Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 221

Buku 221

“Raden,“ Glagah Putih masih berusaha untuk mempersilahkan Raden Rangga untuk berbaring, “lebih baik Raden tetap berbaring.“

“Kenapa?“ bertanya Raden Rangga, “Aku tidak akan bertambah baik jika aku tetap berbaring, dan tidak akan menambah keadaanku semakin buruk jika aku bangkit dan duduk barang sejenak.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang tidak dapat memaksa Raden Rangga untuk berbaring lagi.

“Glagah Putih,“ berkata Raden Rangga, “adalah kebetulan sekali bahwa besok malam bulan akan menjadi bulat. Cobalah kau bantu aku. Mulai tengah malam nanti, kau jangan makan dan jangan minum apapun juga. Kau harus mulai dengan pati geni. Bukankah hal seperti itu sudah sering kau lakukan?“

“Pati geni?“ bertanya Glagah Putih.

“Ya, Glagah Putih. Aku minta kau bersedia membantuku,“ desis Raden Rangga.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Raden. Pati geni adalah sekedar laku.“

“Ya. Kau harus menjalani laku,“ jawab Raden Rangga.

“Untuk apa?“ bertanya Glagah Putih.

“Besok akan aku katakan kepadamu,“ jawab Raden Rangga.

“Bagaimana aku dapat menjalani laku tanpa mengetahui untuk apa?“ sahut Glagah Putih pula.

“Persiapkan dirimu. Kau akan mengalami sentuhan getaran ilmu yang barangkali akan berguna bagimu,“ jawab Raden Rangga.

Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi sebelum ia bertanya, Raden Rangga berkata, “Sudahlah. Kau tidak usah bertanya terlalu banyak sekarang. Lakukan yang aku minta, jika kau memang ingin membantu aku.“

Memang tidak ada pilihan lain bagi Glagah Putih. Karena itu maka iapun menjawab, “Baiklah. Aku akan melakukannya.“

“Bagus,“ jawab Raden Rangga, “aku akan merasa senang dengan kesediaanmu itu.“

Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu sambil tersenyum Raden Rangga pun beringsut sambil bertelekan pada kedua lengannya.

Glagah Putih yang melihat sikap itu segera membantunya. Ia mengerti bahwa Raden Rangga akan berbaring lagi di pembaringannya. Karena itu, maka Glagah Putih pun segera membantunya.

Demikian tubuhnya terbaring, maka iapun memejamkan matanya sambil berkata, “Aku akan beristirahat. Besok, datanglah di tengah malam saat bulan purnama, setelah kau menjalani laku. Pati geni.“

“Baik Raden,“ jawab Glagah Putih.

“Sekarang, kalau kau ingin beristirahat, beristirahatlah. Kau tentu letih sekali,“ berkata Raden Rangga.

“Terima kasih Raden. Salah seorang dari kami akan menunggui Raden,“ berkata Glagah Putih.

“Itu tidak perlu. Di sini banyak pelayan yang dapat menunggui aku. Jika aku memerlukan kalian sajalah, biar aku menyuruh seorang pelayan memanggil kalian,“ berkata Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Raden Rangga yang memejamkan matanya itu agaknya benar-benar akan beristirahat. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah meninggalkan Raden Rangga seorang diri.

Di luar bilik memang terdapat dua orang yang duduk di atas tikar. Dari Kiai Gringsing, Glagah Putih yang kemudian duduk pula bersamanya mendengar bahwa kedua orang itu adalah dua orang yang ditugaskan untuk melayani Raden Rangga. Selain keduanya, masih ada dua orang perempuan yang akan membantu menjaga anak muda yang terluka itu. Jika Raden Rangga memerlukan makanan dan minuman, maka kedua orang perempuan itu lah yang akan menyediakannya.

“Apa yang dikatakan kepadamu?“ bertanya Kiai Gringsing.

Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, “Tidak ada yang diceritakan kepadaku. Tetapi Raden Rangga minta aku untuk tidak makan dan minum setelah lewat tengah malam nanti. Aku harus pati geni sampai besok tengah malam.“

“Pati geni?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ya,“ jawab Glagah Putih.

“Untuk apa?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Raden Rangga mengatakan bahwa aku harus mempersiapkan diri untuk menerima sentuhan getaran ilmu yang barangkali akan berguna bagiku,“ jawab Glagah Putih.

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Kiai Gringsing sambil berdesis, “Apa artinya itu Kiai? Apakah Glagah Putih dapat begitu saja menerima warisan ilmu Raden Rangga? Aku tidak tahu, dengan cara apa ia memberikannya.“

“Raden Rangga memang seorang anak yang aneh, Ki Jayaraga. Ia sendiri tidak tahu pasti tentang dirinya. Aku sebenarnya juga agak cemas, apakah ilmu itu akan dapat luluh di dalam diri Glagah Putih. Namun sampai saat ini, apa yang diberikan, atau katakanlah apa yang diajarkan oleh Raden Rangga itu, dapat diterima dengan baik dan luluh di dalam dirinya,“ gumam Kiai Gringsing.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga ia merasa ragu. Tetapi ia tidak mempunyai cara untuk menolaknya.

“Apalagi Raden Rangga dalam keadaan gawat seperti itu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Aku merasa curiga,“ berkata Ki Jayaraga.

“Curiga tentang apa?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Dalam keadaan yang sangat lemah, apakah Raden Rangga akan dapat melakukan satu kerja yang sangat besar seperti itu?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Kita belum tahu, cara yang akan ditempuhnya. Mungkin ia sekedar memberikan petunjuk. Tetapi mungkin ia akan melakukan kerja yang memerlukan pengerahan tenaga dan pemusatan nalar budi,“ berkata Kiai Gringsing.

“Jika demikian sebagaimana disebut Kiai yang terakhir, maka keadaan Raden Rangga akan menjadi semakin parah,“ berkata Ki Jayaraga.

Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk. Sementara itu Sabungsari pun berkata, “Kita memang dalam keadaan sulit. Seandainya untuk kepentingan Raden Rangga Glagah Putih tidak datang, maka Raden Rangga tentu akan marah sekali. Itu pun akan sangat mempengaruhi kesehatannya yang memang sudah memburuk itu. Tetapi jika Glagah Putih datang, maka kemungkinan yang buruk pun akan dapat terjadi.“

Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih menjadi semakin bingung.

“Bagaimana pendapat Kiai tentang kemungkinan yang buruk itu, menurut penglihatan Kiai sebagai orang yang memiliki kemampuan tentang pengobatan?“ bertanya Sabungsari.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apapun yang dilakukan atau bahkan tidak melakukan apa-apa, maka aku tidak dapat menghentikan pertarungan antara bisa ular yang memiliki jenis ketajaman yang belum pernah aku kenal sebelumnya, dengan kekuatan penawar bisa di dalam tubuh Raden Rangga. Bisa itu betapapun lambatnya, tetapi sampai saat ini dengan pasti telah mendesak kemampuan penawar racun di dalam diri Raden Rangga.“

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun ketegangan nampak pada kerut di dahinya.

“Apakah artinya Kiai?“ bertanya Glagah Putih.

Kiai Gringsing termenung sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Kita dihadapkan pada jalan simpang yang sulit untuk memilih arah. Sementara itu keadaan Raden Rangga pun harus segera aku laporkan kepada Panembahan Senapati.“

“Apakah Kiai tidak melihat cara apapun untuk menolongnya?“ bertanya Glagah Putih.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berdesis, “Dalam keadaan seperti ini, maka kita akan merasa, betapa terbatasnya kemampuan seseorang. Segala sesuatunya memang harus dikembalikan kepada Yang Maha Agung.“

Glagah Putih mengerti arti kata-kata Kiai Gringsing itu. Karena itu, maka iapun tidak bertanya lebih jauh. Namun betapa hatinya merasa pedih.

“Aku akan rnenghadap Panembahan Senapati untuk melaporkan keadaan Raden Rangga,“ berkata Kiai Gringsing.

Sekali lagi Kiai Gringsing menengok keadaan Raden Rangga. Agaknya Raden Rangga memang berusaha untuk dapat tidur barang sejenak. Meskipun ia masih mendengar kehadiran Kiai Gringsing di dalam bilik itu, tetapi Raden Rangga sama sekali tidak membuka matanya dan tidak menyapanya.

Sejenak kemudian, Kiai Gringsing telah menghadap Panembahan Senapati dan melaporkan keadaan putanya. Sambil menunduk Kiai Gringsing berkata, “Ampun Panembahan. Tidak ada pengetahuan hamba yang lain yang akan dapat merubah keadaannya.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Terima kasih atas segala jerih payah Kiai bersama Ki Jayaraga dan Sabungsari. Kiai telah berhasil membawa anakku dan Glagah Putih kembali. Betapapun keadaan Rangga, namun ia sudah berada kembali di Istana Mataram sekarang ini.“

Kiai Gringsing mengangguk hormat. Namun katanya, “Tetapi hamba mohon ampun hamba tidak dapat berbuat apa-apa lagi.“

“Bukan salah Kiai,“ berkata Panembahan Senapati.

Dengan demikian maka Panembahan Senapati itu telah memerintahkan para pelayan dalam untuk menyediakan bilik buat keempat orang yang akan bermalam di Mataram. Panembahan Senapati minta agar Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih tetap berada di Mataram untuk menunggui Raden Rangga. Meskipun Panembahan Senapati telah memerintahkan beberapa orang pelayan untuk melayaninya, namun kehadiran keempat orang itu akan sangat berarti bagi Raden Rangga. Tentu saja keempat orang itu tidak berkeberatan sama sekali. Apalagi Glagah Putih yang sudah bersedia datang lagi sampai saatnya malam besok. Tengah malam ia harus berada di bilik Raden Rangga itu.

Di dalam bilik mereka, keempat orang itu masih saja merenungi keadaan Raden Rangga. Mereka masih juga membicarakan keinginan Raden Rangga untuk menurunkan ilmunya kepada Glagah Putih. Tidak seorangpun yang dapat menentukan apa yang akan terjadi. Meskipun sebenarnya mereka dapat menduga, namun mereka berusaha untuk menghindarkan diri dari pengamatan angan-angan mereka.

Namun betapapun juga, Glagah Putih melakukan pesan Raden Rangga. Sejak tengah malam, ia tidak lagi minum barang seteguk pun. Apalagi mengunyah makanan barang sepotong.

Tetapi baik Kiai Gringsing maupun Glagah Putih sendiri sama sekali tidak berani menyampaikan maksud Raden Rangga itu kepada Panembahan Senapati, meskipun mereka sama sekali tidak dapat membayangkan tanggapan Panembahan Senapati itu sendiri.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih selalu berganti-ganti menengok Raden Rangga. Tetapi mereka sama sekali tidak mendengar keluhan dari antara bibir anak muda yang nampaknya memang menjadi semakin parah.

Jika Raden Rangga membuka matanya dan melihat satu atau dua orang di antara keempat orang itu berada di dalam biliknya, maka ia hanya tersenyum saja. Sama sekali tidak membayangkan kegelisahan di wajahnya. Hanya kadang-kadang jika perasaan sakit terasa mendera bagian dalam tubuhnya. Raden Rangga itu mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi menilik sikapnya, anak muda itu benar-benar telah pasrah.

Ketika hari berikutnya lewat, maka Raden Rangga sempat mengingatkan Glagah Putih yang menengoknya, “Jangan lupa, malam nanti.“

“Ya Raden,“ jawab Glagah Putih.

“Kau pati geni?“ bertanya anak muda itu pula.

“Ya Raden,“ jawab Glagah Putih pula.

“Siapkan dirimu. Mudah-mudahan gurumu tidak berkeberatan,“ desisnya. “Jika ia keberatan, katakan bahwa aku tidak akan memberikan apa-apa. Mungkin sekedar mendorongmu agar kau dapat berlari lebih cepat. Atau memberimu alas agar kau menjadi semakin tinggi. Tanpa mengganggu keuntuhanmu.“

“Baiklah Raden,“ jawab Glagah Putih agak kebingungan.

Raden Rangga tersenyum. Lalu katanya, “Aku akan tidur.“

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Iapun kemudian bergeser meninggalkan ruangan itu. Di sudut ruang, dua orang yang menunggui Raden Rangga duduk di atas tikar pandan. Agaknya mereka pun merasa prihatin oleh keadaan Raden Rangga itu.

Ketika malam mulai turun, Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Sehari itu ia tidak ikut makan dan minum dengan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari. Ia benar-benar telah melakukan pati geni seperti yang dikehendaki oleh Raden Rangga. Dalam keadaan yang gelisah itu, maka Glagah Putih telah dipanggil oleh Kiai Gringsing untuk mendapat pesan-pesannya.

“Ternyata kita memang tidak dapat menolak,“ berkata Kiai Gringsing, “apalagi saat Raden Rangga dalam keadaan seperti itu.“

“Jadi apa yang paling baik aku lakukan?“ bertanya Glagah Putih.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Jayaraga dan Sabungsari yang juga hadir di antara merekapun mengikutinya dengan sungguh-sungguh.

Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian Kiai Gringsing bertanya kepada Ki Jayaraga, “Bagaimana pendapatmu? Kau adalah salah seorang gurunya yang langsung menanganinya.“

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Iapun tahu bahwa ia tidak akan dapat menolak maksud Raden Rangga itu. Karena itu, maka iapun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih. Jika saatnya tiba nanti, maka kau harus membuat dirimu lentur. Kau terima sajalah apa yang akan diberikan oleh Raden Rangga tanpa usaha apapun juga di dalam dirimu. Biarlah ia menuangkan apa saja yang belum kita ketahui sebelumnya. Baru kemudian kau akan menilainya. Jika yang kau terima itu sesuai dengan dirimu, barulah kau berusaha untuk mengetrapkannya dalam keutuhan ilmumu. Tetapi jika kurang sesuai, maka kau akan dapat menyisihkannya, meskipun tetap tersimpan di dalam dirimu. Perlahan-lahan kau harus menuangkan kembali dan melupakannya, meskipun usaha untuk itu agak sulit. Tetapi kami, orang-orang tua ini akan dapat membantumu.“ Ki Jayaraga terhenti sejenak, lalu, “Tetapi selama ini kau dapat menyesuaikan dirimu dengan anak muda itu.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Jayaraga. Ia harus menyediakan sebagian dari dirinya sebagai tempat yang kosong, yang akan menampung air yang akan dituangkan oleh Raden Rangga tanpa mencampur dengan air yang sudah ada lebih dahulu di dalam dirinya. Baru kemudian ia harus menilai air yang dituangkan itu, apakah ia akan dapat meminumnya juga.

Namun di luar kehendaknya, maka Glagah Putih itu pun telah tertidur sambil duduk bersilang tangan, meskipun beberapa depa dari padanya, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari masih berbincang.

Dalam tidur itu, maka turunlah dunia mimpi mencengkamnya. Seakan-akan Glagah Putih telah melihat Raden Rangga dalam pakaian yang cemerlang. Pakaian yang tidak pernah dipakai oleh Raden Rangga sebelumnya, karena Raden Rangga termasuk salah seorang puta Panembahan Senapati yang sederhana. Ia memiliki beberapa perbedaan sifat dan kebiasaan dengan adik-adiknya, puta Panembahan Senapati yang lain, yang lebih banyak menempatkan dirinya sebagai puta seorang penguasa tertinggi dari Mataram yang menjadi semakin besar.

Dalam mimpinya Glagah Putih memang terlibat dalam beberapa pembicaraan dengan Raden Rangga. Ia seakan-akan mendengar Raden Rangga itu minta diri kepadanya. Kemudian meloncat ke atas sebuah kereta yang sangat indah. Di dalam kereta itu duduk seorang perempuan dalam pakaian sebagaimana dikenakan oleh Raden Rangga.

Glagah Putih tiba-tiba telah membuka matanya. Ia masih melihat Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari berbicara. Nampaknya ketiga orang itu tidak memperhatikan, bahwa ia telah tertidur tanpa di sadari. Agaknya hanya sesaat pendek. Namun mimpi Glagah Putih telah memuat peristiwa yang berlaku untuk waktu yang rasa-rasanya jauh lebih panjang dari waktu yang sebenarnya.

Glagah Putih tidak mengatakannya kepada orang lain. Namun Glagah Putih telah menghubungkan mimpinya itu dengan mimpi Raden Rangga sebelum mereka memasuki padepokan Nagaraga.

Glagah Putih hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia masih bersandar tiang sebagaimana sebelumnya. Tetapi justru matanya sama sekali tidak mau terpejam lagi.

Ternyata bahwa Kiai Gringsing, Ki Jayabaya dan Sabungsari tidak ingin tidur sebelum mereka mengetahui apa yang akan terjadi dengan Glagah Putih lewat tengah malam.

Beberapa saat menjelang tengah malam, Kiai Gringsing pun telah mengingatkan kepada Glagah Putih, bahwa waktunya telah tiba baginya untuk memasuki bilik Raden Rangga sebagaimana dipesankan.

“Berhati-hatilah,“ berkata Kiai Gringsing, “seperti dikatakan oleh Ki Jayaraga, kau harus menerima sebagaimana apa adanya. Jika terasa tidak ada kesesuaian pada dirimu, maka kau tidak boleh melawan dan menolaknya. Tetapi kau harus menampungnya agar tidak terjadi benturan. Baru kemudian, perlahan-lahan kau akan dapat menuangkannya kembali. Namun dengan demikian, dalam waktu sepekan kurang lebih, kau tidak boleh mengetrapkan ilmumu yang manapun juga, sehingga yang tidak sesuai itu sudah terlepas sama sekali dari dirimu.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Betapapun juga, maka ia memang harus datang ke bilik Raden Rangga.

Ketika ia memasuki bilik itu, maka dilihatnya dua orang yang mendapat giliran menunggui Raden Rangga masih juga duduk di sudut bilik itu. Mereka sedang berusaha mencegah kantuk dengan bermain macanan dengan potongan-potongan lidi. Agaknya seorang di antara mereka memang sudah menyediakan alas bermain yang dibuat di atas sehelai kain berwarna putih, yang dibentangkan di atas tikar pandan. Tidak begitu luas. Hanya sekitar dua jengkal lebar dan tiga jengkal panjang.

Ketika mereka melihat Glagah Putih memasuki bilik itu, agaknya mereka berdua telah memperhatikannya dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Namun sebelum mereka bertanya Glagah Putih telah mendahului mereka, “Ki Sanak. Raden Rangga telah minta aku datang tepat pada tengah malam.“

“Siapa yang telah memanggilmu?“ bertanya yang seorang sambil berdiri.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Yang menunggui Raden Rangga itu memang berganti-ganti, sehingga mungkin sekali orang itu tidak melihat saat Raden Rangga datang di antar oleh sekelompok prajurit Mataram dalam sebuah tandu.

“Aku telah mendapat pesan sejak kemarin,“ berkata Glagah Putih kemudian, “juga siang tadi Raden Rangga mengingatkan aku untuk menghadap malam ini.“

“Aku kurang yakin,“ berkata orang itu, “jika Raden Rangga memerlukan kau, maka kenapa tidak siang tadi? Bukankah ini telah tengah malam? Sementara itu Raden Rangga sedang sakit.“

“Ki Sanak,“ desis Glagah Putih, “justru Raden Rangga minta aku datang di tengah malam.“

“Mustahil,“ tiba-tiba saja orang itu menggeram, “buat apa Raden Rangga memanggilmu di tengah malam?“

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia menjadi cemas, bahwa persoalan itu tidak dapat diatasi. Jika Raden Rangga sedang tidur, maka tidak mungkin untuk mendengarkan pendapatnya. Tidak seorangpun akan sampai hati membangunkannya dalam keadaan seperti itu. Namun jika ia dengan begitu saja mengurungkan niatnya, justru akan timbul kesan yang tidak baik pada dirinya.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja terdengar suara Raden Rangga perlahan, “Kaukah itu Glagah Putih?“

“Ya Raden,“ jawab Glagah Putih.

“Bagus. Kau tepati janjimu. Apakah ini sudah tengah malam?“ bertanya Raden Rangga.

“Ya Raden. Sebentar lagi kita sampai ke tengah malam,“ jawab Glagah Putih.

“Kemarilah. Mendekatlah,“ berkata Raden Rangga pula.

Glagah Putih memandang wajah orang yang bertugas menunggui Raden Rangga itu. Ternyata bahwa orang itu melangkah sejengkal surut sambil berkata, “Aku minta maaf Anak Muda. Aku belum pernah mengenalmu meskipun aku pernah melihatmu kemarin.“

“Bukan salahmu,“ desis Glagah Putih.

Ketika orang itu melangkah surut, maka Raden Rangga pun berkata, “Tinggalkan kami berdua. Tunggulah di luar bilik.“

Orang itu memang merasa heran. Namun kemudian keduanya pun meninggalkan bilik itu.

“Kau selaraklah pintunya,“ desis Raden Rangga.

Glagah Putih memang ragu-ragu. Namun iapun kemudian melangkah dan menyelarak pintu bilik itu dari dalam. Baru kemudian Glagah Putih telah mendekati Raden Rangga dan duduk di sebelahnya.

“Kau sudah siap?“ bertanya Raden Rangga.

“Aku sudah mempersiapkan diri Raden,“ berkata Glagah Putih.

“Baiklah. Tetapi kita tidak perlu tergesa-gesa. Untuk tataran yang terakhir, kau persiapkan lahir dan batinmu. Aku memang tidak akan memberikan apa-apa. Tetapi aku minta kau benar-benar bersiap.“

Glagah Putih memang menjadi semakin berdebar-debar. Iapun kemudian bergeser mendekat. Katanya dengan nada berat. “Aku sudah siap Raden.“

Raden Rangga pun kemudian berdesis, “Tolong, aku akan duduk.“

“Sebaiknya Raden tetap saja berbaring,“ berkata Glagah Putih, “keadaan Raden agaknya terlalu letih.“

Tanpa mendengarkan kata-kata Glagah Putih, Raden Rangga berkata sekali lagi, “Tolong, aku akan duduk.“

Glagah Putih yang mengenal sifat dan watak Raden Rangga tidak dapat berbuat apa-apa, selain membantunya untuk duduk di pembaringan.

Raden Rangga pun kemudian tersenyum. Ternyata ia masih dapat duduk bersila dengan mantap. Bahkan kemudian katanya, “Duduklah di hadapanku.“

Glagah Putih pun kemudian naik pula ke pembaringan dan duduk berhadapan dengan Raden Rangga.

“Letakkan telapak tanganmu yang terbuka menengadah pada lututmu. Kedua-duanya,“ minta Raden Rangga selanjutnya.

Glagah Putih melakukannya tanpa berkata sepatahpun. Diletakkannya kedua telapak tangannya terlentang di atas lututnya. Perlahan-lahan Raden Rangga pun menggerakkan tangannya. Diletakkan kedua telapak tangannya yang menelungkup ke atas telapak tangan Glagah Putih. “Glagah Putih,“ berkata Raden Rangga, “pada saat yang gawat kau pernah membantuku, membantu menusukkan getaran dari dalam tubuhmu untuk membantu memperlancar pernafasanku, dan membantu memulihkan kemampuanku untuk mengatur peredaran di dalam tubuhku. Sekarang, akulah yang akan mengalirkan getaran dari dalam diriku. Kau tidak usah menjadi cemas, bahwa yang aku lakukan dapat mengganggu ilmu yang ada di dalam dirimu.“

“Ya Raden,“ jawab Glagah Putih singkat.

Namun tiba-tiba saja Raden Rangga itu tertawa. Katanya, “Dalam sentuhan ini aku merasakan bahwa jantungmu menjadi berdebar-debar.“

Glagah Putih memang tidak dapat mengelak. Jawabnya, “Aku memang berdebar-debar Raden.“

“Baiklah,“ berkata Raden Rangga, “tenangkan hatimu. Pusatkan segala nalar budimu.“

Glagah Putih memang melakukan semua perintah Raden Rangga. Iapun telah siap melakukannya.

Sejenak kemudian, maka memang mulai terasa sesuatu bergetar di telapak tangannya. Semakin lama semakin deras. Getaran-getaran itu rasa-rasanya mulai menggigit telapak tangannya itu. Bahkan Glagah Putih kemudian merasakan seolah-olah ujung-ujung jarum telah menusuk setiap lubang kulit di telapak tangannya.

Glagah Putih memang memusatkan segenap nalar budinya. Seperti dipesankan oleh orang-orang tua termasuk gurunya, Glagah Putih hanya menerima saja tanpa tanggapan apapun juga.

Karena itu, maka Glagah Putih tidak berusaha untuk berbuat sesuatu ketika terasa getaran yang menusuk lewat telapak tangannya itu mulai merambat, seakan-akan menelusuri alur darahnya. Lambat sekali.

Glagah Putih yang telah mempersiapkan dirinya baik-baik itu merasa arus itu seakan-akan membawa udara yang hangat. Merambat sepenuh jumlah urat darahnya. Dengan demikian, maka rasa-rasanya sebulat tangannya itu telah dijalari getaran yang bukan saja terasa hangat, tetapi juga pedih.

Dalam pada itu, Raden Rangga yang memejamkan matanya itupun merasakan seakan-akan getaran yang mengalir dari dirinya itu tertahan-tahan. Tubuhnya yang lemah tidak memungkinkannya untuk berbuat lebih baik daripada yang dilakukannya itu.

Ketika arus itu kemudian bagaikan terhenti, maka bibir Raden Rangga itu pun mulai bergerak. Suaranya yang parau dan dalam, bergetar lambat, “Glagah Putih. Bantu aku. Kau harus menghisap getaran itu ke dalam tubuhmu. Jika kau tidak membantuku, maka kerja ini akan gagal, sehingga sia-sialah kerjaku di saat yang terakhir ini.”

Glagah Putih yang juga memejamkan matanya, mendengar suara Raden Rangga itu. Semula ia tetap pada sikapnya. Ia tidak lebih dari menyediakan wadah yang kosong dengan menyisihkan sejenak isi yangsudah ada di dalam dirinya. Namun sekali lagi ia mendengar suara Raden Rangga, “Tariklah. Bantu aku. Ternyata aku tidak lagi memiliki kemampuan cukup untuk mendorongnya. Atau aku akan gagal sama sekali. Aku akan pergi dengan perasaan kecewa yang mencengkam.“

Glagah Putih yang mendengar suara itu, ternyata tidak mampu untuk menolaknya. Ia tidak dapat berdiam diri dan membiarkan semuanya terjadi tanpa melibatkan gerak di dalam dirinya. Karena itu, maka Glagah Putih yang menyadari keadaan Raden Rangga itu, tidak dapat menentang kehendaknya. Iapun telah melibatkan diri dalam usaha menuangkan getar ilmu dari dalam diri Raden Rangga ke dalam dirinya.

Dengan demikian maka arus getaran yang mengalir di dalam dirinya itu serasa menjadi lebih cepat. Arus getaran itu mengalir melalui tangannya, lengannya, menyusup ke pundak dan ketiaknya. Kemudian seakan-akan telah mengalir ke seluruh tubuhnya.

Tubuh Glagah Putih terasa menjadi panas. Darahnya bagaikan mendidih di dalam dirinya. Bahkan denyut jantungnya menjadi semakin cepat.

Raden Rangga masih meletakkan tangannya pada telapak tangan Glagah Putih. Ketika terasa oleh anak muda itu bahwa gejolak di dalam tubuh Glagah Putih nampaknya terlalu cepat sampai ke takaran daya tahannya, maka perlahan-lahan Raden Rangga telah menghisap kembali getaran itu perlahan-lahan pula.

Rasa-rasanya sedikit demi sedikit Glagah Putih merasa bebannya menjadi semakain ringan. Tubuhnya tidak lagi bagaikan dipanasi oleh darahnya yang mendidih serta jantungnya yang membara. Namun ternyata Raden Rangga tidak berhenti dengan usahanya untuk menuangkan ilmunya. Katika keadaan Glagah Putih telah menjadi semakin baik, maka ia kembali menuangkan getaran ke dalam diri Glagah Putih itu. Perlahan-lahan sekali.

Glagah Putih tidak lagi berbuat sesuatu. Ia tidak lagi melibatkan diri. Ia tidak berusaha untuk menghisap getaran itu ke dalam dirinya, tetapi juga tidak menolaknya. Dengan demikian, betapapun beratnya, Raden Rangga berusaha untuk mengatur agar getaran yang tertuang itu tidak merusakkan bagian dalam tubuh Glagah Putih karena pemuatan yang serta merta, tetapi juga sejauh mungkin dapat mengalir ke dalam dirinya.

Ternyata bahwa kerja itu merupakan kerja yang sangat berat bagi Raden Rangga. Karena tubuhnya yang memang sudah letih serta ketegangan yang memuncak, maka rasa-rasanya pandangan matanya menjadi semakin kabur.

Tetapi Raden Rangga telah memaksa diri untuk bertahan. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia bertanggung jawab atas keadaan Glagah Putih, sehingga karena itu, maka bagaimanapun juga ia harus menyelesaikan kerja itu lebih dahulu.

Ternyata Raden Rangga memang memerlukan waktu yang cukup lama. Ketika kemudian terdengar ayam jantan berkokok, Raden Rangga merasa bahwa kerjanya telah selesai. Glagah Putih pun kemudian tertunduk dalam keletihan yang sangat. Panas di dalam tubuhnya yang berubah-ubah, getaran yang kadang-kadang menghentak dadanya namun kemudian susut perlahan-lahan, meskipun sejenak kemudian bagaikan dihentakkan kembali.

Dalam kekuatan daya tahan yang sampai ke batas, Raden Rangga berdesis, “Glagah Putih. Kerja kita sudah selesai. Kau harus menyadari, apa yang telah terjadi atas dirimu, betapapun kau terasa letih.”

Glagah Putih mendengar suara itu. Tetapi rasa-rasanya tubuhnya memang sudah menjadi sangat lemah. Karena itu, maka ia tidak berbuat sesuatu. Kepalanya pun masih saja menunduk. Bahkan rasa-rasanya ia terlalu berat menyangga tubuhnya yang duduk bersila itu. 

Raden Rangga perlahan-lahan mengangkat tangannya. Kemudian menyilangkan di dadanya. Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Keduanya berusaha untuk mengatasi keletihan yang terjadi di dalam diri masing-masing.

Keduanya mendengar kemudian pintu diketuk perlahan-lahan. Ternyata kedua orang yang bertugas untuk menunggu Raden Rangga menjadi cemas, bahwa sesuatu sudah terjadi. Mereka tidak lagi mendengar suara apa-apa. Sementara itu malam sudah beredar sangat jauh.

Glagah Putih dan Raden Rangga bersama-sama telah mengangkat wajah mereka. Namun agaknya keadaan Glagah Putih-lah yang ternyata masih lebih baik, karena ia memang tidak sedang terluka di bagian dalam. Meskipun selama ia menerima getaran yang mengalir dari tubuh Raden Rangga membuat tubuhnya bagaikan dipanggang api, tetapi kemudian ia berhasil mengatasi perasaan itu setelah berdiam diri beberapa saat sambil mengatur pernafasan. Karena itu, maka Glagah Putih pun mulai bergerak. Perlahan-lahan ia turun dari pembaringan. Meskipun tubuhnya masih gemetar, namun perlahan-lahan ia mulai melangkah. Tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja melihat Raden Rangga menjadi goyah.

“Raden,“ desisnya.

Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi dalam keadaan yang lemah Glagah Putih sempat menahannya ketika Raden Rangga hampir tertelentang.

Meskipun Glagah Putih juga dalam keadaan letih, tetapi ia dapat membantu Raden Rangga itu dan membaringkannya perlahan-lahan.

Tetapi Raden Rangga masih tetap membuka matanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Buka pintu itu Glagah Putih.”

Glagah Putih mengangguk. Kemudian tertatih-tatih Glagah Putih pergi ke pintu untuk membuka selaraknya. Rasa-rasanya selarak pintu itu terasa demikian beratnya. Namun Glagah Putih kemudian berhasil membuka pintu itu tanpa memberikan kesan yang dapat menarik perhatian ke dua orang yang berdiri di luar.

Ketika pintu terbuka, maka kedua orang itu pun dengan wajah yang cemas melangkah maju. Seorang di antaranya bertanya, “Bagaimana dengan Raden Rangga?”

“Lihatlah,“ jawab Glagah Putih.

Kedua orang itu pun kemudian mendekati Raden Rangga yang terbaring. Namun mereka masih juga melihat Raden Rangga itu tersenyum. Dengan jelas Raden Rangga berkata kepada mereka meskipun perlahan-lahan, “Aku tidak apa-apa. Aku ingin tidur di sisa malam ini.”

“Silahkan Raden,“ sahut salah seorang dari kedua orang itu.

Ketika Glagah Putih kemudian mendekati Raden Rangga, setelah menutup pintu, maka kedua orang itu pun menuju ke sudut ruangan. Mereka telah duduk kembali di tikar pandan sebagaimana saat Glagah Putih masuk.

Ketika Glagah Putih mendekati Raden Rangga, ia masih melihatnya tersenyum. Glagah Putih masih ingin bertanya, apakah yang kemudian harus dilakukannya, dan apakah akan terjadi perubahan di dalam dirinya. Namun Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Raden Rangga itu memejamkan matanya.

“Raden,“ desis Glagah Putih.

Namun Raden Rangga itu hanya berdiam diri saja. Bahkan ketika Glagah Putih menyentuhnya. Raden Rangga itu tetap saja berdiam diri.

Glagah Putih memang menjadi agak bingung. Namun iapun kemudian berusaha untuk mengatasinya. Kepada kedua orang itu ia minta agar mereka memanggil Kiai Gringsing. Tetapi keduanya tidak boleh menjadi gelisah seperti dirinya.

Karena itu, maka Glagah Putih itu berbicara sendiri seolah-olah Raden Rangga yang memintanya, “Siapa Raden? Kiai Gringsing?“

Kedua orang itu memang mendengarnya. Mereka memang menyangka bahwa Raden Rangga minta agar Kiai Gringsing dipanggil keruang itu. Apalagi ketika Glagah Putih berkata kepada mereka, “Tolong. Panggilkan Kiai Gringsing.”

Tanpa menengok Raden Rangga lebih dahulu, maka seorang di antara mereka telah bangkit dan pergi ke bilik Kiai Gringsing, menyampaikan pesan Glagah Putih kepada orang tua itu.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari memang tidak tidur hampir semalam suntuk. Karena itu, maka dengan cepat mereka pun bersiap dan bergerak ke bilik Raden Rangga. Sesaat kemudian Kiai Gringsing sudah di sisi pembaringan Raden Rangga. Ki Jayaraga dan Sabungsari pun telah berada di dalam bilik itu pula. Dengan hati-hati Kiai Gringsing meraba tubuh Raden Rangga yang terbujur diam, meskipun nampaknya nafasnya masih berjalan dengan teratur.

“Raden Rangga mengalami keletihan yang sangat,“ berkata Kiai Gringsing.

Namun wajah Ki Jayaraga yang memancarkan kecemasannya membuat Sabungsari dan Glagah Putih menjadi cemas pula. Sesuatu dapat terjadi pada Raden Rangga, sebagaimana diperkirakan sebelumnya.

“Apa yang dapat Kiai lakukan?“ bertanya Ki Jayaraga.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Segenap pengetahuan dan kemampuannya tentang pengobatan telah dipergunakannya. Tetapi sekali lagi berkata di dalam hatinya, “Inilah salah satu ujud keterbatasan seseorang.”

Ki Jayaraga tanggap akan sikap Kiai Gringsing meskipun orang tua itu tidak menjawab.

Meskipun demikian Kiai Gringsing berusaha untuk meraba bagian-bagian tubuh yang penting dari Raden Rangga. Noda-noda yang biru di bawah kulitnya rasa-rasanya telah menjalar semakin merata.

Dua orang yang duduk di atas tikar pandan di sudut ruangan nampaknya dapat melihat kegelisahan yang timbul. Dengan nada berat seorang di antara mereka bertanya, “Bagaimana dengan Raden Rangga Kiai?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian orang itu menjenguk keadaan Raden Rangga, maka Kiai Gringsing pun berdesis, “Keadaannya memang kurang menguntungkan.”

Kedua orang itu hampir berbareng berpaling kepada Glagah Putih. Seorang di antara mereka bertanya, “Apa yang kau lakukan semalam bersama Raden Rangga di sini? Dan kau selarak pintu itu?“

“Raden Rangga yang memerintahkannya,“ jawab Glagah Putih, “sementara itu kami tidak melakukan apa-apa. Sedikit berbicara tentang pengalaman dan ilmu.”

“Tetapi kau membuat Raden Rangga menjadi sangat letih,“ berkata orang itu, “seharusnya kau biarkan Raden Rangga beristirahat. Ternyata sampai menjelang fajar, Raden Rangga masih belum sempat tidur.”

“Aku sudah minta Raden Rangga beristirahat,“ jawab Glagah Putih pula, “tetapi Raden Rangga sendiri yang keberatan. Ia masih saja bercerita tentang masa sulit di lingkungan goa yang garang itu.”

“Jika terjadi sesuatu, kau-lah yang bertanggung jawab,“ geram orang itu.

Glagah Putih masih akan menjawab. Namun Kiai Gringsing-lah yang mendahului, “Istirahat atau tidak istirahat, bisa ular itu ternyata akan menjalar terus. Hanya kekuatan tubuh Raden Rangga yang melampaui kekuatan orang kebanyakan, serta penawar bisa yang ada di dalam tubuhnya-lah yang menghambatnya. Namun bisa itu juga bukan bisa sebagaimana pernah kita kenal. Penawar racun dan bisa di dalam dirinya akan dapat melawan bisa yang paling kuat sekalipun. Namun agaknya bisa ular naga itu agak berbeda juga dari racun dan bisa yang paling tajam itu.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka mengenal Kiai Gringsing sebagai orang yang mendapat tugas untuk merawat Raden Rangga. Karena itu, maka keduanya pun kemudian telah terdiam.

Namun sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing punmenjadi sangat cemas melihat keadaan Raden Rangga. Tetapi ia tidak segera menyampaikannya kepada Pamenbahan Senapati. Nampaknya Raden Rangga masih cukup kuat untuk bertahan, pernafasannya masih tetap teratur. Dalam tidur, tidak nampak kegelisahan atau apalagi perasaan sakit dan nyeri. Wajahnya nampak bening meskipun terlalu pucat.

“Kita tunggu sejenak,“ berkata Kiai Gringsing, “aku menjadi tidak mengerti apa yang sedang aku hadapi. Pengetahuan dan pengalamanku rasa-rasanya tidak lebih dari mereka yang sedang belajar mengenai nama jenis-jenis akar dan pepohonan yang dapat dijadikan sejenis obat. Betapa sempitnya ilmu dan kemampuan seseorang dibandingkan dengan persoalan yang tumbuh dan berkembang.”

Yang lain hanya dapat menganguk-angguk saja. Meskipun Ki Jayaraga serba sedikit juga mengerti tentang pengobatan, tetapi dibanding dengan Kiai Gringsing, maka ia bukan tatarannya. Pengetahuannya jauh tertinggal dari Kiai Gringsing yang memang menekuni ilmu pengobatan.

Sementara itu keadaan Raden Rangga sekan-akan tidak berubah. Ia masih tetap tidur nyenyak. Nafasnya masih tetap berjalan teratur. Bahkan menurut Kiai Gringsing dan orang-orang yang mengamatinya, agaknya terlalu nyenyak.

Kiai Gringsing dan orang-orang yang ada di dalam bilik itu pun kemudian telah duduk di atas tikar di sudut ruangan. Dengan nada dalam Kiai Gringsing berdesis, “Jika sampai matahari naik tidak ada perubahan, maka kita harus berbuat sesuatu.”

Tidak seorangpun yang menyahut. Semuanya telah menyerahkan keadaan Raden Rangga itu kepada Kiai Gringsing.

Ketika di luar nampak matahari mulai menyentuh dedaunan, maka Kiai Gringsing pun telah mendekati Raden Rangga yang masih saja berdiam diri terbujur di pembaringannya. Nafasnya masih juga teratur mengalir di lubang hidungnya.

Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu. Ketika ia meraba tubuh itu, terasa tubuh Raden Rangga masih tetap hangat. Kiai Gringsing memang tidak mengatakan sesuatu. Namun sikapnya memang membuat orang-orang lain menjadi gelisah. Mereka pun telah mendekat pula untuk melihat keadaannya.

Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Raden Rangga membuka matanya. Benar-benar seperti orang baru bangun tidurnya. bahkan kemudian dipandanginya orang-orang yang ada di sekitarnya itu seorang demi seorang. Dengan tersenyum ia kemudian menyapa, “Kiai?”

“Ya Raden,“ desis Kiai Gringsing.

Raden Rangga menggeliat perlahan-lahan sekali. Agaknya tubuhnya terasa nyeri, meskipun ia tidak memberikan kesan seperti itu.

“Pagi yang cerah,“ berkata Raden Rangga.

“Ya Raden,“ sahut Kiai Gringsing.

“Kiai,“ berkata Raden Rangga, “apakah orang yang menunggui aku masih di sini?”

“Ya Raden,“ jawab keduanya hampir berbarengan.

“Bagus. Ambilkan buat aku, minuman hangat dan makan pagi. Aku sangat lapar,“ berkata Raden Rangga.

Kedua orang itu saling berpandangan. Raden Rangga hampir tidak mau makan sama sekali sejak ia datang. Namun kini justru minta makan dan minuman hangat.

“Baik Raden,“ desis yang seorang, “minuman apa yang Raden kehendaki? Wedang jahe panas? Wedang sere, atau wedang serbat? Kemudian makanan apa yang Raden inginkan?”

Raden Rangga tersenyum. Jawabnya, “Buat untukku sambal terasi.”

Kedua orang itu termangu-mangu. Permintaan Raden Rangga itu terasa aneh. Di saat-saat Raden Rangga dalam keadaan sehat, ia memang seorang penggemar makan pedas. Tetapi pada saat-saat ia tidak mau makan, iapun telah memesan sambal terasi. Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak dapat menolak. Keinginan itu mudah-mudahan akan dapat membuatnya mau makan serba sedikit. Karena itu, maka seorang di antara mereka pun segera pergi ke dapur untuk menyampaikan pesan Raden Rangga itu.

Ternyata Raden Rangga kemudian justru nampak gembira. Kepada Glagah Putih ia minta dibantu untuk duduk.

“Berbaring sajalah Raden,“ minta Kiai Gringsing.

“Rasa-rasanya tubuhku menjadi segar Kiai,“ jawab Raden Rangga, “aku ingin duduk barang sejenak.“

Kiai Gringsing tidak dapat mencegahnya. Di bantu oleh Glagah Putih, maka Raden Rangga pun telah duduk di pembaringannya. Glagah Putih yang sebenarnya masih mempunyai beberapa pertanyaan kepada Raden Rangga, harus menahan diri. Di antara senyumnya tiba-tiba saja Raden Rangga telah bercerita tentang ular naga di dalam goa itu.

“Ular itu memang luar biasa,” berkata Raden Rangga, “dari mulutnya seakan-akan telah menyembur api berbisa yang dahsyat sekali. Sulit bagiku untuk dapat mendekatinya. Namun akhirnya aku harus mengambil langkah. Karena aku tidak dapat mendekat dan membunuhnya dengan tongkat di tangan, maka aku terpaksa melontarkan tongkatku. Untunglah bahwa aku dapat membidik dengan tepat pada dahinya, di antara kedua belah matanya.” “Ternyata ular naga itu menjadi kesakitan. Ia meronta-ronta luar biasa, sehingga goa itu rasa-rasanya menjadi bergetar. Bahkan aku sudah mengira bahwa goa itu akan runtuh, dan aku akan berkubur bersama ular naga itu. Namun ternyata goa itu begitu kuat. Betapapun ular naga itu menggeliat, meronta dan membanting dirinya membentur dinding goa pada saat-saat menjelang ajalnya, namun goa itu tidak runtuh. Sehingga akhirnya ular itu agaknya menyadari akan saat-saat terakhirnya. Ketika tubuhnya menjadi lemah, maka ular itu telah meninggalkan ruangan yang luas itu, dan memasuki ruangan yang lebih kecil, menggulung diri sebagaimana kalian lihat.“ Raden Rangga berhenti sejenak, lalu, “Untunglah bahwa di saat-saat ular naga itu mengamuk, aku dapat menyelipkan diriku pada relung sempit. Dari relung itu aku masih sempat menyerang ular itu dengan ilmuku yang mampu aku lontarkan dari jarak tertentu. Namun ular naga itu sekali-sekali sempat juga membalas membakar tubuhku dengan dengus api dari dalam mulutnya.“

Ketika Raden Rangga berhenti sejenak, Glagah Putih pun berdesis, “Tetapi Raden Rangga tidak terbakar.“

Raden Rangga memandang Glagah Putih sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Kulitku memang tidak terbakar, tetapi ternyata bisa itu luar biasa.“

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Namun dengan wajah yang cerah Raden Rangga masih juga bercerita, bagaimana ular itu kemudian melengking keras sekali, dan ruang goa ikut bergaung karenanya. Kemudian perlahan-lahan suara itu semakin menghilang.

“D isaat-saat ular itu marah, maka ia telah membantu mempercepat kematiannya sendiri dengan membentur-benturkan tubuh dan kepalanya pada dinding goa,“ berkata Raden Rangga kemudian.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari pun mengangguk-angguk. Mereka memang melihat bekas-bekas itu pada dinding goa. Namun agaknya bahwa dinding goa yang meskipun cukup luas tetapi juga terbatas itu, tidak memberikan kesempatan kepada ular naga itu untuk dengan leluasa menyerang Raden Rangga, mungkin dengan ekornya atau dengan mulutnya.

Tiba-tiba saja Raden Rangga berhenti bercerita. Sejenak ia memejamkan matanya sambil meraba keningnya.

“Raden,“ desis Kiai Gringsing.

Tetapi Raden Rangga sudah tersenyum lagi sambil berkata, “Kepalaku kadang-kadang memang terasa pening.“

“Karena itu, sebaiknya Raden berbaring saja,“ minta Kiai Gringsing.

“Aku sudah terlalu lama berbaring. Rasa-rasanya punggungku menjadi panas,“ jawab Raden Rangga.

Kiai Gringsing memang tidak dapat memaksanya. Sementara itu Glagah Putih masih saja merasa ragu untuk bertanya tentang arus getaran di dalam dirinya yang telah diberikan oleh Raden Rangga itu. Apakah yang kemudian harus dilakukan, atau mungkin masih ada hal-hal yang perlu dipesankan kepadanya, serta petunjuk-petunjuk tentang getaran yang telah menyusup ke dalam dirinya, yang tentu akan berpengaruh pula.

Namun agaknya perhatian Raden Rangga sama sekali tidak tertuju kepadanya.

Ketika kemudian dua orang perempuan memasuki ruangan sambil membawa minuman hangat, maka Raden Rangga pun berdesis, “Nah bawa pula minuman seperti ini untuk semua orang yang ada di sini. Jika kau nanti membawa nasi dan sambal terasi, jangan sekedar hanya untuk aku saja. Kami di sini akan mengadakan bujana.“

Orang-orang yang ada di dalam bilik itu saling berpandangan. Sementara itu Kiai Gringsing pun berkata, “Raden, silahkan Raden minum dan makan. Kami masih belum mandi.“

“Untuk apa harus mandi lebih dahulu? Di medan perang kadang-kadang kita juga tidak sempat mandi. Nah, jangan menolak. Kita akan makan bersama-sama,“ berkata Raden Rangga.

Memang tidak mungkin untuk menolak ajakan itu. Namun dengan demikian, jantung Kiai Gringsing justru terasa berdenyut lebih cepat melihat sikap Raden Rangga itu.

Tetapi Kiai Gringsing tidak mengatakan sesuatu. Ketika kemudian dihidangkan makan yang juga masih hangat dengan sambal terasi dan daging ayam yang dimasak lembaran, maka mereka yang ada di dalam bilik itu telah diminta untuk ikut makan bersama, serta menghirup minuman panas.

“Duduk saja di sini,“ minta Raden Rangga ketika beberapa orang yang ada di dalam bilik itu bergeser ke tikar yang dibentangkan di sudut bilik itu.

Memang agak berdesakan. Tetapi Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih telah duduk di pembaringan pula, sementara dua orang yang menjaga Raden Rangga telah menarik tikar pandan mereka, dan duduk di sebelah pembaringan itu.

“Kenapa kalian duduk di situ?“ bertanya Raden Rangga.

“Di pembaringan itu tidak cukup Raden,“ jawab salah seorang di antara mereka.

Raden Rangga tersenyum. Iapun mengerti bahwa mereka memang tidak akan dapat ikut duduk di pembaringan. Tetapi ketika Sabungsari akan bergeser untuk ikut duduk di bawah, Raden Rangga berkata, “Kau duduk saja di situ. Memang terasa lebih enak jika kita makan sambil berdesakan.“

Sabungsari hanya dapat menarik nafas saja.

Kiai Gringsing yang memperhatikan Raden Rangga makan, memang menjadi heran. Meskipun tidak terlalu banyak, tetapi nampaknya nasi yang dimakan itu terasa enak sekali. Raden Rangga memang agak kepedasan. Namun sambil menghirup minuman hangat, ia telah mengusap keringat di keningnya.

“Tubuhku terasa hangat sekarang,“ berkata Raden Rangga sambil mendorong mangkuknya. Lalu katanya kepada orang-orang yang ikut makan bersamanya, “Silahkan. Jangan hanya sekedar menuruti permintaanku. Makanlah dengan sungguh-sungguh.“

Tetapi sudah barang tentu bahwa orang-orang yang ikut makan bersama Raden Rangga tidak dapat melakukannya sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga. Mereka memang makan sekedar memenuhi permintaannya. Karena itu, demikian Raden Rangga selesai makan, yang lain pun segera telah selesai pula.

Sejenak kemudian, maka mangkuk-mangkukpun segera dibenahi. Dua orang perempuan yang melayani makan dan minum bagi Raden Rangga telah dipanggil untuk menyingkirkannya.

“Tubuhku terasa menjadi segar.“ berkata Raden Rangga.

“Syukurlah,“ sahut Kiai Gringsing, “mudah-mudahan akan menjadi semakin baik untuk seterusnya.“

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Mudah-mudahan Kiai, meskipun hanya sekedar harapan.“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun penglihatannya sebagai seorang yang memiliki perbendaharaan yang luas telah membuatnya menjadi cemas. Apalagi ketika Kiai Gringsing melihat noda-noda hitam yang berada di bawah kulit Raden Rangga. Kecemasannya semakin membuat jantungnya berdebaran. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Raden. Setelah Raden makan dan minum, aku persilahkan Raden kembali beristirahat.“

Raden Rangga tersenyum pula. Katanya, “Biarlah aku duduk lagi sebentar Kiai.“

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata, “Raden. Biarlah aku minta diri sebentar untuk pergi ke pakiwan.“

Raden Rangga memandang wajah Kiai Gringsing sejenak. Memang agak tiba-tiba menurut pendengaran Raden Rangga, bahwa Kiai Gringsing akan pergi ke pakiwan. Namun kemudian, Raden Rangga pun mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan Kiai.“

Kiai Gringsing pun kemudian berpaling kepada Ki Jayaraga sambil berkata, “Aku persilahkan Ki Jayaraga menunggui Raden Rangga sebentar.“

Ki Jayaraga mengangguk. Ternyata iapun mempunyai perhitungan yang sama dengan Kiai Gringsing. Tetapi iapun tidak mengatakan kepada siapapun juga. Apalagi kepada Raden Rangga sendiri.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun telah meninggalkan bilik itu. Tetapi ia sama sekali tidak pergi ke pakiwan. Tetapi Kiai Gringsing telah berusaha untuk menghadap Panembahan Senapati. Untunglah bahwa Panembahan Senapati yang sedang tidak terlalu sibuk, dapat menerimanya. Dengan singkat Kiai Gringsing memberitahukan apa yang sedang dialami oleh Raden Rangga. Juga tentang noda-noda di bawah kulitnya.

Panembahan Senapati pun menjadi berdebar-debar. Dengan nada rendah iapun berdesis, “Bagaimana menurut pendapat Kiai?“

“Hamba ingin mempersilahkan Panembahan untuk melihat keadaannya,“ berkata Kiai Gringsing, “keterbatasan pengetahuan hamba telah membuat hamba tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang hamba hadapi pada Raden Rangga itu.“

“Baiklah,“ berkata Panembahan Senapati, “aku akan segera datang. Aku akan berbenah diri lebih dahulu.“

Kiai Gringsing pun kemudian mendahului kembali ke bilik Raden Rangga. Namun iapun telah singgah sejenak di pakiwan untuk membasahi wajahnya. Ketika Kiai Gringsing berada di bilik itu kembali, dilihatnya Raden Rangga sudah berbaring. Namun wajahnya yang pucat itu masih nampak cerah. Bahkan iapun kemudian telah kembali melagukan tembang. Kali ini Raden Rangga telah melagukan tembang Dandanggula.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih pun menjadi gelisah. Ia memang memerlukan waktu untuk berbicara dengan Raden Rangga. Tetapi ia tidak mau memutuskan tembang Raden Rangga itu.

Raden Rangga memang tidak menghiraukan orang-orang yang berada di dalam bilik itu. Bahkan seakan-akan ia tidak lagi merasakan kehadiran mereka. Ia justru asyik dan tenggelam ke dalam lagu tembangnya.

Glagah Putih yang gelisah pun kemudian berdesis di telinga Kiai Gringsing, “Kiai. Bukankah sebaiknya aku bertanya kepada Raden Rangga, mungkin ada sesuatu yang perlu dipesankan kepadaku, setelah Raden Rangga mengalirkan getaran dari dalam dirinya. Aku sama sekali tidak mengerti, pengaruh apa yang bakal terjadi atas diriku, atau barangkali ada pantangan atau keharusan untuk aku lakukan.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kau memang memerlukannya.“

“Tetapi apakah aku harus memotong tembangnya? Agaknya ia terlalu asyik dan bahkan lebur di dalam kidungnya,“ berkata Glagah Putih pula.

Kiai Gringsing tidak menjawab. Namun terdengar suara tembang itu mulai susut. Lagunya masih utuh tetapi semakin lama menjadi semakin perlahan. Kiai Gringsing dengan jantung yang berdebaran telah mendekati Raden Rangga yang pucat. Bibir anak muda itu masih terus bergerak sehingga akhirnya bait yang terakhir pun telah dilagukannya pula.

Ketika Raden Rangga kemudian berhenti melagukan tembang Dandanggula, maka Kiai Gringsing pun menyebut namanya, “Raden Rangga.“

Raden Rangga memandanginya. Ia masih tersenyum. Dan tiba-tiba saja ia berdesis, “Dimana Glagah Putih?“

Kiai Gringsing pun telah memberi isyarat kepada Glagah Putih untuk mendekat. Namun ketika Glagah Putih berdiri di sisi pembaringan Raden Rangga, serta melihat anak muda itu akan mengatakan sesuatu kepadanya, Panembahan Senapati telah memasuki bilik itu.

Semua orang pun bergeser. Panembahan Senapati yang cemas telah mendekati putranya yang dianggapnya terlalu nakal itu. Namun dalam keadaan yang gawat, Panembahan Senapati bersikap sebagaimana seorang ayah kepada anaknya.

“Ayahanda,“ desis Raden Rangga.

“Bagaimana keadaanmu Rangga?“ bertanya Panembahan Senapati dengan suara lembut.

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Hamba mohon ampun Ayahanda.“

“Aku sudah mengampunimu, seperti yang pernah aku katakan,“ sahut Panembahan Senapati.

Raden Rangga pun tersenyum. Kemudian iapun berdesis, “Kiai Gringsing.“

Panembahan Senapati telah memanggil Kiai Gringsing untuk mendekat. Dengan suara yang lemah Raden Rangga berkata, “Aku tidak sempat memberikan pesan-pesan kepada Glagah Putih, Kiai. Tolong, Kiai dan Ki Jayaraga tentu dapat mengurai, apakah yang telah menyusup ke dalam dirinya.“

“Raden,“ sahut Kiai Gringsing, “Raden masih mempunyai banyak waktu.“

Raden Rangga tersenyum. Sambil menggeleng, ia berkata, “Tugas yang dibebankan kepadaku oleh Ayahanda telah aku selesaikan.“

“Belum Rangga,“ berkata Panembahan Senapati, “masih banyak tugas yang dibebankan kepadamu, justru karena kau telah menyelesaikan tugasmu ini dengan baik. Dengan pertimbangan itu, maka kau adalah salah seorang di antara mereka yang mampu melakukan perintahku dengan sebaik-baiknya.“

Raden Rangga tersenyum. Namun sorot matanya menjadi semakin redup. Katanya, “Ayahanda. Hari-hari yang terakhir telah hamba lampaui. Mimpi itu datang lagi. Sekarang.“

“Rangga,“ desis Panemahan Senapati.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Suaranya melemah. Katanya, “Ayahanda. Hamba harus mohon diri.”

“Rangga,“ ulang Panembahan Senapati.

“Selamat tinggal semuanya,“ berkata Raden Rangga. Lalu desisnya, “Kiai Gringsing. Kiai tidak akan menemukan penyebab yang paling tajam yang telah memisahan aku dengan dunia yang memuat unsur kewadagan ini. Bisa ular itu memang sangat tajam. Tetapi setelah Glagah Putih mengembangkan dirinya, maka ia akan dapat mengambil pelajaran dari tata hidup dan ilmu yang selama ini diamatinya ada padaku.“

Orang-orang yang ada di dalam bilik itu pun telah merapat, sehingga mereka melupakan unggah-ungguh, bahwa di dekat mereka berdiri Panembahan Senapati.

“Ayahanda,“ desis Raden Rangga, “hamba sudah memperhitungkan bahwa hari-hari seperti ini akan datang. Bukan mendahului kehendak Yang Maha Agung. Tetapi hanya sekedar menduga-duga arti isyarat yang hamba terima di dalam mimpi.“ Raden Rangga berhenti sejenak. Lalu, “Ayahanda. Hamba akan menghadap Yang Maha Agung. Semoga diampuni pula segala kesalahan yang pernah hamba lakukan.“

“Rangga, kau masih akan mendapat kesempatan,“ desis Panembahan Senapati.

Raden Rangga tersenyum. Suaranya merendah, “Hamba sudah berjalan sampai ke batas, Ayahanda.“

Panembahan Senapati memandang Raden Rangga dengan tatapan mata yang redup. Kemudian terdengar suaranya merendah, “Aku juga minta maaf Rangga. Mungkin aku bukan seorang ayah yang paling baik bagi anak-anaknya.“

“Tidak. Ayah tidak bersalah. Ayah adalah seorang pemimpin tertinggi pemerintahan Mataram, sehingga memiliki keharusan untuk bertindak sebaik-baiknya sebagai seorang pemimpin,“ desis Raden Rangga. Namun kemudian suaranya menurun, “Selamat tinggal semuanya.“

Glagah Putih benar-benar tersentuh oleh kata-kata itu. Karena itu ia telah mendesak maju tanpa menghiraukan lagi, bahwa yang berdiri di sisi pembaringan Raden Rangga itu adalah Panembahan Senapati.

“Raden,“ desis Glagah Putih sambil memegang tangan Raden Rangga, “jangan pergi.“

Raden Rangga sempat memandanginya sambil tersenyum. Tapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Kiai Gringsing-lah yang kemudian menggamit Glagah Putih. Orang tua itu mengerti, bagi Glagah Putih, Raden Rangga adalah seorang sahabat yang baik, yang telah banyak memberi kepadanya. Bahkan juga ilmu.

Sejenak kemudian suasana bilik itu menjadi hening. Raden Rangga benar-benar telah pergi.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Disentuhnya dahi Raden Rangga dengan ujung-ujung jarinya. Dengan suara dalam ia berkata, “Ia telah menunaikan kewajibannya, Ia telah menjalani hukuman yang aku berikan kepadanya. Karena itu, maka hutangnya telah dibayar dengan lunas.“ Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga memandangi wajah Raden Rangga yang pucat. Di dalam hati keduanya berkata, “Hutangnya memang sudah dibayarnya.“

Glagah Putih dan Sabungsari hanya dapat menundukkan kepalanya. Namun bagi Glagah Putih, kepergian Raden Rangga merupakan satu hentakan perasaan yang menyakitkan. Ia tidak lagi mengingat kepentingannya sendiri, bahwa Raden Rangga belum meninggalkan pesan apapun. Tetapi baginya, ia merasa terlalu pahit untuk ditinggalkan seorang sahabat yang telah sekian lama melakukan banyak kerja bersama-sama. Bahkan kadang-kadang Glagah Putih merasa bahwa Raden Rangga itu bagaikan saudara kandungnya sendiri. Meskipun umurnya masih lebih muda daripadanya, tetapi kadang-kadang Raden Rangga itu terasa sebagai seorang saudara tua, meskipun kadang-kadang juga terasa sebagai seorang adik yang nakal.

Demikianlah, hari itu Mataram disibukkan dengan upacara yang diperuntukkan bagi penghormatan terakhir atas Raden Rangga. Seorang yang mempunyai watak yang sulit diraba. Seorang yang dicela namun juga banyak dipuji. Yang diharap keberadaannya, tetapi juga dijauhi. Namun Mataram ternyata telah berkabung.

Ki Mandaraka merasa sangat menyesal bahwa ia terlambat datang, sehingga tidak berada di sisi anak muda itu pada saat-saat terakhir.

Panembahan Senapati dengan menyesal berkata, “Aku minta maaf Paman. Aku sendiri agak kebingungan waktu itu, sehingga aku tidak sempat memberitahukan kepada Paman.“

“Sudahlah Ngger,“ berkata Ki Mandaraka, “mungkin memang Cucunda Raden Rangga tidak ingin aku tunggui di saat terakhirnya, sengaja atau tidak sengaja. Tetapi nampaknya Raden Rangga telah menjalani saat-saat terakhirnya dengan baik. Jalan yang dilewatinya ternyata cukup lapang.”

Panembahan Senapati mengangguk kecil. Katanya, “Mudah-mudahan Yang Maha Agung telah mengampuni segala dosa-dosanya.“

Ki Mandaraka tidak menjawab. Tetapi iapun mengangguk-angguk pula.

Sementara itu, Glagah Putih benar-benar merasa kehilangan. Ia menjadi murung dan wajahnya selalu muram. Sabungsari berusaha untuk mengurangi duka yang mencekam. Tetapi agaknya Glagah Putih benar-benar diliputi oleh perasaan sedih.

Ternyata upacara berjalan sebagaimana seharusnya. Putra Panembahan Senapati itu telah dipanggil kembali. Orang-orang yang sempat menyaksikan melihat bahwa di bibir anak muda itu telah tersungging senyum. Nampaknya sebagaimana orang yang sedang tidur dengan mimpi yang indah.

Akhirnya semuanya itu pun berlalu. Kepergian Raden Rangga agaknya memang berbekas pula di istana Panembahan Senapati. Meskipun Raden Rangga jarang berada di istana, tidak sebagaimana adik-adiknya, namun rasa-rasanya memang ada yang berkurang.

Pada saat Panembahan Senapati di hari-hari berikutnya berada di antara putra-putranya, maka terasa bahwa belum ada di antara putra-putranya itu yang memiliki kelebihan sebagaimana Raden Rangga.

Namun sebagai seorang pemimpin yang besar dan seorang ayah yang bijaksana, maka Panembahan Senapati yakin, bahwa pada suatu saat, putra-putranya akan menjadi prajurit-prajurit yang baik, meskipun dengan cara yang berbeda dengan cara yang pernah dijalani oleh Raden Rangga. Tanda-tanda untuk itu memang sudah dilihatnya.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih untuk beberapa hari masih tetap berada di Mataram. Meskipun mereka tidak merasa perlu untuk menunggu pemeriksaan atas beberapa orang tawanan yang mereka bawa, di bawah pimpinan Ki Lurah Singaluwih, namun rasa-rasanya mereka belum dapat dengan serta merta meninggalkan Panembahan Senapati dan Mataram yang sedang berkabung.

Namun dalam satu dua hari, Panembahan Senapati masih belum berbicara tentang padepokan Nagaraga, maupun orang-orang yang telah menyerang iring-iringan prajurit Mataram yang membawa Raden Rangga kembali ke Mataram.

Tetapi tentu tidak untuk seterusnya. Pada suatu saat, Panembahan Senapati tentu akan kembali kepada tugas-tugasnya. Apalagi perkembangan sikap beberapa pihak tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Perubahan-perubahan akan dapat terjadi dengan cepat.

Ketika kemudian Panembahan Senapati itu sudah mulai memasuki kesibukannya kembali sepenuhnya, maka Kiai Gringsing pun merasa sudah cukup lama menunggu di Mataram. Karena itu, maka atas persetujuan Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih, maka mereka pun akan mohon diri.

“Apakah kalian tidak menunggu Adimas Singasari kembali dari Nagaraga?“ bertanya Panembahan Senapati ketika mereka berempat menghadap.

“Terima kasih Panembahan,“ jawab Kiai Gringsing, “jika pada saatnya Panembahan memerlukan kami, maka kami bersedia untuk dipanggil setiap saat.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa orang-orang itu mempunyai kepentingan yang lain di tempat tinggal masing-masing. Karena itu, maka Panembahan Senapatipun kemudian berkata, “Baiklah. Jika kalian akan kembali ke tempat tinggal kalian. Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Kalian telah bukan saja berhasil ikut serta menundukkan orang-orang padepokan Nagaraga, namun kalian juga telah membawa Rangga kembali.“

“Itu adalah kewajiban kami,“ jawab Kiai Gringsing.

“Pada saat lain, aku tentu memerlukan kalian,“ berkata Panembahan Senapati.

“Kami tidak akan ingkar,“ jawab Kiai Gringsing, “namun sebagaimana Panembahan ketahui, hamba menjadi semakin tua. Segala sesuatunya tentu akan menjadi susut. Hamba tidak akan dapat menembus keterbatasan hamba, sebagaimana keharusan yang terjadi atas diri seseorang.“

“Aku mengerti Kiai,“ jawab Panembahan Senapati, “memang tidak seorangpun akan dapat ingkar dari kuasa Yang Maha Agung.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Perkenankanlah kami mohon diri.“

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih.“ Lalu katanya kepada Sabungsari, “Salamku kepada Untara. Bukankah kau akan kembali ke Jati Anom?“

“Hamba, Panembahan.“ jawab Sabungsari, “hamba akan kembali ke dalam kesatuan hamba, di bawah pimpinan Senapati besar Ki Untara.“

“Meskipun belum pasti, tetapi nampaknya awan dari Timur menjadi semakin gelap. Sampaikan perintahku kepada Untara, agar ia mulai bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan,“ berkata Panembahan Senapati kemudian.

“Hamba, Panembahan,“ jawab Sabungsari, “hamba akan menyampaikan perintah Panembahan kepada Ki Untara.“

“Juga kepada Kiai Gringsing aku pesankan. Perintahku kepada pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, agar mereka juga mempersiapkan diri,“ desis Panembahan Senapati kemudian.

“Hamba, Panembahan,“ jawab Kiai Gringsing. Sementara itu Panembahan Senapati pun berkata pula, “Juga pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri. Tanah Perdikan Menoreh mempunyai pasukan pengawal Tanah Perdikan yang kuat, tidak ubahnya dengan kesatuan-kesatuan prajurit Mataram. Juga Kademangan Sangkal Putung, yang secara khusus mempunyai pengawal yang kekuatannya jauh melampaui kekuatan kademangan yang lain. Agaknya karena keadaan pada saat-saat Tohpati berada di sekitar kademangan itu justru telah membuat Sangkal Putung menjadi lain dengan kademangan-kademangan yang lain.“

“Hamba, Panembahan,“ jawab Kiai Gringsing dan Sabungsari hampir bersamaan.

“Agaknya justru kebalikan dari Kademangan Jati Anom sendiri,“ berkata Panembahan Senapati pula. “Justru karena pasukan Mataram yang dipimpin Untara berada di Jati Anom sejak masa kuasa Pajang, Jati Anom tidak pernah merasa terancam kedudukannya. Karena itu, maka agaknya Kademangan Jati Anom sendiri tidak mempunyai kekuatan pengawal sebagaimana Sangkal Putung.“

Sabungsari mengangguk-angguk. Yang dikatakan oleh Panembahan Senapati itu memang benar. Jati Anom sendiri tidak mempunyai kekuatan yang cukup seperti Sangkal Putung. Justru karena di Jati Anom ada sepasukan prajurit yang kuat.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih pun mohon diri meninggalkan Mataram. Selain Panembahan Senapati, maka perwira yang memimpin pasukan Mataram yang mengawal Raden Rangga kembali mendahului ke Mataram, juga mengucapkan terima kasih berulang kali. Tanpa keempat orang itu, maka prajurit Mataram yang jumlahnya sedikit itu tidak akan dapat mempertahankan Raden Rangga yang akan diambil oleh Ki Lurah Singaluwih.

“Sampai saatnya, maka Ki Lurah Singaluwih tentu akan diminta keterangannya,“ berkata perwira itu.

“Pada suatu saat, kami akan mendengar hasil pemeriksaan itu,“ desis Kiai Gringsing.

Diantar oleh perwira itu sampai ke gapura Kota Raja, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih pun telah meninggalkan Mataram.

“Kita kemana Kiai?“ bertanya Sabungsari, “Apakah kita langsung ke Jati Anom, atau ke Tanah Perdikan? Jika kita langsung, maka biarlah Ki Jayaraga dan Glagah Putih menuju ke Menoreh, dan kita berdua ke Jati Anom.“

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah tidak sebaiknya kita pergi ke Tanah Perdikan dahulu untuk menemui Agung Sedayu?“

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Agung Sedayu.“

“Selebihnya, sebaiknya Agung Sedayu mengetahui hubungan ilmu antara Glagah Putih dan Raden Rangga yang tidak jelas itu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

Sabungsaripun mengangguk-angguk pula. Dengan nada rendah ia berkata, “Sebaiknya memang demikian Kiai. Bukankah Agung Sedayu termasuk salah seorang yang telah mewariskan ilmunya kepada Glagah Putih?“

Dengan demikian maka keempat orang itu pun telah menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Bagi mereka, mengamati keadaan Glagah Putih tidak kalah pentingnya dengan menunggu keterangan yang keluar dari mulut Ki Lurah Singaluwih.

Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh, dibandingkan dengan perjalanan yang sudah mereka tempuh ke padepokan Nagaraga, adalah perjalanan yang tidak terlalu panjang. Beberapa saat menjelang tengah hari, keempat orang itu telah sampai ke tepian Kali Praga. Beberapa rakit nampak hilir-mudik menyeberangi Kali Praga dengan membawa beberapa orang penumpang dan bahkan barang-barang.

Beberapa jenis hasil bumi telah dibawa dari sebelah barat Kali Praga menyeberang ke sebelah timur. Sebaliknya, para pedagang alat-alat pertanian membawa beberapa jenis barang dari timur menyeberang ke barat.

Dalam perjalanan itu, sama sekali tidak ada hambatan yang dialami oleh keempat orang itu. Mereka naik ke atas sebuah rakit bersama beberapa orang laki-laki dan perempuan. Dua orang di antara mereka nampaknya sedang bepergian ke jarak yang agak panjang, menilik barang-barang yang dibawanya.

Tetapi keempat orang itu tidak bertanya. Bahkan mereka seakan-akan sedang merenungi perasaan masing-masing, sehingga keempat orang itu saling berdiam diri saja tanpa mengucapkan sesuatu di antara mereka.

Pada umumnya orang-orang yang menumpang rakit itu pun berdiam diri saja. Apalagi saat itu airnya nampak lebih besar dan keruh. Beberapa orang setiap kali menengadahkan wajahnya, melihat awan yang mengalir dari selatan. Jika mendung kemudian berkumpul di sebelah utara, maka air pun mungkin sekali akan menjadi semakin besar.

Namun rakit itu pun telah merapat dengan selamat. Tidak ada goncangan apapun yang disebabkan oleh air yang semakin besar. Tidak ada kesulitan sama sekali bagi juru satang, yang setiap hari telah melakukan pekerjaannya. Bertahun-tahun, bahkan sejak umurnya meningkat remaja.

Tetapi nampaknya mendung memang bergantung di langit sebelah utara. Air yang runtuh menggenangi bumi mengalir menyusuri parit-parit, anak sungai, dan tumpah ke Kali Praga yang berair keruh.

Ketika kemudian Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih telah meloncat ke tepian, mereka pun segera melangkah naik ke atas tebing.

“Hujan belum akan turun di sini,“ berkata Ki Jayaraga.

“Ya,“ sahut Kiai Gringsing, “mungkin sebelah bukit.“

Yang lain hanya mengangguk-angguk saja.

Namun mereka pun kemudian berjalan lebih cepat agar mereka tidak kehujanan di perjalanan.

Kedatangan mereka di Tanah Perdikan Menoreh, telah menarik perhatian. Orang-orang yang sedang berada di sawah dan melihat Kiai Gringsing bersama dengan Ki Jayaraga, Glagah Putih dan seorang yang tidak terlalu banyak dikenal di Tanah Perdikan Menoreh, telah mengucapkan salam. Beberapa di antara mereka justru telah berloncatan di pematang, menghampiri mereka.

“Selamat datang di Tanah Perdikan, Kiai,” berkata seorang petani yang telah berdiri di pinggir jalan.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tersenyum. Sementara Sabungsari dan Glagah Putih berdiri di belakang mereka.

“Sudah lama Kiai tidak mengunjungi Tanah Perdikan, sementara Ki Jayaraga rasa-rasanya juga sudah cukup lama pergi. Apalagi Glagah Putih.”

Kiai Gringsing mengangguk kecil sambil menjawab, “Sekarang kami berdua telah datang. Bahkan berempat.”

“Selamat datang,” desis orang itu, “silahkan. Baru saja Ki Gede lewat jalan ini pula.”

“Ki Gede? Darimana?” bertanya Ki Jayaraga.

“Seperti biasanya, mengelilingi Tanah Perdikan,” jawab orang itu.

“Bukankah tidak ada sesuatu yang terjadi selama ini?” bertanya Ki Jayaraga pula.

“Tidak,” jawab petani itu, “selama ini kami sibuk dengan kerja. Kami sedang memperbaiki sebuah bendungan di susukan Kali Praga yang membelah padukuhan Paheman.”

“O,” Glagah Putih yang menyahut, “bendungan itu memang sudah wakunya diperbaiki.”

“Ya. Ki Gede agaknya baru saja dari melihat orang-orang yang bekerja di bendungan itu,” jawab petani itu.

“Kakang Agung Sedayu?” bertanya Glagah Putih.

“Mungkin masih ada di bendungan itu,” jawab petani itu pula.

Glagah Putih termangu-mangu. Namun Kiai Gringsing pun berkata, “Kita langsung pergi ke rumahnya. Seandainya Agung Sedayu tidak ada, iapun pada saatnya akan kembali.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Kita tidak akan mengganggunya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Kita langsung kembali.”

Demikianlah mereka berempat langsung menuju ke rumah Agung Sedayu di padukuhan induk. Meskipun seandainya Agung Sedayu tidak ada, maka Sekar Mirah agaknya berada di rumahnya.

Berempat mereka meneruskan perjalanan menuju ke padukuhan induk. Sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang melihat kehadiran mereka, maka mereka pun akhirnya sampai ke pintu regol halaman rumah Agung Sedayu.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah memasuki halaman. Mereka memang melihat rumah itu nampak sepi. Namun Glagah Putih telah melingkar dan memasuki longkangan di sebelah dapur.

Pembantu Agung Sedayu, seorang anak laki-laki yang mulai menginjak remaja, keluar dari pintu dapur. Ketika ia melihat Glagah Putih, maka iapun menjadi gembira.

“Kau sudah kembali?” sambut anak itu.

“Ya,” Glagah Putih pun tertawa. Lalu, “Dimana Kakang Agung Sedayu atau Mbokayu Sekar Mirah?”

“Mereka berdua sedang pergi,” jawab anak itu.

“Kemana?” bertanya Glagah Putih dengan jantung yang berdebaran.

“Ke rumah Ki Gede. Belum lama,” jawab anak itu.

“Untuk apa?” bertanya Glagah Putih pula.

Anak itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu.”

“Tetapi kau dapat melihat gelagatnya. Apakah keduanya nampak gelisah? Atau biasa-biasa saja, atau bagaimana?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak apa-apa. Nampaknya keduanya biasa-biasa saja. Agaknya tidak ada masalah yang menggelisahkan,” jawab anak itu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Tetapi apakah Kakang Agung Sedayu tidak pergi ke Paheman ikut memperbaiki bendungan bersama Ki Gede, yang katanya baru saja kembali?”

“Lewat tengah hari Ki Agung Sedayu sudah pulang. Setelah istirahat sebentar, maka bersama-sama dengan Nyi Sekar Mirah, keduanya pergi ke rumah Ki Gede,” jawab anak itu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Buka pintu. Aku datang bersama beberapa orang.”

Anak itu pun kemudian telah membuka pintu pringgitan. Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari telah duduk di pendapa.

“Marilah,” Glagah Putih pun kemudian mempersilahkan mereka untuk memasuki ruang dalam.

“Ah. Agaknya lebih enak duduk di sini untuk sementara,” jawab Kiai Gringsing, “udara tentu agak panas di dalam.”

“Ya. Biarlah keringat kami kering,” desis Sabungsari.

Glagah Putih tidak memaksa. Namun kemudian iapun justru duduk bersama mereka dan memberitahukan bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak sedang berada di rumah.

“Apakah aku harus menyusulnya?” bertanya Glagah Putih.

“Itu tidak perlu,” jawab Kiai Gringsing, “mungkin ada pembicaraan penting yang sedang dilakukan.”

Glagah Putih mengangguk sambil berdesis, “Baiklah. Kita akan menunggu di sini. Namun silahkanlah. Aku mohon diri untuk menyiapkan minuman. Kita semuanya agaknya telah menjadi haus.”

“Bukan hanya haus,” sahut Sabungsari sambil tertawa.

Glagah Putih pun tertawa. Jawabnya, “Semuanya akan segera siap.”

“Bagus,” berkata Sabungsari pula, “tetapi kau tidak perlu bersusah payah mengejar seekor ayam.”

“Tidak. Tidak,” jawab Glagah Putih, “barangkali seekor kambing yang masih ada di kandang.”

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun tertawa pula. Sementara itu Glagah Putih telah meninggalkan mereka untuk pergi ke dapur.

Sambil menyiapkan minuman dan menanak nasi, laki-laki remaja yang telah beberapa lama tinggal bersama Agung Sedayu itu masih juga sempat bercerita tentang pliridan dan rumponnya.

“Tadi siang aku membuka rumpon di tikungan sungai kecil itu. Kebetulan tidak ada orang yang mengganggu. Hanya ada dua orang anak yang kebetulan mencari ikan ikut membuka. Tetapi sudah tentu mereka tidak aku biarkan memasang icir. Ternyata aku mendapat ikan cukup banyak,” berkata anak itu.

“Dimana sekarang?” bertanya Glagah Putih.

“Ikan lele yang besar-besar telah dimasak mangut. Sedikit kepedasan. Tetapi enak sekali,” jawab anak itu.

“Siapa yang masak?” bertanya Glagah Putih.

“Nyi Sekar Mirah. Hari ini ia telah masak mangut dan pepes udang. He, aku juga mendapat banyak udang dan wader pari,” berkata anak itu.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kebetulan aku membawa tamu. Mereka tentu akan senang sekali mendapat hidangan nasi hangat dengan mangut lele, pepes udang dan wader yang digoreng dengan tepung.”

“Kebetulan pula Nyi Sekar Mirah bersedia memasak ikan itu,” desis anak itu.

“Kalau kau mendapat banyak, Mbokayu tentu akan bersedia memasaknya. Tetapi jika kau hanya mendapat tiga ekor udang dan dua ekor wader kecil-kecil, sudah tentu mBokayu tidak mau mengotori tangannya. Kau goreng saja sendiri untuk memberi makan kucing,” sahut Glagah Putih.

“Ah, kau,” desah anak itu.

“Sudahlah. Kita siapkan minuman. Sediakan mangkuknya. Aku akan membuat minumannya, sementara nasi akan masak,” berkata Glagah Putih. “Mudah-mudahan Kakang Agung Sedayu berdua segera pulang, sehingga akan dapat makan bersama para tamu itu.”

Anak itu mengangguk-angguk. Sementara itu keduanya pun menjadi sibuk menyiapkan minuman. Namun hal itu sudah sering mereka lakukan, sehingga mereka tidak merasa canggung lagi.

Beberapa saat kemudian, maka minuman pun telah dihidangkan. Pembantu di rumah Agung Sedayu itu masih menyimpan beberapa potong makanan. Jadah ketan dan sagon gula kelapa, yang masih pantas untuk dihidangkan kepada para tamu.

Sementara ketiga orang di pendapa masih juga berbincang tentang Tanah Perdikan Menoreh yang semakin nampak subur, Glagah Putih sibuk menyiapkan makan bagi tamu-tamunya.

Pada saat Glagah Putih mengharapkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah kembali, maka sebenarnyalah keduanya memasuki regol halaman. Keduanya terkejut ketika mereka melihat tiga orang telah berada di pendapa.

“Kiai Gringsing,” desis Agung Sedayu kemudian.

Dengan tergesa-gesa keduanya pun telah naik ke pendapa pula. Telah agak lama mereka semuanya tidak saling bertemu. Karena itu pertemuan itu merupakan pertemuan yang menyentuh perasaan mereka masing-masing. Sabungsari yang juga sudah cukup lama tidak bertemu dengan Agung Sedayu merasa bersyukur pula bahwa ia telah mengikuti Kiai Gringsing ke Tanah Perdikan. Bahkan Ki Jayaraga pun rasa-rasanya sudah terlalu lama pula pergi.

Namun Agung Sedayu menjadi cemas karena tidak dilihatnya Glagah Putih bersama mereka. “Apakah Glagah Putih tidak berada di antara Kiai berdua dan Sabungsari?” bertanya Agung Sedayu.

“Kami telah bertemu dengan anak itu,” jawab Kiai Gringsing.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih juga bertanya, “Dimana anak tu sekarang?”

Kiai Gringsing akan menjawab. Namun Glagah Putih telah muncul di pintu pringgitan.

“Kakang, Mbokayu,” desis Glagah Putih sambil mendekat.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ketika Glagah Putih kemudian duduk di sebelahnya, maka Agung Sedayu telah menepuk bahunya. Tetapi justru hanya dua patah kata yang terucapkan, “Kau selamat?”

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Sambil mengangguk kecil ia menjawab, “Ya Kakang. Yang Maha Agung melindungi aku.”

“Tanah Perdikan Menoreh telah diresahkan oleh berita meninggalnya Raden Rangga,” berkata Agung Sedayu.

“Kami menunggui saat-saat terakhirnya,” berkata Kiai Gringsing.

“Kami di sini telah menduga,” desis Agung Sedayu, “tentu satu peristiwa yang sangat dahsyat yang mampu mengantar Raden Rangga ke dunia abadinya.”

“Ya. Memang satu peristiwa yang sangat dahsyat,” jawab Kiai Gringsing, “sementara itu, satu peringatan bagiku. Betapa kerdilnya pengetahuan yang ada padaku tentang pengobatan, yang aku kira selama ini ilmuku itu sudah memadai.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah hanya mengangguk-angguk saja. Dengan singkat Kiai Gringsing menceritakan, apa yang telah mereka lakukan di saat-saat terakhir Raden Rangga. “Yang Maha Agung telah menghendakinya,” desis Agung Sedayu.

“Ya. Apapun yang kita lakukan, jika saat itu datang, maka kita pun harus pergi,” berkata Ki Jayaraga dengan nada datar. Lalu, “Dan Raden Rangga pun telah pergi.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk pula. Namun mereka dapat membayangkan betapa besarnya kekuatan yang dapat mengatasi ketahanan racun dan bisa pada diri Raden Rangga.

Namun dalam pada itu, sebelum mereka sampai ke pembicaraan selanjutnya, Sekar Mirah telah minta diri untuk pergi ke dapur.

“Glagah Putih telah menyediakan minuman hangat buat kami,” berkata Kiai Gringsing.

“Mungkin aku perlu menyediakan yang lain,” sahut Sekar Mirah.

Kiai Gringsing pun tersenyum, sementara Sabungsari berkata, “Kami juga sudah memesannya kepada Glagah Putih.”

Yang lain tersenyum pula mendengar kata-kata Sabungsari itu.

Demikianlah, maka Sekar Mirah dan Glagah Putih pun telah meninggalkan pendapa. Di dapur mereka pun telah sibuk menyediakan hidangan makan bagi tamu-tamu mereka.

“Kau sudah menanak nasi?” bertanya Sekar Mirah.

“Sudah Mbokayu,” jawab Glagah Putih, “sebentar lagi akan masak.”

“Kita panasi dulu mangut lele itu,” berkata Sekar Mirah, “anak itu berhasil mendapat ikan cukup banyak hari ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Anak itu termasuk anak yang tidak mudah putus asa. Meskipun kadang-kadang dalam beberapa kali turun ke sungai ia tidak mendapat ikan seekor pun selain ketam dan beberapa ekor udang yang hanya pantas untuk makanan kucing, namun ia masih juga melakukannya dengan mantap, sehingga kali ini ia berhasil.”

Sekar Mirah tertawa. Anak yang mendengar kata-kata Glagah Putih sambil mengerutkan keningnya itu telah ditepuk bahunya oleh Sekar Mirah sambil berkata, “He, ambil bakul tempat nasi itu.”

Anak itu pun kemudian telah mengambil bakul tempat nasi, sementara periuk pun telah diturunkan dari api.

Pada saat Sekar Mirah sibuk menyiapkan hidangan makan bagi tamu-tamunya, maka Kiai Gringsing sempat bercerita tentang hubungan ilmu antara Glagah Putih dan Raden Rangga.

“Sebenarnya aku ingin juga mendengar keterangan Ki Lurah Singaluwih yang mengaku seorang prajurit Madiun itu. Tapi aku menganggap bahwa persoalan Glagah Putih juga penting,” berkata Kiai Gringsing, “karena kita tidak tahu, apa yang telah terjadi di dalam dirinya selama ini.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sikap Kiai Gringsing, dan sudah barang tentu juga Ki Jayaraga. Bahkan Agung Sedayu pun telah menjadi cemas pula. Jika dalam saat-saat yang telah lewat, terjadi gejolak atau mungkin pergeseran di dalam diri Glagah Putih, maka banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi menilik keadaan dan sikap Glagah Putih yang tidak berubah, maka agaknya tidak ada yang dapat menimbulkan kesulitan di dalam dirinya.

Meskipun demikian tidak ada yang tahu, lebih-lebih dengan pasti, apa yang telah terjadi. Karena itu, maka Agung Sedayu sependapat bahwa perlu segera dilakukan pengamatan atas diri Glagah Putih. Apalagi mereka menyadari bahwa perkembangan Raden Rangga dalam peningkatan ilmunya agak tidak berlangsung wajar sebagaimana kebanyakan orang.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “setelah anak itu beristirahat semalam, maka besok kita akan melihat, apa yang ada dan bergetar di dalam dirinya. Mudah-mudahan kita mempunyai kesempatan untuk menelusurinya.”

Ternyata mereka tidak meneruskan pembicaraan mereka tentang Glagah Putih, karena Glagah Putih sendiri telah keluar dari pintu pringgitan sambil membawa hidangan makan. Nasi hangat dengan lele mangut, pepes udang dan rempeyek wader.

“Bukan main,” desis Sabungsari.

“Silahkan, apa adanya,” Sekar Mirah yang kemudian muncul pula telah mempersilahkan.

“Agaknya kedatangan kita sudah diketahui sebelumnya, sehingga hidangan pun telah disiapkan,” berkata Sabungsari pula.

“Ya. Aku telah mempelajarinya dari Ki Waskita,” berkata Agung Sedayu.

Yang mendengar gurau itu pun tertawa. Namun dalam pada itu terbersit juga di dalam kepala Agung Sedayu pertanyaan, “Kenapa aku tidak mempelajarinya?”

Tetapi Agung Sedayu tidak sempat memikirkannya. Iapun kemudian sibuk mempersilahkan tamu-tamunya untuk makan bersama, setelah membersihkan tangan mereka.

“Kau juga, Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu.

“Aku nanti saja Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Tidak. Kau sudah pantas makan bersama kami. Biarlah Mbokayumu makan pula di sini,” berkata Agung Sedayu.

Mereka pun kemudian duduk mengelilingi hidangan yang telah disediakan. Ternyata memang terasa enak sekali makan bersama-sama dengan orang-orang yang telah cukup lama tidak bertemu.

Selama mereka makan, Agung Sedayu sempat menceritakan, apa yang telah mereka bicarakan dengan Ki Gede ketika mereka menghadap.

“Ki Gede merencanakan untuk mengadakan semacam sayembara bagi rakyat Tanah Perdikan,” berkata Agung Sedayu.

“Sayembara apa?” bertanya Ki Jayaraga.

“Ki Gede akan memerintahkan beberapa orang yang ditunjuk untuk menilai kemajuan dan pengembangan kesejahteraan rakyat di setiap padukuhan di seluruh Tanah Perdikan,” jawab Agung Sedayu.

“Bagus,” hampir di luar sadarnya Glagah Putih menyahut.

“Ya, memang bagus,” berkata Agung Sedayu selanjutnya, “rencana itu akan dapat mendorong kegiatan di setiap padukuhan. Sayembara itu akan melengkapi segala kerja keras yang telah dilakukan oleh rakyat Tanah Perdikan.”

“Tentu akan memberikan kegembiraan pula bagi rakyat Tanah Perdikan,” berkata Ki Jayaraga.

“Pelaksanaannya, akan disesuaikan dengan upacara Merti Desa bagi setiap padukuhan, agar tidak mengadakan kegiatan tersendiri yang akan dapat memberikan kesan menghamburkan uang dan tenaga. Waktunya diserahkan kepada setiap padukuhan itu sendiri. Sedangkan mereka yang akan memberikan penilaian akan hadir dalam upacara bersih desa itu,” berkata Agung Sedayu.

“Satu keputusan yang bijaksana,” berkata Ki Jayaraga, “penilaian setiap padukuhan akan mengadakan keramaian di setiap Merti Desa.”

“Jika saja Kiai Gringsing dan Sabungsari dapat menunggu,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Kiai Gringsing hanya tersenyum saja, sementara Sabungsari bertanya, “Kapan Merti Desa itu diselenggarakan?”

“Kita melihat bahwa padi telah menguning di sawah,” jawab Agung Sedayu, “sesudah panen, setiap padukuhan akan menyelenggarakan upacara itu.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Sayang. Kami membawa pesan Panembahan Senapati bagi Ki Untara. Karena itu, agaknya kami tidak akan dapat terlalu lama tinggal di sini. Jika saatnya Panembahan Senapati memanggil Untara, maka pesan itu harus sudah sampai kepadanya.”

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia tidak dapat berbuat sesuatu jika itu merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh Sabungsari.

Bahkan kemudian Kiai Gringsing berkata, “Pesan itu ditujukan juga kepada pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan.”

“O,” Agung Sedayu masih mengangguk-angguk.

“Ada hubungannya dengan sergapan Ki Lurah Singaluwih,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Agung Sedayu tidak menjawab. Singgungan yang meskipun hanya sedikit, sebagaimana pernah dikatakan oleh Kiai Gringsing tentang Ki Lurah Singaluwih, telah memberikan gambaran yang agak jelas bagi Agung Sedayu. Iapun memahami kenapa Sabungsari harus menyampaikan pesan kepada Untara, dan juga kepada pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, sesuap demi sesuap, nasipun telah tertelan. Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah selesai makan.

Beberapa saat mereka masih duduk berbincang ketika mangkuk dan sisa makanan disingkirkan. Namun kemudian Agung Sedayu telah mempersilahkan tamunya untuk beristirahat.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari pun kemudian telah membersihkan diri ke pakiwan. Beberapa lama mereka sempat untuk berada di halaman, sementara malam pun turun semakin pekat. Lampu-lampu telah terpasang dan jalan-jalan pun menjadi sepi.

Glagah Putih masih sibuk membantu Sekar Mirah di dapur. Membersihkan mangkuk dan alat-alat dapur. Sementara pembantu di rumah Agung Sedayu itu pun telah mengambil air dari sumur untuk mengisi gentong.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka Agung Sedayu telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat di gandok kanan. Sementara Glagah Putih telah mempunyai janji sendiri dengan pembantu di rumah itu.

“Sudah lama kau tidak turun ke kali,” berkata pembantu di rumah Agung Sedayu itu, “kita sekarang mencobanya.”

“Kau tahu aku baru datang,” jawab Glagah Putih.

“Apa susahnya orang berjalan-jalan?” jawab anak itu, “Nah, kau jangan banyak alasan. Kita turun ke sungai malam ini.”

Glagah Putih mendorong kening anak itu sambil tersenyum, “Anak bengal. Kau kira aku berjalan-jalan?”

“Jadi apa yang kau lakukan di Mataram, jika tidak melihat-lihat jalan yang ramai, pasar yang riuh dan rumah-rumah yang bagus, “jawab anak itu, “atau mungkin gadis-gadis yang cantik?”

“Ah kau,” sahut Glagah Putih berdesis, “apa yang kau ketahui tentang gadis cantik?”

“Cepatlah berkemas. Kita terlambat membuka pliridan malam ini. Seharusnya beberapa saat tadi aku pergi ke sungai. Tetapi aku harus melayani tamu-tamumu,” berkata anak itu.

“Bukan tamuku. Tamu Kakang Agung Sedayu,” sahut Glagah Putih pula.

“Sama saja bagiku,” geram anak itu.

“Baiklah. Biarlah aku mengatakan kepada Kakang Agung Sedayu, bahwa tamu-tamunya telah membuat kau terlambat turun ke sungai,” berkata Glagah Putih.

“Ah, jangan. Jangan kau lakukan,” berkata anak itu.

Glagah Putih tertawa. Namun katanya, “Baiklah. Aku ikut turun ke sungai. Tetapi jika aku letih, aku tidak akan ikut membuka besok menjelang pagi.”

“Aku akan membangunkanmu dimanapun kau tidur,” berkata anak itu, “dan jika kau tidak mau bangun, aku basahi kau dengan air.”

“Aku gelitik kau sampai pingsan,” jawab Glagah Putih. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, “Baiklah. Kita berangkat sekarang. Aku akan minta diri kepada Kakang Agung Sedayu.”

Agung Sedayu memang tidak mencegahnya. Tetapi Sekar Mirah-lah yang sambil tertawa berkata, “Kau belum puas berburu di padepokan Nagaraga? Karena itu kau masih akan berburu udang di pliridan?”

Glagah Putih pun tersenyum. Katanya, “Hanya sebentar Mbokayu. Mungkin dapat memberikan kesegaran.”

Agung Sedayu pun kemudian ikut tertawa pula. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.

Demikianlah, keduanya telah turun ke sungai. Seperti biasa mereka telah membuka pliridan. Pliridan yang dibuat sejak beberapa tahun yang lalu, namun hampir di setiap malam masih juga memberikan ikan kepada pembantu di rumah Agung Sedayu itu.

Di tebing, ketika mereka turun, mereka bertemu dengan seorang anak muda yang juga membuka pliridan. Tetapi anak muda itu sudah berjalan meninggalkan sungai.

“Kalian baru datang?” bertanya anak muda itu, “Sudah terlalu malam.”

“da tamu di rumah,” jawab Glagah Putih.

Anak muda itu tidak bertanya lebih lanjut. Demikianlah, Glagah Putih dan anak itu pun kemudian sibuk membuka pliridan itu.

Tetapi rasa-rasanya air agak lebih besar dari biasanya. Karena itu Glagah Putih pun berkata, “Jika malam nanti banjir, maka icirmu justru akan hanyut.”

“Air memang lebih besar,” jawab anak itu.

“Ketika aku menyeberang Kali Praga, maka airnya juga agak lebih besar. Tetapi masih belum dapat disebut banjir,” berkata Glagah Putih.

Anak itu menengadahkan wajahnya. Langit memang nampak gelap. Tidak ada bintang yang nampak. Namun anak itu kemudian berkata, “Mendungnya tipis saja. Aku kira tidak akan terjadi banjir malam ini.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian telah ikut sibuk dengan pliridan itu.

Ketika mereka sudah selesai, maka keduanya pun kemudian telah membenahi diri. Seperti biasanya, mereka tidak membawa cangkul mereka pulang, karena besok menjelang pagi, cangkul itu akan dipergunakannya lagi. Tetapi mereka telah menyimpan cangkul itu di bawah gerumbul di tepian.

Sejenak kemudian keduanya telah berada di atas tanggul. Rasa-rasanya angin memang bertiup agak keras. Bahkan rasa-rasanya mengandung air, sehingga malam pun terasa dingin.

“Kita pergi ke sawah,” berkata anak itu tiba-tiba.

“Untuk apa?” bertanya Glagah Putih.

“Sebentar lagi padi akan dipetik. Kita melihat, apakah tidak ada gangguan pada tanaman itu,” berkata anak itu.

“Apakah sering terjadi gangguan?” bertanya Glagah Putih.

“Memang tidak. Tetapi rasa-rasanya masih terlalu sore untuk tidur,” jawab anak itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Anak ini memang sering berbuat aneh-aneh. Karena itu, maka Glagah Putihpun berkata, “Aku merasa sangat letih. Aku ingin beristirahat.”

“Ah kau,” geram anak itu, “kau semakin lama semakin malas. Aku dapat berjalan dari dan kembali ke Mataram dua tiga kali dalam sehari tanpa merasa letih.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun anak itu menariknya sambil berkata, “Kita pergi berjalan-jalan. Kau sudah lama tidak melihat sawah kita yang sudah menguning.”

“Bukankah dapat dilakukan besok siang?” bertanya Glagah Putih.

Anak itu memang menjadi kecewa. Tetapi sekali lagi Glagah Putih berkata, “Aku sangat letih.”

Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara agak gaduh, “Cepat. Kita akan dapat menangkapnya.”

Glagah Putih dan anak yang bersamanya itu segera berlindung di balik gerumbul. Mereka tidak melihat dengan jelas, apa yang terjadi. Namun ternyata ada beberapa orang yang mengejar dan kemudian berhasil menangkap seseorang.

“Apa yang terjadi?” desis anak itu.

“Aku tidak tahu,” jawab Glagah Putih. Lalu, “Bersembunyilah. Aku akan melihat.”

“Aku ikut,” berkata anak itu.

“Kau bersembunyi, atau kau akan ikut ditangkap orang-orang yang tidak kita ketahui itu,” berkata Glagah Putih.

“Bagaimana dengan kau?” bertanya anak itu.

“Aku akan menjaga diriku. Aku mempunyai keahlian bersembunyi dan aku mampu berlari cepat. Jauh lebih cepat dari setiap orang. Karena itu, maka tidak seorang pun akan dapat menangkap aku,” jawab Glagah Putih.

“Ilmu lari,” desis anak itu.

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia mengerti maksud anak itu. Katanya, “Pokoknya selamat.”

Glagah Putih tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian bergeser dari balik gerumbul ke balik gerumbul yang lain. Perlahan-lahan dan hati-hati ia menjadi semakin dekat dengan orang-orang yang telah menangkap seseorang.

“Tanu,” desis Glagah Putih ketika ia melihat anak muda yang baru saja berpapasan saat ia menuruni tebing. Namun Glagah Putih itu pun bertanya kepada diri sendiri, “Kenapa ia ditangkap?”

Ketika Glagah Putih menjadi semakin jelas melihat orang-orang yang menangkap Tanu, iapun berkata kepada diri sendiri, “Bukan anak-anak Tanah Perdikan.”

Sebenarnyalah anak-anak muda yang menangkap Tanu itu bukan anak-anak Tanah Perdikan Menoreh. Seorang di antara mereka berkata, “Kau jangan terlalu sombong Anak Tanah Perdikan. Kau kira tidak ada orang yang berani bertindak atas anak Tanah Perdikan Menoreh? Nah, sekarang kau lihat, bahwa aku menangkapmu di halamanmu sendiri. Ternyata tidak terlalu sulit untuk melakukannya.”

“Persetan,” geram Tanu, “ayo, siapakah di antara kalian yang berani bersikap jantan. Jangan melakukan beramai-ramai seperti ini. Aku menantang berkelahi seorang melawan seorang. Siapapun di antara kalian.”

Suara Tanu terputus. Seseorang telah memukulnya. Betapa marahnya Tanu yang merasakan kesakitan. Namun ketika ia akan membalas, beberapa orang dengan cepat menangkapnya. Bahkan yang lain masih juga memukulnya beberapa kali.

“Pengecut!” geram Tanu.

“Berteriaklah,” berkata salah seorang di antara mereka yang menangkap Tanu, “tidak akan ada orang yang mendengar. Orang-orang Tanah Perdikan mu terlalu yakin, bahwa tidak akan terjadi sesuatu di sini, sehingga tidak seorang pun yang pernah pergi menengok tanamannya di sawah.”

“Aku tantang kau!” Tanu memang berteriak. Tetapi sekali lagi suaranya terputus.

“Kita bawa anak ini keluar Tanah Perdikan,” berkata seorang di antara orang-orang yang menangkapnya, “kita akan menunjukkan kepada orang-orang Tanah Perdikan, bahwa anak mudanya tidak dapat berbuat sekehendak hatinya di tempat orang.”

“Kalian akan menyesal,” geram Tanu, “anak-anak muda Tanah Perdikan pernah bertempur dalam perang gelar. Apalagi hanya dengan pengecut macam kalian. Padukuhan kalian akan dihancurkan rata dengan tanah.”

“Jangan membual,” geram salah seorang dari mereka.

Yang lain tidak berbicara lagi. Tanu itu pun kemudian dibawa beramai-ramai menelusuri jalan bulak. Mereka pun kemudian memilih jalan yang tidak melalui pedukuhan, agar anak-anak muda yang berada di gardu tidak mendengar mereka.

Glagah Putih dengan hati-hati selalu mengikuti mereka. Iapun sempat menghitung orang yang membawa Tanu itu keluar Tanah Perdikan. Tidak kurang dari dua puluh orang.

“Agaknya mereka tahu, bahwa Tanu selalu turun ke sungai. Mereka menunggu dan kemudian menyergapnya,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Tetapi apakah salah Tanu?”

Pertanyaan itu pun segera terjawab, ketika seorang anak muda yang membawa Tanu itu menggeram, “Kau kira kau dapat dengan leluasa mengganggu gadis-gadis kami?”

“Aku tidak mengganggunya,” geram Tanu, “aku datang ke rumahnya dengan maksud baik.”

“Omong kosong,” geram orang itu, “apakah di Tanah Perdikan Menoreh kehabisan perempuan?”

“Apa salahnya aku berkenalan dengan gadis di padukuhan kalian?” teriak Tanau.

Yang terdengar kemudian bukanlah jawaban dari anak-anak muda yang telah membawa Tanu itu. Tetapi beberapa pukulan di wajah dan dada Tanu yang tidak berdaya untuk melawan, karena beberapa orang telah memeganginya. Namun demikian, sekali-sekali sambil meronta Tanu sempat juga menendang orang-orang yang memukulinya. Tetapi akibatnya anak-anak muda itu menjadi semakin marah.

Beberapa saat kemudian Tanu telah diseret pula semakin jauh, sehingga akhirnya mereka telah mendekati batas Tanah Perdikan.

Glagah Putih masih mengikuti mereka. Dengan kemampuannya, ia dapat berada tidak terlalu jauh dari anak-anak muda yang marah itu tanpa mereka ketahui. Bahkan Glagah Putih sempat mendengar Tanu berkata lantang, “Kau kira aku ini apa he? Jika kalian jujur, pertemukan aku dengan perempuan itu. Kita berbicara dengan orang tuanya, apakah orang tuanya merasa tersinggung karena kedatanganku ke rumahnya.”

“Persetan,” geram salah seorang dari anak-anak muda itu, ” kau tentu telah mengguna-gunainya, sehingga perempuan itu menerimamu dengan baik. Ketahuilah, perempuan itu sudah mempunyai calon suami.”

“Bohong,” geram Tanu, “aku bertemu dengan perempuan itu di pasar. Aku menolongnya membawa barang-barang yang berat, karena ia tidak kuat membawa sendiri. Aku antar ia sampai ke rumahnya.”

“Tetapi kau datang kembali beberapa hari kemudian. Tanpa maksud buruk, kau tidak akan menempuh jarak yang cukup jauh dari rumahmu ke rumah perempuan itu. Apalagi perempuan itu sudah mempunyai calon suami!” bentak seorang di antara mereka.

“Aku juga mendengar tentang laki-laki yang kau sebut calon suami itu. Sama sekali bukan calon suami. Tetapi laki-laki yang tergila-gila kepadanya,” jawab Tanu.

Beberapa pukulan terdengar lagi mengenai wajah Tanu. Namun Tanu masih juga berteriak. “Aku tantang laki-laki itu berkelahi secara jantan!”

Suaranya sekali lagi terputus oleh pukulan-pukulan yang semakin membabi buta. Bahkan terdengar suara berat, “Aku-lah laki-laki itu. Buat apa aku berkelahi melawanmu? Lebih baik aku memukulimu seperti ini.”

Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Kita bawa anak ini keluar dari Tanah Perdikan. Jika terjadi sesuatu atas anak ini, maka ia dapat dianggap telah menyerang ke daerah kita, sehingga ia mengalami nasib yang buruk.”

Tetapi seorang di antara mereka menyahut, “Tetapi mulutnya akan dapat berbicara.”

“Kita sumbat mulutnya untuk selama-lamanya,” berkata laki-laki yang tidak mau kehilangan perempuan yang telah dikunjungi Tanu itu.

Namun dengan demikian, maka Glagah Putih telah dapat menangkap persoalan yang dihadapi oleh Tanu. Bagi Glagah Putih, maka ia lebih percaya kepada Tanu daripada orang-orang yang menyeretnya itu. Agaknya perasaan takut kehilangan seorang gadis telah membuat laki-laki itu marah dan mengajak teman-temannya untuk mengambil Tanu.

“Cepat, kita bawa orang ini keluar kandangnya,” berkata laki-laki yang takut kehilangan itu.

Glagah Putih menjadi semakin mencemaskan nasib Tanu. Menurut pendapat Glagah Putih, anak muda itu memang tidak bersalah. Jika ia datang mengunjungi seorang gadis, apa salahnya. Apalagi orang tua gadis itu tidak menolaknya.

Jika Tanu benar-benar dibawa keluar dari Tanah Perdikan, agaknya keadaannya memang menjadi lebih buruk. Apalagi jika Tanu terkapar di dekat rumah gadis itu. Maka anak-anak muda itu tentu akan dapat membuat fitnah yang sangat keji.

Karena itu, ketika mereka mulai menyeret Tanu yang menjadi semakin lemah, Glagah Putih telah beringsut, menyuruk di pematang di antara batang-batang padi yang sudah menguning, mendahului anak-anak itu.

Beberapa saat kemudian, ketika anak-anak muda yang menyeret Tanu itu hampir mencapai batas Tanah Perdikan, maka tiba-tiba saja langkah mereka terhenti. Seseorang tiba-tiba saja telah meloncati parit dan berdiri di tengah jalan di hadapan mereka.

Tanu yang lemah itu pun terkejut pula. Namun ketika orang yang berdiri di tengah jalan itu melangkah mendekat, tiba-tiba saja Tanu berdesis, “Glagah Putih.”

“Siapa kau?” geram salah seorang di antara anak-anak muda itu.

“Anak muda itu sudah menyebut namaku. Glagah Putih” jawab Glagah Putih.

“Untuk apa kau menghambat kerja kami?” bertanya anak muda itu.

“Kalian telah membawa seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh keluar dengan kekerasan,” berkata Glagah Putih, “apalagi karena aku mendengar rencana kalian untuk membinasakannya dan memfitnahnya, seolah-olah kawanku itu telah datang ke tempat kalian dengan niat buruk.”

“Persetan kau,” geram anak muda itu, “karena kau melihat peristiwa ini, apalagi dengan sengaja menghalangi, maka kau akan dapat mengalami nasib seburuk anak ini.”

“Aku seorang pelari yang baik,” berkata Glagah Putih, “sekarang aku minta lepaskan anak itu, atau aku akan menjadi saksi atas kenyataan dari peristiwa itu.”

“Anak setan. Kami akan menangkapmu,” geram anak muda yang menangkap Tanu itu.

“Tidak mungkin,” jawab Glagah Putih.

“Jika kami tidak dapat menangkapmu, maka kesaksianmu akan dapat diabaikan. Kami mempunyai saksi lebih banyak lagi,” berkata laki-laki yang marah itu.

Glagah Putih termangu-mangu. Sesaat dipandanginya anak-anak muda yang telah membawa Tanu itu. Jika ia sempat memperhatikan satu demi satu, tentu ada di antara mereka yang sudah dikenalnya.

Sebenarnyalah bahwa di antara mereka memang sudah ada yang mengenal Glagah Putih. Tetapi perkenalan itu tidak terlalu akrab, dan masing-masing tidak terlalu banyak mengetahui keadaannya. Karena itu, maka anak-anak muda yang membawa Tanu itu tidak mengerti, dengan siapa mereka sebenarnya berhadapan.

Namun dalam pada itu, laki-laki yang disebut sebagai calon suami perempuan yang dikunjungi Tanu itu pun tiba-tiba berkata lantang, “Nah, menyerahlah. Ikutlah kami. Dengan demikian, maka kami akan mempertimbangkan keadaanmu untuk selanjutnya.”

“Sudah aku katakan, aku dapat melarikan diri,” jawab Glagah Putih. Lalu, “Aku dapat memanggil orang-orang padukuhan dan para pengawal Tanah Perdikan ini. Bahkan jika perlu aku dapat minta bantuan para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini.”

“Sudah aku katakan pula, kesaksianmu akan diabaikan. Kau hanya seorang dan kebetulan adalah sahabat anak setan ini. Kau dapat dituduh membuat kesaksian palsu, atau bahkan kau dapat dituduh bersama-sama dengan Tanu telah melakukan kejahatan di daerah orang lain, sehingga kalian dapat ditangkap dalam keadaan yang tidak kita kehendaki bersama,” jawab laki-laki itu. Bahkan laki-laki itu kemudian tertawa sambil berkata, “Kita dapat berbuat lebih jauh lagi. Tanu dapat dianggap hilang tanpa diketahui kemana perginya. Semua ceritamu merupakan isapan jempol yang berisi fitnah.”

Glagah Putih termangu-mangu. Memang mungkin sekali terjadi seperti yang dikatakan oleh laki-laki itu.

Karena itu, maka Glagah Putih itu pun telah mengambil keputusan untuk mencegah agar Tanu tidak dibawa keluar Tanah Perdikan. Jika terjadi sesuatu atas anak muda itu, maka hal itu terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga tidak seorangpun dapat menuduh bahwa Tanu telah melakukan kejahatan di lingkungan orang lain, atau dianggap hilang begitu saja.

Apalagi ketika tiba-tiba saja seorang di antara anak-anak muda itu berkata lantang, “Kepung saja. Cepat. Jangan beri kesempatan anak itu lari.”

Anak-anak itu memang bergerak cepat. Beberapa orang telah berlari-lari menebar, sehingga Glagah Putih benar-benar telah terkepung.

“Nah, kau lihat,” laki-laki yang tidak mau kehilangan itu tertawa, “betapapun kau mampu berlari cepat, tetapi kau sudah terkepung.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi kalian tidak memberi kesempatan kepadaku untuk lari?”

“Jangan mengigau,” geram laki-laki yang marah itu, “kau terlalu bengal. Jika terjadi sesuatu atasmu, memang sayang sekali. Agaknya kau masih terlalu muda. Bahkan lebih muda dari iblis ini.”

“Baiklah,” berkata Glagah Putih, “jika demikian, marilah kita bersungguh-sungguh. Lepaskan anak itu. Tanu adalah kawanku. Selain itu juga anak Tanah Perdikan seperti aku, maka Tanu tidak bersalah. Kaulah yang terlalu tamak. Seharusnya kau merasa bahwa gadis itu tidak menyukaimu. Tetapi ia menyukai Tanu.”

“Aku sayat mulutmu,” geram laki-laki itu.

“Sekali lagi aku minta,” berkata Glagah Putih, “lepaskan Tanu, atau kalian tidak akan dapat meninggalkan Tanah Perdikan ini.”

Ancaman itu memang membuat anak-anak muda itu ragu-ragu. Bukan karena mereka menjadi takut terhadap Glagah Putih. Tetapi yang mereka cemaskan adalah bahwa Glagah Putih itu sebenarnya telah membawa beberapa orang kawan, para pengawal Tanah Perdikan yang memang sudah diketahui kemampuannya.

Beberapa orang pun kemudian memandangi tanaman di sawah. Batang-batang padi yang menguning, beberapa jenis perdu yang tumbuh di tanggul parit. Beberapa batang pohon ciplukan yang rendah tetapi berdaun rimbun.

“Tidak seorangpun yang bersembunyi di sekitar tempat ini” berkata Glagah Putih.

“Jadi kau dengan sombong menganggap bahwa kau seorang diri akan dapat mengalahkan kami?” bertanya seorang anak muda yang bertubuh tinggi kekar.

“Aku tidak beranggapan demikian. Tetapi aku minta kalian lepaskan Tanu, atau aku harus memakai kekerasan,” geram Glagah Putih yang juga sudah kehilangan kesabarannya.

Anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu tidak dapat mengendalikan diri lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Glagah Putih dengan garangnya.

Sebenarnyalah bahwa ia tidak mengenal Glagah Putih. Karena itu maka ia sekedar mempercayakan serangannya kepada kekuatan wadagnya. Kekuatan kewadagan yang wajar.

Glagah Putih yang marah memang ingin menunjukkan kelebihannya. Ia berharap dengan demikian maka perkelahian tidak akan berkembang, dan anak-anak muda itu akan melepaskan Tanu.

Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Glagah Putih sama sekali tidak menghindar. Ia membiarkan dirinya dikenai oleh serangan anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu. Namun di luar sadarnya, ia telah berusaha untuk menahan serangan itu dengan kekuatan di dalam tubuhnya.

Namun ternyata akibatnya sangat mengejutkan. Glagah Putih memang tidak nampak bergerak. Tetapi kekuatan di dalam tubuhnya yang menahan serangan lawan telah menolak dan seakan akan mendesak kembali kekuatan lawannya itu.

Karena itu, maka benturan yang keras telah terjadi. Jika Glagah Putih hanya sekedar berusaha untuk tidak disakiti oleh serangan lawan, maka kekuatan untuk menolaknya telah berakibat gawat bagi lawannya.

Ternyata bahwa anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu, yang telah menyerang Glagah Putih dengan sepenuh tenaganya yang dilontarkan lewat kakinya menghantam dada Glagah Putih, justru telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan kemudian anak muda itu telah terbanting jatuh, bagaikan didorong oleh kekuatan seekor kerbau yang marah.

Terdengar anak muda itu berteriak kesakitan. Demikian ia terjatuh maka yang dapat dilakukan hanyalah menggeliat. Itu pun sambil mengeluh menahan sakit.

Kawan-kawannya terbelalak melihat peristiwa itu. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Semula mereka mengira bahwa Glagah Putih tidak mendapat kesempatan untuk mengelakkan serangan itu. Namun akibatnya ternyata sama sekali tidak mereka bayangkan.

Beberapa orang anak-anak muda itu telah mendekati anak yang terbaring sambil kesakitan itu. Ketika seorang berusaha menyentuh tubuhnya, maka iapun menyeringai sambil berdesis, “Sakit.”

Tidak ada yang tahu pasti sebab dari keadaan itu. Namun anak-anak itu mengira, bahwa karena tergesa-gesa, kawannya yang bertubuh tinggi kekar itu telah salah langkah, sehingga bagian tubuhnya justru telah terkilir.

Karena itu. tiga orang anak muda yang paling disegani telah melangkah maju mendekati Glagah Putih. Seorang di antara mereka berkata, “Kau jangan berbangga dengan kebetulan yang baru saja terjadi itu he?”

“Kita sudah cukup banyak berbicara,” desis Glagah Putih, “marilah, kita akan mulai.”

Ketiga orang anak muda itu memang tersinggung. Karena itu, maka mereka pun segera memencar. Dengan cepat mereka bertiga telah menyerang Glagah Putih dari tiga arah yang berlainan.

Glagah Putih memang agak ragu. Ia sendiri sebenarnya merasa heran, bahwa anak muda yang menyerangnya itu terlempar. Glagah Putih sama sekali tidak merasa mendorongnya. Jika ia berusaha untuk menolak dengan kekuatannya, sekedar untuk melindungi dirinya dan mengatasi perasaan sakit. Namun akibatnya ternyata mendebarkan.

Sekilas Glagah Putih teringat kepada Raden Rangga. Apakah yang terjadi itu merupakan satu gejala peningkatan ilmunya setelah ia seakan-akan menerima arus getaran dari diri Raden Rangga itu?

Tetapi Glagah Putih tidak sempat memikirkannya lagi. Tiga serangan telah datang beruntun.

Untuk menghindari kemungkinan yang lebih buruk bagi anak-anak muda itu, maka Glagah Putih telah berusaha untuk menghindari serangan-serangan itu. Demikian cepatnya ia bergerak, sehingga ketiga serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Dengan marah ketiga orang itu telah memburunya. Namun tidak seorangpun yang kemudian dapat mengenainya.

Dalam pada itu, Glagah Putih telah berusaha untuk tidak mempergunakan kemampuan tenaga cadangannya. Ia telah berusaha dengan tenaga wajarnya melawan ketiga orang anak muda itu. Ia telah mencoba membalas serangan-serangan itu dengan serangan pula. Tetapi ia sudah berusaha untuk menahan tenaganya sebanyak-banyaknya.

Karena itu, maka tenaga yang terpencar dari dalam dirinya pun telah jauh susut.

Namun demikian, setiap gerak Glagah Putih masih juga mengejutkan. Bahkan ketika menyentuh salah seorang lawannya, maka anak muda itu telah terpental dan jatuh terguling di tanah. Meskipun tidak mengalami kesulitan seperti anak muda yang bertubuh tinggi kekar dan yang pertama kali menyerangnya, namun rasa-rasanya tulangnya pun telah berpatahan.

Glagah Putih sendiri memang menjadi agak bingung. Ternyata ia masih belum mampu mengendalikan dan mengatur kekasaran dan kemampuan yang ada di dalam dirinya. Ia merasakan hal itu justru baru pertama kali ia terlihat dalam perkelahian setelah ia menerima semacam warisan ilmu dari Raden Rangga.

Namun ketika seorang lagi di antara mereka terlempar pula dan mengaduh kesakitan, maka kawan-kawan mereka pun menjadi ragu-ragu. Mereka mulai percaya bahwa anak muda yang datang seorang diri itu memang memiliki kelebihan.

Beberapa orang di antara mereka yang mengepung Glagah Putih pun telah saling merapat. Mereka merasa ngeri melihat sikap Glagah Putih. Tiga orang kawannya masih terkapar sambil merintih kesakitan.

Glagah Putih yang melihat anak-anak muda itu merenggang tidak memburu lagi. Namun dipandanginya anak-anak muda itu seakan-akan ingin melihat wajah-wajah mereka satu demi satu dengan jelas.

Namun kemudian terdengar suaranya berat, “Sekali lagi aku minta, lepaskan Tanu. Jika kalian benar-benar berkeberatan, maka aku akan menjadi lebih kasar.”

Sejenak keadaan menjadi tegang. Anak-anak muda itu berdiri bagaikan patung yang beku. Mereka tidak tahu apakah yang sebaiknya harus mereka lakukan.

Dalam pada itu, sekali lagi Glagah Putih berkata, “Cepat lepaskan. Atau benar-benar harus ada korban?”

Ternyata anak-anak itu tidak lagi mempunyai keberanian untuk melawan Glagah Putih. Mereka, sebanyak lebih dari dua puluh orang anak-anak muda itu, harus tunduk kepada seorang yang masih lebih muda dari mereka.

Karena itu, maka beberapa orang yang semula memegangi Tanu itu pun kemudian melepaskannya.

Tanu meloncat selangkah ke depan. Kemudian iapun berdesis, “Terima kasih Glagah Putih. Kau telah memberi kesempatan kepadaku untuk menunjukkan, bahwa aku juga seorang laki-laki.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengerutkan keningnya. Ia ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh Tanu.

Ternyata dengan nada geram Tanu berkata, “Aku tantang laki-laki itu untuk berkelahi seorang melawan seorang. Bukan maksudku untuk memperebutkan seorang gadis. Tetapi aku ingin bahwa kita harus mempergunakan cara yang lebih jantan daripada membawa sekelompok kawan untuk mengeroyok beramai-ramai.”

Tetapi laki-laki yang merasa disaingi oleh Tanu itu sama sekali tidak menjawab. Agaknya iapun menjadi sangat cemas, bahwa ia akan mengalami nasib yang sangat buruk. Apalagi ketika kemudian Tanu berkata, “Ki Sanak. Yang. paling menyakitkan hati, kau sudah berniat, meskipun tidak dapat kau lakukan, tetapi niat untuk membunuhku itu sudah benar-benar biadab. Kau membunuh karena kau tidak mau kehilangan seorang gadis yang justru tidak menyukaimu.”

Laki-laki itu justru menjadi gemetar. Namun Glagah Putih-lah yang berkata, “Sudahlah Tanu. Biarlah mereka pergi. Kita sudah tahu siapa mereka. Jika kelak terjadi sesuatu atas dirimu karena pokalnya, maka kita tidak saja akan menangkap dan menghancurkannya, tetapi kekuatan Tanah Perdikan Menoreh akan dapat menghancurkan seluruh padukuhan dan menangkap semua anak-anak muda yang terlibat.”

Tanu menggeram. Tetapi ia tidak berani membantah.

“Nah,” berkata Glagah Putih kepada anak-anak muda itu, “pergilah, dan kenanglah apa yang telah terjadi ini. Kalian tidak akan dapat berbuat sesuka hati kalian. Apalagi jika kalian dilihat oleh sekelompok pengawal Tanah Perdikan ini, maka kalian akan ditangkap. Dan harus kalian sadari, bahwa hal ini akan dapat merenggangkan hubungan antara Tanah Perdikan ini dengan kademangan kalian. Padahal kalian harus tahu, bahwa jika terjadi kekerasan, maka kalian tidak akan dapat menggoyahkan sehelai rambut kami para pengawal Tanah Perdikan ini.”

Anak-anak muda itu memang tergetar hatinya. Karena itu ketika sekali lagi Glagah Putih berkata, “Pergilah,” maka orang-orang itu pun bergegas untuk pergi.

Tetapi Glagah Putih masih juga berdesis, “Bawa kawanmu yang terbaring itu.”

Anak-anak muda itu pun tertegun. Namun mereka pun telah menolong kawan-kawan mereka, dan memapahnya meninggalkan tempat itu. Masih terdengar keluhan dan rintihan dari mereka yang terluka.

Tanu berdiri termangu-mangu. Namun sekali lagi ia berkata, “Terima kasih. Jika kau tidak datang tepat pada waktunya, mungkin aku benar-benar telah mati, atau setidak-tidaknya menjadi cacat, tanpa dapat membuktikan kesalahan mereka.”

“Marilah,” berkata Glagah Putih, “kita kembali.”

Tanu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ternyata tubuhnya justru mulai merasakan kesakitan. Tulang-tulangnya bagaikan retak dan kulitnya merasa pedih.

Tetapi Tanu masih dapat berjalan sendiri, meskipun harus mengatupkan bibirnya rapat-rapat menahan sakit.

Glagah Putih ternyata mengantarkan Tanu sampai ke dekat padukuhannya. Tetapi Glagah Putih tidak mau mendekati mulut lorong padukuhan, karena ia ingin segera kembali dan beristirahat. Jika sampai ke gardu, maka ia harus menjawab seribu macam pertanyaan yang akan dapat menahannya sampai pagi.

Namun demikian Glagah Putih masih juga berpesan, “Tanu. Agaknya persoalan sudah selesai. Anak-anak padukuhan itu tidak akan berani lagi mengganggumu. Karena itu, maka kaupun harus menganggap bahwa persoalanmu memang sudah selesai. Kau tidak perlu membakar perasaan kawan-kawan kita, yang akan dapat menimbulkan persoalan baru.”

“Tetapi hatiku sakit sekali,” jawab Tanu.

“Di sinilah kebenaran jiwa diuji,” berkata Glagah Putih kemudian. Lalu, “Satu pertanyaan harus kau jawab, meskipun tidak sekarang. Apakah kau memiliki kelebihan dari laki-laki yang tidak mau kehilangan atas sesuatu yang belum pernah dimilikinya itu, atau tidak? Jika kau mendendamnya dan pada suatu hari kau datang beramai-ramai dengan kawan-kawanmu ke padukuhan itu, maka nilai kejiwaanmu tidak lebih dari laki-laki itu. Apalagi jika kita mengingat kerukunan bertetangga. Karena jika persoalannya menjadi semakin luas, maka Ki Gede harus ikut mencampurinya.”

Tanu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku tidak akan mempersoalkannya lagi.” Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi apakah aku tidak boleh mengunjungi gadis itu?”

“Untuk sementara jangan,” jawab Glagah Putih, “apalagi jika kau belum terlanjur hanyut dalam satu hubungan yang lebih mendalam dengan gadis itu.”

Tanu mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya hubunganku dengan gadis itu masih sangat terbatas. Aku kira lebih baik aku tidak mengunjunginya lagi. Aku sebenarnya juga malu jika diketahui oleh banyak orang bahwa aku telah berkelahi karena seorang gadis.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Jika kawan-kawanku bertanya, aku akan mengatakan bahwa aku tergelincir di sungai. Tolong kau jangan menyebar-luaskan peristiwa yang memalukan itu.”

Glagah Putih tersenyum. Ditepuknya bahu Tanu yang masih kesakitan. Katanya, “Sudahlah. Aku akan kembali. Baru hari ini aku pulang dari sebuah perjalanan yang panjang.”

“Ya. Untuk waktu yang cukup lama kau tidak kelihatan di Tanah Perdikan,” berkata Tanu.

Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Malam menjadi semakin larut.”

Glagah Putih pun kemudian telah meninggalkan Tanu. Tertatih-tatih Tanu melangkah ke mulut lorong pedukuhannya.

Seperti sudah diduga sebelumnya, ketika ia sampai di depan gardu, maka beberapa orang kawannya telah bertanya tentang keadaannya.

“Kenapa kau menjadi bengab?” bertanya seorang anak muda yang bertubuh kurus.

“Aku membuka pliridan. Ketika aku pulang, aku tergelincir di tebing,” jawab Tanu.

Beberapa orang memandangnya dengan tegang. Namun tiba-tiba saja mereka tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Bukankah kerjamu setiap hari membuka dan menutup pliridan? Setiap malam sedikitnya kau turun dua kali ke sungai. Kenapa tiba-tiba saja kau tergelincir dan jatuh?”

“Entahlah,” jawab Tanu, “mungkin aku sudah terlalu letih dan mengantuk.”

“Apa kerjamu sehari-harian he?” bertanya yang lain.

Tanu tidak menjawab. Sambil menahan sakit ia berjalan terus meninggalkan kawan-kawannya di gardu. Ia masih mendengar kawan-kawannya itu mentertawakannya.

Namun ia harus menahan diri. Ia memang tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya baru saja terjadi.

Sementara itu Glagah Putih telah melintasi sebuah bulak pendek dan memasuki padukuhan induk. Iapun segera langsung pulang. Ia mengira bahwa pembantu rumahnya telah mendahului kembali.

Sebenarnyalah bahwa anak itu memang telah kembali. Tetapi ia telah mengatakan bahwa mereka di perjalanan kembali dari sungai telah melihat sesuatu yang menarik perhatian. Sekelompok orang yang tidak dikenalnya dari mana dan untuk apa.

Agung Sedayu, Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari memang menjadi cemas. Karena itu, maka mereka ternyata telah keluar dari bilik mereka dan duduk di ruang dalam. Bahkan Sekar Mirah pun telah duduk bersama mereka pula.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar