Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 251

Buku 251

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin berbantah dengan mertuanya. Karena itu, maka iapun telah mengulangi permintaannya untuk meninggalkan tempat itu.

“Besok aku akan datang lagi,“ desisnya.

“Kami menunggu,“ jawab Ki Gede.

Kemudian kepada Agung Sedayu, Swandaru itu berkata, “Besok aku ingin melihat latihanmu lagi, Kakang.“

“Datanglah, kami senang sekali kau sempat hadir,“ jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Swandaru telah meninggalkan halaman rumah itu. Glagah Putih yang kemudian berdiri di sebelah Agung Sedayu bertanya sambil berbisik, “Apakah Kakang Swandaru tidak minta Kakang Agung Sedayu datang ke baraknya?“

“Tidak Glagah Putih,“ jawab Agung Sedayu.

“Tentu ada sebabnya,“ desis Glagah Putih.

“Apa maksudmu?“ bertanya Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak segera menyahut. Ia menunggu Ki Gede yang kemudian melangkah naik kembali ke pendapa.

“Kakang,“ berkata Glagah Putih, “jika Kakang Swandaru menganggap para pengawal Sangkal Putung lebih baik dari para pengawal Tanah Perdikan sebagaimana sering dikatakan, maka ia tentu mengundang kita untuk melihatnya. Ia akan mengatakan dan menunjukkan kepada kita kelebihan-kelebihan para pengawal Sangkal Putung itu.“

“Ah,“ desah Agung Sedayu, “jangan berprasangka seperti itu.“

“Kakang tentu tidak akan berprasangka seperti itu. Akupun sudah menduganya, bahwa Kakang tidak akan percaya,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Glagah Putih dengan tajamnya. Rasa-rasanya Agung Sedayu melihat perkembangan jiwa Glagah Putih di saat-saat terakhir pada saat ia menjelang dewasa penuh.

Tiba-tiba saja Glagah Putih menundukkan kepalanya. Katanya, “Maaf Kakang. Aku memang terdorong oleh perasaanku. Aku sudah terlalu lama menahan diri menghadapi Kakang Swandaru. Sebenarnya aku tidak rela jika Kakang Swandaru terlalu merendahkan Kakang Agung Sedayu. Padahal aku tahu bahwa kemampuan dan ilmu Kakang Swandaru ada di bawah kemampuan dari ilmu Kakang Agung sedayu. Bahkan akupun masih menduga-duga, apakah ilmuku mampu mengimbangi ilmu Kakang Swandaru.“

“Kau juga sudah merasa dirimu besar?“ bertanya Agung Sedayu.

“Bukan maksudku Kakang. Tetapi semata-mata terdorong oleh perasaanku yang selalu digelitik melihat sikap Kakang Swandaru,“ sahut Glagah Putih. Lalu dengan nada rendah ia berkata, “Memang sangat sulit bagiku untuk dapat bersikap seperti Kakang Agung Sedayu.“

“Aku tidak akan memaksamu untuk bersikap seperti aku. Aku hanya minta kau tidak berprasangka buruk,“ potong Agung Sedayu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, “Baik Kakang. Aku akan berusaha untuk tidak berprasangka buruk, meskipun terhadap Kakang Swandaru.“

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun mengerti, bahwa kadang-kadang Glagah Putih yang masih sangat muda itu harus menahan hati, jika ia mendengar Swandaru mulai menilai ilmunya sendiri dibandingkan dengan ilmu Agung Sedayu. Seandainya itu dilakukan tidak di hadapan Agung Sedayu, maka sulit bagi Glagah Putih untuk mengekang diri.

Namun hal itu memang harus menjadi perhatiannya, selagi belum terjadi sesuatu di antara keduanya. Sebenarnyalah menurut penilaian Agung Sedayu, kemampuan Glagah Putih, apalagi setelah simpul-simpul syarafnya dibuka dengan mempertaruhkan akibat yang gawat baik bagi Ki Jayaraga maupun bagi Glagah Putih, maka segalanya telah meningkat pada Glagah Putih, justru karena landasan ilmunya, tenaga cadangan di dalam dirinya, telah meningkat. Hal serupa pernah dialaminya dalam pergaulannya di saat-saat terakhir dengan Raden Rangga.

Dengan demikian, maka sebenarnyalah tataran ilmu Glagah Putih yang memang sudah tinggi itu, dilandasi pula oleh tenaga cadangannya yang sangat besar jika ia memerlukannya.

Agung Sedayu terkejut ketika Glagah Putih kemudian berkata, “Kakang, apakah kita masih akan meneruskan latihan?“

“O,“ Agung Sedayu agak tergagap, “bagaimana dengan Prastawa?“

“Nampaknya ia masih memimpin latihan dengan kelompok-kelompok berikutnya,“ jawab Glagah Putih.

“Kita akan melakukan latihan-latihan selanjutnya,“ jawab Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka para pengawal Tanah Perdikan itu telah mengisi waktunya dengan kerja yang bermanfaat, serta mengurangi kemungkinan para pengawal itu berkeliaran di jalan-jalan kota.

Dua hari para pengawal itu mengisi waktunya dengan latihan-latihan. Namun di sore hari mereka mendapat kesempatan untuk melihat-lihat kota bergantian. Namun agaknya tidak banyak di antara para pengawal yang mempergunakan kesempatan itu. Mereka memang lebih senang beristirahat di barak setelah melakukan latihan-latihan yang cukup melelahkan.

Beberapa orang yang keluar dari halaman barak telah mendapat pesan dengan sungguh-sungguh, bahwa mereka tidak boleh terpancing oleh sikap, pandangan mata atau bahkan kata-kata yang dapat menggelitik hati mereka.

“Kita harus menjaga nama baik Tanah Perdikan,“ berkata Agung Sedayu, “para pemimpin Tanah Perdikan telah dikenal oleh Panembahan Senapati dengan baik.“

Ketika senja turun, maka dua orang prajurit Mataram telah memasuki halaman barak itu. Mereka telah mendapat tugas dari Ki Patih Mandaraka untuk menyampaikan pesan kepada para pemimpin pasukan yang ada di Mataram untuk berkumpul di paseban.

“Ada sesuatu yang akan disampaikan oleh Panembahan Senapati sendiri, sebelum kita berangkat. Satu dua hari lagi, kita akan bersama-sama menuju ke Madiun,“ berkata penghubung itu.

“Terima kasih,“ sahut Ki Gede, “aku akan menghadap. Tetapi waktunya?“

“Besok saat matahari sepenggalah,“ jawab penghubung itu.

“Baiklah. Besok aku akan datang bersama beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan,“ berkata Ki Gede kemudian.

“Silahkan Ki Gede,“ sahut penghubung itu, yang kemudian telah minta diri pula, “aku akan meneruskan tugasku menghubungi pasukan-pasukan yang ada di Mataram.“

“Silahkan, silahkan,“ sahut Ki Gede.

Sepeninggal penghubung itu, maka Ki Gede pun telah berbicara dengan Agung Sedayu, Glagah Putih, Prastawa dan beberapa orang pemimpin pengawal. Ki Gede memperingatkan bahwa saat untuk berangkat telah menjadi semakin dekat.

Di hari berikutnya, maka para pengawal telah mengadakan latihan seperti biasa. Yang akan pergi menghadap hanyalah Ki Gede, Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa. Sementara itu para pengawal diperintahkan untuk berlatih bergantian, disesuaikan dengan tempat yang ada serta giliran tugas berjaga-jaga.

Ketika Ki Gede telah bersiap-siap untuk berangkat, maka tiba-tiba saja Untara, diiringi oleh dua orang perwiranya, seorang di antaranya adalah Sabungsari, serta Swandaru, telah berhenti di depan regol. Namun kemudian mereka pun telah masuk ke halaman.

“Marilah,“ Ki Gede mempersilahkan.

Tetapi Untara menggeleng. Katanya, “Bukankah Ki Gede akan pergi juga ke paseban?“

“Ya. Kita berjalan kaki atau berkuda?“ bertanya Ki Gede.

“Berjalan kaki saja. Masih cukup waktu,“ jawab Untara yang memang tidak membawa seekor kudapun.

Sementara sambil menunggu Ki Gede berbenah diri sejenak di ruang dalam, maka Untara sempat melihat para pengawal yang berlatih. Tiba-tiba saja di luar sadarnya ia berdesis. “Bagus sekali. Ternyata para pengawal Tanah Perdikan memiliki bekal yang tinggi. Dalam pakaian prajurit, tidak ada orang yang akan membedakan mereka dengan tataran seorang prajurit.“

Sabungsari pun mengangguk. Katanya, “Latihan yang meyakinkan dalam tataran yang tinggi.“

Adalah di luar sadar, jika Glagah Putih pun telah berpaling kepada Swandaru. Ternyata bahwa wajah Swandaru memang menjadi buram. Agaknya ia tidak sependapat dengan Untara dan Sabungsari yang telah memuji pasukan pengawal Tanah Perdikan itu.

Ketika Ki Gede kemudian keluar dan turun pula ke halaman untuk berangkat menghadap Panembahan Senapati, maka kepada Ki Gede pun Untara mengatakan, “Pasukan pengawal Ki Gede adalah satu di antara pasukan yang ada di tataran tertinggi, setelah pasukan khusus. Para prajurit yang berada di Jati Anom tidak akan merasa lebih baik dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh, yang aku kira berada di tataran yang lebih rendah meskipun hanya selapis.“

“Ah,“ Ki Gede tersenyum.

Tetapi Untara memang agak berbeda dengan Agung Sedayu. Untara memang agak lebih terbuka, sehingga apa yang dikatakan memang tidak dibuat-buat. Jika ia kecewa terhadap pasukan Tanah Perdikan, ia tentu akan mengatakannya. Tetapi demikian sebaliknya.

Swandaru memang tidak begitu senang mendengar pujian itu. Bahkan ia berkata kepada dirinya sendiri di dalam hatinya, “Kakang Agung Sedayu akan dapat salah tafsir atas pernyataan Kakang Untara. Yang mempunyai tataran yang setingkat dengan para prajurit itu adalah para pengawal di Tanah Perdikan. Hal itu akan dapat membuat Kakang Agung Sedayu merasa dirinya lebih baik dari orang lain yang memimpin sepasukan pengawal dari manapun, termasuk dari Sangkal Putung.“

Tetapi Swandaru tidak dapat berkata apapun juga. Apalagi sejenak kemudian Untara pun bertanya. “Apakah Ki Gede sudah siap?“

“Sudah Ngger.“ jawab Ki Gede, “kita dapat berangkat sekarang.“

Demikianlah, maka Ki Gede pun telah berangkat bersama-sama dengan Untara, diiringi oleh beberapa orang pemimpin dari kedua pasukan yang telah berada di Mataram itu. Satu dari Jati Anom, sedangkan yang lain dari Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, maka di paseban telah hadir beberapa orang pemimpin yang datang dari berbagai daerah untuk bersama-sama dengan Mataram berangkat pada saatnya ke Madiun. Sejenak kemudian, maka Panembahan Senapati pun telah hadir pula bersama Ki Patih Mandaraka.

Beberapa saat kemudian, maka pembicaraan tentang keberangkatan seluruh kekuatan yang mendukung perjuangan Mataram itu telah dibuka oleh Panembahan Senapati sendiri.

Panembahan Senapati telah memberikan petunjuk-petunjuk dan perintah-perintah kepada para Pangeran yang akan ikut serta, juga para Adipati, para pemimpin pasukan dari daerah yang tersebar, termasuk Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika Panembahan Senapati minta Ki Patih Mandaraka menentukan kelompok-kelompok pasukan, maka ternyata bahwa Untara dan pasukannya, termasuk para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, berada di sayap kanan, dibawah pimpinan Pangeran Singasari. Sementara pasukan pengawal Tanah Perdikan bersama dengan pasukan dari Pegunungan Sewu, bersama dengan sepasukan prajurit Mataram berada di sayap kiri, di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi. Sementara itu Panembahan Senapati, Ki Patih Mandaraka dan para Adipati, termasuk Adipati dari Pati, putra saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan, berada di induk pasukan.

“Kita akan menentukan gelar setelah kita melihat medan,“ berkata Panembahan Senapati. Lalu, “Mungkin kita harus menunggu dan menyesuaikan diri dengan besarnya pasukan lawan, serta barangkali gelar yang mereka pilih.“

Para pemimpin pasukan dari daerah-daerah itu mendengar semua perintah dengan saksama. Mereka tidak boleh salah langkah. Panembahan Senapati tidak akan mengulangi lagi perintahnya kelak jika mereka sampai di Madiun, kecuali jika Panembahan Senapati menentukan terjadinya perubahan-perubahan yang mendasar.

Beberapa orang perwira terpilih dari Mataram telah berada di seluruh bagian pasukan yang besar itu. Dari induk padukan sampai ke bagian-bagian terkecil. Di ujung-ujung sayap dan bahkan di ekor gelar.

Ternyata Ki Lurah Branjangan telah diikut-sertakan pula dalam pasukan itu. Ki Lurah berada di sayap kiri, karena ia harus membantu Pangeran Mangkubumi. Ki Lurah Branjangan dianggap seorang prajurit yang memiliki pengalaman yang luas, sesudah dan sebelum memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, yang juga diikut-sertakan dalam pasukan itu. Tetapi pasukan khusus itu berada di induk pasukan.

Ki Lurah Branjangan yang meskipun sudah menjadi semakin tua ia masih dianggap memiliki kemampuan untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan yang timbul, jika pasukan itu kelak berada di medan.

“Pasukan kita akan dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi,“ desis Ki Gede.

“Aku berada di sayap yang lain,“ sahut Untara.

Ki Gede mengangguk-angguk. Ternyata harapan mereka tidak terpenuhi. Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan, terutama Agung Sedayu dan Glagah Putih, berharap bahwa Untara akan berada di sayap yang sama dengan mereka. Tetapi ternyata mereka telah terpisah, karena Untara serta pasukannya berada di sayap kanan, sementara pasukan Tanah Perdikan Menoreh berada di sayap kiri.

Beberapa saat kemudian, setelah perintah Panembahan Senapati selesai diucapkan, maka Ki Patih Mandaraka pun telah memberikan beberapa pesan kepada para Senapati dari berbagai daerah. Ternyata orang tua itu memang memiliki pengetahuan yang luas serta pengalaman yang cukup banyak. Ki Patih mengenali berbagai macam kemungkinan di medan yang sangat garang, sebagaimana yang akan terjadi.

“Kita akan berada di sebelah barat Kali Dadung, sebelah barat Kota Madiun. Kita akan berkemah untuk menunggu saat yang paling tepat untuk menyeberang dan memasuki Madiun,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

Sebagian dari para Senapati memang belum pernah melihat Kali Dadung. Tetapi Agung Sedayu yang pernah melakukan pengembaraan dengan Panembahan Senapati di masa mudanya, atau dengan Pangeran Benawa, pernah menyeberangi Kali Dadung. Tidak saja di penyeberangan yang memotong Kali Dadung di jalan raya ke Madiun, tetapi di tempat-tempat lain dari Kali Dadung itu.

Demikian pula Glagah Putih, justru dengan Raden Rangga yang seakan-akan telah menjelajahi tanah ini dari ujung barat sampai ke ujung timur. Bahkan keduanya pernah bermalam di pinggir Kali Dadung, di tepian, di atas pasir yang basah. Raden Rangga sama sekali tidak merasa terganggu oleh pakaiannya yang kemudian juga menjadi basah. Bahkan Glagah Putih pun kemudian dapat juga tidur meskipun pakaiannya juga basah.

Karena ada beberapa orang yang belum mengenal Kali Dadung, maka Ki Mandaraka telah memberikan beberapa penjelasan tentang sungai itu. Mereka dapat memanfaatkannya untuk melindungi perkemahan mereka dari serangan pasukan Madiun.

“Di sebelah barat Kali Dadung kita berbenah diri, mempersiapkan segala sesuatunya, sehingga pada saat yang tepat kita akan menyeberang. Tetapi ingat, bahwa pasukan yang menyeberangi sebuah sungai harus benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan, karena pasukan itu akan mengalami banyak hambatan. Namun khusus dengan Kali Dadung, Panembahan Senapati akan memberikan perintah-perintah di tempat,“ Ki Patih Mandaraka mengakhiri pesan-pesannya.

Beberapa saat kemudian, Ki Patih memberi kesempatan kepada para Senapati untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Namun mereka menganggap semuanya telah cukup jelas.

Di saat terakhir Panembahan Senapati telah memberitahukan, bahwa yang akan memimpin pasukan dalam keseluruhannya adalah dirinya sendiri, dibantu oleh putra Ki Panjawi yang telah diangkat menjadi Adipati di Pati.

“Besok lusa kita akan berangkat di saat matahari terbit,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka yang telah dipanggil menghadap Panembahan Senapati dalam sidang tertutup itu telah diperkenankan kembali ke barak masing-masing dengan pesan, bahwa mereka harus tetap dapat menyimpan rahasia.

“Rahasia ini merupakan salah satu landasan keberhasilan kita,“ berkata Ki Patih Mandaraka. “Jika rahasia ini sampai ke telinga lawan, maka akibatnya akan kurang baik bagi kita.“ Namun sebenarnyalah kebocoran rahasia itu sudah diperhitungkan oleh Panembahan Senapati, sehingga karena itu, maka di samping perintah-perintah yang sudah dijatuhkan, maka Ki Patih juga memerintahkan para Senapati untuk dapat menyiapkan pasukannya dalam setiap saat.

“Semua tadi adalah rencana perjalanan kita ke Madiun. Tetapi kalian harus menyadari, bahwa setiap saat dapat terjadi justru pasukan Madiun itulah yang akan mendekati Mataram. Karena itu, maka setiap pasukan harus dapat disiapkan dalam waktu singkat. Demikian perintah jatuh, maka beberapa saat kemudian, pasukan telah siap turun ke medan,“ Ki Patih Mandaraka masih memperingatkan.

Dalam pada itu, maka para Senapati itu pun meninggalkan paseban dengan gambaran mereka masing-masing tentang keadaan yang sedang mereka hadapi. Namun pada umumnya, mereka yakin bahwa mereka akan dapat mengatasi kekuatan pasukan Madiun, betapapun besar jumlah mereka.

Orang-orang Mataram yakin akan kemampuan dan ilmu para pemimpin mereka, meskipun mereka pun tidak mengabaikan kemampuan dan ilmu para pemimpin yang ada di Madiun.

Ki Gede dan para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan meninggalkan paseban bersama-sama dengan Untara dan para pemimpin pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung. Betapapun besarnya tekad dan minat Swandaru untuk memegang peranan dalam perang besar itu, namun setelah ia berada di antara para Senapati yang berdatangan dari daerah-daerah lain, termasuk dari seberang Gunung Kendeng, maka Swandaru memang cepat terpengaruh, dan merasa bahwa dirinya bukan unsur penentu di dalam perang yang akan datang. Jika semula ia membayangkan bahwa para pengawal Sangkal Putung akan dapat menarik perhatian Panembahan Senapati karena kemampuannya, maka di antara pasukan yang sekian banyaknya, keadaannya akan menjadi lain.

Berbeda dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih yang lebih banyak bergaul dengan Mataram, juga dalam tugas-tugas keprajuritan, daripada Swandaru dan para pengawal dari Sangkal Putung.

Namun bersama Untara, Swandaru akan mendapat banyak petunjuk-petunjuk yang sangat berarti baginya.

Dalam perjalanan kembali ke barak, Untara dan para pengiringnya tidak singgah sama sekali di barak Ki Gede. Ketika mereka lewat di depan barak pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka Untara pun berkata, “Maaf Ki Gede, kami tidak singgah. Kami harus segera mempersiapkan pasukan kami, karena dalam waktu dekat kami akan berangkat ke Madiun.“

“Masih ada waktu untuk berbenah diri,“ berkata Ki Gede, “bukankah baru besok lusa kita akan berangkat?“

Tetapi Untara tersenyum. Sebagai seorang Senapati yang masih berada dalam kedudukannya, maka ia lebih mengenal kebiasaan Panembahan Senapati dalam tugas-tugas keprajuritan. Karena itu maka iapun berkata, “Menurut rencana, kita akan berangkat besok lusa. Tetapi segala sesuatunya akan dapat berubah. Karena itu, maka kita harus lebih cepat bersiap dari yang direncanakan itu.“

Ki Gede mengangguk kecil. Namun sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah Angger semuanya. Kita masing-masing akan segera mempersiapkan pasukan kita.“

Demikianlah, maka Untara dan para pengiringnya dari Jati Anom, termasuk Swandaru dari Sangkal Putung, telah meninggalkan regol rumah yang dipergunakan sebagai barak oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Namun demikian, kata-kata Untara itu memang telah berkesan di hati Ki Gede. Panembahan Senapati memang masih mungkin untuk merubah saat keberangkatan pasukan Mataram, justru karena Panembahan Senapati telah mengumumkan saat keberangkatan itu di paseban.

Panembahan Senapati tentu menyadari, bahwa apa yang dikatakan di paseban itu akan dengan mudah sampai ke telinga Panembahan Mas di Madiun. Karena itulah, maka Ki Gede pun telah mengambil langkah lebih cepat dari perintah Panembahan Senapati itu. Ia harus mempersiapkan pasukannya besok. Tidak besok lusa.

Karena itulah, maka ketika Ki Gede dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu telah kembali ke baraknya, maka Ki Gede telah dengan segera memanggil para pemimpin kelompok pengawal untuk berkumpul di pendapa.

Dengan jelas Ki Gede menyampaikan segala pesan dan perintah yang didengarnya di paseban. Namun Ki Gede dengan sengaja tidak mengatakan, kapan saat mereka akan berangkat.

“Kita akan berangkat setiap saat perintah jatuh,“ berkata Ki Gede Menoreh kepada para pemimpin kelompoknya. Lalu katanya pula, “Karena itu, maka sejak sekarang kalian harus bersiap untuk setiap saat diberangkatkan ke medan.“

Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk. Mereka memang mengharap untuk segera berangkat ke Madiun, daripada mereka menunggu terlalu lama di Mataram, sehingga memungkinkan timbul persoalan-persoalan di antara sesama pendukung Mataram itu.

Dengan perintah itu, maka para pemimpin kelompok pun telah meneruskan perintah itu pula kepada para pengawal tanpa dapat menyebutkan kapan mereka akan berangkat. Namun mereka menyadari bahwa perintah untuk berangkat itu dapat diterima besok, lusa, atau bahkan nanti.

Karena itulah, maka para pengawal itu pun telah mempersiapkan segala sesuatunya yang akan mereka bawa ke Madiun. Kapanpun mereka mendapat perintah, maka mereka akan siap untuk berangkat.

Di tempat yang lain, maka Untara pun telah melakukan hal yang sama. Semua prajuritnya telah dipersiapkan untuk dapat berangkat setiap saat. Kelompok demi kelompok telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sehingga jika terdengar bunyi isyarat kapanpun, maka mereka sudah siap untuk berangkat.

Swandaru pun telah mendapat perintah dari Untara untuk mempersiapkan pasukannya pula. Para pengawal Kademangan Sangkal Putung.

Namun dalam persiapan besar-besaran seperti itu, Swandaru mulai merasa betapa besar pengaruh wibawa Untara, yang sebelumnya dianggap oleh Swandaru tidak akan lebih baik dari dirinya sendiri. Ternyata meskipun secara pribadi Swandaru masih tetap merasa lebih baik dari Untara, namun dalam susunan kekuatan yang besar, Untara pun masih tetap nampak besar. Bahkan ketika berada di paseban, bersama-sama dengan Pangeran Mangkubumi. Pangeran Singasari, Adipati Pati, Grobogan dan para pemimpin yang lain.

Ternyata yang telah mengambil sikap sebagaimana Untara dan Ki Gede Menoreh, bukan hanya satu dua orang pemimpin pasukan. Namun bahkan beberapa orang secara khusus telah menghubungi para pemimpin itu untuk melakukan hal serupa.

Sebagaimana diperhitungkan oleh Untara, maka Panembahan Senapati memang telah memberikan pernyataan yang sengaja menyesatkan mereka yang tidak setia kepadanya. Pernyataan Panembahan Senapati itu dalam waktu singkat memang telah sampai ke telinga orang-orang yang mendapat tugas dari Panembahan Mas untuk mengetahui segala persiapan yang dilakukan oleh Panembahan Senapati.

Dengan demikian, maka mereka telah membuat perhitungan-perhitungan tertentu menahan arus pasukan dari Mataram itu.

Namun ternyata Panembahan Senapati menjatuhkan perintah yang lain. Pasukan Mataram akan berangkat tidak besok lusa, tetapi di hari berikutnya, menjelang tengah hari.

Ketika matahari terbit di hari berikutnya, maka beberapa orang penghubung telah memencar agar perintah itu dapat sampai ke sasaran, para pemimpin pasukan, bahwa pasukan harus dipersiapkan pagi itu juga.

Memang ada beberapa orang pemimpin pasukan yang menjadi agak tergesa-gesa, karena mereka kurang mempersiapkan diri sebelumnya. Namun waktu masih cukup panjang untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Panembahan Senapati memang tidak lagi mengumpulkan semua pasukan di alun-alun atau di ara-ara yang luas yang dapat menampung seluruh pasukan. Tetapi perintah Panembahan Senapati sudah terperinci dan jelas. Semua pasukan harus berangkat dari barak masing-masing, menempuh jalan yang sudah ditunjuk bagi setiap pasukan.

Ki Gede Menoreh yang mendapat perintah itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Panembahan Senapati adalah seorang yang berwawasan jauh dan cermat. Semua kelompok pasukan yang ada di Mataram diketahuinya dengan pasti, sehingga semuanya dapat diatur dengan tertib.

Ki Gede pun segera memanggil Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa untuk memberitahukan perintah yang telah diterima oleh Ki Gede, lengkap dengan keterangan tertulis apa yang harus dilakukannya.

“Kita akan berangkat dari barak ini tanpa berkumpul lebih dahulu. Tetapi di tengah hari, kita akan berada di tempat yang telah ditentukan dan berkumpul dengan seluruh pasukan yang akan menjadi bagian dari sayap kiri pasukan Mataram jika kelak disusun gelar. Sedangkan induk pasukan dan pasukan yang akan berada di sayap kanan, akan berkumpul di tempat lain yang sudah ditentukan pula, tanpa diketahui oleh bagian-bagian lain dari pasukan yang besar ini. Demikian pula sayap kiri yang akan dipimpin langsung oleh Pangeran Mangkubumi. Baru kelak kita akan berkumpul bersama-sama setelah kita berada di Madiun,“ berkata Ki Gede.

“Bagaimana dengan pasukan Pajang?“ bertanya Agung Sedayu.

“Pasukan Pajang akan berada di induk pasukan,“ jawab Ki Gede.

“Bagaimana jika terjadi kesulitan pada bagian-bagian dari pasukan yang terpecah itu? Sendainya Madiun yang tahu akan hal ini dan dengan sengaja menahan bagian dari pasukan Mataram dengan kekuatan penuh? Bukankah itu sangat berbahaya bagi pasukan Mataram?“ bertanya Glagah Putih.

“Para pemimpin bagian dari pasukan Mataram tentu mengetahui tempat-tempat dari bagian-bagian yang lain, serta jalan yang akan mereka tempuh, sehingga mereka dapat memerintahkan penghubung untuk memberikan isyarat. Menurut perhitunganku, ketiga bagian dari pasukan itu sebenarnya tidak berjauhan tempatnya, dan kita tahu jalan-jalan yang manakah yang mungkin dilalui oleh pasukan yang besar yang tentu tidak hanya membawa senjata di setiap tangan para prajurit dan pengawal, tetapi tentu akan membawa pedati-pedati yang berisi bekal, cadangan senjata dan lain-lain,“ berkata Ki Gede. Namun kemudian ia berkata lebih lanjut. “Kecuali jika semuanya itu sudah disiapkan di Pajang.“

Sebenarnyalah perhitungan Ki Gede itu tidak jauh dari kebenaran. Perlengkapan dan bekal memang telah dipersiapkan di Pajang. Bahkan sebagian dari pedati-pedati itu akan berangkat tanpa menunggu kedatangan pasukan induk dari Mataram, karena pedati-pedati itu akan berjalan sangat lambat. Tetapi sebagian yang lain akan berjalan di belakang pasukan kelak.

Demikianlah, maka Ki Gede Menoreh dengan seluruh pasukannya telah berkemas dan siap untuk berangkat. Ketika matahari naik semakin tinggi, maka mereka pun telah berada di halaman depan, halaman samping dan longkangan, dalam kelompok-kelompok masing-masing. 

Ki Gede telah sempat memberikan pesan kepada para pengawal agar mereka memegang teguh segala paugeran, dilandasi dengan kesadaran sepenuhnya akan tujuan keberangkatan mereka bersama pasukan Mataram yang lain.

“Jangan kehilangan landasan,“ berkata Ki Gede lantang, “jangan putus hubungan dengan sumber hidup kalian. Berdoalah kepada Yang Maha Agung agar kalian mendapat perlindungannya. Meskipun kita sama-sama tahu, bahwa peperangan adalah neraka, tetapi kita jangan kehilangan akal dan bertindak di luar batas kemanusiaan, karena di dalam peperangan sekalipun kita tetap titah tertinggi dari Yang Maha Agung itu.“

Setelah Ki Gede selesai dengan pesan-pesannya, maka Ki Gede pun telah memerintahkan para pemimpin kelompok itu untuk kembali ke dalam kelompoknya.

“Kita akan memakai pertanda bende kecil kita,“ berkata Ki Gede. “Kita tidak menunggu siapa-siapa lagi. Kita akan berangkat sendiri.“

Para pemimpin kelompok pun segera kembali ke kelompok masing-masing. Mereka mendapat kesempatan beberapa saat untuk berbicara dengan para pengawal meneruskan pesan-pesan Ki Gede, terutama tentang jalur perjalanan mereka serta ketertiban yang harus mereka lakukan dalam keterikatan paugeran-paugeran yang telah dikeluarkan oleh Mataram. Namun setiap pemimpin kelompok itu tidak pula lupa berpesan, agar setiap orang dalam pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak lupa berdoa bagi diri mereka masing-masing dan bagi semuanya yang terlibat dalam peperangan, termasuk lawan-lawan mereka.

Sesaat kemudian, maka Ki Gede pun telah memerintahkan untuk memukul bende langsung dua kali. Setiap orang telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka berkesempatan sekali lagi melihat senjata masing-masing. Bekal bagi mereka secara pribadi, dan yang bertugas telah meneliti pula bekal dan peralatan cadangan yang perlu mereka bawa.

Baru beberapa saat kemudian, maka terdengar suara bende tiga kali berturut-turut. Dengan demikian maka pasukan Tanah Perdikan itu pun telah berangkat meninggalkan barak sementara mereka di Mataram.

Iring-iringan itu pun segera turun ke jalan di depan barak mereka. Ternyata Ki Gede, Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak langsung berada di ujung pasukan, tetapi mereka berada di sebelah pintu gerbang untuk menyaksikan pasukan mereka dari ujung sampai ke ekornya.

Prastawa-lah yang berada di ujung barisan, berkuda diapit oleh para pengawal dan diiringi oleh pertanda kebesaran Tanah Perdikan Menoreh.

Seorang pengawal yang tahu bahwa Ki Gede masih berada di sebelah pintu berdesis kepada kawannya, “Jangan-jangan Ki Gede akan menanyakan apa yang aku bawa dalam bungkusan ini.“

“Apa yang kau bawa?“ bertanya kawannya.

“Kemarin aku melihat buah nangka itu masak. Sayang sekali jika ditinggalkan begitu saja. Besok tentu akan membusuk atau dimakan codot. Karena itu, lebih baik aku membawanya. Nanti di tengah hari, sambil menunggu terkumpulnya pasukan di sayap kiri, nangka itu dapat dijadikan sambilan,“ berkata pengawal itu.

“Kau memang aneh. Buah nangka itu begitu berat. Aku baru akan menanyakan, beban apa saja yang kau bawa sehingga nampaknya kau merasa terlalu menderita,“ desis kawannya.

“Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?“ bertanya pengawal yang membawa buah nangka itu.

“Jika kau letakkan di sini, maka rasa-rasanya tidak ada gunanya. Pemimpin kelompok kita akan melihat, dan barangkali menjadi marah dan melaporkannya kepada Ki Gede,“ jawab kawannya.

“Ya, karena itu lalu bagaimana?“ pengawal itu mulai jengkel karena mereka sudah mendekati pintu gerbang.

“Bawa saja,“ jawab kawannya.

“Bawa saja,“ ulang pengawal itu, “kau tentu yang beruntung. Kau tidak ikut bertanggung jawab. Tetapi jika selamat, kau akan ikut menikmatinya.“

“Apa boleh buat,“ jawab kawannya.

“Kenapa apa boleh buat?“ geram pengawal itu.

“Kenapa kau marah? Bukankah kau menanyakan pendapatku?“ sahut kawannya.

Pengawal itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat menjawab karena mereka telah sampai di pintu gerbang.

Iring-iringan itu berjalan terus. Ketika pengawal yang membawa buah nangka itu lewat di depan Ki Gede yang duduk di atas punggung kuda, keringatnya mulai membasahi punggung.

Demikian ia berjalan di depan Ki Gede, maka tiba-tiba saja Ki Gede menyentuh bungkusannya dengan tangkai tombaknya.

Beberapa orang telah berpaling. Suara buah nangka masak yang khusus itu membuat Ki Gede justru tersenyum. Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak dapat menahan tawa mereka. Bahkan beberapa orang di sekitarnya pun telah tertawa pula.

“Pemilik rumah yang kita pergunakan untuk barak ini tentu akan mencarinya,“ desis Ki Gede masih sambil tersenyum.

Pengawal itu menjadi gagap. Iapun kemudian bertanya di luar sadarnya, “Apakah harus aku kembalikan Ki Gede?”

Ki Gede justru tertawa. Katanya, “Tidak perlu sekarang. Tetapi besok jika kita selamat kembali dari Madiun, maka kau harus membayar harganya.“

“Ya. Ya. Aku akan membayar harganya,“ jawab pengawal itu.

“Jika demikian orang itu tentu akan mendoakan agar kau kembali dengan selamat,“ berkata Ki Gede.

Pengawal yang menjadi pucat itu tidak menjawab. Tetapi Ki Gede telah mendorongnya dengan tangkai tombaknya sambil berkata. “Majulah. Kawan-kawan di belakangmu menunggumu.“

Pengawal itu pun kemudian telah melangkah dan berjalan dengan cepat menyusul orang yang di depannya, diikuti oleh kawan yang berjalan di sampingnya.

“Nah, bukankah Ki Gede tidak marah?“ desis kawannya.

“Kau tidak akan mendapat bagian,“ geram pengawal itu.

“Aku akan merampokmu dengan kekerasan,“ sahut kawannya yang berjalan di sampingnya.

Pengawal itu menjadi tegang. Tetapi kawannya justru mulai tertawa melihat wajah pengawal yang masih pucat itu. Katanya, “Kau hampir pingsan karenanya. Tetapi aku sudah siap menolongmu. Karena itu, lain kali kau tidak boleh berbuat seperti itu.“

“Biarlah aku buang saja buah yang memberati lambung ini,“ desis pengawal itu.

“Jangan,“ potong kawannya dengan serta merta.

“Aku tidak memerlukan lagi,“ berkata pengawal itu.

“Bawa saja. Apalagi justru sudah diketahui oleh Ki Gede,“ berkata kawannya.

“Jika kau perlu, bawalah. Aku tiba-tiba menjadi muak,“ berkata pengawal itu.

Namun kawannya tiba-tiba tertawa menyentak. Namun dengan serta merta ditahannya sambil bergumam, “Pemerasan. Kau memang cerdik.“

Pengawal yang membawa buah nangka itu mengerutkan dahinya. Tetapi iapun kemudian tertawa pula. Katanya, “Baiklah. Kita akan bergatian membawanya.“

“Itu agak adil,“ sahut kawannya.

Beberapa orang kawannya yang ada di depan berpaling. Tetapi kawannya yang tepat berada di belakangnya ikut tertawa dan berkata, “Aku mendengar semua pembicaraan. Adalah hakku untuk mendapat bagian.“

Pengawal yang membawa buah nangka itu menyahut, “Satu lagi yang akan bergantian membawanya.“

Ketiganya pun tertawa. Yang berada di samping kawannya yang di belakang itu tertawa pula dan berkata, “Aku tidak akan berbicara apa-apa.“

Mereka pun terdiam ketika mereka melihat Ki Gede diapit oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih mendahului iring-iringan itu dan menempatkan diri di depan. Sementara itu, mereka melintasi sepasukan pengawal yang sudah siap untuk berangkat pula. Pengawal dari Pegunungan Sewu yang dipimpin oleh seorang Demang yang memiliki beberapa kelebihan dari sesamanya, Ki Demang Selagilang. Jumlah pengawal yang dibawanya tidak sebanyak pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, namun nampaknya para pengawal dari Pegunungan Sewu itu juga merupakan pengawal yang terlatih baik. Alam yang keras dan kebiasaan hidup yang berat, telah menempa mereka menjadi orang-orang yang kuat lahir dan batinnya.

Ketika para pengawal dari Pegunungan Sewu itu melihat para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh lewat, mereka pun telah memberikan salam. Bahkan ada di antara mereka yang melambai-lambaikan pedangnya sambil berteriak, “Kita akan berada di satu sayap!“

Ki Gede pun membalas salam mereka. Ternyata Ki Demang sendiri-lah yang memimpin pasukan pengawalnya.

“Sebentar lagi kami akan menyusul,“ berkata Ki Demang.

“Kami menunggu,“ jawab Ki Gede.

Sambil berjalan mendahului iring-iringan, Agung Sedayu berdesis, “Kira-kira jumlah mereka sama dengan jumlah para pengawal dari Sangkal Putung.“

“Kita belum melihat jelas seberapa besarnya pasukan pengawal Sangkal Putung,“ berkata Ki Gede.

“Tetapi menurut dugaanku, kira-kira yang dapat dikerahkan juga sebesar pasukan dari Pegunungan Sewu itu,“ sahut Glagah Putih.

“Sebenarnya Pegunungan Sewu mempunyai jumlah pengawal cukup. Tetapi seperti Menoreh, maka sebagian di antara anak-anak mudanya telah berada di antara Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh sejak terbentuknya. Kemudian sebagian lagi dari anak-anak mudanya harus tetap berada di tempat, karena mereka setiap saat harus bekerja keras untuk kehidupan mereka. Mengatasi tanah gersang berbatu-batu dan usaha untuk menghijaukan bukit-bukit yang memanjang bersusun. Jika Pegunungan Sewu mengerahkan semua anak-anak mudanya ke Mataram sekarang ini, maka penggerak dari kehidupan di Pegunungan Sewu akan berhenti, karena orang-orang tua saja tidak cukup tenaga untuk melawan garangnya alam,“ berkata Ki Gede.

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk mengiakan.

Sementara itu Ki Gede berkata selanjutnya. “Panembahan Senapati sendiri menganjurkan, agar tidak semua anak-anak muda turun ke Mataram, karena kehidupan di Pegunungan Sewu harus berjalan terus.“

Sambil berbincang, ternyata iring-iringan itu telah sampai ke pintu gerbang. Nampaknya baru saja sebuah iring-iringan lewat. Tetapi mereka tidak tahu, iring-iringan dari manakah yang telah keluar dari gerbang kota itu.

Di pintu gerbang, ternyata iring-iringan itu telah disambut oleh beberapa orang prajurit Mataram yang bertugas untuk mengucapkan selamat jalan. Kemudian di sebuah halaman di pinggir jalan, seperangkat gamelan ditabuh dengan irama keras, mengantar para prajurit dan pengawal yang akan pergi ke medan pertempuran.

Demikianlah, maka sejenak kemudian iring-iringan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah lepas dari kota. Mereka mulai memasuki jalan-jalan panjang yang berdebu. Sementara terik matahari semakin lama terasa semakin menyengat kulit.

Menjelang tengah hari, iring-iringan itu harus sudah sampai di tempat yang ditentukan. Namun agaknya masih ada iring-iringan di belakang mereka, karena ketika para pengawal dari Tanah Perdikan itu keluar dari pintu gerbang, para pengawal dari Pegunungan Sewu masih ada di dalam.

Di perjalanan, para pengawal yang mulai berkeringat itu tidak lagi banyak bicara. Yang membawa nangka telah merasa terlalu letih, sehingga seperti yang disepakati, maka bergantian empat orang di antara mereka akan membawa nangka itu sampai ke tempat yang sudah ditentukan.

Perjalanan pada langkah pertama itu memang tidak terlalu panjang. Mereka melintasi beberapa bulak dan padukuhan. Kemudian mereka memasuki sebuah bulak panjang yang baru saja dipetik hasilnya, sehingga bulak itu menjadi seperti ara-ara yang luas.

Ki Gede yang ada di ujung iring-iringan itu memberi isyarat, bahwa sebentar lagi pasukan mereka akan sampai ke tujuan pertama.

Sebenarnyalah ketika mereka melintasi bulak itu, maka mereka pun segera melihat di kejauhan di ujung bulak panjang itu, beberapa pertanda. Umbul-umbul dan rontek. Mereka pun segera mengerti, bahwa mereka telah sampai di tempat yang ditentukan untuk berkumpul.

Ternyata Pangeran Mangkubumi telah berada di tempat itu pula. Bahkan Pangeran Mangkubumi sendiri-lah yang telah menerima para pemimpin pasukan.

Dengan ramah Pangeran Mangkubumi telah mempersilahkan Ki Gede, Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa untuk duduk bersamanya, di bawah rimbunnya beberapa batang pohon gayam yang berjajar di pinggir bulak.

Di sawah yang baru saja dipetik hasilnya itu, sepasukan prajurit Mataram telah menunggu. Mereka duduk tersebar di teriknya panas matahari menjelang tengah hari. Tetapi prajurit-prajurit yang telah terlatih itu nampaknya tidak merasakan sengatan sinar matahari itu. Meskipun ada juga di antara mereka yang mencoba melindungi kepalanya dengan perisainya.

Para pengawal Tanah Perdikan yang datang kemudian pun telah mengambil tempat yang sama pula. Mereka pun telah duduk di atas tanah kering, yang masih ditebari pangkal batang padi yang telah ditebas.

“Kita menunggu pasukan dari Pegunungan Sewu,“ berkata Pangeran Mangkubumi kepada Ki Gede.

“Ketika kami berangkat, pasukan itu sudah siap Pangeran,“ jawab Ki Gede.

“Ya. Menurut perintah, tengah hari kita berkumpul. Sesaat lagi matahari akan sampai ke puncak,“ berkata Pangeran Mangkubumi.

“Apakah kita akan bermalam di perjalanan?”

“Kita tidak akan singgah di Pajang. Hanya induk pasukan saja yang akan melewati kota Pajang,“ jawab Pangeran Mangkubumi.

“Kita akan bermalam dua malam sedikitnya,“ sahut Ki Gede.

“Ya. Semalam sebelum Pajang, dan semalam lagi sesudah lewat Pajang. Kita akan menempuh jalan di sebelah utara Kota, sedangkan sayap kanan di sebelah selatan Kota. Kita beruntung, bahwa kita akan melalui jalan yang lebih baik daripada sayap kanan, yang akan menelusuri jalan-jalan setapak dan lereng perbukitan,“ berkata Pangeran Mangkubumi.

“Justru merupakan pemanasan,“ desis Ki Gede.

Pangeran Mangkubumi tertawa. Katanya, “Terik matahari sudah cukup memanaskan darah kita.“

Percakapan itu terhenti ketika mereka melihat dari kejauhan iring-iringan pasukan dari Pegunungan Sewu. Ternyata bahwa pasukan itu datang sesaat saja menjelang matahari sampai ke puncak. Tetapi belum terhitung terlambat.

Pangeran Mangkubumi pun kemudian telah bangkit menyongsong iring-iringan itu bersama Ki Gede dan beberapa orang pemimpin prajurit Mataram yang lain. Para Senapati dan para perwira yang bertugas membantu Pangeran Mangkubumi memimpin sayap kiri.

Ki Demang Selagilang yang memimpin pasukan dari Pagunungan Sewu yang membujur di sisi selatan menghadap samudra itu pun segera melaporkan diri.

“Pasukan kita sudah lengkap,“ berkata Pangeran Mangkubumi, “kita akan segera berangkat. Hari ini, kita harus mencapai tempat yang sudah ditentukan. Kita akan bermalam satu malam di sebelah barat Pajang. Kita akan melewati jalan di lereng Gunung Merapi dekat Jati Anom. Tetapi kita tidak akan melalui Kademangan Jati Anom itu sendiri.“

Demikianlah, maka Pangeran Mangkubumi segera mempersiapkan seluruh pasukannya yang terdiri dari para prajurit Mataram, para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, dan para pengawal dari Pegunungan Sewu.

Jumlah seluruh pasukan memang tidak begitu besar, tetapi cukup memadai untuk satu kekuatan sayap pasukan segelar sepapan. Sedangkan inti kekuatan dari pasukan Mataram berada di induk pasukan.

Ketika seluruh pasukan sudah berkumpul, berdiri dalam jajaran yang rapi di tanah kering yang baru saja dipetik hasilnya itu, Pangeran Mangkubumi telah mengumpulkan para pemimpin dan pemimpin kelompok untuk mendengarkan beberapa pesan yang melengkapi pesan Panembahan Senapati. Bahkan dalam beberapa hal merupakan perincian dari pesan Panembahan Senapati itu.

Demikian pesan itu selesai serta tidak ada pertanyaan lagi dari para pemimpin kelompok, maka para pemimpin kelompok itu pun telah kembali ke kelompok mereka masing-masing. Pangeran Mangkubumi memberi kesempatan kepada para pemimpin kelompok untuk menyampaikan pesan itu kepada para prajurit dan para pengawal. Baru kemudian Pangeran Mangkubumi memberi isyarat kepada pasukannya untuk berangkat.

Sesaat kemudian, maka iring-iringan itu pun telah berangkat langsung menuju ke timur. Mereka menempuh jalan yang sudah ditentukan. Jalan yang sudah ditelusuri lebih dahulu oleh para petugas sandi, sehingga dengan demikian maka perjalanan pasukan itu selalu berada dalam bingkai perhitungan dalam keserasian dengan pasukan yang ada di induk pasukan dan di. sayap kanan.

Ternyata bahwa dalam barisan itu terdapat beberapa ekor kuda yang membawa beban bagi pasukan itu. Selain perlengkapan dan perbekalan, juga cadangan senjata, meskipun setiap pasukan telah menyediakannya.

Perlahan-lahan pasukan itu bergerak seperti seekor naga yang keluar dari sarangnya. Namun semakin lama menjadi semakin cepat. Kaki para prajurit dan pengawal itu berderap seakan-akan telah mengguncang bumi.

Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang membawa nangka tidak lagi merasa membawa beban. Sementara itu kawan-kawan sekelompoknya pun masih saja mengusap mulut mereka yang masih dilekati getah nangka yang dibawa dalam kelompok itu. Ternyata buah nangka itu sempat dibagi-bagi sesaat menunggu iring-iringan pasukan Pegunungan Sewu.

“Tetapi pedangku menjadi kotor,“ berkata pengawal yang berjalan di sebelahnya.

“Kau sudah mendapat imbalan. Kau mendapat bagian paling banyak,“ jawab yang membawa nangka sejak dari barak sementara di Mataram.

“Tetapi getahnya masih melekat. Aku tidak dapat menariknya dengan serta merta dari wrangkanya. Jika tiba-tiba saja aku bertemu dengan lawan, maka aku memerlukan waktu untuk menarik pedangku,“ berkata pengawal itu.

“Ah, seberapa kekuatan getah itu menahan pedangmu?“ sahut yang membawa nangka itu.

“Apakah kita akan bertukar pedang?“ berkata kawannya.

“Tidak. Salahmu sendiri. Kau dapat berhubungan dengan kawan-kawan kita yang mengurusi cadangan senjata. Sebelum sampai ke Madiun, kau dapat menukarkannya.“

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bergumam, “Senjataku sudah aku asah setajam pisau pencukur. Aku hanya memerlukan beberapa tetes minyak kelapa untuk menghilangkan getah yang lekat itu.”

Pengawal yang membawa nangka itu tidak menjawab lagi. Dipandanginya jalan di depannya yang panjang. Ketika iring-iringan itu berbelok, maka dilihatnya ujung barisan itu dengan pertanda kebesaran Mataram. Sementara itu, setiap pasukan telah membawa pertanda kebesaran mereka masing-masing.

Namun dalam pada itu, demikian iring-iringan itu menjauh, maka dua orang yang mengamati iring-iringan itu dari kejauhan telah bergeser dan duduk di bawah rimbunnya sebatang pohon turi. “Bukan main. Menurut keterangan, yang akan berkumpul di sini adalah pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi. Pasukan itu akan menjadi bagian dari sayap kiri dari seluruh pasukan Mataram,“ berkata salah seorang darinya.

“Secara kebetulan kita dapat melihatnya,“ berkata kawannya. Lalu katanya, “Bukankah seharusnya pasukan itu berangkat besok?“

“Pasukan itu berangkat sehari lebih cepat.“ Namun tiba-tiba katanya, “Kita harus melaporkannya secepatnya.“

Kawannya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Baiklah. Kita akan memberikan laporan. Tetapi itu tidak penting. Bukankah para pemimpin di Madiun sudah bersiap menghadapi gerakan pasukan Mataram? Bahwa pasukan Mataram maju satu hari itu pun tidak akan berarti apa-apa. Karena Madiun memang sudah siap sejak beberapa saat yang lalu.“

“Tetapi setidak-tidaknya pasukan Madiun tidak tertidur karenanya,“ jawab orang yang pertama.

“Baiklah. Kita akan melaporkannya kepada Ki Lurah. Tetapi apakah Ki Lurah akan meneruskan laporan ini atau tidak, kita tidak tahu,“ berkata kawannya.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah meninggalkan tempatnya dengan sangat berhati-hati.

Dalam pada itu, maka iring-iringan pasukan Mataram itu telah berjalan terus. Matahari yang bertengger di langit telah mulai turun ke barat. Tetapi karena iring-iringan itu berjalan ke timur, maka mereka tidak menjadi silau karenanya.

Iring-iringan itu ternyata tidak berhenti sampai matahari menyusup di balik punggung pegunungan. Mereka telah menentukan perjalanan mereka pada hari pertama itu sampai ke satu tempat.

Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika mereka melewati sebuah jalan panjang yang tidak terlalu jauh dari Jati Anom. Tetapi pasukan itu memang tidak singgah di Jati Anom.

Ternyata pasukan itu telah menjalar di antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Itulah agaknya kenapa pasukan yang berada di Jati Anom di bawah pimpinan Untara, dan para pengawal dari Sangkal Putung di bawah pimpinan Swandaru, justru berjalan di sisi selatan, lewat setapak dan lereng pegunungan.

Perjalanan itu adalah pendadaran pertama bagi para prajurit dan pengawal. Namun mereka memang orang-orang yang telah terlatih. Karena itu, maka prajurit dan para pengawal itu telah berhasil mencapai tujuan yang telah ditentukan, meskipun sebagian dari mereka memang merasa letih.

Para prajurit itu telah berhenti di sebuah padang perdu yang agak luas. Mereka telah membuat semacam perkemahan untuk beristirahat. Beberapa orang yang, bertugas segera mempersiapkan diri untuk menyediakan makan dan minuman para prajurit dan pengawal dalam pasukan mereka masing-masing.

Beberapa orang petugas dari Tanah Perdikan Menoreh pun telah menyiapkan sebuah dapur untuk merebus air dan menanak nasi. Demikin pula para prajurit Mataram dan para pengawal dari Pegunungan Sewu. Mereka telah mempergunakan batu-batu yang berserakan untuk membuat perapian.

Dalam batas-batas tertentu, maka para prajurit itu pun telah bergantian pergi ke sungai di dekat padang perdu itu untuk membersihkan diri. Sementara itu setiap pasukan telah mengatur pula penjagaan mereka masing-masing. Tetapi dalam pada itu, sebagaimana telah diatur oleh Pangeran Mangkubumi maka telah disusun pimpinan bersama untuk mengatur penjagaan secara bersama-sama malam itu.

Setiap pasukan telah mengirimkan sekelompok prajurit atau pengawalnya, yang berkumpul ditempat yang telah ditentukan. Mereka akan bergantian mengadakan penjagaan dan ronda di sekeliling perkernahan mereka.

Dalam kesempatan itu, Pangeran Mangkubumi sambil beristirahat telah berbincang-bincang pula dengan para Senapatinya. Termasuk Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang. Sementara itu Agung Sedayu, Glagah Putih, Prastawa dan para pemimpin yang tidak duduk bersama dengan Pangeran Mangkubumi, telah berkelompok dan berbincang pula di antara mereka. Mereka telah saling menyatakan pendapat mereka tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka alami.

Sementara itu, malam pun telah menjadi semakin dalam. Sebagian besar para prajurit, para pengawal dan setiap orang yang ada di dalam pasukan itu telah makan dan minum secukupnya. Hanya beberapa orang tertentu sajalah yang masih sibuk mengemasi barang-barang mereka, agar besok mereka dapat berangkat tepat pada waktunya dan tidak memperlambat segala macam rencana. Namun para petugas di dapur itu pun telah menyiapkan pula beras yang akan mereka siapkan untuk makan pagi.

Seperti para prajurit dan pengawal, maka para petugas di dapur itu pun beristirahat bergantian. Mereka tidak dapat bersama-sama. Tetapi sebagian tetap memelihara api dan menjerang air yang setiap saat diperlukan untuk minum, agar tetap terpelihara kehangatannya.

Namun dalam pada itu, selagi orang-orang di perkemahan itu lelap, tiba-tiba saja mereka yang bertugas telah dikejutkan oleh suara cambuk yang bagaikan menggetarkan udara. Suaranya tidak begitu keras. Tetapi getarannya bagaikan telah menghentakkan isi dada.

Para pemimpin dan para Senapati yang masih belum tertidur pun terkejut. Bahkan Pangeran Mangkubumi telah bangkit berdiri dan melangkah ke tempat para petugas malam itu, diikuti oleh para pemimpin yang lain.

“Apa yang kalian dengar?“ bertanya Pangeran Mangkubumi.

“Suara cambuk,“ jawab pemimpin peronda malam itu. Seorang perwira muda dari Mataram.

Pangeran Mangkubumi termangu-mangu sejenak. Sementara beberapa orang yang lain telah mendekatinya pula. Termasuk Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Sesaat kemudian suara cambuk itu telah terdengar lagi. Seperti sebelumnya. Memang tidak begitu keras, tetapi orang yang menghentakkan cambuk itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi.

Ketika seorang perwira prajurit Mataram melangkah maju menghadap Pangeran Mangkubumi dan mohon diijinkan untuk melihat siapakah yang bermain-main dengan cambuk itu, maka Pangeran Mangkubumi pun berkata, “Bukan kau. Dengar dan tangkap getaran cambuk itu. Kau akan tahu, betapa tinggi ilmu orang itu.“

“Apakah kita akan membiarkannya?“ bertanya perwira itu.

Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada datar, “Aku yang bertanggung jawab di sini. Biarlah aku dan beberapa orang pengawal mencarinya.“

“Jangan Pangeran,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu mencegah, “Pangeran bertanggung jawab atas seluruh unsur yang ada di sayap ini. Karena itu, biarlah aku dan Glagah Putih melihatnya.“

“Kenapa kau?“ bertanya Pangeran Mangkubumi.

“Yang terdengar itu adalah suara cambuk, Pangeran. Sedangkan aku adalah salah seorang murid dari perguruan Orang Bercambuk. Karena itu, dari sisi perguruan kami, maka aku berkepentingan untuk mengetahui siapakah orang itu, sedangkan murid dari perguruan Orang Bercambuk sekarang hanya ada dua. Aku sebagai murid tertua, dan Adi Swandaru yang ikut pula dalam pasukan Mataram ini, bergabung dengan para prajurit Mataram di Jati Anom dan berada di sayap kanan. Sementara itu, suara cambuk itu masih belum terlalu jauh dari Jati Anom. Sedangkan padepokan kami berada di Jati Anom,“ jawab Agung Sedayu.

Tetapi Ki Gede Menoreh telah menyahut, “Bukankah itu sangat berbahaya bagimu? Apalagi jika kau hanya berdua.“

“Ya,“ berkata Pangeran Mangkubumi pula, “dengan mendengar bunyi cambuk serta mengamati getaran ledakan cambuk itu maka kita yakin, bahwa orang itu berilmu sangat tinggi.“

“Tetapi aku dapat mengenali bahwa ilmu itu mempunyai sumber yang sama dengan ilmuku. Mungkin aku dan orang itu tidak perlu membuat perbandingan ilmu, apalagi kekerasan yang sebenarnya,“ jawab Agung Sedayu.

“Pergilah. Tetapi aku akan mengirimkan sekelompok prajurit pilihan untuk mengamati keadaan. Orang itu tentu mempunyai maksud tertentu. Jika tidak, ia tidak akan melakukan hal itu,“ berkata Pangeran Mangkubumi.

“Aku mohon Pangeran, biarlah aku dan Glagah Putih saja yang melihat orang itu. Mudah-mudahan tidak terjadi kekerasan,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku tidak mau kehilangan orang-orangku yang terbaik, justru dalam perjalanan menuju ke sasaran,“ berkata Pangeran Mangkubumi yang pernah mendengar banyak cerita tentang Agung Sedayu dari Panembahan Senapati. Namun juga karena itu maka Pangeran Mangkubumi telah mengijinkan Agung Sedayu untuk melihat siapakah yang telah mengganggu ketenangan pasukan Mataram itu. Selain Agung Sedayu dan Glagah Putih yang memiliki bekal yang cukup pula, karena ia banyak berhubungan dan mengembara bersama-sama dengan Raden Rangga, Pangeran Mangkubumi tidak akan melepaskannya.

“Tetapi kami akan berhati-hati,“ jawab Agung Sedayu.

“Dengar perintahku,“ potong Pangeran Mangkubumi kemudian.

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak berani membantah lagi. Meskipun Pangeran Mangkubumi nampak lebih sabar dari Pangeran Singasari, tetapi dalam hal yang penting, Pangeran Mangkubumi pun berpendirian keras.

Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian mengangguk hormat sambil mohon diri, “Baiklah Pangeran. Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran.“

“Pergilah mendahului,“ berkata Pangeran Mangkubumi kemudian, “tetapi berhati-hatilah.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian telah mohon diri pula kepada Ki Gede, sebelum keduanya meloncat ke dalam gelapnya malam di padang perdu yang agak luas itu.

Ketika kemudian terdengar lagi ledakan cambuk itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera mengetahui dimana orang itu menunggu mereka. Karena Agung Sedayu yakin, bahwa orang itu tentu berhubungan dengan perguruan Orang Bercambuk.

“Cepat Glagah Putih,” ajak Agung Sedayu, “mudah-mudahan sekelompok prajurit yang dikirim oleh Pangeran Mangkubumi tidak berhasil menemukan kita.“

Keduanya pun telah mempergunakan tenaga cadangan mereka, sehingga dengan demikian keduanya telah berlari semakin cepat. Agung Sedayu tidak dapat mempergunakan kemampuannya memperingan tubuhnya dan berlari seperti angin, karena dengan demikian Glagah Putih akan ketinggalan. Namun sebenarnyalah dengan dorongan tenaga cadangannya, Glagah Putih telah mampu berlari cepat, melampaui kecepatan orang kebanyakan.

Beberapa saat kemudian, keduanya justru telah hampir mencapai ujung dari padang perdu. Di hadapan mereka terdapat hutan yang cukup lebat, meskipun sudah tidak terlalu luas.

“Kita berhenti di sini, Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu, “suara itu berasal dari daerah ini.“

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ketajaman panggraitanya yang terarah segera menangkap isyarat, bahwa di dekat mereka bersembunyi orang yang mereka cari.

Agung Sedayu pun telah berdiri menghadap ke arah orang yang masih belum menampakkan diri itu. Dengan nada rendah Agung Sedayu berkata, “Silahkan Ki Sanak. Aku sudah datang.“

Terdengar suara tertawa pendek. Suara yang tinggi melengking. Sama sekali tidak sesuai dengan tingkat ilmu yang tinggi, yang telah diisyaratkan sebelumnya.

Sejenak kemudian, seorang yang terbongkok-bongkok berjalan dari balik gerumbul perdu. Di tangannya dijinjingnya sebuah cambuk yang juntainya terurai panjang. Lebih panjang dari juntai cambuk Agung Sedayu.

“Siapa kalian yang telah berani datang ke tempat ini?“ bertanya orang bongkok itu dengan nada tinggi. Karena suaranya pun kecil dan melengking, maka pertanyaan itu terdengar menusuk-nusuk telinga.

“Kami adalah para pengawal yang ada di dalam pasukan Mataram. Aku tahu, kau tentu melihat iring-iringan itu dan dengan sengaja memancing kami kemari,“ jawab Agung Sedayu.

“Bagus,“ jawab orang itu melengking-lengking, “jika demikian maka kau tentu orang yang aku maksud. Bukankah kau salah seorang dari murid orang yang mengaku Orang Bercambuk itu?“

“Apa maksudmu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Seseorang telah mencuri kitabku. Kemudian ia mengaku dan bahkan mendirikan padepokan dari perguruan yang disebutnya perguruan Orang Bercambuk. Orang itu mempunyai dua orang murid. Agaknya kalian berdua adalah murid dari orang yang telah mengaku memiliki ilmu cambuk yang paling baik itu,“ berkata orang itu pula.

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “aku memang murid dari seseorang yang mengaku Orang Bercambuk. Tetapi aku telah bertahun-tahun menjadi muridnya. Bukan baru kemarin sore. Seandainya ia mencuri kitabmu dan mengaku dirinya dalam kedudukan yang bukan haknya, kenapa baru sekarang kau menelusurinya?“

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dalam kesempatan itu Agung Sedayu dan Glagah Putih berusaha untuk mengenali wajahnya. Tetapi dalam kegelapan malam, apalagi orang itu yang nampak gelisah dan selalu bergerak meskipun hanya kakinya atau kepalanya, maka mereka tidak segera dapat melihat dengan jelas wajah yang memang kehitam-hitaman itu. Wajah yang nampak aneh dan tidak sewajarnya.

Baru sejenak kemudian orang itu menjawab, “Satu pertanyaan yang cerdik. Tetapi itu bukan berarti aku mengakui bahwa aku hanya mencari-cari persoalan sekarang ini. Tetapi aku memang memerlukan waktu yang lama untuk menemukannya. Kemudian meyakinkan diriku sendiri tentang orang itu, akhirnya menyelidiki cara hidupnya dan mengetahuinya bahwa ia mempunyai dua orang murid.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Katakan bahwa kau telah menemukan murid-muridnya. Tetapi apakah kau sudah bertemu dengan Orang Bercambuk itu sendiri?“

“Aku-lah Orang Bercambuk itu,“ jawab orang bongkok dengan suara melengking itu.

“Maksudku dengan orang yang kau tuduh mencuri kitab itu,“ sahut Agung Sedayu.

“Aku bukan orang yang sangat dungu. Jika aku menebang sebatang pohon, maka aku akan memotong dahan-dahannya lebih dahulu,“ jawab orang itu.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak.

Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Aku pun memerlukan waktu untuk mengetahui bahwa kalian berdua ada di sayap kiri pasukan Mataram yang akan ke Madiun. Kemudian, untung-untungan aku berusaha memanggilmu kemari. Aku mencoba untuk yakin bahwa kau adalah seorang laki-laki sejati, sehingga kau berani datang sekarang ini.“

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “setelah kau bertemu dengan aku, apa maksudmu?“

“Kaulah yang dungu!“ orang itu membentak dengan suaranya yang tinggi, “Aku akan membunuhmu, membunuh saudara seperguruanmu, dan kemudian membunuh gurumu yang mengaku Orang Bercambuk itu.“

“Kenapa kau mengambil jalan yang kasar itu? Kau dapat menemui guruku. Guru berada di padepokannya. Ia jarang sekali pergi sekarang karena ia sudah terlalu tua untuk mengembara. Kau dapat membicarakannya dengan baik sehingga persoalanmu dapat kau selesaikan tanpa mempergunakan kekerasan.“

“Inikah ajaran Orang Bercambuk yang palsu itu? Aku tidak senang mendengarnya. Orang Bercambuk bukan orang yang cengeng, perajuk dan pengecut seperti itu. Orang Bercambuk terbiasa menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendasar dengan taruhan nyawa!“ bentak orang itu pula. Lalu, “Karena itu, kita akan menyelesaikan persoalan kita dengan bertaruh nyawa pula. Kalian berdua akan mati. Baru kemudian aku akan membunuh gurumu.“

“Ternyata kita tidak sesuai,“ berkata Agung Sedayu, “seandainya kau benar Orang Bercambuk sebagaimana yang kau katakan dengan sifat-sifat itu, maka aku tidak akan dapat berguru kepadamu.“

“Aku pun tidak menganggapmu pantas menjadi muridku. Karena itu, bersiaplah kalian berdua untuk mati. Aku akan membunuh kalian dengan caraku.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera bersiap. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun berkata kepada Glagah Putih. “Minggirlah. Biar aku sendiri menyelesaikannya, apapun yang akan terjadi.“

Glagah Putih termangu-mangu. Namun kakak sepupunya itu nampaknya memang bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Glagah Putih pun segera bergeser surut. Ia sadar, bahwa ia tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam ilmu sebagaimana dikuasai oleh Agung Sedayu, meskipun pada dasarnya ia sudah memasuki keluarga perguruan Orang Bercambuk. Namun berhubung dengan keberangkatan pasukan Mataram ke Madiun, serta waktu yang dibutuhkan oleh Agung Sedayu untuk meningkatkan ilmu cambuknya sampai ke tataran puncaknya, maka ia belum mendapat bagian waktu yang cukup untuk benar-benar mewarisi ilmu dari perguruan Orang Bercambuk itu.

Sejenak kemudian kedua orang itu telah berhadap-hadapan. Seorang bertubuh agak bongkok, dengan suara yang melengking-lengking bernada tinggi, sedangkan yang lain adalah seorang yang masih terhitung muda, namun yang telah mewarisi ilmu Orang Bercambuk itu hampir sepenuhnya.

“Kau memang sombong,“ geram orang bongkok itu, “kau kira kau mampu melawan aku seorang diri?“

“Bagaimanapun juga aku harus tetap mempertahankan harga diri perguruanku, meskipun kau sebut palsu,“ jawab Agung Sedayu.

Orang itu tidak menjawab lagi. Ia mulai menggerakkan cambuknya sambil berkata, “Urai cambukmu. Bukankah kita sama-sama mengaku dari perguruan Orang Bercambuk?“

Agung Sedayu memang sudah siap mengurai cambuknya. Ia tidak mau menjadi sasaran cambuk lawannya tanpa dapat menyerang kembali.

Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat ke dalam pertempuran. Orang bongkok itu mulai meloncat menyerang dengan juntai cambuknya yang agak lebih panjang dari juntai cambuk Agung Sedayu.

Namun Agung Sedayu sempat mengelak. Bahkan cambuknya pun telah menggelepar pula. Seperti cambuk lawannya, cambuknya pun tidak meledak memekakkan telinga. Tetapi getaran yang memancar lewat udara di seputarnya telah menggetarkan jantung, sebagaimana yang dilakukan oleh lawannya.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan menghindari juntai-juntai cambuk yang sambar-menyambar. Namun kedua-duanya agaknya memang belum tersentuh oleh ujung cambuk itu.

Sementara itu, Glagah Putih memperhatikan keduanya dengan tegang. Kedua orang itu seakan-akan telah berterbangan, berputaran saling serang menyerang. Namun nampaknya karena juntai cambuk lawan Agung Sedayu lebih panjang, maka rasa-rasanya ujung cambuk orang bongkok itu mampu menggapai jarak yang lebih panjang pula.

Karena itu, Agung Sedayu harus bekerja lebih keras untuk mengatasinya. Apalagi orang bongkok itu ternyata memang memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam ilmu cambuk.

Untuk beberapa saat lamanya Agung Sedayu sempat memperhatikan unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh orang bongkok itu. Ternyata unsur-unsur gerak yang dipergunakan memang unsur-unsur gerak dari perguruan Orang Bercambuk. Bahkan rasa-rasanya orang itu telah menguasai unsur-unsur gerak yang paling rumit dari perguruan Orang Bercambuk itu.

Ketika ujung juntai cambuk orang bongkok itu semakin dekat dengan kulit Agung Sedayu, bahkan rasa-rasanya sambaran anginnya telah semakin terasa, maka Agung Sedayu pun terpaksa mempergunakan ilmunya yang lain, yang disadapnya tidak dari perguruan Orang Bercambuk. Dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya, maka Agung Sedayu telah membangun perisai yang sulit untuk ditembus. Ilmu kebal.

Dengan diselimuti oleh ilmu kebal, maka Agung Sedayu menjadi semakin garang menyerang lawannya. Meskipun juntai cambuknya lebih pendek, namun ternyata bahwa ujung cambuknya itu telah beberapa kali hampir menyentuh kulit lawannya, sebagaimana ujung juntai cambuk lawannya itu.

Namun satu ketika, orang bongkok itu telah membuat Agung Sedayu terkejut, ketika ia telah menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi. Bahkan dengan unsur gerak yang terasa agak asing baginya.

Agung Sedayu berusaha untuk menghindar, tetapi serangan berikutnya dilakukan dengan unsur gerak yang sangat rumit dan tidak diduga-duga. Dengan demikian maka Agung Sedayu telah terlambat menghindar, meskipun ia sempat bergeser selangkah. Namun ujung cambuk lawannya itu ternyata telah menyentuh kulitnya.

Namun dengan serta merta lawannya itu berteriak melengking, “Kau ternyata tidak setia kepada perguruanmu. Kau telah mempergunakan ilmu yang tentu kau sadap tidak dari perguruan Orang Bercambuk.“

“Apakah menurut penilaianmu itu pertanda tidak setia? Kau memang jauh berbeda dari guruku. Guru menganjurkan aku untuk mencari bekal ilmu dari manapun juga asal bukan sejenis ilmu hitam, yang didapat dari dunia kegelapan dan dipergunakan untuk maksud-maksud jahat,“ jawab Agung Sedayu.

“Dari mana kau dapatkan ilmu kebal itu?“ bertanya orang bongkok itu.

Agung Sedayu masih saja berloncatan menghindari serangan orang itu yang semakin lama menjadi semakin sengit. Namun kemudian dengan lantang Agung Sedayu menjawab, “Kau tidak perlu mengetahui dari mana aku mendapatkan ilmu itu. Tetapi semua ilmu yang aku miliki sudah direstui guruku. Itu sudah cukup menunjukkan bahwa aku adalah murid yang setia.“

“Kau memang banyak berbicara,“ geram orang bongkok itu melengking.

“Aku menjawab pertanyaanmu,“ jawab Agung Sedayu.

Namun ternyata serangan-serangan orang itu semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga beberapa kali ujung cambuk orang bongkok itu berhasil menyentuh kulitnya. Bahkan kemudian Agung Sedayu mulai merasa bahwa perisai ilmu kebalnya mulai goyah.

“Luar biasa,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “orang ini memang memiliki ilmu cambuk sebagaimana yang tercantum di dalam kitab itu.“

Dalam pada itu, karena Agung Sedayu merasa semakin terdesak, sementara ilmu kebalnya rasa-rasanya hampir tertembus, maka iapun telah mempergunakan ilmunya yang lain pula. Agung Sedayu tiba-tiba mampu berloncatan semakin cepat dengan langkah-langkah semakin panjang.

“Iblis kau,“ geram orang bongkok itu, “kau mampu meringankan tubuhmu dengan sangat baik. Satu lagi kau telah menunjukkan ilmu yang tidak kau sadap dari keturunan ilmu Orang Bercambuk. Pertanda bahwa kau benar-benar telah berkhianat.“

“Jangan mengigau,“ sahut Agung Sedayu, “kau kira ilmumu yang menunjukkan unsur-unsur gerak yang rumit itu kau pelajari dalam jalur perguruan Orang Bercambuk?“

“Kenapa?“ bertanya orang, “Itu semuanya adalah hasil penelitian yang bersungguh-sungguh atas kitabku yang telah dicuri orang itu. Hanya orang-orang dungu sajalah yang mengatakan bahwa unsur-unsur yang rumit itu aku dapatkan dari jalur perguruan yang lain.“

“Aku tidak mendapatkannya di dalam kitab itu,“ berkata Agung Sedayu.

“Apakah kau sudah membaca seluruhnya? Atau sekedar ilmu cambuknya saja?“ bertanya orang itu sambil menyerang.

Agung Sedayu melenting tinggi untuk mengelakkan serangan lawannya. Namun ia sempat menjawab, “Aku sudah membaca semuanya. Guru telah berhasil menguasai seluruh isi buku itu.“

“Omong kosong,“ geram orang bongkok itu, “jika kau sudah membaca dan mengerti isi kitab itu, maka kau tidak akan heran melihat unsur-unsur yang kau anggap rumit itu. Atau otakmu memang terlalu tumpul, sehingga kau tidak melihat hubungan antara ilmu yang satu dengan yang lain? Jika kau sudah menguasai sepenuhnya ilmu cambuk dan hanya terikat dengan unsur-unsur gerak dari ilmu itu tanpa memanfaatkan unsur-unsur gerak dari jenis ilmu yang lain yang juga termuat di dalam kitab itu, maka kau termasuk seorang yang sangat malas. Malas berpikir dan sama sekali tidak menguntungkan, meskipun aku yakin bahwa setiap orang yang mempelajari kitab itu akan sampai pada satu kesimpulan untuk memanfaatkan semuanya yang tersirat dari isi kitab itu. Namun biasanya memerlukan waktu yang lama. Aku pun memerlukan waktu bertahun-tahun untuk melakukannya. Tanpa ada orang yang memperingatkan, maka seseorang pada umumnya tidak akan berpikir sampai ke sana dalam waktu dekat. Hanya orang yang mempunyai panggraita yang dalam dan kemampuan melebihi kebanyakan orang yang akan dapat melakukannya.“

Agung Sedayu meloncat mengambil jarak. Ia bahkan termangu-mangu sejenak.

Namun orang bongkok itu tiba-tiba berteriak. “Iblis kau! Kau harus mati!“

Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat orang bongkok itu memutar juntai cambuknya di atas kepalanya.

Glagah Putih pun menjadi tegang. Apalagi ketika ia mendengar Agung Sedayu berteriak. “Glagah Putih, hati-hati.“

Sebenarnyalah sesaat kemudian, cambuk itu telah dihentakkan dengan dahsyatnya. Tidak terdengar suara ledakan cambuk itu. Tetapi seleret sinar memancar dari ujung cambuk itu.

Dengan tangkas Agung Sedayu telah meloncat menghindar. Namun seleret sinar itu telah menyambar batu-batu padas di lereng gunung itu, sehingga yang kemudian terdengar adalah suara ledakan yang dahsyat. Batu-batu padas pun berguguran pecah berserakan. Jantung Glagah Putih bagaikan berhenti berdetak. Meskipun Agung Sedayu memakai perisai ilmu kebal rangkap lima, namun serangan itu tentu akan dapat memecahkannya.

Tetapi Glagah Putih pun menjadi semakin tegang. Agung Sedayu yang meloncat itu telah memutar cambuknya pula. Namun terasa betapa ia menjadi ragu-ragu. Pada saat-saat terakhir terngiang di telinganya pesan gurunya, agar ia tidak mempergunakan ilmu itu.

Namun Agung Sedayu harus meloncat lagi. Untunglah bahwa ia memiliki kemampuan meringankan tubuhnya, sehingga sekali lagi serangan itu tidak menyentuh tubuhnya. Sekali lagi batu-batu padas telah meledak dan berserakan.

Meskipun demikian Agung Sedayu masih saja merasa ragu-ragu. Bahkan ketika lawannya menyerang sampai tiga empat kali, Agung Sedayu masih belum membalas. Ada niatnya untuk menyerang dengan kekuatan sorot matanya. Namun orang itu tentu akan semakin lantang menyebutnya sebagai penghianat, karena ia telah mempergunakan ilmu yang lain selain dari perguruannya.

Namun akhirnya Agung Sedayu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Serangan orang itu menjadi semakin sering, dengan loncatan ilmu yang sangat berbahaya baginya.

“Orang ini telah menguasai tataran tertinggi dari ilmu cambuk,“ berkata Agung Sedayu, “bahkan berhasil memanfaatkan unsur-unsur gerak dari jenis ilmu yang lain, sehingga ilmunya seakan-akan menjadi lebih rumit dan berbahaya.“

Dalam keadaan yang sangat mendesak, maka Agung Sedayu telah memaksa diri untuk mempergunakan ilmunya. Memancarkan kekuatan lewat sorot matanya.

Tetapi orang bercambuk yang bongkok itu ternyata memiliki ketajaman penglihatan melampaui orang kebanyakan. Ketika Agung Sedayu mengambil jarak dan bersiap melepaskan serangannya, orang itu memang tertegun sejenak. Namun orang bongkok itu ternyata mampu melenting mengimbangi kecepatan serangan Agung Sedayu. Orang bongkok itu ternyata mampu melihat getaran sinar tipis yang memancar dari mata Agung Sedayu menyambarnya. Tetapi ternyata bahwa serangan itu pun tidak mengenai sasarannya.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa orang bongkok itu. Dengan suara yang melengking-lengking iapun berkata, “Anak ingusan. Kau sedang bermain apa? Jika kau mengaku murid perguruan bercambuk, apa yang kau lakukan? Ilmu kebal, ilmu meringankan tubuh, kemudian bermain sembunyi-sembunyian dengan mempercayakan keselamatan hidupmu pada ketajaman penglihatan yang mampu kau jadikan senjata pelindung itu, yang semuanya tidak bersumber pada ilmu cambuk yang dahsyat. Ternyata kau juga termasuk orang yang mengaku-aku, karena kau tidak mampu mempergunakan ilmu cambukmu dengan baik, apalagi pada tataran terakhir yang sama sekali belum kau kuasai. Lebih-lebih puncak dari susunan ilmu cambuk yang mampu melepaskan serangan melampaui kekuatan sorot matamu itu.“

Agung Sedayu menggeram. Namun iapun kemudian berkata, “Sekali lagi aku melihat perbedaan yang mendasar antara kau dan guruku. Guruku sama sekali tidak meghambur-hamburkan serangan ilmu cambuknya yang sangat berbahaya itu.“

“Omong kosong,“ orang bongkok itu masih saja tertawa, “jika kau memang mampu, tetapi tidak kau pergunakan sekarang, maka untuk selamanya kau tidak akan pernah mempergunakannya, karena kau akan segera mati.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata pula dengan lantang. “Ilmu kebalmu tidak berarti apa-apa.“

Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar melihat orang itu sekali lagi memutar cambuknya. Sebuah serangan yang dahsyat telah meluncur demikian cambuk itu dihentakkan.

Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya Agung Sedayu memang sempat bergeser. Namun jantungnya berdegup keras ketika ia mendengarkan orang bongkok itu berkata selanjutnya, “Jika kau benar memiliki ilmu perguruan Orang Bercambuk sampai batas tertinggi, kenapa kau tidak mempergunakannya untuk melawan aku? Sudah aku katakan, ini adalah kesempatan yang terakhir untuk mencobanya sekali lagi.“

Dalam keadaan yang semakin terjepit, serta pancingan-pancingan yang tidak henti-hentinya, maka betapapun keragu-raguan mencengkam jantungnya, namun akhirnya Agung Sedayu memang tidak mempunyai pilihan lain.

“He!“ orang bongkok itu berteriak lagi, “Jika kau mengaku pernah melihat sebuah kitab tentang ilmu cambuk, maka kau tentu hanya sekedar bermimpi, atau gurumu itu telah menipumu dengan menunjukkan kepadamu sebuah kitab lain yang tidak berarti, meskipun kitabku benar-benar dicurinya.“

Agung Sedayu memang tidak mampu menahan diri lagi. Tiba-tiba saja cambuknya telah diputarnya di atas kepalanya. Hanya dalam waktu sekejap, karena ia tidak mau didahului oleh serangan lawannya. Ketika lawannya siap melakukan hal yang sama, maka Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya.

Seleret sinar pun telah menyambar orang bongkok itu. Tetapi seperti Agung Sedayu, maka orang itu pun dengan sigapnya telah berhasil menghindarinya. Namun kemudian terdengar suaranya yang melengking mengatasi batu-batu padas yang berguguran setelah meledak oleh serangan ilmu Agung Sedayu, “Luar biasa. Ternyata kau mampu melakukannya. Jika demikian aku semakin yakin, kitabku memang dicuri oleh orang yang mengaku gurumu itu.“

“Persetan,“ geram Agung Sedayu yang menjadi semakin marah.

Sejenak kemudian, maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Keduanya bagaikan berterbangan di dalam gelap. Berputaran, sementara serangan ilmu cambuk mereka yang jauh melampaui panjang juntai cambuk itu sendiri telah berlangsung semakin sengit. Namun setiap kali Agung Sedayu memang melihat unsur-unsur gerak yang rumit, karena orang itu telah memanfaatkan ilmu-ilmu yang lain jenisnya, namun mampu mendukung kedahsyatan ilmu cambuknya. Tetapi sumbernya tetap dari kitab yang disebutnya itu.

Glagah Putih memang menjadi cemas. Tetapi ia tidak dapat mendekati pertempuran itu. Ia justru telah melangkah surut untuk menghindari hal-hal yang tidak menguntungkan baginya. Jika serangan-serangan itu tanpa sengaja meluncur ke arahnya, maka iapun harus mampu menghindarinya.

Namun untuk beberapa saat Glagah Putih bagaikan mematung melihat pertempuran itu. Ia sendiri adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi. Apalagi setelah dengan taruhan yang mahal, gurunya berhasil meningkatkan kemampuannya mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya. Tetapi melihat pertempuran antara Agung Sedayu dan orang bongkok itu, Glagah Putih masih juga menjadi berdebar-debar karena kadang-kadang terjadi hal-hal yang tidak terduga-duga.

Dalam keremangan malam, dua sosok bayangan berterbangan melingkar-lingkar saling menyerang dengan ilmu cambuk yang sangat tinggi. Kemudian bahkan dengan tubuh berputar, meluncur menyusup di bawah serangan yang meluncur dari hentakan cambuk seorang di antara mereka, dan berusaha langsung menyerang dengan juntai cambuk itu.

Tetapi ternyata keduanya memiliki kemampuan yang seimbang, meskipun Agung Sedayu harus mempergunakan kemampuannya yang berlandaskan pada sumber yang lain. Bagaimanapun juga ilmu kebal Agung Sedayu memberikan perlindungan juga pada kulitnya, karena sambaran angin serangan lawannya yang tidak mengenai sasaran itu pun akan dapat menyakitinya jika ia tidak mempergunakan ilmu kebalnya. Sedangkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya itu pun sangat berarti pula baginya dalam pertempuran yang cepat dan pada jarak yang panjang.

Sementara itu, Pangeran Mangkubumi seperti yang dikatakan memang mengirimkan sekelompok perwira terpilih untuk mencari Agung Sedayu yang terlalu cepat mendahului mereka. Apalagi bagi telinga mereka, suara cambuk yang kemudian bersahutan itu bagaikan melingkar-lingkar dari arah yang berubah-ubah. Karena itu, maka para perwira itu memerlukan waktu untuk akhirnya berhasil menemukan arena pertempuran itu.

Namun mereka tidak sempat menyaksikan pertempuran yang sangat dahsyat itu. Demikian mereka berusaha mendekat, maka orang bongkok itu berkata lantang. “Pengecut! Jadi kau perintahkan orang-orangmu mengikutimu dan menolongmu dalam pertempuran ini? Kenapa kau berpura-pura untuk tidak mengijinkan saudara seperguruanmu itu terlibat dalam pertempuran ini, tetapi justru kau panggil sekelompok prajurit? Jika dalam kelompok itu terdapat Pangeran Mangkubumi dan Ki Gede Menoreh serta Ki Demang Selagilang, maka aku memang akan menemui kesulitan. Apalagi jika Pangeran Mangkubumi langsung ikut menangani. Karena itu, maka aku biarkan kau kali ini. Tetapi dengan cara apapun, kau tidak akan pernah dapat mencapai Tanah Perdikan Menoreh setelah kembali dari Madiun.“

Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya, “Dari mana kau ketahui semuanya itu?“

Orang itu tidak menjawab. Tetapi kemudian tiba-tiba saja ia telah menyerang dengan dahsyatnya untuk mendapat kesempatan melepaskan diri dari pertempuran itu.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka orang itu pun telah meloncat dengan cepat meninggalkan arena menuju ke hutan.

Agung Sedayu tertegun sejenak. Namun iapun kemudian telah berlari menyusulnya. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, ia berniat untuk dapat mencapainya sebelum orang itu masuk ke hutan.

Tetapi Agung Sedayu memang merasa heran. Meskipun ia sudah mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, namun ia tidak menjadi semakin dekat. Bahkan semakin jauh.

Karena itu, maka Agung Sedayu telah memutar cambuknya sambil berlari. Kemudian berhenti sejenak untuk menghentakkan cambuknya itu.

Namun Agung Sedayu memang tidak membidik punggung orang itu. Agung Sedayu sendiri merasa tidak adil untuk menyerang dari belakang di saat orang itu melarikan diri. Karena itu, maka Agung Sedayu telah menyerang sasaran lain. Dengan kekuatan ilmu cambuknya yang sudah hampir sampai ke puncak kemampuan itu, ia telah menyerang sisi hutan yang memang tidak lagi terlalu garang itu.

Satu ledakan yang dahsyat telah mengguncang beberapa pohon di hutan itu. Bahkan kemudian disusul suara dahan-dahan yang retak dan berpatahan. Beberapa pohon yang tidak terlalu kuat pun telah tumbang karenanya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kekuatan ilmu cambuk itu begitu dahsyatnya. Apalagi jika Agung Sedayu benar-benar telah menguasai ilmu itu sepenuhnya, sebagaimana Kiai Gringsing. Nampaknya orang bongkok itu juga benar-benar menguasai ilmu cambuk itu, lepas dari kebenaran kata-katanya bahwa kitabnya telah dicuri orang.

“Atau memang ada kitab rangkap tentang ilmu cambuk?“ bertanya Glagah Putih di dalam hatinya.

Hentakan yang dahsyat yang telah mematahkan beberapa dahan dan ranting pepohonan dan menumbangkan pohon-pohon yang tidak mampu bertahan dengan kuat, memang mengejutkan orang bongkok itu. Tetapi ia sama sekali tidak berhenti. Sejenak kemudian maka orang itu pun telah lenyap di dalam kelamnya hutan di malam hari.

Beberapa saat kemudian Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ketika Glagah Putih kemudian berdiri di sisinya, terdengar Agung Sedayu bergumam. Tetapi tidak begitu jelas bagi Glagah Putih.

Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Glagah Putih. Ikut aku.“

“Kemana?“ bertanya Glagah Putih.

Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Ia telah berlari menuju ke kelompok para perwira Mataram yang menyusulnya.

Para perwira itu tidak melihat pertempuran itu dengan jelas, karena demikian mereka mendekati pertempuran itu, orang bongkok itu pun telah melarikan diri.

Para perwira yang melihat Agung Sedayu berlari-lari ke arah mereka segera menyongsongnya dan beberapa orang hampir berbareng bertanya, “Apa yang terjadi?“

“Orang itu melarikan diri. Ia masuk ke dalam hutan. Tetapi aku harus mengejarnya,“ jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kemana kau akan mengejar?“ bertanya seorang di antara mereka.

“Kami akan mengambil kuda. Kami harus menemukan mereka,“ jawab Agung Sedayu, “Maaf, kami terpaksa mendahului.“

Agung Sedayu tidak menunggu jawaban lagi. Iapun kemudian telah berlari diikuti oleh Glagah Putih. Namun betapapun Glagah Putih mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya sehingga iapun menjadi bagaikan terbang, tetapi Agung Sedayu masih bergerak lebih cepat lagi.

Namun Agung Sedayu harus berhenti berlari ketika ia mendekati perkemahan para prajurit dan pengawal. Iapun segera melangkah tanpa menarik perhatian.

Ternyata para prajurit dan pengawal yang tertidur nyenyak itu tidak terganggu. Tetapi para peronda dan para pemimpinnya menjadi gelisah ketika mereka mendengar suara cambuk yang sahut menyahut. Bahkan hampir saja Pangeran Mangkubumi sendiri akan menyusulnya. Namun Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang masih berhasil mencegahnya.

Karena itu, ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih datang, Pangeran Mangkubumi segera bertanya, “Apa yang terjadi?“

“Orang yang mengaku Orang Bercambuk,“ jawab Agung Sedayu. Namun kemudian iapun berkata, “Aku mohon untuk diijinkan mengejar orang itu.“

“Kemana?“ bertanya Pangeran Mangkubumi.

“Aku cemas bahwa orang itu akan pergi ke padepokan Guru di Jati Anom. Guru sedang sakit dan dalam keadaan lemah. Jika orang itu berusaha untuk menumpahkan kemarahannya kepada Guru, mungkin akibatnya akan sangat pahit,“ jawab Agung Sedayu.

“Jati Anom tidak terlalu dekat,“ jawab Pangeran Mangkubumi.

“Aku mohon diijinkan berkuda bersama Glagah Putih,“ mohon Agung Sedayu.

Pangeran Mangkubumi termangu-mangu. Namun Agung Sedayu berkata, “Atas restu Pangeran, aku dapat mengimbangi orang itu. Apalagi jika perlu, Glagah Putih akan dapat ikut campur.“

Pangeran Mangkubumi berpaling ke arah Ki Gede Menoreh untuk minta pertimbangan. Tetapi Ki Gedepun masih saja termangu-mangu.

Namun Ki Gede itu pun kemudian berdesis, “Tetapi berhati-hatilah jika Pangeran Mangkubumi memberikan ijin kepadamu.“

Pangeran Mangkubumi mengerti akan isyarat itu. Ki Gede nampaknya tidak berkeberatan. Karena itu, maka Pangeran Mangkubumi itu berkata, “Baiklah Agung Sedayu. Tetapi kaupun harus bertanggung jawab atas tindakanmu ini. Kau adalah bagian dari pasukanku. Bahkan kau termasuk orang yang kami anggap ikut menentukan keberhasilan kita, karena kau memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, kau tidak boleh dihambat oleh apapun juga. Apalagi jika orang ini sengaja dipasang oleh para petugas sandi Madiun untuk mengurangi kekuatan kita, seorang demi seorang.“

“Terima kasih Pangeran,“ jawab Agung Sedayu, “aku akan berbuat yang terbaik. Bukan saja bagi Guru, tetapi juga bagi pasukan ini.“

Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berpacu ke Jati Anom. Jaraknya memang agak jauh, tetapi mereka akan dapat segera mencapai padepokan kecil itu.

Agung Sedayu yang berkuda di depan sama sekali tidak berbicara apapun. Glagah Putih mengikutinya di belakang. Tetapi karena kuda Glagah Putih lebih baik dari kuda Agung Sedayu, maka Glagah Putih tidak mengalami kesulitan untuk mengikutinya dalam jarak yang tidak terlalu jauh.

Ternyata setelah melewati beberapa bulak, mereka telah mendekati Jati Anom. Mereka memasuki jalur jalan yang menghubungkan Jati Anom dengan Sangkal Putung. Kemudian menelusuri jalan itu menuju ke padepokan Kiai Gringsing.

“Meskipun ada Paman Widura, tetapi orang itu sangat berbahaya bagi Guru. Seandainya keadaan wadag Guru masih seperti satu tahun yang lalu, maka orang itu tentu tidak akan menggelisahkan sama sekali,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi di samping itu, memang ada dugaan-dugaan lain telah muncul pula di hatinya. Sikap orang yang mengaku Orang Bercambuk itu sangat aneh baginya.

Beberapa saat kemudian, dua ekor kuda telah berderap memasuki halaman padepokan. Para cantrik yang bertugas malam itu bergegas menyongsongnya. Ketika mereka melihat bahwa yang berkuda itu Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka para cantrik itu segera menerima kuda mereka setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih meloncat turun.

“Dimana Guru?“ tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.

“Kiai ada di dalam biliknya.“ jawab cantrik itu.

“Aku akan bertemu,“ berkata Agung Sedayu.

“Tetapi agaknya Kiai sedang tidur, Ki Widura juga baru saja masuk ke dalam biliknya setelah berjalan-jalan mengelilingi padepokan ini,“ berkata cantrik itu.

“Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan,“ desis Agung Sedayu.

Dengan sedikit ragu-ragu Agung Sedayu masuk ke dalam bangunan induk, menuju bilik gurunya yang memang tidak pernah diselarak. Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah ke pintu bilik gurunya. Tetapi pintu itu telah diselarak dari dalam.

Dengan hati-hati Agung Sedayu mengetuk pintu. Ia tahu bahwa dengan sedikit suara yang asing gurunya tentu sudah terbangun.

Sebenarnyalah terdengar suara gurunya bertanya dari dalam, “Siapa di luar?“

“Aku Guru,” jawab Agung Sedayu singkat.

“Apakah aku mendengar suara Agung Sedayu?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Guru. Aku, Agung Sedayu,“ jawab Agung Sedayu.

Terdengar derit pembaringan. Sejenak kemudian, maka selarak pintu itu pun telah diangkat.

“Kau, Agung Sedayu?“ Kiai Gringsing menjadi heran, “Malam-malam begini? Apakah kau tidak jadi pergi ke Madiun, atau pasukan Mataram memang belum berangkat?”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tiba-tiba saja ia telah melangkah maju memasuki bilik gurunya.

“Marilah. Kita duduk di ruang dalam,“ Kiai Gringsing mempersilahkan.

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Sudahlah Guru. Bukankah Guru harus beristirahat? Silahkan Guru berada di pembaringan.“

Tanpa menunggu jawaban, Agung Sedayu pun segera duduk di lantai, sementara Glagah Putih ikut pula. Karena Agung Sedayu tidak cukup maju, maka Glagah Putih telah duduk di pintu.

“Kenapa kau he?“ bertanya Kiai Gringsing. Namun orang tua itu tertatih-tatih bergerak surut dan duduk di pembaringannya.

“Bukankah tidak terjadi sesuatu di padepokan ini Guru?“ bertanya Agung Sedayu.

“Tidak, kenapa?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Hatiku merasa tidak enak. Karena itu, aku singgah sebentar di padepokan ini dalam perjalanan kami menuju ke Madiun. Kami berada di sayap kiri bersama Pangeran Mangkubumi,“ jawab Agung Sedayu.

“Jadi kalian telah berangkat?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu. Namun yang tiba-tiba saja bertanya, “Tetapi agaknya keadaan Guru menjadi semakin mencemaskan. Nafas Guru menjadi kurang wajar. Apakah Guru tidak sedang mengatur pernafasannya ketika aku mengetuk pintu?“

“Bagaimanapun aku sudah menjadi semakin tua Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “adalah wajar jika aku menjadi semakin lemah. Nafasku kadang-kadang tiba-tiba saja menjadi terengah-engah, sehingga aku harus berusaha mengatasinya.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, “Apakah Guru baru saja berada di sanggar?“

“Tidak, Agung Sedayu,“ jawab Kiai Gringsing.

“Guru memang baru saja menghapus keringat. Tetapi keringat itu masih saja mengalir. Sedangkan udara malam ini tidak termasuk panas,“ sahut Agung Sedayu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Keadaan badanku memang kurang enak malam ini. Aku baru saja minum obat untuk menghangatkan badanku.“

“Tetapi nampaknya Guru sedang letih. Seolah-olah Guru baru saja bekerja berat atau berlatih di sanggar. Bukan karena kelemahan yang semakin mencengkam Guru dalam usia tua,“ berkata Agung Sedayu selanjutnya.

“Mungkin penglihatanmu benar Agung Sedayu. Tetapi sebab dari itu adalah karena aku baru saja menelan obat yang mempunyai pengaruh pada tubuhku,“ jawab Kiai Gringsing.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Kiai Gringsing berusaha mengalihkan pembicaraan. “Bukankah kau dalam perjalanan berangkat ke Madiun?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Guru. Seperti yang sudah aku katakan, kami dalam perjalanan menuju ke Madiun,“ jawab Agung Sedayu, “di bawah Senapati di sayap kiri yang nampaknya lebih berpandangan luas dari Pangeran Singasari.“

“Ya. Sudah kau katakan. Kau dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi,“ jawab Kiai Gringsing.

“Ya Guru. Tetapi ketika kami sedang berkemah tidak terlalu jauh dari Jati Anom, telah terjadi sesuatu yang sangat menarik,“ berkata Agung Sedayu.

“Terjadi apa?“ bertanya gurunya.

Agung Sedayu pun kemudian telah menceritakan apa yang telah terjadi. Tentang orang yang mengaku Orang Bercambuk dan menuduh orang lain telah mencuri kitabnya.

“Tetapi,“ berkata Agung Sedayu, “orang itu pula yang telah memberikan beberapa petunjuk kepadaku tentang beberapa kekuranganku. Ketika aku melihat unsur-unsur gerak yang rumit dari Orang Bercambuk itu, maka sengaja atau tidak sengaja ia memberikan jalan kepadaku untuk melakukannya.“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan nada geram ia bertanya, “Siapakah orang yang telah berani menuduh aku mencuri kitabnya? Aku bukan seorang pemberang Agung Sedayu. Bahkan aku selalu berusaha menghindari benturan kekerasan jika masih mungkin. Tetapi jika aku dituduh sebagai seorang pencuri, maka rasa-rasanya telinga ini memang menjadi panas.“

“Jadi Guru menjadi marah?“ bertanya Agung Sedayu.

“Tentu saja,“ jawab Kiai Gringsing, “aku, dan barangkali semua orang, tentu marah bahwa ia telah disebut seorang pencuri.“

“Jika demikian, marilah Guru. Kita cari orang itu. Ia tentu berada di sekitar tempat ini,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku akan menunggunya. Jika ia memang menuduh aku mencuri kitabnya, maka orang itu tentu akan datang ke padepokan ini. Jika ia dapat mengetahui beberapa hal tentang diriku, maka ia tentu tahu aku di sini. Bahkan ia tahu bahwa muridku berada di sayap kiri pasukan Mataram,“ jawab Kiai Gringsing.

“Baik Guru. Jika benar orang itu merasa pernah kehilangan, maka ia tentu akan datang ke padepokan ini,“ desis Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Tetapi bagaimana tanggapan Guru terhadap orang itu? Ia justru telah membuka hatiku, sehingga aku melihat beberapa kekurangan di dalam diriku.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia telah kehilangan pengamatan diri pada waktu itu. Ia terlalu sombong sehingga ia tidak menyadari, bahwa yang dikatakan itu justru menguntungkan lawannya.“

“Guru. Ada bedanya antara tidak sadar dan justru disadari sepenuhnya,“ berkata Agung Sedayu.

Tiba-tiba saja Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Apakah kau dapat membedakannya?“

“Itulah yang ingin aku tanyakan kepada Guru,“ jawab Agung Sedayu.

“Bagaimana aku harus menjawab? Karena aku tidak melihat apa yang terjadi,“ berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi aku yakin bahwa Guru dapat melihat, meskipun dalam penggraita,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, “Jika demikian Guru, baiklah aku akan mencarinya dalam sisa waktuku. Aku akan menelusuri jalan-jalan di sekitar padepokan ini. Guru nampaknya sedang dalam keadaan lemah sekali sekarang ini. Jika benar-orang itu datang kemari, maka guru akan dapat mengalami kesulitan.“

“Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “jadi kau anggap bahwa kau memiliki kelebihan dari aku?“

“Bukan begitu Guru,“ jawab Agung Sedayu, “aku tentu tahu diri. Apa yang aku kuasai sekarang masih jauh dari mencukupi. Tetapi aku lebih muda dari Guru. Aku tidak sedang dalam keadaan sakit. Dan lebih dari itu, aku yang sudah bertempur dengan orang itu merasa bahwa aku akan dapat mengimbanginya.“

“Tetapi kau ditunggu oleh pasukanmu. Bahkan oleh seluruh pasukan Mataram di sayap kiri itu,“ berkata Kiai Gringsing.

“Biar saja Guru. Bagiku kehidupan perguruanku lebih penting dari kewajibanku bagi Mataram. Di dalam pasukan itu ada banyak orang berilmu tinggi yang dapat menggantikanku. Tetapi di sini tidak ada orang lain, Adi Swandaru tidak ada pula di sini sekarang.“

Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Namun kemudian iapun bertanya, “Jadi apa yang akan kau lakukan?“

“Aku akan mencari orang itu sampai ketemu, atau menunggu di sini sampai orang itu datang,“ jawab Agung Sedayu.

“Itu tidak mungkin,“ berkata Kiai Gringsing, “kau harus kembali ke pasukanmu, sebelum pasukan itu berangkat menuju ke Madiun.“

“Sudah aku katakan Guru,“ jawab Agung Sedayu, “di dalam pasukan itu terdapat banyak orang berilmu tinggi. Pasukan itu tidak akan menjadi lemah tanpa aku dan Glagah Putih.“

Kiai Gringsing menjadi gelisah. Katanya, “Tidak Agung Sedayu. Kau harus kembali. Ini perintah gurumu.“

“Aku mohon Guru memberi ijin aku tinggal di sini sampai orang itu datang,“ minta Agung Sedayu.

“Tidak. Aku tidak memberimu ijin,“ berkata Kiai Gringsing.

“Jadi maksud Guru?“ bertanya Agung Sedayu.

“Tinggalkan padepokan ini. Sekarang,“ perintah Kiai Gringsing.

Agung Sedayu pun menjadi tegang. Tetapi ia menjawab, “Jika itu perintah Guru, maka aku tidak akan dapat membantah. Aku akan meninggalkan padepokan ini. Tetapi aku tidak akan kembali ke pasukanku. Aku akan mencari orang itu sampai ketemu. Tidak hanya malam ini. Tetapi besok, lusa, bahkan sampai setahun pun aku akan tetap mencari orang yang mengaku Orang Bercambuk. Aku akan mudah mengenalinya karena orang itu bongkok, bercambuk dan berwajah tidak wajar.“

“Kau tidak boleh melakukannya,“ potong Kiai Gringsing.

“Aku mohon ampun bahwa aku terpaksa melakukannya, Guru. Aku akan mencarinya di sekeliling Jati Anom. Namun kemudian jika aku tidak menemukannya, aku akan menjadi pengembara tanpa batas waktu, untuk membersihkan nama perguruan ini. Aku tidak akan menghiraukan lagi permusuhan antara Mataram dan Madiun yang tidak tentu ujung pangkalnya itu. Karena sebenarnyalah bahwa sebab-sebab perselisihan itu tidak masuk di akalku,“ berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing nampak semakin gelisah. Katanya, “Kau akan berkhianat terhadap Mataram?“

“Aku adalah murid yang setia kepada perguruanku. Bahkan jika aku berhasil menangkap orang itu, akan berarti juga ikut menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat menghambat perjalanan pasukan Mataram. Jika aku berhasil menyelesaikan persoalan orang itu, maka aku masih mempunyai banyak kesempatan untuk menunjukkan kesetiaanku kepada Mataram, sebagaimana pernah aku tunjukkan sebelumnya,“ berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ia melihat kesungguhan di wajah Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar Kiai Gringsing bertanya, “Kau bersungguh-sungguh Agung Sedayu?“

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu.

“Aku tidak melihat kesungguhan itu di sorot matamu,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi aku melihat satu kesungguhan yang lain dari yang kau katakan.“

“Maksud Guru?“ Agung Sedayu menjadi termangu-mangu.

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “aku mengalah. Kau memang mempunyai panggraita yang sangat tajam. Kau mampu mempergunakan kemampuan ilmu Sapta Panggraita, sehingga aku tidak dapat membohongimu lagi.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ketika ia melihat Gurunya mengangguk, tiba-tiba saja Agung Sedayu telah membungkuk hormat. Dahinya hampir menyentuh tanah ketika kemudian ia berdesis, “Guru. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perkenan Guru meluruskan kedunguanku.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar Kiai Gringsing bertanya, “Tidak Agung Sedayu, bukan karena kedunguanmu. Yang kau lakukan adalah wajar, bahkan sudah lebih baik dari orang lain. Kau pun telah melakukan apa yang kau dapatkan dari pengalamanmu itu. Yang terjadi adalah sekedar memacu dan mempercepat gejolak yang terjadi di dalam dirimu, menjelang saat-saat kau mengakhiri laku untuk menguasai ilmu puncak.“

“Aku mengerti Guru,“ jawab Agung Sedayu.

“Dengan cara itu aku kira kau akan dapat lebih cepat mengerti, karena kau mengalami sesuatu yang berarti bagi ilmumu,“ berkata Kiai Gringsing.

Sementara itu, betapapun hijaunya penalaran Glagah Putih yang muda itu, namun ia dapat menangkap hasil pembicaraan antara Agung Sedayu dengan Kiai Gringsing. Ia dapat mengerti, bahwa satu cara yang khusus telah dipergunakan oleh Kiai Gringsing untuk meningkatkan kemampuan muridnya. Agaknya karena Kiai Gringsing tidak melakukan dengan cara yang sewajarnya, maka kesannya pun justru lebih mendalam bagi Agung Sedayu.

Namun terbersit juga pertanyaan di hati Glagah Putih, “Barangkali karena Kiai Gringsing tidak melakukan tuntunan langsung kepada muridnya bersama-sama, maka Kiai Gringsing telah memilih cara yang lain.”

Sementara itu, Kiai Gringsing pun telah berkata, “Baiklah Agung Sedayu. Aku kira sudah waktunya kau kembali ke pasukanmu.“

“Tetapi nampaknya keadaan Guru menjadi semakin lemah. Guru telah melepaskan banyak tenaga,“ berkata Agung Sedayu.

“Pergilah. Aku tidak apa-apa. Tetapi barangkali sebaiknya kalian berdua bertemu lebih dahulu dengan pamanmu Widura, karena kalian sudah terlanjur sampai di sini.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk dalam-dalam. Dengan nada rendah Agung Sedayu berkata, “Kami akan menghadap Paman Widura.“

“Ia ada di biliknya di bangunan sebelah. Pamanmu lebih senang berada di rumah sebelah daripada bersama-sama aku di sini,“ berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu pun kemudian bersama-sama dengan Glagah Putih telah meninggalkan bilik Kiai Gringsing untuk pergi ke rumah sebelah. Mereka memang mengejutkan Widura dengan kehadiran mereka. Tetapi Agung Sedayu berkata, “Hatiku merasa kurang enak Paman.“

“Hanya karena itu?“ bertanya pamannya.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, namun ternyata ia tidak dapat menyembunyikan keperluannya yang sebenarnya hadir di padepokan kecil itu, setelah Ki Widura memberikan isyarat bahwa ia sudah tahu apa yang telah terjadi.

“Cara yang dipilih oleh gurumu,“ berkata Ki Widura.

Agung Sedayu mengangguk kecil. Sementara itu Ki Widura berkata selanjutnya, “Tetapi gurumu tidak tahu, apakah dengan cara yang sama gurumu dapat memperlakukan muridnya yang seorang lagi. Tetapi seandainya tidak, maka orang tidak akan dapat mengatakan bahwa gurumu tidak adil, karena yang dilakukan terhadapmu tidak lebih dari satu paksaan untuk melakukan latihan berat.“

“Ya Paman,“ desis Agung Sedayu sambil mengangguk-angguk pula.

“Nah, bukankah sekarang kau harus kembali ke pasukanmu?“ bertanya Ki Widura.

“Ya Paman,“ jawab Agung Sedayu.

Sambil mengangguk-angguk Ki Widura berkata, “Kembalilah. Jangan membuat Ki Gede gelisah.“

“Baik Paman,“ jawab Agung Sedayu, “kami mohon diri.“

Glagah Putih pun kemudian juga mohon diri kepada ayahnya, setelah ayahnya memberikan beberapa pesan, meskipun sebagian sekedar mengulangi pesan-pesan yang pernah diberikan. Demikianlah, maka bersama Ki Widura keduanya telah menemui Kiai Gringsing kembali untuk minta diri.

Namun Agung Sedayu menjadi semakin cemas melihat keadaan gurunya. Ketika mereka sampai ke bilik Kiai Gringsing, maka Kiai Gringsing sedang duduk di pembaringannya. Nampaknya ia masih berusaha mengatur pernafasannya yang rasa-rasanya menjadi sendat.

“Aku tidak apa-apa,“ berkata Kiai Gringsing, “berangkatlah. Kau harus segera berada di dalam kesatuanmu kembali.“

Agung Sedayu berpaling kepada pamannya. Ia juga melihat kecemasan di wajah pamannya. Tetapi pamannya menjawab, “Aku akan membantu Kiai Gringsing. Mudah-mudahan keadaannya tidak semakin buruk. Sekarang, sebaiknya kau berdua kembali.“

Meskipun hati Agung Sedayu merasa cemas, namun ia tidak dapat ingkar bahwa ia bertanggung jawab kepada Ki Gede. Sementara Ki Gede harus mempertanggungjawabkan kepada Pangeran Mangkubumi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah berpacu bersama Glagah Putih kembali ke kesatuan mereka. Kiai Gringsing yang menjadi sangat lemah itu masih juga memberikan beberapa pesan penting kepada kedua orang itu. Kiai Gringsing sempat menyebut beberapa nama dari orang-orang berilmu tinggi dari perguruan-perguruan yang sudah hampir tidak dikenal lagi. Tetapi mungkin orang-orang berilmu tinggi dari keturunan orang-orang yang pernah disebutnya itu masih akan berpengaruh dalam benturan kekuatan antara Mataram dan Madiun.

Agung Sedayu dan Glagah Putih berpacu semakin cepat ketika mereka melihat bayangan fajar telah mulai nampak. Beberapa saat lagi langit akan menjadi merah oleh cahaya dini menjelang matahari terbit.

“Kita tidak boleh terlambat,“ berkata Agung Sedayu.

Sebenarnyalah, ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai di perkemahan. Ki Gede benar-benar telah menjadi gelisah. Karena itu, maka iapun semalam-malaman sama sekali tidak dapat tidur sekejap pun. Baru ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih datang melaporkan diri, Ki Gede dapat bernafas lega, meskipun yang dilaporkan agak menyimpang.

“Jadi Ki Gede tidak beristirahat sepanjang malam?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku menjadi gelisah. Mungkin terjadi sesuatu atasmu,“ jawab Ki Gede. “Masih ada waktu,“ berkata Agung Sedayu, “sampai fajar menyingsing menjelang pagi.“

Ki Gede menggeleng. Katanya, “Sebentar lagi kita akan memasuki hari baru.“

“Masih ada sesaat,“ berkata Glagah Putih, “beberapa orang yang sudah terbangun. Sebagian besar masih tidur. Saat ini memang saat paling nyenyak.“

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Baiklah. Mungkin baik juga bagiku untuk berbaring meskipun hanya beberapa saat. Demikian pula bagi kau berdua. Besok kau dapat bercerita.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Keduanya pun memang memanfaatkan waktu yang sedikit itu untuk beristirahat. Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berbaring justru dekat orang-orang yang telah mulai bekerja menyiapkan minuman dan makanan. Keduanya memang tidak ingin tertidur. Mereka hanya ingin sekedar menenangkan gejolak jantung mereka serta mengatur peredaran nafas dan darah mereka.

Sementara itu Ki Gede pun telah berbaring pula agak jauh dari keduanya. Ki Gede berbaring di antara para pengawal yang justru mulai bangun seorang demi seorang.

Demikianlah, sejenak kemudian maka para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh, dari Pegunungan Sewu, dan para prajurit Mataram, telah mulai berbenah diri. Ki Gede yang sempat berbaring beberapa saat itu pun telah bangkit pula dan memperhatikan para pengawal yang bersiap-siap. Bahkan sejenak kemudian Ki Gede itu pun telah melihat-lihat keadaan para petugas yang menyiapkan minuman dan makanan bagi para pengawal. Mereka tidak saja menyiapkan minuman dan makanan bagi para pengawal sebelum berangkat, tetapi mereka harus bersiap-siap pula agar di perjalanan mereka tidak memerlukan waktu panjang untuk mempersiapkan makan dan minum bagi para pengawal, karena mereka tentu hanya akan beristirahat untuk waktu yang pendek.

Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah duduk-duduk pula di sebelah perapian. Di dinginnya udara dini hari, perapian itu terasa cukup menghangatkan tubuh mereka, meskipun mereka tidak terlalu dekat.

Namun sejenak kemudian, maka keduanya pun telah mempersiapkan diri pula untuk berangkat melanjutkan perjalanan.

Ketika langit menjadi semakin terang, maka terdengar isyarat pertama bagi seluruh pasukan. Karena itu, maka semua orang yang berada di dalam pasukan itu telah bersiap. Para petugas yang mempersiapkan makanan dan minuman pun telah mengemasi semua perkakas mereka. Nasi untuk makan pagi pun telah terbagi dan semua orang di dalam pasukan tidak ada yang terlampaui.

Demikian para pengawal dan para prajurit selesai makan pagi, maka isyarat yang kedua pun telah terdengar. Namun ternyata masih ada yang bergeremang. “Baru saja nasi terakhir tertelan. Kita harus sudah bersiap untuk berangkat. Perutku tentu akan menjadi sakit, atau lambungku akan nyeri.“

Di luar sadarnya pemimpin kelompoknya telah mendengarnya dan menyahut, “Jika demikian sebaiknya kau tinggal di sini saja.“

Pengawal itu tidak menjawab. Tetapi dengan telapak tangannya ia menutup mulutnya sendiri sambil memandang kawannya yang tersenyum-senyum. Baru sejenak kemudian, ketika pemimpin kelompoknya pergi, ia berdesis, “Kenapa kau tidak bilang bahwa orang itu ada di sini?“

“Tentu aku tidak akan sempat melakukannya,“ jawab kawannya., Lalu katanya, “Karena itu, lain kali berhati-hatilah.“

Pengawal itu tertawa pendek. Katanya, “Kau-lah yang harus hati-hati mengawasi keadaan jika aku berbicara.“

“Tetapi kau harus mengupahku,“ jawab kawannya.

Keduanya pun terdiam ketika pemimpin kelompoknya memberikan aba-aba bagi para pengawal untuk bersiap karena segera akan terdengar isyarat yang ketiga, sehingga pasukan sayap kiri itu akan segera berangkat.

Ki Gede bersama dengan Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa telah memeriksa seluruh pasukan. Kemudian melaporkannya kepada Pangeran Mangkubumi bahwa semuanya telah siap. Demikian pula Ki Demang Selagilang, serta Senapati yang memimpin prajurit Mataram di sayap kiri itu.

“Terima kasih,“ desis Pangeran Mangkubumi. Namun Pangeran Mangkubumi masih sempat bertanya kepada Agung Sedayu tentang suara cambuk semalam.

“Aku gagal menangkapnya Pangeran,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi atas restu Pangeran orang itu tidak pergi ke padepokan Guru. Sementara keadaan Guru tidak mencemaskan, seandainya orang itu datang kepada Guru di padepokan.“

Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Dengan demikian maka kau dapat pergi dengan tenang.“

Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Tetapi sebenarnyalah ia masih merasa cemas tentang keadaan gurunya. Namun bahwa Ki Widura menunggui gurunya, agaknya membuat hati Agung Sedayu menjadi agak tenang.

Demikianlah setelah semuanya bersiap, maka Pangeran Mangkubumi pun sekali-sekali memandang langit yang menjadi semakin terang. Di saat matahari kemudian terbit, maka Pangeran Mangkubumi telah memerintahkan para pemimpin pasukan untuk kembali ke tempat pasukan masing-masing.

Sejenak kemudian, maka telah terdengar isyarat yang ketiga. Pertanda bahwa pasukan itu akan berangkat.

Pangeran Mangkubumi memang mulai bergerak. Empat orang berkuda beriringan merupakan paruh pasukan, yang merayap memanjang menyusuri jalan.

Demikianlah, pasukan itu telah mulai bergerak kembali. Mereka langsung menuju ke tujuan kedua, sebelum mereka menuju ke perkemahan terakhir.

Sementara itu, induk pasukan yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati serta Ki Patih Mandaraka telah bergerak pula, juga tepat di saat matahari terbit. Demikian pula sayap kanan yang dipimpin oleh Pangeran Singasari pun mulai bergerak pula perlahan-lahan. Pasukan yang hampir sama besarnya dengan pasukan di sayap kiri.

Dengan kekuatan yang besar, maka pasukan Mataram telah melanjutkan gerakannya menuju ke Madiun. Namun dengan kesadaran bahwa Madiun telah bersiap menyongsong mereka dengan jumlah orang yang lebih banyak, sebagaimana dilaporkan oleh para petugas sandi.

Namun dalam pada itu, para petugas sandi Madiun pun telah mengirimkan keterangan tentang keberangkatan pasukan Mataram yang lebih awal dari rencana semula.

Pada hari yang kedua, pasukan Mataram itu menjalar semakin mendekati Madiun. Tetapi seperti rencana semula, sayap kiri itu sama sekali tidak mendekati kota Pajang. Mereka menuju tujuan kedua untuk bermalam satu malam lagi.

Namun dalam pada itu, para prajurit Mataram dan para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu menyadari, bahwa perjalanan mereka selalu diawasi oleh orang-orang yang telah dikirim oleh Madiun. Tetapi mereka tidak mengambil langkah-langkah tertentu, karena orang-orang itu dirasa sama sekali tidak mengganggu. Namun mereka pun menyadari bahwa kenyataan dari pasukan itu sampai bagian yang sekecil-kecilnya telah disampaikan kepada para pemimpin di Madiun.

Ketika prajurit Mataram yang berjalan di luar barisan berhasil menangkap dua orang petugas sandi, maka mereka mendapat keterangan bahwa Madiun benar-benar sudah siap untuk menyongsong mereka. Namun para pemimpin Mataram di sayap kiri itu pun yakin, bahwa Panembahan Senapati telah mendapat keterangan yang lengkap pula tentang gerakan pasukan Madiun.

Di tengah hari, dua orang penghubung dari induk pasukan telah menghubungi Pangeran Mangkubumi untuk melihat, apakah gerakan pasukan di sayap kiri itu berjalan sebagaimana direncanakan.

Ternyata semua telah berjalan menurut rencana. Dari penghubung itu Pangeran Mangkubumi pun telah mengetahui bahwa induk pasukan telah berada di batas kota Pajang. Tetapi pada dasarnya pasukan itu memang tidak akan berhenti di Pajang terlalu lama. Pasukan induk itu hanya akan membenahi diri dan bergabung dengan kekuatan yang sudah ada di Pajang. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Madiun dengan membawa segala macam perlengkapan dan bekal yang diperlukan. Panembahan Senapati memang memperhitungkan bahwa perang yang akan terjadi tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu satu dua hari.

Demikianlah, ketika matahari turun di sisi barat langit, maka pasukan Mataram telah mendekati sasaran kedua. Pasukan induk, pasukan sayap kanan dan sayap kiri telah berjalan sesuai dengan rencana.

Pasukan sayap kiri telah sampai di tujuan kedua itu sebelum senja. Mereka datang lebih cepat sedikit dari yang direncanakan. Agaknya karena pasukan sayap kiri itu mempergunakan waktu beristirahat terlalu pendek di tengah hari itu.

Namun dengan demikian mereka justru sempat beristirahat cukup lama di tempat tujuan kedua itu. Bahkan ada di antara para prajurit yang demikian tiba di tempat, serta setelah para pemimpin memberikan laporan kepada Pangeran Mangkubumi yang memerintahkan pasukan beristirahat, langsung menjatuhkan diri sambil memijit-mijit betisnya.

“Kenapa kau?“ bertanya kawannya.

“Aku merasa letih sekali,“ desis orang itu.

“Kita belum sampai di Madiun,“ sahut kawannya, “besok kita harus berjalan lagi.“

Prajurit itu mengangguk. Tetapi ia berdesis, “Agaknya aku sudah terlalu tua. Biasanya kakiku tidak terasa sakit seperti ini.“

“Di sini dalam keadaan seperti ini kau merasa terlalu tua,“ desis kawannya sambil tertawa.

Prajurit yang terduduk itu mengambil batu sambil berkata, “Ayo, lanjutkan kalimatmu. Sebelum kau selesai, maka dahimu tentu sudah benjut.“

Kawannya tertawa. Namun kemudian katanya, “Marilah, kita menepi. Kelompok kita ada di sisi sebelah barat. Dekat dengan para petugas di dapur membuat perapian.“

Kawannya yang letih sekali itu tidak menjawb. Ia mencoba berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju ke sisi sebelah barat dari sebuah padang perdu, yang cukup luas bagi perkemahan para prajurit dan pengawal Mataram di sayap kiri itu.

Di sisi barat telah diletakkan perbekalan bagi sayap kiri yang dibawa dengan beberapa ekor kuda, termasuk persediaan makan. Tidak saja selama perjalanan, tetapi juga untuk hari pertama setelah mereka sampai di Madiun. Baru kemudian mereka akan mendapat bagian dari perbekalan yang ada di induk pasukan, yang dibawa dengan beberapa pedati.

Kesempatan bagi pasukan yang agak luas untuk beristirahat itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh para prajurit dan para pengawal, karena mereka memang baru saja menempuh satu perjalanan yang berat.

Mereka pada umumnya tidak segera pergi ke sungai yang terdapat tidak jauh dari padang perdu itu. Tetapi pada umumnya mereka langsung berbaring untuk melepaskan lelah. Baru kemudian setelah senja menjadi semakin gelap, mereka bergantian pergi ke sungai. Sementara yang bertugas tidak kehilangan kewaspadaan, karena banyak hal yang dapat terjadi. Tempat perkemahan mereka saat itu sudah menjadi semakin dekat dengan Madiun.

Sebenarnyalah bahwa kehadiran pasukan Mataram itu tidak lepas dari pengamatan para petugas sandi dari Madiun. Mereka selalu memperhitungkan semua gerakan yang dilakukan oleh pasukan Mataram. Baik induk pasukannya maupun sayap-sayapnya.

Ketika orang-orang Mataram itu kemudian telah menempatkan dirinya dalam situasi kelamnya malam, maka beberapa orang petugas sandi Madiun berusaha untuk mendekatinya.

“Mereka cukup berhati-hati,“ berkata pemimpin dari orang-orang yang mengamati perkemahan itu dari kejauhan, sambil memperhatikan api di beberapa perapian.

“Ya,“ jawab kawannya, “tetapi kita sempat menunggu. Apakah sikap hati-hati itu akan berlangsung semalam suntuk atau sekedar menunggu malam.“

Pemimpin mereka mengangguk-angguk. Katanya sambil menggamit dua orang di antara kawan-kawannya, “Awasi mereka. Aku akan menyingkir agar kehadiran kita tidak mudah diketahui oleh orang-orang Mataram.“

“Baik Kakang,“ jawab kedua orang itu hampir berbareng.

Demikian pemimpinnya dan orang-orang lain meninggalkan tempat itu, maka kedua orang itu pun telah mengambil tempat yang sebaik-baiknya, karena mereka akan mengawasi orang-orang Mataram untuk waktu yang lama.

Yang menjadi pusat perhatian mereka adalah perbekalan orang-orang Mataram. Nampaknya di sayap-sayap pasukan, perbekalan yang dibawa memang tidak terlalu banyak. Berbeda dengan induk pasukan. Di induk pasukan terdapat beberapa buah pedati. Bahkan ada beberapa pedati yang berangkat lebih dahulu, dikawal kuat oleh prajurit Pajang. Namun para petugas sandi Madiun terlambat mengetahui keberangkatan pedati-pedati itu karena Pajang mampu merahasiakannya sebaik-baiknya. Apalagi pedati-pedati itu tidak meninggalkan Kota Pajang melalui gerbang induk.

Tetapi Madiun tidak terlambat mengeluarkan perintah untuk menghancurkan perbekalan Mataram dimanapun juga perbekalan itu disimpan. Di induk pasukan, di sayap-sayap pasukan, atau yang telah dipersiapkan lebih dahulu.

Namun para pemimpin Madiun pun menyadari bahwa perintah itu sulit sekali dikatakan, karena pasukan Mataram menyadari bahwa perbekalan mereka merupakan bagian penting dari dukungan kekuatan pasukan mereka.

Demikian pula perbekalan yang ada di depan pasukan induk, yang dikawal kuat oleh prajurit Pajang. Sulit bagi para petugas sandi untuk melakukan sergapan dengan tiba-tiba menghancurkan perbekalan itu. Apalagi prajurit Pajang yang kuat itu rasa-rasanya telah memagari perbekalan itu dengan ujung-ujung tombak.

Dalam pada itu selagi pasukan Mataram beristirahat, maka di Jati Anom di padepokannya yang kecil, Kiai Gringsing sedang berbincang dengan Ki Widura tentang keberangkatan pasukan Mataram itu.

“Mudah-mudahan pasukan Mataram mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung,“ desis Kiai Gringsing yang masih saja nampak lemah.

Ki Widura mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Widura berkata, “Panembahan Senapati nampaknya cukup berhati-hati. Namun Panembahan Senapati pun menyadari bahwa ia bukan penentu terakhir dari segala usahanya.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan suara sendat ia kemudian berkata, “Ada sesuatu yang aku pikirkan.“

“Apa Kiai?“ bertanya Ki Widura.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku memikirkan Agung Sedayu. Justru karena ia muridku.“

“Kenapa?“ bertanya Ki Widura.

“Sebenarnyalah ada yang belum aku katakan dari seluruh cerita perjalananku ke Madiun beberapa waktu yang lalu,“ berkata Kiai Gringsing, “justru yang menyangkut perguruan ini.“

“Tentang apa Kiai?“ bertanya Ki Widura pula.

“Sebenarnya bukan tentang perguruan Orang Bercambuk. Tetapi justru permusuhan yang tidak ada kesudahannya,“ suara Kiai Gringsing merendah, “sejak aku masih muda sampai saatnya hampir tenggelam.“
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar