Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 222

Buku 222

Untuk beberapa lama mereka telah menunggu sambil berbicara tentang banyak hal. Terutama tentang Glagah Putih.

Sabungsari yang tidak tenang menunggu berkata, “Apakah tidak sebaiknya kita mencarinya?“

“Mudah-mudahan ia tidak mengalami kesulitan. Tetapi jika kita mencarinya, mungkin akan berselisih jalan,“ berkata Agung Sedayu. Lalu, “Tetapi jika terlalu lama ia tidak kembali, maka kita memang akan mencarinya. Namun aku masih tidak terlalu mencemaskannya, karena hal itu terjadi di Tanah Perdikan ini. Hampir semua orang di Tanah Perdikan ini sudah dikenalnya. Sedangkan jika terjadi sesuatu, maka tentu akan terdengar kentongan dalam nada-nada tertentu.”

Namun ternyata malam tetap sepi. Tidak ada suara isyarat apapun, sementara Glagah Putih tidak segera pulang. Tetapi pada saat Agung Sedayu mulai mempertimbangkan untuk mencarinya, maka tiba-tiba saja Glagah Putih telah kembali.

“Ada apa?“ bertanya Agung Sedayu.

Glagah Putih pun menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya. Namun iapun mengatakan, bahwa Tanu lebih senang dianggap jatuh tergelincir di sungai daripada berkelahi tentang perempuan.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah jika tidak terjadi sesuatu atau persoalannya tidak akan berkepanjangan. Dengan demikian agaknya kedua belah pihak sudah menganggap persoalannya telah selesai.“

“Ya Kiai,“ jawab Glagah Putih, “kedua belah pihak telah menganggap persoalannya telah selesai. Tanu justru berusaha untuk menyembunyikan peristiwa yang telah terjadi itu.“

“Syukurlah,“ Kiai Gringsing masih menyambung, “agaknya anak-anak yang telah menangkap Tanu itu pun sudah menjadi jera. Tetapi apakah Tanu tidak memerlukan pengobatan?“

“Tadi ia masih dapat berjalan sendiri memasuki mulut lorong,“ jawab Glagah Putih, “tetapi baiklah. Besok aku akan menengoknya. Mungkin ia memang memerlukan pengobatan, karena ia mengalami perlakuan yang kasar dari beberapa orang anak muda yang kuat.“

“Sebaiknya kau besok memang melihatnya,“ berkata Agung Sedayu, “selagi Kiai Gringsing ada di sini.“

“Baik Kakang,“ jawab Glagah Putih.

“Nah, sekarang kita semuanya akan beristirahat. Sebentar lagi langit akan menjadi merah oleh cahaya fajar,“ berkata Sekar Mirah.

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Baik Mbokayu. Aku memang merasa sangat letih.“

Demikianlah, maka orang-orang yang menunggu Glagah Putih di ruang dalam itu pun kemudian telah pergi ke bilik masing-masing. Sementara itu Sabungsari sempat berdesis, “Hampir saja kami mencarimu.“

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Untunglah kalian belum berangkat.“

Namun dalam pada itu, demikian Glagah Putih berbaring, terdengar pintu biliknya diketok perlahan.

“Siapa?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku. Sudah waktunya kita pergi ke sungai menutup pliridan,“ terdengar jawaban di luar pintu.

“Ah,“ Glagah Putih berdesah, “pergilah sendiri. Aku letih sekali. Aku ingin tidur.“

“Jangan malas, aku guyur kau dengan air!“ bentak suara di luar pintu.

Glagah Putih yang memang ingin tidur memang tidak mau bangkit dari pembaringannya. Katanya, “Jika kau tidak pergi, aku gelitik kau sampai pingsan, he. Bukankah biasanya kau pergi sendiri?“

Anak itu terdiam. Namun kemudian iapun menggerutu, “Pemalas.“

Glagah Putih tidak menyahut. Namun iapun tetap memejamkan matanya.

Tetapi ia masih mendengar anak itu berkata, “Jika aku mendapat banyak ikan, kau tidak boleh ikut makan.“

Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Ia mendengar langkah anak itu menjauh. Memang ada juga perasaan iba. Tetapi ia benar-benar malas untuk bangun lagi dan turun ke sungai.

Pagi-pagi Glagah Putih sudah bangun. Ternyata yang lain pun segera terbangun pula dan bergantian pergi ke pakiwan. Ketika Glagah Putih pergi ke sumur, maka dilihatnya anak yang turun ke sungai itu bersungut-sungut sambil membersihkan sekepis ikan.

“Bukan main,“ desis Glagah Putih, “kau mendapat ikan sebanyak itu?“

“Tetapi kau tidak akan ikut menikmatinya,“ jawab anak itu, “aku akan minta Nyi Sekar Mirah untuk membuat pecel lele.“

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Nanti aku akan merampokmu. Aku senang sekali pecel lele. He, tetapi bukankah semalam aku ikut membuka pliridanmu meskipun tidak ikut menutupnya? Dengan demikian aku harus mendapat bagian seperempat dari sekepis ikan itu.” 

“Seperempat?“ anak itu terbelalak, “Siapa yang menentukan jumlah itu?“

Glagah Putih tertawa. Iapun kemudian telah memegang senggot timba dan mengambil air untuk mengisi gentong di dapur.

Agung Sedayu yang telah berada di kebun untuk membersihkan dedaunan kering yang runtuh telah bersepakat dengan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, bahwa mereka harus dengan segera menilik keadaan Glagah Putih. Mereka tidak tahu, gerak apakah yang ada di dalam diri anak muda itu. Jika gerak dan getar itu merugikan kemampuan dan ilmunya, atau mungkin kurang sesuai dengan keadaaan yang menjadi landasan ilmunya, maka harus diusahakan agar keadaan itu tidak berlarut-larut. Karena itu, maka ketika kerjanya sudah selesai, maka Agung Sedayu pun segera membenahi dirinya. Mandi dan minta agar Sekar Mirah menyiapkan makan bagi mereka.

“Kami akan memanfaatkan hari ini untuk menilik keadaan Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu.

Sekar Mirah pun telah tanggap pula. Karena itu, maka iapun dengan cepat telah menyiapkan makan bagi Agung Sedayu dan tamu-tamunya.

“Aku akan membuat pecel lele nanti siang saja,“ berkata Sekar Mirah, “pagi ini aku akan membuat kulupan lebih dahulu.“

Ternyata anak yang membersihkan ikan itu memang belum selesai, sehingga karena itu ia menjawab, “Baiklah Nyi. Kebetulan sekali, sehingga aku tidak tergesa-gesa.“

Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi. Iapun segera bekerja di dapur dengan cekatan.

Setelah makan pagi dan beristirahat sejenak, maka Agung Sedayu telah minta kepada Glagah Putih untuk mempersiapkan diri.

“Kita ingin segera mengetahui apa yang terjadi atas dirimu,“ berkata Agung Sedayu.

“Ya Kakang,“ jawab Glagah Putih, “aku tidak sempat bertanya kepada Raden Rangga sebelum pergi, apa yang telah dilakukannya.“

“Pergilah ke sanggar. Bersiaplah. Kami akan menyusul kemudian,“ berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih pun kemudian telah mendahului pergi ke sanggar. Sudah lama ia tidak berada di sanggar itu. Karena itu, maka rasa-rasanya ia ingin mengenali kembali, perabot yang terdapat di sanggar itu.

Beberapa balok kayu yang membujur dan bersilang. Patok-patok yang dibuat dari batang gelugu yang tidak sama tingginya. Kemudian semacam jembatan tinggi yang merentang di atas patok-patok itu. Beberapa jenis senjata dan beberapa jenis batu. Dari batu putih yang lunak, batu padas dan batu karang yang tajam, serta batu hitam yang keras seperti baja.

Glagah Putih memandangi semua itu dengan kepala yang terangguk-angguk. Seperti seseorang yang telah lama meninggalkan sesuatu yang akrab untuk waktu yang lama, dan kemudian dijumpainya kembali. Namun akhirnya Glagah Putih itu duduk di atas sebuah batu di sudut sanggar itu.

Glagah Putih sendiri tidak tahu, bagaimana hal itu dapat terjadi. Mungkin karena ia memang terlalu letih, karena ia hanya sempat tidur sejenak di malam sebelumnya. Sementara itu ia baru saja menempuh perjalanan yang berat dan menegangkan.

Di luar sadarnya Glagah Putih itu telah memejamkan matanya. Angin yang bertiup dan menyusup di sela-sela rusuk-rusuk dan atap sanggar itu rasa-rasanya begitu sejuknya.

Mata Glagah Putih memang hanya sesaat saja terpejam. Ketika ia terkejut dan bangkit, ternyata belum seorang pun yang datang menyusulnya. Sementara itu sebuah lingkaran bayangan cahaya matahari yang menyusup di sela-sela tulang-tulang kayu dan gebyok sanggar itu belum bergeser lebih dari sepanjang ibu jarinya. Namun rasa-rasanya ia telah berada di dunia mimpi untuk waktu yang lama. Rasa-rasanya ia telah mengulangi apa yang telah dilakukannya untuk menerima getaran ilmu dari Raden Rangga yang lemah. Getaran itu telah menjalar dan menyusup di sela-sela kulit dagingnya.

Dalam mimpi Glagah Putih mendengar Raden Rangga berkata, “Jangan takut bahwa getaran itu akan menyentuh ilmumu yang telah mapan di dalam dirimu dalam arti yang kurang baik.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Mimpi itu begitu jelasnya. Namun Glagah Putih pun kemudian menduga, bahwa mimpi itu datang karena ia terlalu memikirkan anak muda yang aneh itu. Glagah Putih merasa sangat kecewa bahwa ia tidak sempat mendapat penjelasan Raden Rangga tentang ilmu yang ditinggalkannya, sehingga hampir setiap saat ia memikirkannya. Bahkan rasa-rasanya ia memang berharap untuk dapat bertemu dengan Raden Rangga itu. Dan mimpi itu pun agaknya merupakan bayangan dari keinginannya itu.

Glagah Putih masih berdiri tegak. Dicobanya untuk mengerti tentang dirinya sendiri. Ketika tiba-tiba ia melenting dan hinggap di atas sebuah patok batang gelugu, rasa-rasanya tubuhnya memang lebih ringan.

Beberapa kali Glagah Putih mencobanya. Setiap kehendak untuk melakukan sesuatu, ternyata mempunyai pengaruh langsung pada tubuhnya dan pada sikap yang diambilnya. Rasa-rasanya jalur-jalur arus kehendaknya dengan sendirinya telah menyentuh simpul-simpul syarafnya dan bahkan mengungkit ilmunya. Glagah Putih menghentikan pengamatannya atas dirinya sendiri ketika ia mendengar suara beberapa orang mendekati sanggar.

Sejenak kemudian, maka pintu sanggar itu pun terbuka. Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari telah memasuki sanggar itu.

Sejenak kemudian, maka sanggar itu pun telah ditutup dan diselarak dari dalam. Sedangkan Sekar Mirah yang sebenarnya juga ingin melihat perkembangan ilmu Glagah Putih, terpaksa tidak dapat ikut berada di dalam sanggar karena ia harus sibuk di dapur. Bagaimanapun juga ia adalah seorang istri di rumah itu. Apalagi ia memang sudah menyanggupi pembantu di rumahnya untuk membuat pecel lele.

Di dalam sanggar, Kiai Gringsing telah mempersilahkan Glagah Putih untuk duduk di tengah-tengah sanggar. Dengan nada rendah Kiai Gringsing berkata, “Apakah kau sudah siap?“

“Ya Kiai,“ jawab Glagah Putih.

“Kita akan segera mulai,“ berkata Kiai Gringsing, “mungkin kita dapat mengambil kesimpulan hari ini. Tetapi mungkin juga tidak.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin mempengaruhi orang-orang itu dengan mimpinya, sehingga karena itu maka ia sama sekali tidak mengatakannya.

Sementara itu Kiai Gringsing pun telah duduk tepat di hadapan Glagah Putih, sedangkan dua orang guru Glagah Putih duduk menghadap Glagah Putih di sisi kanan dan kiri. Sedangkan mereka telah minta Sabungsari duduk di belakang Glagah Putih untuk mengamati sesuatu yang mungkin perlu mendapat perhatian dari mereka.

Untuk beberapa saat mereka telah menyiapkan diri masing-masing, memusatkan nalar budi untuk mencapai satu tataran yang mapan dan kepekaan tertinggi. Sejenak sanggar itu menjadi hening. Namun sejenak kemudian, Kiai Gringsing itu pun berdesis, “Mulailah Glagah Putih. Bergeraklah. Berikan isyarat, ilmumu sejauh dapat kau lakukan.“

Glagah Putih mendengar suara itu. Iapun mulai mengungkapkan unsur ilmu di dalam dirinya sebagaimana diwarisinya dari Agung Sedayu dan Ki Jayaraga dalam ujudnya yang khusus. Karena Glagah Putih tidak melepaskannya dalam ungkapan yang keras, maka getar di dalam dirinya yang memancar adalah pelepasan ilmunya dalam ujud yang lunak. Di dalam dirinya Glagah Putih telah mampu menyusun kedua kekuatan dari kedua ilmu itu luluh menjadi satu, sehingga mampu tampil dalam satu wadah. Atas bantuan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, Glagah Putih telah menjadikan getaran ilmu itu tidak lagi berlapis, namun menyatu.

Kiai Gringsing adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Dengan kepekaan ilmunya itu ia mampu menangkap isyarat yang dipancarkan oleh Glagah Putih yang telah menengadahkan dadanya, mengangkat siku tangannya yang tetap bersilang sehingga dadanya terbuka di bawah tangannya itu.

Sementara itu Ki Jayaraga dan Agung Sedayu telah melakukan hal yang sama dengan berusaha mengenali tataran ilmu yang bersumber dari ilmu masing-masing. Mereka menangkap keutuhan ilmu rangkap di dalam diri Glagah Putih yang diurainya, sehingga mereka mampu menangkap sentuhan ilmu yang terpisah. Hanya dengan kepekaan yang sangat tinggi dari Ki Jayaraga dan Agung Sedayu sajalah hal itu dapat dilakukannya.

Baik Kiai Gringsing, maupun Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, ternyata telah menangkap nilai yang lebih besar dari yang mereka perhitungkan pada diri Glagah Putih. Meskipun Ki Jayaraga dan Agung Sedayu tidak ragu-ragu lagi bahwa yang ada di dalam diri Glagah Putih itu adalah getar ilmu mereka, namun getaran itu menjadi lebih cepat dan lebih tajam dari setiap kemungkinan perkembangan yang wajar di dalam diri anak muda itu.

Kiai Gringsing yang tidak memberikan landasan dasar itu kepada Glagah Putih terutama melihat apakah ada sesuatu yang kurang wajar di dalam kesatuan ilmu anak muda itu. Namun ternyata menurut tangkapan Kiai Gringsing, getar di dalam diri Glagah Putih itu bergerak utuh dan tidak timpang. Tidak terasa hambatan atau sentuhan-sentuhan yang mengganggu. Bahkan ungkapan yang dapat ditangkap oleh Kiai Gringsing menunjukkan, betapa ilmu Glagah Putih telah mencapai tataran yang sangat tinggi.

Bahkan ketika Glagah Putih hampir sampai ke puncak, terasa betapa kekuatan Glagah Putih sempat menekan dada mereka yang duduk di sekitarnya. Namun dalam pada itu, ternyata dalam pengamatan yang saksama dari Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, yang bergetar di dalam diri Glagah Putih dan terpancar ke sekitarnya telah dikenalinya seluruhnya, sehingga hanya bagian-bagian kecil dari perkembangannya yang kadang-kadang lepas dari pengenalan mereka. Namun tidak terasa menghambat atau apalagi menentang arus. Tetapi getar itu terasa begitu kuatnya. Jauh melampaui kewajaran. Meskipun getaran itu sendiri dapat dikenali, tetapi arusnya yang sangat kuat itulah yang harus dipertanyakan. Sabungsari yang duduk di belakang Glagah Putih untuk mengamatinya, merasakan juga getaran yang dahsyat pada diri anak muda itu. Dengan demikian Sabungsari memang menjadi heran, bahwa anak semuda Glagah Putih memiliki kekuatan yang demikian besarnya dari landasan ilmu yang dimilikinya.

Ki Jayaraga pun tidak segera mengerti perkembangan Glagah Putih. Jika benar tangkapannya atas ilmu anak muda itu, maka ia telah sampai pada tataran tertinggi dari ilmu yang pernah diwariskan kepada anak itu.

Orang-orang yang duduk di sekitar Glagah Putih itu pun membiarkaan Glagah Putih meningkatkan ketajaman getaran dari dalam dirinya. Namun ternyata bahwa Glagah Putih telah melepaskannya sampai tuntas. Ia tidak menyisakannya, sehingga dengan demikian maka pemusatan nalar budi yang dilakukan oleh orang-orang di dalam sanggar itu tidak berlangsung terlalu lama lagi.

Perlahan-lahan Glagah Putih mulai menyusut getaran di dalam diri. Tangannya yang bersilang, perlahan-lahan pula diturunkan dan dilekatkan kembali di dadanya. Beberapa kali Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sehingga akhirnya iapun mengurai tangannya dan melepaskannya jatuh di atas lututnya.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari pun menarik nafas dalam-dalam pula. Ternyata pakaian mereka pun basah oleh keringat, sebagaimana Glagah Putih. Usaha mereka menangkap dan mengurai getaran di dalam diri serta usaha mereka mengenalinya, memang memerlukan pengerahan kemampuan di dalam diri mereka masing-masing, menyesuaikan ketajaman tangkapan atas getar yang mereka kehendaki serta mengurainya.

Sejenak kemudian, Kiai Gringsing yang telah memahami keadaan Glagah Putih ditilik dari kekuatan dan kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya, ingin melihat bagaimana kekuatan dan kemampuan ilmu itu dituangkan. Karena itu, maka iapun minta kepada Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari untuk melangkah surut, menjauhi Glagah Putih yang kemudian berdiri tegak di tengah-tengah sanggar.

“Mulailah Glagah Putih,“ berkata Kiai Gringsing, “apakah unsur-unsur serta watak gerakmu masih utuh di dalam perkembanganmu yang terjadi secara khusus itu.“

Glagah Putih kemudian mempersiapkan diri. Ia tidak duduk bersila. Tetapi ia siap untuk menunjukkan perkembangan ilmu yang dituangkannya dalam ujud kasarnya. Sejenak kemudian, Glagah Putih itu pun mulai bergerak. Perlahan-lahan. Namun semakin lama semakin cepat. Ia mulai berloncatan tidak saja di atas lantai sanggar. Tetapi iapun telah melenting meloncat ke atas patok-patok batang yang berdiri tidak sama tinggi. Kemudian meloncat turun dan bergerak berputaran. Demikian cepatnya gerak yang dilakukan, maka tubuhnya kemudian bagaikan bayangan yang terbang mengelilingi sanggar itu. Sekali-kali bertengger di atas palang bambu, kemudian meluncur turun, menyusup di antara kayu-kayu yang bersilang, dan kemudian kembali berada di tengah-tengah sanggar. Kedua tangan Glagah Putih bergerak dengan cepat, menuangkan tata gerak yang tangkas dan cekatan, bahkan dengan kekuatan yang luar biasa besarnya, sehingga gerak itu telah menimbulkan arus angin yang berputaran di dalam sanggar itu.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari benar-benar tergetar hatinya melihat kemajuan Glagah Putih. Namun mereka tetap mengenali unsur gerak itu. Meskipun sebagaimana mereka rasakan dalam getar ilmu anak muda itu, bahwa tersisip juga unsur-unsur yang tidak dikenal oleh Ki Jayaraga dan Agung Sedayu pada ciri utama dari ilmu perguruan mereka, namun kemajuan yang dicapainya ternyata pesat sekali.

Beberapa saat Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari mengagumi tata gerak Glagah Putih. Namun kemudian ketika beberapa jenis kemampuan Glagah Putih itu telah ditangkap sifat dan wataknya yang ternyata tidak berubah, maka Kiai Gringsing pun telah minta Glagah Putih untuk menghentikannya.

Glagah Putih kemudian mulai menyusut geraknya, sehingga akhirnya ia berhenti sama sekali. Dengan hormatnya Glagah Putih kemudian menunduk dalam-dalam ke arah orang-orang yang sangat dihormatinya itu.

“Beristirahatlah Glagah Putih,“ berkata Kiai Gringsing, “aku akan berbicara dengan kedua gurumu.“

Glagah Putih tidak menjawab. Namun iapun kemudian telah bergeser menepi dan duduk di sudut sanggar itu. Sementara Sabungsari yang merasa dirinya tidak berwenang untuk ikut berbicara, telah duduk di dekat Glagah Putih yang sedang mengatur pernafasannya itu.

Beberapa saat Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu telah memusatkan pengamatan mereka masing-masing. Mereka dengan terperinci telah menyatakan hasil penglihatan mereka serta uraiannya.

Namun ternyata Glagah Putih memang ingin mendapat penilaian yang tuntas. Karena itu, maka iapun telah berbuat dengan sejujur-jujurnya. Tidak ada yang disembunyikan. Apa yang ada padanya telah diungkapkannya. Ia tidak ingin orang-orang yang dianggap sebagai guru-gurunya itu akan salah menilai tentang dirinya.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu telah mengadakan penilaian atas pengamatan mereka. Menurut Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, maka mereka telah berhasil mengenali getaran ilmu yang telah mereka wariskan. Mereka tidak menjumpai goncangan dalam perkembangan nilai itu, meskipun telah terjadi peningkatan dan unsur yang kurang mereka kenal, namun bukan merupakan hambatan dan apalagi gangguan.

“Tetapi arus getaran itu jauh lebih kuat dari yang sewajarnya,“ berkata Agung Sedayu.

“Ya,“ jawab Ki Jayaraga, “ilmu di dalam diri Glagah Putih telah meningkat terlalu cepat, melampaui segala kemungkinan yang dapat dilakukan oleh siapapun. Sehingga aku condong untuk mengatakan, bahwa hal itu tidak akan mungkin dilakukan tanpa bantuan orang lain.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun berkata, “Jika demikian, kita akan dapat mengambil satu kesimpulan. Tidak ada getaran ilmu lain selain yang sudah ada di dalam dirinya dengan segala pengembangannya. Ternyata bahwa hal itu telah dapat kita kenali. Yang ada hanyalah satu pacuan di luar kewajaran akan kemajuan ilmu anak muda itu. Bukan saja loncatan panjang pada kemajuan ilmunya, juga kemampuan untuk meningkat semakin cepat.“

Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Beberapa saat mereka masih berbincang. Namun kesimpulannya adalah bahwa apa yang terjadi pada diri Glagah Putih tidak mengandung keberatan. Tetapi mereka harus selalu memperingatkan agar Glagah Putih menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Dengan demikian maka ia tidak akan terdorong untuk melakukan tindakan yang akan dapat bertentangan dengan pesan yang harus dibawakannya, serta lepas dari pengamatan dirinya sendiri.

Glagah Putih tidak boleh terlepas dari sumbernya. Ia harus tetap berpijak di tempatnya sebagaimana ia belum menerima alas yang mampu meningkatkan tataran yang dengan utuh telah meningkatkan ilmunya.

Dengan nada berat Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Anak muda itu sudah berada pada tataran tertinggi dari antara orang-orang berilmu. Namun umurnya yang masih sangat muda memerlukan bantuan agar ia tidak kehilangan kesadarannya akan dirinya. Kesenangan dan gelora perasaan anak muda yang tentu kadang-kadang masih menyala di dalam dirinya, akan dapat berbahaya karena dukungan ilmu yang terlalu tinggi baginya.“ Kiai Gringsing pun berhenti sejenak, lalu, “Untuk itu maka beban di pundak kalian menjadi lebih berat. Kalian adalah guru-gurunya. Namun ada unsur lain yang mengangkatnya secara utuh dalam kemampuan ilmunya ke tingkat yang lebih tinggi.“

Ki Jayaraga dan Agung Sedayu mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Kiai Gringsing, dan agaknya kesepakatan pun telah mereka dapatkan, tentang apa yang harus mereka lakukan atas Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, tanpa terasa ternyata mereka telah sehari berada di dalam sanggar. Demikian mereka menyadari bahwa mereka telah menemukan kesepakatan, maka mereka pun menyadari pula bahwa di dalam sanggar itu menjadi gelap. Cahaya yang semula menyusup melalui lubang-lubang angin dan jalan bagi pencahayaan, telah menjadi redup.

Dalam pada itu, Sekar Mirah pun telah menjadi gelisah. Sejak matahari melalui puncak langit, ia sudah menyediakan makan bagi mereka yang berada di dalam sanggar. Tetapi ternyata sampai saatnya matahari turun dan langit pun dibauri cahaya senja, ternyata yang berada di dalam sanggar masih belum selesai.

Baru ketika langit benar-benar telah menjadi gelap, maka pintu sanggar pun terbuka. Kelima orang yang berada di dalam sanggar itu pun telah melangkah keluar.

Namun dalam pada itu, ternyata mereka masih akan membenahi diri. Terutama Glagah Putih yang telah memeras keringat. Mereka akan mandi dahulu sebelum mereka duduk mengelilingi makan dan minum panas.

Sekar Mirah masih sempat memanasi hidangan yang disediakan, sehingga ketika orang-orang yang letih dari dalam sanggar itu sudah duduk di amben yang besar, maka nasi dan minuman pun memang masih terasa hangat.

Setelah mereka makan, Kiai Gringsing yang mewakili mereka yang mengadakan penilaian atas Glagah Putih telah menyampaikan kesimpulan pendapat mereka. Sebagaimana Glagah Putih dengan jujur mengungkapkan semuanya yang ada di dalam dirinya untuk mendapat penilaian yang utuh, maka Kiai Gringsing pun telah menyampaikan hasil pembicaraan mereka dengan jujur dan lengkap pula.

Sabungsari dan Sekar Mirah yang tidak ikut membicarakan dan menilai perkembangan ilmu Glagah Putih pun ikut mengangguk-angguk. Justru karena mereka juga memiliki bekal pengetahuan tentang ilmu kanuragan, maka mereka pun dapat menangkap uraian yang diberikan oleh Kiai Gringsing.

Glagah Putih mendengarkan penjelasan Kiai Gringsing dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian maka iapun baru menyadari, apa yang telah terjadi dengan anak-anak muda yang telah membawa Tanu dengan kekerasan. Ternyata bahwa ia telah kehilangan pengamatan tentang kekuatan dan kemampuannya sendiri.

Sejenak Glagah Putih mengenang apa yang telah dilakukan oleh Raden Rangga atas dirinya. Demikian saja tanpa penjelasan apapun juga. Untunglah bahwa Glagah Putih masih mempunyai beberapa orang yang mampu menilai tentang dirinya, sehingga dengan demikian ia masih mendapat kesempatan untuk dapat mengenali dirinya sendiri.

Demikianlah, ketika malam menjadi semakin dalam dan masing-masing telah berada di pembaringan, maka Glagah Putih sempat merenungi dirinya sendiri. Apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing merupakan persoalan yang harus dipecahkannya sendiri.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah menganyam rencana untuk melakukannya. Ia akan dapat mencari tempat yang paling terasing untuk melakukannya.

Hampir semalam suntuk Glagah Putih sama sekali tidak memejamkan matanya. Ia mencoba untuk memahami apa yang terjadi sebagaimana dijelaskan oleh Kiai Gringsing tentang dirinya. Namun demikian, akhirnya Glagah Putih sempat juga tidur barang sejenak.

Ketika matahari terbit, maka Glagah Putih pun telah terbangun. Ia merasa agak terlambat. Namun ia masih sempat pergi ke pakiwan untuk mengisi air.

Di sumur ia melihat pembantu rumahnya sedang sibuk membersihkan ikan. Sambil bersungut-sungut anak itu berkata, “Aku tidak membangunkanmu. Kau menjadi semakin malas sekarang.“

“Aku letih sekali,“ jawab Glagah Putih, “besok aku akan membantumu.“

“Terserah saja. Membantu atau tidak,“ jawab anak itu.

Glagah Putih tersenyum. Sambil menepuk bahu anak itu ia berkata, “Jangan cepat marah.“

Anak itu tidak menjawab.

Hari itu Glagah Putih sudah bertekad untuk melihat lebih banyak kepada dirinya sendiri. Ia tidak mau menunda-nunda lagi. Baginya semakin cepat semakin baik. Ketika mereka makan pagi, Glagah Putih telah menyampaikan rencananya untuk pergi ke kaki pebukitan.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sabungsari sependapat. Dengan demikian segala sesuatunya mengenai Glagah Putih akan menjadi semakin jelas dan mapan.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka mereka pun telah mempersiapkan diri. Sekar Mirah telah menyatakan diri untuk ikut bersama mereka. Sementara pembantu rumah Agung Sedayu bersungut-sungut sambil berkata kepada diri sendiri, “Untuk apa sebenarnya mereka pergi semuanya? Di sini banyak bebahu yang dapat diperintahkan untuk melakukan apa saja, sehingga Nyi Sekar Mirah sebenarnya tidak perlu ikut bersama mereka. Tetapi masak saja di dapur.”

Tetapi beberapa saat kemudian, beberapa ekor kuda telah berderap meninggalkan rumah Agung Sedayu. Sebelumnya Agung Sedayu telah pergi ke rumah Ki Gede untuk menyatakan kesibukannya hari itu.

“Aku tidak dapat ikut Ki Gede hari ini mengelilingi Tanah Perdikan,“ berkata Agung Sedayau.

“Kenapa?“ bertanya Ki Gede.

“Aku sedang menilik kemampuan adik sepupuku, Glagah Putih,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Baiklah. Agaknya hari ini tidak ada tugas yang penting dan segera. Prastawa akan ikut bersamaku.“

Agung Sedayu pun kemudian minta diri. Bahkan ia telah meminjam seekor kuda dari Ki Gede untuk dipergunakan oleh Sabungsari, karena kuda yang ada di rumah Agung Sedayu kurang mencukupi.

Demikianlah, iring-iringan kecil itu telah menempuh jalan bulak dan kemudian memasuki jalan-jalan sempit menuju ke kaki pebukitan yang jarang sekali dikunjungi orang. Mereka menyusup hutan yang lebat, kemudian memasuki daerah yang lebih jarang, sehingga akhirnya mereka sampai ke daerah berbatu-batu yang diselingi beberapa hutan perdu.

Mereka telah berhenti di tempat itu. Meloncat turun dari kuda-kuda mereka dan mengikat kuda-kuda mereka pada pepohonan yang ada di sekitar mereka.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih pun telah siap. Ia ingin mengetahui bukan saja batas kemampuannya, tetapi iapun ingin mengetahui tataran kekuatan dan kemampuannya, sehingga ia akan dapat mengendalikan dirinya. Dengan mengetahui tataran-tataran itu, maka ia akan dapat mengatur dirinya pada saat-saat ia melepaskan kekuatannya itu.

Di bawah pengawasan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, serta disaksikan oleh Sabungsari dan Sekar Mirah, maka Glagah Putih berusaha untuk mengenali kekuatan dan kemampuannya.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih telah berdiri di antara bebatuan. Memusatkan nalar budinya dan membangunkan budinya. Namun Glagah Putih mencoba untuk memulai dari tataran yang terendah yang kemudian akan ditingkatkannya selapis demi selapis. Yang menjadi sasaran adalah batu-batu padas di lereng perbukitan itu.

Dengan telaten Glagah Putih mencoba kekuatannya dengan pukulan-pukulan pada batu-batu padas itu. Ia harus mempelajari saat-saat batu itu mulai pecah. Setingkat demi setingkat. Kemudian Glagah Putih telah mengetrapkan pukulan ilmunya pada batu hitam. Seberapa jauh ia harus mengerahkan kemampuannya sehingga batu-batu itu dapat dipecahkannya.

Dengan mengetrapkan ilmu yang diwarisinya menurut jalur perguruan Ki Sadewa yang diajarkan oleh Agung Sedayu, maka Glagah Putih ternyata mampu berbuat jauh lebih baik dari puncak ilmu itu sendiri. Dengan pengerahan kekuatan ilmu itu sampai ke puncak, dilambari dengan kekuatan yang telah menyusup ke dalam dirinya dengan cara yang tidak sebagaimana kebanyakan dilakukan, maka ilmu yang kemudian terpancar dari padanya adalah ciri perguruan Ki Sadewa namun dengan bobot yang jauh lebih berat dari sebelumnya.

Kemudian Glagah Putih mulai dengan kekuatan dan kemampuan ilmu yang diterima dari Ki Jayaraga. Setelah berhenti sejenak sambil mengatupkan telapak tangannya di dadanya, maka Glagah Putih telah bergerak lagi. Namun dengan ciri-ciri ilmu yang lain. Ilmu yang memiliki pertanda yang khusus dari perguruan Ki Jayaraga.

Seperti saat-saat Glagah Putih mengungkapkan ilmunya yang diwarisinya dari jalur ilmu Ki Sadewa, maka ilmu yang kemudian itu pun telah dilepaskannya dengan utuh, bahkan dengan ungkapan yang mendebarkan. Segala sesuatunya memang sudah jauh meningkat dari kewajaran ilmu yang sudah diwarisinya.

Sekali lagi Glagah Putih berdiri tegak di atas sebuah batu sambil mengatupkan tangannya di dadanya. Kemudian iapun mulai lagi dengan gerakan yang perlahan-lahan, namun semakin lama menjadi semakin cepat.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apalagi yang akan diungkapkan oleh Glagah Putih?

“Apakah ia juga menyadap ilmu dari Raden Rangga dalam ujud tersendiri?“ bertanya Agung Sedayu dan Ki Jayaraga di dalam hati.

Namun yang ternyata diungkapkan oleh Glagah Putih adalah satu perkembangan dari ilmunya yang diwarisinya dari Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Dua jalur ilmu yang di dalam diri Glagah Putih telah menjadi luluh dan saling mengisi. Bahkan dalam perkembangan dan peningkatannya, mereka melihat unsur-unsur baru yang memberikan kemungkinan yang jauh lebih besar bagi ilmu yang ada di dalam diri anak muda itu.

Glagah Putih bergerak semakin lama semakin cepat. Bahkan kemudian kaki anak muda itu seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah. Tubuhnya menjadi seolah-olah tidak berbobot, sementara ayunan tangannya menimbulkan arus angin yang mengguncang dedaunan.

Yang dilakukan oleh Glagah Putih menjadi jauh lebih dahsyat dari yang dapat dilakukannya di sanggar yang tertutup. Di udara terbuka ia dapat bergerak lebih leluasa dan tidak terlalu dibatasi oleh ruang. Bahkan sentuhan-sentuhan tangannya atas sasaran tidak terganggu lagi, sehingga bukan saja batu-batu padas, tetapi dalam hentakan kekuatannya, maka tangannya telah dapat memecahkan batu hitam.

Sabungsari dan Sekar Mirah menjadi sangat kagum. Keduanya tidak menduga sama sekali, bahwa anak semuda itu telah mampu menyimpan ilmu demikian tinggi dan matang. Bahkan keduanya tidak dapat ingkar, bahwa mereka tidak akan mungkin untuk dapat mengimbangi ilmu Glagah Putih lagi.

Ketika kemudian Glagah Putih berhenti, ternyata bahwa ia masih belum selesai. Seperti yang dilakukannya sebelumnya, maka sekali lagi ia berdiri tegak sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di dadanya. Kemudian, gerakan-gerakannya pun mulai berubah lagi. Tidak menjadi semakin cepat, tetapi justru menjadi lamban. Namun ternyata bahwa Glagah Putih telah berusaha untuk melepaskan ilmu dari jarak jauh terhadap batu-batu padas di lereng-lereng pebukitan.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, apalagi Sabungsari dan Sekar Mirah hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Bagaimanapun juga mereka tidak dapat ingkar, bahwa selama Glagah Putih berada di dekat Raden Rangga, maka anak muda itu telah mengalami kemajuan yang luar biasa. Meskipun Raden Rangga tidak memberikan ilmunya dalam ujud yang dapat ditangkap oleh indra kewadagan, namun ternyata bahwa ilmu yang tergetar dari anak yang aneh itu menyusup di dalam diri Glagah Putih, dan petunjuk-petunjuk serta dorongan yang diberikan sebelumnya, telah membuat Glagah Putih berada di lapisan yang tinggi dari ilmu yang telah dikuasainya sebelumnya.

Beberapa kali batu-batu di lereng pebukitan itu bagaikan meledak. Kemudian runtuh berguguran. Sejenak kemudian Glagah Putih tidak lagi menghadap ke lereng pebukitan, tetapi ia menghadap ke arah batang-batang pohon yang ada di kaki pebukitan itu. Dengan kemampuannya maka anak muda itu telah menghentakkan ilmunya ke arah pepohonan itu. Ternyata bahwa ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga, dilandasi dengan kemampuan yang dialirkan dari Raden Rangga ke dalam dirinya dengan berbagai cara, sampai yang terakhir menjelang Raden Rangga meninggal, telah mewujudkan ilmu yang sangat dahsyat. Ketika Glagah Putih itu melontaran ilmu ke arah dedaunan, maka ternyata kekuatan panasnya api telah membakar dedaunan itu. Dalam sekejap dedaunan itu telah menjadi layu dan kering. Bahkan sepercik api seakan-akan telah nampak menyala. Namun hanya sekejap’saja. Yang dilakukan kemudian oleh Glagah Putih adalah mengalirkan kekuatan angin, sehingga beberapa batang pepohonan bagaikan diputar oleh angin pusaran.

Orang-orang yang menyaksikan bagaikan telah membeku. Glagah Putih benar-benar telah menjadi seorang anak muda yang berilmu tinggi. Bahkan rasa-rasanya sepeninggal Raden Rangga, maka Glagah Putih seakan-akan telah menjadi perwujudannya dalam tataran ilmunya. Seakan-akan apa yang pernah dilakukan oleh Raden Rangga akan dapat pula dilakukan oleh Glagah Putih.

Namun Agung Sedayu terutama masih tetap melihat, bahwa Glagah Putih masih tetap pada kepribadiannya sendiri. Ia masih tetap Glagah Putih sebagaimana ia berangkat dahulu, namun Glagah Putih yang berilmu sangat tinggi.

Tetapi Agung Sedayu memang berdoa di dalam hati, agar anak itu kemudian tidak berubah, justru setelah ia merasa memiliki ilmu yang jarang ada bandingannya.

Glagah Putih masih memperlihatkan kemampuan ilmunya untuk beberapa lama. Namun kemudian iapun mulai menyusutnya, sehingga akhirnya Glagah Putih telah menghentikannya. Ia berdiri tegak sambil mengatupkan tangannya di dada. Kemudian tangannya itu pun turun perlahan-lahan sehingga kemudian kedua tangannya itu tergantung di sisi tubuhnya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan ia melangkah menghadap Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu. Sementara Sabungsari dan Sekar Mirah pun telah mendekat pula.

“Luar biasa,“ desis Kiai Gringsing, “kau telah mendapat satu kesempatan yang jarang, atau barangkali tidak pernah, didapatkan oleh siapapun juga kecuali Raden Rangga. Meskipun mungkin cara yang kau tempuh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Raden Rangga itu sendiri. Barangkali ilmu yang kau miliki sekarang memang masih terpaut beberapa lapis dengan Raden Rangga, namun apa yang kau miliki itu tentu sangat mengejutkan bagi kami semuanya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kiai. Dahulu pada saat aku menjalani laku atas petunjuk Raden Rangga, berendam di sebuah belumbang, kemudian justru setelah aku berusaha untuk membantu Raden Rangga yang mengalami kesulitan di dalam dirinya, dan yang ternyata telah meyakinkan Raden Rangga bahwa aku dapat melakukan lebih jauh daripada sekedar mengalirkan udara panas ke dalam tubuhnya, kemudian beberapa cara dan tata laku, serta yang terakhir menjelang saat terakhirnya, agaknya Raden Rangga memang tidak memberikan unsur-unsur baru pada ilmuku, selain dukungan yang dapat mempertajam dan meningkatkan apa yang telah ada di dalam diriku. Memang mungkin dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang aku warisi dari Kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga terdapat unsur-unsur yang baru, namun itu adalah hasil perkembangan kedua ilmu itu sendiri, yang atas petunjuk dan pertolongan Kakang dan Ki Jayaraga telah luluh di dalam diriku, meskipun aku masih dapat mengurai dan mengungkapkannya secara terpisah.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Glagah Putih, yang kami khawatirkan adalah apabila terdapat perkembangan yang tidak menguntungkan di dalam dirimu, jika yang kau terima dari Raden Rangga di saat terakhir itu adalah satu ujud ilmu yang akan dapat bertentangan atau berbenturan watak dan sifatnya dengan ilmu yang sudah ada di dalam dirimu. Namun ternyata melihat perkembangan ilmu itu di dalam dirimu, baik di dalam sanggar maupun di tempat terbuka ini, kau tidak mengalami gangguan dari benturan kekuatan yang ada di dalam dirimu. Yang ada justru landasan yang mendukung ilmu yang telah ada di dalam dirimu dan mendorongnya ke peningkatan yang jauh. Meskipun kau mampu melontarkan kekuatan ilmu dengan sasaran berjarak, namun yang terlontar itu adalah ujud dari ilmu yang pernah kau terima baik dari Agung Sedayu maupun dari Ki Jayaraga, sehingga kau dapat menghancurkan sasaran sampai lumat, namun kau juga mampu membakarnya dan memutarnya dengan dahsyat sebagaimana angin pusaran. Aku yakin, bahwa setelah kau sendiri mengenali ilmu di dalam dirimu, maka perkembangan dan peningkatan masih dapat berlangsung terus. Beberapa unsur baru di dalam ilmumu akan melengkapinya, sehingga apa yang kau miliki itu akan menjadi semakin lengkap. Bahkan mungkin kau akan melakukan pembaharuan atas unsur-unsur yang kau anggap kurang mendukung perkembangan selanjutnya. Tidak ada yang berkeberatan jika kemudian ilmu yang kau warisi itu diungkapkan dalam ujud yang agak berbeda karena kau telah melakukan pembaharuan. Namun yang penting adalah watak ilmu itu sendiri jangan berubah.“

Glaga Putih mengangguk-angguk. Dengan kepala tunduk ia menjawab, “Aku akan selalu mengingatnya Kiai.“

“Bukan hanya sekedar mengingat,“ berkata Ki Jayaraga, “tetapi tercermin pada tingkah lakumu serta pengetrapan ilmumu, jika kau terpaksa mempergunakan kekerasan untuk mengatasi satu persoalan. Glagah Putih, barangkali aku dapat berterus terang kepadamu. Selama ini aku memang telah pernah mempunyai beberapa orang murid. Tetapi aku adalah orang yang paling malang di antara mereka yang memilih muridnya. Aku selalu gagal, sehingga akhirnya aku melihat kemungkinan yang lain pada dirimu. Aku telah menyatakan ingin ikut serta mengasuhmu dalam pewarisan ilmu. Seandainya aku memang seorang yang tidak mampu menuntun jalan ke arah kebaikan, maka biarlah hal itu dilakukan oleh kakak sepupumu, sementara aku menumpang agar ilmuku tidak punah bersama hancurnya jasadku kelak. Karena itu maka aku telah menitipkan harapan itu. Semoga kali ini aku tidak mengalami kegagalan sebagaimana pernah terjadi sebelumnya.“

Glagah Putih mengangguk kecil. Dengan demikian ia merasa bahwa bebannya menjadi semakin berat. Ia tidak boleh mengecewakan orang tua itu lagi, sebagaimana ia pernah mengalami kekecewaan tidak hanya satu kali, karena ulah murid-muridnya.

Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Glagah Putih. Ilmu yang kau capai adalah beban tanggung jawab yang sangat berat bagimu. Kau harus mempertanyakan kepada dirimu sendiri, setelah kau memiliki ilmu yang tinggi, apa yang akan kau lakukan? Apakah ilmu itu hanya akan berarti bagi dirimu sendiri, atau akan memberikan arti pula bagi orang lain. Sedangkan bagimu sendiri, banyak kemungkinan dapat terjadi. Seseorang yang menerima kurnia dari Yang Maha Agung, kadang-kadang justru berakibat tidak sebagaimana seharusnya. Karunia yang tidak disyukuri dengan hati yang tulus akan merubah pribadi seseorang, dan bahkan akan dapat menjadi sumber malapetaka bagi dirinya. Bukan malapetaka lahiriah, tetapi bagi batin dan jiwanya, karena seseorang akan dapat lupa pada sangkan paraning dumadi.“

Glagah Putih semakin menunduk. Ia mendengar petunjuk-petunjuk itu dengan hati yang terbuka. Bahkan ia telah berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh, sejauh dapat diperbuatnya.

Meskipun demikian Glagah Putih menyadari bahwa ia tidak lebih dari seseorang yang lain. Seseorang yang dapat menjadi khilaf, lupa dan dibayangi oleh nafsu. Karena itu maka katanya, “Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Kakang Agung Sedayu, bahkan Mbokayu Sekar Mirah dan Sabungsari. Aku adalah manusia kebanyakan yang mempunyai sifat-sifat sebagaimana manusia yang lain. Sifat yang baik dan yang buruk. Karena itu, aku mohon, jika aku mulai memasuki jalan sesat, tolonglah aku. Beri aku peringatan, jika perlu peringatan yang keras. Karena aku yakin, betapa pencapaian yang cepat pada tataran yang tinggi ini, namun masih belum dapat disejajarkan dengan ketinggian ilmu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Kakang Agung Sedayu.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seumurmu Glagah Putih, ilmu yang kau capai itu sudah terlalu tinggi. Jauh melampaui batas kemungkinan yang dapat dicapai oleh siapapun juga, kecuali Raden Rangga. Yang kau miliki mungkin masih belum dapat kau sejajarkan dengan ilmu kami yang tua-tua dan Kakangmu Agung Sedayu. Tetapi perkembangan di dalam dirimu terlalu cepat. Jika orang lain memerlukan waktu setahun untuk mempelajari satu jenis perkembangan ilmunya, maka kau akan dapat menyelesaikannya dalam waktu kurang dari separuhnya. Karena itu, maka perkembanganmu untuk selanjutnya pun akan berlangsung terlalu cepat pula.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Syukurilah karunia ini dengan sepenuh kepercayaan dan keyakinanmu. Dengan demikian kau akan tetap berada di jalan yang menuju kepada-Nya.“

Glagah Putih mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Aku berjanji. Mudah-mudahan benda yang diberikan oleh Raden Rangga akan dapat menjadi alat untuk selalu memperingatkan aku, jika aku terjerumus ke dalam bayangan perasaan semata-mata, sebagaimana sering dilakukan oleh Raden Rangga pada salah satu wajah dunianya.“

“Benda apa?“ bertanya Kiai Gringsing.

Glagah Putih kemudian telah mengeluarkan sesobek kain berwarna putih.

“Kain apakah itu?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Kain ini diberikan oleh Raden Rangga kepadaku,“ jawab Glagah Putih.

“Kau sangka kain itu akan berarti bagimu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Sudah aku katakan Kakang, kain ini mudah-mudahan akan dapat selalu mengingatkan aku kepada Raden Rangga serta tingkah lakunya. Hanya itu. Tidak ada arti apa-apa yang lain yang berhubungan dengan ilmuku,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya dengan nada datar, “Syukurlah jika kau tidak terjerat kepada anggapan yang lain atas kain yang telah diberikan oleh Raden Rangga itu. Memang ada baiknya jika kau sempat selalu mengingat akan tingkah laku Raden Rangga. Kau dapat mengurainya dan menilai, yang mana yang baik kau lakukan, dan yang mana yang tidak perlu kau tirukan. Kau harus selalu menyadari langkah-langkahmu agar kau tidak mudah menjadi sesat. Memang kami akan dapat memberi peringatan kepadamu. Namun jika seseorang sudah terlanjur terperosok ke dalam genggaman nafsu iblis, maka akan sulitlah bagi kami untuk merebutkan kembali. Karena itu, pertahanan yang paling kuat adalah pada kesadaran dirimu sendiri, bahwa kau adalah seseorang yang telah dipilih oleh Sumber Hidupmu untuk mendapatkan karunianya yang lebih dari orang lain. Dan itu akan mengandung pengertian bahwa didepan, ja lanmu bersimpang. Baik dan buruk. Jalan yang menuju kepada-Nya dan yang lain menuju kekegelapan abadi, yang penuh dengan tangis dan gemeretak gigi.“

Glagah Putih menjadi semakin menunduk. Agaknya orang-orang tua dan kakak sepupunya telah mempergunakan kesempatan itu pula untuk mengimbangi perkembangan ilmunya dengan mekarnya jiwa. Dan agaknya Glagah Putih yang memasuki dewasa itu dapat menangkapnya.

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “tugas kami sebagian besar telah selesai. Marilah, kita kembali. Kita akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk merenungi keadaanmu. Namun yang dapat kita simpulkan, bahwa kau tidak mengalami kesulitan dan gangguan di dalam dirimu, setelah kau menerima arus getar tubuh Raden Rangga di saat terakhir, tanpa keterangan dan penjelasan apapun.“

Dengan demikian maka mereka pun kemudian telah bersiap-siap untuk kembali. Ternyata waktu berjalan tanpa mereka sadari, sebagaimana saat mereka berada di dalam sanggar. Ketika mereka teringat akan waktu, maka ternyata matahari telah turun ke balik pebukitan.

Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah berpacu menuju ke padukuhan induk. Ketika mereka memasuki regol halaman, maka hari memang sudah menjadi gelap.

Sementara pembantu di rumah Agung Sedayu memanasi masakan dan merebus air, sedangkan yang lain membenahi diri dan mandi di pakiwan. Agung Sedayu sempat mengembalikan seekor kuda yang dipinjamnya dari Ki Gede, sambil memberikan laporan singkat tentang usahanya untuk menilik keadaan Glagah Putih.

“Syukurlah,“ berkata Ki Gede, “mudah-mudahan ia tetap sebagaimana kau nasehatkan.“

Namun Agung Sedayu tidak dapat berbicara panjang dengan Ki Gede, karena iapun harus segera kembali ke rumahnya untuk menemani tamu-tamunya makan. Malam itu semuanya dapat beristirahat dengan tenang. Glagah Putih memang menjadi sangat letih. Karena itu, maka ketika ia membaringkan dirinya di biliknya, iapun menjadi cepat tertidur.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu tidak lagi mencemaskan perkembangan ilmu di dalam diri Glagah Putih. Namun yang mereka perhatikan justru perkembangan jiwa anak yang masih sangat muda namun telah memiliki ilmu yang tinggi itu.

“Pegangan utama bagi Glagah Putih adalah bahwa ia bersandar sepenuhnya kepada kuasa Yang Maha Agung,“ berkata Agung Sedayu, “semoga kita yang membimbingnya akan dapat selalu mempertahankannya.“

Yang lain mengangguk-angguk. Untuk sementara mereka memang tidak perlu mencemaskan pribadi anak muda itu. Tetapi bukan berarti bahwa Glagah Putih tidak perlu lagi diamati. Meskipun ia memang sudah menginjak usia dewasa, dimana segala tanggung jawab tentang dirinya sendiri dalam hubungan antara baik dan buruk sepenuhnya sudah dibebankan kepadanya.

Malam itu, pembantu rumah Agung Sedayu tidak berhasil mengajak Glagah Putih turun ke sungai. Karena itu, maka anak itu menjadi semakin jengkel. Namun ia tidak berani mengetuk pintu atau dinding bilik Glagah Putih, karena Glagah Putih berada di satu bilik di gandok bersama Sabungsari.

“Licik,“ geram anak itu, “ia berlindung pada tamunya, agar aku tidak membangunkannya, karena dengan demikian aku akan mengganggu tamunya itu.“

Pagi-pagi benar, di saat matahari masih belum nampak melontarkan cahayanya di langit, Glagah Putih telah bangun. Sambil tersenyum ia mendekati anak yang berjongkok di plataran sumur sambil membersihkan ikan yang didapatinya semalam.

“Kau hanya mendapat sedikit malam ini?“ bertanya Glagah Putih.

“Sedikit atau banyak, apa pedulimu?“ anak itu ganti bertanya.

Glagah Putih tertawa. Sambil menepuk bahunya ia berkata, “Jangan lekas marah. Kau akan menjadi cepat tua. Meskipun kau lebih muda dari aku, tahu-tahu rambutmu menjadi ubanan, di atas bibirmu tumbuh kumismu yang putih.“

“Apa pula pedulimu?“ bentak anak itu.

Glagah Putih tertawa semakin keras. Tetapi iapun kemudian telah memegang senggot timba dan menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan.

Hari itu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu telah menghentikan pengamatannya atas Glagah Putih. Namun Glagah Putih sendiri-lah yang masih belum puas pada dirinya sendiri. Ia masih ingin meyakinkan diri, pada tahap-tahap ilmu yang dikuasainya, sehingga ia akan dapat mengendalikan diri dengan baik, agar ia tidak terdorong berbuat sesuatu dan bahkan menumbuhkan akibat yang gawat pada orang lain. Dengan mengerti sepenuhnya serta menguasai tenaga dan kemampuan yang ada di dalam dirinya, maka ia tidak akan menjadi orang yang berbahaya bagi orang lain, justru tidak atas kehendaknya sendiri.

Untuk itu maka Glagah Putih telah mendapat persetujuan oleh Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu untuk pergi sendiri, tanpa mereka. Namun agaknya Sabungsari yang juga ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh, telah mengikutinya pula.

“Marilah,“ berkata Glagah Putih, “kita melihat-lihat hutan dan lereng-lereng perbukitan di Tanah Perdikan ini.”

Demikianlah, maka kedua orang itu telah terpacu menyusuri jalan-jalan bulak dan padukuhan. Beberapa orang yang sudah lama tidak melihat Glagah Putih telah menyapanya dengan ramah. Bahkan kadang-kadang Glagah Putih terpaksa berhenti di antara sekelompok anak muda yang menghentikannya.

“Kemarin aku melihat kau berkuda bersama dengan Agung Sedayu dan beberapa orang tua, bahkan Nyi Sekar Mirah pun ikut pula bersama kalian? Aku kira kau akan pergi jauh lagi,“ bertanya seseorang.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku hanya akan melihat-lihat saja. Rasa-rasanya sudah rindu untuk memandangi batu-batu putih di lereng pebukitan dan hutan-hutan lebat yang membujur panjang itu.“

Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah melingkari hutan melewati jalan setapak, sehingga kuda mereka maju dengan berhati-hati sekali, sehingga akhirnya mereka sampai di kaki pebukitan.

“Lakukanlah,“ berkata Sabungsari, “aku senang melihatmu bermain-main dengan ilmumu. Mungkin akan berarti bagiku. Jika aku sekali-sekali mendapat kesempatan menyempurnakan ilmuku, maka apa yang aku lihat padamu, akan dapat menjadi ramuan yang baik bagi ilmuku. Namun agaknya kau lebih beruntung bahwa kau masih mempunyai tempat untuk bertanya, berbincarig dan yang dengan penuh minat memperhatikan perkembangan ilmumu. Sementara itu sudah sejak lama aku harus bekerja sendiri.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kita dapat selalu bekerja bersama.“

Tetapi Sabungsari tersenyum sambil menggeleng, “Tugasku di Jati Anom, Glagah Putih. Jaraknya terlalu jauh. Kecuali jika kau setiap kali mengunjungi ayahmu di Jati Anom.“

Glagah Putih pun mencoba untuk tersenyum. Namun ia melihat keprihatinan di hati Sabungsari yang harus bekerja sendiri bagi peningkatan ilmunya. Meskipun demikian, ternyata bahwa Sabungsari tidak pernah berhenti berusaha. Sehingga karena ketekunannya, maka ilmunya pun selalu meningkat, meskipun tidak dapat maju dengan pesat sebagaimana Glagah Putih.

Sejenak kemudian maka Glagah Putih pun telah bersiap. Yang akan dilakukan kemudian adalah meneliti bagi kepentingannya sendiri. Glagah Putih ingin melihat tataran-tataran kemampuannya dan menguasainya dengan baik, sehingga Glagah Putih akan dapat mengatur tingkat kemampuannya pada kepentingan tertentu.

Karena itu, maka berbeda dari yang dilakukan sebelumnya. Glagah Putih setiap kali mengulang unsur gerak tertentu dengan takaran pelepasan tenaga dan kemampuan tertentu pula. Beberapa kali dilakukan, sehingga ia yakin akan setiap tataran dari ilmu yang ada di dalam dirinya.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih sendiri tidak menduga, bahwa ia tiba-tiba saja berdiri pada satu tataran yang tinggi dari ilmu yang sudah dimilikinya. Semuanya seakan-akan telah mendapat landasan yang lebih tinggi dan kemampuan yang jauh lebih besar dari apa yang pernah dimiliki sebelumnya.

Glagah Putih memang berterima kasih kepada Raden Rangga, bahwa sampai hari-hari dan bahkan saat-saat terakhirnya, ia masih sempat memberikan petunjuk, bahkan secara langsung mengalirkan getaran yang berpengaruh pada kemampuan diri.

Dengan sungguh-sungguh Sabungsari memperhatikan setiap gerak Glagah Putih. Memang yang dilakukan oleh Glagah Putih itu pada beberapa bagiannya dapat memberikan kemungkinan untuk meningkatkan ilmu yang ada di dalam dirinya. Karena itu, maka Sabungsari pun menjadi telaten untuk menyaksikan bagaimana Glagah Putih membuat ukuran-ukuran atas kemampuannya sendiri.

Bahkan dalam cengkaman perhatian yang sangat besar, kadang-kadang Sabungsari telah bergerak pula. Sekali-kali ia menirukan apa yang dilakukan oleh Glagah Putih. Namun ia sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak boleh sekedar menirukan saja, karena di dalam dirinya telah tersimpan ilmu dari cabang perguruannya. Karena itu, maka segala sesuatunya tentu harus disesuaikan dan harus berada di dalam bingkai sifat dan watak ilmunya sendiri.

Hampir di luar sadarnya, maka Sabungsari ternyata juga telah melakukan gerak-gerak tertentu. Sekali-kali ia berhenti mematung mengamati Glagah Putih. Kemudian tangannya mulai bergerak-gerak. Bahkan kakinya. Namun kemudian iapun telah berdiri lagi bagaikan membeku.

Ketika matahari terasa semakin terik setelah melampaui puncak langit, maka keduanya telah duduk di bawah sebatang pohon preh yang besar. Sebuah mata air yang jernih meskpun hanya kecil saja, memberikan kesempatan keduanya untuk minum beberapa teguk.

Tetapi keduanya tidak meneruskan pengamatan mereka terhadap ilmu Glagah Putih. Glagah Putih sendiri sudah mendapat takaran yang lebih mantap tentang tingkat-tingkat ilmu yang ada di dalam dirinya. Karena itu, mereka pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat itu.

Namun tiba-tiba saja keduanya terkejut ketika mereka melihat dua orang yang tiba-tiba saja muncul di lereng pebukitan. Mereka datang dari arah hutan yang lebat di kaki pebukitan itu. Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak, Namun karena mereka berada di tlatah Tanah Perdikan Menoreh, maka Glagah Putih merasa mempunyai kewajiban untuk bertanya kepada mereka. Tetapi sebelum Glagah Putih bertanya, justru salah seorang di antara mereka-lah yang bertanya, “Siapakah kau berdua?“

Sabungsari memandang Glagah Putih sekilas. Karena Glagah Putih yang lebih akrab hubungan dengan Tanah Perdikan, maka memang sepantasnya Glagah Putih yang menjawab, meskipun ia lebih tua daripadanya.

“Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian, “seharusnya kami-lah yang bertanya kepada Ki Sanak, karena kami adalah orang-orang Tanah Perdikan ini.“

“O,“ Orang itu mengangguk-angguk, “jadi kalian adalah orang-orang Tanah Perdikan ini? Lalu apa kerjamu di sini?“

“Kami mendapat tugas untuk melihat-lihat hutan di lereng pebukitan ini. Mungkin hutan di sini perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena tiba-tiba saja menjadi jarang. Kami mendapat tugas untuk melihat sebab-sebabnya.“

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sejenak mereka memperhatikan dua ekor kuda yang terikat pada sebatang pohon perdu. Namun kemudian seorang di antaranya berkata, “Tanah Perdikan ini memang Tanah Perdikan yang besar. Namun agaknya pemimpin Tanah Perdikan ini adalah seorang yang lemah.“

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.

“Kenapa pemimpin Tanah Perdikan ini membiarkan Mataram membuat kubu-kubu kekuatan di Tanah Perdikan ini?“ berkata salah saorang dari keduanya.

“Maksud Ki Sanak?“ bertanya Glagah Putih.

“Bukankah ada sepasukan prajurit yang justru adalah pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan ini?“ bertanya orang itu.

“Ya,“ jawab Glagah Putih, “hal itu sama sekali bukan rahasia. Di sini ada barak pasukan khusus dari Mataram.“

“Nah, kau tahu apa artinya itu?“ bertanya orang itu.

Glagab Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi itukah yang kau maksud dengan kubu-kubu pertahanan Mataram?“

“Ya. Bukankah pasukan itu selalu dapat mengawasi pemerintahan para pemimpin Tanah Perdikan ini? Kapan saja dianggap menentang Mataram, maka pasukan khusus itu tentu akan bertindak,“ berkata salah seorang dari keduanya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kau mengambil kesimpulan seperti itu Ki Sanak? Kesimpulan yang agaknya tidak mapan sama sekali.”

Kedua orang itu memandang Glagah Putih dengan kerut di dahi. Mereka memang bertanya kepada diri sendiri, kenapa yang menjawab pertanyaan mereka justru anak yang lebih muda. Karena itu, maka seorang di antara mereka berkata, “He, Anak Muda. Apakah kau anak pemimpin di sini, sehingga nampaknya kau lebih berpengaruh dari kawanmu yang lebih tua itu?“

“Tidak,“ jawab Glagah Putih, “kawanku itu memang seorang pendiam. Ia tidak terlalu banyak berbicara. Tetapi seandainya ia yang menjawab, maka jawabannya akan sama saja.“

“Anak Muda,“ berkata orang itu, “kenapa kau katakan bahwa kesimpulanku tidak mapan?“

“Ki Sanak. Mataram dapat membuat barak bagi pasukannya dimana saja di tlatah Mataram. Meskipun Tanah ini Tanah Perdikan, tetapi tidak berarti bahwa Tanah ini berhak tidak mengakui kuasa Mataram. Memang sejak jaman Pajang, Tanah ini mendapat kebebasan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Bahkan sampai kepada persoalan pajak. Tetapi bukan berarti bahwa sebuah Tanah Perdikan itu terlepas dari induknya,” jawab Glagah Putih.

“Nampaknya kau memang anak bebahu Tanah Perdikan ini,“ berkata orang yang datang itu, “kau agaknya mengetahui beberapa segi pemerintahan di Tanah Perdikan ini dalam hubungannya dengan Mataram.“

“Aku bukan anak bebahu,“ jawab Glagah Putih, “aku anak kebanyakan di Tanah Perdikan ini.“

“Kau tidak usah ingkar. Kau datang ke tempat ini berkuda dengan tugas mengamati kejarangan hutan di lereng pebukitan,“ berkata orang itu, “tentu kau mempunyai kedudukan penting di kalangan anak-anak muda Tanah Perdikan.“

“Anak-anak muda Tanah Perdikan sudah terbiasa bekerja keras bagi Tanah Perdikannya,“ jawab Glagah Putih. Namun iapun kemudian bertanya, “Ki Sanak. Siapakah kau sebenarnya, dan apa kepentinganmu datang kemari?“

“Kami adalah pengembara yang menjelajahi lembah dan ngarai. Melihat-lihat suasana dan perkembangan Mataram dan sekitarnya. Menilai apakah lingkungan yang tumbuh di sekitar Mataram mencerminkan kekuatan yang mandiri, atau sekedar ilalang yang merunduk ke arah angin bertiup, seperti Tanah Perdikan ini,“ jawab orang itu.

“Kata-katamu menyinggung perasaan orang-orang Tanah Perdikan ini,“ berkata Glagah Putih, “apakah maksudmu sebenarnya?”

“Kenapa kau tersinggung?“ berkata orang itu, “Kau lihat daerah-daerah lain yang justru bukan Tanah Perdikan. Mereka berusaha untuk dapat berdiri sendiri tanpa kekuasaan Mataram atas mereka.“

“Coba katakan. Daerah mana yang kau maksud?“ bertanya Glagah Putih.

“Terutama daerah Bang Wetan,“ jawab orang itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun orang itu kemudian berkata, “Mungkin kau tidak tahu, bahwa dunia ini sangat luas. Tidak hanya dibatasi oleh pebukitan Menoreh dan Kali Praga. Mungkin kau bingung jika disebut nama-nama tempat jauh di sebelah Timur, yang mempunyai keyakinan yang kuat bahwa mereka akan dapat mandiri tanpa kuasa Mataram.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Lingkungan hidupku memang tidak lebih dari pegunungan ini dan Kali Praga. Namun demikian, aku pernah mendengar nama beberapa kadipaten di sebelah Timur.“

“Anak Muda,“ berkata kedua orang itu, “aku sebenarnya mendapat tugas untuk menghubungi orang-orang Tanah Perdikan ini. Tetapi aku tidak ingin langsung berbicara dengan Ki Gede. Cobalah. Jika kau anak seorang bebahu, tolong, ketemukan aku dengan orang tuamu.“

“Ki Sanak,“ bertanya Glagah Putih, “jika kau mendapat tugas, siapakah yang memberikan tugas ini kepadamu?“

“Nanti akan aku katakan kepada orang tuamu,“ jawab orang itu, “mungkin pendapatku tidak sesuai dengan pendapat orang tuamu. Aku sama sekali tidak berkeberatan, karena sudah jamaknya pendirian seseorang akan berbeda dengan orang lain. Tetapi alangkah baiknya jika pendapat kita dapat bertemu.“

Glagah Putih memandang Sabungsari sekilas. Ketika ia melihat Sabungsari itu mengangguk kecil maka Glagah Putih pun berkata, “Baiklah Ki Sanak. Aku memang bukan anak bebahu. Tetapi kakakku-lah yang menjadi bebahu Tanah Perdikan ini.“

“Bagiku tidak ada bedanya,“ berkata orang itu.

“Jika demikian, marilah,“ ajak Glagah Putih, “kita bersama-sama menemui kakakku itu.“

“Sebaiknya bukan aku yang datang ke rumahmu. Tetapi ajaklah kakakmu itu datang kemari. Tetapi ingat, sendiri. Kita akan berbicara sesuatu yang bersifat rahasia. Karena itu, maka tidak sebaiknya didengar orang lain. Tetapi jika kau berdua ingin ikut berbicara, aku tidak berkeberatan,“ jawab orang itu.

“Persoalan itu agaknya memang menarik. Karena itu, maka sebaiknya kalian datang ke rumah. Kakang akan mengatur, bahwa tidak akan ada orang lain yang akan ikut mendengarkannya,“ berkata Glagah Putih.

Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Panggil kakakmu itu kemari.“

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Sabungsari, “Marilah. Kita panggil Kakang.“

Tetapi sebelum Sabungsari menjawab, orang itu berkata, “Biarlah kawanmu saja yang memanggil kakangmu. Kau tetap berada di sini bersama kami. Jika kakangmu datang dengan pengawal, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya, “Kenapa aku tidak boleh pergi? Aku bukan tawananmu.“

Kedua orang itu tertawa. Seorang di antaranya melangkah mendekat sambil berkata, “Anak yang malang. Tiba-tiba-tiba saja kami ingin tinggal bersamamu di sini. Biarlah kawanmu itu menjemput kakakmu yang kau katakan. Sekali lagi aku pesan, sendiri. Tanpa orang lain kecuali kawanmu itu, jika ia memang ingin ikut datang sambil melihat apa yang dapat terjadi di sini.“

Sejenak Glagah Putih dan Sabungsari termangu-mangu. Namun agaknya keduanya mempunyai pikiran yang sama. Mereka ingin tahu, siapakah mereka dan untuk apa mereka datang. Karena itu, sebelum Glagah Putih berkata sesuatu, Sabungsari telah lebih dahulu berkata, “Baiklah. Aku akan memanggil kakakmu itu. Tinggallah di sini. Aku tidak akan terlalu lama.“

“Cepatlah,” berkata Glagah Putih, “jika Kakang tidak ada di rumah, cari ia sampai ketemu, agar aku tidak terlalu lama di sini. Ingat, Kakang supaya datang sendiri.“

Kedua orang itu tertawa semakin keras. Seorang di antaranya menepuk pundak Glagah Putih sambil berdesis, “Jangan terlalu cemas. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Jika kakakmu datang dan memenuhi permintaanku, maka kau akan segera dilepaskan.“

Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu Sabungsari telah meloncat ke punggung kuda. Sejenak kemudian iapun telah melarikan kudanya menuju ke padukuhan induk. Setelah jalan sempit yang rumpil dilalui, maka Sabungsari berpacu seperti dikejar hantu.

Kedatangan Sabungsari seorang diri memang mengejutkan. Namun iapun telah mengatakan sebabnya, kenapa ia datang sendiri kepada Kiai Gringsing.

“Agung Sedayu berada di rumah Ki Gede. Pergilah ke sana. Mudah-mudahan ia masih berada di sana,“ minta Kiai Gringsing.

Sabungsari pun bergegas menyusul Agung Sedayu ke rumah Ki Gede. Untunglah bahwa Agung Sedayu masih ada. Tetapi ia sudah siap untuk pergi bersama orang bebahu yang lain untuk pergi ke pasar, melihat-lihat kemungkinan untuk memperluas pasar itu, karena rasa-rasanya sudah terlalu sempit.

Karena kedatangan Sabungsari, maka Agung Sedayu terpaksa mengurungkan niatnya, dan minta diri kepada Ki Gede untuk menemui orang itu.

“Hati-hatilah Agung Sedayu,“ pesan Ki Gede, “kita belum tahu dengan siapa kita berhadapan.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah Ki Gede. Mudah-mudahan kehadiranku akan dapat menjelaskan, untuk apa orang itu datang kemari.“

Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sabungsari telah pergi menuju ke tempat Glagah Putih menunggu. Mereka singgah sejenak di rumah untuk memberitahukan bahwa mereka telah berangkat menyusul Glagah Putih.

Glagah Putih yang menunggu memang merasa terlalu lama. Meskipun ia tidak mencemaskan tentang dirinya sendiri, namun rasa-rasanya untuk duduk sambil menunggu adalah sangat menjemukan. Sekali-sekali kedua orang yang menungguinya itupun telah mengajak juga berbicara tentang beberapa hal. Tetapi sebagian tidak di jawab oleh Glagah Putih dengan baik. Jika yang dipertanyakan mengenai soal pemerintahan di Tanah Perdikan, maka iapun berkata, “Nanti saja, bertanyalah kepada kakakku itu.“

“Baiklah,“ berkata salah seorang di antara mereka, “ternyata kau cukup berhati-hati untuk memberikan keterangan kepada orang lain.“

Glagah Putih memang hampir tidak sabar menunggu. Namun kemudian yang datang bukannya Sabungsari dan Agung Sedayu, tetapi justru dua orang kawan dari kedua orang yang telah datang lebih dahulu.

“Siapa anak itu?“ bertanya salah seorang di antara mereka yang datang kemudian.

“Adik seorang bebahu. Aku minta kawannya memanggil kakaknya itu, sementara ia harus tinggal di sini sambil menunggu. Aku minta kakaknya itu datang seorang diri,“ jawab yang datang lebih dahulu.

Dengan singkat, mereka saling menceritakan apa yang telah mereka lakukan. Dua orang yang datang kemudian itu ternyata telah melihat-lihat barak pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan menoreh.

“Bagus,“ berkata salah seorang yang datang kemudian, yang agaknya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari ketiga orang yang lain, “kita akan berbicara dengan kakak anak itu. Beritahukan kepadanya, bahwa ia tidak perlu menangis.“

Jantung Glagah Putih hampir meledak. Tetapi ia harus menahan diri sampai Agung Sedayu datang. Karena itu, maka iapun telah duduk saja sambil menunduk, sekali-sekali memandangi lereng-lereng pebukitan yang sebagian di antaranya telah diruntuhkannya dengan ilmunya yang meningkat dengan lonjakan yang mengagumkan.

“Mudah-mudahan orang-orang itu tidak bertanya, kenapa tebing itu telah runtuh,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Ternyata keempat orang itu memang tidak memperhatikan batu-batu padas yang baru saja berguguran itu.

Ketika Glagah Putih benar-benar menjadi jemu, maka mereka yang menunggu itu telah mendengar derap dua ekor kuda. Orang yang telah menyuruh Sabungsari memanggil Agung Sedayu itu tersenyum sambil berkata, “Kau memang bernasib baik. Agaknya kakakmu itu datang. Benar-benar tidak membawa pengawal. Tetapi kita masih akan menunggu perkembangan selanjutnya.”

“Jadi aku sudah boleh pergi?” bertanya Glagah Putih.

“Jangan tergesa-gesa. Siapa tahu, kakakmu licik dan memerintahkan para pengawal datang kemudian untuk mengepung tempat ini,” berkata orang itu.

Glagah Putih tidak menjawab. Ia sebenarnya memang tidak ingin pergi. Ia akan berada di tempat itu untuk mendengarkan pembicaraan Agung Sedayu dan orang-orang yang datang itu.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Sabungsari pun telah menjadi semakin dekat. Mereka telah melampaui jalan-jalan yang rumpil dan mencapai tempat Glagah Putih menunggu.

“Bagus,” desis seorang di antara keempat orang itu, “kakakmu pun masih cukup muda. Agaknya karena para bebahu Tanah Perdikan ini masih muda, maka Tanah Perdikan ini tumbuh dengan pesat.”

Agung Sedayu dan Sabungsari pun telah meloncat turun dari kudanya. Setelah mengikat kuda itu di sebatang pohon di dekat kuda Glagah Putih, maka mereka pun telah mendekat.

“Siapa yang memanggil aku?” bertanya Agung Sedayu.

Keempat orang itu memandang Agung Sedayu dengan dada yang berdebar. Sikap Agung Sedayu agak berbeda dengan gambaran mereka. Mereka membayangkan sikap seorang bebahu dari sebuah tempat yang jauh dari kota. Sederhana dan matanya sama sekali tidak bercahaya. Agak bodoh dan tidak mampu mempertimbangkan persoalan-persoalan yang rumit.

Namun nampaknya bebahu yang satu ini agak berbeda. Tatapan matanya yang tajam, sikapnya yang meyakinkan dan kerut dahinya yang memberikan kesan bahwa bebahu ini mampu berpikir.

Ketika Agung Sedayu kemudian berhenti di hadapan keempat orang itu, maka seorang di antara mereka menunjuk Glagah Putih yang masih duduk sambil bertanya, “Apakah itu memang adikmu?”

“Ya. Ia adalah adikku,” jawab Agung Sedayu.

“Bagus,” jawab orang itu, “aku memang minta ia tinggal, agar kau bersedia datang memenuhi undangan kami.”

“Untuk apa kau memanggil aku kemari?” bertanya Agung Sedayu, “Dan siapakah kalian semuanya ini?”

“Kita akan berbicara. Bukankah kau tidak tergesa-gesa?” bertanya orang yang agaknya pemimpin dari keempat orang itu.

“Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu, “waktuku tidak banyak. Aku mempunyai banyak pekerjaan di sini.”

“Jangan berlagak seperti seorang pemimpin yang sibuk. Kita sempatkan hari ini untuk berbincang-bincang di sini,” jawab orang itu.

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “jika Ki Sanak ingin berbicara, atau bahkan berbincang-bincang, marilah, aku persilahkan Ki Sanak singgah di rumahku. Meskipun rumahku bukan rumah yang pantas dipamerkan, tetapi cukup tenang untuk berbicara tentang apa saja.”

“Tidak,” jawab orang itu, “aku lebih senang berbicara di sini. Tidak akan ada orang yang mengganggu.”

Agung Sedayu tidak dapat memaksa mereka untuk pergi ke rumahnya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku minta kau segera mengatakan maksud kedatanganmu.”

“Sudah aku katakan, jangan berlagak seperti seorang pemimpin,” berkata orang itu.

“Justru aku bukan seorang pemimpin,” berkata Agung Sedayu, “jika aku seorang pemimpin, aku tidak akan menjadi cemas bahwa aku akan dimarahi. Tetapi justru karena aku bebahu kecil di Tanah Perdikan ini, maka aku tergesa-gesa. Jika pekerjaanku tidak selesai, maka aku akan dimarani tiga hari tiga malam.”

Orang itu tertawa. Bahkan yang lain pun tertawa. “Duduklah. Kita akan berbicara. Mungkin kau akan dapat menemukan sesuatu yang berharga pada pembicaraan ini,” berkata orang itu.

Agung Sedayu yang sebenarnya juga ingin mengetahui lebih banyak tentang orang-orang itu pun telah beringsut pula mendekat. Iapun kemudian duduk pula di atas sebuah batu. Tetapi justru agak jauh dari Glagah Putih. Sabungsari-lah yang kemudian melangkah mendekati Glagah Putih dan duduk di sebelahnya.

Keempat orang itu pun telah duduk pula. Orang yang agaknya memimpin keempat orang itu kemudian bertanya, “Ki Sanak. Siapakah namamu, dan apa tugasmu?”

“Namaku Agung Sedayu. Tugasku dari mengatur ronda di padukuhanku sampai pada mengawasi bendungan dan jalan-jalan. Jika ada tanda-tanda kerusakan aku harus segera melaporkan kepada Ki Gede.”

“Kau seorang Kebayan?” bertanya orang itu.

Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Ya. Aku memang salah satu di antara enam Kebayan di Tanah Perdikan ini.”

“Hanya ada enam Kebayan di seluruh Tanah Perdikan yang luas ini?” bertanya orang itu.

“Ya. Tetapi di setiap padukuhan terdapat dua orang pembantu Kebayan,” jawab Agung Sedayu.

Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu seorang di antara keempat orang itu bertanya, “Agung Sedayu, siapakah yang menjadi pemimpin pengawal di Tanah Perdikan ini?”

Pertanyaan itu tidak diduga sebelumnya. Karena itu, dahi Agung Sedayupun mulai berkerut. Namun iapun kemudian menjawab, “Prastawa. Namanya Prastawa, kemenakan Ki Gede.”

Orang itu mengangguk-angguk. Pemimpin mereka pun kemudian bertanya, “Ki Sanak. Apakah Ki Gede tidak pernah mempersoalkan pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini?”

Agung Sedayu memandang orang itu sejenak. Namun iapun justru bertanya, “Kenapa dengan pasukan khusus itu?”

“Ki sanak,” berkata pemimpin dari keempat orang itu, “apakah orang-orang Tanah Perdikan ini tidak pernah merasa bahwa pasukan itu dapat mengurangi hak dan wewenang Tanah Perdikan ini? Ingat, sebuah tanah perdikan yang mempunyai wewenang yang luas. Meskipun dalam tatanan lahiriah, nampaknya kadipaten memiliki kewibawaan yang lebih tinggi, tetapi hak Tanah Perdikan justru lebih luas dari sebuah kadipaten.”

“Tetapi tanah perdikan tidak dapat disamakan dengan sebuah kadipaten yang memiliki wewenang dan tatanan yang lengkap sebagaimana Mataram sendiri,” berkata Agung Sedayu, “daerahnya pun jauh lebih luas, dan sudah barang tentu memiliki kekayaan yang jauh lebih besar dari sebuah tanah perdikan.”

Pemimpin dari keempat orang itu tersenyum. Katanya, “Memang nampaknya demikian. Tetapi kadipaten tidak mempunyai wewenang untuk menentukan dirinya sendiri.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “kami, orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, memang orang-orang bodoh, yang kurang mengerti tentang pemerintahan di luar Tanah Perdikan kami sendiri. Tetapi aku kira yang kau katakan itu tidak benar. Para Adipati sudah barang tentu memiliki kuasa yang besar yang dilimpahkan oleh Raja kepada mereka. Tetapi seorang Kepala Tanah Perdikan sebagaimana Menoreh, adalah orang-orang kecil yang tidak diperhitungkan. Meskipun setiap Kepala Tanah Perdikan berhak menentukan kebijaksanaan sendiri, bahkan sampai soal pajak sekalipun, namun betapa kecilnya sebuah tanah perdikan dibandingkan dengan sebuah kadipaten.”

Orang yang memimpin kelompok kecil itu tertawa. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa pikiranmu memang sederhana, sebagaimana orang-orang yang berada di lingkungan yang kecil seperti Tanah Perdikan ini. Tetapi baiklah. Bagaimanapun anggapanmu tentang hak dan kewajiban sebuah tanah perdikan, namun ada satu pertanyaan yang belum kau jawab.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Kenapa Ki Gede tidak merasa pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini justru mengganggu, dan bahkan mengurangi kewibawaan Tanah Perdikan ini sendiri?”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “Tanah Perdikan Menoreh adalah tanah perdikan yang berada di dalam satu kesatuan dengan wilayah Mataram yang lain. Wewenang yang ada bagi Tanah Perdikan ini adalah wewenang ke dalam. Namun sebagai keluarga maka kami tidak dapat menolak wewenang pimpinan keluarga besar kami. Karena hal itu merupakan salah satu dari kewajiban kami, di samping hak yang ada pada kami. Apalagi kehadiran pasukan khusus itu sama sekali tidak mengganggu hak yang ada pada kami. Bahkan para perwira dari pasukan khusus itu dengan senang hati telah ikut membantu membina pasukan pengawal Tanah Perdikan ini.”

“Ki Kebayan yang masih terlalu muda,” berkata orang itu, “ternyata pandanganmu picik seperti orang-orang lain.”

“Aku tidak tahu maksudmu? Tetapi jika kau menganggap aku bodoh dan tidak berpengetahuan tentang pemerintahan, aku tidak menolak. Kenyataanku memang demikian,” berkata Agung Sedayu.

“Tidak. Aku tidak akan menganggapmu bodoh, apalagi dungu.” berkata orang itu, “tetapi hatimu dan barangkali sebagian besar orang-orang Tanah Perdikan ini memang belum terbuka.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Glagah Putih dan Sabungsari, ternyata keduanya hanya menundukkan kepala saja.

“Ki Kebayan,” berkata orang itu kemudian, “apakah keuntungan kalian berada di bawah kuasa Mataram sekarang ini? Apakah Mataram mampu memberikan segala kebutuhan Menoreh yang tidak dapat dipenuhinya sendiri? Atau justru sebaliknya, Mataram telah menghisap Tanah Perdikan ini?”

“Kami telah dibebaskan dari pajak dan segala macam upeti wajib Ki Sanak. Kami hanya diwajibkan menyerahkan upeti menurut pertimbangan dan perhitungan kami sendiri. Karena itu, tidak ada tersirat di hati kami, bahwa Mataram telah menghisap kekayaan yang ada di Tanah Perdikan ini. Kekayaan yang memang pada dasarnya tidak seberapa,” berkata Agung Sedayu. Namun kemudian katanya, “Tetapi kedatangan Ki Sanak tentu mempunyai maksud tertentu. Supaya pembicaraan kita tidak merupakan penilaian atas hubungan antara Tanah Perdikan ini dengan Mataram, karena selama ini memang tidak pernah ada masalah. Kami sudah merasa mapan hidup dalam kerajaan yang bulat dengan Mataram dalam keseluruhan.”

Tetapi orang itu menarik nafas sambil berkata, “Justru hubungan antara Mataram dan Tanah Perdikan inilah yang ingin aku bicarakan.”

“Siapakah Ki Sanak sebenarnya?” bertanya Agung Sedayu.

“Sudahlah,” berkata orang itu, “kau tidak perlu bertanya tentang kami. Tetapi dengarlah pendapat kami. Sebaiknya Tanah Perdikan Menoreh meningkatkan kewibawaannya. Kau dapat menghubungi para pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Dengan mengerahkan para pengawal Tanah Perdikan, maka Tanah Perdikan akan dapat mendesak agar barak pasukan khusus itu disingkirkan dari Tanah Perdikan ini.”

“Ki Sanak.” berkata Agung Sedayu, “kau memberikan pikiran baru kepada Tanah Perdikan ini. Satu pikiran yang tidak pernah terbersit di dalam benak kami. Tetapi juga satu pikiran yang kami anggap kurang sewajarnya bagi Tanah Perdikan ini.”

“Pikirkanlah baik-baik, Kebayan Muda,” berkata orang itu, “kau masih mempunyai banyak harapan di hari-hari tuamu. Jika kau berhasil mengembangkan pikiran itu, maka tidak mustahil bahwa kau akan dapat menjadi pemimpin di sini.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata, “Satu upaya yang sia-sia. Betapapun juga tingginya kami menganggap diri kami dan Tanah Perdikan ini, tetapi kami tidak akan dapat melawan kuasa Mataram, bahkan pasukan yang ada dibarak itu pun tidak.”

Orang itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Jangan merasa rendah diri. Jika kau berniat, tentu ada jalan. Nah, pikirkan. Beberapa hari lagi, aku akan datang. Tepat pada hari yang sama sepekan lagi. Pada waktu yang sama pula.”

“Aku akan berbicara dengan Ki Gede,” berkata Agung Sedayu.

“Jangan bodoh. Jangan bicarakan dengan orang yang lemah hati itu. Tanah Perdikan ini harus bangkit dengan pimpinan yang baru yang memiliki keberanian bertindak,” berkata orang itu. Agung Sedayu termangu-mangu. Ia sadar bahwa orang yang dihadapinya adalah orang yang mempunyai tujuan tertentu. Ia ingin terjadi pergeseran di Tanah Perdikan. Hanya, latar belakang dari niatnya itu yang belum dapat diduga.

Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka orang itu pun kemudian berkata pula, “Ki Kebayan yang masih muda dan yang masih mempunyai harapan panjang. Bicarakan hal ini dengan para pemimpin pengawal. Beri mereka kesadaran tentang wibawa Tanah Perdikan ini, agar mereka siap untuk bertindak. Yang terpenting adalah mengusir pasukan khusus Mataram itu. Dengan demikian maka Tanah Perdikan ini akan memiliki kewibawaannya yang penuh dan tidak terbagi. Mataram tidak akan menghisap kekayaan sekecil apapun yang ada di Tanah Perdikan ini, misalnya beras bagi prajurit-prajurit khusus itu. —

“Kami tidak memberi beras kepada pasukan khusus itu,” jawab Agung Sedayu, “mereka membeli beras di sini. Justru dengan harga yang sangat pantas.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Sekarang memang begitu. Tetapi pada saatnya, keadaan akan berubah. Beras itu tidak akan dibelinya lagi, tetapi akan diambilnya dari para petani. Kemudian kebutuhan-kebutuhan lain akan dibebankan pula kepada Tanah Perdikan ini.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Karena itu, kau harus bangkit.”

Agung Sedayu menjadi bimbang. Bukan karena pikiran yang memang baru yang dibawa orang itu. Bagi Agung Sedayu orang itu tentu dengan sengaja telah menyebarkan racun di Tanah Perdikan. Dengan sengaja orang itu ingin membenturkan keduatan yang ada di Tanah Perdikan dengan kekuatan dan pasukan Mataram yang ada di Tanah Perdikan itu.

“Agung Sedayu,” berkata pemimpin dari keempat kelompok itu, “sebaiknya Tanah Perdikan ini jangan sampai ketinggalan dari daerah lain. Sebaiknya kau selalu melihat keadaan. Di Timur langit telah menjadi mendung. Sebentar lagi hujan, angin dan badai akan mengguncangkan kuasa Mataram. Nah, pada saat itulah maka TanahPerdikan ini harus bangkit untuk menegakkan wibawanya, sehingga benar-benar menjadi Tanah Perdikan yang mandiri, sebagaimana hak yang pernah diberikan oleh Pajang, bahkan mungkin Demak.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara orang itu berkata, “Pikirkan. Aku akan datang sepekan lagi di sini. Satu hal yang perlu kau ketahui, jika kau memerlukan bantuan, kami akan datang dengan kekuatan secukupnya untuk mengusir pasukan khusus itu.”

Glagah Putih dan Sabungsari terkejut ketika kemudian Agung Sedayu menjawab, “Baiklah Ki Sanak. Sepekan lagi aku akan datang ke tempat ini. Aku akan menyampaikan jawabku. Selama itu aku akan merenungkannya dan serba sedikit menjajagi sikap anak-anak muda Tanah Perdikan.”

Orang itu menjawab dengan serta merta, “Bagus. Lakukanlah.”

Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya pula, “Sepekan lagi aku akan dapat memberikan jawaban yang lebih luas. Bahkan mungkin aku sudah dapat memberikan gambaran tentang sikap anak-anak muda Tanah Perdikan ini.”

“Jika demikian, maka sebaiknya aku minta diri,” berkata orang itu.

“Aku akan menunggu Ki Sanak di sini,” jawab Agung Sedayu.

“Sendiri,” berkata orang itu, “sebanyak-banyaknya kau bawa kawan adikmu itu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Yang ditunjuk ternyata hanya Sabungsari.

“Kami akan datang bertiga,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Jangan menganggap kami terlalu bodoh. Aku sekarang akan membawa adikmu itu. Dengan demikian aku akan mendapat jaminan bahwa kau tidak-akan berbohong. Kau benar-benar akan datang sendiri atau berdua. Tanpa tanggapan apapun, maka sepekan lagi ada kemungkinan lain terjadi di sini. Kau jebak aku dengan pasukan pengawalmu. Meskipun seandainya semua pengawal Tanah Perdikan ini dikerahkan, maka mereka tentu tidak akan dapat menangkap aku. Bahkan korban pun akan jatuh seperti aku menebas batang ilalang. Bahkan seandainya Ki Gede Menoreh sekalipun datang, maka ia akan dapat menjadi korban. Tetapi aku tidak ingin hal seperti itu terjadi. Karena itu, maka aku akan membawa adikmu itu.”

Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya. Katanya, “Jangan begitu Ki Sanak. Adikku merupakan satu-satunya saudaraku. Jika ia kau bawa, maka aku akan mencemaskan nasibnya.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Aku akan menjaminnya. Jika ia tidak terlalu cengeng, maka ia tidak akan mengalami kesulitan apa-apa.”

“Tetapi adikku memang seorang yang sangat cengeng,” jawab Agung Sedayu, “ia tidak pernah terpisah dari aku. Ia tidak dapat tidur jika ia tidak berbaring di pembaringan yang bertikar rangkap di atas galar pring wulung, berselimut kain panjang dan di dalam bilik yang disinari oleh lampu yang terang benderang.”

“Tetapi ia sudah cukup besar untuk diajar berprihatin,” jawab orang itu, “karena itu, maka biarlah anak itu aku bawa. Hanya untuk sepekan.”

“Jangan Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “anak itu jangan dibawa. Biarlah ia bersamaku kembali.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan wajah yang mulai tegang ia berkata, “Jangan menolak tawaranku.”

“Tetapi itu menyangkut keluargaku,” jawab Agung Sedayu.

“Kau jangan keras kepala. Kau sadari kedudukanmu, anak padesan yang bodoh. Kau tidak akan pernah dapat menentang kebebasanku. Siapapun tidak.” Orang itu menjadi marah. Wajahnya menjadi merah dan sorot matanya bagaikan menyala.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara itu dua orang di antara mereka telah bergerak mendekati Glagah Putih dan Sabungsari.

Sementara itu pemimpin mereka berkata, “Dengar. Sebentar lagi kekuatan Mataram akan diguncang oleh kekuatan dari Timur. Seharusnya kau berterima kasih kepadaku. Kau akan memanfaatkan kesempatan itu. Aku sudah menyatakan kesediaanku untuk membantu. Tetapi ternyata kau memang dungu.”

“Tidak mungkin Pajang akan melawan Mataram. Sekarang Adipati Pajang, Pangeran Benawa, sedang sakit. Bahkan pada saat meninggalnya Raden Rangga, Pangeran Benawa tidak dapat hadir. Apalagi Pangeran Benawa sendiri tidak pernah bermimpi untuk mewarisi kekuasaan ayahandanya,” sahut Agung Sedayu.

“Sadari kebodohanmu. Jangan mengajari aku. Pajang justru lebih lemah dari Tanah Perdikan ini,” jawab orang itu.

“Jadi kekuasaan mana yang kau maksud? Madiun, yang berhasil menghimpun beberapa kadipaten di Bang Wetan?” bertanya Agung Sedayu pula.

Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada geram ia berkata, “Kau dapat menebak apapun juga. Tetapi aku akan membawa adikmu, dan dalam waktu lima hari kau harus memberikan jawaban. Kau tahu maksudku dan kau akan menuruti penunjukku. Jika tidak, adikmu akan menjadi korban kebodohanmu dan barangkali kekerasan hatimu.”

Agung Sedayu menjadi bimbang. Ia memang menduga, bahwa Glagah Putih tidak akan bersedia dibawa oleh orang-orang itu untuk waktu lima hari. Apalagi ia baru saja meninggalkan rumah dan keluarga untuk waktu yang lama, serta mengalami ketegangan yang sangat. Agaknya Glagah Putih masih ingin beristirahat sambil menilai dirinya sendiri, agar ia dapat menyakini tataran ilmunya sebaik-baiknya.

Ketika Agung Sedayu memandang ke arah Glagah Putih, maka tiba-tiba saja anak muda itu berdiri sambil berkata, “Ki Sanak. Apakah kau termasuk salah seorang kawan Ki Lurah Singaluwih yang sekarang berada di Mataram?”

Wajah orang itu tiba-tiba menjadi merah. Matanya yang bagaikan menyala memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Dengan suara yang menggeram seperti suara seekor harimau yang lapar ia bertanya, “Darimana kau mengenal nama itu?”

Glagah Putih yang telah berdiri itu pun menjawab, “Nampaknya kau sedang menjalankan tugas bagi Madiun yang ingin melawan kuasa Mataram. Namun sebagian dari para Tumenggung telah melakukannya tanpa sepengetahuan Panembahan Madiun. Pada satu saat mereka justru akan menyudutkan Panembahan Madiun untuk melawan Mataram tanpa pilihan. Sementara itu, baik Panembahan Senapati maupun Panembahan Madiun sedang berusaha untuk menemukan persesuaian pendapat.”

“Gila,” orang itu hampir berteriak, “darimana kau dapat mengigau seperti itu?”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih dengan sikap yang telah berubah sama sekali dari sikapnya sebelumnya, “sebaiknya kau ikut kami. Kami akan membawamu ke Mataram, melengkapi keterangan Ki Singaluwih yang telah lebih dahulu berada di Mataram. Jangan bermimpi bahwa usahamu untuk memecah belah Mataram akan berhasil. Jika Tanah Perdikan ini berusaha mendesak Pasukan Khusus Mataram yang ada di sini, tentu timbul pertempuran. Mungkin daerah lain juga kau bakar seperti itu. Mangir, Sangkal Putung di sisi timur, Bagelen, Pegunungan Sewu dan daerah-daerah lain, terutama di sekeliling Mataram itu sendiri.”

“Anak iblis,” geram pemimpin dari keempat orang itu, “ternyata kau tidak sedungu yang aku duga he? Jika demikian, maka kau tentu anak yang sangat berbahaya. Kau tidak hanya sekedar akan aku bawa, tetapi kau akan kami binasakan sama sekali. Kesombonganmu dengan menyebut pengertianmu tentang hubungan antara Mataram dan Madiun telah membuatmu memasuki jalan ke liang kuburmu.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “kita sudah terlanjur membuat persoalan di antara kita. Kita tidak akan dapat membiarkan persoalan ini berlalu begitu saja. Karena itu, maka kita harus menemukan satu penyelesaian.”

“Ya,” jawab orang itu, “kalian bertiga harus mati.”

Sabungsari pun kemudian bangkit berdiri. Jika semula seakan-akan ia tidak mengacuhkan apa yang terjadi, maka tiba-tiba iapun berkata, “Apa boleh buat.”

Seorang di antara keempat orang itu memandanginya dengan kerut di dahi. Dengan kasar ia bertanya, “Apa yang kau maksudkan, he?”

“Seperti yang dikatakan kawanmu itu. Kalian berempat harus mati.”

“Setan!” bentak yang lain di antara keempat itu, “Kalian bertiga yang harus mati.”

“O,” Sabungsari tersenyum, “bukankah kau hanya kelebihan satu?”

“Persetan,” orang itu hampir berteriak, “kukoyak mulutmu.”

Sabungsari membenahi pakaiannya sambil berdesis, “angan cepat marah. Apakah kau tidak pernah mendapat petunjuk, bahwa di saat-saat kau akan berkelahi, kau tidak boleh tenggelam dalam kemarahan saja, sehingga kehilangan penalaran.”

“Tutup mulutmu!” orang itu berteriak-teriak keras.

Glagah Putih pun tersenyum melihat sikap orang itu.

Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Ki Sanak. Aku memang salah seorang bebahu Tanah Perdikan ini, meskipun aku bukan seorang Kebayan sebagaimana Kebayan yang lain, karena tugas-tugasku yang khusus. Karena itu, atas penilaianku terhadap kalian, maka aku, bebahu Tanah Perdikan ini, berkewajiban menangkap kalian berempat.”

Keempat orang itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja mereka telah tertawa berkepanjangan.

Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari membiarkan mereka tertawa. Bahkan mereka telah menunggu keempat orang itu tertawa sepuas-puasnya. Namun demikian suara tertawa mereka mereda, maka Agung Sedayu pun berkata pula, “Atas nama Ki Gede Menoreh, kami akan membawa kalian menghadap.”

“Kau sudah menjadi gila agaknya,” berkata salah seorang di antara mereka, “tetapi apapun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Sebentar lagi kalian semuanya sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa. Mungkin kami akan membawa kudamu. Satu diantara ketiga ekor kuda itu adalah kuda yang sangat bagus. Tegar dan kuat, jarang ada duanya. He, kau curi dimana kuda itu?”

Jawab Glagah Putih pun mengejutkan. Katanya, “Kuda itu pemberian putra Panembahan Senapati.”

“Setan. Kau kenal putra Panembahan Senapati, he Anak Lereng Bukit Batu?” bentak pemimpin dari keempat orang itu.

“Apa persoalannya akan bergeser tentang perkenalanku dengan putra Panembahan Senapati?” bertanya Glagah Putih.

“Anak iblis,” geram pemimpin dari keempat orang itu, “ternyata aku bertemu dengan orang-orang yang sedikit banyak mempunyai wawasan yang lebih luas dari seorang anak muda di bukit batu. Bahkan mengaku kenal dengan putra Panembahan Senapati.”

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “menyerahlah.”

“Aku pun sudah jemu dengan pembicaraan yang tidak berujung pangkal ini,” berkata pemimpin dari keempat orang itu. Lalu tiba-tiba ia berkata, “Selesaikan mereka.”

Ketiga orang yang lain mengangguk hormat. Seorang di antara mereka menjawab, “Apakah kita tidak akan membawa salah seorang dari mereka hidup-hidup?”

“Untuk apa?” bertanya pemimpinnya.

“Mungkin satu saat kita memerlukannya,” jawab orang itu.

Tetapi pemimpinnya itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada gunanya. Selesaikan saja semuanya.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya kepada ketiga orang Tanah Perdikan itu, “Sebenarnya kalian masih terlalu muda untuk mati. Tetapi apa boleh buat. Nasibmu membawamu ke liang kubur di usia mudamu. Apalagi yang satu itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku masih ingin untuk tidak mati sekarang. Karena itu, aku akan mempertahankan hidupku.”

“Persetan,” geram orang itu. Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Marilah. Kita tidak perlu membuang-buang waktu.”

Kedua orang kawannya pun sudah bersiap pula, sementara pemimpin dari keempat orang itu pun kemudian justru duduk di atas sebongkah batu padas sambil berkata, “Cepatlah sedikit.”

Ketiga orang itu pun kemudian menempatkan dirinya masing-masing. Ternyata orang yang kebetulan berhadapan dengan Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam sambil berkata kepada kawannya, “Kita bertukar lawan. Aku merasa enggan untuk membunuh anak-anak seperti ini.”

Tetapi pemimpinnya tiba-tiba membentak, “Sudahlah. Lakukan. Siapa yang paling cepat, akan mendapat penilaian tertinggi.”

“Tetapi jika aku yang tercepat, tentu dianggap satu kerja yang wajar saja. Bukan satu kelebihan, karena aku hanya membunuh anak-anak.”

“Cukup! Lakukan, atau minggir, biar aku melakukannya sendiri,” pemimpinnya membentak semakin keras.

Orang itu tidak menjawab. Ia memang terpaksa melakukannya, betapapun ia merasa enggan.

Keseganan itu agaknya memang tertangkap oleh Glagah Putih. Sehingga iapun harus menyesuaikan dirinya. Mungkin orang itu tidak akan melakukannya dengan serta merta atau apapun yang dilakukan, meskipun akhirnya orang itu memang harus melakukannya, karena mereka merasa bahwa rahasia mereka telah diketahui serba sedikit.

Seorang yang paling garang di antara ketiga orang itu justru berdiri di hadapan Agung Sedayu. Kumisnya yang lebat, wajahnya yang keras dan tubuhnya yang kekar, memang memberikan kesan, bahwa orang itu adalah seorang yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang besar.

Ternyata sebagaimana kebiasaan Agung Sedayu, ia sama sekali tidak pernah merendahkan orang lain. Karena itu, siapapun yang dihadapinya, apalagi orang-orang yang sama sekali belum dikenalnya, maka ia selalu berhati-hati.

Agaknya demikian pula dengan Sabungsari. Meskipun lawannya tidak segarang lawan Agung Sedayu, tetapi ketajaman matanya menunjukkan betapa orang itu mempunyai keyakinan kepada dirinya sendiri,

Sementara itu, orang yang berhadapan dengan Glagah Putih pun berkata dengan nada rendah, “Nasibmu anak muda. Tetapi berusahalah melawan agar aku mendapat landasan untuk membunuhmu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimana jika aku justru menangis?”

“Tidak baik laki-laki harus menangis. Aku ajari anakku untuk tidak menangis, apapun yang akan terjadi. Karena itu kau jangan menangis. Jika kau menangis, tugasku akan menjadi terlalu berat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Sanak. Aku bantu kau. Karena itu, kita akan berkelahi.”

Orang itu menjadi heran. Namun iapun segera melihat Glagah Putih telah bersiap.

“O,” orang itu mengangguk-angguk, “ternyata kau mempunyai kemampuan olah kanuragan pula.”

“Aku pernah mempelajarinya Ki Sanak. Serba sedikit. Dan sekarang yang sedikit itu akan aku pergunakan untuk mempertahankan hidupku,” berkata Glagah Putih.

“Bagus,” orang itu menjadi semakin mantap, “kita akan berkelahi.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Namun Glagah Putih yang masih berusaha meyakinkan pengenalannya atas tataran-tataran ilmunya sendiri itu, merasa harus bertindak dengan sangat berhati-hati. Ia tidak boleh salah menilai tataran kemampuannya. Jika lawannya benar-benar orang berilmu tinggi, maka ia akan mengalami kesulitan pada benturan yang terjadi. Tetapi kemungkinan sebaliknya akan dapat terjadi pula.

Dalam pada itu, kedua orang yang lain pun telah bergerak pula. Hampir bersamaan mereka mulai menyerang. Orang yang bertubuh tinggi kekar dan berkumis tebal melawan Agung Sedayu, sementara yang matanya bersinar setajam mata burung hantu melawan Sabungsari. 

Yang melawan Glagah Putih orangnya tidak terlalu tinggi. Namun menurut ukuran tingginya, ia terhitung agak gemuk. Meskipun demikian, ternyata ia mampu bergerak cepat sekali. Ketika ia melenting, maka tangannya terayun mengarah ke kening Glagah Putih. Namun Glagah Putih sempat mengelakkan serangan itu. Meskipun sebenarnya ia dapat melakukannya hanya dengan memiringkan kepalanya, namun Glagah Putih telah meloncat dua langkah surut.

Orang yang bertubuh agak gemuk itu tertawa. Katanya, “Kenapa kau tidak mengelak sampai ke Kali Praga? Kau buang-buang tenagamu untuk gerak yang sama sekali tidak perlu. Jika demikian, maka kau akan menjadi cepat letih.”

“Aku kira kau akan memburuku,” jawab Glagah Putih.

Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau terlalu takut menghadapi lawan. Ayo, kita berkelahi lebih seru lagi.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ternyata orang itu benar-benar menyerangnya lebih garang lagi. Namun terasa sesuatu yang agak lain bagi Glagah Putih. Ketika orang itu meloncat dengan cepat, ia tidak menyerang ke arah dada atau tempat-tempat yang berbahaya pada tubuhnya. Tetapi kakinya memang mengarah ke pundaknya.

Sekali lagi Glagah Putih mengelak. Dan sekali lagi orang itu tertawa.

Pertempuran antara Glagah Putih dan lawannya memang menjadi semakin cepat. Tetapi serangan-serangan lawannya memang tidak membahayakannya. Namun demikian Glagah Putih tidak membiarkan orang itu menyentuh tubuhnya.

Sementara itu, kedua orang yang lain telah bertempur semakin sengit pula. Namun baik Agung Sedayu maupun Sabungsari masih berusaha menjajagi kemampuan dan tingkat ilmu lawannya sebagaimana dilakukan oleh lawan-lawan mereka.

Ternyata bahwa kedua orang pendatang itu ingin mempercepat tugas mereka. Karena itu, maka mereka dengan cepat meningkatkan ilmu mereka.

Agung Sedayu dan Sabungsari telah menyesuaikan diri mereka. Semakin lama pertempuran itu pun menjadi semakin cepat dan keras. Mereka berloncatan sambil menyerang. Tangan mereka terayun dengan derasnya, kemudian mematuk dengan cepat ke sasaran yang lemah di tubuh lawannya.

Agung Sedayu dan Sabungsari ternyata harus mulai merambah ke tenaga cadangan di dalam diri mereka. Lawan Agung Sedayu yang bertubuh kekar kuat itu memang memiliki tenaga yang sangat besar. Serangan-serangannya datang beruntun susul menyusul.

Namun Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan untuk mengelak. Betapapun cepatnya serangan lawannya datang, Agung Sedayu selalu saja sempat bergeser menghindar.

Sementara itu, lawan Sabungsari telah benar-benar dibakar oleh kemarahan yang memuncak. Meskipun kecepatannya bergerak telah mencapai puncak kemampuannya, namun Sabungsari masih juga tidak dapat dikenainya. Dengan tangkasnya Sabungsari selalu berhasil mengelakkan setiap serangan.

Tetapi ketika serangan lawannya menjadi semakin cepat dan semakin deras, maka Sabungsari tidak lagi membiarkan dirinya menjadi sasaran. Iapun kemudian telah berniat untuk menyerang kembali.

Sebenarnyalah ketika hal itu dilakukan, lawannya benar-benar telah terkejut. Jika sebelumnya Sabungsari hanya berloncatan menghindar, maka tiba-tiba ia telah meloncat dengan kaki terjulur mengarah ke lambung.

Meskipun orang bermata tajam itu dengan cepat berusaha untuk mengelak, namun kaki Sabungsari benar-benar telah menyentuhnya. Tidak terlalu keras, namun terdengar lawannya itu mengumpat kasar.

“Kau sentuh lambungku, Setan,” geram orang itu.

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar telah berbuat untuk menahan orang yang sekan-akan menjadi gila itu.

Sejenak kemudian keduanya telah bersiap pula. Dengan tangkasnya orang itu menyerang dengan kakinya. Ketika Sabungsari bergeser, maka serangan itu pun diurungkannya. Ia justru berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar. Tumitnya menyambar lambung Sabungsari. Namun Sabungsari dapat menebak serangan itu. Karena itu, dengan beringsut sedikit, serangan itu sama sekali tidak mengenainya.

Sabungsari tidak membiarkan lawannya hanya bertumpu pada satu kakinya, sehingga karena itu, maka dengan cepat Sabungsari telah menyapu kaki lawannya.

Serangan yang cepat itu tidak sempat dihindari. Sapuan kaki Sabungsari yang cepat dan keras itu telah melontarkan kaki yang sebelah tempat lawannya itu meletakkan beban tubuhnya, di saat yang lain berputar.

Karena itu, maka kakinya itu pun telah terlempar ke samping. Sehingga dengan demikian, maka orang itu pun telah kehilangan keseimbangan. Namun demikian orang itu terjatuh, maka dengan serta merta iapun telah berguling sambil melenting, sehingga sejenak kemudian maka orang itu pun telah berdiri tegak dan siap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi Sabungsari memang tidak memburunya, iapun berdiri tegak pula di atas kakinya yang renggang.

Wajah orang itu bagaikan membara. Orang Tanah Perdikan itu telah berhasil menjatuhkannya meskipun tidak menyakitinya. Namun dengan demikian kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi atas dirinya.

Karena itu, maka orang itupun telah meningkatkan kemampuannya sampai pada batas tenaga cadangannya. Ia harus menunjukkan kepada orang Tanah Perdikan itu, bahwa ia akan dapat dengan mudah membunuhnya.

“Ia harus menyadari hal itu sebelum ia mati,” berkata orang bermata tajam itu kepada dirinya sendiri.

Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri. Selangkah demi selangkah ia maju. Sementara Sabungsari telah bersiap pula untuk menghadapinya. Ia sadar, bahwa orang yang bermata tajam itu tentu akan semakin meningkatkan kemampuannya.

Yang masih bertempur di sebelah lain adalah Agung Sedayu. Agung Sedayu ternyata sama sekali tidak merasa tergesa-gesa. Ia berada di lingkungan sendiri, sehingga ia dapat berbuat dengan lebih tenang daripada lawannya. Dengan demikian maka yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah justru mengimbangi tingkat-tingkat ilmu lawannya yang memang menjadi semakin tinggi.

Lawannya yang bertubuh kekar dan berkumis tebal itu memang menjadi semakin tidak sabar. Semakin ia meningkatkan ilmunya, terasa perlawanan orang Tanah Perdikan Menoreh yang mengaku Kebayan itu menjadi semakin keras. Tingkat ilmunya pun menjadi semakin tinggi pula, selalu melampaui tataran ilmunya.

Sementara itu, yang agak gemuk masih bertempur pula melawan Glagah Putih. Tetapi orang itu ternyata tidak juga dapat diam. Sambil bertempur ia berbicara apa saja tanpa henti-hentinya. Bahkan sekali-sekali terdengar suara tertawanya yang menggelegak.

Pemimpinnya yang menyaksikannya, beberapa kali telah membentaknya. Bahkan dengan kasar ia berkata, “Kalau kau tidak membunuh lawanmu, kaulah yang aku bunuh.”

Orang yang agak gemuk itu memang berusaha meningkatkan ilmunya dan mendesak Glagah Putih semakin jauh dari tempat mereka mulai dengan pertempuran itu.

Sementara itu, orang itu tertawa sambil berkata, “Nah, kau dengar? Kau memang harus mati.”

Glagah Putih tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja ia telah terdesak beberapa langkah surut. Tiba-tiba saja kakinya terantuk batu, sehingga Glagah Putih itu jatuh telentang di balik bebatuan yang teronggok di antara batang-batang perdu.

Orang bertubuh agak gemuk itu segera meloncat dan berdiri di sampingnya. Tangannya sudah melekat di hulu pedangnya, siap untuk mencabut dan mengayunkannya.

Namun pedang itu tidak dicabutnya juga. Bahkan orang itu membentak, “Kau anak dungu! Kenapa kau tidak mau ikut kami hanya untuk sepekan?”

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “apakah kau benar-benar akan membunuhku jika aku menolak?”

“Kau gila Anak Muda,” geram orang itu, “seharusnya aku penggal lehermu, aku potong lidahmu dan aku koyak mulutmu.”

“Kenapa kau tidak melakukannya?” bertanya Glagah Putih.

“Setan,” geram orang itu, “biarlah orang bertangan beku itu membunuhmu. Ia dapat membunuh dengan tenang bayi yang baru lahir sekalipun. Ia akan dapat menghujamkan jari-jarinya ke dadamu dan mengambil jantungmu.”

Namun orang itu akhirnya menarik pedangnya pula. Sambil menyentuh dada Glagah Putih dengan ujung pedangnya orang itu berkata, “Bangun. Ikut aku menghadap pemimpinku. Ialah yang akan membunuhmu. Meskipun ia akan memaki aku, tetapi ia tidak akan benar-benar membunuhku. Tetapi kau.”

Glagah Putihpun kemudian bangkit. Orang itupun kemudian membentaknya, “Maju!”

“Tunggulah,” berkata Glagah Putih, “kau nampaknya orang yang aneh di antara keempat orang itu. Meskipun kau nampak kasar, tetapi ada sesuatu yang lembut di dalam hatimu.”

“Anak demit,” geramnya, “kau merajuk he?”

“Tidak. Aku berkata sebenarnya,” jawab Glagah Putih.

“Aku tidak memerlukan pujian dari kanak-kanak,” berkata orang itu, “ayo, mendekatlah ke pelukan maut. Kau akan mati muda. Nyawamu akan menyesali kebodohanmu.”

“Kenapa tidak kau lakukan saja?” bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak mau membunuh anak-anak!” bentak orang itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba orang itu berteriak, “Ki Lurah! Aku tidak dapat membunuhnya. Ia ada di sini. Bunuhlah!”

“Iblis kau! Hunjamkan pedangmu ke jantungnya!” teriak pemimpin dari keempat orang itu.

“Ambil saja jantungnya dengan jari-jarimu!” teriak orang yang agak gemuk itu lagi.

“Bawa kemari. Aku memang senang melakukannya,” jawab pemimpinnya.

“Nah, kau dengar?” geram orang yang agak gemuk itu, “Ayo berjalanlah. Atau kau mau ikut kami selama sepekan, atau bahkan selama-lamanya? Aku akan menanggung keselamatanmu selama kau tidak berusaha melarikan diri.”

“Bagaimana jika aku melarikan diri sekarang?” bertanya Glagah Putih.

“Jangan. Tidak ada gunanya. Satu usaha yang sia-sia,” berkata orang itu, “marilah, kita menghadap Ki Lurah.”

Glagah Putih tidak membantah. Iapun kemudian berjalan ke arah pemimpin dari keempat orang yang masih saja duduk di atas batu.

Sementara itu, Sabungsari dan Agung Sedayu masih bertempur terus. Namun sikap Glagah Putih memang sempat menarik perhatian mereka berdua.

Tetapi Agung Sedayu dan Sabungsari yang mengetahui bahwa Glagah Putih telah memiliki ilmu yang tinggi, tidak segera mengambil langkah-langkah. Mereka tidak mengerti maksud yang sebenarnya dari Glagah Putih. Namun keduanya yakin bahwa sebenarnya Glagah Putih tidak akan semudah itu ditundukkan oleh lawannya yang agak gemuk itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih telah berdiri beberapa langkah di hadapan pemimpin dari keempat orang yang masih saja duduk di atas batu padas itu. Orang yang agak gemuk itu pun kemudian menyarungkan pedangnya sambil berkata, “Nah, terserah kepadamu Ki Lurah. Apakah orang itu akan kau jantur dengan kepala di bawah, atau kau ambil jantungnya dengan tanganmu, atau apa saja. Aku minta ijin sebentar untuk pergi ke parit kecil di sebelah.”

“Kau memang cengeng. Kau bunuh Merta Celeng dengan tanganmu. Kenapa kau tidak dapat membunuh anak ini?” geram pemimpinnya.

“Merta Celeng adalah seorang yang sudah pantas untuk mati. Bahkan ialah yang justru hampir membunuhku. Anak itu masih terlalu muda, dan agaknya ia tidak bersalah sebagaimana Merta Celeng itu,” jawab orang yang agak gemuk itu.

Pemimpinnya itu mengumpat dan sekaligus tertawa berkepanjangan. Sejenak kemudian iapun berdiri, sementara orang yang agak gemuk itu telah bergeser selangkah. Agaknya ia benar-benar akan meninggalkan Glagah Putih di hadapan pemimpinnya itu.

Namun ternyata Glagah Putih yang kemudian berdesis, “Ki Sanak. Jangan pergi. Sebaiknya kau lihat, bagaimana pemimpinmu ini membunuhku, atau aku membunuhnya.”

Orang yang agak gemuk itu menjadi heran. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah benar yang aku dengar, bahwa kau akan membunuhnya?”

“Ya. Aku akan membunuh pemimpinmu,” jawab Glagah Putih.

Orang yang bertubuh agak gemuk itu masih termangu-mangu. Namun ternyata pemimpinnya-lah yang menjadi sangat marah mendengar kata-kata Glagah Putih dan melihat sikapnya.

Karena itu, maka dengan suara bergetar ia berkata, “Anak ini benar. Jangan pergi. Lihat, bagaimana aku mengambil jantung dari dalam dadanya.”

Orang bertubuh gemuk itu termangu-mangu. Namun Glagah Putih berkata pula, “Jangan pergi.”

Tetapi Glagah Putih tidak dapat meneruskan kata-katanya. Orang yang marah itu tiba-tiba saja telah meloncat menerkam. Jari-jari tangan kanannya yang merapat pada ujung-ujungnya telah mematuk ke dada Glagah Putih.

Dengan kekuatan yang sangat besar, ujung-ujung jari yang kuncup itu akan dapat menembus tulang-tulang rusuknya dan menerkam jantung.

Dengan sigapnya Glagah Putih melenting ke samping sambil menggeliat. Serangan pemimpin dari orang-orang yang datang itu benar-benar mengejutkan.

“Bukan main,” desis Glagah Putih yang tersentuh sambaran angin serangan orang yang garang itu.

Sementara itu orang yang menyerangnya itu pun mengumpat pula, “Kau dapat menghindari seranganku, he? Kau ternyata dapat memperpanjang umurmu.”

Glagah Putih telah berdiri tegak menghadap ke orang yang ternyata memiliki tenaga yang sangat besar itu. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Ki Sanak. Aku minta sebaiknya kau menyerah saja. Kita akan dapat berbicara dengan baik. Kau akan dapat bertemu dengan Ki Lurah Singaluwih di Mataram, karena agaknya kau dan Ki Lurah berasal dari sumber kekuatan dan kuasa yang sama. Aku menduga, bahwa kau telah mendapat perintah untuk melakukan tugas. Tetapi seperti Ki Lurah Singaluwih, maka meskipun ia mengatas namakan dirinya sebagai bagian dari kakuatan dan kuasa di Madiun, tetapi apa yang dilakukannya adalah di luar tanggung jawab Panembahan Madiun. Kaupun agaknya telah berbuat demikian. Yang kau lakukan sama sekali tidak diketahui, apalagi ditugaskan, oleh Panembahan Madiun.”

“Anak iblis,” geram orang itu, “kau memang harus dibunuh. Kau sudah menghina aku bukan saja dengan perbuatan, tetapi juga dengan kata-kata itu.”

Glagah Putih telah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkian. Karena itu, maka ketika kemudian pemimpin dari orang-orang yang datang itu meloncat sekali lagi dengan jari-jari yang di ujungnya kuncup merapat mengarah ke dadanya, iapun dengan cepat telah bergeser.

Namun Glagah Putih masih juga merasa sambaran angin yang menerpa tubuhnya.

Ternyata orang itu telah benar-benar menjadi marah. Ia tidak lagi memberi kesempatan kepada Glagah Putih untuk mempersiapkan dirinya. Dengan serta merta orang itu memburu. Beberapa kali tangannya terayun mengarah ke dada, sedangkan kakinya berloncatan dengan cepatnya.

Dengan demikian maka Glagah Putih harus menyesuaikan diri. Ia menyadari, bahwa lawannya telah melepaskan tenaga cadangannya bahwa agaknya sudah hampir sampai ke puncak. Karena itu, maka iapun tidak boleh lengah.

Ketika serangan orang itu datang memburunya bagaikan angin pusaran, maka Glagah Putih tidak membiarkan dirinya sekedar menjadi sasaran. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan kemampuannya. Ketika serangan lawannya datang membadai, maka iapun bergeser menghindar. Angin yang menyambar tubuhnya terasa bagaikan menghanyutkan pakaiannya. Namun demikian lawannya itu bersiap untuk menyerangnya pula, maka kaki Glagah Putih telah lebih dahulu terjulur ke lambungnya.

Demikian cepatnya, sehingga orang itu tidak menyangka sama sekali. Karena itulah, maka tiba-tiba orang itu sudah terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh. Kaki Glagah Putih ternyata telah melontarkannya dengan keras.

Terasa betapa sakitnya punggung orang itu. Tetapi ia masih juga sempat melenting berdiri dengan sigapnya. Dengan menggeretakkan giginya ia berusaha untuk mengatasi rasa sakitnya.

Glagah Putih memang tidak memburunya. Ia masih berdiri tegak sambil memandangi lawannya yang kesakitan.

Sementara itu, orang yang bertubuh agak gemuk itu merasa heran. Begitu mudah ia menguasai anak itu. Namun ternyata kemudian anak itu berhasil mengenai dan bahkan melemparkan pemimpinnya sehingga jatuh terbanting di batu-batuan padas.

Selagi orang itu keheranan, tiba-tiba terdengar suara Glagah Putih, “He, kenapa kau menjadi bingung?”

Orang yang agak gemuk itu tergagap. Sementara itu Glagah Putih berkata pula, “Jangan pergi. Lihatlah apa yang akan terjadi.”

Orang itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu pemimpinnya benar-benar telah dibakar oleh kemarahan. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Ilmu dari iblis manakah yang telah kau sadap itu, he?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku tidak pernah berhubungan dengan iblis yang manapun juga. Baru sekarang aku mendapat kesempatan untuk bertemu dengan iblis itu.”

Kata-kata Glagah Putih terputus. Orang itu tiba-tiba saja telah meloncat menyerang dengan garangnya. Tangannya terayun deras sekali.

Tetapi Glagah Putih telah memperhitungkannya. Dengan sigap iapun telah bergeser menghindar. Tidak meloncat terlalu jauh dari sambaran tangan lawan sebagaimana dilakukan ketika ia melawan orang yang agak gemuk itu. Namun demikian serangan itu terayun, maka Glagah Putih telah menyusul dengan serangannya pula.

Namun lawannya melihat gerak Glagah Putih. Dengan menggeliat ia berhasil mengelakkannya, meskipun ketika kakinya berjejak di tanah, keseimbangan agak terganggu. Tetapi ketika Glagah Putih akan memanfaatkan kesempatan itu, orang itu telah melenting surut. Demikian ia berdiri tegak, maka ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak kemudian pertempuran di antara merekapun telah menyala pula. Semakin seru.

Namun justru setelah Glagah Putih bertempur, Agung Sedayu dan Glagah Putih sama sekali tidak mencemaskannya lagi. Mereka mengerti bahwa Glagah Putih telah memiliki bekal ilmu yang tinggi, meskipun ia masih memerlukan waktu yang cukup untuk lebih mengenali tataran-tatarannya.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih masih selalu berusaha mengendalikan dirinya. Namun demikian, ternyata bahwa lawannya telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Bahkan kemudian Glagah Putih mulai merasakan bahwa lawannya telah merambah kepada ilmunya yang diandalkannya.

Dengan demikian, maka terasa kecepatan gerak lawannya justru menurun. Tetapi tata geraknya menjadi lebih mantap dan berat. Sekali-sekali kakinya bagaikan terhunjam jauh ke dalam bumi.

Glagah Putih pun segera menyesuaikan dirinya. Ia tidak boleh dihancurkan oleh kekuatan lawannya. Benturan-benturan yang kemudian terjadi memang memberikan kesan kepada Glagah Putih, bahwa kekuatan lawannya sudah jauh meningkat.

Ternyata bahwa pertempuran itu adalah satu kesempatan bagi Glagah Putih untuk menilai tataran-tataran ilmunya. Ia dapat menambah dan mengurangi ilmunya menurut takaran-takaran yang dikehendakinya.

Dengan demikian, maka Glagah Putih tidak pernah berada di bawah kekuatan dan kemampuan lawannya. Betapa lawannya meningkatkan ilmunya, maka Glagah Putih pun telah melakukannya pula.

Dalam benturan kekuatan di saat Glagah Putih menangkis serangan lawannya yang masih saja mengarah ke jantung, terasa oleh lawannya tangan anak muda itu bagaikan sepotong besi baja.

Yang menjadi semakin heran adalah orang yang agak gemuk yang berdiri dengan mulut ternganga di luar arena. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Orang yang disebut Ki Lurah itu akhirnya tidak dapat menahan diri lagi. Namun justru karena itu ia meloncat surut. Kedua tangannya tiba-tiba saja telah dikembangkan dengan jari-jari yang terkembang pula.

Glagah Putih tertegun melihat lawannya yang seakan-akan telah berubah menjadi bara. Meskipun hanya sekejap. Namun ketika kemudian orang yang dihadapinya itu telah berujud sebagaimana ujudnya semula, Glagah Putih menyadari, bahwa lawannya telah mengetrapkan ilmu puncaknya. Menurut penilaian Glagah Putih, maka orang itu akan mampu memanfaatkan inti kekuatan api, sehingga sentuhan-sentuhannya akan dapat membakar.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memiliki kemampuan yang akan dapat melampaui kemampuan lawannya. Ia tidak saja dapat membuat dirinya bagaikan menjadi bara, tetapi ia dapat melontarkan kekuatan api itu ke sasaran pada jarak tertentu.

Tetapi Glagah Putih tidak melakukannya. Ia tidak ingin dengan serta merta menyelesaikan pertempuran itu. Namun ia akan mencoba menilai ilmunya sendiri setapak demi setapak.

Karena itu, maka Glagah Putih tidak menghempas lawannya dengan api atau dengan prahara, atau dengan kekuatan ilmu Sadewa yang dahsyat, yang mampu dilontarkannya dari jarak tertentu tanpa sentuhan wadag, yang semuanya menjadi semakin tinggi tingkatnya karena dilandasi oleh kekuatan yang mengalir dari Raden Rangga ke dalam dirinya. Tetapi Glagah Putih mempergunakan kekuatan air yang dapat disadapnya, sekedar untuk mengatasi panasnya api di tubuh lawannya yang membara.

Demikian kuatnya Glagah Putih menyerap kekuatan air sampai kepada intinya, maka permukaan tubuhnya pun menjadi bagaikan membeku seperti minyak di musim bediding. Bahkan jauh lebih dingin dari itu.

Dengan keadaannya itulah Glagah Putih kemudian menunggu serangan lawannya.

Lawannya sama sekali tidak mengetahui, apa yang telah terjadi pada diri Glagah Putih. Ia merasa bahwa dengan kemampuan puncaknya itu, ia akan dengan cepat menyelesaikan anak muda yang dianggapnya terlalu sombong itu.

Selangkah demi selangkah ia mendekati Glagah Putih. Kemudian dengan garang orang itu meloncat sambil mengayunkan tangannya. Tetapi jari-jari tangannya tidak lagi lurus dan kuncup pada ujungnya untuk mematuk dada dan mematahkan tulang-tulang rusuknya kemudian menarik jantungnya, tetapi tangannya terbuka dengan jari-jari merapat. Dengan derasnya orang itu memukul dahi Glagah Putih dengan sisi telapak tangannya itu.

Tetapi sasaran itu tidak penting bagi lawan Glagah Putih. Ia telah memperhitungkan, bahwa lawannya akan mengelak, sehingga ia harus membuat serangan beruntun, sehingga pada satu saat Glagah Putih terpaksa menangkis serangannya karena ia tidak mampu mengelak lagi. Atau bahkan seandainya Glagah Putih harus menyerangnya kembali dan mengenainya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar