Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 234

Buku 234

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. “Biarlah mereka mengenal kenyataan yang keras dari kehidupan ini,“ katanya. Lalu, “Kalian jangan terlalu berendah hati. Sekali-sekali kalian menunjukkan kenyataan-kenyataan itu. Jika tidak demikian, maka gagallah usahaku membawa mereka kemari. Terutama Teja Prabawa. Ayahnya, yang memang seorang Tumenggung, terlalu memanjakan mereka dan mendidiknya menjadi seorang bangsawan yang sombong dan keras kepala. Tetapi keduanya kurang mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.“

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Biarlah semuanya terjadi dengan perlahan-lahan Ki Lurah.“

“Aku sependapat. Tetapi bukannya tidak sama sekali,“ berkata Ki Lurah.

“Tanah Perdikan yang keras ini akan menunjukkan kenyataan itu,“ berkata Agung Sedayu pula.

“Ya. Namun nampaknya kedua cucuku memang mengagumi seorang perwira muda dari Pasukan Khusus itu, yang kebetulan adalah adik dari Nagageni yang baru dalam beberapa bulan memimpin pasukan di barak itu,“ berkata Ki Lurah.

Agung Sedayu masih saja tersenyum. Katanya, “Lebih baik bukan kita yang merusakkan citra perwira muda itu. Biarlah semuanya berlangsung. Adalah lebih baik jika perwira muda itu dapat menunjukkan kenyataan-kenyataan yang keras itu kepada Teja Prabawa.“

Ki Lurah mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Kita menunggu saja perkembangannya. Tetapi sebenarnya aku lebih senang jika Angger Glagah Putih yang membawa cucu-cucuku berjalan-jalan.“

“Mereka nampaknya tidak begitu tertarik kepadaku Ki Lurah,“ berkata Glagah Putih, “mereka telah mengusirku di barak Pasukan Khusus.“

“Kau telah kejangkitan penyakit kakak sepupumu,“ desis Ki Lurah.

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Bukankah kita memang wajib menjadi tuan rumah yang baik?“

Ki Lurah pun akhirnya tertawa pula. Tetapi ia berkata, “Bagaimanapun juga aku akan meyakinkan cucu-cucuku. Kalau perlu aku akan menyuruhnya menantang Glagah Putih berkelahi. Aku minta Glagah Putih membuat wajahnya sedikit merah dan panas agar ia menyadari, siapakah sebenarnya dirinya itu.“

“Jangan terlalu keras mendidik anak-anak muda Ki Lurah,“ berkata Agung Sedayu, “aku usulkan agar Ki Lurah tidak mempergunakan cara itu. Cara yang terbaik adalah membiarkannya mengalami pada saatnya.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian berkata, “Aku tidak terlalu lama di sini. Mudah-mudahan akan berarti bagi kedua cucuku itu.“

Agung Sedayu menyahut, “Tentu Ki Lurah. Mereka akan mendapatkan pengalaman yang menarik di Tanah Perdikan ini.“

Ki Lurah pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku ingin mereka bercerita pengalaman mereka di hari pertama.“

Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah mohon diri. Mungkin Ki Lurah akan dapat berbicara dengan cucu-cucunya tentang keadaan yang telah mereka alami di hari pertama perkenalan mereka dengan Tanah Perdikan ini.

Dari serambi gandok, kedua orang itu masih memasuki seketheng untuk minta diri kepada Ki Gede yang sedang beristirahat di ruang dalam. Sementara Ki Lurah pun telah masuk pula ke dalam bilik cucu-cucunya.

Di perjalanan pulang, Glagah Putih dan Agung Sedayu masih membicarakan kedua cucu Ki Lurah. Seperti yang pernah dikatakannya, maka sekali lagi Agung Sedayu berkata, “Mudah-mudahan perwira muda itu dapat memberikan kesempatan kepada kedua cucu Ki Lurah itu. Aku harap kedua cucu Ki Lurah mendapatkan pengalaman seperti yang dikehendaki oleh kakeknya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi kata hatinya memang agak berbeda. Meskipun demikian ia tidak berani mengatakannya kepada kakak sepupunya itu.

Di gandok rumah Ki Gede, Teja Prabawa memang sempat pula bercerita tentang perwira muda yang mengagumkan itu. Teja Prabawa juga bercerita bahwa ia sempat melihat perwira itu berlatih di dalam sanggar.

“Ilmu yang sangat tinggi yang belum pernah aku saksikan sebelumnya,“ berkata Teja Prabawa.

Ki Lurah hanya mengangguk-angguk saja. Ternyata iapun tidak sampai hati membuat cucunya itu kecewa. Namun demikian Ki Lurah masih berharap bahwa di hari-hari berikutnya, terjadi sesuatu yang berharga bagi kedua cucunya itu.

Di malam harinya, ternyata Glagah Putih bahkan telah merasa terganggu ketenangannya. Rasa-rasanya kedua cucu Ki Lurah itu telah menimbulkan masalah di dalam dirinya. Justru karena ia harus mengekang diri sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu. Karena kegelisahannya itulah, maka Glagah Putih telah keluar dari biliknya justru pada saat pembantu di rumah itu mulai terbangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sungai.

“Aku hampir membangunkanmu,“ berkata pembantu rumah itu.

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku kira kau akan malas lagi. Beberapa hari ini aku mendapat ikan lebih banyak dari biasanya,“ berkata anak itu.

“Bukankah kemarin dulu aku juga turun?“ desis Glagah Putih. Anak itu mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Tunggu. Aku akan ke rumah Ki Gede.“

“Untuk apa?“ bertanya anak itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Hampir di luar sadarnya ditengadahkannya wajahnya ke langit. Rasa-rasanya malam belum terlalu dalam.

“Kalau saja cucu-cucu Ki Lurah itu belum tidur, mereka dapat diajak turun ke sungai,“ berkata Glagah Putih di dalam dirinya.

Namun ia memang ragu-ragu. Waktunya memang sudah sampai saat sirep wong, sehingga kebanyakan orang tentu sudah tidur, kecuali orang-orang yang bertugas.

Meskipun demikian rasa-rasanya ada sesuatu yang mendorongnya untuk pergi ke rumah Ki Gede, sehingga karena itu, maka sekali lagi ia berkata kepada pembantunya itu, “Tunggu aku. Kita akan turun bersama-sama.“

“Tetapi jangan terlalu lama. Kita sudah terlambat membuka dan menutup kembali pliridan yang pertama malam ini,“ gumam anak itu.

Tetapi Glagah Putih tidak menjawab lagi. Dengan tergesa-gesa iapun telah pergi ke rumah Ki Gede. Ia masih saja berharap bahwa Ki Lurah dan cucu-cucunya masih belum tidur.

Ketika ia sampai ke regol halaman rumah Ki Gede, anak-anak muda yang bertugas ronda sama sekali tidak heran melihat kedatangannya. Glagah Putih kadang-kadang memang begitu saja muncul di gardu-gardu perondan sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu beberapa tahun yang lalu. Namun kini Agung Sedayu sudah jarang sekali melakukannya, setelah ada Glagah Putih yang seakan-akan menggantikannya.

Glagah Putih yang langsung pergi ke gardu telah bertanya kepada seorang anak muda yang meronda, “Apakah Ki Lurah sudah tidur?“

“Tentu belum. Baru saja ia berada di pendapa,“ jawab anak muda yang meronda itu.

“O, sekarang?“ bertanya Glagah Putih.

“Mungkin sudah ada di gandok,“ jawab anak muda itu.

Glagah Putih pun kemudian telah berjalan bergegas ke serambi gandok. Tetapi ternyata pintu bilik Ki Lurah telah tertutup. Karena itu, maka dengan kecewa Glagah Putih telah menjatuhkan diri duduk di amben bambu di serambi.

Namun ternyata derit amben itu terdengar oleh Ki Lurah yang memang belum tidur. Iapun kemudian telah melangkah ke pintu dan membukanya. Ketika ia menjenguk, maka dilihatnya Glagah Putih ada di serambi gandok.

“Kau, Glagah Putih?“ desis Ki Lurah.

“Ki Lurah belum tidur?“ bertanya Glagah Putih sambil berdiri.

“Baru saja aku duduk-duduk di pendapa bersama Ki Gede dan cucu-cucuku,“ berkata Ki Lurah, “sebenarnya cucu-cucuku memang ingin melihat suasana malam di Tanah Perdikan ini.“ Ki Lurah berhenti sejenak. Sambil memandang ke arah bilik cucu-cucunya, Ki Lurah berkata perlahan-lahan sambil tersenyum, “Tetapi ketika mereka berada di jalan di depan rumah ini dan melihat suasana yang sangat sepi, maka keduanya menjadi ketakutan. Meskipun alasannya berbeda, namun aku tahu hal itu.“

“Apakah mereka sudah tidur?“ bertanya Glagah Putih.

“Agaknya belum. Tetapi mereka lebih senang berada di tempat yang terang daripada berada di gelapnya jalan-jalan pedukuhan. Sedangkan di terangnya lampu minyak, Rara Wulan tidak berani tidur di dalam bilik sendiri. Terpaksa ia berada di dalam biliknya ditunggui oleh kakaknya yang juga tidak berani sendiri. Tetapi kepada adiknyaTeja Prabawa masih juga menjaga harga dirinya,“ jawab Ki Lurah.

“O,“ Glagah Putih mengangguk-angguk, “sebenarnya aku ingin mengajak mereka berdua atau setidak-tidaknya Raden Teja Prabawa untuk melihat-lihat daerah ini di malam hari.”

Ki Lurah tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengatakan kepadanya.“

“Tetapi nampaknya ia tidak begitu senang kepadaku Ki Lurah. Kalau ia keberatan, jangan dipaksa,“ berkata Glagah Putih.

Ki Lurah tidak menjawab. Namun sambil tertawa ia bangkit dan melangkah ke bilik kedua cucunya.

Perlahan-lahan Ki Lurah mengetuk pintu bilik itu. Ternyata cucu-cucunya memang belum tidur. Nampaknya suasana sepi sangat mencengkam mereka.

Suara ketukan pintu itu membuat Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Namun kemudian terdengar suara kakeknya lembut, “Teja Prabawa, apakah kau belum tidur?“

“Kakek di luar?“ bertanya Teja Prabawa.

“Ya,“ jawab Ki Lurah.

Raden Teja Prabawa pun kemudian telah membuka pintu biliknya.

“Ada apa Kek?“ bertanya cucu Ki Lurah itu.

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah kau masih ingin melihat-lihat Tanah Perdikan ini di malam hari?“

“Ah,“ desah Teja Prabawa.

“Jika kau masih ingin berjalan-jalan, maka Glagah Putih siap mengantarkanmu. Ia sekarang ada di sini,“ berkata Ki Lurah.

“Untuk apa ia datang kemari?“ bertanya Teja Prabawa.

“Anak itu terbiasa datang ke gardu-gardu di malam hari. Kadang-kadang ke gardu di depan, tetapi pada kesempatan lain ke gardu di padukuhan sebelah. Kemudian di gardu yang lain lagi. Malam ini ia datang kemari,“ berkata Ki Lurah. Lalu, “Marilah. Temui anak itu. Aku sudah terlanjur berkata bahwa kau ingin melihat-lihat Tanah Perdikan ini di malam hari.“

“Aku tidak senang pada anak itu,“ berkata Teja Prabawa, “terlalu sombong dan tinggi hati. Seharusnya ia menyadari bahwa ia tidak lebih dari anak padukuhan yang bodoh dan dungu. Bagaimana mungkin ia dapat menyamai seorang perwira muda dari Pasukan Khusus.“ 

“Tetapi justru karena itu, maka ia akan dapat menjadi seorang pengantar yang baik. Agak berbeda dengan perwira dari Pasukan Khusus. Kau benar-benar harus tunduk kepada kehendaknya,“ berkata Ki Lurah.

“Sudah larut malam Kakek,“ akhirnya Teja Prabawa memotong.

“Marilah. Temui anak itu. Kau dapat berbicara dengannya,“ ajak Ki Lurah.

Teja Prabawa masih saja termangu-mangu. Ki Lurah yang tidak sabar lagi telah menarik tangannya sambil berkata, “Marilah.“

Anak muda itu tidak dapat membantah. Namun Rara Wulan-lah yang memanggil, “Kakek. Jangan tinggal aku sendiri.“

“Marilah ikut ke serambi,“ ajak Ki Lurah.

Rara Wulan pun telah berlari-lari pula mengikuti kakek dan kakaknya ke serambi.

Glagah Putih bangkit berdiri ketika Ki Lurah kemudian datang bersama Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan. Bahkan kemudian ia telah mengangguk hormat.

“Duduklah,“ berkata Ki Lurah. Lalu katanya kepada Teja Prabawa, “Nah, pergilah melihat-lihat suasana malam di sini. Jangan takut. Di sini cukup aman. Kau tidak akan bertemu dengan perampok atau penyamun atau penjahat lainnya.“

“Kakek, apakah aku pernah mengatakan bahwa aku takut?“ bertanya Teja Prabawa.

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun iapun menarik nafas sambil berkata, “Ya. Kau memang tidak pernah mengenal takut. Karena itu, pergilah.“

Ki Lurah berhenti sejenak. Lalu iapun berkata kepada Glagah Putih, “Sebenarnya kau akan pergi kemana?“

“Aku akan pergi ke sungai Ki Lurah,“ jawab Glagah Putih.

“Untuk apa malam-malam begini pergi ke sungai?“ bertanya Ki Lurah.

“Aku mempunyai pliridan di sungai. Sore tadi aku telah membuka pliridan itu. Pada saat-saat menjelang tengah malam, pliridan itu dapat ditutup untuk pertama kalinya. Memang ada yang hanya menutup satu kali menjelang dini hari. Tetapi dapat dilakukan dua kali. Jika kebetulan banyak ikan yang berkeliaran, maka menutup pliridan dua kali lebih menguntungkan. Namun biasanya kita malas melakukannya, sehingga hanya dilakukan sekali saja di dini hari,“ jawab Glagah Putih.

“Menarik sekali,“ Rara Wulan-lah yang menyahut, “apakah aku boleh ikut?“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia menjawab, “Tetapi kita akan menuruni tebing. Jalan memang agak rumpil. Bagaimana jika Rara besok siang saja melihat pliridan itu?“

“Tetapi bukankah saat menangkap ikan malam-malam begini?“ bertanya Rara Wulan.

“Ya,“ jawab Glagah Putih.

“Nah, lebih baik aku ikut sekarang,“ berkata Rara Wulan.

“Aku sudah mengantuk,“ berkata Teja Prabawa, “besok saja kita pergi bersama perwira itu.“

“Besok kita juga pergi,“ jawab Rara Wulan, “tetapi tentu tidak memungut ikan seperti malam ini. Besok kita pergi ke blumbang itu.“

“Aku tidak mau,“ berkata Teja Prabawa.

“Kakek, aku akan pergi sendiri,“ berkata Rara Wulan kemudian.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata kepada cucunya, “Pergilah. Antarkan adikmu yang ingin melihat cara memunguti ikan dari pliridan. Di masa remaja aku juga sering melakukannya.”

Teja Prabawa tidak dapat membantah lagi, Ia tidak mau dikatakan ketakutan memasuki gelapnya malam dan turun tebing sungai yang rumpil. Apalagi takut bertemu dengan perampok atau penyamun. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku membenahi pakaianku dahulu.“

Glagah Putih masih harus menunggu sejenak. Ternyata justru Rara Wulan yang tidak mau dicegah. Bukan saja oleh Glagah Putih, tetapi juga oleh kakeknya. Seperti kakaknya, maka Rara Wulan pun telah membenahi pakaiannya pula.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah bersiap. Betapapun segannya, Teja Prabawa terpaksa ikut bersama Glagah Putih keluar regol halaman rumah Ki Gede untuk menuju ke sungai. Tetapi Glagah Putih masih akan singgah dahulu ke rumah untuk mengajak pembantu rumahnya bersama-sama membuka pliridan.

Ternyata pembantu rumahnya hampir tidak sabar lagi. Ketika Glagah Putih mengajaknya, maka iapun telah bergeremang panjang lebar.

“Aku membawa dua orang kawan,“ berkata Glagah Putih, “dua orang kawan dari Kotaraja yang tidak terbiasa berjalan di gelapnya malam. Ketika mereka berjalan dari rumah Ki Gede sampai kemari, ternyata mereka telah mengalami kesulitan, padahal di regol-regol halaman rumah pada umumnya terdapat obor atau lampu minyak atau obor biji jarak.“

“Buat apa kau bawa mereka?“ bertanya pembantunya, “Bukankah hanya merepotkan kita saja?“

“Mereka ingin tahu, cara membuka pliridan,” jawab Glagah Putih.

Keduanya pun kemudian telah menuju ke halaman depan sambil membawa alat-alat yang diperlukan, terutama cangkul dan kepis.

“Kenapa kau terlalu lama?“ bentak Raden Teja Prabawa.

“Kami mengambil alat-alat di belakang, Raden,“ jawab Glagah Putih.

“Kita akan berjalan kemana?“ bertanya Raden Teja Prabawa.

“Ke sungai,“ jawab Glagah Putih.

“Maksudku, ke barat, ke timur atau ke utara?“ geram Raden Teja Prabawa.

“O,“ Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. “Kita akan berjalan ke barat. Menyusuri jalan induk, kemudian keluar ke bulak persawahan. Kita akan berjalan terus, mengambil jalan pintas dan kemudian mengikuti pematang sawah sampai ke tebing.”

“Kita tidak menelusuri jalan induk Tanah Perdikanmu?“ bertanya Raden Teja Prabawa, “Bukankah lewat jalan induk kita akan sampai juga ke sungai seperti kau katakan kemarin?“

“Tetapi pliridan kami terletak agak jauh dari jalan ini,“ jawab Glagah Putih.

Raden Teja Prabawa termangu-mangu. Namun kemudian Glagah Putih berkata, “Kita membawa obor meskipun tidak terlalu besar. Kita akan membawa obor biji jarak kepyar kering. Kami mempunyai beberapa.“

“Kau kira aku takut gelap?“ bertanya Teja Prabawa marah.

Namun Rara Wulan-lah yang menyahut, “Biarlah mereka membawa obor, Kakang. Barangkali lebih baik berjalan dalam cahaya obor daripada gelap sama sekali.“

Glagah Putih pun kemudian telah mengambil beberapa batang obor biji jarak kepyar yang dirangkai dengan rautan bambu. Setiap tiga rangkai telah diikat menjadi satu, sehingga obor biji jarak itu menjadi cukup terang untuk berjalan di malam hari.

Beberapa saat kemudian, maka dengan batu thithikan dan empat batang aren Glagah Putih telah membuat api, yang kemudian dinyalakan pada dimik-dimik belerang untuk menyalakan obor itu.

“Siapa anak itu?“ bertanya Raden Teja Prabawa ketika dilihatnya pembantu rumah Agung Sedayu itu bersama mereka.

“Pembantu rumah Kakang Agung Sedayu. Aku memang terbiasa pergi bersamanya,“ jawab Glagah Putih.

Raden Teja Prabawa tidak bertanya lagi tentang anak itu. Tetapi iapun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Kau yang membawa obor berjalan di depan.“

“Baik Raden,“ jawab Glagah Putih.

Namun ketika pembantu rumahnya akan mengikuti pula berjalan di depan, Raden Teja Prabawa menarik pundaknya sambil membentak, “Siapa yang memerintahkanmu berjalan di depan? Kau berjalan di belakangku!“

Anak itu terkejut. Ia tidak biasa diperlakukan begitu kasar. Tetapi anak itu diam saja, karena menurut Glagah Putih kedua orang itu adalah anak muda dari Kotaraja. Apalagi ketika kemudian Glagah Putih pun berkata, “Kau berjalan di belakang.“

Demikianlah, maka iring-iringan itu lewat jalan induk menuju ke gerbang untuk keluar melintasi bulak. Di gardu di mulut jalan, beberapa orang anak muda yang meronda memang agak heran melihat Glagah Putih berjalan sambil membawa obor. Ia tidak terbiasa berbuat demikian. Namun ketika mereka melihat kedua cucu Ki Lurah yang berada di rumah Ki Gede, maka mereka pun mengerti, bahwa keduanya-lah yang memerlukan obor. Tetapi agaknya mereka tidak mau membawa sendiri, sehingga Glagah Putih-lah yang harus membawanya.

Anak-anak muda di gardu itu sempat juga menyapa Glagah Putih. Namun mereka tidak berminat untuk berbicara dengan kedua cucu Ki Lurah, yang menurut pendengaran mereka, keduanya adalah anak-anak muda yang tinggi hati. Sejenak kemudian, mereka berempat pun telah berjalan di bulak yang luas. Cucu-cucu Ki Lurah tidak melihat lebih jauh dari cahaya obor jarak. Agak berbeda dengan Glagah Putih dan pembantu rumahnya yang sudah terbiasa berjalan dalam gelapnya malam.

Ternyata kedua cucu Ki Lurah itu merasa ngeri juga berjalan di gelapnya malam. Mereka memang tidak melihat apa-apa selain bintang di atas mereka. Tanaman di sebelah-menyebelah jalan yang mereka lalui yang tersentuh oleh cahaya obor. Dan tanah yang berdebu di bawah kaki mereka. Rasa-rasanya dunia di sekitar mereka hanya berwarna hitam semata-mata. Rara Wulan berjalan dekat di belakang Glagah Putih. Raden Teja Prabawa di sebelahnya agak ke belakang. Sementara itu pembantu di rumah Glagah Putih itu berjalan beberapa langlah di belakang mereka. Ketika mereka berbelok memasuki jalan kecil, rasa-rasanya malam menjadi semakin gelap. Apalagi ketika mereka kemudian melangkah di atas pematang.

“Jangan terlalu cepat,“ minta Rara Wulan.

“Salahmu!“ bentak Teja Prabawa, “sudah aku katakan, kita tidak perlu keluar malam ini.“

Rara Wulan tidak menyahut. Meskipun hatinya menjadi bergetar, tetapi ia tidak mengeluh lagi. Ia memang menyesal bahwa ia telah keluar malam itu.

Beberapa saat kemudian mereka telah sampai ke tanggul sungai. Mereka harus menuruni tebing yang agak curam. Karena itu, maka Glagah Putih telah mendahului mereka, dan dari bawah tebing ia telah mengangkat obornya untuk menerangi jalan setapak yang memang agak sulit itu.

Rara Wulan dan Teja Prabawa memang harus merangkak turun. Namun akhirnya mereka telah berada di pasir tepian. Gemericik air sungai rasa-rasanya bagaikan berirama. Karena pancaran obor yang dibawa oleh Glagah Putih, maka batu-batu sungai yang hitam nampak bagaikan bermunculan dari dalam air.

Rara Wulan memang menjadi ketakutan. Tetap Glagah Putih berkata, “Marilah. Kita berjalan di atas pasir tepian menyusur naik. Kita akan sampai ke sebuah bendungan. Pliridan itu berada di bawah bendungan.“

Mereka berempat kemudian telah menyusuri pasir tepian. Ketika mereka melewati bayangan pohon benda yang besar, rasa-rasanya kaki kedua cucu Ki Lurah itu tidak mau bergerak.

Demikian takutnya Rara Wulan, sehingga ia benar-benar berjalan hampir melekat di belakang Glagah Putih yang membawa obor. Namun kedua cucu Ki Lurah itu sedikit merasa tenang ketika mereka melihat pembantu Glagal Putih berjalan biasa saja di belakang mereka.

Ketika mereka harus melangkahi akar-akar raksasa pohon benda yang menjulur sampai ke tepian itu, Rara Wulan tidak dapat menahan diri lagi. Sehingga hampi di luar sadarnya ia berdesis, “Aku takut.“

Raden Teja Prabawa tidak membentak adiknya karena ia sendiri juga menjadi ketakutan, sehingga kedua orang cucu Ki Lurah itu telah saling berpegangan.

Pembantu di rumah Glagah Putih itu memandang keduanya dengan heran. Ia memang dapat menduga bahwa keduanya menjadi ketakutan. Yang tidak diketahuinya, apakah yang mereka takutkan. Padahal pada hari-hari yang lain ia kadang-kadang pergi sendiri tanpa membawa obor, sama sekali tanpa merasa takut.

Tetapi anak itu berkata di dalam hatinya, “Mungkin karena aku sudah terbiasa berjalan sendiri di tepian ini. Agaknya jika aku dilepaskan di Kotaraja, dalam ramainya orang-orang berlalu-lalang, aku pun akan menjadi ketakutan pula.”

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah mendekati bendungan yang terbuat dari brunjung bambu yang diisi dengan batu-batu dan disisipi dengan dedaunan yang diikat kuat-kuat, serta ditimbuni dengan tanah, ditopang dengan patok-patok bambu yang kuat pula.

“Nah,“ berkata Glagah Putih, “ini adalah pliridan itu.“

Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan memperhatikan bagian dari sungai itu yang dibatasi semacam pematang yang membelah sungai itu membujur panjang. Di bagian atas pliridan itu terbuka, bahkan pematang yang lain membujur menyilang sungai itu hampir keseberang yang lain. Dengan demikian, maka air sungai itu hampir seluruhnya telah mengalir melalui pliridan itu. Sementara bagian bawah telah ditutup rapat. Namun diberi sedikit bagian yang lebih rendah untuk memberikan jalan bagi air yang meluap. Dengan demikian maka di bagian dalam pliridan itu seakan-akan telah menjadi sebuah kolam yang tidak begitu dalam.

“Tunggulah di tepian,“ berkata Glagah Putih, “kami akan membuka pliridan ini.“

Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan tidak menjawab.

“Bawalah obor ini Raden,“ minta Glagah Putih.

“Kau yang membawanya. Kau tidak berhak memerintah aku!“ bentak Raden Teja Prabawa.

“Kami berdua akan membuka pliridan ini, sehingga kami tidak akan dapat sambil memegang obor ini,“ berkata Glagah Putih kemudian.

“Itu terserah kepadamu,“ jawab Teja Prabawa.

“Baiklah. Jika demikian obor ini akan aku buang saja,“ desis Glagah Putih.

“Jangan,“ kedua cucu Ki Lurah itu hampir berbareng mencegahnya.

“Lalu bagaimana?“ bertanya Glagah Putih.

“Berikan kepadaku,“ minta Rara Wulan.

Glagah Putih pun kemudian telah memberikan obor biji jarak kepyar itu kepada Rara Wulan. Namun agaknya Raden Teja Prabawa merasa tidak enak, bahwa adik perempuannya-lah yang membawa obor itu. Karena itu, maka obor itu pun telah dimintanya.

Tetapi Rara Wulan menjawab, “Biarlah Kakang. Aku justru merasa lebih tenang membawa obor ini di tanganku. Aku dapat menerangi tempat-tempat yang aku inginkan.“

Raden Teja Prabawa tidak memaksa. Tetapi ternyata bahwa Rara Wulan memang membawa obor itu sambil berjalan mendekati Glagah Putih dan pembantunya, yang kemudian sibuk menutup pintu air pada pliridannya.

Sementara pembantunya sibuk menutup pintu air dan membuka bendungan yang menyilang sungai itu sehingga air dapat mengalir, maka Glagah Putih telah memasang wuwu di bagian bawah pliridan itu. Beberapa saat kemudian, maka air pun telah tertutup, sementara di bagian bawah air mengalir keluar melalui wuwu. Namun ikan yang semula ada di dalam pliridan itu justru telah masuk ke dalam wuwu.

Ketika air menjadi semakin sedikit, maka seakan-akan air itu telah berkumpul di bagian tengah pliridan yang menjadi semakin dangkal. Dengan segulung kelopak-kelopak batang pisang kering yang diikat, maka Glagah Putih dan pembantunya telah mendorong ikan yang ada di dalam air yang semakin dangkal itu dari ujung pliridan menuju ke bagian bawah, yang telah dipasang wuwu.

Rara Wulan ternyata menjadi senang melihatnya. Dengan obornya ia melihat ikan yang terperangkap ke dalam pliridan yang airnya sudah menjadi hampir mengering itu. Beberapa ekor ikan wader dan sepat berloncatan di air yang tinggal sedikit. Beberapa ekor ikan yang berwarna kehitaman bergejolak menghempas-hempaskan diri.

Tiba-tiba saja Rara Wulan melihat seekor ikan yang berwarna kemerah-merahan terkapar di pasir yang tidak lagi berair. Dengan serta merta ia memungut ikan itu. Namun ternyata ikan itu terlalu licin sehingga terlepas lagi, dan bahkan masuk ke dalam air di tengah-tengah pliridan itu.

“O, ikan itu terlepas,“ berkata Rara Wulan.

“Tidak apa-apa,“ sahut Glagah Putih, “ikan itu tidak akan dapat keluar dari pliridan.”

Namun ketika seekor ikan yang berwarna kehitaman meloncat kepasir, maka dengan cepat Glagah Putih mencegah ketika Rara Wulan akan menangkapnya, “Jangan. Itu ikan lele.“

“Kenapa?“ bertanya Rara Wulan.

“Senjatanya berbahaya sekali. Di sebelah-menyebelah kepalanya terdapat sepasang patil yang sangat tajam dan beracun. Jika kita terkena patilnya, maka bagi yang kurang mempunyai daya tahan akan dapat menjadi demam.“

“Omong kosong,“ geram Raden Teja Prabawa.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia menjawab, pembantu rumahnya telah berkata, “Apakah Raden akan mencoba memegangnya?“

Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Namun Glagah Putih cepat-cepat berkata, “Aku minta maaf untuk anak dungu itu Raden.“

Anak itu memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Tetapi ia tidak merasa bersalah. Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu.

Sesaat kemudian maka Glagah Putih dan pembantunya telah melanjutkan kerja mereka setelah melemparkan ikan-ikan yang berloncatan keluar dari air yang sedikit itu kembali ke dalam air dan menggiringnya ke dalam wuwu.

Ketika seikat kelopak-kelopak batang pisang kering itu sampai di depan wuwu, maka dalam genangan air yang tinggal sedikit, sekelompok ikan dari berbagai macam jenis telah berloncatan. Namun sedikit demi sedikit ikan-ikan itu pun telah masuk ke dalam wuwu yang agak besar. Demikianlah, maka sejenak kemudian wuwu itu pun telah diangkat dari dalam air dan dibawa ke tepian.

“Tentu banyak ikannya,“ Rara Wulan hampir berteriak.

Namun tiba-tiba saja obor di tangannya menjadi semakin redup. Agaknya biji-biji jarak itu sudah hampir habis.

“Obornya akan padam,“ berkata Rara Wulan.

Namun Glagah Putih menyahut, “Aku masih membawa yang lain. Itu terletak di atas batu dekat baju anak itu.“

Rara Wulan termangu-mangu. Namun Glagah Putih pun berkata, “Tolong Raden. Ambilkan obor di atas batu itu.“

“Kau ambil sendiri!“ bentak Raden Teja Prabawa.

“Seperti Raden lihat, aku sedang sibuk bersama pembantuku,“ jawab Glagah Putih, “aku mohon maaf. Tolong, barangkali adik Raden memerlukannya.“

Raden Teja Prabawa menjadi marah. Tetapi ternyata bahwa Rara Wulan-lah yang memintanya, “Tolong kakang. Sebelum obor ini mati.“

“Anak cengeng!“ bentak kakaknya, “Kenapa kau ikut?“

Rara Wulan yang mengenal kakaknya dengan baik itu pun akhirnya berkata, “Baiklah. Jika kau tidak mau mengambil obor itu. Aku akan membiasakan melihat dalam gelap.“

“Kenapa kau tidak mendengar kata-kataku tadi?“ kakaknya masih saja membentak.

Tetapi sebenarnyalah Raden Teja Prabawa sendiri tidak ingin mereka kegelapan. Mesipun kemudian Rara Wulan berdiam diri, namun Raden Teja Prabawa itu telah melangkah ke sebuah batu di tepian.

“Kau bawa obor itu kemari!“ Raden Teja Prabawa hampir berteriak.

Rara Wulan memang mendekat, sementara Teja Prabawa telah mengambil obor yang terletak di atas batu di tepian, di dekat baju pembantu Glagah Putih itu.

“Berikan obor itu Kakang. Aku akan menyalakannya,“ berkata Rara Wulan.

Raden Teja Prabawa tidak membantah. Iapun kemudian memberikan obor itu dan membiarkan Rara Wulan menyalakannya dengan sisa obor yang terdahulu.

“Hampir terlambat,“ katanya, “untung masih tetap menyala.“

Dengan obor itu, maka Rara Wulan telah berjongkok di sebelah Glagah Putih dan pembantunya di saat mereka menuang ikan dari dalam wuwu ke dalam sebuah irig bambu yang agak besar. Sumbat pada pangkal wuwu itu pun dicabut, dan wuwu itu pun telah dihentak-hentakkan di atas irig itu, sehingga ikan yang terakhir telah jatuh ke dalam irig itu.

“He, kau mendapat banyak ikan hari ini,“ berkata Rara Wulan yang nampak gembira sekali melihat ikan-ikan dari berbagai jenis yang bergelepar di dalam irig yang besar itu. Satu hal yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya.

“Kau heran melihat ikan-ikan sekecil lalat itu?“ bertanya Teja Prabawa, “Bukankah kau dapat membeli di pasar ikan apapun jenisnya dan seberapapun kau butuhkan? Bahkan ikan-ikan yang jauh lebih besar dari ikan-ikan kerdil di sungai yang kotor itu.“

“Tetapi lain Kakang. Kita memang dapat membeli. Tetapi mendapatkan ikan sendiri rasa-rasanya tentu lebih puas. Meskipun ikannya kecil-kecil. Tetapi di antaranya ada juga yang besar,“ jawab Rara Wulan.

Raden Teja Prabawa tidak berbicara lagi. Ia menjadi marah kepada adiknya. Tetapi ia harus menahan kemarahannya itu. Ia menyadari jika ia benar-benar marah kepada Rara Wulan, maka gadis nakal itu tentu akan berani membantah setiap kata-katanya. Sementara itu, orang terpenting, bahkan termasuk golongan orang-orang yang berderajat, tidak pantas untuk bertengkar di hadapan orang lain. Dengan demikian akan dapat menurunkan penghargaan orang kepada mereka.

Sejenak kemudian, Glagah Putih telah mencuci ikan yang didapatkannya di dalam irignya yang besar itu. Kemudian memasukkannya ke dalam kepis yang telah disiapkan untuk membawa ikan itu kembali.

Demikianlah, setelah berbenah diri, maka mereka pun mulai melangkah meninggalkan tempat itu. Namun pembantu Glagah Putih itu sempat menggerutu, “Malam ini kita hanya membuka pliridan ini sekali pada waktu yang tanggung.“

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.

“Jangan pura-pura. Apakah setelah lewat jauh tengah malam begini kita akan dapat membuka pliridan ini sekali lagi?“ bertanya pembantunya.

“Tetapi bukankah kadang-kadang kita memang hanya membuka sekali saja dalam satu malam?“ Glagah Putih ganti bertanya.

“Tetapi tidak pada waktu seperti ini. Tetapi besok menjelang dini, sehingga ikan yang ada di dalam pliridar menjadi lebih banyak dari yang kita dapatkan,“ jawab pembantu rumahnya itu.

“Ah,“ desis Glagah Putih, “bedanya tidak akan seberapa.“

Pembantu rumahnya itu tidak menjawab. Tetapi iapun segera menempatkan diri di urutan paling belakang, sebagaimana mereka berangkat. Perjalanan kembali itu pun sama mendebarkannya sebagaimana saat mereka berangkat. Pohon benda itu masih tetap membuat bulu tengkuk cucu Ki Lurah itu meremang.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah merangkak naik tebing yang agak curam. Setelah itu, mereka berjalan melalui jalan sempit menuju ke padukuhan induk. Baru beberapa saat kemudian mereka memasuki jalan induk yang langsung menuju ke gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu.

Demikian mereka memasuki padukuhan induk, maka Raden Teja Prabawa itu telah menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya mereka terlepas dari kesulitan yang mencengkam di dalam satu masa hidupnya.

Rara Wulan pun merasa terlepas dari ketakutan yang mencengkam. Namun berbeda dengan Raden Teja Prabawa yang marah, Rara Wulan merasa mendapat satu pengalaman yang menarik dalam hidupnya. Di Tanah Perdikan itu ia telah berhasil dengan selamat melakukan satu kerja yang sangat berbahaya menurut pendapatnya, serta melihat bagaimana mendapatkan sekepis ikan di sebuah sungai dengan membuat pliridan.

Ketika mereka lewat di muka rumah Agung Sedayu, maka Glagah Putih telah bertanya kepada kedua cucu Ki Lurah, “Apakah kalian ingin membawa ikan itu kepada kakek kalian, Ki Lurah Branjangan?“

“Untuk apa?“ bentak Raden Teja Prabawa, “Bukankah kau tahu, bahwa Kakek menjadi tamu di rumah Ki Gede? Kau tentu tahu, bahwa kami tidak akan dapat berbuat apa-apa dengan ikan itu. Apalagi kami memang tidak terbiasa makan ikan-ikan wader cethul seperti itu. Kami terbiasa membeli ikan sungai yang bersih dan besar-besar.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang tahu. Tetapi aku kira bahwa sebaiknya aku menanyakannya sebagai sekedar basa-basi. Tetapi jika itu tidak menyenangkanmu, aku minta maaf.“

“Persetan,“ geram Raden Teja Prabawa.

Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Raden, apakah Raden berdua dengan adik Raden dapat kembali tanpa kami ke rumah Ki Gede?“

“Maksudmu?“ bertanya Raden Teja Prabawa.

“Jika Raden berdua dapat kembali tanpa kami, maka kami akan langsung pulang. Hari sudah terlalu malam,“ jawab Glagah Putih.

Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Untunglah bahwa di malam hari, kemarahannya tidak nampak terlalu jelas. Namun dengan geram ia berkata, “Kau harus mengikuti aku. Meskipun aku tidak takut pulang tanpa kau, tetapi kau harus ikut aku sampai ke rumah Ki Gede. Aku tidak peduli apakah malam telah larut atau bahkan sudah pagi sekalipun. Bahkan seadainya siang hari. Kau memang tidak perlu mengantar kami. Tetapi kau memang harus mengikuti kami.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya kepada pembantunya, “Bawa ikan dan alat-alat ini masuk. Aku akan pergi ke rumah Ki Gede mengikuti Raden Teja Prabawa dan adiknya.“

Pembantu di rumah Glagah Putih itu tidak menjawab. Tetapi ia sama sekali tidak senang melihat sikap kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu.

Demikianlah, Glagah Putih harus membawa keduanya kembali dan menyerahkannya kepada Ki Lurah. Sambil tersenyum Ki Lurah yang terbangun karena ketukan pada pintu biliknya menerima kedua cucunya sambil tersenyum.

“Apa yang kalian lihat?“ bertanya Ki Lurah.

“Tidak ada apa-apa, kecuali gelap,“ jawab Raden Teja Prabawa.

Tetapi Rara Wulan menjawab, “Kami melihat bagaimana caranya seseorang mencari ikan dengan pliridan. Anak itu mendapat ikan sepenuh tempat ikannya.“

“Ikan-ikan sebesar cebong katak yang baru menetas. Wader cethul dan jenis-jenis ikan yang tidak berharga, yang hanya pantas untuk memberi makan seekor kucing,“ sahut Raden Teja Prabawa.

“Tidak,“ sahut Rara Wulan, “beberapa ekor ikan lele yang besar, sepat, wader merah dan beberapa jenis ikan yang lain.“

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Nilainya tidak terletak pada jenis ikannya, atau barangkali pada harga ikan yang didapatnya, tetapi keberhasilan satu usaha memberikan kepuasan tersendiri.“

“Apakah Kakek dapat mengatakan usaha itu berhasil?“ bertanya Raden Teja Prabawa.

“Ya. Itu adalah hasil usahanya,“ jawab Ki Lurah Branjangan, “dalam keadaan yang khusus, orang-orang yang demikian akan dapat memenuhi keperluan mereka sendiri. Mungkin seseorang yang merasa dirinya mempunyai uang cukup untuk membeli apa saja yang diinginkan, pada satu saat akan kehilangan kesempatan untuk mempergunakan uangnya. Mungkin ia akan terdampar di satu tempat dimana tidak ada seorangpun yang berjualan apapun, atau barangkali uang yang pernah dimilikinya itu habis karena satu sebab. Orang yang demikian biasanya akan menjadi bingung dan tidak tahu apa yang dilakukannya.”

“Kakek terlalu cemas menghadapi keadaan,“ berkata Raden Teja Prabawa, “jika kita memiliki kemampuan untuk mengumpulkan kekayaan, maka kita tidak akan kekeringan.“

“Meskipun tidak selalu demikian, tetapi aku dapat mengerti, bahwa kemungkinan untuk tetap mempertahankan tingkat kehidupan akan dapat dilakukan. Tetapi oleh orang yang berkepentingan. Anak cucu mereka tidak akan dapat ikut menepuk dada. karena apa yang terjadi kemudian mungkin jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada orang-orang tuanya,“ jawab Ki Lurah Branjangan.

Telinga Raden Teja Prabawa menjadi panas. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Iapun menyadari bahwa kakeknya bukan saja seorang yang sabar, tetapi juga seorang yang kuat pada keyakinannya. Sebagai seorang Senapati, maka Ki Lurah Branjangan memang mempunyai sifat seorang prajurit.

Karena itu, maka Raden Teja Prabawa itu pun melangkah menuju ke biliknya. Namun Ki Lurah telah berkata, “Kau harus membersihkan kaki dan tanganmu di pakiwan.”

Raden Teja Prabawa tertegun. Sementara Ki Lurah berkata, “Ajak adikmu bersamamu.”

Keduanya memang harus pergi ke pakiwan untuk membersihkan kaki dan tangan mereka.

Sementara mereka berdua pergi ke pakiwan, maka Ki Lurah berkata, “Di setiap kesempatan, bawa mereka ketempat yang memberikan kesan tersendiri kepada mereka. Ternyata adiknya memiliki tanggapan yang lebih baik atas pengalamannya.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan mereka akhirnya akan terbiasa dengan keadaan Tanah Perdikan ini.“

Ki Lurah tersenyum. Sementara itu Glagah Putih pun telah mohon diri untuk pulang ke rumahnya.

Di dalam biliknya Raden Teja Prabawa tidak habis-habisnya menggeremang. Bahkan marah-marah, karena apa yang harus dilakukannya sama sekali tidak menarik minatnya.

“Anak itu memang gila,“ geramnya.

Rara Wulan tidak menjawab. Ia memang mempunyai kesan tersendiri, meskipun ia mengakui di dalam dirinya, bahwa ia menjadi sangat ketakutan ketika mereka berjalan di bawah pohon benda raksasa d itepian itu.

“Tetapi itu sudah lewat. Dan aku selamat,“ berkata Rara Wulan di dalam hatinya.

Meskipun Raden Teja Prabawa itu masih saja marah di dalam hatinya, namun akhirnya iapun telah tertidur pula. Tetapi Rara Wulan ternyata dapat lebih cepat tidur dari kakaknya.

Di rumahnya, pembantu Glagah Putih itu ternyata juga menggeremang. Sambil membersihkan alat-alat yang dibawanya ia berkata, “Kenapa ikan itu kau tawarkan kepada anak-anak cengeng itu?“

“Aku tahu mereka tidak akan mau menerima,” jawab Glagah Putih.

“Kalau saja mereka mau, kau harus mengganti. Aku tidak peduli darimana saja kau mendapatkannya,“ geram anak itu.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku akan menukarmu dua kali lipat.“

Anak itu tidak menjawab. Tetapi tangannya sajalah yang sibuk menghimpun alat-alatnya.

“Tidurlah,“ berkata Glagah Putih, “besok kau terlambat bangun.”

Anak itu masih tetap berdiam diri. Namun iapun telah pergi ke biliknya. Sementara Glagah Putih telah berbaring pula di pembaringannya. Seperti biasanya, maka Glagah Putih tidak terlambat bangun. Demikian pula seisi rumah yang lain, termasuk pembantunya. Ketika matahari terbit, mereka sudah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Dalam pada itu, ternyata perwira muda dari Pasukan Khusus itu pagi-pagi telah berada di padukuhan induk Tanah Perdikan. Demikian matahari terbit, Wirastama, perwira muda itu, telah memasuki gerbang halaman rumah Ki Gede.

“Selamat pagi Ki Lurah,“ Wirastama mengangguk hormat ketika ia melihat Ki Lurah duduk di serambi gandok.

“Marilah Anakmas,“ Ki Lurah itu mempersilahkan, “masih sangat pagi Anakmas sudah sampai di sini. Apakah Anakmas tidak bertugas?“

“Hari ini aku telah dibebaskan dari tugas-tugasku Ki Lurah. Tetapi aku mendapat tugas khusus untuk membantu Ki Lurah dan cucu-cucu Ki Lurah di sini,“ jawab perwira muda itu.

Tetapi Ki Lurah tersenyum sambil menjawab, “Mereka belum bangun.“

“He?“ perwira itu memang agak terkejut. Matahari sudah terbit, tetapi mereka belum bangun. Kemudian perwira muda itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan menunggu. Barangkali ketenangan di tempat ini membuat mereka tidur terlalu nyenyak.”

“Mereka semalam pergi ke sungai,“ berkata Ki Lurah.

“Ke sungai?“ bertanya Wirastama, “Untuk apa?“

“Menutup pliridan bersama Glagah Putih,“ jawab Ki Lurah.

Wajah Wirastama berkerut. Hampir di luar sadarnya is bertanya, “Apakah Rara Wulan juga terlambat bangun?“

“Ya,“ jawab Ki Lurah, “keduanya memang pergi ke sungai semalam.”

“Rara Wulan juga turun ke sungai yang curam itu?” desak Wirastama.

“Ya. Tetapi sungai itu tidak begitu curam. Memang agak rumpil. Tetapi seandainya seseorang terjatuh dari atas tanggul ke pasir tepian, tidak akan merasa sakit,“ jawab Ki Lurah.

“Tetapi bagi seorang gadis, perjalanan di malam hari turun ke sungai itu tentu berbahaya,“ sahut perwira muda itu, “apakah mereka pergi bersama Ki Lurah?“ “Tidak. Hanya bersama Glagah Putih,“ jawab Ki Lurah.

Perwira muda itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata perlahan. “Sebaiknya hal itu tidak dilakukan. Mungkin mereka tergelincir. Mungkin seokor ular mematuk kaki mereka, atau mungkin mereka bertemu seorang penjahat di jalan.“

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Tidak ada yang perlu dicemaskan. Meskipun di sungai itu kadang-kadang ada ular, tetapi Glagah Putih sudah sangat berpengalaman turun ke sungai itu. Setiap malam ia membuka pliridannya. Bahkan jika ia tidak malas, semalam dilakukannya dua kali.”

“Orang-orang kekurangan harus bekerja keras. Ikan yang didapatkannya akan dapat memperingan beban mereka, karena mereka tidak perlu pergi ke pasar membelanjakan uangnya yang memang hanya sedikit. Tetapi pergi ke sungai tetap berbahaya bagi orang lain,“ berkata Wirastama.

Ki Lurah menggeleng. Katanya, “Aku tinggal cukup lama di sini saat aku membentuk Pasukan Khusus itu. Aku tahu bahwa di sini jarang sekali terdapat tempat-tempat berbahaya. Meskipun alam nampaknya keras, tetapi rasa-rasanya cukup akrab dengan para penghuninya.“

“Tetapi cucu Ki Lurah bukan penghuni Tanah Perdikan ini,“ sahut Wirastama.

“Aku ingin mereka belajar menyesuaikan diri dengan kehidupan yang keras ini. agar mereka mendapatkan pengalaman yang berharga bagi hidup mereka. Agar mereka tidak menyangka bahwa hidup di Mataram ini sebagaimana dilihatnya di Kotaraja. Itupun hanya beberapa bagian tertentu. Rumah-rumah yang besar. Halaman yang luas. Pelayan yang siap melakukan perintahnya, apapun yang harus dilakukan. Tercukupi semua kebutuhannya, dan selebihnya tidur mendengkur,“ berkata Ki Lurah. “Di sini mereka melihat kehidupan yang lain. Kerja keras. Keakraban dengan alam dan dengan sesama, justru untuk saling membantu. Nafas kehidupan yang menyatu dengan Kuasa Sumber Hidup mereka.”

Perwira dari Pasukan Khusus itu termangu-mangu sejenak. Agahnya Ki Lurah sendiri-lah yang mendorong cucu-cucunya untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya. Dan bukan saja berbahaya, tetapi kenapa harus bersama anak Tanah Perdikan itu, sementara ia sudah menyatakan kesanggupannya untuk mengantarkan mereka melihat-lihat Tanah Perdikan ini. Tetapi Wirastama itu merasa masih belum terlambat. Ia masih mempunyai banyak kesempatan.

Dalam pada itu, maka Ki Lurah pun berkata, “Tunggulah sebentar. Biarlah aku membangunkan mereka.“

“Biar saja Ki Lurah. Agaknya mereka memang letih. Aku akan menunggu,“ jawab perwira muda itu.

Tetapi Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Biarlah, agar mereka tidak terbiasa bangun terlalu siang. Semua orang sudah ada pada tugas masing-masing, sementara mereka masih tidur nyenyak.“

Perwira itu tidak mencegahnya lagi. Sebenarnya ia memang ingin cucu-cucu Ki Lurah itu segera bangun, mandi dan berjalan-jalan bersama.

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah pun telah membangunkan kedua cucunya. Meskipun beberapa kali mereka menggeliat dan memejamkan matanya lagi. Namun Ki Lurah tidak henti-hentinya membangunkan mereka.

“Aku masih mengantuk Kek,“ gumam Teja Prabawa.

“Bangun. Wirastama telah sampai di sini, kalian masih saja tidur mengdengkur. Bangun, cepat benahi dirimu,“ berkata Ki Lurah.

Teja Prabawa memang segera bangkit. Sambil mengusap matanya ia bertanya, “Jadi perwira muda itu telah berada di sini sepagi ini?“

“Lihatlah dia serambi, sudah menunggu beberapa lama,“ jawab Ki Lurah.

Teja Prabawa pun segera bersiap-siap untuk mandi. Sementara itu Rara Wulan masih saja berbaring di pembaringan.

“Cepat, bangun!“ bentak kakaknya. Lalu, “Kau saja dahulu yang mandi. Kau memerlukan waktu lebih lama dari aku untuk berpakaian dan berbenah diri.“

“Tidak,“ jawab Rara Wulan, “jika kita mulai bersama-sama, maka aku tentu lebih cepat. Kau berhias melampaui perempuan. Untuk mengatur rambutmu, kau memerlukan waktu dua kali lipat dari aku.”

“Aku memakai ikat kepala. Waktu yang lebih lama kupergunakan untuk mengenakan ikat kepala itu,” jawab Teja Prabawa.

“Nah, karena itu, kau sajalah yang mandi lebih dahulu,“ jawab Rara Wulan sambil menggeliat.

“Jangan terlalu malas Wulan,“ desis Ki Lurah Branjangan, “seharusnya kau bangun sebelum matahari terbit, membantu di dapur dan menyediakan minuman bagi Kakek.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi perlahan-lahan ia bangkit dan duduk di bibir pembaringannya.

“Cepatlah,“ desak kakaknya.

“Kau saja dahulu,“ sahut Wulan.

Ki Lurah-lah yang kemudian menengahi, “Kau sajalah yang pergi ke pakiwan Teja. Kau dapat segera menemui Wiratama yang sudah terlalu lama menunggu.“

Teja Prabawa tidak membantah lagi. Iapun kemudian pergi ke pakiwan untuk mandi.

Perwira muda dari Pasukan Khusus itu memang menjadi gelisah. Ia sudah cukup lama menunggu. Namun yang kemudian keluar menemuinya adalah Ki Lurah lagi.

“Mereka baru mandi.“ berkata Ki Lurah.

Perwira muda itu menyembunyikan kegelisahannya. Katanya, “Biar saja Ki Lurah. Aku tidak tergesa-gesa.“

Beberapa saat kemudian Teja Prabawa telah selesai berbenah diri. Iapun telah keluar ke serambi gandok menemui Wirastama yang sudah menunggunya.

“Nah,“ berkata Ki Lurah, “cucuku sudah selesai. Silahkan duduk bersamanya, aku akan menemui Ki Gede yang barangkali sudah ada di ruang dalam itu.“

“Silahkan, silahkan Ki Lurah,“ jawab Wirastama.

Ki Lurah pun kemudian meninggalkan kedua anak muda yang duduk diserambi itu. Tetapi ia singgah ke bilik Rara Wulan, yang nampaknya masih saja seenaknya berbenah diri, meskipun ia sudah mandi.

“Cepat sedikit,“ berkata Ki Lurah, “jika kau ingin berjalan-jalan bersama kakakmu dan barangkali bersama Wirastama, jangan berangkat terlalu siang.“

“Aku masih lelah, Kek,“ berkata Wulan.

“Katakan kepada kakakmu. Tetapi sebaiknya kau selesaikan berbenah diri dan ikut menemui Wirastama di serambi,“ berkata Ki Lurah pula. Lalu katanya, “Aku akan ke ruang dalam.“

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian telah menyisir rambutnya.

Ketika Ki Lurah masuk ke ruang dalam, Ki Gede memang sudah duduk sambil menghadapi minuman hangat. Ketika ia melihat Ki Lurah, maka iapun kemudian mempersilahkannya duduk. Katanya, “Aku kira Ki Lurah masih sibuk dengan cucu-cucu Ki Lurah.“

“Itulah,“ sahut Ki Lurah, “sebenarnya mereka sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri. Tetapi mereka terlalu terbiasa dilayani, sehingga kadang-kadang mereka tidak tahu, apa yang sebaiknya dilakukan.“

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Mereka memang memerlukan pengalaman. Tetapi Ki Lurah tidak akan dapat mengharapkan perubahan yang tiba-tiba terjadi atas mereka.“

Ki Lurah pun tersenyum pula. Katanya, “Memang mereka tidak akan berubah dengan serta merta Ki Gede. Tetapi pengalaman yang mereka peroleh di sini akan memberikan pengetahuan kepada mereka, sehingga untuk selanjutnya mereka akan memperhitungkannya di saat-saat mereka harus mengambil sikap, khususnya yang menyangkut lingkungannya.“

Ki Gede pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku kira pengaruh itu tentu akan ada pada saat-saat mendatang, Meskipun demikian masih dipertanyakan, sebesar manakah pengaruh itu mewarnai sikapnya.“

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Mudah-mudahan usahaku tidak sia-sia.“

Dalam pada itu, maka seorang pembantu di rumah Ki Gedepun telah menghidangkan minuman dan makanan pula. Sementara Ki Gede berkata kepada pembantu itu, “Jangan lupa. Di gandok ada dua orang cucu Ki Lurah. Dan bahkan seorang tamu, seorang perwira dari Pasukan Khusus.”

Di gandok, Teja Prabawa telah dengan penuh minat mendengarkan pembicaraan perwira muda itu. Meskipun perwira muda itu baru beberapa lama berada di Tanah Perdikan, tetapi rasa-rasanya ia sudah mengenal semua sudut Tanah Perdikan itu.

“Aku mengenal Tanah Perdikan ini melampaui orang-orang Tanah Perdikan ini sendirin“ berkata Wirastama.

Teja Prabawa mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa Wirastama mengenal Tanah Perdikan itu dengan baik. Karena itu maka katanya, “Apa yang pantas untuk dilihat di Tanah Perdikan ini? Glagah Putih pernah menyebutkan sebuah telaga kecil yang biasa dipergunakan sebagai tempat mandi. Atau daerah hutan lebat di lereng pebukitan di sebelah barat. Atau barangkali ada tempat lain yang menarik?“

Wirastama tersenyum. Katanya, “Yang ada itu bukan sebuah telaga meskipun kecil. Hanya sebuah blumbang yang oleh orang-orang di sekitarnya dipergunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Tetapi jika kalian ingin melihat dan barangkali mandi di blumbang itu, aku akan mengantar kalian ke sana.“

“Apakah blumbang itu dalam?“ bertanya Teja Prabawa.

“Ada bagian yang dalam, tetapi ada bagian yang tidak terlalu dalam. Apakah kau pandai berenang?“ bertanya Wirastama.

“Sedikit,“ jawab Teja Prabawa.

“Adikmu?“ bertanya Wirastama hampir di luar sadarnya.

“Juga sedikit-sedikit,“ jawab Teja Prabawa pula.

“Nah, jika demikian, marilah. Kita pergi ke blumbang,“ ajak Wirastama.

“Baiklah. Aku akan berbicara dengan Wulan,“ sahut Teja Prabawa.

Teja Prabawa pun kemudian menemui Rara Wulan yang masih berada di dalam biliknya, meskipun ia sudah selesai berbenah diri. Dengan agak mendesak ia berkata, “Cepatlah sedikit. Kita akan pergi ke blumbang. Kita dapat mandi di blumbang itu.“

“Kita baru saja mandi,“ jawab Rara Wulan.

“Tetapi tentu lain dengan mandi di blumbang. Yang penting bukan mandi membersihkan diri. Tetapi kita dapat berenang-renang sambil berendam,“ gumam Teja Prabawa.

“Apakah kau dapat berenang tanpa berendam di air?“ bertanya Rara Wulan.

“Ah, sudahlah. Cepatlah sedikit. Wirastama sudah menunggu terlalu lama,“ ajak Teja Prabawa.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bangkit dan melangkah keluar. Sebenarnyalah ia memang ingin melihat blumbang itu. Ketika mereka sampai di serambi, maka ternyata hidangan telah disuguhkan oleh pembantu di rumah Ki Gede itu. Karena itu, maka sebelum mereka berangkat, mereka sempat meneguk minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, kecuali Rara Wulan yang agaknya segan makan makanan di hadapan perwira muda itu.

“Marilah,“ ajak Wirastama, “selagi matahari belum tinggi.“

“Aku minta diri pada Kakek dan Ki Gede,“ berkata Teja Prabawa.

“Aku juga,“ desis Rara Wulan.

“Kau di sini saja,“ minta kakaknya, “aku saja yang minta diri.“

Tetapi Rara Wulan tidak mau. Iapun justru telah mendahului kakaknya menuju ke ruang dalam.

Kakeknya berpaling. Lalu katanya, “Kemarilah. Ki Gede duduk di sini. Duduklah, dan kau akan berbicara apa?“

Rara Wulan pun mendekat. Sambil menunduk iapun duduk di sisi kakeknya, sementara Teja Prabawa pun telah menyusulnya pula dan duduk pula di sebelahnya.

“Kek,“ berkata Raden Teja Prabawa kemudian, “kami akan berjalan-jalan.“

“Dengan siapa?“ bertanya Ki Lurah.

“Dengan Wirastama,“ jawab Teja Prabawa.

“Glagah Putih sebentar lagi tentu datang kemari. Apakah kau tidak menunggunya? Barangkali kalian dapat pergi bersama-sama?“ bertanya kakeknya.

“Buat apa menunggu anak sombong itu?“ desis Teja Prabawa.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Gede berkata, “Glagah Putih tentu lebih mengenali Tanah Perdikan ini daripada Wirastama.“

“Tidak,“ jawab Teja Prabawa, “Wirastama jauh lebih banyak mengenal Tanah Perdikan ini dari anak dungu itu.“

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Glagah Putih mengenal isi Tanah Perdikan ini seperti mengenali isi rumahnya yang kecil itu. Glagah Putih mengenal semua orang yang tinggal di Tanah Perdikan ini, seperti mengenal orang-orang seisi rumahnya pula.“

Tetapi Teja Prabawa seakan-akan tidak percaya kepada keterahgan Ki Gede itu. Karena itu, maka ia masih menjawab, “Tetapi apa yang diceritakan oleh Wirastama itu lebih beraneka tentang isi Tanah Perdikan ini, daripada yang dikatakan oleh anak itu.“

Ki Gede masih saja tersenyum. Jawabnya, “Kadang-kadang seseorang nampak lebih kaya dari seorang yang sebenarnya jauh lebih kaya, hanya karena pakaiannya.“

Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Lurah pun berkata, “Ki Gede adalah orang yang paling mengetahui di Tanah Perdikan ini, karena itu maka apa yang dikatakannya tentu bukan sekedar dibuat-buat.“

Cucu Ki Lurah itu memang tidak menjawab. Tetapi ia tetap tidak percaya. Adalah wajar jika Ki Gede menganggap orangnya lebih baik dari seorang perwira Pasukan Khusus sekalipun. Sedangkan menurut Teja Prabawa, Glagah Putih belum sehitamnya kuku perwira muda yang bernama Wirastama itu.

Dalam pada itu, Ki Gede pun kemudian berkata, “Baiklah. Tetapi berhati-hatilah.”

“Jangan terlalu lama,“ pesan Ki Lurah.

“Baik Ki Gede. Kami mohon diri Kek,“ desis Teja Prabawa.

“Aku juga minta diri Kek,“ desis Rara Wulan.

“Kau juga ikut?“ bertanya kakeknya.

“Aku ingin melihat blumbang itu,“ jawab Rara Wulan, “katanya kita dapat mandi di blumbang itu.“

“Tetapi kau harus memilih. Blumbang itu dibagi menjadi dua bagian. Yang sebagian memang dapat dipergunakan untuk mandi. Tetapi di bagian yang lain, blumbang itu sangat dalam. Nampaknya memang menyenangkan untuk berenang. Namun kadang-kadang terdapat pusaran air yang berbahaya, yang dapat menyeret seseorang ke dalam lubang batu padas yang tidak diketahui arahnya. Sedangkan tidak seorangpun dapat memperkirakan, kapan pusaran itu datang. Karena begitu tiba-tiba dan tidak disangka-sangka,“ pesan Ki Gede.

“Nah, kau dengar?“ Ki Lurah menyambung, “Kau tentu menyadari apa yang akan terjadi, jika seseorang terhisap oleh pusaran air masuk ke lubang batu padas.“

“Hal itu memang pernah terjadi Ki Lurah,“ berkata Ki Gede. Lalu, “Agaknya di bawah belumbang itu terdapat sebuah ruang yang besar, Setiap kali ruang itu berkurang isinya karena melalui arus di bawah tanah mengalir. Setiap saat tertentu, maka kekurangan itu harus diisi jika keseimbangan udara di dalamnya telah tercapai. Dengan demikian maka di atasnya akan timbul pusaran air di saat air itu masuk mengisi ruang di bawah tanah itu.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Sambil menepuk bahu cucu perempuannya ia berkata, “Berhati-hatilah. Kau dengar pesan Ki Gede. Karena itu, jika kau mandi juga, jangan terpisah dari orang-orang lain, terutama orang-orang di sekitar tempat itu, yang sudah mengenali tabiat blumbang itu dengan baik.“

“Ya Kakek,“ jawab Rara Wulan.

Namun dalam pada itu Teja Prabawa berkata, “Wirastama tentu mengetahui hal itu.”

Ki Lurah dan Ki Gede hanya dapat saling berpandangan. Agaknya Teja Prabawa memang terlalu mengagumi perwira muda dari Pasukan Khusus itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka bertiga pun telah berangkat. Matahari memang sudah mulai memanjat langit. Tetapi belum terlalu tinggi.

“Apakah kau pernah melihat pasar di Tanah Perdikan ini?“ bertanya Wirastama.

“Belum,“ jawab Teja Prabawa.

“Marilah. Kita melihat pasar. Tentu menarik. Berbeda dengan pasar di Kotaraja. Ketika aku ditugaskan di tempat ini setelah untuk waktu yang agak lama di Kotaraja, maka aku pun tertarik melihat pasar di sini. Memang tidak seramai di Kotaraja. Tetapi kita akan melihat orang-orang yang menurut kalian tentu aneh. Pertama kali aku melihat, aku juga merasa aneh. Begitu sederhana dan pada umumnya nampak dungu,“ berkata Wirastama.

Teja Prabawa mengangguk. Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Kita singgah di pasar sebentar.“

Rara Wulan hanya mengangguk saja. Ia memang ingin melihat apa saja di Tanah Perdikan itu.

Karena itulah, maka mereka bertiga pun telah singgah di pasar yang terletak di padukuhan induk Tanah Perdikan. Teja Prabawa dan Rara Wulan memang pernah lewat pasar itu pula. Tetapi mereka belum pernah masuk sampai ke dalamnya dan melihat apa saja yang diperjual-belikan di pasar itu.

“Seperti kuburan,“ berkata Teja Prabawa.

“Kenapa?“ bertanya Wirastama.

“Gubug-gubugnya terlalu rendah. Yang terbuat dari kayu justru mirip cungkup di kuburan. Apalagi di saat pasar ini kosong lewat tengah hari. Lebih-lebih lagi menjelang senja.”

“Tetapi orang-orang di sekitar tempat ini tahu, bahwa di sini terdapat sebuah pasar, bukan kuburan,“ sahut Rara Wulan.

“Ya,“ Wirastama mengangguk-angguk. Lalu, “Di sini juga tidak terdapat pohon semboja.“

Teja Prabawa hanya mengangguk-angguk saja, sementara Rara Wulan tiba-tiba saja bertanya, “Apakah yang dijual itu?”

Karena Teja Prabawa juga tidak tahu, maka iapun berpaling kepada Wirastama yang menjawabnya, “Ampo. Makanan yang dibuat dari tanah liat.“

“Tanah liat? Bagaimana mungkin?“ bertanya Rara Wulan pula.

“Ya. Tanah liat,“ jawab Wirastama. “benar-benar tanah liat yang digoreng tipis-tipis. Mula-mula tanah liat itu dibuat bulatan seperti roda pedati yang besar, tebal dan tanpa lubang di tengah, selain porosnya.“

Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ia agak kurang dapat memahami keterangan Wirastama. Namun di sebelahnya ternyata terdapat apa yang dikatakan Wirastama itu. Seperti roda yang terbuat dari tanah liat. Dikesrik dengan welat bambu, sehingga berjatuhan lapisan-lapisan tipis yang bergulung. Kemudian tanah liat itu dipanasi di atas kuali yang juga terbuat dari tanah liat tanpa minyak.

Rara Wulan menggeleng-gelengkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Bagaimana jika kualinya itu saja yang dimakan?“

Wirastama tertawa. Katanya, “Sudahlah. Marilah kita lanjutkan perjalanan. Bukankah kita akan pergi ke blumbang?“

Kedua cucu Ki Lurah itu tidak menjawab. Namun mereka bertiga telah melangkah meninggalkan pasar itu tanpa menyadari, bahwa beberapa orang tengah memandangi mereka dengan mulut ternganga. Namun beberapa orang telah mengetahui bahwa kedua orang yang dikawani oleh seorang prajurit dari Pasukan Khusus itu adalah tamu Ki Gede dari Kotaraja.

“Menilik pakaian dan tanda-tanda yang ada pada pakaiannya, prajurit itu tentu seorang perwira,“ berkata seorang anak muda yang kebetulan ada di pasar itu.

Namun di antara mereka yang memperhatikan ketiga orang itu adalah seorang perempuan yang menjinjing sebuah keranjang yang berisi beberapa jenis sayur-sayuran. Perempuan yang selesai berbelanja untuk kepentingan sehari-hari. Perempuan itu adalah Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah tidak memperhatikan mereka lebih lama. Iapun kemudian meninggalkan pasar itu pula, karena ia sudah cukup berbelanja buat hari itu, sementara di rumah telah ada ikan hampir sekepis penuh. Namun di rumah, Sekar Mirah sempat bercerita bahwa ia telah bertemu dengan kedua cucu Ki Lurah.

“Aku belum pernah melihat dengan jelas keduanya. Tetapi aku yakin, bahwa keduanya itulah yang dikawani oleh seorang perwira dari Pasukan Khusus,“ berkata Sekar Mirah.

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil menyahut, “Mbokayu benar. Perwira itu bernama Wirastama. Dari Pasukan Khusus.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Lalu iapun bertanya, “Jadi kau tidak lagi menemaninya?“

“Cucu Ki Lurah itu tidak senang kepadaku. Aku takut bahwa pada suatu saat aku kehilangan kendali sehingga aku menyakiti hatinya,“ berkata Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau bukan kanak-kanak lagi Glagah Putih. Pengalamanmu cukup luas. Kau telah menjelajahi banyak daerah. Kau telah mengalami banyak sekali peristiwa. Kau harus yakin akan dirimu sendiri, sehingga kau tidak akan mudah merasa rendah diri.“

“Aku tidak merasa rendah diri Kakang. Tetapi sudah tentu aku justru harus mempertahankan harga diri,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu menepuk bahu sepupunya itu sambil berkata, “Kau harus yakin akan kelebihanmu. Karena itu, maka jangan hiraukan tingkah lakunya.“ Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Agung Sedayu berkata pula, “Lihatlah, kemana mereka pergi.“

“Wirastama sudah mengantar mereka,“ berkata Glagah Putih.

“Anak muda itu belum mengenal semua rahasia yang ada di Tanah Perdikan ini. Berbeda dengan kau atau aku,“ berkata Agung Sedayu pula.

“Tetapi aku tidak tahu kemana mereka pergi,“ jawab Glagah Putih.

“Bertanyalah kepada Ki Lurah,“ minta Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak dapat menolak. Iapun kemudian berbenah diri, dan dengan langkah segan pergi ke rumah Ki Gede setelah makan pagi.

“Marilah,“ Ki Lurah yang telah berada di serambi mempersilahkan.

Glagah Putih pun kemudian duduk bersama Ki Lurah di serambi.

“Ki Gede sedang bersiap-siap untuk pergi ke padukuhan yang sedang mempersiapkan pembongkaran banjarnya yang lama dan akan menggantikannya dengan yang baru,“ berkata Ki Lurah.

“O,“ Glagah Putih mengangguk-angguk, “Kakang Agung Sedayu juga akan pergi ke sana. Sebenarnya aku juga akan pergi ke banjar itu. Tetapi Kakang menyuruhku datang kemari.“

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Aku tahu, kau tentu merasa segan menyertai Teja Prabawa melihat-lihat Tanah Perdikan ini.“

“Bukan maksudku Ki Lurah. Tetapi keduanya nampaknya memang tidak menyenangi aku. Mereka lebih senang diantar oleh Wirastama,“ jawab Glagah Putih berterus terang.

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Teja Prabawa memang mengagumi Wirastama. Agaknya Wirastama memang pandai menunjukkan sesuatu yang menarik. Kelebihannya dan pengakuannya bahwa ia telah mengenal Tanah Perdikan ini melampaui orang-orang Tanah Perdikan ini sendiri.“

“Mungkin ia memang mengenal Tanah Perdikan ini dengan baik Ki Lurah,“ jawab Glagah Putih.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi aku yakin bahwa kau tentu lebih mengenal Tanah Perdikan, ini sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede. Sementara itu, aku memang agak cemas, karena mereka bertiga telah pergi ke blumbang yang menurut Ki Gede mempunyai rahasia yang menggetarkan. Bagian yang dalam kadang-kadang telah digoncang oleh pusaran air yang besar, yang mengisap masuk ke dalam lubang yang besar di batu padas di dasar belumbang itu.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi orang-orang di sekitar blumbang itu sudah mengetahui. Ada beberapa tanda yang dibuat, agar mereka yang mandi dan berenang di tempat itu tidak memasuki daerah yang berbahaya. Pusaran air itu datang sewaktu-waktu. Kadang-kadang dua hari dua malam tidak timbul pusaran air itu. Namun kadang-kadang sehari semalam dapat terjadi dua kali.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku jadi tertarik pula untuk melihatnya. Mari kita pergi.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia merasa tidak mapan di hatinya. Karena itu maka katanya, “Aku akan pergi Ki Lurah. Bukan maksudku untuk berkeberatan menyusul mereka.“

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa. Aku memang ingin melihat blumbang itu. Aku sudah pernah tinggal di Tanah Perdikan ini untuk waktu yang lama. Aku pun tahu bahwa di tempat itu ada blumbang. Tetapi aku belum pernah mendengar tentang pusaran air itu sebelumnya.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agaknya perhatian Ki Lurah pada waktu itu sepenuhnya tertuju pada pembentukan Pasukan Khusus itu, sehingga Ki Lurah tidak sempat memperhatikan hal-hal kecil yang terjadi di Tanah Perdikan ini.“

Ki Lurah justru tertawa. Katanya, “Aku akan minta diri kepada Ki Gede, yang agaknya sudah siap untuk pergi ke banjar itu.“

Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih dan Ki Lurah telah menyusul kedua cucu Ki Lurah itu ke blumbang, yang oleh orang-orang di sekitarnya memang sering disebut telaga kecil, atau yang lain menyebutnya sendang. Tetapi mereka berdua telah menempuh jalan pintas. Mereka tidak melalui jalan yang banyak dilalui orang. Mereka telah melewati jalan-jalan sempit yang memang agak lebih sulit.

Sementara itu, kedua cucu Ki Lurah bersama Wirastama memang telah pergi ke sendang yang terbelah dua itu. Ketika mereka mendekati blumbang itu, maka Rara Wulan justru telah mendahului kakaknya dan Wirastama. Meskipun ia merasa lelah, tetapi ia memang segera ingin tahu blumbang yang memang cukup luas, yang sebagian dipergunakan untuk mandi dan mencuci pakaian. Sendang itu letaknya di sebelah dataran yang sedikit lebih tinggi dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya, sehingga seakan-akan sendang itu terletak di puncak sebuah dataran tinggi.

Di sekitar sendang itu terdapat pohon-pohon raksasa. Namun karena tempat itu setiap hari didatangi banyak orang, maka tempat itu menjadi bersih. Batu-batu besar pun menjadi mengkilap karena hampir setiap hari batu-batu itu disentuh tangan. Beberapa orang yang tidak tergesa-gesa mandi telah duduk-duduk di atas batu-batu itu.

Ternyata tempat itu memang menarik bagi Rara Wulan. ia melihat beberapa orang gadis sebayanya berada di pinggir blumbang itu. Bahkan sebagian di antara mereka sedang berendam. Di sisi yang lain nampak beberapa orang perempuan sedang mencuci pakaian. Sementara di sebelah yang lain lagi agaknya diperuntukkan bagi laki-laki.

Rara Wulan nampaknya menjadi kecewa. Ketika kakaknya dan Wirastama mendekatinya maka iapun bertanya, “Jadi laki-laki juga diperkenankan mandi di belumbang ini?“

“Blumbang ini kepunyaan orang-orang di sekitar tempat ini,“ berkata Wirastama, “jadi semua orang berhak mempergunakannya.“

Rara Wulan tidak bertanya lagi. Sementara itu Teja Prabawalah yang bertanya, “Di bagian mana blumbang ini tidak boleh dipergunakan untuk mandi, yang menurut Ki Gede sering terjadi pusaran air?”

Wirastama tertawa. Katanya, “Memang orang-orang di sekitar tempat ini tidak berani memasuki bagian yang dibatasi oleh tiang-tiang bambu itu. Mereka berpendapat bahwa di bagian yang dibatasi tiang-tiang itu sampai ke tepi seberang, adalah daerah yang berbahaya.”

Teja Prabawa mengangguk-angguk. Namun Wirastama berkata, “Agaknya kepercayaan itu timbul setelah pernah terjadi seorang yang hilang di bagian yang dianggap berbahaya itu. Namun agaknya orang itu tidak terlalu pandai berenang, sementara bagian itu adalah bagian yang sangat dalam, sehingga diperlukan ketrampilan tersendiri.”

“Tetapi menurut Ki Gede, di bagian itu kadang-kadang telah timbul pusaran yang seakan-akan menghisap air ke dalam tanah lewat lubang-lubang di batu padas di dasar belumbang itu,” berkata Teja Prabawa.

Tetapi Wirastama tersenyum sambil menjawab, “Nampaknya Ki Gede malas untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Ia percaya saja kepada cerita banyak orang. Dan barangkali orang-orang setua Ki Gede berpikir, apa salahnya mengambil langkah-langkah pengamanan.”

Teja Prabawa mengangguk-angguk. Kepada adiknya ia bertanya, “Apakah kau ingin mandi?”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Katanya, “Terlalu banyak orang.”

“Sudah menjadi kebiasaan di sini,” berkata Wirastama.

“Airnya jernih,” desis Rara Wulan. Namun ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya rimbunnya dedaunan dari pohon-pohon raksasa.

Tiba-tiba saja ia berdesis, “Aku tidak mandi saja. Jika Kakang ingin mandi, mandilah.”

Raden Teja Prabawa pun rasa-rasanya ngeri juga melihat lingkungan di sekitarnya, meskipun ia melihat beberapa orang telah berendam di dalam air.

Wirastama yang melihat kedua cucu Ki Lurah itu ragu-ragu berkata, “Marilah. Aku juga akan mandi.”

Tetapi Rara Wulan menjawab, “Terlalu banyak orang. Lebih baik aku tidak mandi.”

“Wirastama termangu-mangu. Iapun kemudian memandangi beberapa orang laki-laki yang sedang mandi setelah kembali dari sawah.

“Apakah aku harus mengusir mereka?” bertanya Wirastama.

“Tidak. Jangan!” cepat-cepat Rara Wulan menjawab, “Bukankah hak mereka untuk mandi di sendang itu?”

Wirastama mengangguk-angguk. Sementara itu iapun bertanya kepada Teja Prabawa, “Bagaimana dengan kau?”

Teja Prabawa termangu-mangu. Sementara itu Rara Wulan justru menjadi segan mendekati gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang sedang mandi dan mencuci. Nampaknya mereka justru sedang memperhatikannya dengan terheran-heran.

“Apakah aku menjadi tontonan di sini?” desis Rara Wulan.

“Bukan tontonan,” sahut Wirastama, “mereka adalah orang-orang padukuhan yang jarang melihat orang luar. Bagi mereka orang-orang Kotaraja adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka tidak terbiasa memakai pakaian sebagaimana kalian pakai sekarang. Dan kebetulan pula aku juga memakai pakaian seorang perwira dari Pasukan Khusus. Agaknya mereka tertarik untuk memperhatikan kita.”

Rara Wulan tidak menjawab. Iapun tahu bahwa orang-orang itu memperhatikan mereka karena orang-orang itu jarang sekali melihat orang-orang dari Kotaraja yang datang ke tempat yang sepi itu.

Namun dalam pada itu Wirastama pun berkata, “Marilah. Kita mandi. Airnya bening sekali. Mata air dari blumbang ini terdapat di bawah akar pohon-pohon raksasa itu. Sementara di bagian lain airnya mengalir keluar melimpah ke sebuah parit yang memang sudah disiapkan, yang dapat mengairi sawah yang cukup luas. Bahkan di segala musim, karena di musim kemarau pun air blumpung ini sama sekali tidak berkurang.”

Teja Prabawa memang ragu-ragu. Tetapi nampaknya memang senang sekali mandi di blumbang yang airnya bening sekali. Tidak terlalu dalam, sementara iapun dapat berenang.

Akhirnya Raden Teja Prabawa itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan mandi.”

“Bagus,” berkata Wirastama. Tetapi ia masih berpaling kepada Rara Wulan sambil berkata, “Marilah. Kau tentu juga ingin mandi.”

Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya, “Aku disini saja.”

Wirastama tidak memaksa meskipun ia agak kecewa. Sebenarnya ia ingin juga Rara Wulan itu mandi bersama mereka di blumbang itu.

Demikianlah, sejenak kemudian Wirastama dan Teja Prabawa telah mencebur ke dalam sendang yang airnya terasa sangat sejuk. Matahari yang memanjat semakin tinggi di langit memanasi air blumbang itu sehingga nampak berkilat-kilat. Jika terasa kulit menjadi gatal oleh sinar matahari, maka mereka dapat berenang menepi, sehingga terlindung oleh dedaunan dari pohon-pohon raksasa yang tumbuh di pinggir sendang itu.

Ternyata kedua anak muda itu memang pandai berenang. Keduanya meluncur kesana-kemari. Anak-anak muda padukuhan yang lebih dahulu mandi di sendang itu, tanpa mereka sadari telah menepi. Seakan-akan mereka memberikan tempat di sendang itu hanya untuk berdua saja. Seorang dari Kotaraja, seorang lagi perwira Pasukan Khusus.

Rara Wulan yang duduk di pinggir sambil menunggui pakaian kedua anak muda itu melihat keduanya dengan tersenyum-senyum. Sebenarnya ada keinginannya untuk ikut mandi. Tetapi selain pohon-pohon raksasa yang akar-akarnya seakan-akan telah mencengkam belumbang itu, iapun agak malu karena di blumbang itu terdapat beberapa orang laki-laki. Namun iapun merasa segan pula untuk mandi bersama Wirastama.

Gadis-gadis dan perempuan-perempuan yang sedang mandi dan mencuci itu pun telah berusaha mempercepat pekerjaan mereka. Rasa-rasanya mereka tidak pantas untuk mandi bersama-sama dengan orang-orang yang terhormat itu. Namun demikian ternyata mereka tidak segera keluar dari air. Mereka memang menepi. Tetapi ternyata mereka tanpa sadar menonton kedua anak muda yang berenang dengan ketrampilan yang tinggi itu.

“Kau ternyata sangat pandai berenang,” puji Wirastama.

“Ah, tidak terlalu baik,” jawab Teja Prabawa. “Kau pun pandai pula. Bahkan kau mampu berenang sangat cepat dan dengan berbagai macam gaya.”

Wirastama tertawa. Ia berenang semakin ke tengah, sehingga semakin dekat dengan tiang-tiang bambu yang dipakai sebagai batas antara bagian yang tidak terlalu dalam dan bagian yang lebih dalam. Bahkan lebih dari itu, di belakang patok-patok bambu itu, adalah bagian yang dipengaruhi oleh pusaran yang kadang-kadang timbul di sendang itu. Bahkan pusaran itu kadang-kadang nampak begitu besar dan kuat, sehingga mampu menyeret seseorang ke dalam lubang yang terdapat di dasar sendang itu.

Ketika tiba-tiba saja Wirastama menyentuh salah satu di antara tiang-tiang itu, beberapa orang yang berada di tepi sendang itu berdesah.

Teja Prabawa pun menjadi gelisah melihat sikap Wirastama yang sambil tertawa-tawa mengitari salah satu dari tiang bambu itu.

Ketika ia kemudian berenang memasuki bagian yang dalam itu semakin jauh, beberapa orang telah berteriak.

“Jangan!” Teja Prabawa pun berteriak pula.

Wirastama memang berpaling. Tetapi ia tidak kembali. Bahkan iapun telah melambaikan tangannya sambil berenang.

“Kembalilah Tuan!” beberapa orang berteriak mencegahnya. Sementara Teja Prabawa yang berenang sampai ke batas pun berteriak pula, “Kembalilah!”

Tetapi Wirastama justru berteriak pula, “Marilah. Di sini terasa blumbang ini menjadi lapang. Tidak ada apa-apa.”

Teja Prabawa menjadi sangat gelisah. Sambil berpegangan tiang batas itu ia masih saja mencegah, “Cepat, kembalilah!”

Wirastama yang berenang di bagian dalam itu, berputar sekali. Kemudian menyelam, dan ketika ia muncul lagi di permukaan iapun berteriak, “Kemarilah!”

Tetapi Teja Prabawa tidak berani mendekat. Sementara orang-orang yang berada di tepi sendang itu masih saja ada yang berteriak, “Jangan Tuan! Jangan kesana!”

Wirastama berenang terus. Bahkan ia telah meluncur sampai ke tepi seberang yang agak jauh. Sambil berpegangan akar pepohonan ia melambaikan tangannya lagi. Dan sejenak kemudian ia telah meluncur kembali ke arah Teja Prabawa.

Wirastama tidak menyadari bahwa dua pasang mata memperhatikannya selain orang-orang yang memang sudah diketahuinya ada di pinggir belumbang itu. Bahkan sekali-sekali Wirastama berusaha untuk melambaikan tangannya kepada Rara Wulan yang menjadi pucat.

Dua orang itu justru berdiri di balik pohon-pohon raksasa di sisi yang lain dari tempat Rara Wulan menunggu dengan gemetar karena tingkah laku Wirastama.

“Ki Lurah,” desis Glagah Putih yang sudah ada di tempat itu bersama Ki Lurah Branjangan, “Wirastama telah melakukan satu permainan yang sangat berbahaya.”

“Ia ingin mendapat pujian,” berkata Ki Lurah.

“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu,” desis Glagah Putih.

Orang-orang yang menyaksikan Wirastama itu berenang mendekati Teja Prabawa telah menahan nafas. Bahkan mereka pun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika Wirastama hampir mencapai tiang-tiang bambu itu. Karena sesaat lagi, Wirastama akan berada di tempat yang aman.

Tetapi Wirastama tiba-tiba telah berputar lagi sambil berkata, “Marilah. Di sini menyenangkan. Bukankah kau lihat tidak ada apa-apa di bagian yang dalam itu?”

“Jangan!” cegah Teja Prabawa.

Namun Wirastama justru berputar terus. Ia menuju ke tengah-tengah lagi dari bagian yang dalam itu.

“Cukup! cukup!” teriak Teja Prabawa. Sedangkan orang-orang lain pun berteriak, “Jangan! Jangan kembali ke tengah!”

Tetapi Wirastama hanya tertawa-tawa saja sambil berenang.

Orang-orang yang menyaksikan memang menjadi bingung. Di luar sadar, mereka masih saja mencoba mencegahnya. Sementara Teja Prabawa pun masih juga berteriak-teriak. Tetapi Wirastama tidak menghiraukannya.

Rara Wulan menjadi semakin pucat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, air blumbang itu memang nampak tenang. Namun tiba-tiba yang ditakutkan itu pun datanglah. Perlahan-lahan air di bagian yang dalam itu mulai bergerak. Sebuah pusaran nampak memutar air yang semula tenang itu.

Semua orang yang melihatnya berteriak lagi. Wirastama pun terkejut. Ia merasa tubuhnya mulai ditarik oleh sebuah pusaran air. Meskipun pusaran yang terjadi itu tidak tepat di bawahnya, namun rasa-rasanya tarikan air itu demikian kuatnya.

Wirastama memang memiliki ketrampilan berenang. Dengan sekuat tenaga ia melawan hisapan air itu. Beberapa jengkal ia berhasil maju menjauhi pusaran yang menjadi semakin besar itu. Namun kemudian tenaganya ternyata tidak mampu melawan lagi. Meskipun Wirastama masih berusaha, tetapi perlahan-lahan ia mulai terhisap ke arah pusat dari pusaran itu.

“Ki Lurah,” wajah Glagah Putihpun menjadi tegang, “ia memerlukan pertolongan.”

“Jangan turun,” cegah Ki Lurah, “jika kau turun, maka kau pun akan terhisap. Betapapun besar tenagamu dan tenaga cadangan di dalam dirimu, tetapi kau tidak akan mampu melawan pusaran air itu, karena air itu berputar dengan cepat dan menghisap dengan kuat. Air itu dengan derasnya masuk melalui lubang di bawah dasar blumbang ini ke dalam celah yang besar di bawah tanah. Karena itu, kekuatannya tentu sangat besar.”

“Tetapi Wirastama itu akan terhisap,” sahut Glagah Putih dengan gelisah.

Ki Lurah pun menjadi tegang. Sementara itu Glagah Putih berkata, “Tali. Dimana ada tali?”

Ki Lurah memandang sulur-sulur pepohonan yang bergayutan di pinggir belumbang itu. Namun sulur-sulur itu tentu tidak cukup panjang untuk dapat menggapai Wirastama yang semakin lemah dan mulai hanyut ke dalam pusaran.

“Jika ia terputar semakin cepat, maka ia akan memasuki pusat pusaran itu dan kemudian terhisap masuk,” berkata Glagah Putih dengan gelisah.

“Ya. Kita harus berusaha menolongnya. Tetapi jangan justru menambah korban,” jawab Ki Lurah yang masih mencoba memperhatikan sulur-sulur pepohonan.

Glagah Putih mengerti maksud Ki Lurah. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia telah menarik sehelai sulur. Kemudian dengan kekuatan cadangan yang dikerahkannya, maka ia telah menghentakkan sulur itu. Tetapi sulur itu ternyata putus pada tempat yang tidak dikehendaki. Terlalu pendek.

Glagah Putih menjadi semakin gelisah. Ki Lurah pun menjadi bingung. Ia tidak melihat kesempatan yang dapat dipergunakan untuk menolong Wirastama. Sementara itu, ia sangat berkeberatan jika Glagah Putih meloncat terjun ke dalam pusaran air. Jika demikian, maka kedua-duanya tentu akan terhisap ke dalam lubang batu padas di dasar sendang itu.

Ketika semua orang kehilangan harapan atas keselamatan Wirastama, maka Glagah Putih telah mengambil satu keputusan. Ia akan berbuat sesuatu meskipun agak untung-untungan. Tanpa berusaha apapun juga, Wirastama tentu akan terhisap. Sementara jika ia berusaha, masih ada kemungkinan lain betapapun kecilnya.

Pada saat yang mendesak itu Glagah Putih telah memusatkan nalar budinya. Ia adalah murid Ki Jayaraga yang mampu melontarkan kekuatan ilmunya yang bersumber pada kekuatan air, api, udara dan bumi. Karena itu, maka dengan menghentakkan ilmunya, Glagah Putih telah menyerap kekuatan udara dan melalui ilmunya melontarkannya ke arah pusaran yang semakin cepat itu. Sementara Wirastama yang berjuang untuk berenang menjauh benar-benar telah kehilangan kekuatannya.

Dari sela-sela pohon besar, Glagah Putih kemudian menghentak ilmunya, melontarkannya menghantam pusaran yang hampir menghisap Wirastama. Namun Glagah Putih sadar, bahwa kekuatan ilmunya itu tidak boleh mengenai perwira muda itu.

Ternyata sesuatu yang dahsyat telah terjadi. Pusaran air itu telah dihempas oleh kekuatan yang sangat besar. Seakan-akan justru dari pusat pusaran itu telah terlontar gelombang yang sangat besar.

Semua orang yang ada di pinggir belumbang itu terkejut bukan buatan. Mereka tidak melihat Glagah Putih dan Ki Lurah yang berada di antara pohon-pohon besar. Yang mereka ketahui adalah bahwa tiba-tiba saja hempasan yang kuat itu seakan-akan telah melemparkan Wirastama, yang hampir saja terhisap sampai ke pusat pusaran, sampai ke tepi sendang. Demikian Wirastama jatuh lagi ke dalam air, di bagian tepi sendang, maka beberapa orang laki-laki telah berlari-lari dan terjun ke arahnya. Dengan serta merta mereka telah menarik Wirastama yang lemah itu. Pantulan gelombang yang membentur pinggir blumbang itu akan menyeretnya, jika beberapa orang tidak menolongnya. Bahkan orang-orang yang menolong itu pun harus berjuang melawan arus air yang memantul itu.

Ketika orang-orang itu mengangkat Wirastama dari dalam air, maka orang-orang itu pun telah menarik nafas lega.

Namun dalam pada itu, hempasan air telah mengguncang bagian yang dibatasi oleh patok-patok bambu itu pula, sehingga Teja Prabawa pun harus berusaha untuk melawannya dan mencapai tepi sendang itu.

Demikian ia naik, maka iapun telah berlari-lari mendekati Wirastama yang terbaring dengan nafas yang terengah-engah. Perwira muda itu tidak pingsan. Tapi tenaganya seakan telah terkuras habis, sehingga rasa-rasanya ia tidak mampu lagi untuk bangkit.

“Satu keajaiban telah terjadi,” berkata seorang laki-laki yang menolongnya.

Teja Prabawa mengangguk. Tetapi ia tidak menyahut.

Sementara itu, Rara Wulan benar-benar menjadi gemetar di tempatnya. Hampir saja justru Rara Wulan-lah yang pingsan seandainya Ki Lurah tidak mendekatinya.

Rara Wulan justru terkejut ketika ia mendengar suara di belakangnya, “Apa yang terjadi?”

Ketika Rara Wulan berpaling, dilihatnya Ki Lurah dan Glagah putih berdiri termangu-mangu.

“Kakek,” Rara Wulan yang ketakutan itu pun telah meloncat memeluk Ki Lurah.

“Kau tidak apa-apa?” bertanya Ki Lurah.

“Wirastama,” jawab Rara Wulan dengan suara bergetar.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Sementara Glagah Putih telah mohon kepada Ki Lurah agar tidak mengatakan apa yang terjadi.

Ki Lurah pun kemudian berkata kepada Rara Wulan, “Tinggallah di sini. Aku akan melihat anak muda itu.”

Rara Wulan mengangguk. Ketika ia berpaling ke blumbang, maka dilihatnya gelombang yang tiba-tiba saja melonjak dan melemparkan Wirastama itu telah hampir tidak berbekas lagi. Yang nampak kemudian adalah pusaran air yang semakin cepat, menukik ke dasar blumbang.

Darah Rara Wulan berdesir. Ia membayangkan, apa yang terjadi. seandainya Wirastama itu terhisap oleh pusaran itu dan tubuhnya akan membentur batu-batu padas di dasar blumbang.

Ketika Ki Lurah kemudian mendekati Wirastama, maka anak muda itu telah berusaha untuk dapat duduk. Ia harus berusaha dengan sisa tenaga yang ada padanya untuk mengatur pernafasannya, sehingga dengan demikian ia akan dapat mencapai ketenangan.

Ki Lurah membiarkan anak muda itu mencapai keseimbangan pernafasan. Kepada orang-orang yang ada di sekitarnya ia berkata, “Kami, atas nama keluarga dan pimpinan Pasukan Khusus, mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian.”

“Bukan kami,” jawab seorang yang paling tua di antara mereka, “satu keajaiban telah terjadi. Seumurku, belum pernah melihat hal seperti ini. Pusaran itu memang sering timbul dengan tiba-tiba tanpa diketahui waktunya. Tetapi hempasan gelombang yang menyelamatkan perwira muda ini, belum pernah terjadi sebelumnya.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Satu lantaran, bahwa Tuhan masih menghendaki perwira muda itu berumur panjang.”

Orang-orang yang mengangkatnya dari dalam air itu menganguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Satu pertanda, bahwa pada anak muda ini terdapat sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sehingga karena itu, maka pusaran air itu pun dapat dihalaunya, meskipun keadaannya sendiri nampaknya menjadi gawat.”

Tetapi Ki Lurah menggeleng. Katanya, “Nampaknya ia tidak mengalami kesulitan pada dirinya. Ia hanya terlalu letih dan barangkali kegelisahan. Tetapi setelah ia berhasil mengatur pernafasannya, maka ia tentu akan menjadi baik kembali.”

Ketika orang-orang yang menolongnya mengangguk, maka Teja Prabawa pun berkata, “Ia memang seorang yang luar biasa. Seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

Di luar sadarnya Ki Lurah berpaling kepada Glagah Putih yang berdiri saja mematung.

Sejenak kemudian, maka keadaan Wirastama pun menjadi berangsur baik. Nafasnya menjadi teratur, dan kekuatannya sedikit demi sedikit telah tumbuh kembali. Jantungnya yang semula bagaikan menghentak-hentak telah berdetak dengan teratur.

“Berpakaianlah. Lepaskan pakaian kalian yang basah,” berkata Ki Lurah.

Tetapi Teja Prabawa berkata, “Kami harus berjemur sampai pakaian basah ini kering. Kami tidak membawa ganti pakaian.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Biarlah aku kembali bersama Rara Wulan. Tetapi ingat, jangan diulangi. Kali ini nyawa Angger Wirastama dapat diselamatkan oleh satu keajaiban. Tetapi apakah hal seperti itu akan terjadi lagi jika kalian masih juga mencobanya?”

Teja Prabawa mengangguk. Sementara Wirastama yang keadaannya menjadi semakin baik mencoba untuk bangkit dibantu oleh beberapa orang.

“Aku sudah dapat berdiri sendiri,” berkata Wirastama sambil mengibaskan tangan orang-orang yang membantunya berdiri.

Orang-orang itu pun kemudian melepaskannya. Ternyata seperti yang dikatakannya, maka Wirastama itu pun memang telah mampu berdiri tegak.

“Nah, berbenah dirilah,” berkata Ki Lurah.

“Aku tidak apa-apa Ki Lurah,” berkata Wirasama, “memang satu permainan yang berbahaya. Tetapi aku berhasil mengatasinya.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun katanya, “Meskipun demikian keadaanmu menjadi sangat buruk. Kau hampir menjadi pingsan. Jika keadaan itu tidak teratasi, maka kau sudah terhisap ke lubang di dasar belumbang.”

“Tetapi aku berhasil Ki Lurah,” berkata Wirastama.

“Jika sekali lagi terjadi, mungkin keadaannya akan berbeda,” sahut Ki Lurah.

Wirastama termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab.

Kepada Teja Prabawa, Ki Lurah itu berkata, “Aku bawa adikmu pulang.”

Teja Prabawa termangu-mangu. Namun Wirastama itu pun berkata, “Ki Lurah, kami berangkat bersama-sama. Biarlah kami pulang bersama-sama.”

“Dalam keadaan yang wajar, tidak apa-apa. Tetapi anak itu nampaknya telah terpengaruh oleh keadaan, sehingga ia menjadi sangat terkejut. Biarlah aku membawanya kembali mendahului kalian yang masih akan berjemur untuk mengeringkan pakaian kalian. Tanpa Rara Wulan, kalian akan dapat lebih bebas untuk berbuat apa saja yang pantas dilakukan oleh seorang laki-laki,” berkata Ki Lurah.

Wirastama tidak dapat menahan Rara Wulan untuk tinggal. Sebenarnya ia menjadi tidak senang melihat Rara Wulan kembali bersama kakeknya dan Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih memang tidak minta diri. Baik Raden Teja Prabawa maupun Wirastama sama sekali tidak menghiraukannya. Seakan-akan keduanya berpaling pun tidak kepada anak muda itu.

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah pun telah meninggalkan blumbang itu bersama dengan Rara Wulan. Sementara itu Glagah Putih berjalan di belakangnya.

Wirastama dan Teja Prabawa memandanginya dari kejauhan. Dengan geram Wirastama berkata, “Sekali-sekali penjilat itu perlu mendapat pelajaran.”

“Ya,” desis Teja Prabawa, “anak itu memang sombong meskipun sangat dungu. Tetapi nampaknya Ki Gede terlalu percaya kepadanya. Dengan demikian maka kakek pun ikut mengagumi anak itu.”

“Pada saatnya ia akan menjadi jera,” geram Wirastama.

Teja Prabawa mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Kita harus menjemur di panasnya matahari.”

Keduanya pun kemudian melangkah ke tempat yang disinari oleh matahari. Sementara itu Wirastama masih juga sempat berkata kepada orang-orang yang menolongnya meskipun hanya sepatah, “Terima kasih.”

Sambil berbaring di atas sebuah batu yang besar di panasnya matahari yang masih belum menyengat, Wirastama berkata, “Ternyata sendang ini sangat menarik. Aku ingin mencoba lagi apakah pusaran itu memang berbahaya.”

“Jangan,” berkata Teja Prabawa, “jika kau tidak yakin, maka hal itu akan sangat berbahaya bagimu.”

Wirastama tersenyum. Katanya, “Tentu tidak sekarang. Kekuatanku belum pulih seluruhnya. Aku memang harus beristirahat dan berusaha memulihkan kekuatanku kembali. Tetapi pada kesempatan yang lain, barangkali aku dapat mencobanya lagi.”

“Kau jangan berbuat untung-untungan,” berkata Teja Prabawa.

“Kau tidak yakin akan kemampuanku?” bertanya Wirastama.

“Aku percaya,” Jawab Teja Prabawa, “tetapi aku ngeri melihatnya.”

Wirastama tertawa. Katanya tanpa beranjak dari tempatnya, “Aku yang mengalaminya tidak merasa ngeri sama sekali.”

“Aku tidak mempunyai ketahanan jiwani sebagaimana kau,” sahut Teja Prabawa.

Wirastama justru tertawa semakin keras.

Dalam pada itu, maka orang-orang yang mandi dan mencuci di sendang itu telah pergi seorang demi seorang, sehingga akhirnya tepi sendang itu menjadi sepi. Orang-orang yang pulang ke padukuhan masing-masing telah sempat bercerita, tentang apa yang telah terjadi. Seorang anak muda yang hanyut ke dalam arus putaran di tempat yang memang sudah diberi pertanda itu. Namun tiba-tiba saja gelombang yang menghentak telah melemparkannya jauh ke tepi, sehingga anak muda itu jatuh keluar jangkauan pusaran yang menjadi semakin sempit, tetapi semakin cepat dan kuat menghisap air ke dalam lubang di bawah dasar sendang itu.

“Luar biasa,” desis beberapa orang.

“Mungkin anak muda itu termasuk orang yang sakti,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Mungkin saja, atau oleh sebab-sebab lain yang tidak dapat kita jangkau dengan penalaran kita yang bodoh ini,” berkata seorang yang usianya sudah separuh baya. Katanya selanjutnya, “Satu peristiwa yang bukan saja seumurku, tetapi orang-orang tua di padukuhan ini tentu belum pernah melihat dan mengalaminya. Sungguh satu keajaiban.”

Peristiwa yang terjadi di sendang itu pun kemudian telah tersebar dari mulut ke mulut. Bukan saja satu dua padukuhan, tetapi telah menjalar hampir ke seluruh Tanah Perdikan. Bahkan ke padukuhan-padukuhan di luar Tanah Perdikan. Begitu cepatnya. Justru karena seorang di antara orang-orang yang menyaksikan itu telah pergi ke sebuah pasar kecil yang menjadi ramai setiap sepekan sekali. Di sana-lah cerita itu mula-mula tersebar. Orang-orang yang sudah waktunya pulang itu pun telah membawa berita itu ke rumah masing-masing. Ke tetangga masing-masing, dan semakin lama menjalar semakin jauh.

Wirastama dan Teja Prabawa pun telah meninggalkan sendang itu pula. Pakaian mereka telah menjadi kering, sehingga mereka pun kemudian telah mengenakan kain panjang mereka, baju dan kelengkapan pakaian yang lain.

Meskipun mereka telah berjalan semakin jauh, namun sekali-sekali Teja Prabawa masih juga berpaling. Rambutnya masih meremang jika ia mengingat apa yang baru saja terjadi di sendang itu.

“Kita tidak langsung kembali,” berkata Wirastama.

“Kemana?” bertanya Teja Prabawa.

“Setelah mandi dan berenang, aku menjadi lapar. Apakah kau tidak merasa lapar?” bertanya Wirastama.

Teja Prabawa termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Terserah kepadamu.”

“Kita akan kembali ke pasar. Tetapi aku kira, kedai yang paling baik hanya terdapat di padukuhan induk. Karena itu, kita akan pergi ke padukuhan induk,” berkata Wirastama.

Di luar sadarnya Teja Prabawa menengadahkan wajahnya memandangi matahari yang semakin tinggi. Wirastama agaknya mengetahui apa yang dipikirkan oleh Teja Prabawa. Karena itu, maka iapun berkata, “Kedai-kedai di dekat pasar di padukuhan induk itu kebanyakan dibuka sampai lewat tengah hari. Bahkan ada yang sampai senja, karena lalu lintas dagangan, terutama hasil bumi, berlangsung sampai malam. Beberapa buah kedai justru mempunyai ruangan-ruangan yang agak besar, yang dipergunakan oleh para pedagang yang kemalaman sebagai penginapan.”

Teja Prabawa mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi tentang kedai itu. Ia mengikuti saja Wirastama yang ternyata telah berjalan semakin cepat.

Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan yang mendahului kembali ke padukuhan induk bersama Rara Wulan dan Glagah Putih telah menjadi semakin dekat. Mereka berjalan perlahan-lahan sambil memandangi hijaunya tanaman di sawah.

Ternyata Ki Lurah Branjangan banyak bertanya tentang berbagai hal kepada Glagah Putih. Bahkan pertanyaan Ki Lurah bukan saja menyangkut pengetahuan orang-orang Tanah Perdikan dalam bercocok tanam, berternak dan pekerjaan-pekerjaan lainnya, tetapi Ki Lurah telah bertanya tentang berbagai pengalaman yang pernah dihayati oleh Glagah Putih.

Tanpa berprasangka apapun juga, Glagah Putih telah menjawab pertanyaan-pertanyaan Ki Lurah Branjangan. Bahkan di luar sadarnya, Glagah Putih telah sekali-sekali menyebutkan, bahwa ia memang pernah menghadap Panembahan Senapati.

“Kau pernah pergi ke Kotaraja?” tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya.

Glagah Putih tergagap sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Tidak secara khusus pergi ke Kotaraja. Ketika aku datang ke Tanah Perdikan ini dari padukuhan asalku, maka dalam perjalanan itulah, aku sempat lewat Kotaraja.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Ki Lurah Branjangan yang telah mendengar beberapa hal tentang Glagah Putih dari Agung Sedayu maupun Ki Gede itu pun bertanya, “He, ikat pinggangmu sangat menarik. Dimana kau membeli? Nampaknya kulit yang dipakai sebagai bahan adalah kulit pilihan. Kulit lembu, kulit buaya atau kulit ular?”

Glagah Putih memang menjadi kesulitan untuk menjawab. Tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat berdiam diri saja. Karena itu, maka jawabnya kemudian, “Entahlah. Kakang Agung Sedayu yang memberiku ikut pinggang ini.”

Ki Lurah tertawa. Ditepuknya bahu Glagah Putih sambil berkata, “Ternyata pengaruh sikap kakak sepupumu itu tampak jelas padamu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia meraba ikat pinggangnya yang diterima dari Ki Mandaraka.

Sementara itu Rara Wulan bertanya kepada kakeknya, “Siapa yang telah menghadap Panembahan Senapati Kek? Bukankah tadi disebut-sebut tentang pesan Panembahan Senapati?”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Dipandanginya Glagah Putih sekilas. Namun dengan cepat Glagah Putih menyahut, “Tentu Ki Lurah yang telah menghadap Panembahan Senapati.”

“Tetapi apakah benar Kakek yang tadi disebut-sebut?” bertanya Rara Wulan yang tidak begitu jelas mendengar pembicaraan kakeknya dengan Glagah Putih, justru karena ia sedang memperhatikan batang-batang padi yang hampir berbunga.

“Ya Rara,” jawab Glagah Putih, “memang Ki Lurah yang tadi kami sebut-sebut.”

Rara Wulan memandang kakeknya yang hanya tersenyum-senyum saja. Bahkan Ki Lurah itu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Marilah kita melihat keramaian pasar, meskipun sudah agak siang.”

“Aku tadi sudah singgah di pasar,” berkata Rara Wulan.

“O,” Ki Lurah mengangguk-angguk, “tetapi baiklah. Apa salahnya kita melihat pasar lagi.”

Rara Wulan tidak membantah. Ketiganya pun kemudian telah pergi ke pasar di padukuhan induk. Meskipun orangnya sudah mulai berkurang, namun pasar itu masih cukup ramai. Ternyata perhatian Ki Lurah terutama tertuju pada beberapa orang pande besi yang berada di pinggir pasar itu.

“Agaknya mereka mendapat banyak pekerjaan hari ini,” berkata Ki Lurah.

“Apakah Ki Lurah memerlukan sesuatu?” bertanya Glagah Putih.

Ki Lurah tersenyum sambil menggeleng. Katanya, “Tidak. Tetapi aku selalu tertarik pada pande besi. Aku senang melihat bagaimana mereka membuat alat-alat pertanian. Mereka bekerja keras dan penuh kesungguhan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun mengikut saja Ki Lurah dan Rara Wulan yang melihat-lihat pada pande besi yang sedang bekerja di depan perapian yang panas, sehingga keringat mereka membasahi seluruh tubuh bagaikan mereka baru saja mandi.

Namun agaknya Rara Wulan tidak begitu telaten sebagaimana kakeknya. Meskipun nampaknya Ki Lurah masih asyik memperhatikan salah seorang di antara para pande besi itu, Rara Wulan menggamitnya sambil berkata, “Marilah Kek.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau tahu, orang itu sedang membuat apa?”

Rara Wulan menggeleng.

“Karena itu lihatlah, apa yang akan dibuatnya,” berkata Ki Lurah.

Rara Wulan mengerutkan keningnya. Tetapi ia mulai jemu. Karena itu maka katanya, “Kakek akan menunggu sampai orang itu selesai?”

“Tidak. Aku hanya akan menunggu sampai kita melihat bentuk dari benda yang dibuatnya itu,” jawab Ki Lurah.

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya mulai menjadi gelap.

Ketika Ki Lurah dan Glagah Putih sedang memperhatikan benda yang sedang dibuat oleh pande besi itu, tiba-tiba saja Rara Wulan menjerit kecil sambil meloncat. Sementara itu, beberapa orang anak muda tertawa berbareng sambil memandanginya.

“Kau tentu bukan anak Tanah Perdikan ini,” berkata salah seorang di antara anak muda itu. Nampaknya ia anak seorang yang kecukupan, menilik pada pakaiannya. “kau datang dari kademangan mana, Anak Manis?”

Wajah Rara Wulan menjadi merah. Sementara itu Glagah Putih telah berdiri di hadapan anak muda itu. Iapun telah bertanya pula, “Nampaknya kau juga bukan anak Tanah Perdikan ini, Anak-Anak Muda. Apakah kau datang dari kademangan sebelah, atau datang dari mana saja? Selama ini rasa-rasanya aku belum pernah melihat kalian.”

Anak-anak muda itu memandang Glagah Putih sejenak. Namun mereka pun kemudian tertawa berkepanjangan.

Tetapi suara tertawa mereka berhenti. Seorang anak muda tiba-tiba telah berdiri di sebelah Glagah Putih. Anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sudah mengenal Glagah Putih dengan baik.

“Glagah Putih,” katanya, “anak-anak ini tentu sekelompok anak muda yang menjadi tamu keluarga orang-orang kaya di luar Tanah Perdikan ini. Agaknya pasar di Tanah Perdikan ini telah menarik perhatian mereka. Tetapi mereka tentu belum mengenalmu. Karena itu, ada baiknya kau memperkenalkan dirimu dengan mereka.”

Glagah Putih termangu-mangu. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Rara Wulan. Sementara Ki Lurah telah berdiri dekat di sisi cucunya.

Anak muda Tanah Perdikan itu yakin, bahwa anak-anak muda itu tidak akan mampu berbuat sesuatu terhadap Glagah Putih. Bahkan jika Glagah Putih menghendaki, maka mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja dua orang anak muda telah menyibak mereka. Dengan garang Wirastama bertanya, “Apa yang terjadi?”

Di luar sadarnya, Rara Wulan menjawab, “Anak-anak itu mengganggu aku.”

Wirastama menggeram. Selangkah demi selangkah didekatinya anak-anak muda itu sambil berkata, “Siapa yang telah melakukannya?”

Adalah di luar dugaannya, bahwa beberapa orang anak muda itu hampir berbarengan menjawab, “Aku yang melakukannya.”

Wajah Wirastama menjadi merah. Ternyata anak-anak muda itu sama sekali tidak merasa segan melihat pakaian Wirastama. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang perwira dari Pasukan Khusus.

“Bagus,” geram Wirastama kemudian, “ternyata kalian adalah anak-anak muda yang berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Ternyata anak gadis yang kau ganggu itu tidak mau menerima begitu saja perlakuan kalian.”

“Lalu, gadis itu mau apa?” bertanya salah seorang di antara anak-anak muda itu.

Wajah Wirastama memang menjadi panas. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Aku adalah keluarganya. Aku tidak akan membiarkan kalian berbuat tidak sewajarnya itu.”

Anak-anak muda itu berpandangan sekilas. Kemudian tiba-tiba saja mereka tertawa. Katanya, “Kau marah? Sayang kau memakai pakaian seorang prajurit. Jika aku tidak mau melawanmu, karena kau adalah seorang prajurit. Aku tidak mau bertengkar dengan seorang prajurit.”

Wirastama benar-benar marah mendengar jawaban itu. Tiba-tiba saja ia berkata, “Baik. Kita akan berhadapan sebagai anak-anak muda. Kau telah mengganggu seorang gadis yang kebetulan adalah keluargaku. Kita akan keluar dari pasar ini dan aku akan menanggalkan pakaian keprajuritanku.”

“Bagus,” anak muda itu tertawa pula.

Demikianlah, maka Wirastama pun kemudian berkata kepada Ki Lurah, “Serahkan persoalan mereka kepadaku.”

Wirastama yang diikuti oleh Teja Prabawa pun kemudian telah keluar dari pasar itu. Glagah Putih, Ki Lurah dan Rara Wulan pun mengikuti mereka pula. Sementara itu beberapa orang anak muda telah beramai-ramai berjalan beriringan di belakang mereka. Seorang di antara mereka sempat berteriak, “Gadis itu akan menjadi taruhan.”

“Setan,” geram Wirastama.

Ternyata Wirastama telah pergi ke sebuah tempat yang agak lapang di belakang sederet kedai. Beberapa orang yang melihat menjadi berdebar-debar. Mereka mengerti, bahwa tentu terjadi sesuatu dengan anak muda itu.

Sejenak kemudian, mereka memang telah berkumpul di tempat yang lapang itu. Wirastama dengan geram telah membuka bajunya yang diberi pertanda keprajuritan.

“Mari, siapa yang merasa bertanggung jawab atas perlakuan yang tidak sewajarnya itu,” bertanya Wirastama.

Tetapi sekali lagi terdengar beberapa orang anak itu menjawab bersama-sama, “Aku.”

Wirastama termangu-mangu sejenak. Ia mengerti maksud anak-anak muda itu. Agaknya mereka akan berkelahi bersama-sama.

Wirastama masih sempat menghitung anak-anak muda itu. Dengan lantang ia berkata, “Bagus. Agaknya kalian berlima ingin bertanggung jawab bersama-sama, he? Pada langkah pertama kalian telah dapat aku baca, bahwa kalian adalah pengecut.”

Tetapi kelima anak muda itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Alangkah nikmatnya mendapat julukan itu. Aku sudah lama ingin mendapat pengakuan tentang sebutan yang aku inginkan sejak bertahun-tahun itu.”

Kemarahan Wirastama benar-benar tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil mengayunkan tangannya.

Wirastama adalah seorang perwira dari Pasukan Khusus. Karena itu, ia memiliki kemampuan yang tinggi dalam olah kanuragan. Ditambah dengan ketekunannya berlatih dan menyadap ilmu dari kakaknya yang menyebut dirinya Ki Nagageni.

Karena itu, maka ayunan tangan Wirastama benar-benar telah mengejutkan anak muda itu. Bahkan demikian kerasnya sehingga anak muda telah terdorong beberapa langkah, kemudian terhuyung-huyung. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan dan jatuh terguling. Namun ternyata bahwa ia masih mampu untuk dapat tetap tegak berdiri, betapapun perasaan sakit menyengat pipinya. Bahkan ternyata bahwa mulutnya telah berdarah, karena sebuah giginya telah patah.

“Setan,” geram anak muda itu, “kau benar-benar ingin mati.”

Anak muda yang bernama Wirastama itu tidak menghiraukannya. Sebagai seorang prajurit, maka ia tidak menunggu. Dengan mempergunakan segenap kekuatannya Wirastama telah mempergunakan kesempatan yang ada. Baginya lebih baik menyerang lebih dahulu daripada ia harus bertahan. Apalagi lawannya ternyata jauh lebih banyak

Karena itu, selagi kawan-kawan anak muda itu masih termangu-mangu, Wirastama telah meloncat sekali lagi. Kakinya berputar menyambar seorang di antara lawan-lawannya. Namun demikian kakinya berjejak di tanah, maka tangannya yang telah menyambar dada anak muda yang lain.

Kedua orang anak muda itu terdorong surut beberapa langkah. Tetapi Wirastama tidak berhenti. Dengan sigapnya ia telah menyerang kedua anak muda yang lain sebelum mereka sadar sepenuhnya, apa yang telah terjadi atas mereka.

Anak-anak muda itu memang mengumpat-umpat. Tetapi Wirastama sudah berhasil menyakiti mereka semuanya. Bahkan tanpa menunggu lagi iapun telah berloncatan menyambar-nyambar. Kakinya melenting melontarkan tubuhnya yang seakan-akan tidak berbobot itu. Dengan cepat ia telah berhasil mengenai lagi tubuh lawan-lawannya.

Kelima orang anak muda itu tiba-tiba telah terbangun dari keterkejutan mereka. Dengan sigapnya mereka telah bersiap menghadapi Wirastama. Namun mereka telah terlanjur kesakitan. Seorang di antara mereka nafasnya bagaikan telah menyumbat dadanya. Seorang lagi yang dikenai pundaknya, tangannya seakan-akan menjadi lumpuh. Yang terbesar di antara mereka, bertubuh tinggi tegap, perutnya menjadi sangat mual. Seakan-akan usus-ususnya telah menjadi kusut.

Dengan demikian, betapa kemarahan menghentak-hentak dada anak-anak muda itu, namun mereka tidak mampu lagi bertempur dengan kemampuan mereka sepenuhnya. Apalagi Wirastama memiliki bukan saja ilmu, tetapi kecerdasan menguasai medan, sebagaimana seorang perwira dari Pasukan Khusus.

Sejenak kemudian, maka pertempuran di antara mereka menjadi semakin sengit. Namun Wirastama yang tangkas itu nampak semakin garang. Lawan-lawannya tidak banyak mendapat kesempatan menyerangnya, meskipun mereka berlima. Bahkan setiap kali, kaki dan tangan Wirastama yang telah mengenai mereka seorang demi seorang.

Dengan demikian, maka kelima orang anak muda itu mulai menjadi cemas. Mereka tidak menyangka bahwa prajurit muda itu memiliki ilmu yang tinggi dan kemampuan mengambil sikap yang cepat dan tepat.

Dalam pada itu Wirastama yang marah itu pun telah bertempur dengan segenap kekuatan yang ada. Sentuhan tangan dan kakinya memang mampu melemparkan lawan-lawannya. Seorang di antara mereka telah terpelanting jatuh. Ketika ia berusaha bangkit, maka tiba-tiba kawannya yang lain telah jatuh menimpanya, sehingga kedua-duanya telah berguling-guling beberapa kali.

Untuk beberapa lama Wirastama masih saja bertempur dengan segenap kekuatan dan kemampuannya. Didorong oleh kemarahan yang membakar jantungnya, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia telah berhasil mengalahkan kelima orang lawannya. Kelima orang anak muda itu telah tidak berdaya lagi, ketika kemudian Wirastama berdiri di antara mereka sambil bertolak pinggang.

“Nah, jika kalian ingin tertawa, tertawalah,” geram Wirastama.

Anak-anak muda itu tidak dapat tertawa lagi. Tetapi yang terdengar adalah keluhan kesakitan.

“Ayo, cepat bangkit. Jika kalian memang laki-laki yang bertanggung jawab, yang telah berani mengganggu seorang gadis, maka kalian tidak akan takut mempertaruhkan nyawa kalian. Ayo, siapa di antara kalian seorang laki-laki. Aku telah menanggalkan pertanda keprajuritanku. Tidak seorangpun akan menyalahkan kalian, karena kalian melawan seorang perwira dari Pasukan Khusus,” geram Wirastama.

Kelima orang itu masih saja mengeluh. Tidak seorangpun yang bangkit, apalagi bersiap untuk melawan.

Karena kelima anak muda itu tidak melawannya, maka Wirastama telah menarik baju anak yang paling besar di antara mereka sambil membentak, “Ayo, bangun! Jawab pertanyaanku.”

Anak muda itu menjadi semakin ketakutan. Sebelah matanya telah membiru sementara perutnya yang mual menjadi semakin mual. Mulutnya berdarah dan nafasnya menjadi tersendat-sendat.

“Siapakah kalian sebenarnya he?” bertanya Wirastama. Anak muda itu termangu-mangu. Karena itu, Wirastama telah mengguncang bajunya sambil berteriak, “Siapakah kalian sebenarnya?”

“Aku, eh, kami berlima adalah saudara seperguruan,” jawab anak muda itu.

“Seperguruan? Kepada siapa kalian berguru, he? Kalian sama sekali tidak menunjukkan kemampuan olah kanuragan sama sekali. Jika kalian berguru, seperti apa kira-kira rupa gurumu itu?” bentak Wirastama pula.

Kelima orang itu memang merasa tersinggung atas penghinaan terhadap gurunya itu. Tetapi mereka tidak berani berbuat apa-apa.

“Siapa gurumu he? Dan sudah berapa lama kalian berguru?” bertanya Wirastama.

Anak muda itu menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi Wirastama telah mengguncangnya lagi dengan kasar sambil membentak, “Cepat, jawab!”

Karena anak itu tidak segera menjawab, maka Wirastama tiba-tiba telah memilin tangannya sambil mendesaknya, “Cepat jawab, atau tanganmu akan patah.”

“Jangan, jangan,” anak muda itu merintih.

“Katakan siapa gurumu,” geram Wirastama.

Anak muda itu masih ragu-ragu. Tetapi karena Wirastama memilin tangannya semakin keras, maka anak muda itu pun menjawab dengan kata-kata yang terbata-bata, “Guruku adalah Kiai Sangkan dan Kiai Paran.”

Wirastama termangu-mangu. Ia belum pernah mendengar nama itu. Namun seorang pengawal yang menunggui perkelahian itu mendekati Glagah Putih sambil berkata, “Memang, di pesisir Selatan, di sebuah kademangan, ada dua orang yang mengaku sakti dan membuka sebuah perguruan. Belum lama, baru beberapa bulan. Tetapi kedua orang itu hanya menerima murid dari antara orang-orang yang kaya raya dan memungut bayaran yang tinggi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Yang aku dengar agaknya namanya bukan Kiai Sangkan dan Kiai Paran.”

“Siapapun namanya. Tetapi perguruan itu memang ada. Tetapi letaknya memang agak jauh dari Tanah Perdikan ini,” jawab pengawal itu.

Glagah Putih termangu-mangu. Sebenarnyalah bahwa ia memang kurang tahu nama orang-orang yang mendirikan perguruan itu. Tetapi menurut pendengarannya, nama-nama itu adalah nama-nama yang menyeramkan.

Tiba-tiba saja pengawal Tanah Perdikan itu berbisik, “Ya. Aku ingat. Mereka mempergunakan nama yang tidak sewajarnya. Seorang bernama Brajasaketi dan seorang bernama Brajasayuta.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun iapun kemudian mendekati anak muda yang masih dipilin tangannya oleh Wirastama. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah hubungannya Kiai Sangkan dan Kiai Paran dengan orang yang menyebut dirinya Brajasaketi dan Brajasayuta?”

Wajah anak muda itu menjadi sangat tegang. Namun kemudian jawabnya, “Nama itu adalah nama guruku. Kiai Sangkan adalah Kiai Brajasaketi, sedangkan Kiai Paran juga menyebut dirinya Kiai Brajasayuta.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kalian murid-murid dari perguruan itu. Jika demikian maka kalian tentu anak orang-orang kaya, karena hanya orang-orang kaya yang dapat membayar banyak saja-lah yang diterima menjadi murid perguruan itu.”

Anak-anak muda itu tidak menjawab. Tetapi Glagah Putih berkata pula, “Bahwa kalian adalah anak orang-orang kaya yang menganggap bahwa uang adalah segala-galanya, dapat terbaca pula pada sikap kalian.”

Anak-anak muda itu tidak menjawab. Sementara itu Wirastama pun berkata lantang, “Katakan, apakah kalian merasa jera atau tidak?”

“Baik-baik. Kami tidak akan melakukannya lagi,” jawab anak yang terbesar itu. Yang bertubuh tinggi tegap.

“Semua di antara kalian harus mengatakannya,” geram Wirastama. Karena yang lain tidak segera mengucapkannya, maka Wirastama telah menguatkan pilinannya sambil membentak, “Cepat ucapkan bersama-sama! Atau tangan ini akan patah. Bahkan juga tangan-tangan kalian yang lain.”

Anak-anak muda itu menjadi ketakutan. Hampir berbareng mereka berkata, “Baiklah. Kami menjadi jera.”

Namun nampaknya Wirastama masih menginginkan mereka berteriak, “Katakan sekali lagi. Lebih keras.”

Tetapi yang terdengar adalah suara yang lain, yang seakan akan menggetarkan jantung, “Cukup. Aku kira sudah cukup.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Wajah-wajah pun menjadi tegang ketika mereka melihat dua orang yang sudah setengah baya melangkah mendekati Wirastama.

“Aku setuju kau menghukum keduanya. Tetapi hukuman itu sudah cukup. Jangan memaksa lagi, agar kami tidak usah ikut campur,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Guru,” tiba-tiba kelima orang itu hampir berbareng berdesis.

Wirastama memandang kedua orang itu dengan wajah yang tegang. Namun hampir di luar sadarnya ia sudah melepaskan tangan anak muda yang dipilinnya itu.

“Anak Muda,” berkata orang yang baru datang itu selanjutnya, “aku kira hukuman yang kau berikan sudah cukup berat bagi kesalahan yang mereka lakukan. Aku tahu apa yang telah dilakukan oleh murid-muridku. Memang satu kesalahan yang tidak pantas dilakukan oleh anak-anak muda sejaman dengan aku. Tetapi sebenarnya bagi anak-anak muda sekarang, tentu tidak begitu bersalah, Tetapi bukan maksudku mengatakan bahwa mereka tidak bersalah.” Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Akupun harus menganggukkan kepala untuk menghormati sikap jantanmu, karena kau telah menanggalkan pakaian keprajuritanmu dan berhadapan dengan murid-murid sebagaimana seorang anak muda.”

Wirastama memandang kedua orang itu berganti-ganti. Lalu katanya kemudian kepada keduanya, “Kalian harus lebih banyak mengajari murid-muridmu untuk bertindak lebih sopan dan mengenal unggah-ungguh.”

Kedua orang itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Kau tidak usah mengajari aku. Bagiku sudah cukup jika murid-muridku merasa bersalah, dan apalagi sudah berjanji untuk tidak mengulanginya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar