikian, maka para pemimpin pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu pada dasarnya tidak sempat beristirahat sampai hampir dini. Namun ketika segalanya telah mapan, barulah mereka sempat duduk di antara para pengawal yang mendapat giliran beistirahat.

Yang tidak kalah sibuknya adalah mereka yang menyelenggarakan makan dan minum, yang tidak dapat dibatasi waktu. Kapan saja ada orang yang haus dan lapar, mereka harus melayaninya, justru dalam kerja yang berat dan panjang.

Kerja para pengawal Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu dibantu oleh beberapa orang tawanan ternyata masih belum selesai ketika matahari terbit. Namun kelompok-kelompok baru telah menggantikan kawan-kawan mereka yang letih. Dengan hanya membersihkan tangan dan kaki, orang-orang yang letih itu pergi ke dapur. Minum, makan, dan kemudian menjatuhkan dirinya ke serambi-serambi barak. Agaknya mereka belum berminat untuk langsung memasuki barak-barak yang belum begitu mereka kenal.

Orang-orang yang terluka parah-lah yang telah dibaringkan di pembaringan dalam barak-barak. Sementara mereka yang tidak mengalami cedera, dapat berada dimana saja. Demikian pula orang-orang padepokan itu. Mereka tidak dapat kembali memasuki barak-barak mereka, kecuali yang terluka.

Ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka Ki Gede yang masih lemah telah memerintahkan untuk menguburkan kawan-kawan mereka, para pengawal dari Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu yang gugur di dalam padepokan itu. Meskipun tanahnya mengandung padas, namun tanah di padepokan itu lebih baik dari lereng-lereng padas di sekitarnya.

Juga para penghuni padepokan itu yang terbunuh. Mereka pun akan dikuburkan pula, namun di tempat yang terpisah.

Dengan demikian maka para pengawal telah mendapat kesibukan baru. Mengubur kawan-kawan mereka. Demikian pula para tawanan.

Ternyata sampai menjelang tengah hari pekerjaan itu baru selesai. Para pengawal berusaha untuk memberikan tanda pada makam setiap orang yang gugur. Mereka telah mempergunakan alat-alat yang sederhana untuk mencoba menulis nama-nama kawan mereka yang gugur, pada tonggak-tonggak kayu yang mereka pasang di setiap makam.

“Jika pada satu saat kita sempat, maka kita akan datang untuk memugar makam ini,“ berkata Ki Gede, yang tidak dapat ikut menunggui bersama para pemimpin Tanah Perdikan di saat dilakukan upacara penguburan, karena keadaannya yang masih lemah. Tabib yang merawatnya menganjurkan agar Ki Gede tetap berbaring saja di pendapa bangunan induk padepokan itu, karena Ki Gede Menoreh menolak untuk di baringkan didalam.

“Di sini aku melihat kesibukan para pengawal,“ berkata Ki Gede.

Ki Demang Selagilang yang juga mempersilahkan Ki Gede berbaring di dalam berkata, “Sudah ada Agung Sedayu, Glagah Putih, Prastawa, dan pemimpin-pemimpin yang lain Ki Gede.“

Tetapi Ki Gede menggeleng. Katanya, “Rasa-rasanya aku lebih tenang berada di pendapa daripada di dalam.“

Ki Demang dan bahkan tabib yang merawat Ki Gede tidak dapat memaksanya, meskipun kadang-kadang angin pegunungan terasa berhembus dengan keras membawa udara dingin.

Baru setelah matahari turun, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, para pengawal dari Pegunungan Sewu dan para tawanan, benar-benar dapat beristirahat. Mereka mulai melihat-lihat keadaan padepokan itu setelah perang selesai. Ki Gede dan Ki Demang memerintahkan bahwa barak-barak dapat dipergunakan setelah dibersihkan. Sementara para tawanan akan berada di barak-barak khusus dengan pengawasan yang ketat.

Para pemimpin kelompok akan berada di barak tersendiri, sedangkan para cantrik dan orang-orang yang sekedar melakukan perintah akan dipisahkan dari mereka.

“Orang-orang itu tidak akan berbahaya,” berkata Agung Sedayu, “masih ada cara yang dapat ditempuh untuk memberikan kesadaran baru kepada orang-orang itu.“

Ketika Agung Sedayu mengajukan rencana kepada Ki Gede dan Ki Demang untuk memberikan sesuluh kepada orang-orang yang dianggap sekedar terlibat dan ikut-ikutan, maka Ki Gede dan Ki Demang tidak berkeberatan.

Namun Ki Gede berkata, “Tetapi ingat, Ki Gede Kebo Lungit belum tertangkap.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Iapun menyadari bahwa Ki Gede Kebo Lungit masih mungkin memberikan gangguan pada orang-orang yang sedang beristirahat di padepokan itu.

Hari dan malam berikutnya tidak terjadi sesuatu. Namun ternyata bahwa mereka masih harus berada di tempat itu lebih lama lagi. Ki Gede masih terlalu lemah. Sementara keadaan Ki Bekel Wadasmiring masih juga mengkhawatirkan. Beberapa orang justru telah kehilangan kesempatan untuk kembali ke Madiun, karena luka-lukanya’yang parah, harus menyusul kawan-kawannya yang gugur.

Memang terasa sangat menyakitkan hati. Yang gugur di peperangan agaknya tidak begitu terasa pahit. Tetapi mereka yang terluka parah, namun ternyata jiwanya akhirnya tidak tertolong juga.

Dalam keadaan yang demikian, maka hampir setiap orang sempat menilai akhir dari satu peperangan. Menang atau kalah, kematian dan bahkan kadang-kadang terinjak-injaknya tata nilai kehidupan yang seharusnya berlaku dalam hubungan antar manusia.

Namun peperangan itu masih juga membakar jaman dan setiap pergeseran sikap dan benturan kepentingan. Seakan-akan tidak ada cara lain yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di antara makhluk yang mempunyai akal budi itu.

Namun pada malam berikutnya, ketenangan di padepokan itu mulai terganggu. Para penghuni padepokan itu, yang semula sempat beristirahat dengan tenang, telah dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya.

Ketika malam di hari berikutnya itu melewati pertengahannya, beberapa orang pengawal telah menghampiri kawan-kawan mereka yang bertugas di sudut padepokan itu.

Tetapi mereka terkejut bukan buatan. Lima orang yang bertugas di tempat itu sudah tidak berdaya sama sekali. Empat orang terluka. Dua di antaranya luka sangat berat, sedang seorang telah gugur. Namun yang masih hidup semuanya telah pingsan.

“Apa yang terjadi?“ bertanya para pengawal yang datang.

Orang yang terluka agak ringan yang pertama sadar sempat bercerita, bahwa mereka tiba-tiba saja telah diserang oleh beberapa orang yang tidak mereka kenal. Demikian tiba-tiba, sehingga mereka tidak sempat berbuat apa-apa. Yang terjadi kemudian, mereka tidak tahu apalagi yang terjadi.

Pemimpin kelompok dari para pengawal yang akan menggantikan mereka itu pun kemudian telah memberitahukan, bahwa seorang di antara mereka telah terbunuh, sedang yang lain masih mempunyai kemungkinan hidup, karena pada mereka masih terdapat tanda-tanda hidup itu.

Dua orang dari para pengawal yang baru datang untuk menggantikan kawan-kawannya itu pun segera kembali untuk memberikan laporan tentang kawan-kawannya yang mengalami serangan itu.

Dalam waktu yang singkat, peristiwa itu telah tersebar di seluruh padepokan. Para pengawal yang tertidur segera dibangunkan. Sementara itu, para pemimpin dari Tanah Perdikan dan dari Pegunungan Sewu pun segera datang ke tempat peristiwa itu terjadi. Namun tabib yang merawat Ki Gede tetap mohon agar Ki Gede Menoreh untuk sementara tetap berada di tempatnya.

“Biarlah Agung Sedayu menyelesaikannya,“ berkata tabib yang merawat itu.

Dalam waktu yang singkat, Agung Sedayu, Glagah Putih, Prastawa dan Ki Demang Selagilang telah berada di tempat itu. Mereka berkesimpulan bahwa yang melakukan itu tentu Ki Gede Kebo Lungit atau kepercayaannya. Mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi.

Namun orang yang terluka itu tidak dapat mengatakan, berapa orang yang telah datang menyerang mereka.

“Mereka berpakaian serba hitam, sehingga sulit untuk dilihat di gelapnya malam,“ jawab orang itu.

Yang lain yang kemudian sadar, juga memberikan jawaban yang sama.

“Bawa mereka ke tempat perawatan,“ berkata Agung Sedayu dengan nada rendah.

Orang-orang yang terluka dan yang telah gugur itu pun kemudian dibawa ke barak yang dipergunakan untuk merawat orang-orang yang terluka. Sementara yang gugur telah dibaringkan di pendapa bangunan induk padepokan itu.

Kemarahan nampak membara di wajah Ki Gede menoreh. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Namun demikian, Agung Sedayu telah memerintahkan seorang penghubung untuk dengan cepat memerintahkan penjagaan di sekitar bangunan induk diperkuat.

“Cepat, sekarang. Mungkin mereka memanfaatkan saat-saat kita terpaku di sini,“ berkata Agung Sedayu.

Prastawa yang mendengar perintah itu telah menjadi cemas pula. Karena itu, maka iapun berkata, “Marilah. Bersama aku.“ Lalu katanya kepada Agung sedayu, “Aku minta ijin untuk berada di pendapa bersama Paman.“

Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Hati-hati.“

Sejenak kemudian maka Prastawa bersama penghubung itu telah berada di depan pendapa. Dengan tegas Prastawa telah memerintahkan penjajagan di sekitar bangunan induk itu diperkuat dua kali lipat.

“Berlapis,“ perintah Prastawa.

Prastawa sendiri kemudian tidak beranjak dari lingkungan bangunan induk itu. Ia menyadari, bahwa langkah yang diambil oleh Ki Gede Kebo Lungit tidak lagi memperhitungkan harga diri dan unggah-ungguh pertempuran. Mereka mengambil jalan apapun juga untuk melepaskan dendam mereka, sementara Ki Gede masih terlalu lemah.

Sementara itu Agung Sedayu telah mengatur ulang tempat-tempat yang harus mendapat pengawasan. Setiap kelompok yang sedang bertugas harus dilengkapi dengan kentongan yang dapat dibunyikan kapan saja diperlukan, karena ternyata bahwa mereka menghadapi lawan yang licik namun berilmu tinggi.

Di sisa malam itu, Agung Sedayu dan para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu itu tidak sempat tidur. Mereka berkeliling, menghampiri setiap petugas di semua sudut padepokan. Terutama di tempat-tempat yang dindingnya terbuka.

“Kalian harus mengawasi sebaik-baiknya tempat-tempat terbuka itu. Mereka akan dapat keluar masuk dengan leluasa. Besok, dinding yang terbuka itu harus ditutup dengan cara apapun,“ berkata Agung Sedayu pula.

Tetapi sampai saatnya matahari terbit, ternyata tidak terjadi lagi sesuatu yang dapat menggelisahkan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu.

Demikian matahari mulai nampak membayang di langit, maka rasa-rasanya hati para pengawal yang berada di padepokan itu menjadi lega. Di siang hari mereka tidak perlu merasa cemas. Mereka akan dapat melihat kedatangan orang-orang yang mendendam itu, dan bertempur beradu dada. Tetapi di malam hari mereka dapat merunduk dan menyerang dengan licik, justru ketika para petugas sedang lengah.

Ketika matahari mulai naik, maka para pengawal telah berusaha menutup kembali dinding-dinding yang terbuka. Meskipun tidak serapat sebelumnya, namun dapat sedikit menghalangi orang-orang yang akan keluar dan masuk ke padepokan itu. Menurut perhitungan para pengawal, maka Ki Gede Kebo Lungit tidak akan datang dengan pasukan segelar sepapan dan menyerang secara terbuka.

“Ki Gede Kebo Lungit tentu memerlukan waktu untuk menghimpun orang-orang yang dapat diajak bekerja bersama. Jika ia datang dengan tergesa-gesa, maka yang akan terjadi tentu seperti sulung menjelang api. Tumpas menjadi abu,“ berkata salah seorang pemimpin kelompok.

Tetapi ternyata Agung Sedayu masih memperingatkan bahaya kedatangan sebuah pasukan. Mungkin dengan sedikit memfitnah, Ki Gede Kebo Lungit akan dapat bekerja bersama dengan prajurit Madiun yang meninggalkan kota dan tidak segera dapat berhubungan dengan induk pasukannya. Mereka tentu akan mudah mendapat keterangan yang tidak sebenarnya dari perkembangan keadaan di Madiun.

Karena itu, maka Agung Sedayu masih memerintahkan untuk selalu mengawasi keadaan. Bahkan di sebelah-menyebelah dinding yang rusak yang dengan seadanya diperbaiki, Agung Sedayu telah memerintahkan membuat panggungan sederhana, sekedar dapat memuat dua orang untuk mengawasi keadaan, bukan saja di sekitar padepokan itu, tetapi juga pada dinding yang rusak itu meskipun sudah ditutup.

Demikianlah, maka para pengawal sehari penuh telah bekerja keras menutup kembali dinding yang rusak, membangun beberapa panggungan sederhana, memperbaiki pintu gerbang dan membuat tempat-tempat yang paling mapan untuk bertugas mengawasi keadaan.

“Meskipun kita akan tinggal di sini hanya untuk dua tiga hari, tetapi dalam dua tiga hari itu, kita tidak mau lagi mengalami perlakuan yang sangat licik itu,“ berkata Agung Sedayu kepada para pengawal.

Ketika malam kemudian tiba, maka Agung Sedayu terpaksa minta Ki Gede untuk berada di dalam.

“Bukan apa-apa Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu, “hanya sekedar berhati-hati. Apa salahnya kita berhati-hati dalam keadaan yang gawat seperti ini.“

Ki Gede tidak menjawab. Tetapi ia sebenarnya merasa kurang mapan untuk berada di ruang dalam dari bangunan induk itu. Ia lebih senang berada di luar, karena dengan demikian ia merasa berada dalam satu lingkungan dengan para pengawal yang hilir mudik di halaman.

Namun ternyata malam itu Agung Sedayu benar-benar merasa keberatan jika Ki Gede tetap berada di pendapa. Kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi, karena jika Ki Gede berada di pendapa, kemungkinan dibidik dari jauh akan dapat lebih besar terjadi daripada jika Ki Gede berada di dalam.

Akhirnya Ki Gede tidak dapat menolak lagi. Dibantu oleh tabib yang merawatnya dan Agung Sedayu, maka Ki Gede pun telah beringsut ke ruang dalam bangunan induk. Namun sebelumnya bangunan induk itu telah diamati dengan teliti oleh Agung Sedayu, Glagah Putih, Prastawa dan beberapa pengawal yang lain, sehingga mereka yakin bahwa Ki Gede tidak akan mengalami kesulitan jika ia berada di dalam. Tidak ada perlengkapan rahasia yang akan dapat mencelakakannya.

Meskipun demikian, Prastawa tidak meninggalkan Ki Gede hanya dijaga oleh para pengawal. Tetapi Prastawa dan tabib yang merawatnya, selalu berada di dekatnya. Sementara itu, di setiap ruang di dalam bilik itu mendapat pengawasan yang cermat, karena tidak mustahil bahwa ada lorong-lorong rahasia yang dapat dipergunakan oleh orang-orang padepokan itu untuk menyerang Ki Gede.

Sedangkan Agung Sedayu dan Glagah Putih bersama-sama dengan Ki Demang Selagilang telah berada di antara para pengawal di seluruh lingkungan padepokan itu. Mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk melihat kesiagaan para pengawal. Namun kemudian mereka pun berhenti dan beristirahat di bangunan induk itu pula.

Malam itu, beberapa pasang mata memang mengamati padepokan itu dari kejauhan. Namun mereka mengumpat tidak habis-habisnya karena semua jalan untuk masuk ke dalam padepokan itu telah ditutup. Untuk meloncat dinding mereka harus berpikir ulang, karena mereka pun sadar, bahwa di balik dinding itu tentu terdapat para pengawal yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun yang sebenarnya mereka cemaskan bukan para pengawal itu sendiri, tetapi tentu isyarat yang akan mereka bunyikan, sehingga orang-orang berilmu tinggi yang ada di padepokan itu akan berdatangan.

Beberapa orang yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Kebo Lungit itu terpaksa menunggu. Mereka tidak dapat mengulangi keberhasilan mereka sebagaimana malam sebelumnya, karena dinding yang terbuka, baik yang telah dibakar oleh orang-orang Pegunungan Sewu maupun yang telah dirobohkan oleh Agung Sedayu dan para pengawal, telah ditutup.

“Kita akan menunggu kesempatan,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit, “tetapi selama mereka berada di padepokan itu, kita akan selalu mengganggu mereka.“ “Apakah mereka akan menduduki padepokan kita untuk selama-lamanya?“ bertanya seorang pengikutnya.

“Aku kira tidak,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit, “entah sepekan atau dua pekan lagi mereka akan pergi. Mereka juga harus memperhitungkan perbekalan mereka. Perbekalan yang kita tinggalkan di padepokan itu memang dapat memperpanjang waktu itu. Tetapi hanya sekitar dua pekan. Bekal yang mereka bawa dari Madiun tentu tidak seberapa banyak. Sementara itu mulut yang makan hampir berlipat dua. Mereka sendiri dan orang-orang kita yang tertawan.“

“Mereka tentu hanya memberi makan sekedarnya kepada orang-orang kita,“ berkata salah seorang pengikutnya itu.

“Aku kira tidak. Mataram telah tumbuh menjadi negara yang besar. Mereka akan memperlakukan para tawanan sesuai dengan tata krama dan unggah-ungguh perang yang berlaku. Mereka tentu berusaha mempertahankan harga diri dan wibawa mereka,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit. Tetapi katanya kemudian, “Namun segala sesuatunya tergantung kepada manusianya. Yang datang itu memang bukan prajurit Mataram. Tetapi mereka merasa diri mereka lebih layak menyebut diri mereka sebagai prajurit Mataram dari prajurit Mataram itu sendiri.“

Para pengikutnya mengangguk-angguk. Namun mereka sadar, meskipun yang datang itu bukan prajurit Mataram itu sendiri, namun ternyata para pengawal itu juga memiliki kemampuan prajurit. Bahkan beberapa di antara mereka adalah orang-orang berilmu tinggi.

Sejenak mereka masih berada di tempatnya. Mereka melihat bayangan cahaya obor yang menyala di balik dinding padepokan itu.

Sambil menggeram Ki Gede Kebo Lungit telah bangkit sambil berkata, “Marilah. Biar iblis-iblis itu sempat beristirahat. Tetapi untuk selanjutnya Tanah Perdikan Menoreh tidak akan pernah tenang. Pada satu hari, Agung Sedayu tentu akan menyesali kesalahannya yang pernah dilakukannya di padepokan ini. Demikian pula anak yang telah membunuh Putut Jalak Werit, dan apalagi Ki Gede Menoreh sendiri.“

Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Namun mereka tidak mengatakan sesuatu. Terasa di hati mereka betapa dendam telah membakar jantung Ki Gede Kebo Lungit.

Beberapa saat kemudian maka Ki Gede Kebo Lungit telah meninggalkan tempat itu. Berloncatan di antara batu-batu padas, diikuti oleh beberapa orang pengikutnya. Namun Ki Gede Kebo Lungit agaknya tidak akan pernah melupakan apa yang telah terjadi dua kali berturut-turut. Kekalahan di rumahnya di Madiun, dan kemudian padepokannya yang telah dipersipkan untuk menjadi landasan perjuangannya, telah dihancurkan sama sekali.

Sementara itu, keadaan padepokan Ki Gede Kebo Lungit yang telah diduduki oleh pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta pasukan pengawal Pegunungan Sewu itu nampak tenang, meskipun terasa ketegangan yang menyelinap di setiap jantung.

Mereka yang bertugas berjaga-jaga telah melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Tidak ada perasaan kantuk yang mengganggu. Mereka tidak mau mengalami nasib buruk sebagaimana terjadi atas kawan-kawan mereka sebelumnya.

Bahkan mereka yang tidak bertugas pun kadang-kadang terbangun oleh mimpi buruk karena kegelisahan hati mereka.

Agung Sedayu, Glagah Putih, Prastawa dan Ki Demang Selagilang serta beberapa bekel pembantunya ternyata tidak dapat beristirahat cukup lama. Namun mereka juga menyempatkan diri untuk dapat tidur meskipun hanya beberapa saat, karena dengan demikian maka keadan wadag mereka akan tetap terpelihara. Bahkan Ki Demang Selagilang telah memberikan ijin kepada pembantu-pembantunya untuk tidur di pagi hari meskipun matahari telah terbit. Justru setelah matahari terbit, maka terjadinya kemungkinan buruk menjadi semakin berkurang.

Malam itu pun telah dilalui dengan tanpa terjadi sesuatu yang dapat mengganggu. Ketika matahari terbit, terasa ketegangan pun menjadi berkurang. Para pengawal membiarkan kawan-kawan mereka yang bertugas malam untuk tidur nyenyak di dalam barak-barak yang kosong.

Namun hari demi hari masih juga ditandai dengan kepedihan, karena masih saja ada di antara mereka yang tidak dapat tertolong karena luka-luka mereka, sebagaimana Ki Bekel Wadasmiring.

Ki Demang Selagilang menjadi sangat kecewa, karena baginya Ki Bekel Wadasmiring adalah pembantunya yang paling baik. Dengan demikian maka ia harus membentuk lagi seorang yang akan menggantikan Ki Bekel Wadasmiring, yang dalam keadaan tertentu telah dapat menyelesaikan masalah-masalah penting.

Pada hari yang kelima, maka keadaan Ki Gede telah menjadi semakin baik, Sementara itu, di setiap malam apalagi di siang hari, tidak lagi terjadi gangguan-gangguan yang berarti.

Namun para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu tidak menjadi lengah. Mereka selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang harus memperhitungkan perbekalan yang berada di padepokan itu. Meskipun mereka menemukan perbekalan yang ditinggalkan oleh para penghuni padepokan itu, namun mereka pun harus memberi makan para tawanan yang jumlahnya cukup besar.

Karena itu, maka Ki Gede Menoreh pun telah mulai menimbang-nimbang untuk segera kembali ke Madiun.

Tetapi tabib yang merawatnya masih minta agar niat itu ditunda barang satu dua hari.

“Apakah perbekalan kita masih cukup satu dua hari?“ bertanya Ki Gede.

“Tetapi keadaan Ki Gede masih belum memungkinkan,“ jawab tabib itu.

“Kita tidak dapat mengurangi makan para pengawal. Bahkan para tawanan. Mereka tidak dapat berkorban terlalu banyak karena aku,“ berkata Ki Gede Menoreh.

“Kita akan melihat, apakah perbekalan itu masih cukup,” berkata Ki Demang Selagilang.

Ki Gede Menoreh termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Silahkan Ki Demang. Jika keadaan memang sudah memaksa, aku kira aku dapat menempuh perjalanan pendek ke Madiun.“

“Bukan perjalanan pendek,” potong tabib yang merawatnya.

Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Silahkan Ki Demang. Kita harus tahu keadaan perbekalan itu.“

Ki Demang Selagilang pun kemudian bersama-sama dengan Agung Sedayu telah pergi ke tempat penyimpanan perbekalan. Terutama beras.

Namun agaknya masih mungkin dipergunakan untuk dua tiga hari lagi, sehingga mereka masih dapat bertahan sampai keadaan Ki Gede menjadi bertambah baik.

Namun dalam pada itu, Ki Gede Menoreh telah memerintahkan Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang untuk memikirkan rencana perjalanan mereka kembali ke Madiun dengan membawa tawanan sebanyak itu. Bahkan hampir sama banyaknya dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu.

“Kemungkinan buruk dapat terjadi di perjalanan,“ berkata Ki Gede Menoreh, ”jika ada sekelompok kecil saja orang-orang yang menyergap iring-iringan kita dan dengan serta merta dapat menerobos sampai kepada para tawanan, maka para tawanan itu akan dapat menjadi liar dan berusaha untuk melepaskan diri, atau bahkan pertempuran akan terjadi lagi dengan liar dan garang di perjalanan.”

Agung Sedayu dan Ki Demang mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Ki Gede Menoreh. Perjalanan ke Madiun memang memerlukan satu perencanaan yang matang, sehingga tidak akan terjadi bencana di perjalanan.

Sementara itu, Ki Gede Kebo Lungit beserta beberapa orang tengah berdiri di tepi sebuah jalan yang panjang, menuruni kaki gunung. Dengan wajah yang tegang Ki Gede Kebo Lungit memperhatikan jalan itu dari tikungan sampai ke tikungan.

“Bagian jalan ini adalah tempat yang paling baik untuk melakukannya,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit.

Beberapa orang yang menyertainya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Gede Kebo Lungit berkata selanjutnya. ”Pada saat para tawanan berada di potongan jalan yang pendek antara tikungan dan tikungan, maka iring-iringan itu akan kita sergap. Para pengawal dari Tanah Perdikan dan dari Pegunungan Sewu akan berada di sebelah tikungan. Di depan dan di belakang. Pasukan mereka tentu akan terbagi. Di depan para tawanan dan kemudian di belakang. Yang ada di depan yang sudah melewati tikungan, dan yang di belakang yang belum sampai ketikungan yang lain, akan memerlukan waktu untuk melibatkan diri dalam pertempuran di saat kita menyergap. Sementara itu, kita sudah berhasil menembus penjagaan yang tentu tidak akan sangat kuat, dan membangunkan kembali keberanian orang-orang kita yang sudah tertawan.“

“Tetapi mereka tentu tidak lagi memiliki kekuatan dan kemampuan sebagaimana sebelumnya,“ berkata salah seorang yang menyertai Ki Gede Kebo Lungit.

“Tidak apa-apa. Bagi kita, orang-orang yang sudah menyerah adalah orang-orang yang telah hilang. Mereka adalah orang-orang tidak berarti lagi bagi kita,” jawab Ki Gede Kebo Lungit.

“Jika demikian, kenapa kita mempersulit diri untuk berusaha membebaskan mereka?“ bertanya yang lain.

“Apakah aku mengatakan untuk membebaskan mereka?“ justru Ki Gede Kebo Lungit-lah yang bertanya.

“Jadi apa yang akan kita lakukan?“ bertanya salah seorang di antara orang-orang yang menyertainya.

“Kita membangunkan mereka agar mereka berani memberikan perlawanan. Kita memberikan senjata kepada mereka dan membiarkan mereka bertempur. Aku tidak peduli apakah mereka akan dapat melarikan diri atau akan mati di tangan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu itu. Namun yang pasti, dalam pertempuran itu tentu akan jatuh korban dari para pengawal. Berapapun orang-orang kita terbunuh aku tidak akan menyesalinya, karena sekali lagi aku katakan, tawanan-tawanan itu bagi kita sama artinya dengan sudah mati. Karena kita tahu mereka tidak akan mati untuk kedua kalinya. Yang akan berhasil lolos adalah orang-orang yang bangkit dari kuburnya. Mereka adalah orang-orang yang selanjutnya akan menjadi orang-orang terdepan di setiap peperangan, karena kematian mereka tidak akan disesali lagi.“

“Dengan demikian maka bagi Ki Gede Kebo Lungit, mereka bukan lagi manusia-manusia yang utuh?“ bertanya seorang pengiringnya.

“Aku sudah kehilangan mereka sejak mereka menyerahkan diri,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit, “karena itu mereka bagiku tidak lebih dari benda-benda yang mati yang akan dapat aku peralat untuk melemahkan musuh. Mereka sudah tidak berarti apa-apa lagi, kecuali sebagaimana aku katakan itu.“

“Jika sampai akhir dari perjuangan kita mereka masih hidup, atau katakan beberapa orang di antara mereka?“ bertanya seorang di antara orang-orang yang menyertainya itu.

“Kita akan melihat keadaannya, apakah mereka masih pantas kita hidupkan kemudian dalam barisan kita, atau mereka lebih baik dikubur saja. Aku sudah terlanjur kecewa terhadap orang-orang yang menyerah,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit.

Orang-orang yang menyertainya itu mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa Ki Gede Kebo Lungit adalah seorang yang berhati batu. Karena itu, sulit bagi mereka untuk merubah sikapnya itu.

Bagi Ki Gede Kebo Lungit, maka orang-orangnya yang menyerah dan tertawan tidak lagi dianggapnya sebagai manusia yang utuh dengan martabat kemanusiaannya, sehingga karena itu maka perlakuannya pun menjadi sangat buruk. Jika beberapa hari sebelumnya Ki Gede Kebo Lungit masih berharap bahwa orang-orangnya yang tertawan mendapat perlakuan wajar dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu, itu bukan karena ia masih menginginkan mereka sebagaimana sebelum mereka tertawan. Tetapi semata-mata karena Ki Gede Kebo Lungit ingin mempergunakan mereka menjadi alat pembunuh yang tidak berharga lagi secara jiwani, karena kematian di antara mereka tidak akan pernah disesali.

Orang-orang yang menyertai Ki Gede Kebo Lungit itu memang menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka adalah orang-orang yang telah mengenal Ki Gede dengan baik, tetapi sikapnya itu telah membuat jantung mereka berdenyut semakin keras.

Sejenak kemudian maka perhatian Ki Gede Kebo Lungit telah tertuju kembali ke sepotong jalan yang pendek di antara dua tikungan yang tajam. Jalan di lereng gunung yang tidak begitu lebar yang dibatasi oleh dinding tanah berbatu padas dan sebuah tebing rendah. Sehingga pasukan yang telah lewat dan yang masih tertinggal di belakang, akan sulit untuk berdesakan mendekat memasuki jalan yang sepotong itu.

Namun Ki Gede Kebo Lungit-pun sadar, bahwa pasukan yang dapat melakukan sergapan di tempat itu, harus bersembunyi di celah-celah batu padas di balik gerumbul, dan di bawah tebing yang rendah itu.

Demikian pula orang-orang yang menyertainya. Mereka membayangkan bahwa banyak kesulitan yang harus diatasi. Apalagi mereka masih harus membawa senjata bagi para tawanan yang harus mereka bangunkan untuk memberikan perlawanan.

Karena itu, maka seorang di antara pengiring Ki Gede Kebo Lungit itu berkata, “Kita harus berbicara dengan Wira Bledeg. Semuanya harus jelas. Agar tidak terjadi persoalan di kemudian hari.“

“Aku sudah cukup memberikan penjelasan. Semua orang-orangnya akan dikerahkan. Aku percaya bahwa gerombolan perampok itu akan mampu menembus penjagaan para pengawal Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu pada potongan jalan pendek itu. Kemudian memberikan senjata dan bersama-sama membunuh para pengawal yang terdekat. Orang-orang Wira Bledeg kemudian dapat menyingkir. Diharapkan perintah-perintahku kepada para tawanan untuk bertempur sampai mati ditaati. Mereka tahu, jika mereka keluar dari pertempuran dalam keadaan hidup, maka mereka akan mati juga,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit.

“Jika sudah tidak ada musuh lagi?“ bertanya seorang di antara para pengiring, “apakah mereka harus membunuh diri?“

“Jangan dungu. Sudah aku katakan, mereka dapat dimanfaatkan pada pertempuran-pertempuran berikutnya, atau dalam kebutuhan yang lain tanpa menghiraukan apakah mereka akan mati atau tidak,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit.

Orang yang bertanya itu terdiam. Namun ketika Ki Gede Kebo Lungit kemudian menelusuri jalan itu, maka para pengiringnya pun telah mengikutinya. Mereka melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk menyergap iring-iringan pasukan pengawal yang akan membawa para tawanan ke Madiun. “Bukan hambatan yang tidak teratasi,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit, “orang-orang Wira Bledeg adalah perampok-perampok yang telah melakukan pekerjaan mereka bertahun-tahun. Mereka terbiasa untuk melakukan pekerjaan apa saja. Selain itu, maka kau bawa beberapa orang-orangmu yang akan mempergunakan senjata bidik yang paling baik. Mungkin panah, mungkin bandil atau sumpit. Tugas kalian adalah memecahkan penjagaan atas para tawanan, memberikan senjata, dan melepaskan ikatan tangan mereka jika mereka diikat, dan membiarkan pertempuran terjadi.“

Para pengiringnya mengangguk-angguk. Tetapi itu bukan tugas yang mudah. Meskipun mereka dibenarkan untuk segera meninggalkan arena pertempuran, namun banyak kemungkinan dapat terjadi. Apalagi mereka mengetahui bahwa para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh serta Pegunungan Sewu memiliki kemampuan prajurit. Sementara itu Ki Gede Kebo Lungit sama sekali tidak dapat menerima kenyataan bahwa seseorang dapat kehilangan kesempatan untuk melawan sehingga mereka menyerah. Bagi Ki Kebo Lungit, maka menyerah akan berarti mati, atau setidak-tidaknya mereka tidak lagi dianggap sebagai manusia yang utuh.

Beberapa saat mereka memperhatikan tempat itu. Dari tikungan ke tikungan memang merupakan jarak yang tidak terlalu panjang. Potongan itulah yang dikehendaki oleh Ki Gede Kebo Lungit.

“Kita akan datang lagi besok dengan Wira Bledeg,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit.

“Mudah-mudahan besok orang-orang yang ada di padepokan itu belum pergi,“ desis seorang pengiringnya.

“Masih belum nampak tanda-tanda itu. Semalam seorang di antara kita yang mengintip isi padepokan itu, masih belum menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka akan meninggalkan padepokan. Belum ada perlengkapan atau peralatan yang dibenahi. Semuanya masih bertebaran,“ jawab orang yang lain.

“Bagaimana kalau perbekalan mereka akan ditinggalkan begitu saja?“ desis orang yang terdahulu, “Atau dimusnahkan sebelum mereka pergi?“

“Memang mungkin. Tetapi tanda-tanda untuk segera meninggalkan tempat itu belum nampak. Meskipun demikian, semakin cepat kita bersiap, semakin baik,“ jawab kawannya.

Tetapi Ki Gede Kebo Lungit berkata, “Harus ada kepastian kapan mereka akan pergi, atau kira-kira akan pergi. Tidak mungkin kita berada di sini sampai tiga hari tiga malam.“

“Itulah yang sulit Ki Gede,“ sahut pengiringnya.

“Aku tidak peduli,“ jawab Ki Gede, “orang-orang yang mengawasi padepokan itu harus dapat membuat perhitungan-perhitungan tertentu.“

Pengiringnya tidak menjawab lagi. Jika sudah demikian, maka tidak akan dapat dilakukan lagi satu pembicaraan. Ki Gede tidak akan mau mendengar orang lain berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan. Yang dikehendaki adalah semuanya dilakukan sesuai dengan perintahnya.

Demikianlah, beberapa saat lamanya mereka masih memperhatikan tempat itu dari tikungan lorong sampai ke tikungan berikutnya. Tanah yang miring berbatu-batu padas dan tebing yang rendah di sebelah lain.

Namun tiba-tiba saja Ki Gede berkata, “Di belakang tikungan itu dapat dilakukan usaha yang dapat menarik perhatian pasukan yang lewat. Mungkin dapat disediakan batu-batu padas yang dilontarkan dan dibiarkan terjun turun menimpa lorong itu. Jika pasukan itu baru lewat, maka kalian tahu akibatnya.“

Para pengiringnya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Gede Kebo Lungit telah mengajak para pengiringnya untuk melihat-lihat keadaan di belakang tikungan lorong yang tidak terlalu besar itu.

Tempat itu memang memungkinkan dipergunakan untuk menjebak pasukan yang lewat, dengan batu-batu padas yang diluncurkan dari atas lereng miring di kaki Gunung itu. Meskipun kemiringan tanah berbatu padas itu tidak begitu tinggi, namun jika batu-batu padas itu benar-benar diluncurkan, akan dapat menarik perhatian pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Sementara itu di potongan jalan antara kedua belokan itu akan disergap oleh pasukan yang akan disiapkan oleh seorang pemimpin perampok, yang untuk beberapa tahun seakan-akan berkuasa di bayangan dunia gelap bagian selatan dari Tanah ini. Wira Bledeg.

Kekuatan Ki Gede Kebo Lungit dan kekuatan Wira Bledeg untuk beberapa saat memang merupakan dua kekuatan yang sering berbenturan. Tetapi kedua kekuatan itu seakan-akan dapat membagi diri dan bergerak di dunianya masing-masing. Namun secara keseluruhan, Wira Bledeg memang tidak berani menyentuh dunia di bawah kuasa Ki Gede Kebo Lungit. Apalagi Wira Bledeg sendiri tidak memiliki ilmu setingkat dengan Ki Gede Kebo Lungit. Ilmunya masih berada di bawahnya, bahkan masih tidak lebih baik dari Putut Werit yang terbunuh di pertempuran antara padepokan Ki Gede Kebo Lungit dengan pasukan yang dikirim oleh Mataram untuk menaklukannya. Tetapi Wira Bledeg juga mempunyai pengikut yang cukup banyak yang tersebar di daerah yang luas. Dalam waktu pendek, tangan-tangan Wira Bledeg memang akan mampu menarik mereka kembali ke sarang induknya untuk satu kepentingan yang khusus, sebagaimana akan dilakukan oleh gerombolan itu bagi Ki Gede Kebo Lungit.

Namun bagi Wira Bledeg tidak dapat sekedar dijanjikan pangkat dan kedudukan. Ki Gede Kebo Lungit harus menyediakan upah yang cukup tinggi untuk menyeret Wira Bledeg agar bersedia berdiri di pihaknya.

Tetapi Ki Gede Kebo Lungit bukan orang yang tidak berperhitungan. Bukan pula orang yang berhati putih. Karena itu, maka rencananya pun bukan rencana seorang yang bersih dan jujur. Apalagi Ki Gede Kebo Lungit sendiri mempunyai keyakinan, bahwa ia memiliki kelebihan dari Wira Bledeg itu sendiri.

Beberapa saat Ki Gede Kebo Lungit mengamati daerah yang menurut pendapatnya merupakan daerah yang paling baik untuk menyergap iring-iringan yang akan kembali ke Madiun dengan membawa para tawanan. Sementara itu, Ki Gede telah memanggil semua orangnya  yang tersebar di mana-mana, untuk membuat perhitungan akhir dari semua usahanya yang ternyata tidak berjalan rancak sebagaimana diinginkannya sebelumnya.

Ki Gede Kebo Lungit telah terjebak oleh perhitungannya sendiri, bahwa pasukan Mataram dan pasukan Madiun akan hancur bersama-sama, karena menurut penilaian Ki Gede Kebo Lungit kedua pasukan itu memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Namun yang terjadi adalah berbeda dari yang diperhitungkan itu.

Setelah dianggapnya cukup, maka Ki Gede Kebo Lungit pun telah mengajak orang-orangnya meninggalkan tempat, itu. Ia akan datang lagi besok dengan Wira Bledeg.

Tetapi sementara itu, Ki Gede Menoreh pun telah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang telah membicarakan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di saat mereka membawa para tawanan menuju ke Madiun.

“Aku sudah sulit membayangkan kembali jalan yang kita tempuh menuju ke tempat ini,“ berkata Ki Demang, “barangkali aku memang sudah pikun.“

“Tidak Ki Demang,“ berkata Agung Sedayu, “saat itu perhatian kita terutama tertuju kepada padepokan yang akan kita jadikan sasaran gerakan kita, sehingga kita memang agak kurang memperhatikan jalan yang kita lalui.“

“Jadi, apakah perlu kita berjalan mendahului yang lain, untuk melihat-lihat jalan yang akan kita lalui saat kita kembali nanti dengan membawa para tawanan?“

“Kita akan berbicara dengan penunjuk jalan yang nampaknya memahami jalan-jalan di daerah ini,“ berkata Agung’ Sedayu.

Ki Demang Selagilang mengangguk-angguk. Bahkan katanya, “Kita akan berbicara dengan satu dua orang tawanan.“

“Apakah mereka akan mau mengatakan sesuatu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kita harus dapat memberikan kesan lain tentang rencana kita memaksa mereka berbicara,“ berkata Ki Demang Selagilang. “Jika kita berterus terang minta pendapat mereka, agaknya memang sulit. Meskipun mereka sudah tertawan, tetapi rasa-rasanya mereka masih mempunyai ikatan yang sangat kuat untuk tetap menganggap dirinya bagian dari Ki Gede Kebo Lungit.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Cara itu yang harus kita ketemukan Ki Demang. Barangkali penunjuk jalan yang pernah menjadi murid Kebo Lungit untuk beberapa lama itu dapat memberikan petunjuk kepada kita. Ia sedikit banyak dapat mengerti watak dan sifat perguruan ini serta ajaran-ajaran pokok dari perguruan itu.“

Ki Demang Selagilang mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa jalan kembali akan dapat menjadi lebih sulit dari jalan menuju ke padepokan itu.

Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang pun kemudian telah memanggil penunjuk jalan yang telah banyak memberikan keterangan tentang padepokan itu dan jalan menuju ke padepokan itu. Namun dalam pertempuran yang sengit di padepokan itu, penunjuk jalan itu juga telah terluka. Tetapi luka itu sudah berangsur baik, sehingga tidak lagi merupakan hambatan untuk melakukan tugas-tugasnya kemudian.

Bertiga mereka berbincang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi saat mereka menempuh perjalanan pulang.

“Seandainya kau menjadi Ki Gede Kebo Lungit yang tidak mau menerima kenyataan yang pahit, maka dimana kau akan menunggu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ada beberapa tempat yang dapat dipilih,“ berkata penunjuk jalan itu.

“Katakan. Kita akan mengurai satu demi satu,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Penunjuk jalan itu mencoba mengingat-ingat. Ia memang mengenal jalan itu dengan baik. Karena itu, maka ia dapat membayangkan bagian-bagian yang dapat dipergunakan untuk menjebak iring-iringan pasukan Tanah Perdikan menoreh dan Pegunungan Sewu yang membawa tawanan cukup banyak.

“Padahal tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh,” desis Agung Sedayu.

“Jalan yang tersedia memang tidak ada,” jawab penunjuk jalan itu, “kecuali jika kita berjalan melalui padang ilalang dan padang perdu terbuka. Tetapi untuk sampai ke padang ilalang terbuka itu, kita akan melalui celah-celah tebing padas yang sulit. Kemudian lewat tanah persawahan padepokan ini.“

“Jika kita melalui padang terbuka itu, kita akan sampai kemana?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kita akan memasuki daerah yang sudah mulai mendatar. Hanya sekali-sekali menurun di tempat-tempat tertentu. Kemudian mengikuti pematang-pematang yang sempit dan licin, sehingga akhirnya kita turun ke jalan yang sudah sedikit baik, menuju langsung ke jalan yang besar,“ jawab penunjuk jalan itu. Namun katanya kemudian. ”Tetapi sudah barang tentu jika kita mengambil jalan itu, kita tidak akan dapat membawa peralatan kita. Meskipun di padepokan itu ada pedati, tetapi kita tidak akan dapat mempergunakannya. Jika kita memilih jalan yang satu itu, meskipun sulit, namun dengan lambat pedati akan dapat lewat. Karena itu, maka segala sesuatunya dapat dipertimbangkan sebaik-baiknya.“

Tetapi akhirnya Agung Sedayu berkata, “Kita akan melihat kemungkinan-kemungkinan itu.“

“Kita akan pergi mendahului para pengawal?” bertanya Ki Demang Selagilang.

“Bukan mendahului para pengawal. Tetapi kita mempergunakan waktu khusus untuk melihat-lihat jalan yang akan kita lalui. Nanti malam kita berbicara dengan Ki Gede Menoreh. Menurut perhitungan terakhir, persediaan makan kita masih mencukupi untuk tiga atau empat hari lagi meskipun dengan sedikit berhemat. Persediaan yang ditinggalkan oleh para penghuni padepokan ini ternyata cukup banyak. Di kebun belakang masih dapat diambil hasil tanaman ubi pohon yang cukup banyak pula. Masih ada garam cukup, dan di pohon-pohon kelapa dapat dipetik kelapa cukup buat persediaan. Jika kita berada di tempat ini empat hari lagi, kita tidak akan kelaparan. Tetapi dengan ketentuan, selama dua hari kita makan malam lebih sedikit dari biasanya, tetapi kita dapat merebus ketela pohon yang dapat diambil di kebun belakang sesuka hati kita,” berkata Agung Sedayu.

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, “Besok kita pergi bersama sekelompok pengawal?“

“Tidak perlu sekelompok pengawal. Besok malam kita pergi berdua bersama penunjuk jalan itu,“ jawab Agung Sedayu.

“Jadi bertiga?“ bertanya Ki Demang.

“Ya. Kita akan menilai jalan yang terbaik yang dapat kita lalui,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Demang mengangguk-angguk. Meskipun Ki Demang menyadari bahwa yang akan dilakukan itu adalah kerja yang berat. Sementara itu belum pasti bahwa Ki Gede Kebo Lungit akan mengganggu perjalanan mereka kembali ke Madiun.

Tetapi Ki Demang Selagilang sependapat, bahwa mereka harus cukup berhati-hati karena mereka akan membawa tawanan yang jumlahnya hampir sama dengan jumlah para pengawal. Jika Ki Gede Kebo Lungit dengan pasukan yang kecil saja sempat menerobos para pengawal yang menggiring para tawanan dan membebaskan sekelompok tawanan dan memberikan senjata, maka keadaan akan menjadi sulit. Gejolak yang terjadi di jalan sempit itu akan sulit untuk dikuasai.

Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka malam itu Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan yang sudah berangsur baik itu telah menghadap Ki Gede Menoreh. Mereka menyatakan niat mereka untuk melihat langsung jalan yang akan mereka tempuh.

“Kau akan berjalan ke Madiun dan kembali lagi kemari?” bertanya Ki Gede Menoreh.

“Tidak Ki Gede. Kami hanya akan menyusuri jalan-jalan yang memungkinkan terjadi gangguan di perjalanan. Jika jalan itu kemudian turun ke jalan yang cukup lebar dan tidak dibatasi oleh dinding padas atau tebing curam, maka kami akan kembali,” jawab Agung Sedayu.

Ki Gede Menoreh mengangguk kecil. Jalan sempit di sela-sela dinding padas itu memang berbahaya, sehingga perlu perhitungan yang cermat.

Agung Sedayu dan Ki Demang pun kemudian bersetuju untuk pergi di malam hari. Di siang hari, mereka akan dapat mudah dilihat dari kejauhan.

Namun malam itu juga Agung Sedayu telah memerintahkan mereka yang bertugas di dapur dan yang mengurusi perbekalan, untuk bersiap-siap menempuh jalan kembali ke Madiun lewat manapun juga.

“Baru sebelum kita berangkat, akan aku beritahukan, jalan manakah yang akan kita tempuh,“ berkata Agung Sedayu kepada mereka.

“Apakah ada jalan lain?“ bertanya salah seorang dari mereka.

“Tidak,“ jawab Agung Sedayu.

“Jadi, kenapa baru di saat kita berangkat kita akan diberi tahu lewat jalan yang mana?“ desis seorang di antara mereka.

“Jika kau tahu bahwa hanya ada satu jalan, maka kau seharusnya tidak bertanya,“ berkata Agung Sedayu.

Orang itu mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lagi.

Sementara itu Glagah Putih secara khusus telah menemui Agung Sedayu dan menyatakan kesediaannya untuk ikut bersama saudara sepupunya.

Namun Agung Sedayu itu pun menjawab, ”Kau harus menjaga Ki Gede yang masih belum sembuh benar itu. Jika kita bersama-sama pergi, maka tidak ada seorangpun yang dapat mengatasi kesulitan yang paling parah yang akan dapat terjadi di sini.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menjawab, “Baiklah. Aku akan berada di padepokan bersama Prastawa.“

Di hari berikutnya, maka yang bertugas di dapur dan mengurusi perlengkapan dan perbekalan telah mulai membenahi barang-barang yang dianggap penting untuk dibawa kembali ke Madiun. Sementara itu, kesibukan itu dapat juga diketahui oleh orang-orang Ki Gede Kebo Lungit, yang dengan berani meskipun di siang hari, mendekati padepokan. Namun justru di siang hari, maka para pengawal yang berada di padepokan itu menjadi agak lengah. Mereka tidak dengan sungguh-sungguh mengawasi keadaan di luar dinding padepokan. Mereka memang sudah yakin, bahwa tidak akan ada serangan yang datang ke padepokan itu di siang hari.

Petugas itu dengan cepat telah menyampaikan hasil pengamatannya kepada Ki Gede Kebo Lungit, sehingga Ki Gede Kebo Lungit yang sedang mengamati jalan yang sepotong itu bersama Wira Bledeg, telah menentukan langkah-langkah terakhirnya.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Ki Gede Kebo Lungit, maka Wira Bledeg telah memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat yang paling mapan untuk menyergap jika iring-iringan pasukan Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu itu lewat sambil membawa para tawanan.

Beberapa orang telah mengamati tempat di tanah miring berbatu padas. Mereka mencari celah-celah padas yang dapat dipergunakan untuk bersembunyi. Sementara yang lain berada di bawah tebing. Mereka harus memancing perhatian sebelum kawan-kawannya yang berada di tebing itu meluncur turun, kemudian memecahkan penjagaan para pengawal sehingga sempat berhubungan dengan para tawanan, memberikan senjata dan menyampaikan perintah Ki Gede Kebo Lungit, bahwa para tawanan harus bertempur sampai mati.

Sementara itu di sebelah tikungan, sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang sempat dikumpulkan telah menyiapkan bongkah-bongkah batu padas. Batu-batu padas itu akan dapat diluncurkan dan menimpa lorong yang akan dilewati pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu. Dengan demikian maka perhatian para pengawal itu akan terpecah-pecah. Apalagi jika para tawanan sudah dapat melepaskan diri serta menggenggam senjata di tangan, maka pertempuran akan berkobar. Sementara itu, pasukan pengawal tidak akan dapat dengan cepat berkumpul karena jalan yang sempit yang dibatasi oleh dinding yang miring berbatu padas dan tebing yang rendah. Sementara itu di celah-celah padas yang miring dan di bawah tebing, bersembunyi orang-orang Wira Bledeg yang akan menyergap mereka, selain sisa-sisa para pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang sempat dikumpulkan.

Dengan demikian, maka rencana itu pun telah menjadi masak. Seandainya besok pagi-pagi pasukan pengawal yang ada di padepokan itu akan kembali ke Madiun dengan membawa para tawanan, maka mereka akan dihancurkan, setidak-tidaknya sebagian dari mereka akan terbunuh di tempat itu. Di tempat yang belum begitu jauh dari padepokan yang telah mereka duduki. Sementara itu para tawanan yang juga akan mati dalam pertempuran itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Ki Gede Kebo Lungit.

“Hari ini semuanya harus sudah siap,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit. “Jika besok mereka meninggalkan padepokan dan lewat jalan ini, maka kita harus sudah siap menyergap.“

“Tentu tidak besok,“ sahut Wira Bledeg, “jika hari ini mereka baru mulai membenahi barang-barang mereka, maka besok mereka baru akan menyelesaikannya. Menyiapkan pedati, lembu-lembu yang akan menarik pedati, serta menyiapkan tawanan yang akan mereka bawa. Mereka akan membuat tandu-tandu sederhana untuk membawa orang-orang yang terluka, yang masih belum dapat berjalan sendiri.“

“Aku tidak mau terlambat,“ potong Ki Gede Kebo Lungit.

“Aku berani bertaruh tangan sebelah. Jika besok pagi pasukan pengawal itu lewat, potong tanganku sebelah. Tetapi jika tidak?“ bertanya Wira Bledeg.

“Jika tidak, tanganmu yang lain yang harus dipotong,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit.

Wira Bledeg tertawa berkepanjangan. Namun Ki Gede Kebo Lungit sama sekali tidak tertawa. Bahkan kemudian ia berkata, “Apapun yang akan dilakukan oleh para pengawal, namun hari ini dan malam nanti, semuanya harus sudah dipersiapkan.”

“Kau memang sudah tua,“ berkata Wira Bledeg, ”karena itu kau selalu tergesa-gesa, cemas dan tidak yakin. Tetapi baiklah. Semuanya akan dibereskan sebelum fajar. Jika fajar pasukan pengawal itu berangkat, maka saat matahari naik menjelang puncaknya, mereka akan sampai ke tempat ini. Kita tentu akan menyambutnya dengan senang hati.“

Ki Gede Kebo Lungit mengangguk-angguk. Namun masih saja terbayang di wajahnya kegelisahan selama ia mengamati persiapan yang nampaknya masih belum memadai.

Tetapi Wira Bledeg sendiri sama sekali tidak gelisah. Ia yakin bahwa semuanya akan dapat dipersiapkan pada waktunya. Batu-batu padas pun telah dikumpulkan. Pada saatnya batu-batu padas itu akan dapat berguling ke bawah. Meskipun para pengawal akan mengenakan perisai yang tebal, tetapi batu-batu padas itu akan dapat menghancurkan mereka.

Demikianlah, orang-orang Wira Bledeg dan sisa-sisa pengikut Ki Gede Kebo Lungit masih sibuk mengatur jebakan yang akan mereka lakukan. Mereka telah menyiapkan tangga-tangga kecil yang akan dapat mereka lalui dengan cepat, namun terlindung di balik ilalang dan pohon-pohon perdu.

Ketika matahari terbenam, maka orang-orang itu masih juga sibuk menyiapkan batu-batu padas yang akan diluncurkan. Mereka telah menyiapkan batang-batang kayu untuk mengungkit batu-batu padas itu. Jika satu dua di antaranya mulai meluncur, maka tentu sudah terjadi kekisruhan pada pasukan pengawal itu. Batu-batu yang lain pun akan menyusul. Sedangkan batu-batu padas di lereng miring yang tertimpa batu-batu padas yang meluncur itu akan berguguran juga, menambah lebatnya hujan batu itu.

Sementara itu, di padepokan memang terjadi pula kesibukan. Para petugas memang masih sibuk membenahi alat-alat yang akan mereka bawa kembali ke Madiun. Tetapi ketika malam turun, maka kegiatan itu telah dihentikan.

Pada saat yang demikian, maka Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu telah tidak ada di padepokan.

Mereka dengan diam-diam telah meninggalkan padepokan itu. Dengan kemampuannya mempertajam pemglihatannya berlandaskan Aji Sapta pandulu, maka Agung Sedayu yakin, tidak ada orang di luar padepokan itu yang melihat mereka bertiga.

Dengan hati-hati mereka telah menelusuri jalan sempit dari padepokan itu. Beberapa tempat yang pernah dikatakan oleh penunjuk jalan itu akan dilihat oleh Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang. Namun mereka tidak langsung mengikuti jalan yang mereka lalui ketika mereka datang ke padepokan itu. Mereka telah melihat kemungkinan lain sebagaimana dikatakan oleh penunjuk jalan itu. Mereka akan melihat-lihat sawah garapan orang-orang padepokan itu. Mereka memang akan melalui padang terbuka. Tetapi padang itu jarang sekali dilewati orang, kecuali orang-orang padepokan yang pergi ke sawah. Kemudian melalui pematang dan tanah miring yang agak terjal mereka akan sampai ke sebuah lorong, yang datar. Lorong yang akan turun ke jalan yang lebih lebar, menuju ke jalan yang langsung ke Madiun.

Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu menyadari, bahwa perjalanan yang akan mereka tempuh akan dapat berlangsung semalam suntuk.

Ternyata Ki Demang Selagilang termasuk orang yang tangkas berjalan di atas batu-batu padas. Kakinya sekan-akan begitu lekat meskipun di atas tanah yang licin, sehingga penunjuk jalan yang lebih mengenal tempat itu menjadi heran, bahwa Ki Demang dapat berjalan lebih cepat dari mereka.

Namun kemampuan Agung Sedayu yang tinggi dengan ilmunya mempertajam panca inderanya, memungkinkannya untuk mengetahui jika ada orang lain yang memperhatikan atau bahkan mengikuti mereka, karena jarang orang yang memiliki kemampuan seperti Agung Sedayu itu.

Dengan sedikit kesulitan mereka maju selangkah demi selangkah. Seperti yang dikatakan oleh penunjuk jalan itu, mereka tidak akan dapat membawa peralatan mereka jika mereka mengambil jalan itu untuk menuju ke Madiun. Apalagi membawa pedati.

Demikianlah, Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu mengamati kemungkinan yang dapat mereka lakukan dengan jalur yang tidak seharusnya itu. Mereka harus memperhitungkan untung dan ruginya. Hambatan-hambatan serta kesulitan-kesulitan yang dapat menghalangi perjalanan mereka, termasuk kemungkinan disergap oleh sisa-sisa kekuatan Ki Gede Kebo Lungit yang berada di luar padepokannya, pada saat pasukan Tanah Perdikan Menofeh dan Pegunungan Sewu menyerang padepokan itu.

Demikian mereka sampai ke tempat yang sedikit terbuka dan kemudian melewati tanah persawahan yang bersusun, maka mereka tuiun ke sebuah padang perdu. Tidak terlalu jauh mereka melihat hutan pegunungan yang lebat kehitam-hitaman di malam hari, seakan-akan melingkari lambung gunung.

“Kita sampai di mana?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kita akan dapat melingkari lingkaran berbatu padas dan hutan kecil yang lebat itu. Kita akan kembali sampai ke jalan yang kemarin kita lewati menuju ke padepokan,” jawab penunjuk jalan itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya, “Kita akan menempuh jalan itu kembali ke padepokan. Jika di jalan itu tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan, kita akan mengambil jalan yang telah kita lewati sebelumnya.”

“Ya,“ jawab penunjuk jalan, “setelah lewat jalan yang terpotong oleh lorong sejenak ini, memang tidak ada tempat yang mapan untuk mencegat iring-iringan sebuah pasukan, karena di tempat datar yang hanya sekali-sekali menurun, seluruh pasukan dapat bergerak bersama-sama. Berbeda dengan jika pasukan masih berada di lorong panjang itu.“

Namun sebelum mereka melanjutkan perjalanan, maka mereka telah menyempatkan diri untuk beristirahat. Dari tempat itu, dalam keremangan malam mereka melihat sawah yang bersusun. Agaknya orang-orang padepokan Ki Gede Kebo Lungit juga memiliki ketrampilan bercocok tanam, bersawah dan berkebun. Ternyata di beberapa tempat terdapat beberapa rumpun pisang. Juga terdapat beberapa jenis pepohonan yang diperlukan. Pohon kelapa yang selain banyak terdapat di kebun padepokan, juga terdapat di pinggir sawah yang membujur bagaikan pagar.

“Hasil kerja tangan yang trampil,“ berkata Ki Demang Selagilang.

“Apakah di Pegunungan Sewu, tanah yang miring dapat juga dimanfaatkan?” bertanya Agung Sedayu, yang meskipun sudah pernah melihatnya, namun ia masih juga ingin meyakinkan.

“Ya,“ jawab Ki Demang Selagilang, “tetapi Tanah Perdikan Menoreh lebih untung. Tanahnya tidak setandus Pegunungan Sewu. Nampaknya air lebih mudah dijaring di Pegunungan Menoreh dari pada di Pegunungan Sewu.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah Menoreh lebih beruntung dari Pegunungan Sewu.

Namun dalam pada itu, ketiga orang itu pun sudah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sekali lagi Agung Sedayu mengamati daerah di sekitarnya. Ketika ia yakin bahwa tidak ada orang lain, maka mereka pun telah mulai bergerak lagi.

Beberapa saat mereka menyusuri lorong sempit, namun di tempat yang sudah agak datar. Mereka menuju ke jalan yang pernah mereka lalui sebelumnya, menuju ke padepokan.

Ketika mereka sampai di jalan yang mereka lalui ke padepokan, maka mereka pun telah berjalan dengan sangat berhati-hati menyusuri jalan itu. Dengan mengetrapkan ilmu Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu, maka Agung Sedayu itu dapat menangkap ujud dan bunyi yang masih sangat jauh, yang tidak dapat dilihat dan tidak dapat didengar oleh orang lain.

Beberapa saat mereka berjalan dengan hati-hati. Tetapi malam cukup gelap, meskipun bintang-bintang nampak bergayutan di langit.

Beberapa puluh patok telah mereka lalui. Bahkan kemudian mereka tidak saja berjalan puluhan patok, tetapi ribuan.

Namun Agung Sedayu yang berjalan di paling depan itu tiba-tiba berhenti. Sejenak ia memperhatikan bunyi sesuatu dengan ilmunya Sapta Pangrungu.

“Ada apa?“ bertanya Ki Demang Selagilang.

“Aku mendengar sesuatu,“ jawab Agung Sedayu.

“Apa yang kau dengar?“ bertanya Ki Demang pula.

“Pembicaraan antara beberapa orang. Nampaknya ada orang di hadapan jalan kita,“ desis Agung Sedayu pula.

Ki Demang Selagilang termangu-mangu sejenak. Ia memang belum mendengar sesuatu. Namun Ki Demang itu pun kemudian telah berjongkok pada satu lututnya. Kemudian menggosokkan telapak kedua tangannya dan meletakkannya di atas tanah.

Agung Sedayu memperhatikan sikap itu. Namun iapun kemudian berdesis, “Aji Panjer Bumi.“

Ki Demang masih memperhatikan sentuhan kekuatan ilmunya pada bumi. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam sambil bangkit berdiri, “Ya. Ada orang beberapa puluh patok di hadapan kita.“

“Kita harus semakin berhati-hati,“ berkata Agung Sedayu.

Penunjuk jalan itu tidak tahu, bagaimana kedua orang itu dapat mengetahuinya. Nampaknya keduanya mempergunakan ilmu yang berbeda. Tetapi Agung Sedayu dapat mengetahui lebih dahulu kehadiran orang lain di dekat mereka.

Namun demikian, penunjuk jalan itu mempunyai kelebihan dari kedua orang berilmu tinggi itu. Ia mengenal medan lebih baik dari keduanya.

Sejenak kemudian, maka keduanya berjalan semakin maju. Agung Sedayu kemudian memperingatkan bahwa jarak mereka dengan orang-orang yang ada di hadapan mereka menjadi semakin dekat.

“Kita memanjat dinding padas yang miring ini,“ berkata penunjuk jalan itu. Namun iapun kemudian mengeluh, “Aku belum mendengar apa-apa.“

Demikianlah, maka mereka pun telah memanjat dinding yang miring berbatu-batu padas di sisi jalan yang mereka lalui itu. Namun mereka segera berlindung di balik pohon-pohon perdu, sementara penunjuk jalan itu membawa mereka semakin maju.

Baru kemudian, ketika Agung Sedayu menggamitnya dan memberikan isyarat, penunjuk jalan itu dengan sungguh-sungguh telah memperhatikan keadaan di hadapan mereka. Sambil mengangguk angguk ia berkata, “Ya. Aku mendengar pembicaraan itu.“

Penunjuk jalan itu justru telah membawa Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang memanjat lebih jauh, melingkari beberapa orang yang ternyata adalah para pengikut Ki Gede Kebo Lungit yang sedang berjaga-jaga.

Dengan isyarat penunjuk jalan itu mengajak kedua orang yang menyertainya berjalan terus. Tetapi Agung Sedayu justru mengajak mereka berhenti sejenak. Dengan isyarat pula Agung Sedayu minta mereka memperhatikan jalan yang ada beberapa puluh langkah di bawah mereka.

Dalam keremangan malam, mereka mencoba memperhatikan jalan itu. Bagi Agung Sedayu, kegelapan itu sama sekali bukan masalah. Namun kedua orang yang bersamanya itu pun memiliki ketajaman penglihatan melampaui orang kebanyakan.

Mereka bertiga dapat melihat lima orang-yang duduk-duduk di atas batu padas sambil mengamati keadaan. Dua orang yang lain dengan nyenyak tertidur di sebelah mereka. Justru mendengkur.

Agung Sedayu yang ada di tempat yang lebih tinggi dari mereka bertujuh itu telah menunjuk dua tikungan yang membatasi sepotong jalan di hadapan mereka. Agaknya ketujuh orang itu tengah mengamati sepotong jalan itu, atau membuat persiapan-persiapan yang penting yang akan mereka lakukan di saat-saat berikutnya.

Beberapa saat mereka menunggu. Namun pembicaraan orang-orang itu berkisar kesana-kemari tanpa ujung pangkal, sehingga Agung Sedayu dan kawan-kawannya tidak dapat menangkap persiapan apapun dari pembicaraan itu.

Namun akhirnya terdengar seorang di antara mereka berkata, “Aku akan tidur dahulu. Nanti bangunkan aku.“

“Sampai kapan kau akan tidur? Nanti fajar, pasukan Wira Bledeg telah ada di sini,“ sahut yang lain.

“Satu kerja sia-sia,“ desis yang akan tidur itu, “orang-orang padepokan itu belum akan lewat hari ini.“

“Kapanpun mereka lewat, Ki Gede memerintahkan semuanya siaga hari ini,“ jawab yang lain.

“Ki Gede terlalu gelisah akhir-akhir ini. Kehilangan pijakan dan selalu marah,“ berkata yang akan tidur itu.

“Ulangi,“ tiba-tiba seseorang menggeram.

“Tidak. Aku akan tidur,“ berkata orang yang mengucapkan keluhan tentang Ki Gede Kebo Lungit itu.

Namun yang lain lagi berkata, “Kekalahan kita di padepokan itu telah memukul perasaan Ki Gede. Kita harus memaklumi.”

Tidak ada yang menyahut. Suara orang itu ternyata cukup berwibawa untuk menenangkan suasana. Orang yang menyatakan akan tidur itu pun sudah berbaring di atas batu-batu padas. Yang lain masih duduk tepekur memandangi jalan yang sepotong itu.

“Satu tempat yang memang baik untuk menunggu iring-iringan pasukan kita yang membawa tawanan,“ bisik Agung Sedayu kemudian. “Jika kita menempatkan para tawanan itu di satu bagian dari iring-iringan, maka ketika ujungnya sampai ke tikungan, maka ekor dari iring-iringan khusus para tahanan itu masih berada di tikungan berikutnya. Mereka akan dapat menyumbat tikungan itu agar pasukan kita tidak dapat langsung turun ke arena pertempuran, sementara para tawanan telah dipersenjatai. Para pengawal di sebelah-menyebelah iring-iringan pasukan, akan sulit untuk mencegah jika sekelompok orang menyergap dengan tiba-tiba.”

Ki Demang Selagilang mengangguk-angguk. Desisnya, “Satu jebakan yang baik. Kita harus mencari jalan keluar.“

“Untunglah bahwa kita telah melihatnya lebih dahulu,“ bisik penunjuk jalan itu.

“Marilah. Kita bergeser ke sebelah,“ ajak Agung Sedayu, “kita jangan terlalu lama di sini.“

Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu pun telah bergeser. Mereka kemudian berusaha melampaui tikungan. Di sebelah tikungan mereka berniat untuk turun ke jalan.

Tetapi demikian mereka melewati tikungan, maka mereka terkejut. Mereka melihat sederetan gumpalan batu-batu padas di tempat-tempat yang miring. Dengan dorongan yang tidak begitu besar, maka batu-batu padas itu akan tergelincir dan menimpa lorong di bawah. Lorong yang akan dilewati oleh inng-iringan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu yang akan membawa tawanan ke Madiun.

Agung Sedayu, Ki Demang Selagilang dan penunjuk jalan itu termangu-mangu sejenak. Nampaknya orang-orang yang akan mengacaukan iring-iringan itu sudah siap sepenuhnya. Mereka mengira bahwa dalam waktu dekat, bahkan menurut pembicaraan orang-orang yang berjaga-jaga itu, hari berikutnya iring-iringan itu akan lewat.

Beberapa saat ketiga orang itu termangu-mangu. Tidak seorangpun yang mengawasi onggokan batu-batu padas itu. Tujuh orang yang bertugas itu justru berkumpul menjadi satu di tempat yang agak jauh, meskipun mereka masih dapat dilihat samar-samar dalam keremangan malam dengan mata wadag.

Namun pohon-pohon perdu yang tumbuh disana-sini, sempat mengganggu penglihatan, apalagi di malam hari.

Tiba-tiba saja dalam keheningan itu, penunjuk jalan itu berdesis, “Apa yang akan kita lakukan?“

Agung Sedayu dan Ki Demang Selagilang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu berkata perlahan-lahan, “Ada dua pilihan. Kita biarkan saja persiapan mereka. Kita akan mengambil jalan lain yang meskipun agak sulit. Atau kita rusakkan persiapan mereka sekarang. Namun dengan demikian mereka menyadari bahwa kita telah mengetahui persiapan mereka di sini.“

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, ”Jika kita akan lewat melalui jalan melingkar, mengikuti jalur setapak yang turun ke persawahan dan kemudian padang perdu terbuka itu, bagaimana dengan pedati-pedati itu?“

“Kita tidak memerlukannya. Kita sudah membawa kuda-kuda beban yang akan membawa barang-barang terpenting saja. Barang-barang lain dapat kita tinggalkan. Apalagi barang-barang yang kita temukan di padepokan itu, kecuali beberapa jenis senjata yang akan kita bawa sebagai bukti kesiapan padepokan itu, di samping para tawanan,“ jawab Agung Sedayu.

“Apakah kuda-kuda beban akan dapat lewat jalan setapak itu? Nampaknya beberapa bagian jalan cukup licin,” berkata Ki Demang.

“Tetapi kuda yang kita bawa adalah sejenis binatang pegunungan. Bukankah kita di Tanah Perdikan Menoreh dan di Pegunungan Sewu memanfaatkan kuda sebagai alat pengangkutan yang paling baik?“ bertanya Agung Sedayu.

“Lalu, kita biarkan lembu-lembu yang ada di padepokan itu mati kelaparan?“ bertanya Ki Demang.

“Tentu tidak. Begitu kita pergi, maka sisa-sisa kekuatan Ki Gede Kebo Lungit yang kebetulan saat padepokan itu kita hancurkan berada di luar, akan segera memasukinya lagi. Mereka akan membenahi padepokan mereka dan tentu saja memelihara lembu-lembu itu dengan baik,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Demang mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, ”Bagaimana jika persiapan itu kita kacaukan. Kemudian kita tetap keluar dari padepokan itu melalui jalan melingkar itu. Seandainya kita harus bertemu dengan pasukan siapapun, tempat yang terbuka itu akan memberikan banyak peluang kepada kita untuk bertempur. Sedangkan di tempat-tempat rumpil dan sulit yang juga akan kita tempuh, tidak akan memberikan keuntungan apa-apa kepada mereka. Tegasnya, kesempatan kita sama dengan kesempatan mereka, karena mereka pun akan mengalami kesulitan untuk bertempur di tempat yang rumpil itu. Di jalan melingkar itu mereka tidak dapat memilih tempat seperti sepotong jalan di sebelah itu.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kesempatan untuk membuat perhitungan yang cermat memang terlalu sempit.

Namun Agung Sedayu masih juga berdesis, “Bagaimana dengan tawanan kita? Sebaiknya kita mengikat tangan tawanan kita untuk menghambat kemungkinan buruk yang dapat terjadi di perjalanan. Jika kita melalui tempat terbuka itu, apakah mereka dengan tangan terikat akan dapat melewati daerah rumpil meskipun sempit itu?“

“Tentu dapat,“ jawab penunjuk jalan, “mereka sudah menguasai medan. Mereka tahu pasti tanah yang mereka injak. Karena itu, kita tidak perlu merisaukan mereka jika kita akan menempuh jalan itu. Apalagi dengan tangan terikat. Tanpa tangan pun mereka akan dapat melaluinya.“

Ki Demang mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berdesis, “Bagaimana dengan persiapan ini? Apakah kita akan mengacaukannya.“

“Kita akan membiarkan saja. Dengan demikian mereka menganggap bahwa kita tidak mengetahui persiapan mereka. Mereka akan tetap menunggu kita di sini. Sementara itu, kita akan memilih jalan yang lain meskipun harus meninggalkan pedati-pedati, peralatan dan lembu-lembu itu. Harganya tidak seberapa dibanding dengan keselamatan jiwa para pengawal,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Demang berpikir sejenak. Namun kemudian iapun telah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku setuju. Mudah-mudahan Ki Gede juga setuju, meskipun nampaknya keadaan Ki Gede belum pulih kembali.“

“Bagaimana jika kita membawa tandu?“ bertanya Ki Demang.

“Akan dapat diatasi,” jawab penunjuk jalan, “bukankah kita tadi juga tidak terlalu mengalami kesulitan di jalan yang rumpil itu?“

Ki Demang mengangguk-angguk. Ki Demang sendiri memang tidak mengalami kesulitan sama sekali. Namun sebagian kecil dari jalan yang akan mereka lalui itu memang memerlukan perhatian khusus.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu dan kedua orang yang lain telah meninggalkan tempat itu. Beberapa puluh patok dari tempat itu mereka turun ke jalan, dan kemudian dengan hati-hati mereka berjalan menyusuri jalan yang meskipun turun naik, namun tidak terlalu sulit untuk dilalui. Bahkan memungkinkan untuk dilewati oleh pedati.

Agung Sedayu yang berada di paling depan masih saja selalu berhati-hati. Semakin dekat dengan padepokan, ia harus lebih memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Rasa-rasanya padepokan mereka pun tentu mendapat pengamatan dari orang-orang Ki Gede Kebo Lungit.

Namun dalam pada itu, langit pun menjadi semakin cerah. Cahaya fajar telah naik.

“Kita harus lebih berhati-hati,“ berkata Agung Sedayu. Namun ketajaman penglihatannya dan ketajaman pendengarannya akan memungkinkannya untuk melihat mereka.

Sebenarnyalah, ketika mereka mendekati padepokan maka Agung Sedayu telah melihat dengan kekuatan ilmu Sapta Pandulu, dua orang berada di atas batu-batu padas agak jauh dari padepokan itu. Agaknya mereka memang sedang mengawasi padepokan itu.

Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itu pun telah berusaha bersembunyi di balik pohon-pohon perdu. Mereka bergerak dengan sangat berhati-hati, bergeser dari balik gerumbul yang satu ke balik gerumbul yang lain. Semakin lama semakin dekat dengan padepokan, sehingga akhirnya, mereka berada di bayangan dinding padepokan.

Dengan demikian, maka ketiga orang itu tidak perlu lagi bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu. Mereka langsung menuju ke pintu gerbang dan mengetuknya dari luar dengan isyarat tertentu yang sudah disepakati.

Sejenak kemudian, maka pintu gerbang yang sudah diperbaiki meskipun hanya untuk sementara itu telah dibuka. Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itu telah hilang ke balik pintu gerbang ketika pintu itu kemudian ditutup kembali.

“Dari mana kau sepagi ini?“ bertanya petugas pintu gerbang.

Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Sambil menepuk bahu penjaga itu, ia berkata, ”Hati-hati. Ada dua orang mengawasi padepokan ini, meskipun di kejauhan.“

Para petugas itu termangu-mangu sejenak. Namun pemimpin dari mereka yang bertugas itu menyahut, “Terima kasih. Kami akan berbuat sebaik-baiknya.“

Demikianlah, matahari yang kemudian terbit telah mulai meluncurkan sinarnya ke dedaunan. Embun yang dingin mulai terhisap dari ujung dedaunan.

Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itu langsung pergi ke bangunan induk padepokan itu untuk menghadap Ki Gede, yang agaknya sudah bangun.

Ki Gede memang sudah berada di pendapa. Ia nampak sudah lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya sudah tidak lagi kepucat-pucatan. Bahkan tubuhnya nampak segar.

Ketika Ki Gede melihat ketiga orang itu masih dalam keadaan kusut, maka Ki Gede pun telah mernpersilahkan mereka naik ke pendapa sambil bertanya, “Dari mana kalian datang sepagi ini?“

Agung Sedayu, Ki Demang dan penunjuk jalan itu pun kemudian telah melaporkan perjalanan mereka melihat-lihat kemungkinan untuk kembali ke Madiun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar