Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 225

Buku 225

“Ampun Panembahan,“ jawab Agung Sedayu, “memang agaknya orang itulah yang paling banyak mengetahui tentang gerakan yang dilakukan. Terutama tentang usaha untuk memeras Kiai Sasak agar menuruti perintah orang-orang yang menduduki rumahnya itu, dengan menculik anak perempuan dan istrinya. Namun agaknya selain orang itu, Kiai Sasak sendiri akan dapat memberikan keterangan tentang keadaan yang dialaminya.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya Kiai Sasak juga merupakan orang yang dapat menjadi sumber keterangan.“

“Kiai Sasak sendiri telah bersiap untuk menghadap, kapan saja Panembahan Senapati menghendakinya“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku belum menghendaki sekarang ia menghadap. Tetapi biarlah aku menentukan, kapan aku akan memanggilnya. Mungkin nanti, tetapi mungkin besok.“

“Kiai Sasak siap menghadap,“ berkata Agung Sedayu mengulang.

“Baiklah,“ jawab Panembahan Senapati, “aku akan memerintahkan memanggilnya jika aku sudah memerlukannya. Namun ia memang harus dibantu oleh beberapa orang prajurit di rumahnya, untuk menghindari balas dendam. Kemungkinan itu nampaknya akan dapat terjadi.“ 

“Hamba Panembahan,“ jawab Panglima pasukan berkuda, “hamba akan mengatur di rumah Kiai Sasak itu sebaik-baiknya. Para prajurit yang bertugas di rumah itu akan dilengkapi dengan panah sendaren atau panah api. Mereka dapat memberikan isyarat langsung ke barak pasukan berkuda jika mereka berada dalam kesulitan.“

Demikianlah, maka Panembahan Senapati pun kemudian mengijinkan orang-orang yang menghadap itu untuk beristirahat. Agung Sedayu dan Glagah Putih telah kembali ke bilik yang telah disediakan bagi mereka selama mereka berada di Mataram. Ketika memasuki bilik, mereka tertegun karena petugas sandi yang diperintahkan bekerja bersamanya telah berada di serambi.

“Kau telah menghadap?“ bertanya petugas sandi.

“Ya,“ jawab Agung Sedayu.

“Bagaimana tanggapan Panembahan?“ bertanya petugas sandi itu pula.

“Aku menghadap bersama Panglima,“ jawab Agung Sedayu, “Panembahan nampaknya kecewa, karena orang yang diletakkan di rumah Kiai Sasak untuk mengimbanginya dan yang kemudian memegang pimpinan di antara mereka, terbunuh.“

“Bukankah kau telah berusaha?“ bertanya petugas sandi itu.

“Aku sudah menyampaikannya,“ jawab Agung Sedayu.

“Kenapa Panembahan tidak memanggil Kiai Sasak?“ bertanya petugas sandi itu pula.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun menjawab, “Panembahan Senapati memang akan memanggil Kiai Sasak. Tetapi agaknya tidak sekarang. Kiai Sasak masih dicengkam oleh ketegangan, sehingga pikirannya masih belum bening.“

Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun minta diri, “Pada dasarnya tugas kami sudah selesai. Tetapi kami tentu masih harus mengawasi keadaan. Sebagaimana Panglima pasukan berkuda masih menempatkan beberapa orang prajuritnya di rumah Kiai Sasak, karena kemungkinan pembalasan dendam itu akan terjadi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Untuk satu dua hari aku masih akan berada di sini. Tetapi aku harus kembali ke Tanah Perdikan untuk mengambil para tawanan dan menyerahkannya kepada Panembahan Senapati. Mereka akan disatukan dengan para tawanan yang berhasil ditangkap di rumah Kiai Sasak.“

Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi berhati-hatilah. Kau bukan merupakan bagian dari susunan keprajuritan di Mataram. Seperti Kiai Sasak, maka dendam keluarga seperguruan orang-orang yang terbunuh di rumah Kiai Sasak dapat ditimpakan kepadamu, selain kepada Kiai Sasak itu sendiri. Kau akan dapat dianggap ikut campur dalam persoalan orang lain.“

“Apakah aku orang lain bagi Mataram?“ bertanya Agung Sedayu.

“Jika kau bertanya kepadaku dan barangkali juga kepada Panembahan Senapati, kau bukan orang lain bagi Mataram. Tetapi pandangan keluarga yang terbunuh itu tentu akan berbeda,“ jawab petugas sandi itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Aku akan berhati-hati.“

“Jika kau ingin kembali ke Tanah Perdikan, maka sebaiknya kau bersama dengan beberapa orang prajurit terpilih. Kau sendiri memang memiliki ilmu yang tinggi. Namun jika lawanmu cukup banyak maka keadaannya akan berbeda. Apalagi di antara mereka juga terdapat orang-orang berilmu tinggi,“ berkata petugas sandi itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa petugas sandi itu bermaksud baik. Dilambari dengan ketajaman penciuman seorang petugas sandi. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak mau mengecewakannya. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya masak-masak. Aku memang tidak dapat berbuat tanpa perhitungan dalam keadaan seperti ini.“

“Kau dapat mohon kepada Panembahan Senapati,“ berkata petugas sandi itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menghadap pada saatnya.“

Ternyata bukan petugas sandi itu sajalah yang memberinya peringatan. Ketika petugas sandi itu meninggalkan Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka seorang perwira prajurit Mataram yang memang sudah mengenalnya dengan baik, telah menyampaikan pesan dari perwira yang memimpin pasukan berkuda di rumah Kiai Sasak. Perwira itu mengharap agar Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi lebih berhati-hati.

“Terima kasih,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan berhati-hati. Agaknya kemungkinan-kemungkinan seperti yang Ki Sanak sebutkan memang ada.“

“Kiai Sasak juga berharap demikian,“ berkata perwira itu.

“Aku akan melakukannya,“ jawab Agung Sedayu.

Sebenarnyalah Agung Sedayu sendiri sependapat, bahwa kemungkinan untuk membalas dendam itu akan dapat terjadi atasnya dan atas Kiai Sasak. Karena itu, maka peringatan-peringatan itu telah diterimanya dengan hati terbuka.

Ternyata seperti yang dikatakannya sendiri, Agung Sedayu masih akan berada di Mataram. Ternyata bahwa Panembahan Senapati menghendaki agar Agung Sedayu ikut berbicara dengan Kiai Sasak tentang orang-orang yang berada di rumahnya.

“Kita akan berbicara dengan para tawanan secara terpisah,“ berkata Panembahan Senapati, “kemudian kita akan mendengar keterangan Kiai Sasak. Mungkin kita akan mendapatkan satu kesimpulan tentang gerakan orang-orang Madiun.“

Demikianlah, maka di hari berikutnya Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menghadap Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Dua orang tawanan telah pula dipanggil menghadap. Ternyata bahwa Panembahan Senapati sendiri yang bertanya kepada tawanan itu. Apakah yang sebenarnya mereka lakukan di Mataram.

“Kami tidak mempunyai kepentingan dengan Mataram,“ berkata salah seorang dari keduanya, “jika kami datang dan berada di rumah Kiai Sasak, maka sebenarnyalah kami mempunyai persoalan dengan Kiai Sasak. Persoalan ini adalah persoalan pribadi, sehingga sama sekali tidak menyangkut Mataram.“

“Yang terjadi itu ternyata berada di wilayah Mataram. Bahkan di kota raja. Apakah itu tidak menyangkut Mataram?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Ampun Panembahan,“ berkata orang itu, “yang hamba maksud adalah, bahwa persoalannya adalah persoalan antara keluarga kami dan keluarga Kiai Sasak. Bukan persoalan antara Madiun dan Mataram.“

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Apakah jawaban itu telah kau persiapkan sejak kau berangkat dari Madiun? Atau barangkali pimpinanmu telah memberikan petunjuk agar kau dan barangkali kawan-kawanmu memberikan jawaban seperti itu jika tertangkap di Mataram.“

“Tidak Panembahan. Sama sekali tidak. Yang hamba katakan itu adalah apa yang sebenarnya kami lakukah. Apa yang harus hamba katakan tentang hubungan hamba dengan Kiai Sasak, jika memang demikianlah yang sebenarnya telah terjadi.“

Panembahan Senapati itu tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata, “Ki Sanak. Kau sekarang ini berbicara dengan Panembahan Senapati. Di sini ada Paman Mandaraka, Pepatih di Mataram. Mendengarkan pula ceritamu itu Agung Sedayu dan Glagah Putih. Meskipun mereka masih terhitung muda tetapi mereka memiliki pengalaman yang sangat luas. Nah, renungkan, apakah kami harus mempercayai ceritamu itu?“

“Ampun Panembahan,“ jawab orang itu, “apakah hubungannya antara pengalaman Agung Sedayu yang luas dengan kebenaran cerita hamba. Hamba tidak dapat mengatakan lain daripada yang sebenarnya terjadi.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Mungkin kau benar. Persoalan itu adalah persoalan pribadi. Tetapi persoalan apakah yang telah terjadi antara keluargamu dengan keluarga Kiai Sasak?“

Orang itu termangu-mangu. Sebelum ia menjawab, maka Panembahan Senapati telah mendahuluinya, “Ki Sanak. Seharusnya jawabannya sudah kau persiapkan pula. Adalah kurang menarik jika kau menjawab bahwa persoalan pribadi itu tidak sepantasnya diketahui orang lain.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Sementara itu, Panembahan Senapati telah berkata pula, “Biarlah Agung Sedayu memanggil kawan-kawanmu yang tertangkap di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan mengatakan apa yang sebenarnya menurut mereka. Yang barangkali berbeda dengan kebenaran menurut ungkapanmu.“

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian bertanya, “Siapakah yang Panembahan maksudkan dengan orang-orang yang tertangkap di Tanah Perdikan Menoreh?”

Panembahan Senapati tersenyum dan berkata, “Orang-orang yang kebetulan juga berasal dari sekitar Madiun. Juga bukan utusan Pamanda Panembahan Madiun yang mempunyai persoalan pribadi dengan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. “

Namun orang-orang itu agaknya mencoba untuk tetap ingkar. Meskipun mereka sadar, bahwa Panembahan Senapati tidak akan mempercayai mereka, tetapi mereka berusaha untuk tidak merubah keterangan mereka.

Tetapi Panembahan Senapati tidak tergesa-gesa karenanya. Bahkan kemudian katanya, “Baiklah Ki Sanak. Jika kau hari ini belum berkenan memberikan keterangan, maka biarlah kami berbicara dengan orang-orang lain yang lebih akrab hubungannya dengan kami daripada Ki Sanak. Sambil menunggu para tawanan yang tertangkap di Tanah Perdikan Menoreh itu.“

“Hamba tidak mengenal orang-orang yang pergi ke Tanah Perdikan itu,“ desis tawanan itu.

“Siapa tahu kalian pernah melihatnya satu dua kali,“ berkata Panembahan Senapati.

“Jika mereka mengatakan pernah mengenal hamba, maka mereka tentu berbohong,“ berkata orang itu pula.

“Jangan takut bahwa aku akan dengan mudah mempercayai keterangan seseorang, kecuali orang-orang yang sudah aku kenal benar sifat dan wataknya. Akupun tidak segera mempercayaimu pula. Dan itu sudah kau ketahui. Namun agaknya kau dengan sengaja mempertahankan keteranganmu, meskipun kau sadari bahwa aku tidak akan percaya,“ sahut Panembahan Senapati.

Orang yang menghadap Panembahan Senapati untuk memberikan keterangan itu telah mengumpat pula dalam hati. Namun ia tidak mengatakan apa-apa.

Panembahan Senapati memang tidak memaksa mereka berbicara lebih banyak. Bahkan Panembahan Senapati itu pun kemudian telah memerintahkan agar orang-orang itu disingkirkan untuk sementara.

“Biarlah mereka beristirahat. Agaknya ketegangan yang sangat telah mengaburkan ingatannya, sehingga mereka telah lupa kepada diri mereka sendiri dan kepentingan mereka datang ke Mataram.“

Sekali orang-orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi mereka tidak berani mengucapkannya.

Beberapa orang prajurit kemudian telah membawa mereka pergi. Sementara itu Panembahan Senapati telah berkata kepada Agung Sedayu, “Sebaiknya kalian memang membawa orang-orang yang tertawan di Tanah Perdikan itu kemari seluruhnya. Mungkin kita akan dapat berbicara lebih terbuka. Mungkin orang-orang itu memang tidak terlalu banyak mengerti apa yang harus mereka lakukan. Namun mungkin mereka akan dapat mengenali orang-orang yang kita tahan di sini. Setidak-tidaknya dua orang yang mendapat tugas untuk mengamati Kotaraja, sementara orang-orang yang berada di Tanah Perdikan itu mendapat tugas untuk menimbulkan keresahan dan kebencian terhadap Mataram. Memecah belah dan desas-desus yang mengadu domba.“

“Kita tidak tahu, yang manakah yang dua orang itu,“ berkata Agung Sedayu. “Mudah-mudahan orang itu tidak ikut terbunuh dalam pertempuran-pertempuran yang telah terjadi.“ “Mudah-mudahan,“ berkata Panembahan Senapati, “namun dengan kehadiran mereka, kita akan mendapat bahan lebih banyak.“

“Jika demikian, biarlah hamba dan Glagah Putih mohon diri,“ berkata Agung Sedayu.

“Kalian akan membawa sekelompok prajurit,“ berkata Panembahan Senapati. Lalu, “Aku tahu, bahwa kau menganggap tidak perlu. Tetapi mereka akan dapat mengurus para tawanan itu. Karena itu, kau tidak perlu menolak. Aku tidak membicarakan kemungkinan buruk karena dendam orang-orang yang telah gagal dengan rencananya di Mataram.“

Glagah Putih sempat memandang Agung Sedayu yang termangu-mangu. Namun Agung Sedayu memang tidak dapat menjawab. Ia menyadari bahwa sebenarnya Panembahan Senapati juga memperhitungkan dendam yang tentu telah membakar jantung sanak kadang atau saudara-saudara seperguruan dari mereka yang terbunuh di rumah Kiai Sasak. Agung Sedayu dan Glagah Putih yang bukan prajurit Mataram atau mempunyai hubungan dengan Kiai Sasak, dapat dianggap sebagai orang-orang yang mencampuri persoalan orang lain.

Dengan demikian maka memang tidak ada pilihan lain bagi Agung Sedayu kecuali melakukan sebagaimana dikatakan oleh Panembahan Senapati. Kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, mengambil para tawanan disertai beberapa orang prajurit berkuda. Sebenarnyalah bahwa Panembahan Senapati bermaksud baik dengan perintahnya itu. Jika ia menolak, kemudian terjadi sesuatu dengan para tawanan di perjalanan, maka tanggung jawab seakan-akan menjadi berlipat. Sedangkan kesan dari persoalan itu adalah kesombongan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian telah mempersiapkan diri. Panembahan Senapati telah memerintahkan kepada Panglima pasukan berkuda untuk menyiapkan sepuluh orang prajurit terpilih. Mereka akan bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sebagaimana yang diperintahkan oleh Panembahan Senapati, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih hari itu telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Sedikit lewat tengah hari, maka sebuah iring-iringan telah keluar dari pintu gerbang kota. Sekelompok orang berkuda itu kemudian telah berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sesuai dengan rencana, mereka akan bermalam semalam di Tanah Perdikan. Pasukan berkuda itu akan berada di barak pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan.

Di perjalanan, Agung Sedayu sempat berkata kepada pemimpin pasukan berkuda yang menyertainya sambil tersenyum, “Sebenarnya Panembahan Senapati dapat memerintahkan prajurit dari pasukan khusus itu untuk membawa para tawanan ke Mataram, tanpa membuat kalian sibuk seperti ini.“

Pemimpin pasukan berkuda itu tersenyum pula. Katanya, “Perintah yang tidak terucapkan dari Panembahan Senapati, bahwa di saat kalian berdua menempuh perjalanan menuju ke Tanah Perdikan juga memerlukan kawan berbincang di perjalanan. Hanya kawan berbincang, sebab jika terjadi sesuatu, apalagi jika hadir orang berilmu tinggi, maka kamilah yang akan menjadi beban kalian.“

“Ah, jangan begitu,“ berkata Agung Sedayu, “apa yang kami kuasai adalah hal-hal yang juga dikuasai oleh banyak orang. Termasuk kalian.“

Tetapi pemimpin pasukan berkuda yang menyertai Agung Sedayu dan Glagah Putih itu justru tertawa. Katanya, “Memang banyak orang, termasuk para prajurit, bahkan senapati dan perwira-perwira Mataram yang belum mengenal kemampuanmu. Tetapi aku tahu siapa kau dan apa saja yang dapat kau lakukan.“

“Tidak ada yang pantas disebut,“ berkata Agung Sedayu. Namun kemudian iapun telah mengalihkan pembicaraan, “Kita sudah berada di jalan yang langsung menuju ke penyeberangan.“

Pemimpin pasukan berkuda yang menyertainya itu masih saja tertawa. Tetapi ia menjawab, “Ya. Kita memasuki daerah terbuka. Sawah yang terbentang luas dan sekali-sekali kita melintasi padukuhan. Namun kita akan mengambil jalan yang mana? Yang melintasi padang perdu atau yang melintasi ujung hutan kecil itu?“

“Menurut pengertianku, lebih dekat lewat padang perdu itu,“ jawab Agung Sedayu.

“Tetapi di teriknya matahari begini, debu akan berhamburan. Kita akan dapat terganggu oleh sesaknya nafas,“ berkata pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kearah Glagah Putih, maka Glagah Putih pun berkata, “Benar kakang. Kita lebih baik menempuh jalan yang tidak terlalu panas. Juga tidak terlalu banyak debu yang berhamburan.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan melintasi hutan kecil itu.“

Pemimpin pasukan berkuda itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Glagah Putih. Beruntunglah bahwa kau telah pernah menjadi sahabat dekat Raden Rangga. Kau tentu mendapatkan beberapa keuntungan dalam olah kanuragan. Raden Rangga mempunyai ilmu yang tidak dapat di duga oleh orang lain.“

Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, “Agaknya memang demikian dengan Raden Rangga. Tetapi orang lain tidak akan dapat memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh Raden Rangga. Kemampuan dan ilmu yang ada di dalam dirinya tanpa berguru. Mungkin hal-hal lain yang hadir tanpa diketahui asal-usulnya.”

“Kau benar. Tetapi bahwa kau bergaul setiap hari, tentu akan memberikan pengaruh yang baik pada ilmumu. Ternyata bahwa kau mampu berbuat banyak ketika kita membebaskan istri dan anak Kiai Sasak, juga seluruh halaman dan rumahnya,“ berkata pemimpin pasukan berkuda yang menyertainya itu.

“Sudahlah,“ berkata Glagah Putih, “kita sudah sampai di simpang tiga. Jika kita akan melewati hutan kecil itu, kita akan berbelok ke kiri. Tetapi jika tidak, kita akan berbelok ke kanan.“

“Kita berbelok ke kiri. Bukankah begitu?“ sahut pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu.

Iring-iringan itu memang berbelok ke kiri.

Namun satu hal yang tidak mereka hiraukan pada saat-saat mereka keluar dari pintu gerbang kota adalah beberapa pasang mata yang memandangi iring-iringan itu dengan tajamnya. Ternyata bahwa yang terjadi di rumah Kiai Sasak dengan cepat telah didengar oleh beberapa pihak.

Di antara mereka adalah keluarga perguruan Soroh Geni. Perguruan yang tidak terlalu besar, tetapi justru memiliki orang-orang yang berilmu tinggi. Perguruan kecil itu ternyata merupakan perguruan yang disegani. Di antara mereka adalah orang yang ditugaskan untuk membayangi Kiai Sasak.

Namun kematiannya telah membuat perguruan itu marah. Seperti yang sudah diperhitungkan, maka kemarahan mereka tertuju tidak kepada para prajurit Mataram yang menjalankan tugas keprajuritannya, tetapi kepada Kiai Sasak, Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tiga orang saudara seperguruannya telah melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih disertai sepuluh orang prajurit telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Orang-orang yang sombong,“ geram salah seorang dari mereka yang melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih di antara para prajurit. “Apa kepentingan mereka ikut campur tentang persoalan Kiai Sasak itu? Justru mereka yang telah membebaskan anak dan istrinya. Agung Sedayu pula-lah yang menyebabkan semua rancangan gagal. Tanpa usaha Agung Sedayu melepaskan anak dan istri Kiai Sasak, maka Kiai Sasak tidak akan berani berperang tanding dengan saudara kita itu, apalagi membunuhnya.“

“Kita harus menghukum Agung Sedayu dan Glagah Putih itu. Betapapun besar namanya, namun aku yakin bahwa mereka bukannya orang yang tidak terkalahkan,“ sahut yang lain.

Saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka tentu akan mengambil tikus-tikus dungu di Tanah Perdikan itu. Seharusnya mereka tidak tertangkap. Apalagi pemimpin mereka justru telah terbunuh.“

“Tetapi mereka akan mendapatkan perlakuan yang khusus,“ desis yang seorang.

“Kita juga pergi ke Tanah Perdikan untuk menghubungi Guru,“ berkata yang pertama.

Kedua orang itu memang telah pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi mereka tidak berkuda sebagaimana Agung Sedayu dan Glagah Putih yang disertai para prajurit dari pasukan berkuda. Tetapi mereka memang tidak tergesa-gesa. Bahkan mereka sempat singgah di rumah seseorang yang termasuk di antara mereka yang dengan sengaja telah ditempatkan di Mataram.

“Kami pergi ke Tanah Perdikan,“ berkata salah seorang dari keduanya.

“Jadi mereka berjumlah dua belas orang?“ bertanya orang yang disinggahi itu.

“Sepuluh orang prajurit,“ jawab salah seorang dari kedua orang dari perguruan Soroh Geni itu, “yang dua orang adalah orang-orang yang berilmu tinggi.“

“Kita tidak dapat berbuat banyak untuk menghadapi jumlah yang besar itu. Tetapi segala sesuatunya akan terpecahkan jika kalian telah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah kalian akan menghubungi guru kalian?“ bertanya orang yang disinggahi itu.

“Ya. Kami akan menghubungi Guru,“ jawab salah seorang di antara kedua orang itu, “Guru sudah memberikan beberapa isyarat jika kami ingin datang ke Tanah Perdikan.”

Demikianlah, maka kedua orang itu pun telah melanjutkan perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sadar, bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih akan jauh lebih dahulu datang ke Tanah Perdikan. Tetapi itu tidak penting bagi mereka. Menurut perhitungan mereka Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu akan bermalam di Tanah Perdikan.

Sebenarnyalah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih yang disertai sekelompok prajurit itu telah menyeberang dengan rakit melintasi Kali Praga. Dengan cepat, maka iring-iringan itu telah bergerak menuju padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Agung Sedayu, Glagah Putih dan para prajurit dengan sengaja telah langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh. Mereka ingin segera menyampaikan persoalan yang telah mereka hadapi di Mataram. Namun ketika mereka mendekati padukuhan induk, mereka menjadi heran. Mereka melihat suasana yang lain sama sekali. Beberapa orang termangu-mangu melihat Agung Sedayu, Glagah Putih dan sekelompok prajurit menyertainya. Agung Sedayu dan Glagah Putih justru menjadi semakin tergesa-gesa. Mereka telah mempercepat derap kuda mereka.

Orang-orang yang melihat kedatangan mereka berlari-lari ke tepi jalan. Rasa-rasanya ada sesuatu yang ingin mereka katakan kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Namun keduanya serta sekelompok prajurit itu berlalu dengan cepat memasuki padukuhan induk.

Demikian mereka memasuki regol halaman rumah Ki Gede, maka debar jantung Agung Sedayu, Glagah Putih dan para prajurit rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Mereka melihat kesiagaan sepenuhnya di halaman, dan bahkan agaknya juga di sekeliling rumah itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera meloncat turun. Demikian pula para prajurit. Namun sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan tergesa-gesa telah naik ke pendapa.

“Dimana Ki Gede?“ bertanya Agung Sedayu.

“Di dalam,“ jawab seorang pemimpin pengawal.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah melintasi pringgitan, memasuki ruang dalam.

Ki Gede yang sedang duduk merenung terkejut melihat kehadiran Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sambil bangkit berdiri Ki Gede berdesis, “Kalian telah datang?“

“Ya Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu.

“Marilah. Duduklah,“ desis Ki Gede dengan nada rendah.

Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka pun bergeser mendekat. Namun Agung Sedayu pun berdesis, “Aku datang bersama sekelompok prajurit dari pasukan berkuda.”

“O, biarlah mereka naik ke pendapa. Kita akan menemui mereka di pendapa,“ berkata Ki Gede.

Agung Sedayu berpaling kepada Glagah Putih sambil berdesis, “Glagah Putih, persilahkan mereka.“

Glagah Putih pun kemudian keluar dan turun ke halaman menemui pemimpin dari pasukan berkuda yang telah mengikat kuda-kuda mereka di tempat yang sudah disediakan. Sejenak kemudian mereka pun telah dipersilahkan naik ke pendapa, sementara Ki Gede dan Agung Sedayu telah duduk pula bersama mereka sebagaimana Glagah Putih.

“Apa yang terjadi Ki Gede?“ bertanya Agung Sedayu tidak sabar.

Ki Gede pun tidak ingin menunda-nunda keterangan tentang suasana yang terjadi di Tanah Perdikan. Dengan nada rendah Ki Gede berkata langsung pada persoalannya, “Para tawanan itu telah terbunuh di dalam bilik tawanannya.“

“Terbunuh?“ wajah Agung Sedayu menjadi merah.

Glagah Putih pun beringsut setapak maju. Namun mereka segera menyadari dengan siapa mereka berbicara.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agaknya kami telah menjadi lengah. Penjagaan dilakukan oleh para pengawal. Sebenarnya menurut perhitungan wajar, penjagaan itu cukup kuat. Ki Jayaraga ada di rumah ini pula sampai tengah malam. Ketika ia akan pulang, ia sempat menengok bilik itu. Para tawanan masih tidur nyenyak. Selarak pintu yang dibuka memang telah membangunkan mereka. Namun tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa kematian begitu cepat datang menjemput mereka. Ketika di dini hari berlangsung pergantian para pengawal yang bertugas, maka pemimpin pengawal itu telah membuka selarak pintu. Ternyata mereka mendapatkan para tawanan telah terbunuh dengan tusukan paser-paser kecil beracun di tubuhnya.“

“Pembunuhan itu berlangsung menjelang pagi hari ini?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Tetapi kami dapati tubuh-tubuh itu telah membeku dengan noda-noda kebiruan di seluruh permukaan kulitnya,“ jawab Ki Gede.

“Ki Jayaraga sudah tahu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ki Jayaraga ada di sini sampai tubuh-tubuh itu dikuburkan. Namun tiba-tiba saja Ki Jayaraga mencemaskan keselamatan Sekar Mirah. Jika dendam itu membakar sebuah perguruan atau bahkan lebih luas lagi, maka kemungkinan yang buruk dapat terjadi dimanapun. Karena itu, maka Ki Jayaraga pun segera kembali, sementara di sini para pengawal telah bersiaga sepenuhnya.“

Jantung Agung Sedayu serasa berdebar semakin cepat. Sementara itu pemimpin prajurit yang menyertainya dengan nada tinggi bertanya, “Bagaimana mungkin hal itu terjadi Ki Gede? Bukankah pengawal Tanah Perdikan ini terkenal sebagai pengawal yang memiliki kelebihan dari para pengawal di daerah lain di luar Tanah Perdikan ini, kecuali para pengawal dari Sangkal Putung?“

“Mungkin kau benar Ki Sanak,“ jawab Ki Gede, “pengawalan pun telah dilakukan sebaik-baiknya dalam lapisan ganda. Namun hal itu telah terjadi di luar pengetahuan para pengawal.“

“Apakah itu mungkin?“ desak pemimpin pasukan berkuda itu.

“Kenapa tidak?“ sahut Ki Gede, “Dan itu telah terjadi.“

Pemimpin pengawal itu memandang Ki Gede dengan tajamnya. Dengan nada berat ia berkata, “Satu peristiwa yang aneh. Tetapi apakah bukan karena para pengawal yang terlalu bernafsu untuk menyadap keterangan mereka?“

Wajah Ki Gede-lah yang menjadi tegang. Katanya, “Kami bukan kanak-kanak lagi Ki Sanak. Kami tahu apa yang sebaiknya kami lakukan.“

Pemimpin pasukan berkuda itu masih akan menjawab lagi. Tetapi Agung Sedayu telah mendahuluinya. “Satu peristiwa yang tidak kita kehendaki bersama. Tetapi dengan demikian kita mendapat satu peringatan, bahwa telah hadir seseorang yang berilmu sangat tinggi.“

Pemimpin sekelompok prajurit itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menarik nafas dalam dalam. Kata-kata yang hampir meloncat keluar telah ditelannya kembali.

“Ki Gede,“ bertanya Agung Sedayu kemudian, “serbenarnyalah bahwa kami telah diperintahkan oleh Panembahan Senapati untuk membawa tawanan itu ke Mataram. Namun agaknya sesuatu di luar kemampuan kita telah terjadi di sini.“

“Aku sudah menduga, bahwa kedatanganmu bersama sekelompok prajurit itu tentu untuk mengambil tawanan-tawanan itu. Tetapi hari ini, lepas tengah hari, mereka telah dikuburkan,“ berkata Ki Gede.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian kita memang harus berhati-hati Ki Gede. Nampaknya kita memang berhadapan dengan kekuatan yang besar dari daerah Timur. Perbedaan pendapat antara Panembahan Senapati dengan pamandanya Panembahan Madiun agaknya telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak ingin Mataram tegak. Namun mungkin juga oleh orang-orang yang mementingkan dirinya sendiri, yang sampai hati melihat kehancuran sesamanya. Orang-orang yang menganggap sah segala macam cara untuk mencapai tujuannya.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara pemimpin pasukan berkuda itu termangu-mangu di tempatnya. Ia memang merasa sangat kecewa, bahwa orang-orang yang sangat diperlukan itu justru telah terbunuh. Kematian mereka seharusnya memang tanggung jawab Ki Gede. Tetapi pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu telah mengekang diri untuk tidak mengatakannya.

Pemimpin pasukan berkuda itu akan menyerahkan segala sesuatunya kepada Panembahan Senapati sendiri. Jika Panembahan Senapati akan menuntut tanggung jawab Ki Gede, maka ia tentu akan melakukannya. Namun pemimpin pasukan berkuda itu pun menyadari, bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah banyak berbuat bagi kepentingan Mataram.

Agung Sedayu sebenarnya juga merasa sangat kecewa. Ia menyesal bahwa ia tidak membawa tawanan itu segera ke Mataram. Namun ia tidak menyangka, bahwa para tawanan itu akan mengalami nasib yang buruk.

“Tentu kawan-kawan mereka sendiri-lah yang telah melakukannya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hati. “Dan kawan-kawan yang melakukan itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi. Mereka ternyata mampu menyusup di antara para penjaga yang sangat rapat.“

“Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “apakah kami diijinkan untuk melihat bilik itu?“

“Lihatlah. Mungkin kau akan dapat menemukan jejak,“ berkata Ki Gede.

Diantar oleh Ki Gede sendiri, maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan pemimpin pasukan berkuda itu pun telah pergi ke bilik tahanan. Ketika mereka memasuki bilik itu, mereka tidak segera melihat sesuatu. Dinding di sekeliling bilik itu masih utuh. Tidak ada lubang yang dapat dipergunakan untuk melontarkan paser-paser sekecil apapun.

“Apakah mereka mempergunakan sumpit?“ desis Glagah Putih. “Tetapi tentu tidak dari luar dinding ini. Para penjaga tentu akan melihatnya, kecuali jika semua orang tertidur nyenyak.”

Karena itu, maka Agung Sedayu berdesis, “Apakah ada pengaruh sirep?“

Ki Gede menggeleng. Katanya, “Tidak. Sama sekali tidak. Jika ada pengaruh sirep, maka pengaruhnya akan terasa oleh banyak orang. Para penjaga tentu akan tertidur. Tetapi tidak seorangpun yang dibebani perasaan kantuk. Mereka terbangun dan sempat pula bermain-main selain yang sedang bertugas langsung. Yang seharusnya tidur pun tidak semuanya dapat tidur nyenyak. Tetapi yang terjadi itu tidak seorangpun mengetahui.“

“Apakah Ki Jayaraga sudah memeriksa bilik ini?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Gede menggeleng. Katanya, “Belum. Ki Jayaraga mencemaskan keadaan Sekar Mirah. Menurut perhitungan Ki Jayaraga, agaknya mereka akan dapat mengetahui apa yang telah terjadi di sini. Sehingga mereka akan mempunyai perhatian khusus terhadap Agung Sedayu dan Glagah Putih.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian telah menengadahkan kepalanya.

“Aku akan melihat, apakah ada kerusakan pada atap bilik ini,“ berkata Agung Sedayu.

Tanpa menunggu jawaban Ki Gede, Agung Sedayu telah melangkah mengelilingi barak itu. Sebatang pohon yang tumbuh di sebelahnya, menurut pengamatan Agung Sedayu akan dapat menjadi tempat untuk memanjat dan kemudian meloncat ke atas bangunan itu.

“Aku akan mencobanya,“ desis Agung Sedayu.

Glagah Putih yang berdiri di dekatnya bertanya, “Apakah aku dapat ikut?“

“Kau tunggu di situ. Agaknya memang hanya seorang yang memanjat pohon ini tanpa diketahui oleh para penjaga,“ berkata Agung Sedayu pula.

Glagah Putih tidak menjawab. Ia berdiri saja di bawah pohon itu ketika Agung Sedayu kemudian meloncat memanjat pohon itu, yang ternyata adalah sebatang pohon jambu air. Sementara Ki Gede dan pemimpin sekelompok pasukan berkuda itu mengamati dengan cermat. 

Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan ikut pula menyaksikannya. Dua orang yang bertugas pada saat pembunuhan itu terjadi mengangguk-angguk melihat apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu.

“Memang tempat ini terlindung di malam hari,“ berkata salah seorang dari mereka.

Yang lain pun menjawab, “Agaknya kita memang kurang memperhatikan tempat ini.“

“Ya,“ berkata orang yang pertama, “kita memang tidak memperhatikan sama sekali bahwa pohon ini merupakan jalur yang baik untuk memanjat sampai ke atap.“

Dalam pada itu, Agung Sedayu telah meniti sebatang dahan yang mengarah ke atap bangunan tempat tahanan itu. Kemudian dengan hati-hati Agung Sedayu telah berayun dan sejenak kemudian ia telah berdiri di atas atap. Atap yang terbuat dari ijuk. Dengan hati-hati Agung Sedayu meneliti atap yang kehitam-hitaman itu. Namun akhirnya ia menemukan yang dicarinya. Hampir di bumbungan ia melihat atap itu tersibak.

Selangkah demi selangkah Agung Sedayu mendekatinya. Kemudian sambil menelungkupkan diri Agung Sedayu mencoba melihat lewat ijuk yang tersibak itu. Ternyata lubang itu cukup lebar untuk menelusupkan sumpit sekaligus membidik sasaran. Di malam hari, di dalam bilik itu tentu ada sebuah lampu minyak, sementara di luar terlalu gelap. Setelah Agung Sedayu yakin, maka iapun kemudian telah turun dari atap itu. Iapun kemudian memberitahukan apa yang telah dilihatnya, yang agaknya dari bawah memang tidak terlalu nampak.

“Itulah Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu, “agaknya demikianlah yang terjadi. Namun hanya orang yang berilmu sangat tinggi sajalah yang dapat melakukannya tanpa diketahui oleh para petugas. Bahkan mungkin orang itu dapat melakukan cara lain yang lebih rumit dari yang kita duga.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Agaknya Tanah Perdikan Menoreh memang harus lebih berhati-hati.

Sejenak kemudian Ki Gede telah mempersilahkan Agung Sedayu untuk kembali ke pendapa bersama Glagah Putih dan pemimpin pasukan berkuda yang ikut hadir di Tanah Perdikan itu. Dengan kenyataan sebagaimana dilihat oleh Agung Sedayu, maka sekelompok orang yang telah mendapat perintah Panembahan Senapati itu merasa wajib untuk segera memberikan laporan tentang apa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu.

“Peristiwa semacam ini bukan untuk pertama kalinya terjadi,“ desis Agung Sedayu, “karena itu, pada kesempatan lain kita harus lebih berhati-hati.“

“Para pengawal sudah bekerja sejauh kemampuan mereka,“ desis Ki Gede.

“Ya Ki Gede,“ sahut Agung Sedayu, “yang datang itulah yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Kita memang tidak dapat menimpakan kesalahan ini kepada pengawal.“

Ki Gede mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kalian memang harus memberikan laporan apa yang sebenarnya terjadi. Jika aku harus bertanggung jawab, maka aku akan mempertanggungjawabkan.“

“Bukan hanya Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu dengan serta merta, “tetapi kita semuanya. Aku, Glagah Putih dan Ki Jayaraga.“

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, “Jika demikian, maka kami akan segera kembali ke Mataram. Sebenarnya kami akan bermalam satu malam di Tanah Perdikan ini sambil menyiapkan para tawanan. Tetapi karena keadaan yang tiba-tiba telah terjadi, kami akan segera memberikan laporan kepada Panembahan Senapati.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya, “Apakah kau tidak singgah ke rumah? Sementara biarlah para prajurit beristirahat sebentar untuk makan dan minum secukupnya.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Ki Gede. Aku dan Glagah Putih akan pulang sebentar agar tidak menggelisahkan Sekar Mirah dan Ki Jayaraga.“

Demikianlah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan rumah Ki Gede. Kedatangan mereka memang disambut oleh Sekar Mirah dan Ki Jayaraga dengan sikap yang gelisah.

“Apakah Panembahan Senapati akan marah?“ bertanya Sekar Mirah.

“Yang pasti, Panembahan Senapati akan menjadi kecewa, Tetapi terhadap Tanah Perdikan ini, Panembahan Senapati agaknya tidak terlalu mudah untuk marah. Seperti terhadap Kademangan Sangkal Putung yang sudah banyak menunjukkan pengabdian dan kesetiaan, maka Panembahan Senapati harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang luas,“ jawab Agung Sedayu.

“Satu kejadian yang tidak terlalu mengherankan,“ berkata Ki Jayaraga, “agaknya para pengawal memang agak lengah. Mereka hanya memperhatikan orang-orang yang berada di dalam bilik itu agar mereka tidak melarikan diri. Dengan demikian mereka tidak memperhatikan kemungkinan itu terjadi.“

“Dan kitapun sama sekali tidak memberikan pengarahan tentang kemungkinan seperti itu,“ desis Agung Sedayu.

“Ya,“ sahut Ki Jayaraga, “mungkin karena kita terlalu sombong dan merasa bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi.“

“Atau memang satu kekhilafan,“ desis Agung Sedayu.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Banyak kemungkinan dapat disebut. Namun yang terjadi adalah bahwa para petugas itu tidak mengetahui kehadiran seseorang yang telah membunuh para tawanan yang diperlukan itu.

Demikianlah, kepada Sekar Mirah Agung Sedayu memberitahukan bahwa ia dan Glagah Putih harus segera kembali ke Mataram untuk memberikan laporan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Apalagi dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi di Mataram, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Hati-hatilah Sekar Mirah. Kalau orang-orang yang merasa kecewa oleh kegagalan-kegagalan itu menjadi mata gelap.“

Sekar Mirah mengangguk kecil. Katanya, “Apakah mereka akan membebankan persoalannya juga kepadaku?”

“Mereka dapat menempuh segala cara, Mirah,“ jawab Agung Sedayu, “ternyata mereka telah mengambil dan menahan istri dan anak perempuan Kiai Sasak, salah seorang yang diinginkan bekerja sama dengan mereka. Kedua orang perempuan itu dijadikan taruhan, agar Kiai Sasak melakukan semua keinginan orang-orang itu. Bahkan di luar kehendak Kiai Sasak sendiri.“

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berhati-hati Kakang.“

Sementara Ki Jayaraga berkata, “Itulah sebabnya, maka aku lebih senang ada di sini daripada di rumah Ki Gede. Di rumah Ki Gede terdapat beberapa orang pengawal, yang bagaimanapun juga akan dapat digerakkan jika diperlukan. Sementara Ki Gede sendiri adalah seorang yang berilmu tinggi.“

“Aku titipkan Sekar Mirah kepada Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu, “keadaan agaknya memang gawat. Bukan saja di Mataram. Tetapi juga di sini, yang barangkali dianggap telah ikut campur dalam persoalan antara Mataram dan Madiun.“

“Bukankah itu wajar?“ berkata Ki Jayaraga, “Jika mereka tidak merambah sampai ke Tanah Perdikan itu, maka kita di sini tidak akan dengan serta merta melibatkan diri.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Karena itu, maka kita pun harus berhati-hati. Nampaknya persoalan antara Mataram dan Madiun akan berkembang semakin buruk, jika Panembahan Senapati tidak segera bertemu dengan pamandanya Panembahan Madiun.“

“Kau dapat mengusulkannya,“ berkata Ki Jayaraga.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian desisnya, “Aku terlampau kecil untuk melakukannya.“

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Ia mengherankan perasaan Agung Sedayu yang merasa dirinya bukan seorang yang berkedudukan penting di Mataram. Namun kemudian Ki Jayaraga itu berkata, “Kau memang tidak akan dapat melakukannya dalam suatu pembicaraan resmi di Istana Mataram. Tetapi pada kesempatan lain mungkin kau dapat mengatakannya. Meskipun kau bukan seorang yang berkedudukan di Mataram, tetapi kau secara pribadi mengenal dan dikenal dengan baik oleh Panembahan Senapati.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Mungkin aku akan dapat mencari kesempatan itu.“

“Kau harus mengusahakannya,“ berkata Ki Jayaraga, “jika kau berhasil, diketahui atau tidak diketahui oleh orang banyak, namun kau telah melakukan sesuatu yang penting bagi Mataram.“

“Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan itu,“ desis Agung Sedayu.

Ki Jayaraga hanya mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak mendesak lagi.

Sementara itu Sekar Mirah pun telah menyiapkan makan dan minum bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sekar Mirah tidak dapat menahan agar Agung Sedayu tidak meninggalkannya demikian cepat. Yang dilakukan oleh Agung Sedayu berkaitan dengan keadaan Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram, sehingga apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah satu tugas yang penting.

Demikianlah, maka setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih makan dan minum serta beristirahat sejenak, mereka pun telah minta diri untuk kembali ke Mataram. Keduanya akan singgah dahulu di rumah Ki Gede, dan kemudian bersama-sama dengan sekelompok prajurit berkuda yang menyertainya, akan segera kembali ke Mataram. Ternyata mereka tidak terlalu lama berada di rumah Ki Gede. Merekapun segera minta diri untuk segera kembali ke Mataram.

“Peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini sebaiknya segera diketahui oleh Panembahan Senapati,“ berkata Agung Sedayu ketika ia mohon diri kepada Ki Gede.

Ki Gede pun mengerti keterangan Agung Sedayu itu. Karena itu, maka iapun tidak menahan lagi Agung Sedayu dan Glagah Putih beserta sekelompok prajurit berkuda yang menyertainya.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu telah berpacu menuju ke Mataram. Sementara itu matahari pun telah menjadi semakin rendah, sehingga sejenak kemudian, cahaya pun telah menjadi kemerah-merahan. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah turun ke tepian Kali Praga untuk menyeberang ke timur.

Namun mereka kemudian telah memasuki suramnya senja dan bahkan gelapnya malam. Tetapi mereka tidak menunda niat mereka untuk menghadap Panembahan Senapati, melaporkan hasil perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.

Panembahan Senapati ternyata juga tidak berkeberatan menerima Agung Sedayu dan kelompoknya yang baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya memang ada sesuatu hal yang penting untuk didengar. Jika tidak, maka mereka tidak akan kembali malam itu juga, karena menurut rencana mereka baru akan kembali di hari berikutnya dengan membawa para tawanan.

Demikianlah, maka Panembahan Senapati pun telah menerima Agung Sedayu, Glagah Putih dan pemimpin pasukan berkuda yang telah menghadap. Agung Sedayu-lah yang kemudian melaporkan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa para tawanan yang akan mereka ambil untuk dipertemukan dengan orang-orang yang telah ditangkap di rumah Kiai Sasak di Tanah Perdikan Menoreh, ternyata telah terbunuh.

Panembahan Senapati mendengarkan laporan Agung Sedayu dengan jantung yang berdebaran. Memang terbersit perasaan kecewa bahwa niatnya untuk mempertemukan orang-orang itu telah urung. Tetapi Panembahan Senapati pun menyadari, bahwa yang terjadi itu agaknya berada di luar kuasa Ki Gede Menoreh. Sebagaimana juga telah diduga oleh Agung Sedayu, maka Panembahan Senapati tidak akan dengan serta merta mencurigai atau setidak-tidaknya meletakkan tanggung jawab di pundak Ki Gede Menoreh, karena kenyataan di masa-masa sebelumnya Menoreh telah menunjukkan sikapnya yang diwarnai dengan pengabdian yang tulus bagi keutuhan Mataram.

Meskipun pada wajah dan sikapnya tersirat kekecewaan hati yang besar, tetapi Panembahan Senapati hanya dapat menarik nafas sambil berdesis, “Sayang sekali. Sebenarnya kita memerlukan mereka.“

“Ampun Panembahan,“ berkata Agung Sedayu dengan nada rendah, “agaknya seorang yang berilmu sangat tinggi telah menyusup di antara para pengawal. Hamba telah melihat, atap yang menyibak sehingga dapat disusupi ujung sumpit, sekaligus untuk membidik.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Apa boleh buat. Jika hal itu sudah terjadi, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kita akan memanfaatkan orang-orang yang kini masih ada dan kita kuasai sepenuhnya. Mudah-mudahan kita akan mendapat keterangan. Sementara itu Ki Lurah Singaluwih akan dapat membantu memberikan penjelasan.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas kemurahan Panembahan atas Tanah Perdikan Menoreh yang lengah.“

“Untuk selanjutnya, Tanah Perdikan harus lebih berhati-hati,“ pesan Panembahan.

“Hamba, Panembahan,“ jawab Agjung Sedayu, “semua pesan Panembahan akan kami sampaikan kepada Ki Gede.”

“Baiklah,“ berkata Panembahan Senapati, “kita akan menelusuri semua jejak dengan bahan yang ada.“

Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Demikianlah, malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih bermalam lagi di Mataram. Namun kekecewaan Panembahan Senapati memang terasa pada sikap dan kata-katanya. Seandainya Tanah Perdikan Menoreh belum pernah menunjukkan pengabdian dan kesetiaannya yang tinggi atas kesatuan Mataram yang besar, maka sikap Panembahan Senapati tentu akan lain.

Namun menjelang pagi, Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut ketika seorang Pelayan Dalam telah membangunkan mereka. Dengan hati yang berdebar-debar Agung Sedayu membuka pintu, sementara Glagah Putih menjadi cemas. Namun ia justru telah bersiap-siap. Tentu ada yang penting telah terjadi.

“Panembahan Senapati berkenan memanggil kalian berdua,“ berkata Pelayan Dalam itu.

Keduanya termangu-mangu. Namun kemudian Agung Sedayu menyahut, “Baiklah. Aku akan berbenah dahulu.”

“Tidak perlu. Panembahan Senapati menghendaki kalian menghadap dengan segera. Nanti setelah kalian menghadap, Panembahan akan memberikan perintah selanjutnya,“ berkata Pelayan Dalam itu.

Keduanya tidak sempat mandi lebih dahulu. Dengan hanya sekedar membetulkan pakaian mereka, maka mereka telah menghadap Panembahan Senapati dengan hati yang berdebar-debar.

Namun demikian mereka menghadap, maka rasa-rasa-nya mereka mengalami peristiwa yang lain dari yang mencengkam Mataram di saat-saat terakhir. Wajah Panembahan Senapati nampak muram, sementara kegelisahan membayang pada sikapnya.

“Agung Sedayu dan Glagah Putih,“ berkata Panembahan Senapati, “ternyata bahwa kita akan menghadapi persoalan yang lain. Baru saja aku menerima utusan Aari adimas Pangeran Benawa yang sedang sakit. Menurut keterangan utusan itu, keadaan Adimas Benawa menjadi gawat. Karena itu, maka Adimas Pangeran Benawa mengharap aku dapat datang segera.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun di luar sadarnya ia berkata, “Apakah utusan itu benar-benar utusan Pangeran Benawa?“

Panembahan Senapati mengangguk. Katanya, “Ada dua hal yang dapat meyakinkan aku. Pertama, aku sudah mengenal orang itu. Kedua, orang itu memang membawa pertanda resmi dari Adimas Pangeran Benawa. Pertanda yang sudah aku kenal dengan baik, karena akupun memiliki pertanda yang serupa.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Panembahan Senapati berkata, “Sebenarnya aku ingin mengajakmu. Tentu Adimas Pangeran Benawa akan berbesar hati sempat melihat kau menjenguknya.“

Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya, “Hamba akan melakukan segala perintah. Sebenarnyalah ada keinginan hamba untuk menghadap Pangeran Benawa.“

“Bersiaplah. Kita akan segera berangkat,“ berkata Panembahan Senapati, “mungkin kalian akan berbenah diri.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian telah mundur dari penghadapan Panembahan Senapati untuk berbenah diri. Dengan cepat mereka membersihkan diri di pakiwan meskipun sisa malam masih terlalu gelap. Sebelum matahari terbit, maka Panembahan Senapati telah berangkat menuju Pajang. Agung Sedayu, Glagah Putih dan sekelompok pengawal terpilih telah mengikutinya.

Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati telah meninggalkan Ki Patih Mandaraka untuk tetap berada di tempat. Berbagai pesan telah diberikan, khususnya mengenai para tawanan yang berhasil ditangkap di rumah Kiai Sasak. Mereka adalah orang-orang yang akan dapat menjadi sumber keterangan. Namun berhubung dengan pesan dari Pangeran Benawa, maka Panembahan Senapati terpaksa meninggalkan tugasnya yang pepat di Mataram. Ia tidak sampai hati untuk tidak memenuhi permintaan Pangeran Benawa, agar ia datang ke Pajang meskipun hanya sekejap.

Perjalanan ke Pajang termasuk perjalanan yang panjang. Namun mereka tidak menemui hambatan apapun juga. Namun Panembahan Senapati menjadi berdebar-debar ketika ia memasuki istana Pajang. Keadaannya nampak sangat muram. Orang-orang yang ada di dalam istana itu seakan-akan dicengkam oleh kemuraman.

Oleh seorang tabib yang merawat Pangeran Benawa, Panembahan Senapati telah dibawa masuk ke dalam biliknya. Betapa jantung Panembahan Senapati berdebaran melihat keadaan Pangeran Benawa yang terbaring diam.

Tabib itu pun kemudian telah berbisik di telinga Pangeran Benawa, “Pangeran, kakanda Pangeran, Panembahan Senapati dari Mataram, telah datang.“

“Persilahkan Kakangmas Panembahan Senapati mendekat. Aku tidak dapat menyambutnya,“ desis Pangeran Benawa lemah.

“Panembahan Senapati telah berada di sini Pangeran,“ berkata tabib itu.

“Oh,“ desah Pangeran Benawa.

Pangeran Benawa mencoba untuk memandang ke sekelilingnya. Namun Panembahan Senapati telah mendekatinya, memegang tangannya sambil berdesis, “Aku di sini Adimas.“

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Syukurlah Kakangmas datang tepat pada waktunya.“

“Aku tidak sendiri,“ berkata Panembahan Senapati.

“Dengan para pengawal?“ bertanya Pangeran Benawa.

“Ya. Tetapi aku juga datang bersama Agung Sedayu dan adik sepupunya, Glagah Putih,“ jawab Panembahan Senapati.

“Agung Sedayu?“ ulang Pangeran Benawa dengan suara bergetar.

Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada Agung Sedayu untuk mendekat.

Agung Sedayu memang ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian telah bergeser mendekat pula.

Panembahan Senapati yang berdiri di sisi Pangeran Benawa itu pun kemudian berdesis, “Inilah Adimas, bukankah ia pernah menjadi kawan dalam pengembaraan Adimas?“

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya lambat, “Mendekatlah Agung Sedayu. Aku yakin bahwa kini kau tentu menjadi orang yang luar biasa. Ilmu yang pernah kau pelajari kini tentu sudah berkembang.“ Agung Sedayu yang kemudian berlutut di sisi pembaringan Pangeran Benawa berkata lirih, “Ampun Pangeran. Jika ada sedikit ilmu pada diri hamba, maka semuanya itu adalah karena kemurahan hati Pangeran dan Panembahan Senapati.“

Pangeran Benawa tertawa kecil. Iapun kemudian berdesis, “Aku tahu, kau berguru kepada seorang yang jarang ada duanya. Kiai Gringsing yang disebut orang bercambuk itu. Di samping itu kau sadap ilmu dari manapun juga yang tidak bertentangan dengan ilmu dasarmu. Sehingga akhirnya kau menjadi orang yang jarang ada tandingnya.“

“Ampun Pangeran,“ desis Agung Sedayu, “Pangeran telah banyak sekali memberi kesempatan kepada hamba untuk belajar.“

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi Agung Sedayu. Pada akhirnya setiap orang akan mengalami saat-saat seperti yang aku alami sekarang. Mungkin aku memang masih terlalu muda untuk menghadapi saat-saat seperti ini. Tetapi Rangga telah menjalaninya, meskipun ia jauh lebih muda dari aku.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah masih ada usaha yang dapat dilakukan Pangeran?“

Pangeran Benawa termenung sejenak. Matanya yang redup memandang ke langit-langit di atasnya. Jalur-jalur anyaman bambu yang lembut silang-menyilang.

Namun tiba-tiba saja ia menggeleng. Katanya, “Aku sudah melihat ujung jalan. Aku memang tidak dapat mendahului kehendak Yang Maha Agung, apakah perjalananku akan segera sampai.“

“Sudahlah Adimas,“ berkata Panembahan Senapati, “Adimas akan mendapat obat yang paling baik yang dapat dibuat oleh tabib yang merawat Adimas.“

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Kita memang wajib berusaha Kakangmas. Namun bukan kita-lah yang menentukan.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Sementara itu kepada Agung Sedayu, Pangeran Benawa mengatakan, “Agung Sedayu. Dalam keadaan seperti ini, maka rasa-rasanya segala macam ilmu yang pernah kita pelajari tidak berarti sama sekali. Kita dapat melawan orang yang paling garang sekalipuh. Namun jika saat ini tiba, maka kita hanya dapat menundukkan kepala. Tidak ada ilmu yang dapat melawan. Memang para tabib dapat berusaha dengan ilmunya, namun bukan mereka-lah yang menentukan.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Hamba Pangeran. Memang demikianlah agaknya yang terjadi atas diri kita. Namun usaha merupakan bagian dari hidup kita.“

Pangeran Benawa tersenyum pula. Katanya, “Kau benar Agung Sedayu. Usaha adalah bagian dari kehidupan. Adalah lebih lengkap pula jika usaha kita disertai dengan permohonan di dalam doa. Namun semuanya itu dilambari dengan sikap pasrah. Dan aku pun kini sudah pasrah.“

“Pangeran,“ desis Agung Sedayu.

Namun Pangeran Benawa menyahut, “Tidak ada yang kita banggakan selama ini yang akan dapat menolong kita. Ilmu Lembu Sekilan, Tameng Waja, Rog-rog Asem, Welut Putih dan apapun juga namanya. Yang justru harus kita persiapkan adalah pengakuan atas segala dosa dan kesalahan.“

Agung Sedayu tidak menjawab, sementara Panembahan Senapati berkata, “Kita mohon agar usaha kita mendapat bimbingan. Dengan demikian maka usaha kita akan menjadi sarana kemurahan Yang Maha Agung.“

“Ya Kakangmas. Namun apapun yang baik bagi Yang Maha Agung itu akan berlaku atasku,“ jawab Pangeran Benawa.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Sementara Pangeran Benawa yang lemah itu masih saja tersenyum. Bahkan kemudian iapun berkata, “Kakangmas, silahkan beristirahat. Aku mohon Kakangmas dan Agung Sedayu serta adik sepupunya itu bermalam di sini.“ Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu berdesis, “Siapakah sepupunya itu?“

“Glagah Putih,“ jawab Agung Sedayu.

“Ya. Glagah Putih,“ Pangeran Benawa mengangguk-angguk, “nama itu pernah aku dengar.“

“Tentu,“ sahut Panembahan Senapati, “terakhir ia adalah sahabat Rangga.“

“O,“ suara Pangeran Benawa menurun, “jika demikian, kau tentu mempunyai keajaiban seperti Rangga.“

“Tidak Pangeran,“ Agung Sedayulah yang menjawab, “anak itu masih terlalu lugu. Meskipun ia memang banyak mendapat bahan yang diberikan oleh Raden Rangga, tetapi ia terlalu dungu untuk dapat menyadapnya dengan baik.“

Pangeran Benawa tertawa kecil. Sementara itu Panembahan Senapati berkata, “Kau tentu tahu sifat Agung Sedayu. Bagaimana ia berbicara dan apa yang dikatakannya.“

“Aku mengerti Kakangmas,“ sahut Pangeran Benawa.

Panembahan Senapat ipun tersenyum. Nampaknya kehadirannya bersama Agung Sedayu dapat sedikit menggembirakan hati Pangeran Benawa. Dalam sakitnya, ia menjadi tidak terlalu murung dan merasa sepi sendiri. Apalagi sejak remaja Pangeran Benawa memang tidak terlalu dekat dengan keluarganya. Kekecewaannya terhadap sikap ayahandanya telah membuatnya menjadi seorang yang senang menyepi.

Demikianlah, Pangeran Benawa telah memberi isyarat kepada Pelayan Dalam yang menungguinya dan kemudian memerintahkannya untuk menempatkan Panembahan Senapati di tempat yang pantas untuk beristirahat. Demikian pula orang-orang lain yang datang bersamanya serta para pengawal.

Sebenarnyalah Panembahan Senapati menjadi gelisah. Ia mempunyai tugas yang harus segera dilakukannya di Mataram, terutama dalam hubungannya dengan orang-orang yang telah menyusup untuk menimbulkan persoalan-persoalan dan bahkan keresahan. Tetapi ia tidak sampai hati untuk menolak permintaan Pangeran Benawa agar Panembahan Senapati bersedia untuk bermalam di Pajang. Karena itu, betapapun tanggung jawab yang membebaninya atas Mataram, namun ia tidak dapat meninggalkan Pangeran Benawa dalam keadaan seperti itu.

Selama di Pajang, waktu yang terbanyak dipergunakan oleh Panembahan Senapati untuk berada di bilik Pangeran Benawa bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Ditunggui oleh mereka, Pangeran Benawa memang nampak menjadi lebih baik. Pangeran Benawa sempat berbicara agak panjang. Tersenyum dan tertawa. Bahkan jika keadaannya sehari-hari yang mencemaskan karena Pangeran Benawa sama sekali tidak mau makan, tiba-tiba saja ia minta makan bersama tamu-tamunya dari Mataram.

Namun Panembahan Senapati, Agung Sedayu dan Glagah Putih justru menjadi cemas. Mereka teringat keadaan Raden Rangga di saat terakhir. Dan kecemasan itu ternyata telah membayang pula di wajah tabib yang merawat dengan sungguh-sungguh Pangeran Benawa itu.

Ketika kemudian malam turun, maka memang terjadi perubahan lagi pada Pangeran Benawa. Tubuhnya menjadi semakin lemas. Namun sama sekali tidak nampak kecemasan di wajahnya. Bahkan kegembiraan masih nampak membayang di sorot matanya.

Panembahan Senapati, Agung Sedayu dan Glagah Putih justru tidak beranjak dari sisi Pangeran Benawa. Apalagi ketika nafas Pangeran Benawa menjadi sesak.

“Kakangmas,“ desis Pangeran Benawa di sela-sela tarikan nafasnya yang berat, “agaknya semuanya sudah berakhir di sini bagiku. Namun aku mohon maaf, jika aku memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu kepada Kakangmas, yang barangkali dapat Kakangmas nilai kurang pada tempatnya.“

“Katakan Adimas,“ sahut Panembahan Senapati serta merta, “apapun yang Adimas katakan, tentu akan sangat berarti bagiku.“

Pangeran Benawa termangu-mangu. Namun tubuhnya menjadi semakin lemah. Baru sesaat kemudian ia berkata, “Kakangmas, menurut penglihatanku, hubungan antara Kakangmas dengan Pamanda Panembahan Madiun agak terasa hambar. Jika aku mendapat kesempatan, sebenarnya aku ingin membantu menjernihkan keadaan itu. Aku tahu bahwa Pamanda Panembahan Madiun memang mempunyai pandangan yang agak berbeda dengan Kakangmas Panembahan Senapati. Bukan saja dari atas urutan hak dari keturunan Demak, tetapi juga tentang sikap dan pandangan Kakangmas tentang kesatuan Mataram. Pembagian wewenang atas pemerintah di daerah serta pengaruh dari orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Kakangmas, bukan maksudku mencari-cari untuk mendapat pujian Kakangmas sekarang di saat-saat seperti ini, tetapi barangkali sebaiknya Kakangmas mengetahui, memang ada perasaan asing dari Pamanda Panembahan Madiun terhadap Mataram yang besar. Sementara itu, orang-orang yang tidak bertanggung jawab ingin memanfaatkan jarak yang terbentang antara Mataram dan Madiun ini bagi kepentingan mereka, yang dilandasi oleh ketamakan yang berlebihan.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Adimas. Aku memang merasakannya. Tetapi yakinlah, bahwa aku akan berusaha untuk mencari penyelesaian sebaik-baiknya. Aku merasa bahwa dalam hubungan antara Madiun dan Mataram, aku adalah orang yang lebih muda. Baik dari segi umur maupun urutan darah keturunan Demak, jika aku diakui telah menyusup pula ke dalamnya. Karena itu, aku tidak akan merasa kecil seandainya aku-lah yang merendahkan diri di hadapan Paman untuk mencari penyelesaian, sepanjang tidak memotong kebijaksanaan Mataram itu sendiri.“

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah jika Kakangmas berpandangan seperti itu. Aku tahu bahwa Kakangmas adalah seorang prajurit yang keras. Namun aku pun tahu bahwa Kakangmas bukan orang yang haus peperangan.“

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan suara yang sejuk ia berkata, “Aku akan berusaha Adimas. Nah, sekarang sebaiknya Adimas beristirahat tanpa membebani perasaan Adimas dengan masalah-masalah yang berat. Kita akan membicarakannya lebih jauh pada kesempatan yang lain.“

Tetapi Pangeran Benawa tersenyum sambil berdesis, “Aku tidak akan mempunyai kesempatan lagi Kakangmas.“

“Tentu ada,“ berkata Panembahan Senapati yang telah menahan diri untuk tidak mengatakan apa yang telah terjadi di Mataram dengan orang-orang yang disebut mementingkan diri sendiri itu. Bahkan sampai hati merusak ketenangan dan bahkan memanfaatkan ketidak-tenangan itu sendiri. “Cobalah untuk melupakannya. Setidak-tidaknya untuk sementara.“

Pangeran Benawa mengangguk kecil. Namun tiba-tiba wajah itu menjadi tegang. Hanya sesaat, karena kemudian senyumnya telah nampak pula menghiasi bibirnya yang pucat.

“Kakangmas,“ suara Pangeran Benawa semakin menurun, “apakah malam telah larut?“

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Belum tengah malam Adimas.“

“Dimanakah Agung Sedayu dan Glagah Putih?“ bertanya Pangeran Benawa pula.

“Hamba di sini Pangeran,“ desis Agung Sedayu.

“Bimbing sepupumu itu baik-baik. Jika ia sahabat Rangga, ia tentu memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Kau tinggal mengarahkannya, agar ia tidak berlaku sebagai seorang kanak-kanak, namun dengan kemampuan raksasa yang sulit dicari bandingnya,“ desis Pangeran Benawa.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Pangeran Benawa menilai Raden Rangga sebagaimana orang-orang lain menilainya. Namun Pangeran Benawa pun mengenal bahwa Raden Rangga memiliki kemampuan raksasa, sehingga iapun menganggap bahwa Glagah Putih telah dijalari pula, bukan saja kemampuan Raden Rangga, tetapi juga sifat-sifatnya.

Dengan nada rendah Agung Sedayu pun berkata, “Ampun Pangeran. Glagah Putih ternyata tidak memiliki kelebihan. Ia memang banyak mendapat kemurahan hati. Tetapi seperti hamba katakan, sepupu hamba memang terlalu dungu. Selain itu, sepupu hamba telah meninggalkan dunia kanak-kanaknya dan memasuki usia dewasanya. Mungkin karena kehidupan yang penuh dengan beban keprihatinan, membuatnya lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya.“

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Dimana Glagah Putih itu?“

Agung Sedayu memberikan isyarat agar Glagah Putih bergeser lebih mendekat. Sambil berjongok di samping pembaringan Pangeran Benawa, Glagah Putih mendekati Pangeran Benawa. Dengan tangan yang lemah dan dingin Pangeran Benawa telah menyentuh wajah Glagah Putih sambil berkata, “Warisi sifat kakak sepupumu itu Anak Muda.“

Glagah Putih menjawab hampir di luar sadarnya, “Hamba Pangeran.“

“Bagus,“ desis Pangeran Benawa. Lalu, “Banyak sekali orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Namun ilmunya tidak berarti sama sekali bagi kehidupan orang banyak. Ilmunya tidak memberikan suasana yang sejuk bagi semuanya, namun justru sebaliknya.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sekali lagi ia berdesis hampir di luar sadarnya, “Hamba Pangeran.“

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Kakangmas. Nafasku serasa semakin sendat.“

Panembahan Senapati bergeser mendekat. Ia memberi isyarat kepada tabib yang merawat Pangeran Benawa dengan penuh kesungguhan. Siang dan malam hampir tidak beranjak dari sisinya. Tabib itu dengan bergegas mendekat. Dirabanya tangan Pangeran Benawa. Kemudian diramunya sejenis obat yang berwarna kehijauan. Katanya, “Jika nafas Pangeran menjadi sesak, biasanya dengan obat ini akan menjadi agak longgar.“

Setitik demi setitik tabib itu menuangkan obat ke bibir Pangeran Benawa. Namun agaknya obat itu menjadi sulit untuk melintasi kerongkongan. Tetapi seperti biasanya, nafas Pangeran Benawa memang menjadi agak longgar. Namun tatapan matanya benar-benar telah menjadi redup meskipun senyumnya tetap menghiasi bibirnya yang menjadi semakin biru.

Sambil tersenyum ia justru berdesis, “Kakangmas. Aku tidak dapat melawan kehadiran maut dengan ilmu Lebur Seketi sekalipun. Agaknya aku memang harus menghadap.“

Wajah Panembahan Senapati menjadi tegang. Demikian pula Agung Sedayu dan Glagah Putih. Bahkan tabib yang merawatinya nampaknya mulai menjadi sangat gelisah.

Sementara itu Pangeran Benawa berkata, “Jangan risaukan apa yang terjadi. Aku bersyukur bahwa di saat terakhir aku merasa dekat dengan Yang Maha Agung. Akupun sempat mengais, menilai dosa-dosaku. Aku telah memanjatkan doa, agar dosa-dosaku diampuni-Nya.“

“Bukankah masih ada obat yang akan dapat membantu Adimas?“ Rasa-rasanya Panembahan Senapati telah mengatakan sesuatu di luar nalarnya. Karena menurut penglihatannya, penilaiannya dan bahkan hampir merupakan satu keyakinan, bahwa Pangeran Benawa telah mulai meniti jalan ke penghadapan-Nya.

Sebenarnyalah, Pangeran Benawa menjadi semakin lemah. Namun ia masih dapat menggeser tangannya dan menyilangkan di dadanya. Satu kekaguman terpancar di sorot mata Panembahan Senapati dan Agung Sedayu. Demikian pula pada tabib yang merawatnya. Hampir tidak ada kesan apapun juga pada diri Pangeran Benawa. Seperti seseorang yang berangkat tidur terlalu nyenyak di udara yang segar.

Glagah Putih bergeser setapak. Namun Agung Sedayu menggamitnya. Dengan isyarat ia memberi tahukan keadaan Pangeran Benawa yang sebenarnya.

Hari itu Pajang telah berkabung. Pangeran Benawa telah pergi untuk selamanya. Di sebuah bilik, di bagian belakang istana Pajang, tempat Agung Sedayu dan Glagah Putih bermalam, nampak keduanya duduk dengan wajah murung.

“Kakang,“ desis Glagah Putih, “kenapa orang seperti Pangeran Benawa justru harus dipanggil lebih dahulu dari orang-orang lain yang lebih tua dan hampir tidak berarti sama sekali?“

“Itulah rahasia yang tidak akan dapat kita pecahkan, Glagah Putih,“ jawab Agung Sedayu, “kenyataan ini tidak dapat kita ingkari. Seandainya orang seperti Pangeran Benawa itu merupakan tokoh dalam dongeng-dongeng, maka aku akan dapat mengucapkan lain. Mungkin seorang Pangeran Benawa tidak akan meninggal di pembaringan. Atau justru berumur panjang. Ia adalah pahlawan di medan perang.“

Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi yang terjadi itu memang harus terjadi. Kita tidak tahu kehendak dari Yang Maha Agung. Namun agaknya yang terjadi itu adalah yang terbaik terjadi atas Pangeran Benawa.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Semoga Pangeran Benawa diterima di sisi Yang Maha Agung, Yang Maha Tahu, dan Yang Maha Murah.”

“Tidak ada kekuatan atau kekuasaan apapun yang dapat mempengaruhi keputusan Yang Maha Adil itu. Segalanya berdasarkan penilaian Yang Maha Bijaksana itu atas segala yang telah diperbuat oleh Pangeran Benawa,” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan sekali, seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia mengerti maksud kakak sepupunya.

Malam itu keduanya hampir tidak tidur semalam suntuk. Mereka rasa-rasanya hanya sekejap-sekejap terlena. Namun mereka telah berada di pakiwan sebelum dini hari.

Seluruh Pajang telah berduka di hari pemakaman Pangeran Benawa. Di jalan-jalan, di tanggul-tanggul parit dan pematang, dan tempat-tempat yang akan dilalui iring-iringan pemakaman Pangeran Benawa, rakyat Pajang berjejal memberikan penghormatan yang terakhir di lewat tengah hari. Dengan pertanda kebesaran seorang Adipati, upacara pemakaman itu dilakukan.

Panembahan Senapati, Agung Sedayu, Glagah Putih dan para pengiringnya tetap berada di Pajang di malam berikutnya. Panembahan Senapati tidak sampai hati meninggalkan Pajang yang baru diliputi kabut kesusahan itu.

Ketika menurut rencana, baru di hari berikutnya Panembahan Senapati ke Mataram, telah datang sekelompok tamu yang lain di Pajang. Tamu yang datang dari Madiun. Bahkan dipimpin oleh Panembahan Madiun sendiri.

Bagi Panembahan Senapati, pertemuan itu merupakan pertemuan yang tidak diduga-duga. Namun adalah di luar dugaan Panembahan Senapati bahwa sikap Panembahan Madiun jauh berbeda dengan saat-saat ia bertemu di akhir kalinya.

Ada semacam perasaan segan pada Panembahan Madiun untuk berbicara langsung dengan Panembahan Senapati. Bahkan ketika Panembahan Senapati menemuinya, tidak banyak yang dapat mereka bicarakan.

Panembahan Senapati kurang mengerti, bahwa Panembahan Madiun telah bertanya kepadanya, “Apakah Anakmas Panembahan Senapati tidak merasa terganggu dengan kehadiranku di sini?”

“Aku tidak mengerti, Pamanda,” jawab Panembahan Senapati, “kita bersama-sama telah datang untuk berbuat sesuatu di saat-saat terakhir Adimas Pangeran Benawa. Justru aku yang telah datang di Pajang pada saat-saat Adimas Pangeran Benawa masih belum dipanggil oleh Yang Maha Agung. Aku dan yang datang bersamaku dari Mataram, berusaha untuk membantu meringankan beban perasaan Pangeran Benawa di saat terakhirnya. Apapun yang dapat kami lakukan telah kami lakukan.”

“Syukurlah,” berkata Panembahan Madiun, “namun sebenarnya Anakmas Panembahan Senapati sempat memerintahkan dua tiga orang penghubung, jika bukan orang Mataram yang besar, bukankah dapat diperintahkan orang-orang Pajang, untuk datang ke Madiun? Jika demikian, maka aku akan dapat bertemu dengan Anakmas Pangeran Benawa, meskipun barangkali hanya mendengar pesan terakhirnya. Tetapi Anakmas Panembahan Senapati tidak memerintahkan siapapun untuk memberi tahukan kepadaku, sehingga aku ternyata telah terlambat mendengarnya. Seperti yang kalian lihat, kami datang setelah Pangeran Benawa dimakamkan.”

“Maaf Pamanda,” berkata Panembahan Senapati, “demikian aku datang di Pajang dan langsung menemui Adimas Pangeran Benawa, aku benar-benar terpukau oleh keadaannya. Aku sama sekali tidak ingat lagi untuk memberitahukan kepada Pamanda di Madiun.”

Panembahan Madiun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah. Bagi Anakmas Panembahan Senapati, kehadiran kami dari Madiun di sini tidak Anakmas kehendaki.”

“Pamanda,” sahut Panembahan Senapati, “apakah alasanku, sehingga aku berkeberatan jika Pamanda Panembahan hadir di sini? Kita sama-sama memberikan penghormatan terakhir kepada Adimas Pangeran Benawa. Apakah nilai-nilai penghormatanku akan susut jika Pamanda datang ke Pajang untuk keperluan yang sama?”

“Tentu persoalannya bukan dalam hubungan dengan meninggalnya anakmas Pangeran Benawa itu sendiri,” berkata Panembahan Madiun. “Aku selalu mengikuti perkembangan jalan pikiran Mataram selama ini. Dan aku dapat mengambil kesimpulan bahwa bagi Mataram, aku lebih baik tidak-datang di Pajang,” berkata Panembahan Madiun.

“Darimana Pamanda dapat mengambil kesimpulan seperti itu?” bertanya Panembahan Senapati.

“Anakmas,” sahut Panembahan Madiun, “jarak antara Mataram, Pajang dan Madiun itu tidak terlalu jauh. Apa yang dibicarakan di Mataram akan terdengar sampai ke Pajang dan Madiun.”

“Bagaimana menurut pendengaran Pamanda tentang pembicaraan di Mataram atau di Pajang” bertanya Panembahan Senapati.

“Sudahlah,” berkata Panembahan Madiun, “lebih baik kita tidak berbicara tentang hubungan antara Mataram dan Madiun. Bagiku, tidak ada yang perlu dibicarakan.”

“Tidak pamanda,” berkata Panembahan Senapati, “aku justru menganggap penting untuk dapat berbicara langsung dengan Pamanda, meskipun waktunya tidak sekarang. Di sini kita datang menyatakan duka cita kita atas meninggalnya Adimas Pangeran Benawa, sehingga kurang pantas untuk memanfaatkan kesempatan ini berbicara bagi kepentingan kita masing-masing.”

“Kau benar Anakmas,” jawab Panembahan Madiun, “bukan saatnya kita berbicara. Tetapi di kesempatan lain pun kita tidak perlu berbicara. Tidak ada yang harus kita bicarakan lagi. Aku sudah cukup banyak mengetahui langkah-langkah yang Ananda ambil selama ini. Bahkan Ananda telah memerintahkan Ananda Pangeran Singasari menusuk ke dalam wilayah Madiun.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat Panembahan Senapati berkata, “Pamanda. Agaknya Pamanda telah mendapat laporan dari pihak yang salah, yang dengan sengaja ingin melihat jarak antara Madiun dan Mataram menjadi semakin jauh.”

Panembahan Madiun mengerutkan keningnya. Namun kemudian Panembahan Madiun itu menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Anakmas Panembahan Senapati. Aku adalah orang tua. Aku telah mendengar banyak sekali tentang usaha Mataram untuk meningkatkan kebesarannya. Anakmas harus mengetahui, bahwa aku mempunyai penilaian terhadap semua pendengaranku itu. Ada yang aku percaya, dan ada yang tidak aku percaya. Karena itu, apa yang aku ucapkan adalah sikapku yang sebenarnya terhadap Mataram.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Baiklah Pamanda. Jika demikian, maka pembicaraan yang berterus terang dan tuntas itu sangat penting bagiku. Aku merasa bahwa aku lebih muda dari Pamanda di segala sisi kehidupanku. Umur dan pengetahuan serta pengalamanku jauh lebih muda dari Pamanda. Karena itu, memang tidak mustahil bahwa aku telah melakukan kesalahan menurut penilaian Paman. Tetapi jika kita sempat berbicara di satu kesempatan yang leluasa, maka segalanya akan menjadi jelas. Pamanda akan mendengar alasan-alasan yang aku kemukakan atas langkah-langkah untuk membuat Mataram semakin besar dalam pengertian yang akan dapat aku jelaskan. Kesatuan Mataram pun akan dapat kita urai maknanya, sehingga Pamanda tidak akan salah menilai. Selanjutnya, jika semuanya sudah aku jelaskan, dan Paman masih tetap menganggap hal itu kurang baik, maka kita akan dapat mengambil sikap kita masing-masing.”

Panembahan Madiun termangu-mangu sejenak. Ia memang telah mengenal Panembahan Senapati. Panembahan Senapati adalah seorang pemimpin pemerintahan yang kuat dan seorang prajurit yang tangguh.

Namun bagi Panembahan Madiun, apa yang dikatakan oleh Panembahan Senapati itu memang benar. Jika mereka berbicara langsung dengan terbuka, maka salah paham di antara mereka setidak-tidaknya akan dapat dikurangi. Jika kemudian ada perbedaan sikap dan pendirian, tentu bukannya karena salah paham. Tetapi mereka memang benar-benar mempunyai sikap dan pendirian yang berbeda. Dengan demikian, maka mereka pun akan dapat mencari jalan penyelesaian yang paling baik.

Karena itu, maka Panembahan Madiun pun berkata, “Baiklah Anakmas. Pada satu kesempatan kita akan bertemu. Kita akan berbicara tentang hubungan kita.” “Terima kasih Pamanda,” jawab Panembahan Senapati, “apa yang kita lakukan, tidak sekedar yang menyangkut diri kita semata-mata. Tetapi akan menyangkut banyak orang dan kelangsungan hidup satu negara.”

Panembahan Madiun mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan menentukan segala-galanya kemudian.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang kemudian mengetahui hasil pembicaraan itu mengangguk-angguk. Ternyata pendirian Panembahan Senapati tidak jauh berbeda dengan pendapatnya untuk dapat bertemu dan langsung berbicara dengan Panembahan Madiun.

“Syukurlah,” berkata Agung Sedayu, “mudah-mudahan dapat diketemukan jalan terbaik untuk mengurangi jarak yang terbentang antara Mataram dan Madiun, yang agaknya akhir-akhir ini menjadi semakin lebar.”

“Yang untuk sementara masih dapat menjadi penghubung antara Mataram dan Madiun, kini tidak ada lagi. Jika tidak diketemukan cara yang baik untuk mendapatkan penyelesaian, dengan meninggalnya Pangeran Benawa, keadaan akan menjadi semakin gawat,” desis Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Pangeran Benawa memang dapat menjadi perekat untuk sementara antara Mataram dan Madiun. Selain letak Pajang yang memang berada di antara Mataram dan Madiun, maka Pangeran Benawa adalah sebenarnya putra Sultan Pajang dan kemenakan Panembahan Madiun. Sedangkan Pangeran Benawa benar-benar telah menganggap bahwa Panembahan Senapati adalah kakak kandungnya sendiri.

Namun tanpa Pangeran Benawa, Panembahan Madiun dapat menganggap Panembahan Senapati, anak Pemanahan itu, bukan apa-apa lagi. Tidak ada hubungan antara tahta Demak dan kekuasaan Mataram yang dipegang oleh Panembahan Senapati itu. Apalagi Panembahan Senapati tidak lebih dari anak Pemanahan, seorang yang berasal dari padesan, yang kebetulan adalah saudara seperguruan Jaka Tingkir yang karena keberuntungannya menjadi menantu Sultan Demak terakhir, yang sempat memegang kekuasaan di Pajang. Dan anak Pemanahan itu telah diangkat menjadi anak Jaka Tingkir, yang kemudian menjadi Sultan Pajang dan bergelar Sultan Hadiwijaya.

Memang dapat timbul pertanyaan, apakah hak Sutawijaya, anak Pemanahan itu, untuk memegang kendali pemerintahan di atas Tanah ini, warisan dari kekuasaan Demak yang besar?

Rencana pertemuan antara Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun yang waktunya masih akan ditentukan itu memang menimbulkan harapan, bahwa persoalannya akan dapat dipecahkan. Agung Sedayu yakin bahwa kedua belah pihak bukannya orang- orang yang tidak berpengalaman dan berpandangan luas.

Namun dalam pada itu, jika Agung Sedayu dan Glagah Putih mulai berpengharapan, ternyata ada juga orang yang sangat kecewa atas rencana itu. Dengan serta merta orang itu telah memikirkan cara untuk membatalkan rencana yang dinilainya akan dapat meredakan ketegangan yang sudah disusunnya setapak demi setapak. Bahkan bagi mereka, meninggalnya Pangeran Benawa akan dapat memperburuk keadaan. Tetapi tiba-tiba saja rencana untuk bertemu itu disetujui oleh Panembahan Madiun.

Bagi orang-orang itu, selama pertemuan itu sendiri masih belum berlangsung, masih belum terlambat untuk mengadakan usaha menggagalkannya. Bagi mereka, apapun yang dibicarakan oleh Panembahan Madiun dan Panembahan Senapati dari Mataram, tentu akan mengarah pada usaha untuk memperbaiki hubungan yang selama ini dipisahkan oleh kecurigaan dan prasangka.

Sedangkan orang-orang yang tidak senang atas keputusan Panembahan: Madiun itu adalah orang-orang yang dekat dan bahkan ikut pula berada di Pajang.

Bahkan mereka tidak sekedar merencanakan penggagalan pertemuan antara Panembahan Madiun dan Panembahan Senapati, tetapi mereka justru berusaha melangkah lebih jauh.

Apa yang terjadi di Mataram memang telah sampai kepada mereka. Kegagalan orang-orang mereka mempergunakan Kiai Sasak, serta keterlibatan orang-orang yang bernama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sementara itu mereka ternyata telah bertemu dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih itu di Pajang.

“Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh,” berkata salah seorang dari mereka yang termasuk sekelompok orang yang menentang niat Panembahan Madiun untuk berbicara dengan Panembahan Senapati di Mataram.

“Mereka termasuk orang-orang yang harus dimusnahkan,” berkata kawannya, seorang senapati yang berkedudukan tinggi di Madiun, “tetapi ingat, mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Yang bernama Glagah Putih itu telah kami kenali keadaan dirinya sepenuhnya. Para petugas sandi telah meneliti secara khusus, siapakah anak itu sebenarnya. Ternyata ia adalah sepupu Agung Sedayu. Yang perlu mendapat perhatian, ia adalah sahabat Raden Rangga sampai saat meninggalnya. Karena itu, maka agaknya ia memiliki beberapa segi kemampuan Raden Rangga itu, atau barangkali ia telah kejangkitan sifat-sifatnya pula.”

Yang lain mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kita tidak perlu mengirimkan sekelompok orang untuk menyelesaikan mereka berdua. Kita hanya memerlukan dua orang. Tetapi yang benar-benar berilmu tinggi.”

“Sulit untuk mencari orang berilmu setingkat dengan keduanya,” berkata perwira yang menjabat sebagai senapati itu, “lambang kebesaran Nagaraga telah dihancurkan oleh Raden Rangga. Naga itu dibunuhnya, meskipun ternyata telah membawa nyawa Raden Rangga sendiri. Nah, kau bayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh Glagah Putih. Jika anak itu tidak mampu setidak-tidaknya membayangi kemampuan ilmu Raden Rangga, maka Raden Rangga tentu tidak telaten bersahabat dengan anak itu. Karena itu menurut pendapatku, untuk meyakinkan bahwa kita akan berhasil, maka kita akan mengirimkan empat orang.”

“Bagaimana menurut laporan para petugas sandi yang berusaha mengenali Agung Sedayu?” bertanya kawannya.

“Orang itu lebih mudah dikenali. Namanya sudah sering disebut-sebut. Ia memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Agung Sedayu di masa remajanya adalah kawan mengembara Panembahan Senapati itu sendiri, dan Pangeran Benawa,” jawab Senapati itu. 

Yang lain mengangguk-angguk. Agaknya mereka sependapat, bahwa rencana itu tidak boleh gagal. Apalagi orang yang ditugaskan itu tidak boleh tertangkap lagi, sehingga akan dapat diperas untuk memberikan keterangan.

Tetapi seperti biasanya, mereka akan menempuh jalur yang terputus, sehingga orang yang melaksanakan rencana itu tidak mengetahui sumber perintahnya, kecuali mengenal beberapa orang yang tidak langsung berhubungan.

Orang-orang itu ternyata tidak mau terlambat. Menurut perhitungan mereka, jika Panembahan Senapati kembali ke Mataram, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih akan segera kembali pula ke Tanah Perdikan Menoreh. Orang-orang seperti Agung Sedayu dan Glagah Putih itu tentu tidak akan memerlukan pengawal. Mereka merasa bahwa mereka mampu mengatasi semua kesulitan di perjalanan.

Dengan kedatangan Panembahan Madiun, maka perjalanan kembali Panembahan Senapati memang tertunda. Iring-iringan dari Mataram tidak berangkat pagi-pagi sebagaimana mereka rencanakan, tetapi mereka telah menunda sampai menjelang sore hari. Jika mereka kegelapan di perjalanan, maka itu bukan masalah bagi Panembahan Senapati, Agung Sedayu, Glagah Putih dan para prajurit dari Mataram.

Namun waktu yang terhitung pendek itu telah dipergunakan sebaik-baiknya bagi orang-orang yang tidak menghendaki pendekatan antara Mataram dan Madiun. Mereka telah mempergunakan jalur-jalur yang telah mereka susun dengan baik untuk menyusun rencana melenyapkan Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Malam nanti agaknya keduanya masih akan bermalam di Mataram. Besok mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata senapati itu.

Semuanya segera diatur dengan rapi. Yang mendapat giliran dihubungi oleh jalur-jalur yang telah disusun oleh orang-orang itu adalah sebuah padepokan yang tidak terlalu banyak disebut-sebut namanya, namun memiliki orang-orang terpilih.

Tidak banyak jenis padepokan seperti itu. Tetapi ada dua atau tiga buah yang telah menyatakan diri untuk bersama-sama dengan padepokan-padepokan yang lain, mendukung rencana memisahkan Madiun dari Mataram, dan bahkan menjadi penguasa tunggal yang akan meliputi wilayah Mataram, karena Panembahan Madiun adalah orang yang mewarisi langsung tahta Demak. Yang penting bagi mereka adalah bahwa mereka akan dapat memanfaatkan Panembahan Madiun bagi kepentingan mereka. Satu hal yang tidak dapat mereka lakukan atas Panembahan Senapati di Mataram.

Sebenarnyalah bagi mereka, jika Panembahan Madiun dengan alasan saluran darah langsung dari Demak berhasil menguasai Tanah ini seluruhnya, maka sebenarnya mereka yang akan memegang kemudi kekuasaan dengan tata cara dan tujuan yang dapat mereka tentukan menurut keinginan mereka, tanpa menghiraukan alas dan landasan tata kehidupan dan pandangan hidup rakyatnya.

Dalam pada itu, ketika matahari mulai turun, maka Panembahan Senapati pun telah bersiap-siap untuk kembali ke Mataram. Setelah minta diri dengan para tetua di Pajang yang untuk sementara akan memegang pimpinan pemerintahan sampai ada perintah berikutnya dari Panembahan Senapati, serta Panembahan Madiun yang masih berada di Pajang, maka Panembahan Senapati pun telah meninggalkan Pajang. Kepada tetua di Pajang Panembahan Senapati berpesan, “Dalam waktu dekat aku akan menentukan kedudukan Pajang.”

Panembahan Madiun juga mendengar pesan itu. Bagaimanapun juga terasa sengatan di hatinya. Namun di masa yang lewat, Pajang memang merupakan bagian dari Mataram, bahkan termasuk juga Madiun. Meskipun para Adipati memiliki wewenang memerintah ke dalam, namun mereka terikat dalam kesatuan di bawah kuasa Mataram.

Tetapi Panembahan Madiun sama sekali tidak menyahut. Ia memang ingin bertemu dan berbicara tentang segala sesuatunya dengan Panembahan Senapati. Panembahan Madiun berharap bahwa dengan demikian persoalan yang untuk beberapa lama tersimpan di dalam hati akan terpecahkan tanpa salah paham.

Dengan demikian, maka Panembahan Senapati pun telah meninggalkan Pajang menuju ke Mataram. Agung Sedayu, Glagah Putih dan para pengawal ikut pula berpacu. Matahari yang condong rasa-rasanya masih juga membakar kepala. Sementara iring-iringan yang menuju ke barat itu seakan-akan sedang berpacu menuju ke arah matahari yang menjadi semakin rendah.

Perjalanan kembali ke Mataram memang tidak mengalami gangguan. Yang dipersiapkan oleh beberapa orang Madiun adalah usaha untuk memotong perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih dari Mataram ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata bahwa orang-orang Madiun yang bekerja untuk kepentingan diri mereka sendiri itu tidak bekerja satu sisi. Mereka ternyata dapat berhubungan pula dengan orang-orang Mataram yang tamak sebagaimana sekelompok orang-orang Madiun itu. Mereka tidak peduli apakah Panembahan Senapati akan mampu membuat Mataram menjadi semakin utuh atau sebaliknya. Yang penting bagi mereka adalah diri mereka sendiri.

Seperti yang diperhitungkan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih masih bermalam lagi di Mataram. Tetapi agaknya keduanya telah menyerahkan segala-galanya tentang para tawanan itu kepada Panembahan Senapati.

“Baiklah,” berkata Panembahan Senapati, “aku akan memberitahukan hasilnya. Namun agaknya tidak banyak yang akan dapat disadap dari mereka. Tetapi setidak-tidaknya akan ada bahan yang dapat menambah pengertian kita tentang sikap segolongan orang-orang Madiun.”

“Terima kasih Panembahan,” sahut Agung Sedayu, “jika Panembahan memerlukan kami, maka kami akan datang setiap saat.”

“Bagaimanapun juga kita harus bersiap. Namun aku belum mendengar laporan tentang saudara seperguruanmu. Mudah-mudahan Sangkal Putung tidak mengalami tusukan-tusukan perpecahan seperti yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Guru dan Sabungsari telah berada kembali di Jati Anom. Guru tentu akan langsung menemui Swandaru untuk memberikan keterangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Sangkal Putung.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang timbul. Meskipun Sangkal Putung hanya sebuah kademangan yang besar dan kuat, justru karena ditempa oleh keadaan sejak Tohpati berada di sekitar kademangan itu.”

Demiklanlah, maka di hari berikutnya Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan Mataram, kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Seperti yang diduga pula, Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak memerlukan pengawal.

Demikianlah, mereka berdua berpacu di atas kuda masing-masing meninggalkan Mataram. Mereka memang sempat singgah sejenak di rumah Kiai Sasak untuk minta diri. Ternyata bahwa di rumah itu masih ada beberapa orang prajurit yang ditugaskan untuk membantu jika Kiai Sasak mengalami kesulitan karena orang-orang yang mendendamnya.

Kiai Sasak, anak dan istrinya masih saja mengulang-ulang ucapan terima kasih kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tanpa mereka, maka yang terjadi tentu akan sangat menyedihkan bagi keluarga itu.

“Apalagi ketika aku kemudian mengetahui, bahwa kalian bukan prajurit Mataram,” berkata Kiai Sasak, “aku merasa semakin berhutang budi kepada kalian.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Sudah berkali-kali aku katakan kepada Kiai, bahwa apa yang kami lakukan semata-mata karena kami merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan sesama. Adalah tugas setiap orang untuk saling menolong.”

Kiai Sasak mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi jarang orang yang menyempatkan diri berbuat sebagaimana kalian lakukan.”

Agung Sedayu berdesis, “Kiai tidak perlu memuji. Seperti yang sudah berkali-kali aku katakan, bahwa kewajiban kita untuk saling menolong.”

Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak dapat terlalu lama berada di rumah Kiai Sasak. Mereka pun kemudian telah meninggalkan rumah itu, langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Kehadiran kedua orang itu ternyata tidak lepas dari pengamatan orang-orang yang memang mendapat tugas khusus di Mataram, oleh beberapa orang di antara para pemimpin di Madiun yang tidak menghendaki suasana yang baik dapat dipulihkan antara Mataram dan Madiun. Semua yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih itu sebagian besar memang sudah termasuk perhitungan dari orang-orang yang berusaha mencegatnya di perjalanan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Orang-orang yang mengawasinya itu juga telah menduga, bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih akan singgah meskipun hanya sebentar di rumah Kiai Sasak.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan regol rumah Kiai Sasak itu, Glagah Putih di luar sadarnya telah berpaling. Sementara itu, anak perempuan Kiai Sasak memperhatikannya dengan tanpa berkedip. Namun ketika tiba-tiba saja Glagah Putih itu memandanginya, maka gadis itupun telah menjadi bingung.

Namun yang terjadi itu hanya sekejap. Glagah Putih pun segera melemparkan pandangannya pula ke depan, karena kuda yang ditumpanginya telah mulai bergerak pula.

Demikianlah, keduanya pun segera berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menyusuri jalan yang dianggap tidak banyak berdebu, menuju ke penyeberangan.

Jalan yang telah berpuluh kali dilalui itu tidak memberikan kesan apapun kepada keduanya. Tidak ada yang menarik perhatian. Semuanya sebagaimana yang pernah mereka kenal sebelumnya.

Namun ketika mereka sampai di penyeberangan, Agung Sedayu mulai merasakan sesuatu yang lain. Ia memang tidak melihat sesuatu yang pantas dicurigai. Banyak orang berada di penyeberangan sebagaimana biasanya.

Tetapi firasatnya terasa telah bergetar. Ada sesuatu yang tidak wajar akan terjadi pada dirinya.

Karena itu, ketika mereka berada di atas gethek yang membawa mereka menyeberang, Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk agak terpisah dari orang lain, dibatasi oleh kedua kuda mereka. Dengan tanpa menarik perhatian orang lain, keduanya justru memperhatikan orang-orang yang berada di atas gethek itu.

“Ada semacam sentuhan pada naluriku,” berkata Agung Sedayu, “mudah-mudahan tidak ada apa-apa di perjalanan.”

“Naluri seorang prajurit,” desis Glagah Putih. “Kita harus berhati-hati. Aku juga menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya ada beberapa pasang mata sedang mengamati kita.”

“Itulah, Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu, “jika ternyata tidak ada apa-apa, maka ternyata hati kita-lah yang buram. Kita terlalu berprasangka buruk terhadap orang lain. Satu perasaan yang harus kita singkirkan dari dalam hati kita.”

“Bagaimana jika kita mengartikan sebagai satu sikap hati-hati Kakang?” bertanya Glagah Putih.

“Dapat saja kita memberi arti apapun untuk menutupi kekurangan di dalam diri kita, yang sebenarnya selalu dibayangi oleh kecurigaan,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia justru mengangguk-angguk.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah turun di seberang. Mereka turun settelah memberikan upah kepada orang yang mengayuh gethek mereka dengan galah panjang.

Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah naik ke tepian seberang. Mereka pun segera memacu kuda mereka meninggalkan daerah penyeberangan.

Namun rasa-rasanya kedua orang itu menjadi semakin berdebar-debar. Di belakang mereka dua orang berkuda mengikuti pada jarak yang tetap. Jika Agung Sedayu mempercepat kuda mereka bersama Glagah Putih, maka kedua orang itu pun menjadi semakin cepat pula. Tetapi jika Agung Sedayu dan Glagah Putih mengurangi kecepatan mereka, maka kedua orang itu telah memperlambat derap kuda mereka pula.

“Jangan terlalu sering berpaling,” berkata Agung Sedayu.

“Keduanya mengikuti kita,” berkata Glagah Putih.

“Mungkin, tetapi mungkin keduanya memang pergi ke tujuan yang searah dengan kita. Atau bahkan keduanya telah mengenal kita, sehingga segan untuk mendahului,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia berpendapat lain dari kakaknya. Orang itu tidak berkuda searah. Namun keduanya tentu mengikuti mereka.

“Kakang Agung Sedayu tentu juga mengira demikian,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “tetapi ia tidak ingin menuduh orang lain akan berbuat jahat kepadanya, sebelum hal itu terbukti.”

Namun ketika mereka sampai di sebuah simpang tiga, Agung Sedayu tidak lagi sekedar berprasangka. Ketika Agung Sedayu memilih jalan yang melalui bulak-bulak persawahan, maka tiba-tiba saja kedua orang berkuda itu menyusul dan mendahuluinya. Namun beberapa langkah di hadapannya keduanya berhenti dan memutar kuda mereka.

“Ki Sanak,” berkata salah seorang dari keduanya, “silahkan berhenti sebentar.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah berhenti pula. Dengan nada rendah Glagah Putih berdesis, “Tentu bukan sekedar searah.”

Agung Sedayu tersenyum kepada kedua orang itu, “Untuk apa kalian menghentikan kami?”

“Maaf Ki Sanak,” berkata salah seorang dari mereka, “kami adalah orang yang datang dari jauh sehingga kurang memahami lingkungan Tanah Perdikan Menoreh ini. Apakah Ki Sanak orang Tanah Perdikan ini?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “aku adalah orang Tanah Perdikan Menoreh. Dan kita memang sudah mulai memasuki daerah Tanah Perdikan itu.”

“Bagus,” jawab orang itu, “apakah ada jalan lain menuju ke padukuhan induk daripada jalan ini?”

“Jalan ini adalah jalan yang paling sering kami lalui. Memang ada beberapa jalan lain yang mungkin lebih kecil dan barangkali kurang baik untuk dilalui,” jawab Agung Sedayu.

“Bagaimana jalan di tepi hutan itu?” bertanya orang itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu telah memberikan petunjuk kepadanya, bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang memang pantas dicurigai. Bukan sekedar berprasangka buruk karena keburaman hatinya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Iapun segera tanggap atas apa yang dihadapinya.

Tetapi agaknya baik Glagah Putih maupun Agung Sedayu mempunyai sikap yang sama. Mereka ternyata ingin mengetahui, siapakah yang sedang mereka hadapi itu. Bahkan keduanya telah menebak bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang telah mendendam mereka karena keterlibatan mereka dengan persoalan yang dihadapi oleh Kiai Sasak dan anak istrinya.

Namun demikian, keduanya memang harus berhati-hati. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa telah disiapkan jebakan bagi mereka.

“Ki Sanak,” berkata salah seorang dari kedua orang berkuda yang menyusul mereka selanjutnya, “apakah Ki Sanak berdua bersedia menolong kami menunjukkan jalan di pinggir hutan itu?”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia menjawab, “Bagaimana jika kami berkeberatan Ki Sanak?”

“Jangan begitu,” berkata orang itu, “bukankah kalian bernama Agung Sedayu dan Glagah Putih.”

“Ya,” jawab Agung Sedayu dengan berterus terang, “tetapi dari mana kau tahu nama kami?”

“Sudahlah. Setiap orang pernah membicarakan nama kalian. Setiap orang pun tahu bahwa kalian adalah orang-orang yang senang menolong kesulitan orang lain. Karena itu, kami minta tolong, apakah kalian berdua bersedia mengantarkan kami berdua pergi ke pedukuhan induk melalui jalan di pinggir hutan itu?” bertanya orang berkuda itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kami akan mengantarkan kalian.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Luar biasa. Kalian terlalu sombong menghadapi kami.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku sudah tahu bahwa kalian tentu orang-orang yang mendendam terhadap kami. Tetapi biarlah kami melihat, jebakan apa yang kau pasang untuk kami berdua. Justru karena kami berada di kampung halaman kami sendiri, maka kami tentu lebih mengenal medan ini daripada kalian.”

“Kami tidak mengira bahwa kesombongan kalian benar-benar sampai setinggi Gunung Merapi,” geram orang berkuda itu, “aku kira kalian akan menolak, sehingga kami harus memaksa kalian atau menyelesaikan kalian di sini. Kami tidak peduli seandainya ada orang-orang yang melihat dan melaporkannya kepada Ki Gede Menoreh, karena sebelum semuanya itu terjadi, kalian tentu sudah mati.”

Tetapi Agung Sedayu justru tersenyum. Dengan nada rendah ia bertanya, “Siapakah yang paling sombong di antara kita?”

“Persetan,” geram orang itu, “marilah, kita pergi ke pinggir hutan. Agaknya memang lebih baik bagi kalian untuk mati di tempat yang sepi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada Glagah Putih, “Apakah kita akan memberikan isyarat lebih dahulu agar orang-orang Tanah Perdikan ini datang membantu kita?”

Pertanyaan itu memang membingungkan Glagah Putih. Tetapi ia justru menjawab menurut pikirannya sendiri, “Apakah aku harus berpacu ke padukuhan? Kudaku adalah kuda terbaik di antara kuda yang ada di sini. Karena itu, aku tentu akan paling cepat sampai.”

“Persetan,” geram orang berkuda yang menyusul mereka, “jangan banyak bicara. Kami tidak hanya berdua.” Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian memandang ke arah yang ditunjuk oleh orang berkuda itu. Di kejauhan mereka melihat dua orang lagi yang juga berkuda, agaknya sudah menunggu di jalan yang menuju ke tepi hutan.

“Kau menantang kami bertempur di tepi hutan?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya,” jawab orang itu.

“Kau bawa sekelompok orang untuk membunuh kami beramai-ramai seperti membunuh tupai?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Kami hanya berempat. Sebenarnya dua orang di antara kami sudah cukup. Tetapi kami ingin yakin, bahwa kalian akan benar-benar mati. Dua orang di antara kami akan membunuh kalian, sementara itu jika para pengawal berdatangan, maka dua orang di antara kami itu akan menyapu mereka semuanya dengan kemampuan ilmu kami yang tinggi,” jawab orang itu.

“Nah sekarang kita sudah yakin, siapakah yang paling sombong di sini. Tetapi baiklah. Aku akan ikut kalian melintasi jalan tepi hutan, yang agaknya telah kalian siapkan perangkap untuk menjebak kami.”

“Anak iblis,” orang itu mengumpat, “cepat, pergilah.”

“Aku di belakangmu,” berkata Agung Sedayu.

“Kau akan lari?” bertanya orang-itu.

“Jika itu aku kehendaki, tentu sudah aku lakukan sebelum kalian menyusul kami,” jawab Agung Sedayu, “kami memang menunggu kesempatan ini, sehingga seperti yang pernah kami lakukan, kami akan menangkap kalian untuk melengkapi keterangan dari orang-orang yang telah tertangkap. Kami memang memerlukan ganti dari para tawanan kami yang dibunuh dengan licik oleh kawan-kawannya sendiri. Nah, dengar, dibunuh oleh kawan-kawannya, sendiri sebagaimana akan terjadi atas diri kalian jika kalian tertangkap. Namun karena pengalaman itu, maka kelak kalian akan kami simpan di tempat yang paling rapat dan tidak akan mungkin terjangkau oleh senjata kawan-kawan kalian.”

“Tutup mulutmu!” teriak keduanya hampir bersamaan.

Agung Sedayu tertawa. Bahkan Glagah Putih pun tertawa pula sambil berkata, “Sudahlah. Jangan bingung menghadapi kenyataan yang bakal datang. Bukan salah kami jika kami menangkap kalian. Tetapi kalian sendiri-lah yang datang kepada kami. Justru tepat pada saat kami memerlukan kalian.”

“Anak iblis. Setan alas!” orang-orang itu mengumpat. Seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Sebenarnya aku ingin membunuh kalian sekarang. Sayang, kedua kawanku telah menunggu.”

“Marilah,” jawab Agung Sedayu, “supaya mereka tidak menunggu terlalu lama. Tetapi seperti aku katakan tadi, berjalanlah di depan. Jika kalian berjalan di belakang, kalian akan dapat berbuat licik justru karena kalian sangat ketakutan, sehingga kalian dapat saja membunuh kami dari belakang dengan lemparan pisau misalnya.”

“Aku ingin mengoyak mulutmu!” teriak yang seorang.

“Sudahlah. Kalian berada di depan, atau aku tidak mau mengikuti kalian,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Kedua orang itu menjadi tegang. Namun keduanya kemudian telah menggerakkan kuda mereka, berderap dengan kecepatan yang rendah menuju ke tempat kedua kawannya menunggu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak mengingkari kata-katanya. Keduanya mengikuti kedua orang itu di belakang. Sementara itu Agung Sedayu sempat berbisik, “Berhati-hatilah. Agaknya keduanya memang orang-orang berilmu tinggi. Tetapi rasa-rasanya aku ingin tahu, apa yang telah mereka persiapkan untuk menyambut kita sekarang ini.”

Dalam pada itu, dua orang yang berada di kejauhan itu pun agaknya telah bergeser pula. Mereka telah mendahului menuju ke hutan yang tidak terlalu besar. Namun hutan itu termasuk hutan yang sepi.

“Jika di hutan itu terdapat sekelompok orang, apa yang kita lakukan Kakang?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan seperti yang dikatakan oleh orang itu. Yang menunggu kita hanya empat orang saja. Tetapi jika yang ada di tempat itu berjumlah terlalu banyak untuk dilawan, maka kita tidak usah membunuh diri. Setidak-tidaknya kita tentu mempunyai kesempatan untuk menghindar dan menggerakkan pengawal di padukuhan yang paling dekat. Kita harus berusaha menangkap mereka hidup-hidup sebanyak-banyaknya. Pembunuhan tidak akan memberikan keuntungan apa-apa.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi agaknya terlalu sulit baginya untuk dengan tepat mengukur kemampuan yang diperlukan untuk melumpuhkan lawan tanpa membunuhnya. Apalagi jika lawannya berilmu tinggi.

Agung Sedayu agaknya mengetahui kebimbangan di hati adik sepupunya itu. Karena itu maka katanya, “Glagah Putih. Kita berusaha sejauh dapat kita lakukan. Sudah tentu jangan mengorbankan diri sendiri sekedar karena keragu-raguan. Aku adalah orang yang berusaha untuk mengatasi perasaan ragu dan kebimbangan meskipun kadang-kadang terlalu sulit. Bagimu, jika kau yakin bahwa yang kau lakukan itu benar, maka kau akan dapat mengambil sikap yang pasti. Sudah barang tentu dengan lambaran hati yang bersih.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu kedua orang yang berkuda di hadapan mereka setiap kali telah berpaling.

Agung Sedayu yang melihatnya telah berkata lantang, “Jangan takut aku melarikan diri.”

Orang itu mengumpat kasar. Tetapi tidak menjawab kata-kata Agung Sedayu.

“Kita tempatkan kuda kita di tempat yang terbuka,” berkata Agung Sedayu, “jika kita memerlukannya, maka kita akan dengan cepat mempergunakannya.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Sementara Agung Sedayu berkata, “Kita tidak akan melarikan diri Glagah Putih. Tetapi kita akan berusaha untuk mengatasi persoalan dengan sebaik-baiknya. Aku tahu bahwa bagimu, menghindarkan diri sama artinya dengan langkah seorang pengecut. Tetapi tergantung dari tujuan, kenapa kita menghindar dari medan. Mungkin justru karena kita tidak ingin melakukan pembunuhan yang tidak berarti. Bagaimana perasaan kita jika melihat sejumlah orang terbaring membeku di antara semak-semak di hutan ini, sementara mereka adalah orang-orang yang tidak terlalu banyak mengetahui arti dari tingkahnya sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Sementara itu kedua orang yang berkuda mendahuluinya telah berada di pinggir hutan bersama dua orang lainnya yang telah menunggunya.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian menghentikan kuda mereka. Ketika keempat orang itu berloncatan turun, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah turun pula dari kuda mereka.

Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka mereka telah mengikat kuda mereka di tempat yang terbuka, serta dengan ikatan yang mudah untuk dilepas.

“Selamat datang Ki Sanak,” seorang yang bertubuh tinggi kekar dengan pandangan mata yang bersorot tajam, berkumis, bercambang dan berjenggot lebat meskipun tidak terlalu panjang, telah menyapanya.

Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya, “Selamat bertemu. Apakah Ki Sanak sudah lama menunggu?”

“Sejak kemarin aku berada di sekitar tempat ini,” berkata orang itu, “meskipun kami yakin bahwa secepatnya kalian baru akan lewat hari ini.”

“Terima kasih atas sambutan kalian,” berkata Agung Sedayu, “aku sudah tahu apa keperluan kalian menunggu kehadiranku di sini.”

Kedua orang yang menunggu di pinggir hutan itu saling berpandangan dengan sejenak. Namun sambil tersenyum Agung Sedayu berkata, “Aku sudah mendapat penjelasan dari kedua orang kawanmu yang mengikuti aku dan kemudian kemari. Kalian berempat ingin membunuhku.”

Kedua orang itu menjadi tegang. Seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa kau tidak berkeberatan dan ikut datang kemari?”

Agung Sedayu masih saja tersenyum. Jawabnya, “Kesempatan seperti ini tidak boleh aku lewatkan. Bukankah dengan demikian aku akan dapat memperoleh kesempatan menangkap kalian berempat? Atau barangkali jika kau sudah menyiapkan jebakan yang lebih besar dengan sekelompok orang, maka aku akan dapat menangkap lebih banyak lagi?”

Wajah orang-orang itu menjadi merah. Sementara salah seorang yang telah mengikutinya dan membawanya ke tepi hutan itu berkata dengan nada bergetar, “Ternyata keduanya terlalu sombong. Tidak ada hukuman yang lebih baik bagi mereka daripada kita tangkap hidup-hidup. Kematian yang segera akan memberikan kenikmatan yang berlebihan bagi mereka.”

“Jadi apa yang akan kalian lakukan?” bertanya Agung Sedayu.

“Kematian yang perlahan-lahan,” jawab orang itu.

Agung Sedayu tertawa dan berpaling kepada Glagah Putih. Katanya, “Kau masih terlalu muda untuk mati. Apalagi mati perlahan-lahan. Karena itu, kau harus bertahan untuk hidup. Lakukan sebagaimana akan mereka lakukan atas kita. Kecuali jika mereka terlalu lemah dan mati sebelum kita kehendaki.”

“Tutup mulutmu,” geram orang yang berkumis, bercambang dan berjenggot lebat, “ternyata kalian memang terlalu sombong. Kehadiran kalian di sini setelah kalian tahu maksud kami, sudah merupakan kesombongan yang terbesar yang pernah aku jumpai. Apalagi kata-katamu yang sangat menyakitkan hati itu, meskipun aku tahu, semua itu kau lakukan untuk memanaskan hati kami. Seperti kau, kami pun mengerti bahwa hati yang panas dalam benturan kekerasan tentu tidak akan menguntungkan. Karena itu, meskipun kami benar-benar tersinggung oleh kesombongan kalian, namun kalian tidak akan dapat membakar jantung kami dengan kata-katamu itu sehingga kami kehilangan akal. Meskipun kami memang tersinggung karenanya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian, buat apa kita berbicara terlalu panjang. Lakukan, apa yang ingin kalian lakukan atas kami.”

Keempat orang itu pun kemudian telah bergeser. Orang berkumis lebat itu berkata, “Kita bertempur di dalam hutan, agar tidak seorangpun yang akan mengganggu kita.”

“Kau takut seseorang melihat perkelahian di antara kita dan memanggil para pengawal Tanah Perdikan?” bertanya Agung Sedayu.

Namun jawab orang itu tegas, “Ya. Aku ingin benar-benar menangkapmu atau membunuhmu. Karena itu aku tidak ingin ada orang lain yang mengganggu.”

“Nah,” berkata Agung Sedayu, “sekarang aku ingin mengurangi kesombonganku. Aku tidak mau bertempur di dalam hutan. Aku memang curiga bahwa kau telah mempersiapkan sekelompok orang yang akan menjebakku. Mungkin mereka sudah memanjat pepohonan. Mungkin mereka sudah menunggu dengan anak panah di tali busur mereka. Atau jebakan-jebakan lain yang telah kalian persiapkan.”

“Pengecut,” geram orang bercambang tebal itu, “ternyata bahwa kau hanya pandai berbicara seperti burung beo. Tanpa makna sama sekali.”

“Kau memang aneh,” berkata Agung Sedayu, “sudahlah. Jangan banyak bicara. Marilah kita berkelahi. Di sini. Aku tidak mau masuk hutan. Aku bukan orang yang terlalu sombong untuk memasuki perangkapmu. Atau barangkali bukan sekedar sikap sombong. Tetapi satu kedunguan yang tidak dapat dimaafkan.”

“Persetan” geram orang berkumis tebal itu, “kami hanya berempat.”

“Apakah aku harus mempercayaimu? Kita belum pernah berkenalan. Kita belum pernah saling berhubungan dan mengetahui watak kita masing-masing,” jawab Agung Sedayu, “atau, jika kalian berkeberatan untuk bertempur di sini, aku akan segera pulang. Aku sudah terlalu lama pergi.”

“Persetan,” geram orang itu.

Namun Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, “Marilah. Kita pulang saja. Tidak ada gunanya di sini kita hanya mendengarkan orang berbicara. Di padukuhan terdekat kita pukul kentongan, agar para pengawal datang dan menangkap mereka.”

“Anak setan!” orang berkumis lebat itu hampir berteriak, “Kepung dan hancurkan mereka!”

Ketiga orang yang lain segera bergerak. Mereka telah mengepung Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Demikian orang-orang itu mulai bergerak, Agung Sedayu telah berbisik di telinga Glagah Putih, “Jika mereka benar hanya berempat, mereka tentu orang-orang berilmu tinggi. Hati-hatilah. Kita sudah membuat hati mereka panas.”

Glagah Putih mengangguk. Dengan penuh kewaspadaan Glagah Putih telah bergeser di tempat yang agak luas di pinggir hutan itu. Di antara rerumputan dan pepohonan perdu.

“Di sini kita lebih leluasa bertempur daripada di dalam hutan itu,” berkata Agung Sedayu.

Keempat lawannya tidak menjawab. Tetapi mereka mulai bergerak berputaran. Tetapi gerak mereka terasa sangat lamban dan perlahan-lahan.

“Mereka ingin mengenali kami berdua,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Justru karena itu maka iapun benar-benar telah bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Di luar sadarnya ia telah meraba ikat pinggangnya.

Sementara itu Agung Sedayu pun tidak ingin merendahkan lawannya. Menurut perhitungannya, yang dikirim untuk mencegatnya tentu orang yang dianggap memiliki kelebihan, sehingga keempat orang itu akan dapat menyelesaikannya dan Glagah Putih. Karena itu, maka Agung Sedayu telah memperhitungkan bahwa lawan-lawannya memiliki ilmu yang tinggi.

Karena itu, sejak semula Agung Sedayu telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia sudah mengenakan perisai ilmu kebalnya, sehingga akan dapat membantunya mengatasi jika tiba-tiba saja lawan-lawannya telah mempergunakan ilmu puncaknya pula.

Namun demikian, Agung Sedayu tidak tergesa-gesa mendahului menyerang. Dibiarkannya lawannya berputaran. Namun dalam pada itu, iapun selalu memperingatkan agar Glagah Putih bersiaga sebaik-baiknya. Meskipun Glagah Putih tidak memiliki ilmu kebal, namun ia memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga ia akan bisa mengatasi keadaan yang paling sulit pada dirinya. Tetapi ia tidak dapat melindungi kulit dagingnya dari serangan yang keras dan kuat, meskipun ia akan mungkin dapat mengatasi rasa sakit.

Namun baik Agung Sedayu maupun Glagah Putih tidak ingin mendahului menyerang lawan-lawan mereka yang masih bergerak. Mereka pun agaknya mempergunakan kesempatan itu untuk mengamati keadaan lawan mereka meskipun sekedar ujudnya. Namun dari sikapnya, serba sedikit Glagah Putih dapat menilai keadaan mereka.

Sejenak kemudian, ternyata keempat orang itu telah membagi diri. Mereka tidak ingin bertempur dalam satu lingkaran. Keempat orang itu telah membagi diri menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari dua orang.

Orang yang bercambang lebat telah menempatkan diri berhadapan dengan Agung Sedayu bersama seorang kawannya. Sementara itu ia telah berkata kepada dua orang yang lain, “Selesaikan anak yang sombong itu, yang menurut pendengaranku adalah bekas sahabat Raden Rangga, yang terbunuh di dalam goa di padepokan Nagaraga. Jika Raden Rangga tidak mampu melawan orang-orang Nagaraga, maka anak itu tentu tidak akan dapat berbuat banyak.”

Glagah Putih tidak menyahut. Namun iapun telah mempersiapkan diri menghadapi dua orang di antara keempat orang itu. Seorang di antaranya bertubuh agak tinggi, yang telah mengikutinya kemudian membawanya berbelok ke hutan itu.

Dengan lantang orang itu berkata, “Nah, orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Jangan menyesal bahwa kami telah melakukan sebagaimana kalian lakukan. Jangan dikira bahwa kami tidak tahu cara yang ditempuh Mataram. Untuk menebang kekuasaan Madiun, maka Mataram telah memotong ranting-ranting dan dahan-dahannya lebih dahulu. Sekarang, cara itu kami pergunakan. Sekarang, kami hanya membunuh kalian. Besok Ki Gede dan orang-orang penting di Tanah Perdikan ini. Sementara itu, orang-orang yang lain akan diselesaikan pula oleh kawan-kawan kami. Sangkal Putung, kemudian pasukan di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara, pasukan khusus di Tanah Perdikan ini, kemudian kekuatan yang paling besar yang berada di sisi Mataram setelah Pajang adalah Pati dan Jipang. Satu demi satu kekuatan itu akan kami hancurkan.”

“Dan yang mendapat kehormatan paling besar adalah kami,” berkata Glagah Putih, “kami adalah orang yang menurut perhitungan kalian paling besar di antara orang-orang lain yang akan kalian singkirkan.”

“Tidak!” bentak orang bertubuh tinggi itu, “Kau kira dirimu siapa? Jika kau mendapat giliran pertama, adalah karena kau telah berani ikut campur dalam persoalan yang lebih khusus. Persoalan Kiai Sasak.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ketika ia sempat memandang ke arah Agung Sedayu, maka dilihatnya Agung Sedayu sudah mulai bertempur melawan kedua orang lawannya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, “Marilah. Kakakku sudah mulai bertempur. Kita pun akan segera bertempur pula. Bersiaplah. Karena sebentar lagi kalian akan menjadi tawanan kami.”

Kedua orang itu menggeram. Yang tinggi itu mengumpat. Sementara kawannya berkata keras, “Kau terlalu sombong Anak Iblis. Kau kira kau siapa. Agaknya kau memang belum mengenal kami di arena.”

“Sudah jelas belum. Tetapi sekarang kita akan saling berkenalan,” jawab Glagah Putih.

Orang-orang itu tidak menjawab lagi. Namun mereka pun mulai bergerak. Mereka melangkah semakin dekat. Dan tiba-tiba seorang di antara mereka telah mengayunkan tangannya.

Namun serangan itu bukan serangan yang sebenarnya. Ketika Glagah Putih meloncat bergeser, serangan berikutnya yang lebih bersungguh-sungguh telah dilontarkan oleh orang yang bertubuh tinggi itu.

Tetapi serangan itu masih merupakan serangan wajar dengan kemampuan kewadagannya. Karena itu, maka Glagah Putih masih belum tergetar karenanya, meskipun iapun telah mengelakkan serangan itu.

Namun yang berikutnya adalah serangan-serangan yang lebih keras dan lebih kuat. Keduanya bergerak semakin cepat, sehingga serangan keduanya telah datang beruntun.

Tetapi Glagah Putih pun mampu bergerak secepat yang mereka lakukan. Karena itu, maka serangan-serangan itu masih belum mengenai sasarannya.

Bahkan Glagah Putih tidak sekedar menghindari serangan-serangan itu. Tetapi iapun telah mulai menyerang pula. Loncatan-loncatannya yang panjang dan cepat, kadang-kadang memang membuat kedua lawannya harus meloncat mengambil jarak.

Demikianlah, pertempuran antara Glagah Putih dan kedua lawannya itu pun semakin lama menjadi semakin cepat.

Namun mereka yang bertempur itu masih saling menjajagi kekuatan dan kemampuan lawannya. Jika terjadi benturan-benturan kecil, maka kedua belah pihak masih harus membuat perhitungan-perhitungan selanjutnya.

Dalam pada itu, baik Agung Sedayu maupun Glagah Putih sebagaimana juga lawan-lawan mereka, telah menilai masing-masing pihak memiliki kepercayaan yang tinggi kepada ilmu masing-masing. Ternyata belum seorang pun di antara mereka yang telah mencabut senjata.

Kedua lawan Agung Sedayu yang memang sudah mendengar keterangan serba sedikit tentang lawan mereka itu, sejak semula telah bertempur dengan sangat berhati-hati. Namun keduanya pun merasa bahwa mereka memiliki kemampuan yang tidak kurang dahsyatnya dari kemampuan Agung Sedayu, sehingga berdua mereka yakin akan dapat membunuhnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar