Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 241

Buku 241

“Para petugas di dalam istana,“ jawab prajurit itu.

“Jika tidak ada yang lewat?“ desak Agung Sedayu.

“Nasibmu-lah yang buruk. Kau harus datang lagi besok pagi,“ jawab prajurit itu.

“Baiklah. Kami akan menunggu. Tetapi jika Panembahan Senapati menjadi marah karena kami terlambat, serta barangkali dengan demikian sekelompok orang telah menjadi korban, maka itulah tanggung jawabmu. Panembahan Senapati akan dapat memberikan hukuman apapun kepadamu,“ berkata Agung Sedayu.

Prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Jangan seperti berbicara dengan anak-anak. Tunggu di sebelah pintu gerbang itu, atau kami akan mengusirmu pergi.“

“Baik. Kami akan menunggu. Tetapi peristiwa itu tengah berlangsung sekarang. Jika Panembahan cepat mengetahuinya, segalanya akan dapat dicegah. Tetapi jika lambat, maka tidak akan ada harapan lagi. Demikian juga kau tidak akan mempunyai harapan untuk dapat kembali ke rumahmu untuk menemui istri dan anak-anakmu, jika kau mempunyainya.“

Prajurit itu masih juga termangu-mangu ketika ia melihat kelima orang itu melangkah menepi dan duduk di sebelah pintu gerbang. Ternyata prajurit itu telah mempertimbangkan kata-kata Agung Sedayu. Tetapi akhirnya ia memutuskan, bahwa kata-kata itu tentu sekedar untuk memaksanya menyampaikan permintaannya.

“Tidak semudah itu menghadap Panembahan Senapati,” berkata pemimpin prajurit yang bertugas itu kepada dua orang penjaga di pintu gerbang, “kita harus berhati-hati pada keadaan seperti ini.“

Namun seorang di antara prajurit itu berkata, “Tetapi jika mereka berniat buruk, apakah mereka akan masuk melalui pintu gerbang dan menyampaikan niatnya kepada kita?“

“Siapa tahu,“ desis pemimpinnya.

“Bukankah dengan cara seperti itu, mereka yang ingin melakukan kejahatan tidak akan dapat berbuat apa-apa?“ sahut prajurit itu.

Pemimpin para petugas di luar regol itu bersungut sambil berkata, “Kau memang bodoh. Jika orang itu berniat buruk, maka ia dapat saja mengaku bernama Kiai Gringsing. Nama yang sudah dikenal oleh Panembahan Senapati. Jika kita terkecoh oleh sikap itu dan begitu saja mempercayainya, maka orang yang mengaku Kiai Gringsing itu akan melakukan kejahatan demikian ia diterima oleh Panembahan Senapati, yang mengira bahwa ia benar-benar Kiai Gringsing.“

“Tetapi jika orang itu kita biarkan dan kita serahkan kepada petugas di dalam, demikian seterusnya sampai kepada Pelayan Dalam, apakah orang yang mengaku bernama Kiai Gringsing itu tidak akan takut dikenali oleh salah seorang di antara para prajurit, dan apalagi Senapati?“ bertanya prajurit itu.

Pemimpin prajurit yang bertugas itu termangu-mangu. Tetapi ia sudah mengambil keputusan, sehingga karena itu maka ia berkata, “Biar saja mereka menunggu. Kita harus memberikan kesan bahwa untuk menghadap Panembahan Senapati tidak begitu mudah, sebagaimana kita ingin bertemu dengan seorang bekel di sebuah padukuhan kecil. Bahkan untuk bertemu dengan seorang bekel saja kadang-kadang seseorang harus menunggu.“

Prajurit itupun terdiam. Ia tidak dapat berbantah dengan pemimpinnya, meskipun ia tidak setuju dengan sikap pemimpinnya itu. Dalam pada itu, ternyata seorang prajurit berkuda telah berpacu mendekati regol istana. Ketika ia sampai di depan regol, maka iapun berkata lantang, “Ki Mandaraka akan segera memasuki regol.“

Prajurit itu tidak turun dari kudanya. Tetapi ia langsung menuju ke gardu petugas di dalam regol dan memberikan keterangan yang sama. Para petugas pun segera bersiap. Hari itu, Panembahan Senapati memang akan berbicara secara khusus dengan Ki Mandaraka. Para prajurit dan petugas telah mendapat perintah sebelumnya untuk menerima Ki Mandaraka dan mempersilahkannya masuk.

Seorang Pelayan Dalam telah mendahului menghadap Panembahan Senapati untuk memberitahukan kedatangan Ki Mandaraka.

“Kami persilakan Paman Mandaraka untuk langsung ke bilik khusus. Kami akan berbicara tentang sesuatu hal,“ berkata Panembahan Senapati kepada Pelayan Dalam yang menghadapnya.

Pelayan Dalam itu pun segera bergeser kembali keluar. Pelayan Dalam itu memang sudah mengetahui, bahwa Panembahan Senapati telah memanggil Ki Mandaraka untuk menghadap.

Di regol, pemimpin prajurit yang bertugas itu telah mendekati prajuritnya sambil berkata, “Nah, bukankah kau terlalu bodoh? Jika orang-orang itu diperkenankan masuk, bukankah kuda-kudanya hanya akan mengotori halaman, justru pada saat Ki Patih Mandaraka menghadap?“

“Ki Mandaraka memang dipanggil,“ jawab prajurit itu termangu-mangu. Namun iapun merasa bahwa jika orang-orang yang menunggu itu ada di dalam, mereka mungkin akan terasa agak mengganggu para petugas, atau sebelumnya harus ditempatkan di tempat yang khusus. Tetapi prajurit itu bertanya, “Apakah Ki Lurah tadi ingat bahwa Ki Patih memang telah dipanggil dan dalam perjalanan ke istana untuk segera menghadap?“

Pemimpin prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya aku memang tidak ingat akan hal itu. Tetapi ternyata naluri keprajuritanku sangat tajam, sehingga aku telah mengambil keputusan yang paling baik bagi orang-orang itu.“

Beberapa saat kemudian, seorang lagi dari pasukan berkuda telah memasuki lingkungan para petugas sambil berkata, “Ki Patih telah datang.“

Demikian petugas berkuda itu memasuki regol, maka mereka telah melihat sebuah iringan-iringan kecil mendekati regol.

“Satu kesempatan,“ desis Agung Sedayu.

“Maksudmu?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Kita memotong perjalanan Ki Mandaraka. Jika tidak, kita akan dapat menunggu sampai sebulan di sini,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku setuju,“ sahut Glagah Putih.

“Mendekatlah ke regol dan bawa kudamu. Mudah-mudahan Ki Mandaraka akan tertarik kepada kuda yang tentu pernah dilihatnya itu, serta melihat kita,“ berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih pun segera bersiap. Demikian iring-iringan Ki Patih Mandaraka mendekati regol, maka bersama Agung Sedayu Glagah Putih pun menuntun kudanya mendekati regol pula.

Seorang prajurit dengan serta merta telah mendekatinya dan membentak, “Minggir! Jangan di situ. Ki Patih akan lewat.”

“Bukankah kami sama sekali tidak menutup jalan? Aku di sini. Regol itu di situ,“ jawab Agung Sedayu.

Pemimpin prajurit yang bertugas di luar regol itu menjadi geram. Katanya, “Pergi, atau aku surukkan kepalamu di bawah kaki kuda Ki Patih.“

“Surukkan saja kepala kami di bawah kaki kuda Ki Patih,“ jawab Agung Sedayu.

“Kau gila. Kau sadar, bahwa kau dapat dibunuh di sini?“ geram pemimpin itu.

“Biarlah Ki Mandaraka membunuh kami,“ jawab Agung Sedayu.

Ternyata Ki Patih melihat keributan kecil itu. Ternyata kuda yang besar dan tegar itu memang menarik perhatiannya. Kuda itu adalah kuda Raden Rangga yang masih dikenalinya. Ki Mandaraka ternyata telah berhenti. Sementara itu para prajurit menjadi cemas. Pemimpin prajurit itu berkata kepada Agung Sedayu, “Nasibmu akan menjadi sangat buruk. Salahmu sendiri.“

“Tidak. Ki Mandaraka bukan seorang yang bengis,“ jawab Agung Sedayu justru sambil melangkah maju.

Pemimpin prajurit itu dengan tangkas telah menangkapnya dan menariknya mundur. Namun Ki Mandaraka telah melihatnya. Karena itu, maka Ki Mandaraka itupun kemudian bertanya, “Siapakah orang itu?“

“Ampun Ki Patih.“ berkata pemimpin prajurit itu, “orang ini sama sekali tidak tahu diri. Mereka ingin melihat Ki Patih dari dekat, karena mereka adalah orang-orang dari padepokan yang jauh dari kota, sehingga belum pernah melihat para pemimpin di Mataram. Namun caranya memang sangat tidak pantas.“

“Anak padepokan yang jauh dari kota mempunyai kuda setegar itu?“ bertanya Ki Mandaraka.

Para prajurit itu berpaling. Kuda yang dituntun oleh anak muda itu memang terlalu tegar. Karena itu, prajurit itu memang tidak dapat menjawab.

Karena prajurit itu tidak segera menjawab, maka Ki Mandaraka itu pun berkata, “Bawa orang itu kemari.“

Pemimpin prajurit itu memang merasa ragu-ragu. Tetapi iapun telah mendorong Agung Sedayu melangkah maju sambil berbisik, “Jangan menyalahkan aku. Aku sudah memperingatkanmu. Seharusnya kau mendengarkan aku, sehingga kau tidak akan mengalami nasib buruk.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum sambil melangkah mendekati Ki Mandaraka.

Ki Mandarakapun tersenyum pula. Dengan nada rendah ia bertanya, “Kapan kau datang Agung Sedayu?“

“Belum lama Ki Mandaraka. Kami memang ingin menghadap Panembahan Senapati. Tetapi kami tertahan di regol ini. Nampaknya para petugas masih belum mengenal seorang pun di antara kami,“ jawab Agung Sedayu.

“Selain Glagah Putih, dengan siapa kau datang?“ bertanya Ki Mandaraka pula.

“Dengan Guru. Kiai Gringsing,“ jawab Agung Sedayu.

“Dimana Kiai Gringsing sekarang?“ bertanya Ki Mandaraka pula.

Agung Sedayu pun kemudian menunjuk kearah Kiai Gringsing dan para cantrik menunggu.

Para prajurit itu menjadi terheran-heran, bahkan mereka bagaikan kehilangan akal ketika mereka melihat Ki Mandaraka itu meloncat turun dari kudanya dan bergegas mendapatkan orang yang bernama Kiai Gringsing.

“Kenapa menunggu di sini Kiai?“ bertanya Ki Patih Mandaraka yang sudah hampir setua Kiai Gringsing pula.

“Kami sedang beristirahat di sini Ki Patih. Sebenarnyalah kami merasa letih di perjalanan. Agar kami menghadap dengan keadaan yang nampak segar dan tidak dengan nafas yang tersengal-sengal, kami telah beristirahat di sini barang sejenak, sebelum kami masuk ke halaman istana,“ jawab Kiai Gringsing.

Tetapi Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya, “Aku tahu. Tentu para prajurit itu telah menahan kalian di sini dan tidak mau melaporkan kehadiran kalian.“

Pemimpin prajurit itulah yang kemudian menjadi gemetar. Sedang prajurit yang telah menyatakan sikapnya yang berbeda itu menarik nafas dalam-dalam.

“Marilah.“ berkata Ki Mandaraka sambil mempersilahkan Kiai Gringsing, “bukankah kalian ingin bertemu dengan Angger Panembahan Senapati?“

Kiai Gringsing mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kami memang akan menghadap Panembahan Senapati.“

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Patih Mandaraka telah berjalan bersama-sama memasuki regol. Sementara itu, para cantrik telah membawa kuda Kiai Gringsing masuk ke halaman, sementara para pengawal Ki Mandaraka menjadi bertebaran dan kehilangan bentuk pengawalannya. Namun ada di antara mereka yang telah mengenal Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Di regol, Agung Sedayu sempat berbicara dengan pemimpin pasukan yang bertugas di luar regol, “Mudah-mudahan kami tidak terlambat, sehingga semuanya masih mungkin diselamatkan. Jika tidak, korban benar-benar telah berjatuhan, maka itu adalah tanggung jawabmu.“

“Tetapi, tetapi aku tidak tahu,“ berkata prajurit itu dengan suara gemetar.

“Aku sudah memberitahukan kepadamu. Tetapi kau terlalu sombong untuk mendengarkannya,“ berkata Agung Sedayu.

“Tetapi, aku minta ampun,“ berkata prajurit itu ketakutan.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melangkah memasuki regol halaman istana.

“Apa yang terlambat?“ bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu justru tertawa. Glagah Putih pun telah ikut tertawa pula. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu tentu sedang mengganggu prajurit yang bertugas itu.

Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah dibawa menghadap oleh Ki Mandaraka, tanpa mempergunakan tata cara yang biasa dipakai. Namun para perwira yang sudah mengenal Agung Sedayu, Glagah Putih dan apalagi Kiai Gringsing, sama sekali tidak berkeberatan, karena Panembahan Senapati sendiri memperlakukan mereka di luar tata cara istana.

Beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih memang telah menghadap Panembahan Senapati bersama dengan Ki Mandaraka. Setelah Panembahan Senapati menanyakan keselamatan tamu-tamunya serta keadaan padepokan yang ditinggalkan, maka Panembahan Senapati itu pun berkata, “Adalah kebetulan bahwa Paman Mandaraka ada di antara kita, sehingga hal-hal yang penting akan langsung diketahui oleh Paman Mandaraka.“

Tetapi Ki Patih Mandaraka sempat memotong, “Apakah begitu penting yang ingin Kiai katakan, sehingga harus dilakukan dengan tergesa-gesa? Bagaimana jika hari ini sampai besok pagi Kiai beristirahat? Besok pagi-pagi aku akan datang menghadap kembali untuk ikut mendengarkan pembicaraan Kiai dengan Angger Panembahan.“

“Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang mendesak, meskipun aku menganggap bahwa persoalannya tidak tergesa-gesa, bahkan mungkin tidak penting sama sekali,“ jawab Kiai Gringsing.

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Segala sesuatunya terserah kepada Angger Panembahan.“

“Biarlah Kiai Gringsing bercerita sekarang Paman,“ berkata Panembahan Senapati, “selanjutnya Kiai Gringsing bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat beristirahat tanpa membawa beban lagi.“

Ki Mandaraka tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Biarlah. Biar malam nanti Kiai dapat tidur dengan nyenyak.“

Ternyata bahwa persoalan yang ingin disampaikan oleh Kiai Gringsing tertunda lagi ketika seorang Pelayan Dalam menyampaikan laporan bahwa perintah Panembahah Senapati untuk mempersiapkan makan telah selesai.

“Untuk berapa orang?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Dua orang,“ jawab Pelayan Dalam.

“Aku akan menjamu empat orang tamu sekaligus,“ berkata Panembahan Senapati pula, “persiapkan semuanya.“

Pelayan Dalam itu bergeser dan meninggalkan ruangan itu untuk melakukan perintah baru dari Panembahan Senapati.

Sementara itu, maka Panembahan Senapati telah mempersilahkan Kiai Gringsing untuk mengatakan persoalan yang di bawanya dari Madiun.

Panembahan Senapati memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh Kiai Gringsing dengan seksama. Dari kata demi kata, maka Panembahan Senapati mengambil kesimpulan, bahwa Madiun nampaknya sudah sulit untuk diajak berbicara lagi.

“ltulah sebabnya, maka usahaku untuk dapat bertemu dengan Paman Panembahan selalu gagal,“ berkata Panembahan Senapati. “Yang paling menyinggung perasaan Panembahan Madiun adalah penempatan Pangeran Gagak Baing di Pajang,“ berkata Kiai Gringsing. “Panembahan Madiun menuntut agar yang berkuasa di Pajang ditunjuk oleh Madiun.“

“Itu tidak mungkin,“ jawab Panembahan Senapati.

“Selebihnya, pusaka-pusaka Pajang berupa apapun harus dikembalikan ke Pajang, meskipun pada waktu itu Pangeran Benawa sudah menyatakan tidak berkeberatan atas dipindahkannya pusaka-pusaka itu ke Mataram,“ berkata Kiai Gringsing pula.

“Satu syarat pembicaraan yang tidak mungkin dapat aku penuhi seluruhnya,“ berkata Panembahan Senapati.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga, bahwa Panembahan Senapati tidak akan dapat memenuhi syarat yang diberikan oleh Panembahan Madiun.

Namun Panembahan Senapati itu masih berkata, “Jika Pamanda Panembahan Madiun berbicara, maka segala sesuatunya akan dapat kita bicarakan. Tetapi kalau Panembahan Madiun memberikan persyaratan itu untuk mulai dengan pembicaraan, maka aku tidak akan mungkin memenuhinya.“

“Apakah Panembahan tidak berniat untuk mengirimkan utusan yang dapat mengambil keputusan tentang kemungkinan pembicaraan itu?“ bertanya Kiai Gringsing.

Panembahan Senapati termangu-mangu. Sementara itu Ki Mandaraka bertanya, “Bagaimana dengan para Adipati di daerah Timur?“

“Untuk sementara nampaknya mereka bersatu,“ jawab Kiai Gringsing.

“Kenapa untuk sementara?“ bertanya Ki Mandaraka pula.

“Ki Mandaraka tentu sudah dapat meraba arti pernyataan itu,“ jawab Kiai Gringsing.

Ki Mandaraka memandang Panembahan Senapati yang termangu-mangu. Katanya, “Bagaimana pendapat Angger Panembahan?“

“Bagi mereka, Mataram memang harus dilenyapkan. Baru mereka akan menentukan siapakah di antara mereka yang paling baik. Mungkin mereka akan memilih yang terbaik. Mungkin mereka akan memperebutkan untuk menjadi yang terbaik. Tetapi mungkin mereka akan berdiri sendiri-sendiri setelah menghancurkan Mataram,“ berkata Panembahan Senapati.

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Dari perhitungan keseimbangan kekuatan perang, jumlah prajurit dan dukungan persediaan bahan makanan dan senjata untuk perang yang lama, agaknya Mataram akan mengalami kesulitan. Jumlah prajurit cadangan dan kekuatan prajurit pada tataran ketiga yang merupakan kesediaan rakyat Mataram ikut memanggul senjata juga terlalu kecil, dibandingkan dengan kekuatan yang nampaknya akan berkumpul di Madiun. Karena itu harus ada cara untuk memecahkan kelemahan itu.“

“Tetapi kekuatan sebuah pasukan tidak tergantung pada jumlahnya saja Paman, meskipun harus diakui bahwa jumlah itu pun akan sangat berpengaruh,“ sahut Panembahan Senapati. “Karena itu, maka kita harus mempunyai pasukan khusus yang sangat kuat dan ditilik secara pribadi, sehingga pasukan itu akan merupakan pasukan yang dapat memecahkan kekuatan lawan meskipun jumlahnya berlipat. Kita harus mempunyai beberapa kelompok pasukan yang demikian, yang tidak saja berada di satu tempat. Mereka akan dapat mengganggu Madiun dari beberapa jurusan. Sementara itu, kita harus mampu dengan tajam mengamati kekuatan yang dipasang oleh Madiun untuk mempertahankan diri.“

“Tetapi Panembahan,“ berkata Kiai Gringsing, “nampaknya Madiun tidak saja ingin bertahan. Tetapi para Adipati daerah Timur juga sudah mempersiapkan pasukan untuk menuju ke Mataram, meskipun pasukan itu saat ini belum berada di Madiun. Sasaran mereka pertama-tama tentu Pajang. Baru kemudian bergeser ke Barat, ke Mataram.“

Panembahan Senapati termangu-mangu. Sementara itu Ki Mandaraka bertanya, “Bagaimana suasana kota Madiun sendiri?“

“Masih tetap tenang. Tetapi kegiatan para prajurit sudah nampak,“ jawab Kiai Gringsing. Lalu katanya, “Bahkan kepadaku Panembahan Madiun telah memberikan isyarat, bahwa Madiun akan benar-benar melakukannya, kecuali Panembahan Madiun akan berbicara tentang kemungkinan lain, jika tuntutannya itu dipenuhi.”

“Itu sulit untuk aku terima,“ Panembahan Senapati menggelengkan kepalanya.

“Kita harus membicarakan dengan beberapa orang pimpinan prajurit,“ berkata Ki Mandaraka, “namun hanya orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya. Sementara itu, kita harus benar-benar mempersiapkan kekuatan yang sudah jelas ada.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan berhubungan dengan Pati, Pegunungan Sewu, Bagelen, dan sudah tentu Pajang.“

“Panembahan,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “pada perkembangan terakhir, di samping para Adipati, di Madiun juga ada seorang Panembahan yang lain, yang tidak hamba ketahui atau mungkin belum ada di saat hamba berada di Madiun.“

“Siapa?“ bertanya Panembahan Senapati.

Kiai Gringsing pun kemudian sempat bercerita tentang orang-orang yang datang ke padepokan dengan menyebut diri mereka Garuda-Garuda dari Bukit Kapur. Kemudian orang-orang yang menemuinya di pinggir Kali Opak.

Ki Mandaraka yang mendengarkan cerita Kiai Gringsing itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi ada garis lain dari garis para Adipati di daerah Timur? Apakah hal itu perlu diimbangi dengan cara yang sama?“

“Tidak perlu dengan mata-mata Paman,“ sahut Panembahan Senapati, “tetapi hal ini perlu mendapat perhatian secara khusus.“

“Hamba sependapat Panembahan,“ sahut Kiai Gringsing, “tetapi hamba kira tidak banyak orang yang dapat kami ajak berbicara tentang hal itu.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja iapun telah bertanya kepada Agung Sedayu. “Bagaimana pendapatmu?“

“Menurut pendapat hamba Panembahan, langkah pengawasan terhadap Madiun harus diperketat. Petugas sandi harus selalu mengirimkan laporannya. Sehingga dengan demikian, kita tidak akan kehilangan jejak atas setiap langkah,“ berkata Agung Sedayu.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku sependapat. Namun sampai saat ini petugas sandi yang ada di Madiun belum dapat menembus dinding istana. Banyak perkembangan di dalam dinding istana yang belum dapat ditangkap. Namun nampaknya usaha itu mulai berhasil, meskipun belum memuaskan. Namun sejalan dengan itu, kita pun menyadari, bahwa disekitar kita pun tentu terdapat petugas-petugas sandi dari Madiun. Bukan saja di sini, tetapi tentu juga di Pajang dan di tempat-tempat lain yang berhubungan dengan Mataram.“

“Maksud Panembahan di Pati, Tanah Perdikan Menoreh, Bagelen, Pegunungan Kidul, dan lain-lainnya?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ya,“ jawab Panembahan Senapati, “bukan saja sekedar mengamati keadaan, tetapi tentu juga usaha untuk mempengaruhi beberapa pihak. Tetapi kita pun akan melakukan perlawanan dengan cara yang sama. Tidak saja di lingkungan Mataram, tetapi juga di Madiun dan di kadipaten-kadipaten yang langsung atau tidak langsung telah terlibat.“

“Satu kerja besar yang rumit,“ berkata Ki Mandaraka, “tentu ada di antara para petugas sandi itu yang menjadi ular berkepala dua.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Memilih orang memang pekerjaan yang paling rumit di antara pekerjaan memilih sasaran yang lain. Bahkan lebih rumit dari memilih sebuah pusaka atau wesi aji.“

“Itulah Kiai,“ sahut Panembahan Senapati, “kita tidak dapat gegabah memilih orang.“

Tetapi Kiai Gringsing itu pun kemudian bertanya, “Panembahan. Selain tugas-tugas yang berhubungan dengan tugas keprajuritan, apakah ada usaha lain yang sebaiknya Panembahan lakukan?“

“Aku masih berusaha terus untuk dapat berbicara langsung dengan Pamanda Panembahan di Madiun. Tetapi agaknya orang-orang di sekitarnya, yang barangkali termasuk Panembahan yang Kiai katakan itu, telah menutup kemungkinan-kemungkinan itu. Tetapi aku belum berputus asa,“ berkata Panembahan Senapati.

“Harapannya memang sangat kecil,“ berkata Ki Mandaraka, “tetapi aku pun telah memohon untuk dilakukan terus-menerus. Mudah-mudahan pada suatu saat dapat diketemukan satu jalan, meskipun keadaan tentu menjadi semakin parah.“

“Tetapi di samping segala usaha itu, kita tidak boleh mengabaikan susunan kekuatan kita, yang menurut Pamanda Mandaraka, kekuatan kita belum sebanding dengan kekuatan yang akan dapat disusun di Madiun,“ berkata Panembahan Senapati.

Namun Ki Patih Mandaraka itu menyahut, “Aku sependapat dengan Panembahan. Harus ada kelompok-kelompok khusus yang mendapat bekal secara khusus pula. Kita tidak mempunyai waktu untuk membentuk dan melatih para prajurit secara khusus. Yang kita lakukan haruslah memungut kekuatan-kekuatan khusus itu dan menyusunnya dalam kelompok-kelompok tertentu.“

“Bagaimana dengan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kau tahu keadaannya?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Maksud Panembahan, pimpinannya?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya,“ jawab Panembahan Senapati.

“Bagaimana dengan pembentukan kekuatan terpadu di Tanah Perdikan yang pernah dirintis?“ bertanya Agung Sedayu pula.

“Sebentar lagi harus terwujud,“ jawab Panembahan Senapati, “kecuali jika ada perkembangan baru.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika susunan kekuatan yang menyatu di Tanah Perdikan dilaksanakan, maka Ki Gede akan terlibat langsung. Itu berarti bahwa tenaga Agung Sedayu akan diperlukan. Mungkin ada orang-orang yang berpendirian lain di antara para pemimpin yang baru dari pasukan khusus itu.

Sementara itu Panembahan Senapati telah berkata selanjutnya, “Untuk sementara aku tidak memperhitungkan pasukan khusus di Tanah Perdikan itu. Pada suatu saat pasukan itu akan ikut menentukan gejolak ini.“

“Bagaimana dengan pasukan di Jati Anom?“ bertanya Agung Sedayu pula.

“Aku memperhatikan bagian dari seluruh pasukan itu. Kelompok yang dipimpin oleh Sabungsari,“ berkata Panembahan Senapati.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Nampaknya kemampuan Sabungsari dan pasukannya memang dapat dipergunakan untuk kepentingan khusus itu.

Namun demikian, Kiai Gringsing masih memperingatkan kemungkinan lain dari kekerasan.

“Panembahan,“ berkata Kiai Gringsing, “hamba sudah mencoba menemui Panembahan Madiun dan kini menemui Panembahan Senapati di Mataram. Hamba sadar, bahwa hamba tidak berhasil mempertemukan sikap kedua pemimpin itu, namun hamba mohon usaha itu tidak terhenti.“

“Aku mengerti Kiai,“ jawab Panembahan Senapati. Lalu, “Jika kini aku berbicara tentang kekuatan pasukan, sebenarnyalah aku justru belum pernah berbicara terbuka dengan para Manggala dan Senapati di Mataram. Jika aku berbicara dengan mereka, maka sebagian kata-kataku akan merupakan perintah. Tetapi di sini, aku mendapat bahan-bahan pikiran yang lebih jernih dan terbuka, justru karena aku tidak berbicara dengan para Manggala dan Senapati. Apalagi aku tahu, di samping Pamanda Mandaraka, maka Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki wawasan yang jauh lebih baik dari semua Manggala dan Senapati yang ada di Mataram. Karena sebenarnyalah aku tahu, bahwa Kiai Gringsing memang memiliki pengetahuan tentang hal itu, yang sadar atau tidak sadar, sebagian besar telah dimiliki pula oleh Agung Sedayu. Itulah sebabnya aku berbicara dengan kalian dalam suasana yang lain daripada berbicara dalam paseban yang khusus sekalipun.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Mandaraka yang tersenyum berkata, “Kalian adalah pemimpin-pemimpin pemerintahan yang terselubung. Pendapat kalian sangat berharga bagi Panembahan Senapati. Tetapi kalian tidak dapat ikut hadir dalam pembicaraan-pembicaraan resmi dengan para pemimpin pemerintahan. Karena itu, kalian selalu mendapat kesempatan untuk menghadap secara khusus.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku masih juga tampil di hadapan Panembahan Senapati. Tetapi apa yang dilakukan Ki Juru Martani pada saat Pajang mengalahkan Jipang? Bukan saja seorang penyusun rencana yang terselubung, tetapi Ki Juru benar-benar tidak nampak dalam permainan yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi.“

Ki Mandaraka yang pernah bernama Ki Juru Martani itu tersenyum. Katanya, “Justru dalam pembicaraan seperti ini kadang-kadang menemukan pemecahan atas satu masalah yang pelik. Dalam pertemuan yang lebih resmi lagi, Panembahan Senapati tinggal menjatuhkan perintah.“

“Karena itu, aku menghargai setiap pendapat,“ berkata Panembahan Senapati, “namun bagaimanapun juga, kita mampu menilik nilai pendapat seseorang.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Penembahan. Hamba telah berusaha sejauh dapat hamba lakukan. Tetapi sayang. Nampaknya masih tetap ada jarak antara kedua pemimpin dari Madiun dan Mataram ini.“

“Tuntutan Pamanda Panembahan Madiun terlalu berat bagiku. Pamanda Panembahan Madiun dengan demikian telah melanggar hakku sebagai seorang yang berkuasa atas Mataram sebagai kelanjutan pemerintah Pajang, sementara Pajang merupakan kelanjutan dari pemerintahan Demak,“ berkata Panembahan Senapati. “Namun aku merasa sangat berterima kasih atas keterangan-keterangan yang dapat Kiai berikan kepada kami. Dengan demikian kita mendapat gambaran, bahwa para Adipati di daerah Timur telah menyatu dengan Pamanda Panembahan Madiun.“

“Satu keterangan yang sangat perlu,“ berkata Ki Mandaraka, “meskipun para petugas sandi kita sempat juga melaporkan kehadiran beberapa orang Adipati daerah Timur ke Madiun, tetapi mereka tidak dapat memberikan keterangan lebih jelas tentang hubungan mereka dengan Madiun.“

“Kemudian segala sesuatunya terserah kepada Panembahan,“ berkata Kiai Gringsing, “namun barangkali yang perlu hamba ingatkan, bahwa Panembahan Madiun adalah Pangeran Timur, Pamanda Panembahan Senapati sendiri. Karena Pangeran Timur yang kemudian bergelar Panembahan Mas di Madiun itu sadalah saudara ibunda Ratu di Pajang, yang mengangkat Panembahan Senapati menjadi putra yang sangat dikasihi.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja kepalanya tertunduk. Bahkan seakan-akan membayang kembali wajah ayahnya, Ki Gede Pemanahan yang pernah dengan nada sedih berkata kepadanya, “Sutawijaya. Kau telah melakukan tiga kesalahan sekaligus. Salah kepada rajamu. salah kepada gurumu dan salah kepada orang tuamu.“

Panembahan Senapati justru telah berangan-angan. Terbayang kembali saat-saat ia mulai menentang Pajang. Dengan keras ia menolak untuk menghadap Sultan Hadiwijaya, ayah angkatnya, yang mengasihinya seperti kepada anak kandungnya sendiri. Sultan Hadiwijaya yang telah memberikan ilmu kepadanya sebagaimana seorang guru yang baik. Namun Sultan Hadiwijaya adalah juga Raja yang berkuasa di Pajang pada saat itu.

Panembahan Senapati memang tidak pernah ingkar akan hal itu. Hubungan antara dirinya dengan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Namun Sutawijaya memang bertekad untuk membangun Mataram. Ketika beberapa orang menghinanya, mentertawakannya meskipun tidak langsung di paseban di saat ia berniat membangun Mataram, dengan mengatakan bahwa Mataram tidak lebih dari sebuah hutan yang lebat, yang hanya pantas dibuka menjadi padukuhan-padukuhan yang tidak berarti, maka ia berdiri sambil berkata lantang. “Aku tidak akan menginjak paseban di Pajang ini lagi sebelum Mataram menjadi sebuah negeri yang besar.“

Dan Panembahan Senapati telah melakukannya. Ia bukan saja menunggu sampai Mataram menjadi negeri yang besar, tetapi Pajang kemudian telah dihapuskannya, dan bahkan menjadi sebuah kadipaten justru di bawah kuasa Mataram. Namun bagaimanapun juga yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu telah menyentuh hatinya.

Kiai Gringsing yang melihat sikap Panembahan Senapati itu menjadi termangu-mangu. Ia tidak tahu pasti tanggapan apakah yang bergejolak di dalam hati Panembahan Senapati. Tetapi Kiai Gringsing mengucapkan hal itu bukannya asal saja membuka mulutnya. Tetapi sebagai seorang tua yang berwawasan luas, kata-kata yang diucapkannya itu telah dipikirkannya masak-masak untuk diucapkannya. Karena itu, akibat apapun yang timbul di dalam hati Panembahan Senapati, namun Kiai Gringsing memang merasa wajib untuk menyatakannya.

Namun yang kemudian diucapkan oleh Panembahan Senapati adalah, “Terima kasih Kiai. Aku akan selalu mengingatnya. Hubungan dalam tingkat apapun yang akan terjadi antara Mataram dan Madiun, namun aku akan selalu ingat, bahwa yang bergelar Panembahan Mas di Madiun adalah pamanda Pangeran Timur. Namun kedudukanku bukan saja sebagai seorang kemanakan dari Pangeran Timur, tetapi aku juga Panembahan Senapati di Mataram. Bagaimanapun juga aku terikat pada kedudukanku. Pimpinan pemerintahan di Mataram, yang berhadapan dengan pimpinan pemerintahan di Madiun, yang seharusnya menghormati kuasa Mataram.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah sampai pada ujung jalan yang ditempuhnya dalam usahanya mencari kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik dalam kemelut yang terjadi di atas langit yang menaungi Mataram dan Madiun.

Tetapi Kiai Gringsing pun rasa-rasanya memang ingin menganjurkan agar Mataram mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena jika tidak, sementara Madiun benar-benar ingin mempergunakan kekerasan, maka keadaan yang tidak seimbang itu akan dapat menghancurkan Mataram sampai ke alas-alasnya. Rakyat Mataram akan mengalami penderitaan yang sangat parah. Namun jika pasukan yang datang itu dapat ditahan sebelum memasuki kota, maka keadaannya akan berbeda. Akan tetapi lebih baik jika pasukan itu dapat dihentikan sebelum memasuki Pajang.

Beberapa saat mereka masih berbincang meskipun arah pembicaraan mereka sudah agak bergeser. Nampaknya Panembahan Senapati sudah menganggap cukup bahan-bahan yang akan dapat diuraikan dalam persoalannya dengan pamandanya Pangeran Timur yang bergelar Panembahan Mas di Madiun.

Yang dibicarakan kemudian adalah justru Panembahan yang lain, yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra. Seorang yang dikenal sebelumnya dengan nama Kecruk Putih.

“Orang itu justru tidak berasal dari daerah Timur,“ berkata Kiai Gringsing yang mencoba mengingat-ingat, meskipun dengan agak ragu-ragu.

“Aku juga pernah mendengar namanya,“ berkata Ki Mandaraka, “nampaknya kehadiran Kecruk Putih di Madiun sama sekali tidak ada hubungannya dengan daerah asal Kecruk Putih itu. Agaknya ia justru berasal dari daerah ini. Mungkin dari pesisir, atau barangkali dari kaki Gunung Merapi atau Merbabu. Tetapi agaknya sudah lama mengembara, sehingga agaknya ia berhasil menyusup di antara para Adipati di daerah Timur dan menanamkan pengaruhnya di sana.“

“Bukan pengaruh,“ berkata Panembahan Senapati, “tetapi agaknya ia memiliki kemampuan membujuk, berbohong, atau katakanlah ia memiliki keahlian untuk menipu.“

“Apakah Panembahan Madiun begitu mudah tertipu?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Mungkin bukan tertipu. Tetapi dalam keadaan seperti ini, Pamanda Panembahan Madiun memang memerlukannya. Setidak-tidaknya agar orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu tidak mengganggunya,“ jawab Panembahan Senapati.

Ki Mandaraka mepgangguk-angguk, Kiai Gringsing pun mengerti pula alasan itu. Namun apapun landasannya, tetapi Panembahan Cahya Warastra itu harus mendapat perhatian secara khusus, karena nampaknya ia berhasil menghimpun para pemimpin padepokan besar dan kecil, yang bukan tidak mungkin akan menjangkau padepokan-padepokan justru di daerah Mataram.

Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati itu pun berkata, “Kiai, apakah kehadiran orang yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra itu menurut Kiai akan ikut menentukan akhir daripada persoalan yang timbul antara Mataram dan Madiun?“

“Hamba kira begitu Panembahan,“ jawab Kiai Gringsing, “Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun bagaimanapun juga selalu dibayangi oleh sifat-sifat kekesatriaan. Panembahan berdua tentu tidak akan mengorbankan harga diri dan wibawanya untuk mencapai tujuan akhir dari persoalan ini. Sedangkan bagi Panembahan Cahya Warastra agaknya berbeda. Panembahan itu menurut penilaianku, tidak akan terikat oleh landasan apapun juga. Ia dapat berbuat apa saja untuk mencapai satu tujuan tertentu. Bahkan tidak mustahil bahwa suatu saat Panembahan itu akan mengkhianati Panembahan Mas dari Madiun.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika demikian, orang itu memang harus mendapat perlawanan khusus. Maksudku, kesiagaan padepokan-padepokan besar kecil yang tersebar di lingkungan Mataram, Pati, Pajang dan sekitarnya, termasuk Tanah Perdikan Menoreh. Banyak padepokan yang kurang kita ketahui. Meskipun barangkali padepokan-padepokan itu tidak memiliki orang-orang terkuat seperti Kecruk Putih itu sendiri, namun jika mereka dapat digerakkan olehnya, tentu akan merupakan kekuatan yang cukup mendebarkan jantung.“

Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Kiai Gringsing, “Maaf Kiai. Bukan maksudku untuk menyeret Kiai dalam persoalan yang timbul antara Madiun dan Mataram, karena nampaknya Kiai akan berdiri menengahi. Tetapi aku mohon Kiai secara khusus memperhatikan orang yang menyebut diri Panembahan Cahya Warastra itu. Dengan demikian Kiai akan membantu mengurangi arus prahara yang akan menempuh Mataram, sehingga korban dari kedua belah pihak akan dapat dikurangi jika terpaksa timbul benturan kekuatan.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Panembahan. Umurku sudah terlalu tua untuk mengemban tugas-tugas berat seperti itu. Tetapi aku tidak akan ingkar. Aku mempunyai dua orang murid, yang agaknya akan dapat membantuku. Meskipun Agung Sedayu akan ikut memikul tugas di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi agaknya ia akan dapat membagi waktunya. Tugas ini memang memerlukan waktu yang agak lama, karena kami harus mencari dan kemudian menghubungi padepokan-padepokan besar dan kecil yang ada di lingkungan Mataram, Pati dan Pajang serta sekitarnya.“

“Kiai jangan bekerja sendiri,“ berkata Panembahan Senapati, “mungkin ada orang yang dapat Kiai percaya untuk membantu tugas ini, selain murid-murid Kiai sendiri.“

“Aku akan membantu tugas Kiai,“ berkata Ki Mandaraka, “aku kira aku akan dapat lebih banyak berbuat dalam hal ini daripada tugas-tugas keprajuritan.“

Kiai Gringsing terkejut. Demikian pula agaknya Panembahan Senapati. Dengan nada rendah Kiai Gringsing bertanya, “Ki Mandaraka adalah orang yang terdekat dengan Panembahan Senapati. Adalah tidak mungkin bagi Ki Mandaraka untuk melakukannya. Ki Mandaraka tentu tidak akan mungkin meninggalkan Panembahan Senapati dalam kesibukan seperti ini.“

Tetapi Ki Mandaraka tersenyum. Katanya, “Sudah tentu aku tidak akan dapat menangani sendiri seluruhnya, sebagaimana Kiai Gringsing yang tua. Tetapi sebagaimana Kiai Gringsing mempunyai murid dan kepercayaan, maka akupun demikian. Aku akan dapat mempergunakan waktu-waktu luang untuk sedikit melihat keluar istana ini. Kemudian di saat-saat yang lain, biarlah orang lain melakukannya.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Panembahan Senapati berkata, “Pamanda Ki Mandaraka agaknya merasa sangat jenuh untuk berada di istana dengan pembicaraan-pembicaraan yang membuatnya pening. Persoalan-persoalan yang tidak disukainya harus dipecahkannya. Sementara hal-hal yang menjemukan telah berulang kali terjadi. Karena itu, aku tidak berkeberatan memberikan kesempatan Pamanda Mandaraka untuk melakukannya, sepanjang saat-saat aku memerlukannya Pamanda ada di istana.”

Ki Mandaraka tertawa. Katanya, “Ternyata Angger Panembahan Senapati dapat mengerti sepenuhnya keadaanku. Sebenarnyalah aku merindukan satu masa jauh ke belakang. Aku adalah seorang petani dan pengembara sekaligus.“

“Bukan,“ berkata Kiai Gringsing, “Ki Juru Martani bukan seorang petani. Tetapi Ki Juru Martani bertindak seperti seorang petani.“

Ki Mandaraka tertawa. Katanya, “Suatu kenyataan yang memang menarik. Tetapi aku tidak ingin mengulanginya. Yang aku lakukan sekarang merupakan tugas yang dibebankan kepadaku sekarang. Aku tidak boleh melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadaku sekarang dengan caraku yang dahulu.“

Panembahan Senapati-lah yang kemudian berkata, “Pamanda. Bagaimanapun juga Pamanda akan meninggalkan istana ini. Tetapi Pamanda tidak boleh tenggelam dalam kenangan, sehingga Pamanda akan melupakan tugas-tugas yang justru sekarang ini menjadi semakin rumit.“

“Menurut pendapatku, dalam waktu dekat ini kemungkinan untuk berbicara dengan Panembahan Madiun masih agak jauh. Bahkan semakin lama akan semakin jauh. Meskipun aku akan keluar dari istana, tetapi aku akan selalu menghubungi Panembahan setiap kali. Persoalan-persoalan yang timbul akan segera dapat sampai kepadaku,” berkata Ki Mandaraka.

Panembahan Senapati memang tidak akan dapat mencegah keinginan Ki Mandaraka tanpa membuatnya kecewa. Nampaknya Ki Mandaraka di samping kejenuhannya sehingga ia ingin melihat-lihat keadaan di luar dinding istana, juga menganggap bahwa persoalannya memang sangat penting. Sebagai seorang yang telah mengenal Ki Mandaraka sejak waklu yang lama sekali, maka Panembahan Senapati sedikit banyak dapat mengenalnya. la teringat, bagaimana Ki Juru Martani di masa pergolakan antara Pajang dan Jipang membiarkannya ikut ke paseban bersama ayahnya, Ki Gede Pemanahan, dan Ki Panjawi. Tidak seorangpun yang mengetahui dasar perhitungan Ki Juru Martani. Namun waktu itu Panembahan Senapati yang juga disebut Sutawijaya berkeras untuk ikut ke medan.

Ternyata perhitungan Ki Juru Martani tepat. Justru karena Sutawijaya, anak Pemanahan yang diangkat anak oleh Sultan Hadivvijaya di Pajang, berkeras untuk ikut ke medan, maka Sultan Pajang telah merelakan tombak terbesar pusaka Pajang, Kanjeng Kiai Pleret untuk dibawa ke medan. Tanpa Sutawijaya, Sultan Hadiwijaya tidak akan memberikan tombak Kiai Pleret yang berhasil mengoyak lambung Arya Penangsang itu.

“Jika Pamanda Ki Mandaraka kali ini berkeras untuk turun menangani persoalan Panembahan Cahya Warastra, tentu ada perhitungan tersendiri,“ berkata Panembahan Senapati itu di dalam hatinya.

Demikianlah, maka beberapa hal telah dapat disimpulkan. Bahkan di luar dugaan Kiai Gringsing, bahwa Ki Patih Mandaraka sendiri akan turun menangani satu persoalan yang memang cukup rumit. Sementara itu, Panembahan Senapati akan meningkatkan kesiagaan di luar keprajuritan.

Sesuai dengan pendapat Ki Mandaraka, maka Panembahan Senapati akan menyiapkan utusan ke Pati, Pajang, Jipang, dan bahkan Demak dan Grobogan. Di samping kekuatan yang ada di sekitar Mataram sendiri yang meskipun bukan sebuah kadipaten, tetapi karena menurut perkembangannya merupakan landasan pertempuran yang besar, maka tempat-tempat itu memiliki kekuatan yang cukup memberikan dukungan, seperti Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung.

Beberapa kadipaten itu diminta untuk mempersiapkan pasukan yang setiap saat dapat digerakkan, di samping harus berhati-hati menghadapi cara yang dipergunakan oleh Panembahan Cahya Warastra.

Dengan demikian, maka beberapa persoalan telah selesai dibicarakan. Yang harus dilakukan oleh Panembahan Senapati adalah melaksanakan. Terutama hubungan dengan kadipaten-kadipaten itu.

“Nah Kiai,“ berkata Panembahan Senapati, “aku sangat berterima kasih kepada Kiai atas segala keterangan yang telah Kiai berikan. Serta usaha Kiai untuk mencegah meluasnya pertentangan antara Madiun dan Mataram. Namun agaknya yang terjadi tidak seperti yang Kiai harapkan. Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi nilai usaha yang telah Kiai lakukan.“

“Terima kasih Panembahan,“ berkata Kiai Gringsing, “agaknya segala sesuatunya memang sudah hamba sampaikan. Juga persoalan yang telah timbul di perjalanan, dalam hubungannya dengan sikap Kecruk Putih itu.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Justru orang-orang seperti Kecruk Putih itulah yang harus mendapat pengawasan dengan saksama. Jika terjadi perang, maka perang itu sendiri menjadi lebih jelas daripada langkah-langkah yang akan diambil oleh orang-orang seperti Kecruk Putih dengan segala pengikutnya. Apalagi setelah ia menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra, dan mendapat tempat di antara para Adipati dari Timur. Meskipun masih juga seperti aku katakan, kehadirannya perlu dipertanyakan. Apakah karena orang itu mampu mempengaruhi para Adipati, termasuk pamanda Panembahan Madiun, atau karena untuk sementara orang itu dapat dimanfaatkan, sehingga seolah-olah telah diberi tempat di antara mereka.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hamba sependapat Panembahan. Dan hamba pun akan melakukan tugas yang berat itu meskipun seperti hamba katakan, bahwa hamba tidak akan mampu melakukannya sendiri. Hamba sangat berterima kasih kepada Ki Patih Mandaraka yang bersedia melakukan bersama hamba, meskipun kami berdua bersama-sama akan melimpahkan kepada orang lain.“

Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, “Memang agak berbelit. Tetapi mudah-mudahan ada manfaatnya.“

Panembahan Senapati pun tertawa pula. Orang-orang tua itu kadang-kadang memang mempunyai cara tersendiri untuk melakukan tugas-tugasnya. Tugas yang berat kadang-kadang dilakukan dengan cara yang nampaknya tidak bersungguh-sungguh. Tetapi ternyata tugas-tugas itu dapat diselesaikan dengan baik.

Demikianlah, maka Panembahan Senapati yang telah merasa cukup dengan pembicaraan itu, telah memberikan kesempatan kepada tamu-tamunya untuk makan bersama-sama. Satu kehormatan yang memang jarang diberikan orang lain di luar istana. Bahkan para pemimpin pemerintahan pun jarang sekali mendapat kesempatan seperti itu. Makan bersama secara pribadi.

Sementara itu Panembahan Senapati pun telah memerintahkan pula agar kepada kedua cantrik yang menyertai Kiai Gringsing juga dihidangkan makan dan minum secukupnya.

Dalam pada itu, ternyata Panembahan Senapati telah mendapatkan bahan yang cukup yang akan dapat dibicarakan lagi dengan para pemimpin pemerintahan dan pemimpin keprajuritan, untuk menentukan langkah-langkah yang paling baik sebagai pelaksanaan dari kesimpulan-kesimpulan yang telah diambil oleh Panembahan Senapati.

Namun agaknya telah timbul pula keinginan pada Kiai Gringsing untuk sempat berbincang lebih panjang dengan Ki Patih Mandaraka. Karena itu, maka setelah selesai makan bersama Panembahan Senapati, Kiai Gringsing mohon untuk diperkenankan bermalam di istana Ki Patih saja.

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Agaknya bagi Kiai Gringsing bermalam di istana Pamanda Mandaraka lebih sesuai daripada bermalam di sini. Orang-orang tua kadang-kadang mempunyai banyak kenangan yang dapat saling dibicarakan. Namun bagaimana dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih?“

“Hamba akan menyertai Guru, Panembahan. Jika Panembahan berkenan. Kecuali jika ada perinlah lain dari Panembahan,“ jawab Agung Sedayu.

Panembahan Senapati tersenyum. Meskipun Kiai Gringsing nampaknya ingin berdiri di antara Panembahan Mas dan Panembahan Senapati, tetapi Panembahan Senapati sendiri yakin, bahwa Agung Sedayu tentu akan mengambil sikap yang lebih mantap. Baginya Agung Sedayu adalah seorang yang sangat dapat dipercaya. Orang yang berbuat terlalu banyak dan bahkan tanpa pamrih sama sekali. Meskipun Agung Sedayu tidak menempatkan diri dengan tegas seperti kakaknya, Untara.

“Baiklah,“ berkata Panembahan Senapati, “nampaknya belum ada persoalan yang penting yang ingin aku bicarakan secara khusus, kecuali pesan kepada Ki Gede Menoreh untuk mempersiapkan penyusunan kekuatan terpadu di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam waktu dekat semuanya akan segera dilakukan. Apalagi kemelut yang nampaknya semakin gelap yang menyelubungi Mataram dan Madiun sekarang ini. Karena itu, maka jika kalian ingin bermalam bersama Kiai Gringsing, aku tidak keberatan. Tetapi sebelum kalian meninggalkan Mataram, aku masih ingin bertemu lagi.“

Demikianlah, maka Ki Mandaraka pun telah mohon diri. Namun Panembahan Senapati masih berbicara beberapa saat dengan Ki Patih. Panembahan memanggil Ki Patih untuk berbicara tentang lalu lintas perdagangan di Bergota lewat jalan barat.

Tetapi pembicaraan itu tidak terlalu penting dan mendesak, sehingga sebagian telah ditundanya, justru karena Kiai Gringsing akan bermalam di Istana Kepatihan.

Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan istana. Selain Kiai Gringsing berlima, maka Ki Patih Mandaraka ternyata diiringi beberapa orang prajurit pengawal.

Namun dalam pada itu, di perjalanan Glagah Putih telah berbisik di telinga Agung Sedayu, “Apakah aku dapat pergi ke rumah Ki Lurah Branjangan?“

“Untuk apa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Bukankah aku telah berjanji, bahwa aku akan singgah setelah kita kembali dari Jati Anom?“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Besok saja. Tidak baik kau bermalam di sana.“ “Kenapa tidak baik? Bukankah kita sudah mengenal Ki Lurah dengan baik?“ bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita memang sudah mengenal Ki Lurah dengan baik. Tetapi sebaiknya besok saja kau pergi ke rumah Ki Lurah bersamaku. Jika kita harus menginap, maka kita akan menginap bersama-sama. Sementara itu, agaknya kita perlu juga singgah di rumah Ki Panji Wiralaga, yang barangkali sudah mendapat perintah pelaksanaan tentang penyusunan kendali pemerintahan yang satu di Tanah Perdikan.“

Glagah Putih termangu-mangu, sementara itu Kiai Gringsing bertanya, “Ada apa dengan Glagah Putih?“

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa, Guru. Ia hanya menyatakan keinginannya untuk singgah di rumah Ki Lurah Branjangan.“

“Ki Lurah,“ desis Ki Mandaraka, “agaknya Ki Lurah juga dapat kita ajak untuk menangani persoalan ini. Biarlah orang-orang tua yang dianggap sudah tidak dapat berbuat sesuatu ini menunjukkan bahwa kita masih memiliki tenaga.“

Tetapi Kiai Gringsing tersenyum sambil berkata, “Apakah aku benar-benar dapat berbuat demikian?“

Ki Mandaraka pun tertawa. Katanya, “Kiai memang sudah terlalu tua untuk tugas itu. Tetapi padepokan Kiai di Jati Anom akan dapat menjadi pusat kendali dari tugas-tugas ini.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah dalam keadaan yang demikian tiba-tiba saja ia merasa sepi. Meskipun sudah menjadi kebiasaannya hidup sendiri, namun rasa-rasanya ia akan lebih merasa hidup jika murid-muridnya ada di dalam padepoan itu pula. Tetapi itu tidak mungkin, karena kedua muridnya telah mengemban tugasnya masing-masing.

Tetapi Kiai Gringsing tidak menolak. Bahkan sambil mengangguk-agguk ia berkata, “Dengan senang hati Ki Patih.”

“Apalagi padepokan kecil itu berada dekat dengan Jati Anom. Sebuah pasukan yang kuat ada di Jati Anom. Jika terjadi sesuatu, maka pasukan itu akan dapat memberikan perlindungan,“ berkata Ki Mandaraka.

“Hubungan itu memang sudah dijalin, Ki Patih. Angger Untara memang sudah meletakkan kelompok-kelompok pasukannya tidak jauh dari padepokan. Jika kami memukul kentongan sebagai isyarat dengan irama yang khusus telah kami sepakati, maka Angger Untara atau pasukannya itu akan bertindak,“ berkata Kiai Gringsing.

“Bagus,“ berkata Ki Patih Mandaraka, “besok aku akan pergi ke padepokan itu jika Kiai Gringsing kembali.”

“Benar?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ya. Meskipun hanya semalam. Panembahan Senapati tentu akan mengijinkannya. Kita akan menentukan beberapa langkah untuk mulai dengan tugas kita,“ berkata Ki Mandaraka.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil berkata, “Kami akan menerima Ki Patih dengan senang hati.“

Demikianlah, beberapa saat kemudian maka mereka pun telah memasuki halaman Kepatihan. Glagah Putih sudah mengenal tempat itu dengan baik, karena bersama Raden Rangga ia pernah berada di Kepatihan.

Namun rasa-rasanya ia hanya kehilangan waktu saja jika malam itu ia ikut bermalam di Kepatihan, karena persoalannya tentu hanya akan dibicarakan antara Ki Patih Mandaraka dan Kiai Gringsing atau kakak sepupunya, Agung Sedayu. Karena itu, ia merasa tidak banyak berkepentingan berada di Kepatihan. Tetapi Agung Sedayu tetap melarangnya.

“Besok kita bermalam semalam di rumah Ki Lurah. Atau jika persoalannya sudah selesai, kita akan meneruskan perjalanan,“ berkata Agung Sedayu.

Keterangan itu menjadi semakin tidak mapan baginya. Tetapi ia tidak berani membantah. Dengan demikian maka malam yang panjang kemudian telah dihabiskannya di Istana Kepatihan. Seperti yang diduganya, maka yang banyak berbincang adalah Ki Patih Mandaraka dengan Kiai Gringsing.

Sebenarnyalah kedua orang itu seakan akan berada dalam keadaan yang sebaliknya. Namun hal itu mereka sadari sepenuhnya, sehingga keduanya menjadi saling menghormatinya.

Kiai Gringsing yang menempatkan dirinya dari jenjang kebangsawanan menjadi orang kebanyakan, sementara Ki Juru Martani, seorang dari keturunan pidak pedarakan, telah memanjat ke tataran tertinggi dalam kendali pemerintahan, setelah Panembahan Senapati sendiri.

Dengan sungguh-sungguh keduanya telah membicarakan perkembangan terakhir Mataram, dalam hubungannya dengan para Adipati, terutama di daerah Timur. Kemudian dengan sungguh-sungguh pula keduanya berbicara tentang Kecruk Putih yang menyebut dirinya Panembahan Cahya Warastra, yang dalam kedudukan apapun, namun satu kenyataan bahwa ia berada di antara para Adipati di dariah Timur itu.

Keduanya pun sempat mengingal-ingat nama-nama yang pernah mereka kenal, atau satu cara untuk menjaring nama-nama padepokan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Tetapi mereka masih belum menentukan langkah-langkah yang pasti yang akan mereka ambil. Namun dalam pada itu, Ki Mandaraka benar-benar berniat untuk pergi ke Jati Anom.

Tetapi sementara itu, Agung Sedayu telah berkata kepada gurunya dan Ki Mandaraka, “Bagaimana dengan Ki Jayaraga? Apakah Ki Jayaraga dapat membantu Guru? Nampaknya ia juga mempunyai hubungan yang luas, meskipun untuk waktu yang lama telah meninggalkan lingkungannya karena kecewa, dan berada di Tanah Perdikan Menoreh.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu Ki Jayaraga adalah seorang yang menjadi kecewa murid-muridnya yang tidak mau mendengarkan nasehat-nasehatnya yang baik. Setelah mereka merasa cukup menimba ilmu, maka mereka segera meninggalkannya dan menjadi orang yang memilih jalan sesat dengan mempergunakan ilmu yang telah diwarisinya dari Ki Jayaraga. Karena itu, maka ia tentu akan dengan senang hati bekerja bersama kami, untuk mencari keseimbangan jiwa dari kekecewaannya itu, sebagaimana ia dengan bersungguh-sungguh telah menempa Glagah Putih menjadi seorang yang berilmu tinggi.“

“Kita akan berbicara dengan Ki Jayaraga itu,“ berkata Ki Mandaraka, “semua orang yang mungkin kita ajak berbicara tentang hal ini akan kita minta untuk bekerja bersama kami, sebelum pengaruh Panembahan Cahya Warastra memasuki seluruh Tanah ini.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk, katanya, “Ternyata Kecruk Putih seorang yang bernalar tajam. Ia tidak menempuh cara sebagaimana pernah ditempuh oleh orang-orang lain sebelumnya. Sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Nagaraga yang langsung mengambil langkah sendiri. Jika mereka berhasil, maka mereka memang akan mendapat tempat yang sangat baik di sisi Panembahan Madiun, atau sebaliknya justru akan dimusnahkan. Tetapi Kecruk Putih berhasil mendapatkan tempat lebih dahulu, baru kemudian bertindak dengan sangat berhati-hati, dan dengan cara yang tidak terlalu kasar.“

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Apakah Kiai ingat kepada Ki Waskita?“

“Tentu,“ jawab Kiai Gringsing, “aku akan selalu ingat kepada Ki Waskita.“

Tetapi Glagah Putih tidak berkata apa-apa lagi. Kiai Gringsing memang menunggu apa yang akan dikatakan lagi oleh Glagah Putih, tetapi ternyata Glagah Putih hanya menunduk saja, sehingga Agung Sedayu menggamitnya sambil berdesis, “Bagaimana dengan Ki Waskita?“

“Aku hanya mengingat saja. Mungkin Ki Waskita termasuk orang yang dapat dihubungi dalam tugas ini,“ sahut Glagah Putih.

“Katakan kepada Ki Patih dan Guru,“ minta Agung Sedayu.

Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Bukankah aku sudah mengatakannya?“

Orang-orang tua itu hanya tersenyum saja. Sementara Agung Sedayu tertawa sambil berkata, “Kau nampaknya memang sedang bermimpi. Meskipun kau duduk di sini, tetapi angan-anganmu tidak bersamamu di sini.“

Kedua orang tua itulah yang kemudian termangu-mangu. Bahkan Kiai Gringsing telah bertanya, “Apa yang terjadi dengan Glagah Putih?“

“Tidak Kiai. Tidak ada apa-apa,“ jawab Glagah Putih dengan serta merta.

Tetapi Agung Sedayu tertawa. Sementara Glagah Putih menjadi gelisah.

Kiai Gringsing melihat sesuatu pada anak itu meskipun tidak jelas. Tetapi orang tua itu mengerti, bahwa agaknya Agung Sedayu sedang mengganggu Glagah Putih. Karena itu sambil tersenyum Kiai Gringsing justru bertanya, “Ada apa di rumah Ki Lurah Branjangan?“

“Tidak ada apa-apa Kiai,“ jawab Glagah Putih dengan serta merta.

“Apakah perlu aku yang mengantarkan?“ bertanya Kiai Gringsing.

Agung Sedayu tertawa, sementara Glagah Putih justru makin gelisah. Tetapi ia yakin, bahwa Kiai Gringsing masih belum tahu persoalannya.

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “Jika persoalannya memang masih harus dirahasiakan, aku tidak akan memaksa untuk memecahkan rahasia itu.“

“Tidak ada apa-apa Kiai. Agaknya Kakang Agung Sedayu-lah yang menjadi kebingungan,“ jawab Glagah Putih.

Ki Mandaraka pun ikut tertawa. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang berkata, “Baiklah. Nampaknya kita telah berkisar. Semula kita berbicara tentang Ki Waskita.“

“Kakang yang telah menyesatkan pembicaraan ini,“ desis Glagah Putih.

Yang lain pun tertawa. Sementara itu Kiai Gringsing menyahut, “Ya. Kita sedang berbicara tentang Ki Waskita. Nampaknya kita dapat menghubunginya. Ki Waskita tentu tidak berkeberatan, meskipun umurnya kurang lebih juga setua aku.”

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya sambil tersenyum, “Kita akan menghimpun orang-orang tua. Tentu menyenangkan untuk bercerita tentang masa lampau. Nampaknya akan menjadi sekelompok orang yang berangan-angan dan bermimpi tentang kenangan yang bermacam-macam. Tetapi bukan berarti bahwa kita tidak akan dapat berbuat apa-apa.“

“Tetapi kita akan menyertakan anak-anak muda, meskipun hanya satu dua,“ desis Kiai Gringsing.

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Namun agaknya malam menjadi semakin malam, sehingga Ki Mandaraka pun kemudian telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat di bilik yang sudah disediakan bagi mereka.

Malam itu rasa-rasanya sangat panjang bagi Glagah Putih. Rasa-rasanya ia ingin segera keluar dari dalam biliknya, berbenah diri dan pergi ke rumah Ki Lurah Branjangan. Namun agaknya Agung Sedayu masih saja mengganggunya.

Namun akhirnya, terdengar juga kokok ayam menjelang dini hari. Glagah Putih yang terbangun oleh kokok ayam itu, rasa-rasanya hanya sempat tertidur tidak cukup panjang. Apalagi dibanding dengan seluruh malam.

Ketika Agung Sedayu dan Kiai Gringsing bangkit dari pembaringannya menjelang pagi, Glagah Putih ternyata telah mandi dan berbenah diri.

“Bukan main,“ desis Agung Sedayu, “kau rajin sekali hari ini. Kau bangun pagi-pagi sekali, dan nampaknya kau telah mandi dan berpakaian sangat rapi.“

“Bukankah sudah menjadi kebiasaanku bangun pagi-pagi?“ justru Glagah Putih bertanya.

“Tetapi tidak sepagi ini,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab.

Agung Sedayu pun tidak mengganggunya lagi. lapun telah pergi pula ke pakiwan. Baru yang terakhir adalah Kiai Gringsing.

Ketika mereka berkumpul di dalam biliknya, maka Kiai Gringsing pun bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah kau akan meneruskan perjalanan kalian ke Tanah Perdikan hari ini? Nampaknya kau akan membawa bahan pembicaraan dengan Ki Jayaraga sebagaimana dimaksudkan oleh Ki Patih Mandaraka. Kemudian berusaha untuk bertemu dengan Ki Waskita. Meskipun seandainya orang-orang Tanah Perdikan belum pernah datang ke rumahnya, tetapi kalian tentu akan dapat mencarinya.”

“Tidak terlalu sulit untuk menemuinya Guru,“ jawab Agung Sedayu, “namun apakah aku akan mohon orang-orang tua itu untuk menemui Guru di Jati Anom atau di Istana Kepatihan ini, atau dimana?“

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku sudah terlanjur meninggalkan Jati Anom. Baiklah, aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Sudah agak lama aku tidak menyeberang Kali Praga.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Tetapi bagaimana dengan perjalanan itu bagi Guru?“

“Tidak apa-apa. Bukankah aku dan beberapa orang tua akan mengemban tugas yang berat?“ sahut Kiai Gringsing.

“Tetapi Guru tidak akan melaksanakannya sendiri,“ berkata Agung Sejdayu, “sebagaimana orang yang disebut Kecruk Putih itu juga tidak datang langsung menemui Kiai di padepokan Jati Anom.“

“Tetapi perjalanan ke Tanah Perdikan bukan perjalanan yang berat. Rasa-rasanya akan membuat tubuhku menjadi segar, jika aku sempat menyusuri bulak-bulak panjang di kaki pegunungan Menoreh,“ desis Kiai Gringsing. Lalu katanya pula, “Menyenangkan sekali menunggang rakit menyeberangi Kali Praga. Apalagi jika airnya sedikit naik.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Segala sesuatunya terserah kepada Guru.”

Tetapi Glagah Putih telah menjadi gelisah. la berjanji untuk singgah di rumah Ki Lurah. Jika diijinkan, cucu Ki Lurah akan pergi juga ke Tanah Perdikan untuk berguru pada Sekar Mirah.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing pun berkata kepada Agung Sedayu, “Tetapi aku masih ingin berbicara lagi dengan Ki Mandaraka.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih menjadi semakin gelisah.

Ternyata Kiai Gringsing melihat kegelisahan Glagah Putih. Bahkan nampak setitik keringat mengembun di kening. Karena itu maka orang tua itu pun bertanya, “Glagah Putih. Rasa-rasanya aku masih kedinginan. Tetapi kau sudah mulai berkeringat. Kenapa?“

Glagah Putih memang menjadi bingung mendapat pertanyaan itu. Namun Agung Sedayu pun telah berkata, “Sebaiknya kau katakan dengan berterus terang Glagah Putih, agar Kiai Gringsing dapat memperhitungkan persoalanmu itu.“

“Bukan persoalanku saja. Tetapi juga persoalan Kakang,“ sahut Glagah Putih.

“Baiklah. Persoalanmu dan persoalanku. Tetapi kau wajib mengatakannya kepada Kiai Gringsing,“ berkaia Agung Sedayu, “dengan demikian persoalannya menjadi jelas.“

Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Kiai Gringsing sambil tersenyum bertanya, “Kakakmu menganggap bahwa kau sudah dewasa sepenuhnya, sehingga kau harus dapat menyatakan isi hatimu. Apalagi menanggapi persoalan-persoalan yang penting. Dengan demikian maka kau tidak akan tergantung kepada orang lain.“

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Namun kemudian iapun berkata, “Kiai. Ketika kami berangkat dari Tanah Perdikan, kami menempuh perjalanan bersama dengan Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah minta agar di saat kami kembali, kami singgah ke rumahnya.“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Hanya persoalan itu? Jika hanya kesediaan singgah di rumah Ki Lurah saja, kenapa kau menjadi begitu gelisah?“

Keringat yang memang sudah mengembun di kening Glagah Putih karena kegelisahannya, telah menjadi semakin banyak. Bahkan punggung bajunya pun telah menjadi basah.

“Apakah ada persoalan lain yang perlu kau selesaikan dengan Ki Lurah selain sekedar singgah?“ bertanya Kiai Gringsing.

Glagah Putih termangu-mangu. Sekilas dipandanginya wajah Agung Sedayu. Namun Glagah Putih menjadi semakin gelisah ketika ia melihat Agung Sedayu justru tersenyum.

“Kau harus berterus terang,“ berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih beringsut sejengkal. Katanya, “Kiai, sebenarnyalah cucu Ki Lurah Branjangan ingin ikut ke Tanah Perdikan jika diijinkan oleh ayah dan ibunya. Cucu Ki Lurah Branjangan ingin belajar olah kanuragan pada Mbokayu Sekar Mirah.”

“Cucu Ki Lurah?“ ulang Kiai Gringsing.

“Ya Kiai,“ jawab Glagah Putih sambil menundukkan wajahnya.

“Kenapa belajar pada Mbokayumu Sekar Mirah> Tidak pada kakakmu Agung Sedayu saja?“ bertanya Kiai Gringsing.

Glagah Putih menjadi semakin bingung. Namun karena Agung Sedayu tidak mau menolongnya, akhirnya Glagah Putih itu berkata, “Cucu Ki Lurah adalah seorang gadis.“

“O,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun akhirnya tersenyum pula sambil berkata, “Itulah agaknya yang telah membuatmu gelisah. Jika demikian, pergilah ke rumah Ki Lurah. Bertanyalah kepada cucu Ki Lurah itu, apakah ia akan pergi ke Tanah Perdikan atau tidak.“ Glagah Putih menunduk semakin dalam. Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Biarlah aku mengantarkannya Guru. Sementara itu Guru dapat berbincang dengan Ki Patih Mandaraka tentang rencana Guru pergi ke Tanah Perdikan.”

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “akan lebih baik jika kau bawa Ki Lurah itu kemari. Kita dapat berbicara lebih panjang. Bukan hanya cucu gadisnya itu, tetapi juga tentang banyak hal.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil tertawa. Katanya, “Baik Guru. Aku akan mengajak Ki Lurah untuk datang kemari.“

Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah minta diri kepada Ki Patih untuk bersama-sama pergi ke rumah Ki Lurah Branjangan.

“Masih sepagi ini?“ bertanya Ki Mandaraka.

“Jika tidak bersamaan, maka Guru akan minta Ki Lurah datang kemari,“ berkata Agung Sedayu.

“Bagus,“ berkata Ki Patih Mandaraka, “jika Ki Lurah tidak berkeberatan, itu lebih baik.“ Namun Ki Patih berkata selanjutnya. “Tetapi jangan terlalu lama. Juru masak sudah menyiapkan makan bagi kita semua. Makan pagi. Ingat, jangan makan di tempat lain.“

Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, “Baik Ki Patih. Kami mohon diri. Mumpung masih pagi.”

Bersama Glagah Putih, Agung Sedayu telah pergi ke rumah Ki Lurah Branjangan. Agar perjalanan mereka lebih cepat, meskipun jaraknya tidak terlalu jauh, mereka telah menempuhnya berkuda.

Kedatangan mereka di rumah Ki Lurah telah disambut dengan gembira. Mereka segera dipersilahkan naik ke pendapa setelah seorang pembantu di rumah Ki Lurah menerima kuda-kuda mereka.

“Pagi-pagi sekali?“ berkata Ki Lurah, “kalian tentu berangkat dari Jati Anom dini hari.“

“Kami tidak datang dari Jati Anom Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu, “semalam kami sudah bermalam di sini.“

“Dimana?“ bertanya Ki Lurah, “Kenapa lidak bermalam di sini saja?“

“Aku sudah mengajaknya. Tetapi Kakang Agung Sedayu berkeberatan,“ sahut Glagah Putih.

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Kami bermalam di rumah Ki Patih Mandaraka.“

Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia telah mengulang, “Di rumah Ki Patih Mandaraka?”

“Ya Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu, “kami datang kemarin sore.“

“Kenapa kalian tidak langsung kemari?“ bertanya Ki Lurah pula.

“Kami menempuh perjalanan bersama Kiai Gringsing,“ berkata Agung Sedayu.

“Kiai Gringsing? Kenapa Kiai Gringsing tidak kalian ajak kemari?“ bertanya Ki Lurah pula.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Justru Kiai Giringsing dan Ki Patih Mandaraka minta Ki Lurah datang ke Kepatihan.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. la tidak dapat bertanya kenapa bukan Ki Patih yang datang ke rumahnya.

Namun demikian Ki Lurah itu berkata, “Jika demikian aku akan pergi ke Kepatihan. Tetapi sudah tentu nanti siang. Kalian akan berada di rumahku sampai lewat tengah hari. Setelah aku menghadap di Kepatihan, maka kalian harus mengantarkan aku pulang.“

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Aku akan mengantar Ki Lurah pulang. Tetapi maaf Ki Lurah, Ki Patih Mandaraka minta Ki Lurah datang pagi ini. Selain Kiai Gringsing sudah lama tidak bertemu dengan Ki Lurah, Ki Patih pun ingin berbicara dengan Ki Lurah.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kalian tidak singgah di rumahku?“

“Bukankah kami sudah singgah sekarang ini Ki Lurah?“ jawab Agung Sedayu.

“Tidak. Kalian tidak singgah di rumahku. Kalian datang sekedar memanggil aku untuk menghadap ke Kepatihan,“ berkata Ki Lurah.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Baiklah Ki Lurah. Nanti kami akan singgah di rumah Ki Lurah, bersama-sama Ki Lurah kembali dari Kepatihan.“

Ki Lurahpun tersenyum pula. Katanya, “Baiklah. Sekarang aku akan berbenah dulu.“

Ketika Ki Lurah masuk, maka Glagah Putih masih saja nampak gelisah. Ia seakan-akan mencari sesuatu di halaman rumah Ki Lurah yang termasuk besar itu. Sekali-sekali dipandanginya seketheng kiri dan kanan. Kemudian pandangannya merayap ke pintu gandok sebelah menyebelah. Namun yang dicarinya tidak juga nampak. Apalagi keluar dari pintu pringgitan.

“Kau cari apa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Jadi kita datang ke rumah ini hanya untuk memanggil Ki Lurah Branjangan?“ bertanya Glagah Putih.

“Ya. Nanti, jika Ki Lurah pulang dari Kepatihan, kita akan menyertainya lagi untuk berada di rumah ini beberapa lama.“

“Tetapi, apakah kita begitu tergesa-gesa sekarang ini?“ bertanya Glagah Putih.

“Kau dengar sendiri pesan Ki Patih Mandaraka?“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih termangu-mangu. Sejenak ia ragu-ragu, namun kemudian ia bertanya, “Tetapi bukankah yang akan berbincang dengan Ki Patih hanyalah orang-orang tua dan Kakang Agung Sedayu saja?“

“Aku tahu maksudmu,“ sahut Agung Sedayu, “karena kau merasa tidak perlu ikut berbincang, maka kau akan berada di rumah ini.“

Glagah Putih tidak menjawab. Namun kepalanya justru telah tertunduk dalam-dalam.

Sementara Ki Lurah Branjangan pun telah siap pula. Namun ia masih mempersilahkan kedua orang tamunya duduk. Sebentar kemudian seorang pembantu telah menghidangkan minuman hangat.

“Silahkan. Meskipun hanya minum. Jika kalian tidak tergesa-gesa, kami dapat menyiapkan suguhan yang lain,“ berkata ki Lurah Branjangan.

“Terima kasih Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu, “nanti, pada saatnya, kami akan berada di sini lebih lama. Tergantung kepada pembicaraan Ki Lurah dengan Guru dan Ki Mandaraka.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Sementara itu, sesudah kedua orang itu menghabiskan isi mangkuk mereka, maka Ki Lurah pun berkata, “Baiklah. Kita dapat berangkat sekarang. Karena kalian berkuda, maka akupun akan berkuda pula, supaya aku tidak harus berlari-lari mengikuti derap kuda kalian.“

Agung Sedayu tertawa. Tetapi Glagah Putih masih saja termangu-mangu. la belum melihat orang yang dicarinya. Ternyata Agung Sedayu pun menjadi kasihan juga kepadanya. Agaknya Glagah Putih tidak dapat bertanya kepada Ki Lurah Branjangan. Karena itu, maka Agung Sedayu-lah yang bertanya, “Ki Lurah, nampaknya begitu sepi. Dimanakah cucu-cucu Ki Lurah itu“

Ki Lurah tersenyum sambil menjawab, “Mereka telah kembali ke rumah orang tua mereka.“

“O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “jadi mereka tidak berada di sini?“

“Orang tua mereka memang mulai memikirkan perkembangan anak-anak mereka. Keduanya memang perlu berguru untuk meningkatkan bukan saja kemainpuan olah kanuragan, tetapi juga ilmu dan pengetahuan,“ berkata Ki Lurah. “Karena itu, maka orang tua mereka menghendaki seorang guru yang mampu mengajari anak-anak mereka dalam berbagai macam pengetahuan itu.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih menjadi sangat kecewa atas keputusan itu. Karena dengan demikian agaknya cucu Ki Lurah itu tidak akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Glagah Putih tidak dapat bertanya tentang cucu Ki Lurah Branjangan itu, sementara Agung Sedayu tidak akan dapat mengatakan bahwa di Tanah Perdikan Menoreh, gadis itu akan dapat juga mempelajari berbagai macam pengetahuan. Bahkan Agung Sedayu memiliki pengetahuan tentang pertanian dan sedikit tentang sastra, tentang pemerintahan dan tentang perang, serta tentang kehidupan. Di samping tentang olah kanuragan .

Namun Agung Sedayu pun kemudian menyadari bahwa gadis itu sejak semula tidak akan berguru kepadanya, tetapi kepada Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah juga memiliki beberapa pengetahuan lain selain olah kanuragan, tetapi yang dimaksud Ki Lurah Branjangan tentu seorang yang berusia separuh baya, bijaksana dan dipenuhi dengan pengalaman hidup, serta terbiasa menguraikan perbedaan antara baik dan buruk.

“Agaknya orang-orang seperti Kiai Gringsing itulah yang dimaksud,“ berkata Agung Sedayu di dalam hati “sedangkan Ki Jayaraga pun agaknya kurang memenuhi, syarat karena ia pernah mengalami kegagalan mendidik murid-muridnya.“

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka bertiga telah turun dari pendapa, menerima kuda mereka masing-masing dan meninggalkan halaman rumah itu menuju ke Kepatihan.

Di sepanjang jalan, rasa-rasanya Glagah Putih ingin bertanya, apakah Mbokayunya Sekar Mirah kurang memenuhi syarat? Tetapi Glagah Putih tidak pernah dapat mengucapkannya. Bahkan kemudian Ki Lurah Branjangan itu sendiri-lah yang berbicara kesana-kemari sampai kepada kedua cucunya itu.

“Kedua orang tuanya tidak ingin melepaskan anak-anaknya berguru di satu tempat. Mereka berniat untuk mengundang seorang guru yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi juga bijaksana serta mengerti unggah-ungguh serta paugeran-paugeran di lingkungan istana,“ berkata Ki Lurah Branjangan. Namun kemudian ia berdesah seperti kepada diri sendiri, “Tetapi aku tidak tahu, dimana mereka akan mendapatkan orang seperti itu, dan dengan senang hati bersedia mendidik keduanya di rumah mereka.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak menyahut. Namun mereka pun menangkap kesan bahwa Ki Lurah Branjangan mempunyai sikap yang berbeda dengan sikap kedua orang tua kedua cucunya itu.

Namun Ki Lurah Branjangan juga mengatakan, “Tetapi aku dapat mengerti sikap itu. Kedua anak itu sudah terlanjur manja, sehingga kedua orang tuanya tidak sampai hati rasa-rasanya menjauhkan mereka dari rumahnya, dan tinggal di tempat yang mungkin lebih buruk dari keadaan di rumahnya. Apalagi jika gurunya bersikap keras, sehingga kedua anak itu diperlakukan dengan keras dan bahkan kasar. Kedua orang tuanya menghendaki, bahwa segala peraturan untuk mendidik kedua anak itu dibuat oleh orang tua mereka, bukan oleh guru yang bakal menuntun mereka.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Mereka tidak dapat ikut berbicara tentang sikap anak dan menantu Ki Lurah Branjangan itu. Sehingga karena itu, maka mereka menjadi lebih banyak mendengarkan saja kata-kata yang mengalir dari sela-sela bibir Ki Lurah Branjangan.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian mereka telah mendekati Kepatihan. Dengan nada rendah Ki Lurah Branjangan berdesis, “Apakah memang ada keperluan penting, atau karena Kiai Gringsing ingin bertemu dengan aku?“

“Bukan hanya karena Guru ingin bertemu dengan Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu, “jika demikian maka Guru tentu akan datang ke rumah Ki Lurah, karena Guru tentu merasa wajar jika Guru-lah yang singgah.“

“Bukan maksudku,“ sahut Ki Lurah dengan serta merta, “aku merasa senang untuk dapat berbicara langsung dengan Kiai Gringsing dan Ki Patih Mandaraka.“

“Sebenarnyalah ada persoalan yang memang sebaiknya dibicarakan dengan Guru dan Ki Patih Mandaraka,“ berkata Agung sedayu kemudian.

“Tentang perkembangan keadaan sekarang?“ bertanya Ki Lurah.

“Ya Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Sudah agak lama ia beristirahat dari tugas-tugas keprajuritan. Bahkan rasa-rasanya ia sudah dilupakan oleh para pemimpin dari angkatan sesudahnya. Namun tiba-tiba ia telah dipanggil menghadap ke Kepatihan. Tentu karena pendapat Kiai Gringsing atau bahkan Agung Sedayu. Namun bagaimanapun juga, Ki Lurah memang menjadi sedikit berdebar-debar. Apalagi yang harus dilakukannya, atau bahkan ia harus terlibat langsung dalam gejolak yang sedang terjadi.

Ketika ketiganya memasuki halaman Kepatihan, maka ketiganya pun telah meloncat turun dari kuda-kuda mereka, menaruh kendali kuda-kuda itu pada patok-patok yang sudah disediakan. Kemudian menunggu seorang petugas menyampaikan kedatangan mereka kepada Ki Patih Mandaraka lewat Pelayan Dalam Kepatihan.

Ketiganya pun kemudian telah dipersilahkan masuk ke ruang khusus yang dipergunakan oleh Ki Mandaraka untuk menerima tamu-tamunya yang terdekat.

Beberapa saat mereka sempat saling mempertanyakan keselamatan masing-masing. Meskipun Ki Lurah tinggal juga di kota yang sama dengan Ki Patih Mandaraka, namun ternyata mereka sudah cukup lama tidak bertemu.

“Kita tenggelam dalam kesibukan kita masing-masing,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

“Tetapi kesibukan lain Ki Patih. Aku sibuk dengan cucu-cucuku,“ jawab Ki Lurah Branjangan.

Ki Mandaraka tertawa. Lalu katanya, “Nah, sekarang Ki Lurah akan menghadapi kesibukan yang lain. Kita akan berbicara tentang sebuah permainan yang barangkali menarik.“

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Kiai Gringsing yang tersenyum. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia bertanya, “Permainan apa Ki Mandaraka?”

“Kiai Gringsing membawa sejenis permainan yang menarik,“ berkata Ki Mandaraka, “agaknya Ki Lurah akan dengan senang hati ikut bermain.“ Lalu katanya kepada Kiai Gringsing, “Barangkali Kiai dapat menjelaskan kepada Ki Lurah?“

“Kenapa aku?“ bertanya Kiai Gringsing, “Ki Mandaraka-lah yang sudah menguasai permainan itu. Sebaiknya Ki Mandaraka sajalah yang menjelaskan persoalannya.“

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Atau aku saja yang memilih jenis permainannya?“

Ki Mandaraka dan Kiai Gringsingpun tertawa. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat tersenyum pula melihat orang-orang tua itu berkelakar. Betapa pentingnya masalah yang mereka hadapi, nampaknya mereka masih sempat untuk bergurau di saat-saat mereka berusaha memecahkan tugas-tugas yang telah dibebankan di pundak mereka.

Namun sejenak kemudian maka Ki Mandaraka itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan bercerita tentang jenis permainan ini. Permainan yang memerlukan ketekunan dan ketabahan hati.“

Ki Lurah pun mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Mandaraka mulai menceritakan tentang perkembangan hubungan antara Madiun dan Mataram.

“Kiai Gringsing telah berhasil menemui Panembahan Mas di Madiun,“ berkata Ki Mandaraka kemudian.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang ikut membuka Alas Mentaok, serta membangun Mataram dari batu yang pertama kali diletakkan, maka iapun merasakan keberatan yang sangat dari Panembahan Senapati untuk menyerahkan kembali segala pusaka pendukung kedudukan Panembahan Senapati di Mataram ke Pajang. dan selanjutnya memberikan hak kepada Panembahan Madiun untuk menentukan siapa yang akan berkuasa di Pajang. Karena itu, jika Panembahan Madiun tidak memperlunak tuntutannya, maka hubungan antara Mataram dan Madiun tidak akan dapat diperbaiki lagi.

Selanjutnya, Ki Mandaraka pun telah berbicara tentang seorang lagi yang menyebut dirinya Panembahan. Katanya, “Utusannya pernah datang menemui Kiai Gringsing di padepokannya, dan sekali lagi di perjalanannya kemari. Tiga orang telah menemuinya di Kali Opak.“

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya, “Jadi, Ki Mandaraka dan Kiai Gringsing ingin ikut dalam permainan bersama Panembahan itu?“

“Ya,“ jawab Ki Mandaraka, “Panembahan Cahya Warastra itu ternyata cukup berbahaya. Karena itu, di samping kekuatan prajurit, maka kekuatan Panembahan itu pun harus dilawan secara khusus.“

Ki Lurah Branjangan menyadari pentingnya tugas yang disebut oleh Ki Lurah sebagai permainan yang akan dilakukan oleh orang-orang tua itu.

“Nah Ki Lurah,“ berkata Ki Mandaraka, “kami bermaksud untuk melibatkan Ki Lurah dalam permainan ini. Sudah tentu kita tidak akan berkeliaran kemana-mana. Tetapi setidak-tidaknya ada sekelompok pemikir untuk mengatasi persoalan yang timbul karena hadirnya seorang Panembahan baru di Madiun.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menjalankan segala perintah Ki Mandaraka.“

“Terima kasih Ki Lurah. Tetapi sudah tentu susunan dari kelompok yang kita bentuk ini berbeda dengan susunan tataran kepemimpinan keprajuritan. Di sini kita merupakan sekelompok orang yang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan hadirnya Panembahan Cahya Warastra itu. Karena itu, yang seorang tidak akan memerintah yang lain,“ berkata Ki Mandaraka.

“Tetapi Ki Mandaraka telah memerintahkan aku untuk berada di dalam kelompok itu,“ jawab Ki Lurah.

Ki Mandaraka tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ki Lurah benar.“

“Namun Ki Patih,“ berkata Ki Lurah kemudian, “Kita dapat saja menyusun sekelompok orang yang khusus menghadapi arus serangan dengan cara khusus dari Panembahan Cahya Warastra. Namun bagaimana dengan rencana Ki Mandaraka dan Panembahan Senapati atas Tanah Perdikan? Ki Panji nampaknya sudah mempersiapkan segala-galanya.”

“Satu keadaan yang lebih khusus lagi,“ jawab Ki Patih, “sudah tentu bahwa hal itu akan diteruskan. Bahkan lebih cepat lebih baik. Namun aku akan berbicara lagi dengan Panembahan, agar segala sesuatunya dapat dipercepat.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Kedua tugas itu memang dapat dibedakan. Tetapi bagaimana dengan Angger Agung Sedayu dan Glagah Putih, yang tentu akan terlibat pada keduanya, justru karena Angger Agung Sedayu adalah murid Kiai Gringsing?“

“Tentu dapat diatur sebaik-baiknya,“ berkata Ki Patih Mandaraka, “perlawanan atas serangan yang dilakukan oleh Panembahan Cahya Warastra itu pun datangnya tidak mengalir seperti banjir. Perlahan-lahan saja, satu-satu. Dengan demikian kita akan dapat mengatur perlawanan yang memadai untuk serangan-serangan itu.“

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Meskipun ia sudah termasuk tua pula, tetapi sebagai bekas seorang Senapati, maka hatinya masih tetap tegar menghadapi tugas-tugas apapun juga.

Namun dalam pada itu Ki Mandaraka pun berkata pula, “Agung Sedayu akan menghubungi Ki Waskita.“

Ki Lurah mengangguk-angguk sambil bergumam, “Kumpulan orang-orang pikun.“

Kiai Gringsing dan Ki Mandaraka mengerutkan keningnya. Namun mereka pun kemudian tertawa. Dengan nada tinggi Ki Mandaraka berkata, “Memang menarik. Kumpulan orang-orang pikun.“

Ketiganya pun tertawa. Agung Sedayu dan Glagah Putih ikut pula tertawa.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Patih Mandaraka. Agaknya kita, anggota kumpulan orang-orang pikun ini harus bertemu pada suatu saat. Nah, dimana kita akan berkumpul? Kita mempunyai beberapa hal yang harus kita bicarakan bersama-sama.“

“Aku sependapat,“ jawab Ki Patih Mandaraka.

“Nah, kita harus menentukan, kapan kita akan bertemu dan berbicara,“ desis Kiai Gringsing.

“Semakin cepat, semakin baik,“ berkata Ki Patih.

“Jika demikian, Ki Patih sajalah yang menentukan kapan dan dimana kita dapat berbicara,“ sahut Kiai Gringsing.

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Bagaimana jika kita bertemu di padepokan Kiai Gringsing?“

“Bagus,“ jawab Kiai Gringsing. Namun kemudian iapun berdesis, “Bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh? Apakah dapat ditinggalkan sekaligus oleh Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih? Sementara itu, kita masih harus berbicara secara khusus tentang Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan.“

Ki Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Aku mengerti.” Bahkan tiba-tiba saja Ki Mandaraka berkata, “Bagaimana jika kita beramai-ramai pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan menikmati angin lereng pegunungan satu dua malam?“

Ki Lurah mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku tidak berkeberatan, meskipun aku baru saja berada di Tanah Perdikan itu beberapa hari.“

“O,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. “Ki Lurah berada di Tanah Perdikan beberapa hari?“

“Ya. Dengan dua orang cucu-cucuku,“ jawab Ki Lurah.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya kemudian, “Sekarang kita akan pergi lagi ke Tanah Perdikan tanpa seorang cucu pun.“

“Baiklah,“ berkata Ki Mandaraka, “kita akan bertemu di Tanah Perdikan Menoreh dua hari lagi. Kita memberi kesempatan Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk mendahului kita dan memberitahukan kepada Ki Gede Menoreh, agar Ki Gede tidak terkejut. Sementara itu Ki Lurah sempat menghubungi Ki Panji dengan tugas khususnya, sedangkan aku akan menghadap Panembahan Senapati untuk memberikan laporan tentang rencana ini. Dua hari lagi kita berada di tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Waskita. Untuk menemui Ki Waskita kita tugaskan pula Agung Sedayu dan Glagah Putih yang akan mendahului kembali ke Tanah Perdikan itu.“

Kiai Gringsing mengangguk sambil berdesis, “Jadi aku harus pergi juga ke Tanah Perdikan? Namun akupun telah berniat untuk pergi ke Tanah Perdikan. Rasa-rasanya aku sudah rindu naik rakit menyeberang Kali Praga. Adakah kebetulan bahwa Ki Mandaraka menentukan pertemuan sekelompok orang-orang pikun ini di Tanah Perdikan.“

Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih, “Ternyata bukan hanya aku yang akan pergi ke Tanah Perdikan.”

Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya, “Jika demikian, maka hari ini kami berdua akan mendahului pergi ke Tanah Perdikan, agar Ki Gede mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan segala sesuatunya.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun ketika ia berpaling kepada Glagah Putih, anak muda itu menunduk dalam-dalam. Agaknya ada sesuatu yang memberati hatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menuruti gejolak hati Glagah Putih saja, meskipun ia merasa iba juga akan kekecewaannya.

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “jika Ki Patih sependapat, biarlah Agung Sedayu dan Glagah Putih berangkat hari ini. Dengan demikian ada kesempatan bagi Ki Gede untuk bersiap-siap. Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat meneruskan perjalanan untuk menemui Ki Waskita.“

Ki Mandaraka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Aku tidak berkeberatan. Tetapi bagaimana dengan kedua orang yang akan pergi? Atau barangkali setelah lewat tengah hari setelah matahari turun? Bukankah Tanah Perdikan tidak terlalu jauh, sehingga mereka tidak akan kemalaman di perjalanan.“

“Tetapi aku kira lebih baik sekarang Ki Mandaraka,“ sahut Agung Sedayu, “sore nanti, kami dapat langsung ke rumah Ki Waskita.“

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Tetapi Ki Lurah pun yang berkata dengan nada tinggi, “Jika demikian, maka kalian tidak jadi mengantar aku pulang dan bermalam di rumahku, meskipun hanya semalam?“

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Lain kali aku tentu akan sering datang. Ki Lurah. Apalagi cucu Ki Lurah yang akan pergi ke Tanah Perdikan itu tidak akan berangkat bersama kami sekarang. Karena itu, maka kami mohon maaf, bahwa kali ini kami terpaksa membatalkan niat itu. Namun, karena sesuatu hal yang cukup penting untuk kami lakukan.“

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi lain kali aku akan menagih janji. Sementara itu, aku tidak akan berani menghambat tugas kalian sekarang.“

Kiai Gringsing dan Ki Mandaraka tertawa, semantara Agung Sedayu menyahut, “Terima kasih Ki Lurah. Dalam waktu singkat kami akan datang.“

Demikianlah, setelah makan bersama-sama sebagaimana diinginkan oleh Ki Mandaraka, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah memohon diri. Di halaman, Ki Mandaraka sempat bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah ikat pinggang itu masih ada padamu?“

Glagah Putih mengangkat ujung bajunya untuk menunjukkan ikat pinggang yang melilit di lambungnya, “Ikat pinggang itu akan tetap di sana di Mandaraka.“ Ki Mandaraka tertawa sambil menepuk bahu anak muda itu, “Kau adalah kawan yang paling akrab dari Raden Rangga. Nampaknya kau akan berkembang terus, dan pada suatu saat memiliki kemampuan setidak-tidaknya mengarah pada kemampuan Rangga yang tidak terbatas itu.“

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi teringat jelas olehnya bagaimana Raden Rangga pernah mengalirkan kekuatan yang khusus ke dalam dirinya, sehingga seakan-akan kekuatan itu telah mengangkat dan meningkatkan semua kemampuan yang ada pada dirinya. Juga kemampuan untuk menerima dan menyadap ilmu dari guru-gurunya sehingga dengan cepat ia dapat mewarisi setiap ilmu yang diajarkan kepadanya. Jika Agung Sedayu memiliki kemampuan untuk mengingat sesuatu yang dianggapnya penting dan dipahatkannya di dinding ingatannya yang seakan-akan tidak akan pernah terhapus, maka Glagah Putih memiliki kemampuan untuk menangkap pengetahuan yang diajarkan kepadanya dengan cepat. Jika orang lain memerlukan waktu sewindu untuk satu jenis ilmu yang perlu dipelajarinya, maka Glagah Putih hanya memerlukan waktu separuhnya. Bahkan jika anak itu sedikit memaksa diri, waktu itu masih dapat berkurang lagi.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah menuntun kuda-kuda mereka ke regol. Beberapa orang tua mengantar mereka dan melepas mereka mendahului perjalanan yang akan dilakukan ke Tanah Perdikan Menoreh.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu dan Glagah Putih berkuda tidak terlalu cepat menyusuri jalan-jalan kota. Namun demikian mereka lepas dari gerbang kota, maka kuda-kuda itu pun telah berlari semakin kencang. Keduanya memang segera ingin sampai ke Tanah Perdikan. Bagi Glagah Putih, perjalanannya dari Mataram itu telah dibebani oleh perasaan kecewa yang sulit untuk disembunyikan. Namun Agung Sedayu yang mengetahui perasaan sepupunya itu berusaha untuk menenangkannya. Katanya, “Percayalah, bahwa menantu Ki Lurah itu tidak akan menemukan seorang guru yang memenuhi semua keinginannya. Seorang guru yang memiliki ilmu yang tinggi. Bukan saja ilmu kanuragan, tetapi juga ilmu yang lain. Mampu mengajari mereka sebagaimana anak orang terpandang dengan segala macam unggah-ungguh. Membentuk mereka menjadi orang yang baik, berbudi luhur dan bersifat kesatria. Serta seribu macam pengetahuan. Kecuali jika anak Ki Lurah itu mampu menjerat Kiai Gringsing di rumahnya.“

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi kata-kata Agung Sedayu itu memang menimbulkan harapannya, bahwa cucu Ki Lurah itu akan dikirim ke Tanah Perdikan Menoreh untuk berguru kepada Sekar Mirah.

Namun jika menantu Ki Lurah itu mengenal Sekar Mirah, tentu ia menganggap bahwa Sekar Mirah tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukannya.

Tetapi nampaknya Agung Sedayu berusaha untuk mengalihkan angan-angan Glagah Putih. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya, “Bagaimana tanggapanmu tentang rencana orang-orang tua itu.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Apakah mereka bersungguh-sungguh atau sekedar ingin bersama-sama mengenang masa muda mereka?“

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Mereka bersungguh-sungguh. Mereka tidak sekedar ingin berkumpul dan menceritakan pengalaman mereka saja. Tetapi mereka akan merencanakan satu langkah paling baik untuk menghadapi cara yang ditempuh oleh Madiun, di samping cara-cara yang wajar dibidang keprajuritan.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika mereka benar-benar ingin menyusun satu rencana, aku kira mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, agaknya rencana mereka akan dapat ditrapkan.“

Agung Sedayu menjadi bersungguh-sungguh. Katanya, “Ya. Rencana mereka akan merupakan rencana yang paling baik. Tetapi sebenarnya harus diakui bahwa bahan untuk menyusun rencana itu sangat kurang. Siapa yang mengetahui, Panembahan Cahya Warastra itu telah bekerja bersama dengan siapa saja? Sasaran yang sebenarnya dari gerakannya, dan cara apa saja yang telah mereka persiapkan. Satu-satunya bahan yang ada pada kita adalah pengalaman kita di padepokan Jati Anom dan di pinggir Kali Opak. Menurut pendapatku, bahan itu jauh dari mencukupi.“

Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Tetapi ia masih bertanya, “Apakah tidak ada keterangan lain yang diberikan oleh Kiai Gringsing yang telah pergi ke Madiun itu?“

“Tidak tentang Panembahan Cahya Warastra,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih termangu-mangu. Namun Agung Sedayu pun berkata, “Tetapi dalam rencana itu agaknya akan disebut  pengumpulan bahan dari para petugas sandi yang ada di Madiun.“

Glagah Putih menyahut, “Bukankah Kakang sudah mengusulkan untuk meningkatkan kegiatan petugas sandi, agar semua gerak yang ada di Madiun dapat kita baca.“

“Ya. Agaknya Panembahan Senapati sependapat. Tetapi dengan menyadari, bahwa Madiun tentu akan melakukan kegiatan yang sama. Mengawasi perkembangan yang terjadi di Mataram. Bahkan agaknya apa yang akan dilakukan oleh orang-orang tua itu pun telah diamati pula oleh para petugas sandi dari Madiun.“

“Jika demikian, kenapa pertemuan itu harus dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya Glagah Putih, “Bukankah kehadiran pimpinan Pasukan Khusus yang baru itu menjadi perhatian para pemimpin di Mataram sendiri?”

“Karena itu ada baiknya Ki Panji dapat hadir dengan tugas khususnya. Perhatian pihak lain akan lebih banyak tertuju pada usaha pembentukan kepemimpinan yang bulat di Tanah Perdikan yang mencakup semua unsur yang ada. Mungkin ada perbedaan pendapat sehingga persoalannya akan menjadi agak tegang. Namun itu agaknya justru akan dapat mengahlikan perhatian dari berkumpulnya orang-orang tua di Tanah Perdikan ini.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu kuda-kuda mereka telah berpacu menuju ke penyeberangan di Kali Praga. Demikian keduanya mulai menginjak tepian, maka rasa-rasanya Kali Praga itu menjadi lebih lebar dari biasanya. Airnya yang berwarna lumpur itu menjadi lebih gelap lagi. Agaknya di bagian ujung dari Kali Praga hujan mulai turun.

Sementara itu, rakit masih saja hilir mudik membawa orang-orang yang menyeberang dari barat maupun dari arah timur. Ternyata penyeberangan itu masih terlalu ramai di saat-saat orang pergi dan pulang dari pasar. Orang-orang dari Tanah Perdikan dan sekitarnya di sebelah barat Kali Praga telah membawa hasil kerajinannya ke sebelah timur Kali Praga. Demikian sebaliknya. Bukan saja hasil kerajinan, tetapi juga hasil tanaman di sawah dan pategalan.

Kehadiran Agung Sedayu dan Glagah Putih sama sekali tidak menarik perhatian. Sebelum mereka, telah ada beberapa orang berkuda yang lewat dan menyeberang dengan rakit. Mereka adalah para pedagang hasil bumi yang cukup besar, para saudagar emas dan permata, juga para pedagang ternak. Bahkan beberapa orang yang memperjual-belikan besi-besi berharga dalam ujud pusaka. Wesi Aji yang mempunyai nilai khusus, karena tidak ada pola harga yang dapat dijadikan dasar. Pusaka lebih condong pada selera dan kepercayaan atas tuah yang tersimpan di dalam pusaka-pusaka itu, sehingga bagi mereka yang memiliki keahlian, perdagangan Wesi Aji serta berbatuan yang dianggap bernilai tinggi dapat mendatangkan keuntungan yang besar.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera menempatkan diri ke dalam urutan orang-orang yang akan menyeberang. Ternyata mereka tidak memerlukan waktu yang lama. Beberapa saat kemudian maka mereka telah mendapat giliran untuk naik ke atas rakit yang jumlahnya memang cukup banyak.

Di atas rakit Agung Sedayu dan Glagah Putih teryata sempat melihat seorang pedagang Wesi Aji menawarkan sebilah keris yang sangat mahal.

Agung Sedayu yang juga memandangi keris itu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Keris itu memang bagus sekali. Seakan-akan bercahaya. Pamornya bagaikan menyala.”

“Tetapi yang mahal adalah permata pada ukiran keris itu,“ sahut Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Selain daun keris itu memang bagus, permata di ukiran keris itu memang mahal. Apalagi pendoknya yang terbuat dari emas, kuning berkilat-kilat. Yang ditawari keris itu nampaknya seorang saudagar yang kaya pula. Agaknya ia tertarik pada keris itu.

“Datanglah ke rumah,“ berkata saudagar itu, “aku memang tertarik pada keris itu.“

“Baik,“ jawab pedagang Wesi Aji itu, “sepekan lagi aku akan datang ke rumahmu. Pada hari pasaran seperti ini. Karena sebelumnya aku harus pergi ke Bergota. Adikku akan kawin. Sementara keris dagangan ini masih dapat aku pakai, seolah-olah aku seorang yang kaya.“

“Ah kau,“ saudagar itu tertawa, “bukankah kau memang seorang yang kaya? Berapa harga sebilah keris? Berapa pula harga satu saja dari batu akikmu? Sementara itu sekarang saja kau membawa empat bilah keris dan sekantung akik, dan satu dua perhiasan dengan permata yang mahal. Jika dihitung uang, sebut, berapa jumlahnya. Belum lagi barang-barang yang kau tinggal di rumahmu.“

“Tetapi tentu bukan semuanya milikku sendiri,“ jawab pedagang Wesi Aji dan batu-batu berharga itu.

“Katakanlah separuh daripadanya,“ jawab saudagar itu, “bukankah itu sudah bernilai sangat mahal?“

Pedagang itu tersenyum. Katanya, “Semua milikku aku pertaruhkan pada barang-barang daganganku. Sawahku, ladang dan pategalanku, ternakku. Segalanya. Jika aku gagal berdagang, maka aku adalah orang yang paling miskin di dunia.”

Saudagar itu tertawa. Katanya, “Kita sama-sama orang yang berdagang. Aku mengerti bahwa Ki Sanak telah mempertaruhkan semua kekayaan Ki Sanak pada barang-barang dagangan. Jika Ki Sanak gagal, memang akibatnya dapat sangat buruk. Tetapi sebaliknya, keuntungan itu mengalir seltap saat ke kampil Ki Sanak, sehingga pada suatu saat Ki Sanak akan mempunyai sawah, lalang dan pategalan, ternak dan bahkan apa saja yang berlipat ganda.“

“Doakan saja Ki Sanak,“ sahut pedagang keris itu.

Keduanya pun terdiam sambil mengangguk-angguk. Agaknya mereka sepakat akan kebenaran kata-kata mereka sendiri. Ternyata mereka kemudian sempat juga merenunginya.

Namun Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat dua orang di sisi yang lain yang memperhatikan pedagang keris itu dengan kerut-merut di dahi. Agung Sedayu tidak begitu mengerti apakah niat kedua orang tua. Tetapi nampaknya kedua orang itu sangat tertarik kepada keris yang telah ditawarkan itu.

Agung Sedayu hanya menarik nafas saja. Di luar sadarnya ia telah berpaling ke arah lain. Namun pandangannya terbentur kepada dua orang yang lain lagi, yang dengan ketajaman penggraitanya Agung Sedayu dapat menduga, bahwa kedua orang itu mempunyai hubungan dengan dua orang yang lain.

Karena itu, maka Agung Sedayu telah berpaling dengan tidak menarik perhatian orang lain kepada orang yang membawa keris itu. Ternyata orang itu telah memandang kedua orang yang dilihatnya pertama, kemudian ke dua orang yang lain dengan isyarat pada sorot matanya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih pun telah menggamitnya.

“Ya,“ desis Agung Sedayu, “aku juga melihatnya.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian telah beringsut dan memandang ke arah lain. Kali Praga yang airnya agak lebih tinggi dari biasanya. Sebuah rakit yang menyeberang ke arah yang berlawanan, dan punggung pegunungan yang diselimuti oleh hutan lebat yang hijau.

Namun Glagah Putih sempat bertanya, “Apa yang dilakukan oleh orang-orang itu Kakang?”

“Memang agak menarik. Tentu bukan seorang pedagang Wesi Aji yang sebenarnya,“ berkata Agung Sedayu, “ternyata dua orang di ujung rakit dan dua orang di sebelah lain adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dengan mereka.“

“Ya. Aku juga melihat isyarat matanya,“ desis Glagah Putih, “tetapi apa maksudnya?“

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Yang pura-pura menginginkan keris itu tentu juga kawannya sendiri.“

“Ya. Nampaknya memang demikian,“ desis Glagah Putih tanpa berpaling kepada orang-orang itu. Sementara rakit yang mereka tumpangi bergerak perlahan-lahan menuju ke seberang, meskipun agak terseret oleh arus Kali Praga beberapa puluh langkah.

“Nampaknya keris itu merupakan satu pertanda. Dengan menarik keris itu, maka petugas-petugas lain yang belum saling mengenal akan dapat saling berhubungan. Atau jika mereka sudah saling mengenal sebelumnya, yang dilakukan oleh orang itu dengan menarik kerisnya adalah satu isyarat yang lain. Mungkin orang yang membawa keris itu telah menentukan langkah bagi orang-orangnya, sehingga iapun telah memberikan aba-aba dengan caranya,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Namun tiba-tiba ia berkata, “Agaknya kita memang harus berhati-hati.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Nalurinya memang menuntutnya agar ia menjadi berhati-hati. Namun ia bertanya juga kepada Agung Sedayu, “Apakah ada hubungannya dengan kita?“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Nampaknya memang tidak ada hubungan langsung. Tetapi dalam tugas yang kita emban sekarang ini, banyak kemungkinan dapat terjadi. Seperti yang aku usulkan kepada Panembahan Senapati, maka Madiun pun tentu banyak memasang orang di sini. Mungkin Panembahan Mas, tetapi juga mungkin Kecruk Putih yang begitu ingin disebut Panembahan itu.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Bahkan kemudian Glagah Putih berdesis, “Mungkin salah seorang di antara mereka melihat kita keluar dari istana Kepatihan, setelah kemarin ia melihat kita berada di istana Panembahan Senapati. Sehingga ia telah menghimpun kawan-kawannya untuk mengikuti kita.“

“Tepat,“ jawab Agung Sedayu, “orang yang menawarkan keris itu dapat menjadi isyarat bahwa langkah yang mereka ambil adalah langkah yang mereka anggap benar. Mungkin orang itu mengatakan kepada kawan-kawannya bahwa mereka harus bersiap mengawasi kita.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi mungkin ia memang benar-benar menawarkan kerisnya.“

Glagah Putih tersenyum. Diangkatnya wajahnya dan dipandanginya punggung pebukitan. Rakit mereka telah semakin menepi ke seberang.

Beberapa saat kemudian maka rakit itu pun telah merapat. Orang-orang yang naik rakit yang cukup besar itu pun berloncatan turun. Dua orang yang berada di ujung dan dua orang yang lain yang ada di bagian belakang rakit itu, serta pedagang keris dan saudagar yang ditawarinya itu pun berloncatan turun pula.

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak tergesa-gesa turun dari rakit. la menunggu ketika rakit itu hampir menjadi kosong sama sekali. Baru keduanya menuntun kudanya turun ke tepian, setelah memberikan upah yang seharusnya kepada tukang satang yang kebetulan berdiri di ujung.

Sambil membenahi pakaiannya, Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat melihat orang-orang yang melangkah di pasir tepian yang memang agak luas. Pedagang keris itu masih berjalan bersama saudagar yang ditawari kerisnya. Sementara itu dua orang yang ada di ujung rakit dan dua yang lain yang duduk di bagian belakang, berjalan melintas tepian tanpa berpaling, berjarak beberapa langkah.

“Marilah,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Glagah Putih mengangguk. la masih sempat melihat pedagang gula kelapa menaikkan keranjang-keranjang gula ke atas rakit untuk kembali menyeberang ke timur.

Ketika keduanya melangkah sambil menuntun kudanya di tepian, Glagah Putih bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, “Nampaknya saudagar-saudagar kaya itu tidak berkuda.“

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tentu satu hal yang menarik perhatian.“

Glagah Putih tidak menjawab.

Beberapa saat keduanya menuntun kuda mereka di tepian. Namun kemudian Agung Sedayu pun berkata, “Marilah. Kita mendahului mereka.“

Ternyata Glagah Putih sependapat. Iapun kemudian berkata, “Kita akan mendahului mereka.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih segera meloncat ke punggung kudanya. Keduanya pun segera meninggalkan tepian itu dan berpacu menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan.

Ternyata orang-orang yang ada di dalam rakit itu tidak banyak memperhatikan keduanya mendahului mereka. Keenam orang yang mendapat perhatian Agung Sedayu dan Glagah Putih itu hanya berpaling sekilas, sebagaimana seorang melihat orang lain yang sama sekali tidak menarik perhatian mereka.

Demikian keduanya naik ke jalan yang menuju langsung ke Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih berkata, “Ternyata mereka tidak memperhatikan kita sama sekali.“

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kita terlalu berprasangka.“

Keduanya pun bahkan tertawa. Di luar sadarnya keduanya pun berpaling ke arah mereka yang masih berjalan di tepian.

Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih yang sudah melepaskan segala macam prasangka itu kembali memperhatikan kedua orang yang berbincang tentang pusaka itu. Ternyata saudagar yang ditawari keris itu telah melepaskan seekor burung merpati, yang dengan serta merta telah naik ke udara dan terbang berputaran dengan sendaren yang bergaung di udara. Agung Sedayu dan Glagah Putih sama sekali tidak berhenti. Kudanya berlari terus meskipun tidak sekencang orang berpacu di arena pacuan kuda. Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah berada di bulak panjang menuju padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Namun keduanya masih mendengar gaung sendaren yang dipasang pada seekor merpati yang terbang berputaran semakin lama semakin tinggi. Dengan demikian maka suaranya terdengar dari jarak yang semakin jauh ke tengah-tengah bulak-bulak panjang di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan dari padukuhan-padukuhan yang tersembul di antara bulak-bulak panjang itu.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih masih saja meneruskan perjalanan. Bahkan keduanya sama sekali tidak berkisar dari jalan yang memang harus dilaluinya.

“Jika mereka adalah petugas sandi dari Madiun. maka ternyata Mataram telah kalah selangkah. Petugas sandi Mataram memang sudah ada di Madiun. Tetapi tentu belum mampu bekerja seperti orang-orang itu. Meskipun kita belum mampu memecahkan sandi mereka, namun rasa-rasanya kita tahu bahwa mereka akan banyak berhasil,“ desis Agung Sedayu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Nampaknya ia tidak sependapat dengan Agung Sedayu. Karena itu katanya, “Mereka memang lebih dahulu berbuat. Tetapi apakah hal itu menjamin kelebihan mereka? Jumlah dan langkah yang cepat tidak selalu mendatangkan hasil lebih besar dari yang lebih sedikit dan agak lambat mulai.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Kau benar Glagah Putih. Aku hanya mengatakan secara umum. Tetapi kemungkinan seperti yang kau katakan itu dapat saja terjadi. Mungkin petugas yang akan dikirim dari Mataram akan dapat bekerja lebih halus dan tidak sekasar yang dilakukan oleh orang-orang itu.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Karena itu, langkah mereka kadang-kadang sia-sia, meskipun lebih dahulu mereka lakukan. Sebagaimana juga dilakukan oleh Panembahan Cahya Warastra.“

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Kau mampu mengurai persoalan yang termasuk cukup penting Glagah Putih. Nampaknya kau juga berbakat menjadi petugas sandi.“

“Aku pernah melakukannya meskipun tugas itu tidak terlalu sulit, bersama Raden Rangga,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata bahwa persahabatannya dengan Raden Rangga telah banyak memberikan pengetahuan kepada Glagah Putih. Peningkatan alas kemampuannya yang bagaikan melonjak tinggi. Kemudian kepekaannya terhadap persoalan-persoalan dan kemampuannya memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya itu. Penalarannya bagaikan diasah menjadi lebih tajam. Demikian pula naluri dan panggraitanya.

Beberapa saat kemudian Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Diamatinya burung merpati yang terbang berputaran dengan sendaren di punggungnya, sehingga suara gaungnya masih saja melingkar-lingkar.

Glagah Putih pun untuk beberapa saat berdiam diri. Iapun memperhatikan burung yang berputaran itu.

“Tentu ada maksudnya,“ berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.

Beberapa padukuhan telah mereka lewati. Bahkan mereka telah bertemu dengan orang-orang yang telah mereka kenal dan menjawab beberapa pertanyaan. Namun setiap kali mereka berada di bulak panjang, dan apalagi ketika mereka mendekati hutan, maka mereka menjadi lebih berhati-hati.

Agung Sedayu memperlambat derap kudanya ketika ia melihat beberapa orang berdiri di pinggir hutan yang tidak terlalu jauh dari jalan yang mereka lalui. Hutan yang terbentang melebar sampai ke kaki pebukitan, dan bahkan kemudian memanjat naik ke lereng dan punggung bukit itu.

Glagah Putih kemudian telah berkuda di sisi Agung Sedayu. Dengan suara berat ia berkata, “Kita belum pernah mengenal mereka. Tentu bukan orang-orang Tanah Perdikan ini.“

“Nampaknya memang bukan,“ jawab Agung Sedayu, “mungkin ada hubungannya dengan sendaren pada burung merpati yang berputaran itu.“

Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian iapun berdesis, “Enam orang.“

Keduanya pun terdiam. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan orang-orang itu.

“Mereka ternyata membawa alat-alat untuk menebang kayu,“ berkata Glagah Putih.

“Ya. Tentu mereka berniat kurang baik dengan hutan itu,“ sahut Agung Sedayu.

Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun justru telah menarik kekang kudanya. Bahkan mereka pun kemudian telah berbelok meninggalkan jalan yang mereka lalui, menyusuri padang perdu yang sempit mendekati orang-orang itu.

“Hati-hati Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu, “aku mempunyai dugaan, bahwa ini sekedar satu jebakan.“

Glagah Putih ternyata sependapat, sehingga karena itu maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Bahkan Glagah Putih itu pun telah siap melakukan apa saja dalam kemampuan puncaknya jika ia harus dengan tiba-tiba menghadapi bahaya.

Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti beberapa langkah di hadapan orang-orang itu. Kemudian tanpa turun dari kudanya Agung Sedayu bertanya, “Ki Sanak, apakah yang kalian lakukan di sini?“

Keenam orang itu memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti. Seorang yang nampaknya tertua di antara mereka melangkah maju sambil bertanya, “Siapakah kalian?”

“Aku Agung Sedayu,“ jawab Agung Sedayu tanpa menyembunyikan dirinya, “aku salah seorang di antara orang-orang muda Tanah Perdikan Menoreh. Yang di belakangku ini adalah salah seorang di antara anak-anak mudanya.“

“Lalu apa maksudmu mendatangi kami,“ bertanya orang itu.

“Kamilah yang bertanya kepadamu,“ sahui Agung Sedayu, “siapakah kau, dan siapa pula kawan-kawanmu ini. Untuk apa kalian berada di sini?“

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya yang akan kami lakukan bukanlah urusanmu. Tetapi baiklah aku beritahukan, bahwa kami sekelompok orang yang tidak mempunyai tanah garapan, ingin membuka hutan di sini untuk kami jadikan sebuah padukuhan.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la sadar, bahwa orang-orang itu tentu sekedar membuat persoalan. Namun demikian ia masih harus melihat kebenarannya. Karena itu, maka katanya, “Ki Sanak. Tanah ini adalah tanah yang termasuk lingkungan Tanah Perdikan Menoreh.“

Orang-orang itu tiba-tiba saja tertawa. Yang tertua di antara mereka berkata, “Jangan mengigau orang muda. Tanah Perdikan Menoreh adalah tanah yang sudah ditangani dan digarap menjadi tanah persawahan dan pategalan. Tanah yang masih ditumbuhi hutan yang lebat di lereng bukit ini tentu bukan lingkungan Tanah Perdikan Menoreh. Siapapun berhak membuka hutan dan tinggal di dalamnya untuk membuka sebuah padukuhan. Jika padukuhan itu menjadi ramai, kami berhak menentukan, apakah kami akan menggabungkan diri dengan Tanah Perdikan ini atau kademangan yang lain di sebelah Tanah Perdikan, ini atau bahkan mohon pengakuan untuk berdiri sendiri. Jika bukan diwisuda menjadi sebuah kademangan, bahkan akan menjadi sebuah Tanah Perdikan baru di sini.“

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “aku tahu bahwa Ki Sanak mengerti bahwa yang Ki Sanak katakan itu tidak akan pernah dapat diujudkan. Apalagi di satu lingkungan yang sudah memiliki pemerintahan yang tertib dan diakui oleh tataran pemerintahan yang lebih tinggi tingkatnya. Karena itu, aku ingin tahu, apakah yang sebenarnya Ki Sanak maksudkan dengan langkah-langkah yang kalian lakukan itu? Sekedar berkelakar, atau satu usaha untung-untungan untuk mengisi waktu luang, atau Ki Sanak dengan sengaja menantang kekuatan di Tanah Perdikan Menoreh dengan cara yang aneh ini?“

Wajah orang tertua di antara mereka itupun menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Jadi kau menganggap bahwa kami sengaja membuat persoalan?“

“Ya Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu, “adalah mustahil bahwa Ki Sanak belum tahu paugeran untuk membuka hutan di lingkungan pemerintahan tertentu.“

“Apa bedanya dengan yang dilakukan oleh Panembahan Senapati atas Mentaok?“ tiba-tiba saja orang itu bertanya.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Persoalannya justru semakin jelas, bahwa tidak seorangpun dapat membuka hutan menurut kehendaknya sendiri. Panembahan Senapati tidak berani membuka Alas Mentaok sebelum dengan resmi Kangjeng Sultan Pajang menyerahkan Alas Mentaok itu kepada Ki Gede Pemanahan.“

“Tidak. Panembahan Senapati seharusnya tidak dapat membuka Alas Mentaok atas ijin Sultan Pajang,“ berkata orang itu.

“Jadi? Siapakah yang berhak memberikan ijin menurut pendapatmu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Alas Mentaok adalah tlatah Mangir,“ jawab orang itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Persoalannya ternyata tidak diduganya karena menyangkut Mangir. Namun Agung Sedayu pun kemudian berpendapat, bahwa orang-orang itu adalah petugas sandi dari Madiun yang sengaja ingin melibatkan pihak lain. Tetapi tentu bukan atas perintah Panembahan Mas. Yang licik seperti ini tentu hasil pikiran Panembahan Cahya Warastra itu.

Namun akhirnya Agung Sedayu berkata, “Ki Sanak. Apakah dari Kangjeng Sultan Pajang atau dari Mangir atau dari manapun, bukankah Ki Sanak juga mengakui, bahwa sebaiknya membuka hutan itu harus ada ijin? Jika Ki Sanak dapat menganggap Panembahan Senapati melakukan kesalahan, kenapa kau juga melakukannya? Bukankah itu juga satu kesengajaan untuk menimbulkan persoalan, atau bahkan satu tantangan bagi kekuasaan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh?“

Wajah orang itu menjadi tegang. Namun jawabnya, “Aku tidak peduli. Aku ingin membuka hutan ini. Jika kau menghalangi kami, maka kami akan menyingkirkanmu untuk selamanya.“ “Bukankah perselisihan ini yang kau kehendaki setelah kau mendapat isyarat dengan merpati yang memakai sendaren itu? Yang dilepaskan oleh orang-orang berakit dengan pertanda sebilah keris ligan? Aku memang mengagumi keris itu. Tentu keris yang sangat baik dan mahal,“ berkata Agung Sedayu.

Orang tertua di antara mereka yang berada di pinggir hutan itu menggeram. Katanya, “Kau jangan mengigau seperti itu. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Tetapi sebaiknya kau pergi saja. Katakan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa kami membuka hutan di sini tanpa menunggu ijinnya. Jika Ki Gede marah, biarlah ia menemui kami.“

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun jawabnya ternyata di luar dugaan. Bahkan Glagah Putih pun terkejut.

Dengan nada rendah Agung Sedayu berkata, “Baiklah. Aku akan menghadap Ki Gede dan memberikan laporan tentang rencana kalian membuka hutan di sini.“

Wajah orang-orang itu justru menjadi semakin tegang. Bahkan hampir di luar sadarnya beberapa orang di antara mereka berkata dengan serta merta, “Tunggu.“

Yang tertua di antara mereka pun berkata pula dengan tergesa-gesa, “Kau akan kemana?“

“Bukankah kau minta aku melaporkan hal ini kepada Ki Gede?“ jawab Agung Sedayu, “Aku akan melakukannya.“

“Pengecut. Jika kau memang salah seorang unsur pimpinan di Tanah Perdikan, maka kau harus berani mengambil tindakan,“ geram yang tertua di antara keenam orang itu.

“Tidak. Aku tidak akan mengambil tindakan sendiri. Biarlah Ki Gede yang menentukan, meskipun mungkin kami yang harus melaksanakan,“ jawab Agung Sedayu.

“Itu tidak perlu, pengecut!” orang itu berteriak, “Bukankah kau Agung Sedayu? Kau tentu berani mengambil tindakan sendiri tanpa persetujuan siapapun juga.“

“Itu tidak mungkin,“ jawab Agung Sedayu, “maaf, kami akan pergi.“

Orang-orang itu justru menjadi kebingungan sesaat. Glagah Putih pun sempat menjadi bingung pula. Meskipun kakaknya seorang yang sering ragu-ragu mengambil tindakan, telapi menghadapi orang-orang yang demikian, biasanya Agung Sedayu tidak akan begitu saja pergi. Sehingga dengan demikian Glagah Putih pun justru termangu-mangu di atas punggung kudanya.

Karena Glagah Putih kebingungan, maka Agung Sedayu pun berkata, “Marilah. Kita harus melaporkan kepada Ki Gede. Apapun yang diperintahkan oleh Ki Gede, kita akan melakukannya.“

Glagah Putih memang memerlukan penjelasan. Tetapi ia ingin mendapat penyelesaian di perjalanan saja. Karena itu, maka ia tidak bertanya.

Tetapi ketika kuda-kuda mereka mulai bergerak, keenam orang itu telah berlari-lari mengepung mereka. Pemimpin mereka itu pun berteriak, “Pengecut! Jangan pergi! Kami ingin membunuh kalian di sini.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah aku menuruti kehendak kalian?“

Yang tertua, yang menjadi pemimpin dari keenam orang itu pun menggeram, “Cukup. Aku tidak peduli tanggapan Ki Gede. Yang penting kami membunuh kalian berdua. Itu saja.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, “Nah, bukankah itu yang kau maksudkan? Kau sekedar mencari alasan untuk membunuh kami. Kenapa kalian tidak berterus terang?“

“Aku sudah berterus terang. Kalian harus mati di sini,“ geram orang itu.

“Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kau telah diyakini oleh kawan-kawanku, bahwa kau adalah orang terpenting di Tanah Perdikan ini. Tanpa kau Ki Gede tidak mempunyai arti apa-apa. Karena itu, maka kau-lah yang harus disingkirkan lebih dahulu. Kemudian Glagah Putih itu. Beruntunglah kami bahwa kau dan Glagah Putih bersama-sama ada di sini sekarang ini.“ berkata orang tertua itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia tidak sedang merenungi ancaman orang-orang itu. Tetapi ia merasa betapa tumpulnya tanggapannya atas sikap Agung Sedayu. Untunglah bahwa ia masih belum bertanya kenapa Agung Sedayu justru akan pergi meninggalkan orang-orang itu. Ternyata bahwa Agung Sedayu berhasil memancing sikap mereka yang sebenarnya, sehingga bukan Agung Sedayu-lah yang telah memaksa mereka untuk bertempur. Tetapi Agung Sedayu harus membela dirinya karena orang-orang itu memang akan membunuhnya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian telah meloncat turun dari kudanya. Glagah Putih pun telah melakukan hal yang sama. Iapun telah meloncat turun pula. Bahkan Glagah Putih telah mengambil kenbali kuda Agung Sedayu dan menambatkan bersama kudanya pada sebatang pohon di pinggir hutan itu.

Sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih yang begitu tenang dan meyakinkan itu telah membuat keenam orang itu harus mengakui, bahwa kedua orang itu memang berilmu sangat tinggi, sehingga mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah bertanya, “Siapakah sebenarnya kalian Ki Sanak?“

“Kami orang-orang Mangir,“ jawab yang tertua.

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku tidak percaya. Kami sering berhubungan dengan orang-orang Mangir dalam perdagangan hasil bumi, hasil kerajinan dan tenun. Tidak ada kesan sedikitpun yang terdapat pada kalian dengan sikap ramah orang-orang Mangir.“

“Di saat-saat berdagang kami memang orang-orang yang ramah. Kau tahu, bahwa jika dalam hubungan perdagangan kita tidak bersikap ramah, maka dagangan kita akan tidak laku. Tetapi dalam persoalan lain, kami dapat bersikap sedikit keras,“ berkata pemimpin sekelompok orang itu.

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Jangan menodai nama orang-orang Mangir. Aku tahu, kau berusaha untuk membuat persoalan antara Tanah Perdikan ini dengan Mangir. Tetapi tentu tidak semudah itu. Kami tidak terlalu bodoh untuk begitu saja menelan keterangan itu.“

“Itu terserah kepadamu,“ jawab orang itu, “tetapi kami sudah siap membunuhmu.“

“Kalian tentu orang-orang Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra. Dengan licik kau berusaha untuk mengobarkan persoalan di Mataram dan sekitarnya untuk melemahkan Mataram. Tetapi seharusnya kau bertindak lebih hati-hati. Kau dapat berbuat lebih halus sehingga tidak nampak niatmu yang sebenarnya. Dengan cara yang kasat itu, maka usahamu tidak akan menghasilkan apa-apa,“ berkata Agung Sedayu.

“Cukup,“ potong oiang itu, “siapapun kami, kalian berdua akan mati.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun rasa-rasanya keringatnya belum kering ketika itu harus bertempur di tepian Kali Opak, maka kini ia sudah harus menghadapi orang-orang yang akan membunuhnya pula.

Namun Agung Sedayu masih sempat bertanya, “Ki Sanak. Apakah kalian datang atas perintah Bango Lamatan atau Bandar Anom, atau langsung dari Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra?“

“Aku tidak mengenal nama-nama itu,“ jawab orang yang tertua di antara mereka.

Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berkata, “Kau terlalu cepat menjawab pertanyaanku. Karena itu, aku justru curiga bahwa kau begitu tergesa-gesa ingin ingkar, Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak berpikir ulang. Apakah untungnya Ki Sanak memancing perselisihan dengan aku? Aku bukan orang penting, sehingga terlalu berharga untuk mendapat perhatian secara khusus. Barangkali Ki Sanak lebih baik berbicara dengan Ki Gede atau dengan para pejabat di Mataram.“

“Aku tidak memerlukan siapapun. Aku datang untuk membunuh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Itu sudah cukup,“ jawab orang itu.

“Kau orang-orang aneh. Kau telah membuang terlalu banyak waktu untuk melakukan pekerjaan yang tidak berharga ini. Maksudku, karena aku tidak berharga, maka tugas kalian pun menjadi tidak berharga pula. Apalagi jika kalian kemudian mengalami kesulitan untuk melakukan tugas yang tidak berharga itu,“ berkata Agung Sedayu, yang dengan tergesa-gesa disambung, “bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Tetapi sudah tentu bahwa akupun akan berusaha untuk mempertahankan diri.“

Orang yang tertua di antara keenam orang itupun berkata dengan garang, “Persetan dengan kesombonganmu. Tetapi kau memang harus mati.“

Agung Sedayu merasa bahwa ia tidak akan dapat menghindarkan diri lagi dari benturan kekerasan. Namun sekali lagi ia ingin mendapat penjelasan, “Ki Sanak. Aku memang tidak akan mengelakkan diri dari kalian. Tetapi aku ingin mendapat penjelasan. Siapakah yang aku hadapi ini.“

“Penjelasanku sudah cukup banyak,“ jawab orang itu, “aku orang Mangir yang ingin meluaskan tanah persawahan kami yang menjadi semakin sempit, karena tingkah laku Panembahan Senapati di Mataram.“

“Jika demikian kenapa kau telah menimpakan persoalannya kepada Tanah Perdikan Menoreh. Kenapa kau tidak saja langsung berbuat demikian di Mataram?“ desak Agung Sedayu.

“Tanah Perdikan ini telah menjadi pengikut setia dari Panembahan Senapati. Bahkan orang-orang Tanah Perdikan ini rasa-rasanya telah menghambakan dirinya, tanpa sempat mempergunakan nalar budinya lagi,“ berkata orang itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Semakin sering kau sebut bahwa kau orang Mangir, aku menjadi semakin yakin, bahwa kau adalah bagian dari kegiatan Kecruk Putih yang lebih senang disebut Panembahan itu. Tetapi aku percaya bahwa kau bukan datang atas perintah Bango Lamatan atau Bandar Anom, karena orang-orang itu tentu baru saja kembali dari tugasnya dalam keadaan yang tidak diharapkan.”

“Cukup,“ potong orang yang tertua di antara mereka, “kau tidak usah banyak bicara. Menyerahlah.“

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun orang itu telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk menyerang.

Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lam. Bersama Glagah Putih maka iapun telah mempertahankan dirinya. Tetapi sejak benturan pertama, Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut. Orang-orang itu bukan orang-orang berilmu tinggi sebagaimana diduganya semula. Namun orang-orang itu ternyata adalah sekelompok orang yang sedikit memiliki bekal olah kanuragan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk beberapa saat justru berusaha untuk melayani saja orang-orang itu. Dengan berloncatan kian kemari, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih selalu luput dari gapaian ujung-ujung senjata mereka.

“Setan,“ geram orang tertua, “jangan berlari-lari saja.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih masih belum melawan dengan kemampuan yang melampaui tataran kemampuan orang-orang itu. Keduanya masih berusaha untuk mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun akhirnya Agung Sedayu tidak mau berteka-teki lebih lama lagi. Dengan isyarat, maka Agung Sedayu telah mengajak Glagah Putih untuk mengakhiri permainan yang memang agak membingungkannya itu.

Demikianlah maka sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meningkatkan ilmunya selapis. Karena itu, maka keenam orang itu menjadi bingung. Bahkan sejenak kemudian mereka pun sudah tidak berdaya lagi. Dua orang terlempar jatuh dan mengalami kesulitan untuk bangkit dengan cepat. Dua orang yang lain telah mengalami ketukan pada simpul-simpul syarafnya sehingga mereka seakan-akan telah kehilangan kekuatan mereka, sementara dua orang yang lain, yang berusaha melarikan diri, telah ditangkap dan ditarik kembali oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Keduanya telah didorong sehingga terduduk di antara kawan-kawannya yang tidak berdaya, karena dua orang yang terlempar itu pun kakinya seakan-akan tidak mempunyai kekuatan lagi dan tulang belakangnya serasa terkilir.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berdiri sambil mengacu-acukan pedang yang mereka rampas dari lawan-lawannya itu, keenam orang itu menjadi ketakutan. Sambil berdiri di atas kakinya yang renggang, Agung Sedayu bertanya dengan nada tinggi, “Siapa sebenarnya kalian. Jika kalian tidak berterus terang, maka kalian akan aku ikat di tengah-tengah hutan itu. Meskipun hutan ini tidak lagi sangat lebat, tetapi masih terdapat beberapa binatang buas yang akan dapat mengkoyak-koyakkan kulit daging kalian.“

Wajah keenam orang itu menjadi semakin pucat. Ketika Agung Sedayu semakin mendesak mereka, maka yang tertua di antara mereka menjawab, “Kami memang orang-orang Mangir.“

“Kalian benar-benar orang Mangir?“ desak Agung Sedayu.

“Ya. Kami memang benar-benar orang Mangir,“ jawab yang tertua.

“Kenapa kalian melakukan hal ini? Aku yakin, bahwa bukan pemimpin kalian di Mangir yang memerintahkan kalian berbuat demikian,“ berkata Agung Sedayu.

Orang tertua itu menundukkan wajahnya.

“Katakan Ki Sanak,“ desak Agung Sedayu.

Orang-orang itu tidak segera mengatakan sesuatu. Nampaknya ia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata yang nampaknya sudah tersusun di dadanya. Namun ketika ujung pedang yang dibawa oleh Agung Sedayu itu bergerak-gerak didepan wajahnya, maka orang itu menjadi semakin ketakutan. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Memang bukan, Ki Sanak.”

“Jadi kenapa kau berniat membuat persoalan dengan Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya Agung Sedayu pula.

Rasa-rasanya mulut orang itu masih saja diberati timah.

“Baik,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “jika kau tidak mau mengatakan, maka kalian terpaksa kami perlakukan sebagai pembunuh-pembunuh.“

“Jangan. Jangan. Bukan niat kami sendiri,“ berkata orang tertua itu dengan terbata-bata. “Kami hanya melakukannya.“

“Nah. Katakan,“ geram Agung Sedayu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar