Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 235

Buku 235

“Tetapi ternyata murid-muridmu sama sekali tidak tahu unggah-ungguh,“ Wirastama hampir berteriak, “tanpa bimbingan gurunya, aku tidak yakin bahwa yang diucapkan itu benar-benar satu janji yang akan dipatuhi.“

“Percaya atau tidak percaya itu adalah hakmu. Sekarang aku akan membawa murid-muridku pergi. Mereka sudah lama menjadi tontonan di sini, justru di saat mereka berlima dikalahkan dalam satu perkelahian. Meskipun kelima murid-muridku itu tidak perlu merasa rendah diri, karena yang mengalahkannya adalah seorang perwira dari Pasukan Khusus. Murid-muridku akan merasa terhina jika mereka dikalahkan oleh anak-anak padukuhan di Tanah Perdikan ini,“ jawab salah seorang dari kedua orang guru dari kelima anak muda itu.

Kata-kata itu memang menyinggung perasaan Glagah Putih. Apalagi ketika pengawal Tanah Perdikan yang kemudian berdiri di sebelahnya berdesis, “Jika saja Agung Sedayu mendengar.“

Glagah Putih menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu.

Namun dalam pada itu, Wirastama pun berkata, “Aku minta kau bertanggungjawab bahwa hal ini tidak akan terjadi lagi.“

“Kau tidak perlu memaksa aku berbuat begitu. Aku tahu apa yang harus aku lakukan,“ jawab orang itu.

Wajah Wirastama menjadi merah. Dengan lantang ia berkata, “Kau jangan terlalu sombong. Meskipun kau adalah guru dari kelima anak muda itu, namun aku tidak melihat kelebihanmu sama sekali.“

“Jangan berbuat kasar anak muda. Aku tahu kau adalah seorang prajurit. Aku tahu bahwa jika terjadi perselisihan di antara kita, kau dapat mempergunakan kekuatan pasukanmu untuk membalas dendam, karena kau tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap kami berdua, yang memang telah mengakui sebagai guru anak-anak ingusan yang baru mulai berguru beberapa hari yang lalu,“ berkata orang itu.

“Aku telah melepaskan baju keprajuritanku!“ bentak Wirastama.

Kedua orang guru dari anak-anak muda itu pun saling berpandangan. Namun tiba-tiba saja keduanya tertawa berbareng. Suara tertawanya bergetar menggetarkan udara di tempat yang lapang itu. Ketika suara tertawa orang itu menjadi semakin tinggi, maka rasa-rasanya getaran udara yang semakin kuat telah mengalir dari dada orang itu ke arah Wirastama, Teja Prabawa dan orang-orang yang berdiri di sekitarnya.

Mula-mula mereka tidak merasakan sesuatu pada dada mereka. Yang terasa adalah bahwa suara tertawa itu sangat menyakitkan telinga. Namun kemudian, rasa-rasanya getaran yang semakin kuat telah menghantam dada mereka dan meremas isinya.

Orang-orang itu terkejut. Ki Lurah Branjangan yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang luas dengan serta merta telah menarik Rara Wulan menjauhi sasaran, sehingga mereka tidak lagi berada di garis yang berbahaya dari getaran suara tertawa yang meninggi itu.

Dalam pada itu, Wirastama dan Teja Prabawa ternyata harus menahan tusukan rasa sakit pada dada mereka. Rasa-rasanya isi dada mereka terguncang-guncang oleh getaran yang sangat kuat. Sesaat kemudian Raden Teja Prabawa benar-benar telah dicengkam rasa sakit yang hampir tidak tertahankan. Demikian pula Wirastama yang masih mencoba bertahan. Sementara itu Glagah Putih yang memiliki ilmu yang tinggi serta daya tahan yang kuat, berhasil melingkari dirinya dengan perisai ilmunya. Namun ia berbuat sebagaimana Wirastama dan Teja Prabawa serta pengawal Tanah Perdikan yang berdiri di dekatnya. Bahkan garis serangan itu seakan-akan telah memanjang dan menyerang orang-orang yang berdiri meskipun agak jauh, namun di garis serangan itu, sehingga beberapa orang telah menjadi pingsan karenanya.

“Setan itu memiliki kekuatan ilmu mula dari ilmu Gelap Ngampar,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Namun Glagah Putih itu kemudian justru telah menekan dadanya dengan kedua telapak tangannya sebagaimana dilakukan oleh Wirastama. Bahkan Teja Prabawa telah berjongkok sambil menyeringai kesakitan. Tetapi suara tertawa itu semakin reda. Bahkan kemudian berhenti sama sekali.

Wirastama yang kesakitan itu merasa dadanya menjadi lapang. Namun ia menyadari, bahwa ternyata kedua orang yang mengaku sebagai guru kelima orang itu adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka Wirastama tidak berkata apapun juga ketika ia telah berhasil berdiri tegak.

Teja Prabawa pun kemudian berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun dadanya masih terasa sakit, tetapi rasa-rasanya nafasnya telah dapat berjalan wajar.

“Nah, Anak-Anak Muda,“ berkata salah seorang di antara kedua guru anak-anak muda yang telah dikalahkan oleh Wirastama itu, “aku sama sekali tidak ingin menyakiti kalian. Tetapi aku ingin kalian tidak menghalangi aku. Apapun yang akan aku lakukan, akan aku pertanggung jawabkan. Sementara itu, aku tidak ingin bermusuhan dengan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini.“

Wirastama tidak menjawab. Tetapi Glagah Putih-lah yang berbicara kemudian, “Ki Sanak. Tetapi perguruanmu menurut pendengaranku adalah perguruan aneh.“

“Kenapa aneh?“ bertanya orang itu.

“Bukankah yang kau terima sebagai murid-muridmu adalah orang-orang yang dapat memenuhi tuntutan upah yang kau tentukan?“ bertanya Glagah Putih.

“Anak muda. Siapakah kau sebenarnya? Kau tentu bukan dari Pasukan Khusus,“ berkata orang itu, “jika kau membuat aku marah, maka aku akan dapat berbuat lebih banyak.“

Glagah Putih justru bergeser maju. Namun tiba-tiba saja Teja Prabawa membentaknya, “Cukup! Kau tidak usah turut campur persoalan perguruan mereka.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Teja Prabawa berkata kepada kedua orang itu, “Bawa murid-muridmu. Kami tidak mempunyai persoalan lagi dengan kalian.”

Kedua orang itu tertawa pendek. Salah seorang di antara mereka berkata, “Ternyata ada di antara kalian yang cukup bijaksana.“

Teja Prabawa tidak berkata apapun lagi. Demikian pula Wirastama dan Glagah Putih.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah melangkah meninggalkan arena. Kelima orang muridnya dengan susah payah telah mengikuti mereka, betapapun perasaan sakit masih terasa mencengkam tubuh mereka.

Sepeninggal orang-orang itu, maka Ki Lurah pun segera mengajak Rara Wulan kembali ke rumah Ki Gede, diikuti oleh Teja Prabawa dan Wirastama. Beberapa orang telah ikut pula di belakang mereka, sementara masih ada orang yang harus merawat kawannya yang baru saja sadar dari pingsannya. Namun ternyata Glagah Putih tidak ikut bersama mereka.

Semula tidak ada orang yang memperhatikan, bahwa Glagah Putih tidak ikut pergi ke rumah Ki Gede. Baru ketika mereka memasuki regol, Ki Lurah mencarinya di antara orang-orang yang bersamanya. Termasuk pengawal yang ikut menyaksikan perkelahian itu.

“Kemana Glagah Putih?“ bertanya Ki Lurah.

Pengawal itu mendekat sambil menjawab, “Ia hanya berpesan, bahwa ia ingin menyelesaikan satu pekerjaan.“

“Pekerjaan apa?“ bertanya Ki Lurah.

Pengawal itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu.“

Sementara itu Teja Prabawa pun menyahut, “Buat apa Kakek mencari anak itu. Ia tidak berarti apa-apa bagi kami. Untung Wirastama segera datang ke pasar itu. Jika tidak, maka Rara Wulan akan dihinakan di hadapan banyak orang.“

“Kau kira aku akan membiarkannya?“ berkata Ki Lurah.

“Kakek sudah tua,“ jawab Teja Prabawa, “sementara itu Wirastama dapat mencegah tingkah laku anak-anak muda itu menjadi semakin buruk. Ternyata satu pameran kekuatan yang luar biasa. Wirastama dapat mengalahkan lima orang sekaligus. Adalah wajar saja jika gurunya memiliki kelebihan. Guru mereka berlima itu pantasnya memang harus berhadapan dengan guru Wirastama. Apalagi mereka berdua.“

“Ah,“ desis Wirastama, “sudah menjadi kewajibanku untuk mengatasi anak-anak bengal seperti mereka itu.“

“Tetapi seorang diri kau mampu mengalahkan mereka berlima. Sulit dibayangkan jika aku tidak melihat sendiri apa yang kau lakukan,“ sahut Teja Prabawa.

“Sudahlah,“ berkata Wirastama, “kita berbicara tentang yang lain.”

Teja Prabawa pun terdiam. Mereka kemudian telah dipersilahkan duduk di serambi. Sementara Rara Wulan pergi ke dapur memberitahukan kepada para pelayan, bahwa mereka memerlukan minum. Para pelayan yang tahu, bahwa tamu Ki Gede adalah orang-orang terhormat, maka mereka pun dengan serta merta telah menyiapkannya.

Ketika Rara Wulan tidak lagi muncul ke serambi maka Teja Prabawa telah memanggilnya. Katanya, “Kau belum mengucapkan terima kasih kepada Wirastama.“

“Kakek tentu sudah,“ jawab Rara Wulan.

“Kakek juga belum. Tetapi sepantasnya kau sendiri-lah yang mengatakannya kepada Wirastama. Kau bukan anak-anak yang masih menyusu. Yang belum dapat berbicara dengan jelas.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia terpaksa bangkit dan melangkah menuju ke serambi. Di serambi Teja Prabawa telah mendesaknya lagi. Katanya, “Nah, kau telah diselamatkan oleh Wirastama. Apa katamu?”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.

Mula-mula Rara Wulan memang merasa segan. Namun kemudian iapun berdesis hampir tidak terdengar, “Aku mengucapkan terima kasih.“

Wirastama tersenyum. Katanya, “Bukan apa-apa. Sudah aku katakan, bahwa itu adalah kewajibanku.“

Rara Wulan mengangguk kecil. Namun pipinya telah menjadi merah. Dengan suara yang masih agak sendat hampir tidak terdengar ia berkata, “Silahkan duduk bersama Kakang Teja Prabawa. Aku akan beristirahat.“

“Apakah kau lelah? Bukankah kau tidak apa-apa?“ bertanya Teja Prabawa.

Namun Wirastama-lah yang menyahut, “Bukankah ia baru saja berjalan-jalan yang bagi seorang gadis terhitung jauh? Biarkan ia beristirahat.“

Rara Wulan tidak menyahut. Iapun segera berdiri dan melangkah meninggalkan serambi gandok, masuk ke dalam biliknya.

Ki Lurah hanya tersenyum saja. Katanya, “Ia memang perlu beristirahat.“

“Yang patut beristirahat adalah Wirastama. Ia baru saja mengatasi pusaran air yang dahsyat itu. Kemudian berkelahi melawan lima orang anak muda yang pada umumnya tubuhnya tinggi tegap. Agaknya ia tentu letih,“ berkata Teja Prabawa.

“Ya. Ia tentu letih,“ sahut Ki Lurah. Karena itu, maka katanya kepada Wirastama, “Sebaiknya Angger memang beristirahat.“

“Ah, aku tidak letih,“ jawab Wirastama.

“Maksudku bukan begitu,“ berkata Teja Prabawa, “ia dapat beristirahat di sini.“

Sebelum Wirastama menjawab, maka seorang pelayan telah menghidangkan makanan dan minuman. Bahkan pelayan itu berkata, “Ki Gede belum kembali. Ki Gede berpesan, agar Ki Lurah dan para tamu yang lain makan saja lebih dahulu dengan tidak usah menunggu Ki Gede kembali dari tugasnya.“

“Terimakasih,“ berkata Ki Lurah, “sebentar lagi kami akan ke ruang dalam.“

“Sekarang, makan sudah disediakan,“ berkata pelayan itu, “sebaiknya Ki Lurah dan para tamu pergi ke ruang dalam sekarang saja.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah para tamu membenahi diri dan mencuci tangan serta kaki mereka.“

Beberapa saat kemudian mereka memang sudah ada di ruang dalam. Ki Lurah memaksa Rara Wulan untuk makan bersamanya, agar para pelayan tidak menjadi terlalu sibuk melayani mereka seorang demi seorang.

Dalam pada itu, ketika mereka sedang makan di ruang dalam rumah Ki Gede, dua orang guru dan kelima muridnya berjalan beriringan. Mereka telah menyusuri jalan di pinggir hutan. Namun tiba-tiba saja mereka terkejut, ketika seseorang telah meloncat dari dalam hutan mencegat perjalanan mereka.

Kedua orang guru yang disebut bernama Kiai Sangkan dan Kiai Paran, namun juga menyebut diri mereka Kiai Brajasaketi dan Kiai Brajasayuta itu segera memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk berhenti.

“Kau?“ desis Kiai Sangkan. Lalu, “Apa maksudmu menghentikan perjalanan kami kembali ke padepokan kami?“

“Namaku Glagah Putih. Kau belum menyatakan kesediaan kalian untuk mengatur murid-muridmu agar tidak berbuat sebagaimana dilakukannya.“

Kedua orang itu saling berpandangan. Dengan nada yang semakin keras Kiai Sangkan menjawab, “Kau jangan membuat persoalan baru. Para pemimpin dari anak-anak muda di Tanah Perdikan ini, bahkan seorang perwira dari pasukan Khusus telah menganggap persoalannya selesai.“

“Belum. Mereka menganggap persoalannya selesai, karena mereka tidak mau bertengkar dengannya. Kau telah menggertak mereka dengan ilmu mula dari ilmu Gelap Ngampar,“ jawab Glagah Putih.

“Apapun yang kami lakukan, tetapi persoalan kami sudah selesai,“ jawab Kiai Paran.

“Tetapi aku, salah seorang pemimpin anak-anak muda Tanah Perdikan ini, menganggap bahwa persoalannya belum selesai,“ berkata Glagah Putih. “Aku ingin kalian berjanji, bahwa kalian akan mengendalikan murid-murid kalian agar mereka tidak mengganggu kehidupan di Tanah Perdikan. Apalagi yang telah mereka lakukan benar-benar satu perbuatan yang tercela. Mereka telah mengganggu seorang gadis yang justru bukan gadis Tanah Perdikan. Mereka telah mengganggu seorang tamu dari Kotaraja. Cucu Ki Lurah Branjangan.“

Kiai Sangkan dan Kiai Paran itu menjadi marah. Dengan nada keras Kiai Sangkan berkata, “Pergilah. Kau jangan mengganggu aku.“

“Aku tidak akan membiarkan kalian meninggalkan Tanah Perdikan ini sebelum kalian berjanji bahwa kalian akan mengendalikan murid-murid kalian,“ berkata Glagah Putih.

“Jangan mencari perkara Anak Muda,“ geram Kiai Paran, “kami dapat menghancurkanmu tanpa menyentuhmu.“

“Dengan ilmu Gelap Ngamparmu yang jelek itu?“ sahut Glagah Putih, “Kau kira ilmu Gelap Ngamparmu yang tampaknya baru mulai kau pelajari itu akan mampu mengguncangkan jantungku?“

“Kau memang anak yang dungu. Bukankah kau telah mengalami betapa ilmu kami itu mencengkam dadamu?“ bertanya Kiai Paran.

Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, “Sudahlah. Berjanjilah dengan sungguh-sungguh. Aku akan melepaskanmu. Jika kau berkeberatan, maka kau akan mengalami kesulitan. Sekarang baru aku seorang diri yang menghalangimu. Tetapi lambat laun para pengawal seisi Tanah Perdikan ini akan mengepungmu.“

“Persetan,“ Kiai Sangkan dan Kiai Paran benar-benar menjadi marah. Dengan suara yang bergetar Kiai Sangkan berkata, “Anak Muda. Ternyata bahwa kau telah membuat kami marah. Kau kira bahwa kami akan tunduk kepada ancamanmu? Biarlah anak-anak muda dan para pengawal Tanah Perdikan ini semuanya datang melawan kami. Apakah kau kira kami akan takut dan lari terbirit-birit>“

Glagah Putih tertawa pula. Katanya, “Sekali lagi aku katakan, jangan harap kalian dapat keluar dari Tanah Perdikan ini tanpa mengucapkan janji sebagaimana aku kehendaki.“

Kiai Sangkan nampaknya sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi. Iapun segera melangkah maju sambil berkata, “Aku hanya melepaskan ilmu puncakku untuk kepentingan tertentu. Sekarang aku akan memaksamu untuk berbuat tanpa ilmu itu.“

Glagah Putih pun segera bersiap. Karena itu, ketika Kiai Sangkan menyerangnya, Glagah Putih pun dengan tangkasnya mengelak. Namun Kiai Sangkan pun tahu, bahwa tanpa bekal apapun, anak muda yang bernama Glagah Putih itu tentu tidak akan melakukan hal itu. Karena itu, maka Kiai Sangkan pun cukup berhati-hati menghadapinya.

Sejenak kemudian, maka Kiai Sangkan itu pun telah bertempur melawan Glagah Putih. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, Kiai Sangkan ingin segera menundukkan anak muda itu dan memaksanya untuk berbuat dan mohon maaf kepadanya. Tetapi ternyata bahwa perhitungannya telah keliru. Jangankan menundukkan anak muda itu, menyentuh pun ternyata Kiai Sangkan itu masih belum mampu.

Ternyata Glagah Putih dapat bergerak dengan cepatnya. Berlompatan mengitari lawannya. Namun sekali-sekali kakinya telah melontarkannya menyerang Kiai Sangkan dengan garangnya. Kiai Sangkan-lah yang kemudian justru mengeluh ketika serangan Glagah Putih mengenai pundaknya.

“Anak ini memiliki ilmu iblis sehingga mampu bergerak begitu cepatnya,“ berkata Kiai Sangkan di dalam hatinya.

Namun dalam pertempuran berikutnya, Glagah Putih ternyata masih mampu meningkatkan kecepatan geraknya.

Kiai Paran yang semula menyerahkan segala-galanya kepada Kiai Sangkan, karena ia menganggap bahwa anak muda itu akan dengan serta merta dapat ditundukkan, mulai menjadi tegang. Ternyata bahwa Kiai Sangkan tidak segera dapat menyelesaikan pekerjaannya yang dianggapnya tidak berarti.

Untuk beberapa saat lamanya, keduanya masih bertempu terus. Justru semakin meningkat, dan bahkan Kiai Paranpun melihat, bukan anak muda yang bernama Glagah Putih-lah yang telah dikenai serangan-serangan Kiai Sangkan, tetapi malahan sebaliknya. Kiai Sangkan-lah yang telah dikenai tubuhnya oleh serangan-serangan Glagah Putih yang semakin membadai. Sentuhan-sentuhan tangan Glagah Putih di tubuh Kiai Sangkan itu membuat darahnya menjadi semakin mendidih. Sebagai seorang yang telah membuka sebuah perguruan, apalagi di hadapan murid-muridnya, maka Kiai Sangkan akan cacat namanya jika ia tidak berhasil mengatasi anak muda yang dianggap anak padesan itu. Karena itu, maka Kiai Sangkan pun kemudian benar-benar telah merambah ke ilmu kanuragan dengan mulai mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya.

Jika ia semula tidak menganggap perlu melakukannya, maka iapun kemudian tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa anak muda itu memang memiliki bekal yang cukup. Tetapi hampir di luar sadarnya ia berkata, “Anak Muda. Ternyata kau memang terlalu sombong. Aku masih berusaha untuk menahan diri. Meskipun kau telah membuat aku sangat marah, namun aku masih berusaha untuk mengekang diri agar aku tidak membunuhmu tanpa sengaja. Tetapi kau ternyata salah paham. Kau kira kau benar-benar memiliki kemampuan untuk melawanku?“

“Aku tidak mempunyai perhitungan lain kecuali ingin mendengar kau berjanji untuk tidak membiarkan murid-muridmu berkeliaran dan mengganggu ketenangan kehidupan Tanah Perdikan Menoreh. Itu saja,“ jawab Glagah Putih.

Kiai Sangkan menggeretakkan giginya. Iapun kemudian telah mempergunakan tenaga cadangannya dan mengetrapkannya pada ilmu kanuragannya. Dengan demikian maka tata gerak Kiai Sangkan pun mulai berubah. Iapun bergerak sangat cepat. Ayunan tangannya telah menimbulkan desir angin yang bersiut nyaring, namun yang dapat membuat jantung menjadi berdebar-debar.

Semula Glagah Putih sempat memperhatikan, bahwa tangan Kiai Sangkan itu terbuka dengan jari-jari yang merapat. Pukulannya mempergunakan sisi telapak tangannya, namun kadang-kadang tangan itu mematuk dengan ujung-ujung jari yang merapat. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak mengalami kesulitan meskipun ia harus mulai meniti ilmu keturunan dari perguruan pamannya, Ki Sadewa. Namun kecepatan gerak dan kekuatan ayunan tangan Kiai Sangkan tidak mendebarkan jantungnya lagi.

Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ternyata Glagah Putih masih mampu memacu ilmunya selapis di atas ilmu lawannya, sehingga dengan demikian, maka Kiai Sangkan pun mulai mengalami kesulitan lagi menghadapi Glagah Putih. Bahkan Glagah Putih yang juga mulai melandasi tata gerak dan kekuatannya dengan tenaga cadangannya, masih juga mampu menyakiti tubuh lawannya dengan sentuhan-sentuhan serangannya.

Terdengar Kiai Sangkan mengumpat kasar. Bahkan iapun mulai meningkatkan ilmu. Justru semakin keras dan bahkan semakin kasar. Sehingga ketika ia masih juga belum mampu mengimbangi lawannya yang masih muda itu, maka Kiai Sangkan tidak lagi dapat menyembunyikan dasar-dasar ilmunya yang sebenarnya. Ketika ia kemudian mengerahkan kemampuannya dilandasi dengan ilmu kanuragan, maka tata geraknya pun mulai berubah lagi. Tangannya tidak lagi bergerak dengan jari-jari terbuka yang merapat lurus, yang kadang-kadang dipergunakan untuk memukul dengan sisi telapak tangannya atau mematuk dengan ujung-ujung jarinya. Tetapi jari-jari yang mengembang itupun kemudian telah berubah. Jari-jarinya benar-benar mengembang dan melengkung seperti hendak mencengkam.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Selangkah ia bergeser surut untuk mengamati tata gerak lawannya lebih jelas lagi. Namun ia tidak mendapat banyak kesempatan. Lawannya telah memburunya. Jari-jarinya menjadi seperti cakar burung pemakan daging yang garang, yang siap menerkamnya. Bagaikan seekor burung alap-alap. Kiai Sangkan menerkam Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih bukan sekedar seekor burung merpati yang lemah. Tetapi Glagah Putih justru telah bersiap sepenuhnya. Melihat sikap lawannya, maka tiba-tiba saja Glagah Putih berkata lantang, “Jadi kau adalah pengikut ilmu Bajra Wereng? Itukah sebabnya kalian menyebut nama kalian dengan Bajrasaketi dan Bajrasayuta?“

“Anak setan,“ geram orang itu, “jangan mengigau.“

“Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih, “aku pernah mendapat petunjuk dari guruku, bahwa sikap kalian adalah sikap ilmu Bajra Wereng.“

“Ada seribu macam ilmu yang mempunyai sikap hampir sama,“ geram Kiai Sangkan.

“Di samping sikapmu, juga tata gerakmu. Tetapi yang lebih meyakinkanku adalah caramu membuka perguruanmu. Kepura-puraanmu dengan berperisai unsur dari ilmu yang lain, namun dalam keadaan yang tersudut, maka kau pergunakan unsur-unsur gerak dari ilmumu yang hitarn itu. Serta banyak hal yang telah meyakinkan aku, bahwa kau telah menyadap ilmu hitam itu,“ sahut Glagah Putih.

“Persetan,“ geram orang itu pula. Bahkan katanya kemudian, “Jika demikian maka nasibmu akan menjadi sangat malang. Kau akan terbunuh di sini dan tubuhmu akan dilempar ke dalam hutan menjadi makanan binatang liar.“

“Jangan mencoba membunuh agar kau sendiri tidak terbunuh,“ sahut Glagah Putih, “tetapi aku hanya minta kau berjanji untuk mengendalikan murid-muridmu. Hanya itu. Aku tidak peduli apakah kau berilmu apapun juga, asal kau dan murid-muridmu tidak mengganggu orang lain.“

Kiai Sangkan tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia telah meloncat menerkam dengan garangnya dengan jari-jarinya yang mengembang. Tetapi Glagah Putih pun benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, ketika Kiai Sangkan yang juga disebut Kiai Bajrasaketi itu menyerangnya, maka iapun sudah siap untuk melawan.

Glagah Putih dengan sengaja tidak ingin menghindari serangan itu. Ia tidak ingin terlalu lama terlibat dalam pertempuran itu. Karena itu, maka iapun telah menyiapkan dirinya, menghimpun kekuatannya justru membentur serangan lawannya yang memiliki ilmu Bajra Wereng itu.

Namun Glagah Putih pun menyadari, bahwa kekuatan ilmu Bajra Wereng adalah ilmu yang mampu melepaskan kekuatan yang besar. Jari-jari tangan yang mengembang itu akan mampu memecahkan tulang di kepalanya atau mengoyak kulit dagingnya. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah menyiapkan pula kekuatan ilmunya.

Sejenak kemudian benturan yang dahsyat pun telah terjadi. Ilmu Bajra Wereng itu telah dapat menggetarkan keseimbangan Glagah Putih. Namun Glagah Putih hanya terdorong selangkah surut. Dengan serta merta, maka iapun sempat memperbaiki keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian, maka iapun telah berdiri tegak dalam keseimbangan yang mapan.

Sementara itu, Kiai Sangkan benar-benar terkejut bukan buatan. Serangannya seakan-akan telah membentur dinding baja setebal dua jengkal. Bukan itu saja, tetapi kekuatan yang sangat besar seakan-akan telah memantul menghantam bagian dalam tubuhnya dan melemparkannya dengan kerasnya, sehingga Kiai Sangkan itu pun kemudian telah terbanting jatuh.

Punggung orang itu rasa-rasanya bagaikan patah. Sambil menyeringai menahan sakit ia mencoba untuk bangkit. Betapapun juga, Kiai Bajraseketi itu berusaha untuk tidak terhina di hadapan murid-muridnya. Namun ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa ia memang terbanting jatuh dan menjadi kesakitan.

Sambil berdesah tertahan, Kiai Sangkan itu bertelekan pada lambungnya. Ketika ia kemudian berdiri tegak, maka iapun telah mengumpat, “Anak tidak tahu diri. Aku berusaha menahan diri agar kau tidak menjadi lumat karena kekuatan dan kemampuanku. Ternyata kau sama sekali tidak berterima kasih. Kau hentakkan ilmumu dengan tiba-tiba sehingga aku menjadi terkejut karenanya.“

“Jangan banyak bicara,“ geram Glagah Putih, “jika kau tidak ingin lebih terhina lagi di hadapan murid-muridmu, lekas ucapkan janji itu, bahwa kau dan murid-muridmu tidak akan mengganggu siapapun lagi di Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi tamu yang kami hormati itu.“

“Persetan,“ geram orang itu, “kau memang harus mati.” Lalu katanya kepada Kiai Paran, “Marilah. Kita cepat-cepat menyelesaikannya. Kita tidak mempunyai waktu banyak.“

Kiai Paran yang juga disebut Kiai Bajrasayuta itu mengerutkan keningnya. Ia tidak mengira bahwa Kiai Sangkan akan mengalami kesulitan menghadapi anak muda itu. Namun setelah melihat bagaimana keduanya bertempur, maka Kiai Paran pun menyadari, bahwa anak muda itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka sejenak kemudian Kiai Paran pun telah melangkah mendekati arena pertempuran.

Kelima orang muridnya yang masih kurang mampu menilai ilmu yang tinggi yang terpancar dari setiap unsur gerak Glagah Putih telah mencoba untuk mendekat pula. Meskipun tubuh mereka masih terasa sakit setelah mereka berlima dikalahkan oleh Wirastama, namun mereka merasa wajib untuk ikut melibatkan diri jika hal itu dikehendaki oleh guru-gurunya.

Dalam pada itu Kiai Paran pun berkata, “Kepung anak itu. Jangan sampai ia melarikan diri.“

Tetapi Glagah Putih menyahut, “Aku peringatkan, jangan libatkan murid-muridmu.“

“Jangan takut,“ jawab Kiai Paran, “mereka hanya akan berjaga-jaga jika kau ingin melarikan diri dari tangan kami.“

“Apapun yang harus mereka lakukan, maka tentu akan sangat berbahaya bagi mereka. Jika mereka terlibat, betapapun kecilnya, maka akibatnya akan sangat parah bagi mereka. Mereka sama sekali belum memiliki bekal apapun juga untuk memasuki sebuah arena pertempuran,“ berkata Glagah Putih. Lalu, “Seharusnya kalian, guru-gurunya, mengetahuinya. Atau kalian sekedar ingin menakut-nakuti aku, seolah-olah ada beberapa orang yang akan mengepungku?“

“Persetan,“ geram Kiai Paran, “kau memang harus dibunuh. Kami memang tidak perlu lagi mengekang diri, sehingga kau akan menjadi contoh bagi anak-anak Perdikan Tanah Menoreh yang akan berani menentang kami. Kami masih menghormati Pasukan Khusus yang memiliki kekuatan yang besar, yang akan dapat menghancurkan padepokan kami jika mereka menghendaki. Tetapi kau tidak mempunyai kekuatan apa-apa Anak Muda. Jika kau mati, tidak ada yang akan dapat menuntut balas. Bahkan Ki Gede Menoreh pun tidak akan berarti sama sekali bagi kami.“

“Jadi kau hanya dapat membual saja Ki Sanak. Ingat, aku tidak akan dapat mati karena mendengar bualanmu itu,“ berkata Glagah Putih.

Telinga Kiai Sangkan dan Kiai Paran rasa-rasanya bagaikan tersentuh api. Karena itu, maka keduanya segera meloncat menyerang dengan garangnya. Keduanya tidak lagi segan-segan mempergunakan puncak kemampuan mereka dengan ilmu yang dikenali oleh Glagah Putih yang disebutnya Bajra Wereng. Tetapi Glagah Putih memang sudah bersiap sepenuhnya. Dengan tangkas ia berloncatan di antara serangan-serangan kedua lawannya itu.

Demikianlah maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa ilmu Bajra Wereng adalah ilmu yang sangat garang dan kasar. Kedua orang yang menyebut dirinya Kiai Bajrasaketi dan Kiai Bajrasayuta itu telah bertempur dengan tanpa mengendalikan diri lagi. Mereka berdua benar-benar ingin membunuh Glagah Putih dengan ilmunya.

Tetapi Glagah Putih telah membekali dirinya dengan kekuatan ilmu dari jalur perguruan pamannya, Ki Sadewa, serta ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga. Ilmu yang benar-benar telah mapan dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Sementara itu sejalan dengan pengalaman Glagah Putih yang luas meskipun ia masih muda, maka ilmu itu telah berkembang pesat, didorong oleh getaran kekuatan yang ada di dalam diri Raden Rangga, yang pada saat-saat menjelang saat terakhirnya telah disalurkan ke dalam tubuh Glagah Putih untuk menopang tingkat ilmunya.

Dengan demikian maka kekuatan ilmu Bajra Wereng yang garang dan keras itu, ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan ilmu yang dimiliki oleh Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih telah mulai jemu dengan pertempuran yang berlangsung di pinggir hutan itu. Karena itu, justru pada saat kedua orang yang merasa memiliki ilmu yang dahsyat itu berusaha menyelesaikan pertempuran, maka justru mereka-lah yang telah mengalami tekanan yang tidak terelakkan. Ilmu yang dilontarkan lewat unsur-unsur gerak yang mapan dan matang dari Glagah Putih justru menjadi semakin sering menyentuh tubuh kedua orang lawannya.

“Gila,“ geram Kiai Sangkan, “kau memang sedang sekarat.“

Tetapi Glagah Putih menjawab, “Aku masih mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang mengekang kekuatanku. Tetapi jika kalian masih tetap tidak mau berjanji, maka aku akan bertindak lebih keras lagi.“

Kedua orang itu justru semakin marah. Tetapi ketika keduanya justru sampai ke puncak kekuatan ilmu Bajra Wereng, maka keduanya justru menjadi semakin sulit menghadapi Glagah Putih. Tubuh Glagah Putih seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah. Seperti bayangan, Glagah Putih berterbangan mengitari kedua orang lawannya. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin garang.

Ketika tangannya menjulur mengenai pundak Kiai Paran, maka orang,itu mengaduh tertahan. Dengan kemarahan yang memuncak, maka iapun segera menerkam Glagah Putih. Jari-jarinya mengembang mengerikan.

Tetapi Glagah Putih tidak mengelak. Ia justru membentur kekuatan ilmu Bajra Wereng itu dengan landasan ilmu yang tersimpan di dalam dirinya. Ilmu yang berasal dari beberapa sumber tetapi sudah menjadi luluh menyatu.

Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang sangat dahsyat. Ternyata ilmu Bajra Wereng benar-benar ilmu yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Namun Glagah Putih yang membentur kekuatan Bajra Wereng itu tidak memberikan kesempatan ujung-ujung jari Kiai Paran menyentuh kulitnya, dan apalagi mengoyakkannya.

Namun demikian besar kekuatan Kiai Paran dengan ilmunya, maka Glagah Putih telah terdorong selangkah surut. Bahkan Glagah Putih telah terhuyung-huyung, sehingga ia harus berusaha dengan cepat memperbaiki keseimbangannya.

Dalam pada itu, ternyata benturan itu telah berakibat sangat buruk bagi Kiai Paran. Ia telah terlempar beberapa langkah dan bahkan terbanting jatuh di tanah. Yang terdengar adalah erang kesakitan, karena punggungnya bagaikan menjadi patah.

Kiai Sangkan melihat benturan itu dengan jantung yang berdebaran. Namun ternyata ia dapat mengambil sikap dengan cepat. Justru pada saat Glagah Putih sedang memperbaiki keseimbangannya, maka dengan ilmu yang sama Kiai Sangkan telah meloncat menerkamnya.

Glagah Putih melihat serangan itu. Ia mengagumi kecepatan bersikap Kiai Sangkan yang mempergunakan keadaannya, yang menurut perhitungan terlalu lemah untuk membentur sekali lagi kekuatan ilmu Bajra Wereng yang sangat kuat itu. Tetapi Glagah Putih pun cukup tangkas. Ia tidak membentur kekuatan yang dilontarkan oleh Kiai Sangkan.

Kesalahan Kiai Sangkan adalah pada keyakinannya, bahwa Glagah Putih akan membentur kekuatan ilmunya dan selanjutnya akan terkapar jatuh dengan luka-luka, jika tidak pada kulit dagingnya yang terkoyak oleh jari-jarinya yang mengembang, tentu pada bagian dalam dadanya karena benturan yang terjadi.

Tetapi Glagah Putih tidak berbuat demikian. Justru pada saat ia menemukan keseimbangannya, dengan cepat ia bergeser menghindari serangan itu. Sambil merendahkan diri hampir berjongkok Glagah Putih bertumpu pada kedua tangannya. Tiba-tiba saja kedua kakinya terjulur lurus ke arah lambung Kiai Sangkan yang kehilangan sasaran.

Kiai Sangkan tidak menduga sama sekali bahwa Glagah Putih telah mengambil sikap yang lain. Karena itu, maka Kiai Sangkan pun ternyata telah terdorong beberapa langkah, dan seperti Kiai Paran, Kiai Sangkan pun jatuh berguling. Namun keadaannya tidak separah keadaan Kiai Paran, sementara Glagah Putih pun telah membebaskan dirinya dari dorongan benturan kakinya dengan tubuh Kiai Sangkan dengan berguling pada punggungnya. Namun dalam sekejap, iapun telah melenting bangkit berdiri tegak.

Kiai Sangkan pun dengan cepat telah bangkit kembali, sementara Kiai Paran pun telah berdiri meskipun harus menahan sakit pada punggungnya. Sejenak keduanya, berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Kiai Sangkan pun berdesis, “Kami tidak mempunyai pilihan. Kami akan menghancurkan isi dadamu dengan ilmu pamungkas kami.“

Glagah Putih menyadari apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu. Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dibangunkannya tenaga cadangannya untuk meningkatkan daya tahannya, karena ia tahu, bahwa kedua orang itu tentu akan melepaskan aji Gelap Ngampar yang masih pada tataran permulaan sekali. Tetapi Glagah Putih pun tidak lepas dari kewaspadaan bahwa mungkin kedua orang itu bukannya tidak mampu untuk menghentakkan kekuatan Aji Gelap Ngampar pada tataran yang lebih tinggi. Jika di hadapan Wirastama dan Teja Prabawa hal itu tidak dilakukan, adalah karena dengan ujung ilmunya saja, mereka sudah mampu menundukkan orang-orang yang disangkanya telah mengganggu murid-muridnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua orang itu pun telah berdiri berdampingan. Sementara itu, murid-murid mereka yang kebetulan berdiri pada garis hubung antara keduanya dengan Glagah Putih telah berlari-larian menyingkir, karena mereka mengerti, sentuhan getaran serangan kedua gurunya itu akan dapat menghancurkan isi dada mereka.

Glagah Putih pun telah berdiri tegak dalam kesiagaan penuh. Ia mengerti, justru karena sikap para murid kedua orang itu, bahwa kedua gurunya masih membatasi ilmunya pada sasaran tertentu. Ilmu Gelap Ngampar, apalagi yang sudah matang, memang dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan orang yang memiliki kemampuan itu. Mungkin terhadap sasaran tertentu, tetapi mungkin getaran ilmu itu akan menyerang ke segenap penjuru.

Tetapi sejak semula Glagah Putih tidak merendahkan lawannya. Mungkin ilmu kedua orang itu justru telah mapan. Namun keduanya telah dengan cermat mengendalikan ilmu mereka.

Sejenak kemudian, maka terdengar kedua orang itu mulai tertawa. Suaranya bergetar semakin lama semakin tajam. Udara pun bergetar pula bergelombang mengalir ke sasaran. Semakin lama semakin tajam menukik ke dalam dada.

Namun Glagah Putih benar-benar telah siap. Untuk beberapa saat Glagah Putih masih tetap bertahan. Kekuatan ilmu kedua orang itu tidak mampu meremas isi dadanya yang dilindungi dengan daya tahannya yang kuat.

Kedua orang itu semakin lama semakin berusaha menghentakkan ilmunya. Bahkan kemudian suara tertawa keduanya pun menjadi semakin keras. Dedaunan yang terdapat di belakang Glagah Putih pun telah berguncang, sementara ranting-ranting berpatahan. Daun-daun yang mulai menguning pun telah berguguran.

Tetapi Glagah Putih tidak bergetar sama sekali. Meskipun ia memang merasakan tusukan-tusukan di dadanya, namun tusukan-tusukan ilmu itu dapat diatasinya dengan daya tahannya, sehingga rasa sakit itu dapat diabaikannya.

Kedua orang itu menjadi semakin gelisah menghadapi anak muda Tanah Perdikan ini. Seorang perwira dari Pasukan Khusus tidak mampu menahan serangan ilmunya yang menusuk dada itu. Namun anak Tanah Perdikan Menoreh yang masih terlalu muda itu justru telah menghadapi ilmunya sambil bertolak pinggang.

Tetapi semakin lama dada Glagah Putih memang menjadi semakin sakit. Namun dalam batas tertentu Glagah Putih itu pun berteriak, “Apakah kalian masih tidak mau berjanji?“

Kedua orang itu tidak menghiraukan. Mereka tidak menjawab pertanyaan anak muda itu. Keduanya menyangka bahwa Glagah Putih sengaja mengajukan pertanyaan agar keduanya menjawab, sehingga serangan mereka pun terhenti.

Karena keduanya tidak menjawab, maka Glagah Putih pun berkata, “Baik. Jika kalian memang benar-benar ingin bermusuhan dengan Tanah Perdikan Menoreh, apaboleh buat. Aku, salah seorang dari pemimpin pengawal Tanah Perdikan yang tidak terhitung di sini, akan menunjukkan kepada kalian, bahwa Tanah Perdikan bukan lingkungan yang tidak mempunyai kekuatan sema sekali, sehingga orang lain dapat berbuat sehendak hatinya sendiri. Jika kalian bertemu dengan pemimpin-pemimpin pengawal yang lebih tua dari aku, baik umurnya maupun ilmunya, apalagi Ki Gede sendiri, maka kalian akan menjadi lumat.“

Kedua orang itu masih saja tidak menjawab. Mereka masih mencoba meningkatkan serangan mereka dengan ilmu mereka yang masih baru pada tataran yang mula sekali.

Karena keduanya tidak menjawab, maka Glagah Putih telah berniat untuk menghentikan permainan yang memuakkan itu. Karena itu, maka iapun segera memusatkan nalar budinya.

Tiba-tiba saja Glagah Putih telah menggerakkan tangannya dan menghentakkan dengan telapak tangan menghadap ke depan. Namun Glagah Putih memang tidak menyerang kedua orang itu, tetapi ilmunya yang dahsyat telah terlontar tepat mengenai tanah lima langkah di hadapan kedua orang itu.

Akibatnya benar-benar luar biasa. Meskipun Glagah Putih tidak melontarkan kekuatan api, namun kekuatan udara yang dilepaskannya justru ke arah lima langkah di hadapan kedua orang itu, benar-benar telah membungkam kedua lawannya. Mereka tidak sekedar terkejut dan terdiam. Tetapi dorongan kekuatan ilmu Glagah Putih ternyata telah melemparkan mereka beberapa langkah surut, sehingga keduanya telah terbanting jatuh. Tulang-tulang mereka serasa berpatahan, sementara itu debu pun untuk beberapa saat telah menyelubungi mereka. Ketika debu kemudian hanyut oleh desah angin yang perlahan-lahan berhembus, maka keduanya pun berusaha untuk bangkit. Namun tubuh mereka benar-benar terasa sakit.

“Aku sengaja tidak langsung menyerang perutmu,“ berkata Glagah Putih, “aku melepaskan seranganku dengan sasaran tanah lima langkah di hadapanmu. Dan kau merasakan akibatnya.“

Kedua orang yang mengaku guru dari kelima orang anak muda yang telah mengganggu Rara Wulan itu mengeluh. Keduanya tidak lagi dapat menghindari kenyataan yang telah terjadi itu. Karena itu maka keduanya pun sadar, jika mereka masih ingin mengadakan perlawanan, maka akibatnya akan dapat parah bagi mereka sendiri. Karena itu, maka kedua orang itu pun kemudian saling memberikan isyarat. Mereka telah mengangguk bersama-sama. Seorang di antara mereka berkata, “Ampun Anak Muda. Kami berdua mengaku kalah. Kami mohon, jangan bunuh kami.“

“Aku tidak memerlukan pengakuan seperti itu,“ berkata Glatah Putih, “aku hanya memerlukan janjimu untuk bertanggung jawab, bahwa orang-orang padepokanmu atau perguruanmu, atau apapun namanya, tidak akan mengganggu orang-orang Tanah Perdikan Menoreh lagi. Apalagi tamu-tamu yang kami hormati. Jika kalian masih melakukannya, maka aku tidak akan terbatas melakukan serangan pada jarak tertentu dari kepalamu. Tetapi aku benar-benar akan memecahkan kepalamu berdua dan murid-muridmu. Kami akan datang untuk menghancurkan padepokanmu rata dengan tanah.“

“Ya, ya, Anak Muda,“ jawab Kiai Sangkan gagap, “kami berjanji.“

“Jika itu kau ucapkan tadi sebelum aku marah, maka kau tidak akan mengalami perlakuan kasar, karena pada dasarnya kami tidak ingin berbuat kasar seperti itu,“ berkata Glagah Putih.

Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka hanya menundukkan kepalanya saja.

Dengan lantang Glagah Putihpun kemudian berkata, “Cepat. Pergi, sebelum aku mengambil keputusan lain.“

Kedua orang itu mengangguk. hormat. Kiai Sangkan dengan nada rendah berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Anak Muda.“

“Bawa murid-muridmu itu,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Kedua orang itu mengangguk sekali lagi, kemudian memberikan isyarat kepada murid-muridnya untuk pergi. Namun sebelum mereka beranjak dari tempatnya, Glagah Putih masih berkata, “Tetapi ingat, bahwa perguruan bukan tempatnya bagi seseorang untuk memeras orang lain dan memperkaya diri sendiri. Perguruanmu bagimu adalah alat untuk mengumpulkan kekayaan, bukan tempat menyebarkan ilmu bagi anak-anak muda. Ingat itu dan selagi belum terlanjur, kau dapat menentukan arah perguruanmu lebih baik dari yang sudah kau lakukan. Jika kau ingin menjadi kaya, caranya bukan membuka perguruan apapun bentuknya. Tetapi jika kau memang ingin membuka sebuah perguruan, maka harus kau lakukan dengan penuh tanggungjawab atas penyebaran ilmu bagi kepentingan sesama.“

“Kami mengerti,“ jawab Kiai Sangkan.

“Nah, sekarang pergilah,“ berkata Glagah Putih.

Kedua orang guru serta kelima orang muridnya itu pun kemudian telah melangkah pergi menyusuri jalan pinggir hutan itu, meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dengan kesan tersendiri. Mereka justru telah mengalami peristiwa yang sebelumnya tidak pernah mereka duga, bahwa di Tanah Perdikan ada anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Kehadiran mereka di tempat yang tidak jauh dari Tanah Perdikan dan membuka sebuah perguruan, ternyata telah berada di dekat satu tempat yang akan dapat membayangi padepokannya itu.

Sementara itu, ketika Glagah Putih sedang memperhatikan orang-orang yang meninggalkannya itu, ia telah terkejut oleh desir lembut di hutan di sebelahnya. Karena itu, maka iapun telah bergeser sambil mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi yang kemudian keluar dari hutan adalah Ki Lurah Branjangan, diikuti oleh Agung Sedayu.

“Ki Lurah,“ desis Glagah Putih.

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Aku sudah menduga apa yang kau lakukan, ketika aku bertanya kepada pengawal yang ada di arena perkelahian antara Wirastama dengan kelima orang anak-anak muda yang nakal itu, bahwa kau tidak kembali bersama kami. Pengawal itu hanya dapat menyebutkan beberapa hal tentang kepergianmu. Kemudian aku telah singgah dan mengajak kakak sepupumu yang kebetulan ada di rumah.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika rasa-rasanya masih ada yang dicari, Agung Sedayu berkata, “Ki Jayaraga baru pergi ke sawah.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah berkata, “Nampaknya serba sedikit kebiasaan Raden Rangga akan nampak pada tingkah lakumu, karena kau pernah bergaul rapat dan menjalankan tugas bersama-sama dengan anak muda itu. Namun agaknya kau lebih dapat mengekang diri.“

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya saja.

“Aku tahu, kau tidak mau menunjukkan kelebihanmu di hadapan Teja Prabawa,“ berkata Ki Lurah. Lalu, “Tetapi sebenarnya itu tidak perlu. Teja Prabawa harus tahu, siapa dirinya itu sebenarnya. Ia bukan seorang yang harus mendapat kehormatan sebagaimana dilakukan sekarang oleh orang-orang Tanah Perdikan ini, termasuk kau.“

Glagah Putih masih menundukkan kepalanya saja.

“Aku tidak tahu, apa yang akan dikatakan oleh Teja Prabawa jika ia melihat apa yang telah kau lakukan,“ berkata Ki Lurah. Namun kemudian, “Tetapi karena sekarang telah hadir pula Wirastama, maka persoalannya akan menjadi semakin berbelit. Namun sebaiknya kau tidak perlu merendahkan dirimu sendiri.“

Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku tidak ingin melanggar pesan Kakang Agung Sedayu.“

Ki Lurah berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya, “Kakangmu memang mempunyai kebiasaan yang sulit dilakukan oleh orang lain.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Aku hanya ingin menghormati tamu-tamu yang datang ke Tanah Perdikan ini. Apalagi jika tamu itu adalah cucu Ki Lurah.“

Ki Lurah pun tertawa. Katanya, “Terima kasih. Tetapi dengan demikian maka maksud kedatangan mereka ke Tanah Perdikan ini justru tidak akan tercapai.“

“Apakah maksud mereka datang kemari?“ tiba-tiba Glagah Putih bertanya.

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Sebenarnya memang bukan maksud mereka. Tetapi aku-lah yang ingin mereka mendapat pengalaman baru dalam perlawatan mereka ke Tanah Perdikan ini. Karena itu, biarlah mereka mengalami apa yang sewajarnya harus terjadi.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Mereka akan mendapatkannya Ki Lurah. Tanpa tidak harus dengan serta merta. Lebih baik mereka mendapatkan dari sedikit, sehingga tidak menimbulkan goncangan-goncangan di dalam hati mereka.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Waktu mereka tidak terlalu banyak.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Demikianlah, maka mereka pun kemudian mulai bergerak ketika Agung Sedayu mempersilahkan, “Marilah. Kita kembali ke pedukuhan induk.“

Mereka bertiga pun kemudian langsung pergi ke rumah Ki Gede. Ternyata bahwa Wirastama sudah tidak ada di rumah Ki Gede itu. Dari Teja Prabawa Ki Lurah mengetahui bahwa Wirastama telah kembali ke baraknya.

“Besok pagi-pagi Wirastama akan datang lagi,“ berkata Teja Prabawa, “kami akan melihat-lihat tempat lain di Tanah Perdikan ini.“

“Sebaiknya kau jangan mengganggu tugasnya,“ berkata Ki Lurah. “Kau tahu, bahwa jika ia sering datang untuk mengantarmu berjalan-jalan, maka itu berarti bahwa ia telah meninggalkan tugasnya.“

“Tetapi ia sudah mendapat ijin untuk mengawani kami selama kami berada di Tanah Perdikan ini,“ jawab Teja Prabawa.

“Besok aku akan berkata kepadanya, bahwa ia tidak perlu berbuat seperti itu. Sudah aku katakan, bahwa kau dapat berjalan-jalan bersama Glagah Putih,“ berkata Ki Lurah.

“Kakek,“ jawab Teja Prabawa, “sebenarnya Kakek tentu dapat menilai, dengan siapa sebaiknya aku pergi. Apa yang aku dapatkan jika aku pergi bersama anak padukuhan itu? Kakek akan dapat membayangkan, seandainya anak itu-lah yang tadi di gulung pusaran, apakah kira-kira yang akan terjadi.“

Ki Lurah berpaling ke arah Glagah Putih yang mendengarkan keterangan Teja Prabawa. Telinganya memang terasa panas. Tetapi setiap kali ia hanya dapat memandang sekilas kakak sepupunya.

Glagah Putih dan Agung Sedayu berada di rumah Ki Gede beberapa lama. Namun mereka pun kemudian telah minta diri untuk kembali.

“Ki Gede ada di rumah. Apakah kalian akan minta diri?“ bertanya Ki Lurah.

“Terima kasih. Tolong, Ki Lurah saja-lah nanti yang mengatakan bahwa kami sudah pulang. Mungkin Ki Gede sedang beristirahat,“ jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah minta diri. Mereka pun kemudian menyusuri jalan padukuhan induk. Sementara Glagah Putih berkata, “Aku sudah jemu mengawani anak-anak cengeng itu.“

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Cobalah sekali lagi. Pada suatu saat kau akan merasakan satu manfaat dari perhubungan kalian dengan mereka. Kau akan mendapat pengalaman baru, sebagaimana mereka ingin mendapat pengalaman baru pula.“

Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar tidak ingin untuk mengawani mereka lagi. Untuk menghilangkan kejengkelannya, maka di malam hari, Glagah Putih telah turun pula ke sungai. Ia tiba-tiba saja merasa bahwa pekerjaannya menutup dan membuka pliridan itu dapat memberikan kepuasan tersendiri.

Ketika matahari terbit di pagi hari, Glagah Putih masih saja terlalu sibuk dengan pekerjaan di rumah. Ketika ia menyapu halaman, dilihatnya Wirastama telah berjalan di depan regol halaman. Bahkan Wirastama sempat berhenti dan menjenguknya sambil menyapa, “Kau masih sibuk bekerja?“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi iapun bertanya, “Sepagi ini kau sudah sampai di sini?“

“Aku berjanji dengan cucu-cucu Ki Lurah untuk naik ke bukit. Mereka ingin melihat sumber air yang mengalir menuruni tebing di sebelah gumuk kecil itu,“ jawab Wirastama.

“Maksudmu gumuk Watu Abang?“ bertanya Glagah Putih.

“Ya. Gumuk Watu Abang,“ jawab Wirastama, “aku memang belum tahu bahwa gumuk itu mempunyai nama.“

“Hati-hatilah,“ berkata Glagah Putih, “ada beberapa jenis ular berbisa di sekitar gumuk itu.“

“Kami tidak akan pergi ke gumuk. Kami akan naik tebing dan melihat sumber air di bawah pohon preh raksasa itu,“ jawab Wirastama.

“Sumber itu tidak terlalu besar,“ berkata Glagah Putih.

“Tetapi cukup menarik. Aku pernah melihatnya,“ jawab Wirastama.

“Aku hanya memperingatkanmu. Aku mengenal tempat itu dengan baik,“ berkata Glagah Putih.

Wirastama mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Aku akan bertanggung jawab.“

Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Mudah-mudahan kalian tidak mengalami kesulitan di gumuk Watu Abang. Bagaimanapun juga terserah kepadamu. Tetapi ular kendang yang banyak terdapat di tempat itu benar-benar berbahaya, karena ular kendang mempunyai ketajaman bisa seperti ular bandotan. Ular kendang itu berbahaya karena ujudnya yang tidak seperti ular kebanyakan. Terlalu pendek, dan kadang-kadang menggelinding seperti bumbung kecil yang berwarna kehitam-hitaman. Tetapi jika ular itu mematuk ujung kaki sekalipun, maka sulit bagi seseorang untuk menyelamatkan diri. Apalagi jenis ular belang yang juga banyak terdapat di sekitar Watu Abang itu.“

Tetapi Wirastama tertawa. Katanya, “Bukan hanya kau yang pernah pergi ke Watu Abang itu. Aku pun pernah pergi kesana. Aku tidak melihat seekor ular pun. Ular sawah pun tidak. Apalagi ular berbisa seperti dongengmu itu.“

“Terserah kepadamu,“ desis Glagah Putih kemudian.

“Baiklah. Selesaikan pekerjaanmu. Aku akan pergi ke gumuk itu dan kemudian naik ke atas tebing di sebelah Watu Abang itu, untuk melihat sebatang pohon raksasa yang dibawahnya terdapat sumber air yang sangat besar. Tetapi tidak timbul sendang, karena airnya mengalir sebagai grojogan,“ berkata Wirastama.

Glagah Putih tidak menghiraukan lagi, karena apapun yang dapat terjadi adalah tanggung jawab Wirastama.

Namun ternyata terdengar suara yang lain, “Sebaiknya kau pertimbangkan lagi rencanamu itu. Aku sependapat dengan Glagah Putih, bahwa perjalanan itu akan menjadi perjalanan yang sangat berbahaya. Bukan saja ular berbisa, tetapi di sekitar pohon raksasa itu masih terdapat hutan yang lebat yang dihuni oleh binatang-binatang buas.“

Wirastama berpaling. Dilihatnya Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.

“Sudahlah,“ berkata Wirastama, “Aku tidak takut bisa dan juga tidak takut binatang buas.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapj ia tidak mengatakan sesuatu lagi ketika Sekar Mirah menggamitnya. Katanya, “Biarkan saja anak itu pergi. Glagah Putih sudah cukup banyak memberikan keterangan. Tetapi nampaknya anak itu memang keras kepala.“

Agung Sedayu memang membiarkan anak itu pergi. Namun kemudian ia berdesis, “Yang aku pikirkan adalah cucu Ki Lurah.“

“Ki Lurah pernah tinggal di sini. Ia tentu tahu apakah cucunya pantas pergi ke tempat itu atau tidak,“ berkata Sekar Mirah.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mudah-mudahan Ki Lurah sempat bertanya, kemana mereka akan pergi.“

Sementara itu, Wirastama telah melanjutkan langkahnya menuju ke rumah Ki Gede. Ia memang ingin mengajak cucu-cucu Ki Lurah itu ke tempat yang berbahaya. Dengan demikian ia akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya apabila terjadi sesuatu di tempat yang berbahaya itu.

Ketika Wirastama sampai ke rumah Ki Gede, maka Ki Lurah pun terkejut pula. Teja Prabawa dan Rara Wulan memang sudah bangun, tetapi mereka belum mandi dan berbenah diri.

“Marilah, silahkan Ngger,“ Ki Lurah Branjangan mempersilahkan Wirastama untuk duduk di serambi gandok.

Wirastama pun kemudian telah duduk pula di serambi gandok bersama Ki Lurah Branjangan.

“Masih pagi begini, Angger telah datang kemari,“ berkata Ki Lurah.

“Mumpung masih pagi Ki Lurah,“ jawab Wirastama.

“Sebenarnya kami tidak ingin mengganggu tugas-tugas Angger. Bukankah Angger mempunyai tugas di barak Pasukan Khusus? Jika Angger terlalu sering datang kemari, maka tugas-tugas Angger itu tentu akan terganggu,“ berkata Ki Lurah.

Wirastama tersenyum. Katanya, “Pimpinan tertinggi di barak itu adalah kakak kandungku. Ia tidak akan menyalahkan aku.“

“Tetapi ia bertanggung jawab kepada seluruh anak buahnya di barak itu,“ berkata Ki Lurah. “Jika seorang di antara para perwira mendapat perlakuan seperti Angger, maka yang lain pun akan mendapat perlakuan yang sama pula. Demikian pula kesempatan yang telah diberikan kepada Angger, seharusnya diberikan kepada orang lain pula.“

Wirastama tertawa. Katanya, “Ki Lurah. Aku justru mendapat perintah yang bukan saja dengan diam-diam. Tetapi perintah terbuka, bahwa untuk menghormati Ki Lurah, yang pernah bukan saja memimpin, tetapi justru membentuk Pasukan Khusus itu, maka aku telah diperintahkan untuk melayani Ki Lurah dan cucu-cucu Ki Lurah. Dengan demikian tidak akan ada seorangpun yang menjadi iri hati, seakan-akan aku telah meninggalkan tugas. Yang aku lakukan sekarang ini adalah justru tugas yang diberikan kepadaku itulah.“

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Satu penyambutan yang berlebih-lebihan. Sebenarnya kalian tidak perlu berbuat seperti itu.“

“Tetapi kami ingin berbuat seperti itu,“ jawab Wirastama. “Nah, sekarang, aku telah siap membawa cucu-cucu Ki Lurah itu berjalan-jalan.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah mereka mandi dan membenahi diri dahulu.“

“Tentu. Aku tidak tergesa-gesa Ki Lurah,“ jawab Wirastama.

Sebenarnyalah Wirastama masih harus menunggu. Bahkan terasa agak terlalu lama. Namun meskipun hati Wirastama bergejolak oleh ketidak-sabaran, tetapi ia harus menunggu dengan sikap yang seakan-akan sabar dan tanpa kegelisahan.

Sementara itu ternyata Teja Prabawa dan Rara Wulan masih sempat makan pagi lebih dahulu di ruang dalam tanpa Ki Lurah Branjangan, karena Ki Lurah duduk menemani Wirastama di serambi gandok.

“Kalian akan pergi ke mana hari ini?“ bertanya Ki Gede.

“Aku belum tahu Ki Gede,“ jawab Teja Prabawa, “terserah saja kepada Wirastama.“

“Tetapi kalian harus berhati-hati. Kemarin Wirastama itu hampir saja ditelan oleh pusaran. Sebelumnya kami sudah memperingatkannya. Tetapi nampaknya anak itu memang kurang berhati-hati,“ berkata Ki Gede.

“Tetapi ia berhasil menyelamatkan diri,“ berkata Teja Prabawa.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menjawab, “Tidak. Ia tidak akan dapat menyelamatkan diri. Namun agaknya Tuhan masih berbelas kasihan sehingga dengan lantaran ia telah dilemparkan keluar dari pusaran itu. Tetapi sebaiknya ia tidak mengulanginya. Mungkin Yang Maha Esa akan bersikap lain dan benar-benar mengambilnya.“

Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun dalam pada itu, ternyata Ki Lurah telah masuk pula ke ruang dalam. Didapatinya kedua cucunya masih belum selesai dengan makan pagi, sementara Ki Gede ternyata justru menunggui mereka.

“Aku berpesan agar mereka lebih berhati-hati,“ berkata Ki Gede.

“Aku sependapat Ki Gede,“ jawab Ki Lurah, “apalagi rencananya hari ini Wirastama akan membawa Teja Prabawa ke Watu Abang, untuk memanjat bukit dan melihat mata air di bawah pohon raksasa itu.“

“Kenapa harus pergi ke Watu Abang?“ bertanya Ki Gede.

“Apakah tempat itu berbahaya?“ bertanya Teja Prabawa.

“Di tempat itu banyak sekali terdapat ular,“ jawab Ki Gede, “bahkan ular-ular berbisa. Jika kalian kemudian naik, maka di atas bukit masih terdapat hutan yang lebat. Masih terdapat beberapa jenis binatang buas yang berkeliaran di tempat itu.“

“Tetapi Wirastama akan dapat mengatasinya,“ jawab Teja Prabawa.

“Aku peringatkan, sebaiknya kau tidak pergi ke sana,“ berkata Ki Lurah, “aku memang ingin membawamu ke satu tempat yang mungkin dapat memberikan pengalaman baru bagimu. Tetapi tentu tidak ketempat yang berbahaya seperti Watu Abang itu.“

Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Terserah saja kepada Wirastama.“

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Teja Prabawa terlalu percaya kepada anak muda itu. Namun Ki Lurah-lah yang kemudian berkata, “Jika kalian benar-benar akan pergi ke Watu Abang, Wulan tidak akan pergi bersama kalian.“

Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun Rara Wulan pun berkata, “Aku memang takut kepada ular. Karena itu, aku lebih baik tidak ikut serta.“

“Terserah kepadamu,“ jawab Teja Prabawa, “tetapi aku bukan gadis cengeng seperti kau.“

“Kau kira kau bukan seorang laki-laki cengeng? Nampaknya agak lebih pantas bagi seorang gadis yang cengeng daripada seorang anak muda,“ jawab Rara Wulan.

“Cukup,“ potong Ki Lurah, “jika Teja Prabawa ingin pergi, biarlah ia pergi. Tetapi jika Rara Wulan tidak, biarlah ia tidak pergi.“

Teja Prabawa tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian telah meninggalkan ruang dalam untuk menemui Wirastama.

“Apakah kau telah mengatakan kepada Kakek, kemana kita akan pergi?“ bertanya Teja Prabawa.

“Ya,“ jawab Wirastama.

“Nampaknya Kakek agak berkeberatan. Ki Gede pun minta agar kita pergi ke tempat lain, karena di sekitar Watu Abang terdapat banyak sekali ular, sedangkan di sekitar mata air di bawah pohon raksasa itu masih terdapat binatang buas,“ berkata Teja Prabawa.

“Aku tidak takut ular dan tidak takut binatang buas,“ berkata Wirastama, “kita membawa pedang. Seekor ular yang paling garang sekalipun, lehernya akan putus sekali tebas.“

Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Sementara Wirastama berkata selanjutnya, “Jika kita harus berhadapan dengan seekor harimau, aku sama sekali tidak berkeberatan.“

“Baiklah, kita akan pergi,“ berkata Teja Prabawa.

“Bagaimana dengan adikmu?“ bertanya Wirastama.

“Gadis cengeng itu tidak berani pergi,“ jawab Teja Prabawa.

“Kenapa takut? Katakan, aku akan melindunginya,“ minta Wirastama.

“Kakek nampaknya menakut-nakutinya,“ berkata Teja Prabawa.

Wirastama mengerutkan keningnya. Sebenarnyalah ia ingin pergi bersama Rara Wulan. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Katakan kepada kakekmu dan kepada adikmu, kita pergi ke tempat lain yang tidak berbahaya. Kita melihat sendang kecil yang dihuni oleh seekor bulus raksasa. Ikannya seperti dawet cendol karena banyaknya, tetapi tidak seorangpun yang berani menangkapnya. Katakan, kita pergi ke sendang Panutan. Itu saja. Tempat yang sudah tentu sama sekali tidak berbahaya dan bahkan banyak dikunjungi orang, karena air yang melimpah dipergunakan untuk mencuci, seperti sendang yang ada air pusarannya itu.“

Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Ia memang merasa ragu-ragu untuk mengajak adik perempuannya. Seandainya ia mengatakan yang tidak sebenarnya, kemudian adiknya itu bersedia ikut, maka perjalanan ke tempat yang direncanakan itu memang terlalu berat bagi adiknya, seorang gadis.

Karena Teja Prabawa itu nampak ragu-ragu, Wirastama telah mendesaknya, “Cepatlah. Katakan kepada kakekmu, bahwa kita telah mengurungkan niat kita pergi ke Watu Abang dan mata air di bawah pohon raksasa di bukit itu.“

“Tetapi bagaimana sebenarnya?“ bertanya Teja Prabawa.

“Kita akan membicarakan sambil berjalan,“ jawab Wirastama.

Teja Prabawa termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada Kakek.“

“Cepatlah. Aku menunggu,“ berkata Wirastama.

Teja Prabawa pun kemudian telah masuk kembali ke ruang dalam. Untunglah bahwa kakeknya dan Ki Gede masih duduk bersama Rara Wulan. Dengan nada rendah, Teja Prabawa berkata, “Kek, Wirastawa telah merubah rencananya.“

“O,“ Ki Lurah mengangguk-angguk, “jadi kalian tidak jadi pergi ke Watu Abang?“

“Tidak Kek, Wirastama mengajak kami pergi ke Sendang Panutan untuk melihat bulus raksasa dan ikan yang banyak sekali,“ jawab Teja Prabawa.

Ki Gede pun mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah ia berkata, “Nah, agaknya memang lebih baik pergi ke Sendang Panutan. Sendang kecil yang menarik. Air mata sendang itu juga berada di bawah sebatang pohon yang besar. Tetapi tidak seorangpun yang berani mandi di sendang yang penuh dengan ikan itu. Di dalam lubang yang besar terdapat seekor bulus raksasa. Siapa yang kebetulan melihat bulus itu, maka ia akan bernasib sangat baik.“

Ki Lurah pun menyambung, “Aku juga pernah pergi ke Sendang Panutan. Ikan di sendang itu tidak seorangpun yang berani mengambilnya. Tetapi jika ikan itu sudah turun ke sungai kecil yang merupakan saluran yang menerima limpahan air sendang itu, maka ikan itu dapat ditangkap. Menurut kepercayaan, ikan itu sudah dibuang dan tidak diperlukan lagi. Karena itu, di sungai kecil yang kemudian juga terdapat sebuah kedung kecil itu, sering terdapat anak-anak yang mengail. Kadang-kadang mereka mendapat ikan cukup banyak. Tetapi kadang-kadang tidak sama sekali. Sementara di tempat air sendang kecil itu melimpah, banyak perempuan mencuci pakaian. Airnya cukup banyak dan sangat jernih.“

“Ternyata Ki Lurah mengenal Tanah Perdikan ini seperti kami mengenalnya,“ berkata Ki Gede.

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Aku pernah tinggal di sini untuk waktu yang cukup lama.”

“Jadi, apakah Kakek tidak berkeberatan jika kami pergi ke sana?“ bertanya Teja Prabawa.

“Bahkan Kakek menganjurkan, kau pergi saja ke Sendang Panutan. Sendang kecil yang menarik. Jika ada orang yang memenuhi nadarnya, maka tempat itu menjadi ramai,“ berkata Ki Lurah.

“Ki Lurah tahu juga tempat itu sering menjadi ajang kaul?“ bertanya Ki Gede.

“Tentu,“ jawab Ki Lurah, “jika seseorang terpenuhi keinginannya dan memang sudah berjanji untuk datang ke Sendang Panutan itu untuk menyatakah syukur, maka sebelum orang itu benar-benar mengadakan syukuran di sendang itu, ia masih merasa berhutang. Juga mereka yang keluarganya ada yang sakit dan kemudian sembuh.“

“Mudah-mudahan hari ini ada orang yang menyatakan syukur di sendang itu,“ berkata Ki Gede.

“Apakah yang dikatakan Kakek itu benar Ki Gede?“ bertanya Rara Wulan.

“Ya. Memang benar. Karena itu, sendang yang meskipun hanya kecil itu menarik. Setidak-tidaknya untuk mencuci pakaian,“ jawab Ki Gede sambil tersenyum.

“Tentang syukuran itu?“ desak Rara Wulan.

“Benar Ngger. Meskipun tidak setiap hari, bahkan tidak setiap pekan, tetapi jika hari ini hari baik, mungkin ada orang yang melakukannya,“ jawab Ki Gede sambil tersenyum.

“Nah, jika demikian, marilah. Ikut kami,“ ajak Teja Prabawa.

Rara Wulan ragu-ragu. Sementara itu Ke Gede berkata, “Tempat itu bukan tempat yang berbahaya.“

“Ki Gede benar,“ berkata Ki Lurah, “kau dapat pergi ke Sendang Panutan. Tetapi tidak ke tempat lain, apalagi ke Watu Abang. Pergi ke Watu Abang sama artinya dengan bermain-main dengan nyawamu. Bahkan bertaruh nyawa tanpa arti. Seseorang mungkin mempertaruhkan nyawanya untuk satu cita-cita. Tetapi orang yang mati di Watu Abang karena digigit ular atau diterkam harimau di atas bukit, akan mati sia-sia.“

“Kakek menakut-nakuti saja,“ desis Teja Prabawa.

“Bukan menakut-nakuti Anak Muda.“ sahut Ki Gede, “sebenarnyalah Ki Lurah mengenal Tanah Perdikan ini seperti aku sendiri mengenalnya. Karena itu, yakinlah apa yang dikatakannya itu.“

Teja Prabawa mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut.

Sementara itu Rara Wulan pun berkata, “Kek, aku akan pergi bersama Kakang Teja Prabawa.” “Pergilah. Tetapi ingat, jangan pergi ke tempat lain,“ pesan Ki Lurah.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Kami minta diri Kek.“ Dan kepada Ki Gede ia berkata, “Kami mohon diri Ki Gede“

“Berhati-hatilah,“ pesan Ki Gede.

Kedua cucu Ki Lurah itu pun kemudian telah pergi ke gandok untuk menemui Wirastama bersama Ki Lurah dan Ki Gede. Ternyata Wirastama menjadi berdebar-debar juga ketika kemudian Ki Lurah dan Ki Gede memberikan beberapa pesan. Terutama pesan Ki Lurah, “Jangan pergi ke tempat yang lain kecuali Sendang Panutan. Itu saja.“

Wirastama yang ragu-ragu itu mengangguk. Dengan gagap ia menjawab, “Baik. Baik Ki Lurah.“

“Aku titipkan kedua cucuku kepadamu Ngger,“ berkata Ki Lurah, “cegahlah jika mereka mengajak pergi kemanapun, apalagi ke Watu Abang. Aku percayakan keseluruhan mereka kepadamu.“

Wirastama memang menjadi termangu-mangu. Tetapi ia mengangguk juga sambil berkata, “Ya, ya Ki Lurah.“

Sementara itu Ki Gede pun berkata, “Kami yakin, bahwa kau dapat mengendalikan kedua tamumu itu agar mereka tidak pergi ke tempat lain. Aku adalah tuan rumah di sini. Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu membantuku. Namun bagaimanapun juga, segala langkah yang kita ambil harus kita pertanggung-jawabkan.“

Wirastama menjadi semakin berdebar-debar. Namun sambil mengangguk ia berkata, “Baiklah Ki Gede. Kami akan berhati-hati.“

Demikianlah, maka ketiga orang anak muda itu pun telah meninggalkan rumah Ki Gede. Wirastama mengajak mereka mengikuti jalan untuk menuju ke arah yang berlawanan dengan arah rumah Agung Sedayu. Teja Prabawa dan Rara Wulan berjalan di belakang Wirastama ketika mereka melintas pintu gerbang, meninggalkan padukuhan induk.

“Tempatnya memang agak jauh,“ berkata Wirastama.

Teja Prabawa dan Rara Wulan sempat mengagumi hijaunya bulak panjang yang terbentang di hadapan mereka. Sudah beberapa kali mereka berjalan di bulak itu. Tetapi rasa-rasanya udara yang segar selalu membuat nafas mereka menjadi terasa bening.

“Marilah,“ berkata Wirastama kemudian, “kita berjalan agak cepat. Sendang Panutan itu terletak di sebuah padukuhan kecil di sebelah gumuk kecil. Dari padukuhan ini berjarak lebih dari lima padukuhan besar dan kecil, serta bulak panjang dan pendek.“

“Apakah jarak itu jauh sekali? Manakah yang lebih jauh, dengan sendang yang ada pusarannya itu” bertanya Rara Wulan.

“Sendang ini lebih dekat sedikit,” jawab Wirastama, “tetapi di arah yang berlawanan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu mereka berjalan tidak lagi berurutan. Teja Prabawa dan Wirastama berjalan mengapit Rara Wulan. Mereka menyusuri jalan bulak yang di sebelah-menyebelahnya ditumbuhi pohon-pohon turi yang melindungi jalan bulak itu dari teriknya matahari di tengah hari.

Sementara itu, ternyata Agung Sedayu tidak sampai hati membiarkan kedua cucu Ki Lurah itu pergi ke Watu Abang hanya ditemani oleh Wirastama. Apalagi setelah Agung Sedayu mendengar apa yang terjadi di sendang yang sering diputar oleh pusaran air itu.

“Bagaimanapun juga, ada baiknya kau pergi menemui Ki Lurah, Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih sebenarnya merasa segan sekali untuk melakukannya. Tetapi ternyata bahwa Ki Jayaraga juga mendesaknya, “Pergilah. Mungkin ada gunanya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Memang nampaknya kau harus melihatnya Glagah Putih. Apalagi jika Rara Wulan ikut bersama mereka.”

Glagah Putih tidak dapat membantah lagi. Iapun kemudian telah pergi ke rumah Ki Gede untuk menemui Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah tersenyum ketika Glagah Putih bertanya tentang kedua cucunya dan Wirastama.

“Mereka telah merubah acara mereka,” berkata Ki Lurah, “mereka tidak lagi pergi ke Watu Abang dan belik di bawah pohon raksasa di atas bukit. Aku telah melarang mereka. Demikian pula Ki Gede yang untung sempat pula mendengar pembicaraan tentang rencana kepergian Teja Prabawa dan Wulan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Kakang Agung Sedayu merasa sangat cemas. Demikian pula Mbokayu Sekar Mirah dan Ki Jayaraga.”

“Memang mencemaskan,” berkata Ki Lurah, “untunglah mereka bersedia merubah acara itu.”

“Tetapi Wirastama nampaknya terlalu yakin untuk pergi ke tempat itu,” berkata Glagah Putih.

Ki Lurah menyahut dengan nada rendah, “Ki Gede berhasil meyakinkan mereka.”

Tetapi tiba-tiba saja Ki Lurah berkata, “Marilah. Kita pergi. Aku hanya ingin melihat, apakah mereka memang berada di Sendang Panutan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Seperti di hari sebelumnya, keduanya juga pergi ke sendang yang kadang-kadang diputar oleh pusaran itu dengan diam-diam.

Dalam pada itu, Wirastama yang sempat berjalan-jalan bersama Rara Wulan dan Teja Prabawa merasa, dirinya diperlukan oleh kedua cucu Ki Lurah itu. Karena itu, maka pembicaraan Wirastawa semakin lama menjadi semakin melambung. Teja Prabawa yang memang mengaguminya, ternyata telah ikut pula memuji kelebihan yang dimiliki oleh Wirastama.

Bahkan kemudian Wirastama mulai memberanikan diri untuk memuji Rara Wulan sebagai seorang gadis yang cantik, lembut dan berpandangan luas.

“Jarang sekali aku temui gadis-gadis seperti kau,” desis Wirastama.

Rara Wulan menundukkan kepalanya. Sebagai seorang gadis ia merasa malu mendapat pujian langsung dari seorang anak muda di hadapannya. Karena itu, maka pipinya pun menjadi merah, sementara Wirastama berkata selanjutnya, “Gadis-gadis biasanya hanya ingin melihat pasar dan tempat-tempat untuk berbelanja. Tetapi kau ingin melihat sesuatu yang jauh lebih berarti. Gadis-gadis Kotaraja yang aku kenal pada umumnya hanya pandai bersolek dan dikerumuni oleh pelayan-pelayannya yang siap menjalankan perintahnya, atau dikerumuni oleh perempuan-perempuan untuk memijit tangan dan kakinya dan memandikannya.”

Wajah Rara Wulan terasa semakin panas, sementara Wirastama justru seakan-akan mendapat kesempatan untuk berbicara lebih panjang. Namun Rara Wulan akhirnya justru berkisar dan berjalan di sebelah kakaknya, sehingga dengan demikian Teja Prabawa-lah yang kemudian berjalan di tengah.

Wirastama memang menjadi kecewa. Tetapi sebagai seorang anak muda yang mempunyai pengalaman yang luas bergaul dengan gadis-gadis, maka ia tidak dengan cepat ikut bergeser pula. Dibiarkannya saja Rara Wulan menghindar. Tetapi Wirastama yang berpengalaman itu merasa tidak akan luput menangkap gadis cantik itu. Meskipun ia tidak dapat melupakan bahwa gadis itu adalah cucu Ki Lurah Branjangan, sehingga ia tidak dapat memperlakukannya seperti gadis-gadis pedesaan yang pernah dikenalnya.

Beberapa saat mereka masih berjalan. Wirastama pun kemudian tidak habis-habisnya bercerita kepada Teja Prabawa dan sekali-sekali kepada Rara Wulan tentang Tanah Perdikan Menoreh yang terhitung besar dibanding dengan kademangan-kademangan di sekitarnya. Macam-macam isi yang ada di Tanah Perdikan itu, serta kebiasaan-kebiasaan rakyatnya yang jarang atau hampir tidak pernah dijumpai di Kotaraja.

Ternyata Wirastama tidak membawa kedua cucu Ki Lurah itu langsung ke Sendang Panutan. Tetapi Wirastama membawa mereka menempuh jalan yang lebih jauh, agar ia dapat berjalan bersama mereka lebih lama. Dengan demikian Wirastama mendapat lebih banyak kesempatan untuk berbincang dengan kedua cucu Ki Lurah itu.

Namun akhirnya mereka bertiga pun telah mendekati padukuhan kecil yang mereka tuju. Di sebelah padukuhan kecil itu terdapat Sendang Panutan. Sendang yang tidak begitu besar, tetapi mempunyai daya tariknya tersendiri, karena di sendang itu terdapat seekor bulus yang sangat besar serta ikan yang jumlahnya terlalu banyak. Sementara itu airnya yang jernih yang melimpah ke sebuah parit, dipergunakan untuk mencuci pakaian oleh perempuan-perempuan dari padukuhan itu, sementara sawah di bawah sendang itu dapat pula memanfaatkan air sendang itu bagi sawah mereka.

Ketika ketiga orang anak muda itu sampai di Sendang Panutan itu, maka Ki Lurah dan Glagah Putih sempat melihat mereka dari kejauhan. Ternyata Ki Lurah dan Glagah Putih justru telah sampai ke tempat itu lebih dahulu. Selain mereka memang menempuh jalan pintas, mereka pun langsung menuju ke sendang itu. Sedangkan Wirastama justru telah mengambil jalan yang melingkar-lingkar.

“Kenapa mereka baru sampai?” bertanya Ki Lurah.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Mereka tidak menempuh jalan yang seharusnya. Jika mereka melalui jalan yang biasa, mereka tidak akan datang dari arah itu.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya mereka memang mencari jalan yang lebih panjang.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera mengerti kenapa mereka justru memilih jalan yang lebih panjang. Namun kemudian Ki Lurah berkata, “Mungkin sudah menjadi kebiasaan anak-anak muda. Mereka lebih senang berbincang-bincang sambil menyusuri jalan panjang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Untuk beberapa saat mereka mengawasi ketiga anak muda itu dari kejauhan. Mereka melihat bahwa, Teja Prabawa dan Rara Wulan mengagumi bulus raksasa yang kebetulan sedang menampakkan diri. Mereka juga kagum melihat ikan yang jumlahnya tidak terhitung, sementara perempuan yang mencuci pakaian menjadi tersipu-sipu melihat kehadiran mereka. Jika mereka tidak datang bersama Rara Wulan, maka perempuan-perempuan itu tentu akan berlari-larian.

Namun ketika mereka sudah agak lama melihat-lihat sendang kecil itu, nampaknya Wirastama telah berniat untuk mengajak mereka meneruskan perjalanan.

Dari jauh Ki Lurah Branjangan dan Glagah Putih tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ketiga orang anak muda itu. Namun mereka mengerti bahwa nampaknya Rara Wulan mempunyai keinginan yang berbeda dengan Wirastama dan Teja Prabawa.

Sebenarnyalah, ketika mereka sudah puas melihat sendang kecil itu, maka Wirastama mengajak mereka untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu lebih jauh lagi.

“Kemana?” bertanya Rara Wulan.

“Kita pergi ke lereng bukit itu,” berkata Wirastama, “dimana kita akan dapat melihat dataran Tanah Perdikan ini bagaikan permadani yang terbentang sampai ke pinggir Kali Praga.”

“Bagus sekali,” berkata Teja Prabawa, “kita naik ke lereng. Dari lereng itu kita melihat pemandangan yang digelar di hadapan kita. Sawah, ladang, padukuhan dan Kali Praga.”

“Tetapi Kakek dan Ki Gede sudah berpesan, kita tidak akan pergi ke tempat lain. Aku tidak berani naik ke lereng. Dan barangkali aku tidak dapat memanjat tebing lereng bukit itu,” berkata Rara Wulan.

Wirastama tertawa. Katanya, “Kita akan naik bersama-sama dan saling menolong. Jangan cemas, lereng itu tidak begitu terjal sebagaimana kita lihat dari tempat ini.”

“Aku dapat membantumu,” berkata Teja Prabawa. “Jangan menjadi penakut seperti itu.”

“Tetapi Kakek sudah berpesan. Bahkan Ki Gede juga berpesan agar kita tidak pergi ke mana-mana. Apalagi ke Watu Abang,” jawab Rara Wulan.

“Kita tidak pergi ke Watu Abang. Kita naik ke lereng bukit yang jauh dari Watu Abang. Kita hanya ingin melihat pemandangan alam. Bukan melihat mata air di bawah pohon raksasa di tempat yang masih sering didatangi binatang buas itu, meskipun sebenarnya aku sama sekali tidak takut kepada binatang buas itu.,” berkata Wirastama kemudian.

Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya, “Aku tidak mau pergi ke lereng.”

Wirastama tersenyum. Dengan pengalamannya berhubungan dengan perempuan, maka iapun berkata, “Jangan begitu Rara Wulan. Selama ini aku telah mengagumimu sebagai seorang gadis yang luar biasa. Gadis yang tidak seperti kebanyakan gadis yang hanya pandai bersolek. Tetapi kau mempunyai keinginan melihat betapa luasnya cakrawala. Karena itu, marilah. Kita pergi bersama-sama. Jangan takut bagaimana kau nanti akan naik lereng yang tidak terlalu terjal itu.”

Tetapi Rara Wulan tetap pada pendiriannya. Katanya, “Tidak. Aku tidak mau.”

“Jangan keras kepala!” bentak Teja Prabawa, “Kenapa kau tadi ikut bersama kami?”

“Aku ikut sampai ke Sendang ini saja,” berkata Rara Wulan, “bukankah kalian juga mengatakan, bahwa kalian tidak akan pergi ke mana-mana?”

“Marilah Anak Manis,” desis Wirastama, “jangan cemas. Bukankah ada kakakmu dan ada aku?”

“Jika kau tidak mau ikut, kau lalu mau apa?” bertanya Teja Prabawa.

“Aku akan kembali. Antarkan aku kembali dahulu, baru kalian pergi sesuka kalian,” jawab Rara Wulan.

“Tentu tidak,” sahut Wirastama, “jika kita pulang, kita akan banyak kehilangan waktu. Kita akan berjalan terus. Jarak dari tempat ini sampai ke rumah Ki Gede lebih jauh dari tempat ini sampai ke lereng.”

“Tetapi ……” Rara Wulan tidak sempat meneruskan kata-katanya karena Wirastama memotong, “Baiklah. Kita akan pergi sampai ke kaki bukit. Jika kira-kira kau kesulitan naik ke lereng, maka kita tidak akan naik. Kita akan melihat-lihat sawah di kaki bukit itu saja. Jangan takut, kita tidak pergi ke Watu Abang.”

Rara Wulan menjadi bingung. Sementara itu kakaknya berkata, “Jika kau ingin kembali, kembalilah sendiri.”

Rara Wulan memang tidak mempunyai pilihan lain. Rara Wulan memang tidak berani kembali sendiri. Sementara itu, ia percaya bahwa kakaknya tidak akan memaksanya naik lereng bukit, jika ia memang tidak dapat melakukannya. Apalagi menurut penglihatannya bukit itu memang tidak terlalu jauh lagi dari sendang Panutan itu.

“Marilah,” berkata Teja Prabawa, “kita berjalan lagi.”

Wirastama tersenyum. Ternyata Rara Wulan akhirnya bersedia mengikutinya ke lereng. Yang penting baginya adalah berada di perjalanan semakin lama bersama Teja Prabawa dan lebih-lebih lagi bersama Rara Wulan. Ia akan mendapat kesempatan menolong gadis itu naik ke lereng bukit, dan bahkan menunjukkan ketrampilan dan kemampuannya. Malahan Wirastama memang mengharap seekor harimau datang mendekati mereka, meskipun mereka memang tidak pergi ke Watu Abang dan tidak pergi ke mata air di bawah pohon raksasa, tetapi di atas bukit itu pun terdapat hutan yang dihuni oleh binatang buas.

Dari kejauhan Ki Lurah dan Glagah Putih melihat mereka bertiga meninggalkan Sendang Panutan. Tetapi mereka tidak menuju ke padukuhan induk.

“Mereka akan kemana?” desis Glagah Putih.

“Memang tidak ke Watu Abang,” sahut Ki Lurah, “tetapi nampaknya mereka pergi ke lereng bukit. Apa sebenarnya yang dimaui oleh anak-anak itu?”

“Kita tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi nampaknya Rara Wulan semula berkeberatan,” berkata Glagah Putih.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita akan melihat dari kejauhan, apa yang akan mereka lakukan. Kita dapat mengikuti mereka melalui jalan-jalan setapak dan lewat pategalan. Jalan yang akan mereka lalui adalah jalan satu-satunya ke lereng bukit.”

Glagah Putih mengangguk. Baginya sama sekali tidak ada kesulitan untuk mengikuti ketiga orang anak muda yang berjalan menuju ke lereng.

Sebenarnyalah mereka bertiga telah pergi ke lereng bukit. Ternyata bahwa lereng itu tidak mudah untuk didaki. Tetapi Rara Wulan menjadi semakin tersudut untuk mengikuti kakaknya dan Wirastama.

Namun ternyata gadis itu benar-benar menolak untuk naik. Bahkan ketika kakaknya mengancam akan meninggalkan sendiri, Rara Wulan menjawab, “Pergilah. Aku tidak akan naik. Aku akan pulang sendiri. Jika aku sampai ke rumah Ki Gede, aku akan mengatakan kepada Kakek. Tetapi jika aku tidak sempat kembali karena tersesat atau kehilangan jalan atau karena sebab lain, Kakek tentu akan minta pertanggung-jawaban kepadamu.”

Teja Prabawa tidak mengira bahwa adiknya akan menjadi sekeras itu. Namun Wirastama agaknya bersikap lain. Ia justru tertawa sambil berkata, “Kau aneh Rara Wulan. Kau tidak mau naik karena menurut katamu, kau tidak akan mampu atau takut atau alasan yang lain. Tetapi tiba-tiba kau menjadi seorang pemberani yang ingin kembali seorang diri. Baru kemarin kau diganggu oleh anak-anak yang tidak tahu adat. Apakah kau tidak membayangkan bahwa kau akan dapat bertemu lagi dengan orang-orang seperti itu?”

Wajah Rara Wulan menjadi merah. Dengan nada tinggi ia berkata, “Jika terjadi hal seperti itu, bahkan lebih buruk lagi, maka itu bukanlah salahku. Tetapi salah kalian berdua.”

“Jangan berkata begitu Rara Wulan,” berkata Wirastama, “marilah. Aku dan kakakmu akan menolongmu. Jika kau benar-benar mengalami kesulitan, aku bersedia mendukungmu sampai ke lereng. Kita tidak perlu sampai ke punggung bukit yang tertinggi. Dari perut bukit itu, kita sudah dapat melihat betapa indahnya Tanah Perdikan ini. Sawah, ladang, sungai, parit-parit dan Kali Praga merupakan lukisan alam yang sangat mempesona.”

“Tetapi aku tidak mau naik,” berkata Rara Wulan.

“Kau jangan keras kepala!” bentak Teja Prabawa, “Kita tidak untuk seterusnya berada di sini. Kita harus mempergunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya. Karena itu, jangan membiarkan kesempatan ini sia-sia.”

“Aku tidak mau!” Rara Wulan berteriak.

Tetapi Wirastama masih tetap saja tertawa. Katanya, “Marilah. Kau akhirnya akan mengikuti kami.”

“Tidak!” Rara Wulan masih berteriak.

Teja Prabawa menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Terserah kepadamu. Aku akan naik.”

Teja Prabawa pun kemudian mulai bergerak ketika Wirastama telah menggamitnya sambil berkata, “Ia akan merubah kepuasannya. Ia akan ikut bersama kita.”

Ketika Teja Prabawa dan Wirastama mulai memanjat lereng bukit, Rara Wulan memang menjadi bingung. Rasa-rasanya memang takut untuk kembali seorang diri, sementara mereka sudah berjalan cukup jauh. Bahkan Rara Wulan tentu akan menemui kebingungan jika ia harus berjalan sendiri. Ia akan tersesat dan banyak kemungkinan buruk dapat terjadi.

Namun dalam kebingungan itu, tiba-tiba saja seseorang telah muncul dari balik gerumbul. Seorang yang juga sudah dikenal oleh Rara Wulan. Karena itu, tiba-tiba saja di luar sadarnya Rara Wulan itu telah menyebut namanya, “Glagah Putih.”

Teja Prabawa dan Wirastama yang sudah mulai memanjat tebing mendengar panggilan itu. Karena itu, maka keduanya pun tiba-tiba telah berpaling.

Sebenarnyalah mereka melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu.

Kehadiran Glagah Putih itu telah membuat kedua anak muda itu berbeda sikap. Teja Prabawa merasa beruntung, bahwa adiknya itu akan dapat diserahkan kepada Glagah Putih untuk diantar pulang. Dengan demikian maka ia tidak akan mengganggunya lagi.

Karena itu, maka katanya, “Nah, kebetulan kau datang Glagah Putih. Bawa Rara Wulan kembali kepada Kakek. Jika kau tidak dapat melakukannya dengan baik, maka kau akan menyesal seumur hidupmu. Aku tidak dapat mengampunimu lagi.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin mengendapkan gejolak di dalam dadanya.

Tetapi sebelum gejolak jantungnya menjadi reda, terdengar suara Wirastama garang, “He, Anak Dungu. Apa kerjamu di sini? Siapa yang menyuruhmu kemari?”

Glagah Putih memang masih mencoba bertahan. Ia masih selalu ingat pesan kakaknya. Ia tidak boleh menyakiti hati tamu-tamu Ki Gede.

Tetapi ia menjadi bingung. Sikap kedua anak muda itu nampaknya memang berbeda. Bahkan Teja Prabawa pun menjadi bingung mendengar kata-kata Wirastama. Agaknya Wirastama tidak berkenan melihat kehadiran Glagah Putih, yang bagi Teja Prabawa justru kebetulan sekali.

Untuk beberapa saat lamanya Glagah Putih termangu-mangu.

Sementara itu Wirastama telah membentaknya, “Pergi! Tinggalkan kami. Jangan mengganggu lagi.”

Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Ia masih bingung. Langkah yang manakah yang harus diambilnya. Ki Lurah tidak memberinya pesan apa-apa, selain memaksanya untuk mendekat. Hanya itu.

“Cepat, pergi!” sekali lagi Wirastama membentak.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Jantungnya bergejolak semakin keras. Yang membentaknya itu bukan tamu Ki Gede, tetapi seorang perwira muda dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh.

Glagah Putih pun menjadi semakin bingung. Ia tidak seharusnya melawan seorang prajurit. Tetapi iapun tidak dapat membiarkan dirinya dihinakan.

Namun ia pernah mendengar Ki Lurah, bukan saja seorang perwira prajurit dari Pasukan Khusus, tetapi justru ialah yang mendapat tugas pada masanya membentuk pasukan itu, berkata, “Seorang prajurit harus dapat menjadi teladan. Seorang prajurit yang salah langkah akan merusak citra prajurit itu sendiri.”

Tetapi menghadapi sikap yang demikian, apa yang harus dilakukannya?

Untuk beberapa saat Glagah Putih memang menjadi bingung. Namun selagi Glagah Putih termangu-mangu, Wirastama membentak-bentaknya pula, “Cepat pergi! Apa yang kau tunggu? Atau kau ingin gigimu rontok lebih dahulu?”

Glagah Putih berusaha untuk tetap menguasai perasaannya meskipun jantungnya bagaikan terbakar. Namun sebelum ia menjawab Rara Wulan-lah yang menjawab, “Baiklah. Pergilah Glagah Putih. Aku juga akan pergi bersamamu.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Hampir di luar sadarnya ia menjawab, “Marilah.”

“Tunggu,” Wirastama telah meloncat mendekat, “Rara Wulan dan Teja Prabawa pergi bersamaku. Aku harus mempertanggung-jawabkannya sampai keduanya kembali kepada kakeknya. Karena itu, ia tidak akan pergi bersama orang lain, kecuali bersama aku.”

“Tidak,” Rara Wulan-lah yang menjawab, “aku akan pulang bersama Glagah Putih.”

“Glagah Putih tidak akan melakukannya. Kecuali jika ia sudah jemu hidup,” geram Wirastama.

“Kau kira aku tidak punya mulut untuk menceritakannya kepada Kakek? Kepada Ki Gede dan kepada pimpinanmu? Kau akan dihukum oleh pimpinan Pasukan Khusus itu karena tingkah lakumu,” jawab Rara Wulan dengan berani.

Wajah Wirastama menjadi merah. Ia tidak mengira bahwa gadis yang lembut, luruh dan hampir selalu menunduk itu tiba-tiba mempunyai keberanian untuk melawan kemauannya.

Sementara itu Teja Prabawa justru berdiri saja termangu-mangu. Ia memang menjadi bingung, la tidak mengerti apa yang sebaiknya dilakukannya.

Namun dalam pada itu, selagi keadaan menjadi semakin tegang, anak-anak muda itu telah dikejutkan oleh suara tertawa. Tidak terlalu keras. Namun seakan-akan telah mengguncang jantung mereka.

Anak-anak muda itu kemudian telah berpaling. Mereka terkejut ketika mereka melihat seorang yang sudah seumur dengan Ki Lurah Branjangan datang mendekat bersama seorang laki-laki yang umurnya sebaya dengan Agung Sedayu.

“Maaf Anak-Anak Muda,” berkata orang itu, “aku ingin mengganggu sedikit.”

Wirastama memandang orang itu dengan wajah yang masih tegang. Dengan nada datar ia bertanya, “Siapakah kalian?”

“Aku memang ingin memperkenalkan diri,” jawab orang tua itu. Katanya kemudian, “Namaku Ki Citrabawa. Ki Lurah Citrabawa. Aku adalah kawan baik dari Ki Lurah Branjangan.”

“O,” Wirastama mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya pula, “Lalu, apakah maksud Ki Lurah Citrabawa?”

“Sebenarnya aku menunggu kalian naik ke lereng. Tetapi ternyata kalian masih saja bertengkar di sini,” jawab orang itu.

“Apakah kepentingan Ki Lurah?” desak Wirastama.

Orang itu tertawa. Kemudian iapun berpaling kepada orang yang masih muda itu sambil berkata, “Ini adalah anakku yang bungsu. Aku ajak anak ini mengembara di Tanah Perdikan ini selama beberapa hari hanya untuk mendapat kesempatan berbicara dengan cucu-cucu Ki Lurah Branjangan.”

“Untuk apa?” bertanya Wirastama.

“Baiklah, aku ingin langsung berbicara dengan cucu Ki Lurah itu,” jawab Ki Lurah Citrabawa.

Teja Prabawa-lah yang kemudian melangkah maju sambil bertanya, “Apakah yang ingin Ki Lurah bicarakan?”

“Anak Muda,” berkata Ki Lurah Citrabawa, “sebenarnya aku terpaksa mengambil langkah ini. Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Sejak Ki Lurah Branjangan berkhianat terhadap Pajang, maka beberapa kali ia membuat aku kecewa.”

“Maksud Ki Lurah?” bertanya Teja Prabawa.

“Dahulu aku dan Branjangan berada dalam satu kesatuan. Tetapi ketika Panembahan Senapati memberontak terhadap Pajang, Branjangan telah berkhianat pula dan ikut pergi ke Mataram,” berkata Citrabawa. “Sebenarnya aku tidak ambil posing. Tetapi ternyata bahwa janjinya secara pribadi dengan aku telah dikhianatinya pula.”

“Janji Ki Lurah?” bertanya Teja Prabawa.

“Aku dan Branjangan telah sepakat untuk mempererat hubungan kekeluargaan dengan mempertunangkan anak-anak sulung kami. Tetapi ketika Branjangan pergi ke Mataram, ia melupakan janji itu, sehingga akhirnya anak perempuannya kawin dengan seorang pembesar di Mataram. Namun semula aku berusaha menahan hati. Mungkin karena kami sudah lama tidak berhubungan, Branjangan menganggap janji itu tidak berlaku lagi. Tetapi di saat terakhir aku tahu bahwa Branjangan mempunyai cucu perempuan yang cantik. Nah, aku telah menemuinya lagi setelah sekian lamanya tidak pernah berhubungan. Memang hanya satu kebetulan bahwa kita bertemu lagi setelah permusuhan antara Mataram dan Pajang menjadi reda, bahkan Pajang berada di bawah kekuasaan Mataram. Tetapi aku merasa sangat kecewa, bahwa Branjangan tidak memenuhi keinginanku untuk memperbaharui janji itu. Bukan anaknya yang akan aku ambil menantu, tetapi cucunya, bagi anakku yang bungsu,” berkata Ki Lurah Citrabawa.

“Wulan maksud Ki Lurah?” bertanya Teja Prabawa.

“Ya. Aku ingin Rara Wulan menjadi menantuku,” berkata Ki Lurah, “sekarang anakku yang bungsu itu ada bersamaku.” “Tidak!” tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak.

“Ki Lurah,” berkata Teja Prabawa, “persoalannya harus Ki Lurah selesaikan dengan kakek.”

“Kakekmu keras kepala,” jawab Ki Lurah Citrabawa itu.

Wajah anak-anak muda itu menjadi tegang. Rara Wulan menggigil oleh kemarahan dan ketakutan, sementara Teja Prabawa pun menjadi marah. Tetapi mereka tertegun karena sikap orang tua dan anaknya itu. Nampaknya Ki Lurah Citrabawa bukan orang kebanyakan.

“Anak-Anak Muda,” berkata Ki Lurah Citrabawa itu, “jika anakku yang sulung sesuai dengan perjanjian mendapat anak Ki Lurah Branjangan, maka gadis cantik ini akan menjadi cucuku. Tetapi karena hal itu tidak terjadi, maka gadis cantik ini akan menjadi menantuku dan mendapatkan anakku yang bungsu.”

Dalam pada itu, ketegangan semakin mencengkam jantung anak-anak muda itu. Sementara itu Ki Lurah Citrabawa pun berkata selanjutnya, “Anak-Anak Muda. Aku terpaksa menempuh jalan ini karena aku tidak mempunyai cara lain. Kakekmu menjadi terlalu sombong dan tidak mau lagi mengenal aku. Ia nampaknya telah berhasil menjadi seorang yang disegani di Mataram. Sementara aku setelah Pajang jatuh telah kehilangan pekerjaanku dan menjadi seorang petani yang miskin. Tetapi aku masih tetap mempunyai harga diri seorang laki-laki. Karena itu, aku akan membawa Rara Wulan. Aku sama sekali tidak takut jika Branjangan menjadi marah. Aku akan menghadapinya sebagai laki-laki.”

“Aku tidak mau,” teriak Rara Wulan.

“Berteriaklah. Di kaki bukit ini tidak akan ada orang yang mendengarnya. Paling-paling petani yang bekerja di sawahnya di bulak itu. Itu pun jika suaramu mampu menjangkaunya,” berkata Ki Lurah Citrabawa.

Jantung Rara Wulan berdegup semakin keras. Ia menjadi semakin ketakutan.

Namun dalam pada itu, maka Wirastama pun telah meloncat ke depan sambil berkata, “Ki Lurah. Kau kira kau dapat berbuat apa saja sesukamu di sini?”

Orang itu tertawa pendek. Katanya, “Menilik pakaianmu, kau tentu seorang perwira muda dari Pasukan Khusus yang dibentuk oleh Branjangan itu. Kau sebenarnya pantas dihormati. Tetapi sebaiknya kau jangan mencoba melindungi gadis itu, karena yang kau lakukan itu sia-sia.”

“Aku akan mencegah perbuatan itu. Baik sebagai seorang prajurit, maupun sebagai seorang anak muda, aku akan mempertahankan Rara Wulan,” berkata Wirastama.

“Jangan terlalu sombong Anak Muda,” berkata Ki Lurah Citrabawa, “kau kira pakaianmu itu dapat membuat aku silau? Kau tidak usah melepas pakaian keprajuritanmu, sebagaimana kau lakukan ketika kau berkelahi dengan anak-anak muda yang bengal itu. Karena bagiku, pakaianmu tidak berarti apa-apa.”

Wirastama yang merasa wajib melindungi Rara Wulan itu pun serasa bersiap-siap. Katanya, “Ki Citrabawa. Maaf, bahwa seharusnya aku tidak boleh berlaku kasar terhadap orang-orang tua, bahkan harus menghormatinya. Tetapi jika kau memaksakan niatmu, maka kau memang tidak pantas untuk dihormati.”

“Bagus Anak Muda,” berkata Ki Citrabawa, “nampaknya kau benar-benar ingin melindungi gadis itu.”

“Ya,” jawab Wirastama.

Ki Lurah Citrabawa itu pun kemudian maju beberapa langkah. Dengan nada rendah Ki Citrabawa itu berkata, “Hati-hatilah Anak Muda. Aku memang ingin tahu, seberapa jauh keberhasilan Branjangan menyusun kekuatan dengan Pasukan Khususnya di Tanah Perdikan ini. Dengan menjajagi salah seorang perwira mudanya, maka aku akan mendapat gambaran hasil jerih payah Branjangan itu.”

Wirastama memang sudah siap. Karena itu iapun telah meloncat menyerang orang tua yang telah membuat jantung Wirastama menjadi panas itu.

Tetapi orang itu cukup tangkas. Iapun dengan cepat menghindar sehingga serangan Wirastama tidak mengenai sasaran.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlihat dalam perkelahian yang cepat. Ternyata Ki Lurah Citrabawa itu masih cukup cekatan untuk mengimbangi gerak Wirastama yang cepat dan kuat. Agaknya pengalaman yang sangat luas pada orang itu membuatnya tidak terlalu sulit untuk menghadapi Wirastama.

Wirastama memang memiliki kekuatan yang besar dan kecepatan gerak yang mengagumkan. Namun beberapa saat kemudian, anak muda itu terdorong beberapa langkah surut. Tangan Ki Citrabawa tepat mengenai dada anak muda itu.

Kemarahan Wirastama pun kemudian telah memuncak. Dikerahkannya kemampuannya. Ia adalah seorang perwira muda yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga dengan demikian maka serangan-serangannya kemudian menjadi semakin garang. Apalagi di tepi arena pertempuran itu terdapat seorang gadis yang cantik.

Namun lawan Wirastama saat itu adalah seorang tua yang tangguh dan berpengalaman. Meskipun Ki Citrabawa tidak memiliki kekuatan sebesar Wirastama, tetapi ia justru lebih banyak berhasil mengenai tubuh lawannya yang masih muda itu. Geraknya yang kadang-kadang, membingungkan membuat Wirastama sering kehilangan arah serangan lawannya.

Ternyata bahwa meskipun dengan mengerahkan tenaganya, Wirastama tidak berhasil menguasai lawannya yang tua itu. Bahkan semakin lama ia menjadi semakin terdesak, sehingga beberapa saat kemudian Wirastama bukan saja terdorong beberapa langkah surut, tetapi ia benar-benar telah terbanting jatuh. Dadanya bagaikan menjadi sesak, sehingga nafasnya seolah-olah tertahan di tenggorokan.

Ki Lurah Citrabawa tertawa. Iapun kemudian berdiri beberapa langkah daripadanya. Katanya, “Sudahlah Anak Muda. Sebaiknya kau tidak usah turut campur. Persoalan ini adalah persoalanku dengan Ki Lurah Branjangan.”

Wajah Wirastama menjadi merah. Ia berusaha untuk bangkit. Namun ia tidak dapat dengan serta merta menghilangkan sesak di dadanya serta mengatur pernafasannya agar berjalan wajar.

Karena itu, maka Wirastama tidak dengan serta merta menyerang kembali Ki Lurah Citrabawa yang berdiri tegak sambil bertolak pinggang.

“Urusan ini urusan orang tua-tua,” berkata Ki Citrabawa kemudian. “Nah, Rara Wulan. Kau harus ikut aku, atau kau akan mengalami nasib yang sangat buruk.”

“Tidak!” teriak Rara Wulan sambil berlari dan bersembunyi di punggung kakaknya, “Aku tidak mau Kakang. Aku tidak mau!”

Teja Prabawa sadar, bahwa ia harus melindungi adiknya. Tetapi Wirastama yang dikaguminya itu tidak berdaya menghadapi orang yang nampaknya sudah hampir pikun itu. Karena itu, Teja Prabawa telah menjadi sangat bingung.

“Sudahlah,” berkata Ki Lurah Citrabawa, “jangan memperpanjang persoalan. Kita akan menganggap persoalan ini selesai. Jika belum selesai, itu adalah persoalanku dengan persoalan Ki Lurah Branjangan.”

Teja Prabawa menjadi semakin bingung ketika Ki Lurah itu berkata, “Minggir kau Anak Muda. Aku hanya memerlukan Rara Wulan. Aku tidak memerlukan kau.”

“Kakang!” teriak Rara Wulan, “Aku tidak mau!”

Teja Prabawa menjadi gemetar ketika ia melihat Ki Lurah itu melangkah mendekatinya, sementara Wirastama masih juga belum dapat menguasai dirinya sendiri.

Namun dalam pada itu, selagi orang-orang yang berada di lereng bukit itu dicengkam ketegangan, seorang lagi telah muncul dari balik pepohonan. Dengan nada berat orang itu berkata, “Kau benar Ki Lurah. Persoalan berikutnya adalah persoalanmu dengan aku.”

Ki Lurah Citrabawa berpaling. Ia terkejut ketika ia melihat Ki Lurah Branjangan melangkah mendekat.

“Setan tua,” geram Ki Lurah Citrabawa, “ternyata kau ada di sini?”

“Tentu. Aku tidak akan membiarkan cucuku kau ambil begitu saja dengan cara yang sama sekali tidak terpuji. He, apakah kau tidak lagi mengenal unggah-ungguh? Begitulah cara melamar anak orang jaman sekarang ini?” bertanya Ki Lurah.

“Persetan Ki Lurah,” jawab Ki Citrabawa.

Sementara itu, Rara Wulan yang menggigil tiba-tiba saja telah lari menghambur memeluk kakeknya.

“Jangan cemas Wulan,” desis Ki Lurah Branjangan. Namun di luar sadarnya ia berpaling kepada Glagah Putih yang masih saja berdiri kebingungan. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun pandangan mata Ki Lurah Branjangan itu nampak olehnya seakan-akan satu penyesalan yang dalam, bahwa Glagah Putih tidak berbuat apa-apa pada saat Rara Wulan mengalami ketakutan, sementara Wirastama sudah tidak berdaya.

Namun Ki Lurah Branjangan pun kemudian perhatiannya telah tertuju sepenuhnya kepada Ki Lurah Citrabawa yang dengan suara lantang berkata, “Branjangan. Aku tidak mempunyai banyak kesempatan. Sekarang, berikan cucumu itu kepadaku. Ia akan menjadi istri yang akan dijaga sebaik-baiknya oleh anakku yang bungsu itu.”

Tetapi jawab Ki Lurah Branjangan, “Rara Wulan itu bukan anakku. Jika kau melamarnya bertemulah dengan orang tuanya.”

“Maaf Ki Lurah. Aku sudah bukan orang penting lagi. Aku kira aku dapat melupakan unggah-ungguh itu. Sebaiknya aku mempergunakan cara yang aku kenal. Mengambilnya saja. Bahkan kalau perlu dengan kekerasan. Bukankah kita sudah tidak lagi bersahabat sejak kau berkhianat?” geram Ki Lurah Citrabawa.

“Siapakah yang berkhianat Ki Lurah? Jika kau masih tetap pada martabatmu, setidak-tidaknya martabat kemanusiaanmu, aku tidak akan ingkar. Tetapi kegagalanmu meraih kedudukan yang tidak akan mungkin dapat kau capai, membuatmu menjadi gila. Sehingga aku berpikir, lebih baik aku menarik diri dari perjanjian persahabatan kita, karena aku tidak mau mempunyai sanak keluarga orang gila,” jawab Ki Lurah Bran-jangan.

“Kau benar-benar iblis, Branjangan,” berkata Ki Lurah Citrabawa, “nampaknya kedudukanmu di Mataram membuatmu menjadi kehilangan tempat berpijak. Kau menganggap sahabat-sahabatmu yang tidak berhasil menjilat seperti kau itu tidak lagi bermartabat.”

“Jangan memutar balikkan keadaan,” jawab Ki Lurah Branjangan, “kau dapat membohongi siapa saja, tetapi kau tidak akan dapat membohongi dirimu sendiri. Apa yang kau lakukan pada saat-saat terakhir Pajang membuat aku sangat kecewa. Kau tahu, bahwa yang kau sebut pengkhianat terhadap sahabat itu aku lakukan sebelum aku mendapat kedudukan apapun di Mataram. Pada waktu itu kita masih bersama-sama ada di Pajang. Kau terlempar dari kedudukanmu bukan karena Mataram. Tetapi karena ketamakanmu. Nah, sebenarnya kau tidak perlu membohongi anak-anak muda ini. Mereka memang tidak tahu apapun juga tentang diri kita masing-masing. Dan akupun merasa heran, bahwa tiba-tiba saja kau sekarang menggangguku lagi setelah sekian tahun tidak bertemu. Dan kaupun melihat Rara Wulan masih terlalu remaja untuk kau jadikan menantumu. Ia masih memerlukan beberapa tahun lagi untuk sempat mekar.”

“Biarlah gadis itu mekar di petamananku Ki Lurah. Tentu akan menjadi semakin cantik dan semerbak,” sahut Ki Lurah Citrabawa seakan-akan tanpa menghiraukan kata-kata Ki Lurah Branjangan.

“Sudahlah Ki Lurah Citrabawa,” berkata Ki Lurah Branjangan, “sebaiknya kau sadari keadaanmu.”

Ki Lurah Citrabawa memandang Ki Lurah Branjangan dengan tatapan mata yang menyorotkan gejolak di dalam jantungnya. Sementara itu Ki Lurah Branjangan telah mempersiapkan diri. Ia sadar, dengan siapa ia berhadapan. Ki Lurah Citrabawa adalah seorang prajurit yang baik sebagaimana dirinya sendiri, ketika mereka masih bersama-sama berada di Pajang. Tetapi hubungan mereka yang akrab itupun kemudian telah pecah menjelang bangkitnya Mataram, karena keinginan Ki Lurah Citrabawa yang melonjak-lonjak untuk menduduki jabatan yang jauh lebih tinggi, sehingga justru ia telah tersisih.

Dan sejak itulah Ki Lurah Citrabawa telah menempuh jalan yang sesat dan meninggalkan Pajang.

Dalam pada itu, Ki Lurah Branjanganpun berkata pula, “Ki Lurah Citrabawa. Demi sisa-sisa persahabatan kita yang masih ada, tinggalkan cucuku. Jangan kau ganggu lagi, dan untuk seterusnya jangan kau ganggu keluarga kami.”

Ki Citrabawa menggeleng. Katanya, “Apapun yang kau katakan Branjangan, aku akan membawa cucumu. Meskipun anakku yang bungsu masih harus menunggu dua tiga tahun lagi, ia akan melakukannya. Tetapi kesempatan untuk mengambil cucumu tidak akan datang pada kesempatan lain.”

Tetapi Ki Lurah Branjangan pun mulai menjadi keras. Katanya, “Pergilah. Atau kita akan benar-benar bermusuhan.”

Ki Lurah Citrabawa tertawa. Katanya, “Sudah lama aku merasa terhina. Sekarang, datang saatnya aku melepaskan tekanan perasaan itu.”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Memaksa membawa cucumu dengan kekerasan,” jawab Ki Lurah Citrabawa itu.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah Ki Lurah Citrabawa. Nampaknya Ki Lurah masih juga senang mengajak bermain di usia tua. Marilah. Aku akan melayanimu.”

Ki Lurah Citrabawa pun kemudian mempersiapkan diri. Sekilas ia berpaling kepada anaknya sambil berkata, “Awasi mereka. Biarlah aku melayani setan tua itu. Nampaknya ia ingin lebih cepat mati.”

Anak Ki Lurah Citrabawa itu mengangguk sambil berkata, “Tidak seorangpun akan dapat pergi Ayah.”

Demikianlah, maka Ki Lurah Citrabawa pun mulai menyerang Ki Lurah Branjangan. Setelah mendorong Rara Wulan kepada kakaknya, maka Ki Lurah pun telah melayani Ki Lurah Citrabawa. Sebagai dua orang yang saling mengenal dengan baik pada mulanya, maka keduanya pun telah mempunyai gambaran tentang kemampuan mereka masing-masing. Namun kepergian Ki Lurah Branjangan ke Mataram telah menempanya, sehingga ia semakin matang dalam olah kanuragan.

Sejenak kemudian maka pertempuran antara kedua orang tua itu pun menjadi semakin sengit. Teja Prabawa dan Rara Wulan melihat kakeknya bertempur, dengan jantung yang berdegupan. Mereka memang mengetahui bahwa kakeknya adalah bekas seorang Senapati Mataram. Namun ketika mereka melihat kakeknya benar-benar bertempur, mereka semakin yakin akan kemampuan kakeknya itu.

Wirastama yang dadanya masih sesak, berdiri termangu-mangu. Ia merasa bahwa ia tidak akan dapat membantu lagi. Jika ia melibatkan diri, maka nafasnya tentu akan putus karenanya.

Beberapa saat kemudian pertempuran antara kedua orang itu menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa kehidupan Ki Citrabawa benar-benar telah dipengaruhi oleh kehidupan dunia yang hitam. Meskipun semula nampak pada kedua orang tua itu sikap yang mirip, namun kemudian Ki Citrabawa pun menjadi semakin keras. Bahkan kemudian tata geraknya menjadi kasar. “Dari siapa kau belajar bertempur cara ini Ki Citrabawa?” bertanya Ki Lurah Branjangan, “Ilmumu menjadi buram. Aku tidak lagi melihat unsur-unsur gerakmu yang bening. Tetapi yang nampak adalah kekerasan dan kekasaran semata-mata. Apakah itu juga gambaran kehidupan Ki Lurah Citrabawa selama ini?”

“Persetan,” geram Ki Citrabawa, “jika kau merasa ngeri, menyerahlah. Serahkan cucumu dan persoalan kita sudah selesai. Aku tidak akan merasa terhina lagi, dan dengan demikian kalian sekeluarga tidak akan terganggu lagi.”

Tetapi Ki Lurah Branjangan menjawabnya dengan mempercepat serangannya. Sebagai Senapati Pasukan Khusus, maka Ki Lurah Branjangan memiliki pengetahuan yang luas tentang olah kanuragan, meskipun ia bukan salah seorang yang memiliki puncak-puncak ilmu kanuragan.

Namun ternyata pertempuran itu menjadi sangat seru. Kedua orang tua itu telah mengerahkan kemampuan mereka, sehingga dengan demikian maka pengaruh kewadagan mereka pun dengan cepat pula mulai mewarnai pertempuran itu. Kekuatan mereka dengan cepat mulai susut, justru karena keduanya bertempur melawan kekuatan yang seimbang, sementara mereka telah memasuki usia senja.

Tetapi semakin lama semakin nampak, bahwa daya tahan Ki Lurah Branjangan masih lebih baik dari lawannya. Karena itu, maka setelah bertempur beberapa lama, ternyata Ki Lurah Citrabawa mulai terdesak. Kecepatan gerak Ki Lurah Branjangan masih lebih baik dari lawannya, sehingga beberapa kali Ki Lurah Branjangan sempat mengenai tubuh lawannya. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Citrabawa tidak pernah berhasil mengenai lawannya. Terasa dada Ki Lurah Branjangan pun menjadi serasa sesak ketika pukulan yang keras mengenai dadanya. Namun Ki Lurah Citrabawa telah merasa tercekik pada saat ketukan ibu jari Ki Lurah Branjangan sempat mengenai lehernya.

Dengan demikian maka semakin lama pertempuran itu pun menjadi nampak semakin keras. Ki Lurah Branjangan yang memiliki daya tahan yang lebih besar dari Ki Lurah Citrabawa, sekali-sekali masih nampak menyerang dengan keras dan kuat, sehingga kadang-kadang Ki Lurah Citrabawa telah terdorong beberapa langkah surut.

Pada saat nafas Ki Citrabawa bagaikan terputus di kerongkongan, maka mau tidak mau Ki Lurah Citrabawa itu harus meloncat beberapa langkah surut, menghindar dari serangan Ki Lurah Branjangan yang masih cukup kuat. Dengan mengambil jarak itu, maka Ki Lurah Citrabawa sempat beristirahat sambil menekan lambungnya yang terasa menjadi sakit.

Ki Lurah Branjangan pun mulai menjadi terengah-engah. Namun ia masih sempat berkata, “Nah, Ki Lurah Citrabawa. Apa maumu sekarang?”

Ki Lurah Citrabawa tidak segera menjawab. Dipandanginya kedua cucu Ki Lurah Branjangan yang kemudian telah mendekati kakeknya yang nampak sangat letih itu.

“Kakek,” desis Rara Wulan.

“Ia tidak akan mengganggumu lagi Wulan,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Tetapi ternyata Ki Lurah Citrabawa yang nafasnya hampir terputus itu masih sempat tertawa meskipun sambil terengah-engah. Katanya, “Kau salah Branjangan.”

Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia bertanya, “Apa yang akan kau lakukan lagi?”

“Ki Lurah Branjangan. Ternyata kau tidak saja seorang yang dibesarkan namanya karena kau selalu menjilat atasanmu. Tetapi ternyata kau benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Kau mampu menyalurkan ilmumu dengan dorongan tenaga cadangan di dalam dirimu sehingga mampu menembus pertahananku. Sayang ketuaanku sangat mempengaruhi kemampuan wadagku mendukung ilmuku,” berkata Ki Lurah Citrabawa.

“Karena itu Ki Lurah, tinggalkan kami. Tinggalkan aku dan cucu-cucuku. Jangan mencoba mengganggu kami lagi.”

“Tentu tidak begitu saja kami akan pergi,” sahut Ki Lurah Citrabawa, “yang harus mengakui kelebihanmu adalah aku. Tetapi ada orang yang lebih berkepentingan dengan cucumu. Karena itu, biarlah anakku sendiri yang berbicara.”

Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Sementara itu anak bungsu Ki Lurah Citrabawa itu pun melangkah mendekat dengan sikap yang sangat meyakinkan.

“Branjangan,” berkata Ki Citrabawa, “kau belum mengenal anakku yang bungsu. Beberapa tahun ia berguru untuk mencari bekal bagi masa depannya. Ia bukan saja mempelajari ilmu kanuragan, tetapi juga ilmu yang lain yang akan dapat menjadi landasan bagi masa-masa yang panjang dari hidupnya.”

Ki Lurah Branjangan memang menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika orang itu mengangguk hormat kepadanya sambil berkata, “Hormatku Ki Lurah.”

Ki Lurah Branjangan memang menjadi termangu-mangu sejenak, sementara Ki Lurah Citrabawa tersenyum, “Ia juga belajar unggah-ungguh, sehingga nampaknya ia memiliki adat yang lebih baik dari aku.”

“Apa yang kau kehendaki?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Ayah telah mengatakan Ki Lurah. Aku ingin membawa cucu Ki Lurah. Aku berjanji untuk berbuat baik dan tidak akan menyia-nyiakannya,” berkata orang itu.

Ki Lurah Branjangan memandang orang itu dengan sorot mata yang menyala. Katanya, “Citrabawa. Kau ajari anakmu dengan unggah-ungguh seperti itu? Kau kira, keluarga kami adalah keluarga yang sama sekali tidak berharga?”

Ki Lurah Citrabawa justru tertawa. Katanya, “Kau dapat dengan dada tengadah menolak permintaanku, karena ternyata kau masih juga memiliki kelebihan dari aku. Tetapi kau tidak akan dapat berbuat seperti itu dengan anakku. Ia telah melihat, bagaimana kau bertempur melawanku. Karena itu, maka aku kira kau rangkap empat masih belum akan dapat mengimbangi kemampuannya.”

“Apapun yang terjadi,” geram Ki Lurah Branjangan, “aku akan mempertahankan martabat keluargaku.”

“Ki Lurah,” berkata anak Ki Lurah Citrabawa itu, “sebenarnya aku tidak ingin melakukan kekerasan. Aku ingin membawa cucu Ki Lurah dengan baik-baik. Ketika kami mengetahui bahwa Ki Lurah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dengan cucu Ki Lurah, maka kami telah mengikuti Ki Lurah. Kami telah mengikuti dalam beberapa hari ini kedua cucu Ki Lurah yang dikawani oleh prajurit itu. Namun kami baru mendapat kesempatan hari ini berbicara dengan Ki Lurah.”

“Cukup!” bentak Ki Lurah Branjangan, “Aku minta kau pergi.”

Tetapi Ki Lurah Citrabawa yang menyahut, “Jangan terlalu kasar Ki Lurah Branjangan. Kau akan dapat menyesal, karena anak itu akan dapat mematahkan batang lehermu. Tetapi ia sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya.”

Ki Lurah Branjangan menggeretakkan giginya. Tetapi ia percaya bahwa anak Ki Lurah Citrabawa itu mempunyai kelebihan dari ayahnya. Namun meskipun demikian, ia tidak akan melepaskan cucu perempuannya itu.

Sementara itu, Wirastama yang telah berhasil mengatasi kesulitan pernafasannya tiba-tiba saja meloncat maju sambil berkata lantang, “Kau akan ditangkap oleh para pengawal di Tanah Perdikan ini.”

“Tutup mulutmu!” tiba-tiba orang yang nampaknya lembut dan penuh hormat itu membentak kasar, “Jangan ikut campur, atau aku koyakkan mulutmu.”

Wajah Wirastama menjadi marah. Harga dirinya benar-benar tersinggung. Karena itu, maka iapun telah meloncat menyerang orang yang akan mengambil Rara Wulan itu.

Tetapi ternyata Wirastama salah menilai lawannya. Orang itu sama sekali tidak menghindar. Tetapi ia telah membentur kekuatan Wirastama itu.

Satu benturan yang keras telah terjadi. Orang itu tergetar dan surut selangkah. Namun Wirastama telah terlempar dan terbanting jatuh. Demikian kerasnya sehingga ketika ia bangkit, maka punggungnya bagaikan terasa patah.

Wirastama menyeringai menahan sakit. Ia sama sekali tidak menduga bahwa lawannya itu bagaikan dinding baja yang tidak dapat digoyahkannya. Bahkan telah menyakitinya.

“Nah Anak Muda,” berkata orang itu, “aku memang tidak perlu menggelitikmu untuk melepaskan pakaian perwiramu. Jika kau masih ingin berkelahi, marilah. Kau akan aku remukkan, dan untuk selanjutnya kau tidak akan dapat lagi menjadi seorang perwira pada Pasukan Khusus itu.”

Telinga Wirastama bagaikan tersentuh api mendengar kata-kata anak Ki Lurah Citrabawa itu. Sementara Ki Lurah Citrabawa itu tertawa sambil berkata, “Sudahlah. Jangan mencampuri persoalan kami. Aku tahu, bahwa kau telah bersusah payah berusaha untuk menunjukkan kelebihanmu kepada Rara Wulan. Kau paksa gadis itu untuk naik ke lereng agar kau mendapat kesempatan untuk menolongnya, karena kau tahu, kakaknya yang bernama Teja Prabawa itu tidak akan dapat melakukannya. Tetapi sekarang, kau berhadapan dengan aku. Meskipun kau dapat mengalahkan siapapun juga, kau tidak akan dapat mengalahkan anakku.”

Wirastama berdiri dengan tubuh bergetar oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya. Namun ia benar-benar tidak akan dapat berbuat sesuatu. Punggungnya yang bagaikan patah itu, terasa demikian sakitnya ketika ia mencoba bergerak. Apalagi jika ia harus bertempur lagi melawan orang yang nampaknya memang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.

“Tidak sia-sia anakku itu berguru bertahun-tahun,” berkata Ki Lurah Citrabawa. Kemudian katanya kepada Ki Lurah Branjangan, “Nah, kau telah beruntung mendapat cucu menantu yang tangguh, sehingga ia akan dapat melindungi cucumu dari kemungkinan yang paling buruk sekalipun.”

Ki Lurah Branjangan menggeretakkan giginya. Namun Ki Lurah Citrabawa berkata, “Jangan mencoba melawan anakku, Ki Lurah. Jika ia marah, maka ia tidak peduli lagi. Siapapun akan dihancurkannya tanpa belas kasihan. Ia telah ditempa oleh seorang guru yang keras dan tidak mengenal belas kasihan.”

“Apapun yang terjadi,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Aku bertanggung jawab atas cucu-cucuku, karena aku-lah yang telah membawa mereka kemari.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” bertanya Ki Lurah Citrabawa.

“Kau dapat berbuat apa saja terhadap cucu-cucuku, jika aku sudah terbujur mati di sini,” geram Ki Lurah Branjangan yang benar-benar menjadi marah.

“Kakek,” Rara Wulan mulai menangis. Sementara Teja Prabawa pun menjadi gemetar.

“Jangan takut,” berkata Ki Lurah Branjangan, “aku adalah bekas Senapati dari Pasukan Khusus itu.”

Tetapi anak Ki Lurah Citrabawa tertawa. Katanya, “Aku tidak akan gentar terhadap Senapati dari Pasukan Khusus itu. Jangankan Ki Lurah Branjangan yang sudah tua, yang wadagnya tidak akan mampu lagi mendukung ilmu yang betapapun tingginya. Senapati yang sekarang itu pun aku tidak akan gentar.”

Suasana memang menjadi sangat tegang. Glagah Putih memperhatikan keadaan itu dengan jantung yang berdebaran. Ia masih saja agak ragu untuk berbuat sesuatu. Namun ketika keadaan menjadi semakin gawat, ia telah berusaha memecahkan belenggu yang dibuatnya sendiri atas dirinya. Ia tidak peduli lagi, apakah langkahnya akan menyinggung perasaan Teja Prabawa atau Wirastama. Namun ia tidak dapat membiarkan Ki Lurah Branjangan itu harus bertempur dengan orang yang ilmunya nampaknya cukup tinggi.

Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia maju mendekati Ki Lurah Branjangan sambil berkata, “Ki Lurah. Aku mohon maaf. Apakah Ki Lurah memperkenankan aku mencampuri persoalan ini?”

Ki Lurah berpaling. Sebenarnyalah bahwa satu-satunya harapan baginya adalah Glagah Putih. Karena itu, maka iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau yang ditugaskan oleh Ki Gede mengantarkan dan mengamat-amati cucu-cucuku. Kau bertanggung jawab pula akan keselamatannya.”

Glagah Putih mengangguk hormat. Sementara itu Wirastama menggeram, “Apa yang akan kau lakukan?”

Glagah Putih tidak menghiraukannya. Iapun kemudian melangkah menghadap kepada anak Ki Lurah Citrabawa itu. Katanya, “Ki Sanak. Aku mohon Ki Sanak mengurungkan niat Ki Sanak. Aku kira cara yang Ki Sanak tempuh itu kurang pada tempatnya.”

“Setan,” geram orang itu, “siapakah kau?”

“Aku Glagah Putih, anak Tanah Perdikan ini. Aku telah mendapat kepercayaan Ki Gede untuk mengawani cucu-cucu Ki Lurah selama mereka berada di Tanah Perdikan. Persoalan apakah mereka senang atau tidak, itu bukan persoalanku. Namun yang penting bahwa tugas itu dibebani tanggung jawab akan keselamatan mereka,” jawab Glagah Putih.

“Kasihan kau Anak Muda,” berkata anak Ki Lurah Citrabawa itu.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dipandanginya sikap yang meyakinkan dari anak Ki Lurah Citrabawa. Sedangkan anak Ki Citrabawa itu nampaknya terlalu percaya kepada ilmunya.

Karena itu, maka Glagah Putih merasa bahwa ia memang harus berhati-hati.

“Anak Muda,” berkata orang itu pula, “pergilah sebelum terlanjur. Kau tahu, bahwa perwira Pasukan Khusus itu pun tidak dapat mencegah aku. Apalagi kau, anak padukuhan yang malang.”

Namun Glagah Putih menjawab, “Apapun yang terjadi atasku, aku harus melakukan tugas yang dibebankan kepadaku oleh Ki Gede. Karena itu, pergilah dengan damai, tanpa permusuhan dengan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang menjadi tuan rumah dari kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu.”

“Kata-katamu menyakitkan hati, Anak Muda,” geram anak Ki Lurah Citrabawa, “aku ingin menyumbat mulutmu dengan tumitku.”

“Sekali lagi aku mohon Ki Sanak. Tinggalkan Tanah Perdikan,” berkata Glagah Putih.

Orang-orang yang menyaksikan sikap Glagah Putih itu menjadi tegang. Anak Ki Lurah Citrabawa itu pun mampu menilai sikap Glagah Putih yang matang. Sementara itu, Wirastama terheran-heran melihat Glagah Putih dengan mantap menghadapi orang yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu.

Teja Prabawa menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak padukuhan itu dapat bersikap demikian meyakinkan menghadapi keadaan yang gawat.

Anak Ki Lurah Citrabawa yang berilmu tinggi itu mulai marah. Sementara Ki Lurah Citrabawa itu berkata, “Jangan berkorban untuk orang yang tidak banyak kau kenal. Jika kau mati, maka kematianmu tidak berarti apa-apa bagi Tanah Perdikan ini.”

“Aku sedang mempertahankan martabat Tanah Perdikan ini,” jawab Glagah Putih.

“Anak iblis,” berkata anak Ki Lurah Citrabawa, “kenapa kau demikian dungunya menghadapi kenyataan ini? Jika aku ambil gadis itu, apakah kau akan merasa kehilangan?”

Pertanyaan itu terdengar aneh di telinga Glagah Putih. Tetapi iapun telah bertanya kepada diri sendiri, “Apakah aku akan merasa kehilangan?”

Glagah Putih memang bertanggung jawab atas keselamatan tamu-tamu Tanah Perdikan Menoreh karena ia adalah salah seorang penghuni Tanah Perdikan itu. Karena itu, maka iapun telah menjawab pertanyaan dari dalam dirinya itu di dalam hati, “Bukan karena kehilangan. Tetapi itu adalah kewajibanku.”

Namun justru di luar sadarnya ia telah berpaling memandang Rara Wulan. Gadis itu wajahnya menjadi sangat pucat karena ketakutan. Tubuhnya menggigil dan air matanya telah mengalir di pipinya.

Tiba-tiba saja Glagah Putih merasa sangat iba melihat gadis yang sangat ketakutan itu, sehingga dengan demikian, maka telah mendorong niatnya untuk menghancurkan ketamakan Ki Lurah Citrabawa dengan anak laki-lakinya yang bungsu yang dibanggakannya itu.

Sementara itu anak Ki Lurah Citrabawa itupun membentak, “Minggir! Atau aku bunuh kau!”

Tetapi hampir di luar sadarnya Glagah Putih berkata, “Kaulah yang minggir. Kau sudah terlalu tua untuk mengambil Rara Wulan yang masih terlalu muda.”

Anak Ki Lurah Citrabawa tidak dapat menahan kemarahannya. Iapun kemudian maju selangkah sambil berkata, “Bersiaplah untuk mati. Jika ada pesan yang ingin kau sampaikan, lakukanlah sekarang, karena pada benturan pertama kau tentu sudah akan mati.”

Glagah Putih pun menjadi marah. Sudah cukup lama ia menahan diri. Sejak hari-hari sebelumnya rasa-rasanya ia telah mengekang diri, sehingga dadanya bagaikan menjadi sesak. Karena itu, ketika kesempatan itu datang, maka perasaannya pun bagaikan telah meledak.

Karena itu, maka Glagah Putih pun melangkah maju dengan tatapan mata yang tajam. Dengan mantap ia berdiri tegak beberapa langkah di hadapan anak Ki Lurah Citrabawa.

“Kau benar-benar ingin mati,” geram orang itu.

“Kita akan melihat siapakah yang akan keluar dari pertempuran ini dengan selamat,” sahut Glagah Putih.

Orang itu pun tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang dengan garangnya. Agaknya ia tidak sekedar menjajagi kemampuan lawannya. Tetapi anak Ki Citrabawa itu agaknya langsung ingin membunuh Glagah Putih.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Wirastama pun menjadi tegang. Ia menyadari, bahwa serangan itu adalah serangan mematikan. Nampaknya anak Tanah Perdikan itu benar-benar bernasib buruk, hanya karena ia terlalu taat melakukan perintah Ki Gede.

Tetapi dugaan mereka ternyata salah. Dengan tangkas Glagah Putih menghindari serangan itu. Ia bergeser selangkah sambil memiringkan tubuhnya. Demikian serangan itu menyambar setapak di sisinya, tiba-tiba saja Glagah Putih telah berputar, bertumpu pada sebelah kakinya, sementara kakinya yang lain terayun dengan cepatnya, menyerang lawannya yang kehilangan sasaran.

Adalah tidak terduga sama sekali, justru serangan Glagah Putih yang telah mengenai tubuh lawannya yang meluncur itu meskipun tidak terlalu keras. Namun sentuhan itu benar-benar telah menyakiti hati lawannya, jauh lebih sakit dari tubuhnya yang terkena serangan itu.

“Anak iblis,” orang itu menggeram sambil meloncat mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Glagah Putih memang tidak memburunya. Iapun berdiri tegak menghadap ke arah anak Ki Lurah Citrabawa itu.

“Kau bangga dengan kelengahanku itu?” bertanya anak Ki Lurah Citrabawa yang marah sekali.

“Bunuh saja anak itu dengan cepat,” geram Ki Citrabawa pula, “waktu kita tidak terlalu panjang.”

Tetapi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Sedang seekor cacing pun akan menggeliat jika terinjak kaki. Apalagi Glagah Putih.”

Sebenarnyalah Glagah Putih memang telah bersiap sepenuhnya menghadapi kemungkinan yang bagaimanapun juga. Meskipun Glagah Putih tidak pernah merasa sebagai seorang yang terbaik dalam olah kanuragan, namun ia memang meyakini bahwa ilmu yang pernah disadapnya akan mampu melindunginya.

Demikianlah, maka anak Ki Lurah Citrabawa itu telah menerkamnya lagi dengan garangnya. Karena ia terlalu bernafsu untuk segera membunuh Glagah Putih, maka tata geraknya pun menjadi keras dan kasar.

Tetapi Glagah Putih telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan itu. Dengan tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Namun dengan cepat pula ia berganti menyerang, sehingga dengan demikian, keduanya telah saling menyerang dengan sengitnya.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang. Setiap saat, kemampuan keduanya seakan-akan semakin meningkat. Sehingga beberapa saat kemudian maka keduanya telah bertempur pada tataran ilmu yang tinggi. Keduanya bergerak seperti bayangan yang tidak digantungi oleh berat tubuhnya. Kaki-kaki mereka bagaikan tidak berjejak di atas tanah.

Ki Lurah Citrabawa menjadi sangat tegang. Ia terlalu percaya akan kemampuan anaknya. Namun tiba-tiba saja di Tanah Perdikan ini anaknya itu menjumpai seorang anak yang masih sangat muda yang mampu mengimbangi ilmunya.

Ki Lurah Branjangan pun menjadi tegang. Ternyata anak Ki Lurah Citrabawa itu memang memiliki bekal ilmu yang tinggi. Namun ia tetap berharap bahwa Glagah Putih akan dapat mengatasinya.

Yang menjadi bingung adalah Wirastama, dan apalagi Teja Prabawa. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa anak padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh itu mampu bertempur dengan dahsyatnya, pada tataran ilmu yang tinggi.

“Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan?” desis Wirastama kepada diri sendiri. Sementara Teja Prabawa justru merasa bingung. Tanpa disengaja ia sempat mengingat apa yang pernah dilakukan atas anak Tanah Perdikan yang dianggapnya tidak lebih dari anak padesan itu.

“Agaknya Kakek sudah mengenalnya dengan baik,” berkata Teja Prabawa di dalam hatinya, “ternyata Kakek begitu yakin akan kemampuannya.”

Rara Wulan justru menjadi sangat berdebar-debar. Serba sedikit ia dapat mengetahui, bahwa pertempuran antara kedua orang itu benar-benar sudah berada pada tataran ilmu yang tinggi.

Sebenarnyalah anak Ki Lurah Citrabawa itu telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Tangannya berputaran, terayun, mematuk dan menerkam lawannya dengan cepatnya, sehingga tangannya yang sepasang itu seakan-akan telah menjadi beberapa pasang.

Tetapi tubuh Glagah Putih pun rasa-rasanya tidak lagi menyentuh tanah. Seperti seekor burung sikatan menyambar belalang, maka gerak Glagah Putih kadang-kadang memang membingungkan lawannya yang tangguh itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar