Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 230

Buku 230

Sementara itu, orang-orang yang memasuki padepokan itu segera menyadari keadaan mereka. Pemimpin kelompok mereka telah dikalahkan oleh lawannya. Karena itu, maka mereka tidak lagi dapat mengharapkan perlindungannya. Adalah kebetulan bahwa orang-orang yang berilmu tinggi tidak ada di dalam kelompok itu, tetapi ada di kelompok yang lain. Namun orang-orang di dalam kelompok itu tidak mengetahui, bahwa seorang di antara mereka yang berilmu tinggi itu telah pula dikalahkan oleh Sekar Mirah, justru di pringgitan barak induk.

Sesaat kemudian orang-orang yang menyerbu masuk ke dalam padepokan itu menjadi semakin liar dan garang. Mereka seakan-akan menjadi putus asa dan kehilangan pegangan, sehingga mereka telah bertempur tanpa sandaran selain membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Mereka mengamuk seperti orang yang sedang mabuk tuak dan kehilangan kesadaran diri.

Para cantrik terkejut mengalami perlakuan yang semakin kasar. Mereka semula mengira, bahwa kematian pemimpin kelompok itu akan memperlemah perlawanan mereka. Namun ternyata tidak demikian. Orang-orang itu menjadi semakin liar karena putus asa.

Dengan demikian para cantrik menjadi semakin gelisah. Mereka tidak lagi bersorak-sorak. Justru mereka menjadi cemas menghadapi lawan-lawan mereka.

Glagah Putih melihat kecemasan para cantrik yang memang kurang berpengalaman itu. Karena itu, maka iapun telah meninggalkan tubuh yang terbaring diam itu. Dengan serta merta maka Glagah Putihpun telah melibatkan diri dalam pertempuran antara para cantrik dan orang-orang yang menyerang padepokan itu. Bahkan arena pertempuran itu pun telah bergeser semakin dekat dengan bangunan induk.

Tetapi seorang yang melepaskan diri dari arena dan meloncat naik ke pringgitan, ternyata bernasib sangat buruk. Sekar Mirah yang ada di pringgitan terkejut melihat kehadiran orang itu. Apalagi Sekar Mirah memperhitungkan kemampuan orang-orang yang memasuki padepokan itu sebagaimana orang yang baru saja dilawannya. Karena itu, dengan kemampuan yang tinggi, maka Sekar Mirah telah menyongsong orang itu.

Namun Sekar Mirah telah terkejut ketika ayunan tongkatnya yang pertama telah melemparkan senjata orang itu. Bahkan ketika Sekar Mirah kemudian memutar tongkatnya dan sekali lagi menyerang dengan ayunan mendatar ke arah lambung, orang itu sama sekali tidak sempat mengelakkannya.

Diiringi jerit kesakitan, tubuh orang itu telah terdorong ke samping. Kemudian jatuh berguling di pringgitan. Namun orang itu tidak bangkit lagi.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang melihat bahwa seseorang telah mampu mencapai pringgitan, maka iapun dengan serta merta tidak meloncat keluar dari arena dan mendahului naik ke pringgitan. Namun iapun terkejut ketika melihat Sekar Mirah berdiri tegang dengan tongkat baja putihnya, sementara seseorang telah terbaring diam.

“Mbokayu,“ Glagah Putih menyapanya.

“Apakah mereka semakin mendesak?“ bertanya Sekar Mirah.

“Ya. Sebagian dari mereka tentu akan mencoba untuk memasuki bangunan induk ini,“ berkata Glagah Putih.

“Aku dan kedua orang cantrik itu akan menunggu di sini,“ berkata Sekar Mirah.

“Baiklah. Aku akan melihat apakah mereka tidak ada yang berusaha menembus lewat jalan lain. Mungkin pintu butulan atau bahkan memecah dinding. Mereka ternyata sempat menipu para cantrik sehingga dapat melepaskan diri dari pertempuran,“ berkata Glagah Putih, yang tanpa menunggu jawaban Sekar Mirah telah turun lagi dari pringgitan menyongsong lawan-lawannya di sisi bangunan induk.

Pertempuran pun menjadi semakin riuh karena keputus-asaan orang-orang yang telah kehilangan pimpinan itu. Namun Glagah Putih pun telah berada di antara mereka, sehingga ia dapat banyak membantu para cantrik yang kadang-kadang menjadi kebingungan.

Meskipun Glagah Putih tidak mempergunakan ilmunya yang telah dipergunakan untuk menghabisi perlawanan pemimpin kelompok itu, namun dengan dorongan tenaga cadangannya, maka Glagah Putih telah mampu menjadi penentu dalam pertempuran itu.

Ketika kemudian beberapa orang telah menyerangnya bersama-sama, maka Glagah Putih memang harus berusaha untuk melawan mereka dengan mengerahkan tenaga cadangannya. Dengan kecepatan yang tinggi Glagah Putih berhasil mengelakkan serangan-serangan yang datang beruntun.

Namun ternyata bahwa lawannya semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga Glagah Putih menjadi terdesak karenanya. Bahkan hampir saja Glagah Putih mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmunya jika keadaan menjadi semakin gawat.

Tetapi beberapa orang cantrik yang melihat keadaan itu telah datang membantunya. Dengan demikian maka beberapa orang di antara mereka telah terseret keluar dan bertempur, dengan para cantrik itu. Karena itulah, maka Glagah Putih menjadi semakin mapan. Rasa-rasanya nafasnya menjadi semakin longgar, sehingga Glagah Putih mulai dapat mendesak lawannya seorang demi seorang. Ketika ujung pedang Glagah Putih menyentuh seorang lawan, maka orang itu pun telah mengumpat dengan kasarnya. Tanpa menghiraukan darah yang mengalir di lukanya itu, ia telah berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan pedangnya menyerbu ke arah Glagah Putih.

Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Ketika orang itu mendesaknya, maka Glagah Putih terpaksa menyingkirkan ujung senjatanya dengan benturan yang keras, kemudian ujung pedang Glagah Putih-lah yang telah membungkamnya.

Orang itu memang terdiam Bahkan iapun telah jatuh terbaring di tanah. Pedangnya terlepas beberapa langkah dari tubuhnya yang kemudian terdiam. Tetapi kematian orang itu dan beberapa orang yang lain, membuat orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi bagaikan orang gila. Mereka tidak menjadi cemas akan nasib mereka sendiri. Tetapi mereka justru telah bertempur semakin menggila.

“Satu keberhasilan seseorang membuat orang lain kehilangan akal budinya,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Orang-orang yang bertempur itu di penglihatan Glagah Putih seperti orang-orang yang tidak lagi sempat menilai apa yang telah mereka lakukan. Mereka berbuat sebagaimana yang mereka lakukan seakan-akan tanpa tahu arti dan kepentingannya. Sehingga orang-orang itu bagaikan telah kehilangan pribadinya. Tetapi orang-orang yang demikian adalah justru orang-orang yang sangat berbahaya. Orang-orang yang tidak sempat memikirkan dirinya sendiri atau membuat pertimbangan-pertimbangan untuk menyerah.

Namun menghadapi orang-orang yang demikian maka Glagah Putih justru berusaha mengekang dirinya. Glagah Putih merasa berhadapan dengan orang-orang yang tidak tahu apa yang dilakukannya, sehingga menurut Glagah Putih orang-orang itu seharusnya tidak harus bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatan mereka.

Karena itulah, mereka tidak semestinya dibunuh dalam pertempuran itu. Hanya jika terpaksa dan di luar perhitungan, maka Glagah Putih telah melemparkan lawannya dari arena dalam keadaan tidak bernyawa lagi.

Demikianlah, satu-satu orang-orang yang memasuki padepokan itu telah dilumpuhkan. Betapapun Glagah Putih menghindari kematian, namun beberapa orang di arena telah terbunuh pula. Para cantrik memang tidak mendapat petunjuk untuk selalu membunuh lawannya, bahkan setiap Kiai Gringsing memberitahukan bahwa kemampuan mereka bukannya alat untuk membunuh. Tetapi dalam pertempuran yang seru, para cantrik itu tidak lagi mampu mengendalikan diri. Apalagi ketika para cantrik itu melihat beberapa orang kawan mereka telah jatuh pula menjadi korban, maka hati mereka pun menjadi bagaikan menyala.

Tetapi ternyata bahwa pertempuran yang semula bagaikan membakar padepokan itu, di satu sisi telah menjadi reda. Satu-satu lawan para cantrik dan Glagah Putih itu kehilangan kesempatan untuk bertempur. Glagah Putih pun kemudian telah berusaha untuk mencegah agar para cantrik tidak semata-mata menghanyutkan diri dalam arus perasaannya.

Karena itulah, maka setiap kali Glagah Putih telah menawarkan kepada orang-orang yang memasuki padepokan itu untuk menyerah. Bagaimanapun juga, akhirnya perasaan orang-orang itupun terungkit. Kenyataan yang ada di hadapan mereka, telah membangunkan mereka dari sebuah mimpi yang buruk. Itulah agaknya yang memaksa mereka untuk kemudian menyerah ketika Glagah Putih menyerukannya sekali lagi.

Satu-satu orang-orang itu telah melemparkan senjatanya, sehingga orang yang terakhir pun kemudian telah menyerah pula.

Namun justru setelah pertempuran itu dianggap selesai di satu sisi, maka Glagah Putih merasakan kepedihan pada lukanya. Sebutir besi telah bersarang di bawah kulitnya. Hanya karena ketahanan tubuhnya yang kuat luar biasa, maka Glagah Putih masih dapat menyelesaikan pertempuran itu dan mencegah kematian lebih banyak lagi. Tetapi kemudian justru dirinya sendiri-lah yang merasa betapa lengannya menjadi sangat sakit. Meskipun demikian Glagah Putih sadar, bahwa tugas masih belum selesai seluruhnya.

Di sisi lain, masih terdengar teriakan-teriakan yang menggetarkan jantung. Selain keras juga kasar, dan berkesan kotor. Umpatan-umpatan dan makian-makian yang tidak terkendali.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih menunggui para cantrik yang mulai mengumpulkan senjata yang dilemparkan dari mereka yang telah menyerah. Kemudian mengambil tali ijuk yang kuat untuk mengikat para tawanan, agar mereka tidak melarikan diri atau berusaha untuk bergabung dengan kawan-kawannya yang masih belum menyerah. Baru kemudian Glagah Putih itu pun berkata, “Kita dapat membantu saudara-saudara kita yang masih bertempur. Kita dapat menunjuk beberapa orang saja untuk menunggui para tawanan yang sudah terikat. Namun demikian, jika terjadi kesulitan, agar kalian membunyikan pertanda yang akan dapat memanggil bantuan.“

Demikianlah, Glagah Putih pun telah meninggalkan tempat itu bersama sebagian dari para cantrik, sementara yang lain tetap berada di tempat itu menunggui orang-orang yang sudah terikat. Seorang di antara para cantrik yang tinggal telah diserahi untuk memimpin kawan-kawannya. Dengan hati-hati Glagah Putih membawa beberapa orang cantrik melingkari bangunan induk. Kemudian menyelinap di antara batang-batang perdu, mendekati arena pertempuran.

Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Ia masih melihat pertempuran yang sengit. Seperti para cantrik yang bertempur bersamanya, maka kekasaran lawan-lawan mereka memang sangat berpengaruh. Sementara itu, agak jauh dari para cantrik, Agung Sedayu masih juga bertempur dengan sengitnya melawan seseorang yang agaknya juga memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Melihat pertempuran antara para cantrik dan orang-orang yang memasuki padepokan itu, Glagah Putih melihat pula usaha beberapa orang untuk menerobos arena dan langsung menuju ke pendapa. Namun usaha mereka itu agaknya selalu dihalangi oleh para cantrik. Tetapi orang-orang itu tidak menghentikan usaha mereka. Bahkan ada di antara mereka orang yang ternyata telah memilih untuk melalui jalan pintas.

Dua orang di antara mereka ternyata berhasil menghindar dari arena. Dengan mengendap-endap mereka langsung menuju ke pintu butulan. Namun Glagah Putih pun segera memberi isyarat kepada para cantrik yang mengikutinya agar mereka mencegah perbuatan kedua orang itu.

Beberapa orang cantrik telah menghambur dari balik batang-batang perdu dan langsung menyerang kedua orang yang ingin masuk ke dalam bangunan induk lewat pintu butulan. Sementara itu kedua orang itu telah siap untuk merusakkan pintu butulan itu.

Ternyata bahwa kedua orang itu terkejut melihat kehadiran para cantrik sambil mengacungkan senjata mereka. Karena itu, maka keduanya pun telah meloncat untuk mempersiapkan diri melawan para cantrik itu.

Sejenak kemudian, maka keduanya sudah harus bertempur melawan beberapa orang cantrik yang marah melihat kelicikan mereka. Dengan garangnya kedua orang itu telah mengayun-ayunkan senjata mereka. Namun para cantrik yang telah memiliki bekal yang memadai itu pun kemudian telah berhasil mendesak mereka menjauhi pintu butulan. Namun karena percobaan itulah, maka pintu butulan itu pun telah dijaga. Bahkan pintu butulan yang lain pun telah dijaga pula oleh dua orang cantrik.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi kian lama menjadi semakin sengit. Seorang yang berilmu melampaui yang lain telah bertempur berhadapan dengan beberapa orang cantrik. Namun ternyata bahwa orang itu terlalu tangkas, sehingga justru para cantrik itu setiap kali telah terdesak.

Namun karena para cantrik bekerja bersama dengan baik, maka orang itu pun belum berhasil memecahkan kepungan beberapa orang cantrik yang menyerangnya berurutan dari segala arah itu.

Untuk beberapa saat Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Setiap kali ia meraba lengannya yang pedih. Dalam kesempatan itu, Glagah Putih telah menaburkan serbuk obat pada lukanya. Tetapi ia tidak dapat mengobati luka di lengannya, karena sebutir besi telah mengeram di dalamnya. Bahkan obat itu rasa-rasanya justru telah membuat lukanya bagaikan tersentuh api. Rasa-rasanya butir besi di dalam kulitnya itu justru telah membara.

Glagah Putih menggeretakkan giginya untuk menahan. Iapun telah mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit itu. Meskipun tidak hilang seluruhnya, tetapi sakit itu memang telah berkurang.

Dalam pada itu, maka pertempuran telah berubah. Kehadiran para cantrik dari sisi yang lain bangunan induk padepokan itu, telah membuat keseimbangan bergeser. Selain mereka yang mendesak dua orang yang berusaha membuka pintu butulan, maka beberapa orang cantrik telah langsung terjun ke dalam pertempuran.

Dengan lantang salah seorang cantrik berkata, “Pertempuran di sebelah bangunan induk ini sudah selesai. Kami telah membinasakan semua orang yang memasuki padepokan ini dengan maksud buruk. Karena itu, maka kami sekarang telah berada di sini.“

Suara itu memang sebagian tenggelam di antara teriakan-teriakan kasar lawan-lawan mereka. Namun orang-orang yang berdiri di sebelah menyebelahnya telah mendengar teriakan itu. Seorang cantrik yang lain dengan sengaja telah bertanya keras-keras, “Jadi kalian sudah berhasil membunuh lawan-lawan kalian?“

“Ya. Bahkan pemimpin kelompoknya yang berilmu tinggi itu telah mati,“ jawab cantrik itu keras-keras.

“Bohong!“ terdengar suara yang lain, “Jangan membual. Aku koyakkan mulutmu.“

”Kau mulai ketakutan,“ berkata cantrik itu, “dengar. Jika mereka belum kami selesaikan, maka kami tidak akan berada di sini sekarang.“

Tidak ada jawaban. Namun para cantrik itu pun menjadi semakin mendesak. Beberapa orang di antara para cantrik itu telah berhasil membelah kekuatan orang-orang yang memasuki padepokan itu. Mendesak mereka ke arah yang beda pula.

Orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi semakin garang. Mereka berusaha untuk mencapai pendapa bangunan induk. Tetapi agaknya akan menjadi semakin sulit, karena jumlah para cantrik yang semakin bertambah.

Beberapa saat kemudian, keseimbangan pertempuran itu menjadi semakin jelas. Bagaimanapun orang-orang yang menyerang padepokan itu menjadi semakin liar dan kasar, namun mereka tidak berhasil untuk mengurai perlawanan para cantrik yang semakin rapat.

Glagah Putih sendiri masih belum turun ke arena. Ia melihat kemungkinan yang semakin baik bagi para cantrik. Beberapa saat Glagah Putih masih berusaha mengatasi perasaan sakitnya.

Tetapi perhatian Glagah Putih kemudian telah terlempar pada pertempuran yang terjadi agak terpisah dari arena pertempuran yang semakin luas. Dengan kening yang berkerut, Glagah Putih melihat Agung Sedayu bertempur melawan orang yang memiliki ilmu yang tinggi pula.

Perlahan-lahan Glagah Putih pun beringsut dari tempatnya. Ia tidak lagi menyelinap di antara gerumbul-gerumbul perdu. Tetapi ia berjalan saja melintasi arena pertempuran. Memang sekali-sekali Glagah Putih harus meloncat menghindari serangan yang datang kepadanya. Namun Glagah Putih telah mempercayakan penyelesaian pertempuran itu kepada para cantrik yang memang telah hampir menguasai seluruh arena.

Sekali-sekali terdengar seorang cantrik yang meneriakkan tawaran agar lawan-lawannya menyerah, sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih. Namun agaknya orang-orang yang menyerang padepokan itu masih melihat satu kemungkinan bagi mereka.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih telah berada di arena pertempuran yang lain. Pertempuran antara Agung Sedayu melawan seseorang yang mengaku pewaris dari perguruan Worsukma yang mendebarkan itu.

Sebenarnyalah pertempuran antara keduanya menunjukkan betapa keduanya memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka pertempuran di antara mereka adalah pertempuran yang mendebarkan. Keduanya seakan-akan melayang-layang seperti dua ekor elang yang sedang berlaga, Namun kadang-kadang keduanya bergerak cepat seperti burung-burung sikatan. Sambar menyambar sehingga sulit dikuti dengan tatapan mata wadag.

Dalam pada itu, maka keduanya pun telah meningkatkan kemampuan mereka semakin tinggi. Dalam pertempuran yang semakin cepat itu, keduanya telah mulai berhasil menyentuh tubuh lawan-lawannya.

Ketika tangan lawannya berhasil mengenai pundak Agung Sedayu, maka terasa betapa sakitnya pundak itu. Namun Agung Sedayu pun mampu bergerak secepat lawannya, sehingga karena itu, maka iapun telah berhasil menghantam dada lawannya sehingga terdorong selangkah surut. Kemarahan yang meledak telah membuat wajah orang itu menjadi merah. Dadanya bagaikan menjadi retak di dalam, sehingga nafasnya rasa-rasanya telah tersumbat. Karena itu, maka keduanya merasa perlu untuk melindungi diri mereka masing-masing. Agung Sedayu yang menyadari betapa kuatnya tenaga lawannya, telah menyelimuti dirinya dengan ilmu kebalnya, sementara itu lawannya pun telah mengungkapkan ilmunya pula untuk melindungi dirinya.

Pertempuran itu masih berlangsung dengan dahsyatnya. Namun kemudian keduanya pun telah berubah. Ketika Singapati dari Worsukma itu berhasil mengenai tubuh Agung Sedayu, maka Agung Sedayu yang telah mengenakan perisai ilmu kebalnya itu sama sekali tidak tergoncang karenanya. Tetapi ketika kemudian Agung Sedayu mengenainya, maka justru tangan Agung Sedayu-lah yang menjadi sakit karenanya. Tubuh orang itu menjadi sekeras besi.

Meskipun Glagah Putih yang menyaksikan pertempuran itu tidak terlibat, namun ia segera menyadari, bahwa lawan Agung Sedayu itu memiliki ilmu yang sama dengan orang yang telah bertempur melawannya. Bahkan sudah barang tentu, dalam tataran yang justru lebih tinggi. Orang itu agaknya telah mampu menguasai ilmu sejenis dengan ilmu Tameng Waja yang mempunyai kemampuan menahan setiap serangan sehingga seakan-akan tidak menyentuh tubuhnya, bahkan membuat orang yang menyerangnya menjadi kesakitan. Karena itulah, maka keduanya kemudian telah bertempur semakin sengit. Agung Sedayu memiliki ilmu kebal, sementara orang itu memiliki ilmu Tameng Waja.

Tetapi sebagaimana setiap ilmu betapapun tinggi tingkatnya, namun tentu bukannya ilmu yang sempurna. Demikian pula ilmu kebal Agung Sedayu. Ternyata bahwa kemampuan dan kekuatan ilmu lawannya yang seakan-akan menjadi semakin meningkat itu mampu menembus ilmu kebalnya. Meskipun tidak menimbulkan kesulitan yang gawat, namun Agung Sedayu menjadi berdebar-debar juga ketika ia merasakan ilmu lawannya itu sedikit demi sedikit mampu menembus kekuatan ilmu kebalnya, sementara itu ia masih belum mampu menembus ilmu Tameng Waja lawannya, karena semakin keras ia memukul lawannya, maka tangannya sendiri pun menjadi semakit sakit. Justru kekuatan ilmu orang itu sudah menembus ilmu kebalnya, meskipun serangan itu sebenarnya datang dari padanya sendiri. Dengan demikian, maka sedikit demi sedikit, justru Agung Sedayu-lah yang mulai terdesak. Beberapa kali Agung Sedayu justru melangkah surut menghindari serangan lawannya yang datang membadai.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Jika Agung Sedayu menjadi semakin terdesak, maka pada saat yang paling gawat, ia tentu akan mempergunakan kemampuan puncaknya. Sebagaimana diketahui oleh Glagah Putih, maka Agung Sedayu akan mampu menyerang lawannya lewat sorot matanya. Jangankan tubuh seseorang meskipun ia berperisai ilmu Tameng Waja sekalipun. Sedangkan keping-keping baja pun akan dapat dihancurkannya.

Namun ternyata Glagah Putih salah hitung. Agung Sedayu masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya, meskipun beberapa kali ia terdesak. Agung Sedayu agaknya tidak ingin dengan serta merta membunuh lawannya.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu memang ingin menyelesaikan pertempuran itu tanpa membunuh lawannya. Meskipun Agung Sedayu sudah mengira, bahwa sangat sulit baginya untuk dapat menangkap orang yang berilmu tinggi itu. Seandainya orang itu dapat dilumpuhkannya tanpa membunuhnya, namun orang itu tentu tidak akan mau berbicara sebagaimana diinginkan oleh Agung Sedayu. Meskipun demikian, ternyata Agung Sedayu masih ingin mencobanya, sehingga karena itu, maka iapun tidak dengan serta merta mempergunakan ilmu puncaknya.

Untuk mempertahankan dirinya, Agung Sedayu pun kemudian ternyata telah mengurai cambuknya. Ternyata Agung Sedayu ingin mencoba menembus ilmu lawannya yang mirip dengan ilmu Tameng Waja itu dengan ujung cambuknya.

Ketika mula-mula Agung Sedayu menggetarkan cambuknya, maka ledakannya bagaikan hendak mengguncangkan seisi padepokan. Rasa-rasanya udara pun telah bergetar mengguncang-guncang dada orang-orang yang ada di dalam padepokan itu.

Ternyata Sekar Mirah, Kiai Gringsing dan para cantrik yang ada di bangunan induk pun telah mendengar ledakan cambuk itu pula. Sejenak Sekar Mirah terhenyak di tempatnya. Namun kemudian hampir di luar sadarnya ia telah melangkah dengan tergesa-gesa ke bilik Kiai Gringsing.

Demikian Sekar Mirah melangkah masuk, Kiai Gringsing itu pun tersenyum. Orang tua itu melihat kegelisahan di wajah Sekar Mirah, sehingga karena itu maka iapun berkata, “Kau dengar suara cambuk itu Sekar Mirah? Kau tahu watak dari ilmu suamimu? Selama cambuk itu masih meledak dengan hentakan-hentakan yang keras, maka suamimu masih belum merasa perlu memasuki tataran ilmunya yang lebih tinggi. Bahkan jika ia masih mempergunakan cambuknya, maka ia masih belum merasa perlu mempergunakan ilmu pamungkasnya.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berkata, “Ya. Kiai.“

Kiai Gringsing pun kemudian mempersilahkan Sekar Mirah untuk beristirahat. Katanya, “Kau letih Mirah. Duduklah. Kau dapat beristirahat.”

“Aku tidak letih Kiai,“ jawab Sekar Mirah.

“Mungkin tubuhmu tidak. Tetapi jiwamu yang tegang itu agaknya perlu kau tenangkan. Duduklah. Minumlah. Biarlah para cantrik itu berjaga-jaga di luar. Jika terjadi sesuatu, mereka akan memberikan isyarat.“

Sekar Mirah termangu-mangu. Kiai Gringsing yang melihat keragu-raguan Sekar Mirah itu pun kemudian berkata kepada dua orang cantrik yang ada di dalam bilik itu, “Kawanilah saudara-saudaramu yang ada di luar. Biarlah aku di sini bersama Sekar Mirah. Hanya jika perlu sekali, panggillah kami.“

“Ya Kiai,“ jawab kedua cantrik itu hampir berbareng.

Demikianlah, sejenak kemudian maka kedua orang cantrik itu telah meninggalkan bilik itu. Sementara Sekar Mirah pun kemudian telah duduk di sebuah amben kecil di dalam bilik itu.

Namun Sekar Mirah memang tidak dapat menjadi tenang. Apalagi ketika ia mendengar suara cambuk itu lagi. Berdentum dengan kerasnya.

“Nah, kau dengar?“ berkata Kiai Gringsing, “Suamimu masih bermain-main. Ia belum merasa perlu untuk bersungguh-sungguh.“

Sekar Mirah hanya mengangguk saja.

Sementara itu, Agung Sedayu yang bertempur melawan Singapati yang mengaku pewaris Perguruan Worsukmo masih berlangsung dengan sengitnya. Ketika cambuk Agung Sedayu itu meledak bagaikan memecahkan selaput telinga, maka Singapati telah meloncat surut. Iapun terkejut mendengar suara itu. Namun kemudian dengan keyakinan yang tinggi atas kemampuan ilmunya yang mempunyai kekuatan mirip dengan Aji Tameng Waja itu, iapun telah mendesak maju.

Sekali lagi Agung Sedayu meledakkan cambuknya. Bukan sekedar untuk mengejutkan saja. Tetapi ia benar-benar telah berusaha mengenai lawannya dengan ujung cambuknya yang berkarah.

Dengan kerasnya ujung cambuk Agung Sedayu benar-benar telah menghantam tubuh lawannya. Bukan sekedar juntai janget tinatelon. Tetapi juga karah-karah baja yang terdapat pada juntai cambuk itu pun telah mengenai tubuh lawannya itu pula. Namun ternyata bahwa kekuatan cambuk Agung Sedayu tidak dapat menembus ilmu Tameng Waja yang kuat dan kokoh itu.

Karena itulah, maka ketika oranng itu maju mendesak lagi, Agung Sedayu telah berloncatan surut. Ia memang masih mencoba satu dua kali menyerang lawannya dengan ujung cambuknya. Tetapi ujung cambuk itu hanya dapat menghentikan langkah Singapati, namun tidak melukainya, sehingga Singapati pun telah melangkah lagi memburu kemana Agung Sedayu meloncat mundur.

Agung Sedayu akhirnya menyadari, bahwa dengan landasan tenaga cadangannya saja, maka ia tidak mampu menembus perisai ilmu orang itu, betapapun ia mengerahkan kekuatan tenaga cadangannya. Bahkan dengan hentakan yang keras.

Karena itu, maka Agung Sedayu terpaksa mempergunakan kekuatan ilmunya. Dihimpunnya kekuatan cadangannya, diangkatnya dengan ilmunya ke batas kekuatan tertinggi, kemudian perlahan-lahan memasuki kemampuan ilmunya itu. Dan Agung Sedayu pun kemudian mengalirkan kemampuan ilmunya itu pada ujung cambuknya. Dengan demikian, maka bobot kekuatan yang terdapat pada ujung cambuk Agung Sedayu itu sudah jauh berbeda dari sebelumnya.

Tetapi lawannya tidak menyadarinya. Ia hanya melihat Agung Sedayu itu beberapa kali menelusuri juntai cambuknya dengan telapak tangannya. Namun kemudian cambuk itu telah berputar lagi di atas kepalanya.

Pada keadaan yang demikian itulah maka Singapati telah melangkah mendekat. Tanpa menghiraukan ujung cambuk Agung Sedayu ia melangkah sambil mengacukan tangannya yang siap menyerang ke arah dada.

Namun Agung Sedayu yang masih saja memutar cambuknya itu telah mencoba memberi peringatan kepada lawannya. Perlahan-lahan mulai terdengar putaran cambuknya itu bergaung. Semakin lama semakin keras, sehingga kemudian seakan-akan beribu lebah tengah terbang mengitari Agung Sedayu itu.

Tetapi Singapati sama sekali tidak memperhatikannya. Ia tidak memperhitungkan gaung putaran cambuk Agung Sedayu yang melampaui kewajaran itu. Bahkan ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang hanya mampu membuat bunyi yang diharapkan dapat mempengaruhi ketahanan jiwani lawannya itu.

Karena itu, maka Singapati justru ingin menyerang semakin cepat. Tanpa menghiraukan cambuk yang dianggapnya sama sekali tidak akan mampu menembus ilmu yang menjadi perisainya itu, maka iapun telah meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah dada Agung Sedayu.

Agung Sedayu yang mampu juga bergerak cepat, telah melenting selangkah ke samping menghindari serangan lawannya itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih menjadi semakin tegang. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu telah menyalurkan ilmunya pada ujung cambuknya. Ia menunggu saat-saat cambuk itu menghantam tubuh Singapati yang dilindungi oleh ilmunya itu.

Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak segera meledakkan cambuknya. Ia justru meloncat-loncat menghindar ketika lawannya kemudian memburunya. Demikian cepatnya dan beruntun, sehingga Agung Sedayu benar-benar harus berloncatan surut beberapa langkah.

“Kenapa Kakang Agung Sedayu tidak mempergunakan cambuknya itu?“ geram Glagah Putih.

Agung Sedayu memang tidak segera mempergunakan cambuknya. Ia masih berusaha menahan diri. Ia masih belum tahu akibat dari ujung cambuknya. Namun menilik kemampuan ilmu lawannya yang dapat menahan serangan cambuknya dengan kekuatan kewadagannya, maka iapun menduga bahwa ujung cambuknya tidak akan melumatkan lawannya.

Namun ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar telah terdesak oleh serangan lawannya yang datang beruntun tanpa menghiraukan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atasnya oleh ujung cambuk Agung Sedayu.

Pada saat Agung Sedayu terdesak dan sulit untuk terus-menerus menghindar, maka akhirnya Agung Sedayu memang terpaksa melindungi dirinya dengan ujung cambuknya.

Pada saat lawannya mendesaknya terus dengan serangan-serangan yang berbahaya, maka di saat Agung Sedyu sudah sulit untuk bergerak mundur, karena punggungnya sudah melekat dinding padepokan, maka tiba-tiba saja cambuknya sudah meledak. Tidak terlalu keras. Tidak lagi mengejutkan. Tetapi getarannya telah menghentak tubuh Singapati. Sentuhan juntai cambuk Agung Sedayu yang mengantarkan arus kekuatan ilmunya, ternyata telah mampu mengoyak ilmu lawannya yang mempunyai kekuatan sejenis Aji Tameng Waja itu.

Dengan demikian maka lawannya telah terlempar beberapa langkah surut. Wajahnya memancarkan ketegangan dan membayangkan kesakitan yang sangat. Meskipun kulitnya tidak terluka, tetapi Singapati benar-benar telah disakiti oleh ujung cambuk itu.

Tetapi Singapati yang terdorong surut itu segera dapat memperbaiki keadaannya. Ia masih dapat mengatur keseimbangannya, sehingga ia tidak terjatuh karenanya.

Agung Sedayu yang melihat lawannya yang bergeser surut itu justru menjadi berdebar-debar. Ternyata lawannya benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmunya yang mirip dengan ilmu Tameng Waja tidak sepenuhnya mampu menahan kekuatan ilmu Agung Sedayu lewat ujung cambuknya, namun seakan-akan Singapati itu mampu dengan cepat mengatasi perasaan sakitnya.

Bahkan sejenak kemudian, maka Singapati itu pun telah melangkah maju lagi. Bahkan meloncat menyerang dengan kekuatan dan kecepatan gerak yang tidak berubah.

Glagah Putih yang melihat pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Menilik ledakan cambuknya, maka Agung Sedayu telah mengerahkan kemampuan ilmunya yang disalurkan lewat juntai cambuknya. Namun juntai cambuknya itu tidak berhasil menghentikan gerak maju lawannya.

Tetapi bagaimanapun juga, ujung cambuk itu telah memberikan kesempatan lebih banyak kepada Agung Sedayu untuk mengatur kedudukannya di hadapan lawannya itu.

Yang menjadi berdebar-debar di dalam bangunan induk padepokan itu adalah Kiai Gringsing. Iapun mendengar dan merasakan getaran cambuk Agung Sedayu. Getaran cambuk yang telah melontarkan ilmunya.

Tetapi Kiai Gringsing berusaha untuk tidak memberikan kesan yang dapat membuat hati Sekar Mirah yang pucat, iapun berkata, “Jangan cemas Sekar Mirah. Cambuk yang melontarkan ilmu suamimu ini bukan ilmu puncaknya. Ia memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari ujung cambuknya, yaitu sorot matanya.“

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi hatinya benar-benar tidak menjadi tenang. Bahkan kemudian katanya, “Apakah aku diijinkan untuk melihat keadaan Kakang Agung Sedayu?“

Kiai Gringsing menggeleng lemah. Katanya, “Kau di sini saja bersamaku Mirah.“

Sekar Mirah tidak memaksa. Tetapi hatinya menjadi semakin gelisah ketika cambuk itu meledak beberapa kali berturut-turut.

Yang tidak kalah gelisahnya adalah Glagah Putih. Lawan Agung Sedayu ternyata memang seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Meskipun ia harus melawan ujung cambuk Agung Sedayu, namun ia masih juga mampu menyerang dengan garangnya. Bahkan beberapa kali ia mampu menyentuh tubuh Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu tidak membentengi dirinya dengan ilmu kebalnya, maka tubuh Agung Sedayu itu pun telah menjadi lumat. Bahkan semakin tajam Agung Sedayu mempergunakan ilmu kebalnya, maka dari dirinya seakan-akan telah memancar udara yang panas.

Sebenarnyalah bahwa Singapati pun menjadi berdebar-debar pula. Ujung cambuk Agung Sedayu itu berhasil mengoyak ilmunya dan menyakiti tubuhnya. Bahkan kemudian di sekeliling Agung Sedayu itu seakan-akan telah diselimuti oleh udara yang panas.

Tetapi pertempuran itu masih saja berlangsung semakin sengit. Keduanya saling mendesak, saling menyerang dan saling mengelak. Namun serangan demi serangan telah saling mengenai sasarannya, sehingga keduanya menjadi kesakitan, meskipun keduanya tidak terluka.

“Anak iblis,“ geram Singapati, “ternyata kau memiliki juga ilmu kebal. He, dari jenis ilmu kebal yang mana yang kau pergunakan?“

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi cambuknya telah bergetar mengenai tubuh lawannya, sehingga lawannya itu terdorong selangkah surut. Tetapi tiba-tiba saja Singapati dari perguruan Worsukma itu telah meloncat maju dengan cepatnya. Tangannya berhasil mengenai dada Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu-lah yang terdesak. Beberapa langkah Agung Sedayu terdorong surut. Tetapi ketika lawannya itu memburunya, maka dengan cepat pula Agung Sedayu meledakkan cambuknya mengarah ke wajah orang itu. Untuk menghindarinya, maka lawannya telah memalingkan wajahnya itu. Namun demikian juntai cambuk Agung Sedayu itu justru mengenai tengkuknya.

Sambil berdesis menahan sakit, maka orang itu pun telah berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya.

Agung Sedayu tidak melepaskan lawannya. Selagi lawannya itu masih belum mapan benar, maka cambuknya telah meledak sekali lagi mengenai tubuh orang itu pula. Ternyata orang yang mengaku pewaris ilmu perguruan Worsukma itu benar-benar telah kehilangan keseimbangannya. Terhuyung-huyung sejenak, namun kemudian iapun telah terjatuh.

Namun ketika Agung Sedyu meloncat mendekatinya, orang itu telah berguling beberapa kali. Justru kemudian dengan sigapnya iapun telah melenting berdiri. Demikian kedua kakinya tegak, maka Singapati itupun telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Ia tidak menghiraukan ketika juntai cambuk Agung Sedayu mengenainya. Langkahnya memang tertahan, namun iapun kemudian telah meloncat menyusup di sela-sela putaran cambuk Agung Sedayu dan langsung menyerang ke arah dada.

Agung Sedayu berusaha mengelak. Namun serangan itu datang seakan-akan tanpa memperhitungkan ujung cambuk Agung Sedayu, sehingga justru karena itu, maka Agung Sedayu telah sedikit terlambat bergerak. Serangan orang itu ternyata telah mengenai pundak Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu telah meningkatkan ilmu kebalnya, namun serangan itu masih juga terasa betapa sakitnya. Karena itu, maka Agung Sedayu telah dengan cepat menghindar ketika orang dari perguruan Worsukma itu menyerangnya sekali lagi.

Agung Sedayu yang berhasil mengambil jarak, telah meledakkan cambuknya pula mengenai orang itu. Karena itu, maka orang yang telah melangkah memburu Agung Sedayu itu terhenti.

Namun Agung Sedayu tidak menghentikan serangannya. Sekejap kemudian ujung cambuknya telah meledak dan meledak lagi. Beberapa kali orang itu terdesak mundur. Namun orang itu masih juga berusaha untuk mengatasi rasa sakitnya dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya, di samping perisai ilmunya yang mirip dengan Aji Tameng Waja itu. Dengan demikian maka pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Dengan cara masing-masing keduanya berusaha untuk mengalahkan lawannya.

Namun agaknya cambuk Agung Sedayu telah memaksa orang itu untuk bekerja lebih keras. Bagaimanapun juga, cambuk Agung Sedayu benar-benar merupakan senjata yang luar biasa. Ujungnya yang setiap kali dihentakkan sendal pancing itu telah menyakiti hampir seluruh tubuhnya, meskipun sudah mempergunakan perisai ilmu yang jarang ada duanya.

Tubuh Agung Sedayu juga merasa sakit-sakit oleh pukulan-pukulan lawannya yang berhasil menyusup di antara putaran cambuknya dan menembus ilmu kebalnya. Tetapi Agung Sedayu masih mampu mengatasinya dengan daya tahan tubuhnya yang kuat di bawah ilmu kebalnya. Sementara itu keduanya pun telah menunjukkan kemampuan dalam kecepatan gerak masing-masing, sehingga keduanya bagaikan bayangan yang terbang berputaran.

Sementara itu, pertempuran antara para cantrik dan pengikut Singapati itu telah mencapai satu keseimbangan yang pasti. Para cantrik yang jumlahnya telah bertambah itu benar-benar telah berhasil mendesak lawannya. Korban pun berjatuhan dan darah telah menitik ke bumi.

Perlahan-lahan para cantrik mendesak lawan-lawan mereka. Namun beberapa kali para cantrik masih menawarkan kesempatan untuk menyerah. Namun agaknya para pengikut Singapati itu tidak menghiraukannya.

Dalam pada itu, Glagah Putih merasa tidak perlu ikut bertempur di antara para cantrik yang sebentar lagi tentu akan berhasil menguasai lawannya. Hidup atau mati. Jika mereka memang pantang menyerah, maka memang tidak ada pilihan lain daripada membunuh mereka. Amat berbahaya bagi padepokan itu jika membiarkan saja mereka melarikan diri.

Tetapi membunuh memang bukan tujuan mereka. Itu telah ternyata dari seruan para cantrik untuk menyerah saja. Namun agaknya orang-orang yang menyerang padepokan itu berkeberatan. Mereka memang memilih mengakhiri perlawanan mereka dengan kematian, karena mereka mengira bahwa kematian merupakan penyelesaian yang tuntas bagi pengabdian mereka.

Dengan demikian maka para pengikut Singapati itu seakan-akan telah bertempur dengan putus-asa, karena tidak ada harapan bagi mereka untuk menang. Yang mereka lakukan tidak ubahnya sebagai satu usaha untuk membunuh diri bersama-sama. Adalah satu kemenangan bagi mereka apabila mereka dapat membunuh lawannya, karena dengan demikian maka mereka mendapat kawan untuk mati.

Tetapi jumlah para cantrik yang banyak, tidak memberi kesempatan dan peluang sama sekali kepada mereka. Satu-satu para pengikut Singapati itu telah tertembus oleh tajamnya senjata para cantrik. Namun di antara keyakinan untuk bertahan sampai mati, ternyata ada juga di antara mereka yang menyerah. Satu dua di antara mereka telah melemparkan senjata mereka dan tidak lagi mengadakan perlawanan.

Sementara itu, pertemuran yang terpisah ternyata masih berlangsung, justru semakin sengit. Keduanya benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Desak mendesak, serang-menyerang dengan cepat. Dan karena itu, maka pertempuran itu menjadi semakin sulit untuk dinilai.

Di bangunan induk, kegelisahan Sekar Mirah agaknya memang sudah memuncak. Ia masih mendengar ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu yang menggetarkan udara dengan dorongan kekuatan ilmunya. Meskipun ledakan itu tidak terlalu keras, tetapi justru mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar atas lawannya. Namun untuk sekian lama, hentakan-hentakan cambuk itu belum berhasil menghentikan perlawanan lawannya itu.

Kiai Gringsing yang melihat kegelisahan Sekar Mirah telah berusaha menenangkannya. Dengan nada yang lembut dan bahkan senyum di bibir Kiai Gringsing berkata, “Percayalah bahwa suamimu akan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya, Mirah. Dalam keadaan yang gawat, maka serahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Agung.“

“Apakah aku boleh melihat keadaan Kakang Agung Sedayu, Kiai?“ berkata Sekar Mirah, “Kita tidak tahu, apakah Kakang Agung Sedayu harus bertempur melawan satu orang atau banyak orang. Barangkali aku dapat membantunya, daripada aku menunggu di sini.“

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita pergi melihatnya.“

“Maksud Kiai?“ bertanya Sekar Mirah.

“Aku pun akan pergi. Kau tentu akan bersedia membantuku,“ berkata Kiai Gringsing.

“Kiai sedang sakit. Tidak baik untuk keluar malam hari,“ berkata Sekar Mirah.

“Tetapi sakitku sudah jauh susut. Bukankah aku telah hampir sehat kembali?“ berkata Kiai Gringsing pula.

“Tetapi sebaiknya Kiai tinggal di sini,“ minta Sekar Mirah.

Tetapi Kiai Gringsing itu pun tersenyum. Iapun justru telah bangkit berdiri dan berjalan dengan bantuan tongkatnya. Katanya, “Marilah. Kita pergi.“

Sekar Mirah tidak dapat membantah. Iapun kemudian mengiringi Kiai Gringsing yang berjalan perlahan-lahan. Namun kemudian di pendapa ia berkata kepada seorang cantrik, “Kemarilah. Kita melihat apa yang terjadi.“

Dengan berpegang pada cantrik itu, maka Kiai Gringsing dapat berjalan lebih cepat, diikuti oleh Sekar Mirah yang menjinjing tongkat baja putihnya.

Ketika Kiai Gringsing mendekati arena, maka beberapa orang cantrik telah berdiri bebas. Lawan-lawannya telah dilumpuhkannya. Karena itu, ketika mereka melihat kehadiran Kiai Gringsing, maka dengan tergesa-gesa mereka menyongsongnya.

“Kiai, apakah keadaan Kiai sudah baik?“ bertanya seorang cantrik.

Kiai Gringsing tersenyum. Pertempuran memang sudah hampir selesai. Namun dalam pada itu, Sekar Mirah pun bertanya, “Dimana Kakang Agung Sedayu?“

Cantrik itu termangu-mangu. Namun mereka pun tidak usah terlalu sulit untuk mencarinya, ketika kemudian terdengar cambuk Agung Sedayu meledak.

Dengan serta merta mereka pun telah menuju ke suara cambuk itu. Di dalam kegelapan mereka segera melihat dua orang yang sedang bertempur dengan sengitnya. Bahkan Glagah Putih pun telah berada di tempat itu pula. Namun Glagah Putih sama sekali tidak berbuat sesuatu, seakan-akan Agung Sedayu itu sedang berperang tanding, sehingga tidak ada orang lain yang pantas untuk ikut campur.

Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing, Sekar Mirah dan beberapa orang cantrik telah berdiri di sebelah Glagah Putih yang telah datang lebih dahulu.

Agaknya murid dari perguruan Worsukma itu melihat kedatangan mereka, sehingga orang itu pun kemudian berteriak, “Marilah. Siapa yang akan ikut mati bersama orang ini? Semakin banyak kalian memasuki arena, maka akan semakin cepat pekerjaanku selesai.“

Namun seorang cantrik telah menyahut, “Orang-orangmu telah habis. Sebagian besar memang telah membunuh diri, sedang yang lain telah menyerah. Apakah kau akan tetap bertempur?“

“Aku koyakkan mulutmu. Jangan mencoba menghina aku,“ geram orang itu.

Cantrik itu memang berdiam diri, sementara itu pertempuran antara orang yang menyebut dirinya Singapati itu dengan Agung Sedayu telah berlangsung semakin cepat. Beberapa kali cambuk Agung Sedayu meledak. Udara pun telah tergetar menghentak jantung. Apalagi orang yang tersentuh ujung cambuk itu. Tetapi lawannya ternyata mampu mengatasinya. Bahkan masih sempat bergerak maju dan menyusup menyerang.

Sekar Mirah memang menjadi semakin gelisah melihat pertempuran itu. Ternyata lawan Agung Sedayu adalah orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga mampu melawan juntai cambuk Agung Sedayu yang dihentakkan sendal pancing dengan segenap kekuatan ilmunya.

Yang terjadi kemudian memang mendebarkan jantung. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan. Keduanya mempergunakan ilmu kebal, meskipun dari jenis yang berlainan. Bahkan lawan Agung Sedayu itu mampu membuat dirinya bagaikan sekeras baja, sementara jenis ilmu kebal Agung Sedayu justru telah memancarkan panas dari tubuhnya. Di samping itu, maka ledakan-ledakan cambuknya mampu menembus ilmu kebal lawannya, meskipun lawannya itu mampu mengatasi rasa sakitnya.

Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin sengit dan mendebarkan. Desak mendesak, serang menyerang dengan kekuatan dan kemampuan di luar jangkauan orang kebanyakan. Tetapi anehnya justru cambuk Agung Sedayu itu lambat laun telah benar-benar menyakiti kulit lawannya, sementara itu panas di tubuh Agung Sedayu yang semakin tajam pun telah berpengaruh pula pada lawannya. Tubuhnya yang bagaikan besi baja yang tidak tembus ditusuk ujung senjata, namun justru mulai merasa betapa panasnya udara. Seakan-akan tubuhnya yang menjadi baja itu telah lebih banyak menyerap panas dari pada keadaan wajarnya.

Karena itu, maka orang itu pun telah mempertimbangkan untuk segera mengakhiri pertempuran dengan ilmu simpanannya yang jarang sekali dipergunakannya, jika tidak karena tidak ada pilihan lain. Ilmu yang memang sangat dikagumi dari perguruan Worsukma, karena ilmu itu mampu membuat lawannya menjadi hitam atau merah sebagaimana dikehendakinya.

Karena itulah maka orang itu pun telah mengambil sikap. Dengan sigapnya Singapati itu meloncat beberapa langkah surut. Kemudian berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada.

Agung Sedayu terkejut. Ia sadar, bahwa lawannya tentu akan melepaskan ilmunya yang paling berbahaya.

Sementara itu tidak ada orang lain yang dapat membantu, selain orang yang dikenai itu sendiri mempertahankan diri. Kecuali dengan langsung memadamkan sumbernya. Namun dengan demikian, maka akan dapat menjatuhkan martabat Agung Sedayu yang meskipun tidak sedang berperang tanding, tetapi agaknya keduanya telah bertekad untuk mengadu kemampuan ilmu mereka.

Ternyata bahwa orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Bahkan Kiai Gringsing pun menjadi berdebar-debar pula. Perguruan Worsukma memang mempunyai sejenis ilmu yang jarang ada duanya.

Beberapa saat orang itu berdiri tegak. Agung Sedayu pun berdiri tegak pula di tempatnya. Kiai Gringsing menjadi semakin cemas ketika ia melihat bahwa Agung Sedayu telah menatap wajah lawannya. Tetapi iapun tidak dapat berteriak mencegahnya. Karena dengan demikian, maka ia sudah membantu Agung Sedayu.

Suasana pun kemudian menjadi sangat tegang. Kedua orang yang bertempur itu tengah memusatkan nalar budi mereka.

Singapati merasa mendapatkan kesempatan ketika Agung Sedayu justru menatap wajahnya. Dengan serta merta maka Singapati telah mengetrapkan ilmunya. Ilmu kebanggaan perguruan Worsukma. Dengan kekuatan sorot matanya, maka Singapati telah mengetrapkan ilmunya. Perlahan-lahan dengan penuh keyakinan, maka Agung Sedayu yang menatap matanya itu tentu akan segera tunduk pada kehendaknya.

Sementara itu, Agung Sedayu pun merasa sesuatu mempengaruhi jiwanya. Ada kehendak yang bergejolak tanpa dimengertinya. Seakan-akan telah terjadi benturan di dalam dirinya. Dengan cepat Agung Sedayu teringat, siapakah lawannya itu. Karena itu, maka dengan serta merta Agung Sedayu pun telah mengikatkan diri pada Sumbernya. Dengan demikian, maka ia akan tetap melekat erat tanpa berkisar sejengkal pun dari pijakannya.

Dalam sandaran yang kokoh Agung Sedayu dengan sengaja telah menatap mata lawannya. Ia yakin akan dirinya dan sandarannya yang tidak akan goyah. Apalagi Agung Sedayu yakin, bahwa ia justru sedang mempertahankan diri dan haknya. Benturan kekerasan yang terjadi itu bukan karena salahnya.

Untuk beberapa saat keduanya saling memandang. Keduanya memiliki landasan yang sama-sama kokoh, tetapi berbeda. Namun Agung Sedayu yakin, bahwa tidak ada sandaran yang lebih kokoh dari Sumber segala sumber itu.

Ketegangan telah mencengkam jantung orang-orang yang memperhatikan kedua orang yang berdiri bagaikan patung itu. Namun kemudian perlahan-lahan Singapati telah melangkah mendekat.

Agung Sedayu masih tetap berdiri saja tanpa bergerak. Seolah-olah Agung Sedayu tidak lagi mampu mengambil sikap menghadapi lawannya.

Sambil melangkah, maka lawannya itu pun kemudian tertawa. Katanya di sela-sela tertawanya, “Ternyata kemampuanmu tidak lebih dari kemampuan kewadagan. Apa yang dapat kau lakukan sekarang? Kau telah berada dalam kuasaku. Sebentar lagi kau tentu akan membunuh dirimu sendiri. Tetapi itu yang terakhir kau lakukan, setelah kau membunuh semua orang-orangmu.“

“Gila!“ Sekar Mirah tiba-tiba berteriak.

Tetapi Kiai Gringsing cepat menahannya ketika perempuan itu hampir saja menghambur berlari menyerang Singapati.

Singapati itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kalian akan mengalami satu pertempuran yang asing. Kalian sebentar lagi akan bertempur melawan orang ini, karena orang ini akan segera menyerang kalian atas namaku. Jangan terkejut bahwa orang ini dengan segala ilmunya yang tinggi akan menghancurkan padepokan ini. Tidak seorang pun yang akan dapat melawannya.“

“Kiai,“ suara Sekar Mirah tersendat di kerongkongan.

Kiai Gringsing pun menjadi gelisah, sementara Glagah Putih memang menjadi bingung. Apa yang dapat dilakukannya. Jika ia melawan Agung Sedayu dengan ilmu puncaknya, mungkin serangannya yang mengandung kekuatan api atau air, atau kekuatan yang lain yang dapat dilakukannya, jika mampu menembus ilmu kebalnya, akan dapat merusakkan tubuh Agung Sedayu. Sementara hal itu belum merupakan satu kepastian bahwa pribadi Agung Sedayu akan dapat dipulihkan.

Dalam pada itu, pewaris Perguruan Worsukma itu masih berkata, “Karena itu, untuk selanjutnya, tidak seorang pun yang akan mampu mengalahkan Perguruan Worsukma. Perguruan yang tidak ada duanya lagi dalam masa sekarang.“ Orang itu berhenti sejenak. Ia masih melangkah mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di dadanya, “Sebentar lagi, orang ini akan bergerak atas namaku.“

Singapati pun kemudian berhenti tiga langkah di hadapan Agung Sedayu. Dipandanginya mata Agung Sedayu sambil berdesah, “Lakukan apa yang aku inginkan. Kau harus mempergunakan semua kekuatan ilmumu untuk membinasakan isi padepokan ini. Kau dapat mempergunakan segala kemampuan ilmumu yang tinggi untuk membunuh semua orang yang menentangmu. Lakukan apa yang aku perintahkan, karena kau adalah bagian dari kehendakku.“

Agung Sedayu masih berdiri tegak. Sementara orang itu pun telah tertawa pula keras-keras. Iapun kemudian menggerakan kedua tangannya. Terjulur lurus ke arah Agung Sedayu sambil berkata, “Nah, lakukan sekarang apa yang aku katakan. Hancurkan padepokan ini, dan bunuh semua orang yang tidak termasuk golonganku, orang yang memerintahmu. Lakukan perintahku, demi nama Perguruan Worsukma yang agung.“

Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu menjadi tidak sabar lagi. Bagi Glagah Putih dan Sekar Mirah, maka yang terbaik untuk mengatasinya adalah menyerang orang yang telah membius Agung Sedayu dengan ilmunya itu. Dengan demikian, maka kekuatan biusnya itu akan hilang.

Namun keduanya pun menyadari, bahwa orang itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Glagah Putih tidak tahu, apakah ilmunya akan dapat menembus kekuatan ilmu kebal orang yang telah mebius Agung Sedayu itu, yang mirip dengan Aji Tameng Waja.

Selagi mereka belum dapat menemukan langkah yang paling baik harus dilakukan, maka mereka melihat Agung Sedayu itu mulai bergerak. Bahkan Agung Sedayu itu sudah bergeser selangkah surut, sementara Singapati tertawa sambil berkata, “Bagus. Lakukanlah.“

Sementara itu Singapati seakan-akan tidak menghiraukan orang -orang lain yang memperhatikan apa yang terjadi, karena ia terlalu yakin, seandainya ada di antara mereka menyerangnya, maka serangannya tidak akan mampu menembus ilmu kebalnya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang surut selangkah itu telah berdiri tegak. Tangannya masih bersilang di dadanya. Namun yang terjadi benar-benar telah mengejutkan semua orang yang menyaksikan peristiwa itu terjadi. Agung Sedayu sama sekali tidak melakukan perintah orang itu, tetapi dari jarak yang terlalu dekat Agung Sedayu justru telah menyerang orang itu dengan kekuatan sinar yang memancar dari matanya.

Singapati pun terkejut bukan buatan. Tetapi semuanya sudah terlambat. Serangan Agung Sedayu itu langsung mengenai dada orang yang mengaku memiliki warisan ilmu dari Perguruan Worsukma itu. Terdengar orang itu. berteriak nyaring. Ternyata ia telah terdorong selangkah surut. Serangan Agung Sedayu itu telah mengoyak ilmu kebalnya yang mirip dengan Aji Tameng Waja itu. Betapa perasaan sakit telah menghentak di dada, dan bahkan seluruh isi dadanya seakan-akan telah terbakar.

Dengan sekuat tenaga orang itu berusaha mengatasi rasa sakitnya. Kemudian dengan sisa tenaganya ia meloncat jauh ke depan, menyerang Agung Sedayu. Ayunan tangannya yang bagaikan besi baja itu telah dengan kuatnya menghantam dada Agung Sedayu.

Agung Sedayu memang menangkis serangan itu. Tetapi kekuatan orang itu memang luar biasa. Ketika satu tangannya luput menggapai dada Agung Sedayu, maka tangannya yang lain dengan cepat sekali telah menyerang pula.

Ternyata serangan berikutnya itu berhasil menyusup pertahanan Agung Sedayu yang terlambat menangkisnya. Serangan itu tepat mengenai dadanya, sehingga Agung Sedayu itu telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan Agung Sedayu itu telah terbanting jatuh dan berguling di tanah.

Ketika Agung Sedayu dengan susah payah berusaha untuk bangkit, maka Singapati itu telah melangkah dengan langkah-langkah pendek mendekatinya. Namun sesaat kemudian langkah-langkah itu pun telah terhenti.

Agung Sedayu yang dadanya bagaikan terhimpit besi baja itu, telah mempergunakan sisa tenaganya untuk menyerang lawannya yang masih berdiri beberapa langkah di hadapannya. Justru pada saat lawannya itu mulai bergerak lagi, maka Agung Sedayu telah melepaskan serangannya kembali.

Serangan itu memang tidak sedahsyat serangannya yang pertama. Tetapi kekuatan dan daya tahan lawannya pun telah melemah. Demikian pula ilmu kebalnya, sehingga serangan Agung Sedayu itu benar-benar telah meremas isi dada lawannya.

Lawannya itu terdorong selangkah surut. Sambil terhuyung-huyung iapun mengumpat. Katanya, “Kenapa kau tidak tunduk kepada perintahku, Anak Iblis?“

Nafas Agung Sedayu menjadi terengah-engah. Karena itu ia tidak menjawab.

“Kau justru berhasil mengelabui aku dengan pura-pura tunduk kepadaku. Namun dengan licik kau telah menyerangku dari jarak yang sangat pendek dengan ilmu iblismu itu,“ geram orang itu dengan suara yang gemetar.

“Ilmumu mungkin dapat menumbangkan kesadaranku Ki Sanak, tetapi tidak akan pernah mampu menggetarkan sandaranku,“ jawab Agung Sedayu. Suaranya juga bergetar karena rasa sakit di dadanya.

“Tetapi akhirnya aku dapat membunuhmu sekarang,“ suara orang itu semakin sendat. Bahkan sejenak kemudian iapun tidak dapat bertahan lagi. Ketika ia melangkah maju, maka iapun justru terjatuh di tanah.

Agung Sedayu masih berdiri tegak. Namun rasa-rasanya tubuhnya pun menjadi semakin lemah. Karena itu, maka perlahan-lahan iapun telah menjatuhkan dirinya dan berdiri di atas lututnya.

Sekar Mirah tidak dapat menahpn diri lagi. Iapun kemudian telah berlari mendapatkan suaminya yang lemah.

“Kakang,“ desis Sekar Mirah.

Agung Sedayu benar-benar telah menjadi lemah. Bahkan iapun telah duduk di tanah.

Ketika Sekar Mirah akan memeluk suaminya, maka ternyata Kiai Gringsing yang telah berdiri di belakangnya telah menggamitnya sambil berkata, “Beri kesempatan suamimu mengatur pernafasannya. Itu akan sangat berarti bagi keadaannya yang memang agak parah.“

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun iapun melakukan apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Namun iapun kemudian membantu Agung Sedayu untuk duduk bersila menyilangkan tangannya di dadanya.

Beberapa saat Agung Sedayu mencoba mengatur jalan pernafasannya yang tersendat, karena dadanya yang serasa telah diremukkan oleh serangan lawannya yang mampu menembus ilmu kebalnya. Perlahan-lahan jalan pernafasan Agung Sedayu pun menjadi lancar kembali, sementara itu maka denyut darahnya pun menjadi wajar. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Agung Sedayu pun telah berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan yang terjadi di dalam dirinya. Meskipun tidak sepenuhnya, tetapi rasa-rasanya dadanya telah menjadi longgar.

“Bawa Agung Sedayu masuk,“ desis Kiai Gringsing, “mungkin aku harus membantunya dengan obat-obatan.“

Agung Sedayu yang sudah merasa menjadi lebih baik itu pun telah dibantu oleh Sekar Mirah dan Glagah Putih untuk berdiri, dan kemudian perlahan-lahan perjalanan menuju ke bangunan induk padepokan itu. Sementara Kiai Gringsing memerintahkan para cantrik untuk mengatur segala sesuatunya tentang orang-orang yang terluka, terbunuh dan yang tertangkap.

Namun Kiai Gringsing masih sempat untuk mengamati keadaan orang yang mengaku pewaris tunggal Perguruan Worsukma itu. Ternyata bahwa orang itu telah terbunuh dalam pertempuran melawan Agung Sedayu.

Tetapi Kiai Gringsing dengan demikian menyadari, bahwa orang itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi. Agung Sedayu tentu tidak akan mempergunakan ilmu puncaknya, jika ia memang tidak benar-benar telah tersudut. Bahkan di saat cambuknya sudah tidak dapat menghentikan lawannya. Sebagaimana ternyata bahwa kemampuan ilmu orang itu ternyata pula telah dapat menembus ilmu kebal Agung Sedayu.

“Pisahkan orang ini dari yang lain,“ berkata Kiai Gringsing.

Seorang cantrik yang berdiri di sebelahnya pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Baik Kiai.“

“Kumpulkan segera kawan-kawanmu yang terluka. Mungkin ada pula yang gugur dalam pertempuran ini. Bawa mereka ke pendapa,“ berkata Kiai Gringsing pula.

“Ya Kiai,“ jawab cantrik itu.

“Aku akan melihat keadaan Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing pula.

Dikawani oleh seorang cantrik, Kiai Gringsing pun berjalan dengan tongkatnya menuju ke bangunan induk. Sementara itu, Agung Sedayu telah dibaringkan di biliknya pula, ditunggui oleh Sekar Mirah dan Glagah Putih. Meskipun pernafasannya telah lancar dan urat-urat darahnya telah terbuka dan darahnya mengalir teratur, namun nampak wajah Agung Sedayu itu sangat pucat. Sehingga karena itu, maka Sekar Mirah pun menjadi sangat cemas.

Ketika Kiai Gringsing berada di dalam bilik itu pula, maka barulah ia mengetahui, bahwa Glagah Putih pun telah terluka. Bahkan sebutir biji besi masih berada di dalam dagingnya.

“Aku harus mengambilnya,“ berkata Kiai Gringsing pula.

Glagah Putih termangu-mangu. Agaknya Agung Sedayu memerlukan pertolongan lebih dahulu daripada dirinya, meskipun lengannya terasa betapa sakitnya.

Ketika Kiai Gringsing kemudian meraba dada Agung Sedayu, maka iapun bertanya, “Bagaimana pernafasanmu Agung Sedayu?“

Suara Agung Sedayu lambat dan bergetar, “Sudah baik, Guru.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ketika Kiai Gringsing menyibakkan baju Agung Sedayu, nampak di dadanya bekas serangan lawannya yang membiru.

“Luar biasa,“ desis Kiai Gringsing, “dengan lambaran ilmu kebal, ia masih dapat memberikan bekas pada kulit Agung Sedayu. Jika dengan ilmunya ia memukul orang kebanyakan, maka orang itu tentu akan menjadi lumat seperti tertimpa batu hitam sebesar kerbau yang dilontarkan oleh gunung berapi yang meledak.“

Sekar Mirah pun menjadi sangat berdebar-debar. Dari bekas di dada Agung Sedayu, mereka yang menyaksikannya dapat menduga betapa tinggi ilmu orang itu. Namun dengan demikian, orang-orang yang ada di dalam bilik itupun telah bersukur, bahwa Agung Sedayu masih mendapat perlindungan Yang Maha Agung. Bahkan kemampuan ilmu Perguruan Worsukma untuk merampas pribadi seseorang pun tidak berhasil menguasai Agung Sedayu, justru karena Agung Sedayu mempunyai sandaran yang tidak tergoyahkan, sementara dengan ketetapan hati Agung Sedayu benar-benar telah mengikatkan diri kepada-Nya.

Sesaat kemudian Agung Sedayu itu pun telah mendapat obat yang berujud cairan berwarna kecoklat-coklatan bercampur warna hijau. Perlahan-lahan Sekar Mirah membantu Agung Sedayu mengangkat kepalanya, kemudian meneguk obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing itu.

“Mudah-mudahan daya tahan tubuhmu meningkat,“ berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Sementara itu, beristirahatlah. Aku akan mengambil biji besi di dalam daging Glagah Putih sebentar.“

“Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu perlahan.

Kiai Gringsing pun kemudian berkata kepada Sekar Mirah, “Tunggulah suamimu. Ia akan berangsur baik, meskipun tidak dengan serta merta.“

“Ya Kiai,“ jawab Sekar Mirah sambil mengangguk hormat.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun telah membawa Glagah Putih ke dalam sebuah bilik yang khusus. Ada berbagai macam alat yang dipergunakan oleh Kiai Gringsing untuk mengobati orang-orang sakit, tetapi juga terdapat alat untuk mengambil benda-benda yang tidak dikehendaki yang terdapat di dalam tubuh seseorang, sebagaimana biji besi yang mengeram di dalam daging Glagah Putih.

Dengan pengetahuannya yang luas, maka Kiai Gringsing pun telah memanasi sebuah pisau kecil yang runcing. Kemudian mengikat lengan Glagah Putih keras-keras.

“Bersiaplah Glagah Putih,“ berkata Kiai Gringsing, “kau mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengatasi rasa sakit.“

Glagah Putih tidak menjawab. Namun Kiai Gringsing telah memberikan sebatang kayu gabus kepadanya. “Gigitlah.“

Glagah Putih semula merasa ragu-ragu. Tetapi Kiai Gringsing memperingatkan, bahwa jika ia tidak menggigit kayu gabus itu, jika ia menggertakkan giginya, mungkin giginya dapat mengalami kerusakan.

Dengan dibantu oleh beberapa orang cantrik, maka Kiai Gringsing pun telah melakukan pekerjaannya. Bagi Kiai Gringsing pekerjaan itu tidak terlalu sulit, karena biji itu jelas nampak di dalam daging di bagian luar tubuhnya.

Namun ternyata Kiai Gringsing memang sudah tua. Apalagi sedang sakit. Ketika ia mulai mengacukan pisaunya, nampak ujung pisau itu agak bergetar. Bukan karena keragu-raguannya, karena pekerjaan seperti itu sudah sering dilakukan, tetapi ketuaannya-lah yang membuat tangannya itu gemetar.

Glagah Putih telah mengerahkan segenap kemampuannya meningkatkan daya tubuhnya untuk mengatasi rasa sakitnya. Namun masih juga terasa betapa ujung pisau di tangan Kiai Gringsing itu mengoyak kulitnya, sehingga giginya pun kemudian bagaikan tertancap pada kayu gabus yang digigitnya untuk menahan sakitnya.

Pekerjaan Kiai Gringsing itu dapat diselesaikan tidak terlalu lama. Kemudian ditaburkannya obat pada bekas kulit yang dikoyaknya untuk mengeluarkan biji besi itu.

“Tidak beracun,“ berkata Kiai Gringsing.

Untuk mencegah agar obat yang ditaburkan tidak berhamburan, maka Glagah Putih itu pun kemudian telah dibalut dengan kain yang bersih, dilambari dengan selapis tipis selaput pada batang pisang yang memang diambil untuk kepentingan itu, dan yang sudah dibersihkan dengan diuapi air mendidih, agar jika ada kuman-kuman penyakit, dapat terbunuh karenanya.

“Aku harus menggantinya sehari dua kali,“ berkata Kiai Gringsing, “sementara itu kaupun tidak boleh terlalu banyak bergerak, agar lukamu tidak berdarah.“

“Ya Kiai,“ jawab Glagah Putih yang masih berkeringat. Rasa sakit yang sangat masih terasa pada luka dan di sekitarnya.

“Meskipun tidak beracun, tetapi biji-biji besi atau bentuk yang lain yang terdapat di dalam tubuh seseorang memang harus segera diambil. Jika tidak, maka sejenis besi atau beberapa macam logam yang lain akan sangat buruk akibatnya,“ berkata Kiai Gringsing pula.

“Ya Kiai,“ desis Glagah Putih, “aku mengucapkan terima kasih.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Itu sudah menjadi tugasku. Apalagi kau terluka akibat kau melindungi padepokan kecil ini.“

“Sekedar membantu para cantrik,“ sahut Glagah Putih.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun kemudian telah dibawa kembali ke dalam biliknya. Beberapa orang cantrik yang mengawaninya di dalam bilik itu ternyata masih sibuk mengurus orang-orang yang terluka dan terbunuh di peperangan. Juga orang-orang yang telah menyerah. Namun masih ada juga seorang cantrik yang kemudian menungguinya.

“Aku lebih senang di sini daripada sibuk di halaman,“ berkata cantrik itu sambil tertawa.

“Kau akan mendapat nilai kurang dari pemimpin kelompokmu,“ Glagah Putih mencoba tersenyum.

Cantrik itu tertawa. Katanya, “Tentu tidak. Aku mendapat perintah dari Kiai Gringsing.“

“Kiai Gringsing tidak memberikan perintah begitu,“ berkata Glagah Putih kemudian. Lalu, “Jika diusut, maka ternyata bahwa kau berbohong.“

“Kiai Gringsing tidak akan ingat, apakah ia memberi perintah atau tidak. Asal aku berkeras mengatakan mendapat perintah dari Guru, maka akhirnya Kiai Gringsing tentu akan mengiakan,“ jawab cantrik itu masih sambil tertawa. “Guru menjadi semakin pelupa.“

Glagah Putih pun tertawa pula. Dimana-mana dalam kumpulan sekelompok anak-anak muda, tentu ada juga yang nakal. Ketika Glagah Putih kemudian berbaring di pembaringannya sambil sekali-sekali berdesah menahan sakit, cantrik itu telah menyelarak pintu dan ikut pula berbaring. Bahkan sejenak kemudian, telah terdengar dengkur perlahan-lahan cantrik yang agaknya memang letih itu. Tetapi Glagah Putih sendiri justru masih saja gelisah. Perasaan sakit masih saja terasa menggigit di lukanya. Agaknya perasaan sakit itu timbul karena obat yang justru mulai bekerja.

Di hari yang kemudian menjadi semakin cerah. Kiai Gringsing telah memberikan beberapa perintah. Beberapa orang cantrik telah mendapat tugasnya masing-masing. Dua orang akan menghadap Ki Untara untuk melaporkan apa yang terjadi di padepokan itu, serta mohon beberapa orang prajurit untuk mengambil orang-orang yang tertawan. Dua orang agar menghubungi Ki Widura, dan atas persetujuan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, dua orang akan pergi ke Sangkal Putung untuk memberitahukan bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak dapat datang pada hari itu.

“Kalian dapat melaporkan apa yang telah terjadi apa adanya,“ pesan Kiai Gringsing, “jangan mengarang cerita sendiri, atau menyembunyikan kenyataan dengan sengaja.“

Demikianlah, sejenak kemudian para cantrik itu pun telah berangkat ke tujuan masing-masing. Tetapi karena jarak yang mereka tempuh tidak sama, maka mereka pun tidak bersamaan sampai ke tujuan.

Yang paling cepat sampai adalah dua orang cantrik yang harus menghadap Ki Untara. Untunglah bahwa Ki Untara masih ada di rumahnya, sehingga keduanya langsung sempat menghadap. Laporan kedua orang cantrik itu memang mengejutkan.

Dengan serta merta Untara bertanya, “Kenapa kalian tidak memberikan isyarat kepada kami?“

Kedua orang cantrik itu saling berpandangan. Kemudian seorang di antaranya menjawab, “Kami tidak tahu pasti, apakah sebabnya Kiai Gringsing tidak memerintahkan untuk memberikan isyarat. Namun semula menurut perhitungan kami, kami dapat mengatasi sendiri atas orang-orang yang datang itu.“

“Tetapi kalian harus memberikan korban terlalu banyak. Jika kalian memberikan isyarat, maka kami akan dapat datang dengan kekuatan yang lebih besar, sehingga kalian tidak perlu mengorbankan seorangpun,“ berkata Untara.

Kedua cantrik itu tidak menjawab. Mereka memang tidak mendapat pesan untuk menyampaikan alasan, kenapa padepokan itu tidak memberikan isyarat.

Karena para cantrik itu tidak segera menjawab, maka Untara pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan segera ke padepokan itu.”

Dalam waktu singkat, maka Untara pun telah menyiapkan sekelompok prajurit dari pasukan berkuda yang dapat bergerak cepat. Selain padepokan yang berada dalam lingkungan pengawasannya, Untara juga ingin melihat keadaan adiknya, Agung Sedayu, yang menurut kedua cantrik itu justru telah terluka.

Karena itu, maka sejenak kemudian maka sekelompok pasukan berkuda telah meninggalkan baraknya menuju ke padepokan kecil yang tidak terlalu jauh letaknya.

Sementara itu, Ki Widura yang mendapat laporan tentang padepokan Kiai Gringsing serta keadaan Glagah Putih pun telah dengan tergesa-gesa pula pergi ke padepokan itu. Apalagi ia telah pernah menyatakan kesediaannya untuk berada dalam padepokan itu pula. Sehingga karena itu, selain anaknya telah terluka, maka iapun merasa berkepentingan pula.

Yang sampai ke tujuannya yang terakhir adalah dua orang cantrik yang pergi ke Sangkal Putung. Kedua cantrik itu berganti-ganti telah menceritakan apa yang telah terjadi di padepokan, sehingga Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih belum dapat datang ke Sangkal Putung pada hari itu.

“Kakang Agung Sedayu menyampaikan pesan ini, agar tidak menimbulkan kegelisahan di Sangkal Putung,” berkata salah seorang dari kedua orang cantrik itu.

“Jadi kakang Agung Sedayu telah terluka?” berkata Swandaru.

“Ya. Bahkan agak parah. Glagah Putih juga terluka, tetapi tidak begitu parah,” jawab cantrik ita.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menggeram, “Sayang aku tidak ada di padepokan itu. Jika saja aku tahu, siapa yang telah melukai Kakang Agung Sedayu.”

“Yang melukai Kakang Agung Sedayu telah mati terbunuh,” jawab cantrik itu, “juga oleh Kakang Agung Sedayu.”

“Maksudku dari kelompok atau perguruan yang mana. Adalah hakku, sebagai saudara seperguruan Kakang Agung Sedayu untuk menuntut balas. Apalagi orang-orang itu telah berani memasuki padepokan guruku. Itu berarti bahwa perguruan itu telah menyatakan perang terhadap kami. Bukan salah kami jika kami datang dengan kekuatan untuk menghancurkan mereka. Bukan hanya yang datang di padepokan Guru, tetapi kami berhak memasuki padepokan mereka dan menghancurkannya.” Kedua cantrik itu pun hanya dapat saling berpandangan. Mereka tidak tahu, bagaimana harus menjawab. Namun mereka tidak pernah mendengar rencana itu, baik dari gurunya atau pernyataan sepatah kata saja dari Agung Sedayu, keinginan untuk membalas dendam.

Sementara itu, maka Swandaru pun kemudian berkata kepada Pandan Wangi, “Aku akan pergi ke Jati Anom. Aku ingin melihat keadaan Kakang Agung Sedayu.”

“Apakah aku diperkenankan ikut?” bertanya Pandan Wangi.

“Sebaiknya kau tinggal di rumah. Jangan terlalu banyak bepergian, apalagi berkuda,” jawab Swandaru.

Pandan Wangi mengangguk. Ia mengerti keberatan suaminya. Sehingga karena itu, maka katanya, “Baiklah Kakang. Tetapi berhati-hatilah. Jangan pergi seorang diri.”

“Aku akan pergi bersama kedua orang cantrik ini,” jawab Swandaru.

“Jika Kakang kembali kelak?” bertanya Pandan Wangi.

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan membawa dua pengawal bersamaku.”

“Berhati-hatilah,” pesan Pandan Wangi, “agaknya yang terjadi adalah pertentangan antara dua perguruan. Atau bahkan lebih luas lagi. Karena perguruan di Jati Anom itu adalah perguruan yang berdiri di pihak Mataram, kemudian perguruan lainnya telah memusuhi Mataram.”

Swandaru tersenyum. Katanya, “Aku akan berhati-hati.”

Demikianlah, setelah minta ijin kepada Ki Demang, maka Swandaru pun telah berangkat bersama dua orang pengawal terpilih dari Sangkal Putung.

Ternyata bahwa Swandaru memang sampai ke padepokan gurunya yang terakhir. Justru pada saat Untara telah bersiap untuk membawa para tawanan kembali ke baraknya.

“Marilah, silahkan,” para cantrikpun telah mempersilahkan.

Swandaru sempat bertemu dan berbicara dengan Untara beberapa saat. Sementara Widura pun telah ikut menemuinya pula.

“Agung Sedayu telah terluka di dalam,” berkata Untara.

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku telah memperingatkan, agar Kakang Agung Sedayu bersedia mempergunakan waktunya cukup untuk meningkatkan ilmunya. Pada saat-saat seperti ini, barulah terasa bahwa meningkatkan ilmu akan sangat berarti bagi seseorang yang dengan sengaja menempatkan dirinya pada jajaran olah kanuragan, dimanapun ia berpihak.”

Untara mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Padepokan ini juga tidak memberikan isyarat apa-apa.”

Untara dan Widura masih juga sempat bersama-sama Swandaru menemui Kiai Gringsing, dan kemudian melihat keadaan Agung Sedayu bersama gurunya yang sedang sakit itu.

Demikian Swandaru berdiri di sisi pembaringannya, Agung Sedayu tersenyum sambil berdesis, “Kau, Adi Swandaru.”

“Ya Kakang,” jawab Swandaru, “aku telah mendengar tentang peristiwa yang terjadi di padepokan ini dari dua orang cantrik yang datang ke Sangkal Putung.”

“Itulah yang terjadi di sini,” desis Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-angguk. Kepada gurunya ia bertanya, “Tetapi bukankah luka Kakang Agung Sedayu tidak sangat berbahaya?”

Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Luka Agung Sedayu tidak membahayakan jiwanya asal ia mendapat perawatan yang baik.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya, “Jadi luka Kakang Agung Sedayu benar-benar parah?”

Kiai Gringsing mengangguk kecil. Tetapi katanya, “Tetapi aku yakin, bahwa ia akan dapat sembuh sebagaimana keadaannya sebelumnya. Sebaiknya kita selalu berdoa untuknya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ketika ia sempat memandang wajah adiknya, maka nampak bahwa matanya menjadi pengab. Agaknya Sekar Mirah telah menangis betapapun ia mencoba menahannya.

Beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing pun telah mempersilahkan tamu-tamunya meninggalkan bilik Agung Sedayu dan berkata, “Biarlah ia beristirahat sebanyak-banyaknya.”

Mereka pun kemudian telah duduk kembali di pendapa. Sementara Untara pun telah minta diri untuk membawa para tawanan ke baraknya di Jati Anom, termasuk mereka yang terluka.

Kepada Kiai Gringsing Untara pun berkata, “Nanti sore aku akan kembali, Kiai.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut, “Terima kasih Ngger. Jika Angger sering menengok, Agung Sedayu akan berbesar hati.”

Sepeninggal Untara, maka padepokan itu mengkhususkan kesibukan mereka dengan persiapan penguburan orang-orang yang terbunuh. Sebagian besar dari orang-orang yang menyerang padepokan itu telah memilih mati atau tidak mampu lagi melawan daripada menyerah. Namun dalam pada itu, tiga orang cantrik pun telah gugur, sementara beberapa orang yang lain telah terluka.

Di pendapa, Widura duduk bersama Swandaru, sementara Kiai Gringsing telah berada di dalam biliknya kembali. Kiai Gringsing telah mengatur dirinya sendiri, untuk selalu mencari kesempatan beristirahat dalam kesibukan yang bagaimanapun juga.

“Paman,” berkata Swandaru kepada Widura, “nampaknya Kakang Agung Sedayu bertempur dalam keadaan seimbang dengan lawannya. Untunglah bahwa Kakang Agung Sedayu masih dapat membunuh lawannya, meskipun keadaannya sendiri menjadi parah.”

“Ya,” Ki Widura mengangguk-angguk. Lalu, “Kita wajib bersyukur.”

“Satu pelajaran bagi Kakang Agung Sedayu,” desis Swandaru, “ia memang harus berusaha keras untuk meningkatkan ilmunya.”

“Menurut pendapatku, ditakar dari umurnya, kemampuan Agung Sedayu terhitung mencuat tinggi. Ia memiliki macam-macam kemampuan untuk melindungi dirinya,” berkata Ki Widura.

“Itulah justru kesalahan Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru, “ia terlalu ingin memiliki segala jenis ilmu. Namun sebagaimana biasa, jika perhatian kita terpecah-pecah, maka kita tidak dapat mencapai kedalaman ilmu itu. Aku mempunyai sikap yang lain. Aku telah memperdalam ilmu yang aku terima dari Guru, tanpa menghiraukan yang lain. Namun dengan demikian, aku dapat mencapai kedalamannya, meskipun belum sempurna. Sekarang aku sedang berusaha untuk mencapai tingkat tertinggi dari jenis ilmu yang aku pelajari, meskipun aku harus merambat setapak demi setapak.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar sikap Swandaru terhadap Agung Sedayu, yang menyangka bahwa kakak seperguruannya itu kurang bergairah untuk meningkatkan ilmunya, serta dianggapnya terlalu banyak mempelajari berjenis-jenis ilmu yang justru kurang penting bagi perkembangannya.

Karena itu, untuk selanjutnya Widura yang sudah semakin tua itu pun lebih banyak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Swandaru, daripada menyatakan pendapatnya. Sekali-sekali saja ia menjawab dan mencoba untuk mengurangi penilaian yang kurang sewajarnya dari Swandaru terhadap Agung Sedayu. Namun selebihnya ia hanya mengangguk-angguk saja.

Dalam pada itu, maka kesibukan di padepokan itu pun kemudian memuncak ketika para cantrik membawa korban-korban yang telah terbunuh di peperangan, khususnya mereka yang telah menyerang padepokan itu. Karena penguburan dari para cantrik yang gugur akan dilakukan tersendiri.

Untara yang telah sampai di baraknya ternyata telah mengirimkan pula sekelompok prajurit untuk membantu kesibukan di padepokan kecil itu, agar segala sesuatunya dapat berlangsung dengan cepat. Apalagi Untara mengerti, bahwa orang-orang terpenting dari padepokan itu justru terluka, dan Kiai Gringsing sendiri sedang terganggu kesehatannya.

Bantuan Untara itu sangat berarti bagi padepokan kecil itu. Dengan demikian maka kerja mereka pun menjadi lebih cepat selesai, sementara sebagian dari para cantrik itu dapat membenahi halaman dan kebun dari padepokan yang rusak oleh mereka yang bertempur di padepokan itu.

Di pendapa, Widura pun kemudian bertanya kepada Swandaru, “Bukankah Angger tidak tergesa-gesa kembali ke Sangkal Putung?”

Swandaru merenung sejenak. Kemudian iapun berkata dengan datar, “Ya. Aku akan tinggal satu dua hari di padepokan ini. Mungkin orang-orang yang merasa gagal menghancurkan padepokan ini akan kembali dengan orang-orang yang lebih tua tataran ilmunya, sekaligus untuk membalas dendam. Karena itu, barangkali Paman juga akan berada di padepokan ini?”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Akupun akan berada di padepokan ini sampai keadaan menjadi baik dan meyakinkan. Ternyata luka Glagah Putih memerlukan waktu untuk menyembuhkannya, meskipun agaknya luka di luar itu akan lebih mudah dirawat daripada luka Angger Agung Sedayu.”

Swandaru pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku percaya bahwa Guru akan dapat mengatasinya, meskipun Guru sendiri sedang sakit.”

“Agaknya memang demikian,” sahut Ki Widura, yang yakin pula akan kemampuan Kiai Gringsing dalam ilmu obat-obatan. Bahkan iapun kemudian bertanya kepada Swandaru, “Apakah Angger Swandaru tidak tertarik pada ilmu obat-obatan sebagaimana dimiliki oleh Kiai Gringsing?”

Swandaru tertawa kecil. Katanya, “Aku tidak telaten Paman. Tetapi entahlah dengan Kakang Agung Sedayu. Mungkin Kakang Agung Sedayu akan mampu mewarisi ilmu obat-obatan dari Guru.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Agaknya Swandaru memang tidak memiliki sifat seorang ahli dalam hal obat-obatan, karena wataknya. Ia tidak akan telaten memilih berjenis-jenis dedaunan dan akar-akar pepohonan yang akan dapat diramu menjadi obat obatan. Sedangkan reramuannya pun berbeda-beda dari antara berbagai macam obat untuk kepentingan yang berbeda-beda pula.

Beberapa saat kemudian maka upacara penguburan para cantrik yang gugur pun akan segera dilakukan, setelah para cantrik dan sekelompok prajurit yang dikirim oleh Untara selesai menguburkan orang-orang yang menyerang padepokan itu, yang terbunuh di pertempuran.

Karena itulah, maka seisi padepokan kecil itu, serta para prajurit yang ada di padepokan itu pun telah memberikan penghormatan yang terakhir. Para cantrik yang terbunuh itu adalah korban dari langkah-langkah yang tidak bertanggung jawab dari orang-orang yang masih belum dikenal dengan pasti, siapakah mereka itu, selain pemimpinnya yang mengaku pewaris ilmu Perguruan Worsukma. Para penghuni padepokan itu hanya dapat menduga-duga, apakah alasan orang-orang yang tidak dikenal itu menyerang padepokan Kiai Gringsing. Hal itu agaknya dilakukan dalam rangkaian kemelut antara Mataram dan Madiun.

Kiai Gringsing yang sakit itu memerlukan turun pula ke halaman. Memberikan sesorah singkat untuk mengantar tubuh para cantrik yang gugur itu ke makam. Sekar Mirah dan Glagah Putih ikut pula memberikan penghormatan yang penghabisan. Hanya Agung Sedayu sajalah yang terpaksa masih tetap berbaring di biliknya karena keadaannya yang tidak memungkinkan untuk ikut turun ke halaman padepokan itu, serta para cantrik yang terluka parah.

Ketika para keluarga cantrik yang gugur itu, apalagi perempuan, menyaksikan tubuh-ubuh yang beku itu dibawa keluar dari padepokan, maka bagaimanapun juga tabah hati mereka, namun air mata pun telah menitik dari sela-sela pelupuk mereka.

Dengan lembut Kiai Gringsing berusaha untuk menghibur hati mereka. Walaupun Kiai Gringsing mengerti sepenuhnya bahwa perpisahan yang demikian itu tentu menimbulkan kepedihan di hati.

“Yang Maha Kuasa telah memanggil mereka,” berkata Kiai Gringsing.

Keluarga para cantrik itu mencoba untuk mengerti.

“Sebab yang dipergunakan itu pun merupakan sebab kematian yang terhormat,” berkata Kiai Gringsing selanjutnya.

Para keluarga itu pun masih saja mengangguk-angguk.

“Nah, silahkan naik ke pendapa,” Kiai Gringsing pun kemudian mempersilahkan.

Sebagian dari mereka memang naik ke pendapa, tetapi ada yang ingin langsung kembali ke padukuhan. Karena pada umumnya mereka adalah orang-orang dari padukuhan-padukuhan di sekitar Jati Anom, yang telah memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk tinggal di padepokan, mempelajari beberapa hal tentang kehidupan. Mengenal huruf, mengenal kerja keras dan sedikit mengenal olah kanuragan.

Namun pada suatu saat mereka mendapat pemberitahuan bahwa anak-anaknya itu telah gugur karena padepokan kecil itu telah diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal.

Selain keluarga mereka yang gugur, maka keluarga mereka yang terluka pun telah datang untuk menengok para cantrik itu. Kepada mereka Kiai Gringsing berjanji akan berusaha sebaik-baiknya agar mereka yang terluka itu dapat sembuh secepatnya.

“Kita akan selalu berdoa,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan mereka akan segera dapat pulih kembali seperti sediakala.”

Padepokan kecil itu memang diliputi oleh suasana yang muram, Namun para penghuninya ternyata telah mendapatkan satu pengalaman yang sangat berharga. Pengalaman untuk mempertahankan hak mereka. Namun pengalaman itu harus dibeli dengan harga yang sangat mahal. Beberapa orang cantrik telah gugur. Agung Sedayu terluka cukup parah. Sedangkan Glagah Putih pun harus mengalami pengobatan yang cukup berat, karena sebuah biji besi yang bersarang di dalam dagingnya.

Akhirnya upacara itu pun telah selesai. Ketika para keluarga dan para prajurit telah meninggalkan padepokan itu, maka padepokan itu pun telah menjadi lengang kembali. Para cantrik-lah yang kemudian sibuk membantu Kiai Gringsing merawat orang-orang yang terluka.

Dalam pada itu, Untara di barak khusus telah mulai memeriksa orang-orang yang tertawan. Tetapi karena pada umumnya mereka adalah pengikut-pengikut orang yang menyebut dirinya Singapati itu, maka mereka memang tidak dapat memberikan keterangan.

“Apakah Singapati. benar-benar orang dari Perguruan Worsukma?” bertanya Untara kepada salah seorang tawanan.

“Ya,” jawab tawanan itu, “sebagian dari kami adalah orang-orang dari padepokan Worsukma.”

“Apa yang pernah dikatakan oleh Singapati tentang penyerbuan itu?” bertanya Untara pula.

“Mataram juga pernah menyerang salah satu padepokan dari sebuah perguruan sahabat kami,” jawab orang itu. Lalu, “Nagaraga telah dihancurkan.”

“Siapakah pemimpin padepokan Worsukma sekarang?” desak Untara.

“Singapati yang disebut Elang Baja,” jawab tawanan itu.

“Gurunya, yang disebut sebagai orang yang telah mewariskan ilmu dari Perguruan Worsukma itu?” desak Untara pula.

Tawanan itu termangu-mangu. Tidak ada niat baginya untuk berbohong. Ia tahu, bahwa pemimpinnya yang bernama Singapati itu telah terbunuh, sehingga memang tidak ada lagi yang harus dirahasiakan. Jika ada satu dua orang kawannya yang melarikan diri dan kembali ke padepokan, maka padepokan itu tidak akan mampu bangkit lagi. Dua orang yang berilmu tinggi telah terbunuh di padepokan kecil di Jati Anom itu.

Beberapa pertanyaan lain memang dijawab dengan lancar.

Namun Untara tidak dapat menemukan jalur keterangan yang dapat menghubungkan serangan orang-orang Worsukma itu dengan langkah-langkah yang diambil oleh Panembahan Madiun, meskipun hubungan itu dapat dilihatnya dalam pembicaraan-pembicaraan yang panjang. Tetapi tawanan itu tidak dapat mengatakan lebih banyak dari yang dikatakannya, bahwa Singapati memang pernah bertemu dan berbicara dengan Panembahan Madiun. Hanya itu.

Untara pun tidak memaksa dengan cara yang keras untuk mendapat keterangan lebih banyak lagi. Memang tidak ada yang dapat mereka katakan lebih banyak dari yang telah mereka katakan, meskipun darah mereka diperas sampai habis sekalipun. Hal itu hanya akan menghabiskan waktu saja dan tidak akan berarti apa-apa.

Menjelang senja, Utara diikuti oleh sekelompok prajurit telah mengadakan pengamanan keliling di daerah Jati Anom. Selain menilai keadaan, Untara pun ingin singgah barang sebentar untuk menengok adiknya yang terluka cukup parah.

Menurut perhitungan Untara yang mengakui bahwa adiknya memang berilmu tinggi, maka orang yang dibunuhnya itu pun tentu pemimpin dari sebuah perguruan dan telah memiliki ilmu tinggi pula. Ternyata ia mampu melukai adiknya sehingga demikian parahnya.

Ketika hari mulai gelap, maka Untara yang mengelilingi daerah Jati Anom itu telah sampai di padepokan Kiai Gringsing. Iapun kemudian singgah bersama-sama prajuritnya yang menyertainya.

Ternyata bahwa keadaan Agung Sedayu sudah berangsur baik. Bahkan Agung Sedayu telah mau makan meskipun baru beberapa suap nasi hangat. Namun dengan demikian, ia tidak menjadi terlalu lemah.

“Kau akan segera baik,” berkata Untara ketika ia duduk di bibir pembaringan adiknya, sementara Sekar Mirah, Swandaru dan Glagah Putih duduk di sebelah lincak kecil.

“Kiai Gringsing berharap bahwa dalam waktu kurang dari sepekan keadaannya sudah akan baik kembali Kakang,” berkata Sekar Mirah.

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai Gringsing yang sangat berpengalaman itu tentu dapat memperhitungkan kemungkinan itu. Seandainya belum sepenuhnya,maka keadaannya tentu sudah menjadi jauh lebih baik.”

“Ya Kakang,” sahut Sekar Mirah. Lalu katanya, “Menurut Kiai Gringsing, lawan Kakang Agung Sedayu dari Perguruan Worsukma itu memiliki kekuatan yang luar biasa besarnya. Sehingga karena itu, maka bagian dalam Kakang Agung Sedayu-lah yang menjadi parah. Namun akibat utama dari kekuatan itu telah dapat diatasi siang tadi, menjelang sore hari. Demikian padepokan ini menjadi tenang kembali, maka Kakang Agung Sedayu berada dalam goncangan-goncangan luka-lukanya. Tubuhnya menjadi panas dan detak jantungnya melemah.” Untara mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah meneruskan, “Untunglah bahwa obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing dapat membantu Kakang Agung Sedayu mengatasinya.”

“Kita wajib mengucapkan syukur,” desis Untara.

“Ya. Kakang. Kita wajib mengucap syukur,” desis Sekar Mirah sambil menundukkan kepalanya.

Untara pun kemudian berpaling kepada Glagah Putih. Ia melihat wajah sepupunya itu masih juga pucat. Dengan nada rendah ia bertanya, “Bagaimana keadaanmu?”

“Sudah baik, Kakang,” jawab Glagah Putih,

“Syukurlah. Satu pengalaman buatmu. Kaupun harus mampu menilai apa yang telah terjadi,” pesan Untara.

Glagah Putih mengangguk kecil. Sementara itu, Untara pun kemudian bersama Swandaru telah keluar dari bilik itu, dan duduk di ruang dalam bersama Kiai Gringsing dan Ki Widura. Beberapa lama ia masih berbincang tentang keadaan Agung Sedayu yang lukanya memang parah. Namun masa yang paling sulit telah berhasil dilaluinya. Sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah, maka Kiai Gringsing pun mengatakan demikian pula.

Beberapa saat kemudian maka Untara pun telah minta diri. Kepada Kiai Gringsing ia mengulangi pesan yang pernah diberikan sebelumnya. Jika terjadi sesuatu di padepokan itu, Kiai Gringsing dapat memerintahkan untuk membunyikan kentongan dengan nada khusus. Pasukannya yang ditempatkan di tempat-tempat tertentu tidak jauh dari padepokan itu akan dapat dengan cepat datang membantu.

“Ya Ngger,” jawab Kiai Gringsing, “kami mengucapkan terima kasih.”

“Kiai dapat menghindari korban lebih banyak lagi dari para penghuni di padepokan ini. Para cantrik yang baru mulai pada tataran pertama dari olah kanuragan, tidak harus bertempur melawan orang-orang yang sudah berpengalaman, apalagi mereka yang memang memiliki dorongan untuk sekedar membunuh,” berkata Untara.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah Ngger. Kami akan melakukannya.”

Demikianlah maka Untara pun telah minta diri. Kepada Swandaru ia sempat minta agar menyempatkan diri barang sejenak untuk singgah.

“Terima kasih,” berkata Swandaru, “aku akan menyisihkan waktu untuk singgah. Besok atau lusa. Aku akan berada di sini sampai keadaan pulih kembali dan kemungkinan-kemungkinan balas dendam atas kematian para penyerbu itu menjadi semakin kecil. Apalagi sejak Paman Widura berada di padepokan ini, agaknya kami di padepokan ini akan menjadi semakin mantap.”

Untara pun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun telah minta diri sekali lagi dan bersama dengan prajurit-prajuritnya meninggalkan padepokan itu, sementara malam pun menjadi bertambah pekat.

Padepokan kecil yang baru saja mendapat serangan sehingga beberapa orang korban telah jatuh itu pun telah mengadakan penjagaan yang sebaik-baiknya. Pengawasan yang sungguh-sungguh dilakukan di semua sudut padepokan. Para cantrik yang bertugas tidak lagi seorang-seorang, tetapi selalu berpasangan.

Dalam pada itu, Swandaru dan Ki Widura telah menengok Agung Sedayu yang telah dapat tidur lelap. Meskipun kadang-kadang kegelisahan nampak juga di wajahnya, tetapi sejenak kemudian iapun telah menjadi tenang kembali.

Sementara itu Sekar Mirah menungguinya dengan penuh perhatian. Sekali-sekali diusirnya nyamuk yang berterbangan di sekitar wajah Agung Sedayu dengan tebah sapu lidi kecil.

“Glagah Putih tidak di sini?” bertanya Widura.

“Ia berada di bilik para cantrik,” jawab Sekar Mirah, “Glagah Putih pun masih harus banyak beristirahat pula.”

Widura mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berpesan, “Selagi Agung Sedayu tidur nyenyak, kaupun dapat tidur pula. Jangan terlalu banyak berjaga-jaga. Kaupun tentu letih juga karena kaupun telah mengalami pertempuran yang keras dan memeras tenaga.”

“Ya Paman,” jawab Sekar Mirah sambil menunduk. Namun keadaan Agung Sedayu memang tidak sangat menggelisahkan lagi.

Sepeninggal Ki Widura dan Swandaru maka Sekar Mirah pun telah menyelarak pintu dan mencoba berbaring di lincak yang terdapat di dalam ruang itu pula. Ternyata bahwa Sekar Mirah memang letih sekali. Karena itu, maka beberapa saat kemudian iapun telah tertidur, meskipun setiap kali ia telah terbangun untuk melihat keadaan Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak banyak terbangun di malam hari. Ia hanya minta minum sekali lewat tengah malam. Kemudian iapun telah tidur lagi dengan tenang.

Widura dan Swandaru tidak segera masuk ke dalam bilik mereka. Keduanya telah melihat-lihat kesiagaan para cantrik yang bertugas.

“Nampaknya para cantrik itu juga mempunyai ketabahan yang tinggi,” berkata Swandaru.

“Mereka nampak bersungguh-sungguh dalam tugas,” desis Widura.

“Agaknya memang lebih mudah untuk menuntun para cantrik daripada para pengawal dan anak-anak muda di Kademangan. Seorang cantrik dengan tegas dan pasti telah menempatkan diri di sebuah padepokan siang dan malam. Jika mereka pergi ke sawah atau pategalan, maka sawah dan pategalan yang mereka garap adalah sawah dan pategalan bagi padepokannya. Karena itu, maka mereka merupakan satu lingkungan yang sangat akrab,” berkata Swandaru.

“Ya. Namun mereka juga tidak akan dapat meninggalkan kodrat manusiawinya. Cantrik-cantrik muda itu pada satu saat akan meninggalkan padepokan ini, meskipun tentu ada yang akan tetap tinggal. Mereka akan berumah tangga dan hidup dalam keluarga-keluarga mereka masing-masing. Di sini mereka sekedar menuntut berbagai macam pengetahuan,” berkata Ki Widura. Tetapi iapun melanjutkan, “Namun ada juga padepokan yang memberikan tempat bagi keluarga para cantrik. Tetapi ada padepokan yang membiarkan para cantriknya yang sudah berkeluarga tinggal di rumah masing-masing. Namun dalam keadaan tertentu para cantrik itu akan berada di padepokan.”

“Tetapi agaknya di sini tidak ada seorang mentrik pun,” berkata Swandaru.

Ki Widura menggeleng. Katanya, “Biasanya hanya pada sebuah padepokan yang dipimpin oleh sepasang suami istri terdapat cantrik dan mentrik sekaligus. Itupun dengan gawar yang memisahkan lingkungan mereka masing-masing. Bahkan para putut pun kadang-kadang tinggal pula bersama keluarganya di padepokan itu.”

Swandaru mengangguk-angguk. Meskipun ia juga berguru sebelumnya kepada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi Swandaru tidak pernah tinggal di padepokan sebelumnya. Namun sambil tersenyum iapun kemudian berkata, “Jika demikian, seandainya kelak Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan menggantikan pimpinan di padepokan ini, maka padepokan ini tidak saja menerima anak-anak muda untuk menyadap berbagai macam pengetahuan, termasuk mengenal huruf, sedikit ilmu pengobatan dan olah kanuragan, tetapi akan diterima pula beberapa anak perempuan yang akan menjadi mentrik di sini.”

Ki Widura pun tersenyum. Katanya, “Bukan tidak mungkin. Sekar Mirah akan dapat memimpin para mentrik, sementara Agung Sedayu akan mengurusi para cantrik.”

Swandaru tertawa. Katanya, “Bagus. Mungkin Kakang Agung Sedayu sudah memikirkan pula.”

Ki Widura pun tertawa pula.

“Paman,” berkata Swandaru kemudian, “agaknya di Sangkal Putung akan dapat dilakukan hal yang serupa. Kelak, jika anak Pandan Wangi lahir, biarlah ia memilih beberapa orang anak perempuan yang akan dapat membantu anak-anak muda di Kademangan Sangkal Putung. Namun sebagaimana Paman ketahui, bahwa hidup di padukuhan itu masalahnya akan lebih rumit, karena orang-orang padukuhan menghadapi semua segi kehidupan. Mencari makan, mengurusi sawah dan ternak, kerukunan bertetangga dan saling membantu bagi setiap kebutuhan, apalagi kebutuhan bersama. Jika seseorang atau sebuah keluarga mempunyai niat untuk menyelenggarakan keramaian karena anaknya akan menjadi pengantin misalnya, maka hampir semua orang di padukuhan ikut terlibat. Hal yang tidak terjadi di padepokan. Karena jika seseorang akan kawin, justru ia akan meninggalkan padepokan ini, dan kesibukan itu terjadi di rumahnya, bersama tetangga-tetangganya.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah agaknya sebab yang mendorong beberapa orang mengirimkan anaknya ke sebuah padepokan. Anak itu akan terbebas dari kesibukan-kesibukan lain dan dengan tekun dan bersungguh-sungguh menimba ilmu dan pengetahuan yang diperlukan, sebagai bekal hidupnya kelak. Karena padepokan yang baik bukannya sekedar sarang ilmu kekerasan. Tetapi juga kemampuan-kemampuan yang lain, termasuk tata cara bertani dengan baik dan bagaimana harus berternak dengan benar.”

“Ya Paman,” Swandaru mengangguk-angguk.

“Juga bukan satu ikatan mati, bahwa orang-orang yang telah memasuki padepokan itu tidak akan pernah dapat keluar lagi. Bahkan sebuah padepokan dijadikan sebagai himpunan kekuatan sekelompok orang dengan kesetiaan yang mati pula, apapun yang diperintahkan oleh pemimpin padepokannya. Tetapi juga bukan berarti bahwa di padepokan tidak ada paugeran dan ketaatan pada paugeran itu,” berkata Ki Widura.

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Paman telah mempelajari dengan saksama kehidupan sebuah padepokan. Agaknya Paman adalah orang yang tepat untuk memimpin padepokan kecil ini. Namun tidak semua padepokan dipimpin oleh orang yang mempunyai penalaran seperti Paman tentang sebuah padepokan. Kita mengenal ada padepokan sebagai satu kumpulan orang yang terlibat oleh satu paugeran, orang-orang yang telah kehilangan pribadi masing-masing. Apapun yang diperintahkan oleh pemimpin padepokan, adalah paugeran dan kebenaran. Siapa yang menolak, apalagi menentang, maka tidak ada pilihan lain kecuali masuk ke liang kubur.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya orang-orang yang demikian itu pula-lah telah memasuki dan menyerang padepokan ini.”

Demikianlah, maka ketika mereka telah berbicara panjang, keduanya pun telah berada di regol padepokan. Untuk beberapa saat keduanya duduk di gardu kecil di sebelah regol yang tertutup rapat itu bersama para cantrik yang bertugas. Namun kemudian keduanya pun telah meninggalkan gardu itu pula sambil berpesan, “Berhati-hatilah.”

Ki Widura dan Swandaru baru tertidur menjelang dini hari. Namun waktu yang singkat itu telah membuat tubuh mereka menjadi segar kembali. Karena itulah maka ketika matahari terbit, keduanya telah mandi dan berbenah diri.

Tidak ada sesuatu yang terjadi malam itu. Ketika Ki Widura dan Swandaru menengok keadaan Agung Sedayu, maka keadaan Agung Sedayupun sudah menjadi lebih baik. Sementara itu Glagah Putihpun telah berada di bilik itu pula. Lukanya sendiri juga sudah bertambah baik, sehingga tidak lagi terasa sangat sakit.

“Kau akan segera sembuh Kakang,” berkata Swandaru. Lalu katanya, “Jika kelak kau kembali ke Tanah Perdikan, kau dapat membawa kitab Guru. Tidak hanya untuk tiga bulan. Tetapi kau dapat mempergunakannya lebih dari itu, agar kitab itu dapat memberikan gairah kepadamu untuk meningkatkan ilmumu.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Aku akan mencoba melakukannya.”

Sekar Mirah hanya menarik nafas dalam-dalam. Menurut penilaiannya, ilmu Agung Sedayu sudah terlalu tinggi dibandingkan dengan ilmu kakaknya yang agak gemuk itu. Tetapi ia memang tidak ingin membuat kakaknya kecewa, sebagaimana Agung Sedayu sendiri juga tidak mengatakan apa-apa, bahkan ia telah mengiakannya.

Tetapi memang ada juga pertimbangan di hati Sekar Mirah, bahwa apakah bijaksana jika ia tidak mengatakan yang sebenarnya, dan membiarkan kakaknya mempunyai penilaian yang salah?

Namun ternyata bahwa Sekar Mirah hanya menundukkan kepalanya saja.

Dalam pada itu keadaan padepokan itu pun seakan-akan telah menjadi tenang kembali. Tidak lagi nampak wajah-wajah para cantrik yang tegang dan langkah-langkah yang tergesa-gesa. Tidak pula nampak persiapan yang berlebih-lebihan, meskipun para cantrik itu tetap waspada. Di siang hari penjagaan memang dapat dikurangi jumlahnya, namun tetap dalam kesiagaan tertinggi. Yang bertugas di malam hari, mendapat kesempatan untuk beristirahat.

Namun beberapa orang cantrik tidak boleh melupakan tugas-tugas mereka di sawah dan pategalan. Sedangkan beberapa orang yang lain bekerja di kebun dan blumbang.

Swandaru ternyata sempat memperhatikan blumbang yang dipelihara para cantrik. Satu hal yang belum dikembangkan di Kademangan Sangkal Putung. Meskipun ada juga orang membuat blumbang, tetapi belum memakai cara sebagaimana dipergunakan oleh para cantrik di padepokan itu, sehingga belumbang itu benar-benar mampu mencukupi kebutuhan ikan bagi para cantrik di padepokan itu.

Karena itu, maka Swandaru nampaknya memang tertarik kepada blumbang yang berisi ikan, namun yang seakan-akan telah dibuat bersusun. Sedangkan air di dalam belumbang itu nampaknya tetap bergerak.

Ternyata bahwa selama Swandaru berada di padepokan itu tidak terjadi sesuatu yang penting. Untara telah datang pula di hari berikutnya ke padepokan itu. Tetapi ia tidak mendapatkan banyak keterangan dari orang-orang yang tertawan, betapapun Untara berusaha.

“Pengetahuan mereka tentang Perguruan Worsukma benar-benar terbatas,” berkata Untara ketika ia menemui Kiai Gringsing.

“Ya. Kita mengerti,” jawab Kiai Gringsing. “Namun satu hal yang perlu kita perhatikan, bahwa Madiun pun telah mengambil langkah-langkah yang lebih maju lagi di bidang keprajuritan. Sementara sampai saat ini masih belum terdapat berita, kapan dan dimana Panembahan Senapati dapat bertemu dengan Panembahan Madiun untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka.”

“Menurut pendengaranku, Panembahan Madiun-lah yang masih berkeberatan,” jawab Untara, “tetapi agaknya di sekeliling Panembahan Madiun memang terdapat orang-orang yang menginginkan kekacauan terjadi di Mataram dan lingkungannya. Mereka akan dapat meneguk keuntungan dari peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi kemudian. Bahkan baru kemarin aku menerima perintah dari Panembahan Senapati untuk menyiapkan prajurit dalam kesiagaan tertinggi.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara itu dipandanginya Untara dengan tajamnya. Suaranya menjadi berat, “Jadi ada perintah baru dalam hubungannya dengan Madiun?”

“Ya, Kiai,” jawab Ki Untara.

“Jika demikian, maka kita semuanya memang harus bersiap. Tetapi apakah Angger telah melaporkan apa terjadi di padepokan ini?” bertanya Kiai Gringsing.

“Belum,” jawab Untara, “mungkin aku memang agak lamban. Tetapi aku ingin keterangan yang cukup, sehingga laporanku tidak justru seperti sebuah teka-teki.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian maka Angger memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bahkan mungkin petugas sandi dari Mataram telah mencium rencana gerakan yang lebih luas dari Madiun yang kurang disadari, atau bahkan di luar pengetahuan dan kendali Panembahan Madiun sendiri. Atau satu dua orang telah berhasil membujuk Panembahan untuk melakukan gerakan itu.”

“Banyak kemungkinan dapat terjadi,” berkata Untara, “dua orang penghubung dari Mataram tidak memberikan perincian perintah itu.”

Kiai Gringsingpun kemudian telah berpaling kepada Swandaru yang ikut dalam pertemuan itu. Katanya, “Kau dengar keterangan Angger Untara itu? Nah, jika demikian maka Sangkal Putung pun harus bersiap-siap. Kau telah menyusun kekuatan para pengawal sebagaimana susunan sepasukan prajurit. Karena itu, maka dalam keadaan tertentu, para pengawal dari Kademangan Sangkal Putungpun akan dapat membantu. Setidak-tidaknya untuk mempertahankan dan mengamankan wilayah kademangan itu sendiri, karena Sangkal Putung adalah satu kademangan yang besar.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Justru pada saat aku harus bekerja sendiri. Pandan Wangi tidak akan dapat banyak membantu aku pada saat-saat terakhir ini. Namun aku merasa berbahagia oleh keadaannya itu.”

“Kau mempunyai beberapa orang pembantu pilihan,” berkata Kiai Gringsing.

“Ya. Aku telah menempa sepuluh orang terbaik di padukuhan-padukuhan yang termasuk Kademangan Sangkal Putung,” jawab Swandaru, “mudah-mudahan keadaan itu akan cukup memadai. Dua orang yang menyertaiku kemari itu adalah dua orang di antara mereka yang mempunyai tataran terbaik di Sangkal Putung.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Agung Sedayu pun harus segera sembuh dan kembali pula ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya,” sahut Untara. “Jika ia sudah dapat berkuda pada jarak jauh, ia memang sebaiknya kembali. Tetapi harus diingat pula kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan.”

“Ya,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “kemungkinan yang tidak diinginkan memang dapat terjadi. Agaknya, jalan ke Tanah Perdikan mengandung pula kemungkinan itu.”

Swandaru dan Ki Widura mengangguk-angguk pula. Namun kemudian Swandaru pun berkata, “Sebaiknya biarlah Kakang Agung Sedayu menunggu sampai keadaannya pulih kembali. Meskipun ia akan menempuh perjalanan bersama Glagah Putih dan Sekar Mirah, yang kedua-duanya memiliki kemampuan olah kanuragan, namun agaknya suasana di Mataram baru berkabut.”

Kiai Gringsing tidak menolak pendapat itu. Bahkan iapun membenarkan, bahwa suasana di Mataram memang sedang gawat. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Aku akan minta kepadanya untuk berbuat demikian. Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh memang tidak terlalu panjang, tetapi di sepanjang jalan mereka harus benar-benar bersiaga dalam kesiapan tertinggi.”

Dengan demikian maka agaknya Agung Sedayu masih harus menunggu beberapa hari lagi. Karena itu maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak akan dapat tinggal di Sangkal Putung untuk waktu yang agak lama. Mereka justru berada di padepokan kecil di Jati Anom karena keadaan Agung Sedayu.

Swandaru yang bermalam satu malam lagi di padepokan itu, menganggap bahwa keadaan sudah menjadi semakin baik. Namun agaknya Swandaru pun ingin melihat keadaan di sekitar padepokan itu untuk meyakinkan, apakah keadaan memang sudah menjadi tenang.

Karena itu, maka atas ijin Untara, maka Swandaru telah mengikuti sekelompok prajurit yang sedang meronda di lingkungan di sekitar Jati Anom, termasuk padepokan kecil itu.

Ternyata ia tidak melihat kegelisahan yang timbul di padukuhan di sekitar padepokan itu, sehingga Swandaru memang berkesimpulan bahwa untuk sementara masih belum ada tanda-tanda bahwa sekelompok orang akan mendekati padepokan itu lagi.

Dengan demikian, maka setelah bermalam dua malam, maka Swandaru minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung. Dalam keadaan yang gawat dan bila masih ada kesempatan, Swandaru minta agar padepokan itu mengirimkan penghubung ke Kademangan Sangkal Putung.

“Jika ada tanda-tanda yang menggelisahkan, panggillah aku. Aku akan datang dengan sekelompok pengawal yang terbaik di Sangkal Putung,” berkata Swandaru kemudian.

Demikianlah, maka Swandaru pun telah minta diri pula kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih. Dengan nada rendah ia berkata kepada Agung Sedayu, “Bagaimanapun juga kami tetap mengharap Kakang dapat singgah. Aku akan mempersilahkan Kakang membawa kitab Guru untuk kepentingan Kakang, agar dalam keadaan yang memaksa, Kakang dapat setidak-tidaknya melindungi diri sendiri.”

“Aku akan singgah Adi,” jawab Agung Sedayu, “Sekar Mirah pun sebenarnya telah merasa sangat rindu untuk berada di Sangkal Putung, tidak hanya sesaat.”

“Apakah Sekar Mirah akan pergi bersamaku sekarang?” bertanya Swandaru.

Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku menunggu sampai Kakang Agung Sedayu sembuh. Kami berdua dan Glagah Putih kelak akan singgah di Sangkal Putung.”

“Baiklah,” berkata Swandaru, “sebaiknya kau memang menunggui suamimu,” desis Swandaru.

Demikianlah, maka Swandaru pun kemudian minta diri. Kiai Gringsing, Ki Widura, Sekar Mirah dan Glagah Putih mengantarnya sampai ke regol padepokan.

Sejenak kemudian, maka tiga ekor kuda pun telah berpacu meninggalkan padepokan itu menuju ke Sangkal Putung.

Sepeninggal Swandaru, maka dalam satu kesempatan, Kiai Gringsing telah berbicara khusus dengan Ki Widura. Sebagaimana sudah disanggupkan maka Widura akan beberapa lama di padepokan itu.

“Ki Widura,” berkata Kiai Gringsing, “bukan maksudku untuk tidak mengakui kemampuan dan bobot ilmu yang sudah Ki Widura miliki, Namun mengingat kedangkalan dasar yang dimiliki oleh para cantrik, maka aku mohon Ki Widura bersedia untuk menyesuaikan diri. Aku memang tidak dapat minta para cantrik-lah yang harus menyesuaikan diri, karena mereka memang tidak mempunyai kemampuan cukup untuk itu.”

“Aku mengerti Kiai,” berkata Ki Widura, “tetapi aku kurang sekali memiliki pengetahuan tentang ilmu yang ditelusuri oleh para cantrik, karena sumber ilmuku memang berbeda.”

“Aku mengerti Ki Widura. Karena itu, selagi masih ada tenaga padaku, aku ingin memberikan beberapa landasan dasar dari ilmu perguruan ini. Aku yakin, bahwa Ki Widura yang telah memiliki kemampuan tinggi, akan dapat menuntun para cantrik tanpa menggoyahkan sendi-sendi ilmu mereka.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Kiai Gringsing. Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan diri untuk melakukannya.

Namun ternyata Kiai Gringsing tidak mengajaknya pergi ke sanggar. Dengan tongkatnya Kiai Gringsing berjalan menuju ke biliknya. Ketika ia kemudian keluar dari biliknya, orang tua itu telah membawa seberkas rontal.

Ketika rontal itu diberikan kepada Ki Widura, maka Ki Widura pun kemudian bertanya, “Apakah rontal ini bagian dari kitab Kiai Gringsing itu?” Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Bukan Ki Widura. Rontal ini aku buat sendiri, sementara kitab itu adalah warisan dari beberapa keturunan. Gambar di dalam rontal itu sangat sederhana, tetapi mudah-mudahan akan dapat memadai bagi Ki Widura.”

Ki Widura yang memperhatikan rontal itu sekilas memang melihat garis-garis, yang diketahuinya merupakan bagian dari tata gerak ilmu kanuragan.

Dengan nada rendah Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Widura, aku mohon Ki Widura melihat-lihatnya lebih dahulu. Besok kita akan berada di sanggar. Meskipun karena penyakitku aku masih lemah, tetapi aku akan dapat memberikan beberapa keterangan tentang gambar yang aku buat dengan sederhana itu.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai. Aku akan mempelajarinya. Mudah-mudahan otakku belum terlalu tumpul untuk mengurai jenis ilmu selain ilmuku sendiri.”

“Ah,” Kiai Gringsing tersenyum, “apa sulitnya? Kecuali jika Ki Widura harus memasuki kemampuan puncak ilmu ini, tentu Ki Widura memerlukan banyak waktu. Tetapi yang aku harapkan, ilmu yang masih mendasar sekali.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Malam nanti aku akan mengurainya, dan sudah barang tentu mengingat unsur-unsurnya, termasuk watak dan sifatnya.”

“Bukankah pada dasarnya ilmu kanuragan yang satu banyak mempunyai persamaan dengan yang lain?” desis Kiai Gringsing.

“Ya. Itulah sebabnya maka aku menyanggupinya,” sahut Ki Widura.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Nah, silahkan Ki Widura. Besok kita dapat mulai berada di sanggar meskipun barangkali hanya sebentar.”

“Sebenarnyalah bahwa Kiai memang memerlukan waktu sebanyak-banyaknya untuk beristirahat,” sahut Widura kemudian.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun kemudian telah minta diri untuk beristirahat, sementara Ki Widura akan mempelajari gambar-gambar yang diberikan oleh Kiai Gringsing kepadanya itu.

Untuk mengurai gambar-gambar yang memang sederhana itu, ternyata Ki Widura telah pergi ke sanggar seorang diri.

Ia telah mengamati gambar demi gambar. Bahkan iapun telah berada di tengah-tengah sanggar, mengurai dan melakukannya. Satu-satu unsur-unsur gerak itu dipahami. Kemudian didalami sifat dan wataknya. Kemampuannya menghadapi tata gerak ilmu yang lain, serta kemungkinan-kemungkinan pengembangannya.

Ki Widura memang bukan seorang yang masih muda. Iapun sudah menjadi semakin tua. Namun dengan demikian justru ia memiliki pengalaman yang luas. Sebagai seorang senapati ia memiliki pengetahuan olah kaprajuritan. Dan sebagai pewaris jalur ilmu Ki Sadewa, ia memiliki landasan yang kuat dalam olah kanuragan.

Karena itu, Ki Widura yang mengendap itu tidak banyak mengalami kesulitan. Dengan hati-hati ia memilahkan unsur-unsur gerak di gambar itu dengan unsur-unsur ilmunya sendiri.

Ditelitinya persamaan-persamaannya, tetapi juga perbedaan-perbedaannya.

Tidak terasa, ternyata Ki Widura berada di sanggar sampai sore hari, Glagah Putih-lah yang mencarinya, karena ayahnya seakan-akan telah menghilang. Meskipun semula ia tidak mengira bahwa ayahnya berada di dalam sanggar, namun akhirnya setelah dimana-mana ayahnya tidak diketemukannya, Glagah Putih pun telah menjenguk ke dalam sanggar pula. Ternyata ia justru menemukan ayahnya di sana.

Tetapi ketika Glagah Putih masuk ke dalam sanggar, ayahnya sedang duduk merenungi beberapa lembar rontal di tangannya.

“Apa yang Ayah perhatikan itu?” bertanya Glagah Putih ketika ayahnya berpaling kepadanya.

Widura menggeleng sambil tersenyum. Katanya, “Bukan apa-apa.”

Glagah Putih pun kemudian mendekat ketika Ki Widura telah membenahi dan menutup rontalnya. Namun ketajaman panggraita Glagah Putih justru menangkap keringat yang membasahi tubuh ayahnya.

“Ayah sedang berlatih?” bertanya Glagah Putih.

Ki Widura masih tersenyum. Katanya, “Sekedar melemaskan tubuh yang telah lama bagaikan membeku.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Bahkan iapun kemudian berkata, “Waktu makan siang telah lampau. Tetapi kami masih menunggu Ayah.”

“Kami siapa maksudmu?” bertanya Ki Widura.

“Aku dan Mbokayu Sekar Mirah,” jawab Glagah Putih.

“Apakah mbokayumu tidak makan bersama Agung Sedayu?” bertanya Ki Widura pula.

“Mbokayu memang menunggui Kakang Agung Sedayu makan. Tetapi Mbokayu sendiri belum makan,” desis Glagah Putih.

Ki Widura pun kemudian keluar pula dari sanggar. Keringatnya memang membasahi bajunya. Karena itu, maka katanya, “Aku ke pakiwan dulu. Udara memang panas sekali di dalam sanggar, sehingga dengan bergerak sedikit saja, keringatku bagaikan terperas dari tubuhku.”

Glagah Putih pun kemudian menemui Sekar Mirah dan memberitahukan bahwa ayahnya diketemukannya di dalam sanggar.

“Agaknya Ayah merasa sudah terlalu lama tidak mempergunakan tubuhnya. Katanya, Ayah berusaha melemaskan tubuhnya yang sudah hampir membeku itu,” berkata Glagah Putih.

Beberapa saat kemudian Ki Widura pun telah datang setelah berganti pakaian. Mereka pun kemudian makan di ruang dalam. Kiai Gringsing sendiri biasanya dilayani di dalam biliknya oleh beberapa orang cantrik dengan jenis makanan yang khusus, yang ramuannya ditentukan oleh Kiai Gringsing sendiri. Kiai Gringsing hanya sedikit sekali makan nasi. Yang terbanyak justru adalah sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam pada itu, Glagah Putih sempat bertanya pula tentang rontal yang dibawa oleh Ki Widura di dalam sanggar itu. Apakah yang termuat di dalam rontal itu ada hubungannya dengan latihan-latihan khusus yang dilakukan oleh Ki Widura.

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Memang ada, Glagah Putih.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Sementara Sekar Mirah pun nampaknya menaruh perhatian pula atas pertanyaan Glagah Putih itu. Karena itu, agar mereka tidak justru dibayangi oleh keingin-tahuan mereka, maka Ki Widura pun telah mengatakan yang sebenarnya tentang rontal itu, serta rencana Kiai Gringsing untuk memberikan kesempatan kepadanya meningkatkan latihan-latihan bagi para cantrik.

Glagah Putih dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Glagah Putih pun justru berkata, “Agaknya Ayah sendiri akan dapat memanfaatkan kesempatan itu pula.”

“Aku sudah terlalu tua untuk meningkatkan ilmuku,” berkata Ki Widura, “biarlah para cantrik itu saja yang tumbuh bagi masa depan.”

“Tetapi satu hal yang barangkali perlu mendapat perhatian Ayah. Mereka yang ada di padepokan ini bukan prajurit. Ayah sudah terbiasa memimpin sepasukan prajurit, sehingga mungkin Ayah akan memperlakukan para cantrik seperti para prajurit,” berkata Glagah Putih sambil tersenyum.

Sekar Mirah pun tersenyum. Namun Ki Widura menjawab, “Tetapi para cantrik pun terikat oleh satu paugeran yang berlaku di padepokan ini, meskipun berbeda dengan paugeran bagi seorang prajurit. Paugeran di padepokan ini pun harus ditaati, sebagaimana para prajurit harus mentaati paugeran bagi mereka.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sedangkan aku pun harus menurut perintah dan petunjuk Kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga.”

“Tetapi ternyata hal itu berlaku dimana-mana,” berkata Ki Widura kemudian, “tatanan kehidupan itu ada di semua lingkungan.”

Glagah Putih dan Sekar Mirah pun mengangguk-angguk pula. Sementara itu tiba-tiba saja Ki Widura pun berkata, “Glagah Putih. Jika lukamu tidak terasa sakit lagi, ikutlah aku ke sanggar. Kita akan mengurai gambar-gambar yang dibuat oleh Kiai Gringsing.”

“Tetapi Glagah Putih belum dibenarkan terlalu banyak bergerak Paman,” sela Sekar Mirah.

“Kami hanya akan mengenali tata gerak dan unsur-unsurnya. Bukan untuk menilai dan memperagakannya,” berkata Ki Widura kemudian.

Demikianlah, setelah berbincang sejenak, maka Sekar Mirah telah berada kembali di dalam bilik Agung Sedayu, sementara Glagah Putih telah membantu ayahnya menterjemahkan gambar-gambar sederhana yang dibuat oleh Kiai Gringsing, yang akan menjadi pegangan Ki Widura meningkatkan ilmu kanuragan para cantrik di padepokan kecil itu.

Setelah beberapa lama mereka mengurai, maka Ki Widura pun kemudian berkata, “Besok Kiai Gringsing akan memberikan beberapa keterangan. Jika sebelumnya aku sudah mencoba memahaminya, maka aku kira besok rencana Kiai Gringsing akan berjalan lebih cepat. Agaknya Kiai Gringsing masih terlalu lemah untuk terlalu banyak bergerak.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara sanggar itu telah menjadi gelap. Seorang cantrik telah menyalakan lampu minyak di dalam sanggar itu.

“Apakah obor-obor itu juga dinyalakan jika sanggar ini akan dipergunakan?” bertanya cantrik itu.

“Tidak,” jawab Ki Widura, “tidak perlu. Kami sudah selesai.”

Sebenarnyalah Ki Widura dan Glagah Putih telah mengakhiri pengenalan mereka atas gambar-gambar yang dibuat oleh Kiai Gringsing itu. Karena itu, maka keduanya pun kemudian telah keluar dari sanggar dan membenahi diri setelah mereka pergi ke pakiwan.

Namun Widura agaknya masih belum berhenti. Setelah makan malam, maka di dalam biliknya Wiruda pun telah melihat-lihat lagi gambar sederhana yang diberikan oleh Kiai Gringsing, hingga larut malam.

Seperti dijanjikan oleh Kiai Gringsing, maka di hari berikutnya, bersama Ki Widura, keduanya telah berada di dalam sanggar. Kiai Gringsing yang masih lemah itu, memang tidak memberikan beberapa contoh gerak. Tetapi mempersilahkan Widura untuk melakukannya. Namun setiap kali Kiai Gringsing memberikan beberapa keterangan tentang maksud dari setiap unsur gerak yang dilakukan serta urut-urutannya.

“Ternyata semuanya berjalan sangat lancar,” berkata Kiai Gringsing, “aku memang sudah yakin bahwa Ki Widura akan dengan cepat menguasainya. Karena yang dilakukan oleh Ki Widura adalah tinggal mengingat-ingat urutan geraknya, sementara watak dan tujuan setiap gerak telah Ki Widura ketahui.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah mempelajarinya dan mengenalinya bersama Glagah Putih kemarin Kiai.”

“O,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “syukurlah. Dengan demikian, pekerjaanku akan menjadi sangat ringan”

Namun demikian, Kiai Gringsing telah memberikan batasan waktu kira-kira dua pekan bagi Ki Widura bersamanya, untuk benar-benar mengenal dan mampu menuangkan kembali kepada para cantrik. Meskipun Kiai Gringsing juga berkata, “Aku mengerti, jika pada suatu saat unsur-unsur gerak dari ilmu Ki Widura sendiri akan mempengaruhinya. Tetapi itu tidak apa-apa. Apalagi jika hal itu sudah disadari sejak semula, sehingga yang terjadi adalah justru dengan sengaja memperkaya unsur-unsur gerak yang telah dimiliki oleh para cantrik itu.”

Meskipun keadaan Kiai Gringsing masih lemah, tetapi ia memang dapat memberikan banyak keterangan dan petunjuk kepada Ki Widura selama waktu yang diperlukan.

Dalam pada. itu, dari hari ke hari keadaan Agung Sedayu pun menjadi semakin baik. Ketika pekan pertama lewat, Agung Sedayu telah berjalan-jalan di halaman padepokan. Sementara, itu luka Glagah Putih pun telah sembuh pula meskipun masih membekas. Bahkan agaknya bekas itu akan tidak mudah dihilangkan dari wajah kulitnya.

Dalam keadaan yang demikian, maka Agung Sedayu sudah mulai memikirkan kemungkinan untuk pergi ke Sangkal Putung. Ia tidak ingin terlalu mengecewakan Sekar Mirah yang ingin berada di rumah tempat kelahirannya itu untuk beberapa hari. Jika mereka terlalu lama berada di Jati Anom, maka Sekar Mirah hanya akan mendapat ketempatan satu dua malam saja di Kademangan Sangkal Putung, karena jika mereka terlalu lama pergi, yang menunggu di Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi sangat gelisah pula.

Namun dalam pada itu Glagah Putih telah berkata kepada Agung Sedayu, “Apakah sebaiknya aku mendahului pulang ke Tanah Perdikan, agar Ki Gede dan keluarga di Tanah Perdikan tidak menjadi cemas?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun menggeleng sambil berdesis, “Kau tunggu aku. Mudah-mudahan Ki Gede dan Ki Jayaraga menganggap bahwa kerinduan Sekar Mirah kepada kampung halamannya masih belum sembuh.”

Sekar Mirah hanya tersenyum saja. Sementara Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa Agung Sedayu mencemaskan perjalanannya, karena suasana yang nampaknya memang menjadi kalut. Hubungan antara Mataram dan Madiun tidak segera dapat dijembatani.

Di hari berikutnya Agung Sedayu sudah berjalan-jalan di kebun padepokan, melihat-lihat berbagai macam tanaman sayur-sayuran dan kolam ikan. Menghirup segarnya udara di antara hijaunya pepohonan dan heningnya air blumbang.

Selain obat yang tepat, daya tahan yang sangat besar di dalam tubuh Agung Sedayu seakan-akan telah mempercepat perkembangan kesehatannya. Selapis demi selapis kekuatan tubuh Agung Sedayu merambat mendekati pulih kembali.

Dalam pada itu, maka Ki Widura pun telah menyelesaikan pengenalannya atas dasar ilmu dari perguruan kecil di Jati Anom itu. Dengan demikian, maka ia tidak akan membingungkan para cantrik dengan unsur-unsur gerak yang tidak mereka kenal. Sementara itu atas persetujuan Kiai Gringsing, Ki Widura dapat memperkaya pengenalan para cantrik atas unsur-unsur gerak yang akan dapat saling mendukung. Bukan yang dapat menghambat arti daripada setiap unsur gerak itu.

Demikianlah, maka ternyata bahwa Agung Sedayu telah membutuhkan waktu lebih dari sepuluh hari untuk memulihkan keadaannya seperti semula. Bahkan ketika ia merasa cukup kuat untuk pergi ke Sangkal Putung, maka kekuatan dan kemampuannya masih belum utuh seperti sebelum terjadi pertempuran itu.

Namun agaknya Agung Sedayu sudah merasa cukup lama berada di padepokan kecil itu. Iapun telah mulai memikirkan kegelisahan orang-orang Tanah Perdikan. Bahkan mungkin dapat terjadi sesuatu pula di Tanah Perdikan itu. Namun di Tanah Perdikan itu masih ada Ki Gede sendiri dan Ki Jayaraga, di samping pasukan khusus Mataram yang ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah menemui gurunya untuk mohon diri meninggalkan padepokan kecil itu.

“Apakah kau sudah merasa cukup baik?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Guru. Aku sudah merasa hampir pulih kembali. Agaknya selama perjalanan, aku akan justru mendapatkan kekuatanku sepenuhnya kembali,” berkata Agung Sedayu.

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “ternyata pamanmu Ki Widura telah berada di padepokan ini pula. Karena jarak antara padepokan ini dan Banyu Asri tidak terlalu jauh, maka Ki Widura akan dapat mondar-mandir setiap saat dikehendakinya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Ki Widura tersenyum sambil berkata, “Aku akan berada di dua tempat.”

“Ya Paman,” Agung Sedayupun tersenyum, “satu kepentingan tersendiri.”

Ki Widura justru tertawa karenanya.

Demikianlah, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mohon diri. Mereka sama sekali tidak merasa menyesal bahwa mereka menjumpai kesulitan justru ketika mereka menengok gurunya di padepokan kecilnya. Bahkan mereka merasa bersyukur, bahwa mereka mendapat kesempatan untuk ikut menyelamatkan padepokan itu. Selanjutnya padepokan itu akan dapat menempuh cara yang lain untuk menyelamatkan dirinya, karena Untara juga menaruh perhatian yang besar bagi padepokan itu.

Kiai Gringsing, Ki Widura dan hampir seisi padepokan itu telah melepas mereka di halaman. Bahkan Kiai Gringsing, Ki Widura dan beberapa orang lainnya mengantar mereka sampai keluar regol. Sehingga sejenak kemudian, maka kuda-kuda dari ketiga orang yang meninggalkan padepokan itu telah berlari meskipun tidak terlalu kencang, menuju Sangkal Putung. Tetapi mereka masih akan singgah sejenak untuk minta diri kepada Untara dan keluarganya.

Dalam kesempatan itu Untara telah memberikan beberapa keterangan tentang perkembangan terakhir. Yang datang justru perintah untuk bersiaga sepenuhnya dan semakin berhati-hati menghadapi orang-orang yang menyusup Ibu Kota Mataram dan sekitarnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar