Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 223

Buku 223

Demikianlah, maka serangan yang satu telah disusul dengan serangan berikutnya. Bahkan kadang-kadang datang beruntun dengan cepatnya.

Glagah Putih berloncatan menghindari setiap serangan. Namun pada satu saat ia memang tidak dapat menghindar lagi. Serangan itu menyusul demikian cepatnya, sekejap setelah ia menghindari serangan sebelumnya. Karena itu, maka Glagah Putih harus menangkis serangan lawannya yang tubuhnya menjadi panas bagaikan bara. Terutama di telapak tangannya.

Demikianlah, sejenak kemudian telah terjadi benturan yang keras. Lawan Glagah Putih itu bersorak di dalam hati, bahwa pada satu saat ternyata anak yang masih terlalu muda itu tanpa mengetahui bahayanya, telah menangkis serangan telapak tangannya.

Serangan itu sendiri memang cukup kuat. Tetapi itu tidak penting bagi lawan Glagah Putih. Ia hanya memerlukan sentuhan. Apakah serangannya mengenai lawannya, atau lawannya itu menangkis serangannya, atau bahkan justru lawannya itu yang menyerang dan mengenainya. Yang penting bagi lawan Glagah Putih itu, terjadi sentuhan wadag yang akan berarti membakar kulit daging lawan pada sentuhan itu.

Tetapi ketika benturan dengan Glagah Putih itu terjadi, maka orang yang disebut Ki Lurah itu ternyata telah terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak melihat Glagah Putih itu terlempar sambil berteriak kepanasan. Tubuhnya pun sama sekali tidak terluka sebagaimana tersentuh bara. Bahkan ketika tangan Ki Lurah itu mengenai tubuh Glagah Putih, terasa udara dingin mengalir menusuk ke dalam urat darahnya lewat sentuhan itu.

Orang yang menjadi pemimpin dari keempat orang itu meloncat mundur. Dengan dahi yang berkerut ia memperhatikan Glagah Putih yang masih tegak dan justru telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Anak iblis,“ geram orang itu, “kau tidak terbakar panas apiku?“

Glagah Putih berdiri tegak. Sambil tersenyum ia berkata, “Sebagaimana kau lihat Ki Sanak. Aku tidak merasa apa-apa.“

Orang itu mengumpat kasar. Yang terasa justru arus dingin merambat di dalam dirinya, seakan-akan justru menghisap kekuatan panasnya. Orang itu menggeram sambil menghentakkan ilmunya. Baru kemudian perlahan-lahan ia mampu melawan udara dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya itu, sehingga sejenak kemudian, urat-uratnya telah menggetarkan ilmunya kembali ke seluruh tubuhnya. Namun dengan demikian orang itu sempat mengurai peristiwa yang baru saja terjadi.

Ketajaman pengamatannya telah memperingatkannya, bahwa lawannya yang masih sangat muda itu mampu mengungkapkan kekuatan inti air yang dapat membuat udara bagaikan membeku kedinginan.

Orang itu memang menjadi heran. Lawannya itu masih sangat muda. Tetapi ternyata ia telah memiliki ilmu yang sangat dahsyat, yang jarang dimiliki oleh orang lain, bahkan mereka yang telah berpuluh-puluh tahun berguru. Tetapi orang itu tidak boleh mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Anak yang masih sangat muda itu benar-benar telah memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Bagaimanapun juga ia adalah seorang yang telah mengemban tugas yang dipikulnya di atas pundaknya. Ia adalah pemimpin dari sekelompok kecil orang-orang yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka apapun yang dihadapinya, maka ia harus sanggup mengatasinya.

Demikianlah, maka ketika ia merasa telah berhasil mengatasi udara dingin di dalam tubuhnya yang hampir membekukan darahnya yang semula bagaikan mendidih itu, iapun bersiap pula. Ia sadar, bahwa panas d idalam dirinya telah bertemu dengan lawan yang mempunyai tingkat setidak-tidaknya sama tinggi, bahkan mungkin selapis di atasnya. Karena itu, maka ia harus berhati-hati.

Sejenak kemudian, keduanya telah berhadap-hadapan lagi. Ketika sekilas pemimpin dari sekelompok kecil petugas yang datang dari Bang Wetan itu sempat melihat kedua orang kawannya yang bertempur melawan Agung Sedayu dan Sabungsari, hatinya memang menjadi semakin kecut.

Tiba-tiba saja ia berteriak kepada kawannya yang agak gemuk itu, “He, apa yang kau lakukan di situ? Kenapa kau tidak ikut melibatkan diri? Atau aku harus mencekikmu sampai mati?“

Orang bertubuh agak gemuk itu terkejut. Dengan serta merta iapun telah bersiap. Tetapi ia tidak segera tahu apa yang akan dilakukannya.

Sebenarnyalah, bahwa kedua orang yang harus bertempur melawan Agung Sedayu dan Sabungsari itu pun tidak banyak mendapat kesempatan. Bahkan semakin lama mereka menjadi semakin terdesak betapapun mereka mengerahkan kekuatan dan kemampuan mereka. Baik Agung Sedayu maupun Sabungsari tidak terlalu banyak mengalami kesulitan untuk mendesak kedua orang lawan mereka itu. Ketika Sabungsari melihat Agung Sedayu agaknya tidak tergesa-gesa menyelesaikan lawannya, maka Sabungsari pun telah memperpanjang pertempuran. Ia mengerti, bahwa Agung Sedayu membiarkan lawannya berhenti dengan sendirinya karena kehabisan tenaga.

Berbeda dengan Glagah Putih yang harus bertempur dengan orang terbaik dari keempat orang itu.

Demikianlah, maka pemimpin dari orang-orang yang datang dari Timur itu dengan jantung berdebaran telah menghadapi lawannya yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Kebekuan dan mungkin kemampuan lain yang belum terungkapkan.

Sebenarnyalah Glagah Putih memang memiliki kemampuan yang sangat dahsyat. Ia tidak saja mampu mengungkapkan inti kekuatan air dalam kebekuan. Tetapi bergabung dengan kekuatan api, maka Glagah akan dapat menyemburkan udara yang mengandung uap yang panasnya melampaui air yang mendidih. Anak muda itu dapat menggabungkan kemampuannya menyadap kekuatan air dan api sekaligus, bahkan dengan kekuatan-kekuatan yang dapat disadapnya dari alam di sekelilingnya.

Tetapi Glagah Putih tidak ingin dengan sombong membinasakan lawannya. Ia masih berusaha untuk mengatasi lawannya dengan bagian-bagian dari kemampuannya. Bahkan ketika ia berhasil mendesak lawannya ke dinding batu padas ia berkata, “Menyerahlah. Kita akan dapat berbicara.“

Tetapi lawannya benar-benar sudah kehilangan nalar. Ia tidak lagi mau mendengar kata-kata Glagah Putih. Kecuali harga dirinya yang telah terinjak-injak oleh anak yang masih sangat muda itu, maka orang itu pun tidak mau dirinya akan menjadi tawanan yang dibawa ke Mataram untuk diperas keterangannya. Apalagi jika benar di Mataram memang terdapat Ki Lurah Singaluwih.

Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari orang itu selain bertempur sampai batas kemungkinan yang terakhir. Bahkan ia tidak lagi menghiraukan kawan-kawannya yang terdesak, dan tidak pula melihat seorang di antara kawannya yang agak gemuk itu masih saja berdiri termangu-mangu.

Sebenarnyalah orang yang agak gemuk itu tidak mengerti apa yang sedang disaksikannya. Ia merasa dengan mudah mampu menguasai anak muda itu dan membawanya kepada pemimpinnya karena ia segan membunuh anak yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba anak muda itu menjadi demikian perkasa, sehingga pemimpinnya sama sekali tidak berhasil mengalahkannya. Bahkan semakin lama orang yang dikaguminya itu menjadi semakin terdesak.

Dalam saat-saat terakhir itu, maka orang yang disebut Ki Lurah itu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Tanpa menghiraukan keadaan dirinya dan kemungkinan yang ada pada lawannya, maka ia telah menyerang Glagah Putih sejadi-jadinya.

Ketika kemudian benturan terjadi, orang itu masih merasakan arus udara yang beku bagaikan merambat di dalam dirinya. Namun ia masih juga berhasil menghentakkannya dengan panas api di dalam dirinya.

Demikianlah, maka pertempuran di antara keduanya menjadi semakin seru. Glagah Putih ternyata tidak mendapat kesempatan untuk bersikap agak lunak. Orang itu bagaikan telah kehilangan penalarannya, sehingga yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang keras.

Pada saat-saat yang demikian, memang sulit bagi Glagah Putih untuk menguasai tataran ilmunya. Karena itu, maka adalah di luar kemampuannya untuk mempergunakannya pada tataran yang tepat, sementara ia sendiri sedang berusaha untuk menilai kemampuannya.

Karena itulah, maka pada benturan-benturan yang semakin sering terjadi, maka tiba-tiba saja keadaan lawannya menjadi semakin parah. Ketika lawannya itu berusaha untuk mengerahkan sisa-sisa kemampuannya untuk menyerang, maka tiba-tiba orang itu pun telah kehilangan kekuatannya. Rasa-rasanya darahnya telah membeku sampai ke jantung.

Sejenak orang itu terhuyung-huyung. Ia masih berusaha untuk mengatasinya dengan kekuatan panas di dalam dirinya. Namun ternyata ilmu anak muda itu lebih kuat daripada ilmunya, sehingga sejenak kemudian, orang itu tidak lagi mampu bertahan untuk tegak.

Glagah Putih tertegun ketika melihat orang itu kemudian terjatuh. Bahkan untuk seterusnya tidak bergerak lagi. Orang yang agak gemuk yang semula melawan Glagah Putih itu pun kemudian berlari-larian mendekati pemimpinnya yang terkapar di tanah. Ketika ia meraba tubuh itu, maka tubuh itu telah benar-benar membeku. Tidak ada lagi tarikan nafasnya, dan sebenarnyalah orang itu telah meninggal.

Orang bertubuh gemuk itu berpaling ke arah Glagah Putih yang berdiri tegak. Dengan nada rendah Glagah Putih berkata, “Aku sudah berusaha memperingatkannya.“

Orang yang bertubuh agak gemuk itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau telah mengelabuhi aku. Kenapa kau tidak membunuhku saja?“

“Aku masih melihat kemungkinan yang lain padamu. Karena itu aku memang tidak berniat membunuhmu, sebagaimana kau merasa segan membunuhku, meskipun kau memang seorang yang mempunyai pengalaman yang luas dalam permusuhan seperti ini.“

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Glagah Putih sendiri kemudian termangu-mangu. Ia telah bertempur melawan seorang yang berilmu tinggi. Ternyata bahwa ia berhasil mengalahkannya. Baru kemudian Glagah Putih sempat menilai dirinya sendiri. Ternyata Glagah Putih pun telah mengerahkan kekuatannya pula untuk mengatasi panasnya api pada setiap sentuhan. Bukan saja lawannya yang harus menghentakkan ilmunya untuk mendesak udara beku yang seakan-akan merambat di dalam urat darahnya. Namun Glagah Putih pun harus mengerahkan kemampuan ilmunya untuk menguasai perasaan panas pada setiap sentuhan.

Karena itu, ketika lawannya sudah tidak berdaya lagi, maka baru terasa, bahwa tubuhnya memang merasa letih. Namun Glagah Putih sendiri masih juga merasa heran, bahwa keletihan itu sama sekali belum terasa mengganggu. Meskipun ia mengakui bahwa lawannya pun memiliki ilmu yang tinggi, namun ia telah berhasil mengalahkannya dengan tidak terlalu banyak mengalami kesulitan.

Namun Glagah Putih selalu ingat pesan yang pernah diterimanya dari beberapa orang yang pernah membimbingnya. Ia tidak boleh menjadi sombong dan kehilangan keseimbangan. Karena itu, maka ia memang tidak menganggap bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu sudah sampai pada satu tataran yang mantap. Mungkin lawannya yang sudah mendapat kepercayaan untuk datang ke Tanah Perdikan Menoreh dan mengamati keadaan pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan itu baru berada pada tataran pertama dari ilmunya yang tinggi itu.

“Jika aku bertemu dengan orang yang memiliki tataran yang lebih tinggi, mungkin aku harus bekerja jauh lebih keras dari apa yang telah terjadi,“ berkata Glagah Putih di dalam dirinya sendiri.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sabungsari memang tidak tergesa-gesa. Mereka tidak segera berusaha untuk mengalahkan lawan-lawan mereka, meskipun mereka mampu. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa Glagah Putih telah membunuh lawannya. Kedua orang itu menganggap perlu untuk menangkap lawannya hidup-hidup, meskipun seorang yang tubuhnya agak gemuk itu nampaknya sama sekali tidak ingin berusaha untuk melarikan diri. Tetapi semakin banyak orang yang dapat mereka tangkap hidup-hidup, maka mereka akan semakin banyak pula mendapat keterangan.

Glagah Putih yang kemudian memperhatikan pertempuran itu melihat betapa lawan-lawan Agung Sedayu dan Sabungsari telah menjadi keletihan. Namun Sabungsari dan Agung Sedayu masih juga membiarkan mereka melawan.

Sekali-sekali Sabungsari memang menyentuh tubuh lawannya untuk memancing perlawanan jika lawannya tidak lagi bertempur dengan segenap kekuatan dan kemampuannya. Dengan demikian maka lawannya harus mengerahkan tenaganya lagi untuk melindungi dirinya.

Dengan demikian maka baik Sabungsari maupun Agung Sedayu telah berhasil menguras tenaga lawan-lawan mereka. Semakin lama kedua orang pendatang itu semakin tidak berdaya. Bahkan pada saat-saat mereka menyerang namun tanpa mengenai sasaran, mereka justru telah terseret oleh tenaga mereka sendiri, sehingga mereka terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan.

Dalam keadaan yang demikian, maka baik Agung Sedayu maupun Sabungsari tinggal menyentuh saja tubuh lawan mereka masing-masing sehingga mereka terdorong dan jatuh terjerambab.

Sabungsari yang melihat lawannya tersuruk-suruk mencoba bangun, telah berdiri di sebelahnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Bangunlah. Kita belum selesai.“

Orang itu pun kemudian berhasil berdiri tegak. Tetapi ketika tangannya siap menarik senjatanya, Sabungsari pun berkata, “Sudah aku peringatkan. Jangan menarik senjatamu, karena senjatamu akan membahayakan jiwamu.“

Orang itu tidak menghiraukannya. Ia sudah bertekad untuk bertempur dengan senjata. Tetapi sekali lagi tangannya bagaikan disengat api. Sehingga dengan demikian, maka dengan serta merta ia telah melepaskan hulu pedangnya.

“Kau dengar perintahku?“ berkata Sabungsari.

Lawannya menggeram. Ia tidak tahu sama sekali apa yang telah dilakukan oleh Sabungsari. Orang itu tidak mengerti bahwa dengan kekuatan ilmunya yang diperlemah, Sabungsari telah menusuk tangan orang itu dengan sorot matanya.

Berbeda dengan Agung Sedayu. Di saat lawannya menarik pedangnya, maka dengan serta merta Agung Sedayu telah menyerang pergelangan tangan lawannya dengan kakinya, sehingga senjatanya itu terlempar. Dengan demikian maka lawan Agung Sedayu itu pun harus bertempur dengan tangannya dan kemampuan ilmu yang dimilikinya. Namun ternyata ilmu itu sama sekali tidak berarti dihadapkan kepada ilmu Agung Sedayu.

Demikianlah, akhirnya kedua orang yang bertempur melawan Sabungsari dan Agung Sedayu itu telah benar-benar kehilangan tenaga. Nafas mereka terengah-engah dan bahkan mereka tidak lagi mampu menguasai keseimbangan mereka.

Ketika lawan Agung Sedayu dalam keadaan yang rapuh berusaha memperbaiki keadaannya, justru Agung Sedayu telah menyentuh pundaknya sehingga orang itu pun telah jatuh terduduk. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit, tetapi karena kemudian Agung Sedayu berdiri di hadapannya, maka iapun telah mengurungkan niatnya.

“Sekarang kau boleh memilih,“ berkata Agung Sedayu, “menyerah, atau membiarkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menyeretmu ke banjar dan beramai-ramai memukulimu. Aku akan bercerita kepada mereka apa yang sudah kalian lakukan di sini. Usaha kalian menculik adikku. Namun sayang bahwa seorang di antara kalian justru telah terbunuh.”

Kedua orang yang memang sudah tidak berdaya itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun sadar, bahwa tawaran itu sebenarnya sudah tidak berarti apa-apa lagi, karena orang-orang Tanah Perdikan itu dapat menentukan apapun yang ingin mereka lakukan atas diri kedua orang itu.

“Jawablah,“ desak Agung Sedayu.

“Ki Sanak,“ jawab lawan Agung Sedayu itu, “aku sudah tidak berdaya. Seorang kawanku, yang justru pemimpinku, telah terbunuh. Karena itu, apapun yang akan kau lakukan atasku, lakukanlah.“

“Katakan bahwa kau menyerah atau tidak,“ bertanya Agung Sedayu pula.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku menyerah.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Nah, kalian telah menyerah pula. Jika demikian, persoalan kita di sini sudah selesai. Tetapi kita akan segera mulai dengan persoalan baru. Kalian adalah tawanan kami.“

Orang itu tidak menjawab. Apapun yang akan terjadi, harus diterimanya sebagai akibat dari tugas yang dibebankan kepadanya. Namun yang membuat orang-orang itu heran, bahwa mereka ternyata telah bertemu dengan orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi di Tanah Perdikan Menoreh. Seorang anak yang masih sangat muda itu pun mampu mengalahkan dan bahkan membunuh pemimpin mereka. Orang yang dianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi. Yang mampu menjadikan dirinya sepanas bara api.

Lawan Sabungsari pun kemudian telah duduk pula di sebelah lawan Agung Sedayu. Bahkan orang yang bertubuh agak gemuk, yang semula merasa dirinya mampu menangkap Glagah Putih itu pun telah duduk pula bersama mereka.

Glagah Putih bersama Agung Sedayu pun kemudian mengamati orang yang terbunuh, sementara Sabungsari menunggui ketiga orang yang telah menjadi tawanan itu.

Dengan melihat pemimpin dari orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan itu, maka Agung Sedayu dapat menilai betapa tingginya ilmu Glagah Putih. Sejak sebelumnya, ia memang telah mendapat warisan ilmu dari Ki Jayaraga, untuk menyadap inti kekuatan air, api, udara dan bumi. Namun ternyata dengan lambaran ilmu yang diterimanya langsung dari Raden Rangga, maka segala-galanya telah meningkat dengan cepat. Demikian pula kekuatan puncak ilmu yang diwarisinya dari Ki Sadewa. Kekuatan yang didalam diri Glagah Putih mampu dilontarkannya dari jarak tertentu dengan kekuatan yang justru lebih besar.

Namun Agung Sedayu masih belum dapat mengukur tataran tertinggi dari ilmu Glagah Putih itu. Apakah ilmu Glagah Putih sudah mendekati kemampuan ilmunya sendiri. Meskipun demikian namun pengalaman seseorang akan ikut menentukan sikap yang akan diambilnya menghadapi keadaan tertentu yang terjadi, apalagi dengan tiba-tiba.

Demikianlah, maka setelah dianggap cukup, maka Agung Sedayu telah memerintahkan ketiga orang itu untuk mengikutinya ke padukuhan induk. Sementara itu, pemimpin mereka yang terbunuh itu, telah dinaikkan ke punggung kuda untuk dibawa pula bersama dengan mereka.

Ternyata bahwa di sepanjang jalan, orang-orang itu, apalagi yang terbunuh di antara mereka, telah sangat menarik perhatian. Namun Agung Sedayu masih belum bersedia memberikan keterangan.

“Kami akan menghadap Ki Gede,“ berkata Agun Sedayu, “pada saatnya kalian akan mengetahui apa yang telah terjadi.“

Orang-orang itu tidak dapat memaksanya. Namun bagaimanapun juga hal itu menjadi bahan pembicaraan di antara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

Agung Sedayu memang membawa ketiga orang itu bersama pemimpinnya yang sudah terbunuh ke rumah Ki Gede. Dengan singkat Agung Sedayu telah melaporkan, apa yang telah terjadi dengan mereka.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada ketiga orang itu, “Kalian telah membuat goncangan di Tanah Perdikan yang mulai terasa damai ini.“

Ketiga orang itu menundukkan kepalanya. Tidak seorang pun yang berani menatap wajah Ki Gede yang menjadi semakin berkeriput oleh umurnya, sebagaimana juga Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.

“Baiklah,“ berkata Ki Gede, “besok kita akan berbicara panjang. Mungkin sekarang kalian merasa letih. Beristirahatlah.“

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun beberapa orang pengawalpun kemudian telah membawa mereka ke sebuah bilik yang kokoh. Bilik yang memang dipergunakan untuk menempatkan orang-orang yang perlu dipisahkan dari orang lain.

Ketika ketiganya sudah berada di dalam, maka pintu yang tebal pun kemudian telah diselarak dari luar. Ketiga orang itu termangu-mangu. Seakan-akan di luar sadar, mereka telah memeriksa dinding bilik itu. Namun ternyata bahwa setiap jengkal dari dinding bilik itu terbuat dari bahan yang kuat dan tebal. Ketika mereka memandang ke bagian atas dari dinding itu, terdapat sebuah lubang memanjang tepat di bawah blandar. Namun lubang itu terlalu sempit untuk sebuah kepala bayi sekalipun. Tetapi dari lubang itu udara yang segar telah masuk ke dalam bilik. Sedangkan rusuk-rusuk atap pun dibuat demikian rupa, sehingga mereka tidak akan dapat meloloskan diri dengan membuka atap.

Akhirnya ketiga orang itu terduduk di sebuah amben bambu yang cukup besar bagi mereka bertiga. Namun untuk beberapa saat mereka hanya saling berdiam diri saja merenungi keadaan mereka. Sementara itu, orang yang agak gemuk itu tidak habis-habisnya merasa heran atas kemampuan anak muda yang telah membunuh pemimpinnya yang dianggapnya berilmu tinggi itu.

Di pendapa rumah Ki Gede, Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih pun kemudian telah minta diri. Besok mereka akan datang untuk ikut mendengarkan, keterangan dari orang-orang yang telah mereka tangkap itu.

“Jika terjadi sesuatu, kami akan memanggil kalian,“ berkata Ki Gede.

“Kami selalu siap Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu.

Sepeninggal Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih, maka Ki Gede pun telah mengatur penjagaan sebaik-baiknya. Bukan saja karena mereka adalah orang-orang berilmu, tetapi kemungkinan lain memang dapat terjadi. Sementara itu, telah diperintahkan pula untuk mengubur korban yang telah jatuh.

Beberapa orang tidak saja bertugas di serambi bilik itu. Tetapi penjagaan di sekitar rumah Ki Gede itu pun telah ditingkatkan pula.

Ketika kemudian Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih sampai ke rumah, maka orang-orang yang ada di rumah itupun segera telah berkumpul. Agung Sedayu, Sabungsari, Glagah Putih, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sekar Mirah. Mereka membicarakan peristiwa yang telah terjadi di lereng pebukitan sehingga telah minta korban seorang di antara pendatang itu meninggal.

“Ternyata Madiun sudah mulai,“ berkata Ki Jayaraga.

“Di luar pengetahuan dan sudah barang tentu tanggung jawab Panembahan Madiun. Panembahan Madiun sendiri tentu tidak ingin berselisih dengan Panembahan Senapati, karena Panembahan Madiun tahu benar siapakah Panembahan Senapati itu. Meskipun ia bukan putra sendiri, tetapi memang tidak ada bedanya antara Panembahan Senapati yang di masa kecilnya bernama Sutawijaya dan kemudian bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, dengan Pangeran Benawa yang kemudian memerintah di Pajang,“ desis Kiai Gringsing.

“Itulah bahayanya,“ berkata Ki Jayaraga, “apalagi agaknya Panembahan Madiun terlalu percaya kepada orang-orang yang ingin memancing kekeruhan, sehingga perselisihan antara Madiun dan Mataram akan mendatangkan keuntungan bagi mereka.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk.

Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Salah satu tugas keempat orang itu tentu untuk mengacaukan hubungan antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Jika daerah-daerah di luar Mataram menjadi renggang dan bahkan menentang Mataram, maka Madiun pun telah mengambil cara sebagaimana diiakukan oleh Mataram. Sebelum menebang pokok batangnya, maka lebih dahulu ditebas cabang-cabang dan ranting-rantingnya.“

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk.

Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Jika demikian, agaknya persoalan bagi Tanah Perdikan Menoreh tidak hanya terhenti sampai sekian. Mungkin masih akan ada perkembangan lebih lanjut.“

“Kemungkinan itu memang ada. Apalagi jika orang-orang Madiun tidak tahu kemana hilangnya mereka,“ sahut Sabungsari. “Dengan demikian mereka tentu mengirim orang untuk menyelidikinya.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Orang-orang itu akan menelusuri tugas yang diberikan kepada orang yang hilang itu. Agaknya mereka pun akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, sementara orang-orang Tanah Perdikan akan dapat bercerita tentang orang-orang yang kita tangkap dan orang yang telah terbunuh itu.“

“Apa boleh buat,“ berkata Sekar Mirah, “bukan niat kita untuk memancing persoalan.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya kepada Glagah Putih, “Glagah Putih, apakah kau memang dengan sengaja membunuhnya?“

“Tidak Kakang,“ jawab Glagah Putih, “tetapi aku belum pasti benar dengan tataran ilmuku, sehingga ternyata orang itu telah membeku. Aku sudah menghindari kemungkinan membunuhnya dengan tidak mempergunakan panasnya api sebagaimana merupakan bagian dari ilmu yang aku terima dari Ki Jayaraga. Maksudku agar aku tidak membunuhnya. Namun ternyata bahwa orang itu telah terbunuh pula.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang sudah menduga, bahwa kau tidak sengaja membunuhnya. Tetapi orang itu akhirnya terbunuh juga.”

Glagah Putih tidak menyahut. Ia hanya menundukkan kepalanya saja.

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “meskipun kita tidak perlu mengatakan keadaan seutuhnya kepada para pengawal untuk menghindari keresahan di Tanah Perdikan ini, namun kita harus meningkatkan kewaspadaan. Kita harus meningkatkan kesiagaan para pengawal, sehingga jika benar datang kemudian orang-orang yang mengamati keadaan, maka kita semuanya tidak akan terkejut. Bahkan mungkin kita akan mampu menangkapnya.“

“Hal ini harus didengar oleh Jati Anom,“ berkata Sabungsari, “perintah Panembahan Senapati itu harus segera sampai.“

“Aku sependapat dengan Angger Sabungsari,“ berkata Kiai Gringsing, “bahkan aku telah mengingat pula Sangkal Putung. Meskipun Sangkal Putung tidak lebih dari sebuah kademangan, tetapi kebesaran kademangan itu telah diakui.“

“Kiai benar,“ sahut Sabungsari.

“Sementara itu, kita mengenal watak dan sifat Swandaru yang agak tergesa-gesa,“ berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Karena itu, maka agaknya tidak bijaksana jika kami terlalu lama berada di Tanah Perdikan ini.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti benar niat Kiai Gringsing dan Sabungsari. Apalagi mereka memang mengemban pesan dari Panembahan Senapati setelah Ki Lurah Singaluwih tertangkap. Apalagi ada peristiwa seperti yang terjadi di Tanah Perdikan itu.

Karena itulah, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Agaknya kami harus segera sampai ke Jati Anom dan Sangkal Putung.“

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Ia memang sependapat, bahwa pasukan Mataram di Jati Anom, dan Sangkal Putung harus mengetahui peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Namun Agung Sedayu pun berkata, “Guru. Aku mohon guru tinggal sehari lagi untuk mendengar keterangan orang-orang yang telah kami tangkap itu. Mungkin keterangan mereka akan dapat melengkapi bahan yang akan dapat Guru sampaikan kepada Kakang Untara dan Swandaru.“

Kiai Gringsing berpaling kepada Sabungsari. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Bukankah kita ingin juga mendengar Ngger?“

“Ya. Kiai,“ jawab Sabungsari, “besok siang kita dapat meninggalkan Menoreh. Jika tidak ada percobaan baru yang menyusul, kita memang tidak terlalu tergesa-gesa meskipun harus segera menyampaikan pesan Panembahan Senapati kepada Ki Untara. Namun agaknya peristiwa yang terakhir itu membuat persoalannya menjadi bertambah gawat.“

Kiai Gringsing agaknya sependapat. Katanya, “Ya. Kita akan mohon diri setelah kita mendengarkan keterangan orang itu.“

“Malam ini aku akan pergi ke barak pasukan khusus itu,“ berkata Agung Sedayu, “mereka harus tahu apa yang telah terjadi. Dengan demikian mereka akan bersiap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi.“

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “tetapi apakah mereka juga harus mengambil langkah-langkah di Tanah Perdikan ini?“

“Tidak Guru,“ berkata Agung Sedayu, “mereka hanya akan mengambil sikap di dalam barak mereka. Tanah Perdikan menoreh akan dijaga oleh para pengawalnya. Hanya dalam keadaan yang sangat khusus kami di Tanah Perdikan akan melibatkan para prajurit dari pasukan khusus itu.“

“Agaknya semuanya memang perlu berhati-hati. Mungkin dengan cara yang licik dan rumit, hasil yang akan dicapai oleh orang-orang itu akan dapat melampaui kekerasan. Karena itu, kesiagaan bukannya sekedar kesiagaan kewadagan, tetapi juga harus kesiagaan batin,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

Demikianlah, ketika kemudian senja turun, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah pergi ke barak pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan. Mereka menjelaskan apa yang telah terjadi, serta usaha untuk membenturkan kekuatan Mataram di Tanah Perdikan dengan kekuatan Tanah Perdikan sendiri.

“Usaha itu baru mereka mulai. Kali ini mereka sempat kami gagalkan, tetapi kami tidak tahu, apakah ada usaha yang lain atau tidak,“ berkata Agung Sedayu. Para pemimpin di barak pasukan khusus itu menyatakan terimakasih mereka atas pemberitahuan itu. Sementara itu, Senapati yang telah menggantikan Ki Lurah Branjangan, yang telah bertugas kembali di Mataram, berjanji untuk berbuat sebaik-baiknya bersama-sama dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita akan selalu berhubungan,“ berkata Senapati itu.

Setelah mereka sempat berbicara tentang banyak hal, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah minta diri.

Sebenarnyalah sejak malam itu, di Tanah Perdikan Menoreh memang telah terjadi beberapa peningkatan penjagaan. Terutama di rumah Ki Gede yang menyimpan tiga orang tawanan. Namun selain itu, maka para pengawal di padukuhan induk pun telah meningkatkan kewaspadaan mereka. Sementara itu, lewat penghubung yang tumimbal dari padukuhan ke padukuhan lain, para pengawal yang bertugas meronda di malam itu diminta agar lebih berhati-hati.

Belum ada kejelasan tentang peristiwa yang terjadi di siang hari sebelumnya bagi para pengawal. Namun yang terjadi itu telah memberikan peringatan kepada mereka, agar mereka menjadi semakin berhati-hati. Namun disertai pesan dari Agung Sedayu, agar kesiagaan itu tidak menimbulkan keresahan orang-orang Tanah Perdikan yang mulai merasa hidup tenang itu.

Malam itu, pembantu di rumah Agung Sedayu telah menemui Glagah Putih. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apalagi alasanmu malam ini untuk tidak turun ke sungai, he?”

Glagah Putih tersenyum. Namun malam itu ia memang tidak ingin membiarkan anak itu pergi sendiri ke sungai. Ada beberapa kemungkinan dapat terjadi. Karena itu,maka Glagah Putih pun berkata, “Aku akan ikut turun ke sungai. Tetapi janji, kita singgah di gardu.“

“Untuk apa?“ bertanya anak itu.

“Bukankah aku juga mempunyai tugas ronda? Nah, malam ini aku harus ronda,“ berkata Glagah Putih.

“Begini,“ anak itu menjelaskan rencananya, “kita pergi ke sungai. Kau tidak usah pulang. Kau langsung pergi ke gardu dan meronda. Besok pagi-pagi jika aku akan membuka pliridan, aku akan singgah di gardu. Kita bersama-sama turun ke sungai.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan beristirahat dahulu.“

“Tidak usah. Jika kau pergi ke bilikmu, kau tentu akan tidur bersama tamu-tamu itu, karena kau tahu, aku tidak akan membangunkanmu justru karena aku tidak mau mengganggu tamu-tamumu,“ berkata anak itu.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Tidak. Aku tidak akan tidur. Tamu-tamu kita juga belum tidur. Mereka masih berada di serambi.“

Anak itu tidak menjawab. Namun iapun kemudian meninggalkan Glagah Putih untuk mempersiapkan alat-alat mereka yang akan dibawa turun ke sungai.

“Anak itu tidak menjadi jemu,“ berkata Glagah Putih sambil memandangi anak itu, yang sejenak kemudian hilang di balik pintu.

Glagah Putih memang untuk beberapa saat masih berbincang dengan para tamu itu serta Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Namun pada saatnya Glagah Putih telah meninggalkan mereka dan menemui pembantu di rumah itu.

“Kau sudah siap?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku kira kau membohongi aku lagi,“ berkata anak itu.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Marilah. Tetapi dari sungai aku akan terus pergi ke gardu.“

“Terserah saja kepadamu. Nanti menjelang pagi aku akan singgah di gardu itu.“ berkata anak itu.

Demikianlah keduanya telah turun ke sungai. Namun ternyata yang dicemaskan oleh Glagah Putih tidak terjadi. Bahkan mereka telah bertemu dengan Tanu yang sudah turun ke sungai pula.

Malam itu Glagah Putih berada di gardu di padukuhan induk. Tetapi iapun masih belum memberikan keterangan tentang orang-orang yang tertangkap di Tanah Perdikan itu. Bahkan seorang di antara mereka telah terbunuh. Yang dapat dikatakan oleh Glagah Putih hanya sekedar peristiwanya. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menyinggung tentang kekuasaan di Bang Wetan yang mulai bergejolak.

“Mungkin Ki Gede sendiri akan memberikan keterangan setelah orang-orang itu dimintai keterangan,“ berkata Glagah Putih.

Anak-anak muda itu memang merasa kecewa. Tetapi mereka pun tidak dapat memaksa Glagah Putih untuk berbicara lebih banyak. Yang kemudian mereka bicarakan adalah peningkatan kewaspadaan. Hal-hal yang tidak diharapkan akan mungkin dapat terjadi lagi di saat-saat berikutnya.

Namun ketika malam menjadi semakin dalam, maka anak-anak muda itu mulai mengisi waktu mereka dengan berkelakar. Berteka-teki dan permainan-permainan yang dapat menahan kantuk. Hampir semalam suntuk Glagah Putih berada di gardu itu bersama-sama dengan anak-anak muda. Bahkan bukan saja yang kebetulan bertugas. Tetapi beberapa orang anak muda yang lain telah ikut pula berada di gardu. Mereka merasa mendapat banyak kawan, dari pada di rumah mereka yang sepi setelah keluarga yang lain tertidur nyenyak.

Menjelang pagi, maka pembantu di rumah Agung Sedayu telah berada di gardu itu pula. Glagah Putih yang melihatnya segera minta diri kepada kawan-kawannya untuk turun ke sungai membuka pliridan.

“Kau masih juga telaten?“ bertanya seorang anak muda yang gemuk.

“Tentu,“ jawab Glagah Putih, “meskipun tidak setiap malam aku sempat turun. Tetapi anak itu hampir tidak pernah lowong.“

“Aku hanya betah setengah tahun,“ sahut anak muda yang gemuk itu.

“Syukurlah,“ jawab Glagah Putih.

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa?“

“Semakin sedikit pliridan di sungai itu, sainganku pun menjadi semakin berkurang pula,“ desis Glagah Putih.

Anak muda yang gemuk itu tertawa. Seorang yang lainnya pun kemudian berkata pula, “Tanu yang masih tetap turun ke sungai, selain kau.“

“Aku tadi ketika membuka pliridan juga bertemu dengan Tanu,“ berkata Glagah Putih. “Nampaknya ia ingin bertahan juga seperti aku. Siapakah yang lebih betah setiap malam turun ke sungai.“

Anak-anak muda itu tertawa, sementara Glagah Putihpun kemudian meninggalkan gardu itu.

Tetapi di jalan, anak muda pembantu rumah Agung Sedayu itu berkata, “Kau kira kau yang setiap malam turun ke sungai dan dengan rajin memelihara pliridan itu? Akulah yang melakukannya. Kemarin siang aku telah membenahinya dan membuat tanggulnya semakin tinggi.“

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Ya. Kaulah yang dengan rajin memelihara pliridan itu.“

Sementara itu udara dini hari memang sudah mulai terasa. Udara seakan-akan telah mulai bergerak, sementara di langit cahaya yang semburat merah mulai nampak.

“Kita kesiangan,“ desis anak itu.

“Bukan salahku. Aku berada di gardu semalam suntuk,“ jawab Glagah Putih.

Anak itu memang tidak mengatakan tentang kelambatan itu lagi. Namun mereka pun melangkah semakin cepat.

Ketika mereka kemudian pulang, maka langit ternyata masih belum terang. Glagah Putih masih sempat berbaring di serambi dan tertidur beberapa saat, sementara anak itu membawa kepisnya ke dapur dan menyimpannya dengan baik, agar tidak dicuri kucing. Hari ini ia telah mendapat ikan dan udang cukup banyak.

Di saat cahaya matahari mulai membayang, maka seisi rumah itu telah terbangun. Glagah Putih pun telah terbangun pula ketika Agung Sedayu menyapanya, “Kenapa kau tidur di situ?“

Glagah Putih mengusap matanya. Katanya, “Semalam aku berada di gardu, Kakang. Ketika aku pulang, aku tidak mau mengejutkan Kakang Sabungsari.“

Sabungsari yang telah terbangun menyahut pula, “Begitu nyenyaknya aku tidur, sehingga aku memang tidak mendengar Glagah Putih pulang.“

Glagah Putih hanya tersenyum saja. Namun kemudian iapun telah bangkit dan mengerjakan pekerjaannya sehari-hari. Menimba air untuk mengisi jambangan dan kemudian membersihkan kebun di belakang.

Demikianlah, mereka akan pergi bersama-sama dengan Agung Sedayu menghadap Ki Gede untuk ikut mendengarkan keterangan orang-orang yang tertawan itu. Ki Gede yang memang sudah menunggu, telah mempersiapkan mereka naik ke pendapa. Kemudian memerintahkan para pengawal untuk mengambil ketiga orang yang tertawan.

Glagah Putih nampaknya tidak membiarkan ketiga orang itu hanya diawasi oleh para pengawal saja karena ketiga orang itu memang memiliki beberapa kelebihan. Karena itu, maka Glagah Putih telah ikut dengan para pengawal mengambil ketiga orang tawanan itu.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah berada di pendapa pula. Dengan kepala tunduk ketiganya duduk di antara para tamu Ki Gede. Sejenak kemudian, maka Ki Gede pun telah mengajukan beberapa pertanyaan. Mulai dari keterangan tentang diri mereka sendiri, jabatan mereka, dan tugas mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.

Namun ternyata bahwa batas pengetahuan orang itu tentang diri mereka dalam hubungannya dengan Madiun terlampau sempit. Mereka hanya tahu, bahwa mereka telah dibawa oleh orang yang disebutnya Ki Lurah untuk melakukan tugas ke Tanah Perdikan Menoreh. Sedangkan Ki Lurah itu sendiri ternyata telah terbunuh.

Kiai Gringsing hanya dapat mengangguk-angguk saja. Ia tidak dapat memaksa orang-orang itu berbicara lebih banyak dari yang mereka ketahui. Namun dari yang sedikit itu, Kiai Gringsing mencoba untuk mengambil kesimpulan.

“Jadi kau tidak tahu, siapakah yang memerintahkan Ki Lurah itu untuk pergi ke Tanah Perdikan?“ bertanya Ki Gede.

“Benar Ki Gede,“ jawab yang tertua di antara ketiga orang itu. “Ki Lurah hanya mengatakan, bahwa ia mendapat kepercayaan dari seorang Tumenggung di Madiun untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Untuk mengetahui kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini, termasuk para prajurit dari pasukan khusus Mataram yang ada di sini itu. Kemudian kami harus dapat menimbulkan persoalan di antara para bebahu di Tanah Perdikan ini, sebagaimana yang kami coba melakukannya. Tetapi kami telah gagal,“ berkata orang itu.

“Kau tidak tahu, Tumenggung itu Tumenggung siapa?“ desak Ki Gede.

“Benar Ki Gede. Kami tidak tahu,“ jawab orang itu.

“Dan kau telah mencoba melakukannya dengan sebaik-baiknya. Kau telah melihat barak pasukan khusus, dan kau telah mencoba membangkitkan persoalan itu di sini,“ berkata Ki Gede.

“Ya Ki Gede,“ jawab orang itu, “persoalan yang timbul di Tanah Perdikan ini, apalagi jika kami berhasil membuat Tanah Perdikan ini menentang Mataram, maka tugas kami berhasil dengan gemilang.“

“Tetapi kalian gagal di Tanah Perdikan ini,“ berkata Ki Gede. Namun dilanjutkannya, “Ki Sanak, Apakah tugas kalian hanya di Tanah Perdikan ini, atau juga ke tempat-tempat lain?“

Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun dengan ragu-ragu orang tertua itu berkata, “Kami hanya bertugas di tanah Perdikan ini.“

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku mulai mempercayai kalian. Tetapi jawaban kalian yang terakhir membuat kami membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Kalian tidak berhasil meyakinkan kami, bahwa kalian memang berkata dengan jujur.“

Wajah ketiga orang itu menjadi pucat. Sementara Ki Gede berkata, “Ada banyak cara untuk mempersilahkan kalian berbicara. Kami pun mempunyai sentuhan-sentuhan perasaan, apakah kalian berbicara dengan jujur atau tidak.”

“Ampun Ki Gede,“ berkata orang tertua itu, “kami akan mengatakan apa yang kami ketahui.“

“Jika demikian, jawab pertanyaanku. Apakah kau hanya bertugas untuk mengacaukan Tanah Perdikan ini atau juga tempat lain?“ bertanya Ki Gede.

Orang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agaknya ia tidak akan dapat berbohong di hadapan orang-orang yang memiliki ketajaman panggraita itu. Karena itu, maka orang itu pun menjawab, “Ki Gede, sebenarnyalah kami memang mendapat tugas untuk membangkitkan kegelisahan dan permusuhan di Tanah Perdikan Menoreh dan daerah-daerah yang dapat kami jangkau. Terutama daerah-derah di sekitar kota Mataram itu sendiri.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Gede itu kemudian berkata, “Apakah kalian memang hanya berempat saja sejak kalian berangkat?“

Orang itu menjadi ragu-ragu lagi. Namun kemudian jawabnya, “Ki Gede. Kami memang tidak akan dapat berbohong lagi. Daripada Ki Gede harus memaksa kami untuk berbicara, biarlah kami mengatakan sejauh dapat kami ketahui.“

“Katakan,“ desis Ki Gede.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Ki Gede. Kami berenam saat kami berangkat. Dua orang di antara kami berada di Mataram. Kami akan bertemu dengan mereka di hari yang sudah ditentukan.“

“Kapan?“ desak Ki Gede, “Dan dimana?“

Orang itu termangu-mangu.

“Aku tahu Ki Sanak,“ berkata Ki Gede, “jika kau mengatakannya, maka kau akan dapat disebut sebagai pengkhianat. Tetapi aku memerlukan jawaban itu. Jawaban yang benar. Bukan satu jebakan atau tipuan macam apapun juga.”

Orang itu memang menjadi bingung. Sekilas dipandanginya kedua orang kawannya. Tetapi keduanya pun hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Untuk beberapa saat, pendapa itu memang menjadi hening. Ki Gede nampaknya memang memberikan kesempatan kepada ketiga orang itu merenungi apa yang dapat terjadi atas diri mereka.

Namun karena mereka tidak juga segera mengatakan sesuatu, maka Ki Gede itu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Kami telah memperlakukan kalian sebagai tamu-tamu kami. Kami menerima kalian di pendapa, duduk dalam satu lingkaran dengan kami. Tetapi jika tempat ini tidak menyenangkan bagi kalian, maka kami berniat untuk berbicara dengan kalian tidak di pendapa ini, tetapi di dalam sanggar.“

“Jangan Ki Gede,“ desis orang tertua di antara mereka, “jangan perlakukan kami dengan keras. Kami sudah mengatakan apa yang kami ketahui.“

“Ada satu yang belum kau jawab. Dimana kalian akan bertemu dengan kedua orang kawan kalian itu, dan kapan? Kalian memang dapat memilih, apakah kalian menyadari arti dari langkah-langkah yang akan kami ambil bagi ketenangan Mataram dalam keseluruhan, atau kalian berpegang pada satu ajaran, bahwa lebih baik mati dari pada berkhianat. Atau lebih jantan lagi, kalian akan menerima perlakuan apapun juga asal kalian tidak berkhianat,“ berkata Ki Gede.

“Sebenarnyalah memang demikian Ki Gede,“ jawab orang itu, “bukan sebaiknya kami berkhianat. Kita sama-sama mengerti, betapa rendahnya harga diri seorang pengkhianat.”

“Tetapi Ki Sanak,“ jawab Ki Gede, “sebaiknya kalian tidak berkhianat. Tetapi berkhianat kepada siapa? Jika seorang Tumenggung memberikan perintah kepada kalian tanpa persetujuan Panembahan Madiun, apakah kau dapat menilai itu suatu langkah yang wajib kalian peluk sampai akhir hayat kalian? Justru untuk berkhianat kepada pemimpin tertinggi di Mataram? Atau katakanlah, bahwa kalian berkhianat kepada kepemimpinan Panembahan Madiun itu. Apa kata kalian jika Panembahan Madiun justru mengutuk langkah-langkah yang dilakukan oleh Tumenggung yang tidak kau ketahui namanya itu? Kau harus tahu Ki Sanak. Tumenggung itu akan dapat memanfaatkan keadaan yang buruk untuk kepentingannya sendiri. Bukan untuk kepentingan Madiun dan bukan pula untuk kepentingan Tanah ini dalam keseluruhan. Dan kau tentu tahu juga, bahwa Panembahan Madiun bukan seorang yang sekasar Tumenggung yang memerintahkan kalian pergi ke Menoreh itu.“

Ketiga orang itu menjadi semakin tunduk.

“Renungkan Ki Sanak,“ berkata Ki Gede, “apakah keuntungan kalian dengan pertentangan antara Madiun dan Mataram?“

“Kami hanya sekedar menerima perintah, Ki Gede,“ berkata orang itu, “karena itu, kami tidak sempat menilai langkah-langkah yang harus kami lakukan.“

“Aku minta kalian mempertimbangkan pengertian pengkhianatan itu,“ berkata Ki Gede, “kalian bukan alat mati. Tetapi kalian adalah orang-orang yang mempunyai karunia perasaan dan penalaran yang lengkap sebagaimana Ki Tumenggung itu. Karena itu, maka kalian berhak menilai, langkah-langkah yang manakah yang pantas kalian ambil. Sekali lagi kalian harus bertanya kepada diri sendiri. Jika kalian harus berkhianat, maka renungkan tingkat pengkhianatanmu. Kepada Mataram, kepada Madiun, atau sekedar kepada Ki Lurah yang menerima tugas dari Ki Tumenggung yang tidak kau kenal itu. Jika kau tersesat dan kemudian berusaha mencari jalan kembali, apakah itu juga dapat kau artikan sebagai satu pengkhianatan terhadap kesesatanmu?“

Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun agaknya mereka mencoba untuk mengerti arti dari kata-kata Ki Gede.

“Kau memang mempunyai beberapa pilihan,“ berkata Ki Gede, “tetapi kaupun harus menyadari, pilihan itu akan mempunyai akibat yang berbeda atas diri kalian.“

Orang tertua di antara ketiga orang itupun kemudian berkata dengan suara gemetar, “Ki Gede telah membuat aku menjadi bingung. Jika aku berusaha untuk tidak berkhianat kepada salah satu pihak, berarti aku telah berkhianat kepada pihak yang lain.“

“Jika kau merasa demikian, maka kau seharusnya menilai tingkat pengkhianatanmu itu sebagaimana sudah aku katakan,“ kata Ki Gede.

Orang yang tertua itu mengangguk-angguk. Tetapi suaranya masih saja gemetar, “Ki Gede. Aku tidak tahu, apakah langkah yang aku ambil sudah benar. Tetapi aku tidak dapat menolak permintaan Ki Gede untuk berterus terang tentang kedua orang kawanku yang masih berada di Mataram.“

“Ternyata kau cukup bijaksana,“ berkata Ki Gede, “tetapi kau dapat juga menilai pujianku sebagai satu desakan agar kau benar-benar mengatakan tentang kedua orang kawanmu itu.“

“Aku mengerti Ki Gede,“ jawab yang tertua di antara mereka.

“Jika demikian, katakanlah,“ desis Ki Gede.

Ternyata orang itu tidak dapat ingkar lagi. Banyak persoalan yang telah menindih keberatan hati mereka. Di satu sisi pertanyaan Ki Gede tentang tingkat-tingkat pengkhianatannya itu, sedang di lain pihak ancaman Ki Gede untuk memeras keterangannya tidak di pendapa, tetapi di sanggar.

Sehingga kemudian katanya di dalam hati, “Agaknya Ki Gede benar. Jika aku kembali menuju ke jalan yang benar dari kesesatan, maka aku tidak dapat disebut berkhianat kepada kesesatan itu sendiri.“

Dengan demikian maka orang yang tertua itu pun telah menceritakan tentang kedua orang kawannya yang ada di Mataram. Sementara kedua orang kawannya yang lain, sama sekali tidak dapat menyalahkannya. Bahkan keduanya dapat mengerti, bahwa orang tertua di antara mereka itu tidak mempunyai pilihan lain daripada mengatakan yang sebenarnya dari tugas serta kawan-kawan mereka, termasuk dua orang yang masih di Mataram.

Betapapun beratnya namun akhirnya orang itu pun berkata, “Dua orang prajurit dari Madiun itu masih ada di Mataram. Tetapi keduanya juga tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi di Istana Panembahan Madiun. Mereka menerima perintah sebagaimana aku menerima perintah. Kedua orang itu juga berada di bawah perintah Ki Lurah yang terbunuh itu.“

“Apa tugas mereka di Mataram?“ bertanya Ki Gede.

“Mereka harus menghubungi seseorang,“ jawab orang tertua di antara mereka itu.

“Siapakah orang itu?“ bertanya Ki Gede.

Orang itu menjadi ragu-ragu. Namun ia memang tidak ada pilihan lain. Karena itu, maka katanya, “Kedua orang itu harus berada di rumah Kiai Patra, yang juga disebut Kiai Sasak.“

Ki Gede termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya, “Siapakah Kiai Patra itu? Maksudku kedudukannya di Mataram?“

“Aku tidak tahu Ki Gede,“ jawab orang itu, “aku hanya mendengar namanya disebut. Kemudian kami berjanji untuk menemui mereka di rumah itu pula pada akhir pekan ini.“

“Jadi kalian yang seharusnya berempat akan singgah ke rumah itu setelah kalian pergi ke Tanah Perdikan ini?“

“Ya,“ jawab orang itu, “baru kemudian kami akan pergi ke Madiun.“

“Apakah menurut tangkapanmu, Kiai Patra atau yang juga disebut Kiai Sasak itu memang petugas dari Madiun yang diletakkan di Mataram, atau memang orang Mataram yang sudah dapat dipengaruhi oleh orang-orang Madiun?“ bertanya Ki Gede pula.

Orang itu menggeleng lemah. Katanya, “Ampun Ki Gede. Aku benar-benar tidak mengetahuinya.“

“Tetapi kau tentu tahu, dimana letak rumahnya,“ berkata Ki Gede kemudian.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Ya Ki Gede. Aku tahu.“

“Nah, kau harus memberikan ancar-ancar tentang rumah itu,“ berkata Ki Gede. “Pada saatnya kau akan kami bawa ke rumah itu. Sekaligus kami akan membuktikan, apakah yang kau katakan itu benar atau sekedar omong kosong.“

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mencoba untuk mengatakan yang sebenarnya. Tetapi jika terjadi perubahan, aku tidak tahu. Apalagi jika kedua orang itu atau barangkali orang-orang Kiai Sasak mengetahui, bahwa kami telah tertangkap dan Ki Lurah justru terbunuh.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya kepada Kiai Gringsing dan orang-orang lain di pendapa itu. Namun agaknya masih disimpannya saja di dalam dadanya.

Karena itu, maka sejenak kemudian, Ki Gede itu pun berkata “ Baiklah. Pertanyaanku sudah cukup. Kalian boleh kembali ke bilik kalian. Mungkin nanti, mungkin besok, aku memerlukan kalian lagi. “

Ketiga orang itu tidak menjawab. Glagah Putih-lah yang kemudian mengantarnya kembali ke bilik mereka. Para pengawal yang melihat mereka segera mendekatinya dan menerima ketiga orang itu untuk dimasukkan ke dalam bilik yang memang diperuntukkan bagi mereka.

Ketika Glagah Putih telah kembali ke pendapa, maka Ki Gede pun kemudian berkata, “Ada beberapa hal yang menarik.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Bagiku, yang harus mendapat perhatian adalah kemungkinan orang-orang yang berada di Mataram itu mengetahui, bahwa ketiga orang itu sudah tertangkap, bahkan pemimpin mereka telah terbunuh.“

“Ya,“ jawab Ki Gede, “jika mereka mendengar hal itu, maka kedua orang itu tentu akan segera meninggalkan rumah Kiai Sasak.“

“Kita harus bergerak cepat,“ berkata Agung Sedayu, “kita harus segera ke Mataram. Melaporkan hal ini, dan kemudian mengawasi rumah Kiai Sasak.“

“Aku sependapat,“ berkata Ki Jayaraga, “kita tidak mempunyai pilihan lain. Seandainya kedua orang itu tidak jadi pergi ke rumah Kiai Sasak karena yang terjadi di Tanah Perdikan ini sudah mereka ketahui, maka Kiai Sasak-lah yang harus menjadi sasaran kemudian.“

Ternyata orang-orang yang berada di rumah Ki Gede itu sepakat untuk segera menyampaikan persoalan itu kepada Panembahan Senapati, serta mohon untuk diperkenankan mengambil langkah-langkah tertentu.

Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata, “Tetapi sayang sekali bahwa aku dan Angger Sabungsari tidak akan dapat singgah. Mungkin terjadi kelambatan perintah Panembahan Senapati kepada Untara karena aku singgah di sini. Kami akan terus ke Jati Anom menemui Angger Untara untuk menyampaikan perintah Panembahan Senapati, sebelum aku kembali ke padepokan.“

“Apakah Swandaru tidak sebaiknya mendengar juga tentang hal ini, agar ia menjadi berhati-hati?“ bertanya Agung Sedayu.

“Baiklah. Aku memang harus memberitahukannya,“ jawab Kiai Gringsing.

Dengan demikian maka telah diputuskan, bahwa Kiai Gringsing dan Sabungsari segera kembali langsung ke Jati Anom, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih akan pergi ke Mataram.

“Tanah Perdikan ini tidak dapat ditinggalkan begitu saja,“ berkata Ki Gede, “karena itu aku minta Ki Jayaraga dan Sekar Mirah akan selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan.“

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya menarik untuk ikut pergi ke Mataram.“

“Tetapi kami memerlukan Ki Jayaraga untuk ikut mengamankan Tanah Perdikan ini jika terjadi sesuatu. Katakanlah, sekelompok orang mencari ketiga orang itu. Tentu sekelompok. orang yang mempunyai ilmu yang tinggi, sehingga mendapat kepercayaan untuk menelusuri petugas-petugas yang terdahulu.“

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya seperti seorang kanak-kanak yang akan ditinggalkan ibunya pergi ke pasar. Keinginan untuk ikut memang mendesak. Tetapi akhirnya Ki Jayaraga itu berkata, “Baiklah Ki Gede. Aku akan tinggal di Tanah Perdikan. Selain di sini aku dapat membantu Ki Gede jika diperlukan, namun rasa-rasanya perjalanan ke Mataram itu tidak akan banyak menarik perhatian jika hanya dilakukan oleh dua orang saja.“

Ki Gede tersenyum. Kiai Gringsing pun tersenyum pula. Bahkan katanya, “Jangan merajuk begitu.“

Ki Jayaraga pun tertawa. Katanya, “Aku sudah berputus asa untuk dapat ikut serta ke Mataram.“

Namun mereka pun kemudian telah memutuskan bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih akan pergi ke Mataram, sementara Kiai Gringsing dan Sabungsari akan kembali ke Jati Anom hari itu juga, agar mereka tidak terlambat karenanya. Jika orang-orang sebagaimana mereka yang datang ke Tanah Perdikan itu berada di Sangkal Putung sebelum Swandaru mendapat penjelasan dari Kiai Gringsing, maka orang tua itu mencemaskan bahwa betapapun tipisnya, hal itu akan membekas di hati muridnya yang muda itu.

Demikianlah, maka setelah semua rencana ditetapkan, maka semuanya pun telah mempersiapkan diri. Agung Sedayu telah menemui ketiga orang itu sekali lagi untuk mendapat ancar-ancar rumah Kiai Sasak yang akan menjadi tempat pertemuan antara para petugas dari Madiun itu.

“Kali ini kami masih belum membawa kalian atau salah seorang di antara kalian,“ berkata Agung Sedayu kepada ketiga orang itu, “tetapi lain kali, jika persiapan sudah matang, kalian tentu akan kami bawa ke Mataram.“

Ketiga orang itu tidak menjawab. Mereka tidak dapat menentukan apapun juga selain menerima perlakuan yang manapun juga bagi mereka.

Setelah semua pembicaraan selesai di rumah Ki Gede itu, maka para tamu itu pun telah minta diri. Mereka pun akan segera melakukan tugas mereka masing-masing. Agung Sedayu dan Glagah Putih mungkin baru akan kembali setelah lewat akhir pekan.

“Hati-hatilah,“ berkata Ki Gede, “menurut panggraitaku, orang-orang yang tersangkut dalam tugas ini, apalagi orang yang bernama Kiai Sasak itu, tentu orang yang berilmu tinggi.“

“Ya Ki Gede,“ Kiai Gringsing-lah yang menyahut, “di antara mereka yang pernah datang ke Mataram dan yang kemudian telah disingkirkan oleh Mataram adalah orang-orang padepokan Nagaraga yang berilmu tinggi.“

“Karena itu, maka kalian harus benar-benar bersiap menghadapi mereka,“ berkata Ki Gede selanjutnya kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka pun telah meninggalkan rumah Ki Gede, kembali ke rumah Agung Sedayu. Beberapa saat mereka masih mempersiapkan diri. Mereka membenahi bekal yang akan mereka bawa masing-masing. Baru kemudian menjelang matahari sampai ke puncak langit, Sabungsari dan Kiai Gringsing telah meninggalkan rumah itu lebih dahulu. Glagah Putih dan Agung Sedayu memang akan berangkat sore hari. Mereka akan memasuki Mataram sesudah gelap, agar tidak ada, setidak-tidaknya tidak terlalu banyak, orang yang melihatnya, agar jika persoalan di Tanah Perdikan sudah didengar oleh kawan-kawan mereka, kehadiran keduanya tidak segera diketahui.

Dalam kesempatan itu, maka Agung Sedayu sempat memberikan beberapa pesan kepada Glagah Putih. Ia harus lebih banyak memperhatikan tataran ilmunya. Namun Agung Sedayu pun telah memperingatkan pula, bahwa pekerjaan mereka adalah tugas yang berat.

“Kita tidak tahu apa yang akan diperintahkan oleh Panembahan Senapati,“ berkata Agung Sedayu, “karena itu, maka kita harus bersiap untuk melakukan tugas yang paling rumit sekalipun.“

Demikianlah, ketika matahari mulai turun, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih segera bersiap-siap untuk berangkat. Jika jalan-jalan sudah diteduhi pohon-pohon perindang yang tumbuh di sebelah-menyebelah, maka mereka akan berangkat.

Ketika Glagah Putih tengah mempersiapkan kudanya, maka pembantu di rumah itu pun mendekatinya sambil berkata, “Aku ingin menjadi seperti kau.“

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.

“Kau tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali bepergian kemana-mana. Apa sebenarnya yang kau lakukan?“ bertanya anak itu.

“Bukankah aku hanya ikut Kakang Agung Sedayu? Aku tidak tahu apa yang akan dikerjakannya. Mungkin ia memerlukan bantuan di sepanjang jalan. Maksudku, jika Kakang ingin membeli makanan atau minuman,“ jawab Glagah Putih.

“Aku kira kau sudah menjadi semakin pandai berkelahi sekarang. Kenapa kau tidak mau mengajari aku lagi? Jika pada suatu saat aku justru lebih pandai berkelahi dari kau, itu bukan salahku,“ berkata anak itu.

Glagah Putih tertawa. Iapun kemudian bertanya, “Dari siapa kau belajar berkelahi?“

“Itu rahasia,“ jawab anak itu, “tetapi aku akan dengan cepat menyusul kemampuanmu.“

Glagah Putih tertawa semakin keras. Katanya “Bagus. Pada saatnya akulah yang akan belajar darimu.“

“Aku tidak main-main,“ desis anak itu sambil melangkah pergi.

Glagah Putih masih saja tertawa. Namun kemudian tangannya mulai bekerja lagi, membenahi kudanya yang akan dipergunakannya ke Mataram bersama Agung Sedayu. Setelah kudanya bersiap, Glagah Putih pun telah mempersiapkan kuda Agung Sedayu pula, sehingga kuda-kuda itu pun telah siap dipergunakan.

Menjelang sore hari, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah bersiap. Sekar Mirah yang mengantar mereka sampai ke regol halaman bersama Ki Jayaraga telah berpesan, “Berhati-hatilah Kakang, dan kau juga Glagah Putih.“

Keduanya mengangguk. Sementara pada wajah Sekar Mirah nampak kecemasan. Ia tahu benar bahwa suaminya dan Glagah Putih akan menempuh satu tugas yang sangat berat.

Sedangkan Ki Jayaraga pun berkata, “Jika kau perlukan, panggil aku.“

“Terimakasih,“ jawab Agung Sedayu, “doakan kami segera kembali dengan selamat.“

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah meninggalkan regol rumah itu. Memang terasa bahwa yang akan mereka lakukan adalah satu tugas yang penting bagi Mataram dalam hubungannya dengan Madiun. Bagaimanapun juga setiap orang berpengharapan, bahwa tidak akan terjadi lagi peperangan. Mataram harus mendapat kesempatan untuk membangun diri agar dapat menjadi negeri yang kuat. Tetapi jika masih saja timbul perselisihan di dalam, apapun sebabnya, maka sulit bagi Mataram untuk membangun dirinya.

“Semua orang menganggap bahwa sikapnya-lah yang paling benar,“ berkata Agung Sedayu di dalam dirinya, “namun kadang kadang tanpa menghiraukan sikap orang lain. Kebenaran terlalu ditentukan menurut kepentingan sendiri. Sementara itu ada pula orang-orang yang memanfaatkan keadaan bagi kepentingan sendiri.“

Glagah Putih yang berkuda di sebelah Agung Sedayu mengerti, bahwa kakak sepupunya itu sedang melihat keadaan yang dihadapi oleh Mataram dan mereka berdua. Karena itu, maka Glagah Putihpun tidak terlalu banyak berbicara pula.

Ketika mereka menyeberang Kali Praga, suasana sudah tidak terlalu ramai lagi. Meskipun ada juga beberapa orang yang menyeberang.

Perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak ada hambatan. Mereka memasuki gerbang kota di saat matahari terbenam. Meskipun mengalami sedikit kesulitan, namun ternyata bahwa Agung Sedayu sudah cukup banyak dikenal oleh para perwira di Mataram, sehingga akhirnya kedatangannya telah disampaikan pula kepada Panembahan Senapati, meskipun pada waktu yang tidak semestinya.

Ternyata Panembahan Senapati pun tanggap akan kehadiran Agung Sedayu. Meskipun ia bukan seorang pemimpin yang penting di Mataram, namun telah banyak yang telah dilakukan bagi Mataram. Karena itu, Panembahan telah memperlakukan Agung Sedayu sebagaimana para pemimpin, dan bahkan sebagaimana orang-orang terdekat lainnya. Panembahan Senapati memang mempercayai sepenuhnya kepada Agung Sedayu yang telah dikenalnya sejak masa muda mereka.

Karena itu maka Agung Sedayu tidak memerlukan waktu yang lama untuk menunggu. Iapun segera diterima di ruangan khusus bersama Glagah Putih. Dengan singkat Agung Sedayu pun kemudian menguraikan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Dihubungkannya peristiwa itu dengan langkah-langkah yang pernah diambil oleh Ki Lurah Singaluwih ketika Raden Rangga yang terluka dibawa kembali dari Perguruan Nagaraga.

Panembahan Senapati ternyata memang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap laporan itu. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya, “Jadi kau sudah mempunyai ancar-ancar tentang rumah orang yang bernama Kiai Sasak itu?“

“Ya Panembahan,“ jawab Agung Sedayu, “hamba berpegangan pada keterangan orang-orang yang kini masih berada di Tanah Perdikan itu. Di akhir pekan ini orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan akan bertemu dengan dua orang kawannya di rumah itu.“

“Kita memang memerlukan orang-orang itu,“ berkata Panembahan Senapati, “meskipun keduanya bukan pemimpin dari kelompok itu, namun setidak-tidaknya mereka akan dapat memberikan keterangan untuk apa mereka berada di Mataram.“

“Hamba Panembahan. Kami berdua menunggu perintah Panembahan dalam hubungannya dengan kehadiran kedua orang itu,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia sedang merenungi kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan. Jika yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap rumah itu Agung Sedayu dan Glagah Putih, meskipun akan dapat menyelesaikan tugas itu dengan baik jika tidak diganggu dan dicampuri oleh persoalan-persoalan di luar persoalan itu sendiri, namun kemungkinan lain dapat terjadi. Mungkin akan dapat terjadi salah paham antara Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan para petugas sandi dari Mataram itu sendiri. Namun jika yang bertugas para petugas sandi, maka Panembahan Senapati masih belum yakin akan kemampuan mereka menghadapi orang-orang penting seperti Kiai Sasak itu.

Dalam pertimbangannya yang terakhir, Panembahan Senapati justru bertanya kepada Agung Sedayu, “Bagaimana menurut pendapatmu tentang pengawasan terhadap rumah itu dengan segala macam pertimbangan dan keberatannya?“

“Kami menunggu kebijaksanaan Panembahan,“ jawab Agung Sedayu.

“Baiklah,“ berkata Panembahan Senapati, “aku akan menggabungkan kedua unsur itu. Kalian berdua dan dua orang petugas sandi, agar tidak timbul salah paham dengan mereka.“

“Kami akan melakukannya,“ desis Agung Sedayu.

Malam itu juga Panembahan Senapati telah memanggil dua orang petugas sandi yang dianggapnya terpercaya, serta Ki Mandaraka, untuk diajak berbincang-bincang tentang laporan Agung Sedayu itu.

“Sambil menunggu mereka, kalian dapat beristirahat,“ berkata Panembahan Senapati kemudian.

Seorang pelayan dalam telah diperintahkan untuk menyiapkan tempat untuk Agung Sedayu dan Glagah Putih yang akan bermalam di Mataram.

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang bukan orang asing di istana itu. Karena itu, maka mereka pun tahu, ke pakiwan yang sebelah mana mereka harus membersihkan diri.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun telah tergetar hatinya, karena tiba-tiba saja ia telah teringat kepada Raden Rangga, meskipun waktu dilewatkan dengan Raden Rangga itu telah lampau. Semakin lama akan menjadi semakin jauh, dan tidak akan pernah kembali lagi.

Justru hampir tengah malam, keduanya telah dipanggil oleh Panembahan Senapati. Untunglah bahwa mereka berdua masih belum tidur. Mereka memang sudah menduga, bahwa mereka tentu akan dipanggil menghadap jika dua orang petugas sandi dan Ki Mandaraka sudah datang.

Sebenarnyalah bahwa yang menghadap Panembahan Senapati kemudian adalah kedua orang petugas sandi yang dipanggil oleh Panembahan Senapati itu, bersama Ki Mandaraka.

Ki Mandaraka yang telah mendengar laporan Agung Sedayu dari Panembahan Senapati, ternyata pendapatnya tidak jauh berbeda. Mataram memang harus berhati-hati menanggapi persoalan itu. Panembahan Senapati di Mataram tidak dapat dengan serta merta membebankan tanggung jawab kepada Panembahan Madiun. Seperti dikatakan oleh Ki Lurah Singaluwih, bahwa sedemikian jauh, langkah-langkah yang telah diambil terhadap Mataram, baik oleh orang-orang tertentu sebagaimana dilakukan oleh perguruan Nagaraga, atau oleh sekelompok prajurit Madiun sendiri, ternyata tidak diperintahkan oleh Panembahan Madiun. Bahkan mungkin sama sekali tidak diketahuinya, karena tidak pernah dilaporkan kepada Panembahan Madiun itu.

Demikianlah, maka atas persetujuan Ki Mandaraka, Panembahan Senapati sejak malam itu telah memerintahkan untuk mengawasi lingkungan di sekitar rumah orang yang disebut Kiai Sasak itu, atas keterangan yang diberikan oleh Agung Sedayu.

“Kalian tidak perlu mengawasi regol rumahnya,“ berkata Panembahan Senapati, “malam ini kalian hanya bertugas untuk mengawasi seluruh lingkungan. Dalam pengamatan, apabila terdapat sesuatu yang tidak wajar, maka kalian harus segera melaporkan kepada Agung Sedayu. Malam ini biarlah mereka beristirahat lebih dahulu. Besok kalian akan bekerja bersama untuk tugas itu.“

Demikianlah, setelah mendapatkan beberapa pesan maka kedua petugas sandi terbaik di Mataram itu telah meninggalkan pertemuan itu, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih diperkenankan kembali ke bilik mereka.

Yang tinggal kemudian adalah Ki Mandaraka. Kepada orang yang dianggapnya sebagai tempat untuk menimba petunjuk dan pertimbangan itu, Panembahan Senapati sudah menyampaikan segala persoalan yang dihadapinya dengan Madiun.

“Bagaimana pendapat Paman?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Kita harus mendapat kejelasan. Apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh Panembahan Madiun itu. Mungkin sesuatu yang dengan mudah dapat kita penuhi, sehingga tidak terjadi jarak antara Madiun dan Mataram. Karena dengan demikian maka pihak tertentu akan dapat memanfaatkan jarak ini untuk kepentingan mereka masing-masing,“ berkata Ki Mandaraka.

“Jika yang dikehendaki oleh Panembahan Madiun itu tidak mungkin kita penuhi?“ bertanya Panembahan Senapati.

Ki Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jangan berprasangka buruk terhadap Panembahan Madiun. Mungkin Panembahan Madiun justru tidak mempunyai keinginan apa-apa.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Paman. Aku akan mempergunakan dua jalur. Jalur sandi, dan aku akan minta Adimas Adipati Pajang, Pangeran Benawa, untuk menghadap langsung Panembahan Madiun. Aliran darah yang masih sangat dekat mungkin bisa mendekatkan pengertian antara Madiun dan Mataram.”

“Aku sependapat,” berkata Ki Mandaraka. Namun kemudian, “Tetapi bukankah Pangeran Benawa sedang sakit?”

“Mudah-mudahan keadaannya sudah berangsur baik. Pangeran Benawa memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa,” berkata Panembahan Senapati kemudian.

“Tetapi ketahanan tubuh meskipun ilmu yang betapapun rumitnya, adalah ilmu kadonyan. Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun jika dikehendaki oleh Yang Maha Agung, maka tidak seorangpun yang akan dapat mengelak,” berkata Ki Mandaraka.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Paman benar.”

“Mudah-mudahan Pangeran Benawa masih mendapat kesempatan untuk sembuh dan melakukan tugas-tugasnya kembali,” berkata Ki Mandaraka kemudian. “Terutama dalam hubungan dengan Madiun.”

Demikianlah, keduanya masih berbincang beberapa lama. Namun akhirnya Ki Mandaraka dipersilahkan oleh Panembahan Senapati untuk beristirahat.

Namun menjelang pagi, ternyata Mataram telah dikejutkan oleh utusan dari Pajang yang memberitahukan bahwa sakit Pangeran Benawa justru menjadi semakin parah.

Panembahan Senapati memang menjadi cemas. Pada saat-saat Mataram sedang dibayangi oleh orang-orang yang masih belum jelas kedudukannya, ia mendapat berita yang menggelisahkan dari Pangeran Benawa.

Sekali lagi Panembahan Senapati memanggil Ki Mandaraka serta Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Akhir pekan itu masih akan datang dua hari lagi,” berkata Panembahan Senapati.

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Ia mengerti kegelisahan hati Panembahan Senapati. Di saat ia menghadapi persoalan di Mataram sendiri, maka ia mendapat berita bahwa keadaan Pangeran Benawa menjadi parah.

Namun sambil mengangguk-angguk Ki Mandaraka berkata, “Hamba mengerti kegelisahan Angger Panembahan. Namun agaknya angger Panembahan ingin mengatakan bahwa karena akhir pekan masih akan datang dua hari lagi, Angger dapat pergi ke Pajang hari ini?”

“Ya Paman,” jawab Panembahan Senapati, “aku akan mengajak Paman pergi ke Pajang. Bagaimanapun juga, aku harus datang menengok Adimas Pangeran Benawa.”

“Baiklah Angger Panembahan,” berkata Ki Mandaraka, “kita dapat minta tolong Angger Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk mengamati rumah itu bersama orang petugas sandi itu.”

Panembahan Senapati pun kemudian telah mengambil keputusan. Hari itu juga ia ingin pergi ke Pajang untuk menengok Pangeran Benawa yang sakit.

“Mohon hormat hamba bagi Pangeran Benawa disampaikan, Panembahan,” berkata Agung Sedayu kemudian. Lalu, “Sebenarnya hamba juga ingin sekali menghadap. Tetapi hamba mengerti, bahwa pada saat seperti ini sebaiknya hamba berada di Mataram.”

“Terima kasih Agung Sedayu,” berkata Panembahan Senapati, “nanti aku sampaikan salammu kepada Adimas Benawa. Ia tentu ingin bertemu denganmu.”

Demikianlah, dalam waktu singkat Panembahan Senapati telah memanggil beberapa orang senapati. Dengan tertib Panembahan Senapati telah mengatur tugas. Namun tidak seorangpun dia ntara para Senapati itu yang tahu untuk apa Agung Sedayu berada di Mataram, selain kedua orang petugas sandi itu. Kepada kedua petugas sandi itu pun secara khusus Panembahan Senapati telah memberikan pesan-pesannya tanpa didengar oleh orang lain.

Kepada Panglima pasukan berkuda, Panembahan Senapati memerintahkan untuk menyiapkan perjalanan serta pengawalnya.

“Aku dan Paman Mandaraka akan berangkat hari ini,” berkata Panembahan Senapati, “jika keadaannya tidak terlalu gawat, aku dapat kembali sebelum malam larut.”

Panglima dari pasukan berkuda itu pun bergerak cepat. Dalam waktu dekat, maka segalanya sudah siap. Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mempersiapkan diri pula untuk melakukan tugas mereka bersama kedua orang petugas sandi yang telah ditunjuk langsung oleh Panembahan Senapati sendiri.

Dalam pada itu, ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka Panembahan Senapati beserta Ki Mandaraka bersama sekelompok pengawal telah meninggalkan pintu gerbang Mataram menuju ke Pajang. Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah keluar pula dari pintu butulan halaman samping istana, bersama kedua petugas sandi itu.

Tetapi mereka tidak berjalan bersama berempat. Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berpisah. Masing-masing disertai seorang petugas sandi.

Namun petugas sandi yang mengawani Glagah Putih ternyata merasa ragu di dalam hatinya. Apakah anak muda itu akan berarti untuk melakukan tugas yang penting itu.

Ternyata bahwa petugas sandi itu tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui, bahwa Glagah Putih telah pernah menjalankan tugas bersama Raden Rangga ke daerah Timur, sebagai hukuman atas langkah Raden Rangga yang dianggap terlalu jauh ke depan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih masing-masing akan menuju ke jalan yang lewat di muka rumah Kiai Sanak menurut keterangan orang yang tertawan di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan melalui jalan di depan rumah itu dari arah yang berlawanan.

Karena itu, maka masing-masing telah menempuh jalan yang berbeda. Agung Sedayu dan seorang di antara petugas sandi itu telah menelusuri jalan-jalan yang lebih kecil di dalam padukuhan. Sementara Glagah Putih telah dibawa melalui jalan yang lebih besar, yang banyak dilalui orang hilir mudik untuk melakukan tugas berdasarkan kepentingan mereka masing-masing.

Memang keduanya tidak menarik perhatian. Dua orang yang lewat adalah hal yang sangat wajar.

Ternyata bahwa Agung Sedayu-lah yang lebih dahulu melewati jalan di depan rumah yang disebut oleh orang yang tertawan di Tanah Perdikan Menoreh, dengan ciri-ciri yang sesuai. Rumah itu memang rumah yang cukup besar. Halamannya luas dan dinding halamannya pun agak tinggi. Beberapa jenis pohon buah-buahan tumbuh di halaman. Sebagai ciri yang agak jelas, adalah bahwa di sudut halaman rumah itu terdapat sebatang pohon kemiri yang tinggi. Pohon yang jarang ditanam di halaman. Sedangkan di luar regol, di pinggir jalan di depan rumah itu tumbuh beberapa batang pohon gayam yang menaungi jalan itu dari teriknya matahari di siang hari. Sebuah genthong yang berisi air telah disediakan di regol dengan sebuah gayung tempurung kelapa yang tergantung di sebelahnya. Air jernih di dalam genthong itu disediakan bagi mereka yang kehausan, di perjalananan.

“Siapakah yang tinggal di rumah itu?” desis Agung Sedayu.

“Masih belum kami ketahui,” jawab petugas sandi itu, “tetapi besok aku tentu sudah mengetahuinya.”

“Sekarang kita akan mengetahuinya,” berkata Agung Sedayu.

“Kau akan memasuki halaman itu?” petugas itu bertanya dengan ragu-ragu.

“Kita singgah di kedai itu,” berkata Agung Sedayu yang melihat sebuah kedai di pinggir jalan, berseberangan dengan rumah-rumah yang mereka amati.”

Petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum sambil berkata, “Bagaimana dengan Glagah Putih?”

Agung Sedayu memandang ke kejauhan. Namun mereka belum melihat Glagah Putih mendekati rumah yang sedang mereka amati itu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Biarlah ia lewat. Sebaiknya ia tidak melihat kita di kedai itu.”

Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Agaknya menyenangkan juga singgah barang sejenak di kedai itu.”

Keduanya pun kemudian telah singgah di kedai yang berada di seberang jalan, berhadapan dengan rumah di sebelah rumah yang sedang mereka amati. Nampaknya kedai itu memang tidak terlalu ramai. Namun sudah ada dua orang yang telah lebih dahulu berada di dalam.

“Kita masuk saja ke dalam,” desis Agung Sedayu.

Keduanya pun sejenak kemudian telah berada di dalam kedai itu. Mereka telah memesan minuman dan makanan bagi mereka berdua.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih memang lewat pula di jalan yang banyak dilalui orang itu. Agung Sedayu telah melihatnya berjalan bersama petugas sandi yang seorang lagi. Namun Glagah Putih dan petugas itu memang tidak melihat Agung Sedayu yang berada di dalam kedai.

Sambil menikmati minuman hangat dan makanan, keduanya menunggu kedai itu menjadi sepi. Baru setelah dua orang itu meninggalkan kedai, maka Agung Sedayu dan petugas sandi yang menyertainya telah berbicara serba sedikit dan sambil lalu tentang rumah-rumah di sekitar tempat itu.

Ternyata bahwa rumah itu memang rumah seorang yang bernama Kiai Sasak.

Beberapa saat mereka berada di dalam kedai itu. Setelah mereka merasa cukup, maka mereka pun segera bersiap-siap meninggalkan tempat itu.

Ternyata bahwa Agung Sedayu dan petugas sandi itu telah cukup banyak mengetahui tentang orang yang bernama Kiai Sasak itu. Cukup banyak bagi satu keterangan yang memang hanya mengetahui tentang kehidupan Kiai Sasak itu. Namun menurut keterangan yang mereka dengar, bahwa istri Kiai Sasak itu memang berasal dari daerah Timur. Beberapa hari yang lalu, istri Kiai Sasak itu telah meninggalkan suaminya. Selebihnya, orang yang memiliki kedai itu tidak mengetahuinya.

“Kenapa kalian tertarik kepada kehidupan Kiai Sasak?” bertanya pemilik kedai itu.

Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Tidak. Aku belum pernah mengenalnya. Aku hanya melihat sebuah rumah yang nampaknya demikian terawat baik. Pepohonan buah-buahan yang tumbuh di halaman, sangat menarik perhatian. Tetapi yang aneh bahwa ia menanam pohon kemiri di sudut halaman itu. Betapa baik hati orang itu, sehingga ia telah menyediakan air bersih bagi para pejalan yang kehausan.”

“Bukankah banyak orang yang berbuat demikian?” bertanya pemilik kedai itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku memang sering melihat gentong berisi air bersih seperti itu. Dan itu adalah pertanda bahwa keluarga kita masih juga banyak yang baik hati. Yang masih mau memikirkan kepentingan orang lain.”

“Jadi bukan hanya Kiai Sasak saja,” berkata pemilik kedai itu.

“Ya. Tetapi karena yang kita lihat di sini adalah rumah Kiai Sasak, maka yang kita bicarakan adalah Kiai Sasak,” berkata Agung Sedayu.

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk, tetapi ia tidak bertanya lagi. Apalagi ketika kemudian datang lagi dua orang yang singgah di dalam kedainya.

Agung Sedayu dan petugas sandi itu pun kemudian telah menempuh perjalanan mereka ke arah yang berlawanan dari jalan yang telah ditempuh oleh Glagah Putih. Namun mereka tidak sempat melihat Glagah Putih yang sempat singgah untuk minum air jernih dari dalam gentong di depan regol.

Ternyata Glagah Putih sempat melihat dari sela-sela pintu regol yang terbuka, halaman dan pendapa rumah yang sedang mereka amati itu. Memang agak aneh, bahwa dalam rumah orang kebanyakan, meskipun rumah itu besar dan terawat baik, mereka melihat dua orang yang berdiri di sebelah pendapa dengan sikap yang menarik perhatian. Keduanya memang berdiri saja sambil menyilangkan tangan di dada. Namun bagi mata Glagah Putih dan petugas sandi itu, keduanya nampaknya memang sedang berjaga-jaga. Bahkan Glagah Putih sempat berpikir, “Apakah kedua orang itu yang dimaksud oleh tawanan di Tanah Perdikan?”

Ternyata salah seorang dari kedua orang itu sempat memandanginya pula. Tetapi orang itu memang tidak menaruh perhatian ketika ia melihat seorang anak muda yang meneguk air dari gentong yang memang disediakan bagi pejalan itu.

Langit memang terasa bagaikan terbakar oleh matahari yang telah mencapai puncaknya. Sehingga wajar sekali jika seseorang menjadi kehausan.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, ketika mereka telah kembali ke istana, maka mereka telah menyesuaikan pengamatan mereka. Agung Sedayu menceritakan apa yang telah didengarnya, sementara Glagah Putih mengatakan apa yang telah dilihatnya.

Ternyata mereka mengambil kesimpulan, bahwa rumah itu memang harus diawasi dengan hati-hati. Agaknya rumah itu memang telah dijaga oleh orang-orang tertentu.

Atau memang dua orang yang berjanji untuk bertemu dengan orang-orang yang tertawan di Tanah Perdikan itu sudah berada di rumah itu.

Namun dengan demikian, maka mereka masih harus mengetahui lebih banyak tentang rumah itu, sehingga mereka memutuskan bahwa di malam hari, mereka akan mengadakan pengamatan yang lebih dekat. Memang satu pekerjaan yang berbahaya. Tetapi mereka merasa perlu untuk melakukannya.

Demikianlah, maka mereka telah membagi tugas. Kedua petugas sandi itu diminta untuk mengamati rumah itu di siang hari dari tempat yang tidak menimbulkan kecurigaan. Mereka akan berada di dua arah jalan yang melewati rumah Kiai Sasak itu. Mereka harus memperhatikan orang-orang yang mungkin dapat mereka curigai mempunyai hubungan dengan isi rumah itu. Sedangkan malam hari, Agung Sedayu dan Glagah Putih akan melakukannya. Mereka akan melihat rumah itu dari jarak yang lebih dekat.

Demikianlah, setelah beristirahat sejenak, maka kedua orang petugas sandi itu pun telah melakukan tugas mereka. Dengan cara yang tidak menarik perhatian, maka keduanya telah berada di tempat yang berlawanan namun di luar padukuhan. Seorang di antara mereka telah menemukan tempat yang baik, di antara gerumbul perdu yang tidak mudah dilihat dari jalan yang sedang diawasinya. Sedangkan yang lain melakukannya dengan cara yang berbeda Karena di sisi yang lain dari padukuhan itu tidak terdapat pepohonan perdu yang rimbun, maka petugas itu telah melakukannya dengan duduk di pinggir sebuah sungai yang tidak begitu besar. Air sungai kecil itu telah sedikit berpusar di tikungan, sehingga terdapat satu genangan yang sedikit dalam. Agaknya petugas itu telah dengan cepat menemukan satu cara. Iapun kemudian telah duduk sambil memegangi dahan bambu yang diikat dengan benang serat pada ujungnya, sehingga seakan-akan petugas itu sedang duduk memancing.

Memang jarang orang yang memancing di tempat itu. Namun ternyata bahwa tidak ada orang yang menaruh perhatian kepada seseorang yang berpakaian lusuh, bercaping lebar, duduk terkantuk-kantuk dengan pancing yang tertancap di sebelahnya.

Sampai sore hari, ternyata keduanya tidak melihat seseorang yang pantas mendapat perhatian mereka. Orang-orang yang lewat di jalan itu, menurut penglihatan mereka, adalah orang-orang padukuhan-padukuhan di sebelah-menyebelah, atau bahkan orang-orang padukuhan itu sendiri.

Namun tiba-tiba orang yang sedang memancing itu terkejut. Mereka melihat dua orang yang memang pantas dicurigai. Dua orang yang kebetulan dilihatnya bersama Glagah Putih berada di halaman rumah Kiai Sasak.

Orang yang sedang memancing itu pun kemudian telah menempatkan dirinya sebaik-baiknya. Orang-orang itu memang tidak berjalan lewat jalan yang memang mulai menjadi lengang di sore hari. Tetapi keduanya telah meloncati parit dan berjalan sepanjang pematang, justru ke arah orang yang sedang memancing ikan itu.

Petugas sandi itu memang menjadi berdebar-debar. Tetapi sebagai seorang prajurit dalam tugas sandi, maka iapun telah bersiaga sepenuhnya bila terjadi sesuatu atas dirinya.

Tetapi agaknya keduanya hanya lewat saja beberapa langkah dari padanya. Sementara keduanya lewat, petugas itu mendengar seorang di antara mereka berkata, “Masih ada waktu sehari besok sebelum hari yang ditentukan.”

“Ya,” sahut yang lain, “bahkan mungkin yang dari Tanah Perdikan, besok akan datang.”

“Mungkin. Tetapi anak-anak setan yang bertugas di Kota Mataram ini justru belum membuat hubungan sama sekali,” berkata orang yang pertama.

“Mereka tidak menganggap penting,” sahut yang lain pula.

Petugas sandi itu masih mendengar mereka berbicara. Tetapi ia tidak lagi dapat menangkap isi pembicaraan itu.

Ketika kedua orang itu menjadi semakin jauh, maka iapun kemudian telah mengangkat pancingnya dan menggulung benangnya. Mungkin nanti masih diperlukannya lagi. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan tempatnya, mumpung matahari masih nampak meskipun sudah menjadi terlalu rendah di sore hari.

Petugas sandi itu pun kemudian justru telah memasuki padukuhan. Dengan capingnya yang lebar ia berjalan menunduk.

Ketika ia sampai di muka regol rumah Kiai Sasak, maka iapun berhenti sejenak. Agaknya masih pantas bagi seorang pejalan menjadi kehausan. Karena itu, maka iapun telah mengambil gayung tempurung kelapa dan minum beberapa teguk.

Namun dari celah-celah regol yang terbuka tidak terlalu lebar, ia memang melihat kehalaman. Ia melihat dua orang lagi duduk di serambi. Dua orang yang nampaknya sekelompok dengan kedua orang yang dilihatnya di pinggir sungai kecil itu.

Karena itulah, maka petugas itu pun segera meninggalkan tempat itu dan langsung kembali ke istana lewat pintu butulan di halaman samping. Seorang penjaga segera mengenalinya ketika orang bercaping lebar itu telah mengucapkan kata-kata sandinya.

Menjelang senja, kawannya yang berada di antara pohon-pohon perdu baru datang. Namun ia tidak melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

Ketika mereka kemudian makan malam, setelah masing-masing membenahi dirinya, maka petugas yang melihat kedua orang yang berjalan di sebelah sungai dan dua orang di halaman itu telah memberitahukannya kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Jadi mereka tidak hanya berenam,” desis Glagah Putih. “Kenapa orang-orang itu telah berbohong Kakang? Apakah mereka memang ingin menjebak kita?” bertanya Glagah Putih.

“Mereka tidak berbohong. Mereka memang hanya berenam. Sedangkan yang lain adalah para penghuni rumah Kiai Sasak,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi apakah penjual di kedai itu memang mengatakan demikian kepada Kakang?” desak Glagah Putih.

“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “tukang kedai itu tentu tidak tahu apa yang ada di dalam rumah itu. Bahkan ia sama sekali tidak tertarik untuk memperhatikannya, karena ia memang tidak berkepentingan apa-apa. Sedangkan orang-orang di rumah itu pun sama sekali tidak mengganggu lingkungannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Agaknya kehadiran orang-orang yang mencurigakan itu tidak banyak diketahui dan tidak pula menarik perhatian orang-orang di sekitar rumah Kiai Sasak yang seakan-akan memang tertutup itu. Dinding yang agak tinggi yang memutari halaman rumahnya, telah membatasi perhatian orang-orang di sekitarnya atas isi rumah itu. Agaknya orang-orang di rumah itu memang tidak banyak berhubungan dengan orang-orang di sekitarnya.

Menurut pengamatan petugas sandi yang melakukan tugasnya dengan berpura-pura mengail itu, ternyata ia telah melihat empat orang di rumah Kiai Sasak. Seandainya dua di antara mereka adalah dua orang yang memang berjanji untuk bertemu dengan kawan-kawan mereka yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka dua orang yang lewat di dekat sungai itu tidak akan mengeluh, bahwa petugas mereka yang justru berada di Mataram tidak pernah membuat hubungan dengan mereka.

Karena itu, maka mereka memang harus lebih berhati-hati. Di samping enam orang itu, ternyata masih ada beberapa orang lagi yang perlu diperhatikan.

Sebagaimana telah mereka rencanakan, maka di malam hari Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bertekad untuk memasuki halaman rumah itu sejauh dapat mereka lakukan. Waktu mereka tinggal sehari menjelang saat pertemuan orang-orang yang telah dikirim oleh seorang Tumenggung dari Madiun itu.

Para petugas sandi yang atas kemauan Agung Sedayu tidak perlu menyertainya dan telah memerlukan untuk beristirahat itu telah memberikan beberapa isyarat sandi, sehingga jika Agung Sedayu kemudian mendapat kesulitan dengan para petugas Mataram, ia dapat mempergunakan isyarat sandi itu.

Demikianlah, ketika malam kemudian mendekati pertengahannya, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan halaman istana. Atas persetujuan para petugas sandi, maka mereka tidak melalui pintu yang manapun juga. Tetapi mereka telah meloncati dinding istana.

Namun mereka tertegun ketika mereka berada di luar dinding, tidak terlalu jauh dari jalan induk yang menuju ke pintu gerbang istana, mereka telah mendengar sekelompok orang berkuda berpacu menuju ke pintu gerbang samping.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian dengan sangat berhati-hati telah mendekat ke jalan induk yang bercabang sepanjang dinding halaman, menuju ke pintu gerbang samping.

Ternyata mereka adalah Panembahan Senapati dengan para pengawalnya yang telah kembali dari Pajang.

Ada keinginan Agung Sedayu untuk mengetahui keadaan Pangeran Benawa, namun Agung Sedayu telah menerima diri untuk menanyakannya di keesokan harinya. Ia sudah terlanjur melangkah untuk mengetahui keadaan rumah Kiai Sasak itu lebih jauh, sehingga lebih baik langkah itu dilanjutkan lebih dahulu.

Demikianlah maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melanjutkan rencananya pergi ke rumah Kiai Sasak dan melihat lebih ke dalam untuk mengetahui lebih banyak isi rumah itu.

Meskipun Agung Sedayu dan Glagah Putih bukan orang yang tinggal di kota pusat pemerintahan itu, namun mereka telah mengenal jalan-jalan penting di Mataram. Karena itu, maka mereka pun tidak terlalu sulit untuk menemukan arah rumah Kiai Sasak meskipun di malam hari. Yang perlu mereka lakukan adalah menghindari gardu-gardu penjagaan. Baik oleh para prajurit Mataram, maupun oleh para peronda padukuhan-padukuhan.

Tanpa banyak menemui kesulitan-kesulitan keduanya telah mencapai rumah Kiai Sasak.

Beberapa saat mereka mengamati keadaan di luar rumah itu. Di sebelah-menyebelah malam terasa terlalu dingin. Lampu-lampu sudah menjadi redup dan bahkan tidak lagi terdengar suara seorangpun lagi. Agaknya semua orang sudah tertidur nyenyak.

Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih memperhitungkan, bahwa tidak demikian dengan rumah Kiai Sasak itu.

Dengan demikian maka keduanya menjadi sangat berhati-hati. Ketika mereka kemudian meloncat ke atas dinding di bagian belakang halaman rumah Kiai Sasak, maka mereka masih belum melihat sesuatu.

Beberapa saat keduanya berada di atas dinding. Mereka menelungkup sampai melekat bibir dinding yang cukup tinggi itu sambil memperhatikan keadaan. Ketika keduanya yakin bahwa tidak ada seorangpun yang melihat mereka, maka mereka pun telah meloncat masuk ke halaman.

Dengan kemampuan ilmu yang tinggi, maka mereka telah menyusup di antara pepohonan, mendekati rumah Kiai Sasak.

Tetapi mereka tidak dapat menemukan sesuatu ketika mereka mendekati rumah itu dari bagian belakang. Karena itu, maka mereka pun telah bergerak ke samping. Ternyata mereka telah berada di sebelah gandok kanan dari rumah Kiai Sasak.

Agaknya gandok itu ditempati oleh dua atau tiga orang. Agung Sedayu dan Glagah Putih hanya dapat mendengar tarikan nafas mereka yang teratur. Namun dengan demikian tidak ada sesuatu kesimpulan yang dapat mereka ambil dari sekedar mengetahui orang-orang yang sedang tidur di gandok.

Beberapa saat kemudian, keduanya telah bergeser lagi. Ketika mereka sampai di sudut gandok bagian depan, maka mereka sempat melihat bagian dalam regol dan melihat sesuatu yang menarik perhatian. Halaman itu kosong. Tidak seorangpun yang berjaga-jaga nampak di halaman itu. Bahkan ketika mereka sempat melihat pendapa, pringgitan dan serambi-serambi di dalam longkangan, mereka tidak menemukan seorangpun.

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang menjadi heran. Apa artinya orang-orang yang mengadakan pengawasan justru di siang hari, jika di malam hari mereka semuanya tertidur nyenyak.

Namun Agung Sedayu tidak segera meninggalkan tempat itu. Bersama Glagah Putih mereka berkisar mendekati seketheng. Tetapi mereka tidak segera memasuki seketheng dan berada di longkangan.

Ketika Agung Sedayu melekat pada dinding di sudut sekat halaman samping itu, maka ia memang mendengar pembicaraan di ruang dalam.

Dengan isyarat Agung Sedayu memanggil Glagah Putih untuk mendekat.

Glagah Putih pun kemudian mengangguk-angguk. Iapun mendengar pembicaraan di ruang dalam rumah Kiai Sasak itu.

Yang terdengar adalah suara yang kasar, meskipun tidak terlalu keras, “Jangan menolak, Orang Dungu. Umurmu tinggal tidak lebih dari umur jagung semusim. Kalau kau terlalu banyak tingkah, maka yang seumur jagung itu pun akan kami renggut darimu.”

“Tetapi kalian tidak dapat memaksa aku seperti itu,” terdengar jawaban. Suara seorang yang sudah berusia tua.

“Kiai Sasak,” terdengar lagi suara kasar itu, “sekali lagi aku peringatkan, bahwa kau akan mati jika kau tidak merubah sikapmu.”

“Aku sudah tua,” jawab suara yang lain. Suara orang tua. “Apa artinya mati bagiku?”

“Baik. Jika kau tidak takut mati, maka kau akan menyaksikan bagaimana kami membunuh istri dan anak perempuanmu itu. Kau akan kami bawa ke tempat kami menyimpan istri dan anakmu. Kemudian memperlihatkan kepadamu, bagaimana aku membunuhnya. Tetapi sebenarnya anakmu terlalu cantik untuk mati tanpa arti bagi kami. Karena itu, mungkin aku mempunyai kepentingan lain dengan anak perempuanmu itu.”

“Bangsat kau,” orang tua itu tidak dapat menahan diri. Namun yang terdengar adalah suara yang kasar, “Kau tidak mempunyai pilihan Kiai. Kau harus memberikan tempatmu untuk keperluan kami, selama kami masih memerlukan.”

“Kembalikan anak dan istriku. Mungkin aku mempunyai pertimbangan yang menguntungkanmu. Tetapi selama anak dan istriku masih kalian sembunyikan, aku tidak akan bersedia berbuat apapun bagi kalian,” berkata orang tua itu.

Tetapi orang kasar itu tertawa. Bahkan terdengar suara lain, “Kau jangan keras kepala Kiai. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Jika kau tetap berkeras hati, maka istrimu yang jauh lebih muda dari umurmu sendiri itu, serta anakmu yang cantik yang sudah menginjak usia perawan itu, akan mengalami kesulitan, dan bahkan akan dapat menjadi korban kekerasan hatimu yang bodoh itu.”

“Aku tidak mengira bahwa di dunia ini ada orang selicik kalian. Kenapa kau tidak berbuat jantan dan berpijak pada harga diri?” terdengar suara orang tua itu.

Tetapi yang terdengar adalah suara-suara tertawa. Dua atau tiga orang.

“Sudahlah Kiai,” berkata salah seorang di antara mereka yang tertawa itu, “kami tahu bahwa kau adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ilmumu yang tinggi itu tidak akan berarti apa-apa bagi penyelamatan istri dan anakmu cantik itu.”

“Pengecut yang licik,” geram orang tua itu.

“Kau masih mempunyai kesempatan untuk memikirkannya. Besok orang-orang yang datang dari Madiun sejumlah enam orang, akan berkumpul di sini. Mereka akan mengurai dan kemudian mengambil kesimpulan hasil dari perjalanan mereka di Tanah Perdikan dan pengamatan mereka atas Mataram. Pada kesempatan lain, mereka akan menghubungi daerah-daerah lain di sekitar Mataram ini. Mungkin Mangir dan daerah pesisir, mungkin Jati Anom dan Sangkal Putung, mungkin Cangkring dan daerah lereng Gunung Merapi yang lain. Bahkan mungkin akan menyentuh daerah Pangrantunan,” berkata orang yang bersuara kasar.

“Satu rencana gila,” jawab orang tua yang terjepit oleh keadaan, “suatu ketika aku akan membunuh kalian dengan cara seorang laki-laki, jika kalian berani bersikap seperti laki-laki. Meskipun aku sudah tua, tetapi membunuh kalian berempat sekaligus, bukan pekerjaan yang sulit bagiku.”

Suara tertawa itu bagaikan meledak lagi. Salah seorang di antara mereka yang tertawa itu berkata, “Apakah kau tidak mencintai istri yang lima belas tahun lebih muda darimu itu, serta anak gadismu yang cantik?”

“Persetan,” orang tua itu hampir berteriak.

“Jangan berteriak. Sekarang ini malam hari. Nanti suara Kiai akan dapat mengejutkan para tetangga,” berkata orang yang bersuara kasar itu.

Sesaat ternyata semua terdiam. Agaknya orang tua itu sedang merenungi keadaannya yang sulit. Meskipun barangkali kematian itu sendiri tidak menakutkannya, namun apa yang akan terjadi dengan anak dan istrinya itulah yang harus dipertimbangkannya masak-masak.

Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata sudah mendapat gambaran apa yang sesungguhnya terjadi. Ternyata Kiai Sasak bukan sasaran yang sebenarnya. Iapun telah menjadi korban kelicikan sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab. Mereka tentu juga tidak melakukannya atas nama perintah Panembahan Madiun yang sebenarnya. Karena agaknya yang mereka lakukan semata-mata untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka mempergunakan saat-saat yang buram untuk memancing kekerasan.

Dengan isyarat Agung Sedayu pun kemudian telah mengajak Glagah Putih bergeser. Apalagi ketika mereka mendengar suara kasar, “Tidurlah. Aku akan berada di pendapa.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun kemudian telah meninggalkan tempatnya. Mereka menyempatkan diri untuk mendengarkan tarikan nafas di dalam bilik gandok.

Ternyata orang yang tidur nyenyak itu masih juga tidur dan bahkan mulai mendengkur.

Agung Sedayu berusaha untuk dapat melihat, siapakah yang berada di gandok itu. Dengan hati-hati ia berusaha untuk memanjat dan mengintip dari bawah blandar.

Ternyata tiga orang laki-laki yang nampaknya seperti laki-laki yang berbicara dengan Kiai Sasak itu, yang dengan licik telah berusaha untuk menguasai Kiai Sasak.

Demikianlah, dengan hasil pengamatannya atas rumah yang akan menjadi ajang pertemuan dari orang-orang yang bertugas di Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, yang dikirim oleh seorang perwira dari Madiun itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah kembali ke istana.

Sebagaimana mereka keluar, maka mereka pun telah memasuki istana tidak melalui pintu butulan. Tetapi mereka telah memanjat dan meloncat masuk ke halaman dalam. Dengan mengetuk pintu sesuai dengan pesan petugas sandi yang menunggu di serambi, maka pintu serambi itu pun telah dibuka.

Sesaat kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun telah duduk di ruang samping, ruang yang memang diperuntukkan bagi mereka. Karena menurut pengenalan Agung Sedayu dan Glagah Putih terhadap kedua orang petugas sandi itu adalah bahwa keduanya mendapat kepercayaan dari Panembahan Senapati, maka yang mereka lihat itu pun telah mereka katakan kepada kedua petugas sandi itu.

Ternyata kedua petugas itu menanggapi keterangan Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan sungguh-sungguh. Mereka memang sangat tertarik kepada keterangan itu.

“Besok kita akan melaporkannya kepada Panembahan Senapati,” berkata salah seorang dari petugas sandi itu. “Agaknya persoalan ini bukannya persoalan yang tanpa kaitan dengan persoalan yang besar yang nampaknya memang sedang mengeruhkan hubungan Mataram dan Madiun.”

“Kami melihat Panembahan sudah kembali,” berkata Agung Sedayu.

“Ya. Kami sudah dipanggilnya,” jawab seorang di antara para petugas sandi itu.

“O, apa yang kalian sampaikan kepada Panembahan?”

“Kami juga melaporkan apa yang sedang kalian lakukan,” jawab petugas sandi itu.

“Apakah Panembahan menyebut tentang Pangeran Benawa?” bertanya Agung Sedayu.

“Agaknya itulah yang membuat Panembahan prihatin. Sakit Pangeran Benawa agak parah. Bahkan belum nampak tanda-tanda bahwa penderitaannya itu berkurang, meskipun segala macam obat sudah dicobanya,” jawab petugas sandi itu.

Semula terbersit ingatan untuk berhubungan dengan Kiai Gringsing. Namun Agung Sedayu telah mengurungkannya. Di Pajang tentu sudah banyak ahli-ahli dalam masalah pengobatan. Meskipun demikian, pada saat yang khusus mungkin Agung Sedayu akan dapat menyampaikannya kepada Panembahan apabila diperlukan.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian masih sempat beristirahat setelah mereka membenahi diri di pakiwan. Meskipun malam sudah menjelang dini hari, namun mereka masih dapat tidur beberapa saat.

Pagi-pagi benar, baru saja mereka selesai mandi, ternyata Panembahan Senapati telah memanggil mereka berempat. Agaknya Panembahan Senapati segera ingin mendengar laporan hasil pengamatan Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Dengan cermat Agung Sedayu telah melaporkannya sehingga Panembahan Senapati mendapat gambaran yang jelas tentang rumah yang menjadi tempat pertemuan orang-orang yang sedang dalam tugas di Mataram dan sekitarnya itu.

“Baiklah,” berkata Panembahan Senapati, “persoalan ini kami serahkan kepada kalian berempat. Kalian kami beri wewenang untuk menggerakkan pasukan yang kalian perlukan untuk menyelesaikan persoalan ini. Semua perintah dapat disalurkan lewat Panglima pasukan berkuda, yang dapat bergerak secara khusus. Perintah kepada Panglima itu akan segera kami berikan.”

“Hamba Panembahan,” sahut Agung Sedayu, “hamba akan melakukan segala perintah dengan sebaik-baiknya.” Ternyata Panembahan Senapati memang bergerak cepat. Dipanggilnya Panglima pasukan berkuda yang malam itu mengawalnya kembali dari Pajang.

Agaknya Panglima itu masih tertidur ketika perintah untuk memanggilnya datang.

Dengan singkat Panembahan Senapati memberitahukan apa yang terjadi. Panembahan Senapati pun telah memerintahkan kepada Panglima pasukan berkuda itu untuk memenuhi kebutuhan pasukan jika diperlukan.

“Aku sudah menetapkan keempat orang ini untuk menangani persoalan yang gawat itu. Meskipun Agung Sedayu dan Glagah Putih bukan prajurit Mataram, tetapi kalian tahu, siapakah mereka itu,” berkata Panembahan Senapati.

Panglima pasukan berkuda yang memang sudah mengenal Agung Sedayu dengan baik itu mengangguk hormat. Katanya, “Hamba akan melakukan segala perintah.”

“Segala keperluan akan disampaikan kepadamu,” berkata Panembahan Senapati, “karena itu, dalam dua hari ini, usahakan untuk selalu berada di tempatmu. Meskipun tidak perlu dinyatakan, tetapi bagi kita Mataram memang sedang dalam keadaan gawat. Jika kita biarkan api yang kecil ini membakar sekam, maka akibatnya seluruh lumbung kita akan terbakar.”

Demikianlah, Panglima itu pun telah menyiapkan jalur perintah yang akan melakukan tugas jika Agung Sedayu memerlukan. Panglima itu pun telah menyiapkan pasukan kecil, sedangkan kelompok yang lebih besar, setiap saat kelompok-kelompok itu akan dapat digerakkan.

Namun dalam pada itu Panembahan Senapatipun telah memperingatkan agar Agung Sedayu memperhatikan keluarga Kiai Sasak yang berada di tangan orang-orang yang telah memaksanya untuk memberikan tempatnya kepada mereka.

“Sejauh mungkin mereka jangan dikorbankan,” berkata Panembahan Senapati.

“Hamba Panembahan,” berkata Agung Sedayu, “kami akan mencari cara yang paling baik untuk itu. Namun kami masih belum tahu, dimana keluarga Kiai Sasak itu disimpan.”

“Usahakanlah,” desis Panembahan Senapati kemudian. “Bagi Kiai Sasak, keluarganya itu merupakan tumpuan gairah hidupnya yang sudah dijalaninya hampir setengah abad. Jika keluarganya itu tidak dapat diketemukan, maka aku kira ia akan kehilangan keinginan untuk hidup terus.”

“Hamba Panembahan,” jawab Agung Sedayu, “kami akan berusaha sebaik-baiknya.”

Sementara itu Panembahan Senapati masih pula sempat berbicara tentang Pangeran Benawa yang menjadi semakin sulit keadaannya. Bahkan tubuhnya pun menjadi semakin lemah. Semua ilmu dan kemampuan di dalam dirinya tidak dapat menolongnya.

“Namun satu hal yang dapat meringankan semua penderitaannya,” berkata Panembahan Senapati, “Adimas Benawa telah menjadi pasrah. Dengan demikian semua menjadi ringan baginya. Ia sama sekali tidak lagi membawa beban yang memberatinya. Agaknya Adimas Pangeran Benawa telah berhasil memisahkan dirinya dari kepentingan duniawi. Rasa-rasanya demikian dekatnya ia dengan Sumber Hidupnya. Namun demikian, bukan berarti semua usaha dihentikan, meskipun akhirnya perkembangannya dalam penglihatan masa kewadagan, keadaannya memang sudah menjadi demikian sulitnya. Hari ini adalah hari terakhir dari waktu yang sudah ditentukan menurut keterangan orang-orang yang tertawan di Tanah Perdikan itu. Besok, jika kita sudah mendapatkan sedikit keterangan tentang orang-orang ini, aku akan kembali lagi ke Pajang. Mudah-mudahan orang-orang itu tidak terlepas dari tangan kita.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa dibebani tanggung jawab oleh Panembahan Senapati. Tetapi Agung Sedayu memang tidak akan ingkar. Karena itu, ia harus berusaha sebaik-baiknya, agar orang-orang itu benar-benar tidak lolos dari tangannya.

Dengan demikian maka Agung Sedayu telah bertekad untuk melakukan tugas itu sebaik-baiknya, karena persoalannya akan menyangkut masalah yang luas.

Karena itulah, maka Agung Sedayu harus membicarakan semua rencana dengan sebaik-baiknya. Bersama dua orang petugas sandi yang diperbantukan kepadanya maka Agung Sedayu telah menyusun rencana pengamatan. Sementara itu, bersama Panglima pasukan berkuda Agung Sedayu pun telah menyusun garis hubungan yang sebaik-baiknya.

“Kami berusaha untuk tidak membuat kota ini gelisah dan resah,” berkata Agung Sedayu, “karena itu gerakan pasukan akan diusahakan sekecil-kecilnya.”

“Tetapi jangan karena itu, justru pasukan kita menjadi korban. Jika kita terpancang kepada gerakan pasukan yang kecil, namun tidak seimbang dengan kekuatan lawan, maka hal itu justru akan sangat merugikan kita sendiri. Lebih baik timbul kegelisahan sesaat, tetapi tugas kita dapat diselesaikan dengan baik. Kemudian kita akan dapat memberikan penjelasan kepada penduduk kota ini apa yang telah terjadi. Dengan demikian maka ketenangan akan segera pulih kembali. Sementara itu kita tidak melakukan satu tindakan yang sia-sia dan menaburkan korban tanpa arti.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti sikap Panglima pasukan berkuda itu. Ia tidak mau terjebak dalam kesulitan hanya karena terlalu perasa dan pertimbangan yang tidak berkesudahan.

Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan selalu memperhitungkan kekuatan yang pantas untuk mengatasi jika timbul kesulitan.”

“Kita harus menyediakan pasukan dua kali lipat dari kekuatan yang kita perkirakan pada lawan. Dengan demikian maka kecil sekali kemungkinan, bahwa kita akan terjebak,” berkata Panglima itu. Lalu, “Karena itu, aku sudah menyiapkan pasukan kecil, pasukan sedang dan pasukan yang besar. Memang kita tidak perlu berlebih-lebihan mengerahkan pasukan. Tetapi dengan satu keyakinan untuk tidak akan gagal.”

“Aku mengerti,” sahut Agung Sedayu, “aku akan mengingat semua persetujuan di antara kita, serta jalur yang harus dilewati. Di barak pimpinan pasukan berkuda semua laporan akan kami sampaikan, terutama dalam hubungan dengan pasukan.”

“Aku atau wakilku akan selalu berada di tempat dalam waktu-waktu yang gawat ini,” berkata Panglima itu.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun sudah memahami jalur yang harus ditelusurinya sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang dihadapinya. Namun Agung Sedayu memang tidak ingin menggerakkan pasukan yang berlebihan.

Hari itu pengamatan atas rumah Kiai Sasak dilakukan oleh Agung Sedayu, Glagah Putih dan kedua petugas sandi itu. Tetapi mereka tidak bergerak berpasangan. Tetapi mereka telah bergerak sendiri-sendiri. Namun ternyata hari itu mereka sama sekali tidak menjumpai sesuatu yang pantas mereka anggap penting.

“Jika demikian, semuanya akan berlangsung di hari terakhir,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Ternyata Glagah Putih pun sependapat, sehingga tugas mereka di hari berikutnya tentu akan menjadi cukup berat.

Namun yang paling pelik bagi Agung Sedayu, Glagah Putih dan para petugas sandi adalah perintah Panembahan Senapati untuk berusaha menyelamatkan keluarga Kiai Sasak. Mereka belum tahu dimana keluarga itu disembunyikan. Jika mereka bertindak atas orang-orang yang besok akan berkumpul di rumah Kiai Sasak, maka ada kemungkinan bahwa keluarga Kiai Sasak itu akan menjadi korban. Namun sudah barang tentu, mereka tidak akan melepaskan orang-orang itu, seandainya orang-orang itu telah berkumpul di rumah itu.

Usaha terakhir yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu untuk mengetahui serba sedikit tentang keluarga Kiai Sasak adalah tugas yang terpenting harus mereka lakukan. Menangkap dua orang yang bertugas di Mataram itu sendiri.

“Malam nanti, kita harus mempunyai bahan yang lebih lengkap,” berkata Agung Sedayu.

“Apa yang dapat kita lakukan?” bertanya salah seorang petugas sandi itu.

“Aku dan Glagah Putih sekali lagi akan pergi ke rumah Kiai Sasak. Mudah-mudahan terbuka satu jalan untuk dapat mengetahui dimana keluarganya disembunyikan,” berkata Agung Sedayu.

Kedua petugas sandi itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Bagaimanapun juga kedua orang itu tidak boleh lolos.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Yang dihadapi adalah tugas ganda yang berat. Ia harus berusaha untuk tidak mengorbankan pihak yang manapun juga.

Sebagaimana direncanakan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih malam itu telah pergi ke rumah Kiai Sasak. Para petugas sandi yang diperbantukan kepada mereka melepas keduanya dengan perasaan yang tegang. Namun para petugas sandi itu kemudian telah mendengar kemampuan tentang keduanya, sehingga memang keduanya pantas untuk mengemban tugas yang berat itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih sengaja memasuki halaman rumah Kiai Sasak pada saat yang masih belum terlalu malam. Dengan ketajaman penglihatan dan pendengaran mereka, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih mampu menyelinap mendekati ruang tengah.

Namun mereka memang harus berhati-hati sekali. Di serambi gandok masih ada dua orang yang duduk di amben panjang. Agaknya keduanya memang bertugas mengamati keadaan. Tetapi karena mereka merasa bahwa tempat dan kerja mereka tidak diketahui oleh orang lain, maka mereka tidak merasa perlu untuk terlalu tegang dalam tugas mereka.

“Kita harus dapat menemukan Kiai Sasak,” desis Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Dengan sangat berhati-hati mereka telah bergeser memasuki longkangan. Dengan kemampuan yang mereka miliki, keduanya berhasil melekat dinding ruang samping.

Beberapa saat mereka menunggu. Namun mereka tidak mendengar sesuatu.

“Apakah mereka berada di ruang tengah?” desis Glagah Putih.

“Tetapi kita sudah mencoba mendengarkan. Ruang tengah itu pun rasa-rasanya sepi. Kita tidak mendengar tarikan nafas sama sekali,” sahut Agung Sedayu.

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Namun ia masih saja duduk melekat dinding.

Namun dalam pada itu, terdengar suara agak jauh. Namun mereka mengerti maksudnya.

“Tidurlah Kiai,” terdengar suara yang berat, “kau tidak usah berpikir apa-apa lagi. Kau tidak mempunyai pilihan.”

“Jika kalian menyakiti anak istriku, aku akan membunuh kalian semua,” berkata Kiai Sasak. “Meskipun aku menjadi semakin tua, sudah aku katakan, ilmuku akan sanggup membunuh kalian dalam waktu sekejap.”

“Kami percaya kemampuan Kiai,” terdengar suara yang berat itu, “tetapi bagi kami, kemampuan Kiai itu tidak berarti apa-apa.”

“Anak iblis,” geram Kiai Sasak.

Terdengar suara tertawa. Dengan nada datar orang itu berkata, “Besok, Kiai akan bertemu dengan orang yang berhak memberikan penjelasan kepada Kiai. Tetapi yang akan dikatakannya tidak akan berbeda dengan yang aku katakan sekarang ini. Kiai hanya diminta untuk memberikan tempat ini bagi kegiatan kami di sini.”

“Kenapa kau tidak memilih tempat lain?” geram Kiai Sasak.

“Kiai kami anggap keluarga sendiri. Di sini Kiai tidak berarti apa-apa. Kenapa Kiai tidak berpaling kepada sanak kadang di Madiun saja? Istri Kiai pun berasal dari Madiun. Nah, apa lagi yang kurang dari pilihan kami? Sayang, bahwa perhitungan kami tentang Kiai agak keliru. Terutama sikap Kiai, sehingga kami harus membawa istri dan anak gadis Kiai itu,” terdengar jawaban yang agak lamat-lamat.

“Di sini aku menemukan kedamaian. Aku tidak lagi diganggu oleh ilmuku sendiri, karena aku tidak pernah mempergunakannya lagi. Tidak ada orang, bahkan tetangga-tetanggaku, yang pernah menyebut tentang ilmuku. Namun kalian iblis jahat,” geram Kiai Sasak.

“Sudahlah Kiai. Tidurlah,” jawab suara yang berat itu.

Suasana menjadi hening. Namun Agung Sedayu tiba-tiba saja mendengar langkah mendekat. Pintu berderit dan kemudian selarak yang dipasang.

Sementara itu, terdengar suara lebih dekat dari yang didengarnya sebelumnya, “Jangan mencoba untuk lari Kiai. Karena jika Kiai melarikan diri, akibat bagi keluarga Kiai akan sama saja dengan jika Kiai menolak tawaran kami seluruhnya.”

“Persetan,” geram suara yang lebih dekat lagi. Mereka pun kemudian mendengar desah perlahan, “Semoga Yang Maha Agung melindungi anak istriku.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi semakin yakin, bahwa yang ada di dalam bilik itu adalah Kiai Sasak. Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian bergeser melekat di dinding sambil berbisik perlahan, “Kiai Kiai Sasak.”

Tidak terdengar jawaban. Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih yakin bahwa suara itu didengar.

“Kiai,” sekali lagi Agung Sedayu mengulang.

Kiai Sasak memang mendengar suara itu. Karena itu, maka iapun bergeser mendekat dinding. Dengan hati-hati ia berdesis, “Aku mendengar namaku dipanggil.”

“Ya. Aku memanggil namamu Kiai,” jawab Agung Sedayu.

“Siapa kau?” bertanya Kiai Sasak hampir berbisik.

“Aku seorang petugas sandi dari Mataram. Aku tahu kesulitanmu. Dan aku tahu bahwa di rumah ini hadir orang-orang yang tidak kau kehendaki,” jawab Agung Sedayu. “Pergilah ke pakiwan. Kita dapat berbicara lebih baik. Bukankah kau tidak perlu dikawal oleh orang-orang itu karena mereka tidak akan takut kau melarikan diri?” bertanya Agung Sedayu.

“Baik. Aku akan pergi ke pakiwan,” jawab Kiai Sasak.

“Aku mendahuluimu,” desis Agung Sedayu pula.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah pergi ke pakiwan. Sementara itu Kiai Sasakpun telah keluar pula dari biliknya.

“Kenapa kau bangun lagi Kiai?” bertanya orang-orang yang ada di rumahnya yang masih duduk di ruang dalam, selain yang berada di serambi.

“Aku akan ke pakiwan,” jawab Kiai Sasak.

“O,” orang itu mengangguk-angguk. Katanya pula, “Semakin tua orang memang semakin sering ke pakiwan.” Lalu katanya kepada seorang kawannya, “Antar Kiai Sasak ke pakiwan.”

“Kau kira aku takut pergi sendiri? Persetan. Aku tidak akan lari. Jika aku mau lari, dari bilikku itu pun aku dapat melarikan diri.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Pergilah sendiri.”

Kiai Sasak menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian, maka iapun telah berada di dalam pakiwan.

Di luar dinding pakiwan, Agung Sedayu sudah menunggu. Glagah Putih bertugas untuk mengawasi keadaan.

“Apa yang akan kau katakan?” bertanya Kiai Sasak.

“Pancinglah agar orang-orang itu mau membawa istrimu kemari, meskipun hanya sebentar,” berkata Agung Sedayu.

“Bagaimana mungkin?” jawab Kiai Sasak, “Jika istriku dibawa kemari, aku dapat membunuh mereka semuanya untuk membebaskan istriku itu.”

“Tetapi anakmu?” bertanya Agung Sedayu.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Beri aku jalan untuk melakukannya.”

“Kiai. Bukankah Kiai dapat mengatakan kepada mereka, bahwa Kiai akan bersedia melakukan apa saja, tetapi Kiai harus yakin bahwa anak istri Kiai masih selamat. Kiai ingin melihat mereka meskipun berganti-ganti, seandainya mereka tidak mau membawanya bersama-sama karena mereka takut Kiai akan ingkar,” berkata Agung Sedayu. “Bahkan barangkali akan lebih baik jika mereka membawa anak dan istri Kiai bergantian. Dengan demikian memberi waktu yang lebih luas kepada kami untuk mengetahui, dimana mereka disembunyikan.”

Kiai Sasak nampaknya masih juga ragu-ragu. Sekali lagi ia bertanya, “Siapakah kau sebenarnya?”

“Sudah aku katakan, aku petugas sandi dari Mataram,” jawab Agung Sedayu, “aku ingin menolong Kiai membebaskan anak dan istri Kiai, karena kami tahu bahwa Kiai tidak tersangkut dalam gerakan orang-orang yang mengaku dari Madiun itu. Aku yakin, mereka bukan pengikut Panembahan Madiun yang baik. Tetapi mereka ingin mendapat keuntungan bagi diri mereka sendiri.”

“Baiklah Ki Sanak,” berkata Kiai Sasak, “aku akan minta mereka untuk membawa anak dan istriku.”

Ternyata Kiai Sasak tidak ingin terlalu lama berada di pakiwan agar tidak membuat orang-orang itu curiga. Sejenak kemudian setelah membasahi kaki dan tangannya, bahkan wajahnya, Kiai Sasak pun kembali ke ruang dalam.

“Nah, sekarang silahkan tidur,” berkata orang yang mengawasinya.

“Tidak. Aku sedang mempertimbangkan satu langkah yang agaknya memang tidak dapat aku hindari,” berkata Kiai Sasak.

Kiai Sasak yang kemudian duduk di antara mereka yang mengawasinya itu kemudian berkata, “Aku memang tidak mempunyai pilihan lain.”

“Apa yang Kiai maksud?” bertanya orang yang mengawasinya itu.

“Baiklah. Aku akan menerima kedatangan orang yang kau sebut-sebut itu besok, dan bersedia bekerja bersama, asal istri dan anakku selamat,” berkata Kiai Sasak.

“Bagus,” berkata orang yang mengawasinya, “aku menjamin bahwa istri dan anakmu selamat.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar