Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 238

Buku 238

Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Seperti biasanya, Ki Gede setiap kali menilai perkembangan Tanah Perdikan ini. Manakah yang sudah dapat dianggap memenuhi keinginan rakyat Tanah Perdikan ini, dan yang manakah yang masih harus dibenahi.“

“Jadi tidak ada hal-hal yang baru yang dibicarakan?“ bertanya Ki Lurah.

“Tidak Ki Lurah. Memang Ki Gede menyinggung serba sedikit tentang peristiwa yang telah terjadi. Kematian Ki Ajar Sigarwelat, Ki Gede minta rakyat Tanah Perdikan untuk selalu berhati-hati menanggapi setiap peristiwa yang berkembang kemudian,“ jawab Agung Sedayu.

“Ya. Apalagi Ki Ajar Sigarwelat mempunyai hubungan dengan Madiun,“ berkata Ki Lurah.

“Tetapi Ki Gede hampir tidak pernah menyebut-nyebut secara langsung tentang persoalan antara Mataram dan Madiun. Hanya kepada orang-orang tertentu saja Ki Gede berbicara tentang hal itu.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya sikap Ki Gede cukup bijaksana. Ia tidak mendera orang-orang yang tidak langsung berhubungan dengan persoalan pemerintahan ke dalam kegelisahan yang tidak berkeputusan.“

“Namun di samping itu, ada pula yang dibicarakan oleh Ki Gede meskipun hanya sepintas. Tetapi agaknya pada saat-saat mendatang hal itu akan dibicarakan dengan sungguh-sungguh,“ berkata Agung Sedayu.

“Tentang apa?“ bertanya Ki Lurah, “Barangkali aku boleh mendengarnya?“

“Tentu boleh Ki Lurah. Jika Ki Lurah nanti kembali ke rumah Ki Gede, maka Ki Lurah agaknya akan diajak berbicara pula,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun ia bertanya, “Apa yang dikatakan Ki Gede?“

“Tentang dirinya sendiri,“ jawab Agung Sedayu, “tidak seorangpun tahu, kenapa tiba-tiba Ki Gede merasa dirinya sudah menjadi tua. Bahkan terlalu tua untuk memimpin Tanah Perdikan ini.“

Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia berkata, “Itu bukan soal kecil. Pada suatu saat hal itu akan menjadi persoalan yang besar. Bukankah Ki Gede masih mempunyai seorang adik laki-laki, yang kini nampaknya lebih senang mengasingkan diri?“

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi Ki Argajaya itu sudah benar-benar mengasingkan diri. Aku percaya kalau Ki Argajaya tidak akan menimbulkan persoalan.“

“Tetapi bukankah Ki Argajaya mempunyai seorang anak laki-laki?“ bertanya Ki Lurah pula.

“Iapun nampaknya sudah dapat menempatkan dirinya. Aku kira dari keduanya tidak akan timbul persoalan,“ jawab Agung Sedayu.

“Lalu, masalah apa yang dianggap penting untuk dibicarakan oleh Ki Gede?“ justru Ki Jayaraga-lah yang bertanya.

“Anak Ki Gede hanya satu. Itupun seorang perempuan,“ jawab Agung Sedayu, “apalagi perempuan itu sudah bersuamikan seorang yang juga memerintah satu daerah seperti Tanah Perdikan Menoreh ini.“

“Pandan Wangi maksudmu?“ bertanya Ki Lurah.

“Ya. Pandan Wangi,“ jawab Agung Sedayu, “seharusnya suami Pandan Wangilah yang akan memimpin Tanah Perdikan ini. Tetapi pertanyaan yang timbul kemudian, apakah Swandaru akan bersedia meninggalkan Kademangan Sangkal Putung dan menjadi pemimpin Tanah Perdikan ini?“

Ki Lurah menarik nafas panjang. Katanya, “Memang satu teka-teki. Tetapi apakah Ki Gede sudah membicarakan sampai sekian jauh?“

Agung Sedayu pun tersenyum. Jawabnya, “Belum Ki Lurah. Pembicaraan kita-lah yang berkepanjangan.“

Ki Lurah dan Ki Jayaraga pun tertawa. Bahkan Ki Jayaraga berdesis, “Jika saatnya hal itu dibicarakan, kita sudah mempunyai bahan yang cukup banyak.“

Agung Sedayu pun tertawa pula.

Demikianlah, maka Sekar Mirah dan Rara Wulanpun kemudian telah menyiapkan makan siang bagi mereka yang ada di pendapa. Sehingga sejenak kemudian, maka mereka pun telah makan bersama-sama di ruang dalam.

Ketika kemudian matahari turun ke barat, maka Ki Lurah Branjangan pun telah minta diri. Bersama kedua cucunya mereka akan kembali ke rumah Ki Gede, karena mereka akan bermalam di rumah itu.

“Besok aku kembali Mbokayu,“ berkata Rara Wulan setelah ia mengenakan pakaiannya sendiri. “Aku akan datang lebih pagi. Dengan demikian maka wakfu kita akan lebih banyak.“

“Tetapi kapan kita pulang ke kota Kek?“ bertanya Teja Prabawa, “Bukankah Kakek akan memberitahukan niat Wulan kepada Ayah dan Ibu?“

“Ya,“ jawab Ki Lurah, “tetapi biarlah Rara Wulan mengalami satu dua hari lagi. Jika dalam waktu dua tiga hari ia merasa bahwa dirinya tidak sanggup lagi menjalani laku yang berat, maka sudah tentu rencana itu batal.“

Teja Prabawa tidak menjawab. Namun sebenarnyalah ia menjadi berdebar-debar ketika bertiga bersama kakek dan adiknya mereka akan menempuh perjalanan ke rumah Ki Gede. Meskipun jaraknya tidak jauh, namun segala sesuatunya mungkin terjadi.

Teja Prabawa itu menarik nafas dalam-dalam ketika Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, “Antar mereka sampai ke regol rumah Ki Gede.“

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia berjalan saja di paling belakang. Mereka tidak terlalu lama berjalan. Demikian mereka sampai ke regol, maka Glagah Putih pun minta diri untuk kembali.

“Kau tidak singgah?“ bertanya Ki Lurah.

“Terima kasih Ki Lurah, masih ada kerja yang harus aku lakukan.“

“Besok kau jemput aku?“ bertanya Rara Wulan.

Pertanyaan itu memang agak mengejutkan. Bukan saja bagi Glagah Putih, tetapi juga bagi Teja Prabawa. Sehingga Teja Prabawa itu pun bertanya, “Kenapa kau harus dijemput? Kakek akan mengantarkanmu.“

“Jika di jalan nanti tiba-tiba muncul murid Ki ajar Sigarwelat, bagaimana?“ bertanya Rara Wulan.

Wajah Teja Prabawa menjadi merah. Ia sadar bahwa adiknya dengan sengaja mengejeknya. Namun sebelum Teja Prabawa menjawab, Ki Lurah Branjangan mendahuluinya, “Wulan. Kau jangan terlalu nakal. Besok aku dan kakakmu akan mengantarmu. Kau kira Glagah Putih tidak mempunyai kesibukan sendiri di rumah? Memang berbeda dengan anak-anak kota yang merasa dirinya anak orang berada, berpangkat dan barangkali berilmu tinggi. Mereka dapat berbuat apa saja sesuka hati. Tetapi tidak dengan anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Mereka harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya. Bukan saja kebutuhan secara pribadi, tetapi kebutuhan seluruh Tanah Perdikan. Karena jika orang-orang Tanah Perdikan ini tidak mau bekerja keras, maka kesejahteraan Tanah Perdikan ini tidak akan maju.“

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi teguran itu ternyata tidak saja menyentuh Rara Wulan, tetapi juga Teja Prabawa.

Karena kedua orang anak muda itu diam saja, maka Ki Lurah pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Sudahlah Glagah Putih. Biarlah besok aku mengantarkannya jika Wulan masih ingin bermain-main dengan Mbokayumu Sekar Mirah.“ Glagah Putih termangu-mangu. Sebenarnya ia sama sekali tidak berkeberatan untuk menjemput Rara Wulan. Tetapi iapun menyadari bahwa agaknya Ki Lurah sendiri tidak menghendakinya. Karena itu, maka Glagah Putih itu pun telah minta diri untuk kembali.

Ketika Ki Lurah kemudian membawa kedua cucunya memasuki halaman rumah Ki Gede, maka bik Teja Prabawa maupun Rara Wulan saling berdiam diri sambil menunduk. Keduanya nampak hanyut dalam arus angan-angan masing-masing, yang sudah tentu tidak mempunyai persamaan sama sekali.

Kedua cucu Ki Lurah itu ternyata langsung menuju ke gandok, sementara Ki Lurah masuk ke ruang dalam untuk menemui Ki Gede, karena menurut seorang pembantu Ki Gede, Ki Gede itu masih duduk seorang diri di ruang dalam setelah makan siang.

“Sendiri?“ bertanya Ki Lurah.

“Ya, Ki Lurah,“ jawab orang itu, “memang sudah menjadi kebiasaan Ki Gede, duduk sendiri untuk beberapa lama. Nampaknya memang ada yang sedang direnungkan.”

“Kebiasaan sejak kapan?“ bertanya Ki Lurah.

“Sebenarnya belum terlalu lama,“ jawab pembantu itu.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menemani Ki Gede.“

Sejenak kemudian Ki Lurah telah duduk bersama Ki Gede di ruang dalam. Sambil bergeser menepi Ki Gede bertanya, “Dimana kedua cucu Ki Lurah?“

“Mereka langsung pergi ke gandok Ki Gede. Mereka baru saja bertengkar. Agaknya jika setiap hari mereka tidak bertengkar, rasa-rasanya mereka menjadi pening,“ jawab Ki Lurah.

Ki Gede tertawa. Katanya, “Itu biasa. Betapapun rukunnya dua orang bersaudara, namun pada suatu saat mereka pasti akan bertengkar, meskipun pada saatnya mereka akan baik kembali.“

Ki Lurah pun tertawa. Katanya, “Agak berbeda dengan Ki Gede. Agaknya Ki Gede tidak perlu setiap kali melerai putra-putra Ki Gede yang bertengkar, karena putra Ki Gede ternyata hanya seorang. Itupun seorang perempuan.“

“Tidak,“ jawab Ki Gede, “aku juga mempunyai seorang anak laki-laki.“

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun hal itu sudah terlanjur diucapkan oleh Ki Gede. Sebenarnyalah Ki Lurah pernah mendengar tentang anak laki-laki yang lahir dari istri Ki Gede. Namun yang ternyata telah menumbuhkan persoalan jiwani itu. Dan yang kemudian ternyata harus mati di ujung senjata, justru karena perlawanannya terhadap Ki Gede sendiri bersama dengan adik Ki Gede, Ki Argajaya.

Tetapi Ki Lurah berusaha untuk mengendapkan gejolak itu dalam-dalam. Ia akan hanyut saja apa yang dibicarakan oleh Ki Gede tentang anaknya laki-laki itu.

Ternyata kemudian suara Ki Gede merendah, “Tetapi anak itu telah kehilangan keseimbangannya, sehingga akhirnya harus menebusnya dengan nyawanya.“

“Sayang sekali,“ desis Ki Lurah.

“Tetapi aku sudah mengikhlaskannya. Aku sekarang sudah mendapatkan gantinya. Anak laki-laki,“ berkata Ki Gede.

Ki Lurah hampir saja menebak. Tetapi Ki Gede telah menyebutnya, “Swandaru. Bukankah dengan demikian anakku telah menjadi dua lagi? Bahkan sekarang menjadi lebih banyak lagi. Ada Agung Sedayu, Glagah Putih, seorang anak perempuan lagi yang namanya Sekar Mirah, dan anak adikku, Prastawa. Mereka adalah anak-anakku yang justru lebih patuh dari anak laki-laki itu.“

“Ya Ki Gede. Bahkan lebih banyak lagi. Semua anak-anak muda Tanah Perdikan ini telah menganggap Ki Gede sebagai ayah mereka,“ berkata Ki Lurah.

Tetapi Ki Gede tersenyum. Katanya, “Sebagai ayah mereka, juga sebagai kakek mereka.“

Ki Lurah juga mencoba untuk ikut tertawa meskipun masih terasa debar di dadanya.

Namun tiba-tiba saja Ki Gede itu memang berkata sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, “Ki Lurah. Tiba-tiba saja aku merasa diriku sekarang sudah sangat tua.“

“Ah, tentu belum,“ sahut Ki Lurah dengan serta merta.

“Bahkan mungkin aku sudah lebih tua dari Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa yang telah kembali menghadap Tuhan itu,“ suaranya merendah.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ketika di luar sadarnya ia memandang wajah Ki Gede, maka nampaklah garis-garis umurnya yang semakin dalam. Namun di dalam hati Ki Lurah itupun berkata, “Aku juga sudah tua.“

Tetapi Ki Lurah tidak perlu memikirkan satu wilayah sebagaimana Ki Gede memikirkan masa depan Tanah Perdikan Menoreh.

Adalah seolah-olah di luar sadarnya ketika Ki Gede kemudian berkata, “Aku memang mempunyai anak laki-laki dan perempuan yang banyak sekali. Seluruh penghuni Tanah Perdikan ini adalah anak-anakku. Tetapi siapakah di antara mereka yang kelak pantas menggantikan kedudukanku? Tanah Perdikan ini tentu memerlukan seorang pemimpin. Bukan asal saja seorang pemimpin, tetapi seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Seandainya saja Swandaru bukan anak seorang Demang, maka aku dapat memastikan ia akan dapat memimpin Tanah Perdikan ini. Tetapi apakah ia bersedia meninggalkan kademangannya, itulah yang menjadi persoalan.“

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika Swandaru bersedia memimpin Tanah Perdikan ini, maka Sekar Mirah akan menggantikan kedudukannya di Sangkal Putung, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu-lah yang akan melaksanakannya.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun ia berdesis, “Tetapi agaknya Swandaru berkeberatan untuk meninggalkan kademangannya. Padahal menurut penilaianku, ia adalah seorang yang memiliki pandangan jauh untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Sangkal Putung kini telah menjadi sebuah kademangan yang besar dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi.“ Tetapi suara Ki Gede merendah, “Meskipun Swandaru bukan seorang yang rendah hati seperti Agung Sedayu. Namun sejalan dengan peningkatan umurnya, maka pada suatu saat, hatinya tentu akan mengendap.“

Ki Lurah Branjangan hanya mengangguk-angguk saia. Ia tidak dapat ikut banyak berbicara, karena persoalannya lebih banyak berkisar tentang keluarga.

Namun tiba-tiba saja, seperti orang yang terbangun dari tidurnya Ki Gede berkata. “Ah, maaf Ki Lurah. Aku terlalu banyak berbicara tentang diriku sendiri, sehingga mungkin Ki Lurah merasa jemu mendengarnya.“

“Tidak. Tentu tidak. Bukankah orang-orang tua seumur kita ini memang harus memikirkan masa depan bagi keturunannya? Kita memang tidak boleh mementingkan diri kita sendiri, sehingga kita tidak mau tahu, apa yang akan terjadi kelak. Atau bahkan dengan sengaja menutup kemungkinan bagi angkatan sesudah kita untuk menunjukkan kebesaran melampaui kebesaran kita, agar kita tetap dianggap orang-orang terbaik di segala jaman,“ berkata Ki Lurah.

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Lurah benar, justru kesempatan itu harus kita berikan.“

“Masa depan adalah demikian luas dan panjangnya,“ berkata Ki Lurah, “satu ruang dengan sejuta kesempatan. Tergantung kepada mereka yang akan menjalani masa depan itu.“

“Ya,“ sahut Ki Gede, “mudah-mudahan kesempatan itu tertangkap oleh ketajaman nalar budi mereka. Apalagi jika mereka tidak menangkapnya, maka mereka asal saja melontarkan kesalahan kepada kita yang mendahuluinya. Namun sebaliknya, seperti yang sudah sering aku katakan, kita yang hidup masa sekarang, adalah landasan bagi masa mendatang.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Nampaknya Ki Gede benar-benar telah berpikir tentang masa depan yang panjang itu. Terutama tentang siapakah yang akan mendapat kewajiban memimpin Tanah Perdikan itu. Tetapi Ki Lurah tidak berani memberikan pendapatnya tentang nama-nama yang meskipun sudah melintas di kepalanya. Ia merasa berkewajiban untuk menjaga keseimbangan perasaan dan penalaran yang bening dari Ki Gede sendiri, kecuali jika pada suatu saat Ki Gede minta pertimbangannya.

Namun dalam pada itu, Ki Lurah pun telah mohon diri untuk beristirahat di gandok, sambil melihat apakah cucu-cucunya masih saja bertengkar.

“Keduanya adalah anak-anak bengal dan manja,“ berkata Ki Lurah.

Ki Gede tersenyum sambil berkata, “Silahkan Ki Lurah. Tetapi Ki Lurah tidak perlu meminjam cambuk Agung Sedayu untuk melerai mereka dan menghukum yang bersalah.”

Ki Lurah pun tertawa. Namun ia masih bertanya, “Apakah Ki Gede tidak beristirahat?“

“Aku sedang beristirahat di sini,“ jawab Ki Gede.

Ki Lurah tertawa semakin keras. Katanya, “Ya, ya. Agaknya Ki Gede memang sedang beristirahat.“

Sejenak kemudian, Ki Lurah pun telah berada di gandok. Rara Wulan telah berbaring menelungkup. Ketika Ki Lurah datang, maka iapun bersungut-sungut, “Kek, kenapa Kakak selalu mencela sikapku? Apa salahnya jika aku berlatih olah kanuragan?“

“Sudahlah,“ berkata Ki Lurah, “kalian tidak perlu mempersoalkannya lagi.“

“Tetapi Kakak masih saja meributkannya,“ jawab Rara Wulan.

“Wulan selalu mengigau tentang olah kanuragan. Aku menjadi jemu mendengarnya,“ sahut Teja Prabawa.

“Sudahlah. Kita tamu di sini. Inikah yang ingin kita tunjukkan kepada orang-orang padukuhan tentang anak-anak muda yang datang dari kota? Bertengkar? Marah-marah dan tidak dapat mengendalikan diri?“ desis Ki Lurah.

Kedua cucu Ki Lurah itu pun terdiam. Meskipun keduanya masih berwajah murung.

Sementara itu Ki Lurah pun telah pergi ke serambi. Sambil memandangi halaman yang luas, Ki Lurah duduk seorang diri. Tiba-tiba saja iapun telah dijangkiti pula angan-angan sebagaimana Ki Gede, meskipun Ki Lurah tidak terlalu berkepentingan tentang masa depan Tanah Perdikan ini. Namun bagi Ki Lurah, sebenarnya ada jalan yang paling baik yang dapat ditempuh Ki Gede. Tetapi Ki Lurah merasa tidak pada tempatnya apabila ia mengusulkannya, apalagi pada saat semuanya baru pada tataran permulaan.

Bagi Ki Lurah, jika Swandaru berkeberatan untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka haknya akan dapat dilimpahkan kepada Sekar Mirah yang memerintah atas namanya. Dengan demikian, maka yang akan melakukan tugas itu adalah Agung Sedayu.

Tetapi tentu masih ada seribu macam pertimbangan. Dibanding dengan Sekar Mirah, maka Prastawa nampaknya mempunyai hak lebih besar jika Swandaru menolak. Kecuali jika hak itu diterima oleh Swandaru, dan Agung Sedayu hanya melakukan tugas sehari-hari dalam kedudukan yang khusus. Tetapi Kepala Tanah Perdikan Menoreh tetap dijabat oleh Swandaru yang mempunyai jabatan rangkap dengan Demang di Sangkal Putung, sehingga setiap saat ia harus mondar-mandir antara Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.

Namun menilik kedudukan Tanah Perdikan lebih tinggi dari kademangan, maka bermacam-macam kemungkinan memang masih akan dapat terjadi.

Demikianlah, sisa hari itu dihabiskan oleh Ki Lurah untuk berada di gardu perondan sampai saatnya mandi dan makan malam bersama Ki Gede dan kedua cucunya. Kemudian ketika malam menjadi semakin dalam, mereka pun segera beristirahat di bilik masing-masing.

Namun dalam pada itu, meskipun Teja Prabawa menyadari bahwa halaman rumah Ki Gede itu dijaga dengan baik, namun ada juga rasa cemas di hati anak muda itu.

Pagi-pagi Rara Wulan telah bangun dan berbenah diri setelah mandi. Kemudian dengan tergesa-gesa minta agar kakek dan kakaknya segera mandi pula.

“Aku ingin lebih cepat berada di sanggar Mbokayu Sekar Mirah. Hari ini Mbokayu akan memberikan beberapa peragaan lagi yang harus aku lakukan juga sebagai salah satu cara melakukan pendadaran, apakah aku pantas untuk belajar olah kanuragan atau tidak.“

“Bukan urusanku. Aku masih mengantuk,“ geram Teja Prabawa.

“Tetapi Mbokayu tidak mau aku datang lambat, karena setelah itu Mbokayu Sekar Mirah masih harus masak untuk dibawa ke sawah,“ sahut Rara Wulan.

“Juga bukan urusanku,“ Teja Prabawa justru menggeliat.

Ki Lurah Branjangan tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kita pergi dahulu. Biarlah Teja Prabawa melanjutkan istirahatnya. Nanti, jika ia berminat, biarlah ia menyusul kita ke rumah Agung Sedayu. Bukankah jaraknya tidak terlalu jauh, sehingga ia tidak akan tersesat?“

Teja Prabawa mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Suruh anak itu menjemputku.“

“Siapa?“ bertanya Ki Lurah.

“Glagah Putih,“ jawab Teja Prabawa, “bukankah kemarin ia bersedia untuk menjemput kemari?“

“Kau masih juga merendahkannya?“ bertanya Ki Lurah.

“Tidak. Bukan maksudku Kek. Tetapi ia sendiri bersedia melakukannya,“ jawab Teja Prabawa.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau masih saja belum menyadari, bahwa kau tidak dapat berbangga karena kau anak muda yang datang dari kota. Apakah sekali-sekali kau harus mengalami perlakuan yang dapat mengajarimu menghormati kedudukan anak-anak Tanah Perdikan?“

“Bukan begitu Kek,“ Teja Prabawa menjadi gagap, “aku tidak bermaksud demikian.“

“Teja Prabawa,“ geram Ki Lurah, “kau harus segera menyadari, bahwa kau bukan apa-apa di sini. Kau adalah seekor kelinci di padang yang buas dan dihuni oleh kelompok-kelompok serigala yang garang. Nah, apakah kau masih akan menyombongkan dirimu?”

Teja Prabawa tidak menjawab. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia sadar, bahwa kakeknya memang marah.

“Nah, sekarang terserah kepadamu. Kami akan segera berangkat. Apakah kau akan pergi bersama kami, atau kau akan pergi sendiri, atau kau akan berada di rumah ini saja,” berkata Ki Lurah sambil melangkah keluar untuk pergi ke pakiwan.

Ternyata Ki Lurah pun segera bersiap. Sementara Teja Prabawa menjadi tergesa-gesa mandi pula dan bersiap untuk pergi bersama kakek dan adiknya.

Ki Gede tidak dapat menahan mereka ketika Ki Lurah minta diri untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. Ki Lurah berterus terang bahwa ada niat Rara Wulan untuk belajar olah kanuragan pada Sekar Mirah, sehingga Rara Wulan perlu datang lebih pagi untuk memenuhi permintaan Sekar Mirah.

“Bagus,“ berkata Ki Gede, “Angger Rara Wulan harus patuh. Apalagi nanti, jika Rara benar-benar menjadi murid Angger Sekar Mirah. Segala perintah harus dilakukan tanpa membantah.“

“Aku akan berusaha Ki Gede. Apapun yang harus aku lakukan,“ jawab Rara Wulan.

Demikianlah, maka tanpa menunggu makan pagi, ketiga orang itu telah berangkat ke rumah Agung Sedayu. Rara Wulan memang ingin segera menemui Sekar Mirah.

Ketika mereka bertiga sampai ke rumah Agung Sedayu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih masih sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Tetapi Sekar Mirah sudah menunggu kedatangan Rara Wulan yang memang dipesan untuk datang lebih pagi. Mereka akan berada di sanggar lebih dahulu, justru sebelum Sekar Mirah menyiapkan makan dan minuman yang akan dibawa ke sawah.

“Marilah, silahkan Ki Lurah,“ Agung Sedayu mempersilahkan, “biarlah Ki Jayaraga menemani Ki Lurah duduk di pendapa. Maaf, aku masih harus mempersiapkan sanggar. Agaknya Rara Wulan dan Sekar Mirah akan mempergunakan pagi ini.“

“Silahkan. Kedatanganku jangan sampai mengganggu,“ berkata Ki Lurah Branjangan.

Ketika Agung Sedayu sibuk membenahi sanggar untuk mempersiapkan beberapa macam alat yang mungkin akan dipergunakan oleh Sekar Mirah, Sekar Mirah masih sibuk memanasi air di dapur. Glagah Putih masih pula sibuk dengan kuda-kudanya di kandang.

Namun sejenak kemudian, maka Sekar Mirah telah mengajak Rara Wulan pergi ke sanggar, setelah menuang wedang sere ke dalam mangkuk serta menyiapkan gula kelapa. Rara Wulan-lah yang membawanya ke pendapa untuk dihidangkan kepada kakeknya, kepada kakaknya dan Ki Jayaraga yang menemuinya.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun sejenak kemudian telah berada di dalam sanggar. Ternyata Sekar Mirah tidak sekedar memperagakan beberapa jenis unsur gerak yang paling mendasar sebagaimana dilakukan di hari sebelumnya, tetapi Sekar Mirah telah minta agar Rara Wulan mulai mempelajari beberapa gerak dasar untuk menjajagi kemampuan jasmaniahnya.

Tidak pula seperti di hari sebelumnya, maka Rara Wulan harus sudah mengenakan pakaian khusus, meskipun baru dipinjamnya dari Sekar Mirah.

Ternyata bahwa niat Rara Wulan yang bulat telah mendorongnya untuk dapat berbuat sebaik-baiknya sebagaimana dikehendaki oleh Sekar Mirah. Mula-mula berjalan saja beberapa kali mondar-mandir di dalam sanggar itu. Kemudian berjalan di atas papan yang diletakkan begitu saja di atas tanah. Tetapi kemudian papan itu diletakkan pada alas yang tidak lebih dari sejengkal. Namun Rara Wulan tidak hanya sekedar harus berjalan di atas papan itu. Rara Wulan harus mulai menirukan gerakan-gerakan yang sederhana. Beberapa kali, bahkan berulang-ulang sehingga keringat mulai membasahi tubuhnya.

Setelah berulang kali ia melakukan sehingga nampaknya mulai terbiasa, maka Sekar Mirah telah memberikan contoh yang lain. Bukan saja tangannya yang bergerak, tetapi juga kakinya, sehingga papan itu pun menjadi tergetar pada setiap gerakan.

Mula-mula keseimbangan Rara Wulan memang terganggu. Tetapi semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin biasa. Keseimbangan tubuhnya yang terguncang-guncang saat papan itu bergetar, mulai dapat diatasinya. Meskipun jika getar papan itu terasa lebih keras, maka Rara Wulan pun harus berusaha semakin cermat agar ia tidak terjatuh.

Demikianlah, Sekar Mirah memberikan beberapa contoh gerak yang harus ditirukannya. Meskipun masih pada gerak dasar, tetapi bagi Rara Wulan terasa semakin lama semakin sulit. Bahkan papan itu rasa-rasanya bergetar semakin keras, sehingga akhirnya, Rara Wulan tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya lagi.

Dalam keadaan yang sangat sulit bagi Rara Wulan, maka iapun telah meloncat turun dari papan yang hanya setinggi sejengkal itu.

Rara Wulan dengan wajah murung berdesis, “Aku gagal Mbokayu.“

Tetapi Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Kau belum gagal. Menurut penilaianku, kau akan mampu melakukan latihan-latihan olah kanuragan. Kau mempunyai kemauan yang sangat besar dan nampaknya kau juga mempunyai wadag yang pada dasarnya cukup kuat. Tetapi ingat, bahwa yang kau lakukan itu hanyalah tidak lebih dari hitamnya kuku dari seluruh kegiatan latihan-latihan olah kanuragan. Kau akan menjadi sepuluh kali lebih banyak bergerak. Kau akan menjadi sepuluh kali lebih letih dari sekarang. Dan kau akan menjadi sepuluh kali lebih bersungguh-sungguh dari peragaan yang sederhana ini. Apakah kau sanggup melakukannya?“

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Aku akan melakukannya.“

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Tetapi Rara. Sebelumnya Rara harus tahu, bahwa ilmuku masih jauh dari sempurna. Ilmuku belum mencapai satu tataran yang pantas. Tetapi jika kelak Rara mampu mengembangkan dasar-dasar ilmu yang akan aku berikan nanti, maka satu kemungkinan yang luas akan dapat Rara capai. Mungkin kemampuan Rara akan justru melampaui kemampuanku.“

“Ah, untuk mencapai tataran yang sederhana, mungkin aku memerlukan waktu sepanjang umurku,“ berkata Rara Wulan.

“Tentu tidak. Kau memiliki sesuatu yang berharga bagi latihan-latihan yang akan kau lakukan. Nampaknya tubuhmu telah mapan. Sengaja atau tidak sengaja,“ berkata Sekar Mirah.

“Jauh dari pada itu,“ jawab Rara Wulan, “namun aku berjanji untuk menjadi patuh.“

“Tetapi Rara. Masih ada satu langkah yang harus kau tempuh. Kakek Rara harus bertemu dengan ayah Rara untuk mendapatkan keputusan terakhir, apakah Rara diijinkan atau tidak. Baru kemudian Rara akan dapat menilai dengan latihan-latihan yang sesungguhnya di rumah ini. Satu syarat lagi harus dijalani, Rara akan tinggal di sini. Hidup sederhana dan bekerja keras setiap saat,“ berkata Sekar Mirah.

Rara Wulan mengangguk lemah. Bukan karena ia segan untuk menjalani laku sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah, namun hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Apakah Ayah akan mengijinkan?“

“Bagaimana dengan kakek Rara?“ bertanya Sekar Mirah.

“Kakek justru mendorong aku untuk melakukannya,“ berkata Rara Wulan.

“Jika demikian, kau harus minta bantuan kakekmu. Ki Lurah tentu akan membantumu,“ berkata Sekar Mirah.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Baiklah. Rara dapat beristirahat sebentar. Nanti kita akan bermain-main lagi untuk meyakinkan apakah kewadagan Rara akan mampu mendukung keinginan Rara itu.“

“Mbokayu akan kemana?“ bertanya Rara Wulan.

“Aku akan ke dapur sejenak,“ jawab Sekar Mirah, “kau tidak usah ikut. Kau di sini saja melihat-lihat peralatan di sanggar ini. Kau dapat membayangkan, apakah kira-kira gunanya. Juga jenis-jenis senjata yang barangkali belum pernah kau lihat. Meskipin senjata yang dikumpulkan Kakang Agung Sedayu tidak selengkap yang dikumpulkan oleh Ki Gede, tetapi beberapa contoh senjata yang ada dapat dianggap cukup memadai untuk memperkaya pengenalan olah senjata dari berbagai jenis.“

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menunggu di sini.“

Demikianlah, maka Sekar Mirah pun telah meninggalkan sanggar dan pergi ke dapur. Ia harus menyiapkan makanan yang akan dihidangkan di pendapa.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu menemuinya dan berkata, “Kami akan pergi dahulu sebentar.“

“Maksud Kakang? Kakang bersama Glagah Putih, atau siapa?“ bertanya Sekar Mirah.

“Tidak. Aku hari ini sudah berjanji dengan anak-anak untuk memperbaiki bendungan kecil di sebelah padukuhan induk ini. Ki Lurah Branjangan dan Teja Prabawa akan pergi pula bersama aku untuk melihat-lihat,“ jawab Agung Sedayu.

“Ki Jayaraga dan Glagah Putih?“ bertanya Sekar Mirah.

“Ki Jayaraga akan pergi ke sawah. Kemarin ia sudah tidak pergi. Glagah Putih akan tinggal di rumah. Ia akan membawa kiriman makanan dan minuman ke sawah bersama anak bengal itu,“ jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah tersenyum. Ia mengerti yang dimaksud anak bengal itu. Tentu pembantu rumahnya, yang kadang-kadang nampak nakal, tetapi kadang-kadang lembut dan murung.

“Ia mulai suka berkelahi sekarang,“ desis Agung Sedayu, “aku sudah memperingatkan.“

“Serahkan kepada Glagah Putih. Ia memang sering menirukan unsur-unsur gerak Glagah Putih. Mungkin anak itu melihat sekali-sekali jika Glagah Putih kadang-kadang melemaskan tubuhnya pagi-pagi di kebun belakang. Agaknya Glagah Putih harus lebih banyak memperhatikannya,“ jawab Sekar Mirah. Lalu katanya, “Jika ia serba sedikit belajar kepada Glagah Putih, maka sifat ingin tahunya itu akan tersalur, sehingga akan mengurangi keinginannya untuk berkelahi dan mencoba-coba. Karena sambil belajar Glagah Putih akan dapat memberinya nasehat-nasehat.“

“Aku akan mengatakannya kepada Glagah Putih nanti,“ sahut Agung Sedayu, yang kemudian minta diri untuk pergi ke bendurigan bersama Ki Lurah dan Raden Teja Prabawa.

Sekar Mirah yang ikut ke pendapa kemudian mendapat pesan dari Ki Lurah untuk disampaikannya kepada Rara Wulan, bahwa Ki Lurah dan Raden Teja Prabawa melihat-lihat Tanah Perdikan itu bersama Agung Sedayu.

“Aku akan menyampaikannya, Ki Lurah,“ sahut Sekar Mirah.

Ketika kemudian Ki Lurah dan Raden Teja Prabawa telah meninggalkan halaman, maka Ki Jayaraga pun telah bersiap-siap pula pergi kesawah. Pada saat-saat terakhir, Ki Jayaraga merasakan ketenangan hidup dan arti yang wajar dari sisa-sisa hidupnya, dengan bekerja di sawah bersama beberapa orang yang memang bekerja bagi Agung Sedayu. Dengan bekerja di sawah, maka Ki Jayaraga tidak merasa dirinya terasing dari kewajaran hidup orang kebanyakan. Ia merasa dirinya seperti orang lain. Hidup, bekerja, makan dan lebih dari itu, mengabdikan hidupnya kepada Yang Maha Agung dengan berbagai cara yang mampu dilakukannya, di samping saat-saat yang memang telah dikhususkan untuk menghadap.

Namun sebelum berangkat Ki Jayaraga sempat berkata, “Jika kau tenggelam di sanggar, maka aku harus bersedia ikat pinggang rangkap hari ini.“

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Tentu tidak. Pada saatnya Glagah Putih dan anak itu akan sampai di sawah. Seandainya terlambat, tentu tidak akan terlalu lama.“

“Tidak terlalu lama sampai kapan?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Sampai matahari turun,“ jawab Sekar Mirah.

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun katanya, “Suruh Glagah Putih membawa usungan. Aku tentu sudah pingsan.“

Sekar Mirah masih tertawa. Sementara Ki Jayaraga yang juga tertawa telah melangkah membawa cangkul di pundaknya, menuju ke regol dan kemudian turun ke jalan.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Orang tua itu sama sekali tidak mengesankan orang yang berilmu tinggi. Sikapnya, kata-katanya dan ujudnya, tidak lebih dari petani kebanyakan. Perasaan kecewa yang mencengkam jantungnya karena tidak seorangpun dari murid-muridnya yang memenuhi keinginannya, membuatnya lebih dekat dengan alam. Satu-satunya harapannya terletak di pundak Glagah Putih. Muridnya yang bungsu.

Sepeninggal Ki Jayaraga, Sekar Mirah telah mencari pembantu rumahnya. Ketika anak itu diketemukan sedang menyiapkan kayu bakar, maka Sekar Mirah pun berkata, “Tolong, kau kuliti keluwih di dapur itu. Nanti aku akan memasaknya untuk mengirim makan ke sawah.“

Anak itu tidak menjawab. Tetapi dikumpulkannya kayu bakar itu dan dibawanya ke dapur sekaligus. Di dalam dapur itu didapatinya beberapa buah keluwih yang akan dimasak bagi orarig-orang yang bekerja di sawah. Sementara itu, nampaknya Sekar Mirah akan membuat bothok mlandhingan, karena seonggok mlandhingan ada di dapur itu pula, serta beberapa buah kelapa yang nampaknya dipetik kemarin oleh Glagah Putih.

Sementara itu, Sekar Mirah telah masuk kembali ke dalam sanggar. Namun ia masih sempat melihat Glagah Putih yang masih sibuk membersihkan kandang dan kuda-kudanya.

Dalam pada itu Rara Wulan masih berada di dalam sanggar. Sekar Mirah yang kemudian mendekatinya, memang menunggunya berbicara. Apakah Rara Wulan tertarik dengan isi sanggar itu atau tidak. Jika ia tertarik, maka dimanakah letak perhatiannya yang terbesar. 

Meskipun demikian, Sekar Mirah menjadi berdebar-debar juga. Ia tidak ingin Rara Wulan bertanya tentang hal lain kecuali isi sanggar itu. Jika demikian, maka perhatiannya tidak sepenuhnya tertuju kepada kemungkinan-kemungkinan yang dapat dicapainya dalam olah kanuragan.

Namun yang diucapkan Rara Wulan pertama-tama, “Mbokayu lama sekali.“

Sekar Mirah tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun ternyata sebagaimana diharapkan oleh Sekar Mirah, Rara Wulan bertanya, “Darimana kita akan mulai berlatih, Mbokayu? Ketika Mbokayu menunjukkan kemampuan Mbokayu dalam olah kanuragan, aku sama sekali tidak mengerti, darimanakah Mbokayu memulainya. Namun yang aku ingat, hampir di saat terakhir, Mbokayu justru bergerak di atas amben bambu tua itu.“

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia menjawab, “Dalam olah kanuragan, beberapa orang tidak selalu mulai dari langkah yang sama. Namun pada umumnya, mereka mulai dengan mempelajari unsur-unsur gerak dasar yang paling sering dipergunakan. Setelah kita memahami beberapa unsur, maka kita mulai mempelajari unsur-unsur ganda yang sering kita pergunakan. Beberapa unsur ganda yang kemudian harus dikembangkan sendiri dengan ketajaman panggraita. Bahkan kadang-kadang menuntut kecepatan berpikir dan mengambil sikap. Apalagi di dalam pertempuran, Namun untuk dapat mengambil sikap yang benar, diperlukan alas yang mapan. Untuk itu diperlukan waktu.“

“Beberapa lama aku dapat menguasai pengetahuan dasar itu Mbokayu?“ bertanya Rara Wulan.

“Jika kau benar-benar ingin maju, maka pengetahuan dasarmu harus kokoh. Kau memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk menguasai pengetahuan dasar olah kanuragan. Dalam waktu dua tahun kau akan dapat menguasai semua unsur gerak dari satu perguruan. Unsur-unsur tunggal dan unsur-unsur ganda. Dalam dua tahun kau sudah mendapat petunjuk-petunjuk yang akan mencuat dari dalam dirimu sendiri, bagaimana unsur itu harus dipergunakan menghadapi unsur-unsur yang belum kau kenal. Rangkaian dan hubungan unsur yang satu dengan yang lain, serta watak setiap unsur itu. Di tahun-tahun berikutnya, kau sudah dapat mulai mengembangkannya berdasarkan atas pengalamanmu, serta ilmu perbandingan yang mungkin kita peroleh dari orang-orang yang dapat kita ajak berlatih bersama, namun bersumber dari jalur ilmu perguruan yang lain. Latihan-latihan semacam itu akan dapat memperkaya pengenalan kita atas ilmu kanuragan serta kemungkinan-kemungkinannya,“ jawab Sekar Mirah.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia memang mendapat gambaran bahwa yang harus dilakukannya jika ia memang ingin benar-benar mempelajari olah kanuragan, adalah laku yang berat dan lama. Ia harus tekun dan sabar. Bersungguh-sungguh dan bekerja keras tanpa mengenal lelah.

Dalam pada itu Sekar Mirah pun kemudian berkata, “Marilah. Kita coba, apakah wadagmu akan dapat mendukung niatmu yang mantap itu.“

Rara Wulan kemudian telah mempersiapkan diri. Dengan dada tengadah ia menyahut, “Aku sudah siap.“

Sekar Mirah pun kemudian telah membawa Rara Wulan ke bawah sebuah palang kayu yang dibubut bulat, dengan tiang di kedua ujungnya hampir setinggi tubuh bersusun. Dengan satu loncatan Sekar Mirah menggapai palang kayu itu dan kemudian mengangkat tubuhnya yang terayun beberapa kali bertumpu pada tangannya yang berpegang palang itu.

Setelah beberapa kali melakukannya, maka Sekar Mirah telah mempersilahkan Rara Wulan melakukannya.

Rara Wulan tidak membantah. Mula-mula ia memang ragu-ragu, apakah ia mampu menggapai palang kayu itu. Namun dengan satu keyakinan yang mantap, maka iapun telah meloncat dengan kekuatan yang justru telah membuat Rara Wulan sendiri heran. Ternyata tangannya mampu menggapai palang itu sehingga tubuhnya terayun sebagaimana Sekar Mirah.

“Nah, angkat tubuhmu, sehingga dagumu sampai ke palang itu,“ berkata Sekar Mirah.

Rara Wulan memang mencobanya. Betapa beratnya. Namun ia telah melakukannya dengan niat yang menghentak-hentak di dadanya, sehingga akhirnya iapun telah berhasil. Sekar Mirah tersenyum. Kemudian katanya, “Sudahlah, turunlah. Kau sudah cukup mencoba kemampuan wadagmu. Tanpa ada orang lain, maksudku aku atau orang yang telah mempelajari olah kanuragan sedikit jauh, jangan mencoba-coba dengan memaksa diri, agar wadagmu tidak mengalami gangguan. Dengan pengawasan orang lain yang mengetahui serba sedikit tentang olah kanuragan, maka ia akan dapat membantu mengamati pengerahan kekuatan yang ada di dalam dirimu namun yang sama sekali belum diolah itu. Jika tanpa orang lain, maka kau akan dapat melakukannya melampaui batas, sehingga akibatnya justru jurang menguntungkan.“

Rara Wulan yang telah turun kembali itu menganggukkan kepalanya. Namun iapun berkata, “Ternyata menarik sekali untuk mengalami latihan-latihan yang akan dapat membentuk diri. Maaf Mbokayu, mungkin angan-anganku terlalu tergesa-gesa maju. Namun aku akan tunduk kepada semua paugeran.”

“Baiklah. Sekarang, lakukan apa saja yang ingin kau lakukan dengan alat-alat yang ada. Terserah kepadamu,“ berkata Sekar Mirah.

Rara Wulan termangu-mangu. Ia tidak tahu maksud Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah mengulanginya “ Di sini ada bermacam-macam alat. Lakukan apa saja. Kau pernah melihat aku serba sedikit memperagakan olah kanuragan.”

Rara Wulan masih saja termangu-mangu. Namun kemudian iapun mulai bergerak. Ia mencoba mengingat apa yang pernah dilakukan oleh Sekar Mirah. Namun yang diingatnya adalah, bahwa Sekar Mirah itu bagaikan berterbangan saja di dalam sanggar itu.

Karena itu, maka yang dilakukan oleh Rara Wu lan kemudian adalah berlari-lari saja berkeliling. Sekali-sekali menyusup di antara tonggak-tonggak batang kelapa yang tidak sama tingginya. Namun kemudian menyusup tonggak-tonggak serupa, namun yang lebih kecil terbuat dari bambu petung. Adalah di luar sadarnya bahwa Rara Wulan kemudian memanjat tangga dan mencoba untuk meniti palang yang hanya setinggi dada. Dengan sedikit kesulitan Rara Wulan ternyata mampu menjaga keseimbangan melampaui palang itu dengan kedua tangannya mengembang. Ia meloncat turun ketika ia sampai di ujung palang.

Namun kemudian ketika ia tidak lagi tahu harus berbuat apa, maka diakhirinya langkah-langkahnya itu sebagaimana pernah dilakukan oleh Sekar Mirah. Meloncat ke atas amben tua itu. Tetapi ternyata bahwa amben tua itu justru telah patah dan roboh.

“O,“ Rara Wulan terkejut. Ia segera meloncat ke samping.

Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat. Dipandanginya amben bambu yang roboh dan patah kakinya itu.

Tetapi Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, “Pada saatnya kau akan dapat menari di atas amben itu. He, apakah kau dapat menari?“

Rara Wulan justru terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja Sekar Mirah bertanya tentang kemampuannya menari. Karena itu, hampir di luar sadarnya pula Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, “Ya. Aku memang pernah belajar menari.“

“Aku sudah mengira,“ berkata Sekar Mirah, “gadis-gadis kota pada umumnya memang dapat menari.“

“Tidak semuanya,“ jawab Rara Wulan.

“Tetapi Rara dapat menari,“ berkata Sekar Mirah, “ajari aku menari.”

Rara Wulan termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah tersenyum pula ketika Sekar Mirah menepuk bahunya sambil tertawa dan berkata, “Aku sudah terlalu tua.“

Rara Wulan tidak menyahut. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Aku kira sudah cukup hari ini. Kita akan latihan di dapur. Jika kita terlambat, Ki Jayaraga akan bergeremang sehari penuh.“

Rara Wulan hanya mengangguk saja, sementara Sekar Mirah telah berbenah diri. Ketika Rara Wulan akan membenahi amben yang rusak, Sekar Mirah berkata, “Biar saja. Nanti Kakang Agung Sedayu akan memperbaikinya. Sekarang kita pergunakan waktu beberapa saat untuk menenangkan diri.“

Rara Wulan pun kemudian menirukan saja apa yang dilakukan oleh Sekar Mirah yang seakan-akan telah mengendapkan segenap gejolak di aliran darahnya. Beberapa saat kemudian, keduanya telah keluar dari sanggar, berganti pakaian dan langsung sibuk di dapur. Mereka memang agak terlambat, tetapi Sekar Mirah tidak bekerja sendiri. Tetapi ia bekerja bersama Rara Wulan, sehingga segala sesuatunya menjadi lebih cepat dapat diselesaikan.

Namun dalam pada itu, selagi keduanya sibuk di dapur, Glagah Putih telah melangkah masuk. Ia memang ragu-ragu sesaat ketika ia melihat Rara Wulan ada pula di dapur. Namun kemudian katanya, “Mbokayu, ada tamu di pendapa.“

“Tamu? Bukankah kau dapat menemuinya? Aku sedang masak. Nanti terlambat,“ berkata Sekar Mirah.

“Agaknya hanya sebentar. Tamu dari Jati Anom. Ia ingin berbicara dengan Kakang Agung Sedayu,“ berkata Glagah Putih.

“Dari Jati Anom? Siapa?“ bertanya Sekar Mirah.

“Seorang cantrik. Utusan Kiai Gringsing,“ jawab Glagah Putih.

Kening Sekar Mirah telah berkerut. Katanya kepada Rara Wulan, “Tungguilah perapian itu Rara. Aku akan menemui tamu itu“

Rara Wulan mengangguk-angguk sambil menyahut, “Silahkah Mbokayu.“

Bersama Glagah Putih, Sekar Mirah pun kemudian telah pergi ke pendapa untuk menemui tamu yang datang dari Jati Anom itu. Bagaimanapun juga Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Menurut pengertiannya kesehatan Kiai Gringsing agak kurang baik.

Ketika Sekar Mirah keluar dari ruang dalam, maka dilihatnya seorang anak muda duduk di pendapa. Begitu anak muda itu melihat Sekar Mirah, maka iapun segera mengangguk hormat. Sekar Mirah pun tersenyum. Ia mengenal anak muda itu sebagai seorang cantrik di padepokan kecil Kiai Gringsing.

Sambil duduk di hadapan anak muda itu bersama Glagah Putih, maka Sekar Mirah yang segera ingin tahu tentang Kiai Gringsing itu pun telah bertanya, “Apa kabar dengan Kiai Gringsing?“

Cantrik itu mengangguk sekali lagi sambil menjawab, “Baik-baik saja Nyi. Bahkan beberapa hari ini Kiai Gringsing nampak lebih sehat.“

“O,“ Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Syukurlah jika keadaan Kiai Gringsing sudah berangsur baik. Dengan demikian agaknya kedatanganmu tidak membawa kabar yang dapat menggelisahkan Kakang Agung Sedayu. Justru karena keadaan kesehatan Kiai Gringsing, aku sudah merasa cemas.“

“Ya Nyi. Tetapi aku memang harus segera menemui Kakang Agung Sedayu. Hari ini aku akan segera kembali ke Jati Anom,“ berkata orang itu.

“Kenapa begitu tergesa-gesa? Apakah ada kabar yang penting sekali.“ bertanya Sekar Mirah.

“Memang penting sekali,“ sahut orang itu.

“Tetapi kau dapat menunggu. Kakang Agung Sedayu baru menunggui anak-anak muda yang sedang memperbaiki bendungan di kali kecil di sebelah pedukuhan induk ini Tentu tidak akan terlalu lama,“ berkata Sekar Mirah.

“Atau barangkali lebih baik jika aku menyusulnya?“ berkata cantrik itu.

Sekar Mirah termangu-mangu. Nampaknya anak muda itu memang membawa berita yang cukup penting, sehingga ia tidak sabar menunggu. Karena itu, maka iapun berkata kepada Glagah Putih, “jika demikian, antarkan cantrik ini ke bendungan.“

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Baik Mbokayu.“

“Tetapi kau harus segera pulang. Masih ada kerja bagimu. Kecuali jika ada persoalan yang mendesak,“ berkata Sekar Mirah.

“Baiklah,“ jawab Glagah Putih.

Demikianlah, maka kedua orang anak muda itu pun segera meninggalkan halaman rumah Agung Sedayu itu.

Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi karena tamunya berkuda dan nampak tergesa-gesa, maka Glagah Putih pun telah berkuda pula. Beberapa saat kemudian, maka kedua orang itu sudah berada di dekat bendungan yang sedang sibuk dikerjakan.

Beberapa orang anak muda yang melihat Glagah Putih telah menyapanya. Bahkan seorang di antara mereka bertanya, “He, kenapa kau hari ini malas sekali Glagah Putih? Kenapa kau tidak turun ke bendungan?“

Glagah Putih tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Ia tidak mengatakan bahwa hari itu ia akan pergi ke sawah menyampaikan kiriman buat Ki Jayaraga dan orang-orang yang bekerja di sawah, karena Sekar Mirah tidak dapat melakukannya selagi ia menemui Rara Wulan.

Namun demikian, tiba-tiba saja sebuah pertanyaan muncul di hatinya, “Jika Rara Wulan itu belajar ilmu kanuragan pada Mbokayu Sekar Mirah, apakah untuk seterusnya akulah yang pergi ke sawah membawa kiriman? Dengan demikian berarti aku kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu bersama anak-anak muda Tanah Perdikan.“

Tetapi pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri, “Tentu tidak. Malahan Rara Wulan itu akan dapat membantu Mbokayu Sekar Mirah membawa makanan ke sawah.“

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang melihat seorang cantrik dari Jati Anom datang ke bendungan itu, dengan serta merta telah mendekatinya. Iapun menjadi gelisah justru karena keadaan gurunya yang lemah. Tetapi cantrik itu segera menjelaskan, bahwa keadaan Kiai Gringsing justru berangsur baik.

“Jadi, untuk apa kau kemari?“ bertanya Agung Sedayu.

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Kiai Gringsing ingin bertemu dengan Kakang Agung Sedayu.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi Guru memanggil aku?“

“Ya. Kiai Gringsing memanggil Kakang Agung Sedayu,“ jawab cantrik itu.

“Kapan?“ bertanya Agung Sedayu pula.

“Kiai Gringsing tidak memberi batas waktu. Menurut Kiai Gringsing, jika Kakang Agung Sedayu sudah longgar waktunya, maka segera dimohon untuk datang,“ jawab cantrik itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Marilah. Aku akan pulang. Kita berbicara di rumah. Pergilah dahulu bersama Glagah Putih. Aku akan segera menyusul.“

“Keperluanku sudah selesai. Aku harus segera kembali ke Jati Anom,“ berkata cantrik itu.

“Tunggu aku di rumah,“ berkata Agung Sedayu.

Ketika cantrik itu akan menjawab lagi, Agung Sedayu telah mendahuluinya pula, “Sudahlah. Tunggu aku di rumah.“

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat membantah. Karena itu, maka iapun kemudian bersama Glagah Putih telah kembali ke rumah mendahului Agung Sedayu, yang akan pulang bersama Ki Lurah Branjangan dan cucunya, Raden Teja Prabawa.

Agung Sedayu pun kemudian terpaksa minta diri. Seorang bebahu akan meneruskan kerjanya, menunggui mereka yang sedang memperbaiki bendungan itu.

Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu telah menerima tamunya di pendapa bersama Glagah Putih, sementara Ki Lurah Branjangan dan Raden Teja Prabawa dipersilahkan untuk duduk di ruang dalam. Ki Lurah mengerti, bahwa yang dikatakan oleh cantrik itu tentang pesan Kiai Gringsing, mungkin tidak seluruhnya boleh didengar oleh orang lain.

“Apakah kau tahu, kenapa Guru memanggilku?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku kurang tahu. Tetapi Kiai Gringsing baru saja mengadakan perjalanan selama lima hari,“ jawab cantrik.

“Jadi dengan kesehatannya yang kurang baik itu Guru mengadakan perjalanan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Kami sudah berusaha mencegahnya. Tetapi menurut Kiai Gringsing, perjalanan itu hanya perjalanan pendek dan tidak akan membuatnya semakin buruk,“ berkata cantrik itu.

“Apa yang memaksa Guru untuk menempuh perjalanan itu?“ bertanya Agung Sedayu pula.

“Kami tidak tahu,“ jawab cantrik itu, “tetapi sebelumnya Kiai Gringsing telah bertemu dengan Ki Untara. Kiai Gringsing tidak mengatakan sesuatu atas pembicaraannya dengan Ki Untara. Namun kemudian Kiai Gringsing memutuskan untuk pergi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tentu ada sesuatu yang sangat mendesak, sehingga Kiai Gringsing yang kesehatannya tidak begitu baik itu harus pergi. Karena itu, maka Agung Sedayu pun menganggap bahwa panggilan gurunya itupun tidak akan dapat ditunda-tunda lagi.

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku akan berusaha secepatnya datang. Hari ini aku akan berbicara dengan beberapa orang di Tanah Perdikan ini untuk membagi pekerjaan. Aku pun harus minta diri kepada Ki Gede, sementara di rumah ini sedang ada tamu dari kota.“

“Kiai Gringsing memang tidak memberikan batas waktu. Kiai Gringsing juga sudah mengatakan, bahwa untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, Kakang Agung Sedayu tidak dapat begitu saja pergi. Karena itu, maka aku akan mengatakan bahwa Kakang akan datang di Jati Anom sekitar dua tiga hari lagi.“

“Ya. Aku akan pergi ke Jati Anom besok lusa,“ jawab Agung Sedayu.

“Jika demikian, maka aku sudah dapat mohon diri sekarang,“ berkata cantrik itu.

“Tentu saja kau dapat minta diri. Tetapi aku minta kau menunggu sampai kami sempat menghidangkan makan lebih dahulu,“ berkata Agung Sedayu.

“Terima kasih,“ jawab cantrik itu.

“Kau tidak dapat menolaknya. Tidak baik menolak rejeki. Apalagi kau dalam perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan,” berkata Agung Sedayu.

Cantrik itu tidak dapat menolak. Baru sesudah makan dan beristirahat sejenak bersama-sama dengan Ki Lurah Branjangan dan Raden Teja Prabawa, maka iapun minta diri.

Agung Sedayu tidak mencegahnya. Sementara cantrik itu berangkat kembali ke Jati Anom, Glagah Putih dan pembantu rumah Agung Sedayu itu pergi ke sawah.

“Cepat sedikit,“ pesan Sekar Mirah, “memang agak terlambat. Tetapi katakan kepada Ki Jayaraga bahwa kelambatan ini bukan karena kelambatanku. Tetapi ada tamu dari Jati Anom yang harus aku layani makan dan minum lebih dahulu.“

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Tetapi belum lambat sekali.“

“Tetapi cepatlah,“ minta Sekar Mirah.

“Apakah aku harus pergi berkuda?“ bertanya Glagah Putih sambil tertawa.

“Ah kau,” Sekar Mirah pun tertawa pula.

Rara Wulan tidak menyambung. Tetapi hampir saja ia menyatakan dirinya untuk ikut pergi ke sawah. Tetapi ia tahu, bahwa ayah dan kakaknya telah kembali, sehingga kakaknya tentu akan marah lagi kepadanya.

Demikianlah maka Glagah Putih dan pembantu di rumah itu dengan tergesa-gesa pergi ke sawah. Mereka meniti pematang untuk mengambil jalan pintas.

Dalam pada itu, selagi Ki Lurah Branjangan dan kedua cucunya beristirahat di pendapa sambil menghirup angin yang dapat sedikit menyejukkan udara yang agak panas, maka Agung Sedayu tengah berbicara dengan Sekar Mirah di dapur.

“Jadi Kakang harus pergi ke Jati Anom?“ bertanya Sekar Mirah.

“Ya. Aku memang terpaksa pergi. Jika tidak penting sekali, Guru tidak akan memerintahkan seorang cantrik untuk menyusul aku. Aku agaknya lupa menanyakan, apakah Swandaru juga dipanggil oleh Guru. Jika demikian, sebaiknya kami datang pada hari yang sama,“ berkata Agung Sedayu.

“Tetapi sebaiknya Kakang datang saja dahulu. Jika perlu Kakang dapat memanggil Kakang Swandaru.“ berkata Sekar Mirah.

“Ya. Aku akan datang besok lusa. Hari ini dan besok aku masih harus memberikan beberapa pesan kepada anak-anak muda sesuai dengan rencana yang telah kami susun. Aku juga harus minta diri kepada Ki Gede.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bagaimana dengan Ki Lurah?“

“Tidak apa-apa,“ jawab Sekar Mirah, “yang berkepentingan adalah Rara Wulan. Menurut penilaianku, Rara Wulan memiliki bekal kekuatan jasmaniah yang besar, sehingga aku berharap bahwa ia tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan. Yang penting untuk dituntut daripadanya adalah kesungguhan.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, “Tetapi agaknya Rara Wulan masih harus mendapat ijin dari orang tuanya.“

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tetapi jangan karena persoalan itu Kakang Agung Sedayu terhambat. Kiai Gringsing tentu benar-benar memerlukan kehadiran Kakang.“

“Ya,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “perjalanan yang dilakukan oleh Guru juga sangat menarik perhatian. Guru yang sudah sangat tua dan kesehatannya yang sedang terganggu itu telah memaksa diri untuk pergi. Tentu sesuatu yang sangat penting telah terjadi.“

“Dengan siapa Kakang pergi? Glagah Putih atau Ki Jayaraga? Dalam keadaan seperti ini sebaiknya Kakang tidak pergi sendiri. Aku tidak mencemaskan keselamatan Kakang, tetapi barangkali Kakang memerlukan seseorang untuk memberikan kabar kepada siapapun juga jika ada persoalan di perjalanan. Sementara orang itu pun harus seorang yang sanggup melindungi dirinya sendiri,“ berkata Sekar Mirah.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Aku akan pergi bersama Glagah Putih. Biarlah Ki Jayaraga membantumu di sini. Apalagi jika mungkin Ki Gede memerlukannya.“

“Tetapi bukankah Kakang akan mengatakannya juga kepada Ki Lurah Branjangan?“ bertanya Sekar Mirah.

“Sudah tentu,“ jawab Agung Sedayu.

“Maksudku seawal mungkin,“ desis Sekar Mirah.

“Mungkin Ki Lurah sudah mengerti, meskipun ia tidak mendengar keterangan cantrik itu langsung,“ berkata Agung Sedayu.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun katanya kemudia, “Marilah. Kita ke pendapa.“

Keduanya pun kemudian telah pergi ke pendapa. Dengan pendek Agung Sedayu pun kemudian mengatakan bahwa cantrik itu telah menyampaikan pesan Kiai Gringsing, agar ia pergi ke Jati Anom.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu ada hal yang sangat penting. Angger memang harus datang.“

“Aku sudah berjanji, besok lusa aku akan datang di Jati Anom,” jawab Agung Sedayu.

“Kenapa tidak hari ini? Mungkin persoalannya sangat mendesak., berkata Ki Lurah.

“Tidak Ki Lurah, Cantrik itu mengatakan, jika segala sesuatunya longgar di sini,“ desis Agung Sedayu.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka agaknya Kiai Gringsing memang menghadapi persoalan yang sangat penting, tetapi tidak mendesak sekali untuk mendapatkan penyelesaian.“

“Agaknya memang begitu,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Jika demikian, kita akan pergi bersama-sama,” berkata Ki Lurah.

“Ki Lurah akan kemana?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku sudah terlalu lama di sini Ngger. Agaknya kedua cucuku sudah cukup beristirahat,“ jawab Ki Lurah. “Mereka akan kembali memasuki kehidupan mereka sehari-hari dalam lingkungan mereka.”

“Tetapi bagaimana dengan aku, Kakek?“ bertanya Rara Wulan.

“Aku mengerti. Tetapi kau harus berbicara dengan ayah dan ibumu,“ berkata Ki Lurah.

“Kakek yang mengatakan kepada ayah dan ibu,“ berkata Rara Wulan, “bukankah Kakek berjanji?“

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Aku akan mengatakannya kepada ayah dan ibumu. Tetapi kau pun harus menyesuaikan dirimu sebagaimana sikap ayah dan ibumu. Apalagi dalam keadaan yang nampaknya menjadi semakin hangat ini.“

“Pokoknya terserah kepada Kakek,“ desis Rara Wulan.

Tetapi Raden Teja Prabawa-lah yang menyahut, “Kau harus mendengar keputusan terakhir dari ayah dan ibu.“

“Aku tahu,“ jawab Rara Wulan, “tetapi Kakek akan dapat mempengaruhi keputusan terakhir itu.“

Teja Prabawa masih akan menjawab. Tetapi Ki Lurah-lah yang menengahinya, “Sudahlah. Semuanya akan menjadi urusanku. Sekarang kalian tidak usah memamerkan kebiasaanmu bertengkar kepada kakangmu Agung Sedayu dan mbokayumu Sekar Mirah.“

Kedua cucu Ki Lurah itu memang terdiam. Sementara itu Ki Lurah berkata, “Kita akan kembali bersama kakangmu Agung Sedayu.“

“Apakah Ki Lurah tidak ingin berada di Tanah Perdikan ini lebih lama lagi? Mungkin aku hanya satu dua hari saja berada di Jati Anom,“ berkata Agung Sedayu.

Tetapi Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Jika ayah dan ibu Wulan mengijinkan, maka aku akan segera kembali mengantarkan anak ini.“

Tetapi Sekar Mirah-lah yang kemudian berdesis, “Nampaknya akan sangat berbahaya jika Ki Lurah hanya berdua saja dengan Rara menempuh perjalanan. Meskipun murid Ki Sigarwelat itu tidak berniat lagi untuk berbuat buruk, tetapi jika mereka bertemu dengan Rara Wulan dan Ki Lurah dalam perjalanan, mungkin niat jahat itu akan dapat timbul dengan serta merta.“

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk angguk ia berkata, “Memang mungkin sekali hal itu terjadi.“

“Jika demikian Ki Lurah,“ berkata Agung Sedayu, “jika kelak aku kembali dari Jati Anom, biarlah aku singgah di rumah Ki Lurah. Jika Ki Lurah memang ingin pergi ke Tanah Perdikan ini, kita akan dapat pergi bersama-sama.“

“Baiklah,“ berkata Ki Lurah, “aku akan menunggu sampai Angger Agung Sedayu kembali dari Jati Anom. Pergi atau tidak pergi, aku tentu memerlukan kehadiran Angger kelak.“

Demikianlah, maka ternyata Ki Lurah telah menentukan untuk bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali ke Mataram. Dengan demikian maka perjalanan mereka pun akan menjadi lebih aman. Terutama bagi Rara Wulan.

Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka sebelum berangkat ia memang harus mengatur tugas-tugasnya di Tanah Perdikan, serta minta diri kepada Ki Gede. Sedangkan Ki Lurah Branjangan pun sekaligus telah minta diri pula bersama-sama dengan kedua cucunya untuk kembali ke Mataram pada saat yang bersamaan dengan kepergian Agung Sedayu.

Namun Ki Lurah itu berkata, “Tetapi kami hanya berjalan kaki Ngger. Jika Angger Agung Sedayu tidak tergesa-gesa, maka kami berharap untuk bersedia berjalan bersama kami dengan menuntun kuda sampai ke Mataram.“

“Apakah kedua cucu Ki Gede tidak lelah?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kami datang sudah dengan niat untuk menempuh sebuah perjalanan. Kami ingin mencoba kemampuan kami berjalan, meskipun ternyata kami harus berhenti lima puluh kali sepanjang perjalanan kemari dari Mataram,“ jawab Ki Lurah.

Ki Gede tertawa. Agung Sedayu pun tertawa pula.

Namun dalam pada itu, sebelum Agung Sedayu berangkat pagi-pagi benar sebelum dini hari di hari berikutnya, maka menjelang sore hari sebelumnya telah datang dua orang penghubung berkuda. Keduanya telah membawa berita yang memang mendebarkan. Dalam beberapa hari lagi, Ki Panji Wiralaga akan datang untuk melaksanakan rencana yang pernah disusun.

“Beberapa hari lagi itu maksudnya kapan?“ bertanya Ki Gede, “Satu dua hari, sepekan atau sepuluh hari?“

“Belum dapat dipastikan. Tetapi diminta Ki Gede bersiap-siap,“ jawab penghubung itu.

Ketika kemudian Agung Sedayu juga dipanggil ke rumah Ki Gede, maka Agung Sedayu berjanji esok hari jika ia pergi ke Jati Anom, akan singgah ke rumah Ki Panji Wiralaga bersama Ki Lurah Branjangan. Segala sesuatunya akan menjadi lebih jelas.

Sepeninggal orang itu, maka Ki Gede, Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu sempat berbicara sejenak. Menurut pengamatan mereka, maka keadaan memang menjadi semakin gawat.

Kedua orang penghubung itu tidak memberikan gambaran keadaan sama sekali. Tetapi bahwa ia datang untuk memberitahukan agar Ki Gede mengambil ancang-ancang untuk membentuk satu pusat pengendalian kekuatan di Tanah Perdikan ini dan sekitarnya, tentu karena keadaan yang semakin mendesak.

“Mudah-mudahan besok kita mendapat gambaran yang lebih jelas di Mataram,“ berkata Agung Sedayu.

Demikianlah, maka di keesokan harinya Agung Sedayu benar-benar telah berangkat ke Mataram bersama Glagah Putih, Ki Lurah Branjangan dan kedua orang cucunya. Mereka tidak berangkat dari rumah Ki Gede. Tetapi mereka berangkat dari rumah Agung Sedayu.

Lewat tengah malam mereka telah bangun. Sekar Mirah telah sibuk di dapur memanasi air untuk membuat minuman dan sekaligus menanak nasi untuk makan pagi sebelum mereka berangkat. Sementara yang lain telah bergantian mandi di pakiwan tanpa melepaskan sikap berhati-hati.

Sebelum dini hari, ternyata semuanya sudah selesai, sehingga mereka dapat berangkat sangat awal. Jika nanti matahari terbit, mereka telah mencapai jarak yang panjang.

Betapapun lambatnya perjalanan, namun akhirnya mereka sampai juga di Mataram dengan selamat. Perjalanan yang melelahkan, sehingga Teja Prabawa rasa-rasanya telah menjadi jera. Tetapi tidak demikian halnya dengan Rara Wulan. Meskipun ia juga merasa letih, tetapi ia tetap berharap untuk pada suatu saat kembali ke Tanah Perdikan Menjelang sore hari, maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Lurah Branjangan telah pergi ke rumah Ki Panji Wiralaga. Malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih akan bermalam semalam di rumah Ki Lurah Branjangan.

Kedatangan Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Lurah Branjangan telah disambut dengan baik oleh Ki Panji Wiralaga. Dengan singkat Agung Sedayu telah menyampaikan persoalan yang timbul di Tanah Perdikan karena kehadiran kedua orang penghubung dari Ki Panji.

“Jadi kau akan pergi ke Jati Anom?“ bertanya Ki Panji kepada Agung Sedayu.

“Ya Ki Panji. Besok jika aku kembali ke Tanah Perdikan, aku sudah berjanji untuk singgah pula di rumah Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu.

“Kapan kau kembali?“ bertanya Ki Panji.

“Aku tidak dapat mengatakan. Tetapi aku kira aku tidak akan terlalu lama,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Panji mengangguk-angguk. Setelah merenung sejenak, maka katanya, “Jika demikian akupun akan menunggu kau kembali.“

Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, nampaknya Ki Panji dapat mengerti perasaannya. Katanya, “Kecuali jika kau terlalu lama, maka aku terpaksa mendahuluimu.“

“Agaknya itu lebih baik Ki Panji,“ jawab Agung Sedayu.

Namun dalam kesempatan itu Agung Sedayu telah mendapat beberapa keterangan yang meskipun sangat terbatas, namun memberikan gambaran yang agak menyeluruh. Bahkan dengan nada rendah Ki Panji itu berkata, “Panembahan Senapati terpaksa mengambil kebijaksanan yang agak tergesa-gesa.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia bertanya, “Keputusan tentang apa?“

Ki Panji Wiralaga memang menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian katanya, “Bukankah kau mempunyai kesempatan khusus untuk merighadap Panembahan Senapati? Kau dapat menghadap hampir setiap saat. Kesempatan yang tidak dimiliki oleh orang lain, kecuali para pemimpin terdekat seperti Ki Mandaraka. Kau dapat berbicara dengan Panembahan tentang keadaan terakhir dari Mataram, sehingga kau akan mendapat gambaran yang jelas.“

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan singgah sekarang Ki Panji. Besok aku harus sampai ke Jati Anom. Jika aku singgah untuk menghadap Panembahan, mungkin aku harus menunda waktu lagi.“

Ki Panji Wiralaga mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Ki Mandaraka sudah sepakat untuk mengangkat Pangeran Gagak Baning untuk menggantikan kedudukan Pangeran Benawa di Pajang.“

“Pangeran Gagak Baning adik Panembahan Senapati?“ bertanya Agung Sedayu dengan serta merta, “Lalu bagaimana sikap Panembahan Madiun?“

Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Itulah sebabnya maka rencana Panembahan Senapati atas Tanah Perdikan Menoreh serta, atas dasar perhitungan Pemimpin Pasukan Khusus, maka kepemimpinan dan kendali kekuatan di Tanah Perdikan akan dipersatukan. Pengawasan terhadap Sanggabaya akan ditingkatkan.“

Namun dalam pada itu Ki Lurah Branjangan telah berkata hampir kepada diri sendiri, “Ki Sanggabaya di Menoreh agak terlalu berani.“

“Ya,“ jawab Ki Panji, “ternyata diperlukan banyak tenaga dan perhatian. Namun lewat orang itu, maka akan dapat diamati siapa saja para pemimpin Mataram yang goyah pendiriannya.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Sanggabaya dapat diberi kesempatan yang lain. Tetapi tidak memegang kekuatan yang cukup besar di atas Tanah Perdikan itu.”

Ki Panji mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang agak terlalu ke tepi, ibarat kita berdiri di pinggir jurang. Karena itu, pagar yang direncanakan dibuat itu harus segera diwujudkan.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan dapat berjalan lancar. Aku akan segera kembali dari Jati Anom.“

Demikianlah, maka Agung Sedayu, Ki Lurah dan Glagah Putih pun segera mohon diri. Ki Panji masih mengharap bahwa Agung Sedayu tidak akan terlalu lama berada di Jati Anom, sehingga mereka akan dapat bersama-sama pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Di perjalanan kembali ke rumah Ki Lurah Branjangan, Agung Sedayu masih juga bertanya tentang Pangeran Gagak Baning.

“Aku kurang mengenalnya,“ berkata Ki Lurah Branjangan, “tetapi agaknya memang agak berbeda dengan Pangeran Singasari yang keras.“

“Tetapi bagi Madiun, kehadiran keluarga Panembahan Senapati akan dapat menjadi persoalan,“ berkata Agung Sedayu.

“Persoalan itu memang ada lebih dahulu,“ jawab Ki Lurah, “justru Panembahan Senapati ingin menunjukkan sikap kepemimpinannya. Setelah beberapa kali usahanya untuk mencari penyelesaian dengan cara yang lebih baik tidak berhasil.“

“Apakah sikap Panembahan Madiun sangat kaku?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku sekarang sudah jarang sekali berhubungan dengan orang-orang dalam. Tetapi menurut pendengaranku, di sekitar Panembahan Madiun memang terdapat orang-orang yang keras kepala, mementingkan diri sendiri dan pamrih yang sangat besar. Mereka-lah yang kadang-kadang memberikan keterangan yang sengaja diputarbalikkan, atau dengan didorong oleh pamrih pribadi telah memanasi suasana,“ berkata Ki Lurah Branjangan, “tetapi aku tahu benar hubungan yang sangat akrab antara Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun, yang dianggap sebagai pamandanya sendiri.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga bertanya, “Ki Lurah. Apakah menurut pendapat Ki Lurah, masih ada bekas-bekas luka di hati Panembahan Madiun karena perpindahan pusat pemerintahan dari Pajang ke Mataram? Bukankah yang mengangkat Panembahan Madiun pada kedudukannya sekarang adalah Sultan Hadiwijaya di Pajang? Bukankah pada mulanya, Panembahan Madiun termasuk salah seorang yang mengusulkan agar Mataram dipadamkan sebelum menjadi nyala api yang akan membakar Tanah ini?“

“Nampaknya semuanya sudah dilupakan,“ berkata Ki Lurah Branjangan, “tetapi kita memang tidak tahu, apa yang menyala di dalam dada seseorang.“

Agung Sedayu mengangguk–angguk. Namun iapun kemudian berpaling kepada Glagah Putih sambil berkata, “Beruntunglah kau dapat ikut mendengar, Glagah Putih. Tetapi kau tahu, bahwa berita ini bukan berita yang pantas disebarkan untuk orang lain.”

Glagah Putih mengangguk sambil berdesis, “Aku mengerti Kakang.”

“Baiklah. Mungkin Guru besok akan dapat memberikan pendapatnya tentang perkembangan terakhir hubungan antara Mataram dan Madiun,” berkata Agung Sedayu pula.

Namun ketika Ki Lurah Branjangan itu sampai ke rumahnya, maka persoalannya menjadi lain. Yang menjadi ribut adalah kedua cucunya. Raden Teja Prabawa ingin segera mengajak kakeknya pulang ke rumah orang tuanya. Rara Wulan mendesak kakeknya untuk segera mengatakan bahwa ia ingin mempelajari ilmu kanuragan di Tanah Perdikan Menoreh.

“Malam ini tamu-tamu kita akan bermalam di rumah Kakek,” jawab Ki Lurah, “karena itu besok kita akan menemui ayah dan ibumu.”

Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan memang tidak dapat memaksa. Hari itu di rumah kakeknya bermalam dua orang tamu dari Tanah Perdikan Menoreh. Namun dalam satu kesempatan Ki Lurah berkata kepada keduanya, “Meskipun mereka datang dari Tanah Perdikan Menoreh, tetapi keduanya adalah orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan Panembahan Senapati. Keduanya dapat menghadap Panembahan Senapati kapan saja tanpa melalui jalur yang diterapkan bagi orang lain.”

Raden Teja Prabawa mengangguk-angguk. Ia sudah pernah mendengar keterangan seperti itu. Tetapi ketika kakeknya mengingatkannya, maka ia memang harus menahan diri.

Demikianlah Agung Sedayu dan Glagah Putih bermalam semalam di rumah Ki Lurah. Pagi-pagi mereka telah siap untuk berangkat ke Jati Anom.

Ketika keduanya menuntun kudanya di halaman, maka dari seketheng longkangan rumah Ki Lurah, Rara Wulan memandang keduanya yang berjalan diantar oleh kakeknya sampai ke regol. Adalah di luar sadarnya, jika Glagah Putih berpaling. Ketika ia melihat Rara Wulan yang sedang memandanginya, maka. terasa jantungnya berdegup keras. Iapun segera menundukkan kepalanya sementara kakinya melangkah terus keluar regol halaman.

Demikianlah, maka sejenak kemudian terdengar derap kaki dua ekor kuda yang semakin lama menjadi semakin jauh. Untuk beberapa saat Rara Wulan masih berdiri di seketheng. Namun iapun kemudian melangkah masuk kembali ke rumah kakeknya lewat pintu butulan.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah berpacu meninggalkan rumah Ki Lurah Branjangan. Meskipun tidak terlalu cepat, namun mereka telah menyibakkan orang-orang yang mulai ramai berjalan kaki di sepanjang jalan, yang ternyata melewati sebuah pasar yang cukup besar. Satu dua mereka juga bertemu dengan orang-orang berkuda yang akan pergi ke pasar.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak berhenti ketika mereka melewati pasar. Mereka melintas dengan cepat. Beberapa orang yang melihat keduanya lewat di jalan sebelah pasar itu sempat mengagumi kuda mereka. Terutama kuda Glagah Putih yang besar, tinggi dan tegar.

Perjalanan mereka berdua terasa menjadi cepat, jauh lebih cepat dari perjalanan mereka dari Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi perjalanan mereka memang tidak menemui hambatan apapun juga, sehingga dengan demikian maka dalam waktu yang terasa singkat saja mereka telah berada di tepi Kali Opak.

Agung Sedayu dan Glagah Putih memberi kesempatan kuda mereka untuk beristirahat beberapa saat di pinggir Kali Opak. Sementara kuda mereka minum dan makan rerumputan segar, Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk di atas sebongkah batu besar di pinggir Kali Opak.

Ternyata bahwa kuda Glagah Putih memang banyak menarik perhatian. Beberapa orang yang lewat tidak jauh dari tempat kedua orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu beristirahat, ternyata telah memperhatikan kuda Glagah Putih yang sedang makan rerumputan.

Bahkan dua orang yang berpakaian sebagai saudagar-saudagar kaya telah berhenti. Tetapi mereka hanya sekedar mengagumi dan bertanya beberapa hal tentang kuda itu.

“Seandainya aku mendapatkan seekor kuda setegar itu,” desis yang seorang.

Glagah Putih hanya tersenyum saja. Ketika yang lain bertanya dari mana ia mendapat kuda itu, maka Glagah Putih menjawab, “Pamanku. Pamanku adalah penggemar kuda.”

“Aku juga penggemar kuda,” berkata orang itu, “kau adalah seorang yang sangat beruntung mendapatkan seekor kuda seperti itu.”

Glagah Putih masih saja tersenyum sambil menyahut, “Ya. Aku memang beruntung mendapatkan kuda itu.”

Ketika kedua saudagar itu kemudian melanjutkan perjalanan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera berbenah diri. Sejenak kemudian keduanya telah berpacu menuju ke Jati Anom.

Bagaimanapun juga, Agung Sedayu dan Glagah Putih merasa berdebar-debar ketika mereka mendekati padepokan kecil Kiai Gringsing. Mereka berdua menyadari bahwa tentu ada sesuatu yang penting. Sementara itu persoalan antara Mataram dan Madiun menjadi semakin hangat pula.

“Apakah persoalan yang akan dikatakan oleh Guru juga menyangkut persoalan antara Mataram, Pajang dan Madiun?” bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Tetapi Agung Sedayu harus menunggu jawabnya sampai ia nanti bertemu dengan gurunya. Gurunya yang semakin tua dan kesehatannya sudah tidak utuh lagi sebagaimana kekuatan wadagnya, meskipun ilmunya tidak susut. Namun ilmu nya itupun memerlukan dukungan unsur kewadagannya.

Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di depan regol padepokan, Ketika seorang cantrik melihat mereka memasuki padepokan, maka dengan tergesa-gesa cantrik itu telah menyongsong mereka.

“Selamat datang di padepokan kami,” berkata cantrik itu sambil membungkuk hormat.

“Bagaimana dengan padepokan ini?” bertanya Agung Sedayu.

“Semuanya dalam keadaan baik,” jawab cantrik itu.

“Bagaimana dengan Guru?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Kiai dalam keadaan yang baik. Nampaknya lebih baik dari beberapa pekan yang lalu,” jawab cantrik itu, yang kemudian menerima kuda-kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk diikat di sisi bangunan induk padepokan kecil itu. Sementara cantrik yang lain telah mempersilahkannya naik ke pendapa.

“Apakah Guru ada di dalam?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak,” jawab cantrik itu, “Kiai berada di tepi kolam. Sejak pagi Kiai berjalan-jalan di kebun, kemudian beristirahat di gubug ditepi kolam itu.”

“Sudahlah. Kau tidak usah memanggilnya. Kami akan pergi kesana,” berkata Agung Sedayu.

Cantrik itu pun kemudian mempersilahkannya pergi ke kebun di bagian belakang padepokan itu.

Kiai Gringsing memang sedang duduk di sebuah gubug yang tidak terlalu kecil sambil menghadapi minuman hangat dan beberapa potong makanan. Sekali-sekali Kiai Gringsing sempat memperhatikan ikan-ikan yang berenang hilir mudik di blumbang. Ikan-ikan yang semakin lama semakin banyak dan menjadi besar di blumbang itu. Meskipun setiap kali para cantrik memungut beberapa ekor, namun jumlahnya tidak pernah susut.

Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih memang mengejutkan. Namun sudah diduga bahwa hari itu mereka akan datang.

“Marilah,” Kiai Gringsing mempersilahkan sambil beringsut, “aku sudah menduga, jika tidak kemarin, kau tentu akan datang hari ini.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian telah duduk pula di gubug itu. Dengan singkat Agung Sedayu sempat menceritakan bahwa semalam ia bermalam di Mataram, di rumah Ki Lurah Branjangan. Bahkan Agung Sedayupun telah menceritakan pula pertemuannya dengan Ki Panji Wiralaga, serta rencana Panembahan Senapati bagi Tanah Perdikan. Kemudian Agung Sedayu pun sempat berkata, “Panembahan Senapati telah menempatkan Pangeran Gagak Baning di Pajang.”

“Kau mengatakan hal itu tentu dalam hubungannya dengan Panembahan Madiun,” desis Kiai Gringsing.

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih ketika seorang cantrik menghidangkan minuman dan makanan, “Minum sajalah dahulu. Nanti jika kau sudah beristirahat, kita berbicara tentang Mataram dan Madiun.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak membicarakan lagi persoalan Mataram dan Madiun. Tetapi Kiai Gringsing mulai berbicara tentang kolam ikan yang telah diperluas.

“Kami telah membuat satu lagi. Tetapi dengan cara yang berbeda. Kolam yang satu yang berada di sebelah pagar itu kami aliri air dari parit dan kami biarkan airnya tetap bergerak. Kami membuat kolam itu seperti rumpon. Kami beri bebatuan dan selangkrah bambu dan daun salak,” berkata Kiai Gringsing.

“Isi kolam itu tentu berbeda dengan isi kolam ini Kiai,” sahut Glagah Putih yang mempunyai kesenangan membuat pliridan dan rumpon.

“Ya. Setelah tiga bulan kami membukanya. Kami mendapat beberapa kepis ikan lele dan kutuk,” berkata Kiai Gringsing.

“Menarik. Kapan lagi rumpon itu akan dibuka?” bertanya Glagah Putih.

“Baru beberapa hari yang lalu kami membukanya,” jawab Kiai Gringsing.

“Sayang sekali,” desis Glagah Putih.

Kiai Gringsing tersenyum. Iapun tahu bahwa Glagah Putih mempunyai kesenangan turun ke sungai. Sungai di sebelah padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh adalah sungai yang tidak besar, tetapi hampir setiap malam Glagah Putih turun dua kali.

Setelah minum minuman hangat serta berbicara tentang Jati Anom, Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, maka Kiai Gringsingpun berkata, “Aku memang ingin berbicara tentang Mataram dan Madiun.”

“Aku sudah menduga, Guru,” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi aku tidak tergesa-gesa,” desis Kiai Gringsing kemudian.

“Apakah Guru juga bermaksud memanggil Swandaru?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak hari ini,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi besok aku minta kau memanggilnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk, Ia mengerti, bahwa gurunya ingin berbicara dengan dirinya lebih dahulu, baru kemudian dengan adik seperguruannya, Swandaru

Dalam pada itu gurunya berkata, “Nanti malam kita mempunyai waktu cukup untuk berbicara agak panjang. Ada beberapa hal yang perlu dipersoalkan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Agaknya gurunya memang ingin berbicara dengan tenang, sehingga tidak akan terganggu oleh apapun.

Sebenarnyalah, ketika senja turun maka Kiai Gringsing telah berada di pendapa bangunan induk padepokan kecil itu. Glagah Putih masih sempat menengok kudanya yang sudah dimasukkan ke dalam kandang bersama kuda Agung Sedayu.

Ternyata bahwa Kiai Gringsing berkenan memanggil Glagah Putih untuk mendapat kesempatan mendengarkan pembicaraannya dengan Agung Sedayu tentang perkembangan keadaan yang terakhir.

Sejenak kemudian, ketiganya telah duduk melingkar di pendapa menghadapi minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Seorang cantrik mempunyai kecakapan membuat jenang nangka. Nah, cobalah,” Kiai Gringsing mempersilahkan.

Ketika Glagah Putih mencicipinya, maka iapun berdesis, “Enak sekali. Darimana cantrik itu belajar membuat jenang nangka seperti ini?”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Sejak ia datang, ia sudah memiliki kepandaian itu. Menurut keterangannya, ibunya-lah yang mengajarinya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun setelah ia makan jenang nangka beberapa potong, iapun mulai menggenggam beberapa buah beton nangka yang direbus. Ternyata beton nangka merupakan salah satu kegemarannya. Apalagi direbus dengan sedikit garam.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing mulai bersungguh-sungguh. Katanya, “Kau aku minta datang kemari, karena ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu Agung Sedayu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia bertanya, “Apakah Guru baru saja melakukan perjalanan?”

“Ya,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “tetapi bukan perjalanan yang berat. Aku hanya sekedar melihat-lihat keadaan. Sudah lama aku berada di padepokan ini tanpa melihat dunia luar yang sebelumnya sering aku jelajahi. Rasa-rasanya ada kerinduan untuk melihatnya. Karena itu, maka aku memerlukan untuk berjalan-jalan selama kira-kira sepekan.”

“Apakah Guru berjalan-jalan ke Timur?” bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya dengan wajah tengadah, “Berjanjilah, bahwa tidak semua yang aku katakan kepadamu dan didengar oleh Glagah Putih, akan kalian katakan kepada orang lain. Kalian berdua harus pandai memilih, mana yang perlu dikatakan kepada orang lain yang berkepentingan, dan mana yang tidak.”

“Aku berjanji Guru,” desis Agung Sedayu, sementara Glagah Putih pun mengangguk. sambil berdesis, “Aku mengerti, Kiai.”

“Nah, kalian berdua adalah orang-orang yang paling aku percaya di samping Swandaru. Aku tidak mencurigai Swandaru bahwa ia akan melanggar pesanku. Tetapi kadang-kadang dengan tidak sengaja Swandaru telah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dikatakan kepada orang yang tidak berkepentingan.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Mereka memang dapat mengenal sifat dan tabiat Swandaru dengan baik. Kadang-kadang tanpa disengaja apa saja terlontar dari mulutnya. Apalagi jika ia sedang marah.

Dalam pada itu, dengan nada rendah dan bersungguh-sungguh Kiai Gringsing berkata, “Aku pergi ke Madiun.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang agak terkejut. Meskipun mereka sudah menduga, bahwa kepergian Kiai Gringsing itu ada hubungannya dengan kemelut yang semakin tebal di langit yang meliputi Mataram dan Madiun. Tetapi mereka tidak mengira bahwa Kiai Gringsing langsung pergi ke Madiun.

Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, “Aku telah bertemu langsung dengan Panembahan Madiun.” “Guru,” wajah Agung Sedayu menjadi tegang.

“Adalah satu kebetulan bahwa Panembahan Madiun pernah mengenali aku meskipun bukan sebagai Kiai Gringsing. Tetapi Panembahan Madiun mengenali cambukku,” berkata Kiai Gringsing.

“Dan lukisan di pergelangan tangan itu,” desis Agung Sedayu pula.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya kemudian, “Siapapun aku, namun aku telah berbicara dengan Panembahan Madiun.”

“Guru membicarakan hubungan Madiun dengan Mataram?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “namun menurut pendapatku, keduanya sulit untuk dipertemukan. Meskipun pada Panembahan Madiun dan pada Panembahan Senapati terdapat keinginan untuk menyingkirkan kekerasan, namun jalan pikiran keduanya sulit untuk dapat bertemu. Lebih-lebih lagi di sekitar Panembahan Madiun terdapat orang-orang yang sengaja membakar jantungnya.”

“Nampaknya memang demikian Guru. Langkah-langkah yang pernah diambil oleh orang-orang yang tidak langsung mempunyai jalur hubungan dengan Panembahan Madiun menunjukkan kemungkinan itu,” berkata Agung Sedayu.

“Tetapi Mataram harus berhati-hati. Madiun mampu menghimpun kekuatan yang sangat besar. Dari segi jumlah prajurit, Mataram tidak akan dapat mengimbanginya. Namun mungkin dari sisi yang lain Mataram dapat mengisi kekurangan itu,” berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu bertanya, “Jadi bagaimana menurut pendapat Guru, apakah ada pendapat yang harus didengar oleh Panembahan Senapati?”

“Ya,” jawab Kiai Gringsing.

“Jadi Guru akan menghadap Panembahan?” bertanya Agung Sedayu.

Tetapi Kiai Gringsing nampaknya justru ragu-ragu. Bahkan ia kemudian bertanya, “Bagaimana jika kau saja?”

Agung Sedayu-lah yang kemudian termangu-mangu. Sejenak ia berpaling kepada Glagah Putih. Namun Glagah Putih pun agaknya tidak mempunyai sikap tertentu.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Guru. Menurut pendapatku, sebaiknya Guru langsung bertemu dengan Panembahan Senapati, sebagaimana Guru bertemu dengan Panembahan di Madiun.”

“Bukankah sama saja bagi Panembahan Senapati? Kau adalah muridku, sehingga kehadiranmu di Mataram adalah atas namaku,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi pengaruh jiwani atas Panembahan Senapati tentu akan berbeda jika Guru sendiri yang datang menghadap Panembahan Senapati,” berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin ada baiknya aku menghadap. Tetapi aku sekarang tidak lebih dari seorang laki-laki tua yang lemah.”

“Jarak antara Jati Anom ke Mataram kurang dari sepertiga jarak perjalanan antara Jati Anom ke Madiun,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku mengerti maksudmu Agung Sedayu. Jika aku dapat berkeliaran sampai Madiun, kenapa aku tidak dapat pergi ke Mataram?”

“Bukan maksudku Guru,” sahut Agung Sedayu dengan serta merta. “Aku hanya bermaksud agar persoalannya menjadi lebih jelas. Tetapi terserah kepada Guru, jika Guru memerintahkan aku menghadap, maka aku akan menghadap.”

Kiai Gringsing masih tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya. Namun Panembahan Senapati memang harus bersiap-siap. Desakan yang datang dari beberapa orang adipati di daerah Timur kepada Panembahan Madiun nampaknya tidak akan dapat terbendung lagi, betapapun Panembahan Madiun sendiri menganggap Panembahan Senapati itu sebagai anaknya sendiri. Beberapa adipati menganggap bahwa Mataram adalah peletik api sebesar kunang-kunang yang ada di dalam sekam. Api itu harus segera disiram sebelum menjadi besar dan membakar kekuasaan para adipati yang nampaknya segan mengakui ikatan kesatuan yang dikehendaki oleh Panembahan Senapati. Mereka menganggap bahwa dengan berdiri sendiri-sendiri mereka akan dapat berbuat lebih leluasa, tanpa menghiraukan citra betapa besarnya kekuatan jika semuanya terikat dalam satu kesatuan. Apalagi menghadapi kekuatan perdagangan orang-orang asing di pesisir utara yang semakin ramai. Mereka bukan saja orang-orang yang ingin berdagang. Tetapi mereka ternyata adalah orang-orang yang mulai mencampuri persoalan-persoalan yang timbul di atas Tanah ini. Mereka merambat dari lingkungan pasir pantai dan mulai menginjak daratan. Mereka akan memasuki Tanah ini semakin dalam. Menjelajahi hutan-hutan, tanaman dan sawah-sawah. Satu ketika mereka akan memasuki kota-kota, dan bahkan istana-istana.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang terbayang di angan-angannya satu kekuatan asing yang muncul dari lautan, dengan kekuatan yang besar dan senjata yang agaknya lebih baik dari senjata yang dimiliki oleh orang-orang Tanah ini.

Ternyata bahwa Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Besok kita pergi ke sanggar. Aku ingin menunjukkan kepadamu, jenis senjata yang dapat melontarkan bara besi ke sasaran yang jauh. Mungkin kau masih dapat memperbandingkannya dengan kemampuanmu menyerang dengan kekuatan sorot matamu. Tetapi hanya satu dua orang yang memiliki ilmu seperti itu di Tanah ini. Sementara orang asing itu akan dapat membawa beberapa peti senjata pelontar bara api itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Hampir berdesis ia berkata, “Jika demikian, Tanah ini memang harus menjadi satu.” Namun kemudian Agung Sedayu pun bertanya, “Darimana Guru mendapatkan jenis senjata itu?”

“Ada beberapa buah di Madiun. Panembahan Madiun ternyata berbaik hati memberikan kepadaku sebuah,” jawab Kiai Gringsing. Namun katanya kemudian, “Di Pajang terdapat pula senjata-senjata semacam itu, meskipun hanya satu dua. Tetapi yang penting harus kita ketahui adalah bahwa senjata itu merupakan ancaman bagi keutuhan Tanah ini.”

Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Sementara Kiai Gringsing berkata, “Bagaimana juga, aku sebentar lagi akan menjalani langkah-langkah terakhir dari hidupku. Tidak seorangpun yang akan mampu menghindarkan diri dari kematian. Karena itu aku tidak akan melihat apa yang akan terjadi dalam waktu dekat sekalipun. Namun kau, anak-anak yang lebih muda lagi seumur Glagah Putih, harus lebih jauh memandang ke depan. Mungkin anak Untara itu, atau anak Swandaru yang bakal lahir, akan mengalami pergumulan yang lebih seru. Campur tangan orang-orang asing adalah racun yang paling tajam bagi persatuan penghuni Tanah ini.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah Guru mengambil kesimpulan bahwa Panembahan Senapati harus bergerak lebih cepat untuk mempersatukan Tanah ini?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian berdesis, “Tidak semudah itu. Di belakang kita banjir bandang memburu, sementara di hadapan kita, hutan telah terbakar dari ujung sampai ke ujung.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Satu masalah yang sangat rumit akan dihadapi oleh Panembahan Senapati.

Selagi Agung Sedayu merenung, maka Kiai Gringsing pun berkata pula, “Nah, sebaiknya kau pergi ke Sangkal Putung besok. Aku tidak akan memberitahukan banyak persoalan kepadanya. Tetapi aku ingin memperingatkan agar ia bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang barangkali memang menuntut kesiagaan tertinggi dari setiap unsur yang ada di Mataram.”

“Baik Guru,” jawab Agung Sedayu.

“Mudah-mudahan Swandaru tidak mempunyai rencana tersendiri sebelum aku sempat menghadap Panembahan Senapati,” berkata Kiai Gringsing.

Demikianlah, untuk beberapa lamanya mereka masih berbincang di pendapa. Namun angin malam yang dingin nampaknya mulai mengganggu Kiai Gringsing yang memang menjadi semakin tua. Sebagai seorang yang mengerti tentang obat-obatan, maka iapun kemudian berkata, “Angin malam ini kurang baik bagi kesehatanku. Sebaiknya kita berbincang di dalam. Persoalan yang terpenting yang akan kau sampaikan telah aku katakan kepadamu.”

“Marilah Guru,” jawab Agung Sedayu, “agaknya Guru juga harus banyak beristirahat. Karena itu sebaiknya Guru tidak terlalu malam pergi tidur.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun kemudian bangkit dan berjalan masuk ke ruang dalam, diikuti oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Seorang cantrik telah membawa minuman dan makanan yang ada di pendapa ke ruang dalam pula.

Tetapi mereka sudah tidak terlalu lama lagi duduk bercakap-cakap. Namun Kiai Gringsing masih sempat berkata, “Agung Sedayu. Aku tahu bahwa masih banyak yang ingin kau pelajari. Apakah itu dari isi kitab yang kau pinjam dari Ki Waskita, atau kitab yang aku pinjamkan kepadamu dan Swandaru. Atau berdasarkan atas pengalamanmu yang luas, sehingga kau menemukan kemungkinan-kemungkinan baru pada ilmumu yang beraneka itu. Namun aku masih minta kepadamu agar kau bersedia meluangkan waktumu sedikit untuk mempelajari serba sedikit tentang pengobatan. Tentang jenis-jenis tanaman yang dapat dijadikan obat-obatan untuk berbagai macam penyakit. Caranya dan kemungkinan-kemungkinannya. Juga tentang susunan syarat, nadi dan urat. Simpul-simpul dan tata tubuh yang lain.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak menolak keinginan gurunya yang dinilainya sebagai perintah itu. Namun dengan demikian berarti bahwa ia harus berada di padepokan itu untuk waktu yang cukup lama.

Namun nampaknya Kiai Gringsing mengerti perasaan Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya, “Agung Sedayu. Untuk mempelajarinya, kau tidak tinggal di padepokan ini. Aku mempunyai beberapa lembar penulisan tentang hal itu yang dapat kau bawa dan kau pelajari di Tanah Perdikan Menoreh. Nampaknya Ki Jayaraga serba sedikit juga mempunyai pengetahuan tentang obat-obatan. Kau dapat berbicara dengan orang itu dan memperluas pengenalanku yang aku tuangkan dalam tulisan itu. Kau akan dapat saling memberi dan menerima.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Namun di antaranya ada hal yang tidak sebaiknya dipelajari secara terbuka. Pengetahuan tentang berhagai macam racun dan bisa. Jika penulisan tentang hal itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, maka hal itu akan dapat disalahgunakan. Sementara itu kau adalah salah seorang di antara mereka yang kebal racun, sehingga kau akan dapat lebih banyak berbuat dan mempelajarinya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa pengetahuan tentang obat-obatan itu memang sayang jika begitu saja dilupakan, bersamaan dengan hilangnya seorang yang memilikinya. Karena itu maka Agung Sedayu pun menjawab, “Guru. Sejauh dapat aku lakukan, aku akan mempelajarinya.”

“Bagus,” berkata Kiai Gringsing, “aku juga mempunyai sekeranjang kecil contoh dedaunan, akar-akaran dan jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat kau pergunakan. Klika kayu, biji-bijian dan beberapa jenis bunga. Mudah-mudahan kau akan mendapat kesempatan lebih luas untuk menolong sesama.”

Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menjawab, “Aku akan berusaha.”

Dengan demikian maka Kiai Gringsing pun merasa sudah cukup lama duduk bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Karena itu maka iapun kemudian telah minta diri untuk beristirahat.

“Silahkan Guru. Kami pun akan segera beristirahat pula,” jawab Agung sedayu.

Ketika kemudian Kiai Gringsing masuk ke dalam biliknya, maka untuk beberapa saat lamanya, Agung Sedayu masih berbincang dengan Glagah Putih. Namun kemudian mereka pun telah pergi ke bilik mereka. Bilik yang memang sering dipergunakan oleh Agung Sedayu jika ia berada di padepokan itu.

Pagi-pagi benar Agung Sedayu sudah siap. Bersama Glagah Putih mereka berdua akan pergi ke Sangkal Putung.

“Sebenarnya kau tidak perlu berangkat terlalu pagi,” berkata Kiai Gringsing.

“Selagi Swandaru belum pergi, seandainya ia mempunyai rencana tertentu,” jawab Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tersenyum. Sementara Agung Sedayu berkata pula, “Perjalanan pagi-pagi tentu terasa segar.”

“Ya. Di saat-saat matahari terbit, merupakan saat yang menyenangkan bagi sebuah perjalanan,” berkata Kiai Gringsing, “bagiku kesenangan seperti itu hanya merupakan kenangan saja.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tentu tidak Guru. Pada suatu saat Guru masih akan pergi ke Mataram. Guru dapat berangkat menjelang matahari terbit. Dan kenangan itu akan Guru alami lagi.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Ya. Aku masih mempunyai kesempatan.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih tersenyum.

Sejenak kemudian, kedua orang itu pun telah berpacu meninggalkan padepokan kecil itu menuju ke Sangkal Putung. Mereka akan minta Swandaru untuk datang menemui gurunya.

Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih di saat matahari baru saja terbit memang mengejutkan. Karena itu maka dengan tergesa-gesa Swandaru mempersilahkan mereka naik ke pendapa, sementara Ki Demang pun telah diberitahu pula.

“Marilah ngger,” Ki Demang mempersilahkan, “Angger sepagi ini telah datang di Sangkal Putung. Apakah Angger datang dari Tanah Perdikan atau dari Jati Anom?”

“Kami datang dari Jati Anom, Ki Demang,” jawab Agung Sedayu.

“O,” Ki Demang mengangguk-angguk, “kapan Angger sampai ke Jati Anom?”

“Kemarin. Kemarin kami datang di padepokan. Guru memerintahkan kami untuk pergi ke Sangkal Putung pagi ini,” jawab Agung Sedayu sambil duduk di pendapa, diikuti Glagah Putih.

Ki Demang pun kemudian sempat menanyakan keselamatan tamu-tamunya di perjalanan, serta Kiai Gringsing di padepokan Jati Anom. Baru kemudian Swandaru bertanya, “Kedatangan Kakang Agung Sedayu telah mengejutkan kami. Apakah kedatangan Kakang sekedar melihat keselamatan kami di sini, atau ada satu kepentingan yang akan Kakang sampaikan kepada kami?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk menyampaikan pesan gurunya dengan hati-hati agar tidak terjadi salah paham. Justru Agung Sedayu yang tinggal di tempat yang jauh-lah yang datang memanggil Swandaru, yang tempat tinggalnya jauh lebih dekat.

“Adi Swandaru,” berkata Agung Sedayu, “aku mendapat perintah Guru untuk memanggil Adi Swandaru. Guru ingin berbicara dengan kita berdua.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Sebagaimana diduga oleh Agung Sedayu. Swandaru bertanya, “Kenapa justru Kakang Agung Sedayu yang memanggil aku? Siapakah yang telah memanggil Kakang Agung Sedayu?”

“Seorang cantrik telah datang ke Tanah Perdikan. Sebenarnya Guru ingin memanggil kita bersama-sama. Tetapi ketika Guru bertanya kapan aku dapat menghadap, maka aku tidak dapat memberikan waktu yang pasti, sehingga dengan demikian Guru menetapkan bahwa Guru baru akan memberitahukan kepada Adi Swandaru setelah aku datang.”

“Jika demikian sebenarnya tidak perlu Kakang Agung Sedayu sendiri yang datang kemari,” berkata Swandaru, “Guru cukup memerintahkan seorang cantrik untuk memanggil aku menghadap.”

Tetapi Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Aku-lah yang menyatakan diri untuk pergi ke Sangkal Putung. Rasa-rasanya aku sudah terlalu lama tidak melihat kademangan ini, sehingga rasa-rasanya ada semacam dorongan untuk pergi.”

“Terima kasih,” Ki Demang-lah yang menyahut, “kunjungan Angger Agung Sedayu sangat kami hargai.”

Agung Sedayu tersenyum. Sementara Swandaru berkata pula, “Jika demikian, akupun berterima kasih pula atas kesediaan Kakang mengunjungi kademangan ini.”

“Rasa-rasanya aku sudah rindu akan bentangan bulak-bulak panjang yang hijau di musim tanam, dan menguning di musim memetik hasilnya,” sahut Agung Sedayu.

Sementara itu, Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Tetapi ia sama sekali tidak tersenyum seramah Agung Sedayu. Meskipun demikian Glagah Putih masih juga berusaha menyembunyikan perasaannya yang tersentuh sikap Swandaru.

Namun sejenak kemudian, maka Pandan Wangi telah hadir pula sambil membawa minuman hangat serta beberapa potong makanan. Sambil tersenyum Pandan Wangi berkata, “Selamat datang di kademangan ini Kakang. Apakah Kakang tidak bersama dengan Sekar Mirah? Barangkali ia merasa rindu pula kepada kampung halamannya.”

Agung Sedayu tersenyum pula sambil menjawab, “Kali ini aku berdua saja dengan Glagah Putih. Mungkin pada kesempatan lain yang tidak terlalu lama, Sekar Mirah akan datang. Setidak-tidaknya untuk menengok bayi yang akan segera lahir.”

“Terima kasih,” jawab Pandan Wangi. Lalu katanya pula, “Bahkan aku ingin Sekar Mirah ada di sini di saat aku melahirkan nanti.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku akan menyampaikannya. Tetapi aku harus memberikan ancar-ancar, kapan anakmu itu akan lahir.”

“Pada saatnya aku akan memberitahukannya,” jawab Pandang Wangi.

Namun dalam pada itu, Swandaru pun telah memberitahukan pula kepada Pandan Wangi, bahwa gurunya telah memanggilnya. Ia akan pergi ke Jati Anom. Tetapi ia tidak tahu, apakah ia harus bermalam atau tidak.

“Silahkan Kakang,” jawab Pandan Wangi, “tetapi jika Kakang bermalam lebih dari satu malam, bukankah Kakang dapat meminta satu dua orang cantrik memberitahukan kepadaku?”

“Ya,” jawab Swandaru, “sementara Kakang Agung Sedayu juga belum tahu, apa saja yang akan dibicarakan oleh Guru.”

Namun dalam pada itu, Swandaru telah minta waktu barang setengah hari untuk bersiap-siap. Ia harus memberikan beberapa pesan para pemimpin pengawal kademangan sebelum ia pergi ke Jati Anom. Namun karena jaraknya memang tidak terlalu jauh, maka Swandaru pun berpesan kepada kepercayaanny,a” Beritahu aku jika ada sesuatu yang penting sekali. Aku berada di padepokan Guru di Jati Anom.”

Demikianlah, setelah makan siang maka Swandaru pun telah berangkat ke Jati Anom bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Perjalanan ke Jati Anom memang tidak terlalu lama. Namun di perjalanan Swandaru sempat bertanya, “Apakah kau telah memerlukan menyediakan waktu untuk mempelajari isi kitab Guru lebih mendalam Kakang?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku sudah berusaha sebaik-baiknya.”

“Apakah menurut penilaian Kakang sendiri, ilmu Kakang sudah meningkat meskipun serba sedikit?” bertanya Swandaru pula.

Pertanyaan itu memang sulit dijawab oleh Agung Sedayu. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk Agung Sedayu berkata, “Mudah-mudahan usahaku itu berhasil. Memang sulit untuk menilai diri sendiri. Tetapi agaknya meskipun hanya setebal rambut ada juga gunanya.”

“Itu sudah baik Kakang,” jawab Sandaru, “lebih baik melangkah setapak-setapak betapapun kecilnya tapak itu, daripada berhenti sama sekali. Sebenarnya menurut penilaianku, Kakang Agung Sedayu memiliki kesempatan untuk jauh maju ke depan. Namun segala sesuatunya tergantung kepada Kakang Agung Sedayu sendiri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sekarang aku sudah dapat melimpahkan sebagian dari tugas-tugasku kepada anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih dapat pula membantu mereka bersama dengan Prastawa, kemenakan Ki Gede, yang sekarang baru digelisahkan oleh hubungannya dengan seorang gadis. Tetapi nampaknya ia telah berusaha mengisi kegelisahannya itu dengan kerja. Dengan demikian maka aku mempunyai waktu lebih banyak dari masa-masa sebelumnya.”

“Syukurlah,” berkata Swandaru, “Kakang akan dapat memberikan sedikit kebahagiaan kepada Guru di saat-saat terakhir, jika Kakang dapat menunjukkan peningkatan itu kepada Guru.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih rasa-rasanya menjadi sangat gelisah di punggung kudanya. Namun ia telah berusaha menahan diri untuk tidak mencampuri percakapan dua orang saudara seperguruan itu.

Beberapa saat lamanya kuda-kuda mereka berlari-lari kecil menyusuri bulak-bulak panjang, menuju ke sebuah padepokan kecil di Jati Anom.

Perjalanan itu memang bukan perjalanan yang panjang. Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh.

Ketika mereka memasuki halaman padepokan, maka para cantrik pun telah menerima kuda-kuda mereka, sementara Kiai Gringsing ternyata sudah menunggu mereka di pendapa.

Dengan wajah yang cerah Kiai Gringsing menyongsong kehadiran kedua orang muridnya dan mempersilahkan mereka naik ke pendapa bersama Glagah Putih.

Untuk beberapa saat lamanya, mereka masih berbicara tentang keselamatan masing-masing. Sementara itu, seorang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan.

“Apakah kau dapat bermalam nanti?” bertanya Kiai Gringsing kepada Swandaru.

“Ya Guru. Untuk semalam aku dapat bermalam. Tetapi jika perlu dua atau tiga malam, aku akan memerlukan tinggal, meskipun aku mohon seorang cantrik dapat memberikan kabar ke Sangkal Putung,” jawab Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Mudah-mudahan aku tidak harus menahanmu lebih dari semalam.”

Swandaru mengangguk hormat. Katanya, “Aku akan menyediakan waktu secukupnya bagi Guru jika itu memang sangat penting.”

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing. Dan seperti kebiasaannya, maka Kiai Gringsing akan lebih senang berbicara di malam hari. Namun agaknya ada sesuatu yang ingin ditunjukkan kepada kedua orang muridnya dan Glagah Putih. Karena itu, setelah minum beberapa teguk dan makan beberapa potong makanan, Kiai Gringsing telah mengajak kedua muridnya dan Glagah Putih ke sanggar.

Seperti yang dijanjikan kepada Agung Sedayu, maka Kiai Gringsing pun telah mempertunjukkan sebuah pistol kepada kedua muridnya. Senjata yang datang dari seberang lautan, dengan kemampuan melampaui senjata tajam yang sering mereka pergunakan. “Memang bukan berarti bahwa senjata semacam ini tidak terlawan. Jenis senjata ini yang lebih besar pun nampaknya sedang diusahakan oleh Madiun lewat beberapa orang pemimpin daerah pesisir. Senjata yang disebut meriam itu memang mempunyai banyak kelebihan. Namun bagaimanapun juga tetap mempunyai keterbatasan. Aku yakin bahwa Panembahan Senapati telah memahaminya,” berkata Kiai Gringsing.

Murid-muridnya itupun mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Agung Sedayu berkata, “Kita harus berusaha memahami watak senjata itu?”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Apakah di Mataram sama sekali belum ada senjata sejenis itu?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku telah terpisah dari kegiatan Istana Mataram. Mungkin aku akan mendapatkan keterangan kelak jika aku sempat menghadap.”

“Guru akan menghadap?” bertanya Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk kecil. Sambil tersenyum ia menjawab pertanyaan Swandaru, “Ya Swandaru. Rasa-rasanya ada dorongan untuk menghadap Panembahan Senapati, yang telah lama sekali tidak pernah bertemu.”

“Bukankah keadaan kesehatan Guru kurang baik?” bertanya Swandaru.

“Dalam beberapa hari ini aku merasa kesehatanku baik sekali. Apalagi jarak antara Jati Anom dan Mataram tidak terhitung jauh. Agaknya dengan duduk di atas punggung kuda aku tidak akan merasa letih,” jawab Kiai Gringsing.

“Kapan Guru akan menghadap?” bertanya Swandaru.

“Kita akan membicarakannya nanti,” berkata Kiai Gringsing, “aku juga belum menemukannya,” jawab Kiai Gringsing.

Swandaru termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Guru sebenarnya tidak perlu pergi. Guru dapat memerintahkan kami berdua untuk menghadap. Selain keadaan kesehatan Guru, Panembahan Senapati tentu akan kurang memperhatikan kehadiran Guru. Guru adalah orang yang kami hormati. Sehingga karena itu, maka biar kami sajalah yang pergi ke Mataram. Seandainya tanggapan Panembahan Senapati yang telah memegang kendali pemerintahan itu tidak sebaik yang kita harapkan, maka bagiku dan Kakang Agung Sedayu tidak akan terasa sangat pahit. Agak berbeda jika hal itu terjadi atas Guru.”

Tetapi Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Agaknya Panembahan Senapati tidak akan memperlakukan aku seperti itu, Swandaru. Bagaimanapun juga, ia akan selalu mengingat apa yang pernah terjadi serta hubungannya dengan kita. ”

“Kita yang akan selalu ingat akan hal itu Guru. Tetapi agaknya berbeda dengan Panembahan Senapati,” jawab Swandaru.

Kiai Gringsing masih saja tersenyum. Katanya, “Aku masih yakin akan hal itu, Swandaru. Karena itu, aku ingin menghadap. Aku ingin bertemu langsung dengan Panembahan Senapati.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengangguk-angguk kecil sambil berdesis, “Jika itu yang dikehendaki oleh Guru.”

Tetapi Swandaru masih juga berpaling, kepada Agung Sedayu. Bahkan kerut keningnya menunjukkan keheranannya, bahwa Agung Sedayu tidak membantunya mencegah gurunya pergi ke Mataram.

“Nampaknya perhatian Kakang Agung Sedayu sekacang sepenuhnya telah tertumpah kepada Tanah Perdikan itu. Ia tidak menghiraukan lagi apakah Guru akan pergi ke Mataram atau bahkan pergi untuk tidak kembali sekalipun,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Namun mereka tidak berbincang lagi. Mereka pun kemudian telah kembali duduk di pendapa. Kiai Gringsing sama sekali tidak lagi menyinggung tentang rencananya pergi ke Mataram, serta persoalan-persoalan lain berhubungan dengan kehadiran Swandaru di padepokan itu. Tetapi Kiai Gringsing lebih banyak berbicara tentang padepokan kecil itu. Tentang para cantrik dan tanah yang telah mereka garap bagi kepentingan para cantrik di padepokan itu.

“Mereka telah menjadi trampil,” berkata Kiai Gringsing, “mereka sudah menguasai berbagai macam pengetahuan tentang bercocok tanam. Tentang musim dan tentang kebiasaan beberapa jenis tumbuh-tumbuhan, pupuk dan cara memilih benih.”

“Apakah Guru masih juga memberikan pengetahuan tentang olah kanuragan kepada para cantrik?” bertanya Swandaru.

“Serba sedikit. Sekedar untuk melindungi diri mereka sendiri jika mereka kelak di rumahnya didatangi orang-orang yang ingin merampas haknya,” jawab Kiai Gringsing.

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu ada baiknya Guru. Apalagi jika keadaan kesehatan Guru sedang kurang baik. Mungkin Guru memerlukan mereka. Padepokan ini mungkin juga didatangi oleh orang-orang yang berniat buruk. Dikiranya di padepokan ini tersimpan harta benda. Tetapi untuk menjaga segala kemungkinan, agar mereka tidak justru menyalahgunakan, maka tingkat ilmu mereka pun harus dibatasi.”

“Ya Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “pada saatnya aku akan menunjukkan kepada kalian berdua, siapakah di antara mereka yang perlu mendapat pengawasan. Aku akan memberitahukan kepada kalian berdua, kebiasaan-kebiasaan para cantrik dan tingkat pengetahuan yang sudah mereka miliki. Pengetahuan yang beberapa jenis itu. Termasuk pengetahuan tentang obat-obatan.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Pengetahuan obat-obatan adalah pengetahuan yang langsung dapat dipergunakan untuk menolong sesama. Seperti yang sudah aku tawarkan kepada Agung Sedayu, barangkali kau pun memerlukan pengetahuan itu Swandaru?”

Tetapi Swandaru tertawa. Katanya, “Mungkin bukan aku yang pantas untuk mengenalinya Guru. Daya ingatku agak kurang baik untuk mengingat jenis tanaman akar-akar dan dedaunan yang dapat dipergunakan sebagai obat. Mungkin Kakang Agung Sedayu akan dapat menjadi pewaris yang baik dari ilmu obat-obatan yang Guru miliki, sehingga ilmu itu tidak akan hapus begitu saja.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin kau akan kekurangan waktu untuk meneliti jenis-jenis dedaunan dan akar-akaran. Aku memang sudah menawarkan pula kepada kakangmu Agung Sedayu.”

“Apakah Kakang sanggup?” bertanya Swandaru sambil berpaling ke arah Agung Sedayu.

“Ya. Aku akan mencoba,” berkata Agung Sedayu, “aku sudah mempunyai seorang pembantu yang mempunyai kesenangan menyelusuri rumpun-rumpun perdu di pinggir hutan.”

Ketika Swandaru mengerutkan keningnya, maka Agung Sedayu pun telah berpaling pula kepada Glagah Putih.

Kiai Gringsing tersenyum. Dipandanginya Glagah Putih yang ikut dalam pembicaraan itu sambil berkata, “Kalau kau melakukan dengan tekun, maka akhirnya kau-lah yang akan memiliki pengetahuan itu.”

Glagah Putihpun mengangguk hormat. Katanya, “Aku akan merasa senang sekali jika aku diperkenankan mengetahui serba sedikit tentang beberapa jenis tanaman yang dapat dipergunakan sebagai obat-obatan.”

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “kalian dapat beristirahat sekarang. Malam nanti kita dapat berbincang-bincang lagi.”

Tetapi Swandaru menjawab, “Aku ingin melihat kebun di bagian belakang padepokan ini Guru.”

“Silahkan,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “ada beberapa jenis tanaman baru. Sebuah blumbang baru, tetapi dengan bentuk yang lain dari blumbang yang lama.”

“Marilah,” berkata Agung Sedayu, “kita berjalan-jalan di kebun.”

Ketika Kiai Gringsing yang wadagnya sudah lemah itu pergi ke biliknya untuk beristirahat, maka Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih telah pergi ke kebun di belakang padepokan itu, melihat beberapa jenis tanaman yang ditanam oleh para cantrik.

Tetapi mereka tidak terlalu lama berjalan mengelilingi kebun. Mereka pun kemudian telah duduk di sebuah gubug di dekat kolam sehingga saatnya mereka pergi ke pakiwan untuk mandi.

Ketika lampu-lampu minyak telah dinyalakan, maka Kiai Gringsing, kedua orang muridnya dan Glagah Putih telah duduk di pendapa padepokan kecil itu. Sambil menghadapi minuman hangat dan beberapa potong makanan, mereka mulai berbicara tentang keadaan terakhir yang tentu akan mempunyai pengaruh, baik atas Kademangan Sangkal Putung maupun atas Tanah Perdikan Menoreh.

Tekanan pembicaraan Kiai Gringsing memang ditujukan kepada Swandaru, karena sebagian dari pembicaraan itu telah dikatakannya kepada Agung Sedayu sebelumnya.

“Jadi menurut perhitungan Guru, Madiun dan Mataram tidak akan dapat menemukan jalan yang baik untuk memecahkan persoalan mereka?” bertanya Swandaru.

“Nampaknya memang begitu, Swandaru. Namun kita memang tidak dapat dengan pasti menutup kemungkinan lain. Tetapi orang-orang Madiun agaknya telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang paling keras itu,” berkata Kiai Gringsing.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Nampaknya perang itu memang harus terjadi. Penempatan Pangeran Gagak Baning agaknya telah mempercepat pecahnya perang itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Karena itu Swandaru, kau harus bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Jika perang itu terjadi, maka ada dua kemungkinan yang akan kau hadapi. Sepasukan pengawalmu akan ikut serta dalam pasukan Mataram menuju ke Madiun, atau pasukan Madiun yang menyerbu ke Mataram akan melalui kademanganmu. Meskipun kemungkinan yang kedua itu kecil, tetapi mengingat kekuatan Madiun yang besar, hal itu mungkin terjadi. Jika Madiun memecah pertahanan Pajang, maka pasukannya akan bergeser ke barat. Seandainya Panembahan Senapati dengan cepat mengerahkan pasukan pertahanannya, maka kemungkinan terbesar Panembahan Senapati akan bertahan di seberang Kali Opak, sebagaimana pernah dilakukan melawan Pajang.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sangkal Putung akan mempersiapkan diri Guru. Jika pasukan yang besar datang dari Timur, maka para pengawal Sangkal Putung akan bertahan sampai orang yang terakhir.”

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Aku akan menganjurkan lain Swandaru. Jika pasukan itu datang dengan kekuatan yang besar, maka sebaiknya para pengawal akan menyatukan diri dengan kekuatan Untara dari Jati Anom, kemudian bergeser ke barat dan memperkuat pertahanan di seberang Kali Opak. Jika pasukan-pasukan kecil dari Mataram harus bertempur sekelompok demi sekelompok, maka pasukan Madiun akan menggilasnya dengan mudah. Beberapa orang adipati telah menyatukan diri, karena agaknya mereka telah dihasut oleh orang yang sama.”

“Apakah para Adipati itu terlalu bodoh untuk dengan mudah mempercayai seseorang?” bertanya Swandaru.

“Tentu tidak,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi pada dasarnya benih perlawanan terhadap berdirinya satu kekuatan di Mataram itu memang sudah ada. Kemudian seperti api yang menyala, maka seseorang telah mengipasinya, sehingga nyala itu akan cepat membesar.”

Swandaru mengangguk-angguk. Sambil berpaling kepada Agung Sedayu, Swandaru bertanya, “Bagaimana dengan para pengawal di Tanah Perdikan, Kakang?”

“Aku akan mempersiapkan mereka,” jawab Agung Sedayu, “namun letak Tanah Perdikan agak lebih baik dari kademanganmu, dipandang dari garis serangan dari Madiun.”

“Tetapi jika Mataram yang berangkat ke Madiun?” bertanya Swandaru.

“Sekelompok pengawal telah siap untuk berangkat. Di Tanah Perdikan ada barak Pasukan Khusus Mataram, sehingga para pengawal akan dapat bersama dengan mereka,” jawab Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya kepada Kiai Gringsing, “Guru, apakah Guru datang secara khusus ke Mataram dalam hubungannya dengan persoalan Madiun?”

“Terutama memang persoalan itu,” jawab Kiai Gringsing, “aku tidak ingin melihat Mataram yang dibangun dengan susah payah, bahkan dengan restu Sultan Hadiwijaya di Pajang itu, akan runtuh begitu saja.”

Swandaru masih saja mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Kapan Guru akan pergi menghadap ke Mataram?”

“Rencanaku, aku akan pergi bersama dua orang cantrik. Semata-mata untuk kawan berbincang di perjalanan,” jawab Kiai Gringsing.

“Bukankah Guru dapat pergi bersama-sama saat Kakang Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan?” bertanya Swandaru.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Memang lebih baik bagiku. Tetapi aku akan tetap mengajak dua orang cantrik bersamaku.”

“Ada juga baiknya Guru. Mungkin Guru memerlukan sesuatu di perjalanan,” jawab Swandaru.

“Agaknya aku perlu bertanya kepada Agung Sedayu, kapan ia akan kembali ke Tanah Perdikan,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Mungkin besok lusa Guru,” jawab Agung Sedayu, “besok aku ingin bertemu dengan Kakang Untara. Glagah Putih agaknya juga ingin singgah barang sebentar di Banyu Asri.”

“Baik,” desis Kiai Gringsing, “besok lusa kita bersama-sama pergi. Mungkin aku akan bermalam satu malam di Mataram. Tidak untuk apa-apa. Tetapi dengan demikian aku tidak akan merasa terlalu letih.”

“Guru akan bermalam dimana?” bertanya Swandaru.

“Banyak tempat di Mataram. Jika Panembahan Senapati tidak memberi aku tempat bermalam, maka aku dapat pergi ke rumah Ki Juru atau Ki Lurah Branjangan. Atau di penginapan sekalipun,” jawab Kiai Gringsing.

Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya kepada Agung Sedayu, “Sebaiknya Kakang ikut bermalam di Mataram. Mungkin Guru mengalami kesulitan untuk mencari tempat penginapan.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan menemani Guru barang semalam.”

“Bukankah Guru juga hanya bermalam semalam?” bertanya Swandaru.

“Ya,” Kiai Gringsing-lah yang menjawab.

Swandaru pun kemudian berkata, “Jika demikian, maka beberapa hari lagi aku akan datang menghadap Guru, setelah Guru kembali dari Mataram. Mungkin ada sesuatu yang perlu segera aku lakukan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar