Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 253

Buku 253

Ki Ajar Kumuda itu pun mengerti, bahwa Agung Sedayu telah meningkatkan ilmu kebalnya. Bahkan Ki Ajar pun mulai merasakan sentuhan udara panas di sekitar tubuh lawannya dalam jarak tertentu.

Ki Ajar Kumuda itu pun menjadi semakin marah. Ketika ia meningkatkan ilmunya, maka kilatan-kilatan pantulan cahaya matahari pada daun pedangnya itu terasa menjadi semakin tajam menusuk mata dan menggetarkan jantung. Agung Sedayu tidak saja menjadi silau, tetapi getaran yang bagaikan menusuk matanya bersama cahaya matahari yang terpantul pada daun pedang itu, rasa-rasanya benar-benar telah mencengkam jantungnya. Meskipun dengan meningkatkan ilmu kebalnya Agung Sedayu dapat mengurangi akibat sentuhan pedang lawannya, namun dengan ilmunya yang lain, Ki Ajar Kumuda mampu menyerang langsung bagian dalam tubuhnya.

Agung Sedayu memang menjadi semakin sulit. Namun Agung Sedayu tidak tenggelam dalam kegelisahan. Ia masih selalu berusaha untuk mengatasi segala kesulitan yang dihadapinya sebagaimana selalu dilakukannya.

Ketika Agung Sedayu menyadari bahwa ia pernah bertempur melawan orang yang tidak dilihatnya, sama sekali, hanya dengan pengamatan Panggraitanya yang dilandasi ilmunya Sapta Panggraita, maka hatinya justru menjadi semakin mapan. Ia tidak lagi mempercayakan diri pada penglihatannya yang setiap kali menjadi silau, dan bahkan gelap dan tidak berhasil melihat lawannya pada saat-saat tertentu, sementara getaran yang keras semakin lama semakin terasa mencengkam jantungnya, maka Agung Sedayu pun telah memilih untuk tidak mempergunakan penglihatannya sama sekali. Tetapi ia mulai mempercayakan diri pada penggraitanya yang didukung oleh ilmunya Sapta Panggraita, serta pendengarannya yang dilandasi ilmu Sapta Pangrungu.

Dengan demikian maka Agung Sedayu bertempur tanpa berusaha memandang ke arah lawannya, terlebih-lebih senjatanya. Dengan panggraitanya dan pendengarannya yang dipertajam oleh ilmunya, maka Agung Sedayu dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu akan mampu melindungi dirinya dengan putaran juntai cambuknya. Hanya kadang-kadang saja Agung Sedayu sempat mengamati keadaan lawannya dengan matanya, kemudian memburunya menyerang dengan hentakan cambuknya, justru tidak lagi meledak-ledak. Bahkan semakin tinggi Agung Sedayu mengetrapkan ilmunya, maka suara cambuknya itu seakan-akan menjadi semakin lunak.

“Anak iblis,“ geram Ki Ajar Kumuda.

Tetapi Ki Ajar Kemuda yang berilmu sangat tinggi itu pun mengerti apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun telah mengurangi kemungkinan perlawanan Agung Sedayu dengan mengetrapkan ilmunya menyerap bunyi yang keluar dari getaran antara tubuhnya dengan sekelilingnya. Dengan demikian maka Agung Sedayu yang mempergunakan pendengarannya itu telah kehilangan jejak karena ia tidak lagi mendengar langkah kaki lawannya, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu hanya mempergunakan penggraitanya saja.

Memang terasa ada kesulitan bagi Agung Sedayu. Tetapi dengan demikian, kilatan cahaya matahari yang memantul dari daun pedang lawannya yang telah dikembangkan dengan ilmunya, tidak lagi menusuk lewat penglihatannya dan mengguncang jantungnya, sehingga semakin lama rasa-rasanya jantungnya akan terlepas dari tangkainya.

Namun kesulitan karena Agung Sedayu tidak dapat mempergunakan pendengarannya memang sangat mengganggu.

Tetapi adalah di luar dugaan, bahwa ketika sekilas-sekilas Agung Sedayu memandang pedang lawannya, pantulan cahaya matahari itu, bagaikan telah padam. Ketika Agung Sedayu terdesak beberapa langkah surut, maka penglihatannya bagaikan terbuka sepenuhnya.

Baru kemudian Agung Sedayu menyadari, bahwa ia telah berada di bawah bayangan sebatang pohon cangkring tua yang besar, yang tumbuh di tanggul sungai.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Agung Sedayu. Selagi pedang lawannya tidak memantulkan cahaya matahari karena bayangan rimbunnya daun cangkring yang besar itu, maka Agung Sedayu telah melanda lawannya dengan ilmu cambuknya yang telah hampir sampai ke puncak.

Lawannya meloncat beberapa langkah surut, ketika terasa ujung cambuk Agung Sedayu menggapai kulitnya. Meskipun hanya sentuhan tipis, tetapi bukan saja pakaiannya yang dikoyakkan, tetapi juga kulit lengannya.

Ki Ajar Kumuda mengumpat kasar. Namun ketika ia siap untuk menyerang, maka ia sempat menengadahkan wajahnya. Dilihatnya, batang cangkring raksasa yang rimbun menutup cahaya matahari.

“Licik kau,“ geram Ki Ajar Kumuda.

“Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kau bersembunyi di bawah rimbunnya batang cangkring,“ jawab Ki Ajar.

“Kenapa bersembunyi? Aku ada di sini. Bukankah kau melihat aku?“ bertanya Agung Sedayu pula.

“Kemarilah, kita bertempur di bawah teriknya sinar matahari,“ jawab Ki Ajar Kumuda.

“Kenapa? Kita bertempur di sini. Di sini udara terasa lebih segar. Kita akan dapat menghemat tenaga kita, sehingga kita akan mampu membenturkan segala macam ilmu yang kita miliki,“ jawab Agung Sedayu.

“Persetan. Kemarilah,“ geram orang itu.

“Kau perlu bantuan sinar matahari untuk menyilaukan mataku?” bertanya Agung Sedayu.

“Apapun yang aku lakukan,“ jawab orang itu.

“Lakukanlah di sini,“ jawab Agung Sedayu, yang kemudian bertanya, “jadi bagaimana jika kita bertempur di malam hari?“

“Sinar bintang, apalagi bulan, cukup kuat untuk dikembangkan dengan ilmuku,“ jawab orang itu.

“Di bawah awan kelabu?“ bertanya Agung Sedyu.

“Persetan,“ geram orang itu sambil meloncat menyerang.

Tetapi tanpa sinar matahari, maka Agung Sedayu dapat mengamati gerak lawannya sebaik-baiknya. Sehingga dengan demikian maka bukan Agung Sedayu yang mengalami kesulitan. Tetapi ilmu cambuk Agung Sedayu pada tataran tertinggi telah mampu mengacaukan pertahanan lawannya tanpa pantulan sinar matahari. Bahkan sekali lagi ujung cambuknya telah mampu mengenai tubuh Ki Ajar Kumuda, meskipun Ki Ajar mampu melibat Agung Sedayu bagaikan prahara.

Sekali lagi Ki Ajar Kumuda mengumpat kasar. Dengan serta merta ia meloncat keluar dari bayangan rimbunnya daun cangkring sambil memutar pedangnya.

Agung Sedayu sama sekali tidak memperhatikan pedang itu, karena jaraknya masih cukup jauh. Sambil memandang ke arah lain, Agung Sedayu berkata, “Marilah. Jangan menghindar.“

Namun Ki Ajar Kumuda itu telah benar-benar marah. Anak ingusan itu telah mampu melukainya meskipun tidak parah. Tetapi sentuhan ujung cambuknya itu telah menghinanya, sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, yang bahkan telah menantang Orang Bercambuk itu sendiri.

Karena itu, maka Ki Ajar Kumuda memang tidak mempunyai pilihan lain daripada mengakhiri pertempuran itu.

Tetapi Ki Ajar Kumuda yang sudah terlanjur menjadi sangat marah itu tidak lagi berusaha untuk menangkap Agung Sedayu hidup-hidup. Baginya, asal saja ia mengakhiri pertempuran, biarpun Agung Sedayu itu mati. Karena untuk menangkapnya hidup-hidup tentu akan menjadi sangat sulit.

Namun Ki Ajar Kumuda tidak ingin membunuh Agung Sedayu dengan serta merta. Ia masih ingin menunjukkan kepada Agung Sedayu kelebihan-kelebihan perguruan Kumuda dibanding dengan perguruan Orang Bercambuk.

Karena itu, maka Ki Ajar itu ingin membuat Agung Sedayu menjadi bingung, cemas dan kemudian putus asa, sebelum saat-saat matinya.

Di saat Agung Sedayu menunggunya di bawah pohon cangakring raksasa itu, maka Ki Ajar Kumuda telah memperlihatkan kelebihannya. Dengan mengetrapkan ilmunya, puncak dari ilmu Tapak Prahara, maka Ki Ajar itu telah menghentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah rimbunnya daun cangkring raksasa itu.

Tiba-tiba seleret sinar telah memancar. Kemudian meluncur dengan cepat, menyusup di antara daun cangkring yang rimbun itu.

Agung Sedayu sempat mengamati sinar itu, yang tentu merupakan salah satu kekuatan ilmu lawannya. Tetapi Agung Sedayu masih juga bertanya-tanya, kenapa serangan itu justru tidak diarahkan langsung kepadanya.

Ternyata Agung Sedayu melihat perbedaan kekuatan ilmu itu dengan beberapa jenis ilmu yang pernah dilihatnya. Sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang dan dirinya sendiri, maka setiap serangan berjarak itu akan membentur sasarannya dengan dahsyatnya, sehingga seakan-akan telah terjadi satu ledakan. Namun serangan yang diluncurkan oleh Ki Ajar Kumuda itu tidak demikian. Menurut penglihatan Agung Sedayu, maka serangan itu meluncur dan menyusup ke dalam rimbunnya dedaunan. Namun baru sesaat kemudian, setelah berputaran sekejap di antara dedaunan, segumpal sinar itu bagaikan meledak dengan sendirinya.

Akibatnya memang dahsyat sekali. Tiba-tiba di antara rimbunnya daun cangakring itu telah terjadi putaran angin prahara yang sangat besar. Dahan dan rantingnya berputaran menggetarkan jantung. Ketika ranting-rantingnya berpatahan dan dahan-dahannya runtuh, maka mau tidak mau Agung Sedayu harus berloncatan menghindar, dan akhirnya harus keluar dari bayangan daun cangkring raksasa itu. Namun sebenarnyalah daun cangkring raksasa yang rimbun itu pun telah ikut berguguran di pasir tepian.

Glagah Putih yang menyaksikan dahsyatnya ilmu yang tentu inti dari Tapak Prahara itu, menjadi tegang. Jantungnya berdegup semakin cepat.

Sementara itu, Secaprana dan Secabawa, murid dari Ki Ajar Kumuda itu pun bagaikan membeku di tempatnya. Mereka telah mempelajari ilmu Tapak Prahara, namun ketika mereka melihat inti dari ilmu itu, maka mereka pun menjadi bagaikan bermimpi.

“Alangkah dahsyatanya,“ desis Secaprana.

Secabawa tidak menyahut. Namun ia melihat dahan yang berpatahan dan runtuh satu persatu.

Jantung Agung Sedayu yang melihat kekuatan ilmu itu memang tergetar. Darah mudanya tiba-tiba saja menggelegak. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kelebihan dari kekuatan ilmu Orang Bercambuk. Ia harus menunjukkan bahwa kekuatan ilmu Orang Bercambuk tidak kalah dahsyatnya. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu tidak lagi ingat pesan gurunya, bahwa ia sebaiknya tidak merasa perlu mempergunakan puncak ilmu yang telah dipelajarinya.

Tetapi kenyataan yang dihadapinya telah membangunkan gejolak yang sangat dahsyat di dalam dirinya. Karena itu, ketika satu-satu daun masih berguguran, maka Agung Sedayu yang telah meloncat keluar dari bayangan rimbunnya pohon cangkring raksasa itu telah memutar cambuknya serta menghentakkannya pula. Tiba-tiba saja telah meluncur kekuatan inti dari ilmu cambuk perguruan Orang Bercambuk, menghantam batang cangkring yang tersisa.

Ternyata kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu itu tidak kalah dahsyatnya. Pohon itu telah terguncang dengan dahsyatnya. Dahan-dahan yang tidak terpatahkan oleh kekuatan ilmu Ki Ajar Kumuda, telah berderak berpatahan, sehingga pohon cangkring itu seakan-akan telah menjadi gundul karenanya.

Ki Ajar Kumuda yang sama sekali tidak menduga, telah meloncat surut. Ternyata murid Orang Bercambuk itu benar-benar telah menguasai ilmu cambuk yang dahsyat itu.

Sekali lagi Secaprana dan Secabawa bagaikan membeku di tempatnya. Jantungnya benar-benar tergoncang. Yang menunjukkan kemampuannya kemudian adalah lawan gurunya itu. Seorang yang masih terhitung muda. Ternyata iapun mampu melontarkan kekuatan ilmu yang dapat mengimbangi kekuatan inti ilmu Tapak Prahara. Bahkan ilmu lawannya itu nampak lebih garang dan mencengkam.

Ki Ajar Kumuda yang memiliki pengetahuan yang sangat luas itu langsung dapat menilai, bahwa ilmu cambuk yang mencapai puncak kemampuannya itu benar-benar dahsyat. Jika semula ia ingin menghancurkan kesombongan Agung Sedayu, meruntuhkan gairah serta keberaniannya dan kemudian membunuhnya dalam keadaan putus asa, maka Ki Ajar Kumuda harus melihat kenyataan itu. Agung Sedayu tidak menjadi ketakutan dan berputus asa. Tetapi ia justru telah menunjukkan kelebihannya.

Karena itu, maka Ki Ajar Kumuda tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mempergunakan kesempatan yang ada untuk menyerang langsung ke arah sasaran.

Ki Ajar Kumuda yang menjadi semakin marah itu, telah menggerakkan pedangnya yang berkilat-kilat mematukkan cahaya matahari. Namun kemudian mengayunkannya mengarah kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu terkejut. Tentu inti dari Tapak Prahara yang dilontarkan tidak saja dengan telapak tangannya yang terbuka, tetapi dengan ujung pedang pilihan yang dimilikinya.

Sebenarnyalah seleret cahaya telah meluncur ke arah Agung Sedayu. Demikian cepatnya. Namun Agung Sedayu memiliki ilmu yang tinggi pula, serta ilmu meringankan tubuh. Karena itu, maka ketika Agung Sedayu mengerahkannya, maka telah mampu menghindari serangan itu sambil meloncat menjauh.

Gumpalan sinar yang menyilaukan telah hinggap di tempat Agung Sedayu semula berdiri. Kemudian bagaikan meledak dengan menimbulkan putaran angin prahara yang dahsyat, mengangkat pasir dan menghamburkannya.

Jika saja Agung Sedayu tidak sempat menghindar, maka tubuhnya akan dilumatkan oleh ledakan itu, kemudian kepingan tubuhnya akan diangkat pula oleh angin prahara dan disebarkan di tepian, menjadi makanan burung pemakan bangkai. Tetapi hal itu ternyata tidak terjadi.

Namun Agung Sedayu pun harus menjadi lebih berhati-hati. Ia sudah memperhitungkan bahwa kekuatan ilmu orang itu tentu akan dapat menembus ilmu kebalnya, sehingga karena itu ia harus berusaha menghindari setiap serangan yang datang ke arahnya.

Dalam pada itu, lawannya yang melihat Agung Sedayu menghindar, ternyata tidak melepaskannya. Sekali lagi ia mengangkat pedangnya, memutarnya seakan-akan mengambil ancang-ancang, dan kemudian mengayunkannya ke arah Agung Sedayu.

Sekali lagi Agung Sedayu sempat mengelak. Ketika serangan berikutnya datang, maka sekali lagi dan sekali lagi Agung Sedayu harus berloncatan menghindari serangan-serangan itu.

Tetapi sekali datang saatnya, bahwa Agung Sedayu tidak boleh membiarkan dirinya sekedar menjadi sasaran. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, Agung Sedayu telah mempersiapkan dirinya.

Demikian ia meloncat menghindar, maka iapun segera memutar cambuknya sebagaimana dilakukan lawannya dengan pedangnya. Namun lawannya ternyata memiliki kelebihan waktu sekejap dari Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu masih sempat melepaskan ilmunya membentur gumpalan cahaya yang terbang ke arahnya.

Dua kekuatan ilmu yang pilih tanding telah saling berbenturan, langsung pada garis serangan masing-masing. Ternyata benturan itu telah berpengaruh pula pada mereka yang telah melontarkannya. Dua gumpalan cahaya itu seakan-akan meledak dengan dahsyatnya. Getarannya langsung memantul kembali ke arah sumbernya. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan sulit baginya untuk tetap mempertahankan keseimbangannya, sehingga hampir saja Agung Sedayu jatuh terguling. Hanya dengan susah payah saja ia dapat bertahan untuk tetap berdiri.

Sementara itu, Agung Sedayu harus mengakui bahwa lawannya memiliki pengalaman lebih banyak. Sebagai seorang yang telah mencapai tingkat ilmu serta umur yang lebih dari setengah abad, maka pengenalannya atas dunia kanuragan telah lebih luas.

Meskipun demikian orang itu juga terguncang, bahkan hampir saja ia terlempar. Hanya dengan ketangkasannya, maka ia dapat menggeliat bahkan meloncat beberapa langkah untuk mencapai keseimbangannya kembali. Tetapi dengan menahan nyeri di dadanya ia sempat berkata, “Beruntunglah bahwa kau memiliki ilmu kebal, Agung Sedayu. Getaran yang memantul karena benturan itu yang bersifat wadag telah tertahan oleh ilmu kebalmu. Tetapi kau tidak akan mempu menahan getaran yang langsung terpantul ke bagian dalam tubuhmu, sebagaimana kilatan cahaya matahari yang terpantul oleh daun pedangku lewat penglihatan matamu.“

Agung Sedayu yang sudah berhasil tegak kembali berdiri termangu-mangu. Beruntunglah bahwa ia memiliki ilmu kebal yang dapat membantunya sehingga ia tidak mengalami kesulitan yang parah. Namun seperti yang dikatakan oleh lawannya, bahwa pantulan kekuatan yang terjadi karena benturan itu, yang langsung menyusup ke bagian dalam tubuhnya telah membuat nalarnya memang menjadi agak sesak.

Namun beberapa saat kemudian, keduanya telah tegak berdiri saling berhadapan pada jarak belasan langkah. Keduanya telah bersiap untuk menghadapi pertempuran yang menentukan.

Dalam pada itu, dedaunan yang rimbun dari sebatang cangkring raksasa itu pun telah berguguran di tanah bersama ranting dan dahan-dahannya. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak lagi berada di tempat yang terlindung. Dengan demikian, maka ketika lawannya itu memutar pedangnya, maka kilatan-kilatan cahaya matahari mulai lagi menusuk ke matanya dan langsung menyusup menggetarkan jantungnya.

Agung Sedayulah yang kemudian memutuskan bahwa pertempuran itu harus segera berakhir, apapun yang terjadi.

Karena itu, maka Agung Sedayu telah berniat untuk menyerang dengan mempergunakan puncak kemampuannya dalam ilmu cambuk untuk menyelesaikan pertempuran itu, meskipun ia sadar, bahwa Ki Ajar Kumuda itu pun memiliki ilmu yang tinggi pula.

Karena itu, maka sebelum jantungnya menjadi hangus, maka Agung Sedayu telah memutar cambuknya mengambil ancang-ancang, untuk melontarkan ilmunya yang jarang ada duanya. Namun sikapnya itu segera dikenal oleh lawannya, sehingga lawannya pun telah melakukan pula. Bahkan dengan mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya.

Namun Agung Sedayu tidak mau didahului. Dengan mengerahkan kemampuan ilmu cambuknya yang hampir mencapai tataran tertinggi itu, maka ia telah menyerang lawannya.

Tetapi pada saat yang bersamaan, maka Ki Ajar Kumuda pun telah melakukannya pula. Menyerang Agung Sedayu dengan inti kekuatan ilmu Tapak Prahara.

Sekali lagi dua kekuatan ilmu raksasa telah berbenturan. Getarannya yang memantul ternyata cukup dahsyat. Dua kekuatan yang dilambari dengan pengerahan kemampuan itu, telah menghantam kembali sumbernya dengan gelombang getaran kekuatan yang sangat besar.

Dalam puncak ilmu masing-masing, maka Ki Ajar Kumuda memang selapis lebih tinggi dari kekuatan ilmu Agung Sedayu. Meskipun ilmu Agung Sedayu sudah merambah sampai ke puncak, tetapi Ki Ajar Kumuda telah lebih dahulu mencapainya pada inti kekuatan ilmu Tapak prahara. Sementara Agung Sedayu masih harus menjalani laku terakhir dari puncak ilmunya.

Namun Agung Sedayu mempunyai perisai yang dapat membantunya melindungi dirinya dari gelombang getaran yang memantul dari benturan itu. Pantulan yang bersifat wadag telah tertahan oleh ilmu kebalnya. Namun yang langsung menyusup ke dalam tubuhnya, telah melemparkan Agung Sedayu beberapa langkah surut. Ternyata Ki Ajar Kumuda telah mengerahkan segala yang ada dalam dirinya, melampaui serangannya yang terdahulu.

Agung Sedayu memang jatuh terguling di pasir tepian. Betapa jantungnya serasa menjadi sakit oleh goncangan yang terjadi karena benturan itu.

Tetapi ternyata bahwa Ki Ajar Kumuda yang tidak mempergunakan ilmu kebal selain daya dalam tubuhnya yang tinggi itu, telah terlempar pula sebagaimana Agung Sedayu. Iapun telah terjatuh berguling di pasir tepian, sementara isi dadanya bagaikan runtuh dari tangkainya.

Namun keduanya masih juga bangkit berdiri. Hampir bersamaan, pula keduanya telah bersiap untuk melepaskan serangan dengan kekuatan terakhir mereka.

Sebenarnyalah bahwa keduanya sudah tidak lagi mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Keduanya harus melakukan yang terbaik yang dapat mereka lakukan. Jika mereka gagal, maka yang gagal itu tidak akan pernah dapat naik ke tanggul sungai itu untuk selama-lamanya.

Karena itu, maka sesaat kemudian keduanya telah menghentakkan sisa kemampuan dan kekuatan mereka. Dalam hentakan yang tidak lagi ada pilihan, ternyata keduanya masih mampu mengerahkan puncak dari kekuatan dan kemampuan mereka, dilambari dengan ilmu raksasa yang jarang ada duanya.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu telah menghempaskan serangannya sekali lagi. Sementara itu, Ki Ajar Kumuda sama sekali sudah tidak tertarik lagi untuk meloncat menghindari serangan itu. Tetapi iapun telah melemparkan serangannya dengan puncak kemampuannya.

Sekali lagi benturan itu terjadi. Agung Sedayu sama sekali tidak berusaha untuk menahan dirinya yang sekali lagi terlempar beberapa langkah. Dibiarkannya dirinya terdorong, dan kemudian jatuh berguling tanpa bertahan sama sekali, selain mengetrapkan ilmu kebalnya. Namun dengan demikian Agung Sedayu telah sempat mengetrapkan ilmunya yang lain.

Pada saat yang bersamaan maka Ki Ajar Kumuda yang ilmunya selapis lebih tinggi dari Agung Sedayu itu telah mengalami keadaan yang sama sebagaimana terjadi atas Agung Sedayu. Namun Ki Ajar Kumuda dengan daya tahannya yang tinggi telah berusaha untuk segera bangkit.

Tetapi pada saat itulah, maka Agung Sedayu yang membiarkan dirinya pada saat jatuh itu, tanpa berusaha bangkit lebih dahulu telah menyerang Ki Ajar Kumuda. Tidak dengan kemampuan ilmu cambuknya yang jarang ada duanya itu. Namun sebagaimana dikatakan oleh gurunya bahwa ilmunya yang lain akan dapat mendukung kemampuannya dalam olah kanuragan, sehingga Agung Sedayu tidak saja terpancang pada ilmu cambuknya.

Ki Ajar Kumuda sama sekali tidak menduga bahwa serangan berikutnya telah datang begitu cepat. Ternyata Agung Sedayu yang masih terbaring di pasir tepian itu telah menyerang lawannya dengan kekuatan sorot matanya.

Ki Ajar Kumuda terkejut.

Tetapi ia terlambat. Serangan itu sama sekali tidak sempat dibenturnya dengan kekuatan ilmunya, inti Tapak Prahara. Karena itu, maka yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Serangan Agung Sedayu yang tiba-tiba itu telah melemparkan Ki Ajar Kumuda sekali lagi, sehingga Ki Ajar jatuh berguling di tanah.

Serangan itu memang tidak sedahsyat kekuatan puncak ilmu cambuk dari perguruan Orang Bercambuk. Namun ilmu itu pun merupakan ilmu yang jarang ada duanya. Kekuatan serangan Agung Sedayu itu bagaikan jarum-jarum sinar yang menembus ke dalam tubuh lawannya dan meremas segala isinya.

Tetapi Ki Ajar Kumuda tidak menyerah. Ia masih berusaha untuk bangkit berdiri, sebagaimana Agung Sedayu kemudian juga berusaha bangkit. Dalam keadaan yang sulit, Ki Ajar Kumuda masih juga berusaha memutar pedangnya dengan kilatan pantulan cahaya matahari yang menyusup langsung lewat mata Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak lagi mau berpaling, apapun yang terjadi. Iapun telah memutar cambuknya untuk dengan kekuatan terakhir melontarkan serangannya, sebagaimana akan dilakukan oleh Ki Ajar Kumuda.

Dalam waktu yang hampir bersamaan keduanya telah melontarkan ilmunya. Keduanya sudah tidak lagi sempat membuat perhitungan-perhitungan yang rumit karena keadaan mereka. Mereka hanya mampu membuat perhitungan terakhir, menang atau mati.

Namun kedaan Ki Ajar Kumuda sudah jauh lebih buruk dari keadaan Agung Sedayu. Serangan Agung Sedyu yang dilontarkannya dengan sorot matanya dan seakan-akan meremas isi dada Ki Ajar Kumuda, telah membuat orang tua itu kehilangan sebagian besar dari tenaganya.

Karena itulah, maka lontaran ilmunya pun telah menjadi semakin lemah. Sementara Agung Sedayu masih sempat menghentakkan sisa tenaganya untuk terakhir kali dalam pertempuran yang mendebarkan itu.

Yang terjadi kemudian memang sebuah benturan ilmu. Namun akibatnya sudah sangat berlainan. Pantulan getaran kekuatan ilmu itu menjadi berat sebelah. Kekuatan ilmu Agung Sedayu yang lebih besar telah mendorong gelombang getaran kekuatan ilmunya, karena perlawanan ilmu Ki Ajar Kumuda tidak mampu lagi menghentikannya.

Dengan demikian maka kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Agung Sedyu itu telah menghantam tubuh Ki Ajar Kumuda yang memang sudah menjadi lemah itu.

Akibatnya memang sangat menentukan. Ki Ajar Kumuda telah terlempar sekali lagi, jatuh terbanting membentur batu padas di tebing.

Agung Sedayu yang sempat menghentakkan kekuatannya yang tersisa itu masih berdiri tegak. Pantulan getaran ilmunya hanya menyentuhnya lemah. Namun karena kekuatan yang ada di dalam dirinya telah dihentakkannya sampai tuntas, maka sentuhan kekuatan pantulan ilmu yang lemah itu pun telah mendorongnya jatuh terbaring. Bahkan untuk beberapa saat Agung Sedayu masih belum sempat bangkit.

Glagah Putih terkejut melihat keadaan Agung Sedayu. Iapun segera berlari mendekat. Dilihatnya wajah Agung Sedayu yang pucat. Darah yang masih meleleh dari luka meskipun tidak terlalu deras.

“Kakang,“ desis Glagah Putih.

Agung Sedayu memang berusaha untuk bangkit. Namun ia hanya mampu untuk duduk bersandar pada kedua tangannyam dibantu oleh Glagah Putih yang berjongkok di sampingnya.

“Bagaimana dengan Ki Ajar?“ desis Agung Sedayu.

Glagah Putih berpaling. Ia melihat murid Ki Ajar itu pun telah berjongkok di dekat gurunya.

Sebenarnyalah keadaan Ki Ajar jauh lebih parah dari keadaan Agung Sedayu. Bahkan dadanya rasa-rasanya sudah menjadi pecah dan tulang-tulangnya berpatahan.

“Aku akan melihatnya Kakang,“ berkata Glagah Putih kemudian. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Aku juga akan melihatnya.“

“Tetapi keadaan Kakang?“ desis Glagah Putih.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk duduk bersila sambil menyilangkan tangan di hadapannya. Dengan demikian Agung Sedayu berusaha untuk mengatur pernafasannya agar keadaan tubuhnya menjadi lebih baik, sehingga ia tidak kehilangan seluruh tenaganya yang tersisa.

Namun ketika Agung Sedayu mulai memejamkan matanya sambil memusatkan nalar budinya, maka tiba-tiba saja terdengar Secabawa berteriak, “Kau bunuh guruku! Kaupun harus mati!“

Seperti orang kehilangan akal Secabawa telah berdiri menyerang Agung Sedayu yang sedang melakukan pemusatan nalar budinya, mengatur pernafasannya untuk mendapatkan tingkat keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah meloncat dan berteriak tidak kalah lantangnya, “Jangan menjadi gila! Berhenti di tempatmu!“

Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Secabawa telah meloncat langsung menyerang Glagah Putih yang telah melangkah beberapa langkah maju.

Glagah Putih memang tidak sempat berbuat sesuatu kecuali mempertaruhkan segenap ilmu yang dimilikinya. Kekuatan ilmu yang diwarisinya dari perguruan Ki Sadewa serta peningkatan alas kekuatan dan kemampuannya oleh pengaruh kekuatan ilmu Raden Rangga, dan yang terakhir adalah gurunya Ki Jayaraga, telah dengan cepat dipersiapkan untuk membentur ilmu Secabawa, yang menurut perhitungan Glagah Putih tentu sudah memiliki ilmu Tapak Prahara.

Sejenak kemudian, maka serangan Secabawa yang memang dilambari dengan ilmu Tapak Prahara pada tingkat pertama itu telah membentur kekuatan ilmu Glagah Putih yang lebih mantap. Karena Glagah Putih tidak tahu pasti tingkat kemampuan ilmu lawannya, maka Glagah Putih telah melindungi dirinya dengan ilmunya dengan segenap kekuatan dan kemampuannya.

Karena itu, yang terjadi adalah benturan yang kurang seimbang. Secabawa telah terlempar beberapa langkah surut dan terbanting di pasir tepian, langsung menjadi pingsan.

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Ia sama sekali tidak berniat membuat lawannya pingsan. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk membuat perhitungan-perhitungan yang cermat, sehingga hanya mempergunakan kekuatan ilmu yang diperlukan saja.

Sejenak Glagah Putih justru termangu-mangu. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedyu, maka dilihatnya Agung Sedayu masih memejamkan matanya mengatur pernafasannya.

Dalam keadaan yang demikian yang terdengar adalah teriakan Secaprana, “He, kau apakan adikku?“ Namun suaranya kemudian melemah, “Bunuh aku sama sekali.“

Glagah Putih menjadi bingung. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah membuka matanya, mengurai tangannya dan berdesis, “Glagah Putih.”

Glagah Putih dengan tergesa-gesa mendekati kakak sepupunya yang juga gurunya.

“Apa yang telah terjadi?“ bertanya Agung Sedayu.

“Orang itu dengan tiba-tiba saja telah menyerang Kakang yang sedang berusaha mengatur pernafasan. Aku telah membenturnya. Tetapi akibatnya di luar dugaanku,“ jawab Glagah Putih.

“Sebenarnya aku masih memerlukan waktu,“ berkata Agung Sedayu, “tetapi keadaanku sudah berangsur baik. Karena itu, bantu aku melihat keadaan Ki Ajar.“

Glagah Putih tidak menjawab. Iapun kemudian berusaha memapah Agung Sedayu yang berjalan tertatih-tatih mendekati tempat Ki Ajar berbaring.

Namun Agung Sedayu sempat berhenti sebentar melihat keadaan Secabawa. Katanya, “Ia hanya pingsan. Mudah-mudahan ia dapat segera baik kembali, sehingga ia dapat membantu mengurus gurunya.“

Meskipun agak sulit, namun akhirnya Agung Sedayupun telah sampai juga ke tempat Ki Ajar berbaring. Ternyata Ki Ajar Kumuda masih hidup. Bahkan ia masih membuka matanya dan berdesis, “Kau tidak mati Agung Sedayu?“

Agung Sedayu berdiri tidak terlalu dekat di bantu oleh Glagah Putih. Sementara Secaprana yang terluka itu berjongkok di sisi gurunya yang terbaring.

“Sebagaimana kau lihat, Ki Ajar,“ jawab Agung Sedayu.

“Kau memang luar biasa,“ jawab Ki Ajar dengan suara sangat lemah, “aku salah menilaimu. Aku kira kau hanya memiliki bekal tunggal ilmu Orang Bercambuk. Namun ternyata kau memiliki seribu macam ilmu di dalam dirimu. Aku yakin belum semua ilmumu kau gelar di arena kecil ini. Jadi yang aku kira dongeng itu agaknya benar-benar terjadi, bahwa kau adalah sahabat dan sekaligus bersama-sama menyadap ilmu bersama dengan Panembahan Senapati, dan sekali-sekali bersama Pangeran Benawa.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Jika kau bertemu dengan gurumu, katakan, bahwa aku mengaku kalah. Ilmu cambuk gurumu tentu masih lebih baik dari ilmumu, sehingga sudah pasti aku tidak akan dapat mengimbanginya, menilik dari tingkat kemampuan muridnya. Ternyata yang kau katakan benar, bahwa kau dapat membebaskan dirimu sendiri.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya sendiri masih saja sakit. Tulang-tulang iganya bagaikan menjadi retak.

Namun keadaan Ki Ajar Kumuda itu tiba-tiba nampak menjadi sangat buruk. Ketika itu ia ingin berbicara lagi, maka darah nampak meleleh di bibirnya.

“Ki Ajar,“ desis Agung Sedayu.

Ki Ajar mencoba untuk tersenyum. Katanya, “Aku mengucapkan selamat.“

Wajah Ki Ajar yang pucat itu menjadi semakin pucat. Sementara itu, Secaprana yang luka itu menjadi cemas melihat keadaan gurunya.

Ketika gurunya itu berpesan kepadanya dengan suara yang sangat lemah, maka Secaprana itu telah mendekatkan telinganya ke mulut Ki Ajar.

“Kau harus melihat kenyataan ini,“ berkata Ki Ajar, “aku tidak mampu mengalahkan murid Orang Bercambuk yang berilmu rangkap seribu itu. Karena itu, jangan bermimpi untuk melakukan sesuatu atasnya.“

Secaprana mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya Guru“

“Bagus,“ jawab Ki Ajar, “aku pun harus mengakui kenyataan yang akan terjadi atas diriku.“ Ki Ajar itu berhenti sejenak, lalu dengan sisa tenaga yang ada di dalam dirinya ia berkata, “Agung Sedayu. Aku minta maaf.“

“Kau tidak bersalah Ki Ajar,“ jawab Agung Sedayu.

“Nampaknya aku melakukan kebiasaan dari orang-orang yang bergumul dalam kehidupan olah kanuragan. Dibumbui oleh ketamakanku, justru karena aku ingin memanfaatkan hubungan buruk antara madiun dan Mataram,” desis Ki Ajar Kumuda.

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun dilihatnya keadaan Ki Ajar menjadi semakin buruk. Bahkan sejenak kemudian orang tua itu berdesis, “Aku tidak siap menghadapi keadaan ini. Karena itu pesanku kepada murid-muridku, berhati-hatilah. Cari jalan yang lebih baik dari yang pernah kita tempuh.“

“Guru,“ desis Secaprana yang menjadi sangat cemas. KI Ajar tidak menjawab. Tetapi, ia mencoba tersenyum sekali lagi.

Namun orang-orang yang ada di sekitarnya itu tidak mampu berbuat apa-apa ketika orang itu kemudian memejamkan matanya. Nafasnya pun kemudian perlahan-lahan terhenti untuk selamanya.

Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Sambil memalingkan wajahnya ia berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih. Beri isyarat kepada Ki Gede dengan panah sendarenku. Kita memerlukan mereka.“

“Jangan serahkan aku kepada prajurit Mataram,“ berkata Secaprana, yang di luar sadarnya telah berpaling kepada saudara seperguruannya yang pingsan. Namun Secabawa telah berusaha untuk bangkit setelah ia menyadari keadaannya.

Agung Sedayu memang berpikir tentang kemungkinan itu. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya, “Apakah kau dan saudara seperguruanmu yang baru sadar itu akan dapat mengurus gurumu?“

Secaprana memandang gurunya yang terbaring diam dengan tatapan mata yang sayu. Harapannya bagi masa depannya seakan-akan telah pudar bersamaan dengan gurunya itu.

Namun Secaprana itu pun berkata, “Aku akan mengurus Guru, bagaimanapun juga keadaanku.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Secabawa telah berusaha untuk bangkit meskipun keadaannya sangat buruk.

“Sebentar lagi keadaannya akan membaik,“ berkata Secaprana kemudian.

Agung Sedayu yang lemah itu mengangguk, katanya, “Baiklah. Jika demikian maka Glagah Putih tidak akan melepaskan isyarat itu.”

“Bagaimana dengan keadaanmu sendiri?“ bertanya Secaprana.

“Aku masih akan mampu berjalan sampai ke perkemahan,“ jawab Agung Sedayu.

Iapun kemudian telah minta diri kepada Secaprana sambil berkata, “Aku tidak berniat membunuh. Aku hanya ingin melepaskan diriku sendiri dari rencananya untuk mempergunakan aku memancing Guru.“

“Aku mengerti,“ sahut Secaprana.

Dengan demikian maka Agung Sedayu pun telah meninggalkan tempat itu, menyusuri tepian menuju ke perkemahan. Beberapa lama mereka menyusuri tepian, karena Agung Sedayu yang lemah itu tidak mampu lagi berjalan sewajarnya.

Bahkan Agung Sedayu mengalami kesulitan ketika ia berusaha memanjat tebing yang tidak terlalu tinggi. Namun akhirnya atas bantuan Glagah Putih, maka keduanya pun kemudian telah berada di atas tanggul.

Tetapi justru karena keadaan Agung Sedayu, maka keduanya memerlukan waktu sejenak untuk beristirahat. Rasa-rasanya tenaga Agung sedayu telah habis terhisap oleh pertempuran yang sengit itu, serta usahanya untuk menghentakkan kekuatannya yang terakhir masih tersisa di dalam dirinya.

Namun ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan, maka mereka telah melihat beberapa orang pengawal berkuda melintas di hadapan mereka. Ternyata para pengawal itu telah melihatnya pula, sehingga karena itu maka mereka pun telah melarikan kuda mereka mendekat.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Para peronda berkuda itu bukan pengawal dari tanah Perdikan menoreh. Karena itu maka Agung Sedayu pun berdesis, “Kita jangan membuat mereka melibatkan diri dalam persoalan ini.“

“Jadi apa jawab kita jika mereka bertanya kepada kita, terutama keadaan Kakang Agung Sedayu?“ bertanya Glagah Putih.

“Kita katakan, bahwa aku tergelincir dari tanggul yang kebetulan berbatu padas,“ jawab Agung Sedayu.

“Apakah mereka akan percaya?“ sahut Glagah Putih.

“Percaya atau tidak percaya, tetapi itu lebih baik,“ desis Agung Sedayu pula.

Glagah Putih tidak sempat bertanya apapun lagi. Para peronda itu telah begitu dekat. Pemimpin kelompok dari para peronda itu pun kemudian telah menyebut kata sandi, yang dijawab pula oleh Glagah Putih.

“Kalian dari pasukan siapa?“ jawab Glagah Putih, “Kalian dari mana?“

“Dari Pegunungan Sewu,“ jawab pemimpin kelompok itu, yang kemudian bertanya, “kenapa kalian ada di sini?“

“Tidak apa-apa,“ jawab Agung Sedayu, “sekedar melihat-lihat keadaan.“

“Kenapa dengan pakaianmu?“ bertanya pemimpin peronda itu pula.

“O,“ Agung Sedayu yang duduk di atas tanggul itu mencoba tersenyum, “aku telah tergelincir di atas batu-batu padas di tikungan. Aku terjatuh ke bawah dan bajuku telah koyak. Bahkan kulitku.“

Pengawal itu termangu-mangu. Namun hampir di luar sadarnya pemimpin peronda itu bertanya, “Siapa nama kalian?“

“Agung Sedayu, dan ini adalah sepupuku, Glagah Putih,” jawab Agung Sedayu.

“Agung Sedayu? Pembantu utama Ki Gede Menoreh?” bertanya pemimpin kelompok peronda itu.

“Aku memang salah seorang pembantu Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu.

“Maaf Ki sanak. Aku sudah pernah mendengar namamu. Tetapi belum begitu jelas mengenal wajahmu. Nampaknya aku memang pernah melihatmu sekali dua kali di antara pasukanmu,“ berkata pemimpin kelompok itu pula.

“O, begitu?“ Agung Sedayu masih berusaha tersenyum.

“Tetapi kenapa kau tergelincir?“ bertanya pemimpin kelompok itu pula.

“Ya begitulah. Aku memang kurang berhati-hati. Aku tidak mengira bahwa batu padas di atas tanggul di titipkan itu rapuh. Demikian aku menginjaknya, maka batu padas itu pun runtuh,“ jawab Agung Sedayu.

Para peronda itu pun kemudian bersiap untuk melanjutkan tugas mereka. Namun pemimpin peronda itu masih bertanya, “Apakah kalian memerlukan pertolongan?”

“Tidak. Aku tidak apa-apa,“ jawab Agung Sedayu yang masih duduk di tanggul, “hanya sedikit terkejut.“

Para peronda itu mengangguk-angguk. Pemimpinnya kemudian berkata, “Baiklah. Jika demikian, biarlah aku meneruskan tugasku.“

“Silahkan Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu.

Sejenak kemudian, maka peronda itu pun telah meninggalkan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Semakin lama menjadi semakin jauh ke cakrawala.

Baru kemudian Agung sedayu berkata, “Marilah. Aku kira aku sudah dapat berjalan sendiri perlahan-lahan.“

Sebenarnyalah Agung Sedayu sudah dapat berjalan tanpa dibantu oleh Glagah Putih. Tetapi perlahan-lahan. Tubuhnya masih terasa lemah sekali. Bahkan bagian dalam tubuhnya masih terasa sakit.

Namun akhirnya Agung Sedayu dan Glagah Putih telah memasuki perkemahan. Setiap orang yang bertanya telah dijawabnya, bahwa ia telah tergelincir jatuh dari tebing sungai karena kakinya menginjak padas yang rapuh.

Memang ada orang yang menjadi heran, kenapa Agung Sedayu begitu mudah jatuh tergelincir ke dalam sungai, dan selain pakaiannya, tubuhnya juga terkoyak.

Namun pada umumnya mereka telah menjawabnya sendiri, bahwa Agung Sedayu tentu tidak mengetrapkan kekuatan ilmunya ketika ia berjalan-jalan di tanggul.

Sebenarnyalah keadaan Agung Sedayu telah mencemaskan Ki Gede dan beberapa orang yang mengetahui apa yang terjadi. Apalagi ketika kemudian Glagah Putih membawa Agung Sedayu berbaring di perkemahannya.

“Bagaimana keadaannya?“ bertanya Ki Gede.

Glagah Putih mencoba memberikan gambaran sebenarnya tentang keadaan Agung Sedayu, meskipun hanya kepada Ki Gede dan Prastawa.

“Jadi Agung Sedayu mengalami luka dalam?“ bertanya Ki Gede.

“Ya Ki Gede,“ jawab Glagah Putih.

“Bagaimana seandainya besok terjadi perang antara Mataram dan Madiun?“ desak Ki Gede.

“Mudah-mudahan keadaannya berangsur baik,“ jawab Glagah Putih. Lalu katanya pula, “Agaknya Kakang Agung Sedayu telah membawa beberapa jenis obat. Mudah-mudahan ada di antaranya yang dapat membantu keadaannya sendiri.“

Sebenarnyalah, dibantu oleh Glagah Putih, Agung sedayu telah berusaha untuk mengobati dirinya sendiri. Sebagai murid Kiai Gringsing yang ahli dalam hal obat-obatan, maka serba sedikit Agung Sedayu juga mengerti tentang obat-obatan.

Beberapa butir obat telah ditelannya. Sebenarnya Agung Sedayu ingin melakukan semacam semadi untuk mengatasi kesulitan di dalam tubuhnya.

Namun nampaknya sulit baginya untuk mendapatkan tempat yang baik di perkemahan tanpa menarik perhatian orang lain, sehingga dapat menimbulkan berbagai macam pertanyaan.

“Aku akan melakukannya sambil berbaring,“ berkata Agung Sedayu, “tolong, agar aku tidak terlalu banyak terganggu.“

Glagah Putih mengangguk sambil berdesis, “Aku akan melakukannya Kakang.“

Dengan demikian maka Glagah Putih telah menunggui Agung Sedayu yang terbaring, seakan-akan sedang tidur. Tidak seorangpun yang mengerti apa yag sebenarnya telah dilakukannya, kecuali orang-orang tertentu. Ki Gede yang kemudian diberitahu oleh Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Biarlah Prastawa mengambil semua tugasnya, terutama untuk hari ini.“

Meskipun bukan kebiasaannya, namun Agung Sedayu dapat melakukannya. Memperbaiki keadaan bagian dalam tubuhnya, mendorong obat-obatan yang telah ditelannya untuk bekerja lebih baik di dalam dirinya, sambil berbaring. Justru satu pengalaman baru bagi Agung Sedayu.

Sementara itu, tidak terjadi sesuatu yang menarik perhatian pada pasukan Mataram di sayap kiri itu. Pangeran Mangkubumi memang telah memanggil para pemimpin pasukan untuk mengadakan hubungan sebagaimana dilakukan setiap hari. Tetapi tidak ada perintah yang diberikan kecuali untuk tetap memelihra kewaspadaan.

Dalam pada itu, pasukan Mataram dalam keseluruhan masih saja bertahan untuk tidak bergerak. Sedangkan pasukan Madiun pun sama sekali tidak berniat untuk menyerang kedudukan pasukan Mataram di seberang Kali Dadung. Namun sebagaimana pasukan Mataram, maka pasukan yang telah dipersiapkan di Madiun itu pun tidak mengurangi kewaspadaan mereka. Setiap kali sekelompok-sekelompok pasukan telah meronda mengamati keadaan.

Agung Sedayu ternyata mengalami kesulitan yang agak bersungguh-sungguh. Luka di bagian dalam tubuhnya tidak segera dapat diatasinya. Namun obat yang telah ditelannya, serta usahanya untuk mengatasinya dengan mengerahkan daya tahan di tubuhnya serta mengatur pernafasannya, dapat membantunya memperingan kesulitan di bagian dalam tubuhnya itu.

Menjelang senja, maka rasa-rasanya Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk melakukan semadi dengan sebaik-baiknya. Dalam gelapnya malam, Agung Sedayu sengaja tidak menyalakan lampu di perkemahannya, sehingga perkemahannya menjadi gelap. Sementara itu, ia dapat duduk dan melakukan semadi dengan sebak-baiknya.

Udara malam yang sejuk, serta kesungguhan dalam semadinya, serta obat yang telah ditelannya lagi, maka keadaan tubuh Agung Sedayu menjadi semakin baik. Nafasnya telah menjadi longgar, sementara yang terasa pedih sudah berkurang.

Lewat tengah malam, maka Agung Sedayu telah mengakhiri semadinya. Meskipun keadaannya sudah menjadi semakin baik. tetapi ia tidak dapat memacu dirinya sendiri untuk mengatasi kelemahan tubuhnya.

Bersama Glagah Putih maka Agung Sedayu berjalan-jalan di antara pasukan pengawal Tanah Perdikan yang sedang beristirahat. Mereka nampak tertidur dengan lelap. Sementara mereka yang bertugas di dalam lingkungan pasukan itu sendiri telah menyapa Agung Sedayu tanpa menduga sama sekali, bahwa Agung Sedayu itu masih dalam keadaan lemah.

Agung Sedayu sendiri selalu tersenyum sebagaimana kebiasaannya. Sedangkan Glagah Putih menjawab beberapa pertanyaan dari para pengawal itu.

Namun tiba-tiba Glagah Putih sendiri bertanya kepada Agung Sedayu, “Bagaimana jika pertempuran terjadi besok pagi?“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku masih sangat lemah. Tetapi jika terpaksa, aku telah siap turun ke medan.“

“Tetapi sudah tentu tidak akan menguntungkan Kakang,“ jawab Agung Sedayu.

“Salahku sendiri,“ jawab Agung Sedayu. “Aku datang kemari untuk tugas tertentu. Tetapi aku telah terpancing untuk melayani kepentingan pribadi Ki Ajar Kumuda.“

“Tetapi ada juga hubungannya dengan pertentangan antara Mataram dan Madiun,,“ jawab Glagah Putih.

“Terlalu sedikit,“ jawab Agung Sedayu. “Namun bagaimanapun juga, aku merasa wajib untuk mengangkat nama perguruanku. Namun seharusnya aku dapat menunda persoalan pribadi itu sampai persoalan pokok keberangkatanku kemari selesai.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Keadaan Agung Sedayu sudah terlanjur menjadi lemah, sehingga sulit baginya untuk dengan cepat dapat memulihkan keadaannya, meskipun ia mempergunakan obat yang terbaik yang dimilikinya.

Ketika kemudian mereka sampai di gerbang perkemahan, maka dilihatnya beberapa orang petugas berada di sebelah duduk dalam satu lingkaran. Mereka duduk sambil berbicara apa saja untuk mengusir kantuk. Dua orang di antara mereka memisahkan diri untuk mengamati keadaan. Sementara itu di gerbang perkemahan, dua orang bertugas di sebelah-menyebelah pintu gerbang dengan tombak telanjang di tangan.

Beberapa langkah dari tempat itu terdapat perkemahan khusus bagi petugas yang sedang beristirahat. Mereka tidur dengan nyenyak separuh malam, bergantian dengan mereka yang berjaga-jaga.

Selain mereka, masih ada kelompok peronda yang mengelilingi daerah sekitar perkemahan. Dalam keadaan yang gawat, mereka harus mengirimkan isyarat dengan panah sendaren atau panah api.

Agung Sedayu yang kemudian berjalan-jalan ke luar dari gerbang perkemahan telah dihentikan oleh mereka yang bertugas.

“Kalian akan pergi kemana?“ bertanya salah seorang petugas.

“Kami tidak dapat tidur.“ jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.

“Sebaiknya kalian tidak keluar dari perkemahan. Sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang terdapat di kegelapan. Mungkin orang-orang Madiun yang akan menyerang kita dari jarak jauh, seperti yang pernah mereka lakukan. Dengan panah-panah api, tetapi bukannya panah api sebagai isyarat, sebagaimana terjadi atas pasukan Mataram di perjalanan,“ berkata petugas itu.

“Aku tidak kemana-mana. Aku dan Glagah Putih hanya akan duduk di situ. Sedikit mencari ketengan,“ jawab Agung Sedayu.

Petugas itu tahu benar, siapakah Agung Sedayu. Orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun demikian ia masih berpesan. “Tetapi jangan memasuki kegelapan itu tanpa pengawal.“

Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Terima kasih.“

Bersama Glagah Putih, maka Agung Sedayu pun telah melangkah menjauhi gerbang perkemahan. Tetapi mereka tidak sampai hilang di kegelapan. Mereka berhenti dalam jarak jangkau lampu obor di gerbang.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian duduk di atas rerumputan yang kering, menghadap ke kegelapan malam.

Namun dengan demikian tubuh Agung Sedayu terasa menjadi segar. Angin malam yang sejuk rasa-rasanya dengan cepat mempengaruhi keadaannya. Seakan-akan membantu obat-obatan yang telah ditelannya, sehingga perlahan-lahan kekuatannya telah tumbuh kembali. Lebih cepat dari yang diduga.

Para petugas di regol perkemahan mengawasi keduanya dengan heran., Seorang di antara mereka bertanya, “Apa yang dilakukan di sana?“

“Seperti yang dikatakannya, mencari ketenangan. Mereka tidak dapat tidur di perkemahan. Agaknya kawan-kawannya telah mendengkur terlalu keras,“ jawab yang lain.

Kawannya tertawa kecil. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Sebenarnyalah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang duduk di tempat terbuka merasakan ketenangan malam. Mereka tidak merasa bahwa mereka berada di garis perang. Mereka tidak melihat kesibukan para prajurit, kecuali orang yang berdiri di regol perkemahan itu. Di hadapan mereka terbentang kegelapan yang dalam sekali tanpa batas.

Seakan-akan di luar sadarnya, Agung Sedayu pun telah semakin meningkatkan keadaan tubuhnya. Glagah Putih yang menyertainya dapat mengerti keadaan kakak sepupunya, sehingga karena itu maka ia tidak mengganggunya.

Menjelang fajar, maka Agung Sedayu seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya. Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Langit akan segera menjadi merah, Glagah Putih.“

“Ya Kakang,“ jawab Glagah Putih.

“Dan kau telah duduk di situ menahan kantuk,“ desis Agung Sedayu pula.

“Kita bersama-sama duduk di sini,“ jawab Glagah Putih.

“Terima kasih atas perhatianmu. Keadaanku memang berangsur baik,“ berkata Agung Sedayu pula.

“Syukurlah,“ sahut Glagah Putih, “mudah-mudahan keadaan Kakang segera pulih kembali.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Meskipun masih terasa lemah, tetapi keadaan memang menjadi semakin baik pagi ini.”

“Apakah memang ada pengaruh udara sejuk, Kakang?“ bertanya Glagah Putih.

“Agaknya ketenangan malam-lah yang banyak membantu memulihkan keadaan, selain obat yang cukup baik,“ jawab Agung Sedayu.

Namun pembicaraan mereka pun terhenti ketika keduanya kemudian telah mendengar ayam jantan yang berkok.

“Menjelang fajar,“ desis Glagah Putih.

“Kau merasakan satu keanehan?“ bertanya Agung Sedayu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya Kakang. Kita berkemah di tempat yang tidak terlalu dekat dari padukuhan. Suara itu bukan suara ayam hutan. Apakah ada ayam yang berkeliaran di sekitar tempat ini?“

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi mereka telah mendengar lagi suara kokok ayam itu. Justru bersahutan dari dua arah.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Masih ada waktu untuk beristirahat barang sejenak di perkemahan.“

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Bagaimana dengan kokok ayam itu?“

“Isyarat biasa. Tidak ada yang menarik perhatian. Para petugas sandi dari Madiun saling memberikan isyarat tentang tempat mereka masing-masing,“ jawab Agung Sedayu.

“Begitu mudahnya ditebak?“ bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tetapi kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Juga para peronda dan para petugas.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu sudah bangkit berdiri sambil berkata, “Marilah.“

Keduanya pun kemudian telah melangkah ke dalam perkemahan. Sementara itu Agung Sedayu merasakan bahwa keadaan tubuhnya telah menjadi semakin baik. Namun ketika ia teringat akan pertanyaan Glagah Putih, bagaimana jika besok terjadi pertempuran antara Madiun dan Mataram, maka Agung Sedayu masih merasa bahwa masih banyak terdapat kesulitan di dalam dirinya.

Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah berada di perkemahan. Keduanya sempat berbaring dan mempergunakan sisa malam itu untuk tidur barang sejenak.

Sebelum matahari terbit, keduanya telah bersiap-siap pula dan berbenah diri. Apapun yang terjadi atas diri Agung Sedayu, namun ia sama sekali tidak memperlihatkan keadaannya yang sebenarnya kepada para pengawal. Hanya Ki Gede dan Prastawa sajalah yang merasa cemas, bahwa pada saatnya pertempuran yang besar terjadi, Agung Sedayu masih belum memiliki tenaga dan kemampuannya seutuhnya kembali.

Meskipun tidak terucapkan, Ki Gede sebenarnya juga menyalahkan Agung Sedayu bahwa ia tidak menunda persoalannya sampai setelah tugasnya ke Madiun itu dapat diselesaikan. Namun Ki Gede tidak ingin membuat Agung Sedayu semakin kecewa.

Namun ketika kemudian matahari terbit, para prajurit dan pengawal mengerti, bahwa hari itu mereka masih belum akan turun ke medan. Mereka masih sempat beristirahat atau bermain macanan, jika tidak bertugas dan tidur. Pada saatnya makan dan minum minuman panas.

“Bagaimana jika persediaan pangan itu habis, sementara belum terjadi sesuatu,“ seorang petugas di dapur bertanya kepada seorang kawannya.

“Bukan urusan kita,” jawab kawannya.

“Tetapi jika para prajurit itu lapar, mereka tidak mau tidur lagi, salah siapa?“ jawab orang yang pertama, “Mereka tentu akan datang menyerbu ke dapur.“

“Itu adalah tanggung jawab para pemimpin,“ jawab kawannya.

Orang yang pertama itu tidak bertanya lagi. Namun sebelum ia meninggalkan tempatnya, maka mereka telah melihat beberapa buah pedati yang datang membawa beras, dikawal oleh sepasukan prajurit dari Pajang yang berada di induk pasukan.

“Kau masih cemas tentang persediaan bahan makanan?“ bertanya kawannya.

“Apakah kau kira hanya akan makan beras?“ sahut orang yang pertama.

Kawannya tertawa. Tetapi dibiarkannya orang itu pergi meninggalkan tempatnya.

Namun sebelum tengah hari, maka para pemimpin pasukan telah dipanggil oleh Pangeran Mangkubumi, termasuk Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang.

“Belum ada perintah,“ berkata Pangeran Mangkubumi. Namun kemudian katanya, “Tetapi ada satu berita penting yang hanya boleh diketahui oleh para pemimpin. Tidak seorangpun di antara para prajurit dan pengawal boleh mendengar. Rahasia ini adalah rahasia puncak dari keberhasilan pasukan Mataram. Jika rahasia ini tembus ke telinga orang Madiun, maka kita akan dihancurkan di sini, karena jumlah pasukan Madiun berlipat ganda jumlahnya dari jumlah pasukan yang datang dari Mataram.“

Para pemimpin pasukan dan pengawal itu termangu-mangu. Namun nampaknya Pangeran Mangkubumi bersungguh-sungguh. Katanya kemudian, “Kita harus mempersiapkan seluruh pasukan yang ada untuk bertindak setiap saat. Kita harus berada dalam kesiapan tertinggi, serta mampu menggerakkan pasukan dengan kekuatan terbesar.“

Para pemimpin itu mengangguk-angguk. Nampaknya mereka sudah sampai pada batas tertentu untuk menunggu.

Namun Pangeran Mangkubumi itu kemudian berkata, “Pamanda Adipati Mandaraka, Ki Patih di Mataram, telah mengirimkan seorang perempuan ke Madiun.“

“Seorang perempuan,“ hampir berbareng beberapa orang telah mengulang.

“Ya. Seorang perempuan,“ jawab Pangeran Mangkubumi.

“Untuk apa?“ bertanya seorang Senapati Mataram.

“Aku kurang tahu apa maksud Pamanda Patih Mandaraka,“ jawab Pangeran Mangkubumi. Lalu katanya, “Tetapi rencana Pamanda Patih Adipati Mandaraka ini telah disetujui oleh Panembahan Senapati, meskipun telah terjadi perdebatan yang lama. Panembahan Senapati semula menolak rencana itu. Tetapi akhirnya atas nasehat beberapa orang pemimpin yang sudah berpengalaman, Panembahan Senapati telah menerimanya, dan memberikan wewenang kepada Ki Patih untuk melakukannya.“

“Apa artinya sikap ini Pangeran?“ bertanya seorang Senapati dari prajurit Mataram yang bertubuh tinggi besar berkumis lebat.

“Aku belum dapat menjawab pertanyaanmu,“ jawab Pangeran Mangkubumi, “aku harus menunggu keterangan berikutnya.“

Para pemimpin dan Senapati memang menjadi agak bingung atas sikap yang diambil oleh Ki Patih Mandaraka. Mereka tidak tahu tujuan dari pengiriman seorang perempuan ke Madiun untuk menemui Panembahan Mas.

Namun para pemimpin dan para Senapati itu hanya dapat menduga-duga saja. Tidak seorangpun yang tahu pasti, apa yang akan dilakukan oleh seorang perempuan yang mewakili sepasukan prajurit yang siap untuk bertempur.

Namun dalam pada itu, mereka harus tetap menyimpan bebannya di dalam hati mereka masing-masing. Mereka tidak dapat membicarakannya dengan orang lain, karena hal itu merupakan rahasia bagi Mataram.

Tetapi dalam pada itu, semua pemimpin dan Senapati telah mendapat perintah untuk berjaga-jaga. Semua pasukan harus siap digerakkan setiap saat, siang dan malam.

Dengan demikian maka para pemimpin prajurit Mataram yang hampir menjadi jemu itu harus membawa beban lagi di dalam hati mereka. Memang tidak masuk di akal mereka, bahwa Mataram malahan mengutus perempuan untuk menjumpai Adipati Madiun, justru di saat semua ujung senjata telah menjadi setajam pisau pencukur.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu justru merasa mendapat kesempatan untuk memulihkan keadaannya. Di hari berikutnya, Agung Sedayu benar-benar telah merasa menjadi baik. Di malam hari Agung Sedayu lebih banyak berada tempat terbuka, sehingga segarnya malam seakan-akan mendorong tenaganya yang semakin pulih kembali.

Glagah Putih yang selalu bersamanya, adalah salah seorang yang mendapat kesempatan untuk mendengar rahasia besar Mataram itu. Karena itu, maka iapun bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah kira-kira yang dilakukan oleh utusan itu Kakang?“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sulit untuk ditebak. Bahkan sebelumnya aku tidak pernah membayangkan bahwa hal seperti itu akan dapat terjadi. Karena itu, sulit bagiku untuk menebak-nebak, apakah yang kira-kira dilakukan oleh perempuan itu. Mereka sekedar menyampaikan surat, pesan, atau bahkan ancaman-ancaman. Jika yang dikirim adalah seorang perempuan, mungkin bermaksud bahwa Mataram masih ingin bersikap lunak. Atau bahkan sebaliknya, Mataram sudah tidak sabar lagi menunggu penyelesaian yang tidak menentu.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Jawaban Agung Sedayu masih mengandung serba pertanyaan, sebagaimana ditanyakannya. Sehingga karena itu maka jawaban Agung Sedayu bukanlah jawaban yang sudah siap.

Ketegangan memang telah meliputi perkemahan para prajurit Mataram. Tidak saja di sayap-sayap pasukan, tetapi juga di pasukan induk.

Para prajurit dan pengawal yang telah mendapat perintah untuk bersiaga sepenuhnya, selalu bertanya-tanya di antara mereka. Untuk apa mereka harus bersiaga penuh siang dan malam?

Tetapi tidak seorangpun yang mampu memberikan jawaban. Bahkan para pemimpin yang setiap kali bertanya kepada Panglima mereka di sayap-sayap pasukan, juga tidak menerima jawaban yang memuaskan. Baik Pangeran Mangkubumi, maupun Pangeran Singasari, masih tetap tidak mengatakan yang sebenarnya, apa yang telah dilakukan oleh Ki Patih Mandaraka dengan mengirimkan seorang perempuan kepada Adipati Madiun.

Namun di hari berikutnya, dalam kejemuan menunggu, Agung Sedayu telah merasa pulih kembali kekuatannya. Luka-luka di kulitnya pun telah tidak membekas lagi, kecuali sebuah garis yang kehitam-hitaman.

Ketika keduanya kemudian berjalan-jalan di tempat terbuka di luar perkemahan, maka keduanya telah turun ke sungai. Mereka telah mencari tempat yang tersembunyi untuk melihat, apakah kekuatan dan ilmu Agung Sedayu benar-benar telah pulih.

Tanpa disaksikan orang lain, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah membuktikan, bahwa kekuatan dan ilmu Agung Sedayu memang telah pulih seutuhnya kembali.

“Kita dapat mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, Glagah Putih, bahwa segalanya telah pulih seperti sediakala,“ berkata Agung Sedayu.

“Ya Kakang. Nampaknya benturan kekerasan Mataram dan Madiun telah tertunda untuk memberi kesempatan kepada Kakang, agar kekuatan Kakang dapat pulih kembali dahulu,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Ia memang agak berbeda dengan orang lain yang mengalami kejemuan. Agung Sedayu yang menjadi sangat lemah itu memang berharap bahwa segala sesuatunya agar terjadi setelah ia memiliki tenaga dan ilmunya utuh kembali.

Ketika Ki Gede mendapat laporan bahwa ia telah memiliki segenap kemampuannya kembali, maka Ki Gede pun tersenyum sambil berkata, “Nah, sekarang terjadilah perang itu jika memang akan terjadi.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah tersenyum pula.

Demikianlah di hari berikutnya, maka para pemimpin pasukan telah dipanggil sekali lagi dalam pertemuan yang khusus. Dengan sunguh-sungguh Pangeran Mangkubumi berkata, “Kita sudah hampir memasuki tugas kita yang sebenarnya.“

“Apa yang terjadi Pangeran?“ bertanya Ki Gede Menoreh.

“Nampaknya perempuan yang ditugaskan oleh Ki Patih Mandaraka itu berhasil,“ jawab Pangeran Mangkubumi.

“Berhasil apa?“ bertanya seorang Senapati.

“Perempuan itu berhasil menimbulkan ketidak-sepakatan di antara para pemimpin yang berkumpul di Madiun,“ jawab Pangeran Mangkubumi.

“Apa yang dilakukannya?“ bertanya seorang Senapati.

“Aku tidak tahu,“ jawab Pangeran Mangkubumi. “Tetapi menurut petugas sandi yang setiap saat menghubungi pimpinan tertinggi pasukan Mataram melaporkan, bahwa justru ada di antara para Adipati yang ingin menarik diri dari himpunan kekuatan di Madiun itu.“

“Jangan-jangan, Ki Patih Mandaraka telah mempergunakan satu cara yang katakanlah, terlalu amat sangat bijaksana, bagi satu tugas keprajuritan, sehingga menimbulkan kesan yang kurang mapan bagi seorang prajurit,” berkata seorang Senapati.

Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku juga tidak ingin hal seperti itu dilakukan. Tetapi apabila itu merupakan kesepakatan para pemimpin tertinggi, maka ap aboleh buat.“

Yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka memang tidak akan dapat melakukan satu langkah yang bertentangan dengan kebijaksanaan yang diambil oleh para pemimpin tertinggi Mataram.

Ketidak-puasan itu ternyata tidak saja mencengkam para pemimpin prajurit di sayap kiri. Di sayap kanan Pangeran Singasari yang keras hampir saja menolak keputusan yang diambil oleh para pemimpin tertinggi Mataram untuk menggantungkan diri pada keberhasilan utusan Ki Patih Mandaraka. Untara, seorang Senapati perang yang dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup, tidak dapat mengerti apa hubungannya antara perang yang tertunda-tunda, dengan keberangkatan seorang perempuan ke Madiun. Ketika perempuan itu dinyatakan hampir berhasil, maka Untara sempat berdesah, “Jika demikian, marilah kita serahkan senjata-senjata kita untuk diikat dengan selendang perempuan itu, jika memang perempuan itu memiliki kelebihan dari kita.“

Tetapi baik Pangeran Mangkubumi maupun Pangeran Singasari harus tunduk pada perintah Panembahan Senapati.

Sebenarnyalah para petugas sandi telah memberikan laporan, bahwa ada ketidak-sepakatan yang telah terjadi di Madiun, setelah seorang perempuan berhasil memasuki pintu gerbang istana dan menghadap Panembahan Mas di Madiun.

Bahkan sebenarnyalah memang ada di antara para Adipati yang mengancam lebih baik meninggalkan Madiun daripada harus memenuhi perintah Panembahan Mas, yang telah dipengaruhi oleh kehadiran perempuan itu.

Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari yang berada di sayap, dengan sungguh-sungguh telah mengikuti perkembangan keadaan dengan hati yang cemas.

Tetapi di hari itu tidak terjadi sesuatu. Bahkan di malam harinya, suasana nampaknya begitu sepi. Di perkemahan orang-orang Mataram masih saja terdengar perintah untuk setiap saat bergerak. Bahkan mungkin di malam hari.

Agung Sedayu yang sudah benar-benar pulih kembali, selalu berada di antara pasukannya. Prastawa tidak pernah jauh dari Ki Gede. Jika setiap saat jatuh perintah, maka Prastawa akan dapat bergerak cepat. Bahkan seluruh pasukan pun dapat digerakkan dengan cepat, meskipun mereka sedang tertidur nyenyak. Namun mereka telah mengenakan segala kelengkapam perang yang diperlukan. Senjata mereka telah ada di lambung. Yang bersenjata tombak sudah siap tersandar dinding perkemahan. Demikian pengawal itu bangkit, maka tombak itu tentu akan disambarnya.

Sampai tengah malam, Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di tempat para petugas yang berjaga-jaga malam itu di kelompok mereka. Namun kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah minta diri untuk beristirahat. Baru menjelang fajar keduanya terbangun. Namun keduanya tidak segera bangkit.

Meskipun demikian, Agung Sedayu berdesis, “Rasa-rasanya ada sesuatu akan terjadi.“

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak tahu. Tetapi jantung ini menjadi berdebar-debar. Inilah yang disebut panggraita,“ jawab Agung Sedayu.

“Bukankah Kakang dapat mempertajam panggraita itu?“ bertanya Glagah Putih.

“Dalam batas tertentu. Aku sudah mencobanya demikian aku bangun dari tidur dan merasakan sesuatu yang kurang mapan. Agaknya hari ini tidak seperti hari-hari sebelumnya,“ jawab Agung Sedayu.

“Jika demikian, aku akan bersiaga,“ sahut Glagah Putih.

Agung Sedayu tidak mencegahnya. Bahkan Agung Sedayu sendiri telah membenahi pakaiannya dan mempersiapkan senjatanya, meskipun ia tidak berniat pergi ke sungai untuk mandi. Tetapi Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Aku akan pergi ke sungai sebentar Kakang.“

“Masih terlalu pagi,“ desis Agung Sedayu.

“Tidak apa-apa,“ jawab Glagah Putih, “justru aku orang pertama.“

Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Namun sejalan dengan debar jantungnya, maka Agung Sedayu berpesan, “Berhati-hatilah.“

“Aku akan berhati-hati,“ jawab Glagah Putih.

Demikianlah, maka Glagah Putih telah meninggalkan perkemahan setelah ia melaporkan diri kepada para prajurit yang bertugas di regol. Namun seorang di antara para prajurit yang melihatnya, tiba-tiba saja berlari menyusulnya sambil berkata, “Aku juga akan pergi ke sungai.“

Namun Glagah Putih kemudian berkata kepadanya, “Berhati-hatailah. Nampaknya keadaan menjadi gawat. Bawa senjata selengkapnya.“

“Kenapa harus membawa senjata selengkapnya? Aku sudah membawa pisau belati.“

“Bukankah kau dengar, bahwa setiap saat kita harus bersiaga penuh?“ desis Glagah Putih.

Prajurit itu termangu-mangu. Namun iapun telah kembali ke perkemahan untuk mengambil pedangnya, dan sekali lagi mengangguk di pintu gerbang kepada petugas berjaga-jaga.

Keduanya kemudian telah melintasi tempat terbuka yang gelap di antara pohon-pohon perdu, menuju ke sungai.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih memperlambat langkahnya. Telinganya yang tajam telah mendengar sesuatu di balik gerumbul perdu.

Karena itu, maka iapun telah berdesis kepada prajurit yang pergi bersamanya ke sungai, “Hati-hatilah. Kita tidak hanya berdua.“ Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tanggap akan sikap Glagah Putih. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya sambil berbisik, “Apa yang kau ketahui?“

“Ada seseorang atau lebih yang memperhatikan kita,“ jawab Glagah Putih, “tetapi bersikap wajar sajalah. Biar mereka menganggap bahwa kita tidak mengetahui kehadiran mereka.“

“Lalu, apakah kita jadi ke sungai?“ bertanya prajurit itu.

“Ya. Kita akan mencuci muka saja. Kemudian membersihkan diri di belik di tepian. Bukankah langit sudah merah?“ jawab Glagah Putih.

Keduanya berjalan terus tanpa menghiraukan kehadiran orang lain di balik gerumbul perdu, turun ke tepian. Namun sebenarnyalah keduanya tetap berhati-hati menghadapi segala kemungkinan. Ketika mereka menelusuri tebing yang rendah ke tepian, Glagah Putih berbisik, “Tiga orang ada di tanggul. Mungkin masih ada yang lain.“

Prajurit itu mengangguk. Katanya perlahan sekali. “Untung aku mengambil pedangku.“

“Kita sudah tidak mempunyai pilihan lain,“ desis Glagah Putih kemudian.

Prajurit itu mengangguk. Namun bagaimanapun juga hatinya memang menjadi berdebar-debar. Selama pasukannya berkemah, mereka belum pernah mengalami kehadiran orang-orang yang tidak dikenal seperti itu. Namun mereka telah menebak bahwa orang-orang itu tentu orang-orang dari Madiun.

Tetapi berita tentang perubahan yang terjadi di Madiun agaknya memang membawa perubahan sikap di bidang keprajuritan. Agaknya Madiun tidak sekedar menunggu, tetapi Madiun telah mengambil langkah yang lebih jelas dalam permusuhan itu.

Glagah Putih dan prajurit itu memang pergi ke sebuah belik yang sudah diketahui sebelumnya. Mereka telah mencuci kaki dan tangan. Namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan sama sekali.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian telah berloncatan tiga orang dari tanggul di sisi barat. Dengan garangnya seorang di antara mereka berkata, “Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat kematianmu.“

Glagah Putih dan prajurit yang menyertainya itu tidak terkejut sama sekali. Bahkan dengan tenang Glagah Putih bertanya, “Siapakah kau, dan apakah keperluanmu?“

“Dengar perintahku, Kalian berdua harus menyerah! Kami akan membawa kalian menghadap pimpinan kami,“ bentak orang itu.

“Untuk apa?“ bertanya Glagah Putih.

“Nanti pada saatnya kalian akan tahu. Sementara ini kalian lebih baik tidak menyulitkan diri kalian sendiri,“ berkata orang itu pula.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Ki Sanak. Aku adalah prajurit. Barangkali kalian juga prajurit. Kalian tentu tahu, bahwa kami tidak akan begitu saja menyerahkan diri untuk kalian bawa kepada atasan kalian. Aku tahu, bahwa kalian tentu ingin mendapat ketenangan tentang pasukan Mataram, khususnya sayap kiri ini. Cara yang paling baik adalah dengan menangkap satu dua orang dari sayap itu, dan dibawa ke pasukan kalian untuk diperas keterangannya.“

“Persetan,“ geram orang itu, “jika kau sudah tahu, sebaiknya kau tidak usah bertanya lagi. Ikut kami bertiga, atau kalian akan mengalami kesulitan, dan bahkan keadaan yang tidak akan pernah kalian bayangkan.“

“Sudahlah Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih, “aku minta kalian kembali, meskipun aku dapat berbuat sebaliknya. Menangkap kalian dan memaksa kalian bicara tentang kalian dan pasukan kalian.”

“Cukup,“ geram orang itu, “semakin lama kata-katamu membuat telingaku semakin sakit. Dengar, aku adalah Senapati pilihan. Kedua orang ini adalah prajurit-prajurit pilihan pula. Seandainya kalian orang yang paling baik dari Mataram, mungkin kita akan dapat bermain seimbang. Tetapi jika kalian sekedar prajurit, sekalipun dari pasukan khusus, maka kalian lebih baik menyerah.“

“Bagaimana jika aku juga berkata sebagaimana kau katakan? Menyerah sajalah. Jika kau sekedar Senapati prajurit Madiun, maka sebaiknya kau mengikuti kami,“ jawab Glagah Putih.

“Aku bukan Senapati dari Madiun,“ geram orang itu, “Madiun ternyata tidak berpendirian teguh. Jika angin bertiup ke utara, maka Panembahan Madiun itu mengangguk ke utara. Jika angin bertiup ke selatan, Panembahan Madiun itu mengangguk ke selatan. Karena itu, maka lebih baik bagi kami untuk mengambil langkah sendiri. Menghancurkan Mataram tanpa mengikut-sertakan Madiun.“

“Jika kalian tidak dari Madiun, dari mana?“ bertanya Glagah Putih.

“Kamilah yang ingin banyak mengetahui tentang kalian, bukan kalian yang sedang memeras keterangan kami!“ bentak orang yang mengaku Senapati itu.

Glagah Putih dan prajurit yang bersamanya itu menyadari, bahwa di Madiun memang terjadi perbedaan sikap dan pendirin.

Namun dalam pada itu Glagah Putih menjawab, “Sekali lagi aku katakan kepadamu, jangan ganggu kami. Kami akan memberi kesempatan kalian meninggalkan tempat ini.”

“Kau ingin mengambil hati kami, setelah dengan licik Madiun kalian tundukkan dengan curang,“ berkata Senapati itu, “tetapi itu bukan watak kami. Karena itu menyerahlah.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sebenarnya memang menjadi agak bingung. Langkah apa yang harus diambil menghadapi keadaan seperti itu. Apakah Mataram akan bersikap keras atau tidak.

Sebenarnyalah Glagah Putih takut melakukan kesalahan. Jika ia bersungguh-sungguh dan di-luar kesengajaannya, ia telah membunuh prajurit itu, apakah langkah itu dapat dibenarkan dan sesuai dengan sikap Mataram dalam keseluruhan?

Selagi Glagah Putih termangu-mangu, maka orang yang menyebut dirinya Senapati itu pun melangkah mendekati sambil berkata, “Menyerahlah. Cepat! Letakkan senjata-senjata kalian dan ikut kami.“

Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Betapapun ia ragu-ragu, namun sudah tentu bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya ditangkap dan diseret ke hadapan pimpinan pasukan lawan.

Karena itu, maka Glagah Putih itu pun berkata, “Jangan harapkan kami meletakkan senjata.“

“Kalian hanya berdua,“ geram Senapati itu. Tetapi jawaban Glagah Putih telah menusuk jantungnya setajam duri, “Kalian hanya bertiga.“

Ketiga orang itu dengan tiba-tiba saja telah menggenggam pedang di tangan mereka, ketika Senapati itu memberikan isyarat.

Glagah Putih dan prajurit Mataram yang menyertainya itu pun tidak menjadi lengah. Mereka pun segera telah menggenggam pedang pula di tangan.

Karena sikap Glagah Putih yang masih muda itu nampak lebih meyakinkan dari kawannya, maka dua orang di antara ketiga orang itu telah menghadapinya, termasuk orang yang menyebut dirinya Senapati itu. Sedangkan seorang lagi telah berhadapan dengan prajurit yang bersama Glagah Putih turun ke sungai.

“Sekali lagi aku beri kesempatan,“ berkata Senapati itu. “Ikut bersama kami dan aku jamin keselamatanmu, atau mati di tepian ini.“

“Kedua-duanya aku tidak mau,“ jawab Glagah Putih, “yang aku mau, menangkap kalian dan membawa kalian menghadap pimpinan di sayap kiri, Pangeran Mangkubumi.”

“Kami akan bersyukur dapat berhadapan dengan Pangeran Mangkubumi. Tetapi tidak sebagai tawanan. Kami ingin berhadapan seperti kita sekarang ini. Agaknya hanya Pangeran Mangkubumi sajalah yang akan dapat mengimbangi aku,“ berkata Senapati itu.

Pernyataan itu justru membuat Glagah Putih tertawa. Katanya, “Kau belum mengenal Pangeran Mangkubumi. Itulah sebabnya kau berkata seperti itu.“

“Persetan,“ geramnya, “bersiaplah untuk mati.“

Glagah Putih segera bersiap. Ketika serangan pertama datang, maka dengan tangkasnya iapun telah meloncat menghindar, sehingga serangan itu tidak menyentuhnya.

Namun lawannya memang sekedar menjajagi ketangkasan gerak anak muda itu. Karena itu, maka demikin serangan itu tidak menyentuh lawannya, maka Senapati itu pun tidak dengan tergesa-gesa memburunya.

Dalam pada itu prajurit yang bersama Glagah Putuh turun ke sungai itu pun telah mulai bertempur pula.

Rasa-rasanya memang ada kegembiraan di hati prajurit itu, meskipun bercampur dengan ketegangan dan bahkan kadang-kadang perasaan cemas. Setelah beberapa hari ia merasakan kejemuan berada di perkemahan itu, maka ia adalah orang yang pertama mendapat kesempatan untuk bertempur, meskipun melawan prajurit yang menurut pengakuannya bukan prajurit Madiun.

Sejenak kemudian maka kedua orang prajurit itu pun telah bertempur dengan garangnya. Keduanya memiliki kemampuan tertinggi bagi seorang prajurit, sehingga dengan demikian maka pertempuran itu pun segera meningkat sampai ke puncak kemampuan mereka dalam ilmu pedang.

Sementara itu kedua orang lawan Glagah Putih pun telah bersiap menyerang. Namun Senapati itu masih juga bergumam, “Nampaknya kau lebih muda, tetapi kau lebih berpengalaman dari orang itu.“

“Tidak,“ jawab Glagah Putih, “kedudukan kami sama. Tetapi barangkali aku lebih senang berbicara dari pendiam itu. Kami adalah prajurit-prajurit biasa saja.”

Senapati itu menggeram. Iapun dengan cepat telah meloncat menyerang sambil berkata lantang, “Kau akan mati lebih dahulu. Kawannya itu tentu akan bersedia ikut bersama kami.“

Glagah Putih masih juga sempat mengelak. Bahkan sambil menjawab, “Sekali lagi kau salah duga tentang kami.“

Demikianlah, maka pertempuran pun telah menjadi semakin sengit. Kedua orang prajurit itu bertempur dengan garangnya. Keduanya ternyata memiliki ilmu gedang yang mapan. Sehingga dengan demikian nampaknya sulit bagi salah satu pihak untuk dapat mengalahkan lawannya.

Sementara keduanya bertempur, Senapati yang menyerang Glagah Putih justru mulai menilai lawannya yang masih muda itu. Dengan segenap kemampuannya, maka iapun berniat untuk segera mengakhiri pertempuran. Langit akan segera menjadi merah dan fajar pun akan segera turun. Sebelum kawan-kawan prajurit itu datang, maka anak muda itu harus sudah dapat ditangkapnya, atau dibunuhnya sama sekali.

Namun ternyata bahwa tidak mudah menundukkan Glagah Putih. Anak muda itu memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi, Dorongan tenaga cadangannya benar-benar tidak terduga. Ketika terjadi sentuhan senjata di antara Glagah Putih dan lawan-lawannya, maka mereka merasa betapa besarnya tenaga cadangan anak muda itu.

“Anak ini agaknya memiliki ilmu iblis,“ desis Senapati itu di dalam hatinya.

Namun Senapati itu adalah Senapati yang berpengalaman. Karena itu, maka iapun dengan tangkasnya telah berusaha untuk bersama-sama dengan seorang kawannya. Mereka ternyata mampu saling mengisi dengan baik, sehingga keduanya kadang-kadang mampu menempatkan diri pada arah yang berlawanan dan menyerang bersama-sama, sehingga Glagah Putih harus melenting mengambil jarak untuk melepaskan diri dari garis serangan kedua lawannya itu.

Namun demikian, kedua lawan Glagah Putih benar-benar menjadi heran mengalami perlawanan yang sangat berat itu. Bahkan semakin lama anak muda itu justru menjadi semakin cepat bergerak. Pedangnya berputaran mengerikan.

Kedua orang lawan Glagah Putih justru mulai menjadi cemas. Mereka mulai bertanya-tanya, siapakah sebenarnya lawannya itu.

Dengan demikian maka pertempuran di tepian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Orang yang mengaku Senapati itu benar-benar telah mengerahkan ilmu pedangnya. Sedangkan seorang kawannya yang bertepatan bersamanya, juga sudah sampai ke puncak kemampuannya.

Tetapi memang sulit untuk dengan cepat mengalahkan Glagah Putih dalam bermain pedang Glagah Putih memang bukan seorang prajurit biasa. Ia telah menjadi mantap justru di luar dunia keprajuritan.

Karena itu, maka kemampuannya bertempur dalam ilmu pedang sangat mengagumkan bagi lawannya. Bahkan kedua orang lawannya itu merasakan bahwa mereka belum pernah bertemu dengan seorang anak muda yang memiliki kemampuan ilmu pedang sejauh dan sedalam lawannya itu.

Sementara itu seorang yang lain yang harus bertempur seorang melawan seorang dengan prajurit Mataram itu pun mengalami kesulitan untuk segera mengalahkannya. Prajurit Mataram itu memang mampu mengimbangi kemampuan lawannya, betapapun lawannya mengerahkan kemampuannya.

Dalam pada itu, langit pun semakin lama menjadi semakin merah. Cahaya fajar perlahan-lahan mulai nampak di ujung langit.

Dengan demikian kedua orang lawan Glagah Putih itu pun menjadi semakin gelisah. Sementara itu, Glagah Putih yang justru telah menghentakkan ilmu pedangnya, menjadi semakin garang.

Kedua lawannya benar-benar kehilangan harapan untuk dapat menundukkannya. Betapapun mereka berusaha, bahkan dengan cara apapun juga sesuai dengan pengalaman mereka yang luas dan panjang, namun mereka benar-benar tidak mampu mengalahkannya.

Bahkan lawannya yang bertempur seorang melawan seorang itu pun semakin lama menjadi semakin terdesak.

Karena itu, maka Senapati itu .tidak mempunyai pilihan lain. Ketika lengannya tiba-tiba saja telah tergores ujung pedang Glagah Putih, maka iapun telah mengambil keputusan.

Senapati itu telah bersuit nyaring. Serentak, ketiga orang itu telah meloncat mengambil jarak. Kemudian sebelum Glagah Putih dan prajurit Mataram itu sempat berbuat sesuatu, maka mereka bertiga telah berlari secepat-cepatnya mencapai tanggul. Dengan sigapnya mereka pun kemudian meloncat ke atas tanggul dan hilang dalam keremangan cahaya fajar.

Hampir saja Glagah Putih mempergunakan ilmunya untuk mencegah ketiga orang itu melarikan diri, dengan pukulan jarak jauhnya. Namun pada saat terakhir, Glagah Putih menjadi ragu-ragu, justru karena ia tidak begitu jelas siapakah yang telah dihadapinya.

Keragu-raguan yang sejenak itu telah memberi kesempatan kepada ketiga orang itu meninggalkan arena.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menyarungkan pedangnya ia berkata, “Marilah, kita harus segera melaporkannya. Mungkin ada perubahan sikap dari para prajurit yang berkumpul di Madiun. Pertentangan yang terjadi di antara mereka nampaknya berkembang semakin memburuk.“

Prajurit yang bersama Glagah Putih di tepian itu pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Sebelum kawan-kawan turun ke sungai jika fajar datang.“

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa pula kembali ke perkemahan.

Seperti yang mereka duga, maka beberapa orang yang lain telah keluar pula dari perkemahan. Namun Glagah Putih dan kawannya sempat memperingatkan agar mereka membawa senjata mereka dan berhati-hati.

“Kanapa?“ bertanya seorang di antara mereka.

Prajurit yang bersama Glagah Putih turun ke sungai itu pun sempat menjelaskan bahwa mereka telah diserang oleh tiga orang, yang justru mengaku bukan prajurit Madiun. Mereka justru merasa kecewa atas sikap Madiun.

Ternyata peringatan itu mendapat perhatian luas. Para prajurit yang pergi ke sungai telah membawa senjata mereka dan bersiap untuk menghadapi kemungkinan apapun.

Demikian Glagah Putih sampai di perkemahan , maka ia tidak menemukan Ki Gede dan Agung Sedayu. Namun Prastawa-lah yang memberikan keterangan kepadanya, bahwa Ki Gede dan Agung Sedayu sedang menghadap Pangeran Mangkubumi.

“Ada apa?“ bertanya Glagah Putih.

“Kami tidak mengetahuinya. Seperti biasa Pangeran Mangkubumi memanggil semua pimpinan kesatuan yang ada di sayap kiri,“ jawab Prastawa.

“Tetapi tentu tidak sepagi ini,“ desis Glagah Putih.

“Ya. Kami pun sudah menduga, bahwa tentu ada sesuatu yang penting,“ jawab Prastawa.

“Tetapi para prajurit dan pengawal justru pergi ke sungai untuk membersihkan diri. Bahkan mungkin mandi,“ berkata Glagah Putih.

“Paman tidak berkeberatan. Tetapi semuanya sudah diperingatkan agar mereka segera kembali . Sebelum matahari terbit, semuanya harus sudah siap,“ sahut Prastawa.

“Terlambat,“ desis Glagah Putih.

“Apa yang terlambat?“ bertanya Prastawa .

“Jika saat matahari terbit kita baru mulai bergerak, maka gerakan itu sudah terlampau siang,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Prastawa termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tidak akan ada gerakan pasukan pagi ini. Tetapi seandainya ada sesuatu yang tiba-tiba, maka gerakan pasukan itu dapat saja dimulai di saat yang tidak biasa dipergunakan untuk mulai satu gerakan. Misalnya menjelang tengah hari atau bahkan sore hari.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin. Semuanya memang dipengaruhi oleh keadaan.“

“Agaknya kita memang harus menunggu untuk mendapat keterangan yang lebih jelas,“ berkata Prastawa.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun telah membenahi dirinya sambil menceritakan apa yang dialaminya di sungai.

“Mungkin ada hubungannya,“ berkata Glagah Putih.

Prastawa mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ya. Mungkin memang ada hubungannya.“

Namun Ki Gede dan Agung Sedayu tidak segera kembali. Bahkan kemudian Prastawa mendapat laporan, bahwa para pemimpin sedang pergi ke induk pasukan. Panembahan Senapati ingin memberikan keterangan langsung kepada mereka.

Sebenarnyalah, saat itu telah diadakan satu pertemuan yang agak besar untuk mendengarkan penjelasan Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Keduanya menyatakan keberhasilan seorang utusan yang sempat membuat para pemimpin di Madiun berbeda pendirian. Bahkan demikian tajamnya, sehingga menurut pengamatan para petugas sandi, sebagian dari pasukan bahkan telah meninggalkan Madiun.

“Utusan itu benar seorang perempuan, sebagaimana yang pernah kalian dengar,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

Terasa berbagai perasaan bergejolak di dalam setiap dada. Tanggapan para pemimpin itu memang tidak sama. Namun perhatian mereka kemudian tertuju kepada keterangan Panembahan Senapati.

“Tetapi ingat bahwa satu pasukan yang kuat telah siap menyerang kita. Justru tanpa pasukan-pasukan dari Madiun. Kita masih belum tahu, pasukan dari manakah yang telah siap itu. Mereka telah menanggalkan segala macam pertanda, rontek dan umbul-umbul, dan bahkan tunggul dan kelebet. Dengan demikian sulit bagi kita untuk dapat dengan cepat mengerti asal dari pasukan itu.“

“Apakah serangan akan datang pagi ini?“ bertanya Pangeran Mangkubumi.

“Semula kita memang menduga seperti itu,“ jawab Ki Patih Mandaraka, “tetapi sekarang masih pagi. Kemungkinan itu masih ada.“

“Jadi apa yang harus kami lakukan Paman?“ bertanya Pangeran Singasari.

“Menurut laporan terakhir, pasukan lawan yang keluar dari kota memang mengarahkan sasarannya kepada kita. Pasukan itu cukup besar. Bahkan mungkin sedikit lebih besar dari pasukan ini. Karena itu, persiapkan pertahanan sebaik-baiknya. Kita akan menyambut mereka jika mereka menyerang perkemahan kita. Malam tadi para pengamat melihat gerakan yang mencurigakan. Tetapi sampai saat ini, masih belum nampak gerakan berikutnya.“

Tetapi pembicaraan ini terputus ketika datang laporan, bahwa pasukan yang nampak sejak semalam, mulai bergerak.

Panembahan Senapati pun dengan cepat mengambil sikap. Katanya, “Para pemimpin pasukan segera kembali ke pasukan masing-masing. Tidak akan ada isyarat bende. Kita akan mempergunakan panah sendaren. Segera persiapkan pasukan masing-masing untuk pertempuran, yang barangkali akan mengerahkan semua tenaga. Tetapi kita tidak akan sangat tergesa-gesa. Matahari masih akan terbit sebentar lagi. Serangan itu tentu sebentar lagi. Serangan itu tentu agak mundur sedikit waktunya untuk menunggu matahari naik, karena dengan demikian serangan dari arah matahari terbit itu akan dapat dibantu oleh silaunya cahaya matahari pagi.“ Namun kemudian Panembahan Senapati minta Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari untuk tinggal sebentar.

Demikianlah, maka para pemimpin pasukan pun segera kembali ke pasukan masing-masing. Semua orang di dalam pasukan mereka segera dipersiapkan. Semuanya harus makan lebih dahulu secukupnya. Mungkin pertempuran yang akan datang akan menguras seluruh tenaga.

Seperti perintah Ki Gede, maka menjelang matahari terbit, semuanya sudah siap. Mereka menunggu perintah terakhir dari induk pasukan, yang akan dibawa oleh para pemimpin tertinggi di sayap masing-masing.

Dalam pada itu, sepasukan berkuda telah berderap meninggalkan induk pasukan. Membuat putaran yang luas, melingkar untuk menyeberang Kali Dadung. Satu gerakan yang agak khusus dan mengandung berbagai macam kemungkinan, juga kemungkinan yang sangat pahit. Tetapi hal itu dilakukan juga, disesuaikan dengan seluruh gerakan pasukan. Bersama dengan itu, maka Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari telah berada di sayap mereka kembali, dengan perincian tugas yang harus mereka terapkan dengan sebaik-baiknya. Jika salah satu bagian dari keseluruhan pasukan itu tergelincir dari perincian tugas itu, maka keseimbangan pasukan akan terganggu. Bahkan mungkin akan dapat membahayakan pasukan berkuda yang telah mengambil satu tugas yang sangat berbahaya itu.

Seperti perhitungan Panembahan Senapati, maka pasukan yang datang menyerang itu memang menungu matahari terbit dan memancarkan sinarnya dari arah timur, sehingga sinarnya akan dapat menyilaukan pasukan Mataram itu.

Di sayap kiri, Glagah Putih sempat memberikan laporan kepada Agung Sedayu tentang tiga orang yang mengamati perkemahan mereka. Namun Glagah Putih gagal menangkap mereka, dan juga menjadi ragu-ragu untuk melumpuhkan mereka.

“Sekarang sudah menjadi agak jelas,“ berkata Agung Sedayu, “sebagian dari pasukan yang besar sekali yang berada di Madiun tidak sabar menunggu. Bahkan Ki Patih Mandaraka telah mengirimkan seorang perempuan untuk berbicara dengan para pemimpin di Madiun, dan telah berhasil menimbulkan perbedaan sikap di antara mereka, sehingga pasukan yang besar yang sulit masuk di akal untuk dilawan begitu saja, telah terpecah.“

“Apakah cara itu baik untuk dipergunakan Kakang?“ bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang masih terdapat penilaian yang berbeda atas hasil usaha seorang perempuan yang telah dikirim oleh Ki Patih Mandaraka itu.

Karena itu, maka Agung Sedayu hanya menjawab, “Glagah Putih, coba bayangkan. Menurut perhitungan kasar dari para petugas sandi, Madiun berhasil menyiapkan pasukan lebih dari delapan kali dari jumlah pasukan Mataram seluruhnya.“

Glagah Putih menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi bukankah kita yakin bahwa yang sekian banyaknya itu tidak ada seperempatnya yang harus diperhitungkan sebagai prajurit? Bukankah selain Madiun, para Adipati dari daerah Timur telah mengumpulkan hampir semua laki-laki untuk dibawa ke medan?“

“Apakah kita tidak berbuat seperti itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Namun hampir setiap anak muda yang bersama dengan kita adalah pengawal, dan mereka yang pernah serba sedikit mendapat latihan-latihan keprajuritan,“ jawab Glagah Putih pula.

“Itu adalah pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh. Apakah pasukan dari tempat lain juga demikian? Dari Demak, Pajang, dan daerah seberang Gunung Kendeng yang lain, termasuk Pati. Bahkan katakan pasukan Mataram sendiri.“

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Memang berat bagi Mataram untuk menghadapi kekuatan yang sangat besar, bahkan sekitar delapan atau sembilan kali lipat. Namun yang kemudian ternyata telah berhasil dipecah-belah, sehingga yang datang menyerang pagi itu hanya sebagian saja, tanpa prajurit Madiun sendiri. Namun yang sudah tentu jumlahnya masih lebih besar dari pasukan Mataram sendiri.

Dalam pada itu, maka Pangeran Mangkubumi yang memimpin sayap kiri itu pun telah memerintahkan semua pasukan bersiap. Bahkan Pangeran Mangkubumi telah membagi sayap itu menjadi tiga bagian. Induk sayap kiri, sayap kanan pada sayap kiri dan sayap kiri pasa sayap kiri.

Pasukan dari Pegunungan Kidul yang dipimpin oleh Ki Demang Selagilang, yang dianggap tidak sekuat pasukan Tanah Perdikan Menoreh, telah diletakkan di bagian kanan dari sayap kiri itu, sehingga menjadi lebih dekat dengan induk pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka. Sedangkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh ada di bagian ujung dari seluruh gelar pasukan Mataram.

Sementara itu, matahari memang sudah mulai memancarkan sinarnya yang menyilaukan. Perhitungan pasukan yang datang menyerang pasukan Mataram itu memang tepat, karena orang-orang Mataram telah menjadi silau.

Namun Ki Patih Mandaraka pun telah menyampaikan perintah yang tersebar sampai ke ujung-ujung sayap, bahwa semua perisai, terutama perisai logam, supaya dikenakan untuk memantulkan cahaya matahari, sehingga mengimbangi gangguan sinar matahari yang menyilaukan itu.

Ternyata usaha Ki Patih Mandaraka itu cukup memadai. Terutama para prajurit Mataram dari pasukan pedang berperisai. Sambil dengan sengaja menggerak-gerakkan perisainya yang berkilat-kilat maka pasukan Mataram telah menunggu pasukan yang dengan marah telah datang menyerang.

Namun sebagain pasukan Mataram telah siap menunggu di tanggul. Pada saat pasukan itu menyeberang, maka pasukan busur dan anak panah telah mendapat perintah untuk menyambut mereka.

Tetapi ternyata tidak terlalu mudah untuk menghancurkan pasukan itu meskipun mereka sedang menyeberang. Pasukan yang datang itu tidak seperti pasukan Jipang yang dipimpin oleh Patih Mantahun, yang menyusul Adipati Jipang yang telah menyeberang lebih dahulu karena kemarahan yang tidak terkendali. Pasukan Jipang waktu itu begitu saja menyeberang tanpa rencana yang matang.

Berbeda dengan pasukan yang datang menyerang itu. Nampaknya pasukan itu sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Demikian sebagian dari pasukan itu turun ke air, maka yang lain telah melindunginya dengan anak panah pula, sehingga dengan demikian maka di udara telah terjadi arus anak panah ke dua arah. Ke sebelan barat Kalii Dadung dan dari arah barat.

Dengan demikian, maka gerakan maju pasukan yang menyerang pasukan Mataram yang maju ke tepi sungai itu, tidak terlalu banyak terhambat.

Justru pada saat pasukan Mataram itu menunggu lawannya menyeberang, maka Pangeran Mangkubumai dan Pangeran Singasari telah menjatuhkan perintah terakhir kepada para pemimpin pasukan yang ada di kedua sayap itu.

Dengan demikian, maka perintah terakhir yang akan menjadi pegangan pokok dalam pertempuran itii, tidak akan sempat sampai ke telinga orang lain selain para pemimpin pasukan dalam barisan Mataram.

Namun dalam pada itu, maka para pemimpin Mataram itu telah melihat psukan yang datang bagaikan gelombang lautan. Jumlahnya memang lebih banyak dari pasukan Mataram sendiri, meskipun yang menyerang itu hanya merupakan pecahan dari seluruh kekuatan yang ada di Madiun.

Bahkan menurut laporan pasukan sandi, ada sepasukan prajurit yang telah begitu saja meninggalkan Madiun tanpa melibatkan diri dalam pertempuran itu.

Dengan demikian maka para pemimpin dari Mataram itu dapat membayangkan, seandainya mereka harus bertempur melawan seluruh kekuatan yang ada di Madiun, maka Mataram memang akan mengalami kesulitan.

Dengan perintah terakhir dari para pemimpin sayap, maka pasukan Mataram di ujung-ujung sayap memang telah menebar. Pasukan induk sendiri telah membentang semakin panjang, sehingga mendesak pasukan sayap ke sebelah-menyebelah.

Dalam pada itu, maka pasukan yang berada di ujung sayap kiri adalah pasukan Tanah Perdikan Menoreh di bawah pimpinan Ki Gede sendiri, didampingi oleh Prastawa. Sementara untuk mengatasi setiap kesulitan yang mungkin terjadi, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih justru memimpin kelompok-kelompok pasukan yang berada di paling ujung.

Sedangkan pasukan yang berada di ujung sayap kanan adalah pasukan Mataram di bawah pimpinan Senapati Untara.

Sedangkan orang yang ditugaskan untuk berada di ujung pasukan untuk memimpin kelompok-kelompok prajurit Mataram adalah Sabungsari.

Beberapa saat kemudian, maka prajurit yang menyerang seperti gelombang lautan telah mendekati tanggul. Pasukan Mataram tidak dapat menahan mereka dan menghancurkan mereka sebagaimana pernah terjadi atas pasukan Jipang di Bengawan Sore, maupun di Prambanan ketika pasukan Pajang menyeberangi kali Opak. Pasukan yang menyerang itu ternyata mempunyai perhitungan yang cermat, sementara prajurit Mataram tidak dapat mempergunakan bendungan sebagaimana pernah mereka lakukan di Prambanan.

Namun pasukan Mataram pun telah membuat perhitungan yang cukup cermat. Semua yang terjadi itu tidak luput dari kemungkinan yang sudah diduga sebelumnya oleh Ki Patih Mandaraka, sehingga karena itu maka Mataram pun telah memiliki cara untuk mengatasinya. Justru yang akan dapat menentukan.

Ketika pasukan yang menyerang itu mulai memanjat tanggul, maka pertempuran yang sebenarnya telah terjadi. Pasukan induk Mataram telah terlibat melawan pasukan induk lawan yang kuat. Namun pasukan Mataram masih berusaha mengambil keuntungan pada saat pasukan lawan memanjat tanggul, meskipun tanggul itu tidak terlalu tinggi.

Sebenarnyalah pasukan yang datang bagaikan prahara itu agak tertahan justru ketika mereka sudah menyeberang Kali Dadung. Di tanggul, para prajurit Mataram berusaha sejauh-jauh dapat mereka lakukan untuk bertahan dan tidak segera bergeser. Tetapi desakan pasukan lawan memang terlalu kuat. Pecahan pasukan yang telah menunggu dengan tidak sabar lagi di Madiun itu dengan desakan gejolak di dalam dada setiap prajurit, telah berusaha mendesak pasukan Mataram yang mengambil garis pertahanan di atas tanggul Kali Dadung.

Tetapi kedudukan Mataram itu memang menguntungkan. Untuk beberapa saat pasukan Mataram dapat bertahan. Tetapi akhirnya pasukan yang menyerang itu mampu membuat lubang-lubang kelemahan pada pasukan Mataram, sehingga sedikit demi sedikit pasukan itu dapat menembus pertahanan.

Dari lubang demi lubang yang tertembus, akhirnya pasukan Mataram memang harus mengambil langkah. Menarik diri dari tanggul, sehingga mereka telah berada di arena yang datar.

Dalam pada itu, ternyata bentangan garis pertahanan Mataram memang lebih panjang dari lawannya, meskipun jumlahnya lebih sedikit. Namun cara itulah yang memang sudah digariskan oleh pimpinan tertinggi pasukan Mataram, Mataram memang memerlukan garis pertahanan yang demikian dari gelar yang dipasang. Namun Mataram tidak membuat satu gelar yang utuh. Ternyata Mataram telah membentuk gelar pada induk pasukan dan gelar tersendiri pada sayap-sayapnya.

Meskipun demikian, Mataram masih tetap dapat bertahan pada garis pertahanan yang bulat dan menyeluruh.

Beberapa orang pemimpin kelompok dari kedua sayap pasukan Mataram memang agak gelisah. Mereka tidak segera mendapatkan lawan. Namun karena induk pasukan mereka bergerak mundur, maka kedua sayap itu pun telah bergerak mundur pula.

Namun ketika pasukan Mataram menjadi semakin jauh dari Kali Dadung, maka para pemimpin sayap di kedua belah pihak telah bersiap-siap untuk membuat satu gerakan baru. Namun mereka masih harus menunggu perintah dari induk pasukan.

Tetapi Panglima dari pasukan yang menyerang itu nampaknya sudah tanggap akan keadaan, berdasarkan laporan yang diterimanya dari ujung-ujung pasukannya, Maka demikian isyarat dari induk pasukan Mataram berdesing di udara, maka iapun telah menjatuhkan perintah, “Hati-hati. Mereka akan menyerang dari lambung.”

Perintah itu pun segera sampai kepada para pemimpin sayap pasukan penyerang itu. Dengan cepat para pemimpin sayap itu pun telah memerintahkan, agar sayap pasukan itu segera bergeser dan memperhatikan gerakan sayap pasukan Mataram.

Sebenarnyalah dengan cepat sayap-sayap pasukan Mataram itu telah bergerak menyerang dari lambung. Dengan kekuatan penuh maka serangan lambung itu sempat mendesak sayap pasukan lawan yang bertahan meskipun dengan jumlah pasukan yang cukup. Tetapi gerakan lambung yang tiba-tiba itu memang agak menyulitkan gelar pasukan lawan, karena sebagian dari para prajurit yang berada di sayap pasukan harus bergerak mundur.

Gerakan yang tidak terencana dengan baik sebelumnya ini memang menimbulkan sedikit kelemahan pada pertahanan pasukan sayap itu, ketika dengan serta merta pasukan sayap dari Mataram itu menyerang. Baik sayap kiri maupun sayap kanan. Pangeran Mangkubumi yang memiliki pengamatan yang luas atas peperangan, serta pengalamannya yang panjang dalam tugas-tugas keprajuritan, telah mampu mempergunakan kesempatan itu dengan baik.

Ki Demang Selagilang yang ada di bagian dalam dari sayap kiri telah melihat lubang yang lemah pada garis pertahanan pasukan lawan, di saat lawan harus mematahkan garis pertahanannya karena serangan lambung, sementara itu pasukan induknya tetap bergerak maju, karena gerak mundur induk pasukan Mataram.

Pangeran Mangkubumi yang telah memperhitungkan kemungkinan itu telah memberikan bekal kepada Ki Demang Selagilang, jika memungkinkan, maka lubang itu akan dapat dimanfaatkan.

Dengan keberanian yang sangat tinggi dari para pengawal Pegunungan Sewu yang dipimpin oleh Ki Demang Selagilang, maka pasukan itu sebagian telah menerobos memasuki lubang itu. Namun Ki Demang juga memperhatikan jika lubang itu kemudian tertutup, maka harus disiapkan kelompok-kelompok yang akan memecahkan katup itu dan menarik keluar pasukannya. Tetapi jika berhasil, maka pasukan itu akan dapat membuat jarak antara sayap pasukan lawan dengan pasukan induknya, yang bergerak mengikuti gerak mundur induk pasukan Mataram.

Ternyata Ki Demang Selagilang berhasil, setelah dari induk pasukan sayap kiri itu Pangeran Mangkubumi mengirimkan secara khusus lewat belakang garis pertempuran, beberapa kelompok prajurit Mataram untuk membantu.

Dengan demikian maka gerak pasukan lawan tertahan. Sayap pasukan itu harus bertahan atas serangan sayap pasukan Mataram yang kuat. Sementara induk pasukan Mataram telah memancing induk pasukan lawan untuk bergeser.

Gerak pasukan Mataram memang tidak begitu nampak, karena menurut gelar lahiriah, prajurit Mataram memang lebih kecil dari jumlah lawannya.

Karena itu, ketika pasukan induk Mataram bergeser mundur, maka para prajurit yang telah memisahkan diri dari keseluruhan pasukan di Madiun itu menduga bahwa mereka mulai mampu mendesak pasukan Mataram.

Karena itu, maka Panglima dari pasukan itu berkata di dalam hati, “Apalagi jika Madiun dapat bersatu. Maka menghancurkan pasukan Mataram tidak akan lebih lama dari memijit buah ranti.“

Tetapi para pemimpin pasukan yang melanda pasukan Mataram seperti gelombang lautan itu agaknya terlalu yakin akan kekuatan mereka, sehingga mereka kurang memperhatikan perhitungan pasukan Mataram yang rumit.

Sebenarnyalah, karena gerak maju pasukan induk, lambung pasukan itu agak mengalami kesulitan. Jika mereka ikut bergeser, maka pasukan itu akan bergerak ke samping. Tetapi justru karena mereka tidak dapat bergerak secepat pasukan induk, maka pasukan sayap yang bertahan melawan serangan lambung itu menjadi agak terpisah.

Tetapi karena jumlah mereka memang lebih banyak, maka mereka masih dapat bertahan dengan baik.

Sementara itu, pasukan Ki Demang Selagilang masih berjuang untuk memperbesar lubang yang memisahkan pasukan lambung yang bertahan dari serangan sayap-sayap pasukan kiri Mataram itu, dengan induk pasukannya, dibantu oleh beberapa kelompok prajurit Mataram. 

Ternyata bahwa sedikit demi sedikit pasukan Ki Demang Selagilang itu berhasil. Pasukan Pegunungan Sewu itu berhasil menyusup semakin dalam. Sementara para prajurit Mataram telah memotong setiap katup yang akan menutup lubang itu.

Namun dalam pada itu, di ujung medan pertempuran itu, pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur dengan keras melawan pasukan lawan. Mereka berusaha untuk mematahkan serangan sayap yang dipimpin langsung oleh Pangeran Mangkubumi itu. Dengan menghancurkan sedikit demi sedikit pasukan sayap kiri itu dari ujungnya, maka pasukan yang menyerang itulah yang akan melingkari pasukan Mataram dan kemudian menggilasnya. Menurut perhitungan mereka hal itu akan dapat dilakukan, karena jumlah mereka yang lebih banyak. Apalagi yang berada di ujung pasukan di sayap kiri itu bukan prajurit Mataram itu sendiri.

Tetapi perhitungan mereka ternyata keliru. Meskipun pasukan yang ada di ujung sayap itu bukan prajurit Mataram, namun teryata mereka adalah pengawal yang tangguh. Yang mampu bertempur dengan cepat dan keras. Bahkan mampu mengimbangi kegarangan para prajurit yang menyerang itu.

Seorang Senapati dari para prajurit yang menyerang itu menjadi tidak sabar menyaksikan kelambanan gerak maju para prajuritnya. Dalam jumlah yang lebih banyak, mereka tidak segera mampu menguasai medan. Bahkan seakan-akan pasukan sayap kiri Mataram itu justru terasa menekan semakin berat.

Akhirnya Senapati itu mendapat laporan yang dari ujung sayap, bahwa dua orang Senapati dari Mataram yang berada di ujung pasukan itu merupakan salah satu sebab sendatnya gerak maju pasukan yang menyerang pasukan Mataram itu.

“Siapa?“ bertanya Senapati itu.

“Orang-orang muda,“ jawab penghubung itu, “kami tidak mengenal mereka.”

Senapati itu menggeram. Katanya, “Kenapa tidak kalian lawan dengan kelompok-kelompok kecil? Bukankah kalian tahu bahwa hal itu harus kalian lakukan?“

“Kelompok-kelompok kecil itu tidak berdaya,“ jawab penghubung itu.

Senapati itu menggeram. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan melihatnya dan membunuhnya. Kemudian seluruh sayap ini akan dihancurkan sampai lumat. Madiun juga harus mengetahui kemampuan kami, sehingga tanpa Madiun, kami dapat menghancurkan Mataram.”

Senapati itu pun kemudian segera bergerak ke ujung. Dengan hati-hati ia mendekati pusaran pertempuran yang agak lain dari garis pertempuran di sekitarnya. Karena itu maka iapun segera mengenali, bahwa orang yang dimaksud oleh penghubung itu tentu orang yang bertempur dalam kisaran yang keras itu.

Sebenarnyalah, dari antara prajurit-prajuritnya yang bertempur itu, dilihatnya seorang anak muda yang bertempur dengan sebilah pedang di tangan. Dengan cepat ia berloncatan sambil memutar pedangnya. Dengan tangkas pedangnya menyambar ke segenap arah. Sekali-sekali pedangnya menembus pertahanan lawan dengan cepat. Apalagi jika para pengawal Tanah Perdikan ikut campur tangan pada setiap kesempatan. Satu dua orang pengawal kadang-kadang telah ikut menyerbu ke dalam lingkaran dari sekelompok prajurit yang mengepung orang yang disebut Senapati Mataram itu. Dalam keadaan yang demikian, maka pedang anak muda itu selalu sempat menyambar dan melukai lawan-lawannya.

“Anak muda itu memang harus dihentikan,“ berkata Senapati itu.

Karena itu, maka dengan serta merta, Senapati itu pun telah menyibak lingkaran yang mengepung anak muda itu dan berkata, “Minggir! Aku akan segera menyelesaikannya. Tugas kita masih banyak. Jika kita terpancang untuk bermain dengan seseorang, maka tugas kita tidak akan dapat terselesaikan hari ini.“

Para prajurit itu pun telah menyibak, sementara itu Senapati itu pun dengan cepat telah berdiri berhadapan dengan anak muda itu.

Sejenak keduanya termangu-mangu. Ketika para prajurit yang mengepung anak muda itu menyibak, maka pertempuran di lingkaran itu pun seakan-akan telah berhenti. Beberapa orang masih tetap berdiri dengan ujung senjata teracu. Namun yang lain harus segera menghadapi hiruk pikuk pertempuran.

“Siapa kau?” geram Senapati itu.

“Namaku Glagah Putih,“ anak muda itu menjawab.

“Nampaknya kau bukan prajurit Mataram?“ bertanya Senapati itu.

“Kami memang bukan prajurit Mataram. Aku adalah seorang dari antara para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Namun kami merasa bahwa kami adalah anggota keluarga besar dari Mataram. Dengan demikian maka kami merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu bagi Mataram,“ jawab Glagah Putih, yang kemudian bertanya, “tetapi siapakah kau Ki Sanak? Akupun yakin bahwa kau bukan prajurit Madiun.“

“Kau tidak perlu tahu darimana kami datang. Tetapi namaku adalah Rangga Wirataruna. Aku adalah Senapati yang menjadi salah seorang pemimpin dari sayap yang harus bertahan pada pertahanan lambung ini,“ jawab orang itu.

“Bagus, Ki Rangga,“ desis Glagah Putih, “agaknya kita memang harus bertempur untuk kepentingan kita masing-masing.”

“Itu adalah tugas seorang prajurit,“ jawab Ki Rangga Wirataruna, “dalam pertempuran seperti ini, maka kita tidak mempunyai pilihan selain dibunuh atau membunuh.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia harus bertempur melawan Senapati yang bernama Ki Rangga Wirataruna. Karena itu, maka ia harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena ia belum mengetahui landasan kemampuan orang itu.

Sejenak kemudian, maka Senapati itu pun telah menggenggam pedang pula di tangan. Pedang yang lebih besar dan lebih panjang dari pedang Glagah Putih. Dengan demikian maka Glagah Putih dapat memperhitungkan, bahwa orang itu tentu memiliki kekuatan yang lebih besar dari orang kebanyakan.

Dengan hati-hati kedua orang itu telah saling menggerakkan pedangnya. Tetapi para prajurit yang lain telah kehilangan kesempatan untuk membantu kedua orang Senapati yang akan bertempur itu, karena masing-masing harus mempertahankan diri dari serangan-serangan yang kemudian berbaur.

Namun mereka yang bertempur itu seakan-akan dengan sengaja telah memberikan tempat yang lebih luas kepada para Senapatinya, sehingga Glagah Putih dan Ki Rangga Wirataruna mempunyai kesempatan untuk bertempur dengan leluasa.

Sesaat kemudian, maka Ki Rangga itu bergeser maju sambil mengacukan pedangnya. Sementara Glagah Putih pun telah bergeser ke samping.

Namun tiba-tiba orang itu menggeram, “Sebut nama ibu bapakmu. Sebentar lagi kau akan mati di medan ini.”

Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menghiraukannya. Iapun kemudian telah menggerakkan pedangnya pula. Bahkan kemudian ia meloncat selangkah maju sambil menjulurkan pedangnya itu ke arah jantung.

Namun Ki Rangga telah bergeser pula. Bahkan tiba-tiba saja ia mengayunkan pedangnya mendatar.

Dengan demikian maka pertempuran di antara Senapati itu dengan Glagah Putih telah menjadi benar-benar menyala. Kedua orang itu saling berloncatan dan saling menyerang. Pedang-pedang di tangan mereka telah berputaran. Saling mematuk dan saling menyambar. Namun kedua orang itu ternyata cukup tangkas, sehingga keduanya mampu saling menangkis dan menghindari serangan-serangan itu.

Tetapi ternyata keduanya adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu pedang yang tinggi. Dalam benturan-benturan yang kemudian terjadi, maka keduanya dapat saling menjajagi. Bukan saja kecepatan gerak mereka masing-masing, tetapi juga kekuatan mereka.

Sementara itu di sayap yang sama, Agung Sedayu masih harus menghadapi selingkar prajurit yang bertempur dalam satu kelompok. Namun Agung Sedayu memang bukan seorang yang garang. Tetapi hal itu juga disebabkan akan keyakinan Agung Sedayu atas kemampuannya. Demikian ia mengetrapkan ilmu kebalnya, maka ia telah bertempur dengan tenangnya. Justru karena ia yakin, bahwa lawan-lawannya itu tidak akan dapat melukainya.

Meskipun demikian Agung Sedayu tidak ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang kebal atas segala macam senjata. Meskipun ia mengetrapkan ilmu kebal, namun ia telah bertempur melawan kelompok orang dengan ketangkasan yang sangat tinggi, sehingga lawan-lawannya tidak mampu menyentuh tubuhnya. Namun seandainya terjadi sentuhan-sentuhan ujung senjata, tidak akan dapat melukai tubuhnya, sehingga ia sama sekali tidak merasa gelisah meskipun lawannya menjadi semakin banyak.

Tetapi bukan berarti bahwa Agung Sedayu membiarkan pertempuran itu berkepanjangan tanpa ujung pangkal. Atau membiarkan para prajurit Mataram mengalami kesulitan. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi itu, maka setiap kali Agung Sedayu telah mengurangi lawannya dengan goresan-goresan pedang di tubuhnya. Agung Sedayu tidak pernah berniat langsung membunuh lawannya. Namun iapun merasa wajib untuk menyusut kekuatan pasukan lawannya.

Tetapi dalam pada itu, masih ada sesuatu yang terasa kurang mapan di dalam hatinya. Sambil bertempur Agung Sedayu masih berusaha untuk mengetahui, pasukan manakah yang telah memisahkan diri dari kesatuan pasukan Madiun, dan menyerang pasukan Mataram dengan tanpa pertanda apapun juga.

Tetapi tidak seorangpun di antara lawan yang menjawab setiap pertanyaan tentang diri mereka dan kesatuan mereka. Meskipun dari logat pembicaraan mereka Agung Sedayu dapat menduga, tetapi ia tidak pernah berani menetapkan apakah dugaannya itu benar. Seandainya benar, maka kesatuan itu tentu tidak menyerang Mataram atas nama kekuasaan di Tanah mereka. Tetapi justru karena kejemuan, kemarahan, dan pendapat yang berbeda di saat mereka menanggapi kehadiran seorang utusan yang dikirim oleh Ki Patih Mandaraka. Justru seorang perempuan.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu bagi lawan-lawannya merupakan seorang yang sangat berbahaya. Ia harus dihadapi oleh seorang yang berilmu tinggi. Meskipun sekelompok prajurit telah mencoba menahannya dalam satu lingkaran pertempuran, namun ternyata bahwa mereka tidak mampu mencegah orang muda itu berkeliaran kemana saja ia suka.

Sementara itu di sayap yang lain yang dipimpin oleh Pangeran Singasari, pertempuran telah terjadi dengan sengitnya pula. Pangeran Singasari yang keras itu telah membuat pasukannya menjadi keras pula. Di ujung sayap, prajurit Mataram yang berada di bawah pimpinan Untara telah menyerang lawan mereka dengan garangnya. Sabungsari yang berada di antara kelompok-kelompok di ujung sayap, dengan keras telah menekan lawan mereka. Dengan kemampuannya yang jarang ada bandingnya, Sabungsari telah memutar pedangnya, menghancurkan setiap prajurit lawan yang datang mendekatinya. Meskipun dua atau tiga orang datang bersama-sama, namun Sabungsari benar-benar merupakan hantu yang sangat ditakuti oleh para prajurit yang datang menyerang pasukan Mataram itu, sehingga akhirnya seorang yang bertubuh raksasa datang mendekatinya.

“Inikah yang kalian anggap hantu itu?“ geram orang yang bertubuh raksasa itu.

“Ya Kakang,“ jawab yang ditanya, “tidak seorangpun yang mampu menahannya.”

Orang bertubuh raksasa itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Orang ini berilmu sangat tinggi. Karena itu, biarlah aku mencobanya meskipun aku tidak memiliki ilmu yang cukup tinggi.“

Sabungsari yang mendengar kata-kata itu, justru menjadi berdebar-debar. Orang bertubuh raksasa itu mempunyai sikap yang menarik. Ia bukan orang yang sombong, dan bahkan tidak membanggakan tubuhnya yang besar dan kuat itu. Dengan demikian maka Sabungsari pun menjadi semakin berhati-hati ketika orang bertubuh raksasa itu mendekatinya.

“Kau ternyata telah menakut-nakuti kawan-kawanku Ki Sanak,“ berkata orang bertubuh raksasa itu, “dengan demikian kau tentu orang yang luar biasa. Kawan-kawanku adalah prajurit yang tidak pernah gentar menghadapi apapun juga. Mereka adalah sekelompok harimau yang garang di hutan yang lebat. Mereka tidak akan gentar melihat iring-iringan gajah sekalipun. Namun ternyata mereka telah kehilangan keberaniannya itu ketika mereka bertemu dengan kau.“

“Jangan terlalu memuji Ki Sanak,“ berkata Sabungsari, “aku sekedar melakukan kewajibanku sebagai seorang prajurit.“

“Aku mengerti. Adalah tugasku pula untuk datang kemari. Aku akan mencoba menahanmu,“ desis raksasa itu pula.

“Kita akan melihat, siapakah yang akan berhasil dalam perjuangan ini,“ sahut Sabungsari.

Orang bertubuh raksasa itu mengangguk-angguk. Kemudian ia mulai mengangkat bindinya. Sejenis pemukul yang bergerigi. Meskipun nampaknya bindi itu cukup besar, tetapi di tangan raksasa itu, nampaknya tidak lebih berat dari sepotong besi sepanjang beberapa jengkal saja.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa ia harus menghadapi kekuatan yang sangat besar. Namun Sabungsari masih percaya kepada kemampuannya bergerak cepat. Karena itu, maka ia tidak tergesa-gesa mempergunakan ilmunya yang menggetarkan, yang dapat dipancarkannya lewat sorot matanya.

Untuk sementara Sabungsari akan mempercayakan diri kepada kecepatan gerak dan kekuatan tenaga cadangannya. Jika ia gagal, maka apa boleh buat. Ia harus mempergunakan puncak ilmu yang dimilikinya.

“Ki Sanak,“ berkata raksasa itu. Suaranya justru terdengar lunak dan tidak menunjukkan kekerasan sikap, “kita terpaksa akan mempertaruhkan nyawa kita, karena kita sudah berada di medan seperti ini.“

“Aku mengerti Ki Sanak,“ jawab Sabungsari.

Demikianah keduanya telah bersiap. Namun Sabungsari masih juga bertanya, “Ki Sanak, pasukan manakah sebenarnya yang telah menyerang Mataram ini.?“

Raksasa itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku pasukan asal dari sebuah padepokan kecil yang tergabung dalam pasukan yang berkumpul di Madiun. Tetapi aku tidak telaten menunggu, sehingga ketika pasukan ini siap menyerang Mataram, aku menyatakan diri untuk bergabung bersama mereka. Ternyata aku diterima dan ditempatkan di sayap ini.“

“Yang aku maksudkan adalah pasukan ini,“ desis Sabungsari kemudian.

Orang bertubuh raksasa itu menarik nafas dalam-dalam, Namun iapun menggeleng, “Aku tidak berhak memberikan keterangan apa-apa. Katakanlah bahwa kami adalah pasukan yang telah bergabung dengan banyak pasukan dari beberapa Kadipaten di daerah Timur ini, termasuk Madiun. Juga beberapa buah padepokan besar dan kecil. Kami bersama-sama tidak lagi mengakui kuasa Mataram atas daerah Timur, bahkan kami ingin menghancurkan kekuatan Mataram bukan saja di sini, tetapi di Mataram itu sendiri. Pada saatnya kami akan datang untuk menghapuskan Mataram dari muka bumi.”

Sabungsari mengerutkan keningnya. Orang bertubuh raksasa itu mulai menunjukkan sikapnya terhadap Mataram. Namun orang itu berkata selanjutnya, “Sayang sekali bahwa hal seperti itu harus terjadi. Tetapi apa boleh buat. Jika tidak terjadi sekarang, maka pada suatu saat akan terjadi, Karena itu, maka agaknya akan lebih baik dapat ditentukan lebih cepat.“

“Aku sependapat dengan kau Ki Sanak,“ jawab Sabungsari.

Raksasa itu terkejut. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa kau sependapat dengan aku.”

“Aku sependapat bahwa persoalan di antara kita, maksudku antara Mataram dan Madiun, diselesaikan dengan cepat. Semakin cepat semakin baik,“ sahut Sabungsari.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Hampir saja aku salah paham. Aku kira kau sependapat bahwa Mataram harus dihapuskan dari permukaan bumi. Tetapi baiklah. Marilah kita melakukan tugas kita masing-masing. Tetapi percayalah bahwa di antara kita secara pribadi tidak ada persoalan apa-apa.“

Sabungsari memang merasa heran atas sikap raksasa itu. Ia semula menduga bahwa sikap itu adalah sikap yang dibuat-buat. Tetapi agaknya tidak. Orang itu memang bukan orang yang kasar, sebagaimana ujud tubuhnya dan senjatanya yang mengerikan.

Sejenak kemudian orang itu telah bersiap. Kemudian katanya, “Bersiaplah anak muda. Kita akan bertempur sesuai dengan janji seorang prajurit, atau yang menyatakan diri sebagai seorang prajurit.”

Sabungsari mengangguk kecil. Katanya, “Marilah. Pertempuran di sekitar kita masih berlangsung.“

Kedua orang itu pun segera bersiap. Ketika orang bertubuh raksasa itu memutar bindinya, maka terdengar angin yang berdesing menampar telinga Sabungsari.

“Bukan main,“ berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Namun ia adalah seorang prajurit pilihan. Ia bukan saja mempelajari ilmu perang setelah ia menjadi seorang prajurit. Tetapi ia memasuki dunia keprajuritan dengan bekal yang lebih dari cukup bagi seorang prajurit.

Karena itu, maka Sabungsari pun segera memutar pedangnyapula. Ia sadar, bahwa benturan yang terjadi antara dua senjata itu agaknya akan dapat melukai tajam senjatanya. Karena itu maka ia harus sangat berhati-hati, agar senjatanya tidak pecah pada tajamnya atau patah sama sekali.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Semakin lama semakin sengit. Orang bertubuh raksasa itu memang mempunyai kekuatan yang sangat besar. Namun Sanbungsari pun kemudian semakin yakin, bahwa ia memiliki kelebihan dari orang itu. Sabungsari ternyata mampu bergerak lebih cepat.

Dengan demikian, maka keduanya telah mempergunakan kelebihan masing-masing untuk dengan segera berusaha mengatasi lawannya. Tetapi ternyata hal itu tidak terlalu mudah dilakukan.

Sementara itu di sayap itu juga, para pengawal Kademangan Sangkal Putung telah bertempur dengan gigihnya pula. Mereka adalah pengawal yang memiliki pengalaman yang luas. Sejak berpuluh tahun yang lalu, pengawal Kademangan Sangkal Putung telah ditempa oleh keadaan. Bahkan mereka yang muda-muda yang tumbuh kemudian pun telah memiliki pengalaman yang memadai pula.

Namun ketika mereka berada di sebuah medan pertempuran yang besar, yang melibatkan puluhan ribu orang, maka mereka merasa bahwa mereka hanya merupakan bagian kecil dari satu gejolak yang sangat besar.

Tetapi Swandaru tidak ingin mengecewakan Pangeran Singasari yang berada di sayap kanan itu. Karena itu, maka Swandaru sendiri dengan cambuknya telah berloncatan di medan. Cambuknya meledak-ledak dengan kerasnya, sehingga memang mampu menggetarkan para prajurit yang berdiri berseberangan. Sentuhan-sentuhan ujung cambuknya juga mampu mengoyak kulit daging lawan-lawannya, sehingga justru karena itu maka Swandaru telah mendapat perhatian khusus dari para prajurit di pasukan lawan.

Untara yang sempat memperhatikan sekilas, bergumam di dalam dirinya, “Murid-murid Kiai Gringsing memang memiliki kemampuan yang menonjol di antara para prajurit kawan dan lawan.“

Namun kadang-kadang perasaan Untara tidak sejalan dengan Swandaru. Anak Ki Demang Sangkal Putung itu menjadi terlalu garang, sehingga kadang-kadang lepas dari garis perang dan terlalu menyusup masuk ke daerah lawan, sehingga akan dapat membahayakan dirinya sendiri.

Tetapi beberapa orang pengawal nampaknya sudah terbiasa dengan sifat pimpinannya sehingga mereka pun dengan cepat mengimbangi gerakan Swandaru, sehingga Swandaru tidak terjepit di antara para prajurit lawan.

Namun hal itu nampaknya mencemaskan bagi Untara. Karena itu, maka Untara yang tidak dapat menghampiri Swandaru karena tugas-tugasnya, telah mengirimkan pesan lewat seorang penghubung, agar Swandaru tidak medahului dan berada di depan garis perang.

“Itu akan sangat berbahaya,“ pesan Untara.

Tetapi Swandaru justru berpendirian lain. Ia memang ingin menunjukkan kelebihannya, bahwa ia, anak Demang Sangkal Putung, memiliki kelebihan dari para prajurit Mataram itu sendiri.

Untara yang harus bergeser setiap kali untuk memperhatikan seluruh medan di ujung sayap itu termasuk para pengawal dari Sangkal Putung, tidak dapat selalu mengawasi keadaan Swandaru. Karena itu, maka ketika ia bergeser ke ujung sayap untuk melihat apa yang terjadi dengan Sabungsari, maka iapun telah berpesan kepada sekelompok prajurit Mataram untuk mengambil langkah-langkah pengamanan jika perlu.

Pangeran Singasari yang memimpin seluruh kekuatan yang berada di sayap kanan itu, melihat juga sikap Swandaru. Tetapi Pangeran Singasari yang keras, tidak mengambil sikap khusus. Ia berpendapat, bahwa akhirnya Swandaru akan menemukan keseimbangannya jika ia mengalami tekanan yang berat dari lawan-lawannya.

Sebenarnyalah di luar dugaan Swandaru, bahwa ia akan membentur satu kekuatan yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Ia memang menganggap bahwa kemampuan lawan-lawannya tidak lebih dari kemampuan kebanyakan prajurit, sehingga dengan demikian setiap kali Swandaru dengan bangga memperhatikan lawannya yang terkapar jatuh di tanah dengan luka yang menganga di tubuhnya oleh ujung juntai cambuknya.

Sementara itu, para pengawal Kademangan Sangkal Putung telah berusaha untuk mendukung setiap gerak Swandaru yang telah memberikan kebanggaan kepada para pengawal. Setiap kali para pengawal itu telah bersorak-sorak dengan riuhnya jika ujung cambuk Swandaru telah melemparkan seorang prajurit yang menyerangnya.

Namun sikap itu ternyata telah menarik perhatian seorang Putut yang tergabung dalam pasukan yang tidak sabar lagi menunggu di Madiun, sehingga bergabung dengan pasukan itu untuk menyerang Mataram.

Kepada seorang Senapati yang siap untuk mendekati Swandaru, Putut itu berkata dengan geram. “Serahkan orang itu kepadaku. Tetapi lindungi aku dari para pengawalnya yang tidak kalah garangnya dengan orang gemuk itu sendiri. Usahakan agar aku dapat melawannya seorang dengan seorang.“

Tetapi Senapati itu memperingatkan, “Ia berilmu tinggi.“

“Aku mengerti. Ujung cambuknya juga sangat berbahaya,“ jawab Putut itu.

Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun Putut itu berkata, “Jangan terlalu lama membiarkan orang itu membunuh terlalu banyak orang. Aku akan menemuinya. Ingat, perintahkan beberapa prajurit secara khusus untuk ikut bersamaku. Pengawal-pengawal orang itu harus dipisahkan daripadanya.”

Demikianlah, maka Senapati itu telah mengatur beberapa orang prajurit secara khusus untuk memisahkan orang bercambuk itu dari para pengawalnya. Senapati itu sendiri yang akan memimpinnya, sehingga ia yakin rencana itu akan berhasil.

Putut itu tidak sabar lagi menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, maka iapun telah mendekati Swandaru. Sementara itu, terjadi arus yang lain dalam lingkungan pasukan lawan. Sekelompok prajurit pilihan di bawah pimpinan seorang Senapati yang memiliki kelebihan dari para prajurit kebanyakan, telah menyibak kawan-kawannya dan mendekati para pengawal Sangkal Putung, yang mendukung usaha Swandaru untuk menerobos pasukan lawan dan membuat lubang kelemahan dengan kelebihannya .

Semula para pengawal Sangkal Putung tidak begitu menghiraukan gerakan itu. Tetapi baru kemudian mereka merasa, bahwa kehadiran mereka di antara pasukan lawan di seberang garis pertempuran telah mendapat perhatian khusus.

Sebenarnyalah sejenak kemudian terasa tekanan yang semakin berat telah mendesak para pengawal Sangkal Putung itu. Betapapun mereka berusaha untuk bertahan, namun satu-satu prajurit lawan telah menyusup di antara mereka. Prajurit yang mendapat perintah khusus untuk mengatasi kesulitan akibat seorang yang berilmu tinggi telah melintasi dan berada di depan garis pertempuran.

Para pengawal itu memang menjadi cemas. Seorang di antara mereka telah berusaha memperingatkan Swandaru, bahwa keseimbangan telah berubah.

“Tidak ada orang yang dapat menahan aku,“ berkata Swandaru, “satu per satu mereka akan mati, dan aku akan menerobos sampai ke belakang garis pertempuran dan balik menyeberangi kekuatan lawan.“

“Tetapi telah datang kekuatan khusus untuk mencegahnya,“ berkata seorang pengawalnya.

“Persetan kau. Jika kau menjadi ketakutan, tinggalkan aku sendiri,“ geram Swandaru.

Pengawal itu memang tidak meninggalkan Swandaru. la telah bertempur dengan gigihnya di samping Swandaru yang mendapat tekanan semakin berat, tetapi Swandaru memang mampu membunuh lawannya seorang demi seorang. Namun dalam pada itu, ternyata ia sudah dipotong dari garis dukungannya, sehingga ia telah benar-benar terkepung.

Dalam keadaan yang demikian, telah muncul seorang yang memandang Swandaru dengan penuh dendam dan kebencian. Bahkan tiba-tiba saja ia menggeram, “Jadi kaulah yang telah memamerkan kelebihan kalian dengan membunuh tanpa perhitungan?“

“Persetan,“ geram Swandaru, “aku berada di peperangan. Siapa yang dapat menyalahkan aku, berapapun aku membunuh lawan.“

“Aku tahu, dan akupun tahu bahwa tidak ada orang yang dapat menyalahkan aku jika aku membunuhmu,“ berkata orang itu.

“Siapa kau?“ bertanya Swandaru.

“Aku Putut Rambatan. Aku menjadi muak melihat tingkah laku orang-orang Mataram. Apalagi tingkah lakumu. Karena itu, aku memerlukan turun langsung menanganinya,“ berkata Putut itu.

“Jangan terlalu sombong. Kau tentu belum mengenal aku,“ geram Swandaru.

“Sebenarnya aku tidak perlu tahu siapapun yang akan aku bunuh,“ berkata Putut itu, “tetapi biarlah kau puas. Katakan, siapa namamu dan dari mana asalmu. Kau tentu bukan prajurit Mataram yang sebenarnya.“

“Setan kau,“ geram Swandaru. Lalu katanya, “Aku hanya memberitahukan tentang diriku kepada orang-orang yang sombong dan tidak tahu diri, agar sebelum saat matinya ia dapat melihat, bahwa dirinya sama sekali tidak berarti. Aku adalah murid Orang Bercambuk yang dikenal dan ditakuti oleh orang-orang di lingkungan dan di luar lingkungan Mataram.“

“Aku belum pernah mendengar tentang Orang Bercambuk itu,“ berkata orang itu, “karena itu, jangan kau banggakan nama orang yang tidak pernah dikenal adanya itu.“

“Persetan kau,“ Swandaru benar-benar menjadi marah. Dihentakkannya cambuknya sehingga suaranya meledak bagaikan memecahkan selaput telinga.

Tetapi, orang itu sama sekali tidak terkejut mendengarnya. Bahkan sambil tersenyum ia berkata, “Jangan menggembala lembu di sini. Kau akan mati tanpa arti.“

Swandaru menggeram oleh kemarahan yang membakar jantungnya. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan kemampuannya ke tataran yang lebih tinggi dari kemampuannya dalam ilmu cambuk. Ia memang sudah mulai mempelajari tataran yang lebih tinggi meskipun ia belum berhasil seluruhnya. Namun Swandaru telah menguasai pokok-pokok dari landasan tataran yang lebih tinggi itu.

Karena itu, maka Swandarupun telah menghentakkan ilmunya sehingga cambuknya tidak lagi meledak dengan suara yang bagaikan memecahkan selaput telinga. Tetapi suaranya telah berubah menjadi lebih lunak. Namun di telinga Putut itu, maka getarannya menjadi semakin tajam menusuk ke dalam dadanya.

Putut yang menyebut dirinya Putut Rambatan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ternyata lawannya yang menyebut dirinya murid Orang Bercambuk itu memang berilmu tinggi. Karena itu, maka iapun harus berhati-hati menghadapinya.

Nampaknya orang itu sudah tidak berminat untuk mengetahui lebih banyak tentang lawannya, atau menyebut dirinya sendiri serta latar belakangnya.

Yang dilakukannya kemudian adalah bersiap-siap untuk segera menyelesaikan pertempuran itu, sehingga orang bercambuk itu tidak lagi mampu merusakkan barisannya.

“Bersiaplah untuk mati,“ geram Putut itu kemudian.

Swandaru memang sudah bersiaga. Jawabnya, “Aku sudah siap sejak semula hanya untuk membunuh.“

Orang itu tidak berbicara lagi. Tiba-tiba tangannya telah menggenggam sepasang trisula.

Demikianlah, keduanya pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Agaknya keduanya mengakui bahwa mereka akan memasuki satu pertempuran yang rumit dan keras.

Sebenarnyalah ketika Swandaru telah siap bertempur, maka pengawalnya sekali lagi mencoba memperingatkan dengan isyarat sandi bahwa Swandaru telah kehilangan pendukungnya dalam pertempuran itu, karena didesak secara khusus oleh pasukan pilihan lawan.

Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia justru mulai memutar ujung cambuknya dan menyerang lawannya yang bersenjata trisula.

Dengan demikian maka pertempuran pun telah terjadi. Semakin lama menjadi semakin sengit. Putut Rambatan yang marah dan didorong oleh kebencian yang meluap-luap di dadanya telah berusaha untuk segera menembus putaran ujung cambuk Swandaru. Namun Swandaru yang merasa terhina pun telah mengerahkan segenap kemampuannya.

Karena itulah maka pertempuran itu menjadi semakin lama semakin sengit.

Namun Swandaru memang mulai merasa, bahwa beberapa orang prajurit telah mengganggunya. Kadang-kadang satu dua orang tiba-tiba saja telah menyerangnya pula.

Seorang pengawal Swandaru yang setia telah berusaha untuk mengenyahkan orang-orang yang tiba-tiba saja melibatkan diri mengganggu Swandaru, yang sedang memusatkan perhatiannya terhadap Putut Rambatan.

Tetapi ia hanya seorang diri. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya hanya terbatas sekali.

Setiap kali Swandaru hanya dapat menggeram. Dalam pertempuran ia tidak dapat mengelakkan kenyataan itu, bahwa setiap orang yang berdiri berseberangan wenang dan berhak saling menyerang.

Demikianlah pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Putut Rambatan telah meningkatkan kemampuannya pula, sementara beberapa orang prajurit di sekitarnya justru telah membantunya. Seorang pengawal yang masih saja berusaha untuk membantu Swandaru telah mengalami banyak kesulitan. Justru ia harus bertempur melawan beberapa orang sekaligus di luar kemampuannya.

Ketika ujung pedang lawannya menyentuhnya, maka orang itu masih berkata lantang, “Swandaru. Lihat medan di sekitarmu.“

“Diam kau!“ bentak Swandaru.

Tetapi orang itu tidak mau diam. Ia masih berkata, “Jangan kehilangan perhitungan.“

Swandaru menggeram. Namun sebelum ia menjawab, ia sempat melihat ujung tombak mengoyak kulit pengawalnya di lengannya, sehingga pengawalnya itu meloncat ke samping.

“Dengar kata-kataku!“ teriak orang itu.

Swandaru yang mulai berpikir, melihat orang itu mengelakkan serangan yang mengarah ke lambungnya. Tetapi ia tidak menyadari, bahwa seorang yang lain telah meloncat sambil mengayunkan pedangnya.

Swandaru sempat berteriak, “Hati-hati!“

Dengan garangnya Swandaru mengayunkan ujung cambuknya justru menggapai orang yang hampir saja menebas pengawalnya itu. Demikian kerasnya ayunan ujung cambuk Swandaru dengan tataran ilmu yang lebih tinggi, maka ujung cambuk itu bagaikan telah mengoyak lehernya sehingga menganga. Orang itu tidak sempat menjerit. Ia terlempar dan jatuh terkapar. Mati.

Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, kawannya yang marah telah menyerang pengawal Swandaru itu. Dengan garangnya ujung pedangnya telah menikam punggung. Tembus menyentuh jantung.

Pengawal Swandaru itu pun tidak sempat mengaduh. Ketika lawannya menarik ujung pedangnya, maka pengawal itu pun telah terjatuh terkulai di tanah. Darah memancar dari luka-luka. Namun ia tidak tahu lagi apa yang telah terjadi atas dirinya sendiri.

Swandaru menyaksikan kematian pengawalnya itu dengan darah yang mendidih. Tetapi saat itu pula Putut Rambatan telah meloncat menyerangnya. Sepasang trisula di tangannya berputaran sehingga seakan-akan telah menjadi gumpalan awan yang kehitam-hitaman.

Swandaru telah mengerahkan kemampuannya. Meskipun belum sempurna, ia telah mulai mempelajari ilmu cambuk pada tataran yang lebih tinggi, sehingga karena itu maka Swandaru memang telah menjadi semakin garang.

Tetapi Putut Rambatan tidak kalah garangnya. Ia yang telah merasa jemu berada di medan, serta menjadi muak melihat pasukan Mataram, telah mengerahkan kemampuannya pula. Baginya bukan saja prajurit Mataram di seberang Kali Dadung itu saja yang harus dihancurkan, tetapi bahkan Mataram harus dihancurkan pada pusat kedudukannya.

Tetapi ia telah membentur kemampuan Swandaru yang sangat besar. Seorang yang mengaku murid Orang Bercambuk yang sulit untuk dapat didekatinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar