Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 246

Buku 246

Para pengawal itu pun telah melakukan pesan Sekar Mirah dengan sebaik-baiknya, karena mereka pun menyadari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh orang itu. Sementara Sekar Mirah telah pergi ke dapur bersama beberapa orang pengawal yang dimintanya untuk membantu membenahi dapur dan alat-alat yang dipergunakan di luar dapur karena ruang dapur kurang mencukupi, serta menolong beberapa orang yang menjadi ketakutan dan bahkan pingsan. Sedangkan beberapa pengawal yang lain telah merawat kawan-kawannya yang telah dilukai oleh Putut Kaskaya yang bagaikan menjadi gila itu.

Beberapa perempuan memang tidak dapat melanjutkan kerja mereka. Yang bernasib buruk karena mendapat pukulan Putut Kaskaya perlu mendapat perawatan khusus. Sementara ada yang menjadi seperti orang kebingungan karena perasaan takut yang sangat. Namun mereka yang lain masih sempat bekerja lagi bersama dengan Sekar Mirah.

“Jangan takut,“ berkata Sekar Mirah, “aku akan tetap berada di dapur. Para pengawal akan berjaga-jaga di halaman belakang. Kita memang agak lengah sebelumnya, karena kita merasa terlalu aman di sini.“

Beberapa orang perempuan memang mempunyai keberanian cukup sehingga mereka tidak lagi merasa takut untuk melanjutkan kerja mereka. Untunglah bahwa api di perapian tidak meloncat keluar dan membakar persediaan kayu bakar dan blarak kering. Jika demikian, maka Putut Kaskaya akan mendapat keuntungan dari peristiwa itu.

Sementara itu pertempuran di semua medan nampaknya sudah menjadi pasti. Bahkan pertempuran terbesar di sisi selatan pun telah hampir berakhir. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan Mataram telah mendesak pasukan lawan semakin jauh. Bahkan hampir dapat dipastikan, bahwa dalam waktu dekat pasukan lawan akan dapat dipecah. Jika mereka tidak menarik diri dari medan karena harga diri atau pertimbangan lain, maka korban akan tidak terhitung lagi.

Namun agaknya memang tidak ada pilihan lain dari pasukan Madiun selain melepaskan diri dari medan, selagi mereka masih mampu mundur sambil melindungi diri. Apalagi ketika dari para penghubung pimpinan pasukan Madiun itu mendapat keterangan bahwa di semua medan pasukan Panembahan Cahya Warastra tidak lagi mampu bertahan.

Sementara itu, matahari pun menjadi semakin rendah. Meskipun perintah dari Panembahan Cahya Warastra bahwa pasukannya harus bertempur sampai tuntas tanpa menghentikan pertempuran meskipun matahari terbenam, namun perintah itu tidak dapat dilaksanakan. Sebelum matahari terbenam, maka pasukan Madiun yang diperbantukan kepada Panembahan Cahya Warastra itu sudah tidak mampu bertahan lagi. Mereka terdesak semakin jauh. Sebelum mereka terperosok ke dalam rawa-rawa yang ditumbuhi hutan pandan dengan duri-duri tajam, maka Senapati prajurit Madiun itu telah mengambil kebijaksanaan yang terbaik yang mungkin dilakukan, untuk menyelamatkan jiwa para prajuritnya. Karena itulah maka Senapati tertinggi dari pasukan Madiun itu telah memberikan isyarat kepada pasukannya untuk dengan hati-hati dan utuh menarik diri dari medan.

Mereka harus saling melindungi sehingga korban tidak terlalu banyak jatuh. Sejauh dapat mereka lakukan, maka mereka harus membawa kawan-kawan mereka yang terluka.

Ternyata pasukan Madiun adalah pasukan yang memang telah mapan. Karena itu, maka mereka telah melakukan tugas itu dengan sangat cermat. Mereka telah membawa kawan-kawan mereka yang terluka, sementara yang lain mencari jalan untuk mengundurkan diri di bawah perlindungan kawan-kawannya yang terpilih.

Namun demikian, tetap tidak dapat dihindari bahwa di antara mereka ada beberapa orang yang tertinggal karena luka-lukanya yang parah, sementara tidak ada kesempatan lagi dari kawan-kawannya untuk menyelamatkannya. Bahkan para prajurit Madiun juga tidak dapat menghindarkan diri bahwa ada di antara mereka yang tertangkap tanpa segores luka sekalipun.

Dengan demikian maka pertempuran di sisi selatan itu dapat dikatakan selesai seluruhnya. Namun bukan berarti bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh membiarkan pasukan itu tanpa pengamatan. Meskipun pada dasarnya Senapati dari Mataram memerintahkan untuk tidak mengejar pasukan itu, tetapi beberapa kelompok pasukan pilihan harus mengikuti jejak pasukan yang mundur itu. Mereka harus yakin bahwa pasukan itu keluar dari Tanah Perdikan dan bahkan menyeberangi Kali Praga.

Pasukan Mataram memang mendapat perintah untuk mengekang diri. Bagaimanapun juga Mataram dan Madiun belum terlibat ke dalam perang yang sebenarnya. Karena itu, maka pasukan Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh tidak boleh menghancurkan pasukan Madiun, kecuali jika Ki Patih Mandaraka terbunuh.

Pasukan Madiun memang tidak segera menyeberang Kali Praga, yang tentu akan sangat berbahaya. Mereka telah mendirikan sebuah perkemahan untuk menghimpun pasukan yang tersisa. Mereka menyempatkan diri mengobati kawan-kawan mereka yang terluka, sehingga mereka akan dapat ikut membantu jika benturan pasukan akan terjadi lagi.

Beberapa penghubung telah berusaha mencari hubungan dengan pimpinan tertinggi. Namun mereka mendapat keterangan bahwa Panembahan Cahya Warastra telah terlibat dalam pertempuran melawan Ki Patih Mandaraka itu sendiri.

“Semua pasukan Panembahan Cahya Warastra telah kalah di segala medan,“ lapor salah seorang penghubung.

Sebenarnyalah, tidak ada lagi pasukan Panembahan Cahya Warastra yang masih sempat bertahan. Bahkan pasukan pengawal khusus Panembahan Cahya Warastra pun tidak mampu lagi bertempur mendampingi Panembahan yang kehilangan pengamatan diri. Ternyata Panembahan Cahya Warastra tidak mau mengakui kekalahan itu. Ia masih saja bertempur melawan Ki Patih Mandaraka tanpa kawan seorangpun lagi. Bahkan lawan Ki Gede Menoreh pun telah ditundukkan pula.

Beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh telah berada di sekitar arena pertempuran antara Panembahan Cahya Warastra dan Ki Patih Mandaraka, yang justru telah berubah menjadi perang tanding. Keduanya ternyata telah menyatakan untuk menyelesaikan perang itu sampai tuntas.

Sementara itu, sayap-sayap pasukan Panembahan Cahya Warastra yang bertempur di depan gerbang padukuhan induk itu sudah tidak berdaya. Beberapa orang telah tertangkap dan menyerah, sebagian lagi mencoba melarikan diri, berpencar-pencar tidak beraturan.

Dengan demikian maka para pengawal justru memberikan isyarat kepada para pengawal yang ada di padukuhan-padukuhan dengan kentongan, agar mereka bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan justru pada garis mundur para pengawal Panembahan Cahya Warastra. Sementara itu para pengawal dari induk padukuhan pun telah mengikuti mereka, untuk mencegah kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi pada para penghuni padukuhan-padukuhan yang tidak mengungsi, atau justru padukuhan yang menampung para pengungsi.

Sementara itu, pengawal terakhir dari Panembahan Cahya Warastra telah tidak berdaya. Sepuluh orang pengawal khususnya sama sekali tidak bergeser dari tempatnya, meskipun seluruh pasukan telah disapu bersih oleh para pengawal Tanah Perdikan. Apapun yang terjadi, kesepuluh orang itu telah bertempur dengan segenap kemampuannya.

Namun ternyata bahwa mereka tidak mampu bertahan. Bekas perwira Pajang yang ikut bersama Ki Patih Mandaraka telah berusaha memisahkan mereka dari Panembahan Cahya Warastra, dibantu para pengawal. Karena mereka tidak mungkin digeser dari arena, maka satu-satunya jalan adalah melumpuhkan mereka.

Sebenarnya mereka memang tidak bergeser sampai dengan kesempatan yang terakhir. Para pengawal itu sama sekali tidak gentar menghadapi batas terakhir dari kemampuan dan kekuatannya. Bahkan hidupnya.

Para pengawal Tanah Perdikan memang mendapat perintah untuk sejauh mungkin tidak membunuh terutama orang-orang penting yang akan dapat menjadi sumber keterangan. Tetapi sudah tentu bahwa di medan peperangan tidak mudah untuk melakukan perintah itu sebaik-baiknya.

Karena itu, pada saat terakhir, Panembahan Cahya Warastra benar-benar tinggal seorang diri. Namun ternyata bahwa Panembahan Cahya Warastra adalah seorang yang mempunyai harga diri yang sangat tinggi. Dalam keadaan apapun ia tidak bergeser dari garis keyakinannya. Ia memang ingin membunuh Ki Patih Mandaraka.

Dengan demikian, maka apapun yang terjadi di sekitarnya sama sekali tidak mempengaruhi niatnya. Bahkan sampai semua orangnya telah habis dari arena. Terbunuh, tertangkap, menyerah atau melarikan diri.

Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Patih telah menyempatkan diri untuk memberi peringatan kepada Panembahan Cahya Warastra, “Panembahan. Apakah Panembahan tidak mempunyai kebijaksanaan lain daripada berperang tanding sekarang ini? Panembahan telah kehilangan semua pengawal serta pasukan dari Madiun. Semua pasukan Panembahan di segala medan telah habis, terdesak keluar Tanah Perdikan atau karena hal yang lain.“

“Ki Patih,“ berkata Panembahan itu, “apakah kau takut menghadapi akibat dari perang tanding? Dalam perang tanding kita memang harus percaya kepada diri sendiri. Kita tidak akan tergantung kepada siapapun juga selain kepada diri sendiri pula.“

“Tetapi apakah perang tanding di antara kita akan menyelesaikan persoalan?“ bertanya Ki Patih.

“Ya. Aku atau kau,“ jawab Panembahan Cahya Warastra, “kecuali jika kau memang merasa tidak dapat menandingi ilmuku, sehingga kau memerlukan satu dua orang untuk membantumu, atau bahkan seluruh pasukan Tanah Perdikan Menoreh.“

“Bukan begitu Panembahan,“ jawab Ki Patih, “aku tidak berkeberatan untuk menyelesaikan perang tanding ini apapun yang akan terjadi. Tetapi aku hanya menawarkan kemungkinan lain.“

“Memang ada dua kemungkinan,“ sahut Panembahan Cahya Warastra, “kau bunuh diri karena kau tidak berani melihat kenyataan bahwa aku adalah orang yang tidak terkalahkan, atau kau mati sebagai seorang laki-laki dalam perang tanding ini.“

Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi Panembahan itu. Setelah bertempur beberapa saat, serta setelah saling menjajagi, maka Ki Patih tidak menganggap ada sesuatu yang perlu dicemaskan pada lawannya. Namun sebaliknya, Panembahan Cahya Warastra itu pun beranggapan demikian pula. Karena itu Panembahan Cahya Warastra menganggap bahwa dirinya akan dapat membunuh Ki Patih Mandaraka. Setelah itu, meskipun seisi Tanah Perdikan akan bersama-sama melawannya dan mencincangnya sampai lumat, ia sama sekali tidak menghiraukannya. Meskipun di sudut hatinya yang paling dalam, Panembahan itu harus mengakui kegagalannya untuk mencapai satu cita-cita. Namun ia telah berada di garis paling belakang dari kemungkinan yang dapat dilakukannya.

Karena itu, maka Ki Patih Mandaraka itu pun kemudian berkata, “Baiklah Panembahan. Jika itu satu-satunya kemungkinan yang harus kita tempuh. Orang-orang yang ada di sekitar arena ini tahu apa artinya perang tanding. Karena itu, jangan takut bahwa ada di antara orang-orang yang berada di sekitar arena ini akan mengganggu.“

Panembahan Cahya Warastra menggeram. Iapun telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Demikianlah, pertempuran antara kedua orang tua yang berilmu tinggi itu berlangsung semakin garang. Keduanya bergerak dengan cepat dan dengan kekuatan yang sulit untuk dinilai oleh para pengawal yang berdiri termangu-mangu.

Namun di sekitar arena itu tidak hanya dilingkari oleh para pengawal yang menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Ternyata para pemimpin dan orang-orang tua dari Tanah Perdikan dan para tamu dari Mataram telah ada di sekitar arena itu pula.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita menyaksikan pertempuran itu dengan dahi yang berkerut. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih yang sudah kehilangan lawan-lawan mereka pun telah berada di arena itu pula. Ki Jayaraga dan Ki Gede menjadi tegang di saat-saat yang nampaknya menjadi gawat bagi Ki Patih Mandaraka.

Namun setiap kali Ki Mandaraka memang masih mampu mengatasi setiap kesulitan. Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin meningkat menjadi benturan-benturan ilmu yang tinggi. Ayunan tangan Panembahan Cahya Warastra menjadi semakin cepat, semakin keras dan rasa-rasanya bukan lagi ayunan tangan biasa. Ketika sisi telapak tangan Panembahan Cahya Warastra berayun mengarah ke kening Ki Mandaraka namun tidak mengenai sasarannya karena Ki Mandaraka sempat mengelak, maka sambaran anginnya bagaikan telah mengguncang jantung. Beberapa orang yang berdiri digaris serangan itu terkejut. Sambaran angin itu terasa menampar dada mereka sehingga dada mereka menjadi sesak.

Dengan demikian, maka para pengawal pun seakan-akan telah menyibak. Tetapi serangan Panembahan Cahya Warastra itu tidak hanya tertuju ke arah yang sama. Di saat ia memburu Ki Mandaraka, maka arah serangannya pun telah berubah. Namun demikian, Panembahan Cahya Warastra itu tidak dengan segera mampu menguasai lawannya. Ki Mandaraka itu dapat berloncatan dengan cepat. Kakinya seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah.

Kemarahan Panembahan Cahya Warastra yang memuncak telah mendorong tingkat ilmunya semakin tinggi. Ternyata Panembahan Cahya Warastra itu telah mampu memadatkan getaran udara karena sambaran angin dari gerakan tangannya. Demikian mapan ilmunya, maka sambaran angin setiap serangannya bagaikan menjadi kepanjangan tangannya. Getar udara itu mempunyai akibat seperti sentuhan wadagnya. Meskipun jangkauannya tidak lebih dari panjang tangannya sendiri, sehingga dengan demikian maka panjang tangan Panembahan Cahya Warastra itu bagaikan telah berlipat.

Ki Mandaraka memang terkejut. Ia baru kemudian menyadari ketika serangan lawannya itu telah menggetarkan pertahanannya. Ki Mandaraka yang tidak menyadari serangan itu terdorong beberapa langkah surut. Sambil berdesis menahan sakit Ki Mandaraka berkata, “Luar biasa.“

“Jangan merajuk,“ geram Panembahan Cahya Warastra.

Namun dalam pada itu Ki Mandaraka telah meningkatkan daya tahan tubuhnya. Bukan sekedar daya tahan sewajarnya, namun untuk melawan kemampuan ilmu Panembahan Cahya Warastra yang sulit diperhitungkan itu, justru karena kemampuannya memadatkan sambaran udara yang digetarkari oleh ayunan tangannya, maka Ki Mandaraka telah mempergunakan ilmunya yang juga pernah dimiliki oleh beberapa orang pemimpin di Pajang. Tameng Waja, Ilmu yang menggetarkan lawan-lawan Sultan Trenggana di jaman kejayaan Demak, yang kemudian juga diwarisi oleh putra menantunya yang kemudian bertahta di Pajang.

Pada serangan berikutnya, Panembahan Cahya Warastralah yang terkejut. Ilmunya serasa menyentuh pertahanan tirai besi baja.

“Tameng Waja,“ geram Panembahan Cahya Warastra.

Ki Patih Mandaraka tidak menjawab. Tetapi mereka bertempur semakin sengit.

Serangan-serangan Panembahan Cahya Warastra berikutnya tidak lagi berbahaya bagi Ki Patih Mandaraka. Meskipun Panembahan Cahya Warastra menjadi semakin sering mengenainya dengan kemampuan ilmunya yang seakan-akan menjadi kepanjangan tangannya namun tidak kasat mata, tetapi Ki Patih Mandaraka sama sekali tidak terguncang karenanya. Bahkan dengan dilindungi oleh Aji Tameng Waja, Ki Patih Mandaraka menyerang semakin keras, sehingga beberapa kali Panembahan Cahya Warastra terdesak.

Tetapi sudah tentu Panembahan Cahya Warastra tidak membiarkan dirinya sekedar menjadi sasaran. Setelah ia yakin tidak mampu menembus perisai ilmu Ki Patih Mandaraka itu, maka Panembahan Cahya Warastra telah mempergunakan ilmunya yang diperhitungkan akan berarti untuk mengatasi ilmu Tameng Waja.

Demikianlah, maka ketika pertempuran kemudian berlangsung semakin sengit, maka Panembahan Cahya Warastra telah meloncat mengambil jarak. Ketika Ki Mandaraka memburunya dengan memperhitungkan kemungkinan yang lebih berat dari ilmu yang pernah dilontarkannya menilik sikapnya, sehingga Ki Patih itu telah meningkatkan kemampuan perisai ilmunya, maka Panembahan Cahya Warastra telah melepaskan ilmunya yang menggetarkan jantung.

Dengan menghentakkan kedua tangannya, dilontarkan oleh loncatan panjang, maka Panembahan Cahya Warastra telah menghantam lawannya, meskipun disadarinya akan membentur perisai ilmu Tameng Waja.

Ternyata memang telah terjadi benturan yang dahsyat, dibarengi teriakan Panembahan Cahya Warastra. “Perisai ilmumu tidak akan mampu bertahan atas ilmuku Gundala Geni.“

Dalam benturan itu, Ki Patih Mandaraka memang terguncang. Bahkan Ki Mandaraka tidak mampu bertahan di tempatnya. Ia telah terdorong beberapa langkah surut. Ilmu Panembahan Cahya Warastra itu memang dapat menggetarkan perisai ilmu Ki Mandaraka.

Dada Ki Mandaraka memang merasa sesak bagaikan tertindih batu padas. Namun Ki Patih Mandaraka tetap mampu mempertahankan keseimbangannya. Ia tetap berdiri tegak dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, Panembahan Cahya Warastra yang menyerang dengan ilmunya yang dinamakannya sendiri Gundala Geni itu, ternyata telah terpental beberapa langkah surut. Ilmunya seakan-akan telah membentur selapis baja yang tebal. Meskipun sasaran itu juga tergetar surut, tetapi Panembahan Cahya Warastra sendiri telah terpental pula. Bahkan sebagian kekuatannya seakan-akan telah berbalik memukul isi dadanya sendiri, sehingga ternyata seperti sasarannya, dada Panembahan Cahya Warastra pun telah menjadi sesak.

Untuk sesaat kedua orang tua itu berdiri tegak berjarak beberapa langkah. Namun keduanya telah bersiap dan menghadapi segala kemungkinan.

“Kau memang luar biasa Ki Patih,“ berkata Panembahan Cahya Warastra, “ternyata kau mampu bertahan atas ilmuku Gundala Geni, dengan ilmu Tameng Wajamu yang hampir sempurna itu.“

“Apakah kau pikir perang tanding di antara kita akan segera selesai?“ bertanya Ki Mandaraka “Aku akui bahwa ilmumu sangat tinggi sehingga ilmuku telah tergetar karenanya. Namun jika kita bertempur terus, maka nampaknya tidak akan berkesudahan.“

“Aku sudah bertekad membunuhmu,“ berkata Panembahan Cahya Warastra.

“Hanya membunuhku saja? Tanpa akibat yang lain?“ bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Aku tidak tahu maksudmu,“ sahut Panembahan Cahya Warastra.

“Jika kau datang dengan pasukan segelar sepapan dengan tergesa-gesa, karena kau mendapat laporan dari petugas sandimu bahwa aku berada di Tanah Perdikan Menoreh, tentu bukan sekedar ingin membunuhku. Justru membunuh aku itu bukan tujuan utama bagimu. Sekedar satu cara bagimu untuk memperoleh kedudukan yang lebih mapan lagi. Mungkin sekarang kau sudah selalu berada didekat Panembahan Mas di Madiun serta berhasil membujuknya untuk melakukan langkah-langkah yang sebenarnya kurang menguntungkan bagi Madiun sendiri. Tetapi itu belum cukup. Kau ingin dianggap orang yang dapat menyelesaikan segala persoalan dengan mantap. Kau ingin menggeser kedudukan para Adipati yang selama ini berada di sekitar Panembahan Madiun itu. Bahkan pada suatu saat kau ingin menggeser Panembahan Madiun itu sendiri.“

“Cukup!“ Panembahan Cahya Warastra hampir berteriak, “Sekarang terbukti apa yang dikatakan orang tentang ilmu Ki Patih Mandaraka. Yang paling berbahaya padamu adalah bibirmu. Bukan ilmu Tameng Waja atau ilmumu yang lain.“

Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya, “Jadi apa yang kau cari sebenarnya di Tanah Perdikan ini dengan memburuku? Sekedar satu pengabdian kepada Madiun? He, apakah kau dilahirkan dan dibesarkan di Madiun sehingga kau merasa wajib untuk mengabdi bagi kampung halamanmu? Apa kau pernah mendapat anugerah yang berlimpah dari Panembahan Mas, sehingga dengan demikian maka kau merasa berhutang budi? Atau apa? Kau datang dengan mempertaruhkan sesuatu yang paling berharga dari dirimu tentu karena yang kau inginkan juga bernilai seharga nyawamu.“

“Tutup mulutmu!“ bentak Panembahan Cahya Warastra, “Kau memang pandai memutar-balikkan keadaan. Kata-katamu memberikan kesan yang seakan-akan meyakinkan. Tetapi kali ini adalah kali terakhir. Kau tidak akan dapat lagi meracuni orang lain dengan bibirmu yang tajam itu.“

Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya, “Kau memang orang aneh. Tetapi aku masih bertanya kepadamu, setelah kau berhasil membunuhku, kau lalu mau apa? Kau tidak akan dapat keluar dari lingkaran ini. Kau tidak akan dapat kembali ke Madiun untuk menerima hadiah yang barangkali kau inginkan. Bahkan sebagai landasan untuk mencapai tataran pemerintahan tertinggi di Madiun. Kau lihat di sini ada beberapa orang tua yang berilmu tinggi. Juga kau lihat anak-anak muda yang telah memanjat pada tingkat ilmu tertinggi pula. Kau tidak akan dapat menantang mereka seorang demi seorang untuk berperang tanding, karena kedudukanmu di sini adalah sebagai penyerang Tanah Perdikan ini.“

“Persetan!“ bentak Panembahan itu pula, “Sekarang apa maksudmu dengan mengulur waktu itu?“

“Aku sama sekali tidak mengulur waktu,“ jawab Ki Mandaraka, “tetapi aku memberi kesempatan kepadamu untuk merenungi dirimu sendiri. Kenapa kau sekarang berada di sini.“

Panembahan Cahya Warastra menggeram. Katanya, “Bersiaplah. Aku akan menyerangmu dengan tanpa menghiraukan, apakah kau melawan atau tidak.“

Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Ia sempat melihat wajah-wajah tegang di sekitar arena itu. Ki Mandaraka menyadari, bahwa orang-orang yang berdiri di seputarnya itu di antaranya adalah orang-orang berilmu tinggi. Bahkan Glagah Putih yang masih muda sekali itu pun telah berbekal ilmu yang tinggi pula.

Tetapi Ki Patih Mandaraka yang sebelumnya bernama Ki Juru Martani itu tidak mau mengorbankan harga dirinya dalam perang tanding itu. Karena itu, maka Ki Patih itu pun bertekad untuk menyelesaikan lawannya itu sendiri, apapun yang terjadi.

Sejenak kemudian pertempuran telah menyala pula. Semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya mengerahkan ilmu mereka yang sangat tinggi. Ketika pukulan Gundala Geni tidak berhasil menyelesaikan pertempuran itu, maka Panembahan Cahya Warastra telah mempergunakan ilmunya yang lain.

Serangannya datang dari jarak beberapa langkah tanpa mendekati lawannya, dengan menghentakkan tangannya dengan telapak tangan terbuka mengarah kepada lawannya. Namun Ki Patih Mandaraka tidak menunggu dengan ilmu Tameng Wajanya. lapun telah menyerang dengan cara yang hampir sama.

Serangan mereka memang tidak dapat ditangkap jelas dengan tatapan mata wadag. Namun bagi mereka yang berilmu tinggi, dapat melihat getaran ilmu yang terlontar itu sebagai asap yang sangat tipis.

Ternyata benturan yang dahsyat telah terjadi ketika kedua jenis ilmu yang mirip beradu di udara. Getarannya begitu kerasnya, sehingga beberapa orang pengawal yang mengelilingi arena itu bagaikan terdorong mundur. Bahkan satu dua orang yang sama sekali tidak mengira akan terjadi getaran yang demikian kerasnya, sehingga mereka terhuyung-huyung kehilangan keseimbangannya. Baru kemudian dengan tergesa-gesa mereka melenting berdiri.

Namun orang-orang yang berilmu tinggi memang tidak bergeser dari tempatnya, meskipun mereka merasakan hentakan pada dadanya. Tetapi daya tahan mereka cukup kuat untuk dengan serta merta mengatasinya. Tetapi dengan demikian maka mereka menyadari, betapa tinggi ilmu kedua orang itu.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita saling berpandangan sejenak. Mereka memang tidak dapat menduga, kapan pertempuran dengan cara itu akan selesai. Sementara itu, langit telah menjadi buram sehingga senja menjadi semakin gelap.

“Sudah waktunya berhenti,“ berkata Ki Waskita.

“Bagi pertempuran waktunya memang sudah lewat. Tetapi nampaknya perang tanding itu tidak akan terhenti oleh batasan waktu,“ jawab Kiai Gringsing.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Sementara itu ternyata Ki Gede telah memerintahkan beberapa orang pengawal untuk menyalakan obor dan membawa potongan-potongan bambu untuk menancapkannya di tanah berlumpur di tengah-tengah kotak sawah.

Tetapi ketika obor-obor itu dipasang, terdengar Panembahan Cahya Warastra tertawa sambil berkata, “Alangkah bodohnya orang-orang Tanah Perdikan. Dikiranya tanpa obor-obor itu mataku tidak dapat melihat lawanku, atau barangkali Ki Patih yang telah mulai menjadi rabun setelah senja?“

Tetapi Ki Patih Mandaraka sempat menjawab sambil mengelakkan serangan Panembahan Cahya Warastra, “Kaulah yang bodoh. Obor itu sama sekali bukan untuk kepentingan kita. Tetapi para pengawal ingin menjadi saksi di saat kau jatuh terbaring di tanah persawahan mereka.“

“Setan kau,“ geram Panembahan Cahya Warastra. Tiba-tiba saja ia meloncat surut. Dengan satu hentakan, maka Panembahan Cahya Warastra itu sudah melepaskan ilmunya yang nggegirisi. Ilmu yang mengejutkan semua orang yang menyaksikannya.

Dari kedua telapak tangan Panembahan itu yang terbuka merapat, seakan-akan telah keluar asap yang semakin lama semakin tebal. Demikian cepatnya, sehingga asap itu kemudian telah berputar bagaikan angin pusaran.

Tetapi waktu yang diperlukan itu, tidak lebih cepat dari waktu yang diperlukan oleh Ki Patih Mandaraka untuk mempersiapkan ilmunya pula. Tetapi Ki Patih Mandaraka mempunyai cara tersendiri untuk melawan Panembahan itu.

Ketika angin pusaran itu datang melandanya, maka Ki Patih tidak membenturnya dengan ilmunya. Namun tubuhnya menjadi seringan kapas. Karena itu, maka demikian angin pusaran itu hampir menggapainya, justru tubuh Ki Patih seakan-akan telah terhembus menjauh.  Agung Sedayu mengerutkan keningnya melihat ilmu itu. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah Glagah Putih. Meskipun tidak sedahsyat ilmu yang dilontarkan oleh Panembahan itu, tetapi ilmu sejenis itu telah dilihat oleh Glagah Putih di halaman rumah Agung Sedayu sehingga beberapa cabang dan ranting pepohonan berpatahan, di saat beberapa orang datang dan berniat untuk mengambil Sekar Mirah sebagai taruhan.

Tetapi dalam pada itu, angin pusaran itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin dahsyat. Bahkan dapat dikendalikan, sehingga kemana Ki Patih Mandaraka bergeser, angin pusaran itu selalu memburunya.

Beberapa orang benar-benar menjadi berdebar-debar. Mereka telah mundur semakin jauh. Bahkan orang-orang berilmu tinggi pun telah bergeser pula, justru karena mereka tidak ingin terlibat. Jika mereka membiarkan serangan yang dahsyat itu mendekati mereka, maka mereka terpaksa harus melawannya, sehingga sadar atau tidak sadar, mereka telah melibatkan diri, yang barangkali justru akan membuat Ki Patih Mandaraka kecewa. Namun demikian, setiap orang telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka sendiri bagaikan berterbangan di arena yang menjadi semakin luas itu. Tetapi pusaran angin itu selalu memburunya kemana Ki Patih itu pergi.

Beberapa orang berilmu tinggi yang ada di sekitar arena itu mengira bahwa pada suatu saat Ki Patih akan menghentikan pusaran angin itu dengan ilmunya pula. Jika ia menghantam pusaran angin itu, maka pusaran angin itu akan pecah bertebaran, sehingga tidak akan mampu lagi memburunya.

Panembahan Cahya Warastra sendiri juga memperhitungkan demikian. Karena itu, maka sambil mengendalikan arah angin pusaran itu, ia menunggu.

Sebenarnyalah Ki Patih Mandaraka telah mempersiapkan dirinya. Dengan satu hentakan, maka Ki Patih telah meloncat mengambil jarak. Karena tubuhnya bagaikan seringan kapas, maka Ki Patih dapat meluncur ketempat yang tidak terduga. Sementara Panembahan Cahya Warastra memusatkan nalar budinya mengarahkan ilmunya memburu Ki Patih, maka Ki Patih telah mempersiapkan dirinya. Dengan satu hentakan, maka Ki Patih telah melontarkan kekuatan ilmunya menghantam angin pusaran yang tengah mendekatinya.

Akibatnya memang dahsyat sekali. Angin pusaran itu memang pecah sebagaimana diperhitungkannya. Getarannya telah menebar ke seluruh arena, sehingga orang-orang berilmu tinggi pun harus bergeser surut. Bukan saja angin yang menggetarkan udara, tetapi rasa-rasanya debu pun berhamburan di seluruh medan.

Orang-orang yang ada di sekitar arena yang menjadi luas itu telah menutup wajah mereka dengan telapak tangan. Namun pada saat yang demikian, semua obor pun telah menjadi padam, sehingga arena itu menjadi gelap.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Panembahan Cahya Warastra. Demikian getaran udara mereda dan debu pun mengendap, maka angin yang bertebaran itu bagaikan telah berhimpun kembali. Angin pusaran itu seakan-akan telah tumbuh lagi. Semakin lama semakin dahsyat dalam kegelapan malam.

“Ki Patih Mandaraka,“ terdengar suara Panembahan Cahya Warastra, “lepaskan semua ilmumu. Anginku tidak akan dapat kau pecahkan dengan ilmu apapun juga. Kau dapat berterbangan kian kemari. Tetapi itu hanya menunda kematianmu saja, karena kau tidak akan mampu mengatasi serangan angin pusaranku meskipun kau mempunyai perisai ilmu rangkap. Meskipun kau mempunyai ilmu Tameng Waja, Ilmu Kebal dan Ilmu Lembu Sekilan.“

Ki Patih Mandaraka tidak menjawab. Tetapi tubuhnya masih saja berterbangan menghindari pusaran yang semakin kencang.

Namun dalam pada itu, Panembahan Cahya Warastra menjadi agak kabur menghadapi sasarannya. Ternyata Ki Patih Mandaraka juga memiliki ilmu yang membuat dirinya menjadi bagaikan samar-samar. Apalagi dalam gelapnya malam. Sekali-sekali nampak, namun kemudian menjadi kabur.

Tetapi kemudian terdengar suara tertawa Panembahan Cahya Warastra. Katanya, “Satu permainan sembunyi-sembunyian yang menarik. Tetapi mataku masih belum rabun Ki Patih.“

Ki Patih Mandaraka tidak menyahut. Namun demikian, ternyata bahwa dengan demikian ia mempunyai waktu lebih banyak daripada sebelumnya. Tetapi kemudian Ki Patih Mandaraka telah menjadi jemu dengan permainan itu. Ia tidak mau selalu diburu oleh angin pusaran yang semakin dahsyat. Bukan saja pusaran yang akan dapat mengangkatnya dan membantingnya jatuh di tanah, tetapi pusaran itu akan dapat melumatkan tulang-tulangnya selagi ia terangkat.

Orang-orang berilmu tinggi yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Sementara para pengawal yang menjadi semakin jauh dari pusat arena menjadi bingung. Bahkan ada di antara mereka yang tidak tahu, apakah yang telah terjadi.

Ketika Ki Patih Mandaraka meluncur mengambil jarak, serta bersiap untuk meluncurkan serangannya, terdengar suara Panembahan Cahya Warastra, “Kau akan mencoba sekali lagi Ki Patih. Apakah kau belum yakin, bahwa senjataku itu pada akhirnya akan membunuhmu?” 

Ki Patih masih belum menjawah. Ia mempergunakan waktu yang sedikit untuk memusatkan nalar budinya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan dan ilmunya. Ki Patih Mandaraka benar-benar ingin mengakhiri pertempuran yang berkepanjangan itu. Dengan sikap yang meyakinkan Ki Patih Mandaraka menghadap ke arah angin pusaran yang semakin lama menjadi semakin dekat.

Tetapi yang dilakukan oleh Ki Patih Mandaraka benar-benar mengejutkan. Sebelum angin pusaran itu melandanya, maka Ki Patih telah meloncat sambil melepaskan ilmunya yang dahsyat. Tetapi ternyata Ki Patih tidak membenturkan ilmunya untuk memecah angin pusaran itu. Tetapi ia langsung menghancurkan sumbernya.

Ternyata dalam waktu sekejap Ki Patih Mandaraka telah beralih sasaran. Dengan menghentakkan kekuatan ilmunya setelah meloncat ke samping, Ki Patih Mandaraka telah menyerang langsung Panembahan Cahya Warastra. Dengan memadamkan sumbernya, maka Ki Patih memastikan bahwa pusaran itu akan lenyap dengan sendirinya.

Panembahan Cahya Warastra terkejut. Tetapi terlambat baginya untuk berbuat sesuatu, meskipun pada saat terakhir ia sadar bahwa serangan Ki Patih Mandaraka ditujukan langsung kepadanya.

Satu hentakan ilmu yang dahsyat telah menghantam Panembahan Cahya Warastra yang sedang menikmati kemenangan kecilnya. Karena itu maka Panembahan Cahya Warastra itu telah terlempar beberapa langkah surut dan terbanting jatuh berguling-guling di tanah.

Namun sementara itu, di saat Ki Patih Mandaraka menyerang Panembahan Cahya Warastra, angin pusaran itu telah menyentuhnya pula, sehingga Ki Patih telah terputar beberapa kali, meskipun ia telah meloncat. Namun ternyata daya tahan Ki Patih Mandaraka sangat tinggi, sehingga sejenak kemudian Ki Patih itu mampu menguasai dirinya sepenuhnya. Berdiri tegak dengan dada tengadah.

Suasana menjadi tegang. Malam yang menyelubungi Tanah Perdikan itu pun menjadi semakin gelap pula. Beberapa orang pengawal yang mengelilingi arena itu sebagian tidak melihat, apa yang telah terjadi.

Tetapi beberapa orang berilmu tinggi menyaksikan, bagaimana Ki Patih Mandaraka menyelesaikan pertempuran itu. Beberapa belas langkah di hadapannya terbaring tubuh Panembahan Cahya Warastra. Seperti diperhitungkan oleh Ki Patih Mandaraka, maka demikian Panembahan itu kehilangan kekuatannya karena serangannya, maka angin pusaran itu pun telah pecah dan lenyap dalam gelapnya malam.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Kecruk Putih memang telah mencapai satu tataran yang tinggi, meskipun agaknya orang itu salah hitung. Kecruk Putih yang mabuk akan keberhasilannya membujuk Panembahan Mas di Madiun untuk melakukan langkah-langkah yang berbahaya itu tidak melihat, bahwa ilmunya masih jauh dari sempurna.

Sebagaimana Ki Patih Mandaraka yakin bahwa ia akan dapat mengalahkan orang itu, maka sebenarnyalah hal itu telah terjadi. Kecruk Putih yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu tidak berdaya melawan Ki Patih Mandaraka.

Untuk beberapa saat orang-orang berilmu tinggi itu memang menunggu. Baru kemudian Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh melangkah mendekati.

“Ternyata Ki Patih telah menyelesaikannya,“ desis Kiai Gringsing.

“Doa restu kalian, Yang Maha Agung masih melindungi aku,“ jawab Ki Patih Mandaraka, “namun sudah barang tentu orang itu tidak berarti apa-apa bagi Kiai Gringsing.“

“Ah,“ Kiai Gringsing berdesah, “aku sudah terlalu tua untuk dapat berbuat sesuatu.“

“Tetapi ilmu yang tersimpan di dalam diri Kiai ternyata belum ada yang menyamainya. Bahkan Kiai masih juga menyimpan beberapa jenis kemampuan Kiai, sehingga sampai saat ini belum pernah Kiai pergunakan,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

“Ah, sekedar cerita untuk menidurkan anak-anak,“ jawab Kiai Gringsing. “Namun bagaimanapun juga, Kecruk Putih telah kehilangan kesempatan untuk melangkah lebih jauh.“

Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian iapun melangkah mendekati tubuh Kecruk Putih itu. Ternyata tubuh itu telah diam membeku.

Ki Patih Mandaraka itu berdiri termangu-mangu. Ia lebih banyak merenungi dirinya sendiri daripada orang yang terbaring diam itu.

Sebenarnya bahwa Ki Patih Mandaraka itu jarang sekali langsung turun ke arena. Ia lebih banyak berada di belakang layar dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ia lebih banyak bertindak sebagai pemikir daripada seorang prajurit. Karena itu maka baik buruk langkah Panembahan Senapati, banyak orang yang melemparkan tanggung jawab kepadanya.

“Untunglah bahwa ilmunya belum mencapai tataran tertinggi,“ berkata Ki Patih Mandaraka itu di dalam hatinya.

Di saat Pajang bergejolak melawan Jipang, maka Ki Patih Mandaraka yang masih bernama Ki Juru Martani itu pun tidak langsung turun ke arena di tepian Bengawan Sore. Tetapi ia adalah orang yang merencanakan semuanya. Bukan saja peristiwa di tepian itu, tetapi sejak di paseban, ketika Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati itu merengek untuk ikut turun ke medan. Karena dengan demikian, maka ayahanda angkatnya yang sangat mengasihinya tentu tidak akan sampai hati melepaskannya pergi tanpa sipat kandel, sehingga akhirnya Kiai Pleret harus dikeluarkan dari perbendaharaan pusaka untuk dibawa Sutawijaya sebagai pelindungnya. Ternyata bahwa tombak itu pulalah yang telah melumpuhkan Arya Penangsang di medan perang.

Tetapi justru di Tanah Perdikan Menoreh, ia harus langsung berada di medan pertempuran melawan Panembahan Cahya Warastra yang semula bernama Kecruk Putih itu. Namun ternyata Kecruk Putih memang bukan seorang yang mampu mengakhiri hidup Ki Patih Mandaraka, bahkan sebaliknya.

Sementara itu, Ki Gede pun telah menerima laporan dari segala medan, bahwa pertempuran memang telah selesai. Orang-orang yang melarikan diri telah didesak untuk keluar dari Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan dua orang petugas sandi telah menyaksikan sendiri para prajurit Madiun menyeberangi Kali Praga dengan beberapa buah rakit yang dikumpulkannya di tepian seberang-menyeberang.

Tetapi Ki Gede pun telah menerima laporan pula tentang seorang yang telah mengamuk di rumah Ki Gede, namun yang telah dapat dikuasai oleh Sekar Mirah dan para pengawal, meskipun ada beberapa orang pengawal yang ternyata telah terluka.

“Kita mengucap syukur bahwa semuanya telah dapat dilampaui. Meskipun ada juga korban yang jatuh, namun dalam keseluruhan, kita dapat mengatasi kesulitan yang datang melanda Tanah Perdikan ini,“ desis Ki Gede lebih ditujukan kepada diri sendiri.

“Yang Maha Agung masih melindungi kita semua,“ berkata Kiai Gringsing, “ternyata bahwa di segala medan pasukan pengawal Tanah Perdikan ini mampu mengusir para pengikut Panembahan Cahya Warastra. Bahkan kecepatan gerak petugas sandi Mataram telah ikut menyelamatkan Tanah Perdikan ini.“

Namun dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka telah menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Akulah sebab dari kerusakan yang terjadi di Tanah Perdikan ini.“

“Tidak Ki Patih,“ sahut Ki Gede, “kami sudah memilih tempat dalam tatanan pemerintahan di Mataram. Karena itu, adalah kewajiban kami untuk mengemban tugas ini. Justru kehormatan yang besar bagi Tanah Perdikan ini, bahwa Ki Patih sudi berkunjung. Adapun langkah-langkah yang diambil oleh Panembahan Cahya Warastra sama sekali bukan tanggung jawab Ki Patih Mandaraka.“

Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Aku sangat berterima kasih kepada seisi Tanah Perdikan Menoreh, kepada orang-orang sebaya yang telah memberikan doa restunya kepadaku, dan kerja keras para petugas sandi Mataram beserta para prajurit.“

“Sudahlah,“ berkata Kiai Gringsing, “sebagian besar pekerjaan ini sudah selesai. Ki Patih tidak usah terlalu banyak menyesali peristiwa ini. Seperti dikatakan oleh Ki Gede, bahwa yang terjadi sama sekali bukan tanggung jawab Ki Patih dan bukan tanggung jawab kita semua. Tetapi tanggung jawab Panembahan Cahya Warastra. Nampaknya ia memang sudah mempertanggung-jawabkannya dengan menyerahkan nyawanya.”

Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, beberapa orang telah menyalakan obor lagi di bekas arena itu. Ki Gede telah memerintahkan para pengawal untuk membersihkan arena. Mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah gugur dalam pertempuran itu. Tetapi mereka juga harus mengumpulkan lawan yang tertinggal serta tidak berdaya lagi karena luka-luka parah. Bahkan juga yang terbunuh di peperangan itu.

Dalam pada itu, maka Ki Gede pun kemudian mempersilahkan Ki Patih Mandaraka serta yang lain untuk kembali ke padukuhan induk, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih masih tetap bertugas mengawasi arena. Bukan saja mengawasi para pengawal yang sedang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur, tetapi jika timbul persoalan baru atau orang-orang berilmu tinggi yang tercecer, mereka harus mengatasinya.

Ternyata kerja itu tidak hanya dilakukan di bekas medan di dekat padukuhan induk. Di semua bekas arena pertempuran, para pengawal juga sibuk melakukan hal yang sama. Mereka yang terluka dan yang gugur telah dibawa ke padukuhan terdekat untuk mendapatkan perawatan.

Malam itu, meskipun pertempuran telah selesai, namun kesibukan masih berlangsung terus. Para pengawal yang telah bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga, mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sementara itu, para pengawal yang berada di padukuhan selama pertempuran berlangsung untuk menjaga segala kemungkinan, telah berganti mendapat tugas untuk melakukan perawatan atas mereka yang terluka dan mengumpulkan mereka yang telah gugur. Demikian juga atas orang-orang Panembahan Cahya Warastra.

Dalam pada itu, maka para pemimpin Tanah Perdikan Menorehpun telah memasuki padukuhan induk. Mereka langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh untuk beristirahat dan membersihkan diri.

Demikianlah, setelah bergantian mandi, maka para pemimpin itu telah berada di ruang tengah. Sekar Mirah telah menyiapkan hidangan bagi mereka yang telah berada di medan sehari penuh. Namun bukan hanya bagi mereka yang ada di ruang tengah rumah Ki Gede itu saja yang dipersilahkan untuk makan. Tetapi para pengawal telah pula membawa berjodang-jodang makan dan lauk pauknya ke daerah bekas pertempuran di semua sisi.

Bahkan di padukuhan-padukuhan yang tidak disentuh oleh desah angin peperangan, telah ikut menyediakan pula berbagai macam makanan yang disediakan bagi para pengawal. Bahkan telah dikirim pula ke medan-medan.

Ternyata seluruh Tanah Perdikan menjadi sibuk. Seolah-olah hanya anak-anak sajalah yang sempat tidur malam itu. Laki-laki dan perempuan menjadi sibuk, apapun yang mereka kerjakan. Namun lewat tengah malam, dua orang petugas sandi dari Mataram bersama dua orang pengawal telah menghadap para pemimpin di rumah Ki Gede, terutama Ki Patih Mandaraka.

“Apakah ada yang penting?“ bertanya Ki Gede, “Jika tidak terlalu penting, biarlah kalian tidak mengganggu para tamu yang sedang beristirahat.“

“Maaf Ki Gede,“ jawab petugas dari Mataram, “persoalannya memang cukup penting.“

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian orang-orang yang ingin menghadap para pemimpin itu telah dibawa ke ruang tengah dan bertemu langsung dengan Ki Patih.

“Ada apa? Apakah masih ada sisa orang-orang Panembahan Cahya Warastra yang ada di Tanah Perdikan?“ bertanya Ki Patih.

“Ampun Ki Patih,“ jawab salah seorang petugas sandi itu, “menurut pengamatan kami, terjadi pergolakan di barak pasukan khusus.“

Wajah Ki Patih berkerut. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apa yang terjadi menurut pengamatanmu?“

“Kesiagaan,“ jawab pengamat itu.

“Sudah aku duga. Namun jika mereka melakukan sekarang, maka mereka telah terlambat beberapa langkah. Tetapi sikap terbuka dari perlawanan pasukan khusus itu cukup berbahaya bagi Tanah Perdikan ini,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

“Tetapi untunglah bahwa hal itu tidak dilakukan saat pasukan Madiun masih bertahan. Jika demikian, maka persoalannya tentu akan menjadi lain. Akhir dari pertempuran ini akan berbeda,“ desis Kiai Gringsing.

“Sikap itu harus ditanggapi dengan cara yang bijaksana tetapi tegas,“ desis Ki Patih Mandaraka, “perlawanan atas perintah oleh Senapati pasukan khusus itu sudah merupakan pemberontakan.”

“Jadi, apakah yang harus kita lakukan?“ bertanya Ki Gede.

“Ternyata bahwa Tanah Perdikan ini sedang mendapat ujian,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

“Dengan ditempa seperti ini, maka Tanah Perdikan ini akan menjadi dewasa,“ jawab Ki Gede.

“Baiklah. Kita memang harus berbuat sesuatu,“ berkata Ki Patih Mandaraka, “pasukan yang sedang beristirahat harus disiagakan kembali. Mereka harus segera bergerak ke sekitar barak Pasukan Khusus itu. Perintah yang sama akan diberikan kepada pasukan Mataram.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Aku harus memanggil Agung Sedayu.“

Kepada dua orang pengawal, maka Ki Gede telah memerintahkan untuk memanggil Agung Sedayu segera menghadap bersama Glagah Putih. Namun pada saat yang sama, Ki Patih Mandaraka telah memerintahkan kepada kedua petugas sandi dari Mataram itu untuk menghubungi pasukan Mataram.

“Bawa pasukan itu mendekat barak. Pasukan Tanah Perdikan akan datang segera. Tidak seorangpun boleh keluar dari lingkungan barak itu. Jika ada satu dua orang di antara mereka yang keluar, maka orang itu harus diperiksa,“ perintah Ki Patih Mandaraka. Lalu perintahnya pula, “Panggil aku jika keadaan memaksa.“

“Baik Ki Patih,“ jawab petugas sandi itu, yang kemudian bersama-sama dengan para pengawal Tanah Perdikan yang mendapat tugas memanggil Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah menghadap Ki Gede. Dengan singkat Ki Gede memberikan penjelasan tentang sikap Senapati Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Penempatan Senapati itu di Tanah Perdikan memang sudah diperhitungkan. Tetapi Tanah Perdikan masih beruntung bahwa ledakan itu sedikit terlambat, sebagaimana dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka.

Namun Agung Sedayu menyadari, bahwa ia harus bergerak cepat. Karena itu, maka iapun berkata, “Aku akan menghubungi Prastawa. Pasukannya berada tidak terlalu jauh dari barak itu. Sebelumnya, maka pasukan cadangan di induk padukuhan ini harus bergerak lebih dahulu.“

Demikian maka dengan cepat pasukan cadangan di padukuhan induk itu pun telah disiapkan. Pasukan itu memang tidak sekuat pasukan pengawal pilihan. Namun mereka pun cukup terlatih untuk menghadapi lawan. Meskipun masih harus dengan beberapa pesan, karena jika terjadi benturan kekuatan, mereka akan berhadapan dengan pasukan khusus.

Namun pasukan cadangan itu merupakan pasukan yang masih segar, sehingga tenaga mereka masih utuh. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun mereka akan dapat membantu mengatasi kesulitan jika diperlukan, karena Pasukan Khusus itu pun merupakan pasukan yang masih segar.

Ketika pasukan cadangan itu berangkat ke lingkungan barak Pasukan Khusus, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menuju ke pasukan pengawal yang dipimpin oleh Prastawa, di medan yang baru saja bersama-sama dengan pasukan Mataram menghadapi pasukan dari Madiun. Namun ketika mereka sampai di tempat itu, maka pasukan pangawal itu telah bersiap untuk berangkat.

“Kalian sudah bersiap?“ bertanya Agung Sedayu.

“Pasukan Mataram telah mendahului. Mereka telah mendapat perintah. Karena itu, kami pun telah bersiap apabila perintah seperti itu datang juga bagi kami,“ jawab Prastawa.

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kita akan segera berangkat. Tetapi tugas di sini harus berjalan terus.“

“Para pengawal dari padukuhan terdekat telah mengambil alih tugas di sini. Bahkan hampir semua laki-laki yang masih mampu, telah turun membantu merawat mereka yang terluka,“ jawab Prastawa.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang melihat di bawah cahaya obor, hilir mudik orang-orang yang mengumpulkan mereka yang terluka dan yang telah gugur di medan.

Namun ia masih sempat bertanya, “Apakah pasukanmu sempat betistirahat dan makan? Mungkin kerja berat masih menunggu.“

“Sudah,“ jawab Prastawa, “beberapa jodang telah dikirim kemari bagi kami di sini dan bagi pasukan Mataram.“

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “jika demikian kita berangkat sekarang.“

Demikianlah, maka pasukan yang baru beristirahat beberapa saat itu harus berangkat lagi menuju ke barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan. Setiap orang mengetahui, bahwa Pasukan Khusus itu memiliki kemampuan yang tinggi. Mereka mendapat latihan-latihan khusus melampaui latihan-latihan bagi para prajurit yang lain. Pasukan Khusus itu telah dilatih untuk menghadapi segala macam kesulitan yang mungkin terjadi.

Namun dengan kepercayaan diri yang tinggi, pasukan pengawal itu telah berangkat dengan dada tengadah. Setiap orang di Tanah Perdikan mengetahui, bahwa salah seorang yang pernah menjadi pelatih di Pasukan Khusus itu adalah Agung Sedayu dan dibantu oleh Sekar Mirah. Mereka pulalah yang telah menempa pasukan pengawal Tanah Perdikan, sehingga para pengawal itu tidak perlu merasa berkecil hati untuk menghadapi pasukan khusus, yang pada saat-saat terakhir tidak terlalu banyak melakukan kegiatan. Ketika Senapati yang baru itu mulai memimpin Pasukan Khusus itu, maka kegiatan barak itu memang meningkat. Namun semakin lama menjadi semakin susut, Bahkan kadang-kadang terjadi sesuatu yang sulit dimengerti oleh orang-orang di luar barak, sehingga akhirnya barak itu bagaikan menjadi daerah tertutup. Para prajurit menjadi terasa asing dan sulit untuk ditemui, meskipun mereka yang berasal dari Tanah Perdikan itu sendiri.

Namun pasukan itu memang sudah selalu mendapat sorotan khusus dari para perwira di Mataram. Tetapi mereka tidak mengira bahwa Senapati itu akan melakukan perlawanan terbuka sebagaimana yang terjadi begitu cepatnya.

Tetapi Mataram tidak terdiri dari orang-orang yang tidak mempedulikan pertumbukan keadaan. Mereka tidak meletakkan Senapati itu tanpa pengawasan di Pasukan Khusus itu. Itulah sebabnya, maka Mataram telah menyusun rencana untuk menyusun kesatuan pimpinan di lingkungan Tanah Perdikan Menoreh, namun yang masih belum terwujud. Sementara itu, Senapati Pasukan Khusus itu tidak menunggu sampai pecah perang yang sebenarnya antara Mataram dan Madiun.

Lewat tengah malam, barak pasukan khusus itu telah terkepung Pasukan Mataram, pasukan pengawal Tanah Perdikan yang bersama-sama dengan pasukan Mataram telah bertempur melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra, bersama pasukan cadangan yang masih segar.

Sambil menunggu perkembangan keadaan, maka pasukan yang mengepung barak itu sempat beristirahat, meskipun mereka sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan. Namun karena kelelahan, ada juga di antara mereka yang di luar sadarnya telah tertidur bersandar sebatang pohon.

Tetapi setelah beberapa lama menunggu, ternyata masih belum ada tanda-tanda sesuatu. Tidak ada lagi gejolak sebagaimana disaksikan oleh para petugas sandi, ketika terdengar suara sangkakala, teriakan aba-aba dan beberapa kesibukan lain.

Karena itu, maka para prajurit dan para pengawal memilih untuk menunggu daripada menyergap memasuki barak. Jika saat matahari terbit tidak ada perkembangan, maka beberapa orang perwira akan dikirim untuk memasuki barak itu, berbicara dengan Senapati yang memimpin pasukan khusus itu.

Ternyata bahwa sampai menjelang pagi, barak itu justru nampak tenang. Tidak ada-tanda-tanda bahwa Pasukan Khusus itu siap melakukan gerakan. Ketika fajar kemudian menyingsing, maka para pemimpin prajurit Mataram telah berkumpul dan berbicara dengan Agung Sedayu, apa yang sebaiknya mereka lakukan.

“Sebaiknya ada beberapa orang yang memasuki barak itu,“ berkata Agung Sedayu.

Namun rasa-rasanya memang ada sesuatu yang menimbulkan keragu-raguan. Dalam keadaan gawat itu, maka tidak nampak petugas jaga di regol halaman. Bahkan regol halaman barak itu ternyata telah tertutup rapat.

Ki Panji Wiralaga, Ki Rangga Lengkara dan Ki Lurah Sabawa telah memutuskan untuk memasuki barak itu bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Beberapa orang pengawal terpilih dari antara prajurit Mataram dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh akan mengawal mereka Sementara itu Prastawa dan para pemimpin kelompok prajurit Mataram siap menerima perintah untuk memasuki barak jika diperlukan.

Namun dalam pada itu, ketika para pemimpin prajurii Mataram dan Tanah Perdikan siap memasuki barak, maka justru dari dalam barak telah keluar beberapa orang perwira Pasukan Khusus. Mereka sejenak berdiri di depan regol sambil mengawasi keadaan. Kemudian memberikan isyarat untuk mendekati pimpinan pasukan yang mengepung barak mereka.

Ki Panji Wiralaga yang kemudian maju beberapa puluh langkah di hadapan regol barak, diikuti oleh para pemimpir prajurit Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Karena para perwira dari barak pasukan khusus itu tidak membawa pengawal, maka para pemimpin pasukan Mataram itu pun tidak membawa pengawal pula.

Ketika salah seorang pemimpin pasukan khusus iti mendekat, maka Ki Panji Wiralaga itu berdesis, “Kau K Lurah?“

Yang dipanggil Ki Lurah itu mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya Ki Panji. Kami ingin berbicara dengan Senapati prajurit Mataram.“

“Akulah yang memimpin pasukan Mataram yang ada di sini sekarang,“ jawab Ki Panji.

“Ki Panji Wiralaga sendiri?“ bertanya Ki Lurah.

“Ya. Aku sendiri,“ jawab Ki Panji tegas. Lalu iapun bertanya, “Dan sekarang, apakah Ki Lurah Kertayuda datang atas nama Senapati Pasukan Khusus di Tanah Perdikan?“

“Aku datang untuk memberikan laporan perkembangan terakhir dari Pasukan Khusus ini.“

“Apakah Pasukan Khusus di Tanah Perdikan akan melakukan perlawanan terbuka atas Mataram? Jika Ki Lurah Kertayuda datang untuk menyampaikan tantangan itu, maka aku, Panji Wiralaga yang memegang pimpinan atas pasukan Mataram, serta Agung Sedayu yang memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, telah siap melaksanakan perintah Ki Patih Mandaraka.“

Ki Lurah Kertayuda itu menarik nafas dalam-dalam, katanya, “Kami ingin menyerahkan diri. Kami telah melakukan pelanggaran terhadap paugeran seorang prajurit, karena kami telah melawan pimpinan kami.“

“Apa yang kau maksud?“ bertanya Ki Panji Wiralaga.

“Kami telah melakukan pemberontakan di dalam barak untuk melawan kebijaksanaan Senapati,“ jawab Ki Lurah Kertayuda.

Ki Panji Wiralaga termangu,-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Berikan laporan lengkap sekarang juga.“

Ki Lurah Kertayuda itu pun kemudian melaporkan apa yang telah terjadi di barak Pasukan Khusus itu.

Ki Panji Wiralaga serta para perwira pasukan Mataram itu telah mendengarkan laporan Ki Lurah Kertayuda dengan seksama.

“Kami telah menerima perintah untuk bergerak sejak pertempuran antara pasukan Mataram dan Madiun belum selesai. Kami mendapat perintah untuk menguasai pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, tanpa alasan yang dapat diterima akal,“ berkata Ki Lurah Kertayuda.

“Bagaimana bunyi perintah itu?“ bertanya Ki Panji Wiralaga.

“Mengabaikan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, untuk kemudian menguasai Ki Patih Mandaraka untuk diselamatkan ke dalam barak ini,“ berkata Ki Lurah Kertayuda. Lalu katanya pula, “Ternyata sebagian perwira dari Pasukan Khusus telah berhasil dipengaruhi oleh Senapati. Mengingat Senapati menolak perintah Ki Patih Mandaraka sebelum perang mulai, maka kami menjadi curiga. Beberapa orang pemimpin kelompok telah sepakat untuk melakukan pelanggaran atas paugeran prajurit Mataram yang harus tunduk kepada atasannya. Karena itu, maka di luar dugaan mereka, kami telah bergerak menguasai barak ini dan menawan para perwira yang telah dipengaruhi oleh Senapati itu.“

“Kalian mampu mengalahkan mereka?“ bertanya Ki Panji Wiralaga.

“Ternyata kekuatan kami tidak akan dapat mereka atasi. Jumlah kami jauh lebih banyak dari jumlah para prajurit yang tunduk pada perintah Senapati, yang menurut pendapat kami bertentangan dengan tegaknya kepemimpinan Mataram, serta bahkan pernah menolak perintah Ki Patih Mandaraka. Kami tidak ingin terlibat dosa-dosa mereka, sehingga karena itu kami telah menentukan sikap. Kami menyadari bahwa kami telah melakukan pelanggaran. Tetapi pelanggaran ini tentu tidak sebesar pelanggaran dengan menentang perintah Ki Patih Mandaraka.”

Ki Panji Wiralaga termangu-mangu sejenak. Dipandanginya beberapa orang perwira yang bersamanya. Demikian pula ia seakan-akan ingin mendengar pendapat Agung Sedayu. Namun ternyata Agung Sedayu tidak berniat mencampuri persoalan para prajurit Mataram. Apalagi ia sudah tidak lagi menjadi pelatih yang tetap di barak itu.

Namun dalam pada itu, Ki Panji Wiralaga berkata, “Ki Lurah. Bukankah Senapati Pasukan Khusus itu dikenal sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi?“

“Ya,“ jawab Ki Lurah Kertayuda, “kami sudah memperhitungkannya. Kami, empat orang, telah bersepakat untuk melawannya jika Senapati tidak dapat kami tundukkan dengan tanpa kekerasan.“

“Begitu mudahnya kalian menundukkannya?“ bertanya Ki Panji Wiralaga.

“Setelah kami mendengar laporan dari berbagai medan, bahwa pasukan Panembahan Cahya Warastra dari Madiun terdesak, maka kami pun telah menentukan sikap. Ternyata sikap Senapati juga terpengaruh oleh laporan-laporan itu, sehingga langkah yang akan diambil oleh Senapati itu gagal. Sebenarnya rencana gerakan Pasukan Khusus tidak terlalu terlambat, karena semuanya sudah dipersiapkan sebelum pasukan Madiun mengundurkan diri. Namun sikap kami, beberapa orang pemimpin di antara para pemimpin Pasukan Khusus, telah menunda-nunda gerakan itu sehingga akhirnya terlambat dan batal sama sekali,“ jawab Ki Lurah. Lalu katanya, “Sebenarnyalah bahwa Senapati itu menyerah bukan karena mereka silau oleh kemampuan kami. Tetapi karena ia menerima laporan-laporan pahit dari para petugas sandinya, yang sengaja kami beri kesempatan untuk melapor. Tetapi jika mereka akan melaporkan kemenangan-kemenangan, mungkin kami bersikap lain.“

Ki Panji Wiralaga mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Bawa Senapati itu ke pintu gerbang.“ “Ki Panji tidak masuk ke barak?“ bertanya Ki Lurah.

“Tidak sekarang,“ jawab Ki Panji.

Ki Lurah menyadari, bahwa Ki Panji Wiralaga tentu tidak akan dengan mudah mempercayainya. Namun ia berkata juga, “Baiklah Ki Panji. Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak akan melakukan sesuatu di luar akal yang waras. Kami tahu bahwa barak ini sudah dikepung oleh prajurit Mataram dan Pasukan Pengawal Tanah Perdikan, termasuk pasukan cadangan yang masih segar. Sementara itu, jika perlu akan dapat hadir di sini Ki Patih Mandaraka, Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Glagah Putih, Sekar Mirah, Ki Gede sendiri, Ki Panji, para pemimpin yang lain yang tidak dapat aku kenali seorang demi seorang.“

Ki Panji hanya menarik nafas panjang. Tetapi perintahnya tetap, “Bawa Senapati itu ke pintu gerbang.“

Ki Lurah Kertayuda mengangguk hormat. Jawabnya, “Baik Ki Panji.“

Beberapa saat kemudian, Ki Lurah dan beberapa orang perwira Pasukan Khusus telah melangkah surut. Kemudian kembali memasuki pintu gerbang. Mereka ternyata memerlukan beberapa saat untuk membawa Senapati Pasukan Khusus itu ke pintu gerbang.

Ki Panji Wiralaga mendekatinya. Sementara Senapati itu juga tidak menundukkan wajahnya.

“Kau telah melawan perintah Ki Patih Mandaraka. Bahkan kemudian kau telah berniat untuk berkhianat,“ berkata Ki Panji Wiralaga.

“Fitnah yang keji,“ geram Senapati itu, “aku telah mempersiapkan pasukan ini untuk menyelamatkan Ki Patih Mandaraka.“

“Tetapi kenapa kau menolak sebelumnya ketika Ki Patih memerintahkan pasukanmu ikut membantu melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra dari Madiun?“ bertanya Ki Panji Wiralaga.

“Sudah aku katakan alasanku. Namun pada saat terakhir, kami mendengar laporan bahwa keadaan Ki Patih menjadi sangat sulit, bahkan membahayakan jiwanya. Karena itu, kami sudah siap bergerak untuk menyelamatkannya dengan membawanya masuk ke barak Pasukan Khusus ini, karena di sini Ki Patih akan terlindung,“ jawab Senapati itu. “Tetapi beberapa orang justru menentang kebijaksanaan untuk menyelamatkan Ki Patih dan membuat hambatan-hambatan yang tidak masuk akal, sehingga kami terlambat bergerak.“

“Apakah kau benar-benar tidak mendapat laporan tentang keadaan segala medan dari orang-orangmu?“ bertanya Ki Panji.

Senapati itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia menjawab, “Aku selalu mendapat laporan itu. Dan keadaan Ki Patih memang gawat.“

“Dimana letaknya kesalahannya? Pada petugas penghubungmu, atau telingamu yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi dengan sebaik-baiknya?“ bertanya Ki Panji.

“Kau menghina seorang Senapati dari Mataram yang dipercaya memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini,“ geram Senapati itu.

“Yang kau katakan jauh dari kebenaran,“ berkata Ki Panji, “tetapi aku mendapat laporan lain dari Ki Lurah Kertayuda.“

“Ia telah bersepakat untuk melakukan pemberontakan dengan beberapa orang perwira bawahan lainnya,“ jawab Senapati itu. Lalu katanya, “Sebenarnya kekuatan mereka tidak seberapa. Tetapi jika aku tidak mengalah, maka pertumpahan darah akan terjadi. Seluruh Pasukan Khusus itu agaknya akan musnah dengan sia-sia. Karena itu, aku memilih untuk menghindarinya. Jika aku harus menghadap perdata keprajuritan, maka aku akan dapat memberikan keterangan yang sebenarnya.“

Ki Panji Wiralaga menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Jika niatmu terhadap Ki Patih Mandaraka memang baik, maka kau tentu akan mendapat imbalan yang pantas. Karena itu, marilah, kita menghadap Ki Patih Mandaraka.“

Wajah Senapati itu menjadi tegang. Namun kemudian ia menjawab tegas, “Baiklah. Kita menghadap Ki Patih Mandaraka.“

“Kau harus mempertanggung-jawabkan sikapmu disaat pertempuran belum dimulai. Bahwa kau telah menolak untuk menyerahkan prajuritmu untuk melawan Panembahan Cahya Warastra.“

“Itu adalah tugasku untuk tetap berada di dalam barak, selama menurut pendapatku kami belum terdesak untuk keluar,“ Jawab senapati itu.

“Katakanlah jawabmu itu kepada Ki Patih, atau kepada Panembahan Senapati sendiri,“ berkata Ki Panji Wiralaga. Lalu katanya pula, “Panembahan Senapati tentu akan mempertimbangkan pendapat Panglima Pasukan Khusus Mataram, yang sejak sebelum kau ditempatkan di sini telah mempunyai pengamatan khusus terhadap dirimu.“

Nampak dahi Senapati itu berkerut. Namun kemudian segala macam kesan itu hilang dari wajahnya. Bahkan dengan wajah tengadah ia berkata, “Marilah. Aku sudah siap.“

Demikianlah maka Ki Panji Wiralaga bersama beberapa orang perwira dan prajurit pilihan telah membawa Senapati itu bersama beberapa orang pengikutnya menuju ke padukuhan induk. Kepada Ki Lurah Kertayuda, Ki Panji telah menyerahkan pimpinan barak itu untuk sementara, dibantu oleh beberapa perwira lainnya yang telah ditunjuk pula oleh Ki Panji. Namun dalam pada itu, kepungan di luar barak sama sekali tidak dikendorkan.

“Kalian menunggu perintahku,“ berkata Ki Panji kepada para pembantunya yang memimpin prajurit Mataram di luar barak. Sedangkan kepada para pengawal Tanah Perdikan, Ki Panji telah meninggalkan pesan yang sama pula.

Agung Sedayu yang kemudian diminta untuk ikut membawa Senapati itu ke padukuhan induk, telah meninggalkan Glagah Putih untuk membantu Prastawa memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan yang ikut mengepung barak itu.

“Pasukan Khusus itu memiliki beberapa kelebihan dari prajurit yang lain. Karena itu, bantu Prastawa. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu,“ pesan Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Baik Kakang. Aku akan tinggal di sini bersama Prastawa.“

Bersama Ki Panji Wiralaga, maka Agung Sedayu pun telah membawa Senapati pasukan khusus itu ke padukuhan induk. Sementara itu di perjalanan, Ki Panji masih sempat pula bertanya, “Kenapa kau mengira bahwa Ki Patih Mandaraka harus diselamatkan dan dibawa ke dalam barakmu? Laporan apa saja yang telah kau dengar?“

“Kenapa Ki Panji masih bertanya? Segala jawabku tentu tidak akan dipercaya,“ jawab Senapati itu.

“Masalahnya bukan dipercaya atau tidak dipercaya,“ berkata Ki Panji, “tetapi aku ingin mendengar alasanmu untuk menyelamatkan Ki Patih.“

Tetapi jawab Senapati itu, “Ki Panji tidak berwenang mendesakku seperti itu.“

“Baik,“ berkata Ki Panji, “sebelum kau menjadi tawanan resmi dari Mataram, maka sekarang kau berada di lapangan. Aku dapat memperlakukan kau berdasarkan atas wewenangku, apa saja terhadap seorang pemberontak.“

Wajah Senapati itu menjadi tegang. Namun Ki Lurah Sabawa sempat berkata, “Kita sudah memasuki jalan yang langsung menuju ke padukuhan induk.”

Ki Panji Wiralaga yang hampir kehilangan kesabarannya itu menggeram. Namun iapun kemudian berkata, “Apa katamu bahwa Ki Patih telah membunuh Panembahan Cahya Warastra?“

Senapati itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.

Tetapi agaknya Ki Panji-lah yang belum puas dengan pertanyaan itu. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Apakah dengan rencanamu itu kau berusaha menyelamatkan Panembahan Cahya Warastra? Atau kau sangka pasukanmu akan mampu menangkap Ki Patih, mengurungnya di barakmu dan kemudian membunuhnya, atau menyerahkannya kepada Panembahan Cahya Warastra itu?“

Pertanyaan yang datang mengalir itu rasa-rasanya seperti mendera jantung. Tetapi Senapati itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu bahwa ia tidak akan dapat berbuat sesuatu, karena di tempat itu ada Ki Panji Wiralaga, beberapa perwira prajurit Mataram yang lain, serta ada pula Agung Sedayu yang sudah diketahui kemampuannya. Di belakang mereka, sekelompok prajurit terpilih, meskipun bukan dari pasukan khusus, tetapi memiliki kemampuan yang tinggi pula.

Senapati itu akhirnya menundukkan kepalanya. Terbayang di matanya seakan-akan ia telah di hadapan Panglima Pasukan Khusus yang memimpinnya langsung. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa di hadapannya, apalagi ia sebagai tawanan. Jika saja ia mampu menggerakkan seluruh kekuatan yang ada di dalam barak itu, maka keadaannya tentu akan sangat berbeda. Ia masih mempunyai harapan untuk dapat bergabung dengan kekuatan yang datang dari Madiun, dan benar-benar menghancurkan Tanah Perdikan serta membunuh Ki Patih Mandaraka. Tetapi semuanya itu tidak lagi dapat dilakukannya.

Bahkan Senapati itu masih juga mengumpat di dalam hatinya. Ternyata ia masih kurang berhati-hati. Ia menyangka bahwa seisi barak Pasukan Khusus itu sudah dikuasainya. Namun ternyata justru sebagian besar di antara mereka memiliki sikap yang berbeda dengan sikapnya. Bahkan mereka telah berani mengambil tindakan sendiri sebelum Mataram menurunkan perintah. Tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Dengan demikian maka ia tidak akan mungkin melangkah mengulangi peredaran waktu.

Karena itu, maka bersama beberapa orang pembantunya serta adiknya, Wirastama, mereka berjalan menuju ke padukuhan induk untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.

Sepeninggal Senapati itu, maka keadaan barak Pasukan Khusus justru menjadi tenang. Beberapa kelompok yang telah menyatakan setia kepada Senapati itu, telah didesak untuk berada dalam sebuah bangunan di dalam barak, yang dijaga kuat oleh kelompok-kelompok yang lebih banyak, sehingga mereka tidak dapat bergerak sama sekali. Karena perlawanan yang akan mereka berikan pun tidak akan berarti sama sekali. Bahkan hanya akan menimbulkan korban yang sia-sia saja.

Di padukuhan induk, sebelum Ki Panji Wiralaga menghadapkan Senapati Pasukan Khusus, telah lebih dahulu mengirimkan dua orang penghubung untuk menyampaikan kepada Ki Patih, bahwa Ki Panji telah membawa Senapati Pasukan Khusus itu. Karena itu, ketika mereka sampai ke rumah Ki Gede, maka Ki Patih telah bersiap di pendapa bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan, orang-orang tua dan beberapa orang yang lain.

Kedatangan Ki Panji telah disambut oleh seorang perwira pengawal Ki Patih Mandaraka, yang kemudian mempersilahkan mereka naik ke pendapa bersama para tawanannya.

Senapati Pasukan Khusus itu pun kemudian telah dibawa menghadap Ki Patih yang telah menunggunya. Nampaknya Ki Patih itu pun masih belum sempat beristirahat dengan baik. Namun pada wajah orang tua itu tidak nampak keletihan, sebagaimana juga orang lain.

Tetapi dalam pada itu, Agung Sedayu mempunyai sentuhan perasaan yang lain tentang gurunya. Meskipun Kiai Gringsing masih juga tersenyum-senyum di antara orang-orang tua yang ada di pendapa itu. namun Agung Sedayu yang sangat mengenal gurunya itu melihat, bahwa wadag Kiai Gringsing menjadi bertambah lemah. Bukan karena pertempuran yang berlangsung di medan, tetapi tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Ketuaannya, sakit yang kadang-kadang datang mengganggu wadagnya itu, dan keterbatasannya. Namun Agung Sedayu tidak mengatakan sesuatu selama Ki Patih Mandaraka berbicara langsung kepada Senapati itu.

Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka pun tidak bermaksud memeriksa Senapati sampai tuntas. Ki Patih hanya mengajukan beberapa pertanyaan saja. Namun kemudian Ki Patih itu berkata, “Bawa orang itu ke Mataram bersama pasukan Mataram jika mereka akan kembali. Aku tidak akan terlalu banyak berbicara di sini. Yang akan memeriksanya sudah tentu bukan aku. Cukup Panglima Pasukan Khusus bersama perdata keprajuritan.“

Wajah Senapati itu menjadi tegang. Ia mengerti benar arti kata-kata Ki Patih. Ternyata bahwa Senapati itu tidak cukup bernilai untuk dihadapkan kepada Ki Patih Mandaraka. Ia akan berhadapan dengan panglimanya yang sudah dikenalnya sikap dan pandangannya terhadap pelanggaran. Apalagi jika disebutnya sebagai pemberontakan. Yang lebih memberatkan adalah justru ia adalah seorang Senapati dari Pasukan Khusus.

Sementara itu, maka Ki Patih yang seakan-akan tidak begitu menghiraukannya itu kemudian berkata, “Bawa orang itu pergi.“

Ki Panji Wiralaga menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengerti maksud Ki Patih. Karena itu, maka iapun segera membawa orang itu pergi dan menempatkannya di sebuah bilik yang khusus di bawah penjagaan yang cukup ketat. Karena selain Senapati itu, sudah ada beberapa orang lain yang ditahan di Tanah Perdikan, di tempat yang terpisah. Mereka pun akan dibawa ke Mataram pada waktu dan kesempatan yang terpisah pula, meskipun masing-masing harus mendapat pengawalan yang kuat.

Ternyata sikap Ki Patih Mandaraka itu telah menunjukkan wibawa seorang pemimpin yang besar. Ia telah menunjukkan bahwa ia memang orang kedua setelah Panembahan Senapati itu sendiri. Bahkan di dalam istana di Mataram, di dalam hampir setiap pembicaraan, maka pendapat Ki Patih Mandaraka tidak pernah diabaikan oleh Panembahan Senapati. Bukan karena kepandaiannya berbicara dan membujuk dengan kata-kata yang berbelit-belit, tetapi karena dalam banyak hal, pendapat Ki Patih Mandaraka memang telah memberikan bukti dan buah sebagaimana diharapkan. Sehingga Panembahan Senapati pun kemudian percaya bahwa Ki Patih Mandaraka memang seorang yang bijaksana, berpandangan luas dan berpikiran terang.

Malam itu pula Ki Patih Mandaraka justru menyatakan keinginannya untuk memasuki barak Pasukan Khusus. Karena itu, maka orang-orang tua dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, di samping para perwira prajurit Mataram, telah mengikutinya.

Namun sementara dalam perjalanan ke barak Pasukan Khusus, Agung Sedayu sempat mendekati Kiai Gringsing dan bertanya, “Bagaimana dengan keadaan Guru?“

“Kenapa? Bukankah aku tidak apa-apa?“ justru Kiai Gringsing telah bertanya pula.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sentuhan perasaannya sebagai seorang murid yang sangat dekat dengan gurunya terasa begitu kuat, sehingga iapun kemudian berkata, “Meskipun aku tidak melihat gejala yang dapat aku katakan, tetapi getaran itu terasa di dalam dadaku Guru.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Kau ternyata memiliki ketajaman pengamatan batin, Agung Sedayu. Aku memang merasa sangat letih.“

“Siapakah lawan Guru di peperangan?“ bertanya Agung Sedayu pula.

Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Bukan seorang yang berat untuk dihadapi. Ia telah mengaku kalah sebelum pertempuran dimulai. Dan ia tidak banyak memerlukan tenagaku. Ia seorang Putut yang jantan, yang melihat kenyataan tentang dirinya.“

“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dengan Guru?“ bertanya Agung Sedayu. “Apa yang aku lakukan sekarang ini adalah sisa-sisa dari tenagaku. Sebagaimana kau ketahui, aku memang sedang sakit. Meskipun aku sudah merasa sembuh, namun keadaan wadagku memang kurang menguntungkan. Karena itu, maka kelemahan itu menjadi semakin terasa sekarang ini, meskipun tidak banyak orang yang mengetahui. Tetapi ternyata kau dapat merasakannya,“ berkata Kiai Gringsing.

“Bukankah dengan demikian. sebaiknya Guru beristirahat saja di rumah Ki Gede?“ desis Agung Sedayu.

Tetapi Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Tidak. Aku tidak apa-apa.“

“Kenapa Guru masih berkata bahwa Guru tidak apa-apa?“ bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing menepuk pundak Agung Sedayu. Katanya, “Aku masih mampu bertahan untuk waktu yang cukup.“

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Tetapi iapun berjalan di belakang gurunya, yang diketahuinya dengan pasti bahwa gurunya itu sedang sakit.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu telah sampai ke barak Pasukan Khusus. Sementara itu langit pun telah menjadi terang. Bayangan cahaya matahari mulai nampak di cakrawala.

Ternyata bahwa Ki Patih Mandaraka sama sekali tidak ragu-ragu untuk memasuki barak itu. Namun Ki Panji Wiralaga telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya. Ia telah minta beberapa perwira terpilih berada di paling depan. Kemudian Ki Patih Mandaraka memasuki pintu gerbang bersama orang-orang tua dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Di belakang mereka beberapa orang pengawal terpilih mengikuti kelompok para pemimpin itu dengan tingkat kewaspadaan tertinggi.

Sesuai dengan perintah Ki Panji Wiralaga, maka para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah berkumpul di halaman depan barak mereka. Sementara itu sekelompok dari mereka yang telah dipengaruhi oleh Senapati pasukan itu, telah menjadi tawanan. Kehadiran para pemimpin, terutama Ki Patih Mandaraka, telah menyentuh hati mereka. Seakan-akan mereka telah melihat wajah mereka di bayangan permukaan air yang jernih, sehingga mereka dapat melihat cacat-cacat di wajah mereka itu.

Ki Patih Mandaraka telah memberikan sesorah singkat. Kemudian telah memerintahkan mereka yang terpengaruh oleh Senapati Pasukan Khusus itu untuk kembali mengenal diri sendiri.

Terakhir Ki Patih berkata, “Bagaimanapun juga, maka para prajurit yang telah kehilangan kesetiaan kepada tugasnya akan dibawa ke Mataram. Namun aku menjadi saksi, bahwa pada saat terakhir kalian telah menemukan diri kalian kembali.“

Memang tidak ada perlawanan sama sekali. Sekelompok prajurit dari pasukan yang bergejolak itu telah dibawa keluar dari barak, kemudian di bawah pengawalan prajurit Mataram yang kuat, mereka telah dibawa ke padukuhan induk.

Sementara itu, Ki Patih telah mengadakan pertemuan singkat dengan para perwira yang setia kepada Mataram dan menyelamatkan Pasukan Khusus itu, sehingga tidak menjadi korban kesesatan seseorang.

Dengan singkat Ki Patih telah memberikan beberapa petunjuk kepada mereka, dan untuk sementara Ki Patih telah memperkuat keterangan Ki Panji Wiralaga untuk menunjuk Ki Lurah Kartayuda sebagai pemangku jabatan pimpinan barak Pasukan Khusus itu.

Setelah beberapa lama mereka berada di barak Pasukan Khusus itu, maka Ki Patih pun telah minta diri. Beberapa ketentuan telah dibuatnya untuk tetap memelihara Pasukan Khusus di barak itu sebagai Pasukan Khusus Mataram.

Ketika matahari naik semakin tinggi, maka semua persoalan rasa-rasanya telah dipecahkan. Dengan demikian maka orang-orang tua dan para pemimpin di Tanah Perdikan itu telah mendapat kesempatan untuk beristirahat. Demikian pula Ki Patih sendiri yang sebenarnya juga merasa letih. Apalagi setelah bertempur langsung dalam perang tanding dengan Panembahan Cahya Warastra. Karena itu, maka para pemimpin dan orang-orang tua itu pun telah dipersilahkan untuk beristirahat.

Pada saat yang demikian, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, serta para prajurit Mataram yang secara khusus mengawal Ki Patih, masih saja selalu bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Tetapi agaknya kekuatan dari Madiun yang telah datang ke Tanah Perdikan itu benar-benar telah dihalau. Dua orang penghubung khusus memang telah diperintahkan oleh Ki Patih Mandaraka untuk memberikan laporan ke Mataram.

Ternyata pertemuan orang-orang tua di Tanah Perdikan yang dimaksud sebagai satu pertemuan untuk sekedar mengenang masa lalu serta berbincang-bincang tentang pengalaman hidup itu, telah berubah sama sekali. Yang terjadi di Tanah Perdikan itu justru satu perjuangan antara hidup dan mati.

Di saat-saat para pemimpin dan orang-orang tua itu beristirahat, maka Agung Sedayu telah berada bersama gurunya di serambi rumahnya yang tidak terlalu jauh dari rumah Ki Gede, bersama Glagah Putih. Sementara itu, Sekar Mirah pun sedang beristirahat pula dari tugasnya di dapur, dan sempat pulang pula sebentar bersama Agung Sedayu.

Kiai Gringsing sempat pula bertanya kepada Sekar Mirah apa yang telah terjadi di rumah Ki Gede, saat orang-orang tua dan para pemimpin berada di medan.

“Orang itu melarikan diri dari medan,“ berkata Glagah Putih, “untunglah Mbokayu Sekar Mirah ada di dapur.“

“Orang itu sama sekali tidak mengekang diri lagi,“ berkata Sekar Mirah, “niatnya adalah membakar rumah Ki Gede.“

“Ia sudah menjadi putus asa dan bahkan jiwanya sudah tidak utuh lagi,“ berkata Sekar Mirah pula.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Kita dan seluruh Tanah Perdikan ini memang harus mengucap syukur, bahwa kita semuanya telah lepas dari bencana yang hampir saja menelan seluruh Tanah Perdikan ini.“

“Ya Guru,“ sahut Agung Sedayu. Namun kemudian katanya, “Tetapi keadaan Guru menjadi semakin kurang baik. Guru memerlukan banyak waktu untuk beristirahat.“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Bukankah aku cukup beristirahat? Di medan pertempuran itu, aku hampir tidak berbuat apa-apa. Lawanku adalah orang yang baik. Seorang yang jantan, yang tidak mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Ia tidak banyak berbuat sesuatu. Tetapi memang wadagku-lah yang sudah terlampau lemah. Namun bukankah itu satu kewajaran? Pada satu saat aku telah dilahirkan. Kemudian dibesarkan, dan pada akhirnya saat itu pun akan datang. Seperti matahari. Terbit, mencapai puncak langit, kemudian terbenam.“

“Guru,“ suara Agung Sedayu menjadi dalam.

“Bukankah itu bukan apa-apa?“ bertanya Kiai Gringsing, “Apakah kita akan menghindarkan diri dari putaran itu?“

Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, “Kita mempunyai satu keyakinan akan kasih dari Yang Maha Agung. Kita harus pasrah bahwa yang harus terjadi itu terjadilah. Dengan demikian kita akan dapat menerima kenyataan hidup ini dengan hati yang lapang. Aku pun harus menghadapi kenyataan itu. Karena itu, aku memang telah mempersiapkan diri menempuh jalan menuju ke batas akhir.“

Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Sudahlah. Kita dapat berbicara tentang yang lain. Barangkali jambu air di halaman belakang rumahmu ada yang sudah masak?“

“Aku akan melihatnya Kiai,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia berkata, “Ki Jayaraga masih berada di rumah Ki Gede menemani Ki Waskita. Sebentar lagi aku pun akan pergi ke sana.“

“Ya Kiai,“ jawab Glagah Putih, “tetapi Guru tahu bahwa aku ada di sini bersama Kiai, Kakang dan Mbokayu.“

Kiai Gringsing tersenyum sambil menepuk bahu anak itu. Katanya, “Masa depan terletak di bahu kalian yang muda-muda ini.“

Glagah Putih kemudian telah pergi ke belakang. Pohon jambu air di kebun belakang memang sudah berbuah agak lebat. Tetapi buahnya lebih baik jambu air yang ada di halaman depan. Meskipun tidak begitu banyak, tetapi terasa lebih segar.

Namun ketika Glagah Putih sedang mengamati jambu itu, pembantu rumahnya datang mendekatinya sambil berkata, “Sudah dua malam aku tidak turun ke sungai.“

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Jangan pikirkan pliridan itu. Bukankah di Tanah Perdikan ini baru terjadi pergolakan yang telah mengguncang seluruh sendi-sendi kehidupan?“

“Tetapi mereka tidak menjamah sungai itu,“ jawab anak itu, “pliridanku masih utuh. Nanti malam kita harus turun ke sungai.“

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku letih sekali.“

“Nanti malam. Tidak sekarang. Kau masih sempat beristirahat sampai malam,“ berkata anak itu.

“Sebentar lagi kami akan pergi ke rumah Ki Gede,“ jawab Glagah Putih.

“Salahmu sendiri. Kau selalu ikut kemana Ki Agung Sedayu pergi. Bukankah kau dapat tinggal di rumah dan tidur sebentar?“ bertanya anak itu.

Glagah Putih masih saja tertawa katanya, “He, aku akan memetik jambu air itu.“

Anak itu tidak menjawab lagi. Iapun kemudian meninggalkan Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Glagah Putih telah memanggilnya. Ketika anak itu berhenti, Glagah Putih berkata, “Kau sajalah yang memanjat.“

“Bukankah Ki Agung Sedayu menyuruhmu? Bukan aku? Aku akan menyelesaikan tugasku sendiri,“ jawab anak itu.

“Tugasmu apa?“ bertanya Glagah Putih.

“Membersihkan icir dan kepis. Malam nanti aku mulai dengan tugasku lagi,“ jawab anak itu sambil melangkah pergi tanpa menghiraukan Glagah Putih lagi.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian pergi ke belakang untuk mengambil jambu air. Sementara Glagah Putih keluar, maka Sekar Mirah pun telah pergi ke dapur pula untuk menyiapkan minuman bagi Kiai Gringsing.

Di ruang dalam, Agung Sedayu duduk berdua dengan Kiai Gringsing. Sambil menunggu minuman yang disiapkan oleh Sekar Mirah serta jambu air yang diambil oleh Glagah Putih, maka Kiai Gringsing itu pun berkata, “Agung Sedayu. Kitabku yang aku pinjamkan kepadamu dan Swandaru sekarang ada pada siapa?“

“Ada padaku Guru,“ jawab Agung Sedayu, “Adi Swandaru menyerahkan kitab itu kepadaku di saat terakhir, sambil mengharap agar aku lebih banyak berada di dalam sanggar untuk meningkatkan ilmuku.“

“Sebenarnya aku berada dalam kesulitan menghadapi kau dan Swandaru. Meskipun kau murid tertua sehingga wajar jika ilmumu lebih matang dari ilmu adik seperguruanmu, tetapi jarak antara kalian nampaknya agak terlalu jauh. Yang lebih menggelisahkanku adalah bahwa Swandaru telah salah menilai kemampuanmu,“ berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Sampai saat ini aku belum menemukan cara yang paling baik untuk mengatakan kepadanya tentang keadaanmu yang sebenarnya. Aku merasa dibayangi oleh kesalah-pahaman tentang tataran ilmu kalian itu.“

“Aku mohon maaf Guru,“ desis Agung Sedayu.

“Kenapa kau mohon maaf?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Karena aku tidak selalu berada di bawah pengawasan Guru di saat-saat aku meningkatkan ilmu,“ jawab Agung Sedayu.

“Tidak apa-apa,“ jawab Kiai Gringsing, “bukan maksudku menuntutmu bahwa kau meloncat terlalu jauh. Bahkan aku berbangga karenanya. Tetapi ternyata Swandaru tidak berbuat sebagaimana kau lakukan.“

“Sebenarnya aku juga telah memberi kesempatan kepadanya untuk mempergunakan kitab itu, karena aku mendapat kurnia untuk dapat mengingat sesuatu yang menarik perhatianku dengan jelas untuk waktu yang terhitung lama. Bahkan selama aku masih menaruh perhatian atas persoalannya,“ berkata Agung Sedayu, “tetapi Adi Swandaru mendesakku agar aku membawa kita itu. Aku menjadi segan untuk menolaknya.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya Kiai Gringsing itu pun telah berpesan, “Agung Sedayu. Jika pada saatnya aku harus pergi untuk tidak kembali, berhati-hatilah menghadapi adik seperguruanmu itu. Aku tidak menganggapnya akan berbuat kurang baik terhadapmu dan bersikap kurang pantas sebagai seorang saudara seperguruan, tetapi kemungkinan terjadi salah paham itulah yang harus kau hindari.“

“Apakah yang Guru maksudkan dengan kepergian Guru itu?“ bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Sudah aku katakan, bahwa matahari yang pernah terbit di timur dan mencapai puncak langit, pada suatu saat akan terbenam.“

“Guru?“ desis Agung Sedayu.

“Dengar Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “besok atau lusa, aku akan kembali ke padepokan bersama Ki Patih Mandaraka. Aku akan segera berada di padepokan kecilku. Nampaknya saat-saat yang aku jalani kemudian adalah saat terakhir. Ki Widura akan menemani aku sambil mempertajam ilmunya meskipun ia sudah tua, karena meningkatkan ilmu itu tidak dapat dibatasi dengan umur.“

“Guru? Jika demikian, maka biarlah aku berada di padepokan untuk dapat melayani Guru pada saat-saat yang diperlukan itu,“ berkata Agung Sedayu.

Tetapi Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Agung Sedayu. Kau adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi. Kau tidak dapat berada di sebuah pedepokan kecil sekedar untuk menunggui orang tua yang berada di ambang senja. Di sini tenagamu sangat dibutuhkan. Tanah Perdikan ini akan dapat kau jadikan ajang untuk mengembangkan gagasan-gagasanmu tentang peningkatan kesejahteraan dengan berbagai macam cara. Meskipun sebenarnya kau dapat berbuat lebih banyak, jika kau berada di tempat yang lebih banyak memberimu kesempatan.“

“Aku sudah merasa mendapat tempat terbaik di sini Guru,“ berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing menggeleng. Tetapi katanya, “Sudahlah. Bukan maksudku untuk membuatmu gelisah. Dimanapun kau berada, asal kau sumbangkan gagasan-gagasanmu yang bermanfaat bagi orang banyak, maka kau sudah berbuat baik. Karena betapapun tinggi ilmumu tetapi tanpa kau ujudkan dalam karya, maka ilmu itu masih belum memberikan arti bagi sesamamu.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ketika sekilas ia memandang wajah gurunya, maka memang sudah nampak di wajah itu, saat-saat menjelang batas akhir dari tugas-tugasnya.

Tetapi tidak seorangpun yang akan dapat menahan jalannya matahari. Terbit, tenggelam, hari, minggu, bulan dan tahun yang berterbangan seperti bayangan yang manjauh.

Sementara itu, Kiai Gringsing masih juga berkata, “Jika kau mendapat kesempatan yang baik, kembalikan kitab itu kepada Swandaru. Jika ia mempunyai waktu, maka ia akan meningkatkan ilmunya. Aku dalam kesempatan terakhir akan memberikan arah kepadanya, agar ia mendapat kesempatan termasuk salah seorang di antara orang-orang yang disegani. Selebihnya, untuk menyiapkannya menghadapi kenyataan tentang kemampuanmu yang sebenarnya.“

Agung Sedayu mengangguk. Ia mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan oleh gurunya. Namun tersirat satu kabar dari gurunya itu sendiri, tentang umurnya yang tidak lagi terlalu panjang.

Tetapi pada suatu saat gurunya itu berkata, “Namun segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha Agung. Bunga yang telah layu masih saja melekat di tangkainya, sementara yang segar runtuh karena dipetik tangan dan dilemparkan ke kubangan.“

Agung Sedayu hanya dapat menunduk.

Demikianlah, untuk beberapa saat Kiai Gringsing berada di rumah Agung sedayu. Ketika Glagah Putih sudah menghidangkan jambu air yang segar serta minuman dan makanan, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Marilah. Kita kembali ke rumah Ki Gede. Mungkin ada pembicaraan-pembicaraan penting yang harus kita ketahui.“

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah meninggalkan rumah Agung Sedayu, termasuk Sekar Mirah, kembali ke rumah Ki Gede. Para pemimpin masih berkumpul di rumah itu. Meskipun agaknya tidak banyak lagi masalah yang dibicarakan.

Dalam pada itu, para pemimpin dan orang-orang yang datang di Tanah Perdikan memang tidak segera ingin meninggalkan Tanah Perdikan itu. Mereka masih tinggal sehari lagi untuk dapat berbicara lebih panjang di antara mereka. Sementara itu para prajurit Mataram masih melakukan pembenahan pasukan dan mengamati keadaan.

Namun di hari berikutnya segalanya harus diserahkan dan dilakukan oleh para pengawal Tanah Perdikan sendiri, karena pasukan Mataram harus meninggalkan Tanah Perdikan. Namun Ki Patih Mandaraka telah memanggil pimpinan sementara Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan, untuk menempatkan diri dalam satu kesatuan perintah dengan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.

“Satu-satunya pimpinan di daerah ini adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

Demikianlah, maka pertemuan beberapa orang tua itu benar-benar telah mengenang satu masa lampau mereka. Bukan saja sekedar saling bercerita tentang pengalaman mereka, tetapi mereka telah mendapatkan satu pengalaman baru, di samping kenangan apa saja yang pernah mereka lakukan sebelumnya, di masa-masa mereka masih lebih muda.

Pada malam hari sebelum Ki Patih meninggalkan Tanah Perdikan, maka di pendapa rumah Ki Gede masih juga diselenggarakan pertemuan dengan para pemimpin Tanah Perdikan. Bukan saja dari padukuhan induk, tetapi dari padukuhan-padukuhan lain di Tanah Perdikan.

Sekelompok pemukul gamelan telah berada di serambi. Mereka masih menunggu perintah terakhir Ki Gede. Rasa-rasanya masa-masa berkabung yang masih menyelimuti Tanah Perdikan itu masih harus diperhatikan, sehingga apakah pantas jika mereka membunyikan gamelan di pendapa rumah Ki Gede.

Ternyata bahwa Ki Gede kemudian memerintahkan agar gamelan tidak usah ditabuh malam itu. Di beberapa rumah di Tanah Perdikan itu, beberapa keluarga masih harus mengusap dan mengeringkan air mata yang masih mengembang di pelupuk. Ada di antara mereka yang kehilangan anak laki-laki di antara keluarga itu. Bahkan ada suami dari perempuan-perempuan muda. Juga ada ayah dari anak-anak yang baru pandai menyebut nama bapaknya.

Para pemimpin yang datang dari Mataram, orang-orang tua dan para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh dapat memahami pertemuan yang sama sekali telah berubah bentuknya itu. Namun dalam kesempatan itu, Ki Patih Mandaraka masih juga dapat menyebut beberapa kenangan yang tidak pernah dapat dilupakannya, sejak mereka membuka Alas Mentaok. Kemudian Ki Patih pun telah menyatakan harapannya bahwa Tanah Perdikan Menoreh masih akan dapat berkembang terus.

“Masih banyak hutan yang terbentang di kaki-kaki pegunungan, serta di ngarai yang membujur ke utara, di dataran yang akan mampu dicapai oleh tangan-tangan yang sanggup bekerja keras untuk menjadikan tanah garapan, jika daerah pemukiman yang ada menjadi semakin padat. Namun sudah barang tentu bahwa tidak semua hutan dapat ditebangi, sehingga bukit-bukit yang membujur ke utara itu akan menjadi gundul. Hutan-hutan pun harus disisakan seperlunya disamping kesediaan untuk membuka tanah persawahan. Dengan demikian maka kehidupan di Tanah Perdikan ini akan tetap dapat terjaga keutuhannya,“ berkata Ki Patih Mandaraka. Namun kemudian katanya, “Di samping itu, kita semua masih dapat mengucap syukur, bahwa kita telah mendapat perlindungan Yang Maha Agung, sehingga kita dapat mempertahankan diri kita sendiri.“ Para pemimpin Tanah Perdikan mendengarkan sesorah Ki Patih dengan sungguh-sungguh. Beberapa pesan masih disampaikan, serta terakhir Ki Patih mengucap terima kasih yang tidak terhingga kepada seisi Tanah Perdikan Menoreh, yang telah berbuat apa saja untuk kepentingan mereka bersama.

Ternyata pertemuan itu telah berlangsung sampai jauh malam. Mereka yang hadir sempat makan bersama dengan Ki Patih Mandaraka serta para pemimpin, orang-orang tua dan tamu-tamu yang lain.

Dalam kesempatan itu, Ki Patih pun telah minta diri pula, bahwa di keesokan harinya, Ki Patih dan seluruh pasukan Mataram akan meninggalkan Tanah Perdikan sambil membawa tawanan ke Mataram.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu menjadi gelisah memikirkan gurunya, Kiai Gringsing berniat untuk kembali bersama Ki Patih Mandaraka. Namun Agung Sedayu sempat memikirkan kemungkinan yang mencemaskan. Dari Mataram Kiai Gringsing harus melanjutkan perjalanan sendiri ke Jati Anom.

Ia sendiri dan Glagah Putih tentu tidak akan sampai hati meninggalkan Tanah Perdikan yang masih saja terasa hangat. Meskipun para prajurit Madiun telah terusir, serta Pasukan Khusus telah dikuasai kembali sepenuhnya, namun rasa-rasanya Agung Sedayu merasa terikat untuk tetap berada di Tanah Perdikan. Karena itu, setelah pertempuran itu selesai, Agung Sedayu telah mencoba membujuk gurunya untuk tinggal di Tanah Perdikan beberapa hari lagi.

Tetapi Kiai Gringsing tersenyum sambil berkata, “Aku merasa bahwa aku akan dapat mencapai Jati Anom dengan selamat, meskipun dari Mataram aku akan menempuh perjalanan sendiri.“

“Tetapi apa salahnya Guru berada di sini barang dua tiga hari lagi? Jika keadaan menjadi semakin tenang, maka aku dapat mengantarkan Guru, meskipun aku harus segera kembali hari itu juga,“ berkata Agung Sedayu.

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Jangan kau tinggalkan Tanah Perdikan ini meskipun hanya sehari. Banyak kemungkinan masih dapat terjadi di sini. Mungkin ada pihak lain yang ingin memanfaatkan keadaan yang kacau untuk kepentingan diri sendiri. Mungkin kelompok-kelompok yang pecah dan tidak dapat dikendalikan sama sekali.“

“Guru, meskipun jarak antara Mataram dan Jati Anom itu tidak jauh, tetapi rasa-rasanya kurang pada tempatnya jika Guru menempuh perjalanan itu sendiri,“ berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah. Jangan pikirkan aku.“

Agung Sedayu termangu-mangu. Di luar sadarnya dipandanginya Ki Jayaraga. Mungkin ia dapat mohon agar Ki Jayaraga pergi ke Jati Anom bersama Glagah Putih, serta mohon agar Ki Waskita berada di rumah Ki Gede untuk beberapa hari. Tetapi rasa-rasanya tidak enak untuk berbuat demikian. Karena itu, maka ia tidak mengatakannya kepada Ki Jayaraga.

Malam itu, Agung Sedayu memang merasa gelisah. Ketika orang-orang tua sudah meninggalkan pendapa rumah Ki Gede, serta para pemimpin dari Tanah Perdikan sudah meninggalkan rumah Ki Gede pula, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah berbincang di rumahnya. Sementara itu Ki Jayaraga ikut pula mendengarkannya.

“Apakah Kakang sependapat jika aku menyertai Kiai Gringsing pergi ke Jati Anom?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Jayaraga berkata, “Jika kau akan mengantar Kiai Gringsing, Tanah Perdikan ini dapat kau tinggalkan barang sehari. Aku kira tidak akan terjadi sesuatu. Aku, Ki Waskita dan Ki Gede akan selalu berhubungan dengan Pasukan Khusus yang sudah mendapat pimpinannya yang baru meskipun sementara. Sedangkan sebagaimana kita dengar, Ki Lurah Branjangan akan tinggal di barak itu pula untuk beberapa saat.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ki Patih Mandaraka memang minta Ki Lurah Branjangan untuk berada di barak Pasukan Khusus untuk memberikan petunjuk-petunjuk jika diperlukan, karena Ki Lurah adalah orang yang telah membentuk pasukan itu. Apalagi yang diserahi pimpinan adalah Ki Lurah Kertayuda, yang sebenarnya masih belum memenuhi beberapa persyaratan yang diperlukan. Namun kekurangan itu telah ditutup oleh kesetiaan dan keberaniannya menentang niat yang sesat.

Pendapat Ki Jayaraga itu nampaknya memang dapat dipertimbangkan. Jika ia dan Glagah Putih mengantar Kiai Gringsing sampai ke Jati Anom, maka Ki Jayaraga dan Ki Waskita akan dapat membantu Ki Gede. Tetapi bagaimanapun juga, rasa-rasanya kurang bertanggung jawab baginya untuk meninggalkan Tanah Perdikan, apapun kepentingannya. Jika terjadi sesuatu atas Tanah Perdikan, maka ia akan menyesal sepanjang umurnya. Karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap ragu-ragu. Seperti biasa, ia mempunyai seribu macam pertimbangan untuk mengambil keputusan.

Namun akhirnya Agung Sedayu berkata, “Besok pagi-pagi sekali lagi aku akan bertemu dengan Guru.“

Ki Jayaraga tidak mendesaknya lagi. Agaknya ia sendiri sudah mulai mengantuk, sehingga iapun kemudian telah pergi ke biliknya sambil berdesis, “Supaya besok tidak terlambat bangun.“

Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih duduk beberapa saat. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat memberikan pertimbangan apapun juga. Karena itu maka ia sependapat, bahwa sebaiknya besok pagi-pagi Agung Sedayu bertemu sekali lagi dengan Kiai Gringsing. Baru sejenak kemudian maka keduanya telah masuk ke dalam bilik mereka.

Sementara itu, Glagah Putih justru telah keluar lewat pintu butulan. Pembantu rumah itu tidak diketemukan di dalam biliknya. Agaknya ia benar-benar pergi ke sungai sebagaimana dikatakannya.

“Anak itu tidak juga menjadi jemu,“ berkata Glagah Putih. Namun dengan demikian Glagah Putih mengetahui bahwa anak itu adalah anak yang sangat tekun.

Dengan langkah satu-satu, Glagah Putih telah pergi ke halaman depan. Rasa-rasanya udara terlalu panas di dalam rumahnya. Karena itu maka di bawah pohon jambu air di halaman depan, udara terasa sedikit sejuk.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih terkejut ketika ia mendengar derap kaki kuda. Bukan hanya seekor kuda. tetapi beberapa ekor kuda. Karena itu, maka Glagah Putih telah meloncat ke regol untuk melihat, siapakah yang telah berkuda demikian cepatnya di lewat tengah malam.

Demikian Glagah Putih membuka regol, maka beberapa ekor kuda justru telah berhenti di depan regol itu. Glagah Putih memang terkejut. Ia bergeser selangkah mundur sambil mempersiapkan dirinya. Namun tiba-tiba saja ia melihat seorang yang agak gemuk di punggung kuda yang berada di depan pintu gerbang itu.

“Kakang Swandaru?“ desis Glagah Putih.

“Ya,“ jawab Swandaru singkat.

Glagah Putih telah membuka pintu regol lebar-lebar. Kemudian mempersilahkan para tamunya masuk ke halaman.

Setelah menambatkan kuda-kuda mereka, maka Swandaru dengan beberapa orang pengawal Kademangan Sangkal Putung telah dipersilahkan naik ke pendapa.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang belum lama berada di dalam biliknya pun telah terbangun pula. Demikian juga Ki Jayaraga. Ketika mereka keluar dari dalam bilik mereka, maka Glagah Putih telah berada di ruang dalam lewat pintu butulan, “Kakang Swandaru bersama beberapa orang pengawal Kademangan Sangkal Putung.“

“O,“ Agung Sedayu memang agak terkejut. Sementara itu Sekar Mirahpun segera berbenah diri.

Sesaat kemudian, maka keduanya bersama dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah keluar pula ke pendapa menemui mereka.

Mereka sempat saling mempertanyakan keselamatan mereka masing-masing.

Namun agaknya Swandaru tidak sabar menunggu terlalu lama. Karena itu, maka iapun segera bertanya, “Apakah kabar burung yang sampai ke Kademangan Sangkal Putung benar? Apakah Tanah Perdikan ini telah diserang oleh Madiun?“

“Memang terjadi hal seperti itu, meskipun dengan alasan yang khusus,“ jawab Agung Sedayu.

“Ketika aku mendengar berita itu dari para pedagang yang lewat dari arah barat, maka aku telah mengirimkan penghubung ke Jati Anom untuk menemui Kakang Untara. Ternyata Kakang Untara juga sudah menerima pemberitahuan dari Mataram, bahwa satu kesatuan pasukan telah bergerak. Jati Anom telah mendapat perintah untuk mengamati keadaan jika ada gerakan pasukan baru di daerah ini,“ berkata Swandaru. Lalu katanya pula, “Bahkan menurut Kakang Untara, telah terlihat gerakan di daerah selatan, menyusuri Bukit Seribu. Namun menurut Kakang Untara, pasukan Mataram akan dapat mengatasi keadaan.“

“Benar,“ jawab Agung Sedayu, “agaknya Kakang Untara selalu mendengar keterangan dari para penghubung mengenai perkembangan terakhir di Tanah Perdikan ini.“

“Tetapi bagaimanapun juga aku menjadi gelisah. Selain Guru sedang ada di sini, juga tentang kalian. Meskipun keterangan Kakang Untara agak memberikan ketenangan, tetapi aku juga memerlukan untuk langsung pergi kemari.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Terima kasih atas perhatianmu Adi Swandaru. Ternyata kita masih dapat bersyukur karena perlindungan Yang Maha Agung.“

“Dalam keadaan yang gawat, pada kesempatan lain Kakang dapat mengirimkan penghubung ke Sangkal Putung. Aku akan dapat dengan cepat mengirim bantuan,“ berkata Swandaru.

“Kami tidak mempunyai kesempatan. Peristiwa itu begitu tiba-tiba terjadi,“ jawab Agung Sedayu.

“Tetapi prajurit Mataram sempat datang ke Tanah Perdikan ini,“ sahut Swandaru.

“Mataram mempunyai petugas sandi yang rapi. Petugas sandi yang mengetahui sejak pasukan lawan berangkat dari Madiun. Karena itu, maka Mataram sempat menyiapkan pasukannya dan dikirim ke Tanah Perdikan. Tetapi Tanah Perdikan ini sendiri tidak dapat mengetahui sebelumnya akan kedatangan mereka,“ jawab Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti alasan Agung Sedayu.

Tetapi sementara itu Agung Sedayu justru bertanya, “Bagaimana kau memasuki Tanah Perdikan ini? Sepengetahuanku penjagaan di perbatasan sangat rapat.“

“Semula memang agak sulit. Demikian kami turun dari rakit di Kali Praga, sudah terasa bahwa jalan seakan-akan telah tertutup. Tetapi ternyata ada beberapa orang pemimpin kelompok pengawal yang telah mengenai aku, sehingga mereka justru memberikan dua orang pengawal untuk mengantar aku sampai ke padukuhan induk. Dengan demikian maka perjalananku tidak terganggu lagi,“ jawab Swandaru.

“Syukurlah,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “kami tidak mengira bahwa Adi Swandaru akan datang begitu cepat.”

“Bagaimana dengan Guru?“ bertanya Swandaru kemudian.

“Guru tidak mengalami kesulitan apapun. Sekarang Guru berada di rumah Ki Gede bersama orang-orang tua dan para pemimpin dari Mataram,“ jawab Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-angguk. Iapun kemudian mempertanyakan apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh orang-orang Madiun yang datang ke Tanah Perdikan.

Agung Sedayu pun kemudian menceritakan niat orang-orang Madiun yang dipimpin oleh Panembahan Cahya Warastra untuk membunuh Ki Patih Mandaraka.

“Tentu didorong oleh nafsu ketamakan Panembahan Cahya Warastra itu,“ berkata Agung Sedayu, “meskipun sayang sekali, bahwa Panembahan Mas di Madiun yang memang mengalami beberapa kekecewaan, telah terbakar hatinya sehingga memberikan kesempatan kepada Panembahan Cahya Warastra itu untuk bertindak yang justru tidak menguntungkan segala pihak.”

Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata, “Seharusnya Panembahan Senapati dari Mataram segera mengambil langkah. Pasukan Mataram harus segera menyusul ke Madiun dan menghancurkan pasukan Madiun sekaligus. Kekalahannya di sini merupakan permulaan dari kekalahannya dimana-mana.“

Tetapi Agung Sedayu menyahut, “Tidak semudah itu Adi Swandaru. Madiun tidak berdiri sendiri. Madiun berdiri di antara beberapa orang Adipati yang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, namun yang bersama-sama menentang Mataram.“

“Panembahan Senapati pun dapat mengerahkan pasukan berapapun yang dikehendaki,“ berkata Swandaru.

“Tetapi berapapun banyaknya Panembahan Senapati mampu mengumpulkan pasukan, tetap tidak akan dapat mencapai jumlah prajurit dari Madiun serta para Adipati yang berdiri di belakang Madiun,“ jawab Agung sedayu.

“Jadi, apakah Panembahan Senapati harus tunduk kepada Panembahan Madiun?“ bertanya Swandaru pula.

“Bukan begitu,“ jawab Agung Sedayu, “sebenarnya aku juga tidak cukup banyak mengetahui tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Mataram dan Madiun dalam keseluruhan. Tetapi menurut pendengaranku, Mataram harus sangat berhati-hati menghadapi Madiun. Bukan saja karena keseimbangan kekuatan, tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa Panembahan Senapati telah dianggap putra sendiri oleh Panembahan Mas.“

“Satu cara untuk memadamkan gejolak perjuangan Mataram menentang Madiun,“ berkata Swandaru.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Besok, setelah Ki Mandaraka berada di istana Mataram kembali, maka segala sesuatunya tentu akan dibicarakan. Termasuk langkah yang kasar yang telah diambil oleh Panembahan Cahya Warastra.“

Swandaru mengangguk-angguk. Iapun menyadari bahwa orang-orang tua seperti Ki Patih Mandaraka, serta beberapa pemimpin Mataram yang lain, terutama para Panglima, tentu mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Sekar Mirah telah berada di dapur untuk menyiapkan hidangan bagi kakaknya yang baru saja datang dari Sangkal Putung.

“Besok pagi menurut rencana Guru akan kembali ke Jati Anom bersama dengan rombongan Ki Patih Mandaraka sampai ke Mataram,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Kemudian dari Mataram?“ bertanya Swandaru.

“Kami telah menjadi bingung. Guru tidak mau diantar oleh siapapun dari Tanah Perdikan ini. Jika Adi Swandaru tidak terlalu letih, maka Guru akan dapat bersama-sama denganmu sejak dari Mataram, atau kita minta Guru kembali ke Jati Anom tidak usah bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka,“ berkata Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Pagi-pagi berikutnya, ia harus pergi lagi bersama-sama dengan pasukan Mataram yang akan kembali. Tetapi agaknya Swandaru memilih kemungkinan kedua. Ia akan minta agar Kiai Gringsing tinggal satu dua hari lagi di Tanah Perdikan. Kemudian ia akan membawa Kiai Gringsing kembali ke Jati Anom.

Karena itu, maka katanya kemudian, “Aku akan menemui Guru. Aku akan mohon Guru untuk tidak usah bersama-sama dengan pasukan Mataram.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kita akan mencoba mohon kepada Guru.“

“Ada beberapa keuntungan jika Guru tidak berangkat bersama-sama dengan pasukan Mataram. Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan Guru. Kemudian, Guru pun tidak akan mengalami perlakuan yang kurang baik. Karena Guru bukan pemimpin Mataram, maka ia tentu diperlakukan sebagai orang lain yang menumpang perjalanan mereka,“ berkata Swandaru.

“Tentu tidak,“ jawab Agung Sedayu, “hampir semua pemimpin Mataram mengenal Kiai Gringsing.“

“Hanya beberapa saja. Seandainya mereka mengenal pun, mereka merasa bahwa Kiai Gringsing bukan apa-apa. Ia hanya seorang dari padepokan kecil di Jati Anom yang tidak perlu mendapat perlakuan yang khusus. Bahkan Guru akan dapat tersisih-sisih sampai ke belakang barisan,“ berkata Swandaru.

“Jangan berprasangka begitu,“ jawab Agung Sedayu, “Ki Patih Mandaraka sangat hormat kepada Guru.“

“Kenapa Ki Patih berbuat seperti itu? Apakah ia benar-benar menghormati Guru, atau hanya pada saat-saat dibutuhkan saja?“ bertanya Swandaru.

“Marilah kita berusaha untuk tidak menuruti perasaan yang tidak mendasar. Ki Patih Mandaraka memang sangat hormat kepada Guru, karena Ki Patih tahu bahwa Guru bukan orang kebanyakan. Bukan saja kemampuan ilmunya yang tinggi yang bahkan dikagumi oleh Ki Patih, tetapi Guru adalah orang yang memang dihormati karena keturunannya. Karena itu, jika kita mohon Guru untuk berangkat kemudian, tentu karena alasan-alasan lain. Bukan karena kita cemas bahwa Guru akan diperlakukan kurang baik oleh orang-orang Mataram,“ berkata Agung Sedayu.

Swandaru termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia berdesis, “Mudah-mudahan. Tetapi marilah, kita menghadap Guru.“

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah telah menghidangkan minuman dan makanan bagi Swandaru dan beberapa orang pengawalnya. Meskipun makanannya tidak hangat seperti minumannya.

Beberapa saat kemudian, Swandaru meneguk minuman hangat. Tetapi rasa-rasanya ia memang ingin segera bertemu dengan gurunya. Namun Agung Sedayu berkata, “Guru tentu baru saja beristirahat. Bagaimana jika nanti pagi-pagi benar kita pergi ke rumah Ki Gede?“

“Jangan-jangan kita terlambat,“ berkata Swandaru.

“Tentu tidak. Guru tentu akan menunggu aku datang ke rumah Ki Gede. Atau jika kita terlambat, Guru tentu akan memanggil aku,“ jawab Agung Sedayu.

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya kita kesana sekarang. Biar saja Guru beristirahat. Kita akan menunggu.“

“Apakah kau tidak letih?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku adalah murid Kiai Gringsing,“ jawab Swandaru.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia berpaling kepada Sekar Mirah yang menunduk. Sementara itu Swandaru berkata, “Kita sudah mendapat latihan-latihan yang berat. Tetapi kemudian setelah kita dianggap cukup dewasa dalam penguasaan ilmu, kita memang harus menempa diri sendiri. Dengan demikian maka kita bukan orang-orang yang lemah dan mudah menjadi lemah.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia menjawab Swandaru telah bertanya, “Tetapi apakah Kakang Agung Sedayu merasa perlu untuk beristirahat? Jika demikian, tolong antarkan saja aku ke rumah Ki Gede untuk menunggu Guru. Kakang dapat pulang untuk beristirahat, meskipun waktunya tinggal sedikit.“

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak. Aku tidak terlalu letih, karena aku tidak melakukan apa-apa hari ini. Jika kau ingin pergi ke rumah Ki Gede sekarang, marilah, aku antarkan. Biarlah pengawal-pengawalmu ada di sini. Mereka dapat beristirahat di serambi sampai menjelang pagi.“

Ternyata Swandaru tidak berkeberatan. Dibiarkannya para pengawalnya tinggal di rumah Agung Sedayu, sementara Swandaru sendiri telah pergi ke rumah Ki Gede bersama Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu telah sempat minta diri kepada Ki Jayaraga dan Sekar Mirah, dan berpesan agar mereka menyusul setelah fajar. “Aku pun harus mempersiapkan makan pagi sebelum para pemimpin dari Mataram serta para prajurit meninggalkan Tanah Perdikan. Beberapa orang perempuan bergantian masak di rumah Ki Gede dan di banjar,“ berkata Sekar Mirah, “karena itu, aku pun akan segera menyusul pula.“

“Biarlah Glagah Putih tinggal,“ berkata Agung Sedayu, “jika perlu ia dapat kau minta untuk menghubungi aku.“

“Baiklah Kakang,“ jawab Sekar Mirah, “Glagah Putih akan dapat pula mengawani para pengawal itu.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu yang tidak jadi beristirahat itu telah mengantar Swandaru ke rumah Ki Gede. Rumah itu memang sudah nampak lengang. Hanya para petugas yang ada di regol, di halaman dan di sudut-sudut kebun belakang. Di gardu beberapa orang pengawal duduk dan bercerita di antara mereka, sementara di bilik belakang longkangan, sekelompok prajurit yang sedang tidak bertugas tidur untuk beristirahat, sebelum pada saatnya mereka menggantikan tugas kelompok yang lain.

Kedatangan Agung Sedayu memang menarik perhatian. Pemimpin kelompok yang sedang bertugas malam itu bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting?“

“Tidak. Aku mengantar adik seperguruanku,“ jawab Agung Sedayu.

Pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya. Diamatinya Swandaru dengan seksama. Baru kemudian ia berdesis, “Swandaru?“

“Ya,“ jawab Swandaru.

Orang itu pun segera telah mencengkam bahu Swandaru sehingga terasa sakit, sementara Swandaru pun telah memegangi lengannya pula.

“Sudah lama kita tidak bertemu. Beruntunglah hari ini aku masih sempat melihat kau hadir di sini. Jika kemarin leherku tertebas tajamnya pedang, aku tidak sempat melihat kau datang.“

Swandaru tertawa. Katanya, “Aku yakin bahwa kau tidak akan mudah mati.“

Pemimpin kelompok itu tertawa keras-keras, sehingga heberapa orang berpaling ke arahnya. Ketika ia sadar, maka iapun telah menutup mulutnya dengan tangannya sendiri.

“Marilah,“ katanya kemudian, “silahkan naik ke pendapa. Sayang kau baru datang hari ini.“

“Aku terlambat mendengar berita tentang kerusuhan yang terjadi di sini,“ jawab Swandaru.

“Tetapi kita bersyukur, bahwa Tanah Perdikan ini masih dilindungi Yang Maha Agung. Tamu yang paling terhormat di Tanah Perdikan ini pun dapat kita selamatkan,“ berkata pemimpin kelompok itu.

“Syukurlah,“ desis Swandaru, “seandainya aku tidak terlambat mendengar berita, maka aku tentu sudah datang pada saat yang tepat.“

“Tetapi semuanya sudah selesai. Marilah, silahkan naik ke pendapa. Tetapi para pemimpin dan orang-orang tua sedang beristirahat. Belum terlalu lama,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Biarlah mereka beristirahat,“ berkata Agung Sedayu, “kami akan menunggu di pendapa.“

Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian telah dipersilahkan duduk di pendapa yang lengang. Tidak ada orang lain di pendapa selain mereka berdua. Sementara itu pemimpin kelompok pengawal itu berkata, “Maaf. Aku tidak dapat menemani kalian duduk di pendapa.“ 

“Silahkan. Jangan kau tinggalkan tugasmu,“ jawab Swandaru.

Dengan demikian maka pemimpin kelompok itu pun telah berada kembali di dalam kelompoknya. Sedangkan yang di pendapa berbincang tentang berbagai macam peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Tetapi pembicaraan mereka pun telah terhenti. Tiba-tiba pintu berderit. Seseorang telah muncul dari ruang dalam.

“Guru,“ desis Swandaru sambil bangkit berdiri. Agung Sedayu pun telah bangkit pula.

“Duduklah,“ desis Kiai Gringsing, yang ternyata tidak berada di gandok.

Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian telah duduk kembali bersama Kiai Gringsing di pendapa.

“Kapan kau datang?“ bertanya Kiai Gringsing kepada muridnya yang muda.

“Baru saja Guru. Aku terlambat mendengar peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini,“ jawab Swandaru.

Tetapi seperti yang lain, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Semua sudah diselesaikan dengan baik, berkat perlindungan Yang Maha Agung.”

“Syukurlah,“ berkata Swandaru, “namun rasa-rasanya begitu mendesak keinginanku untuk melihat keadaan. Karena itu, maka aku telah memerlukan untuk berangkat ke Tanah Perdikan, meskipun aku sadar bahwa aku akan sampai di tujuan malam hari, bahkan hampir dini.“

“Untunglah bahwa kau tidak bertemu dengan pecahan prajurit Madiun yang tentu sedang kembali ke Timur. Mereka tentu memecah diri dan menghilangkan kesan kesatuannya,“ berkata Kiai Gringsing.

“Seandainya aku bertemu dengan mereka, aku kira aku tidak akan mengalami banyak kesulitan. Aku membawa beberapa pengawal pilihan. Sedangkan Guru tentu mengetahui bahwa aku telah mewarisi sebagian besar dari ilmu dasar yang telah Guru berikan kepadaku. Tentu prajurit Madiun itu tidak akan lebih baik dari para pengawalku,“ sahut Swandaru. “Apalagi aku sendiri.“

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Tidak Swandaru. Ada di antara mereka yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ternyata bahwa Agung Sedayu harus mengerahkan ilmunya untuk mengatasinya.“

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menyahut, cepat-cepat Kiai Gringsing berkata, “Seorang yang telah menempatkan diri menghadapi aku, telah menguras seluruh kemampuanku.“

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Guru memang sedang dalam keadaan kurang sehat. Karena itu, Guru merasa bahwa pertempuran itu telah menguras tenaga dan kemampuan Guru. Jika Guru dalam keadaan baik, maka aku kira tidak akan terjadi hal seperti itu.“

“Mungkin Swandaru,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi sebenarnyalah bahwa aku ingin memberimu peringatan, bahwa ada di antara orang-orang Madiun yang memiliki ilmu yang tinggi.“

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti maksud Guru. Guru memperingatkan kepada kami berdua, bahwa kami harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang lebih berat di masa mendatang.“

“Antara lain memang demikian. Tetapi aku benar-benar mencemaskanmu jika kau bertemu dengan orang-orang Madiun itu,“ berkata Kiai Gringsing.

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Guru. Aku akan berhati-hati menghadapi keadaan ini. Untuk selanjutnya kami akan tidak mengecewakan Guru. Jika dalam pertempuran ini Kakang Agung Sedayu harus mengerahkan ilmunya untuk mengatasi lawannya, maka hal ini pun akan merupakan peringatan bagi kami, bahwa ilmu yang kami miliki masih harus ditingkatkan. Itulah sebabnya aku dengan sengaja tidak memenuhi batasan waktu untuk menyimpan kitab sebagaimana Guru gariskan. Dengan sengaja aku membiarkan kitab itu lebih lama berada di tangan Kakang Agung Sedayu. Mudah-mudahan Kakang Agung Sedayu mempunyai waktu untuk membacanya dan mempelajarinya, untuk selanjutnya turun ke sanggar.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Selama aku di sini, kakangmu Agung Sedayu memang selalu berada di sanggar.“

“Berapa hari Guru berada di sini? Tentu tidak akan dapat berpengaruh dengan tiba-tiba. Sebagaimana Guru selalu menjelaskan, bahwa ilmu tidak dapat diserap dalam waktu yang singkat. Tetapi memerlukan waktu untuk mempelajarinya, mengerti dan mengetrapkannya, didasari dengan laku yang berat. Terus-menerus tidak ada henti-hentinya, dan tidak menjadi jemu karenanya,“ sahut Swandaru. Lalu katanya pula, “Sudah barang tentu demikian pula kitab itu. Setiap saat harus di buka, dibaca, dipelajari dan diikuti dengan latihan-latihan yang berat. Meskipun kitab itu dipeluk dalam tidur setiap malam, tetapi tanpa dibuka dan ditelaah isinya disertai dengan laku, maka kitab itu tidak akan ada artinya. Bahkan meskipun ada seribu kitab sekalipun.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah Agung Sedayu. Namun Kiai Gringsing itu merasa tenang ketika ia melihat wajah Agung Sedayu tidak berubah. Ia sudah terbiasa mendengar adik seperguruannya itu mengguruinya seperti itu. Namun Kiai Gringsing-lah yang justru merasa iba atas sikap muridnya yang muda itu. Tetapi ia belum dapat mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan tataran ilmu mereka.

Bagi Kiai Gringsing, apa yang dikatakan oleh Swandaru itu memang benar. Tetapi sudah tentu tidak dapat ditujukan bagi Agung Sedayu. Mungkin bagi anak-anak muda yang sedang tumbuh dan berkembang maju, sebelum mencapai tataran setingkat dengan Agung Sedayu, sebagai satu peringatan bahwa mereka tidak akan dapat mencapai tataran di lapisan terbawah sekalipun tanpa laku. Tanpa kerja keras dan tanpa kemauan yang berkelanjutan, serta cita-cita.

Tetapi semua itu sudah dilakukan oleh Agung Sedayu. sehingga Agung Sedayu sudah dapat diletakkan pada satu tataran yang tinggi di antara orang-orang berilmu.

Meskipun Swandaru juga telah menjadi masak, tetapi batasan ilmu yang dipilihnya terlalu sempit, sehingga menghadapi pergolakan dunia kanuragan, Swandaru masih harus banyak menyerap beberapa jenis ilmu yang lain.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar