Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 224

Buku 224

“Aku ingin melihat kebenaran kata-katamu itu,“ berkata Kiai Sasak kemudian.

“Apa maksudmu?“ bertanya orang itu.

“Bawa mereka kemari, dan biarlah aku melihat mereka selamat,“ berkata Kiai Sasak.

Orang yang mengawasinya itu tiba-tiba tertawa. Katanya, “Jangan memperbodoh kami. Jika anak dan istrimu aku bawa kemari, maka kau yakin akan dapat mengalahkan kami dan membebaskan anak dan istrimu.“

“Aku tidak mau mengalami akibat buruk atas anak dan istriku. Bagaimanapun aku mampu membunuh kalian, tetapi saat-saat yang gawat itu akan membahayakan keselamatan mereka,“ berkata Kiai Sasak.

Orang itu mengerutkan keningnya. Beberapa saat ia merenungi kata-kata Kiai Sasak itu. Namun kemudian ia bertanya, “Kenapa kau tiba-tiba saja berubah pendirian seperti itu? Jika sebelumnya kau berkeras menolak kerja sama dengan kami, tiba-tiba saja kau kini menerimanya meskipun dengan syarat.“

“Aku sama sekali tidak tertarik pada kerja sama itu. Aku hanya memikirkan keluargaku. Tiba-tiba aku merasa cemas bahwa aku telah ditipu dua kali. Pada saat-saat aku terpaksa melakukan kerja sama dengan kalian, istri dan anakku telah kalian bunuh, atau justru mengalami perlakuan yang lebih buruk dari kematian itu sendiri,“ berkata Kiai Sasak.

“Itu tidak perlu Kiai,“ berkata orang yang memimpin sekelompok kawan-kawannya di rumah Kiai Sasak itu, “apapun yang terjadi, kami berusaha untuk melindungi mereka sebaik-baiknya.“

Kiai Sasak pun kemudian berkata dengan nada tinggi, “Jika demikian, besok akan terjadi perang di sini. Siapapun yang akan datang ke rumah ini, akan aku tantang untuk bertempur. Bahkan aku tidak akan takut seandainya aku harus menghadapi kalian semuanya. Jika aku dapat membunuh empat atau lima orang di antara kalian sebelum saat kematianku, maka bagiku itu sudah cukup berharga sebagai ganti kematian istri dan anakku.“

“Persetan,“ geram orang yang harus mengawasi Kiai Sasak itu, “apa keinginanmu sebenarnya?“

“Sudah aku katakan,“ jawab Kiai Sasak, “tunjukkan saja kepadaku, bahwa istri dan anakku selamat. Kau bawa aku kepada mereka, atau bawa mereka kemari. Jika kalian takut bahwa aku akan curang, kau dapat membawa mereka bergantian, asal kalian dapat membuktikan bahwa mereka selamat. Jika tidak, maka aku ikhlaskan kematian mereka bersama lima atau lebih orang-orangmu. Itu sudah cukup memadai bagi istri dan anak-anakku.“

“Kenapa kau tiba-tiba saja menjadi liar?“ berkata orang yang mengawasi Kiai Sasak.

“Aku tidak tahu apa yang lebih baik aku lakukan,“ berkata Kiai Sasak, “mungkin aku sudah menjadi gila karenanya. Tetapi itu tuntutanku. Aku sudah tidak mampu berpikir lagi.“

Orang yang harus mengawasi Kiai Sasak itu menjadi gelisah. Pada sorot matanya, Kiai Sasak nampaknya memang menjadi liar dan sulit untuk dikendalikan lagi. Baginya Kiai Sasak adalah orang yang penting. Jika ia memaksa diri untuk keluar dari lingkungan rumahnya tanpa menghiraukan keselamatan anak istrinya, apapun sebabnya, maka ia adalah orang yang sangat berbahaya. Mungkin Kiai Sasak tidak yakin akan keselamatan anak gadisnya yang cantik yang berada di tangan orang-orang kasar, atau bahkan juga istrinya, sehingga karena putus asa ia akan dapat benar-benar menjadi gila. Karena itu, maka orang itu pun telah memanggil beberapa orang kawannya dan berbicara di tempat yang terpisah.

“Permintaan gila,“ geram seorang di antara orang-orang yang menguasai rumah Kiai Sasak itu.

“Tetapi kita memerlukan Kiai Sasak,“ berkata orang yang agaknya pemimpin dari, kawan-kawanya yang berada di rumah itu.

“Aku tidak tahu untuk apa sebenarnya orang yang bernama Kiai Sasak ini. Kenapa kita tidak membunuhnya saja, dan menguasai rumah ini mutlak,“ berkata yang lain.

“Kita tidak dapat berbuat sekasar itu. Setiap kali kita masih harus menunjukkan Kiai Sasak di antara tetangga-tetangga, sehingga tidak dicurigai. Jika kita semula yang menghubungi orang ini, kita mempunyai pertimbangan, bahwa keluarga ini berasal dari Madiun,“ jawab orang yang paling berpengaruh di antara mereka, “namun ternyata Kiai Sasak bersikap lain. Memang tidak ada jalan lain kecuali memaksanya bekerja sama dengan kita. Rumah ini mempunyai kemungkinan yang baik untuk mempersiapkan diri dengan rencana-rencana kita di Mataram ini. Letaknya pun cukup mapan. Tidak terlalu ke tengah, tetapi juga tidak terlalu jauh dari jangkauan tempat-tempat penting di Mataram.“

“Jadi apa yang harus kita lakukan?“ bertanya seorang kawannya.

“Baiklah kita penuhi keinginannya,“ jawab orang yang agaknya menjadi pemimpin itu. “Bawa mereka kemari. Tetapi kalian harus berhenti di luar pedukuhan. Bawa mereka mendekat, seorang demi seorang. Tetapi berhati-hatilah. Jangan menarik perhatian. Lebih baik kalian berusaha untuk tidak dilihat oleh siapapun.“

“Satu jebakan,“ berkata kawannya, “Kiai Sasak agaknya memang bermaksud agar cara ini dapat dilihat oleh peronda atau petugas apapun dari Mataram, yang kemudian mencurigainya dan mungkin menangkapnya.“

“Ia tidak akan berani mempertaruhkan nyawa anak dan istrinya seperti itu. Sekarang, ambillah mereka. Bukankah mereka kita simpan di tempat yang tidak terlalu jauh? Sayang tempat itu terlalu sempit untuk melakukan rencana kita yang luas di Mataram ini,“ berkata pemimpinnya.

“Kenapa tidak besok siang saja?“ bertanya seorang yang lain.

“Besok adalah saat terakhir. Kiai harus dapat menentukan, selambat-lambatnya pagi ini. Kiai Sasak tidak boleh menjadi liar besok,“ berkata pemimpinnya itu.

“Jika kita membawa istri dan anaknya, apakah hal itu akan dapat menenangkannya?“ bertanya yang lain.

“Kita berharap demikian,” jawab pemimpinnya itu. “Tetapi ingat, kita akan menunjukkan kepada Kiai Sasak berganti-ganti, untuk mengurangi kemungkinan buruk yang tidak kita kehendaki.“

Demikianlah, maka dua orang di antara mereka telah meninggalkan rumah itu. Mereka menuju ke tempat yang memang tidak terlalu jauh. Istri dan anak perempuan Kiai Sasak itu telah disembunyikan di rumah seorang yang dengan tegas memang menyatakan kesediaannya bekerja bersama orang-orang dari Madiun, siapapun mereka.

Semua yang terjadi di halaman rumah Kiai Sasak itu tidak terlepas dari pengawasan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Demikian pula kedua orang yang meninggalkan halaman itu.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata kepada Glagah Putih, “Ikuti mereka. Hati-hati. Jika kau gagal, maka keluarga Kiai Sasak akan mengalami bencana.“

Glagah Putih mengangguk kecil. Iapun dengan hati-hati telah bergeser. Di bawah bayangan gelapnya malam, maka Glagah Putih telah mengikuti kedua orang yang mendapat perintah untuk mengambil istri dari anak perempuan Kiai Sasak itu.

Ternyata jarak dari rumah Kiai Sasak ke rumah yang dipakai untuk menyimpan anak dan istrinya memang tidak terlalu jauh. Namun mereka memang harus berusaha melalui jalan-jalan sempit yang lepas dari pengawasan para peronda. Tidak pula berada di bawah sorotan lampu-lampu gardu di mulut-mulut lorong.

Jarak yang mereka tempuh tidak lebih dari dua bulak pendek yang masih termasuk di dalam lingkungan dinding kota Mataram. Namun memang sulit untuk dapat menemukannya tanpa tuntunan, karena rumah yang dipergunakan untuk menyembunyikan istri dan anak perempuan Kiai Sasak itu bukan termasuk rumah yang besar. Karena itu, maka rumah itu tidak akan cukup memadai jika dipergunakan untuk kepentingan orang-orang yang akan memperlemah kedudukan Mataram dari dalam. Letaknya pun terlalu ke tepi, di sebuah padukuhan kecil.

Ternyata Glagah Putih berhasil mengikuti kedua orang itu tanpa diketahui. Glagah Putih pun berhasil melihat dua orang perempuan yang dibawa oleh kedua orang itu, Bahkan ternyata kemudian yang mengiringi kedua perempuan itu bukan hanya dua orang, tetapi tiga.

Seperti yang direncanakan, maka yang mula-mula dibawa ke halaman rumah Kiai Sasak adalah istrinya. Dengan jantung yang berdebaran Kiai Sasak menyaksikan istrinya dibawa oleh dua orang yang bersenjata keris terhunus.

“Jangan menjadi gila Kiai,“ berkata orang yang menjadi pemimpin dari orang-orang yang berada di rumah Kiai Sasak itu. Lalu katanya meneruskan, “Jika kau kehilangan nalar, maka anakmu-lah yang akan mengalami nasib yang sangat buruk.“

Kiai Sasak menggeram. Namun katanya, “Jangan menangis Nyai. Kita yakin akan keadilan Yang Maha Agung. Kita wajib pasrah kepada-Nya. Justru dalam pasrah kita menggantungkan pengharapan.“

Nyai Sasak mengusap matanya. Sementara Kiai Sasak berkata selanjutnya, “Aku memang minta kau dan anakmu dibawa kemari agar aku yakin, bahwa kalian masih selamat. Dengan demikian, aku akan dapat menentukan langkah yang akan aku ambil besok.“

“Kiai,“ berkata Nyai Sasak, “jangan terlalu menghiraukan kami. Lakukan apa yang baik Kiai lakukan. Jika dengan demikian kami harus menjadi korban, maka kami tidak akan berkeberatan. Kami siap untuk mengalami akibat langkah-langkah yang akan Kiai lakukan, jika Kiai yakin itu benar.“

Kiai Sasak menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah mengira bahwa istrinya tidak akan gentar menghadapi kesulitan itu. Bahkan apapun yang akan terjadi, hatinya tidak akan mudah runtuh. Namun yang lebih mencemaskannya adalah akibat buruk dari tingkah laku laki-laki yang kasar itu bagi anak perempuannya.

Ternyata orang-orang yang membawa Nyai Sasak itu tidak memberikan waktu yang panjang bagi pertemuan itu. Nyai Sasak pun segera dibawa meninggalkan halaman itu. Kedua orang yang membawanya itu pun harus menjadi sangat berhati-hati. Jika mereka ternyata telah dilihat oleh para pemuda, apakah para prajurit Mataram atau anak-anak muda yang meronda di padukuhan, maka keadaannya akan menjadi rumit.

Ketika Nyai Sasak telah dibawa keluar padukuhan melalui jalan-jalan setapak, sementara anak gadisnya menunggu di tepi bulak di bawah pengawasan seorang laki-laki kasar, Glagah Putih selalu mengawasinya.

Bagaimanapun juga tiba-tiba saja tumbuh kecemasan Glagah Putih melihat sikap laki-laki kasar yang menunggui gadis yang ketakutan itu. Sementara Glagah Putih menyadari, bahwa ia tidak dapat bertindak apapun juga, karena ia harus menjaga keberhasilan seluruh rencana yang telah disusun oleh Agung Sedayu dan para petugas dari Mataram.

Namun Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam ketika kemudian dua orang yang membawa Nyai Sasak telah datang dan menukarkan kedua orang perempuan itu. Sementara anak gadis Kiai Sasak itu dibawa kepada ayahnya, maka laki-laki itu tidak berbuat apapun atas Nyai Sasak yang ternyata mempunyai perbawa yang cukup besar untuk mengatasi keliaran laki-laki itu.

Ternyata Glagah Putih memang tidak perlu menunggu terlalu lama. Semuanya itu dapat dilakukan dalam waktu yang terhitung singkat. Sejenak kemudian, ketiga orang laki-laki itu telah membawa kedua orang perempuan itu kembali ke tempat persembunyiannya bagi mereka.

Rencana Agung Sedayu ternyata berhasil. Glagah Putih telah berhasil mengetahui letak persembunyian bagi kedua orang perempuan yang telah dipisahkan dari Kiai Sasak, bahkan telah dipakai sebagai alat untuk memaksa Kiai Sasak bekerja bersama. Namun Glagah Putih pun tahu bahwa ia tidak dapat bertindak malam itu juga, karena dengan demikian agaknya usaha untuk menjebak orang-orang yang besok akan berkumpul di rumah Kiai Sasak itu menjadi gagal.

Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah menemui Agung Sedayu yang masih mengawasi rumah Kiai Sasak di tempat yang telah disepakati bersama. Sejenak kemudian mereka pun telah bergeser menjauhi rumah itu, untuk membicarakan langkah-langkah yang segera dapat mereka ambil.

Namun agaknya keduanya sependapat, bahwa mereka harus mengatasi keadaan itu bersama-sama di kedua tempat itu, agar kedua-duanya dapat diselesaikan dengan baik tanpa ada yang harus dikorbankan.

Namun sebagai landasan waktu, maka mereka harus menunggu orang-orang yang akan hadir di rumah Kiai Sasak itu. Baru setelah mereka datang, rumah itu harus dikepung oleh sepasukan yang terpilih, sementara usaha untuk membebaskan Nyai Sasak dan anak gadisnya harus dilakukan pula.

“Tetapi bagaimana kita tahu, bahwa orang-orang yang akan datang ke rumah Kiai Sasak itu sudah lengkap?“ bertanya Glagah Putih.

“Kita memang tidak tahu pasti. Tetapi kita dapat mengamatinya. Kita akan menghubungi Kiai Sasak sekali lagi untuk mendapatkan pertimbangannya,“ jawab Agung Sedayu, “mungkin Kiai Sasak mengetahui serba sedikit.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata mereka harus sekali lagi memasuki rumah Kiai Sasak. Untunglah bahwa orang-orang yang harus mengawasi Kiai Sasak memang menjadi lengah. Mereka menganggap bahwa Kiai Sasak tidak akan berbuat sesuatu, justru karena anak dan isterinya ada di tangan mereka. Bahkan mereka sudah mulai menduga, bahwa Kiai Sasak agaknya akan mau bekerja bersama setelah dilihatnya anak istrinya selamat.

Karena itu, maka pemimpin dari orang-orang yang ditempatkan di rumah Kiai Sasak itu telah memerintahkan untuk menjaga istri dan anak Kiai Sasak itu baik-baik. Jika terjadi sesuatu atas mereka dan hal itu diketahui oleh Kiai Sasak, maka akibatnya akan menjadi rumit. Dalam keputus-asaan, Kiai Sasak akan dapat merusak segala rencana.

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di luar dinding bilik Kiai Sasak. Dengan hati-hati ternyata mereka sempat berbicara.

“Besok mereka akan datang sebelum matahari sampai ke puncak langit,“ desis Kiai Sasak, “aku mendengar hal itu dari pembicaraan mereka.“

“Baiklah Kiai,“ berkata Agung Sedayu hampir berbisik, “kami akan mengepung rumah ini setelah tengah hari. Tetapi apakah Kiai dapat menyebut, berapa kekuatan mereka?“ “Yang ada sekarang sekitar enam orang di sini. Aku tidak tahu pasti, berapa orang yang ada di tempat istri dan anakku disembunyikan. Besok akan datang enam orang lagi. Empat dari Tanah Perdikan Menoreh, dan dua orang yang bertugas di dalam kota ini. Di samping itu akan datang lagi seorang yang dianggap berilmu tinggi untuk dapat menjaga agar aku tidak dapat berbuat banyak jika terpaksa terjadi benturan. Orang itu tentu tidak sendiri. Karena itu, kalian harus mempertimbangkan baik-baik kekuatan yang akan kalian pergunakan. Besok aku akan berada di pihak kalian, jika aku yakin anak dan istriku selamat.“

“Kami akan berusaha membebaskan anak dan istri Kiai setelah tempat ini dikepung. Tetapi menurut perhitungan kami, kami akan berhasil menyelamatkan mereka,“ berkata Agung Sedayu perlahan-lahan.

“Aku sangat mengharapkan,“ berkata Kiai Sasak, “namun sebenarnyalah aku telah menyerahkan semuanya dengan pasrah kepada kehendak Yang Maha Agung. Sampaikan terima kasihku kepada Panembahan Senapati yang telah memerintahkan prajurit-prajurit terpilihnya untuk melindungi aku. Sebenarnya aku tidak mengerti, bagaimana mungkin Panembahan Senapati memperhatikan aku. Namun berhasil atau tidak berhasil, Panembahan telah memerintahkan satu usaha menyelamatkan. Karena itu, aku memang wajib menyampaikan terima kasihku yang tulus.”

“Kita wajib berusaha Kiai,“ jawab Agung Sedayu, “keterangan Kiai agaknya sudah cukup jelas. Lewat tengah hari, kami akan datang dengan pasukan.“

“Terima kasih,“ desis Kiai Sasak.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih minta diri. Mereka telah beringsut dari tempatnya dan dengan hati-hati meninggalkan tempat itu.

Dengan tergesa-gesa keduanya telah kembali menemui para petugas sandi yang oleh Panembahan Senapati ditunjuk untuk membantu mereka.

Mereka mempergunakan sisa malam itu untuk membicarakan rencana yang paling baik yang dapat mereka lakukan, namun tanpa mengorbankan keluarga Kiai Sasak.

Kesimpulan dari pembicaraan itu adalah, bahwa kedua-duanya harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Pasukan yang khusus disediakan akan mengepung rumah Kiai Sasak. Di saat itu pula, maka penyelamatan istri dan anak Kiai Sasak itu dilakukan.

Jika terlambat, sehingga orang-orang yang mengawasi istri dan anak Kiai Sasak itu mengetahui lebih dahulu tentang pengepungan rumah Kiai Sasak, mungkin mereka akan melarikan kedua orang perempuan itu.

Menjelang dini hari, mereka masih sempat beristirahat sejenak. Meskipun hanya sekejap, Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat tertidur di bilik mereka.

Di saat fajar menyingsing, maka Panglima pasukan berkuda telah berada di tempat itu pula. Dengan jelas Agung Sedayu telah menguraikan rencananya. Ia memerlukan pasukan untuk mengepung dan kemudian memasuki rumah Kiai Sasak. Dengan terperinci pula Agung Sedayu telah menyebut jumlah orang-orang yang ada di dalam halaman rumah yang akan dikepung itu.

“Aku harus menyiapkan sekelompok prajurit dengan satu keyakinan bahwa kita tidak boleh gagal,“ berkata Panglima itu.

Namun kedua petugas sandi itu bertanya kepada Agung Sedayu, “Kalian berdua akan berada dimana?“

“Kami akan berusaha membebaskan istri dan anak gadis Kiai Sasak, sementara pasukan berkuda mengepung rumah Kiai Sasak. Kami akan datang ke rumah Kiai Sasak sambil membawa kedua orang perempuan itu. Baru kemudian kita mulai memasuki halaman rumah Kiai Sasak dan menangkap semua isinya. Jika mungkin hidup-hidup,“ jawab Agung Sedayu.

Panglima pasukan berkuda itu mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata, “Kedua prajurit sandi itu akan membawa pasukan kalian ke rumah Kiai Sasak. Semua harus berlangsung dengan cepat.“

Panglima pasukan berkuda itu telah mendapat gambaran apa yang harus dilakukannya di saat matahari mencapai puncaknya. Tetapi ia harus bergerak beberapa saat setelah itu. Sementara pada saat yang sama, Agung Sedayu, Glagah Putih dan beberapa orang yang akan dibawanya, berusaha untuk membebaskan kedua perempuan itu. Panglima itu pun telah mendapat gambaran kekuatan dari orang-orang yang berada di dalam rumah Kiai Sasak, sehingga ia dapat memperhitungkan prajurit-prajurit yang akan dibawanya mengepung rumah itu. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah minta kepada petugas sandi itu untuk dapat mengawasi rumah Kiai Sasak.

“Kalian dapat mengirim petugas-petugas sandi yang dapat dipercaya untuk mengawasi rumah itu,“ berkata Panglima pasukan berkuda itu.

Namun salah seorang dari kedua petugas sandi itu menjawab, “Salah seorang di antara kami berdua akan berada di kedai itu. Untuk tidak menarik perhatian, maka kami akan berada di tempat itu bergantian.“

“Hanya dua orang? Sementara kita akan menunggu sampai matahari mencapai puncaknya,“ berkata Panglima itu.

Kedua petugas itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang berkata, “Aku akan mohon ijin Panembahan, agar aku diperkenankan untuk membawa beberapa orang kawan yang terpercaya. Wewenang itu belum ada padaku, karena Panembahan telah menunjuk kami berdua langsung untuk diperbantukan dalam tugas ini.“

Panglima pasukan berkuda itu menyadari, betapa rumitnya tugas yang dihadapi oleh petugas sandi itu. Jika mereka melibatkan orang lain yang ternyata dapat menjebak mereka tanpa persetujuan Panembahan Senapati sendiri, maka keduanya akan mengalami kesulitan.

Karena itu maka katanya, “Dalam keadaan seperti ini Panembahan Senapati akan dapat menerima kalian setiap saat.“

“Ya. Kami akan segera menghadap,“ jawab petugas sandi itu.

Ternyata Panembahan Senapati yang kemudian menerima kedua orang petugas sandi itu tidak berkeberatan. Tetapi Panembahan Senapati minta agar orang-orang yang terlibat dalam tugas itu benar-benar orang yang dapat dipercaya.

Dalam pada itu, kedua petugas sandi itu pun telah melaporkan pula rencana yang telah mereka susun bersama dengan Agung Sedayu dan Panglima pasukan berkuda.

“Lakukanlah. Tetapi berhati-hatilah. Kita tidak tahu pasti siapa yang akan kita hadapi,“ berkata Panembahan Senapati. Lalu, “Ikutilah rencana Agung Sedayu. Aku percaya kepadanya, bahwa ia akan dapat memecahkan persoalan ini.“

Kedua petugas itu pun segera telah menghubungi dua orang petugas yang lain yang berada di bawah perintahnya. Keduanya telah memilih orang-orang yang terbaik dan yang terpercaya, sehingga keduanya dapat mengatur waktu pengawasan atas rumah Kiai Sasak menjelang tengah hari.

Demikianlah, segala sesuatunya telah diatur sebaik-baiknya. Namun sama sekali tidak ada kesan kesiagaan di Mataram. Tidak ada perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak ada kesibukan prajurit sama sekali.

Orang-orang yang berada di rumah Kiai Sasak telah mendapat perintah untuk mengamati keadaan. Dua di antara mereka telah keluar dan berjalan-jalan menyusuri jalan kota. Namun mereka memang tidak melihat kegiatan apapun, sehingga mereka sama sekali tidak mempunyai kecurigaan bahwa sebenarnya Mataram telah menyiapkan pasukan untuk menyergap mereka.

Dua orang yang lain telah diperintahkan untuk menghubungi orang-orang yang menunggui istri dan anak gadis Kiai Sasak. Namun yang berada di rumah itupun tidak mempunyai kecurigaan apapun tentang lingkungan mereka. Kehidupan sehari-hari berjalan sewajarnya. Pasar yang tidak terlalu jauh pun tumbuh dan ramai seperti hari-hari sebelumnya, sejak matahari terbit. Orang lewat di jalan-jalan pun agaknya tidak merasa terganggu sama sekali. Karena itu, maka orang-orang yang berada di rumah Kiai Sasak, maupun yang menunggui istri dan anak gadisnya, sama sekali tidak merasa curiga terhadap keadaan.

Dalam pada itu, para petugas sandi berganti-ganti berada di kedai di depan rumah yang bersebelahan dengan rumah Kiai Sasak. Mereka telah melihat beberapa orang keluar dan masuk regol rumah itu. Agaknya orang-orang itu pun berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain. Sehingga dengan demikian maka mereka tidak pernah nampak bersama-sama lebih dari dua orang.

Namun menjelang tengah hari, petugas sandi yang kebetulan berada di kedai itu adalah petugas sandi yang bersama-sama dengan Agung Sedayu mengamati rumah itu di hari pertama. Ia telah melihat kelompok yang agak lain. Tidak hanya dua orang, tetapi berturut-turut sebanyak enam orang. Meskipun tidak bersama-sama, namun berurutan pada waktu yang singkat. Menilik ujud dan sikapnya, maka seorang di antara mereka adalah orang yang disegani oleh yang lain.

“Orang inilah agaknya yang disebut berilmu tinggi untuk mengimbangi Kiai Sasak, jika ia menjadi liar,“ berkata petugas sandi itu di dalam hatinya.

Ketika kemudian datang petugas sandi yang lain memasuki kedai itu tanpa memberikan kesan bahwa orang itu telah mengenalnya, maka petugas sandi yang terdahulu itu pun segera meninggalkan kedai itu. Ia harus berada bersama kawannya yang seorang lagi, ikut menyiapkan sergapan pasukan berkuda mengepung rumah Kiai Sasak. Sementara masih diharapkan orang-orang lain yang akan memasuki regol halaman rumah Kiai Sasak itu pula, terutama dua orang yang bertugas mengamati Mataram secara langsung.

Tetapi para petugas sandi tidak dapat mengatakan, apakah kedua orang yang bertugas di Mataram itu telah datang memasuki halaman rumah Kiai Sasak atau belum. Para petugas sandi itu tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang kedua orang yang bertugas di Mataram bersamaan dengan empat orang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, para prajurit dari pasukan berkuda yang disiapkan untuk tugas yang rumit itu telah siap untuk berangkat. Sampai saat mereka berdiri tegang dihadapan Panglimanya, mereka belum tahu apa yang akan mereka lakukan, selain bersiaga penuh menghadapi kemungkinan terberat sebagai seorang prajurit. Baru setelah semuanya siap, maka Panglima pasukan berkuda sendiri yang kemudian berdiri di hadapan mereka, menjatuhkan perintah untuk berangkat.

“Kita akan mengepung rumah seseorang yang dihuni oleh sekelompok orang-orang yang memusuhi Mataram. Jumlah mereka hanya sekitar lima belas orang. Tetapi mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka kalian harus benar-benar mempersiapkan diri menghadapi mereka. Kita akan mengepung rumah itu dengan kekuatan empat puluh orang. Sepuluh orang di setiap sisi. Tidak seorangpun boleh lolos dari rumah itu. Sementara itu beberapa petugas sandi akan bersama kita. Aku dan empat orang dari pimpinan pasukan berkuda akan berada di antara kalian pula.“

Sesaat sebelum matahari mencapai puncak langit, maka pasukan berkuda itu pun mulai bergerak. Sedangkan lima orang prajurit berkuda yang lain akan bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih membebaskan istri dan anak Kiai Sasak.

Satu tugas yang harus dilakukan dengan sangat berhati-hati. Jika keduanya salah langkah, sehingga anak dan istri Kiai Sasak mengalami bencana, maka hidup Kiai Sasak untuk selanjutnya tidak akan berarti. Ada beberapa kemungkinan terjadi atas Kiai Sasak. Ia menjadi liar dan menjadi sangat berbahaya bagi orang-orang di rumahnya, atau ia akan menjadi putus asa dan mencari jalan kematian, atau ia justru akan memusuhi Mataram yang dianggapnya sebagai penyebab kematian anak dan istrinya.

Dengan perhitungan yang cermat, maka kedua gerakan itu dilakukan. Yang satu tidak boleh mendahului yang lain.

Derap kaki kuda di jalan-jalan kota memang mengejutkan. Beberapa orang menjadi gelisah dan bagaikan membeku melihat kuda-kuda yang berpacu dengan cepat melintas di hadapannya.

Waktu yang diperlukan memang hanya sebentar. Pasukan berkuda itu segera mencapai rumah Kiai Sasak. Dengan cepat mereka berloncatan turun. Beberapa orang dengan sigap menerima kuda-kuda itu dan mengurusnya. Sementara yang lain berloncatan di halaman sebelah-menyebelah rumah Kiai Sasak. Dalam waktu sekejap, rumah Kiai Sasak memang sudah terkepung rapat. Pimpinan pasukan itu dipegang langsung oleh Panglima pasukan berkuda. Namun seperti yang telah disepakati, mereka baru akan bergerak setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih datang sambil membawa anak dan istri Kiai Sasak, kecuali jika orang-orang yang ada di halaman itulah yang justru menyerang mereka lebih dahulu.

Dua orang petugas sandi yang telah bergerak bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih sejak hari-hari sebelumnya telah memberikan beberapa petunjuk bagi Panglima pasukan berkuda untuk mengatur prajurit-prajuritnya.

Kehadiran mereka memang mengejutkan seisi rumah itu. Seorang di antara mereka langsung memaksa Kiai Sasak untuk berada di pendapa.

“Inikah yang kau lakukan Kiai?“ bertanya orang itu.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi sekarang ini,“ jawab Kiai Sasak.

“Prajurit berkuda Mataram telah datang. Kaukah yang telah memberikan keterangan kepada mereka?“ bertanya orang itu.

“Bagaimana hal itu dapat aku lakukan? Aku tidak pernah beranjak dari rumah ini,“ jawab Kiai Sasak.

“Ingat, anak dan istrimu berada di tangan kami,“ berkata orang itu.

“Aku selalu mengingatnya. Karena itu, aku tidak berbuat sesuatu selama ini. Jika terjadi hal-hal yang tidak kalian inginkan, maka itu adalah karena ketajaman penciuman hidung para petugas sandi di Mataram,“ jawab Kiai Sasak.

“Ini agaknya akibat dari orang-orang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak datang pada waktunya. Agaknya mereka telah tertangkap,“ berkata orang itu. Lalu, “Kita harus menghancurkan mereka. Kiai Sasak, jika kau tidak mau membantu kita melawan para prajurit Mataram, maka anak dan istrimu akan menjadi taruhan.“

Kiai Sasak tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi berdebar-debar. Apakah usaha para petugas sandi dari Mataram membebaskan anak dan istrinya itu berhasil.

Pada saat yang demikian, beberapa orang yang berkuda memang lewat dan berhenti di depan rumah tempat anak dan istri Kiai Sasak disembunyikan. Dengan garangnya para prajurit berkuda itu telah dengan sengaja merusak pintu gerbang yang sebenarnya tidak tertutup. Empat orang berloncatan dari dalam rumah itu dan siap menghadapi segala kemungkinan.

“Setan kau,“ geram salah seorang dari mereka, “apa kerjamu di sini?“

“Kami harus menangkap orang-orang yang tidak dikenal yang ada di rumah ini,“ berkata pemimpin dari kelompok kecil prajurit itu.

“Persetan,“ geram salah seorang dari keempat orang itu, “kau kira kami kelinci-kelinci kecil yang tunduk kepada perintahmu?“

Salah seorang di antara para prajurit itu tertawa. Katanya, “Meskipun seandainya kalian orang-orang berilmu setinggi langit, namun kalian berada di Mataram. Kami dapat memanggil pasukan segelar sepapan, senapati yang berilmu melampaui tingginya langit itu, dan dengan ujung tombak menusuk ke arah jantung kalian.“

“Persetan,“ geram orang tertua di antara orang-orang yang keluar dari dalam rumah itu, “seluruh prajurit Mataram tidak akan mampu menangkap kami.“

Para prajurit Mataram itu tertawa. Tetapi mereka tidak segera menyergap. Pemimpin dari kelima orang itu justru bertanya, “Ki Sanak. Sebenarnya siapakah kalian itu? Dan apakah tugas kalian berada di sini? Memata-matai Mataram? Menimbulkan kegelisahan, atau apa? Para petugas sandi kami tidak melihat kehadiran kalian di sini. Karena itu, maka kami datang untuk menangkap kalian. Jika kemudian ternyata kalian tidak bersalah, maka kalian tentu akan kami lepaskan.“

“Cukup,“ berkata orang tertua dari keempat orang itu, “pergi dari sini, atau kalian tidak akan pernah keluar regol halaman ini.“

Tetapi para prajurit itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Jangan terlalu garang Ki Sanak. Salah satu ciri sehingga kami dengan cepat mengenali kalian sebagai orang-orang asing di sini adalah karena kalian cepat marah. Kalian sudah dibekali oleh perasaan bersalah, sehingga singgungan kecil saja dapat membakar perasaan kalian.”

“Cepat, apa yang akan kau lakukan?” bentak orang tertua dari keempat orang itu, “Jika kau memaksa kami, marilah, kita akan bertempur. Jika kau gentar menghadapi kami, pergilah.“

Para prajurit itu tidak segera berbuat sesuatu. Bahkan pemimpinnya masih juga berkata, “Sebenarnya kita akan berbicara dengan cara yang lebih bersahabat. Marilah, ikutilah kami. Seperti aku katakan, jika kalian memang tidak bersalah, maka kalian tentu akan dibebaskan.“

“Cukup! Jangan ulangi sampai seribu kali. Aku tidak tuli. Tetapi aku tidak mau diperlakukan seperti itu,“ Orang tertua di antara mereka itu hampir berteriak.

“Jika kau berteriak,“ berkata pemimpin prajurit itu. “maka orang-orang di sekitar rumah ini akan berdatangan. Mereka akan melihat apa yang terjadi di sini.“

“Bukan salahku. Sekali lagi aku beri kesempatan, pergi dari tempat ini,“ geram orang itu.

“Tempat ini adalah tlatah Mataram. Aku adalah prajurit Mataram. Kenapa justru kau yang minta aku pergi?“ bertanya pemimpin prajurit itu.

Ternyata keempat orang itu tidak sabar lagi. Mereka telah menarik senjata mereka masing-masing. Namun sebelum mereka bergerak, pemimpin prajurit itu berkata, “Jadi kita benar-benar akan bertempur? Ingat, jika kau melawan, maka hukuman yang akan ditimpakan kepadamu akan menjadi lebih berat. Melawan itu sendiri sudah merupakan satu kesalahan yang harus dihukum.“

“Persetan,“ geram orang itu, “kenapa kau terlalu banyak bicara he?“

Prajurit itu tertawa.

Namun kemudian seorang di antara ampat orang itu berkata, “Nampaknya mereka dengan sengaja memperpanjang waktu.“

“Ya. Kau benar. Lihat, apa yang terjadi di dalam. Aku mendengar sesuatu,“ geram yang tertua di antara keempat orang itu.

Seorang di antara keempat orang itu meloncat ke pintu. Namun demikian ia menyusup pintu, maka iapun telah terlempar keluar dan jatuh terguling di tanah. Dengan sigapnya orang itu melenting berdiri, siap menghadapi segala kemungkinan.

Namun seorang lagi telah terlempar pula keluar, dan disusul oleh seorang lagi. Berbeda dengan orang yang akan memasuki pintu yang masih sempat melenting berdiri, maka kedua orang itu seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Keduanya memang masih sempat menggeliat. Namun mereka tidak mampu untuk bangkit lagi.

“Anak iblis!“ orang tertua di antara mereka berteriak, “Ternyata kalian telah berlaku licik.“ Yang terdengar adalah suara tertawa para prajurit Mataram. Sementara itu, Agung Sedayu telah melangkah keluar pintu rumah itu. Di belakangnya dua orang perempuan keluarga Kiai Sasak. Dan di belakang mereka adalah Glagah Putih.

Agung Sedayu pun kemudian telah memberi isyarat kepada Glagah Putih untuk membawa kedua orang perempuan itu bergeser. Kemudian dengan tegapnya ia berdiri menghadap ke arah orang-orang yang mengumpat-umpat itu.

“Kami telah membebaskan anak dan istri Kiai Sasak yang telah kau pisahkan darinya,“ berkata Agung Sedayu, “sekarang kami akan membawanya kepada Kiai Sasak, agar ia tidak menjadi gelisah.“

“Persetan. Kau kira kami akan membiarkan kalian pergi? Ingat, kalian akan menebus tingkah laku kalian dengan nyawa kalian,“ geram orang tertua di antara mereka.

Tetapi Agung Sedayu sudah siap. Ia tidak mau membuang waktu terlalu banyak. Ia harus segera membawa kedua perempuan itu ke rumah Kiai Sasak, yang tentu sudah dikepung oleh para prajurit dari pasukan berkuda.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Menyerahlah. Kami mempunyai wewenang untuk menangkap kalian.“

Orang-orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka pun dengan serta merta telah menyerang dengan garang.

Para prajurit Mataram yang melihat suasana itupun telah bersiap pula. Karena itu, maka mereka pun dengan sigapnya telah meloncat memasuki arena.

Orang-orang yang menyerang Agung Sedayu itu tidak dapat mengabaikan para prajurit yang menyerang mereka. Karena itu, beberapa di antara mereka telah menghadapi para prajurit itu, sementara orang tertua di antara mereka telah menyerang Agung Sedayu dengan garangnya.

Sejenak kemudian di halaman itu telah terjadi pertempuran yang sengit. Orang-orang yang menjaga istri dan anak gadis Kiai Sasak itu memang memiliki ketrampilan mempermainkan senjata. Namun lawan mereka adalah prajurit berkuda dari Mataran, sehingga karena itu, maka mereka tidak terlalu banyak mendapat kesempatan.

Apalagi di antara mereka yang kebetulan melawan Agung Sedayu. Dalam beberapa saat saja, orang itu sudah mengalami kesulitan. Apalagi Agung Sedayu harus segera pergi ke rumah Kiai Sasak, untuk menunjukkan bahwa ia telah berhasil menyelamatkan anak dan istrinya. Justru pada saat prajurit Mataram menarik perhatian orang-orang yang berada di rumah itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menyelinap lewat pintu belakang.

Demikianlah, dengan cepat Agung Sedayu telah menyelesaikan lawannya. Demikian pula para prajurit berkuda yang jumlahnya memang lebih dari tiga orang itu, sehingga mereka pun segera menguasai lawan mereka pula.

“Terserahlah kepada kalian,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku akan membawa keduanya ke rumah Kiai Sasak.“

“Silahkan,“ berkata pemimpin prajurit itu. Namun dalam pada itu, para prajurit itu pun tidak mau mengalami kesulitan dengan tawanan-tawanannya. Mereka pun kemudian telah mengikat tangan dan kaki para tawanan itu, sementara seorang di antara para prajurit itu telah berpacu memanggil beberapa orang kawan untuk membawa tawanan mereka.

Agung Sedayu dan Glagah Putih telah membawa kedua orang perempuan itu ke rumah Kiai Sasak. Agar mereka lebih cepat sampai ke tujuan, maka mereka pun telah mempergunakan kuda yang sebagian dipinjam dari prajurit yang ada di rumah itu pula.

Ternyata bahwa anak gadis Kiai Sasak itu sudah sering berkuda pula, sehingga Agung Sedayu tinggal membawa istri Kiai Sasak bersamanya, sementara gadis itu berkuda sendiri.

Meskipun kuda mereka tidak berpacu terlalu cepat, tetapi karena jaraknya memang tidak terlalu jauh, mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mencapai rumah Kiai Sasak yang sudah terkepung.

Sementara itu, orang-orang yang berada di rumah Kiai Sasak telah menentukan sikap sendiri tanpa menghiraukan pendapat Kiai Sasak lagi. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Kita akan menilai apa yang kau lakukan, Kiai Sasak. Jika kau berbuat baik dan bersahabat, maka anak dan istrimu akan selamat. Apalagi jika kau dengan sungguh-sungguh membantu kami. Tetapi jika kau berbuat sebaliknya, anak istrimu akan mengalami bencana yang paling pahit. Kau ingat he, anak dan istrimu adalah perempuan-perempuan cantik yang berada di tangan laki-laki kasar.“

Kiai Sasak tidak menjawab. Hatinya memang dicengkam oleh kegelisahan. Apakah para petugas sandi Mataram itu akan mampu menguasai anak dan istrinya.

Dalam pada itu, orang yang dianggap berilmu paling tinggi di antara mereka telah mengatur orang-orangnya. Bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang pilihan Karena itu, maka mereka akan menghadapi para prajurit yang mengepung mereka dengan dada tengadah. 

Ketika dua orang di antara mereka berdiri di regol halaman, maka keduanya melihat, betapa prajurit Mataram dalam kesiagaan penuh berada di jalan di depan rumah itu, dan agaknya juga di seputar dinding halaman rumah Kiai Sasak. Dari balik dinding terdengar aba-aba para pemimpin kelompok memberikan perintah kepada para prajuritnya.

Sementara itu, orang yang dianggap memiliki ilmu tertinggi di antara mereka pun telah membawa Kiai Sasak ke regol itu pula. Dengan nada berat ia berkata kepada Kiai Sasak, “Berbicaralah kepada mereka. Sebut anak dan istrimu. Kita akan menilai apa yang kau lakukan.“

Kiai Sasak yang kemudian juga berdiri di regol halaman rumahnya telah melihat pasukan Mataram yang mengepung rumahnya. Namun dalam keragu-raguan dan kecemasan, hampir di luar sadarnya ia berbicara, “He, para prajurit Mataram. Apa yang kalian lakukan di sini, di seputar rumahku?“

Panglima pasukan berkuda yang berdiri beberapa langkah dari regol itulah yang menjawab, “Kiai, apakah Kiai yang bernarna Kiai Sasak?“

“Ya. Aku Kiai Sasak, yang memiliki rumah ini dan halaman di sekitarnya,“ jawab Kiai Sasak.

“Bagus. Jika demikian aku berbicara dengan orang yang benar,“ berkata Panglima itu. Lalu, “Kiai, siapa sajakah orang-orang yang berkumpul di rumah Kiai? Mereka bukan orang Mataram. Bahkan nampaknya agak mencurigakan.“

“Mereka adalah sanak kadangku,“ jawab Kiai Sasak. Lalu, “Karena itu, kalian tidak perlu bersusah payah mengurusinya.“

“Kiai,“ berkata Panglima itu, “apa boleh buat. Aku memerlukan mereka. Jika mereka sanak kadangmu, maka aku memerlukan sanak kadangmu itu.“

“Apa sebenarnya yang kalian perlukan? Bukankah mereka tidak mengganggu?“ bertanya Kiai Sasak.

“Memang tidak,“ jawab Panglima itu, “kami pun tidak akan berbuat apa-apa terhadap mereka. Sekedar sikap hati-hati para petugas di Mataram menghadapi kemelut yang nampaknya membayangi keutuhannya.“

Kiai Sasak termangu-mangu sejenak. Diedarkannya pandangan matanya ke segala arah. Yang dilihatnya adalah sederetan prajurit dalam kesiagaan sepenuhnya.

Kiai Sasak itupun menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang yang mengambil alih pimpinan di rumah itupun berdesis, “Suruh mereka pergi. Sebut tentang keselamatan anak dan istrimu.“

“Tetapi aku terlanjur mengatakan, bahwa kalian adalah sanak kadangku,“ jawab Kiai Sasak.

“Persetan,“ geram orang itu, “katakan, atau anak dan istrimu itu benar-benar mengalami bencana.“

Kiai Sasak tidak menjawab. Tetapi ia masih saja dibayangi oleh wajah anak dan istrinya yang memelas. Seakan-akan wajah itu telah dibasahi oleh air mata yang mengalir tidak berkeputusan.

“Cepat!“ geram orang yang memimpin seisi rumah itu.

Kiai Sasak tidak mempunyai pilihan lain. Namun ia masih juga menunggu sejenak. Bahkan kemudian iapun melangkah maju sehingga ia turun ke jalan.

“He, para prajurit Mataram,“ suara Kiai Sasak lantang.

Orang yang memaksanya berbicara itu pun mengikutinya dengan seksama. Tetapi ia tidak dapat ikut turun ke jalan sebagaimana dilakukan oleh Kiai Sasak. Bahkan dua orang yang lain pun masih saja berdiri di regol halaman itu.

Kemudian Kiai Sasak itu pun berkata selanjutnya, “Ketahuilah, bahwa anak dan istriku telah berada di tangan orang-orang itu. Karena itu, demi keselamatan anak dan istriku, tinggalkan tempat ini. Segala sesuatunya akan kami selesaikan sendiri, karena segalanya tidak menyangkut orang lain, kecuali persoalan antara keluarga kami. Antara sanak kadang sendiri.“

“Kami adalah para prajurit yang mengemban perintah,“ berkata Panglima prajurit itu, “karena itu, maka kami harus melaksanakan perintah ini.“

“Tetapi anak dan istriku berada dalam bahaya. Apakah kalian akan mengorbankannya?“ bertanya Kiai Sasak.

Panglima itu memang menjadi bingung. Ia harus menunggu Agung Sedayu untuk dapat mengambil satu kepastian. Namun jika orang-orang di rumah itu memaksakan kekerasan, maka ia tidak dapat mengelak lagi. Yang menjadi persoalan adalah justru Kiai Sasak itu sendiri.

Namun dalam pada itu, selagi keadaan menjadi tegang, tiba-tiba saja Kiai Sasak telah melihat seseorang melambaikan tangannya. Hampir tidak percaya kepada penglihatannya, ia telah melihat anak dan istrinya berdiri di sebelah seorang yang tidak dikenalnya. Sementara itu, Glagah Putih telah menyusup di antara para prajurit, mendekati Panglima yang memimpin pasukan berkuda untuk memberikan laporan.

“Jadi mereka sudah berada di sini sekarang?“ bertanya Panglima itu.

“Ya. Mereka ada di belakang kita,“ jawab Glagah Putih.

Panglima itu berpaling sejenak. Iapun melihat Agung Sedayu berdiri di sebelah kedua orang perempuan yang gelisah.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Panglima itu berkata, “Kiai Sasak. Aku tidak peduli lagi akan keselamatan anak dan istrimu. Aku siap untuk menjalankan perintah. Menyerahlah.“

Kiai Sasak termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat menyeberangi jalan menuju ke halaman di depan rumahnya. Namun pada saat yang bersamaan, serangan dahsyat telah menyambar Kiai Sasak. Sebuah pisau belati panjang yang bagaikan terbang menyusulnya. Tetapi agaknya ketajaman perhitungan Kiai Sasak telah menolongnya. Ketika ia hampir sampai di seberang jalan, maka iapun telah menjatuhkan diri berguling di tanah.

Pisau itu meluncur di atas kepalanya di saat ia menjatuhkan diri. Bahkan hampir saja mengenai seorang prajurit yang dengan tangkas pula menghindar, Pisau itu ternyata telah membentur dinding halaman rumah di depan rumah Kiai Sasak. Akibatnya memang mengejutkan. Dinding itu bagaikan meledak sehingga beberapa bagian telah runtuh. Sebuah lubang yang besar ternyata telah menganga pada dinding itu.

Tetapi Kiai Sasak telah berdiri tegak. Di sampingnya Glagah Putihpun telah siap menghadapi segala kemungkinan.

“Ambillah istri dan anakmu Kiai,“ berkata Panglima itu.

Orang yang mengambil alih pimpinan di rumah Kiai Sasak dan yang telah melempar pisau ke arah Kiai Sasak tetapi tidak mengenainya, berdiri dengan wajah yang membara. Dengan lantang ia berkata, “Kalian licik. Kalian telah bergerak dengan tipuan-tipuan yang hanya pantas dilakukan oleh para pengecut. Dan agaknya kalian memang pengecut itu.“

Kiai Sasak tidak menghiraukannya. Iapun kemudian menyusup di antara para prajurit, berlari menemui anak dan istrinya yang berada di ujung jajaran prajurit dari pasukan berkuda yang berada di depan rumah Kiai Sasak itu.

Sesaat Kiai Sasak telah memeluk anak dan istrinya. Namun kemudian keduanya telah dilepaskannya. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku harus membuat perhitungan dengan orang-orang itu.“

Tetapi Agung Sedayu menjawabnya, “Biarkan mereka diselesaikan oleh para prajurit dari pasukan berkuda yang terpilih ini.“

Kiai Sasak termangu-mangu. Dengan nada berat ia berkata, “Beberapa orang di antara mereka ternyata berilmu tinggi.“

“Percayakan kepada kami. Urusi anak dan istri Kiai,“ berkata Agung Sedayu.

“Persoalannya bersumber dari aku,“ jawab Kiai Sasak.

Agung Sedayu tersenyum sambil melangkah, “Kami adalah prajurit Mataram yang mempunyai kewajiban menyelesaikan persoalan seperti ini.“

Kiai Sasak termenung sejenak. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Kaukah yang telah membebaskan anak dan istriku?“

“Aku adalah petugas sandi yang menghubungi Kiai di rumah Kiai, dan yang mendapat tugas untuk membebaskan anak dan istri Kiai.“

Kiai Sasak menjadi ragu-ragu, apakah yang harus dilakukannya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah melangkah menyusuri jalan di muka rumah Kiai Sasak, di sela-sela para prajurit berkuda yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ia masih sempat berdesis, “Lindungi anak dan istrimu.“

Kiai Sasak tidak dapat berbuat lain. Iapun kemudian justru melangkah surut bersama anak dan istrinya, mengambil jarak dari para prajurit Mataram yang mengepung rumah Kiai Sasak itu.

Sejenak kemudian Agung Sedayu telah berada di hadapan regol rumah Kiai Sasak bersama Glagah Putih dan Panglima pasukan berkuda. Sementara itu, orang-orang yang berada di dalam halaman rumah Kiai Sasak justru telah menutup regol halaman.

“Aku akan memasuki halaman itu,“ berkata Panglima pasukan berkuda yang memimpin langsung pengepungan itu.

“Kita harus berhati-hati,“ berkata Agung Sedayu, “seperti dikatakan oleh Kiai Sasak, di dalam halaman rumah itu ada beberapa orang berilmu tinggi. Jika kita dengan serta merta memasuki halaman rumah itu, maka orang-orang yang pertama mungkin akan menjadi korban.“

“Bukankah itu wajar sekali?“ berkata Panglima itu, “Kita tidak akan dapat menangkap mereka hanya dengan mengepung halaman rumah ini sampai kapanpun.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti jalan pikiran seorang Panglima. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Kita akan memasuki halaman rumah itu. Tetapi dengan berhati-hati.“

“Apakah tidak terlalu lamban jika kita masih harus membuat perhitungan-perhitungan sekian kali ulang?“ berkata Panglima itu.

“Kita akan mencoba berbuat lebih cepat,“ berkata Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Lubang di dinding halaman itu adalah benturan pisau belati seseorang dari dalam regol itu yang diarahkan kepada Kiai Sasak. Untunglah Kiai Sasak dan seorang prajurit sempat mengelak.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan melihat lubang pada dinding itu, maka Agung Sedayu dapat menduga betapa besarnya kekuatan serta lambaran ilmu orang yang melontarkannya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu telah mengamati lubang itu dengan saksama. Ia tidak menilai lubang itu lagi, tetapi agaknya ia sedang mencari sesuatu.

“Apa yang kau cari?” bertanya Panglima pasukan berkuda itu.

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun di tangannya telah tergenggam pisau belati yang telah dilontarkan oleh seseorang dari dalam regol halaman.

Kepada Panglima pasukan berkuda itu Agung Sedayu berkata, “Perintahkan kepada mereka untuk menyerah. Jika mereka tidak mau, maka kita akan mencari jalan untuk memasuki halaman itu, meskipun harus dengan berhati-hati.“

Panglima berkuda itu mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian melangkah selangkah maju, menghadap ke regol halaman. Panglima itu pun berkata lantang, “He, orang-orang yang berada di dalam rumah dan halaman yang telah terkepung rapat. Menyerahlah. Kami memberikan waktu beberapa saat. Jika pada panggilan kami berikutnya kalian belum menyerah, maka kami akan mengambil langkah-langkah tegas.“

Namun yang terdengar adalah jawaban, “Kami adalah orang-orang terpilih dan berilmu tinggi. Jika kalian merasa berkewajiban menangkap kami, lakukanlah. Tetapi jangan menyesal jika semua orang yang memasuki halaman ini akan mati.“

Panglima pasukan berkuda itu pun kemudian berkata, “Aku masih memberi kesempatan.“

“Persetan. Itu tidak perlu. Kalian hanya akan membuang-buang waktu saja,“ berkata orang di balik pintu regol, “jika kalian ingin memasuki halaman, lakukanlah jika kalian mempunyai keberanian.“

“Setan,“ geram Panglima pasukan berkuda.

Namun Agung Sedayu cepat berkata, “Aku dan Glagah Putih akan memancing perhatian mereka.“

“Apa yang akan kalian lakukan?“ bertanya Panglima itu.

Agung Sedayu pun kemudian memanggil Glagah Putih mendekat. Katanya, “Pecahkan sudut dinding halaman di sebelah kiri itu. Aku akan melakukan di sebelah kanan. Pada saat perhatian orang-orang di dalam halaman itu tertarik ke kedua sudut yang pecah itu, maka Panglima akan memimpin pasukannya memecahkan regol halaman dan memasukinya dengan pasukannya. Sementara aku masuk lewat dinding yang pecah itu. Demikian pula kau, yang akan diikuti oleh beberapa orang prajurit.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu iapun bertanya kepada Panglima pasukan berkuda, “Apakah Panglima setuju?“

Panglima itu mengangguk. Katanya, “Aku sependapat. Aku akan menyesuaikan diri.“

Ketika kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekati sasaran yang telah ditentukan, maka Panglima dan beberapa orang prajuritnya telah bergeser pula. Mereka berdiri di sebelah-menyebelah regol yang masih tertutup rapat itu.

Bahkan sejenak kemudian masih terdengar orang berteriak di belakang regol itu, “Jika kalian berani memasuki halaman ini, lakukanlah. Mayat kalian akan berserakan seperti tebasan batang ilalang.“

Panglima yang berada di sebelah regol itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia harus menahan diri, karena ia harus menunggu Agung Sedayu dan Glagah Putih mencapai sasarannya.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah berada di hadapan kedua sudut dinding halaman bagian depan dari rumah Kiai Sasak itu. Mereka pun segera mempersiapkan diri untuk melakukan rencana mereka.

Dinding halaman rumah Kiai Sasak memang tidak begitu tebal. Ketika rumah itu dibuat, sama sekali tidak terbersit pikiran bahwa pada suatu saat dinding itu akan menjadi penyekat antara kedua kekuatan yang saling berbenturan. Apalagi di satu pihak adalah prajurit Mataram sendiri. Karena itu, maka dinding itu bukanlah dinding sekuat benteng pertahanan sepasukan prajurit.

Agung Sedayu ternyata telah mendekati dinding di sudut halaman itu. Glagah Putih yang melihatnya dari kejauhan menyadari, bahwa Agung Sedayu tidak menghendakinya memecahkan dinding itu dengan lontaran ilmu. Tetapi harus dengan sentuhan kewadagan, sehingga mereka tidak dituduh membuat pengeram-eram oleh orang-orang yang belum mengenalnya.

Sesaat kemudian Glagah Putih dari kejauhan melihat Agung Sedayu meraba sudut halaman rumah Kiai Sasak itu Kemudian sambil memberikan isyarat kepada Glagah Putih, Agung Sedayu telah mundur beberapa langkah untuk mempersiapkan diri.

Mula-mula Glagah Putih tidak mengetahui maksud Agung Sedayu yang mengangkat tangannya dan kemudian menyentuh kakinya. Namun akhirnya Glagah Putih mengerti, bahwa Agung Sedayu akan memecahkan dinding itu dengan kakinya.

Dalam pada itu, dari depan regol, Panglima pasukan berkuda masih berkata lantang, “Cepat, menyerahlah! Aku tidak mempunyai banyak waktu.“

“Diam kau!“ teriak orang yang berada di dalam.

Panglima itu tidak menjawab. Namun ia telah berpaling ke arah Agung Sedayu, seakan-akan memberikan isyarat, agar Agung Sedayu cepat melakukan rencananya, memecah dinding halaman sebagaimana dikatakannya.

Sebenarnya Agung Sedayu memang sudah bersiap. Sejenak kemudian, maka iapun telah meloncat, melangkah dengan mengerahkan kekuatan tenaga cadangan serta ilmunya pada kakinya. Dengan melayang sambil memiringkan tubuhnya, Agung Sedayu benar-benar telah menghantam dinding halaman itu. Pada saat yang hampir bersamaan, Glagah Putih pun telah melakukan pula. Hentakan kaki kedua orang yang memiliki ilmu yang tinggi, pada dinding yang tidak tebal itu, ternyata telah berhasil meruntuhkannya di sudut halaman rumah Kiai Sasak, sekaligus keduanya telah berguling memasuki halaman rumah itu.

Kehadiran keduanya dengan memecahkan dinding itu memang mengejutkan orang-orang yang berada di dalam halaman. Dua orang telah berada di dalam dengan cara yang tidak mereka duga. Orang-orang yang berada di halaman itu ternyata telah bersiaga di belakang pintu gerbang, karena satu-satunya kemungkinan menurut perhitungan mereka adalah memecahkan pintu regol itu.

Oleh peristiwa yang tidak mereka perhitungkan itu, maka orang-orang di halaman itu menjadi agak bingung. Bahkan orang yang memimpin sekelompok orang itu telah memberikan perintah, “Bunuh mereka.“

Beberapa orang telah berlarian ke arah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang telah memecahkan dinding di sudut-sudut halaman. Sementara itu beberapa orang prajurit dari pasukan berkuda yang berada di sepanjang jalan, telah berloncatan masuk pula melalui dinding yang pecah itu.

Dalam pada itu, sesuai dengan rencana, maka Panglima pasukan berkuda itu telah bergeser pula mengambil ancang-ancang. Dengan satu loncatan yang kuat, maka Panglima pasukan berkuda itu telah memecahkan pintu regol yang selaraknya memang tidak terlalu kuat. Namun Panglima pasukan berkuda itu memang seorang yang memiliki kekuatan dan ilmu yang tinggi pula.

Para prajurit tidak sempat mengagumi Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka segera berdesakan memasuki halaman rumah itu. Namun Panglima dari pasukan berkuda itu masih juga memerintahkan beberapa orang untuk tetap berada di sepanjang jalan. Jika ada di antara orang-orang dari halaman itu yang melarikan diri, maka adalah menjadi tugas mereka untuk menangkapnya.

Para pemimpin kelompok yang berada di sisi dan di belakang rumah Kiai Sasak itu pun dengan cepat berusaha menyesuaikan diri. Beberapa orang di antara para prajurit telah berlari-larian dan memasuki halaman lewat dinding yang runtuh di sudut halaman itu. Sementara yang lain juga tetap berada di tempatnya. Sedangkan yang berjaga-jaga di belakang rumah, menjadi semakin siaga menghadapi kemungkinan pelarian dari orang-orang yang berada di rumah Kiai Sasak itu.

Demikianlah, di halaman rumah Kiai Sasak itu telah terjadi pertempuran yang sengit. Ternyata orang-orang terpilih yang bertugas di Mataram itu telah membentur kekuatan pasukan Mataram yang tangguh.

Orang yang mengambil pimpinan di rumah Kiai Sasak itu ternyata telah bertemu dengan Agung Sedayu yang memasuki halaman itu lewat dinding yang dipecahkannya. Sedangkan seorang pengawalnya yang terpercaya telah meloncat ke arah Glagah Putih yang memasuki halaman itu dengan cara yang sama dengan Agung Sedayu.

Justru karena itu, ketika Panglima pasukan berkuda memecahkan pintu regol, maka dua orang yang tinggal di depan regol itu telah menyerangnya. Sementara beberapa orang yang lain berlari-larian mendekat.

Namun Panglima itu cukup tangkas. Dengan cekatan ia berhasil mengelakkan serangan kedua orang itu. Bahkan kemudian, dengan garang Panglima itu telah menyerang kembali. Apalagi kemudian beberapa orang prajurit telah menyusulnya memasuki halaman.

Pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Separuh dari prajurit Mataram bersama para petugas sandi telah memasuki halaman dan bertempur melawan orang-orang yang berada di dalam. Namun yang separuh dari seluruh prajurit Mataram yang mengepung rumah itu, ternyata telah lebih banyak dari orang-orang yang berada di di halaman itu.

Namun ternyata sebagaimana mereka perhitungkan, bahwa di antara orang-orang yang berada di halaman rumah Kiai Sasak itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka bukan saja seorang prajurit, tetapi mereka adalah orang-orang terpilih dalam tugas yang khusus.

Dengan demikian maka pertempuran di halaman rumah Kiai Sasak itu menjadi semakin lama semakin sengit. Orang-orang yang berilmu tinggi itu telah mulai melepaskan ilmunya untuk mengatasi ketangkasan prajurit Mataram. Namun prajurit Mataram yang jumlahnya memang lebih banyak, telah mengatur diri sebaik-baiknya untuk mengatasi tingkat-tingkat ilmu yang lebih tinggi dari mereka seorang demi seorang.

Di sudut halaman Glagah Putih telah bertempur dengan pengawal terpercaya dari orang yang mengambil pimpinan di rumah Kiai Sasak itu. Orang yang datang khusus untuk membuat keseimbangan kekuatan atas kemampuan Kiai Sasak yang diperhitungkan berilmu tinggi. 

Sebagaimana diisyaratkan oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putih berusaha untuk bertempur tanpa melepaskan kekuatan ilmu yang mampu menyerang lawannya dari jarak jauh. Karena itu, maka Glagah Putih telah bertempur langsung dengan benturan-benturan wadagnya.

“Tetapi jika lawan ini memiliki kemampuan yang terlalu tinggi, maka apa boleh buat,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya, karena ia masih belum tahu seberapa tinggi tingkat ilmu lawannya itu.

Karena itu, untuk beberapa saat Glagah Putih masih berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya. Beberapa kali ia berusaha untuk menyentuh serangan-serangan yang datang membadai. Untuk menjaga kemungkinan yang paling buruk dari lawannya, maka Glagah Putih dengan sangat berhati-hati menilai takaran kemampuannya yang dipergunakannya untuk menahan setiap benturan.

Namun kemudian Glagah Putihpun berkata kepada diri sendiri ketika tangannya terasa sakit, “Agaknya aku terlalu sombong menghadapi lawan. Satu pantangan yang setiap kali diperingatkan baik oleh Kakang Agung Sedayu maupun guru, Kiai Jayaraga. Namun aku tidak mau mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan.“

Dengan demikian maka Glagah Putih menjadi lebih berhati-hati lagi menghadapi lawannya. Ia tidak mau disakiti lawannya, tetapi juga tidak mau kehilangan kendali, sehingga dengan serta merta ia akan dapat membunuh lawannya.

Namun justru karena Glagah Putih terlalu sibuk memperhitungkan kekuatannya, maka kecepatan geraknya memang agak terlambat. Beberapa kali lawannya berhasil mengenainya, justru pada saat Glagah Putih sedang mencoba-coba.

Pada serangan yang dilambari segenap kekuatan dan kemampuan lawannya, maka terasa tumit lawannya yang mengenai lambungnya bagaikan himpitan bindi besi. Justru pada saat Glagah Putih sedang berusaha mengatasi rasa sakit, serangan berikutnya datang demikian cepatnya. Kaki lawannya yang berputar, tepat mengenai dadanya. Glagah Putih terlempar beberapa langkah surut. Namun ia masih sempat berguling dan melenting berdiri.

Namun serangan berikutnya telah memburunya. Agaknya lawannya tidak mau melepaskannya, karena menurut perhitungannya, Glagah Putih telah terdesak sehingga tidak mampu lagi berbuat banyak. Semakin cepat orang itu mengakhiri perlawanan Glagah Putih, berarti semakin banyak pula kesempatannya untuk membantu kawan-kawannya.

Tetapi ternyata Glagah Putih tidak membiarkan dirinya dikenai lagi oleh serangan lawannya. Karena itu, maka dengan tangkasnya iapun segera mengelak sambil menahan sakit di lambung dan dadanya. Glagah Putih bukan hanya bergeser selangkah, tetapi sekaligus beberapa langkah untuk mengambil jarak.

“Jangan lari,“ geram lawannya yang berdiri tegak menghadap ke arahnya.

Glagah Putih yang telah berhasil mengambil jarak telah berdiri tegak pula. Perlahan-lahan perasaan sakit di lambungnya pun menjadi semakin menghilang. Sehingga akhirnya ia telah siap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Glagah Putih yang sedang mengamati tingkat kemampuannya sendiri itu, telah menempatkan dirinya pada satu tataran, bahwa ia tidak akan disakiti lagi oleh lawannya.

Ketika lawannya maju selangkah Glagah Putih pun berkata, “Aku tidak akan lari Ki Sanak. Mungkin aku telah terdesak. Tetapi aku akan menyelesaikan pertempuran ini dengan sikap seorang prajurit.“

“Bagus,“ sahut lawannya, “aku juga seorang prajurit. Aku akan dapat menilai, apakah kau memang benar-benar seorang prajurit.“

Keduanya pun kemudian telah bersiaga sepenuhnya. Sejenak mereka masih bergeser saling mendekat. Namun tiba-tiba saja lawan Glagah Putih itu meloncat menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun Glagah Putih telah bersiap pula. Karena itu, maka dengan cepat pula ia bergeser, sehingga serangan lawannya itu sama sekali tidak mengenainya.

Namun demikian kaki lawannya itu berjejak di atas tanah, maka iapun telah mengangkat kakinya sambil berputar, bertumpu pada kaki yang lain. Glagah Putih masih sempat meloncat surut. Talapak kaki lawannya yang mengarah langsung ke kepalanya. Ia justru merendahkan dirinya dan dengan cepat menyapu kaki lawannya yang menjadi tumpuan tegaknya.

Sapuan kaki Glagah Putih itu terjadi demikian cepatnya, sehingga lawannya itu tidak sempat mengelakannya. Dengan demikian maka lawan Glagah Putih itu telah jatuh terbaring di tanah. Namun ternyata bahwa orang itu mampu bergerak cepat sekali. Demikian ia terjatuh, maka iapun dalam sekejap telah melenting berdiri. Bahkan mendahului kesiagaan Glagah Putih. Sehingga Glagah Putih terkejut ketika tiba-tiba saja orang itu telah melayang menyerangnya dengan kakinya yang terjulur lurus menyamping.

Tetapi kecepatan geraknya ternyata berakibat buruk baginya. Glagah Putih yang terkejut itu tidak sempat mengelak. Demikian ia tegak setelah menyapu kaki lawannya, maka serangan itu seakan-akan telah berada di depan hidungnya. Glagah Putih tidak sempat memperhatikan bagaimana orang itu dapat bergerak demikian cepatnya.

Ternyata Glagah Putih yang terkejut itu telah menangkis serangan lawannya. Anak muda itu berdiri tegak dengan kaki renggang. Tangannya dengan tangkasnya bersilang di depan wajahnya yang menjadi sasaran serangan lawannya. Demikian kaki lawannya menyentuh tangannya, Glagah Putih telah menghentakkannya dengan keras mendorong kaki lawannya itu.

Pada saat yang demikian itulah, maka Glagah Putih agak lepas dari pengamatannya atas kekuatannya sendiri. Benturan yang terjadi ternyata benar-benar mengejutkan. Glagah Putih memang tergetar setapak surut. Namun lawannya ternyata telah terlempar beberapa langkah. Dengan kerasnya ia terbanting di tanah. Kakinya serasa patah dan tulang-tulangnya bagaikan mencuat ke dalam tubuhnya. Punggungnya yang membentur tanah yang keras serasa remuk pada sendi-sendinya.

Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Ketika ia berusaha untuk bangkit berdiri, maka tiba-tiba ia telah terjatuh kembali. Bahkan rasa-rasanya dunia pun telah menjadi gelap. Seorang di antara kawan-kawannya bergegas mendekatinya. Yang lain mencoba melindunginya. Ketika kawannya yang menolongnya itu berjongkok dan mengamatinya, maka ternyata orang itu telah pingsan.

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Tetapi dadanya menjadi berdebaran. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Apakah ia mati?“

Tidak ada jawaban. Namun seorang telah menyerangnya dengan garangnya pula.

Tetapi sebelum serangan itu menyentuhnya, seorang prajurit dari pasukan berkuda telah memotong serangan itu dengan pedang terjulur, sehingga orang itu telah menggeliat dan berputar menghadapi prajurit itu.

“Kau mempunyai kemungkinan lebih baik melawanku daripada melawannya,“ berkata prajurit berkuda itu.

“Persetan,” geram lawannya.

Glagah Putih masih termangu-mangu, sementara pertempuran di halaman itu masih berlangsung dengan sengit.

Tetapi sebenarnyalah bahwa prajurit Mataram memang telah mulai menguasai keadaan, Di beberapa bagian dari pertempuran itu, satu dua orang yang semula berada di rumah Kiai Sasak itu telah melepaskan senjatanya, sedangkan yang lain terbaring diam dengan luka menganga di tubuhnya.

Di sudut yang lain, Agung Sedayu masih bertempur melawan orang yang memegang pimpinan di lingkungan halaman rumah Kiai Sasak itu. Orang yang semula dipersiapkan untuk menguasai Kiai Sasak apabila orang itu tiba-tiba menjadi liar.

Ternyata bahwa orang itu itu memang berilmu tinggi. Orang itu mampu bergerak sangat cepat, serta kekuatannya pun bagaikan berlipat dengan kekuatan orang kebanyakan.

Namun agaknya orang itu sempat melihat, bagaimana kepercayaannya telah jatuh di tangan seorang anak yang masih muda sekali, justru dalam pertempuran tanpa senjata. Orang itu tidak mau melakukan kesalahan yang sama dengan pengikutnya yang terpercaya itu. Karena itu, ketika ternyata lawannya mampu mengimbangi kecepatannya bergerak dan kekuatannya, maka iapun telah mencabut pedangnya.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia dapat mempergunakan beberapa unsur dari ilmunya untuk melawan pedang itu. Ia dapat melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya. Atau ia dapat menyerang orang itu dengan sorot matanya dari jarak di luar jangkauan orang itu.

Tetapi Agung Sedayu tidak melakukannya. Ketika pedang lawannya itu terayun. Agung Sedayu telah mengelak sambil menarik pisau belati yang terselip di lambungnya. Pisau belati yang telah dipungutnya di depan regol halaman rumah Kiai Sasak, yang ternyata adalah pisau belati lawannya itu sendiri, yang telah dilemparkan kepada Kiai Sasak dan memecahkan dinding halaman rumah di depan Kiai Sasak itu.

Lawan Agung Sedayu itu termangu-mangu. Namun sebelum ia bertanya Agung Sedayu telah berkata, “Apakah pisau belati ini milikmu?“

“Ya,“ geram orang itu, “tetapi pisau itu tidak lebih baik dari parang pembelah kayu. Karena itu, aku telah melemparkannya. Aku sama sekali tidak memerlukannya. Tetapi pedang ini adalah pedang pusaka yang tidak ada duanya di dunia ini.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ketika ia sempat memperhatikan pedang itu, maka hatinya memang menjadi berdebar-debar. Pedang itu sama sekali tidak mengkilap dan memantulkan panasnya cahaya matahari. Tetapi pedang itu berwarna kehitam-hitaman. Di tengahnya bagaikan merambah satu bentuk yang mendebarkan. Seperti sebatang pohon yang bercabang-cabang dan beranting-ranting kecil.

“Pamor apakah yang membuat pedang itu bagaikan menyala?“ bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah ketika pedang itu digerakkan, maka seakan-akan daunnya menjadi bagaikan membara. Antara nampak dan tidak, warna kemerahan menyala pada jalur-jalur pamor pedang yang mendebarkan itu.

Orang yang menggenggam pedang itu pun kemudian tersenyum. Katanya, “Aku tahu bahwa kau adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun justru karena itu kau tentu mengenali watak pedangku ini. Bukan saja terbuat dari besi baja pilihan dengan pamor Riris yang tidak ada duanya. Barangkali kau belum pernah mendengar pada keris, tombak ataupun luwuk yang mempunyai pamor Riris. Nah, lihatlah dengan sungguh-sungguh ujud dari pamor Riris yang mengandung kekuatan api. Selebihnya warangan yang kuat telah diusapkan pada saat-saat memandikan pedang ini, sehingga setiap goresan betapapun kecilnya, akan dapat membunuhmu dalam waktu yang singkat.”

Agung Sedayu sempat mengangguk-angguk. Tetapi bisa yang terdapat pada warangan di pedang itu tidak menggetarkan jantungnya, karena Agung Sedayu menyadari, bahwa tidak ada jenis bisa yang akan dapat membunuhnya. Bisa ular bandotan yang paling tajam pun tidak akan dapat membekukan darahnya. Bahkan seandainya seekor ular Gundala di langit turun sekalipun.

Namun Agung Sedayu sempat mengagumi ketika ia melihat pedang itu digerakkan. Seakan-akan telah meninggalkan bayangan helai-helai pedang yang berwarna kemerahan.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat lebih lama memperhatikannya, karena lawannya pun kemudian mulai memutar pedangnya itu. Ujungnya mulai diarahkan ke dada Agung Sedayu yang bersiap-siap menanti serangan lawannya dengan pisau belati di tangannya. Pisau belati milik lawannya itu sendiri.

Pisau belati itu memang bukan pisau belati yang mempunyai kelebihan. Meskipun pisau belati itu cukup baik, bukan saja buatannya, tetapi juga bahannya, namun tidak ada pamor yang terpahat pada daunnya. Tidak pula dimandikan dengan warangan di setiap permulaan tahun, dan tidak pula memancarkan cahaya kemerah-merahan. Namun di tangan Agung Sedayu, pisau itu telah berubah menjadi pisau belati yang sangat berbahaya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanya telah terlihat dalam pertempuran senjata yang mendebarkan. Orang yang dikirim untuk mengimbangi Kiai Sasak itu memang mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ilmu pedangnya pun telah mencapai tataran yang mengagumkan pula. Apalagi ia memiliki senjata yang lebih baik dari senjata lawannya.

Namun ketika kedua senjata itu mulai bersentuhan, orang itu memang terkejut. Ia merasakan betapa kuatnya hentakan pisau belati yang berada di tangan lawannya itu.

Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan dengan cepat dan berputaran sambil menggerakkan senjata masing-masing.

Beberapa orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar, karena pedang lawan Agung Sedayu itu pun seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh-puluh pedang yang membara.

Dalam pada itu, pertempuran di halaman itu pun telah menjadi semakin susut. Di beberapa tempat beberapa orang masih bertahan. Namun di tempat lain, di antara mereka yang berada di rumah Kiai Sasak itu telah menyerah.

Glagah Putih sendiri telah memaksa seorang lagi untuk menyerah, di samping orang yang pingsan itu.

Namun ketika Glagah Putih sempat melihat pedang lawan Agung Sedayu itu, ia menjadi berdebar-debar pula. Kepada prajurit Mataram yang ada di sebelahnya ia menyerahkan pengamatan orang yang pingsan itu.

“Berhati-hatilah,” berkata Glagah Putih, “jika ia mulai sadar, jangan menungguinya sendiri. Orang itu berilmu tinggi.”

Prajurit itu mengangguk. Tetapi agaknya ia masih belum memerlukan kawan, karena orang itu masih saja pingsan. Dua orang kawannya yang telah menyerah telah mencoba untuk membangunkannya. Atas ijin dan dikawal oleh seorang prajurit Mataram, kawan orang yang pingsan itu telah mengambil air, yang kemudian setitik demi setitik diteteskan pada bibir orang yang pingsan itu.

Sementara itu Glagah Putih telah melangkah mendekati arena pertempuran antara Agung Sedayu dan lawannya. Bahkan kemudian Panglima pasukan berkuda, yang menganggap bahwa tugasnya untuk menangkap orang-orang yang berada di dalam rumah Kiai Sasak itu telah selesai sebagian besar, maka iapun telah bergerak mendekati arena yang tersisa. Terutama pertempuran antara Agung Sedayu dan lawannya yang datang khusus untuk menghadapi Kiai Sasak jika ia memberontak. Tetapi yang ternyata kemudian telah berhadapan dengan seorang yang bernama Agung Sedayu.

Namun beberapa saat kemudian, orang itu mengumpat-umpat kasar. Ternyata pedangnya yang tidak ada duanya itu tidak dapat dengan cepat mengakhiri perlawanan Agung Sedayu, yang hanya membawa sebuah pisau belati yang agak panjang. Namun yang menurut ujud kewadagannya tidak seimbang dengan pedang pusakanya.

Ketika pedangnya yang pilihan itu pada satu kali diayunkannya kuat-kuat mengarah ke leher Agung Sedayu, ia sudah mengira bahwa pertempuran akan berakhir. Agung Sedayu yang baru saja memutar tubuhnya menghindari serangan sebelumnya itu, agaknya sudah tidak sempat menghindar lagi. Karena itu, maka Agung Sedayu harus menangkis pedang pusaka yang tidak ada duanya itu dengan sebuah pisau belati.

Lawannya menjadi pasti, bahwa pisau belati yang jauh lebih kecil itu akan tidak mampu menahan arus ayunan pedangnya, betapapun kuat tangan yang memeganginya. Apalagi pedangnya itu bukan pedang kebanyakan. Bahkan seandainya pedangnya itu hanya mampu menggores kecil, seujung rambut sekalipun, maka goresan kecil itu sudah akan dapat membunuh dengan cepat.

Tetapi ternyata dugaan orang itu keliru. Ketika pedangnya itu membentur pisau belati di tangan Agung Sedayu, maka rasa-rasanya pedangnya telah menghantam bukit baja. Bunga api telah memercik dari benturan itu, sementara tangan lawan Agung Sedayu itu justru terasa pedih. Untunglah bahwa orang itu masih mampu mempertahankan pedangnya sehingga tidak terlepas. Namun dengan demikian, orang yang menjadi terkejut itu telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak, seakan-akan ia ingin melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.

Agung Sedayu tidak segera memburunya. Ia memang telah dengan sengaja membentur kekuatan lawannya. Selagi lawannya itu masih berusaha mengurai apa yang terjadi, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Lihatlah apa yang telah terjadi di halaman ini. Orang-orangmu telah menyerah, selain yang dengan menyesal telah terbunuh dalam pertempuran ini. Sekarang, bagaimana dengan kau? Sudah barang tentu kau tidak akan dapat bertempur sendiri melawan kami, seluruh pasukan Mataram yang bertugas di sini.”

Tetapi wajah orang itu justru menjadi merah membara. Katanya, “Kau telah menghina kami. Kami tidak akan pernah menyerah apapun yang terjadi. Kami hanya akan menyerah kepada maut.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu pula, “kenapa kau ingkar pada kenyataan yang kau lihat? Lihatlah. Aku tidak akan menyerang saat kau memperhatikan seisi halaman itu. Bukankah orang-orangmu telah menyerah? Bagaimana mungkin kau dapat mengingkari kenyataan di depan matamu sendiri.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Mereka adalah pengecut-pengecut yang tidak mempunyai arti lagi bagiku. Apapun yang mereka lakukan, aku tidak peduli. Tetapi aku bukan mereka, dan aku tidak akan menyerah.”

“Sungguh luar biasa,” berkata Agung Sedayu, “tetapi apa artinya langkah yang kau ambil itu? Putus asa, atau membunuh diri, atau perbuatan lain yang sama pengecutnya dengan itu. Kenapa kau tidak berani dengan jantan melihat dan mengakui kenyataan yang kau hadapi?”

“Itukah ujud kejantanan menurut orang-orang Mataram? Menyerah dengan alasan kenyataan dan .bertanggung jawab atas perbuatannya?” geram orang itu. “Sekarang jangan banyak bicara. Aku mempunyai nilai sendiri tentang kejantanan. Aku akan bertempur sampai mati.”

“Luar biasa,” berkata Agung Sedayu, “satu ujud kesetiaan tanpa batas. Daripada kau harus memberikan keterangan tentang kenyataanmu, maka kau telah memilih membunuh diri dengan kedok sikap seorang kesatria.”

“Cukup!” orang itu berteriak, “Aku tidak bertugas untuk menentukan nilai kejantanan seseorang. Katakan apa saja menurut kepentinganmu. Aku tidak peduli. Sekarang kau harus mati. Apakah kau akan mati sebagai kesatria atau sebagai seorang pengecut, akupun tidak peduli. Kita masing-masing mempunyai kepentingan dengan penilaian itu.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Nah, jika kau takut bertempur seorang diri, maka majulah bersama-sama. Goresan-goresan pedangku akan membunuh sekian banyak orang-orang Mataram yang pengecut.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia melangkah maju sambil menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku tidak akan bertempur bersama siapapun. Kita akan melihat, siapakah di antara kita yang memiliki kemampuan lebih baik.”

“Bagus!” orang itu masih berteriak, “Kau pun ternyata ingin disebut seorang laki-laki. Jika demikian, matilah sebagai laki-laki sejati.”

“Bukankah kita sepakat, bahwa kita tidak peduli sebagai apapun kita akan mati?” sahut Agung Sedayu.

Wajah orang itu menjadi tegang. Agaknya ia masih akan berbicara. Namun tiba-tiba saja ia telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya, sehingga ia mampu bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti dengan pandangan mata kewadagan. Pedangnya telah terjulur lurus kepada Agung Sedayu yang nampaknya tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi.

Namun Agung Sedayu yang ilmunya sudah mapan itu, tidak membiarkan dadanya dikenai pedang lawannya, meskipun ia sudah mensiagakan ilmu kebalnya. Karena itu, maka iapun telah menangkis serangan yang datang bagaikan petir menyambar di udara itu.

Sekali lagi terjadi benturan. Serangan itu demikian cepatnya sehingga ternyata bahwa Agung Sedayu tidak sepenuhnya dapat menggeser arah serangan itu.

Namun Agung Sedayu yang siap untuk memulai lagi dengan pertempuran itu telah tertegun. Lawannya ternyata telah meloncat mengambil jarak. Terdengar orang itu tertawa berkepanjangan. Di sela-sela suara tertawanya ia berkata, “Ki Sanak yang perkasa. Kau tidak usah membanggakan ilmumu lagi. Sebentar lagi kau akan mati. Aku merasakan pada telapak tanganku, bahwa pedangku yang meskipun tidak menghunjam ke jantungmu, di samping benturan yang keras, agaknya satu goresan telah melukaimu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berkata, “Kau salah Ki Sanak. Senjatamu sama sekali tidak menyentuh aku. Dalam benturan yang keras, kau agaknya telah kehilangan pengamatan atas indera perasaanmu.”

“Persetan,” geram orang itu. Namun ia memang tidak melihat luka di lengan Agung Sedayu.

Dengan demikian maka iapun telah meloncat menyerang dengan garangnya. Segenap kemampuannya telah dikerahkan untuk dapat sekedar menyentuh tubuh Agung Sedayu dan melukai kulitnya.

Sebenarnyalah bahwa pedangnya yang pilihan, kemarahan yang bergejolak di dalam dada, dilambari dengan ilmunya yang mampu mendorong setiap gerak dan langkahnya menjadi sangat tangkas, cekatan dan cepat, telah membuat perlawanan Agung Sedayu menjadi agak sibuk.

Namun Agung Sedayu sendiri memang tidak merasa tergesa-gesa. Pertempuran di seluruh halaman itu sudah dapat disebut berakhir. Orang yang tersisa telah menyerah.

Namun ternyata pedang di tangan orang itu benar-benar pedang yang jarang ada duanya. Pedang itu seakan-akan mempunyai mata pada ujungnya serta mampu bergerak menuntun gerak tangan pemiliknya.

Dengan demikian, maka ujung pedang itu pun telah mampu menembus pertahanan Agung Sedayu, yang hanya mempergunakan sebilah pisau belati yang terlalu pendek dibanding dengan pedang pusaka itu.

Agung Sedayu sendiri tidak terkejut ketika ujung pedang itu menyentuh tubuhnya. Untuk meyakinkan bahwa ujung pedang itu tidak akan menembus pertahanan ilmu kebalnya, maka Agung Sedayu telah bergeser surut. Namun ujung pedang itu benar-benar mengenainya.

Sekali lagi lawannya meloncat mengambil jarak. Sekali lagi orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau tidak akan dapat ingkar dari kenyataan itu Ki Sanak. Ujung pedangku telah menembus lambungmu. Luka itu agaknya memang tidak terlalu dalam karena kau sempat bergeser surut. Tetapi luka yang kecil itu akan membunuhmu sebentar lagi.”

Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya. Ia berdiri saja tegak sambil menggenggam pisau belatinya.

“He, kau akan mati! Kau dengar?” orang itu berteriak ketika ia melihat Agung Sedayu sama sekali tidak memberikan kesan bahwa ia mencemaskan keadaan dirinya.

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu kemudian, “sayang bahwa pedangmu terlalu tumpul. Warangan di daun pedangmu tidak akan dapat berpengaruh atas lawanmu jika kau tidak melukainya.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Ia yakin bahwa ia telah mengenai tubuh lawannya. Telapak tangannya merasakan sentuhan itu. Tetapi ia memang tidak melihat luka pada tubuh lawannya itu.

“Ilmu iblis manakah yang kau miliki?” geram orang itu.

“Bukan ilmu iblis,” jawab Agung Sedayu, “karena itu menyerahlah. Kau tidak mempunyai pilihan Ki Sanak.”

“Jangan menghina aku begitu,” geram orang itu, “kita akan bertempur sampai salah seorang di antara kita mati.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Orang itu memang terlalu keras hati.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara seseorang, “Ki Sanak. Minggirlah. Orang itu berkepentingan dengan aku. Apalagi pedangnya sangat berbahaya.”

Ketika Agung Sedayu berpaling, dilihatnya Kiai Sasak berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ia baru saja memasuki halaman itu lewat dinding yang telah dipecahkan oleh Agung Sedayu.

“Kau Kiai Sasak,” geram orang yang memiliki pedang yang jarang ada bandingannya itu.

“Bukankah kau dikirim untuk membayangi aku?” bertanya Kiai Sasak.

“Ya,” jawab orang itu.

“Bagus. Jika demikian, kau harus melawan aku. Kau tidak boleh berhadapan dengan siapapun, apalagi dengan pedang pusakamu itu,” berkata Kiai Sasak.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Karena Agung Sedayu tidak memperlihatkan kelebihannya, maka Kiai Sasak agaknya kurang yakin bahwa Agung Sedayu itu akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Tetapi sudah barang tentu bahwa Glagah Putih tidak dapat berteriak memuji Agung Sedayu, bahwa ia tentu akan menang melawan orang itu meskipun bersenjata petir sekalipun.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berkata, “Sudahlah Kiai. Seperti yang aku katakan, lindungi anak dan istri Kiai. Aku, petugas yang ditunjuk oleh Panembahan Senapati, biarlah menyelesaikan orang itu.”

“Tetapi yang seorang ini lain bagiku. Ia mempunyai beberapa kepentingan untuk datang kemari. Apalagi karena ia memang ditugaskan untuk melawan aku. Aku tidak akan mengecewakannya. Apapun yang akan terjadi,” geram Kiai Sasak.

Agung Sedayu termangu-mangu. Sementara itu Kiai Sasak berkata, “Tunggulah sebentar.”

Kiai Sasak tidak menunggu jawaban. Tetapi iapun segera melangkah menuju ke pendapa rumahnya.

Namun Kiai Sasak tidak berhenti di pendapa. Ia langsung melintasi pringgitan dan masuk ke dalam rumahnya.

“Apa yang akan dilakukan setan itu?” geram orang yang berpedang pusaka.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi apakah kau menerima tantangannya?”

“Sudah aku katakan. Siapapun yang akan melawan aku, akan aku binasakan. Aku lebih senang jika kau berdua bersama Kiai Sasak bertempur melawan aku. Dengan demikian maka aku akan cepat selesai,” orang itu hampir berteriak.

Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika ia melihat Kiai Sasak keluar dari ruang dalam, maka di punggungnya terselip sebuah keris yang besar dan panjang. Keris yang khusus, karena ukurannya yang jauh lebih besar dari keris kebanyakan.

“O,” desis orang yang memang dikirim untuk membayanginya, “kau mengambil senjatamu.”

Kiai Sasak tidak menjawab. Demikian ia berdiri di hadapan orang itu, maka iapun telah mencabut kerisnya lewat di atas pundaknya. Mengangkat keris itu di atas kepalanya sambil berkata, “Pusaka ini akan dapat mengimbangi pedangmu yang nggegirisi itu.”

Orang-orang yang menyaksikan keris itu termangu-mangu. Pamornya tidak memancarkan bara yang merah, tetapi justru seakan-akan menyala kehijau-hijauan.

Orang yang dikirim untuk membayangi Kiai Sasak itu termangu-mangu. Ia memang seorang yang memiliki pengetahuan tentang pusaka. Karena itu, maka iapun segera mengetahui bahwa pusaka Kiai Sasak itu pun merupakan pusaka yang nilainya tidak kalah dari pedangnya.

“Aku sembunyikan senjataku ini, sehingga orang-orangmu tidak menemukannya,” berkata Kiai Sasak sambil menggerakkan kerisnya.

Lawan Agung Sedayu yang termangu-mangu itu bagaikan terbangun dari lamunannya. Iapun segera membentak, “Cepat! Kita akan membuat perhitungan.”

Kiai Sasak menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tidak ada orang lain yang lebih berhak menghadapimu daripada aku.”

Agung Sedayu itu pun tidak mungkin lagi dapat mencegah Kiai Sasak. Ternyata orang itu pun memiliki harga diri yang tinggi, sehingga ia merasa wajib untuk menghadapi orang yang memang dipersiapkan menjadi lawannya itu.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun kemudian telah bergeser menjauhi lawannya, sementara Kiai Sasak telah memasuki arena.

“Hati-hatilah Kakang,” terdengar suara seorang perempuan.

Agung Sedayu pun kemudian melihat istri dan anak Kiai Sasak itu berdiri termangu-mangu. Di sebelah-menyebelahnya dua orang prajurit Mataram berjaga-jaga melindungi mereka.

“Istri dan anaknya telah dititipkan kepada prajurit-prajurit itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua orang itu telah memulai menggerakkan senjatanya. Kedua senjata itu benar-benar mendebarkan. Jika senjata orang yang memang dipersiapkan untuk melawan Kiai Sasak itu bagaikan membara, serta setiap gerakannya seakan-akan meninggalkan beberapa lembar bayangan daun pedang, maka keris Kiai Sasak pun seakan-akan telah menyala. Cahaya yang berwarna kehijau-hijauan kadang-kadang seperti bersinar menyilaukan. Namun kemudian telah hilang dengan sendirinya. Tetapi beberapa saat kemudian cahaya itu telah datang lagi, hinggap di daun keris yang besar itu.

Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah mulai saling menyerang. Senjata mereka bergerak berputaran. Sekali menyambar, kemudian terayun mendatar dan mematuk mengerikan.

Agung Sedayu, Glagah Putih, Panglima pasukan berkuda dan mereka yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Kiai Sasak sendiri tentu tidak mau dicampuri persoalannya, sebagaimana sikap dan harga dirinya. Sehingga karena itu, maka yang lain pun hanya dapat menunggui pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit itu.

Sebagaimana lawannya, maka ternyata Kiai Sasak mampu mengimbangi gerak serta ketangkasannya. Meskipun Kiai Sasak nampak lebih tua, tetapi tenaga dan kemampuannya sama sekali tidak meragukan.

Sekali-sekali kedua senjata yang jarang ada bandingnya itu telah berbenturan. Bunga api telah bertaburan melontarkan warna-warna kemerah-merahan dan kehijau-hijaukan.

Kedua orang yang sedang bertempur itu sadar, bahwa kedua senjata itu tentu dimandikan dan diusap dengan warangan yang berbisa tajam, sehingga setiap getaran akan dapat membunuh, jika tidak dengan cepat mendapat pengobatan yang mujarab.

Karena itu, maka keduanya menjadi sangat berhati-hati. Mereka berusaha agar ujung-ujung senjata tidak menyentuh kulit mereka.

Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin seru. Namun kadang-kadang pertempuran itu menjadi lamban oleh sikap hati-hati mereka.

Tetapi gejolak di dalam dada kedua orang itu kadang-kadang telah mendorong mereka untuk mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu mereka, sehingga keduanya bergerak semakin cepat. Namun bila perhitungan mereka mulai ikut berbicara, maka mereka menjadi lebih berhati-hati.

Agung Sedayu, Glagah Putih dan orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Istri dan anak perempuan Kiai Sasak itu pun menjadi gelisah pula menyaksikan pertempuran yang kadang-kadang membingungkan mereka.

Ketika pertempuran itu berlangsung lebih lama lagi, maka Agung Sedayu dan mereka yang berilmu di halaman itu, segera mengetahui bahwa keduanya memang memiliki tataran yang seimbang. Namun bahwa Kiai Sasak masih mempunyai tenaga yang utuh, ternyata mempunyai pengaruh juga. Lawannya yang sebelumnya telah memeras tenaga, kemampuan dan ilmunya melawan Agung Sedayu, agaknya mulai menyadari, bahwa tenaganya justru mulai susut pada saat Kiai Sasak mulai berkeringat.

Karena itu, maka lawan Kiai Sasak itu harus membuat perhitungan yang mapan untuk mengatasinya.

Namun sebelum orang itu menemukan cara yang terbaik, agaknya Kiai Sasak telah melihat keadaan itu. Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka terasa bahwa tenaga lawannya mulai berkurang meskipun sangat perlahan-lahan.

Dalam keadaan yang demikian, maka Kiai Sasak justru mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ia telah membuat perhitungan sebaik-baiknya atas lawannya. Bagi Kiai Sasak ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh. Ia justru berusaha membuat pertempuran itu menjadi semakin lama dengan loncatan-loncatan panjang, sehingga pada saatnya lawannya itu benar-benar kehabisan tenaga, atau justru ia harus mengerahkan segenap kemampuannya, untuk dengan cepat menguras tenaga lawannya.

Mula-mula Kiai Sasak memang menempuh pilihan yang pertama. Ia berusaha memaksa lawannya untuk bertempur dengan gerak yang lebih lamban tetapi mempergunakan arena yang lebih luas. Namun lawannya bukannya orang yang tidak mampu berpikir dan menilai rencananya. Lawannya sama sekali tidak berpengaruh oleh geraknya yang panjang dan loncatan-loncatannya yang jauh.

Karena itu, maka lawan Kiai Sasak itu berusaha untuk tidak terseret ke dalam pertempuran pada jarak yang luas. Ia tidak dengan serta merta memburu lawannya jika lawannya meloncat menjauh. Tetapi ia justru bagaikan lebih mantap tegak di atas bumi yang diinjaknya. Hanya sekali-sekali saja ia bergerak berputar jika Kiai Sasak berloncatan mengelilinginya.

Kiai Sasak akhirnya menyadari bahwa lawannya justru mulai mengekang diri. Karena itu, maka ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus memaksa lawannya untuk bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan serta tenaga yang ada. Ia harus memeras sisa-sisa tenaga yang ada pada lawannya itu, sehingga ia benar-benar menjadi kelelahan.

Demikianlah, maka irama pertempuran itu pun tiba-tiba telah berubah. Kiai Sasak telah bertempur pada jarak yang lebih pendek. Namun ia telah mengerahkan segenap kemampuan ilmunya untuk memeras tenaga lawannya yang masih ada.

Lawannya mengumpat kasar. Namun pedangnya yang berwarna bara itu berputar lebih cepat. Bayangan helai-helai dalam pedang itu bagaikan telah menebar melingkari tubuhnya, bagaikan perisai yang melindunginya.

Tetapi keris Kiai Sasak yang kadang-kadang berkilat menyilaukan itu sekali-sekali menembus pertahanan lawannya, sehingga setiap kali hampir saja kulit lawannya itu tergores. Meskipun goresan itu hanya seujung rambut, namun goresan itu akan dapat membunuhnya, sebagaimana goresan pedangnya.

Namun ternyata bahwa Kiai Sasak mulai melihat hasil dari usahanya itu. Lawannya menjadi semakin letih, meskipun ia sendiri mulai menjadi cemas, bahwa kekuatan tenaganya pun akan segera menurun setelah memeras kemampuannya hampir melampaui takaran kemampuan wadagnya.

Agung Sedayu, Glagah Putih dan para prajurit Mataram menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Sementara itu beberapa orang yang lain telah menyelesaikan tugas mereka. Mengatur para tawanan dan mengumpulkan korban yang telah jatuh.

Ternyata bahwa pertempuran yang terjadi di rumah Kiai Sasak itu telah menggemparkan seluruh kota. Berita itu dengan cepat menjalar sehingga semua orang di kota Mataram telah mendengarnya. Sebagian dari penduduk di padukuhan-padukuhan di dalam kota Mataram menjadi cemas. Mereka telah bersiap-siap mengumpulkan barang-barang mereka yang berharga, sehingga jika setiap saat mereka memang harus pergi mengungsi, maka barang-barang mereka yang berharga akan dapat mereka bawa.

Tetapi sebagian yang lain, justru berusaha untuk mendapatkan keterangan lebih jauh. Bahkan ada di antara mereka yang telah mencoba untuk melihat-lihat apa yang telah terjadi.

Namun dalam pada itu, jalan-jalan yang menuju ke arena pertempuran itu telah ditutup. Sekelompok pasukan memang telah mendapat perintah secara khusus pula untuk menjaga jalan-jalan dan bahkan ketenangan kota Mataram, sedangkan di barak-barak, para prajurit yang lain berada dalam kesiagaan tertinggi.

Panembahan Senapati bersama Ki Mandaraka tidak henti-hentinya menerima laporan tentang perkembangan keadaan. Bahkan keadaan yang terakhir pun telah diketahui pula oleh keduanya. Seorang penghubung telah melaporkan bahwa Kiai Sasak telah mengambil alih lawan Agung Sedayu. Namun sementara itu, pertempuran di rumah Kiai Sasak itu telah dianggap selesai.

“Kenapa Agung Sedayu melepaskan lawannya?” bertanya Panembahan Senapati.

“Kiai Sasak tidak lagi dapat dicegah. Ia merasa bahwa orang itu memang disiapkan untuk menjadi lawannya,” jawab penghubung itu.

“Apakah Agung Sedayu memang sudah mencoba mencegahnya?” bertanya Panembahan Senapati.

“Ampun Panembahan. Hamba melihat bagaimana Agung Sedayu berusaha untuk meyakinkan Kiai Sasak, bahwa ia bertugas untuk menangkap orang itu,” jawab penghubung itu.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Kembalilah. Sampaikan perintahku. Agung Sedayu harus berusaha menangkap orang itu hidup-hidup. Aku tidak mau orang itu terbunuh dalam pertempuran. Jika ia bertempur melawan Kiai Sasak, menilik laporanmu, maka salah seorang di antara keduanya, atau bahkan kedua-duanya, dapat mati. Jika senjata mereka menggores lawan yang mungkin kedua-duanya, maka mereka akan mati semuanya. Padahal aku berkepentingan dengan kedua-duanya.”

“Bagaimana jika Kiai Sasak berkeberatan?” bertanya penghubung itu.

“Katakan, perintah Panembahan Senapati,” jawab Panembahan Senapati itu. “Aku ingin mempertemukannya dengan Singaluwih.”

Penghubung itu pun kemudian mohon diri untuk kembali ke rumah Kiai Sasak. Kudanya dipacu secepat mungkin. Jika pertempuran itu telah berakhir, maka perintah itu tentu tidak akan dapat dilaksanakannya.

Ketika kuda itu sampai di depan regol halaman rumah Kiai Sasak yang masih dijaga oleh prajurit Mataram, penghubung itu meloncat turun. Dengan tergesa-gesa ia berlari memasuki regol.

Namun langkahnya tertegun. Demikian ia berada di halaman, maka yang dilihatnya adalah bagian terakhir dari pertempuran itu. Ia masih melihat lawan Kiai Sasak itu meloncat menikam. Namun Kiai Sasak sempat bergeser ke samping. Demikian pedang lawannya itu bergetar di sebelah lambungnya, maka Kiai Sasak telah mengayunkan kerisnya mendatar. Lawannya memang menangkis serangan itu, sehingga terjadi benturan yang keras. Namun keris itu bagaikan menggeliat berputar dan terayun cepat.

Lawan Kiai Sasak meloncat menghindar. Namun ternyata bahwa karena tenaganya yang telah susut, maka gerakannya pun menjadi lebih lamban. Ujung keris Kiai Sasak lebih cepat mendahului loncatannya.

Karena itu, maka ujung keris Kiai Sasak itu masih juga menggores lambungnya. Mengoyak pakaiannya, namun juga kulitnya.

Lawan Kiai Sasak itu kemudian meloncat mengambil jarak. Wajahnya menjadi merah oleh kemerahan yang menghentak-hentak.

Ketika penghubung itu mendekat, semuanya itu telah terjadi. Kulit lawan Kiai Sasak telah tergores keris yang dilapisi dengan warangan yang sangat kuat.

Kiai Sasak pun kemudian berdiri termangu-mangu. Dipandanginya lawannya yang menyadari apa yang telah terjadi atas dirinya. Namun dengan demikian Kiai Sasakpun menjadi lebih berhati-hati. Dalam keadaan putus asa, maka lawannya itu akan dapat berbuat apa saja di luar dugaan.

Ternyata bukan hanya Kiai Sasak yang menjadi lebih berhati-hati. Mereka yang berada di seputar arena itu pun telah bersiaga sepenuhnya. Mungkin mereka harus berbuat sesuatu menghadapi orang yang menyadari akan datangnya kematian, justru dalam keadaan yang sangat marah.

Sebenarnyalah, sebagaimana diduga oleh Kiai Sasak, orang itu pun tiba-tiba saja menggeram dan berkata lantang, “Gila! Kau sudah melukai aku Sasak. Aku akan mati. Tetapi aku tidak mau mati sendiri.”

Demikian mulutnya terkatub rapat, maka iapun segera meloncat menyerang. Pedangnya terayun-ayun mengerikan. Bahkan mulutnya pun ikut pula berteriak-teriak.

Kiai Sasak menjadi lebih banyak bertahan. Ia harus menjaga dirinya untuk tidak mati bersama. Seperti kerisnya, maka pedang lawannya itu pun beracun tajam.

Namun karena tenaga lawannya telah jauh surut, maka Kiai Sasak tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Serangan-serangan lawannya semakin lama menjadi semakin lemah.

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “kau terluka. Dan lukamu bukan sekedar luka senjata. Tetapi kau telah terkena racun. Karena itu, jangan terlalu banyak memaksa diri untuk bergerak, agar racun di dalam dirimu tidak cepat menjalar. Biarlah kita mencoba untuk mengobatinya.”

Tetapi tanggapan orang itu sangat mengejutkan. Ia sama sekali tidak mau mendengar kata-kata Agung Sedayu itu. Apalagi mencoba melakukannya. Bahkan tiba-tiba saja ia telah mengalihkan serangannya yang garang, dilambari dengan segenap sisa tenaganya, kepada Agung Sedayu. Pedangnya terayun dengan derasnya mengarah ke leher. Jika sasarannya lengah dan wadag sewantah, maka ayunan pedang itu benar-benar akan dapat melepaskan kepala Agung Sedayu itu dari tubuhnya.

Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak lengah meskipun ia agak terkejar karena ia sama sekali tidak menduga serangan berikutnya memang ditujukan kepadanya.

Dengan pisau belati yang masih ada di tangannya Agung Sedayu memang menangkis serangan itu. Tetapi setelah benturan yang keras terjadi, orang itu telah mendapatkan segenap tenaganya kembali oleh dorongan kemarahan yang meluap di dadanya.

Sekali lagi Agung Sedayu terkejut. Orang yang kelelahan itu ternyata masih mampu membuat gerakan yang demikian cepatnya, yang seakan-akan tidak dapat diikuti oleh pandangan mata wadag.

Agung Sedayu tidak menangkis serangan itu. Tetapi ia telah bergerak setapak mundur.

Namun orang itu seakan-akan telah memperhitungkannya. Ia justru mendesak maju selangkah. Pedangnya yang bagaikan menggeliat itu tiba-tiba telah mematuk dada Agung Sedayu.

Agaknya orang itu telah bergerak dengan dorongan nalurinya sebagai seorang yang mempunyai ilmu pedang yang tinggi. Meskipun ia tidak sempat lagi mempergunakan nalarnya dengan bening, namun dalam keadaan yang gawat, nalurinya-lah yang bekerja dengan cepat dan justru menentukan.

Pedang itu memang bagaikan memburu. Agung Sedayu terpaksa bergeser sekali lagi ke samping. Namun ia memang agak terlambat. Ujung pedang itu telah mencabik bajunya dan menggores kulitnya.

Orang yang menyerangnya itu tiba-tiba meloncat menjauh. Semua itu terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Pada saat Kiai Sasak mengambil keputusan untuk mengambil alih sekali lagi pertempuran itu, orang itu telah tertawa kepanjangan.

“Aku tidak akan mati sendiri. Kau orang yang telah mengacaukan semua rencanaku di sini, akan mati juga bersamaku.” Orang itu berhenti sebentar, lalu, “Kulitmu telah tersentuh ujung pedangku. Nah, marilah. Kita bersama-sama mati.”

Agung Sedayu meraba bajunya yang koyak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Apakah kita tidak akan berusaha untuk mengobatinya Ki Sanak?”

“Tidak ada gunanya. Tidak ada obat yang dapat menghentikan racun warangan di pedangku. Agaknya juga di keris Kiai Sasak jahanam itu. Sebenarnya aku ingin membunuhnya. Tetapi tubuhku terasa menjadi lemah. Karena itu, marilah, kita mati bersama-sama,” berkata orang itu.

Agung Sedayu ternyata tidak membantah. Iapun kemudian telah berlutut mendahului orang yang telah menggoreskan pedangnya.

Panglima pasukan berkuda terkejut melihat sikap Agung Sedayu. Juga Kiai Sasak. Namun Glagah Putih sempat memberikan isyarat, agar mereka tidak mencampurinya.

Orang-orang di seputar arena itu menjadi tegang. Ketika mereka melihat lawan Agung Sedayu itu juga berlutut, mereka menjadi semakin berdebar-debar.

Namun orang itu memang tidak dapat berbuat lain. Sebenarnya niatnya membunuh Kiai Sasak tidak mereda di dalam jantungnya. Tetapi racun yang ada di dalam dirinya telah merambat lewat urat darahnya. Semakin banyak ia bergerak, maka racun itu menjadi semakin cepat bekerja. Sehingga dengan demikian maka tubuh orang itu telah menjadi gemetar.

Tetapi orang itu masih juga menggeram, “Jika aku boleh memilih, maka untuk kawan ke neraka, aku memilih Sasak. Tetapi jika itu gagal, maka kau pun cukup memadai. Agaknya kau-lah yang telah mengacaukan semua tugas yang kami lakukan di sini. Agaknya kau pula-lah yang telah berusaha membebaskan istri dan anak Sasak yang gila itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebagai murid Kiai Gringsing yang memiliki pengetahuan tentang pengobatan, maka serba sedikit Agung Sedayu pun mulai mempelajarinya. Apalagi pengetahuan tentang pengobatan itu terdapat pula di kitab Kiai Gringsing yang pernah dibacanya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja iapun berkata, “Ki Sanak. Marilah. Kita mencoba mengobati racun yang ada di dalam diri kita.”

“Tidak ada gunanya,” geram orang itu.

“Kita belum mencoba,” berkata Agung Sedayu. Orang itu termangu-mangu ketika Agung Sedayu mengambil obat dari sebuah bumbung kecil di kantung ikat pinggangnya. Diambilnya sebutir reramuan obat pemunah racun.

“Makanlah,” berkata Agung Sedayu.

“Tidak ada gunanya,” orang itu membantah.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun telah berpura-pura menelan obat itu. Semua orang mengira bahwa Agung Sedayu telah melontarkan sebutir reramuan obat itu ke dalam mulutnya.

“Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu, “ambil air.”

Glagah Putih tidak menjawab. Iapun kemudian berlari ke sumur di samping rumah itu. Namun ternyata Glagah Putih masih harus mencari dapur rumah itu untuk mendapatkan sebuah mangkuk.

Sambil menunggu Glagah Putih, Agung Sedayu berkata kepada orang yang terluka itu, “Makanlah. Mudah-mudahan obat ini ada artinya. Kecuali itu jangan bergerak. Pusatkan daya tahan yang ada dalam dirimu untuk menahan arus bisa itu ke seluruh tubuhmu. Jika bisa itu mencapai jantung, maka jantungmu memang akan berhenti berdenyut.”

Orang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu pun telah bangkit berdiri. Katanya, “Kau lihat, racun itu tidak lagi merambat semakin dalam di tubuhku. Bahkan terasa racun itu terdorong kembali ke luka di kulitku.”

Apalagi ketika kemudian Agung Sedayu itu minum seteguk. Katanya, “Tubuhku menjadi segar. Aku akan sembuh.”

Orang itu masih tetap termangu-mangu. Namun dengan hati-hati Agung Sedayu melangkah mendekat sambil mengulurkan sebutir obat. Perhatiannya tidak luput dari pedang yang terletak di tanah, namun yang hulunya masih tetap dalam genggaman tangan yang menjadi semakin lemah itu.

“Telanlah obat ini. Kemudian minumlah,” minta Agung Sedayu yang sudah kelihatan menjadi segar. Orang itu ragu-ragu. Dipandanginya Agung Sedayu dan Kiai Sasak berganti-ganti. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah kau yakin bahwa akupun akan sembuh?”

“Jangan membuang waktu. Sebelum racun itu mencapai jantungmu,” berkata Agung Sedayu.

Dalam pada itu, penghubung yang mendapat perintah dari Panembahan Senapati pun menjadi berdebar-debar. Ia mengharap agar orang itu mau menelan obat sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu. Jika orang itu sembuh dari cengkaman racun di dalam tubuhnya, maka perintah Panembahan Senapati itu dapat diwujudkannya.

Namun orang itu tiba-tiba saja menggeram, “Berikan penangkal racun itu. Jika aku sembuh, akan aku bunuh Sasak.”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Kiai Sasak juga akan mempunyai obat seperti ini. Jadi tidak ada gunanya kalian saling membunuh. Kita dapat menyelesaikan semua persoalan tanpa saling membunuh.”

Namun orang itu justru menjadi,ragu-ragu. Selagi orang itu ragu-ragu, maka penghubung itu telah mendesak maju menyibak beberapa orang yang mengelilingi orang yang menjadi semakin lemah itu. Dengan gagap ia berkata, “Agung Sedayu. Biarlah orang itu menelan obat itu. Usahakan agar ia dapat mengatasi racun di dalam tubuhnya. Panembahan Senapati memerintahkan agar orang itu dapat ditangkap hidup-hidup.”

Agung Sedayu terkejut mendengarnya. Ia justru menjadi sangat cemas.

Namun Agung Sedayu terlambat mengambil langkah. Orang yang sudah menjadi semakin lemah itu tiba-tiba berteriak, “Aku tidak mau ditangkap Panembahan Senapati hidup-hidup! Aku tidak mau disembuhkan hanya untuk diperas sampai darahku kering, dan akhirnya aku akan digantung juga di alun-alun. Jika perintah Panembahan Senapati itu menangkap aku hidup-hidup, maka aku sekarang akan mati.”

“Ki Sanak,” panggil Agung Sedayu, “dengarkan aku.”

Orang itu tidak menghiraukan lagi. Tetapi iapun kemudian menundukkan kepalanya dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Agung Sedayu tidak dapat berbuat sesuatu. Ternyata orang itu telah mengerahkan sisa tenaganya untuk meremas gumpalan-gumpalan tanah yang dicakupnya dengan jari-jarinya yang lemah. Dengan demikian maka racun di dalam tubuhnya itu pun memang bekerja lebih cepat, di saat-saat ia menghentakkan jari-jarinya. Jantungnya berdegup keras. Namun kemudian menjadi semakin lama semakin lemah, sehingga akhirnya orang itu tidak dapat lagi bertahan untuk tetap duduk bersimpuh di tanah.

Ketika perlahan-lahan orang itu terjatuh, Agung Sedayu cepat menangkapnya dan menahannya untuk tetap duduk.

“Cepat, telan obat ini,” berkata Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu sendiri sudah mulai ragu-ragu, apakah obatnya akan dapat mencegah kematian orang itu. Mungkin obat itu sudah jauh terlambat. Namun agaknya Agung Sedayu masih akan mencobanya.

Tetapi orang itu menggeleng. Tubuhnya yang sangat lemah itu pun sama sekali tidak lagi mampu menahan kepalanya, sehingga kepalanya pun kemudian terkulai di tangan Agung Sedayu.

“Aku tidak mau jatuh ke tangan orang-orang Mataram dalam keadaan hidup,” desisnya.

Memang tidak akan ada orang yang dapat memaksanya untuk bertahan. Orang itu sendiri sudah dengan sengaja menjelang kematiannya.

Namun Panglima pasukan berkuda itu pun telah berdesis di telinga penghubung yang mendapat pesan dari Panembahan Senapati, “Kau agak tergesa-gesa. Ia sudah hampir mau menerima obat dari Agung Sedayu.”

“Maaf,” berkata orang itu, “aku memang menjadi agak bingung. Aku tidak tahu, yang manakah yang baik aku lakukan.”

Panglima itu hanya dapat menarik nafas dalam dalam. Namun orang itu pun akhirnya benar-benar telah meninggal. Pedangnya yang memiliki kelebihan dari pedang kebanyakan itu tergolek di sisinya.

Kiai Sasak berdiri termangu-mangu. Kerisnya masih berada dalam genggaman. Ia melihat kematian orang yang terkena bisa kerisnya itu dengan jantung yang berdebar-debar.

Agung Sedayu yang kemudian meletakkan orang itu, telah bangkit berdiri sambil berdesis, “Ia telah meninggal.”

“Ya,” desis Kiai Sasak.

“Jika ia mau menelan obat sebagaimana aku lakukan, maka masih ada kemungkinan baginya untuk tetap hidup. Namun segala sesuatunya memang berada di tangan Yang Maha Agung,” gumam Agung Sedayu kemudian.

Tetapi Kiai Sasak itu menggeleng. Katanya, “Ki Sanak tidak menelan reramuan obat itu. Seandainya Ki Sanak menelannya, obat itu tidak berarti apa-apa bagi Ki Sanak.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun bertanya, “Kenapa?”

“Ki Sanak tidak terluka oleh pedang pusaka yang nggegirisi itu. Ki Sanak tentu mempunyai ilmu kebal,” berkata Kiai Sasak.

Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu, Kiai Sasak pun berkata, “Anak dan istriku sudah mengatakan kepadaku, siapakah yang telah membebaskan mereka dari tangan orang-orang yang ingin memaksakan kehendaknya atasku itu. Untuk itu, aku hanya dapat mengucapkan terima kasih.”

Tetapi Agung Sedayu kemudian berpaling kepada Panglima pasukan berkuda itu sambil berkata, “Panglima inilah yang memimpin seluruh gerakan pembebasan anak dan istri Kiai, di samping penangkapan orang-orang yang telah berada di rumah Kiai.”

Tetapi Panglima itu berdesah sambil berkata, “Aku hanya menjalankan tugas. Tetapi segala sesuatunya telah digerakkan oleh Agung Sedayu.”

Kiai Sasak tersenyum. Namun ia kemudian berpaling pula kepada Glagah Putih sambil berkata, “Kau masih terlalu muda untuk memiliki ilmu yang luar biasa itu.”

“Tidak ada yang berlebihan padaku Kiai,” jawab Glagah Putih, “semuanya masih sederhana.”

Kiai Sasak tersenyum Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih kepadamu, sebagaimana kepada Ki Sanak Agung Sedayu dan Panglima pasukan berkuda yang telah memimpin gerakan ini.”

“Tidak ada yang berarti yang aku lakukan,” jawab Glagah Putih.

Sementara itu, Panglima pasukan berkuda itu pun kemudian telah berkata kepada Agung Sedayu, “Panembahan Senapati sebenarnya menginginkan orang itu hidup-hidup. Tetapi di dalam pertempuran seperti ini, memang sulit untuk dapat melakukannya. Apa yang terjadi biarlah kita laporkan kepada Panembahan.”

“Kita akan menghadap,” berkata Agung Sedayu.

Panglima itu pun kemudian telah memanggil perwiranya yang tertinggi di antara prajurit dari pasukan berkuda itu untuk memimpin gerakan penyelesaian. Panglima itu akan bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih menghadap Panembahan Senapati untuk melaporkan keadaan terakhir dari tugas mereka.

Kepada Kiai Sasak Panglima itu berkata, “Kiai. Kami persilahkan Kiai beristirahat bersama anak dan istri Kiai, yang untuk beberapa lamanya dicengkam ketegangan. Aku minta ijin bagi beberapa orang prajurit yang masih akan sibuk di halaman rumah Kiai. Bahkan mungkin dalam dua tiga hari, Kiai masih perlu dikawani oleh beberapa orang prajurit, karena mungkin akan terjadi balas dendam atau usaha-usaha kekerasan yang lain.”

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Ternyata Mataram benar-benar berusaha melindungi rakyatnya sebaik-baiknya,” jawab Kiai Sasak.

“Nanti, atau besok, atau kapanpun, Kiai tentu dipanggil menghadap oleh Panembahan. Aku mohon Kiai dapat mengatakan semuanya dengan terbuka,” berkata Panglima itu.

“Aku akan melakukannya,” jawab Kiai Sasak, “aku mempunyai tanggung jawab untuk memberikan penjelasan tentang semua persoalan yang sudah aku ketahui. Bukan saja yang terjadi di sini, tetapi apa yang aku dengar dari orang-orang yang datang ke rumahku.”

“Baiklah. Kami akan segera mohon diri,” berkata Panglima itu.

Istri dan anak perempuan Kiai Sasak pun sempat juga menyatakan terima kasih mereka kepada orang-orang yang telah menolongnya, membebaskannya dari tangan tangan orang yang ingin memeras Kiai Sasak untuk kepentingan mereka.

Sepeninggal Panglima pasukan berkuda, Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka prajaurit Mataram yang tinggal di rumah Kiai Sasak telah menyelesaikan sisa-sisa tugas mereka. Mengurus tawanan dan mengumpulkan korban yang terluka dan terbunuh. Bahkan kemudian mengatur tugas bagi para prajurit yang untuk sementara masih akan ditempatkan di rumah itu.

Dari beberapa orang prajurit yang tinggal itulah, Kiai Sasak telah mendengar semakin banyak tentang Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Jadi mereka bukan prajurit Mataram?” bertanya Kiai Sasak.

Seorang perwira yang mengenal Agung Sedayu dan Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Keduanya adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Agung Sedayu dikenal oleh Panembahan Senapati sejak mudanya. Sejak Panembahan Senapati masih sering mengembara. Agung Sedayu adalah sahabat Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa. Sedangkan Glagah Putih adalah kawan dekat, dan bahkan sudah bagaikan saudara sendiri, dari Raden Rangga, putra Panembahan Senapati yang baru-baru saja gugur.”

“Aku memang mendengar serba sedikit tentang Raden Rangga,” berkata Kiai Sasak. Namun kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berdesis, “Luar biasa. Istri dan anakku tidak tahu, apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh mereka berdua di saat-saat mereka memasuki dan membebaskan anak dan istriku itu. Padahal di dalam rumah itu, beberapa orang yang menjaganya dengan golok terhunus telah mengancam untuk membunuh. Agaknya orang-orang itu tidak bermain-main. Namun tanpa diketahui bagaimana terjadinya, maka orang-orang itu telah terlempar jatuh.”

“Mereka memang mempunyai ilmu yang tinggi,” berkata perwira itu.

“Apakah Agung Sedayu mempunyai ilmu kebal?” bertanya Kiai Sasak, “Pedang yang nggegirisi itu tidak mampu mengoyak kulitnya. Hanya pakaiannya.”

“Menurut pendengaranku, ia memang mempunyai ilmu kebal,” jawab perwira itu. Lalu, “Tetapi entahlah apakah Glagah Putih juga memiliki ilmu itu.”

“Bagaimanapun juga kedua orang itu benar-benar orang yang mengagumkan,” berkata Kiai Sasak. Lalu katanya dengan nada rendah, “Tetapi aku lupa memberikan pesan kepada mereka, agar mereka menjadi lebih berhati-hati. Aku mengira keduanya adalah perwira-perwira pasukan sandi. Namun jika bukan, maka mereka akan dapat menjadi sasaran kemarahan orang-orang dari beberapa perguruan di sekitar Madiun yang telah dihimpun dalam pengaruh orang-orang yang dengan sengaja ingin memancing di air keruh, jika perbedaan pendapat antara Madiun dan Mataram menjadi semakin besar, dan bahkan apabila timbul benturan kekuatan.”

“Kenapa? Apakah bedanya jika keduanya petugas sandi dan jika bukan?” bertanya perwira itu.

“Jika keduanya dari pasukan sandi, maka mereka berada di dalam lingkungan satu kekuatan tertentu, sehingga mereka akan lebih terlindung dari ancaman-ancaman orang yang mendendamnya.”

“Tetapi di Tanah Perdikan Menoreh terdapat juga pasukan pengawal yang kuat. Bahkan di sana ada barak pasukan khusus Mataram yang memang ditempatkan di Tanah Perdikan itu. Agung Sedayu pada mulanya adalah juga salah seorang pelatih pada pasukan khusus itu,” jawab perwira itu.

Kiai Sasak mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia berdesis, “Menurut penilikanku dan pengenalanku, ada tiga perguruan yang terlibat. Perguruan yang terpenting adalah perguruan Tandes. Perguruan yang disebut sebagaimana nama pemimpin tertingginya, Kiai Tandes. Orang yang telah terbunuh oleh kerisku itu menilik tata gerak dan ungkapan ilmunya adalah orang dari perguruan Tandes itu.”

Perwira itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Jika demikian, maka Kiai pun terancam oleh perguruan itu.”

“Mungkin. Tetapi di tempat ini akan ditinggalkan beberapa orang prajurit Mataram untuk beberapa saat. Sementara itu, aku dapat mengatur keselamatan keluargaku sendiri tanpa membebani tugas pada para prajurit Mataram,” berkata Kiai Sasak.

“Jangan risaukan prajurit. Itu memang tugas mereka,” berkata perwira itu.

Kiai Sasak mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, “Aku berpesan bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih, agar mereka menjadi semakin berhati-hati. Apa yang terjadi di sini bukan merupakan sepotong peristiwa yang berdiri sendiri.”

“Baiklah,” jawab perwira itu, “aku akan menemui mereka. Aku kira mereka masih akan berada di Mataram, setidak-tidaknya sampai besok.”

Kiai Sasak mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian minta diri kepada perwira itu untuk masuk ke ruang dalam, menemui keluarga kecilnya yang masih ketakutan. Beberapa orang pembantu rumahnya yang ketakutan pula telah dipanggilnya pula. Untuk beberapa lama para pembantu di rumah itu telah dikurung oleh orang-orang yang telah berada di rumah Kiai Sasak it,u sehingga mereka tidak dapat berhubungan dengan siapapun juga. Bahkan mereka yang harus masak sekalipun selalu diawasi agar tidak keluar dari halaman rumah itu.

Ternyata perwira itu memperhatikan pesan Kiai Sasak dengan sungguh-sungguh. Iapun telah memikirkan kemungkinan balas dendam bagi Agung Sedayu, Glagah Putih dan Kiai Sasak sendiri.

Sebenarnyalah peristiwa itu dengan cepat telah didengar oleh para petugas sandi Madiun yang ada di Mataram. Dengan demikian maka hal itu pun dengan cepat pula telah terdengar oleh beberapa perguruan yang telah terlibat pada tugas-tugas khusus. Karena sebenarnyalah mereka telah bergerak justru mendahului gerak prajurit Madiun itu sendiri. Karena itu, maka setiap persoalan yang timbul sebenarnyalah bukan tanggung jawab Panembahan Madiun, yang menganggap Panembahan Senapati sebagai kemenakannya sendiri.

Tetapi satu hal yang membuat hubungan antara Mataram dan Madiun semakin lama menjadi semakin putus, justru karena laporan tentang hal itu tidak pernah sampai kepada Panembahan Madiun. Jika laporan itu memanjat ke atas, maka akhirnya tentu terpotong sebelum sempat ke puncak pimpinan di Kadipaten Madiun.

Karena itu, maka bagi Panembahan Madiun merasa bahwa tidak ada persoalan yang sungguh-sungguh yang berkembang antara Mataram dan Madiun. Memang ada beberapa perbedaan sikap setelah pimpinan pemerintahan berpindah dari Pajang ke Mataram. Namun bagaimanapun juga, Panembahan Senapati yang sudah diangkat menjadi anak Sultan Hadiwijaya itu rasa-rasanya sudah sebagai kemnakannya sendiri, seperti juga Pangeran Benawa.

Demikianlah, maka Panglima pasukan berkuda, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menghadap Panembahan Senapati. Panembahan Senapati sebenarnya sudah mendengar semua laporan yang disampaikan oleh para penghubung, karena Panembahan Senapati mengikuti dengan cermat setiap perkembangan keadaan.

Namun demikian, ia memang ingin mendengar laporan langsung dari orang-orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas itu.

Agung Sedayu pun kemudian telah melaporkan pembebasan anak dan istri Kiai Sasak. Iapun telah melaporkan pula akhir dari seluruh benturan kekerasan yang terjadi di rumah Kiai Sasak. Sementara itu Panglima pasukan berkuda itu pun telah melaporkan keadaan pasukannya. Gerak pasukannya sejak mereka mengepung rumah Kiai Sasak, serta beberapa orang yang bersama-sama Agung Sedayu membebaskan anak dan istri Kiai Sasak, sampai pada akhir dari peristiwa itu. Bahkan Panglima itu pun berkata, “Sekarang, beberapa orang masih berada di rumah Kiai Sasak. Mereka masih menyelesaikan persoalan yang timbul karena peristiwa ini. Tawanan dan menguburkan para korban. Membawa para prajurit yang terluka kembali ke barak untuk mendapatkan pengobatan, dan membagi tugas bagi mereka yang mengawasi rumah Kiai Sasak untuk beberapa lama, karena kemungkinan balas dendam masih ada.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun iapun masih bertanya, “Apakah pemimpin sekelompok orang yang menduduki rumah Kiai Sasak itu tidak ditolong sama sekali?”

“Ampun Panembahan,” Agung Sedayu-lah yang menjelaskan, “hamba telah berusaha untuk menawarkan pemunah bisa dari warangan keris Kiai Sasak yang mengenainya. Tetapi orang itu sama sekali tidak bersedia. Orang itu benar-benar telah memilih mati, sehingga tidak ada usaha yang dapat menyelamatkannya.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Jika demikian, yang terjadi memang di luar kemampuan yang mungkin kalian lakukan. Namun sebenarnya orang itu akan dapat menjadi sumber keterangan bagi kita untuk menelusuri persoalan yang sedang kita hadapi ini.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar